Dendam Sepasang Gembel - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

DENDAM SEPASANG GEMBEL

SATU

"Sial! Ke mana dadu itu, Rebung?! Jangan paksa aku menelanjangimu!"

Bentakan barusan berasal dari mulut seorang laki-laki bertampang kasar yang tengah bermain judi dadu koprok dengan beberapa laki-laki lain di sebuah gardu, di depan sebuah rumah besar berbentuk indah.

Permainan judi koprok ini memang sudah sampai pada titik puncaknya. Kebetulan, sang bandar berhasil menguras kantong para pemainnya, yang merupakan para penjaga keamanan rumah besar itu.

"Jangan begitu, Tumang! Baiklah. Ini, kukembalikan uangmu," tukas sang bandar yang dipanggil Rebung seraya mengeluarkan semua uang milik laki-laki bernama Tumang yang baru saja hendak menyambar bajunya.

Dalam permainan judi ini, memang uang Tumang yang paling tandas terkuras. Dan ketika entah bagaimana dadu itu menghilang, dia kontan naik darah. Amarahnya langsung ditumpahkan pada sang bandar.

Secepatnya Tumang menyambar uang yang disodorkan Rebung. Namun meski uangnya telah kembali, rasa penasaran dan kesalnya belum juga habis.

"Lalu, kemana dadu itu kau sembunyikan?!" desak Tumang, penasaran.

"Entahlah.... Aku sendiri tak tahu. Hilang begitu saja," tegas Rebung, meyakinkan.

"Mustahil!"

"Aku bersungguh-sungguh!"

Karena sebelumnya merasa telah dibohongi, Tumang jadi tidak buru-buru percaya. Padahal Rebung telah berkata yang sebenarnya.

"Makanya, jadi orang jangan curang. Memangnya kau sembunyikan ke mana dadu itu?" tukas pemain lain yang memiliki jenggot tebal dan panjang.

"Aku berkata jujur, Sangka! Dadu itu tidak kusembunyikan!" tangkas Rebung, menegaskan.

"Alaaah, ngaku saja!" desak laki-laki berjenggot yang dipanggil Sangka. Namun, laki-laki ini tidak mau meminta uangnya pada Rebung! Kekalahannya hanya dianggap sebagai buang sial yang tak perlu diambil lagi.

"Brengsek! Kenapa kalian menyalahkanku?! Sudah kukatakan, aku tak tahu kemana dadu itu menghilang?!" sergah Rebung, ikut-ikutan marah agar tidak terlalu disalahkan.

Tapi percuma saja kalau Rebung ikut-ikutan marah, karena kawan-kawannya tidak akan percaya.

"Kau yang mainkan dadu. Jadi mana mungkin dadunya menghilang begitu saja," sahut pemain lainnya. "Sudah, serahkan saja dadunya. Kenapa mesti bertahan segala kalau memang sudah ketahuan berbuat curang?"

"Sudah kukatakan aku tak tahu ke mana dadu itu! Kenapa kalian tidak percaya?!" teriak Rebung jengkel.

"Lalu kemana kalau bukan kau sembunyikan?!" balas Tumang tidak kalah garang.

"Aku tidak tahu! Mungkin terjatuh. Atau salah seorang dari kita menyembunyikannya!" bantah Rebung.

"Hm...!" Tumang bergumam seraya memandang kawan-kawannya.

"Ini masalah remeh. Tapi kalau ternyata di antara kita tidak ada yang menyembunyikan, maka akan menjadi masalah pelik. Baiknya masing-masing bersikap jujur. Berikan dadu itu, kalau memang menyembunyikannya!" seru salah seorang lagi, yang terlihat dengan otot-otot bersembulan di lengannya.

Laki-laki tinggi besar ini memandang mereka satu persatu. Tapi, semuanya menggeleng. Kalau mau bertindak lebih lanjut, dia bisa memeriksa mereka satu persatu. Tapi dia percaya kalau mereka tidak bohong. Memang, kalau laki-laki ini sudah bicara penuh wibawa, maka tidak akan ada yang berani main-main. Sebab dia tidak akan segan-segan menjatuhkan tangan. Apalagi untuk urusan sepele seperti sekarang. Hanya sebuah dadu! Dia yakin, tidak akan ada yang berani menerima hajarannya, karena kedudukannya memang sebagai kepala para penjaga keamanan ini.

"Lalu di mana dadu itu sekarang?" tanya laki-laki bertubuh tegap yang dikenal bernama Patigeni.

Tiada seorang pun yang menyahut. Mereka diam seribu bahasa.

"Apakah ini yang kalian cari?"

Mendadak terdengar suara yang disusul munculnya satu sosok tubuh di depan gerbang bagian dalam sambil menunjukkan dadu kecil.

"Hei?!"

Semua para penjaga keamanan yang ada di gardu ini menoleh, dan langsung tersentak kaget. Bagaimana sosok wanita bertubuh kurus dengan rambut awut-awutan ini bisa masuk padahal pintu terkunci rapat?

"Kenapa kalian terdiam? Istriku tengah bertanya!"

"Heh?!"

Kembali para penjaga itu tersentak kaget, ketika terdengar lagi suara lain yang lebih berat. Mereka kontan menoleh ke arah suara, di atas pagar telah berdiri satu sosok lain yang keadaannya hampir mirip dengan sosok pertama. Bedanya, sosok ini adalah seorang laki-laki. Tubuhnya kurus dengan pakaian kumal tak karuan.

Sepasang matanya menatap tajam ke arah para penjaga. Bibirnya tersenyum sinis. Ringan sekali laki-laki kurus dan kumal itu melompat ke bawah seperti daun kering tertiup angin. Dan tahu-tahu dia telah berada di samping wanita kurus yang tadi berdiri di depan pintu gerbang. Wanita yang ternyata istri dari laki-laki kurus itu melangkah beberapa tindak. Sementara sang suami mengimbanginya.

"Siapa kalian?!" bentak Patigeni seraya bersiaga terhadap kemungkinan yang bakal terjadi.

"Aku ingin bertemu majikanmu!" sahut perempuan kurus dengan pakaian kumal ini.

"Siapa yang kau maksud?"

"Siapa saja yang menjadi majikanmu!"

"Ki Danang Mangkuto sedang tidak menerima tamu. Apalagi untuk melayani pengemis. Pergilah!" usir Patigeni.

"Hi hi hi...! Kau dengar, Kakang Barata? Anjing-anjing saja sudah demikian galak. Apalagi majikannya?!" cibir wanita berpakaian gembel itu sambil terkekeh.

"Kaubenar, Retno. Hm.... Aku sudah tak sabar ingin bertemu majikan anjing-anjing ini!" sahut laki-laki berpakaian gembel yang dipanggil Barata.

Mendengar percakapan sepasang gembel itu membuat darah Patigeni bergerak cepat naik ke kepala. Apalagi ketika disamakan dengan anjing.

"Hei, Gembel Busuk! Jaga mulutmu! Jangan sembarangan bicara!" bentak Patigeni geram.

"Kau dengar, Kakang? Gonggongannya keras sekali!" ejek wanita gembel yeng bernama Retno.

"Keparat!"

Patigeni sudah tidak dapat menahan amarahnya. Seketika tubuhnya melesat ke luar gardu. Langsung diserangnya perempuan gembel itu dengan satu ayunan tangan bertenaga kuat. Namun Retno tak kalah sigap. Cepat tangan kirinya diayunkan menangkis pukulan.

Plak!

Dan mendadak kepalan kanan perempuan gembel ini menyodok ke dada. Gerakannya cepatsekali, sehingga kejadian itu terasa singkat. Tahu-tahu....

Dess...!

"Aaakh...!" Patigeni kontan terjungkal ke belakang disertai jerit kesakitan.

"Hei?!"

Para penjaga yang lain terkejut melihat Patigeni yang selama ini menjadi ketua, ambruk di tanah. Bagaimana mungkin Patigeni dapat dijatuhkan hanya sekali pukul? Padahal, mereka tahu kalau kepandaiannya cukup tinggi.

"Kang! Kang Patigeni...!" seru Tumang yang telah menghambur, dan coba mengguncang-guncangkan tubuh Patigeni.

Tapi Patigeni diam membisu. Tubuhnya perlahan berubah dingin mengikuti suhu di sekitarnya.

"Dia sudah mampus!" desis wanita gembel itu, terdengar dingin.

"Mati? Astaga! Kau telah membunuhnya!" sentak Rebung.

"Kalian akan menyusulnya!"

"Hah?!"

Mendengar kata-kata yang mengancam itu, tak terasa tubuh para penjaga menggigil ketakutan. Kalau saja Patigeni yang mereka takuti bisa mati dengan sekali hajar, maka apa yang bisa diperbuat melawan kedua gembel itu?

"Eh! Kami..., kami tidak punya salah apa-apa kepada kalian, bukan? Lalu kenapa kalian begitu kejam?" Tumang yang bertampang kasar sendiri memberanikan diri untuk mulai minta pengampunan.

"Kalian jelas salah, karena telah bekerja pada si durjana Joko Gending, anak si keparat bernama Danang Mangkuto!" desis Retno dengan suara penuh kebencian.

"Eh! Ka..., kalian punya persoalan dengan Den Joko Gending?!" tanya Tumang, tergagap.

"Keparat Joko Gending!" Wanita gembel bernama Retno itu membetulkan panggilan terhadap majikan muda mereka.

"Kalau boleh kami tahu persoalan apa?" lanjut Tumang.

"Jangan banyak tanya! Masuklah ke dalam. Dan suruh dia keluar!" dengus wanita itu geram.

"Kalau itu keinginanmu, baiklah. Aku pergi sekarang!" sahut Tumang seraya buru-buru meninggalkan tempat dengan langkah tergopoh-gopoh.

Namun baru melangkah beberapa tindak saja....

"Berhenti!"

"Hei?!" Tumang terkesiap, ketika mendengar teriakan keras. Tahu-tahu di depannya kini berdiri tiga orang pada jarak sepuluh langkah. Dia segera mengenali orang-orang itu.

"Ki Danang Mangkuto...! Den Joko Gending...!" sebut Tumang pada laki-laki tua yang berdiri di tengah, dan pada laki-laki berusia tiga puluh tahun yang berada di sebelah kanan.

Sementara yang berada di sebelah kiri adalah seorang laki-laki kekar berkumis tebal Golok bergagang besar tampak terselip di pinggangnya. Agaknya, dialah tangan kanan laki-laki tua yang bemama Ki Pengging.

"Ada apa, Tumang?" tanya Ki Danang Mangkuto.

"Eh! Anu, Ki...."

"Anu apa? Dan siapa kedua gembel itu?!"

"Mereka ingin bertemu Den Joko Gending...," jelas Tumang.

"Aku tidak punya urusan dengan mereka! Apalagi, dua orang gembel. Usir mereka dari sini!" bentak laki-laki berpakaian biru berusia tiga puluh tahun yang bernama Joko Gending sambil berkacak pinggang. Suara ketus.

"Hi hi hi...! Benarkah kau tidak punya urusan dengan kami, Joko Gending?" tanya Retno dengan suara tawa nyaring.

"Aku tidak kenal kalian! Pergi!" bentak Joko Gending garang.

"Ha ha ha...! Setelah memperkosa istriku beramai-ramai, lalu kau pikir bisa pergi begitu saja untuk melupakan tanggung jawabmu?!" tukas Barata dengan suara tawa penuh dendam.

"Hei, apa maksudmu? Jangan sembarangan bicara?!" dengus Joko Gending. Wajahnya merah padam karena amarah.

Kalau saja ayahnya tidak mencegah, mungkin Joko Gending akan menghajar kedua gembel itu. Dan dia hanya menoleh pada orang kepercayaan Ki Danang Mangkuto.

"Paman Pengging! Hadapi mereka!" ujar Joko Gending.

Laki-laki kekar bernama Ki Pengging maju kedepan ketika mendapat perintah.

"Kisanak dan Nisanak.... Jika kalian lapar, maka majikanku akan memberi makan. Jika kalian butuh uang, beliau juga bisa memberikannya. Tapi jangan menuduh sembarangan begitu. Keluarga Ki Danang Mangkuto adalah keluarga terhormat. Tidak mungkin Den Joko Gending berbuat begitu terhadap istrimu seperti yang tadi kau katakan," kata Pengging, datar.

"Ha ha ha...! Kau dengar, Retno? Mereka hendak mengelak dengan dalih keluarga terhormat?" kata Barata.

"Huh! Menjijikkan!" dengus Retno mempedulikan tawa suaminya.

Mata wanita gembel ini memandang tajam pada Ki Pengging. "Kami memang gembel. Tapi, bukan berarti seenaknya menuduh orang! Tanyakan pada anjing keparat itu, apa yang dilakukannya tujuh tahun lalu ketika pada pertemuan di tempat kediaman keluarga Ardisoma?! Apa yang dilakukannya kepada seorang wanita pembantu keluarga itu?! Katakan padanya! Dan ingin kudengar jawabannya, sebelum kuminta kepalanya!" tuding wanita gembel itu sengit.

"Hah, apa?! Tidak mungkin! Tidak mungkin...! Kalian sudah mati! Tidak mungkin bisa hidup!" sentak Joko Gending, dengan wajah pucat karena kaget.

********************

DUA

Ki Danang Mangkuto jadi tidak habis pikir melihat perubahan sikap putranya. Demikian pula Ki Pengging dan yang lainnya. Sebaliknya suami istri gembel itu terkekeh dengan suara menyeramkan.

"He he he...! Syukur kau masih ingat kejadian itu. Jadi, kami tidak susah-payah lagi menuntut balas!" lanjut Barata.

"Kurang ajar! Bunuh mereka sekarang!" teriak Joko Gending pada Tumang dan kawan-kawannya.

"Eh! Tapi, Den...."

"Bunuh mereka! Atau, kupecat kalian semua?!" bentak Joko Gending mengancam.

"Mereka..., mereka telah membunuh Patigeni," sahut Tumang ketakutan.

"Apa?!"

Ki Danang Mangkuto dan Ki Pengging terkejut Buru-buru mereka menghampiri mayat Patigeni yang ditunjukan.

"Ayo, bunuh mereka!" bentak Joko Gending lagi, tak peduli melihat kematian salah seorang anak buah ayahnya.

Tapi ketika tak seorang pun dari anak buahnya yang bergerak, laki-laki itu kalap sendiri. Langsung dia melompat menyerang kedua gembel itu.

"Keparat! Kubunuh kalian sekarang!"

"Biar ini menjadi bagianku, Retno!" ujar Barata.

"Baiklah. Bereskan dia untukku, Kakang!"

Barata sudah berkelebat. Langsung ditangkisnya tendangan Joko Gending dengan kaki kanannya. Dan seketika sikut kanannya langsung menyodok.

Joko Gending berkelit kesamping. Namun, laki-laki gembel itu telah cepat memutar tubuhnya. Bahkan sebelah kakinya langsung melepaskan tendangan berputar.

Desss...!

"Aaakh...!" Joko Gending kontan terpekik, ketika rahangnya terhantam tendangan Barata. Tubuhnya langsung terjajar ke belakang.

"Ayo, maju! Tunjukkan kegaranganmu dulu!" ejek Barata.

"Keparat!" Sambil mengusap darah yang mengucur dari sela bibirnya, Joko Gending membuka jurus baru. Kini dia siap menyerang kembali dengan amarah meluap.

"Yeaaa...!" Begitu meluruk, kedua tangan Joko Gending yang sudah membentuk cakar elang segera menyambar-nyambar dengan cepat. Namun bukan main panas hatinya melihat pengemis itu mampu bergerak cepat.

Barata tidak jauh-jauh menghindar. Kepalanya cukup memiringkan sedikit ke kiri dan ke kanan. Dan di kali lain tubuhnya membungkuk atau bergoyang seperti tengah menari. Dan ini membuat serangan Joko Gending selalu luput dari sasaran.

"Kini rasakan balasan dariku!" dengus Barata.

Begitu kata-katanya selesai, pengemis ini segera menerkam buas. Kedua tangannya yang kurus membentuk cakar. Namun dengan nekad Joko Gending berusaha menangkis.

"Ohh...!" Joko Gending tercekat, karena mendadak saja tangan kanan Barata telah meliuk deras ke punggung tangan kirinya.

Tap!

Belum sempat Joko Gending berbuat apa-apa, Barata telah menarik tangannya. Lalu....

Bret!

"Aaa...!" Joko Gending menjerit setinggi langit, ketika pangkal lengan kirinya putus. Darah kontan mengucur bagai pancaran kecil dari lukanya yang mengerikan.

"Hei?!"

Ki Danang Mangkuto dan para anak buahnya terkejut setengah mati melihat kejadian itu. Laki-laki tua ini langsung melompat menghadang di depan putranya, ketika Barata hendak menyerang kembali.

"Kurang ajar! Aku akan membalas atas perlakuan ini!" dengus Ki Danang Mangkuto, geram.

"He he he...! Ki Danang yang perkasa! Orang-orang mengenalmu sebagai Satria Mata Elang yang budiman serta terhormat. Tapi kenapa kau malah membela putramu yang nyata-nyata bersalah dan berkelakuan bejat?!" sahut Barata, kalem.

"Ahh.... Banyak mulut! Yeaaa...!"

Ki Danang Mangkuto agaknya tidak dapat lagi menahan amarahnya. Diiringi bentakan keras, dia melompat menyerang laksana seekor elang menyambar mangsa. Kedua tangannya yang membentuk cakar menyambar dengan cepat. Dan sesekati kedua kakinya ikut membantu silih berganti.

Dibanding putranya, gerakan orang tua itu lebih gesit dan bertenaga hebat Tapi Barata tampak tenang-tenang saja meladeninya. Semakin gemas orang tua itu terhadapnya, maka makin sering pula dia mengejek.

"Tahukah kau, Bangsat Tua? Kalian berdua akan kugantung di halaman mmah ini. Dengan begitu, akan menjadi pelajaran bagi yang lainnya."

"Banyak mulut! Kalian bisa berbuat apa padaku?!" dengus Ki Danang Mangkuto geram, sambil terus menyerang.

Orang tua itu menyadari kalau pengemis ini memiliki kepandaian hebat yang tidak berada di bawahnya. Maka dia tidak mau bertindak sembarangan. Saat itu juga segera dikeluarkannya jurus andalannya.

"Terimalah jurus 'Elang Membabat Belalang' ku ini. Yeaaa...!"

Kedua tangan Ki Danang Mangkuto yang membentuk cakar silih berganti menyerang, mengikuti gerakan tubuhnya yang lincah. Begitu juga kedua kakinya yang menendang dan menyapu setiap kali ada kesempatan.

"Ha ha ha...! Apa hebatnya jurusmu ini? Aku bisa mematahkannya dalam sekejap!" ejek Barata.

Dan laki-laki berpakaian kumal itu segera membuktikan kata-katanya. Tiba-tiba saja kepala kanannya menyodok ke perut.

Ki Danang Mangkuto cepat mengibaskan sebelah tangan untuk menangkis. Namun, Barata cepat menarik tangannya. Bahkan secepat kilat tubuhnya bergerak ke bawah seraya bergulingan, dan langsung melepas tendangan menggeledek.

"Hiiih!"

Desss!

"Aaakh!"

Sebelah kaki Barata menghantam perut Ki Danang Mangkuto yang kontan menjerit kesakitan. Tubuhnya terpental ke belakang. Namun masih untung dia mampu berdiri diatas kedua kakinya, setelah berjumpalitan dua kali di udara. Wajahnya tampak pucat dan matanya melotot geram.

Bukan main marahnya orang tua itu karena merasa kecolongan. Bukan rasa sakit itu yang dipikirkannya, tapi rasa malu karena selama ini belum pernah ada orang yang berhasil memukulnya.

"Keparat! Aku tidak akan memberi hati lagi padamu?!" dengus Ki Danang Mangkuto dengan pelipis mengembung. "Heaaa...!"

"Anjing busuk! Tidak usah banyak bacot! Maju dan terima kematianmu!"

Ki Danang Mangkuto menyerang lagi. Dan kali ini dia bertekad untuk bertarung mati-matian. Tidak mengherankan kalau serangahnya terlihat ganas. Kepalan kanannya cepat menghantam ke dada.

Werrr...!

Saat itu juga mendesir angin kencang bertenaga kuat. Namun, Barata lebih cepat mencelat ke atas. Tubuhnya berputar dua kali, lalu meluruk seraya melepas tendangan geledek.

"Hiih!"

Plak!

Dengan nekat Ki Danang Mangkuto menangkis dengan tangan kiri. Bahkan tiba-tiba kepalan tangan kanannya menyodok ke perut sambil menunduk, karena kaki Barata yang satu lagi menyapu batok kepalanya.

"Hup!" Di luar dugaan, Barata membuat gerakan cepat. Tubuhnya mendadak melenting kebelakang sambil menghantam dada dua kali lewat kakinya.

Dukk... Diegkh...!

"Aaakh...!" Ki Danang Mangkuto menjerit kesakitan ketika dadanya terhantam dua tendangan dahsyat. Tubuhnya terhuyung-huyung kebelakang sambil muntahkan darah segar.

"Hei?!" Ki Pengging terkejut. Begitu juga Tumang dan kawan-kawannya. Mereka tak percaya majikan mereka mengalami saat naas, di tangan seorang gembel. Padahal semua tahu, Satria Mata Elang tidak mudah dikalahkan karena berkepandaian cukup hebat.

"Ayaaah...!" seru Joko Gending. Mulutnya tetap meringis merasakan sakit luar biasa, karena tangan kirinya buntung. Untuk menghentikan darah, dia telah menotok beberapa urat. Itu untuk sementara, karena bila masa totokannya habis darah akan kembali mengucur deras.

"Kau akan menyusul ke akherat, Anjing Muda!" desis Retno sambil menghampiri ketika melihat Joko Gending bermaksud membantu ayahnya.

Langkah Joko Gending terhenti. Dan tidak terasa jantungnya berdetak lebih cepat. Kedua gembel ini ternyata bukan orang sembarangan. Mereka punya kesaktian yang jauh melebihi mereka. Dan tujuan mereka sudah jelas, membalas dendam pada dirinya.

"Tumang, Rebung! Kalian semua! Serang dia! Tangkap...!" teriak Joko Gending seraya mundur teratur, ketika wanita berambut panjang itu mendekatinya perlahan-lahan.

"Eg! Ti..., tidak. Den! Kami berhenti saja...!" sahut Tumang dengan suara gemetar.

Kemudian setelah itu laki-laki bertampang seram itu langsung ambil jurus langkah seribu, terbirit-birit meninggalkan tempat ini. Perbuatannya diikuti kawan-kawannya. Bagi mereka saat ini lebih baik kehilangan pekerjaan, ketimbang kehilangan nyawa. Pekerjaan bisa dicari. Tapi nyawa! Siapa yang bisa memberi ganti?

"Terkutuk kalian! Kalian kupecat semua!" teriak Joko Gending geram.

Tapi Tumang dan kawan-kawannya mana peduli lagi. Kedua gembel itu tidak mengejar. Dan itu merupakan kesempatan baik bagi mereka untuk kabur sejauh-jauhnya dari tempat celaka ini.

Kalau ada yang tersisa saat itu adalah Ki Pengging. Meski dia setia pada majikannya, namun melihat kehebatan gembel itu, hatinya ketar-ketir juga.

"Kenapa? Apakah kau hendak lari seperti mereka?" dengus Barata, yang telah menghentikan serangannya dan melirik tajam ke arah Ki Pengging.

"Ini urusan pribadi kalian, bukan? Maka aku tidak berhak ikut campur...," sahut Ki Pengging sambil melirik pada majikannya yang megap-megap berusaha bangkit.

Wajah Ki Pengging kelihatan ngeri melihat tulang rusuk Ki Danang Mangkuto patah dan tubuhnya bersimpah darah. Siapa pun yakin kalau keadaannya gawat sekali. Harapan hidupnya amat tipis. Kalaupun bisa selamat, rasanya tidak punya waktu lama untuk bertahan. Sedangkan Joko Gending tak bisa diharapkan.

"Kalau kau mau pergi, kenapa tidak lekas-lekas?!" bentak Barata.

"Eh, baik! Baiklah, aku pergi," sahut Ki Pengging cepat ketika melihat kesempatan lolos.

Tanpa pikir panjang lagi, laki-laki ini langsung kabur secepatnya dari tempat itu.

"Paman Pengging! Mau ke mana kau?! Jangan tinggalkan kami sendiri di sini?!" teriak Joko Gending.

"Maaf, Den Joko! Paman masih punya tanggung jawab lain. Selamat tinggal!" sahut Ki Pengging, tak mempedulikan teriakan Joko Gending.

"Keparat! Pengecut...!" umpat Joko Gending geram. "Kau pun kupecat seperti yang lain!"

"Kini kepada siapa lagi kau akan bergantung?" tanya Retno sinis, ketika wajah Joko Gending kelihatan semakin pucat.

"Eh! Aku..., aku punya uang banyak. Kalian boleh ambil itu, asal..."

"Asal nyawamu kuampuni?" potong Retno, seraya terus mendekati Joko Gending.

"Iya! iya...! Kau setuju, bukan?!" sahut Joko Gending cepat sambil tersenyum lebar.

"Hi hi hi...! Kenapa mesti uang? Tanpa itu pun aku mau, asal...."

"Asal apa? Katakan! Apa syaratmu aku pasti akan memenuhinya!"

"Bersujudlah. Dan minta ampun padaku atas perbuatan-perbuatanmu dulu!" ujar Retno, enteng.

"Hanya itu?!" tanya Joko Gending tak percaya.

"Ya! Cepat lakukan!" bentak Retno.

"Baik, baik...!"

Maka secepatnya Joko Gending bersujud di kaki wanita itu. "Maafkan perbuatanku dulu kepadamu. Percayalah.... Aku amat menyesal dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. Juga kepada orang lain!"

"Hiih!" Tepat ketika Joko Gending selesai berkata, Retno melompat tinggi ke udara. Dan secepat itu pula tubuhnya meluruk, ke arah kaki laki-laki ini. Dan....

Krak! Krak!

"Aaakh...!" Joko Gending menjerit kesakitan ketika tiba-tiba wanita itu mematahkan tulang kakinya. Karuan saja dia menggelepar sambil bergulingan.

"Terkutuk kau! Perempuan biadab! Kenapa kau tidak mampus saja sejak dulu!" maki Joko Gending berulang-ulang.

"Hi hi hi...! Kalau mati kau tentu tidak akan pernah bertemu lagi denganku, bukan? Padahal betapa bernafsunya kau melihat tubuhku. Apakah saat ini kau tidak tertarik lagi menggelutiku dan memperkosaku dengan paksa?" ejek Retno.

"Jahanam...!" maki Joko Gending.

Tapi seketika lengkingan suaranya habis, ujung kaki wanita itu telah melaju cepat.

Duk!

"Aaakh!"

Beberapa buah gigi laki-laki ini tanggal ketika kaki Retno menghantam wajahnya. Hidungnya patah. Dari lubang hidungnya mengucur darah segar membasahi bumi.

"Kenapa tidak sekalian kau bunuh saja aku?! Ayo, bunuh aku! Bunuh! Aku tidak takut mati!" teriak Joko Gending, meratap.

"Kenapa buru-buru? Nikmatilah hidupmu meski tinggal sedikit lagi. Mali cepat terlalu enak bagimu. Mati pelan-pelan, itulah yang kumau. Paling tidak, agar kau rasakan penderitaanku saat itu!" dengus Retno.

"Perempuan terkutuk, mampuslah kau lebih dulu!"

"Hi hi hi...! Sumpah manusia biadab sepertimu tidak akan berarti." Dan selesai berkata begitu, sebelah kaki Retno kembali menghantam dada.

Duk!

"Ohh...!" Pelan saja. Dan itu memberi kesempatan bagi Joko Gending untuk bergulingan. Tapi, agaknya hal itu yang diinginkan Retno. Sebab, seketika salah satu ujung kakinya menyepak ke bagian bawah perut laki-laki ini.

"Hiih!"

"Jrot!

"Aaakh...!" Joko Gending menjerit-jerit dengan muka berkerut dan airmata bercucuran. Otot-ototnya menegang tatkala bagian kebanggaan kaum laki-laki pecah ditendang Retno. Kesudahannya, tubuh pemuda itu terkulai lesu dengan mata berkedip-kedip lambat.

"Bagaimana rasanya? Enak, bukan?" tanya Retno seraya tersenyum dingin.

Tidak ada tanggapan dari Joko Gending. Kelopak matanya menutup. Dan seluruh tubuhnya diam bagai patung, kecuali bagian jari-jarinya yang bergetar lambat menandakan bahwa nyawanya tengah berkutat untuk lepas dari raga.

"Aku tahu, kau masih mendengar suaraku, Anjing Buduk!" dengus Retno. "Kematianmu tidak setimpal dengan perbuatan biadab yang kau lakukan bersama kawan-kawanmu. Tapi paling tidak, kau merasakan betapa sakitnya menjadi orang tak berdaya. Harga dirimu hancur! Dan kau seperti bayi yang tak mampu melindungi diri. Juga, tidak mendapat perlindungan dari siapa pun. Kami berdua hidup dari penderitaan. Dan karena penderitaan itu pula yang membuat kami tetap bertahan untuk membalas sakit hati ini. Kau yang pertama. Dan kawan-kawanmu akan mendapat giliran berikutnya!"

Kemudian Retno bergegas berkelebat cepat ke dalam. Sedangkan Barata menunggui kedua ayah dan anak itu. Sebentar saja, wanita itu telah kembali bersama dua utas tampang panjang.

"Apa yang akan dilakukannya...?" tanya Ki Danang Mangkuto lemah, yang masih sekarat ditunggui Barata.

"Menurutmu apa?"

Ki Danang Mangkuto terdiam. Tapi, dia kaget bukan main ketika wanita itu menjerat leher putranya. Sesat, terdengar Joko Gending tersedak ketika wanita itu menyeretnya dengan paksa.

"Oh, tidak! Kalian tidak boleh melakukan hal itu padanya!" ratap orang tua itu sambil memalingkan wajah.

"Dia akan melakukan apa saja kepada anakmu!" desis Barata.

Ki Danang Mangkuto tak kuasa menoleh. Dia tahu kalau wanita itu akan menggantung leher Joko Gending. Meski tidak terdengar lagi jeritan, namun laki-laki tua ini bisa merasakan penderitaan putranya yang malang.

"Kenapa? Kenapa kalian berbuat telengas seperti itu? Apa dosaku? Selama ini aku selalu berbuat baik kepada orang lain...," tanya Ki Danang Mangkuto hampa.

"Mungkin saja kau orang baik. Juga, terhormat. Tidak kuragukan hal itu. Tapi ada pepatah mengatakan, rusak susu sebelanga karena nila setitik. Anakmu telah mencoreng mukamu. Dan kau menambah corengan itu dengan membelanya. Aku dan istriku bersumpah akan membunuh siapa saja yang menghalangi niat kami!" sahut Barata, tegas.

Ki Danang Mangkuto terkulai lesu. Pada saat itu, Retno telah menyelesaikan tugasnya menggantung mayat Joko Gending di tiang beranda rumah. Dihampirinya Ki Danang Mangkuto. Bola matanya tetap sama ketika membunuh Joko Gending. Penuh dendam dan kebencian.

"Kini giliranmu!" desis Retno, dingin.

"Aku telah pasrah menerima apa pun yang akan kalian perbuat kepadaku...," sahut Ki Danang Mangkuto, lemah.

"Huh! Jangan kira aku akan menaruh belas kasihan padamu!"

Ki Danang Mangkuto menghela napas, tak menjawab. Retno telah melompat ke kepala dan menjerat lehernya. Seperti yang dilakukannya kepada Joko Gending, maka orang tua itu pun diseretnya ke tiang beranda rumah besar ini.

Ki Danang Mangkuto hanya melenguh pendek. Dan matanya terbelalak dengan mulut terbuka lebar. Nyawanya lepas sudah dari raga, menggantung berjejeran dengan anaknya.

"Hhh.... Selesai sudah tugas pertama!" desah wanita itu sambil berkacak pinggang. Bola matanya kelihatan berkaca-kaca, memandangi kedua mayat yang tergantung di tiang beranda rumah ini.

"Ayo kita pergi, Sayang...!" ajak Barata.

"Baik, Kakang. Tugas kita masih banyak!"

Tak lama kemudian mereka berkelebat gesit meninggalkan tempat ini. Dalam sekejapan mata mereka telah menghilang, setelah melompati pagar rumah besar ini.

********************

TIGA

Dua sosok penunggang kuda melintas di sebuah jalan tak begitu lebar di pinggiran Desa Selabang. Mereka menjalankan kudanya lambat-Iambat sambil berbincang-bincang.

"Aku tidak habis pikir, Kakang Wiraguna! Siapa yang tega berbuat demikian kepada beliau!" kata salah seorang yang berusia sekitar tujuh belas tahun. Bajunya ketat warna kuning.

"Mungkin beliau punya musuh...," sahut yang seorang lagi. Dia seorang pemuda bertubuh tegap, terbungkus pakaian ketat warna biru. Wajahnya ditumbuhi jenggot tipis.

"Selama ini beliau jarang memiliki musuh, Kakang!"

Pemuda berbaju biru yang dipanggil Wiraguna tersenyum. Dan kepalanya menoleh sekilas.

"Apakah kau mengenal Ki Danang Mangkuto dengan baik, Caraka?"

Pemuda berbaju kuning dan bernama Caraka tampak tersipu malu.

"Itulah. Kita tidak bisa memberi penilaian, kalau tak tahu banyak tentang seseorang yang dinilai. Penilaian berdasarkan cerita-cerita orang, tidak bisa dijadikan patokan," ujar Wiraguna.

"Menurut pendapat Kakang sendiri, apa kira-kira penyebab kematian mereka?" tanya Caraka.

"Dendam."

"Dendam? Kenapa begitu?"

"Harta mereka tidak diusik. Begitu juga para pegawainya."

"Tapi satu orang mati, Kang?" ingat Caraka.

"Mungkin dia ingin membantu majikannya, namun gagal. Bahkan kematian menjemputnya."

Caraka mengangguk. Disadari kalau Wiraguna memang cerdas. Dan Caraka sendiri tahu, di antara lima putra Ki Genduk Mani, agaknya hanya Wiraguna yang disukainya. Pemuda berusia dua puluh lima tahun itu bersifat ramah, baik hati, dan tidak sombong. Tidak seperti saudara-saudaranya. Perbedaan watak satu sama lain seperti bumi dan langit. Tak heran kalau Caraka sering melihat Ki Genduk Mani selalu mengeluh melihat tingkah laku keempat putranya yang lain.

"Ki Danang Mangkuto bukan orang sembarangan. Bahkan jarang ada yang berani cari gara-gara dengannya. Menurut Kakang, siapa kira-kira yang bernafsu hendak membunuhnya?" tanya Caraka lagi, untuk mengetahui pendapat Wiraguna.

"Entahlah. Aku tidsak bisa memperkirakannya, Caraka...."

"Apa mungkin Ki Sancang, Kang?" duga Caraka.

"Maksudmu, si Raja Ular Selatan?" Caraka mengangguk.

"Tidak mungkin! Ki Danang dan putranya mati dihajar pukulan, dan kemudian baru digantung. Sedangkan ciri khas si Raja Ular Selatan selalu menggunakan racun ular, untuk membunuh lawan-lawanya," sanggah Wiraguna, sekaligus menjelaskan.

"Oo...."

"Eh?! Dari mana kau tahu soal si Raja Ular Selatan itu?" Wiraguna balik bertanya.

"Dari para pembantu Ki Danang sendiri. Mereka pernah bicara kalau Si Raja Ular Selatan itu musuh bebuyutan Ki Danang," sahut Caraka.

"Ya. Ki Danang juga punya beberapa musuh tangguh...."

"Seperti Ki Jepara alias si Iblis Pulau Hantu?" tukas Caraka sambil tersenyum lebar.

"Hm.... Kau semakin banyak tahu saja!" puji Wiraguna.

"Dari banyak mendengar cerita orang aku semakin banyak tahu mengenai tokoh-tokoh persilatan, Kang," tambah Caraka.

"Itu bagus untuk pengetahuanmu." "Tapi...."

"Ada apa?" serobot Wiraguna ketika Caraka menghentikan kata-katanya dengan wajah murung.

"Kalau mengingat mereka aku jadi semakin kecil, Kang...."

"Kenapa begitu?"

"Aku ingin seperti mereka. Tapi, rasanya seperti pungguk merindukan rembulan. Jangankan seperti mereka. Bahkan memiliki kepandaian seperti Kakang pun, aku sudah amat gembira."

"Untuk itu kau mesti giat berlatih."

"Aku selalu giat berlatih. Tapi tidak ada yang membimbing. Kakang selalu sibuk membantu Ki Genduk Maru. Dan yang lain juga sibuk dengan urusannya masing-masing...," sahut Caraka masyghul.

Wiraguna tersenyum. "Baiklah. Nanti akan kucarikan waktu untuk melatihmu...."

"Benarkah, Kakang?!" seru Caraka kegirangan.

Wiraguna mengangguk. "Ah, terima kasih! Terima kasih, Kakang...!"

"Sudahlah. Sekarang kita mesti cepat tiba di rumah untuk memberitahukan hal itu pada ayah!"

"Baik, Kakang! Heaaa...!" Caraka segera menggebah kudanya. Sementara Wiraguna telah lebih dulu menghela kudanya dengan kencang. Namun baru saja beberapa tarikan napas....

"Kakang, lihat! Siapa yang tidur melintang di jalan!" seru Caraka ketika melihat seseorang tidur seenaknya di tengah jalan yang dilalui.

"Hooop...!"

"Hieee...!" Karuan saja mereka secepat kilat menghentikan laju kuda agar tidak menginjak orang yang tengah berbaring di tengah jalan.

Apa yang dilihat Wiraguna dan Caraka adalah seorang laki-laki tua bertubuh kurus dengan pakaian seperti pengemis tengah tidur nyenyak sekali.

"Kakang! Kita memutar sedikit ke kanan," saran Caraka.

"Ya."

Mereka segera menghela kuda untuk memutar. Tapi, tiba-tiba saja pengemis itu menggeliat. Sehingga sikap tidumya berubah, kembali menghalangi langkah kuda mereka.

"Hhh...!" Wiraguna menghela napas. Kemudian diberinya isyarat pada Caraka agar kembali ke jalan pertama.

Tapi begitu mereka membalikkan arah kuda, saat itu juga si pengemis menggeliat kembali, menghalangi jalan.

"Hmm...!" gumam Wiraguna pendek.

"Kenapa, Kakang?" tanya Caraka ketika melihat Wiraguna terdiam seraya memperhatikan pengemis itu.

"Kisanak.... Kalau tidak keberatan, sudilah kiranya menepi dari jalan ini!" ujar Wiraguna tanpa mempedulikan pertanyaan Caraka.

Bukannya menjawab, pengemis itu malah memperdengarkan dengkurannya.

"Kalau kau tidak mau menepi, biarlah kami mencari jalan lain," sahut Wiraguna datar.

Pemuda itu memberi isyarat pada Caraka. Lantas mereka segera memutar haluan, membelakangi pengemis itu untuk mencari jalan lain.

"Heaaa...!"

Brakkk!

"Hieee...!"

Tapi baru saja menggebah kuda, mendadak sebatang pohon besar di depan tumbang, langsung melintang menghalangi jalan. Kontan kuda tunggangan mereka terkejut dan meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi.

"Aduh!" Caraka mengeluh kesakitan ketika terlempar dari punggung kudanya. Masih untung bagi Wiraguna, karena mampu mengendalikan kuda tunggangannya.

"Kau tak apa-apa, Caraka?" tanya Wiraguna setelah kudanya benar-benar tenang.

Caraka menggeleng sambil bangkit berdiri. Pantatnya yang masih terasa sakit dielus-elusnya. Wajahnya kelihatan lucu, ketika meringis.

Semua itu tidak membuat Wiraguna tertawa. Justru matanya kini memandang tajam pada orang yang membuat ulah. Pengemis tua yang tadi tertidur nyenyak, kini berdiri di dekat mereka sambil terpingkal-pingkal melepaskan tawa.

"He he he...!"

"Kenapa kau tertawa?! Kau senang melihat kesusahan kami?!" bentak Caraka kesal.

"He he he...! Dasar bocah dungu! Kenapa pula kau marah-marah melihatku tertawa?"

"Karena semua ini perbuatanmu!" tuding Caraka kesal.

"Bocah geblek! Bocah sinting! Seenaknya saja bicara. Apa buktinya kalau aku yang melakukan semua ini?" sahut pengemis tua itu dengan suara tidak kalah garang.

"Itu memang salahmu! Karena..., karena kau tidur di tengah jalan!"

"Apakah ada larangan untuk orang tidur di tengah jalan?" kilah pengemis tua ini.

"Huh, sudahlah! Dasar orang gila!" umpat Caraka kesal seraya menghampiri kudanya.

"He, apa kau bilang? Kau kira aku gila? Dasar bocah sinting tak tahu diri. Kau memang turunan orang gila! Marah-marah tak karuan!" dengus pengemis ini.

Mendengar dirinya dimaki-maki begitu, kesal juga hati Caraka. Dipandanginya orang tua gembel itu dengan mata mendelik garang.

"Sekali lagi kau berani bicara begitu, kuhajar kau!" ancam Caraka.

"Bocah sinting! Turunan orang gila!" ejek pengemis tua ini sambil tertawa lebar.

"Kurang ajar...!"

"Caraka, sudahlah! Tidak usah diladeni!" cegah Wiraguna ketika Caraka hendak melabrak pengemis itu.

"Kenapa denganmu, Bocah? Apa kau kira aku takut dengannya? Huh! Dengan sekali sentil, dia akan kubuat terpental!" ejek pengemis ini sambil menuding marah pada Wiraguna.

"Paman...," panggil Wiraguna.

"Aku bukan pamanmu!" tukas pengemis itu marah.

"Lalu aku mesti memanggil apa?"

"Kau lihat aku? Aku seorang pengemis. Panggil saja begitu!" sahut pengemis ini seenaknya.

"Baiklah, Pengemis...."

"Nah! Begitu baru enak didengar!" potong pengemis itu lagi sambil tersenyum girang. "Tambahkan saja dengan kata sinting. Jadi kau boleh memanggilku Pengemis Sinting...!"

"Kami tengah ada urusan penting, Pengemis Sinting. Kalau tidak keberatan, bolehkah kami pergi dulu?"

"Aku tidak menghalangi jalanmu, bukan?" tukas pengemis yang mengaku berjuluk Pengemis Sinting.

"Kalau kau tidur di jalan, tentu saja menghalangi...."

"Kenapa? Bukankah kuda-kuda kalian masih bisa melangkah?"

"Tentu saja. Tapi bagaimana kalau tubuhmu terinjak-injak?"

"Hua ha ha...! Terinjak-injak kudamu? Kenapa rupanya? Apa kau kira perutku akan jebol? Atau dadaku akan remuk? Begitu?! Bahkan seekor gajah sekalipun tidak akan mampu meremukkan perut atau dadaku!" teriak Pengemis Sinting jumawa.

Menghadapi orang seperti ini, Wiraguna hanya bisa menahan sabar. Di antara saudara-saudaranya pun dia terkenal paling sabar. Apalagi sampai menjatuhkan tangan dalam menyelesaikan persoalan. Begitu juga kali ini. Hanya Caraka saja yang semakin geregetan melihat tingkah Pengemis Sinting itu.

"Sudahlah, Kang. Buat apa berdebat dengan orang gila sepertinya? Kita akan ikut-ikutan gila dibuatnya," ujar Caraka.

"Kurang ajar! Apa katamu? Aku gila?!" semprot pengemis itu galak.

Tiba-tiba saja Pengemis Sinting menjulurkan sebelah tangan ke jidat Caraka.

Wut!

Karuan saja Caraka kesal bukan main. Dia bermaksud menangkis, dan sekalian saja menghajarnya. Tapi entah bagaimana satu dorongan kuat menerpa kepalanya.

Plak!

"Aaa...!" Pemuda itu kontan terjungkal ke belakang. Kepalanya terasa pusing. Pandangannya berkunang-kunang ketika bangkit berdiri.

"Kakang. Oh..., kepalaku pusing...," keluh Caraka.

"He he he...! Ha ha ha...! Hu ha hu...!"

Pengemis Sinting ketawa terpingkal-pingkal melihat pemuda itu mengeluh seperti bocah. Melihat apa yang diperbuat pengemis itu kepada Caraka, sadarlah Wiraguna bahwa kini tengah berhadapan dengan orang sakti yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Jidat Caraka tadi hanya ditepuk pelan sekali. Tapi itu cukup membuatnya terjungkal ke belakang seperti disapu badai topan.

"Kurang ajar! Yeaaa...!" Caraka tidak peduli kejadian itu. Dan begitu melihat Pengemis Sinting menertawakannya, dia langsung menyerang tanpa pikir panjang.

Wut! Bet!

"Belum kena! Ayo, pukul lagi!" ejek pengemis itu seraya berkelit ke sana kemari menghindari pukulan serta tendangan Caraka.

"Kurang ajar! Pintar juga kau mengelak, ya?!" dengus Caraka semakin geram.

Pemuda itu kembali menyerang membabi-buta. Namun sedikit pun tidak membuahkan hasil. Pengemis itu mampu menghindarinya dengan mudah. Bahkan dengan cara yang membuat hati Caraka panas. Kadang pukulan pemuda itu hanya dielakkan dengan memiringkan kepala sedikit, atau tubuh berbalik. Atau terkadang pantatnya nungging, dan nyaris menghantam mukanya. Dan semua itu dilakukan pengemis tua ini sambil terkekeh kegirangan.

"He he he...! Kenapa? Sudah kepayahan?!" ejek Pengemis Sinting ketika melihat Caraka sempoyongan dengan napas turun naik tak beraturan.

"Pengemis busuk! Aku masih sanggup menghajarmu lagi!" dengus Caraka tak mau mengalah.

"Ayo lakukan! Lakukan lebih kencang dan cepat!"

"Yeaaa...!"

Kalau tadi Pengemis Sinting hanya menghindar, kini mulai lebih bersungguh-sungguh. Ketika Caraka maju ke depan sambil menyarangkan tendangan, tubuhnya berkelit ke samping. Dan tiba-tiba sebelah kakinya mengait pergelangan kaki Caraka yang berpijak di tanah.

Wuuutt!

Plak!

Caraka terkesiap merasakan sentakan keras. Dan tak ayal lagi tubuhnya ambruk ke depan ketika tak mampu menguasai diri.

Brukk!

"Hua ha ha...!" sambut Pengemis Sinting dengan tawa terbahak-bahak melihat muka Caraka mencium tanah.

"Sial!" dengus Caraka sambil mengusap mukanya yang berdebu.

Muka pemuda ini semakin berkerut geram, ketika melihat darah di telapak tangan. Ketika meraba hidung terasa cairan merah mengocor pelan.

"Caraka, sudah! Jangan lanjutkan lagi!" teriak Wiraguna mencegah ketika pemuda itu hendak menyerang lagi.

"Tapi, Kakang...."

"Kau tidak akan mampu melawannya. Dia bukan orang sembarangan. Bersihkan tubuhmu. Kita pulang sekarang!" sergah Wiraguna cepat.

"Eee, siapa yang menyuruh kalian pergi begitu saja? Aku belum lagi memerintahkannya!" timpal Pengemis Sinting seraya mengangsurkan telapak tangan kanan.

"Kisanak..."

"Panggil aku Pengemis Sinting!" tukas pengemis itu dengan suara keras.

"Baiklah, Pengemis Sinting.... Sekarang izinkan kami pergi dulu," ujar Wiraguna.

"Brengsek! Brengsek...! Apa kau tidak lihat aku tengah bermain-main dengannya?! Aku belum puas. Tapi, dia sudah lemas. Kenapa tidak kau saja yang menggantikannya?!"

"Aku tengah tidak berhasrat untuk main-main, Pengemis Sinting!" tolak Wiraguna halus.

"Aku akan memaksamu!" sentak Pengemis Sinting.

"Apakah kau akan menghajarku?"

"Siapa yang akan menghajarmu? Aku justru ingin agar kau menghajarku sampai puas!"

"Aku tidak akan melakukannya, Pengemis Sinting."

"Kalau begitu aku akan memaksamu!"

"Silakan! Aku tidak akan melawan," kata Wiraguna, pasrah.

Pengemis Sinting melotot geram. Namun tidak berbuat apa-apa. Tiba-tiba kakinya menghentak-hentak ke tanah.

"Brengsek! Brengsek...!" maki Pengemis Sinting berkali-kali, kemudian mencelat cepat dari tempat itu. Dalam sekejapan mata, tubuhnya menghilang dari pandangan.

"Pengemis brengsek!" umpat Caraka seraya melompat ke punggung kudanya.

"Sudahlah, tidak usah hiraukan dia lagi...."

"Kenapa Kakang mengalah padanya? Padahal, aku sudah kepayahan dipermainkannya. Kakang sengaja membiarkan aku!" dengus Caraka kesal.

Wiraguna tersenyum seraya menggebah kudanya kembali, pertahan-lahan.

"Kenapa kau berkata begitu? Kalaupun kularang, apakah kau akan menurut?"

Caraka diam saja. Hatinya masih kesal, karena Wiraguna tidak mau membantunya menghajar pengemis itu. Lantas kudanya digebah, mengikuti Wiraguna.

"Dunia persilatan banyak dihuni tokoh aneh, Caraka. Ayah pernah mengatakannya. Mereka rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan sulit diukur. Salah seorang di antara mereka bergelar Pengemis Sinting tadi," jelas Wiraguna memulai menjelaskan.

"Kenapa Kakang begitu yakin?"

"Pengemis Sinting tidak jahat. Hanya kelakukannya aneh dan sulit diikut orang waras seperti kita."

"Jadi itukah sebabnya Kakang tidak mau membantuku, juga menolak tantangannya?" duga Caraka.

"Tentu saja! Kalau aku membantumu, apa yang bisa kuperbuat? Kepandaiannya tinggi sekali. Bahkan ayah sendiri tidak mampu menyentuhnya, bila saling berhadapan. Dia hanya ingin bermain-main seperti katanya. Maka kalau keinginannya diladeni, dia akan betah menemani kita di sini. Dan kita akan letih sendiri meladeninya. Tapi kalau tidak meladeni, dia akan jemu dan meninggalkan kita seperti tadi," lanjut Wiraguna menyempurnakan penjelasannya.

Caraka mengangguk-angguk.

"Nah! Kau masih marah padaku?" tanya Wiraguna.

Dengan tersipu-sipu Caraka menggeleng lemah

"Kita beruntung bisa bertemu dengannya, meski mendapat pengalaman aneh...,"'kata Wiraguna.

"Kalau saja didunia ada sepuluh sepertinya, maka banyak orang yang akan dibuat pusing!" dengus Caraka.

"Bahkan orang sepertinya bukan cuma sepuluh, tapi banyak!"

"Ah! Mana mungkin, Kang?!"

"Benar! Jika kau rajin mendengar dan bertualang sekaligus, kau akan menemukan orang-orang sepertinya."

Caraka terdiam, setengah percaya mendengar penuturan Wiraguna. "Kenapa mereka bisa seperti itu, Kang?"

"Ya, banyak. Bisa karena kebanyakan ilmu, karena penyakit, karena penderitaan, dan lain-lain. Nantilah kita bahas panjang lebar bila ada kesempatan. Sekarang, kita mesti cepat-cepat sampai di rumah."

Setelah berkata begitu, Wiraguna menggebah kudanya kencang-kencang. Caraka pun langsung mengikuti.

"Heaaa...!"

EMPAT

"Dari mana kau peroleh berita itu, Wiraguna?"

Suara bernada pertanyaan itu ditujukan buat Wiraguna, yang baru saja tiba di rumah bersama Caraka. Langsung diceritakannya kejadian yang menimpa Ki Danang Mangkuto dan anaknya yang bernama Joko Gending, pada ayahnya yang tak lain Ki Genduk Mani.

Wajah laki-laki tua ayah dari Wiraguna itu terlihat terkejut. Sepertinya dia tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.

Ki Genduk Mani kembali terdiam. Dahinya berkerut. Sementara kedua tangannya terkepal menandakan kalau tengah menahan amarahnya yang hendak menggelegak.

"Terkutuk!" desis laki-laki berusia sekitar enam puluh tiga tahun itu, geram.

Sementara itu orang yang ada dalam ruangan ini terdiam. Dan ketika Ki Genduk Mani memandang mereka satu persatu, seolah-olah orang-orang itu siap menerima perintah.

"Wiraguna.... Tahukah kau siapa yang melakukan hal itu pada mereka?" tanya Ki Gending Mani.

"Sayang sekali, Ayah. Tidak ada yang mengetahuinya...," desah Wiraguna.

"Kau katakan para pengawalnya banyak yang hidup?"

"Mayat mereka tidak ditemukan di sana, Ayah...."

"Mungkin mereka lari menyelamatkan diri, saat terjadi pembunuhan terhadap majikan mereka."

"Mungkin begitu...."

"Ki Danang Mangkuto adalah sahabatku. Maka kematiannya akan kuusut sampai ke mana pun!" desis Ki Genduk Mani yang dikenal dengan julukan si Gelang Maut.

"Apa yang mesti kita lakukan Ayah?" tanya Wiraguna.

"Kerahkan orang-orang kita untuk mencari para pengawal Ki Danang Mangkuto. Bujuk mereka untuk memberitahu, siapa pembunuh Ki Danang Mangkuto dan putranya," ujar Ki Genduk Mani.

"Ayah! Mengapa kita mesti repot-repot mengurusi persoalan orang lain?" tanya salah seorang anak muda, yang juga anak Ki Genduk Mani.

"Dia sahabatku, Wirabrata!" sahut Ki Genduk Mani menekankan.

"Kalau kita yang mengalami kejadian ini, apakah Ayah kira mereka akan berbuat sama?!" lanjut pemuda yang dipanggil Wirabrata, merasa kurang senang atas sikap ayahnya.

"Lepas apakah dia sahabatku, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk tolong-menolong. Bila merasa direpotkan, kau boleh diam di rumah. Biar yang lain mengadakan pencarian!" jawab orang tua itu, menegaskan.

Mendengar keputusan itu Wirabrata yang merupakan putra kedua Ki Genduk Mani tidak berkata apa-apa lagi. Mau tidak mau, dia terpaksa tunduk pada keputusan yang telah dikeluarkan ayahnya.

"Aku tidak memaksakannya kepada kalian. Tapi seperti yang tadi kukatakan, kewajiban kita adalah tolong-menolong. Maka kuminta kalian mengikuti Wiraguna, untuk mengadakan pencarian terhadap para pengawal almarhum Ki Danang Mangkuto," ujar Ki Genduk Mani.

"Kenapa mesti Wiraguna? Aku pun bisa!" cetus seorang pemuda lain. Dia adalah anak tertua Ki Genduk Mani.

"Benar, Adiguna! Itu kalau kau tidak punya tugas lain!" sahut orang tua itu.

"Aku memang tidak punya tugas lain, Ayah," jawab pemuda bernama Adiguna itu.

"Tidak! Kau kutugaskan pergi menemui sahabat-sahabat Ayah lainnya, untuk menceritakan peristiwa ini kepada mereka."

"Kenapa mesti aku? Bukankah itu bisa dikerjakan Wiraguna?"

"Aku telah memutuskan, Adiguna! Apakah kau hendak menolaknya?" tukas orang tua itu tajam.

Adiguna tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dalam pikirannya, pekerjaan yang diberikan kepadanya terlalu ringan. Bahkan bocah kecil pun mampu melakukannya. Sedangkan tugas yang diberikan pada Wiraguna tergolong agak lumayan. Dia menyangka, ayahnya meremehkan kemampuannya. Dan hal itu tidak bisa diterima, karena Wiraguna adalah adiknya. Bukankah semestinya seorang kakak yang mesti melakukan tugas-tugas berat?

Tapi yang ada di benak Ki Genduk Mani tidak demikian. Dia tahu, di antara kelima putranya hanya Wiraguna yang bisa diandalkan. Ketimbang saudara-saudaranya, Wiraguna yang paling rajin berlatih. Sehingga ilmu olah kanuragannya bisa dibanggakan. Pemuda itu juga cerdas dan tidak mudah putus asa. Persoalan ini penting baginya.

Maka bila Adiguna yang dipilihnya untuk tugas pencarian, mungkin saja akan putus asa setelah beberapa kali dicari ternyata para pengawal Ki Danang Mangkuto tidak kunjung ditemui. Lain halnya Wiraguna. Dia amat patuh menjalankan perintah. Bahkan jarang kembali bila yang dicarinya belum berhasil ditemui.

"Kapan bisa kulaksanakan tugas itu, Ayah?" tanya Wiraguna ketika ruangan itu hening untuk beberapa saat.

"Kapan kau sanggup berangkat?"

"Besok pagi-pagi sekali, Ayah!" sahut pemuda itu mantap.

"Baik! Bawalah beberapa orang bersamamu."

Wiraguna mengangguk. "Baiklah. Kalian boleh pergi semua!" tandas orang tua itu.

"Eh! Sebentar, Ayah! Mungkin ini ada artinya buat kita!" sambung Wiraguna.

"Apa?"

"Dalam perjalanan pulang, kami bertemu seseorang. Ayah mungkin tidak percaya. Tapi, aku yakin pasti dia orangnya," sahut Wiraguna, menjelaskan.

"Siapa yang kau maksud?" tanya Ki Genduk Mani.

"Pengemis Sinting!"

"Pengemis Sinting?!"

Ki Genduk Mani terkejut mendengar nama itu disebutkan. "Apa yang, dilakukannya.. terhadap kalian?" lanjut orang tua ini.

Wiraguna kemudian menceritakan pengalaman mereka bertemu dengan si Pengemis Sinting.

"Bagaimana, Ayah? Apakah kira-kira dia tersangkut paut dalam urusan ini?" Tanya Wiraguna.

"Sepengetahuanku, Ki Danang Mangkuto tidak bermusuhan dengannya. Lagi pula, Pengemis Sinting, tidak akan membunuh sembarangan. Tapi entah juga. Siapa tahu dia berubah pikiran. Kirim beberapa orang untuk mengawasinya di sekitar wilayah kita!" jelas Ki Genduk Mani.

"Baik, Ayah!"

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Seorang pemuda berdiri tegak mematung di depan rumahnya yang tak begitu besar. Angin malam yang dingin lembut mengusap-usap kulit tubuhnya.

Sejenak kepalanya mendongak, memandang ke langit. Bintang-bintang tertutup awan. Dan langit terlihat pekat. Cahaya bulan tidak terlihat sedikit pun.

"Hei?!" Wajah pemuda ini seketika tegang ketika melihat satu sosok tubuh melompati pagar dengan gerakan ringan. Lalu sosok itu berjalan tenang, memasuki halaman rumah.

"Sugala! Apa yang kau lakukan tengah malam begini?" sapa pemuda ini seraya menghela napas lega, begitu mengenali siapa yang datang.

Sementara sosok yang ternyata seorang pemuda tersentak kaget, begitu namanya disebut.

"Kakang Tirta Janaka! Kau ada di sini? Kenapa belum tidur?" pemuda yang dipanggil Sugala malah balik bertanya.

Pemuda berambut pendek yang dipanggil Tirta Janaka itu menghela napas sebentar sebelum menjawab.

"Aku belum mengantuk. Dan kau? Apa yang kau lakukan malam-malam begini?" tanya Tirta Janaka, yang berusia tiga tahun di atas Sugala.

"Apa lagi?!" sahut Sugala sambil tersenyum lebar.

"Mendatangi gadis itu lagi?" tebak Tirta Janaka.

Sugala mengangguk.

"Dia tak suka padamu. Kenapa kau masih mengejar-ngejarnya juga?"

"Bukan dia. Tapi, orang tuanya!" jelas Sugala.

"Sama saja! Dia patuh pada orangtuanya. Dan berarti, dia tidak akan suka padamu," sergah Tirta Janaka.

"Aku cuma heran...."

"Kenapa?"

"Kita orang terpandang. Dan kekayaan pun tidak kurang. Kenapa orang tuanya begitu benci. pada keluarga kita?"

"Bukan pada keluarga kita. Tapi, kepadamu!" sahut Tirta Janaka, seperti meralat Sugala tersenyum.

"Kalau aku katakan sesuatu, apakah kakang akan marah?" tanya Sugala.

"Kau mau katakan apa? Katakanlah!" ujar Tirta Janaka.

"Sejujumya kukatakan, mereka sebenarnya bukan benci kepada keluarga kita...."

"Apa kataku! Mereka hanya tidak suka padamu, sehingga keluarga kita dijadikan sasaran kebencian pula!" tukas Tirta Janaka.

"Kau salah, Kakang! Mereka justru benci padamu!" sahut Sugala, dingin.

"He, apa maksudmu?"

"Jangan pura-pura, Kakang! Apa sebenarnya yang telah kau lakukan terhadap gadis-gadis di desa ini? Mereka semua benci kepadamu, karena kau sering mempermainkan gadis-gadis itu. Bahkan kepada istri orang pun, kau berani mengganggu. Dan yang lebih membuatku malu, kau justru pernah memperkosa mereka!" berondong Sugala, berapi-api.

"Sugala! Tutup mulutmu yang kotor itu! Jangan kau lemparkan tuduhan busuk itu padaku!" bentak Tirta Janaka garang.

"Itu bukan tuduhan busuk. Tapi kau sendiri yang busuk! Kau dan segala kelakuanmu yang busuk, sehingga mencemarkan nama baik keluarga!" dengus Sugala sengit.

Pertengkaran berlanjut. Dan amarah Tirta Janaka pun tak tertahankan lagi. Langsung adiknya dihajar dengan satu tendangan keras ke arah dada.

Wut!

Namun Sugala cepat melompat ke kanan. Ditangkisnya tendangan itu dengan tangan kiri.

Plak! Tap!

Bahkan Sugala menangkap pergelangan kaki Tirta Janaka, lalu sekuat tenaga didorongkannya ke belakang.

"Hup!" Tirta Janaka memang terjungkal ke belakang. Namun dengan gesit dia berkoprol, lalu mendarat mulus. Wajahnya kelihatan semakin berang melihat kelakuan adiknya.

"Bagus! Kau sudah mulai berani melawanku, ya?" desis Tirta Janaka.

"Kau yang memulainya, Kakang!" sentak Sugala.

"Tidak usah banyak bicara! Ayo! Ingin kulihat, sampai di mana kemajuanmu sekarang!" dengus Tirta Janaka geram.

"Kau anak manja dan selalu disayangi ayah, sehingga beliau lupa bahwa kelakuanmu sudah kelewat batas! Kau cemarkan nama keluarga! Kau siram wajah ayah dengan segala perbuatan-perbuatan bejadmu!" tuding Sugala geram.

"Yeaaa...!"

Begitu kata-kata Sugala habis, Tirta Janaka yang tidak mau banyak bicara lagi segera melepas tendangan mautnya ke dada. Tapi, Sugala meladeninya dengan tangkisan-tangkisan mantap. Beberapa kali serangan Tirta Janaka dapat dipatahkannya. Dan ini membuat kakaknya semakin geram saja.

"Hiih!" Mendadak Tirta Janaka bergulingan di tanah. Begitu bangkit kedua tangannya segera dihantamkan secara bersamaan.

"Uts!" Sugala melompat ke belakang.

"Hei?! Kau hendak membunuhku dengan jurus 'Kepalan Iblis', Kakang?" seru Sugala, cukup kaget juga.

Tirta Janaka tak peduli. Dan pada satu kesempatan, sebelah kakinya menyodok keras ke perut adiknya.

Desss....

"Aaakh...!" Sugala jatuh terjungkal sambil menjerit kesakitan.

Baru saja Tirta Janaka hendak menghajarnya lagi.....

Heh?!" Saat itu juga pandangan Tirta Janaka membentur pada dua sosok tubuh berpakaian gembel yang telah tegak berdiri mengawasi pertarungan tak jauh dari tempat ini.

"Siapa kalian?!" bentak Tirta Janaka lantang.

"Kau lupa padaku, Tirta Janaka?" sahut salah seorang.

Tirta Janaka mengamatinya dengan seksama. Rupanya yang barusan bicara adalah seorang wanita berusia sekitar dua puluh enam tahun. Rambutnya panjang, namun tak terurus. Matanya memandang tajam pada pemuda itu.

"Aku tidak kenal kalian! Pergilah sebelum kupanggilkan penjaga untuk mengusir kalian!" bentak Titra Janaka, lantang.

"Penjaga mana yang kau maksudkan? Apakah kedua anjing buduk yang kau suruh berjaga di depan sana? Mereka kini tengah nyenyak tertidur. Dan mereka tidak akan terbangun, meski kau telah berangkat ke neraka!" desis wanita itu dingin.

"Kurang ajar! Berani betul kau mengancamku?! Tahukah kau tengah berhadapan dengan siapa saat ini?!"

"Aku tengah berhadapan dengan anjing buduk!" sahut wanita itu, mengejek.

"Setan!"

Tirta Janaka yang saat itu tengah kalap pada adiknya, semakin geram saja mendengar ocehan wanita berpakaian dekil itu. Dengan serta merta dia melompat menyerang dengan satu tendangan dahsyat.

"Yeaaa...!"

Wanita itu tidak berusaha menghindar. Cepat ditangkisnya serangan itu dengan tangan kiri. Dan tiba-tiba saja tangan kanannya, menyodok keras ke ulu hati. Tirta Janaka terkejut, namun tak mampu lagi menghindar. Dan....

Begkh!

"Aaakh...!" Tak ampun lagi tubuh Tirta Janaka terjungkal ke belakang. Dari mulutnya keluar jerit kesakitan.

"Hei?!" Sugala yang masih meringis kesakitan ketika memperhatikan pertarungan jadi terkesiap. Demikian mudah Tirta Janaka dijatuhkan. Padahal, dia sendiri tidak mampu melawannya. Memang, kepandaian Tirta Janaka sendiri cukup hebat. Dan kalau sampai ada yang membuatnya terjungkal dengan sekali hantam, maka orang itu tidak bisa dipandang sebelah mata.

Siapa wanita gembel ini? Dan, siapa pula laki-laki gembel yang bersamanya? Mungkin saja laki-laki itu mempunyai kepandaian yang setingkat dengan wanita ini? Bahkan mungkin lebih! Namun Sugala memang tak ingin ikut campur dalam urusan kakaknya, yang pasti berbau mesum. Secepatnya dia berkelebat pergi, meninggalkan tempat ini.

Sementara itu Tirta Janaka telah bangkit kembali dengan wajah geram. Pandangan matanya penuh nafsu membunuh.

"Gembel busuk! Akan kujahar kau sampai mampus!" dengus pemuda itu.

"Kaulah yang busuk, Keparat! Dan kau akan mati di tanganku dengan cara mengenaskan!" dengus wanita gembel yang tak lain Retno dengan suara dingin.

"Huh!" Tirta Janaka kembali mendengus dan bersiap menyerang. Kini jurus mautnya yang bernama 'Kepalan Iblis' siap digunakan.

"Yeaaa...!" Tirta Janaka meluruk dengan kedua tangan terkepal yang dihantamkan bertubi-tubi. Tapi Retno mudah sekali menghindarinya. Tubuhya bergerak ringan meliuk-liuk dan mencelat ke sana kemari. Kakinya seperti tidak berpijak di tanah.

Dalam satu kesempatan telapak tangan wanita itu menangkis kepalan Tirta Janaka.

Plak!

Tirta Janaka geram bukan main. Kepalannya yang mampu meremukkan kepala seekor banteng, ternyata di depan wanita itu sama sekali tak berarti apa-apa. Bahkan sedikit pun tubuh Retno tak bergeser. Dan ketika pemuda itu melayangkan kepalan yang satu lagi, wanita ini pun menangkisnya dengan cara sama. Sebaliknya dengan satu sentakan keras, Retno menangkap kedua pergelangan tangan Tirta Janaka.

Tap!

Lalu kedua kaki wanita ini bergerak cepat menghantam dada serta perut.

Duk! Des!

"Aaakh...!" Tirta Janaka kembali menjerit kesakitan. Tubuhnya terjungkal beberapa tombak ke belakang. Bahkan sampai membentur tembok rumah dengan keras. Dari mulutnya menyembur darah segar. Pemuda itu meringis-ringis kesakitan dan terkulai lesu, karena tak mampu bangkit berdiri lagi.

"Itu permulaan yang bagus buatmu! Sekarang akan kau rasakan penderitaanmu yang lain!" desis Retno.

Langkah Retno terhenti ketika mendadak dari arah dalam rumah, berkelebat cepat sesosok tubuh. Dan tahu-tahu, sosok itu telah dekat dengan Tirta Janaka. Kini tampak jelas sosok itu. Dia adalah seorang lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun berbaju rapi. Sebagian rambutnya yang telah memutih digelung rapi ke atas. Sepasang matanya tajam, seperti menyiratkan perbawa kuat.

"Apa salah putraku, sehingga kau tega melukainya?" sapa laki-laki itu dingin.

"Tanyakan pada peristiwa tujuh tahun lalu, di pinggiran Hutan Kemboja!" sahut wanita gembel itu masih, dingin. "Pada saat itu kalian berkumpul di rumah Ardisoma!"

Orang tua yang tak lain ayah dari Tirta Janaka ini memandang tajam pada putranya. "Coba jawab pertanyaannya, Tirta! Jelaskan padaku!" ujar laki-laki setengah baya itu.

"Aku..., aku tidak mengerti apa maksudnya. Ayah...," sahut Tirta Janaka dengan suara bergetar.

"Keparat busuk! Apakah kau hendak mungkir dari perbuatan bejad yang kau lakukan kepada salah seorang pembantu keluarga Ardisoma?! Apakah kau hendak mengingkari, bahwa kau telah memperkosanya bersama kawan-kawanmu?! Kau menyiksanya! Menyiksa suaminya! Lalu, kau jebloskan suami istri itu ke sebuah jurang dalam. Masihkah kau hendak mengingkari perbuatan bejadmu?!" teriak Retno dengan sepasang mata melotot garang penuh terbakar dendam kebencian.

"Apa?! Oh, tidak! Tidak..! Itu tidak benar!" bantah Tirta Janaka dengan wajah kaget.

"Boleh saja kau berkilah. Tapi kedua orang itu masih hidup. Dan kini, tegak berdiri di depanmu!" dengus Retno.

"Kau? Kalian...?!" desis Tirta Janaka, seperti tak percaya dengan pandangannya. Pemuda ini memandang mereka berdua dengan sikap gugup, seperti hendak meyakinkan pandangannya.

"Tidak mungkin! Kalian sudah mati! Kalian sudah mati...!" teriak Tirta Janaka kalap.

"Itu memang keinginanmu. Tapi, nyatanya nasib berkehendak lain. Dan kali ini, kau yang mesti mati untuk menebus perbuatanmu itu!" desis Retno.

"Jadi benar apa yang dikatakannya, Tirta Janaka?" dengus laki-laki setengah baya, ayah Tirta Janaka.

"Tidak! Itu tidak benar. Ayah! Aku bahkan sama sekali tidak kenal dengan mereka!" elak pemuda itu dengan wajah bersungguh-sungguh.

Tapi percuma saja Tirta Jenaka berkilah untuk membela diri. Kata-katanya tadi sudah cukup beralasan kalau dirinya mengenali kedua gembel ini. Buktinya, dia mengatakan bahwa semestinya kedua gembel itu mati.

Wajah laki-laki setengah baya ayah dari Tirta Janaka kelihatan geram. Baru sekali ini ada yang terang-terangan mengadukan kebejatan budi pekerti putranya, setelah semua desas-desus yang didengar selama ini,

"Kisanak! Aku Ki Putut Denawa yang berjuluk Pendekar Budiman Bertangan Maut, akan bertanggung jawab penuh atas perbuatan putraku!" kata laki-laki setengah baya itu lantang, seraya memandang pada kedua suami istri berbaju pengemis itu.

"Aku ingin dia mati!" desis Retno.

"Aku akan menghukumnya sesuai keinginanmu!" sahut laki-laki setengah baya yang mengaku bernama Putut Denawa alias Pendekar Budiman Bertangan Maut.

"Tidak! Bukan kau yang melakukannya. Tetapi, aku...," tukas Retno.

"Apakah kau tak percaya padaku? Akan kubuktikan saat ini juga!"

Bersamaan dengan itu Ki Putut Denawa mengangkat sebelah tangannya. Namun sejengkal lagi tangan itu mampir di kepala Tirta Janaka....

"Hiih!" Retno tidak tinggal diam. Seketika telapak tangan kirinya menghantam ke depan. Dan bersamaan dengan itu, terasa angin kencang mendesir keras.

"Heh?! Hup!" Ki Putut Denawa terkejut. Namun dia cepat melompat menghindarinya.

Bruak!

Akibatnya sungguh hebat. Dinding rumah Ki Putut Denawa yang terkena pukulan itu jebol hancur berantakan.

"Apa yang kau lakukan?!" desis laki-laki setengah baya itu tak habis pikir.

"Menurutmu, apa? Aku menginginkan kematiannya di tanganku! Dia akan kugantung di depanmu," bentak Retno.

"Kalaupun kau hendak menghukumnya, hukumlah dia. Tapi, jangan di depanku...," sahut Ki Putut Denawa lemah.

"Ayah.... Apakah..., apakah kau benar-benar hendak membunuhku? Hendak menyerahkanku kepada mereka?" tanya Tirta Janaka, lirih.

"Kenapa tidak? Kesalahanmu telah kelewat batas. Dan tidak semestinya kau hidup untuk mengotori dunia dengan perbuatan-perbuatan bejadmu!"

"Tidak, Ayah! Jangan lakukan itu. Aku bersumpah tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk! Aku bertobat, Ayah! Aku bertobat!" ratap pemuda itu, sambil bersimpuh dan merangkul kaki ayahnya.

Ki Putut Denawa terdiam memandangi putranya. Untuk beberapa saat dia tak tahu mesti berbuat apa. Namun hati kecilnya memang tak ingin melihat kematian anaknya. Biar bagaimanapun, rasa sayangnya terhadap Tirta Janaka tak dapat menipunya. Dan kini, Tirta Janaka bertobat mohon ampun. Lantas bila Tuhan saja adalah Maha Penerima Tobat, kenapa manusia justru tak saling memaafkan?

"Orang tua, serahkan dia padaku!" tegas Retno.

Ki Putut Denawa terdiam.

"Serahkan dia padaku untuk kugantung!" ulang wanita gembel itu menegaskan.

"Tidak, Ayah! Kau tidak boleh menyerahkanku padanya. Dia akan membunuhku. Padahal aku sudah bertobat dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk itu lagi! Kau harus melindungiku, Ayah!" ratap Tirta Janaka berulang-ulang.

"Serahkan dia padaku, Orang Tua! Atau, kau mesti menanggung perbuatannya!" bentak Retno garang.

Ki Putut Denawa memandang wanita itu dengan bola mata sayu. "Setiap manusia punya nurani suci, karena pada dasarnya ditakdirkan untuk berbuat kebaikan. Karena, Yang Maha Kuasa menghendaki kebaikan. Tidak heran kalau Dia amat pemaaf. Maka, mengapa kita sebagai hambanya tidak memiliki sifat pemaaf...?" ujar Ki Putut Denawa lirih. Kalau tadi laki-laki setengah baya ini sangat ingin menghukum, namun begitu melihat ratapan Tirta Janaka, hatinya luluh juga.

"Serahkan putramu untuk kugantung! Atau kau akan menanggung akibat bersamanya?!" hardik Retno.

"Bukannya begitu, Nisanak. Lepas dia adalah anakku, setiap manusia berhak bertobat untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Tidakkah kau bisa memaafkannya?" kilah Ki Putut Denawa.

Wanita itu agaknya tidak sabaran. Melihat Ki Putut Denawa coba membujuk untuk menghalangi niatnya, maka dia sudah mengambil keputusan. Jelas, laki-laki setengah baya ini patut disingkirkan!

"Kau akan mati bersamanya!" desis wanita itu geram. "Heaaa...!"

Disertai bentakan menggelegar, Retno langsung melompat menerjang. Tangannya langsung dikibaskan ke wajah Ki Putut Denawa. Namun, Ki Putut Denawa cepat mengibaskan sebelah tangan menangkis.

Plak!

Betapa terkejutnya Pendekar Budiman Bertangan Maut begitu merasakan tangannya bergetar saat berbenturan. Belum lagi dia sempat berpikir, mendadak wanita itu telah melepas tendangan ke dada. Karuan saja, Ki Putut Denawa terpaksa melompat ke samping untuk menyelamatkan diri.

"Hiih!" Namun, akibatnya justru Tirta Janaka yang menjadi sasaran ketika Retno melanjutkan serangan yang justru bukan ditujukan ke arah Ki Putut Denawa. Serangan itu berbelok, dan....

Prak!

"Aaa...!" Tak ayal lagi, pemuda itu memekik pelan, takkala tangan wanita itu menghantam kepalanya.

Batok kepala Tirta Janaka kontan retak. Pemuda itu memegang kepalanya. Tampak dari sela-sela jarinya merembes darah segar. Tak lama, dia ambruk Sepasang matanya melotot, ketika nyawanya terbang meninggalkan raga.

"Tirta Janaka...?!" sentak Ki Putut Denawa dengan wajah kaget.

"Kakang! Tolong urus orang tua itu!" seru Retno ketika melihat Ki Putut Denawa menghampirinya dengan gusar.

"Jangan khawatir! Biar kubereskan dia!" sahut Barata.

"Heaaa...!" Barata tidak menunggu sampai Ki Putut Denawa menyerangnya. Dia langsung lompat menyerang.

"Hup!" Ki Putut Denawa mencelat ke belakang menghindari tendangan. Tapi, Barata terus mengejar dengan tendangan berputar.

Mau tak mau Ki Putut Denawa terpaksa mengibaskan tangan, menangkis.

Plak!

"Hiih...!" Baru saja terjadi benturan, Barata sudah melanjutkan serangan berupa sapuan. Dengan gerakan cepat, Ki Putut Denawa melompat ke samping.

"Yeaaa...!" Barata terus mengejar dengan sebuah kibasan tangan menuju perut.

Namun Ki Putut Denawa kembali mengibaskan tangan untuk menangkis. Dia bermaksud membalas, namun Barata lebih cepat menyerangnya secara bertubi-tubi.

"Kurang ajar!" dengus Pendekar Budiman Bertangan Maut geram ketika melihat tendangan Barata nyaris meremukkan kepala.

"Ternyata kalian sungguh-sungguh hendak membunuhku, he?!"

"Syukurlah kalau memang kau telah sadar," sahut Barata singkat.

Ki Putut Denawa menggeram. Dibukanya jurus baru ketika melompat ke belakang untuk mengambil jarak. Sebuah jurus andalan yang selama ini amat dibanggakannya,

"Terimalah jurus 'Gelombang Selaksa Tangan' ini. Yeaaa...!" bentak Pendekar Budiman Bertangan Maut nyaring seraya melompat menerjang.

Kedua tangan Ki Putut Denawa bergerak lincah menyambar-nyambar menimbulkan desir angin cukup hebat. Dalam serangannya itu, seolah-olah kepalan tangannya menjadi berjumlah banyak, mengepung dari segala penjuru.

"Hiih!" Untuk sesaat Barata agak kerepotan. Tapi sejurus kemudian, tubuhnya telah bergerak lincah menangkis semua serangan dengan mantap. Bahkan begitu mendapat kesempatan, dia balas menyerang dengan gencar.

Tubuh Barata melenting melewati kepala Ki Putut Denawa dengan gerakan cepat bukan main. Dan sebelum Pendekar Budiman Bertangan Maut berbalik, Barata telah melepaskan tendangan ke belakang yang begitu keras.

Duk!

"Aaakh...!" Ki Putut Denawa mengeluh tertahan ketika punggungnya terhajar tendangan keras. Namun Pendekar Budiman Bertangan Maut cepat melompat ke depan sambil berjumpalitan beberapa kali. Sedangkan begitu menjejak tanah, Barata langsung berbalik. Tanpa memberi kesempatan, dia segera mengejar, dengan sebuah hantaman bertenaga dalam tinggi.

"Hiih!" Bukan main terkejutnya Ki Putut Denawa. Sebisa-bisanya tangannya mengibas menangkis.

Plak!

Namun begitu terjadi benturan, Barata telah melepas tendangan ke perut.

Desss...!

"Aaakh...!" Bahkan kemudian pengemis itu menyusuli dengan sodokan tendangan keras ke dada.

Desss...!

"Aaakh...!" Kembali Pendekar Budiman Bertangan Maut terpekik. Tubuhnya melayang seperti gedebong pi-sang ambruk. Dari mulutnya menyembur darah segar.

"Retno! Kau sudah selesai dengan urusanmu?!" teriak Barata lantang ketika melihat istrinya telah menjerat leher korbannya dengan seutas tambang.

"Sudah, Kakang! Sekarang bagianmu!" sahut istrinya seraya melemparkan seutas tambang yang lain.

Barata menangkap tambang dengan sigap. Kemudian bibirnya menyeringai buas kepada Ki Putut Denawa yang tengah megap-megap tak berdaya.

"Mestinya kau tidak mengalami ini kalau berpikir waras. Tapi, ternyata kau memang sama saja dengan putramu, sehingga nasibmu pun akan sama dengannya!" desis Barata.

Ki Putut Denawa tak menjawab, namun berusaha untuk duduk. Barata menghampiri, lalu menjambak rambut kepala Pendekar Budiman Bertangan Maut.

"Huh...!"

"Aaakh...!" Barata lantas menghadapkan wajah Ki Putut Denawa ke arah Tirta Janaka yang telah tewas tergantung di cabang pohon dengan rumahnya.

"Kau harus lihat kematian anakmu!" dengus Retno ketika Retno telah selesai dengan tugasnya.

"Ohhh...!" Ki Putut Denawa terkulai lesu sambil mengeluh pilu. Bagaimanapun Tirta Janaka adalah putranya. Darah dagingnya sendiri. Mana mungkin dia tega melihat anaknya diperlakukan demikian mpa? Tapi begitu muka berpaling, Barata Menghadapinya kembali dengan sentakan keras.

"Dia merupakan bagian dosamu! Kau bertanggung jawab atas perbuatannya. Maka, lihatlah kematiannya sebelum kau mati dengan cara sama!"

"Biadab! Kalian benar-benar biadab...!" umpat Pendekar Budiman Bertangan Maut geram.

"Aku tidak menyuruhmu memaki, Bangsat!" Begitu kata-katanya habis, Barata langsung menjeratkan tambang di tangannya, menjerat leher Ki Putut Denawa.

"Eekh!" Ki Putut Denawa menjerit pendek, kemudian terkulai lesu ketika nyawanya melayang dari tubuh.

Barata langsung menyeret tubuh Pendekar Budiman Bertangan Maut kemudian menggantungnya di sebelah Tirta Janaka.

"Huh! Itu akibatnya kalau melindungi anak biadab!" dengus Retno.

"Apakah kau senang, Sayang?" tanya Barata, setelah menyelesaikan pekerjaannya.

"Belum tuntas, Kakang. Masih ada tiga lagi."

"Ya, aku tahu. Bagaimana dengan putranya yang seorang lagi?"

"Dia telah melarikan diri...."

"Aku bisa mengejarnya kalau kau mau?"

"Tidak perlu. Dia lari menghindar, itu sudah cukup membuktikan kalau tidak mau terlibat urusan ini. Untuk apa kita mengejarnya? Lagi pula sempat kudengar awal pertarungan mereka tadi. Dia pun rupanya mengutuk perbuatan kakaknya itu.

"Baiklah kalau memang demikian keinginanmu.....

"Lebih baik kita bereskan tiga orang yang tersisa. Ayo kita pergi dari sini!" ajak Barata.

ENAM

Kematian Ki Putut Denawa yang mengenaskan, benar-benar membuat dunia persilatan gempar. Terutama, bagi kawan-kawan seangkatan Pendekar Budiman Bertangan Maut itu sendiri. Memang tak seorang pun yang mengetahuinya. Bahkan istri Ki Putut Denawa sendiri, baru tahu pada pagi harinya karena baru kembali dari bepergian.

Kebetulan pada pagi harinya, Adiguna yang diutus oleh ayahnya, Ki Genduk Mani untuk mengabarkan kejadian yang menimpa Ki Danang Mangkuto, telah sampai pula di rumah Ki Putut Denawa. Dan ternyata laki-laki setengah baya yang juga kawan seperjuangan Ki Genduk Mani itu telah tewas. Hal ini tentu saja membuat Adiguna dan rombongannya terkejut.

Mereka hanya sebentar di sana. Setelah itu dalam pemakaman Ki Putut Denawa, sebagian rombongan kembali pulang. Sementara sebagian lain, melanjutkan perjalanan menuju seorang sahabat Ki Genduk Mani yang bemama Ki Jaladara.

Sepanjang perjalanan, rombongan yang dipimpin Adiguna lebih banyak diam. Terlebih-lebih pemuda itu. Hatinya merasa ngeri mendengar kejadian yang menimpa dua sahabatnya, Joko Gending dan Tirta Janaka.

"Kenapa mesti mereka?" gumam Adiguna tak sabar.

"Kenapa, Kang?" tanya salah seorang pemuda anak buah Ki Genduk Mani ayahnya, yang berada di dekatnya.

"Eh! Tidak apa-apa, Bujana!" elak Adiguna.

"Kakang masih memikirkan kejadian yang menimpa keluarga Ki Putut Denawa?" tanya pemuda berusia sekitar dua puluh tiga tahun bemama Bujana itu.

"Ya, sedikit..."

"Memang. Mengerikan sekali! Menurut Kakang, apakah pelakunya sama dengan yang menimpa keluarga Ki Danang?" tanya Bujana, ingin tahu.

"Mungkin juga...," desah Adiguna.

"Tapi, kenapa mesti mereka? Keduanya adalah kawan-kawan dekat Ki Genduk Mani...."

"Jangan tanyakan itu, Bujana! Mana aku tahu!" sahut Adiguna dengan suara tinggi.

Bujana terdiam. Dia tidak tahu, perubahan apa yang menyebabkan Adiguna tiba-tiba saja seperti enggan membicarakan soal itu. Sehingga untuk begitu beberapa saat, mereka kembali terdiam. Begitu juga empat orang pemuda yang menyertai mereka. Di tengah keheningan mereka, mendadak....

"He he he...! Dua orang mati percuma! Dua orang mampus karena perbuatan bejad anaknya! Rasakan!"

Tiba-tiba saja terdengar suara bernada mengejek, yang disusul berkelebatnya satu sosok bayangan. Dan tahu-tahu sosok itu telah berdiri di depan rombongan Adiguna. Namun bukan pemandangan itu yang membuat Adiguna terkejut. Tetapi isi kata-kata sosok yang ternyata seorang laki-laki tua berpakaian pengemis yang menyentak hatinya.

"Kenapa, Kang?" tanya Bujana melihat keterkejutan di wajah Adiguna.

"Hm.... Mungkin ini yang disebut adikku...," sahut Adiguna setengah bergumam.

"Pengemis Sinting?" tebak Bujana.

Adiguna mengangguk.

"Dua telah mampus. Dan tiga lainnya akan menyusul! He he he...! Manusia bejad memang mestinya mampus. Mereka yang berdiri di atas penderitaan orang lain!" lanjut sosok pengemis tua yang tak lain memang Pengemis Sinting.

Entah kenapa, Adiguna merasa kalau kata-kata laki-laki tua itu ditujukan padanya. Maka wajahnya kelihatan geram bercampur kesal. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa mengingat peristiwa yang diceritakan Wiraguna. Kalau benar pengemis ini yang diceritakannya sebagai si Pengemis Sinting, maka percuma saja mencari gara-gara.

"Hei? Kenapa kau memandangku begitu rupa? Apa kau kesal melihatku mengoceh sendiri?!"

Tiba-tiba Adiguna yang menatap tajam ke arahnya. "Maafkan aku, Kisanak...," ucap Adiguna, tersentak.

"Aku bukan sanak keluargamu, Setan! Enak saja kau menganggapku sebagai sanak keluargamu!" tukas Pengemis Sinting, membentak garang.

"Lalu, aku mesti memanggilmu apa?" tanya Adiguna heran.

"Kau lihat aku sebagai apa?!"

"Eh! Pe..., pengemis," sahut pemuda itu ragu.

"Nah! Cukup kau memanggilku begitu!"

"Pengemis?"

"Iya! Kenapa?!" tukas pengemis itu sambil melotot lebar.

"Ah, tidak. Tidak apa-apa."

"Jadi kenapa kau memandangiku? Apa kau kira ada yang aneh padaku?!"

"Eh, tidak. Aku..., aku hanya senang dengan syairmu...."

"Kunyuk! Siapa bilang itu syair? Aku hanya mengoceh sendirian!"

"Mengoceh? Tapi ocehanmu bagus!" puji Adiguna lagi.

"Ya! Bagus karena aku mengoceh tentang dua orang bejad yang sudah mampus!"

"Siapa yang kau maksudkan?" tanya Adiguna, ingin tahu meski mengerti siapa yang dimaksudkan pengemis itu.

"Kau sudah tahu, kenapa tanya-tanya segala?!"

"Apakah Ki Danang dan Ki Putut Denawa?"

"Ya, mereka juga! He he he...! Dasar orang tua tidak tahu diri! Sudah tahu anaknya bejad, malah melindunginya!" sahut Pengemis Sinting sambil tertawa-tawa sendirian.

Dan ocehan pengemis itu semakin jelas tujuannya, membuat Adiguna jadi tidak enak hati. Jangan-jangan Pengemis Sinting mengetahui kelakuannya pula.

"Orang-orang bejad akan menerima balasan atau perbuatan mereka!" lanjut Pengemis Sinting.

"Maaf, Pengemis! Kami tengah mengadakan perjalanan. Harap kau tidak tersinggung bila kami berangkat lebih dulu," ucap Adiguna, buru-buru memotong.

"He he he...! Silakan! Silakan saja. Tapi kau mesti hati-hati, Anak Muda!" ingat Pengemis Sinting.

"Apa maksudmu?"

"Orang-orang itu mengincar pemuda-pemuda bejad! Kalau merasa dirimu bejad, maka kau pun akan diincarnya! Ha ha ha...!" Setelah berkata begitu, Pengemis Sinting berkelebat cepat meninggalkan mereka.

"Dasar pengemis gila!" umpat Adiguna setelah Pengemis Sinting cukup jauh darinya.

Tapi bagaimana pun ucapan pengemis itu membekas di hati pemuda ini. Dan itu membuatnya jadi tidak tenang!

********************

Seekor rajawali putih keperakan menukik ke bawah dengan gerakan cepat laksana kilat. Tiba di tempat cukup luas, burung raksasa itu mendarat di atas kedua kakinya yang kokoh. Dari lehernya, tampak melompat seorang pemuda berbaju rompi putih dengan sebilah pedang bergagang kepala burung tersampir di balik punggung.

"Kau terus saja terbang, Rajawali Putih!" teriak pemuda yang tak lain Rangga yang di kalanganpersilatan terkenal sebagai si Pendekar Rajawali Sakti.

"Kraagkh...!" Rajawali Putih memekik pelan. Lalu dengan sekali mengepakkan kedua sayapnya, burung raksasa berbulu putih itu telah melesat tinggi ke angkasa. Maka tak urung batang-batang pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang seperti dilanda angin kencang.

"Jangan jauh-jauh dariku, Rajawali Putih!" teriak Rangga sambil melambaikan tangan.

"Kreaagkh!" Rajawali Putih kembali menjerit pelan di angkasa sambil berputar-putar di sekitar tempat itu.

"Hm.... Mudah-mudahan Dewa Bayu mengikuti aku," gumam Rangga. Pendekar Rajawali Sakti lantas menempelkan ujung jari tangan dan jempolnya ke ujung lidah. Dan....

"Suiiittt...!" Terdengar suitan keras dari mulut Rangga. Ketika tidak ada tanda-tanda ada yang datang, dia bersuit nyaring kembali.

"Suiiittt...!"

"Hieee...!"

"Nah, itu dia!" seru Rangga girang ketika mendengar ringkikan kuda dari kejauhan.

Tidak lama muncul seekor kuda hitam dari kejauhan yang berlari kencang mendekatinya. Sesaat terdengar hewan itu meringkik kecil. Sambil mendengus kasar, diusap-usapnya dada pemuda berbaju rompi putih itu.

"Syukurlah kau bisa mengikutiku ke sini, Dewa Bayu," kata Rangga seraya balas mengusap-usap leher kuda bernama Dewa Bayu sebelum melompat ke punggungnya.

Begitu digebah, Dewa Bayu telah berlari kencang meninggalkan tempat itu bersama Rangga di punggung menuju desa yang tidak seberapa jauh. Sebentar saja, Rangga telah tiba di mulut desa. Dari tapal batas, dia yakin kalau desa inilah yang ditujunya.

"Desa Kedal...!" sebut Rangga pelan, lalu mempercepat lari Dewa Bayu.

Tidak sulit mencari rumah yang paling besar di tempat ini, karena semua penduduk mengenal baik pada keluarga itu. Keluarga Ardisoma.

"Selamat sore...!" sapa Rangga ketika tiba di halaman rumah besar yang ditujunya.

Seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang tengah merawat tanamannya di pekarangan dengan segera menghentikan pekerjaannya. Kepalanya mendongak. Matanya memandang tajam sebentar, lalu kembali sibuk dengan tanamannya.

"Mau cari siapa?" tanya gadis itu, acuh tak acuh.

"Ki Ardisoma," sahut Rangga datar.

"Apa keperluanmu?"

Rangga menarik napas kesal. Hatinya mulai merasa jengkel melihat sikap gadis itu. Meski wajahnya cantik, namun wataknya sombong. Bahkan sama sekali tidak bisa berlaku hormat kepada tamu.

"Aku yang hendak bertanya begitu kepada beliau," sahut Rangga, enteng.

"Huh! Orang-orang sepertimu paling-paling hanya pura-pura mengaku kenal, lalu buntutnya minta uang!" cibir gadis itu, menyebalkan.

"Wajahmu cantik, Nisanak. Tapi mulutmu kotor. Jangan sembarangan menuduh kalau belum tahu duduk persoalan yang sebenarnya!" sahut Rangga keras.

"Aku banyak kenal orang-orang sepertimu. Dan semuanya sama saja. Meski kelihatannya berbeda, tapi ujung-ujungnya akan sama!" bentak gadis itu.

"Baiklah. Sebaiknya tidak kita bicarakan soal itu. Nah! Katakan pada beliau, undangannya telah kuterima."

"Beliau tidak ada di rumah?"

"Ke mana?"

"Apakah kau kira aku penjaganya?"

Rangga semakin sebal melihat tingkah gadis ini yang kelewat angkuh. Namun baru saja membalikkan arah kudanya yang hendak pergi meninggalkan rumah itu, tapi tiba-tiba saja dari dalam rumah, besar ini muncul seseorang.

"Kisanak, ada urusan apa? Dan siapakah kau ini sebenarnya?" sapa orang itu dengan suara lebih ramah.

"Angkoro! Apa-apaan kau ini?! Dia sudah mau pergi! Biarkan saja dia pergi!" bentak gadis itu.

"Tapi...."

"Tidak ada tapi-tapian! Biarkan dia pergi!" sentak gadis itu, memotong.

Laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun yang dipanggil Angkoro kelihatan serba salah menghadapi gadis galak itu.

"Kisanak! Eh..., maaf. Aku tidak bermaksud kasar. Tapi kalau benar tidak punya urusan penting, maka kau diperbolehkan meninggalkan tempat ini," ujar Angkoro.

"Sebenarnya bukan aku yang punya persoalan, tapi Ki Ardisoma yang telah mengundangku. Tapi kalau memang beliau berubah pikiran, tidak masalah. Aku pergi sekarang juga...," jelas Rangga, seraya memutar arah kudanya kembali.

"Eh, tunggu dulu! Maksudmu..., Ki Ardisoma sendiri yang mengundangmu kesini?!" cegah Angkoro.

"Benar!" sahut Rangga, tanpa menoleh.

"Siapakah kau sebenarnya, Kisanak?" tanya Angkoro, bernada lebih sopan.

"Angkoro! Tidak perlu tanya-tanya namanya segala! Dan kau, Kisanak! Kenapa tidak lekas angkat kaki?!" bentak gadis itu dengan mata melotot lebar.

Dan laki-lagi Angkoro dibuat tidak berkutik oleh gadis itu. Dia memandang Rangga dengan sikap serba salah.

"Tidak apa. Aku akan segera pergi. Maaf, telah mengganggu ketenteraman tempat ini." Rangga baru saja akan menggebah kudanya, tiba-tiba....

"Kisanak, tunggu dulu!"

Pendekar Rajawali Sakti menghentikan laju kudanya ketika terdengar seruan lantang dari belakangnya.

"Hmm...." Terpaksa Rangga membalikkan kudanya kembali. Dan dia langsung melihat kearah datangnya seruan tadi.

Kini di dekat gadis itu berdiri seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih. Berbaju surjan putih, memakai blangkon coklat serta kain panjang berwarna coklat pula.

Dahi Rangga berkerut, ketika melihat laki-laki itu mendatanginya dengan tergopoh-gopoh. Meski belum pernah bertemu sebelumnya, namun bisa diduga kalau laki-laki itu adalah tuan rumah ini.

"Aku Ardisoma! Selamat datang di tempatku, Kisanak!" sambut laki-laki bersurjan itu, ramah.

Rangga melompat dari punggung kudanya. Dibalasnya salam penghormatan itu.

"Ayah! Kenapa mesti repot-repot? Pemuda ini sudah hendak pergi karena ada urusan penting!" celetuk gadis sombong itu.

"Mahadewi, bicara apa kau?! Dia tamu Ayah! Tamu penting yang memang telah Ayah tunggu-tunggu!" bentak laki-laki bernama Ki Ardisoma itu.

"Huh! Paling-paling sama seperti yang lain! Hendak menggerogoti harta kita!" dengus gadis yang dipanggil Mahadewi.

"Mahadewi jaga mulutmu! Tahukah kau tengah berhadapan dengan siapa?!'' hardik Ki Ardisoma berang.

"Huh! Kenapa tidak?"

"Anak tidak tahu diri!" umpat Ki Ardisoma semakin geram. "Kau tengah berhadapan dengan seorang pendekar besar yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Dia tidak butuh harta karena dia memiliki harta yang lebih banyak ketimbang kita. Cobalah kau bersikap lebih sopan sedikit padanya!"

Tapi Mahadewi memang tinggi hati. Bukannya merubah sikap atau meminta maaf, malah berlari meninggalkan mereka sambil menggerutu kesal.

"Maafkan putriku itu, Pendekar Rajawali Sakti. Dia memang suka begitu. Adatnya keras. Persis seperti almarhum istriku," jelas Ki Ardisoma lirih.

"Tidak apa.... Oh, ya. panggil aku Rangga saja, Ki...." ujar Rangga, seraya menyerahkan kudanya pada Angkoro yang langsung membawanya ke istal di samping rumah besar ini.

"Baik, Pendekar Rajawali Sakti..., eh! Rangga.... Kau tidak tersinggung, bukan?"

"Tidak..."

"Syukurlah. Mari. silakan masuk ke dalam!" Ki Ardisoma kelihatan repot menyambut tamunya. Bahkan segalanya telah ditata apik. Demikianpula hidangan-hidangan yang disediakan untuk Pendekar Rajawali Sakti.

"Ki Ardisoma.... Ada apakah gerangan? Segalanya tampak gemerlap. Apakah Kisanak tengah menanti seorang pembesar? Kalau begitu kehadiranku tentu mengganggu," tanya Rangga, ketika telah dipersilakan duduk di ruang utama.

"O, tidak! Sama sekali tidak! Aku memang tengah menunggu seorang pembesar."

"Hm.... Kalau boleh tahu, siapa pembesar itu?"'

"Kaulah orangnya!" sahut Ki Ardisoma sambil tersenyum lebar.

Rangga agak terkejut. Tidak heran kalau semua orang yang berada di tempat ini membungkuk hormat ketika dia tadi berjalan melewati mereka.

"Ki Ardisoma, aku tidak mengerti semua ini? Kuterima surat undanganmu dari salah seorang anak buahmu. Aku tidak mengenalmu sebelumnya. Bahkan aku tidak tahu apa maksud undanganmu ini. Lalu tiba-tiba kau memperlakukanku seperti tamu agung. Ada apa sebenarnya?"

"Rangga. Aku amat berterima kasih atas kehadiranmu di tempatku ini. Dan aku tahu, kau adalah pendekar besar yang patut diberi penghormatan, mengingat jasamu yang memerangi keangkaramurkaan. Pada mulanya aku sungkan untuk mengharapkan bantuan darimu. Tapi belakangan banyak kudengar bahwa kau sering membantu tanpa pamrih. Maka itulah aku mengundangmu ke sini," sahut Ki Ardisoma, menjelaskan.

"Persoalan apa sehingga kau memerlukan bantuanku?" tanya Rangga.

"Langsung saja, Rangga. Aku ingin bantuanmu dalam suatu hal menyangkut keselamatan diriku dan keluargaku," jelas Ki Ardisoma lagi.

"Ada apa rupanya?"

"Ada dua orang akan mengancam keluargaku!" sahut Ki Ardisoma.

"Siapa mereka?"

"Itulah sulitnya! Aku tidak mengetahuinya."

"Lalu, dari mana kau tahu bahwa mereka mengancam keselamatan kalian?"

"Dua kawan dekatku tewas secara mengerikan. Digantung bersama putra-putranya!"

"Hm, ya. Aku juga mendengar berita itu, karena cukup menggegerkan dunia persilatan. Tapi mungkin saja itu urusan mereka. Lalu, kenapa kau ikut sibuk? Apakah Kisanak pernah berselisih dengan mereka?"

"Berselisih tentu saja pernah. Tapi kurasa tidak akan sampai kepada persoalan membunuh. Tapi, pembunuh kedua sahabatku itu datang bersama dendam, sehingga tega membantai korbannya dengan cara-cara biadab!" dengus Ki Ardisoma geram.

"Apakah Ki Ardisoma tidak pernah berbuat aniaya kepada seseorang sampai kelewat batas?"

"Tidak! Aku tidak pernah menganiaya seseorang. Kalaupun kesal, aku hanya marah. Namun, tidak pernah sampai memukul."

"Putramu barangkali?"

"Bratasena? Ah! Dia memang brangasan. Tapi sejauh itu, kurasa dia belum pernah menganiaya seseorang."

Rangga terdiam untuk sejurus lamanya, sebelum melanjutkan kata-katanya. "Ki Ardisoma.... Kudengar kau seorang berkepandaian hebat. Dan kau pun memiliki anak buah cukup banyak untuk melindungiku. Kurasa kalau sekadar menghadapi musuhmu itu, tidak perlu bantuanku...."

"Benar apa yang kau katakan, Rangga. Tapi kedua kawanku yang terbunuh juga berkepandaian yang sama tinggi dengan kepandaianku. Mereka juga memiliki anak buah. Tapi yang mati hanya kawanku, serta seorang putranya. Bukankah itu pertanda kalau mereka mudah sekali melakukan niatnya? Dan besok atau lusa, giliranku yang menjadi korbannya. Tak seorang pun yang akan membelaku. Apalagi setelah kudengar, beberapa anak buahku berhenti bekerja. Mereka takut dan tidak mau menanggung akibatnya...," jelas Ki Ardisoma.

Rangga terdiam untuk beberapa saat.

"Bagaimana, Rangga? Bersediakah kau membantuku?" tanya Ki Ardisoma, ketika Pendekar Rajawali Sakti menatapnya.

TUJUH

"Aku tidak bisa mengatakannya sekarang...," jawab Rangga.

"Itu artinya..., kau tidak bersedia membantuku, Rangga?" desak Ki Ardisoma lirih.

"Aku tidak berkata begitu."

"Lalu?"

"Persoalan ini belum jelas bagiku. Apa alasannya mereka membunuh kedua sahabatmu itu? Kalau kau katakan mereka mempunyai anak buah, kenapa tidak ikut terbunuh? Mestinya sebagai anak buah, mereka akan membela majikannya mati-matian. Bahkan sebelum menjumpai majikannya, kedua pembunuh itu akan berhadapan lebih dulu dengan anak buahnya."

"Itulah yang tidak kumengerti, Rangga. Tapi kata beberapa orang, mereka kabur ketika pembunuhan itu terjadi," jelas Ki Ardisoma.

"Hmm...."

"Bagaimana, Rangga?" desak laki-laki tua ini.

"Aku akan cari tahu dulu siapa para pembunuh itu," sahut Rangga.

"Bagaimana caranya?"

"Beberapa orang yang kau perkirakan akan menjadi korbannya kemudian?"

"Lima...."

"Coba sebutkan!"

"Ki Jaladara, Ki Genduk Mani, dan aku sendiri. Sementara Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa telah tewas seperti yang kau ketahui," jelas laki-laki tua ini.

Rangga mengangguk. "Dari tempat Ki Danang Mangkuto, maka tempat siapa yang lebih dekat di antara empat sahabatmu yang lain?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Tentu saja tempat kediaman Ki Putut Denawa," jawab Ki Ardisoma, langsung.

"Dan dia jadi korban. Lalu, dari rumah Ki Putut Denawa, rumah siapa lagi yang lebih dekat?"

"Ada dua. Ke arah timur rumah Ki Genduk Mani, dan ke barat tempat Ki Jaladara. Sementara ke selatan..., tempatku ini," sahut Ki Ardisoma.

"Menurutmu, pembunuh itu akan mendatangi salah seorang dari kalian?"

Ki Ardisoma mengangguk.

"Maaf.... Aku tidak bermaksud menyinggung perasaan kalian. Tapi di antara kalian bertiga, siapa kira-kira yang keamanannya lemah?" tanya Rangga.

"Sulit diperkirakan. Ki Genduk Mani memiliki anak buah cukup banyak. Demikian pula di sini. Ki Jaladara hanya memiliki anak buah kurang dari sepuluh orang. Tapi di antara kami bertiga, beliau memiliki kepandaian lebih tinggi," jelas Ki Ardisoma.

"Menurutmu, apakah mereka berdua tahu akan ancaman ini?" cecar Rangga.

"Entahlah. Tapi utusan Ki Genduk Mani telah tiba di sini, mengabarkan kematian Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa."

"Hanya kabar itu yang dibawa?"

"Tidak. Katanya, Ki Genduk Mani memerintahkan pencarian kepada anak buah Ki Danang Mangkuto yang menghilang untuk mencari tahu siapa pembunuh majikannya...."

Baru saja kata-kata Ki Ardisoma tuntas....

"Kenapa jauh-jauh mencarinya? Aku tahu pembunuhnya! Aku tahu pembunuhnya! Ha ha ha...!"

Mendadak terdengar sahutan dari atas atap. Walaupun atap genteng belum terbuka. Rangga dan Ki Ardisoma mendongak ke atas. Ki Ardisoma sudah hendak beranjak dari duduknya, namun.... .

"Jangan!" cegah Rangga.

"Kenapa?" tanya Ki Ardisoma.

"Aku tahu siapa dia."

"Kau tahu? Siapa?"

"Pengemis Sakti."

"Pengemis Sakti? Apa urusannya di sini?" sentak Ki Ardisoma.

"Aku tidak berurusan denganmu, Tua Bangka!" Tiba-tiba suara dari atas genteng itu membentak kesal. "Aku tengah berurusan dengan pemuda itu. Suruh dia keluar!"

"Pengemis Sinting! Untuk apa kau sampai di sini?" tanya Rangga seraya mengajak Ki Ardisoma bergegas keluar

"He he he...! Kau kira bisa menghindarinya?"

Rangga baru saja keluar pintu depan bersama Ki Ardisoma di halaman mereka melihat seorang pengemis tua dengan rambut panjang awut-awutan telah berdiri di halaman. Tangannya tampak memegang tongkat seperti bekas ranting. Entah kapan tubuhnya berpindah dari atas genteng ke halaman rumah ini.

"He he he...! Kita bertemu, Bocah!" seru laki-laki tua berpakaian pengemis yang memang Pengemis Sinting.

"Pengemis Sinting! Aku tidak punya urusan denganmu."

"Enak saja kau bicara!" bentak Pengemis Sinting. "Kau tinggalkan aku begitu saja, sebelum pertarungan kita tuntas. Mana hewan sial itu? Biar kucabut semua bulunya!"

Memang, dalam perjalanannya ke rumah Ki Ardisoma, Pendekar Rajawali Sakti sempat bertemu Pengemis Sinting. Dasar orang sinting, tak ada masalah apa-apa, laki-laki tua berpakaian pengemis itu menyerang Rangga.

Untuk beberapa jurus Pendekar Rajawali Sakti melayani. Tapi untuk kemudian, dia berhasil melepaskan diri dari Pengemis Sinting, dan kabur bersama Rajawali Putih.

"Pengemis Sinting! Lebih baik kita tunda dulu urusan ini, karena aku ada sedikit urusan dengan tuan rumah," ujar Rangga.

"Persetan! Itu bukan urusanku!" sentak Pengemis Sinting.

"Ini soal hidup mati seseorang. Kuharap kau mengerti."

"Phuih! Memangnya kau yang menentukan hidup mati seseorang? Kalau si Ardisoma mampus, itu sudah takdir. Dan kau tidak bisa mencegahnya!" bentak pengemis itu sambil meludah.

Sementara itu melihat keributan di luar, beberapa anak buah Ki Ardisoma telah berkumpul. Dan mereka siap menunggu perintah. Tapi Ki Ardisoma memberi isyarat agar mereka tidak berbuat apa-apa. Sebab dia tahu, Pengemis Sinting bukan tokoh sembarangan. Kalau tokoh itu mengamuk, mereka tidak akan mampu menahannya.

"Memang tidak. Tapi, aku akan berusaha mencegah bila seseorang berbuat sewenang-wenang...."

"Siapa yang berbuat sewenang-wenang?! Tanyakan padanya! Sadarkah dia akan kesalahannya?!" tuding Pengemis Sinting pada Ki Ardisoma.

Rangga terdiam. Untuk beberapa saat dia termenung memikirkan kata-kata pengemis tua itu. Sementara, Ki Ardisoma memandang mereka berdua berganti-ganti dengan dahi berkerut.

"Rangga! Aku sungguh-sungguh tidak mengerti apa yang dimaksudkan Pengemis Sinting. Kurasa dia hanya mengada-ada saja!"

"Brengsek! Jadi mentang-mentang namaku Pengemis Sinting, lalu kau anggap aku ngomong seenaknya? Begitu?!" bentak Pengemis Sinting.

"Bukan begitu, Kisanak...."

"Aku bukan sanak saudaramu!" tukas si Pengemis Sinting dengan suara keras.

"Lalu, aku mesti memanggil apa padamu?"

"Kau lihat aku apa? Pengemis, bukan? Nah, panggil saja begitu."

"Pengemis...?"

"Kenapa? Heran?! Apa orang tidak boleh bernama Pengemis?!"

"Ah, tidak. Baiklah, Pengemis. Aku tidak mengerti kalau kau menimpakan kesalahan padaku. Kesalahan apakah yang kuperbuat?" tanya Ki Ardisoma, masih dengan nada ramah.

"Kau sama saja dengan kedua kawanmu yang sudah mampus!" umpat Pengemis Sinting. "Mereka pura-pura tidak mengerti kesalahan apa yang telah diperbuat? Huh! Memuakkan! Dan mereka telah menebusnya dengan kematian. Maka, kau pun akan mengalami nasib sama!"

"Apakah kau tahu pembunuh mereka?" tanya Ki Ardisoma, mengesampingkan kejengkelannya dengan ocehan-ocehan pengemis tua itu.

Saat itu, ada yang lebih penting ketimbang balas marah-marah atau memaki pengemis tua itu. Dia sepertinya tahu banyak. Atau paling tidak, mengetahui siapa pembunuh kedua sahabatnya, Dan itulah yang diperlukan saat ini.

"Kalaupun aku tahu, tidak akan kuberitahu padamu! Biar kau menebak-nebak sendiri, sambil menunggu kematianmu dengan hati berdebar-debar! Ha ha ha...!" sahut Pengemis Sinting sambil tertawa nyaring.

Setelah berkata begitu Pengemis Sinting langsung berkelebat dari tempat itu. Seolah-olah urusannya dengan Pendekar Rajawali Sakti terlupakan.

"Suiuttt!"

Rangga bersuit nyaring. Dan dari dalam istal, meringkik keras Dewa Bayu yang segera mendepak pintu istal, lalu berlari kencang menghampirinya!

"Ayo, Dewa Bayu! Kita kejar orang tua itu!" ujar Pendekar Rajawali Sakti seraya melompat ke punggung kuda yang terus berlari tanpa berhenti lebih dulu.

"Rangga! Mau ke mana kau?!" teriak Ki Ardisoma.

"Aku akan menyusulnya! Ada yang perlu kutanyakan. Jangan khawatir, aku akan kembali lagi!" teriak Pendekar Rajawali Sakti, terus menggebah kudanya.

Ki Ardisoma hanya mampu memandangi tanpa bisa berbuat apa-apa. Bayangan Pendekar Rajawali Sakti bersama kudanya telah semakin hilang di kejauhan.

Meski lari Dewa Bayu amat kencang, tapi untuk menyusul si Pengemis Sinting agaknya bukan soal mudah. Karena beberapa saat kemudian, Rangga telah kehilangan jejak.

"Kurang ajar! Ke mana perginya orang itu?!" dengus Pendekar Rajawali Sakti kesal.

Rangga berhenti sebentar. Kepalanya celingukan mencari ke sana kemari, sebelum memutuskan untuk memacu kuda ke utara. Tapi baru saja berada kurang lebih sepuluh tombak dari tempatnya berhenti tadi, mendadak terlihat Pengemis Sinting terkekeh-kekeh di atas cabang sebuah pohon.

"He he he...! Kau penasaran padaku, Bocah?" ejek Pengemis Sinting.

"Aku ingin minta beberapa keterangan darimu!" ujar Rangga, tak mempedulikan kata-kata pengemis tua itu.

"Keterangan apa?"

"Siapa pembunuh Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa?"

"Mereka yang membunuh Joko Ginting dan Tirta Janaka!" sahut Pengemis Sinting seenaknya.

"Ya, aku tahu. Tapi, siapa yang membunuh mereka?"

"Kenapa tidak tanyakan saja kepada mereka?"

"Mereka? Siapa yang kau maksudkan?"

"Ya, siapa lagi kalau bukan ayah dan anak yang sudah mampus itu?!" sahut Pengemis Sinting, sekenanya sambil tertawa.

Rangga menarik napas panjang. Dan kekesalan hatinya disembunyikan rapat-rapat. "Kurasa kau tidak tahu, tapi pura-pura tahu saja!" pancing pemuda itu.

"Kau meremehkan aku, heh?!" bentak laki-laki tua pengemis dengan mata melotot lebar.

"Memangnya apa yang mesti kupandang darimu?" sahut Rangga, memanasi.

"Kurang ajar! Kurang ajar! Bocah busuk, kuhajar kau!" teriak Pengemis Sinting kalap seraya melesat turun ke bawah.

"Kalau kau mau menghajarku, silakan saja. Tapi aku tidak akan melawan. Sebab akan sia-sia saja melawanmu," sahut Rangga.

"He he he...! Akhirnya kau mengakui juga kehebatanku, bukan? Makanya jangan sombong!" kata Pengemis Sinting, terkekeh girang sambil berkacak pinggang.

"Eh, jangan salah! Siapa bilang aku mengakui kehebatanmu? Kukatakan melawanmu sia-sia saja. Karena dengan sekali sentil, kau akan kubuat jungkir balik keliling dunia!" sahut Rangga sambil menunjukkan kelingkingnya.

"He, apa?! Kurang ajar! Kurang ajar..!" Pengemis Sinting menghentak-hentakkan kakinya.

"Ayo, mari kita tarung! Buktikan ucapanmu itu, cepaaat...!" lanjut laki-laki tua ini sambil menuding geram.

"Aku tidak akan bertarung denganmu," sahut Rangga, kalem.

"Pengecut!"

"Syukur kalau kau mengetahuinya."

"Brengsek! Brengsek! Ayo, lawan aku! Lawan aku...!" bentak Pengemis Sinting sambil mencak-mencak sendiri.

"Tidak! Aku tidak akan melawanmu, kecuali..."

"Kecuali apa? Ayo, katakan cepat!"

"Kecuali kau katakan, siapa yang telah membunuh Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa."

"Apa?!" Mata Pengemis Sinting melotot lebar Tapi tiba-tiba dia tersenyum lebar.

"He he he...! Aku tahu! Kau mau mengakali, bukan? Kau ingin mengorek keterangan dariku!" tebak Pengemis Sinting, cerdik.

"Untuk apa mengorek keterangan darimu? Aku hanya ingin membuktikan bahwa kau hanya berbohong. Dan ternyata benar. Kau tidak tahu apa-apa soal pembunuh itu," tukas Rangga, memancing kembali.

"Huh, enak saja! Aku berani ngomong, karena aku tahu apa yang kuomongkan!" sergah Pengemis Sinting kelihatan berang.

"Kalau begitu katakan padaku, siapa pembunuh itu?"

"Mereka suami istri. Atau mungkin juga sepasang kekasih. Pokoknya, mereka selalu bersama. Berbaju dekil sepertiku. Dan mungkin juga mereka pengemis!" sahut Pengemis Sinting lantang.

"Mereka pasti punya nama!" desak Rangga.

"Yang laki-laki kalau tidak salah bernama.... Barata. Ya, Barata! Dan yang perempuan bernama Retno!" sahut Pengemis Sinting, menjelaskan.

"Urusan apa yang membuat mereka membuat Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa?" desak Rangga lagi.

"Kenapa tidak kau tanyakan saja kepada mereka?"

"Kau tahu, mereka sudah mati. Bagaimana mungkin aku bisa menanyakan pada mereka?"

"Tidak. Tiga orang lagi masih hidup. Kau bisa tanyakan!"

"Ki Ardisoma tidak tahu-menahu soal mereka."

"Dia tahu! Terlebih lagi putranya!"

"Persoalan apa sebenarnya?"

"Tanyakan saja. Dan kau pasti akan tahu! Kalau mereka tidak mengaku, maka berarti mereka berdusta. Dan kau tak perlu repot-repot membantu mereka. He he he...!"

Setelah berkata begitu, Pengemis Sinting berkelebat meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti. Sepertinya urusannya dengan pemuda itu kembali terlupakan.

Rangga termangu beberapa saat merenungkan ucapan pengemis itu. Laki-laki pengemis tadi tahu pembunuh-pembunuh itu. Tapi dia diam saja dan tidak berniat menolong? Mungkin saja, karena Pengemis Sinting memang bersifat angin-anginan. Kalau suka dia akan menolong kesusahan. Dan kalau lagi tak suka, maka tak peduli orang mati dan teraniaya di depannya. Tapi apa tidak mungkin dia bersekutu dengan kedua pembunuh itu?

"Ayo, Dewa Bayu! Kita kembali ke tempat tadi!" ajak Pendekar Rajawali Sakti seraya menepuk kuda tunggangannya, bergegas kembali ke tempat Ki Ardisoma.

********************

Hari telah sore ketika Pendekar Rajawali Sakti tiba di rumah Ki Ardisoma. Namun laki-laki setengah baya itu agaknya tengah menunggu di halaman depan rumah, bersama beberapa orang anak buahnya. Wajahnya tampak cerah begitu melihat kehadiran Rangga.

"Ah, Rangga! Syukurlah kau kembali. Kukira kau akan terus mengejarnya!" desah Ki Ardisoma, ketika Rangga telah turun dari kudanya dan menghampiri.

"Aku memang mengejarnya," sahut Rangga.

Salah seorang anak buah Ki Ardisoma tampak mengambil Dewa Bayu untuk kembali dibawa ke istal.

"He, jadi kau bertemu lagi dengannya?" tanya Ki Ardisoma dengan kening berkerut.

"Ya! Bahkan kami sempat berbicara."

"Bicara soal apa?"

"Soal urusan ini."

"Apa yang kau dapat darinya?"

"Banyak. Tapi lebih baik kita bicarakan hal ini di dalam. Dan..., berdua saja," pinta Rangga.

"Baiklah," desah Ki Ardisoma, menyetujui.

Ki Ardisoma bergegas mengajak Pendekar Rajawali Sakti ke dalam. Dan dia sudah tak sabar ingin mengetahui berita yang dibawa Pendekar Rajawali Sakti. Dipersilakannya pemuda itu duduk di ruang tamu.

"Nah! Di tempat ini kujamin aman, Rangga. Apa yang hendak kau ceritakan?"

Rangga menarik napas panjang, sebelum memandang orang tua itu lekat-lekat. "Kenalkah kau pada orang yang bernama..., Barata dan Retno, Ki?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Barata dan Retno? Tentu saja. Mereka dulu bekerja padaku," sahut Ki Ardisoma terus terang.

"Kemana mereka kini?" cecar Pendekar Rajawali Sakti.

"Entahlah. Terakhir mereka kabur dari rumah, karena mencuri barang-barang berharga milikku. Untung Bratasena mengetahui dan melakukan pengejaran," jelas Ki Ardisoma.

"Apakah ada peristiwa lain, yang menarik perhatian ketika Bratasena mengejar kedua orang itu?"

"Kurasa tidak. Tapi.., entah juga. Bratasena tidak berhasil meringkus mereka. Dan ketika pulang, dia bersama empat kawannya...."

"Empat kawannya?"

"Ya! Saat itu ada pertemuan di rumahku. Dan pertemuan itu dihadiri keempat sahabatku, yaitu Ki Genduk Mani, Ki Putut Denawa Ki Danang Mangkuto, dan Ki Jaladara. Masing-masing saat itu mereka membawa putra tertuanya," sahut Ki Ardisoma menjelaskan lebih lanjut.

"Pada saat pengejaran berlangsung, apakah Bratasena didampingi kawan-kawannya.

"Tidak. Tapi, keempatnya saat itu memang tengah bermain. Bratasena mengatakan bahwa mereka bertemu di tengah jalan."

"Satu lagi pertanyaan, Ki. Apakah Barata dan Retno mengerti ilmu oleh kanuragan?"

"Tidak! Mereka sama sekali tidak tahu apa-apa soal itu," sahut Ki Ardisoma yakin. "Tapi, kenapa kau duga bahwa mereka yang melakukannya? Jangankan membunuh Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa. Bahkan menjatuhkan anak buah mereka saja, kedua orang itu tak mampu."

"Pernahkah mendengar pepatah yang mengatakan, seekor semut akan melawan kalau terinjak. Dan seekor babi akan menyerang bila terdesak?"

"Aku tidak mengerti, Rangga."

"Panggilah Bratasena. Dan tanyakan padanya, apa yang telah diperbuatnya kepada dua orang itu?" ujar Rangga, lebih lanjut.

"Eh?! Apa maksudnya...?"

"Panggil saja. Dan akan kita lihat apakah dia berdusta atau tidak."

"Baiklah." Ki Ardisoma keluar kamar sebentar, menemui seorang anak buahnya. Lalu dia kembali lagi. Mereka menunggu sebentar. Dan tidak berapa lama, muncul seorang pemuda berusia dua puluh delapan tahun. Tubuhnya kekar dan berkumis tebal. Sepasang matanya bulat dengan hidung kelihatan kokoh. Rambutnya keriting halus dan pendek.

"Hormatku untuk Ayah! Ada apa gerangan sehingga Ayah memanggilku?" tanya pemuda bernama Bratasena seraya menjura hormat.

"Bratasena! Ayah ingin ajukan beberapa pertanyaan kepadamu. Maukah kau menjawabnya dengan jujur?" ujar Ki Ardisoma.

"Sejauh ini aku selalu jujur pada Ayah. Dan rasanya tidak berguna membohongi Ayah. Katakanlah.... Pertanyaan apa yang hendak Ayah ajukan padaku?"

"Beberapa tahun lalu, ketika pertemuan tengah berlangsung disini, ada keributan kecil ketika dua pegawaiku tiba-tiba kabur. Kau katakan, mereka mencuri. Lalu, kau mengejar mereka. Kemudian ketika pulang, kau katakan mereka lolos. Hal itu masih mengganjal di pikiranku. Ceritakan pada Ayah, apa sebenarnya yang terjadi ketika itu?"

DELAPAN

Bratasena mendongak seraya memandang ayahnya. Wajahnya sedikit kaget. Setelah sekian tahun peristiwa itu berlalu, tiba-tiba saja ayahnya menanyakan kembali. Tapi dalam sekejap, rona wajahnya berubah. Sikapnya berusaha dibuat setenang mungkin.

"Eh! Kenapa tiba-tiba Ayah menanyakan itu?" tanya Bratasena, pura-pura.

"Seperti yang kukatakan, tiba-tiba saja hal itu mengganggu pikiran. Dan aku ingin tahu, apakah kau berkata benar atau tidak," sahut Ki Ardisoma kalem.

Bratasena tidak langsung menjawab. Matanya melirik sejenak kepada Pendekar Rajawali Sakti. Dan dia merasa yakin kalau pemuda berbaju rompi putih ini punya andil, sehingga ayahnya mengajukan pertanyaan yang tidak disukainya!

"Apakah Ayah tidak mempercayai laporanku?" tukas Bratasena.

"Bukan begitu.... Hanya sekadar meyakinkan."

"Mereka benar-benar lolos dari pengejaranku."

"Kau tahu mereka tidak punya ilmu kedigdayaan? Rasanya kurang masuk akal kalau kau tidak mampu meringkus mereka?"

"Saat itu mereka menuju ke selatan. Seperti Ayah ketahui, di wilayah itu terdapat banyak jurang. Mungkin saja mereka terperosok ke dalam dan mati," kilah Bratasena.

"Apakah menurutmu mereka mati?" tanya Rangga, setelah Ki Ardisoma memberi isyarat agar melanjutkan pertanyaan pada putranya itu.

"Kurasa begitu...," sahut Bratasena enggan.

"Tahukah kau, bahwa mereka masih hidup hingga kini?"

"Apa?! Mereka masih hidup? Tidak mungkin!"

Mendadak terlihat perubahan wajah Bratasena. Dia langsung memandang Rangga serta Ki Ardisoma berganti-ganti. Tapi tiba-tiba saja kekeliruannya disadari dan berusaha memperbaiki sikap.

"Eh! Mereka masih hidup? Oh, syukurlah! Apakah kau tahu di mana mereka sekarang?" tanya Bratasena, buru-buru.

"Tidak. Tapi mereka akan datang ke sini menemuimu. Katanya, ada persoalan yang perlu diselesaikan. Kau mungkin tahu persoalan apa itu?" sahut Rangga, memancing.

"Mungkin saja mereka menyadari kekeliruannya, dan ingin minta maaf."

"Minta maaf?"

"Ya! Apakah ayahku tidak bercerita? Mereka kabur dari rumah karena mencuri barang berharga milik keluarga kami!" sentak Bratasena.

"O, begitu!" Rangga mengangguk. "Tahukah kau bahwa Barata dan Retno juga mendatangi kawanmu si Joko Gending dan Tirta Janaka? Dan mereka mati setelah mendapat kunjungannya."

"Apa? Maksudmu..., Barata dan Retno si pembunuh itu?!" tanya Bratasena kembali dengan wajah kaget.

"Aku tidak berkata begitu. Tapi mungkin saja mereka yang melakukannya...."

"Tidak mungkin! Mereka sama sekali tidak mengerti ilmu olah kanuragan!"

"Itu dulu. Tapi sekarang, mereka telah menjadi tokoh hebat," sergah Rangga.

"Jadi..., jadi mereka yang membunuh Joko Gending dan Tirta Janaka?" gumam Bratasena lirih dengan wajah tak percaya.

"Mungkin tidak, tapi mungkin juga iya."

Bratasena tidak menjawab. Dia terdiam untuk sejurus lamanya.

"Kenapa, Bratasena? Apakah persoalan ini mengganggumu?" tanya Ki Ardisoma.

"Eh, apa? Oh, tidak! Tidak, Ayah...!" sahut Bratasena tergagap.

"Lalu, kenapa termenung?" cecar Ki Ardisoma.

"Eh! Aku cuma kasihan pada nasib mereka...," kilah pemuda ini.

"Kau tidak perlu mengasihani mereka. Tapi, sebaiknya kasihani nasibmu sendiri!" timpal Rangga.

"Apa maksudmu, Rangga?"

"Mungkin saja nasibmu tidak berbeda dengan kedua kawanmu."

"Kenapa kau berkata begitu? Kita belum lama kenal. Dan tiba-tiba saja, kau menginginkan kematianku!" dengus Bratasena, geram.

"Untuk apa aku menginginkan kematianmu?!" sahut Rangga kalem. "Aku tidak kenal denganmu. Dan sebaiknya begitu. Kau bukan orang jujur, karena kepada orangtuamu sendiri kau tega berdusta!"

"Dusta apa yang kuperbuat? Buktikan omonganmu!"

"Mereka tidak punya ilmu olah kanuragan. Sedangkan kau sebenarnya bisa dengan mudah meringkusnya, tapi tidak kau lakukan. Dan yang paling penting, kau takut akan kehadiran mereka di sini!" sahut Rangga, seraya tersenyum dingin.

"Siapa bilang?! Bawa mereka ke sini. Dan akan kusuruh mereka minta maaf atas kesalahan yang diperbuat!" sentak Bratasena.

"Jangan sombong, Bratasena! Bila mereka datang, maka saat itulah persoalan jadi terang. Nah, aku mohon diri!" sahut Rangga, seraya bangkit dan memberi salam hormat kepada pemilik rumah. Lalu kakinya melangkah pergi.

"Rangga, tunggu dulu!" tahan Ki Ardisoma, seraya mengejar pemuda itu.

"Maaf, Ki Ardisoma! Aku tidak bisa membantumu!" sahut Rangga tanpa menghentikan langkahnya.

"Tapi, Rangga...."

Suara Ki Ardisoma. terhenti, ketika mendengar suara gaduh dari belakang rumahnya. Secepat kilat laki-laki tua itu melesat kebelakang. Tampak Bratasena.telah bertarung melawan satu sosok berpakaian pengemis. Sedangkan sosok lainnya yang juga berpakaian pengemis tetap berdiri tegak dengan kedua tangan bersedekap, terkepung oleh anak buah Ki Ardisoma.

Yang muncul adalah dua orang bertubuh kurus. Dan samar-samar Ki Ardisoma mengenali mereka berdua, walaupun berpakaian seperti itu.

"Barata dan..., Retno!" desis laki-laki tua ini.

Ki Ardisoma tak tahu mesti berbuat apa. Tampak wanita yang bernama Retno tengah bertarung melawan Bratasena. Sementara anak buahnya telah mengurung Barata. Bahkan beberapa orang telah menyerangnya.

"He he he...! Anjing-anjing buduk! Kalian lebih baik memilih mati ketimbang meladeni majikan bejat?!" ejek laki-laki berpakaian dekil yang memang Barata.

"Barata! Aku tahu memang kau orangnya!" sahut salah seorang pengeroyok. "Pergilah dari sini. Majikan telah mengusir kalian!"

"He he he...! Memang betul, Seno. Tapi aku kemari untuk menagih hutang kepada majikan muda kalian. Makanya jangan ikut campur kalau kalian ingin selamat!" sahut Barata.

"Kami digaji untuk melindungi mereka. Jangan sembarangan kau bicara! Dulu saja aku tidak takut padamu. Dan sekarang masih tetap sama. Kuper-ingatkan padamu, jangan main gila di sini!" tandas anak buah Ki Ardisoma yang dipanggil Seno.

"Huh! Dasar tidak tahu diri!" dengus Barata. "Aku telah memberi peringatan. Dan kalian tidak mematuhinya. Maka jangan salahkan kalau aku bertindak keras!"

Seno tidak bisa menjawab karena saat itu juga Barata langsung membuktikan kata-katanya. Tubuhnya berkelebat cepat dengan kedua telapak tangan bergerak menghantam dua lawan terdekat, termasuk Seno.

Begkh! Des!

"Aaakh...!"

Mereka kontan tersungkur ke belakang sambil menyemburkan darah segar. Lalu ketika Barata kembali berkelebat, dan dalam waktu singkat tiga lain menyusul. Barata mengamuk dahsyat dan tidak tertahankan oleh semua pengeroyoknya. Hingga tak seorang pun yang mampu bangkit lagi.

Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti yang tadi sudah berada di luar telah mencelat ke atas atap rumah Ki Ardisoma. Dari atap, dia memperhatikan jalannya pertarungan, Rangga tak ingin buru-buru turun tangan, sebelum tahu benar duduk permasalahannya. Dia tak ingin bertindak gegabah dengan menjatuhkan tangan pada orang yang belum tentu bersalah.

Berdasarkan pengamatan Pendekar Rajawali Sakti, semua yang terjadi bermula dari dendam. Besar dugaan, kalau anak Ki Ardisoma telah menyembunyikan suatu rahasia, Rangga yakin itu.

Lantas, buat apa sepasang suami istri menuntut balas, kalau sebelumnya tak pernah disakiti? Pastil Pasti suami istri bernama Barata dan Retno yang dulu bekerja di rumah Ki Ardisoma ini, telah dianiaya oleh Bratasena. Dan mereka lantas menuntut balas.

Kalau sudah urusan dendam yang tak ada sangkut pautnya dengan ketenteraman dunia persilatan, apakah Rangga mesti turun tangan? Apalagi, tak terdengar kabar kalau Barata dan Retno membunuhi orang-orang lemah tak berdaya. Jelas keduanya bukan tokoh sesat. Ini hanya urusan dendam lama semata, dari sepasang pengemis. Dan rasanya, Rangga tak mau melibatkan diri. Itulah sebabnya, dia terang-terangan menolak memberi bantuan pada Ki Ardisoma.

Desss...!

"Aaakh...!"

Pada saat yang bersamaan, Retno berhasil mendaratkan hantaman kaki ke dada Bratasena. Pemuda itu terjungkal roboh. Dari mulutnya muncrat darah segar. Ketika berusaha bangkit, wanita pengemis itu telah berada didekatnya. Langsung dijeratnya leher Bratasena dengan seutas tambang yang selalu dibawa.

"Eekh...!"

"Tahan!" teriak Ki Ardisoma melihat anaknya menjerit pendek.

"Huh! Apa kau ingin ikut campur dalam urusan ini, Juragan Ardisoma yang terhomat?!" dengus Retno.

"Retno! Persoalan ini belum jelas betul. Dan tiba-tiba saja, kalian datang mengamuk...," sergah Ki Ardisoma.

"Kenapa tidak kau tanyakan padanya?!" dengus wanita itu seraya menghadapkan wajah Bratasena yang masih dijerat ke hadapan ayahnya.

"Dia hanya mengatakan, bahwa kalian melarikan barang-barang berharga milik keluarga kami...," kata Ki Ardisoma.

"Apa? Begitukah? Coba dengar, Kakang! Betapa hebatnya laporan majikan muda kita pada ayahnya!" kata Retno seraya menoleh pada suaminya.

"Ha ha ha...! Hebat sekali!" sahut Barata sambil tertawa keras. "Bagus, Juragan Ardisoma! Kau mempunyai anak hebat. Setelah menggilir istriku bersama kawan-kawannya, lalu menyiksaku dan membuang kami ke dalam jurang, enak saja dia melaporkan kalau kami mencuri barang-barang milikmu. Meski miskin, kami tidak pernah mencuri sedikit pun dari kalian!" Suara Barata melengking nyaring penuh dendam.

"Apa?! Benarkah begitu?!" sentak Ki Ardisoma, seperti tidak percaya dengan apa yang telah didengarnya.

"Tanyakan saja padanya!" dengus Retno, seraya menginjak punggung Bratasena.

Buk!

"Aaakh...!" Pemuda itu menjerit kesakitan, ketika Retno menekan punggungnya.

"Katakan pada ayahmu, Bangsat! Katakan apa yang telah kau perbuat kepadaku bersama kawan-kawanmu!" bentak Retno, sambiil menghantamkan punggung Bratasena.

"Tidak! Kau tidak boleh berbuat begitu padanya!" bentak Ki Ardisoma, merasakan pilu mendengar jerit kesakitan Bratasena.

"He, kau ingin ikut campur dalam urusan ini, Juragan Ardisoma?!" dengus Retno. Pandangan matanya tajam dengan sikap mengancam.

"Aku tidak bersalah, Ayah! Apa yang mereka katakan dusta belaka! Aku..., eekh...!" teriak Bratasena terhenti, ketika tali yang menjerat lehernya semakin kuat.

Sepasang mata pemuda ini mendelik garang. Mulutnya terbuka lebar. Urat di sekujur wajahnya menegang menahan rasa sakit hebat

"Hup!"

Ki Ardisoma yang semula terdiam mendengar teguran Retno, tergugah juga hatinya melihat putranya mendapat siksaan begitu rupa di depan batang hidungnya sendiri. Maka semangatnya segera dikempos hendak membantu. Namun sebelum tubuhnya sampai....

"He he he...!"

Mendadak terdengar suara tawa nyaring yang diikuti sesosok tubuh kurus berkelebat cepat memapaki serangannya.

Plak!

Ki Ardisoma terkesiap. Gerakan sosok itu cepat bukan main. Bahkan tahu-tahu kaki sosok itu telah lebih menghantam dadanya.

Duk!

"Aaakh...!" Ki Ardisoma mengeluh tertahan dan terjajar kebelakang. Masih untung dia mampu menguasai diri, sehingga bisa menjejakkan kakinya dengan mulus di permukaan tanah di belakangnya sejauh kurang lebih lima langkah.

"He, Pengemis Sinting! Ini urusan pribadi kami. Untuk apa kau ikut campur?!" seru Ki Ardisoma, ketika mengetahui siapa penghadangnya.

"Kalau sudah menyangkut mereka, maka menjadi urusanku pula!" sahut Pengemis Sinting seenaknya.

Sementara itu ketika melihat kehadiran Pengemis Sinting, Barata langsung memberi hormat. Demikian pula Retno, tanpa melepaskan tawanya.

"Hormat kami, Paman Guru!" ucap Barata dan Retno hampir berbareng.

"Hm, pantas! Rupanya mereka murid keponakanmu. Tapi meski begitu, kau tidak tahu-menahu persoalan ini. Dan kuharap jangan membela secara membabi buta," desis Ki Ardisoma.

"Kata siapa aku tidak tahu? Ketika aku menggunjungi saudara seperguruanku yang berjuluk Naga Langit, Barata dan Retno kutemukan di sana. Suadaraku bercerita, kalau kedua muridnya ini diselamatkannya dari kematian, ketika mereka terjatuh dari jurang. Kemudian aku mendengar lebih lanjut pengalaman mereka yang menyeramkan. Khususnya, apa yang dialami Retno. Maka, kujaga mereka dari siapa saja yang hendak mencelakai, agar bisa menuntut balas kepada siapa saja yang telah menganiaya," jelas Pengemis Sinting.

Ki Ardisoma terdiam. Dipandanginya wajah putranya yang kelihatan amat memelas menahan rasa sakit hebat.

"Katakan padaku, Bratasena! Apakah benar kau telah berbuat demikian keji kepada Retno dan suaminya?!" bentak laki-laki ini garang.

Kali ini Bratasena tidak berusaha membantah. Tapi, tidak juga menjawab.

"Ayo katakan, Bratasena! Kalau kau tidak bersalah, maka mesti nyawaku melayang, tidak akan kubiarkan mereka memperlakukanmu dengan cara begini!" bentak Ki Ardisoma.

"Aku..., aku tidak bersalah, Ayah...," sahut Bratasena lemah.

"Keparat busuk! Hiih!" Retno hilang kesabarannya. Serta merta, dicekiknya Bratasena sampai tulang-belulangnya berderak patah.

"Brata...!" Ki Ardisoma terkesiap. Amarahnya langsung menggelegak. Seketika tubuhnya meluruk menyerang Retno.

Set! Set!

Pada saat yang hampir bersamaan, Retno merasakan dua angin sambaran dari belakang. Matanya sedikit melirik. Dan ternyata, dua buah pisau belati yang dilemparkan seseorang dari belakang telali melesat ke arahnya. Dengan gerakan mengagumkan, Retno memutar tubuhnya dengan tangan bergerak.

Tap!

Begitu pisau tertangkap wanita pengemis ini menjatuhkan diri untuk menghindari terjangan Ki Ardisoma.

"Hih...!" Tepat ketika bangkit, Retno melemparkan satu pisau pada soosk di depan pintu yang merupakan pemiliknya.

Crab!

"Aaa...!" Tepat sekali pisau itu menancap di dada sosok gadis yang tadi melemparkan pisau pada Retno. Terdengar jerit kesakitan yang mengikuti robohnya tubuh.

"Mahadewi...?!" seru Ki Ardisoma kaget.

Betapa geramnya Ki Ardisoma. Sudah serangannya dapat dihindari, dan kini putrinya malah tewas. Otaknya jadi kacau. Dan dia tidak mampu mengatur amarah yang bergejolak di hatinya. Kembali diterjangnya perempuan pengemis itu. Dan pertarungan sengit pun kembali berlangsung.

"Ayo, Dewa Bayu. Mari kita pergi! Tidak ada yang bisa dikerjakan di sini!" ajak Rangga, ketika telah berkelebat kembali ke halamann depan rumah Ki Ardisoma.

Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat ke punggung kudanya dan meninggalkan tempat ini perlahan-lahan. dari kejauhan, telinganya mendengar teriakan Ki Ardisoma yang marah-marah.

"He he he..! Kenapa kau telah pulang, Pendekar Rajawali Sakti. Padahal pertunjukan belum selesai?!"

Mendadak terdengar teguran yang disusul berkelebatnya satu sosok berpakaian pengemis yang tak lain Pengemis Sinting.

"Aku tak ada kepentingan disana," sahut Rangga pendek.

"He he he...! Aku menyesal, karena kita tidak terlibat pertarungan langsung," kata Pengemis Sinting.

"Kalau aku dianggap takut menghadapi gabungan kalian bertiga, maka kau salah menilai. Aku pergi karena yakin kalau Bratasena bersalah."

"Dia memang bersalah. Dan dendam mereka telah terlaksana. Palguna putra Jaladara telah kupancing dari dalam rumahnya, dan telah dibereskan mereka. Kemudian ketika menuju ke sini, kebetulan sekali putra si Genduk Mani yang bernama Adiguna, tengah melakukan perjalanan ke sini pula. Maka keduanya segera membereskannya. He he he...! Sungguh pekerjaan yang memuaskan!"

Rangga tidak begitu suka mendengar ocehan Pengemis Sinting. Tapi, dia tidak berusaha menyela.

"Pengemis Sinting! Kalau tidak ada keperluan lain, aku mohon diri hendak melanjutkan perjalanan," pamit Rangga ketika pengemis itu telah selesai bicara.

"He he he...! Silakan, silakan...! Tapi kujamin, kita akan bertemu lagi," ucap pengemis tua ini.

"Mudah-mudahan, pada saat itu kau dalam keadaan baik, Sobat."

"Brengsek! Siapa yang menganggap kau sebagai sobatku?!"

"Baiklah.... Kalau begitu, kuanggap kau musuhku saja."

"Sial! Aku tidak punya urusan denganmu, sehingga menganggapmu sebagai musuh!"

"Terserahmu sajalah...." Setelah berkata begitu, Rangga menggebah kudanya sekencang-kencangnya. "Heaaa...!"

"Hei, tunggu! Tunggu! Brengsek kau, Anak Muda...!" teriak Pengemis Sinting memaki-maki sambil mengejar.

Rangga menyadari kalau orang sinting itu tak akan mampu mengejar lari kuda Dewa Bayu. Benar saja. Sebentar kemudian tidak terlihat juga batang hidung Pengemis Sinting.

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: JAHANAM BERMUKA DUA

Dendam Sepasang Gembel

DENDAM SEPASANG GEMBEL

SATU

"Sial! Ke mana dadu itu, Rebung?! Jangan paksa aku menelanjangimu!"

Bentakan barusan berasal dari mulut seorang laki-laki bertampang kasar yang tengah bermain judi dadu koprok dengan beberapa laki-laki lain di sebuah gardu, di depan sebuah rumah besar berbentuk indah.

Permainan judi koprok ini memang sudah sampai pada titik puncaknya. Kebetulan, sang bandar berhasil menguras kantong para pemainnya, yang merupakan para penjaga keamanan rumah besar itu.

"Jangan begitu, Tumang! Baiklah. Ini, kukembalikan uangmu," tukas sang bandar yang dipanggil Rebung seraya mengeluarkan semua uang milik laki-laki bernama Tumang yang baru saja hendak menyambar bajunya.

Dalam permainan judi ini, memang uang Tumang yang paling tandas terkuras. Dan ketika entah bagaimana dadu itu menghilang, dia kontan naik darah. Amarahnya langsung ditumpahkan pada sang bandar.

Secepatnya Tumang menyambar uang yang disodorkan Rebung. Namun meski uangnya telah kembali, rasa penasaran dan kesalnya belum juga habis.

"Lalu, kemana dadu itu kau sembunyikan?!" desak Tumang, penasaran.

"Entahlah.... Aku sendiri tak tahu. Hilang begitu saja," tegas Rebung, meyakinkan.

"Mustahil!"

"Aku bersungguh-sungguh!"

Karena sebelumnya merasa telah dibohongi, Tumang jadi tidak buru-buru percaya. Padahal Rebung telah berkata yang sebenarnya.

"Makanya, jadi orang jangan curang. Memangnya kau sembunyikan ke mana dadu itu?" tukas pemain lain yang memiliki jenggot tebal dan panjang.

"Aku berkata jujur, Sangka! Dadu itu tidak kusembunyikan!" tangkas Rebung, menegaskan.

"Alaaah, ngaku saja!" desak laki-laki berjenggot yang dipanggil Sangka. Namun, laki-laki ini tidak mau meminta uangnya pada Rebung! Kekalahannya hanya dianggap sebagai buang sial yang tak perlu diambil lagi.

"Brengsek! Kenapa kalian menyalahkanku?! Sudah kukatakan, aku tak tahu kemana dadu itu menghilang?!" sergah Rebung, ikut-ikutan marah agar tidak terlalu disalahkan.

Tapi percuma saja kalau Rebung ikut-ikutan marah, karena kawan-kawannya tidak akan percaya.

"Kau yang mainkan dadu. Jadi mana mungkin dadunya menghilang begitu saja," sahut pemain lainnya. "Sudah, serahkan saja dadunya. Kenapa mesti bertahan segala kalau memang sudah ketahuan berbuat curang?"

"Sudah kukatakan aku tak tahu ke mana dadu itu! Kenapa kalian tidak percaya?!" teriak Rebung jengkel.

"Lalu kemana kalau bukan kau sembunyikan?!" balas Tumang tidak kalah garang.

"Aku tidak tahu! Mungkin terjatuh. Atau salah seorang dari kita menyembunyikannya!" bantah Rebung.

"Hm...!" Tumang bergumam seraya memandang kawan-kawannya.

"Ini masalah remeh. Tapi kalau ternyata di antara kita tidak ada yang menyembunyikan, maka akan menjadi masalah pelik. Baiknya masing-masing bersikap jujur. Berikan dadu itu, kalau memang menyembunyikannya!" seru salah seorang lagi, yang terlihat dengan otot-otot bersembulan di lengannya.

Laki-laki tinggi besar ini memandang mereka satu persatu. Tapi, semuanya menggeleng. Kalau mau bertindak lebih lanjut, dia bisa memeriksa mereka satu persatu. Tapi dia percaya kalau mereka tidak bohong. Memang, kalau laki-laki ini sudah bicara penuh wibawa, maka tidak akan ada yang berani main-main. Sebab dia tidak akan segan-segan menjatuhkan tangan. Apalagi untuk urusan sepele seperti sekarang. Hanya sebuah dadu! Dia yakin, tidak akan ada yang berani menerima hajarannya, karena kedudukannya memang sebagai kepala para penjaga keamanan ini.

"Lalu di mana dadu itu sekarang?" tanya laki-laki bertubuh tegap yang dikenal bernama Patigeni.

Tiada seorang pun yang menyahut. Mereka diam seribu bahasa.

"Apakah ini yang kalian cari?"

Mendadak terdengar suara yang disusul munculnya satu sosok tubuh di depan gerbang bagian dalam sambil menunjukkan dadu kecil.

"Hei?!"

Semua para penjaga keamanan yang ada di gardu ini menoleh, dan langsung tersentak kaget. Bagaimana sosok wanita bertubuh kurus dengan rambut awut-awutan ini bisa masuk padahal pintu terkunci rapat?

"Kenapa kalian terdiam? Istriku tengah bertanya!"

"Heh?!"

Kembali para penjaga itu tersentak kaget, ketika terdengar lagi suara lain yang lebih berat. Mereka kontan menoleh ke arah suara, di atas pagar telah berdiri satu sosok lain yang keadaannya hampir mirip dengan sosok pertama. Bedanya, sosok ini adalah seorang laki-laki. Tubuhnya kurus dengan pakaian kumal tak karuan.

Sepasang matanya menatap tajam ke arah para penjaga. Bibirnya tersenyum sinis. Ringan sekali laki-laki kurus dan kumal itu melompat ke bawah seperti daun kering tertiup angin. Dan tahu-tahu dia telah berada di samping wanita kurus yang tadi berdiri di depan pintu gerbang. Wanita yang ternyata istri dari laki-laki kurus itu melangkah beberapa tindak. Sementara sang suami mengimbanginya.

"Siapa kalian?!" bentak Patigeni seraya bersiaga terhadap kemungkinan yang bakal terjadi.

"Aku ingin bertemu majikanmu!" sahut perempuan kurus dengan pakaian kumal ini.

"Siapa yang kau maksud?"

"Siapa saja yang menjadi majikanmu!"

"Ki Danang Mangkuto sedang tidak menerima tamu. Apalagi untuk melayani pengemis. Pergilah!" usir Patigeni.

"Hi hi hi...! Kau dengar, Kakang Barata? Anjing-anjing saja sudah demikian galak. Apalagi majikannya?!" cibir wanita berpakaian gembel itu sambil terkekeh.

"Kaubenar, Retno. Hm.... Aku sudah tak sabar ingin bertemu majikan anjing-anjing ini!" sahut laki-laki berpakaian gembel yang dipanggil Barata.

Mendengar percakapan sepasang gembel itu membuat darah Patigeni bergerak cepat naik ke kepala. Apalagi ketika disamakan dengan anjing.

"Hei, Gembel Busuk! Jaga mulutmu! Jangan sembarangan bicara!" bentak Patigeni geram.

"Kau dengar, Kakang? Gonggongannya keras sekali!" ejek wanita gembel yeng bernama Retno.

"Keparat!"

Patigeni sudah tidak dapat menahan amarahnya. Seketika tubuhnya melesat ke luar gardu. Langsung diserangnya perempuan gembel itu dengan satu ayunan tangan bertenaga kuat. Namun Retno tak kalah sigap. Cepat tangan kirinya diayunkan menangkis pukulan.

Plak!

Dan mendadak kepalan kanan perempuan gembel ini menyodok ke dada. Gerakannya cepatsekali, sehingga kejadian itu terasa singkat. Tahu-tahu....

Dess...!

"Aaakh...!" Patigeni kontan terjungkal ke belakang disertai jerit kesakitan.

"Hei?!"

Para penjaga yang lain terkejut melihat Patigeni yang selama ini menjadi ketua, ambruk di tanah. Bagaimana mungkin Patigeni dapat dijatuhkan hanya sekali pukul? Padahal, mereka tahu kalau kepandaiannya cukup tinggi.

"Kang! Kang Patigeni...!" seru Tumang yang telah menghambur, dan coba mengguncang-guncangkan tubuh Patigeni.

Tapi Patigeni diam membisu. Tubuhnya perlahan berubah dingin mengikuti suhu di sekitarnya.

"Dia sudah mampus!" desis wanita gembel itu, terdengar dingin.

"Mati? Astaga! Kau telah membunuhnya!" sentak Rebung.

"Kalian akan menyusulnya!"

"Hah?!"

Mendengar kata-kata yang mengancam itu, tak terasa tubuh para penjaga menggigil ketakutan. Kalau saja Patigeni yang mereka takuti bisa mati dengan sekali hajar, maka apa yang bisa diperbuat melawan kedua gembel itu?

"Eh! Kami..., kami tidak punya salah apa-apa kepada kalian, bukan? Lalu kenapa kalian begitu kejam?" Tumang yang bertampang kasar sendiri memberanikan diri untuk mulai minta pengampunan.

"Kalian jelas salah, karena telah bekerja pada si durjana Joko Gending, anak si keparat bernama Danang Mangkuto!" desis Retno dengan suara penuh kebencian.

"Eh! Ka..., kalian punya persoalan dengan Den Joko Gending?!" tanya Tumang, tergagap.

"Keparat Joko Gending!" Wanita gembel bernama Retno itu membetulkan panggilan terhadap majikan muda mereka.

"Kalau boleh kami tahu persoalan apa?" lanjut Tumang.

"Jangan banyak tanya! Masuklah ke dalam. Dan suruh dia keluar!" dengus wanita itu geram.

"Kalau itu keinginanmu, baiklah. Aku pergi sekarang!" sahut Tumang seraya buru-buru meninggalkan tempat dengan langkah tergopoh-gopoh.

Namun baru melangkah beberapa tindak saja....

"Berhenti!"

"Hei?!" Tumang terkesiap, ketika mendengar teriakan keras. Tahu-tahu di depannya kini berdiri tiga orang pada jarak sepuluh langkah. Dia segera mengenali orang-orang itu.

"Ki Danang Mangkuto...! Den Joko Gending...!" sebut Tumang pada laki-laki tua yang berdiri di tengah, dan pada laki-laki berusia tiga puluh tahun yang berada di sebelah kanan.

Sementara yang berada di sebelah kiri adalah seorang laki-laki kekar berkumis tebal Golok bergagang besar tampak terselip di pinggangnya. Agaknya, dialah tangan kanan laki-laki tua yang bemama Ki Pengging.

"Ada apa, Tumang?" tanya Ki Danang Mangkuto.

"Eh! Anu, Ki...."

"Anu apa? Dan siapa kedua gembel itu?!"

"Mereka ingin bertemu Den Joko Gending...," jelas Tumang.

"Aku tidak punya urusan dengan mereka! Apalagi, dua orang gembel. Usir mereka dari sini!" bentak laki-laki berpakaian biru berusia tiga puluh tahun yang bernama Joko Gending sambil berkacak pinggang. Suara ketus.

"Hi hi hi...! Benarkah kau tidak punya urusan dengan kami, Joko Gending?" tanya Retno dengan suara tawa nyaring.

"Aku tidak kenal kalian! Pergi!" bentak Joko Gending garang.

"Ha ha ha...! Setelah memperkosa istriku beramai-ramai, lalu kau pikir bisa pergi begitu saja untuk melupakan tanggung jawabmu?!" tukas Barata dengan suara tawa penuh dendam.

"Hei, apa maksudmu? Jangan sembarangan bicara?!" dengus Joko Gending. Wajahnya merah padam karena amarah.

Kalau saja ayahnya tidak mencegah, mungkin Joko Gending akan menghajar kedua gembel itu. Dan dia hanya menoleh pada orang kepercayaan Ki Danang Mangkuto.

"Paman Pengging! Hadapi mereka!" ujar Joko Gending.

Laki-laki kekar bernama Ki Pengging maju kedepan ketika mendapat perintah.

"Kisanak dan Nisanak.... Jika kalian lapar, maka majikanku akan memberi makan. Jika kalian butuh uang, beliau juga bisa memberikannya. Tapi jangan menuduh sembarangan begitu. Keluarga Ki Danang Mangkuto adalah keluarga terhormat. Tidak mungkin Den Joko Gending berbuat begitu terhadap istrimu seperti yang tadi kau katakan," kata Pengging, datar.

"Ha ha ha...! Kau dengar, Retno? Mereka hendak mengelak dengan dalih keluarga terhormat?" kata Barata.

"Huh! Menjijikkan!" dengus Retno mempedulikan tawa suaminya.

Mata wanita gembel ini memandang tajam pada Ki Pengging. "Kami memang gembel. Tapi, bukan berarti seenaknya menuduh orang! Tanyakan pada anjing keparat itu, apa yang dilakukannya tujuh tahun lalu ketika pada pertemuan di tempat kediaman keluarga Ardisoma?! Apa yang dilakukannya kepada seorang wanita pembantu keluarga itu?! Katakan padanya! Dan ingin kudengar jawabannya, sebelum kuminta kepalanya!" tuding wanita gembel itu sengit.

"Hah, apa?! Tidak mungkin! Tidak mungkin...! Kalian sudah mati! Tidak mungkin bisa hidup!" sentak Joko Gending, dengan wajah pucat karena kaget.

********************

DUA

Ki Danang Mangkuto jadi tidak habis pikir melihat perubahan sikap putranya. Demikian pula Ki Pengging dan yang lainnya. Sebaliknya suami istri gembel itu terkekeh dengan suara menyeramkan.

"He he he...! Syukur kau masih ingat kejadian itu. Jadi, kami tidak susah-payah lagi menuntut balas!" lanjut Barata.

"Kurang ajar! Bunuh mereka sekarang!" teriak Joko Gending pada Tumang dan kawan-kawannya.

"Eh! Tapi, Den...."

"Bunuh mereka! Atau, kupecat kalian semua?!" bentak Joko Gending mengancam.

"Mereka..., mereka telah membunuh Patigeni," sahut Tumang ketakutan.

"Apa?!"

Ki Danang Mangkuto dan Ki Pengging terkejut Buru-buru mereka menghampiri mayat Patigeni yang ditunjukan.

"Ayo, bunuh mereka!" bentak Joko Gending lagi, tak peduli melihat kematian salah seorang anak buah ayahnya.

Tapi ketika tak seorang pun dari anak buahnya yang bergerak, laki-laki itu kalap sendiri. Langsung dia melompat menyerang kedua gembel itu.

"Keparat! Kubunuh kalian sekarang!"

"Biar ini menjadi bagianku, Retno!" ujar Barata.

"Baiklah. Bereskan dia untukku, Kakang!"

Barata sudah berkelebat. Langsung ditangkisnya tendangan Joko Gending dengan kaki kanannya. Dan seketika sikut kanannya langsung menyodok.

Joko Gending berkelit kesamping. Namun, laki-laki gembel itu telah cepat memutar tubuhnya. Bahkan sebelah kakinya langsung melepaskan tendangan berputar.

Desss...!

"Aaakh...!" Joko Gending kontan terpekik, ketika rahangnya terhantam tendangan Barata. Tubuhnya langsung terjajar ke belakang.

"Ayo, maju! Tunjukkan kegaranganmu dulu!" ejek Barata.

"Keparat!" Sambil mengusap darah yang mengucur dari sela bibirnya, Joko Gending membuka jurus baru. Kini dia siap menyerang kembali dengan amarah meluap.

"Yeaaa...!" Begitu meluruk, kedua tangan Joko Gending yang sudah membentuk cakar elang segera menyambar-nyambar dengan cepat. Namun bukan main panas hatinya melihat pengemis itu mampu bergerak cepat.

Barata tidak jauh-jauh menghindar. Kepalanya cukup memiringkan sedikit ke kiri dan ke kanan. Dan di kali lain tubuhnya membungkuk atau bergoyang seperti tengah menari. Dan ini membuat serangan Joko Gending selalu luput dari sasaran.

"Kini rasakan balasan dariku!" dengus Barata.

Begitu kata-katanya selesai, pengemis ini segera menerkam buas. Kedua tangannya yang kurus membentuk cakar. Namun dengan nekad Joko Gending berusaha menangkis.

"Ohh...!" Joko Gending tercekat, karena mendadak saja tangan kanan Barata telah meliuk deras ke punggung tangan kirinya.

Tap!

Belum sempat Joko Gending berbuat apa-apa, Barata telah menarik tangannya. Lalu....

Bret!

"Aaa...!" Joko Gending menjerit setinggi langit, ketika pangkal lengan kirinya putus. Darah kontan mengucur bagai pancaran kecil dari lukanya yang mengerikan.

"Hei?!"

Ki Danang Mangkuto dan para anak buahnya terkejut setengah mati melihat kejadian itu. Laki-laki tua ini langsung melompat menghadang di depan putranya, ketika Barata hendak menyerang kembali.

"Kurang ajar! Aku akan membalas atas perlakuan ini!" dengus Ki Danang Mangkuto, geram.

"He he he...! Ki Danang yang perkasa! Orang-orang mengenalmu sebagai Satria Mata Elang yang budiman serta terhormat. Tapi kenapa kau malah membela putramu yang nyata-nyata bersalah dan berkelakuan bejat?!" sahut Barata, kalem.

"Ahh.... Banyak mulut! Yeaaa...!"

Ki Danang Mangkuto agaknya tidak dapat lagi menahan amarahnya. Diiringi bentakan keras, dia melompat menyerang laksana seekor elang menyambar mangsa. Kedua tangannya yang membentuk cakar menyambar dengan cepat. Dan sesekati kedua kakinya ikut membantu silih berganti.

Dibanding putranya, gerakan orang tua itu lebih gesit dan bertenaga hebat Tapi Barata tampak tenang-tenang saja meladeninya. Semakin gemas orang tua itu terhadapnya, maka makin sering pula dia mengejek.

"Tahukah kau, Bangsat Tua? Kalian berdua akan kugantung di halaman mmah ini. Dengan begitu, akan menjadi pelajaran bagi yang lainnya."

"Banyak mulut! Kalian bisa berbuat apa padaku?!" dengus Ki Danang Mangkuto geram, sambil terus menyerang.

Orang tua itu menyadari kalau pengemis ini memiliki kepandaian hebat yang tidak berada di bawahnya. Maka dia tidak mau bertindak sembarangan. Saat itu juga segera dikeluarkannya jurus andalannya.

"Terimalah jurus 'Elang Membabat Belalang' ku ini. Yeaaa...!"

Kedua tangan Ki Danang Mangkuto yang membentuk cakar silih berganti menyerang, mengikuti gerakan tubuhnya yang lincah. Begitu juga kedua kakinya yang menendang dan menyapu setiap kali ada kesempatan.

"Ha ha ha...! Apa hebatnya jurusmu ini? Aku bisa mematahkannya dalam sekejap!" ejek Barata.

Dan laki-laki berpakaian kumal itu segera membuktikan kata-katanya. Tiba-tiba saja kepala kanannya menyodok ke perut.

Ki Danang Mangkuto cepat mengibaskan sebelah tangan untuk menangkis. Namun, Barata cepat menarik tangannya. Bahkan secepat kilat tubuhnya bergerak ke bawah seraya bergulingan, dan langsung melepas tendangan menggeledek.

"Hiiih!"

Desss!

"Aaakh!"

Sebelah kaki Barata menghantam perut Ki Danang Mangkuto yang kontan menjerit kesakitan. Tubuhnya terpental ke belakang. Namun masih untung dia mampu berdiri diatas kedua kakinya, setelah berjumpalitan dua kali di udara. Wajahnya tampak pucat dan matanya melotot geram.

Bukan main marahnya orang tua itu karena merasa kecolongan. Bukan rasa sakit itu yang dipikirkannya, tapi rasa malu karena selama ini belum pernah ada orang yang berhasil memukulnya.

"Keparat! Aku tidak akan memberi hati lagi padamu?!" dengus Ki Danang Mangkuto dengan pelipis mengembung. "Heaaa...!"

"Anjing busuk! Tidak usah banyak bacot! Maju dan terima kematianmu!"

Ki Danang Mangkuto menyerang lagi. Dan kali ini dia bertekad untuk bertarung mati-matian. Tidak mengherankan kalau serangahnya terlihat ganas. Kepalan kanannya cepat menghantam ke dada.

Werrr...!

Saat itu juga mendesir angin kencang bertenaga kuat. Namun, Barata lebih cepat mencelat ke atas. Tubuhnya berputar dua kali, lalu meluruk seraya melepas tendangan geledek.

"Hiih!"

Plak!

Dengan nekat Ki Danang Mangkuto menangkis dengan tangan kiri. Bahkan tiba-tiba kepalan tangan kanannya menyodok ke perut sambil menunduk, karena kaki Barata yang satu lagi menyapu batok kepalanya.

"Hup!" Di luar dugaan, Barata membuat gerakan cepat. Tubuhnya mendadak melenting kebelakang sambil menghantam dada dua kali lewat kakinya.

Dukk... Diegkh...!

"Aaakh...!" Ki Danang Mangkuto menjerit kesakitan ketika dadanya terhantam dua tendangan dahsyat. Tubuhnya terhuyung-huyung kebelakang sambil muntahkan darah segar.

"Hei?!" Ki Pengging terkejut. Begitu juga Tumang dan kawan-kawannya. Mereka tak percaya majikan mereka mengalami saat naas, di tangan seorang gembel. Padahal semua tahu, Satria Mata Elang tidak mudah dikalahkan karena berkepandaian cukup hebat.

"Ayaaah...!" seru Joko Gending. Mulutnya tetap meringis merasakan sakit luar biasa, karena tangan kirinya buntung. Untuk menghentikan darah, dia telah menotok beberapa urat. Itu untuk sementara, karena bila masa totokannya habis darah akan kembali mengucur deras.

"Kau akan menyusul ke akherat, Anjing Muda!" desis Retno sambil menghampiri ketika melihat Joko Gending bermaksud membantu ayahnya.

Langkah Joko Gending terhenti. Dan tidak terasa jantungnya berdetak lebih cepat. Kedua gembel ini ternyata bukan orang sembarangan. Mereka punya kesaktian yang jauh melebihi mereka. Dan tujuan mereka sudah jelas, membalas dendam pada dirinya.

"Tumang, Rebung! Kalian semua! Serang dia! Tangkap...!" teriak Joko Gending seraya mundur teratur, ketika wanita berambut panjang itu mendekatinya perlahan-lahan.

"Eg! Ti..., tidak. Den! Kami berhenti saja...!" sahut Tumang dengan suara gemetar.

Kemudian setelah itu laki-laki bertampang seram itu langsung ambil jurus langkah seribu, terbirit-birit meninggalkan tempat ini. Perbuatannya diikuti kawan-kawannya. Bagi mereka saat ini lebih baik kehilangan pekerjaan, ketimbang kehilangan nyawa. Pekerjaan bisa dicari. Tapi nyawa! Siapa yang bisa memberi ganti?

"Terkutuk kalian! Kalian kupecat semua!" teriak Joko Gending geram.

Tapi Tumang dan kawan-kawannya mana peduli lagi. Kedua gembel itu tidak mengejar. Dan itu merupakan kesempatan baik bagi mereka untuk kabur sejauh-jauhnya dari tempat celaka ini.

Kalau ada yang tersisa saat itu adalah Ki Pengging. Meski dia setia pada majikannya, namun melihat kehebatan gembel itu, hatinya ketar-ketir juga.

"Kenapa? Apakah kau hendak lari seperti mereka?" dengus Barata, yang telah menghentikan serangannya dan melirik tajam ke arah Ki Pengging.

"Ini urusan pribadi kalian, bukan? Maka aku tidak berhak ikut campur...," sahut Ki Pengging sambil melirik pada majikannya yang megap-megap berusaha bangkit.

Wajah Ki Pengging kelihatan ngeri melihat tulang rusuk Ki Danang Mangkuto patah dan tubuhnya bersimpah darah. Siapa pun yakin kalau keadaannya gawat sekali. Harapan hidupnya amat tipis. Kalaupun bisa selamat, rasanya tidak punya waktu lama untuk bertahan. Sedangkan Joko Gending tak bisa diharapkan.

"Kalau kau mau pergi, kenapa tidak lekas-lekas?!" bentak Barata.

"Eh, baik! Baiklah, aku pergi," sahut Ki Pengging cepat ketika melihat kesempatan lolos.

Tanpa pikir panjang lagi, laki-laki ini langsung kabur secepatnya dari tempat itu.

"Paman Pengging! Mau ke mana kau?! Jangan tinggalkan kami sendiri di sini?!" teriak Joko Gending.

"Maaf, Den Joko! Paman masih punya tanggung jawab lain. Selamat tinggal!" sahut Ki Pengging, tak mempedulikan teriakan Joko Gending.

"Keparat! Pengecut...!" umpat Joko Gending geram. "Kau pun kupecat seperti yang lain!"

"Kini kepada siapa lagi kau akan bergantung?" tanya Retno sinis, ketika wajah Joko Gending kelihatan semakin pucat.

"Eh! Aku..., aku punya uang banyak. Kalian boleh ambil itu, asal..."

"Asal nyawamu kuampuni?" potong Retno, seraya terus mendekati Joko Gending.

"Iya! iya...! Kau setuju, bukan?!" sahut Joko Gending cepat sambil tersenyum lebar.

"Hi hi hi...! Kenapa mesti uang? Tanpa itu pun aku mau, asal...."

"Asal apa? Katakan! Apa syaratmu aku pasti akan memenuhinya!"

"Bersujudlah. Dan minta ampun padaku atas perbuatan-perbuatanmu dulu!" ujar Retno, enteng.

"Hanya itu?!" tanya Joko Gending tak percaya.

"Ya! Cepat lakukan!" bentak Retno.

"Baik, baik...!"

Maka secepatnya Joko Gending bersujud di kaki wanita itu. "Maafkan perbuatanku dulu kepadamu. Percayalah.... Aku amat menyesal dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. Juga kepada orang lain!"

"Hiih!" Tepat ketika Joko Gending selesai berkata, Retno melompat tinggi ke udara. Dan secepat itu pula tubuhnya meluruk, ke arah kaki laki-laki ini. Dan....

Krak! Krak!

"Aaakh...!" Joko Gending menjerit kesakitan ketika tiba-tiba wanita itu mematahkan tulang kakinya. Karuan saja dia menggelepar sambil bergulingan.

"Terkutuk kau! Perempuan biadab! Kenapa kau tidak mampus saja sejak dulu!" maki Joko Gending berulang-ulang.

"Hi hi hi...! Kalau mati kau tentu tidak akan pernah bertemu lagi denganku, bukan? Padahal betapa bernafsunya kau melihat tubuhku. Apakah saat ini kau tidak tertarik lagi menggelutiku dan memperkosaku dengan paksa?" ejek Retno.

"Jahanam...!" maki Joko Gending.

Tapi seketika lengkingan suaranya habis, ujung kaki wanita itu telah melaju cepat.

Duk!

"Aaakh!"

Beberapa buah gigi laki-laki ini tanggal ketika kaki Retno menghantam wajahnya. Hidungnya patah. Dari lubang hidungnya mengucur darah segar membasahi bumi.

"Kenapa tidak sekalian kau bunuh saja aku?! Ayo, bunuh aku! Bunuh! Aku tidak takut mati!" teriak Joko Gending, meratap.

"Kenapa buru-buru? Nikmatilah hidupmu meski tinggal sedikit lagi. Mali cepat terlalu enak bagimu. Mati pelan-pelan, itulah yang kumau. Paling tidak, agar kau rasakan penderitaanku saat itu!" dengus Retno.

"Perempuan terkutuk, mampuslah kau lebih dulu!"

"Hi hi hi...! Sumpah manusia biadab sepertimu tidak akan berarti." Dan selesai berkata begitu, sebelah kaki Retno kembali menghantam dada.

Duk!

"Ohh...!" Pelan saja. Dan itu memberi kesempatan bagi Joko Gending untuk bergulingan. Tapi, agaknya hal itu yang diinginkan Retno. Sebab, seketika salah satu ujung kakinya menyepak ke bagian bawah perut laki-laki ini.

"Hiih!"

"Jrot!

"Aaakh...!" Joko Gending menjerit-jerit dengan muka berkerut dan airmata bercucuran. Otot-ototnya menegang tatkala bagian kebanggaan kaum laki-laki pecah ditendang Retno. Kesudahannya, tubuh pemuda itu terkulai lesu dengan mata berkedip-kedip lambat.

"Bagaimana rasanya? Enak, bukan?" tanya Retno seraya tersenyum dingin.

Tidak ada tanggapan dari Joko Gending. Kelopak matanya menutup. Dan seluruh tubuhnya diam bagai patung, kecuali bagian jari-jarinya yang bergetar lambat menandakan bahwa nyawanya tengah berkutat untuk lepas dari raga.

"Aku tahu, kau masih mendengar suaraku, Anjing Buduk!" dengus Retno. "Kematianmu tidak setimpal dengan perbuatan biadab yang kau lakukan bersama kawan-kawanmu. Tapi paling tidak, kau merasakan betapa sakitnya menjadi orang tak berdaya. Harga dirimu hancur! Dan kau seperti bayi yang tak mampu melindungi diri. Juga, tidak mendapat perlindungan dari siapa pun. Kami berdua hidup dari penderitaan. Dan karena penderitaan itu pula yang membuat kami tetap bertahan untuk membalas sakit hati ini. Kau yang pertama. Dan kawan-kawanmu akan mendapat giliran berikutnya!"

Kemudian Retno bergegas berkelebat cepat ke dalam. Sedangkan Barata menunggui kedua ayah dan anak itu. Sebentar saja, wanita itu telah kembali bersama dua utas tampang panjang.

"Apa yang akan dilakukannya...?" tanya Ki Danang Mangkuto lemah, yang masih sekarat ditunggui Barata.

"Menurutmu apa?"

Ki Danang Mangkuto terdiam. Tapi, dia kaget bukan main ketika wanita itu menjerat leher putranya. Sesat, terdengar Joko Gending tersedak ketika wanita itu menyeretnya dengan paksa.

"Oh, tidak! Kalian tidak boleh melakukan hal itu padanya!" ratap orang tua itu sambil memalingkan wajah.

"Dia akan melakukan apa saja kepada anakmu!" desis Barata.

Ki Danang Mangkuto tak kuasa menoleh. Dia tahu kalau wanita itu akan menggantung leher Joko Gending. Meski tidak terdengar lagi jeritan, namun laki-laki tua ini bisa merasakan penderitaan putranya yang malang.

"Kenapa? Kenapa kalian berbuat telengas seperti itu? Apa dosaku? Selama ini aku selalu berbuat baik kepada orang lain...," tanya Ki Danang Mangkuto hampa.

"Mungkin saja kau orang baik. Juga, terhormat. Tidak kuragukan hal itu. Tapi ada pepatah mengatakan, rusak susu sebelanga karena nila setitik. Anakmu telah mencoreng mukamu. Dan kau menambah corengan itu dengan membelanya. Aku dan istriku bersumpah akan membunuh siapa saja yang menghalangi niat kami!" sahut Barata, tegas.

Ki Danang Mangkuto terkulai lesu. Pada saat itu, Retno telah menyelesaikan tugasnya menggantung mayat Joko Gending di tiang beranda rumah. Dihampirinya Ki Danang Mangkuto. Bola matanya tetap sama ketika membunuh Joko Gending. Penuh dendam dan kebencian.

"Kini giliranmu!" desis Retno, dingin.

"Aku telah pasrah menerima apa pun yang akan kalian perbuat kepadaku...," sahut Ki Danang Mangkuto, lemah.

"Huh! Jangan kira aku akan menaruh belas kasihan padamu!"

Ki Danang Mangkuto menghela napas, tak menjawab. Retno telah melompat ke kepala dan menjerat lehernya. Seperti yang dilakukannya kepada Joko Gending, maka orang tua itu pun diseretnya ke tiang beranda rumah besar ini.

Ki Danang Mangkuto hanya melenguh pendek. Dan matanya terbelalak dengan mulut terbuka lebar. Nyawanya lepas sudah dari raga, menggantung berjejeran dengan anaknya.

"Hhh.... Selesai sudah tugas pertama!" desah wanita itu sambil berkacak pinggang. Bola matanya kelihatan berkaca-kaca, memandangi kedua mayat yang tergantung di tiang beranda rumah ini.

"Ayo kita pergi, Sayang...!" ajak Barata.

"Baik, Kakang. Tugas kita masih banyak!"

Tak lama kemudian mereka berkelebat gesit meninggalkan tempat ini. Dalam sekejapan mata mereka telah menghilang, setelah melompati pagar rumah besar ini.

********************

TIGA

Dua sosok penunggang kuda melintas di sebuah jalan tak begitu lebar di pinggiran Desa Selabang. Mereka menjalankan kudanya lambat-Iambat sambil berbincang-bincang.

"Aku tidak habis pikir, Kakang Wiraguna! Siapa yang tega berbuat demikian kepada beliau!" kata salah seorang yang berusia sekitar tujuh belas tahun. Bajunya ketat warna kuning.

"Mungkin beliau punya musuh...," sahut yang seorang lagi. Dia seorang pemuda bertubuh tegap, terbungkus pakaian ketat warna biru. Wajahnya ditumbuhi jenggot tipis.

"Selama ini beliau jarang memiliki musuh, Kakang!"

Pemuda berbaju biru yang dipanggil Wiraguna tersenyum. Dan kepalanya menoleh sekilas.

"Apakah kau mengenal Ki Danang Mangkuto dengan baik, Caraka?"

Pemuda berbaju kuning dan bernama Caraka tampak tersipu malu.

"Itulah. Kita tidak bisa memberi penilaian, kalau tak tahu banyak tentang seseorang yang dinilai. Penilaian berdasarkan cerita-cerita orang, tidak bisa dijadikan patokan," ujar Wiraguna.

"Menurut pendapat Kakang sendiri, apa kira-kira penyebab kematian mereka?" tanya Caraka.

"Dendam."

"Dendam? Kenapa begitu?"

"Harta mereka tidak diusik. Begitu juga para pegawainya."

"Tapi satu orang mati, Kang?" ingat Caraka.

"Mungkin dia ingin membantu majikannya, namun gagal. Bahkan kematian menjemputnya."

Caraka mengangguk. Disadari kalau Wiraguna memang cerdas. Dan Caraka sendiri tahu, di antara lima putra Ki Genduk Mani, agaknya hanya Wiraguna yang disukainya. Pemuda berusia dua puluh lima tahun itu bersifat ramah, baik hati, dan tidak sombong. Tidak seperti saudara-saudaranya. Perbedaan watak satu sama lain seperti bumi dan langit. Tak heran kalau Caraka sering melihat Ki Genduk Mani selalu mengeluh melihat tingkah laku keempat putranya yang lain.

"Ki Danang Mangkuto bukan orang sembarangan. Bahkan jarang ada yang berani cari gara-gara dengannya. Menurut Kakang, siapa kira-kira yang bernafsu hendak membunuhnya?" tanya Caraka lagi, untuk mengetahui pendapat Wiraguna.

"Entahlah. Aku tidsak bisa memperkirakannya, Caraka...."

"Apa mungkin Ki Sancang, Kang?" duga Caraka.

"Maksudmu, si Raja Ular Selatan?" Caraka mengangguk.

"Tidak mungkin! Ki Danang dan putranya mati dihajar pukulan, dan kemudian baru digantung. Sedangkan ciri khas si Raja Ular Selatan selalu menggunakan racun ular, untuk membunuh lawan-lawanya," sanggah Wiraguna, sekaligus menjelaskan.

"Oo...."

"Eh?! Dari mana kau tahu soal si Raja Ular Selatan itu?" Wiraguna balik bertanya.

"Dari para pembantu Ki Danang sendiri. Mereka pernah bicara kalau Si Raja Ular Selatan itu musuh bebuyutan Ki Danang," sahut Caraka.

"Ya. Ki Danang juga punya beberapa musuh tangguh...."

"Seperti Ki Jepara alias si Iblis Pulau Hantu?" tukas Caraka sambil tersenyum lebar.

"Hm.... Kau semakin banyak tahu saja!" puji Wiraguna.

"Dari banyak mendengar cerita orang aku semakin banyak tahu mengenai tokoh-tokoh persilatan, Kang," tambah Caraka.

"Itu bagus untuk pengetahuanmu." "Tapi...."

"Ada apa?" serobot Wiraguna ketika Caraka menghentikan kata-katanya dengan wajah murung.

"Kalau mengingat mereka aku jadi semakin kecil, Kang...."

"Kenapa begitu?"

"Aku ingin seperti mereka. Tapi, rasanya seperti pungguk merindukan rembulan. Jangankan seperti mereka. Bahkan memiliki kepandaian seperti Kakang pun, aku sudah amat gembira."

"Untuk itu kau mesti giat berlatih."

"Aku selalu giat berlatih. Tapi tidak ada yang membimbing. Kakang selalu sibuk membantu Ki Genduk Maru. Dan yang lain juga sibuk dengan urusannya masing-masing...," sahut Caraka masyghul.

Wiraguna tersenyum. "Baiklah. Nanti akan kucarikan waktu untuk melatihmu...."

"Benarkah, Kakang?!" seru Caraka kegirangan.

Wiraguna mengangguk. "Ah, terima kasih! Terima kasih, Kakang...!"

"Sudahlah. Sekarang kita mesti cepat tiba di rumah untuk memberitahukan hal itu pada ayah!"

"Baik, Kakang! Heaaa...!" Caraka segera menggebah kudanya. Sementara Wiraguna telah lebih dulu menghela kudanya dengan kencang. Namun baru saja beberapa tarikan napas....

"Kakang, lihat! Siapa yang tidur melintang di jalan!" seru Caraka ketika melihat seseorang tidur seenaknya di tengah jalan yang dilalui.

"Hooop...!"

"Hieee...!" Karuan saja mereka secepat kilat menghentikan laju kuda agar tidak menginjak orang yang tengah berbaring di tengah jalan.

Apa yang dilihat Wiraguna dan Caraka adalah seorang laki-laki tua bertubuh kurus dengan pakaian seperti pengemis tengah tidur nyenyak sekali.

"Kakang! Kita memutar sedikit ke kanan," saran Caraka.

"Ya."

Mereka segera menghela kuda untuk memutar. Tapi, tiba-tiba saja pengemis itu menggeliat. Sehingga sikap tidumya berubah, kembali menghalangi langkah kuda mereka.

"Hhh...!" Wiraguna menghela napas. Kemudian diberinya isyarat pada Caraka agar kembali ke jalan pertama.

Tapi begitu mereka membalikkan arah kuda, saat itu juga si pengemis menggeliat kembali, menghalangi jalan.

"Hmm...!" gumam Wiraguna pendek.

"Kenapa, Kakang?" tanya Caraka ketika melihat Wiraguna terdiam seraya memperhatikan pengemis itu.

"Kisanak.... Kalau tidak keberatan, sudilah kiranya menepi dari jalan ini!" ujar Wiraguna tanpa mempedulikan pertanyaan Caraka.

Bukannya menjawab, pengemis itu malah memperdengarkan dengkurannya.

"Kalau kau tidak mau menepi, biarlah kami mencari jalan lain," sahut Wiraguna datar.

Pemuda itu memberi isyarat pada Caraka. Lantas mereka segera memutar haluan, membelakangi pengemis itu untuk mencari jalan lain.

"Heaaa...!"

Brakkk!

"Hieee...!"

Tapi baru saja menggebah kuda, mendadak sebatang pohon besar di depan tumbang, langsung melintang menghalangi jalan. Kontan kuda tunggangan mereka terkejut dan meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi.

"Aduh!" Caraka mengeluh kesakitan ketika terlempar dari punggung kudanya. Masih untung bagi Wiraguna, karena mampu mengendalikan kuda tunggangannya.

"Kau tak apa-apa, Caraka?" tanya Wiraguna setelah kudanya benar-benar tenang.

Caraka menggeleng sambil bangkit berdiri. Pantatnya yang masih terasa sakit dielus-elusnya. Wajahnya kelihatan lucu, ketika meringis.

Semua itu tidak membuat Wiraguna tertawa. Justru matanya kini memandang tajam pada orang yang membuat ulah. Pengemis tua yang tadi tertidur nyenyak, kini berdiri di dekat mereka sambil terpingkal-pingkal melepaskan tawa.

"He he he...!"

"Kenapa kau tertawa?! Kau senang melihat kesusahan kami?!" bentak Caraka kesal.

"He he he...! Dasar bocah dungu! Kenapa pula kau marah-marah melihatku tertawa?"

"Karena semua ini perbuatanmu!" tuding Caraka kesal.

"Bocah geblek! Bocah sinting! Seenaknya saja bicara. Apa buktinya kalau aku yang melakukan semua ini?" sahut pengemis tua itu dengan suara tidak kalah garang.

"Itu memang salahmu! Karena..., karena kau tidur di tengah jalan!"

"Apakah ada larangan untuk orang tidur di tengah jalan?" kilah pengemis tua ini.

"Huh, sudahlah! Dasar orang gila!" umpat Caraka kesal seraya menghampiri kudanya.

"He, apa kau bilang? Kau kira aku gila? Dasar bocah sinting tak tahu diri. Kau memang turunan orang gila! Marah-marah tak karuan!" dengus pengemis ini.

Mendengar dirinya dimaki-maki begitu, kesal juga hati Caraka. Dipandanginya orang tua gembel itu dengan mata mendelik garang.

"Sekali lagi kau berani bicara begitu, kuhajar kau!" ancam Caraka.

"Bocah sinting! Turunan orang gila!" ejek pengemis tua ini sambil tertawa lebar.

"Kurang ajar...!"

"Caraka, sudahlah! Tidak usah diladeni!" cegah Wiraguna ketika Caraka hendak melabrak pengemis itu.

"Kenapa denganmu, Bocah? Apa kau kira aku takut dengannya? Huh! Dengan sekali sentil, dia akan kubuat terpental!" ejek pengemis ini sambil menuding marah pada Wiraguna.

"Paman...," panggil Wiraguna.

"Aku bukan pamanmu!" tukas pengemis itu marah.

"Lalu aku mesti memanggil apa?"

"Kau lihat aku? Aku seorang pengemis. Panggil saja begitu!" sahut pengemis ini seenaknya.

"Baiklah, Pengemis...."

"Nah! Begitu baru enak didengar!" potong pengemis itu lagi sambil tersenyum girang. "Tambahkan saja dengan kata sinting. Jadi kau boleh memanggilku Pengemis Sinting...!"

"Kami tengah ada urusan penting, Pengemis Sinting. Kalau tidak keberatan, bolehkah kami pergi dulu?"

"Aku tidak menghalangi jalanmu, bukan?" tukas pengemis yang mengaku berjuluk Pengemis Sinting.

"Kalau kau tidur di jalan, tentu saja menghalangi...."

"Kenapa? Bukankah kuda-kuda kalian masih bisa melangkah?"

"Tentu saja. Tapi bagaimana kalau tubuhmu terinjak-injak?"

"Hua ha ha...! Terinjak-injak kudamu? Kenapa rupanya? Apa kau kira perutku akan jebol? Atau dadaku akan remuk? Begitu?! Bahkan seekor gajah sekalipun tidak akan mampu meremukkan perut atau dadaku!" teriak Pengemis Sinting jumawa.

Menghadapi orang seperti ini, Wiraguna hanya bisa menahan sabar. Di antara saudara-saudaranya pun dia terkenal paling sabar. Apalagi sampai menjatuhkan tangan dalam menyelesaikan persoalan. Begitu juga kali ini. Hanya Caraka saja yang semakin geregetan melihat tingkah Pengemis Sinting itu.

"Sudahlah, Kang. Buat apa berdebat dengan orang gila sepertinya? Kita akan ikut-ikutan gila dibuatnya," ujar Caraka.

"Kurang ajar! Apa katamu? Aku gila?!" semprot pengemis itu galak.

Tiba-tiba saja Pengemis Sinting menjulurkan sebelah tangan ke jidat Caraka.

Wut!

Karuan saja Caraka kesal bukan main. Dia bermaksud menangkis, dan sekalian saja menghajarnya. Tapi entah bagaimana satu dorongan kuat menerpa kepalanya.

Plak!

"Aaa...!" Pemuda itu kontan terjungkal ke belakang. Kepalanya terasa pusing. Pandangannya berkunang-kunang ketika bangkit berdiri.

"Kakang. Oh..., kepalaku pusing...," keluh Caraka.

"He he he...! Ha ha ha...! Hu ha hu...!"

Pengemis Sinting ketawa terpingkal-pingkal melihat pemuda itu mengeluh seperti bocah. Melihat apa yang diperbuat pengemis itu kepada Caraka, sadarlah Wiraguna bahwa kini tengah berhadapan dengan orang sakti yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Jidat Caraka tadi hanya ditepuk pelan sekali. Tapi itu cukup membuatnya terjungkal ke belakang seperti disapu badai topan.

"Kurang ajar! Yeaaa...!" Caraka tidak peduli kejadian itu. Dan begitu melihat Pengemis Sinting menertawakannya, dia langsung menyerang tanpa pikir panjang.

Wut! Bet!

"Belum kena! Ayo, pukul lagi!" ejek pengemis itu seraya berkelit ke sana kemari menghindari pukulan serta tendangan Caraka.

"Kurang ajar! Pintar juga kau mengelak, ya?!" dengus Caraka semakin geram.

Pemuda itu kembali menyerang membabi-buta. Namun sedikit pun tidak membuahkan hasil. Pengemis itu mampu menghindarinya dengan mudah. Bahkan dengan cara yang membuat hati Caraka panas. Kadang pukulan pemuda itu hanya dielakkan dengan memiringkan kepala sedikit, atau tubuh berbalik. Atau terkadang pantatnya nungging, dan nyaris menghantam mukanya. Dan semua itu dilakukan pengemis tua ini sambil terkekeh kegirangan.

"He he he...! Kenapa? Sudah kepayahan?!" ejek Pengemis Sinting ketika melihat Caraka sempoyongan dengan napas turun naik tak beraturan.

"Pengemis busuk! Aku masih sanggup menghajarmu lagi!" dengus Caraka tak mau mengalah.

"Ayo lakukan! Lakukan lebih kencang dan cepat!"

"Yeaaa...!"

Kalau tadi Pengemis Sinting hanya menghindar, kini mulai lebih bersungguh-sungguh. Ketika Caraka maju ke depan sambil menyarangkan tendangan, tubuhnya berkelit ke samping. Dan tiba-tiba sebelah kakinya mengait pergelangan kaki Caraka yang berpijak di tanah.

Wuuutt!

Plak!

Caraka terkesiap merasakan sentakan keras. Dan tak ayal lagi tubuhnya ambruk ke depan ketika tak mampu menguasai diri.

Brukk!

"Hua ha ha...!" sambut Pengemis Sinting dengan tawa terbahak-bahak melihat muka Caraka mencium tanah.

"Sial!" dengus Caraka sambil mengusap mukanya yang berdebu.

Muka pemuda ini semakin berkerut geram, ketika melihat darah di telapak tangan. Ketika meraba hidung terasa cairan merah mengocor pelan.

"Caraka, sudah! Jangan lanjutkan lagi!" teriak Wiraguna mencegah ketika pemuda itu hendak menyerang lagi.

"Tapi, Kakang...."

"Kau tidak akan mampu melawannya. Dia bukan orang sembarangan. Bersihkan tubuhmu. Kita pulang sekarang!" sergah Wiraguna cepat.

"Eee, siapa yang menyuruh kalian pergi begitu saja? Aku belum lagi memerintahkannya!" timpal Pengemis Sinting seraya mengangsurkan telapak tangan kanan.

"Kisanak..."

"Panggil aku Pengemis Sinting!" tukas pengemis itu dengan suara keras.

"Baiklah, Pengemis Sinting.... Sekarang izinkan kami pergi dulu," ujar Wiraguna.

"Brengsek! Brengsek...! Apa kau tidak lihat aku tengah bermain-main dengannya?! Aku belum puas. Tapi, dia sudah lemas. Kenapa tidak kau saja yang menggantikannya?!"

"Aku tengah tidak berhasrat untuk main-main, Pengemis Sinting!" tolak Wiraguna halus.

"Aku akan memaksamu!" sentak Pengemis Sinting.

"Apakah kau akan menghajarku?"

"Siapa yang akan menghajarmu? Aku justru ingin agar kau menghajarku sampai puas!"

"Aku tidak akan melakukannya, Pengemis Sinting."

"Kalau begitu aku akan memaksamu!"

"Silakan! Aku tidak akan melawan," kata Wiraguna, pasrah.

Pengemis Sinting melotot geram. Namun tidak berbuat apa-apa. Tiba-tiba kakinya menghentak-hentak ke tanah.

"Brengsek! Brengsek...!" maki Pengemis Sinting berkali-kali, kemudian mencelat cepat dari tempat itu. Dalam sekejapan mata, tubuhnya menghilang dari pandangan.

"Pengemis brengsek!" umpat Caraka seraya melompat ke punggung kudanya.

"Sudahlah, tidak usah hiraukan dia lagi...."

"Kenapa Kakang mengalah padanya? Padahal, aku sudah kepayahan dipermainkannya. Kakang sengaja membiarkan aku!" dengus Caraka kesal.

Wiraguna tersenyum seraya menggebah kudanya kembali, pertahan-lahan.

"Kenapa kau berkata begitu? Kalaupun kularang, apakah kau akan menurut?"

Caraka diam saja. Hatinya masih kesal, karena Wiraguna tidak mau membantunya menghajar pengemis itu. Lantas kudanya digebah, mengikuti Wiraguna.

"Dunia persilatan banyak dihuni tokoh aneh, Caraka. Ayah pernah mengatakannya. Mereka rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan sulit diukur. Salah seorang di antara mereka bergelar Pengemis Sinting tadi," jelas Wiraguna memulai menjelaskan.

"Kenapa Kakang begitu yakin?"

"Pengemis Sinting tidak jahat. Hanya kelakukannya aneh dan sulit diikut orang waras seperti kita."

"Jadi itukah sebabnya Kakang tidak mau membantuku, juga menolak tantangannya?" duga Caraka.

"Tentu saja! Kalau aku membantumu, apa yang bisa kuperbuat? Kepandaiannya tinggi sekali. Bahkan ayah sendiri tidak mampu menyentuhnya, bila saling berhadapan. Dia hanya ingin bermain-main seperti katanya. Maka kalau keinginannya diladeni, dia akan betah menemani kita di sini. Dan kita akan letih sendiri meladeninya. Tapi kalau tidak meladeni, dia akan jemu dan meninggalkan kita seperti tadi," lanjut Wiraguna menyempurnakan penjelasannya.

Caraka mengangguk-angguk.

"Nah! Kau masih marah padaku?" tanya Wiraguna.

Dengan tersipu-sipu Caraka menggeleng lemah

"Kita beruntung bisa bertemu dengannya, meski mendapat pengalaman aneh...,"'kata Wiraguna.

"Kalau saja didunia ada sepuluh sepertinya, maka banyak orang yang akan dibuat pusing!" dengus Caraka.

"Bahkan orang sepertinya bukan cuma sepuluh, tapi banyak!"

"Ah! Mana mungkin, Kang?!"

"Benar! Jika kau rajin mendengar dan bertualang sekaligus, kau akan menemukan orang-orang sepertinya."

Caraka terdiam, setengah percaya mendengar penuturan Wiraguna. "Kenapa mereka bisa seperti itu, Kang?"

"Ya, banyak. Bisa karena kebanyakan ilmu, karena penyakit, karena penderitaan, dan lain-lain. Nantilah kita bahas panjang lebar bila ada kesempatan. Sekarang, kita mesti cepat-cepat sampai di rumah."

Setelah berkata begitu, Wiraguna menggebah kudanya kencang-kencang. Caraka pun langsung mengikuti.

"Heaaa...!"

EMPAT

"Dari mana kau peroleh berita itu, Wiraguna?"

Suara bernada pertanyaan itu ditujukan buat Wiraguna, yang baru saja tiba di rumah bersama Caraka. Langsung diceritakannya kejadian yang menimpa Ki Danang Mangkuto dan anaknya yang bernama Joko Gending, pada ayahnya yang tak lain Ki Genduk Mani.

Wajah laki-laki tua ayah dari Wiraguna itu terlihat terkejut. Sepertinya dia tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.

Ki Genduk Mani kembali terdiam. Dahinya berkerut. Sementara kedua tangannya terkepal menandakan kalau tengah menahan amarahnya yang hendak menggelegak.

"Terkutuk!" desis laki-laki berusia sekitar enam puluh tiga tahun itu, geram.

Sementara itu orang yang ada dalam ruangan ini terdiam. Dan ketika Ki Genduk Mani memandang mereka satu persatu, seolah-olah orang-orang itu siap menerima perintah.

"Wiraguna.... Tahukah kau siapa yang melakukan hal itu pada mereka?" tanya Ki Gending Mani.

"Sayang sekali, Ayah. Tidak ada yang mengetahuinya...," desah Wiraguna.

"Kau katakan para pengawalnya banyak yang hidup?"

"Mayat mereka tidak ditemukan di sana, Ayah...."

"Mungkin mereka lari menyelamatkan diri, saat terjadi pembunuhan terhadap majikan mereka."

"Mungkin begitu...."

"Ki Danang Mangkuto adalah sahabatku. Maka kematiannya akan kuusut sampai ke mana pun!" desis Ki Genduk Mani yang dikenal dengan julukan si Gelang Maut.

"Apa yang mesti kita lakukan Ayah?" tanya Wiraguna.

"Kerahkan orang-orang kita untuk mencari para pengawal Ki Danang Mangkuto. Bujuk mereka untuk memberitahu, siapa pembunuh Ki Danang Mangkuto dan putranya," ujar Ki Genduk Mani.

"Ayah! Mengapa kita mesti repot-repot mengurusi persoalan orang lain?" tanya salah seorang anak muda, yang juga anak Ki Genduk Mani.

"Dia sahabatku, Wirabrata!" sahut Ki Genduk Mani menekankan.

"Kalau kita yang mengalami kejadian ini, apakah Ayah kira mereka akan berbuat sama?!" lanjut pemuda yang dipanggil Wirabrata, merasa kurang senang atas sikap ayahnya.

"Lepas apakah dia sahabatku, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk tolong-menolong. Bila merasa direpotkan, kau boleh diam di rumah. Biar yang lain mengadakan pencarian!" jawab orang tua itu, menegaskan.

Mendengar keputusan itu Wirabrata yang merupakan putra kedua Ki Genduk Mani tidak berkata apa-apa lagi. Mau tidak mau, dia terpaksa tunduk pada keputusan yang telah dikeluarkan ayahnya.

"Aku tidak memaksakannya kepada kalian. Tapi seperti yang tadi kukatakan, kewajiban kita adalah tolong-menolong. Maka kuminta kalian mengikuti Wiraguna, untuk mengadakan pencarian terhadap para pengawal almarhum Ki Danang Mangkuto," ujar Ki Genduk Mani.

"Kenapa mesti Wiraguna? Aku pun bisa!" cetus seorang pemuda lain. Dia adalah anak tertua Ki Genduk Mani.

"Benar, Adiguna! Itu kalau kau tidak punya tugas lain!" sahut orang tua itu.

"Aku memang tidak punya tugas lain, Ayah," jawab pemuda bernama Adiguna itu.

"Tidak! Kau kutugaskan pergi menemui sahabat-sahabat Ayah lainnya, untuk menceritakan peristiwa ini kepada mereka."

"Kenapa mesti aku? Bukankah itu bisa dikerjakan Wiraguna?"

"Aku telah memutuskan, Adiguna! Apakah kau hendak menolaknya?" tukas orang tua itu tajam.

Adiguna tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dalam pikirannya, pekerjaan yang diberikan kepadanya terlalu ringan. Bahkan bocah kecil pun mampu melakukannya. Sedangkan tugas yang diberikan pada Wiraguna tergolong agak lumayan. Dia menyangka, ayahnya meremehkan kemampuannya. Dan hal itu tidak bisa diterima, karena Wiraguna adalah adiknya. Bukankah semestinya seorang kakak yang mesti melakukan tugas-tugas berat?

Tapi yang ada di benak Ki Genduk Mani tidak demikian. Dia tahu, di antara kelima putranya hanya Wiraguna yang bisa diandalkan. Ketimbang saudara-saudaranya, Wiraguna yang paling rajin berlatih. Sehingga ilmu olah kanuragannya bisa dibanggakan. Pemuda itu juga cerdas dan tidak mudah putus asa. Persoalan ini penting baginya.

Maka bila Adiguna yang dipilihnya untuk tugas pencarian, mungkin saja akan putus asa setelah beberapa kali dicari ternyata para pengawal Ki Danang Mangkuto tidak kunjung ditemui. Lain halnya Wiraguna. Dia amat patuh menjalankan perintah. Bahkan jarang kembali bila yang dicarinya belum berhasil ditemui.

"Kapan bisa kulaksanakan tugas itu, Ayah?" tanya Wiraguna ketika ruangan itu hening untuk beberapa saat.

"Kapan kau sanggup berangkat?"

"Besok pagi-pagi sekali, Ayah!" sahut pemuda itu mantap.

"Baik! Bawalah beberapa orang bersamamu."

Wiraguna mengangguk. "Baiklah. Kalian boleh pergi semua!" tandas orang tua itu.

"Eh! Sebentar, Ayah! Mungkin ini ada artinya buat kita!" sambung Wiraguna.

"Apa?"

"Dalam perjalanan pulang, kami bertemu seseorang. Ayah mungkin tidak percaya. Tapi, aku yakin pasti dia orangnya," sahut Wiraguna, menjelaskan.

"Siapa yang kau maksud?" tanya Ki Genduk Mani.

"Pengemis Sinting!"

"Pengemis Sinting?!"

Ki Genduk Mani terkejut mendengar nama itu disebutkan. "Apa yang, dilakukannya.. terhadap kalian?" lanjut orang tua ini.

Wiraguna kemudian menceritakan pengalaman mereka bertemu dengan si Pengemis Sinting.

"Bagaimana, Ayah? Apakah kira-kira dia tersangkut paut dalam urusan ini?" Tanya Wiraguna.

"Sepengetahuanku, Ki Danang Mangkuto tidak bermusuhan dengannya. Lagi pula, Pengemis Sinting, tidak akan membunuh sembarangan. Tapi entah juga. Siapa tahu dia berubah pikiran. Kirim beberapa orang untuk mengawasinya di sekitar wilayah kita!" jelas Ki Genduk Mani.

"Baik, Ayah!"

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Seorang pemuda berdiri tegak mematung di depan rumahnya yang tak begitu besar. Angin malam yang dingin lembut mengusap-usap kulit tubuhnya.

Sejenak kepalanya mendongak, memandang ke langit. Bintang-bintang tertutup awan. Dan langit terlihat pekat. Cahaya bulan tidak terlihat sedikit pun.

"Hei?!" Wajah pemuda ini seketika tegang ketika melihat satu sosok tubuh melompati pagar dengan gerakan ringan. Lalu sosok itu berjalan tenang, memasuki halaman rumah.

"Sugala! Apa yang kau lakukan tengah malam begini?" sapa pemuda ini seraya menghela napas lega, begitu mengenali siapa yang datang.

Sementara sosok yang ternyata seorang pemuda tersentak kaget, begitu namanya disebut.

"Kakang Tirta Janaka! Kau ada di sini? Kenapa belum tidur?" pemuda yang dipanggil Sugala malah balik bertanya.

Pemuda berambut pendek yang dipanggil Tirta Janaka itu menghela napas sebentar sebelum menjawab.

"Aku belum mengantuk. Dan kau? Apa yang kau lakukan malam-malam begini?" tanya Tirta Janaka, yang berusia tiga tahun di atas Sugala.

"Apa lagi?!" sahut Sugala sambil tersenyum lebar.

"Mendatangi gadis itu lagi?" tebak Tirta Janaka.

Sugala mengangguk.

"Dia tak suka padamu. Kenapa kau masih mengejar-ngejarnya juga?"

"Bukan dia. Tapi, orang tuanya!" jelas Sugala.

"Sama saja! Dia patuh pada orangtuanya. Dan berarti, dia tidak akan suka padamu," sergah Tirta Janaka.

"Aku cuma heran...."

"Kenapa?"

"Kita orang terpandang. Dan kekayaan pun tidak kurang. Kenapa orang tuanya begitu benci. pada keluarga kita?"

"Bukan pada keluarga kita. Tapi, kepadamu!" sahut Tirta Janaka, seperti meralat Sugala tersenyum.

"Kalau aku katakan sesuatu, apakah kakang akan marah?" tanya Sugala.

"Kau mau katakan apa? Katakanlah!" ujar Tirta Janaka.

"Sejujumya kukatakan, mereka sebenarnya bukan benci kepada keluarga kita...."

"Apa kataku! Mereka hanya tidak suka padamu, sehingga keluarga kita dijadikan sasaran kebencian pula!" tukas Tirta Janaka.

"Kau salah, Kakang! Mereka justru benci padamu!" sahut Sugala, dingin.

"He, apa maksudmu?"

"Jangan pura-pura, Kakang! Apa sebenarnya yang telah kau lakukan terhadap gadis-gadis di desa ini? Mereka semua benci kepadamu, karena kau sering mempermainkan gadis-gadis itu. Bahkan kepada istri orang pun, kau berani mengganggu. Dan yang lebih membuatku malu, kau justru pernah memperkosa mereka!" berondong Sugala, berapi-api.

"Sugala! Tutup mulutmu yang kotor itu! Jangan kau lemparkan tuduhan busuk itu padaku!" bentak Tirta Janaka garang.

"Itu bukan tuduhan busuk. Tapi kau sendiri yang busuk! Kau dan segala kelakuanmu yang busuk, sehingga mencemarkan nama baik keluarga!" dengus Sugala sengit.

Pertengkaran berlanjut. Dan amarah Tirta Janaka pun tak tertahankan lagi. Langsung adiknya dihajar dengan satu tendangan keras ke arah dada.

Wut!

Namun Sugala cepat melompat ke kanan. Ditangkisnya tendangan itu dengan tangan kiri.

Plak! Tap!

Bahkan Sugala menangkap pergelangan kaki Tirta Janaka, lalu sekuat tenaga didorongkannya ke belakang.

"Hup!" Tirta Janaka memang terjungkal ke belakang. Namun dengan gesit dia berkoprol, lalu mendarat mulus. Wajahnya kelihatan semakin berang melihat kelakuan adiknya.

"Bagus! Kau sudah mulai berani melawanku, ya?" desis Tirta Janaka.

"Kau yang memulainya, Kakang!" sentak Sugala.

"Tidak usah banyak bicara! Ayo! Ingin kulihat, sampai di mana kemajuanmu sekarang!" dengus Tirta Janaka geram.

"Kau anak manja dan selalu disayangi ayah, sehingga beliau lupa bahwa kelakuanmu sudah kelewat batas! Kau cemarkan nama keluarga! Kau siram wajah ayah dengan segala perbuatan-perbuatan bejadmu!" tuding Sugala geram.

"Yeaaa...!"

Begitu kata-kata Sugala habis, Tirta Janaka yang tidak mau banyak bicara lagi segera melepas tendangan mautnya ke dada. Tapi, Sugala meladeninya dengan tangkisan-tangkisan mantap. Beberapa kali serangan Tirta Janaka dapat dipatahkannya. Dan ini membuat kakaknya semakin geram saja.

"Hiih!" Mendadak Tirta Janaka bergulingan di tanah. Begitu bangkit kedua tangannya segera dihantamkan secara bersamaan.

"Uts!" Sugala melompat ke belakang.

"Hei?! Kau hendak membunuhku dengan jurus 'Kepalan Iblis', Kakang?" seru Sugala, cukup kaget juga.

Tirta Janaka tak peduli. Dan pada satu kesempatan, sebelah kakinya menyodok keras ke perut adiknya.

Desss....

"Aaakh...!" Sugala jatuh terjungkal sambil menjerit kesakitan.

Baru saja Tirta Janaka hendak menghajarnya lagi.....

Heh?!" Saat itu juga pandangan Tirta Janaka membentur pada dua sosok tubuh berpakaian gembel yang telah tegak berdiri mengawasi pertarungan tak jauh dari tempat ini.

"Siapa kalian?!" bentak Tirta Janaka lantang.

"Kau lupa padaku, Tirta Janaka?" sahut salah seorang.

Tirta Janaka mengamatinya dengan seksama. Rupanya yang barusan bicara adalah seorang wanita berusia sekitar dua puluh enam tahun. Rambutnya panjang, namun tak terurus. Matanya memandang tajam pada pemuda itu.

"Aku tidak kenal kalian! Pergilah sebelum kupanggilkan penjaga untuk mengusir kalian!" bentak Titra Janaka, lantang.

"Penjaga mana yang kau maksudkan? Apakah kedua anjing buduk yang kau suruh berjaga di depan sana? Mereka kini tengah nyenyak tertidur. Dan mereka tidak akan terbangun, meski kau telah berangkat ke neraka!" desis wanita itu dingin.

"Kurang ajar! Berani betul kau mengancamku?! Tahukah kau tengah berhadapan dengan siapa saat ini?!"

"Aku tengah berhadapan dengan anjing buduk!" sahut wanita itu, mengejek.

"Setan!"

Tirta Janaka yang saat itu tengah kalap pada adiknya, semakin geram saja mendengar ocehan wanita berpakaian dekil itu. Dengan serta merta dia melompat menyerang dengan satu tendangan dahsyat.

"Yeaaa...!"

Wanita itu tidak berusaha menghindar. Cepat ditangkisnya serangan itu dengan tangan kiri. Dan tiba-tiba saja tangan kanannya, menyodok keras ke ulu hati. Tirta Janaka terkejut, namun tak mampu lagi menghindar. Dan....

Begkh!

"Aaakh...!" Tak ampun lagi tubuh Tirta Janaka terjungkal ke belakang. Dari mulutnya keluar jerit kesakitan.

"Hei?!" Sugala yang masih meringis kesakitan ketika memperhatikan pertarungan jadi terkesiap. Demikian mudah Tirta Janaka dijatuhkan. Padahal, dia sendiri tidak mampu melawannya. Memang, kepandaian Tirta Janaka sendiri cukup hebat. Dan kalau sampai ada yang membuatnya terjungkal dengan sekali hantam, maka orang itu tidak bisa dipandang sebelah mata.

Siapa wanita gembel ini? Dan, siapa pula laki-laki gembel yang bersamanya? Mungkin saja laki-laki itu mempunyai kepandaian yang setingkat dengan wanita ini? Bahkan mungkin lebih! Namun Sugala memang tak ingin ikut campur dalam urusan kakaknya, yang pasti berbau mesum. Secepatnya dia berkelebat pergi, meninggalkan tempat ini.

Sementara itu Tirta Janaka telah bangkit kembali dengan wajah geram. Pandangan matanya penuh nafsu membunuh.

"Gembel busuk! Akan kujahar kau sampai mampus!" dengus pemuda itu.

"Kaulah yang busuk, Keparat! Dan kau akan mati di tanganku dengan cara mengenaskan!" dengus wanita gembel yang tak lain Retno dengan suara dingin.

"Huh!" Tirta Janaka kembali mendengus dan bersiap menyerang. Kini jurus mautnya yang bernama 'Kepalan Iblis' siap digunakan.

"Yeaaa...!" Tirta Janaka meluruk dengan kedua tangan terkepal yang dihantamkan bertubi-tubi. Tapi Retno mudah sekali menghindarinya. Tubuhya bergerak ringan meliuk-liuk dan mencelat ke sana kemari. Kakinya seperti tidak berpijak di tanah.

Dalam satu kesempatan telapak tangan wanita itu menangkis kepalan Tirta Janaka.

Plak!

Tirta Janaka geram bukan main. Kepalannya yang mampu meremukkan kepala seekor banteng, ternyata di depan wanita itu sama sekali tak berarti apa-apa. Bahkan sedikit pun tubuh Retno tak bergeser. Dan ketika pemuda itu melayangkan kepalan yang satu lagi, wanita ini pun menangkisnya dengan cara sama. Sebaliknya dengan satu sentakan keras, Retno menangkap kedua pergelangan tangan Tirta Janaka.

Tap!

Lalu kedua kaki wanita ini bergerak cepat menghantam dada serta perut.

Duk! Des!

"Aaakh...!" Tirta Janaka kembali menjerit kesakitan. Tubuhnya terjungkal beberapa tombak ke belakang. Bahkan sampai membentur tembok rumah dengan keras. Dari mulutnya menyembur darah segar. Pemuda itu meringis-ringis kesakitan dan terkulai lesu, karena tak mampu bangkit berdiri lagi.

"Itu permulaan yang bagus buatmu! Sekarang akan kau rasakan penderitaanmu yang lain!" desis Retno.

Langkah Retno terhenti ketika mendadak dari arah dalam rumah, berkelebat cepat sesosok tubuh. Dan tahu-tahu, sosok itu telah dekat dengan Tirta Janaka. Kini tampak jelas sosok itu. Dia adalah seorang lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun berbaju rapi. Sebagian rambutnya yang telah memutih digelung rapi ke atas. Sepasang matanya tajam, seperti menyiratkan perbawa kuat.

"Apa salah putraku, sehingga kau tega melukainya?" sapa laki-laki itu dingin.

"Tanyakan pada peristiwa tujuh tahun lalu, di pinggiran Hutan Kemboja!" sahut wanita gembel itu masih, dingin. "Pada saat itu kalian berkumpul di rumah Ardisoma!"

Orang tua yang tak lain ayah dari Tirta Janaka ini memandang tajam pada putranya. "Coba jawab pertanyaannya, Tirta! Jelaskan padaku!" ujar laki-laki setengah baya itu.

"Aku..., aku tidak mengerti apa maksudnya. Ayah...," sahut Tirta Janaka dengan suara bergetar.

"Keparat busuk! Apakah kau hendak mungkir dari perbuatan bejad yang kau lakukan kepada salah seorang pembantu keluarga Ardisoma?! Apakah kau hendak mengingkari, bahwa kau telah memperkosanya bersama kawan-kawanmu?! Kau menyiksanya! Menyiksa suaminya! Lalu, kau jebloskan suami istri itu ke sebuah jurang dalam. Masihkah kau hendak mengingkari perbuatan bejadmu?!" teriak Retno dengan sepasang mata melotot garang penuh terbakar dendam kebencian.

"Apa?! Oh, tidak! Tidak..! Itu tidak benar!" bantah Tirta Janaka dengan wajah kaget.

"Boleh saja kau berkilah. Tapi kedua orang itu masih hidup. Dan kini, tegak berdiri di depanmu!" dengus Retno.

"Kau? Kalian...?!" desis Tirta Janaka, seperti tak percaya dengan pandangannya. Pemuda ini memandang mereka berdua dengan sikap gugup, seperti hendak meyakinkan pandangannya.

"Tidak mungkin! Kalian sudah mati! Kalian sudah mati...!" teriak Tirta Janaka kalap.

"Itu memang keinginanmu. Tapi, nyatanya nasib berkehendak lain. Dan kali ini, kau yang mesti mati untuk menebus perbuatanmu itu!" desis Retno.

"Jadi benar apa yang dikatakannya, Tirta Janaka?" dengus laki-laki setengah baya, ayah Tirta Janaka.

"Tidak! Itu tidak benar. Ayah! Aku bahkan sama sekali tidak kenal dengan mereka!" elak pemuda itu dengan wajah bersungguh-sungguh.

Tapi percuma saja Tirta Jenaka berkilah untuk membela diri. Kata-katanya tadi sudah cukup beralasan kalau dirinya mengenali kedua gembel ini. Buktinya, dia mengatakan bahwa semestinya kedua gembel itu mati.

Wajah laki-laki setengah baya ayah dari Tirta Janaka kelihatan geram. Baru sekali ini ada yang terang-terangan mengadukan kebejatan budi pekerti putranya, setelah semua desas-desus yang didengar selama ini,

"Kisanak! Aku Ki Putut Denawa yang berjuluk Pendekar Budiman Bertangan Maut, akan bertanggung jawab penuh atas perbuatan putraku!" kata laki-laki setengah baya itu lantang, seraya memandang pada kedua suami istri berbaju pengemis itu.

"Aku ingin dia mati!" desis Retno.

"Aku akan menghukumnya sesuai keinginanmu!" sahut laki-laki setengah baya yang mengaku bernama Putut Denawa alias Pendekar Budiman Bertangan Maut.

"Tidak! Bukan kau yang melakukannya. Tetapi, aku...," tukas Retno.

"Apakah kau tak percaya padaku? Akan kubuktikan saat ini juga!"

Bersamaan dengan itu Ki Putut Denawa mengangkat sebelah tangannya. Namun sejengkal lagi tangan itu mampir di kepala Tirta Janaka....

"Hiih!" Retno tidak tinggal diam. Seketika telapak tangan kirinya menghantam ke depan. Dan bersamaan dengan itu, terasa angin kencang mendesir keras.

"Heh?! Hup!" Ki Putut Denawa terkejut. Namun dia cepat melompat menghindarinya.

Bruak!

Akibatnya sungguh hebat. Dinding rumah Ki Putut Denawa yang terkena pukulan itu jebol hancur berantakan.

"Apa yang kau lakukan?!" desis laki-laki setengah baya itu tak habis pikir.

"Menurutmu, apa? Aku menginginkan kematiannya di tanganku! Dia akan kugantung di depanmu," bentak Retno.

"Kalaupun kau hendak menghukumnya, hukumlah dia. Tapi, jangan di depanku...," sahut Ki Putut Denawa lemah.

"Ayah.... Apakah..., apakah kau benar-benar hendak membunuhku? Hendak menyerahkanku kepada mereka?" tanya Tirta Janaka, lirih.

"Kenapa tidak? Kesalahanmu telah kelewat batas. Dan tidak semestinya kau hidup untuk mengotori dunia dengan perbuatan-perbuatan bejadmu!"

"Tidak, Ayah! Jangan lakukan itu. Aku bersumpah tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk! Aku bertobat, Ayah! Aku bertobat!" ratap pemuda itu, sambil bersimpuh dan merangkul kaki ayahnya.

Ki Putut Denawa terdiam memandangi putranya. Untuk beberapa saat dia tak tahu mesti berbuat apa. Namun hati kecilnya memang tak ingin melihat kematian anaknya. Biar bagaimanapun, rasa sayangnya terhadap Tirta Janaka tak dapat menipunya. Dan kini, Tirta Janaka bertobat mohon ampun. Lantas bila Tuhan saja adalah Maha Penerima Tobat, kenapa manusia justru tak saling memaafkan?

"Orang tua, serahkan dia padaku!" tegas Retno.

Ki Putut Denawa terdiam.

"Serahkan dia padaku untuk kugantung!" ulang wanita gembel itu menegaskan.

"Tidak, Ayah! Kau tidak boleh menyerahkanku padanya. Dia akan membunuhku. Padahal aku sudah bertobat dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk itu lagi! Kau harus melindungiku, Ayah!" ratap Tirta Janaka berulang-ulang.

"Serahkan dia padaku, Orang Tua! Atau, kau mesti menanggung perbuatannya!" bentak Retno garang.

Ki Putut Denawa memandang wanita itu dengan bola mata sayu. "Setiap manusia punya nurani suci, karena pada dasarnya ditakdirkan untuk berbuat kebaikan. Karena, Yang Maha Kuasa menghendaki kebaikan. Tidak heran kalau Dia amat pemaaf. Maka, mengapa kita sebagai hambanya tidak memiliki sifat pemaaf...?" ujar Ki Putut Denawa lirih. Kalau tadi laki-laki setengah baya ini sangat ingin menghukum, namun begitu melihat ratapan Tirta Janaka, hatinya luluh juga.

"Serahkan putramu untuk kugantung! Atau kau akan menanggung akibat bersamanya?!" hardik Retno.

"Bukannya begitu, Nisanak. Lepas dia adalah anakku, setiap manusia berhak bertobat untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Tidakkah kau bisa memaafkannya?" kilah Ki Putut Denawa.

Wanita itu agaknya tidak sabaran. Melihat Ki Putut Denawa coba membujuk untuk menghalangi niatnya, maka dia sudah mengambil keputusan. Jelas, laki-laki setengah baya ini patut disingkirkan!

"Kau akan mati bersamanya!" desis wanita itu geram. "Heaaa...!"

Disertai bentakan menggelegar, Retno langsung melompat menerjang. Tangannya langsung dikibaskan ke wajah Ki Putut Denawa. Namun, Ki Putut Denawa cepat mengibaskan sebelah tangan menangkis.

Plak!

Betapa terkejutnya Pendekar Budiman Bertangan Maut begitu merasakan tangannya bergetar saat berbenturan. Belum lagi dia sempat berpikir, mendadak wanita itu telah melepas tendangan ke dada. Karuan saja, Ki Putut Denawa terpaksa melompat ke samping untuk menyelamatkan diri.

"Hiih!" Namun, akibatnya justru Tirta Janaka yang menjadi sasaran ketika Retno melanjutkan serangan yang justru bukan ditujukan ke arah Ki Putut Denawa. Serangan itu berbelok, dan....

Prak!

"Aaa...!" Tak ayal lagi, pemuda itu memekik pelan, takkala tangan wanita itu menghantam kepalanya.

Batok kepala Tirta Janaka kontan retak. Pemuda itu memegang kepalanya. Tampak dari sela-sela jarinya merembes darah segar. Tak lama, dia ambruk Sepasang matanya melotot, ketika nyawanya terbang meninggalkan raga.

"Tirta Janaka...?!" sentak Ki Putut Denawa dengan wajah kaget.

"Kakang! Tolong urus orang tua itu!" seru Retno ketika melihat Ki Putut Denawa menghampirinya dengan gusar.

"Jangan khawatir! Biar kubereskan dia!" sahut Barata.

"Heaaa...!" Barata tidak menunggu sampai Ki Putut Denawa menyerangnya. Dia langsung lompat menyerang.

"Hup!" Ki Putut Denawa mencelat ke belakang menghindari tendangan. Tapi, Barata terus mengejar dengan tendangan berputar.

Mau tak mau Ki Putut Denawa terpaksa mengibaskan tangan, menangkis.

Plak!

"Hiih...!" Baru saja terjadi benturan, Barata sudah melanjutkan serangan berupa sapuan. Dengan gerakan cepat, Ki Putut Denawa melompat ke samping.

"Yeaaa...!" Barata terus mengejar dengan sebuah kibasan tangan menuju perut.

Namun Ki Putut Denawa kembali mengibaskan tangan untuk menangkis. Dia bermaksud membalas, namun Barata lebih cepat menyerangnya secara bertubi-tubi.

"Kurang ajar!" dengus Pendekar Budiman Bertangan Maut geram ketika melihat tendangan Barata nyaris meremukkan kepala.

"Ternyata kalian sungguh-sungguh hendak membunuhku, he?!"

"Syukurlah kalau memang kau telah sadar," sahut Barata singkat.

Ki Putut Denawa menggeram. Dibukanya jurus baru ketika melompat ke belakang untuk mengambil jarak. Sebuah jurus andalan yang selama ini amat dibanggakannya,

"Terimalah jurus 'Gelombang Selaksa Tangan' ini. Yeaaa...!" bentak Pendekar Budiman Bertangan Maut nyaring seraya melompat menerjang.

Kedua tangan Ki Putut Denawa bergerak lincah menyambar-nyambar menimbulkan desir angin cukup hebat. Dalam serangannya itu, seolah-olah kepalan tangannya menjadi berjumlah banyak, mengepung dari segala penjuru.

"Hiih!" Untuk sesaat Barata agak kerepotan. Tapi sejurus kemudian, tubuhnya telah bergerak lincah menangkis semua serangan dengan mantap. Bahkan begitu mendapat kesempatan, dia balas menyerang dengan gencar.

Tubuh Barata melenting melewati kepala Ki Putut Denawa dengan gerakan cepat bukan main. Dan sebelum Pendekar Budiman Bertangan Maut berbalik, Barata telah melepaskan tendangan ke belakang yang begitu keras.

Duk!

"Aaakh...!" Ki Putut Denawa mengeluh tertahan ketika punggungnya terhajar tendangan keras. Namun Pendekar Budiman Bertangan Maut cepat melompat ke depan sambil berjumpalitan beberapa kali. Sedangkan begitu menjejak tanah, Barata langsung berbalik. Tanpa memberi kesempatan, dia segera mengejar, dengan sebuah hantaman bertenaga dalam tinggi.

"Hiih!" Bukan main terkejutnya Ki Putut Denawa. Sebisa-bisanya tangannya mengibas menangkis.

Plak!

Namun begitu terjadi benturan, Barata telah melepas tendangan ke perut.

Desss...!

"Aaakh...!" Bahkan kemudian pengemis itu menyusuli dengan sodokan tendangan keras ke dada.

Desss...!

"Aaakh...!" Kembali Pendekar Budiman Bertangan Maut terpekik. Tubuhnya melayang seperti gedebong pi-sang ambruk. Dari mulutnya menyembur darah segar.

"Retno! Kau sudah selesai dengan urusanmu?!" teriak Barata lantang ketika melihat istrinya telah menjerat leher korbannya dengan seutas tambang.

"Sudah, Kakang! Sekarang bagianmu!" sahut istrinya seraya melemparkan seutas tambang yang lain.

Barata menangkap tambang dengan sigap. Kemudian bibirnya menyeringai buas kepada Ki Putut Denawa yang tengah megap-megap tak berdaya.

"Mestinya kau tidak mengalami ini kalau berpikir waras. Tapi, ternyata kau memang sama saja dengan putramu, sehingga nasibmu pun akan sama dengannya!" desis Barata.

Ki Putut Denawa tak menjawab, namun berusaha untuk duduk. Barata menghampiri, lalu menjambak rambut kepala Pendekar Budiman Bertangan Maut.

"Huh...!"

"Aaakh...!" Barata lantas menghadapkan wajah Ki Putut Denawa ke arah Tirta Janaka yang telah tewas tergantung di cabang pohon dengan rumahnya.

"Kau harus lihat kematian anakmu!" dengus Retno ketika Retno telah selesai dengan tugasnya.

"Ohhh...!" Ki Putut Denawa terkulai lesu sambil mengeluh pilu. Bagaimanapun Tirta Janaka adalah putranya. Darah dagingnya sendiri. Mana mungkin dia tega melihat anaknya diperlakukan demikian mpa? Tapi begitu muka berpaling, Barata Menghadapinya kembali dengan sentakan keras.

"Dia merupakan bagian dosamu! Kau bertanggung jawab atas perbuatannya. Maka, lihatlah kematiannya sebelum kau mati dengan cara sama!"

"Biadab! Kalian benar-benar biadab...!" umpat Pendekar Budiman Bertangan Maut geram.

"Aku tidak menyuruhmu memaki, Bangsat!" Begitu kata-katanya habis, Barata langsung menjeratkan tambang di tangannya, menjerat leher Ki Putut Denawa.

"Eekh!" Ki Putut Denawa menjerit pendek, kemudian terkulai lesu ketika nyawanya melayang dari tubuh.

Barata langsung menyeret tubuh Pendekar Budiman Bertangan Maut kemudian menggantungnya di sebelah Tirta Janaka.

"Huh! Itu akibatnya kalau melindungi anak biadab!" dengus Retno.

"Apakah kau senang, Sayang?" tanya Barata, setelah menyelesaikan pekerjaannya.

"Belum tuntas, Kakang. Masih ada tiga lagi."

"Ya, aku tahu. Bagaimana dengan putranya yang seorang lagi?"

"Dia telah melarikan diri...."

"Aku bisa mengejarnya kalau kau mau?"

"Tidak perlu. Dia lari menghindar, itu sudah cukup membuktikan kalau tidak mau terlibat urusan ini. Untuk apa kita mengejarnya? Lagi pula sempat kudengar awal pertarungan mereka tadi. Dia pun rupanya mengutuk perbuatan kakaknya itu.

"Baiklah kalau memang demikian keinginanmu.....

"Lebih baik kita bereskan tiga orang yang tersisa. Ayo kita pergi dari sini!" ajak Barata.

ENAM

Kematian Ki Putut Denawa yang mengenaskan, benar-benar membuat dunia persilatan gempar. Terutama, bagi kawan-kawan seangkatan Pendekar Budiman Bertangan Maut itu sendiri. Memang tak seorang pun yang mengetahuinya. Bahkan istri Ki Putut Denawa sendiri, baru tahu pada pagi harinya karena baru kembali dari bepergian.

Kebetulan pada pagi harinya, Adiguna yang diutus oleh ayahnya, Ki Genduk Mani untuk mengabarkan kejadian yang menimpa Ki Danang Mangkuto, telah sampai pula di rumah Ki Putut Denawa. Dan ternyata laki-laki setengah baya yang juga kawan seperjuangan Ki Genduk Mani itu telah tewas. Hal ini tentu saja membuat Adiguna dan rombongannya terkejut.

Mereka hanya sebentar di sana. Setelah itu dalam pemakaman Ki Putut Denawa, sebagian rombongan kembali pulang. Sementara sebagian lain, melanjutkan perjalanan menuju seorang sahabat Ki Genduk Mani yang bemama Ki Jaladara.

Sepanjang perjalanan, rombongan yang dipimpin Adiguna lebih banyak diam. Terlebih-lebih pemuda itu. Hatinya merasa ngeri mendengar kejadian yang menimpa dua sahabatnya, Joko Gending dan Tirta Janaka.

"Kenapa mesti mereka?" gumam Adiguna tak sabar.

"Kenapa, Kang?" tanya salah seorang pemuda anak buah Ki Genduk Mani ayahnya, yang berada di dekatnya.

"Eh! Tidak apa-apa, Bujana!" elak Adiguna.

"Kakang masih memikirkan kejadian yang menimpa keluarga Ki Putut Denawa?" tanya pemuda berusia sekitar dua puluh tiga tahun bemama Bujana itu.

"Ya, sedikit..."

"Memang. Mengerikan sekali! Menurut Kakang, apakah pelakunya sama dengan yang menimpa keluarga Ki Danang?" tanya Bujana, ingin tahu.

"Mungkin juga...," desah Adiguna.

"Tapi, kenapa mesti mereka? Keduanya adalah kawan-kawan dekat Ki Genduk Mani...."

"Jangan tanyakan itu, Bujana! Mana aku tahu!" sahut Adiguna dengan suara tinggi.

Bujana terdiam. Dia tidak tahu, perubahan apa yang menyebabkan Adiguna tiba-tiba saja seperti enggan membicarakan soal itu. Sehingga untuk begitu beberapa saat, mereka kembali terdiam. Begitu juga empat orang pemuda yang menyertai mereka. Di tengah keheningan mereka, mendadak....

"He he he...! Dua orang mati percuma! Dua orang mampus karena perbuatan bejad anaknya! Rasakan!"

Tiba-tiba saja terdengar suara bernada mengejek, yang disusul berkelebatnya satu sosok bayangan. Dan tahu-tahu sosok itu telah berdiri di depan rombongan Adiguna. Namun bukan pemandangan itu yang membuat Adiguna terkejut. Tetapi isi kata-kata sosok yang ternyata seorang laki-laki tua berpakaian pengemis yang menyentak hatinya.

"Kenapa, Kang?" tanya Bujana melihat keterkejutan di wajah Adiguna.

"Hm.... Mungkin ini yang disebut adikku...," sahut Adiguna setengah bergumam.

"Pengemis Sinting?" tebak Bujana.

Adiguna mengangguk.

"Dua telah mampus. Dan tiga lainnya akan menyusul! He he he...! Manusia bejad memang mestinya mampus. Mereka yang berdiri di atas penderitaan orang lain!" lanjut sosok pengemis tua yang tak lain memang Pengemis Sinting.

Entah kenapa, Adiguna merasa kalau kata-kata laki-laki tua itu ditujukan padanya. Maka wajahnya kelihatan geram bercampur kesal. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa mengingat peristiwa yang diceritakan Wiraguna. Kalau benar pengemis ini yang diceritakannya sebagai si Pengemis Sinting, maka percuma saja mencari gara-gara.

"Hei? Kenapa kau memandangku begitu rupa? Apa kau kesal melihatku mengoceh sendiri?!"

Tiba-tiba Adiguna yang menatap tajam ke arahnya. "Maafkan aku, Kisanak...," ucap Adiguna, tersentak.

"Aku bukan sanak keluargamu, Setan! Enak saja kau menganggapku sebagai sanak keluargamu!" tukas Pengemis Sinting, membentak garang.

"Lalu, aku mesti memanggilmu apa?" tanya Adiguna heran.

"Kau lihat aku sebagai apa?!"

"Eh! Pe..., pengemis," sahut pemuda itu ragu.

"Nah! Cukup kau memanggilku begitu!"

"Pengemis?"

"Iya! Kenapa?!" tukas pengemis itu sambil melotot lebar.

"Ah, tidak. Tidak apa-apa."

"Jadi kenapa kau memandangiku? Apa kau kira ada yang aneh padaku?!"

"Eh, tidak. Aku..., aku hanya senang dengan syairmu...."

"Kunyuk! Siapa bilang itu syair? Aku hanya mengoceh sendirian!"

"Mengoceh? Tapi ocehanmu bagus!" puji Adiguna lagi.

"Ya! Bagus karena aku mengoceh tentang dua orang bejad yang sudah mampus!"

"Siapa yang kau maksudkan?" tanya Adiguna, ingin tahu meski mengerti siapa yang dimaksudkan pengemis itu.

"Kau sudah tahu, kenapa tanya-tanya segala?!"

"Apakah Ki Danang dan Ki Putut Denawa?"

"Ya, mereka juga! He he he...! Dasar orang tua tidak tahu diri! Sudah tahu anaknya bejad, malah melindunginya!" sahut Pengemis Sinting sambil tertawa-tawa sendirian.

Dan ocehan pengemis itu semakin jelas tujuannya, membuat Adiguna jadi tidak enak hati. Jangan-jangan Pengemis Sinting mengetahui kelakuannya pula.

"Orang-orang bejad akan menerima balasan atau perbuatan mereka!" lanjut Pengemis Sinting.

"Maaf, Pengemis! Kami tengah mengadakan perjalanan. Harap kau tidak tersinggung bila kami berangkat lebih dulu," ucap Adiguna, buru-buru memotong.

"He he he...! Silakan! Silakan saja. Tapi kau mesti hati-hati, Anak Muda!" ingat Pengemis Sinting.

"Apa maksudmu?"

"Orang-orang itu mengincar pemuda-pemuda bejad! Kalau merasa dirimu bejad, maka kau pun akan diincarnya! Ha ha ha...!" Setelah berkata begitu, Pengemis Sinting berkelebat cepat meninggalkan mereka.

"Dasar pengemis gila!" umpat Adiguna setelah Pengemis Sinting cukup jauh darinya.

Tapi bagaimana pun ucapan pengemis itu membekas di hati pemuda ini. Dan itu membuatnya jadi tidak tenang!

********************

Seekor rajawali putih keperakan menukik ke bawah dengan gerakan cepat laksana kilat. Tiba di tempat cukup luas, burung raksasa itu mendarat di atas kedua kakinya yang kokoh. Dari lehernya, tampak melompat seorang pemuda berbaju rompi putih dengan sebilah pedang bergagang kepala burung tersampir di balik punggung.

"Kau terus saja terbang, Rajawali Putih!" teriak pemuda yang tak lain Rangga yang di kalanganpersilatan terkenal sebagai si Pendekar Rajawali Sakti.

"Kraagkh...!" Rajawali Putih memekik pelan. Lalu dengan sekali mengepakkan kedua sayapnya, burung raksasa berbulu putih itu telah melesat tinggi ke angkasa. Maka tak urung batang-batang pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang seperti dilanda angin kencang.

"Jangan jauh-jauh dariku, Rajawali Putih!" teriak Rangga sambil melambaikan tangan.

"Kreaagkh!" Rajawali Putih kembali menjerit pelan di angkasa sambil berputar-putar di sekitar tempat itu.

"Hm.... Mudah-mudahan Dewa Bayu mengikuti aku," gumam Rangga. Pendekar Rajawali Sakti lantas menempelkan ujung jari tangan dan jempolnya ke ujung lidah. Dan....

"Suiiittt...!" Terdengar suitan keras dari mulut Rangga. Ketika tidak ada tanda-tanda ada yang datang, dia bersuit nyaring kembali.

"Suiiittt...!"

"Hieee...!"

"Nah, itu dia!" seru Rangga girang ketika mendengar ringkikan kuda dari kejauhan.

Tidak lama muncul seekor kuda hitam dari kejauhan yang berlari kencang mendekatinya. Sesaat terdengar hewan itu meringkik kecil. Sambil mendengus kasar, diusap-usapnya dada pemuda berbaju rompi putih itu.

"Syukurlah kau bisa mengikutiku ke sini, Dewa Bayu," kata Rangga seraya balas mengusap-usap leher kuda bernama Dewa Bayu sebelum melompat ke punggungnya.

Begitu digebah, Dewa Bayu telah berlari kencang meninggalkan tempat itu bersama Rangga di punggung menuju desa yang tidak seberapa jauh. Sebentar saja, Rangga telah tiba di mulut desa. Dari tapal batas, dia yakin kalau desa inilah yang ditujunya.

"Desa Kedal...!" sebut Rangga pelan, lalu mempercepat lari Dewa Bayu.

Tidak sulit mencari rumah yang paling besar di tempat ini, karena semua penduduk mengenal baik pada keluarga itu. Keluarga Ardisoma.

"Selamat sore...!" sapa Rangga ketika tiba di halaman rumah besar yang ditujunya.

Seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang tengah merawat tanamannya di pekarangan dengan segera menghentikan pekerjaannya. Kepalanya mendongak. Matanya memandang tajam sebentar, lalu kembali sibuk dengan tanamannya.

"Mau cari siapa?" tanya gadis itu, acuh tak acuh.

"Ki Ardisoma," sahut Rangga datar.

"Apa keperluanmu?"

Rangga menarik napas kesal. Hatinya mulai merasa jengkel melihat sikap gadis itu. Meski wajahnya cantik, namun wataknya sombong. Bahkan sama sekali tidak bisa berlaku hormat kepada tamu.

"Aku yang hendak bertanya begitu kepada beliau," sahut Rangga, enteng.

"Huh! Orang-orang sepertimu paling-paling hanya pura-pura mengaku kenal, lalu buntutnya minta uang!" cibir gadis itu, menyebalkan.

"Wajahmu cantik, Nisanak. Tapi mulutmu kotor. Jangan sembarangan menuduh kalau belum tahu duduk persoalan yang sebenarnya!" sahut Rangga keras.

"Aku banyak kenal orang-orang sepertimu. Dan semuanya sama saja. Meski kelihatannya berbeda, tapi ujung-ujungnya akan sama!" bentak gadis itu.

"Baiklah. Sebaiknya tidak kita bicarakan soal itu. Nah! Katakan pada beliau, undangannya telah kuterima."

"Beliau tidak ada di rumah?"

"Ke mana?"

"Apakah kau kira aku penjaganya?"

Rangga semakin sebal melihat tingkah gadis ini yang kelewat angkuh. Namun baru saja membalikkan arah kudanya yang hendak pergi meninggalkan rumah itu, tapi tiba-tiba saja dari dalam rumah, besar ini muncul seseorang.

"Kisanak, ada urusan apa? Dan siapakah kau ini sebenarnya?" sapa orang itu dengan suara lebih ramah.

"Angkoro! Apa-apaan kau ini?! Dia sudah mau pergi! Biarkan saja dia pergi!" bentak gadis itu.

"Tapi...."

"Tidak ada tapi-tapian! Biarkan dia pergi!" sentak gadis itu, memotong.

Laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun yang dipanggil Angkoro kelihatan serba salah menghadapi gadis galak itu.

"Kisanak! Eh..., maaf. Aku tidak bermaksud kasar. Tapi kalau benar tidak punya urusan penting, maka kau diperbolehkan meninggalkan tempat ini," ujar Angkoro.

"Sebenarnya bukan aku yang punya persoalan, tapi Ki Ardisoma yang telah mengundangku. Tapi kalau memang beliau berubah pikiran, tidak masalah. Aku pergi sekarang juga...," jelas Rangga, seraya memutar arah kudanya kembali.

"Eh, tunggu dulu! Maksudmu..., Ki Ardisoma sendiri yang mengundangmu kesini?!" cegah Angkoro.

"Benar!" sahut Rangga, tanpa menoleh.

"Siapakah kau sebenarnya, Kisanak?" tanya Angkoro, bernada lebih sopan.

"Angkoro! Tidak perlu tanya-tanya namanya segala! Dan kau, Kisanak! Kenapa tidak lekas angkat kaki?!" bentak gadis itu dengan mata melotot lebar.

Dan laki-lagi Angkoro dibuat tidak berkutik oleh gadis itu. Dia memandang Rangga dengan sikap serba salah.

"Tidak apa. Aku akan segera pergi. Maaf, telah mengganggu ketenteraman tempat ini." Rangga baru saja akan menggebah kudanya, tiba-tiba....

"Kisanak, tunggu dulu!"

Pendekar Rajawali Sakti menghentikan laju kudanya ketika terdengar seruan lantang dari belakangnya.

"Hmm...." Terpaksa Rangga membalikkan kudanya kembali. Dan dia langsung melihat kearah datangnya seruan tadi.

Kini di dekat gadis itu berdiri seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih. Berbaju surjan putih, memakai blangkon coklat serta kain panjang berwarna coklat pula.

Dahi Rangga berkerut, ketika melihat laki-laki itu mendatanginya dengan tergopoh-gopoh. Meski belum pernah bertemu sebelumnya, namun bisa diduga kalau laki-laki itu adalah tuan rumah ini.

"Aku Ardisoma! Selamat datang di tempatku, Kisanak!" sambut laki-laki bersurjan itu, ramah.

Rangga melompat dari punggung kudanya. Dibalasnya salam penghormatan itu.

"Ayah! Kenapa mesti repot-repot? Pemuda ini sudah hendak pergi karena ada urusan penting!" celetuk gadis sombong itu.

"Mahadewi, bicara apa kau?! Dia tamu Ayah! Tamu penting yang memang telah Ayah tunggu-tunggu!" bentak laki-laki bernama Ki Ardisoma itu.

"Huh! Paling-paling sama seperti yang lain! Hendak menggerogoti harta kita!" dengus gadis yang dipanggil Mahadewi.

"Mahadewi jaga mulutmu! Tahukah kau tengah berhadapan dengan siapa?!'' hardik Ki Ardisoma berang.

"Huh! Kenapa tidak?"

"Anak tidak tahu diri!" umpat Ki Ardisoma semakin geram. "Kau tengah berhadapan dengan seorang pendekar besar yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Dia tidak butuh harta karena dia memiliki harta yang lebih banyak ketimbang kita. Cobalah kau bersikap lebih sopan sedikit padanya!"

Tapi Mahadewi memang tinggi hati. Bukannya merubah sikap atau meminta maaf, malah berlari meninggalkan mereka sambil menggerutu kesal.

"Maafkan putriku itu, Pendekar Rajawali Sakti. Dia memang suka begitu. Adatnya keras. Persis seperti almarhum istriku," jelas Ki Ardisoma lirih.

"Tidak apa.... Oh, ya. panggil aku Rangga saja, Ki...." ujar Rangga, seraya menyerahkan kudanya pada Angkoro yang langsung membawanya ke istal di samping rumah besar ini.

"Baik, Pendekar Rajawali Sakti..., eh! Rangga.... Kau tidak tersinggung, bukan?"

"Tidak..."

"Syukurlah. Mari. silakan masuk ke dalam!" Ki Ardisoma kelihatan repot menyambut tamunya. Bahkan segalanya telah ditata apik. Demikianpula hidangan-hidangan yang disediakan untuk Pendekar Rajawali Sakti.

"Ki Ardisoma.... Ada apakah gerangan? Segalanya tampak gemerlap. Apakah Kisanak tengah menanti seorang pembesar? Kalau begitu kehadiranku tentu mengganggu," tanya Rangga, ketika telah dipersilakan duduk di ruang utama.

"O, tidak! Sama sekali tidak! Aku memang tengah menunggu seorang pembesar."

"Hm.... Kalau boleh tahu, siapa pembesar itu?"'

"Kaulah orangnya!" sahut Ki Ardisoma sambil tersenyum lebar.

Rangga agak terkejut. Tidak heran kalau semua orang yang berada di tempat ini membungkuk hormat ketika dia tadi berjalan melewati mereka.

"Ki Ardisoma, aku tidak mengerti semua ini? Kuterima surat undanganmu dari salah seorang anak buahmu. Aku tidak mengenalmu sebelumnya. Bahkan aku tidak tahu apa maksud undanganmu ini. Lalu tiba-tiba kau memperlakukanku seperti tamu agung. Ada apa sebenarnya?"

"Rangga. Aku amat berterima kasih atas kehadiranmu di tempatku ini. Dan aku tahu, kau adalah pendekar besar yang patut diberi penghormatan, mengingat jasamu yang memerangi keangkaramurkaan. Pada mulanya aku sungkan untuk mengharapkan bantuan darimu. Tapi belakangan banyak kudengar bahwa kau sering membantu tanpa pamrih. Maka itulah aku mengundangmu ke sini," sahut Ki Ardisoma, menjelaskan.

"Persoalan apa sehingga kau memerlukan bantuanku?" tanya Rangga.

"Langsung saja, Rangga. Aku ingin bantuanmu dalam suatu hal menyangkut keselamatan diriku dan keluargaku," jelas Ki Ardisoma lagi.

"Ada apa rupanya?"

"Ada dua orang akan mengancam keluargaku!" sahut Ki Ardisoma.

"Siapa mereka?"

"Itulah sulitnya! Aku tidak mengetahuinya."

"Lalu, dari mana kau tahu bahwa mereka mengancam keselamatan kalian?"

"Dua kawan dekatku tewas secara mengerikan. Digantung bersama putra-putranya!"

"Hm, ya. Aku juga mendengar berita itu, karena cukup menggegerkan dunia persilatan. Tapi mungkin saja itu urusan mereka. Lalu, kenapa kau ikut sibuk? Apakah Kisanak pernah berselisih dengan mereka?"

"Berselisih tentu saja pernah. Tapi kurasa tidak akan sampai kepada persoalan membunuh. Tapi, pembunuh kedua sahabatku itu datang bersama dendam, sehingga tega membantai korbannya dengan cara-cara biadab!" dengus Ki Ardisoma geram.

"Apakah Ki Ardisoma tidak pernah berbuat aniaya kepada seseorang sampai kelewat batas?"

"Tidak! Aku tidak pernah menganiaya seseorang. Kalaupun kesal, aku hanya marah. Namun, tidak pernah sampai memukul."

"Putramu barangkali?"

"Bratasena? Ah! Dia memang brangasan. Tapi sejauh itu, kurasa dia belum pernah menganiaya seseorang."

Rangga terdiam untuk sejurus lamanya, sebelum melanjutkan kata-katanya. "Ki Ardisoma.... Kudengar kau seorang berkepandaian hebat. Dan kau pun memiliki anak buah cukup banyak untuk melindungiku. Kurasa kalau sekadar menghadapi musuhmu itu, tidak perlu bantuanku...."

"Benar apa yang kau katakan, Rangga. Tapi kedua kawanku yang terbunuh juga berkepandaian yang sama tinggi dengan kepandaianku. Mereka juga memiliki anak buah. Tapi yang mati hanya kawanku, serta seorang putranya. Bukankah itu pertanda kalau mereka mudah sekali melakukan niatnya? Dan besok atau lusa, giliranku yang menjadi korbannya. Tak seorang pun yang akan membelaku. Apalagi setelah kudengar, beberapa anak buahku berhenti bekerja. Mereka takut dan tidak mau menanggung akibatnya...," jelas Ki Ardisoma.

Rangga terdiam untuk beberapa saat.

"Bagaimana, Rangga? Bersediakah kau membantuku?" tanya Ki Ardisoma, ketika Pendekar Rajawali Sakti menatapnya.

TUJUH

"Aku tidak bisa mengatakannya sekarang...," jawab Rangga.

"Itu artinya..., kau tidak bersedia membantuku, Rangga?" desak Ki Ardisoma lirih.

"Aku tidak berkata begitu."

"Lalu?"

"Persoalan ini belum jelas bagiku. Apa alasannya mereka membunuh kedua sahabatmu itu? Kalau kau katakan mereka mempunyai anak buah, kenapa tidak ikut terbunuh? Mestinya sebagai anak buah, mereka akan membela majikannya mati-matian. Bahkan sebelum menjumpai majikannya, kedua pembunuh itu akan berhadapan lebih dulu dengan anak buahnya."

"Itulah yang tidak kumengerti, Rangga. Tapi kata beberapa orang, mereka kabur ketika pembunuhan itu terjadi," jelas Ki Ardisoma.

"Hmm...."

"Bagaimana, Rangga?" desak laki-laki tua ini.

"Aku akan cari tahu dulu siapa para pembunuh itu," sahut Rangga.

"Bagaimana caranya?"

"Beberapa orang yang kau perkirakan akan menjadi korbannya kemudian?"

"Lima...."

"Coba sebutkan!"

"Ki Jaladara, Ki Genduk Mani, dan aku sendiri. Sementara Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa telah tewas seperti yang kau ketahui," jelas laki-laki tua ini.

Rangga mengangguk. "Dari tempat Ki Danang Mangkuto, maka tempat siapa yang lebih dekat di antara empat sahabatmu yang lain?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Tentu saja tempat kediaman Ki Putut Denawa," jawab Ki Ardisoma, langsung.

"Dan dia jadi korban. Lalu, dari rumah Ki Putut Denawa, rumah siapa lagi yang lebih dekat?"

"Ada dua. Ke arah timur rumah Ki Genduk Mani, dan ke barat tempat Ki Jaladara. Sementara ke selatan..., tempatku ini," sahut Ki Ardisoma.

"Menurutmu, pembunuh itu akan mendatangi salah seorang dari kalian?"

Ki Ardisoma mengangguk.

"Maaf.... Aku tidak bermaksud menyinggung perasaan kalian. Tapi di antara kalian bertiga, siapa kira-kira yang keamanannya lemah?" tanya Rangga.

"Sulit diperkirakan. Ki Genduk Mani memiliki anak buah cukup banyak. Demikian pula di sini. Ki Jaladara hanya memiliki anak buah kurang dari sepuluh orang. Tapi di antara kami bertiga, beliau memiliki kepandaian lebih tinggi," jelas Ki Ardisoma.

"Menurutmu, apakah mereka berdua tahu akan ancaman ini?" cecar Rangga.

"Entahlah. Tapi utusan Ki Genduk Mani telah tiba di sini, mengabarkan kematian Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa."

"Hanya kabar itu yang dibawa?"

"Tidak. Katanya, Ki Genduk Mani memerintahkan pencarian kepada anak buah Ki Danang Mangkuto yang menghilang untuk mencari tahu siapa pembunuh majikannya...."

Baru saja kata-kata Ki Ardisoma tuntas....

"Kenapa jauh-jauh mencarinya? Aku tahu pembunuhnya! Aku tahu pembunuhnya! Ha ha ha...!"

Mendadak terdengar sahutan dari atas atap. Walaupun atap genteng belum terbuka. Rangga dan Ki Ardisoma mendongak ke atas. Ki Ardisoma sudah hendak beranjak dari duduknya, namun.... .

"Jangan!" cegah Rangga.

"Kenapa?" tanya Ki Ardisoma.

"Aku tahu siapa dia."

"Kau tahu? Siapa?"

"Pengemis Sakti."

"Pengemis Sakti? Apa urusannya di sini?" sentak Ki Ardisoma.

"Aku tidak berurusan denganmu, Tua Bangka!" Tiba-tiba suara dari atas genteng itu membentak kesal. "Aku tengah berurusan dengan pemuda itu. Suruh dia keluar!"

"Pengemis Sinting! Untuk apa kau sampai di sini?" tanya Rangga seraya mengajak Ki Ardisoma bergegas keluar

"He he he...! Kau kira bisa menghindarinya?"

Rangga baru saja keluar pintu depan bersama Ki Ardisoma di halaman mereka melihat seorang pengemis tua dengan rambut panjang awut-awutan telah berdiri di halaman. Tangannya tampak memegang tongkat seperti bekas ranting. Entah kapan tubuhnya berpindah dari atas genteng ke halaman rumah ini.

"He he he...! Kita bertemu, Bocah!" seru laki-laki tua berpakaian pengemis yang memang Pengemis Sinting.

"Pengemis Sinting! Aku tidak punya urusan denganmu."

"Enak saja kau bicara!" bentak Pengemis Sinting. "Kau tinggalkan aku begitu saja, sebelum pertarungan kita tuntas. Mana hewan sial itu? Biar kucabut semua bulunya!"

Memang, dalam perjalanannya ke rumah Ki Ardisoma, Pendekar Rajawali Sakti sempat bertemu Pengemis Sinting. Dasar orang sinting, tak ada masalah apa-apa, laki-laki tua berpakaian pengemis itu menyerang Rangga.

Untuk beberapa jurus Pendekar Rajawali Sakti melayani. Tapi untuk kemudian, dia berhasil melepaskan diri dari Pengemis Sinting, dan kabur bersama Rajawali Putih.

"Pengemis Sinting! Lebih baik kita tunda dulu urusan ini, karena aku ada sedikit urusan dengan tuan rumah," ujar Rangga.

"Persetan! Itu bukan urusanku!" sentak Pengemis Sinting.

"Ini soal hidup mati seseorang. Kuharap kau mengerti."

"Phuih! Memangnya kau yang menentukan hidup mati seseorang? Kalau si Ardisoma mampus, itu sudah takdir. Dan kau tidak bisa mencegahnya!" bentak pengemis itu sambil meludah.

Sementara itu melihat keributan di luar, beberapa anak buah Ki Ardisoma telah berkumpul. Dan mereka siap menunggu perintah. Tapi Ki Ardisoma memberi isyarat agar mereka tidak berbuat apa-apa. Sebab dia tahu, Pengemis Sinting bukan tokoh sembarangan. Kalau tokoh itu mengamuk, mereka tidak akan mampu menahannya.

"Memang tidak. Tapi, aku akan berusaha mencegah bila seseorang berbuat sewenang-wenang...."

"Siapa yang berbuat sewenang-wenang?! Tanyakan padanya! Sadarkah dia akan kesalahannya?!" tuding Pengemis Sinting pada Ki Ardisoma.

Rangga terdiam. Untuk beberapa saat dia termenung memikirkan kata-kata pengemis tua itu. Sementara, Ki Ardisoma memandang mereka berdua berganti-ganti dengan dahi berkerut.

"Rangga! Aku sungguh-sungguh tidak mengerti apa yang dimaksudkan Pengemis Sinting. Kurasa dia hanya mengada-ada saja!"

"Brengsek! Jadi mentang-mentang namaku Pengemis Sinting, lalu kau anggap aku ngomong seenaknya? Begitu?!" bentak Pengemis Sinting.

"Bukan begitu, Kisanak...."

"Aku bukan sanak saudaramu!" tukas si Pengemis Sinting dengan suara keras.

"Lalu, aku mesti memanggil apa padamu?"

"Kau lihat aku apa? Pengemis, bukan? Nah, panggil saja begitu."

"Pengemis...?"

"Kenapa? Heran?! Apa orang tidak boleh bernama Pengemis?!"

"Ah, tidak. Baiklah, Pengemis. Aku tidak mengerti kalau kau menimpakan kesalahan padaku. Kesalahan apakah yang kuperbuat?" tanya Ki Ardisoma, masih dengan nada ramah.

"Kau sama saja dengan kedua kawanmu yang sudah mampus!" umpat Pengemis Sinting. "Mereka pura-pura tidak mengerti kesalahan apa yang telah diperbuat? Huh! Memuakkan! Dan mereka telah menebusnya dengan kematian. Maka, kau pun akan mengalami nasib sama!"

"Apakah kau tahu pembunuh mereka?" tanya Ki Ardisoma, mengesampingkan kejengkelannya dengan ocehan-ocehan pengemis tua itu.

Saat itu, ada yang lebih penting ketimbang balas marah-marah atau memaki pengemis tua itu. Dia sepertinya tahu banyak. Atau paling tidak, mengetahui siapa pembunuh kedua sahabatnya, Dan itulah yang diperlukan saat ini.

"Kalaupun aku tahu, tidak akan kuberitahu padamu! Biar kau menebak-nebak sendiri, sambil menunggu kematianmu dengan hati berdebar-debar! Ha ha ha...!" sahut Pengemis Sinting sambil tertawa nyaring.

Setelah berkata begitu Pengemis Sinting langsung berkelebat dari tempat itu. Seolah-olah urusannya dengan Pendekar Rajawali Sakti terlupakan.

"Suiuttt!"

Rangga bersuit nyaring. Dan dari dalam istal, meringkik keras Dewa Bayu yang segera mendepak pintu istal, lalu berlari kencang menghampirinya!

"Ayo, Dewa Bayu! Kita kejar orang tua itu!" ujar Pendekar Rajawali Sakti seraya melompat ke punggung kuda yang terus berlari tanpa berhenti lebih dulu.

"Rangga! Mau ke mana kau?!" teriak Ki Ardisoma.

"Aku akan menyusulnya! Ada yang perlu kutanyakan. Jangan khawatir, aku akan kembali lagi!" teriak Pendekar Rajawali Sakti, terus menggebah kudanya.

Ki Ardisoma hanya mampu memandangi tanpa bisa berbuat apa-apa. Bayangan Pendekar Rajawali Sakti bersama kudanya telah semakin hilang di kejauhan.

Meski lari Dewa Bayu amat kencang, tapi untuk menyusul si Pengemis Sinting agaknya bukan soal mudah. Karena beberapa saat kemudian, Rangga telah kehilangan jejak.

"Kurang ajar! Ke mana perginya orang itu?!" dengus Pendekar Rajawali Sakti kesal.

Rangga berhenti sebentar. Kepalanya celingukan mencari ke sana kemari, sebelum memutuskan untuk memacu kuda ke utara. Tapi baru saja berada kurang lebih sepuluh tombak dari tempatnya berhenti tadi, mendadak terlihat Pengemis Sinting terkekeh-kekeh di atas cabang sebuah pohon.

"He he he...! Kau penasaran padaku, Bocah?" ejek Pengemis Sinting.

"Aku ingin minta beberapa keterangan darimu!" ujar Rangga, tak mempedulikan kata-kata pengemis tua itu.

"Keterangan apa?"

"Siapa pembunuh Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa?"

"Mereka yang membunuh Joko Ginting dan Tirta Janaka!" sahut Pengemis Sinting seenaknya.

"Ya, aku tahu. Tapi, siapa yang membunuh mereka?"

"Kenapa tidak tanyakan saja kepada mereka?"

"Mereka? Siapa yang kau maksudkan?"

"Ya, siapa lagi kalau bukan ayah dan anak yang sudah mampus itu?!" sahut Pengemis Sinting, sekenanya sambil tertawa.

Rangga menarik napas panjang. Dan kekesalan hatinya disembunyikan rapat-rapat. "Kurasa kau tidak tahu, tapi pura-pura tahu saja!" pancing pemuda itu.

"Kau meremehkan aku, heh?!" bentak laki-laki tua pengemis dengan mata melotot lebar.

"Memangnya apa yang mesti kupandang darimu?" sahut Rangga, memanasi.

"Kurang ajar! Kurang ajar! Bocah busuk, kuhajar kau!" teriak Pengemis Sinting kalap seraya melesat turun ke bawah.

"Kalau kau mau menghajarku, silakan saja. Tapi aku tidak akan melawan. Sebab akan sia-sia saja melawanmu," sahut Rangga.

"He he he...! Akhirnya kau mengakui juga kehebatanku, bukan? Makanya jangan sombong!" kata Pengemis Sinting, terkekeh girang sambil berkacak pinggang.

"Eh, jangan salah! Siapa bilang aku mengakui kehebatanmu? Kukatakan melawanmu sia-sia saja. Karena dengan sekali sentil, kau akan kubuat jungkir balik keliling dunia!" sahut Rangga sambil menunjukkan kelingkingnya.

"He, apa?! Kurang ajar! Kurang ajar..!" Pengemis Sinting menghentak-hentakkan kakinya.

"Ayo, mari kita tarung! Buktikan ucapanmu itu, cepaaat...!" lanjut laki-laki tua ini sambil menuding geram.

"Aku tidak akan bertarung denganmu," sahut Rangga, kalem.

"Pengecut!"

"Syukur kalau kau mengetahuinya."

"Brengsek! Brengsek! Ayo, lawan aku! Lawan aku...!" bentak Pengemis Sinting sambil mencak-mencak sendiri.

"Tidak! Aku tidak akan melawanmu, kecuali..."

"Kecuali apa? Ayo, katakan cepat!"

"Kecuali kau katakan, siapa yang telah membunuh Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa."

"Apa?!" Mata Pengemis Sinting melotot lebar Tapi tiba-tiba dia tersenyum lebar.

"He he he...! Aku tahu! Kau mau mengakali, bukan? Kau ingin mengorek keterangan dariku!" tebak Pengemis Sinting, cerdik.

"Untuk apa mengorek keterangan darimu? Aku hanya ingin membuktikan bahwa kau hanya berbohong. Dan ternyata benar. Kau tidak tahu apa-apa soal pembunuh itu," tukas Rangga, memancing kembali.

"Huh, enak saja! Aku berani ngomong, karena aku tahu apa yang kuomongkan!" sergah Pengemis Sinting kelihatan berang.

"Kalau begitu katakan padaku, siapa pembunuh itu?"

"Mereka suami istri. Atau mungkin juga sepasang kekasih. Pokoknya, mereka selalu bersama. Berbaju dekil sepertiku. Dan mungkin juga mereka pengemis!" sahut Pengemis Sinting lantang.

"Mereka pasti punya nama!" desak Rangga.

"Yang laki-laki kalau tidak salah bernama.... Barata. Ya, Barata! Dan yang perempuan bernama Retno!" sahut Pengemis Sinting, menjelaskan.

"Urusan apa yang membuat mereka membuat Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa?" desak Rangga lagi.

"Kenapa tidak kau tanyakan saja kepada mereka?"

"Kau tahu, mereka sudah mati. Bagaimana mungkin aku bisa menanyakan pada mereka?"

"Tidak. Tiga orang lagi masih hidup. Kau bisa tanyakan!"

"Ki Ardisoma tidak tahu-menahu soal mereka."

"Dia tahu! Terlebih lagi putranya!"

"Persoalan apa sebenarnya?"

"Tanyakan saja. Dan kau pasti akan tahu! Kalau mereka tidak mengaku, maka berarti mereka berdusta. Dan kau tak perlu repot-repot membantu mereka. He he he...!"

Setelah berkata begitu, Pengemis Sinting berkelebat meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti. Sepertinya urusannya dengan pemuda itu kembali terlupakan.

Rangga termangu beberapa saat merenungkan ucapan pengemis itu. Laki-laki pengemis tadi tahu pembunuh-pembunuh itu. Tapi dia diam saja dan tidak berniat menolong? Mungkin saja, karena Pengemis Sinting memang bersifat angin-anginan. Kalau suka dia akan menolong kesusahan. Dan kalau lagi tak suka, maka tak peduli orang mati dan teraniaya di depannya. Tapi apa tidak mungkin dia bersekutu dengan kedua pembunuh itu?

"Ayo, Dewa Bayu! Kita kembali ke tempat tadi!" ajak Pendekar Rajawali Sakti seraya menepuk kuda tunggangannya, bergegas kembali ke tempat Ki Ardisoma.

********************

Hari telah sore ketika Pendekar Rajawali Sakti tiba di rumah Ki Ardisoma. Namun laki-laki setengah baya itu agaknya tengah menunggu di halaman depan rumah, bersama beberapa orang anak buahnya. Wajahnya tampak cerah begitu melihat kehadiran Rangga.

"Ah, Rangga! Syukurlah kau kembali. Kukira kau akan terus mengejarnya!" desah Ki Ardisoma, ketika Rangga telah turun dari kudanya dan menghampiri.

"Aku memang mengejarnya," sahut Rangga.

Salah seorang anak buah Ki Ardisoma tampak mengambil Dewa Bayu untuk kembali dibawa ke istal.

"He, jadi kau bertemu lagi dengannya?" tanya Ki Ardisoma dengan kening berkerut.

"Ya! Bahkan kami sempat berbicara."

"Bicara soal apa?"

"Soal urusan ini."

"Apa yang kau dapat darinya?"

"Banyak. Tapi lebih baik kita bicarakan hal ini di dalam. Dan..., berdua saja," pinta Rangga.

"Baiklah," desah Ki Ardisoma, menyetujui.

Ki Ardisoma bergegas mengajak Pendekar Rajawali Sakti ke dalam. Dan dia sudah tak sabar ingin mengetahui berita yang dibawa Pendekar Rajawali Sakti. Dipersilakannya pemuda itu duduk di ruang tamu.

"Nah! Di tempat ini kujamin aman, Rangga. Apa yang hendak kau ceritakan?"

Rangga menarik napas panjang, sebelum memandang orang tua itu lekat-lekat. "Kenalkah kau pada orang yang bernama..., Barata dan Retno, Ki?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Barata dan Retno? Tentu saja. Mereka dulu bekerja padaku," sahut Ki Ardisoma terus terang.

"Kemana mereka kini?" cecar Pendekar Rajawali Sakti.

"Entahlah. Terakhir mereka kabur dari rumah, karena mencuri barang-barang berharga milikku. Untung Bratasena mengetahui dan melakukan pengejaran," jelas Ki Ardisoma.

"Apakah ada peristiwa lain, yang menarik perhatian ketika Bratasena mengejar kedua orang itu?"

"Kurasa tidak. Tapi.., entah juga. Bratasena tidak berhasil meringkus mereka. Dan ketika pulang, dia bersama empat kawannya...."

"Empat kawannya?"

"Ya! Saat itu ada pertemuan di rumahku. Dan pertemuan itu dihadiri keempat sahabatku, yaitu Ki Genduk Mani, Ki Putut Denawa Ki Danang Mangkuto, dan Ki Jaladara. Masing-masing saat itu mereka membawa putra tertuanya," sahut Ki Ardisoma menjelaskan lebih lanjut.

"Pada saat pengejaran berlangsung, apakah Bratasena didampingi kawan-kawannya.

"Tidak. Tapi, keempatnya saat itu memang tengah bermain. Bratasena mengatakan bahwa mereka bertemu di tengah jalan."

"Satu lagi pertanyaan, Ki. Apakah Barata dan Retno mengerti ilmu oleh kanuragan?"

"Tidak! Mereka sama sekali tidak tahu apa-apa soal itu," sahut Ki Ardisoma yakin. "Tapi, kenapa kau duga bahwa mereka yang melakukannya? Jangankan membunuh Ki Danang Mangkuto dan Ki Putut Denawa. Bahkan menjatuhkan anak buah mereka saja, kedua orang itu tak mampu."

"Pernahkah mendengar pepatah yang mengatakan, seekor semut akan melawan kalau terinjak. Dan seekor babi akan menyerang bila terdesak?"

"Aku tidak mengerti, Rangga."

"Panggilah Bratasena. Dan tanyakan padanya, apa yang telah diperbuatnya kepada dua orang itu?" ujar Rangga, lebih lanjut.

"Eh?! Apa maksudnya...?"

"Panggil saja. Dan akan kita lihat apakah dia berdusta atau tidak."

"Baiklah." Ki Ardisoma keluar kamar sebentar, menemui seorang anak buahnya. Lalu dia kembali lagi. Mereka menunggu sebentar. Dan tidak berapa lama, muncul seorang pemuda berusia dua puluh delapan tahun. Tubuhnya kekar dan berkumis tebal. Sepasang matanya bulat dengan hidung kelihatan kokoh. Rambutnya keriting halus dan pendek.

"Hormatku untuk Ayah! Ada apa gerangan sehingga Ayah memanggilku?" tanya pemuda bernama Bratasena seraya menjura hormat.

"Bratasena! Ayah ingin ajukan beberapa pertanyaan kepadamu. Maukah kau menjawabnya dengan jujur?" ujar Ki Ardisoma.

"Sejauh ini aku selalu jujur pada Ayah. Dan rasanya tidak berguna membohongi Ayah. Katakanlah.... Pertanyaan apa yang hendak Ayah ajukan padaku?"

"Beberapa tahun lalu, ketika pertemuan tengah berlangsung disini, ada keributan kecil ketika dua pegawaiku tiba-tiba kabur. Kau katakan, mereka mencuri. Lalu, kau mengejar mereka. Kemudian ketika pulang, kau katakan mereka lolos. Hal itu masih mengganjal di pikiranku. Ceritakan pada Ayah, apa sebenarnya yang terjadi ketika itu?"

DELAPAN

Bratasena mendongak seraya memandang ayahnya. Wajahnya sedikit kaget. Setelah sekian tahun peristiwa itu berlalu, tiba-tiba saja ayahnya menanyakan kembali. Tapi dalam sekejap, rona wajahnya berubah. Sikapnya berusaha dibuat setenang mungkin.

"Eh! Kenapa tiba-tiba Ayah menanyakan itu?" tanya Bratasena, pura-pura.

"Seperti yang kukatakan, tiba-tiba saja hal itu mengganggu pikiran. Dan aku ingin tahu, apakah kau berkata benar atau tidak," sahut Ki Ardisoma kalem.

Bratasena tidak langsung menjawab. Matanya melirik sejenak kepada Pendekar Rajawali Sakti. Dan dia merasa yakin kalau pemuda berbaju rompi putih ini punya andil, sehingga ayahnya mengajukan pertanyaan yang tidak disukainya!

"Apakah Ayah tidak mempercayai laporanku?" tukas Bratasena.

"Bukan begitu.... Hanya sekadar meyakinkan."

"Mereka benar-benar lolos dari pengejaranku."

"Kau tahu mereka tidak punya ilmu kedigdayaan? Rasanya kurang masuk akal kalau kau tidak mampu meringkus mereka?"

"Saat itu mereka menuju ke selatan. Seperti Ayah ketahui, di wilayah itu terdapat banyak jurang. Mungkin saja mereka terperosok ke dalam dan mati," kilah Bratasena.

"Apakah menurutmu mereka mati?" tanya Rangga, setelah Ki Ardisoma memberi isyarat agar melanjutkan pertanyaan pada putranya itu.

"Kurasa begitu...," sahut Bratasena enggan.

"Tahukah kau, bahwa mereka masih hidup hingga kini?"

"Apa?! Mereka masih hidup? Tidak mungkin!"

Mendadak terlihat perubahan wajah Bratasena. Dia langsung memandang Rangga serta Ki Ardisoma berganti-ganti. Tapi tiba-tiba saja kekeliruannya disadari dan berusaha memperbaiki sikap.

"Eh! Mereka masih hidup? Oh, syukurlah! Apakah kau tahu di mana mereka sekarang?" tanya Bratasena, buru-buru.

"Tidak. Tapi mereka akan datang ke sini menemuimu. Katanya, ada persoalan yang perlu diselesaikan. Kau mungkin tahu persoalan apa itu?" sahut Rangga, memancing.

"Mungkin saja mereka menyadari kekeliruannya, dan ingin minta maaf."

"Minta maaf?"

"Ya! Apakah ayahku tidak bercerita? Mereka kabur dari rumah karena mencuri barang berharga milik keluarga kami!" sentak Bratasena.

"O, begitu!" Rangga mengangguk. "Tahukah kau bahwa Barata dan Retno juga mendatangi kawanmu si Joko Gending dan Tirta Janaka? Dan mereka mati setelah mendapat kunjungannya."

"Apa? Maksudmu..., Barata dan Retno si pembunuh itu?!" tanya Bratasena kembali dengan wajah kaget.

"Aku tidak berkata begitu. Tapi mungkin saja mereka yang melakukannya...."

"Tidak mungkin! Mereka sama sekali tidak mengerti ilmu olah kanuragan!"

"Itu dulu. Tapi sekarang, mereka telah menjadi tokoh hebat," sergah Rangga.

"Jadi..., jadi mereka yang membunuh Joko Gending dan Tirta Janaka?" gumam Bratasena lirih dengan wajah tak percaya.

"Mungkin tidak, tapi mungkin juga iya."

Bratasena tidak menjawab. Dia terdiam untuk sejurus lamanya.

"Kenapa, Bratasena? Apakah persoalan ini mengganggumu?" tanya Ki Ardisoma.

"Eh, apa? Oh, tidak! Tidak, Ayah...!" sahut Bratasena tergagap.

"Lalu, kenapa termenung?" cecar Ki Ardisoma.

"Eh! Aku cuma kasihan pada nasib mereka...," kilah pemuda ini.

"Kau tidak perlu mengasihani mereka. Tapi, sebaiknya kasihani nasibmu sendiri!" timpal Rangga.

"Apa maksudmu, Rangga?"

"Mungkin saja nasibmu tidak berbeda dengan kedua kawanmu."

"Kenapa kau berkata begitu? Kita belum lama kenal. Dan tiba-tiba saja, kau menginginkan kematianku!" dengus Bratasena, geram.

"Untuk apa aku menginginkan kematianmu?!" sahut Rangga kalem. "Aku tidak kenal denganmu. Dan sebaiknya begitu. Kau bukan orang jujur, karena kepada orangtuamu sendiri kau tega berdusta!"

"Dusta apa yang kuperbuat? Buktikan omonganmu!"

"Mereka tidak punya ilmu olah kanuragan. Sedangkan kau sebenarnya bisa dengan mudah meringkusnya, tapi tidak kau lakukan. Dan yang paling penting, kau takut akan kehadiran mereka di sini!" sahut Rangga, seraya tersenyum dingin.

"Siapa bilang?! Bawa mereka ke sini. Dan akan kusuruh mereka minta maaf atas kesalahan yang diperbuat!" sentak Bratasena.

"Jangan sombong, Bratasena! Bila mereka datang, maka saat itulah persoalan jadi terang. Nah, aku mohon diri!" sahut Rangga, seraya bangkit dan memberi salam hormat kepada pemilik rumah. Lalu kakinya melangkah pergi.

"Rangga, tunggu dulu!" tahan Ki Ardisoma, seraya mengejar pemuda itu.

"Maaf, Ki Ardisoma! Aku tidak bisa membantumu!" sahut Rangga tanpa menghentikan langkahnya.

"Tapi, Rangga...."

Suara Ki Ardisoma. terhenti, ketika mendengar suara gaduh dari belakang rumahnya. Secepat kilat laki-laki tua itu melesat kebelakang. Tampak Bratasena.telah bertarung melawan satu sosok berpakaian pengemis. Sedangkan sosok lainnya yang juga berpakaian pengemis tetap berdiri tegak dengan kedua tangan bersedekap, terkepung oleh anak buah Ki Ardisoma.

Yang muncul adalah dua orang bertubuh kurus. Dan samar-samar Ki Ardisoma mengenali mereka berdua, walaupun berpakaian seperti itu.

"Barata dan..., Retno!" desis laki-laki tua ini.

Ki Ardisoma tak tahu mesti berbuat apa. Tampak wanita yang bernama Retno tengah bertarung melawan Bratasena. Sementara anak buahnya telah mengurung Barata. Bahkan beberapa orang telah menyerangnya.

"He he he...! Anjing-anjing buduk! Kalian lebih baik memilih mati ketimbang meladeni majikan bejat?!" ejek laki-laki berpakaian dekil yang memang Barata.

"Barata! Aku tahu memang kau orangnya!" sahut salah seorang pengeroyok. "Pergilah dari sini. Majikan telah mengusir kalian!"

"He he he...! Memang betul, Seno. Tapi aku kemari untuk menagih hutang kepada majikan muda kalian. Makanya jangan ikut campur kalau kalian ingin selamat!" sahut Barata.

"Kami digaji untuk melindungi mereka. Jangan sembarangan kau bicara! Dulu saja aku tidak takut padamu. Dan sekarang masih tetap sama. Kuper-ingatkan padamu, jangan main gila di sini!" tandas anak buah Ki Ardisoma yang dipanggil Seno.

"Huh! Dasar tidak tahu diri!" dengus Barata. "Aku telah memberi peringatan. Dan kalian tidak mematuhinya. Maka jangan salahkan kalau aku bertindak keras!"

Seno tidak bisa menjawab karena saat itu juga Barata langsung membuktikan kata-katanya. Tubuhnya berkelebat cepat dengan kedua telapak tangan bergerak menghantam dua lawan terdekat, termasuk Seno.

Begkh! Des!

"Aaakh...!"

Mereka kontan tersungkur ke belakang sambil menyemburkan darah segar. Lalu ketika Barata kembali berkelebat, dan dalam waktu singkat tiga lain menyusul. Barata mengamuk dahsyat dan tidak tertahankan oleh semua pengeroyoknya. Hingga tak seorang pun yang mampu bangkit lagi.

Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti yang tadi sudah berada di luar telah mencelat ke atas atap rumah Ki Ardisoma. Dari atap, dia memperhatikan jalannya pertarungan, Rangga tak ingin buru-buru turun tangan, sebelum tahu benar duduk permasalahannya. Dia tak ingin bertindak gegabah dengan menjatuhkan tangan pada orang yang belum tentu bersalah.

Berdasarkan pengamatan Pendekar Rajawali Sakti, semua yang terjadi bermula dari dendam. Besar dugaan, kalau anak Ki Ardisoma telah menyembunyikan suatu rahasia, Rangga yakin itu.

Lantas, buat apa sepasang suami istri menuntut balas, kalau sebelumnya tak pernah disakiti? Pastil Pasti suami istri bernama Barata dan Retno yang dulu bekerja di rumah Ki Ardisoma ini, telah dianiaya oleh Bratasena. Dan mereka lantas menuntut balas.

Kalau sudah urusan dendam yang tak ada sangkut pautnya dengan ketenteraman dunia persilatan, apakah Rangga mesti turun tangan? Apalagi, tak terdengar kabar kalau Barata dan Retno membunuhi orang-orang lemah tak berdaya. Jelas keduanya bukan tokoh sesat. Ini hanya urusan dendam lama semata, dari sepasang pengemis. Dan rasanya, Rangga tak mau melibatkan diri. Itulah sebabnya, dia terang-terangan menolak memberi bantuan pada Ki Ardisoma.

Desss...!

"Aaakh...!"

Pada saat yang bersamaan, Retno berhasil mendaratkan hantaman kaki ke dada Bratasena. Pemuda itu terjungkal roboh. Dari mulutnya muncrat darah segar. Ketika berusaha bangkit, wanita pengemis itu telah berada didekatnya. Langsung dijeratnya leher Bratasena dengan seutas tambang yang selalu dibawa.

"Eekh...!"

"Tahan!" teriak Ki Ardisoma melihat anaknya menjerit pendek.

"Huh! Apa kau ingin ikut campur dalam urusan ini, Juragan Ardisoma yang terhomat?!" dengus Retno.

"Retno! Persoalan ini belum jelas betul. Dan tiba-tiba saja, kalian datang mengamuk...," sergah Ki Ardisoma.

"Kenapa tidak kau tanyakan padanya?!" dengus wanita itu seraya menghadapkan wajah Bratasena yang masih dijerat ke hadapan ayahnya.

"Dia hanya mengatakan, bahwa kalian melarikan barang-barang berharga milik keluarga kami...," kata Ki Ardisoma.

"Apa? Begitukah? Coba dengar, Kakang! Betapa hebatnya laporan majikan muda kita pada ayahnya!" kata Retno seraya menoleh pada suaminya.

"Ha ha ha...! Hebat sekali!" sahut Barata sambil tertawa keras. "Bagus, Juragan Ardisoma! Kau mempunyai anak hebat. Setelah menggilir istriku bersama kawan-kawannya, lalu menyiksaku dan membuang kami ke dalam jurang, enak saja dia melaporkan kalau kami mencuri barang-barang milikmu. Meski miskin, kami tidak pernah mencuri sedikit pun dari kalian!" Suara Barata melengking nyaring penuh dendam.

"Apa?! Benarkah begitu?!" sentak Ki Ardisoma, seperti tidak percaya dengan apa yang telah didengarnya.

"Tanyakan saja padanya!" dengus Retno, seraya menginjak punggung Bratasena.

Buk!

"Aaakh...!" Pemuda itu menjerit kesakitan, ketika Retno menekan punggungnya.

"Katakan pada ayahmu, Bangsat! Katakan apa yang telah kau perbuat kepadaku bersama kawan-kawanmu!" bentak Retno, sambiil menghantamkan punggung Bratasena.

"Tidak! Kau tidak boleh berbuat begitu padanya!" bentak Ki Ardisoma, merasakan pilu mendengar jerit kesakitan Bratasena.

"He, kau ingin ikut campur dalam urusan ini, Juragan Ardisoma?!" dengus Retno. Pandangan matanya tajam dengan sikap mengancam.

"Aku tidak bersalah, Ayah! Apa yang mereka katakan dusta belaka! Aku..., eekh...!" teriak Bratasena terhenti, ketika tali yang menjerat lehernya semakin kuat.

Sepasang mata pemuda ini mendelik garang. Mulutnya terbuka lebar. Urat di sekujur wajahnya menegang menahan rasa sakit hebat

"Hup!"

Ki Ardisoma yang semula terdiam mendengar teguran Retno, tergugah juga hatinya melihat putranya mendapat siksaan begitu rupa di depan batang hidungnya sendiri. Maka semangatnya segera dikempos hendak membantu. Namun sebelum tubuhnya sampai....

"He he he...!"

Mendadak terdengar suara tawa nyaring yang diikuti sesosok tubuh kurus berkelebat cepat memapaki serangannya.

Plak!

Ki Ardisoma terkesiap. Gerakan sosok itu cepat bukan main. Bahkan tahu-tahu kaki sosok itu telah lebih menghantam dadanya.

Duk!

"Aaakh...!" Ki Ardisoma mengeluh tertahan dan terjajar kebelakang. Masih untung dia mampu menguasai diri, sehingga bisa menjejakkan kakinya dengan mulus di permukaan tanah di belakangnya sejauh kurang lebih lima langkah.

"He, Pengemis Sinting! Ini urusan pribadi kami. Untuk apa kau ikut campur?!" seru Ki Ardisoma, ketika mengetahui siapa penghadangnya.

"Kalau sudah menyangkut mereka, maka menjadi urusanku pula!" sahut Pengemis Sinting seenaknya.

Sementara itu ketika melihat kehadiran Pengemis Sinting, Barata langsung memberi hormat. Demikian pula Retno, tanpa melepaskan tawanya.

"Hormat kami, Paman Guru!" ucap Barata dan Retno hampir berbareng.

"Hm, pantas! Rupanya mereka murid keponakanmu. Tapi meski begitu, kau tidak tahu-menahu persoalan ini. Dan kuharap jangan membela secara membabi buta," desis Ki Ardisoma.

"Kata siapa aku tidak tahu? Ketika aku menggunjungi saudara seperguruanku yang berjuluk Naga Langit, Barata dan Retno kutemukan di sana. Suadaraku bercerita, kalau kedua muridnya ini diselamatkannya dari kematian, ketika mereka terjatuh dari jurang. Kemudian aku mendengar lebih lanjut pengalaman mereka yang menyeramkan. Khususnya, apa yang dialami Retno. Maka, kujaga mereka dari siapa saja yang hendak mencelakai, agar bisa menuntut balas kepada siapa saja yang telah menganiaya," jelas Pengemis Sinting.

Ki Ardisoma terdiam. Dipandanginya wajah putranya yang kelihatan amat memelas menahan rasa sakit hebat.

"Katakan padaku, Bratasena! Apakah benar kau telah berbuat demikian keji kepada Retno dan suaminya?!" bentak laki-laki ini garang.

Kali ini Bratasena tidak berusaha membantah. Tapi, tidak juga menjawab.

"Ayo katakan, Bratasena! Kalau kau tidak bersalah, maka mesti nyawaku melayang, tidak akan kubiarkan mereka memperlakukanmu dengan cara begini!" bentak Ki Ardisoma.

"Aku..., aku tidak bersalah, Ayah...," sahut Bratasena lemah.

"Keparat busuk! Hiih!" Retno hilang kesabarannya. Serta merta, dicekiknya Bratasena sampai tulang-belulangnya berderak patah.

"Brata...!" Ki Ardisoma terkesiap. Amarahnya langsung menggelegak. Seketika tubuhnya meluruk menyerang Retno.

Set! Set!

Pada saat yang hampir bersamaan, Retno merasakan dua angin sambaran dari belakang. Matanya sedikit melirik. Dan ternyata, dua buah pisau belati yang dilemparkan seseorang dari belakang telali melesat ke arahnya. Dengan gerakan mengagumkan, Retno memutar tubuhnya dengan tangan bergerak.

Tap!

Begitu pisau tertangkap wanita pengemis ini menjatuhkan diri untuk menghindari terjangan Ki Ardisoma.

"Hih...!" Tepat ketika bangkit, Retno melemparkan satu pisau pada soosk di depan pintu yang merupakan pemiliknya.

Crab!

"Aaa...!" Tepat sekali pisau itu menancap di dada sosok gadis yang tadi melemparkan pisau pada Retno. Terdengar jerit kesakitan yang mengikuti robohnya tubuh.

"Mahadewi...?!" seru Ki Ardisoma kaget.

Betapa geramnya Ki Ardisoma. Sudah serangannya dapat dihindari, dan kini putrinya malah tewas. Otaknya jadi kacau. Dan dia tidak mampu mengatur amarah yang bergejolak di hatinya. Kembali diterjangnya perempuan pengemis itu. Dan pertarungan sengit pun kembali berlangsung.

"Ayo, Dewa Bayu. Mari kita pergi! Tidak ada yang bisa dikerjakan di sini!" ajak Rangga, ketika telah berkelebat kembali ke halamann depan rumah Ki Ardisoma.

Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat ke punggung kudanya dan meninggalkan tempat ini perlahan-lahan. dari kejauhan, telinganya mendengar teriakan Ki Ardisoma yang marah-marah.

"He he he..! Kenapa kau telah pulang, Pendekar Rajawali Sakti. Padahal pertunjukan belum selesai?!"

Mendadak terdengar teguran yang disusul berkelebatnya satu sosok berpakaian pengemis yang tak lain Pengemis Sinting.

"Aku tak ada kepentingan disana," sahut Rangga pendek.

"He he he...! Aku menyesal, karena kita tidak terlibat pertarungan langsung," kata Pengemis Sinting.

"Kalau aku dianggap takut menghadapi gabungan kalian bertiga, maka kau salah menilai. Aku pergi karena yakin kalau Bratasena bersalah."

"Dia memang bersalah. Dan dendam mereka telah terlaksana. Palguna putra Jaladara telah kupancing dari dalam rumahnya, dan telah dibereskan mereka. Kemudian ketika menuju ke sini, kebetulan sekali putra si Genduk Mani yang bernama Adiguna, tengah melakukan perjalanan ke sini pula. Maka keduanya segera membereskannya. He he he...! Sungguh pekerjaan yang memuaskan!"

Rangga tidak begitu suka mendengar ocehan Pengemis Sinting. Tapi, dia tidak berusaha menyela.

"Pengemis Sinting! Kalau tidak ada keperluan lain, aku mohon diri hendak melanjutkan perjalanan," pamit Rangga ketika pengemis itu telah selesai bicara.

"He he he...! Silakan, silakan...! Tapi kujamin, kita akan bertemu lagi," ucap pengemis tua ini.

"Mudah-mudahan, pada saat itu kau dalam keadaan baik, Sobat."

"Brengsek! Siapa yang menganggap kau sebagai sobatku?!"

"Baiklah.... Kalau begitu, kuanggap kau musuhku saja."

"Sial! Aku tidak punya urusan denganmu, sehingga menganggapmu sebagai musuh!"

"Terserahmu sajalah...." Setelah berkata begitu, Rangga menggebah kudanya sekencang-kencangnya. "Heaaa...!"

"Hei, tunggu! Tunggu! Brengsek kau, Anak Muda...!" teriak Pengemis Sinting memaki-maki sambil mengejar.

Rangga menyadari kalau orang sinting itu tak akan mampu mengejar lari kuda Dewa Bayu. Benar saja. Sebentar kemudian tidak terlihat juga batang hidung Pengemis Sinting.

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: JAHANAM BERMUKA DUA