Jahanam Bermuka Dua - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

JAHANAM BERMUKA DUA

SATU

"Oaaa...! Oaaa...!"

Senja yang semula hening, pecah oleh suara tangis bayi. Penghuni baru jagad raya ini telah lahir, diiringi desah kegembiraan dan kelegaan ibu sang jabang bayi. Beberapa laki-laki yang semula tegang, tampak menghembuskan napas lega di beranda sebuah rumah kecil di Desa Klawing.

"Lihatlah anakmu, Katmani," ujar seorang laki-laki setengah baya pada laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun di sebelahnya.

"Eh! Baik Kang Danubrata!"

Tanpa banyak kata lagi, laki-laki yang dipanggil Katmani bangkit dan masuk ke dalam rumahnya. Gembira di hatinya tak tertahankan lagi. Maka dengan wajah berseri-seri dia hendak menerabas ke dalam kamar. Namun sebelum hal itu dilakukannya...

"Auuu...!"

"Hei, ada apa?! Ada apa, Nyai Kempot?!"

Katmani kaget bukan main ketika tahu-tahu saja satu sosok tubuh menerjangnya. Untung dia cepat melompat ke kiri, sehingga sosok yang ternyata seorang perempuan tua itu tidak menubruknya.

"Itu...! Itu...!" Wanita tua bertubuh kurus dan kedua pipinya kempot yang dipanggil Nyai Kempot menunjuk-nunjuk ke tempat tidur. Tangannya gemetar dan mukanya pucat. Bahkan seketika dia pergi dari tempat ini membawa rasa takut yang amat sangat.

Katmani buru-buru mengikuti pandangan orang tua tadi. Segera dia masuk ke kamar, melihat apa yang ditunjuk Nyai Kempot.

"Astaga...! Tidak! Tidak mungkin...!" bentak Katmani garang. Dia benar-benar terkejut melihat apa yang ada di tempat tidur.

Katmani seperti orang gila berteriak-teriak tidak menentu sambil meremas-remas rambut. Mendengar ribut-ribut, laki-laki setengah baya yang bernama Ki Danubrata langsung masuk ke kamar segera. Ditenangkannya Katmani. Memang hanya Ki Danubrata saja yang menemani keluarga Katmani di tempat ini.

"Sabar, Katmani! Sabar...! Tenangkan dirimu....

"Tidak! Tidaaak, Kang Danubrata! Coba lihat anak itu, Kang! Coba lihat! Dia pasti bukan anakku!" teriak Katmani tetap saja tidak mau tenang.

Ki Danubrata berpaling. Dan dia segera melihat orok yang berada di sebelah ibunya. Bayi itu memang berukuran diluar batas kewajaran dari bayi biasanya. Dan mungkin hal itu saja masih bisa dimaafkan. Namun wajah bayi itu, memiliki dua muka yang bertolak belakang dan amat mengerikan!

Masing-masing memiliki mulut yang lebar dengan sepasang taring kecil di sudut-sudut bibirnya. Hidungnya lebar dengan lubang besar. Tangannya tidak berjumlah dua, tapi empat. Begitu pula kakinya. Sepasang matanya bulat dengan biji mata hampir melompat keluar.

Ini yang membuat Katmani dan Nyai Kempot yang menjadi dukun bayi di Desa Klawing kaget setengah mati. Bahkan si orok belum sempat dibersihkan. Tubuhnya masih penuh bercak darah.

"Astaga! Apa yang terjadi...?!" Tanpa sadar, seruan kaget pun keluar dari mulut Ki Danubrata, yang juga tetangga dekat Katmani.

"Itu bukan anakku! Bukan anakku...!" teriak Katmani makin kalap.

Laki-laki yang baru saja mendapat putra pertama ini menghampiri wanita berusia dua puluh tujuh tahun yang tergolek lemah di tempat tidur. Sementara sang jabang bayi tergolek dengan gerakan liar di dekat kaki ibunya. Katmani membungkuk di sisi wanita yang tak lain istrinya.

"Katakan padaku, apa yang terjadi?! Anak siapa dia?! Anak siapa?!" bentak Katmani garang.

"Dia anak kita, Kang...," sahut wanita itu, lirih.

"Dusta! Kau berbohong padaku! Katakan yang sebenarnya! Anak siapa dia?! Meski wajahku tidak tampan, tapi tidak mungkin anakku seperti itu!"

"Ya, ampun... Nyebut, Kang.... Dia anak kita...," sahut istrinya semakin lirih.

Sebenarnya, wanita itu pun tidak kalah kaget ketimbang yang lain, sejak Nyai Kempot berteriak tadi, wanita itu sudah merasa terpukul begitu melihat bayinya. Namun sebagai seorang ibu yang merasakan penderitaan mengandung lalu melahirkan, tentu saja dia berusaha menerima meski hatinya amat sedih.

"Tidak! Itu bukan anakku! Itu bukan anakku...!" teriak Katmani seraya menghambur keluar.

"Katmani, tunggu!" cegah Ki Danubrata, seperti tersentak dari keterkejutannya. Ki Danubrata bergegas mengejar keluar. Tampak Katmani berdiri di depan pintu seperti patung membelakangi.

"Katmani...," panggil laki-laki setengah baya ini pelan untuk tidak mengagetkan.

Katmani tak menyahut. Udara senja menjelang malam yang dingin menerpa mereka berdua. Katmani tetap membisu seperti tidak mempedulikan suasana sekelilingnya. Melihat itu pelan-pelan Ki Danubrata menghampirinya.

"Ohh!" Baru beberapa langkah Ki Danubrata tersentak kaget ketika tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan dan tahu-tahu telah berdiri di depan mereka. Mata laki-laki setengah baya itu kontan terbelalak lebar dengan muka pucat pasi melihat sesosok tubuh tegak berdiri pada jarak tiga langkah.

Sosok itu bertubuh kurus dengan pakaian agak besar. Rambutnya yang panjang terurai kelihatan berkibar-kibar. Sebuah tongkat besar tergenggam di tangan kanannya.

"Si..., siapa kau?" tanya Ki Danubrata kaget. Dan tak terasa kakinya mundur selangkah.

"Hi iii hi...! Kau tidak kenal aku?!" Sosok tubuh yang telah berusia sangat lanjut itu menyeringai lebar sambil tertawa nyaring.

Suara wanita tua ini kering dan serak, namun terdengar cukup menyeramkan. Dan tatkala dia mendekat, Ki Danubrata semakin jelas melihat bentuk wajahnya yang pucat. Hidungnya panjang agak bengkok. Matanya cekung dan kedua alisnya bertaut. Senyumnya terlihat menyeramkan.

"Jangan ganggu keluarga ini! Mereka sudah ditimpa kemalangan!" bentak Ki Danubrata memberanikan diri.

"Hi hi hi...! Apa urusanmu? Aku hanya hendak mengambil cucuku," sahut perempuan tua ini enteng.

"Tidak mungkin!" bentak Ki Danubrata.

"Apa pun katamu, terserah. Aku hendak mengambil cucuku. Dan, tidak seorang pun yang bisa menghalanginya!" dengus wanita tua itu.

"Katmani tidak akan mengizinkannya!"

"Katmani? Siapa yang kau sebut Katmani? Lelaki tolol yang berdiri disampingmu itukah?" tunjuk perempuan tua ini sambil tertawa kecil.

Ki Danubrata berpaling pada Katmani. Diguncang-guncangnya tubuh laki-laki yang baru dikaruniai putra itu.

"Sadarlah, Katmani! Jangan kau izinkan dia mengambil anakmul" ujar Ki Danubrata.

Aneh! Katmani sama sekali tidak memberi tanggapan apa-apa. Bergerak pun tidak. Bahkan pandangannya tampak kosong ke depan. Sepertinya ada sesuatu yang menyihirnya.

"Sadarlah, Katmani! Jangan izinkan wanita itu mengambil anakmu!" bentak Ki Danubrata sambil mengguncang-guncang tubuh Katmani lebih keras.

Namun laki-laki berusia tiga puluh tahun itu tidak bergeming sedikit pun. Ki Danubrata mulai gelisah. Apalagi, ketika matanya kembali menatap tempat perempuan tadi berdiri.

"Heh?! Kemana dia?" desis ki Danubrata, tersentak kaget.

Ternyata, perempuan tadi sudah lenyap entah ke mana. Didasari rasa curiga buru-buru Ki Danubrata masuk ke dalam rumah. Benar saja. Ternyata perempuan tua itu telah menggendong bayi yang baru saja dilahirkan.

"Wanita keparat! Letakkan bayi itu. Kau tidak boleh mengambilnya!" bentak Ki Danubrata sengit, sambil menuding.

"Kau tidak akan bisa menghalangiku!" dengus perempuan tua ini seraya mengibaskan tongkat secara tiba-tiba, membuat Ki Danubrata tak mampu memapak.

Bletak!

"Aaakh...!" Tongkat itu tepat menghantam tulang leher Ki Danubrata sampai patah. Karuan saja, laki-laki setengah baya itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terpental keluar ruangan ini, menabrak pintu. Begitu mencium bumi, dia tidak bergerak-gerak lagi.

"Hi hi hi...! Kau kira bisa menghalangi keinginan Nyai Warengket?! Dasar kerbau tolol! Rasakan akibatnya!"

Setelah berkata begitu, perempuan tua bernama Nyai Warengket berkelebat dari ruangan ini, dan menghilang begitu cepat. Tak seorang pun yang tahu ke mana putra Katmani dibawa pergi. Bayi itu raib seperti ditelan bumi. Katmani dan istrinya pun lebih memilih diam saat tetangga-tetangga menanyakan perihal anaknya.

Sementara Nyai Kempot yang menjadi dukun bayi sejak kejadian malam itu, mendadak mengalami gangguan jiwa. Wanita tua itu sering melamun dan kadang ketakutan. Kadang-kadang dia berteriak-teriak sepanjang jalan dengan wajah ketakutan sambil menunjuk-nunjuk sesuatu. Orang segera tahu kalau dia gila. Nasibnya semakin mengenaskan, karena beberapa hari kemudian mayatnya ditemukan di pinggiran sawah.

********************

DUA

Waktu terus berjalan tanpa ada yang bisa menghalangi. Perlahan-lahan, Penduduk Desa Klawing telah melupakan kejadian yang menimpa Katmani. Dan sampai hari ini telah genap tujuh belas tahun bayi Katmani terampas dari orang tuanya. Sebagaimana biasanya, sebagian penduduk Desa Klawing yang berdekatan dengan Hutan Kemojang, bermata pencaharian sebagai pencari kayu bakar. Mereka kerap menebangi pohon, lalu hasilnya dijual ke kota kadipaten.

Seperti juga hari ini. Dua orang laki-laki setengah baya tampak mulai memasuki kawasan hutan, seperti tanpa mengenal takut sedikit pun. Padahal, Hutan Kemojang tergolong hutan lebat dengan pohon-pohonnya yang besar-besar. Bahkan ada yang tak terpeluk oleh empat orang dewasa.

Namun baru saja memasuki hutan, langkah mereka mendadak terhenti. Kedua laki-laki ini memandang ke sekeliling dengan sinar mata bingung.

Betapa tidak? Kemarin mereka habis dari tempat ini. Namun sekarang, tempat ini telah berubah menjadi porak-poranda, Banyak pohon tumbang tak tentu arah. Bukan karena tebangan kapak. Karena kalau melihat patahan bentuknya tak karuan, patahan pohon bagai patahan yang dilakukan oleh tangan raksasa! Kalau pohon itu tumbang karena petir, jelas tak mungkin, karena yang hangus justru bagian patahan yang terletak di bagian bawah. Tapi oleh apa?

Belum sempat kedua orang itu berpikir lebih jauh, mendadak berkelebat satu sosok tubuh dan tahu-tahu telah berdiri di depan mereka sejauh tiga tombak.

"Heh?!" Mereka kontan terperanjat, melihat sosok yang baru datang. Apa yang terlihat memang sungguh pemandangan tak lumrah. Sosok tubuh yang berdiri tegak dengan sikap mengawasi itu memiliki sepasang muka. Rambutnya tegak berdiri. Kedua telinganya lebar. Sepasang taring mencuat keluar dari sudut-sudut bibirnya. Tangannya berjumlah empat. Demikian pula kakinya. Dari keadaannya, jelas kalau makhluk ini adalah laki-laki yang paling tidak berusia sekitar tujuh belas tahun.

"Siapa kalian?! Apa yang kalian lakukan di sini?!" tanya makhluk aneh ini dengan suara berat dan kasar.

"Eh! Kami..., kami..., adalah penduduk Desa Klawing. Aku Sukmana dan temanku Bantet," sahut salah seorang pencari kayu bakar itu.

Makhluk itu mendekat. Kini jarak mereka hanya terpaut tiga langkah. Wajahnya yang menyeramkan menatap dingin pada kedua laki-laki ini.

"Kenapa kalian ketakutan?" tanya makhluk itu lagi.

"Kami tersesat!" sahut laki-laki yang mengaku bernama Sukmana, tetap berusaha memberanikan diri.

"Tersesat? Di mana rumah kalian?"

"Di Desa Klawing, tak jauh dari sini," kali ini laki-laki bernama Bantet yang menyahuti.

"Siapakah kau? Dan, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Sukmana.

"Namaku Gardika. Aku tengah berlatih," sahut makhluk bernama Gardika.

"Berlatih apa?" tanya Bantet.

"Ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan...."

"Ilmu olah kanuragan?!"

Sukmana dan Bantet saling berpandangan. Lalu bersamaan memandang makhluk itu dengan mulut ternganga.

"Ya. Kenapa?"

"Jadi, batang-batang pohon ini semua hasil perbuatanmu?" tanya Bantet, seraya menatap ke sekeliling hutan yang porak-poranda. Demikian pula Sukmana.

"Ya."

Kedua pencari kayu bakar ini mendecah kagum. Dan mereka kembali memandang takjub kepada makhluk itu.

"Apakah kalian tak percaya?"

"Eh! Tentu saja kami percaya. Tapi kedengarannya hebat sekali. Dan...."

Belum lagi selesai kata-kata Sukmana, mendadak Gardika menghentakkan tangan kirinya yang berjumlah dua buah.

Wusss!

Krakkk!

Seketika dari kedua telapak tangan kirinya melesat dua larik cahaya kelabu yang langsung menghantam sebatang pohon sampai ambruk, menimbulkan suara bergemuruh.

"Wah, hebat!" desis Sukmana dan Bantet hampir berbarengan.

"Kalian mau melihat yang lainnya?" tanya Gardika.

"Tentu saja kalau kau tidak keberatan!" sahut kedua pencari kayu bakar bersamaan.

"Nah! Berdirilah di sana!" tunjuk Gardika pada tempat di dekat tumpukan batang pohon yang roboh.

"Eh, untuk apa?" tanya Sukmana sedikit curiga.

"Sudah. Turuti saja!" ujar Bantet.

"Aku curiga, Tet!" ungkap Sukmana berbisik

"Sudah! Jangan macam-macam. Kalau dia marah, bisa berabe kita!" sergah Bantet, seraya melangkah ke tempat yang ditunjuk Gardika.

Meski agak berat, akhirnya Sukmana menurut juga. Dia berdiri mepet di sebelah Bantet. Bahkan agak ke belakang, karena khawatir terjadi sesuatu.

"Sekarang lihat!" seru Gardika.

Bersamaan dengan itu, makhluk aneh ini membuat kuda-kuda kokoh. Karuan saja, kedua penebang kayu itu pucat pasti dan amat ketakutan.

"Eh! Ja..., jangan...."

Gardika tak peduli kedua tangan kanannya yang kini dihentakkan.

Wusss! Wusss!

Dua larik cahaya kelabu langsung melesat ke arah kedua penebang kayu ini. Namun begitu, Sukmana yang semula curiga, telah melompat lebih dulu.

Des!

"Aaa...!" Bantet menjerit setinggi langit ketika salah satu cahaya kelabu menghantam dadanya. Sementara cahaya yang lain terus melesat menghantam pohon, karena Sukmana bisa menghindar. Tubuh Bantet yang pendek kekar itu kontan terpental ke belakang dengan dada remuk. Lalu dia membentur batang pohon. Dan begitu jatuh ditanah, Bantet mati saat itu juga.

"Jahanam! Kau telah membunuhnya. Apa salah kami kepadamu?!" bentak Sukmana kaget begitu bangkit dan melihat kejadian itu.

"Kalian kesini. Dan itu satu kesalahan!" sahut Gardika enteng sambil tersenyum-senyum. "Sekarang giliranmu!"

Mendengar itu, keberanian Sukmana yang baru tumbuh, mendadak layu. Tubuhnya kontan gemetar ketakutan.

"Sekarang bersiaplah menerima giliranmu!"

"Eh! Tidak..., tidak.... Ampuni aku.... Jangan bunuh aku...," keluh Sukmana putus asa sambil bergerak mundur.

"Hi hi hi...! Aku tak peduli meski kau menangis dengan airmata darah sekalipun. Aku pasti akan tetap membunuhmu!" dengus Gardika sambil tertawa menggiriskan. Gardika mengangkat keempat tangannya, siap menghantamkan serangan. "Yeaaa...!"

Dan tanpa belas kasihan, Gardika melesat secepat kilat sambil mengibas-ngibaskan tangan-tangannya bagai sebuah gurita mendapat mangsa.

"Oh, tidak! Tidak! Tidaaak.... Aaa...!"

Crab! Bret! Bret!

Tak ampun lagi, Sukmana tewas dengan tubuh terkoyak. Isi perutnya terburai berhamburan. Dan darah menggenang laksana banjir. Tubuhnya ambruk sesaat, setelah Gardika melepaskannya.

"Ha ha ha...!" Makhluk aneh itu tertawa keras sampai menggetarkan dedaunan serta ranting-ranting pepohonan yang berada di sekelilingnya.

"Gardika! Apa yang baru saja kau lakukan?!" Mendadak terdengar suara lantang dari sebelah kiri.

Gardika berpaling ke samping kiri. Dan begitu melihat sesosok wanita tua berlari ke arahnya dengan gerakan gesit, dia segera tahu siapa yang muncul.

"Nenek Warengket...!" seru Gardika sambil membungkuk sedikit.

"Hm....!" Wanita bermata cekung dan berhidung bengkok itu menggumam tak jelas. Tangannya membawa tongkat besar. Rambutnya dikonde asal-asalan. Sepasang matanya tajam memandang dua bangkai manusia yang menjadi korban kekejaman Gardika.

"Kaukah yang membunuh mereka?" tanya perempuan tua yang tak lain Nyai Warengket.

"Iya, Nek! Hebat, bukan?!" sahut Gardika bangga.

"Huh! Apanya yang hebat? Mereka bahkan lebih lemah ketimbang batang kayu yang kau jadikan kawan berlatih!" dengus Nyai Warengket meremehkan.

Gardika memandang wanita tua itu dengan wajah tak mengerti. "Lalu, siapa yang mesti menjadi sasaran latihanku. Nek?"

"Mereka yang memiliki kehebatan hampir mirip denganmu. Bisa bergerak lincah, baik menyerang maupun menghindar. Bertenaga kuat dan berani melawan. Bukan kerbau-kerbau seperti mereka!" jelas Nyai Warengket.

"Di mana orang-orang seperti itu bisa kutemui, Nek?" tanya Gardika penasaran.

"Di luaran sana!" tunjuk perempuan tua itu jauh melewati hutan ini.

Gardika memandang arah tangan Nyai Warengket. "Apakah disana bentuk mereka sama seperti kedua bangkai ini, Nek?" tanya Gardika, seraya menoleh kembali ke arah neneknya.

"Ya."

"Seperti Nenek juga?"

"Apa maksudmu?" "Punya satu muka, dua tangan, dan dua kaki?"

"Sudahlah! Jangan bertanya macam-macam! Aku tahu kemana pertanyaanmu selanjutnya!" tukas Nyai Warengket.

"Tapi, Nek.... Siapa kedua orangtuaku? Di mana mereka?" lanjut Gardika tak peduli.

"Sudah kukatakan berkali-kali! Mereka sudah mati. Apakah kau tidak mengerti?!"

"Di mana kuburannya jika mereka telah mati?"

"Tidak ada!" sahut perempuan tua itu, kesal.

"Kenapa tidak ada. Nek?"

"Kenapa kau banyak bertanya? Orangtuamu mati ditelan banjir. Dan mayat mereka hanyut dibawa air bah entah ke mana!" sahut Nyai Warengket asal jadi.

Gardika terdiam. Kendati begitu, dia merasa belum puas. Apalagi bila menyadari keadaan tubuhnya yang aneh. Gardika yakin, kalau keadaan dirinya sebenarnya sama dengan neneknya. Punya dua kaki dan dua tangan. Namun, takdir menentukan Iain. Keadaan tubuhnya benar-benar di luar batas kewajaran.

Nyai Warengket memang pernah bercerita kalau ke dua orangtua Gardika juga manusia biasa seperti dirinya. Namun perempuan tua ini tidak suka kalau bicara soal kedua orangtua Gardika. Dia akan menjawabnya dengan ketus. Dan kalau terus didesak, dia akan marah-marah dan ngamuk.

"Nenek ingin agar aku berangkat sekarang?" lanjut Gardika mengalihkan perhatian, karena merasa sungkan pada perempuan tua ini.

"Kapan lagi? Kau sudah kubekali ilmu-ilmu kedigdayaan. Kesaktianmu hebat. Dan tenagamu kuat. Mereka tidak akan bisa mengalahkanmu!" sahut Nyai Warengket, membentak.

"Baiklah, kalau begitu aku pergi sekarang. Nek...!"

Setelah berkata begitu Gardika ngeloyor pergi. Nyai Warengket memandang kepergian Gardika sambil tersenyum senang.

"Hi hi hi...! Sebentar lagi mereka akan melihat kehadiran neraka yang kuciptakan. Baru tahu rasa orang-orang itu!" desis perempuan tua ini.

********************

Kehadiran makhluk aneh bernama Gardika disambut penuh rasa keterkejutan para penduduk Desa Sengon di sebelah utara Desa Klawing. Sekejap saja timbul kegemparan. Mereka yang punya nyali segera keluar, setelah menyambar golok atau senjata lainnya.

Dalam beberapa saat saja para penduduk desa telah mengelilingi Gardika sambil memandang aneh seperti melihat makhluk aneh dari negeri antah berantah.

"Coba lihat! Tangannya ada empat. Kakinya pun empat. Dan wajahnya,.., kiri..., mirip setan barong," kata seorang penduduk.

"Astaga! Jeleknya bukan main!" timpal yang lain.

"Orang ini luar biasa!"

Dan banyak lagi suara-suara sumbang yang keluar dari mulut mereka. Dan keramaian itu agaknya tidak cuma dipenuhi kaum laki-laki tapi juga kaum wanita.

"Hei? Siapa pun kau ini, bisakah mengerti bahasa kami?" tanya seorang wanita setengah baya berpakaian indah.

Gardika menatap perempuan itu. "Tentu saja aku mengerti...," sahut Gardika, penuh keluguan.

"Namaku Nyi Pinah. Aku istri kepala desa ini. Siapakah namamu? Dan dari mana asalmu?" tanya perempuan yang ternyata istri Kepala Desa Sengon dan bernama Nyi Pinah.

"Namaku Gardika. Aku berasal dari Hutan Kemojang. "

"Hutan Kemojang? Itu tidak jauh dari sini. Kau tinggal bersama siapa?"

"Nenekku."

"Nenekmu" Hm.... Apakah ceritamu benar? Setahuku di antara para penebang hutan di sana tidak ada seorang wanita tua. Siapa nenekmu itu?" tanya Nyi Pinah heran.

"Nenekku bernama Nyai Warengket. Katanya, suatu saat keturunan Ki Timbal akan menanggung akibat dari perlakuannya.

Ki Timbal yang berputra Katmani yang tinggal di Desa Klawing tak begitu menanggapi kutukan itu. Namun setelah tiga tahun kepergian Nyai Warengket, kutukan itu terbukti. Nyatanya, bayi Katmani berwujud aneh, seperti bayi titisan iblis. Yang lebih menggidikkan lagi, ternyata bayi itu kemudian lenyap entah kemana.

Katmani sendiri dulu pernah bercerita, kalau saat terjadinya peristiwa itu, dia sebenarnya sadar. Namun, tubuhnya seperti tak bisa digerakkan. Bahkan dia tahu kalau bayi itu dibawa oleh perempuan tua yang bernama Nyai Warengket. Nyatanya, perempuan tua itu memang menyebutkan namanya.

"Apa?!"

Penduduk Desa Sengon terkejut ketika mendengar nama wanita tua disebutkan Gardika. Memang, nama Nyai Warengket sudah tak asing lagi bagi penduduk desa itu. Sekitar dua puluh tahun yang lalu, Nyai Warengket adalah penduduk desa itu juga. Dia terkenal sebagai dukun santet yang cukup meresahkan. Banyak orang tewas di tangannya, hanya karena masalah sepele.

Ketika kemarahan tak terbendung lagi, akhirnya para penduduk berniat mengusirnya. Dengan dipimpin sesepuh desa yang bernama Ki Timbal, mereka berhasil mengusir Nyai Warengket. Namun sebelum pergi, Nyai Warengket telah bersumpah akan membuat petaka kembali di desa ini. Dia pun mengutuk Ki Timbal yang memimpin para penduduk desa dalam mengusirnya.

"Ya! Itu memang, Nenekku. Kenapa kalian terkejut?" tanya Gardika polos.

"Bunuh dia!" teriak seorang laki-laki tua.

"Ya, bunuh dia! Dia bukan anak Katmani! Dia anak kutukan Nyai Warengket."

"Bunuh dia...!"

Gardika terkejut mendengar jawaban yang didengarnya. Para penduduk begitu bersemangat. Bahkan di antaranya sudah mencabut golok serta senjata-senjata tajam lainnya.

Melihat itu tentu saja Gardika tidak bisa menerima. Amarahnya langsung naik ke ubun-ubun. Dan dengan sekali sambar, dua orang laki-laki setengah baya dicengkeramnya.

"Kalian hendak membunuhku? Huh! Aku yang lebih dulu membunuh kalian!" desisnya.

Wuuutt!

Dengan sekali hajar, kedua laki-laki itu dibanting dengan keras.

Bruk!

"Aaa...!" Begitu mencium tanah, terdengar suara berderak dari tulang-tulang yang patah. Kedua orang itu menjerit kesakitan, dan tidak bergerak lagi. Entah hidup, entah mati!

"Keparat! Dia telah membunuh dua orang! Hajar dia!" teriak seseorang, menyadarkan para penduduk yang terkesima melihat perbuatan Gardika.

"Bunuh dia!"

"Cincaaang...!"

Bersamaan dengan itu serentak segala macam jenis senjata meluruk deras ke arah Gardika.

Brak!

"Huh!" Gardika seketika menggerak-gerakkan keempat tangan serta kakinya, menepis senjata-senjata yang menderu keras ke arahnya. Lalu dia balas menghantam tanpa kenal ampun.

Buk! Prak!

"Aaa...!"

Kepalan tangan Gardika menghantam dan meremukkan tulang dada lawan-lawannya. Lalu di lain saat, dia menghantam batok kepala mereka sampai remuk. Dengan gerakan gesit yang ditunjang tenaga kuat, tak banyak hambatan yang dialaminya. Dalam waktu singkat, sepuluh orang tewas di tangannya.

"Gila! Orang ini sama gila dengan neneknya yang seperti setan!" teriak seseorang.

"Kita tidak bisa melawannya!" timpal yang lain.

"Huh! Lebih baik aku pergi daripada mati sia-sia!"

Maka kelompok penduduk desa itu terbagi-bagi. Beberapa orang melarikan diri menyelamatkan nyawa, sementara yang lain masih berusaha melanjutkan pengeroyokan terhadap Gardika.

"Sial! Jahanam ini kebal senjata tajam!" teriak seseorang ketika goloknya tidak mampu melukai tangan lawan.

Sebaliknya, Gardika malah mengayunkan tendangan ke dada.

Begkh!

"Aaa...!" Orang itu terjungkal dengan tulang rusuk patah, melesak ke dalam. Begitu ambruk dia tewas seketika.

Gardika kembali berbalik. Sebelah kakinya yang lain menghantam ke muka salah seorang penduduk sampai remuk. Tubuh kembali bergerak cepat, menyambar dua lawan yang berada di depan

Krak! Krak!

"Aaa...!"

Sebelah tangan Gardika menghantam ke leher. Sedang tangan yang lain menyodok ke perut pengeroyok yang seorang lagi. Disertai pekik kesakitan, kedua orang itu terjungkal ke belakang.

"Yeaaa...!"

Dua orang pengeroyok menyergap Gardika dari belakang. Tapi, percuma saja. Sebab Gardika dengan cepat menangkisnya. Tidak ada seorang pun yang bisa membokongnya dari belakang. Sebab dengan empat tangan Gardika bisa menangkis sekaligus melepas serangan. Maka mudah saja baginya menghajar orang-orang desa itu.

"Lariii...!" teriak seseorang. "Percuma saja melawannya. Dia tidak bisa dikalahkan!"

Mendengar itu yang lainnya langsung berhamburan menyelamatkan selettibar nyawa masing-masing.

"Huh!" Gardika mendengus geram. Lalu seketika keempat tangannya dihentakkan kerumah-rumah penduduk.

TIGA

Begitu sinar kelabu menghantam dalam waktu singkat empat buah rumah telah hancur porak-poranda. Penghuninya kontan berteriak-teriak dan berlarian keluar, karena rumah mereka bagaikan tersambar petir.

"Ha ha ha...!" Gardika tertawa keras penuh kesenangan. Dia tidak berhenti sampai di situ. Kembali tangannya menghentak ke arah rumah-rumah lain yang belum mendapat giliran.

"Tolong...! Tolooong...!" teriak penduduk desa yang rumahnya ambruk tak berbentuk lagi.

Mereka lari serabutan tak tentu arah. Dan kesempatan itu digunakan Gardika untuk membantai mereka kembali. Seketika tubuhnya berkelebat cepat sambil mengibas-ngibaskan keempat tangannya.

"Hiih!"

Begkh! Duk!

"Aaa...!"

Kedua tangan Gardika bergerak menghantam batok kepala para penduduk satu persatu hingga remuk. Keempat kakinya menyodok perut serta dada sempai pecah. Jerit kematian terdengar sambung-menyambung.

"Lariii...! Selamatkan diri kalian masing-masing!" teriak seseorang.

Agaknya yang lainnya pun tak perlu diberitahu. Sebab dengan sisa-sisa keberanian yang ada, mereka berusaha menyelamatkan keluarga masing-masing untuk kabur ke mana saja. Yang penting berada jauh dari pembuat bencana itu.

Sementara Gardika tenang-tenang saja melihat mereka kabur. Dan dia memang tidak perlu mengejar semuanya. Makhluk ini hanya mengejar ke arah yang dituju sebagian besar penduduk desa yang bergerak lambat. Dalam waktu singkat, Gardika telah menghadang mereka.

"He he he...! Mau lari ke mana kalian? Aku tidak akan membiarkan kalian hidup!" teriak Gardika kegirangan.

"Jahanam terkutuk! Apa maumu sebenarnya?!" bentak salah seorang penduduk desa yang berusaha membulatkan keberaniannya.

"Membunuh kalian!" sahut Gardika dengan seringai menggiriskan.

"Dasar kutukan iblis!"

"Ha ha ha...! Aku tidak peduli apa pun yang kalian katakan yang jelas kalian akan mati di tanganku!"

Setelah berkata begjtu, Gardika langsung mengayunkan dua kakinya kepada dua orang yang berada di dekatnya.

"Uts...!" Kedua orang itu berusaha menangkis. Tapi usaha mereka sia-sia saja karena tenaga lawan lebih kuat. Tangan mereka yang digunakan untuk menangkis seperti habis menghantam besi baja saja. Dan belum sempat mereka berbuat sesuatu, kedua tangan Gardika telah berkelebat cepat menyodok perut dan dada.

Duk! Krek!

"Aaa...!"

Karuan saja, keduanya terpekik dan terjungkal ke belakang tanpa bisa bangun lagi.

Melihat keadaan itu, penduduk yang lain menjerit-jerit ketakutan. Terutama para wanita dan anak-anak. Tapi, Gardika tidak peduli. Dia langsung memperbesar jumlah korbannya tanpa ampun.

"Lari...! Lariii...!" teriak beberapa orang.

Tapi percuma saja mereka melarikan diri. Kelompok yang saat ini berjumlah sekitar dua puluh orang berikut wanita dan anak-anak, tidak bisa bergerak bebas. Gardika berkelebat cepat memecahkan batok kepala serta mematahkan tulang-belulang mereka.

"Aaa...!"

Jerit kematian dan kesakitan bercampur jadi satu. Tak seorang pun saat ini yang bisa menolong. Gardika begitu leluasa menghabisi dalam waktu singkat.

"Ha ha ha...! Mampus kalian semua! Mampus...!" teriak makhluk aneh bertangan dan berkaki empat sambil tertawa lebar.

Sepasang mata Gardika berbinar-binar melihat mayat-mayat bergeletakan bermandi darah. Namun sesaat kegembiraannya berganti. Wajahnya sedikit murung.

"Brengsek! Nenek tentu tidak akan senang melihat hasil latihanku ini. Mereka sama saja seperti batang-batang pohon itu. Lemah tidak berdaya!" gerutu makhluk ini kesal, seraya melangkah. Baru saja Gardika beberapa tombak melangkah....

"Jahanam terkutuk! Apa yang kau perbuat terhadap mereka?!"

Mendadak terdengar bentakan keras dari arah samping. Gardika berhenti, dan langsung menoleh. Bibirnya yang tebal dengan taring runcing menyeringai pada seorang laki-laki bertubuh besar dan berkumis lebat. Di tangannya tergenggam sebatang golok besar. Wajahnya tampak geram penuh kemarahan, memandang tajam Gardika.

"Aku membunuh mereka. Mau apa kau?!" sahut Gardika tidak kalah garang, begitu laki-laki ini sudah berada dua tombak di depannya.

Dan laki-laki itu kontan tercekat melihat wujud Gardika yang bagaikan manusia iblis dari dasar neraka.

Untuk sesaat, laki-laki berkumis lebat itu tidak mampu bersuara. Dia memandang makhluk di depannya dengan mata terbelalak.

"Siapa kau sebenarnya?"

"Namaku Gardika."

"Makhluk apa kau ini?"

"Tidak usah tanya-tanya! Mau apa kau ke sini?!"

Mendengar bentakan itu, laki-laki yang baru muncul ini terkesiap. Dan dia kembali teringat pada niat semula. Matanya memandang sekilas pada mayat-mayat yang berserakan di tanah, lalu memandang penuh kebencian kepada Gardika.

"Setahuku, kami tidak bermusuhan denganmu. Lalu kenapa kau bunuh mereka dengan biadab?!" desis laki-laki ini marah.

"Mereka hendak membunuhku. Maka sudah sepantasnya mereka kubunuh," sahut Gardika seenaknya.

"Bohong! Aku tahu, mereka tidak akan sembarang membunuh kalau kau tidak membuat salah lebih dulu."

"Tidak usah banyak bicara. Kalau kau tidak senang, boleh maju menghadapiku untuk menuntut kematian mereka!"

"Huh, sudah tentu! Aku Legowo juga penduduk desa ini. Dan aku juga berkewajiban membantu mereka."

Setelah berkata begitu, laki-laki bertubuh kekar yang mengaku bernama Legowo ini memutar golok besarnya seraya mendekati.

"Graaakh...!"

Namun sebelum Legowo mulai menyerang, Gardika telah lebih dulu melompat menerkamnya sambil bertariak serak laksana raungan seekor harimau.

"Uts!" Legowo cepat berkelit gesit, sehingga serangan Gardika luput dari sasaran. Namun dua kaki makhluk itu yang lain nyaris menyambar kepalanya, kalau saja tidak menjatuhkan diri.

"Ha ha ha...! Hebat juga kau. Mungkin orang seperti kau yang dikatakan nenek!" teriak Gardika sambil tertawa-tawa kegirangan.

"Huh! Aku tak peduli dengan nenekmu. Jangan harap kau bisa menyamakan aku dengan yang lain!" dengus Legowo geram, begitu bangkit berdiri.

"Ya! Kau beda dengan mereka. Tapi bukan berarti kau kubiarkan hidup. Kau akan menjadi kawan berlatihku yang cukup lumayan," sahut Gardika terang-terangan.

Setelah berkata begitu, makhluk ini menyerang lagi dengan ganas. Dan kali ini, Legowo dibuat kerepotan. Gerakan Gardika gesit dan mengandung tenaga kuat. Setiap kali angin serangannya menerpa, maka Legowo dibuat gelagapan.

"Yeaaa...!" Laki-laki berkumis lebat itu melompat ke belakang menghindari serangan Gardika yang bertubi-tubi. Makhluk itu tak peduli dan terus mengejar. Kedua belah tangannya menyodok ke dada dan muka. Sementara kedua kaki menghantam ke perut dan pinggang.

Plak! Des!

"Aaakh...!" Legowo hanya berhasil menangkis sekali, karena selanjutnya pukulan serta tendangan Gardika bertubi-tubi menghajarnya. Sambil berteriak kesakitan, dia terjungkal ke belakang.

"Hiiih!" Gardika tak mau membiarkannya begitu saja. Tubuhnya langsung melompat menerkam.

"Uhhh...!" Injakan dua kaki Gardika berhasil dihindari, ketika Legowo bergulingan. Namun dua kakinya yang lain bergerak cepat, menyodok ke perut.

Desss...!

"Aaa...!" Legowo terpekik. Isi perutnya pecah. Dan dari mulutnya muncrat darah segar. Sepasang matanya melotot seperti hendak melompat keluar.

"Huh! Hanya segitu saja kepandaianmu!" dengus Gardika kesal.

Setelah mendengus beberapa kali, makhluk ini kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan Desa Sengon yang telah hampir rata dengan tanah. Dilangkahinya mayat-mayat yang berserakan.

********************

Kabar tentang pembantaian di Desa Sengon mulai merambah ke mana-mana, terutama di desa-desa di sekitar Hutan Kemojang. Dalam waktu satu purnama saja, seluruh desa di sekitar hutan itu telah dilanda kecemasan yang amat sangat.

Matahari baru saja terbit di ufuk timur. Sejak semalaman, Gardika tidak berhenti. Kakinya terus melangkah sambil membuat keonaran di mana saja. Menebar maut untuk sekadar memuaskan nafsu amarah!

Memasuki Desa Demban, Gardika mulai hati-hati. Dia tidak terangan-terangan menunjukkan diri. Dari pengalamannya selama ini, ternyata orang-orang kaget melihat wujudnya.

Letak desa itu tidak berapa jauh dari ibukota kadipaten. Kalau menunggang kuda ke arah timur, maka hanya memerlukan waktu kurang lebih setengah hari untuk tiba di ibukota kadipaten. Tidak mengherankan kalau desa ini cukup ramai. Penduduknya kebanyakan hidup dari berdagang. Hanya sebagian kecil saja yang hidup bertani dan membuat alat-alat kebutuhan sehari-hari. Namun sepandai-pandainya Gardika menyembunyikan diri.....

"Hei, Makhluk Aneh! Enyah kau dari sini."

Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar, ketika Gardika tengah mengendap-endap untuk menyembunyikan dirinya dari tatapan aneh penduduk.

Gardika menoleh, melihat seorang laki-laki bertubuh besar dengan kumis melintang. Baju di bagian dadanya terbuka lebar memperlihatkan otot dadanya yang kuat.

"Bukan urusanmu!" sahut Gardika.

"Kurang ajar! Kalau aku bertanya, maka kau mesti menjawab! Kalau tidak.... Hhh!"

Laki-laki itu menggeram sambil mempermainkan gagang golok pinggangnya. Rupanya nyali laki-laki ini cukup besar juga. Dia sama sekali tidak gentar melihat perawakan Gardika yang menyeramkan.

"Aku tidak ada urusan denganmu. Tapi kalau kau mau memukulku, aku terpaksa membunuhmu," sahut Gardika.

"Setan!" Laki-laki yang agaknya berwatak berangasan ini menggeram murka. "Rupanya kau ingin buru-buru mampus di tangan Sudira. Baiklah, akan kukabulkan keinginanmu!" dengus laki-laki ini dingin. Suaranya bergetar menahan marah yang semakin meluap.

Srek!

Secepat kilat laki-laki yang mengaku bernama Sudira mencabut golok. Dia langsung memamerkan kemahiran memainkan senjatanya yang tajam di hadapan Gardika.

EMPAT

"Kudengar selama sebulan ini kau telah membuat keonaran di mana-mana, Makhluk Aneh! Sekarang rasakan golokku! Telah lama dia tidak menghirup darah segar."

"Hiih!" Sebagai jawabannya, Gardika langsung melepas tendangan kilat, membuat Sudira terkejut.

"Heh?!" Buru-buru Sudira menyabetkan golok. Namun dengan gerakan indah sekali, makhluk aneh itu cepat menarik kakinya. Sehingga senjata Sudira cuma menebas angin. Bahkan kaki Gardika yang lain mendadak menyambar ke tengkuk, membuat Sudira tak mampu berkelit. Dan...

Duk!

"Aaakh...!" Tubuh Sudira kontan tersungkur ke depan disertai jerit kesakitan merasakan tulang lehernya yang seperti mau patah.

"Yeaaa...!"

Baru saja Sudira berhasil menjaga keseimbangannya agar tidak jatuh, Gardika telah melompat menerkamnya. Meski pandangannya agak kabur dan kepalanya pusing, tapi dia tahu nyawanya terancam. Secepat kilat laki-laki berangasan ini bergulingan sambil menyabetkan golok.

Wuuut!

Gardika tidak berusaha menghindar.

Tak!

Tepat ketika kaki Gardika terhantam golok, sebelah kakinya yang lain menghantam ke pergelangan tangan. Sementara, kaki yang satu lagi menyodok ke perut dengan keras.

Duk!

"Aaakh...!" Kembali Sudira memekik keras ketika isi perutnya seperti diaduk-aduk akibat tendangan itu. Namun yang lebih mengerikan lagi, tatkala makhluk aneh itu melesat ke atas. Setelah berputaran di udara beberapa kali, tubuhnya meluruk dengan keempat kakinya mengarah ke dada serta perut Sudira.

Bros! Krak!

"Aaa...!" Tulang dada Sudira remuk. Isi perutnya pecah, tatkala keempat telapak kaki Gardika meluluh-lantakkan tubuhnya. Sudira kontan terkulai lemah dengan darah menggenangi tubuhnya. Mati!

Suara-suara pertarungan tadi, rupanya mengundang perhatian beberapa penduduk yang semula tenggelam dengan kegiatan masing-masing. Satu persatu mereka datang melihat pertarungan. Dan begitu melihat kematian Sudira yang mengenaskan, mereka benar-benar tercengang.

Betapa tidak? Sudira dikenal memiliki kepandaian cukup tinggi. Namun hanya beberapa kali gebrak, dia tewas mengenaskan. Jadi jelas, berita tentang makhluk aneh ini bukan isapan jempol belaka. Para penduduk yang memang sudah mendengar tentang adanya makhluk aneh itu. Dan sungguh mereka tidak menyangka kalau kesaktian makhluk itu benar-benar menggiriskan.

"Ohhh?!" Orang-orang tampak semakin bergidik ngeri. Yang wanita menjerit-jerit ketakutan, buru-buru pergi meninggalkan tempat itu.

"Siapa lagi yang mau mengikuti jejaknya?!" teriak Gardika seperti mengejutkan mereka yang tertegun sesaat.

"Kejam...!" desis seseorang.

"Terkutuk! Kabar itu berarti memang benar. Dia makhluk keturunan iblis!"

"Jahanam! Setan berwujud manusia ini ternyata memang suka menyebar petaka di mana-mana!"

"Diam kalian!" bentak Gardika. Makhluk aneh ini tiba-tiba berkelebat cepat dan disambarnya salah seorang penduduk yang berada di dekatnya.

Krep!

Dengan tangan kiri mencengkeram leher baju, tangan kanan Gardika menghantam batok kepala orang itu.

Prak..!

"Aaa...!" Sebelum orang itu sempat berbuat apa-apa, kepalanya sudah remuk terhantam kepalan Gardika yang kokoh.

"Hei?!" Karuan saja, para penduduk semakin ternganga. Kali ini bukan lagi karena takut, namun benci yang menyulut keberanian mereka.

"Aku tidak segan-segan membunuh kalian semua!" dengus Gardika mengancam.

"Kurang ajar! Dia tidak bisa membunuh kita semaunya. Kita mesti melawan!" teriak seseorang, memberi semangat.

"Bunuh dia!"

"Bunuh...!"

Penduduk yang lain pun segera menimpali dengan bersemangat seperti api menyambar minyak.

"Yeaaa...!"

Serentak mereka mengurung, dan langsung mengeroyok Gardika dengan senjata apa saja.

"Gerrr! Keparat! Akan kubunuh kalian semua!" desis Gardika geram dengan tatapan laksana seekor hewan buas.

Tak! Bletak!

"Aaakh...!"

Keempat tangan makhluk aneh ini bergerak menangkis dan menyarangkan pukulan. Demikian pula keempat kakinya. Gardika tidak peduli lagi dengan jerit kesakitan dan pekik kematian. Dalam keadaan seperti itu, dia betul-betul haus darah dan ingin membereskan para pengeroyoknya secepat mungkin.

Duk! Des!

"Aaa...!"

Korban berjatuhan di pihak pengeroyok dengan luka-luka dalam yang amat parah. Dan sebelum jatuh korban lebih banyak lagi.....

"Berhenti...!" Mendadak terdengar teriakan bernada memerintah yang kebetulan sebelum teriakan itu berge-ma, para pengeroyok pun telah bersiap menyingkir untuk menyelamatkan diri masing-masing. Mereka merasa tidak ada gunannya mengantar nyawa percuma menghadapi makhluk aneh itu.

"Jahanam terkutuk! Agaknya tidak puas-puasnya kau menebar maut di mana-mana!"

Orang yang barusan berteriak adalah laki-laki berusia lanjut, sekitar tujuh puluh tahun lebih. Rambutnya telah memutih semua. Tubuhnya tidak terlalu besar. Dan sepintas kelihatannya lemah. Namun sorot matanya tajam laksana sembilu memandang Gardika.

"Ki Gendeng Rupa! Hati-hati. Dia berbahaya sekali!" kata seorang penduduk, memperingatkan.

"Hm...!? Laki-laki tua bernama Ki Gendeng Rupa hanya menggumam tak jelas. Laki-laki tua ini sebenarnya memang seorang tokoh persilatan yang berkepandaian cukup hebat. Tak seorang tokoh pun yang tak mengenal Harimau dari Campa. Dengan jurus-jurusnya yang dahsyat, nama Harimau dari Campa memang telah disegani oleh tokoh-tokoh persilatan.

"Orang tua busuk.! Apakah kau hendak membela mereka?!" dengus Gardika.

"Entah iblis mana kau ini. Tapi kuperingatkan padamu hentikan semua kekejamanmu sekarang juga!" desis Ki Gendeng Rupa.

"Ha ha ha....! Enak saja kau melarangku. Kau kira dirimu siapa?" leceh Gardika.

"Hm.... Agaknya kau keras kepala juga. Aku bukan orang sabar meladenimu berdebat. Karena telah kudengar dan sekarang kulihat kekejamanmu. Maka jangan salahkan kalau aku bertindak keras. Berdoalah kau, mudah-mudahan Yang Maha Kuasa mengampuni dosa-dosamu!"

"Ha ha ha...! Kau hendak berbuat apa padaku? Membunuhku?! Orang tua sinting! Kau boleh coba kalau sudah bosan hidup!"

Ki Gendeng Rupa tidak menyahut lagi. Sebagai jawabannya, tubuhnya mencelat menyerang secepat kilat.

"Heyaaa...!"

Gardika sama sekali tidak berusaha menghindar. Dua tangannya bergerak menangkis pukulan Harimau dari Campa yang bertubi-tubi mengincar batok kepala, dada, hingga perut.

Plak!

Wuuttt...!

Bahkan Gardika masih sempat balas menyerang dengan gerakan tidak kalah gesit. Ki Gendeng Rupa penasaran bukan main. Maka jurus-jurus anehnya pun dikeluarkan. Sebentar-sebentar terlihat kedua tangannya mencakar. Dan di kali lain, terkepal sambil menyodok dengan tiba-tiba. Kelihatannya lemah gemulai, namun sesungguhnya mengandung serangan ganas tak terduga.

"Yeaaa...!"

Kedua tangan Harimau dari Campa yang membentuk cakar menyambar wajah Gardika. Sementara sebelah kakinya mengincar tenggorokan.

Namun, Gardika melayaninya santai saja. Jurusnya terlihat lemah dan tidak berarti. Tapi karena yang memainkannya Gardika, maka keadaannya jadi Iain.

Keduanya tampak silih berganti menangkis dan menyerang. Sementara Ki Gendeng Rupa tampak mulai kerepotan. Kembali terlihat dia menggunakan cakar, setelah serangan pertama gagal.

Dengan nekat Gardika menahan dengan telapak tangan kiri dan sebelah kaki. Kemudian tubuhnya melenting ke atas melewati kepala Harimau dari Campa, sambil melepaskan hantaman.

Prak!

"Aaa...!"

Keadaan seperti itu sama sekali tak diduga Ki Gendeng, Rupa. Dia hanya terkesiap sebentar, dan Gardika tak menyia-nyiakan kesempatan. Saat itu juga, batok kepala Harimau dari Campa remuk. Dan langsung berlelehan ke tanah. Ki Gendeng Rupa tewas tanpa disangka-sangka, begitu ambruk di tanah.

"He he he...! Siapa lagi yang mau menyusul tua bangka ini?!" tantang Gardika pada yang lain.

"Kami yang berjuluk Sepasang Petani Sakti!"

Pada saat itu juga muncul dua lelaki bertubuh sedang, memakai baju serba hitam. Masing-masing membawa arit dan cangkul. Mereka mengaku sebagai Sepasang Petani Sakti.

"Aku Gumira! Dan temanku Ajidarma!" lanjut salah seorang Sepasang Petani Sakti yang membawa cangkul, tanpa rasa ngeri sedikit pun melihat wujud Gardika.

"Kisanak! Kelakuanmu sudah keterlaluan! Kau telah menebar petaka d mana-mana! Apa sebenarnya yang kau inginkan?!" bentak laki-laki yang membawa arit.

"Mereka hendak membunuhku. Bukankah kalian pun melihatnya? Maka sudah sepatutnya aku balas membunuh mereka," sahut Gardika, membela diri.

"Kelakuanmu seperti maling. Mana mungkin mereka akan membiarkanmu begitu saja!" desis Gumira.

"Aku tidak mencuri apa pun dari mereka. Maka jangan menuduh sembarangan! Atau kalian akan segera menyusul si tua bangka ini.'" tuding Gardika pada mayat Ki Gendeng Rupa.

"He he he....! Boleh jadi kau bisa menepuk dada, setelah mengalahkan Harimau dari Campa. Tapi kami tidak bisa disamakan dengannya.'" sahut Gumira lagi, hendak meruntuhkan nyali Gardika.

"Benarkah?!" tanya Gardika seperti bocah yang mendapat mainan kesukaannya. "Berarti ka-lian lebih hebat darinya? Ah! Sungguh kebetulan sekali. Ayo, mari kita bermain-main sampai salah seorang ada yang mampus!"

Setelah berkata begitu, Gardika langsung meluruk menerjang Gumira yang jadi terhenyak karena gertakannya tadi ternyata tidak berjalan mulus. Dia berharap makhluk aneh ini ciut nyalinya. Tapi, malah kegirangan mendengar mereka lebih hebat dari Ki Gendeng Rupa.

"Hup!" Sambil membuang tubuh ke samping menghindari terjangan tangan kanan Gumira menangkis.

Plak!

Tapi serangan Gardika tidak berhenti sampai di situ. Karena tiga tangannya yang lain telah menyerang secara bergantian. Dan ini membuat Gumira harus jungkir balik menyelamatkan diri. Serangan itu bukan saja sangat cepat, tapi juga terasa mengandung tenaga dalam kuat. Kalau saja menemui sasaran bukan tidak mungkin Gumira akan terluka dalam. Paling tidak, tulang-tulang patah.

"Gila!" desis Gumira sambil melompat jauh menghindari serangan yang bertubi-tubi.

"He he he...! Tunggu apa lagi? Ayo cabut senjatamu. Dan, ajak kawanmu itu untuk membantu!" tantang Gardika seraya menghentikan serangannya sesaat.

"Huh! Aku sendiri pun masih mampu meladenimu!" dengus Gumira dengan hati panas karena merasa direndahkan.

"Kuberi kesempatan. Dan bila kau tidak menggunakan sebaik-baiknya, maka rasakan akibatnya!" bentak Gardika, begitu menganggap enteng. "Yeaaa...!" Kembali Gardika mencelat menyerang secepat kilat.

"Hup!" Gumira melompat ke samping. Namun Gardika terus mengejarnya. Maka terpaksa dia menjatuhkan diri. Sambil bergulingan cangkulnya dibabatkan ke tubuh Gardika.

Wuuuttt...!

Melihat lawan mengayunkan cangkul, Gardika maju tiga langkah. Langsung dipapasnya batang cangkul dengan tangan kirinya sampai patah.

Krakkk!

Lalu bersamaan dengan itu, kaki kanan makhluk aneh ini menyodok ke perut.

Desss...!

"Aaakh...!" Gumira kontan menjerit kesakitan. Tubuhnya terlempar ke belakang. Sementara Gardika terus jungkir balik mengejar, untuk menghabisi sekaligus.

"Jahanam...!" desis Ajidarma geram sambil melompat menyerang Gardika untuk menyelamatkan Gumira.

"Hiih!" Meski secepat apa pun gerakan Ajidarma, tetap tak akan berhasil menyelamatkan kawannya. Kedua kali Gardika lebih dulu menghantam dada Gumira.

Jrott!

"Aaa...!"

Terdengar derak tulang-tulang dada Gumira yang patah dan melesak ke dalam. Satu dari Sepasang Petani Sakti terpekik. Nyawanya melayang sesaat kemudian. Pada saat yang sama, serangan Ajidarma meluncur datang. Seketika Gardika mengebutkan tangannya, menangkis.

Plak!

Ajidarma menyeringai ketika tangannya terasa sakit bukan main saat berbenturan. Dan belum lagi habis kagetnya, kedua tangan Gardika telah bergerak silih berganti, berusaha menyarangkan pukulan ke tubuhnya. Terpaksa dia melompat ke belakang sambil mencabut senjata kebanggaannya.

Sret!

"Yeaaa...!"

"He he he...!" Gardika malah tertawa mengekeh melihat Ajidarma menyabetkan senjata ke arahnya.

"Senjata itu tidak berguna di depanku.'" lanjut Gardika sombong.

Kesombongan Gardika memang bukan tanpa alasan. Padahal, Ajidarma telah mengerahkan segenap tenaga untuk membabatkan senjatanya. Namun lihai sekali Gardika menghindar. Bahkan serangan baliknya amat mengagetkan. Dengan tiba-tiba, sebelah tangan makhluk aneh ini mencengkeram pergelangan tangan Ajidarma yang menggenggam arit.

"Hiih!" Sekali sentak, tubuh Ajidarma tersuruk ke arah Gardika. Namun laki-laki ini sudah nekat. Daripada mati sia-sia, dia memilih lebin baik mati bersama lawan. Maka dengan mengerahkan seluruh tenaga, tangan kirinya dikepalkan kuat-kuat dan langsung menyodok dada kiri.

Plak!

Gardika membuka telapak tangan kirinya, menangkis serangan. Lalu bersamaan dengan itu, lutut kirinya menyodok ke lambung Ajidarma.

Duk!

"Aaakh...!" Karuan saja, laki-laki itu menjerit kesakitan. Belum cukup sampai di situ, Gardika berkelebat ke atas. Lalu tiba-tiba kedua kakinya menghantam batok kepala Ajidarma.

Prak!

"Aaa...!" Ajidarma terpekik lemah. Tubuhnya sempoyongan sebentar, sebelum akhirnya ambruk tak berdaya di dekat mayat kawannya. Tamat sudah riwayat Sepasang Petani Sakti.

"Ohhh...!" Orang-orang yang melihat kejadian itu dari tempat persembunyian, memandang takjub bercampur ngeri.

"Gila! Manusia seperti apa dia? Kejam dan telengas sekali!" desis seseorang.

"Orang itu pasti keturunan iblis!" umpat yang lain.

Tapi seperti juga yang lain, mereka hanya memaki tanpa berani bertindak. Kalau saja Ki Gendeng Rupa dan Sepasang Petani Sakti binasa di tangan makhluk aneh itu, maka apa artinya perlawanan mereka?

"Siapa lagi yang mau menyusul mereka? Ayo keluar! Cepat keluar sebelum kuratakan tempat ini!? teriak Gardika garang.

********************

LIMA

Seorang pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung mempercepat laju kuda hitamnya ketika matahari hendak tergelincir ke barat. Siang terik telah terlewati. Dan bayangannya di tanah kini bertambah panjang. Sementara hutan di sampingnya belum juga habis dilewati.

"Hhh.... Sebentar lagi aku tiba di sana," gumam pemuda itu. "Ayo, Dewa Bayu! Percepat larimu. Kita mesti tiba secepatnya di sana!"

"Hieee...!" Kuda berbulu hitam yang dipanggil Dewa Bayu meringkik halus seraya mempercepat larinya, membuat rambut panjang pemuda itu berkibar-kibar. Di samping, tampak batang-batang pohon terlihat seperti berkejar-kejaran.

Namun mendadak kuda itu menghentikan larinya ketika di depan terlihat mayat-mayat bergelimpangan. Dengan gerakan indah sekali, pemuda berbaju rompi putih itu melompat turun. Langsung dihampirinya mayat-mayat itu.

"Ohhh...!" Terdengar erangan lemah.

Rangga menoleh, melihat seorang yang bergelimpangan menggeliat. Cepat dihampirinya orang itu dan diperiksa lukanya.

Tulang dada orang itu tampak remuk. Tubuhnya tergenang darah. Lukanya cukup parah, namun daya tahan tubuhnya hebat sekali.

"Kisanak! Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini semua?" tanya pemuda itu.

"Makhluk itu...," sahut laki-laki berusia empat puluh tahun yang tengah sekarat.

"Siapa yang kau maksudkan?" kejar Pendekar Rajawali Sakti.

"Namanya Gardika..."

"Gardika! Makhluk bermuka dua, bertangan dan berkaki empat itu? Hm.... Jadi benarkah yang kudengar tentangnya?"

Laki-laki yang tengah sekarat itu tak kuasa menjawab. Kepalanya sudah terkulai lemah. Dan napasnya putus sudah.

Pemuda berbaju rompi putih ini menghela napas. Mayat-mayat disekitar tempat ini mempunyai luka yang hampir sama. Dada remuk dengan perut pecah. Sebagian, batok kepala mereka retak.

"Sungguh terkutuk dia!" desis pemuda ini, geram setengah mati.

Pemuda itu bangkit berdiri. Dihampirinya kuda hitamnya. Dan dengan gerakan ringan, dia melompat ke punggung kuda.

"Ayo, Dewa Bayu bawa aku secepatnya ke tempat tujuan! Heaaa...!"

Seketika, kuda itu kembali berlari sekencang-kencangnya, menerobos pinggiran hutan.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

"Aku telah tiba di rumah Balung Perkasa...," gumam pemuda berbaju rompi putih di atas punggung kuda hitam bernama Dewa Bayu.

Pemuda tampan ini memang telah berada di depan sebuah rumah berpekarangan luas. Tampak dua penjaga berdiri tegak memegang tombak mengapit pintu gerbang.

"Maaf, Kisanak! Inikah kediaman Ki Balung Perkasa?" tanya pemuda ini.

"Betul. Siapakah Kisanak? Dan, ada keperluan apa dengan Ki Balung?" tanya seorang penjaga.

"Namaku Rangga...."

"Ah! Jadi kaukah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?!" tukas penjaga itu dengan wajah kaget.

Pemuda tampan berbaju rompi putih yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti itu mengangguk.

"Kalau begitu silakan, Pendekar Rajawali Sakti! Majikan kami telah menunggu!" sahut penjaga itu, penuh hormat.

Pendekar Rajawali Sakti turun dari kudanya. Salah seorang penjaga mengambil tali kekang kudanya dan membawanya ke istal. Sementara yang bicara dengan Rangga tadi membawanya ke pendopo utama. Di pendopo, Rangga diperkenalkan dengan seorang abdi dalem yang menjadi pembantu Ki Balung Perkasa.

"Silakan, Pendekar Rajawali Sakti!" ucap laki-laki setengah baya berusia sekitar empat puluh lima tahun.

"Terima kasih, Paman," sahut Pendekar Rajawali Sakti, ramah.

"Beliau memang sudah menunggu bersama yang lainnya."

"Hm, beliau mengadakan semacam pertemuan para pendekar, Paman?"

"Begitulah kira-kira...."

"Berapa orang yang berada di sana?"

"Enam orang, termasuk beliau sendiri."

Rangga mengangguk. Kini mereka telah berada di depan pintu sebuah ruangan besar yang berlantai kayu jati. Dinding di dekat pintu penuh ukiran-ukiran indah dan menarik.

"Sebentar aku ke dalam untuk memberitahu beliau," kata abdi dalem itu.

Pendekar Rajawali Sakti kembali mengangguk. Kemudian orang itu lenyap di dalam ruangan. Sementara, Rangga tampak mengagumi keadaan di sekitar tempat ini.

"Hm, aku berani bertaruh kalau Ki Balung Perkasa ini seorang kaya lagi berpengaruh. Mungkin juga pembesar kerajaan yang memilih tinggal di perkampungan sepi ini," gumam Rangga.

Tengah asyik Pendekar Rajawali Sakti mengagumi keadaan di tempat ini, abdi dalem tadi telah kembali.

"Silakan, Pendekar Rajawali Sakti. Beliau telah menunggu...," ucap laki-laki itu.

"Terima kasih." Tanpa ragu-ragu Rangga masuk ke dalam. Dan abdi dalem tadi menutup pintu. Rangga sedikit tercekat. Tempat yang dimasukinya ternyata bukan sebuah ruangan besar seperti yang diduga, melainkan sebuah lorong gelap.

"Apa-apaan ini?" desis Pendekar Rajawali Sakti pelan dan agak kesal.

"Selamat datang, Pendekar Rajawali Sakti! Silakan masuk ke ruanganku!"

Mendadak terdengar satu suara, namun tidak ketahuan wujudnya. Rangga memandang berkeli-ling. Namun yang dilihatnya hanya kegelapan.

"Kenapa malu-malu Pendekar Rajawali Sakti. Silakan datang ke tempat kami!" lanjut suara tadi.

Pemuda itu tersenyum ketika mengetahui maksud Ki Balung Perkasa. "Hm... Orang tua ini agaknya hendak mengujiku...."

Set! Set!

"Heh?!" Rangga tersentak ketika mendadak melesat beberapa sinar putih keperakan ke arahnya.

"Hup!" Cepat Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas. Namun beberapa sinar putih keperakan yang tak lain adalah senjata rahasia terus menerjangnya.

Tap! Tap!

Dengan mengandalkan penglihatan serta pendengaran yang tajam, beberapa senjata rahasia berupa pisau kecil dapat ditangkap lewat sela-sela kesepuluh jari Pendekar Rajawali Sakti.

"Hiih!" Dengan kecepatan luar biasa, Pendekar Rajawali Sakti menyentakkan pisau-pisau kecil itu ke arah datangnya tadi. Seketika terdengar beberapa orang kalang kabut menghindari serangan balik itu.

Belum lagi habis serangan gelap barusan, mendadak terasa sesuatu mendesis dari segala arah. Samar-samar Pendekar Rajawali Sakti melihat asap putih bergerak cepat mengurungnya.

"Hm...." Rangga merapatkan kedua telapak tangannya dengan kuda-kuda kokoh.

"Aji Bayu Bajra...!" teriak Pendekar Rajawali Sakti, sambil menghentakkan kedua tangannya. Dia segera memutar tubuhnya, seraya terus mengarahkan aji 'Bayu Bajra' hingga seperempatnya.

Wuusss!

Bersamaan dengan itu, bertiup angin kencang bagai topan yang bergerak cepat, melabrak asap putih yang mengurungnya. Bahkan hebatnya lagi, ruangan ini terasa bergoyang-goyang seperti dilanda gempa. Benda-benda yang berada di ruangan berpindah tempat, terpental, dan pecah karena terjatuh.

"Cukup, Pendekar Rajawali Sakti!"

Kembali terdengar suara. Dan Rangga pun menghentikan tindakannya. Tidak berapa lama kemudian mendadak ruangan ini menjadi terang menderang, karena jendela-jendela yang mengelilinginya terbuka lebar dari luar. Cahaya obor menyeruak ke dalam. Dan dari beberapa buah pintu, muncul orang-orang bersenjata lengkap.

Pendekar Rajawali Sakti tenang saja. Matanya tertuju ke depan, pada seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun. Pakaiannya sederhana. Dia didampingi beberapa orang yang agaknya anak buahnya. Orang tua berwajah polos tanpa jenggot dan kumis itu tersenyum ramah seraya melangkah lebar menghampiri.

"Selamat datang di tempatku, Pendekar Rajawali Sakti!" sambut orang tua ini.

"Terima kasih, Ki Balung Perkasa! Keramah-tamahanmu telah kurasakan dengan baik," sahut Rangga.

Meski belum pernah bertemu sebelumnya, namun Rangga yakin dialah pemilik tempat ini. Dan ternyata benar Ki Balung Perkasa.

"Ha ha ha...! Maafkan penyambutanku yang tidak semestinya. Telah kudengar nama besarmu dari jauh-jauh hari dan menggelitikku untuk membuktikan kebenarannya. Dan permainan kecil tadi telah membuka mataku bahwa apa yang kudengar itu ternyata tidak berlebihan,? sahut Ki Balung Perkasa seraya mengajak tamunya keluar melalui salah satu pintu di ruangan ini.

"Apa yang kau dengar, kebanyakan cerita bohong yang ditiupkan orang yang tidak bertanggung jawab, Ki. Aku hanyalah seorang pemuda yang perlu bimbingan dari orang sepertimu, Ki," sahut Rangga merendah.

Ki Balung Perkasa mengekeh pelan. Kini mereka tiba di sebuah ruangan luas, namun sederhana. Di sana telah berkumpul beberapa orang, Bukan enam seperti yang dikatakan orang tadi kepadanya, tapi lebih.

Rangga duduk pada sebuah kursi yang tidak jauh dari Ki Balung Perkasa. Sedang orang tua itu sendiri duduk di sebelah kursi lebar, dan saling berhadap-hadapan dengan tamu-tamunya.

"Para hadirin! Hari ini telah lengkap kedatangan tamu kita yang terakhir, yaitu Rangga alias si Pendekar Rajawali Sakti!" seru Ki Balung Perkasa, lantang.

Rangga bangkit dari kursinya seraya menjura hormat pada tamu-tamu lain. Mereka pun membalas salam hormatnya. Kemudian Ki Balung Perkasa sendiri segera memperkenalkan para tokoh persilatan itu satu persatu kepada Pendekar Rajawali Sakti.

"Sebagian tentu mengerti, mengapa aku mengundang kalian semua ke tempatku ini. Namun begitu, beberapa lainnya tentu masih diliputi tanda tanya, bukan?" lanjut Ki Balung Perkasa langsung membuka persoalan setelah acara perkenalan selesai.

"Ya, aku juga masih belum mengerti, Ki!" sahut Rangga. "Bisakah kau menjelaskannya?"

"Persoalan ini menyangkut urusan yang belakangan ini terjadi. Yaitu pembantaian yang dilakukan seorang makhluk aneh bernama Gardika," jelas Ki Balung Perkasa.

Orang-orang yeng berada dalam ruangan itu mengangguk-angguk.

"Kerajaan mengutusku untuk membereskan persoalan ini, karena dianggap penting. Sebab dalam waktu satu purnama, telah terjadi korban lebih dari seratus orang," lanjut orang tua itu.

"Ya! Sebelum tiba di sini, aku bertemu orang-orang yang menjadi korbannya. Apakah kau mengetahui, apa maksud Gardika membunuh orang-orang itu, Ki?" tanya seorang gadis muda membawa pedang di punggung.

"Alasannya tak jelas, Sekartaji! Tapi beberapa anak buahku mengatakan bahwa orang ini laksana hewan buas. Dia haus darah dan ingin membunuh sebanyak-banyaknya. Kesulitanku adalah, Gardika bukan orang sembarangan. Beberapa anak buahku yang kuutus membereskannya, banyak yang mati," lanjut Ki Balung Perkasa, menjelaskan pada gadis bernama Sekartaji.

"Lalu apa yang hendak kau rencanakan mengumpulkan kami di sini, Ki?" tanya Rangga.

"Itulah! Pihak kerajaan merasa kewalahan. Bila mengutus para prajurit, dikhawatirkan akan menjadi makanan empuk baginya. Maka itu, aku punya prakarsa mengumpulkan para pendekar agar kiranya sudi membantuku. Dan untuk itu, tentu saja akan ada imbalannya bagi kalian semua," jelas Ki Balung Perkasa.

"Berapa imbalan yang bisa kau berikan kepada kami?" tanya seorang laki-laki bertubuh gemuk dengan brewok lebat. Dia duduk agak di belakang.

"Apakah dua puluh lima keping emas masih kurang, Aswatama?" Ki Balung Perkasa balik bertanya sambil tersenyum.

"Ha ha ha...! Benarkah? Itu jumlah yang hebat!" sahut laki-laki bertubuh gemuk dengan senjata golok besar yang dipanggil Aswatama.

Aswatama alias si Golok Terbang tertawa bergelak mendengar jumlah yang disebutkan. Mungkin jumlah itu dianggapnya kelewat besar untuk tugas yang dianggapnya ringan.

"Jumlah itu kelewat sedikit!" Terdengar suara yang bernada meremehkan.

"Hm, berapakah jumlah yang pantas untukmu, Ki Sugala?" tanya Ki Balung Perkasa sambil tersenyum.

Lelaki dengan dahi lebar dan mata agak sipit yang bernama Ki Sugala tersenyum tengik. "Dia telah membunuh Ki Gendeng Rupa dan Sepasang Petani Sakti. Padahal, kita tahu bahwa kedua orang itu bukan tokoh sembarangan. Ini membuktikan kalau Gardika bukan orang sembarangan. Maka tugas ini terasa berat dengan mempertaruhkan nyawa. Aku tidak mau dihargai dua puluh keping emas, karena itu bukan harga yang pantas untuk nyawaku. Untukku, paling tidak seratus keping emas!" lanjut Ki Sugala.

"Ya! Kurasa usul Ki Sugala memang pantas!" sambut seorang wanita tua bertubuh kurus dengan rambut kelabu.

Orang-orang persilatan tahu, siapa wanita itu. Dia adalah tokoh terkenal bernama Nyi Pacet alias Lintah Penghisap Darah.

"Harga yang disebutkan Ki Balung Perkasa tidak pantas untuk pekerjaan ini. Kita tidak bekerja sukarela. Tapi, menerima upah!" lanjut Nyi Pacet. "Bukan begitu, Ki Dawala?" Lintah Penghisap Darah menoleh pada laki-laki kumis berhidung panjang.

"Bagaimana, Ki Balung Perkasa? Apakah kau setuju menaikkan imbalan yang kami terima?" desak tokoh yang dipanggil Ki Dawala oleh Nyi Pacet.

Ki Balung Perkasa berpikir sebentar, lalu mengangguk setuju. "Baiklah.... Aku setuju tiap seorang dari kalian mendapat imbalan seratus keping emas. Berhasil ataupun tidak, kalian akan mendapat imbalan seratus keping emas. Tapi tidak kuberikan sekarang, melainkan nanti setelah pekerjaan ini selesai. Sebagai awalnya, maka kalian kuberi bekal masing-masing tiga keping emas. Bagaimana? Setuju?"

Hampir semua mengangguk mendengar keputusan itu, kecuali Rangga. Bagi Pendekar Rajawali Sakti, persoalan itu bukan masalah pekerjaan yang perlu imbalan, tapi tanggung jawab seorang pendekar terhadap tindakan kesewenang-wenangan.

"Nah! Kalau begitu kalian boleh mencarinya sekarang juga. Tangkap Gardika hidup atau mati. Dan, bawa ke sini!" lanjut Ki Balung Perkasa.

"Beres, Ki!"

Ki Balung Perkasa bertepuk tangan. Maka dua anak buahnya mendekat seraya membawa sekantung uang.

"Siapa saja boleh maju bergiliran untuk menerima bagian bekalnya!" lanjut Ki Balung Perkasa.

Maka satu persatu para tokoh persilatan itu maju ke depan. Setelah mengambil bekal, mereka segera berlalu diantar para pengawal Ki Balung Perkasa.

Melihat itu Rangga tenang-tenang saja. Dia belum beranjak dari tempatnya. Bahkan setelah semuanya selesai mendapat bagiannya.

"Kenapa kau tenang-tenang saja, Pendekar Rajawali Sakti? Apakah tidak ingin mengambil bagianmu?" tanya Ki Balung Perkasa, heran.

"Kedatanganku kesini adalah memenuhi undanganmu. Dan itu bukan berarti aku mesti memenuhi permintaanmu. Apalagi, sampai mematuhi perintahmu," sahut Rangga datar.

"Maafkan kalau kau merasa tersinggung karena kejadian ini, Rangga...," ucap Ki Balung Perkasa, jadi tidak enak sendiri.

"Tidak mengapa. Aku belum mengenalmu lebih jauh. Dan juga tidak tahu, siapa kau sebenarnya sampai mendapat kepercayaan dari kerajaan sehingga mengurusi soal ini?"

"Aku penasihat Kerajaan Girilayu ini. Juga penasihat pribadi Gusti Prabu Arga Sena. Beliau sendiri yang memberi mandat kepadaku untuk menyelesaikan persoalan ini. Aku punya surat perintah untuk itu," jelas Ki Balung Perkasa.

"O, begitu? Baiklah. Kalau begitu, aku mohon pamit dulu, Ki."

"Tunggu dulu, Rangga! Apakah kau bersedia membantuku?" cegah Ki Balung Perkasa.

"Bantuan apa yang bisa kuberikan?" tanya Rangga sambil melangkah menuju ke depan.

"Menumpas Gardika," sahut Ki Balung Perkasa, terus membuntuti.

Rangga tersenyum. "Itu sudah menjadi tugas dan kewajibanku, Ki. Perbuatannya tidak bisa dimaafkan," kata Rangga.

"Ah! Terima kasih, Rangga! Aku amat menghargai bantuanmu ini."

"Tidak usah terlalu berlebihan, Ki. Aku mengerjakannya karena sukarela. Bukan ingin imbalan darimu."

"Kau memang pendekar sejati, Pendekar Rajawali Sakti!" puji Ki Balung Perkasa.

"Jangan kelewatan memujiku, Ki. Aku manusia biasa seperti yang lain. Kalau begitu aku pamit dulu, " sahut Rangga setelah melihat kudanya dibawa ke halaman depan pintu keluar ruangan yang dimasuki tadi.

"Aku tidak bermaksud memuji, tapi kenyataan!"

Rangga hanya tersenyum lalu melompat ke punggung kudanya. Dan setelah memberi salam hormat dia bergegas menggebah kudanya. "Heaaa...!"

Setelah melewati rumah itu, Rangga tidak berhenti lagi. Dia terus memacu kudanya untuk segera keluar dari desa ini secepatnya.

Baru saja melewati batas desa, Pendekar Rajawali Sakti terpaksa melambatkan laju kuda. Bahkan pada jarak tertentu, berhenti sama sekali ketika beberapa orang menghadang jalannya.

"Berhentilah sebentar, Pendekar Rajawali Sakti!" seru perempuan tua bertubuh ramping yang membawa cambuk di tangan kanan.

"Nyi Pacet? Ada apa gerangan?" tanya Rangga heran.

Rangga juga memandang yang lainnya. Mereka adalah orang-orang yang tadi ditemuinya di tempat Ki Balung Perkasa, yakni Ki Sugala, Ki Aswatama, Ki Dawala yang bertampang lucu dengan hidungnya yang panjang, dan Nyi Pacet sendiri.

"Berapa Ki Balung Perkasa memberimu?" tanya wanita tua itu, curiga.

Rangga tersenyum. Dan dia mulai mengerti, apa keinginan mereka yang sebenamya mencegatnya di sini.

"Kalau itu yang kau tanyakan, maka biar kukatakan sejujurnya bahwa aku tidak menerima uang sekeping pun!" sahut Rangga seadanya.

"Dusta! Jangan membohongi kami!" tukas Nyi Pacet sambil berkacak pinggang dan menuding garang.

"Apa maksudmu, Nyi Pacet? Kau bertanya, lalu kujawab dengan jujur. Dan tahu-tahu, seenaknya saja menuduhku berdusta!" sahut Pendekar Rajawali Sakti mulai tak senang.

"Ki Balung Perkasa menyambutmu dengan baik. Sementara kami tidak. Dia juga menyuruhmu antri paling akhir, dan menyuruh kami lebih dulu keluar. Itu tidak adil! Kau pasti mendapat bagian yang lebih dibanding kami!" tuduh Nyi Pacet, keterlaluan.

ENAM

"Tuduhan itu tidak beralasan. Kalian boleh tanyakan sendiri pada beliau!" sahut Rangga.

"Mana mungkin dia mau jujur! Kalian telah bersekongkol!" tuding Ki Aswatama.

"Terserah, apa pendapat kalian. Tapi jangan kira aku menerima tugas yang diberikannya. Ki Balung Perkasa tidak punya hak memerintahku meski dengan imbalan! Bukan sombong. Uang seratus keping emas bisa kudapatkan dengan mudah. Bahkan, lebih dari itu. Jadi buat apa mesti kemaruk segala?!"

"Huh, dasar sombong!" dengus Ki Sugala.

"Mulutmu kelewat besar, Anak Muda! Mungkin selama ini kelakuanmu pun sama!" timpal orang yang bernama Dawala.

"Sudah lama aku mendengar namanya yang melejit sampai ke mana-mana. Sehingga, kau jadi besar kepala! Kali ini mumpung ada kesempatan, ingin kubuktikan apakah kehebatanmu sama dengan yang dihebohkan orang!" ujar Nyi Pacet alias Lintah Penghisap Darah.

"Nyi Pacet! Tidak usah memperbesar persoalan kecil. Aku tidak merasa diriku hebat. Itu hanya kabar bohong. Dan orang setuamu kenapa percaya tentang kabar bohong?" tukas Rangga.

"Phuih! Kau coba mengelabuiku? Ayo, cabut pedangmu! Ingin kulihat, sampai di mana keampuhan pedangmu!" bentak Lintah Penghisap Darah.

"Jangan memaksaku, Nyi Pacet..."

"Anak muda! Jangan berlagak di depan kami! Kalau kau takut dikeroyok, maka kami akan menonton pertarungan kalian saja!" teriak Ki Aswatama.

"Ya! Perlihatkan pada kami, kalau kau memang seorang pendekar besar!" timpal Ki Sugala.

"Atau barangkali semua itu hanya omong kosong? Karena, sesungguhnya dia hanya seorang badut!" ejek Dawala.

Mendengar ejekan itu rasanya merah juga telinga Pendekar Rajawali Sakti. Dipandangnya Lintah Penghisap Darah dengan tajam. "Kau yang menginginkannya, maka silakan mulai!" sahut Rangga dingin.

Lintah Penghisap Darah langsung melompat menyerang ketika Pendekar Rajawali Sakti baru saja turun dari kuda. Ujung cambuknya melesat bagai kilat menyambar ke dada.

"Hup!" Ctar...!

Pendekar Rajawali Sakti keburu melejit ke atas, sebelum ujung cambuk melukainya. Tubuhnya bergulung di udara, lalu meluruk mendekati dengan tendangan kilat.

"Hiyaaa...!"

"Uhhh...!" Nyi Pacet terkesiap melihat pemuda itu mampu bergerak secepat ini. Terpaksa wanita itu melompat ke samping sambil menunduk.

"Hiih!" Begitu menjejak tanah, Rangga terus mengejar. Kepalan tangan kanannya meluncur deras ke muka. Sebisanya Lintah Penghisap Darah menangkis dengan telapak kiri.

Plak!

Tapi, ujung kaki kiri Rangga telah menyusuli dengan sodokan ke dada.

Wut!

"Setan!" Sambil memaki geram, Nyi Pacet terpaksa mencelat ke belakang. Bahkan cambuknya belum lagi sempat dihempaskan. Namun, Pendekar Rajawali Sakti telah mengejar lewat tendangan beruntun yang harus ditangkis dengan kalang kabut.

Memang bukan hanya wanita tua itu yang sudah jatuh nyalinya melihat serangan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan kuda-kudanya juga mulai goyah. Dan ketika pemuda itu melakukan gerak tipu dengan menyodorkan kepalan kiri, Nyi Pacet cepat menangkis.

Plak!

Namun secepat itu pula Rangga berputar ke kiri. Sementara kaki kanannya menyapu pinggang dengan gerakan indah dan cepat. Sehingga....

Desss...!

"Aaakh...!" Nyi Pacet mengeluh kesakitan, ketika tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat telak di pinggangnya.

"Kurang ajar!" maki Lintah Penghisap Darah geram, berusaha tegak berdiri dengan mantap. Sorot mata perempuan tua ini tajam memandang Pendekar Rajawali Sakti penuh kebencian.

"Kurasa urusan ini disudahi saja," ujar Pendekar Rajawali Sakti. Tapi begitu Rangga hendak berbalik menghampiri kudanya....

"Berhenti kau, Bocah!" bentak Lintah Penghisap Darah, garang.

"Ada apa lagi, Nyi Pacet?" tanya Rangga sambil berbalik dengan malas-malasan.

"Apa kau kira begitu mudah menyelesaikannya begitu saja? Aku belum kalah, Bocah!" dengus Nyi Pacet.

"Lalu, apa lagi maumu?" tukas Pendekar Rajawali Sakti, kalem.

"Kau belum merasakan jurus-jurusku yang lain! Bersiaplah menerima jurus 'Lintah Mengerubung Kerbau'!"

Setelah berkata begitu, Nyi Pacet bersiap menyerang dengan menggunakan jurus andalannya. "Yeaaa...!"

Cambuk perempuan ini mulai berputar-putar. Dan bersamaan dengan itu, kaki kanannya siapmenyusul bila serangannya gagal.

"Hup!" Ctar!

Begitu bergerak, cambuk Lintah Penghisap Darah langsung mengincar pada jalan kematian di tubuh Rangga. Sejenak Pendekar Rajawali Sakti kerepotan menghindarinya. Kali ini, agaknya perempuan tua itu hendak menggunakan siasat penyerangan jarak jauh untuk merepotkan lawan.

"Hup! Heaaa...!"

Tapi Rangga akhirnya tidak mau berlama-lama. Langsung dikerahkannya gabungan jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Jurus yang mengutamakan kecepatan bergerak dan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi ini memiliki keampuhan untuk mengecoh.

"He, kurang ajar!"

Ctar! Ctarrr...!

Nyi Pacet menggeram kesal. Cambuknya bergerak ke segala arah, namun tak mampu mengimbangi gerakan Pendekar Rajawali Sakti. Dan akhirnya, hanya sia-sia saja yang didapatkan.

"Hiih!"

Sebaliknya serangan balik Pendekar Rajawali Sakti begitu dahsyat. Dengan satu gerakan mengagumkan, Rangga meluruk dengan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Tubuhnya berkelebat cepat sambil mengibaskan tangannya cepat.

Desss...!

"Aaakh...!" Nyi Pacet memekik kesakitan begitu dadanya terhantam kibasan tangan Rangga. Tubuhnya terjungkal ke belakang tanpa mampu bangkit disertai muntahan darah.

"Di antara kita tak ada saling permusuhan, maka jangan kelewat memaksaku!" ujar Pendekar Rajawali Sakti kesal, seraya meninggalkan Nyi Pacet yang terengah-engah duduk di tanah.

Tapi belum lagi Pendekar Rajawali Sakti menggebah kudanya, mendadak berkelebat satu sosok tubuh yang langsung berdiri menghadang. Bentuk tubuhnya benar-benar mengejutkan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan Dewa Bayu sempat terkejut dan meringkik.

"Hieee...!"

"He, apa ini?!"

"Astaga! Itu Gardika!" desis Ki Sugala, yang pernah mendengar ciri-ciri sosok yang menghadang Rangga.

"Ya! Itu Gardika...!" timpal Ki Dawala.

Sementara Rangga langsung melompat turun dari punggung kudanya. Dia tegak berdiri mengawasi makhluk di depannya, seorang pemuda bermuka dua. Hidungnya besar dengan sepasang taring di sudut bibirnya. Kakinya empat dan tangannya pun empat.

"Kepung dia...!" bentak Ki Aswatama, mengagetkan Rangga yang masih terkesima melihat orang yang belakangan menghebohkan semua kalangan.

Ki Sugala dan Ki Dawala serentak melompat mengepungnya. Sementara dengan tertatih-tatih Nyi Pacet ikut pula menghampiri.

"Untuk sementara lupakan dulu persoalan kita, Anak Muda! Persoalan sebenarnya telah berada di depan mata. Ini yang lebih utama!" seru Ki Aswatama. "Kita mesti saling bantu-membantu!"

Pemuda itu tidak menjawab. Matanya masih memandang tajam kepada Gardika yang berwujud aneh di depannya.

"Jadi, kaukah yang bernama Gardika?" Tanya Rangga dingin.

"Ya! Kudengar ribut-ribut di sini. Maka aku datang untuk melihatnya. Lalu, kulihat kalian bertarung. Dan itu semakin menggembirakanku," sahut Gardika polos tanpa beban.

"Huh! Kami tidak bermaksud membuatmu senang!" dengus Nyi Pacet.

"Ha ha ha...! Kalau begitu, maka biarkan aku yang mencari kesenangan dengan bertarung melawan kalian!" sahut Gardika cepat. "Pertarungan. seru sampai kalian mampus!"

"Iblis keparat!" umpat Ki Sugala.

"Ha ha ha...! Kenapa tidak kau saja yang lebih dulu maju?"

"Takut apa aku denganmu?!" dengus Ki Sugala.

Sring!

Secepat itu juga Ki Sugala mencabut pedangnya. Dan dengan waktu yang hampir bersamaan, Ki Aswatama pun mencabut sepasang golok besarnya. Sementara, Nyi Pacet telah siap dengan cambuk. Dan Ki Dawala dengan tongkatnya.

"Kenapa kau tidak mengeluarkan senjatamu seperti mereka?" tanya Gardika, pada PendekarRajawali Sakti.

"Nanti akan kuperhitungkan, apakah senjataku perlu untuk dikeluarkan!" sahut Rangga pendek.

"Ha ha ha...! Sayang sekali! Padahal aku lebih suka bertarung denganmu. Kulihat, kau hebat ketika bertarung dengan nenek peot itu!"

"Akan kita lihat, apakah keinginanmu terpenuhi," sambung Rangga, kalem.

"Anak muda! Kenapa banyak mulut segala?! Sebaiknya kita serang saja dia sekarang!" teriak Ki Sugala.

"Ya, silakan dimulai. Biar aku mendapat giliran belakangan saja," jawab Rangga enteng.

"Huh!" Ki Sugala mendengus geram. Dia memang tidak begitu suka pada Pendekar Rajawali Sakti. Maka begitu mendengar jawabannya," hatinya semakin sebal saja melihat tampang pemuda itu. Tapi dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dan untuk menumpahkan kekesalannya, dia sudah langsung menyerang Gardika.

"Yeaaa...!"

Gardika hanya bergeser ke samping. Tiba-tiba satu tangannya menangkap batang pedang Ki Sugala. Lalu, dibetotnya keras.

"Hiih!"

"Ohh...!" Karuan saja, Ki Sugala jadi gelagapan. Buru-buru pedangnya dilepas kalau tak ingin kepalan Gardika menghancurkan batok kepalanya.

"Yeaaa...!"

Namun sebelum Gardika kembali menyerang, Ki Aswatama dan Ki Dawala telah ikut menyerang dengan gencar mengancam ke segala arah. Dan....

Ctar!

Cambuk Nyi Pacet mulai ikut merepotkan Gardika. Tapi, pemuda berwajah mengerikan itu bukannya kerepotan. Bahkan ketawa kegirangan.

"Ha ha ha...! Kenapa tidak sejak tadi saja? Dengan begini terasa lebih seru dan hebat!" teriak Gardika, sombong.

"Huh! Kalau sudah mampus, baru terasa lebih hebat lagi!" dengus Ki Aswatama.

"Ha ha ha...! Orang-orang seperti kalian tidak membuatku gentar. Tapi, malah menggelikan!" ejek Gardika.

"Kurang ajar!" Ki Aswatama menggeram. Golok besarnya bergerak semakin cepat, menyambar-nyambar ke mana saja makhluk aneh ini bergerak.

Tapi, Gardika memang tidak kerepotan. Bahkan sesekali terlihat dia berusaha menangkap senjata. Kini justru Ki Aswatama yang terpaksa menghindar, karena tahu kalau goloknya tidak mampu melukai Gardika. Dan sekali-sekali laki-laki bertubuh gemuk itu terpaksa melompat mundur, ketika pedang Ki Sugala yang berhasil dirampas mulai mengancam keselamatannya.

"Graaaugkh!"

Gardika menggeram tatkala tongkat Ki Dawala mengincarnya dari belakang. Pedang di salah satu tangannya berkelebat menangkis, sekaligus mematahkan senjata laki-laki berhidung panjang itu. Tubuhnya bergerak cepat mengirimkan tendangan kilat. Sama sekali tidak dipedulikannya cambuk Nyi Pacet yang mengancam.

Des!

"Aaa...!" Ki Dawala terpekik kesakitan. Tubuhnya kontan terjungkal ke belakang dengan beberapa tulang rusuk patah akibat tendangan Gardika. Sementara cambuk Nyi Pacet sama sekali tidak berarti di tubuhnya.

"Yeaaa...!" Saat itu juga, Ki Aswatama menyerbu dari samping dengan bemafsu.

Trang! Wut!

Dengan cepat Gardika mengibaskan pedang, membabat satu golok yang dipegang Ki Aswatama hingga terpental. Namun tanpa menghiraukan telapak tangannya yang lecet akibat benturan tadi, Ki Aswatama memutar golok yang satu lagi. Kembali dicobanya menebas leher Gardika. Gardika cepat menekuk pedangnya untuk menangkis serangan.

Trang!

Lalu secepat kilat senjata di tangan makhluk aneh ini bergerak memapas pangkal tangan kiri Ki Aswatama.

Crasss!

Karuan saja laki-laki gemuk dengan wajah dipenuhi brewok itu menjerit kesakitan. Dan sebelum dia menguasai diri, perutnya telah mendapat tendangan kuat dari Gardika hingga membuatnya jungkir balik muntah darah.

"Sekarang giliranmu, Tua Bangka Peot!" desis Gardika,

Meski Nyi Pacet kelihatan garang, tapi melihat sepak terjang makhluk aneh itu mau tak mau jadi takut juga, Sesekali matanya melirik Pendekar Rajawali Sakti sambil mengutuk habis-habisan, Pemuda itu terlihat tenang-tenang saja menonton pertarungan. Dan celakanya, Gardika malah belum mau mengusiknya!

"Ayo, cepat! Kenapa diam saja? Apa kau takut mati?!" teriak Gardika mengejek.

"Bangsat! Kau kira aku takut denganmu, he?! Rasakan seranganku!" dengus Lintah Penghisap Darah,

Perempuan tua itu langsung mencelat menerjang dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatan yang dikuasainya. Namun dengan empat tangan serta empat kaki yang bergerak selaras, Gardika agaknya sulit ditanggulangi.

Plak! Plak!

Gardika menyambut serangan Nyi Pacet dengan enteng. Kemudian tubuhnya berbalik, seraya mengibaskan pedang. Nyi Pacet terkejut. Terpaksa dia mencelat ke belakang untuk menyelamatkan diri. Tapi pada saat itu, Gardika justru mengejarnya dengan cepat seraya mengirim tendangan beruntun.

Duk! Des!

"Aaakh...!" Lintah Penghisap Darah memekik kesakitan ketika tubuhnya terlempar beberapa langkah. Dari mulutnya muncrat darah segar. Tulang dadanya patah. Dan sesaat dia hanya menggelepar-gelepar, lalu diam tak berkutik. Entah hidup atau mati.

"Ha ha ha...! Mereka sudah beres, kini giliranmu!" tunjuk Gardika pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Kisanak...! Apa sebenarnya yang kau cari dengan membunuh orang-orang yang tak berdosa?" tanya Rangga.

"Eh, apa ini? Kenapa malah kau mengajak bercakap-cakap? Aku tidak butuh itu! Ayo, seranglah aku seperti yang mereka lakukan!"

Rangga tersenyum. "Kelakuanmu sungguh kejam. Tapi semua orang punya alasan untuk melakukan itu. Sayang alasan yang kau miliki kelihatan sederhana. Hanya untuk memuaskan hawa nafsumu belaka. Bahkan hewan buas sekalipun hanya membunuh bila lapar atau terganggu. Tapi kau lebih kotor dari hewan buas mana pun!" desis Rangga.

"Kurang ajar! Tidak usah banyak bicara! Ayo, cabut pedangmu!"

"Karena kau bersenjata, maka biarlah kupinjam senjata kawanku ini!" sahut Rangga seraya meminjam golok besar di tangan Ki Aswatama yang saat itu masih meringis menahan rasa sakit hebat.

"Huh! Dengan senjata apa pun, kau boleh menghadapiku!"

"Silakan!" lanjut Pendekar Rajawali Sakti seraya tegak berdiri ntienantang.

"Yeaaa?!" Gardika bergerak cepat, menerkam. Tapi Pendekar Rajawali Sakti langsung mengibaskan golok besar di tangannya.

Tak! Trang!

"Uhh!" Gardika yang merasa kulitnya tidak mempan senjata tajam, tidak begitu menghiraukan tebasan golok. Padahal saat itu Rangga bukannya tidak mengetahui kalau Gardika kebal senjata tajam. Tapi meski sekebal apa pun, toh dia pasti akan merasa sakit kalau benda tajam itu membentur tubuhnya dengan keras. Dan itu yang dilakukannya saat ini.

Takkk..!

Mata golok itu menghantam pergelangan tangan Gardika. Namun makhluk aneh ini masih sempat mengibaskan pedang. Rangga cepat menangkisnya.

Trang!

Terasa pedang di tangan Gardika bergetar ketika merasakan tenaga dahsyat membenturnya. Dan belum juga makhluk aneh itu berbuat sesuatu, Rangga telah melepaskan tendangan keras.

Buk!

"Uhh?!" Seketika makhluk aneh itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mengeluh kesakitan. Dua tangannya memegangi dadanya yang terhantam tendangan Rangga.

TUJUH

Gardika memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan sorot mata tajam, geram bercampur heran. Dalam waktu singkat dia berhasil dihajar. Dan kalau saja pemuda itu terus mengejarnya, dia akan sedikit kerepotan. Tapi, pemuda itu tegak berdiri mengatur jarak sambil mengawasinya.

"Masih ingin dilanjutkan?" tantang Rangga, dingin.

"Hm.... Kau memang lebih hebat dibanding mereka. Tapi itu hanya permulaan. Selanjutnya kau akan kubuat tidak berkutik!" dengus Gardika.

"Kenapa banyak omong?"

"Hup!" Bukan main panasnya Gardika melihat pemuda berbaju rompi putih ini mulai bertingkah. Maka secepat kilat dia kembali menyerang. Pedang di tangannya berkelebat menyambar-nyambar. Dan bersamaan dengan itu, tiga tangannya yang lain serta keempat kakinya silih berganti ikut menyerang.

"Hiyaaa..." Rangga meningkatkan kecepatannya ketika menggunakan jurus-jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti' untuk mengimbangi serangan. Goloknya berkali-kali menangkis kelebatan pedang yang di pegang Gardika.

Trang! Trang!

Buk...!

"Aaakh...!" Beberapa kali senjata mereka saling berbenturan. Dan beberapa kali pula Rangga berhasil menyarangkan goloknya. Gardika mengeluh tertahan. Tulangnya terasa ngilu meski kulitnya tidak terluka.

Memang, seperti itu yang diinginkan Rangga. Membuat lawan kesakitan serta penasaran. Kalau sudah mengamuk hebat, maka saat itu dia akan semakin mempermainkannya.

"Yeaaa...!" Dengan membentak garang, Gardika kembali menerjang. Namun, Rangga telah siap menyambut. Golok di tangannya berkelebat secepat kilat menerobos pertahanan, membabat leher, lalu pindah ke pangkal lengan.

Trang!

Ketika baru saja terjadi benturan senjata, Gardika segera jumpalitan. Dicobanya menghajar Pendekar Rajawali Sakti lewat dua telapak kakinya.

"Hup!" Tapi Rangga cepat melejit gesit. Goloknya cepat menikam ke jantung Gardika. Terpaksa makhluk aneh ini bergulir ke kiri. Namun, Pendekar Rajawali Sakti telah mengayunkan sebelah kakinya menghantam pinggang.

Duk!

"Aaakh...!" Tendangan yang dilepaskan Rangga keras bukan main laksana hantaman bandul besi yang beratnya puluhan kati. Gardika menjerit kesakitan. Tubuhnya kontan terlempar ke samping.

"Hiyaaa!" Rangga tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Langsung tubuhnya berkelebat mengejar. Goloknya dikebutkan ke leher, namun masih sempat ditangkis Gardika.

"Hiih...!"

"Hup...!"

Bahkan dengan gemas, Gardika menyodok perut Rangga lewat tendangan beruntun. Namun, Pendekar Rajawali Sakti keburu mencelat ke atas, sehingga tendangan itu mengenai tempat kosong.

"Hiih!"

Golok Pendekar Rajawali Sakti kembali berkelebat menyambar leher. Namun Gardika cepat berbalik seraya menyabetkan pedangnya untuk menangkis.

Trang!

Golok Rangga terus menekan. Dan bersamaan dengan itu, kedua kakinya menyodok ke dada, membuat Gardika kerepotan. Cepat makhluk aneh ini mencelat ke samping.

Rangga segera mengikuti sambil memutar tubuh. Kedua kakinya bergerak cepat silih berganti. Dan tiba-tiba kakinya menyusup ke bawah secara tak terduga. Lalu....

Duk! Des!

"Aaakh...!" Kembali Gardika menjerit kesakitan ketika tendangan beruntun Pendekar Rajawali Sakti bersarang di dada dan perut. Tubuhnya kontan bergulingan beberapa langkah. Dan ketika berusaha bangkit, tendangan Rangga kembali bersarang di kepalanya.

"Bangsat!" desis Gardika geram seraya membabatkan pedang.

Dalam keadaan kepala agak pusing seperti sekarang, maka babatan makhluk aneh ini tidak terarah. Sehingga, Rangga mampu menghindarinya dengan berkelit kesamping dan kembali menyarangkan pukulan.

Duk! Des!

"Aaakh...!" Gardika terlempar ke belakang, sampai terjerembab ke belakang. Namun daya tahan tubuhnya amat mengagumkan. Meski terhuyung-huyung, Gardika cepat bangkit dan siap menyerang kembali.

"Hm.... Hebat juga daya tahan tubuhmu!" puji Rangga.

"Huh!" Gardika tidak meladeninya. Hatinya penuh amarah. Hanya satu keinginan yang ada di kepalanya. Membunuh pemuda itu secepatnya! Maka tanpa ayal lagi dia langsung meluruk sambil melepas pukulan jarak jauh.

"Mampus kau! Yeaaa...!"

"Uts!" Jderrr!

Pukulan maut milik Gardika ternyata berupa sebongkah pusaran angin yang bergerak cepat. Rangga terkejut. Meski hanya bentuk angin, tapi kalau sampai menghantam tubuh bisa dibuat remuk. Terbukti sebatang kayu tumbang dihantam pukulan itu ketika Rangga lompat menghindarinya.

"Yeaaa...!" Melihat pukulan pertamanya gagal, Gardika semakin penasaran. Kembali dihantamnya Peedekar Rajawali Sakti dengan pukulan jarak jauh.

"Hup!" Pendekar Rajawali Sakti segera menjatuhkan diri, sehingga pukulan jarak jauh itu lewat dua jengkal di atas punggungnya, menerabas apa saja yang dilewati. Bahkan punggungnya terasa seperti membentur benda yang cukup keras, meski cuma kebagian desir anginnya saja.

"Hm.... Membahayakan...!" gumam Pendekar Rajawali Sakti, begitu bangkit berdiri.

"Yeaaa...!" Gardika kembali meluruk, terus menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi sebelum sampai, Rangga telah melesat dengan merunduk ke bawah. Langsung ditikamnya perut makhluk aneh itu dengan golok sekuat tenaga,

Buk...!

"Aaakh...!" Meski tidak mampu menembus kulit tubuhnya, tapi Gardika merasakan sakit yang hebat. Tubuhnya mental dan terhuyung-huyung ke belakang. Lalu secepat itu pula Rangga melempar goloknya, Dan seketika Pedang Pusaka Rajawali Sakti dicabut.

Sring! Begitu pedang yang bersinar biru berkilau itu tercabut, Rangga kembali meluruk deras. "Hiyaaa...!" Kemudian secepat kilat pedang itu berkelebat memapak kedua kaki Gardika.

"Aaakh...!" Gardika terpekik kesakitan. Kedua kakinya kontan putus dibabat pedang Pendekar Rajawali Sakti. Kendati demikian dia masih mampu berdiri di atas dua kakinya yang lain.

Rangga sendiri tak memberi ampun lagi. Tubuhnya kembali berkelebat sambil menusukkan pedangnya ke perut Gardika.

Crab!

"Aaakh...!" Kembali makhluk itu memekik kesakitan. Pedang Rangga menembus perut sampai ke bagian belakang. Darah hitam memancur dari luka serta perut Gardika. Dua pasang matanya membelalak seperti hendak keluar dari sarangnya.

"Nenek, tolong aku...! Tolong akuuu...!" teriak Gardika sambil berlari cepat meninggalkan tempat itu.

"Hhh...!" Rangga menghela napas pendek seraya menyarungkan pedangnya. Dia kelihatan tidak berniat untuk mengejar

"Kenapa kau tidak menghabisinya sekaligus, Anak Muda?" tanya Ki Aswatama yang keadaannya kini agak membaik.

"Dia akan mati tidak lama lagi...," sahut Rangga, yakin.

"Gerakannya masih gesit. Rasanya dia akan bisa hidup seribu tahun lagi."

Rangga tersenyum. "Kekuatannya hanya karena dia memiliki ilmu kebal. Tapi, tidak lama. Karena beberapa saat kemudian, dia akan kehabisan darah lalu tak berdaya. Lagi pula ada yang lebih penting," jelas Rangga.

"Apa itu?"

"Tidakkah kau dengar kata-katanya yang terakhir? Dia memanggil seseorang."

"Ya, neneknya. Tapi, apa anehnya? Mungkin dia teringat pada neneknya yang sangat menyayanginya."

"Tidak! Neneknya yang telah meracuni pikirannya."

"Dari mana kau mengetahuinya?"

"Naluri."

"Cuma naluri?" tanya Ki Aswatama, seperti menganggap enteng.

"Naluri yang didasarkan pengalaman, Ki. Nah! Uruslah yang lain. Aku pergi dulu!"

"Hei, tunggu dulu! Mau ke mana kau?!" teriak Ki Aswatama, ketika melihat pemuda itu menghampiri kudanya.

"Membasmi pohon harus sampai ke akar-akarnya," sahut Rangga tenang, seraya melompat kepunggung kudanya.

"Apa maksudmu?"

"Akan kuikuti dia dan kutemukan neneknya itu. Bila perlu, neneknya mesti bertanggung jawab atas perbuatannya."

Setelah berkata begitu, Rangga cepat menggebah Dewa Bayu meninggalkan Ki Aswatama yang masih bengong memandangnya.

********************

Apa yang dikatakan Rangga memang tidak salah. Keadaan Gardika memang amat gawat. Darahnya terus mengucur terus sepanjang jalan. Apalagi karena mengerahkan tenaga kelewat banyak untuk berlari kencang. Sepanjang jalan, dia terus berteriak-teriak memanggil neneknya.

"Nenek, tolong aku! Tolong aku...!"

Tanpa diketahuinya, pada jarak tertentu, Pendekar Rajawali Sakti mengikuti ke mana saja makhluk aneh itu melangkah.

"Hm.... Sungguh hebat daya tahannya!" puji pemuda itu setengah bergumam.

Apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti memang beralasan. Sebab telah sampai sepenanakan nasi, Gardika belum juga roboh. Padahal, darahnya terus menetes. Kedua wajahnya mulai pucat seperti mayat. Tubuhnya menggigil menahan rasa sakit hebat.

Setelah beberapa waktu kemudian, Gardika tiba di pinggiran Hutan Kemojang. Desa Klawing di pinggir hutan yang juga pernah diobrak-abriknya kini sepi seperti perkampungan mati. Rumah-rumah hangus masih terlihat seperti beberapa waktu yang lalu.

Mendadak langkah Gardika tercekat, ketika seorang laki-laki tua berdiri tegak menghadang. Wajah suram dan rambutnya acak-acakan diikat sehelai kain lusuh. Pakaiannya sederhana seperti layaknya penduduk desa. Usianya sekitar empat puluh tujuh tahun.

"Si..., siapa kau?!" bentak Gardika dengan suara gemetar.

Laki-laki itu tidak menjawab. Matanya memandang Gardika dengan perasaan sayang serta cemas melihat luka di perut dan dua kaki yang buntung.

"Siapa kau?!" bentak Gardika lagi.

"Kau mungkin tidak akan mengenaliku. Tapi, aku adalah ayahmu, Nak...," sahut laki-laki itu dengan suara lirih. Dia tak lain dari Katmani.

Memang setelah tujuh belas tahun menderita karena berbuat salah dengan tak mengakui Gardika sebagai anak, Katmani jadi tertekan batinnya. Namun dia berusaha menahan rasa ragu-ragunya. Apalagi ketika menyadari kalau anaknya kini diburu-buru orang-orang persilatan. Seorang anak yang sebenarnya tak berdosa, namun karena didikan tokoh sesat, anak itu berubah berjiwa iblis.

"Ayah? Aku tidak kenal ayahku!" tolak Gardika, tegas.

"Tentu saja! Sebab sejak orok kau telah diambil dukun keparat itu!" dalih Katmani.

"Hei? Jangan sembarangan kau bicara! Siapa yang kau maksudkan sebagai dukun keparat itu?!"

"Siapa lagi kalau bukan Nyai Warengket?!"

"Kurang ajar! Lancang betul kau menghina nenekku!"

Dengan mendengus geram Gardika coba melompat menyerang laki-laki yang sebenarnya ayahnya. Namun langkahnya tersendat oleh rasa sakit. Tubuh Gardika membungkuk menahan rasa sakit hebat.

"Percayalah, Nak! Kau anakku! Namaku Katmani dan ibumu Lastri. Kalau kau tak percaya, tanyakan kepada dukun keparat itu! Dia menculikmu ketika kau baru saja dilahirkan!" seru laki-laki itu seraya mendekat dua langkah.

Gardika kembali memandang laki-laki itu sambil berusaha tegak. "Be..., benarkah...?" tanya Gardika lirih.

"Tentu saja! Kau lahir dalam keadaan seperti ini, karena kutukan dari Nyai Warengket. Dan waktu itu, semua terkejut. Termasuk aku. Lalu Nyi Warengket tiba-tiba muncul kembali dan membawamu pergi. Kami tak kuasa menolongmu, karena perempuan tua itu berilmu tinggi," jelas Katmani.

Gardika terdiam. Dipandanginya laki-laki itu di depannya. Wajah mereka sama sekali tak mirip. Namun laki-laki itu bicara dengan sungguh-sungguh.

"Ya, Nak. Kau anakku...," lirih suara Katmani.

"Lalu, ke mana ibuku?" tanya Gardika.

"Dia telah pergi mendahului kita beberapa tahun lalu...."

"Pergi? Apa maksudmu pergi mendahului kita?"

"Beliau terus teringat padamu, sampai-sampai lupa mengurus dirinya. Akhirnya dia digerogoti penyakit dan meninggal dunia..." jelas Katmani.

"Meninggal dunia?" gumam Gardika.

Kata yang sama artinya dengan mati, tewas, atau mampus itu tidak asing di telinga Gardika. Bahkan telah menjadi santapannya sehari-hari seperti barang mainan. Tapi tidak untuk kali ini. Seolah-olah kata itu mengandung arti yang menusuk hati. Ibunya mati karena memikirkannya?

"Kenapa kau tidak membawanya untuk mencariku?" tanya Gardika.

"Berarti kau menginginkan kematian kami dipercepat," kilah Katmani.

"Apa maksudnya?"

"Mana mungkin Nyai Warengket mau menyerahkan kau kepadaku. Sekali sesuatu berada di tangannya, maka orang lain tidak akan bisa merampasnya."

"Lalu apa yang kau kerjakan di sini?"

"Menunggu tentunya...."

"Menungguku...?" tanya Gardika. Wajah makhluk aneh ini berkerut menahan rasa sakit hebat. Dan kedua kakinya yang tersisa rasanya tidak kuat lagi memikul beban tubuhnya.

"Ohh...!"

"Kau tidak apa-apa, Anakku?!" tanya Katmani cemas, seraya menghampirinya.

"Aku..., aku! Ah! Rasanya hidupku tidak akan lama lagi. Ayah...," desah Gardika, mulai memanggil ayah pada Katmani.

"Kuatkan dirimu, Nak. Kau akan selamat!"

"Tidak! Aku terlalu banyak membuat kerusuhan dan kerusakan di mana-mana. Orang-orang tentu senang kalau aku mati?"

Katmani tertunduk. Sementara ini, dia tak tahu apa yang akan dilakukannya. "Ya..., kedatanganku ke sini pun karena itu. Kudengar orang yang membuat rusuh dan korban di mana-mana itu mempunyai bentuk tubuh seperti anakku. Maka kuputuskan untuk menunggu di desa kelahiranmu ini."

"Jadi di desa ini aku dilahirkan?" tanya Gardika semakin lemah. Katmani mengangguk. "Ah! Mereka orang-orang yang tak bersalah tentu tidak akan mengampuni dosa-dosaku di akherat sana...," gumam Gardika pahit.

"Setiap manusia yang bertobat, niscaya akan diampuni dosanya bila bersungguh-sungguh."

Gardika mengeluh pendek mendengar nasihat ayahnya. "Dosa-dosaku kelewat banyak...," desah Gardika lirih.

"Kau harus tabah, Anakku."

Pada saat itu Gardika merasakan seseorang tegak berdiri di dekat mereka. Dia berusaha menoleh. Dan wajahnya tampak gembira ketika melihat siapa yang muncul.

"Nenek...!" seru Gardika seraya berusaha bangkit menghampiri.

Sebaliknya, timbul kebencian Katmani ketika melihat siapa yang muncul. Dialah perempuan yang selama ini dianggap telah menghancurkan keutuhan keluarganya.

"Perempuan terkutuk! Kau telah memperalat anakku demi memuaskan nafsu angkara murkamu!" desis Katmani geram.

Perempuan tua yang baru muncul itu memang Nyai Warengket. Matanya memandang tajam pada laki-laki di dekatnya sambil menyungging senyum sinis.

"He he he...! Katmani! Ternyata kau masih bercokol di muka bumi ini. Mestinya kau telah mampus. Tapi, biarlah hari ini kau kukirim ke neraka!"

DELAPAN

"Nenek, tahan!" seru Gardika, ketika melihat Nyai Warengket siap turun tangan menghabisi Katmani.

"Apa maumu?!" dengus perempuan itu.

"Benarkah ceritanya itu...?" tuntut Gardika dengan suara semakin lirih.

"Cerita busuk apa yang kau dengar darinya?!" bentak Nyai Warengket.

"Perempuan keparat! Berterus teranglah kepadanya!" bentak Katmani. "Kau telah menculiknya dari kami ketika dia masih bayi!"

"Huh! Siapa kau? Lancang betul mengarang cerita palsu itu?!"

"Dukun keparat!' Kalau kepada orang lain kau bisa mungkir, tapi tidak kepadaku! Dia anakku. Katakan padanya!" sahut Katmani dengan suara tetap garang.

Untuk sesaat Nyai Warengket tidak menjawab. Melainkan memandang laki-laki itu denga sinar mata penuh kebencian.

"Nenek! Benarkah kata-katanya?" tanya Gardika, semakin lemah.

"Apa untungmu mengakuinya sebagai ayahmu kalau ternyata dulu dia sempat mengingkarimu?" tanya perempuan tua itu, dingin.

"Apa maksudmu? Oh! Berarti benar aku anaknya?" tanya Gardika, bingung.

"Kau memang benar anaknya. Tapi, tanyakan pula padanya kalau dia mengingkarimu ketika melihat keadaanmu seperti ini!" tuding Nyai Warengket.

Katmani tidak berani menjawab ketika melihat Gardika memandangnya penuh rasa ingin tahu.

"Benarkah semua itu. Ayah?" tuntut Gardika.

"Memang, pada mulanya aku belum bisa menerima keadaanmu karena amat mengagetkan. Tapi belakangan aku sadar walau bagaimanapun wujudmu, kau adalah anakku. Dan itu akibat kutukan Nyai Warengket itu sendiri. Tapi sebelum segala sesuatunya beres, perempuan tua ini telah menculikmu...," sahut Katmani lirih, setelah menghela napas sesak.

Mendengar itu, Gardika mengeluh panjang. Dan rasa sakit yang dideritanya semakin menghentak-hentak, mengejutkan Nyai Warengket yang belum sempat memeriksa lukanya.

"Astaga! Siapa yang telah melakukan hal ini padamu, Gardika?!" sentak perempuan tua itu.

"Ohh.... Itu tidak perlu, Nek..," tolak Gardika.

"Katakan padaku, siapa yang telah berbuat begini kepadamu?! Orang itu harus menerima pembalasan dariku!" dengus Nyai Warengket.

"Sudahlah, Nek. Dosaku memang telah kelewat banyak. Dan sudah sepatutnya aku mendapat ganjaran...."

"Tidak! Aku tidak akan tenang sebelum orang itu mendapat balasan setimpal dariku. Katakan padaku, siapa dia?!"

"Ohh...!" Gardika mengeluh pendek. Dan wajahnya yang pucat pasi seperti mayat berkerut menahan rasa sakit hebat.

"Katakan padaku, Gardika! Siapa yang melakukan ini padamu?! Ayo, katakan! Siapa?!" desak perempuan tua ini sambil mengguncang-guncang cucu angkatnya yang tengah sekarat.

"Jangan kau ganggu lagi! Dia tengah sekarat!" teriak Katmani mencegah perbuatan Nyai Warengket.

Dengan geram Nyai Warengket mengayunkan, tangan menampar laki-laki itu. Plak!

"Aaakh...!" Katmani kontan bergulingan sambil mengeluh kesakitan menerima tamparan yang keras bukan main.

"Jangan ikut campur urusanku. Atau, kepalamu akan kupecahkan?!" ancam nenek ini.

Mendengar ancaman itu mengkeret juga nyali Katmani. Dia diam memperhatikan mereka berdua. Juga, tidak berani mencegah lagi ketika Nyai Warengket mendesak Gardika.

"Ayo katakan padaku, siapa yang telah membuatmu jadi begini?! Katakan, Gardika! Ayo, katakan! Biar kubalaskan dendammu!"

"Tidak perlu. Nek..."

"Terkutuk kau! Tidak kuanggap kau sebagai cucu dan muridku, jika tidak mengatakan siapa yang telah membuatmu jadi begini!" ancam Nyai Warengket.

Selain takut, Gardika juga sayang pada perempuan tua ini. Karena dia tahu perempuan tua itulah orang yang telah membesarkannya dan sekaligus gurunya. Maka ancamannya untuk tidak diakui sebagai cucu dan murid, sempat menggugah hatinya.

"Ayo, katakan! Siapa dia?!" bentak Nyai Warengket lagi.

"Dia..., seorang pemuda yang mengenakan rompi putih...," jelas Gardika terbata-bata.

"Apa?! Pendekar terkutuk itu?!" semprot Nyai Warengket dengan mata melotot lebar.

"Dia hebat sekali. Nek..."

"Keparat! Di mana dia sekarang?!"

"Kutemui dia di Desa Bamban, Nek..."

"Pendekar Rajawali Sakti! Tunggulah pembalasanku. Kau akan menerima kematianmu!" dengus Nyai Warengket sambil mengepalkan buku-buku jarinya.

"Kurasa kau tak perlu repot-repot mencarinya. Dia telah berada di sini Nyai Warengket!"

"Hei?!" Perempuan tua ini cepat berpaling. Dan dia melihat sosok pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang tersandang di punggung.

"Pucuk dicinta ulam tiba! Rupanya aku tidak susah-susah lagi mencarimu di sini, Pendekar Rajawali Sakti!" desis Nyai Warengket.

"Begitu juga aku! Kaulah biang kerusuhan di balik semua ini!" dengus Pendekar Rajawali Sakti.

"Keparat!" Nyai Warengket membentak marah. Dan bersamaan dengan itu, tongkatnya menyapu deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Uts!" Rangga mencelat ke atas, tapi tongkat perempuan tua itu terus mengejarnya. Bahkan ketika pemuda itu mencelat ke belakang, ujung tongkat terus mengikuti dan mengancam keselamatannya.

"Kupecahan kepalamu, Bocah!"

"Jangan takabur. Nek!"

"Yeaaa...!" Nyai Warengket tidak mempedulikan ucapan Pendekar Rajawali Sakti. Dia terus mengebutkan tongkat hingga bergulung-gulung menimbulkan pusaran angin kencang. Dan di lain saat, tiba-tiba saja tongkat itu menghujam secepat kilat ke perut dan dada Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup!" Rangga pun tidak mau dijadikan sasaran empuk senjata perempuan tua ini. Tubuhnya bergerak cepat dengan mengerahkan segenap kelincahan dalam jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.

Bet! Wut!

"Yeaaa...!"

Meski tongkat di tangan Nyai Warengket bergerak secepat kilat, namun Pendekar Rajawali Sakti pun tidak kalah gesit menghindar. Bahkan sekali waktu tiba-tiba menyerang dengan cara tak terduga. Hal itu membuat perempuan tua itu gemas bukan main.

"Terimalah jurus 'Angin Puyuh Mengamuk' milikku. Yeaaa...!"

Karena jengkel, Nyai Warengket sudah langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan jurus andalannya. Seketika kedua tangannya menghentak.

Wusss...!

"Aaah...!" Rangga mengeluh tertahan. Meski pukulan itu tidak mengenainya, tapi desir anginnya saja cukup membuat tubuhnya bergeser ke belakang. Pemuda itu jungkir balik beberapa kali, lalu mencelat ke samping menjauhi.

"Mampus kau!" Nyai Warengket menggeram. Lalu tubuhnya meluruk sambil menyapukan tongkatnya. Namun Rangga yang berdiri tegak telah mengangkat tangannya ke arah pedang. Lalu....

Sring!

"Kita lihat, apakah tongkat bututmu itu mampu mengalahkan pedangku ini!" desis Rangga ketika telah mencabut pedangnya yang memancarkan sinar biru berkilauan. Langsung dipapakinya serangan tongkat itu.

"Hei?!" Nyai Warengket sedikit terkejut melihat pamor pedang yang bercahaya biru. Tenaga dalamnya segera dikerahkan sepenuhnya dan dialirkan ke tongkatnya.

Tak!

"Uhhh...!" Nyai Warengket terbelalak kaget. Serangannya seperti membentur benda kuat lagi tajam. Tongkatnya berderak patah, meski tidak langsung putus. Dan bersamaan dengan itu, pedang Rangga terus meluncur deras menyambar leher.

Masih untung perempuan tua itu mampu ber-gerak cepat ke belakang. Namun angin sambaran Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang tajam terasa mengiris-iris kulit tubuhnya.

"Hiyaaa...!" Rangga membentak keras. Dan tubuhnya terus meluruk mengejar.

"Bajingan terkutuk! Pedang bocah itu ternyata tidak bisa dibuat main-main!" dengus perempuan tua itu.

Bet!

"Siluman Membakar Diri...! Hihhh...!" Dalam keadaan terdesak begitu, Nyai Warengket mengeluarkan pukulan terampuhnya. Kedua tangannya cepat menghentak.

Wusss...!

Seketika dari kedua telapaknya mencelat cahaya kuning kemerahan laksana kilatan petir menyambar Pendekar Rajawali Sakti.

Bruesss...!

"Uh, sial!" umpat Rangga seraya menjatuhkan diri dan bergulingan ketika pukulan Nyai Warengket nyaris menyapu tubuhnya.

Akibat yang ditimbulkan pukulan itu luar biasa hebat. Sinar kuning kemerahan itu menerabas apa saja yang menghalanginya. Hangus terbakar dan ambruk seketika.

"Yeaaa...!" Kembali Nyai Warengket membentak keras seraya melancarkan pukulan mautnya.

Siuuut! Bruesss!

"Hm.... Tidak bisa didiamkan!" gumam Pendekar Rajawali Sakti ketika hampir saja sinar kuning kemerahan itu meremukkan tubuhnya. Tubuh Rangga bergulingan beberapa kali, kemudian mencelat keatas dengan telapak tangan kiri mengusap batang pedang.

"Yeaaa...!" Pada saat yang sama Nyai Warengket melihat kesempatan baik. Segera digunakannya sebaik-baiknya. Dalam keadaan mengapung begitu, akan sulit bagi lawan untuk menghindar dari hajarannya. Maka dengan mengerahkan segenap tenaga yang dimiliki dihantamnya Pendekar Rajawali Sakti dengan pukulan maut untuk yang ketiga kalinya.

Wusss...!

Tapi pada saat itu pula justru Rangga tengah mempersiapkan diri untuk membalas serangan. Maka begitu melihat Nyai Warengket telah melepas serangan, Pendekar Rajawali Sakti segera memasukkan pedangnya ke warangka. Sementara, kedua tangannya telah terselubung sinar biru berkilau sebesar kepala bayi. Lalu.....

"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaa...!" Sambil membentak keras, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan tenaga dalam amat tinggi.

Siuttt! Jderrr...!

Kedua pukulan bertenaga dalam tinggi itu saling beradu, menimbulkan ledakan keras menggelegar. Bunga api dan asap hitam tampak menyembul di tengah, tepat terjadinya benturan.

Wusss...!

Namun, cahaya biru dari aji 'Cakra Buana Sukma' yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti terus menerobos. Bahkan....

Blarrr...!

"Aaa...!" Tubuh Nyai Warengket kontan terpental, tatkala cahaya biru itu menggulung dirinya. Terdengar pekikan panjang yang keluar dari mulutnya. Beberapa buah pohon yang dilanda tubuhnya hancur berantakan, dan hangus terbakar terkena pukulan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara Nyai Warengket diam tak berkutik ketika tubuhnya membentur pohon yang terakhir. Tamat sudah riwayatnya.

Pendekar Rajawali Sakti menghela napas panjang sambil tetap memandang tubuh perempuan tua itu yang telah gosong. Lalu perlahan-lahan perhatiannya dialihkan pada Gardika yang tengah dipangku Katmani.

Untuk sesaat Pendekar Rajawali Sakti tak tahu harus berkata apa. Laki-laki di depannya itu adalah ayah Gardika, orang yang tewas karena perbuatannya. Apa yang bisa dilakukannya selain berdiri mematung memandangi ayah dan anak itu?

"Maaf.... Kau mungkin tidak suka melihatku...." Akhirnya keluar juga kalimat itu dari mulut Pendekar Rajawali Sakti.

"Hatiku tidak seperti yang kau duga, Anak Muda. Aku telah menerima semua ini dengan lapang dada...," desah Katmani lirih. Rangga terdiam sejenak. "Ini telah menjadi takdirku yang tidak bisa dielakkan. Meski aku sedih, karena kematian anakku yang sejak bayi,... sekali ini lagi kutemui. Tapi, aku tidak menyalahkanmu...," lanjut Katmani lesu.

"Telah banyak korban yang ditimbulkannya. Dia haus darah...," ucap Rangga hati-hati.

Katmani mengangguk. "Sebelum ajalnya dia akui hal itu...."

"Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa mengampuni segala kesalahannya...."

"Terima kasih, Anak Muda."

Keduanya kembali terdiam untuk beberapa saat.

"Dia telah tiada. Maukah kau kalau aku membantumu menguburkannya?" kata Rangga menawarkan diri.

"Terimakasih.... Biar kulakukan sendiri," sahut Katmani.

"Akan kau bawa ke mana?" tanya Rangga.

"Akan kumakamkan disamping makam ibunya...," sahut Katmani getir.

"Di mana makam ibunya? Di desa ini juga?"

Katmani mengangguk. Rangga menghela napas sesak, dan belum beranjak dari tempatnya.

"Aku tahu perasaanmu, Anak Muda. Tapi tidak usah merasa bersalah. Bukankah sudah kukatakan bahwa aku ikhlas menerima semua ini?"

"Ya, aku mengerti. Tapi, izinkan aku melihat upacara pemakamannya...."

"Aku tidak menguburkan anakku dengan upacara segala...." Rangga terdiam. "Dan kalau kau tidak keberatan, bisakah kau meninggalkan kami berdua di sini?" usir Katmani, halus.

Rangga kembali tak menjawab. Kepalanya menoleh kesamping, melihat kuda hitam yang berjalan pelan mendekati. Kemudian dengan langkah berat dihampirinya Dewa Bayu.

"Kisanak...," panggil Pendekar Rajawali Sakti setelah melompat ke punggung kuda. Dan Katmani menoleh. "Bagaimanapun bencinya kau padaku, aku ingin agar kau sudi memaafkanku. Kubunuh dia bukan karena imbalan atau dendam pribadi. Karena jika tidak begitu, ketenangan orang banyak akan terancam olehnya," jelas Rangga, seperti kurang yakin dengan keikhlasan Katmani.

"Aku mengerti..."

"Terima kasih. Aku pergi dulu!" Setelah berkata begitu, Rangga memutar kudanya, berjalan pelan meninggalkan tempat itu. Ketika jaraknya cukup jauh, kudanya digebah dengan kencang. "Heaaa...!"

Dalam waktu singkat Pendekar Rajawali Sakti telah hilang dari pandangan. Padahal saat itu Katmani masih memandang bayangannya yang telah menghilang dengan tatapan kosong dan wajah hampa.

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: KEMBANG LEMBAH DARAH

Jahanam Bermuka Dua

JAHANAM BERMUKA DUA

SATU

"Oaaa...! Oaaa...!"

Senja yang semula hening, pecah oleh suara tangis bayi. Penghuni baru jagad raya ini telah lahir, diiringi desah kegembiraan dan kelegaan ibu sang jabang bayi. Beberapa laki-laki yang semula tegang, tampak menghembuskan napas lega di beranda sebuah rumah kecil di Desa Klawing.

"Lihatlah anakmu, Katmani," ujar seorang laki-laki setengah baya pada laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun di sebelahnya.

"Eh! Baik Kang Danubrata!"

Tanpa banyak kata lagi, laki-laki yang dipanggil Katmani bangkit dan masuk ke dalam rumahnya. Gembira di hatinya tak tertahankan lagi. Maka dengan wajah berseri-seri dia hendak menerabas ke dalam kamar. Namun sebelum hal itu dilakukannya...

"Auuu...!"

"Hei, ada apa?! Ada apa, Nyai Kempot?!"

Katmani kaget bukan main ketika tahu-tahu saja satu sosok tubuh menerjangnya. Untung dia cepat melompat ke kiri, sehingga sosok yang ternyata seorang perempuan tua itu tidak menubruknya.

"Itu...! Itu...!" Wanita tua bertubuh kurus dan kedua pipinya kempot yang dipanggil Nyai Kempot menunjuk-nunjuk ke tempat tidur. Tangannya gemetar dan mukanya pucat. Bahkan seketika dia pergi dari tempat ini membawa rasa takut yang amat sangat.

Katmani buru-buru mengikuti pandangan orang tua tadi. Segera dia masuk ke kamar, melihat apa yang ditunjuk Nyai Kempot.

"Astaga...! Tidak! Tidak mungkin...!" bentak Katmani garang. Dia benar-benar terkejut melihat apa yang ada di tempat tidur.

Katmani seperti orang gila berteriak-teriak tidak menentu sambil meremas-remas rambut. Mendengar ribut-ribut, laki-laki setengah baya yang bernama Ki Danubrata langsung masuk ke kamar segera. Ditenangkannya Katmani. Memang hanya Ki Danubrata saja yang menemani keluarga Katmani di tempat ini.

"Sabar, Katmani! Sabar...! Tenangkan dirimu....

"Tidak! Tidaaak, Kang Danubrata! Coba lihat anak itu, Kang! Coba lihat! Dia pasti bukan anakku!" teriak Katmani tetap saja tidak mau tenang.

Ki Danubrata berpaling. Dan dia segera melihat orok yang berada di sebelah ibunya. Bayi itu memang berukuran diluar batas kewajaran dari bayi biasanya. Dan mungkin hal itu saja masih bisa dimaafkan. Namun wajah bayi itu, memiliki dua muka yang bertolak belakang dan amat mengerikan!

Masing-masing memiliki mulut yang lebar dengan sepasang taring kecil di sudut-sudut bibirnya. Hidungnya lebar dengan lubang besar. Tangannya tidak berjumlah dua, tapi empat. Begitu pula kakinya. Sepasang matanya bulat dengan biji mata hampir melompat keluar.

Ini yang membuat Katmani dan Nyai Kempot yang menjadi dukun bayi di Desa Klawing kaget setengah mati. Bahkan si orok belum sempat dibersihkan. Tubuhnya masih penuh bercak darah.

"Astaga! Apa yang terjadi...?!" Tanpa sadar, seruan kaget pun keluar dari mulut Ki Danubrata, yang juga tetangga dekat Katmani.

"Itu bukan anakku! Bukan anakku...!" teriak Katmani makin kalap.

Laki-laki yang baru saja mendapat putra pertama ini menghampiri wanita berusia dua puluh tujuh tahun yang tergolek lemah di tempat tidur. Sementara sang jabang bayi tergolek dengan gerakan liar di dekat kaki ibunya. Katmani membungkuk di sisi wanita yang tak lain istrinya.

"Katakan padaku, apa yang terjadi?! Anak siapa dia?! Anak siapa?!" bentak Katmani garang.

"Dia anak kita, Kang...," sahut wanita itu, lirih.

"Dusta! Kau berbohong padaku! Katakan yang sebenarnya! Anak siapa dia?! Meski wajahku tidak tampan, tapi tidak mungkin anakku seperti itu!"

"Ya, ampun... Nyebut, Kang.... Dia anak kita...," sahut istrinya semakin lirih.

Sebenarnya, wanita itu pun tidak kalah kaget ketimbang yang lain, sejak Nyai Kempot berteriak tadi, wanita itu sudah merasa terpukul begitu melihat bayinya. Namun sebagai seorang ibu yang merasakan penderitaan mengandung lalu melahirkan, tentu saja dia berusaha menerima meski hatinya amat sedih.

"Tidak! Itu bukan anakku! Itu bukan anakku...!" teriak Katmani seraya menghambur keluar.

"Katmani, tunggu!" cegah Ki Danubrata, seperti tersentak dari keterkejutannya. Ki Danubrata bergegas mengejar keluar. Tampak Katmani berdiri di depan pintu seperti patung membelakangi.

"Katmani...," panggil laki-laki setengah baya ini pelan untuk tidak mengagetkan.

Katmani tak menyahut. Udara senja menjelang malam yang dingin menerpa mereka berdua. Katmani tetap membisu seperti tidak mempedulikan suasana sekelilingnya. Melihat itu pelan-pelan Ki Danubrata menghampirinya.

"Ohh!" Baru beberapa langkah Ki Danubrata tersentak kaget ketika tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan dan tahu-tahu telah berdiri di depan mereka. Mata laki-laki setengah baya itu kontan terbelalak lebar dengan muka pucat pasi melihat sesosok tubuh tegak berdiri pada jarak tiga langkah.

Sosok itu bertubuh kurus dengan pakaian agak besar. Rambutnya yang panjang terurai kelihatan berkibar-kibar. Sebuah tongkat besar tergenggam di tangan kanannya.

"Si..., siapa kau?" tanya Ki Danubrata kaget. Dan tak terasa kakinya mundur selangkah.

"Hi iii hi...! Kau tidak kenal aku?!" Sosok tubuh yang telah berusia sangat lanjut itu menyeringai lebar sambil tertawa nyaring.

Suara wanita tua ini kering dan serak, namun terdengar cukup menyeramkan. Dan tatkala dia mendekat, Ki Danubrata semakin jelas melihat bentuk wajahnya yang pucat. Hidungnya panjang agak bengkok. Matanya cekung dan kedua alisnya bertaut. Senyumnya terlihat menyeramkan.

"Jangan ganggu keluarga ini! Mereka sudah ditimpa kemalangan!" bentak Ki Danubrata memberanikan diri.

"Hi hi hi...! Apa urusanmu? Aku hanya hendak mengambil cucuku," sahut perempuan tua ini enteng.

"Tidak mungkin!" bentak Ki Danubrata.

"Apa pun katamu, terserah. Aku hendak mengambil cucuku. Dan, tidak seorang pun yang bisa menghalanginya!" dengus wanita tua itu.

"Katmani tidak akan mengizinkannya!"

"Katmani? Siapa yang kau sebut Katmani? Lelaki tolol yang berdiri disampingmu itukah?" tunjuk perempuan tua ini sambil tertawa kecil.

Ki Danubrata berpaling pada Katmani. Diguncang-guncangnya tubuh laki-laki yang baru dikaruniai putra itu.

"Sadarlah, Katmani! Jangan kau izinkan dia mengambil anakmul" ujar Ki Danubrata.

Aneh! Katmani sama sekali tidak memberi tanggapan apa-apa. Bergerak pun tidak. Bahkan pandangannya tampak kosong ke depan. Sepertinya ada sesuatu yang menyihirnya.

"Sadarlah, Katmani! Jangan izinkan wanita itu mengambil anakmu!" bentak Ki Danubrata sambil mengguncang-guncang tubuh Katmani lebih keras.

Namun laki-laki berusia tiga puluh tahun itu tidak bergeming sedikit pun. Ki Danubrata mulai gelisah. Apalagi, ketika matanya kembali menatap tempat perempuan tadi berdiri.

"Heh?! Kemana dia?" desis ki Danubrata, tersentak kaget.

Ternyata, perempuan tadi sudah lenyap entah ke mana. Didasari rasa curiga buru-buru Ki Danubrata masuk ke dalam rumah. Benar saja. Ternyata perempuan tua itu telah menggendong bayi yang baru saja dilahirkan.

"Wanita keparat! Letakkan bayi itu. Kau tidak boleh mengambilnya!" bentak Ki Danubrata sengit, sambil menuding.

"Kau tidak akan bisa menghalangiku!" dengus perempuan tua ini seraya mengibaskan tongkat secara tiba-tiba, membuat Ki Danubrata tak mampu memapak.

Bletak!

"Aaakh...!" Tongkat itu tepat menghantam tulang leher Ki Danubrata sampai patah. Karuan saja, laki-laki setengah baya itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terpental keluar ruangan ini, menabrak pintu. Begitu mencium bumi, dia tidak bergerak-gerak lagi.

"Hi hi hi...! Kau kira bisa menghalangi keinginan Nyai Warengket?! Dasar kerbau tolol! Rasakan akibatnya!"

Setelah berkata begitu, perempuan tua bernama Nyai Warengket berkelebat dari ruangan ini, dan menghilang begitu cepat. Tak seorang pun yang tahu ke mana putra Katmani dibawa pergi. Bayi itu raib seperti ditelan bumi. Katmani dan istrinya pun lebih memilih diam saat tetangga-tetangga menanyakan perihal anaknya.

Sementara Nyai Kempot yang menjadi dukun bayi sejak kejadian malam itu, mendadak mengalami gangguan jiwa. Wanita tua itu sering melamun dan kadang ketakutan. Kadang-kadang dia berteriak-teriak sepanjang jalan dengan wajah ketakutan sambil menunjuk-nunjuk sesuatu. Orang segera tahu kalau dia gila. Nasibnya semakin mengenaskan, karena beberapa hari kemudian mayatnya ditemukan di pinggiran sawah.

********************

DUA

Waktu terus berjalan tanpa ada yang bisa menghalangi. Perlahan-lahan, Penduduk Desa Klawing telah melupakan kejadian yang menimpa Katmani. Dan sampai hari ini telah genap tujuh belas tahun bayi Katmani terampas dari orang tuanya. Sebagaimana biasanya, sebagian penduduk Desa Klawing yang berdekatan dengan Hutan Kemojang, bermata pencaharian sebagai pencari kayu bakar. Mereka kerap menebangi pohon, lalu hasilnya dijual ke kota kadipaten.

Seperti juga hari ini. Dua orang laki-laki setengah baya tampak mulai memasuki kawasan hutan, seperti tanpa mengenal takut sedikit pun. Padahal, Hutan Kemojang tergolong hutan lebat dengan pohon-pohonnya yang besar-besar. Bahkan ada yang tak terpeluk oleh empat orang dewasa.

Namun baru saja memasuki hutan, langkah mereka mendadak terhenti. Kedua laki-laki ini memandang ke sekeliling dengan sinar mata bingung.

Betapa tidak? Kemarin mereka habis dari tempat ini. Namun sekarang, tempat ini telah berubah menjadi porak-poranda, Banyak pohon tumbang tak tentu arah. Bukan karena tebangan kapak. Karena kalau melihat patahan bentuknya tak karuan, patahan pohon bagai patahan yang dilakukan oleh tangan raksasa! Kalau pohon itu tumbang karena petir, jelas tak mungkin, karena yang hangus justru bagian patahan yang terletak di bagian bawah. Tapi oleh apa?

Belum sempat kedua orang itu berpikir lebih jauh, mendadak berkelebat satu sosok tubuh dan tahu-tahu telah berdiri di depan mereka sejauh tiga tombak.

"Heh?!" Mereka kontan terperanjat, melihat sosok yang baru datang. Apa yang terlihat memang sungguh pemandangan tak lumrah. Sosok tubuh yang berdiri tegak dengan sikap mengawasi itu memiliki sepasang muka. Rambutnya tegak berdiri. Kedua telinganya lebar. Sepasang taring mencuat keluar dari sudut-sudut bibirnya. Tangannya berjumlah empat. Demikian pula kakinya. Dari keadaannya, jelas kalau makhluk ini adalah laki-laki yang paling tidak berusia sekitar tujuh belas tahun.

"Siapa kalian?! Apa yang kalian lakukan di sini?!" tanya makhluk aneh ini dengan suara berat dan kasar.

"Eh! Kami..., kami..., adalah penduduk Desa Klawing. Aku Sukmana dan temanku Bantet," sahut salah seorang pencari kayu bakar itu.

Makhluk itu mendekat. Kini jarak mereka hanya terpaut tiga langkah. Wajahnya yang menyeramkan menatap dingin pada kedua laki-laki ini.

"Kenapa kalian ketakutan?" tanya makhluk itu lagi.

"Kami tersesat!" sahut laki-laki yang mengaku bernama Sukmana, tetap berusaha memberanikan diri.

"Tersesat? Di mana rumah kalian?"

"Di Desa Klawing, tak jauh dari sini," kali ini laki-laki bernama Bantet yang menyahuti.

"Siapakah kau? Dan, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Sukmana.

"Namaku Gardika. Aku tengah berlatih," sahut makhluk bernama Gardika.

"Berlatih apa?" tanya Bantet.

"Ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan...."

"Ilmu olah kanuragan?!"

Sukmana dan Bantet saling berpandangan. Lalu bersamaan memandang makhluk itu dengan mulut ternganga.

"Ya. Kenapa?"

"Jadi, batang-batang pohon ini semua hasil perbuatanmu?" tanya Bantet, seraya menatap ke sekeliling hutan yang porak-poranda. Demikian pula Sukmana.

"Ya."

Kedua pencari kayu bakar ini mendecah kagum. Dan mereka kembali memandang takjub kepada makhluk itu.

"Apakah kalian tak percaya?"

"Eh! Tentu saja kami percaya. Tapi kedengarannya hebat sekali. Dan...."

Belum lagi selesai kata-kata Sukmana, mendadak Gardika menghentakkan tangan kirinya yang berjumlah dua buah.

Wusss!

Krakkk!

Seketika dari kedua telapak tangan kirinya melesat dua larik cahaya kelabu yang langsung menghantam sebatang pohon sampai ambruk, menimbulkan suara bergemuruh.

"Wah, hebat!" desis Sukmana dan Bantet hampir berbarengan.

"Kalian mau melihat yang lainnya?" tanya Gardika.

"Tentu saja kalau kau tidak keberatan!" sahut kedua pencari kayu bakar bersamaan.

"Nah! Berdirilah di sana!" tunjuk Gardika pada tempat di dekat tumpukan batang pohon yang roboh.

"Eh, untuk apa?" tanya Sukmana sedikit curiga.

"Sudah. Turuti saja!" ujar Bantet.

"Aku curiga, Tet!" ungkap Sukmana berbisik

"Sudah! Jangan macam-macam. Kalau dia marah, bisa berabe kita!" sergah Bantet, seraya melangkah ke tempat yang ditunjuk Gardika.

Meski agak berat, akhirnya Sukmana menurut juga. Dia berdiri mepet di sebelah Bantet. Bahkan agak ke belakang, karena khawatir terjadi sesuatu.

"Sekarang lihat!" seru Gardika.

Bersamaan dengan itu, makhluk aneh ini membuat kuda-kuda kokoh. Karuan saja, kedua penebang kayu itu pucat pasti dan amat ketakutan.

"Eh! Ja..., jangan...."

Gardika tak peduli kedua tangan kanannya yang kini dihentakkan.

Wusss! Wusss!

Dua larik cahaya kelabu langsung melesat ke arah kedua penebang kayu ini. Namun begitu, Sukmana yang semula curiga, telah melompat lebih dulu.

Des!

"Aaa...!" Bantet menjerit setinggi langit ketika salah satu cahaya kelabu menghantam dadanya. Sementara cahaya yang lain terus melesat menghantam pohon, karena Sukmana bisa menghindar. Tubuh Bantet yang pendek kekar itu kontan terpental ke belakang dengan dada remuk. Lalu dia membentur batang pohon. Dan begitu jatuh ditanah, Bantet mati saat itu juga.

"Jahanam! Kau telah membunuhnya. Apa salah kami kepadamu?!" bentak Sukmana kaget begitu bangkit dan melihat kejadian itu.

"Kalian kesini. Dan itu satu kesalahan!" sahut Gardika enteng sambil tersenyum-senyum. "Sekarang giliranmu!"

Mendengar itu, keberanian Sukmana yang baru tumbuh, mendadak layu. Tubuhnya kontan gemetar ketakutan.

"Sekarang bersiaplah menerima giliranmu!"

"Eh! Tidak..., tidak.... Ampuni aku.... Jangan bunuh aku...," keluh Sukmana putus asa sambil bergerak mundur.

"Hi hi hi...! Aku tak peduli meski kau menangis dengan airmata darah sekalipun. Aku pasti akan tetap membunuhmu!" dengus Gardika sambil tertawa menggiriskan. Gardika mengangkat keempat tangannya, siap menghantamkan serangan. "Yeaaa...!"

Dan tanpa belas kasihan, Gardika melesat secepat kilat sambil mengibas-ngibaskan tangan-tangannya bagai sebuah gurita mendapat mangsa.

"Oh, tidak! Tidak! Tidaaak.... Aaa...!"

Crab! Bret! Bret!

Tak ampun lagi, Sukmana tewas dengan tubuh terkoyak. Isi perutnya terburai berhamburan. Dan darah menggenang laksana banjir. Tubuhnya ambruk sesaat, setelah Gardika melepaskannya.

"Ha ha ha...!" Makhluk aneh itu tertawa keras sampai menggetarkan dedaunan serta ranting-ranting pepohonan yang berada di sekelilingnya.

"Gardika! Apa yang baru saja kau lakukan?!" Mendadak terdengar suara lantang dari sebelah kiri.

Gardika berpaling ke samping kiri. Dan begitu melihat sesosok wanita tua berlari ke arahnya dengan gerakan gesit, dia segera tahu siapa yang muncul.

"Nenek Warengket...!" seru Gardika sambil membungkuk sedikit.

"Hm....!" Wanita bermata cekung dan berhidung bengkok itu menggumam tak jelas. Tangannya membawa tongkat besar. Rambutnya dikonde asal-asalan. Sepasang matanya tajam memandang dua bangkai manusia yang menjadi korban kekejaman Gardika.

"Kaukah yang membunuh mereka?" tanya perempuan tua yang tak lain Nyai Warengket.

"Iya, Nek! Hebat, bukan?!" sahut Gardika bangga.

"Huh! Apanya yang hebat? Mereka bahkan lebih lemah ketimbang batang kayu yang kau jadikan kawan berlatih!" dengus Nyai Warengket meremehkan.

Gardika memandang wanita tua itu dengan wajah tak mengerti. "Lalu, siapa yang mesti menjadi sasaran latihanku. Nek?"

"Mereka yang memiliki kehebatan hampir mirip denganmu. Bisa bergerak lincah, baik menyerang maupun menghindar. Bertenaga kuat dan berani melawan. Bukan kerbau-kerbau seperti mereka!" jelas Nyai Warengket.

"Di mana orang-orang seperti itu bisa kutemui, Nek?" tanya Gardika penasaran.

"Di luaran sana!" tunjuk perempuan tua itu jauh melewati hutan ini.

Gardika memandang arah tangan Nyai Warengket. "Apakah disana bentuk mereka sama seperti kedua bangkai ini, Nek?" tanya Gardika, seraya menoleh kembali ke arah neneknya.

"Ya."

"Seperti Nenek juga?"

"Apa maksudmu?" "Punya satu muka, dua tangan, dan dua kaki?"

"Sudahlah! Jangan bertanya macam-macam! Aku tahu kemana pertanyaanmu selanjutnya!" tukas Nyai Warengket.

"Tapi, Nek.... Siapa kedua orangtuaku? Di mana mereka?" lanjut Gardika tak peduli.

"Sudah kukatakan berkali-kali! Mereka sudah mati. Apakah kau tidak mengerti?!"

"Di mana kuburannya jika mereka telah mati?"

"Tidak ada!" sahut perempuan tua itu, kesal.

"Kenapa tidak ada. Nek?"

"Kenapa kau banyak bertanya? Orangtuamu mati ditelan banjir. Dan mayat mereka hanyut dibawa air bah entah ke mana!" sahut Nyai Warengket asal jadi.

Gardika terdiam. Kendati begitu, dia merasa belum puas. Apalagi bila menyadari keadaan tubuhnya yang aneh. Gardika yakin, kalau keadaan dirinya sebenarnya sama dengan neneknya. Punya dua kaki dan dua tangan. Namun, takdir menentukan Iain. Keadaan tubuhnya benar-benar di luar batas kewajaran.

Nyai Warengket memang pernah bercerita kalau ke dua orangtua Gardika juga manusia biasa seperti dirinya. Namun perempuan tua ini tidak suka kalau bicara soal kedua orangtua Gardika. Dia akan menjawabnya dengan ketus. Dan kalau terus didesak, dia akan marah-marah dan ngamuk.

"Nenek ingin agar aku berangkat sekarang?" lanjut Gardika mengalihkan perhatian, karena merasa sungkan pada perempuan tua ini.

"Kapan lagi? Kau sudah kubekali ilmu-ilmu kedigdayaan. Kesaktianmu hebat. Dan tenagamu kuat. Mereka tidak akan bisa mengalahkanmu!" sahut Nyai Warengket, membentak.

"Baiklah, kalau begitu aku pergi sekarang. Nek...!"

Setelah berkata begitu Gardika ngeloyor pergi. Nyai Warengket memandang kepergian Gardika sambil tersenyum senang.

"Hi hi hi...! Sebentar lagi mereka akan melihat kehadiran neraka yang kuciptakan. Baru tahu rasa orang-orang itu!" desis perempuan tua ini.

********************

Kehadiran makhluk aneh bernama Gardika disambut penuh rasa keterkejutan para penduduk Desa Sengon di sebelah utara Desa Klawing. Sekejap saja timbul kegemparan. Mereka yang punya nyali segera keluar, setelah menyambar golok atau senjata lainnya.

Dalam beberapa saat saja para penduduk desa telah mengelilingi Gardika sambil memandang aneh seperti melihat makhluk aneh dari negeri antah berantah.

"Coba lihat! Tangannya ada empat. Kakinya pun empat. Dan wajahnya,.., kiri..., mirip setan barong," kata seorang penduduk.

"Astaga! Jeleknya bukan main!" timpal yang lain.

"Orang ini luar biasa!"

Dan banyak lagi suara-suara sumbang yang keluar dari mulut mereka. Dan keramaian itu agaknya tidak cuma dipenuhi kaum laki-laki tapi juga kaum wanita.

"Hei? Siapa pun kau ini, bisakah mengerti bahasa kami?" tanya seorang wanita setengah baya berpakaian indah.

Gardika menatap perempuan itu. "Tentu saja aku mengerti...," sahut Gardika, penuh keluguan.

"Namaku Nyi Pinah. Aku istri kepala desa ini. Siapakah namamu? Dan dari mana asalmu?" tanya perempuan yang ternyata istri Kepala Desa Sengon dan bernama Nyi Pinah.

"Namaku Gardika. Aku berasal dari Hutan Kemojang. "

"Hutan Kemojang? Itu tidak jauh dari sini. Kau tinggal bersama siapa?"

"Nenekku."

"Nenekmu" Hm.... Apakah ceritamu benar? Setahuku di antara para penebang hutan di sana tidak ada seorang wanita tua. Siapa nenekmu itu?" tanya Nyi Pinah heran.

"Nenekku bernama Nyai Warengket. Katanya, suatu saat keturunan Ki Timbal akan menanggung akibat dari perlakuannya.

Ki Timbal yang berputra Katmani yang tinggal di Desa Klawing tak begitu menanggapi kutukan itu. Namun setelah tiga tahun kepergian Nyai Warengket, kutukan itu terbukti. Nyatanya, bayi Katmani berwujud aneh, seperti bayi titisan iblis. Yang lebih menggidikkan lagi, ternyata bayi itu kemudian lenyap entah kemana.

Katmani sendiri dulu pernah bercerita, kalau saat terjadinya peristiwa itu, dia sebenarnya sadar. Namun, tubuhnya seperti tak bisa digerakkan. Bahkan dia tahu kalau bayi itu dibawa oleh perempuan tua yang bernama Nyai Warengket. Nyatanya, perempuan tua itu memang menyebutkan namanya.

"Apa?!"

Penduduk Desa Sengon terkejut ketika mendengar nama wanita tua disebutkan Gardika. Memang, nama Nyai Warengket sudah tak asing lagi bagi penduduk desa itu. Sekitar dua puluh tahun yang lalu, Nyai Warengket adalah penduduk desa itu juga. Dia terkenal sebagai dukun santet yang cukup meresahkan. Banyak orang tewas di tangannya, hanya karena masalah sepele.

Ketika kemarahan tak terbendung lagi, akhirnya para penduduk berniat mengusirnya. Dengan dipimpin sesepuh desa yang bernama Ki Timbal, mereka berhasil mengusir Nyai Warengket. Namun sebelum pergi, Nyai Warengket telah bersumpah akan membuat petaka kembali di desa ini. Dia pun mengutuk Ki Timbal yang memimpin para penduduk desa dalam mengusirnya.

"Ya! Itu memang, Nenekku. Kenapa kalian terkejut?" tanya Gardika polos.

"Bunuh dia!" teriak seorang laki-laki tua.

"Ya, bunuh dia! Dia bukan anak Katmani! Dia anak kutukan Nyai Warengket."

"Bunuh dia...!"

Gardika terkejut mendengar jawaban yang didengarnya. Para penduduk begitu bersemangat. Bahkan di antaranya sudah mencabut golok serta senjata-senjata tajam lainnya.

Melihat itu tentu saja Gardika tidak bisa menerima. Amarahnya langsung naik ke ubun-ubun. Dan dengan sekali sambar, dua orang laki-laki setengah baya dicengkeramnya.

"Kalian hendak membunuhku? Huh! Aku yang lebih dulu membunuh kalian!" desisnya.

Wuuutt!

Dengan sekali hajar, kedua laki-laki itu dibanting dengan keras.

Bruk!

"Aaa...!" Begitu mencium tanah, terdengar suara berderak dari tulang-tulang yang patah. Kedua orang itu menjerit kesakitan, dan tidak bergerak lagi. Entah hidup, entah mati!

"Keparat! Dia telah membunuh dua orang! Hajar dia!" teriak seseorang, menyadarkan para penduduk yang terkesima melihat perbuatan Gardika.

"Bunuh dia!"

"Cincaaang...!"

Bersamaan dengan itu serentak segala macam jenis senjata meluruk deras ke arah Gardika.

Brak!

"Huh!" Gardika seketika menggerak-gerakkan keempat tangan serta kakinya, menepis senjata-senjata yang menderu keras ke arahnya. Lalu dia balas menghantam tanpa kenal ampun.

Buk! Prak!

"Aaa...!"

Kepalan tangan Gardika menghantam dan meremukkan tulang dada lawan-lawannya. Lalu di lain saat, dia menghantam batok kepala mereka sampai remuk. Dengan gerakan gesit yang ditunjang tenaga kuat, tak banyak hambatan yang dialaminya. Dalam waktu singkat, sepuluh orang tewas di tangannya.

"Gila! Orang ini sama gila dengan neneknya yang seperti setan!" teriak seseorang.

"Kita tidak bisa melawannya!" timpal yang lain.

"Huh! Lebih baik aku pergi daripada mati sia-sia!"

Maka kelompok penduduk desa itu terbagi-bagi. Beberapa orang melarikan diri menyelamatkan nyawa, sementara yang lain masih berusaha melanjutkan pengeroyokan terhadap Gardika.

"Sial! Jahanam ini kebal senjata tajam!" teriak seseorang ketika goloknya tidak mampu melukai tangan lawan.

Sebaliknya, Gardika malah mengayunkan tendangan ke dada.

Begkh!

"Aaa...!" Orang itu terjungkal dengan tulang rusuk patah, melesak ke dalam. Begitu ambruk dia tewas seketika.

Gardika kembali berbalik. Sebelah kakinya yang lain menghantam ke muka salah seorang penduduk sampai remuk. Tubuh kembali bergerak cepat, menyambar dua lawan yang berada di depan

Krak! Krak!

"Aaa...!"

Sebelah tangan Gardika menghantam ke leher. Sedang tangan yang lain menyodok ke perut pengeroyok yang seorang lagi. Disertai pekik kesakitan, kedua orang itu terjungkal ke belakang.

"Yeaaa...!"

Dua orang pengeroyok menyergap Gardika dari belakang. Tapi, percuma saja. Sebab Gardika dengan cepat menangkisnya. Tidak ada seorang pun yang bisa membokongnya dari belakang. Sebab dengan empat tangan Gardika bisa menangkis sekaligus melepas serangan. Maka mudah saja baginya menghajar orang-orang desa itu.

"Lariii...!" teriak seseorang. "Percuma saja melawannya. Dia tidak bisa dikalahkan!"

Mendengar itu yang lainnya langsung berhamburan menyelamatkan selettibar nyawa masing-masing.

"Huh!" Gardika mendengus geram. Lalu seketika keempat tangannya dihentakkan kerumah-rumah penduduk.

TIGA

Begitu sinar kelabu menghantam dalam waktu singkat empat buah rumah telah hancur porak-poranda. Penghuninya kontan berteriak-teriak dan berlarian keluar, karena rumah mereka bagaikan tersambar petir.

"Ha ha ha...!" Gardika tertawa keras penuh kesenangan. Dia tidak berhenti sampai di situ. Kembali tangannya menghentak ke arah rumah-rumah lain yang belum mendapat giliran.

"Tolong...! Tolooong...!" teriak penduduk desa yang rumahnya ambruk tak berbentuk lagi.

Mereka lari serabutan tak tentu arah. Dan kesempatan itu digunakan Gardika untuk membantai mereka kembali. Seketika tubuhnya berkelebat cepat sambil mengibas-ngibaskan keempat tangannya.

"Hiih!"

Begkh! Duk!

"Aaa...!"

Kedua tangan Gardika bergerak menghantam batok kepala para penduduk satu persatu hingga remuk. Keempat kakinya menyodok perut serta dada sempai pecah. Jerit kematian terdengar sambung-menyambung.

"Lariii...! Selamatkan diri kalian masing-masing!" teriak seseorang.

Agaknya yang lainnya pun tak perlu diberitahu. Sebab dengan sisa-sisa keberanian yang ada, mereka berusaha menyelamatkan keluarga masing-masing untuk kabur ke mana saja. Yang penting berada jauh dari pembuat bencana itu.

Sementara Gardika tenang-tenang saja melihat mereka kabur. Dan dia memang tidak perlu mengejar semuanya. Makhluk ini hanya mengejar ke arah yang dituju sebagian besar penduduk desa yang bergerak lambat. Dalam waktu singkat, Gardika telah menghadang mereka.

"He he he...! Mau lari ke mana kalian? Aku tidak akan membiarkan kalian hidup!" teriak Gardika kegirangan.

"Jahanam terkutuk! Apa maumu sebenarnya?!" bentak salah seorang penduduk desa yang berusaha membulatkan keberaniannya.

"Membunuh kalian!" sahut Gardika dengan seringai menggiriskan.

"Dasar kutukan iblis!"

"Ha ha ha...! Aku tidak peduli apa pun yang kalian katakan yang jelas kalian akan mati di tanganku!"

Setelah berkata begjtu, Gardika langsung mengayunkan dua kakinya kepada dua orang yang berada di dekatnya.

"Uts...!" Kedua orang itu berusaha menangkis. Tapi usaha mereka sia-sia saja karena tenaga lawan lebih kuat. Tangan mereka yang digunakan untuk menangkis seperti habis menghantam besi baja saja. Dan belum sempat mereka berbuat sesuatu, kedua tangan Gardika telah berkelebat cepat menyodok perut dan dada.

Duk! Krek!

"Aaa...!"

Karuan saja, keduanya terpekik dan terjungkal ke belakang tanpa bisa bangun lagi.

Melihat keadaan itu, penduduk yang lain menjerit-jerit ketakutan. Terutama para wanita dan anak-anak. Tapi, Gardika tidak peduli. Dia langsung memperbesar jumlah korbannya tanpa ampun.

"Lari...! Lariii...!" teriak beberapa orang.

Tapi percuma saja mereka melarikan diri. Kelompok yang saat ini berjumlah sekitar dua puluh orang berikut wanita dan anak-anak, tidak bisa bergerak bebas. Gardika berkelebat cepat memecahkan batok kepala serta mematahkan tulang-belulang mereka.

"Aaa...!"

Jerit kematian dan kesakitan bercampur jadi satu. Tak seorang pun saat ini yang bisa menolong. Gardika begitu leluasa menghabisi dalam waktu singkat.

"Ha ha ha...! Mampus kalian semua! Mampus...!" teriak makhluk aneh bertangan dan berkaki empat sambil tertawa lebar.

Sepasang mata Gardika berbinar-binar melihat mayat-mayat bergeletakan bermandi darah. Namun sesaat kegembiraannya berganti. Wajahnya sedikit murung.

"Brengsek! Nenek tentu tidak akan senang melihat hasil latihanku ini. Mereka sama saja seperti batang-batang pohon itu. Lemah tidak berdaya!" gerutu makhluk ini kesal, seraya melangkah. Baru saja Gardika beberapa tombak melangkah....

"Jahanam terkutuk! Apa yang kau perbuat terhadap mereka?!"

Mendadak terdengar bentakan keras dari arah samping. Gardika berhenti, dan langsung menoleh. Bibirnya yang tebal dengan taring runcing menyeringai pada seorang laki-laki bertubuh besar dan berkumis lebat. Di tangannya tergenggam sebatang golok besar. Wajahnya tampak geram penuh kemarahan, memandang tajam Gardika.

"Aku membunuh mereka. Mau apa kau?!" sahut Gardika tidak kalah garang, begitu laki-laki ini sudah berada dua tombak di depannya.

Dan laki-laki itu kontan tercekat melihat wujud Gardika yang bagaikan manusia iblis dari dasar neraka.

Untuk sesaat, laki-laki berkumis lebat itu tidak mampu bersuara. Dia memandang makhluk di depannya dengan mata terbelalak.

"Siapa kau sebenarnya?"

"Namaku Gardika."

"Makhluk apa kau ini?"

"Tidak usah tanya-tanya! Mau apa kau ke sini?!"

Mendengar bentakan itu, laki-laki yang baru muncul ini terkesiap. Dan dia kembali teringat pada niat semula. Matanya memandang sekilas pada mayat-mayat yang berserakan di tanah, lalu memandang penuh kebencian kepada Gardika.

"Setahuku, kami tidak bermusuhan denganmu. Lalu kenapa kau bunuh mereka dengan biadab?!" desis laki-laki ini marah.

"Mereka hendak membunuhku. Maka sudah sepantasnya mereka kubunuh," sahut Gardika seenaknya.

"Bohong! Aku tahu, mereka tidak akan sembarang membunuh kalau kau tidak membuat salah lebih dulu."

"Tidak usah banyak bicara. Kalau kau tidak senang, boleh maju menghadapiku untuk menuntut kematian mereka!"

"Huh, sudah tentu! Aku Legowo juga penduduk desa ini. Dan aku juga berkewajiban membantu mereka."

Setelah berkata begitu, laki-laki bertubuh kekar yang mengaku bernama Legowo ini memutar golok besarnya seraya mendekati.

"Graaakh...!"

Namun sebelum Legowo mulai menyerang, Gardika telah lebih dulu melompat menerkamnya sambil bertariak serak laksana raungan seekor harimau.

"Uts!" Legowo cepat berkelit gesit, sehingga serangan Gardika luput dari sasaran. Namun dua kaki makhluk itu yang lain nyaris menyambar kepalanya, kalau saja tidak menjatuhkan diri.

"Ha ha ha...! Hebat juga kau. Mungkin orang seperti kau yang dikatakan nenek!" teriak Gardika sambil tertawa-tawa kegirangan.

"Huh! Aku tak peduli dengan nenekmu. Jangan harap kau bisa menyamakan aku dengan yang lain!" dengus Legowo geram, begitu bangkit berdiri.

"Ya! Kau beda dengan mereka. Tapi bukan berarti kau kubiarkan hidup. Kau akan menjadi kawan berlatihku yang cukup lumayan," sahut Gardika terang-terangan.

Setelah berkata begitu, makhluk ini menyerang lagi dengan ganas. Dan kali ini, Legowo dibuat kerepotan. Gerakan Gardika gesit dan mengandung tenaga kuat. Setiap kali angin serangannya menerpa, maka Legowo dibuat gelagapan.

"Yeaaa...!" Laki-laki berkumis lebat itu melompat ke belakang menghindari serangan Gardika yang bertubi-tubi. Makhluk itu tak peduli dan terus mengejar. Kedua belah tangannya menyodok ke dada dan muka. Sementara kedua kaki menghantam ke perut dan pinggang.

Plak! Des!

"Aaakh...!" Legowo hanya berhasil menangkis sekali, karena selanjutnya pukulan serta tendangan Gardika bertubi-tubi menghajarnya. Sambil berteriak kesakitan, dia terjungkal ke belakang.

"Hiiih!" Gardika tak mau membiarkannya begitu saja. Tubuhnya langsung melompat menerkam.

"Uhhh...!" Injakan dua kaki Gardika berhasil dihindari, ketika Legowo bergulingan. Namun dua kakinya yang lain bergerak cepat, menyodok ke perut.

Desss...!

"Aaa...!" Legowo terpekik. Isi perutnya pecah. Dan dari mulutnya muncrat darah segar. Sepasang matanya melotot seperti hendak melompat keluar.

"Huh! Hanya segitu saja kepandaianmu!" dengus Gardika kesal.

Setelah mendengus beberapa kali, makhluk ini kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan Desa Sengon yang telah hampir rata dengan tanah. Dilangkahinya mayat-mayat yang berserakan.

********************

Kabar tentang pembantaian di Desa Sengon mulai merambah ke mana-mana, terutama di desa-desa di sekitar Hutan Kemojang. Dalam waktu satu purnama saja, seluruh desa di sekitar hutan itu telah dilanda kecemasan yang amat sangat.

Matahari baru saja terbit di ufuk timur. Sejak semalaman, Gardika tidak berhenti. Kakinya terus melangkah sambil membuat keonaran di mana saja. Menebar maut untuk sekadar memuaskan nafsu amarah!

Memasuki Desa Demban, Gardika mulai hati-hati. Dia tidak terangan-terangan menunjukkan diri. Dari pengalamannya selama ini, ternyata orang-orang kaget melihat wujudnya.

Letak desa itu tidak berapa jauh dari ibukota kadipaten. Kalau menunggang kuda ke arah timur, maka hanya memerlukan waktu kurang lebih setengah hari untuk tiba di ibukota kadipaten. Tidak mengherankan kalau desa ini cukup ramai. Penduduknya kebanyakan hidup dari berdagang. Hanya sebagian kecil saja yang hidup bertani dan membuat alat-alat kebutuhan sehari-hari. Namun sepandai-pandainya Gardika menyembunyikan diri.....

"Hei, Makhluk Aneh! Enyah kau dari sini."

Tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar, ketika Gardika tengah mengendap-endap untuk menyembunyikan dirinya dari tatapan aneh penduduk.

Gardika menoleh, melihat seorang laki-laki bertubuh besar dengan kumis melintang. Baju di bagian dadanya terbuka lebar memperlihatkan otot dadanya yang kuat.

"Bukan urusanmu!" sahut Gardika.

"Kurang ajar! Kalau aku bertanya, maka kau mesti menjawab! Kalau tidak.... Hhh!"

Laki-laki itu menggeram sambil mempermainkan gagang golok pinggangnya. Rupanya nyali laki-laki ini cukup besar juga. Dia sama sekali tidak gentar melihat perawakan Gardika yang menyeramkan.

"Aku tidak ada urusan denganmu. Tapi kalau kau mau memukulku, aku terpaksa membunuhmu," sahut Gardika.

"Setan!" Laki-laki yang agaknya berwatak berangasan ini menggeram murka. "Rupanya kau ingin buru-buru mampus di tangan Sudira. Baiklah, akan kukabulkan keinginanmu!" dengus laki-laki ini dingin. Suaranya bergetar menahan marah yang semakin meluap.

Srek!

Secepat kilat laki-laki yang mengaku bernama Sudira mencabut golok. Dia langsung memamerkan kemahiran memainkan senjatanya yang tajam di hadapan Gardika.

EMPAT

"Kudengar selama sebulan ini kau telah membuat keonaran di mana-mana, Makhluk Aneh! Sekarang rasakan golokku! Telah lama dia tidak menghirup darah segar."

"Hiih!" Sebagai jawabannya, Gardika langsung melepas tendangan kilat, membuat Sudira terkejut.

"Heh?!" Buru-buru Sudira menyabetkan golok. Namun dengan gerakan indah sekali, makhluk aneh itu cepat menarik kakinya. Sehingga senjata Sudira cuma menebas angin. Bahkan kaki Gardika yang lain mendadak menyambar ke tengkuk, membuat Sudira tak mampu berkelit. Dan...

Duk!

"Aaakh...!" Tubuh Sudira kontan tersungkur ke depan disertai jerit kesakitan merasakan tulang lehernya yang seperti mau patah.

"Yeaaa...!"

Baru saja Sudira berhasil menjaga keseimbangannya agar tidak jatuh, Gardika telah melompat menerkamnya. Meski pandangannya agak kabur dan kepalanya pusing, tapi dia tahu nyawanya terancam. Secepat kilat laki-laki berangasan ini bergulingan sambil menyabetkan golok.

Wuuut!

Gardika tidak berusaha menghindar.

Tak!

Tepat ketika kaki Gardika terhantam golok, sebelah kakinya yang lain menghantam ke pergelangan tangan. Sementara, kaki yang satu lagi menyodok ke perut dengan keras.

Duk!

"Aaakh...!" Kembali Sudira memekik keras ketika isi perutnya seperti diaduk-aduk akibat tendangan itu. Namun yang lebih mengerikan lagi, tatkala makhluk aneh itu melesat ke atas. Setelah berputaran di udara beberapa kali, tubuhnya meluruk dengan keempat kakinya mengarah ke dada serta perut Sudira.

Bros! Krak!

"Aaa...!" Tulang dada Sudira remuk. Isi perutnya pecah, tatkala keempat telapak kaki Gardika meluluh-lantakkan tubuhnya. Sudira kontan terkulai lemah dengan darah menggenangi tubuhnya. Mati!

Suara-suara pertarungan tadi, rupanya mengundang perhatian beberapa penduduk yang semula tenggelam dengan kegiatan masing-masing. Satu persatu mereka datang melihat pertarungan. Dan begitu melihat kematian Sudira yang mengenaskan, mereka benar-benar tercengang.

Betapa tidak? Sudira dikenal memiliki kepandaian cukup tinggi. Namun hanya beberapa kali gebrak, dia tewas mengenaskan. Jadi jelas, berita tentang makhluk aneh ini bukan isapan jempol belaka. Para penduduk yang memang sudah mendengar tentang adanya makhluk aneh itu. Dan sungguh mereka tidak menyangka kalau kesaktian makhluk itu benar-benar menggiriskan.

"Ohhh?!" Orang-orang tampak semakin bergidik ngeri. Yang wanita menjerit-jerit ketakutan, buru-buru pergi meninggalkan tempat itu.

"Siapa lagi yang mau mengikuti jejaknya?!" teriak Gardika seperti mengejutkan mereka yang tertegun sesaat.

"Kejam...!" desis seseorang.

"Terkutuk! Kabar itu berarti memang benar. Dia makhluk keturunan iblis!"

"Jahanam! Setan berwujud manusia ini ternyata memang suka menyebar petaka di mana-mana!"

"Diam kalian!" bentak Gardika. Makhluk aneh ini tiba-tiba berkelebat cepat dan disambarnya salah seorang penduduk yang berada di dekatnya.

Krep!

Dengan tangan kiri mencengkeram leher baju, tangan kanan Gardika menghantam batok kepala orang itu.

Prak..!

"Aaa...!" Sebelum orang itu sempat berbuat apa-apa, kepalanya sudah remuk terhantam kepalan Gardika yang kokoh.

"Hei?!" Karuan saja, para penduduk semakin ternganga. Kali ini bukan lagi karena takut, namun benci yang menyulut keberanian mereka.

"Aku tidak segan-segan membunuh kalian semua!" dengus Gardika mengancam.

"Kurang ajar! Dia tidak bisa membunuh kita semaunya. Kita mesti melawan!" teriak seseorang, memberi semangat.

"Bunuh dia!"

"Bunuh...!"

Penduduk yang lain pun segera menimpali dengan bersemangat seperti api menyambar minyak.

"Yeaaa...!"

Serentak mereka mengurung, dan langsung mengeroyok Gardika dengan senjata apa saja.

"Gerrr! Keparat! Akan kubunuh kalian semua!" desis Gardika geram dengan tatapan laksana seekor hewan buas.

Tak! Bletak!

"Aaakh...!"

Keempat tangan makhluk aneh ini bergerak menangkis dan menyarangkan pukulan. Demikian pula keempat kakinya. Gardika tidak peduli lagi dengan jerit kesakitan dan pekik kematian. Dalam keadaan seperti itu, dia betul-betul haus darah dan ingin membereskan para pengeroyoknya secepat mungkin.

Duk! Des!

"Aaa...!"

Korban berjatuhan di pihak pengeroyok dengan luka-luka dalam yang amat parah. Dan sebelum jatuh korban lebih banyak lagi.....

"Berhenti...!" Mendadak terdengar teriakan bernada memerintah yang kebetulan sebelum teriakan itu berge-ma, para pengeroyok pun telah bersiap menyingkir untuk menyelamatkan diri masing-masing. Mereka merasa tidak ada gunannya mengantar nyawa percuma menghadapi makhluk aneh itu.

"Jahanam terkutuk! Agaknya tidak puas-puasnya kau menebar maut di mana-mana!"

Orang yang barusan berteriak adalah laki-laki berusia lanjut, sekitar tujuh puluh tahun lebih. Rambutnya telah memutih semua. Tubuhnya tidak terlalu besar. Dan sepintas kelihatannya lemah. Namun sorot matanya tajam laksana sembilu memandang Gardika.

"Ki Gendeng Rupa! Hati-hati. Dia berbahaya sekali!" kata seorang penduduk, memperingatkan.

"Hm...!? Laki-laki tua bernama Ki Gendeng Rupa hanya menggumam tak jelas. Laki-laki tua ini sebenarnya memang seorang tokoh persilatan yang berkepandaian cukup hebat. Tak seorang tokoh pun yang tak mengenal Harimau dari Campa. Dengan jurus-jurusnya yang dahsyat, nama Harimau dari Campa memang telah disegani oleh tokoh-tokoh persilatan.

"Orang tua busuk.! Apakah kau hendak membela mereka?!" dengus Gardika.

"Entah iblis mana kau ini. Tapi kuperingatkan padamu hentikan semua kekejamanmu sekarang juga!" desis Ki Gendeng Rupa.

"Ha ha ha....! Enak saja kau melarangku. Kau kira dirimu siapa?" leceh Gardika.

"Hm.... Agaknya kau keras kepala juga. Aku bukan orang sabar meladenimu berdebat. Karena telah kudengar dan sekarang kulihat kekejamanmu. Maka jangan salahkan kalau aku bertindak keras. Berdoalah kau, mudah-mudahan Yang Maha Kuasa mengampuni dosa-dosamu!"

"Ha ha ha...! Kau hendak berbuat apa padaku? Membunuhku?! Orang tua sinting! Kau boleh coba kalau sudah bosan hidup!"

Ki Gendeng Rupa tidak menyahut lagi. Sebagai jawabannya, tubuhnya mencelat menyerang secepat kilat.

"Heyaaa...!"

Gardika sama sekali tidak berusaha menghindar. Dua tangannya bergerak menangkis pukulan Harimau dari Campa yang bertubi-tubi mengincar batok kepala, dada, hingga perut.

Plak!

Wuuttt...!

Bahkan Gardika masih sempat balas menyerang dengan gerakan tidak kalah gesit. Ki Gendeng Rupa penasaran bukan main. Maka jurus-jurus anehnya pun dikeluarkan. Sebentar-sebentar terlihat kedua tangannya mencakar. Dan di kali lain, terkepal sambil menyodok dengan tiba-tiba. Kelihatannya lemah gemulai, namun sesungguhnya mengandung serangan ganas tak terduga.

"Yeaaa...!"

Kedua tangan Harimau dari Campa yang membentuk cakar menyambar wajah Gardika. Sementara sebelah kakinya mengincar tenggorokan.

Namun, Gardika melayaninya santai saja. Jurusnya terlihat lemah dan tidak berarti. Tapi karena yang memainkannya Gardika, maka keadaannya jadi Iain.

Keduanya tampak silih berganti menangkis dan menyerang. Sementara Ki Gendeng Rupa tampak mulai kerepotan. Kembali terlihat dia menggunakan cakar, setelah serangan pertama gagal.

Dengan nekat Gardika menahan dengan telapak tangan kiri dan sebelah kaki. Kemudian tubuhnya melenting ke atas melewati kepala Harimau dari Campa, sambil melepaskan hantaman.

Prak!

"Aaa...!"

Keadaan seperti itu sama sekali tak diduga Ki Gendeng, Rupa. Dia hanya terkesiap sebentar, dan Gardika tak menyia-nyiakan kesempatan. Saat itu juga, batok kepala Harimau dari Campa remuk. Dan langsung berlelehan ke tanah. Ki Gendeng Rupa tewas tanpa disangka-sangka, begitu ambruk di tanah.

"He he he...! Siapa lagi yang mau menyusul tua bangka ini?!" tantang Gardika pada yang lain.

"Kami yang berjuluk Sepasang Petani Sakti!"

Pada saat itu juga muncul dua lelaki bertubuh sedang, memakai baju serba hitam. Masing-masing membawa arit dan cangkul. Mereka mengaku sebagai Sepasang Petani Sakti.

"Aku Gumira! Dan temanku Ajidarma!" lanjut salah seorang Sepasang Petani Sakti yang membawa cangkul, tanpa rasa ngeri sedikit pun melihat wujud Gardika.

"Kisanak! Kelakuanmu sudah keterlaluan! Kau telah menebar petaka d mana-mana! Apa sebenarnya yang kau inginkan?!" bentak laki-laki yang membawa arit.

"Mereka hendak membunuhku. Bukankah kalian pun melihatnya? Maka sudah sepatutnya aku balas membunuh mereka," sahut Gardika, membela diri.

"Kelakuanmu seperti maling. Mana mungkin mereka akan membiarkanmu begitu saja!" desis Gumira.

"Aku tidak mencuri apa pun dari mereka. Maka jangan menuduh sembarangan! Atau kalian akan segera menyusul si tua bangka ini.'" tuding Gardika pada mayat Ki Gendeng Rupa.

"He he he....! Boleh jadi kau bisa menepuk dada, setelah mengalahkan Harimau dari Campa. Tapi kami tidak bisa disamakan dengannya.'" sahut Gumira lagi, hendak meruntuhkan nyali Gardika.

"Benarkah?!" tanya Gardika seperti bocah yang mendapat mainan kesukaannya. "Berarti ka-lian lebih hebat darinya? Ah! Sungguh kebetulan sekali. Ayo, mari kita bermain-main sampai salah seorang ada yang mampus!"

Setelah berkata begitu, Gardika langsung meluruk menerjang Gumira yang jadi terhenyak karena gertakannya tadi ternyata tidak berjalan mulus. Dia berharap makhluk aneh ini ciut nyalinya. Tapi, malah kegirangan mendengar mereka lebih hebat dari Ki Gendeng Rupa.

"Hup!" Sambil membuang tubuh ke samping menghindari terjangan tangan kanan Gumira menangkis.

Plak!

Tapi serangan Gardika tidak berhenti sampai di situ. Karena tiga tangannya yang lain telah menyerang secara bergantian. Dan ini membuat Gumira harus jungkir balik menyelamatkan diri. Serangan itu bukan saja sangat cepat, tapi juga terasa mengandung tenaga dalam kuat. Kalau saja menemui sasaran bukan tidak mungkin Gumira akan terluka dalam. Paling tidak, tulang-tulang patah.

"Gila!" desis Gumira sambil melompat jauh menghindari serangan yang bertubi-tubi.

"He he he...! Tunggu apa lagi? Ayo cabut senjatamu. Dan, ajak kawanmu itu untuk membantu!" tantang Gardika seraya menghentikan serangannya sesaat.

"Huh! Aku sendiri pun masih mampu meladenimu!" dengus Gumira dengan hati panas karena merasa direndahkan.

"Kuberi kesempatan. Dan bila kau tidak menggunakan sebaik-baiknya, maka rasakan akibatnya!" bentak Gardika, begitu menganggap enteng. "Yeaaa...!" Kembali Gardika mencelat menyerang secepat kilat.

"Hup!" Gumira melompat ke samping. Namun Gardika terus mengejarnya. Maka terpaksa dia menjatuhkan diri. Sambil bergulingan cangkulnya dibabatkan ke tubuh Gardika.

Wuuuttt...!

Melihat lawan mengayunkan cangkul, Gardika maju tiga langkah. Langsung dipapasnya batang cangkul dengan tangan kirinya sampai patah.

Krakkk!

Lalu bersamaan dengan itu, kaki kanan makhluk aneh ini menyodok ke perut.

Desss...!

"Aaakh...!" Gumira kontan menjerit kesakitan. Tubuhnya terlempar ke belakang. Sementara Gardika terus jungkir balik mengejar, untuk menghabisi sekaligus.

"Jahanam...!" desis Ajidarma geram sambil melompat menyerang Gardika untuk menyelamatkan Gumira.

"Hiih!" Meski secepat apa pun gerakan Ajidarma, tetap tak akan berhasil menyelamatkan kawannya. Kedua kali Gardika lebih dulu menghantam dada Gumira.

Jrott!

"Aaa...!"

Terdengar derak tulang-tulang dada Gumira yang patah dan melesak ke dalam. Satu dari Sepasang Petani Sakti terpekik. Nyawanya melayang sesaat kemudian. Pada saat yang sama, serangan Ajidarma meluncur datang. Seketika Gardika mengebutkan tangannya, menangkis.

Plak!

Ajidarma menyeringai ketika tangannya terasa sakit bukan main saat berbenturan. Dan belum lagi habis kagetnya, kedua tangan Gardika telah bergerak silih berganti, berusaha menyarangkan pukulan ke tubuhnya. Terpaksa dia melompat ke belakang sambil mencabut senjata kebanggaannya.

Sret!

"Yeaaa...!"

"He he he...!" Gardika malah tertawa mengekeh melihat Ajidarma menyabetkan senjata ke arahnya.

"Senjata itu tidak berguna di depanku.'" lanjut Gardika sombong.

Kesombongan Gardika memang bukan tanpa alasan. Padahal, Ajidarma telah mengerahkan segenap tenaga untuk membabatkan senjatanya. Namun lihai sekali Gardika menghindar. Bahkan serangan baliknya amat mengagetkan. Dengan tiba-tiba, sebelah tangan makhluk aneh ini mencengkeram pergelangan tangan Ajidarma yang menggenggam arit.

"Hiih!" Sekali sentak, tubuh Ajidarma tersuruk ke arah Gardika. Namun laki-laki ini sudah nekat. Daripada mati sia-sia, dia memilih lebin baik mati bersama lawan. Maka dengan mengerahkan seluruh tenaga, tangan kirinya dikepalkan kuat-kuat dan langsung menyodok dada kiri.

Plak!

Gardika membuka telapak tangan kirinya, menangkis serangan. Lalu bersamaan dengan itu, lutut kirinya menyodok ke lambung Ajidarma.

Duk!

"Aaakh...!" Karuan saja, laki-laki itu menjerit kesakitan. Belum cukup sampai di situ, Gardika berkelebat ke atas. Lalu tiba-tiba kedua kakinya menghantam batok kepala Ajidarma.

Prak!

"Aaa...!" Ajidarma terpekik lemah. Tubuhnya sempoyongan sebentar, sebelum akhirnya ambruk tak berdaya di dekat mayat kawannya. Tamat sudah riwayat Sepasang Petani Sakti.

"Ohhh...!" Orang-orang yang melihat kejadian itu dari tempat persembunyian, memandang takjub bercampur ngeri.

"Gila! Manusia seperti apa dia? Kejam dan telengas sekali!" desis seseorang.

"Orang itu pasti keturunan iblis!" umpat yang lain.

Tapi seperti juga yang lain, mereka hanya memaki tanpa berani bertindak. Kalau saja Ki Gendeng Rupa dan Sepasang Petani Sakti binasa di tangan makhluk aneh itu, maka apa artinya perlawanan mereka?

"Siapa lagi yang mau menyusul mereka? Ayo keluar! Cepat keluar sebelum kuratakan tempat ini!? teriak Gardika garang.

********************

LIMA

Seorang pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung mempercepat laju kuda hitamnya ketika matahari hendak tergelincir ke barat. Siang terik telah terlewati. Dan bayangannya di tanah kini bertambah panjang. Sementara hutan di sampingnya belum juga habis dilewati.

"Hhh.... Sebentar lagi aku tiba di sana," gumam pemuda itu. "Ayo, Dewa Bayu! Percepat larimu. Kita mesti tiba secepatnya di sana!"

"Hieee...!" Kuda berbulu hitam yang dipanggil Dewa Bayu meringkik halus seraya mempercepat larinya, membuat rambut panjang pemuda itu berkibar-kibar. Di samping, tampak batang-batang pohon terlihat seperti berkejar-kejaran.

Namun mendadak kuda itu menghentikan larinya ketika di depan terlihat mayat-mayat bergelimpangan. Dengan gerakan indah sekali, pemuda berbaju rompi putih itu melompat turun. Langsung dihampirinya mayat-mayat itu.

"Ohhh...!" Terdengar erangan lemah.

Rangga menoleh, melihat seorang yang bergelimpangan menggeliat. Cepat dihampirinya orang itu dan diperiksa lukanya.

Tulang dada orang itu tampak remuk. Tubuhnya tergenang darah. Lukanya cukup parah, namun daya tahan tubuhnya hebat sekali.

"Kisanak! Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini semua?" tanya pemuda itu.

"Makhluk itu...," sahut laki-laki berusia empat puluh tahun yang tengah sekarat.

"Siapa yang kau maksudkan?" kejar Pendekar Rajawali Sakti.

"Namanya Gardika..."

"Gardika! Makhluk bermuka dua, bertangan dan berkaki empat itu? Hm.... Jadi benarkah yang kudengar tentangnya?"

Laki-laki yang tengah sekarat itu tak kuasa menjawab. Kepalanya sudah terkulai lemah. Dan napasnya putus sudah.

Pemuda berbaju rompi putih ini menghela napas. Mayat-mayat disekitar tempat ini mempunyai luka yang hampir sama. Dada remuk dengan perut pecah. Sebagian, batok kepala mereka retak.

"Sungguh terkutuk dia!" desis pemuda ini, geram setengah mati.

Pemuda itu bangkit berdiri. Dihampirinya kuda hitamnya. Dan dengan gerakan ringan, dia melompat ke punggung kuda.

"Ayo, Dewa Bayu bawa aku secepatnya ke tempat tujuan! Heaaa...!"

Seketika, kuda itu kembali berlari sekencang-kencangnya, menerobos pinggiran hutan.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

"Aku telah tiba di rumah Balung Perkasa...," gumam pemuda berbaju rompi putih di atas punggung kuda hitam bernama Dewa Bayu.

Pemuda tampan ini memang telah berada di depan sebuah rumah berpekarangan luas. Tampak dua penjaga berdiri tegak memegang tombak mengapit pintu gerbang.

"Maaf, Kisanak! Inikah kediaman Ki Balung Perkasa?" tanya pemuda ini.

"Betul. Siapakah Kisanak? Dan, ada keperluan apa dengan Ki Balung?" tanya seorang penjaga.

"Namaku Rangga...."

"Ah! Jadi kaukah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?!" tukas penjaga itu dengan wajah kaget.

Pemuda tampan berbaju rompi putih yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti itu mengangguk.

"Kalau begitu silakan, Pendekar Rajawali Sakti! Majikan kami telah menunggu!" sahut penjaga itu, penuh hormat.

Pendekar Rajawali Sakti turun dari kudanya. Salah seorang penjaga mengambil tali kekang kudanya dan membawanya ke istal. Sementara yang bicara dengan Rangga tadi membawanya ke pendopo utama. Di pendopo, Rangga diperkenalkan dengan seorang abdi dalem yang menjadi pembantu Ki Balung Perkasa.

"Silakan, Pendekar Rajawali Sakti!" ucap laki-laki setengah baya berusia sekitar empat puluh lima tahun.

"Terima kasih, Paman," sahut Pendekar Rajawali Sakti, ramah.

"Beliau memang sudah menunggu bersama yang lainnya."

"Hm, beliau mengadakan semacam pertemuan para pendekar, Paman?"

"Begitulah kira-kira...."

"Berapa orang yang berada di sana?"

"Enam orang, termasuk beliau sendiri."

Rangga mengangguk. Kini mereka telah berada di depan pintu sebuah ruangan besar yang berlantai kayu jati. Dinding di dekat pintu penuh ukiran-ukiran indah dan menarik.

"Sebentar aku ke dalam untuk memberitahu beliau," kata abdi dalem itu.

Pendekar Rajawali Sakti kembali mengangguk. Kemudian orang itu lenyap di dalam ruangan. Sementara, Rangga tampak mengagumi keadaan di sekitar tempat ini.

"Hm, aku berani bertaruh kalau Ki Balung Perkasa ini seorang kaya lagi berpengaruh. Mungkin juga pembesar kerajaan yang memilih tinggal di perkampungan sepi ini," gumam Rangga.

Tengah asyik Pendekar Rajawali Sakti mengagumi keadaan di tempat ini, abdi dalem tadi telah kembali.

"Silakan, Pendekar Rajawali Sakti. Beliau telah menunggu...," ucap laki-laki itu.

"Terima kasih." Tanpa ragu-ragu Rangga masuk ke dalam. Dan abdi dalem tadi menutup pintu. Rangga sedikit tercekat. Tempat yang dimasukinya ternyata bukan sebuah ruangan besar seperti yang diduga, melainkan sebuah lorong gelap.

"Apa-apaan ini?" desis Pendekar Rajawali Sakti pelan dan agak kesal.

"Selamat datang, Pendekar Rajawali Sakti! Silakan masuk ke ruanganku!"

Mendadak terdengar satu suara, namun tidak ketahuan wujudnya. Rangga memandang berkeli-ling. Namun yang dilihatnya hanya kegelapan.

"Kenapa malu-malu Pendekar Rajawali Sakti. Silakan datang ke tempat kami!" lanjut suara tadi.

Pemuda itu tersenyum ketika mengetahui maksud Ki Balung Perkasa. "Hm... Orang tua ini agaknya hendak mengujiku...."

Set! Set!

"Heh?!" Rangga tersentak ketika mendadak melesat beberapa sinar putih keperakan ke arahnya.

"Hup!" Cepat Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas. Namun beberapa sinar putih keperakan yang tak lain adalah senjata rahasia terus menerjangnya.

Tap! Tap!

Dengan mengandalkan penglihatan serta pendengaran yang tajam, beberapa senjata rahasia berupa pisau kecil dapat ditangkap lewat sela-sela kesepuluh jari Pendekar Rajawali Sakti.

"Hiih!" Dengan kecepatan luar biasa, Pendekar Rajawali Sakti menyentakkan pisau-pisau kecil itu ke arah datangnya tadi. Seketika terdengar beberapa orang kalang kabut menghindari serangan balik itu.

Belum lagi habis serangan gelap barusan, mendadak terasa sesuatu mendesis dari segala arah. Samar-samar Pendekar Rajawali Sakti melihat asap putih bergerak cepat mengurungnya.

"Hm...." Rangga merapatkan kedua telapak tangannya dengan kuda-kuda kokoh.

"Aji Bayu Bajra...!" teriak Pendekar Rajawali Sakti, sambil menghentakkan kedua tangannya. Dia segera memutar tubuhnya, seraya terus mengarahkan aji 'Bayu Bajra' hingga seperempatnya.

Wuusss!

Bersamaan dengan itu, bertiup angin kencang bagai topan yang bergerak cepat, melabrak asap putih yang mengurungnya. Bahkan hebatnya lagi, ruangan ini terasa bergoyang-goyang seperti dilanda gempa. Benda-benda yang berada di ruangan berpindah tempat, terpental, dan pecah karena terjatuh.

"Cukup, Pendekar Rajawali Sakti!"

Kembali terdengar suara. Dan Rangga pun menghentikan tindakannya. Tidak berapa lama kemudian mendadak ruangan ini menjadi terang menderang, karena jendela-jendela yang mengelilinginya terbuka lebar dari luar. Cahaya obor menyeruak ke dalam. Dan dari beberapa buah pintu, muncul orang-orang bersenjata lengkap.

Pendekar Rajawali Sakti tenang saja. Matanya tertuju ke depan, pada seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun. Pakaiannya sederhana. Dia didampingi beberapa orang yang agaknya anak buahnya. Orang tua berwajah polos tanpa jenggot dan kumis itu tersenyum ramah seraya melangkah lebar menghampiri.

"Selamat datang di tempatku, Pendekar Rajawali Sakti!" sambut orang tua ini.

"Terima kasih, Ki Balung Perkasa! Keramah-tamahanmu telah kurasakan dengan baik," sahut Rangga.

Meski belum pernah bertemu sebelumnya, namun Rangga yakin dialah pemilik tempat ini. Dan ternyata benar Ki Balung Perkasa.

"Ha ha ha...! Maafkan penyambutanku yang tidak semestinya. Telah kudengar nama besarmu dari jauh-jauh hari dan menggelitikku untuk membuktikan kebenarannya. Dan permainan kecil tadi telah membuka mataku bahwa apa yang kudengar itu ternyata tidak berlebihan,? sahut Ki Balung Perkasa seraya mengajak tamunya keluar melalui salah satu pintu di ruangan ini.

"Apa yang kau dengar, kebanyakan cerita bohong yang ditiupkan orang yang tidak bertanggung jawab, Ki. Aku hanyalah seorang pemuda yang perlu bimbingan dari orang sepertimu, Ki," sahut Rangga merendah.

Ki Balung Perkasa mengekeh pelan. Kini mereka tiba di sebuah ruangan luas, namun sederhana. Di sana telah berkumpul beberapa orang, Bukan enam seperti yang dikatakan orang tadi kepadanya, tapi lebih.

Rangga duduk pada sebuah kursi yang tidak jauh dari Ki Balung Perkasa. Sedang orang tua itu sendiri duduk di sebelah kursi lebar, dan saling berhadap-hadapan dengan tamu-tamunya.

"Para hadirin! Hari ini telah lengkap kedatangan tamu kita yang terakhir, yaitu Rangga alias si Pendekar Rajawali Sakti!" seru Ki Balung Perkasa, lantang.

Rangga bangkit dari kursinya seraya menjura hormat pada tamu-tamu lain. Mereka pun membalas salam hormatnya. Kemudian Ki Balung Perkasa sendiri segera memperkenalkan para tokoh persilatan itu satu persatu kepada Pendekar Rajawali Sakti.

"Sebagian tentu mengerti, mengapa aku mengundang kalian semua ke tempatku ini. Namun begitu, beberapa lainnya tentu masih diliputi tanda tanya, bukan?" lanjut Ki Balung Perkasa langsung membuka persoalan setelah acara perkenalan selesai.

"Ya, aku juga masih belum mengerti, Ki!" sahut Rangga. "Bisakah kau menjelaskannya?"

"Persoalan ini menyangkut urusan yang belakangan ini terjadi. Yaitu pembantaian yang dilakukan seorang makhluk aneh bernama Gardika," jelas Ki Balung Perkasa.

Orang-orang yeng berada dalam ruangan itu mengangguk-angguk.

"Kerajaan mengutusku untuk membereskan persoalan ini, karena dianggap penting. Sebab dalam waktu satu purnama, telah terjadi korban lebih dari seratus orang," lanjut orang tua itu.

"Ya! Sebelum tiba di sini, aku bertemu orang-orang yang menjadi korbannya. Apakah kau mengetahui, apa maksud Gardika membunuh orang-orang itu, Ki?" tanya seorang gadis muda membawa pedang di punggung.

"Alasannya tak jelas, Sekartaji! Tapi beberapa anak buahku mengatakan bahwa orang ini laksana hewan buas. Dia haus darah dan ingin membunuh sebanyak-banyaknya. Kesulitanku adalah, Gardika bukan orang sembarangan. Beberapa anak buahku yang kuutus membereskannya, banyak yang mati," lanjut Ki Balung Perkasa, menjelaskan pada gadis bernama Sekartaji.

"Lalu apa yang hendak kau rencanakan mengumpulkan kami di sini, Ki?" tanya Rangga.

"Itulah! Pihak kerajaan merasa kewalahan. Bila mengutus para prajurit, dikhawatirkan akan menjadi makanan empuk baginya. Maka itu, aku punya prakarsa mengumpulkan para pendekar agar kiranya sudi membantuku. Dan untuk itu, tentu saja akan ada imbalannya bagi kalian semua," jelas Ki Balung Perkasa.

"Berapa imbalan yang bisa kau berikan kepada kami?" tanya seorang laki-laki bertubuh gemuk dengan brewok lebat. Dia duduk agak di belakang.

"Apakah dua puluh lima keping emas masih kurang, Aswatama?" Ki Balung Perkasa balik bertanya sambil tersenyum.

"Ha ha ha...! Benarkah? Itu jumlah yang hebat!" sahut laki-laki bertubuh gemuk dengan senjata golok besar yang dipanggil Aswatama.

Aswatama alias si Golok Terbang tertawa bergelak mendengar jumlah yang disebutkan. Mungkin jumlah itu dianggapnya kelewat besar untuk tugas yang dianggapnya ringan.

"Jumlah itu kelewat sedikit!" Terdengar suara yang bernada meremehkan.

"Hm, berapakah jumlah yang pantas untukmu, Ki Sugala?" tanya Ki Balung Perkasa sambil tersenyum.

Lelaki dengan dahi lebar dan mata agak sipit yang bernama Ki Sugala tersenyum tengik. "Dia telah membunuh Ki Gendeng Rupa dan Sepasang Petani Sakti. Padahal, kita tahu bahwa kedua orang itu bukan tokoh sembarangan. Ini membuktikan kalau Gardika bukan orang sembarangan. Maka tugas ini terasa berat dengan mempertaruhkan nyawa. Aku tidak mau dihargai dua puluh keping emas, karena itu bukan harga yang pantas untuk nyawaku. Untukku, paling tidak seratus keping emas!" lanjut Ki Sugala.

"Ya! Kurasa usul Ki Sugala memang pantas!" sambut seorang wanita tua bertubuh kurus dengan rambut kelabu.

Orang-orang persilatan tahu, siapa wanita itu. Dia adalah tokoh terkenal bernama Nyi Pacet alias Lintah Penghisap Darah.

"Harga yang disebutkan Ki Balung Perkasa tidak pantas untuk pekerjaan ini. Kita tidak bekerja sukarela. Tapi, menerima upah!" lanjut Nyi Pacet. "Bukan begitu, Ki Dawala?" Lintah Penghisap Darah menoleh pada laki-laki kumis berhidung panjang.

"Bagaimana, Ki Balung Perkasa? Apakah kau setuju menaikkan imbalan yang kami terima?" desak tokoh yang dipanggil Ki Dawala oleh Nyi Pacet.

Ki Balung Perkasa berpikir sebentar, lalu mengangguk setuju. "Baiklah.... Aku setuju tiap seorang dari kalian mendapat imbalan seratus keping emas. Berhasil ataupun tidak, kalian akan mendapat imbalan seratus keping emas. Tapi tidak kuberikan sekarang, melainkan nanti setelah pekerjaan ini selesai. Sebagai awalnya, maka kalian kuberi bekal masing-masing tiga keping emas. Bagaimana? Setuju?"

Hampir semua mengangguk mendengar keputusan itu, kecuali Rangga. Bagi Pendekar Rajawali Sakti, persoalan itu bukan masalah pekerjaan yang perlu imbalan, tapi tanggung jawab seorang pendekar terhadap tindakan kesewenang-wenangan.

"Nah! Kalau begitu kalian boleh mencarinya sekarang juga. Tangkap Gardika hidup atau mati. Dan, bawa ke sini!" lanjut Ki Balung Perkasa.

"Beres, Ki!"

Ki Balung Perkasa bertepuk tangan. Maka dua anak buahnya mendekat seraya membawa sekantung uang.

"Siapa saja boleh maju bergiliran untuk menerima bagian bekalnya!" lanjut Ki Balung Perkasa.

Maka satu persatu para tokoh persilatan itu maju ke depan. Setelah mengambil bekal, mereka segera berlalu diantar para pengawal Ki Balung Perkasa.

Melihat itu Rangga tenang-tenang saja. Dia belum beranjak dari tempatnya. Bahkan setelah semuanya selesai mendapat bagiannya.

"Kenapa kau tenang-tenang saja, Pendekar Rajawali Sakti? Apakah tidak ingin mengambil bagianmu?" tanya Ki Balung Perkasa, heran.

"Kedatanganku kesini adalah memenuhi undanganmu. Dan itu bukan berarti aku mesti memenuhi permintaanmu. Apalagi, sampai mematuhi perintahmu," sahut Rangga datar.

"Maafkan kalau kau merasa tersinggung karena kejadian ini, Rangga...," ucap Ki Balung Perkasa, jadi tidak enak sendiri.

"Tidak mengapa. Aku belum mengenalmu lebih jauh. Dan juga tidak tahu, siapa kau sebenarnya sampai mendapat kepercayaan dari kerajaan sehingga mengurusi soal ini?"

"Aku penasihat Kerajaan Girilayu ini. Juga penasihat pribadi Gusti Prabu Arga Sena. Beliau sendiri yang memberi mandat kepadaku untuk menyelesaikan persoalan ini. Aku punya surat perintah untuk itu," jelas Ki Balung Perkasa.

"O, begitu? Baiklah. Kalau begitu, aku mohon pamit dulu, Ki."

"Tunggu dulu, Rangga! Apakah kau bersedia membantuku?" cegah Ki Balung Perkasa.

"Bantuan apa yang bisa kuberikan?" tanya Rangga sambil melangkah menuju ke depan.

"Menumpas Gardika," sahut Ki Balung Perkasa, terus membuntuti.

Rangga tersenyum. "Itu sudah menjadi tugas dan kewajibanku, Ki. Perbuatannya tidak bisa dimaafkan," kata Rangga.

"Ah! Terima kasih, Rangga! Aku amat menghargai bantuanmu ini."

"Tidak usah terlalu berlebihan, Ki. Aku mengerjakannya karena sukarela. Bukan ingin imbalan darimu."

"Kau memang pendekar sejati, Pendekar Rajawali Sakti!" puji Ki Balung Perkasa.

"Jangan kelewatan memujiku, Ki. Aku manusia biasa seperti yang lain. Kalau begitu aku pamit dulu, " sahut Rangga setelah melihat kudanya dibawa ke halaman depan pintu keluar ruangan yang dimasuki tadi.

"Aku tidak bermaksud memuji, tapi kenyataan!"

Rangga hanya tersenyum lalu melompat ke punggung kudanya. Dan setelah memberi salam hormat dia bergegas menggebah kudanya. "Heaaa...!"

Setelah melewati rumah itu, Rangga tidak berhenti lagi. Dia terus memacu kudanya untuk segera keluar dari desa ini secepatnya.

Baru saja melewati batas desa, Pendekar Rajawali Sakti terpaksa melambatkan laju kuda. Bahkan pada jarak tertentu, berhenti sama sekali ketika beberapa orang menghadang jalannya.

"Berhentilah sebentar, Pendekar Rajawali Sakti!" seru perempuan tua bertubuh ramping yang membawa cambuk di tangan kanan.

"Nyi Pacet? Ada apa gerangan?" tanya Rangga heran.

Rangga juga memandang yang lainnya. Mereka adalah orang-orang yang tadi ditemuinya di tempat Ki Balung Perkasa, yakni Ki Sugala, Ki Aswatama, Ki Dawala yang bertampang lucu dengan hidungnya yang panjang, dan Nyi Pacet sendiri.

"Berapa Ki Balung Perkasa memberimu?" tanya wanita tua itu, curiga.

Rangga tersenyum. Dan dia mulai mengerti, apa keinginan mereka yang sebenamya mencegatnya di sini.

"Kalau itu yang kau tanyakan, maka biar kukatakan sejujurnya bahwa aku tidak menerima uang sekeping pun!" sahut Rangga seadanya.

"Dusta! Jangan membohongi kami!" tukas Nyi Pacet sambil berkacak pinggang dan menuding garang.

"Apa maksudmu, Nyi Pacet? Kau bertanya, lalu kujawab dengan jujur. Dan tahu-tahu, seenaknya saja menuduhku berdusta!" sahut Pendekar Rajawali Sakti mulai tak senang.

"Ki Balung Perkasa menyambutmu dengan baik. Sementara kami tidak. Dia juga menyuruhmu antri paling akhir, dan menyuruh kami lebih dulu keluar. Itu tidak adil! Kau pasti mendapat bagian yang lebih dibanding kami!" tuduh Nyi Pacet, keterlaluan.

ENAM

"Tuduhan itu tidak beralasan. Kalian boleh tanyakan sendiri pada beliau!" sahut Rangga.

"Mana mungkin dia mau jujur! Kalian telah bersekongkol!" tuding Ki Aswatama.

"Terserah, apa pendapat kalian. Tapi jangan kira aku menerima tugas yang diberikannya. Ki Balung Perkasa tidak punya hak memerintahku meski dengan imbalan! Bukan sombong. Uang seratus keping emas bisa kudapatkan dengan mudah. Bahkan, lebih dari itu. Jadi buat apa mesti kemaruk segala?!"

"Huh, dasar sombong!" dengus Ki Sugala.

"Mulutmu kelewat besar, Anak Muda! Mungkin selama ini kelakuanmu pun sama!" timpal orang yang bernama Dawala.

"Sudah lama aku mendengar namanya yang melejit sampai ke mana-mana. Sehingga, kau jadi besar kepala! Kali ini mumpung ada kesempatan, ingin kubuktikan apakah kehebatanmu sama dengan yang dihebohkan orang!" ujar Nyi Pacet alias Lintah Penghisap Darah.

"Nyi Pacet! Tidak usah memperbesar persoalan kecil. Aku tidak merasa diriku hebat. Itu hanya kabar bohong. Dan orang setuamu kenapa percaya tentang kabar bohong?" tukas Rangga.

"Phuih! Kau coba mengelabuiku? Ayo, cabut pedangmu! Ingin kulihat, sampai di mana keampuhan pedangmu!" bentak Lintah Penghisap Darah.

"Jangan memaksaku, Nyi Pacet..."

"Anak muda! Jangan berlagak di depan kami! Kalau kau takut dikeroyok, maka kami akan menonton pertarungan kalian saja!" teriak Ki Aswatama.

"Ya! Perlihatkan pada kami, kalau kau memang seorang pendekar besar!" timpal Ki Sugala.

"Atau barangkali semua itu hanya omong kosong? Karena, sesungguhnya dia hanya seorang badut!" ejek Dawala.

Mendengar ejekan itu rasanya merah juga telinga Pendekar Rajawali Sakti. Dipandangnya Lintah Penghisap Darah dengan tajam. "Kau yang menginginkannya, maka silakan mulai!" sahut Rangga dingin.

Lintah Penghisap Darah langsung melompat menyerang ketika Pendekar Rajawali Sakti baru saja turun dari kuda. Ujung cambuknya melesat bagai kilat menyambar ke dada.

"Hup!" Ctar...!

Pendekar Rajawali Sakti keburu melejit ke atas, sebelum ujung cambuk melukainya. Tubuhnya bergulung di udara, lalu meluruk mendekati dengan tendangan kilat.

"Hiyaaa...!"

"Uhhh...!" Nyi Pacet terkesiap melihat pemuda itu mampu bergerak secepat ini. Terpaksa wanita itu melompat ke samping sambil menunduk.

"Hiih!" Begitu menjejak tanah, Rangga terus mengejar. Kepalan tangan kanannya meluncur deras ke muka. Sebisanya Lintah Penghisap Darah menangkis dengan telapak kiri.

Plak!

Tapi, ujung kaki kiri Rangga telah menyusuli dengan sodokan ke dada.

Wut!

"Setan!" Sambil memaki geram, Nyi Pacet terpaksa mencelat ke belakang. Bahkan cambuknya belum lagi sempat dihempaskan. Namun, Pendekar Rajawali Sakti telah mengejar lewat tendangan beruntun yang harus ditangkis dengan kalang kabut.

Memang bukan hanya wanita tua itu yang sudah jatuh nyalinya melihat serangan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan kuda-kudanya juga mulai goyah. Dan ketika pemuda itu melakukan gerak tipu dengan menyodorkan kepalan kiri, Nyi Pacet cepat menangkis.

Plak!

Namun secepat itu pula Rangga berputar ke kiri. Sementara kaki kanannya menyapu pinggang dengan gerakan indah dan cepat. Sehingga....

Desss...!

"Aaakh...!" Nyi Pacet mengeluh kesakitan, ketika tendangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat telak di pinggangnya.

"Kurang ajar!" maki Lintah Penghisap Darah geram, berusaha tegak berdiri dengan mantap. Sorot mata perempuan tua ini tajam memandang Pendekar Rajawali Sakti penuh kebencian.

"Kurasa urusan ini disudahi saja," ujar Pendekar Rajawali Sakti. Tapi begitu Rangga hendak berbalik menghampiri kudanya....

"Berhenti kau, Bocah!" bentak Lintah Penghisap Darah, garang.

"Ada apa lagi, Nyi Pacet?" tanya Rangga sambil berbalik dengan malas-malasan.

"Apa kau kira begitu mudah menyelesaikannya begitu saja? Aku belum kalah, Bocah!" dengus Nyi Pacet.

"Lalu, apa lagi maumu?" tukas Pendekar Rajawali Sakti, kalem.

"Kau belum merasakan jurus-jurusku yang lain! Bersiaplah menerima jurus 'Lintah Mengerubung Kerbau'!"

Setelah berkata begitu, Nyi Pacet bersiap menyerang dengan menggunakan jurus andalannya. "Yeaaa...!"

Cambuk perempuan ini mulai berputar-putar. Dan bersamaan dengan itu, kaki kanannya siapmenyusul bila serangannya gagal.

"Hup!" Ctar!

Begitu bergerak, cambuk Lintah Penghisap Darah langsung mengincar pada jalan kematian di tubuh Rangga. Sejenak Pendekar Rajawali Sakti kerepotan menghindarinya. Kali ini, agaknya perempuan tua itu hendak menggunakan siasat penyerangan jarak jauh untuk merepotkan lawan.

"Hup! Heaaa...!"

Tapi Rangga akhirnya tidak mau berlama-lama. Langsung dikerahkannya gabungan jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'. Jurus yang mengutamakan kecepatan bergerak dan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi ini memiliki keampuhan untuk mengecoh.

"He, kurang ajar!"

Ctar! Ctarrr...!

Nyi Pacet menggeram kesal. Cambuknya bergerak ke segala arah, namun tak mampu mengimbangi gerakan Pendekar Rajawali Sakti. Dan akhirnya, hanya sia-sia saja yang didapatkan.

"Hiih!"

Sebaliknya serangan balik Pendekar Rajawali Sakti begitu dahsyat. Dengan satu gerakan mengagumkan, Rangga meluruk dengan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Tubuhnya berkelebat cepat sambil mengibaskan tangannya cepat.

Desss...!

"Aaakh...!" Nyi Pacet memekik kesakitan begitu dadanya terhantam kibasan tangan Rangga. Tubuhnya terjungkal ke belakang tanpa mampu bangkit disertai muntahan darah.

"Di antara kita tak ada saling permusuhan, maka jangan kelewat memaksaku!" ujar Pendekar Rajawali Sakti kesal, seraya meninggalkan Nyi Pacet yang terengah-engah duduk di tanah.

Tapi belum lagi Pendekar Rajawali Sakti menggebah kudanya, mendadak berkelebat satu sosok tubuh yang langsung berdiri menghadang. Bentuk tubuhnya benar-benar mengejutkan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan Dewa Bayu sempat terkejut dan meringkik.

"Hieee...!"

"He, apa ini?!"

"Astaga! Itu Gardika!" desis Ki Sugala, yang pernah mendengar ciri-ciri sosok yang menghadang Rangga.

"Ya! Itu Gardika...!" timpal Ki Dawala.

Sementara Rangga langsung melompat turun dari punggung kudanya. Dia tegak berdiri mengawasi makhluk di depannya, seorang pemuda bermuka dua. Hidungnya besar dengan sepasang taring di sudut bibirnya. Kakinya empat dan tangannya pun empat.

"Kepung dia...!" bentak Ki Aswatama, mengagetkan Rangga yang masih terkesima melihat orang yang belakangan menghebohkan semua kalangan.

Ki Sugala dan Ki Dawala serentak melompat mengepungnya. Sementara dengan tertatih-tatih Nyi Pacet ikut pula menghampiri.

"Untuk sementara lupakan dulu persoalan kita, Anak Muda! Persoalan sebenarnya telah berada di depan mata. Ini yang lebih utama!" seru Ki Aswatama. "Kita mesti saling bantu-membantu!"

Pemuda itu tidak menjawab. Matanya masih memandang tajam kepada Gardika yang berwujud aneh di depannya.

"Jadi, kaukah yang bernama Gardika?" Tanya Rangga dingin.

"Ya! Kudengar ribut-ribut di sini. Maka aku datang untuk melihatnya. Lalu, kulihat kalian bertarung. Dan itu semakin menggembirakanku," sahut Gardika polos tanpa beban.

"Huh! Kami tidak bermaksud membuatmu senang!" dengus Nyi Pacet.

"Ha ha ha...! Kalau begitu, maka biarkan aku yang mencari kesenangan dengan bertarung melawan kalian!" sahut Gardika cepat. "Pertarungan. seru sampai kalian mampus!"

"Iblis keparat!" umpat Ki Sugala.

"Ha ha ha...! Kenapa tidak kau saja yang lebih dulu maju?"

"Takut apa aku denganmu?!" dengus Ki Sugala.

Sring!

Secepat itu juga Ki Sugala mencabut pedangnya. Dan dengan waktu yang hampir bersamaan, Ki Aswatama pun mencabut sepasang golok besarnya. Sementara, Nyi Pacet telah siap dengan cambuk. Dan Ki Dawala dengan tongkatnya.

"Kenapa kau tidak mengeluarkan senjatamu seperti mereka?" tanya Gardika, pada PendekarRajawali Sakti.

"Nanti akan kuperhitungkan, apakah senjataku perlu untuk dikeluarkan!" sahut Rangga pendek.

"Ha ha ha...! Sayang sekali! Padahal aku lebih suka bertarung denganmu. Kulihat, kau hebat ketika bertarung dengan nenek peot itu!"

"Akan kita lihat, apakah keinginanmu terpenuhi," sambung Rangga, kalem.

"Anak muda! Kenapa banyak mulut segala?! Sebaiknya kita serang saja dia sekarang!" teriak Ki Sugala.

"Ya, silakan dimulai. Biar aku mendapat giliran belakangan saja," jawab Rangga enteng.

"Huh!" Ki Sugala mendengus geram. Dia memang tidak begitu suka pada Pendekar Rajawali Sakti. Maka begitu mendengar jawabannya," hatinya semakin sebal saja melihat tampang pemuda itu. Tapi dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dan untuk menumpahkan kekesalannya, dia sudah langsung menyerang Gardika.

"Yeaaa...!"

Gardika hanya bergeser ke samping. Tiba-tiba satu tangannya menangkap batang pedang Ki Sugala. Lalu, dibetotnya keras.

"Hiih!"

"Ohh...!" Karuan saja, Ki Sugala jadi gelagapan. Buru-buru pedangnya dilepas kalau tak ingin kepalan Gardika menghancurkan batok kepalanya.

"Yeaaa...!"

Namun sebelum Gardika kembali menyerang, Ki Aswatama dan Ki Dawala telah ikut menyerang dengan gencar mengancam ke segala arah. Dan....

Ctar!

Cambuk Nyi Pacet mulai ikut merepotkan Gardika. Tapi, pemuda berwajah mengerikan itu bukannya kerepotan. Bahkan ketawa kegirangan.

"Ha ha ha...! Kenapa tidak sejak tadi saja? Dengan begini terasa lebih seru dan hebat!" teriak Gardika, sombong.

"Huh! Kalau sudah mampus, baru terasa lebih hebat lagi!" dengus Ki Aswatama.

"Ha ha ha...! Orang-orang seperti kalian tidak membuatku gentar. Tapi, malah menggelikan!" ejek Gardika.

"Kurang ajar!" Ki Aswatama menggeram. Golok besarnya bergerak semakin cepat, menyambar-nyambar ke mana saja makhluk aneh ini bergerak.

Tapi, Gardika memang tidak kerepotan. Bahkan sesekali terlihat dia berusaha menangkap senjata. Kini justru Ki Aswatama yang terpaksa menghindar, karena tahu kalau goloknya tidak mampu melukai Gardika. Dan sekali-sekali laki-laki bertubuh gemuk itu terpaksa melompat mundur, ketika pedang Ki Sugala yang berhasil dirampas mulai mengancam keselamatannya.

"Graaaugkh!"

Gardika menggeram tatkala tongkat Ki Dawala mengincarnya dari belakang. Pedang di salah satu tangannya berkelebat menangkis, sekaligus mematahkan senjata laki-laki berhidung panjang itu. Tubuhnya bergerak cepat mengirimkan tendangan kilat. Sama sekali tidak dipedulikannya cambuk Nyi Pacet yang mengancam.

Des!

"Aaa...!" Ki Dawala terpekik kesakitan. Tubuhnya kontan terjungkal ke belakang dengan beberapa tulang rusuk patah akibat tendangan Gardika. Sementara cambuk Nyi Pacet sama sekali tidak berarti di tubuhnya.

"Yeaaa...!" Saat itu juga, Ki Aswatama menyerbu dari samping dengan bemafsu.

Trang! Wut!

Dengan cepat Gardika mengibaskan pedang, membabat satu golok yang dipegang Ki Aswatama hingga terpental. Namun tanpa menghiraukan telapak tangannya yang lecet akibat benturan tadi, Ki Aswatama memutar golok yang satu lagi. Kembali dicobanya menebas leher Gardika. Gardika cepat menekuk pedangnya untuk menangkis serangan.

Trang!

Lalu secepat kilat senjata di tangan makhluk aneh ini bergerak memapas pangkal tangan kiri Ki Aswatama.

Crasss!

Karuan saja laki-laki gemuk dengan wajah dipenuhi brewok itu menjerit kesakitan. Dan sebelum dia menguasai diri, perutnya telah mendapat tendangan kuat dari Gardika hingga membuatnya jungkir balik muntah darah.

"Sekarang giliranmu, Tua Bangka Peot!" desis Gardika,

Meski Nyi Pacet kelihatan garang, tapi melihat sepak terjang makhluk aneh itu mau tak mau jadi takut juga, Sesekali matanya melirik Pendekar Rajawali Sakti sambil mengutuk habis-habisan, Pemuda itu terlihat tenang-tenang saja menonton pertarungan. Dan celakanya, Gardika malah belum mau mengusiknya!

"Ayo, cepat! Kenapa diam saja? Apa kau takut mati?!" teriak Gardika mengejek.

"Bangsat! Kau kira aku takut denganmu, he?! Rasakan seranganku!" dengus Lintah Penghisap Darah,

Perempuan tua itu langsung mencelat menerjang dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatan yang dikuasainya. Namun dengan empat tangan serta empat kaki yang bergerak selaras, Gardika agaknya sulit ditanggulangi.

Plak! Plak!

Gardika menyambut serangan Nyi Pacet dengan enteng. Kemudian tubuhnya berbalik, seraya mengibaskan pedang. Nyi Pacet terkejut. Terpaksa dia mencelat ke belakang untuk menyelamatkan diri. Tapi pada saat itu, Gardika justru mengejarnya dengan cepat seraya mengirim tendangan beruntun.

Duk! Des!

"Aaakh...!" Lintah Penghisap Darah memekik kesakitan ketika tubuhnya terlempar beberapa langkah. Dari mulutnya muncrat darah segar. Tulang dadanya patah. Dan sesaat dia hanya menggelepar-gelepar, lalu diam tak berkutik. Entah hidup atau mati.

"Ha ha ha...! Mereka sudah beres, kini giliranmu!" tunjuk Gardika pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Kisanak...! Apa sebenarnya yang kau cari dengan membunuh orang-orang yang tak berdosa?" tanya Rangga.

"Eh, apa ini? Kenapa malah kau mengajak bercakap-cakap? Aku tidak butuh itu! Ayo, seranglah aku seperti yang mereka lakukan!"

Rangga tersenyum. "Kelakuanmu sungguh kejam. Tapi semua orang punya alasan untuk melakukan itu. Sayang alasan yang kau miliki kelihatan sederhana. Hanya untuk memuaskan hawa nafsumu belaka. Bahkan hewan buas sekalipun hanya membunuh bila lapar atau terganggu. Tapi kau lebih kotor dari hewan buas mana pun!" desis Rangga.

"Kurang ajar! Tidak usah banyak bicara! Ayo, cabut pedangmu!"

"Karena kau bersenjata, maka biarlah kupinjam senjata kawanku ini!" sahut Rangga seraya meminjam golok besar di tangan Ki Aswatama yang saat itu masih meringis menahan rasa sakit hebat.

"Huh! Dengan senjata apa pun, kau boleh menghadapiku!"

"Silakan!" lanjut Pendekar Rajawali Sakti seraya tegak berdiri ntienantang.

"Yeaaa?!" Gardika bergerak cepat, menerkam. Tapi Pendekar Rajawali Sakti langsung mengibaskan golok besar di tangannya.

Tak! Trang!

"Uhh!" Gardika yang merasa kulitnya tidak mempan senjata tajam, tidak begitu menghiraukan tebasan golok. Padahal saat itu Rangga bukannya tidak mengetahui kalau Gardika kebal senjata tajam. Tapi meski sekebal apa pun, toh dia pasti akan merasa sakit kalau benda tajam itu membentur tubuhnya dengan keras. Dan itu yang dilakukannya saat ini.

Takkk..!

Mata golok itu menghantam pergelangan tangan Gardika. Namun makhluk aneh ini masih sempat mengibaskan pedang. Rangga cepat menangkisnya.

Trang!

Terasa pedang di tangan Gardika bergetar ketika merasakan tenaga dahsyat membenturnya. Dan belum juga makhluk aneh itu berbuat sesuatu, Rangga telah melepaskan tendangan keras.

Buk!

"Uhh?!" Seketika makhluk aneh itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mengeluh kesakitan. Dua tangannya memegangi dadanya yang terhantam tendangan Rangga.

TUJUH

Gardika memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan sorot mata tajam, geram bercampur heran. Dalam waktu singkat dia berhasil dihajar. Dan kalau saja pemuda itu terus mengejarnya, dia akan sedikit kerepotan. Tapi, pemuda itu tegak berdiri mengatur jarak sambil mengawasinya.

"Masih ingin dilanjutkan?" tantang Rangga, dingin.

"Hm.... Kau memang lebih hebat dibanding mereka. Tapi itu hanya permulaan. Selanjutnya kau akan kubuat tidak berkutik!" dengus Gardika.

"Kenapa banyak omong?"

"Hup!" Bukan main panasnya Gardika melihat pemuda berbaju rompi putih ini mulai bertingkah. Maka secepat kilat dia kembali menyerang. Pedang di tangannya berkelebat menyambar-nyambar. Dan bersamaan dengan itu, tiga tangannya yang lain serta keempat kakinya silih berganti ikut menyerang.

"Hiyaaa..." Rangga meningkatkan kecepatannya ketika menggunakan jurus-jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti' untuk mengimbangi serangan. Goloknya berkali-kali menangkis kelebatan pedang yang di pegang Gardika.

Trang! Trang!

Buk...!

"Aaakh...!" Beberapa kali senjata mereka saling berbenturan. Dan beberapa kali pula Rangga berhasil menyarangkan goloknya. Gardika mengeluh tertahan. Tulangnya terasa ngilu meski kulitnya tidak terluka.

Memang, seperti itu yang diinginkan Rangga. Membuat lawan kesakitan serta penasaran. Kalau sudah mengamuk hebat, maka saat itu dia akan semakin mempermainkannya.

"Yeaaa...!" Dengan membentak garang, Gardika kembali menerjang. Namun, Rangga telah siap menyambut. Golok di tangannya berkelebat secepat kilat menerobos pertahanan, membabat leher, lalu pindah ke pangkal lengan.

Trang!

Ketika baru saja terjadi benturan senjata, Gardika segera jumpalitan. Dicobanya menghajar Pendekar Rajawali Sakti lewat dua telapak kakinya.

"Hup!" Tapi Rangga cepat melejit gesit. Goloknya cepat menikam ke jantung Gardika. Terpaksa makhluk aneh ini bergulir ke kiri. Namun, Pendekar Rajawali Sakti telah mengayunkan sebelah kakinya menghantam pinggang.

Duk!

"Aaakh...!" Tendangan yang dilepaskan Rangga keras bukan main laksana hantaman bandul besi yang beratnya puluhan kati. Gardika menjerit kesakitan. Tubuhnya kontan terlempar ke samping.

"Hiyaaa!" Rangga tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Langsung tubuhnya berkelebat mengejar. Goloknya dikebutkan ke leher, namun masih sempat ditangkis Gardika.

"Hiih...!"

"Hup...!"

Bahkan dengan gemas, Gardika menyodok perut Rangga lewat tendangan beruntun. Namun, Pendekar Rajawali Sakti keburu mencelat ke atas, sehingga tendangan itu mengenai tempat kosong.

"Hiih!"

Golok Pendekar Rajawali Sakti kembali berkelebat menyambar leher. Namun Gardika cepat berbalik seraya menyabetkan pedangnya untuk menangkis.

Trang!

Golok Rangga terus menekan. Dan bersamaan dengan itu, kedua kakinya menyodok ke dada, membuat Gardika kerepotan. Cepat makhluk aneh ini mencelat ke samping.

Rangga segera mengikuti sambil memutar tubuh. Kedua kakinya bergerak cepat silih berganti. Dan tiba-tiba kakinya menyusup ke bawah secara tak terduga. Lalu....

Duk! Des!

"Aaakh...!" Kembali Gardika menjerit kesakitan ketika tendangan beruntun Pendekar Rajawali Sakti bersarang di dada dan perut. Tubuhnya kontan bergulingan beberapa langkah. Dan ketika berusaha bangkit, tendangan Rangga kembali bersarang di kepalanya.

"Bangsat!" desis Gardika geram seraya membabatkan pedang.

Dalam keadaan kepala agak pusing seperti sekarang, maka babatan makhluk aneh ini tidak terarah. Sehingga, Rangga mampu menghindarinya dengan berkelit kesamping dan kembali menyarangkan pukulan.

Duk! Des!

"Aaakh...!" Gardika terlempar ke belakang, sampai terjerembab ke belakang. Namun daya tahan tubuhnya amat mengagumkan. Meski terhuyung-huyung, Gardika cepat bangkit dan siap menyerang kembali.

"Hm.... Hebat juga daya tahan tubuhmu!" puji Rangga.

"Huh!" Gardika tidak meladeninya. Hatinya penuh amarah. Hanya satu keinginan yang ada di kepalanya. Membunuh pemuda itu secepatnya! Maka tanpa ayal lagi dia langsung meluruk sambil melepas pukulan jarak jauh.

"Mampus kau! Yeaaa...!"

"Uts!" Jderrr!

Pukulan maut milik Gardika ternyata berupa sebongkah pusaran angin yang bergerak cepat. Rangga terkejut. Meski hanya bentuk angin, tapi kalau sampai menghantam tubuh bisa dibuat remuk. Terbukti sebatang kayu tumbang dihantam pukulan itu ketika Rangga lompat menghindarinya.

"Yeaaa...!" Melihat pukulan pertamanya gagal, Gardika semakin penasaran. Kembali dihantamnya Peedekar Rajawali Sakti dengan pukulan jarak jauh.

"Hup!" Pendekar Rajawali Sakti segera menjatuhkan diri, sehingga pukulan jarak jauh itu lewat dua jengkal di atas punggungnya, menerabas apa saja yang dilewati. Bahkan punggungnya terasa seperti membentur benda yang cukup keras, meski cuma kebagian desir anginnya saja.

"Hm.... Membahayakan...!" gumam Pendekar Rajawali Sakti, begitu bangkit berdiri.

"Yeaaa...!" Gardika kembali meluruk, terus menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi sebelum sampai, Rangga telah melesat dengan merunduk ke bawah. Langsung ditikamnya perut makhluk aneh itu dengan golok sekuat tenaga,

Buk...!

"Aaakh...!" Meski tidak mampu menembus kulit tubuhnya, tapi Gardika merasakan sakit yang hebat. Tubuhnya mental dan terhuyung-huyung ke belakang. Lalu secepat itu pula Rangga melempar goloknya, Dan seketika Pedang Pusaka Rajawali Sakti dicabut.

Sring! Begitu pedang yang bersinar biru berkilau itu tercabut, Rangga kembali meluruk deras. "Hiyaaa...!" Kemudian secepat kilat pedang itu berkelebat memapak kedua kaki Gardika.

"Aaakh...!" Gardika terpekik kesakitan. Kedua kakinya kontan putus dibabat pedang Pendekar Rajawali Sakti. Kendati demikian dia masih mampu berdiri di atas dua kakinya yang lain.

Rangga sendiri tak memberi ampun lagi. Tubuhnya kembali berkelebat sambil menusukkan pedangnya ke perut Gardika.

Crab!

"Aaakh...!" Kembali makhluk itu memekik kesakitan. Pedang Rangga menembus perut sampai ke bagian belakang. Darah hitam memancur dari luka serta perut Gardika. Dua pasang matanya membelalak seperti hendak keluar dari sarangnya.

"Nenek, tolong aku...! Tolong akuuu...!" teriak Gardika sambil berlari cepat meninggalkan tempat itu.

"Hhh...!" Rangga menghela napas pendek seraya menyarungkan pedangnya. Dia kelihatan tidak berniat untuk mengejar

"Kenapa kau tidak menghabisinya sekaligus, Anak Muda?" tanya Ki Aswatama yang keadaannya kini agak membaik.

"Dia akan mati tidak lama lagi...," sahut Rangga, yakin.

"Gerakannya masih gesit. Rasanya dia akan bisa hidup seribu tahun lagi."

Rangga tersenyum. "Kekuatannya hanya karena dia memiliki ilmu kebal. Tapi, tidak lama. Karena beberapa saat kemudian, dia akan kehabisan darah lalu tak berdaya. Lagi pula ada yang lebih penting," jelas Rangga.

"Apa itu?"

"Tidakkah kau dengar kata-katanya yang terakhir? Dia memanggil seseorang."

"Ya, neneknya. Tapi, apa anehnya? Mungkin dia teringat pada neneknya yang sangat menyayanginya."

"Tidak! Neneknya yang telah meracuni pikirannya."

"Dari mana kau mengetahuinya?"

"Naluri."

"Cuma naluri?" tanya Ki Aswatama, seperti menganggap enteng.

"Naluri yang didasarkan pengalaman, Ki. Nah! Uruslah yang lain. Aku pergi dulu!"

"Hei, tunggu dulu! Mau ke mana kau?!" teriak Ki Aswatama, ketika melihat pemuda itu menghampiri kudanya.

"Membasmi pohon harus sampai ke akar-akarnya," sahut Rangga tenang, seraya melompat kepunggung kudanya.

"Apa maksudmu?"

"Akan kuikuti dia dan kutemukan neneknya itu. Bila perlu, neneknya mesti bertanggung jawab atas perbuatannya."

Setelah berkata begitu, Rangga cepat menggebah Dewa Bayu meninggalkan Ki Aswatama yang masih bengong memandangnya.

********************

Apa yang dikatakan Rangga memang tidak salah. Keadaan Gardika memang amat gawat. Darahnya terus mengucur terus sepanjang jalan. Apalagi karena mengerahkan tenaga kelewat banyak untuk berlari kencang. Sepanjang jalan, dia terus berteriak-teriak memanggil neneknya.

"Nenek, tolong aku! Tolong aku...!"

Tanpa diketahuinya, pada jarak tertentu, Pendekar Rajawali Sakti mengikuti ke mana saja makhluk aneh itu melangkah.

"Hm.... Sungguh hebat daya tahannya!" puji pemuda itu setengah bergumam.

Apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti memang beralasan. Sebab telah sampai sepenanakan nasi, Gardika belum juga roboh. Padahal, darahnya terus menetes. Kedua wajahnya mulai pucat seperti mayat. Tubuhnya menggigil menahan rasa sakit hebat.

Setelah beberapa waktu kemudian, Gardika tiba di pinggiran Hutan Kemojang. Desa Klawing di pinggir hutan yang juga pernah diobrak-abriknya kini sepi seperti perkampungan mati. Rumah-rumah hangus masih terlihat seperti beberapa waktu yang lalu.

Mendadak langkah Gardika tercekat, ketika seorang laki-laki tua berdiri tegak menghadang. Wajah suram dan rambutnya acak-acakan diikat sehelai kain lusuh. Pakaiannya sederhana seperti layaknya penduduk desa. Usianya sekitar empat puluh tujuh tahun.

"Si..., siapa kau?!" bentak Gardika dengan suara gemetar.

Laki-laki itu tidak menjawab. Matanya memandang Gardika dengan perasaan sayang serta cemas melihat luka di perut dan dua kaki yang buntung.

"Siapa kau?!" bentak Gardika lagi.

"Kau mungkin tidak akan mengenaliku. Tapi, aku adalah ayahmu, Nak...," sahut laki-laki itu dengan suara lirih. Dia tak lain dari Katmani.

Memang setelah tujuh belas tahun menderita karena berbuat salah dengan tak mengakui Gardika sebagai anak, Katmani jadi tertekan batinnya. Namun dia berusaha menahan rasa ragu-ragunya. Apalagi ketika menyadari kalau anaknya kini diburu-buru orang-orang persilatan. Seorang anak yang sebenarnya tak berdosa, namun karena didikan tokoh sesat, anak itu berubah berjiwa iblis.

"Ayah? Aku tidak kenal ayahku!" tolak Gardika, tegas.

"Tentu saja! Sebab sejak orok kau telah diambil dukun keparat itu!" dalih Katmani.

"Hei? Jangan sembarangan kau bicara! Siapa yang kau maksudkan sebagai dukun keparat itu?!"

"Siapa lagi kalau bukan Nyai Warengket?!"

"Kurang ajar! Lancang betul kau menghina nenekku!"

Dengan mendengus geram Gardika coba melompat menyerang laki-laki yang sebenarnya ayahnya. Namun langkahnya tersendat oleh rasa sakit. Tubuh Gardika membungkuk menahan rasa sakit hebat.

"Percayalah, Nak! Kau anakku! Namaku Katmani dan ibumu Lastri. Kalau kau tak percaya, tanyakan kepada dukun keparat itu! Dia menculikmu ketika kau baru saja dilahirkan!" seru laki-laki itu seraya mendekat dua langkah.

Gardika kembali memandang laki-laki itu sambil berusaha tegak. "Be..., benarkah...?" tanya Gardika lirih.

"Tentu saja! Kau lahir dalam keadaan seperti ini, karena kutukan dari Nyai Warengket. Dan waktu itu, semua terkejut. Termasuk aku. Lalu Nyi Warengket tiba-tiba muncul kembali dan membawamu pergi. Kami tak kuasa menolongmu, karena perempuan tua itu berilmu tinggi," jelas Katmani.

Gardika terdiam. Dipandanginya laki-laki itu di depannya. Wajah mereka sama sekali tak mirip. Namun laki-laki itu bicara dengan sungguh-sungguh.

"Ya, Nak. Kau anakku...," lirih suara Katmani.

"Lalu, ke mana ibuku?" tanya Gardika.

"Dia telah pergi mendahului kita beberapa tahun lalu...."

"Pergi? Apa maksudmu pergi mendahului kita?"

"Beliau terus teringat padamu, sampai-sampai lupa mengurus dirinya. Akhirnya dia digerogoti penyakit dan meninggal dunia..." jelas Katmani.

"Meninggal dunia?" gumam Gardika.

Kata yang sama artinya dengan mati, tewas, atau mampus itu tidak asing di telinga Gardika. Bahkan telah menjadi santapannya sehari-hari seperti barang mainan. Tapi tidak untuk kali ini. Seolah-olah kata itu mengandung arti yang menusuk hati. Ibunya mati karena memikirkannya?

"Kenapa kau tidak membawanya untuk mencariku?" tanya Gardika.

"Berarti kau menginginkan kematian kami dipercepat," kilah Katmani.

"Apa maksudnya?"

"Mana mungkin Nyai Warengket mau menyerahkan kau kepadaku. Sekali sesuatu berada di tangannya, maka orang lain tidak akan bisa merampasnya."

"Lalu apa yang kau kerjakan di sini?"

"Menunggu tentunya...."

"Menungguku...?" tanya Gardika. Wajah makhluk aneh ini berkerut menahan rasa sakit hebat. Dan kedua kakinya yang tersisa rasanya tidak kuat lagi memikul beban tubuhnya.

"Ohh...!"

"Kau tidak apa-apa, Anakku?!" tanya Katmani cemas, seraya menghampirinya.

"Aku..., aku! Ah! Rasanya hidupku tidak akan lama lagi. Ayah...," desah Gardika, mulai memanggil ayah pada Katmani.

"Kuatkan dirimu, Nak. Kau akan selamat!"

"Tidak! Aku terlalu banyak membuat kerusuhan dan kerusakan di mana-mana. Orang-orang tentu senang kalau aku mati?"

Katmani tertunduk. Sementara ini, dia tak tahu apa yang akan dilakukannya. "Ya..., kedatanganku ke sini pun karena itu. Kudengar orang yang membuat rusuh dan korban di mana-mana itu mempunyai bentuk tubuh seperti anakku. Maka kuputuskan untuk menunggu di desa kelahiranmu ini."

"Jadi di desa ini aku dilahirkan?" tanya Gardika semakin lemah. Katmani mengangguk. "Ah! Mereka orang-orang yang tak bersalah tentu tidak akan mengampuni dosa-dosaku di akherat sana...," gumam Gardika pahit.

"Setiap manusia yang bertobat, niscaya akan diampuni dosanya bila bersungguh-sungguh."

Gardika mengeluh pendek mendengar nasihat ayahnya. "Dosa-dosaku kelewat banyak...," desah Gardika lirih.

"Kau harus tabah, Anakku."

Pada saat itu Gardika merasakan seseorang tegak berdiri di dekat mereka. Dia berusaha menoleh. Dan wajahnya tampak gembira ketika melihat siapa yang muncul.

"Nenek...!" seru Gardika seraya berusaha bangkit menghampiri.

Sebaliknya, timbul kebencian Katmani ketika melihat siapa yang muncul. Dialah perempuan yang selama ini dianggap telah menghancurkan keutuhan keluarganya.

"Perempuan terkutuk! Kau telah memperalat anakku demi memuaskan nafsu angkara murkamu!" desis Katmani geram.

Perempuan tua yang baru muncul itu memang Nyai Warengket. Matanya memandang tajam pada laki-laki di dekatnya sambil menyungging senyum sinis.

"He he he...! Katmani! Ternyata kau masih bercokol di muka bumi ini. Mestinya kau telah mampus. Tapi, biarlah hari ini kau kukirim ke neraka!"

DELAPAN

"Nenek, tahan!" seru Gardika, ketika melihat Nyai Warengket siap turun tangan menghabisi Katmani.

"Apa maumu?!" dengus perempuan itu.

"Benarkah ceritanya itu...?" tuntut Gardika dengan suara semakin lirih.

"Cerita busuk apa yang kau dengar darinya?!" bentak Nyai Warengket.

"Perempuan keparat! Berterus teranglah kepadanya!" bentak Katmani. "Kau telah menculiknya dari kami ketika dia masih bayi!"

"Huh! Siapa kau? Lancang betul mengarang cerita palsu itu?!"

"Dukun keparat!' Kalau kepada orang lain kau bisa mungkir, tapi tidak kepadaku! Dia anakku. Katakan padanya!" sahut Katmani dengan suara tetap garang.

Untuk sesaat Nyai Warengket tidak menjawab. Melainkan memandang laki-laki itu denga sinar mata penuh kebencian.

"Nenek! Benarkah kata-katanya?" tanya Gardika, semakin lemah.

"Apa untungmu mengakuinya sebagai ayahmu kalau ternyata dulu dia sempat mengingkarimu?" tanya perempuan tua itu, dingin.

"Apa maksudmu? Oh! Berarti benar aku anaknya?" tanya Gardika, bingung.

"Kau memang benar anaknya. Tapi, tanyakan pula padanya kalau dia mengingkarimu ketika melihat keadaanmu seperti ini!" tuding Nyai Warengket.

Katmani tidak berani menjawab ketika melihat Gardika memandangnya penuh rasa ingin tahu.

"Benarkah semua itu. Ayah?" tuntut Gardika.

"Memang, pada mulanya aku belum bisa menerima keadaanmu karena amat mengagetkan. Tapi belakangan aku sadar walau bagaimanapun wujudmu, kau adalah anakku. Dan itu akibat kutukan Nyai Warengket itu sendiri. Tapi sebelum segala sesuatunya beres, perempuan tua ini telah menculikmu...," sahut Katmani lirih, setelah menghela napas sesak.

Mendengar itu, Gardika mengeluh panjang. Dan rasa sakit yang dideritanya semakin menghentak-hentak, mengejutkan Nyai Warengket yang belum sempat memeriksa lukanya.

"Astaga! Siapa yang telah melakukan hal ini padamu, Gardika?!" sentak perempuan tua itu.

"Ohh.... Itu tidak perlu, Nek..," tolak Gardika.

"Katakan padaku, siapa yang telah berbuat begini kepadamu?! Orang itu harus menerima pembalasan dariku!" dengus Nyai Warengket.

"Sudahlah, Nek. Dosaku memang telah kelewat banyak. Dan sudah sepatutnya aku mendapat ganjaran...."

"Tidak! Aku tidak akan tenang sebelum orang itu mendapat balasan setimpal dariku. Katakan padaku, siapa dia?!"

"Ohh...!" Gardika mengeluh pendek. Dan wajahnya yang pucat pasi seperti mayat berkerut menahan rasa sakit hebat.

"Katakan padaku, Gardika! Siapa yang melakukan ini padamu?! Ayo, katakan! Siapa?!" desak perempuan tua ini sambil mengguncang-guncang cucu angkatnya yang tengah sekarat.

"Jangan kau ganggu lagi! Dia tengah sekarat!" teriak Katmani mencegah perbuatan Nyai Warengket.

Dengan geram Nyai Warengket mengayunkan, tangan menampar laki-laki itu. Plak!

"Aaakh...!" Katmani kontan bergulingan sambil mengeluh kesakitan menerima tamparan yang keras bukan main.

"Jangan ikut campur urusanku. Atau, kepalamu akan kupecahkan?!" ancam nenek ini.

Mendengar ancaman itu mengkeret juga nyali Katmani. Dia diam memperhatikan mereka berdua. Juga, tidak berani mencegah lagi ketika Nyai Warengket mendesak Gardika.

"Ayo katakan padaku, siapa yang telah membuatmu jadi begini?! Katakan, Gardika! Ayo, katakan! Biar kubalaskan dendammu!"

"Tidak perlu. Nek..."

"Terkutuk kau! Tidak kuanggap kau sebagai cucu dan muridku, jika tidak mengatakan siapa yang telah membuatmu jadi begini!" ancam Nyai Warengket.

Selain takut, Gardika juga sayang pada perempuan tua ini. Karena dia tahu perempuan tua itulah orang yang telah membesarkannya dan sekaligus gurunya. Maka ancamannya untuk tidak diakui sebagai cucu dan murid, sempat menggugah hatinya.

"Ayo, katakan! Siapa dia?!" bentak Nyai Warengket lagi.

"Dia..., seorang pemuda yang mengenakan rompi putih...," jelas Gardika terbata-bata.

"Apa?! Pendekar terkutuk itu?!" semprot Nyai Warengket dengan mata melotot lebar.

"Dia hebat sekali. Nek..."

"Keparat! Di mana dia sekarang?!"

"Kutemui dia di Desa Bamban, Nek..."

"Pendekar Rajawali Sakti! Tunggulah pembalasanku. Kau akan menerima kematianmu!" dengus Nyai Warengket sambil mengepalkan buku-buku jarinya.

"Kurasa kau tak perlu repot-repot mencarinya. Dia telah berada di sini Nyai Warengket!"

"Hei?!" Perempuan tua ini cepat berpaling. Dan dia melihat sosok pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang tersandang di punggung.

"Pucuk dicinta ulam tiba! Rupanya aku tidak susah-susah lagi mencarimu di sini, Pendekar Rajawali Sakti!" desis Nyai Warengket.

"Begitu juga aku! Kaulah biang kerusuhan di balik semua ini!" dengus Pendekar Rajawali Sakti.

"Keparat!" Nyai Warengket membentak marah. Dan bersamaan dengan itu, tongkatnya menyapu deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Uts!" Rangga mencelat ke atas, tapi tongkat perempuan tua itu terus mengejarnya. Bahkan ketika pemuda itu mencelat ke belakang, ujung tongkat terus mengikuti dan mengancam keselamatannya.

"Kupecahan kepalamu, Bocah!"

"Jangan takabur. Nek!"

"Yeaaa...!" Nyai Warengket tidak mempedulikan ucapan Pendekar Rajawali Sakti. Dia terus mengebutkan tongkat hingga bergulung-gulung menimbulkan pusaran angin kencang. Dan di lain saat, tiba-tiba saja tongkat itu menghujam secepat kilat ke perut dan dada Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup!" Rangga pun tidak mau dijadikan sasaran empuk senjata perempuan tua ini. Tubuhnya bergerak cepat dengan mengerahkan segenap kelincahan dalam jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.

Bet! Wut!

"Yeaaa...!"

Meski tongkat di tangan Nyai Warengket bergerak secepat kilat, namun Pendekar Rajawali Sakti pun tidak kalah gesit menghindar. Bahkan sekali waktu tiba-tiba menyerang dengan cara tak terduga. Hal itu membuat perempuan tua itu gemas bukan main.

"Terimalah jurus 'Angin Puyuh Mengamuk' milikku. Yeaaa...!"

Karena jengkel, Nyai Warengket sudah langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan jurus andalannya. Seketika kedua tangannya menghentak.

Wusss...!

"Aaah...!" Rangga mengeluh tertahan. Meski pukulan itu tidak mengenainya, tapi desir anginnya saja cukup membuat tubuhnya bergeser ke belakang. Pemuda itu jungkir balik beberapa kali, lalu mencelat ke samping menjauhi.

"Mampus kau!" Nyai Warengket menggeram. Lalu tubuhnya meluruk sambil menyapukan tongkatnya. Namun Rangga yang berdiri tegak telah mengangkat tangannya ke arah pedang. Lalu....

Sring!

"Kita lihat, apakah tongkat bututmu itu mampu mengalahkan pedangku ini!" desis Rangga ketika telah mencabut pedangnya yang memancarkan sinar biru berkilauan. Langsung dipapakinya serangan tongkat itu.

"Hei?!" Nyai Warengket sedikit terkejut melihat pamor pedang yang bercahaya biru. Tenaga dalamnya segera dikerahkan sepenuhnya dan dialirkan ke tongkatnya.

Tak!

"Uhhh...!" Nyai Warengket terbelalak kaget. Serangannya seperti membentur benda kuat lagi tajam. Tongkatnya berderak patah, meski tidak langsung putus. Dan bersamaan dengan itu, pedang Rangga terus meluncur deras menyambar leher.

Masih untung perempuan tua itu mampu ber-gerak cepat ke belakang. Namun angin sambaran Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang tajam terasa mengiris-iris kulit tubuhnya.

"Hiyaaa...!" Rangga membentak keras. Dan tubuhnya terus meluruk mengejar.

"Bajingan terkutuk! Pedang bocah itu ternyata tidak bisa dibuat main-main!" dengus perempuan tua itu.

Bet!

"Siluman Membakar Diri...! Hihhh...!" Dalam keadaan terdesak begitu, Nyai Warengket mengeluarkan pukulan terampuhnya. Kedua tangannya cepat menghentak.

Wusss...!

Seketika dari kedua telapaknya mencelat cahaya kuning kemerahan laksana kilatan petir menyambar Pendekar Rajawali Sakti.

Bruesss...!

"Uh, sial!" umpat Rangga seraya menjatuhkan diri dan bergulingan ketika pukulan Nyai Warengket nyaris menyapu tubuhnya.

Akibat yang ditimbulkan pukulan itu luar biasa hebat. Sinar kuning kemerahan itu menerabas apa saja yang menghalanginya. Hangus terbakar dan ambruk seketika.

"Yeaaa...!" Kembali Nyai Warengket membentak keras seraya melancarkan pukulan mautnya.

Siuuut! Bruesss!

"Hm.... Tidak bisa didiamkan!" gumam Pendekar Rajawali Sakti ketika hampir saja sinar kuning kemerahan itu meremukkan tubuhnya. Tubuh Rangga bergulingan beberapa kali, kemudian mencelat keatas dengan telapak tangan kiri mengusap batang pedang.

"Yeaaa...!" Pada saat yang sama Nyai Warengket melihat kesempatan baik. Segera digunakannya sebaik-baiknya. Dalam keadaan mengapung begitu, akan sulit bagi lawan untuk menghindar dari hajarannya. Maka dengan mengerahkan segenap tenaga yang dimiliki dihantamnya Pendekar Rajawali Sakti dengan pukulan maut untuk yang ketiga kalinya.

Wusss...!

Tapi pada saat itu pula justru Rangga tengah mempersiapkan diri untuk membalas serangan. Maka begitu melihat Nyai Warengket telah melepas serangan, Pendekar Rajawali Sakti segera memasukkan pedangnya ke warangka. Sementara, kedua tangannya telah terselubung sinar biru berkilau sebesar kepala bayi. Lalu.....

"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaa...!" Sambil membentak keras, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan tenaga dalam amat tinggi.

Siuttt! Jderrr...!

Kedua pukulan bertenaga dalam tinggi itu saling beradu, menimbulkan ledakan keras menggelegar. Bunga api dan asap hitam tampak menyembul di tengah, tepat terjadinya benturan.

Wusss...!

Namun, cahaya biru dari aji 'Cakra Buana Sukma' yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti terus menerobos. Bahkan....

Blarrr...!

"Aaa...!" Tubuh Nyai Warengket kontan terpental, tatkala cahaya biru itu menggulung dirinya. Terdengar pekikan panjang yang keluar dari mulutnya. Beberapa buah pohon yang dilanda tubuhnya hancur berantakan, dan hangus terbakar terkena pukulan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara Nyai Warengket diam tak berkutik ketika tubuhnya membentur pohon yang terakhir. Tamat sudah riwayatnya.

Pendekar Rajawali Sakti menghela napas panjang sambil tetap memandang tubuh perempuan tua itu yang telah gosong. Lalu perlahan-lahan perhatiannya dialihkan pada Gardika yang tengah dipangku Katmani.

Untuk sesaat Pendekar Rajawali Sakti tak tahu harus berkata apa. Laki-laki di depannya itu adalah ayah Gardika, orang yang tewas karena perbuatannya. Apa yang bisa dilakukannya selain berdiri mematung memandangi ayah dan anak itu?

"Maaf.... Kau mungkin tidak suka melihatku...." Akhirnya keluar juga kalimat itu dari mulut Pendekar Rajawali Sakti.

"Hatiku tidak seperti yang kau duga, Anak Muda. Aku telah menerima semua ini dengan lapang dada...," desah Katmani lirih. Rangga terdiam sejenak. "Ini telah menjadi takdirku yang tidak bisa dielakkan. Meski aku sedih, karena kematian anakku yang sejak bayi,... sekali ini lagi kutemui. Tapi, aku tidak menyalahkanmu...," lanjut Katmani lesu.

"Telah banyak korban yang ditimbulkannya. Dia haus darah...," ucap Rangga hati-hati.

Katmani mengangguk. "Sebelum ajalnya dia akui hal itu...."

"Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa mengampuni segala kesalahannya...."

"Terima kasih, Anak Muda."

Keduanya kembali terdiam untuk beberapa saat.

"Dia telah tiada. Maukah kau kalau aku membantumu menguburkannya?" kata Rangga menawarkan diri.

"Terimakasih.... Biar kulakukan sendiri," sahut Katmani.

"Akan kau bawa ke mana?" tanya Rangga.

"Akan kumakamkan disamping makam ibunya...," sahut Katmani getir.

"Di mana makam ibunya? Di desa ini juga?"

Katmani mengangguk. Rangga menghela napas sesak, dan belum beranjak dari tempatnya.

"Aku tahu perasaanmu, Anak Muda. Tapi tidak usah merasa bersalah. Bukankah sudah kukatakan bahwa aku ikhlas menerima semua ini?"

"Ya, aku mengerti. Tapi, izinkan aku melihat upacara pemakamannya...."

"Aku tidak menguburkan anakku dengan upacara segala...." Rangga terdiam. "Dan kalau kau tidak keberatan, bisakah kau meninggalkan kami berdua di sini?" usir Katmani, halus.

Rangga kembali tak menjawab. Kepalanya menoleh kesamping, melihat kuda hitam yang berjalan pelan mendekati. Kemudian dengan langkah berat dihampirinya Dewa Bayu.

"Kisanak...," panggil Pendekar Rajawali Sakti setelah melompat ke punggung kuda. Dan Katmani menoleh. "Bagaimanapun bencinya kau padaku, aku ingin agar kau sudi memaafkanku. Kubunuh dia bukan karena imbalan atau dendam pribadi. Karena jika tidak begitu, ketenangan orang banyak akan terancam olehnya," jelas Rangga, seperti kurang yakin dengan keikhlasan Katmani.

"Aku mengerti..."

"Terima kasih. Aku pergi dulu!" Setelah berkata begitu, Rangga memutar kudanya, berjalan pelan meninggalkan tempat itu. Ketika jaraknya cukup jauh, kudanya digebah dengan kencang. "Heaaa...!"

Dalam waktu singkat Pendekar Rajawali Sakti telah hilang dari pandangan. Padahal saat itu Katmani masih memandang bayangannya yang telah menghilang dengan tatapan kosong dan wajah hampa.

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: KEMBANG LEMBAH DARAH