Asmara Berdarah Jilid 18 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

KETIKA itu pemerintahan Mongol yang memakai nama Dinasti Goan menguasai seluruh Tiongkok dan cerita tosu ini terjadi pada waktu pemerintahan dipegang oleh Kaisar Shun Ti (1333-1368). Pada waktu itu hasil tanah rampasan dari daerah-daerah yang tadinya masih belum mau mengakui kekuasaan Kerajaan Goan kemudian ditaklukkan, dibagi-bagi di antara para ningrat Mongol. Pembagian itu amat besar karena paling kecil tanah yang dibagikan kepada mereka itu mencapai luas seratus hektar!

Terjadilah perampasan-perampasan sebab para pejabat tinggi menjadi ‘mabok tanah’ dan timbullah tuan-tuan tanah dalam arti yang sebenarnya karena mereka itu masing-masing memiliki tanah yang ratusan, bahkan hingga ribuan hektar luasnya! Tentu saja orang yang menguasai tanah sampai sekian luasnya itu merupakan raja kecil di tengah tanah yang dikuasainya.

Tanah-tanah itu oleh para tuan tanah lantas disewakan kepada buruh-buruh tani dengan memungut hasil tanah yang sangat menekan, seolah-olah keringat para petani itu diperas dan sebagian besar hasil tenaga mereka dihisap. Namun para petani itu tetap mau saja diperas seperti itu sebab mereka hanya bermodal tenaga, tidak memiliki tanah secuil pun. Tanpa adanya tanah, maka kepandaian dan tenaga mereka untuk bercocok tanam tidak ada artinya, sementara mereka perlu makan setiap hari.

Dengan adanya kekuasaan mutlak yang digunakan secara sewenang-wenang ini, maka banyak di antara para pejabat tinggi dan bangsawan ini yang berhasil menumpuk harta kekayaan yang sukar dibayangkan banyaknya. Dan di antara mereka itu terdapat nenek moyang Ciang-tosu atau yang sesungguhnya berjuluk Hui-to Cin-jin itu!

Pembesar Mongol ini menumpuk harta kekayaan yang amat besar, lalu menurunkan harta kekayaan itu kepada keturunannya sampai akhirnya pemerintah Mongol ditumbangkan oleh rakyat yang memberontak pada tahun 1368 dan berakhirlah pemerintahan penjajah Mongol lalu lahirlah Dinasti Beng-tiauw yang dipimpin oleh bangsa sendiri sampai saat Hui Song mendengar cerita itu dituturkan oleh Ciang-tosu.

Namun, seperti juga banyak pembesar tinggi pemerintah Mongol lainnya, nenek moyang Ciang-tosu berhasil melarikan sebagian besar harta kekayaannya dan menyembunyikan harta itu ke dalam tempat rahasia yang dinamakan Goa Iblis Neraka itu. Dengan bantuan beberapa orang pandai, pembesar Mongol itu menyembunyikan harta kekayaan berupa emas dan batu-batu permata dan setelah berhasil menyembunyikannya, pembesar ini lalu memerintahkan para pengawalnya untuk membunuh semua pembantu sehingga tempat itu menjadi rahasia yang hanya diketahuinya sendiri saja.

Rahasia ini dibawanya lari ketika pemerintahan bangsanya jatuh dan hanya sedikit harta benda yang dapat dibawanya lari ke utara. Dan rahasia itu menjadi warisan bagi anak cucunya. Akan tetapi tak mudah bagi anak cucunya untuk dapat mengambil harta pusaka yang tersimpan di tempat yang rahasia dan berbahaya itu.

Saat membuat tempat rahasia itu, orang-orang pandai yang membantunya menggunakan alat-alat rahasia sehingga sesudah mereka keluar, alat-alat itu digerakkan dan batu-batu lantas runtuh menimbun dan menghapus jejak sehingga amatlah sukar bagi orang untuk menemukan harta itu, biar pun dia sudah tahu di mana letaknya. Apa lagi bagi orang luar. Dan jalan menuju ke harta karun itu pun amatlah sukar dan berbahaya. Inilah sebabnya, mengapa sampai hampir dua ratus tahun, tidak ada orang yang dapat menemukan harta yang masih tersimpan dan tertimbun dengan aman di tempat yang menyeramkan itu.

"Keturunan pembesar penyimpan harta karun itu, yang terakhir adalah pinto sendiri. Akan tetapi, biar pun pinto juga mewarisi pengetahuan tentang harta itu dan memiliki peta yang menunjukkan tempatnya, untuk apakah harta itu bagi pinto yang semenjak muda menjadi pendeta? Pula, kepandaian pinto terlalu rendah untuk dapat menggali serta menemukan harta pusaka itu, maka hingga sekarang pinto tinggal diam saja. Setelah pinto mendengar bahwa rahasia harta karun ini sampai ke telinga para pemberontak dan mereka berusaha mencari dan menguasainya untuk dipakai biaya melakukan pemberontakan, barulah hati pinto tergerak lantas bersama kawan-kawan sehaluan pinto berusaha mendapatkan harta karun itu mendahului para pemberontak!"

Hui Song adalah seorang pemuda yang sangat cerdik. Tentu saja dia tidak mau menelan bulat-bulat begitu saja cerita yang dituturkan bekas tosu itu. “Akan tetapi, kalau memang harta itu merupakan warisan turun temurun, tentu ada peta atau setidaknya keterangan yang menjelaskan mengenai tempat rahasia ini. Tetapi mengapa sampai selama ini harta karun itu masih saja berada di sini, belum diambil oleh salah seorang keturunan bahkan rahasia ini dapat diketahui oleh para pemberontak yang merupakan orang luar?”

“Apakah taihiap mencurigai kami?” tanya Ciang-tosu sambil menatap tajam.

“Bukan begitu. Tadi pun sudah kukatakan bahwa aku ingin tahu duduk perkaranya secara jelas dahulu, dan aku baru mau turun tangan membantu kalau tidak bertentangan dengan kebenaran,” jawab Hui Song sambil balas menatap tajam kepada tosu itu.

Melihat suasana yang mulai memanas, Siang Hwa segera ikut bicara. “Ciang-tosu, tidak ada salahnya bila Cia-taihiap ingin tahu sejelasnya, maka terangkan saja semua hal yang ingin diketahuinya.”

Sejenak kakek itu mengerutkan alis, lalu menghela napas dan mulai bercerita. “Sejak dulu sebenarnya sudah banyak anggota keluarga yang hendak mencari tempat rahasia ini dan mengambil harta karun itu, akan tetapi para orang tua selalu melarang dan mengingatkan bahwa waktunya masih belum tepat. Menurut mereka, karena waktunya belum terlampau lama, sekarang masih ada pembesar di istana atau pejabat daerah yang mengetahui dan ikut mengincar harta ini sehingga amatlah berbahaya apa bila diambil saat ini juga. Maka, orang-orang tua itu meminta agar kami mau bersabar menunggu sampai petinggi-petinggi itu sudah tidak ada lagi. Selama ini kami selalu menurut semua nasehat orang-orang tua itu, akan tetapi sekarang kita tak dapat menunggu lebih lama lagi mengingat bahwa pihak pemberontak juga telah mengetahui dan mulai mencari harta karun itu. Nah, itulah alasan kenapa sampai sekarang harta itu masih di tempatnya, walau pun kami sudah mendengar jelas semua keterangan tentang tempat rahasia itu.” Kakek itu mengakhiri ceritanya yang sebagian besar hanyalah karangannya sendiri saja.

Sesungguhnya harta karun itu sudah berusia jauh lebih tua dan kabarnya disimpan pada jaman sebelum Bangsa Mongol mulai menguasai daratan Tiongkok, jadi sudah lebih dari tiga ratus tahun lamanya, disimpan oleh para pembantu Kerajaan Song yang telah terjepit dan terancam oleh gerakan Jenghis Khan.

Dan rahasia ini akhirnya terjatuh ke tangan Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit Ong yang lalu memerintahkan muridnya, Gui Siang Hwa dan para pembantunya untuk mencari dan menemukan harta karun itu. Dengan cerdiknya Ciang-tosu yang sebenarnya adalah salah seorang tokoh di antara Cap-sha-kui mengarang cerita untuk mengelabui Hui Song.

Hui Song memang tidak mau percaya sepenuhnya begitu saja, akan tetapi bagaimana pun juga dia merasa tertarik sekali untuk menyelidiki harta karun di tempat aneh ini. Baru tempat penyimpanannya saja sudah jelas membuktikan bekas tangan orang-orang sakti yang berilmu tinggi.

“Terima kasih, aku sudah mendengar cukup dan marilah kita mulai dengan penyelidikan kita itu,” kata Hui Song.

Wajah gadis itu nampak gembira. “Baik, taihiap. Mari kita mulai sebelum cuaca menjadi gelap. Berjalanlah dulu menyeberangi jembatan ini, aku akan menyusul di belakangmu!”

Sejenak Hui Song memandang tajam ke arah deretan batu-batu runcing yang oleh Siang Hwa disebut sebagai jembatan itu, menghela napas panjang, kemudian sekali berkelebat tubuhnya telah melayang ke depan. Setelah mencapai jarak empat tombak, tubuh itu baru melayang turun dengan ringannya, lalu kaki pemuda menutul ujung batu runcing di bawah dan… kembali tubuhnya melayang ke depan menuju ujung batu berikutnya lalu hinggap di atasnya. Hui Song mengerahkan ginkang-nya yang tinggi hingga tubuhnya menjadi amat ringan dan ujung batu yang runcing itu tak dapat melukai kakinya, bahkan sepatunya pun tidak menjadi rusak sama sekali.

Siang Hwa terus memperhatikan sejak pemuda itu belum bergerak dan matanya langsung terbelalak kagum begitu melihat gerakan pertama tadi. Sesungguhnya dia memang sudah pernah menyeberangi jembatan batu itu, namun apa yang dilakukan putera Cin-ling-pai itu betul-betul membuatnya tunduk. Dia hanya sanggup meloncat satu kali demi satu kali, itu pun dalam jarak dua tombak saja, tetapi pemuda itu mampu melakukan sekaligus dua kali loncatan, masing-masing dalam jarak empat tombak. Ilmunya sungguh tinggi, dan wajah itu demikian tampan, pikirnya.

“Nona, sebaiknya engkau mulai meloncat juga agar jarak kita tidak terlalu jauh,” Hui Song menegur karena melihat gadis itu hanya diam saja di tempatnya berdiri.

“Ohh… ya… tentu saja…,” jawab Siang Hwa gagap dan mukanya berubah merah karena dengan tegurannya tadi pemuda itu seakan-akan dapat menjenguk isi hatinya.

Murid pasangan Raja Iblis dan Ratu Iblis ini cepat-cepat menenangkan diri, menarik napas panjang meniru perbuatan Hui Song tadi, lalu mulai meloncat. Akan tetapi dalam loncatan ini tidak mungkin dia mengikuti apa yang dilakukan oleh pemuda Cin-ling-pai tadi karena dia pun sadar bahwa kepandaiannya tidak setinggi itu.

Dia meloncat sejauh dua tombak dan hinggap di atas batu runcing, lalu diam sejenak dan setelah kembali menarik napas panjang baru meloncat lagi ke batu berikutnya yang juga berjarak dua tombak di depannya. Demikianlah, setelah meloncat tiga kali dia baru tiba di atas batu yang jaraknya kira-kira dua tombak di belakang batu tempat Hui Song berdiri.

Dua orang itu terus melakukan hal yang sama. Dengan sekali berkelebat, tubuh Hui Song akan berpindah delapan tombak ke depan, lalu Siang Hwa mengikutinya dengan tiga kali loncatan hingga akhirnya mereka tiba di ujung jembatan batu pedang. Tempat itu bukan lagi terdiri dari batu-batu runcing, melainkan berupa puncak tebing dengan sebuah dataran yang cukup luas.

Sambil menunggu tibanya gadis itu, Hui Song lalu memandang ke bawah tebing. Nampak hamparan pasir yang tak berapa luas sehingga tempat itu seolah-olah membentuk sebuah sumur pasir.

“Taihiap, jangan meloncat ke bawah!” setengah berseru Siang Hwa memperingatkan.

Hui Song segera membatalkan niatnya meloncat ke bawah, kemudian membalikkan tubuh dan menghadapi gadis itu yang kini berdiri di depannya dengan napas agak memburu dan tubuh basah oleh keringat. Melihat wajah pemuda itu, segera terpancar sinar kagum pada sepasang mata jeli itu. Sedikit pun tidak nampak tanda-tanda keletihan pada wajah yang tampan itu, kelihatan biasa saja, bahkan berkeringat pun tidak.

“Kenapa tidak boleh meloncat ke bawah?” Hui Song bertanya.

Memang tentu saja dia tak mau sembarangan meloncat ke bawah. Terlampau berbahaya jika melangkah di tempat aneh ini sebelum mengenal betul tempat berikutnya yang akan terinjak kakinya. Siapa tahu jebakan-jebakan sudah diatur dan ada alat-alat rahasia yang akan bekerja mencelakakan dirinya, Bukankah menurut Ciang-tosu tempat ini dibuat oleh orang-orang pandai yang menggunakan alat-alat rahasia?

“Berbahaya sekali kalau meloncat ke bawah, taihiap. Lihat…!”

Gadis itu mematahkan ujung sebatang batu pedang, lantas melemparkannya ke bawah. Potongan batu panjang itu meluncur turun ke atas dasar pasir dan masuk ke dalam pasir, terus tenggelam dan lenyap!

Hui Song memandang dan wajahnya berubah agak pucat. Tahulah dia apa artinya. Pasir itu merupakan pasir maut, semacam sumur atau danau pasir yang akan menelan segala sesuatu yang jatuh ke dalamnya! Terutama sekali benda-benda bergerak, sekali terjatuh dan bergerak hendak keluar, maka semakin cepat tersedot ke dalam. Dapat dibayangkan betapa mengerikan kalau tadi dia meloncat ke bawah.

“Ada dua orang kawanku lenyap tertelan oleh sumur pasir itu,” kata Siang Hwa. “Dan aku sendiri tidak berdaya menolongnya dari tempat ini. Karena itu, sekarang aku sudah siap membawa tali panjang yang kulibatkan di pinggang untuk menjaga kalau-kalau…”

“Hemmm, andai kata aku tadi terlanjur meloncat ke bawah, tentu dapat tertolong olehmu,” kata Hui Song. Kepercayaannya menebal terhadap gadis itu bahwa dia tak berniat buruk, buktinya telah memperingatkan agar tidak terjun ke bawah.

"Jalan selanjutnya bukan terjun ke bawah, tetapi melompati sumur pasir itu dan berusaha mendarat di seberang," kata Siang Hwa.

"Menyeberang ke sana? Tapi, di depan itu hanya tebing..."

"Inilah mengapa aku mengatakan bahwa tempat ini sangat sukar, taihiap. Dan bagian ini bukanlah yang paling sukar. Aku sendiri sudah sampai ke sana. Kau lihat batu menonjol di tebing itu, yang berwarna agak kehitaman? Nah, tonjolan batu itu dapat dipakai tempat mendarat. Disebelah atas tonjolan itu terdapat lekukan yang cukup dalam dan lebar untuk tangan berpegangan dan bergantung, sedangkan di bawah tonjolan batu itu terdapat pula lekukan yang lebih besar lagi untuk tempat kaki berpijak. Kau dapat melihatnya, taihiap?"

Hui Song mengangguk-angguk dan dia merasa kagum sekali pada nona ini. Seorang diri, Siang Hwa dapat menemukan tempat mendarat yang luar biasa itu, sungguh merupakan kecerdikan dan juga keberanian yang jarang terdapat. Kalau tidak diberi tahu, dia sendiri belum tentu akan dapat menemukan kemungkinan meloncati sumur pasir dan mendarat di tebing yang curam itu.

"Kalau ragu-ragu, biarlah aku yang melompat lebih dulu, taihiap," kata Siang Hwa.

Mendengar ini, tersinggung rasa harga diri Hui Song. Apa bila gadis itu berani meloncati, mengapa dia tidak? Dan pula, sesudah melihat tonjolan batu serta lekukan-lekukan pada dinding itu, dia maklum bahwa meloncati dan hinggap di tebing itu bukanlah merupakan pekerjaan yang terlalu sukar baginya.

"Tidak, biarkan aku melompat lebih dulu."

Tanpa menunggu jawaban, Hui Song lalu mengerahkan tenaganya dan meloncat. Dengan mudah saja tubuhnya melayang ke depan dan di lain saat dia sudah hinggap di tebing itu, tangan kanannya mencengkeram lekukan di atas tonjolan batu dan kaki kirinya hinggap di lekukan bawah.

"Bagus, sekarang harap merayap ke kiri. Di belakang batu itu terdapat batu datar, harap berputar di balik batu dan meninggalkan tempat mendarat itu untukku, taihiap."

Hui Song merayap ke kiri, berpegang kepada lekukan-lekukan di permukaan tebing yang tidak rata dan sebentar saja dia sudah menemukan tempat yang dimaksud oleh gadis itu. Memang, di balik tebing terdapat batu datar maka dia pun berputar lalu berdiri di atas batu datar itu. Kiranya di balik tebing terdapat lereng yang batunya datar.

Dia memandang ketika gadis itu meloncat dan ternyata Siang Hwa mampu pula meloncati sumur pasir itu dengan mudah, hinggap di tempat dia mendarat tadi. Tak lama kemudian gadis itu sudah berdiri di sampingnya, dan sebuah tangan yang hangat lunak memegang tangannya. Dia merasa betapa tangan gadis itu agak dingin gemetar.

"Kenapa?" tanyanya heran.

Jari-jari tangan itu mencengkeram dengan hangat, lalu pegangannya dilepaskan kembali. "Maaf, taihiap. Aku selalu merasa tegang sekali kalau sudah meloncati sumur mengerikan itu, teringat kepada teman-teman yang telah ditelannya." Dia bergidik.

Kemarahan Hui Song karena kemesraan yang lancang itu lenyap, bahkan kini dia merasa iba. "Engkau tidak sendirian, nona. Aku pun merasa tegang dan ngeri. Memang tempat ini sungguh menyeramkan dan sukar dilalui. Akan tetapi aku berjanji akan membantu sampai engkau berhasil menemukan tempat penyimpanan harta karun itu, terutama demi untuk menentang para penjahat yang hendak memberontak."

"Terima kasih, Cia-taihiap, mari kita melanjutkan perjalanan ini. Tak jauh lagi, akan tetapi masih harus melalui dua tempat yang lebih sukar dan lebih berbahaya lagi. Nah, kau lihat, di depan itu terbentang rawa yang menghalang perjalanan menuju tempat penyimpanan harta karun itu. Dalam perjalananku yang sudah-sudah, rawa itu menjadi biang keladi dari kegagalan usahaku. Yang pertama, ketika aku melakukan perjalanan seorang diri untuk menyelidik, aku hanya sampai di tepi rawa ini dan tidak sanggup melanjutkan. Kemudian aku datang lagi, dibantu oleh seseorang yang cukup lihai dan kami berhasil menyeberang, akan tetapi pada rintangan terakhir kami gagal dan pulangnya, kawanku itu bahkan celaka dan tewas di rawa itu."

Jika saja Hui Song tahu akan kebohongan gadis ini, tentu saat itu dia akan bergidik ngeri. Memang benar bahwa gadis itu dulu pernah berhasil menyeberangi rawa dengan bantuan seorang gagah. Akan tetapi setelah gagal menemukan harta pusaka, timbul rasa khawatir karena rahasia harta karun itu telah diketahui orang luar. Maka secara keji dia kemudian membunuh orang gagah yang tadinya membantunya itu di tengah rawa!

Mendengar ini, Hui Song lalu memandang rawa itu dengan penuh perhatian. Kini mereka sudah tiba di tepi rawa. Sebuah rawa yang kecil saja, akan tetapi sungguh tidak mungkin dilewati tanpa menggunakan alat. Melompati rawa ini hanya mampu dilakukan oleh burung atau binatang bersayap lainnya saja. Rawa itu merupakan air lumpur yang ditumbuhi oleh berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang biasa hidup di atas lumpur, sementara dia tidak melihat perahu atau alat lain untuk menyeberang.

"Bagaimana cara menyeberangi rawa ini dan apa bahayanya, nona?" tanyanya.

Siang Hwa tersenyum. "Terlihat aman dan tenang, bukan? Akan tetapi ketahuilah, taihiap, di bawah permukaan air berlumpur yang terlihat tenang itu bersembunyi banyak binatang iblis yang amat mengerikan dan liar sekali. Binatang yang mengintai dari bawah dan siap untuk menerkam serta menyerang siapa saja yang berani melintas di permukaan rawa."

"Binatang apakah itu?"

"Lihat, mereka akan kupancing keluar!" kata Siang Hwa.

Kemudian ia mengambil sebatang kayu dan menggunakan kayu itu untuk mengaduk-aduk dan menggerak-gerakkan permukaan air berlumpur di tepi rawa. Tidak lama kemudian air berlumpur itu berguncang dan muncullah moncong beberapa ekor binatang seperti buaya dan mereka bergerak ganas, memukul-mukul dengan ekor mereka yang seperti gergaji ke arah kayu itu bahkan ada yang menggunakan moncongya untuk menyerang.

Moncong itu mengerikan. Panjang dan ketika dibuka, sangat lebarnya, penuh dengan gigi yang tajam meruncing seperti gigi gergaji pula! Gerakan ini lantas memancing datangnya segerombolan binatang ini sehingga dalam waktu singkat saja di seluruh permukaan rawa itu nampak banyak sekali moncong atau ekor tersembul keluar! Mungkin ada ribuan ekor di seluruh rawa itu.

"Ahh, sungguh berbahaya sekali!" Hui Song bergidik ngeri. Bagaimana mungkin mereka akan dapat melawan sekian banyaknya binatang liar dan buas ini? "Lalu bagaimana kita akan dapat menyeberang?"

Siang Hwa tersenyum, agaknya bangga akan pengetahuan dan kecerdikannya. "Kita tidak dapat menggunakan perahu. Selain akan sukar sekali meluncur, juga sekali terpukul ekor binatang itu maka perahu kayu akan hancur berkeping-keping. Kita menggunakan bambu. Kalau kita berdiri di atas bambu dan mendayung, tentu bambu itu akan meluncur laju dan kalau kita berdua, kita dapat berjaga di kedua ujung bambu, mengusir serta menghantam setiap ekor binatang yang berani mendekat dengan pentungan kayu yang dapat kita cari di sini. Jika seorang diri saja akan amat berbahaya, karena kalau kita diserang dari depan belakang, selagi berdiri di atas bambu sambil mengatur keseimbangan badan pula, maka akan sukarlah untuk menyelamatkan diri."

Gadis itu lalu mengajak Hui Song pergi mengambil alat-alat itu yang disembunyikannya di balik bukit kecil tidak jauh dari situ. Mereka kemudian menggotong sebatang bambu yang panjangnya kurang lebih tiga meter, kedua ujungnya meruncing. Bambu ini sudah tua dan kering, kuat dan ulet sekali.

Siang Hwa juga telah menyiapkan dayung sebanyak dua batang dengan gagang panjang. Dayung ini terbuat dari kayu dilapis baja dan ujungnya malah seluruhnya terbuat dari besi, maka dayung ini dapat dipergunakan untuk mendayung perahu istimewa berupa sebatang bambu itu, juga dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh untuk menghadapi binatang-binatang seperti buaya itu.

"Hemm, kiranya engkau sudah mempersiapkan segalanya, nona," kata Hui Song kagum.

"Sudah kukatakan bahwa sudah beberapa kali aku datang ke tempat ini, taihiap. Namun sampai kini tanpa hasil dan sekaranglah timbul harapanku akan berhasil, dengan bantuan darimu. Mari kita menyeberang. Biar aku menjaga di ujung depan dan engkau di ujung belakang, taihiap."

"Baiklah!" kata Hui Song yang merasa betapa jantungnya berdebar juga pada saat batang bambu itu diturunkan di atas permukaan air berlumpur.

Siang Hwa meloncat ke atas bambu dan berjalan sampai ke ujung depan, diikuti oleh Hui Song. Jangan dikira mudah berdiri di atas batang bambu besar yang terapung di atas air berlumpur. Batang bambu itu bergoyang-goyang dan cenderung untuk berputar sehingga orang yang tidak memiliki ginkang yang tinggi dan pandai mengatur keseimbangan tubuh, tentu akan terbawa berputar dan terpelanting ke dalam air berlumpur itu. Dan di kanan kiri bambu itu kini telah nampak moncong-moncong mengerikan dan ekor-ekor yang panjang dan kuat!

"Jangan sembarangan memukul mereka, taihiap. Apa bila ada yang mencoba menyerang, baru kita pukul, akan tetapi sekali pukul harus mengenai kepalanya dan harus langsung menewaskannya, kalau tidak maka dia akan mengamuk dan berbahayalah kita. Sesudah seekor itu kita tewaskan, kita harus cepat mendayung bambu ini meluncur maju, karena bangkainya akan dijadikan rebutan kawan-kawannya sendiri sehingga air lumpur akan berguncang hebat."

Hui Song mengangguk-angguk, matanya tidak berani berkedip memandang ke sekitarnya kemudian dia pun menggerakkan dayungnya dan membantu Siang Hwa yang telah mulai mendayung. Bambu yang ujungnya runcing itu menggeleser lembut dan meluncur dengan cepatnya di atas permukaan air berlumpur itu, menyusup di antara rumpun alang-alang dan tumbuh-tumbuhan lain.

Baru belasan meter bambu mereka meluncur, sesudah banyak pasang mata di belakang moncong-moncong itu memandang seperti terkejut dan terheran, maka mulailah serangan itu datang. Seekor binatang liar menerjang dari depan menyambut ujung bambu. Melihat bahaya ini, Siang Hwa menggerakkan dayungnya, menyambut dengan hantaman keras.

"Prakkk!"

Maka pecahlah kepala binatang itu lantas dengan dayungnya Siang Hwa mencongkel dan melemparkan bangkai binatang itu agak jauh. Hui Song melihat betapa tempat di mana bangkai itu jatuh sekarang tiba-tiba penuh dengan binatang yang segera mengeroyok dan memperebutkan bangkai yang dalam sekejap saja sudah dirobek-robek dan ditelan habis. Air lumpur menjadi merah warnanya. Secara diam-diam dia bergidik juga membayangkan bagaimana kalau tubuh manusia yang dijadikan rebutan seperti itu!

"Cepat dayung!" Siang Hwa berteriak.

Mereka mendayung dan bambu meluncur ke depan, akan tetapi terpaksa Hui Song harus berhenti mendayung karena tiba-tiba seekor binatang yang amat besar berenang dengan cepat lantas memukulkan ekornya ke arahnya. Dayungnya terlampau pendek untuk dapat mencapai kepala buaya itu, maka dia hanya mempergunakan dayung untuk menangkis ekor itu.

Buaya itu nampak kesakitan dan marah, membalik dan dengan moncong dibuka lebar dia lantas menyerang, hendak menggigit apa saja. Hui Song menggerakkan dayungnya maka pecahlah kepala binatang itu. Seperti yang sudah dilakukan oleh Siang Hwa tadi, dengan dayungnya dia mendorong dan melemparkan bangkai itu agak jauh dari bambu. Bangkai itu segera menjadi rebutan seperti tadi.

Akan tetapi, agaknya binatang-binatang itu menganggap bahwa kedua orang penunggang bambu itu telah mendatangkan rejeki dan memberi makanan kepada mereka, kini mereka semua berbareng menghampiri dan tampak betapa moncong-moncong itu muncul banyak sekali di kanan kiri, depan dan belakang perahu.

“Dayung cepat...!" Siang Hwa berteriak khawatir melihat begitu banyaknya binatang yang mendekati bambu.

Kembali mereka mendayung sambil mengerahkan tenaga sinkang dan karena tenaga Hui Song memang besar sekali, maka dayungnya membuat bambu itu meluncur dengan amat lajunya. Akan tetapi, baru sampai di tengah-tengah rawa, bambu itu sudah dikurung oleh ratusan ekor binatang buas itu yang kini agaknya menjadi marah karena tidak mendapat makanan lagi.

Binatang ini agaknya memiliki watak seperti ikan-ikan hiu di lautan. Mereka bekerja sama secara rukun, akan tetapi sekali mencium darah, mereka tak mempedulikan darah kawan atau lawan. Semua yang berdarah akan diserbu dan diganyang dengan lahapnya!

Melihat ancaman hebat ini, Siang Hwa berteriak, "Taihiap, cepat, kita berkumpul di tengah dan saling melindungi!"

Mereka berdua melangkah ke tengah-tengah bambu dan beradu punggung, menghadapi serbuan binatang-binatang buas itu. "Bunuh sebanyaknya dan lemparkan bangkai mereka ke sana-sini untuk mencerai-beraikan mereka!" Kembali gadis itu berkata dengan tenang, namun hanya sikapnya yang tenang, suaranya agak gemetar.

Diam-diam Hui Song merasa kagum. Dia sendiri merasa ngeri dan dia tahu bahwa kalau hanya sendirian saja, akan lebih besarlah bahayanya, walau pun dia tentu akan mendapat akal untuk menyelamatkan dirinya.

Sekarang binatang-binatang liar itu menyerbu dari kanan kiri, dan kedua orang muda itu menggerakkan dayung mereka untuk menyambut. Berulang kali terdengar suara nyaring pecahnya kepala binatang itu disusul terlemparnya bangkai-bangkai mereka ke kanan kiri. Bangkai-bangkai itu langsung menjadi rebutan, akan tetapi karena yang menyerbu amat banyaknya, walau pun sebagian ada yang memperebutkan bangkai kawan sendiri, namun yang menyerbu bambu itu tetap saja masih amat banyak.

Hui Song merasa tidak leluasa apa bila menghadapi sekian banyaknya binatang itu hanya dengan berdiri di atas bambu sambil menyambut setiap binatang yang berani menyerang paling dekat. Maka dia cepat meloncat dari atas bambu, menghantam seekor buaya, lalu kakinya hinggap di atas kepala seekor buaya lain, kembali menghantam dan dengan cara berloncatan dari kepala ke kepala, dia dapat membagi-bagi pukulan dengan lebih baik.

Sebentar saja belasan ekor buaya telah pecah kepalanya, kemudian terjadilah perebutan bangkai yang hiruk-pikuk. Melihat sepak terjang pendekar itu, Siang Hwa terkejut dan juga amat kagum. Meski pun dia tahu bahwa pendekar itu lihai sekali, namun dia tidak pernah mengira bahwa Hui Song akan seberani dan sehebat itu.

"Mari, taihiap, sekarang ada kesempatan untuk melarikan diri!" katanya sesudah kini para binatang itu sibuk saling serang sendiri memperebutkan bangkai-bangkai yang banyak itu.

Mereka lalu mendayung lagi setelah dengan sigapnya Hui Song meloncat kembali ke atas bambu. Bambu meluncur cepat dan biar pun ada beberapa ekor binatang yang memburu, namun mereka sudah dapat tiba di seberang dengan selamat. Mereka menarik bambu itu ke darat dan menyembunyikannya ke belakang serumpun semak-semak.

"Hayaa... berbahaya juga...!" kata Hui Song sambil menyusuti peluh dari lehernya dengan sapu tangan.

Siang Hwa juga menyusuti keringatriya sambil memandang kagum. "Akan tetapi engkau hebat, taihiap. Sungguh hebat dan membuatku kagum sekali. Memang sangat berbahaya tadi, dan sekiranya bukan engkau yang mendampingiku, tentu tamatlah riwayat Gui Siang Hwa pada hari ini!"

"Ahhh, sudahlah jangan terlalu memuji, nona. Engkau sendiri juga mengagumkan sekali. Nah, sekarang apa pula yang akan kita hadapi?"

"Tinggal satu lagi, taihiap, akan tetapi satu yang paling sukar dan biar pun sudah dibantu oleh teman lihai yang akhirnya tewas di rawa ini, tetap saja aku tidak mampu mengatasi kesukaran terakhir ini. Mari kita lanjutkan perjalanan."

Akhirnya tibalah mereka di depan sebuah goa kecil yang tertutup batu bundar yang besar. "Nah, di belakang batu besar inilah tempat penyimpanan harta karun, yaitu menurut peta rahasia yang menjadi warisan Ciang-tosu. Akan tetapi, sungguh pun aku sudah berusaha mati-matian bersama teman itu, tetap saja kami tak berhasil menggerakkan batu ini yang seolah-olah melekat pada goa di belakangnya."

Hui Song tertarik sekali dan memandang batu besar bulat itu. Batu itu memang besar, akan tetapi karena bentuknya bulat, kalau orang mempunyai tenaga sinkang yang sudah cukup kuat, rasanya tentu akan dapat mendorongnya hingga menggelinding atau tergeser dari tempat semula. Gadis ini cukup lihai dan kuat, apa lagi dibantu seorang teman yang juga lihai, bagaimana sampai tidak berhasil mendorong batu bulat ini ke samping?

Dia tidak boleh mempergunakan tenaga kasar saja. Kalau dengan tenaga gabungan dua orang itu tidak berhasil menggeser batu ini, tentu ada rahasianya. Dia harus berhati-hati dan tidak boleh sembrono. Sebab itu mulailah dia meneliti dan mendekati batu itu, meraba sana-sini sambil memeriksa ke sekelilingnya. Akhirnya dia mengambil kesimpulan bahwa memang batu ini, biar pun tidak melekat dan menjadi satu dengan mulut goa, akan tetapi ditahan oleh sesuatu yang membuat batu itu sukar dilepaskan dari mulut goa. Tentu ada alat rahasianya.

"Taihiap, marilah kita mencoba untuk menyatukan sinkang kemudian mendorong batu ini agar tergeser dan membuka pintu goa," kata gadis itu.

Akan tetapi Hui Song menggelengkan kepalanya. "Nona, kurasa akan percuma saja kalau mempergunakan tenaga kasar memaksa batu ini tergeser. Batu ini besarnya membuat dia tidak mungkin dipecahkan dan meski pun garis tengahnya ada dua meter, mestinya dapat didorong atau digeser. Apa bila tidak dapat digeser, itu berarti bahwa di balik batu ini ada sesuatu yang mungkin sengaja dipasang untuk menahan batu ini agar tidak dapat pindah dari tempatnya. Aku mempunyai akal yang akan lebih mudah kita laksanakan."

“Bagaimana, taihiap?" gadis itu memandang penuh harapan.

"Kekuatan manusia ada batasnya. Akan tetapi kekuatan yang timbul dari berat jenis batu ini sendiri akan sukar dapat ditahan oleh alat yang membuat batu itu tidak bergoyah dari tempatnya. Mari kita membuat batu itu melepaskan diri sendiri dengan berat jenisnya."

Pada mulanya Siang Hwa tidak mengerti, akan tetapi melihat pemuda itu mulai menggali tanah di sebelah batu besar, dia mengerti dan segera membantu penggalian itu. Karena mereka berdua adalah orang-orang pandai yang bertenaga besar, sebentar saja mereka sudah menggali cukup lebar dan dalam.

Tiba-tiba saja Hui Song berteriak sambil mendorong tubuh gadis itu ke samping. Batu itu bergerak! Tak lama kemudian batu itu pun menggelinding masuk ke dalam lubang galian di sebelah kirinya dan terbukalah setengah pintu goa itu!

"Awas, jangan masuk dahulu secara sembrono!" Hui Song memperingatkan dan betapa pun ingin hati Siang Hwa, dia cukup waspada dan mentaati peringatan ini.

Terdengar suara keras dan mendadak dari dalam lubang goa itu menyambar tujuh batang anak panah menghitam yang telah berkarat disusul oleh debu yang mengepul keluar, debu yang jelas mengandung racun! Kedua orang muda itu menyingkir dan bergidik melihat anak panah itu meluncur lewat dan jatuh ke dalam jurang di belakang mereka.

"Aihh, sungguh berbahaya sekali!" kata Siang Hwa.

Hui Song mempergunakan tenaga sinkang untuk pukulan jarak jauh, mendorong dengan dua telapak tangannya ke arah lubang goa mengusir sisa debu dan juga untuk menahan kalau-kalau dari dalam ada serangan mendadak.

Mereka berindap masuk dan ternyata bukan manusia menyerang mereka, melainkan alat rahasia yang agaknya dipasang orang untuk menyerang siapa saja yang berani membuka batu dan memasuki goa itu. Ternyata tepat seperti dugaan Hui Song, di belakang batu itu terdapat sambungan besi yang terkait pada kaitan baja yang ditanam di lantai goa. Pantas saja tenaga manusia tidak mampu mendorong batu itu dari luar.

Sesudah batu itu bergantung pada lubang yang mereka gali, kaitan baja itu tidak kuat menahan berat batu sehingga patah. Akan tetapi begitu goa terbuka dan batu tergeser, otomatis berjalanlah alat-alat rahasia yang membuat tujuh anak panah itu meluncur keluar dan kantong terisi debu beracun pun jatuh pecah berhamburan. Semuanya itu digerakkan dengan per yang bekerja setelah batu itu tergeser.

Setelah meniliti semua itu, Hui Song menggeleng kepala dengan kagum. "Sungguh hebat sekali kepandaian orang yang memasangkan alat rahasia ini." Akan tetapi Siang Hwa tak begitu memperhatikan lagi semua alat rahasia itu.

"Taihiap, mari kita masuk. Menurut peta, harta karun itu tersimpan dalam jarak dua puluh satu langkah dari pintu ini dan tersembunyi di dalam dinding goa sebelah kiri. Biar kuukur jarak itu!" Dengan sikap gembira dan penuh ketegangan, Siang Hwa segera melangkah sambil menghitung dari pintu goa. Setelah dua puluh satu langkah dia berhenti.

"Tentu di sini tempatnya," katanya sambil berjongkok dan memeriksa dinding sebelah kiri. Hui Song mendekati, hatinya juga ikut merasa tegang.

"Ihh... apa ini...?" tiba-tiba gadis itu berteriak.

"Awas...!" Hui Song berseru. Cepat tangan kanannya mencengkeram pundak Siang Hwa untuk ditariknya ke belakang sambil tangan kirinya menangkis ketika ada benda hitam yang tiba-tiba saja meluncur ke arah dada gadis itu.

"Trakkk!"

Benda itu ternyata sebuah tombak kuno yang menghitam dan mudah diduga pula bahwa tombak ini, seperti juga anak panah tadi, mengandung racun. Akan tetapi bukan itu yang mengejutkan hati Hui Song dan Siang Hwa, melainkan jatuhnya pula sebuah kerangka manusia lengkap dari dinding itu.

Tadi Siang Hwa meraba-raba dinding itu, kemudian menemukan besi kaitan yang segera ditariknya dan begitu penutup dinding terbuka, kerangka itu terjatuh berikut tombak yang langsung meluncur!

Hui Song menyingkirkan tombak itu, kemudian bersama Siang Hwa menyalakan lilin-lilin yang tadi sudah mereka bawa sebagai bekal. Di bawah penerangan cahaya lilin-lilin yang lumayan terang, mereka melihat bahwa di balik pintu yang menutup dinding tadi terdapat sebuah peti besar berwarna hitam.

"Itulah harta karunnya!" Siang Hwa berseru girang sekali dan melonjak seperti anak kecil. Hui Song tersenyum karena pemuda ini pun dapat merasakan gejolak hatinya yang ikut bergembira. Usaha mereka berhasil dan semua jerih payah tadi tidak sia-sia.

"Hati-hati, nona. Jangan-jangan ada jebakan lagi atau senjata rahasia. Mari kita turunkan peti itu perlahan-lahan." Hui Song lebih dahulu mencoba dengan mencokel-cokel peti itu menggunakan sepotong batu, bahkan Siang Hwa lalu menghunus pedang dan memukul-mukul di atas peti. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu. Barulah mereka berani menarik dan menurunkan peti besar itu yang ukurannya lebih dari setengah meter persegi.

"Mengapa begini ringan?" Hui Song berkata.

"Kita buka saja, coba lihat isinya!" kata Siang Hwa tak sabar.

Peti itu dapat dibuka dengan mudah dan mereka pun bersikap hati-hati ketika membuka tutup peti. Tidak terjadi sesuatu, akan tetapi keduanya terbelalak memandang ke dalam peti karena peti itu ternyata kosong sama sekali! Bagaikan awan tipis ditiup angin, segera lenyaplah semua kegembiraan yang tadi memenuhi hati, terganti rasa kecewa yang amat menghimpit batin.

"Peti kosong...!" teriak Siang Hwa kemudian setelah dia dapat mengeluarkan suara.

"Mungkin bukan ini, mungkin di tempat lain," kata Hui Song membangkitkan harapan.

"Tidak, tidak! Pasti ini. Tempatnya sudah tepat, dan memang beginilah gambaran peti di dalam peta Ciang-tosu... Yang dimaksudkan sama seperti apa yang diceritakan suhu-nya. Tapi... sudah kosong. Ahh, inilah sebabnya mengapa ada kerangka manusia ini, dan pasti ada orang yang mendahului kita. Di dalam peta tidak pernah disebutkan adanya kerangka manusia atau tombak!"

"Didahului orang? Akan tetapi siapa yang bisa mendahuluimu, nona? Bagaimana pula dia dapat masuk kalau tadi batu itu masih utuh dan kaitannya juga baru saja terlepas? Dan siapa pula kerangka manusia ini? Marilah kita selidiki!" Hui Song dan Siang Hwa masing-masing membawa lilin karena keadaan pada bagian dalam goa itu sudah mulai remang-remang, melakukan pemeriksaan dengan hati kecewa dan tegang.

Hui Song ingin sekali membuktikan kebenaran dugaan Siang Hwa bahwa ada orang yang mendahului mereka. Kalau benar demikian, harus ada tanda-tandanya bagaimana orang itu dapat memasuki goa itu. Ataukah justru orang itu yang memasang semua alat rahasia di dalam goa itu? Akan tetapi, bukankah jebakan dan alat-alat rahasia itu sudah diketahui oleh Siang Hwa melalui peta, kecuali alat terakhir berupa tombak meluncur tadi? Tidak, kalau benar ada yang mendahului, tentu orang itu mengambil jalan lain yang tidak perlu merusak kaitan batu bundar penutup mulut goa!

Akhirnya usahanya berhasil. Dia menemukan sebuah lubang di lantai goa sebelah kanan, dan ketika dia menyingkirkan tanah yang menutupi lubang itu, lubang itu ternyata menuju ke bawah dan menembus keluar goa, melalui bawah batu! Mengertilah dia kini dan dia berseru kagum.

"Ahh, orang itu memasuki goa dengan jalan membuat lubang terowongan di bawah batu. Sungguh cerdik sekali!" katanya.

"Kerangka ini adalah kerangka seorang Mongol, dan pembunuhnya atau orang yang telah mengambil harta karun ini tentu ada hubungannya dengan perkumpulan rahasia Harimau Terbang di Mongol!"

"Apa...? Begaimana engkau bisa tahu, nona?" Hui Song mendekati gadis itu yang sedang memeriksa sebuah lencana yang terbuat dari emas.

"Aku pernah mempelajari ciri-ciri khas orang Mongol asli berdasarkan tulang pipi dan dagu dan tengkorak kerangka ini jelas adalah tengkorak seorang Mongol. Dan lencana ini tadi kudapatkan dalam genggamannya, agaknya sampai tewas, orang ini terus menggenggam sebuah lencana yang besar kemungkinannya berhasil dirampasnya dari leher lawan yang membunuhnya. Lencana ini adalah tanda anggota Harimau Terbang, sebuah perkumpulan rahasia di Mongol, yaitu menurut tulisan Mongol yang diukir di atasnya."

Hui Song melihat lencana itu dan dia pun merasa semakin kagum terhadap Siang Hwa. Kiranya selain lihai, gadis ini juga mempunyai pengetahuan yang luas. "Jadi kalau begitu kesimpulannya..."

"Seorang atau lebih orang yang lihai dan cerdik sekali telah tahu akan rahasia harta karun ini, dan telah mendahului kita, mungkin juga telah belasan bulan melihat betapa mayat ini sudah menjadi kerangka yang masih utuh. Dia atau mereka memasuki goa dengan jalan membuat lubang terowongan kecil itu. Kemudian agaknya terjadi perebutan di sini, lantas orang ini tewas sedangkan dia hanya berhasil merampas lencana yang agaknya dipakai oleh lawan sebagai kalung tanpa diketahui lawan itu. Orang itu, atau lebih dari seorang, lalu mengambil seluruh isi peti harta karun, memasukkan mayat orang ini ke dalam lubang bersama peti, memasang sebuah tombak untuk menyerang orang yang datang kemudian membuka tempat penyimpanan peti harta pusaka, Bagaimana pendapatmu, taihiap?"

Hui Song mengangguk-angguk. Perkiraan yang tepat sekali karena dia sendiri pun tidak dapat menerka lain. "Dugaanmu agaknya tepat sekali, nona. Memang hanya seperti itulah kiranya yang dapat terjadi. Alat-alat rahasia di belakang batu penutup goa itu dibuat oleh mereka atau dia yang menyimpan harta pusaka itu, sedangkan mayat serta tombak tadi memang diletakkan kemudian, dan tentunya oleh si pencuri harta pusaka. Lalu sekarang bagaimana?"

Tiba-tiba Siang Hwa menangis! Hal ini amat mengejutkan hati Hui Song. Dia terkejut dan terheran, sama sekali tidak pernah dapat membayangkan seorang yang gagah dan lihai seperti Siang Hwa dapat menangis sesenggukan seperti anak kecil begitu.

Akan tetapi dia segera teringat bahwa bagaimana pun juga, Siang Hwa adalah seorang wanita, dan harus diakuinya bahwa mendapatkan peti harta pusaka yang telah kosong itu sungguh merupakan pukulan batin yang sangat hebat! Dia sendiri yang sama sekali tidak memiliki kepentingan dengan harta itu, yang hanya terlibat secara kebetulan saja, merasa amat kecewa, menyesal dan tertekan batinnya. Apa lagi Siang Hwa!

Gadis ini telah lama menyelidiki tempat ini, telah berkali-kali gagal, bahkan sudah banyak temannya tewas dalam tugas penyelidikan. Kini, setelah berhasil menemukan tempat dan peti harta pusaka itu, setelah harapan sudah memuncak di ambang keberhasilan, tiba-tiba saja segala-galanya hancur dan gagal sama sekali! Dia merasa iba, tetapi segera teringat bahwa harta pusaka itu diperebutkan hanyalah demi menentang pemberontakan, bukan untuk kepentingan diri pribadi.

“Sudahlah, nona. Kiranya tak ada gunanya ditangisi lagi. Pula, kita mencari harta pusaka untuk menghalangi pusaka itu jatuh ke tangan pemberontak. Dan seperti dugaanmu tadi, agaknya yang mengambilnya adalah orang Mongol, bukan para datuk sesat yang hendak memberontak. Yang penting adalah tidak terjatuh ke tangan pemberontak, jadi sama saja apakah pusaka itu terjatuh ke tangan kita ataukah orang lain asal jangan pemberontak, bukankah begitu?"

Siang Hwa memandang tajam dan sepasang matanya seperti berkilauan di bawah sinar lilin. "Taihiap, engkau tentu akan suka membantu kami untuk melakukan pengejaran ke Mongol, membantu kami merampas kembali harta pusaka itu, bukan?"

Hui Song mengerutkan alisnya. "Untuk apa, nona? Aku... aku mempunyai urusan lain..."

Dia teringat akan tugasnya seperti yang dipesankan oleh gurunya. Tentu saja dia tidak berani berterus terang kepada Siang Hwa tentang usaha para pendekar menentang para datuk sesat yang merencanakan pemberontakan, walaupun dia menganggap Siang Hwa juga seorang di antara para orang gagah yang menetang pemberontakan.

"Taihiap, bukankah kita satu haluan, yaitu hendak menentang para pemberontak? Nah, usaha mendapatkan harta karun itu merupakan pukulan paling hebat bagi mereka, selain mereka gagal memperoleh harta yang akan dapat mereka pergunakan untuk membiayai pemberontakan, juga kita bisa menggunakan harta itu bagi keperluan gerakan menentang mereka."

Ucapan gadis itu meyakinkan hatinya dan memperkuat kepercayaannya. Sekarang timbul kepercayaan di hati Hui Song. Jangan-jangan gadis ini adalah seorang di antara pimpinan para patriot yang hendak membela negara!

"Nona Gui, aku harus pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang..." Dia memancing sambil menatap tajam wajah gadis itu. Akan tetapi wajah Siang Hwa tidak menunjukkan sesuatu, hanya sepasang mata itu yang berkilat penuh penyelidikan mengamati wajah Hui Song.

"Cia-taihiap, sudah terlampau lama aku sibuk dengan tugasku untuk mencari harta karun sehingga aku agak terlambat mengikuti perkembangan gerakan kawan-kawan kita di luar. Tentu di sana akan diadakan pertemuan rahasia antara kita, bukan?"

Hui Song mengangguk. "Para pendekar akan mengadakan pertemuan di sana, kalau aku harus membantumu maka aku khawatir akan terlambat."

"Ahh, kalau begitu aku tidak boleh mengganggumu! Apakah engkau akan datang sebagai wakil dan utusan Cin-ling-pai?"

Betapa inginnya hati Hui Song untuk mengaku demikian. Akan tetapi dia segera teringat akan sikap ayahnya dan dia tidak berani berbohong, maka dia pun tidak menjawab secara langsung melainkan hanya menggeleng kepala.

"Baiklah, kalau begitu terpaksa kami akan melanjutkan sendiri pencarian kami. Sekarang kita harus keluar dari tempat ini sebelum malam tiba, taihiap."

Akan tetapi, melihat gadis itu mengangkat lilin tinggi di atas kepala dan terus berjalan menuju ke sebelah dalam goa, Hui Song bertanya, "Ehh, jalan ke mana, nona?"

"Taihiap, menurut peta yang dimiliki Ciang-tosu, goa ini berupa terowongan yang menuju ke belakang bukit. Seperti yang kau lihat, di depan sana ada sinar terang, berarti di sana juga ada lubang mulut goa di belakang bukit ini. Mari kita mengambil jalan ke sana, dan melihat keadaan di situ. Siapa tahu kalau-kalau penjahat-penjahat yang mencuri harta itu menyembunyikan harta itu di sana, walau pun harapan ini tipis sekali. Akan tetapi setelah berhasil memasuki tempat yang luar biasa ini, tiada salahnya kalau kita melihat sebentar bagaimana macamnya tembusan goa ini, bukan?"

Hui Song mengangguk kemudian mengikuti gadis itu. Sesudah maju belasan meter dan membelok, benar saja nampak mulut goa sehingga kini mereka tidak perlu lagi memakai lilin karena cahaya terang memasuki goa dari pintu atau mulut goa itu. Matahari sudah condong ke barat, akan tetapi sinarnya masih nampak terang. Silau juga rasanya mata yang sudah lama berada di dalam goa gelap, hanya diterangi api lilin, kini tiba-tiba harus menghadapi cahaya matahari di luar goa itu.

Dan pemandangan di depan goa itu sungguh indah, juga amat mengerikan. Depan goa itu merupakan batu datar yahg lebarnya dua meter dan panjangnya kurang lebih lima belas meter, akan tetapi selanjutnya tak ada apa-apa lagi, merupakan jurang yang amat curam! Sungguh mengerikan kalau memandang ke bawah, yang nampak hanya kabut.

Tidak ada jalan keluar dari tempat itu, merupakan jalan mati yang berakhir dengan jurang yang amat dalam. Di depan tampak puncak bukit batu karang menonjol, jaraknya dari tepi jurang itu tidak terlampau jauh, hanya kurang lebih lima puluh meter, akan tetapi nampak menganga mengerikan dan kelihatan lebih jauh dari kenyataannya karena adanya jurang yang sangat curam itu.

"Ini merupakan jalan buntu dan mati, tidak ada jalan keluar dari sini. Tidak, nona, pencuri harta pusaka itu tidak mengambil jalan sini, melainkan kembali melalui terowongan kecil yang mereka buat di bawah batu," kata Hui Song sambil menjenguk ke bawah dari tebing jurang itu.

Sampai lama tidak terdengar suara jawaban. Hui Song menengok sambil memutar tubuh dan langsung terbelalak memandang dengan terheran-heran kepada tiga orang itu, Siang Hwa, Ciang-tosu serta Ciong-hwesio yang sudah berdiri menghadang di depan mulut goa dengan wajah beringas! Ada senyum mengejek menghias bibir Siang Hwa yang biasanya bersikap manis dan halus itu.

"Cia Hui Song, pencuri itu tidak keluar dari sini, akan tetapi sekarang engkau harus keluar dari sini!"

"Nona, apa artinya ini?" Hui Song bertanya, sikapnya masih tenang namun tetap waspada karena dia maklum bahwa tiga orang ini sudah membohonginya, buktinya kini dua orang kakek yang katanya tidak sanggup melewati jembatan batu-batu pedang itu ternyata telah dapat menyusul ke sini.

"Artinya, engkau harus mampus di sini untuk menebus semua dosamu. Pertama, engkau berani menghina dengan menolak perasaan hatiku kepadamu, dan kedua, engkau tidak bersedia membantu kami mencari harta karun itu ke Mongol, dan ketiga, engkau sebagai orang luar sudah tahu akan harta karun itu, maka untuk menutup rahasia ini serta untuk menebus dosamu, engkau harus mati. Nah, terjunlah ke dalam jurang itu."

“Tetapi... bukankah kita sehaluan...?" Hui Song bertanya, bukan karena takut melainkan karena penasaran dan heran.

"Ha-ha-ha!" kakek gendut yang disebutnya Ciong-hwesio tertawa bergelak. "Sehaluan? Ha-ha-ha...!"

"Nona, apa artinya semua ini?" Hui Song membentak kepada Siang Hwa, merasa cukup dipermainkan dan menuntut penjelasan, namun matanya tidak lepas dari sikap mereka itu karena dia cukup mengenal kelihaian dan kecurangan mereka.

"Orang tampan yang berhati dingin, engkau ingin tahu dan masih belum dapat menerka semua hal ini? Baik, dengarlah sebelum engkau mati. Aku Gui Siang Hwa adalah murid Pangeran Toan Jit-ong dan aku mewakili suhu mencari harta karun itu. Mereka ini adalah para pembantu suhu yang berjuluk Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo..."

Mata Hui Song terbelalak dan ingin dia menampar muka sendiri sebab merasa menyesal sekali atas kebodohannya. Dia seperti pernah mendengar nama dua orang kakek itu, lalu mengingat-ingat lagi dan akhirnya mengangguk-angguk.

"Kiranya dua orang dari Cap-sha-kui...? Bagus, ternyata kalian bertiga adalah komplotan busuk itu sendiri!"

"Cia Hui Song, lebih baik engkau cepat meloncat ke bawah, atau engkau lebih suka kami yang memaksamu?" Siang Hwa menghunus pedang tipisnya.

Hui-to Cin-jin juga sudah menghunus keluar sepasang pisau belati, ada pun kakek gendut Kang-thouw Lo-mo melepaskan tali guci arak yang tadinya tergantung pada pinggangnya. Kiranya guci arak kecil ini juga dapat dipergunakan sebagai senjata oleh si gendut ini!

Hui Song tersenyum mengejek, timbul kembali kegembiraan dan ketabahannya. Lebih baik menghadapi lawan secara berterang begini dari pada menghadapi mereka yang disangkanya teman sehaluan yang dapat dipercaya.

"Perempuan hina, jangan disangka bahwa aku takut menghadapi kalian bertiga. Dulu aku terjebak karena tak mengira bahwa engkau adalah seorang iblis betina. Sekarang jangan harap kecuranganmu itu akan dapat mengulangi lagi!"

"Manusia sombong!" bentak Hui-to Cin-jin yang tadinya diberi nama Ciang-tosu itu, lantas tiba-tiba cahaya kilat menyambar ketika kedua tangannya bergerak. Dua batang pisau itu telah menyambar ke arah tenggorokan dan perut Hui Song dengan kecepatan bagai kilat! Memang inilah keistimewaan kakek itu, bahkan nama julukannya Hui-to (Pisau Terbang).

Akan tetapi sekali ini Hui Song sudah bersiap siaga dengan penuh kewaspadaan, maklum bahwa yang dihadapinya adalah lawan-lawan yang tangguh, berbahaya dan juga curang sekali. Maka begitu melihat ada dua sinar berkelebat, dengan tenang dia menggerakkan tangannya dan dengan sentilan jari tangannya, dua batang pisau itu runtuh ke atas tanah kemudian menancap sampai hanya nampak gagangnya saja! Tosu itu terkejut dan kedua tangannya sudah memegang dua batang pisau lainnya.....

Siang Hwa yang sudah maklum akan kelihaian Hui Song, sudah menerjang ke depan dan pedangnya sudah berkelebat membentuk gulungan sinar yang menyambar-nyambar. Hui Song dengan tenang mengelak ke sana-sini, dan karena tempat itu memang sempit, dia pun mengelak sambil membalas dengan tendangan kakinya yang hampir saja mengenai lutut lawan.

Gadis itu terpaksa meloncat ke belakang dan menyerang lagi, sekali ini dibantu oleh dua orang kawannya yang masing-masing mempergunakan sebuah guci arak dan sepasang pisau belati. Hui Song melihat bahwa dua orang kakek itu pun ternyata lihai sekali, maka dia pun bergerak dengan hati-hati.

Namun di belakangnya terdapat jurang yang amat curam dan dia didesak oleh tiga orang yang kepandaiannya tinggi serta bersenjata, maka betapa pun lihainya, dia tersudut dan terancam bahaya maut. Gerakannya kurang leluasa, terutama karena ada ancaman maut ternganga di belakangnya dan tiga orang lawan yang cerdik itu agaknya memang hendak mendesak dan memaksanya untuk terjun ke dalam jurang.

Tiba-tiba saja Siang Hwa mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tangan kirinya telah mengeluarkan sapu tangannya yang mengandung bubuk obat bius. Akan tetapi Hui Song telah siap pula menghadapi ini. Mulutnya meniup dan bubuk obat bius itu buyar membalik, juga dia menahan napas dan baru berani menarik napas setelah racun itu lenyap.

Pada saat itu kembali Hui-to Cin-jin menyerang dengan sepasang belatinya dan tiba-tiba, ketika pemuda itu mengelak, tosu itu melepaskan dua batang pisaunya menjadi sambitan dari jarak yang amat dekat! Hui Song tidak menjadi gugup dan berhasil menyampok dua batang pisau itu.

Ketika itu Siang Hwa sudah menyerang dengan pedangnya menusuk ke arah perut, ada pun si gendut menghantam dari samping ke arah kepalanya menggunakan guci arak itu! Hui Song meloncat dan hendak menangkap hantaman guci arak, akan tetapi tiba-tiba saja pedang Siang Hwa membalik dan tahu-tahu sudah menyerempet pahanya.

"Brettttt...!"

Ujung pedang itu merobek celana kakinya yang kanan, merobek celana itu dari paha ke bawah sampai betis, akan tetapi ujung pedang itu tidak mampu membuat luka yang cukup dalam, hanya membuka sedikit kulit kaki yang biar pun mengeluarkan darah tetapi bukan merupakan luka yang berat, hanya lecet saja.

"Iblis-iblis busuk yang curang!" Mendadak terdengar bentakan nyaring dan dari dalam goa itu berkelebatan bayangan orang yang amat cepat dan ringan gerakannya. Begitu tiba di luar mulut goa, bayangan ini sudah menendang ke arah perut gendut Kang-thouw Lo-mo sambil tangan kirinya mencengkeram ke arah kepala Hui-to Cin-jin! Gerakannya demikian cepatnya sehingga hampir saja perut gendut itu tercium ujung sepatu.

Si gendut cepat mundur, akan tetapi tetap saja pinggangnya terserempet tendangan yang membuat dia terbuyung. Hui-to Cin-jin juga terkejut akan tetapi mampu menghindarkan diri.

"Sui Cin...!" Hui Song berseru girang bukan main ketika mengenal wajah gadis yang baru datang itu. Tadinya ketika melihat bayangan berkelebat datang membantunya dan melihat bahwa bayangan itu adalah seorang gadis, dia masih belum mengenalnya, akan tetapi kini dia dapat melihat jelas dan kegembiraan yang amat besar menyelinap dalam hatinya ketika dia menyebut nama gadis itu.

Sui Cin loncat mendekat lantas mereka pun saling melindungi. "Song-ko, jangan khawatir, aku membantumu. Mari kita hajar tiga ekor tikus ini... ehh, mana mereka?"

Ternyata Siang Hwa serta dua orang kakek itu sudah lenyap dari depan mulut goa. Hui Song terkejut. "Mari kita kejar...!"

Akan tetapi tiba-tiba saja terdengar suara keras, kemudian ada pintu besi yang bergerak menutup mulut goa itu, agaknya digerakkan oleh alat rahasia yang membuat daun pintu besi itu keluar dari dalam dinding. Memang ternyata Siang Hwa amat cerdiknya. Melihat datangnya seorang gadis yang sangat lihai membantu Hui Song, dia merasa khawatir dan cepat dia mengajak dua orang pembantunya lari masuk ke dalam goa lalu menggerakkan pintu rahasia yang memang sudah diketahuinya.

Hui Song dapat menduga kecurangan itu yang amat membahayakan keselamatan dia dan Sui Cin, maka dia pun cepat menerjang daun pintu itu.

"Brungggg...!" Daun pintu tergetar akan tetapi tidak pecah oleh terjangan kaki tangan Hui Song. Ternyata daun pintu itu terbuat dari baja yang tebal.

"Song-ko, kita dapat lari melalui tebing di depan itu!" Sui Cin berkata sambil menunjuk ke arah puncak bukit yang merupakan tebing di depan, di seberang jurang yang tak nampak dasarnya saking dalamnya itu. "Kita dapat meloncat ke sana."

Hui Song memandang dan menggelengkan kepala. "Terlalu berbahaya..."

Dia sendiri merasa sanggup untuk meloncat ke sana, akan tetapi bagaimana dengan Sui Cin? Terlampau berbahaya bagi Sui Cin, bukan baginya, sedangkan meloncati jarak itu sambil menggendong tubuh Sui Cin jelas tidak mungkin.

Sui Cin sudah lama mengenal Hui Song, maka dia mengerti apa yang berada dalam batin pemuda itu. "Song-ko, jangan khawatir, aku dapat meloncat ke sana...!"

Pada saat itu pula terdengar suara tawa Siang Hwa dari balik daun pintu baja. "Ha-ha-ha, orang she Cia. Lebih baik engkau ajak temanmu itu meloncat turun ke dalam jurang saja karena mau tidak mau kalian harus melakukannya!"

Tiba-tiba pintu baja itu terbuka sedikit lalu meluncurlah pisau-pisau terbang, jarum-jarum dan batu-batu yang dilemparkan oleh tiga orang itu! Karena mereka adalah orang-orang yang lihai sekali, tentu saja lemparan mereka itu amat kuat dan berbahaya pula, terutama pisau-pisau terbang yang menjadi kepandaian khas dari Hui-to Cin-jin.

Sibuk juga Hui Song dan Sui Cin mengelak serta memukul runtuh senjata-senjata rahasia itu dan dalam gerakan Sui Cin, Hui Song melihat kecepatan yang amat luar biasa. Maka besarlah hatinya. Agaknya selama tiga tahun ini Sui Cin yang digembleng oleh Dewa Arak Wu-yi Lo-jin sudah memperoleh kemajuan pesat, terutama di dalam ilmu ginkang seperti dapat dilihatnya ketika gadis itu tadi menyerbu menolongnya dan kini ketika mengelak dari sambaran senjata-senjata rahasia. Dia dan Sui Cin meloncat ke arah pintu, akan tetapi pintu itu cepat sudah tertutup kembali dari dalam!

"Memang tidak ada jalan lain," kata Hui Song mengerutkan alisnya yang tebal. "Kalau kita berdiam di sini, tentu mereka akan mencari akal untuk mencelakakan kita. Kalau cuaca sudah gelap, makin sukarlah kita untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan gelap mereka. Menerjang pintu pun akan percuma saja. Akan tetapi, benarkah engkau sanggup meloncat ke sana, Cin-moi?"

"Tentu saja sanggup, biar aku melompat lebih dulu agar hatimu tiduk akan khawatir lagi."

"Jangan, Cin-moi, jangan…! Biar aku yang melompat lebih dahulu sehingga engkau dapat memperoleh tempat pendaratan yang aman di sana."

"Baiklah, Song-ko. Akan tetapi cepat, itu di bagian kanan kulihat ada banyak lekukan pada dinding batu, kau loncatlah ke sana, Song-ko."

"Baik, Cin-moi."

"Berhati-hatilah."

Hui Song mengambil ancang-ancang, kemudian berlari dan meloncat sambil mengerahkan ginkang-nya, menuju ke tempat pendaratan di tebing bukit di depan. Tubuhnya meluncur seperti seekor burung saja dan tepat tiba pada dinding di mana terdapat banyak lekukan, agak ke bawah. Dengan cekatan tangannya lalu mencengkeram lekukan batu dan kedua kakinya hinggap pada lekukan batu pula. Sekarang dia sudah mendarat dengan selamat! Dia menoleh dan tersenyum kepada Sui Cin, lalu berseru,

"Cin-moi, sekarang kau meloncatlah. Di sebelah kananku ini banyak lekukan, jadi sangat baik untuk mendarat. Aku akan menjagamu di sini!"

Dia sudah siap dengan tangan kirinya untuk menolong kalau-kalau loncatan Sui Cin tidak mencapai sasaran. Betapa pun juga, dia masih belum tahu sampai di mana kemampuan ginkang gadis itu.

"Baik, Song-ko, aku meloncat!"

Gadis itu meloncat dengan gerakan yang indah dan cekatan, akan tetapi pada waktu itu Hui Song melihat dua orang kakek itu keluar dari pintu mulut goa yang mendadak terbuka dan melihat betapa kakek gendut itu melontarkan batu-batu yang sebesar kepala orang ke arah Sui Cin yang sedang meloncat.

"Cin-moi, awas...!" teriaknya, akan tetapi terlambat.

Gadis itu tentu saja sama sekali tidak pernah menduganya bahwa dia akan diserang dari belakang dan dalam keadaan melayang itu, sukar baginya untuk mengelak.

"Bukkk...!" Sebuah batu sebesar kepala tepat mengenai belakang kepalanya.

"Oughhh...!" Gadis itu mengeluh dan tubuhnya terkulai.

Untung baginya bahwa loncatannya tadi sangat kuat sehingga tubuhnya kini melayang ke arah Hui Song. Pemuda ini cepat menangkap lengan kiri Sui Cin dan gadis itu bergantung pada pegangannya dengan tubuh lemas. Dara itu tidak pingsan, akan tetapi terlihat lemas dan pandang matanya nanar, dan agaknya timpukan yang mengenai belakang kepalanya itu membuatnya nanar dan pening.

"Jangan takut, tenang saja... aku menolongmu...!" Hui Song menghibur dengan kata-kata lembut sambil menguatkan hatinya yang dicekam kegelisahan.

Tepat pada saat itu pula dia mendengar desir angin dari belakang dan tahulah dia bahwa ada beberapa batang pisau terbang menyambar ke arah tubuh belakangnya. Dia tidak mungkin dapat mengelak atau menangkis, maka Hui Song mengerahkan tenaga sinkang, disalurkannya ke punggung. Empat batang pisau mengenai tengkuk serta punggungnya, akan tetapi semuanya runtuh dan hanya merobek bajunya saja, sama sekali tidak mampu menembus kulit tubuhnya yang dilindungi tenaga sinkang yang amat kuat.

Dia lalu menarik tubuh Sui Cin ke dinding batu, kemudian memanjat dengan satu tangan saja dibantu pengerahan tenaga pada kedua kakinya dan akhirnya, dengan susah payah, berhasillah dia mencapai puncak yang tidak begitu jauh lagi sambil memondong tubuh Sui Cin yang lemas, dibawa meloncat ke balik puncak sehingga terlepas dari sasaran senjata-senjata rahasia lawan.

Hui Song duduk di balik batu besar dan merebahkan tubuh Sui Cin. Dara itu masih sadar, akan tetapi sepasang matanya yang terbuka itu kelihatan kosong dan tubuhnya lemas. Cepat Hui Song meraba kepala bagian belakang gadis itu. Hanya terluka sedikit saja akan tetapi banyak darah yang keluar. Dia menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan aliran darah, kemudian mengurut tengkuk dara itu perlahan-lahan.

Dia dapat menduga bahwa otak di dalam kepala dara itu terguncang oleh hantaman batu sehingga membuat gadis itu nanar dan pening. Dia khawatir kalau-kalau ada kerusakan di dalam susunan syaraf otak.

Dengan sinkang-nya yang disalurkan ke dalam telapak tangannya, dia membantu gadis itu untuk menyembuhkan luka di dalam kepala. Rasa hangat yang menyelinap ke dalam kepala itu agaknya terasa amat nyaman karena tak lama kemudian, keluhan-keluhan kecil dan rintihan yang tadinya keluar dari mulut Sui Cin terhenti dan tak lama kemudian gadis itu pun tertidur pulas.

Hui Song membebaskan jalan darah yang ditotoknya agar tidak menghalangi darah yang mengalir ke otak, kemudian dia menjaga tubuh yang lemah itu tertidur pulas terlentang di depannya. Dia tidak berani membuat api unggun karena khawatir kalau-kalau para iblis itu melakukan pengejaran. Tiga orang musuh itu lihai dan curang, dan Sui Cin sedang dalam keadaan terluka, maka berbahayalah kalau dia membuat api unggun dan ketiga orang itu dapat mencarinya.

Karena maklum bahwa dalam keadaan seperti itu Sui Cin tak dapat mengerahkan sinkang melawan hawa dingin, dia cepat menanggalkan jubah dan bajunya, menyelimuti tubuh Sui Cin dengan itu dan dia sendiri bertelanjang dada.

Malam itu udara cerah dan bulan bersinar terang. Hawa di sana dingin sekali akan tetapi dengan kekuatan sinkang-nya, Hui Song mampu bertahan terhadap hawa dingin itu. Dia duduk di dekat Sui Cin dan tiada jemunya mengamati wajah gadis itu, wajah yang selama ini selalu terbayang olehnya, bahkan sampai terbawa ke dalam mimpi.

"Sui Cin... ahh, Cin-moi... tak pernah kusangka bahwa begitu kita berjumpa, engkau telah menyelamatkan nyawaku...," bisiknya dengan perasaan hati penuh haru.

Dia tahu bahwa tadi, pada waktu dia diserang oleh tiga orang jahat yang curang itu di tepi tebing, apa bila tidak muncul dara ini, besar sekali kemungkinannya dia akan terjengkang dan tewas! Masih bergidik dia membayangkan bahwa gadis cantik yang tadinya dianggap sahabat dan teman sehaluan, yang dianggapnya sebagai seorang pendekar yang sedang bergerak menentang para datuk yang hendak memberontak, ternyata malah merupakan tokoh sesat itu sendiri, bukan sembarang orang melainkan murid Raja Iblis!

Dan dua orang kakek yang berdandan seperti tosu dan hwesio itu ternyata adalah dua orang di antara Cap-sha-kui. Sungguh berbahaya sekali. Jelaslah bahwa memang Siang Hwa, dara murid Raja Iblis itu, tengah mencari harta karun itu untuk digunakan membiayai pemberontakan yang dipimpin oleh gurunya.

Dan semua yang terjadi tadi memang merupakan perangkap baginya. Tenaganya hendak digunakan untuk mencari harta karun dan setelah harta karun itu lenyap didahului orang, dirinya dianggap tidak berguna lagi sehingga tentu saja akan dibunuh.

Hui Song mengepal tinju dan tersenyum dingin. "Bagaimana pun, bagus sekali bahwa aku sudah mengetahui akan adanya harta pusaka itu dan akan kuperjuangkan supaya harta pusaka itu jangan sampai jatuh ke tangan para pemberontak!"

Untunglah bahwa pencuri harta pusaka itu telah meninggalkan jejak berupa tanda lencana perkumpulan Harimau Terbang di Mongol. Dia sendiri harus pergi keluar Tembok Besar untuk menghadiri pertemuan antara para pendekar, namun sebelum itu dia akan dapat menyelidiki mengenai harta karun yang dicuri itu di Mongol. Akan tetapi sekarang ini, yang terpenting adalah menolong Sui Cin. Dia hanya mengharap gadis ini tidak terluka terlalu parah.

Pada keesokan harinya, setelah matahari terbit, Hui Song melihat Sui Cin menggeliat dan mengeluh halus. Dia yang tadinya duduk bersila di bawah pohon, langsung menghampiri sambil tersenyum, jantungnya berdebar girang karena kini dia akan dapat bercakap-cakap dengan gadis pujaan hatinya itu.

"Cin-moi...!" Panggilnya lirih sambil mendekat.

Sui Cin membuka mata, bangkit duduk sambil menoleh. Begitu melihat Hui Song, dia lalu mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya menyambar ke depan, menyerang dengan tendangan ke arah dada pemuda itu. Gerakannya demikian ringan dan cepat.

Andai kata Hui Song sudah tahu sebelumnya bahwa dia akan diserang, biar pun gerakan gadis itu amat cepat, agaknya dia masih akan mampu menghindar. Akan tetapi perbuatan Sui Cin itu sama sekali tak pernah disangkanya, maka dia terkejut dan heran, dan karena itu gerakannya mengelak kurang cepat sehingga ujung sepatu gadis itu masih saja dapat menyambar pundaknya.

"Bukkk...!" Tubuh Hui Song terpelanting dan Sui Cin sudah meloncat datang kembali dan mengirim serangan bertubi-tubi dengan tangan dan kakinya.

"Heiii...!" Hui Song terpaksa bergulingan untuk mengelak.

Akan tetapi betapa pun dia berteriak mencegah, gadis itu laksana sedang kesetanan dan menyerang terus semakin hebat saja. Hui Song terpaksa menggunakan kepandaiannya, meloncat ke sana-sini dan kadang-kadang harus menangkis karena serangan-serangan gadis itu cepat bukan main.

"Cin-moi, ingatlah... Cin-moi...!"

"Engkau jahat, kejam, curang...!" Sui Cin memaki-maki dan menyerang terus.

Semakin lama Hui Song menjadi semakin bingung dan khawatir. Beberapa kali tubuhnya sudah terkena pukulan atau tendangan, biar pun tidak mengakibatkan luka parah karena dia sudah menjaga diri dengan kekuatan sinkang, namun terasa nyeri dan beberapa kali dia jatuh bangun.

"Cin-moi, aku... aku Hui Song, lupakah kau padaku?" beberapa kali dia berseru karena kini dia mulai menduga bahwa agaknya gadis ini kehilangan ingatannya, padahal kemarin masih menolongnya, berarti masih ingat kepadanya. Tak salah lagi, tentu hantaman batu yang mengenai belakang kepala gadis itulah yang menyebabkan kini Sui Cin seperti lupa kepadanya.

Akan tetapi Sui Cin agaknya tidak peduli, bahkan menyerang terus lebih hebat lagi. Dia mendapat kenyataan betapa kini Sui Cin dapat bergerak amat cepatnya, kadang-kadang bagaikan berkelebat lenyap saja. Dia merasa kagum dan dapat menduga bahwa tentu kehebatan gadis ini adalah hasil dari bimbingan dari Wu-yi Lo-jin selama tiga tahun.

Makin lama makin repotlah dia kalau harus bertahan saja. Gerakan gadis itu terlalu cepat dan kalau hanya dihadapi dengan elakan dan tangkisan, akhirnya dia tentu akan terkena pukulan telak yang akibatnya akan sangat berbahaya. Maka, untuk menahan gelombang serangan Sui Cin, terpaksa Hui Song mulai membalas. Gerakannya mantap dan pukulan atau sambaran tangannya amat kuat sehingga ketika Sui Cin menangkis, tubuh gadis ini terhuyung.

"Sui Cin, ingatlah...!" Hui Song masih terus mencoba untuk menyadarkan.

Akan tetapi gadis itu menyerang lagi dan keduanya berkelahi dengan sangat serunya. Kini Hui Song juga mengerahkan tenaga dan kepandaiannya. Dia yakin bahwa Sui Cin sudah kehilangan ingatan maka percuma sajalah jika dibujuk atau diingatkan dengan omongan. Dia harus dapat merobohkan gadis ini, membuatnya tak berdaya, baru dia akan berusaha untuk mencarikan obat atau untuk mengingatkan kembali.

Dia lantas membalas sehingga terjadilah pertandingan yang hebat. Sui Cin bergerak amat cepat berkat ilmu ginkang bimbingan Wu-yi Lo-jin, sedangkan Hui Song sendiri memiliki gerakan yang juga cepat dan mengandung tenaga sinkang yang membuat gadis itu agak kewalahan.

Tiba-tiba saja Sui Cin terhuyung ke belakang dan memegangi kepala dengan tangan kiri. Hui Song segera menahan gerakannya. Gadis itu terhuyung bukan oleh serangannya dan kini kelihatan memejamkan kedua matanya sambil mengeluh.

"Aihh... kepalaku... pening...!"

"Cin-moi, engkau kenapakah...? Sudah ingat lagikah engkau...?" Hui Song menghampiri dan hendak memegang tangan gadis itu.

Akan tetapi Sui Cin merenggutkan tangannya lantas menampar. Untung Hui Song dapat cepat meloncat ke belakang sehingga tamparan yang sangat berbahaya itu luput. Sui Cin memandang wajah pemuda itu dengan mata mengandung kemarahan, akan tetapi gadis ini mengeluh kembali, memegang kepalanya lalu dia meloncat jauh dan lari meninggalkan tempat itu.

"Cin-moi, tunggu...!" Hui Song berteriak memanggil dan melakukan pengejaran.

Akan tetapi, walau pun berkali-kali memanggil, gadis itu sama sekali tidak menjawab atau menoleh, apa lagi berhenti. Dan larinya cepat sekali, secepat kijang! Betapa pun Hui Song mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat, tetap saja dia tidak mampu menyusul bahkan semakin jauh tertinggal. Dia sendiri telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu ginkang, namun jika dibandingkan dengan Sui Cin yang telah menguasai Bu-eng Hui-teng dari Wu-yi Lo-jin, dalam hal berlomba lari tentu saja dia masih kalah jauh.

"Cin-moi...!" teriaknya penuh kekhawatiran ketika dia melihat betapa bayangan gadis yang jauh meninggalkannya itu kini lenyap ke dalam sebuah hutan lebat.

Dia mengejar terus, tetapi menjadi bingung karena di dalam hutan itu dia telah kehilangan jejak dan bayangan Sui Cin. Berkali-kali dia memanggil sambil berlari ke sana-sini, namun hasilnya nihil hingga akhirnya pemuda ini menjatuhkan diri duduk di bawah pohon sambil menghapus keringat yang membasahi leher dan mukanya.

"Sui Cin, ke mana kau pergi dan apa yang akan terjadi dengan dirimu?"

Teringat kembali bahwa gadis itu agaknya sedang menderita kehilangan ingatan, dia lalu meloncat bangun dan kembali mencari-cari dengan penuh semangat. Soal keselamatan diri gadis itu dia tak begitu mengkhawatirkan karena biar pun berada dalam keadaan lupa ingatan, ternyata gadis itu sekarang merupakan seorang wanita yang luar biasa lihainya. Dia sendiri pun tadi sampai hampir kewalahan menghadapi Sui Cin. Tidak, tak ada orang akan dapat sembarangan saja mencelakakan gadis yang lihai itu. Akan tetapi dia khawatir bagaimana akan jadinya gadis yang kehilangan ingatan itu.

Akan tetapi dia bingung ke mana harus mencarinya, sedangkan ada dua macam tugas penting yang harus dilaksanakannya. Pertama, memenuhi pesan Siang-kiang Lo-jin untuk mendatangi bekas benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar. Dan kedua, dia harus menyelidiki tentang harta karun yang agaknya dilarikan orang ke Mongol. Urusan kedua ini tidak kalah pentingnya karena kalau harta karun itu sampai terjatuh ke tangan Raja Iblis, maka pemberontak-pemberontak itu akan semakin berbahaya, memiliki harta untuk membiayai pemberontakan mereka.

Sebab itu secara untung-untungan dia pun kemudian melakukan pencarian ke arah utara, sambil mencari Sui Cin, sekalian menuju ke tempat yang harus didatanginya. Pemuda ini melakukan perjalanan cepat, tapi di sepanjang perjalanan bertanya-tanya dan menyelidiki kalau-kalau ada orang melihat Sui Cin lewat di situ.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Bagaimana Sui Cin tiba-tiba muncul di depan Goa Iblis Neraka dan membantu Hui Song yang terdesak tiga orang lawannya dan berada dalam bahaya? Seperti telah kita ketahui, Sui Cin berpisah dari Hui Song tiga tahun yang lalu setelah dia bersama pemuda itu dan dua orang kakek sakti menyaksikan pertemuan para datuk, malah sempat pula membuat kacau dalam pertemuan para datuk sesat itu. Gadis ini kemudian diajak pergi oleh Wu-yi Lo-jin atau Dewa Arak untuk mempelajari ilmu.

Seperti juga halnya Hui Song yang dibawa pergi lantas digembleng ilmu oleh Siang-kiang Lo-jin Si Dewa Kipas, Sui Cin juga diberi tahu oleh gurunya bahwa ia harus pergi ke utara, ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk mengadakan pertemuan dengan para pendekar yang bersiap menentang para datuk sesat yang dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis dengan rencana pemberontakan mereka.

Seperti sudah diceritakan di bagian depan, Sui Cin mampir ke Pulau Teratai Merah, akan tetapi ayah ibunya tidak berada di pulau itu dan kabarnya mereka pergi untuk mencarinya. Maka Sui Cin lalu meninggalkan surat dan pergi lagi menuju ke utara.

Dalam perjalanannya itu secara kebetulan saja dia tiba di dusun Lok-cun, beberapa hari sebelum Hui Song tiba di situ. Pada waktu dia lewat di depan kuil kosong, dia melihat ada dua orang penghuni dusun berlari-larian dengan muka pucat. Sebagai seorang pendekar wanita, tentu saja dia menjadi tertarik. Waktu itu sudah senja dan matahari sudah mulai mengundurkan diri dari ufuk barat.

"Mengapa kalian berlari-lari ketakutan? Ada apakah?" tegurnya kepada dua orang dusun yang usianya sudah empat puluhan tahun itu.

Dua orang itu berlari semakin cepat ketika tiba-tiba saja ada seorang wanita cantik berlari di belakang mereka tanpa mereka dengar sebelumnya. Namun dengan sekali meloncat Sui Cin sudah berdiri menghadang mereka sambil mengembangkan kedua lengannya.

"Nanti dulu, kalian harus memberi tahu mengapa kalian berlari ketakutan?"

Dua orang itu memandang kepada Sui Cin dengan mata terbelalak dan muka pucat, lalu seorang di antara mereka berkata, "Nona... kami... kami dikejar setan..."

Sui Cin memandang ke belakang mereka dan diam-diam dia merasa ngeri. Kalau hanya penjahat saja, tentu dia sama sekali tidak merasa takut. Akan tetapi setan? Ahhh, mana ada setan berani mengejar manusia, pikirnya.

"Mana setannya? Di mana?" tanyanya.

“Di... di kuil, nona. Memang kuil itu terkenal berhantu, akan tetapi kami tidak memasuki kuil itu, hanya lewat. Tiba-tiba kami mendengar suara tangis disusul tawa seorang wanita, dan ada bayangan berkelebatan lenyap begitu saja di depan kami...!" dua orang itu masih menggigil, dan yang seorang segera menarik tangan kawannya lalu diajak lari dari tempat itu sambil mengomel.

"Hayo kita pergi, siapa tahu dia ini..."

Keduanya segera lari tunggang langgang meninggalkan Sui Cin yang tersenyum seorang diri. Sialan, dia malah disangka setan!

Akan tetapi sikap dan keterangan dua orang dusun itu membuatnya penasaran. Benarkah ada setan? Bagaimana pun juga, dia harus membuktikan sendiri, tidak percaya omongan orang begitu saja tentang setan.

Selama hidupnya dia belum pernah melihat setan, dan kiranya semua orang pemberani juga belum pernah melihatnya. Yang pernah melihat setan biasanya hanya orang-orang yang sudah mempunyai rasa takut di dalam hatinya, dan sebagian besar setan hanya ada dalam dongengan dan cerita orang lain saja.

Bagaimana pun juga, dia merasa betapa jantung di dalam dadanya berdebar keras ketika dia menghampiri kuil tua itu. Cuaca telah mulai gelap sehingga kuil kuno itu nampak lebih menyeramkan.

Sui Cin bergerak dengan hati-hati. Mungkin tidak ada setan, akan tetapi kalau dua orang dusun itu melihat bayangan, berarti paling tidak tentu ada orang di sekitar atau di dalam kuil. Dan orang yang dapat berkelebat lenyap di depan dua orang dusun itu begitu saja, jelas bukan orang sembarangan, melainkan memiliki kepandaian tinggi.

Dia harus berhati-hati dan tidak sembrono. Andai kata ada orang pandai di situ, dia masih belum tahu siapa orang itu dan dari golongan apa. Dan dia merasa betapa tidak patut dan kurang ajar mendatangi tempat orang begitu saja.

Dengan hati-hati sekali, Sui Cin mempergunakan ilmu ginkang-nya yang hebat sehingga seperti seekor burung saja tubuhnya berkelebat dan melayang ke atas pohon-pohon, lalu melayang ke atas genteng kuil. Kedua kakinya tak mengeluarkan bunyi apa-apa sehingga mereka yang berada di dalam kuil, biar pun memiliki kepandaian tinggi, tidak mendengar gerakannya dan tidak tahu akan kedatangan pendekar wanita ini.

Asmara Berdarah Jilid 18

KETIKA itu pemerintahan Mongol yang memakai nama Dinasti Goan menguasai seluruh Tiongkok dan cerita tosu ini terjadi pada waktu pemerintahan dipegang oleh Kaisar Shun Ti (1333-1368). Pada waktu itu hasil tanah rampasan dari daerah-daerah yang tadinya masih belum mau mengakui kekuasaan Kerajaan Goan kemudian ditaklukkan, dibagi-bagi di antara para ningrat Mongol. Pembagian itu amat besar karena paling kecil tanah yang dibagikan kepada mereka itu mencapai luas seratus hektar!

Terjadilah perampasan-perampasan sebab para pejabat tinggi menjadi ‘mabok tanah’ dan timbullah tuan-tuan tanah dalam arti yang sebenarnya karena mereka itu masing-masing memiliki tanah yang ratusan, bahkan hingga ribuan hektar luasnya! Tentu saja orang yang menguasai tanah sampai sekian luasnya itu merupakan raja kecil di tengah tanah yang dikuasainya.

Tanah-tanah itu oleh para tuan tanah lantas disewakan kepada buruh-buruh tani dengan memungut hasil tanah yang sangat menekan, seolah-olah keringat para petani itu diperas dan sebagian besar hasil tenaga mereka dihisap. Namun para petani itu tetap mau saja diperas seperti itu sebab mereka hanya bermodal tenaga, tidak memiliki tanah secuil pun. Tanpa adanya tanah, maka kepandaian dan tenaga mereka untuk bercocok tanam tidak ada artinya, sementara mereka perlu makan setiap hari.

Dengan adanya kekuasaan mutlak yang digunakan secara sewenang-wenang ini, maka banyak di antara para pejabat tinggi dan bangsawan ini yang berhasil menumpuk harta kekayaan yang sukar dibayangkan banyaknya. Dan di antara mereka itu terdapat nenek moyang Ciang-tosu atau yang sesungguhnya berjuluk Hui-to Cin-jin itu!

Pembesar Mongol ini menumpuk harta kekayaan yang amat besar, lalu menurunkan harta kekayaan itu kepada keturunannya sampai akhirnya pemerintah Mongol ditumbangkan oleh rakyat yang memberontak pada tahun 1368 dan berakhirlah pemerintahan penjajah Mongol lalu lahirlah Dinasti Beng-tiauw yang dipimpin oleh bangsa sendiri sampai saat Hui Song mendengar cerita itu dituturkan oleh Ciang-tosu.

Namun, seperti juga banyak pembesar tinggi pemerintah Mongol lainnya, nenek moyang Ciang-tosu berhasil melarikan sebagian besar harta kekayaannya dan menyembunyikan harta itu ke dalam tempat rahasia yang dinamakan Goa Iblis Neraka itu. Dengan bantuan beberapa orang pandai, pembesar Mongol itu menyembunyikan harta kekayaan berupa emas dan batu-batu permata dan setelah berhasil menyembunyikannya, pembesar ini lalu memerintahkan para pengawalnya untuk membunuh semua pembantu sehingga tempat itu menjadi rahasia yang hanya diketahuinya sendiri saja.

Rahasia ini dibawanya lari ketika pemerintahan bangsanya jatuh dan hanya sedikit harta benda yang dapat dibawanya lari ke utara. Dan rahasia itu menjadi warisan bagi anak cucunya. Akan tetapi tak mudah bagi anak cucunya untuk dapat mengambil harta pusaka yang tersimpan di tempat yang rahasia dan berbahaya itu.

Saat membuat tempat rahasia itu, orang-orang pandai yang membantunya menggunakan alat-alat rahasia sehingga sesudah mereka keluar, alat-alat itu digerakkan dan batu-batu lantas runtuh menimbun dan menghapus jejak sehingga amatlah sukar bagi orang untuk menemukan harta itu, biar pun dia sudah tahu di mana letaknya. Apa lagi bagi orang luar. Dan jalan menuju ke harta karun itu pun amatlah sukar dan berbahaya. Inilah sebabnya, mengapa sampai hampir dua ratus tahun, tidak ada orang yang dapat menemukan harta yang masih tersimpan dan tertimbun dengan aman di tempat yang menyeramkan itu.

"Keturunan pembesar penyimpan harta karun itu, yang terakhir adalah pinto sendiri. Akan tetapi, biar pun pinto juga mewarisi pengetahuan tentang harta itu dan memiliki peta yang menunjukkan tempatnya, untuk apakah harta itu bagi pinto yang semenjak muda menjadi pendeta? Pula, kepandaian pinto terlalu rendah untuk dapat menggali serta menemukan harta pusaka itu, maka hingga sekarang pinto tinggal diam saja. Setelah pinto mendengar bahwa rahasia harta karun ini sampai ke telinga para pemberontak dan mereka berusaha mencari dan menguasainya untuk dipakai biaya melakukan pemberontakan, barulah hati pinto tergerak lantas bersama kawan-kawan sehaluan pinto berusaha mendapatkan harta karun itu mendahului para pemberontak!"

Hui Song adalah seorang pemuda yang sangat cerdik. Tentu saja dia tidak mau menelan bulat-bulat begitu saja cerita yang dituturkan bekas tosu itu. “Akan tetapi, kalau memang harta itu merupakan warisan turun temurun, tentu ada peta atau setidaknya keterangan yang menjelaskan mengenai tempat rahasia ini. Tetapi mengapa sampai selama ini harta karun itu masih saja berada di sini, belum diambil oleh salah seorang keturunan bahkan rahasia ini dapat diketahui oleh para pemberontak yang merupakan orang luar?”

“Apakah taihiap mencurigai kami?” tanya Ciang-tosu sambil menatap tajam.

“Bukan begitu. Tadi pun sudah kukatakan bahwa aku ingin tahu duduk perkaranya secara jelas dahulu, dan aku baru mau turun tangan membantu kalau tidak bertentangan dengan kebenaran,” jawab Hui Song sambil balas menatap tajam kepada tosu itu.

Melihat suasana yang mulai memanas, Siang Hwa segera ikut bicara. “Ciang-tosu, tidak ada salahnya bila Cia-taihiap ingin tahu sejelasnya, maka terangkan saja semua hal yang ingin diketahuinya.”

Sejenak kakek itu mengerutkan alis, lalu menghela napas dan mulai bercerita. “Sejak dulu sebenarnya sudah banyak anggota keluarga yang hendak mencari tempat rahasia ini dan mengambil harta karun itu, akan tetapi para orang tua selalu melarang dan mengingatkan bahwa waktunya masih belum tepat. Menurut mereka, karena waktunya belum terlampau lama, sekarang masih ada pembesar di istana atau pejabat daerah yang mengetahui dan ikut mengincar harta ini sehingga amatlah berbahaya apa bila diambil saat ini juga. Maka, orang-orang tua itu meminta agar kami mau bersabar menunggu sampai petinggi-petinggi itu sudah tidak ada lagi. Selama ini kami selalu menurut semua nasehat orang-orang tua itu, akan tetapi sekarang kita tak dapat menunggu lebih lama lagi mengingat bahwa pihak pemberontak juga telah mengetahui dan mulai mencari harta karun itu. Nah, itulah alasan kenapa sampai sekarang harta itu masih di tempatnya, walau pun kami sudah mendengar jelas semua keterangan tentang tempat rahasia itu.” Kakek itu mengakhiri ceritanya yang sebagian besar hanyalah karangannya sendiri saja.

Sesungguhnya harta karun itu sudah berusia jauh lebih tua dan kabarnya disimpan pada jaman sebelum Bangsa Mongol mulai menguasai daratan Tiongkok, jadi sudah lebih dari tiga ratus tahun lamanya, disimpan oleh para pembantu Kerajaan Song yang telah terjepit dan terancam oleh gerakan Jenghis Khan.

Dan rahasia ini akhirnya terjatuh ke tangan Raja Iblis atau Pangeran Toan Jit Ong yang lalu memerintahkan muridnya, Gui Siang Hwa dan para pembantunya untuk mencari dan menemukan harta karun itu. Dengan cerdiknya Ciang-tosu yang sebenarnya adalah salah seorang tokoh di antara Cap-sha-kui mengarang cerita untuk mengelabui Hui Song.

Hui Song memang tidak mau percaya sepenuhnya begitu saja, akan tetapi bagaimana pun juga dia merasa tertarik sekali untuk menyelidiki harta karun di tempat aneh ini. Baru tempat penyimpanannya saja sudah jelas membuktikan bekas tangan orang-orang sakti yang berilmu tinggi.

“Terima kasih, aku sudah mendengar cukup dan marilah kita mulai dengan penyelidikan kita itu,” kata Hui Song.

Wajah gadis itu nampak gembira. “Baik, taihiap. Mari kita mulai sebelum cuaca menjadi gelap. Berjalanlah dulu menyeberangi jembatan ini, aku akan menyusul di belakangmu!”

Sejenak Hui Song memandang tajam ke arah deretan batu-batu runcing yang oleh Siang Hwa disebut sebagai jembatan itu, menghela napas panjang, kemudian sekali berkelebat tubuhnya telah melayang ke depan. Setelah mencapai jarak empat tombak, tubuh itu baru melayang turun dengan ringannya, lalu kaki pemuda menutul ujung batu runcing di bawah dan… kembali tubuhnya melayang ke depan menuju ujung batu berikutnya lalu hinggap di atasnya. Hui Song mengerahkan ginkang-nya yang tinggi hingga tubuhnya menjadi amat ringan dan ujung batu yang runcing itu tak dapat melukai kakinya, bahkan sepatunya pun tidak menjadi rusak sama sekali.

Siang Hwa terus memperhatikan sejak pemuda itu belum bergerak dan matanya langsung terbelalak kagum begitu melihat gerakan pertama tadi. Sesungguhnya dia memang sudah pernah menyeberangi jembatan batu itu, namun apa yang dilakukan putera Cin-ling-pai itu betul-betul membuatnya tunduk. Dia hanya sanggup meloncat satu kali demi satu kali, itu pun dalam jarak dua tombak saja, tetapi pemuda itu mampu melakukan sekaligus dua kali loncatan, masing-masing dalam jarak empat tombak. Ilmunya sungguh tinggi, dan wajah itu demikian tampan, pikirnya.

“Nona, sebaiknya engkau mulai meloncat juga agar jarak kita tidak terlalu jauh,” Hui Song menegur karena melihat gadis itu hanya diam saja di tempatnya berdiri.

“Ohh… ya… tentu saja…,” jawab Siang Hwa gagap dan mukanya berubah merah karena dengan tegurannya tadi pemuda itu seakan-akan dapat menjenguk isi hatinya.

Murid pasangan Raja Iblis dan Ratu Iblis ini cepat-cepat menenangkan diri, menarik napas panjang meniru perbuatan Hui Song tadi, lalu mulai meloncat. Akan tetapi dalam loncatan ini tidak mungkin dia mengikuti apa yang dilakukan oleh pemuda Cin-ling-pai tadi karena dia pun sadar bahwa kepandaiannya tidak setinggi itu.

Dia meloncat sejauh dua tombak dan hinggap di atas batu runcing, lalu diam sejenak dan setelah kembali menarik napas panjang baru meloncat lagi ke batu berikutnya yang juga berjarak dua tombak di depannya. Demikianlah, setelah meloncat tiga kali dia baru tiba di atas batu yang jaraknya kira-kira dua tombak di belakang batu tempat Hui Song berdiri.

Dua orang itu terus melakukan hal yang sama. Dengan sekali berkelebat, tubuh Hui Song akan berpindah delapan tombak ke depan, lalu Siang Hwa mengikutinya dengan tiga kali loncatan hingga akhirnya mereka tiba di ujung jembatan batu pedang. Tempat itu bukan lagi terdiri dari batu-batu runcing, melainkan berupa puncak tebing dengan sebuah dataran yang cukup luas.

Sambil menunggu tibanya gadis itu, Hui Song lalu memandang ke bawah tebing. Nampak hamparan pasir yang tak berapa luas sehingga tempat itu seolah-olah membentuk sebuah sumur pasir.

“Taihiap, jangan meloncat ke bawah!” setengah berseru Siang Hwa memperingatkan.

Hui Song segera membatalkan niatnya meloncat ke bawah, kemudian membalikkan tubuh dan menghadapi gadis itu yang kini berdiri di depannya dengan napas agak memburu dan tubuh basah oleh keringat. Melihat wajah pemuda itu, segera terpancar sinar kagum pada sepasang mata jeli itu. Sedikit pun tidak nampak tanda-tanda keletihan pada wajah yang tampan itu, kelihatan biasa saja, bahkan berkeringat pun tidak.

“Kenapa tidak boleh meloncat ke bawah?” Hui Song bertanya.

Memang tentu saja dia tak mau sembarangan meloncat ke bawah. Terlampau berbahaya jika melangkah di tempat aneh ini sebelum mengenal betul tempat berikutnya yang akan terinjak kakinya. Siapa tahu jebakan-jebakan sudah diatur dan ada alat-alat rahasia yang akan bekerja mencelakakan dirinya, Bukankah menurut Ciang-tosu tempat ini dibuat oleh orang-orang pandai yang menggunakan alat-alat rahasia?

“Berbahaya sekali kalau meloncat ke bawah, taihiap. Lihat…!”

Gadis itu mematahkan ujung sebatang batu pedang, lantas melemparkannya ke bawah. Potongan batu panjang itu meluncur turun ke atas dasar pasir dan masuk ke dalam pasir, terus tenggelam dan lenyap!

Hui Song memandang dan wajahnya berubah agak pucat. Tahulah dia apa artinya. Pasir itu merupakan pasir maut, semacam sumur atau danau pasir yang akan menelan segala sesuatu yang jatuh ke dalamnya! Terutama sekali benda-benda bergerak, sekali terjatuh dan bergerak hendak keluar, maka semakin cepat tersedot ke dalam. Dapat dibayangkan betapa mengerikan kalau tadi dia meloncat ke bawah.

“Ada dua orang kawanku lenyap tertelan oleh sumur pasir itu,” kata Siang Hwa. “Dan aku sendiri tidak berdaya menolongnya dari tempat ini. Karena itu, sekarang aku sudah siap membawa tali panjang yang kulibatkan di pinggang untuk menjaga kalau-kalau…”

“Hemmm, andai kata aku tadi terlanjur meloncat ke bawah, tentu dapat tertolong olehmu,” kata Hui Song. Kepercayaannya menebal terhadap gadis itu bahwa dia tak berniat buruk, buktinya telah memperingatkan agar tidak terjun ke bawah.

"Jalan selanjutnya bukan terjun ke bawah, tetapi melompati sumur pasir itu dan berusaha mendarat di seberang," kata Siang Hwa.

"Menyeberang ke sana? Tapi, di depan itu hanya tebing..."

"Inilah mengapa aku mengatakan bahwa tempat ini sangat sukar, taihiap. Dan bagian ini bukanlah yang paling sukar. Aku sendiri sudah sampai ke sana. Kau lihat batu menonjol di tebing itu, yang berwarna agak kehitaman? Nah, tonjolan batu itu dapat dipakai tempat mendarat. Disebelah atas tonjolan itu terdapat lekukan yang cukup dalam dan lebar untuk tangan berpegangan dan bergantung, sedangkan di bawah tonjolan batu itu terdapat pula lekukan yang lebih besar lagi untuk tempat kaki berpijak. Kau dapat melihatnya, taihiap?"

Hui Song mengangguk-angguk dan dia merasa kagum sekali pada nona ini. Seorang diri, Siang Hwa dapat menemukan tempat mendarat yang luar biasa itu, sungguh merupakan kecerdikan dan juga keberanian yang jarang terdapat. Kalau tidak diberi tahu, dia sendiri belum tentu akan dapat menemukan kemungkinan meloncati sumur pasir dan mendarat di tebing yang curam itu.

"Kalau ragu-ragu, biarlah aku yang melompat lebih dulu, taihiap," kata Siang Hwa.

Mendengar ini, tersinggung rasa harga diri Hui Song. Apa bila gadis itu berani meloncati, mengapa dia tidak? Dan pula, sesudah melihat tonjolan batu serta lekukan-lekukan pada dinding itu, dia maklum bahwa meloncati dan hinggap di tebing itu bukanlah merupakan pekerjaan yang terlalu sukar baginya.

"Tidak, biarkan aku melompat lebih dulu."

Tanpa menunggu jawaban, Hui Song lalu mengerahkan tenaganya dan meloncat. Dengan mudah saja tubuhnya melayang ke depan dan di lain saat dia sudah hinggap di tebing itu, tangan kanannya mencengkeram lekukan di atas tonjolan batu dan kaki kirinya hinggap di lekukan bawah.

"Bagus, sekarang harap merayap ke kiri. Di belakang batu itu terdapat batu datar, harap berputar di balik batu dan meninggalkan tempat mendarat itu untukku, taihiap."

Hui Song merayap ke kiri, berpegang kepada lekukan-lekukan di permukaan tebing yang tidak rata dan sebentar saja dia sudah menemukan tempat yang dimaksud oleh gadis itu. Memang, di balik tebing terdapat batu datar maka dia pun berputar lalu berdiri di atas batu datar itu. Kiranya di balik tebing terdapat lereng yang batunya datar.

Dia memandang ketika gadis itu meloncat dan ternyata Siang Hwa mampu pula meloncati sumur pasir itu dengan mudah, hinggap di tempat dia mendarat tadi. Tak lama kemudian gadis itu sudah berdiri di sampingnya, dan sebuah tangan yang hangat lunak memegang tangannya. Dia merasa betapa tangan gadis itu agak dingin gemetar.

"Kenapa?" tanyanya heran.

Jari-jari tangan itu mencengkeram dengan hangat, lalu pegangannya dilepaskan kembali. "Maaf, taihiap. Aku selalu merasa tegang sekali kalau sudah meloncati sumur mengerikan itu, teringat kepada teman-teman yang telah ditelannya." Dia bergidik.

Kemarahan Hui Song karena kemesraan yang lancang itu lenyap, bahkan kini dia merasa iba. "Engkau tidak sendirian, nona. Aku pun merasa tegang dan ngeri. Memang tempat ini sungguh menyeramkan dan sukar dilalui. Akan tetapi aku berjanji akan membantu sampai engkau berhasil menemukan tempat penyimpanan harta karun itu, terutama demi untuk menentang para penjahat yang hendak memberontak."

"Terima kasih, Cia-taihiap, mari kita melanjutkan perjalanan ini. Tak jauh lagi, akan tetapi masih harus melalui dua tempat yang lebih sukar dan lebih berbahaya lagi. Nah, kau lihat, di depan itu terbentang rawa yang menghalang perjalanan menuju tempat penyimpanan harta karun itu. Dalam perjalananku yang sudah-sudah, rawa itu menjadi biang keladi dari kegagalan usahaku. Yang pertama, ketika aku melakukan perjalanan seorang diri untuk menyelidik, aku hanya sampai di tepi rawa ini dan tidak sanggup melanjutkan. Kemudian aku datang lagi, dibantu oleh seseorang yang cukup lihai dan kami berhasil menyeberang, akan tetapi pada rintangan terakhir kami gagal dan pulangnya, kawanku itu bahkan celaka dan tewas di rawa itu."

Jika saja Hui Song tahu akan kebohongan gadis ini, tentu saat itu dia akan bergidik ngeri. Memang benar bahwa gadis itu dulu pernah berhasil menyeberangi rawa dengan bantuan seorang gagah. Akan tetapi setelah gagal menemukan harta pusaka, timbul rasa khawatir karena rahasia harta karun itu telah diketahui orang luar. Maka secara keji dia kemudian membunuh orang gagah yang tadinya membantunya itu di tengah rawa!

Mendengar ini, Hui Song lalu memandang rawa itu dengan penuh perhatian. Kini mereka sudah tiba di tepi rawa. Sebuah rawa yang kecil saja, akan tetapi sungguh tidak mungkin dilewati tanpa menggunakan alat. Melompati rawa ini hanya mampu dilakukan oleh burung atau binatang bersayap lainnya saja. Rawa itu merupakan air lumpur yang ditumbuhi oleh berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang biasa hidup di atas lumpur, sementara dia tidak melihat perahu atau alat lain untuk menyeberang.

"Bagaimana cara menyeberangi rawa ini dan apa bahayanya, nona?" tanyanya.

Siang Hwa tersenyum. "Terlihat aman dan tenang, bukan? Akan tetapi ketahuilah, taihiap, di bawah permukaan air berlumpur yang terlihat tenang itu bersembunyi banyak binatang iblis yang amat mengerikan dan liar sekali. Binatang yang mengintai dari bawah dan siap untuk menerkam serta menyerang siapa saja yang berani melintas di permukaan rawa."

"Binatang apakah itu?"

"Lihat, mereka akan kupancing keluar!" kata Siang Hwa.

Kemudian ia mengambil sebatang kayu dan menggunakan kayu itu untuk mengaduk-aduk dan menggerak-gerakkan permukaan air berlumpur di tepi rawa. Tidak lama kemudian air berlumpur itu berguncang dan muncullah moncong beberapa ekor binatang seperti buaya dan mereka bergerak ganas, memukul-mukul dengan ekor mereka yang seperti gergaji ke arah kayu itu bahkan ada yang menggunakan moncongya untuk menyerang.

Moncong itu mengerikan. Panjang dan ketika dibuka, sangat lebarnya, penuh dengan gigi yang tajam meruncing seperti gigi gergaji pula! Gerakan ini lantas memancing datangnya segerombolan binatang ini sehingga dalam waktu singkat saja di seluruh permukaan rawa itu nampak banyak sekali moncong atau ekor tersembul keluar! Mungkin ada ribuan ekor di seluruh rawa itu.

"Ahh, sungguh berbahaya sekali!" Hui Song bergidik ngeri. Bagaimana mungkin mereka akan dapat melawan sekian banyaknya binatang liar dan buas ini? "Lalu bagaimana kita akan dapat menyeberang?"

Siang Hwa tersenyum, agaknya bangga akan pengetahuan dan kecerdikannya. "Kita tidak dapat menggunakan perahu. Selain akan sukar sekali meluncur, juga sekali terpukul ekor binatang itu maka perahu kayu akan hancur berkeping-keping. Kita menggunakan bambu. Kalau kita berdiri di atas bambu dan mendayung, tentu bambu itu akan meluncur laju dan kalau kita berdua, kita dapat berjaga di kedua ujung bambu, mengusir serta menghantam setiap ekor binatang yang berani mendekat dengan pentungan kayu yang dapat kita cari di sini. Jika seorang diri saja akan amat berbahaya, karena kalau kita diserang dari depan belakang, selagi berdiri di atas bambu sambil mengatur keseimbangan badan pula, maka akan sukarlah untuk menyelamatkan diri."

Gadis itu lalu mengajak Hui Song pergi mengambil alat-alat itu yang disembunyikannya di balik bukit kecil tidak jauh dari situ. Mereka kemudian menggotong sebatang bambu yang panjangnya kurang lebih tiga meter, kedua ujungnya meruncing. Bambu ini sudah tua dan kering, kuat dan ulet sekali.

Siang Hwa juga telah menyiapkan dayung sebanyak dua batang dengan gagang panjang. Dayung ini terbuat dari kayu dilapis baja dan ujungnya malah seluruhnya terbuat dari besi, maka dayung ini dapat dipergunakan untuk mendayung perahu istimewa berupa sebatang bambu itu, juga dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh untuk menghadapi binatang-binatang seperti buaya itu.

"Hemm, kiranya engkau sudah mempersiapkan segalanya, nona," kata Hui Song kagum.

"Sudah kukatakan bahwa sudah beberapa kali aku datang ke tempat ini, taihiap. Namun sampai kini tanpa hasil dan sekaranglah timbul harapanku akan berhasil, dengan bantuan darimu. Mari kita menyeberang. Biar aku menjaga di ujung depan dan engkau di ujung belakang, taihiap."

"Baiklah!" kata Hui Song yang merasa betapa jantungnya berdebar juga pada saat batang bambu itu diturunkan di atas permukaan air berlumpur.

Siang Hwa meloncat ke atas bambu dan berjalan sampai ke ujung depan, diikuti oleh Hui Song. Jangan dikira mudah berdiri di atas batang bambu besar yang terapung di atas air berlumpur. Batang bambu itu bergoyang-goyang dan cenderung untuk berputar sehingga orang yang tidak memiliki ginkang yang tinggi dan pandai mengatur keseimbangan tubuh, tentu akan terbawa berputar dan terpelanting ke dalam air berlumpur itu. Dan di kanan kiri bambu itu kini telah nampak moncong-moncong mengerikan dan ekor-ekor yang panjang dan kuat!

"Jangan sembarangan memukul mereka, taihiap. Apa bila ada yang mencoba menyerang, baru kita pukul, akan tetapi sekali pukul harus mengenai kepalanya dan harus langsung menewaskannya, kalau tidak maka dia akan mengamuk dan berbahayalah kita. Sesudah seekor itu kita tewaskan, kita harus cepat mendayung bambu ini meluncur maju, karena bangkainya akan dijadikan rebutan kawan-kawannya sendiri sehingga air lumpur akan berguncang hebat."

Hui Song mengangguk-angguk, matanya tidak berani berkedip memandang ke sekitarnya kemudian dia pun menggerakkan dayungnya dan membantu Siang Hwa yang telah mulai mendayung. Bambu yang ujungnya runcing itu menggeleser lembut dan meluncur dengan cepatnya di atas permukaan air berlumpur itu, menyusup di antara rumpun alang-alang dan tumbuh-tumbuhan lain.

Baru belasan meter bambu mereka meluncur, sesudah banyak pasang mata di belakang moncong-moncong itu memandang seperti terkejut dan terheran, maka mulailah serangan itu datang. Seekor binatang liar menerjang dari depan menyambut ujung bambu. Melihat bahaya ini, Siang Hwa menggerakkan dayungnya, menyambut dengan hantaman keras.

"Prakkk!"

Maka pecahlah kepala binatang itu lantas dengan dayungnya Siang Hwa mencongkel dan melemparkan bangkai binatang itu agak jauh. Hui Song melihat betapa tempat di mana bangkai itu jatuh sekarang tiba-tiba penuh dengan binatang yang segera mengeroyok dan memperebutkan bangkai yang dalam sekejap saja sudah dirobek-robek dan ditelan habis. Air lumpur menjadi merah warnanya. Secara diam-diam dia bergidik juga membayangkan bagaimana kalau tubuh manusia yang dijadikan rebutan seperti itu!

"Cepat dayung!" Siang Hwa berteriak.

Mereka mendayung dan bambu meluncur ke depan, akan tetapi terpaksa Hui Song harus berhenti mendayung karena tiba-tiba seekor binatang yang amat besar berenang dengan cepat lantas memukulkan ekornya ke arahnya. Dayungnya terlampau pendek untuk dapat mencapai kepala buaya itu, maka dia hanya mempergunakan dayung untuk menangkis ekor itu.

Buaya itu nampak kesakitan dan marah, membalik dan dengan moncong dibuka lebar dia lantas menyerang, hendak menggigit apa saja. Hui Song menggerakkan dayungnya maka pecahlah kepala binatang itu. Seperti yang sudah dilakukan oleh Siang Hwa tadi, dengan dayungnya dia mendorong dan melemparkan bangkai itu agak jauh dari bambu. Bangkai itu segera menjadi rebutan seperti tadi.

Akan tetapi, agaknya binatang-binatang itu menganggap bahwa kedua orang penunggang bambu itu telah mendatangkan rejeki dan memberi makanan kepada mereka, kini mereka semua berbareng menghampiri dan tampak betapa moncong-moncong itu muncul banyak sekali di kanan kiri, depan dan belakang perahu.

“Dayung cepat...!" Siang Hwa berteriak khawatir melihat begitu banyaknya binatang yang mendekati bambu.

Kembali mereka mendayung sambil mengerahkan tenaga sinkang dan karena tenaga Hui Song memang besar sekali, maka dayungnya membuat bambu itu meluncur dengan amat lajunya. Akan tetapi, baru sampai di tengah-tengah rawa, bambu itu sudah dikurung oleh ratusan ekor binatang buas itu yang kini agaknya menjadi marah karena tidak mendapat makanan lagi.

Binatang ini agaknya memiliki watak seperti ikan-ikan hiu di lautan. Mereka bekerja sama secara rukun, akan tetapi sekali mencium darah, mereka tak mempedulikan darah kawan atau lawan. Semua yang berdarah akan diserbu dan diganyang dengan lahapnya!

Melihat ancaman hebat ini, Siang Hwa berteriak, "Taihiap, cepat, kita berkumpul di tengah dan saling melindungi!"

Mereka berdua melangkah ke tengah-tengah bambu dan beradu punggung, menghadapi serbuan binatang-binatang buas itu. "Bunuh sebanyaknya dan lemparkan bangkai mereka ke sana-sini untuk mencerai-beraikan mereka!" Kembali gadis itu berkata dengan tenang, namun hanya sikapnya yang tenang, suaranya agak gemetar.

Diam-diam Hui Song merasa kagum. Dia sendiri merasa ngeri dan dia tahu bahwa kalau hanya sendirian saja, akan lebih besarlah bahayanya, walau pun dia tentu akan mendapat akal untuk menyelamatkan dirinya.

Sekarang binatang-binatang liar itu menyerbu dari kanan kiri, dan kedua orang muda itu menggerakkan dayung mereka untuk menyambut. Berulang kali terdengar suara nyaring pecahnya kepala binatang itu disusul terlemparnya bangkai-bangkai mereka ke kanan kiri. Bangkai-bangkai itu langsung menjadi rebutan, akan tetapi karena yang menyerbu amat banyaknya, walau pun sebagian ada yang memperebutkan bangkai kawan sendiri, namun yang menyerbu bambu itu tetap saja masih amat banyak.

Hui Song merasa tidak leluasa apa bila menghadapi sekian banyaknya binatang itu hanya dengan berdiri di atas bambu sambil menyambut setiap binatang yang berani menyerang paling dekat. Maka dia cepat meloncat dari atas bambu, menghantam seekor buaya, lalu kakinya hinggap di atas kepala seekor buaya lain, kembali menghantam dan dengan cara berloncatan dari kepala ke kepala, dia dapat membagi-bagi pukulan dengan lebih baik.

Sebentar saja belasan ekor buaya telah pecah kepalanya, kemudian terjadilah perebutan bangkai yang hiruk-pikuk. Melihat sepak terjang pendekar itu, Siang Hwa terkejut dan juga amat kagum. Meski pun dia tahu bahwa pendekar itu lihai sekali, namun dia tidak pernah mengira bahwa Hui Song akan seberani dan sehebat itu.

"Mari, taihiap, sekarang ada kesempatan untuk melarikan diri!" katanya sesudah kini para binatang itu sibuk saling serang sendiri memperebutkan bangkai-bangkai yang banyak itu.

Mereka lalu mendayung lagi setelah dengan sigapnya Hui Song meloncat kembali ke atas bambu. Bambu meluncur cepat dan biar pun ada beberapa ekor binatang yang memburu, namun mereka sudah dapat tiba di seberang dengan selamat. Mereka menarik bambu itu ke darat dan menyembunyikannya ke belakang serumpun semak-semak.

"Hayaa... berbahaya juga...!" kata Hui Song sambil menyusuti peluh dari lehernya dengan sapu tangan.

Siang Hwa juga menyusuti keringatriya sambil memandang kagum. "Akan tetapi engkau hebat, taihiap. Sungguh hebat dan membuatku kagum sekali. Memang sangat berbahaya tadi, dan sekiranya bukan engkau yang mendampingiku, tentu tamatlah riwayat Gui Siang Hwa pada hari ini!"

"Ahhh, sudahlah jangan terlalu memuji, nona. Engkau sendiri juga mengagumkan sekali. Nah, sekarang apa pula yang akan kita hadapi?"

"Tinggal satu lagi, taihiap, akan tetapi satu yang paling sukar dan biar pun sudah dibantu oleh teman lihai yang akhirnya tewas di rawa ini, tetap saja aku tidak mampu mengatasi kesukaran terakhir ini. Mari kita lanjutkan perjalanan."

Akhirnya tibalah mereka di depan sebuah goa kecil yang tertutup batu bundar yang besar. "Nah, di belakang batu besar inilah tempat penyimpanan harta karun, yaitu menurut peta rahasia yang menjadi warisan Ciang-tosu. Akan tetapi, sungguh pun aku sudah berusaha mati-matian bersama teman itu, tetap saja kami tak berhasil menggerakkan batu ini yang seolah-olah melekat pada goa di belakangnya."

Hui Song tertarik sekali dan memandang batu besar bulat itu. Batu itu memang besar, akan tetapi karena bentuknya bulat, kalau orang mempunyai tenaga sinkang yang sudah cukup kuat, rasanya tentu akan dapat mendorongnya hingga menggelinding atau tergeser dari tempat semula. Gadis ini cukup lihai dan kuat, apa lagi dibantu seorang teman yang juga lihai, bagaimana sampai tidak berhasil mendorong batu bulat ini ke samping?

Dia tidak boleh mempergunakan tenaga kasar saja. Kalau dengan tenaga gabungan dua orang itu tidak berhasil menggeser batu ini, tentu ada rahasianya. Dia harus berhati-hati dan tidak boleh sembrono. Sebab itu mulailah dia meneliti dan mendekati batu itu, meraba sana-sini sambil memeriksa ke sekelilingnya. Akhirnya dia mengambil kesimpulan bahwa memang batu ini, biar pun tidak melekat dan menjadi satu dengan mulut goa, akan tetapi ditahan oleh sesuatu yang membuat batu itu sukar dilepaskan dari mulut goa. Tentu ada alat rahasianya.

"Taihiap, marilah kita mencoba untuk menyatukan sinkang kemudian mendorong batu ini agar tergeser dan membuka pintu goa," kata gadis itu.

Akan tetapi Hui Song menggelengkan kepalanya. "Nona, kurasa akan percuma saja kalau mempergunakan tenaga kasar memaksa batu ini tergeser. Batu ini besarnya membuat dia tidak mungkin dipecahkan dan meski pun garis tengahnya ada dua meter, mestinya dapat didorong atau digeser. Apa bila tidak dapat digeser, itu berarti bahwa di balik batu ini ada sesuatu yang mungkin sengaja dipasang untuk menahan batu ini agar tidak dapat pindah dari tempatnya. Aku mempunyai akal yang akan lebih mudah kita laksanakan."

“Bagaimana, taihiap?" gadis itu memandang penuh harapan.

"Kekuatan manusia ada batasnya. Akan tetapi kekuatan yang timbul dari berat jenis batu ini sendiri akan sukar dapat ditahan oleh alat yang membuat batu itu tidak bergoyah dari tempatnya. Mari kita membuat batu itu melepaskan diri sendiri dengan berat jenisnya."

Pada mulanya Siang Hwa tidak mengerti, akan tetapi melihat pemuda itu mulai menggali tanah di sebelah batu besar, dia mengerti dan segera membantu penggalian itu. Karena mereka berdua adalah orang-orang pandai yang bertenaga besar, sebentar saja mereka sudah menggali cukup lebar dan dalam.

Tiba-tiba saja Hui Song berteriak sambil mendorong tubuh gadis itu ke samping. Batu itu bergerak! Tak lama kemudian batu itu pun menggelinding masuk ke dalam lubang galian di sebelah kirinya dan terbukalah setengah pintu goa itu!

"Awas, jangan masuk dahulu secara sembrono!" Hui Song memperingatkan dan betapa pun ingin hati Siang Hwa, dia cukup waspada dan mentaati peringatan ini.

Terdengar suara keras dan mendadak dari dalam lubang goa itu menyambar tujuh batang anak panah menghitam yang telah berkarat disusul oleh debu yang mengepul keluar, debu yang jelas mengandung racun! Kedua orang muda itu menyingkir dan bergidik melihat anak panah itu meluncur lewat dan jatuh ke dalam jurang di belakang mereka.

"Aihh, sungguh berbahaya sekali!" kata Siang Hwa.

Hui Song mempergunakan tenaga sinkang untuk pukulan jarak jauh, mendorong dengan dua telapak tangannya ke arah lubang goa mengusir sisa debu dan juga untuk menahan kalau-kalau dari dalam ada serangan mendadak.

Mereka berindap masuk dan ternyata bukan manusia menyerang mereka, melainkan alat rahasia yang agaknya dipasang orang untuk menyerang siapa saja yang berani membuka batu dan memasuki goa itu. Ternyata tepat seperti dugaan Hui Song, di belakang batu itu terdapat sambungan besi yang terkait pada kaitan baja yang ditanam di lantai goa. Pantas saja tenaga manusia tidak mampu mendorong batu itu dari luar.

Sesudah batu itu bergantung pada lubang yang mereka gali, kaitan baja itu tidak kuat menahan berat batu sehingga patah. Akan tetapi begitu goa terbuka dan batu tergeser, otomatis berjalanlah alat-alat rahasia yang membuat tujuh anak panah itu meluncur keluar dan kantong terisi debu beracun pun jatuh pecah berhamburan. Semuanya itu digerakkan dengan per yang bekerja setelah batu itu tergeser.

Setelah meniliti semua itu, Hui Song menggeleng kepala dengan kagum. "Sungguh hebat sekali kepandaian orang yang memasangkan alat rahasia ini." Akan tetapi Siang Hwa tak begitu memperhatikan lagi semua alat rahasia itu.

"Taihiap, mari kita masuk. Menurut peta, harta karun itu tersimpan dalam jarak dua puluh satu langkah dari pintu ini dan tersembunyi di dalam dinding goa sebelah kiri. Biar kuukur jarak itu!" Dengan sikap gembira dan penuh ketegangan, Siang Hwa segera melangkah sambil menghitung dari pintu goa. Setelah dua puluh satu langkah dia berhenti.

"Tentu di sini tempatnya," katanya sambil berjongkok dan memeriksa dinding sebelah kiri. Hui Song mendekati, hatinya juga ikut merasa tegang.

"Ihh... apa ini...?" tiba-tiba gadis itu berteriak.

"Awas...!" Hui Song berseru. Cepat tangan kanannya mencengkeram pundak Siang Hwa untuk ditariknya ke belakang sambil tangan kirinya menangkis ketika ada benda hitam yang tiba-tiba saja meluncur ke arah dada gadis itu.

"Trakkk!"

Benda itu ternyata sebuah tombak kuno yang menghitam dan mudah diduga pula bahwa tombak ini, seperti juga anak panah tadi, mengandung racun. Akan tetapi bukan itu yang mengejutkan hati Hui Song dan Siang Hwa, melainkan jatuhnya pula sebuah kerangka manusia lengkap dari dinding itu.

Tadi Siang Hwa meraba-raba dinding itu, kemudian menemukan besi kaitan yang segera ditariknya dan begitu penutup dinding terbuka, kerangka itu terjatuh berikut tombak yang langsung meluncur!

Hui Song menyingkirkan tombak itu, kemudian bersama Siang Hwa menyalakan lilin-lilin yang tadi sudah mereka bawa sebagai bekal. Di bawah penerangan cahaya lilin-lilin yang lumayan terang, mereka melihat bahwa di balik pintu yang menutup dinding tadi terdapat sebuah peti besar berwarna hitam.

"Itulah harta karunnya!" Siang Hwa berseru girang sekali dan melonjak seperti anak kecil. Hui Song tersenyum karena pemuda ini pun dapat merasakan gejolak hatinya yang ikut bergembira. Usaha mereka berhasil dan semua jerih payah tadi tidak sia-sia.

"Hati-hati, nona. Jangan-jangan ada jebakan lagi atau senjata rahasia. Mari kita turunkan peti itu perlahan-lahan." Hui Song lebih dahulu mencoba dengan mencokel-cokel peti itu menggunakan sepotong batu, bahkan Siang Hwa lalu menghunus pedang dan memukul-mukul di atas peti. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu. Barulah mereka berani menarik dan menurunkan peti besar itu yang ukurannya lebih dari setengah meter persegi.

"Mengapa begini ringan?" Hui Song berkata.

"Kita buka saja, coba lihat isinya!" kata Siang Hwa tak sabar.

Peti itu dapat dibuka dengan mudah dan mereka pun bersikap hati-hati ketika membuka tutup peti. Tidak terjadi sesuatu, akan tetapi keduanya terbelalak memandang ke dalam peti karena peti itu ternyata kosong sama sekali! Bagaikan awan tipis ditiup angin, segera lenyaplah semua kegembiraan yang tadi memenuhi hati, terganti rasa kecewa yang amat menghimpit batin.

"Peti kosong...!" teriak Siang Hwa kemudian setelah dia dapat mengeluarkan suara.

"Mungkin bukan ini, mungkin di tempat lain," kata Hui Song membangkitkan harapan.

"Tidak, tidak! Pasti ini. Tempatnya sudah tepat, dan memang beginilah gambaran peti di dalam peta Ciang-tosu... Yang dimaksudkan sama seperti apa yang diceritakan suhu-nya. Tapi... sudah kosong. Ahh, inilah sebabnya mengapa ada kerangka manusia ini, dan pasti ada orang yang mendahului kita. Di dalam peta tidak pernah disebutkan adanya kerangka manusia atau tombak!"

"Didahului orang? Akan tetapi siapa yang bisa mendahuluimu, nona? Bagaimana pula dia dapat masuk kalau tadi batu itu masih utuh dan kaitannya juga baru saja terlepas? Dan siapa pula kerangka manusia ini? Marilah kita selidiki!" Hui Song dan Siang Hwa masing-masing membawa lilin karena keadaan pada bagian dalam goa itu sudah mulai remang-remang, melakukan pemeriksaan dengan hati kecewa dan tegang.

Hui Song ingin sekali membuktikan kebenaran dugaan Siang Hwa bahwa ada orang yang mendahului mereka. Kalau benar demikian, harus ada tanda-tandanya bagaimana orang itu dapat memasuki goa itu. Ataukah justru orang itu yang memasang semua alat rahasia di dalam goa itu? Akan tetapi, bukankah jebakan dan alat-alat rahasia itu sudah diketahui oleh Siang Hwa melalui peta, kecuali alat terakhir berupa tombak meluncur tadi? Tidak, kalau benar ada yang mendahului, tentu orang itu mengambil jalan lain yang tidak perlu merusak kaitan batu bundar penutup mulut goa!

Akhirnya usahanya berhasil. Dia menemukan sebuah lubang di lantai goa sebelah kanan, dan ketika dia menyingkirkan tanah yang menutupi lubang itu, lubang itu ternyata menuju ke bawah dan menembus keluar goa, melalui bawah batu! Mengertilah dia kini dan dia berseru kagum.

"Ahh, orang itu memasuki goa dengan jalan membuat lubang terowongan di bawah batu. Sungguh cerdik sekali!" katanya.

"Kerangka ini adalah kerangka seorang Mongol, dan pembunuhnya atau orang yang telah mengambil harta karun ini tentu ada hubungannya dengan perkumpulan rahasia Harimau Terbang di Mongol!"

"Apa...? Begaimana engkau bisa tahu, nona?" Hui Song mendekati gadis itu yang sedang memeriksa sebuah lencana yang terbuat dari emas.

"Aku pernah mempelajari ciri-ciri khas orang Mongol asli berdasarkan tulang pipi dan dagu dan tengkorak kerangka ini jelas adalah tengkorak seorang Mongol. Dan lencana ini tadi kudapatkan dalam genggamannya, agaknya sampai tewas, orang ini terus menggenggam sebuah lencana yang besar kemungkinannya berhasil dirampasnya dari leher lawan yang membunuhnya. Lencana ini adalah tanda anggota Harimau Terbang, sebuah perkumpulan rahasia di Mongol, yaitu menurut tulisan Mongol yang diukir di atasnya."

Hui Song melihat lencana itu dan dia pun merasa semakin kagum terhadap Siang Hwa. Kiranya selain lihai, gadis ini juga mempunyai pengetahuan yang luas. "Jadi kalau begitu kesimpulannya..."

"Seorang atau lebih orang yang lihai dan cerdik sekali telah tahu akan rahasia harta karun ini, dan telah mendahului kita, mungkin juga telah belasan bulan melihat betapa mayat ini sudah menjadi kerangka yang masih utuh. Dia atau mereka memasuki goa dengan jalan membuat lubang terowongan kecil itu. Kemudian agaknya terjadi perebutan di sini, lantas orang ini tewas sedangkan dia hanya berhasil merampas lencana yang agaknya dipakai oleh lawan sebagai kalung tanpa diketahui lawan itu. Orang itu, atau lebih dari seorang, lalu mengambil seluruh isi peti harta karun, memasukkan mayat orang ini ke dalam lubang bersama peti, memasang sebuah tombak untuk menyerang orang yang datang kemudian membuka tempat penyimpanan peti harta pusaka, Bagaimana pendapatmu, taihiap?"

Hui Song mengangguk-angguk. Perkiraan yang tepat sekali karena dia sendiri pun tidak dapat menerka lain. "Dugaanmu agaknya tepat sekali, nona. Memang hanya seperti itulah kiranya yang dapat terjadi. Alat-alat rahasia di belakang batu penutup goa itu dibuat oleh mereka atau dia yang menyimpan harta pusaka itu, sedangkan mayat serta tombak tadi memang diletakkan kemudian, dan tentunya oleh si pencuri harta pusaka. Lalu sekarang bagaimana?"

Tiba-tiba Siang Hwa menangis! Hal ini amat mengejutkan hati Hui Song. Dia terkejut dan terheran, sama sekali tidak pernah dapat membayangkan seorang yang gagah dan lihai seperti Siang Hwa dapat menangis sesenggukan seperti anak kecil begitu.

Akan tetapi dia segera teringat bahwa bagaimana pun juga, Siang Hwa adalah seorang wanita, dan harus diakuinya bahwa mendapatkan peti harta pusaka yang telah kosong itu sungguh merupakan pukulan batin yang sangat hebat! Dia sendiri yang sama sekali tidak memiliki kepentingan dengan harta itu, yang hanya terlibat secara kebetulan saja, merasa amat kecewa, menyesal dan tertekan batinnya. Apa lagi Siang Hwa!

Gadis ini telah lama menyelidiki tempat ini, telah berkali-kali gagal, bahkan sudah banyak temannya tewas dalam tugas penyelidikan. Kini, setelah berhasil menemukan tempat dan peti harta pusaka itu, setelah harapan sudah memuncak di ambang keberhasilan, tiba-tiba saja segala-galanya hancur dan gagal sama sekali! Dia merasa iba, tetapi segera teringat bahwa harta pusaka itu diperebutkan hanyalah demi menentang pemberontakan, bukan untuk kepentingan diri pribadi.

“Sudahlah, nona. Kiranya tak ada gunanya ditangisi lagi. Pula, kita mencari harta pusaka untuk menghalangi pusaka itu jatuh ke tangan pemberontak. Dan seperti dugaanmu tadi, agaknya yang mengambilnya adalah orang Mongol, bukan para datuk sesat yang hendak memberontak. Yang penting adalah tidak terjatuh ke tangan pemberontak, jadi sama saja apakah pusaka itu terjatuh ke tangan kita ataukah orang lain asal jangan pemberontak, bukankah begitu?"

Siang Hwa memandang tajam dan sepasang matanya seperti berkilauan di bawah sinar lilin. "Taihiap, engkau tentu akan suka membantu kami untuk melakukan pengejaran ke Mongol, membantu kami merampas kembali harta pusaka itu, bukan?"

Hui Song mengerutkan alisnya. "Untuk apa, nona? Aku... aku mempunyai urusan lain..."

Dia teringat akan tugasnya seperti yang dipesankan oleh gurunya. Tentu saja dia tidak berani berterus terang kepada Siang Hwa tentang usaha para pendekar menentang para datuk sesat yang merencanakan pemberontakan, walaupun dia menganggap Siang Hwa juga seorang di antara para orang gagah yang menetang pemberontakan.

"Taihiap, bukankah kita satu haluan, yaitu hendak menentang para pemberontak? Nah, usaha mendapatkan harta karun itu merupakan pukulan paling hebat bagi mereka, selain mereka gagal memperoleh harta yang akan dapat mereka pergunakan untuk membiayai pemberontakan, juga kita bisa menggunakan harta itu bagi keperluan gerakan menentang mereka."

Ucapan gadis itu meyakinkan hatinya dan memperkuat kepercayaannya. Sekarang timbul kepercayaan di hati Hui Song. Jangan-jangan gadis ini adalah seorang di antara pimpinan para patriot yang hendak membela negara!

"Nona Gui, aku harus pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang..." Dia memancing sambil menatap tajam wajah gadis itu. Akan tetapi wajah Siang Hwa tidak menunjukkan sesuatu, hanya sepasang mata itu yang berkilat penuh penyelidikan mengamati wajah Hui Song.

"Cia-taihiap, sudah terlampau lama aku sibuk dengan tugasku untuk mencari harta karun sehingga aku agak terlambat mengikuti perkembangan gerakan kawan-kawan kita di luar. Tentu di sana akan diadakan pertemuan rahasia antara kita, bukan?"

Hui Song mengangguk. "Para pendekar akan mengadakan pertemuan di sana, kalau aku harus membantumu maka aku khawatir akan terlambat."

"Ahh, kalau begitu aku tidak boleh mengganggumu! Apakah engkau akan datang sebagai wakil dan utusan Cin-ling-pai?"

Betapa inginnya hati Hui Song untuk mengaku demikian. Akan tetapi dia segera teringat akan sikap ayahnya dan dia tidak berani berbohong, maka dia pun tidak menjawab secara langsung melainkan hanya menggeleng kepala.

"Baiklah, kalau begitu terpaksa kami akan melanjutkan sendiri pencarian kami. Sekarang kita harus keluar dari tempat ini sebelum malam tiba, taihiap."

Akan tetapi, melihat gadis itu mengangkat lilin tinggi di atas kepala dan terus berjalan menuju ke sebelah dalam goa, Hui Song bertanya, "Ehh, jalan ke mana, nona?"

"Taihiap, menurut peta yang dimiliki Ciang-tosu, goa ini berupa terowongan yang menuju ke belakang bukit. Seperti yang kau lihat, di depan sana ada sinar terang, berarti di sana juga ada lubang mulut goa di belakang bukit ini. Mari kita mengambil jalan ke sana, dan melihat keadaan di situ. Siapa tahu kalau-kalau penjahat-penjahat yang mencuri harta itu menyembunyikan harta itu di sana, walau pun harapan ini tipis sekali. Akan tetapi setelah berhasil memasuki tempat yang luar biasa ini, tiada salahnya kalau kita melihat sebentar bagaimana macamnya tembusan goa ini, bukan?"

Hui Song mengangguk kemudian mengikuti gadis itu. Sesudah maju belasan meter dan membelok, benar saja nampak mulut goa sehingga kini mereka tidak perlu lagi memakai lilin karena cahaya terang memasuki goa dari pintu atau mulut goa itu. Matahari sudah condong ke barat, akan tetapi sinarnya masih nampak terang. Silau juga rasanya mata yang sudah lama berada di dalam goa gelap, hanya diterangi api lilin, kini tiba-tiba harus menghadapi cahaya matahari di luar goa itu.

Dan pemandangan di depan goa itu sungguh indah, juga amat mengerikan. Depan goa itu merupakan batu datar yahg lebarnya dua meter dan panjangnya kurang lebih lima belas meter, akan tetapi selanjutnya tak ada apa-apa lagi, merupakan jurang yang amat curam! Sungguh mengerikan kalau memandang ke bawah, yang nampak hanya kabut.

Tidak ada jalan keluar dari tempat itu, merupakan jalan mati yang berakhir dengan jurang yang amat dalam. Di depan tampak puncak bukit batu karang menonjol, jaraknya dari tepi jurang itu tidak terlampau jauh, hanya kurang lebih lima puluh meter, akan tetapi nampak menganga mengerikan dan kelihatan lebih jauh dari kenyataannya karena adanya jurang yang sangat curam itu.

"Ini merupakan jalan buntu dan mati, tidak ada jalan keluar dari sini. Tidak, nona, pencuri harta pusaka itu tidak mengambil jalan sini, melainkan kembali melalui terowongan kecil yang mereka buat di bawah batu," kata Hui Song sambil menjenguk ke bawah dari tebing jurang itu.

Sampai lama tidak terdengar suara jawaban. Hui Song menengok sambil memutar tubuh dan langsung terbelalak memandang dengan terheran-heran kepada tiga orang itu, Siang Hwa, Ciang-tosu serta Ciong-hwesio yang sudah berdiri menghadang di depan mulut goa dengan wajah beringas! Ada senyum mengejek menghias bibir Siang Hwa yang biasanya bersikap manis dan halus itu.

"Cia Hui Song, pencuri itu tidak keluar dari sini, akan tetapi sekarang engkau harus keluar dari sini!"

"Nona, apa artinya ini?" Hui Song bertanya, sikapnya masih tenang namun tetap waspada karena dia maklum bahwa tiga orang ini sudah membohonginya, buktinya kini dua orang kakek yang katanya tidak sanggup melewati jembatan batu-batu pedang itu ternyata telah dapat menyusul ke sini.

"Artinya, engkau harus mampus di sini untuk menebus semua dosamu. Pertama, engkau berani menghina dengan menolak perasaan hatiku kepadamu, dan kedua, engkau tidak bersedia membantu kami mencari harta karun itu ke Mongol, dan ketiga, engkau sebagai orang luar sudah tahu akan harta karun itu, maka untuk menutup rahasia ini serta untuk menebus dosamu, engkau harus mati. Nah, terjunlah ke dalam jurang itu."

“Tetapi... bukankah kita sehaluan...?" Hui Song bertanya, bukan karena takut melainkan karena penasaran dan heran.

"Ha-ha-ha!" kakek gendut yang disebutnya Ciong-hwesio tertawa bergelak. "Sehaluan? Ha-ha-ha...!"

"Nona, apa artinya semua ini?" Hui Song membentak kepada Siang Hwa, merasa cukup dipermainkan dan menuntut penjelasan, namun matanya tidak lepas dari sikap mereka itu karena dia cukup mengenal kelihaian dan kecurangan mereka.

"Orang tampan yang berhati dingin, engkau ingin tahu dan masih belum dapat menerka semua hal ini? Baik, dengarlah sebelum engkau mati. Aku Gui Siang Hwa adalah murid Pangeran Toan Jit-ong dan aku mewakili suhu mencari harta karun itu. Mereka ini adalah para pembantu suhu yang berjuluk Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo..."

Mata Hui Song terbelalak dan ingin dia menampar muka sendiri sebab merasa menyesal sekali atas kebodohannya. Dia seperti pernah mendengar nama dua orang kakek itu, lalu mengingat-ingat lagi dan akhirnya mengangguk-angguk.

"Kiranya dua orang dari Cap-sha-kui...? Bagus, ternyata kalian bertiga adalah komplotan busuk itu sendiri!"

"Cia Hui Song, lebih baik engkau cepat meloncat ke bawah, atau engkau lebih suka kami yang memaksamu?" Siang Hwa menghunus pedang tipisnya.

Hui-to Cin-jin juga sudah menghunus keluar sepasang pisau belati, ada pun kakek gendut Kang-thouw Lo-mo melepaskan tali guci arak yang tadinya tergantung pada pinggangnya. Kiranya guci arak kecil ini juga dapat dipergunakan sebagai senjata oleh si gendut ini!

Hui Song tersenyum mengejek, timbul kembali kegembiraan dan ketabahannya. Lebih baik menghadapi lawan secara berterang begini dari pada menghadapi mereka yang disangkanya teman sehaluan yang dapat dipercaya.

"Perempuan hina, jangan disangka bahwa aku takut menghadapi kalian bertiga. Dulu aku terjebak karena tak mengira bahwa engkau adalah seorang iblis betina. Sekarang jangan harap kecuranganmu itu akan dapat mengulangi lagi!"

"Manusia sombong!" bentak Hui-to Cin-jin yang tadinya diberi nama Ciang-tosu itu, lantas tiba-tiba cahaya kilat menyambar ketika kedua tangannya bergerak. Dua batang pisau itu telah menyambar ke arah tenggorokan dan perut Hui Song dengan kecepatan bagai kilat! Memang inilah keistimewaan kakek itu, bahkan nama julukannya Hui-to (Pisau Terbang).

Akan tetapi sekali ini Hui Song sudah bersiap siaga dengan penuh kewaspadaan, maklum bahwa yang dihadapinya adalah lawan-lawan yang tangguh, berbahaya dan juga curang sekali. Maka begitu melihat ada dua sinar berkelebat, dengan tenang dia menggerakkan tangannya dan dengan sentilan jari tangannya, dua batang pisau itu runtuh ke atas tanah kemudian menancap sampai hanya nampak gagangnya saja! Tosu itu terkejut dan kedua tangannya sudah memegang dua batang pisau lainnya.....

Siang Hwa yang sudah maklum akan kelihaian Hui Song, sudah menerjang ke depan dan pedangnya sudah berkelebat membentuk gulungan sinar yang menyambar-nyambar. Hui Song dengan tenang mengelak ke sana-sini, dan karena tempat itu memang sempit, dia pun mengelak sambil membalas dengan tendangan kakinya yang hampir saja mengenai lutut lawan.

Gadis itu terpaksa meloncat ke belakang dan menyerang lagi, sekali ini dibantu oleh dua orang kawannya yang masing-masing mempergunakan sebuah guci arak dan sepasang pisau belati. Hui Song melihat bahwa dua orang kakek itu pun ternyata lihai sekali, maka dia pun bergerak dengan hati-hati.

Namun di belakangnya terdapat jurang yang amat curam dan dia didesak oleh tiga orang yang kepandaiannya tinggi serta bersenjata, maka betapa pun lihainya, dia tersudut dan terancam bahaya maut. Gerakannya kurang leluasa, terutama karena ada ancaman maut ternganga di belakangnya dan tiga orang lawan yang cerdik itu agaknya memang hendak mendesak dan memaksanya untuk terjun ke dalam jurang.

Tiba-tiba saja Siang Hwa mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tangan kirinya telah mengeluarkan sapu tangannya yang mengandung bubuk obat bius. Akan tetapi Hui Song telah siap pula menghadapi ini. Mulutnya meniup dan bubuk obat bius itu buyar membalik, juga dia menahan napas dan baru berani menarik napas setelah racun itu lenyap.

Pada saat itu kembali Hui-to Cin-jin menyerang dengan sepasang belatinya dan tiba-tiba, ketika pemuda itu mengelak, tosu itu melepaskan dua batang pisaunya menjadi sambitan dari jarak yang amat dekat! Hui Song tidak menjadi gugup dan berhasil menyampok dua batang pisau itu.

Ketika itu Siang Hwa sudah menyerang dengan pedangnya menusuk ke arah perut, ada pun si gendut menghantam dari samping ke arah kepalanya menggunakan guci arak itu! Hui Song meloncat dan hendak menangkap hantaman guci arak, akan tetapi tiba-tiba saja pedang Siang Hwa membalik dan tahu-tahu sudah menyerempet pahanya.

"Brettttt...!"

Ujung pedang itu merobek celana kakinya yang kanan, merobek celana itu dari paha ke bawah sampai betis, akan tetapi ujung pedang itu tidak mampu membuat luka yang cukup dalam, hanya membuka sedikit kulit kaki yang biar pun mengeluarkan darah tetapi bukan merupakan luka yang berat, hanya lecet saja.

"Iblis-iblis busuk yang curang!" Mendadak terdengar bentakan nyaring dan dari dalam goa itu berkelebatan bayangan orang yang amat cepat dan ringan gerakannya. Begitu tiba di luar mulut goa, bayangan ini sudah menendang ke arah perut gendut Kang-thouw Lo-mo sambil tangan kirinya mencengkeram ke arah kepala Hui-to Cin-jin! Gerakannya demikian cepatnya sehingga hampir saja perut gendut itu tercium ujung sepatu.

Si gendut cepat mundur, akan tetapi tetap saja pinggangnya terserempet tendangan yang membuat dia terbuyung. Hui-to Cin-jin juga terkejut akan tetapi mampu menghindarkan diri.

"Sui Cin...!" Hui Song berseru girang bukan main ketika mengenal wajah gadis yang baru datang itu. Tadinya ketika melihat bayangan berkelebat datang membantunya dan melihat bahwa bayangan itu adalah seorang gadis, dia masih belum mengenalnya, akan tetapi kini dia dapat melihat jelas dan kegembiraan yang amat besar menyelinap dalam hatinya ketika dia menyebut nama gadis itu.

Sui Cin loncat mendekat lantas mereka pun saling melindungi. "Song-ko, jangan khawatir, aku membantumu. Mari kita hajar tiga ekor tikus ini... ehh, mana mereka?"

Ternyata Siang Hwa serta dua orang kakek itu sudah lenyap dari depan mulut goa. Hui Song terkejut. "Mari kita kejar...!"

Akan tetapi tiba-tiba saja terdengar suara keras, kemudian ada pintu besi yang bergerak menutup mulut goa itu, agaknya digerakkan oleh alat rahasia yang membuat daun pintu besi itu keluar dari dalam dinding. Memang ternyata Siang Hwa amat cerdiknya. Melihat datangnya seorang gadis yang sangat lihai membantu Hui Song, dia merasa khawatir dan cepat dia mengajak dua orang pembantunya lari masuk ke dalam goa lalu menggerakkan pintu rahasia yang memang sudah diketahuinya.

Hui Song dapat menduga kecurangan itu yang amat membahayakan keselamatan dia dan Sui Cin, maka dia pun cepat menerjang daun pintu itu.

"Brungggg...!" Daun pintu tergetar akan tetapi tidak pecah oleh terjangan kaki tangan Hui Song. Ternyata daun pintu itu terbuat dari baja yang tebal.

"Song-ko, kita dapat lari melalui tebing di depan itu!" Sui Cin berkata sambil menunjuk ke arah puncak bukit yang merupakan tebing di depan, di seberang jurang yang tak nampak dasarnya saking dalamnya itu. "Kita dapat meloncat ke sana."

Hui Song memandang dan menggelengkan kepala. "Terlalu berbahaya..."

Dia sendiri merasa sanggup untuk meloncat ke sana, akan tetapi bagaimana dengan Sui Cin? Terlampau berbahaya bagi Sui Cin, bukan baginya, sedangkan meloncati jarak itu sambil menggendong tubuh Sui Cin jelas tidak mungkin.

Sui Cin sudah lama mengenal Hui Song, maka dia mengerti apa yang berada dalam batin pemuda itu. "Song-ko, jangan khawatir, aku dapat meloncat ke sana...!"

Pada saat itu pula terdengar suara tawa Siang Hwa dari balik daun pintu baja. "Ha-ha-ha, orang she Cia. Lebih baik engkau ajak temanmu itu meloncat turun ke dalam jurang saja karena mau tidak mau kalian harus melakukannya!"

Tiba-tiba pintu baja itu terbuka sedikit lalu meluncurlah pisau-pisau terbang, jarum-jarum dan batu-batu yang dilemparkan oleh tiga orang itu! Karena mereka adalah orang-orang yang lihai sekali, tentu saja lemparan mereka itu amat kuat dan berbahaya pula, terutama pisau-pisau terbang yang menjadi kepandaian khas dari Hui-to Cin-jin.

Sibuk juga Hui Song dan Sui Cin mengelak serta memukul runtuh senjata-senjata rahasia itu dan dalam gerakan Sui Cin, Hui Song melihat kecepatan yang amat luar biasa. Maka besarlah hatinya. Agaknya selama tiga tahun ini Sui Cin yang digembleng oleh Dewa Arak Wu-yi Lo-jin sudah memperoleh kemajuan pesat, terutama di dalam ilmu ginkang seperti dapat dilihatnya ketika gadis itu tadi menyerbu menolongnya dan kini ketika mengelak dari sambaran senjata-senjata rahasia. Dia dan Sui Cin meloncat ke arah pintu, akan tetapi pintu itu cepat sudah tertutup kembali dari dalam!

"Memang tidak ada jalan lain," kata Hui Song mengerutkan alisnya yang tebal. "Kalau kita berdiam di sini, tentu mereka akan mencari akal untuk mencelakakan kita. Kalau cuaca sudah gelap, makin sukarlah kita untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan gelap mereka. Menerjang pintu pun akan percuma saja. Akan tetapi, benarkah engkau sanggup meloncat ke sana, Cin-moi?"

"Tentu saja sanggup, biar aku melompat lebih dulu agar hatimu tiduk akan khawatir lagi."

"Jangan, Cin-moi, jangan…! Biar aku yang melompat lebih dahulu sehingga engkau dapat memperoleh tempat pendaratan yang aman di sana."

"Baiklah, Song-ko. Akan tetapi cepat, itu di bagian kanan kulihat ada banyak lekukan pada dinding batu, kau loncatlah ke sana, Song-ko."

"Baik, Cin-moi."

"Berhati-hatilah."

Hui Song mengambil ancang-ancang, kemudian berlari dan meloncat sambil mengerahkan ginkang-nya, menuju ke tempat pendaratan di tebing bukit di depan. Tubuhnya meluncur seperti seekor burung saja dan tepat tiba pada dinding di mana terdapat banyak lekukan, agak ke bawah. Dengan cekatan tangannya lalu mencengkeram lekukan batu dan kedua kakinya hinggap pada lekukan batu pula. Sekarang dia sudah mendarat dengan selamat! Dia menoleh dan tersenyum kepada Sui Cin, lalu berseru,

"Cin-moi, sekarang kau meloncatlah. Di sebelah kananku ini banyak lekukan, jadi sangat baik untuk mendarat. Aku akan menjagamu di sini!"

Dia sudah siap dengan tangan kirinya untuk menolong kalau-kalau loncatan Sui Cin tidak mencapai sasaran. Betapa pun juga, dia masih belum tahu sampai di mana kemampuan ginkang gadis itu.

"Baik, Song-ko, aku meloncat!"

Gadis itu meloncat dengan gerakan yang indah dan cekatan, akan tetapi pada waktu itu Hui Song melihat dua orang kakek itu keluar dari pintu mulut goa yang mendadak terbuka dan melihat betapa kakek gendut itu melontarkan batu-batu yang sebesar kepala orang ke arah Sui Cin yang sedang meloncat.

"Cin-moi, awas...!" teriaknya, akan tetapi terlambat.

Gadis itu tentu saja sama sekali tidak pernah menduganya bahwa dia akan diserang dari belakang dan dalam keadaan melayang itu, sukar baginya untuk mengelak.

"Bukkk...!" Sebuah batu sebesar kepala tepat mengenai belakang kepalanya.

"Oughhh...!" Gadis itu mengeluh dan tubuhnya terkulai.

Untung baginya bahwa loncatannya tadi sangat kuat sehingga tubuhnya kini melayang ke arah Hui Song. Pemuda ini cepat menangkap lengan kiri Sui Cin dan gadis itu bergantung pada pegangannya dengan tubuh lemas. Dara itu tidak pingsan, akan tetapi terlihat lemas dan pandang matanya nanar, dan agaknya timpukan yang mengenai belakang kepalanya itu membuatnya nanar dan pening.

"Jangan takut, tenang saja... aku menolongmu...!" Hui Song menghibur dengan kata-kata lembut sambil menguatkan hatinya yang dicekam kegelisahan.

Tepat pada saat itu pula dia mendengar desir angin dari belakang dan tahulah dia bahwa ada beberapa batang pisau terbang menyambar ke arah tubuh belakangnya. Dia tidak mungkin dapat mengelak atau menangkis, maka Hui Song mengerahkan tenaga sinkang, disalurkannya ke punggung. Empat batang pisau mengenai tengkuk serta punggungnya, akan tetapi semuanya runtuh dan hanya merobek bajunya saja, sama sekali tidak mampu menembus kulit tubuhnya yang dilindungi tenaga sinkang yang amat kuat.

Dia lalu menarik tubuh Sui Cin ke dinding batu, kemudian memanjat dengan satu tangan saja dibantu pengerahan tenaga pada kedua kakinya dan akhirnya, dengan susah payah, berhasillah dia mencapai puncak yang tidak begitu jauh lagi sambil memondong tubuh Sui Cin yang lemas, dibawa meloncat ke balik puncak sehingga terlepas dari sasaran senjata-senjata rahasia lawan.

Hui Song duduk di balik batu besar dan merebahkan tubuh Sui Cin. Dara itu masih sadar, akan tetapi sepasang matanya yang terbuka itu kelihatan kosong dan tubuhnya lemas. Cepat Hui Song meraba kepala bagian belakang gadis itu. Hanya terluka sedikit saja akan tetapi banyak darah yang keluar. Dia menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan aliran darah, kemudian mengurut tengkuk dara itu perlahan-lahan.

Dia dapat menduga bahwa otak di dalam kepala dara itu terguncang oleh hantaman batu sehingga membuat gadis itu nanar dan pening. Dia khawatir kalau-kalau ada kerusakan di dalam susunan syaraf otak.

Dengan sinkang-nya yang disalurkan ke dalam telapak tangannya, dia membantu gadis itu untuk menyembuhkan luka di dalam kepala. Rasa hangat yang menyelinap ke dalam kepala itu agaknya terasa amat nyaman karena tak lama kemudian, keluhan-keluhan kecil dan rintihan yang tadinya keluar dari mulut Sui Cin terhenti dan tak lama kemudian gadis itu pun tertidur pulas.

Hui Song membebaskan jalan darah yang ditotoknya agar tidak menghalangi darah yang mengalir ke otak, kemudian dia menjaga tubuh yang lemah itu tertidur pulas terlentang di depannya. Dia tidak berani membuat api unggun karena khawatir kalau-kalau para iblis itu melakukan pengejaran. Tiga orang musuh itu lihai dan curang, dan Sui Cin sedang dalam keadaan terluka, maka berbahayalah kalau dia membuat api unggun dan ketiga orang itu dapat mencarinya.

Karena maklum bahwa dalam keadaan seperti itu Sui Cin tak dapat mengerahkan sinkang melawan hawa dingin, dia cepat menanggalkan jubah dan bajunya, menyelimuti tubuh Sui Cin dengan itu dan dia sendiri bertelanjang dada.

Malam itu udara cerah dan bulan bersinar terang. Hawa di sana dingin sekali akan tetapi dengan kekuatan sinkang-nya, Hui Song mampu bertahan terhadap hawa dingin itu. Dia duduk di dekat Sui Cin dan tiada jemunya mengamati wajah gadis itu, wajah yang selama ini selalu terbayang olehnya, bahkan sampai terbawa ke dalam mimpi.

"Sui Cin... ahh, Cin-moi... tak pernah kusangka bahwa begitu kita berjumpa, engkau telah menyelamatkan nyawaku...," bisiknya dengan perasaan hati penuh haru.

Dia tahu bahwa tadi, pada waktu dia diserang oleh tiga orang jahat yang curang itu di tepi tebing, apa bila tidak muncul dara ini, besar sekali kemungkinannya dia akan terjengkang dan tewas! Masih bergidik dia membayangkan bahwa gadis cantik yang tadinya dianggap sahabat dan teman sehaluan, yang dianggapnya sebagai seorang pendekar yang sedang bergerak menentang para datuk yang hendak memberontak, ternyata malah merupakan tokoh sesat itu sendiri, bukan sembarang orang melainkan murid Raja Iblis!

Dan dua orang kakek yang berdandan seperti tosu dan hwesio itu ternyata adalah dua orang di antara Cap-sha-kui. Sungguh berbahaya sekali. Jelaslah bahwa memang Siang Hwa, dara murid Raja Iblis itu, tengah mencari harta karun itu untuk digunakan membiayai pemberontakan yang dipimpin oleh gurunya.

Dan semua yang terjadi tadi memang merupakan perangkap baginya. Tenaganya hendak digunakan untuk mencari harta karun dan setelah harta karun itu lenyap didahului orang, dirinya dianggap tidak berguna lagi sehingga tentu saja akan dibunuh.

Hui Song mengepal tinju dan tersenyum dingin. "Bagaimana pun, bagus sekali bahwa aku sudah mengetahui akan adanya harta pusaka itu dan akan kuperjuangkan supaya harta pusaka itu jangan sampai jatuh ke tangan para pemberontak!"

Untunglah bahwa pencuri harta pusaka itu telah meninggalkan jejak berupa tanda lencana perkumpulan Harimau Terbang di Mongol. Dia sendiri harus pergi keluar Tembok Besar untuk menghadiri pertemuan antara para pendekar, namun sebelum itu dia akan dapat menyelidiki mengenai harta karun yang dicuri itu di Mongol. Akan tetapi sekarang ini, yang terpenting adalah menolong Sui Cin. Dia hanya mengharap gadis ini tidak terluka terlalu parah.

Pada keesokan harinya, setelah matahari terbit, Hui Song melihat Sui Cin menggeliat dan mengeluh halus. Dia yang tadinya duduk bersila di bawah pohon, langsung menghampiri sambil tersenyum, jantungnya berdebar girang karena kini dia akan dapat bercakap-cakap dengan gadis pujaan hatinya itu.

"Cin-moi...!" Panggilnya lirih sambil mendekat.

Sui Cin membuka mata, bangkit duduk sambil menoleh. Begitu melihat Hui Song, dia lalu mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya menyambar ke depan, menyerang dengan tendangan ke arah dada pemuda itu. Gerakannya demikian ringan dan cepat.

Andai kata Hui Song sudah tahu sebelumnya bahwa dia akan diserang, biar pun gerakan gadis itu amat cepat, agaknya dia masih akan mampu menghindar. Akan tetapi perbuatan Sui Cin itu sama sekali tak pernah disangkanya, maka dia terkejut dan heran, dan karena itu gerakannya mengelak kurang cepat sehingga ujung sepatu gadis itu masih saja dapat menyambar pundaknya.

"Bukkk...!" Tubuh Hui Song terpelanting dan Sui Cin sudah meloncat datang kembali dan mengirim serangan bertubi-tubi dengan tangan dan kakinya.

"Heiii...!" Hui Song terpaksa bergulingan untuk mengelak.

Akan tetapi betapa pun dia berteriak mencegah, gadis itu laksana sedang kesetanan dan menyerang terus semakin hebat saja. Hui Song terpaksa menggunakan kepandaiannya, meloncat ke sana-sini dan kadang-kadang harus menangkis karena serangan-serangan gadis itu cepat bukan main.

"Cin-moi, ingatlah... Cin-moi...!"

"Engkau jahat, kejam, curang...!" Sui Cin memaki-maki dan menyerang terus.

Semakin lama Hui Song menjadi semakin bingung dan khawatir. Beberapa kali tubuhnya sudah terkena pukulan atau tendangan, biar pun tidak mengakibatkan luka parah karena dia sudah menjaga diri dengan kekuatan sinkang, namun terasa nyeri dan beberapa kali dia jatuh bangun.

"Cin-moi, aku... aku Hui Song, lupakah kau padaku?" beberapa kali dia berseru karena kini dia mulai menduga bahwa agaknya gadis ini kehilangan ingatannya, padahal kemarin masih menolongnya, berarti masih ingat kepadanya. Tak salah lagi, tentu hantaman batu yang mengenai belakang kepala gadis itulah yang menyebabkan kini Sui Cin seperti lupa kepadanya.

Akan tetapi Sui Cin agaknya tidak peduli, bahkan menyerang terus lebih hebat lagi. Dia mendapat kenyataan betapa kini Sui Cin dapat bergerak amat cepatnya, kadang-kadang bagaikan berkelebat lenyap saja. Dia merasa kagum dan dapat menduga bahwa tentu kehebatan gadis ini adalah hasil dari bimbingan dari Wu-yi Lo-jin selama tiga tahun.

Makin lama makin repotlah dia kalau harus bertahan saja. Gerakan gadis itu terlalu cepat dan kalau hanya dihadapi dengan elakan dan tangkisan, akhirnya dia tentu akan terkena pukulan telak yang akibatnya akan sangat berbahaya. Maka, untuk menahan gelombang serangan Sui Cin, terpaksa Hui Song mulai membalas. Gerakannya mantap dan pukulan atau sambaran tangannya amat kuat sehingga ketika Sui Cin menangkis, tubuh gadis ini terhuyung.

"Sui Cin, ingatlah...!" Hui Song masih terus mencoba untuk menyadarkan.

Akan tetapi gadis itu menyerang lagi dan keduanya berkelahi dengan sangat serunya. Kini Hui Song juga mengerahkan tenaga dan kepandaiannya. Dia yakin bahwa Sui Cin sudah kehilangan ingatan maka percuma sajalah jika dibujuk atau diingatkan dengan omongan. Dia harus dapat merobohkan gadis ini, membuatnya tak berdaya, baru dia akan berusaha untuk mencarikan obat atau untuk mengingatkan kembali.

Dia lantas membalas sehingga terjadilah pertandingan yang hebat. Sui Cin bergerak amat cepat berkat ilmu ginkang bimbingan Wu-yi Lo-jin, sedangkan Hui Song sendiri memiliki gerakan yang juga cepat dan mengandung tenaga sinkang yang membuat gadis itu agak kewalahan.

Tiba-tiba saja Sui Cin terhuyung ke belakang dan memegangi kepala dengan tangan kiri. Hui Song segera menahan gerakannya. Gadis itu terhuyung bukan oleh serangannya dan kini kelihatan memejamkan kedua matanya sambil mengeluh.

"Aihh... kepalaku... pening...!"

"Cin-moi, engkau kenapakah...? Sudah ingat lagikah engkau...?" Hui Song menghampiri dan hendak memegang tangan gadis itu.

Akan tetapi Sui Cin merenggutkan tangannya lantas menampar. Untung Hui Song dapat cepat meloncat ke belakang sehingga tamparan yang sangat berbahaya itu luput. Sui Cin memandang wajah pemuda itu dengan mata mengandung kemarahan, akan tetapi gadis ini mengeluh kembali, memegang kepalanya lalu dia meloncat jauh dan lari meninggalkan tempat itu.

"Cin-moi, tunggu...!" Hui Song berteriak memanggil dan melakukan pengejaran.

Akan tetapi, walau pun berkali-kali memanggil, gadis itu sama sekali tidak menjawab atau menoleh, apa lagi berhenti. Dan larinya cepat sekali, secepat kijang! Betapa pun Hui Song mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat, tetap saja dia tidak mampu menyusul bahkan semakin jauh tertinggal. Dia sendiri telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu ginkang, namun jika dibandingkan dengan Sui Cin yang telah menguasai Bu-eng Hui-teng dari Wu-yi Lo-jin, dalam hal berlomba lari tentu saja dia masih kalah jauh.

"Cin-moi...!" teriaknya penuh kekhawatiran ketika dia melihat betapa bayangan gadis yang jauh meninggalkannya itu kini lenyap ke dalam sebuah hutan lebat.

Dia mengejar terus, tetapi menjadi bingung karena di dalam hutan itu dia telah kehilangan jejak dan bayangan Sui Cin. Berkali-kali dia memanggil sambil berlari ke sana-sini, namun hasilnya nihil hingga akhirnya pemuda ini menjatuhkan diri duduk di bawah pohon sambil menghapus keringat yang membasahi leher dan mukanya.

"Sui Cin, ke mana kau pergi dan apa yang akan terjadi dengan dirimu?"

Teringat kembali bahwa gadis itu agaknya sedang menderita kehilangan ingatan, dia lalu meloncat bangun dan kembali mencari-cari dengan penuh semangat. Soal keselamatan diri gadis itu dia tak begitu mengkhawatirkan karena biar pun berada dalam keadaan lupa ingatan, ternyata gadis itu sekarang merupakan seorang wanita yang luar biasa lihainya. Dia sendiri pun tadi sampai hampir kewalahan menghadapi Sui Cin. Tidak, tak ada orang akan dapat sembarangan saja mencelakakan gadis yang lihai itu. Akan tetapi dia khawatir bagaimana akan jadinya gadis yang kehilangan ingatan itu.

Akan tetapi dia bingung ke mana harus mencarinya, sedangkan ada dua macam tugas penting yang harus dilaksanakannya. Pertama, memenuhi pesan Siang-kiang Lo-jin untuk mendatangi bekas benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar. Dan kedua, dia harus menyelidiki tentang harta karun yang agaknya dilarikan orang ke Mongol. Urusan kedua ini tidak kalah pentingnya karena kalau harta karun itu sampai terjatuh ke tangan Raja Iblis, maka pemberontak-pemberontak itu akan semakin berbahaya, memiliki harta untuk membiayai pemberontakan mereka.

Sebab itu secara untung-untungan dia pun kemudian melakukan pencarian ke arah utara, sambil mencari Sui Cin, sekalian menuju ke tempat yang harus didatanginya. Pemuda ini melakukan perjalanan cepat, tapi di sepanjang perjalanan bertanya-tanya dan menyelidiki kalau-kalau ada orang melihat Sui Cin lewat di situ.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Bagaimana Sui Cin tiba-tiba muncul di depan Goa Iblis Neraka dan membantu Hui Song yang terdesak tiga orang lawannya dan berada dalam bahaya? Seperti telah kita ketahui, Sui Cin berpisah dari Hui Song tiga tahun yang lalu setelah dia bersama pemuda itu dan dua orang kakek sakti menyaksikan pertemuan para datuk, malah sempat pula membuat kacau dalam pertemuan para datuk sesat itu. Gadis ini kemudian diajak pergi oleh Wu-yi Lo-jin atau Dewa Arak untuk mempelajari ilmu.

Seperti juga halnya Hui Song yang dibawa pergi lantas digembleng ilmu oleh Siang-kiang Lo-jin Si Dewa Kipas, Sui Cin juga diberi tahu oleh gurunya bahwa ia harus pergi ke utara, ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk mengadakan pertemuan dengan para pendekar yang bersiap menentang para datuk sesat yang dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis dengan rencana pemberontakan mereka.

Seperti sudah diceritakan di bagian depan, Sui Cin mampir ke Pulau Teratai Merah, akan tetapi ayah ibunya tidak berada di pulau itu dan kabarnya mereka pergi untuk mencarinya. Maka Sui Cin lalu meninggalkan surat dan pergi lagi menuju ke utara.

Dalam perjalanannya itu secara kebetulan saja dia tiba di dusun Lok-cun, beberapa hari sebelum Hui Song tiba di situ. Pada waktu dia lewat di depan kuil kosong, dia melihat ada dua orang penghuni dusun berlari-larian dengan muka pucat. Sebagai seorang pendekar wanita, tentu saja dia menjadi tertarik. Waktu itu sudah senja dan matahari sudah mulai mengundurkan diri dari ufuk barat.

"Mengapa kalian berlari-lari ketakutan? Ada apakah?" tegurnya kepada dua orang dusun yang usianya sudah empat puluhan tahun itu.

Dua orang itu berlari semakin cepat ketika tiba-tiba saja ada seorang wanita cantik berlari di belakang mereka tanpa mereka dengar sebelumnya. Namun dengan sekali meloncat Sui Cin sudah berdiri menghadang mereka sambil mengembangkan kedua lengannya.

"Nanti dulu, kalian harus memberi tahu mengapa kalian berlari ketakutan?"

Dua orang itu memandang kepada Sui Cin dengan mata terbelalak dan muka pucat, lalu seorang di antara mereka berkata, "Nona... kami... kami dikejar setan..."

Sui Cin memandang ke belakang mereka dan diam-diam dia merasa ngeri. Kalau hanya penjahat saja, tentu dia sama sekali tidak merasa takut. Akan tetapi setan? Ahhh, mana ada setan berani mengejar manusia, pikirnya.

"Mana setannya? Di mana?" tanyanya.

“Di... di kuil, nona. Memang kuil itu terkenal berhantu, akan tetapi kami tidak memasuki kuil itu, hanya lewat. Tiba-tiba kami mendengar suara tangis disusul tawa seorang wanita, dan ada bayangan berkelebatan lenyap begitu saja di depan kami...!" dua orang itu masih menggigil, dan yang seorang segera menarik tangan kawannya lalu diajak lari dari tempat itu sambil mengomel.

"Hayo kita pergi, siapa tahu dia ini..."

Keduanya segera lari tunggang langgang meninggalkan Sui Cin yang tersenyum seorang diri. Sialan, dia malah disangka setan!

Akan tetapi sikap dan keterangan dua orang dusun itu membuatnya penasaran. Benarkah ada setan? Bagaimana pun juga, dia harus membuktikan sendiri, tidak percaya omongan orang begitu saja tentang setan.

Selama hidupnya dia belum pernah melihat setan, dan kiranya semua orang pemberani juga belum pernah melihatnya. Yang pernah melihat setan biasanya hanya orang-orang yang sudah mempunyai rasa takut di dalam hatinya, dan sebagian besar setan hanya ada dalam dongengan dan cerita orang lain saja.

Bagaimana pun juga, dia merasa betapa jantung di dalam dadanya berdebar keras ketika dia menghampiri kuil tua itu. Cuaca telah mulai gelap sehingga kuil kuno itu nampak lebih menyeramkan.

Sui Cin bergerak dengan hati-hati. Mungkin tidak ada setan, akan tetapi kalau dua orang dusun itu melihat bayangan, berarti paling tidak tentu ada orang di sekitar atau di dalam kuil. Dan orang yang dapat berkelebat lenyap di depan dua orang dusun itu begitu saja, jelas bukan orang sembarangan, melainkan memiliki kepandaian tinggi.

Dia harus berhati-hati dan tidak sembrono. Andai kata ada orang pandai di situ, dia masih belum tahu siapa orang itu dan dari golongan apa. Dan dia merasa betapa tidak patut dan kurang ajar mendatangi tempat orang begitu saja.

Dengan hati-hati sekali, Sui Cin mempergunakan ilmu ginkang-nya yang hebat sehingga seperti seekor burung saja tubuhnya berkelebat dan melayang ke atas pohon-pohon, lalu melayang ke atas genteng kuil. Kedua kakinya tak mengeluarkan bunyi apa-apa sehingga mereka yang berada di dalam kuil, biar pun memiliki kepandaian tinggi, tidak mendengar gerakannya dan tidak tahu akan kedatangan pendekar wanita ini.