Asmara Berdarah Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PERTANDINGAN antara Kui-kok Lo-mo dan Tho-tee-kwi berjalan seru, lebih ramai dari pada ketika kakek raksasa itu tadi melawan Kui-kok Lo-bo. Akan tetapi sesudah lewat seratus jurus, dia mulai terdesak. Bagaimana pun juga, gerakan yang cepat dari Lo-mo tidak bisa diimbangi oleh Tho-tee-kwi, bahkan ilmu pukulannya yang ampuh itu pun hanya membuat kakek mayat itu terguncang sedikit saja apa bila terlanda anginnya.

Akan tetapi, seperti juga Lo-bo, raksasa itu keras kepala dan tidak sudi menyerah kalah. Apa lagi karena Tho-tee-kwi dan juga Lo-mo mengerti bahwa pada waktu itu rekan-rekan mereka dari dunia hitam akan bermunculan.

Memang, pada tengah malam itu bermunculan beberapa orang aneh yang menyeramkan seperti setan-setan bermunculan dari neraka dan mereka lalu menonton pertandingan itu tanpa ada yang mau mencampuri. Bahkan mereka amat menikmati pertandingan itu, apa lagi setelah melihat betapa kedua orang itu agaknya bukan hanya main-main, melainkan berkelahi mati-matian.

Kiu-bwee Coa-li, nenek bongkok pawang ular itu juga sudah muncul. Nenek ini terkekeh girang menyaksikan pertandingan itu. Sebagai seorang tokoh besar yang mempunyai ilmu tinggi, diam-diam dia menikmati perkelahian ini karena dia dapat mencurahkan perhatian mengikuti setiap gerakan untuk mempelajari ilmu kedua orang rekannya yang lebih tinggi tingkatnya dan masing-masing sedang mengeluarkan ilmu simpanan baru itu.

Dua orang kakek dan nenek yang sudah kita kenal, yaitu Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo, dua orang tokoh rendahan dari Cap-sha-kui, juga telah hadir pula. Keduanya juga turut menonton dengan mata terbelalak penuh kagum akan kehebatan ilmu baru dari dua orang rekan mereka yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi itu.

Tiba-tiba terdengar suara mengomel, "Hmm, tak tahu diri... tak tahu diri... dalam keadaan terancam musuh masih saja saling hantam sendiri... dasar tua bangka-tua bangka yang bertindak seperti kanak-kanak, betapa toloInya!"

Suara itu sangat lirih tetapi terdengar oleh semua orang, juga oleh dua orang tokoh yang sedang saling hantam itu. Mendengar suara ini, keduanya mengerahkan tenaga terakhir untuk merobohkan lawan sebelum pemilik suara itu muncul.

Suara itu memang datang dari jauh, dikirim oleh seorang yang menguasai ilmu mengirim suara dari jauh. Akan tetapi, tiba-tiba saja berkelebat bayangan hitam dan seorang kakek telah muncul di situ, tongkatnya berkelebatan cepat sekali sampai tak nampak oleh mata. Yang kelihatan hanya cahaya mencuat dua kali ke arah Lo-mo dan Tho-tee-kwi dibarengi seruan marah,

"Kalian masih nekat dan tidak mau berhenti?!"

Dua orang yang sedang bertanding itu mengeluarkan seruan kaget, kemudian keduanya meloncat ke belakang, lalu meraba pundak masing-masing. Ternyata dalam segebrakan tadi ujung tongkat yang dipegang kakek yang baru datang, telah mencium pundak mereka dan tentu saja mereka terkejut karena kalau dilanjutkan, tentu ujung tongkat itu tadi telah menotok dan melukai mereka.

Memang mereka tadi sedang terlibat dalam perkelahian yang seru dan andai kata tidak demikian, kiranya tidak mungkin tongkat itu dapat mengenai mereka dalam satu gebrakan saja. Biar pun demikian, dapat menghentikan perkelahian secara demikian membuktikan bahwa tingkat kepandaian kakek yang baru tiba ini ternyata lebih tinggi dari pada tingkat dua orang tokoh utama Cap-sha-kui itu!

Dan semua orang yang hadir di situ, para tokoh dan datuk kaum sesat, kini memandang kepada kakek pemegang tongkat itu dengan gentar. Setelah kini berdiri di bawah cahaya bulan, kakek yang baru datang ini sebenarnya tidak sangat mengesankan dan tidak akan menimbulkan rasa takut kepada siapa pun yang memandangnya.

Tubuhnya jangkung kurus seperti tubuh Kui-kok Lo-mo. Usianya juga sudah tujuh puluh tahun, pakaiannya serba hitam dan bentuknya seperti pakaian seorang petani biasa saja. Karena pakaiannya serba hitam, maka rambutnya yang putih itu nampak jelas sekali, juga sepasang matanya! Sepasang matanya kelihatan putih tanpa manik dan mata itu jarang sekali bergerak!

Kiranya kakek ini adalah seorang buta! Dia tidak dapat melihat sama sekali, akan tetapi mengapa semua orang yang hadir di situ, yang terdiri dari tokoh-tokoh kaum sesat yang berilmu tinggi dan tidak mengenal takut, kini kelihatan gentar menghadapinya? Karena dia adalah Siangkoan-lojin (Kakek Siangkoan)!

Dia tidak mempunyai julukan, dan tidak ada orang yang berani memberinya julukan walau pun sepasang matanya buta karena takut akan hukumannya. Kakek ini bahkan tidak sudi ditarik masuk menjadi anggota Cap-sha-kui sebab dia merasa lebih tinggi. Seorang kakek yang kelihatannya seperti petani biasa saja, namun yang mempunyai pengaruh luar biasa besarnya dan seluruh tokoh kaum hitam itu takut belaka kepadanya!

Hal ini disebabkan kepandaiannya amat tinggi dan karena kekejaman dan keganasannya. Sekali orang dianggap bersalah padanya, maka ke mana pun orang itu lari bersembunyi, akhirnya tentu akan terjatuh ke tangannya dan akan tewas dalam keadaan mengerikan. Nama Siangkoan-lojin saja sudah cukup untuk membuat seorang penjahat yang paling sadis menjadi pucat mukanya.

Siangkoan-lojin adalah seorang berwatak aneh yang selama ini menyembunyikan dirinya di Pegunungan Kun-lun-san. Dia sendiri tidak pernah turun dari gunung itu. Kehidupannya mewah karena para tokoh sesat selalu memberinya semacam upeti yang amat berharga, hanya untuk menerima berkah dan sedikit petunjuknya saja. Baru selama setengah tahun ini dia turun gunung dan tinggal di kota Pao-chi di Propinsi Shen-si sebagai seorang tuan tanah yang kaya raya walau pun pakaiannya sebagai seorang petani sederhana.

Di dalam sebuah rumah yang mirip istana, dia tinggal bersama seorang putera tunggalnya dan belasan orang wanita muda cantik yang bertugas sebagai pelayan dan juga sebagai selir-selirnya. Isterinya telah lama meninggal ketika putera tunggalnya masih kecil. Kakek ini memiliki beberapa orang murid yang cukup lihai, akan tetapi murid-muridnya itu hanya diberinya sebagian saja dari ilmu-ilmunya yang tinggi, yang semuanya hendak diwariskan kepada putera tunggalnya yang pada waktu itu berusia delapan belas tahun.

Demikian sedikit keadaan Siangkoan-lojin. Cap-sha-kui sendiri selalu memandang kakek buta ini sebagai seorang datuk yang mereka hormati. Dan sebenarnya, pertemuan rahasia yang diadakan pada malam hari itu adalah atas kehendak Siangkoan-lojin akan tetapi dilaksanakan oleh Cap-sha-kui.

Setelah pindah dan bertempat tinggal di Pao-chi, Siangkoan-lojin sendiri hidup dalam dua dunia. Yang pertama di dunia kaum sesat di mana dia didewa-dewakan dan ditakuti. Yang kedua di dunia biasa, di mana dia hidup sebagai seorang tuan tanah tua yang kaya raya dan royal menyogok para pejabat, juga terkenal dermawan, sangat royal mengeluarkan uang menolong mereka yang membutuhkan bantuan.

Pendeknya, di dalam pergaulan umum dia adalah seorang tua renta yang buta akan tetapi kaya dan dermawan, dan tidak ada seorang pun yang pernah mengira bahwa dia adalah raja datuk kaum sesat! Bahkan para pendekar juga telah mendengar berita angin tentang adanya datuk iblis yang bermata buta sehingga di antara para pendekar muncul sebutan Iblis Buta. Akan tetapi tidak ada seorang pun di antara para pendekar pernah melihatnya.

"Maafkan kami, lojin, kami hanya berlatih," kata Kui-kok Lo-mo dengan sikap hormat dan suara merendah.

"Benar, lojin, kami hanya main-main, aku sedang minta petunjuk dari Lo-mo," sambung Tho-tee-kwi sambil tersenyum menyeringai.

"Diam!" bentak kakek buta itu. Suaranya yang lirih itu ternyata mempunyai daya getaran yang menusuk jantung hingga membuat wajah kakek raksasa yang tadinya menyeringai tiba-tiba saja berubah menjadi pucat. "Kalian sedang berusaha mati-matian untuk saling bunuh, betapa tololnya. Kalau memang bosan hidup, beri tahu saja padaku dan aku akan mengantar kalian ke neraka!"

Sungguh pedas ucapan ini dan dua orang kakek itu mendengarkan dengan muka merah dan alis berkerut, akan tetapi mereka tak berani berkutik. "Keadaan kita sedang diancam musuh dan kalian tidak bersatu malah bentrok sendiri, betapa menjemukan. Hayo semua berkumpul!" Bagai lagak seorang guru memanggil berkumpul semua anak-anak muridnya, Siangkoan-lojin melangkah maju ke tengah tanah datar itu, lalu berdiri dengan tongkat di tangan kiri, tak bergerak seperti patung batu.

Sekarang kakek ini kelihatan mengerikan. Kayu cendana hitam yang dijadikan tongkat itu berkilap tertimpa sinar bulan purnama dan kedua matanya yang melek terus itu kelihatan putih menyeramkan. Rambutnya yang putih seperti benang-benang perak berkibar tertiup angin malam yang membuat hawa menjadi dingin sekali.

Kini bermunculanlah banyak orang dari tempat di mana mereka tadi setengah sembunyi begitu muncul kakek buta. Di antara mereka, banyak yang belum pernah bertemu dengan Siangkoan-lojin, baru mendengar namanya saja dan sepak terjangpya, maka kini mereka muncul dengan muka diliputi ketakutan setelah melihat betapa dengan bengis kakek buta itu memarahi dua orang datuk utama dari Cap-sha-kui itu.

Ada dua puluh dua orang yang hadir, termasuk Siangkoan-lojin. Mereka masing-masing memiliki anak buah yang cukup banyak, akan tetapi anak buah mereka tak diperbolehkan naik ke lereng itu, hanya menanti di bawah, di dalam hutan-hutan. Di samping tidak berani membawa anak buah, juga anak buah mereka masih kurang pandai untuk bisa mencapai tempat yang amat sukar didatangi itu.

Tempat itu dikelilingi oleh jurang yang curam, ada pun di sebelah utara terdapat sebatang sungai yang arusnya liar dan banyak batu-batu karang sehingga amat berbahaya apa bila naik perahu melewatinya. Lagi pula dari sungai yang agak ke bawah itu, tidak mudah pula untuk mendaki ke atas tebing biar pun sungai itu dan dataran ini tidak jauh lagi dan suara gemercik air bermain-main dengan batu-batu karang itu dapat terdengar jelas dari tempat pertemuan rahasia itu. Dilihat dari atas, sungai yang ditimpa sinar bulan purnama nampak seperti jalan perak yang berkilauan.

"Semuanya hanya ada dua puluh dua orang?" Tiba-tiba saja Siangkoan-lojin bertanya dan pertanyaan ini membuat semua orang mulai menghitung-hitung dan mereka pun tertegun ketika mendapat kenyataan bahwa jumlah mereka semua memang dua puluh dua orang. Bagaimana seorang buta dapat menghitung orang begitu banyak dengan tepat? Padahal, mereka yang dapat melihat saja tidak dapat menghitung dengan cepat dan mudah!

Tentu saja tokoh-tokoh seperti Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, apa lagi ketiga orang tokoh utama Cap-sha-kui seperti Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, juga Tho-tee-kwi, tak merasa heran. Mereka sudah tahu bahwa kakek yang buta ini mempunyai perasaan yang amat peka, pendengaran dan penciuman yang melebihi seekor kijang atau anjing. Dengan mengandalkan telinga dan hidungnya saja dia sudah dapat menghitung jumlah orang yang hadir, dengan mengikuti gerak-gerik mereka melalui telinganya serta mencium bau yang berlainan dengan hidungnya.

Bahkan di dalam perkelahian kakek yang tidak dapat melihat lagi itu dapat mengandalkan ketajaman pendengarannya pula sehingga setiap gerakan lawan bisa diketahuinya dengan seksama, malah jauh lebih cepat dari pada daya tangkap penglihatan mata yang kadang-kadang kabur.

"Benar, lojin. Yang hadir ada dua puluh dua orang." kata Kiu-bwee Coa-li.

"Hemm, dan berapa orang dari Cap-sha-kui?"

"Ada tujuh orang, lojin." Kui-kok Lo-bo yang kini ikut bicara karena ia pun hendak memberi tahukan raja datuk itu bahwa dia pun sudah hadir.

"Tujuh orang? Siapa dia?" Siangkoan-lojin bertanya, alisnya yang putih berkerut.

"Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwee Coa-li, Tho-tee-kwi, Kui-kok Lo-mo, aku sendiri dan lojin..."

Terdengar kakek itu mengeluarkan suara bentakan melengking dan semua orang terkejut. Kui-kok Lo-mo hendak memperingatkan isterinya, tetapi terlambat karena tahu-tahu kakek buta itu telah mencelat ke depan, tongkatnya menyambar dan Kui-kok Lo-bo menjerit lalu roboh terlentang, ujung tongkat telah menempel di lehernya. Kiranya kakek buta itu belum membunuhnya, baru merobohkan dan menempelkan ujung tongkat di leher nenek itu!

"Mulut lancang! Kau samakan aku dengan cacing-cacing Cap-sha-kui?"

Kui-kok Lo-bo terkejut dan baru teringat akan kebodohannya, wajahnya yang sudah pucat sekali itu berubah menjadi kehijauan. "Lojin, ampunkan aku...," dia meratap.

"Lojin, harap maafkan dia," kata pula Kui-kok Lo-mo dengan kaget ketika melihat nyawa isterinya terancam maut tanpa dia mampu menolongnya itu.

Iblis buta itu mendengus dengan nada mengejek. "Kalau tadi aku tidak mengampuninya, apakah sekarang dia masih tinggal hidup? Perempuan lancang, engkau menyesal sudah bersalah kepadaku?"

"Aku menyesal," kata Lo-bo sambil bertunduk.

"Nyatakan penyesalanmu dengan mencium ujung sepatuku!" kata pula Iblis Buta.

Semua orang terkejut sekali lalu memandang dengan hati tegang dan wajah pucat. Itulah penghinaan yang sangat hebat! Akan tetapi, hampir mereka tidak percaya akan pandang mata mereka sendiri ketika melihat nenek berwajah mayat yang biasanya amat galak dan kejam itu kini berlutut dan mencium ujung kaki sepatu Si Iblis Buta!

"Sekali lagi!" iblis itu membentak dan Lo-bo dengan taat mencium satu kali lagi, membuat semua orang menahan napas saking herannya.

"Sudah, mundurlah dan mari kita melanjutkan pertemuan ini," kata kakek buta itu dengan sikap dan suara seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. "Sekarang kita berkumpul di sini untuk mengadakan pertemuan dan membicarakan keadaan yang menyangkut keamanan pekerjaan kita semua. Kalian tahu bahwa besok hari para pendekar hendak mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu dengan acara pokok akan menentang dan berusaha menumpas kita semua."

Hening sejenak sesudah Iblis Buta berhenti berbicara, kemudian, bagaikan bendungan air yang bobol, mereka itu serentak berteriak-teriak, "Hancurkan manusia-manusia sombong itu!"

"Bunuh semua pendekar!"

"Serang mereka pada pertemuan itu!"

Si kakek buta mengangkat tongkatnya ke atas hingga suara gaduh itu berhenti. "Memang kita harus mengadakan perlawanan, akan tetapi kita harus berhati-hati dalam menghadapi para pendekar karena di antara mereka terdapat orang-orang yang sakti. Tidak mungkin kita menggunakan kekerasan, karena itu harus diatur sebaik-baiknya. Sekarang, sebelum kita mengatur siasat lebih lanjut, aku ingin mendengarkan laporan kalian masing-masing tentang keadaan di daerah kalian masing-masing dan tentang gerakan para pendekar."

Dengan suara yang dialeknya berbeda-beda, mereka yang hadir mulai bercerita satu demi satu, didengarkan penuh perhatian oleh Siangkoan-lojin. Seorang yang datang dari daerah kota raja melapor, "Lojin, kini anak buah kami membayangi kaisar yang sedang lolos dari istana melakukan perjalanan seorang diri menyamar sebagai orang biasa. Diam-diam dia dibayangi dan dilindungi oleh dua orang perwira istana yang juga menyamar sebagai orang biasa. Kami ragu-ragu untuk turun tangan. Harap lojin memberi petunjuk."

"Jangan ganggu kaisar! Jangan mengganggu seujung rambutnya juga. Aku sendiri akan membunuh siapa pun yang berani mengganggunya!" Tiba-tiba kakek buta itu berseru.

Para tokoh Cap-sha-kui yang sudah mengerti tentu tidak merasa heran, akan tetapi tidak demikian dengan para tokoh lainnya. Seorang yang bertubuh cebol dan berkepala botak, yang matanya merah dan sikapnya menjilat-jilat lalu maju bertanya.

"Maaf, lojin yang mulia. Akan tetapi kami sungguh belum mengerti. Apakah sekarang kita semua harus menjadi kaki tangan dan pembantu kaisar? Bukankah pekerjaan kita semua selalu bertentangan dengan pemerintah?"

"Dasar bodoh! Dengarkan kalian semua. Selama istana dikuasai oleh Liu-thaikam seperti sekarang ini, kita akan dapat hidup aman. Kita dapat bekerja sama dengan para pejabat di mana pun juga asal kita mau membagi hasil kita dengan mereka. Dan selama Kaisar Ceng Tek yang muda ini menduduki tahta, Liu-thaikam dapat menguasainya. Kalau kaisar kita ganggu, berarti kita mengganggu Liu-thaikam juga sehingga kalau sampai Liu-thaikam kehilangan kekuasaannya, kita tidak mempunyai sahabat lagi di pemerintahan, berarti kita pun menjadi orang yang selalu diburu-buru oleh para petugas pemerintah. Jadi, kita harus melindungi kaisar agar Liu-thaikam tetap dapat berkuasa dan kita pun tak akan dimusuhi pemerintah, mengerti?"

Semua orang mengangguk. "Aihhh, kalau begitu, kita harus menyelamatkan kaisar. Pada saat ini ada pihak lain yang memiliki niat buruk, menculik kaisar dalam penyamarannya."

Iblis Buta mengerutkan alianya. "Bukankah kau katakan bahwa ada dua pengawal rahasia yang melindungi kaisar?"

"Akan tetapi, lojin. Kali ini yang mengancam keselamatan kaisar adalah orang-orang dari Kang-jiu-pang (Perkumpulan Kepalan Baja)!" kata pula si cebol berkepala botak.

Iblis Buta mendengus. "Perkumpulan keras kepala yang tak mau bergabung dengan kita! Heh, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo, sanggupkah kalian berdua mengerahkan kawan-kawan ke muara Huang-ho untuk melindungi kaisar dan sekalian mengenyahkan Kang-jiu-pang yang hendak merusak itu?"

Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo sudah tahu siapa adanya Perkumpulan Kepalan Baja itu, dan mereka merasa bangga mendapatkan kepercayaan Iblis Buta di depan para tokoh, maka mereka berdua serentak menyatakan sanggup.

"Bagus, sesudah selesai urusan kita di sini, kalian harus dengan cepat pergi melakukan tugas dan keselamatan kaisar kuserahkan kepada kalian," kata pula kakek buta.

Memang keselamatan Kaisar Ceng Tek amatlah penting bagi kakek ini. Dia mengenal Liu Kim atau Liu-thaikam dengan baik, bahkan terjadi semacam kerja sama di antara mereka. Telah beberapa kali thaikam itu minta bantuan Siangkoan-lojin untuk mengenyahkan para musuh rahasianya, yaitu pembesar-pembesar yang menentangnya dan menghendaki agar kaisar terbebas dari kekuasaannya.

Tugas itu dilaksanakan oleh Siangkoan-lojin dengan mudah dan baik, biar pun dia hanya menyuruh anak-anak buahnya. Beberapa orang musuh itu kemudian lenyap secara aneh dan mayat-mayat mereka tak ditemukan. Tentu saja Iblis Buta memperoleh kepercayaan dan sebaliknya, iblis ini melalui kaki tangannya juga memperoleh restu berupa surat-surat ijin dari Liu-thaikam itu untuk membuka bermacam usaha seperti usaha rumah pelacuran, perjudian dan sebagainya lagi.

"Ada dua tugas yang agak berat tetapi penting sekali dilakukan," sambungnya lagi. "Demi keamanan kita semua, ada dua orang pembesar yang harus dilenyapkan. Yang seorang adalah Menteri Liang, yaitu Menteri Kebudayaan yang istananya berada di kota raja. Hal ini kuserahkan kepada Kiu-bwee Coa-li, tentu saja kalau nenek itu berani!"

Mendengar demikian, Kiu-bwee Coa-li membunyikan cambuknya. "Tar-tar-tarr..!"

"Lojin anggap saja bahwa nyawa orang she Liang itu sudah berada di tanganku. Kapan aku harus membunuhnya, lojin? Sekarang juga aku berangkat!"

"Hemm, nenek sombong, jangan tergesa-gesa dan jangan terlalu membual. Kalau engkau gagal, aku pasti akan menghukummu! Jangan sembrono, di samping menteri yang lemah itu terdapat seorang selirnya serta seorang anak perempuannya yang cukup lihai karena mereka itu murid-murid Shan-tung Sam-lo-eng."

"He-he-heh, lojin. Jangankan baru murid-muridnya, biar mereka bertiga semua hadir, aku tidak akan takut," Kiu-bwee Coa-li yang memang berwatak sombong itu tertawa.

"Baik, akan tetapi tunggu sampai urusan kita selesai lebih dulu, baru kau boleh berangkat melaksanakan tugasmu. Pembesar kedua yang harus dienyahkan adalah Ciang-goanswe (Jenderal Ciang), panglima nomor dua di kota raja. Siapa berani memegang tugas ini?"

Semua orang melongo, Ciang-goanswe adalah seorang jenderal besar. Sebagai panglima nomor dua, dia memimpin laksaan orang pasukan!

"Akan tetapi... mana mungkin membunuh seorang panglima yang menguasai ratusan ribu tentara pasukan? Siapa sanggup dan mungkin dapat berhasil melakukan tugas ini tanpa bantuan pasukan besar pula, lojin? Sedangkan mengerahkan pasukan besar berarti suatu pemberontakan dan perang..."

Pertanyaan ini keluar dari bibir seorang pria berusia empat puluh tahun lebih yang tampak gagah perkasa akan tetapi juga menyeramkan karena mukanya penuh dengan cambang bauk yang lebat dan hitam. Sepasang matanya amat lebar dan gerak-geriknya kasar akan tetapi pada mulutnya membayang sifat yang kejam dan suka mempergunakan kekerasan.

Agaknya pertanyaan yang diajukan ini berkenan di hati semua orang, karena terdengar bisik-bisik dan suasana menjadi gaduh sampai Iblis Buta mengangkat tongkatnya ke atas. Suasana kembali tenang dan sunyi.

"Kalian semua bodoh bila berpendirian demikian. Memang Ciang-goanswe adalah seorang panglima yang memimpin ratusan ribu orang tentara. Akan tetapi ia pun seorang manusia biasa dan tidak mungkin kalau selamanya dia berada di antara ratusan ribu pasukannya! Sekali waktu tentu dia akan menyendiri, hanya dengan keluarganya saja, dan penjagaan atas gedungnya tak akan sekuat penjagaan di istana. Kalau orang berpikiran cerdik, tidak seperti kalian yang tolol, tentu akan dapat menemukan dia dalam keadaan jauh dari para pasukannya. Nah, karena pentingnya tugas ini, maka kuserahkan saja kepada sepasang Kui-kok Lo-mo dan Lo-bo. Sanggupkah kalian?"

Suami isteri tua itu saling pandang. "Kami sanggup." Akhirnya Kui-kok Lo-mo berkata.

"Bagus! Itulah tugas yang perlu kalian kerjakan. Sesudah urusan kita di sini beres, kalian lakukan tugas-tugas itu kemudian laporkan hasilnya kepadaku. Sekarang, setelah selesai urusan yang menyangkut kaisar, siapa lagi yang punya laporan?" Dia berhenti sebentar, menengok ke kanan kiri, bukan untuk memandang melainkan untuk mendengarkan, lalu dia menyambung, "Bukankah sebelum berkumpul di sini kalian sudah menyelidiki tentang pertemuan para pendekar? Siapa saja yang akan hadir dan apakah kalian sudah bertemu dengan beberapa orang di antara mereka?"

Tiba-tiba kakek itu mengayunkan tongkatnya ke kiri.

"Blarrrrrrr...!" Ujung batu karang yang menonjol di situ, yang tadi pernah diraba-rabanya, pecah berantakan dan melayang ke arah api unggun yang baru saja dibikin oleh seorang di antara mereka.

Api unggun itu padam dan kayunya terlempar ke mana-mana, dan ada beberapa orang terkena kayu yang membara atau pun pecahan batu karang. Akan tetapi karena mereka semua adalah golongan orang yang pandai, tidak ada yang sampai terluka parah. Semua orang terkejut dan semakin kagum karena si buta itu ternyata hebat bukan main, dapat mengetahui adanya api unggun dan dapat memadamkannya secara demikian luar biasa.

"Bodoh! Apa artinya pertemuan rahasia jika kau malah menyalakan api unggun yang akan menciptakan sinar yang nampak dari jauh dan mengeluarkan bau yang dapat tercium dari tempat jauh?" bentaknya.

"Ampun, lojin, maksudku hanya untuk mengusir nyamuk..."

"Kalau aku tidak tahu begitu, tentu batu itu sudah menghancurkan benakmu dan bukan memadamkan api saja," kata pula Iblis Buta. "Nah, siapa mau membuat laporan?"

"Aku sudah bertemu dengan seorang gadis remaja dan seorang pemuda yang amat lihai. Bahkan aku telah kehilangan banyak ular-ularku ketika melawan mereka. Sungguh, belum pernah seumur hidupku bertemu dengan gadis dan pemuda yang semuda itu akan tetapi selihai itu. Masing-masing dari mereka saja mampu menandingiku dan mungkin aku dapat mengalahkan mereka satu demi satu, tetapi menghadapi pengeroyokan mereka, terpaksa aku harus melarikan diri. Hebat, dan aku tidak sempat mengenal ilmu mereka, tidak pula tahu siapa mereka. Pasti mereka hendak menghadiri rapat pertemuan para pendekar."

Berita ini amat tidak menggembirakan Si Iblis Buta, juga para tokoh sesat di situ merasa gelisah. Jika dua orang muda saja sanggup menandingi Kiu-bwee Coa-li itu berarti bahwa pada pihak para pendekar terdapat orang-orang lihai sekali, padahal mereka masih begitu muda!

"Aku sempat bertemu dengan suami-isteri setengah tua yang menjadi murid Bu-tong-pai, akan tetapi aku berhasil membunuh mereka yang juga hendak menghadiri pertemuan para pendekar," kata pula seorang tokoh lain yang suaranya mirip bunyi tikus mencicit.

Ada pula yang melapor telah berhasil melukai seorang peserta pertemuan para pendekar, ada lagi yang melaporkan sudah membunuh beberapa orang calon peserta dengan cara meracuni mereka. Pendeknya, laporan-laporan itu sangat menyenangkan si Iblis Buta dan dia mengangguk-angguk sambil berkali-kali menyatakan senang hatinya.

"Bagus, bagus... biarkan mereka tahu bahwa kita tidak tinggal diam dan kita bukanlah golongan orang-orang lemah!"

Si cebol botak yang tadi pernah bicara tiba-tiba maju ke depan sambil menyeret sebuah buntalan. "Lojin, semua yang dihasilkan oleh kawan-kawan itu masih tidak ada artinya jika dibandingkan dengan yang kuhasilkan!" katanya menyombong dan dengan sikap menjilat.

Iblis Buta mengerutkan alisnya dan telinganya yang lebih lebar dari pada telinga biasa itu nampak memperhatikan sekali. Jika orang mau memperhatikan daun telinganya di waktu dia mencurahkan pendengarannya itu, maka akan melihat betapa daun telinganya sedikit bergerak-gerak.

"Jangan banyak cakap, buat laporan singkat yang betul!" katanya.

"Lojin, di dalam perjalanan ke sini, aku menghadang keluarga pelancong. Kubunuh ayah ibunya, kuperkosa anak gadisnya dan harta rampasan yang kuperoleh juga lumayan. Lalu muncul seorang pendekar dari selatan yang mengaku anak murid Kong-thong-pai. Jumlah mereka ada tiga orang. Aku berhasil melukai seorang, membunuh seorang dan menawan yang seorang lagi."

"Kenapa ditawan?"

"Ha-ha, dia seorang gadis cantik dan maksudku untuk mempersembahkannya kepadamu, lojin. Sayang, yang terluka dapat melarikan diri."

"Mana tawanan itu?"

Si cebol botak lalu melepaskan buntalan dan di dalamnya ternyata terdapat seorang gadis yang cukup cantik dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya. Dara muda ini berpakaian pendekar. Dia segera menggulingkan tubuhnya dan biar pun kaki tangannya terbelenggu, namun dia berusaha untuk memberontak.

"Hemm, kiranya para iblis kaum sesat sedang berkumpul di sini! Tunggu saja, kalian akan dihancurkan oleh para pendekar..." Tiba-tiba suaranya terhenti dan tubuhnya mengejang dan tewaslah wanita perkasa itu ketika Iblis Buta menggerakkan tongkatnya menuding ke arahnya.

Tidak ada yang melihat bagaimana hanya dengan menudingkan tongkat ke arah wanita itu orangnya lalu mengejang dan mati. Akan tetapi para tokoh Cap-sha-kui dapat melihat seberkas sinar halus menyambar ke arah leher si gadis dan ternyata dari ujung tongkat itu menyambar senjata rahasia berupa jarum halus sekali yang tadi menyambar tanpa bunyi, hanya mendatangkan cahaya berkilat halus dan hampir tak nampak.

Si cebol botak terkejut bukan main melihat betapa Iblis Buta membunuh korban yang baru saja dipersembahkannya itu. "Tapi... tapi... kenapa...?" teriaknya gagap.

"Manusia tolol! Engkau malah membuka rahasia kita dan akan membiarkan pihak musuh mengetahui segalanya? Gadis pendekar itu tadi mendengarkan semua percakapan kita! Dan siapa tahu ada temannya yang telah membayangimu sampai ke sini. Bukankah yang seorang kau biarkan lolos?"

"Tapi dia terluka..."

"Apa kau kira tak ada orang lain yang dapat mendengarkan pelaporannya? Tolol, engkau malah mengkhianati kami!" Tiba-tiba kakek itu menudingkan tongkatnya lagi.

Ternyata Si cebol botak itu cukup lihai. Melihat demikian, dia dapat menduga bahwa Iblis Buta hendak membunuhnya seperti yang sudah dilakukannya terhadap gadis tadi, maka dia cepat meloncat ke belakang, lantas bersembunyi di belakang tubuh Kiu-bwee Coa-li untuk kemudian melarikan diri.

Dan memang benar Iblis Buta tidak menyerangnya dengan jarum-jarum halus. Akan tetapi si cebol botak itu salah duga kalau dia akan dapat melarikan diri dengan mudah. Sebelum dia tahu apa yang akan terjadi, terdengar suara meledak dan cambuk di tangan Kui-bwee Coa-li bergerak melilit kakinya dan sekali menggerakkan cambuknya, tubuh si cebol botak itu terlempar ke depan kaki Iblis Buta.

"Brukkkk!"

Si cebol terbanting dan dia terbelalak ketakutan. Akan tetapi sambil mendengus Iblis Buta menggerakkan tongkatnya. Hanya terdengar suara berdetak perlahan saat ujung tongkat menyentuh tengkuk si cebol botak, akan tetapi akibatnya hebat sekali.

Tubuh si cebol botak itu bergulingan, dari mulutnya terdengar suara merintih-rintih, kaki tangannya berkelojotan, dan dari mulut, hidung serta telinganya keluar darah segar! Akan tetapi yang lebih mengerikan lagi, semua orang yang berada di situ tertawa-tawa geli dan gembira, seolah-olah mereka itu sedang menonton pertunjukan lawak yang menyegarkan! Demikianlah watak mereka ini. Padahal yang sedang sekarat dan tersiksa oleh rasa nyeri hebat itu adalah seorang rekan mereka sendiri!

Kita dapat dengan mudah melihat betapa kejamnya hati mereka itu. Akan tetapi jika kita mau bersikap waspada dan mengamati diri sendiri, maka sekali waktu kita akan terkejut dan mungkin juga merasa ngeri betapa di dalam batin kita pun bisa terdapat kekejaman seperti itu.

Alangkah mudahnya bagi kita untuk mentertawakan dengan hati geli ketika melihat orang yang sedang disiksa oleh kenyerian, malah sekali waktu kita seperti merasa terhibur dan diperingan penderitaan batin kita kalau melihat orang lain juga menderita! Namun, karena kita tidak pernah mau mengamati diri sendiri, kita tidak tahu akan sifat yang mengerikan dalam diri kita ini, yang tidak ada bedanya dengan apa yang diperlihatkan oleh para tokoh hitam itu!

Tanpa melakukan pengamatan kepada diri sendiri, tidak akan mungkin kita dapat melihat kekotoran diri sendiri. Dan, tanpa melihat kekotoran diri sendiri, tidak akan mungkin kita dapat merubahnya, tidak akan mungkin diri menjadi bebas dari pada kekotoran itu.

Bahkan percakapan tetap saja mereka teruskan ketika si cebol botak sedang berkelojotan dalam sekarat, seperti orang yang bercakap-cakap sambil melihat tontonan tari-tarian dan mendengarkan nyanyian.

"Kini kita harus segera melakukan persiapan. Kita akan mendekati Puncak Bukit Perahu dari selatan, dan kalau kita melihat bahwa kekuatan mereka itu tidak seberapa besar, kita kurung dan serbu mereka! Kita hajar mereka habis-habisan agar mereka tahu diri! Coba sebutkan berapa jumlah pengikut kalian masing-masing yang telah disiapkan untuk dapat dipergunakan besok pagi?" kata pula Iblis Buta.

Mereka semua menyebutkan jumlah pengikut yang telah siap dan ternyata jumlahnya tak kurang dari dua ratus orang! Mendengar ini, wajah Iblis Buta berseri. "Cukup, sudah lebih dari cukup. Tugas anak buah hanya untuk menyerbu dan mengacaukan saja, tapi kitalah yang akan berpesta-pora membunuhi mereka. Besok pagi-pagi kita harus sudah siap dan bersembunyi di dalam hutan di sebelah selatan puncak, membiarkan mereka berkumpul semua seperti tikus-tikus dalam sebuah lubang, tinggal membasmi saja!"

Mendadak Iblis Buta itu mengangkat tongkatnya dan mengisyaratkan agar semua orang diam. Dia sendiri lalu melangkah ke kanan, mendekati tebing dari mana dapat kelihatan sungai yang liar itu Dia miringkan kepala, memasang telinga ke arah anak sungai itu.

Semua orang turut memandang namun tidak melihat sesuatu, juga yang mereka dengar hanyalah gemerciknya air sungai. Akan tetapi agaknya Iblis Buta itu mendengar sesuatu yang tidak terdengar oleh orang lain. Kemudian semua orang saling pandang dengan hati gelisah dan jantung berdebar kencang karena memang benar, lapat-lapat kini mereka pun mulai dapat mendengar suara yang-kim.

Yang-kim adalah alat musik sejenis siter yang menggunakan senar-senar kawat berbunyi nyaring melengking. Sekarang. di antara gemercik suara air itu terdengar suara yang-kim dimainkan orang! Dan tak lama kemudian nampaklah pemain yang-kim itu!

Di bawah cahaya bulan purnama yang seperti perak, nampaklah sebuah perahu meluncur perlahan di atas air yang liar itu. Sungguh mengejutkan sekali bagaimana orang bisa naik perahu sambil enak-enakan main yang-kim di atas air yang demikian liarnya dan banyak dihalangi batu-batu menonjol.

Dan pemain yang-kim itu adalah seorang kakek. Bentuk mukanya tak nampak jelas, akan tetapi dari atas dapat dilihat bahwa jenggot kakek itu panjang sampai ke dada dan suara yang-kimnya demikian nyaring, tidak seperti yang-kim biasanya sehingga suaranya dapat menusuk-nusuk anak telinga para tokoh hitam yang melihat dan mendengarkan dari atas tebing.

Mula-mula yang-kim itu memainkan lagu perlahan dan lambat, nada suaranya satu-satu dan demikian nyaringnya memasuki telinga sehingga lama-lama menjadi tajam menusuk. Makin lama nada-nada suara itu makin cepat berlomba dan akhirnya menyerbu ke dalam telinga seperti badai mengamuk.

Beberapa orang tokoh sesat yang kurang kuat sinkang-nya sudah menjadi lemas. Mereka mengeluh sambil menutupi telinga, akan tetapi suara itu seakan-akan mampu menembus tangan yang dipakai menutupi telinga. Bahkan tokoh-tokoh Cap-sha-kui seperti Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo sudah duduk bersila dan melakukan siulian (semedhi) untuk memperkuat sinkang-nya menahan daya serangan suara yang-kim itu.

Tokoh-tokoh seperti sepasang suami isteri dari Kui-san-kok dan juga si raksasa baju hijau yang telah memiliki tingkat kepandaian dan tenaga sinkang amat tinggi, tidak terpengaruh oleh suara itu. Apa lagi si Iblis Buta sendiri, dia tidak terpengaruh dan tentu saja dia amat marah melihat betapa suara yang-kim itu telah membuat anak buahnya menderita. Akan tetapi, dia pun tahu bahwa pemain yang-kim itu berada jauh di bawah tebing sehingga dia pun tidak dapat mendekatinya.

Akan tetapi, kakek buta ini memang hebat bukan main. Dari suara yang-kim itu dia dapat menentukan di mana letak perahu yang ditumpangi pemain yang-kim itu. Tiba-tiba saja dia menggerakkan tongkatnya bergerak ke kiri.

"Krakkkk...!"

Ujung sebongkah batu besar pecah dan patah, kemudian sekali dia menyontekkan ujung tongkatnya, pecahan batu yang besarnya satu meter persegi itu telah meluncur ke bawah tebing, dan tepat sekali mengarah perahu di mana kakek berjenggot panjang masih terus bermain yang-kim!

Memang Siangkoan-lojin ini hebat bukan main. Pendengarannya sedemikian tajamnya, tak kalah oleh ketajaman pandang mata sehingga dalam keadaan buta itu dia tidak kalah 'awas' dibandingkan orang yang tidak buta.

Semua tokoh Cap-sha-kui menjenguk ke bawah dan dengan mata terbelalak serta wajah berseri-seri memandang ke arah bongkahan batu besar yang meluncur dengan cepatnya menuju ke arah perahu kecil itu. Mereka menyangka bahwa perahu itu bersama dengan penghuninya tentu akan hancur lebur tertimpa batu yang sedemikian besar dan beratnya dari tempat yang demikian tingginya.

Akan tetapi kakek berjenggot panjang itu agaknya sama sekali tak menjadi gugup melihat datangnya bongkahan batu besar yang berupa tangan maut menjangkaunya itu. Dengan tenang saja dia menggerekkan tangan kirinya ke atas sedangkan tangan kanannya masih tetap memainkan yang-kim!

"Blarrrrrr...!"

Nampak debu mengepul dan bongkahan batu karang itu pecah berantakan dan terpental jauh, menimpa air sehingga mengeluarkan suara gaduh. Perahu kecil meluncur terus dan suara yang-kim terus terdengar makin menjauh, seolah-olah tidak pernah terganggu.

Iblis Buta yang memperhatikan semua peristiwa itu dengan telinganya, lalu menarik napas panjang. "Hemmm, gara-gara si tolol ini!" katanya sambil menggerakkan kaki menyepak dan tubuh penjahat cebol botak yang sudah tidak bergerak lagi itu pun kena ditendangnya sehingga melayang menuruni tebing yang curam!

"Dia yang memancing kedatangan orang pandai memata-matai tempat ini. Kini kita harus segera bergerak menuju ke Puncak Bukit Perahu. Tunggu komandoku, jangan ada yang sembarangan bergerak. Bila mana aku telah turun tangan, barulah kalian boleh menyerbu. Sebelum aku turun tangan, jangan ada yang mendahuluiku. Mengerti?"

Bagaimana pun juga, peristiwa dengan penabuh yang-kim itu telah mengecutkan hati para tokoh hitam karena mereka pun maklum bahwa kakek berjenggot panjang itu benar-benar lihai. Apa bila banyak yang seperti itu di antara para tokoh pendekar, berarti mereka akan menghadapi lawan yang tangguh.

Bagaimana pun juga, mereka adalah orang-orang lihai yang telah terbiasa mengandalkan kekuatan sendiri. Apa lagi mereka mempunyai banyak anak buah dan di tengah mereka terdapat pula Iblis Buta yang mereka percaya. Maka biar pun peristiwa tadi mengecutkan hati mereka, bukan berarti bahwa mereka menjadi takut.

Pada keesokan harinya, Puncak Bukit Perahu sudah dikurung oleh kurang lebih dua ratus orang gerombolan kaum sesat yang dipimpin oleh orang-orang pandai yang tadi malam sudah mengadakan pertemuan rahasia itu. Mereka semua sudah mengurung dan masih bersembunyi, namun siap menyerbu dengan senjata masing-masing, dan mereka tinggal menanti komando atau munculnya Iblis Buta yang hendak turun tangan paling dulu.

Akan tetapi, Iblis Buta yang mereka tunggu-tunggu itu tidak muncul sampai matahari naik tinggi dan keadaan puncak itu pun sunyi-sunyi saja. Akhirnya mereka melihat bayangan kakek bertongkat itu di puncak dan mendengar suara kakek itu menyumpah-nyumpah!

Karena melihat kakek itu sudah tiba, para gerombolan segera menyerbu ke atas dipimpin oleh kepala masing-masing, sambil berteriak-teriak buas. Akan tetapi setelah mereka tiba di atas puncak, mereka segera termangu-mangu melihat kakek buta itu marah-marah dan mengamuk dengan tongkatnya, menumbangkan pepohonan dan meremukkan batu-batu. Ternyata puncak itu kosong dan tidak nampak seorang pun pendekar di situ!

Tahulah Iblis Buta Siangkoan-lojin bahwa rahasia penyerbuan itu telah bocor, bahwa para pendekar telah tahu akan rencana penyerbuan sehingga mereka sengaja menghindarkan bentrokan dan tidak jadi berkumpul di puncak itu! Teringatlah dia akan kakek berjenggot paniang bermain yang-kim semalam. Teringat pula dia akan si cebol botak yang menjadi biang keladi kegagalan ini.

Kini para tokoh menghadap Siangkoan-lojin. "Sekarang, sesudah kita gagal di sini karena rahasia sudah dibocorkan orang, kita tidak boleh gagal lagi dalam tugas lain yang malam tadi telah kuberikan kepada kalian. Kita turun dari sini, lantas berangkat melakukan tugas masing-masing. Semua yang tidak kuberi tugas khusus agar waspada di tempat masing-masing dan agar dapat bersatu-padu menghadapi para pendekar jika ada gangguan dari mereka. Jangan cekcok dan bentrok sendiri seperti yang sudah-sudah. Bila mana terjadi peristiwa penting, cepat laporkan kepadaku. Sementara itu, boleh kita berpencar dan jika bertemu dengan para pendekar, hajar dan hadang mereka!"

Setelah menerima perintah ini, mereka pun bubaran meninggalkan Puncak Bukit Perahu. Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo pergi bersama untuk melaksanakan tugas mereka ke Cin-an menghadapi perkumpulan Kang-jiu-pang yang kabarnya mempunyai niat buruk terhadap kaisar yang sedang melakukan perjalanan sendiri.

Kiu-bwee Coa-li juga pergi sendirian untuk melaksanakan tugasnya yang berbahaya, yaitu pergi dalam usahanya membunuh Menteri Kebudayaan Liang di kota raja. Juga sepasang suami isteri kakek nenek dari Kui-san-kok itu pun berangkat bersama untuk menjalankan tugas yang paling berat, yaitu membunuh Jenderal Ciang. Tokoh-tokoh yang lain juga ikut bubaran dan sebentar saja puncak itu menjadi sunyi kembali.

Memang tidak mengherankan kalau para tokoh itu menjadi bingung dan Iblis Buta menjadi marah-marah. Sebelumnya mereka telah mendapat keterangan jelas bahwa pada hari itu para pendekar mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu, akan tetapi kenapa para pendekar itu tidak muncul dan tempat itu sunyi, tidak ada seorang pun pendekar datang ke tempat itu? Padahal, menurut penyelidikan beberapa orang anggota gerombolan, sejak dua hari yang lalu sudah ada beberapa orang pendekar naik ke puncak.

Memang dugaan Iblis Buta itu tak keliru sama sekali. Para pendekar yang tadinya hendak menghadiri pertemuan para pendekar di puncak itu, malam tadi sudah mendengar bahwa pertemuan itu dibatalkan. Semua orang diberi tahu bahwa golongan hitam, dipimpin oleh Cap-sha-kui sendiri bersama Iblis Buta, nama yang langsung menggemparkan kalangan pendekar ketika disebut, telah mulai bergerak, bahkan bermaksud untuk mengepung dan menyerbu.

"Kita tidak menghendaki bentrokan secara terbuka," demikian pemberi tahuan itu melalui anak buah perkumpulan Pek-ho-pai (Perkumpulan Bangau Putih) yang para anggotanya terdiri dari murid-murid Siauw-lim-pai. "Apa lagi jumlah mereka sangat banyak, sedangkan kita sendiri tidak mengadakan persiapan untuk melakukan pertempuran massal. Sebab itu pertemuan sekali ini terpaksa dibatalkan dan hendaknya para sahabat, dengan kelompok masing-masing tetap mengadakan usaha perorangan untuk menentang para penjahat dan membendung menjalarnya pengaruh mereka."

Pek-ho-pai ialah sebuah perkumpulan orang-orang gagah para murid Siauw-lim-pai yang mempelopori pertemuan para pendekar itu. Nama Pek-ho-pai dikenal dan dihormati para pendekar, maka undangan perkumpulan ini mendapatkan banyak sambutan.

Kini Pek-ho-pai dipimpin oleh Hwa Siong Hwesio, seorang tokoh tingkat tinggi dari Siauw-lim-pai. Karena dia seorang tokoh Siauw-lim-pai ahli Ilmu Silat Pek-ho-kun (Silat Bangau Putih), maka dia pun mendirikan perkumpulan Pek-ho-pai itu melihat berkembangnya para muridnya dan untuk mengikat para murid itu ke dalam sebuah perkumpulan agar mudah diawasi dan dapat dikendalikan.

Perkumpulan ini berada di kota Pao-ting. Karena Hwa Siong Hwesio sendiri sudah terlalu tua, usianya sudah mendekati sembilan puluh tahun, maka kepengurusan perkumpulan itu diserahkan kepada murid-murid kepala. Namun ketika Hwa Siong Hwesio mendengar tentang kekacauan yang terjadi di mana-mana, apa lagi mendengar bahwa Cap-sha-kui sudah gentayangan laksana iblis-iblis keluar dari neraka, dia merasa prihatin dan segera mengusulkan diadakannya pertemuan para pendekar untuk membicarakan urusan yang menyangkut keamanan rakyat jelata itu.

Akan tetapi pada malam hari itu perkumpulan Pek-ho-pai kedatangan seorang tamu, yaitu seorang kakek berjenggot panjang yang membawa yang-kim pada punggungnya. Kakek inilah yang menyampaikan berita rencana para tokoh sesat yang mengadakan pertemuan rahasia, rencana untuk mengurung dan menyerbu Puncak Bukit Perahu pada saat para pendekar sedang berkumpul. Dan kakek berjenggot ini pula yang memberi tahukan betapa kuatnya kedudukan para penjahat itu karena selain Cap-sha-kui yang diduga telah datang dengan lengkap, disertai anak buah mereka, juga muncul Iblis Buta yang amat tinggi ilmu kepandaiannya itu.

Mendengar berita yang mengejutkan ini, para murid kepala Pek-ho-pai segera menyebar murid-murid mereka untuk menghadang lantas memberi tahu para pendekar yang hendak berkunjung ke Puncak Bukit Perahu bahwa pertemuan dibatalkan dan membagi-bagikan selebaran mengenai pembatalan itu. Karena usaha inilah maka ketika para kaum sesat itu datang menyerbu, mereka hanya mendapatkan tempat kosong!

Siapakah kakek berjenggot panjang membawa yang-kim itu? Kakek inilah yang nampak dari atas tebing oleh para datuk sesat, yang memainkan yang-kim di atas perahunya dan yang diserang oleh Iblis Buta dari puncak tebing. Dia adalah seorang pendekar tua yang suka berkelana seorang diri, dan di antara para pendekar dia disebut Shan-tung Lo-kiam (Pendekar Pedang Tua Dari Shan-tung).

Dia orang termuda dari Shantung Sam-lo-eng (Tiga Pendekar Tua Shantung). Dua orang suheng-nya telah meninggal dunia dan dia sendiri kini telah berusia delapan puluh tahun. Setelah tinggal seorang diri dia suka berkelana, dan telah bertahun-tahun tak banyak lagi mencampuri urusan duniawi, bahkan sudah menanggalkan pedangnya dan menggantinya dengan yang-kim karena sejak dahulu, Shantung Sam-lo-eng selain terkenal ilmu pedang mereka, juga terkenal sebagai sasterawan-sasterawan.

Akan tetapi, pada waktu melihat betapa dunia kaum sesat bergolak dan penjahat-penjahat itu bangkit, mengancam keamanan dan keselamatan rakyat, Shan-tung Lo-kiam terpaksa keluar juga. Dan meski pun masih membawa yang-kimnya, namun diam-diam pedangnya digantungnya lagi di balik jubahnya dan dialah yang mengikuti gerak-gerik para penjahat sehingga secara kebetulan dia bisa mengetahui tentang pertemuan rahasia para penjahat itu. Dia pun telah mendengar tentang undangan pertemuan para pendekar, maka setelah dia mengetahui rahasia para tokoh sesat, cepat-cepat dia mengunjungi Pek-ho-pai karena ketua Pek-ho-pai, yaitu Hwa Siong Hwesio, adalah seorang sahabat baiknya.

Demikianlah, pertemuan para pendekar lalu dibatalkan demi keamanan. Akan tetapi para pendekar semakin waspada karena tahu bahwa Cap-sha-kui telah bergerak, bahkan Iblis Buta yang tadinya hanya dikenal namanya saja, sekarang kabarnya turun tangan sendiri memimpin para gerombolan kaum sesat!

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Seperti juga pendekar-pendekar lainnya yang berkunjung ke Puncak Bukit Perahu untuk menghadiri pertemuan para pendekar, Sui Cin yang sudah memisahkan diri dari Cia Sun, ketika malam itu berada di lereng bawah puncak, berjumpa pula dengan seorang murid Pek-ho-pai. Ketika itu, Sui Cin sedang duduk seorang diri menanti datangnya pagi sambil membuat api unggun di bawah pohon, untuk mengusir nyamuk yang mengganggunya.

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang tapi pendekar wanita ini tetap tenang saja. Dia tahu bahwa ada orang datang, akan tetapi karena dia tidak tahu siapakah orang itu dan entah kawan atau lawan, maka dia bersikap tenang saja tetapi diam-diam mencurahkan seluruh kewaspadaannya berjaga diri.

"Nona, apakah nona juga seorang calon pengunjung pertemuan di Puncak Bukit Perahu?" tiba-tiba terdengar suara orang, lalu muncullah orang yang tadi bayangannya berkelebat itu dari balik batang pohon. Kiranya dia seorang laki-laki setengah tua yang berusia empat puluhan tahun dan bersikap gagah, pakaiannya serba putih.

Pertanyaan tadi diajukan dengan suara sopan, akan tetapi sikapnya ragu-ragu karena dia masih belum yakin benar apakah gadis remaja ini juga hendak mengunjungi pertemuan para pendekar. Di lain fihak, Sui Cin tidak mengaku begitu saja kepada orang yang belum dikenalnya. Dia harus berlaku hati-hati karena siapa tahu kalau-kalau orang ini termasuk fihak lawan.

"Apakah hubungannya keadaan diriku dengan engkau?" Sui Cin balas bertanya, pandang matanya penuh selidik dan penuh tantangan.

Laki-laki itu menjura. "Kalau nona termasuk salah seorang calon pengunjung, kami datang membawa berita penting. Saya adalah anggota Pek-ho-pai dan menerima perintah suhu untuk menyampaikan berita kepada para calon pengunjung."

"Berita apakah itu?" Sui Cin tertarik.

"Maaf, harap nona sudi memperkenalkan diri lebih dahulu agar jangan sampai saya keliru melaksanakan tugas."

Sui Cin tersenyum. Dia segera memaklumi keadaan orang yang menjadi utusan ini. Dia sudah mendengar bahwa Pek-ho-pai adalah perkumpulan yang mempelopori pertemuan itu dan ia sudah mendengar pula bahwa Pek-ho-pai adalah perkumpulan yang merupakan cabang dari Siauw-lim-pai.

"Aku pun boleh meragukan dirimu!" katanya, lantas tiba-tiba saja gadis ini telah meloncat dari belakang api unggun dan langsung mengirim serangan-serangan kilat kepada orang itu!

Orang berpakaian putih itu terkejut setengah mati melihat betapa hebatnya serangan Sui Cin. Maka dia pun cepat melindungi dirinya, menggunakan ilmu silatnya untuk mengelak dan menangkis, juga balas menyerang karena tanpa balas menyerang dia dapat celaka menghadapi lawan yang gerakannya amat cepatnya ini.

Akan tetapi tentu saja Sui Cin tidak menyerang sungguh-sungguh, dia hanya memancing saja. Jika dia sungguh-sungguh menyerang, tentu dengan mudah dia akan dapat segera merobohkan lawannya. Sesudah dia melihat gerakan laki-laki itu yang membentuk kedua tangannya seperti paruh atau kepala burung bangau, menggunakan lima ujung jari untuk mematuk atau menotok, baru dia percaya dan dia pun cepat melompat ke belakang.

"Engkau benar murid Siauw-lim-pai. Nah, ketahuilah bahwa aku hanya kebetulan lewat di sini. Mendengar tentang pertemuan para pendekar itu, maka aku ingin nonton. Namaku Ceng Sui Cin dan aku sama sekali bukan pendekar, hanya gadis biasa saja."

Tentu saja omongan ini tidak dipedulikan oleh murid Pek-ho-pai itu karena dari beberapa jurus serangan tadi saja tahulah dia bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang hebat dan memiliki kecepatan gerak yang luar biasa. Dia pun tidak mengenal nama itu, akan tetapi sebagai peninjau, gadis ini pun perlu diberi tahu.

"Maaf, nona. Saya diberi tugas untuk memberi tahukan kepada semua pengunjung bahwa pertemuan para pendekar dibatalkan dan semua tamu diharap suka meninggalkan tempat ini sekarang juga karena Cap-sha-kui serta gerombolannya yang berjumlah besar sekali, didampingi pula oleh si Iblis Buta, besok akan mengurung dan menyerbu tempat ini."

Tentu saja Sui Cin terkejut mendengar berita itu, apa lagi mendengar disebutnya nama Si Iblis Buta.

"Ahh, kenapa tidak kita lawan saja?" teriaknya penasaran. Yang datang berkumpul adalah para pendekar! Masa begitu mendengar bahwa tempat itu akan diserbu oleh golongan hitam, lalu para pendekar disuruh kabur begitu saja?

"Saya tidak bisa menerangkan lebih banyak, nona. Akan tetapi demikianlah perintah suhu. Katanya tidak dikehendaki bentrokan terbuka, dan pihak musuh yang sudah lebih dahulu mempersiapkan diri, tentu jauh lebih banyak dan lebih kuat. Nah, selamat tinggal, nona. Saya harus memberi tahu kepada para calon pengunjung yang lain." Orang itu melompat dan menghilang dalam gelap.

Untuk beberapa lamanya Sui Cin duduk kembali lantas termenung. Dia tidak tahu duduk persoalannya dan dia datang ke situ hanya untuk nonton saja. Ayah bundanya juga sudah memesan dengan keras agar tidak mencampuri urusan orang lain, dan jangan melibatkan diri ke dalam keributan.

Kini, mendengar bahwa tempat ini hendak diserbu oleh para penjahat, tentu saja dia pun tidak boleh mencampuri. Apa lagi dia sendiri belum tahu tindakan yang akan diambil oleh para pendekar. Sayang bahwa dia sudah berpisah dari Cia Sun sehingga tidak ada yang dapat diajak berunding.....

Selagi dia sedang termenung, mendadak berkelebat bayangan orang lagi. Karena tadinya membayangkan betapa tempat itu akan diserbu oleh musuh, maka kali ini berkelebatnya bayangan orang membuat Sui Cin terkejut dan dia pun otomatis meloncat berdiri lalu siap melawan siapa saja yang akan menyerangnya.

Akan tetapi orang itu tertawa ramah. "Ha-ha, nona Ceng, apakah aku sudah membuatmu terkejut? Maafkanlah kalau begitu, aku tidak sengaja mengejutkan hatimu."

Ceng Sui Cin memandang dengan hati lega. Wajah yang tampan itu berseri dan senyum itu ramah sekali. Ia pun tersenyum dan seluruh urat syarat yang tadi sudah menegang kini kembali mengendur dan hatinya lega.

"Aih, kiranya engkau, saudara Sim Thian Bu." Lalu dia pun teringat akan berita dari murid Pek-ho-pai tadi. "Apakah engkau juga sudah mendengar akan berita yang dibawa murid Pek-ho-pai tadi?"

Pemuda yang baru datang itu adalah Sim Thian Bu. Wajahnya yang tadinya tersenyum berseri itu nampak terheran ketika mendengar ucapan Sui Cin. "Murid Pek-ho-pai? Berita tentang apa? Aku belum mendengarnya, nona."

"Baru saja dia datang ke sini. Aku sudah mengujinya dan ternyata dia benar-benar murid Pek-ho-pai karena dia mahir Ilmu Silat Bangau Putih. Tadi dia membawa berita bahwa pertemuan para pendekar besok hari itu dibatalkan."

"Dibatalkan?" Sim Thian Bu tampak terkejut dan kecewa. "Aih, jauh-jauh aku datang untuk menghadiri pertemuan sambil belajar kenal dengan para pendekar... wah, nona, mengapa dibatalkan?"

"Karena besok tempat ini akan dikurung dan diserbu oleh para penjahat..."

"Hemmm..."

"Kaum sesat itu berjumlah banyak sekali, dipimpin oleh Cap-sha-kui sendiri."

"Benarkah...?"

"Bukan itu saja. Malah kabarnya Iblis Buta akan datang pula."

"Hebat! Kenalkah nona kepada datuk-datuk itu?"

"Tidak, hanya namanya saja yang kukenal."

"Kalau begitu, nona juga akan pergi dari tempat ini, tidak jadi menghadiri pertemuan para pendekar?"

"Ya, pertemuan itu tidak jadi, untuk apa dihadiri dan ditunggu?"

"Memang sebaiknya kalau kita pergi saja sekarang juga meninggalkan tempat ini, nona."

"Kita...?"

"Ya, kita. Apa salahnya kalau kita pergi bersama? Bukankah kita sudah saling berkenalan dan berarti kita adalah sahabat?"

Sui Cin tersenyum. "Hemm, kenalan tidak selalu berarti sahabat."

Sim Thian Bu juga tersenyum. "Akan tetapi aku ingin bersahabat denganmu, nona."

"Kenapa?"

"Karena engkau lihai..."

"Hemm, bagaimana engkau tahu aku lihai?"

"Mana mungkin engkau tidak lihai kalau engkau adalah puteri Pendekar Sadis?"

Sui Cin diam sejenak, memandang wajah orang itu. Wajah yang tampan menarik, tubuh yang tegap dengan pakaian yang bersih dan rapi, bagaikan pakaian seorang sasterawan muda yang kaya.

Untuk bercakap-cakap, pemuda ini lebih menarik dari pada Cia Sun walau pun tentu saja terhadap Cia Sun dia telah menaruh kepercayaan penuh yang agaknya terpengaruh oleh kenyataan bahwa Cia Sun adalah putera tunggal Cia Han Tiong, kakak angkat atau juga kakak seperguruan ayahnya. Sebaliknya, pemuda yang bernama Sim Thian Bu ini baru saja dikenalnya, belum diketahuinya benar keadaannya sungguh pun kelihatannya pantas menjadi seorang pendekar pula.

"Hati-hati bila berhadapan dengan manusia, anakku," demikian antara lain ibu kandungnya sering memberi nasehat. "Di dunia ini penuh dengan manusia palsu, yang pada lahirnya nampak baik dan dapat dipercaya, akan tetapi sesungguhnya adalah manusia jahat yang berbahaya, seperti harimau bertopeng domba."

Dia tidak akan kehilangan kewaspadaan, pikirnya dan meski pun dia merasa suka bergaul dengan pemuda tampan yang berwajah gembira dan pandai bicara ini, namun dia belum menyerahkan seluruh kepercayaannya dan diam-diam bersikap waspada.

"Kalau kita pergi dari sini, ke mana tujuanmu?" Dia bertanya sambil mengemasi selimut yang tadi dipakainya untuk melewatkan malam di tempat itu kemudian membuntal semua pakaiannya.

"Ke mana? Ha-ha, nona, sudah kuberi tahukan bahwa aku adalah seorang perantau yang tidak mempunyai tujuan tertentu ke mana akan pergi. Ke mana saja, asal bisa meluaskan pengalaman memperlebar pengetahuan. Kabarnya, di sebelah selatan, hanya perjalanan satu hari, terdapat sebuah telaga yang sangat indah. Bagaimana kalau kita melancong ke sana? Tentu saja kalau nona suka."

Pemuda itu memang pandai mengatur kata-katanya sehingga sangat menyenangkan hati Sui Cin. Di dalam ucapannya itu terkandung bujukan, akan tetapi jelas bukan paksaan dan menyerahkan keputusannya kepada Sui Cin dan mementingkan perasaan gadis itu.

"Baik, kita pergi ke sana," kata Sui Cin.

Dara ini mengambil keputusan untuk bersenang-senang dahulu sebelum pulang ke Pulau Teratai Merah yang telah ditinggalkan selama berbulan-bulan itu.

********************

Cin-an adalah sebuah kota besar yang terletak di Lembah Huang-ho di Propinsi Shantung. Daerah ini memiliki beberapa tempat peristirahatan atau tempat rekreasi yang indah-indah karena tanahnya memang subur.

Di luar kota Cin-an, di tepi pantai Sungai Huang-ho yang airnya berlimpah-limpah, terdapat sebuah kebun yang luas. Selain terdapat pohon-pohon kembang yang beraneka ragam dan warna, di sini juga terdapat gunung-gunungan dan sebuah telaga buatan yang kecil di tengah-tengah kebun di mana orang dapat berperahu, memancing ikan, berenang-renang dan sebagainya.

Setiap hari ada saja orang mengunjungi kebun ini dan terutama sekali para pembesar dan orang kaya mempergunakan tempat ini untuk pelesir dan menghibur hati di atas perahu mereka, minum-minum sambil mendengarkan musik, nyanyian dan menonton tarian para penyanyi dan penari yang sengaja mereka bawa untuk bersenang-senang.

Akan tetapi pada hari itu di kebun itu agak sepi. Di samping hanya terlihat beberapa orang yang berjalan-jalan di sana-sini, ada pula yang sedang duduk di perahunya memancing ikan, ada pula yang berjalan-jalan di sekeliling telaga. Beberapa buah perahu kecil yang didayung oleh dua orang hilir-mudik di atas permukaan air sambil bercakap-cakap dan minum arak.

Di atas gunung-gunungan ada seorang pelukis tua sedang asyik melukis telaga dengan perahu-perahunya. Nampak pula seorang penyair sedang corat-coret dengan alis berkerut, menyatakan kesan dan perasaan hatinya berbentuk huruf-huruf tersusun indah. Agaknya sang penyair ini belum juga dapat menemukan rangkaian huruf yang memuaskan hatinya. Berkali-kali dia merobek lagi kertas yang ditulisnya dan akhirnya dia pun bangkit berdiri, mulutnya berkemak-kemik menggulung sajak yang dikarangnya dan kakinya melangkah menaiki gunung-gunungan di mana sang pelukis tengah melukis dengan asyiknya.

Tak lama kemudian penyair itu telah berdiri di belakang sang pelukis, tanpa mengeluarkan suara gaduh agar tidak mengganggu pekerjaan orang, dia memandang lukisan yang mulai berbentuk itu. Mendadak wajahnya berseri dan seperti tanpa disadarinya dia berkata lirih sambil memandang ke arah lukisan itu.

"...gerakan air dan awan berubah setiap saat tanpa bekas, tanpa tujuan..."

Penyair itu bertepuk tangan dengan hati girang sekali. "Ah, benar sekali. Di dalam lukisan terkandung sajak dan di dalam syair terkandung lukisan, keduanya tak dapat dipisahkan!" Akan tetapi sesudah mengeluarkan ucapan yang nadanya gembira ini, dia berbisik, "Dua orang bercaping lebar yang sedang memancing ikan, itulah mereka."

Si pelukis memandang ke arah pemukaan telaga di mana terdapat dua orang setengah tua sedang sibuk memancing. Caping mereka yang lebar menyembunyikan muka mereka dan dari bawah caping itu, mata mereka kadang kala ditujukan ke arah seorang pemuda yang sedang mendayung perahu seorang diri sambil minum arak! Dua orang bercaping lebar itu memiliki bentuk tubuh yang tegap, dan pandang mata mereka tajam, juga di balik jubah mereka terdapat sebatang pedang.

Kini pelukis itu membenahi barang-barangnya, menggulung lukisannya dan bersama si penyair lalu menuruni gunung-gunungan menuju ke tepi telaga. Mereka berjalan perlahan sambil bercakap-cakap. Keduanya terlihat akrab sekali, mungkin karena keduanya adalah seniman. Usia mereka sebaya, kurang lebih lima puluh tahun dan mereka mengenakan pakaian sasterawan yang sederhana.

Orang-orang tak akan mencurigai dua orang laki-laki ini karena tempat itu memang biasa dikunjungi para seniman. Akan tetapi kalau orang memandang kepada dua orang kakek sederhana itu dengan penuh perhatian dan melihat ke arah tangan mereka, maka orang itu akan terkejut karena ada sesuatu yang tidak wajar pada tangan mereka.

Tangan seniman biasanya halus dan lembut, akan tetapi tangan kedua orang seniman tua ini, dari pergelangan sampai ke ujung jari-jari tangan, nampak kebiruan! Bagi ahli silat, hal ini menjadi tanda bahwa kedua kakek seniman ini pernah mempelajari ilmu pukulan yang ampuh!

Memang demikianlah. Dua orang kakek ini bukan orang-orang sembarangan, akan tetapi tokoh-tokoh dari Kang-jiu-pang! Kang-jiu-pang (Perkumpulan Kepalan Baja) didirikan oleh seorang kakek gagah perkasa bernama Song Pak Lun dan perkumpulan itu berpusat di Cin-an.

Song Pak Lun adalah bekas perwira tinggi yang sudah didepak keluar karena menentang kebijaksanaan Liu-thaikam. Dia tidak mendendam karena dikeluarkan, melainkan sebagai seorang patriot yang mencinta negaranya, dia merasa prihatin melihat betapa pemerintah dikendalikan oleh pembesar lalim seperti Liu-thaikam yang dapat menguasai kaisar muda yang belum berpengalaman. Maka dia pun selalu bersikap menentang.

Dalam usianya yang enam puluh tahun itu, Song Pak Lun masih penuh semangat dan dia memiliki banyak murid yang menjadi anggota Kang-jiu-pang. Pada waktu dia mendengar bahwa kaisar dalam penyamaran sedang berpelesir meninggalkan istana dan diam-diam hanya dikawal oleh dua orang perwira pengawal, dia cepat mengerahkan para pembantu utamanya untuk bertindak. Kaisar harus ditawan, diculik, demikian keputusannya.

Sebagai seorang bekas perwira, tentu saja Song Pak Lun hanya dapat mempergunakan cara militer untuk berusaha menolong pemerintah. Dia hendak menawan kaisar muda itu dan memaksa kaisar, kalau perlu dengan ancaman nyawa, agar kaisar suka menghukum atau memecat Liu-thaikam! Dan kini muncul kesempatan yang amat baik baginya untuk melaksanakan maksud itu. Kebetulan kaisar muda itu melakukan perjalanan ke daerah Cin-an, menyamar sebagai seorang pemuda biasa!

Dua orang pria bercaping lebar itu memang dua orang perwira pengawal pribadi kaisar. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan mendapat kepercayaan Liu-thaikam yang secara diam-diam mengutus dua orang pengawal itu untuk melindungi keselamatan kaisar. Tentu saja Liu-thaikam amat setia kepada kaisar!

Memang, merupakan kenyataan pahit yang terpaksa harus kita telan sebagai kenyataan hidup betapa yang disebut kesetiaan itu sesungguhnya menyembunyikan sesuatu yang pada hakekatnya hanyalah usaha untuk mempertahankan kesenangan diri sendiri!

Siapakah yang setia dan kepada siapa? Tentu yang setia itu adalah orang atau golongan yang dapat menerima keuntungan serta kebaikan, pendek kata menerima sesuatu yang menyenangkan dirinya dan kesetiaan itu ditujukan pada orang atau golongan yang akan mendatangkan kesenangan itu!

Karena sebab yang gamblang inilah maka di dunia ini sering kali terjadi kesetiaan yang kemudian berubah menjadi pengkhianatan. Kalau kesenangan itu tidak diterimanya lagi, maka kesetiaan pun akan mengalami perubahan.

Liu-thaikam setia kepada kaisar, sebetulnya dia mempertahankan kesenangan yang telah diperolehnya dari kaisar. Karena kalau kaisar celaka, berarti dia sendiri pun celaka! Dan bentuk kesenangan yang didapatkan seseorang bukan hanya terbatas pada kesenangan lahiriah berupa harta benda, pangkat tinggi dan kedudukan, melainkan dapat saja berupa kesenangan batiniah berupa nama terhormat dan sebagainya.


Kita kembali kepada pemuda yang sedang duduk seorang diri di dalam perahunya sambil minum arak, menikmati pemandangan indah dan hawa yang sejuk bersih menyegarkan di pagi hari itu. Pemuda itu berpakaian seperti seorang sasterawan, berwajah tampan akan tetapi ada bayangan sifat manja dan malas di balik ketampanannya itu. Pemuda berusia sembilan belas tahun ini adalah Kaisar Ceng Tek!

Sejak diangkat menjadi kaisar dalam usia lima belas tahun, yaitu empat tahun yang lalu, kaisar muda ini tak pernah memperlihatkan minat yang besar terhadap pemerintahan. Dia lebih suka menghibur diri dengan permainan silat atau membaca kitab-kitab kuno, bergaul dengan para seniman, dan sesudah usianya semakin dewasa mulailah dia suka bergaul dengan wanita.

Dalam usahanya untuk menguasai hati kaisar, Liu-thaikam yang tahu akan kesukaan ini tentu saja selalu menyediakan segala sesuatu yang diinginkan kaisar. Gadis-gadis cantik, seniman-seniman pandai, sehingga kaisar muda itu makin tenggelam dalam kesenangan tanpa mempedulikan urusan pemerintah.

Satu di antara kesenangannya adalah merantau dan bertualang seperti seorang pemuda biasa, menanggalkan pakaian kebesaran serta mahkotanya yang berat itu, meninggalkan segala upacara kerajaan yang membosankan, meninggalkan urusan-urusan pemerintahan yang ruwet-ruwet, meninggalkan semua itu agar diurus oleh Liu-thaikam. Sedangkan dia sendiri bebas lepas seperti burung di udara, terbang melayang sesuka hatinya! Keadaan kaisar muda ini dapat terjadi demikian karena memang dia tidak mencintai pekerjaannya.

Betapa banyaknya manusia di dunia ini yang bekerja atau mengerjakan sesuatu bukan karena mencintai pekerjaannya, tapi karena terpaksa! Terpaksa oleh keadaan, terpaksa oleh cita-cita, terpaksa oleh dorongan orang tua, keluarga, masyarakat dan sebagainya.

Banyak orang tua mengirim anaknya ke suatu pendidikan tertentu karena terdorong oleh cita-cita muluk dan nanti setelah si anak berhasil lulus, ia terpaksa melakukan pekerjaan sesuai dengan pendidikannya, tanpa rasa cinta kepada pekerjaan itu sehingga batinnya terasa tersiksa selama hidup!

Banyak pula orang yang melakukan suatu pekerjaan hanya karena ingin mencari uang. Uang didapat, akan tetapi di samping itu, juga siksaan didapat pada waktu dia bekerja. Mengerjakan sesuatu yang tidak disenangi mendatangkan rasa jemu dan kalau dilakukan setiap hari sepanjang masa, akan mendatangkan siksa.

Kita hanya tinggal membuka mata untuk dapat melihat kenyataan ini, betapa manusia bekerja seperti robot tanpa gairah tanpa kegembiraan karena memang pada hakekatnya dia tidak mencintai pekerjaannya, bahkan di bawah sadarnya dia membenci pekerjaannya yang membelenggu kaki tangannya selama hidup itu!


Sebagai seorang yang paling berkuasa, Kaisar Ceng Tek tentu bisa melepaskan diri atau mencoba untuk melepaskan diri sewaktu-waktu dari belenggu itu. Akan tetapi apa yang dilakukannya bukanlah membebaskan diri dari belenggu melainkan hanya suatu pelarian sementara saja karena pada hakekatnya dia masih menggunakan haknya sebagai kaisar, berarti masih ingin menikmati hasil dari kekuasaannya. Dan akibat dari pelarian ini adalah kekacauan, karena roda pemerintahan dikendalikan oleh orang lain yang melakukannya demi ambisi pribadi, demi penumpukan harta benda.

Pada pagi hari itu Kaisar Ceng Tek duduk dalam perahu kecil sambil tersenyum-senyum gembira, menyangka bahwa tak ada seorang pun yang mengetahui keadaan dirinya. Dia tidak tahu bahwa tak jauh dari perahunya, dua orang tukang pancing setengah tua itu tak pernah melepaskannya dari pengamatan dan pengawalan. Juga dia tidak tahu bahwa ada beberapa pasang mata orang lain yang selalu memperhatikan gerak-geriknya dan bahwa pada saat itu dia telah menjadi pusat perhatian banyak orang dan berada dalam keadaan terancam.

Saat itu, si penyair dan si pelukis yang sebetulnya adalah dua orang tokoh Kang-jiu-pang yang lihai dan merupakan pembantu-pembantu utama dari ketua Kang-jiu-pang, dan yang bertugas memimpin usaha penculikan kaisar, telah naik sebuah perahu kecil, mendayung perahu kecil itu sambil minum arak, malah si penyair bernyanyi-nyanyi kecil membacakan sajaknya. Perahu mereka mendekati dua orang kakek yang sedang memancing ikan itu, lantas tiba-tiba saja perahu mereka itu menabrak perahu dua orang tukang pancing yang bercaping dan yang tidak menyangka-nyangka itu.

"Heiiiii...!" Seorang di antara mereka berteriak.

Akan tetapi tiba-tiba saja sikap kedua orang kakek seniman itu berubah. Mereka sudah meloncat lantas mempergunakan dayung mereka menghantam ke arah dua orang kakek bercaping.

"Heiiiittt!"

"Hyaaattt...!"

Dua orang bercaping itu lantas meloncat, cepat mengelak sambil mencabut pedang yang tersembunyi pada balik jubahnya. Si pelukis menggunakan jangkar perahu untuk mengait perahu lawan dan kini dua perahu itu bergandeng, lalu mereka berempat mulai berkelahi dengan serunya.

Dua orang seniman itu menggunakan dayung, dibantu tangan yang melencarkan pukulan-pukulan ampuh dengan tangan baja mereka, sedangkan dua orang tukang pancing itu menggunakan pedang. Dua buah perahu yang digandeng dengan jangkar dan talinya itu bergoyang-goyang keras dan setiap saat perahu-perahu itu dapat saja terguling.

Kaisar Ceng Tek yang perahunya berada tak jauh dari situ, menjadi terkejut mendengar suara gaduh dan makin kagetlah dia melihat empat orang laki-laki sedang saling serang dengan hebatnya. Dia adalah seorang pemuda yang suka bertualang. Karena tidak tahu persoalannya, mengira bahwa perkelahian itu tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya, sang kaisar bangkit berdiri di perahunya dan menonton dengan gembira!

Satu di antara kesukaannya adalah menyaksikan pertandingan silat dan kini dia disuguhi pertandingan yang seru dan menarik, dilakukan di atas dua buah perahu yang digandeng menjadi satu, antara empat orang kakek yang agaknya memiliki ilmu silat yang hebat.

"Ceppp...!"

Perahu kecil itu terguncang hingga sang kaisar hampir saja terpelanting. Dia cepat duduk lantas berpegangan pada tepi perahu sambil menggerakkan dayungnya mencegah agar perahunya tidak terguling. Kiranya sesudah dia duduk, dia melihat betapa sebatang anak panah yang besar telah menancap di badan perahunya dan gagang anak panah itu diikat sehelai tali dan kini perahunya bergerak, ditarik oleh sebuah perahu lain di depan yang ditumpangi oleh dua orang laki-laki bertubuh tegap!

"Heiii, apa-apaan ini? Lepaskan perahuku!" Sang kaisar berteriak marah.

"Tenanglah saja, sri baginda!" Terdengar suara di belakangnya.

Kaisar Ceng Tek cepat menengok. Ternyata di sebelah belakang perahunya terdapat tiga buah perahu lain yang masing-masing didayung oleh dua orang laki-laki tegap dan terlihat gagah. Ternyata yang berusaha menculiknya ada empat perahu dengan delapan orang, tidak termasuk dua orang kakek yang sedang bertanding melawan dua orang bercaping itu.

Kaisar Ceng Tek bukanlah seorang anak kecil. Dia tahu bahwa dirinya kini sudah berada di dalam kekuasaan para penculiknya. Tidak ada jalan meloloskan diri karena mereka itu sudah mengenal siapa dia. Untuk berteriak-teriak, di samping belum tentu akan ada yang berani menolong, juga betapa mudahnya bagi para penculiknya itu untuk membunuhnya jika mereka kehendaki. Jalan satu-satunya hanyalah menyerah saja sambil melihat bagai mana perkembangannya.

Dia juga tahu bahwa mereka tentu tak bermaksud membunuhnya, karena kalau demikian halnya, perlu apa mereka itu bersusah-susah hendak menawannya? Tak nampak adanya petugas jaga di tempat itu, maka tidak ada yang diharapkannya untuk dapat menolongnya dari orang-orang ini.

Kini perahu sang kaisar telah ditarik ke pinggir telaga dan dua orang meloncat ke dalam perahu kecil itu.

"Harap paduka suka menyerah saja dan menurut kehendak kami dari pada paduka harus dipaksa dengan kekerasan," berkata salah seorang di antara mereka yang tertua, berusia lima puluh tahun lebih dan memegang pedang. "Mari kita mendarat."

Kaisar Ceng Tek mengangkat bahu, bersikap tenang biar pun jantungnya berdebar penuh ketegangan, bahkan ada sedikit kegembiraan karena petualangannya ini sungguh sangat menarik, lalu dia pun melangkah keluar dari perahu dan mendarat. Akan tetapi, pada saat delapan orang itu mendarat semua, tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring.

"Tikus-tikus yang bosan hidup!" tiba-tiba saja, seperti setan, muncul seorang wanita yang mukanya berkedok hitam tipis, menyembunyikan bentuk mukanya sehingga yang tampak hanya sepasang mata yang liar, hidung kecil serta mulut lebar yang giginya besar-besar putih. Begitu muncul, tangan kirinya bergerak dan sinar-sinar halus menyambar ke arah orang-orang Kang-jiu-pang itu.

"Awas senjata rahasia!" teriak orang tertua.

Para anggota Kang-jiu-pang yang rata-rata mempunyai kepandaian cukup tinggi itu cepat berloncatan mengelak. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa mengejek.

"Ha-ha-ha, orang-orang Kang-jiu-pang hendak berlagak!" Dan muncul pula seorang kakek tinggi besar bermuka hitam kasar dan penuh brewok.

Kakek ini memegang sebatang pecut baja yang panjang dan pada ujungnya terdapat paku besar. Mata kakek ini bulat, hidungnya besar dan mulutnya lebar. Pakaiannya jorok dan kotor.

Asmara Berdarah Jilid 04

PERTANDINGAN antara Kui-kok Lo-mo dan Tho-tee-kwi berjalan seru, lebih ramai dari pada ketika kakek raksasa itu tadi melawan Kui-kok Lo-bo. Akan tetapi sesudah lewat seratus jurus, dia mulai terdesak. Bagaimana pun juga, gerakan yang cepat dari Lo-mo tidak bisa diimbangi oleh Tho-tee-kwi, bahkan ilmu pukulannya yang ampuh itu pun hanya membuat kakek mayat itu terguncang sedikit saja apa bila terlanda anginnya.

Akan tetapi, seperti juga Lo-bo, raksasa itu keras kepala dan tidak sudi menyerah kalah. Apa lagi karena Tho-tee-kwi dan juga Lo-mo mengerti bahwa pada waktu itu rekan-rekan mereka dari dunia hitam akan bermunculan.

Memang, pada tengah malam itu bermunculan beberapa orang aneh yang menyeramkan seperti setan-setan bermunculan dari neraka dan mereka lalu menonton pertandingan itu tanpa ada yang mau mencampuri. Bahkan mereka amat menikmati pertandingan itu, apa lagi setelah melihat betapa kedua orang itu agaknya bukan hanya main-main, melainkan berkelahi mati-matian.

Kiu-bwee Coa-li, nenek bongkok pawang ular itu juga sudah muncul. Nenek ini terkekeh girang menyaksikan pertandingan itu. Sebagai seorang tokoh besar yang mempunyai ilmu tinggi, diam-diam dia menikmati perkelahian ini karena dia dapat mencurahkan perhatian mengikuti setiap gerakan untuk mempelajari ilmu kedua orang rekannya yang lebih tinggi tingkatnya dan masing-masing sedang mengeluarkan ilmu simpanan baru itu.

Dua orang kakek dan nenek yang sudah kita kenal, yaitu Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo, dua orang tokoh rendahan dari Cap-sha-kui, juga telah hadir pula. Keduanya juga turut menonton dengan mata terbelalak penuh kagum akan kehebatan ilmu baru dari dua orang rekan mereka yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi itu.

Tiba-tiba terdengar suara mengomel, "Hmm, tak tahu diri... tak tahu diri... dalam keadaan terancam musuh masih saja saling hantam sendiri... dasar tua bangka-tua bangka yang bertindak seperti kanak-kanak, betapa toloInya!"

Suara itu sangat lirih tetapi terdengar oleh semua orang, juga oleh dua orang tokoh yang sedang saling hantam itu. Mendengar suara ini, keduanya mengerahkan tenaga terakhir untuk merobohkan lawan sebelum pemilik suara itu muncul.

Suara itu memang datang dari jauh, dikirim oleh seorang yang menguasai ilmu mengirim suara dari jauh. Akan tetapi, tiba-tiba saja berkelebat bayangan hitam dan seorang kakek telah muncul di situ, tongkatnya berkelebatan cepat sekali sampai tak nampak oleh mata. Yang kelihatan hanya cahaya mencuat dua kali ke arah Lo-mo dan Tho-tee-kwi dibarengi seruan marah,

"Kalian masih nekat dan tidak mau berhenti?!"

Dua orang yang sedang bertanding itu mengeluarkan seruan kaget, kemudian keduanya meloncat ke belakang, lalu meraba pundak masing-masing. Ternyata dalam segebrakan tadi ujung tongkat yang dipegang kakek yang baru datang, telah mencium pundak mereka dan tentu saja mereka terkejut karena kalau dilanjutkan, tentu ujung tongkat itu tadi telah menotok dan melukai mereka.

Memang mereka tadi sedang terlibat dalam perkelahian yang seru dan andai kata tidak demikian, kiranya tidak mungkin tongkat itu dapat mengenai mereka dalam satu gebrakan saja. Biar pun demikian, dapat menghentikan perkelahian secara demikian membuktikan bahwa tingkat kepandaian kakek yang baru tiba ini ternyata lebih tinggi dari pada tingkat dua orang tokoh utama Cap-sha-kui itu!

Dan semua orang yang hadir di situ, para tokoh dan datuk kaum sesat, kini memandang kepada kakek pemegang tongkat itu dengan gentar. Setelah kini berdiri di bawah cahaya bulan, kakek yang baru datang ini sebenarnya tidak sangat mengesankan dan tidak akan menimbulkan rasa takut kepada siapa pun yang memandangnya.

Tubuhnya jangkung kurus seperti tubuh Kui-kok Lo-mo. Usianya juga sudah tujuh puluh tahun, pakaiannya serba hitam dan bentuknya seperti pakaian seorang petani biasa saja. Karena pakaiannya serba hitam, maka rambutnya yang putih itu nampak jelas sekali, juga sepasang matanya! Sepasang matanya kelihatan putih tanpa manik dan mata itu jarang sekali bergerak!

Kiranya kakek ini adalah seorang buta! Dia tidak dapat melihat sama sekali, akan tetapi mengapa semua orang yang hadir di situ, yang terdiri dari tokoh-tokoh kaum sesat yang berilmu tinggi dan tidak mengenal takut, kini kelihatan gentar menghadapinya? Karena dia adalah Siangkoan-lojin (Kakek Siangkoan)!

Dia tidak mempunyai julukan, dan tidak ada orang yang berani memberinya julukan walau pun sepasang matanya buta karena takut akan hukumannya. Kakek ini bahkan tidak sudi ditarik masuk menjadi anggota Cap-sha-kui sebab dia merasa lebih tinggi. Seorang kakek yang kelihatannya seperti petani biasa saja, namun yang mempunyai pengaruh luar biasa besarnya dan seluruh tokoh kaum hitam itu takut belaka kepadanya!

Hal ini disebabkan kepandaiannya amat tinggi dan karena kekejaman dan keganasannya. Sekali orang dianggap bersalah padanya, maka ke mana pun orang itu lari bersembunyi, akhirnya tentu akan terjatuh ke tangannya dan akan tewas dalam keadaan mengerikan. Nama Siangkoan-lojin saja sudah cukup untuk membuat seorang penjahat yang paling sadis menjadi pucat mukanya.

Siangkoan-lojin adalah seorang berwatak aneh yang selama ini menyembunyikan dirinya di Pegunungan Kun-lun-san. Dia sendiri tidak pernah turun dari gunung itu. Kehidupannya mewah karena para tokoh sesat selalu memberinya semacam upeti yang amat berharga, hanya untuk menerima berkah dan sedikit petunjuknya saja. Baru selama setengah tahun ini dia turun gunung dan tinggal di kota Pao-chi di Propinsi Shen-si sebagai seorang tuan tanah yang kaya raya walau pun pakaiannya sebagai seorang petani sederhana.

Di dalam sebuah rumah yang mirip istana, dia tinggal bersama seorang putera tunggalnya dan belasan orang wanita muda cantik yang bertugas sebagai pelayan dan juga sebagai selir-selirnya. Isterinya telah lama meninggal ketika putera tunggalnya masih kecil. Kakek ini memiliki beberapa orang murid yang cukup lihai, akan tetapi murid-muridnya itu hanya diberinya sebagian saja dari ilmu-ilmunya yang tinggi, yang semuanya hendak diwariskan kepada putera tunggalnya yang pada waktu itu berusia delapan belas tahun.

Demikian sedikit keadaan Siangkoan-lojin. Cap-sha-kui sendiri selalu memandang kakek buta ini sebagai seorang datuk yang mereka hormati. Dan sebenarnya, pertemuan rahasia yang diadakan pada malam hari itu adalah atas kehendak Siangkoan-lojin akan tetapi dilaksanakan oleh Cap-sha-kui.

Setelah pindah dan bertempat tinggal di Pao-chi, Siangkoan-lojin sendiri hidup dalam dua dunia. Yang pertama di dunia kaum sesat di mana dia didewa-dewakan dan ditakuti. Yang kedua di dunia biasa, di mana dia hidup sebagai seorang tuan tanah tua yang kaya raya dan royal menyogok para pejabat, juga terkenal dermawan, sangat royal mengeluarkan uang menolong mereka yang membutuhkan bantuan.

Pendeknya, di dalam pergaulan umum dia adalah seorang tua renta yang buta akan tetapi kaya dan dermawan, dan tidak ada seorang pun yang pernah mengira bahwa dia adalah raja datuk kaum sesat! Bahkan para pendekar juga telah mendengar berita angin tentang adanya datuk iblis yang bermata buta sehingga di antara para pendekar muncul sebutan Iblis Buta. Akan tetapi tidak ada seorang pun di antara para pendekar pernah melihatnya.

"Maafkan kami, lojin, kami hanya berlatih," kata Kui-kok Lo-mo dengan sikap hormat dan suara merendah.

"Benar, lojin, kami hanya main-main, aku sedang minta petunjuk dari Lo-mo," sambung Tho-tee-kwi sambil tersenyum menyeringai.

"Diam!" bentak kakek buta itu. Suaranya yang lirih itu ternyata mempunyai daya getaran yang menusuk jantung hingga membuat wajah kakek raksasa yang tadinya menyeringai tiba-tiba saja berubah menjadi pucat. "Kalian sedang berusaha mati-matian untuk saling bunuh, betapa tololnya. Kalau memang bosan hidup, beri tahu saja padaku dan aku akan mengantar kalian ke neraka!"

Sungguh pedas ucapan ini dan dua orang kakek itu mendengarkan dengan muka merah dan alis berkerut, akan tetapi mereka tak berani berkutik. "Keadaan kita sedang diancam musuh dan kalian tidak bersatu malah bentrok sendiri, betapa menjemukan. Hayo semua berkumpul!" Bagai lagak seorang guru memanggil berkumpul semua anak-anak muridnya, Siangkoan-lojin melangkah maju ke tengah tanah datar itu, lalu berdiri dengan tongkat di tangan kiri, tak bergerak seperti patung batu.

Sekarang kakek ini kelihatan mengerikan. Kayu cendana hitam yang dijadikan tongkat itu berkilap tertimpa sinar bulan purnama dan kedua matanya yang melek terus itu kelihatan putih menyeramkan. Rambutnya yang putih seperti benang-benang perak berkibar tertiup angin malam yang membuat hawa menjadi dingin sekali.

Kini bermunculanlah banyak orang dari tempat di mana mereka tadi setengah sembunyi begitu muncul kakek buta. Di antara mereka, banyak yang belum pernah bertemu dengan Siangkoan-lojin, baru mendengar namanya saja dan sepak terjangpya, maka kini mereka muncul dengan muka diliputi ketakutan setelah melihat betapa dengan bengis kakek buta itu memarahi dua orang datuk utama dari Cap-sha-kui itu.

Ada dua puluh dua orang yang hadir, termasuk Siangkoan-lojin. Mereka masing-masing memiliki anak buah yang cukup banyak, akan tetapi anak buah mereka tak diperbolehkan naik ke lereng itu, hanya menanti di bawah, di dalam hutan-hutan. Di samping tidak berani membawa anak buah, juga anak buah mereka masih kurang pandai untuk bisa mencapai tempat yang amat sukar didatangi itu.

Tempat itu dikelilingi oleh jurang yang curam, ada pun di sebelah utara terdapat sebatang sungai yang arusnya liar dan banyak batu-batu karang sehingga amat berbahaya apa bila naik perahu melewatinya. Lagi pula dari sungai yang agak ke bawah itu, tidak mudah pula untuk mendaki ke atas tebing biar pun sungai itu dan dataran ini tidak jauh lagi dan suara gemercik air bermain-main dengan batu-batu karang itu dapat terdengar jelas dari tempat pertemuan rahasia itu. Dilihat dari atas, sungai yang ditimpa sinar bulan purnama nampak seperti jalan perak yang berkilauan.

"Semuanya hanya ada dua puluh dua orang?" Tiba-tiba saja Siangkoan-lojin bertanya dan pertanyaan ini membuat semua orang mulai menghitung-hitung dan mereka pun tertegun ketika mendapat kenyataan bahwa jumlah mereka semua memang dua puluh dua orang. Bagaimana seorang buta dapat menghitung orang begitu banyak dengan tepat? Padahal, mereka yang dapat melihat saja tidak dapat menghitung dengan cepat dan mudah!

Tentu saja tokoh-tokoh seperti Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, apa lagi ketiga orang tokoh utama Cap-sha-kui seperti Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo, juga Tho-tee-kwi, tak merasa heran. Mereka sudah tahu bahwa kakek yang buta ini mempunyai perasaan yang amat peka, pendengaran dan penciuman yang melebihi seekor kijang atau anjing. Dengan mengandalkan telinga dan hidungnya saja dia sudah dapat menghitung jumlah orang yang hadir, dengan mengikuti gerak-gerik mereka melalui telinganya serta mencium bau yang berlainan dengan hidungnya.

Bahkan di dalam perkelahian kakek yang tidak dapat melihat lagi itu dapat mengandalkan ketajaman pendengarannya pula sehingga setiap gerakan lawan bisa diketahuinya dengan seksama, malah jauh lebih cepat dari pada daya tangkap penglihatan mata yang kadang-kadang kabur.

"Benar, lojin. Yang hadir ada dua puluh dua orang." kata Kiu-bwee Coa-li.

"Hemm, dan berapa orang dari Cap-sha-kui?"

"Ada tujuh orang, lojin." Kui-kok Lo-bo yang kini ikut bicara karena ia pun hendak memberi tahukan raja datuk itu bahwa dia pun sudah hadir.

"Tujuh orang? Siapa dia?" Siangkoan-lojin bertanya, alisnya yang putih berkerut.

"Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwee Coa-li, Tho-tee-kwi, Kui-kok Lo-mo, aku sendiri dan lojin..."

Terdengar kakek itu mengeluarkan suara bentakan melengking dan semua orang terkejut. Kui-kok Lo-mo hendak memperingatkan isterinya, tetapi terlambat karena tahu-tahu kakek buta itu telah mencelat ke depan, tongkatnya menyambar dan Kui-kok Lo-bo menjerit lalu roboh terlentang, ujung tongkat telah menempel di lehernya. Kiranya kakek buta itu belum membunuhnya, baru merobohkan dan menempelkan ujung tongkat di leher nenek itu!

"Mulut lancang! Kau samakan aku dengan cacing-cacing Cap-sha-kui?"

Kui-kok Lo-bo terkejut dan baru teringat akan kebodohannya, wajahnya yang sudah pucat sekali itu berubah menjadi kehijauan. "Lojin, ampunkan aku...," dia meratap.

"Lojin, harap maafkan dia," kata pula Kui-kok Lo-mo dengan kaget ketika melihat nyawa isterinya terancam maut tanpa dia mampu menolongnya itu.

Iblis buta itu mendengus dengan nada mengejek. "Kalau tadi aku tidak mengampuninya, apakah sekarang dia masih tinggal hidup? Perempuan lancang, engkau menyesal sudah bersalah kepadaku?"

"Aku menyesal," kata Lo-bo sambil bertunduk.

"Nyatakan penyesalanmu dengan mencium ujung sepatuku!" kata pula Iblis Buta.

Semua orang terkejut sekali lalu memandang dengan hati tegang dan wajah pucat. Itulah penghinaan yang sangat hebat! Akan tetapi, hampir mereka tidak percaya akan pandang mata mereka sendiri ketika melihat nenek berwajah mayat yang biasanya amat galak dan kejam itu kini berlutut dan mencium ujung kaki sepatu Si Iblis Buta!

"Sekali lagi!" iblis itu membentak dan Lo-bo dengan taat mencium satu kali lagi, membuat semua orang menahan napas saking herannya.

"Sudah, mundurlah dan mari kita melanjutkan pertemuan ini," kata kakek buta itu dengan sikap dan suara seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. "Sekarang kita berkumpul di sini untuk mengadakan pertemuan dan membicarakan keadaan yang menyangkut keamanan pekerjaan kita semua. Kalian tahu bahwa besok hari para pendekar hendak mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu dengan acara pokok akan menentang dan berusaha menumpas kita semua."

Hening sejenak sesudah Iblis Buta berhenti berbicara, kemudian, bagaikan bendungan air yang bobol, mereka itu serentak berteriak-teriak, "Hancurkan manusia-manusia sombong itu!"

"Bunuh semua pendekar!"

"Serang mereka pada pertemuan itu!"

Si kakek buta mengangkat tongkatnya ke atas hingga suara gaduh itu berhenti. "Memang kita harus mengadakan perlawanan, akan tetapi kita harus berhati-hati dalam menghadapi para pendekar karena di antara mereka terdapat orang-orang yang sakti. Tidak mungkin kita menggunakan kekerasan, karena itu harus diatur sebaik-baiknya. Sekarang, sebelum kita mengatur siasat lebih lanjut, aku ingin mendengarkan laporan kalian masing-masing tentang keadaan di daerah kalian masing-masing dan tentang gerakan para pendekar."

Dengan suara yang dialeknya berbeda-beda, mereka yang hadir mulai bercerita satu demi satu, didengarkan penuh perhatian oleh Siangkoan-lojin. Seorang yang datang dari daerah kota raja melapor, "Lojin, kini anak buah kami membayangi kaisar yang sedang lolos dari istana melakukan perjalanan seorang diri menyamar sebagai orang biasa. Diam-diam dia dibayangi dan dilindungi oleh dua orang perwira istana yang juga menyamar sebagai orang biasa. Kami ragu-ragu untuk turun tangan. Harap lojin memberi petunjuk."

"Jangan ganggu kaisar! Jangan mengganggu seujung rambutnya juga. Aku sendiri akan membunuh siapa pun yang berani mengganggunya!" Tiba-tiba kakek buta itu berseru.

Para tokoh Cap-sha-kui yang sudah mengerti tentu tidak merasa heran, akan tetapi tidak demikian dengan para tokoh lainnya. Seorang yang bertubuh cebol dan berkepala botak, yang matanya merah dan sikapnya menjilat-jilat lalu maju bertanya.

"Maaf, lojin yang mulia. Akan tetapi kami sungguh belum mengerti. Apakah sekarang kita semua harus menjadi kaki tangan dan pembantu kaisar? Bukankah pekerjaan kita semua selalu bertentangan dengan pemerintah?"

"Dasar bodoh! Dengarkan kalian semua. Selama istana dikuasai oleh Liu-thaikam seperti sekarang ini, kita akan dapat hidup aman. Kita dapat bekerja sama dengan para pejabat di mana pun juga asal kita mau membagi hasil kita dengan mereka. Dan selama Kaisar Ceng Tek yang muda ini menduduki tahta, Liu-thaikam dapat menguasainya. Kalau kaisar kita ganggu, berarti kita mengganggu Liu-thaikam juga sehingga kalau sampai Liu-thaikam kehilangan kekuasaannya, kita tidak mempunyai sahabat lagi di pemerintahan, berarti kita pun menjadi orang yang selalu diburu-buru oleh para petugas pemerintah. Jadi, kita harus melindungi kaisar agar Liu-thaikam tetap dapat berkuasa dan kita pun tak akan dimusuhi pemerintah, mengerti?"

Semua orang mengangguk. "Aihhh, kalau begitu, kita harus menyelamatkan kaisar. Pada saat ini ada pihak lain yang memiliki niat buruk, menculik kaisar dalam penyamarannya."

Iblis Buta mengerutkan alianya. "Bukankah kau katakan bahwa ada dua pengawal rahasia yang melindungi kaisar?"

"Akan tetapi, lojin. Kali ini yang mengancam keselamatan kaisar adalah orang-orang dari Kang-jiu-pang (Perkumpulan Kepalan Baja)!" kata pula si cebol berkepala botak.

Iblis Buta mendengus. "Perkumpulan keras kepala yang tak mau bergabung dengan kita! Heh, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo, sanggupkah kalian berdua mengerahkan kawan-kawan ke muara Huang-ho untuk melindungi kaisar dan sekalian mengenyahkan Kang-jiu-pang yang hendak merusak itu?"

Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo sudah tahu siapa adanya Perkumpulan Kepalan Baja itu, dan mereka merasa bangga mendapatkan kepercayaan Iblis Buta di depan para tokoh, maka mereka berdua serentak menyatakan sanggup.

"Bagus, sesudah selesai urusan kita di sini, kalian harus dengan cepat pergi melakukan tugas dan keselamatan kaisar kuserahkan kepada kalian," kata pula kakek buta.

Memang keselamatan Kaisar Ceng Tek amatlah penting bagi kakek ini. Dia mengenal Liu Kim atau Liu-thaikam dengan baik, bahkan terjadi semacam kerja sama di antara mereka. Telah beberapa kali thaikam itu minta bantuan Siangkoan-lojin untuk mengenyahkan para musuh rahasianya, yaitu pembesar-pembesar yang menentangnya dan menghendaki agar kaisar terbebas dari kekuasaannya.

Tugas itu dilaksanakan oleh Siangkoan-lojin dengan mudah dan baik, biar pun dia hanya menyuruh anak-anak buahnya. Beberapa orang musuh itu kemudian lenyap secara aneh dan mayat-mayat mereka tak ditemukan. Tentu saja Iblis Buta memperoleh kepercayaan dan sebaliknya, iblis ini melalui kaki tangannya juga memperoleh restu berupa surat-surat ijin dari Liu-thaikam itu untuk membuka bermacam usaha seperti usaha rumah pelacuran, perjudian dan sebagainya lagi.

"Ada dua tugas yang agak berat tetapi penting sekali dilakukan," sambungnya lagi. "Demi keamanan kita semua, ada dua orang pembesar yang harus dilenyapkan. Yang seorang adalah Menteri Liang, yaitu Menteri Kebudayaan yang istananya berada di kota raja. Hal ini kuserahkan kepada Kiu-bwee Coa-li, tentu saja kalau nenek itu berani!"

Mendengar demikian, Kiu-bwee Coa-li membunyikan cambuknya. "Tar-tar-tarr..!"

"Lojin anggap saja bahwa nyawa orang she Liang itu sudah berada di tanganku. Kapan aku harus membunuhnya, lojin? Sekarang juga aku berangkat!"

"Hemm, nenek sombong, jangan tergesa-gesa dan jangan terlalu membual. Kalau engkau gagal, aku pasti akan menghukummu! Jangan sembrono, di samping menteri yang lemah itu terdapat seorang selirnya serta seorang anak perempuannya yang cukup lihai karena mereka itu murid-murid Shan-tung Sam-lo-eng."

"He-he-heh, lojin. Jangankan baru murid-muridnya, biar mereka bertiga semua hadir, aku tidak akan takut," Kiu-bwee Coa-li yang memang berwatak sombong itu tertawa.

"Baik, akan tetapi tunggu sampai urusan kita selesai lebih dulu, baru kau boleh berangkat melaksanakan tugasmu. Pembesar kedua yang harus dienyahkan adalah Ciang-goanswe (Jenderal Ciang), panglima nomor dua di kota raja. Siapa berani memegang tugas ini?"

Semua orang melongo, Ciang-goanswe adalah seorang jenderal besar. Sebagai panglima nomor dua, dia memimpin laksaan orang pasukan!

"Akan tetapi... mana mungkin membunuh seorang panglima yang menguasai ratusan ribu tentara pasukan? Siapa sanggup dan mungkin dapat berhasil melakukan tugas ini tanpa bantuan pasukan besar pula, lojin? Sedangkan mengerahkan pasukan besar berarti suatu pemberontakan dan perang..."

Pertanyaan ini keluar dari bibir seorang pria berusia empat puluh tahun lebih yang tampak gagah perkasa akan tetapi juga menyeramkan karena mukanya penuh dengan cambang bauk yang lebat dan hitam. Sepasang matanya amat lebar dan gerak-geriknya kasar akan tetapi pada mulutnya membayang sifat yang kejam dan suka mempergunakan kekerasan.

Agaknya pertanyaan yang diajukan ini berkenan di hati semua orang, karena terdengar bisik-bisik dan suasana menjadi gaduh sampai Iblis Buta mengangkat tongkatnya ke atas. Suasana kembali tenang dan sunyi.

"Kalian semua bodoh bila berpendirian demikian. Memang Ciang-goanswe adalah seorang panglima yang memimpin ratusan ribu orang tentara. Akan tetapi ia pun seorang manusia biasa dan tidak mungkin kalau selamanya dia berada di antara ratusan ribu pasukannya! Sekali waktu tentu dia akan menyendiri, hanya dengan keluarganya saja, dan penjagaan atas gedungnya tak akan sekuat penjagaan di istana. Kalau orang berpikiran cerdik, tidak seperti kalian yang tolol, tentu akan dapat menemukan dia dalam keadaan jauh dari para pasukannya. Nah, karena pentingnya tugas ini, maka kuserahkan saja kepada sepasang Kui-kok Lo-mo dan Lo-bo. Sanggupkah kalian?"

Suami isteri tua itu saling pandang. "Kami sanggup." Akhirnya Kui-kok Lo-mo berkata.

"Bagus! Itulah tugas yang perlu kalian kerjakan. Sesudah urusan kita di sini beres, kalian lakukan tugas-tugas itu kemudian laporkan hasilnya kepadaku. Sekarang, setelah selesai urusan yang menyangkut kaisar, siapa lagi yang punya laporan?" Dia berhenti sebentar, menengok ke kanan kiri, bukan untuk memandang melainkan untuk mendengarkan, lalu dia menyambung, "Bukankah sebelum berkumpul di sini kalian sudah menyelidiki tentang pertemuan para pendekar? Siapa saja yang akan hadir dan apakah kalian sudah bertemu dengan beberapa orang di antara mereka?"

Tiba-tiba kakek itu mengayunkan tongkatnya ke kiri.

"Blarrrrrrr...!" Ujung batu karang yang menonjol di situ, yang tadi pernah diraba-rabanya, pecah berantakan dan melayang ke arah api unggun yang baru saja dibikin oleh seorang di antara mereka.

Api unggun itu padam dan kayunya terlempar ke mana-mana, dan ada beberapa orang terkena kayu yang membara atau pun pecahan batu karang. Akan tetapi karena mereka semua adalah golongan orang yang pandai, tidak ada yang sampai terluka parah. Semua orang terkejut dan semakin kagum karena si buta itu ternyata hebat bukan main, dapat mengetahui adanya api unggun dan dapat memadamkannya secara demikian luar biasa.

"Bodoh! Apa artinya pertemuan rahasia jika kau malah menyalakan api unggun yang akan menciptakan sinar yang nampak dari jauh dan mengeluarkan bau yang dapat tercium dari tempat jauh?" bentaknya.

"Ampun, lojin, maksudku hanya untuk mengusir nyamuk..."

"Kalau aku tidak tahu begitu, tentu batu itu sudah menghancurkan benakmu dan bukan memadamkan api saja," kata pula Iblis Buta. "Nah, siapa mau membuat laporan?"

"Aku sudah bertemu dengan seorang gadis remaja dan seorang pemuda yang amat lihai. Bahkan aku telah kehilangan banyak ular-ularku ketika melawan mereka. Sungguh, belum pernah seumur hidupku bertemu dengan gadis dan pemuda yang semuda itu akan tetapi selihai itu. Masing-masing dari mereka saja mampu menandingiku dan mungkin aku dapat mengalahkan mereka satu demi satu, tetapi menghadapi pengeroyokan mereka, terpaksa aku harus melarikan diri. Hebat, dan aku tidak sempat mengenal ilmu mereka, tidak pula tahu siapa mereka. Pasti mereka hendak menghadiri rapat pertemuan para pendekar."

Berita ini amat tidak menggembirakan Si Iblis Buta, juga para tokoh sesat di situ merasa gelisah. Jika dua orang muda saja sanggup menandingi Kiu-bwee Coa-li itu berarti bahwa pada pihak para pendekar terdapat orang-orang lihai sekali, padahal mereka masih begitu muda!

"Aku sempat bertemu dengan suami-isteri setengah tua yang menjadi murid Bu-tong-pai, akan tetapi aku berhasil membunuh mereka yang juga hendak menghadiri pertemuan para pendekar," kata pula seorang tokoh lain yang suaranya mirip bunyi tikus mencicit.

Ada pula yang melapor telah berhasil melukai seorang peserta pertemuan para pendekar, ada lagi yang melaporkan sudah membunuh beberapa orang calon peserta dengan cara meracuni mereka. Pendeknya, laporan-laporan itu sangat menyenangkan si Iblis Buta dan dia mengangguk-angguk sambil berkali-kali menyatakan senang hatinya.

"Bagus, bagus... biarkan mereka tahu bahwa kita tidak tinggal diam dan kita bukanlah golongan orang-orang lemah!"

Si cebol botak yang tadi pernah bicara tiba-tiba maju ke depan sambil menyeret sebuah buntalan. "Lojin, semua yang dihasilkan oleh kawan-kawan itu masih tidak ada artinya jika dibandingkan dengan yang kuhasilkan!" katanya menyombong dan dengan sikap menjilat.

Iblis Buta mengerutkan alisnya dan telinganya yang lebih lebar dari pada telinga biasa itu nampak memperhatikan sekali. Jika orang mau memperhatikan daun telinganya di waktu dia mencurahkan pendengarannya itu, maka akan melihat betapa daun telinganya sedikit bergerak-gerak.

"Jangan banyak cakap, buat laporan singkat yang betul!" katanya.

"Lojin, di dalam perjalanan ke sini, aku menghadang keluarga pelancong. Kubunuh ayah ibunya, kuperkosa anak gadisnya dan harta rampasan yang kuperoleh juga lumayan. Lalu muncul seorang pendekar dari selatan yang mengaku anak murid Kong-thong-pai. Jumlah mereka ada tiga orang. Aku berhasil melukai seorang, membunuh seorang dan menawan yang seorang lagi."

"Kenapa ditawan?"

"Ha-ha, dia seorang gadis cantik dan maksudku untuk mempersembahkannya kepadamu, lojin. Sayang, yang terluka dapat melarikan diri."

"Mana tawanan itu?"

Si cebol botak lalu melepaskan buntalan dan di dalamnya ternyata terdapat seorang gadis yang cukup cantik dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya. Dara muda ini berpakaian pendekar. Dia segera menggulingkan tubuhnya dan biar pun kaki tangannya terbelenggu, namun dia berusaha untuk memberontak.

"Hemm, kiranya para iblis kaum sesat sedang berkumpul di sini! Tunggu saja, kalian akan dihancurkan oleh para pendekar..." Tiba-tiba suaranya terhenti dan tubuhnya mengejang dan tewaslah wanita perkasa itu ketika Iblis Buta menggerakkan tongkatnya menuding ke arahnya.

Tidak ada yang melihat bagaimana hanya dengan menudingkan tongkat ke arah wanita itu orangnya lalu mengejang dan mati. Akan tetapi para tokoh Cap-sha-kui dapat melihat seberkas sinar halus menyambar ke arah leher si gadis dan ternyata dari ujung tongkat itu menyambar senjata rahasia berupa jarum halus sekali yang tadi menyambar tanpa bunyi, hanya mendatangkan cahaya berkilat halus dan hampir tak nampak.

Si cebol botak terkejut bukan main melihat betapa Iblis Buta membunuh korban yang baru saja dipersembahkannya itu. "Tapi... tapi... kenapa...?" teriaknya gagap.

"Manusia tolol! Engkau malah membuka rahasia kita dan akan membiarkan pihak musuh mengetahui segalanya? Gadis pendekar itu tadi mendengarkan semua percakapan kita! Dan siapa tahu ada temannya yang telah membayangimu sampai ke sini. Bukankah yang seorang kau biarkan lolos?"

"Tapi dia terluka..."

"Apa kau kira tak ada orang lain yang dapat mendengarkan pelaporannya? Tolol, engkau malah mengkhianati kami!" Tiba-tiba kakek itu menudingkan tongkatnya lagi.

Ternyata Si cebol botak itu cukup lihai. Melihat demikian, dia dapat menduga bahwa Iblis Buta hendak membunuhnya seperti yang sudah dilakukannya terhadap gadis tadi, maka dia cepat meloncat ke belakang, lantas bersembunyi di belakang tubuh Kiu-bwee Coa-li untuk kemudian melarikan diri.

Dan memang benar Iblis Buta tidak menyerangnya dengan jarum-jarum halus. Akan tetapi si cebol botak itu salah duga kalau dia akan dapat melarikan diri dengan mudah. Sebelum dia tahu apa yang akan terjadi, terdengar suara meledak dan cambuk di tangan Kui-bwee Coa-li bergerak melilit kakinya dan sekali menggerakkan cambuknya, tubuh si cebol botak itu terlempar ke depan kaki Iblis Buta.

"Brukkkk!"

Si cebol terbanting dan dia terbelalak ketakutan. Akan tetapi sambil mendengus Iblis Buta menggerakkan tongkatnya. Hanya terdengar suara berdetak perlahan saat ujung tongkat menyentuh tengkuk si cebol botak, akan tetapi akibatnya hebat sekali.

Tubuh si cebol botak itu bergulingan, dari mulutnya terdengar suara merintih-rintih, kaki tangannya berkelojotan, dan dari mulut, hidung serta telinganya keluar darah segar! Akan tetapi yang lebih mengerikan lagi, semua orang yang berada di situ tertawa-tawa geli dan gembira, seolah-olah mereka itu sedang menonton pertunjukan lawak yang menyegarkan! Demikianlah watak mereka ini. Padahal yang sedang sekarat dan tersiksa oleh rasa nyeri hebat itu adalah seorang rekan mereka sendiri!

Kita dapat dengan mudah melihat betapa kejamnya hati mereka itu. Akan tetapi jika kita mau bersikap waspada dan mengamati diri sendiri, maka sekali waktu kita akan terkejut dan mungkin juga merasa ngeri betapa di dalam batin kita pun bisa terdapat kekejaman seperti itu.

Alangkah mudahnya bagi kita untuk mentertawakan dengan hati geli ketika melihat orang yang sedang disiksa oleh kenyerian, malah sekali waktu kita seperti merasa terhibur dan diperingan penderitaan batin kita kalau melihat orang lain juga menderita! Namun, karena kita tidak pernah mau mengamati diri sendiri, kita tidak tahu akan sifat yang mengerikan dalam diri kita ini, yang tidak ada bedanya dengan apa yang diperlihatkan oleh para tokoh hitam itu!

Tanpa melakukan pengamatan kepada diri sendiri, tidak akan mungkin kita dapat melihat kekotoran diri sendiri. Dan, tanpa melihat kekotoran diri sendiri, tidak akan mungkin kita dapat merubahnya, tidak akan mungkin diri menjadi bebas dari pada kekotoran itu.

Bahkan percakapan tetap saja mereka teruskan ketika si cebol botak sedang berkelojotan dalam sekarat, seperti orang yang bercakap-cakap sambil melihat tontonan tari-tarian dan mendengarkan nyanyian.

"Kini kita harus segera melakukan persiapan. Kita akan mendekati Puncak Bukit Perahu dari selatan, dan kalau kita melihat bahwa kekuatan mereka itu tidak seberapa besar, kita kurung dan serbu mereka! Kita hajar mereka habis-habisan agar mereka tahu diri! Coba sebutkan berapa jumlah pengikut kalian masing-masing yang telah disiapkan untuk dapat dipergunakan besok pagi?" kata pula Iblis Buta.

Mereka semua menyebutkan jumlah pengikut yang telah siap dan ternyata jumlahnya tak kurang dari dua ratus orang! Mendengar ini, wajah Iblis Buta berseri. "Cukup, sudah lebih dari cukup. Tugas anak buah hanya untuk menyerbu dan mengacaukan saja, tapi kitalah yang akan berpesta-pora membunuhi mereka. Besok pagi-pagi kita harus sudah siap dan bersembunyi di dalam hutan di sebelah selatan puncak, membiarkan mereka berkumpul semua seperti tikus-tikus dalam sebuah lubang, tinggal membasmi saja!"

Mendadak Iblis Buta itu mengangkat tongkatnya dan mengisyaratkan agar semua orang diam. Dia sendiri lalu melangkah ke kanan, mendekati tebing dari mana dapat kelihatan sungai yang liar itu Dia miringkan kepala, memasang telinga ke arah anak sungai itu.

Semua orang turut memandang namun tidak melihat sesuatu, juga yang mereka dengar hanyalah gemerciknya air sungai. Akan tetapi agaknya Iblis Buta itu mendengar sesuatu yang tidak terdengar oleh orang lain. Kemudian semua orang saling pandang dengan hati gelisah dan jantung berdebar kencang karena memang benar, lapat-lapat kini mereka pun mulai dapat mendengar suara yang-kim.

Yang-kim adalah alat musik sejenis siter yang menggunakan senar-senar kawat berbunyi nyaring melengking. Sekarang. di antara gemercik suara air itu terdengar suara yang-kim dimainkan orang! Dan tak lama kemudian nampaklah pemain yang-kim itu!

Di bawah cahaya bulan purnama yang seperti perak, nampaklah sebuah perahu meluncur perlahan di atas air yang liar itu. Sungguh mengejutkan sekali bagaimana orang bisa naik perahu sambil enak-enakan main yang-kim di atas air yang demikian liarnya dan banyak dihalangi batu-batu menonjol.

Dan pemain yang-kim itu adalah seorang kakek. Bentuk mukanya tak nampak jelas, akan tetapi dari atas dapat dilihat bahwa jenggot kakek itu panjang sampai ke dada dan suara yang-kimnya demikian nyaring, tidak seperti yang-kim biasanya sehingga suaranya dapat menusuk-nusuk anak telinga para tokoh hitam yang melihat dan mendengarkan dari atas tebing.

Mula-mula yang-kim itu memainkan lagu perlahan dan lambat, nada suaranya satu-satu dan demikian nyaringnya memasuki telinga sehingga lama-lama menjadi tajam menusuk. Makin lama nada-nada suara itu makin cepat berlomba dan akhirnya menyerbu ke dalam telinga seperti badai mengamuk.

Beberapa orang tokoh sesat yang kurang kuat sinkang-nya sudah menjadi lemas. Mereka mengeluh sambil menutupi telinga, akan tetapi suara itu seakan-akan mampu menembus tangan yang dipakai menutupi telinga. Bahkan tokoh-tokoh Cap-sha-kui seperti Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo sudah duduk bersila dan melakukan siulian (semedhi) untuk memperkuat sinkang-nya menahan daya serangan suara yang-kim itu.

Tokoh-tokoh seperti sepasang suami isteri dari Kui-san-kok dan juga si raksasa baju hijau yang telah memiliki tingkat kepandaian dan tenaga sinkang amat tinggi, tidak terpengaruh oleh suara itu. Apa lagi si Iblis Buta sendiri, dia tidak terpengaruh dan tentu saja dia amat marah melihat betapa suara yang-kim itu telah membuat anak buahnya menderita. Akan tetapi, dia pun tahu bahwa pemain yang-kim itu berada jauh di bawah tebing sehingga dia pun tidak dapat mendekatinya.

Akan tetapi, kakek buta ini memang hebat bukan main. Dari suara yang-kim itu dia dapat menentukan di mana letak perahu yang ditumpangi pemain yang-kim itu. Tiba-tiba saja dia menggerakkan tongkatnya bergerak ke kiri.

"Krakkkk...!"

Ujung sebongkah batu besar pecah dan patah, kemudian sekali dia menyontekkan ujung tongkatnya, pecahan batu yang besarnya satu meter persegi itu telah meluncur ke bawah tebing, dan tepat sekali mengarah perahu di mana kakek berjenggot panjang masih terus bermain yang-kim!

Memang Siangkoan-lojin ini hebat bukan main. Pendengarannya sedemikian tajamnya, tak kalah oleh ketajaman pandang mata sehingga dalam keadaan buta itu dia tidak kalah 'awas' dibandingkan orang yang tidak buta.

Semua tokoh Cap-sha-kui menjenguk ke bawah dan dengan mata terbelalak serta wajah berseri-seri memandang ke arah bongkahan batu besar yang meluncur dengan cepatnya menuju ke arah perahu kecil itu. Mereka menyangka bahwa perahu itu bersama dengan penghuninya tentu akan hancur lebur tertimpa batu yang sedemikian besar dan beratnya dari tempat yang demikian tingginya.

Akan tetapi kakek berjenggot panjang itu agaknya sama sekali tak menjadi gugup melihat datangnya bongkahan batu besar yang berupa tangan maut menjangkaunya itu. Dengan tenang saja dia menggerekkan tangan kirinya ke atas sedangkan tangan kanannya masih tetap memainkan yang-kim!

"Blarrrrrr...!"

Nampak debu mengepul dan bongkahan batu karang itu pecah berantakan dan terpental jauh, menimpa air sehingga mengeluarkan suara gaduh. Perahu kecil meluncur terus dan suara yang-kim terus terdengar makin menjauh, seolah-olah tidak pernah terganggu.

Iblis Buta yang memperhatikan semua peristiwa itu dengan telinganya, lalu menarik napas panjang. "Hemmm, gara-gara si tolol ini!" katanya sambil menggerakkan kaki menyepak dan tubuh penjahat cebol botak yang sudah tidak bergerak lagi itu pun kena ditendangnya sehingga melayang menuruni tebing yang curam!

"Dia yang memancing kedatangan orang pandai memata-matai tempat ini. Kini kita harus segera bergerak menuju ke Puncak Bukit Perahu. Tunggu komandoku, jangan ada yang sembarangan bergerak. Bila mana aku telah turun tangan, barulah kalian boleh menyerbu. Sebelum aku turun tangan, jangan ada yang mendahuluiku. Mengerti?"

Bagaimana pun juga, peristiwa dengan penabuh yang-kim itu telah mengecutkan hati para tokoh hitam karena mereka pun maklum bahwa kakek berjenggot panjang itu benar-benar lihai. Apa bila banyak yang seperti itu di antara para tokoh pendekar, berarti mereka akan menghadapi lawan yang tangguh.

Bagaimana pun juga, mereka adalah orang-orang lihai yang telah terbiasa mengandalkan kekuatan sendiri. Apa lagi mereka mempunyai banyak anak buah dan di tengah mereka terdapat pula Iblis Buta yang mereka percaya. Maka biar pun peristiwa tadi mengecutkan hati mereka, bukan berarti bahwa mereka menjadi takut.

Pada keesokan harinya, Puncak Bukit Perahu sudah dikurung oleh kurang lebih dua ratus orang gerombolan kaum sesat yang dipimpin oleh orang-orang pandai yang tadi malam sudah mengadakan pertemuan rahasia itu. Mereka semua sudah mengurung dan masih bersembunyi, namun siap menyerbu dengan senjata masing-masing, dan mereka tinggal menanti komando atau munculnya Iblis Buta yang hendak turun tangan paling dulu.

Akan tetapi, Iblis Buta yang mereka tunggu-tunggu itu tidak muncul sampai matahari naik tinggi dan keadaan puncak itu pun sunyi-sunyi saja. Akhirnya mereka melihat bayangan kakek bertongkat itu di puncak dan mendengar suara kakek itu menyumpah-nyumpah!

Karena melihat kakek itu sudah tiba, para gerombolan segera menyerbu ke atas dipimpin oleh kepala masing-masing, sambil berteriak-teriak buas. Akan tetapi setelah mereka tiba di atas puncak, mereka segera termangu-mangu melihat kakek buta itu marah-marah dan mengamuk dengan tongkatnya, menumbangkan pepohonan dan meremukkan batu-batu. Ternyata puncak itu kosong dan tidak nampak seorang pun pendekar di situ!

Tahulah Iblis Buta Siangkoan-lojin bahwa rahasia penyerbuan itu telah bocor, bahwa para pendekar telah tahu akan rencana penyerbuan sehingga mereka sengaja menghindarkan bentrokan dan tidak jadi berkumpul di puncak itu! Teringatlah dia akan kakek berjenggot paniang bermain yang-kim semalam. Teringat pula dia akan si cebol botak yang menjadi biang keladi kegagalan ini.

Kini para tokoh menghadap Siangkoan-lojin. "Sekarang, sesudah kita gagal di sini karena rahasia sudah dibocorkan orang, kita tidak boleh gagal lagi dalam tugas lain yang malam tadi telah kuberikan kepada kalian. Kita turun dari sini, lantas berangkat melakukan tugas masing-masing. Semua yang tidak kuberi tugas khusus agar waspada di tempat masing-masing dan agar dapat bersatu-padu menghadapi para pendekar jika ada gangguan dari mereka. Jangan cekcok dan bentrok sendiri seperti yang sudah-sudah. Bila mana terjadi peristiwa penting, cepat laporkan kepadaku. Sementara itu, boleh kita berpencar dan jika bertemu dengan para pendekar, hajar dan hadang mereka!"

Setelah menerima perintah ini, mereka pun bubaran meninggalkan Puncak Bukit Perahu. Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo pergi bersama untuk melaksanakan tugas mereka ke Cin-an menghadapi perkumpulan Kang-jiu-pang yang kabarnya mempunyai niat buruk terhadap kaisar yang sedang melakukan perjalanan sendiri.

Kiu-bwee Coa-li juga pergi sendirian untuk melaksanakan tugasnya yang berbahaya, yaitu pergi dalam usahanya membunuh Menteri Kebudayaan Liang di kota raja. Juga sepasang suami isteri kakek nenek dari Kui-san-kok itu pun berangkat bersama untuk menjalankan tugas yang paling berat, yaitu membunuh Jenderal Ciang. Tokoh-tokoh yang lain juga ikut bubaran dan sebentar saja puncak itu menjadi sunyi kembali.

Memang tidak mengherankan kalau para tokoh itu menjadi bingung dan Iblis Buta menjadi marah-marah. Sebelumnya mereka telah mendapat keterangan jelas bahwa pada hari itu para pendekar mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu, akan tetapi kenapa para pendekar itu tidak muncul dan tempat itu sunyi, tidak ada seorang pun pendekar datang ke tempat itu? Padahal, menurut penyelidikan beberapa orang anggota gerombolan, sejak dua hari yang lalu sudah ada beberapa orang pendekar naik ke puncak.

Memang dugaan Iblis Buta itu tak keliru sama sekali. Para pendekar yang tadinya hendak menghadiri pertemuan para pendekar di puncak itu, malam tadi sudah mendengar bahwa pertemuan itu dibatalkan. Semua orang diberi tahu bahwa golongan hitam, dipimpin oleh Cap-sha-kui sendiri bersama Iblis Buta, nama yang langsung menggemparkan kalangan pendekar ketika disebut, telah mulai bergerak, bahkan bermaksud untuk mengepung dan menyerbu.

"Kita tidak menghendaki bentrokan secara terbuka," demikian pemberi tahuan itu melalui anak buah perkumpulan Pek-ho-pai (Perkumpulan Bangau Putih) yang para anggotanya terdiri dari murid-murid Siauw-lim-pai. "Apa lagi jumlah mereka sangat banyak, sedangkan kita sendiri tidak mengadakan persiapan untuk melakukan pertempuran massal. Sebab itu pertemuan sekali ini terpaksa dibatalkan dan hendaknya para sahabat, dengan kelompok masing-masing tetap mengadakan usaha perorangan untuk menentang para penjahat dan membendung menjalarnya pengaruh mereka."

Pek-ho-pai ialah sebuah perkumpulan orang-orang gagah para murid Siauw-lim-pai yang mempelopori pertemuan para pendekar itu. Nama Pek-ho-pai dikenal dan dihormati para pendekar, maka undangan perkumpulan ini mendapatkan banyak sambutan.

Kini Pek-ho-pai dipimpin oleh Hwa Siong Hwesio, seorang tokoh tingkat tinggi dari Siauw-lim-pai. Karena dia seorang tokoh Siauw-lim-pai ahli Ilmu Silat Pek-ho-kun (Silat Bangau Putih), maka dia pun mendirikan perkumpulan Pek-ho-pai itu melihat berkembangnya para muridnya dan untuk mengikat para murid itu ke dalam sebuah perkumpulan agar mudah diawasi dan dapat dikendalikan.

Perkumpulan ini berada di kota Pao-ting. Karena Hwa Siong Hwesio sendiri sudah terlalu tua, usianya sudah mendekati sembilan puluh tahun, maka kepengurusan perkumpulan itu diserahkan kepada murid-murid kepala. Namun ketika Hwa Siong Hwesio mendengar tentang kekacauan yang terjadi di mana-mana, apa lagi mendengar bahwa Cap-sha-kui sudah gentayangan laksana iblis-iblis keluar dari neraka, dia merasa prihatin dan segera mengusulkan diadakannya pertemuan para pendekar untuk membicarakan urusan yang menyangkut keamanan rakyat jelata itu.

Akan tetapi pada malam hari itu perkumpulan Pek-ho-pai kedatangan seorang tamu, yaitu seorang kakek berjenggot panjang yang membawa yang-kim pada punggungnya. Kakek inilah yang menyampaikan berita rencana para tokoh sesat yang mengadakan pertemuan rahasia, rencana untuk mengurung dan menyerbu Puncak Bukit Perahu pada saat para pendekar sedang berkumpul. Dan kakek berjenggot ini pula yang memberi tahukan betapa kuatnya kedudukan para penjahat itu karena selain Cap-sha-kui yang diduga telah datang dengan lengkap, disertai anak buah mereka, juga muncul Iblis Buta yang amat tinggi ilmu kepandaiannya itu.

Mendengar berita yang mengejutkan ini, para murid kepala Pek-ho-pai segera menyebar murid-murid mereka untuk menghadang lantas memberi tahu para pendekar yang hendak berkunjung ke Puncak Bukit Perahu bahwa pertemuan dibatalkan dan membagi-bagikan selebaran mengenai pembatalan itu. Karena usaha inilah maka ketika para kaum sesat itu datang menyerbu, mereka hanya mendapatkan tempat kosong!

Siapakah kakek berjenggot panjang membawa yang-kim itu? Kakek inilah yang nampak dari atas tebing oleh para datuk sesat, yang memainkan yang-kim di atas perahunya dan yang diserang oleh Iblis Buta dari puncak tebing. Dia adalah seorang pendekar tua yang suka berkelana seorang diri, dan di antara para pendekar dia disebut Shan-tung Lo-kiam (Pendekar Pedang Tua Dari Shan-tung).

Dia orang termuda dari Shantung Sam-lo-eng (Tiga Pendekar Tua Shantung). Dua orang suheng-nya telah meninggal dunia dan dia sendiri kini telah berusia delapan puluh tahun. Setelah tinggal seorang diri dia suka berkelana, dan telah bertahun-tahun tak banyak lagi mencampuri urusan duniawi, bahkan sudah menanggalkan pedangnya dan menggantinya dengan yang-kim karena sejak dahulu, Shantung Sam-lo-eng selain terkenal ilmu pedang mereka, juga terkenal sebagai sasterawan-sasterawan.

Akan tetapi, pada waktu melihat betapa dunia kaum sesat bergolak dan penjahat-penjahat itu bangkit, mengancam keamanan dan keselamatan rakyat, Shan-tung Lo-kiam terpaksa keluar juga. Dan meski pun masih membawa yang-kimnya, namun diam-diam pedangnya digantungnya lagi di balik jubahnya dan dialah yang mengikuti gerak-gerik para penjahat sehingga secara kebetulan dia bisa mengetahui tentang pertemuan rahasia para penjahat itu. Dia pun telah mendengar tentang undangan pertemuan para pendekar, maka setelah dia mengetahui rahasia para tokoh sesat, cepat-cepat dia mengunjungi Pek-ho-pai karena ketua Pek-ho-pai, yaitu Hwa Siong Hwesio, adalah seorang sahabat baiknya.

Demikianlah, pertemuan para pendekar lalu dibatalkan demi keamanan. Akan tetapi para pendekar semakin waspada karena tahu bahwa Cap-sha-kui telah bergerak, bahkan Iblis Buta yang tadinya hanya dikenal namanya saja, sekarang kabarnya turun tangan sendiri memimpin para gerombolan kaum sesat!

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Seperti juga pendekar-pendekar lainnya yang berkunjung ke Puncak Bukit Perahu untuk menghadiri pertemuan para pendekar, Sui Cin yang sudah memisahkan diri dari Cia Sun, ketika malam itu berada di lereng bawah puncak, berjumpa pula dengan seorang murid Pek-ho-pai. Ketika itu, Sui Cin sedang duduk seorang diri menanti datangnya pagi sambil membuat api unggun di bawah pohon, untuk mengusir nyamuk yang mengganggunya.

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang tapi pendekar wanita ini tetap tenang saja. Dia tahu bahwa ada orang datang, akan tetapi karena dia tidak tahu siapakah orang itu dan entah kawan atau lawan, maka dia bersikap tenang saja tetapi diam-diam mencurahkan seluruh kewaspadaannya berjaga diri.

"Nona, apakah nona juga seorang calon pengunjung pertemuan di Puncak Bukit Perahu?" tiba-tiba terdengar suara orang, lalu muncullah orang yang tadi bayangannya berkelebat itu dari balik batang pohon. Kiranya dia seorang laki-laki setengah tua yang berusia empat puluhan tahun dan bersikap gagah, pakaiannya serba putih.

Pertanyaan tadi diajukan dengan suara sopan, akan tetapi sikapnya ragu-ragu karena dia masih belum yakin benar apakah gadis remaja ini juga hendak mengunjungi pertemuan para pendekar. Di lain fihak, Sui Cin tidak mengaku begitu saja kepada orang yang belum dikenalnya. Dia harus berlaku hati-hati karena siapa tahu kalau-kalau orang ini termasuk fihak lawan.

"Apakah hubungannya keadaan diriku dengan engkau?" Sui Cin balas bertanya, pandang matanya penuh selidik dan penuh tantangan.

Laki-laki itu menjura. "Kalau nona termasuk salah seorang calon pengunjung, kami datang membawa berita penting. Saya adalah anggota Pek-ho-pai dan menerima perintah suhu untuk menyampaikan berita kepada para calon pengunjung."

"Berita apakah itu?" Sui Cin tertarik.

"Maaf, harap nona sudi memperkenalkan diri lebih dahulu agar jangan sampai saya keliru melaksanakan tugas."

Sui Cin tersenyum. Dia segera memaklumi keadaan orang yang menjadi utusan ini. Dia sudah mendengar bahwa Pek-ho-pai adalah perkumpulan yang mempelopori pertemuan itu dan ia sudah mendengar pula bahwa Pek-ho-pai adalah perkumpulan yang merupakan cabang dari Siauw-lim-pai.

"Aku pun boleh meragukan dirimu!" katanya, lantas tiba-tiba saja gadis ini telah meloncat dari belakang api unggun dan langsung mengirim serangan-serangan kilat kepada orang itu!

Orang berpakaian putih itu terkejut setengah mati melihat betapa hebatnya serangan Sui Cin. Maka dia pun cepat melindungi dirinya, menggunakan ilmu silatnya untuk mengelak dan menangkis, juga balas menyerang karena tanpa balas menyerang dia dapat celaka menghadapi lawan yang gerakannya amat cepatnya ini.

Akan tetapi tentu saja Sui Cin tidak menyerang sungguh-sungguh, dia hanya memancing saja. Jika dia sungguh-sungguh menyerang, tentu dengan mudah dia akan dapat segera merobohkan lawannya. Sesudah dia melihat gerakan laki-laki itu yang membentuk kedua tangannya seperti paruh atau kepala burung bangau, menggunakan lima ujung jari untuk mematuk atau menotok, baru dia percaya dan dia pun cepat melompat ke belakang.

"Engkau benar murid Siauw-lim-pai. Nah, ketahuilah bahwa aku hanya kebetulan lewat di sini. Mendengar tentang pertemuan para pendekar itu, maka aku ingin nonton. Namaku Ceng Sui Cin dan aku sama sekali bukan pendekar, hanya gadis biasa saja."

Tentu saja omongan ini tidak dipedulikan oleh murid Pek-ho-pai itu karena dari beberapa jurus serangan tadi saja tahulah dia bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang hebat dan memiliki kecepatan gerak yang luar biasa. Dia pun tidak mengenal nama itu, akan tetapi sebagai peninjau, gadis ini pun perlu diberi tahu.

"Maaf, nona. Saya diberi tugas untuk memberi tahukan kepada semua pengunjung bahwa pertemuan para pendekar dibatalkan dan semua tamu diharap suka meninggalkan tempat ini sekarang juga karena Cap-sha-kui serta gerombolannya yang berjumlah besar sekali, didampingi pula oleh si Iblis Buta, besok akan mengurung dan menyerbu tempat ini."

Tentu saja Sui Cin terkejut mendengar berita itu, apa lagi mendengar disebutnya nama Si Iblis Buta.

"Ahh, kenapa tidak kita lawan saja?" teriaknya penasaran. Yang datang berkumpul adalah para pendekar! Masa begitu mendengar bahwa tempat itu akan diserbu oleh golongan hitam, lalu para pendekar disuruh kabur begitu saja?

"Saya tidak bisa menerangkan lebih banyak, nona. Akan tetapi demikianlah perintah suhu. Katanya tidak dikehendaki bentrokan terbuka, dan pihak musuh yang sudah lebih dahulu mempersiapkan diri, tentu jauh lebih banyak dan lebih kuat. Nah, selamat tinggal, nona. Saya harus memberi tahu kepada para calon pengunjung yang lain." Orang itu melompat dan menghilang dalam gelap.

Untuk beberapa lamanya Sui Cin duduk kembali lantas termenung. Dia tidak tahu duduk persoalannya dan dia datang ke situ hanya untuk nonton saja. Ayah bundanya juga sudah memesan dengan keras agar tidak mencampuri urusan orang lain, dan jangan melibatkan diri ke dalam keributan.

Kini, mendengar bahwa tempat ini hendak diserbu oleh para penjahat, tentu saja dia pun tidak boleh mencampuri. Apa lagi dia sendiri belum tahu tindakan yang akan diambil oleh para pendekar. Sayang bahwa dia sudah berpisah dari Cia Sun sehingga tidak ada yang dapat diajak berunding.....

Selagi dia sedang termenung, mendadak berkelebat bayangan orang lagi. Karena tadinya membayangkan betapa tempat itu akan diserbu oleh musuh, maka kali ini berkelebatnya bayangan orang membuat Sui Cin terkejut dan dia pun otomatis meloncat berdiri lalu siap melawan siapa saja yang akan menyerangnya.

Akan tetapi orang itu tertawa ramah. "Ha-ha, nona Ceng, apakah aku sudah membuatmu terkejut? Maafkanlah kalau begitu, aku tidak sengaja mengejutkan hatimu."

Ceng Sui Cin memandang dengan hati lega. Wajah yang tampan itu berseri dan senyum itu ramah sekali. Ia pun tersenyum dan seluruh urat syarat yang tadi sudah menegang kini kembali mengendur dan hatinya lega.

"Aih, kiranya engkau, saudara Sim Thian Bu." Lalu dia pun teringat akan berita dari murid Pek-ho-pai tadi. "Apakah engkau juga sudah mendengar akan berita yang dibawa murid Pek-ho-pai tadi?"

Pemuda yang baru datang itu adalah Sim Thian Bu. Wajahnya yang tadinya tersenyum berseri itu nampak terheran ketika mendengar ucapan Sui Cin. "Murid Pek-ho-pai? Berita tentang apa? Aku belum mendengarnya, nona."

"Baru saja dia datang ke sini. Aku sudah mengujinya dan ternyata dia benar-benar murid Pek-ho-pai karena dia mahir Ilmu Silat Bangau Putih. Tadi dia membawa berita bahwa pertemuan para pendekar besok hari itu dibatalkan."

"Dibatalkan?" Sim Thian Bu tampak terkejut dan kecewa. "Aih, jauh-jauh aku datang untuk menghadiri pertemuan sambil belajar kenal dengan para pendekar... wah, nona, mengapa dibatalkan?"

"Karena besok tempat ini akan dikurung dan diserbu oleh para penjahat..."

"Hemmm..."

"Kaum sesat itu berjumlah banyak sekali, dipimpin oleh Cap-sha-kui sendiri."

"Benarkah...?"

"Bukan itu saja. Malah kabarnya Iblis Buta akan datang pula."

"Hebat! Kenalkah nona kepada datuk-datuk itu?"

"Tidak, hanya namanya saja yang kukenal."

"Kalau begitu, nona juga akan pergi dari tempat ini, tidak jadi menghadiri pertemuan para pendekar?"

"Ya, pertemuan itu tidak jadi, untuk apa dihadiri dan ditunggu?"

"Memang sebaiknya kalau kita pergi saja sekarang juga meninggalkan tempat ini, nona."

"Kita...?"

"Ya, kita. Apa salahnya kalau kita pergi bersama? Bukankah kita sudah saling berkenalan dan berarti kita adalah sahabat?"

Sui Cin tersenyum. "Hemm, kenalan tidak selalu berarti sahabat."

Sim Thian Bu juga tersenyum. "Akan tetapi aku ingin bersahabat denganmu, nona."

"Kenapa?"

"Karena engkau lihai..."

"Hemm, bagaimana engkau tahu aku lihai?"

"Mana mungkin engkau tidak lihai kalau engkau adalah puteri Pendekar Sadis?"

Sui Cin diam sejenak, memandang wajah orang itu. Wajah yang tampan menarik, tubuh yang tegap dengan pakaian yang bersih dan rapi, bagaikan pakaian seorang sasterawan muda yang kaya.

Untuk bercakap-cakap, pemuda ini lebih menarik dari pada Cia Sun walau pun tentu saja terhadap Cia Sun dia telah menaruh kepercayaan penuh yang agaknya terpengaruh oleh kenyataan bahwa Cia Sun adalah putera tunggal Cia Han Tiong, kakak angkat atau juga kakak seperguruan ayahnya. Sebaliknya, pemuda yang bernama Sim Thian Bu ini baru saja dikenalnya, belum diketahuinya benar keadaannya sungguh pun kelihatannya pantas menjadi seorang pendekar pula.

"Hati-hati bila berhadapan dengan manusia, anakku," demikian antara lain ibu kandungnya sering memberi nasehat. "Di dunia ini penuh dengan manusia palsu, yang pada lahirnya nampak baik dan dapat dipercaya, akan tetapi sesungguhnya adalah manusia jahat yang berbahaya, seperti harimau bertopeng domba."

Dia tidak akan kehilangan kewaspadaan, pikirnya dan meski pun dia merasa suka bergaul dengan pemuda tampan yang berwajah gembira dan pandai bicara ini, namun dia belum menyerahkan seluruh kepercayaannya dan diam-diam bersikap waspada.

"Kalau kita pergi dari sini, ke mana tujuanmu?" Dia bertanya sambil mengemasi selimut yang tadi dipakainya untuk melewatkan malam di tempat itu kemudian membuntal semua pakaiannya.

"Ke mana? Ha-ha, nona, sudah kuberi tahukan bahwa aku adalah seorang perantau yang tidak mempunyai tujuan tertentu ke mana akan pergi. Ke mana saja, asal bisa meluaskan pengalaman memperlebar pengetahuan. Kabarnya, di sebelah selatan, hanya perjalanan satu hari, terdapat sebuah telaga yang sangat indah. Bagaimana kalau kita melancong ke sana? Tentu saja kalau nona suka."

Pemuda itu memang pandai mengatur kata-katanya sehingga sangat menyenangkan hati Sui Cin. Di dalam ucapannya itu terkandung bujukan, akan tetapi jelas bukan paksaan dan menyerahkan keputusannya kepada Sui Cin dan mementingkan perasaan gadis itu.

"Baik, kita pergi ke sana," kata Sui Cin.

Dara ini mengambil keputusan untuk bersenang-senang dahulu sebelum pulang ke Pulau Teratai Merah yang telah ditinggalkan selama berbulan-bulan itu.

********************

Cin-an adalah sebuah kota besar yang terletak di Lembah Huang-ho di Propinsi Shantung. Daerah ini memiliki beberapa tempat peristirahatan atau tempat rekreasi yang indah-indah karena tanahnya memang subur.

Di luar kota Cin-an, di tepi pantai Sungai Huang-ho yang airnya berlimpah-limpah, terdapat sebuah kebun yang luas. Selain terdapat pohon-pohon kembang yang beraneka ragam dan warna, di sini juga terdapat gunung-gunungan dan sebuah telaga buatan yang kecil di tengah-tengah kebun di mana orang dapat berperahu, memancing ikan, berenang-renang dan sebagainya.

Setiap hari ada saja orang mengunjungi kebun ini dan terutama sekali para pembesar dan orang kaya mempergunakan tempat ini untuk pelesir dan menghibur hati di atas perahu mereka, minum-minum sambil mendengarkan musik, nyanyian dan menonton tarian para penyanyi dan penari yang sengaja mereka bawa untuk bersenang-senang.

Akan tetapi pada hari itu di kebun itu agak sepi. Di samping hanya terlihat beberapa orang yang berjalan-jalan di sana-sini, ada pula yang sedang duduk di perahunya memancing ikan, ada pula yang berjalan-jalan di sekeliling telaga. Beberapa buah perahu kecil yang didayung oleh dua orang hilir-mudik di atas permukaan air sambil bercakap-cakap dan minum arak.

Di atas gunung-gunungan ada seorang pelukis tua sedang asyik melukis telaga dengan perahu-perahunya. Nampak pula seorang penyair sedang corat-coret dengan alis berkerut, menyatakan kesan dan perasaan hatinya berbentuk huruf-huruf tersusun indah. Agaknya sang penyair ini belum juga dapat menemukan rangkaian huruf yang memuaskan hatinya. Berkali-kali dia merobek lagi kertas yang ditulisnya dan akhirnya dia pun bangkit berdiri, mulutnya berkemak-kemik menggulung sajak yang dikarangnya dan kakinya melangkah menaiki gunung-gunungan di mana sang pelukis tengah melukis dengan asyiknya.

Tak lama kemudian penyair itu telah berdiri di belakang sang pelukis, tanpa mengeluarkan suara gaduh agar tidak mengganggu pekerjaan orang, dia memandang lukisan yang mulai berbentuk itu. Mendadak wajahnya berseri dan seperti tanpa disadarinya dia berkata lirih sambil memandang ke arah lukisan itu.

"...gerakan air dan awan berubah setiap saat tanpa bekas, tanpa tujuan..."

Penyair itu bertepuk tangan dengan hati girang sekali. "Ah, benar sekali. Di dalam lukisan terkandung sajak dan di dalam syair terkandung lukisan, keduanya tak dapat dipisahkan!" Akan tetapi sesudah mengeluarkan ucapan yang nadanya gembira ini, dia berbisik, "Dua orang bercaping lebar yang sedang memancing ikan, itulah mereka."

Si pelukis memandang ke arah pemukaan telaga di mana terdapat dua orang setengah tua sedang sibuk memancing. Caping mereka yang lebar menyembunyikan muka mereka dan dari bawah caping itu, mata mereka kadang kala ditujukan ke arah seorang pemuda yang sedang mendayung perahu seorang diri sambil minum arak! Dua orang bercaping lebar itu memiliki bentuk tubuh yang tegap, dan pandang mata mereka tajam, juga di balik jubah mereka terdapat sebatang pedang.

Kini pelukis itu membenahi barang-barangnya, menggulung lukisannya dan bersama si penyair lalu menuruni gunung-gunungan menuju ke tepi telaga. Mereka berjalan perlahan sambil bercakap-cakap. Keduanya terlihat akrab sekali, mungkin karena keduanya adalah seniman. Usia mereka sebaya, kurang lebih lima puluh tahun dan mereka mengenakan pakaian sasterawan yang sederhana.

Orang-orang tak akan mencurigai dua orang laki-laki ini karena tempat itu memang biasa dikunjungi para seniman. Akan tetapi kalau orang memandang kepada dua orang kakek sederhana itu dengan penuh perhatian dan melihat ke arah tangan mereka, maka orang itu akan terkejut karena ada sesuatu yang tidak wajar pada tangan mereka.

Tangan seniman biasanya halus dan lembut, akan tetapi tangan kedua orang seniman tua ini, dari pergelangan sampai ke ujung jari-jari tangan, nampak kebiruan! Bagi ahli silat, hal ini menjadi tanda bahwa kedua kakek seniman ini pernah mempelajari ilmu pukulan yang ampuh!

Memang demikianlah. Dua orang kakek ini bukan orang-orang sembarangan, akan tetapi tokoh-tokoh dari Kang-jiu-pang! Kang-jiu-pang (Perkumpulan Kepalan Baja) didirikan oleh seorang kakek gagah perkasa bernama Song Pak Lun dan perkumpulan itu berpusat di Cin-an.

Song Pak Lun adalah bekas perwira tinggi yang sudah didepak keluar karena menentang kebijaksanaan Liu-thaikam. Dia tidak mendendam karena dikeluarkan, melainkan sebagai seorang patriot yang mencinta negaranya, dia merasa prihatin melihat betapa pemerintah dikendalikan oleh pembesar lalim seperti Liu-thaikam yang dapat menguasai kaisar muda yang belum berpengalaman. Maka dia pun selalu bersikap menentang.

Dalam usianya yang enam puluh tahun itu, Song Pak Lun masih penuh semangat dan dia memiliki banyak murid yang menjadi anggota Kang-jiu-pang. Pada waktu dia mendengar bahwa kaisar dalam penyamaran sedang berpelesir meninggalkan istana dan diam-diam hanya dikawal oleh dua orang perwira pengawal, dia cepat mengerahkan para pembantu utamanya untuk bertindak. Kaisar harus ditawan, diculik, demikian keputusannya.

Sebagai seorang bekas perwira, tentu saja Song Pak Lun hanya dapat mempergunakan cara militer untuk berusaha menolong pemerintah. Dia hendak menawan kaisar muda itu dan memaksa kaisar, kalau perlu dengan ancaman nyawa, agar kaisar suka menghukum atau memecat Liu-thaikam! Dan kini muncul kesempatan yang amat baik baginya untuk melaksanakan maksud itu. Kebetulan kaisar muda itu melakukan perjalanan ke daerah Cin-an, menyamar sebagai seorang pemuda biasa!

Dua orang pria bercaping lebar itu memang dua orang perwira pengawal pribadi kaisar. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan mendapat kepercayaan Liu-thaikam yang secara diam-diam mengutus dua orang pengawal itu untuk melindungi keselamatan kaisar. Tentu saja Liu-thaikam amat setia kepada kaisar!

Memang, merupakan kenyataan pahit yang terpaksa harus kita telan sebagai kenyataan hidup betapa yang disebut kesetiaan itu sesungguhnya menyembunyikan sesuatu yang pada hakekatnya hanyalah usaha untuk mempertahankan kesenangan diri sendiri!

Siapakah yang setia dan kepada siapa? Tentu yang setia itu adalah orang atau golongan yang dapat menerima keuntungan serta kebaikan, pendek kata menerima sesuatu yang menyenangkan dirinya dan kesetiaan itu ditujukan pada orang atau golongan yang akan mendatangkan kesenangan itu!

Karena sebab yang gamblang inilah maka di dunia ini sering kali terjadi kesetiaan yang kemudian berubah menjadi pengkhianatan. Kalau kesenangan itu tidak diterimanya lagi, maka kesetiaan pun akan mengalami perubahan.

Liu-thaikam setia kepada kaisar, sebetulnya dia mempertahankan kesenangan yang telah diperolehnya dari kaisar. Karena kalau kaisar celaka, berarti dia sendiri pun celaka! Dan bentuk kesenangan yang didapatkan seseorang bukan hanya terbatas pada kesenangan lahiriah berupa harta benda, pangkat tinggi dan kedudukan, melainkan dapat saja berupa kesenangan batiniah berupa nama terhormat dan sebagainya.


Kita kembali kepada pemuda yang sedang duduk seorang diri di dalam perahunya sambil minum arak, menikmati pemandangan indah dan hawa yang sejuk bersih menyegarkan di pagi hari itu. Pemuda itu berpakaian seperti seorang sasterawan, berwajah tampan akan tetapi ada bayangan sifat manja dan malas di balik ketampanannya itu. Pemuda berusia sembilan belas tahun ini adalah Kaisar Ceng Tek!

Sejak diangkat menjadi kaisar dalam usia lima belas tahun, yaitu empat tahun yang lalu, kaisar muda ini tak pernah memperlihatkan minat yang besar terhadap pemerintahan. Dia lebih suka menghibur diri dengan permainan silat atau membaca kitab-kitab kuno, bergaul dengan para seniman, dan sesudah usianya semakin dewasa mulailah dia suka bergaul dengan wanita.

Dalam usahanya untuk menguasai hati kaisar, Liu-thaikam yang tahu akan kesukaan ini tentu saja selalu menyediakan segala sesuatu yang diinginkan kaisar. Gadis-gadis cantik, seniman-seniman pandai, sehingga kaisar muda itu makin tenggelam dalam kesenangan tanpa mempedulikan urusan pemerintah.

Satu di antara kesenangannya adalah merantau dan bertualang seperti seorang pemuda biasa, menanggalkan pakaian kebesaran serta mahkotanya yang berat itu, meninggalkan segala upacara kerajaan yang membosankan, meninggalkan urusan-urusan pemerintahan yang ruwet-ruwet, meninggalkan semua itu agar diurus oleh Liu-thaikam. Sedangkan dia sendiri bebas lepas seperti burung di udara, terbang melayang sesuka hatinya! Keadaan kaisar muda ini dapat terjadi demikian karena memang dia tidak mencintai pekerjaannya.

Betapa banyaknya manusia di dunia ini yang bekerja atau mengerjakan sesuatu bukan karena mencintai pekerjaannya, tapi karena terpaksa! Terpaksa oleh keadaan, terpaksa oleh cita-cita, terpaksa oleh dorongan orang tua, keluarga, masyarakat dan sebagainya.

Banyak orang tua mengirim anaknya ke suatu pendidikan tertentu karena terdorong oleh cita-cita muluk dan nanti setelah si anak berhasil lulus, ia terpaksa melakukan pekerjaan sesuai dengan pendidikannya, tanpa rasa cinta kepada pekerjaan itu sehingga batinnya terasa tersiksa selama hidup!

Banyak pula orang yang melakukan suatu pekerjaan hanya karena ingin mencari uang. Uang didapat, akan tetapi di samping itu, juga siksaan didapat pada waktu dia bekerja. Mengerjakan sesuatu yang tidak disenangi mendatangkan rasa jemu dan kalau dilakukan setiap hari sepanjang masa, akan mendatangkan siksa.

Kita hanya tinggal membuka mata untuk dapat melihat kenyataan ini, betapa manusia bekerja seperti robot tanpa gairah tanpa kegembiraan karena memang pada hakekatnya dia tidak mencintai pekerjaannya, bahkan di bawah sadarnya dia membenci pekerjaannya yang membelenggu kaki tangannya selama hidup itu!


Sebagai seorang yang paling berkuasa, Kaisar Ceng Tek tentu bisa melepaskan diri atau mencoba untuk melepaskan diri sewaktu-waktu dari belenggu itu. Akan tetapi apa yang dilakukannya bukanlah membebaskan diri dari belenggu melainkan hanya suatu pelarian sementara saja karena pada hakekatnya dia masih menggunakan haknya sebagai kaisar, berarti masih ingin menikmati hasil dari kekuasaannya. Dan akibat dari pelarian ini adalah kekacauan, karena roda pemerintahan dikendalikan oleh orang lain yang melakukannya demi ambisi pribadi, demi penumpukan harta benda.

Pada pagi hari itu Kaisar Ceng Tek duduk dalam perahu kecil sambil tersenyum-senyum gembira, menyangka bahwa tak ada seorang pun yang mengetahui keadaan dirinya. Dia tidak tahu bahwa tak jauh dari perahunya, dua orang tukang pancing setengah tua itu tak pernah melepaskannya dari pengamatan dan pengawalan. Juga dia tidak tahu bahwa ada beberapa pasang mata orang lain yang selalu memperhatikan gerak-geriknya dan bahwa pada saat itu dia telah menjadi pusat perhatian banyak orang dan berada dalam keadaan terancam.

Saat itu, si penyair dan si pelukis yang sebetulnya adalah dua orang tokoh Kang-jiu-pang yang lihai dan merupakan pembantu-pembantu utama dari ketua Kang-jiu-pang, dan yang bertugas memimpin usaha penculikan kaisar, telah naik sebuah perahu kecil, mendayung perahu kecil itu sambil minum arak, malah si penyair bernyanyi-nyanyi kecil membacakan sajaknya. Perahu mereka mendekati dua orang kakek yang sedang memancing ikan itu, lantas tiba-tiba saja perahu mereka itu menabrak perahu dua orang tukang pancing yang bercaping dan yang tidak menyangka-nyangka itu.

"Heiiiii...!" Seorang di antara mereka berteriak.

Akan tetapi tiba-tiba saja sikap kedua orang kakek seniman itu berubah. Mereka sudah meloncat lantas mempergunakan dayung mereka menghantam ke arah dua orang kakek bercaping.

"Heiiiittt!"

"Hyaaattt...!"

Dua orang bercaping itu lantas meloncat, cepat mengelak sambil mencabut pedang yang tersembunyi pada balik jubahnya. Si pelukis menggunakan jangkar perahu untuk mengait perahu lawan dan kini dua perahu itu bergandeng, lalu mereka berempat mulai berkelahi dengan serunya.

Dua orang seniman itu menggunakan dayung, dibantu tangan yang melencarkan pukulan-pukulan ampuh dengan tangan baja mereka, sedangkan dua orang tukang pancing itu menggunakan pedang. Dua buah perahu yang digandeng dengan jangkar dan talinya itu bergoyang-goyang keras dan setiap saat perahu-perahu itu dapat saja terguling.

Kaisar Ceng Tek yang perahunya berada tak jauh dari situ, menjadi terkejut mendengar suara gaduh dan makin kagetlah dia melihat empat orang laki-laki sedang saling serang dengan hebatnya. Dia adalah seorang pemuda yang suka bertualang. Karena tidak tahu persoalannya, mengira bahwa perkelahian itu tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya, sang kaisar bangkit berdiri di perahunya dan menonton dengan gembira!

Satu di antara kesukaannya adalah menyaksikan pertandingan silat dan kini dia disuguhi pertandingan yang seru dan menarik, dilakukan di atas dua buah perahu yang digandeng menjadi satu, antara empat orang kakek yang agaknya memiliki ilmu silat yang hebat.

"Ceppp...!"

Perahu kecil itu terguncang hingga sang kaisar hampir saja terpelanting. Dia cepat duduk lantas berpegangan pada tepi perahu sambil menggerakkan dayungnya mencegah agar perahunya tidak terguling. Kiranya sesudah dia duduk, dia melihat betapa sebatang anak panah yang besar telah menancap di badan perahunya dan gagang anak panah itu diikat sehelai tali dan kini perahunya bergerak, ditarik oleh sebuah perahu lain di depan yang ditumpangi oleh dua orang laki-laki bertubuh tegap!

"Heiii, apa-apaan ini? Lepaskan perahuku!" Sang kaisar berteriak marah.

"Tenanglah saja, sri baginda!" Terdengar suara di belakangnya.

Kaisar Ceng Tek cepat menengok. Ternyata di sebelah belakang perahunya terdapat tiga buah perahu lain yang masing-masing didayung oleh dua orang laki-laki tegap dan terlihat gagah. Ternyata yang berusaha menculiknya ada empat perahu dengan delapan orang, tidak termasuk dua orang kakek yang sedang bertanding melawan dua orang bercaping itu.

Kaisar Ceng Tek bukanlah seorang anak kecil. Dia tahu bahwa dirinya kini sudah berada di dalam kekuasaan para penculiknya. Tidak ada jalan meloloskan diri karena mereka itu sudah mengenal siapa dia. Untuk berteriak-teriak, di samping belum tentu akan ada yang berani menolong, juga betapa mudahnya bagi para penculiknya itu untuk membunuhnya jika mereka kehendaki. Jalan satu-satunya hanyalah menyerah saja sambil melihat bagai mana perkembangannya.

Dia juga tahu bahwa mereka tentu tak bermaksud membunuhnya, karena kalau demikian halnya, perlu apa mereka itu bersusah-susah hendak menawannya? Tak nampak adanya petugas jaga di tempat itu, maka tidak ada yang diharapkannya untuk dapat menolongnya dari orang-orang ini.

Kini perahu sang kaisar telah ditarik ke pinggir telaga dan dua orang meloncat ke dalam perahu kecil itu.

"Harap paduka suka menyerah saja dan menurut kehendak kami dari pada paduka harus dipaksa dengan kekerasan," berkata salah seorang di antara mereka yang tertua, berusia lima puluh tahun lebih dan memegang pedang. "Mari kita mendarat."

Kaisar Ceng Tek mengangkat bahu, bersikap tenang biar pun jantungnya berdebar penuh ketegangan, bahkan ada sedikit kegembiraan karena petualangannya ini sungguh sangat menarik, lalu dia pun melangkah keluar dari perahu dan mendarat. Akan tetapi, pada saat delapan orang itu mendarat semua, tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring.

"Tikus-tikus yang bosan hidup!" tiba-tiba saja, seperti setan, muncul seorang wanita yang mukanya berkedok hitam tipis, menyembunyikan bentuk mukanya sehingga yang tampak hanya sepasang mata yang liar, hidung kecil serta mulut lebar yang giginya besar-besar putih. Begitu muncul, tangan kirinya bergerak dan sinar-sinar halus menyambar ke arah orang-orang Kang-jiu-pang itu.

"Awas senjata rahasia!" teriak orang tertua.

Para anggota Kang-jiu-pang yang rata-rata mempunyai kepandaian cukup tinggi itu cepat berloncatan mengelak. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa mengejek.

"Ha-ha-ha, orang-orang Kang-jiu-pang hendak berlagak!" Dan muncul pula seorang kakek tinggi besar bermuka hitam kasar dan penuh brewok.

Kakek ini memegang sebatang pecut baja yang panjang dan pada ujungnya terdapat paku besar. Mata kakek ini bulat, hidungnya besar dan mulutnya lebar. Pakaiannya jorok dan kotor.