Asmara Berdarah Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

DELAPAN orang Kang-jiu-pang terkejut bukan main ketika melihat munculnya dua orang ini. Mereka segera mengenal kakek Koai-pian Hek-mo dan nenek Hwa-hwa Kui-bo, dua orang datuk kaum sesat di muara Huang-ho dan mereka juga merasa heran karena tidak biasa dua orang datuk sesat ini turun tangan mengacaukan dunia.

"Ji-wi locianpwe, harap jangan mencampuri urusan dalam Kang-jiu-pang. Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan ji-wi atau dengan golongan ji-wi!" berkata orang tertua dari Kang-jiu-pang dengan sikap hormat untuk menghindarkan bentrokan dengan kedua orang datuk kaum sesat ini. Dan memang, mereka sedang melaksanakan tugas yang tidak ada hubungannya dengan golongan mana pun, sehingga tidak perlu menimbulkan perkelahian yang hanya akan menghalangi pekerjaan mereka.

"Ha-ha-ha!" Koai-pian Hek-mo tertawa mengejek, sehingga nampak giginya yang kuning kotor. "Kalian hendak menculik kaisar dan masih bilang urusan dalam? Ha-ha-ha, kami memang tidak ada sangkut-pautnya, akan tetapi Liu-thaikam tentu tak akan membiarkan begitu saja!"

Mendengar ucapan ini, maka kagetlah orang-orang Kang-jiu-pang itu. Kiranya Liu-thaikam sudah bertindak sedemikian jauhnya sehingga berani mempergunakan datuk-datuk kaum sesat untuk menjadi antek-antek dan kaki tangannya! Maka, sambil mengeluarkan seruan marah, para murid Kang-jiu-pang lalu menerjang maju, menyerang kakek dan nenek iblis itu!

Dua orang kakek dan nenek iblis itu tertawa mengejek. Karena orang-orang Kang-jiu-pang itu, sesuai dengan nama perguruannya, sudah melatih dua tangan mereka yang berwarna gelap, maka mereka biasanya berkelahi mengandalkan kedua tangan itu.

Melihat ini, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo yang mempertahankan gengsi mereka sebagai datuk kaum sesat, juga tak mau mempergunakan senjata mereka. Nenek itu tidak mencabut pedangnya dan Koai-pian Hek-mo malah menyimpan kembali cambuk bajanya, kemudian mereka menyambut serangan tujuh orang murid Kang-jiu-pang dengan tangan kosong pula.

Para murid Kang-jiu-pang memiliki sepasang tangan yang terlatih, kuat dan antep pukulan mereka. Akan tetapi sekali ini mereka menghadapi dua orang lawan yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi, maka walau pun tujuh orang mengeroyok dua orang, tetap saja para murid Kang-jiu-pang itu kewalahan dan beberapa orang di antara mereka sudah beberapa kali jatuh bangun terkena serempetan tangan atau kaki dua orang iblis itu.

Sedangkan murid tertua yang tadi menjadi wakil pembicara, tidak ikut mengeroyok, akan tetapi dengan pedang di tangan menjaga sang kaisar yang menonton dengan heran dan kagum. Dia merasa amat heran kenapa orang-orang yang kelihatannya seperti pendekar-pendekar gagah hendak menculiknya, sebaliknya dua orang yang seperti iblis jahat itu kini malah melindunginya, dan dia kagum melihat kelihaian dua orang iblis itu.

Murid Kang-jiu-pang yang menjaga kaisar melihat kenyataan betapa para sute-nya tidak akan menang menghadapi kedua orang datuk kaum sesat itu. Dia adalah seorang yang cerdik. Begitu mendengar bahwa mereka berdua itu adalah kaki tangan Liu-thaikam, dia pun maklum bahwa tentu saja mereka berusaha mati-matian melindungi kaisar. Apa bila terjadi apa-apa dengan kaisar, hal itu berarti akan sangat merugikan thaikam itu, bahkan mungkin akan meruntuhkan kekuasaannya yang hanya sementara itu.

"Berhenti atau kubunuh kaisar...!" Tiba-tiba dia membentak dan menodongkan pedangnya yang ditempel pada leher kaisar muda itu.

Sang kaisar hanya terbelalak dengan wajah pucat karena kedua pergelangan tangannya sudah ditangkap oleh tangan kiri murid Kang-jiu-pang itu dan lehernya ditempeli pedang yang tajam. Tidak mungkin melepaskan diri dari cengkeraman tangan kiri yang amat kuat itu.

Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo terkejut dan mereka terpaksa meloncat mundur dan dengan mata terbelalak kehabisan akal mereka melihat betapa kaisar sudah ditodong oleh seorang murid Kang-jiu-pang. Nekat menyerbu akan membahayakan nyawa kaisar dan apa bila sampai terjadi sesuatu menimpa kaisar, mereka takut akan kemarahan Iblis Buta.

Akan tetapi pada saat itu murid Kang-jiu-pang yang menodong kaisar tiba-tiba mengeluh lantas terguling pingsan, pedangnya terlepas dari pegangan. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu muncul seorang pemuda yang tadi melemparkan sebuah batu kerikil kecil yang tepat mengenai tengkuk murid Kang-jiu-pang hingga membuatnya roboh pingsan itu, dan pemuda ini sekarang berdiri di dekat kaisar dengan sikap hormat dan berkata lembut,

"Harap paduka jangan khawatir, sri baginda..."

Melihat betapa sekarang kaisar sudah terbebas dari ancaman bahaya, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi gembira sekali, dan mereka juga marah kepada para murid Kang-jiu-pang yang tadi sudah membuat mereka terkejut dan bingung. Keduanya segera mencabut senjata masing-masing lalu mengamuk.

Kasihan para murid Kang-jiu-pang itu. Melawan dua orang iblis ini dalam keadaan tangan kosong saja mereka sudah sangat kewalahan, apa lagi kini harus melawan mereka yang menggunakan senjata keistimewaan mereka.

Koai-pian Hek-mo menggerakkan pecut bajanya yang berujung paku itu dan hanya dalam waktu belasan jurus saja empat orang pengeroyok sudah roboh dan tewas dengan kepala berlubang tertusuk paku. Juga Hwa-hwa Kui-bo mengamuk hingga tiga orang pengeroyok lainnya tewas oleh bacokan dan tusukan pedangnya.

Nenek ini merasa tidak puas karena dalam perkelahian ini, korbannya kalah banyak oleh Koai-pian Hek-mo. Maka tangan kirinya bergerak dan belasan batang jarum beracun lalu meluncur dan menancap pada leher dan dada murid Kang-jiu-pang yang masih pingsan, yaitu yang tadi menodong kaisar dan dirobohkan oleh pemuda yang baru datang. Dengan demikian, sekarang mereka berdua sudah membunuh delapan orang murid Kang-jiu-pang itu, seorang empat!

Sekarang dua orang kakek dan nenek iblis itu memandang kepada pemuda yang sudah menyelamatkan kaisar, lantas keduanya tertegun kagum. Seorang pemuda yang tampan dan ganteng! Karena kedua orang ini memang memiliki watak cabul dan keduanya suka kepada pemuda ganteng, maka wajah mereka berseri dan nenek berkedok itu tersenyum-senyum, mulutnya yang lebar terbuka sehingga nampaklah deretan gigi putih yang besar-besar.

Pemuda itu memang ganteng. Tubuhnya tinggi besar dan tegap, dengan dada bidang dan pinggang kecil, tubuh yang membayangkan kekuatan dahsyat. Wajahnya yang tampan itu berseri dan cerah, agaknya gembira selalu. Bibirnya yang berbentuk bagus dan gagah itu selalu tersenyum dan kedua mata yang jernih dan tajam itu pun selalu berseri gembira.

Akan tetapi pakaian pemuda ini sembarangan saja, kedodoran dan agaknya dia jauh dari pada pesolek. Biar pun pakaiannya sederhana kedodoran, namun pakaian itu tidak dapat menyembunyikan tubuhnya yang padat berisi dan kuat.

Pemuda berusia dua puluh satu tahun ini memang sangat menarik, merupakan seorang pemuda tampan gagah yang agaknya selalu bergembira. Ketika tadi dia menyelamatkan kaisar dan melihat betapa sepasang iblis itu membunuhi delapan orang musuh, dia hanya mengerutkan alisnya yang hitam tebal tanpa menghilangkan senyumnya. Dia hanya ingin menyelamatkan kaisar, dan urusan antara delapan orang itu dengan dua iblis ini bukanlah urusannya dan dia tidak ingin mencampuri.

Pada saat itu pula dua orang pengawal rahasia kaisar, yaitu dua orang perwira yang tadi menyamar sebagai dua orang tukang pancing kemudian diserang oleh dua orang tokoh Kang-jiu-pang yang menyamar sebagai dua orang seniman, berlari-larian datang dengan pakaian basah kuyup. Mereka terlihat girang sekali melihat kaisar dalam keadaan selamat dan mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kaisar.

"Hamba berdua menghaturkan selamat kepada paduka yang telah terbebas dari ancaman bahaya berkat pertolongan orang-orang gagah ini," kata seorang di antara mereka.

Kaisar Ceng Tek merasa jengkel melihat penyamarannya dikenal orang. Rahasianya telah terbuka sehingga tak ada gunanya lagi berpura-pura, maka dia pun mengerutkan alisnya kemudian bertanya, "Kalian siapa?"

"Hamba berdua adalah perwira pengawal yang telah diutus oleh Liu-taijin untuk melindungi paduka. Ampunkan, hamba yang hampir gagal melindungi paduka."

"Sudahlah, ceritakan apa yang telah terjadi!" kata kaisar tak sabar.

"Hamba berdua menyamar sebagai tukang-tukang pancing melindungi paduka. Tiba-tiba saja ada dua orang, agaknya tokoh-tokoh yang menyamar pula, menabrakkan perahunya kepada perahu hamba sehingga terjadilah perkelahian. Ternyata mereka berdua itu hanya menghalangi hamba berdua agar tidak dapat mencegah pada saat kawan-kawan mereka menculik paduka dan menarik perahu paduka. Hamba berdua terus melawan mati-matian sampai perahu kami semua terguling. Mereka lalu melarikan diri dengan berenang ketika melihat betapa usaha kawan-kawan mereka agaknya gagal. Dan hamba berdua sempat menyaksikan betapa paduka diselamatkan oleh tiga orang gagah ini."

Kaisar ini menghadapi kakek dan nenek itu dan diam-diam hatinya bergidik. Dua orang ini seperti iblis saja. "Siapakah kalian?" tanyanya singkat.

Biar pun dua orang itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang biasanya bersikap tidak acuh dan tidak peduli akan sopan santun, kini setelah mereka tahu bahwa mereka berhadapan dengan kaisar, keduanya merasa canggung dan juga gentar. Mereka saling memandang, merasa tidak enak jika harus memperkenalkan julukan mereka yang menyeramkan.

Apa lagi nenek itu. Dia merasa tidak sanggup untuk menjawab sehingga dengan pandang matanya di balik kedok, dia menyerahkan saja jawabannya kepada rekannya! Hampir saja Koai-pian Hek-mo memaki melihat kelicikan nenek itu, akan tetapi dia tidak berani berlaku sembrono lalu menjura.

"Kami berdua ingin membantu usaha Liu-thaikam yang hendak melindungi paduka, dan mereka ini adalah orang-orang Kang-jiu-pang yang memberontak. Kami berdua sekarang juga akan menyerbu ke sarang Kang-jiu-pang dan akan kami basmi sampai habis semua anggotanya!"

Kaisar mengerutkan alisnya. Dia tidak senang dengan bunuh-bunuhan ini, dan tadi pun melihat delapan orang itu terbunuh, dia sudah merasa muak, walau pun delapan orang itu tadi berusaha untuk menculiknya. Karena itu, tanpa mengeluarkan komentar dia pun lalu menoleh kepada pemuda tampan yang pakaiannya nyentrik itu.

"Dan engkau siapa?"

Pemuda itu cepat-cepat menjura dengan sikap hormat. "Hamba hanyalah pelancong yang kebetulan lewat di tempat ini dan ketika melihat paduka terancam bahaya, hamba merasa berkewajiban untuk menyelamatkan paduka dari ancaman bahaya. Tadinya hamba tidak menyangka bahwa paduka adalah sri baginda dan baru hamba ketahui sesudah hamba mendengarkan percekcokan mereka.”

Kaisar merasa semakin jengkel. Orang-orang ini adalah orang-orang kang-ouw yang dia tahu berwatak aneh-aneh. Orang-orang Kang-jiu-pang yang seperti pendekar-pendekar itu ternyata malah menculiknya. Dua kakek dan nenek iblis yang kelihatan kejam ini malah menyelamatkannya, dan pemuda yang pakaiannya tidak karuan ini pun agaknya enggan untuk memperkenalkan nama. Ahh, dia pun tidak ingin berkenalan dengan segala macam petualang itu. Maka dia pun berpaiing kepada dua orang perwira pengawal,

"Mari antarkan aku pulang, aku lelah sekali!" Tanpa banyak cakap dan tanpa menoleh lagi kepada kakek dan nenek iblis, juga kepada pemuda tampan itu, kaisar lalu meninggalkan tempat itu, diiringkan oleh dua orang pengawalnya.

Setelah kaisar pergi, nenek itu terkekeh. "Huh-huh, begitu sajakah kaisar? Tak mengenal budi! Ehh, orang muda, engkau tadi sudah membantu kami, sungguh engkau merupakan sahabat yang baik!"

"Kaisar tidak minta dilindungi, mengapa engkau mengomel?" Koai-pian Hek-mo mencela nenek itu, kemudian dilanjutkan kepada si pemuda, "Orang muda yang gagah, siapakah engkau dan dari perguruan mana? Aku suka sekali bersahabat denganmu!"

"Jangan percaya dengan omongannya! Paling-paling engkau nanti akan dijadikan kawan tidurnya!" Hwa-hwa Kui-bo mengejek.

"Wah, masih jauh lebih baik dari pada menjadi pacar nenek-nenek seperti tua bangka ini!" Koai-pian Hek-mo membalas dan keduanya berdiri berhadapan dengan sikap beringas.

Pemuda itu tersenyum. "Ha-ha-ha, sungguh lucu sekali kalian ini. Kalau aku tidak salah, engkau tentulah Koai-pian Hek-mo dan engkau adalah Hwa-hwa Kui-bo, dua orang datuk muara Huang-ho yang terkenal itu, bukan?"

"Bagus sekali jika engkau telah mengenal namaku, orang muda. Engkau ikutlah denganku dan menjadi muridku yang terkasih!" kata Koai-pian Hek-mo sambil menatap wajah yang tampan itu.

"Engkau menjadi muridku saja, dan apa pun yang kau minta tentu terlaksana."

"Wah, bingung aku. Kalian berdua sama-sama hebat, sama-sama lihai, berat hatiku untuk memilih yang mana. Tentu aku akan senang sekali menjadi murid kalian. Bagaimana jika kalian berebut saja? Bertanding untuk menentukan siapa yang berhak menjadi guruku? Yang menang itulah guruku!" kata si pemuda sambil tertawa.

"Bagus!" Hwa-hwa Kui-bo berseru. Nenek yang agaknya sudah ingin sekali segera dapat memiliki pemuda yang sangat menggairahkan hatinya itu tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang Koai-pian Hek-mo dengan pedangnya! Kakek itu pun menjadi marah sekali dan cepat dia menangkis dengan pecut bajanya dan balas menyerang.

Dua orang kakek dan nenek ini sudah saling serang dengan hebat dan mati-matian untuk memperebutkan pemuda tampan yang menarik hati itu tanpa menyelidiki lebih dulu siapa adanya pemuda yang baru saja mereka jumpai itu. Ada lebih dari dua puluh jurus mereka saling serang dan baru mereka melihat bahwa pemuda yang menjadi sebab perkelahian mereka itu ternyata sudah tak ada lagi di tempat itu, sudah pergi dengan diam-diam tanpa mereka ketahui karena sejak tadi mereka hanya mencurahkan perhatian untuk mencari kemenangan!

"Celaka, kita tertipu!" bentak Koai-pian Hek-mo sambil meloncat mundur.

"Engkau tua bangka, kenapa tidak mau mengalah sampai dia pergi tanpa kuketahui siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya?"

"Bagaimana pun juga, dia tadi telah membantu kita. Tentu dia seorang di antara sahabat dan kelak kita tentu akan bertemu lagi. Mari kita lanjutkan tugas panting kita!"

"Tapi aku belum kalah!" tantang si nenek.

"Aku pun belum!"

"Mari kita lanjutkan!"

"Hushhh! Ingin kulaporkan kepada lojin bahwa engkau tidak mentaati perintah?"

"Sialan! Mulut runcing!" si nenek mengomel, akan tetapi hatinya gentar juga.

Paling ngeri kalau orang sudah menyebut lojin dan dia pun tak berani lagi banyak cakap. Mereka lalu menggunakan ilmu berlari cepat menuju ke Cin-an untuk mengunjungi sarang Kang-jiu-pang.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Menjelang senja kakek dan nenek iblis itu tiba di luar pintu gerbang sarang Kang-jiu-pang. Sebagai rumah perkumpulan persilatan, tempat itu dikelilingi tembok tebal seperti benteng ada pun di luar pintu gerbang yang besar itu dijaga oleh beberapa orang pemuda anggota Kang-jiu-pang.

Ketika mereka sampai di sana, dua orang datuk kaum sesat itu tidak berani sembarangan bergerak. Keduanya sudah cukup lama mengenal perkumpulan ini hingga maklum bahwa perkumpulan itu dipimpin oleh Song Pak Lun yang lihai bukan main, terutama sekali dua ‘tangan baja’ yang telah dilatihnya secara sempurna itu. Mereka tahu bahwa perkumpulan ini juga memiliki murid atau anggota yang puluhan orang jumlahnya. Maka keduanya lalu menghampiri pintu gerbang, hendak bertindak secara terbuka sebab bagaimana pun juga, mereka merasa berada pada pihak pemerintah yang menghadapi pemberontak, jadi tentu saja mereka berdua merasa mendapat angin.

Ternyata bahwa kedatangan mereka itu sudah dinanti oleh tuan rumah. Buktinya, ketika mereka sampai di depan pintu gerbang, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki tua berusia kurang lebih enam puluh tahun, gagah perkasa dan bertubuh kokoh kuat serta sikapnya tenang dan angker. Inilah Song Pak Lun sendiri, ketua Kang-jiu-pang yang agaknya tidak ingin menerima tamu yang sudah membunuh delapan orang anak buahnya itu di dalam rumah, melainkan hendak menerimanya di luar tembok pintu gerbang!

Di samping kanan kirinya berjalan dua orang kakek yang tadi menyamar sebagai pelukis dan penyair, yang berhasil menyelamatkan diri untuk membawa berita yang sangat pahit itu, yaitu bahwa bukan saja tugas anak buah Kang-jiu-pang untuk menculik kaisar sudah gagal, bahkan delapan orang anak buah perkumpulan mereka tewas secara mengerikan dalam tangan dua orang datuk sesat.

Sejenak kedua belah pihak hanya saling pandang saja. Song Pak Lun tidak menunjukkan kedukaan atau kemarahan berhubung dengan kematian murid-muridnya dan kegagalan usahanya. "Sejak kapankah Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi antek pembesar lalim Liu-thaikam?" demikian sambutan Song Pek Lun ketika kedua orang iblis itu nampaknya tidak sabar lagi.

Kakek dan nenek itu melirik ke depan dan kanan kiri, melihat betapa ketua Kang-jiu-pang itu diikuti oleh murid-murid kepala dan juga semua murid yang jumlahnya tak kurang dari lima puluh orang. Semua murid atau anggota Kang-jiu-pang itu kelihatan amat marah dan mendendam kepada mereka berdua.

Dengan sikap tenang tapi mengejek Koai-pian Hek-mo melolos pecut bajanya, kemudian memutar-mutar senjata itu dengan sikap menantang sekali, baru dia berkata, "Dan sejak kapan Kang-jiu-pang menjadi gerombolan pemberontak?"

"Hemmm, sejak kapan datuk-datuk kaum sesat bersikap sebagai patriot sejati?" Kembali Song Pak Lun bertanya.

"Orang she Song, tidak usah banyak membuka mulutmu yang busuk!" Tiba-tiba Hwa-hwa Kui-bo yang memang wataknya galak itu memaki, "Engkau memusuhi kaisar atau tidak, itu bukan urusan kami. Akan tetapi ketahuilah, kami menerima tugas dari Siangkoan-lojin untuk melindungi kaisar dan untuk membasmi Kang-jiu-pang. Sekarang terserah padamu, engkau hendak menyerahkan nyawa secara baik-baik ataukah kami harus menggunakan kekerasan!" Sambil berkata demikian, nenek itu mencabut pedangnya.

Wajah Song Pak Lun menjadi pucat sebentar, kemudian berubah merah sekali, sepasang matanya lebar terbelalak dan seperti mengeluarkan api. Tadi dia terkejut sekali mendengar disebutnya narna Siangkoan-lojin. Ternyata si Iblis Buta itu benar-benar sudah keluar dari sarangnya untuk mengacau dunia! Dan dia marah mendengar kesombongan nenek itu.

"Kami adalah orang-orang gagah dan sampai mati pun kami menjunjung kegagahan. Jika kami mengandalkan banyak orang mengeroyok kalian, kami akan merasa malu walau pun memperoleh kernenangan. Hek-mo dan Kui-bo, majulah hadapi aku satu lawan satu. Bila aku kalah, aku akan menyerahkan nyawa dan akan membubarkan Kang-jiu-pang, akan tetapi kalau kalian kalah, kami akan menggunakan kepala kalian untuk menyembahyangi arwah delapan orang murid kami."

Koai-pian Hek-mo hanya tertawa mengejek. Akan tetapi Hwa-hwa Kui-bo yang lebih cerdik dan sudah tahu akan kelihaian ketua perkumpulan ini, lalu berseru, "Kami datang berdua sebagai utusan, maka mati hidup harus kami lakukan bersama. Karena itu kami berdua hendak maju bersama, dan engkau boleh memilih seorang jagoan lagi dari perkumpulan pemberontak ini untuk membantumu melawan kami berdua!"

Secara diam-diam Koai-pian Hek-mo merasa girang karena kecerdikan temannya ini telah menempatkan mereka di atas. Dia pun tahu bahwa orang paling lihai dari Kang-jiu-pang adalah ketua itu sendiri. Melawan ketua itulah yang berat. Apa bila mereka berdua maju bersama, maka ketua itu terpaksa harus memilih seorang muridnya untuk membantu. Dan kepandaian seorang murid tidak ada artinya bagi mereka berdua. Apa bila pembantu itu sudah roboh maka berarti mereka berdua akan mengeroyok sang ketua dan tentu mereka akan dapat menang!

Song Pak Lun juga merasa tersudut dengan alasan Hwa-hwa Kui-bo yang bukannya tidak masuk akal ini. Seorang di antara dua seniman tua tadi melangkah maju lantas berkata, "Pangcu, biarlah saya yang membantu pangcu menandingi mereka."

Akan tetapi Song Pak Lun segera menggelengkan kepala. Dua orang seniman itu adalah murid-murid utama yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi di antara murid-muridnya. Akan tetapi tingkat mereka belum ada tiga perempatnya, maka dia pun tahu bahwa kalau dia membiarkan seorang di antara mereka maju, hal itu hanya berarti membiarkan mereka maju mengantar nyawa saja.

Tidak, usahanya memang telah gagal namun dia harus menghadapi kegagalannya secara jantan. Kalau perlu dia akan mengorbankan nyawa. Tidak boleh dia membiarkan seorang murid lain terbunuh lagi sesudah ada delapan orang yang tewas.

"Aku akan maju sendiri menghadapi Hek-mo dan Kui-bo!" katanya dengan tegas.

"Tidak adil apabila satu orang melawan dua orang! Akulah yang akan membantu ketua Kang-jiu-pang!"

Mendadak terdengar suara orang disusul berkelebatnya bayangan orang, dan dua orang iblis itu terkejut ketika mengenal yang datang ini adalah pemuda tampan yang pernah mereka perebutkan! Dengan pakaiannya yang sederhana kedodoran sehingga nampak aneh, disertai senyum yang ramah dan sepasang matanya yang bersinar tajam, pemuda itu sudah berdiri di situ sambil memandang kepada dua orang datuk sesat.

"Kau...? Ahhh… jangan lancang, orang muda, bukankah engkau ingin menjadi muridku?" Hwa-hwa Kui-bo yang agaknya sudah tergila-gila kepada pemuda itu membujuk dengan suara merayu. "Tunggulah, aku membasmi Kang-jiu-pang ini lebih dulu, baru engkau ikut denganku bersenang-senang!"

Pemuda itu tertawa. "Sayang seribu sayang, Kui-bo, tetapi kedokmu itu amat mengerikan hatiku. Bukalah dulu kedokmu agar aku dapat melihat bagaimana macamnya mukamu."

Pemuda itu agaknya sengaja mengeluarkan kata-kata ini untuk menggoda dan mengejek, karena tak ada hal lainnya yang lebih memanaskan hati Hwa-hwa Kui-bo dari pada kalau orang bicara tentang mukanya dan kedoknya.

"Bocah keparat, kucabut lidahmu!" bentak nenek itu dengan marah.

Sementara itu, Song Pak Lun memandang tajam kepada pemuda yang baru datang, dan ketika murid kepala yang berdiri di belakangnya membisikkan bahwa permuda inilah yang pernah membantu kedua orang iblis itu menyelamatkan kaisar dan merobohkan seorang murid Kang-jiu-pang, tentu saja hatinya penuh curiga dan kemarahan.

Tidak mungkin pemuda yang sudah membantu dua orang iblis itu kini hendak membantu Kang-jiu-pang menghadapi mereka. Ini tentu sebuah tipuan atau siasat pihak lawan. Kaum sesat terkenal curang dan tidak segan mempergunakan akal-akal licik.

"Kang-jiu-pang tidak pernah mengharapkan bantuan orang luar, dan engkau orang muda malah masih ada perhitungan yang belum beres dengan kami!" bentaknya.

Pemuda itu menoleh kepadanya dan menarik napas, lantas menjura. "Maaf, pangcu. Aku pernah merobohkan muridmu karena melihat murid-muridmu hendak mengganggu kaisar. Akan tetapi setelah kuselidiki tadi, baru aku tahu apa dasarnya. Biar pun aku sendiri tidak menyetujui cara-caramu, akan tetapi baru kuketahui bahwa Kang-jiu-pang bukan golongan jahat. Maka, untuk menebus kesalahanku, aku hendak membantu Kang-jiu-pang."

"Hemmm!" Ketua yang keras hati itu mencela. "Kalau tidak ada campur tanganmu, tentu usaha kami sudah berhasil dan murid-murid kami tidak ada yang tewas. Kami tidak dapat menerima bantuan orang yang telah mencelakakan kami!"

Pemuda itu agaknya maklum bahwa dalam saat seperti itu, banyak bicara juga tidak ada gunanya. Ketua Kang-jiu-pang itu agaknya bukan hanya bertangan baja, akan tetapi juga berwatak baja yang keras. Maka dia pun menggerakkan kedua pundaknya.

"Terserah, kalau tidak boleh membantu aku pun tidak akan membantu kalian. Akan tetapi, aku sendiri masih mempunyai perhitungan dengan kedua iblis ini yang harus kubereskan sekarang juga. Heiii, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo, kutantang kalian untuk maju melawan aku. Kalau kalian tidak berani, maka perkara ini akan kusudahi kalau kalian suka membuntungi lengan kanan masing-masing dan memberikannya kepadaku!"

Mendengar ucapan yang nadanya memandang rendah sekali ini, ketua Kang-jiu-pang dan semua anak buahnya terkejut. Bahkan kakek dan nenek iblis itu sendiri terbelalak, lebih kaget dari pada marah. Ada seorang muda yang berani mengeluarkan ucapan seperti itu! Sungguh kurang ajar, terlalu menghina.

Pemuda itu memang sengaja mengeluarkan kata-kata yang nadanya memandang rendah untuk memaksa dua orang iblis itu menandinginya, atau setidak-tidaknya salah seorang di antara mereka agar lawan ketua Kang-jiu-pang menjadi ringan. Dan usahanya ini berhasil baik.

Dua orang datuk sesat itu marah sekali, merasa dipandang rendah sekali. Maka terdengar suara menggereng keras seperti seekor harimau terluka lantas terdengar suara meledak nyaring ketika pecut baja di tangan Koai-pian Hek-mo menyambar dahsyat ke arah kepala pemuda itu. Ujung cambuk baja yang panjang itu dipasangi paku besar dan kini paku itu meluncur ke arah pelipis si pemuda yang dianggap sombong dan bermulut besar.

"Ehh, luput...!" Pemuda itu mengejek sambil menggerakkan kepalanya mengelak.

"Wuuuuttt...! Singgg...!"

Paku di ujung pecut itu lewat beberapa senti saja di pinggir kepala pemuda yang nampak begitu tenang dan menghadapi kakek iblis itu sambil tersenyum-senyum.

"Tar-tar-tar-tarrr...!"

Pecut itu meledak-ledak dan menyambar-nyambar, akan tetapi pemuda itu tetap tenang saja, menghindar ke kanan kiri dengan gerakan yang indah dan mantap. Demikian yakin dia akan dirinya sendiri sehingga gerakannya tidak terlihat gugup, akan tetapi ujung pecut yang nampaknya seperti akan mengenai dirinya itu selalu luput.

"Wah, tidak kena lagi, Hek-mo!" dia berulang-ulang mengejek.

Song Pak Lun bukanlah seorang yang bodoh. Biar pun dia keras hati dan memiliki harga diri yang tinggi, namun dia cukup cerdik. Dia tadi telah menolak bantuan pemuda itu, dan kalau kini pemuda itu berkelahi melawan Koai-pian Hek-mo, hal itu adalah urusan mereka berdua sendiri, tidak ada sangkut-pautnya dengan Kang-jiu-pang.

Namun hal ini tentu saja amat menguntungkan dirinya karena dengan terlibatnya Hek-mo dalam perkelahian melawan pemuda itu yang dia lihat mempunyai gerakan cukup hebat, maka kini dia hanya tinggal menghadapi Hwa-hwa Kui-bo seorang, jadi tidak begitu berat jika dibandingkan dengan melawan dua orang datuk sesat itu bersama.

"Hwa-hwa Kui-bo, lihat seranganku!" bentaknya.

Dan dia pun telah menerjang maju dengan tamparan tangannya. Sepasang tangan ketua Kang-jiu-pang ini, dari siku ke bawah, telah berubah warnanya menjadi persis warna besi baja dan mengkilat pula. Ketika tangan kiri itu menampar, bunyinya berdesing dan amat panas ketika menyambar ke arah muka Hwa-hwa Kui-bo.

Nenek ini maklum akan ampuhnya tangan baja ketua Kang-jiu-pang itu, karena itu dia pun cepat mengelak dan membalas dengan tusukan pedangnya ke arah lambung lawan.

"Tranggg...!"

Nenek berkedok itu terkejut sekali. Ternyata ketua Kang-jiu-pang itu berani menangkis pedangnya dengan tangan kosong dan ketika pedang itu bertemu dengan tangan kanan Song Pak Lun, terdengar bunyi nyaring seakan-akan pedangnya bertemu dengan logam dan mengeluarkan percikan bunga api, bahkan tangan kanan yang memegang pedang itu terasa tergetar hebat!

Sekarang dia baru tahu bahwa nama Song Pak Lun sebagai ketua perkumpulan Tangan Baja sungguh bukan nama kosong belaka, maka nenek ini pun lalu memutar pedangnya dan mengeluarkan semua ilmunya untuk menghadapi lawan yang tangguh ini. Terjadilah perkelahian yang amat seru dan mati-matian di antara mereka, ditonton oleh para anggota Kang-jiu-pang dengan hati tegang.

Tetapi, ketegangan yang mencul karena perkelahian antara ketua Kang-jiu-pang melawan Hwa-hwa Kui-bo mengendur banyak pada waktu mereka menyaksikan perkelahian antara Koai-pian Hek-mo dan pemuda tampan yang masih terus tersenyum-senyum itu. Bahkan para anggota Kang-jiu-pang kadang-kadang tak bisa menahan gelak tawa mereka melihat kelucuan pemuda itu menghadapi lawannya, di samping mereka menjadi terheran-heran, bahkan demikian kagum sampai bengong.

Pemuda itu sungguh-sungguh memiliki gerakan yang amat lincah. Ia tidak mengandalkan kecepatan saat menghadapi cambuk baja lawan, melainkan mengandalkan gerakan kaki yang demikian indah dan mantap. Kedua kakinya bergerak ke depan belakang, kanan dan kiri demikian indah dan mantapnya hingga tubuhnya dapat selalu terhindar dari sambaran ujung pecut baja. Kadang-kadang dia menterta-wakan lawannya.

"Wah, luput lagi, Hek-mo. Pakumu sudah usang, ganti saja dengan yang baru."

"Singgg...! Wirrr...! Singgg...!"

"Nah, tidak kena lagi! Gerakanmu terlampau lemah! Apa kau belum makan? Kalau lapar jangan bertanding silat, nanti masuk angin...!"

"Wuuuuttt...! Singgg...!"

"Apa kubilang, luput lagi...!"

"Keparat!" Kakek itu memaki dan memutar cambuk bajanya lebih cepat lagi.

Cambuk itu sendiri lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Akan tetapi tiba-tiba saja pemuda itu membentak, suaranya demikian keras mengejutkan.

"Perlahan dulu!"

Kakek itu pun menjadi terkejut dan rasa kaget ini mengurangi kecepatan gerakannya dan tahu-tahu ujung cambuknya yang dipasangi paku itu telah tertahan dan terjepit oleh dua jari tangan kiri pemuda itu, yaitu ibu jari dan telunjuknya!

Semua orang memandang kagum. Sungguh amat berani perbuatan pemuda ini, menjepit ujung cambuk yang demikian ampuhnya dengan jari tangan saja! Akan tetapi Koai-pian Hek-mo sendiri kaget dan marah, juga diam-diam maklum bahwa biar pun masih muda, lawannya ini benar-benar tak boleh dipandang ringan!

Dia lalu mengerahkan tenaga membetot untuk melepaskan ujung cambuknya dari jepitan tangan pemuda itu, namun ujung cambuk itu tertahan kuat-kuat di dalam jepitan! Sinkang yang luar biasa kuatnya, pikir Hek-mo. Pantas saja pemuda ini tadi berani mengeluarkan kata-kata sombong, ternyata bukan bualan belaka dan memang pemuda ini ‘berisi’. Dia kembali mengerahkan tenaga sambil menarik dan tiba-tiba…

"Singggg...!" pemuda itu melepaskan jepitan jarinya! Tentu saja paku di ujung cambuk itu meluncur amat cepatnya ke arah orang yang menariknya.

"Uhhhhh...!" Hampir saja muka Hek-mo termakan oleh paku di ujung cambuknya sendiri kalau dia tidak cepat-cepat mengangkat tangannya ke atas dan mengelak. Mukanya yang hitam berubah agak pucat. Nyaris dia menjadi korban senjatanya sendiri.

"Nah, apa kubilang? Jangan main-main dengan segala cambuk dan paku yang tidak ada gunanya, salah-salah hidungmu sendiri yang nantinya terpaku!" pemuda itu mengejek dan beberapa orang anggota Kang-jiu-pang bersorak.

Kini wajah Hek-mo berubah merah. Baru belasan jurus saja dan dia sudah hampir celaka. Hatinya menjadi sangat penasaran. "Orang muda, beri tahukan namamu supaya aku tahu dengan siapa aku bertanding!"

Pemuda itu tersenyum. "Ehhh, mengapa tanya-tanya nama segala? Apakah kau hendak menarik aku sebagai mantu? Wah, jelas kutolak jika mukanya seperti mukamu, Hek-mo. Tapi biarlah, supaya engkau tidak mati penasaran dan tahu siapa yang mengalahkanmu. Aku she Cia bernama Hui Song!"

"Dari perguruan mana?"

"Cerewet! Memangnya kita ini kong-kouw (ngobrol) atau sedang bertanding? Hayo lekas lanjutkan permainan cambuk bajamu yang jelek itu!" Pemuda yang bernama Cia Hui Song itu mengejek.

"Bocah sombong!" Koai-pian Hek-mo memaki dan memutar cambuknya.

"Tar-tarrr-tarrr!" lalu cambuk meluncur ke bawah, mengarah ke ubun-ubun kepala Cia Hui Song.

Akan tetapi sekali ini Hui Song tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kirinya ke atas kepala dan ketika paku di ujung cambuk itu meluncur turun, dia menggunakan jari tangannya untuk menjentik.

"Tringgg...!" Dan paku itu terpental ke arah penyerangnya!

Tentu saja Koai-pian Hek-mo terkejut sekali dan kembali menghujankan serangan. Akan tetapi terdengar suara nyaring tang-ting-tang-ting pada waktu Hui Song menyambut paku itu dengan jentikan jari-jari tangan, bahkan dia pun segera membalas dengan tamparan-tamparan yang sedemikian kuatnya hingga angin pukulannya saja membuat rambut serta baju lawannya berkibar-kibar dan dalam beberapa gebrakan saja Hek-mo terhuyung dan terdesak.

Kini Hek-mo baru benar-benar terkejut dan maklum bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia akan celaka di tangan bocah yang menjadi lawannya itu. Tentu saja dia merasa sangat penasaran dan malu. Ia memperebutkan bocah ini dengan Hwa-hwa Kui-bo untuk menjadi muridnya tetapi siapa kira, bocah ini malah mempunyai kepandaian sedemikian hebatnya sehingga dia yang ingin menjadi gurunya pun tidak mampu menandinginya!

Sementara itu, Hwa-hwa Kui-bo dengan pedangnya juga kewalahan dan kerepotan dalam menghadapi sepak terjang ketua Kang-jiu-pang dengan kedua tangan bajanya itu. Tangan kanannya yang memegang pedang juga terasa sangat lelah karena setiap kali bertemu dengan tangan baja lawan, pedangnya terpental dan tangannya tergetar.

Maka, ketika Koai-pian Hek-mo berteriak, "Kui-bo, mari kita pergi!" dia pun tidak menanti sampai ajakan itu diulang dua kali.

Dia pun tahu bahwa jika perkelahian ini dilanjutkan, lambat laun dia akan kalah melawan ketua Kang-jiu-pang. Cepat tangan kirinya mengebut dan jarum beracun menyambar ke arah lawan.

Song Pek Lun maklum akan bahayanya jarum-jarum itu, maka dia pun cepat mengelak mundur sambil mempergunakan kedua tangannya yang kebal seperti besi baja itu untuk menyampoki jarum-jarum hingga senjata-senjata rahasia itu runtuh semua ke atas tanah. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hwa-hwa Kui-bo untuk meloncat dan melarikan diri, mengejar Koai-pian Hek-mo yang sudah lari terlebih dulu tanpa dikejar oleh Cia Hui Song yang hanya berdiri bertolak pinggang sambil tertawa melihat lawannya mengambil langkah seribu.

Pemuda itu kemudian menghadapi Song Pak Lun dan menjura. "Song-pangcu, sekali lagi maafkan salah duga yang membuat aku pernah merobohkan muridmu karena aku hanya bermaksud menolong kaisar yang diancam dan ditodong oleh muridmu. Dan kuharap saja pangcu bersama seluruh anggota Kang-jiu-pang cepat-cepat pergi meninggalkan tempat ini. Perbuatan para anggota Kang-jiu-pang dianggap sebagai pemberontak. Aku tidak akan merasa heran kalau sebentar lagi datang pasukan untuk menangkap atau pun membasmi Kang-jiu-pang."

Song Pak Lun menarik napas panjang. "Kami mengerti dan bagaimana pun juga, terima kasih atas bantuanmu. Orang muda, engkau she Cia dan ilmu silatmu tinggi. Entah apa hubunganmu dengan Cia-taihiap, ketua Cin-ling-pai?"

Kui Song tersenyum dan mukanya menjadi merah. "Aku tidak pernah memamerkan dan memperkenalkan orang tuaku, akan tetapi baiklah kepadamu aku berterus terang bahwa dia adalah ayahku."

"Ahhh...!" Para anggota Kang-jiu-pang berseru kaget. Ternyata pemuda ini adalah putera ketua Cin-ling-pai! Pantas saja demikian lihai!

"Aku mengerti bahwa kami tidak akan menyebut dan menyeret namamu ke dalam urusan kami, Cia-taihiap," kata ketua Kang-jiu-pang itu.

"Terima kasih, aku yakin akan kebijaksanaan pangcu. Aku sendiri tidak takut jika terseret, hanya saja ayah tentu akan marah sekali kalau sampai Cin-ling-pai terlibat. Nah, selamat berpisah, pangcu, harap saja engkau dengan semua anggotamu bisa meloloskan diri dari kejaran pasukan pemerintah!"

Cia Hui Song lalu pergi dan Song Pak Lun dengan tergesa-gesa lalu berkemas. Tak lama kemudian, pada hari itu juga, seluruh anggota Kang-jiu-pang berikut keluarga mereka pergi meninggalkan kota Cin-an. Ketika pasukan pemerintah datang menyerbu, mereka hanya menemukan sarang yang kosong karena semua burungnya telah terbang pergi entah ke mana.

Cia Hui Song adalah putera ketua Cin-ling-pai, dan pada waktu itu, yang menjadi ketua Cin-ling-pai adalah seorang pendekar gagah perkasa bernama Cia Kong Liang yang telah berusia lima puluh tahun.

Para pembaca kisah Pendekar Sadis tentu sudah mengenal nama Cia Kong Liang ini. Pendekar ini menikah dengan seorang gadis gagah perkasa putera seorang datuk sesat yang sudah mencuci tangan dan merubah jalan hidupnya di atas jalan bersih.

Ayah mertuanya adalah Tung-hai-sian Bin Mo To yang tinggal di kota Ceng-tao di Propinsi Shantung. Pada waktu masih menjadi datuk, Bin Mo To ini berjuluk Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur) dan dia adalah seorang Bangsa Jepang yang nama aslinya Minamoto.

Tung-hai-sian hanya mempunyai seorang anak perempuan yang berjiwa gagah dan tidak suka melihat ayahnya menjadi datuk kaum sesat. Puterinya ini yang bernama Biauw dan memakai she Bin, akhirnya menikah dengan Cia Kong Liang yang pada waktu itu adalah putera ketua Cin-ling-pai.

Cia Kong Liang hidup rukun dan saling mencinta dengan Bin Biauw dan mereka memiliki seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Cia Hui Song, yang kini sudah berusia dua puluh satu tahun. Setelah ayahnya meninggal dunia, Cia Kong Liang membangun kembali Cin-ling-pai sebagai ketuanya dan semenjak itu, di bawah pimpinannya dan dibantu oleh isterinya, Cin-ling-pai menjadi semakin kuat dan terkenal.

Di dalam mendidik dan melatih murid-murid Cin-ling-pai, Cia Kong Liang bersikap sangat keras sehingga di antara murid-muridnya banyak yang jadi. Tentu saja puteranya sendiri digemblengnya dengan tekun sehingga Cia Hui Siong telah mewarisi ilmu-ilmu Cin-ling-pai dari ayahnya, bahkan mewarisi juga ilmu-ilmu dari ibunya yang memiliki ciri khas.

Sejak kecil pemuda ini berada di Cin-ling-pai yang berpusat di Pegunungan Cin-ling-san, dan memiliki watak yang lincah gembira sekali, jauh berbeda dengan ayahnya yang sejak muda berwatak keras, pendiam dan serius, bahkan agak angkuh dan tinggi hati. Agaknya Hui Song menuruni watak ibunya yang lincah gembira, dan memiliki jiwa petualang sebab sejak kecil anak ini suka bermain-main sendiri di tempat-tempat yang sepi dan berbahaya sehingga sering kali mendapat teguran dan hukuman keras dari ayahnya.

Namun dia tidak pernah merasa jera, apa lagi karena dilindungi ibunya sehingga akhirnya ayahnya merasa bosan sendiri kemudian membiarkan puteranya tumbuh menjadi seorang pemuda yang wataknya riang gembira, bengal sekaligus juga aneh, mengenakan pakaian seenaknya saja tak pernah kelihatan rapi.

Dia hadir di Puncak Bukit Perahu adalah untuk mewakili ayahnya dan Cin-ling-pai. Akan tetapi seperti juga para pendekar lain yang mendengar berita dari para murid Pek-ho-pai bahwa pertemuan itu dibatalkan, dia pun meninggalkan tempat itu dan sebelum pulang ke Cin-ling-pai dia melancong dulu sampai ke Cin-an di mana akhirnya secara kebetulan dia berhasil menyelamatkan kaisar kemudian berbalik membantu Kang-jiu-pang menghadapi dua orang kakek dan nenek iblis.

Sesudah memberi nasehat kepada Kang-jiu-pang agar cepat-cepat meninggalkan Cin-an, Hui Song sendiri langsung pergi dari kota itu. Dia pun merasa khawatir kalau-kalau pihak pemerintah tahu bahwa dia adalah putera ketua Cin-ling-pai.

Bantuannya terhadap Kang-jiu-pang tadi sungguh berbahaya kalau diingat dua orang iblis itu ternyata adalah kaki tangan pemerintah pula! Dia sendiri masih merasa bingung akan segala peristiwa yang dialaminya.

Kaisar akan diculik oleh kumpulan pendekar Kang-jiu-pang, ada pun orang-orang macam Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo malah melindungi kaisar. Apakah dunia ini sudah terbalik? Apakah kini para pendekar memusuhi kaisar sedangkan para penjahat malah membelanya?

Memang pemuda ini tidak begitu mempedulikan urusan pemerintahan, maka dia pun tidak tahu akan apa yang terjadi di istana, tidak tahu bahwa para datuk sesat itu sesungguhnya bukan mengabdi terhadap kaisar akan tetapi terhadap pembesar lalim yang memperoleh kesempatan menguasai pemerintahan melalui kaisar muda yang lemah.

Pada keesokan harinya, Hui Song sudah pergi jauh dari Cin-an menuju ke selatan. Dia harus pulang ke Cin-ling-san untuk melaporkan kepada ayahnya tentang kegagalan atau pembatalan pertemuan para pendekar itu, juga tentang keanehan yang dialaminya di kota Cin-an.

Sebelum dia turun tangan membantu Kang-jiu-pang, dia sudah melakukan penyelidikan kilat di Cin-an tentang perkumpulan itu dan memperoleh kenyataan bahwa Kang-jiu-pang adalah perkumpulan pendekar yang dihormati dan dipuji oleh rakyat. Itulah mengapa dia tanpa ragu-ragu cepat pergi ke Kang-jiu-pang dan melihat perkumpulan itu didatangi oleh dua iblis, dia pun segera membantu.

Siang hari itu matahari sangat terik dan semalam Hui Song sudah melakukan perjalanan tanpa berhenti, maka dia merasa lelah dan duduklah pemuda ini mengaso di luar sebuah hutan. Melibat adanya sebuah gubuk di pinggir jalan, dia pun lalu naik ke gubuk kecil itu untuk berteduh.

Di bawah naungan daun-daun pepohonan serta atap gubuk sederhana yang menciptakan tempat teduh dan sejuk dengan adanya angin semilir, membuat mata mengantuk sekali. Hui Song segera tertidur sesudah dia merebahkan diri terlentang di atas anyaman bambu di gubuk itu. Dia tertidur amat nyenyak dan nikmatnya.

Kita condong beranggapan bahwa segala kenikmatan yang dapat kita rasakan di dalam kehidupan ini haruslah diadakan dan sarananya berada di luar diri kita. Bila mau makan enak harus membeli masakan-masakan yang mahal harganya, kalau ingin tidur nyenyak harus berada di dalam kamar yang lengkap dan dengan perabot serba halus dan mahal, dan sebagainya. Pendeknya syarat mutlak supaya dapat menikmati hidup adalah adanya benda-benda berharga yang hanya bisa didapatkan dengan uang. Akan tetapi, benarkah demikian adanya?

Kita melihat petani sederhana yang sesudah bekerja keras di ladang dapat menikmati makanannya yang amat sederhana, dengan kenikmatan yang tidak dibuat-buat. Kenapa demikian? Karena badannya sehat dan batinnya tenteram, karena dia sehat lahir batin. Kesehatannya bekerja dengan wajar, membuat perutnya lapar setelah dia kelelahan dan ini menciptakan selera dan nafsu makan yang membuat apa saja menjadi terasa nikmat olehnya. Kita melihat petani yang sama pada waktunya akan dapat tidur nyenyak, hanya bertilamkan tikar atau bahkan rumput saja, juga hal ini bisa terjadi karena dia sehat lahir batinnya.

Sebaliknya, kita pun dapat melihat orang yang kaya raya tanpa banyak bekerja menjadi malas, makan tidak terasa enak meski pun menghadapi hidangan yang mahal-mahal dan banyak macamnya. Kita melihat orang kaya yang sama gelisah di atas tempat tidurnya yang empuk dan bertilamkan sutera di dalam sebuah kamar seperti istana, sukar dapat memejamkan mata dan tidak dapat lagi menikmati rasanya tidur nyenyak.

Jelaslah bahwa sumber kenikmatan hidup terdapat di dalam diri kita sendiri lahir batin. Jika lahir batin kita sehat kita akan dapat menikmati hidup. Badan sehat berarti tidak ada gangguan penyakit. Batin sehat berarti tidak ada gangguan pikiran.

Namun sungguh teramat sayang. Kita lebih senang MENGOBATI gangguan lahir batin itu dari pada MENJAGANYA. Kita hidup tidak sehat, makan minum tanpa ingat kesehatan, setiap hari ada gangguan kesehatan badan yang harus kita atasi dengan pengobatan-pengobatan. Lalu kita membiarkan hati dan pikiran terganggu setiap hari, yang ingin kita atasi pula dengan hiburan-hiburan!

Walau pun hanya di dalam gubuk reyot bertilamkan anyaman bambu yang kasar, di tepi sebuah hutan yang sunyi, akan tetapi Hui Song dapat tidur dengan nyenyak, benar-benar nyenyak sehingga tidak membutuhkan waktu tidur lama. Tidur dua tiga jam saja rasanya sudah kekenyangan dan puas sekali, sudah dapat melenyapkan segala letih dan kantuk.

“Tukk!” Mendadak ada sesuatu yang jatuh menimpa dahinya. Hanya sebuah benda kecil menimpa dahi, akan tetapi cukuplah untuk menggugah Hui Song dari tidurnya.

Sebagai seorang pendekar yang terlatih, begitu terbangun dia pun langsung waspada dan siap menghadapi bahaya yang mengancam. Badannya sudah sangat peka seperti badan binatang liar yang hidup di hutan, seperti burung yang selalu waspada meski pun dalam keadaan sedang tidur. Suara tak wajar dari belakang gubuk itu cukup membuat Hui Song sadar sepenuhnya.

"Brakkkkk...!" Gubuk itu jebol, ambrol dan runtuh, dan seperti seekor burung saja, Hui Song berhasil melesat ke luar dari dalam gubuk sebelum dia turut terbanting dan tertindih. Ketika dia turun ke atas tanah dan membalikkan tubuhnya, dia melihat di situ telah berdiri tiga orang tua yang tertawa-tawa. Mereka ini bukan lain adalah Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo dan seorang kakek lagi yang tubuhnya amat menyeramkan.

Seorang kakek yang tinggi besar seperti raksasa, dan melihat perawakan ini, walau pun baru sekali bertemu dengan makhluk ini, Hui Song yang telah banyak mendengar tentang para iblis di dunia sesat, segera dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang pentolan Cap-sha-kui yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian sangat mengerikan, yaitu Tho-tee-kui! Maka dia pun bersikap waspada, sungguh pun mulutnya bergerak membuat senyum mengejek ke arah Hek-mo dan Kui-bo yang tertawa-tawa itu.

"Wah, kiranya Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo. Apakah kalian berdua belum puas mendapat hajaran tempo hari dan sekarang datang mencariku untuk minta tambahan?"

Mendengar ejekan ini Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi marah sekali. "Bocah sombong, kami datang menagih hutang berikut bunganya!" kata Hwa-hwa Kui-bo sambil menubruk maju dan menggerakkan tangan kiri mencengkeram ke arah kepala Hui Song.

"Plakkk!" Hui Song menangkis sambil tertawa.

"Tak tahu malu! Engkau yang hutang belum bayar memutar balikkan fakta!" Tangkisan itu dilakukan dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan akibatnya nenek bertopeng itu terpelanting. Akan tetapi dari samping, kakek Koai-pian Hek-mo sudah menyerangnya. Kakek ini pun tidak menggunakan pecut bajanya.

Agaknya mereka berdua memang sudah sepakat untuk maju mengeroyok Hui Song dan karena pemuda itu tidak bersenjata, mereka pun merasa lebih leluasa untuk mengeroyok pemuda itu dengan tangan kosong saja agar mereka merasa lebih puas memberi hajaran kepada pemuda ini. Serangan Hek-mo dari samping itu cukup dahsyat, dengan pukulan keras ke arah lambung. Namun dengan mudah Hui Song dapat mengelak.

"Memang sudah lama aku tahu bahwa kalian ini tua bangka-tua bangka yang curang dan pengecut! Namun jangan dikira aku takut menghadapi pengeroyokan kalian berdua. Nah, terimalah ini untuk penyegar!" Berkata demikian, Hui Song segera menggerakkan kedua lengannya dengan cepat sekali.

Kedua lengan itu membuat gerakan yang berlawanan, yang kiri mengandung tenaga keras dan yang kanan mengandung tenaga lemas. Kedua tangannya berbareng menyambar ke arah Hek-mo dan Kui-bo dengan jurus sakti dari Im-yang Sin-kun!

"Plakk! Plakk...!”

“Ihhhh...!" Kakek dan nenek itu terhuyung dan hampir terpelanting pada waktu menangkis pukulan sakti ini sehingga mereka terkejut bukan main. Akan tetapi karena mereka maju berbareng, hati mereka pun menjadi besar. Mereka merasa penasaran sekali jika secara maju bersama tetap tidak mampu mengalahkan pemuda ini, maka mereka mengerahkan semua tenaga dan kepandaian mereka.

Tidak percuma Hui Song menjadi putera tunggal ketua Cin-ling-pai yang telah digembleng secara keras semenjak dia masih kecil dan sekarang dia telah mewarisi semua ilmu ayah dan ibunya sehingga tingkat kepandaiannya hanya berselisih sedikit saja dibandingkan dengan ayahnya sendiri.

Maka tentu saja dia dapat bergerak dengan amat sigapnya dan meski pun dikeroyok oleh dua orang tokoh Cap-sha-kui, pemuda ini dapat mengimbangi permainan mereka, bahkan dia nampak lebih unggul karena selain menang tenaga sinkang, juga ilmu silatnya yang banyak macamnya, aneh-aneh dan terdiri dari ilmu-ilmu yang tinggi itu membingungkan kedua orang pengeroyoknya.

Melihat betapa dua orang rekannya itu sampai lewat lima puluh jurus belum juga mampu mengalahkan lawan yang masih begitu muda, raksasa berjubah hijau compang-camping itu menjadi tidak sabar lagi. Tadinya dia nonton sambil duduk di atas batu besar di dekat pohon. Kini dia bangkit berdiri, lantas sekali dia menggerakkan kakinya, terdengar suara hiruk-pikuk dan batu sebesar perut kerbau itu telah ditendangnya sampai terlempar cukup jauh!

"Kalian berdua mundurlah, biarkan aku merobek tubuhnya menjadi dua potong!" katanya.

Dua orang rekannya merasa girang dan langsung meloncat ke belakang. Mereka berdua merasa kehilangan muka kalau sampai mereka tidak dapat mengalahkan pemuda itu, apa lagi kalau sampai mereka harus mengeluarkan senjata. Kini, Tho-tee-kui sudah menyuruh mereka mundur, berarti mereka berdua belum sampai kalah!

Hui Song berdiri tegak memandang kepada raksasa yang kini telah berdiri di depannya. Memang hebat sekali kakek itu. Dia sendiri bukan seorang yang kecil pendek, sebaliknya dia termasuk seorang pemuda yang memiliki tubuh cukup tinggi besar. Akan tetapi, ketika berhadapan dengan Tho-tee-kwi, tingginya hanya sampai di bawah pundak raksasa itu dan lengan raksasa itu besarnya sama dengan betisnya!

Tho-tee-kwi menyeringai sambil memandang pemuda itu. "Orang muda, engkau boleh juga karena dapat menandingi mereka berdua. Sayang engkau harus mampus di tangan Tho-tee-kong!"

"Hemmm, kiranya inikah yang berjuluk Setan Bumi? Tho-tee-kwi, aku mendengar bahwa engkau adalah seorang datuk sesat yang tidak pernah turun tangan sendiri mencampuri urusan dunia ramai, apakah sekarang engkau pun sudah ikut-ikutan menjadi kaki tangan golongan tertentu untuk mengacau dunia?" Hui Song mengejek.

Dia tidak tahu siapa sebenarnya yang menggunakan tenaga para datuk sesat ini sehingga kini Cap-sha-kui yang terkenal sebagai datuk-datuk besar yang tidak pernah turun tangan sendiri itu nampak berkeliaran di mana-mana.

"Ha-ha, orang muda, menurut keterangan dua orang rekanku, engkau pernah membantu mereka dan menyelamatkan kaisar, akan tetapi sekarang engkau membalik menentang kami. Mengingat bahwa engkau pernah berjasa, maka aku memberi kesempatan padamu untuk bersatu dengan kami dan menjadi sahabat kami. Akan tetapi, kesempatan ini hanya kuberikan sekali saja," kata Tho-tee-kwi. Sebetulnya dia lebih suka kalau bisa bersahabat dan bekerja sama dengan pemuda yang dia sudah lihat memiliki kepandaian yang tinggi itu.

"Bekerja sama dengan datuk-datuk kaum sesat? Dengan Cap-sha-kui? Wah, apa engkau hendak menarikku sehingga Tiga Belas Setan akan berubah menjadi Empat Belas Setan? Tak usah, ya! Terima kasih. Penawaranmu kutolak dan kalian menjemukan hatiku. Lekas pergilah agar aku bisa tidur lagi, kalian mengganggu tidurku saja." Berkata demikian, Hui Song teringat bahwa apa bila tadi tidak ada tahi tikus menjatuhi dahinya, tentu dia sudah celaka ketika gubuk itu ditendang runtuh oleh raksasa ini.

"Engkau sia-siakan kesempatan baik dan engkau memilih tidur selamanya? Baiklah, akan kucabut saja nyawamu!" Berkata demikian, kedua lengan yang besar itu menyambar ke depan, kaki kanan dihentakkan dan bumi pun tergetar hebat.

Seperti terjadi gempa bumi saja ketika raksasa itu menghentakkan kakinya dan pada saat itu, kedua tangannya yang besar-besar sudah menyambar dengan serangan pertamanya, yang kanan mencengkeram ke arah kepala Hui Song, sedangkan yang kiri menyambar ke arah perut. Serangan itu dilakukan oleh sepasang tangannya yang mengandung kekuatan dahsyat.

Hui Song mengenal serangan berbahaya. Dia tahu bahwa kakek raksasa yang menjadi lawannya ini adalah seorang yang mempunyai tenaga kasar yang sangat kuat sehingga mengadu tenaga kasar dengan orang ini sama saja dengan mencari penyakit. Maka dia pun bersikap cerdik, mengandalkan kegesitannya dan mengelak sambil menusukkan jari tangannya untuk menotok ke arah jalan darah dekat siku ketika lengan itu meluncur lewat.

Akan tetapi di samping kekuatannya yang amat dahsyat, kiranya raksasa itu pun memiliki gerakan cepat. Sikunya telah ditekuk dan lengan itu menebas ke bawah untuk membabat tangan lawan, dilanjutkan dengan cengkeraman hendak menangkap pergelangan tangan pemuda itu lantas tiba-tiba saja kakinya dibanting lagi dibarengi dengan tamparan dahsyat ke arah kepala Hui Song!

Bantingan kaki itu benar-benar membuat Hui Song terkejut dan kehilangan keseimbangan sehingga ketika tangan yang besar itu menampar, elakannya agak lambat dan pundaknya kena serempet tangan yang lebar dan kuat itu.

"Dessss...!" Tubuh Hui Song terpelanting, akan tetapi karena pemuda ini tadi dengan cepat langsung mengerahkan ilmu Tiat-po-san, semacam ilmu kebal yang pernah dipelajari dari ayahnya, maka tamparan yang menyerempet pundaknya itu tidak menimbulkan luka. Hanya saking kerasnya tenaga tamparan, tubuhnya terpelanting.

Hui Song cepat mengerahkan keringanan tubuh untuk menjaga tubuhnya agar tak sampai terbanting jatuh. Dengan berjungkir balik dia dapat turun lagi ke atas tanah, menghadapi lawannya yang tangguh itu sambil mengatur langkah-langkah Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun.

Ilmu ini ampuh sekali untuk melawan musuh yang pandai dan dengan ilmu ini berarti Hui Song tidak memandang rendah lawannya. Lawannya adalah seorang di antara pentolan-pentolan Cap-sha-kui yang amat lihai maka dia pun harus bersikap hati-hati sekali. Ketika lawannya membanting kaki lagi, dia pun mengerahkan sinkang lantas dari dalam perutnya keluar tenaga melalui mulut dan dia berseru, "Hehhhhh…!"

Maka lenyaplah pengaruh bantingan kaki yang tadi menggetarkan tubuhnya itu sehingga dia dapat menghadapi serangan lawan dengan tenang sambil balas menyerang dengan pukulan-pukulan Thian-te Sin-ciang. Ia harus menyelingi Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang digunakan untuk melindungi tubuhnya itu dengan jurus-jurus ampuh dari Ilmu Silat San-in Kun-hoat dan Im-yang Sin-kun dan setiap kali memukul dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang karena maklum bahwa tubuh lawan yang seperti raksasa itu tentulah amat kuat dan kebal.

Terjadilah perkelahian yang amat seru dan hebat dan meski pun pemuda itu lebih banyak bertahan dari pada menyerang, namun tidak mudah bagi si raksasa untuk mendesaknya. Diam-diam Tho-tee-kui terkejut dan penasaran sekali, sebaliknya Hui Song mengeluh di dalam hatinya karena dia harus mengakui bahwa baru kali ini dia bertemu dengan lawan yang benar-benar tangguh sekali.

Kakek dan nenek iblis yang melihat betapa rekannya yang lebih lihai dari pada mereka itu pun sekian lamanya belum juga mampu merobohkan pemuda itu, menjadi semakin marah dan penasaran. Tak dikira oleh mereka bahwa pemuda yang tadinya mereka perebutkan untuk menjadi murid dan kekasih, ternyata mempunyai tingkat kepandaian yang demikian hebatnya sehingga rekan mereka yang sangat lihai seperti Tho-tee-kui pun tidak mampu mengalahkannya.

Seperti telah bersepakat lebih dulu, keduanya lalu menyerbu memasuki arena perkelahian itu dan mengeroyok Hui Song. Dasar watak penjahat, Tho-tee-kwi yang disohorkan orang sebagai pentolan Cap-sha-kui itu pun diam-diam dan enak-enak saja melihat dua orang rekannya membantu, dan mereka bertiga yang terkenal sebagai datuk-datuk besar kaum sesat tidak merasa sungkan atau malu mengeroyok seorang pemuda yang sama sekali belum terkenal di dunia persilatan!

"Ihhhh, bangkotan-bangkotan tebal muka, main keroyokan seperti bajingan-bajingan kecil saja!" tiba-tiba saja terdengar bentakan dan muncullah seorang dara remaja yang segera terjun pula ke dalam arena perkelahian itu, membantu Hui Song dan mengamuk dengan menggunakan senjata aneh, yakni sebuah payung butut!

Akan tetapi payung butut itu jangan dipandang rendah karena gagangnya terbuat dari baja dan payung butut hanyalah kainnya saja akan tetapi rangkanya yang baja itu masih utuh dan ujungnya runcing-runcing! Begitu terjun, gadis ini segera menyerang Hwa-hwa Kui-bo dan Koai-pian Hek-mo dengan ganas dan kalang-kabut!

"Eh, engkau...?" teriak Hwa-hwa Kui-bo dengan kaget.

Koai-pian Hek-mo juga terkejut sekali. Mereka berdua telah mengenal gadis yang pernah menghalangi mereka dan nyaris merobohkan mereka di kuil Dewi Laut! Gadis itu memang Ceng Sui Cin, siapa lagi kalau bukan dia yang mengamuk dengan payung butut itu?

"Ya, aku!" kata Sui Cin sambil tertawa mengejek. "Aku akan menyelesaikan pekerjaanku yang dulu belum selesai ketika kita saling bertemu di kuil Dewi Laut itu. Sekarang jangan harap kalian akan dapat lolos dari jari-jari payung bututku, hi-hi-hi!"

Tho-tee-kui juga terkejut bukan kepalang melihat munculnya seorang dara remaja dengan payungnya yang begitu mengamuk langsung membuat dua orang rekannya kalang-kabut sehingga memaksa kedua orang rekannya itu cepat-cepat mengeluarkan senjata mereka, Hek-mo mengeluarkan pecut bajanya dan Kui-bo mencabut pedangnya.

Di samping merasa terkejut dan juga heran menyaksikan munculnya seorang gadis yang aneh pakaiannya dan lihai ilmu silatnya itu, tentu saja Hui Song juga merasa amat girang. Apa lagi sesudah mendengar ucapan-ucapan gadis itu yang jenaka dan mempermainkan lawan, dia merasa benar-benar gembira.

"Benar, nona manis. Hajar mereka! Lutung muka hitam itu kurang ajar sekali, beri hadiah pukulan payungmu pada ubun-ubun kepalanya, sedangkan nenek topeng tikus itu, lucuti saja topengnya dan tusuk telinganya sampai tembus!"

Sepasang mata Sui Cin berkilat dan dia pun menahan senyum geli. Tapi dengan galak dia menghardik. "Kurang ajar, apa maksudmu menyebutku nona manis segala? Mau ceriwis dan kurang ajar engkau, ya?"

"Lho! Disebut nona manis kok malah marah, bagaimana sih? Apa lebih suka jika engkau kusebut nona jelek dan galak?"

"Plak-plak...! Dukkk!" Nyaris Hui Song terkena pukulan ketika dia bicara lalu kesempatan itu dipergunakan oleh Tho-tee-kwi untuk mendesak hebat.

"Rasakan kau hampir mampus!" Sui Cin mengejek. "Aku tidak sudi disebut nona manis, juga tidak mau disebut nona jelek dan galak!"

Pada saat dia bicara tentu saja perhatiannya kurang tercurah kepada dua orang lawannya sehingga seperti juga Hui Song, dia segera terdesak oleh pecut baja dan pedang lawan. Akan tetapi karena ilmu silatnya memang hebat dan jauh lebih lihai apa bila dibandingkan dua orang pengeroyoknya, begitu memutar payungnya, dia mampu menggagalkan semua serangan itu dan balas mendesak lagi.

Hati Hui Song makin gembira. Dia melirik dan melihat bahwa gadis itu masih muda sekali, baru sekitar lima belas atau enam belas tahun usianya, pakaiannya seperti gelandangan akan tetapi bersih, wajahnya manis dan gerakannya lincah, bibirnya selalu tersenyum dan sinar matanya bengal. Seorang gadis yang panas dan hidup, cocok dengan dia, pikirnya.

"Wah, lalu menyebut apa? Baiklah, kusebut nona yang setengah manis setengah galak...”

“Wuuuuttt...!" Dia terpaksa melempar tubuh ke belakang dan tak berani banyak cakap lagi sebab kakek raksasa itu telah mendesaknya kembali dan tentu akan selalu menggunakan kesempatan selagi dia bicara untuk merobohkannya.

Setelah kini kedua orang muda itu tidak lagi bicara, mereka pun dapat menghadapi lawan dengan baik dan tiga orang datuk sesat itu pun segera maklum bahwa keadaan sangat tak menguntungkan bagi mereka. Selain itu, kini mereka sudah dapat mengenal dengan samar-samar ilmu silat muda-mudi itu sehingga diam-diam mereka bertiga merasa gentar. Mereka mengenal gerakan-gerakan ilmu silat tinggi dari Cin-ling-pai!

"Kita pergi!" tiba-tiba raksasa itu berseru lantas dia mengeluarkan gerengan hebat sambil menghentakkan kakinya.

Sui Cin sendiri sampai kaget setengah mati dan tergetar kaki dan hatinya, maka dia pun cepat melompat ke belakang. Kesempatan itu digunakan oleh dua orang pengeroyoknya untuk meloncat jauh lalu melarikan diri dengan raksasa itu yang kini agaknya menyimpan kekuatannya sehingga ketika melarikan diri tidak terdengar derap kakinya yang biasanya berat itu.

Hui Song tidak mengejar lawannya. Selain tidak mempunyai permusuhan pribadi, juga dia tahu betapa besar bahayanya mengejar seorang datuk sesat seperti Tho-tee-kwi itu yang tentu untuk menyelamatkan diri tidak segan-segan menggunakan cara-cara yang keji dan curang.

Sui Cin juga tidak mengejar sebab dia ingin mengenal pemuda itu lebih lanjut. Dia merasa tertarik sekali karena dalam perkelahian tadi dia pun mengenal dasar-dasar gerakan ilmu silat pemuda itu yang mengingatkan dia pada Cia Sun. Seingatnya, paman gurunya, Cia Han Tiong, hanya mempunyai seorang putera saja. Akan tetapi pemuda ini agaknya lihai sekali, tidak kalah oleh putera ketua Pek-liong-pai itu. Ahh, tidak salah lagi, tentu pemuda ini murid utama Pek-liong-pai dan saudara seperguruan Cia Sun!

Di lain fihak, Hui Song juga memandang kepada Sui Cin dengan penuh kagum. Dia pun tadi telah melihat gerakan-gerakan ilmu silat dara itu dan dapat mengenal jurus-jurusnya. Betapa mengagumkan bahwa seorang dara remaja semuda ini telah mampu menandingi dan bahkan mengungguli pengeroyokan dua orang datuk seperti Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo! Dia pun menduga-duga.

Dia tahu bahwa ilmu-ilmu silat dari Cin-ling-pai diwarisi banyak orang dan tersebar luas, terutama sekali di antara murid-murid Cin-ling-pai sendiri dan murid-murid Pek-liong-pai di Lembah Naga. Juga banyak para locianpwe bekas tokoh besar Cin-ling-pai sudah hidup terpisah dari Cin-ling-pai dan mereka tentu sudah menurunkan ilmu-ilmu itu kepada para murid dan cucu-cucu murid mereka. Tidak aneh kalau ada orang yang dapat memainkan ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai, akan tetapi melihat kehebatan dara remaja ini, jelas bahwa dia bukanlah seorang murid sembarangan. Siapakah gadis ini?

Mereka berdiri berhadapan, dalam jarak tiga meter, saling pandang penuh selidik tanpa malu-malu atau sungkan-sungkan sebab keduanya memiliki keterbukaan yang sama. Dua pasang mata yang sama tajamnya, sama kocak dan bersinar gembira, saling memandang seperti pedagang kuda menaksir kuda yang hendak dibelinya, dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki, kemudian dua pasang mata itu saling bertaut pandang.

Pandang mata pemuda itu penuh kekaguman sehingga agaknya dia merasa sayang untuk mengedipkan matanya, seolah-olah tidak mau lagi melepaskan pemandangan yang amat indah itu sebentar pun juga. Sui Cin cemberut, menganggap pemuda itu tidak mau kalah dan ingin beradu kekuatan mata, maka dia pun tidak mau berkedip dan sepasang matanya terbelalak tajam. Sebagai seorang ahli silat, sejak kecil ia telah digembleng oleh ayah bundanya untuk menajamkan panca inderanya, terutama sekali mata.

Dengan air garam yang dicampur ramuan lain setiap pagi ia memercikkan air ke matanya yang terbuka tanpa berkedip dan dengan latihan seperti itu, pandangan matanya menjadi tajam. Dia mampu mengikuti gerakan senjata lawan, dan dia juga mampu bertahan tidak berkedip sampai berjam-jam lamanya!

Namun pandangan mata pemuda yang penuh kagum itu, yang mengandung kejenakaan, seperti menggelitiknya dan membuatnya tak mungkin dapat bertahan lebih lama lagi, apa lagi sesudah dia merasa darahnya naik dan api kemarahannya berkobar. Jari tangannya menuding ke arah mata pemuda itu dan mulutnya membentak,

"Kau melihat apa?! Matamu melotot seperti mata iblis!"

Dibentak demikian, Hui Song baru sadar bahwa sejak tadi dia terus memandang dengan bengong. Dia dapat merasakan keadaan yang amat lucu di antara mereka, maka dia pun tersenyum lebar. "Masih cengar-cengir lagi, seperti monyet!" Sui Cin semakin marah sebab merasa dirinya ditertawakan.

Orang yang sedang dikuasai oleh nafsu amarah memang penuh prasangka buruk. Orang cemberut disangka menentang, orang bicara disangka menantang, orang diam disangka tidak mengacuhkan, orang tertawa dianggap mengejek. Serba susahlah bila hati sedang diracuni oleh nafsu amarah.

Akan tetapi, karena Hui Song sudah tertarik sekali kepada dara remaja yang amat cantik manis dan tinggi ilmu silatnya ini, kemarahan Sui Cin itu baginya malah membuat dara itu nampak lebih manis dan lucu. Bahkan makian Sui Cin membuatnya tertawa bergelak!

"Ha-ha-ha-ha, engkau sungguh lucu, nona. Siapa yang menyuruh engkau begini.... ehhh, hebat? Bukan salahku kalau aku memandang sampai melotot mengagumi kehebatanmu!" Dia tidak mau mengucapkan sebutan cantik jelita yang sudah berada di ujung lidahnya, takut kalau-kalau dara itu lebih marah lagi kepadanya dan menganggapnya ceriwis.

"Apa hebat? Apa maksudmu dengan kata hebat itu?" tanya Sui Cin, akan tetapi suaranya masih marah.

Kini terpaksa Hui Song berterus terang. "Engkau hebat... karena engkau demikian cantik jelita dan ilmu-ilmumu tinggi sekali. Dan aku melolot seperti mata iblis karena engkau juga melotot memandangku, akan tetapi matamu melotot jernih seperti mata... bidadari."

"Engkau laki-laki... cabul...!" Sui Cin membentak dan payungnya segera bergerak cepat, menusuk ke arah perut pemuda itu!

"Wuuutt... singgg...!”

“Heeiiittt...!" Hui Song cepat melempar dirinya ke belakang, berjungkir balik tiga kali baru berdiri kembali dan matanya semakin terbelalak.

"Wah, tahan dahulu, nona. Engkau ini bagaimana, sih? Tadi engkau membantuku ketika menghadapi iblis-iblis Cap-sha-kui sehingga boleh dibilang engkau sudah menyelamatkan nyawaku, akan tetapi mengapa sekarang engkau malah hendak membikin aku menjadi... sate, kau tusuk perutku dengan payung ajaibmu itu?"

"Manusia ceriwis, cabul, sialan!" Sui Cin menyerang terus.

Sekarang Hui Song memperoleh kegembiraan lain, yaitu dia mendapat kesempatan untuk menguji kepandaian dara yang dikaguminya ini dan sekaligus juga mengherankan hatinya melihat jurus-jurus yang amat dikenalnya sebagai jurus-jurus keluarga Cin-ling-pai. Akan tetapi, karena dia tahu benar betapa hebat serta berbahayanya ilmu silat gadis itu, dan bahwa watak keras dara itu membuat semua serangannya tidak main-main lagi, dia pun tidak berani memandang rendah dan terpaksa dia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menandingi Sui Cin.

Dengan hati penuh kagum dan heran pemuda ini segera memperoleh kenyataan bahwa dara itu memang demikian lihainya sehingga tak mungkin dia bertahan terus tanpa balas menyerang, karena hal itu amat berbahaya. Maka dia pun cepat-cepat mainkan Thai-kek Sin-kun untuk bertahan diri dan kadang kala membalas serangan lawan dengan tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang.

Di lain plhak, Sui Cin terkejut melihat betapa pemuda ini benar-benar sangat mahir dalam dua ilmu silat keluarganya itu, bahkan mungkin sekali lebih mahir dari pada dia sendiri. Sudah selama lima puluh jurus mereka berkelahi akan tetapi belum juga ujung payungnya dapat menyentuh pemuda yang lincah itu.

"Tahan dulu...!" Tiba-tiba Hui Song berseru sambil meloncat ke belakang.

Sui Cin menghentikan gerakannya, akan tetapi payungnya masih melintang di dada, siap untuk menyerang lagi. Mukanya merah, dahi dan lehernya agak basah oleh peluhnya dan matanya bersinar-sinar.

"Belum ada yang kalah, kenapa berhenti?!" bentak Sui Cin penasaran.

Hui Song tersenyum dengan wajah bersungguh-sungguh. "Nona, terus terang saja selama hidupku baru tadi aku bertemu lawan tangguh saat iblis-iblis Cap-sha-kui mengeroyokku, dan sekarang ternyata engkau adalah lawan yang lebih tangguh lagi dari pada mereka. Nona, kita sama-sama mengetahui bahwa kita berdua merupakan saudara seperguruan, sama-sama menjadi murid Cin-ling-pai..."

"Aku bukan murid Cin-ling-pai!" bentak Sui Cin nyaring. "Apa kau kira hanya putera ketua Cin-ling-pai saja yang mampu bersilat?"

Sepasang mata pemuda itu berseri gembira dan senyumnya melebar. Sinar kebengalan kembali membuat matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum. Sui Cin sendiri tersenyum di dalam hati dan mengaku bahwa tak mungkin dapat marah-marah terlalu lama kepada wajah yang begitu gembira.

"Wah, aku mengaku kalah satu nol. Engkau ternyata sudah mengenalku sebagai putera ketua Cin-ling-pai sedangkan aku sama sekali tidak pernah dapat menduga siapa adanya dirimu. Bagaimana pun juga, aku merasa yakin bahwa orang tuamu memiliki hubungan dengan Cin-ling-pai. Nona yang baik, aku memang putera tunggal dari ketua Cin-ling-pai, namaku Cia Hui Song, usiaku dua puluh satu tahun dan aku belum bertunangan, apa lagi menikah!"

Geli juga hati Sui Cin mendengar kata-kata ini. Mulutnya yang tadinya cemberut itu kini membentuk senyum, walau pun senyum itu masih merupakan senyum mengejek.

"Siapa peduli apakah engkau masih perjaka ataukah sudah duda, sudah kakek berusia dua puluh satu atau lima puluh satu!" jawabnya, kemudian dia meninggalkan pemuda itu tanpa berkata apa-apa lagi.

Melihat gadis yang dikaguminya itu pergi, Hui Song terkejut. "Ehhh, nanti dulu nona, aku belum berkenalan..."

Namun Sui Cin mempercepat langkahnya, dan kini dia bahkan mengerahkan ginkang-nya berlari cepat laksana terbang. Melihat ini Hui Song penasaran, dan dia pun mengerahkan tenaga serta kepandaiannya, mengejar sekuat tenaga.

Dua orang muda itu berkejaran seperti sedang berlomba lari. Kembali keduanya merasa kagum karena ternyata dalam hal ilmu berlari cepat mereka pun mempunyai tingkat yang seimbang! Sui Cin mulai merasa lelah dan dia pun cepat-cepat mengambil jalan memutar menuju ke tempat di mana tadi dia meninggalkan kudanya. Melihat kudanya yang kecil itu masih enak-enakan makan rumput di bawah pohon, dia lantas mencengklaknya kemudian membalapkan kudanya!

"Heiii, tunggu...!" Hui Song penasaran sekali dan terus mengejar.

Tadinya dia memandang rendah sesudah melihat gadis yang dikejarnya itu menyambung larinya dengan naik kuda. Kuda sekecil itu, mana mampu lari cepat, pikirnya. Akan tetapi dia menjadi kaget dan penasaran sekali ketika melihat betapa kuda katai itu ternyata bisa berlari cepat dan kuat sekali, bahkan tidak kalah ketimbang larinya kuda besar! Dan kuda itu napasnya kuat sekali sehingga kuda itu masih terus membalap saja ketika napasnya sendiri sudah senin-kemis.

Akhirnya Hui Song terpaksa mengalah, berhenti berlari jika dia tak mau napasnya putus. Dia berhenti lantas mengamang-amangkan tinjunya dengan gemas ketika melihat Sui Cin menoleh dan mentertawakannya dengan suara ketawa nyaring memanaskan hati...!

Asmara Berdarah Jilid 05

DELAPAN orang Kang-jiu-pang terkejut bukan main ketika melihat munculnya dua orang ini. Mereka segera mengenal kakek Koai-pian Hek-mo dan nenek Hwa-hwa Kui-bo, dua orang datuk kaum sesat di muara Huang-ho dan mereka juga merasa heran karena tidak biasa dua orang datuk sesat ini turun tangan mengacaukan dunia.

"Ji-wi locianpwe, harap jangan mencampuri urusan dalam Kang-jiu-pang. Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan ji-wi atau dengan golongan ji-wi!" berkata orang tertua dari Kang-jiu-pang dengan sikap hormat untuk menghindarkan bentrokan dengan kedua orang datuk kaum sesat ini. Dan memang, mereka sedang melaksanakan tugas yang tidak ada hubungannya dengan golongan mana pun, sehingga tidak perlu menimbulkan perkelahian yang hanya akan menghalangi pekerjaan mereka.

"Ha-ha-ha!" Koai-pian Hek-mo tertawa mengejek, sehingga nampak giginya yang kuning kotor. "Kalian hendak menculik kaisar dan masih bilang urusan dalam? Ha-ha-ha, kami memang tidak ada sangkut-pautnya, akan tetapi Liu-thaikam tentu tak akan membiarkan begitu saja!"

Mendengar ucapan ini, maka kagetlah orang-orang Kang-jiu-pang itu. Kiranya Liu-thaikam sudah bertindak sedemikian jauhnya sehingga berani mempergunakan datuk-datuk kaum sesat untuk menjadi antek-antek dan kaki tangannya! Maka, sambil mengeluarkan seruan marah, para murid Kang-jiu-pang lalu menerjang maju, menyerang kakek dan nenek iblis itu!

Dua orang kakek dan nenek iblis itu tertawa mengejek. Karena orang-orang Kang-jiu-pang itu, sesuai dengan nama perguruannya, sudah melatih dua tangan mereka yang berwarna gelap, maka mereka biasanya berkelahi mengandalkan kedua tangan itu.

Melihat ini, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo yang mempertahankan gengsi mereka sebagai datuk kaum sesat, juga tak mau mempergunakan senjata mereka. Nenek itu tidak mencabut pedangnya dan Koai-pian Hek-mo malah menyimpan kembali cambuk bajanya, kemudian mereka menyambut serangan tujuh orang murid Kang-jiu-pang dengan tangan kosong pula.

Para murid Kang-jiu-pang memiliki sepasang tangan yang terlatih, kuat dan antep pukulan mereka. Akan tetapi sekali ini mereka menghadapi dua orang lawan yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi, maka walau pun tujuh orang mengeroyok dua orang, tetap saja para murid Kang-jiu-pang itu kewalahan dan beberapa orang di antara mereka sudah beberapa kali jatuh bangun terkena serempetan tangan atau kaki dua orang iblis itu.

Sedangkan murid tertua yang tadi menjadi wakil pembicara, tidak ikut mengeroyok, akan tetapi dengan pedang di tangan menjaga sang kaisar yang menonton dengan heran dan kagum. Dia merasa amat heran kenapa orang-orang yang kelihatannya seperti pendekar-pendekar gagah hendak menculiknya, sebaliknya dua orang yang seperti iblis jahat itu kini malah melindunginya, dan dia kagum melihat kelihaian dua orang iblis itu.

Murid Kang-jiu-pang yang menjaga kaisar melihat kenyataan betapa para sute-nya tidak akan menang menghadapi kedua orang datuk kaum sesat itu. Dia adalah seorang yang cerdik. Begitu mendengar bahwa mereka berdua itu adalah kaki tangan Liu-thaikam, dia pun maklum bahwa tentu saja mereka berusaha mati-matian melindungi kaisar. Apa bila terjadi apa-apa dengan kaisar, hal itu berarti akan sangat merugikan thaikam itu, bahkan mungkin akan meruntuhkan kekuasaannya yang hanya sementara itu.

"Berhenti atau kubunuh kaisar...!" Tiba-tiba dia membentak dan menodongkan pedangnya yang ditempel pada leher kaisar muda itu.

Sang kaisar hanya terbelalak dengan wajah pucat karena kedua pergelangan tangannya sudah ditangkap oleh tangan kiri murid Kang-jiu-pang itu dan lehernya ditempeli pedang yang tajam. Tidak mungkin melepaskan diri dari cengkeraman tangan kiri yang amat kuat itu.

Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo terkejut dan mereka terpaksa meloncat mundur dan dengan mata terbelalak kehabisan akal mereka melihat betapa kaisar sudah ditodong oleh seorang murid Kang-jiu-pang. Nekat menyerbu akan membahayakan nyawa kaisar dan apa bila sampai terjadi sesuatu menimpa kaisar, mereka takut akan kemarahan Iblis Buta.

Akan tetapi pada saat itu murid Kang-jiu-pang yang menodong kaisar tiba-tiba mengeluh lantas terguling pingsan, pedangnya terlepas dari pegangan. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu muncul seorang pemuda yang tadi melemparkan sebuah batu kerikil kecil yang tepat mengenai tengkuk murid Kang-jiu-pang hingga membuatnya roboh pingsan itu, dan pemuda ini sekarang berdiri di dekat kaisar dengan sikap hormat dan berkata lembut,

"Harap paduka jangan khawatir, sri baginda..."

Melihat betapa sekarang kaisar sudah terbebas dari ancaman bahaya, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi gembira sekali, dan mereka juga marah kepada para murid Kang-jiu-pang yang tadi sudah membuat mereka terkejut dan bingung. Keduanya segera mencabut senjata masing-masing lalu mengamuk.

Kasihan para murid Kang-jiu-pang itu. Melawan dua orang iblis ini dalam keadaan tangan kosong saja mereka sudah sangat kewalahan, apa lagi kini harus melawan mereka yang menggunakan senjata keistimewaan mereka.

Koai-pian Hek-mo menggerakkan pecut bajanya yang berujung paku itu dan hanya dalam waktu belasan jurus saja empat orang pengeroyok sudah roboh dan tewas dengan kepala berlubang tertusuk paku. Juga Hwa-hwa Kui-bo mengamuk hingga tiga orang pengeroyok lainnya tewas oleh bacokan dan tusukan pedangnya.

Nenek ini merasa tidak puas karena dalam perkelahian ini, korbannya kalah banyak oleh Koai-pian Hek-mo. Maka tangan kirinya bergerak dan belasan batang jarum beracun lalu meluncur dan menancap pada leher dan dada murid Kang-jiu-pang yang masih pingsan, yaitu yang tadi menodong kaisar dan dirobohkan oleh pemuda yang baru datang. Dengan demikian, sekarang mereka berdua sudah membunuh delapan orang murid Kang-jiu-pang itu, seorang empat!

Sekarang dua orang kakek dan nenek iblis itu memandang kepada pemuda yang sudah menyelamatkan kaisar, lantas keduanya tertegun kagum. Seorang pemuda yang tampan dan ganteng! Karena kedua orang ini memang memiliki watak cabul dan keduanya suka kepada pemuda ganteng, maka wajah mereka berseri dan nenek berkedok itu tersenyum-senyum, mulutnya yang lebar terbuka sehingga nampaklah deretan gigi putih yang besar-besar.

Pemuda itu memang ganteng. Tubuhnya tinggi besar dan tegap, dengan dada bidang dan pinggang kecil, tubuh yang membayangkan kekuatan dahsyat. Wajahnya yang tampan itu berseri dan cerah, agaknya gembira selalu. Bibirnya yang berbentuk bagus dan gagah itu selalu tersenyum dan kedua mata yang jernih dan tajam itu pun selalu berseri gembira.

Akan tetapi pakaian pemuda ini sembarangan saja, kedodoran dan agaknya dia jauh dari pada pesolek. Biar pun pakaiannya sederhana kedodoran, namun pakaian itu tidak dapat menyembunyikan tubuhnya yang padat berisi dan kuat.

Pemuda berusia dua puluh satu tahun ini memang sangat menarik, merupakan seorang pemuda tampan gagah yang agaknya selalu bergembira. Ketika tadi dia menyelamatkan kaisar dan melihat betapa sepasang iblis itu membunuhi delapan orang musuh, dia hanya mengerutkan alisnya yang hitam tebal tanpa menghilangkan senyumnya. Dia hanya ingin menyelamatkan kaisar, dan urusan antara delapan orang itu dengan dua iblis ini bukanlah urusannya dan dia tidak ingin mencampuri.

Pada saat itu pula dua orang pengawal rahasia kaisar, yaitu dua orang perwira yang tadi menyamar sebagai dua orang tukang pancing kemudian diserang oleh dua orang tokoh Kang-jiu-pang yang menyamar sebagai dua orang seniman, berlari-larian datang dengan pakaian basah kuyup. Mereka terlihat girang sekali melihat kaisar dalam keadaan selamat dan mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kaisar.

"Hamba berdua menghaturkan selamat kepada paduka yang telah terbebas dari ancaman bahaya berkat pertolongan orang-orang gagah ini," kata seorang di antara mereka.

Kaisar Ceng Tek merasa jengkel melihat penyamarannya dikenal orang. Rahasianya telah terbuka sehingga tak ada gunanya lagi berpura-pura, maka dia pun mengerutkan alisnya kemudian bertanya, "Kalian siapa?"

"Hamba berdua adalah perwira pengawal yang telah diutus oleh Liu-taijin untuk melindungi paduka. Ampunkan, hamba yang hampir gagal melindungi paduka."

"Sudahlah, ceritakan apa yang telah terjadi!" kata kaisar tak sabar.

"Hamba berdua menyamar sebagai tukang-tukang pancing melindungi paduka. Tiba-tiba saja ada dua orang, agaknya tokoh-tokoh yang menyamar pula, menabrakkan perahunya kepada perahu hamba sehingga terjadilah perkelahian. Ternyata mereka berdua itu hanya menghalangi hamba berdua agar tidak dapat mencegah pada saat kawan-kawan mereka menculik paduka dan menarik perahu paduka. Hamba berdua terus melawan mati-matian sampai perahu kami semua terguling. Mereka lalu melarikan diri dengan berenang ketika melihat betapa usaha kawan-kawan mereka agaknya gagal. Dan hamba berdua sempat menyaksikan betapa paduka diselamatkan oleh tiga orang gagah ini."

Kaisar ini menghadapi kakek dan nenek itu dan diam-diam hatinya bergidik. Dua orang ini seperti iblis saja. "Siapakah kalian?" tanyanya singkat.

Biar pun dua orang itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang biasanya bersikap tidak acuh dan tidak peduli akan sopan santun, kini setelah mereka tahu bahwa mereka berhadapan dengan kaisar, keduanya merasa canggung dan juga gentar. Mereka saling memandang, merasa tidak enak jika harus memperkenalkan julukan mereka yang menyeramkan.

Apa lagi nenek itu. Dia merasa tidak sanggup untuk menjawab sehingga dengan pandang matanya di balik kedok, dia menyerahkan saja jawabannya kepada rekannya! Hampir saja Koai-pian Hek-mo memaki melihat kelicikan nenek itu, akan tetapi dia tidak berani berlaku sembrono lalu menjura.

"Kami berdua ingin membantu usaha Liu-thaikam yang hendak melindungi paduka, dan mereka ini adalah orang-orang Kang-jiu-pang yang memberontak. Kami berdua sekarang juga akan menyerbu ke sarang Kang-jiu-pang dan akan kami basmi sampai habis semua anggotanya!"

Kaisar mengerutkan alisnya. Dia tidak senang dengan bunuh-bunuhan ini, dan tadi pun melihat delapan orang itu terbunuh, dia sudah merasa muak, walau pun delapan orang itu tadi berusaha untuk menculiknya. Karena itu, tanpa mengeluarkan komentar dia pun lalu menoleh kepada pemuda tampan yang pakaiannya nyentrik itu.

"Dan engkau siapa?"

Pemuda itu cepat-cepat menjura dengan sikap hormat. "Hamba hanyalah pelancong yang kebetulan lewat di tempat ini dan ketika melihat paduka terancam bahaya, hamba merasa berkewajiban untuk menyelamatkan paduka dari ancaman bahaya. Tadinya hamba tidak menyangka bahwa paduka adalah sri baginda dan baru hamba ketahui sesudah hamba mendengarkan percekcokan mereka.”

Kaisar merasa semakin jengkel. Orang-orang ini adalah orang-orang kang-ouw yang dia tahu berwatak aneh-aneh. Orang-orang Kang-jiu-pang yang seperti pendekar-pendekar itu ternyata malah menculiknya. Dua kakek dan nenek iblis yang kelihatan kejam ini malah menyelamatkannya, dan pemuda yang pakaiannya tidak karuan ini pun agaknya enggan untuk memperkenalkan nama. Ahh, dia pun tidak ingin berkenalan dengan segala macam petualang itu. Maka dia pun berpaiing kepada dua orang perwira pengawal,

"Mari antarkan aku pulang, aku lelah sekali!" Tanpa banyak cakap dan tanpa menoleh lagi kepada kakek dan nenek iblis, juga kepada pemuda tampan itu, kaisar lalu meninggalkan tempat itu, diiringkan oleh dua orang pengawalnya.

Setelah kaisar pergi, nenek itu terkekeh. "Huh-huh, begitu sajakah kaisar? Tak mengenal budi! Ehh, orang muda, engkau tadi sudah membantu kami, sungguh engkau merupakan sahabat yang baik!"

"Kaisar tidak minta dilindungi, mengapa engkau mengomel?" Koai-pian Hek-mo mencela nenek itu, kemudian dilanjutkan kepada si pemuda, "Orang muda yang gagah, siapakah engkau dan dari perguruan mana? Aku suka sekali bersahabat denganmu!"

"Jangan percaya dengan omongannya! Paling-paling engkau nanti akan dijadikan kawan tidurnya!" Hwa-hwa Kui-bo mengejek.

"Wah, masih jauh lebih baik dari pada menjadi pacar nenek-nenek seperti tua bangka ini!" Koai-pian Hek-mo membalas dan keduanya berdiri berhadapan dengan sikap beringas.

Pemuda itu tersenyum. "Ha-ha-ha, sungguh lucu sekali kalian ini. Kalau aku tidak salah, engkau tentulah Koai-pian Hek-mo dan engkau adalah Hwa-hwa Kui-bo, dua orang datuk muara Huang-ho yang terkenal itu, bukan?"

"Bagus sekali jika engkau telah mengenal namaku, orang muda. Engkau ikutlah denganku dan menjadi muridku yang terkasih!" kata Koai-pian Hek-mo sambil menatap wajah yang tampan itu.

"Engkau menjadi muridku saja, dan apa pun yang kau minta tentu terlaksana."

"Wah, bingung aku. Kalian berdua sama-sama hebat, sama-sama lihai, berat hatiku untuk memilih yang mana. Tentu aku akan senang sekali menjadi murid kalian. Bagaimana jika kalian berebut saja? Bertanding untuk menentukan siapa yang berhak menjadi guruku? Yang menang itulah guruku!" kata si pemuda sambil tertawa.

"Bagus!" Hwa-hwa Kui-bo berseru. Nenek yang agaknya sudah ingin sekali segera dapat memiliki pemuda yang sangat menggairahkan hatinya itu tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang Koai-pian Hek-mo dengan pedangnya! Kakek itu pun menjadi marah sekali dan cepat dia menangkis dengan pecut bajanya dan balas menyerang.

Dua orang kakek dan nenek ini sudah saling serang dengan hebat dan mati-matian untuk memperebutkan pemuda tampan yang menarik hati itu tanpa menyelidiki lebih dulu siapa adanya pemuda yang baru saja mereka jumpai itu. Ada lebih dari dua puluh jurus mereka saling serang dan baru mereka melihat bahwa pemuda yang menjadi sebab perkelahian mereka itu ternyata sudah tak ada lagi di tempat itu, sudah pergi dengan diam-diam tanpa mereka ketahui karena sejak tadi mereka hanya mencurahkan perhatian untuk mencari kemenangan!

"Celaka, kita tertipu!" bentak Koai-pian Hek-mo sambil meloncat mundur.

"Engkau tua bangka, kenapa tidak mau mengalah sampai dia pergi tanpa kuketahui siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya?"

"Bagaimana pun juga, dia tadi telah membantu kita. Tentu dia seorang di antara sahabat dan kelak kita tentu akan bertemu lagi. Mari kita lanjutkan tugas panting kita!"

"Tapi aku belum kalah!" tantang si nenek.

"Aku pun belum!"

"Mari kita lanjutkan!"

"Hushhh! Ingin kulaporkan kepada lojin bahwa engkau tidak mentaati perintah?"

"Sialan! Mulut runcing!" si nenek mengomel, akan tetapi hatinya gentar juga.

Paling ngeri kalau orang sudah menyebut lojin dan dia pun tak berani lagi banyak cakap. Mereka lalu menggunakan ilmu berlari cepat menuju ke Cin-an untuk mengunjungi sarang Kang-jiu-pang.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Menjelang senja kakek dan nenek iblis itu tiba di luar pintu gerbang sarang Kang-jiu-pang. Sebagai rumah perkumpulan persilatan, tempat itu dikelilingi tembok tebal seperti benteng ada pun di luar pintu gerbang yang besar itu dijaga oleh beberapa orang pemuda anggota Kang-jiu-pang.

Ketika mereka sampai di sana, dua orang datuk kaum sesat itu tidak berani sembarangan bergerak. Keduanya sudah cukup lama mengenal perkumpulan ini hingga maklum bahwa perkumpulan itu dipimpin oleh Song Pak Lun yang lihai bukan main, terutama sekali dua ‘tangan baja’ yang telah dilatihnya secara sempurna itu. Mereka tahu bahwa perkumpulan ini juga memiliki murid atau anggota yang puluhan orang jumlahnya. Maka keduanya lalu menghampiri pintu gerbang, hendak bertindak secara terbuka sebab bagaimana pun juga, mereka merasa berada pada pihak pemerintah yang menghadapi pemberontak, jadi tentu saja mereka berdua merasa mendapat angin.

Ternyata bahwa kedatangan mereka itu sudah dinanti oleh tuan rumah. Buktinya, ketika mereka sampai di depan pintu gerbang, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki tua berusia kurang lebih enam puluh tahun, gagah perkasa dan bertubuh kokoh kuat serta sikapnya tenang dan angker. Inilah Song Pak Lun sendiri, ketua Kang-jiu-pang yang agaknya tidak ingin menerima tamu yang sudah membunuh delapan orang anak buahnya itu di dalam rumah, melainkan hendak menerimanya di luar tembok pintu gerbang!

Di samping kanan kirinya berjalan dua orang kakek yang tadi menyamar sebagai pelukis dan penyair, yang berhasil menyelamatkan diri untuk membawa berita yang sangat pahit itu, yaitu bahwa bukan saja tugas anak buah Kang-jiu-pang untuk menculik kaisar sudah gagal, bahkan delapan orang anak buah perkumpulan mereka tewas secara mengerikan dalam tangan dua orang datuk sesat.

Sejenak kedua belah pihak hanya saling pandang saja. Song Pak Lun tidak menunjukkan kedukaan atau kemarahan berhubung dengan kematian murid-muridnya dan kegagalan usahanya. "Sejak kapankah Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi antek pembesar lalim Liu-thaikam?" demikian sambutan Song Pek Lun ketika kedua orang iblis itu nampaknya tidak sabar lagi.

Kakek dan nenek itu melirik ke depan dan kanan kiri, melihat betapa ketua Kang-jiu-pang itu diikuti oleh murid-murid kepala dan juga semua murid yang jumlahnya tak kurang dari lima puluh orang. Semua murid atau anggota Kang-jiu-pang itu kelihatan amat marah dan mendendam kepada mereka berdua.

Dengan sikap tenang tapi mengejek Koai-pian Hek-mo melolos pecut bajanya, kemudian memutar-mutar senjata itu dengan sikap menantang sekali, baru dia berkata, "Dan sejak kapan Kang-jiu-pang menjadi gerombolan pemberontak?"

"Hemmm, sejak kapan datuk-datuk kaum sesat bersikap sebagai patriot sejati?" Kembali Song Pak Lun bertanya.

"Orang she Song, tidak usah banyak membuka mulutmu yang busuk!" Tiba-tiba Hwa-hwa Kui-bo yang memang wataknya galak itu memaki, "Engkau memusuhi kaisar atau tidak, itu bukan urusan kami. Akan tetapi ketahuilah, kami menerima tugas dari Siangkoan-lojin untuk melindungi kaisar dan untuk membasmi Kang-jiu-pang. Sekarang terserah padamu, engkau hendak menyerahkan nyawa secara baik-baik ataukah kami harus menggunakan kekerasan!" Sambil berkata demikian, nenek itu mencabut pedangnya.

Wajah Song Pak Lun menjadi pucat sebentar, kemudian berubah merah sekali, sepasang matanya lebar terbelalak dan seperti mengeluarkan api. Tadi dia terkejut sekali mendengar disebutnya narna Siangkoan-lojin. Ternyata si Iblis Buta itu benar-benar sudah keluar dari sarangnya untuk mengacau dunia! Dan dia marah mendengar kesombongan nenek itu.

"Kami adalah orang-orang gagah dan sampai mati pun kami menjunjung kegagahan. Jika kami mengandalkan banyak orang mengeroyok kalian, kami akan merasa malu walau pun memperoleh kernenangan. Hek-mo dan Kui-bo, majulah hadapi aku satu lawan satu. Bila aku kalah, aku akan menyerahkan nyawa dan akan membubarkan Kang-jiu-pang, akan tetapi kalau kalian kalah, kami akan menggunakan kepala kalian untuk menyembahyangi arwah delapan orang murid kami."

Koai-pian Hek-mo hanya tertawa mengejek. Akan tetapi Hwa-hwa Kui-bo yang lebih cerdik dan sudah tahu akan kelihaian ketua perkumpulan ini, lalu berseru, "Kami datang berdua sebagai utusan, maka mati hidup harus kami lakukan bersama. Karena itu kami berdua hendak maju bersama, dan engkau boleh memilih seorang jagoan lagi dari perkumpulan pemberontak ini untuk membantumu melawan kami berdua!"

Secara diam-diam Koai-pian Hek-mo merasa girang karena kecerdikan temannya ini telah menempatkan mereka di atas. Dia pun tahu bahwa orang paling lihai dari Kang-jiu-pang adalah ketua itu sendiri. Melawan ketua itulah yang berat. Apa bila mereka berdua maju bersama, maka ketua itu terpaksa harus memilih seorang muridnya untuk membantu. Dan kepandaian seorang murid tidak ada artinya bagi mereka berdua. Apa bila pembantu itu sudah roboh maka berarti mereka berdua akan mengeroyok sang ketua dan tentu mereka akan dapat menang!

Song Pak Lun juga merasa tersudut dengan alasan Hwa-hwa Kui-bo yang bukannya tidak masuk akal ini. Seorang di antara dua seniman tua tadi melangkah maju lantas berkata, "Pangcu, biarlah saya yang membantu pangcu menandingi mereka."

Akan tetapi Song Pak Lun segera menggelengkan kepala. Dua orang seniman itu adalah murid-murid utama yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi di antara murid-muridnya. Akan tetapi tingkat mereka belum ada tiga perempatnya, maka dia pun tahu bahwa kalau dia membiarkan seorang di antara mereka maju, hal itu hanya berarti membiarkan mereka maju mengantar nyawa saja.

Tidak, usahanya memang telah gagal namun dia harus menghadapi kegagalannya secara jantan. Kalau perlu dia akan mengorbankan nyawa. Tidak boleh dia membiarkan seorang murid lain terbunuh lagi sesudah ada delapan orang yang tewas.

"Aku akan maju sendiri menghadapi Hek-mo dan Kui-bo!" katanya dengan tegas.

"Tidak adil apabila satu orang melawan dua orang! Akulah yang akan membantu ketua Kang-jiu-pang!"

Mendadak terdengar suara orang disusul berkelebatnya bayangan orang, dan dua orang iblis itu terkejut ketika mengenal yang datang ini adalah pemuda tampan yang pernah mereka perebutkan! Dengan pakaiannya yang sederhana kedodoran sehingga nampak aneh, disertai senyum yang ramah dan sepasang matanya yang bersinar tajam, pemuda itu sudah berdiri di situ sambil memandang kepada dua orang datuk sesat.

"Kau...? Ahhh… jangan lancang, orang muda, bukankah engkau ingin menjadi muridku?" Hwa-hwa Kui-bo yang agaknya sudah tergila-gila kepada pemuda itu membujuk dengan suara merayu. "Tunggulah, aku membasmi Kang-jiu-pang ini lebih dulu, baru engkau ikut denganku bersenang-senang!"

Pemuda itu tertawa. "Sayang seribu sayang, Kui-bo, tetapi kedokmu itu amat mengerikan hatiku. Bukalah dulu kedokmu agar aku dapat melihat bagaimana macamnya mukamu."

Pemuda itu agaknya sengaja mengeluarkan kata-kata ini untuk menggoda dan mengejek, karena tak ada hal lainnya yang lebih memanaskan hati Hwa-hwa Kui-bo dari pada kalau orang bicara tentang mukanya dan kedoknya.

"Bocah keparat, kucabut lidahmu!" bentak nenek itu dengan marah.

Sementara itu, Song Pak Lun memandang tajam kepada pemuda yang baru datang, dan ketika murid kepala yang berdiri di belakangnya membisikkan bahwa permuda inilah yang pernah membantu kedua orang iblis itu menyelamatkan kaisar dan merobohkan seorang murid Kang-jiu-pang, tentu saja hatinya penuh curiga dan kemarahan.

Tidak mungkin pemuda yang sudah membantu dua orang iblis itu kini hendak membantu Kang-jiu-pang menghadapi mereka. Ini tentu sebuah tipuan atau siasat pihak lawan. Kaum sesat terkenal curang dan tidak segan mempergunakan akal-akal licik.

"Kang-jiu-pang tidak pernah mengharapkan bantuan orang luar, dan engkau orang muda malah masih ada perhitungan yang belum beres dengan kami!" bentaknya.

Pemuda itu menoleh kepadanya dan menarik napas, lantas menjura. "Maaf, pangcu. Aku pernah merobohkan muridmu karena melihat murid-muridmu hendak mengganggu kaisar. Akan tetapi setelah kuselidiki tadi, baru aku tahu apa dasarnya. Biar pun aku sendiri tidak menyetujui cara-caramu, akan tetapi baru kuketahui bahwa Kang-jiu-pang bukan golongan jahat. Maka, untuk menebus kesalahanku, aku hendak membantu Kang-jiu-pang."

"Hemmm!" Ketua yang keras hati itu mencela. "Kalau tidak ada campur tanganmu, tentu usaha kami sudah berhasil dan murid-murid kami tidak ada yang tewas. Kami tidak dapat menerima bantuan orang yang telah mencelakakan kami!"

Pemuda itu agaknya maklum bahwa dalam saat seperti itu, banyak bicara juga tidak ada gunanya. Ketua Kang-jiu-pang itu agaknya bukan hanya bertangan baja, akan tetapi juga berwatak baja yang keras. Maka dia pun menggerakkan kedua pundaknya.

"Terserah, kalau tidak boleh membantu aku pun tidak akan membantu kalian. Akan tetapi, aku sendiri masih mempunyai perhitungan dengan kedua iblis ini yang harus kubereskan sekarang juga. Heiii, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo, kutantang kalian untuk maju melawan aku. Kalau kalian tidak berani, maka perkara ini akan kusudahi kalau kalian suka membuntungi lengan kanan masing-masing dan memberikannya kepadaku!"

Mendengar ucapan yang nadanya memandang rendah sekali ini, ketua Kang-jiu-pang dan semua anak buahnya terkejut. Bahkan kakek dan nenek iblis itu sendiri terbelalak, lebih kaget dari pada marah. Ada seorang muda yang berani mengeluarkan ucapan seperti itu! Sungguh kurang ajar, terlalu menghina.

Pemuda itu memang sengaja mengeluarkan kata-kata yang nadanya memandang rendah untuk memaksa dua orang iblis itu menandinginya, atau setidak-tidaknya salah seorang di antara mereka agar lawan ketua Kang-jiu-pang menjadi ringan. Dan usahanya ini berhasil baik.

Dua orang datuk sesat itu marah sekali, merasa dipandang rendah sekali. Maka terdengar suara menggereng keras seperti seekor harimau terluka lantas terdengar suara meledak nyaring ketika pecut baja di tangan Koai-pian Hek-mo menyambar dahsyat ke arah kepala pemuda itu. Ujung cambuk baja yang panjang itu dipasangi paku besar dan kini paku itu meluncur ke arah pelipis si pemuda yang dianggap sombong dan bermulut besar.

"Ehh, luput...!" Pemuda itu mengejek sambil menggerakkan kepalanya mengelak.

"Wuuuuttt...! Singgg...!"

Paku di ujung pecut itu lewat beberapa senti saja di pinggir kepala pemuda yang nampak begitu tenang dan menghadapi kakek iblis itu sambil tersenyum-senyum.

"Tar-tar-tar-tarrr...!"

Pecut itu meledak-ledak dan menyambar-nyambar, akan tetapi pemuda itu tetap tenang saja, menghindar ke kanan kiri dengan gerakan yang indah dan mantap. Demikian yakin dia akan dirinya sendiri sehingga gerakannya tidak terlihat gugup, akan tetapi ujung pecut yang nampaknya seperti akan mengenai dirinya itu selalu luput.

"Wah, tidak kena lagi, Hek-mo!" dia berulang-ulang mengejek.

Song Pak Lun bukanlah seorang yang bodoh. Biar pun dia keras hati dan memiliki harga diri yang tinggi, namun dia cukup cerdik. Dia tadi telah menolak bantuan pemuda itu, dan kalau kini pemuda itu berkelahi melawan Koai-pian Hek-mo, hal itu adalah urusan mereka berdua sendiri, tidak ada sangkut-pautnya dengan Kang-jiu-pang.

Namun hal ini tentu saja amat menguntungkan dirinya karena dengan terlibatnya Hek-mo dalam perkelahian melawan pemuda itu yang dia lihat mempunyai gerakan cukup hebat, maka kini dia hanya tinggal menghadapi Hwa-hwa Kui-bo seorang, jadi tidak begitu berat jika dibandingkan dengan melawan dua orang datuk sesat itu bersama.

"Hwa-hwa Kui-bo, lihat seranganku!" bentaknya.

Dan dia pun telah menerjang maju dengan tamparan tangannya. Sepasang tangan ketua Kang-jiu-pang ini, dari siku ke bawah, telah berubah warnanya menjadi persis warna besi baja dan mengkilat pula. Ketika tangan kiri itu menampar, bunyinya berdesing dan amat panas ketika menyambar ke arah muka Hwa-hwa Kui-bo.

Nenek ini maklum akan ampuhnya tangan baja ketua Kang-jiu-pang itu, karena itu dia pun cepat mengelak dan membalas dengan tusukan pedangnya ke arah lambung lawan.

"Tranggg...!"

Nenek berkedok itu terkejut sekali. Ternyata ketua Kang-jiu-pang itu berani menangkis pedangnya dengan tangan kosong dan ketika pedang itu bertemu dengan tangan kanan Song Pak Lun, terdengar bunyi nyaring seakan-akan pedangnya bertemu dengan logam dan mengeluarkan percikan bunga api, bahkan tangan kanan yang memegang pedang itu terasa tergetar hebat!

Sekarang dia baru tahu bahwa nama Song Pak Lun sebagai ketua perkumpulan Tangan Baja sungguh bukan nama kosong belaka, maka nenek ini pun lalu memutar pedangnya dan mengeluarkan semua ilmunya untuk menghadapi lawan yang tangguh ini. Terjadilah perkelahian yang amat seru dan mati-matian di antara mereka, ditonton oleh para anggota Kang-jiu-pang dengan hati tegang.

Tetapi, ketegangan yang mencul karena perkelahian antara ketua Kang-jiu-pang melawan Hwa-hwa Kui-bo mengendur banyak pada waktu mereka menyaksikan perkelahian antara Koai-pian Hek-mo dan pemuda tampan yang masih terus tersenyum-senyum itu. Bahkan para anggota Kang-jiu-pang kadang-kadang tak bisa menahan gelak tawa mereka melihat kelucuan pemuda itu menghadapi lawannya, di samping mereka menjadi terheran-heran, bahkan demikian kagum sampai bengong.

Pemuda itu sungguh-sungguh memiliki gerakan yang amat lincah. Ia tidak mengandalkan kecepatan saat menghadapi cambuk baja lawan, melainkan mengandalkan gerakan kaki yang demikian indah dan mantap. Kedua kakinya bergerak ke depan belakang, kanan dan kiri demikian indah dan mantapnya hingga tubuhnya dapat selalu terhindar dari sambaran ujung pecut baja. Kadang-kadang dia menterta-wakan lawannya.

"Wah, luput lagi, Hek-mo. Pakumu sudah usang, ganti saja dengan yang baru."

"Singgg...! Wirrr...! Singgg...!"

"Nah, tidak kena lagi! Gerakanmu terlampau lemah! Apa kau belum makan? Kalau lapar jangan bertanding silat, nanti masuk angin...!"

"Wuuuuttt...! Singgg...!"

"Apa kubilang, luput lagi...!"

"Keparat!" Kakek itu memaki dan memutar cambuk bajanya lebih cepat lagi.

Cambuk itu sendiri lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Akan tetapi tiba-tiba saja pemuda itu membentak, suaranya demikian keras mengejutkan.

"Perlahan dulu!"

Kakek itu pun menjadi terkejut dan rasa kaget ini mengurangi kecepatan gerakannya dan tahu-tahu ujung cambuknya yang dipasangi paku itu telah tertahan dan terjepit oleh dua jari tangan kiri pemuda itu, yaitu ibu jari dan telunjuknya!

Semua orang memandang kagum. Sungguh amat berani perbuatan pemuda ini, menjepit ujung cambuk yang demikian ampuhnya dengan jari tangan saja! Akan tetapi Koai-pian Hek-mo sendiri kaget dan marah, juga diam-diam maklum bahwa biar pun masih muda, lawannya ini benar-benar tak boleh dipandang ringan!

Dia lalu mengerahkan tenaga membetot untuk melepaskan ujung cambuknya dari jepitan tangan pemuda itu, namun ujung cambuk itu tertahan kuat-kuat di dalam jepitan! Sinkang yang luar biasa kuatnya, pikir Hek-mo. Pantas saja pemuda ini tadi berani mengeluarkan kata-kata sombong, ternyata bukan bualan belaka dan memang pemuda ini ‘berisi’. Dia kembali mengerahkan tenaga sambil menarik dan tiba-tiba…

"Singggg...!" pemuda itu melepaskan jepitan jarinya! Tentu saja paku di ujung cambuk itu meluncur amat cepatnya ke arah orang yang menariknya.

"Uhhhhh...!" Hampir saja muka Hek-mo termakan oleh paku di ujung cambuknya sendiri kalau dia tidak cepat-cepat mengangkat tangannya ke atas dan mengelak. Mukanya yang hitam berubah agak pucat. Nyaris dia menjadi korban senjatanya sendiri.

"Nah, apa kubilang? Jangan main-main dengan segala cambuk dan paku yang tidak ada gunanya, salah-salah hidungmu sendiri yang nantinya terpaku!" pemuda itu mengejek dan beberapa orang anggota Kang-jiu-pang bersorak.

Kini wajah Hek-mo berubah merah. Baru belasan jurus saja dan dia sudah hampir celaka. Hatinya menjadi sangat penasaran. "Orang muda, beri tahukan namamu supaya aku tahu dengan siapa aku bertanding!"

Pemuda itu tersenyum. "Ehhh, mengapa tanya-tanya nama segala? Apakah kau hendak menarik aku sebagai mantu? Wah, jelas kutolak jika mukanya seperti mukamu, Hek-mo. Tapi biarlah, supaya engkau tidak mati penasaran dan tahu siapa yang mengalahkanmu. Aku she Cia bernama Hui Song!"

"Dari perguruan mana?"

"Cerewet! Memangnya kita ini kong-kouw (ngobrol) atau sedang bertanding? Hayo lekas lanjutkan permainan cambuk bajamu yang jelek itu!" Pemuda yang bernama Cia Hui Song itu mengejek.

"Bocah sombong!" Koai-pian Hek-mo memaki dan memutar cambuknya.

"Tar-tarrr-tarrr!" lalu cambuk meluncur ke bawah, mengarah ke ubun-ubun kepala Cia Hui Song.

Akan tetapi sekali ini Hui Song tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kirinya ke atas kepala dan ketika paku di ujung cambuk itu meluncur turun, dia menggunakan jari tangannya untuk menjentik.

"Tringgg...!" Dan paku itu terpental ke arah penyerangnya!

Tentu saja Koai-pian Hek-mo terkejut sekali dan kembali menghujankan serangan. Akan tetapi terdengar suara nyaring tang-ting-tang-ting pada waktu Hui Song menyambut paku itu dengan jentikan jari-jari tangan, bahkan dia pun segera membalas dengan tamparan-tamparan yang sedemikian kuatnya hingga angin pukulannya saja membuat rambut serta baju lawannya berkibar-kibar dan dalam beberapa gebrakan saja Hek-mo terhuyung dan terdesak.

Kini Hek-mo baru benar-benar terkejut dan maklum bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia akan celaka di tangan bocah yang menjadi lawannya itu. Tentu saja dia merasa sangat penasaran dan malu. Ia memperebutkan bocah ini dengan Hwa-hwa Kui-bo untuk menjadi muridnya tetapi siapa kira, bocah ini malah mempunyai kepandaian sedemikian hebatnya sehingga dia yang ingin menjadi gurunya pun tidak mampu menandinginya!

Sementara itu, Hwa-hwa Kui-bo dengan pedangnya juga kewalahan dan kerepotan dalam menghadapi sepak terjang ketua Kang-jiu-pang dengan kedua tangan bajanya itu. Tangan kanannya yang memegang pedang juga terasa sangat lelah karena setiap kali bertemu dengan tangan baja lawan, pedangnya terpental dan tangannya tergetar.

Maka, ketika Koai-pian Hek-mo berteriak, "Kui-bo, mari kita pergi!" dia pun tidak menanti sampai ajakan itu diulang dua kali.

Dia pun tahu bahwa jika perkelahian ini dilanjutkan, lambat laun dia akan kalah melawan ketua Kang-jiu-pang. Cepat tangan kirinya mengebut dan jarum beracun menyambar ke arah lawan.

Song Pek Lun maklum akan bahayanya jarum-jarum itu, maka dia pun cepat mengelak mundur sambil mempergunakan kedua tangannya yang kebal seperti besi baja itu untuk menyampoki jarum-jarum hingga senjata-senjata rahasia itu runtuh semua ke atas tanah. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hwa-hwa Kui-bo untuk meloncat dan melarikan diri, mengejar Koai-pian Hek-mo yang sudah lari terlebih dulu tanpa dikejar oleh Cia Hui Song yang hanya berdiri bertolak pinggang sambil tertawa melihat lawannya mengambil langkah seribu.

Pemuda itu kemudian menghadapi Song Pak Lun dan menjura. "Song-pangcu, sekali lagi maafkan salah duga yang membuat aku pernah merobohkan muridmu karena aku hanya bermaksud menolong kaisar yang diancam dan ditodong oleh muridmu. Dan kuharap saja pangcu bersama seluruh anggota Kang-jiu-pang cepat-cepat pergi meninggalkan tempat ini. Perbuatan para anggota Kang-jiu-pang dianggap sebagai pemberontak. Aku tidak akan merasa heran kalau sebentar lagi datang pasukan untuk menangkap atau pun membasmi Kang-jiu-pang."

Song Pak Lun menarik napas panjang. "Kami mengerti dan bagaimana pun juga, terima kasih atas bantuanmu. Orang muda, engkau she Cia dan ilmu silatmu tinggi. Entah apa hubunganmu dengan Cia-taihiap, ketua Cin-ling-pai?"

Kui Song tersenyum dan mukanya menjadi merah. "Aku tidak pernah memamerkan dan memperkenalkan orang tuaku, akan tetapi baiklah kepadamu aku berterus terang bahwa dia adalah ayahku."

"Ahhh...!" Para anggota Kang-jiu-pang berseru kaget. Ternyata pemuda ini adalah putera ketua Cin-ling-pai! Pantas saja demikian lihai!

"Aku mengerti bahwa kami tidak akan menyebut dan menyeret namamu ke dalam urusan kami, Cia-taihiap," kata ketua Kang-jiu-pang itu.

"Terima kasih, aku yakin akan kebijaksanaan pangcu. Aku sendiri tidak takut jika terseret, hanya saja ayah tentu akan marah sekali kalau sampai Cin-ling-pai terlibat. Nah, selamat berpisah, pangcu, harap saja engkau dengan semua anggotamu bisa meloloskan diri dari kejaran pasukan pemerintah!"

Cia Hui Song lalu pergi dan Song Pak Lun dengan tergesa-gesa lalu berkemas. Tak lama kemudian, pada hari itu juga, seluruh anggota Kang-jiu-pang berikut keluarga mereka pergi meninggalkan kota Cin-an. Ketika pasukan pemerintah datang menyerbu, mereka hanya menemukan sarang yang kosong karena semua burungnya telah terbang pergi entah ke mana.

Cia Hui Song adalah putera ketua Cin-ling-pai, dan pada waktu itu, yang menjadi ketua Cin-ling-pai adalah seorang pendekar gagah perkasa bernama Cia Kong Liang yang telah berusia lima puluh tahun.

Para pembaca kisah Pendekar Sadis tentu sudah mengenal nama Cia Kong Liang ini. Pendekar ini menikah dengan seorang gadis gagah perkasa putera seorang datuk sesat yang sudah mencuci tangan dan merubah jalan hidupnya di atas jalan bersih.

Ayah mertuanya adalah Tung-hai-sian Bin Mo To yang tinggal di kota Ceng-tao di Propinsi Shantung. Pada waktu masih menjadi datuk, Bin Mo To ini berjuluk Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur) dan dia adalah seorang Bangsa Jepang yang nama aslinya Minamoto.

Tung-hai-sian hanya mempunyai seorang anak perempuan yang berjiwa gagah dan tidak suka melihat ayahnya menjadi datuk kaum sesat. Puterinya ini yang bernama Biauw dan memakai she Bin, akhirnya menikah dengan Cia Kong Liang yang pada waktu itu adalah putera ketua Cin-ling-pai.

Cia Kong Liang hidup rukun dan saling mencinta dengan Bin Biauw dan mereka memiliki seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Cia Hui Song, yang kini sudah berusia dua puluh satu tahun. Setelah ayahnya meninggal dunia, Cia Kong Liang membangun kembali Cin-ling-pai sebagai ketuanya dan semenjak itu, di bawah pimpinannya dan dibantu oleh isterinya, Cin-ling-pai menjadi semakin kuat dan terkenal.

Di dalam mendidik dan melatih murid-murid Cin-ling-pai, Cia Kong Liang bersikap sangat keras sehingga di antara murid-muridnya banyak yang jadi. Tentu saja puteranya sendiri digemblengnya dengan tekun sehingga Cia Hui Siong telah mewarisi ilmu-ilmu Cin-ling-pai dari ayahnya, bahkan mewarisi juga ilmu-ilmu dari ibunya yang memiliki ciri khas.

Sejak kecil pemuda ini berada di Cin-ling-pai yang berpusat di Pegunungan Cin-ling-san, dan memiliki watak yang lincah gembira sekali, jauh berbeda dengan ayahnya yang sejak muda berwatak keras, pendiam dan serius, bahkan agak angkuh dan tinggi hati. Agaknya Hui Song menuruni watak ibunya yang lincah gembira, dan memiliki jiwa petualang sebab sejak kecil anak ini suka bermain-main sendiri di tempat-tempat yang sepi dan berbahaya sehingga sering kali mendapat teguran dan hukuman keras dari ayahnya.

Namun dia tidak pernah merasa jera, apa lagi karena dilindungi ibunya sehingga akhirnya ayahnya merasa bosan sendiri kemudian membiarkan puteranya tumbuh menjadi seorang pemuda yang wataknya riang gembira, bengal sekaligus juga aneh, mengenakan pakaian seenaknya saja tak pernah kelihatan rapi.

Dia hadir di Puncak Bukit Perahu adalah untuk mewakili ayahnya dan Cin-ling-pai. Akan tetapi seperti juga para pendekar lain yang mendengar berita dari para murid Pek-ho-pai bahwa pertemuan itu dibatalkan, dia pun meninggalkan tempat itu dan sebelum pulang ke Cin-ling-pai dia melancong dulu sampai ke Cin-an di mana akhirnya secara kebetulan dia berhasil menyelamatkan kaisar kemudian berbalik membantu Kang-jiu-pang menghadapi dua orang kakek dan nenek iblis.

Sesudah memberi nasehat kepada Kang-jiu-pang agar cepat-cepat meninggalkan Cin-an, Hui Song sendiri langsung pergi dari kota itu. Dia pun merasa khawatir kalau-kalau pihak pemerintah tahu bahwa dia adalah putera ketua Cin-ling-pai.

Bantuannya terhadap Kang-jiu-pang tadi sungguh berbahaya kalau diingat dua orang iblis itu ternyata adalah kaki tangan pemerintah pula! Dia sendiri masih merasa bingung akan segala peristiwa yang dialaminya.

Kaisar akan diculik oleh kumpulan pendekar Kang-jiu-pang, ada pun orang-orang macam Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo malah melindungi kaisar. Apakah dunia ini sudah terbalik? Apakah kini para pendekar memusuhi kaisar sedangkan para penjahat malah membelanya?

Memang pemuda ini tidak begitu mempedulikan urusan pemerintahan, maka dia pun tidak tahu akan apa yang terjadi di istana, tidak tahu bahwa para datuk sesat itu sesungguhnya bukan mengabdi terhadap kaisar akan tetapi terhadap pembesar lalim yang memperoleh kesempatan menguasai pemerintahan melalui kaisar muda yang lemah.

Pada keesokan harinya, Hui Song sudah pergi jauh dari Cin-an menuju ke selatan. Dia harus pulang ke Cin-ling-san untuk melaporkan kepada ayahnya tentang kegagalan atau pembatalan pertemuan para pendekar itu, juga tentang keanehan yang dialaminya di kota Cin-an.

Sebelum dia turun tangan membantu Kang-jiu-pang, dia sudah melakukan penyelidikan kilat di Cin-an tentang perkumpulan itu dan memperoleh kenyataan bahwa Kang-jiu-pang adalah perkumpulan pendekar yang dihormati dan dipuji oleh rakyat. Itulah mengapa dia tanpa ragu-ragu cepat pergi ke Kang-jiu-pang dan melihat perkumpulan itu didatangi oleh dua iblis, dia pun segera membantu.

Siang hari itu matahari sangat terik dan semalam Hui Song sudah melakukan perjalanan tanpa berhenti, maka dia merasa lelah dan duduklah pemuda ini mengaso di luar sebuah hutan. Melibat adanya sebuah gubuk di pinggir jalan, dia pun lalu naik ke gubuk kecil itu untuk berteduh.

Di bawah naungan daun-daun pepohonan serta atap gubuk sederhana yang menciptakan tempat teduh dan sejuk dengan adanya angin semilir, membuat mata mengantuk sekali. Hui Song segera tertidur sesudah dia merebahkan diri terlentang di atas anyaman bambu di gubuk itu. Dia tertidur amat nyenyak dan nikmatnya.

Kita condong beranggapan bahwa segala kenikmatan yang dapat kita rasakan di dalam kehidupan ini haruslah diadakan dan sarananya berada di luar diri kita. Bila mau makan enak harus membeli masakan-masakan yang mahal harganya, kalau ingin tidur nyenyak harus berada di dalam kamar yang lengkap dan dengan perabot serba halus dan mahal, dan sebagainya. Pendeknya syarat mutlak supaya dapat menikmati hidup adalah adanya benda-benda berharga yang hanya bisa didapatkan dengan uang. Akan tetapi, benarkah demikian adanya?

Kita melihat petani sederhana yang sesudah bekerja keras di ladang dapat menikmati makanannya yang amat sederhana, dengan kenikmatan yang tidak dibuat-buat. Kenapa demikian? Karena badannya sehat dan batinnya tenteram, karena dia sehat lahir batin. Kesehatannya bekerja dengan wajar, membuat perutnya lapar setelah dia kelelahan dan ini menciptakan selera dan nafsu makan yang membuat apa saja menjadi terasa nikmat olehnya. Kita melihat petani yang sama pada waktunya akan dapat tidur nyenyak, hanya bertilamkan tikar atau bahkan rumput saja, juga hal ini bisa terjadi karena dia sehat lahir batinnya.

Sebaliknya, kita pun dapat melihat orang yang kaya raya tanpa banyak bekerja menjadi malas, makan tidak terasa enak meski pun menghadapi hidangan yang mahal-mahal dan banyak macamnya. Kita melihat orang kaya yang sama gelisah di atas tempat tidurnya yang empuk dan bertilamkan sutera di dalam sebuah kamar seperti istana, sukar dapat memejamkan mata dan tidak dapat lagi menikmati rasanya tidur nyenyak.

Jelaslah bahwa sumber kenikmatan hidup terdapat di dalam diri kita sendiri lahir batin. Jika lahir batin kita sehat kita akan dapat menikmati hidup. Badan sehat berarti tidak ada gangguan penyakit. Batin sehat berarti tidak ada gangguan pikiran.

Namun sungguh teramat sayang. Kita lebih senang MENGOBATI gangguan lahir batin itu dari pada MENJAGANYA. Kita hidup tidak sehat, makan minum tanpa ingat kesehatan, setiap hari ada gangguan kesehatan badan yang harus kita atasi dengan pengobatan-pengobatan. Lalu kita membiarkan hati dan pikiran terganggu setiap hari, yang ingin kita atasi pula dengan hiburan-hiburan!

Walau pun hanya di dalam gubuk reyot bertilamkan anyaman bambu yang kasar, di tepi sebuah hutan yang sunyi, akan tetapi Hui Song dapat tidur dengan nyenyak, benar-benar nyenyak sehingga tidak membutuhkan waktu tidur lama. Tidur dua tiga jam saja rasanya sudah kekenyangan dan puas sekali, sudah dapat melenyapkan segala letih dan kantuk.

“Tukk!” Mendadak ada sesuatu yang jatuh menimpa dahinya. Hanya sebuah benda kecil menimpa dahi, akan tetapi cukuplah untuk menggugah Hui Song dari tidurnya.

Sebagai seorang pendekar yang terlatih, begitu terbangun dia pun langsung waspada dan siap menghadapi bahaya yang mengancam. Badannya sudah sangat peka seperti badan binatang liar yang hidup di hutan, seperti burung yang selalu waspada meski pun dalam keadaan sedang tidur. Suara tak wajar dari belakang gubuk itu cukup membuat Hui Song sadar sepenuhnya.

"Brakkkkk...!" Gubuk itu jebol, ambrol dan runtuh, dan seperti seekor burung saja, Hui Song berhasil melesat ke luar dari dalam gubuk sebelum dia turut terbanting dan tertindih. Ketika dia turun ke atas tanah dan membalikkan tubuhnya, dia melihat di situ telah berdiri tiga orang tua yang tertawa-tawa. Mereka ini bukan lain adalah Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo dan seorang kakek lagi yang tubuhnya amat menyeramkan.

Seorang kakek yang tinggi besar seperti raksasa, dan melihat perawakan ini, walau pun baru sekali bertemu dengan makhluk ini, Hui Song yang telah banyak mendengar tentang para iblis di dunia sesat, segera dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang pentolan Cap-sha-kui yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian sangat mengerikan, yaitu Tho-tee-kui! Maka dia pun bersikap waspada, sungguh pun mulutnya bergerak membuat senyum mengejek ke arah Hek-mo dan Kui-bo yang tertawa-tawa itu.

"Wah, kiranya Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo. Apakah kalian berdua belum puas mendapat hajaran tempo hari dan sekarang datang mencariku untuk minta tambahan?"

Mendengar ejekan ini Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi marah sekali. "Bocah sombong, kami datang menagih hutang berikut bunganya!" kata Hwa-hwa Kui-bo sambil menubruk maju dan menggerakkan tangan kiri mencengkeram ke arah kepala Hui Song.

"Plakkk!" Hui Song menangkis sambil tertawa.

"Tak tahu malu! Engkau yang hutang belum bayar memutar balikkan fakta!" Tangkisan itu dilakukan dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan akibatnya nenek bertopeng itu terpelanting. Akan tetapi dari samping, kakek Koai-pian Hek-mo sudah menyerangnya. Kakek ini pun tidak menggunakan pecut bajanya.

Agaknya mereka berdua memang sudah sepakat untuk maju mengeroyok Hui Song dan karena pemuda itu tidak bersenjata, mereka pun merasa lebih leluasa untuk mengeroyok pemuda itu dengan tangan kosong saja agar mereka merasa lebih puas memberi hajaran kepada pemuda ini. Serangan Hek-mo dari samping itu cukup dahsyat, dengan pukulan keras ke arah lambung. Namun dengan mudah Hui Song dapat mengelak.

"Memang sudah lama aku tahu bahwa kalian ini tua bangka-tua bangka yang curang dan pengecut! Namun jangan dikira aku takut menghadapi pengeroyokan kalian berdua. Nah, terimalah ini untuk penyegar!" Berkata demikian, Hui Song segera menggerakkan kedua lengannya dengan cepat sekali.

Kedua lengan itu membuat gerakan yang berlawanan, yang kiri mengandung tenaga keras dan yang kanan mengandung tenaga lemas. Kedua tangannya berbareng menyambar ke arah Hek-mo dan Kui-bo dengan jurus sakti dari Im-yang Sin-kun!

"Plakk! Plakk...!”

“Ihhhh...!" Kakek dan nenek itu terhuyung dan hampir terpelanting pada waktu menangkis pukulan sakti ini sehingga mereka terkejut bukan main. Akan tetapi karena mereka maju berbareng, hati mereka pun menjadi besar. Mereka merasa penasaran sekali jika secara maju bersama tetap tidak mampu mengalahkan pemuda ini, maka mereka mengerahkan semua tenaga dan kepandaian mereka.

Tidak percuma Hui Song menjadi putera tunggal ketua Cin-ling-pai yang telah digembleng secara keras semenjak dia masih kecil dan sekarang dia telah mewarisi semua ilmu ayah dan ibunya sehingga tingkat kepandaiannya hanya berselisih sedikit saja dibandingkan dengan ayahnya sendiri.

Maka tentu saja dia dapat bergerak dengan amat sigapnya dan meski pun dikeroyok oleh dua orang tokoh Cap-sha-kui, pemuda ini dapat mengimbangi permainan mereka, bahkan dia nampak lebih unggul karena selain menang tenaga sinkang, juga ilmu silatnya yang banyak macamnya, aneh-aneh dan terdiri dari ilmu-ilmu yang tinggi itu membingungkan kedua orang pengeroyoknya.

Melihat betapa dua orang rekannya itu sampai lewat lima puluh jurus belum juga mampu mengalahkan lawan yang masih begitu muda, raksasa berjubah hijau compang-camping itu menjadi tidak sabar lagi. Tadinya dia nonton sambil duduk di atas batu besar di dekat pohon. Kini dia bangkit berdiri, lantas sekali dia menggerakkan kakinya, terdengar suara hiruk-pikuk dan batu sebesar perut kerbau itu telah ditendangnya sampai terlempar cukup jauh!

"Kalian berdua mundurlah, biarkan aku merobek tubuhnya menjadi dua potong!" katanya.

Dua orang rekannya merasa girang dan langsung meloncat ke belakang. Mereka berdua merasa kehilangan muka kalau sampai mereka tidak dapat mengalahkan pemuda itu, apa lagi kalau sampai mereka harus mengeluarkan senjata. Kini, Tho-tee-kui sudah menyuruh mereka mundur, berarti mereka berdua belum sampai kalah!

Hui Song berdiri tegak memandang kepada raksasa yang kini telah berdiri di depannya. Memang hebat sekali kakek itu. Dia sendiri bukan seorang yang kecil pendek, sebaliknya dia termasuk seorang pemuda yang memiliki tubuh cukup tinggi besar. Akan tetapi, ketika berhadapan dengan Tho-tee-kwi, tingginya hanya sampai di bawah pundak raksasa itu dan lengan raksasa itu besarnya sama dengan betisnya!

Tho-tee-kwi menyeringai sambil memandang pemuda itu. "Orang muda, engkau boleh juga karena dapat menandingi mereka berdua. Sayang engkau harus mampus di tangan Tho-tee-kong!"

"Hemmm, kiranya inikah yang berjuluk Setan Bumi? Tho-tee-kwi, aku mendengar bahwa engkau adalah seorang datuk sesat yang tidak pernah turun tangan sendiri mencampuri urusan dunia ramai, apakah sekarang engkau pun sudah ikut-ikutan menjadi kaki tangan golongan tertentu untuk mengacau dunia?" Hui Song mengejek.

Dia tidak tahu siapa sebenarnya yang menggunakan tenaga para datuk sesat ini sehingga kini Cap-sha-kui yang terkenal sebagai datuk-datuk besar yang tidak pernah turun tangan sendiri itu nampak berkeliaran di mana-mana.

"Ha-ha, orang muda, menurut keterangan dua orang rekanku, engkau pernah membantu mereka dan menyelamatkan kaisar, akan tetapi sekarang engkau membalik menentang kami. Mengingat bahwa engkau pernah berjasa, maka aku memberi kesempatan padamu untuk bersatu dengan kami dan menjadi sahabat kami. Akan tetapi, kesempatan ini hanya kuberikan sekali saja," kata Tho-tee-kwi. Sebetulnya dia lebih suka kalau bisa bersahabat dan bekerja sama dengan pemuda yang dia sudah lihat memiliki kepandaian yang tinggi itu.

"Bekerja sama dengan datuk-datuk kaum sesat? Dengan Cap-sha-kui? Wah, apa engkau hendak menarikku sehingga Tiga Belas Setan akan berubah menjadi Empat Belas Setan? Tak usah, ya! Terima kasih. Penawaranmu kutolak dan kalian menjemukan hatiku. Lekas pergilah agar aku bisa tidur lagi, kalian mengganggu tidurku saja." Berkata demikian, Hui Song teringat bahwa apa bila tadi tidak ada tahi tikus menjatuhi dahinya, tentu dia sudah celaka ketika gubuk itu ditendang runtuh oleh raksasa ini.

"Engkau sia-siakan kesempatan baik dan engkau memilih tidur selamanya? Baiklah, akan kucabut saja nyawamu!" Berkata demikian, kedua lengan yang besar itu menyambar ke depan, kaki kanan dihentakkan dan bumi pun tergetar hebat.

Seperti terjadi gempa bumi saja ketika raksasa itu menghentakkan kakinya dan pada saat itu, kedua tangannya yang besar-besar sudah menyambar dengan serangan pertamanya, yang kanan mencengkeram ke arah kepala Hui Song, sedangkan yang kiri menyambar ke arah perut. Serangan itu dilakukan oleh sepasang tangannya yang mengandung kekuatan dahsyat.

Hui Song mengenal serangan berbahaya. Dia tahu bahwa kakek raksasa yang menjadi lawannya ini adalah seorang yang mempunyai tenaga kasar yang sangat kuat sehingga mengadu tenaga kasar dengan orang ini sama saja dengan mencari penyakit. Maka dia pun bersikap cerdik, mengandalkan kegesitannya dan mengelak sambil menusukkan jari tangannya untuk menotok ke arah jalan darah dekat siku ketika lengan itu meluncur lewat.

Akan tetapi di samping kekuatannya yang amat dahsyat, kiranya raksasa itu pun memiliki gerakan cepat. Sikunya telah ditekuk dan lengan itu menebas ke bawah untuk membabat tangan lawan, dilanjutkan dengan cengkeraman hendak menangkap pergelangan tangan pemuda itu lantas tiba-tiba saja kakinya dibanting lagi dibarengi dengan tamparan dahsyat ke arah kepala Hui Song!

Bantingan kaki itu benar-benar membuat Hui Song terkejut dan kehilangan keseimbangan sehingga ketika tangan yang besar itu menampar, elakannya agak lambat dan pundaknya kena serempet tangan yang lebar dan kuat itu.

"Dessss...!" Tubuh Hui Song terpelanting, akan tetapi karena pemuda ini tadi dengan cepat langsung mengerahkan ilmu Tiat-po-san, semacam ilmu kebal yang pernah dipelajari dari ayahnya, maka tamparan yang menyerempet pundaknya itu tidak menimbulkan luka. Hanya saking kerasnya tenaga tamparan, tubuhnya terpelanting.

Hui Song cepat mengerahkan keringanan tubuh untuk menjaga tubuhnya agar tak sampai terbanting jatuh. Dengan berjungkir balik dia dapat turun lagi ke atas tanah, menghadapi lawannya yang tangguh itu sambil mengatur langkah-langkah Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun.

Ilmu ini ampuh sekali untuk melawan musuh yang pandai dan dengan ilmu ini berarti Hui Song tidak memandang rendah lawannya. Lawannya adalah seorang di antara pentolan-pentolan Cap-sha-kui yang amat lihai maka dia pun harus bersikap hati-hati sekali. Ketika lawannya membanting kaki lagi, dia pun mengerahkan sinkang lantas dari dalam perutnya keluar tenaga melalui mulut dan dia berseru, "Hehhhhh…!"

Maka lenyaplah pengaruh bantingan kaki yang tadi menggetarkan tubuhnya itu sehingga dia dapat menghadapi serangan lawan dengan tenang sambil balas menyerang dengan pukulan-pukulan Thian-te Sin-ciang. Ia harus menyelingi Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang digunakan untuk melindungi tubuhnya itu dengan jurus-jurus ampuh dari Ilmu Silat San-in Kun-hoat dan Im-yang Sin-kun dan setiap kali memukul dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang karena maklum bahwa tubuh lawan yang seperti raksasa itu tentulah amat kuat dan kebal.

Terjadilah perkelahian yang amat seru dan hebat dan meski pun pemuda itu lebih banyak bertahan dari pada menyerang, namun tidak mudah bagi si raksasa untuk mendesaknya. Diam-diam Tho-tee-kui terkejut dan penasaran sekali, sebaliknya Hui Song mengeluh di dalam hatinya karena dia harus mengakui bahwa baru kali ini dia bertemu dengan lawan yang benar-benar tangguh sekali.

Kakek dan nenek iblis yang melihat betapa rekannya yang lebih lihai dari pada mereka itu pun sekian lamanya belum juga mampu merobohkan pemuda itu, menjadi semakin marah dan penasaran. Tak dikira oleh mereka bahwa pemuda yang tadinya mereka perebutkan untuk menjadi murid dan kekasih, ternyata mempunyai tingkat kepandaian yang demikian hebatnya sehingga rekan mereka yang sangat lihai seperti Tho-tee-kui pun tidak mampu mengalahkannya.

Seperti telah bersepakat lebih dulu, keduanya lalu menyerbu memasuki arena perkelahian itu dan mengeroyok Hui Song. Dasar watak penjahat, Tho-tee-kwi yang disohorkan orang sebagai pentolan Cap-sha-kui itu pun diam-diam dan enak-enak saja melihat dua orang rekannya membantu, dan mereka bertiga yang terkenal sebagai datuk-datuk besar kaum sesat tidak merasa sungkan atau malu mengeroyok seorang pemuda yang sama sekali belum terkenal di dunia persilatan!

"Ihhhh, bangkotan-bangkotan tebal muka, main keroyokan seperti bajingan-bajingan kecil saja!" tiba-tiba saja terdengar bentakan dan muncullah seorang dara remaja yang segera terjun pula ke dalam arena perkelahian itu, membantu Hui Song dan mengamuk dengan menggunakan senjata aneh, yakni sebuah payung butut!

Akan tetapi payung butut itu jangan dipandang rendah karena gagangnya terbuat dari baja dan payung butut hanyalah kainnya saja akan tetapi rangkanya yang baja itu masih utuh dan ujungnya runcing-runcing! Begitu terjun, gadis ini segera menyerang Hwa-hwa Kui-bo dan Koai-pian Hek-mo dengan ganas dan kalang-kabut!

"Eh, engkau...?" teriak Hwa-hwa Kui-bo dengan kaget.

Koai-pian Hek-mo juga terkejut sekali. Mereka berdua telah mengenal gadis yang pernah menghalangi mereka dan nyaris merobohkan mereka di kuil Dewi Laut! Gadis itu memang Ceng Sui Cin, siapa lagi kalau bukan dia yang mengamuk dengan payung butut itu?

"Ya, aku!" kata Sui Cin sambil tertawa mengejek. "Aku akan menyelesaikan pekerjaanku yang dulu belum selesai ketika kita saling bertemu di kuil Dewi Laut itu. Sekarang jangan harap kalian akan dapat lolos dari jari-jari payung bututku, hi-hi-hi!"

Tho-tee-kui juga terkejut bukan kepalang melihat munculnya seorang dara remaja dengan payungnya yang begitu mengamuk langsung membuat dua orang rekannya kalang-kabut sehingga memaksa kedua orang rekannya itu cepat-cepat mengeluarkan senjata mereka, Hek-mo mengeluarkan pecut bajanya dan Kui-bo mencabut pedangnya.

Di samping merasa terkejut dan juga heran menyaksikan munculnya seorang gadis yang aneh pakaiannya dan lihai ilmu silatnya itu, tentu saja Hui Song juga merasa amat girang. Apa lagi sesudah mendengar ucapan-ucapan gadis itu yang jenaka dan mempermainkan lawan, dia merasa benar-benar gembira.

"Benar, nona manis. Hajar mereka! Lutung muka hitam itu kurang ajar sekali, beri hadiah pukulan payungmu pada ubun-ubun kepalanya, sedangkan nenek topeng tikus itu, lucuti saja topengnya dan tusuk telinganya sampai tembus!"

Sepasang mata Sui Cin berkilat dan dia pun menahan senyum geli. Tapi dengan galak dia menghardik. "Kurang ajar, apa maksudmu menyebutku nona manis segala? Mau ceriwis dan kurang ajar engkau, ya?"

"Lho! Disebut nona manis kok malah marah, bagaimana sih? Apa lebih suka jika engkau kusebut nona jelek dan galak?"

"Plak-plak...! Dukkk!" Nyaris Hui Song terkena pukulan ketika dia bicara lalu kesempatan itu dipergunakan oleh Tho-tee-kwi untuk mendesak hebat.

"Rasakan kau hampir mampus!" Sui Cin mengejek. "Aku tidak sudi disebut nona manis, juga tidak mau disebut nona jelek dan galak!"

Pada saat dia bicara tentu saja perhatiannya kurang tercurah kepada dua orang lawannya sehingga seperti juga Hui Song, dia segera terdesak oleh pecut baja dan pedang lawan. Akan tetapi karena ilmu silatnya memang hebat dan jauh lebih lihai apa bila dibandingkan dua orang pengeroyoknya, begitu memutar payungnya, dia mampu menggagalkan semua serangan itu dan balas mendesak lagi.

Hati Hui Song makin gembira. Dia melirik dan melihat bahwa gadis itu masih muda sekali, baru sekitar lima belas atau enam belas tahun usianya, pakaiannya seperti gelandangan akan tetapi bersih, wajahnya manis dan gerakannya lincah, bibirnya selalu tersenyum dan sinar matanya bengal. Seorang gadis yang panas dan hidup, cocok dengan dia, pikirnya.

"Wah, lalu menyebut apa? Baiklah, kusebut nona yang setengah manis setengah galak...”

“Wuuuuttt...!" Dia terpaksa melempar tubuh ke belakang dan tak berani banyak cakap lagi sebab kakek raksasa itu telah mendesaknya kembali dan tentu akan selalu menggunakan kesempatan selagi dia bicara untuk merobohkannya.

Setelah kini kedua orang muda itu tidak lagi bicara, mereka pun dapat menghadapi lawan dengan baik dan tiga orang datuk sesat itu pun segera maklum bahwa keadaan sangat tak menguntungkan bagi mereka. Selain itu, kini mereka sudah dapat mengenal dengan samar-samar ilmu silat muda-mudi itu sehingga diam-diam mereka bertiga merasa gentar. Mereka mengenal gerakan-gerakan ilmu silat tinggi dari Cin-ling-pai!

"Kita pergi!" tiba-tiba raksasa itu berseru lantas dia mengeluarkan gerengan hebat sambil menghentakkan kakinya.

Sui Cin sendiri sampai kaget setengah mati dan tergetar kaki dan hatinya, maka dia pun cepat melompat ke belakang. Kesempatan itu digunakan oleh dua orang pengeroyoknya untuk meloncat jauh lalu melarikan diri dengan raksasa itu yang kini agaknya menyimpan kekuatannya sehingga ketika melarikan diri tidak terdengar derap kakinya yang biasanya berat itu.

Hui Song tidak mengejar lawannya. Selain tidak mempunyai permusuhan pribadi, juga dia tahu betapa besar bahayanya mengejar seorang datuk sesat seperti Tho-tee-kwi itu yang tentu untuk menyelamatkan diri tidak segan-segan menggunakan cara-cara yang keji dan curang.

Sui Cin juga tidak mengejar sebab dia ingin mengenal pemuda itu lebih lanjut. Dia merasa tertarik sekali karena dalam perkelahian tadi dia pun mengenal dasar-dasar gerakan ilmu silat pemuda itu yang mengingatkan dia pada Cia Sun. Seingatnya, paman gurunya, Cia Han Tiong, hanya mempunyai seorang putera saja. Akan tetapi pemuda ini agaknya lihai sekali, tidak kalah oleh putera ketua Pek-liong-pai itu. Ahh, tidak salah lagi, tentu pemuda ini murid utama Pek-liong-pai dan saudara seperguruan Cia Sun!

Di lain fihak, Hui Song juga memandang kepada Sui Cin dengan penuh kagum. Dia pun tadi telah melihat gerakan-gerakan ilmu silat dara itu dan dapat mengenal jurus-jurusnya. Betapa mengagumkan bahwa seorang dara remaja semuda ini telah mampu menandingi dan bahkan mengungguli pengeroyokan dua orang datuk seperti Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo! Dia pun menduga-duga.

Dia tahu bahwa ilmu-ilmu silat dari Cin-ling-pai diwarisi banyak orang dan tersebar luas, terutama sekali di antara murid-murid Cin-ling-pai sendiri dan murid-murid Pek-liong-pai di Lembah Naga. Juga banyak para locianpwe bekas tokoh besar Cin-ling-pai sudah hidup terpisah dari Cin-ling-pai dan mereka tentu sudah menurunkan ilmu-ilmu itu kepada para murid dan cucu-cucu murid mereka. Tidak aneh kalau ada orang yang dapat memainkan ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai, akan tetapi melihat kehebatan dara remaja ini, jelas bahwa dia bukanlah seorang murid sembarangan. Siapakah gadis ini?

Mereka berdiri berhadapan, dalam jarak tiga meter, saling pandang penuh selidik tanpa malu-malu atau sungkan-sungkan sebab keduanya memiliki keterbukaan yang sama. Dua pasang mata yang sama tajamnya, sama kocak dan bersinar gembira, saling memandang seperti pedagang kuda menaksir kuda yang hendak dibelinya, dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki, kemudian dua pasang mata itu saling bertaut pandang.

Pandang mata pemuda itu penuh kekaguman sehingga agaknya dia merasa sayang untuk mengedipkan matanya, seolah-olah tidak mau lagi melepaskan pemandangan yang amat indah itu sebentar pun juga. Sui Cin cemberut, menganggap pemuda itu tidak mau kalah dan ingin beradu kekuatan mata, maka dia pun tidak mau berkedip dan sepasang matanya terbelalak tajam. Sebagai seorang ahli silat, sejak kecil ia telah digembleng oleh ayah bundanya untuk menajamkan panca inderanya, terutama sekali mata.

Dengan air garam yang dicampur ramuan lain setiap pagi ia memercikkan air ke matanya yang terbuka tanpa berkedip dan dengan latihan seperti itu, pandangan matanya menjadi tajam. Dia mampu mengikuti gerakan senjata lawan, dan dia juga mampu bertahan tidak berkedip sampai berjam-jam lamanya!

Namun pandangan mata pemuda yang penuh kagum itu, yang mengandung kejenakaan, seperti menggelitiknya dan membuatnya tak mungkin dapat bertahan lebih lama lagi, apa lagi sesudah dia merasa darahnya naik dan api kemarahannya berkobar. Jari tangannya menuding ke arah mata pemuda itu dan mulutnya membentak,

"Kau melihat apa?! Matamu melotot seperti mata iblis!"

Dibentak demikian, Hui Song baru sadar bahwa sejak tadi dia terus memandang dengan bengong. Dia dapat merasakan keadaan yang amat lucu di antara mereka, maka dia pun tersenyum lebar. "Masih cengar-cengir lagi, seperti monyet!" Sui Cin semakin marah sebab merasa dirinya ditertawakan.

Orang yang sedang dikuasai oleh nafsu amarah memang penuh prasangka buruk. Orang cemberut disangka menentang, orang bicara disangka menantang, orang diam disangka tidak mengacuhkan, orang tertawa dianggap mengejek. Serba susahlah bila hati sedang diracuni oleh nafsu amarah.

Akan tetapi, karena Hui Song sudah tertarik sekali kepada dara remaja yang amat cantik manis dan tinggi ilmu silatnya ini, kemarahan Sui Cin itu baginya malah membuat dara itu nampak lebih manis dan lucu. Bahkan makian Sui Cin membuatnya tertawa bergelak!

"Ha-ha-ha-ha, engkau sungguh lucu, nona. Siapa yang menyuruh engkau begini.... ehhh, hebat? Bukan salahku kalau aku memandang sampai melotot mengagumi kehebatanmu!" Dia tidak mau mengucapkan sebutan cantik jelita yang sudah berada di ujung lidahnya, takut kalau-kalau dara itu lebih marah lagi kepadanya dan menganggapnya ceriwis.

"Apa hebat? Apa maksudmu dengan kata hebat itu?" tanya Sui Cin, akan tetapi suaranya masih marah.

Kini terpaksa Hui Song berterus terang. "Engkau hebat... karena engkau demikian cantik jelita dan ilmu-ilmumu tinggi sekali. Dan aku melolot seperti mata iblis karena engkau juga melotot memandangku, akan tetapi matamu melotot jernih seperti mata... bidadari."

"Engkau laki-laki... cabul...!" Sui Cin membentak dan payungnya segera bergerak cepat, menusuk ke arah perut pemuda itu!

"Wuuutt... singgg...!”

“Heeiiittt...!" Hui Song cepat melempar dirinya ke belakang, berjungkir balik tiga kali baru berdiri kembali dan matanya semakin terbelalak.

"Wah, tahan dahulu, nona. Engkau ini bagaimana, sih? Tadi engkau membantuku ketika menghadapi iblis-iblis Cap-sha-kui sehingga boleh dibilang engkau sudah menyelamatkan nyawaku, akan tetapi mengapa sekarang engkau malah hendak membikin aku menjadi... sate, kau tusuk perutku dengan payung ajaibmu itu?"

"Manusia ceriwis, cabul, sialan!" Sui Cin menyerang terus.

Sekarang Hui Song memperoleh kegembiraan lain, yaitu dia mendapat kesempatan untuk menguji kepandaian dara yang dikaguminya ini dan sekaligus juga mengherankan hatinya melihat jurus-jurus yang amat dikenalnya sebagai jurus-jurus keluarga Cin-ling-pai. Akan tetapi, karena dia tahu benar betapa hebat serta berbahayanya ilmu silat gadis itu, dan bahwa watak keras dara itu membuat semua serangannya tidak main-main lagi, dia pun tidak berani memandang rendah dan terpaksa dia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menandingi Sui Cin.

Dengan hati penuh kagum dan heran pemuda ini segera memperoleh kenyataan bahwa dara itu memang demikian lihainya sehingga tak mungkin dia bertahan terus tanpa balas menyerang, karena hal itu amat berbahaya. Maka dia pun cepat-cepat mainkan Thai-kek Sin-kun untuk bertahan diri dan kadang kala membalas serangan lawan dengan tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang.

Di lain plhak, Sui Cin terkejut melihat betapa pemuda ini benar-benar sangat mahir dalam dua ilmu silat keluarganya itu, bahkan mungkin sekali lebih mahir dari pada dia sendiri. Sudah selama lima puluh jurus mereka berkelahi akan tetapi belum juga ujung payungnya dapat menyentuh pemuda yang lincah itu.

"Tahan dulu...!" Tiba-tiba Hui Song berseru sambil meloncat ke belakang.

Sui Cin menghentikan gerakannya, akan tetapi payungnya masih melintang di dada, siap untuk menyerang lagi. Mukanya merah, dahi dan lehernya agak basah oleh peluhnya dan matanya bersinar-sinar.

"Belum ada yang kalah, kenapa berhenti?!" bentak Sui Cin penasaran.

Hui Song tersenyum dengan wajah bersungguh-sungguh. "Nona, terus terang saja selama hidupku baru tadi aku bertemu lawan tangguh saat iblis-iblis Cap-sha-kui mengeroyokku, dan sekarang ternyata engkau adalah lawan yang lebih tangguh lagi dari pada mereka. Nona, kita sama-sama mengetahui bahwa kita berdua merupakan saudara seperguruan, sama-sama menjadi murid Cin-ling-pai..."

"Aku bukan murid Cin-ling-pai!" bentak Sui Cin nyaring. "Apa kau kira hanya putera ketua Cin-ling-pai saja yang mampu bersilat?"

Sepasang mata pemuda itu berseri gembira dan senyumnya melebar. Sinar kebengalan kembali membuat matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum. Sui Cin sendiri tersenyum di dalam hati dan mengaku bahwa tak mungkin dapat marah-marah terlalu lama kepada wajah yang begitu gembira.

"Wah, aku mengaku kalah satu nol. Engkau ternyata sudah mengenalku sebagai putera ketua Cin-ling-pai sedangkan aku sama sekali tidak pernah dapat menduga siapa adanya dirimu. Bagaimana pun juga, aku merasa yakin bahwa orang tuamu memiliki hubungan dengan Cin-ling-pai. Nona yang baik, aku memang putera tunggal dari ketua Cin-ling-pai, namaku Cia Hui Song, usiaku dua puluh satu tahun dan aku belum bertunangan, apa lagi menikah!"

Geli juga hati Sui Cin mendengar kata-kata ini. Mulutnya yang tadinya cemberut itu kini membentuk senyum, walau pun senyum itu masih merupakan senyum mengejek.

"Siapa peduli apakah engkau masih perjaka ataukah sudah duda, sudah kakek berusia dua puluh satu atau lima puluh satu!" jawabnya, kemudian dia meninggalkan pemuda itu tanpa berkata apa-apa lagi.

Melihat gadis yang dikaguminya itu pergi, Hui Song terkejut. "Ehhh, nanti dulu nona, aku belum berkenalan..."

Namun Sui Cin mempercepat langkahnya, dan kini dia bahkan mengerahkan ginkang-nya berlari cepat laksana terbang. Melihat ini Hui Song penasaran, dan dia pun mengerahkan tenaga serta kepandaiannya, mengejar sekuat tenaga.

Dua orang muda itu berkejaran seperti sedang berlomba lari. Kembali keduanya merasa kagum karena ternyata dalam hal ilmu berlari cepat mereka pun mempunyai tingkat yang seimbang! Sui Cin mulai merasa lelah dan dia pun cepat-cepat mengambil jalan memutar menuju ke tempat di mana tadi dia meninggalkan kudanya. Melihat kudanya yang kecil itu masih enak-enakan makan rumput di bawah pohon, dia lantas mencengklaknya kemudian membalapkan kudanya!

"Heiii, tunggu...!" Hui Song penasaran sekali dan terus mengejar.

Tadinya dia memandang rendah sesudah melihat gadis yang dikejarnya itu menyambung larinya dengan naik kuda. Kuda sekecil itu, mana mampu lari cepat, pikirnya. Akan tetapi dia menjadi kaget dan penasaran sekali ketika melihat betapa kuda katai itu ternyata bisa berlari cepat dan kuat sekali, bahkan tidak kalah ketimbang larinya kuda besar! Dan kuda itu napasnya kuat sekali sehingga kuda itu masih terus membalap saja ketika napasnya sendiri sudah senin-kemis.

Akhirnya Hui Song terpaksa mengalah, berhenti berlari jika dia tak mau napasnya putus. Dia berhenti lantas mengamang-amangkan tinjunya dengan gemas ketika melihat Sui Cin menoleh dan mentertawakannya dengan suara ketawa nyaring memanaskan hati...!