Lima Golok Setan - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

LIMA GOLOK SETAN

SATU

"Palguna! Keluar kau!"

Suara sentakan menggelegar, memecah keheningan pagi di Desa Sakapitu. Teriakan itu berasal dari mulut seorang pemuda berwajah pas-pasan, pakaiannya ketat berwarna biru tua. Di pinggangnya, terselip sebuah golok.

Pemuda itu didampingi oleh empat orang pemuda yang masing-masing berpakaian merah, hijau, kuning, dan coklat. Mereka semua berdiri dengan sikap petantang-petenteng di depan sebuah rumah cukup besar yang dikenali penduduk adalah rumah Kepala Desa Sakapitu.

Beberapa saat dari dalam rumah muncul seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun, didampingi wanita berusia tiga puluh sembilan tahun dan dua anak perempuan yang berusia belasan tahun.

Teriakan itu memang mengejutkan. Karena selama menjabat sebagai kepala desa, belum ada seorang pun yang memanggilnya dengan suara keras seperti itu. Bahkan dengan panggilan yang tak disertai rasa hormat.

Laki-laki setengah baya yang memang bernama Palguna ini memandang kelima pemuda itu satu persatu dengan dahi berkerut.

"Kisanak berlima, ada apa sebenarnya sampai berteriak-teriak seperti itu?" tanya Ki Palguna dengan nada datar.

"Masih ingat padaku, Palguna!" dengus pemuda berbaju biru tua.

Ki Palguna memandang pemuda berambut panjang sebahu itu untuk beberapa saat dengan kening berkerut. Dicobanya mengingat-ingat apakah pernah bertemu pemuda itu sebelumnya.

"Kau seperti..., Wisesa...," duga Ki Palguna, ragu.

"Ya! Aku memang Wisesa!" sahut pemuda berbaju biru tua yang bernama Wisesa.

"Hm, Wisesa yang dulu berpenyakit kulit di sekujur tubuhnya itu?"

Kata-kata Ki Palguna sebenarnya hanya untuk meyakinkannya saja. Namun bagi Wisesa terasa menyakitkan. Karena justru hal itulah dia datang ke sini.

"Palguna terkutuk! Hari ini aku akan membuat pembalasan atas pengusiranmu dari desa ini dulu terhadapku!" desis Wisesa dengan suara bergetar menahan marah.

"Wisesa! Kau harus ingat. Keputusan itu bukan kemauanku sendiri, tapi atas desakan penduduk yang tidak menginginkan kehadiranmu. Sebagai kepala desa, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti kehendak mereka," kilah Ki Palguna.

"Aku tidak peduli! Kalian semua akan mendapat balasan setimpal!"

"Huh! Kalau memang itu kehendakmu, aku tidak akan mundur!" dengus Ki Palguna merasa didesak terus.

"Kita tentukan persoalan ini di ujung golok! Ambil senjatamu!" bentak Wisesa.

Sebagai kepala desa yang dihormati penduduk, tentu saja Ki Palguna merasa tertantang mendengar ancaman Wisesa.

"Sekar! Cepat ambil golok Ayah di lemari," ujar Ki Palguna pada salah seorang gadis yang ternyata putrinya.

"Tapi, Ayah...."

"Cepat!" hardik Ki Palguna ketika anaknya yang dipanggil Sekar belum juga beranjak.

"Ba..., baik, Ayah...," sahut Sekar seraya bergegas ke dalam.

Tidak lama kemudian gadis itu telah kembali membawa sebilah golok bergagang perak. Ki Palguna cepat menyambar dengan mata tak berkedip memandang para pemuda yang menantinya bertarung.

"Silakan. Mau satu lawan satu, atau berlima sekaligus?" tanya Ki Palguna, menganggap remeh. Laki-laki setengah baya ini segera melangkah ke tengah halaman.

"Huh! Menghadapimu kenapa mesti main keroyok. Aku saja sudah cukup untuk mengirimmu ke akherat!" dengus Wisesa, ikut melangkah dan berhenti kira-kira dua tombak di hadapan Ki Palguna.

"Kakang! Biar kubereskan saja dia!" seru pemuda yang berbaju coklat.

"Jangan, Cakra! Ini urusan pribadiku. Kita telah sepakat untuk mengurus urusan pribadi masing-masing, bukan? Nah! Biarkan aku membereskannya seorang diri!" tolak Wisesa, tegas tanpa menoleh.

Pemuda berbaju coklat yang dipanggil Cakra mengangguk mengerti. Dan dia tak banyak bicara lagi. Meski tak melihat, namun Cakra tahu kalau mereka yang berdiri berhadapan itu telah siap saling serang.

Sebelum menjabat sebagai kepala desa dulu, Ki Palguna adalah seorang tokoh persilatan berkepandaian cukup tinggi. Justru karena itulah maka penduduk mengangkatnya sebagai kepala desa. Mereka berharap Ki Palguna bisa menggayomi masyarakat dan melindungi dari gangguan pihak luar yang ingin mengacau.

Sementara itu Ki Palguna berputar mengelilingi Wisesa tatkala keempat pemuda lain telah mundur beberapa langkah seperti memberi ruang gerak pada mereka.

"Yeaaa...!" Wisesa lebih dulu melompat menyerang sambil membabatkan goloknya.

Bet!

"Uts!" Ki Palguna cepat mengegoskan tubuhnya. Begitu sambaran Wisesa yang mengebutkan goloknya ke arah leher. Namun, Wisesa telah memperhitungkannya. Dengan gerakan kilat tubuhnya merunduk, seraya menusukkan goloknya yang bermata tajam.

"Hup!" Ki Palguna cepat membuang dirinya ke tanah seraya bergulingan.

"Huh! Kematianmu sudah dekat, Palguna! Mudah-mudahan kau masih sempat berdoa!" dengus Wisesa mengejek.

"Kita lihat saja. Kau atau aku yang akan mampus!" sahut Ki Palguna begitu bangkit berdiri.

"Banyak bacot! Terima seranganku!" bentak Wisesa seraya melompat kembali menyergap.

Gerakan pemuda ini cepat bukan main, se-hingga membuat Ki Palguna terkesiap. Namun sebagai tokoh silat yang cukup berpengalaman, dia tahu bagaimana cara menghindarkan diri yang terbaik. Maka kembali dia menjatuhkan diri dan merapatkan tubuh dengan permukaan tanah.

Sayang, kepala desa itu salah duga. Justru pada saat Ki Palguna bergulingan menjauh, Wisesa melenting ke atas. Setelah membuat putaran beberapa kali, goloknya cepat dilemparkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Wuuuttt...!

Ki Palguna yang baru saja melenting bangkit, kontan terperanjat. Belum lagi dia sempat berbuat apa-apa, golok itu telah meluncur dekat. Lalu.....

Crab!

"Eah!"

Tubuh Ki Palguna terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi lehemya yang tertancap golok dengan kedua tangannya. Darah mengucur deras dari lehernya yang nyaris putus. Begitu tubuhnya ambruk, nyawanya putus.

"Kakang...!" jerit wanita istri Ki Palguna.

"Ayah...!" Seperti tak mau kalah, kedua gadis belia ini berteriak seraya menghambur ke arah jasad orang yang dicintainya.

"Huh! Mau ke mana kalian!" dengus Wisesa seraya menangkap salah seorang putri Ki Palguna yang baru saja menghambur.

Pada saat yang bersamaan, salah seorang pemuda yang berbaju kuning bertindak tak kalah cepat. Segera ditangkapnya putri Ki Palguna yang lain.

"Oh! Tolong...! Lepaskan! Tolooong...!"

Kedua gadis itu berteriak-teriak ketakutan sambil berusaha melepaskan diri. Tapi kedua pemuda itu mencengkeram erat-erat. Sementara tiga pemuda lain hanya tertawa mengekeh.

"He he he...! Siapa sangka rejeki kalian sedang terang. Belum apa-apa sudah dapat dua gadis cantik!" seru pemuda berbaju kuning.

"Brengsek! Mana bagianku?!" teriak pemuda yang berbaju merah.

"Cari sendiri, Sukma! Apa kau tidak punya mata?" ujar Wisesa.

"He he he...! Betul juga kau, Kakang Wisesa. Masa' di seluruh desa ini tidak ada gadis-gadis lain yang lebih cantik. Aku pergi dulu mencari mereka!" kata pemuda berbaju merah yang dipanggil Sukma.

Dan dalam sekejapan mata saja Sukma telah berkelebat ke tengah-tengah desa.

Sementara itu istri Ki Palguna yang tengah bersimpuh di depan mayat suaminya, terkesiap mendengar jeritan kedua putrinya. Serta merta dia bangkit, dengan mata melotot.

"Brandal terkutuk, lepaskan mereka! Lepaskan mereka!" teriak perempuan itu.

"Cakra! Bereskan wanita celaka ini!" teriak Wisesa ketika melihat wanita itu bergerak cepat mendatanginya.

"Beres, Kang! Jangan khawatir!" sahut Cakra.

Pemuda Itu bergerak cepat. Golok di tangannya menyabet perut wanita itu secepat kilat.

Bret!

"Aaakh...!" Karuan saja, wanita yang tidak mengerti soal ilmu olah kanuragan itu terpekik. Isi perutnya langsung terburai keluar tersabet golok Cakra.

Darah mengucur deras dari lukanya. Wajahnya tampak terkejut dengan mata melotot lebar memandang kelima pemuda itu penuh dendam. Lalu tubuhnya ambruk tak berdaya.

"Ibuuu...!" teriak kedua gadis dalam cengkeraman Wisesa dan pemuda berbaju kuning.

"He he he...! Ibumu sudah mampus. Jangan pikirkan lagi. Sekarang lebih baik kita bersenang-senang!"

Wisesa terkekeh. Langsung diseretnya gadis dalam rangkulannya ke dalam rumah. Sementara, pemuda berbaju kuning menyusul. Tak peduli kedua gadis itu meronta-ronta sambil berteriak-teriak ketakutan.

Beberapa penduduk yang melihat kejadian itu berusaha menolong. Namun apalah daya mereka yang tak punya kepandaian apa-apa. Mereka yang nekat itu hanya membuang nyawa secara percuma. Ujung golok Cakra dan golok pemuda berbaju hijau telah berkelebat menebas mereka.

"He he he...! Cari penyakit!" ejek pemuda berbaju hijau seraya memandangi mayat-mayat yang tergeletak di tanah.

"Kakang Sembada! Kau urusi mereka! Aku akan menyusul Sukma mencari perempuan-perempuan cantik di desa ini!" teriak Cakra seraya berkelebat dari tempat itu.

"Enak saja kau! Kalau soal urusan satu itu, aku Jagonya. Aku akan mendapatkan semuanya. He he he...!" sambut pemuda berbaju hijau yang dipanggil Sembada, langsung ikut berkelebat.

Dalam sekejap mereka telah bergerak cepat masuk ke dalam rumah-rumah penduduk untuk mengobrak-abrik isinya. Saat itu juga jerit ketakutan dan kematian berkumandang saling sambung-menyambung. Tiga pemuda itu tidak peduli melihat penderitaan penduduk. Mereka hanya memikirkan hawa nafsu saja. Maka siapa pun yang menghalangi, akan tertebas golok.

Beberapa penduduk desa melarikan diri lewat jalan belakang, karena ketakutan. Di antara mereka pun ada yang berhasil membawa anak perempuannya, sehingga selamat dari incaran kelima pemuda itu. Sementara yang kurang beruntung terpaksa merelakan anak gadis mereka digarap kelima pemuda itu. Bagi yang penakut, hanya bisa menangis dan merintih pilu melihat anak perempuannya diperlakukan semena-mena. Tapi bagi mereka yang punya keberanian, akan binasa di tangan kelima pemuda itu.

********************

Kejadian di Desa Sakapitu merebak ke mana-mana, terutama bagi desa-desa yang berada di sekitar lereng Gunung Pucung. Karena Desa Sakapitu memang terletak di lereng gunung itu.

Namun, tak urung kabar itu sampai pula di Desa Kayu Asem yang jaraknya lebih kurang setengah hari perjalanan berkuda dari Desa Sakapitu, menuju arah timur. Desa Kayu Asem dekat dengan kota Kadipaten Bayu Mubal yang cukup ramai.

Kabar yang dibawa oleh seorang penduduk Desa Sakapitu, langsung disampaikan pada Kepala Desa Kayu Asem, yang telah sepuluh tahun memimpin desa ini. Sampai sekarang dia tetap dipercaya penduduk. Karena di bawah kepempimpinannya, Desa Kayu Asem menjadi aman sentosa, gemah ripah loh jinawi. Namun kejadian yang menimpa Desa Sakapitu tak urung sempat mengusik pikirannya. Makanya, dia segera mengundang sesepuh-sesepuh desa untuk diajak tukar pikiran, membahas masalah itu.

"Mungkin hanya kawanan rampok saja, Baluran," cetus salah seorang sesepuh desa.

"Kurasa tidak, Ki Pajang...," sanggah Kepala Desa bernama Ki Baluran.

"Maksudmu bagaimana, Baluran?" tanya seorang sesepuh lain.

"Aku khawatir ini akan berlanjut ke desa kita, Ki Jarot," sahut Ki Baluran hati-hati.

"Desa kita banyak memiliki pendekar tangguh. Mereka akan berpikir seribu kali untuk mengacau di sini!" tandas sesepuh yang tadi dipanggil Ki Jarot

"Memang benar apa yang dikatakan Ki Jarot Tapi menurut penduduk Desa Sakapitu yang mengungsi ke sini, kelima pemuda berandalan itu memiliki kesaktian laksana iblis," kata Ki Baluran.

"Tapi, Baluran! Kita telah teruji menghadapi iblis licik sekali pun," timpal orang sesepuh lain.

"Apa maksud Ki Gandara?" tanya Ki Baluran dengan dahi berkerut.

"Ingatkah kau pada peristiwa sepuluh tahun lalu?" laki-laki berusia enam puluh tahun yang dipanggil Ki Gandara malah balik bertanya.

"Dukun santet itu?"

"Ya! Konon katanya, dia tidak bisa mati dan kebal segala jenis senjata dan pukulan. Toh, nyatanya kita berhasil membinasakannya."

"Ya! Tapi dalam usaha membunuh Ki Rungkut dan istrinya, timbul banyak korban di pihak kita...," sahut Ki Baluran masygul, mengingat peristiwa berdarah sepuluh tahun lalu.

"Tapi itu membuktikan bahwa kejahatan bisa dikalahkan kalau kita bersatu!" timpal sesepuh yang bernama Ki Pajang. "Bukan begitu, Nyi Girah?" Ki Pajang menoleh ke arah satu-satunya wanita di ruangan ini.

"Aku yakin kita bisa menggalang persatuan dari semua penduduk desa ini!" kata wanita berusia enam puluh tahun yang dipanggil Nyi Girah.

"Tapi yang terpenting, apakah hal itu akan terjadi?" tanya Ki Gandara. "Siapa tahu, itu hanya ulah perampok seperti yang dikatakan Ki Pajang."

"Tapi kita mesti waspada. Siapa tahu, peristiwa sepuluh tahun lalu terulang kembali," sahut Ki Jarot.

"Ki Rungkut sudah mati. Demikian pula istrinya...."

"Kita jangan melupakan sesuatu, Baluran!" tukas Ki Jarot.

"Apa maksud Ki Jarot?"

"Mereka punya anak laki-laki yang saat itu berusia sekitar lima belas tahun. Ketika orangtuanya tewas, anak itu tidak ada di dalam rumah. Kita coba mencarinya ke mana-mana, namun tidak bertemu. Dia hilang seperti ditelan bumi."

"Ya! Aku khawatir anak itu akan membalas dendam kepada kita semua...," timpral Ki Pajang.

"Bibitnya buruk. Maka mana mungkin akantumbuh baik...," gumam Ki Gandara seperti mendukung sikap Ki Pajang.

"Hal itu sudah kupikirkan. Tapi, kita sudah cukup berusaha mencarinya...," sahut Ki Baluran.

"Kita hanya kurang giat, Ki," sambung Nyi Girah. "Saat itu aku yakin, dia melarikan diri ke Hutan Pucung. Namun, tak seorang pun di antara kita yang mau mengejarnya ke sana."

"Hutan Pucung bukan tempat yang ramah, Nyi Girah," bela Gandara. "Aku bisa memakluminya. Di sana banyak perangkap dan binatang buas. Tidak seorang pun yang bisa keluar hidup-hidup setelah masuk ke sana."

"Kalau demikian, bocah itu pun...."

"Mati?!" potong Ki Jarot, terhadap ucapan Ki Baluran.

"Tidak juga," sahut Gandara.

"Baru saja kau katakan tidak ada seorang pun yang bisa selamat bila masuk ke hutan itu. Dan sekarang...?" tukas Nyi Girah.

"Kalau seseorang tidak menolongnya," sambung Gandara.

"Siapa yang kau maksudkan, Ki Gandara?" tanya Ki Pajang.

"Iblis Rambut Panjang."

"Iblis Rambut Panjang?!"

Semua orang yang berada di ruangan itu berseru kaget, mendengar nama yang disebutkan Ki Gandara. Memang, nama itu amat terkenal di rimba persilatan, milik seorang datuk sesat yang kesaktiannya tiada tara. Kekejamannya memang luar biasa. Dan belakangan, ada anggapan bahwa iblis itu berdiam di dalam Hutan Pucung, tempat yang jarang dimasuki orang.

DUA

Ki Baluran masih termenung dalam ruangan depan dalam rumahnya. Matanya lurus memandang ke depan melalu jeruji jendela. Meski tamu-tamunya telah kembali ke rumah masing-masing, namun dalam benaknya masih ada tamu lain yang enggan pergi. Yaitu, pikirannya yang ruwet.

"Apakah dia salah seorang di antara kelima pemuda itu?" gumam laki-laki Kepala Desa Kayu Asem ini di hati.

Benak Ki Baluran langsung melayang pada peristiwa sepuluh tahun silam. Saat itu, desa ini dikuasai sepasang suami istri Ki dan Nyi Rungkut yang amat ditakuti semua penduduk. Mereka adalah dukun santet yang memiliki kesaktian hebat. Satu persatu penduduk tewas di tangan mereka.

Pada saat itu tidak ada seorang pun yang berani menentang, karena takut oleh ancaman maut yang dijanjikan kedua suami istri itu Ki Baluran yang pada saat itu baru pulang berguru di sebuah padepokan ternama di wilayah utara, kemudian menggerakkan penduduk untuk perlawanan. Dan akhirnya, suami istri itu terbunuh. Dia pula yang mendorong masyarakat untuk menghabisi semua keluar dukun santet itu.

"Belum tidur, Kang?"

Terdengar sapaan halus dari belakang. Ki Baluran menoleh. Dan, bibirnya langsung tersenyum melihat kehadiran seorang wanita setengah baya yang menghampirinya. Namun laki-laki itu tak bisa menipu diii sendiri kalau senyumnya terasa dipaksakan.

"Kau sendiri kenapa belum tidur, Nyi?" Ki Baluran malah balik bertanya.

"Aku belum mengantuk...," sahut wanita yang tak lain istri Ki Baluran.

"Sama.... Aku juga belum...."

"Wajah Kakang kelihatan kusut. Apa yang tengah dipikirkan?" usik Nyi Baluran.

"Tidak. Tidak ada apa-apa!" sahut Ki Baluran berusaha menyembunyikan apa yang tengah dipikirkannya.

"Tidak usah berbohong, Kang."

"Apa maksudmu? Aku memang tidak memikirkan apa-apa."

"Aku mendengar pertemuan Kakang tadi sore. Kalian membicarakan tentang kemungkinan ancaman dari dukun santet itu, bukan?" desak Nyi Baluran.

"Untuk apa? Mereka toh sudah mati!" sahut Ki Baluran sambil memaksakan diri tersenyum agar istrinya percaya.

"Tapi anak tertuanya sempat meloloskan diri. Dan..., apakah dia yang Kakang khawatirkan?"

Ki Baluran tidak menjawab. Wajahnya yang tegang dipalingkan disertai hembusan napas sesak.

"Berterus-teranglah padaku, Kang! Aku istrimu. Dan aku berhak tahu apa yang tengah kau pikirkan!" desak wanita itu seraya melangkah ke depan suaminya. Sehingga, kini mereka saling berhadapan lagi.

"Aku tidak tahu, Nyi...," ucap laki-laki ini lirih, kemudian beranjak keluar.

"Mau ke mana, Kang?"

"Mau cari udara segar."

Wanita setengah baya itu hanya menarik napas sesak, ketika suaminya berjalan menuju istal. Dan sebentar saja, laki-laki itu telah menuntun seekor, kuda berwarna coklat. Dengan gerakan ringan, dia naik ke punggung kuda. Ditinggalkannya halaman depan rumah setelah menggebah kudanya pelan-pelan.

Apa yang dikatakan istrinya mungkin saja benar. Tapi..., apakah dia mesti takut bila kelak bocah itu balas dendam? Kepandaiannya cukup hebat. Dan di desa ini pun, terdapat tokoh-tokoh hebat yang siap membantunya. Juga, siap melindungi keamanan desa.

Belum tuntas Ki Baluran memikirkan hal itu, mendadak dari kejauhan terdengar derap langkah kuda ke arahnya. Cepat kudanya dihentikan.

"Hooop..!" penunggang kuda itu juga menarik tali kekang kudanya.

"Ki Jarot! Ada apa malam-malam begini seperti dikejar setan?!" tanya Ki Baluran, begitu bisa mengenali siapa penunggang kuda itiu. Kebetulan, bulan bersinar penuh, sehingga cahayanya bisa membantu penglihatan Ki Baluran.

"Ah, kebetulan sekali! Aku memang hendak ke rumahmu, Baluran!" desak Ki Jarot seraya mengatur jalan napasnya.

"Ada kejadian apa?" tanya Ki Baluran.

"Kita mesti menerima pengungsi lagi, Baluran!"

"Pengungsi dari mana lagi?"

"Dari Desa Gelugur!"

"Astaga! Apa yang terjadi di sana?!" seru Ki Baluran kaget.

"Sama seperti yang menimpa Desa Sakapitu."

"Maksudmu, diserang kelima pemuda itu lagi?"

"Ya! Dan kali ini sebagian penduduk mengetahui siapa mereka sebenarnya."

"Siapa?"

"Mereka menamakan diri, sebagai Lima Golok Setan. Dan kabarnya, mereka dari Hutan Pucung."

"Lima Golok Setan? Dari Hutan Pucung?"

"Mungkin itu hanya sekadar nama saja, Baluran."

"Mungkin juga... Eh, apakah Ki Jarot tidak mendapat berita lain? Umpamanya nama-nama mereka satu persatu?"

"Baru dua. Mereka Wisesa yang berasal dari Desa Sakapitu, dan Cakra dari Desa Gelugur," jelas Ki Jarot.

"Hhh...!" Ki Baluran menghela napas berat dengan dahi berkerut.

"Kenapa, Baluran?"

"Ah, tidak apa! Lalu, siapa yang menjaga mereka?"

"Mereka siapa?"

"Pengungsi-pengungsi itu?"

"O, mereka bersama Ki Pajang serta beberapa orang pemuda desa yang tengah meronda," jelasnya.

"Baiklah. Tolong diatur agar mereka dapat ber-malam di desa kita, Ki Jarot. Di tempatku masih ada dua kamar kosong yang cukup besar. Bisa menampung dua puluh orang. Bagi mereka yang punya kamar-kamar kosong di rumahnya, kuharap bisa membantu yang lain," ujar Ki Baluran.

"Baik!"

"Eh! Aku juga ingin ngobrol-ngobrol sebentar dengan mereka...."

"Jadi, Kau ingin ikut juga?"

Kepala desa itu mengangguk.

"Baiklah. Mari kita ke sana!" ajak Ki Jarot.

********************

Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih menjalankan kuda hitamnya perlahan-lahan di jalan setapak yang menuju sebuah desa sambil menikmati pemandangan di sekitarnya. Angin lembut bertiup, mempermainkan rambutnya. Nun jauh di sebelah barat, terlihat Gunung Pucung menjulang dengan gagah.

"Hei?!" Mendadak ketenangan pemuda itu terusik ketika beberapa orang berlari serabutan ke arahnya sambil membawa barang-barang kebutuhan sehari-hari.

"Ada apa gerangan? Mereka sepertinya penduduk desa? Apakah ada bencana alam?" gumam pemuda ini dengan dahi berkerut.

Pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti ini segera menghentikan kudanya. Ditunggunya salah seorang yang berlari.

"Sebentar, Kisanak! Ada kejadian apa sehingga berlari ketakutan seperti dikejar setan?" tanya. Rangga sambil merendahkan tubuhnya.

Laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun bertubuh kurus yang tengah menggamit seorang bocah perempuan itu menghentikan larinya. Dipandangnya pemuda ini untuk sesaat.

"Lima Golok Setan tengah mengamuk!" sahut laki-laki ini dengan dendam terpendam.

"Di mana?" kejar Pendekar Rajawali Sakti.

"Desa kami. Desa Jeram yang ada di sana!" tunjuk orang tua itu ke arah belakangnya.

Pendekar Rajawali Sakti mengarahkan pandangannya pada arah yang ditunjuk orang tua itu.

"Lebih baik kau menyelamatkan diri, Anak Muda! Mereka ganas dan tak kenal ampun!" ujar orang tua ini memperingatkan seraya pergi mengejar rombongannya.

"Terima kasih, Ki!" sahut Rangga seraya menggebah kudanya ke arah yang ditunjuk orang tua tadi.

"Hhh! Anak muda keras kepala!" gumam orang tua ini ketika berbalik dan melihat pemuda itu tidak menuruti kata-katanya

Sementara itu, dengan kecepatan dahsyat, sebentar saja Dewa Bayu telah membawa Rangga tiba di Desa Jeram yang keadaannya begitu menyedihkan. Beberapa mayat tergeletak tak berdaya. Rumah-rumah hancur seperti diamuk banteng liar.

"Hhh...! Rampok mana lagi yang mencari korban di sini?" gumam Pendekar Rajawali Sakti seraya turun dari punggung Dewa Bayu. Kakinya lantas melangkah pelan memasuki mulut desa.

"Ha ha ha...! Kau sungguh hebat, Nisanak! Hebat sekali!"

"Hm...!" Pendekar Rajawali Sakti menggumam tak jelas ketika mendengar suara tawa dari dalam sebuah rumah. Dan ini menimbulkan perasaan ingin tahu di hatinya. Maka dengan sengaja Rangga menunggu di depan pintu rumah tempat asal suara tawa tadi.

Tidak berapa lama, terlihat seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tiga tahun keluar dari dalam rumah sambil tertawa-tawa. Dibetulkannya letak celananya yang belum beres.

"Mau apa kau di situ?!" bentak pemuda itu galak ketika melihat kehadiran pemuda berbaju rompi putih.

"Apa pula yang kau lakukan di dalam?" sahut Rangga, datar.

"Kurang ajar! Besar juga nyalimu, he!" dengus pemuda itu geram. "Yeaaa...!"

Tiba-tiba pemuda itu melompat langsung melepaskan tendangan menggeledek ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti. Tendangan keras itu diperhitungkan akan menghancurkan tulang dada Pendekar Rajawali Sakti. Tapi....

Plak!

"Uhh...!" Pemuda itu menelan kekecewaan karena, serangannya kandas terkibas tangan kiri Rangga. Tubuhnya kontan terjajar beberapa langkah, untung saja tak sampai terpelanting. Bahkan sebelum dia berbuat sesuatu, kepalan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti balik menyodok ke dadanya.

Karuan saja pemuda itu terkesiap. Sebisa-bisanya tubuhnya melejit ke atas. Namun Rangga tak melepaskan begitu saja. Seketika tubuhnya berputar sambil melepas tendangan terbang berputar.

Des!

"Aakh!" Pemuda itu menjerit kesakitan dengan tubuh terlempar beberapa langkah ke belakang, lalu jatuh berdebam di tanah. Begitu bangkit, dia terhuyung-huyung mendekap perut yang terasa mual bukan main, terhantam tendangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Keparat! Kau akan menerima pembalasanku!" desis pemuda itu geram sambil menarik napas panjang.

"Silakan saja. Karena aku pun tak akan membiarkan kau berbuat keangkaramurkaan," sahut Rangga tersenyum dingin.

"Kau belum kenal aku rupanya. Akulah Bawor, salah satu dari Lima Golok Setan!" gertak pemuda yang di pinggangnya terselip sebilah golok panjang dan mengaku bernama Bawor.

"O, jadi kau rupanya yang sering menakut-nakuti penduduk desa?" tukas Rangga, kalem.

"Kami bukan sekadar menakut-nakuti. Tapi, membunuh orang-orang tengil sepertimu!" desis Bawor seraya kembali melompat menyerang. Kedua tangannya terjulur, seperti hendak mencengkeram.

Namun dengan mengegoskan tubuhnya, Pendekar Rajawali Sakti berhasil menghindari cengkeraman tangan Bawor.

"Hih...!" Sebelum Bawor menyerang kembali, mendadak Rangga menyodokkan sikunya, keras sekali ke arah dada.

Begkh!

"Wuaaa...!" Bawor kontan terjajar beberapa langkah sambil mendekap dadanya yang terasa sesak. Telak sekali sodokan Rangga bersarang di dadanya.

"Aku bisa membunuhmu, Kisanak!" kata Rangga dingin. "Jangan terlalu gegabah. Tinggalkan saja tempat ini. Dan bertobatlah...!"

"Huh!" Bawor mendengus geram. Meski isi dadanya terasa nyeri, namun dia berusaha untuk tidak mempedulikannya. Sorot matanya tajam, tatkala membentur pandangan Rangga. Lalu, tangannya bergerak ke pinggang.

Sret!

"Hari ini kau akan mampus, Keparat!" desis Bawor, setelah mencabut golok.

"Jangan kelewat nafsu. Salah-salah nyawamu sendiri yang akan melayang oleh golokmu sendiri," ujar Rangga, memperingatkan.

"Tidak akan! Terima kasih! Heaaa...!"

"Uts!" Golok di tangan Bawor berputar cepat menyambar leher Rangga. Untuk sesaat Pendekar Rajawali Sakti terkesiap. Tapi secepat itu pula tubuhnya melenting kebelakang untuk mengatur jarak.

"Yeaaah!"

Begitu golok Bawor mendekat, Pendekar Rajawali Sakti segera memainkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Melihat serangannya selalu gagal, Bawor semakin menggeram penuh amarah. Seketika serangannya ditingkatkan dengan menambah kekuatan tenaga dalam. Dan tubuhnya langsung meluruk sambil menebas dengan goloknya.

"Uts...!" Sedikit saja Rangga meliukkan tubuhnya, lalu tiba-tiba saja melakukan tendangan ke dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga.

Duk!

"Aakh...!" Bawor kembali terjungkal ke belakang disertai jerit kesakitan. Tendangan itu sama sekali tidak disangka-sangkanya, sehingga membuatnya tidak sempat mengelak. Kalaupun sempat disadari, rasanya pun tidak akan mampu mengimbangi gerakan Rangga yang kelewat cepat.

"Apakah kau masih penasaran?" Bangunlah. Dan, serang aku lagi," tantang Rangga, dingin.

Bawor mendengus dingin sambil mengusap darah yang menetesdari sudut bibirnya. "Siapa kau sebenarnya?" tanya Bawor penasaran.

"Aku Rangga," sahut Rangga.

"Huh! Ternyata kau bukan orang hebat! Aku belum pernah mendengar namamu," leceh Bawor.

"Apalah arti sebuah nama? Dikenal orang ataupun tidak, sama sekali aku tidak peduli."

"Ingatlah. Kau telah berurusan dengan Lima Golok Setan. Dan kawan-kawanku tidak akan membiarkanmu berbuat seenaknya!"

"Lalu, apa maumu? Membalas dendam padaku? Jangan terlalu lama menyimpan dendam. Tuntaskan saja sekarang. Panggil kawan-kawanmu. Dengan senang hati aku akan menunggu...."

"Huh!" Bawor mendengus dingin. Lalu secepatnya tubuhnya berbalik dan kabur dari tempat itu.

Rangga tidak berusaha mengejar. Dipandanginya Bawor sampai hilang dari pandangan sampai perhatiannya terusik oleh suara erangan dari dalam rumah yang tadi dimasuki Bawor. Dengan langkah lebar Pendekar Rajawali Sakti memasuki rumah itu.

"Oh, maaf!" ucap Rangga seraya berpaling, ketika melihat seorang gadis berusaha bangkit berdiri dengan tubuh lemah tanpa benang sehelai pun menutupinya. "Itu. Pakailah pakaianmu, Nisanak!"

Tanpa menoleh Pendekar Rajawali Sakti melemparkan baju gadis itu yang tergeletak di dekatnya, untuk menutupi tubuhnya yang halus putih dan mulus itu. Sesaat Rangga menunggu.

"Sudah kau kenakan pakaianmu?" Tanya Rangga.

Gadis itu tak menjawab. Sementara Rangga hanya mendengar isak tangis yang membuatnya berbalik. Tampak gadis ini tertunduk lesu ditepi pembaringan.

"Apa yang terjadi padamu?" tanya Rangga pelan.

"Aku..., aku telah dinodainya...," sahut gadis ini lirih tanpa memandang Rangga. Tangisnya kini sudah tak terdengar lagi, setelah mampu menguasai perasaannya.

"Kurang ajar!" desis Rangga dengan kedua tangan terkepal. Sungguh menyesal dia tadi tak mengejar Bawor. "Siapa mereka sebenarnya? Apa yang diinginkannya dari penduduk desa ini? Kulihat tadi beberapa orang penduduk melarikan diri ketakutan."

"Mereka tidak membunuhmu?"

Tiba-tiba gadis itu ingat sesuatu. Dagunya segera terangkat. Bola matanya yang basah oleh airmata memandang pemuda itu dengan heran.

"Tidak...."

"Kau beruntung. Biasanya mereka akan membunuh siapa saja yang mendekatinya!"

"Mereka memang berusaha membunuhku. Eh, maksudku, salah seorang dari mereka."

"Siapa?"

"Kalau tidak salah. Namanya Bawor."

"Bangsat terkutuk itu! Huh!" dengus gadis ini dengan wajah geram penuh dendam.

"Kau kenal dengannya?"

"Dialah yang menodaiku! Akan kucincang tubuhnya bila bertemu lagi dengannya!"

Rangga terdiam beberapa saat seperti bisa merasakan penderitaan yang dialami gadis ini.

"Mereka harus membalas atas semua kejadian ini!" tandas gadis itu.

"Tentu saja. Setiap kejahatan tentu akan mendapatkan ganjarannya."

Mendadak gadis itu teringat sesuatu. Dan secepatnya dia melompat keluar rumahnya. "Ayah...! Ibuuu...!"

Rangga mengikuti dari belakang tanpa mampu berbuat apa-apa. Gadis itu agaknya tengah mengalami penderitaan berat dalam hidupnya. Dia berlarian ke sana kemari di antara tumpukan mayat. Kemudian tatapannya tertumpu pada dua mayat yang agak berjauhan. Satu lelaki setengah baya dan seorang lagi wanita berusia empat puluh tahun.

"Ayah... Ibuuu.... Jangan tinggalkan Arum...!" jerit gadis ini sambil menangis dengan suara melengking, seraya menghambur ke arah mayat ibunya.

"Hhh...!" Rangga menghela napas panjang seraya menghampiri gadis bernama Arum perlahan-lahan, yang tengah bersimpuh dekat mayat ibunya.

"Kematian mereka sudah takdir. Kau harus merelakannya...," hibur Rangga lirih, begitu dekat.

"Ayah.... Ibu...." Arum kembali menangis dengan suara bergetar. Sama sekali tak dipedulikannya ocehan pemuda itu.

"Lebih baik kita kumpulkan mereka, lalu menguburkannya esok hari...," lanjut Pendekar Rajawali Sakti.

Gadis itu tetap tidak peduli. Dan dia tidak beringsut dari tempatnya semula.

"Hari telah sore. Dan sebentar lagi malam...."

Arum masih terdiam.

"Kau mesti istirahat...," usik Rangga lagi.

"Tinggalkan aku sendiri di sini!" sergah Arum, tajam.

"Tapi...."

"Kumohon, tinggalkan aku sendiri!" ulang gadis ini menegaskan.

"Baiklah. Kalau itu keinginanmu..., terserah saja."

Rangga melangkah gontai meninggalkan gadis itu. Sesaat dia terhenti, lalu menoleh. Tampak Arum tetap menunduk memandangi mayat kedua orangtuanya.

"Hhh...." Rangga menghela napas, kemudian melompat ke punggung Dewa Bayu. Bergegas digebahnya kuda berbulu hitam ini, meninggalkan desa itu.

********************

TIGA

Langkah Bawor tersaruk-saruk ketika memasuki pinggiran Hutan Pucung. Meski dadanya terasa nyeri, namun ada yang lebih nyeri ketimbang itu. Yaitu, rasa dendam di hatinya.

"Keparat! Dia harus mati di tanganku!" desis pemuda berbaju kuning itu berulang-ulang.

Belum habis rasa kesal Bawor, mendadak berkelebat satu bayangan merah ke hadapannya. Dan tahu-tahu telah berdiri di hadapan Bawor. Bawor melompat gesit. Langsung diayunkannya sebelah kakinya.

"Hiih!"

"Uts! Sabar, Bawor. Ini aku Sukma!" seru sosok bayangan merah yang baru muncul, seraya melompat ke samping menghindari tendangan.

"Sial! Kukira siapa. Kau rupanya, Sukma."

"Kenapa kau ini, Bawor?! Kukira kau senang. Nyatanya tampangmu malah kusut bukan main," tanya sosok bayangan merah yang ternyata pemuda berbaju merah. Dialah Sukma, satu dari Lima Golok Setan.

"Sudahlah! Mana yang lain?" elak Bawor.

"Tengah bersantap. Ada apa?"

"Nanti saja kuceritakan."

Sukma mengikuti langkah Bawor yang terburu-buru menuju sebuah pondok kecil yang hampir roboh. Di sana, telah menunggu tiga kawannya yang lain.

"Lihat! Bisa kalian tebak apa yang terjadi padanya?!" seru Sukma sambil tersenyum lebar ketika Bawor menghempaskan tubuhnya di atas dipan disertai helaan napas sesak.

"Kukira dia kekenyangan sampai lemas begitu!" sahut pemuda berbaju biru tua yang tak lain Wisesa.

"Mana mungkin kekenyangan sampai lemas begitu...," timpal pemuda berbaju coklat, yang bernama Cakra.

"Kenapa tidak? Dia kekenyangan perempuan!" sanggah pemuda yang bernama Sembada. Mendengar itu mereka tertawa bersama.

"Berapa perempuan yang kau sikat, Bawor?!" lanjut Sukma.

"Sudah! Sudah! Aku sedang tidak suka bercanda!" bentak Bawor, berang.

"Hei, kenapa kau ini? Bukankah ini pestamu? Mestinya kau bangga. Karena semua penduduk desa itu yang dulu pernah menghina dan meremehkanmu, kalang kabut ketakutan!" tukas Sukma.

"Aku sedang pusing!" keluh Bawor bersungut-sungut.

Wisesa beringsut dari tempatnya. Didekatinya Bawor, sahabatnya itu. Kemudian dia menepuk pundaknya pelan. "Apa yang tengah kau pikirkan, Bawor. Ceritakanlah. Kami bukan sekadar kawanmu. Tapi juga saudaramu yang siap membantu segala kesulitanmu," ujar Wisesa.

Bawor menarik napas panjang. Sulit baginya menceritakan persoalan yang tengah dihadapinya.

"Ayo, katakanlah!" ulang Tukijan.

"Betul, Kakang. Ceritakanlah, apa kesulitanmu. Bukankah guru telah berpesan agar kita selalu bersatu dan saling bahu-membahu dalam mengatasi kesulitan?" desak Cakra.

"Benar, Bawor! Ceritakanlah, apa kesulitan yang tengah kau alami! Tidak biasa-biasanya kau pusing memikirkan sesuatu!" timpal Sukma.

"Guru pasti akan marah besar padaku...," gumam Bawor lirih.

"Apa maksudmu?" tanya Wisesa.

"Setelah kalian pergi lebih dulu, aku sempat bermain-main dengan seorang wanita. Dan setelahnya..., tiba-tiba saja seorang pemuda berbaju rompi putih telah berdiri di depan pintu...," tutur Bawor.

"Lalu?" selak Sukma semakin tertarik mendengarkan cerita kawannya.

"Aku menganggap remeh padanya. Dan...."

"Dia menjatuhkanmu?" tebak Wisesa.

Bawor mengangguk.

"Kurang ajar! Di mana dia sekarang? Biar kuhajar orang itu!" dengus Sukma.

"Jangan bertindak sembrono, Sukma. Dia bukan orang sembarangan...," ingat Bawor.

"Huh! Di dunia ini hanya guru kita yang terhebat! Tak seorang pun yang bisa mengalahkannya. Dan sebagai murid-muridnya, maka kita pun menjadi orang yang tidak terkalahkan!" dengus Sukma seraya membusungkan dada.

"Tapi buktinya dia memang hebat, Sukma...."

"Kau hanya lengah, Bawor. Percayalah.... Apa yang dikatakan Sukma benar. Guru orang terhebat sejagad. Dan kita muridnya pun mewarisi kehebatannya!" ujar Wisesa coba menyadarkan saudara seperguruannya.

"Aku telah menyerangnya dengan bersungguh-sungguh. Tapi, tetap saja dia berhasil menjatuhkanku dengan mudah...," ulang Bawor.

"Kenapa kau malah mengagung-agungkan musuh dan tidak percaya pada kemampuan sendiri?" tukas Sembada, tak suka.

Bawor tidak lagi menjawab. Rasanya percuma saja mendebat mereka. Lagi pula, mungkin saja mereka benar. Karena saat menghadapi lawan, dia dalam keadaan marah. Sehingga, tidak mampu mengendalikan diri.

"Kita cari dia untuk membalaskan sakit hati Kakang Bawor!" desis Cakra.

"Ya!" sambut yang lain cepat.

"Dimana terakhir kau bertemu dengannya?" tanya Sembada.

"Di Desa Jeram...."

"Kita berangkat kesana sekarang juga!" seru Sembada.

Tekad itu langsung disambut yang lain dengan bersemangat. Namun, tidak buat Bawor.

"Kenapa kau diam saja? Ayo bangkit dan tunjukkan semangatmu!" seru Wisesa, melihat Bawor masih terpaku.

"Tapi, kalian.... Kalian tidak akan melaporkan kekalahanku itu pada guru, bukan?" tanya Bawor takut-takut.

"Kau tidak kalah, hanya lengah. Jadi, tak ada yang mesti dilaporkan!" sahut Sembada menegaskan. "Sekarang mari kita berangkat ke sana!"

"Baiklah...."

********************

Lepas senja Rangga baru tiba di pinggiran Desa Kayu Asem. Suasana terlihat sepi. Namun begitu lebih ke dalam, maka mulai terlihat keramaian. Suara orang bercakap-cakap terdengar ribut sekali. Barang-barang peralatan rumah tangga yang centang-perentang di depan beberapa buah rumah, serta bocah-bocah yang menangis atau tengah berkejaran dengan kawan-kawannya, membuat dahi Rangga sedildt berkerut.

"Hm.... Banyak sekali orang-orang mengungsi ke sini? Apakah mereka berasal dari desa yang tadi kulewati?" gumam Pendekar Rajawali Sakti lirih.

Rangga mendekati salah seorang wanita setengah baya yang tengah bercakap-cakap dengan beberapa wanita lain di depan sebuah rumah,

"Permisi, Nyisanak. Apa yang terjadi di sini?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Kami mengungsi...," jelas wanita ini.

"Mengungsi? Apakah Nyisanak dari Desa Jeram?"

Wanita itu mengangguk. Dipandanginya pemuda tampan berbaju rompi putih itu sejurus lamanya.

"Kau bukan penduduk Desa Jeram. Dan aku kenal semua penduduk di sana. Apakah kau penduduk desa ini?" tanya wanita itu dengan pandangan menyelidik.

Rangga menggeleng sambil tersenyum.

"Desa Kandis barangkali?" duga wanita itu.

"Bukan. Aku hanya seorang pengembara...."

"Pengembara?" Dahi wanita itu berkerut. Namun ketika melihat gagang pedang yang menyembul di balik punggungnya, dia maklum kalau pemuda ini bukan orang biasa.

"Kisanak! Apakah kau seorang pendekar?" tanya wanita ini.

"Mungkin begitu...," sahut Rangga ragu.

"Lalu kenapa kau diam saja? tidakkah kau tahu bahwa belakangan ini Lima Golok Setan tengah mengganas. Banyak yang telah menjadi korbannya. Coba lihat kami semua! Ini hanya sebagian kecil dari korban yang ditimbulkannya. Kami kehilangan rumah, harta benda, serta keluarga!" lanjut wanita itu dengan suara berapi-api, sehingga menarik perhatian orang-orang yang ada di dekatnya.

"Maaf, Nyi. Aku memang tengah mencari mereka...," sahut Rangga, buru-buru beranjak dari tempat itu untuk tidak menjadi perhatian yang lainnya.

Setelah agak jauh dari wanita tadi, Pendekar Rajawali Sakti mendekati beberapa orang lagi yang tengah berdiri dan mengatur beberapa orang pengungsi.

"Maaf, dimana aku bisa bertemu Ki Baluran?" tanya Rangga pada seorang pemuda yang hampir sebaya dengannya.

"Kisanak...!"

Belum sempat pemuda itu menjawab, terdengar panggilan dari samping kanan. Rangga menoleh, langsung melihat, seorang laki-laki tua menghampirinya.

"Kalau kau hendak mencari tempat, bersabarlah. Kami mesti mengatur mereka dulu. Terutama, wanita dan anak-anak...," lanjut laki-laki tua itu.

"Kedatanganku ke sini bukan untuk mengungsi, kisanak," jelas Rangga.

Laki-laki tua itu memandang Rangga dengan seksama. "Lalu, apa maksud kedatanganmu?" tanya laki-laki ini dengan dahi berkerut.

"Aku menerima undangan dari Ki Baluran," sahut Rangga, kalem.

"Siapa kau, eh, maksudku siapa namamu?"

"Rangga..."

"Rangga? Jadi, kau? Pendekar Rajawali Sakti?!" seru laki-laki tua itu dengan mata terbelalak, seperti tak percaya dengan pendengarannya sendiri.

"Ya, begitulah orang-orang memanggilku," sahut Rangga merendah.

"Oh, maafkan aku, Pendekar Rajawali Sakti. Kalau begitu mari kuantarkan padanya!" ucap laki-laki tua itu.

"Jangan terlalu berlebih. Panggil saja aku Rangga, Ki...."

"Aku Pajang. Kebetulan aku menjadi sesepuh di desa ini...."

Laki-laki yang tak lain Ki Pajang segera mengajak Rangga pada seorang laki-laki setengah baya yang berada di depan sebuah rumah cukup besar.

"Baluran! Aku membawakan seseorang untukmu...!" kata Ki Pajang, begitu tiba di halaman rumah cukup besar itu.

"Oh, Ki Pajang! Ada apa? Siapa pemuda ini?" tanya laki-laki setengah baya yang ternyata Ki Baluran, segera menghampiri.

"Apakah kau tidak mengenalinya, Baluran?" tanya Ki Pajang heran.

Ki Baluran memandang pemuda berbaju rompi putih itu untuk sejurus lamanya. "Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Ki Baluran.

"Belum. Seseorang bernama Ki Tambak Rejo menjumpaiku di Bagir. Katanya, kau ingin bertemu denganku...," jelas Rangga.

"Jadi..., jadi benar yang diceritakannya?! Kau..., kau Pendekar Rajawali Sakti?!" seru Ki Baluran dengan wajah gembira.

Rangga mengangguk. Ki Baluran langsung merangkul pemuda itu. Langsung ditepuk-tepuk punggung Rangga.

"Syukurlah kau mau datang memenuhi undanganku. Kukira orang sepertimu tidak akan mau menjumpai orang-orang seperti kami," ucap Ki Baluran.

"Jangan berkata begitu, Ki. Aku juga sama dengan kalian. Mana mungkin aku menolak bila seseorang memerlukan bantuanku," sahut Rangga bijaksana.

"Kalau begitu, mari kita bicara di dalam!" sahut Ki Baluran seraya mengajak tamunya masuk. "Ki Pajang.... Tolong urus mereka dahulu. Tunjukkan saja kamar-kamar yang ada di ruang belakang rumahku!"

"Kelihatannya kau sibuk sekali, Ki?" tanya Rangga berbasa-basi setelah dipersilakan duduk.

"Inilah yang menimbulkan persoalan itu, Pendekar Rajawali Sakti...," sahut Ki Baluran seraya menghela napas panjang.

"Maaf, Ki. Panggil saja aku Rangga. Oh, ya..., maksudmu bagaimana, Ki...."

"Mereka orang-orang yang tidak bertanggung jawab, Pendekar Rajawali Sakti..., eh, Rangga," sahut Ki Baluran dengan wajah geram. "Orang-orang yang hanya menuruti hawa nafsunya saja."

"Siapa yang Ki Baluran maksudkan?"

"Mereka menamakan dirinya Lima Golok Setan."

"Lima Golok Setan? Rasanya aku pun pernah mendengar nama itu!"

"Ah! Mereka tentu telah menyebarkan petaka di mana-mana!" dengus Ki Baluran geram. "Di mana kau bertemu dengannya, Rangga?"

"Di Desa Jeram."

"Desa Jeram? Para pengungsi itu semua berasal dari Desa Jeram. Beberapa hari lalu, bahkan desa ini dipenuhi pengungsi dari Desa Gelugur dan Desa Sakapatu," jelas Ki Baluran.

"Aku bahkan bertemu salah seorang dari mereka, Ki...."

"Lantas?"

"Kami bertarung. Dan dia dapat kukalahkan. Tapi, orang itu kubiarkan melarikan diri," jelas Rangga, sejujurnya.

"Sayang sekali. Mestinya mereka ditangkap dan langsung dibunuh saja!" dengus Ki Baluran geram.

"Apakah untuk urusan ini Ki Baluran mengundangku ke sini?" tanya Rangga

"Ya. Begitulah, Rangga...," sahut Ki Baluran, mendesah.

"Mereka memang hebat. Tapi kudengar di desa ini pun tidak kurang orang-orang hebat pula."

"Namun dibandingkan mereka berlima, rasanya kami ragu. Lagi pula, tidak hanya mereka yang kami khawatirkan," ungkap Ki Baluran.

"Hm... Lalu, siapa?"

"Orang yang berada dibelakang mereka."

"Maksud Ki Baluran?"

"Mereka berasal dari Hutan Pucung. Sedangkan di sana, bercokol seorang datuk sesat yang berjuluk Iblis Rambut Panjang."

"Apa hubungannya antara mereka?"

"Itulah yang belum kami ketahui. Tapi setidaknya, mereka berasal dari tempat yang sama. Dan secara tak langsung, pasti berhubungan satu sama lain."

"Mengapa Ki Baluran mengira demikian?"

"Selama ini, tak seorang pun yang bisa selamat kalau masuk ke hutan itu. Mereka pasti tidak akan kembali lagi," jelas Ki Baluran. "Aku punya keyakinan kalau mereka adalah murid Iblis Rambut Panjang."

"Iblis Rambut Panjang? Hm, pernah kudengar nama itu. Dia memang seorang tokoh sesat berilmu tinggi gumam Rangga.

"Selama ini, dia bersembunyi di Hutan Pucung. Dan pasti ada sesuatu yang tengah dikerjakannya."

"Mungkin juga...."

"Kembali ke soal lima pemuda itu. Apakah, kau punya cara untuk menghadapi mereka. Rangga?"

Rangga berpikir sebentar sebelum menjawab. "Siapa kira-kira yang kepandaiannya bisa diandalkan di desa ini?" tanya Rangga.

"Ada beberapa orang selain aku sendiri. Ki Pajang, yang tadi mengantarkanmu, lalu ada Ki Jarot, Nyi Girah, dan Ki Gandara yang memimpin sebuah padepokan di desa ini beserta murid-muridnya," jelas Ki Baluran.

"Hm, itu suatu kekuatan yang cukup hebat!" puji Rangga.

"Tapi dibandingkan mereka, rasanya tidak berarti...."

"Jangan patah semangat dulu! Kita coba kekuatan mereka berlima dengan kekuatan kita!"

"Dengan adanya kau di sini, kujamin mereka pasti akan lebih percaya diri!" tegas Ki Baluran.

"Jangan suka begitu, Ki. Aku juga manusia biasa seperti kalian semua," sahut Rangga merendah.

"Nama Pendekar Rajawali Sakti sudah tersohor di mana-mana. Dan mereka mempercayai kehebatannya!" puji Ki Baluran lagi.

"Aku tidak keberatan kalian memuji setinggi langit, meski aku sendiri merasa malu. Tapi setidaknya ada hikmah yang baik di dalamnya. Dan bila hal itu bisa menimbulkan rasa percaya diri, maka biarlah kutahan rasa malu itu," sahut Rangga seraya tersenyum.

"Itu memang kenyataan, Rangga. Tidak perlu malu!"

"Sudahlah.... Kita kembali pada pokok permasalahannya. Apakah Ki Baluran punya rencana menghadapi mereka?" tukas Rangga, mengalihkan perhatian.

"Aku sendiri tidak bisa memastikan, apakah mereka akan ke sini atau tidak. Tapi setelah tiga desa di sekitar kaki Gunung Pucung diporak-porandakan, maka aku yakin mereka akan ke sini juga."

"Lalu?"

"Aku hanya bisa memberi perintah agar semua penduduk bersiaga dan melaporkan siapa saja orang asing yang masuk ke desa ini. Mereka juga kuperintahkan untuk bersiap-siap menghadapi kemungkinan terburuk," papar Ki Baluran.

"Hm, itu bagus. Tapi kalau Ki Baluran tidak keberatan, aku ada sedikit usul.

"Apa itu?"

"Pengungsi di luar itu. Hendaknya kita jangan terlena sekadar mengurus mereka."

"Maksudmu?"

"Ajak mereka untuk sama-sama melindungi desa ini dari serangan Lima Golok Setan," papar Rangga.

"Tapi mereka amat ketakutan, Rangga. Kita tidak mungkin mengandalkan mereka...," sahut Ki Baluran ragu.

"Apakah penduduk asli desa ini pun tidak ketakutan? Mereka punya ketakutan sama. Yang jadi persoalan adalah, bagaimana menjadikan ketakutan itu sebagai kekuatan untuk menumbangkan musuh," jelas Rangga.

Dahi Ki Baluran berkerut bingung mendengar penjelasan pemuda itu. Bagaimana mungkin mengandalkan orang-orang yang tengah ketakutan untuk menghalau musuh? Barangkali sebelum melihat kehadiran musuh mereka telah kabur tunggang-langgang.

"Maaf, Rangga. Aku tidak mengerti dengan uraianmu," ucap Ki Baluran jujur.

Rangga menarik napas panjang, lalu tersenyum. "Ki Baluran.... Bila seekor babi terdesak karena dikejar-kejar pemburu, maka apa yang dilakukannya?" tanya Rangga, memberi perbandingan.

"Dia akan nekat menyerang pemburu itu," Jawab Ki Baluran.

"Nah! Bila hewan punya naluri untuk mempertahankan diri, mengapa manusia tidak? Manusia makhluk istimewa karena dikaruniai akal. Yang perlu adalah, menyadarkan kedudukan mereka sekarang. Apakah mereka akan terus-terusan lari, atau bertahan dan melawan? Hidup dikejar-kejar tidak akan merasa aman. Tapi kalau melawan, kita masih punya pilihan. Yaitu, menang," papar Rangga, panjang lebar.

"Dan kalau kalah, mereka tahu akan mati...."

"Setiap perjuangan membutuhkan pengorbanan. Manakah yang lebih baik mati sia-sia, atau mati karena mempertahankan hak dan martabat?"

Ki Baluran mengangguk, membenarkan kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. "Aku akan coba memberi pengertian pada mereka, Rangga."

"Terima kasih, Ki. Aku akan membantumu!"

"Terima kasih juga untukmu, Rangga.

EMPAT

Apa yang dikatakan Ki Baluran memang benar. Sejak penduduk mengetahui kehadiran Pendekar Rajawali Sakti di Desa Kayu Asem ini, maka semangat mereka bangkit. Orang-orang yang semula ketakutan, nyalinya mulai tumbuh. Mereka yang tadi jalan terbungkuk-bungkuk dengan muka pucat dan pandangan takut-takut, kini berani berjalan tegap. Seolah, masalah apa pun yang menghadang di depan akan mudah dibereskan.

"Dengan adanya Pendekar Rajawali Sakti, maka kelima pemuda itu akan kusikat habis!" tandas seorang laki-laki berusia dua puluh lima tahun pada kawannya.

"Jangan gegabah, Seta! Lima Golok Setan tidak bisa dipandang sebelah mata," ujar pemuda bertubuh kurus.

"Hei? Apa kau tak percaya dengan kehebatan Pendekar Rajawali Sakti, Ragil?!" tanya pemuda yang dipanggil Seta, tak senang.

"Aku percaya, Seta. Tapi kalau kau mampu menghadapi mereka, itu yang aku kurang percaya," sahut pemuda bernama Ragil sambil tersenyum kecil.

"Jelek-jelek begini aku murid Ki Gandara!" sahut Seta menepuk dada. "Ki Gandara orang hebat. Dan kurasa..., kehebatannya tidak kalah dengan Pendekar Rajawali Sakti!"

"Huh! Jangan gegabah kau, Seta!" ujar Ragil memperingatkan.

"Kenapa kau rupanya? Apa kau anggap guruku tidak hebat?"

"Bukan begitu. Ki Gandara memang hebat. Tapi menyamakannya dengan Pendekar Rajawali Sakti adalah keterlaluan!"

"Itu karena kau tidak melihat sendiri kehebatan beliau! He, tahukah kau, kalau Ki Gandara mampu melompat setinggi dua tombak? Beliau juga mampu melompat ke cabang pohon dengan gesit tanpa terjatuh. Apa kau pernah melihat Ki Jarot melakukannya?" tukas Seta, juga kurang suka bila Ragil juga sepert merendahkan gurunya. Nada bicaranya terdengar sengit.

Ragil memang murid Ki Jarot. Tidak seperti Ki Gandara yang memiliki padepokan dan punya murid banyak, Ki Jarot tidak punya padepokan khusus. Muridnya pun sedikit, tidak lebih dari sepuluh orang. Salah satunya adalah Ragil. Meski begitu, mereka percaya kalau kehebatan Ki Jarot tidak kalah dengan Ki Gandara. Dan ketika mendengar nada bicara Seta yang sepertinya meremehkan Ki Jarot, tentu saja Ragil tidak bisa menerimanya.

"Mungkin saja Ki Jarot tidak mampu melakukannya. Tapi, beliau mampu meremukkan seekor banteng yang kuat. Atau juga meremukkan kepala seekor gajah liar yang tengah mengamuk," sahut Ragil, tak kalah sengit.

"Mana mungkin!" cibir Seta.

"Kalau begitu, aku pun bisa mengatakan mana mungkin terhadap kemampuan Ki Gandara yang tadi kau katakan!" sahut Ragil tak kalah.

"Kau boleh datang dan menyaksikannya sendiri saat kami latihan!"

"Kau juga boleh datangkan banteng atau gajah liar untuk diremukkan guruku!"

"Hm, kenapa susah-susah? Kalau begitu mengapa kita tidak saling coba?" desis Seta seraya berhenti, dan langsung berhadapan dengan Ragil pada jarak dua langkah.

"Apa maksudmu?"

"Kita uji kemampuan kita untuk membuktikan, mana yang lebih hebat. Gurumu, atau guruku!"

"Boleh! Silakan mulai!" kata Ragil menyambuttantangan Seta. Baru saja mereka hendak bergebrak, dari kejauhan terdengar derap langkah berlari beberapa orang. Seta dan Ragil langsung melihat ke arah datangnya suara. Tampak beberapa pemuda lari tergopoh-gopoh menghampiri.

"Rimang! Balung! Parwa! Ada apa?!" tanya Seta heran.

"Celaka, Seta!" sahut pemuda yang bernama Parwa.

"Uts! Tenang dulu. Tarik napas dalam-dalam, lalu ceritakan apa yang terjadi," ujar Seta.

"Tidak sempat. Kita harus secepatnya memberitahukan ini pada Ki Baluran dan Pendekar Rajawali Sakti? tukas Rimang.

"Memangnya ada apa?" tanya Ragil.

"Lima Golok Setan muncul. Mereka membunuh lima orang peronda. Kami terpaksa melarikan diri untuk mengabarkan hal ini," jelas Rimang.

"Apa?! Mereka telah muncul? Celaka! Kita mesti memberitahukan orang-orang tua di desa ini!" seru Seta seraya mengajak ketiga kawannya.

"Kenapa tidak kita tahan saja mereka di sini? Mereka berlima dan kita pun berlima. Bukankah itu adil?" tahan Ragil.

"Ini bukan saatnya kita jadi pahlawan. Mereka orang gila berilmu tinggi. Kita tidak mungkin meladeninya!" sergah Seta.

"Daripada kita bergebrak berdua, bukankah lebih baik menghadapi mereka untuk membuktikan siapa yang lebih hebat?" tukas Ragil.

Mau tidak mau terbakar juga hati Seta mendengar kata-kata itu. Semula, dia coba melupakan persoalan mereka barusan, karena yang penting, menyelamatkan diri dulu. Tapi siapa kira rupanya Ragil masih penasaran untuk membuktikan kesempatan ini dalam mencoba kedigdayaan.

"Baik! Kita buktikan dengan menghadapi mereka!" sambut Seta.

"Seta! Apa-apaan ini? Ayo, lekas kita beritahukan yang lain!" seru pemuda yang bernama Balung.

"Benar! Jangan sok mau jadi pahlawan!" timpal Parwa.

"Kita akan celaka sendiri!" tambah Rimang.

"Aku dan Ragil telah sepakat untuk membuktikan mana yang lebih hebat antara guru kita atau gurunya. Tadinya kami akan bertarung. Tapi dengan munculnya Lima Golok Setan, maka mereka yang akan kami jadikan sasaran," jelas Seta. "Kalau kalian mau pergi silakan!"

"Seta! Kau tahu hal itu tidak perlu. Bahkan sama sekali tidak ada gunanya!" ujar Parwa menasihati.

"Dan kau, Ragil! Apakah hal itu lebih utama ketimbang persoalan yang kita hadapi bersama-sama?" tukas Rimang. "Kita perlu bersatu dan jangan berpecah-belah. Juga jangan bertindak sendiri-sendiri. Ki Baluran telah mengingatkan hal itu."

"Seta yang memulai. Aku menyambut tantangannya saja," sanggah Ragil.

"Tapi kau juga sebetulnya memang hendak membuktikan kehebatan pamor gurumu!" tangkis Seta.

"Itu karena kau yang lebih dulu memanas-manasi!" balas Ragil.

Sudah! Sudah! Ttdak perlu bertengkar. Kalau persoalan siapa yang lebih hebat, maka di dunia ini tidak ada yang hebat!" tukas Rimang. "Sekarang lebih baik kita pergi dan memberitahukan hal ini pada Ki Baluran."

"He he he...! Enak saja bacotmu bicara! Lima Gdok Setan lebih hebat dari segalanya!"

"Heh?!"

Sebuah suara yang mendadak saja menyahuti kata-kata Rimang, membuat semua yang ada di tempat ini tersentak kaget. Dan belum sempat mereka berbuat apa-apa berlompatan lima sosok, langsung mengurung lima pemuda itu dengan senjata golok panjang.

"Celaka! Itulah mereka!" desis Rimang. Kelima orang yang baru muncul itu tidak lain dari Lima Golok Setan. Salah seorang dari mereka yang bemama Sukma maju dua langkah ke depan dengan tatapan dingin.

"Hm.... Kalian orang-orang Desa Kayu Asem, bukan? Tentu kenal siapa kawanku ini?!" tunjuk Sukma pada kawannya yang bernama Bawor.

Kelima pemuda Desa Kayu Asem memperhatikan seksama. Empat dari Lima Golok Setan memang tidak dikenal. Namun yang seorang rasanya pernah dilihat.

"Seperti anak dukun Rungkut!" desis Balung yang dulu rumahnya agak berdekatan dengan dukun santet di Desa Kayu Asem.

"Kau yakin?" tanya Seta.

Balung mengangguk.

"Siapa, Balung?" tanya Rimang.

"Bawor...!"

"Ha ha ha...! Kau memang pintar, Balung!" sahut Bawor sambil tertawa bergelak. "Aku memang Bawor putra Ki Rungkut yang dibunuh oleh orang-orang tua kalian. Hari ini, aku menuntut balas atas kematian mereka!"

"Bawor! Jadi, kau salah seorang dari Lima Golok Setan?!" bentak Balung.

"Ha ha ha...! Syukurlah kau telah tahu, Sobat. Dan untuk itu, kau harus mati di tanganku!"

"Huh! Jangan dikira aku takut padamu!" dengus Balung. "Dulu aku tidak takut padamu. Dan sekarang pun tetap sama."

"Bagus! Nah, matilah kau sekarang! Yeaaat...!"

Begitu selesai ucapannya, secepat itu pula Bawor mencelat menyerang disertai teriakan menggelegar.

"Hup!" Balung cepat membuat kuda-kuda mantap untuk menangkis serangan. Begitu Bawor menga-yunkan tendangan kaki kanan, secepat itu pula tangan kirinya mengibas ke samping.

Plak!

Sungguh tidak diduga kalau Bawor menggunakan tenaga tangkisan tadi sebagai tumpuan untuk kaki kirinya yang terayun cepat menghantam dada.

Duk!

"Aaakh...!" Disertai jerit kesakitan, Balung kontan terjungkal ke belakang sejauh dua tombak. Wajahya berkerut menahan sakit.

"Yeaaah!" Sebelum Balung bangkit, Bawor telah menerkamnya secepat kilat.

Balung menyadari bahaya yang menimpanya. Maka jalan satu-satunya adalah bergulingan menyelamatkan diri. Balung berusaha dengan melenting tanpa menyadari kalau Bawor telah berkelebat menung-gunya. Maka ketika baru saja menjejakkan kaki, maka tendangan Bawor langsung meluruk deras. Dan....

Desss!

"Aaakh?!" Telak sekali tendangan itu mendarat di dada. Balung kontan kesakitan, dan kembali terlempar ke belakang. Dari mulutnya mengucur darah segar sepanjang luncuran tubuhnya.

"Kau kira bisa lolos dari seranganku? Huh! Kini, terima kematianmu'," desis Bawor, begitu melihat Balung jatuh berdebam di tanah.

Pemuda ini bermaksud menghabisi Balung. Tapi...

"Heaaa...." Saat itu juga kawan-kawan Balung bergerak membantu.

"Jangan khawatir, Bawor. Biar kami bereskan yang lain!" teriak Sukma.

Saat itu juga, pertarungan di antara mereka tidak dapat dielakkan lagi. Kalau Parwa dan Rimang bertarung sekadar mempertahankan diri, maka bagi Seta dan Ragil, ajang pertarungan ini dianggap sebagai uji coba bagi ketangguhan ilmu olah kanuragan yang mereka miliki.

Namun yang dihadapi bukanlah tokoh kemarin sore. Lima Golok Setan memiliki kepandaian jauh di atas mereka. Meski berusaha bertahan dan melawan mati-matian, sia-sia saja. Karena dengan mudah lima tokoh sesat itu menjatuhkan mereka.

Duk!

"Aaakh...!" Pertama Rimang yang terjungkal roboh. Lalu secepatnya menyusul Parwa. Dan berikutnya Seta serta Ragil secara bersamaan. Kesemuanya tidak lewat dari dua jurus.

"Bagaimana, Bawor? Kau ingin agar mereka dibereskan?" tanya Sukma.

"Bereskan saja! Mereka toh bukan sanak saudaraku!" sahut Bawor, mantap.

"Ha ha ha...! Kalian dengar itu? Ayo, berdoalah sebelum leher kalian putus!" teriak Sukma sambil tertawa cekakakan.

"Huh! Jangan dikira kami takut! Meski kalian bunuh sekalipun, kami rela mati ketimbang diinjak-injak!" dengus Seta seraya menyeka darah yang menetes dari sudut bibir.

"Bajingan keparat! Kalian kira akan semudah itu membunuh kami? Huh! Aku akan melawan sampai titik darah penghabisan!" timpal Ragil garang.

"Siapa yang butuh darahmu yang penghabisan? Kami hanya perlu kepalamu!" dengus Sukma.

Sret!

Bersamaan dengan itu, Sukma mencabut goloknya, siap menebaskannya ke leher Ragil. Dan baru saja Sukma akan bergerak....

"Apakah kalian hanya berani kepada lawan yang tidak berdaya?!"

"Hei?!" Sukma terkesiap mendengar seruan lantang. Seketika dia menoleh, dan melihat seorang pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung telah berdiri tidak jauh dari mereka. Di belakangnya tegak berdiri sekitar sepuluh pemuda dengan sikap garang. Kesepuluh pemuda itu sama sekali tidak dipandang oleh Sukma. Tapi pemuda berbaju rompi putih itu, memiliki tatapan mata tajam dan menusuk. Bahkan sampai menggetarkan hatinya tatkala saling adu pandang.

"Itu dia! Pemuda itulah yang kemarin menjatuhkanku!" tunjuk Bawor pada kawan-kawannya.

"Huh! Hanya bocah seperti ini saja kau sampai dikalahkan! Biar kubereskan dia!" dengus Sukma seraya melompat ringan mendekati pemuda berbaju rompi putih. Sukma memandang pemuda itu dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan tatapan dingin.

"Jadi kau yang kemarin telah menghajar salah seorang kawan kami, he?!" dengus Sukma.

Pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti tersenyum tak kalah dingin. "Begitukah menurutnya? Syukurlah kalau kalian menyadari," kata Rangga, kalem.

"Hei, Bedebah Busuk! Hari ini kau akan menebusnya dengan nyawamu!" tuding Sukma garang.

"Kau terlalu sombong, Sobat!"

"Huh! Akan kubuktikan!" dengus Sukma seraya melompat menerjang dengan sebuah tendangan bertenaga dalam tinggi.

"Uts...!" Rangga cepat menangkis tendangan dengan tangan kiri.

Plak!

Namun, Sukma kembali melanjutkan serangan dengan tendangan kaki yang satu lagi. Secepat kilat, Rangga merunduk sambil berputar dengan sebelah kaki mengancam selangkangan.

"Kurang ajar!" maki Sukma seraya mencelat ke samping.

Rangga tak menghiraukannya. Langsung serangannya dilanjutkan lewat tendangan beruntun. Dan ini membuat Sukma terkesiap melihat kecepatan Rangga bergerak. Dan secepatnya dia melompat mundur sambil jumpalitan. Tapi justru saat itulah makanan empuk bagi Rangga. Tanpa buang-buang waktu lagi, tubuhnya melejit seraya melepas tendangan geledek ke dada.

Duk!

"Aaakh!" Sukma kontan terjungkal roboh beberapa langkah sambil menjerit kesakitan.

"Hei?!" Kejadian ini menimbulkan kekagetan bagi kawan-kawan Sukma. Mereka tak percaya kalau Sukma begitu mudah dijatuhkan.

"Kurang ajar! Dia pasti lengah dan menganggap enteng lawan!" desis Wisesa.

"Pemuda itu memang hebat, seperti yang kukatakan pada kalian," timpal Bawor.

"Diamlah, Bawor! Dalam keadaan seperti ini jangan memuji lawan. Belum tentu dia sehebat yang kau ceritakan," tukas Wisesa. Seketika Wisesa mencelat ringan ke hadapan Pendekar Rajawali Sakti.

"Hm... Kulihat kau membawa-bawa pedang. Cabutlah. Dan, hadapi ilmu silat tangan kosongku!" ujar Wisesa meremehkan.

"Pedangku belum waktunya dikeluarkan!" sahut Rangga pendek.

"Huh, sombong!" Dengan serta merta Wisesa melompat menerkam, menggunakan jurus yang dikenal bernama 'Badai Topan Hutan Pucung'.

"Heaaat!"

Wus! Bet!

Serangan yang dilakukan Wisesa selalu menimbulkan desir angin kencang yang membuat Pendekar Rajawali Sakti sedikit kewalahan.

Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Karena dengan menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', tubuh Rangga mampu bergerak gesit menghindari serangan yang selalu kandas di tengah jalan. Bahkan dalam satu kesempatan, Pendekar Rajawali Sakti menyusup di antara serangan, seraya melepas satu sodokan ke dada lewat tendangan kilat.

Des!

"Aaakh...!" Wisesa terjungkal ke belakang disertai jerit kesakitan. Masih untung dia mampu jatuh di atas kedua kakinya. Namun tak urung wajahnya berkerut kesakitan. Sementara, sebelah tangannya mendekap dadanya yang terasa nyeri.

"Kurang ajar! Biar kujajaki dia!" dengus Cakra geram.

"Hati-hati, Cakra! Dia tidak bisa dipandang enteng!" ingat Bawor.

"Jangan khawatir, Kang! Aku bisa jaga diri. Kalau kalian bisa dijatuhkannya, maka mungkin denganku persoalannya akan lain. Ilmu silatku sedikit berbeda dengan kalian," sahut Cakra.

Apa yang dikatakan Cakra memang beralasan. Karena penglihatannya tidak bekerja, maka Cakra tidak bisa mengandalkan ilmu silat seperti yang dimiliki keempat kawannya. Dia memiliki ilmu silat khusus, seperti yang dimiliki tokoh-tokoh silat yang tidak memiliki penglihatan. Ilmu silat yang mengandalkan pendengarannya.

"Hup!" Dengan ringan Cakra mencelat ke hadapan Pendekar Rajawali Sakti pada jarak empat langkah.

"Kisanak! Mari kita bermain-main barang sebentar!" tantang Cakra lantang.

LIMA

Tanpa menunggu jawaban lagi saat itu juga Cakra bergerak cepat menyerang dengan mengibaskan goloknya.

Wut!

Tubuh Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas. Namun ujung golok Wisesa terus mengikuti. Begitu juga tatkala tubuhnya berjumpalitan beberapa kali dan melompat ke belakang. Ujung golok Cakra bergerak terus mengikutinya.

"Hm.... Anak ini menguasai ilmu silatnya dengan baik," gumam Rangga di hati.

"Yeaaat!"

"Uts!" Cakra mengejar terus tatkala Pendekar Rajawali Sakti baru saja menjejakkan kakinya ke tanah. Ujung goloknya langsung menyapu ke leher.

Rangga bergegas merunduk, lalu bergeser sedikit ke samping. Bersamaan dengan itu, Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat melepas tendangan menggeledek. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Duk!

"Aaakh...!" Cakra menjerit kesakitan dan terjungkal beberapa langkah ke belakang, begitu tendangan Rangga mendarat telak di dada.

"Cakra! Kau tak apa-apa?!" seru Sukma seraya mengejar kawannya.

Bawor dan yang lain segera menyusul kemudian.

"Oh! Dia memang hebat...," keluh Cakra sambil mendekap dadanya yang terasa nyeri.

"Biar kujajal dia!" dengus Sembada.

"Jangan! Sia-sia saja!" cegah Wisesa.

"Dia belum mencoba ilmu golokku, bukan?"

Apa yang dikatakan Sembada bukan sekadar sesumbar. Di antara keempat kawannya memang ilmu goloknya paling lihai.

"Lebih baik kita bereskan bersama-sama," usul Bawor.

"Tidak! Aku yakin bisa memereskannya!" tukas Sembada seraya bangkit berdiri, memandang tajam pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Mulailah!" ujar Rangga, dingin.

"Jangan" bangga dulu karena bisa menjatuhkan keempat kawanku. Aku akan menebas lehermu!" dengus Sembada.

Bersamaan dengan itu, Sembada mencabut golok. Langsung diserangnya Pendekar Rajawali Sakti.

"Yeaaat!"

Bet!

Golok Sembada yang panjang laksana pedang, menyambar ke leher Pendekar Rajawali Sakti secepat kilat. Dengan gesit Rangga mencelat ke belakang, sambil jumpalitan. Namun Sembada terus mengejarnya dengan satu tendangan menggeledek.

"Heaaat!" Begitu menjejak tanah, Rangga mengibaskan sebelah tangannya.

Plak!

Setelah terjadi benturan, Sembada langsung mengayunkan golok menebas pinggang. Namun Pendekar Rajawali Sakti lebih cepat mengegoskan tubuhnya sedikit. Kemudian sambil berputar, dilepaskannya tendangan ke dada.

"Hiih!" Bergegas Sembada melompat ke samping. Lalu cepat goloknya ditebaskan ke pinggang Pendekar Rajawali Sakti.

"Uts!" Rangga segera menjatuhkan diri sambil mengait kaki Sembada.

Plak! Bruk!

Dan begitu Sembada terjatuh, sebelah kaki Rangga menghantam pergelangan tangan yang menggenggam golok. Sementara sebelah lagi menghantam ke perut.

Tak! Begkh!

"Aaakh...!" Tak ayal lagi, Sembada menjerit kesakitan. Tubuhnya langsung melengkung dengan mata melotot. Tampak urat mukanya menegang menahan rasa sakit

"Hup! Bangkitlah! Kuberi kau kesempatan sekali lagi!" ujar Rangga segera bangkit dengan melejit ke belakang.

Sembada pun bangkit dengan wajah berang. Pandangan matanya kelihatan menyimpan amarah dan dendam. Namun begitu, dia tidak berani lagi mencoba seorang diri.

"Kenapa diam saja?! Ayo, kita bereskan dia!" seru Sembada pada keempat kawannya.

Mendengar teriakan Sembada yang lain serentak melompat mengurung Rangga. Tapi mereka yang tadi berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti tidak tinggal diam. Dan langsung mencabut senjata masing-masing untuk memberikan bantuan. Begitu juga Seta, Ragi, Rimang, Balung, dan Parwa.

"Tidak usah! Menepilah kalian. Biar mereka kutangani sendiri!" kata Pendekar Rajawali Sakti.

"Tapi, Pendekar Rajawali Sakti! Mereka berlima. Sedangkan kau hanya sendiri!" kilah Seta.

"Tidak apa-apa...," sahut Rangga berusaha meyakinkan. "Nah, mundurlah!"

Meski ragu-ragu, toh akhirnya mereka yang hendak membantu segera menepi juga. Namun untuk berjaga-jaga, mereka membuat lingkaran. Kalau Pendekar Rajawali Sakti terdesak, maka mereka akan segera memberi bantuan.

"Salah seorang pergi. Laporkan hal ini pada Ki Baluran serta yang lainnya!" bisik Seta agak keras.

"Biar aku saja!" sahut seorang pemuda.

"Cepat!"

"Iya, iya!" Pemuda itu langsung keluar dari barisan, dan berlari cepat ke arah desa.

Sementara itu Rangga telah bersiap menghadapi Lima Golok Setan yang mengitarinya dengan wajah dingin dan sikap mengancam.

"Yeaaat!" Sukma mendahului dengan teriakan melengking. Serangannya cepat dan bertenaga kuat.

"Heaaa...!" Kemudian, diikuti serangan empat orang lainnya yang saling susul-menyusul.

"Hup!" Rangga cepat membungkuk menghindari tendangan Sukma, lalu melompat ke samping. Ditangkisnya sodokan Wisesa sambil menunduk untuk menghindari sabetan golok Cakra dari arah samping. Dan tiba-tiba tubuhnya melenting ke atas.

Namun Sembada dan Bawor telah menunggunya. Tanpa mau buang-buang waktu mereka langsung menyerang Rangga. Rangga menangkis kedua serangan dengan gesit.

Plak! Plak!

Namun baru saja Pendekar Rajawali Sakti hendak balas menghantam, mendadak dari arah belakang, Wisesa mengirim tendangan geledek. Saat itu juga tubuh Pendekar Rajawali Sakti berputar bagai gasing seraya meluncur deras ke arah samping kiri. Dan seketika tubuhnya berkelebat cepat mengerahkan jurus 'Seribu Rajawali'.

"Hiyaa! Hiyaa! Hiyaaa!"

Tubuh Pendekar Rajawali Sakti berputar cepat mengelilingi Lima Golok Setan. Seolah-olah tubuhnya kini berjumlah banyak. Sesekali, Rangga meluruk deras kearah Lima Golok Setan. Bukan saja menangkis serangan, tapi juga balas menyerang dengan gencar. Dan....

Begkh! Diegkh...!

"Aaakh...!"

Sembada dan Bawor tampak terjungkal ke belakang disertai jerit kesakitan. Ketika salah satu tubuh Rangga mendarat tadi, Sembada mendapat sodokan telapak tangan kiri. Sementara Bawor mendapat hajaran di dada lewat tendangan keras.

"Heaaat..!"

Sebenarnya Lima Golok Setan kebingungan, mana yang harus diserang. Karena, tubuh Pendekar Rajawali Sakti tampak begitu banyak. Dengan asal-asalan, Sembada, Wisesa, dan Cakra menyerbut bersamaan. Namun setiap kali menyerang, mereka hanya menebas angin kosong. Seolah-olah tubuh Pendekar Rajawali Sakti hanya berupa bayangan saja.

"Heaaa...!" Tiba-tiba, Pendekar Rajawali Sakti mencuat. Langsung dihantamnya dada Sukma.

Duk!

"Aakh...!" Sukma kontan terpekik. Tubuhnya terjengkang terhantam kepalan Rangga.

Cakra dan Wisesa geram bukan main. Mereka pun segera kembali menyerang dari dua arah. Belakang dan depan.

"Uts!" Dengan merubah jurusnya menjadi 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Rangga melesat ke atas menghindari sabetan golok Cakra. Sementara itu dari arah depan, Wisesa telah berbalik sambil mengayunkan tendangan ke perut.

Dan semua serangan itu memang luput. Bahkan seketika setelah berputaran beberapa kali, Pendekar Rajawali Sakti meluruk dengan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' dengan kedua kaki berputaran. Lalu....

Bak! Begkh!

"Aaakh!"

Cakra dan Wisesa kontan terjungkal roboh sambil mengeluh kesakitan, begitu tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di dada dan punggung.

"Hup!" Begitu mendarat, Pendekar Rajawali Sakti kembali melenting ke samping untuk mengatur jarak terhadap Lima Golok Setan yang cepat bangkit dan bersiap kembali menyerang.

Srak! Sret!

Empat dari Lima Golok Setan langsung mencabut golok masing-masing.

"Adakah di antara kalian yang bersedia meminjamkan golok untuk kupakai?" tanya Rangga pada para pemuda yang mengikutinya.

"Silakan pergunakan punyaku, Pendekar Rajawali Sakti!" sahut salah seorang pemuda, buru-buru menghampiri menyerahkan goloknya.

"Terima kasih...," ucap Rangga, begitu menerima golok.

"Huh! Kau betul-betul menganggap rendah pada kami, he?! Kenapa tidak kau cabut saja pedangmu!" dengus Sukma.

"Jangan pedulikan soal itu! Bereskan dia secepatnya!" selak Wisesa.

"Pergunakan jurus 'Hujan Golok Menebas Lalang'!" teriak Sukma.

"Yeaaat...!"

"Hiih!"

Kembali Lima Golok Setan mengurung Pendekar Rajawali Sakti dari lima jurusan. Dan seketika, mereka menyerang bersamaan.

"Hup!" Rangga bersiap menyambut mereka dengan mengibas-ngibaskan goloknya sambil memainkan jurus gabungan dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Seketika tubuhnya berkelebat sambil memutar-mutar golok di tangannya.

Trang!

Golok di tangan Pendekar Rajawali Sakti menangkis sabetan golok Wisesa. Lalu arahnya berbalik cepat ke samping, menangkis sambaran golok di tangan Sembada sambil menundukkan kepala. Sehingga, serangan Sukma dari belakang luput mengenai sasaran.

Pada saat berikutnya, Rangga harus mengegoskan tubuhnya. Sehingga, tusukan golok Cakra berhasil dihindarinya. Lalu tubuhnya melejit ke atas, menghindari sambaran golok Bawor.

"Hup!"

"Haaat...!"

Lima Golok Setan terus mengejar, seperti tidak memberi kesempatan sedikit pun pada Pendekar Rajawali Sakti. Padahal, saat itu juga Rangga telah berbalik. Golok di tangannya dikibas-kibaskan demikian cepat, membabat semua golok di tangan Lima Golok Setan.

Trak! Tak!

Bret! Cras!

"Aaa...!" Dua golok terpental, disusul terdengarnya jeritan melengking tatkala Bawor terjungkal berlumuran darah. Isi perutnya terburai keluar disambar golok Rangga. Sembada pun terpekik, karena pinggangnya berdarah terserempet golok di tangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Cepat tinggalkan tempat ini!" teriak Wisesa seraya menyambar tubuh Bawor. Sementara Sukma menyambar tubuh Sembada.

"Heaaa!"

Saat itu juga Cakra, Sukma yang membopong Sembada, dan Wisesa yang membopong tubuh Bawor, mencelat kebelakang sambil melemparkan sebuah benda sebesar telur puyuh ke arah Pendekar Rajawali Sakti secara bersamaan.

Wusss!

Blushh...!

Begitu benda itu melesat, Rangga melenting ke belakang. Dan ketika kakinya mendarat, asap tebal telah menghalangi pemandangan. Kesempatan itu digunakan empat dari Lima Golok Setan untuk terus melesat.

"Sial! Mereka cerdik juga!" desis Rangga, setelah melepas aji 'Bayu Bajra' untuk mengusir asap yang menghalangi pandangannya.

Hal itu memang disengaja oleh Lima Golok Setan untuk menghambat bila Pendekar Rajawali Sakti mengejar. Memang begitu cepat gerakan Lima Golok Setan. Sampai-sampai Rangga belum sempat mengerahkan aji 'Tatar Netra' untuk menembus asap tebal itu dengan pandangan matanya. Dengan demikian, Pendekar Rajawali Sakti tak tahu ke mana mereka melarikan diri.

Apalagi, mereka berlari menembus hutan yang tak jauh dari tempat pertarungan. Rangga berbalik, ketika mendengar suara langkah kaki tergopoh-gopoh mendatanginya. Begitu menoleh, Rangga melihat serombongan penduduk Desa Kayu Asem yang dipimpin Ki Baluran.

"Bagaimana, Rangga? Kau berhasil meringkus mereka?" tanya Ki Balukran langsung.

Rangga menggeleng lemah. "Sayang sekali. Hanya seorang yang berhasil kulukai. Yang lainnya berhasil masuk ke dalam Hutan Pucung...," desah Rangga.

"Apakah kau tidak berani mengejar mereka, Rangga?" tanya Ki Gandara.

Rangga memandang orang tua itu sekilas, lalu menghela napas pendek tanpa berkata apa-apa. Ki Baluran dan yang lain seketika ikut melirik Ki Gandara. Pertanyaan itu memang tidak sopan sekali. Mungkin terdorong rasa geram dan dendam untuk bisa mendapatkan buruan yang selama ini membuat mereka tidak enak tidur dan tidak enak makan.

"Ki Gandara! Tidakkah kau lihat kalau Rangga letih? Masuk ke dalam Hutan Pucung dalam keadaan seperti ini seperti bunuh diri. Dia belum pernah ke sana. Padahal, didalamnya selain dihuni ribuan ular berbisa, juga binatang-binatang buas serta pasir dan rawa hidup," jelas Ki Baluran.

"Mereka akan keluar. Kita tunggu saja," sambung Rangga, datar.

"Maaf, aku tidak bermaksud merendahkanmu, Rangga...," ucap Ki Gandara menyadari kekeliruannya.

"Sudahlah, tak apa...."

"Katamu tadi salah seorang dari Lima Golok Setan telah kau lukai? Apakah dia tewas?" tanya Ki Baluran.

"Kelihatannya begitu.... Tapi kalau guru mereka ahli pengobatan, mungkin orang itu bisa tertolong...."

"Guru mereka? Ah! Kenapa aku bisa melupakannya!" seru Ki Baluran sambil menepuk jidat.

"Kenapa dengan gurunya, tanya Rangga seraya mengerutkan dahi.

"Muridnya terluka parah. Sudah pasti dia tidak akan tinggal diam, melihat keadaan itu!"

"Jangan terlalu mempersoalkan hal itu, Baluran," ujar Ki Jarot. "Apa pun yang terjadi akan kita hadapi bersama."

"Betul, Ki!" timpal Rangga. "Aku akan tetap di sini sampai persoalan selesai."

"Terima kasih, Rangga...."

"Sebaiknya kita pulang. Aku khawatir mereka mencari jalan memutar dan mempbrak-porandakan desa kita!" cetus Ki Pajang.

"Ya, benar!" timpal yang lain.

"Mereka tidak akan secepat itu untuk tiba di Desa Kayu Asem," sahut Ki Baluran. "Tapi apa yang dikatakan Ki Pajang bukan tidak mungkin terjadi. Oleh sebab itu, karena tidak ada yang bisa dikerjakan lagi di sini, maka ada baiknya kita kembali."

"Apakah tidak sebaiknya beberapa orang menunggu mereka di sini, Ki?" tanya seorang pemuda.

"Siapa yang akan berjaga?"

"Kami bersama..., Pendekar Rajawali Sakti kalau dia setuju!" sahut pemuda itu seraya melirik Rangga.

"Bagaimana, Rangga?" tanya Ki Baluran.

"Aku setuju saja. Tapi dengan begitu berarti kekuatan kita terbagi-bagi. Padahal belum tentu mereka akan keluar sekarang. Dua kawan mereka terluka. Dan kalaupun sembuh, perlu waktu beberapa hari. Jadi kurasa mereka tidak akan muncul dalam satu atau dua hari ini. Meski begitu kewaspadaan kita harus tetap dijaga terus," sahut Rangga.

"Kalau begitu lebih baik kita semua kembali ke desa. Dengan begitu kekuatan terpusat di sana!" usul Ki Pajang.

"Ya. Kurasa itu lebih baik," sahut Ki Baluran.

Tak berapa lama kemudian mereka segera meninggalkan tempat itu.

********************

ENAM

Bagaimanapun Lima Golok Setan tetap merasa khawatir Pendekar Rajawali Sakti akan mengikuti. Makanya, Wisesa lantas memberi perintah agar terus berlari agak jauh ke dalam hutan.

"Kita berhenti di sini!" seru Wisesa, ketika telah merasa aman.

"Apakah kau yakin dia tak akan mengikuti kita?" tanya Sukma.

"Kurasa dia akan berpikir seribu kali untuk mengejar kita sampai di sini."

"Aku akan cari kayu bakar dan air!" kata Sukma selanjutnya.

"Aku cari makanan!" timpal Cakra. Wisesa mengangguk, kemudian membaringkan tubuh Bawor yang tengah sekarat. Sementara, Sembada yang terluka ringan hanya terduduk lesu.

"Kau harus bertahan, Bawor! Kau tak boleh mati!" desis Wisesa.

"Aku..., aku... akh...!"

Wajah Bawor menegang. Dan suaranya tercekat putus. Meskipun di tengah perjalanan tadi Wisesa sempat menotok beberapa jalan darah agar tidak keluar kelewat banyak, namun luka yang diderita kawannya itu cukup parah. Sehingga meski berusaha bertahan, namun akhirnya Bawor kalah juga.

"Bawor! Bangun! Bangun!" teriak Wisesa seraya mengguncang-guncangkan tubuh kawannya.

"Sudahlah, Wisesa! Dia tidak akan bangun lagi. Bawor sudah mati," ujar Sembada yang sesekali meringis karena menahan luka di pinggangnya.

Wisesa terdiam. Dipandanginya wajah Bawor untuk sejurus lamanya.

"Kita mesti menguburkannya...," lanjut Sembada.

Wisesa terdiam. Sembada pun ikut terdiam. Apa yang dipikirkan Wisesa, mungkin pula bisa dimengerti. Mereka berlima sudah seperti saudara, meski sebelumnya tidak saling mengenal.

"Pertama kali dia datang, tubuhnya kurus dan mukanya pucat. Dia ceritakan kalau ayah ibunya sudah mati. Dan orang-orang desa itu sering memukulinya...," tutur Wisesa seperti pada diri sendiri.

"Ya, aku juga dengar...."

"Ayah dan ibunya bekas dukun santet yang mati dikeroyok penduduk. Orang-orang tidak memandang sebelah mata padanya. Tiap kali ada yang terbunuh maka tuduhan selalu dialamatkan pada mereka. Para penduduk lantas menghukum mereka. Untung saja, Bawor bisa melarikan diri ke Hutan Pucung ini. Bisakah kau rasakan itu?" tanya Wisesa dengan suara mengambang tanpa menoleh pada kawannya.

"Ya...," sahut Sembada, pendek.

"Setelah kedatangan Bawor dan yang lain, kita membentuk hubungan saudara. Kini dia mati. Apakah kita akan tinggal diam saja!" lanjut Wisesa.

"Tidak! Aku bersumpah akan membalas si keparat itu!" desis Sembada.

"Ya. Dia mesti mati untuk menebus kesalahannya ini!"

Pada saat itu, Sukma dan Cakra telah kembali. Mereka mendekat dan mengusap-usap wajah Bawor sambil tertunduk sedih.

"Bisa kurasakan kalau Bawor tidak bernapas lagi...," gumam Wisesa lirih.

"Dia sudah mati...," jelas Sembada pelan.

Cakra mengangguk.

"Bajingan!" desis Sembada sambil mengepalkan kedua tangan. Wajahnya kelihatan geram sekali. "Dia mesti mati!"

"Pemuda itu?" gumam Cakra.

"Kau pikir siapa?!" geram Sembada.

"Tapi..., dia hebat sekali! Kita telah mencobanya berlima. Dan...."

"Diam, Cakra! Kira mesti membunuhnya meski apa pun caranya!" bentak Sembada geram.

"Apa caranya?!" balas Cakra sengit.

"Sudah! Jangan kalian pertengkarkan soal itu. Nanti akan kita pikirkan bersama!" lerai Wisesa.

"Apakah tidak sebaiknya kita memberitahu Guru?" usul Cakra.

"Tidak. Guru pasti akan marah. Dan bisa-bisa, beliau akan menghukum kita!"

"Kita belum mencobanya, bukan?"

Wisesa berpikir sebentar, lalu melirik Sembada dan Sukma. "Bagaimana menurut kalian?"

"Kurasa untuk saat ini belum perlu...," sahut Sukma.

"Kau punya usul?" tanya Wisesa.

"Yang menjadi persoalan bukan hanya pemuda itu saja. Tapi, juga semua penduduk Desa Kayu Asem. Untuk itu, mereka pasti mendapat pembalasan yang sama!" desis Sukma.

"Coba kau jelaskan apa rencanamu?" tanya Wisesa yang tidak mau bertele-tele.

"Kita tidak bisa menghadapi pemuda itu secara langsung, bukan? Nah! Kita gunakan cara lain!"

"Cara lain bagaimana, Kang?" tanya Cakra.

"Kita buat dia kebingungan!"

"Caranya?" cecar Sembada.

Sukma berbisik ke telinga mereka satu persatu. Dan ketiga kawannya itu mengangguk-angguk setuju.

"Boleh juga kita coba!" kata Wisesa.

"Ya!" sahut Sukma dan Cakra hampir bersamaan.

"Kita tunggu sampai beberapa hari. Dan, biar mereka mengira kita tidak kembali. Sekalian menyembuhkan lukaku,'' ujar Sembada.

Mereka mengangguk. Wisesa mengepalkan kedua tangan dengan wajah geram.

"Awas kau, Pendekar Rajawali Sakti! Rasakan pembalasan karni nanti!" desis pemuda ini.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Dua hari telah berlalu sejak kejadian, belum terlihat tanda-tanda akan munculnya Lima Golok Setan. Semua penduduk Desa Kayu Asem belum merasa aman. Mereka seperti menunggu meledaknya sebuah gunung berapi yang bisa sewaktu-waktu terjadi. Penjagaan di setiap sudut desa masih tetap berlangsung. Demikian pula seluruh isi rumah yang dipenuhi pengungsi dari tiga desa tetangga mereka.

Ki Baluran pun agaknya sama dengan mereka. Hanya saja, laki-laki setengah baya itu sedikit tenang karena mengetahui kalau Pendekar Rajawali Sakti berada di dekatnya. Paling tidak, dia merasa terlindungi.

"Apakah menurutmu mereka akan muncul lagi, Rangga?" tanya Ki Baluran suatu sore ketika mereka tengah duduk diberanda depan sambil makan penganan kecil.

"Dua hari telah berlalu. Bahkan kini menjelarig tiga hari. Itu waktu yang singkat, Ki. Mereka belum punah. Oleh sebab itu, aku yakin mereka akan kembali," jelas Rangga.

"Apakah mereka menunggumu pergi dari desa ini?"

"Mungkin juga begitu. Atau barangkali mereka punya rencana lain...."

Saat itu juga, seorang gadis cantik yang agaknya putri sulung Ki Baluran muncul menghidangkan dua cangkir kopi hangat.

"Silakan diminum kopinya, Kang!" kata gadis berwajah manis itu menawarkan sambil tersenyum. Matanya melirik malu-malu pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Terima kasih, Surti!" ucap Rangga ikut tersenyum, namun tanpa maksud apa-apa.

Gadis yang dipanggil Surti buru-buru berlalu ke belakang ketika Ki Baluran melirik padanya sambil tersenyum. Surti tidak biasa-biasanya menyuguhkan makanan atau minuman kepada tamu. Setiap kali kedatangan tamu, biasanya istri Ki Baluran yang selalu menyediakan hidangan. Tapi sejak kehadiran Rangga, maka Surti jadi rajin. Sesekali gadis ini terlihat mencari-cari kesempatan untuk bercakap-cakap dengan Rangga. Namun sejauh itu, Rangga tetap meladeninya tanpa maksud-maksud tertentu.

"Si Surti bulan depan genap berusia delapan belas tahun...," pancing Baluran sambil menghirup kopinya.

Rangga tersenyum.

"Beberapa waktu lalu banyak yang melamarnya, tapi kutolak...," lanjut Ki Baluran ketika pancingan pertamanya belum mengena.

"Kenapa, Ki?"

"Entahlah. Kurasa belum ada yang cocok. Lagi pula, Surti sepertinya tidak berkenan. Aku tidak ingin memaksakan kehendak padanya...."

"Ya, itu baik."

Ki Baluran ikut tersenyum namun terasa hambar, setelah mendengar jawaban Rangga yang singkat.

"Dia itu memang sedikit pemilih. Maunya yang sebaya, tampan, dan punya kehebatan yang disegani," ujar Ki Baluran, mencoba memancing pemuda itu lagi.

"Di desa ini kurasa banyak yang memenuhi seleranya, Ki."

"Itulah yang jadi masalah. Surti justru tidak berkenan dengan pemuda di desa ini."

"Lalu mau cari ke mana lagi?" tanya Rangga sambil tersenyum.

"Entahlah...."

Rangga masih tersenyum seraya menghirup kopinya. "Kembali pada persoalan semula, Ki. Aku ingin agar Ki Baluran tetap menegaskan perlunya ke-waspadaan terhadap para peronda. Baik siang maupun malam," kata Rangga mengalihkan pembicaraan.

"Ya, ya. Tentu saja!" sahut Ki Baluran cepat, meski hatinya sedikit kecewa karena Rangga sama sekali tidak tertarik membicarakan soal putrinya.

Sebenarnya ada niat di hati kepala desa itu untuk menjodohkan Rangga dengan putrinya. Tapi tentu saja dia tidak berani berterus-terang, karena merasa pembicaraan hal itu tidak tepat. Dia menunggu isyarat dari pemuda itu. Namun sejauh ini belum terlihat sedikit pun isyarat yang diinginkannya.

"Jangan sampai mereka lengah karena merasa bahwa keadaan telah aman," kata Rangga lagi.

"Tidak. Aku telah tekankan hal ini kepada mereka. "

"Kekuatan kita cukup hebat. Dan kalau mereka kembali rasanya sulit untuk berbuat macam-macam."

"Ya." Ki Baluran mengangguk.

Rangga bukannya tidak merasakan kalau Ki Baluran saat ini kelihatan kurang bersemangat menanggapi ocehannya. Pemuda itu lantas bangkit berdiri.

"Mau ke mana, Rangga?" tanya Ki Baluran.

"Aku pamit dulu hendak bergabung dengan mereka, Ki."

"Mereka tahu kalau sejak pagi tadi kau telah bekerja sama memantau. Oleh sebab itu, tidak ada salahnya kalau istirahat lebih dulu," cegah Ki Baluran, halus.

Rangga tersenyum. "Aku biasa istirahat sebentar. Dan kalau bisa jangan sampai lalai. Khawatir musuh kita akan menggunakan kesempatan ini. Aku pergi dulu, Ki!"

Tanpa menunggu jawaban Ki Baluran, Pendekar Rajawali Sakti melangkah lebar keluar sambil bersuit pelan. Saat itu juga Dewa Bayu yang selalu setia bersamanya berlari dari istal yang ada di samping rumah Ki Baluran.

"Ayo, Dewa Bayu! Temani aku keliling desa!" ujar Pendekar Rajawali Sakti sambil mengusap-usap leher hewan itu, lalu melompat gesit ke punggungnya.

Tak berapa lama, Rangga telah meluncur cepat meninggalkan halaman rumah ini. Ki Baluran hanya bisa memandangi sampai pemuda itu berbelok di tikungan. Dia menghela napas panjang. Lalu sambil mendesah kecil dan menggeleng lemah, laki-laki setengah baya itu kembali ke dalam dan mengunci pintu rapat-rapat.

Malam mulai merayapi Desa Kayu Asem. Meski sebagian penduduknya terlelap, namun sebagian besar tetap berjaga-jaga di setiap sudut rumah. Penjagaan yang dilakukan berlapis-lapis. Meski terbagi dalam beberapa kelompok, namun jarak antara tiap kelompok masih bisa dilihat oleh kelompok lain. Dengan begitu, apabila terjadi sesuatu pada satu kelompok, maka kelompok lainnya akan cepat memberikan bantuan.

Di sebelah timur Desa Kayu Asem tampak sebuah kelompok peronda berjumlah tujuh orang, tengah beristirahat di bawah sebatang pohon besar.

"Hhh..., capek juga!" keluh salah seorang peronda sambil bersandar di bawah pohon.

"Benar! Baiknya kita istirahat dulu," timpal peronda.

"Sudah hampir tiga hari tapi para bajingan itu belum nongol juga. Mungkin mereka kapok!" cetus salah seorang yang membawa obor.

"Ya! Mungkin mereka takut pada Pendekar Rajawali Sakti!" sahut yang bertubuh kurus.

"Bisa jadi, Sakta! Katanya salah seorang dari mereka mati. Apa benar?" tanya peronda yang bertubuh tambun.

"Benar, Gembul! Bahkan salah seorang terluka parah!" jawab peronda yang memegang obor.

"Mana bisa mereka melawan Pendekar Rajawali Sakti, Lingga! Jangankan Lima Golok Setan. Bahkan kurasa guru mereka pun tidak akan mampu menghadapi Pendekar Rajawali Sakti!" puji yang bernama Sakta, menimpali ucapan peronda yang memegang obor. Namanya Lingga.

"Pendekar Rajawali Sakti memang orang hebat. Bukan hanya namanya saja yang selangit, tapi kesaktiannya pun tidak diragukan lagi!" timpal peronda bertubuh tambun yang dipanggil Gembul.

"Huuu! Sok tahu kau, Gembul!" ejek Lingga.

"Iya! Dari mana kau tahu, Gembul?" tanya peronda yang bertubuh pendek. Dia dikenal bernama Wisnu.

"Dari orang-orang! Jelek-jelek begini, aku pernah merantau ke mana-mana. Dan di mana-mana kudengar orang membicarakan Pendekar Rajawali Sakti sebagai pendekar ternama!" tangkis Gembul membela diri.

"Gembul memang banyak lagak!" ejek Sakta. "Yang suka merantau itu kakangmu, Ganda. Kau hanya mendengar cerita-cerita dari dia. Iya, kan?"

"Ah, kan sama saja!" kilah Gembul.

"Beda, Gembul! Kalau si Ganda mendengar cerita yang benar, sedangkan kau coba mengelabui kami dengan mengaku-ngaku merantau segala!" dengus pemuda yang dikenal bernama Pamungkas. Lagaknya agak keperempuan-perempuanan.

"Sudahlah! Sudah!" tukas Gembul kesal.

Yang lain terkekeh sambil menuding-nuding ke arahnya. Gembul kelihatan kesal, lalu bangkit berdiri. Kemudian ditinggalkannya mereka.

"Hei, Gembul! Mau ke mana?" teriak Sakta.

"Aku bergabung saja dengan yang lain!"

"Semua sudah dibagi. Kau tidak bisa seenaknya saja mengatur!"

"Peduli amat!" Baru saja Gembul berkata begitu, mendadak berkelebat sebuah bayangan.

"Gembul awaaas...!" Sakta berteriak ketika menyadari bahaya yang menerkam Gembul secepat kilat. Namun....

Cras!

"Aaa...!" Hanya sekejap ketika Gembul terpekik, lalu ambruk bersimbah darah dengan leher nyaris putus.

"Mana bayangan itu? Kejar dia! Kejar!" teriak Sakta kalap, seraya memburu Gembul yang terkapar tak berdaya.

"Hilang, Sakta! Entah ke mana!"

"Bunyikan kentongan! Kenapa kalian diam saja?! Goblok! Bunyikan kentongan. Dan, beritahu yang lain!" teriak Sakta lagi.

"Eh, iya! Iya...!"

Kentongan segera dipukul bertalu-talu. Dan beberapa kelompok yang berdekatan dengan mereka langsung berdatangan. Tapi belum lagi mengetahui apa yang terjadi, mendadak terdengar pekik kematian dari arah lain.

"Aaa...!"

"Hei? Apa itu?!"

"Datangnya dari arah sana!" tunjuk salah seorang.

Beberapa orang yang berasal dari rombongan lain menuju ke arah jeritan tadi. Namun baru saja melangkah beberapa tindak, mendadak kembali terdengar pekik kematian dari arah lain.

"Aaa...!"

"Hei, dari sana!" teriak seseorang.

Mereka yang melakukan penjagaan mulai resah mendengar pekik kematian yang saling sambung-menyambung tanpa bisa dicegah. Para sesepuh desa seperti Ki Pajang, Ki Jarot, Nyi Girah, dan Ki Gandara melompat ke sana kemari, mengejar bayangan yang menyebabkan kejadian itu.

"Hei, berhenti kau! Keparat! Berhenti kau!" bentak Ki Gandara yang sempat melihat kelebatan bayangan hitam meninggalkan korbannya begitu saja.

Bayangan itu tidak mempedulikannya, terus berkelebat cepat di antara cabang-cabang pohon dan menghilang di kegelapan malam.

"Jahanam! Siapa mereka?!" dengus Ki Gandara sambil menyumpah-nyumpah tak karuan.

"Aaa...!"

"Hei?!" Pada saat itu juga terdengar jerit kematian di tempat lain. Ki Gandara buru-buru mengejar ke arah datangnya suara. Namun belum lagi di tempat tujuan, kembali terdengar jerit kematian dari tempat lain.

"Aaa...!"

Kejadian itu berlangsung cepat, membuat para peronda geram bercampur takut. Mereka bergerombol di satu tempat. Namun pekik kematian itu masih juga terdengar dimana-mana, saling sambung-menyambung.

Kejadian ini pun tidak luput dari perhatian Pendekar Rajawali Sakti. Semula pemuda itu merasa bingung juga. Namun dia langsung bisa menduga bahwa pelakunya bukan seorang. Maka diputuskannya untuk mengejar satu orang saja di antera mereka.

"Hup!" Maka ketika salah satu bayangan terlihat, secepat itu pula Pendekar Rajawali Sakti berkelebat mengejar dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh setinggi mungkin.

"Jangan kira kau bisa lari dariku!" dengus Pendekar Rajawali Sakti, geram.

"Hiih!" Rangga melenting, dan cepat mendarat di hadapan. Tapi secepat itu pula, sosok itu menyabetkan golok ke leher.

"Uts!" Rangga mengegoskan kepala ke samping, dan terus mencelat ke belakang beberapa langkah.

"Heaaa...!" Tapi kesempatan ini bukan dipergunakan bayangan itu untuk mendesak melainkan melarikan diri.

Siuuut!

Selarik sinar merah langsung melesat dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti.

Jdeer!

"Hei?!"
TUJUH

Sebatang pohon kontan tumbang dan hancur berantakan dihajar pukulan jarak jauh Pendekar Rajawali Sakti yang mengeluarkan cahaya merah. Hancur berantakan. Akibatnya bayangan itu tercekat, dan langsung menghentikan langkahnya, Dan sadar, dia melihat Pendekar Rajawali Sakti telah berada di depannya.

"Hm, kau rupanya! Pantas!" dengus Rangga ketika mengetahui kalau bayangan tadi adalah salah seorang dari Lima Golok Setan yang berbaju biru tua.

"Kau memang selalu mencampuri urusan orang!" dengus pemuda yang tak lain dari Wisesa, geram.

"Aku tak akan mencampuri urusan kalian, kalau tindakan kalian tidak biadab seperti itu. Membunuh orang tak berdaya tanpa belas kasih!" desis Rangga, dingin.

"Keparat! Jangan berkhotbah di depanku!" bentak Wisesa marah, langsyng menyerang. Tubuhnya meluruk melepas hantaman tangan kanan.

"Uts!" Rangga cepat memiringkan kepala sedikit. Lalu ditangkisnya sodokan kepalan tangan Wisesa.

Plak!

"Heaaa...! Wisesa tidak berhenti sampai di situ. Secepat kilat, dicabutnya golok. Dan langsung dikirimkannya serangan gencar bertubi-tubi. Dia tahu betul kalau lawannya ini memiliki ilmu silat tinggi. Maka dia tidak mau gegabah. Langsung dikerahkannya seluruh kemampuan yang dimiliki.

Bet! Wut!

"Hup! Hiyaaa!"

Meskipun sudah tahu sampai di mana kemampuan Wisesa, namun Rangga tetap tidak mau gegabah. Dicobanya menghindar dan menyerang dengan bersungguh-sungguh.

"Aji 'Sawer Wisa'" bentak Wisesa ketika melihat Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke belakang. Seketika kedua tangannya dihentakkan.

Wuuut!

"Hei?!" Rangga terkejut melihat cahaya hijau kekuningan menyambar ke arahnya. Buru-buru dia menjatuhkan diri, sehingga sinar hijau kekuningan itu lewat satu jengkal di atas kepalanya melabrak sebatang pohon kecil sampai hangus terbakar.

"Hebat!" puji Rangga sambil mendecah, setelah bangkit berdiri.

"Aku tidak perlu pujianmu, Bangsat! Yang kuinginkan adalah kepalamu!" hardik Wisesa.

"Sayang sekali. Orang sepertimu tidak akan kuizinkan mengambil kepalaku."

"Huh! Aku akan mengambilnya dengan paksa!" dengus Wisesa seraya melompat menyerang.

"Terlebih-lebih lagi dengan paksa!"

"Yeaaa...!" Rangga mencelat ke atas sambil berputar seperti gasing. Sementara Wisesa langsung memburu sambil melepaskan pukulan andalannya.

"Hiyaa!"

Begitu berada di udara, Rangga tidak berusaha mengelak. Bahkan kedua tangannya menghentak lewat jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dengan tenaga dalam amat tinggi.

Siuttt!

Ketika dua tombak lagi sinar hijau kekuningan melabrak, sinar merah dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti sudah menghadang. Dan....

Glarrr!

"Aaa...!"

Kedua pukulan dahsyat itu beradu menimbulkan bunga api besar yang mengiringi ledakan keras. Berikutnya, cahaya merah yang lepas dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti terus melesat, menggilas cahaya hijau kekuningan. Cahaya merah itu langsung menerpa Wisesa, hingga terjungkal roboh disertai pekik kesakitan. Tubuhnya kontan hangus seperti terbakar. Mati!

"Kakang Wisesa...?!" seru sesosok bayangan lain yang baru saja muncul di tempat itu.

"Hmmm...." Rangga tegak berdiri mengawasi ketika bayangan itu berjongkok meraba-raba mayat Wisesa.

"Dia sudah mati. Dan kau menyusul!" desis Rangga.

"Terkutuk! Kau bunuh dia, he?! Sekarang aku akan membunuhmu!" bentak bayangan itu, langsung bangkit dan bergerak cepat membabatkan golok di tangannya.

Wuuut!

"Uts!" Rangga melenting seraya jungkir balik menghindari sambaran senjata bayangan itu.

"Bagus! Kerahkan seluruh kemampuanmu....!"

"Aku akan membunuhmu, Keparat!" dengus salah seorang dari Lima Golok Setan bernama Cakra.

"Cobalah kalau mampu!"

Sret!

Dengan golok di tangan kanan, Cakra menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi baru saja beberapa serangan....

"Cakra, cepat tinggalkan tempat ini!" Terdengar teriakan bernada memerintah.

"Tidak! Dia telah membunuh Kakang Wisesa. Aku harus membunuhnya sekarang juga!" bantah Cakra.

"Apa?!" Terdengar seruan kaget. Dan bersamaan dengan itu, dua sosok tubuh melayang dari rerimbunan pohon.

"Keparat! Kau mesti mampus!" dengus salah seorang yang baru muncul, seraya menghentakkan kedua tangannya.

"Heaaat..!"

Wuut!

Djeer!

Orang itu langsung melepaskan pukulan jarak jauh yang sama seperti dilepaskan Wisesa tadi. Namun, Rangga gesit sekali menghindarinya dengan melenting tinggi. Sehingga, pukulan itu hanya mengenai tempat kosong.

"Kurang ajar! Kali ini kau tidak akan luput lagi!" dengus orang yang melepaskan pukulan jarak jauh. Dia tak lain dari Sembada.

Sementara itu, seorang laki-laki yaitu Sukma bersama dengan Cakra berusaha memojokkan Pendekar Rajawali Sakti begitu mendarat di tanah dengan serangan-serangan gencar. Namun sejauh itu belum juga menunjukkan hasil.

Disekeliling tempat pertarungan terlihat semua kelompok peronda telah mengepung rapat-rapat, dan tidak membiarkan ketiga orang musuh untuk bisa lolos.

"Rangga! Mengapa tidak kau cabut pedangmu? Mereka bersenjata, sedangkan kau tidak!" teriak Ki Pajang.

"Betul, Rangga! Kau bisa celaka jika terus tak bersenjata!" teriak Ki Baluran yang mulai khawatir melihat serangan gencar yang dilakukan ketiga lawan Pendekar Rajawali Sakti.

"Kurasa belum perlu. Tenang saja. Aku masih mampu membereskan mereka!" sahut Rangga tenang penuh percaya diri.

Apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti memang beralasan. Sebab sejauh ini, ketiga orang itu belum mampu melukainya. Meski mereka telah berusaha sekuat tenaga, tapi tetap saja Rangga luput dari sasaran.

Sebaliknya, melihat ketiga lawan menyerang gencar, Rangga pun membalas sengit. Dengan menggunakan rangkai jurus 'Rajawali Sakti, Pendekar Rajawali Sakti mampu mengimbangi.

Bet!

Ujung golok Cakra menyambar leher. Pada saat yang sama, Sukma melompat dari belakang menerkam leher. Cepat Rangga menjatuhkan diri, langsung menyambar kaki Cakra.

Duk! Bruk!

Cakra kontan jatuh berdebuk di tanah. Pendekar Rajawali Sakti lantas bergulingan menghantam lambung Sukma dengan tendangan geledek. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Desss...!

"Hugkh!" Sukma kontan terpelanting ke belakang disertai jerit kesakitan. Sementara Cakra cepat bangkit. Dan bersamaan dengan itu, Sembada pun melompat menyergap.

"Hup!"

"Hiyaaat...!" Rangga membentak nyaring disertai tenaga dalam tinggi, membuat lawan-lawannya tercekat. Namun meski begitu, yang bernama Cakra berusaha membabat ke sana kemari. Dalam keadaan seperti itu Rangga mencelat. Dari atas ditangkapnya pergelangan tangan kanan Cakra yang memegang golok.

Plak!

"Hei?!" Cakra terkesiap. Goloknya tahu-tahu telah berpindah tangan. Dan belum juga dia berbuat apa-apa, Pendekar Rajawali Sakti telah meluruk kembali. Lalu....

Crasss!

"Aaakh...!" Pada saat itu juga Cakra memekik ketika sebuah goloknya yang terampas memapas secepat kilat ke lehernya. Cakra mendekap lehernya yang tersayat. Dari sela-sela jari, mengucur darah segar. Sesaat kemudian dia ambruk tak berdaya. Mati.

"Bangsat kau, Keparat!" teriak Sukma, kalap bukan main. Dengan penuh nafsu, Sukma melompat sambil menebaskan golok dari belakang.

Wuuut!

Rangga memutar tubuhnya, seraya melemparkan goloknya ke arak pembokong. Gerakannya cepat bukan main, apa lagi juga disertai tenaga dalam tinggi. Dan....

Blesss!

"Aaa...!" Sukma kontan terpekik nyaring dengan mata melotot lebar, ketika golok yang dilempar Pendekar Rajawali Sakti menembus jantungnya hingga ke punggung. Tubuhnya ambruk bersimbuh darah, lalu mati setelah meregang nyawa.

"Aaa...!"

"Hei?!" Baru saja Rangga berbalik, terdengar teriakan kematian. Tampak Sembada melarikan diri sambil membabatkan goloknya. Saat itu juga, beberapa orang peronda ambruk tak berdaya termakan golok Sembada.

"Kurang ajar!" Rangga mendengus geram. Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti mengejar setelah menyambar salah satu golok yang tergeletak ditanah. Disertai pengerahan tenaga dalam sempurna, golok itu dilemparkannya ke arah Sembada yang terus berlari.

Wut! Bles!

"Aaa...!" Sembada kontan terjungkal roboh ketika golok yang dilemparkan Pendekar Rajawali Sakti tepat menembus punggungnya.

"Horeee...!"

Kematian anggota Lima Golok Setan yang terakhir disambut sukacita oleh seluruh penduduk Desa Kayu Asem yang menyaksikan kejadian itu,

"Hidup Pendekar Rajawali Sakti!"

"Hidup Rangga...!"

Seketika mereka mengerubungi dan mengangkat Rangga ke atas untuk diarak bersama-sama, menuju desa sambil berteriak-teriak menyerukan namanya.

DELAPAN

Sejak kematian Lima Golok Setan, Pendekar Rajawali Sakti sudah menduga kalau Iblis Berambut Panjang akan datang. Makanya, Rangga segera mempersiapkan segala sesuatunya, dan menjaga keamanan di Desa Kayu Asem.

Seperti malam ini, penjagaan di desa itu dilipat gandahan. Bahkan Rangga sendiri perlu turun tangan untuk mengatur penjagaan. Namun seketat-ketatnya penjagaan.

"Aaa...!" Malam yang pekat ini pecah oleh jeritan seseorang dari arah utara Desa Kayu Asem. Pendekar Rajawali Sakti yang berada di selatan tersentak kaget. Cepat tubuhnya berkelebat ke utara, dengan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi.

Ki Jarot, Nyai Girah yang menyertai Pendekar Rajawali Sakti, tertinggal jauh di belakang Rangga. Jelas ilmu meringankan tubuh mereka masih di bawah Pendekar Rajawali Sakti. Begitu tiba, mereka langsung disambut Ki Gandara yang bertugas mengatur penjagaan di utara.

"Dia Iblis Rambut Panjang!" tunjuk Ki Gandara langsung. Yang ditunjuk Ki Gandara adalah seorang laki-laki tua bertubuh sedang. Pakaiannya serba hitam dengan rambut panjang berwarna putih. Begitu panjang rambut itu, hingga sampai menyentuh tanah.

"Kau yakin?" tanya Nyi Girah.

Ki Gandara tak menyahut, tapi mengangguk.

"Celaka! Orang itu berbahaya sekali!" cetus Ki Baluran, yang juga menemani Ki Gandara di tempat ini.

"Apa kau sanggup menghadapinya, Rangga?" tanya Ki Pajang benada ragu. Dia baru saja tiba di tempat ini.

"Mudah-mudahan saja...," sahut Ki Baluran tak yakin.

"Pendekar Rajawali Sakti bukanlah nama kosong. Beliau pendekar hebat di zaman ini!" puji Ki Jarot untuk, membangkitkan semangat mereka yang mulai ketar-ketir.

Sementara itu, Rangga mulai melangkah perlahan-lahan mendekati sosok laki-laki yang memiliki sorot mata berkilau bagai mata kucing dalam gelap. Tidak dihiraukannya segala ocehan para sesepuh desa itu. Karena dia maklum, meski mereka memiliki ilmu silat hebat, namun tidak termasuk dalam daftar tokoh-tokoh tingkat atas di dunia persilatan. Wajar saja kalau mereka kebat-kebit melihat kemunculan datuk sesat yang bergelar Iblis Rambut Panjang ini.

Pendekar Rajawali Sakti berhenti ketika jarak mereka terpaut kurang lebih tujuh langkah. Dalam jarak itu, dia bisa melihat betapa wajah Iblis Rambut Panjang garang dan penuh kebencian.

"Kisanak! Siapakah kau? Apa maksudmu membunuh mereka?" tanya Rangga seraya melirik kearah beberapa mayat yang bergelimpangan. Mayat para penjaga keamanan, korban keberingasan Iblis Rambut Panjang.

"Siapa yang membunuh murid-muridku?!" bentak Iblis Rambut Panjang tak mempedulikan pertanyaan Rangga.

"Siapa murid-muridmu?!" balas Rangga membentak. Dan dia tak mau lagi berbasa-basi.

"Lima Golok Setan!"

"O, mereka kini tengah bersenang-senang di akherat," sahut Rangga enteng.

"Setan! Jangan sembarangan bicara! Atau, kupatahkan lehermu! Katakan padaku, siapa yang membunuh mereka?! Kalau tidak, maka seluruh desa ini akan kuratakan bersama semua penghuninya!" hardik laki-laki berambut panjang itu mengancam.

"Aku yang membunuh mereka."

"Kau? Hhh...!" Iblis Rambut Panjang menggeram buas. Dan tiba-tiba saja tubuhnya meluruk secepat kilat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Heaaarkh...!"

Tapi yang dihadapi Iblis Rambut Panjang bukanlah seorang pemuda yang baru belajar ilmu silat sejurus atau dua jurus. Pendekar Rajawali Sakti seketika mencelat ke atas sambil berputaran di udara. Namun, tokoh sesat itu mengejarnya sambil berteriak dahsyat laksana seekor harimau terluka.

"Heaaarkh...!"

Setiap serangan Iblis Rambut Panjang terasa diikuti desir angin kencang yang menunjukkan betapa hebatnya tingkat tenaga dalamnya. Rangga bukannya tidak menyadari hal itu. Untuk tidak membahayakan orang lain, maka dengan sengaja tubuhnya berkelebat menjauh, mencari tempat yang lebih leluasa. Agak jauh dari kerumunan, serta jauh pula dari pemukiman.

"Jangan lari kau, Keparat!" bentak Iblis Rambut Panjang geram dengan suara mengguntur.

"Jangan khawatir Sobat. Aku tidak akan ke mana-mana. Bukankah urusan kita belum selesai?" sahut Pendekar Rajawali Sakti begitu menemukan lapangan luas. Tubuhnya membuat putaran, lalu mendarat kokoh di tanah.

"Yeaaa...!" Iblis Rambut Panjang tidak mempedulikan ocehan pemuda itu. Seketika tubuhnya kembali meluruk, melepaskan serangan bertubi-tubi.

"Uts!" Sejauh itu Rangga masih berusaha menghindar dengan menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Tubuhnya meliuk-liuk indah bagai orang mabuk. Sambil bergerak, dia berusaha mengamati setiap pola serangan dan jurus-jurus yang dilancarkan Iblis Rambut Panjang.

"Hm, jurus-jurusnya tidak berbeda dengan Lima Golok Setan," gumam Rangga di hati. "Hanya saja dia menang tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh. Tidak mengherankan, karena dia guru mereka."

Setelah menaksir-naksir kekuatan tenaga Iblis Rambut Panjang, maka Rangga mulai menjajalnya. Segera ditangkisnya tendangan tokoh sesat itu yang menyodok ke perut.

Plak!

Begitu terjadi benturan, Iblis Rambut Panjang melanjutkan serangan dengan tendangan kaki yang satu lagi ke wajah. Cepat Rangga mencelat keatas dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Dan tiba-tiba, tubuhnya meluruk cepat sebelum Iblis Rambut Panjang siap menyerang. Kali ini dikerahkannya jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Kedua kakinya terjulur kokoh ke arah punggung, dan....

Desss!

"Akh!" Kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti telak menghantam punggung, membuat Iblis Rambut Panjang terhuyung-huyung ke depan sambil mengeluh kesakitan.

"Kurang ajar! Huh!" Iblis Rambut Panjang menggeram buas seraya berbalik. Kedua tangannya cepat disilangkan. Sehingga perlahan-lahan sebatas siku terlihat berubah kemerah-merahan.

"Yeaaa...!" Dengan membentak garang, Iblis Rambut Panjang kembali melesat menyerang.

"Hm!" Rangga bergumam pelan. Agaknya Iblis Rambut Panjang mulai mengerahkan salah satu kesaktiannya. Disadari kalau saja kedua tangan tokoh sesat itu bersentuhan dengannya, mungkin akan berakibat parah. Maka, Rangga harus berhati-hati menghindari setiap serangan. Kini Rangga lebih banyak berlompatan ke sana kemari.

"Hiih!"

Wuk! Bet!

Dua sodokan berturut-turut dari Iblis Rambut Panjang mengancam dada dan perut Rangga. Namun Pendekar Rajawali Sakti cepat mengegoskan tubuh, sehingga serangan-serangan itu hanya mengenai tempat kosong. Iblis Rambut Panjang menyambung serangan dengan sabetan sebelah kaki ke arah batok kepala.

"Hup!" Secepat kilat Rangga menjatuhkan diri kebelakang. Dan ketika Iblis Rambut Panjang mengejar, tubuhnya telah bangkit. Seketika dia melesat cepat bagai kilat sambil menghantam ke lambung dan dada.

Duk! Begkh!

"Aaakh...!" Iblis Rambut Panjang menjerit kesakitan dan terjungkal ke belakang. Meski begitu dia sempat berjumpalitan, namun segera tegak berdiri dengan sedikit sempoyongan. Wajahnya berkerut. Geram bercampur rasa sakit.

"Huh! Aku akan mengadu jiwa denganmu, Keparat!" desis Iblis Rambut Panjang garang.

Kedua tangan tokoh sesat itu menyilang didada. Kemudian dibuatnya gerakan-gerakan aneh. Lalu tiba-tiba saja, sebelah telapak tangannya dihantamkan kearah Pendekar Rajawali Sakti, yang sejak tadi telah mendarat di tanah.

"Yeaaa...!" Selarik cahaya hijau kekuning-kuningan melesat laksana kilat ke arah Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti terkejut. Buru-buru dia menjatuhkan diri. Pukulan itu pernah dilihatnya ketika Lima Golok Setan yang menggunakannya. Tapi kali ini lebih hebat dan tenaganya pun lebih kuat. Sehingga angin serangannya terdengar berkesiutan.

Brasss...!

Beberapa batang pohon roboh seperti dilanda hujan petir, ketika pukulan jarak jauh itu terus meluruk.

"Huh!" Melihat serangan pertamanya gagal, Iblis Rambut Panjang bersiap akan melepaskan pukulan kedua. Sementara Pendekar Rajawali Sakti telah bangkit berdiri kembali.

"Hm.... Pukulannya itu tidak bisa dibuat main-main!" gumam Rangga, seraya mengangkat tangannya kearah punggung. Lalu....

Sring!

"Hei?!" Begitu Pendekar Rajawali Sakti mencabut pedang pusakanya, seketika di sekitarnya terang oleh warna biru yang terpancar dari batang pedang. Pamor Pedang Pusaka Rajawali Sakti ternyata juga membuat kaget semua orang yang menyaksikan pertarungan.

"Iblis dari mana pun adanya kau, mari kita lanjutkan pertarungan ini!" seru Pendekar Rajawali Sakti, dingin. Wajah Pendekar Rajawali Sakti yang diterangi cahaya biru dari batang pedang itu terlihat penuh perbawa. Begitu jantan, namun menggetarkan.

Iblis Rambut Panjang bukannya tidak menyadari keperkasaan pemuda di depannya. Hanya saja dia baru menyadari kalau pemuda itu tak bisa dipandang enteng seperti yang dianggapnya semula.

"Aji 'Sawer Wisa'! Heaaa...!" Iblis Rambut Panjang membentak garang. Telapak tangan kirinya langsung dihentakkan. Seketika cahaya hijau kekuning-kuningan dari aji 'Sawer Wisa' meluruk bergemuruh dahsyat seperti hendak meremukkan tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

Pada saat yang sama, Pendekar Rajawali Sakti telah menggosok mata pedangnya dengan tangan kiri. Begitu sinar biru telah berkumpul di telapak tangannya, pedangnya cepat kembali dimasukkan dalam warangka. Sejenak Rangga membuat gerakan ke kiri dan ke kanan, dengan kuda-kuda kokoh. Lalu....

"Aji 'Cakra Buana Sukma'!" teriak Rangga sambil menghentakkan kedua tangannya yang terselimut cahaya biru sebesar kepala bayi.

Wuuut!

Seketika dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti melesat cahaya biru yang meliuk-liuk menyambar cahaya hijau kekuning-kuningan. Dan....

Glarrr...!

"Aaa...!"

Benturan dahsyat terjadi ketika dua pukulan beradu, menimbulkan pijaran bunga api besar dan desir angin kencang di sekitarnya. Dari celah-celah pijaran, tampak terpental satu sosok tubuh disertai teriakan menyayat.

Begitu pijaran api dan desir angin lenyap, baru jelas siapa yang terbujur kaku dalam keadaan gosong. Karena begitu melihat ke arah lain, tampak Pendekar Rajawali Sakti duduk bersimpuh dengan napas Senin-Kemis. Matanya berkunang-kunang dengan jantung berdebar keras.

Jadi jelas, yang tewas adalah Iblis Rambut Panjang. Maka kontan seluruh orang yang menonton pertarungan menghambur kearah Pendekar Rajawali Sakti.

"Hebat kau, Rangga! Kau berhasil membinasakan Iblis Rambut Panjang!" puji Ki Baluran.

Hanya kata itu yang terucap dari mulut kepala desa ini. Dan ketika melihat Pendekar Rajawali Sakti diam tak menjawab, Ki Baluran jadi serba salah lagi. Begitu juga yang lain. Mereka diam, dan berganti-ganti memandang Pendekar Rajawali Sakti serta mayat Iblis Rambut Panjang.

Ki Gandara yang tahu sedikit mengenai kehebatan Iblis Rambut Panjang, sudah dibuat ciut nyalinya melihat kemunculan tokoh sesat itu. Dan hatinya lebih bergetar tatkala Pendekar Rajawali Sakti berhasil membinasakan iblis itu. Kala memandang Rangga, dia seperti menaksir-naksir, seberapa tinggi kesaktian pemuda ini? Mengingat, telah sekian banyak tokoh yang tewas di tangannya.

"Ki Baluran...," sapa Rangga datar, seraya bangkit perlahan-lahan dengan mulut meringis menahan sakit.

"O, ya! Ada apa, Rangga?" tanya Ki Baluran cepat.

"Tidak perlu mengadakan pesta untuk menyambut kematian Iblis Rambut Panjang."

"Ya! Kami mengerti, Rangga."

"Sekali lagi terima kasih, Ki Baluran...."

"Seharusnya kami yang mengucapkan terima kasih padamu, Rangga!"

Rangga tak menjawab. "Suiiittt...!" Pendekar Rajawali Sakti bersuit nyaring sekali. Dan tak berapa lama, Dewa Bayu muncul dengan berlari kencang menghampirinya.

"Hieee...!" Kuda tunggangan Pendekar Rajawali Sakti meringkik kecil seraya mengusap-usap dada, leher, dan wajah Pendekar Rajawali Sakti dengan kepalanya. Rangga membalasnya dengan mengusap-usap leher hewan itu.

"Ki Baluran, kurasa tugasku di sini sudah selesai...," kata Rangga seraya memandang sesepuh Desa Kayu Asem satu persatu secara seksama.

"Lalu akan kemana tujuanmu, Rangga?"

"Ke mana saja kakiku melangkah."

"Tidak bisakah kepergianmu ditunda barang sehari atau dua hari, Rangga?" usik Ki Pajang.

"Benar. Tidakkah kau lihat mereka begitu ingin mengucapkan terima kasih padamu dengan berada di dekatmu untuk beberapa saat?" desak Ki Jarot.

"Tinggallah di sini barang sehari atau dua hari lagi, Rangga," bujuk Nyi Girah.

Rangga tersenyum. "Aku ingin, Kisanak semua. Tapi kalau aku berada di sini, maka tugasku akan terbengkalai. Beberapa orang mungkin tengah tersiksa, dilanda ketakutan, atau terancam bahaya. Aku tak mungkin diam melihat semua kenyataan itu. Maka, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Barangkali jika umurku panjang, kita bisa bertemu kembali...," jelas Rangga seraya melompat ke punggung Dewa Bayu.

Para sesepuh Desa Kayu Asem memandang pada Rangga tanpa berbicara sepatah kata pun lagi.

"Aku pergi dulu, Kisanak semua. Heaaa...!" Tanpa menunggu jawaban, Pendekar Rajawali Sakti menggebah kudanya kencang-kencang kearah barat. Ditembusnya kegelapan malam yang semakin pekat.

"Hm.... Kita memang tak bisa memaksanya...," gumam Ki Baluran.

Dan perlahan-lahan mereka meninggalkan tempat itu, mengurus korban-korban yang berjatuhan.

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: DENDAM SEPASANG GEMBEL

Lima Golok Setan

LIMA GOLOK SETAN

SATU

"Palguna! Keluar kau!"

Suara sentakan menggelegar, memecah keheningan pagi di Desa Sakapitu. Teriakan itu berasal dari mulut seorang pemuda berwajah pas-pasan, pakaiannya ketat berwarna biru tua. Di pinggangnya, terselip sebuah golok.

Pemuda itu didampingi oleh empat orang pemuda yang masing-masing berpakaian merah, hijau, kuning, dan coklat. Mereka semua berdiri dengan sikap petantang-petenteng di depan sebuah rumah cukup besar yang dikenali penduduk adalah rumah Kepala Desa Sakapitu.

Beberapa saat dari dalam rumah muncul seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun, didampingi wanita berusia tiga puluh sembilan tahun dan dua anak perempuan yang berusia belasan tahun.

Teriakan itu memang mengejutkan. Karena selama menjabat sebagai kepala desa, belum ada seorang pun yang memanggilnya dengan suara keras seperti itu. Bahkan dengan panggilan yang tak disertai rasa hormat.

Laki-laki setengah baya yang memang bernama Palguna ini memandang kelima pemuda itu satu persatu dengan dahi berkerut.

"Kisanak berlima, ada apa sebenarnya sampai berteriak-teriak seperti itu?" tanya Ki Palguna dengan nada datar.

"Masih ingat padaku, Palguna!" dengus pemuda berbaju biru tua.

Ki Palguna memandang pemuda berambut panjang sebahu itu untuk beberapa saat dengan kening berkerut. Dicobanya mengingat-ingat apakah pernah bertemu pemuda itu sebelumnya.

"Kau seperti..., Wisesa...," duga Ki Palguna, ragu.

"Ya! Aku memang Wisesa!" sahut pemuda berbaju biru tua yang bernama Wisesa.

"Hm, Wisesa yang dulu berpenyakit kulit di sekujur tubuhnya itu?"

Kata-kata Ki Palguna sebenarnya hanya untuk meyakinkannya saja. Namun bagi Wisesa terasa menyakitkan. Karena justru hal itulah dia datang ke sini.

"Palguna terkutuk! Hari ini aku akan membuat pembalasan atas pengusiranmu dari desa ini dulu terhadapku!" desis Wisesa dengan suara bergetar menahan marah.

"Wisesa! Kau harus ingat. Keputusan itu bukan kemauanku sendiri, tapi atas desakan penduduk yang tidak menginginkan kehadiranmu. Sebagai kepala desa, aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti kehendak mereka," kilah Ki Palguna.

"Aku tidak peduli! Kalian semua akan mendapat balasan setimpal!"

"Huh! Kalau memang itu kehendakmu, aku tidak akan mundur!" dengus Ki Palguna merasa didesak terus.

"Kita tentukan persoalan ini di ujung golok! Ambil senjatamu!" bentak Wisesa.

Sebagai kepala desa yang dihormati penduduk, tentu saja Ki Palguna merasa tertantang mendengar ancaman Wisesa.

"Sekar! Cepat ambil golok Ayah di lemari," ujar Ki Palguna pada salah seorang gadis yang ternyata putrinya.

"Tapi, Ayah...."

"Cepat!" hardik Ki Palguna ketika anaknya yang dipanggil Sekar belum juga beranjak.

"Ba..., baik, Ayah...," sahut Sekar seraya bergegas ke dalam.

Tidak lama kemudian gadis itu telah kembali membawa sebilah golok bergagang perak. Ki Palguna cepat menyambar dengan mata tak berkedip memandang para pemuda yang menantinya bertarung.

"Silakan. Mau satu lawan satu, atau berlima sekaligus?" tanya Ki Palguna, menganggap remeh. Laki-laki setengah baya ini segera melangkah ke tengah halaman.

"Huh! Menghadapimu kenapa mesti main keroyok. Aku saja sudah cukup untuk mengirimmu ke akherat!" dengus Wisesa, ikut melangkah dan berhenti kira-kira dua tombak di hadapan Ki Palguna.

"Kakang! Biar kubereskan saja dia!" seru pemuda yang berbaju coklat.

"Jangan, Cakra! Ini urusan pribadiku. Kita telah sepakat untuk mengurus urusan pribadi masing-masing, bukan? Nah! Biarkan aku membereskannya seorang diri!" tolak Wisesa, tegas tanpa menoleh.

Pemuda berbaju coklat yang dipanggil Cakra mengangguk mengerti. Dan dia tak banyak bicara lagi. Meski tak melihat, namun Cakra tahu kalau mereka yang berdiri berhadapan itu telah siap saling serang.

Sebelum menjabat sebagai kepala desa dulu, Ki Palguna adalah seorang tokoh persilatan berkepandaian cukup tinggi. Justru karena itulah maka penduduk mengangkatnya sebagai kepala desa. Mereka berharap Ki Palguna bisa menggayomi masyarakat dan melindungi dari gangguan pihak luar yang ingin mengacau.

Sementara itu Ki Palguna berputar mengelilingi Wisesa tatkala keempat pemuda lain telah mundur beberapa langkah seperti memberi ruang gerak pada mereka.

"Yeaaa...!" Wisesa lebih dulu melompat menyerang sambil membabatkan goloknya.

Bet!

"Uts!" Ki Palguna cepat mengegoskan tubuhnya. Begitu sambaran Wisesa yang mengebutkan goloknya ke arah leher. Namun, Wisesa telah memperhitungkannya. Dengan gerakan kilat tubuhnya merunduk, seraya menusukkan goloknya yang bermata tajam.

"Hup!" Ki Palguna cepat membuang dirinya ke tanah seraya bergulingan.

"Huh! Kematianmu sudah dekat, Palguna! Mudah-mudahan kau masih sempat berdoa!" dengus Wisesa mengejek.

"Kita lihat saja. Kau atau aku yang akan mampus!" sahut Ki Palguna begitu bangkit berdiri.

"Banyak bacot! Terima seranganku!" bentak Wisesa seraya melompat kembali menyergap.

Gerakan pemuda ini cepat bukan main, se-hingga membuat Ki Palguna terkesiap. Namun sebagai tokoh silat yang cukup berpengalaman, dia tahu bagaimana cara menghindarkan diri yang terbaik. Maka kembali dia menjatuhkan diri dan merapatkan tubuh dengan permukaan tanah.

Sayang, kepala desa itu salah duga. Justru pada saat Ki Palguna bergulingan menjauh, Wisesa melenting ke atas. Setelah membuat putaran beberapa kali, goloknya cepat dilemparkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Wuuuttt...!

Ki Palguna yang baru saja melenting bangkit, kontan terperanjat. Belum lagi dia sempat berbuat apa-apa, golok itu telah meluncur dekat. Lalu.....

Crab!

"Eah!"

Tubuh Ki Palguna terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi lehemya yang tertancap golok dengan kedua tangannya. Darah mengucur deras dari lehernya yang nyaris putus. Begitu tubuhnya ambruk, nyawanya putus.

"Kakang...!" jerit wanita istri Ki Palguna.

"Ayah...!" Seperti tak mau kalah, kedua gadis belia ini berteriak seraya menghambur ke arah jasad orang yang dicintainya.

"Huh! Mau ke mana kalian!" dengus Wisesa seraya menangkap salah seorang putri Ki Palguna yang baru saja menghambur.

Pada saat yang bersamaan, salah seorang pemuda yang berbaju kuning bertindak tak kalah cepat. Segera ditangkapnya putri Ki Palguna yang lain.

"Oh! Tolong...! Lepaskan! Tolooong...!"

Kedua gadis itu berteriak-teriak ketakutan sambil berusaha melepaskan diri. Tapi kedua pemuda itu mencengkeram erat-erat. Sementara tiga pemuda lain hanya tertawa mengekeh.

"He he he...! Siapa sangka rejeki kalian sedang terang. Belum apa-apa sudah dapat dua gadis cantik!" seru pemuda berbaju kuning.

"Brengsek! Mana bagianku?!" teriak pemuda yang berbaju merah.

"Cari sendiri, Sukma! Apa kau tidak punya mata?" ujar Wisesa.

"He he he...! Betul juga kau, Kakang Wisesa. Masa' di seluruh desa ini tidak ada gadis-gadis lain yang lebih cantik. Aku pergi dulu mencari mereka!" kata pemuda berbaju merah yang dipanggil Sukma.

Dan dalam sekejapan mata saja Sukma telah berkelebat ke tengah-tengah desa.

Sementara itu istri Ki Palguna yang tengah bersimpuh di depan mayat suaminya, terkesiap mendengar jeritan kedua putrinya. Serta merta dia bangkit, dengan mata melotot.

"Brandal terkutuk, lepaskan mereka! Lepaskan mereka!" teriak perempuan itu.

"Cakra! Bereskan wanita celaka ini!" teriak Wisesa ketika melihat wanita itu bergerak cepat mendatanginya.

"Beres, Kang! Jangan khawatir!" sahut Cakra.

Pemuda Itu bergerak cepat. Golok di tangannya menyabet perut wanita itu secepat kilat.

Bret!

"Aaakh...!" Karuan saja, wanita yang tidak mengerti soal ilmu olah kanuragan itu terpekik. Isi perutnya langsung terburai keluar tersabet golok Cakra.

Darah mengucur deras dari lukanya. Wajahnya tampak terkejut dengan mata melotot lebar memandang kelima pemuda itu penuh dendam. Lalu tubuhnya ambruk tak berdaya.

"Ibuuu...!" teriak kedua gadis dalam cengkeraman Wisesa dan pemuda berbaju kuning.

"He he he...! Ibumu sudah mampus. Jangan pikirkan lagi. Sekarang lebih baik kita bersenang-senang!"

Wisesa terkekeh. Langsung diseretnya gadis dalam rangkulannya ke dalam rumah. Sementara, pemuda berbaju kuning menyusul. Tak peduli kedua gadis itu meronta-ronta sambil berteriak-teriak ketakutan.

Beberapa penduduk yang melihat kejadian itu berusaha menolong. Namun apalah daya mereka yang tak punya kepandaian apa-apa. Mereka yang nekat itu hanya membuang nyawa secara percuma. Ujung golok Cakra dan golok pemuda berbaju hijau telah berkelebat menebas mereka.

"He he he...! Cari penyakit!" ejek pemuda berbaju hijau seraya memandangi mayat-mayat yang tergeletak di tanah.

"Kakang Sembada! Kau urusi mereka! Aku akan menyusul Sukma mencari perempuan-perempuan cantik di desa ini!" teriak Cakra seraya berkelebat dari tempat itu.

"Enak saja kau! Kalau soal urusan satu itu, aku Jagonya. Aku akan mendapatkan semuanya. He he he...!" sambut pemuda berbaju hijau yang dipanggil Sembada, langsung ikut berkelebat.

Dalam sekejap mereka telah bergerak cepat masuk ke dalam rumah-rumah penduduk untuk mengobrak-abrik isinya. Saat itu juga jerit ketakutan dan kematian berkumandang saling sambung-menyambung. Tiga pemuda itu tidak peduli melihat penderitaan penduduk. Mereka hanya memikirkan hawa nafsu saja. Maka siapa pun yang menghalangi, akan tertebas golok.

Beberapa penduduk desa melarikan diri lewat jalan belakang, karena ketakutan. Di antara mereka pun ada yang berhasil membawa anak perempuannya, sehingga selamat dari incaran kelima pemuda itu. Sementara yang kurang beruntung terpaksa merelakan anak gadis mereka digarap kelima pemuda itu. Bagi yang penakut, hanya bisa menangis dan merintih pilu melihat anak perempuannya diperlakukan semena-mena. Tapi bagi mereka yang punya keberanian, akan binasa di tangan kelima pemuda itu.

********************

Kejadian di Desa Sakapitu merebak ke mana-mana, terutama bagi desa-desa yang berada di sekitar lereng Gunung Pucung. Karena Desa Sakapitu memang terletak di lereng gunung itu.

Namun, tak urung kabar itu sampai pula di Desa Kayu Asem yang jaraknya lebih kurang setengah hari perjalanan berkuda dari Desa Sakapitu, menuju arah timur. Desa Kayu Asem dekat dengan kota Kadipaten Bayu Mubal yang cukup ramai.

Kabar yang dibawa oleh seorang penduduk Desa Sakapitu, langsung disampaikan pada Kepala Desa Kayu Asem, yang telah sepuluh tahun memimpin desa ini. Sampai sekarang dia tetap dipercaya penduduk. Karena di bawah kepempimpinannya, Desa Kayu Asem menjadi aman sentosa, gemah ripah loh jinawi. Namun kejadian yang menimpa Desa Sakapitu tak urung sempat mengusik pikirannya. Makanya, dia segera mengundang sesepuh-sesepuh desa untuk diajak tukar pikiran, membahas masalah itu.

"Mungkin hanya kawanan rampok saja, Baluran," cetus salah seorang sesepuh desa.

"Kurasa tidak, Ki Pajang...," sanggah Kepala Desa bernama Ki Baluran.

"Maksudmu bagaimana, Baluran?" tanya seorang sesepuh lain.

"Aku khawatir ini akan berlanjut ke desa kita, Ki Jarot," sahut Ki Baluran hati-hati.

"Desa kita banyak memiliki pendekar tangguh. Mereka akan berpikir seribu kali untuk mengacau di sini!" tandas sesepuh yang tadi dipanggil Ki Jarot

"Memang benar apa yang dikatakan Ki Jarot Tapi menurut penduduk Desa Sakapitu yang mengungsi ke sini, kelima pemuda berandalan itu memiliki kesaktian laksana iblis," kata Ki Baluran.

"Tapi, Baluran! Kita telah teruji menghadapi iblis licik sekali pun," timpal orang sesepuh lain.

"Apa maksud Ki Gandara?" tanya Ki Baluran dengan dahi berkerut.

"Ingatkah kau pada peristiwa sepuluh tahun lalu?" laki-laki berusia enam puluh tahun yang dipanggil Ki Gandara malah balik bertanya.

"Dukun santet itu?"

"Ya! Konon katanya, dia tidak bisa mati dan kebal segala jenis senjata dan pukulan. Toh, nyatanya kita berhasil membinasakannya."

"Ya! Tapi dalam usaha membunuh Ki Rungkut dan istrinya, timbul banyak korban di pihak kita...," sahut Ki Baluran masygul, mengingat peristiwa berdarah sepuluh tahun lalu.

"Tapi itu membuktikan bahwa kejahatan bisa dikalahkan kalau kita bersatu!" timpal sesepuh yang bernama Ki Pajang. "Bukan begitu, Nyi Girah?" Ki Pajang menoleh ke arah satu-satunya wanita di ruangan ini.

"Aku yakin kita bisa menggalang persatuan dari semua penduduk desa ini!" kata wanita berusia enam puluh tahun yang dipanggil Nyi Girah.

"Tapi yang terpenting, apakah hal itu akan terjadi?" tanya Ki Gandara. "Siapa tahu, itu hanya ulah perampok seperti yang dikatakan Ki Pajang."

"Tapi kita mesti waspada. Siapa tahu, peristiwa sepuluh tahun lalu terulang kembali," sahut Ki Jarot.

"Ki Rungkut sudah mati. Demikian pula istrinya...."

"Kita jangan melupakan sesuatu, Baluran!" tukas Ki Jarot.

"Apa maksud Ki Jarot?"

"Mereka punya anak laki-laki yang saat itu berusia sekitar lima belas tahun. Ketika orangtuanya tewas, anak itu tidak ada di dalam rumah. Kita coba mencarinya ke mana-mana, namun tidak bertemu. Dia hilang seperti ditelan bumi."

"Ya! Aku khawatir anak itu akan membalas dendam kepada kita semua...," timpral Ki Pajang.

"Bibitnya buruk. Maka mana mungkin akantumbuh baik...," gumam Ki Gandara seperti mendukung sikap Ki Pajang.

"Hal itu sudah kupikirkan. Tapi, kita sudah cukup berusaha mencarinya...," sahut Ki Baluran.

"Kita hanya kurang giat, Ki," sambung Nyi Girah. "Saat itu aku yakin, dia melarikan diri ke Hutan Pucung. Namun, tak seorang pun di antara kita yang mau mengejarnya ke sana."

"Hutan Pucung bukan tempat yang ramah, Nyi Girah," bela Gandara. "Aku bisa memakluminya. Di sana banyak perangkap dan binatang buas. Tidak seorang pun yang bisa keluar hidup-hidup setelah masuk ke sana."

"Kalau demikian, bocah itu pun...."

"Mati?!" potong Ki Jarot, terhadap ucapan Ki Baluran.

"Tidak juga," sahut Gandara.

"Baru saja kau katakan tidak ada seorang pun yang bisa selamat bila masuk ke hutan itu. Dan sekarang...?" tukas Nyi Girah.

"Kalau seseorang tidak menolongnya," sambung Gandara.

"Siapa yang kau maksudkan, Ki Gandara?" tanya Ki Pajang.

"Iblis Rambut Panjang."

"Iblis Rambut Panjang?!"

Semua orang yang berada di ruangan itu berseru kaget, mendengar nama yang disebutkan Ki Gandara. Memang, nama itu amat terkenal di rimba persilatan, milik seorang datuk sesat yang kesaktiannya tiada tara. Kekejamannya memang luar biasa. Dan belakangan, ada anggapan bahwa iblis itu berdiam di dalam Hutan Pucung, tempat yang jarang dimasuki orang.

DUA

Ki Baluran masih termenung dalam ruangan depan dalam rumahnya. Matanya lurus memandang ke depan melalu jeruji jendela. Meski tamu-tamunya telah kembali ke rumah masing-masing, namun dalam benaknya masih ada tamu lain yang enggan pergi. Yaitu, pikirannya yang ruwet.

"Apakah dia salah seorang di antara kelima pemuda itu?" gumam laki-laki Kepala Desa Kayu Asem ini di hati.

Benak Ki Baluran langsung melayang pada peristiwa sepuluh tahun silam. Saat itu, desa ini dikuasai sepasang suami istri Ki dan Nyi Rungkut yang amat ditakuti semua penduduk. Mereka adalah dukun santet yang memiliki kesaktian hebat. Satu persatu penduduk tewas di tangan mereka.

Pada saat itu tidak ada seorang pun yang berani menentang, karena takut oleh ancaman maut yang dijanjikan kedua suami istri itu Ki Baluran yang pada saat itu baru pulang berguru di sebuah padepokan ternama di wilayah utara, kemudian menggerakkan penduduk untuk perlawanan. Dan akhirnya, suami istri itu terbunuh. Dia pula yang mendorong masyarakat untuk menghabisi semua keluar dukun santet itu.

"Belum tidur, Kang?"

Terdengar sapaan halus dari belakang. Ki Baluran menoleh. Dan, bibirnya langsung tersenyum melihat kehadiran seorang wanita setengah baya yang menghampirinya. Namun laki-laki itu tak bisa menipu diii sendiri kalau senyumnya terasa dipaksakan.

"Kau sendiri kenapa belum tidur, Nyi?" Ki Baluran malah balik bertanya.

"Aku belum mengantuk...," sahut wanita yang tak lain istri Ki Baluran.

"Sama.... Aku juga belum...."

"Wajah Kakang kelihatan kusut. Apa yang tengah dipikirkan?" usik Nyi Baluran.

"Tidak. Tidak ada apa-apa!" sahut Ki Baluran berusaha menyembunyikan apa yang tengah dipikirkannya.

"Tidak usah berbohong, Kang."

"Apa maksudmu? Aku memang tidak memikirkan apa-apa."

"Aku mendengar pertemuan Kakang tadi sore. Kalian membicarakan tentang kemungkinan ancaman dari dukun santet itu, bukan?" desak Nyi Baluran.

"Untuk apa? Mereka toh sudah mati!" sahut Ki Baluran sambil memaksakan diri tersenyum agar istrinya percaya.

"Tapi anak tertuanya sempat meloloskan diri. Dan..., apakah dia yang Kakang khawatirkan?"

Ki Baluran tidak menjawab. Wajahnya yang tegang dipalingkan disertai hembusan napas sesak.

"Berterus-teranglah padaku, Kang! Aku istrimu. Dan aku berhak tahu apa yang tengah kau pikirkan!" desak wanita itu seraya melangkah ke depan suaminya. Sehingga, kini mereka saling berhadapan lagi.

"Aku tidak tahu, Nyi...," ucap laki-laki ini lirih, kemudian beranjak keluar.

"Mau ke mana, Kang?"

"Mau cari udara segar."

Wanita setengah baya itu hanya menarik napas sesak, ketika suaminya berjalan menuju istal. Dan sebentar saja, laki-laki itu telah menuntun seekor, kuda berwarna coklat. Dengan gerakan ringan, dia naik ke punggung kuda. Ditinggalkannya halaman depan rumah setelah menggebah kudanya pelan-pelan.

Apa yang dikatakan istrinya mungkin saja benar. Tapi..., apakah dia mesti takut bila kelak bocah itu balas dendam? Kepandaiannya cukup hebat. Dan di desa ini pun, terdapat tokoh-tokoh hebat yang siap membantunya. Juga, siap melindungi keamanan desa.

Belum tuntas Ki Baluran memikirkan hal itu, mendadak dari kejauhan terdengar derap langkah kuda ke arahnya. Cepat kudanya dihentikan.

"Hooop..!" penunggang kuda itu juga menarik tali kekang kudanya.

"Ki Jarot! Ada apa malam-malam begini seperti dikejar setan?!" tanya Ki Baluran, begitu bisa mengenali siapa penunggang kuda itiu. Kebetulan, bulan bersinar penuh, sehingga cahayanya bisa membantu penglihatan Ki Baluran.

"Ah, kebetulan sekali! Aku memang hendak ke rumahmu, Baluran!" desak Ki Jarot seraya mengatur jalan napasnya.

"Ada kejadian apa?" tanya Ki Baluran.

"Kita mesti menerima pengungsi lagi, Baluran!"

"Pengungsi dari mana lagi?"

"Dari Desa Gelugur!"

"Astaga! Apa yang terjadi di sana?!" seru Ki Baluran kaget.

"Sama seperti yang menimpa Desa Sakapitu."

"Maksudmu, diserang kelima pemuda itu lagi?"

"Ya! Dan kali ini sebagian penduduk mengetahui siapa mereka sebenarnya."

"Siapa?"

"Mereka menamakan diri, sebagai Lima Golok Setan. Dan kabarnya, mereka dari Hutan Pucung."

"Lima Golok Setan? Dari Hutan Pucung?"

"Mungkin itu hanya sekadar nama saja, Baluran."

"Mungkin juga... Eh, apakah Ki Jarot tidak mendapat berita lain? Umpamanya nama-nama mereka satu persatu?"

"Baru dua. Mereka Wisesa yang berasal dari Desa Sakapitu, dan Cakra dari Desa Gelugur," jelas Ki Jarot.

"Hhh...!" Ki Baluran menghela napas berat dengan dahi berkerut.

"Kenapa, Baluran?"

"Ah, tidak apa! Lalu, siapa yang menjaga mereka?"

"Mereka siapa?"

"Pengungsi-pengungsi itu?"

"O, mereka bersama Ki Pajang serta beberapa orang pemuda desa yang tengah meronda," jelasnya.

"Baiklah. Tolong diatur agar mereka dapat ber-malam di desa kita, Ki Jarot. Di tempatku masih ada dua kamar kosong yang cukup besar. Bisa menampung dua puluh orang. Bagi mereka yang punya kamar-kamar kosong di rumahnya, kuharap bisa membantu yang lain," ujar Ki Baluran.

"Baik!"

"Eh! Aku juga ingin ngobrol-ngobrol sebentar dengan mereka...."

"Jadi, Kau ingin ikut juga?"

Kepala desa itu mengangguk.

"Baiklah. Mari kita ke sana!" ajak Ki Jarot.

********************

Seorang pemuda tampan berbaju rompi putih menjalankan kuda hitamnya perlahan-lahan di jalan setapak yang menuju sebuah desa sambil menikmati pemandangan di sekitarnya. Angin lembut bertiup, mempermainkan rambutnya. Nun jauh di sebelah barat, terlihat Gunung Pucung menjulang dengan gagah.

"Hei?!" Mendadak ketenangan pemuda itu terusik ketika beberapa orang berlari serabutan ke arahnya sambil membawa barang-barang kebutuhan sehari-hari.

"Ada apa gerangan? Mereka sepertinya penduduk desa? Apakah ada bencana alam?" gumam pemuda ini dengan dahi berkerut.

Pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti ini segera menghentikan kudanya. Ditunggunya salah seorang yang berlari.

"Sebentar, Kisanak! Ada kejadian apa sehingga berlari ketakutan seperti dikejar setan?" tanya. Rangga sambil merendahkan tubuhnya.

Laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun bertubuh kurus yang tengah menggamit seorang bocah perempuan itu menghentikan larinya. Dipandangnya pemuda ini untuk sesaat.

"Lima Golok Setan tengah mengamuk!" sahut laki-laki ini dengan dendam terpendam.

"Di mana?" kejar Pendekar Rajawali Sakti.

"Desa kami. Desa Jeram yang ada di sana!" tunjuk orang tua itu ke arah belakangnya.

Pendekar Rajawali Sakti mengarahkan pandangannya pada arah yang ditunjuk orang tua itu.

"Lebih baik kau menyelamatkan diri, Anak Muda! Mereka ganas dan tak kenal ampun!" ujar orang tua ini memperingatkan seraya pergi mengejar rombongannya.

"Terima kasih, Ki!" sahut Rangga seraya menggebah kudanya ke arah yang ditunjuk orang tua tadi.

"Hhh! Anak muda keras kepala!" gumam orang tua ini ketika berbalik dan melihat pemuda itu tidak menuruti kata-katanya

Sementara itu, dengan kecepatan dahsyat, sebentar saja Dewa Bayu telah membawa Rangga tiba di Desa Jeram yang keadaannya begitu menyedihkan. Beberapa mayat tergeletak tak berdaya. Rumah-rumah hancur seperti diamuk banteng liar.

"Hhh...! Rampok mana lagi yang mencari korban di sini?" gumam Pendekar Rajawali Sakti seraya turun dari punggung Dewa Bayu. Kakinya lantas melangkah pelan memasuki mulut desa.

"Ha ha ha...! Kau sungguh hebat, Nisanak! Hebat sekali!"

"Hm...!" Pendekar Rajawali Sakti menggumam tak jelas ketika mendengar suara tawa dari dalam sebuah rumah. Dan ini menimbulkan perasaan ingin tahu di hatinya. Maka dengan sengaja Rangga menunggu di depan pintu rumah tempat asal suara tawa tadi.

Tidak berapa lama, terlihat seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tiga tahun keluar dari dalam rumah sambil tertawa-tawa. Dibetulkannya letak celananya yang belum beres.

"Mau apa kau di situ?!" bentak pemuda itu galak ketika melihat kehadiran pemuda berbaju rompi putih.

"Apa pula yang kau lakukan di dalam?" sahut Rangga, datar.

"Kurang ajar! Besar juga nyalimu, he!" dengus pemuda itu geram. "Yeaaa...!"

Tiba-tiba pemuda itu melompat langsung melepaskan tendangan menggeledek ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti. Tendangan keras itu diperhitungkan akan menghancurkan tulang dada Pendekar Rajawali Sakti. Tapi....

Plak!

"Uhh...!" Pemuda itu menelan kekecewaan karena, serangannya kandas terkibas tangan kiri Rangga. Tubuhnya kontan terjajar beberapa langkah, untung saja tak sampai terpelanting. Bahkan sebelum dia berbuat sesuatu, kepalan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti balik menyodok ke dadanya.

Karuan saja pemuda itu terkesiap. Sebisa-bisanya tubuhnya melejit ke atas. Namun Rangga tak melepaskan begitu saja. Seketika tubuhnya berputar sambil melepas tendangan terbang berputar.

Des!

"Aakh!" Pemuda itu menjerit kesakitan dengan tubuh terlempar beberapa langkah ke belakang, lalu jatuh berdebam di tanah. Begitu bangkit, dia terhuyung-huyung mendekap perut yang terasa mual bukan main, terhantam tendangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Keparat! Kau akan menerima pembalasanku!" desis pemuda itu geram sambil menarik napas panjang.

"Silakan saja. Karena aku pun tak akan membiarkan kau berbuat keangkaramurkaan," sahut Rangga tersenyum dingin.

"Kau belum kenal aku rupanya. Akulah Bawor, salah satu dari Lima Golok Setan!" gertak pemuda yang di pinggangnya terselip sebilah golok panjang dan mengaku bernama Bawor.

"O, jadi kau rupanya yang sering menakut-nakuti penduduk desa?" tukas Rangga, kalem.

"Kami bukan sekadar menakut-nakuti. Tapi, membunuh orang-orang tengil sepertimu!" desis Bawor seraya kembali melompat menyerang. Kedua tangannya terjulur, seperti hendak mencengkeram.

Namun dengan mengegoskan tubuhnya, Pendekar Rajawali Sakti berhasil menghindari cengkeraman tangan Bawor.

"Hih...!" Sebelum Bawor menyerang kembali, mendadak Rangga menyodokkan sikunya, keras sekali ke arah dada.

Begkh!

"Wuaaa...!" Bawor kontan terjajar beberapa langkah sambil mendekap dadanya yang terasa sesak. Telak sekali sodokan Rangga bersarang di dadanya.

"Aku bisa membunuhmu, Kisanak!" kata Rangga dingin. "Jangan terlalu gegabah. Tinggalkan saja tempat ini. Dan bertobatlah...!"

"Huh!" Bawor mendengus geram. Meski isi dadanya terasa nyeri, namun dia berusaha untuk tidak mempedulikannya. Sorot matanya tajam, tatkala membentur pandangan Rangga. Lalu, tangannya bergerak ke pinggang.

Sret!

"Hari ini kau akan mampus, Keparat!" desis Bawor, setelah mencabut golok.

"Jangan kelewat nafsu. Salah-salah nyawamu sendiri yang akan melayang oleh golokmu sendiri," ujar Rangga, memperingatkan.

"Tidak akan! Terima kasih! Heaaa...!"

"Uts!" Golok di tangan Bawor berputar cepat menyambar leher Rangga. Untuk sesaat Pendekar Rajawali Sakti terkesiap. Tapi secepat itu pula tubuhnya melenting kebelakang untuk mengatur jarak.

"Yeaaah!"

Begitu golok Bawor mendekat, Pendekar Rajawali Sakti segera memainkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Melihat serangannya selalu gagal, Bawor semakin menggeram penuh amarah. Seketika serangannya ditingkatkan dengan menambah kekuatan tenaga dalam. Dan tubuhnya langsung meluruk sambil menebas dengan goloknya.

"Uts...!" Sedikit saja Rangga meliukkan tubuhnya, lalu tiba-tiba saja melakukan tendangan ke dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga.

Duk!

"Aakh...!" Bawor kembali terjungkal ke belakang disertai jerit kesakitan. Tendangan itu sama sekali tidak disangka-sangkanya, sehingga membuatnya tidak sempat mengelak. Kalaupun sempat disadari, rasanya pun tidak akan mampu mengimbangi gerakan Rangga yang kelewat cepat.

"Apakah kau masih penasaran?" Bangunlah. Dan, serang aku lagi," tantang Rangga, dingin.

Bawor mendengus dingin sambil mengusap darah yang menetesdari sudut bibirnya. "Siapa kau sebenarnya?" tanya Bawor penasaran.

"Aku Rangga," sahut Rangga.

"Huh! Ternyata kau bukan orang hebat! Aku belum pernah mendengar namamu," leceh Bawor.

"Apalah arti sebuah nama? Dikenal orang ataupun tidak, sama sekali aku tidak peduli."

"Ingatlah. Kau telah berurusan dengan Lima Golok Setan. Dan kawan-kawanku tidak akan membiarkanmu berbuat seenaknya!"

"Lalu, apa maumu? Membalas dendam padaku? Jangan terlalu lama menyimpan dendam. Tuntaskan saja sekarang. Panggil kawan-kawanmu. Dengan senang hati aku akan menunggu...."

"Huh!" Bawor mendengus dingin. Lalu secepatnya tubuhnya berbalik dan kabur dari tempat itu.

Rangga tidak berusaha mengejar. Dipandanginya Bawor sampai hilang dari pandangan sampai perhatiannya terusik oleh suara erangan dari dalam rumah yang tadi dimasuki Bawor. Dengan langkah lebar Pendekar Rajawali Sakti memasuki rumah itu.

"Oh, maaf!" ucap Rangga seraya berpaling, ketika melihat seorang gadis berusaha bangkit berdiri dengan tubuh lemah tanpa benang sehelai pun menutupinya. "Itu. Pakailah pakaianmu, Nisanak!"

Tanpa menoleh Pendekar Rajawali Sakti melemparkan baju gadis itu yang tergeletak di dekatnya, untuk menutupi tubuhnya yang halus putih dan mulus itu. Sesaat Rangga menunggu.

"Sudah kau kenakan pakaianmu?" Tanya Rangga.

Gadis itu tak menjawab. Sementara Rangga hanya mendengar isak tangis yang membuatnya berbalik. Tampak gadis ini tertunduk lesu ditepi pembaringan.

"Apa yang terjadi padamu?" tanya Rangga pelan.

"Aku..., aku telah dinodainya...," sahut gadis ini lirih tanpa memandang Rangga. Tangisnya kini sudah tak terdengar lagi, setelah mampu menguasai perasaannya.

"Kurang ajar!" desis Rangga dengan kedua tangan terkepal. Sungguh menyesal dia tadi tak mengejar Bawor. "Siapa mereka sebenarnya? Apa yang diinginkannya dari penduduk desa ini? Kulihat tadi beberapa orang penduduk melarikan diri ketakutan."

"Mereka tidak membunuhmu?"

Tiba-tiba gadis itu ingat sesuatu. Dagunya segera terangkat. Bola matanya yang basah oleh airmata memandang pemuda itu dengan heran.

"Tidak...."

"Kau beruntung. Biasanya mereka akan membunuh siapa saja yang mendekatinya!"

"Mereka memang berusaha membunuhku. Eh, maksudku, salah seorang dari mereka."

"Siapa?"

"Kalau tidak salah. Namanya Bawor."

"Bangsat terkutuk itu! Huh!" dengus gadis ini dengan wajah geram penuh dendam.

"Kau kenal dengannya?"

"Dialah yang menodaiku! Akan kucincang tubuhnya bila bertemu lagi dengannya!"

Rangga terdiam beberapa saat seperti bisa merasakan penderitaan yang dialami gadis ini.

"Mereka harus membalas atas semua kejadian ini!" tandas gadis itu.

"Tentu saja. Setiap kejahatan tentu akan mendapatkan ganjarannya."

Mendadak gadis itu teringat sesuatu. Dan secepatnya dia melompat keluar rumahnya. "Ayah...! Ibuuu...!"

Rangga mengikuti dari belakang tanpa mampu berbuat apa-apa. Gadis itu agaknya tengah mengalami penderitaan berat dalam hidupnya. Dia berlarian ke sana kemari di antara tumpukan mayat. Kemudian tatapannya tertumpu pada dua mayat yang agak berjauhan. Satu lelaki setengah baya dan seorang lagi wanita berusia empat puluh tahun.

"Ayah... Ibuuu.... Jangan tinggalkan Arum...!" jerit gadis ini sambil menangis dengan suara melengking, seraya menghambur ke arah mayat ibunya.

"Hhh...!" Rangga menghela napas panjang seraya menghampiri gadis bernama Arum perlahan-lahan, yang tengah bersimpuh dekat mayat ibunya.

"Kematian mereka sudah takdir. Kau harus merelakannya...," hibur Rangga lirih, begitu dekat.

"Ayah.... Ibu...." Arum kembali menangis dengan suara bergetar. Sama sekali tak dipedulikannya ocehan pemuda itu.

"Lebih baik kita kumpulkan mereka, lalu menguburkannya esok hari...," lanjut Pendekar Rajawali Sakti.

Gadis itu tetap tidak peduli. Dan dia tidak beringsut dari tempatnya semula.

"Hari telah sore. Dan sebentar lagi malam...."

Arum masih terdiam.

"Kau mesti istirahat...," usik Rangga lagi.

"Tinggalkan aku sendiri di sini!" sergah Arum, tajam.

"Tapi...."

"Kumohon, tinggalkan aku sendiri!" ulang gadis ini menegaskan.

"Baiklah. Kalau itu keinginanmu..., terserah saja."

Rangga melangkah gontai meninggalkan gadis itu. Sesaat dia terhenti, lalu menoleh. Tampak Arum tetap menunduk memandangi mayat kedua orangtuanya.

"Hhh...." Rangga menghela napas, kemudian melompat ke punggung Dewa Bayu. Bergegas digebahnya kuda berbulu hitam ini, meninggalkan desa itu.

********************

TIGA

Langkah Bawor tersaruk-saruk ketika memasuki pinggiran Hutan Pucung. Meski dadanya terasa nyeri, namun ada yang lebih nyeri ketimbang itu. Yaitu, rasa dendam di hatinya.

"Keparat! Dia harus mati di tanganku!" desis pemuda berbaju kuning itu berulang-ulang.

Belum habis rasa kesal Bawor, mendadak berkelebat satu bayangan merah ke hadapannya. Dan tahu-tahu telah berdiri di hadapan Bawor. Bawor melompat gesit. Langsung diayunkannya sebelah kakinya.

"Hiih!"

"Uts! Sabar, Bawor. Ini aku Sukma!" seru sosok bayangan merah yang baru muncul, seraya melompat ke samping menghindari tendangan.

"Sial! Kukira siapa. Kau rupanya, Sukma."

"Kenapa kau ini, Bawor?! Kukira kau senang. Nyatanya tampangmu malah kusut bukan main," tanya sosok bayangan merah yang ternyata pemuda berbaju merah. Dialah Sukma, satu dari Lima Golok Setan.

"Sudahlah! Mana yang lain?" elak Bawor.

"Tengah bersantap. Ada apa?"

"Nanti saja kuceritakan."

Sukma mengikuti langkah Bawor yang terburu-buru menuju sebuah pondok kecil yang hampir roboh. Di sana, telah menunggu tiga kawannya yang lain.

"Lihat! Bisa kalian tebak apa yang terjadi padanya?!" seru Sukma sambil tersenyum lebar ketika Bawor menghempaskan tubuhnya di atas dipan disertai helaan napas sesak.

"Kukira dia kekenyangan sampai lemas begitu!" sahut pemuda berbaju biru tua yang tak lain Wisesa.

"Mana mungkin kekenyangan sampai lemas begitu...," timpal pemuda berbaju coklat, yang bernama Cakra.

"Kenapa tidak? Dia kekenyangan perempuan!" sanggah pemuda yang bernama Sembada. Mendengar itu mereka tertawa bersama.

"Berapa perempuan yang kau sikat, Bawor?!" lanjut Sukma.

"Sudah! Sudah! Aku sedang tidak suka bercanda!" bentak Bawor, berang.

"Hei, kenapa kau ini? Bukankah ini pestamu? Mestinya kau bangga. Karena semua penduduk desa itu yang dulu pernah menghina dan meremehkanmu, kalang kabut ketakutan!" tukas Sukma.

"Aku sedang pusing!" keluh Bawor bersungut-sungut.

Wisesa beringsut dari tempatnya. Didekatinya Bawor, sahabatnya itu. Kemudian dia menepuk pundaknya pelan. "Apa yang tengah kau pikirkan, Bawor. Ceritakanlah. Kami bukan sekadar kawanmu. Tapi juga saudaramu yang siap membantu segala kesulitanmu," ujar Wisesa.

Bawor menarik napas panjang. Sulit baginya menceritakan persoalan yang tengah dihadapinya.

"Ayo, katakanlah!" ulang Tukijan.

"Betul, Kakang. Ceritakanlah, apa kesulitanmu. Bukankah guru telah berpesan agar kita selalu bersatu dan saling bahu-membahu dalam mengatasi kesulitan?" desak Cakra.

"Benar, Bawor! Ceritakanlah, apa kesulitan yang tengah kau alami! Tidak biasa-biasanya kau pusing memikirkan sesuatu!" timpal Sukma.

"Guru pasti akan marah besar padaku...," gumam Bawor lirih.

"Apa maksudmu?" tanya Wisesa.

"Setelah kalian pergi lebih dulu, aku sempat bermain-main dengan seorang wanita. Dan setelahnya..., tiba-tiba saja seorang pemuda berbaju rompi putih telah berdiri di depan pintu...," tutur Bawor.

"Lalu?" selak Sukma semakin tertarik mendengarkan cerita kawannya.

"Aku menganggap remeh padanya. Dan...."

"Dia menjatuhkanmu?" tebak Wisesa.

Bawor mengangguk.

"Kurang ajar! Di mana dia sekarang? Biar kuhajar orang itu!" dengus Sukma.

"Jangan bertindak sembrono, Sukma. Dia bukan orang sembarangan...," ingat Bawor.

"Huh! Di dunia ini hanya guru kita yang terhebat! Tak seorang pun yang bisa mengalahkannya. Dan sebagai murid-muridnya, maka kita pun menjadi orang yang tidak terkalahkan!" dengus Sukma seraya membusungkan dada.

"Tapi buktinya dia memang hebat, Sukma...."

"Kau hanya lengah, Bawor. Percayalah.... Apa yang dikatakan Sukma benar. Guru orang terhebat sejagad. Dan kita muridnya pun mewarisi kehebatannya!" ujar Wisesa coba menyadarkan saudara seperguruannya.

"Aku telah menyerangnya dengan bersungguh-sungguh. Tapi, tetap saja dia berhasil menjatuhkanku dengan mudah...," ulang Bawor.

"Kenapa kau malah mengagung-agungkan musuh dan tidak percaya pada kemampuan sendiri?" tukas Sembada, tak suka.

Bawor tidak lagi menjawab. Rasanya percuma saja mendebat mereka. Lagi pula, mungkin saja mereka benar. Karena saat menghadapi lawan, dia dalam keadaan marah. Sehingga, tidak mampu mengendalikan diri.

"Kita cari dia untuk membalaskan sakit hati Kakang Bawor!" desis Cakra.

"Ya!" sambut yang lain cepat.

"Dimana terakhir kau bertemu dengannya?" tanya Sembada.

"Di Desa Jeram...."

"Kita berangkat kesana sekarang juga!" seru Sembada.

Tekad itu langsung disambut yang lain dengan bersemangat. Namun, tidak buat Bawor.

"Kenapa kau diam saja? Ayo bangkit dan tunjukkan semangatmu!" seru Wisesa, melihat Bawor masih terpaku.

"Tapi, kalian.... Kalian tidak akan melaporkan kekalahanku itu pada guru, bukan?" tanya Bawor takut-takut.

"Kau tidak kalah, hanya lengah. Jadi, tak ada yang mesti dilaporkan!" sahut Sembada menegaskan. "Sekarang mari kita berangkat ke sana!"

"Baiklah...."

********************

Lepas senja Rangga baru tiba di pinggiran Desa Kayu Asem. Suasana terlihat sepi. Namun begitu lebih ke dalam, maka mulai terlihat keramaian. Suara orang bercakap-cakap terdengar ribut sekali. Barang-barang peralatan rumah tangga yang centang-perentang di depan beberapa buah rumah, serta bocah-bocah yang menangis atau tengah berkejaran dengan kawan-kawannya, membuat dahi Rangga sedildt berkerut.

"Hm.... Banyak sekali orang-orang mengungsi ke sini? Apakah mereka berasal dari desa yang tadi kulewati?" gumam Pendekar Rajawali Sakti lirih.

Rangga mendekati salah seorang wanita setengah baya yang tengah bercakap-cakap dengan beberapa wanita lain di depan sebuah rumah,

"Permisi, Nyisanak. Apa yang terjadi di sini?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Kami mengungsi...," jelas wanita ini.

"Mengungsi? Apakah Nyisanak dari Desa Jeram?"

Wanita itu mengangguk. Dipandanginya pemuda tampan berbaju rompi putih itu sejurus lamanya.

"Kau bukan penduduk Desa Jeram. Dan aku kenal semua penduduk di sana. Apakah kau penduduk desa ini?" tanya wanita itu dengan pandangan menyelidik.

Rangga menggeleng sambil tersenyum.

"Desa Kandis barangkali?" duga wanita itu.

"Bukan. Aku hanya seorang pengembara...."

"Pengembara?" Dahi wanita itu berkerut. Namun ketika melihat gagang pedang yang menyembul di balik punggungnya, dia maklum kalau pemuda ini bukan orang biasa.

"Kisanak! Apakah kau seorang pendekar?" tanya wanita ini.

"Mungkin begitu...," sahut Rangga ragu.

"Lalu kenapa kau diam saja? tidakkah kau tahu bahwa belakangan ini Lima Golok Setan tengah mengganas. Banyak yang telah menjadi korbannya. Coba lihat kami semua! Ini hanya sebagian kecil dari korban yang ditimbulkannya. Kami kehilangan rumah, harta benda, serta keluarga!" lanjut wanita itu dengan suara berapi-api, sehingga menarik perhatian orang-orang yang ada di dekatnya.

"Maaf, Nyi. Aku memang tengah mencari mereka...," sahut Rangga, buru-buru beranjak dari tempat itu untuk tidak menjadi perhatian yang lainnya.

Setelah agak jauh dari wanita tadi, Pendekar Rajawali Sakti mendekati beberapa orang lagi yang tengah berdiri dan mengatur beberapa orang pengungsi.

"Maaf, dimana aku bisa bertemu Ki Baluran?" tanya Rangga pada seorang pemuda yang hampir sebaya dengannya.

"Kisanak...!"

Belum sempat pemuda itu menjawab, terdengar panggilan dari samping kanan. Rangga menoleh, langsung melihat, seorang laki-laki tua menghampirinya.

"Kalau kau hendak mencari tempat, bersabarlah. Kami mesti mengatur mereka dulu. Terutama, wanita dan anak-anak...," lanjut laki-laki tua itu.

"Kedatanganku ke sini bukan untuk mengungsi, kisanak," jelas Rangga.

Laki-laki tua itu memandang Rangga dengan seksama. "Lalu, apa maksud kedatanganmu?" tanya laki-laki ini dengan dahi berkerut.

"Aku menerima undangan dari Ki Baluran," sahut Rangga, kalem.

"Siapa kau, eh, maksudku siapa namamu?"

"Rangga..."

"Rangga? Jadi, kau? Pendekar Rajawali Sakti?!" seru laki-laki tua itu dengan mata terbelalak, seperti tak percaya dengan pendengarannya sendiri.

"Ya, begitulah orang-orang memanggilku," sahut Rangga merendah.

"Oh, maafkan aku, Pendekar Rajawali Sakti. Kalau begitu mari kuantarkan padanya!" ucap laki-laki tua itu.

"Jangan terlalu berlebih. Panggil saja aku Rangga, Ki...."

"Aku Pajang. Kebetulan aku menjadi sesepuh di desa ini...."

Laki-laki yang tak lain Ki Pajang segera mengajak Rangga pada seorang laki-laki setengah baya yang berada di depan sebuah rumah cukup besar.

"Baluran! Aku membawakan seseorang untukmu...!" kata Ki Pajang, begitu tiba di halaman rumah cukup besar itu.

"Oh, Ki Pajang! Ada apa? Siapa pemuda ini?" tanya laki-laki setengah baya yang ternyata Ki Baluran, segera menghampiri.

"Apakah kau tidak mengenalinya, Baluran?" tanya Ki Pajang heran.

Ki Baluran memandang pemuda berbaju rompi putih itu untuk sejurus lamanya. "Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Ki Baluran.

"Belum. Seseorang bernama Ki Tambak Rejo menjumpaiku di Bagir. Katanya, kau ingin bertemu denganku...," jelas Rangga.

"Jadi..., jadi benar yang diceritakannya?! Kau..., kau Pendekar Rajawali Sakti?!" seru Ki Baluran dengan wajah gembira.

Rangga mengangguk. Ki Baluran langsung merangkul pemuda itu. Langsung ditepuk-tepuk punggung Rangga.

"Syukurlah kau mau datang memenuhi undanganku. Kukira orang sepertimu tidak akan mau menjumpai orang-orang seperti kami," ucap Ki Baluran.

"Jangan berkata begitu, Ki. Aku juga sama dengan kalian. Mana mungkin aku menolak bila seseorang memerlukan bantuanku," sahut Rangga bijaksana.

"Kalau begitu, mari kita bicara di dalam!" sahut Ki Baluran seraya mengajak tamunya masuk. "Ki Pajang.... Tolong urus mereka dahulu. Tunjukkan saja kamar-kamar yang ada di ruang belakang rumahku!"

"Kelihatannya kau sibuk sekali, Ki?" tanya Rangga berbasa-basi setelah dipersilakan duduk.

"Inilah yang menimbulkan persoalan itu, Pendekar Rajawali Sakti...," sahut Ki Baluran seraya menghela napas panjang.

"Maaf, Ki. Panggil saja aku Rangga. Oh, ya..., maksudmu bagaimana, Ki...."

"Mereka orang-orang yang tidak bertanggung jawab, Pendekar Rajawali Sakti..., eh, Rangga," sahut Ki Baluran dengan wajah geram. "Orang-orang yang hanya menuruti hawa nafsunya saja."

"Siapa yang Ki Baluran maksudkan?"

"Mereka menamakan dirinya Lima Golok Setan."

"Lima Golok Setan? Rasanya aku pun pernah mendengar nama itu!"

"Ah! Mereka tentu telah menyebarkan petaka di mana-mana!" dengus Ki Baluran geram. "Di mana kau bertemu dengannya, Rangga?"

"Di Desa Jeram."

"Desa Jeram? Para pengungsi itu semua berasal dari Desa Jeram. Beberapa hari lalu, bahkan desa ini dipenuhi pengungsi dari Desa Gelugur dan Desa Sakapatu," jelas Ki Baluran.

"Aku bahkan bertemu salah seorang dari mereka, Ki...."

"Lantas?"

"Kami bertarung. Dan dia dapat kukalahkan. Tapi, orang itu kubiarkan melarikan diri," jelas Rangga, sejujurnya.

"Sayang sekali. Mestinya mereka ditangkap dan langsung dibunuh saja!" dengus Ki Baluran geram.

"Apakah untuk urusan ini Ki Baluran mengundangku ke sini?" tanya Rangga

"Ya. Begitulah, Rangga...," sahut Ki Baluran, mendesah.

"Mereka memang hebat. Tapi kudengar di desa ini pun tidak kurang orang-orang hebat pula."

"Namun dibandingkan mereka berlima, rasanya kami ragu. Lagi pula, tidak hanya mereka yang kami khawatirkan," ungkap Ki Baluran.

"Hm... Lalu, siapa?"

"Orang yang berada dibelakang mereka."

"Maksud Ki Baluran?"

"Mereka berasal dari Hutan Pucung. Sedangkan di sana, bercokol seorang datuk sesat yang berjuluk Iblis Rambut Panjang."

"Apa hubungannya antara mereka?"

"Itulah yang belum kami ketahui. Tapi setidaknya, mereka berasal dari tempat yang sama. Dan secara tak langsung, pasti berhubungan satu sama lain."

"Mengapa Ki Baluran mengira demikian?"

"Selama ini, tak seorang pun yang bisa selamat kalau masuk ke hutan itu. Mereka pasti tidak akan kembali lagi," jelas Ki Baluran. "Aku punya keyakinan kalau mereka adalah murid Iblis Rambut Panjang."

"Iblis Rambut Panjang? Hm, pernah kudengar nama itu. Dia memang seorang tokoh sesat berilmu tinggi gumam Rangga.

"Selama ini, dia bersembunyi di Hutan Pucung. Dan pasti ada sesuatu yang tengah dikerjakannya."

"Mungkin juga...."

"Kembali ke soal lima pemuda itu. Apakah, kau punya cara untuk menghadapi mereka. Rangga?"

Rangga berpikir sebentar sebelum menjawab. "Siapa kira-kira yang kepandaiannya bisa diandalkan di desa ini?" tanya Rangga.

"Ada beberapa orang selain aku sendiri. Ki Pajang, yang tadi mengantarkanmu, lalu ada Ki Jarot, Nyi Girah, dan Ki Gandara yang memimpin sebuah padepokan di desa ini beserta murid-muridnya," jelas Ki Baluran.

"Hm, itu suatu kekuatan yang cukup hebat!" puji Rangga.

"Tapi dibandingkan mereka, rasanya tidak berarti...."

"Jangan patah semangat dulu! Kita coba kekuatan mereka berlima dengan kekuatan kita!"

"Dengan adanya kau di sini, kujamin mereka pasti akan lebih percaya diri!" tegas Ki Baluran.

"Jangan suka begitu, Ki. Aku juga manusia biasa seperti kalian semua," sahut Rangga merendah.

"Nama Pendekar Rajawali Sakti sudah tersohor di mana-mana. Dan mereka mempercayai kehebatannya!" puji Ki Baluran lagi.

"Aku tidak keberatan kalian memuji setinggi langit, meski aku sendiri merasa malu. Tapi setidaknya ada hikmah yang baik di dalamnya. Dan bila hal itu bisa menimbulkan rasa percaya diri, maka biarlah kutahan rasa malu itu," sahut Rangga seraya tersenyum.

"Itu memang kenyataan, Rangga. Tidak perlu malu!"

"Sudahlah.... Kita kembali pada pokok permasalahannya. Apakah Ki Baluran punya rencana menghadapi mereka?" tukas Rangga, mengalihkan perhatian.

"Aku sendiri tidak bisa memastikan, apakah mereka akan ke sini atau tidak. Tapi setelah tiga desa di sekitar kaki Gunung Pucung diporak-porandakan, maka aku yakin mereka akan ke sini juga."

"Lalu?"

"Aku hanya bisa memberi perintah agar semua penduduk bersiaga dan melaporkan siapa saja orang asing yang masuk ke desa ini. Mereka juga kuperintahkan untuk bersiap-siap menghadapi kemungkinan terburuk," papar Ki Baluran.

"Hm, itu bagus. Tapi kalau Ki Baluran tidak keberatan, aku ada sedikit usul.

"Apa itu?"

"Pengungsi di luar itu. Hendaknya kita jangan terlena sekadar mengurus mereka."

"Maksudmu?"

"Ajak mereka untuk sama-sama melindungi desa ini dari serangan Lima Golok Setan," papar Rangga.

"Tapi mereka amat ketakutan, Rangga. Kita tidak mungkin mengandalkan mereka...," sahut Ki Baluran ragu.

"Apakah penduduk asli desa ini pun tidak ketakutan? Mereka punya ketakutan sama. Yang jadi persoalan adalah, bagaimana menjadikan ketakutan itu sebagai kekuatan untuk menumbangkan musuh," jelas Rangga.

Dahi Ki Baluran berkerut bingung mendengar penjelasan pemuda itu. Bagaimana mungkin mengandalkan orang-orang yang tengah ketakutan untuk menghalau musuh? Barangkali sebelum melihat kehadiran musuh mereka telah kabur tunggang-langgang.

"Maaf, Rangga. Aku tidak mengerti dengan uraianmu," ucap Ki Baluran jujur.

Rangga menarik napas panjang, lalu tersenyum. "Ki Baluran.... Bila seekor babi terdesak karena dikejar-kejar pemburu, maka apa yang dilakukannya?" tanya Rangga, memberi perbandingan.

"Dia akan nekat menyerang pemburu itu," Jawab Ki Baluran.

"Nah! Bila hewan punya naluri untuk mempertahankan diri, mengapa manusia tidak? Manusia makhluk istimewa karena dikaruniai akal. Yang perlu adalah, menyadarkan kedudukan mereka sekarang. Apakah mereka akan terus-terusan lari, atau bertahan dan melawan? Hidup dikejar-kejar tidak akan merasa aman. Tapi kalau melawan, kita masih punya pilihan. Yaitu, menang," papar Rangga, panjang lebar.

"Dan kalau kalah, mereka tahu akan mati...."

"Setiap perjuangan membutuhkan pengorbanan. Manakah yang lebih baik mati sia-sia, atau mati karena mempertahankan hak dan martabat?"

Ki Baluran mengangguk, membenarkan kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. "Aku akan coba memberi pengertian pada mereka, Rangga."

"Terima kasih, Ki. Aku akan membantumu!"

"Terima kasih juga untukmu, Rangga.

EMPAT

Apa yang dikatakan Ki Baluran memang benar. Sejak penduduk mengetahui kehadiran Pendekar Rajawali Sakti di Desa Kayu Asem ini, maka semangat mereka bangkit. Orang-orang yang semula ketakutan, nyalinya mulai tumbuh. Mereka yang tadi jalan terbungkuk-bungkuk dengan muka pucat dan pandangan takut-takut, kini berani berjalan tegap. Seolah, masalah apa pun yang menghadang di depan akan mudah dibereskan.

"Dengan adanya Pendekar Rajawali Sakti, maka kelima pemuda itu akan kusikat habis!" tandas seorang laki-laki berusia dua puluh lima tahun pada kawannya.

"Jangan gegabah, Seta! Lima Golok Setan tidak bisa dipandang sebelah mata," ujar pemuda bertubuh kurus.

"Hei? Apa kau tak percaya dengan kehebatan Pendekar Rajawali Sakti, Ragil?!" tanya pemuda yang dipanggil Seta, tak senang.

"Aku percaya, Seta. Tapi kalau kau mampu menghadapi mereka, itu yang aku kurang percaya," sahut pemuda bernama Ragil sambil tersenyum kecil.

"Jelek-jelek begini aku murid Ki Gandara!" sahut Seta menepuk dada. "Ki Gandara orang hebat. Dan kurasa..., kehebatannya tidak kalah dengan Pendekar Rajawali Sakti!"

"Huh! Jangan gegabah kau, Seta!" ujar Ragil memperingatkan.

"Kenapa kau rupanya? Apa kau anggap guruku tidak hebat?"

"Bukan begitu. Ki Gandara memang hebat. Tapi menyamakannya dengan Pendekar Rajawali Sakti adalah keterlaluan!"

"Itu karena kau tidak melihat sendiri kehebatan beliau! He, tahukah kau, kalau Ki Gandara mampu melompat setinggi dua tombak? Beliau juga mampu melompat ke cabang pohon dengan gesit tanpa terjatuh. Apa kau pernah melihat Ki Jarot melakukannya?" tukas Seta, juga kurang suka bila Ragil juga sepert merendahkan gurunya. Nada bicaranya terdengar sengit.

Ragil memang murid Ki Jarot. Tidak seperti Ki Gandara yang memiliki padepokan dan punya murid banyak, Ki Jarot tidak punya padepokan khusus. Muridnya pun sedikit, tidak lebih dari sepuluh orang. Salah satunya adalah Ragil. Meski begitu, mereka percaya kalau kehebatan Ki Jarot tidak kalah dengan Ki Gandara. Dan ketika mendengar nada bicara Seta yang sepertinya meremehkan Ki Jarot, tentu saja Ragil tidak bisa menerimanya.

"Mungkin saja Ki Jarot tidak mampu melakukannya. Tapi, beliau mampu meremukkan seekor banteng yang kuat. Atau juga meremukkan kepala seekor gajah liar yang tengah mengamuk," sahut Ragil, tak kalah sengit.

"Mana mungkin!" cibir Seta.

"Kalau begitu, aku pun bisa mengatakan mana mungkin terhadap kemampuan Ki Gandara yang tadi kau katakan!" sahut Ragil tak kalah.

"Kau boleh datang dan menyaksikannya sendiri saat kami latihan!"

"Kau juga boleh datangkan banteng atau gajah liar untuk diremukkan guruku!"

"Hm, kenapa susah-susah? Kalau begitu mengapa kita tidak saling coba?" desis Seta seraya berhenti, dan langsung berhadapan dengan Ragil pada jarak dua langkah.

"Apa maksudmu?"

"Kita uji kemampuan kita untuk membuktikan, mana yang lebih hebat. Gurumu, atau guruku!"

"Boleh! Silakan mulai!" kata Ragil menyambuttantangan Seta. Baru saja mereka hendak bergebrak, dari kejauhan terdengar derap langkah berlari beberapa orang. Seta dan Ragil langsung melihat ke arah datangnya suara. Tampak beberapa pemuda lari tergopoh-gopoh menghampiri.

"Rimang! Balung! Parwa! Ada apa?!" tanya Seta heran.

"Celaka, Seta!" sahut pemuda yang bernama Parwa.

"Uts! Tenang dulu. Tarik napas dalam-dalam, lalu ceritakan apa yang terjadi," ujar Seta.

"Tidak sempat. Kita harus secepatnya memberitahukan ini pada Ki Baluran dan Pendekar Rajawali Sakti? tukas Rimang.

"Memangnya ada apa?" tanya Ragil.

"Lima Golok Setan muncul. Mereka membunuh lima orang peronda. Kami terpaksa melarikan diri untuk mengabarkan hal ini," jelas Rimang.

"Apa?! Mereka telah muncul? Celaka! Kita mesti memberitahukan orang-orang tua di desa ini!" seru Seta seraya mengajak ketiga kawannya.

"Kenapa tidak kita tahan saja mereka di sini? Mereka berlima dan kita pun berlima. Bukankah itu adil?" tahan Ragil.

"Ini bukan saatnya kita jadi pahlawan. Mereka orang gila berilmu tinggi. Kita tidak mungkin meladeninya!" sergah Seta.

"Daripada kita bergebrak berdua, bukankah lebih baik menghadapi mereka untuk membuktikan siapa yang lebih hebat?" tukas Ragil.

Mau tidak mau terbakar juga hati Seta mendengar kata-kata itu. Semula, dia coba melupakan persoalan mereka barusan, karena yang penting, menyelamatkan diri dulu. Tapi siapa kira rupanya Ragil masih penasaran untuk membuktikan kesempatan ini dalam mencoba kedigdayaan.

"Baik! Kita buktikan dengan menghadapi mereka!" sambut Seta.

"Seta! Apa-apaan ini? Ayo, lekas kita beritahukan yang lain!" seru pemuda yang bernama Balung.

"Benar! Jangan sok mau jadi pahlawan!" timpal Parwa.

"Kita akan celaka sendiri!" tambah Rimang.

"Aku dan Ragil telah sepakat untuk membuktikan mana yang lebih hebat antara guru kita atau gurunya. Tadinya kami akan bertarung. Tapi dengan munculnya Lima Golok Setan, maka mereka yang akan kami jadikan sasaran," jelas Seta. "Kalau kalian mau pergi silakan!"

"Seta! Kau tahu hal itu tidak perlu. Bahkan sama sekali tidak ada gunanya!" ujar Parwa menasihati.

"Dan kau, Ragil! Apakah hal itu lebih utama ketimbang persoalan yang kita hadapi bersama-sama?" tukas Rimang. "Kita perlu bersatu dan jangan berpecah-belah. Juga jangan bertindak sendiri-sendiri. Ki Baluran telah mengingatkan hal itu."

"Seta yang memulai. Aku menyambut tantangannya saja," sanggah Ragil.

"Tapi kau juga sebetulnya memang hendak membuktikan kehebatan pamor gurumu!" tangkis Seta.

"Itu karena kau yang lebih dulu memanas-manasi!" balas Ragil.

Sudah! Sudah! Ttdak perlu bertengkar. Kalau persoalan siapa yang lebih hebat, maka di dunia ini tidak ada yang hebat!" tukas Rimang. "Sekarang lebih baik kita pergi dan memberitahukan hal ini pada Ki Baluran."

"He he he...! Enak saja bacotmu bicara! Lima Gdok Setan lebih hebat dari segalanya!"

"Heh?!"

Sebuah suara yang mendadak saja menyahuti kata-kata Rimang, membuat semua yang ada di tempat ini tersentak kaget. Dan belum sempat mereka berbuat apa-apa berlompatan lima sosok, langsung mengurung lima pemuda itu dengan senjata golok panjang.

"Celaka! Itulah mereka!" desis Rimang. Kelima orang yang baru muncul itu tidak lain dari Lima Golok Setan. Salah seorang dari mereka yang bemama Sukma maju dua langkah ke depan dengan tatapan dingin.

"Hm.... Kalian orang-orang Desa Kayu Asem, bukan? Tentu kenal siapa kawanku ini?!" tunjuk Sukma pada kawannya yang bernama Bawor.

Kelima pemuda Desa Kayu Asem memperhatikan seksama. Empat dari Lima Golok Setan memang tidak dikenal. Namun yang seorang rasanya pernah dilihat.

"Seperti anak dukun Rungkut!" desis Balung yang dulu rumahnya agak berdekatan dengan dukun santet di Desa Kayu Asem.

"Kau yakin?" tanya Seta.

Balung mengangguk.

"Siapa, Balung?" tanya Rimang.

"Bawor...!"

"Ha ha ha...! Kau memang pintar, Balung!" sahut Bawor sambil tertawa bergelak. "Aku memang Bawor putra Ki Rungkut yang dibunuh oleh orang-orang tua kalian. Hari ini, aku menuntut balas atas kematian mereka!"

"Bawor! Jadi, kau salah seorang dari Lima Golok Setan?!" bentak Balung.

"Ha ha ha...! Syukurlah kau telah tahu, Sobat. Dan untuk itu, kau harus mati di tanganku!"

"Huh! Jangan dikira aku takut padamu!" dengus Balung. "Dulu aku tidak takut padamu. Dan sekarang pun tetap sama."

"Bagus! Nah, matilah kau sekarang! Yeaaat...!"

Begitu selesai ucapannya, secepat itu pula Bawor mencelat menyerang disertai teriakan menggelegar.

"Hup!" Balung cepat membuat kuda-kuda mantap untuk menangkis serangan. Begitu Bawor menga-yunkan tendangan kaki kanan, secepat itu pula tangan kirinya mengibas ke samping.

Plak!

Sungguh tidak diduga kalau Bawor menggunakan tenaga tangkisan tadi sebagai tumpuan untuk kaki kirinya yang terayun cepat menghantam dada.

Duk!

"Aaakh...!" Disertai jerit kesakitan, Balung kontan terjungkal ke belakang sejauh dua tombak. Wajahya berkerut menahan sakit.

"Yeaaah!" Sebelum Balung bangkit, Bawor telah menerkamnya secepat kilat.

Balung menyadari bahaya yang menimpanya. Maka jalan satu-satunya adalah bergulingan menyelamatkan diri. Balung berusaha dengan melenting tanpa menyadari kalau Bawor telah berkelebat menung-gunya. Maka ketika baru saja menjejakkan kaki, maka tendangan Bawor langsung meluruk deras. Dan....

Desss!

"Aaakh?!" Telak sekali tendangan itu mendarat di dada. Balung kontan kesakitan, dan kembali terlempar ke belakang. Dari mulutnya mengucur darah segar sepanjang luncuran tubuhnya.

"Kau kira bisa lolos dari seranganku? Huh! Kini, terima kematianmu'," desis Bawor, begitu melihat Balung jatuh berdebam di tanah.

Pemuda ini bermaksud menghabisi Balung. Tapi...

"Heaaa...." Saat itu juga kawan-kawan Balung bergerak membantu.

"Jangan khawatir, Bawor. Biar kami bereskan yang lain!" teriak Sukma.

Saat itu juga, pertarungan di antara mereka tidak dapat dielakkan lagi. Kalau Parwa dan Rimang bertarung sekadar mempertahankan diri, maka bagi Seta dan Ragil, ajang pertarungan ini dianggap sebagai uji coba bagi ketangguhan ilmu olah kanuragan yang mereka miliki.

Namun yang dihadapi bukanlah tokoh kemarin sore. Lima Golok Setan memiliki kepandaian jauh di atas mereka. Meski berusaha bertahan dan melawan mati-matian, sia-sia saja. Karena dengan mudah lima tokoh sesat itu menjatuhkan mereka.

Duk!

"Aaakh...!" Pertama Rimang yang terjungkal roboh. Lalu secepatnya menyusul Parwa. Dan berikutnya Seta serta Ragil secara bersamaan. Kesemuanya tidak lewat dari dua jurus.

"Bagaimana, Bawor? Kau ingin agar mereka dibereskan?" tanya Sukma.

"Bereskan saja! Mereka toh bukan sanak saudaraku!" sahut Bawor, mantap.

"Ha ha ha...! Kalian dengar itu? Ayo, berdoalah sebelum leher kalian putus!" teriak Sukma sambil tertawa cekakakan.

"Huh! Jangan dikira kami takut! Meski kalian bunuh sekalipun, kami rela mati ketimbang diinjak-injak!" dengus Seta seraya menyeka darah yang menetes dari sudut bibir.

"Bajingan keparat! Kalian kira akan semudah itu membunuh kami? Huh! Aku akan melawan sampai titik darah penghabisan!" timpal Ragil garang.

"Siapa yang butuh darahmu yang penghabisan? Kami hanya perlu kepalamu!" dengus Sukma.

Sret!

Bersamaan dengan itu, Sukma mencabut goloknya, siap menebaskannya ke leher Ragil. Dan baru saja Sukma akan bergerak....

"Apakah kalian hanya berani kepada lawan yang tidak berdaya?!"

"Hei?!" Sukma terkesiap mendengar seruan lantang. Seketika dia menoleh, dan melihat seorang pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung telah berdiri tidak jauh dari mereka. Di belakangnya tegak berdiri sekitar sepuluh pemuda dengan sikap garang. Kesepuluh pemuda itu sama sekali tidak dipandang oleh Sukma. Tapi pemuda berbaju rompi putih itu, memiliki tatapan mata tajam dan menusuk. Bahkan sampai menggetarkan hatinya tatkala saling adu pandang.

"Itu dia! Pemuda itulah yang kemarin menjatuhkanku!" tunjuk Bawor pada kawan-kawannya.

"Huh! Hanya bocah seperti ini saja kau sampai dikalahkan! Biar kubereskan dia!" dengus Sukma seraya melompat ringan mendekati pemuda berbaju rompi putih. Sukma memandang pemuda itu dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan tatapan dingin.

"Jadi kau yang kemarin telah menghajar salah seorang kawan kami, he?!" dengus Sukma.

Pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti tersenyum tak kalah dingin. "Begitukah menurutnya? Syukurlah kalau kalian menyadari," kata Rangga, kalem.

"Hei, Bedebah Busuk! Hari ini kau akan menebusnya dengan nyawamu!" tuding Sukma garang.

"Kau terlalu sombong, Sobat!"

"Huh! Akan kubuktikan!" dengus Sukma seraya melompat menerjang dengan sebuah tendangan bertenaga dalam tinggi.

"Uts...!" Rangga cepat menangkis tendangan dengan tangan kiri.

Plak!

Namun, Sukma kembali melanjutkan serangan dengan tendangan kaki yang satu lagi. Secepat kilat, Rangga merunduk sambil berputar dengan sebelah kaki mengancam selangkangan.

"Kurang ajar!" maki Sukma seraya mencelat ke samping.

Rangga tak menghiraukannya. Langsung serangannya dilanjutkan lewat tendangan beruntun. Dan ini membuat Sukma terkesiap melihat kecepatan Rangga bergerak. Dan secepatnya dia melompat mundur sambil jumpalitan. Tapi justru saat itulah makanan empuk bagi Rangga. Tanpa buang-buang waktu lagi, tubuhnya melejit seraya melepas tendangan geledek ke dada.

Duk!

"Aaakh!" Sukma kontan terjungkal roboh beberapa langkah sambil menjerit kesakitan.

"Hei?!" Kejadian ini menimbulkan kekagetan bagi kawan-kawan Sukma. Mereka tak percaya kalau Sukma begitu mudah dijatuhkan.

"Kurang ajar! Dia pasti lengah dan menganggap enteng lawan!" desis Wisesa.

"Pemuda itu memang hebat, seperti yang kukatakan pada kalian," timpal Bawor.

"Diamlah, Bawor! Dalam keadaan seperti ini jangan memuji lawan. Belum tentu dia sehebat yang kau ceritakan," tukas Wisesa. Seketika Wisesa mencelat ringan ke hadapan Pendekar Rajawali Sakti.

"Hm... Kulihat kau membawa-bawa pedang. Cabutlah. Dan, hadapi ilmu silat tangan kosongku!" ujar Wisesa meremehkan.

"Pedangku belum waktunya dikeluarkan!" sahut Rangga pendek.

"Huh, sombong!" Dengan serta merta Wisesa melompat menerkam, menggunakan jurus yang dikenal bernama 'Badai Topan Hutan Pucung'.

"Heaaat!"

Wus! Bet!

Serangan yang dilakukan Wisesa selalu menimbulkan desir angin kencang yang membuat Pendekar Rajawali Sakti sedikit kewalahan.

Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Karena dengan menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', tubuh Rangga mampu bergerak gesit menghindari serangan yang selalu kandas di tengah jalan. Bahkan dalam satu kesempatan, Pendekar Rajawali Sakti menyusup di antara serangan, seraya melepas satu sodokan ke dada lewat tendangan kilat.

Des!

"Aaakh...!" Wisesa terjungkal ke belakang disertai jerit kesakitan. Masih untung dia mampu jatuh di atas kedua kakinya. Namun tak urung wajahnya berkerut kesakitan. Sementara, sebelah tangannya mendekap dadanya yang terasa nyeri.

"Kurang ajar! Biar kujajaki dia!" dengus Cakra geram.

"Hati-hati, Cakra! Dia tidak bisa dipandang enteng!" ingat Bawor.

"Jangan khawatir, Kang! Aku bisa jaga diri. Kalau kalian bisa dijatuhkannya, maka mungkin denganku persoalannya akan lain. Ilmu silatku sedikit berbeda dengan kalian," sahut Cakra.

Apa yang dikatakan Cakra memang beralasan. Karena penglihatannya tidak bekerja, maka Cakra tidak bisa mengandalkan ilmu silat seperti yang dimiliki keempat kawannya. Dia memiliki ilmu silat khusus, seperti yang dimiliki tokoh-tokoh silat yang tidak memiliki penglihatan. Ilmu silat yang mengandalkan pendengarannya.

"Hup!" Dengan ringan Cakra mencelat ke hadapan Pendekar Rajawali Sakti pada jarak empat langkah.

"Kisanak! Mari kita bermain-main barang sebentar!" tantang Cakra lantang.

LIMA

Tanpa menunggu jawaban lagi saat itu juga Cakra bergerak cepat menyerang dengan mengibaskan goloknya.

Wut!

Tubuh Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas. Namun ujung golok Wisesa terus mengikuti. Begitu juga tatkala tubuhnya berjumpalitan beberapa kali dan melompat ke belakang. Ujung golok Cakra bergerak terus mengikutinya.

"Hm.... Anak ini menguasai ilmu silatnya dengan baik," gumam Rangga di hati.

"Yeaaat!"

"Uts!" Cakra mengejar terus tatkala Pendekar Rajawali Sakti baru saja menjejakkan kakinya ke tanah. Ujung goloknya langsung menyapu ke leher.

Rangga bergegas merunduk, lalu bergeser sedikit ke samping. Bersamaan dengan itu, Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat melepas tendangan menggeledek. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Duk!

"Aaakh...!" Cakra menjerit kesakitan dan terjungkal beberapa langkah ke belakang, begitu tendangan Rangga mendarat telak di dada.

"Cakra! Kau tak apa-apa?!" seru Sukma seraya mengejar kawannya.

Bawor dan yang lain segera menyusul kemudian.

"Oh! Dia memang hebat...," keluh Cakra sambil mendekap dadanya yang terasa nyeri.

"Biar kujajal dia!" dengus Sembada.

"Jangan! Sia-sia saja!" cegah Wisesa.

"Dia belum mencoba ilmu golokku, bukan?"

Apa yang dikatakan Sembada bukan sekadar sesumbar. Di antara keempat kawannya memang ilmu goloknya paling lihai.

"Lebih baik kita bereskan bersama-sama," usul Bawor.

"Tidak! Aku yakin bisa memereskannya!" tukas Sembada seraya bangkit berdiri, memandang tajam pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Mulailah!" ujar Rangga, dingin.

"Jangan" bangga dulu karena bisa menjatuhkan keempat kawanku. Aku akan menebas lehermu!" dengus Sembada.

Bersamaan dengan itu, Sembada mencabut golok. Langsung diserangnya Pendekar Rajawali Sakti.

"Yeaaat!"

Bet!

Golok Sembada yang panjang laksana pedang, menyambar ke leher Pendekar Rajawali Sakti secepat kilat. Dengan gesit Rangga mencelat ke belakang, sambil jumpalitan. Namun Sembada terus mengejarnya dengan satu tendangan menggeledek.

"Heaaat!" Begitu menjejak tanah, Rangga mengibaskan sebelah tangannya.

Plak!

Setelah terjadi benturan, Sembada langsung mengayunkan golok menebas pinggang. Namun Pendekar Rajawali Sakti lebih cepat mengegoskan tubuhnya sedikit. Kemudian sambil berputar, dilepaskannya tendangan ke dada.

"Hiih!" Bergegas Sembada melompat ke samping. Lalu cepat goloknya ditebaskan ke pinggang Pendekar Rajawali Sakti.

"Uts!" Rangga segera menjatuhkan diri sambil mengait kaki Sembada.

Plak! Bruk!

Dan begitu Sembada terjatuh, sebelah kaki Rangga menghantam pergelangan tangan yang menggenggam golok. Sementara sebelah lagi menghantam ke perut.

Tak! Begkh!

"Aaakh...!" Tak ayal lagi, Sembada menjerit kesakitan. Tubuhnya langsung melengkung dengan mata melotot. Tampak urat mukanya menegang menahan rasa sakit

"Hup! Bangkitlah! Kuberi kau kesempatan sekali lagi!" ujar Rangga segera bangkit dengan melejit ke belakang.

Sembada pun bangkit dengan wajah berang. Pandangan matanya kelihatan menyimpan amarah dan dendam. Namun begitu, dia tidak berani lagi mencoba seorang diri.

"Kenapa diam saja?! Ayo, kita bereskan dia!" seru Sembada pada keempat kawannya.

Mendengar teriakan Sembada yang lain serentak melompat mengurung Rangga. Tapi mereka yang tadi berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti tidak tinggal diam. Dan langsung mencabut senjata masing-masing untuk memberikan bantuan. Begitu juga Seta, Ragi, Rimang, Balung, dan Parwa.

"Tidak usah! Menepilah kalian. Biar mereka kutangani sendiri!" kata Pendekar Rajawali Sakti.

"Tapi, Pendekar Rajawali Sakti! Mereka berlima. Sedangkan kau hanya sendiri!" kilah Seta.

"Tidak apa-apa...," sahut Rangga berusaha meyakinkan. "Nah, mundurlah!"

Meski ragu-ragu, toh akhirnya mereka yang hendak membantu segera menepi juga. Namun untuk berjaga-jaga, mereka membuat lingkaran. Kalau Pendekar Rajawali Sakti terdesak, maka mereka akan segera memberi bantuan.

"Salah seorang pergi. Laporkan hal ini pada Ki Baluran serta yang lainnya!" bisik Seta agak keras.

"Biar aku saja!" sahut seorang pemuda.

"Cepat!"

"Iya, iya!" Pemuda itu langsung keluar dari barisan, dan berlari cepat ke arah desa.

Sementara itu Rangga telah bersiap menghadapi Lima Golok Setan yang mengitarinya dengan wajah dingin dan sikap mengancam.

"Yeaaat!" Sukma mendahului dengan teriakan melengking. Serangannya cepat dan bertenaga kuat.

"Heaaa...!" Kemudian, diikuti serangan empat orang lainnya yang saling susul-menyusul.

"Hup!" Rangga cepat membungkuk menghindari tendangan Sukma, lalu melompat ke samping. Ditangkisnya sodokan Wisesa sambil menunduk untuk menghindari sabetan golok Cakra dari arah samping. Dan tiba-tiba tubuhnya melenting ke atas.

Namun Sembada dan Bawor telah menunggunya. Tanpa mau buang-buang waktu mereka langsung menyerang Rangga. Rangga menangkis kedua serangan dengan gesit.

Plak! Plak!

Namun baru saja Pendekar Rajawali Sakti hendak balas menghantam, mendadak dari arah belakang, Wisesa mengirim tendangan geledek. Saat itu juga tubuh Pendekar Rajawali Sakti berputar bagai gasing seraya meluncur deras ke arah samping kiri. Dan seketika tubuhnya berkelebat cepat mengerahkan jurus 'Seribu Rajawali'.

"Hiyaa! Hiyaa! Hiyaaa!"

Tubuh Pendekar Rajawali Sakti berputar cepat mengelilingi Lima Golok Setan. Seolah-olah tubuhnya kini berjumlah banyak. Sesekali, Rangga meluruk deras kearah Lima Golok Setan. Bukan saja menangkis serangan, tapi juga balas menyerang dengan gencar. Dan....

Begkh! Diegkh...!

"Aaakh...!"

Sembada dan Bawor tampak terjungkal ke belakang disertai jerit kesakitan. Ketika salah satu tubuh Rangga mendarat tadi, Sembada mendapat sodokan telapak tangan kiri. Sementara Bawor mendapat hajaran di dada lewat tendangan keras.

"Heaaat..!"

Sebenarnya Lima Golok Setan kebingungan, mana yang harus diserang. Karena, tubuh Pendekar Rajawali Sakti tampak begitu banyak. Dengan asal-asalan, Sembada, Wisesa, dan Cakra menyerbut bersamaan. Namun setiap kali menyerang, mereka hanya menebas angin kosong. Seolah-olah tubuh Pendekar Rajawali Sakti hanya berupa bayangan saja.

"Heaaa...!" Tiba-tiba, Pendekar Rajawali Sakti mencuat. Langsung dihantamnya dada Sukma.

Duk!

"Aakh...!" Sukma kontan terpekik. Tubuhnya terjengkang terhantam kepalan Rangga.

Cakra dan Wisesa geram bukan main. Mereka pun segera kembali menyerang dari dua arah. Belakang dan depan.

"Uts!" Dengan merubah jurusnya menjadi 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Rangga melesat ke atas menghindari sabetan golok Cakra. Sementara itu dari arah depan, Wisesa telah berbalik sambil mengayunkan tendangan ke perut.

Dan semua serangan itu memang luput. Bahkan seketika setelah berputaran beberapa kali, Pendekar Rajawali Sakti meluruk dengan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' dengan kedua kaki berputaran. Lalu....

Bak! Begkh!

"Aaakh!"

Cakra dan Wisesa kontan terjungkal roboh sambil mengeluh kesakitan, begitu tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di dada dan punggung.

"Hup!" Begitu mendarat, Pendekar Rajawali Sakti kembali melenting ke samping untuk mengatur jarak terhadap Lima Golok Setan yang cepat bangkit dan bersiap kembali menyerang.

Srak! Sret!

Empat dari Lima Golok Setan langsung mencabut golok masing-masing.

"Adakah di antara kalian yang bersedia meminjamkan golok untuk kupakai?" tanya Rangga pada para pemuda yang mengikutinya.

"Silakan pergunakan punyaku, Pendekar Rajawali Sakti!" sahut salah seorang pemuda, buru-buru menghampiri menyerahkan goloknya.

"Terima kasih...," ucap Rangga, begitu menerima golok.

"Huh! Kau betul-betul menganggap rendah pada kami, he?! Kenapa tidak kau cabut saja pedangmu!" dengus Sukma.

"Jangan pedulikan soal itu! Bereskan dia secepatnya!" selak Wisesa.

"Pergunakan jurus 'Hujan Golok Menebas Lalang'!" teriak Sukma.

"Yeaaat...!"

"Hiih!"

Kembali Lima Golok Setan mengurung Pendekar Rajawali Sakti dari lima jurusan. Dan seketika, mereka menyerang bersamaan.

"Hup!" Rangga bersiap menyambut mereka dengan mengibas-ngibaskan goloknya sambil memainkan jurus gabungan dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Seketika tubuhnya berkelebat sambil memutar-mutar golok di tangannya.

Trang!

Golok di tangan Pendekar Rajawali Sakti menangkis sabetan golok Wisesa. Lalu arahnya berbalik cepat ke samping, menangkis sambaran golok di tangan Sembada sambil menundukkan kepala. Sehingga, serangan Sukma dari belakang luput mengenai sasaran.

Pada saat berikutnya, Rangga harus mengegoskan tubuhnya. Sehingga, tusukan golok Cakra berhasil dihindarinya. Lalu tubuhnya melejit ke atas, menghindari sambaran golok Bawor.

"Hup!"

"Haaat...!"

Lima Golok Setan terus mengejar, seperti tidak memberi kesempatan sedikit pun pada Pendekar Rajawali Sakti. Padahal, saat itu juga Rangga telah berbalik. Golok di tangannya dikibas-kibaskan demikian cepat, membabat semua golok di tangan Lima Golok Setan.

Trak! Tak!

Bret! Cras!

"Aaa...!" Dua golok terpental, disusul terdengarnya jeritan melengking tatkala Bawor terjungkal berlumuran darah. Isi perutnya terburai keluar disambar golok Rangga. Sembada pun terpekik, karena pinggangnya berdarah terserempet golok di tangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Cepat tinggalkan tempat ini!" teriak Wisesa seraya menyambar tubuh Bawor. Sementara Sukma menyambar tubuh Sembada.

"Heaaa!"

Saat itu juga Cakra, Sukma yang membopong Sembada, dan Wisesa yang membopong tubuh Bawor, mencelat kebelakang sambil melemparkan sebuah benda sebesar telur puyuh ke arah Pendekar Rajawali Sakti secara bersamaan.

Wusss!

Blushh...!

Begitu benda itu melesat, Rangga melenting ke belakang. Dan ketika kakinya mendarat, asap tebal telah menghalangi pemandangan. Kesempatan itu digunakan empat dari Lima Golok Setan untuk terus melesat.

"Sial! Mereka cerdik juga!" desis Rangga, setelah melepas aji 'Bayu Bajra' untuk mengusir asap yang menghalangi pandangannya.

Hal itu memang disengaja oleh Lima Golok Setan untuk menghambat bila Pendekar Rajawali Sakti mengejar. Memang begitu cepat gerakan Lima Golok Setan. Sampai-sampai Rangga belum sempat mengerahkan aji 'Tatar Netra' untuk menembus asap tebal itu dengan pandangan matanya. Dengan demikian, Pendekar Rajawali Sakti tak tahu ke mana mereka melarikan diri.

Apalagi, mereka berlari menembus hutan yang tak jauh dari tempat pertarungan. Rangga berbalik, ketika mendengar suara langkah kaki tergopoh-gopoh mendatanginya. Begitu menoleh, Rangga melihat serombongan penduduk Desa Kayu Asem yang dipimpin Ki Baluran.

"Bagaimana, Rangga? Kau berhasil meringkus mereka?" tanya Ki Balukran langsung.

Rangga menggeleng lemah. "Sayang sekali. Hanya seorang yang berhasil kulukai. Yang lainnya berhasil masuk ke dalam Hutan Pucung...," desah Rangga.

"Apakah kau tidak berani mengejar mereka, Rangga?" tanya Ki Gandara.

Rangga memandang orang tua itu sekilas, lalu menghela napas pendek tanpa berkata apa-apa. Ki Baluran dan yang lain seketika ikut melirik Ki Gandara. Pertanyaan itu memang tidak sopan sekali. Mungkin terdorong rasa geram dan dendam untuk bisa mendapatkan buruan yang selama ini membuat mereka tidak enak tidur dan tidak enak makan.

"Ki Gandara! Tidakkah kau lihat kalau Rangga letih? Masuk ke dalam Hutan Pucung dalam keadaan seperti ini seperti bunuh diri. Dia belum pernah ke sana. Padahal, didalamnya selain dihuni ribuan ular berbisa, juga binatang-binatang buas serta pasir dan rawa hidup," jelas Ki Baluran.

"Mereka akan keluar. Kita tunggu saja," sambung Rangga, datar.

"Maaf, aku tidak bermaksud merendahkanmu, Rangga...," ucap Ki Gandara menyadari kekeliruannya.

"Sudahlah, tak apa...."

"Katamu tadi salah seorang dari Lima Golok Setan telah kau lukai? Apakah dia tewas?" tanya Ki Baluran.

"Kelihatannya begitu.... Tapi kalau guru mereka ahli pengobatan, mungkin orang itu bisa tertolong...."

"Guru mereka? Ah! Kenapa aku bisa melupakannya!" seru Ki Baluran sambil menepuk jidat.

"Kenapa dengan gurunya, tanya Rangga seraya mengerutkan dahi.

"Muridnya terluka parah. Sudah pasti dia tidak akan tinggal diam, melihat keadaan itu!"

"Jangan terlalu mempersoalkan hal itu, Baluran," ujar Ki Jarot. "Apa pun yang terjadi akan kita hadapi bersama."

"Betul, Ki!" timpal Rangga. "Aku akan tetap di sini sampai persoalan selesai."

"Terima kasih, Rangga...."

"Sebaiknya kita pulang. Aku khawatir mereka mencari jalan memutar dan mempbrak-porandakan desa kita!" cetus Ki Pajang.

"Ya, benar!" timpal yang lain.

"Mereka tidak akan secepat itu untuk tiba di Desa Kayu Asem," sahut Ki Baluran. "Tapi apa yang dikatakan Ki Pajang bukan tidak mungkin terjadi. Oleh sebab itu, karena tidak ada yang bisa dikerjakan lagi di sini, maka ada baiknya kita kembali."

"Apakah tidak sebaiknya beberapa orang menunggu mereka di sini, Ki?" tanya seorang pemuda.

"Siapa yang akan berjaga?"

"Kami bersama..., Pendekar Rajawali Sakti kalau dia setuju!" sahut pemuda itu seraya melirik Rangga.

"Bagaimana, Rangga?" tanya Ki Baluran.

"Aku setuju saja. Tapi dengan begitu berarti kekuatan kita terbagi-bagi. Padahal belum tentu mereka akan keluar sekarang. Dua kawan mereka terluka. Dan kalaupun sembuh, perlu waktu beberapa hari. Jadi kurasa mereka tidak akan muncul dalam satu atau dua hari ini. Meski begitu kewaspadaan kita harus tetap dijaga terus," sahut Rangga.

"Kalau begitu lebih baik kita semua kembali ke desa. Dengan begitu kekuatan terpusat di sana!" usul Ki Pajang.

"Ya. Kurasa itu lebih baik," sahut Ki Baluran.

Tak berapa lama kemudian mereka segera meninggalkan tempat itu.

********************

ENAM

Bagaimanapun Lima Golok Setan tetap merasa khawatir Pendekar Rajawali Sakti akan mengikuti. Makanya, Wisesa lantas memberi perintah agar terus berlari agak jauh ke dalam hutan.

"Kita berhenti di sini!" seru Wisesa, ketika telah merasa aman.

"Apakah kau yakin dia tak akan mengikuti kita?" tanya Sukma.

"Kurasa dia akan berpikir seribu kali untuk mengejar kita sampai di sini."

"Aku akan cari kayu bakar dan air!" kata Sukma selanjutnya.

"Aku cari makanan!" timpal Cakra. Wisesa mengangguk, kemudian membaringkan tubuh Bawor yang tengah sekarat. Sementara, Sembada yang terluka ringan hanya terduduk lesu.

"Kau harus bertahan, Bawor! Kau tak boleh mati!" desis Wisesa.

"Aku..., aku... akh...!"

Wajah Bawor menegang. Dan suaranya tercekat putus. Meskipun di tengah perjalanan tadi Wisesa sempat menotok beberapa jalan darah agar tidak keluar kelewat banyak, namun luka yang diderita kawannya itu cukup parah. Sehingga meski berusaha bertahan, namun akhirnya Bawor kalah juga.

"Bawor! Bangun! Bangun!" teriak Wisesa seraya mengguncang-guncangkan tubuh kawannya.

"Sudahlah, Wisesa! Dia tidak akan bangun lagi. Bawor sudah mati," ujar Sembada yang sesekali meringis karena menahan luka di pinggangnya.

Wisesa terdiam. Dipandanginya wajah Bawor untuk sejurus lamanya.

"Kita mesti menguburkannya...," lanjut Sembada.

Wisesa terdiam. Sembada pun ikut terdiam. Apa yang dipikirkan Wisesa, mungkin pula bisa dimengerti. Mereka berlima sudah seperti saudara, meski sebelumnya tidak saling mengenal.

"Pertama kali dia datang, tubuhnya kurus dan mukanya pucat. Dia ceritakan kalau ayah ibunya sudah mati. Dan orang-orang desa itu sering memukulinya...," tutur Wisesa seperti pada diri sendiri.

"Ya, aku juga dengar...."

"Ayah dan ibunya bekas dukun santet yang mati dikeroyok penduduk. Orang-orang tidak memandang sebelah mata padanya. Tiap kali ada yang terbunuh maka tuduhan selalu dialamatkan pada mereka. Para penduduk lantas menghukum mereka. Untung saja, Bawor bisa melarikan diri ke Hutan Pucung ini. Bisakah kau rasakan itu?" tanya Wisesa dengan suara mengambang tanpa menoleh pada kawannya.

"Ya...," sahut Sembada, pendek.

"Setelah kedatangan Bawor dan yang lain, kita membentuk hubungan saudara. Kini dia mati. Apakah kita akan tinggal diam saja!" lanjut Wisesa.

"Tidak! Aku bersumpah akan membalas si keparat itu!" desis Sembada.

"Ya. Dia mesti mati untuk menebus kesalahannya ini!"

Pada saat itu, Sukma dan Cakra telah kembali. Mereka mendekat dan mengusap-usap wajah Bawor sambil tertunduk sedih.

"Bisa kurasakan kalau Bawor tidak bernapas lagi...," gumam Wisesa lirih.

"Dia sudah mati...," jelas Sembada pelan.

Cakra mengangguk.

"Bajingan!" desis Sembada sambil mengepalkan kedua tangan. Wajahnya kelihatan geram sekali. "Dia mesti mati!"

"Pemuda itu?" gumam Cakra.

"Kau pikir siapa?!" geram Sembada.

"Tapi..., dia hebat sekali! Kita telah mencobanya berlima. Dan...."

"Diam, Cakra! Kira mesti membunuhnya meski apa pun caranya!" bentak Sembada geram.

"Apa caranya?!" balas Cakra sengit.

"Sudah! Jangan kalian pertengkarkan soal itu. Nanti akan kita pikirkan bersama!" lerai Wisesa.

"Apakah tidak sebaiknya kita memberitahu Guru?" usul Cakra.

"Tidak. Guru pasti akan marah. Dan bisa-bisa, beliau akan menghukum kita!"

"Kita belum mencobanya, bukan?"

Wisesa berpikir sebentar, lalu melirik Sembada dan Sukma. "Bagaimana menurut kalian?"

"Kurasa untuk saat ini belum perlu...," sahut Sukma.

"Kau punya usul?" tanya Wisesa.

"Yang menjadi persoalan bukan hanya pemuda itu saja. Tapi, juga semua penduduk Desa Kayu Asem. Untuk itu, mereka pasti mendapat pembalasan yang sama!" desis Sukma.

"Coba kau jelaskan apa rencanamu?" tanya Wisesa yang tidak mau bertele-tele.

"Kita tidak bisa menghadapi pemuda itu secara langsung, bukan? Nah! Kita gunakan cara lain!"

"Cara lain bagaimana, Kang?" tanya Cakra.

"Kita buat dia kebingungan!"

"Caranya?" cecar Sembada.

Sukma berbisik ke telinga mereka satu persatu. Dan ketiga kawannya itu mengangguk-angguk setuju.

"Boleh juga kita coba!" kata Wisesa.

"Ya!" sahut Sukma dan Cakra hampir bersamaan.

"Kita tunggu sampai beberapa hari. Dan, biar mereka mengira kita tidak kembali. Sekalian menyembuhkan lukaku,'' ujar Sembada.

Mereka mengangguk. Wisesa mengepalkan kedua tangan dengan wajah geram.

"Awas kau, Pendekar Rajawali Sakti! Rasakan pembalasan karni nanti!" desis pemuda ini.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Dua hari telah berlalu sejak kejadian, belum terlihat tanda-tanda akan munculnya Lima Golok Setan. Semua penduduk Desa Kayu Asem belum merasa aman. Mereka seperti menunggu meledaknya sebuah gunung berapi yang bisa sewaktu-waktu terjadi. Penjagaan di setiap sudut desa masih tetap berlangsung. Demikian pula seluruh isi rumah yang dipenuhi pengungsi dari tiga desa tetangga mereka.

Ki Baluran pun agaknya sama dengan mereka. Hanya saja, laki-laki setengah baya itu sedikit tenang karena mengetahui kalau Pendekar Rajawali Sakti berada di dekatnya. Paling tidak, dia merasa terlindungi.

"Apakah menurutmu mereka akan muncul lagi, Rangga?" tanya Ki Baluran suatu sore ketika mereka tengah duduk diberanda depan sambil makan penganan kecil.

"Dua hari telah berlalu. Bahkan kini menjelarig tiga hari. Itu waktu yang singkat, Ki. Mereka belum punah. Oleh sebab itu, aku yakin mereka akan kembali," jelas Rangga.

"Apakah mereka menunggumu pergi dari desa ini?"

"Mungkin juga begitu. Atau barangkali mereka punya rencana lain...."

Saat itu juga, seorang gadis cantik yang agaknya putri sulung Ki Baluran muncul menghidangkan dua cangkir kopi hangat.

"Silakan diminum kopinya, Kang!" kata gadis berwajah manis itu menawarkan sambil tersenyum. Matanya melirik malu-malu pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Terima kasih, Surti!" ucap Rangga ikut tersenyum, namun tanpa maksud apa-apa.

Gadis yang dipanggil Surti buru-buru berlalu ke belakang ketika Ki Baluran melirik padanya sambil tersenyum. Surti tidak biasa-biasanya menyuguhkan makanan atau minuman kepada tamu. Setiap kali kedatangan tamu, biasanya istri Ki Baluran yang selalu menyediakan hidangan. Tapi sejak kehadiran Rangga, maka Surti jadi rajin. Sesekali gadis ini terlihat mencari-cari kesempatan untuk bercakap-cakap dengan Rangga. Namun sejauh itu, Rangga tetap meladeninya tanpa maksud-maksud tertentu.

"Si Surti bulan depan genap berusia delapan belas tahun...," pancing Baluran sambil menghirup kopinya.

Rangga tersenyum.

"Beberapa waktu lalu banyak yang melamarnya, tapi kutolak...," lanjut Ki Baluran ketika pancingan pertamanya belum mengena.

"Kenapa, Ki?"

"Entahlah. Kurasa belum ada yang cocok. Lagi pula, Surti sepertinya tidak berkenan. Aku tidak ingin memaksakan kehendak padanya...."

"Ya, itu baik."

Ki Baluran ikut tersenyum namun terasa hambar, setelah mendengar jawaban Rangga yang singkat.

"Dia itu memang sedikit pemilih. Maunya yang sebaya, tampan, dan punya kehebatan yang disegani," ujar Ki Baluran, mencoba memancing pemuda itu lagi.

"Di desa ini kurasa banyak yang memenuhi seleranya, Ki."

"Itulah yang jadi masalah. Surti justru tidak berkenan dengan pemuda di desa ini."

"Lalu mau cari ke mana lagi?" tanya Rangga sambil tersenyum.

"Entahlah...."

Rangga masih tersenyum seraya menghirup kopinya. "Kembali pada persoalan semula, Ki. Aku ingin agar Ki Baluran tetap menegaskan perlunya ke-waspadaan terhadap para peronda. Baik siang maupun malam," kata Rangga mengalihkan pembicaraan.

"Ya, ya. Tentu saja!" sahut Ki Baluran cepat, meski hatinya sedikit kecewa karena Rangga sama sekali tidak tertarik membicarakan soal putrinya.

Sebenarnya ada niat di hati kepala desa itu untuk menjodohkan Rangga dengan putrinya. Tapi tentu saja dia tidak berani berterus-terang, karena merasa pembicaraan hal itu tidak tepat. Dia menunggu isyarat dari pemuda itu. Namun sejauh ini belum terlihat sedikit pun isyarat yang diinginkannya.

"Jangan sampai mereka lengah karena merasa bahwa keadaan telah aman," kata Rangga lagi.

"Tidak. Aku telah tekankan hal ini kepada mereka. "

"Kekuatan kita cukup hebat. Dan kalau mereka kembali rasanya sulit untuk berbuat macam-macam."

"Ya." Ki Baluran mengangguk.

Rangga bukannya tidak merasakan kalau Ki Baluran saat ini kelihatan kurang bersemangat menanggapi ocehannya. Pemuda itu lantas bangkit berdiri.

"Mau ke mana, Rangga?" tanya Ki Baluran.

"Aku pamit dulu hendak bergabung dengan mereka, Ki."

"Mereka tahu kalau sejak pagi tadi kau telah bekerja sama memantau. Oleh sebab itu, tidak ada salahnya kalau istirahat lebih dulu," cegah Ki Baluran, halus.

Rangga tersenyum. "Aku biasa istirahat sebentar. Dan kalau bisa jangan sampai lalai. Khawatir musuh kita akan menggunakan kesempatan ini. Aku pergi dulu, Ki!"

Tanpa menunggu jawaban Ki Baluran, Pendekar Rajawali Sakti melangkah lebar keluar sambil bersuit pelan. Saat itu juga Dewa Bayu yang selalu setia bersamanya berlari dari istal yang ada di samping rumah Ki Baluran.

"Ayo, Dewa Bayu! Temani aku keliling desa!" ujar Pendekar Rajawali Sakti sambil mengusap-usap leher hewan itu, lalu melompat gesit ke punggungnya.

Tak berapa lama, Rangga telah meluncur cepat meninggalkan halaman rumah ini. Ki Baluran hanya bisa memandangi sampai pemuda itu berbelok di tikungan. Dia menghela napas panjang. Lalu sambil mendesah kecil dan menggeleng lemah, laki-laki setengah baya itu kembali ke dalam dan mengunci pintu rapat-rapat.

Malam mulai merayapi Desa Kayu Asem. Meski sebagian penduduknya terlelap, namun sebagian besar tetap berjaga-jaga di setiap sudut rumah. Penjagaan yang dilakukan berlapis-lapis. Meski terbagi dalam beberapa kelompok, namun jarak antara tiap kelompok masih bisa dilihat oleh kelompok lain. Dengan begitu, apabila terjadi sesuatu pada satu kelompok, maka kelompok lainnya akan cepat memberikan bantuan.

Di sebelah timur Desa Kayu Asem tampak sebuah kelompok peronda berjumlah tujuh orang, tengah beristirahat di bawah sebatang pohon besar.

"Hhh..., capek juga!" keluh salah seorang peronda sambil bersandar di bawah pohon.

"Benar! Baiknya kita istirahat dulu," timpal peronda.

"Sudah hampir tiga hari tapi para bajingan itu belum nongol juga. Mungkin mereka kapok!" cetus salah seorang yang membawa obor.

"Ya! Mungkin mereka takut pada Pendekar Rajawali Sakti!" sahut yang bertubuh kurus.

"Bisa jadi, Sakta! Katanya salah seorang dari mereka mati. Apa benar?" tanya peronda yang bertubuh tambun.

"Benar, Gembul! Bahkan salah seorang terluka parah!" jawab peronda yang memegang obor.

"Mana bisa mereka melawan Pendekar Rajawali Sakti, Lingga! Jangankan Lima Golok Setan. Bahkan kurasa guru mereka pun tidak akan mampu menghadapi Pendekar Rajawali Sakti!" puji yang bernama Sakta, menimpali ucapan peronda yang memegang obor. Namanya Lingga.

"Pendekar Rajawali Sakti memang orang hebat. Bukan hanya namanya saja yang selangit, tapi kesaktiannya pun tidak diragukan lagi!" timpal peronda bertubuh tambun yang dipanggil Gembul.

"Huuu! Sok tahu kau, Gembul!" ejek Lingga.

"Iya! Dari mana kau tahu, Gembul?" tanya peronda yang bertubuh pendek. Dia dikenal bernama Wisnu.

"Dari orang-orang! Jelek-jelek begini, aku pernah merantau ke mana-mana. Dan di mana-mana kudengar orang membicarakan Pendekar Rajawali Sakti sebagai pendekar ternama!" tangkis Gembul membela diri.

"Gembul memang banyak lagak!" ejek Sakta. "Yang suka merantau itu kakangmu, Ganda. Kau hanya mendengar cerita-cerita dari dia. Iya, kan?"

"Ah, kan sama saja!" kilah Gembul.

"Beda, Gembul! Kalau si Ganda mendengar cerita yang benar, sedangkan kau coba mengelabui kami dengan mengaku-ngaku merantau segala!" dengus pemuda yang dikenal bernama Pamungkas. Lagaknya agak keperempuan-perempuanan.

"Sudahlah! Sudah!" tukas Gembul kesal.

Yang lain terkekeh sambil menuding-nuding ke arahnya. Gembul kelihatan kesal, lalu bangkit berdiri. Kemudian ditinggalkannya mereka.

"Hei, Gembul! Mau ke mana?" teriak Sakta.

"Aku bergabung saja dengan yang lain!"

"Semua sudah dibagi. Kau tidak bisa seenaknya saja mengatur!"

"Peduli amat!" Baru saja Gembul berkata begitu, mendadak berkelebat sebuah bayangan.

"Gembul awaaas...!" Sakta berteriak ketika menyadari bahaya yang menerkam Gembul secepat kilat. Namun....

Cras!

"Aaa...!" Hanya sekejap ketika Gembul terpekik, lalu ambruk bersimbah darah dengan leher nyaris putus.

"Mana bayangan itu? Kejar dia! Kejar!" teriak Sakta kalap, seraya memburu Gembul yang terkapar tak berdaya.

"Hilang, Sakta! Entah ke mana!"

"Bunyikan kentongan! Kenapa kalian diam saja?! Goblok! Bunyikan kentongan. Dan, beritahu yang lain!" teriak Sakta lagi.

"Eh, iya! Iya...!"

Kentongan segera dipukul bertalu-talu. Dan beberapa kelompok yang berdekatan dengan mereka langsung berdatangan. Tapi belum lagi mengetahui apa yang terjadi, mendadak terdengar pekik kematian dari arah lain.

"Aaa...!"

"Hei? Apa itu?!"

"Datangnya dari arah sana!" tunjuk salah seorang.

Beberapa orang yang berasal dari rombongan lain menuju ke arah jeritan tadi. Namun baru saja melangkah beberapa tindak, mendadak kembali terdengar pekik kematian dari arah lain.

"Aaa...!"

"Hei, dari sana!" teriak seseorang.

Mereka yang melakukan penjagaan mulai resah mendengar pekik kematian yang saling sambung-menyambung tanpa bisa dicegah. Para sesepuh desa seperti Ki Pajang, Ki Jarot, Nyi Girah, dan Ki Gandara melompat ke sana kemari, mengejar bayangan yang menyebabkan kejadian itu.

"Hei, berhenti kau! Keparat! Berhenti kau!" bentak Ki Gandara yang sempat melihat kelebatan bayangan hitam meninggalkan korbannya begitu saja.

Bayangan itu tidak mempedulikannya, terus berkelebat cepat di antara cabang-cabang pohon dan menghilang di kegelapan malam.

"Jahanam! Siapa mereka?!" dengus Ki Gandara sambil menyumpah-nyumpah tak karuan.

"Aaa...!"

"Hei?!" Pada saat itu juga terdengar jerit kematian di tempat lain. Ki Gandara buru-buru mengejar ke arah datangnya suara. Namun belum lagi di tempat tujuan, kembali terdengar jerit kematian dari tempat lain.

"Aaa...!"

Kejadian itu berlangsung cepat, membuat para peronda geram bercampur takut. Mereka bergerombol di satu tempat. Namun pekik kematian itu masih juga terdengar dimana-mana, saling sambung-menyambung.

Kejadian ini pun tidak luput dari perhatian Pendekar Rajawali Sakti. Semula pemuda itu merasa bingung juga. Namun dia langsung bisa menduga bahwa pelakunya bukan seorang. Maka diputuskannya untuk mengejar satu orang saja di antera mereka.

"Hup!" Maka ketika salah satu bayangan terlihat, secepat itu pula Pendekar Rajawali Sakti berkelebat mengejar dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh setinggi mungkin.

"Jangan kira kau bisa lari dariku!" dengus Pendekar Rajawali Sakti, geram.

"Hiih!" Rangga melenting, dan cepat mendarat di hadapan. Tapi secepat itu pula, sosok itu menyabetkan golok ke leher.

"Uts!" Rangga mengegoskan kepala ke samping, dan terus mencelat ke belakang beberapa langkah.

"Heaaa...!" Tapi kesempatan ini bukan dipergunakan bayangan itu untuk mendesak melainkan melarikan diri.

Siuuut!

Selarik sinar merah langsung melesat dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti.

Jdeer!

"Hei?!"
TUJUH

Sebatang pohon kontan tumbang dan hancur berantakan dihajar pukulan jarak jauh Pendekar Rajawali Sakti yang mengeluarkan cahaya merah. Hancur berantakan. Akibatnya bayangan itu tercekat, dan langsung menghentikan langkahnya, Dan sadar, dia melihat Pendekar Rajawali Sakti telah berada di depannya.

"Hm, kau rupanya! Pantas!" dengus Rangga ketika mengetahui kalau bayangan tadi adalah salah seorang dari Lima Golok Setan yang berbaju biru tua.

"Kau memang selalu mencampuri urusan orang!" dengus pemuda yang tak lain dari Wisesa, geram.

"Aku tak akan mencampuri urusan kalian, kalau tindakan kalian tidak biadab seperti itu. Membunuh orang tak berdaya tanpa belas kasih!" desis Rangga, dingin.

"Keparat! Jangan berkhotbah di depanku!" bentak Wisesa marah, langsyng menyerang. Tubuhnya meluruk melepas hantaman tangan kanan.

"Uts!" Rangga cepat memiringkan kepala sedikit. Lalu ditangkisnya sodokan kepalan tangan Wisesa.

Plak!

"Heaaa...! Wisesa tidak berhenti sampai di situ. Secepat kilat, dicabutnya golok. Dan langsung dikirimkannya serangan gencar bertubi-tubi. Dia tahu betul kalau lawannya ini memiliki ilmu silat tinggi. Maka dia tidak mau gegabah. Langsung dikerahkannya seluruh kemampuan yang dimiliki.

Bet! Wut!

"Hup! Hiyaaa!"

Meskipun sudah tahu sampai di mana kemampuan Wisesa, namun Rangga tetap tidak mau gegabah. Dicobanya menghindar dan menyerang dengan bersungguh-sungguh.

"Aji 'Sawer Wisa'" bentak Wisesa ketika melihat Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke belakang. Seketika kedua tangannya dihentakkan.

Wuuut!

"Hei?!" Rangga terkejut melihat cahaya hijau kekuningan menyambar ke arahnya. Buru-buru dia menjatuhkan diri, sehingga sinar hijau kekuningan itu lewat satu jengkal di atas kepalanya melabrak sebatang pohon kecil sampai hangus terbakar.

"Hebat!" puji Rangga sambil mendecah, setelah bangkit berdiri.

"Aku tidak perlu pujianmu, Bangsat! Yang kuinginkan adalah kepalamu!" hardik Wisesa.

"Sayang sekali. Orang sepertimu tidak akan kuizinkan mengambil kepalaku."

"Huh! Aku akan mengambilnya dengan paksa!" dengus Wisesa seraya melompat menyerang.

"Terlebih-lebih lagi dengan paksa!"

"Yeaaa...!" Rangga mencelat ke atas sambil berputar seperti gasing. Sementara Wisesa langsung memburu sambil melepaskan pukulan andalannya.

"Hiyaa!"

Begitu berada di udara, Rangga tidak berusaha mengelak. Bahkan kedua tangannya menghentak lewat jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dengan tenaga dalam amat tinggi.

Siuttt!

Ketika dua tombak lagi sinar hijau kekuningan melabrak, sinar merah dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti sudah menghadang. Dan....

Glarrr!

"Aaa...!"

Kedua pukulan dahsyat itu beradu menimbulkan bunga api besar yang mengiringi ledakan keras. Berikutnya, cahaya merah yang lepas dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti terus melesat, menggilas cahaya hijau kekuningan. Cahaya merah itu langsung menerpa Wisesa, hingga terjungkal roboh disertai pekik kesakitan. Tubuhnya kontan hangus seperti terbakar. Mati!

"Kakang Wisesa...?!" seru sesosok bayangan lain yang baru saja muncul di tempat itu.

"Hmmm...." Rangga tegak berdiri mengawasi ketika bayangan itu berjongkok meraba-raba mayat Wisesa.

"Dia sudah mati. Dan kau menyusul!" desis Rangga.

"Terkutuk! Kau bunuh dia, he?! Sekarang aku akan membunuhmu!" bentak bayangan itu, langsung bangkit dan bergerak cepat membabatkan golok di tangannya.

Wuuut!

"Uts!" Rangga melenting seraya jungkir balik menghindari sambaran senjata bayangan itu.

"Bagus! Kerahkan seluruh kemampuanmu....!"

"Aku akan membunuhmu, Keparat!" dengus salah seorang dari Lima Golok Setan bernama Cakra.

"Cobalah kalau mampu!"

Sret!

Dengan golok di tangan kanan, Cakra menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi baru saja beberapa serangan....

"Cakra, cepat tinggalkan tempat ini!" Terdengar teriakan bernada memerintah.

"Tidak! Dia telah membunuh Kakang Wisesa. Aku harus membunuhnya sekarang juga!" bantah Cakra.

"Apa?!" Terdengar seruan kaget. Dan bersamaan dengan itu, dua sosok tubuh melayang dari rerimbunan pohon.

"Keparat! Kau mesti mampus!" dengus salah seorang yang baru muncul, seraya menghentakkan kedua tangannya.

"Heaaat..!"

Wuut!

Djeer!

Orang itu langsung melepaskan pukulan jarak jauh yang sama seperti dilepaskan Wisesa tadi. Namun, Rangga gesit sekali menghindarinya dengan melenting tinggi. Sehingga, pukulan itu hanya mengenai tempat kosong.

"Kurang ajar! Kali ini kau tidak akan luput lagi!" dengus orang yang melepaskan pukulan jarak jauh. Dia tak lain dari Sembada.

Sementara itu, seorang laki-laki yaitu Sukma bersama dengan Cakra berusaha memojokkan Pendekar Rajawali Sakti begitu mendarat di tanah dengan serangan-serangan gencar. Namun sejauh itu belum juga menunjukkan hasil.

Disekeliling tempat pertarungan terlihat semua kelompok peronda telah mengepung rapat-rapat, dan tidak membiarkan ketiga orang musuh untuk bisa lolos.

"Rangga! Mengapa tidak kau cabut pedangmu? Mereka bersenjata, sedangkan kau tidak!" teriak Ki Pajang.

"Betul, Rangga! Kau bisa celaka jika terus tak bersenjata!" teriak Ki Baluran yang mulai khawatir melihat serangan gencar yang dilakukan ketiga lawan Pendekar Rajawali Sakti.

"Kurasa belum perlu. Tenang saja. Aku masih mampu membereskan mereka!" sahut Rangga tenang penuh percaya diri.

Apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti memang beralasan. Sebab sejauh ini, ketiga orang itu belum mampu melukainya. Meski mereka telah berusaha sekuat tenaga, tapi tetap saja Rangga luput dari sasaran.

Sebaliknya, melihat ketiga lawan menyerang gencar, Rangga pun membalas sengit. Dengan menggunakan rangkai jurus 'Rajawali Sakti, Pendekar Rajawali Sakti mampu mengimbangi.

Bet!

Ujung golok Cakra menyambar leher. Pada saat yang sama, Sukma melompat dari belakang menerkam leher. Cepat Rangga menjatuhkan diri, langsung menyambar kaki Cakra.

Duk! Bruk!

Cakra kontan jatuh berdebuk di tanah. Pendekar Rajawali Sakti lantas bergulingan menghantam lambung Sukma dengan tendangan geledek. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Desss...!

"Hugkh!" Sukma kontan terpelanting ke belakang disertai jerit kesakitan. Sementara Cakra cepat bangkit. Dan bersamaan dengan itu, Sembada pun melompat menyergap.

"Hup!"

"Hiyaaat...!" Rangga membentak nyaring disertai tenaga dalam tinggi, membuat lawan-lawannya tercekat. Namun meski begitu, yang bernama Cakra berusaha membabat ke sana kemari. Dalam keadaan seperti itu Rangga mencelat. Dari atas ditangkapnya pergelangan tangan kanan Cakra yang memegang golok.

Plak!

"Hei?!" Cakra terkesiap. Goloknya tahu-tahu telah berpindah tangan. Dan belum juga dia berbuat apa-apa, Pendekar Rajawali Sakti telah meluruk kembali. Lalu....

Crasss!

"Aaakh...!" Pada saat itu juga Cakra memekik ketika sebuah goloknya yang terampas memapas secepat kilat ke lehernya. Cakra mendekap lehernya yang tersayat. Dari sela-sela jari, mengucur darah segar. Sesaat kemudian dia ambruk tak berdaya. Mati.

"Bangsat kau, Keparat!" teriak Sukma, kalap bukan main. Dengan penuh nafsu, Sukma melompat sambil menebaskan golok dari belakang.

Wuuut!

Rangga memutar tubuhnya, seraya melemparkan goloknya ke arak pembokong. Gerakannya cepat bukan main, apa lagi juga disertai tenaga dalam tinggi. Dan....

Blesss!

"Aaa...!" Sukma kontan terpekik nyaring dengan mata melotot lebar, ketika golok yang dilempar Pendekar Rajawali Sakti menembus jantungnya hingga ke punggung. Tubuhnya ambruk bersimbuh darah, lalu mati setelah meregang nyawa.

"Aaa...!"

"Hei?!" Baru saja Rangga berbalik, terdengar teriakan kematian. Tampak Sembada melarikan diri sambil membabatkan goloknya. Saat itu juga, beberapa orang peronda ambruk tak berdaya termakan golok Sembada.

"Kurang ajar!" Rangga mendengus geram. Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti mengejar setelah menyambar salah satu golok yang tergeletak ditanah. Disertai pengerahan tenaga dalam sempurna, golok itu dilemparkannya ke arah Sembada yang terus berlari.

Wut! Bles!

"Aaa...!" Sembada kontan terjungkal roboh ketika golok yang dilemparkan Pendekar Rajawali Sakti tepat menembus punggungnya.

"Horeee...!"

Kematian anggota Lima Golok Setan yang terakhir disambut sukacita oleh seluruh penduduk Desa Kayu Asem yang menyaksikan kejadian itu,

"Hidup Pendekar Rajawali Sakti!"

"Hidup Rangga...!"

Seketika mereka mengerubungi dan mengangkat Rangga ke atas untuk diarak bersama-sama, menuju desa sambil berteriak-teriak menyerukan namanya.

DELAPAN

Sejak kematian Lima Golok Setan, Pendekar Rajawali Sakti sudah menduga kalau Iblis Berambut Panjang akan datang. Makanya, Rangga segera mempersiapkan segala sesuatunya, dan menjaga keamanan di Desa Kayu Asem.

Seperti malam ini, penjagaan di desa itu dilipat gandahan. Bahkan Rangga sendiri perlu turun tangan untuk mengatur penjagaan. Namun seketat-ketatnya penjagaan.

"Aaa...!" Malam yang pekat ini pecah oleh jeritan seseorang dari arah utara Desa Kayu Asem. Pendekar Rajawali Sakti yang berada di selatan tersentak kaget. Cepat tubuhnya berkelebat ke utara, dengan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi.

Ki Jarot, Nyai Girah yang menyertai Pendekar Rajawali Sakti, tertinggal jauh di belakang Rangga. Jelas ilmu meringankan tubuh mereka masih di bawah Pendekar Rajawali Sakti. Begitu tiba, mereka langsung disambut Ki Gandara yang bertugas mengatur penjagaan di utara.

"Dia Iblis Rambut Panjang!" tunjuk Ki Gandara langsung. Yang ditunjuk Ki Gandara adalah seorang laki-laki tua bertubuh sedang. Pakaiannya serba hitam dengan rambut panjang berwarna putih. Begitu panjang rambut itu, hingga sampai menyentuh tanah.

"Kau yakin?" tanya Nyi Girah.

Ki Gandara tak menyahut, tapi mengangguk.

"Celaka! Orang itu berbahaya sekali!" cetus Ki Baluran, yang juga menemani Ki Gandara di tempat ini.

"Apa kau sanggup menghadapinya, Rangga?" tanya Ki Pajang benada ragu. Dia baru saja tiba di tempat ini.

"Mudah-mudahan saja...," sahut Ki Baluran tak yakin.

"Pendekar Rajawali Sakti bukanlah nama kosong. Beliau pendekar hebat di zaman ini!" puji Ki Jarot untuk, membangkitkan semangat mereka yang mulai ketar-ketir.

Sementara itu, Rangga mulai melangkah perlahan-lahan mendekati sosok laki-laki yang memiliki sorot mata berkilau bagai mata kucing dalam gelap. Tidak dihiraukannya segala ocehan para sesepuh desa itu. Karena dia maklum, meski mereka memiliki ilmu silat hebat, namun tidak termasuk dalam daftar tokoh-tokoh tingkat atas di dunia persilatan. Wajar saja kalau mereka kebat-kebit melihat kemunculan datuk sesat yang bergelar Iblis Rambut Panjang ini.

Pendekar Rajawali Sakti berhenti ketika jarak mereka terpaut kurang lebih tujuh langkah. Dalam jarak itu, dia bisa melihat betapa wajah Iblis Rambut Panjang garang dan penuh kebencian.

"Kisanak! Siapakah kau? Apa maksudmu membunuh mereka?" tanya Rangga seraya melirik kearah beberapa mayat yang bergelimpangan. Mayat para penjaga keamanan, korban keberingasan Iblis Rambut Panjang.

"Siapa yang membunuh murid-muridku?!" bentak Iblis Rambut Panjang tak mempedulikan pertanyaan Rangga.

"Siapa murid-muridmu?!" balas Rangga membentak. Dan dia tak mau lagi berbasa-basi.

"Lima Golok Setan!"

"O, mereka kini tengah bersenang-senang di akherat," sahut Rangga enteng.

"Setan! Jangan sembarangan bicara! Atau, kupatahkan lehermu! Katakan padaku, siapa yang membunuh mereka?! Kalau tidak, maka seluruh desa ini akan kuratakan bersama semua penghuninya!" hardik laki-laki berambut panjang itu mengancam.

"Aku yang membunuh mereka."

"Kau? Hhh...!" Iblis Rambut Panjang menggeram buas. Dan tiba-tiba saja tubuhnya meluruk secepat kilat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Heaaarkh...!"

Tapi yang dihadapi Iblis Rambut Panjang bukanlah seorang pemuda yang baru belajar ilmu silat sejurus atau dua jurus. Pendekar Rajawali Sakti seketika mencelat ke atas sambil berputaran di udara. Namun, tokoh sesat itu mengejarnya sambil berteriak dahsyat laksana seekor harimau terluka.

"Heaaarkh...!"

Setiap serangan Iblis Rambut Panjang terasa diikuti desir angin kencang yang menunjukkan betapa hebatnya tingkat tenaga dalamnya. Rangga bukannya tidak menyadari hal itu. Untuk tidak membahayakan orang lain, maka dengan sengaja tubuhnya berkelebat menjauh, mencari tempat yang lebih leluasa. Agak jauh dari kerumunan, serta jauh pula dari pemukiman.

"Jangan lari kau, Keparat!" bentak Iblis Rambut Panjang geram dengan suara mengguntur.

"Jangan khawatir Sobat. Aku tidak akan ke mana-mana. Bukankah urusan kita belum selesai?" sahut Pendekar Rajawali Sakti begitu menemukan lapangan luas. Tubuhnya membuat putaran, lalu mendarat kokoh di tanah.

"Yeaaa...!" Iblis Rambut Panjang tidak mempedulikan ocehan pemuda itu. Seketika tubuhnya kembali meluruk, melepaskan serangan bertubi-tubi.

"Uts!" Sejauh itu Rangga masih berusaha menghindar dengan menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Tubuhnya meliuk-liuk indah bagai orang mabuk. Sambil bergerak, dia berusaha mengamati setiap pola serangan dan jurus-jurus yang dilancarkan Iblis Rambut Panjang.

"Hm, jurus-jurusnya tidak berbeda dengan Lima Golok Setan," gumam Rangga di hati. "Hanya saja dia menang tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh. Tidak mengherankan, karena dia guru mereka."

Setelah menaksir-naksir kekuatan tenaga Iblis Rambut Panjang, maka Rangga mulai menjajalnya. Segera ditangkisnya tendangan tokoh sesat itu yang menyodok ke perut.

Plak!

Begitu terjadi benturan, Iblis Rambut Panjang melanjutkan serangan dengan tendangan kaki yang satu lagi ke wajah. Cepat Rangga mencelat keatas dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Dan tiba-tiba, tubuhnya meluruk cepat sebelum Iblis Rambut Panjang siap menyerang. Kali ini dikerahkannya jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Kedua kakinya terjulur kokoh ke arah punggung, dan....

Desss!

"Akh!" Kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti telak menghantam punggung, membuat Iblis Rambut Panjang terhuyung-huyung ke depan sambil mengeluh kesakitan.

"Kurang ajar! Huh!" Iblis Rambut Panjang menggeram buas seraya berbalik. Kedua tangannya cepat disilangkan. Sehingga perlahan-lahan sebatas siku terlihat berubah kemerah-merahan.

"Yeaaa...!" Dengan membentak garang, Iblis Rambut Panjang kembali melesat menyerang.

"Hm!" Rangga bergumam pelan. Agaknya Iblis Rambut Panjang mulai mengerahkan salah satu kesaktiannya. Disadari kalau saja kedua tangan tokoh sesat itu bersentuhan dengannya, mungkin akan berakibat parah. Maka, Rangga harus berhati-hati menghindari setiap serangan. Kini Rangga lebih banyak berlompatan ke sana kemari.

"Hiih!"

Wuk! Bet!

Dua sodokan berturut-turut dari Iblis Rambut Panjang mengancam dada dan perut Rangga. Namun Pendekar Rajawali Sakti cepat mengegoskan tubuh, sehingga serangan-serangan itu hanya mengenai tempat kosong. Iblis Rambut Panjang menyambung serangan dengan sabetan sebelah kaki ke arah batok kepala.

"Hup!" Secepat kilat Rangga menjatuhkan diri kebelakang. Dan ketika Iblis Rambut Panjang mengejar, tubuhnya telah bangkit. Seketika dia melesat cepat bagai kilat sambil menghantam ke lambung dan dada.

Duk! Begkh!

"Aaakh...!" Iblis Rambut Panjang menjerit kesakitan dan terjungkal ke belakang. Meski begitu dia sempat berjumpalitan, namun segera tegak berdiri dengan sedikit sempoyongan. Wajahnya berkerut. Geram bercampur rasa sakit.

"Huh! Aku akan mengadu jiwa denganmu, Keparat!" desis Iblis Rambut Panjang garang.

Kedua tangan tokoh sesat itu menyilang didada. Kemudian dibuatnya gerakan-gerakan aneh. Lalu tiba-tiba saja, sebelah telapak tangannya dihantamkan kearah Pendekar Rajawali Sakti, yang sejak tadi telah mendarat di tanah.

"Yeaaa...!" Selarik cahaya hijau kekuning-kuningan melesat laksana kilat ke arah Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti terkejut. Buru-buru dia menjatuhkan diri. Pukulan itu pernah dilihatnya ketika Lima Golok Setan yang menggunakannya. Tapi kali ini lebih hebat dan tenaganya pun lebih kuat. Sehingga angin serangannya terdengar berkesiutan.

Brasss...!

Beberapa batang pohon roboh seperti dilanda hujan petir, ketika pukulan jarak jauh itu terus meluruk.

"Huh!" Melihat serangan pertamanya gagal, Iblis Rambut Panjang bersiap akan melepaskan pukulan kedua. Sementara Pendekar Rajawali Sakti telah bangkit berdiri kembali.

"Hm.... Pukulannya itu tidak bisa dibuat main-main!" gumam Rangga, seraya mengangkat tangannya kearah punggung. Lalu....

Sring!

"Hei?!" Begitu Pendekar Rajawali Sakti mencabut pedang pusakanya, seketika di sekitarnya terang oleh warna biru yang terpancar dari batang pedang. Pamor Pedang Pusaka Rajawali Sakti ternyata juga membuat kaget semua orang yang menyaksikan pertarungan.

"Iblis dari mana pun adanya kau, mari kita lanjutkan pertarungan ini!" seru Pendekar Rajawali Sakti, dingin. Wajah Pendekar Rajawali Sakti yang diterangi cahaya biru dari batang pedang itu terlihat penuh perbawa. Begitu jantan, namun menggetarkan.

Iblis Rambut Panjang bukannya tidak menyadari keperkasaan pemuda di depannya. Hanya saja dia baru menyadari kalau pemuda itu tak bisa dipandang enteng seperti yang dianggapnya semula.

"Aji 'Sawer Wisa'! Heaaa...!" Iblis Rambut Panjang membentak garang. Telapak tangan kirinya langsung dihentakkan. Seketika cahaya hijau kekuning-kuningan dari aji 'Sawer Wisa' meluruk bergemuruh dahsyat seperti hendak meremukkan tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

Pada saat yang sama, Pendekar Rajawali Sakti telah menggosok mata pedangnya dengan tangan kiri. Begitu sinar biru telah berkumpul di telapak tangannya, pedangnya cepat kembali dimasukkan dalam warangka. Sejenak Rangga membuat gerakan ke kiri dan ke kanan, dengan kuda-kuda kokoh. Lalu....

"Aji 'Cakra Buana Sukma'!" teriak Rangga sambil menghentakkan kedua tangannya yang terselimut cahaya biru sebesar kepala bayi.

Wuuut!

Seketika dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti melesat cahaya biru yang meliuk-liuk menyambar cahaya hijau kekuning-kuningan. Dan....

Glarrr...!

"Aaa...!"

Benturan dahsyat terjadi ketika dua pukulan beradu, menimbulkan pijaran bunga api besar dan desir angin kencang di sekitarnya. Dari celah-celah pijaran, tampak terpental satu sosok tubuh disertai teriakan menyayat.

Begitu pijaran api dan desir angin lenyap, baru jelas siapa yang terbujur kaku dalam keadaan gosong. Karena begitu melihat ke arah lain, tampak Pendekar Rajawali Sakti duduk bersimpuh dengan napas Senin-Kemis. Matanya berkunang-kunang dengan jantung berdebar keras.

Jadi jelas, yang tewas adalah Iblis Rambut Panjang. Maka kontan seluruh orang yang menonton pertarungan menghambur kearah Pendekar Rajawali Sakti.

"Hebat kau, Rangga! Kau berhasil membinasakan Iblis Rambut Panjang!" puji Ki Baluran.

Hanya kata itu yang terucap dari mulut kepala desa ini. Dan ketika melihat Pendekar Rajawali Sakti diam tak menjawab, Ki Baluran jadi serba salah lagi. Begitu juga yang lain. Mereka diam, dan berganti-ganti memandang Pendekar Rajawali Sakti serta mayat Iblis Rambut Panjang.

Ki Gandara yang tahu sedikit mengenai kehebatan Iblis Rambut Panjang, sudah dibuat ciut nyalinya melihat kemunculan tokoh sesat itu. Dan hatinya lebih bergetar tatkala Pendekar Rajawali Sakti berhasil membinasakan iblis itu. Kala memandang Rangga, dia seperti menaksir-naksir, seberapa tinggi kesaktian pemuda ini? Mengingat, telah sekian banyak tokoh yang tewas di tangannya.

"Ki Baluran...," sapa Rangga datar, seraya bangkit perlahan-lahan dengan mulut meringis menahan sakit.

"O, ya! Ada apa, Rangga?" tanya Ki Baluran cepat.

"Tidak perlu mengadakan pesta untuk menyambut kematian Iblis Rambut Panjang."

"Ya! Kami mengerti, Rangga."

"Sekali lagi terima kasih, Ki Baluran...."

"Seharusnya kami yang mengucapkan terima kasih padamu, Rangga!"

Rangga tak menjawab. "Suiiittt...!" Pendekar Rajawali Sakti bersuit nyaring sekali. Dan tak berapa lama, Dewa Bayu muncul dengan berlari kencang menghampirinya.

"Hieee...!" Kuda tunggangan Pendekar Rajawali Sakti meringkik kecil seraya mengusap-usap dada, leher, dan wajah Pendekar Rajawali Sakti dengan kepalanya. Rangga membalasnya dengan mengusap-usap leher hewan itu.

"Ki Baluran, kurasa tugasku di sini sudah selesai...," kata Rangga seraya memandang sesepuh Desa Kayu Asem satu persatu secara seksama.

"Lalu akan kemana tujuanmu, Rangga?"

"Ke mana saja kakiku melangkah."

"Tidak bisakah kepergianmu ditunda barang sehari atau dua hari, Rangga?" usik Ki Pajang.

"Benar. Tidakkah kau lihat mereka begitu ingin mengucapkan terima kasih padamu dengan berada di dekatmu untuk beberapa saat?" desak Ki Jarot.

"Tinggallah di sini barang sehari atau dua hari lagi, Rangga," bujuk Nyi Girah.

Rangga tersenyum. "Aku ingin, Kisanak semua. Tapi kalau aku berada di sini, maka tugasku akan terbengkalai. Beberapa orang mungkin tengah tersiksa, dilanda ketakutan, atau terancam bahaya. Aku tak mungkin diam melihat semua kenyataan itu. Maka, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Barangkali jika umurku panjang, kita bisa bertemu kembali...," jelas Rangga seraya melompat ke punggung Dewa Bayu.

Para sesepuh Desa Kayu Asem memandang pada Rangga tanpa berbicara sepatah kata pun lagi.

"Aku pergi dulu, Kisanak semua. Heaaa...!" Tanpa menunggu jawaban, Pendekar Rajawali Sakti menggebah kudanya kencang-kencang kearah barat. Ditembusnya kegelapan malam yang semakin pekat.

"Hm.... Kita memang tak bisa memaksanya...," gumam Ki Baluran.

Dan perlahan-lahan mereka meninggalkan tempat itu, mengurus korban-korban yang berjatuhan.

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: DENDAM SEPASANG GEMBEL