Kitab Pelebur Jiwa - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

KITAB PELEBUR JIWA

SATU

“Gila! Tempat apa ini?!” maki seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung.

Pemuda yang tak lain Rangga yang di kalangan persilatan dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti ini mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Tempat yang disinggahinya ini terasa demikian sunyi. Seakan-akan tidak ada kehidupan di sana. Sejauh-jauh mata memandang yang terlihat hanya gumpalan kabut putih yang menghampar, bagaikan permadani dari kapas. Membentang luas tak terbatas.

Pendekar Rajawali Sakti kemudian berjalan mengikuti jalan setapak yang sangat licin. Namun, tiba-tiba saja saat kakinya menginjak benda bulat memanjang tubuhnya tergelincir. Dia terguling-guling, dan langsung melayang-layang masuk ke dalam jurang. Rangga menjerit sekeras-kerasnya, namun gema suaranya lenyap seakan ditelan kehampaan.

Buuuk!

“Huuugkh...!” Pemuda berbaju rompi putih ini terhempas di atas batu-batuan cadas. Belum sempat bangkit berdiri, ribuan kalajengking mendadak menyerangnya. Mati-matian Rangga menyelamatkan diri sambil berusaha menghalau binatang-binatang menjijikkan itu. Kemudian tanpa menghiraukan rasa sakit di sekujur tubuhnya, pemuda ini berlari dan terus berlari. Sampai akhirnya terdampar di sebuah tempat yang tak kalah asing.

Tempat yang sekarang ini menebarkan bau busuk, hingga membuat perut pemuda ini mual. Rangga segera memperhatikan suasana sekelilingnya. Sayup-sayup telinganya mendengar suara mencicit yang menyakitkan gendang-gendang telinga. Ketika pemuda berbaju rompi putih ini memandang ke arah cabang-cabang pohon di atasnya, terlihat ribuan pasang mata berwarna merah menyorot ke arahnya.

“Cieeet...!”

Kembali terdengar suara mencicit dan suara kepakan sayap. Tiba-tiba saja dari seluruh penjuru udara, ribuan ekor kelelawar menyerangnya dengan ganas. Merasa dirinya terancam, Rangga segera melepaskan beberapa pukulan dahsyat ke arah kelelawar-kelelawar itu. Tetapi anehnya, tidak seekor pun yang mati.

“Kelelawar hantu...?!” desis Rangga, bingung sendiri.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Pendekar Rajawali Sakti segera berlari kembali. Herannya, kelelawar-kelelawar itu tidak mengejarnya. Kini Pendekar Rajawali Sakti sampai di sebuah tempat lain yang juga tidak kalah asingnya. Tempat itu juga diwarnai kabut. Hanya suasananya lebih tenang.

“Heh?! Tempat apa lagi ini?” Rangga terkejut. Karena dia melihat begitu banyak batu nisan di sana. Di luar sepengetahuannya tanah di depannya bergerak-gerak. Sementara batu-batu nisan pun bergetar. Seakan, ada sesuatu yang menggerakkan nisan dari dalam. Lalu....

Brooot...!

Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat mundur, ketika dari dalam tanah muncul beberapa pasang tangan berlendir dan menebarkan bau busuk berusaha menggapai ke arahnya. Kemunculan tangan itu disusul bagian-bagian tubuh lainnya. Dan semua ini terasa begitu mengerikan. Karena, bagian-bagian tubuh itu juga berlendir, berwarna hijau!

Semakin lama, jumlah mereka semakin banyak. Keadaan mereka yang berbeda-beda membuat pemandangan makin menggidikkan. Dan mereka lebih pantas bila disebut mayat hidup dari dasar neraka!

“Bunuh! Bunuh! Bunuh!” seru salah satu mayat hidup.

“Heaaa...!”

Melihat puluhan mayat hidup itu menyerangnya, Rangga segera menghadapi. Dihalaunya serangan mereka dengan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’, salah satu jurus yang digunakan untuk menghindari serangan.

“Heh?! Rasanya percuma aku menghadapi mereka. Dan tidak ada salahnya jika aku menghindar saja dulu!” pikir Rangga.

Tidak ada pilihan lain bagi Rangga. Akhirnya dibuka jalan kekerasan untuk dapat keluar dari kepungan. Langsung dikerahkannya jurus-jurus dari lima rangkaian jurus ‘Rajawali Sakti’.

“Hiyaaa...!” Rangga segera menerjang beberapa mayat yang berada paling depan. Kedua tangannya yang terkepal berkelebatan menghantam. Tetapi, mayat-mayat itu segera menghindarinya dengan cara melompat ke samping.

Wuuut! Tap!

Bahkan dari dalam tanah, muncul berpasang-pasang tangan yang langsung menangkap kaki Pendekar Rajawali Sakti.

“Ohhh...!” Rangga mengeluh tertahan, ketika tangan-tangan berlendir bau busuk ini terus menariknya dengan kekuatan dahsyat.

“Heaaa...!” Rangga berteriak-teriak sambil meronta.

Pada saat berteriak-teriak seperti itu, tiba-tiba sebuah tangan yang teramat dingin menyentuh bahunya. “Heh...?!” Rangga tersentak kaget. Begitu matanya membuka ternyata dirinya telah berada di bawah sebatang pohon beringin besar. Yang lebih mengejutkan lagi, tahu-tahu di depannya berdiri seorang laki-laki tua berbaju putih dan berambut putih. Tubuhnya kerdil. Sinar matanya lembut, seperti menyentuh sanubari! Dan sebenarnya, dia memang tidak pernah lepas dari senyum.

“Siapa kau, Ki?” tanya Rangga.

“He he he...! Aku Ki Renta Alam...!” sahut laki-laki tua berbadan kerdil sambil tertawa-tawa.

“Mengapa aku berada di sini?” tanya Rangga heran sendiri.

“Lho? Kok malah tanya? Itu urusanmu sendiri...,” jawab kakek kerdil itu seenaknya.

“Tapi....”

“Tidak perlu kau ceritakan! Aku sudah tahu tentang masalah mimpimu,” potong Ki Renta Alam.

Rangga terkejut bukan main mendengar ucapan Ki Renta Alam. Sungguh tidak disangka kalau kakek kerdil ini mempunyai kemampuan yang sangat jarang dimiliki orang lain.

“Lalu bagaimana, Ki?” tanya Rangga bingung.

“Menurut mimpimu, kau akan menghadapi seorang musuh besar yang berkepandaian hebat. Pergilah menuju matahari terbit. Nanti di sana kau akan menemukan petunjuk. Perlu ku ingatkan padamu, kau harus berhati-hati!” pesan Ki Renta Alam.

“Siapa musuh besarku yang kau maksudkan, Ki? Apakah dia punya dendam padaku?” tanya Rangga tertarik.

“Pertanyaanmu banyak sekali? Begini saja biar kujelaskan satu persatu!” ujar Ki Renta Alam. “Sebenarnya musuhmu itu tidak punya dendam denganmu. Hanya saja, dia mempelajari apa yang kau miliki secara diam-diam. Setelah bertahun kemudian, diciptakannya jurus-jurus maut yang dapat menandingi semua kesaktianmu!”

“Dapatkah kau katakan padaku siapa orang itu, Ki?” desak Rangga sudah tidak sabar.

Yang ditanya langsung tersenyum sambil menggaruk rambutnya. “Dia seorang iblis! Rajanya manusia sesat. Bapak moyangnya angkara murka, dan kakek moyangnya kejahatan! Dia punya dua kepala, empat mata, dan empat tangan. Kakinya hanya dua. Dan kesaktiannya sulit dijajaki,” jelas Ki Renta Alam.

“Lalu...?”

“Lalu kau harus mencarinya. Kemudian, kalau perlu basmi sampai ke akar-akarnya!” lanjut kakek berbadan cebol ini tegas.

“Menurutmu, dia punya kepandaian tinggi. Mungkinkah aku dapat menghancurkannya?” tanya Rangga. Entah mengapa, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti merasa seperti orang bodoh dan tidak tahu apa yang harus diperbuat.

“Ha ha ha...! Kalau bukan dia yang hancur, tentu kau yang mati. Sudah kukatakan, ilmunya sangat tinggi. Tapi jika kau membiarkannya tentu akan banyak korban yang berjatuhan. Padahal, kau yang diinginkannya. Kalau orang-orang mati di tangan musuhmu itu, bukankah kau harus menanggung-dosa mereka?”

Rangga terdiam. Penjelasan Ki Renta Alam memang dapat dimengerti. Namun masih banyak hal yang belum diketahuinya.

“Kalau boleh kutanyakan padamu, apakah iblis itu punya murid atau mungkin utusan?” Tanya Rangga.

“Tentu saja! Namanya Bara Genta. Dan yang paling berbahaya lagi, mempunyai Kitab Pelebur Jiwa!” papar Ki Renta Alam.

“Kitab Pelebur Jiwa?” tanya Rangga.

“Ya.... Kitab itu seperti mempunyai sukma dan raga. Di dalamnya terkandung kekuatan dahsyat. Sehingga bila seseorang menginginkan sesuatu, maka akan segera terkabul.”

“Mengapa bisa begitu? Belum pernah aku mendengar ada sebuah kitab yang memiliki kekuatan iblis, dan dapat pergi ke mana-mana!” sergah Rangga tidak percaya.

“Bukan kitabnya yang dapat pergi. Tetapi, kekuatan iblis yang terkandung di dalamnya yang dapat diperintah...!” jelas Ki Renta Alam.

“Jadi...!”

“Kau banyak bertanya seperti nenek pikun,” dengus kakek cebol itu. “Sekarang juga, kau kupersilakan pergi melaksanakan tugasmu!” Lalu, Ki Renta Alam berjalan meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti begitu saja. Baru tiga langkah, tubuhnya sudah menghilang seakan raib ditelan bumi. Diam-diam Rangga terkejut.

“Hm.... Mungkinkah dia sebangsa makhluk halus...?” gumam Rangga.

*******************

Sang Maha Tunggal menciptakan di dunia ini serba berpasang-pasangan. Ada siang, ada pula malam. Ada laki-laki, dan ada pula perempuan. Begitu pula sifat-sifat yang diciptakannya. Ada baik, ada jahat. Ada iri, ada pula pasrah apa adanya. Ada duka, ada pula suka. Demikian pula yang terjadi pada manusia.

Munculnya seorang pemuda di dunia persilatan yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, kedengkian dan iri hati telah merasuki jiwa seorang tokoh tua yang selama ini merasa jumawa dengan kepandaiannya. Tokoh-tokoh pada masanya tak ada yang tak pernah mendengar seorang tokoh sesat berjuluk Si Bayang-Bayang.

Entah karena apa, beberapa tahun belakangan ini tokoh itu telah mengasingkan diri. Dan tak ada yang tahu pula kalau dalam pengasingan dirinya, Si Bayang-Bayang justru menciptakan ilmu-ilmu pamungkasnya. Dan itu dimaksudkan untuk menandingi kesaktian Pendekar Rajawali Sakti.

Kejumawaan Si Bayang-Bayang ternyata telah menyeretnya ke lembah kebencian. Merasa paling tinggi ilmunya, membuatnya ingin melenyapkan saingan satu-satunya dalam rimba persilatan. Pendekar Rajawali Sakti!

Untuk mengasingkan diri Si Bayang-Bayang mengambil tempat di Gua Seribu Malam yang letaknya persis di dasar Laut Utara. Laki-laki berusia sembilan puluh tahun ini berambut putih, memiliki dua kepala dan tangan. Dia memang mempunyai penglihatan tajam. Terbukti, tempat tinggalnya di dalam gua yang senantiasa dalam keadaan gelap dan tanpa penerangan sama sekali.

Tak heran kalau gua itu dinamakan Gua Seribu Malam. Dalam kegelapan itu empat pasang mata Si Bayang-Bayang tampak bersinar seperti cahaya. Untuk sepak terjangnya kali ini, Si Bayang-Bayang yang bernama asli Rumbai Mangkulangit tak ingin terjun langsung dalam rimba persilatan. Oleh sebab itu dia lantas mengambil murid dari seorang bekas bajak laut yang diceburkan di Laut Utara. Namanya, Bara Genta.

Bara Genta yang diangkat menjadi murid sekitar enam tahun yang lalu, sekarang telah memiliki kemajuan sangat pesat. Baik dalam hal ilmu kanuragan, pukulan-pukulan sakti, maupun yang menyangkut penggunaan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh.

Tampaknya, tokoh yang bergelar Si Bayang-Bayang ini memang sengaja menciptakan jurus-jurus maupun pukulan ampuh untuk memunahkan atau paling tidak, mengimbangi semua kehebatan Pendekar Rajawali Sakti. Jadi tujuan tokoh itu cukup jelas. Dia sengaja ingin mempunyai seorang murid yang kepandaiannya melebihi Pendekar Rajawali Sakti.

Jika muridnya nanti dapat membunuh lawannya, berarti orang yang merajai rimba persilatan bukan lagi dari golongan putih, tapi dari golongan hitam. Dan Rumbai Mangkulangit percaya penuh kalau impiannya bakal terwujud. Itu karena dia telah menciptakan sebuah kitab yang diberi nama Pelebur Jiwa. Inilah kitab berisi ajaran-ajaran kesaktian tinggi yang diciptakan kakek berkepala dua itu.

Di dalam ruangan gua di bawah dasar Laut Utara yang tidak pernah mengenal siang dan malam, kini guru dan murid itu saling berhadapan-hadapan. Empat pasang mata memandang lurus ke arah pemuda berkulit gelap bernama Bara Genta yang kini duduk bersimpuh di lantai gua yang licin, namun menebarkan bau harum.

“Bara Genta! Sekarang sudah waktunya bagiku untuk menjelaskan kegunaan semua ilmu yang kau miliki. Pertama yang harus kutekankan padamu adalah kau harus membuat kekacauan di rimba persilatan! Kau boleh berbuat apa saja. Termasuk memiliki budak, mempunyai banyak istri, atau mengumpulkan gadis yang kau sukai. Semua harus tunduk pada perintahmu! Mereka yang membangkang adalah musuhmu. Tapi, musuh utamamu hanyalah Pendekar Rajawali Sakti. Untuk itu, kau harus membunuhnya dengan menghalalkan segala macam cara! Ingat! Surgamu hanya di dunia ini saja. Jadi, selama kau hidup bila kiamat nanti tempatmu yang pasti adalah neraka. Maka ingat-ingatlah. Selama berada di atas dunia, puaskan seluruh kemauanmu. Puaskan nafsumu. Dan, puaskan segala yang kau ingini...!”

“Jadi setelah aku mati nanti, aku tidak punya harapan masuk surga?” potong Bara Genta, bertanya.

“Seperti perjanjian kita dulu, di rimba persilatan kau menciptakan neraka dunia bagi orang-orang. Makanya kutegaskan padamu, kesenanganmu hanya pada saat kau hidup di dunia ini. Yang terpenting, kau tidak melupakan tugas yang harus dikerjakan. Bunuh Pendekar Rajawali Sakti! Bunuh..., bunuh..., bunuh...!” jelas Rumbai Mangkulangit, memberi perintah.

“Semua yang Guru perintahkan, tidak akan kulupakan. Kalau boleh aku akan segera berangkat, Guru!” sahut Bara Genta, mantap.

“Ha ha ha..,! Rupanya kau tidak sabar menunggu keberangkatanmu. Baiklah! Permintaanmu segera kukabulkan. Satu hal yang kau harus ingat, bila dalam keadaan terdesak, ingatlah pada Kitab Pelebur Jiwa. Begitu kau mengingat dan menyebutkan kemauanmu, maka pertolongan segera datang. Kitab itu ancaman bagi keselamatan orang lain! Tapi, penyelamat bagimu. Nah, sekarang pejamkanlah matamu!” perintah Rumbai Mangkulangit.

Bara Genta segera memejamkan matanya. Mula-mula yang didengarnya adalah suara angin ribut. Tanpa disadari tubuhnya melayang jauh. Kemudian tubuhnya tiba-tiba tercampak di suatu tempat. Sayup-sayup telinganya mendengar perintah agar matanya dibuka.

Bara Genta kemudian membuka matanya. Ternyata, sekarang dia sudah terdampar di pinggir pantai. Untuk pertama kalinya setelah berada di dalam Gua Seribu Malam, Bara Genta dapat menghirup udara segar. Dan pemuda berkulit gelap ini merasa sekaranglah saatnya untuk memulai petualangannya!

*******************

Ombak saling berkejar-kejaran menuju Pantai Pasir Tambi. Begitu kembali ke tengah laut, yang tertinggal hanyalah buih-buih yang langsung hilang diterpa angin. Irama ombak seperti tak bosan-bosannya menggoyang apa saja yang ada di sekitar pantai. Termasuk sebuah perahu yang tak terlalu besar yang baru saja ditambatkan di dermaga yang dibuat sederhana.

Penduduk Desa Pasir Tambi kenal betul pada laki-laki tua berpakaian serba hitam yang baru saja menambatkan perahunya. Bukan saja dikenal sebagai pelaut, namun laki-laki tua yang sering dipanggil Ki Wanayasa ini juga memiliki sebuah padepokan yang terletak di tengah desa. Padepokan Pasir Tambi.

Murid-murid Ki Wanayasa cukup banyak. Di samping itu, kepandaian laki-laki tua ini cukup tinggi. Maka tak heran bila para perampok enggan singgah di tempat ini. Mereka akan berpikir seribu kali bila harus berhadapan dengan Ki Wanayasa.

“Kakek...! Kek...!”

Sebuah suara merdu, membuat Ki Wanayasa berbalik. Dan dia melihat seorang gadis cantik berlari-lari menghampirinya dengan wajah tegang.

“Ada apa, Cucuku Sitoresmi? Mengapa mesti berteriak-teriak?” tukas Ki Wanayasa ketiga gadis yang ternyata cucunya tiba satu tombak di depannya.

“Kakek lihat! Orang-orang desa berlarian seperti sedang terjadi sesuatu di sana!” tunjuk gadis bernama Sitoresmi, langsung.

Ki Wanayasa cepat menoleh ke arah yang dimaksudkan gadis berwajah cantik dan berpakaian seperti halnya orang persilatan. Apa yang dikatakan cucunya memang benar. Para penduduk tampak berbondong-bondong menyelamatkan diri bersama anak istrinya.

“Cepat kita ke sana!” ujar laki-laki berbadan tegap ini tanpa sempat membereskan ikan hasil tangkapannya.

Segera cucu dan kakek ini menghampiri salah satu penduduk yang tampak pergi dengan tergesa-gesa.

“Kartaran! Apa yang terjadi?” tanya Ki Wanayasa sambil memegang lengan seorang pemuda yang dalam keadaan ketakutan.

“Ki...! Sebaiknya kau ikut menyelamatkan diri bersama kami. Semua murid Padepokan Pasir Tambi telah tewas. Murid perempuan diperkosa dan dibunuh oleh seorang pemuda tidak dikenal. Ayo, Ki. Sebelum segala-galanya terlambat!” seru pemuda bernama Kartaran ketakutan.

Padepokan Pasir Tambi adalah padepokan yang telah dibangun Ki Wanayasa selama dua puluh tahun. Itu bukan pekerjaan sembarang. Maka apa yang terjadi di sana menjadi tanggung jawabnya. Untuk itu, tanpa menghiraukan ucapan Kartaran, Ki Wanayasa langsung mengajak cucunya untuk kembali ke padepokan secepat mungkin.

Ki Wanayasa dan Sitoresmi segera mengerahkan ilmu meringankan tubuh untuk melesat secepatnya. Karena tak begitu jauh, maka dalam waktu tidak lama mereka telah sampai di depan padepokan. Di halaman padepokan, Ki Wanayasa melihat mayat-mayat muridnya bergelimpangan. Darah menggenang membasahi tempat itu. Beberapa murid perempuan tergeletak, tanpa selembar pakaian pun. Sedangkan tepat pada bagian jantung, terdapat sebuah luka menganga.

Ki Wanayasa menjadi sangat marah. Pipinya menggembung, pertanda darahnya mendidih seperti terbakar. Segera diperiksanya murid-muridnya yang lain. Tetapi, rupanya tidak satu pun dari mereka yang hidup. Kenyataan ini sungguh mengenaskan! Bertahun-tahun Padepokan Pasir Tambi dalam keadaan damai, namun kini telah berubah menjadi ajang pertumpahan darah!

DUA

Ki Wanayasa geram sekali melihat pemandangan di depan matanya. Entah, iblis biadab mana yang telah melakukan perbuatan sekeji itu. Dia telah bertekad untuk mencari dan membuat perhitungan terhadap orang yang membantai murid-muridnya.

“Auuu... tolooong...!” Tiba-tiba terdengar jeritan seorang perempuan dari dalam bangunan utama padepokan. Ki Wanayasa dapat menduga pastilah perempuan itu salah satu muridnya. Maka tanpa membuang waktu lagi, tubuhnya berkelebat ke arah bangunan utama.

Ketika sampai di depan pintu pondok, Ki Wanayasa langsung mendobrak pintu hingga terbuka lebar. Tapi....

Wuuut...!

“Uts...!”

Bruk! Bruk!

Tiga sosok tubuh melayang ke arah Ki Wanayasa, langsung menerobos ambang pintu. Ki Wanayasa telah menarik tubuhnya ke samping. Dan di depannya kini tampak tiga sosok tubuh wanita dalam keadaan telanjang bulat yang tak lain murid-murid perempuannya yang telah diperkosa dan dibunuh secara kejam. Hancur lebur macam bubur hati orang tua ini. Gerahamnya bergemeletukan pertanda kemarahannya sudah sampai puncaknya.

Ki Wanayasa baru saja berniat menerjang ke dalam, tapi tahu-tahu sesosok tubuh yang dalam keadaan telanjang kembali meluruk ke arahnya.

Buk!

“Hekh...!” Bukan main kuatnya tenaga dorong yang terkandung dalam luncuran sosok yang telah menjadi mayat itu. Sehingga membuat Ki Wanayasa hampir terjengkang tertimpa mayat murid perempuannya sendiri. Untuk menjaga kemungkinan, Ki Wanayasa melompat ke halaman. Matanya nyalang, menyorot ke pintu bangunan utama padepokan.

“Setan Keparat! Iblis dari mana berani menghancurkan perguruanku?!” teriak laki-laki tua ini menggeledek.

Dari pintu tampak sesosok tubuh melesat keluar, dan mendarat di halaman padepokan. Kini, tampak jelas satu sosok bertelanjang dada. Seorang pemuda bercelana hitam berdiri tegak dengan sikap menantang. Rambutnya tak terurus seperti rambut orang gila. Tatapan matanya tajam menusuk, seperti mata harimau dalam gelap.

Sitoresmi yang melihat kemunculan pemuda itu langsung melompat menghadang. Namun wajahnya cepat dipalingkan ke arah lain. Rupanya laki-laki berkulit gelap itu lupa mengancingkan celananya. Sehingga barang keramatnya yang bergantungan sempat terlihat oleh gadis ini. Sementara itu, Ki Wanayasa memperhatikan dengan sorot mata tajam pada pembunuh dan pemerkosa murid-muridnya. Sekilas saja, namun sudah memuakkan hatinya.

“Bangsat keji! Siapa kau?! Dan, apa salah kami, sehingga murid-muridku kau bunuh?!” bentak Ki Wanayasa.

“Ha ha ha...! Aku Bara Genta. Membunuh adalah pekerjaanku! Memperkosa adalah surgaku. Aku hanya ingin membangun sebuah neraka di dunia ini. Hm.... Apakah penjelasanku sudah cukup?!” sahut pemuda itu disertai tawa berkepanjangan.

“Anjing Geladak! Rupanya kau tak lebih dari iblis penghuni api neraka! Kau harus menebus kematian mereka! Hiyaaa...!” teriak Ki Wanayasa geram.

Sekejap saja laki-laki tua itu sudah menerjang Bara Genta. Kakinya meluncur, siap menghantam dada pemuda itu. Namun rupanya Bara Genta sengaja memasang dadanya. Dan begitu kaki Ki Wanayasa mendarat pada sasaran, secepat kilat tangannya terjulur. Tiba-tiba....

Kiah...!

“Huaaakh...!” Kaki laki-laki tua itu berderak retak terkena pukulan Bara Genta, hingga menjerit tertahan. Dalam gebrakan pertama saja, Kedua Padepokan Pasir Tambi yang mempunyai ilmu lumayan ini dapat dijatuhkan. Maka dapat dibayangkan betapa tingginya kepandaian yang dimiliki Bara Genta.

Melihat kakeknya dapat dijatuhkan, Sitoresmi langsung mencabut pedang pendek yang terselip di pinggangnya. Gadis itu cepat melompat dua tombak, menghadang Bara Genta.

“Hei... bagus! Tampaknya kau sengaja menyerahkan diri padaku. Wajahmu cukup cantik. Hm... nanti kau akan mendapat pelajaran yang menyenangkan. Dan itu tidak akan kau lupakan seumur hidup!” sambut Bara Genta disertai senyum yang lebih mirip seringai. Bola matanya berbinar, mengandung hasrat menggebu.

“Iblis Keparat! Jangan coba-coba padaku. Menyentuh kulitku saja, kau mesti mampus!” desis Sitoresmi, ketus.

“Sitoresmi! Sebaiknya selamatkan dirimu! Iblis itu bukan tandinganmu!” teriak Ki Wanayasa.

Teriakan Ketua Padepokan Pasir Tambi ini tampaknya memang terlambat, karena cucunya telah menyerang dengan jurus-jurus pedang yang cukup hebat. Bara Genta hanya tertawa panjang.

Wut! Wut!

“Haiiit!” Bara Genta tiba-tiba saja melompat ke samping, kemudian saat pedang di tangan Sitoresmi melesat di samping rusuk, tubuhnya berputar. Sedangkan tangan kanan dan kiri meremas dada dan punggung gadis itu.

“Ouuuw...!” Sitoresmi hanya sempat menjerit untuk kemudian ambruk tak berdaya dalam keadaan tertotok. Sebuah ilmu totokan yang langka.

Melihat apa yang dilakukan pemuda itu, sadarlah Ki Wanayasa terhadap apa yang bakal menimpa diri cucunya. Dia tidak mungkin dapat membebaskan Sitoresmi, sebelum membunuh Bara Genta.

Karena merasa tidak punya pilihan lain, Ki Wanayasa bertekad untuk mengerahkan seluruh kemampuannya. Seketika langsung dicabutnya pedang pendek dari punggungnya. Pedang kembar itu kemudian diputarnya sedemikian rupa, menimbulkan suara desir halus. Lalu tiba-tiba tubuhnya meluruk cepat.

Set! Set!

“Uts...!” Dengan satu gerakan aneh, Bara Genta berkelit ke samping. Namun pedang lain di tangan Ki Wanayasa menghadangnya. Sehingga, dia terpaksa melompat mundur ke belakang.

“Hadapilah jurus ‘Pelumpuh Sang Api’! Heaaa...!”

Disertai teriakan keras, Bara Genta mengerahkan jurus ‘Pelumpuh Sang Api’ yang sangat berbahaya. Dengan jurus ini, setiap serangan Ki Wanayasa selalu dipatahkan Bara Genta. Tidak lama setelah dapat menghalau serangan, Bara Genta menerjang disertai teriakan menggeledek....

“Aji ‘Pedut Segara’! Hiyaaa...!” Seketika segulung angin keras disertai kabut tebal menghitam terus meluncur keras ke arah Ki Wanayasa.

Laki-laki tua itu tampaknya merasa kerepotan juga untuk menghindari serangan. Karena kakinya yang retak memang sulit digerakkan. Tidak ada pilihan lain terpaksa tubuhnya dilempar ke samping kiri. Namun pukulan itu dilepaskan secara beruntun. Padahal, saat itu Ki Wanayasa belum sempat bangkit berdiri, ketika serangan Bara Genta kembali melesat. Dan....

Glaaar!

“Aaa...!” Dentuman keras terdengar disertai jerit kematian Ki Wanayasa. Tubuhnya terlempar, dan langsung berubah membiru. Dari hidung, mulut, dan telinganya tampak mengucurkan darah.

“Kakek...!” jerit Sitoresmi, melihat kakeknya terkapar tanpa daya. Bagaimanapun, dalam keadaan tertotok seperti itu, Sitoresmi tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan keselamatan diri sendiri pun terancam.

Bara Genta tertawa melihat Sitoresmi ketakutan. Dihampirinya gadis itu. Sementara itu, Ki Wanayasa sendiri tewas beberapa saat setelah terkena pukulan dahsyat tadi.

“Keparat kau! Bebaskan aku. Lebih baik kita bertarung sampai mati!” teriak gadis itu kalap. Matanya melotot, menyimpan kebencian.

“Mengapa harus membuang tenaga sia-sia? Bukankah lebih baik tenagamu dipakai untuk bersenang-senang?” sahut Bara Genta, menjijikkan.

Tanpa membebaskan totokan, pemuda berkulit gelap itu kemudian memanggul Sitoresmi di pundaknya. Lalu tubuhnya berkelebat menuju ke suatu tempat yang sunyi.

Tidak lama setelah kepergian Bara Genta, tampak berkelebat dua sosok tubuh berpakaian hijau lumut menuju ke Padepokan Pasir Tambi. Melihat pakaian lusuh yang dikenakan, tampaknya kedua pemuda ini datang dari sebuah tempat yang jauh. Sementara tampang mereka tampak seperti orang gendeng. Kucal dan tak terurus.

Kini setelah sampai di halaman padepokan, mereka jadi terkesiap. Terlebih-lebih setelah melihat mayat Ki Wanayasa.

“Gusti Allah.... Apa yang telah terjadi di sini, Subali?!” tanya salah satu pemuda sambil memeriksa mayat-mayat satu demi satu. Mereka segera menutupi tubuh-tubuh telanjang yang tak tentu arah dengan pakaian seadanya.

“Sama seperti kau, Indrajit. Aku juga tidak tahu apa-apa,” sahut pemuda yang dipanggil Subali tegang.

“Kita sudah terlambat datang. Harusnya, hal ini tidak terjadi kalau kita tidak saling ngotot di jalanan!” sesal pemuda bernama Indrajit.

“Sekarang apa kau mau menyalahkan aku, Indrajit? Firasatku benar tentang bahaya itu. Tapi, kau tetap ngotot ingin menghubungi padepokan lain dulu. Padahal sesuai mimpiku, aku melihat api di Pantai Laut Utara ini,” tukas Subali tidak senang.

“Kau saja yang goblok! Kalau sudah merasa bahwa firasatmu benar, mengapa tidak langsung mengajakku kemari?” sanggah Indrajit tidak puas.

“Sudah! Aku tidak suka mengadu mulut. Ki Wanayasa sudah tidak bisa kita tolong lagi. Sekarang satu-satunya yang dapat dilakukan adalah, mengubur mayat ini. Setelah itu, baru kita hubungi semua orang di dunia persilatan agar mereka bersikap waspada!”

Sekarang Indrajit tidak bisa menolak perintah saudara seperguruannya itu. Mereka langsung membuat kubur untuk Ki Wanayasa dan murid-muridnya.

Setelah selesai menguburkan mayat-mayat, Indrajit dan Subali langsung beristirahat di pendopo depan. Wajah mereka berselimut debu dan tampak lesu.

“Kita tidak tahu, siapa sebenarnya yang telah membunuh Ki Wanayasa dan murid-muridnya. Tindakan pembunuh itu benar-benar biadab! Belum pernah kulihat pembunuhan disertai pemerkosaan yang sedemikian keji! Rasanya kalau aku bisa menangkap pembunuh itu, akan kumakan mulai dari daging, tulang, sampai kotorannya!” dengus Indrajit.

“Dasar orang jorok! Kotoran orang pun mau kau makan. Kalau aku sih, tidak begitu. Jika pembunuh keji itu berhasil kutangkap, maka akan kucopoti tangan dan kakinya. Kemudian giginya. Baru setelah itu, kubetot pedang tumpul yang berada di bawah pusarnya!” gemas Subali meluap-luap.

“Kurasa dia bukan manusia seperti kita. Paling tidak, giginya bertaring. Matanya juling, karena suka makan beling!”

“Kau ini memang gendeng! Dalam keadaan seperti ini, masih juga bercanda. Seharusnya kita cari jalan keluar untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapi!” rutuk Subali sewot.

“Ha ha ha...! Apakah kau harus memungkiri kenyataan, bahwa sebenarnya kita Sepasang Pendekar Gendeng?” tukas Indrajit.

Subali hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ya.... Kita memang Sepasang Pendekar Gendeng. Lalu menurut otakmu yang gendeng, apa yang harus kita lakukan?” tanya Subali kemudian.

“Seharusnya kita temui orang desa ini dulu. Barangkali, mereka melihat pembunuh itu. Siapa tahu?”

“Tapi aku sudah sangat lelah. Sebaiknya kita istirahat dulu. Baru nanti kita tanyai mereka!” sergah Subali tidak setuju.

“Setuju tidak setuju, suka atau tidak suka, kau harus mengikuti aku. Kalau tidak...!”

“Kalau tidak kenapa?” potong Subali.

“Kalau tidak akan kuseret kau!” dengus Indrajit.

Dengan terpaksa akhirnya, Subali mengikuti Indrajit. Dalam perjalanan menuju rumah-rumah yang terdapat di depan, tidak henti-hentinya dua laki-laki berjuluk Sepasang Pendekar Gendeng ini berdebat.

“Coba periksa rumah itu. Barangkali kita bisa bertanya pada orang di dalamnya!” perintah Subali.

“Aku bukan budakmu! Kalau kau mau, sebaiknya kita periksa bersama-sama,” tolak Indrajit.

“Sontoloyo! Semestinya sudah kutinggalkan kau sejak tadi!” gerutu Subali.

Tidak lama, mereka mulai memeriksa rumah-rumah yang ada. Tapi semua rumah yang diperiksa dalam keadaan kosong, seperti ditinggalkan pemiliknya secara tergesa-gesa.

“Ke mana mereka?” tanya Indrajit.

“Aku juga tidak tahu, Indrajit. Atau, mungkin mereka mengungsi?” duga Subali seperti ditujukan pada diri sendiri.

“Kalau begitu, kita tidak akan mendapat petunjuk apa-apa,” keluh Indrajit, kecewa. “Tapi..., eh! Itu ada orang lari ke belakang. Kejar dia!”

Sepasang Pendekar Gendeng langsung melakukan pengejaran dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah cukup tinggi. Sebentar saja, mereka telah berdiri menghadang sosok yang lari tadi. Ternyata orang yang dikejar adalah seorang laki-laki tua. Tampaknya dia sangat ketakutan melihat kedatangan Sepasang Pendekar Gendeng.

“Ampun, Tuan! Ampun.... Oh..., jangan bunuh aku. Aku tidak ikut mengungsi, karena tidak kuat berjalan,” ratap laki-laki tua itu ketakutan.

Ternyata setelah orang ini diteliti, bagian betisnya terdapat bisul sebesar dada seorang gadis.

“Hei, ada apa dengan kau ini, Ki?” tanya Subali sambil tersenyum-senyum.

“Jangan bunuh aku. Anakku banyak dan masih kecil-kecil. Kalau aku mati, nanti mereka makan apa?”

“Bicaramu ngelantur, Ki. Aku dan kawanku ini hanya ingin tahu, apakah kau melihat siapa yang telah membunuh Ketua Padepokan Pasir Tambi?” ujar Subali.

Barulah laki-laki tua itu menarik napas lega. “Oh, aku kira Tuan-tuan kawan dari iblis itu. Kalau begitu selamatlah aku,” desah laki-laki tua itu.

“Jawab dulu pertanyaan kami, Ki!” desak Subali tidak sabar.

“Orang-orang di sini mengungsi semuanya. Iblis itu mencabuti nyawa orang-orang tidak berdosa seenaknya!” jelas laki-laki tua itu dengan kegeraman yang amat sangat.

“Coba jelaskan ciri-cirinya!” ujar Indrajit.

Dengan tegang laki-laki itu segera menjelaskan ciri-ciri si pembunuh. Bahkan juga diceritakannya kalau cucu Ki Wanayasa telah diculik oleh si pembunuh.

Subali dan Indrajit saling pandang. “Cara yang paling baik adalah dengan mengumpulkan tokoh-tokoh rimba persilatan. Baru setelah itu, kita cari pemuda iblis terkutuk itu,” kata Subali.

“Aku hanya menuruti apa yang kau anggap baik saja. Mari kita pergi!” ajak Indrajit.

********************

Bara Genta meletakkan Sitoresmi di atas tumpukan daun-daun kering. Di tengah-tengah hutan belantara yang sepi, jelas membuat gadis berbaju biru semakin ketakutan. Pemuda berkulit hitam legam ini segera memeriksa keadaan sekeliling tempat itu. Merasa aman, dihampirinya calon korbannya kembali. Dan dia segera berbaring di sebelah gadis itu.

“Jangan macam-macam denganku, Manusia Iblis!” hardik Sitoresmi.

“Aku tidak pernah berbuat macam-macam. Untuk gadis sepertimu, aku hanya ingin melakukan satu macam saja. Ha ha ha...!” sahut Bara Genta sambil tertawa-tawa. Kemudian tangannya yang kekar itu pun mulai bermain-main di bagian dada Sitoresmi.

“Bedebah! Enyahkan tanganmu, Keparat...!” desis Sitoresmi.

Dalam keadaan tertotok, tentu saja Sitoresmi tidak dapat berbuat banyak. Bahkan tidak bisa melakukan apa-apa, ketika tangan Bara Genta menyelinap di balik pakaian dan mulai meremas-remas buah dadanya.

“Keparat! Oh, tolong...!”

“Tidak akan ada orang yang dapat menolongmu. Mengapa kau harus takut? Bukankah aku hanya ingin memberikan kesenangan padamu!” desah Bara Genta, menjijikkan.

Tampaknya, laki-laki bertelanjang dada ini memang sudah tidak sabar lagi dengan apa yang akan dilakukannya. Seketika tangannya cepat bergerak.

Bret! Bret!

“Auuu...!” Sitoresmi menjerit-jerit, manakala pemuda bertelanjang dada ini merobek-robek pakaian yang melekat di tubuhnya. Dalam beberapa kejapan saja, gadis itu sudah dalam keadaan telanjang.

Melihat pemandangan menantang di depannya, gairah manusia berhati iblis ini semakin berkobar-kobar. Dengan penuh nafsu diciuminya Sitoresmi. Tangan kanannya terus bermain di atas dada. Sedangkan tangan kiri meluncur ke bagian perut dan terus ke bawah. Di sela-sela paha itulah tangan kiri Bara Genta dengan leluasa bermain. Sampai kemudian, segala sesuatunya memang tidak dapat ditunda lagi.

Bara Genta cepat menindih Sitoresmi. Gadis itu berusaha mati-matian menyelamatkan kehormatannya. Namun dalam keadaan tertotok seperti itu, apalah dayanya? Laki-laki itu bagaikan banteng liar yang terus menghempas-hempas di atas tubuhnya. Entah berapa lama keadaan seperti itu berlangsung. Sampai akhirnya, Bara Genta terkapar di samping tubuh Sitoresmi setelah didahului pekik penuh kenikmatan.

“Hmmm.... Ternyata kau masih suci. Untuk itu, kita dapat melanjutkan kesenangan ini nanti malam! Sekarang, kuberi kelonggaran padamu. Kau harus membersihkan diri di sungai itu!” ujar Bara Genta.

Kemudian pemuda berhati iblis ini membebaskan salah satu totokan di dada Sitoresmi dengan cara meremasnya cukup lama. Tetapi di luar dugaan, begitu terbebas gadis yang telah kehilangan kehormatannya ini langsung menyambar pedang yang tergeletak tak jauh darinya. Dia berusaha memasukkan ke dada Bara Genta. Sayang, rupanya pemuda itu melihat tindakan Sitoresmi.

“Huh! Dikasih susu malah minta racun!” dengus Bara Genta. Cepat sekali pemuda ini mengibaskan tangannya ke bagian wajah Sitoresmi. Sehingga....

Praaak!

“Aaa...!” Sitoresmi menjerit tertahan. Kepalanya kontan hancur. Isi benaknya berhamburan bercampur darah. Sedangkan sekujur tubuhnya langsung berubah membiru.

“Ha ha ha...! Aku adalah Pembegal Jagad! Tidak seorang pun yang boleh meremehkan diriku!” teriak Bara Genta disertai tawa panjang menyeramkan.

********************

TIGA

Indrajit dan Subali akhirnya berhasil mengundang tokoh-tokoh dunia persilatan yang dikenalnya dengan baik. Pagi itu, mereka menyatakan persetujuan untuk bertemu di Gunung Sumbing. Setelah matahari mulai memancarkan sinarnya di mayapada bagian timur, dari semua penjuru tampak mulai berdatangan orang-orang persilatan beraliran putih.

Yang pertama sampai di tempat itu adalah Sepasang Pendekar Gendeng. Tampaknya, mereka memang tidak ingin para tokoh persilatan menganggap Sepasang Pendekar Gendeng sebagai pihak yang mengundang, tidak dapat menepati waktu.

“Kuharapkan hari ini kita berkumpul semua....”

“Bukankah kita sudah berkumpul?” potong Indrajit.

“Maksudku bukan itu,” sergah Subali tidak senang.

“Lalu?”

“Kau ini bagaimana, sih? Orang-orang yang kita undang itu yang kuharapkan kedatangannya. Mengerti?!”

“Itu dia!” seru Indrajit.

Subali segera memandang ke arah utara seperti yang ditunjukkan Indrajit. Saat itu tampak seorang perempuan tua berkulit hitam menuju ke arah mereka. Rambutnya panjang, memakai kerudung putih. Sehingga warna kulit dan kerudungnya sangat bertentangan. Melihat kehadiran perempuan berkerudung ini, Sepasang Pendekar Gendeng langsung menjura dalam-dalam.

“Selamat datang dalam pertemuan rahasia ini, Nyai Jeliteng!” sambut Subali mewakili kawannya.

“Hik hik hik...! Apakah kalian hanya mengundangku saja? Mana kawan-kawan yang lain?” tanya perempuan bernama Nyai Jeliteng.

“Dewi Kerudung Perak,” Indrajit langsung menyebut julukan perempuan tua itu. “Mereka yang lain juga kami undang. Mungkin sekarang sedang dalam perjalanan.”

“Aku paling tidak sabar menunggu. Tapi, tidak mengapa. Demi persatuan orang-orang segolongan, kubiarkan pantatku bisulan karena menunggu orang-orang malas itu!

Ucapan Dewi Kerudung Perak membuat Sepasang Pendekar Gendeng tersenyum. Dan belum juga mereka memberi tanggapan, kejap itu juga terdengar suara tawa di kejauhan. Suara tawa itu semakin lama semakin bertambah jelas.

“Pastilah yang datang itu Si Gila Ketawa! Mestinya hari ini aku tidak ketemu orang gila itu!” dengus Nyai Jeliteng, bersungut-sungut.

“Dalam suasana gawat seperti sekarang ini, kami harap Dewi dapat menahan sabar untuk melupakan persoalan pribadi!” ujar Indrajit.

“Kurasa Indrajit betul, Dewi. Kita harus bersatu menghadapi iblis keji. Kalau tidak, maka korban yang berjatuhan akan semakin banyak lagi!” timpal Subali.

“Sudah! Kalian yang muda tidak usah menggurui yang tua. Kalian sendiri sama-sama gendengnya!” dengus Nyai Jeliteng.

Benar saja. Sekejap kemudian, muncul seorang laki-laki gemuk pendek berbaju dari kulit beruang hitam. Di punggungnya tergantung dua buah gelang terbang.

“Ha ha ha...! Tidak kusangka di tempat ini telah hadir pula si perempuan hitam legam. Kalau tidak ada cahaya matahari, tentu aku tidak dapat melihatmu, Dewi Kerudung Perak?!” leceh sosok gemuk berjuluk Si Gila Ketawa.

Diejek begitu, tentu Nyai Jeliteng tidak senang. Langsung diterjangnya Si Gila Ketawa. Baru tubuhnya melayang, Sepasang Pendekar Gendeng telah menghadang sambil julurkan tangan.

Duuuk!

“Heh...?!” Dewi Kerudung Perak sangat terkejut. Matanya melotot dan memandang penuh teguran pada Sepasang Pendekar Gendeng.

“Huh! Ternyata kalian membelanya?” dengus Dewi Kerudung Perak tidak senang.

“Tolol dipelihara!” rutuk Subali. “Kami tidak membela siapa-siapa! Coba kalian pikir baik-baik. Aku mengundang kalian bukan untuk berkelahi sesama golongan sendiri. Sekarang kita harus bersatu untuk mencari iblis itu. Jika kalian saling bunuh di sini, siapa yang rugi?”

“Kau benar, Subali. Mengapa harus membuang tenaga percuma? Jika kita bertarung sampai menjadi bangkai sekalipun, tidak ada artinya, Nyai Jeliteng. Paling hanya menguntungkan cacing tanah saja! Ha ha ha...!” timpal Si Gila Ketawa sambil terus tertawa.

“Saudara Gila Ketawa! Kuharap Saudara mau menahan tawa sebentar. Tampaknya, kawan-kawan kita yang lain mulai datang!” ujar Subali.

Si Gila Ketawa langsung menutup mulutnya. Mereka terkesiap ketika mendengar suara angin menderu yang begitu keras disertai suara petir sambung-menyambung. Lalu....

“Sahabat sekalian. Aku datang memenuhi undangan!” Sayup-sayup terdengar suara yang ditujukan pada mereka yang berada di lereng Gunung Sumbing ini.

“Dewa Petir?!” seru Nyai Jeliteng.

Dari arah selatan lereng gunung, tampak melesat sesosok tubuh berpakaian serba putih. Di lain saat, tampak seorang laki-laki berbadan kurus berambut putih dan berbaju serba putih telah berdiri tegak di depan mereka. Sepasang Pendekar Gendeng, Dewi Kerudung Perak, dan Si Gila Ketawa langsung menjura dalam-dalam. Memang, Dewa Petir termasuk sesepuh dari tokoh-tokoh rimba persilatan golongan putih.

“Selamat datang dalam pertemuan ini, Ki Suta. Kami mengucapkan terima kasih, karena kau bersedia memenuhi undangan kami,” sambut Indrajit mewakili yang lainnya.

“Kalian adalah pendekar bebas dalam arti disukai siapa pun. Kuharap pertemuan ini menghasilkan kesepakatan, agar kita dapat bersatu menumpas menyebar malapetaka yang akhir-akhir ini semakin merajalela,” ujar Ki Suta alias Dewa Petir sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang.

“Kehadiranmu mempunyai arti besar bagi kami,” timpal Si Gila Ketawa.

“Sudahlah.... Jangan terlalu berlebihan. Kurasa jika sudah tidak ada yang ditunggu, kita bisa memulai pembicaraan!” tegas Ki Suta.

“Masih ada, Ki. Mereka adalah Pendekar Seruling Perak dan Pendekar Beruang Merah,” lapor Indrajit.

Ki Suta menarik napas panjang. Sebagai orang yang telah berpengalaman dan sesepuh dalam rimba persilatan, Dewa Petir tahu benar bagaimana watak kedua pendekar yang baru disebutkan Indrajit. Mereka paling sulit diajak bicara baik-baik dan suka melakukan sesuatu sendiri-sendiri. Walau memang harus diakui, kepandaian mereka cukup mengagumkan.

“Apakah kau telah menghubungi kedua pendekar itu, Subali?” tanya Dewa Petir.

“Sudah, Ki!” sahut Subali, pelan.

“Lalu, apa jawaban mereka?” tanya Ki Suta lebih lanjut.

“Mereka berjanji akan membantu hingga persoalan yang dihadapi benar-benar tuntas,” jelas pemuda itu.

“Kalau itu jawabannya, berarti mereka tidak datang kemari. Yang jelas mereka langsung mencari iblis itu!” sergah Ki Suta.

Dewa Petir akhirnya memutuskan untuk segera memulai memecahkan persoalan yang dihadapi.

“Semua yang hadir di sini,” kata Ki Suta memulai. “Aku perlu menjelaskan dari mana asal-usul lawan kita. Aku pernah bermimpi, bertemu lelembut yang bernama Ki Renta Alam. Menurut dia, orang yang telah melakukan pembunuhan dan pemerkosaan itu bernama Bara Genta...!”

“Bara Genta?” ulang Si Gila Ketawa, mendesis.

“Ya...! Tentu kau tidak mengenalnya. Karena, aku sendiri juga tidak kenal. Tapi menurut lelembut yang bernama Ki Renta Alam, kehadiran Bara Genta yang paling utama adalah ingin menghancurkan Pendekar Rajawali Sakti. Ki Renta Alam mengatakan kalau sudah bertemu pendekar itu dan membicarakan segala sesuatunya hingga jelas,” papar Dewa Petir.

Sepasang Pendekar Gendeng, Si Gila Ketawa, dan Nyai Jeliteng sama terdiam. Mereka mencoba mengingat-ingat, siapa sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti.

“Ki Suta,” ucap Si Gila Ketawa. “Kalau tidak salah, pendekar yang dicari Bara Genta adalah pemuda berompi putih bernama Rangga. Dia pendekar pembela kebenaran. Namanya saat ini menjadi buah bibir orang. Dia adalah pendekar golongan lurus. Jika Pendekar Rajawali Sakti sampai memusuhinya, sekarang sudah jelas bahwa Bara Gentalah yang telah melakukan pembunuhan dan pemerkosaan itu. Kita harus mencari untuk menghentikannya.“

“Memang itu yang akan kita lakukan. Tetapi persoalan yang paling penting, Bara Genta sebenarnya diutus gurunya agar dunia persilatan dipimpin oleh orang-orang dari golongan sesat!”

“Artinya mereka ingin membuat angkara murka di bumi ini?” tebak Nyai Jeliteng. “Aku pribadi belum pernah bertemu Pendekar Rajawali Sakti. Namun sepak terjangnya telah membuatku kagum. Kita harus membantu pemuda itu dalam mengatasi persoalannya!”

“Yang paling penting, Bara Genta memiliki kepandaian setara dengan Pendekar Rajawali Sakti. Kabarnya, kekuatannya bersumber pada Kitab Pelebur Jiwa. Jika kita dapat memusnahkan kitab itu, berarti sudah dapat mengurangi kesaktian Bara Genta,” urai Ki Suta.

“Kitab Pelebur Jiwa? Bagaimana sebuah kitab dapat menimbulkan kekuatan?” tanya Subali heran.

“Menurut Ki Renta Alam, kitab itu dikendalikan kekuatan iblis. Karena iblis sejati yang mengendalikannya, maka kitab itu dapat diperintahkan berbuat apa saja. Termasuk, membantu Bara Genta dalam mencapai maksudnya.

“Kurasa ada rahasia lain yang terkandung dalam kitab itu, Ki,” Si Gila Ketawa berpendapat.

“Maksudmu?” tanya Ki Suta.

“Kita tidak tahu asal-usul pemuda itu. Tahu-tahu, dia muncul melakukan pembunuhan besar-besaran. Apakah ada hubungannya dengan Genta si bajak laut itu?” duga Si Gila Ketawa.

“Genta? Maksudmu bekas raja penyamun yang dulu pernah dikalahkan Ki Wanayasa?” tanya Ki Suta.

“Betul!” jawab Si Gila Ketawa.

Semua orang yang berada di situ terdiam. Mereka kembali teringat pada kejadian beberapa tahun yang lalu, di mana seorang pemuda berumur lima belas tahun telah menjadi kepala bajak laut.

Enam tahun yang silam memang ada seorang bajak laut yang dipimpin pemuda bernama Genta. Dalam usia semuda itu, Genta sudah mampu memimpin anak buahnya dalam melakukan perampokan baik di laut, maupun di desa-desa pinggir pantai. Tindakan mereka cenderung kejam. Mereka bukan hanya menjarah harta benda penduduk saja, melainkan melakukan pemerkosaan terhadap anak-anak gadis Desa Pasir Tambi.

Karena ganasnya tindakan mereka, maka Ketua Padepokan Pasir Tambi yang bernama Ki Wanayasa dan murid-muridnya melakukan perlawanan. Anggota gerombolan perampok itu tewas semuanya. Sedangkan pimpinannya yang bernama Genta disiksa. Ki Wanayasa kemudian menjatuhkan hukuman berat. Yaitu, dengan membuang pimpinan perampok ini ke laut, setelah kaki serta tangannya diikat.

“Ki Wanayasa telah memeriksa Genta ketika itu. Dan dia dinyatakan mati. Jadi tidak mungkin kalau Genta hidup kembali!” bantah Subali.

“Lalu, apakah ujung nama pemuda iblis itu hanya kebetulan saja?” tanya Nyai Jeliteng.

“Yang satu ini lain. Namanya, Bara Genta. Kurasa tidak ada hubungan apa-apa dengan Genta si bajak laut. Lagipula, orang yang sudah mati mustahil hidup kembali!” sanggah Indrajit.

“Menurut Ki Renta Alam,. Bara Genta berasal dari dalam Gua Seribu Malam. Gua itu terletak di dasar Laut Utara!” jelas Dewa Petir.

“Sudahlah.... Mungkin semua itu hanya kebetulan saja. Sekarang apa yang akan kita lakukan?” sela Si Gila Ketawa.

“Sekarang kita saling berbagi tugas,” ujar Dewa Petir. “Subali, Indrajit, dan Si Gila Ketawa, mencari Pendekar Rajawali Sakti. Jika sudah bertemu, bantulah dia. Sedangkan Dewi Kerudung Perak ikut bersamaku untuk mencari Bara Genta! Mungkin, saat ini Pendekar Seruling Perak dan Pendekar Beruang Merah sudah melakukan tugasnya. Pesanku, hati-hatilah kalian. Sebab, yang kita hadapi memiliki kepandaian sangat hebat.”

“Kami akan selalu mengingat-ingat pesanmu, Ki!” jawab Si Gila Ketawa mewakili kawan-kawannya.

Dewa Petir dan Dewi Kerudung Perak kemudian meninggalkan tempat itu. Tinggallah Si Gila Ketawa dan Sepasang Pendekar Gendeng.

“Kawan-kawan kita sudah berangkat. Apakah kita tetap menunggu di sini sampai ubanan?” celetuk Indrajit.

“Ha ha ha...! Jangan menyindirku Indrajit. Sekarang kita berangkat!” sahut Si Gila Ketawa.

Ketiga pendekar yang sama-sama konyol ini akhirnya menuju ke daerah pinggiran Laut Utara.

********************

Satu sosok bayangan putih berkelebat di antara pohon besar yang ada di sekelilingnya di Hutan Wonocolo. Dan tiba-tiba kelebatannya dihentikan ketika melihat seekor serigala hutan berlari ke semak-semak belukar. Sosok bayangan putih yang ternyata seorang pemuda berbaju rompi putih ini langsung melirik ke arah datangnya serigala tadi.

Pemuda dengan pedang bergagang kepala burung di punggung ini mengerutkan keningnya, ketika melihat ceceran darah. Dengan cepat melakukan pemeriksaan. Sampai akhirnya ditemukannya mayat seorang gadis tanpa pakaian tergeletak di semak-semak dengan kepala pecah. Bagian kepala yang pecah sudah tidak utuh lagi. Rupanya, serigala tadi telah menggerogoti sebagian kulit dan dagingnya.

“Pembunuh biadab!” desis pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti geram. “Aku yakin pelakunya pastilah orang yang sama.”

Entah mengapa, Rangga sekarang merasa hatinya semakin terbebani. Bagaimana tidak? Pembunuh itu menghendaki dirinya. Bukan orang lain. Dia melakukan pembunuhan-pembunuhan serta pelampiasan nafsunya. Mungkin karena kebiasaannya, juga karena sengaja ingin memancing perhatian Pendekar Rajawali Sakti agar terus mencarinya.

“Aku harus menemukan orang itu secepatnya, sebelum segala-galanya terlambat!” pikir Pendekar Rajawali Sakti. Rangga bangkit berdiri. Namun belum sempat meninggalkan mayat gadis malang itu....

“Pembunuh keji! Dicari-cari, malah membunuh gadis lain di sini!” Mendadak terdengar bentakan dari belakang Pendekar Rajawali Sakti yang disusul suara desis angin halus. Sedikit Rangga melirik.

Wuuut!

Pendekar Rajawali Sakti cepat menghindar begitu melihat beberapa sinar keperakan meluncur ke arahnya. Seketika tubuhnya mengegos seraya berputar.

Crep! Crep!

Benda-benda yang ternyata senjata rahasia berupa paku berwarna perak itu langsung menancap di sebuah pohon besar.

“Mengapa kau menyerangku, Kisanak? Bahkan menuduhku yang bukan-bukan?” tanya Rangga heran, ketika di depannya tahu-tahu telah berdiri seorang laki-laki berumur sekitar empat puluh tahun. Rambutnya panjang dan memakai ikat kepala warna putih ini.

“Bukti sudah di depan mata. Kau telah membunuh gadis itu. Orang pun tidak menyangka kalau kau iblis berhati keji!” dengus laki-laki ini.

Mendapat tuduhan yang tidak beralasan, Rangga tentu tidak tinggal diam. “Hati-hatilah bicara, Kisanak! Aku sendiri sedang mencari si pembunuh yang telah menebar petaka di mana-mana!” kilah Pendekar Rajawali Sakti.

Rupanya laki-laki berbaju putih ini tetap tidak mempercayai ucapan Rangga. “Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu! Hiyaaa...!”

Sambil berteriak keras, laki-laki ini melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti dengan mengerahkan jurus-jurus dahsyat. Rangga segera melompat mundur. Namun lawan terus memburunya. Maka terpaksa Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ yang ditunjang mengandalkan kelincahan tubuhnya, untuk menghindari serangan. Sedikit pun dia tak ingin membalas serangan.

“Melawan atau tidak melawan, aku tetap akan membunuhmu!” dengus laki-laki berbaju putih ini.

“Tindakanmu yang gegabah hanya akan membuatmu menyesal seumur hidup!” gumam Rangga.

“Persetan! Heaaa...!”

“Hmmm...!” gumam Rangga tidak jelas.

Setelah berlangsung lima belas jurus, laki-laki berbaju putih ini tetap belum dapat mendesak Rangga. Rupanya kenyataan ini telah membuka matanya. Saat itu juga dicabutnya seruling perak yang terselip di pinggang. Senjata itu kemudian diputarnya dengan cepat, menimbulkan suara menderu-deru. Di lain saat, seruling itu meluncur deras ke beberapa bagian di tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Karena cepatnya gerakan senjata itu, hingga sekilas tampak berubah menjadi banyak.

Melihat kenyataan ini, Rangga harus mengakui kehebatan lawannya. Apalagi seruling itu mengeluarkan suara mendengung-dengung menyakitkan telinga.

“Hiyaaa...!” Disertai teriakan keras, Rangga merubah jurusnya menjadi ‘Sayap Rajawali Membela Mega’. Dia melompat ke depan. Tubuhnya berkelebat mendekati, sedangkan tangannya yang terjulur berusaha menerobos pertahanan.

Mendapat serangan dahsyat, laki-laki berbaju putih mengibaskan tangannya. Rangga segera menarik balik tangannya, namun kaki kanan cepat meluncur menghantam pinggang.

Desss!

“Higkh...!” Laki-laki itu kontan terpelanting. Pinggangnya seperti remuk dan terasa panas sekali. Cepat dia bangkit berdiri.

“Heaaa...!” Disertai teriakan penuh amarah, laki-laki bersenjata seruling ini kembali menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan jurus-jurusnya yang paling hebat!

“Kuperingatkan sekali lagi padamu, kau menyerang orang yang salah!” teriak Rangga.

Rupanya laki-laki itu tidak meladeninya. Dia malah mulai melepaskan pukulan mautnya. “Pukulan ‘Cucuran Air Mata Dewa’!” teriak laki-laki berbaju putih itu dengan suara keras dengan tangan mengibas ke depan. Dan sederet sinar merah seperti bara meluncur deras ke arah Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti tentu tidak tinggal diam. Sebelum sinar merah itu mengenai sasarannya, kedua tangannya didorong ke depan. “Aji ‘Guntur Geni’! Hiyaaa...!”

Glar! Glaaar!

“Wuaaagkh...!” Teriakan keras laki-laki berbaju putih terdengar. Tubuhnya terlempar jauh ke belakang. Sudut-sudut bibirnya mengucurkan darah. Sedangkan Rangga sendiri hanya bergetar saja.

********************

“Hiaaa...!”

Pertarungan kembali terjadi. Rangga sekali lagi mengegoskan tubuhnya saat sabetan seruling mengancam kepalanya. Sementara laki-laki berbaju putih sudah memutar tubuhnya. Senjata di tangannya kembali menyodok cepat.

“Hup...!” Dengan gerakan cepat luar biasa, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas. Sambil berjumpalitan beberapa kali, kedua tangannya bergerak cepat ke punggung laki-laki itu. Dan....

Tuk! Tuk!

“Aaa...!” Disertai keluhan tertahan laki-laki itu merasakan anggota tubuhnya bagai sulit digerakkan. Sadarlah dia kalau pemuda berbaju rompi putih itu telah menotoknya.

“Kurang ajar! Bebaskan aku...!” teriak laki-laki itu penuh amarah.

“Kalau aku memang berniat jahat, bukankah kau sudah mati di tanganku? Aku harus membiarkan keadaanmu seperti itu, agar niatku untuk mencari Bara Genta tidak terganggu olehmu!” kata Rangga.

Tanpa berkata-kata lagi, Pendekar Rajawali Sakti segera pergi begitu saja. Laki-laki ini tentu saja tidak dapat berbuat sesuatu, terkecuali mengumpat di hati. Entah sudah berapa lama dia dalam keadaan seperti itu. Untung saja, tak lama muncul tiga orang laki-laki yang sangat dikenalnya.

“Hei..., kalian! Bebaskan aku!” seru laki-laki ini, tanpa malu-malu.

Ketiga laki-laki yang tidak lain Sepasang Pendekar Gendeng dan Si Gila Ketawa segera datang menghampiri. Namun baru beberapa langkah, mereka tertegun.

“Hei...? Mengapa Pendekar Seruling Perak seperti patung begitu?” tanya Subali dengan kening berkerut.

“Tampaknya seseorang telah menotoknya!” dengus Indrajit.

“Ha ha ha...! Kau ini mengapa menjadi patung di tengah hutan begini,  Abiyasa?” tanya Si Gila Ketawa.

“Cepat bebaskan aku! Pemuda berbaju rompi putih itu harus kukejar!” ujar laki-laki berbaju putih yang ternyata Pendekar Seruling Perak dan bernama asli Abiyasa.

“Ada apa rupanya?” tanya Si Gila Ketawa. “Jika jadi pecundang, apa mungkin kau dapat mengalahkannya?”

“Pemuda mana yang kau maksudkan?” tanya Indrajit.

“Pemuda berbaju rompi putih!” jawab Abiyasa, lugas.

Mata mereka bertiga langsung terbelalak. Ciri-ciri yang baru saja disebutkan Abiyasa sama persis dengan yang diceritakan Dewa Petir.

“Kau mengejar orang yang salah, Abiyasa! Orang yang bentrok denganmu pastilah Pendekar Rajawali Sakti yang harus kita bantu!” tegas Si Gila Ketawa.

“Apa? Tapi dia telah membunuh gadis di semak-semak itu!” tangkis Pendekar Seruling Perak.

“Gadis...?”

“Ya.... Kalau tidak percaya, lihatlah...!”

Sepasang Pendekar Gendeng segera melakukan pemeriksaan. Ternyata gadis yang terbunuh tidak lain Sitoresmi, cucu Ketua Padepokan Pasir Tambi. Tentu kedua pendekar ini tahu kalau yang melarikan gadis itu tak lain dari Bara Genta. Jadi, tidak benar Pendekar Rajawali Sakti yang telah membunuhnya. Apalagi, sempat memperkosanya.

Mereka kemudian menghampiri Pendekar Seruling Perak yang baru saja pengaruh totokannya dibebaskan Si Gila Ketawa.

“Bukan Pendekar Rajawali Sakti yang membunuhnya. Kami pernah ke Desa Pasir Tambi. Tentu kami tahu, apa yang telah terjadi di sana. Kau telah menyerang orang yang seharusnya kau bela, Abiyasa!” jelas Indrajit.

“Oh, maafkan aku. Aku tidak tahu!” sahut Abiyasa, merasa menyesal.

“Sudahlah! Mumpung belum jauh, sebaiknya kita kejar Pendekar Rajawali Sakti!” saran Si Gila Ketawa.

“Kita harus menguburkan mayat gadis ini dulu!” bantah Indrajit.

Yang lain tidak bisa membantah. Mereka lantas membuat sebuah kubur di bawah sebatang pohon pinus.

“Sungguh mengenaskan keadaannya. Aku bersumpah jika bertemu Bara Genta, akan kupotong-potong tubuhnya untuk kuumpankan pada buaya-buaya peliharaanku!” dengus Pendekar Seruling Perak.

“Itu tolol namanya! Kalau aku, lebih baik dimakan sendiri,” sergah Si Gila Ketawa.

“Kalian ini memang sama-sama edannya! Sudahlah jangan ngoceh terus. Sudah saatnya kita menguburkan mayat gadis ini!” ujar Subali.

Tanpa menghiraukan bau amis yang menebar dari tubuh Sitoresmi, mereka langsung menggotong ke dalam liang kubur. Tidak lama, tugas mereka selesai. Kini mereka melanjutkan perjalanan kembali.

********************

Desa Pasir Molek yang sebelumnya sebuah desa yang gemah ripah loh jinawi dan aman tenteram, kini telah berubah menjadi desa mati. Apalagi bila malam telah datang. Beberapa hari sebelumnya banyak pemuda desa yang dibunuh secara keji. Gadis-gadis desa yang rata-rata berparas cantik hilang begitu saja. Bila keesokan harinya gadis-gadis itu ditemukan, ternyata telah menjadi mayat. Bagian jantung mereka berlubang. Tubuhnya telanjang, berwarna biru.

Kejadian demi kejadian itu tentu membuat penduduk menjadi marah. Dengan dipimpin seorang laki-laki setengah baya yang menjabat Kepala Desa, para penduduk segera melakukan pencarian terhadap pelaku pembunuhan dan pemerkosaan itu. Namun sampai sejauh itu hasilnya tetap sia-sia belaka.

Kejadian ini tentu sangat mengganggu kehidupan sehari-hari. Tak heran kalau malam ini Desa Pasir Molek tampak lengang. Bulan di angkasa sana yang timbul tenggelam tertutup awan menambah suasana terasa mencekam. Tidak satu pintu pun yang terbuka. Tampaknya, para penduduk memang takut pada si pembunuh bila datang lagi.

Terlebih-lebih mereka yang mempunyai anak gadis cantik. Tak urung kecemasan itu juga melingkupi hati Kepala Desa Pasir Molek yang juga mempunyai seorang putri yang sudah menjadi gadis cantik. Kepala desa yang dipanggil penduduk dengan nama Ki Jatayu bukannya berdiam diri saja menghadapi masalah ini. Dia pun tiap malam selalu mengadakan perondaan. Namun tetap saja desanya selalu kecolongan.

Kini Ki Jatayu duduk termenung di ruangan tengah. Cahaya lampu minyak yang begitu redup, membuat suasana di sekitarnya tampak samar-samar.

“Ayah belum lagi tidur?”

Ki Jatayu yang sedang melamun tersentak kaget. Kepalanya berpaling ke arah datangnya suara. Seorang gadis cantik berkulit kuning langsat tahu-tahu telah berdiri di belakangnya.

“Banyak yang Ayah pikirkan beberapa hari ini. Termasuk juga memikirkan dirimu, Anggraini!” jelas laki-laki setengah baya itu.

“Mengapa dengan diriku?” tanya gadis bernama Anggraini.

“Kau tahu, bagaimana nasib gadis-gadis seusiamu di desa ini?” tukas Ki Jatayu, seraya menatap tajam pada anak gadisnya yang semata wayang.

“Ya...!” jawab Anggraini singkat.

“Ayah khawatir, pemuda iblis itu masih berkeliaran di sekitar tempat ini. Dalam keadaan begini, seharusnya kau tetap berada di dalam kamarmu saja!” ujar Ki Jatayu mengingatkan.

“Ayah! Kurasa semua itu tidak ada gunanya. Jika dia datang, tentu semua kamar akan digeledahnya. Mungkin lebih baik jika besok pagi aku mengungsi ke rumah Paman. Tampaknya, Desa Pacitan tidak diganggu pemuda itu.”

“Sebuah usul yang sangat bagus. Ayah mendukungmu!” ujar Ki Jatayu langsung setuju.

Kepala desa ini langsung memerintahkan putri tunggalnya untuk berkemas-kemas. Anggraini segera menuju ke kamarnya. Dibenahinya seluruh keperluan yang dibutuhkannya nanti. Dan baru saja Ki Jatayu larut kembali dalam renungannya...

Tok! Tok! Tok!

Ki Jatayu terkesiap ketika tiba-tiba pintu rumahnya diketuk. Wajahnya berubah pucat. Firasatnya mengatakan, yang mengetuk pintu tidak lain dari pemuda iblis yang telah menculik gadis-gadis desa dan membunuhi pemudanya. Maka dengan perlahan-lahan dia bangkit dan berjalan ke dinding rumahnya. Segera diraihnya tombak bermata ganda yang menjadi penghias ruangan.

Tok! Tok!

Suara ketukan kembali terdengar. Kali ini lebih keras dari yang pertama tadi.

“Siapa?” tanya Ki Jatayu, bergetar suaranya.

“Aku...!” sahut suara dari luar.

“Aku siapa?” tanya kepala desa ini tidak sabar.

“Bukalah pintunya. Aku datang dengan maksud baik. Dan aku sudah mendengar apa yang terjadi di sini!” ujar suara dari luar.

Keraguan di hati Ki Jatayu mulai berkurang. Sambil membawa tombak, dihampirinya pintu. Tidak lama, kunci pintu sudah dibukanya.

Begitu pintu terbuka lebar, Kepala Desa Pasir Molek ini tertegun.

Di depan pintu tampak berdiri seorang pemuda tampan berambut panjang sebahu dan memakai baju rompi putih. Pemuda ini tersenyum ramah pada Ki Jatayu.

“Siapa kau, Anak Muda?” tanya Kepala Desa Pasir Molek, dengan mata menyelidik penuh kecurigaan.

“Aku Rangga. Aku dalam perjalanan mencari seseorang. Karena kemalaman, aku terpaksa singgah, sekalian mencari keterangan di sini,” jelas pemuda yang ternyata Rangga.

“Masuklah!” ujar Ki Jatayu mempersilakan Rangga memasuki rumahnya. Kendati demikian, sikapnya masih terlihat kaku.

Setelah Rangga masuk, kepala desa itu segera mengunci pintu kembali. Ki Jatayu segera mengajak tamunya duduk. Lalu disuruhnya Anggraini untuk mempersiapkan hidangan.

“Siapa sebenarnya orang yang sedang kau cari-cari itu, Rangga?” tanya Ki Jatayu.

“Aku mencari pemuda pembunuh dan pemerkosa gadis-gadis desa. Aku mendapat keterangan, dia sekarang mengganggu daerah ini,” jelas Pendekar Rajawali Sakti tenang.

Ki Jatayu menarik napas lega. Pembicaraan mereka tertunda, karena ketika itu Anggraini datang membawakan makanan serta kopi panas. Gadis ini sempat melirik Rangga dengan sudut mata. Ternyata, pemuda ini memiliki wajah tampan. Anggraini menduga, tentulah dia seorang pendekar. Setelah meletakkan hidangan di atas meja, Anggraini kembali ke belakang. Diam-diam dia ikut mendengarkan pembicaraan ayahnya dengan pemuda itu.

“Silakan dicicipi, Rangga!”

“Terima kasih,” ucap Rangga.

Sambil menikmati hidangan apa adanya, Rangga menceritakan duduk persoalan yang sebenarnya. Kebalikannya, Kepala Desa Pasir Molek itu juga menceritakan apa yang terjadi di desanya.

“Kalau begitu, aku hampir mendapatkan apa yang kucari. Ketahuilah, Ki. Bara Genta adalah orang yang sangat berbahaya. Aku ingin tahu, apakah malam ini dia akan datang ke desa ini?”

“Itu sulit dipastikan! Tapi menurutku, dia mungkin datang. Sebab sudah hampir sepekan dia menculik gadis-gadis di daerah ini,” jelas Ki Jatayu.

Ucapan kepala desa tersebut seakan-akan menjadi sebuah kenyataan. Tiba-tiba pintu depan diketuk seseorang. Ketukan itu kemudian semakin keras.

“Kepala Desa! Buka pintunya. Aku Pembegal Jagad ingin mengambil putrimu yang cantik untuk menemani aku tidur malam ini. Kepala Desa! Cepat bukaaa...!” teriak suara yang mengaku berjuluk Pembegal Jagad.

Kepala desa ini menoleh ke arah Rangga, seakan minta pendapat. Karena Pendekar Rajawali Sakti menggelengkan kepala, maka Ki Jatayu tetap duduk di tempatnya dengan perasaan tegang. Sementara itu, Anggraini telah menghampiri ayahnya. Gadis itu tampak sangat ketakutan! Keringat dingin telah membasahi tubuhnya yang gemetar.

“Bagaimana ini, Ayah?” tanya gadis itu.

Anggraini memandang ke arah Rangga, seakan mengharapkan sebuah perlindungan. Sementara Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Ditepuknya bahu Anggraini.

“Kembalilah ke kamarmu. Jika ada apa-apa di dalam sana, secepatnya kau keluar!” perintah Rangga dengan suara pelan.

Anggraini segera mematuhi saran Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga menghampiri Ki Jatayu.

“Tetaplah di belakang pintu, Ki. Jika aku tidak sanggup menahan orang ini, sebaiknya kau dan putrimu cepat menyingkir!” saran Rangga.

Jika pendekar besar seperti Pendekar Rajawali Sakti sempat bicara seperti itu, tentu disadari bahwa lawan yang dihadapinya benar-benar tangguh.

“Kepala Desa! Rupanya kau membangkang perintahku. Aku jadi ingin tahu, apakah tubuhmu seatos batu karang!” dengus Pembegal Jagad yang tak lain Bara Genta.

Brak! Brak!

Tiba-tiba terdengar suara berderak. Dengan dua kali dorong, daun pintu telah hancur berantakan. Di depan pintu yang hancur kini telah berdiri seorang pemuda berkulit hitam. Badannya tinggi. Rambutnya lurus seperti bulu landak. Yang aneh, tatapan matanya tampak menyala seperti api.

“Hemmm.... Rupanya selain Kepala Desa, ada orang lain di sini. Kau ingin mengandalkan pemuda ini, Kepala Desa?” gumam Bara Genta.

“Tid... tidak...!” sahut Ki Jatayu ketakutan.

“Baiklah. Aku tidak akan mengganggumu jika kau menyerahkan putrimu untuk menemaniku malam ini!” desis Bara Genta, tanpa memandang mata sama sekali pada Pendekar Rajawali Sakti.

Pendekar Rajawali Sakti maju selangkah. Tatapan matanya menyorot tajam pada pemuda bertelanjang dada yang berdiri di depan pintu.

“Anak Kepala Desa adalah calon istriku!” kata Rangga berbohong. “Jadi tidak akan kubiarkan walau seekor lalat pun yang menyentuhnya,” desis Pendekar Rajawali Sakti tak kalah dingin.

Bara Genta menyeringai. Matanya yang kemerah-merahan tampak marah sekali.

“Begitu...? Kalau kubunuh calon suaminya, siapa lagi yang akan menghalanginya?” dengus Pembegal Jagad, dingin. “Tapi... sebentar dulu...! Melihat ciri-cirimu, kau mirip orang yang dikatakan guruku. Bukankah kau Pendekar Rajawali Sakti?”

Rangga merasa kedoknya sudah terbuka. Untuk itu, rasanya sudah tidak ada gunanya lagi berbohong. “Dugaanmu tidak salah!” jawab Rangga tenang.

Bara Genta tiba-tiba tergelak-gelak. Kini dia telah berhadapan dengan orang yang harus dibunuhnya. “Aku tidak menyangka perjumpaanku denganmu akan berlangsung secepat ini. Pendekar Rajawali Sakti! Aku diutus guruku Si Bayang-Bayang untuk mengirimmu ke neraka. Apakah kau sudah siap mampus...?”

“Kematian adalah sesuatu yang menjadi rahasia Sang Penguasa Alam. Bukan kau yang menentukan kematianku!” sahut Rangga, enteng.

“Ha ha ha...! Omong kosong! Aku yang menentukan kematianmu! Kalau tidak percaya! Hiyaaa...!” teriak Bara Genta.

Secepat terbang, pemuda bertelanjang dada ini langsung menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Serangannya sangat ganas dan mematikan. Dalam gebrakan pertama saja, Rangga sudah mulai merasakan tekanan berat. Sebagai pendekar yang sudah berpengalaman, Rangga sadar betul kalau serangan Pembegal Jagad bertujuan untuk menghancurkan dirinya. Maka segera tubuhnya berjumpalitan ke belakang. Karena pertarungan terjadi di dalam rumah, Pendekar Rajawali Sakti tidak dapat bergerak leluasa.

“Hiyaaa...!” Rangga tiba-tiba menjulurkan tangannya ke arah leher Bara Genta. Namun, Pembegal Jagad cepat menangkisnya.

Plak!

“Heh...?!” Dengan rasa terkejut, kedua orang yang bertarung terdorong mundur. Rangga merasakan tangannya berubah dingin akibat benturan tadi. Sebaliknya Bara Genta hanya bergetar saja. Sekarang sudah jelas kalau tenaga dalam yang dimiliki masing-masing seimbang.

Kini Bara Genta melakukan serangan balik. Tubuhnya meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti sambil melepaskan tendangan berantai.

“Uts...!" Rangga terpaksa bergerak ke samping. Segera dikerahkannya jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’. Walaupun Rangga telah meliukkan tubuhnya dengan sempurna yang ditunjang gerakan yang lincah, namun tendangan susulan yang dilakukan Bara Genta sempat menyambar dadanya. Tidak ampun lagi....

Desss!

“Hugkh...!” Pendekar Rajawali Sakti terpental ke dinding hingga hancur. Dan tubuh Rangga terus meluncur keluar. Luncurannya baru terhenti, setelah punggungnya menabrak pohon belimbing di halaman samping. Dalam suasana terang benderang bulan purnama, Bara Genta terus memburunya.

LIMA

Pendekar Rajawali Sakti yang dadanya sempat terasa sesak segera mengatur pernapasan. Kemudian dia melompat bangkit pada saat tendangan Pembegal Jagad meluncur deras ke bagian wajah. Melihat serangan ini Rangga segera menghadang dengan mempergunakan telapak tangan.

Plak! Tap!

“Auaaa...!” Kini giliran Bara Genta yang terpelanting. Rupanya dalam upaya menangkis serangan tadi, Rangga sempat menangkap telapak kaki Pembegal Jagad. Secepat kilat dan sekuat tenaga didorongnya kaki Bara Genta.

Sambil mendengus-dengus bagaikan banteng mengamuk, Bara Genta bangkit berdiri. Pada saat yang sama Pendekar Rajawali Sakti telah melakukan serangan balik. Namun serangannya yang mengandalkan kaki dan kepalan ini dapat dihindari Bara Genta, membuat Pendekar Rajawali Sakti tak habis pikir dengan hati heran. Betapa tidak? Rangga merasa jurus yang dipergunakan lawannya justru kebalikan dari jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’.

Keheranan Pendekar Rajawali Sakti rupanya sempat terlihat oleh Pembegal Jagad. “Kau tidak perlu heran, Pendekar Rajawali Sakti. Jika kau punya jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’, maka aku pun punya jurus ‘Liukan Sang Api’. Apakah kau melihat persamaan dan perbedaannya?” ejek Bara Genta jumawa.

Sebenarnya, Rangga kembali heran. Dari mana Bara Genta tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti punya jurus yang bernama ‘Sembilan Langkah Ajaib’? Namun, dia cepat memaklumi mengingat Pembegal Jagad adalah murid tokoh berjuluk Si Bayang-Bayang yang telah lama malang melintang dalam rimba persilatan.

“Bedanya, kau iblis berkedok manusia! Sedangkan aku manusia sejati...!” dengus Rangga tidak kalah sengit.

“Keparat sial! Hiyaaa...!” Dengan gusarnya, Bara Genta kembali membangun serangan gencar. Badan masing-masing sudah bermandikan keringat. Sampai enam puluh jurus masih belum ada tanda-tanda siapa yang bakal keluar menjadi pemenangnya.

Rangga cepat menghindar dengan melenting ke udara. Pendekar Rajawali Sakti berjumpalitan beberapa kali di udara. Saat tubuhnya meluncur deras ke bawah dengan jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’ kaki kanannya bergerak cepat ke bagian kepala Bara Genta.

“Haiiit!” Secepat kilat Pembegal Jagad yang seakan mengetahui gerakan Pendekar Rajawali Sakti kaki kirinya diangkat tinggi-tinggi.

Dhak!

“Uaaakh...!” Masing-masing menjerit keras dan terpental ke belakang. Baik kaki Rangga maupun kaki Bara Genta sama-sama memar, membiru. Rangga mengeluh dalam hati. Sungguh tidak disangka serangannya selalu bisa dipatahkan lawannya.

Bara Genta bangkit lebih awal dari Rangga. Sambil terpincang-pincang bibirnya tersenyum dingin. “Jurusmu memang hebat. Tapi aku mempunyai jurus ‘Mematahkan Sambaran Sang Api’. Itulah pemunah jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’!” jelas Bara Genta.

Kembali Pendekar Rajawali Sakti dibuat kaget lagi. Ternyata Bara Genta tahu juga nama jurus yang barusan dipergunakan Rangga.

“Hmmm...,” gumam Rangga tidak jelas.

Tidak disangka-sangka Pembegal Jagad melompat mundur. Kemudian dikerahkannya tiga perempat dari seluruh tenaga dalamnya. “Tendangan Badai Topan! Hiyaaa...!” Disertai teriakan melengking, Bara Genta mengibaskan tangannya ke depan.

Rangga melihat seleret sinar biru meluncur ke arahnya, menebarkan hawa dingin menusuk. Tidak menunggu lebih lama lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung mempergunakan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’. Secepat kilat dibuatnya beberapa gerakan. Dan tiba-tiba tangannya menghentak.

“Heaaa...!” Sinar merah keluar dari tangan Rangga, menebar hawa panas membakar. Tampaknya, masing-masing jurus memang hampir mempunyai persamaan. Sekejap kemudian, kedua sinar itu berbenturan di udara.

Blaaar!

“Aaakh...!” Benturan hawa panas dingin menimbulkan ledakan keras menggelegar. Karena kuatnya tenaga dalam yang terkandung, masing-masing terpelanting disertai jeritan keras.

Baik Rangga maupun Bara Genta sama-sama menderita luka dalam yang tidak ringan. Sudut-sudut bibir mereka mengalirkan darah kental. Dengan tertatih-tatih, Rangga segera duduk bersila. Sementara darah semakin banyak yang menetes. Kemudian matanya dipejamkan untuk mengatur napas dan mengerahkan tenaga hawa murni untuk mengobati luka yang dideritanya.

Pembegal Jagad juga melakukan, hal yang sama. Keadaannya sedikit lebih lumayan daripada Rangga. Setelah menelan beberapa buah obat berwarna hitam dan berbau amis, Bara Genta segera bangkit kembali.

Rangga harus mengakui inilah lawan yang terberat dalam sejarah petualangannya. Untuk itu dia harus berhati-hati.

“Kuakui, kau memang hebat. Tapi jangan menyangka aku akan membiarkan segala perbuatan busukmu!” desis Rangga dingin.

“Jangan kelewat yakin dengan kemampuan diri sendiri, Pendekar Rajawali Sakti. Kau harus menyadari dengan siapa sekarang berhadapan!” balas Bara Genta.

Rupanya diam-diam Pembegal Jagad telah mengerahkan tenaga dalam kembali ke bagian telapak tangannya. Saatnya sekarang dia bersiap-siap melepaskan ajian ‘Pedut Segara’. Ajian itu hampir setara dengan ajian ‘Guntur Geni’. Dan memang, pada dasarnya ajian itu khusus untuk menandingi ajian yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti.

Bara Genta kemudian berkelebat mengelilingi Rangga. Dari empat sisi pemuda berkulit legam ini menghentakkan tangannya ke satu sasaran.

Wuuut! Wueees!

Suasana di sekeliling tempat itu berubah menjadi gelap berselimut kabut. Angin menderu-deru, menimbulkan suara-suara mengerikan. Pada saat itu pula, Rangga merasakan ada sebuah kekuatan yang sangat besar menyeretnya. Menyentakkannya, menusuk-nusuk pembuluh darahnya.

Dan Rangga tiba-tiba merasakan dirinya terdampar di lautan es. Sejauh-jauh mata memandang, yang terlihat hanya gumpalan kabut putih seperti salju. Pendekar Rajawali Sakti merasa lehernya seperti tercekik ribuan tali. Dan sebelum segala-galanya terlambat, tiba-tiba kedua tangannya mendorong ke empat penjuru.

“Aji ‘Guntur Geni’! Heaaa...!” Hawa panas keluar dari tangan Rangga yang disertai empat sinar melesat ke empat penjuru, langsung menerjang kabut putih menyerupai salju.

Glar! Glaaar!

Dentuman keras terdengar di sana-sini disertai pijaran bunga api. Akibatnya tentu tidak ringan bagi masing-masing yang telah melepaskan tenaga dalam tadi. Pendekar Rajawali Sakti tercampak ke utara, sedangkan Bara Genta terpelanting ke selatan.

Luka dalam yang mereka derita begitu parah. Tapi seperti kesetanan, mereka segera bangkit berdiri kembali tanpa menghiraukan darah yang terus mengucur dari mulut dan hidung. Kini Bara Genta kembali melakukan serangan dengan bergerak ke samping kanan sejauh dua langkah. Kemudian kembali bergerak ke kiri dua langkah. Selanjutnya, ke belakang dua langkah pula.

Rangga menyadari mungkin lawannya bermaksud melakukan serangan yang paling mematikan. Tiba-tiba Bara Genta melompat ke depan. Tidak langsung menyerang, melainkan menjejakkan kaki kanannya sebanyak tujuh kali ke bumi.

“Aji ‘Pamiluto Gaib’!” teriak Bara Genta.

Rangga yang baru saja berdiri segera merasakan guncangan keras pada bagian dadanya. Kini disadari kalau Pembegal Jagad bermaksud mengadu jiwa melalui serangan jarak jauh. Pendekar Rajawali Sakti yang telah menyalurkan tenaga dalam ke bagian tangannya segera melompat ke depan.

“Aji ‘Bayu Bajra’! Hiyaaa...!” teriak Rangga sambil menghentakkan tangannya.

Dua gulung angin topan langsung menghantam Bara Genta yang diam terpaku bagaikan patung. Tetapi, serangan itu tidak berakibat apa-apa bagi Pembegal Jagad. Malah angin topan kembali berbalik dengan kekuatan berlipat ganda. Pendekar Rajawali Sakti yang telah banyak menguras tenaga masih berusaha menghindarinya. Namun gerakannya terlambat. Tubuhnya tersapu pukulannya sendiri, sehingga terjengkang ke belakang.

Sungguh mengenaskan keadaan pemuda berbaju rompi putih ini. Ia meringis kesakitan. Sedangkan Bara Genta tetap terpaku sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Tampaknya, dia bermaksud mengirimkan serangan yang dapat menghabisi riwayat Pendekar Rajawali Sakti. Namun pada saat-saat yang sangat menegangkan itu, tampak dua sosok tubuh berkelebat ke arah Bara Genta.

“Pembunuh keji! Heaaa...!”

Sosok yang satu kebutkan selendangnya. Sedangkan yang satu lagi merangkapkan kedua tangannya. Dari telapak tangan itu melesat lidah api, bagaikan serentetan petir ke arah Bara Genta. Tangan Pembegal Jagad yang sudah terangkat tadi gagal dihantamkan ke arah Rangga. Kini tangan itu menangkis kedua serangan yang baru datang.

Blar! Blaaar!

“Aaa...!” Tampak pendatang yang menyerang pakai selendang terbanting roboh disertai teriakan kesakitan. Sedangkan yang satunya lagi, kalau tidak cepat menghindar dipastikan terkena pukulannya sendiri yang membalik.

“Dewi Kerudung Perak!” seru laki-laki tua yang lolos dari maut ketika melihat perempuan berbaju putih tewas seketika menemui ajal. Laki-laki tua yang tak lain Ki Suta alias Dewa Petir tidak sempat memberi pertolongan.

Bahkan masih dalam keadaan berdiri, Bara Genta tanpa berkata apa-apa langsung mengibaskan tangan kanannya ke arah Ki Suta. Sementara Dewa Petir segera merangkapkan kedua tangannya. Saat itu juga seleret sinar seperti lidah petir secara berturut-turut kembali menghantam Bara Genta.

Blaaar...!

Disertai suara dahsyat, tubuh Pembegal Jagad terkena serangan Dewa Petir. Namun, berkat aji ‘Pamiluto Gaib’ yang telah dirapalnya, serangan itu tidak membawa akibat apa-apa. Malah sebagian dari serangan Dewa Petir berbalik, mengenai diri sendiri.

Glaaar!

“Aaakh...!” Dewa Petir menjerit keras. Dia langsung bergulingan di tanah, berusaha mematikan api yang membakar pakaiannya yang berwarna putih. Merasa tidak ada penghalang lagi, Bara Genta dengan langkah kaku segera mendatangi Rangga yang masih tergeletak.

“Nah, sekaranglah aku menyelesaikan tugasku!” desis Bara Genta seraya mengangkat tangannya kembali.

Rangga walaupun dalam keadaan payah, masih memiliki kesadaran. Tiba-tiba sambil melompat menerjang, pedangnya dicabut. Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang memancarkan sinar biru langsung menghujam dada Bara Genta yang tak sempat mengelak.

Jleees!

“Aaa...!” Bara Genta menjerit keras. Suaranya seakan merobek langit dini hari. Pemuda itu roboh dengan sebuah luka menganga. Tubuhnya berkelojotan, lalu terdiam.

Dengan terhuyung-huyung Rangga berusaha menghampiri Dewa Petir yang telah berusaha menolongnya. Namun pandangannya tiba-tiba mengabur. Kemudian tubuhnya terjengkang dan tidak ingat apa-apa lagi.

“Rangga...!” seru Dewa Petir. Walaupun dalam keadaan terluka, Ki Suta merayap menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.

Sementara itu Ki Jatayu dan Anggraini yang menyaksikan pertempuran menegangkan dari dalam rumah, dengan tergopoh-gopoh membantu Ki Suta dan Rangga. Kedua orang itu dibopong untuk dibawa masuk ke dalam rumah.

Sedangkan di halaman samping, mayat Bara Genta tergeletak membeku. Beberapa saat, memang mayat itu seperti benar-benar mati. Tetapi tiba-tiba saja, angin berhembus hebat, disertai hujan dan suara petir yang tiada henti-hentinya. Lalu, terdengar suara bergemuruh. Suasana berubah gelap. Dalam kegelapan, tampak sebuah bayangan besar dan tinggi, seakan menggapai ke langit.

“Aku iblis penghuni Kitab Pelebur Jiwa! Si Bayang-Bayang memerintahkan aku untuk menghidupkanmu!” desis sosok tinggi besar ini.

Benar saja. Tidak lama kemudian, sosok yang mengaku Iblis penghuni Kitab Pelebur Jiwa mengangkat Bara Genta hanya dengan sebelah tangan. Setelah itu dibawanya mayat Pembegal Jagad menuju ke Hutan Wonocolo yang tidak begitu jauh dari Desa Pasir Molek.

Jenazah Bara Genta sampai di tengah-tengah Hutan Wonocolo segera dibaringkan di atas rumput. Perlahan-lahan iblis itu menggerak-gerakkan tangannya di atas sekujur tubuh Bara Genta. Angin kencang terus berhembus tiada henti. Sampai kemudian....

“Kitab Pelebur Jiwa adalah diriku. Diriku adalah sumber kekuatan dan kesaktian. Juga sumber kehidupan bagi orang-orang yang mengabdi pada kekuatan iblis. Kau tidak mati. Tetapi, tidur. Kau tidak terluka, terkecuali tergores. Bangkit..., bangkitlah seperti asalmu. Hidup... hiduuup...!”

Terdengar suara yang sayup-sayup seperti datang dari kejauhan. Dan yang terjadi kemudian sungguh menggetarkan. Bara Genta yang jasadnya telah dingin membeku, sekarang tampak bergerak-gerak. Luka di perutnya secara perlahan menghilang. Matanya pun berkedip-kedip, hingga kemudian terdengar keluhannya panjang.

“Oh, di mana aku...!”

Iblis Hitam yang berdiri tegak di hadapannya tersenyum. “Kau berada dalam kehidupanmu yang baru. Kau berada dalam bimbingan iblis. Kau adalah pengikut Kitab Pelebur Jiwa. Kitab Pelebur Jiwa adalah diriku. Iblis Hitam! Ha ha ha...!” jelas sosok tinggi besar disertai tawa menyeramkan.

Tanpa diketahui empat pasang mata menyaksikan kejadian itu. Dan karena begitu takutnya mereka akhirnya menyingkir. Sementara Bara Genta yang telah hidup kembali berkat kekuatan Kitab Pelebur Jiwa, tampak masih tetap terduduk di tempatnya.

“Pesan gurumu, kau harus bertarung dengan Pendekar Rajawali Sakti sampai titik darah yang terakhir!” Iblis Hitam penghuni Kitab Pelebur Jiwa tiba-tiba raib, setelah memberi peringatan.

Pembegal Jagad hanya menganggukkan kepala.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Pagi harinya Ki Jatayu mengumpulkan warganya untuk menguburkan jenazah Nyai Jeliteng. Dan kepala desa ini menjadi heran, karena tidak menemukan mayat Bara Genta yang tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Kejadian ini segera dilaporkan pada Dewa Petir yang telah pulih kesehatannya setelah bersemadi. Tentu saja laki-laki tua itu jadi sangat heran.

“Bagaimana orang yang sudah mati bisa hilang, Ki?” tanya Ki Suta.

“Aku sendiri merasa heran. Jika mayat Bara Genta lenyap, mengapa mayat kawanmu tidak?”

“Pasti ada sesuatu yang tidak beres!” keluh Dewa Petir cemas.

“Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Kepala Desa minta petunjuk.

“Aku sendiri belum tahu,” jawab Ki Suta.

“Tampaknya Bara Genta benar-benar iblis. Bukan tidak mungkin gurunya telah mengambil mayat Bara Genta.”

“Bagaimana keadaan Rangga sekarang?” tanya Ki Suta, mengalihkan pembicaraan.

“Dia masih belum sadarkan diri,” jawab Ki Jatayu bimbang.

“Apakah di daerah ini tidak ada tabib?” tanya Ki Suta.

“Sulit mencari tabib di Pasir Molek ini. Tapi, nanti aku dapat memerintahkan orang-orang di sini untuk mengusahakannya.”

“Aku khawatir jiwa Pendekar Rajawali Sakti tidak akan tertolong...!” desah Dewa Petir cemas.

“Mudah-mudahan saja dia tidak mengalami apa-apa yang tidak diharapkan. Lagipula putriku sedikit-sedikit dapat melakukan pengobatan. Dia tentu tahu. apa yang harus dilakukan.”

“Mengapa kau tidak bilang sejak tadi, Ki?” tegur Ki Suta.

“Aku tidak ingin terlalu menonjolkan kemampuan Anggraini yang tidak seberapa itu. Lagipula, dia bukan tabib yang sangat ahli. Hanya sekadar bisa saja,” jelas Ki Jatayu merendahkan diri.

Dewa Petir merasa lega. Bagaimanapun, hanya pada Rangga dia dapat menggantungkan harapannya. Bara Genta tidak dapat dianggap main-main. Belum lagi, bila gurunya yang muncul.

ENAM

Ramu-ramuan dari tetumbuhan memang cukup manjur. Apalagi yang membuatnya Anggraini. Dulu, gadis cantik ini pernah belajar dari kakeknya yang memang seorang tabib. Dengan telaten, Anggraini merawat Rangga. Dia bahkan tidak pernah meninggalkan pemuda itu walau barang sekejap pun. Anggraini memang telah berusaha segenap kemampuannya. Tampaknya hatinya tidak rela jika pendekar seperti Rangga harus tewas.

Karena perawatan yang telaten ini, kesehatan Rangga mulai membaik. Dan ketika Dewa Petir bersama Ki Jatayu sedang menyusun rencana di ruangan depan, Rangga mulai sadarkan diri. Matanya yang tertutup tampak mulai terbuka. Matanya memandang ke sekeliling ruangan. Pertama yang dilihatnya adalah putri Kepala Desa Pasir Molek.

“Mengapa aku di sini?” tanya Pendekar Rajawali Sakti dengan suara lemah.

“Kakang tadi tidak sadarkan diri. Sebaiknya, jangan bergerak dulu. Kakang perlu istirahat cukup!” saran Anggraini. Gadis itu menundukkan kepala. Dia tidak berani menatap mata Pendekar Rajawali Sakti secara terang-terangan.

Rangga mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi sebelumnya. Kini, segala-galanya menjadi jelas. Bukankah dia bertarung habis-habisan melawan Bara Genta? Lalu, musuh besarnya itu tewas di ujung pedangnya.

“Aku ingin melihat mayat Bara Genta!” kata Rangga.

Anggraini menggeleng. “Bara Genta hilang begitu saja. Entah, siapa yang telah melarikannya!” jelas gadis itu.

“Apa? Bagaimana mungkin?! Bukankah dia sudah mati?!” sentak Rangga seakan tidak percaya.

“Memang! Bahkan aku sendiri melihatnya. Menurut Dewa Petir, Bara Genta mungkin diselamatkan Kitab Pelebur Jiwa.”

“Siapa Dewa Petir?” tanya Rangga.

“Dewa Petir adalah orang yang membantu Kakang. Kawannya yang bernama Nyai Jeliteng tewas.”

“Mengenai Kitab Pelebur Jiwa, aku telah mendengarnya. Hanya aku tidak melihat kitab itu, ketika berhadapan dengan Bara Genta!” kata Rangga perlahan.

“Kitab itu memang tidak pernah ada. Dia hanya berupa kekuatan gaib yang datang dalam wujud Iblis Hitam.”

“Heh?! Sungguh tidak masuk akal. Menurut Ki Renta Alam, kitab itu ada di dalam Gua Seribu Malam di dasar Laut Utara. Kurasa yang benar adalah, di dalam Kitab Pelebur Jiwa berkuasa sebuah kekuatan iblis, yang dapat diperintah melakukan apa saja sesuai kehendak pemiliknya. Jadi yang datang menyelamatkan Bara Genta yang sudah mati itu adalah kekuatan gaib yang berada dalam Kitab Pelebur Jiwa,” jelas Rangga.

“Maafkan aku, Kakang. Aku hanya samar-samar saja mendengar pembicaraan antara Ayah dan Dewa Petir,” ucap Anggraini meralat kata-katanya. “Sebaiknya Kakang pikirkan dulu masalah kesehatan Kakang. Nanti setelah Kakang pulih benar, baru pikirkan yang lain-lainnya.”

Pendekar Rajawali Sakti jadi tak enak hati. Dia merasa yakin pastilah sejak tidak sadarkan diri, gadis ini yang telah mengurusnya.

“Kau baik sekali kepadaku. Aku berhutang nyawa padamu, Anggraini,” kata Rangga tulus.

“Pertolongan yang Kakang berikan untuk penduduk di sini, jauh lebih besar daripada semua apa yang telah kuperbuat. Terus terang, aku memang mengkhawatirkan keselamatanmu!” sahut Anggraini, dengan suara bergetar sambil menundukkan kepala.

“Aku merasa berterima kasih atas perhatianmu!” ucap Pendekar Rajawali Sakti.

Pembicaraan antara kedua anak muda itu terhenti ketika Ki Jatayu dan Dewa Petir masuk ke dalam ruangan.

“Puji syukur pada Yang Maha Tunggal. Ternyata kau sudah sadar, Rangga,” desah Ki Suta. “Perkenalkan aku Dewa Petir. Dan aku tahu namamu dari Ki Jatayu. Sungguh pertemuan yang tidak disangka-sangka....”

“Salam hormatku untukmu, Dewa Petir. Sayang, kita tak bisa berbincang-bincang lama, karena nanti sore aku sudah harus melakukan perjalanan kembali untuk mencari mayat Bara Genta yang hilang,” kata Rangga, sambil memberi hormat dengan merapatkan telapak tangan di depan dada.

“Tapi kau memerlukan istirahat lebih lama, Pendekar Rajawali Sakti. Aku takut, Bara Genta hidup kembali!” sergah Dewa Petir cemas.

“Bagaimana mungkin?” tanya Rangga.

“Tentu saja berkat Kitab Pelebur Jiwa. Tentu kau tidak tahu kekuatan Iblis Hitam yang menguasai kitab itu,” jelas Ki Suta.

“Lalu...?”

“Untuk sementara, biarkan kami yang mencari mayat Bara Genta. Itu pun kalau memang dia benar-benar mati. Tetapi jika hidup kembali, aku dan kawan-kawan segolongan tentu harus menghadapinya!”

“Dewa Petir! Kau sendiri sudah merasakan kehebatan Bara Genta. Kita harus menemukan cara lain untuk menghadapinya!” kata Rangga.

“Waktu kita sangat terbatas....”

Ucapan Ki Suta ini langsung terhenti ketika melihat salah seorang penduduk memberi isyarat pada kepala desanya agar keluar sebentar. Ki Jatayu langsung menjumpai warganya. Namun tidak lama dia telah datang kembali menjumpai Ki Suta dan Rangga.

“Menurut wargaku, ada tiga orang gila ingin menjumpaimu, Ki,” lapor Ki Jatayu.

Dewa Petir tersenyum-senyum. Sudah dapat ditebak siapa kiranya yang datang.

“Suruh mereka masuk!” pinta Ki Suta pada Kepala Desa.

Tanpa berkata apa-apa, Ki Jatayu segera keluar lagi. Dan ketika kembali, dia sudah bersama tiga orang laki-laki.

“Ha ha ha...! Akhirnya kita bertemu kembali, Ki! Di tengah jalan, kami bertemu Pendekar Seruling Perak. Tapi Kemudian dia memilih berpisah dan bergabung bersama Pendekar Beruang Merah. Ha ha ha...! Sungguh tolol dia!” kata laki-laki gemuk berbaju dari kulit beruang hitam itu disertai tawa.

“Betul, Ki,” timpal laki-laki lain. “Katanya mereka takut jadi gendeng, karena ikut kami!”

“Gila Ketawa dan Sepasang Pendekar Gendeng! Pendekar yang terbaring ini adalah Pendekar Rajawali Sakti! Silakan kalian saling berkenalan,” ujar Dewa Petir, tak menghiraukan gurauan kawan-kawannya yang baru datang.

Baik Si Gila Ketawa maupun Subali dan Indrajit memandang ke arah Rangga. Kemudian, mereka saling bersalaman. Namun mendadak, Si Gila Ketawa terpingkal-pingkal.

“Ha ha ha...! Pendekar Rajawali Sakti! Kulihat kau berhasil membuat Pendekar Seruling Perak yang berangasan kaku seperti patung. Setelah sampai di sini, kulihat pula wajahmu babak belur. Bagaimana ini?!”

“Bukan babak belur, tapi hampir mati,” sahut Rangga kalem.

“Gila Ketawa! Kuharap dalam suasana seperti ini kalian dapat bersikap lebih bersungguh-sungguh. Sekarang aku ingin bertanya. Selama dalam perjalanan, apa yang kalian dapatkan?” sela Dewa Petir.

Indrajit maju ke depan mewakili dua orang kawannya.

“Tidak banyak, Ki. Terakhir, kami melihat kejadian yang sangat sulit diterima akal,” jelas Indrajit.

Kemudian Indrajit secara terperinci menceritakan tentang mayat Bara Genta yang dihidupkan kembali oleh Iblis Hitam.

“Apakah Iblis Hitam membawa Kitab Pelebur Jiwa? Atau mungkin dia menyinggung-nyinggung tentang kitab itu?” tanya Dewa Petir, setelah Indrajit selesai bercerita.

“Sebenarnya Kitab Pelebur Jiwa adalah sumber kebangkitan Iblis Hitam itu sendiri. Kita tidak mungkin dapat menemukannya, karena tidak akan ada yang sanggup menyelam di dasar Laut Utara. Satu-satunya cara yang terbaik menurutku adalah, dengan cara memancing Rumbai Mangkulangit alias Si Bayang-Bayang keluar dari Gua Seribu Malam,” kata Si Gila Ketawa mengemukakan pendapatnya.

“Kurasa pendapat Gila Ketawa benar, Ki Suta,” timpal Rangga. “Untuk itu, kita harus menemukan Bara Genta yang telah berhasil dihidupkan kembali oleh Iblis Hitam. Satu kelemahan kita, tidak seorang pun di antara kita yang tahu, dengan cara bagaimana dapat melakukannya!” keluh Rangga.

“Maaf.... Kudengar kau seorang pendekar besar. Kurasa kau mampu mengatasinya!” kata Subali.

Rangga tersenyum saja. Sejenak suasana jadi hening. “Ingat! Si Bayang-Bayang sengaja menciptakan jurus-jurus serta ajian yang gunanya untuk mematahkan seranganku. Kau dapat bertanya langsung pada Dewa Petir, betapa hebatnya dia, Subali!” kata Pendekar Rajawali Sakti, memecah keheningan.

“Hmmm.... Kalau begitu, semakin sulitlah bagi kita untuk menyelesaikan persoalan satu ini,” keluh Indrajit.

“Rangga.... Sebaiknya kau istirahat saja dulu. Nanti sore kita bahas lagi persoalan ini,” ujar Dewa Petir.

“Baiklah.... Kalau itu maumu, untuk sementara ini aku hanya dapat menurut saja,” sahut Rangga.

Dewa Petir dan yang lainnya, termasuk juga Kepala Desa Pasir Molek meninggalkan ruangan kamar yang ditempati Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga di dalam ruangan itu sekarang hanya tinggal Rangga dan Anggraini saja.

“Anggraini.... Sebaiknya kau tinggalkan aku sebentar saja!” pinta Rangga.

Anggraini tersenyum. Dengan perasaan tulus ditinggalkannya ruangan kamar ini. Setelah putri kepala desa itu meninggalkannya, Rangga berusaha menggerakkan tubuhnya. Tapi, niatnya urung. Karena entah dari mana datangnya, tahu-tahu seorang lelaki tua berbadan pendek berambut putih telah berada di depannya!

“Ki Renta Alam!” seru pemuda berbaju rompi putih itu.

“Syukur otakmu masih waras, sehingga masih mengenali siapa aku ini,” kata laki-laki tua itu sambil mengelus-elus jenggotnya yang cuma beberapa lembar.

“Ya! Tetapi aku hampir mati di tangannya!” sahut Rangga lesu.

“Kau tidak boleh putus asa! Dia adalah musuhmu. Dan kau harus bisa mengatasi persoalan yang dihadapi,” ujar Ki Renta Alam, tegas.

“Seperti ceritamu beberapa waktu yang lalu, Ki. Dia dapat mengatasi setiap jurus maupun pukulan yang kukerahkan untuk menyerangnya. Aku baru bisa membunuhnya, setelah mempergunakan Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Kini setelah dibawa Iblis Hitam, dia dapat hidup kembali. Pernahkan kau berpikir bahwa saat ini aku benar-benar mengalami kesulitan?” tanya Rangga.

Ki Renta Alam tersenyum. “Semua manusia di muka bumi ini punya kesulitan sendiri-sendiri. Aku bisa sedikit membantu persoalanmu."

“Hanya sedikit saja?” ujar Rangga, tak puas.

“Dengar dulu,” sela Ki Renta Alam. “Hanya padamu, sebagai lelembut aku mau menampakkan diri. Kau bisa mengalahkan dia, hanya pada siang hari saja. Satu hal yang perlu kau ingat, Bara Genta dulunya hanya bernama Genta saja. Dialah kepala bajak laut yang ditenggelamkan Ki Wanayasa di Laut Utara. Dia sebenarnya sudah mati, tetapi berhasil dihidupkan kembali berkat Kitab Pelebur Jiwa. Si Bayang-Bayang menambahkan nama Bara di depan namanya. Dengan arti, bara tidak akan pernah padam. Sekarang Bara Genta sudah dua kali mengalami kehidupan. Sekali lagi binasa, dia sudah tidak punya kehidupan lagi...!” papar Ki Renta Alam.

“Lalu...?”

“Jika kau berhasil membunuhnya, usahakan mayatnya jangan sampai menyentuh tanah. Mayat itu boleh disangkutkan di mana saja. Untuk melakukan semua itu, kau bisa bekerja sama dengan Dewa Petir. Dan kabarkan kepada semua kawan-kawannya, tentang kelemahan Bara Genta ini. Yang perlu kutekankan, kalian harus bertarung dengannya hanya pada siang hari saja. Karena pada saat itu, kekuatannya tidak sehebat pada malam hari. Itulah kekuatan semua iblis. Nah, sekarang apa kau sudah mengerti?”

“Sudah, Ki,” sahut Rangga.

Ki Renta Alam menggelengkan kepalanya. Entah, apa maksud gelengan kepalanya. Rangga sendiri tidak mengerti. Ki Renta Alam lantas duduk di pinggir tempat tidur yang ditempati Rangga. Kemudian matanya melirik ke arah pintu, seakan apa yang ingin diucapkannya takut didengar orang lain.

“Rangga! Ada satu hal lagi yang perlu kau ketahui,” bisik Ki Renta Alam.

“Apa itu, Ki?” tanya Rangga.

“Secara tidak langsung, putri kepala desa itu telah menyelamatkan dirimu.”

“Ya, aku tahu. Dan aku telah berterima kasih kepadanya,” jawab Rangga.

Ki Renta Alam tertawa perlahan. “Yang kau tidak tahu, sebenarnya Anggraini menyukaimu. Dia mencintaimu. Belum pernah ada cinta anak manusia sebesar cintanya. Aku tidak mengajarimu bersikap macam-macam. Karena menurut mata gaibku, kau sudah punya kekasih bernama Pandan Wangi. Ha ha ha...!”

Rangga tersipu. Dia sama sekali heran, bagaimana manusia lelembut ini bisa tahu nama kekasihnya. Padahal, pemuda ini tidak pernah bercerita tentang masalah pribadinya pada siapa pun.

“Kau bisa saja, Ki!” kata Pendekar Rajawali Sakti salah tingkah.

“Sudahlah.... Tidak usah dipersoalkan lagi. Sekarang aku mau pergi. Tapi, kuharap kau mau memejamkan matamu sebentar!” pinta Ki Renta Alam.

“Kenapa?”

“Supaya kau tidak mengintipku. Ha ha ha...!”

Rangga langsung memejamkan matanya. Ketika matanya membuka kembali, Ki Renta Alam sudah lenyap dari ruangan.

Setelah semalam Rangga memaparkan pertemuannya dengan Ki Renta Alam yang menjelaskan kelemahan-kelemahan Bara Genta, paginya Si Gila Ketawa dan Sepasang Pendekar Gendeng berangkat lebih awal untuk mencari Pembegal Jagad. Tindakan mereka yang secara diam-diam membuat Ki Suta marah besar. Dia khawatir terjadi sesuatu terhadap tiga orang sahabatnya.

“Apakah kita harus menyusulnya, Rangga?” tanya Dewa Petir.

“Aku memerlukan waktu sehari lagi untuk menyembuhkan luka-luka yang masih tersisa, Ki!” pinta Rangga, terus terang.

Memang Pendekar Rajawali Sakti harus memulihkan kesehatannya secara menyeluruh. Sebab dia sendiri sudah merasakan, betapa dahsyatnya perlawanan yang dilakukan Pembegal Jagad.

“Sebaiknya aku berangkat duluan!” usul Dewa Petir.

“Tidak jelaskah perkataanku ini, Ki?”

“Aku memahami sepenuhnya. Tetapi, mereka tidak mungkin mampu menghadapi Bara Genta!” sergah Dewa Petir, cemas.

“Baiklah, Ki. Aku hanya dapat mendoakan keselamatan kalian saja...!” ucap Pendekar Rajawali Sakti.

Saat itu juga berangkatlah Dewa Petir menyusul kawan-kawannya. Rangga memang tidak dapat menyertainya, karena harus mengembalikan kesehatan tubuhnya yang sempat terluka parah.

********************

Di tengah-tengah teriknya matahari siang ini, dua laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun terus berjalan sambil mengedarkan pandangan ke sekitar Hutan Wonocolo. Mereka kemudian menemukan ceceran darah yang telah mengering.

“Kurasa dia masih di sekitar sini, Beruang Merah! Subuh tadi, aku sempat melihat Bara Genta dihidupkan kembali oleh Iblis Hitam. Lagi pula, dia pasti mencari korban baru,” kata laki-laki berbaju putih yang tak lain Pendekar Seruling Perak.

“Kau bersama orang-orang gendeng! Mana mungkin orang gendeng bisa mengambil tindakan tepat!” gerutu laki-laki satunya yang ternyata Pendekar Beruang Merah.

“Memang benar, Sahabatku. Aku bisa jadi gendeng, bila ikut mereka terus. Itu sebabnya aku mencarimu,” jelas Pendekar Seruling Perak.

Rupanya, mereka sama sekali tidak menyadari ada sepasang mata yang terus mengawasi dari atas sebuah pohon besar. Sosok pemilik sepasang mata itu menyeringai. Sehingga wajahnya yang angker semakin bertambah menyeramkan. Dan tiba-tiba, sosok itu melompat dari atas pohon. Gerakannya ringan, tidak menimbulkan suara. Jelas ilmu meringankan tubuhnya sangat sempurna.

“Kalian mencari aku?"

“Heh...?!” Serentak kedua pendekar itu menoleh ke belakang ketika mendengar suara menggetarkan. Mereka terkejut, karena orang menegurnya tadi tidak lain dari Bara Genta.

Pendekar Seruling Perak langsung meneliti keadaan Bara Genta. Ternyata, pemuda bertelanjang dada ini dalam keadaan sehat tidak kurang sesuatu apa pun. Luka di perutnya juga sudah tidak meninggalkan bekas sama sekali.

“Ya! Memang kami mencarimu!” jawab Pendekar Seruling Perak.

“Ha ha ha...! Kalian hanya mengantar nyawa sia-sia. Pulanglah ke pangkuan ibumu!” ejek Bara Genta, disertai senyum mengejek. Ucapan Bara Genta yang sangat meremehkan membuat kedua pendekar ini menjadi marah.

“Kau terlalu memandang remeh pada kami, Manusia Iblis!” teriak Pendekar Beruang Merah gusar.

“Ha ha ha...! Aku bicara apa adanya! Jika Pendekar Rajawali Sakti saja tidak sanggup mengalahkan aku, apalagi kalian!” dengus Bara Genta.

“Kurang ajar! Kesalahanmu sudah selangit. Jangan coba-coba menakut-nakuti kami!” desis Pendekar Beruang Merah.

“Sekarang yang bicara adalah kenyataan. Kalau kalian tidak percaya, cobalah maju. Tidak usah satu-satu, tapi sekalian secara berbarengan!” tantang Bara Genta.

Disertai amarah meluap, Pendekar Beruang Merah memberi isyarat pada Pendekar Seruling Perak untuk melakukan penyerangan.

TUJUH

Wajah Pendekar Seruling Perak dan Pendekar Beruang Merah seperti tomat matang. Tiba-tiba Abiyasa menerjang ke depan, melakukan serangan cepat dengan mengandalkan jurus-jurus andalan. Bara Genta tertawa menghadapi serangan Pendekar Seruling Perak. Ketika tangan kanan lawannya meluncur deras ke arah dada, dia sama sekali tidak menghindar. Sehingga....

Buuuk!

“Heeep!” Bara Genta hanya tergetar saja. Sedangkan Pendekar Seruling Perak merasa tangannya seperti membentur batu karang yang amat keras. Ketika Pembegal Jagad menggerakkan tangannya, Pendekar Seruling Perak yang bernama asli Abiyasa merasa seperti ada sebuah batu besar menghimpit tubuhnya.

“Huaaakh...!” Pendekar Seruling Perak terpelanting roboh dengan mulut mengucurkan darah. Sementara Pendekar Beruang Merah tidak tinggal diam. Disertai teriakan keras diterjangnya Bara Genta dengan jurus-jurus ‘Beruang’ yang dimilikinya. Tangannya dengan ganas menyambar ke bagian-bagian yang mematikan.

Bara Genta segera mengeluarkan jurus ‘Liukan Sang Api’. Seperti diketahui, jurus ini hampir sama hebatnya dengan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti.

“Hiyaaa...!” Melihat serangannya berhasil dipatahkan, disertai teriakan keras Pendekar Beruang Merah langsung mengerahkan jurus ‘Beruang Membalik Bukit’. Kemudian dilepaskannya tendangan telak ke arah sasaran.

Sedemikian cepat tendangan itu, namun Bara Genta masih saja bisa menghindar dengan melompat ke samping. Bahkan tangan kanannya meluncur ke arah kaki Pendekar Beruang Merah. Maka....

Duuuk!

“Auuukh...!” Benturan keras terjadi. Pendekar Beruang Merah terhuyung-huyung ke belakang sambil terpincang-pincang. Kakinya yang membentur tangan Bara Genta langsung membengkak. Kenyataan ini sungguh mengejutkan. Karena, tadi dia telah mengerahkan tenaga dalamnya ke bagian kaki.

“Ha ha ha...! Sebentar lagi kau akan kukirim ke neraka bersama kawanmu yang tolol ini!” dengus Bara Genta

“Dasar keparat! Hiyaaa...!” teriak Pendekar Beruang Merah.

Tiba-tiba laki-laki ini meluruk dengan kecepatan dahsyat. Kedua tangannya bergerak cepat, mementang jurus-jurus yang diandalkannya. Dan tiba-tiba tangannya dikibaskan.

“Pukulan ‘Angkara Murka’! Heaaa...!”

Bara Genta hanya tersenyum ketika melihat seleret sinar merah meluncur deras ke arahnya. Begitu sinar itu sejengkal lagi menghantam, kedua tangannya disilangkan ke depan dada. Sekejap kemudian tubuhnya pun bergetar. Bersamaan dengan itu pukulan yang dilepaskan Pendekar Beruang Merah menghantam.

Blaaar!

“He he he...!” Sungguh sial bagi Pendekar Beruang Merah. Karena hawa panas yang menghantam, hanya membuat pemuda berkulit gelap itu terjengkang sambil tertawa-tawa. Secepatnya Pembegal Jagad berdiri. Secepat itu pula tenaga dalamnya dikerahkan ke bagian tangan.

“Aji ‘Pedut Segara’! Hiyaaa...!” Dengan teriakan membahana, Pembegal Jagad melompat ke depan. Tangannya seketika dikibaskan. Suasana terang mendadak berubah redup.

Saat itu juga bertiup angin menderu disertai udara dingin yang sedemikian menusuk. Sementara Pendekar Beruang Merah sudah tidak sempat menghindar lagi. Maka...

Glaaar!

“Aaa...!" Jeritan keras terdengar, ditingkahi ledakan dahsyat. Pendekar Beruang Merah terpelanting roboh. Tubuhnya berkelojotan sebentar. Sementara, darah terus menetes dari hidung dan mulutnya. Laki-laki itu tewas detik itu juga.

Pendekar Seruling Perak tampak terkejut sekali melihat kematian kawannya. Seketika langsung dikeluarkannya seruling berwarna perak mengkilat. Tatapan matanya memandang geram pada Bara Genta.

Sebaliknya, Pembegal Jagad memandang dengan sinar mata dingin. “Satu telah kubunuh. Dan kau giliran selanjutnya!” desis Bara Genta.

Pendekar Seruling Perak tidak menanggapi ucapan lawannya. Segera serulingnya ditiup. Suara seruling mengalun tinggi, mendayu-dayu. Bara Genta yang tidak menyangka dengan kehebatan seruling itu langsung terkesiap. Tampaknya, dia terpengaruh irama seruling. Maka ketika suara seruling itu berubah sedih, Pembegal Jagad menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. Dia terus menangis seirama suara seruling. Langkah Bara Genta pun terhuyung-huyung, sampai kemudian kakinya terpeleset. Bara Genta tersungkur jatuh. Namun justru hal ini mengembalikan kesadarannya dari pengaruh seruling.

“Keparat! Kau menipuku dengan segala permainan yang tidak ada artinya!” teriak Bara Genta marah bukan main.

“Jangan banyak mulut. Majulah...!” tantang Pendekar Seruling Perak.

Mendapat tantangan seperti itu, Pembegal Jagad tidak tinggal diam. “Heaaa...!” Mendadak, Bara Genta melakukan beberapa gerakan, lalu melompat ke depan. Kakinya melakukan sapuan ke kaki Pendekar Seruling Perak.

Abiyasa cepat melompat ke udara, membuat serangan Bara Genta hanya menebas angin. Namun cepat sekali Pembegal Jagad menghantamkan tinjunya ke wajah itu. Bersamaan waktunya, Pendekar Seruling Perak juga mengibaskan serulingnya.

Trak!

“Heh...?!” Dengan wajah terkejut Abiyasa melompat mundur. Tangannya yang memegang seruling terasa dingin bagaikan ditusuk-tusuk jarum.

Sementara, Bara Genta sendiri hanya terhuyung-huyung saja sambil memegangi tangannya yang agak membengkak. “Boleh juga permainanmu! Tapi kurasa kau tidak dapat bertahan lama dalam menghadapi aku! Hiyaaa...!”

Disertai teriakan keras Pembegal Jagad melompat tinggi ke udara, dan langsung berjumpalitan beberapa kali. Ketika tubuhnya meluncur deras ke bawah, dengan mempergunakan jurus ‘Mematahkan Sambaran Sang Api’ tangannya bergerak ke bagian bahu Pendekar Seruling Perak.

Duk! Duk!

Krak! Krak!

“Aaaugkh...!” Hantaman kedua tangan Bara Genta yang sedemikian keras, membuat bahu Pendekar Seruling Perak patah menimbulkan suara berderak. Laki-laki berbaju putih ini menjerit dan jatuh terduduk.

Bara Genta tersenyum dingin melihat penderitaan pendekar ini. “Sekarang aku telah membuktikan sebagian di antaranya! Ha ha ha...!” leceh Bara Genta dingin. Perlahan-lahan Pembegal Jagad menghampiri Abiyasa yang tulang bahunya telah hancur. Sambil mendengus, Bara Genta menendang.

Sementara Pendekar Seruling Perak jelas tidak dapat bergerak leluasa. Sehingga....

Buuuk!

“Hekh...!” Pendekar Seruling Perak terpelanting. Dua buah tulang iganya remuk. Darah mengucur dari hidung dan mulutnya. Tampaknya dia begitu sulit bernapas.

“Kau hanya bermulut besar, Manusia Tolol! Mana kehebatanmu? Kau tidak lebih dari seorang banci!” ejek Bara Genta.

“Iblis Jahanam! Kau menang! Sekarang, tunggu apa lagi?!” sentak Pendekar Seruling Perak.

Pembegal Jagad tertawa-tawa. Wajahnya yang hitam berubah makin kelam. Kemudian dia melompat mundur sejauh dua batang tombak. Setelah itu...

“Aji ‘Pedut Segara’! Hiyaaa...!” Bara Genta tiba-tiba mengibaskan tangannya ke depan. Saat itu juga segulung angin dingin menebar kabut putih meluncur deras ke arah Abiyasa. Tidak dapat dihindari lagi....

Blar!

“Aaa...!” Dengan telak pukulan yang dilepaskan Bara Genta menghantam Pendekar Seruling Perak. Ledakan disertai suara jerit kesakitan terdengar, mengiringi kematian Pendekar Seruling Perak.

Bara Genta tersenyum penuh kejumawaan. Matanya hanya sekejap saja memperhatikan lawannya yang sudah tidak bernyawa. Dan sambil mendengus, tubuhnya berkelebat pergi.

********************

Malam ini bulan tersenyum cantik. Cahayanya yang kuning keemasan menerangi alam mayapada. Desa Pasir Molek tetap dalam keadaan sunyi. Ada sepotong hati milik Anggraini yang semakin gelisah, saat-saat perpisahan itu semakin bertambah dekat. Sehingga, membuatnya tidak enak makan, tidak bisa tidur, oleh perasaan was-was yang menghantui.

Anggraini yang sejak tadi tidak dapat tidur keluar dari kamarnya. Ketika melihat ke kamar yang ditempati Rangga, ternyata kamar itu dalam keadaan kosong. Anggraini dengan hati berdebar-debar segera melihat ke halaman samping. Ternyata, Pendekar Rajawali Sakti sedang duduk termenung di situ.

Anggraini menghampiri. Dan Rangga menoleh ketika merasa ada tangan menyentuh bahunya. Bibirnya tersenyum pada gadis itu. “Kakang belum juga tidur?” sapa Anggraini bergetar suaranya.

“Belum. Aku belum mengantuk,” sahut Rangga masih tetap tersenyum.

“Apa yang Kakang pikirkan?” usik gadis ini.

“Hmm,” Rangga menggumam tidak jelas. “Begitu banyak persoalan yang kuhadapi.”

“Aku selalu mengkhawatirkan keselamatanmu, Kakang!” desah Anggraini.

Pendekar Rajawali Sakti memang sudah mengetahui tentang perasaan gadis ini dari Ki Renta Alam. Maka dia segera dapat memakluminya.

“Aku selalu dalam keadaan baik-baik saja. Jangan khawatir!” kilah Rangga, tenang.

Anggraini kemudian duduk di samping Rangga. Sehingga, harum tubuhnya tercium pemuda itu.

“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu...!” desah gadis cantik itu, agak gugup.

“Apa? Coba katakan!” ujar Rangga.

“Eee..., tidak.... Aku tidak bisa...!” Anggraini jadi gugup.

Pendekar Rajawali Sakti menepuk bahu gadis di sebelahnya. Sehingga, membuat tubuh Anggraini jadi panas dingin.

“Aku tahu,” kata Rangga.

“Tahu apa?”

“Tahu kalau kau cantik,” goda Rangga.

“liih..., Kakang...!” Anggraini semakin tersipu-sipu. Serasa tak sadar, tiba-tiba ia memeluk Rangga.

Rangga sebenarnya tak ingin memberi harapan pada gadis itu. Dia tak ingin membuat Anggraini kecewa nantinya. Namun entah karena dorongan apa, tiba-tiba dibalasnya pelukan gadis ini yang telah menelusupkan kepalanya di dada bidang Pendekar Rajawali Sakti.

“Kakang...!”

“Hmmm...”

Sepasang mata Anggraini yang bening memandang penuh rasa kagum pada pemuda di samping. Dalam jarak yang demikian dekat, bau harum gadis ini semakin bertambah tajam.

Rangga tiba-tiba saja mendekatkan wajahnya ke wajah Anggraini. Perlahan Anggraini memejamkan matanya. Betapa wajahnya tampak semakin cantik dalam keadaan begitu. Lalu entah siapa yang memulainya, bibir mereka telah berpagutan dengan lembut. Hingga kemudian terdengar erangan lirih dari bibir gadis ini yang setengah terbuka.

Mendadak di benak Pendekar Rajawali Sakti terlintas bayangan Pandan Wangi. Cepat-cepat wajahnya dijauhkan dari Anggraini. Ada perasaan berdosa di hati Rangga terhadap Pandan Wangi, satu-satunya gadis yang paling dicintainya. Tapi Pendekar Rajawali Sakti sadar bahwa dirinya adalah laki-laki biasa yang mempunyai nafsu. Sekarang, tinggal bagaimana dia menguasai nafsunya.

“Kakang! Kenapa?” tanya gadis itu keheranan.

“Eeeh..., tidak apa-apa ... Sebaiknya kita masuk sekarang. Nanti kalau dilihat orang lain tidak enak jadinya!” kilah Pendekar Rajawali Sakti.

“Tapi...!”

“Aku tak ingin bertemu denganmu lagi, kalau kau suka membantah.”

Anggraini tidak sempat melanjutkan ucapannya, karena Pendekar Rajawali Sakti sudah memotongnya.

********************

Di pagi yang cerah, Sepasang Pendekar Gendeng dan Si Gila Ketawa menemukan mayat Pendekar Seruling Perak dan Pendekar Beruang Merah yang dalam keadaan mengenaskan sekali. Sehingga ketiga laki-laki itu merasa yakin bahwa yang membunuh tidak lain adalah Bara Genta!

“Kurasa iblis itu yang harus kita cari!” desis Si Gila Ketawa.

“Apakah kau tidak tahu bahwa kita ini sedang mencarinya?” tukas Indrajit.

“Mari kita pergi ke arah sana!” ajak Subali.

Mereka segera menuju ke arah selatan. Tidak lama, sampailah mereka di sebuah lembah yang sangat curam.

“Coba kita lihat ke situ!”

“Lembah ini sangat curam. Mustahil ia tinggal di situ!” bantah Si Gila Ketawa.

“Belum tentu. Aku mengendus tanda-tanda kehadirannya!” sahut Indrajit.

Tanpa menunggu lebih lagi lagi, mereka segera menuruni lembah. Namun tiba-tiba....

Set! Set!

Crap!

“Aaa...!” Terdengar teriakan kesakitan dari Si Gila Ketawa. Sepasang Pendekar Gendeng segera berbalik. Ternyata, punggung sahabat mereka telah tertembus kayu runcing yang tampaknya dilemparkan dengan tenaga dalam tinggi. Begitu cepatnya, membuat Si Gila Ketawa tak mendengar desir angin serangan dari belakangnya.

“Hah? Astaga...!” desis Indrajit.

Sepasang Pendekar Gendeng segera memberi pertolongan pada Si Gila Ketawa. Tapi, tusukan kayu runcing yang menembus jantung laki-laki ini begitu parah. Setelah kelojotan sejenak, nyawa Si Gila Ketawa tidak tertolong lagi.

“Waspadalah! Kurasa pemuda iblis itu bersembunyi di sekitar sini!” desis Subali.

Laki-laki ini segera memberi isyarat pada Indrajit agar meningkatkan kewaspadaannya. Mereka segera mencari-cari. Setiap tempat yang dianggap mencurigakan didatangi. Sampai kemudian....

Set! Set!

Kali ini desiran halus itu terdengar. Serentak Sepasang Pendekar Gendeng berpaling ke arah datangnya suara. Ternyata, dua batang kayu berujung runcing kembali meluncur deras. Serentak mereka menghindarinya sambil berjumpalitan beberapa kali.

Cap! Cap!

Dua batang kayu menancap di batang pohon di belakang mereka. Kemudian suasana berubah sunyi kembali. Sebentar saja, karena sekejap kemudian terlihat sosok tubuh meluncur dari balik pohon.

“Ha ha ha...! Ada saja orang yang minta mati dengan datang kemari. Siapa kalian?” tanya sosok yang ternyata seorang pemuda berkulit legam.

“Kami Sepasang Pendekar Gendeng. Tujuan kami kemari jelas ingin menangkapmu!” tegas Indrajit, mengenali pemuda yang tak lain Bara Genta.

“Jika kalian hanya punya selembar nyawa, sebaiknya menyingkirlah sebelum terlambat!” seru pemuda bertelanjang dada ini.

“Kepada orang lain, kau boleh bicara begitu. Tapi kepada kami jangan coba-coba menggertak!” desis Subali.

“Aku bukan bicara omong kosong. Kalau kalian memang sudah bosan hidup, memang sebaiknya harus kukirim ke neraka! Hiyaaa...!”

Secepat kilat, Bara Genta hantamkan tinjunya ke dua arah sekaligus. Sepasang Pendekar Gendeng cepat menghindar dengan merunduk, membuat pukulan itu hanya setengah jengkal menyambar di atas kepala mereka. Setelah itu, Subali dan Indrajit mengirimkan pukulan balasan ke arah dada.

Bukkk!

“Hegkh...!” Serangan mereka tepat menghantam sasarannya. Sambil mengeluh tertahan, Bara Genta terhuyung-huyung.

Pemuda berkulit gelap itu menggeram penuh amarah. Namun Sepasang Pendekar Gendeng tampak sudah tidak memberi kesempatan lagi. Maka terpaksa Bara Genta mempergunakan jurus ‘Liukan Sang Api’ untuk menghindarinya.

Jurus aneh ini membuat setiap serangan yang dilancarkan Sepasang Pendekar Gendeng tidak mengenai sasaran. Subali dan Indrajit tiba-tiba melompat mundur sejauh satu batang tombak. Segera mereka mengambil tongkat sepanjang dua jengkal yang terselip di balik baju.

Trek! Treeek!

Ketika mereka menekan tonjolan kecil berwarna merah di tengah-tengah tongkat, pada kedua ujung tongkat keluar mata pisau yang sangat tajam berwarna putih mengkilat.

“Kalian akan mati dengan senjata kalian sendiri!” desis Bara Genta.

Sepasang Pendekar Gendeng hanya tersenyum kecut tanpa mempedulikan gertakan Pembegal Jagad.

DELAPAN

Secara serentak, Sepasang Pendekar Gendeng memutar tongkat pendek berujung dua mata pisau dengan cepat, menimbulkan desir angin halus yang menderu-deru. Begitu Subali dan Indrajit menerjang, Bara Genta tidak tinggal diam. Saat mata-mata pisau itu menerjang ke beberapa bagian tubuhnya, secepat kilat tubuhnya melenting ke udara. Namun gerakannya kalah cepat dibandingkan luncuran senjata di tangan Subali. Sehingga....

Cres!

“Auuukh...!” Bara Genta memekik keras ketika ujung mata pisau menghujam tumitnya. Dia jatuh terguling-guling. Sambil meringis menahan sakit, dia bangkit berdiri.

“Huh! Kalian boleh juga. Tapi kesempatan itu hanya sekali saja dalam hidup kalian! Heaaa...!”

Bara Genta pun tiba-tiba merangkapkan kedua tangannya ke depan dada.

“Aji ‘Sirep Hampa’!” Disertai teriakan menggelegar, Pembegal Jagad cepat mengibaskan kedua tangannya ke dua arah. Sekejap kemudian, suasana berubah redup. Dan tiba-tiba ada sebuah kekuatan yang tidak terlihat menyedot tubuh Sepasang Pendekar Gendeng. Kekuatan itu membuat mereka terseret-seret mendekati Bara Genta.

Walaupun Subali dan Indrajit telah berusaha mempertahankan diri dengan pengerahan tenaga dalam, namun tetap saja terseret mendekati lawannya. Keadaan ini tentu sangat berbahaya. Terlebih-lebih setelah terlihat kedua tangan Pembegal Jagad telah berubah menjadi hitam pekat.

“Selamatkan dirimu, Subali!” seru Indrajit tegang.

Peringatan Indrajit hanya sia-sia saja. Karena baik Subali maupun Indrajit sama-sama tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh sedotan. Ketika jarak mereka semakin bertambah dekat, secepat kilat tangan Bara Genta bergerak ke bagian kepala Subali.

Praaak!

“Aaa...!” Subali langsung tersungkur roboh. Kepalanya pecah. Darah bercampur otak kontan berhamburan keluar. Sedangkan Indrajit sendiri yang sedang berusaha membebaskan diri dari pengaruh kekuatan Bara Genta hanya mampu membelalakkan matanya. Tubuhnya sendiri terus terseret oleh satu kekuatan tidak terlihat.

“Iblis...!” desis Indrajit. Setelah sekian kalinya berusaha membebaskan diri dari pengaruh kekuatan lawan, Indrajit mencoba melompat ke samping. Usahanya ini tetap sia-sia saja.

Dan ketika Bara Genta menjulurkan tangan ke arahnya, pemuda ini hanya dapat mengibaskan senjatanya. Namun tangan Pembegal Jagad yang satunya cepat menghalau. Kemudian....

Braaak!

“Aaa...!” Tangan Bara Genta mendadak menghantam telak dada Indrajit. Saat itu juga, pemuda ini terjengkang dan ambruk di tanah. Tubuhnya langsung menghitam. Dari mulut dan hidungnya mengucur darah kental berwarna kehitam-hitaman.

Bara Genta tersenyum puas Dan baru saja dia hendak melanjutkan langkah....

“Sungguh keji sekali perbuatanmu itu, Pemuda Iblis!” Terdengar bentakan keras dari belakang. Namun dengan tenang, Bara Genta menoleh. Tidak jauh di depannya, tampak seorang laki-laki tua berambut panjang berdiri tegak sambil memandangi penuh amarah.

“Rasanya aku pernah melihatmu, Kisanak? Coba katakan, apa tujuanmu!” tegur Bara Genta, langsung.

“Tujuanku sudah jelas. Kau telah membunuh kawan-kawanku. Di samping itu, aku muak melihat tindakanmu yang sewenang-wenang!” desis laki-laki tua yang tak lain Dewa Petir tegas.

“Hem, begitu? Rupanya masih belum jelas bagimu, bahwa aku sengaja datang ke sini untuk menciptakan neraka dunia? Jadi, kuperingatkan padamu jika tidak punya nyawa rangkap, sebaiknya jangan campuri urusanku!” gertak Bara Genta.

“Kau memang iblis sombong yang pantas dikirim ke neraka!” desis Dewa Petir.

“Tidak usah banyak omong! Buktikanlah semua ucapanmu itu jika kau benar-benar punya kemampuan!” tantang Bara Genta, sesumbar.

Dewa Petir yang memang sudah mengetahui kehebatan lawannya ini tidak mau bersikap gegabah. Segera dia bersikap waspada untuk menghadapi segala kemungkinan. Dan tiba-tiba kedua tangannya dihentakkan ke arah Bara Genta. Seketika sinar keperakan bagai petir meluncur.

“Huh! Hanya pukulan picisan. Rasanya tidak ada gunanya kau pamerkan di depanku!” ejek pemuda berkulit hitam ini. Satu tombak sinar bagai petir itu menghantam, Bara Genta mengibaskan tangannya.

Wuuut! Blaaar!

Terjadi guncangan yang cukup keras bagai gempa disertai ledakan. Dewa Petir yang sempat terhuyung-huyung mundur dapat menguasai keadaannya. Sedangkan Bara Genta yang menganggap enteng serangan lawannya, sempat jatuh terduduk.

Secepatnya Bara Genta bangkit. Malah kini segera menerjang Dewa Petir dengan mempergunakan jurus ‘Tendangan Badai Topan’. Tentu saja serangan itu tidak dapat dianggap main-main. Melihat gerakan tangan dan kaki Bara Genta yang cukup cepat, Dewa Petir segera melenting ke udara. Namun pada saat yang bersamaan, Pembegal Jagad juga melompat ke udara. Ketika tubuh mereka sama-sama mengambang di atas, serangkaian tendangan dilancarkan.

Duk!

“Heh...?!” Dewa Petir sempat tergetar juga saat terjadi benturan kaki di udara. Dengan sebisanya, kedua kakinya mendarat di atas tanah, namun sempat jatuh terjengkang. Ketika matanya melirik, ternyata kakinya sudah membiru. Jelas, tadi Bara Genta telah mengerahkan tenaga dalam.

“Boleh juga kau punya kepandaian! Heaaa...!” Bara Genta mengakhiri ucapannya dengan serangkaian serangan ganas.

Ki Suta yang memang telah merasakan kehebatan lawan, sekarang tidak mau bersikap setengah-setengah lagi. Dengan segera dikerahkannya jurus ‘Amarah Sang Dewa’. Bahkan jurus-jurus ini dirangkai jurus-jurus lainnya. Sehingga, serangan yang dilancarkannya semakin bertambah cepat dan sangat berbahaya.

“Hiyaaa...!”

“Ciaaat...!”

Bara Genta dan Dewa Petir sudah kembali terlibat pertarungan. Rupanya sekarang mereka memang sedang berusaha membunuh satu sama lain dalam waktu secepatnya. Niat yang terkandung dalam hati masing-masing tentu sangat sulit diwujudkan, mengingat mereka sama-sama sengaja mengerahkan jurus-jurus simpanannya.

Lama-kelamaan Dewa Petir jadi tidak sabar juga. Tiba-tiba kedua tangannya dirangkapkan, seraya mengerahkan tenaga dalam ke bagian telapak tangan. Dan sekejap kemudian....

“Aji ‘Dewa Pamungkas’! Hiyaaa...!” Disertai teriakan keras Ki Suta menghentakkan tangannya ke depan. Seketika seleret sinar berwarna biru meluncur deras ke arah Bara Genta.

Tampaknya, Bara Genta juga tidak tinggal diam. Secara cepat tangannya dikibaskan menyongsong pukulan Dewa Petir. “Aji ‘Sirep Hampa’! Heaaa...!”

Bum! Buuum!

Dua luncuran sinar yang datang dari dua arah bertubrukan di udara. Ledakan-ledakan dahsyat terdengar. Dewa Petir sempat terpelanting hingga sejauh tiga batang tombak. Dari mulutnya tampak meneteskan darah kental.

Bara Genta sendiri sempat merasa dadanya sesak bukan main. Peredaran darahnya kacau dan jantungnya berdetak lebih cepat lagi. Akan tetapi setelah mengatur pernapasan, keadaannya telah berangsur-angsur membaik. Perlahan-lahan Bara Genta berdiri kembali. Tatapan matanya sedemikian tajam menusuk, memandang dingin pada Ki Suta.

Dewa Petir segera mencoba bangkit berdiri. Namun pada saat itu, seluruh tenaganya seperti hilang begitu saja. Padahal, Bara Genta telah bersiap-siap melepaskan pukulan dahsyat untuk mengakhiri perlawanannya. Dalam keadaan sulit berjalan itu, Ki Suta tidak mau mati pasrah begitu. Segala macam usaha dilakukannya.

“Kau segera mati, Orang Tua!” geram Bara Genta.

“Pemuda iblis! Jangan terlalu takabur dengan kemampuan diri sendiri!” dengus Ki Suta.

“Hiyaaa...!” Disertai teriakan menggelegak, Bara Genta menerjang ke depan. Kedua tangannya segera didorong ke depan. Seketika segulung angin kencang yang tidak terlihat meluruk deras ke arah Dewa Petir.

Ki Suta tiba-tiba saja merasakan ada suatu kekuatan yang sangat besar menyedotnya. Dan tiba-tiba pula, tubuhnya seperti tertarik, terseret-seret mendekati Bara Genta. Dewa Petir kaget bukan main melihat daya tarik yang sedemikian hebat ini. Sementara itu, tangan Bara Genta sendiri telah menghitam.

Rupanya, Pembegal Jagad sedang mengerahkan ajian ‘Pamiluto Gaib’. Walaupun Ki Suta telah berusaha keras untuk mempertahankan diri dari pengaruh daya tarik itu, namun usahanya sia-sia. Kini keselamatan Ki Suta benar-benar bagaikan telur di ujung tanduk. Apalagi melihat jarak satu sama lain semakin lama semakin dekat saja.

Dalam keadaan yang sangat gawat, tiba-tiba melesat sesosok bayangan putih dari sebelah kanan. Pembegal Jagad terkesiap. Segera tangan kirinya dipergunakan untuk memapak.

Wuuut! Plak!

“Auaaakh...!” Bara Genta terjengkang disertai teriakan melengking tinggi.

Sedangkan Dewa Petir selamat dari jarum maut. Di lain waktu tidak jauh dari mereka telah berdiri seorang pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti.

“Huh! Kau rupanya!” dengus Bara Genta sinis.

“Kau memang hebat. Sudah mati, dapat hidup kembali. Tetapi jangan terlalu banyak berharap dengan kehidupanmu yang ketiga. Karena sekali ini, Iblis Hitam yang menguasai Kitab Pelebur Jiwa tidak akan sanggup lagi menolongmu!” desis Rangga.

“Kurang ajar! Jangan terlalu yakin dengan kemampuanmu, Pendekar Rajawali Sakti! Kau telah ditakdirkan mati di tanganku hari ini!” teriak Bara Genta. “Aji ‘Pamiluto Gaib’! Hiyaaa...!"

Melihat lawannya mempergunakan jurus yang paling berbahaya, seketika Pendekar Rajawali Sakti sudah tidak ingin membuang waktu lagi. Segera dicabutnya Pedang Pusaka Rajawali Sakti di punggungnya.

Sring!

Rangga mengerahkan setengah dari tenaga dalamnya dan menyalurkannya ke bagian hulu pedang, maka saat itu pula senjata itu kemudian diputar. Pada saat itu juga, Bara Genta merasakan adanya suatu kelainan. Ajian ‘Pamiluto Gaib’ seakan macet, tidak berguna sebagaimana mestinya. Padahal, pedang di tangan Rangga terus meluncur menghantam ke arah dada.

Pemuda berhati iblis ini cepat berusaha menghindarinya dengan cara meliukkan badannya berulang-ulang. Serangan pertama ini gagal mengenai sasarannya. Tetapi pedang itu seakan memiliki mata saja. Kelebatannya seperti mengejar Bara Genta ke mana saja.

“Hiyaaa...!” Pendekar Rajawali Sakti berteriak sekeras-kerasnya. Pedangnya dikibaskan, kemudian langsung menyodok ke bagian perut Bara Genta.

Pemuda bertelanjang dada ini memang sudah tidak punya waktu lagi menghindar. Apalagi, pedang bersinar biru berkilau itu sangat cepat datangnya. Tidak ampun lagi....

Cres!

“Aaa...!” Bara Genta melolong keras begitu perutnya tertembus pedang. Tubuhnya jatuh terduduk. Sedangkan darah menyembur dari luka di perutnya.

Rangga yang mengetahui kelemahan Pembegal Jagad langsung mencabut pedangnya. Kemudian dengan dibantu Dewa Petir, diangkatnya tubuh Bara Genta ke udara.

“Aaa...!” Suara lolongan semakin bertambah panjang. Tubuh yang berlumuran darah itu cepat langsung membusuk, menebarkan bau yang sangat menusuk.

“Sangkutkan mayat ini ke atas pohon, Ki!” perintah Rangga setelah memasukkan pedangnya ke warangka.

Ki Suta segera melompat ke atas pohon. Sedangkan Rangga melemparkan mayat Bara Genta ke arah Ki Suta.

Tap!

Dewa Petir menangkapnya. Kemudian mayat Bara Genta yang mengalami pembusukan secara cepat ini disangkutkan di atas pohon.

Wusss...!

Pada saat itu, tiba-tiba berhembus angin kencang yang disertai hujan dan suara petir sambung-menyambung. Lalu di tengah-tengah hujan, tampak sesosok tubuh bergerak cepat ke arah Rangga. Sosok tubuh ini memiliki empat tangan dan dua kepala.

Pendekar Rajawali Sakti segera menyadari kalau laki-laki berwujud aneh dan mengerikan itu tidak lain dari gurunya Bara Genta. Sebelum laki-laki berkepala dua ini berkata apa-apa, tiba-tiba....

“Hanya pedangmu yang dapat mengatasinya! Penggal lehernya! Baru dia mati!” Sebuah bisikan terdengar di telinga Pendekar Rajawali Sakti. Rangga kenal betul kalau orang yang berbisik itu tidak lain dari Ki Renta Alam.

“Kitab Pelebur Jiwa! Iblis Hitam yang selalu bersemayam di dalamnya. Bunuh kedua manusia yang telah membunuh muridku!” perintah laki-laki berkepala dua dan bertangan empat. Dia tidak lain dari Rumbai Mangkulangit yang berjuluk Si Bayang-Bayang!

Sekejap kemudian, Si Bayang-Bayang mengambil sebuah kitab dari balik pakaiannya. Kitab berwarna hitam dan sangat kumal itu diacungkan ke udara, dan digoyang-goyangkan, Saat itu juga terlihat asap putih membubung tinggi ke udara.

Asap yang menyerupai kabut itu kemudian bergerak. Dan dari balik asap tampak sosok serba hitam. Tubuhnya sangat tinggi. Dialah Iblis Hitam, penghuni Kitab Pelebur Jiwa!

“Bunuh!” perintah Si Bayang-Bayang lantang.

“Perintah dijalankan!” sahut Iblis Hitam.

Secepat kilat kedua tangan Iblis Hitam yang dapat terjulur memanjang tanpa batas itu bergerak ke dua arah. Tangan kirinya berusaha menggapai leher Dewa Petir yang sedang di atas pohon, sedangkan tangan kanannya hendak mencengkeram punggung Rangga.

Dewa Petir terkesiap. Namun sebelum cengkeraman itu sampai pada sasaran, dilepaskannya pukulan ‘Dewa Menolak Bala’.

Blasshh! Blammm!

Pukulan yang dilepaskan Ki Suta ini tepat mengenai sasarannya. Tetapi begitu ledakan terjadi Iblis Hitam tidak mengalami luka apa-apa. Dewa Petir jadi geram setengah mati. Sementara, tangan Iblis Hitam yang hitam dan besar sudah mencengkeram punggungnya. Tubuh Ki Suta diangkat tinggi-tinggi, lalu dibanting sekeras-kerasnya.

Bruk!

“Argkh...!” Dewa Petir menggeliat kesakitan ketika tubuhnya menghantam tanah.

Kiranya perlakuan yang sama juga dialami Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda ini pun terhempas. Untung sebelumnya tenaga dalamnya sudah dikerahkan untuk melindungi diri.

Sekarang, Iblis Hitam terus mengejar Dewa Petir. Kakinya yang besar berusaha menginjak tubuh laki-laki tua itu. Namun pada saat itulah Rangga kembali mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti.

Sring!

“Hiyaaa...!” Disertai teriakan menggelegar, Rangga melompat ke udara. Ujung pedang di tangannya meluncur deras ke punggung Iblis Hitam. Dengan mempergunakan kesempatan saat Iblis Hitam lagi lengah, Pendekar Rajawali Sakti menusukkan pedangnya.

Jrooos!

“Haaargkh...!” Iblis Hitam penghuni Kitab Pelebur Jiwa menjerit keras saat wujudnya tertusuk senjata Rangga. Tubuhnya kontan terbakar. Pada saat yang sama, kitab di tangan Si Bayang-Bayang terbakar.

Rumbai Mangkulangit terpaksa melepaskan kitabnya. Lolongan panjang Iblis Hitam terdengar menjauh. Semakin lama semakin jauh, hingga akhirnya lenyap begitu saja. Rumbai Mangkulangit jelas terkejut melihat kehebatan senjata di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Pedang itulah yang tidak pernah berhasil dilihat melalui kekuatan gaibnya! Sehingga dia tidak menciptakan senjata yang dapat mengimbangi pedang milik Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa senjata tandingan, mustahil pemuda itu dapat dikalahkan.

Sementara Rangga sendiri segera melompat menghadapi Si Bayang-Bayang. “Setelah kehancuran Iblis Hitam, sekarang giliranmu yang harus kukembalikan ke neraka!” dengus Rangga.

Si Bayang-Bayang melompat mundur, ketika Pendekar Rajawali Sakti menebaskan senjatanya. Saat itu juga terasa adanya hawa panas yang menerjang. Rumbai Mangkulangit terkesiap, lalu melompat lagi. Melihat kenyataan ini, Pendekar Rajawali Sakti hilang kesabarannya. Dengan mempergunakan jurus dari rangkaian jurus-jurus ‘Rajawali Sakti’, diserangnya laki-laki tua itu dengan gencar.

Mendapat serangan begini rupa, Rumbai Mangkulangit jadi pontang-panting. Agaknya dia begitu takut menghadapi Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Saking takutnya, dia lupa mempergunakan pukulan-pukulan saktinya!

Tiba-tiba Si Bayang-Bayang mengambil sebuah benda dari balik saku celananya. Kemudian benda bulat itu dilemparkannya ke tanah di depan Rangga.

Buuum!

Terjadi letupan keras, disertai menebarnya asap tebal. Suasana di sekitarnya jadi gelap gulita.

“Dasar licik!” teriak Rangga. Pendekar Rajawali Sakti berusaha keluar dari kepungan asap tebal. Begitu terbebas, ternyata Si Bayang-Bayang telah lenyap.

“Hari ini adalah kekalahanku, Pendekar Rajawali Sakti! Suatu saat jika aku telah menemukan senjata ampuh, aku akan mencarimu!” Terdengar suara Si Bayang-Bayang yang dikirimkan lewat ilmu mengirimkan suara.

“Tantanganmu kuterima, Pengecut!” teriak Rangga, lantang.

“Rangga! Kita telah terkecoh. Sayang, aku sendiri juga tidak dapat menghentikannya,” keluh Dewa Petir, seakan menyalahkan diri sendiri.

“Sudahlah, Ki. Kita telah membunuh muridnya, dan juga memusnahkan Kitab Pelebur Jiwa. Lain kali, kita pasti dapat menghancurkan Si Bayang-Bayang!” tandas Pendekar Rajawali Sakti.

“Sekarang kita ke mana?” tanya Ki Suta.

“Ke Desa Pasir Molek, bagaimana?” tanya Pendekar Rajawali Sakti disertai senyum.

Dewa Petir mengangguk setuju. Ketika mereka meninggalkan Hutan Wonocolo, hari sudah mulai gelap. Hati mereka lega, karena telah berhasil membunuh Bara Genta.

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: TITAH SANG RATU

Kitab Pelebur Jiwa

KITAB PELEBUR JIWA

SATU

“Gila! Tempat apa ini?!” maki seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung.

Pemuda yang tak lain Rangga yang di kalangan persilatan dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti ini mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Tempat yang disinggahinya ini terasa demikian sunyi. Seakan-akan tidak ada kehidupan di sana. Sejauh-jauh mata memandang yang terlihat hanya gumpalan kabut putih yang menghampar, bagaikan permadani dari kapas. Membentang luas tak terbatas.

Pendekar Rajawali Sakti kemudian berjalan mengikuti jalan setapak yang sangat licin. Namun, tiba-tiba saja saat kakinya menginjak benda bulat memanjang tubuhnya tergelincir. Dia terguling-guling, dan langsung melayang-layang masuk ke dalam jurang. Rangga menjerit sekeras-kerasnya, namun gema suaranya lenyap seakan ditelan kehampaan.

Buuuk!

“Huuugkh...!” Pemuda berbaju rompi putih ini terhempas di atas batu-batuan cadas. Belum sempat bangkit berdiri, ribuan kalajengking mendadak menyerangnya. Mati-matian Rangga menyelamatkan diri sambil berusaha menghalau binatang-binatang menjijikkan itu. Kemudian tanpa menghiraukan rasa sakit di sekujur tubuhnya, pemuda ini berlari dan terus berlari. Sampai akhirnya terdampar di sebuah tempat yang tak kalah asing.

Tempat yang sekarang ini menebarkan bau busuk, hingga membuat perut pemuda ini mual. Rangga segera memperhatikan suasana sekelilingnya. Sayup-sayup telinganya mendengar suara mencicit yang menyakitkan gendang-gendang telinga. Ketika pemuda berbaju rompi putih ini memandang ke arah cabang-cabang pohon di atasnya, terlihat ribuan pasang mata berwarna merah menyorot ke arahnya.

“Cieeet...!”

Kembali terdengar suara mencicit dan suara kepakan sayap. Tiba-tiba saja dari seluruh penjuru udara, ribuan ekor kelelawar menyerangnya dengan ganas. Merasa dirinya terancam, Rangga segera melepaskan beberapa pukulan dahsyat ke arah kelelawar-kelelawar itu. Tetapi anehnya, tidak seekor pun yang mati.

“Kelelawar hantu...?!” desis Rangga, bingung sendiri.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Pendekar Rajawali Sakti segera berlari kembali. Herannya, kelelawar-kelelawar itu tidak mengejarnya. Kini Pendekar Rajawali Sakti sampai di sebuah tempat lain yang juga tidak kalah asingnya. Tempat itu juga diwarnai kabut. Hanya suasananya lebih tenang.

“Heh?! Tempat apa lagi ini?” Rangga terkejut. Karena dia melihat begitu banyak batu nisan di sana. Di luar sepengetahuannya tanah di depannya bergerak-gerak. Sementara batu-batu nisan pun bergetar. Seakan, ada sesuatu yang menggerakkan nisan dari dalam. Lalu....

Brooot...!

Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat mundur, ketika dari dalam tanah muncul beberapa pasang tangan berlendir dan menebarkan bau busuk berusaha menggapai ke arahnya. Kemunculan tangan itu disusul bagian-bagian tubuh lainnya. Dan semua ini terasa begitu mengerikan. Karena, bagian-bagian tubuh itu juga berlendir, berwarna hijau!

Semakin lama, jumlah mereka semakin banyak. Keadaan mereka yang berbeda-beda membuat pemandangan makin menggidikkan. Dan mereka lebih pantas bila disebut mayat hidup dari dasar neraka!

“Bunuh! Bunuh! Bunuh!” seru salah satu mayat hidup.

“Heaaa...!”

Melihat puluhan mayat hidup itu menyerangnya, Rangga segera menghadapi. Dihalaunya serangan mereka dengan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’, salah satu jurus yang digunakan untuk menghindari serangan.

“Heh?! Rasanya percuma aku menghadapi mereka. Dan tidak ada salahnya jika aku menghindar saja dulu!” pikir Rangga.

Tidak ada pilihan lain bagi Rangga. Akhirnya dibuka jalan kekerasan untuk dapat keluar dari kepungan. Langsung dikerahkannya jurus-jurus dari lima rangkaian jurus ‘Rajawali Sakti’.

“Hiyaaa...!” Rangga segera menerjang beberapa mayat yang berada paling depan. Kedua tangannya yang terkepal berkelebatan menghantam. Tetapi, mayat-mayat itu segera menghindarinya dengan cara melompat ke samping.

Wuuut! Tap!

Bahkan dari dalam tanah, muncul berpasang-pasang tangan yang langsung menangkap kaki Pendekar Rajawali Sakti.

“Ohhh...!” Rangga mengeluh tertahan, ketika tangan-tangan berlendir bau busuk ini terus menariknya dengan kekuatan dahsyat.

“Heaaa...!” Rangga berteriak-teriak sambil meronta.

Pada saat berteriak-teriak seperti itu, tiba-tiba sebuah tangan yang teramat dingin menyentuh bahunya. “Heh...?!” Rangga tersentak kaget. Begitu matanya membuka ternyata dirinya telah berada di bawah sebatang pohon beringin besar. Yang lebih mengejutkan lagi, tahu-tahu di depannya berdiri seorang laki-laki tua berbaju putih dan berambut putih. Tubuhnya kerdil. Sinar matanya lembut, seperti menyentuh sanubari! Dan sebenarnya, dia memang tidak pernah lepas dari senyum.

“Siapa kau, Ki?” tanya Rangga.

“He he he...! Aku Ki Renta Alam...!” sahut laki-laki tua berbadan kerdil sambil tertawa-tawa.

“Mengapa aku berada di sini?” tanya Rangga heran sendiri.

“Lho? Kok malah tanya? Itu urusanmu sendiri...,” jawab kakek kerdil itu seenaknya.

“Tapi....”

“Tidak perlu kau ceritakan! Aku sudah tahu tentang masalah mimpimu,” potong Ki Renta Alam.

Rangga terkejut bukan main mendengar ucapan Ki Renta Alam. Sungguh tidak disangka kalau kakek kerdil ini mempunyai kemampuan yang sangat jarang dimiliki orang lain.

“Lalu bagaimana, Ki?” tanya Rangga bingung.

“Menurut mimpimu, kau akan menghadapi seorang musuh besar yang berkepandaian hebat. Pergilah menuju matahari terbit. Nanti di sana kau akan menemukan petunjuk. Perlu ku ingatkan padamu, kau harus berhati-hati!” pesan Ki Renta Alam.

“Siapa musuh besarku yang kau maksudkan, Ki? Apakah dia punya dendam padaku?” tanya Rangga tertarik.

“Pertanyaanmu banyak sekali? Begini saja biar kujelaskan satu persatu!” ujar Ki Renta Alam. “Sebenarnya musuhmu itu tidak punya dendam denganmu. Hanya saja, dia mempelajari apa yang kau miliki secara diam-diam. Setelah bertahun kemudian, diciptakannya jurus-jurus maut yang dapat menandingi semua kesaktianmu!”

“Dapatkah kau katakan padaku siapa orang itu, Ki?” desak Rangga sudah tidak sabar.

Yang ditanya langsung tersenyum sambil menggaruk rambutnya. “Dia seorang iblis! Rajanya manusia sesat. Bapak moyangnya angkara murka, dan kakek moyangnya kejahatan! Dia punya dua kepala, empat mata, dan empat tangan. Kakinya hanya dua. Dan kesaktiannya sulit dijajaki,” jelas Ki Renta Alam.

“Lalu...?”

“Lalu kau harus mencarinya. Kemudian, kalau perlu basmi sampai ke akar-akarnya!” lanjut kakek berbadan cebol ini tegas.

“Menurutmu, dia punya kepandaian tinggi. Mungkinkah aku dapat menghancurkannya?” tanya Rangga. Entah mengapa, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti merasa seperti orang bodoh dan tidak tahu apa yang harus diperbuat.

“Ha ha ha...! Kalau bukan dia yang hancur, tentu kau yang mati. Sudah kukatakan, ilmunya sangat tinggi. Tapi jika kau membiarkannya tentu akan banyak korban yang berjatuhan. Padahal, kau yang diinginkannya. Kalau orang-orang mati di tangan musuhmu itu, bukankah kau harus menanggung-dosa mereka?”

Rangga terdiam. Penjelasan Ki Renta Alam memang dapat dimengerti. Namun masih banyak hal yang belum diketahuinya.

“Kalau boleh kutanyakan padamu, apakah iblis itu punya murid atau mungkin utusan?” Tanya Rangga.

“Tentu saja! Namanya Bara Genta. Dan yang paling berbahaya lagi, mempunyai Kitab Pelebur Jiwa!” papar Ki Renta Alam.

“Kitab Pelebur Jiwa?” tanya Rangga.

“Ya.... Kitab itu seperti mempunyai sukma dan raga. Di dalamnya terkandung kekuatan dahsyat. Sehingga bila seseorang menginginkan sesuatu, maka akan segera terkabul.”

“Mengapa bisa begitu? Belum pernah aku mendengar ada sebuah kitab yang memiliki kekuatan iblis, dan dapat pergi ke mana-mana!” sergah Rangga tidak percaya.

“Bukan kitabnya yang dapat pergi. Tetapi, kekuatan iblis yang terkandung di dalamnya yang dapat diperintah...!” jelas Ki Renta Alam.

“Jadi...!”

“Kau banyak bertanya seperti nenek pikun,” dengus kakek cebol itu. “Sekarang juga, kau kupersilakan pergi melaksanakan tugasmu!” Lalu, Ki Renta Alam berjalan meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti begitu saja. Baru tiga langkah, tubuhnya sudah menghilang seakan raib ditelan bumi. Diam-diam Rangga terkejut.

“Hm.... Mungkinkah dia sebangsa makhluk halus...?” gumam Rangga.

*******************

Sang Maha Tunggal menciptakan di dunia ini serba berpasang-pasangan. Ada siang, ada pula malam. Ada laki-laki, dan ada pula perempuan. Begitu pula sifat-sifat yang diciptakannya. Ada baik, ada jahat. Ada iri, ada pula pasrah apa adanya. Ada duka, ada pula suka. Demikian pula yang terjadi pada manusia.

Munculnya seorang pemuda di dunia persilatan yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti, kedengkian dan iri hati telah merasuki jiwa seorang tokoh tua yang selama ini merasa jumawa dengan kepandaiannya. Tokoh-tokoh pada masanya tak ada yang tak pernah mendengar seorang tokoh sesat berjuluk Si Bayang-Bayang.

Entah karena apa, beberapa tahun belakangan ini tokoh itu telah mengasingkan diri. Dan tak ada yang tahu pula kalau dalam pengasingan dirinya, Si Bayang-Bayang justru menciptakan ilmu-ilmu pamungkasnya. Dan itu dimaksudkan untuk menandingi kesaktian Pendekar Rajawali Sakti.

Kejumawaan Si Bayang-Bayang ternyata telah menyeretnya ke lembah kebencian. Merasa paling tinggi ilmunya, membuatnya ingin melenyapkan saingan satu-satunya dalam rimba persilatan. Pendekar Rajawali Sakti!

Untuk mengasingkan diri Si Bayang-Bayang mengambil tempat di Gua Seribu Malam yang letaknya persis di dasar Laut Utara. Laki-laki berusia sembilan puluh tahun ini berambut putih, memiliki dua kepala dan tangan. Dia memang mempunyai penglihatan tajam. Terbukti, tempat tinggalnya di dalam gua yang senantiasa dalam keadaan gelap dan tanpa penerangan sama sekali.

Tak heran kalau gua itu dinamakan Gua Seribu Malam. Dalam kegelapan itu empat pasang mata Si Bayang-Bayang tampak bersinar seperti cahaya. Untuk sepak terjangnya kali ini, Si Bayang-Bayang yang bernama asli Rumbai Mangkulangit tak ingin terjun langsung dalam rimba persilatan. Oleh sebab itu dia lantas mengambil murid dari seorang bekas bajak laut yang diceburkan di Laut Utara. Namanya, Bara Genta.

Bara Genta yang diangkat menjadi murid sekitar enam tahun yang lalu, sekarang telah memiliki kemajuan sangat pesat. Baik dalam hal ilmu kanuragan, pukulan-pukulan sakti, maupun yang menyangkut penggunaan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh.

Tampaknya, tokoh yang bergelar Si Bayang-Bayang ini memang sengaja menciptakan jurus-jurus maupun pukulan ampuh untuk memunahkan atau paling tidak, mengimbangi semua kehebatan Pendekar Rajawali Sakti. Jadi tujuan tokoh itu cukup jelas. Dia sengaja ingin mempunyai seorang murid yang kepandaiannya melebihi Pendekar Rajawali Sakti.

Jika muridnya nanti dapat membunuh lawannya, berarti orang yang merajai rimba persilatan bukan lagi dari golongan putih, tapi dari golongan hitam. Dan Rumbai Mangkulangit percaya penuh kalau impiannya bakal terwujud. Itu karena dia telah menciptakan sebuah kitab yang diberi nama Pelebur Jiwa. Inilah kitab berisi ajaran-ajaran kesaktian tinggi yang diciptakan kakek berkepala dua itu.

Di dalam ruangan gua di bawah dasar Laut Utara yang tidak pernah mengenal siang dan malam, kini guru dan murid itu saling berhadapan-hadapan. Empat pasang mata memandang lurus ke arah pemuda berkulit gelap bernama Bara Genta yang kini duduk bersimpuh di lantai gua yang licin, namun menebarkan bau harum.

“Bara Genta! Sekarang sudah waktunya bagiku untuk menjelaskan kegunaan semua ilmu yang kau miliki. Pertama yang harus kutekankan padamu adalah kau harus membuat kekacauan di rimba persilatan! Kau boleh berbuat apa saja. Termasuk memiliki budak, mempunyai banyak istri, atau mengumpulkan gadis yang kau sukai. Semua harus tunduk pada perintahmu! Mereka yang membangkang adalah musuhmu. Tapi, musuh utamamu hanyalah Pendekar Rajawali Sakti. Untuk itu, kau harus membunuhnya dengan menghalalkan segala macam cara! Ingat! Surgamu hanya di dunia ini saja. Jadi, selama kau hidup bila kiamat nanti tempatmu yang pasti adalah neraka. Maka ingat-ingatlah. Selama berada di atas dunia, puaskan seluruh kemauanmu. Puaskan nafsumu. Dan, puaskan segala yang kau ingini...!”

“Jadi setelah aku mati nanti, aku tidak punya harapan masuk surga?” potong Bara Genta, bertanya.

“Seperti perjanjian kita dulu, di rimba persilatan kau menciptakan neraka dunia bagi orang-orang. Makanya kutegaskan padamu, kesenanganmu hanya pada saat kau hidup di dunia ini. Yang terpenting, kau tidak melupakan tugas yang harus dikerjakan. Bunuh Pendekar Rajawali Sakti! Bunuh..., bunuh..., bunuh...!” jelas Rumbai Mangkulangit, memberi perintah.

“Semua yang Guru perintahkan, tidak akan kulupakan. Kalau boleh aku akan segera berangkat, Guru!” sahut Bara Genta, mantap.

“Ha ha ha..,! Rupanya kau tidak sabar menunggu keberangkatanmu. Baiklah! Permintaanmu segera kukabulkan. Satu hal yang kau harus ingat, bila dalam keadaan terdesak, ingatlah pada Kitab Pelebur Jiwa. Begitu kau mengingat dan menyebutkan kemauanmu, maka pertolongan segera datang. Kitab itu ancaman bagi keselamatan orang lain! Tapi, penyelamat bagimu. Nah, sekarang pejamkanlah matamu!” perintah Rumbai Mangkulangit.

Bara Genta segera memejamkan matanya. Mula-mula yang didengarnya adalah suara angin ribut. Tanpa disadari tubuhnya melayang jauh. Kemudian tubuhnya tiba-tiba tercampak di suatu tempat. Sayup-sayup telinganya mendengar perintah agar matanya dibuka.

Bara Genta kemudian membuka matanya. Ternyata, sekarang dia sudah terdampar di pinggir pantai. Untuk pertama kalinya setelah berada di dalam Gua Seribu Malam, Bara Genta dapat menghirup udara segar. Dan pemuda berkulit gelap ini merasa sekaranglah saatnya untuk memulai petualangannya!

*******************

Ombak saling berkejar-kejaran menuju Pantai Pasir Tambi. Begitu kembali ke tengah laut, yang tertinggal hanyalah buih-buih yang langsung hilang diterpa angin. Irama ombak seperti tak bosan-bosannya menggoyang apa saja yang ada di sekitar pantai. Termasuk sebuah perahu yang tak terlalu besar yang baru saja ditambatkan di dermaga yang dibuat sederhana.

Penduduk Desa Pasir Tambi kenal betul pada laki-laki tua berpakaian serba hitam yang baru saja menambatkan perahunya. Bukan saja dikenal sebagai pelaut, namun laki-laki tua yang sering dipanggil Ki Wanayasa ini juga memiliki sebuah padepokan yang terletak di tengah desa. Padepokan Pasir Tambi.

Murid-murid Ki Wanayasa cukup banyak. Di samping itu, kepandaian laki-laki tua ini cukup tinggi. Maka tak heran bila para perampok enggan singgah di tempat ini. Mereka akan berpikir seribu kali bila harus berhadapan dengan Ki Wanayasa.

“Kakek...! Kek...!”

Sebuah suara merdu, membuat Ki Wanayasa berbalik. Dan dia melihat seorang gadis cantik berlari-lari menghampirinya dengan wajah tegang.

“Ada apa, Cucuku Sitoresmi? Mengapa mesti berteriak-teriak?” tukas Ki Wanayasa ketiga gadis yang ternyata cucunya tiba satu tombak di depannya.

“Kakek lihat! Orang-orang desa berlarian seperti sedang terjadi sesuatu di sana!” tunjuk gadis bernama Sitoresmi, langsung.

Ki Wanayasa cepat menoleh ke arah yang dimaksudkan gadis berwajah cantik dan berpakaian seperti halnya orang persilatan. Apa yang dikatakan cucunya memang benar. Para penduduk tampak berbondong-bondong menyelamatkan diri bersama anak istrinya.

“Cepat kita ke sana!” ujar laki-laki berbadan tegap ini tanpa sempat membereskan ikan hasil tangkapannya.

Segera cucu dan kakek ini menghampiri salah satu penduduk yang tampak pergi dengan tergesa-gesa.

“Kartaran! Apa yang terjadi?” tanya Ki Wanayasa sambil memegang lengan seorang pemuda yang dalam keadaan ketakutan.

“Ki...! Sebaiknya kau ikut menyelamatkan diri bersama kami. Semua murid Padepokan Pasir Tambi telah tewas. Murid perempuan diperkosa dan dibunuh oleh seorang pemuda tidak dikenal. Ayo, Ki. Sebelum segala-galanya terlambat!” seru pemuda bernama Kartaran ketakutan.

Padepokan Pasir Tambi adalah padepokan yang telah dibangun Ki Wanayasa selama dua puluh tahun. Itu bukan pekerjaan sembarang. Maka apa yang terjadi di sana menjadi tanggung jawabnya. Untuk itu, tanpa menghiraukan ucapan Kartaran, Ki Wanayasa langsung mengajak cucunya untuk kembali ke padepokan secepat mungkin.

Ki Wanayasa dan Sitoresmi segera mengerahkan ilmu meringankan tubuh untuk melesat secepatnya. Karena tak begitu jauh, maka dalam waktu tidak lama mereka telah sampai di depan padepokan. Di halaman padepokan, Ki Wanayasa melihat mayat-mayat muridnya bergelimpangan. Darah menggenang membasahi tempat itu. Beberapa murid perempuan tergeletak, tanpa selembar pakaian pun. Sedangkan tepat pada bagian jantung, terdapat sebuah luka menganga.

Ki Wanayasa menjadi sangat marah. Pipinya menggembung, pertanda darahnya mendidih seperti terbakar. Segera diperiksanya murid-muridnya yang lain. Tetapi, rupanya tidak satu pun dari mereka yang hidup. Kenyataan ini sungguh mengenaskan! Bertahun-tahun Padepokan Pasir Tambi dalam keadaan damai, namun kini telah berubah menjadi ajang pertumpahan darah!

DUA

Ki Wanayasa geram sekali melihat pemandangan di depan matanya. Entah, iblis biadab mana yang telah melakukan perbuatan sekeji itu. Dia telah bertekad untuk mencari dan membuat perhitungan terhadap orang yang membantai murid-muridnya.

“Auuu... tolooong...!” Tiba-tiba terdengar jeritan seorang perempuan dari dalam bangunan utama padepokan. Ki Wanayasa dapat menduga pastilah perempuan itu salah satu muridnya. Maka tanpa membuang waktu lagi, tubuhnya berkelebat ke arah bangunan utama.

Ketika sampai di depan pintu pondok, Ki Wanayasa langsung mendobrak pintu hingga terbuka lebar. Tapi....

Wuuut...!

“Uts...!”

Bruk! Bruk!

Tiga sosok tubuh melayang ke arah Ki Wanayasa, langsung menerobos ambang pintu. Ki Wanayasa telah menarik tubuhnya ke samping. Dan di depannya kini tampak tiga sosok tubuh wanita dalam keadaan telanjang bulat yang tak lain murid-murid perempuannya yang telah diperkosa dan dibunuh secara kejam. Hancur lebur macam bubur hati orang tua ini. Gerahamnya bergemeletukan pertanda kemarahannya sudah sampai puncaknya.

Ki Wanayasa baru saja berniat menerjang ke dalam, tapi tahu-tahu sesosok tubuh yang dalam keadaan telanjang kembali meluruk ke arahnya.

Buk!

“Hekh...!” Bukan main kuatnya tenaga dorong yang terkandung dalam luncuran sosok yang telah menjadi mayat itu. Sehingga membuat Ki Wanayasa hampir terjengkang tertimpa mayat murid perempuannya sendiri. Untuk menjaga kemungkinan, Ki Wanayasa melompat ke halaman. Matanya nyalang, menyorot ke pintu bangunan utama padepokan.

“Setan Keparat! Iblis dari mana berani menghancurkan perguruanku?!” teriak laki-laki tua ini menggeledek.

Dari pintu tampak sesosok tubuh melesat keluar, dan mendarat di halaman padepokan. Kini, tampak jelas satu sosok bertelanjang dada. Seorang pemuda bercelana hitam berdiri tegak dengan sikap menantang. Rambutnya tak terurus seperti rambut orang gila. Tatapan matanya tajam menusuk, seperti mata harimau dalam gelap.

Sitoresmi yang melihat kemunculan pemuda itu langsung melompat menghadang. Namun wajahnya cepat dipalingkan ke arah lain. Rupanya laki-laki berkulit gelap itu lupa mengancingkan celananya. Sehingga barang keramatnya yang bergantungan sempat terlihat oleh gadis ini. Sementara itu, Ki Wanayasa memperhatikan dengan sorot mata tajam pada pembunuh dan pemerkosa murid-muridnya. Sekilas saja, namun sudah memuakkan hatinya.

“Bangsat keji! Siapa kau?! Dan, apa salah kami, sehingga murid-muridku kau bunuh?!” bentak Ki Wanayasa.

“Ha ha ha...! Aku Bara Genta. Membunuh adalah pekerjaanku! Memperkosa adalah surgaku. Aku hanya ingin membangun sebuah neraka di dunia ini. Hm.... Apakah penjelasanku sudah cukup?!” sahut pemuda itu disertai tawa berkepanjangan.

“Anjing Geladak! Rupanya kau tak lebih dari iblis penghuni api neraka! Kau harus menebus kematian mereka! Hiyaaa...!” teriak Ki Wanayasa geram.

Sekejap saja laki-laki tua itu sudah menerjang Bara Genta. Kakinya meluncur, siap menghantam dada pemuda itu. Namun rupanya Bara Genta sengaja memasang dadanya. Dan begitu kaki Ki Wanayasa mendarat pada sasaran, secepat kilat tangannya terjulur. Tiba-tiba....

Kiah...!

“Huaaakh...!” Kaki laki-laki tua itu berderak retak terkena pukulan Bara Genta, hingga menjerit tertahan. Dalam gebrakan pertama saja, Kedua Padepokan Pasir Tambi yang mempunyai ilmu lumayan ini dapat dijatuhkan. Maka dapat dibayangkan betapa tingginya kepandaian yang dimiliki Bara Genta.

Melihat kakeknya dapat dijatuhkan, Sitoresmi langsung mencabut pedang pendek yang terselip di pinggangnya. Gadis itu cepat melompat dua tombak, menghadang Bara Genta.

“Hei... bagus! Tampaknya kau sengaja menyerahkan diri padaku. Wajahmu cukup cantik. Hm... nanti kau akan mendapat pelajaran yang menyenangkan. Dan itu tidak akan kau lupakan seumur hidup!” sambut Bara Genta disertai senyum yang lebih mirip seringai. Bola matanya berbinar, mengandung hasrat menggebu.

“Iblis Keparat! Jangan coba-coba padaku. Menyentuh kulitku saja, kau mesti mampus!” desis Sitoresmi, ketus.

“Sitoresmi! Sebaiknya selamatkan dirimu! Iblis itu bukan tandinganmu!” teriak Ki Wanayasa.

Teriakan Ketua Padepokan Pasir Tambi ini tampaknya memang terlambat, karena cucunya telah menyerang dengan jurus-jurus pedang yang cukup hebat. Bara Genta hanya tertawa panjang.

Wut! Wut!

“Haiiit!” Bara Genta tiba-tiba saja melompat ke samping, kemudian saat pedang di tangan Sitoresmi melesat di samping rusuk, tubuhnya berputar. Sedangkan tangan kanan dan kiri meremas dada dan punggung gadis itu.

“Ouuuw...!” Sitoresmi hanya sempat menjerit untuk kemudian ambruk tak berdaya dalam keadaan tertotok. Sebuah ilmu totokan yang langka.

Melihat apa yang dilakukan pemuda itu, sadarlah Ki Wanayasa terhadap apa yang bakal menimpa diri cucunya. Dia tidak mungkin dapat membebaskan Sitoresmi, sebelum membunuh Bara Genta.

Karena merasa tidak punya pilihan lain, Ki Wanayasa bertekad untuk mengerahkan seluruh kemampuannya. Seketika langsung dicabutnya pedang pendek dari punggungnya. Pedang kembar itu kemudian diputarnya sedemikian rupa, menimbulkan suara desir halus. Lalu tiba-tiba tubuhnya meluruk cepat.

Set! Set!

“Uts...!” Dengan satu gerakan aneh, Bara Genta berkelit ke samping. Namun pedang lain di tangan Ki Wanayasa menghadangnya. Sehingga, dia terpaksa melompat mundur ke belakang.

“Hadapilah jurus ‘Pelumpuh Sang Api’! Heaaa...!”

Disertai teriakan keras, Bara Genta mengerahkan jurus ‘Pelumpuh Sang Api’ yang sangat berbahaya. Dengan jurus ini, setiap serangan Ki Wanayasa selalu dipatahkan Bara Genta. Tidak lama setelah dapat menghalau serangan, Bara Genta menerjang disertai teriakan menggeledek....

“Aji ‘Pedut Segara’! Hiyaaa...!” Seketika segulung angin keras disertai kabut tebal menghitam terus meluncur keras ke arah Ki Wanayasa.

Laki-laki tua itu tampaknya merasa kerepotan juga untuk menghindari serangan. Karena kakinya yang retak memang sulit digerakkan. Tidak ada pilihan lain terpaksa tubuhnya dilempar ke samping kiri. Namun pukulan itu dilepaskan secara beruntun. Padahal, saat itu Ki Wanayasa belum sempat bangkit berdiri, ketika serangan Bara Genta kembali melesat. Dan....

Glaaar!

“Aaa...!” Dentuman keras terdengar disertai jerit kematian Ki Wanayasa. Tubuhnya terlempar, dan langsung berubah membiru. Dari hidung, mulut, dan telinganya tampak mengucurkan darah.

“Kakek...!” jerit Sitoresmi, melihat kakeknya terkapar tanpa daya. Bagaimanapun, dalam keadaan tertotok seperti itu, Sitoresmi tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan keselamatan diri sendiri pun terancam.

Bara Genta tertawa melihat Sitoresmi ketakutan. Dihampirinya gadis itu. Sementara itu, Ki Wanayasa sendiri tewas beberapa saat setelah terkena pukulan dahsyat tadi.

“Keparat kau! Bebaskan aku. Lebih baik kita bertarung sampai mati!” teriak gadis itu kalap. Matanya melotot, menyimpan kebencian.

“Mengapa harus membuang tenaga sia-sia? Bukankah lebih baik tenagamu dipakai untuk bersenang-senang?” sahut Bara Genta, menjijikkan.

Tanpa membebaskan totokan, pemuda berkulit gelap itu kemudian memanggul Sitoresmi di pundaknya. Lalu tubuhnya berkelebat menuju ke suatu tempat yang sunyi.

Tidak lama setelah kepergian Bara Genta, tampak berkelebat dua sosok tubuh berpakaian hijau lumut menuju ke Padepokan Pasir Tambi. Melihat pakaian lusuh yang dikenakan, tampaknya kedua pemuda ini datang dari sebuah tempat yang jauh. Sementara tampang mereka tampak seperti orang gendeng. Kucal dan tak terurus.

Kini setelah sampai di halaman padepokan, mereka jadi terkesiap. Terlebih-lebih setelah melihat mayat Ki Wanayasa.

“Gusti Allah.... Apa yang telah terjadi di sini, Subali?!” tanya salah satu pemuda sambil memeriksa mayat-mayat satu demi satu. Mereka segera menutupi tubuh-tubuh telanjang yang tak tentu arah dengan pakaian seadanya.

“Sama seperti kau, Indrajit. Aku juga tidak tahu apa-apa,” sahut pemuda yang dipanggil Subali tegang.

“Kita sudah terlambat datang. Harusnya, hal ini tidak terjadi kalau kita tidak saling ngotot di jalanan!” sesal pemuda bernama Indrajit.

“Sekarang apa kau mau menyalahkan aku, Indrajit? Firasatku benar tentang bahaya itu. Tapi, kau tetap ngotot ingin menghubungi padepokan lain dulu. Padahal sesuai mimpiku, aku melihat api di Pantai Laut Utara ini,” tukas Subali tidak senang.

“Kau saja yang goblok! Kalau sudah merasa bahwa firasatmu benar, mengapa tidak langsung mengajakku kemari?” sanggah Indrajit tidak puas.

“Sudah! Aku tidak suka mengadu mulut. Ki Wanayasa sudah tidak bisa kita tolong lagi. Sekarang satu-satunya yang dapat dilakukan adalah, mengubur mayat ini. Setelah itu, baru kita hubungi semua orang di dunia persilatan agar mereka bersikap waspada!”

Sekarang Indrajit tidak bisa menolak perintah saudara seperguruannya itu. Mereka langsung membuat kubur untuk Ki Wanayasa dan murid-muridnya.

Setelah selesai menguburkan mayat-mayat, Indrajit dan Subali langsung beristirahat di pendopo depan. Wajah mereka berselimut debu dan tampak lesu.

“Kita tidak tahu, siapa sebenarnya yang telah membunuh Ki Wanayasa dan murid-muridnya. Tindakan pembunuh itu benar-benar biadab! Belum pernah kulihat pembunuhan disertai pemerkosaan yang sedemikian keji! Rasanya kalau aku bisa menangkap pembunuh itu, akan kumakan mulai dari daging, tulang, sampai kotorannya!” dengus Indrajit.

“Dasar orang jorok! Kotoran orang pun mau kau makan. Kalau aku sih, tidak begitu. Jika pembunuh keji itu berhasil kutangkap, maka akan kucopoti tangan dan kakinya. Kemudian giginya. Baru setelah itu, kubetot pedang tumpul yang berada di bawah pusarnya!” gemas Subali meluap-luap.

“Kurasa dia bukan manusia seperti kita. Paling tidak, giginya bertaring. Matanya juling, karena suka makan beling!”

“Kau ini memang gendeng! Dalam keadaan seperti ini, masih juga bercanda. Seharusnya kita cari jalan keluar untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapi!” rutuk Subali sewot.

“Ha ha ha...! Apakah kau harus memungkiri kenyataan, bahwa sebenarnya kita Sepasang Pendekar Gendeng?” tukas Indrajit.

Subali hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ya.... Kita memang Sepasang Pendekar Gendeng. Lalu menurut otakmu yang gendeng, apa yang harus kita lakukan?” tanya Subali kemudian.

“Seharusnya kita temui orang desa ini dulu. Barangkali, mereka melihat pembunuh itu. Siapa tahu?”

“Tapi aku sudah sangat lelah. Sebaiknya kita istirahat dulu. Baru nanti kita tanyai mereka!” sergah Subali tidak setuju.

“Setuju tidak setuju, suka atau tidak suka, kau harus mengikuti aku. Kalau tidak...!”

“Kalau tidak kenapa?” potong Subali.

“Kalau tidak akan kuseret kau!” dengus Indrajit.

Dengan terpaksa akhirnya, Subali mengikuti Indrajit. Dalam perjalanan menuju rumah-rumah yang terdapat di depan, tidak henti-hentinya dua laki-laki berjuluk Sepasang Pendekar Gendeng ini berdebat.

“Coba periksa rumah itu. Barangkali kita bisa bertanya pada orang di dalamnya!” perintah Subali.

“Aku bukan budakmu! Kalau kau mau, sebaiknya kita periksa bersama-sama,” tolak Indrajit.

“Sontoloyo! Semestinya sudah kutinggalkan kau sejak tadi!” gerutu Subali.

Tidak lama, mereka mulai memeriksa rumah-rumah yang ada. Tapi semua rumah yang diperiksa dalam keadaan kosong, seperti ditinggalkan pemiliknya secara tergesa-gesa.

“Ke mana mereka?” tanya Indrajit.

“Aku juga tidak tahu, Indrajit. Atau, mungkin mereka mengungsi?” duga Subali seperti ditujukan pada diri sendiri.

“Kalau begitu, kita tidak akan mendapat petunjuk apa-apa,” keluh Indrajit, kecewa. “Tapi..., eh! Itu ada orang lari ke belakang. Kejar dia!”

Sepasang Pendekar Gendeng langsung melakukan pengejaran dengan ilmu meringankan tubuh yang sudah cukup tinggi. Sebentar saja, mereka telah berdiri menghadang sosok yang lari tadi. Ternyata orang yang dikejar adalah seorang laki-laki tua. Tampaknya dia sangat ketakutan melihat kedatangan Sepasang Pendekar Gendeng.

“Ampun, Tuan! Ampun.... Oh..., jangan bunuh aku. Aku tidak ikut mengungsi, karena tidak kuat berjalan,” ratap laki-laki tua itu ketakutan.

Ternyata setelah orang ini diteliti, bagian betisnya terdapat bisul sebesar dada seorang gadis.

“Hei, ada apa dengan kau ini, Ki?” tanya Subali sambil tersenyum-senyum.

“Jangan bunuh aku. Anakku banyak dan masih kecil-kecil. Kalau aku mati, nanti mereka makan apa?”

“Bicaramu ngelantur, Ki. Aku dan kawanku ini hanya ingin tahu, apakah kau melihat siapa yang telah membunuh Ketua Padepokan Pasir Tambi?” ujar Subali.

Barulah laki-laki tua itu menarik napas lega. “Oh, aku kira Tuan-tuan kawan dari iblis itu. Kalau begitu selamatlah aku,” desah laki-laki tua itu.

“Jawab dulu pertanyaan kami, Ki!” desak Subali tidak sabar.

“Orang-orang di sini mengungsi semuanya. Iblis itu mencabuti nyawa orang-orang tidak berdosa seenaknya!” jelas laki-laki tua itu dengan kegeraman yang amat sangat.

“Coba jelaskan ciri-cirinya!” ujar Indrajit.

Dengan tegang laki-laki itu segera menjelaskan ciri-ciri si pembunuh. Bahkan juga diceritakannya kalau cucu Ki Wanayasa telah diculik oleh si pembunuh.

Subali dan Indrajit saling pandang. “Cara yang paling baik adalah dengan mengumpulkan tokoh-tokoh rimba persilatan. Baru setelah itu, kita cari pemuda iblis terkutuk itu,” kata Subali.

“Aku hanya menuruti apa yang kau anggap baik saja. Mari kita pergi!” ajak Indrajit.

********************

Bara Genta meletakkan Sitoresmi di atas tumpukan daun-daun kering. Di tengah-tengah hutan belantara yang sepi, jelas membuat gadis berbaju biru semakin ketakutan. Pemuda berkulit hitam legam ini segera memeriksa keadaan sekeliling tempat itu. Merasa aman, dihampirinya calon korbannya kembali. Dan dia segera berbaring di sebelah gadis itu.

“Jangan macam-macam denganku, Manusia Iblis!” hardik Sitoresmi.

“Aku tidak pernah berbuat macam-macam. Untuk gadis sepertimu, aku hanya ingin melakukan satu macam saja. Ha ha ha...!” sahut Bara Genta sambil tertawa-tawa. Kemudian tangannya yang kekar itu pun mulai bermain-main di bagian dada Sitoresmi.

“Bedebah! Enyahkan tanganmu, Keparat...!” desis Sitoresmi.

Dalam keadaan tertotok, tentu saja Sitoresmi tidak dapat berbuat banyak. Bahkan tidak bisa melakukan apa-apa, ketika tangan Bara Genta menyelinap di balik pakaian dan mulai meremas-remas buah dadanya.

“Keparat! Oh, tolong...!”

“Tidak akan ada orang yang dapat menolongmu. Mengapa kau harus takut? Bukankah aku hanya ingin memberikan kesenangan padamu!” desah Bara Genta, menjijikkan.

Tampaknya, laki-laki bertelanjang dada ini memang sudah tidak sabar lagi dengan apa yang akan dilakukannya. Seketika tangannya cepat bergerak.

Bret! Bret!

“Auuu...!” Sitoresmi menjerit-jerit, manakala pemuda bertelanjang dada ini merobek-robek pakaian yang melekat di tubuhnya. Dalam beberapa kejapan saja, gadis itu sudah dalam keadaan telanjang.

Melihat pemandangan menantang di depannya, gairah manusia berhati iblis ini semakin berkobar-kobar. Dengan penuh nafsu diciuminya Sitoresmi. Tangan kanannya terus bermain di atas dada. Sedangkan tangan kiri meluncur ke bagian perut dan terus ke bawah. Di sela-sela paha itulah tangan kiri Bara Genta dengan leluasa bermain. Sampai kemudian, segala sesuatunya memang tidak dapat ditunda lagi.

Bara Genta cepat menindih Sitoresmi. Gadis itu berusaha mati-matian menyelamatkan kehormatannya. Namun dalam keadaan tertotok seperti itu, apalah dayanya? Laki-laki itu bagaikan banteng liar yang terus menghempas-hempas di atas tubuhnya. Entah berapa lama keadaan seperti itu berlangsung. Sampai akhirnya, Bara Genta terkapar di samping tubuh Sitoresmi setelah didahului pekik penuh kenikmatan.

“Hmmm.... Ternyata kau masih suci. Untuk itu, kita dapat melanjutkan kesenangan ini nanti malam! Sekarang, kuberi kelonggaran padamu. Kau harus membersihkan diri di sungai itu!” ujar Bara Genta.

Kemudian pemuda berhati iblis ini membebaskan salah satu totokan di dada Sitoresmi dengan cara meremasnya cukup lama. Tetapi di luar dugaan, begitu terbebas gadis yang telah kehilangan kehormatannya ini langsung menyambar pedang yang tergeletak tak jauh darinya. Dia berusaha memasukkan ke dada Bara Genta. Sayang, rupanya pemuda itu melihat tindakan Sitoresmi.

“Huh! Dikasih susu malah minta racun!” dengus Bara Genta. Cepat sekali pemuda ini mengibaskan tangannya ke bagian wajah Sitoresmi. Sehingga....

Praaak!

“Aaa...!” Sitoresmi menjerit tertahan. Kepalanya kontan hancur. Isi benaknya berhamburan bercampur darah. Sedangkan sekujur tubuhnya langsung berubah membiru.

“Ha ha ha...! Aku adalah Pembegal Jagad! Tidak seorang pun yang boleh meremehkan diriku!” teriak Bara Genta disertai tawa panjang menyeramkan.

********************

TIGA

Indrajit dan Subali akhirnya berhasil mengundang tokoh-tokoh dunia persilatan yang dikenalnya dengan baik. Pagi itu, mereka menyatakan persetujuan untuk bertemu di Gunung Sumbing. Setelah matahari mulai memancarkan sinarnya di mayapada bagian timur, dari semua penjuru tampak mulai berdatangan orang-orang persilatan beraliran putih.

Yang pertama sampai di tempat itu adalah Sepasang Pendekar Gendeng. Tampaknya, mereka memang tidak ingin para tokoh persilatan menganggap Sepasang Pendekar Gendeng sebagai pihak yang mengundang, tidak dapat menepati waktu.

“Kuharapkan hari ini kita berkumpul semua....”

“Bukankah kita sudah berkumpul?” potong Indrajit.

“Maksudku bukan itu,” sergah Subali tidak senang.

“Lalu?”

“Kau ini bagaimana, sih? Orang-orang yang kita undang itu yang kuharapkan kedatangannya. Mengerti?!”

“Itu dia!” seru Indrajit.

Subali segera memandang ke arah utara seperti yang ditunjukkan Indrajit. Saat itu tampak seorang perempuan tua berkulit hitam menuju ke arah mereka. Rambutnya panjang, memakai kerudung putih. Sehingga warna kulit dan kerudungnya sangat bertentangan. Melihat kehadiran perempuan berkerudung ini, Sepasang Pendekar Gendeng langsung menjura dalam-dalam.

“Selamat datang dalam pertemuan rahasia ini, Nyai Jeliteng!” sambut Subali mewakili kawannya.

“Hik hik hik...! Apakah kalian hanya mengundangku saja? Mana kawan-kawan yang lain?” tanya perempuan bernama Nyai Jeliteng.

“Dewi Kerudung Perak,” Indrajit langsung menyebut julukan perempuan tua itu. “Mereka yang lain juga kami undang. Mungkin sekarang sedang dalam perjalanan.”

“Aku paling tidak sabar menunggu. Tapi, tidak mengapa. Demi persatuan orang-orang segolongan, kubiarkan pantatku bisulan karena menunggu orang-orang malas itu!

Ucapan Dewi Kerudung Perak membuat Sepasang Pendekar Gendeng tersenyum. Dan belum juga mereka memberi tanggapan, kejap itu juga terdengar suara tawa di kejauhan. Suara tawa itu semakin lama semakin bertambah jelas.

“Pastilah yang datang itu Si Gila Ketawa! Mestinya hari ini aku tidak ketemu orang gila itu!” dengus Nyai Jeliteng, bersungut-sungut.

“Dalam suasana gawat seperti sekarang ini, kami harap Dewi dapat menahan sabar untuk melupakan persoalan pribadi!” ujar Indrajit.

“Kurasa Indrajit betul, Dewi. Kita harus bersatu menghadapi iblis keji. Kalau tidak, maka korban yang berjatuhan akan semakin banyak lagi!” timpal Subali.

“Sudah! Kalian yang muda tidak usah menggurui yang tua. Kalian sendiri sama-sama gendengnya!” dengus Nyai Jeliteng.

Benar saja. Sekejap kemudian, muncul seorang laki-laki gemuk pendek berbaju dari kulit beruang hitam. Di punggungnya tergantung dua buah gelang terbang.

“Ha ha ha...! Tidak kusangka di tempat ini telah hadir pula si perempuan hitam legam. Kalau tidak ada cahaya matahari, tentu aku tidak dapat melihatmu, Dewi Kerudung Perak?!” leceh sosok gemuk berjuluk Si Gila Ketawa.

Diejek begitu, tentu Nyai Jeliteng tidak senang. Langsung diterjangnya Si Gila Ketawa. Baru tubuhnya melayang, Sepasang Pendekar Gendeng telah menghadang sambil julurkan tangan.

Duuuk!

“Heh...?!” Dewi Kerudung Perak sangat terkejut. Matanya melotot dan memandang penuh teguran pada Sepasang Pendekar Gendeng.

“Huh! Ternyata kalian membelanya?” dengus Dewi Kerudung Perak tidak senang.

“Tolol dipelihara!” rutuk Subali. “Kami tidak membela siapa-siapa! Coba kalian pikir baik-baik. Aku mengundang kalian bukan untuk berkelahi sesama golongan sendiri. Sekarang kita harus bersatu untuk mencari iblis itu. Jika kalian saling bunuh di sini, siapa yang rugi?”

“Kau benar, Subali. Mengapa harus membuang tenaga percuma? Jika kita bertarung sampai menjadi bangkai sekalipun, tidak ada artinya, Nyai Jeliteng. Paling hanya menguntungkan cacing tanah saja! Ha ha ha...!” timpal Si Gila Ketawa sambil terus tertawa.

“Saudara Gila Ketawa! Kuharap Saudara mau menahan tawa sebentar. Tampaknya, kawan-kawan kita yang lain mulai datang!” ujar Subali.

Si Gila Ketawa langsung menutup mulutnya. Mereka terkesiap ketika mendengar suara angin menderu yang begitu keras disertai suara petir sambung-menyambung. Lalu....

“Sahabat sekalian. Aku datang memenuhi undangan!” Sayup-sayup terdengar suara yang ditujukan pada mereka yang berada di lereng Gunung Sumbing ini.

“Dewa Petir?!” seru Nyai Jeliteng.

Dari arah selatan lereng gunung, tampak melesat sesosok tubuh berpakaian serba putih. Di lain saat, tampak seorang laki-laki berbadan kurus berambut putih dan berbaju serba putih telah berdiri tegak di depan mereka. Sepasang Pendekar Gendeng, Dewi Kerudung Perak, dan Si Gila Ketawa langsung menjura dalam-dalam. Memang, Dewa Petir termasuk sesepuh dari tokoh-tokoh rimba persilatan golongan putih.

“Selamat datang dalam pertemuan ini, Ki Suta. Kami mengucapkan terima kasih, karena kau bersedia memenuhi undangan kami,” sambut Indrajit mewakili yang lainnya.

“Kalian adalah pendekar bebas dalam arti disukai siapa pun. Kuharap pertemuan ini menghasilkan kesepakatan, agar kita dapat bersatu menumpas menyebar malapetaka yang akhir-akhir ini semakin merajalela,” ujar Ki Suta alias Dewa Petir sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang.

“Kehadiranmu mempunyai arti besar bagi kami,” timpal Si Gila Ketawa.

“Sudahlah.... Jangan terlalu berlebihan. Kurasa jika sudah tidak ada yang ditunggu, kita bisa memulai pembicaraan!” tegas Ki Suta.

“Masih ada, Ki. Mereka adalah Pendekar Seruling Perak dan Pendekar Beruang Merah,” lapor Indrajit.

Ki Suta menarik napas panjang. Sebagai orang yang telah berpengalaman dan sesepuh dalam rimba persilatan, Dewa Petir tahu benar bagaimana watak kedua pendekar yang baru disebutkan Indrajit. Mereka paling sulit diajak bicara baik-baik dan suka melakukan sesuatu sendiri-sendiri. Walau memang harus diakui, kepandaian mereka cukup mengagumkan.

“Apakah kau telah menghubungi kedua pendekar itu, Subali?” tanya Dewa Petir.

“Sudah, Ki!” sahut Subali, pelan.

“Lalu, apa jawaban mereka?” tanya Ki Suta lebih lanjut.

“Mereka berjanji akan membantu hingga persoalan yang dihadapi benar-benar tuntas,” jelas pemuda itu.

“Kalau itu jawabannya, berarti mereka tidak datang kemari. Yang jelas mereka langsung mencari iblis itu!” sergah Ki Suta.

Dewa Petir akhirnya memutuskan untuk segera memulai memecahkan persoalan yang dihadapi.

“Semua yang hadir di sini,” kata Ki Suta memulai. “Aku perlu menjelaskan dari mana asal-usul lawan kita. Aku pernah bermimpi, bertemu lelembut yang bernama Ki Renta Alam. Menurut dia, orang yang telah melakukan pembunuhan dan pemerkosaan itu bernama Bara Genta...!”

“Bara Genta?” ulang Si Gila Ketawa, mendesis.

“Ya...! Tentu kau tidak mengenalnya. Karena, aku sendiri juga tidak kenal. Tapi menurut lelembut yang bernama Ki Renta Alam, kehadiran Bara Genta yang paling utama adalah ingin menghancurkan Pendekar Rajawali Sakti. Ki Renta Alam mengatakan kalau sudah bertemu pendekar itu dan membicarakan segala sesuatunya hingga jelas,” papar Dewa Petir.

Sepasang Pendekar Gendeng, Si Gila Ketawa, dan Nyai Jeliteng sama terdiam. Mereka mencoba mengingat-ingat, siapa sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti.

“Ki Suta,” ucap Si Gila Ketawa. “Kalau tidak salah, pendekar yang dicari Bara Genta adalah pemuda berompi putih bernama Rangga. Dia pendekar pembela kebenaran. Namanya saat ini menjadi buah bibir orang. Dia adalah pendekar golongan lurus. Jika Pendekar Rajawali Sakti sampai memusuhinya, sekarang sudah jelas bahwa Bara Gentalah yang telah melakukan pembunuhan dan pemerkosaan itu. Kita harus mencari untuk menghentikannya.“

“Memang itu yang akan kita lakukan. Tetapi persoalan yang paling penting, Bara Genta sebenarnya diutus gurunya agar dunia persilatan dipimpin oleh orang-orang dari golongan sesat!”

“Artinya mereka ingin membuat angkara murka di bumi ini?” tebak Nyai Jeliteng. “Aku pribadi belum pernah bertemu Pendekar Rajawali Sakti. Namun sepak terjangnya telah membuatku kagum. Kita harus membantu pemuda itu dalam mengatasi persoalannya!”

“Yang paling penting, Bara Genta memiliki kepandaian setara dengan Pendekar Rajawali Sakti. Kabarnya, kekuatannya bersumber pada Kitab Pelebur Jiwa. Jika kita dapat memusnahkan kitab itu, berarti sudah dapat mengurangi kesaktian Bara Genta,” urai Ki Suta.

“Kitab Pelebur Jiwa? Bagaimana sebuah kitab dapat menimbulkan kekuatan?” tanya Subali heran.

“Menurut Ki Renta Alam, kitab itu dikendalikan kekuatan iblis. Karena iblis sejati yang mengendalikannya, maka kitab itu dapat diperintahkan berbuat apa saja. Termasuk, membantu Bara Genta dalam mencapai maksudnya.

“Kurasa ada rahasia lain yang terkandung dalam kitab itu, Ki,” Si Gila Ketawa berpendapat.

“Maksudmu?” tanya Ki Suta.

“Kita tidak tahu asal-usul pemuda itu. Tahu-tahu, dia muncul melakukan pembunuhan besar-besaran. Apakah ada hubungannya dengan Genta si bajak laut itu?” duga Si Gila Ketawa.

“Genta? Maksudmu bekas raja penyamun yang dulu pernah dikalahkan Ki Wanayasa?” tanya Ki Suta.

“Betul!” jawab Si Gila Ketawa.

Semua orang yang berada di situ terdiam. Mereka kembali teringat pada kejadian beberapa tahun yang lalu, di mana seorang pemuda berumur lima belas tahun telah menjadi kepala bajak laut.

Enam tahun yang silam memang ada seorang bajak laut yang dipimpin pemuda bernama Genta. Dalam usia semuda itu, Genta sudah mampu memimpin anak buahnya dalam melakukan perampokan baik di laut, maupun di desa-desa pinggir pantai. Tindakan mereka cenderung kejam. Mereka bukan hanya menjarah harta benda penduduk saja, melainkan melakukan pemerkosaan terhadap anak-anak gadis Desa Pasir Tambi.

Karena ganasnya tindakan mereka, maka Ketua Padepokan Pasir Tambi yang bernama Ki Wanayasa dan murid-muridnya melakukan perlawanan. Anggota gerombolan perampok itu tewas semuanya. Sedangkan pimpinannya yang bernama Genta disiksa. Ki Wanayasa kemudian menjatuhkan hukuman berat. Yaitu, dengan membuang pimpinan perampok ini ke laut, setelah kaki serta tangannya diikat.

“Ki Wanayasa telah memeriksa Genta ketika itu. Dan dia dinyatakan mati. Jadi tidak mungkin kalau Genta hidup kembali!” bantah Subali.

“Lalu, apakah ujung nama pemuda iblis itu hanya kebetulan saja?” tanya Nyai Jeliteng.

“Yang satu ini lain. Namanya, Bara Genta. Kurasa tidak ada hubungan apa-apa dengan Genta si bajak laut. Lagipula, orang yang sudah mati mustahil hidup kembali!” sanggah Indrajit.

“Menurut Ki Renta Alam,. Bara Genta berasal dari dalam Gua Seribu Malam. Gua itu terletak di dasar Laut Utara!” jelas Dewa Petir.

“Sudahlah.... Mungkin semua itu hanya kebetulan saja. Sekarang apa yang akan kita lakukan?” sela Si Gila Ketawa.

“Sekarang kita saling berbagi tugas,” ujar Dewa Petir. “Subali, Indrajit, dan Si Gila Ketawa, mencari Pendekar Rajawali Sakti. Jika sudah bertemu, bantulah dia. Sedangkan Dewi Kerudung Perak ikut bersamaku untuk mencari Bara Genta! Mungkin, saat ini Pendekar Seruling Perak dan Pendekar Beruang Merah sudah melakukan tugasnya. Pesanku, hati-hatilah kalian. Sebab, yang kita hadapi memiliki kepandaian sangat hebat.”

“Kami akan selalu mengingat-ingat pesanmu, Ki!” jawab Si Gila Ketawa mewakili kawan-kawannya.

Dewa Petir dan Dewi Kerudung Perak kemudian meninggalkan tempat itu. Tinggallah Si Gila Ketawa dan Sepasang Pendekar Gendeng.

“Kawan-kawan kita sudah berangkat. Apakah kita tetap menunggu di sini sampai ubanan?” celetuk Indrajit.

“Ha ha ha...! Jangan menyindirku Indrajit. Sekarang kita berangkat!” sahut Si Gila Ketawa.

Ketiga pendekar yang sama-sama konyol ini akhirnya menuju ke daerah pinggiran Laut Utara.

********************

Satu sosok bayangan putih berkelebat di antara pohon besar yang ada di sekelilingnya di Hutan Wonocolo. Dan tiba-tiba kelebatannya dihentikan ketika melihat seekor serigala hutan berlari ke semak-semak belukar. Sosok bayangan putih yang ternyata seorang pemuda berbaju rompi putih ini langsung melirik ke arah datangnya serigala tadi.

Pemuda dengan pedang bergagang kepala burung di punggung ini mengerutkan keningnya, ketika melihat ceceran darah. Dengan cepat melakukan pemeriksaan. Sampai akhirnya ditemukannya mayat seorang gadis tanpa pakaian tergeletak di semak-semak dengan kepala pecah. Bagian kepala yang pecah sudah tidak utuh lagi. Rupanya, serigala tadi telah menggerogoti sebagian kulit dan dagingnya.

“Pembunuh biadab!” desis pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti geram. “Aku yakin pelakunya pastilah orang yang sama.”

Entah mengapa, Rangga sekarang merasa hatinya semakin terbebani. Bagaimana tidak? Pembunuh itu menghendaki dirinya. Bukan orang lain. Dia melakukan pembunuhan-pembunuhan serta pelampiasan nafsunya. Mungkin karena kebiasaannya, juga karena sengaja ingin memancing perhatian Pendekar Rajawali Sakti agar terus mencarinya.

“Aku harus menemukan orang itu secepatnya, sebelum segala-galanya terlambat!” pikir Pendekar Rajawali Sakti. Rangga bangkit berdiri. Namun belum sempat meninggalkan mayat gadis malang itu....

“Pembunuh keji! Dicari-cari, malah membunuh gadis lain di sini!” Mendadak terdengar bentakan dari belakang Pendekar Rajawali Sakti yang disusul suara desis angin halus. Sedikit Rangga melirik.

Wuuut!

Pendekar Rajawali Sakti cepat menghindar begitu melihat beberapa sinar keperakan meluncur ke arahnya. Seketika tubuhnya mengegos seraya berputar.

Crep! Crep!

Benda-benda yang ternyata senjata rahasia berupa paku berwarna perak itu langsung menancap di sebuah pohon besar.

“Mengapa kau menyerangku, Kisanak? Bahkan menuduhku yang bukan-bukan?” tanya Rangga heran, ketika di depannya tahu-tahu telah berdiri seorang laki-laki berumur sekitar empat puluh tahun. Rambutnya panjang dan memakai ikat kepala warna putih ini.

“Bukti sudah di depan mata. Kau telah membunuh gadis itu. Orang pun tidak menyangka kalau kau iblis berhati keji!” dengus laki-laki ini.

Mendapat tuduhan yang tidak beralasan, Rangga tentu tidak tinggal diam. “Hati-hatilah bicara, Kisanak! Aku sendiri sedang mencari si pembunuh yang telah menebar petaka di mana-mana!” kilah Pendekar Rajawali Sakti.

Rupanya laki-laki berbaju putih ini tetap tidak mempercayai ucapan Rangga. “Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu! Hiyaaa...!”

Sambil berteriak keras, laki-laki ini melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti dengan mengerahkan jurus-jurus dahsyat. Rangga segera melompat mundur. Namun lawan terus memburunya. Maka terpaksa Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ yang ditunjang mengandalkan kelincahan tubuhnya, untuk menghindari serangan. Sedikit pun dia tak ingin membalas serangan.

“Melawan atau tidak melawan, aku tetap akan membunuhmu!” dengus laki-laki berbaju putih ini.

“Tindakanmu yang gegabah hanya akan membuatmu menyesal seumur hidup!” gumam Rangga.

“Persetan! Heaaa...!”

“Hmmm...!” gumam Rangga tidak jelas.

Setelah berlangsung lima belas jurus, laki-laki berbaju putih ini tetap belum dapat mendesak Rangga. Rupanya kenyataan ini telah membuka matanya. Saat itu juga dicabutnya seruling perak yang terselip di pinggang. Senjata itu kemudian diputarnya dengan cepat, menimbulkan suara menderu-deru. Di lain saat, seruling itu meluncur deras ke beberapa bagian di tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Karena cepatnya gerakan senjata itu, hingga sekilas tampak berubah menjadi banyak.

Melihat kenyataan ini, Rangga harus mengakui kehebatan lawannya. Apalagi seruling itu mengeluarkan suara mendengung-dengung menyakitkan telinga.

“Hiyaaa...!” Disertai teriakan keras, Rangga merubah jurusnya menjadi ‘Sayap Rajawali Membela Mega’. Dia melompat ke depan. Tubuhnya berkelebat mendekati, sedangkan tangannya yang terjulur berusaha menerobos pertahanan.

Mendapat serangan dahsyat, laki-laki berbaju putih mengibaskan tangannya. Rangga segera menarik balik tangannya, namun kaki kanan cepat meluncur menghantam pinggang.

Desss!

“Higkh...!” Laki-laki itu kontan terpelanting. Pinggangnya seperti remuk dan terasa panas sekali. Cepat dia bangkit berdiri.

“Heaaa...!” Disertai teriakan penuh amarah, laki-laki bersenjata seruling ini kembali menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan jurus-jurusnya yang paling hebat!

“Kuperingatkan sekali lagi padamu, kau menyerang orang yang salah!” teriak Rangga.

Rupanya laki-laki itu tidak meladeninya. Dia malah mulai melepaskan pukulan mautnya. “Pukulan ‘Cucuran Air Mata Dewa’!” teriak laki-laki berbaju putih itu dengan suara keras dengan tangan mengibas ke depan. Dan sederet sinar merah seperti bara meluncur deras ke arah Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti tentu tidak tinggal diam. Sebelum sinar merah itu mengenai sasarannya, kedua tangannya didorong ke depan. “Aji ‘Guntur Geni’! Hiyaaa...!”

Glar! Glaaar!

“Wuaaagkh...!” Teriakan keras laki-laki berbaju putih terdengar. Tubuhnya terlempar jauh ke belakang. Sudut-sudut bibirnya mengucurkan darah. Sedangkan Rangga sendiri hanya bergetar saja.

********************

“Hiaaa...!”

Pertarungan kembali terjadi. Rangga sekali lagi mengegoskan tubuhnya saat sabetan seruling mengancam kepalanya. Sementara laki-laki berbaju putih sudah memutar tubuhnya. Senjata di tangannya kembali menyodok cepat.

“Hup...!” Dengan gerakan cepat luar biasa, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas. Sambil berjumpalitan beberapa kali, kedua tangannya bergerak cepat ke punggung laki-laki itu. Dan....

Tuk! Tuk!

“Aaa...!” Disertai keluhan tertahan laki-laki itu merasakan anggota tubuhnya bagai sulit digerakkan. Sadarlah dia kalau pemuda berbaju rompi putih itu telah menotoknya.

“Kurang ajar! Bebaskan aku...!” teriak laki-laki itu penuh amarah.

“Kalau aku memang berniat jahat, bukankah kau sudah mati di tanganku? Aku harus membiarkan keadaanmu seperti itu, agar niatku untuk mencari Bara Genta tidak terganggu olehmu!” kata Rangga.

Tanpa berkata-kata lagi, Pendekar Rajawali Sakti segera pergi begitu saja. Laki-laki ini tentu saja tidak dapat berbuat sesuatu, terkecuali mengumpat di hati. Entah sudah berapa lama dia dalam keadaan seperti itu. Untung saja, tak lama muncul tiga orang laki-laki yang sangat dikenalnya.

“Hei..., kalian! Bebaskan aku!” seru laki-laki ini, tanpa malu-malu.

Ketiga laki-laki yang tidak lain Sepasang Pendekar Gendeng dan Si Gila Ketawa segera datang menghampiri. Namun baru beberapa langkah, mereka tertegun.

“Hei...? Mengapa Pendekar Seruling Perak seperti patung begitu?” tanya Subali dengan kening berkerut.

“Tampaknya seseorang telah menotoknya!” dengus Indrajit.

“Ha ha ha...! Kau ini mengapa menjadi patung di tengah hutan begini,  Abiyasa?” tanya Si Gila Ketawa.

“Cepat bebaskan aku! Pemuda berbaju rompi putih itu harus kukejar!” ujar laki-laki berbaju putih yang ternyata Pendekar Seruling Perak dan bernama asli Abiyasa.

“Ada apa rupanya?” tanya Si Gila Ketawa. “Jika jadi pecundang, apa mungkin kau dapat mengalahkannya?”

“Pemuda mana yang kau maksudkan?” tanya Indrajit.

“Pemuda berbaju rompi putih!” jawab Abiyasa, lugas.

Mata mereka bertiga langsung terbelalak. Ciri-ciri yang baru saja disebutkan Abiyasa sama persis dengan yang diceritakan Dewa Petir.

“Kau mengejar orang yang salah, Abiyasa! Orang yang bentrok denganmu pastilah Pendekar Rajawali Sakti yang harus kita bantu!” tegas Si Gila Ketawa.

“Apa? Tapi dia telah membunuh gadis di semak-semak itu!” tangkis Pendekar Seruling Perak.

“Gadis...?”

“Ya.... Kalau tidak percaya, lihatlah...!”

Sepasang Pendekar Gendeng segera melakukan pemeriksaan. Ternyata gadis yang terbunuh tidak lain Sitoresmi, cucu Ketua Padepokan Pasir Tambi. Tentu kedua pendekar ini tahu kalau yang melarikan gadis itu tak lain dari Bara Genta. Jadi, tidak benar Pendekar Rajawali Sakti yang telah membunuhnya. Apalagi, sempat memperkosanya.

Mereka kemudian menghampiri Pendekar Seruling Perak yang baru saja pengaruh totokannya dibebaskan Si Gila Ketawa.

“Bukan Pendekar Rajawali Sakti yang membunuhnya. Kami pernah ke Desa Pasir Tambi. Tentu kami tahu, apa yang telah terjadi di sana. Kau telah menyerang orang yang seharusnya kau bela, Abiyasa!” jelas Indrajit.

“Oh, maafkan aku. Aku tidak tahu!” sahut Abiyasa, merasa menyesal.

“Sudahlah! Mumpung belum jauh, sebaiknya kita kejar Pendekar Rajawali Sakti!” saran Si Gila Ketawa.

“Kita harus menguburkan mayat gadis ini dulu!” bantah Indrajit.

Yang lain tidak bisa membantah. Mereka lantas membuat sebuah kubur di bawah sebatang pohon pinus.

“Sungguh mengenaskan keadaannya. Aku bersumpah jika bertemu Bara Genta, akan kupotong-potong tubuhnya untuk kuumpankan pada buaya-buaya peliharaanku!” dengus Pendekar Seruling Perak.

“Itu tolol namanya! Kalau aku, lebih baik dimakan sendiri,” sergah Si Gila Ketawa.

“Kalian ini memang sama-sama edannya! Sudahlah jangan ngoceh terus. Sudah saatnya kita menguburkan mayat gadis ini!” ujar Subali.

Tanpa menghiraukan bau amis yang menebar dari tubuh Sitoresmi, mereka langsung menggotong ke dalam liang kubur. Tidak lama, tugas mereka selesai. Kini mereka melanjutkan perjalanan kembali.

********************

Desa Pasir Molek yang sebelumnya sebuah desa yang gemah ripah loh jinawi dan aman tenteram, kini telah berubah menjadi desa mati. Apalagi bila malam telah datang. Beberapa hari sebelumnya banyak pemuda desa yang dibunuh secara keji. Gadis-gadis desa yang rata-rata berparas cantik hilang begitu saja. Bila keesokan harinya gadis-gadis itu ditemukan, ternyata telah menjadi mayat. Bagian jantung mereka berlubang. Tubuhnya telanjang, berwarna biru.

Kejadian demi kejadian itu tentu membuat penduduk menjadi marah. Dengan dipimpin seorang laki-laki setengah baya yang menjabat Kepala Desa, para penduduk segera melakukan pencarian terhadap pelaku pembunuhan dan pemerkosaan itu. Namun sampai sejauh itu hasilnya tetap sia-sia belaka.

Kejadian ini tentu sangat mengganggu kehidupan sehari-hari. Tak heran kalau malam ini Desa Pasir Molek tampak lengang. Bulan di angkasa sana yang timbul tenggelam tertutup awan menambah suasana terasa mencekam. Tidak satu pintu pun yang terbuka. Tampaknya, para penduduk memang takut pada si pembunuh bila datang lagi.

Terlebih-lebih mereka yang mempunyai anak gadis cantik. Tak urung kecemasan itu juga melingkupi hati Kepala Desa Pasir Molek yang juga mempunyai seorang putri yang sudah menjadi gadis cantik. Kepala desa yang dipanggil penduduk dengan nama Ki Jatayu bukannya berdiam diri saja menghadapi masalah ini. Dia pun tiap malam selalu mengadakan perondaan. Namun tetap saja desanya selalu kecolongan.

Kini Ki Jatayu duduk termenung di ruangan tengah. Cahaya lampu minyak yang begitu redup, membuat suasana di sekitarnya tampak samar-samar.

“Ayah belum lagi tidur?”

Ki Jatayu yang sedang melamun tersentak kaget. Kepalanya berpaling ke arah datangnya suara. Seorang gadis cantik berkulit kuning langsat tahu-tahu telah berdiri di belakangnya.

“Banyak yang Ayah pikirkan beberapa hari ini. Termasuk juga memikirkan dirimu, Anggraini!” jelas laki-laki setengah baya itu.

“Mengapa dengan diriku?” tanya gadis bernama Anggraini.

“Kau tahu, bagaimana nasib gadis-gadis seusiamu di desa ini?” tukas Ki Jatayu, seraya menatap tajam pada anak gadisnya yang semata wayang.

“Ya...!” jawab Anggraini singkat.

“Ayah khawatir, pemuda iblis itu masih berkeliaran di sekitar tempat ini. Dalam keadaan begini, seharusnya kau tetap berada di dalam kamarmu saja!” ujar Ki Jatayu mengingatkan.

“Ayah! Kurasa semua itu tidak ada gunanya. Jika dia datang, tentu semua kamar akan digeledahnya. Mungkin lebih baik jika besok pagi aku mengungsi ke rumah Paman. Tampaknya, Desa Pacitan tidak diganggu pemuda itu.”

“Sebuah usul yang sangat bagus. Ayah mendukungmu!” ujar Ki Jatayu langsung setuju.

Kepala desa ini langsung memerintahkan putri tunggalnya untuk berkemas-kemas. Anggraini segera menuju ke kamarnya. Dibenahinya seluruh keperluan yang dibutuhkannya nanti. Dan baru saja Ki Jatayu larut kembali dalam renungannya...

Tok! Tok! Tok!

Ki Jatayu terkesiap ketika tiba-tiba pintu rumahnya diketuk. Wajahnya berubah pucat. Firasatnya mengatakan, yang mengetuk pintu tidak lain dari pemuda iblis yang telah menculik gadis-gadis desa dan membunuhi pemudanya. Maka dengan perlahan-lahan dia bangkit dan berjalan ke dinding rumahnya. Segera diraihnya tombak bermata ganda yang menjadi penghias ruangan.

Tok! Tok!

Suara ketukan kembali terdengar. Kali ini lebih keras dari yang pertama tadi.

“Siapa?” tanya Ki Jatayu, bergetar suaranya.

“Aku...!” sahut suara dari luar.

“Aku siapa?” tanya kepala desa ini tidak sabar.

“Bukalah pintunya. Aku datang dengan maksud baik. Dan aku sudah mendengar apa yang terjadi di sini!” ujar suara dari luar.

Keraguan di hati Ki Jatayu mulai berkurang. Sambil membawa tombak, dihampirinya pintu. Tidak lama, kunci pintu sudah dibukanya.

Begitu pintu terbuka lebar, Kepala Desa Pasir Molek ini tertegun.

Di depan pintu tampak berdiri seorang pemuda tampan berambut panjang sebahu dan memakai baju rompi putih. Pemuda ini tersenyum ramah pada Ki Jatayu.

“Siapa kau, Anak Muda?” tanya Kepala Desa Pasir Molek, dengan mata menyelidik penuh kecurigaan.

“Aku Rangga. Aku dalam perjalanan mencari seseorang. Karena kemalaman, aku terpaksa singgah, sekalian mencari keterangan di sini,” jelas pemuda yang ternyata Rangga.

“Masuklah!” ujar Ki Jatayu mempersilakan Rangga memasuki rumahnya. Kendati demikian, sikapnya masih terlihat kaku.

Setelah Rangga masuk, kepala desa itu segera mengunci pintu kembali. Ki Jatayu segera mengajak tamunya duduk. Lalu disuruhnya Anggraini untuk mempersiapkan hidangan.

“Siapa sebenarnya orang yang sedang kau cari-cari itu, Rangga?” tanya Ki Jatayu.

“Aku mencari pemuda pembunuh dan pemerkosa gadis-gadis desa. Aku mendapat keterangan, dia sekarang mengganggu daerah ini,” jelas Pendekar Rajawali Sakti tenang.

Ki Jatayu menarik napas lega. Pembicaraan mereka tertunda, karena ketika itu Anggraini datang membawakan makanan serta kopi panas. Gadis ini sempat melirik Rangga dengan sudut mata. Ternyata, pemuda ini memiliki wajah tampan. Anggraini menduga, tentulah dia seorang pendekar. Setelah meletakkan hidangan di atas meja, Anggraini kembali ke belakang. Diam-diam dia ikut mendengarkan pembicaraan ayahnya dengan pemuda itu.

“Silakan dicicipi, Rangga!”

“Terima kasih,” ucap Rangga.

Sambil menikmati hidangan apa adanya, Rangga menceritakan duduk persoalan yang sebenarnya. Kebalikannya, Kepala Desa Pasir Molek itu juga menceritakan apa yang terjadi di desanya.

“Kalau begitu, aku hampir mendapatkan apa yang kucari. Ketahuilah, Ki. Bara Genta adalah orang yang sangat berbahaya. Aku ingin tahu, apakah malam ini dia akan datang ke desa ini?”

“Itu sulit dipastikan! Tapi menurutku, dia mungkin datang. Sebab sudah hampir sepekan dia menculik gadis-gadis di daerah ini,” jelas Ki Jatayu.

Ucapan kepala desa tersebut seakan-akan menjadi sebuah kenyataan. Tiba-tiba pintu depan diketuk seseorang. Ketukan itu kemudian semakin keras.

“Kepala Desa! Buka pintunya. Aku Pembegal Jagad ingin mengambil putrimu yang cantik untuk menemani aku tidur malam ini. Kepala Desa! Cepat bukaaa...!” teriak suara yang mengaku berjuluk Pembegal Jagad.

Kepala desa ini menoleh ke arah Rangga, seakan minta pendapat. Karena Pendekar Rajawali Sakti menggelengkan kepala, maka Ki Jatayu tetap duduk di tempatnya dengan perasaan tegang. Sementara itu, Anggraini telah menghampiri ayahnya. Gadis itu tampak sangat ketakutan! Keringat dingin telah membasahi tubuhnya yang gemetar.

“Bagaimana ini, Ayah?” tanya gadis itu.

Anggraini memandang ke arah Rangga, seakan mengharapkan sebuah perlindungan. Sementara Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Ditepuknya bahu Anggraini.

“Kembalilah ke kamarmu. Jika ada apa-apa di dalam sana, secepatnya kau keluar!” perintah Rangga dengan suara pelan.

Anggraini segera mematuhi saran Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga menghampiri Ki Jatayu.

“Tetaplah di belakang pintu, Ki. Jika aku tidak sanggup menahan orang ini, sebaiknya kau dan putrimu cepat menyingkir!” saran Rangga.

Jika pendekar besar seperti Pendekar Rajawali Sakti sempat bicara seperti itu, tentu disadari bahwa lawan yang dihadapinya benar-benar tangguh.

“Kepala Desa! Rupanya kau membangkang perintahku. Aku jadi ingin tahu, apakah tubuhmu seatos batu karang!” dengus Pembegal Jagad yang tak lain Bara Genta.

Brak! Brak!

Tiba-tiba terdengar suara berderak. Dengan dua kali dorong, daun pintu telah hancur berantakan. Di depan pintu yang hancur kini telah berdiri seorang pemuda berkulit hitam. Badannya tinggi. Rambutnya lurus seperti bulu landak. Yang aneh, tatapan matanya tampak menyala seperti api.

“Hemmm.... Rupanya selain Kepala Desa, ada orang lain di sini. Kau ingin mengandalkan pemuda ini, Kepala Desa?” gumam Bara Genta.

“Tid... tidak...!” sahut Ki Jatayu ketakutan.

“Baiklah. Aku tidak akan mengganggumu jika kau menyerahkan putrimu untuk menemaniku malam ini!” desis Bara Genta, tanpa memandang mata sama sekali pada Pendekar Rajawali Sakti.

Pendekar Rajawali Sakti maju selangkah. Tatapan matanya menyorot tajam pada pemuda bertelanjang dada yang berdiri di depan pintu.

“Anak Kepala Desa adalah calon istriku!” kata Rangga berbohong. “Jadi tidak akan kubiarkan walau seekor lalat pun yang menyentuhnya,” desis Pendekar Rajawali Sakti tak kalah dingin.

Bara Genta menyeringai. Matanya yang kemerah-merahan tampak marah sekali.

“Begitu...? Kalau kubunuh calon suaminya, siapa lagi yang akan menghalanginya?” dengus Pembegal Jagad, dingin. “Tapi... sebentar dulu...! Melihat ciri-cirimu, kau mirip orang yang dikatakan guruku. Bukankah kau Pendekar Rajawali Sakti?”

Rangga merasa kedoknya sudah terbuka. Untuk itu, rasanya sudah tidak ada gunanya lagi berbohong. “Dugaanmu tidak salah!” jawab Rangga tenang.

Bara Genta tiba-tiba tergelak-gelak. Kini dia telah berhadapan dengan orang yang harus dibunuhnya. “Aku tidak menyangka perjumpaanku denganmu akan berlangsung secepat ini. Pendekar Rajawali Sakti! Aku diutus guruku Si Bayang-Bayang untuk mengirimmu ke neraka. Apakah kau sudah siap mampus...?”

“Kematian adalah sesuatu yang menjadi rahasia Sang Penguasa Alam. Bukan kau yang menentukan kematianku!” sahut Rangga, enteng.

“Ha ha ha...! Omong kosong! Aku yang menentukan kematianmu! Kalau tidak percaya! Hiyaaa...!” teriak Bara Genta.

Secepat terbang, pemuda bertelanjang dada ini langsung menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Serangannya sangat ganas dan mematikan. Dalam gebrakan pertama saja, Rangga sudah mulai merasakan tekanan berat. Sebagai pendekar yang sudah berpengalaman, Rangga sadar betul kalau serangan Pembegal Jagad bertujuan untuk menghancurkan dirinya. Maka segera tubuhnya berjumpalitan ke belakang. Karena pertarungan terjadi di dalam rumah, Pendekar Rajawali Sakti tidak dapat bergerak leluasa.

“Hiyaaa...!” Rangga tiba-tiba menjulurkan tangannya ke arah leher Bara Genta. Namun, Pembegal Jagad cepat menangkisnya.

Plak!

“Heh...?!” Dengan rasa terkejut, kedua orang yang bertarung terdorong mundur. Rangga merasakan tangannya berubah dingin akibat benturan tadi. Sebaliknya Bara Genta hanya bergetar saja. Sekarang sudah jelas kalau tenaga dalam yang dimiliki masing-masing seimbang.

Kini Bara Genta melakukan serangan balik. Tubuhnya meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti sambil melepaskan tendangan berantai.

“Uts...!" Rangga terpaksa bergerak ke samping. Segera dikerahkannya jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’. Walaupun Rangga telah meliukkan tubuhnya dengan sempurna yang ditunjang gerakan yang lincah, namun tendangan susulan yang dilakukan Bara Genta sempat menyambar dadanya. Tidak ampun lagi....

Desss!

“Hugkh...!” Pendekar Rajawali Sakti terpental ke dinding hingga hancur. Dan tubuh Rangga terus meluncur keluar. Luncurannya baru terhenti, setelah punggungnya menabrak pohon belimbing di halaman samping. Dalam suasana terang benderang bulan purnama, Bara Genta terus memburunya.

LIMA

Pendekar Rajawali Sakti yang dadanya sempat terasa sesak segera mengatur pernapasan. Kemudian dia melompat bangkit pada saat tendangan Pembegal Jagad meluncur deras ke bagian wajah. Melihat serangan ini Rangga segera menghadang dengan mempergunakan telapak tangan.

Plak! Tap!

“Auaaa...!” Kini giliran Bara Genta yang terpelanting. Rupanya dalam upaya menangkis serangan tadi, Rangga sempat menangkap telapak kaki Pembegal Jagad. Secepat kilat dan sekuat tenaga didorongnya kaki Bara Genta.

Sambil mendengus-dengus bagaikan banteng mengamuk, Bara Genta bangkit berdiri. Pada saat yang sama Pendekar Rajawali Sakti telah melakukan serangan balik. Namun serangannya yang mengandalkan kaki dan kepalan ini dapat dihindari Bara Genta, membuat Pendekar Rajawali Sakti tak habis pikir dengan hati heran. Betapa tidak? Rangga merasa jurus yang dipergunakan lawannya justru kebalikan dari jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’.

Keheranan Pendekar Rajawali Sakti rupanya sempat terlihat oleh Pembegal Jagad. “Kau tidak perlu heran, Pendekar Rajawali Sakti. Jika kau punya jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’, maka aku pun punya jurus ‘Liukan Sang Api’. Apakah kau melihat persamaan dan perbedaannya?” ejek Bara Genta jumawa.

Sebenarnya, Rangga kembali heran. Dari mana Bara Genta tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti punya jurus yang bernama ‘Sembilan Langkah Ajaib’? Namun, dia cepat memaklumi mengingat Pembegal Jagad adalah murid tokoh berjuluk Si Bayang-Bayang yang telah lama malang melintang dalam rimba persilatan.

“Bedanya, kau iblis berkedok manusia! Sedangkan aku manusia sejati...!” dengus Rangga tidak kalah sengit.

“Keparat sial! Hiyaaa...!” Dengan gusarnya, Bara Genta kembali membangun serangan gencar. Badan masing-masing sudah bermandikan keringat. Sampai enam puluh jurus masih belum ada tanda-tanda siapa yang bakal keluar menjadi pemenangnya.

Rangga cepat menghindar dengan melenting ke udara. Pendekar Rajawali Sakti berjumpalitan beberapa kali di udara. Saat tubuhnya meluncur deras ke bawah dengan jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’ kaki kanannya bergerak cepat ke bagian kepala Bara Genta.

“Haiiit!” Secepat kilat Pembegal Jagad yang seakan mengetahui gerakan Pendekar Rajawali Sakti kaki kirinya diangkat tinggi-tinggi.

Dhak!

“Uaaakh...!” Masing-masing menjerit keras dan terpental ke belakang. Baik kaki Rangga maupun kaki Bara Genta sama-sama memar, membiru. Rangga mengeluh dalam hati. Sungguh tidak disangka serangannya selalu bisa dipatahkan lawannya.

Bara Genta bangkit lebih awal dari Rangga. Sambil terpincang-pincang bibirnya tersenyum dingin. “Jurusmu memang hebat. Tapi aku mempunyai jurus ‘Mematahkan Sambaran Sang Api’. Itulah pemunah jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’!” jelas Bara Genta.

Kembali Pendekar Rajawali Sakti dibuat kaget lagi. Ternyata Bara Genta tahu juga nama jurus yang barusan dipergunakan Rangga.

“Hmmm...,” gumam Rangga tidak jelas.

Tidak disangka-sangka Pembegal Jagad melompat mundur. Kemudian dikerahkannya tiga perempat dari seluruh tenaga dalamnya. “Tendangan Badai Topan! Hiyaaa...!” Disertai teriakan melengking, Bara Genta mengibaskan tangannya ke depan.

Rangga melihat seleret sinar biru meluncur ke arahnya, menebarkan hawa dingin menusuk. Tidak menunggu lebih lama lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung mempergunakan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’. Secepat kilat dibuatnya beberapa gerakan. Dan tiba-tiba tangannya menghentak.

“Heaaa...!” Sinar merah keluar dari tangan Rangga, menebar hawa panas membakar. Tampaknya, masing-masing jurus memang hampir mempunyai persamaan. Sekejap kemudian, kedua sinar itu berbenturan di udara.

Blaaar!

“Aaakh...!” Benturan hawa panas dingin menimbulkan ledakan keras menggelegar. Karena kuatnya tenaga dalam yang terkandung, masing-masing terpelanting disertai jeritan keras.

Baik Rangga maupun Bara Genta sama-sama menderita luka dalam yang tidak ringan. Sudut-sudut bibir mereka mengalirkan darah kental. Dengan tertatih-tatih, Rangga segera duduk bersila. Sementara darah semakin banyak yang menetes. Kemudian matanya dipejamkan untuk mengatur napas dan mengerahkan tenaga hawa murni untuk mengobati luka yang dideritanya.

Pembegal Jagad juga melakukan, hal yang sama. Keadaannya sedikit lebih lumayan daripada Rangga. Setelah menelan beberapa buah obat berwarna hitam dan berbau amis, Bara Genta segera bangkit kembali.

Rangga harus mengakui inilah lawan yang terberat dalam sejarah petualangannya. Untuk itu dia harus berhati-hati.

“Kuakui, kau memang hebat. Tapi jangan menyangka aku akan membiarkan segala perbuatan busukmu!” desis Rangga dingin.

“Jangan kelewat yakin dengan kemampuan diri sendiri, Pendekar Rajawali Sakti. Kau harus menyadari dengan siapa sekarang berhadapan!” balas Bara Genta.

Rupanya diam-diam Pembegal Jagad telah mengerahkan tenaga dalam kembali ke bagian telapak tangannya. Saatnya sekarang dia bersiap-siap melepaskan ajian ‘Pedut Segara’. Ajian itu hampir setara dengan ajian ‘Guntur Geni’. Dan memang, pada dasarnya ajian itu khusus untuk menandingi ajian yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti.

Bara Genta kemudian berkelebat mengelilingi Rangga. Dari empat sisi pemuda berkulit legam ini menghentakkan tangannya ke satu sasaran.

Wuuut! Wueees!

Suasana di sekeliling tempat itu berubah menjadi gelap berselimut kabut. Angin menderu-deru, menimbulkan suara-suara mengerikan. Pada saat itu pula, Rangga merasakan ada sebuah kekuatan yang sangat besar menyeretnya. Menyentakkannya, menusuk-nusuk pembuluh darahnya.

Dan Rangga tiba-tiba merasakan dirinya terdampar di lautan es. Sejauh-jauh mata memandang, yang terlihat hanya gumpalan kabut putih seperti salju. Pendekar Rajawali Sakti merasa lehernya seperti tercekik ribuan tali. Dan sebelum segala-galanya terlambat, tiba-tiba kedua tangannya mendorong ke empat penjuru.

“Aji ‘Guntur Geni’! Heaaa...!” Hawa panas keluar dari tangan Rangga yang disertai empat sinar melesat ke empat penjuru, langsung menerjang kabut putih menyerupai salju.

Glar! Glaaar!

Dentuman keras terdengar di sana-sini disertai pijaran bunga api. Akibatnya tentu tidak ringan bagi masing-masing yang telah melepaskan tenaga dalam tadi. Pendekar Rajawali Sakti tercampak ke utara, sedangkan Bara Genta terpelanting ke selatan.

Luka dalam yang mereka derita begitu parah. Tapi seperti kesetanan, mereka segera bangkit berdiri kembali tanpa menghiraukan darah yang terus mengucur dari mulut dan hidung. Kini Bara Genta kembali melakukan serangan dengan bergerak ke samping kanan sejauh dua langkah. Kemudian kembali bergerak ke kiri dua langkah. Selanjutnya, ke belakang dua langkah pula.

Rangga menyadari mungkin lawannya bermaksud melakukan serangan yang paling mematikan. Tiba-tiba Bara Genta melompat ke depan. Tidak langsung menyerang, melainkan menjejakkan kaki kanannya sebanyak tujuh kali ke bumi.

“Aji ‘Pamiluto Gaib’!” teriak Bara Genta.

Rangga yang baru saja berdiri segera merasakan guncangan keras pada bagian dadanya. Kini disadari kalau Pembegal Jagad bermaksud mengadu jiwa melalui serangan jarak jauh. Pendekar Rajawali Sakti yang telah menyalurkan tenaga dalam ke bagian tangannya segera melompat ke depan.

“Aji ‘Bayu Bajra’! Hiyaaa...!” teriak Rangga sambil menghentakkan tangannya.

Dua gulung angin topan langsung menghantam Bara Genta yang diam terpaku bagaikan patung. Tetapi, serangan itu tidak berakibat apa-apa bagi Pembegal Jagad. Malah angin topan kembali berbalik dengan kekuatan berlipat ganda. Pendekar Rajawali Sakti yang telah banyak menguras tenaga masih berusaha menghindarinya. Namun gerakannya terlambat. Tubuhnya tersapu pukulannya sendiri, sehingga terjengkang ke belakang.

Sungguh mengenaskan keadaan pemuda berbaju rompi putih ini. Ia meringis kesakitan. Sedangkan Bara Genta tetap terpaku sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Tampaknya, dia bermaksud mengirimkan serangan yang dapat menghabisi riwayat Pendekar Rajawali Sakti. Namun pada saat-saat yang sangat menegangkan itu, tampak dua sosok tubuh berkelebat ke arah Bara Genta.

“Pembunuh keji! Heaaa...!”

Sosok yang satu kebutkan selendangnya. Sedangkan yang satu lagi merangkapkan kedua tangannya. Dari telapak tangan itu melesat lidah api, bagaikan serentetan petir ke arah Bara Genta. Tangan Pembegal Jagad yang sudah terangkat tadi gagal dihantamkan ke arah Rangga. Kini tangan itu menangkis kedua serangan yang baru datang.

Blar! Blaaar!

“Aaa...!” Tampak pendatang yang menyerang pakai selendang terbanting roboh disertai teriakan kesakitan. Sedangkan yang satunya lagi, kalau tidak cepat menghindar dipastikan terkena pukulannya sendiri yang membalik.

“Dewi Kerudung Perak!” seru laki-laki tua yang lolos dari maut ketika melihat perempuan berbaju putih tewas seketika menemui ajal. Laki-laki tua yang tak lain Ki Suta alias Dewa Petir tidak sempat memberi pertolongan.

Bahkan masih dalam keadaan berdiri, Bara Genta tanpa berkata apa-apa langsung mengibaskan tangan kanannya ke arah Ki Suta. Sementara Dewa Petir segera merangkapkan kedua tangannya. Saat itu juga seleret sinar seperti lidah petir secara berturut-turut kembali menghantam Bara Genta.

Blaaar...!

Disertai suara dahsyat, tubuh Pembegal Jagad terkena serangan Dewa Petir. Namun, berkat aji ‘Pamiluto Gaib’ yang telah dirapalnya, serangan itu tidak membawa akibat apa-apa. Malah sebagian dari serangan Dewa Petir berbalik, mengenai diri sendiri.

Glaaar!

“Aaakh...!” Dewa Petir menjerit keras. Dia langsung bergulingan di tanah, berusaha mematikan api yang membakar pakaiannya yang berwarna putih. Merasa tidak ada penghalang lagi, Bara Genta dengan langkah kaku segera mendatangi Rangga yang masih tergeletak.

“Nah, sekaranglah aku menyelesaikan tugasku!” desis Bara Genta seraya mengangkat tangannya kembali.

Rangga walaupun dalam keadaan payah, masih memiliki kesadaran. Tiba-tiba sambil melompat menerjang, pedangnya dicabut. Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang memancarkan sinar biru langsung menghujam dada Bara Genta yang tak sempat mengelak.

Jleees!

“Aaa...!” Bara Genta menjerit keras. Suaranya seakan merobek langit dini hari. Pemuda itu roboh dengan sebuah luka menganga. Tubuhnya berkelojotan, lalu terdiam.

Dengan terhuyung-huyung Rangga berusaha menghampiri Dewa Petir yang telah berusaha menolongnya. Namun pandangannya tiba-tiba mengabur. Kemudian tubuhnya terjengkang dan tidak ingat apa-apa lagi.

“Rangga...!” seru Dewa Petir. Walaupun dalam keadaan terluka, Ki Suta merayap menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.

Sementara itu Ki Jatayu dan Anggraini yang menyaksikan pertempuran menegangkan dari dalam rumah, dengan tergopoh-gopoh membantu Ki Suta dan Rangga. Kedua orang itu dibopong untuk dibawa masuk ke dalam rumah.

Sedangkan di halaman samping, mayat Bara Genta tergeletak membeku. Beberapa saat, memang mayat itu seperti benar-benar mati. Tetapi tiba-tiba saja, angin berhembus hebat, disertai hujan dan suara petir yang tiada henti-hentinya. Lalu, terdengar suara bergemuruh. Suasana berubah gelap. Dalam kegelapan, tampak sebuah bayangan besar dan tinggi, seakan menggapai ke langit.

“Aku iblis penghuni Kitab Pelebur Jiwa! Si Bayang-Bayang memerintahkan aku untuk menghidupkanmu!” desis sosok tinggi besar ini.

Benar saja. Tidak lama kemudian, sosok yang mengaku Iblis penghuni Kitab Pelebur Jiwa mengangkat Bara Genta hanya dengan sebelah tangan. Setelah itu dibawanya mayat Pembegal Jagad menuju ke Hutan Wonocolo yang tidak begitu jauh dari Desa Pasir Molek.

Jenazah Bara Genta sampai di tengah-tengah Hutan Wonocolo segera dibaringkan di atas rumput. Perlahan-lahan iblis itu menggerak-gerakkan tangannya di atas sekujur tubuh Bara Genta. Angin kencang terus berhembus tiada henti. Sampai kemudian....

“Kitab Pelebur Jiwa adalah diriku. Diriku adalah sumber kekuatan dan kesaktian. Juga sumber kehidupan bagi orang-orang yang mengabdi pada kekuatan iblis. Kau tidak mati. Tetapi, tidur. Kau tidak terluka, terkecuali tergores. Bangkit..., bangkitlah seperti asalmu. Hidup... hiduuup...!”

Terdengar suara yang sayup-sayup seperti datang dari kejauhan. Dan yang terjadi kemudian sungguh menggetarkan. Bara Genta yang jasadnya telah dingin membeku, sekarang tampak bergerak-gerak. Luka di perutnya secara perlahan menghilang. Matanya pun berkedip-kedip, hingga kemudian terdengar keluhannya panjang.

“Oh, di mana aku...!”

Iblis Hitam yang berdiri tegak di hadapannya tersenyum. “Kau berada dalam kehidupanmu yang baru. Kau berada dalam bimbingan iblis. Kau adalah pengikut Kitab Pelebur Jiwa. Kitab Pelebur Jiwa adalah diriku. Iblis Hitam! Ha ha ha...!” jelas sosok tinggi besar disertai tawa menyeramkan.

Tanpa diketahui empat pasang mata menyaksikan kejadian itu. Dan karena begitu takutnya mereka akhirnya menyingkir. Sementara Bara Genta yang telah hidup kembali berkat kekuatan Kitab Pelebur Jiwa, tampak masih tetap terduduk di tempatnya.

“Pesan gurumu, kau harus bertarung dengan Pendekar Rajawali Sakti sampai titik darah yang terakhir!” Iblis Hitam penghuni Kitab Pelebur Jiwa tiba-tiba raib, setelah memberi peringatan.

Pembegal Jagad hanya menganggukkan kepala.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Pagi harinya Ki Jatayu mengumpulkan warganya untuk menguburkan jenazah Nyai Jeliteng. Dan kepala desa ini menjadi heran, karena tidak menemukan mayat Bara Genta yang tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Kejadian ini segera dilaporkan pada Dewa Petir yang telah pulih kesehatannya setelah bersemadi. Tentu saja laki-laki tua itu jadi sangat heran.

“Bagaimana orang yang sudah mati bisa hilang, Ki?” tanya Ki Suta.

“Aku sendiri merasa heran. Jika mayat Bara Genta lenyap, mengapa mayat kawanmu tidak?”

“Pasti ada sesuatu yang tidak beres!” keluh Dewa Petir cemas.

“Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Kepala Desa minta petunjuk.

“Aku sendiri belum tahu,” jawab Ki Suta.

“Tampaknya Bara Genta benar-benar iblis. Bukan tidak mungkin gurunya telah mengambil mayat Bara Genta.”

“Bagaimana keadaan Rangga sekarang?” tanya Ki Suta, mengalihkan pembicaraan.

“Dia masih belum sadarkan diri,” jawab Ki Jatayu bimbang.

“Apakah di daerah ini tidak ada tabib?” tanya Ki Suta.

“Sulit mencari tabib di Pasir Molek ini. Tapi, nanti aku dapat memerintahkan orang-orang di sini untuk mengusahakannya.”

“Aku khawatir jiwa Pendekar Rajawali Sakti tidak akan tertolong...!” desah Dewa Petir cemas.

“Mudah-mudahan saja dia tidak mengalami apa-apa yang tidak diharapkan. Lagipula putriku sedikit-sedikit dapat melakukan pengobatan. Dia tentu tahu. apa yang harus dilakukan.”

“Mengapa kau tidak bilang sejak tadi, Ki?” tegur Ki Suta.

“Aku tidak ingin terlalu menonjolkan kemampuan Anggraini yang tidak seberapa itu. Lagipula, dia bukan tabib yang sangat ahli. Hanya sekadar bisa saja,” jelas Ki Jatayu merendahkan diri.

Dewa Petir merasa lega. Bagaimanapun, hanya pada Rangga dia dapat menggantungkan harapannya. Bara Genta tidak dapat dianggap main-main. Belum lagi, bila gurunya yang muncul.

ENAM

Ramu-ramuan dari tetumbuhan memang cukup manjur. Apalagi yang membuatnya Anggraini. Dulu, gadis cantik ini pernah belajar dari kakeknya yang memang seorang tabib. Dengan telaten, Anggraini merawat Rangga. Dia bahkan tidak pernah meninggalkan pemuda itu walau barang sekejap pun. Anggraini memang telah berusaha segenap kemampuannya. Tampaknya hatinya tidak rela jika pendekar seperti Rangga harus tewas.

Karena perawatan yang telaten ini, kesehatan Rangga mulai membaik. Dan ketika Dewa Petir bersama Ki Jatayu sedang menyusun rencana di ruangan depan, Rangga mulai sadarkan diri. Matanya yang tertutup tampak mulai terbuka. Matanya memandang ke sekeliling ruangan. Pertama yang dilihatnya adalah putri Kepala Desa Pasir Molek.

“Mengapa aku di sini?” tanya Pendekar Rajawali Sakti dengan suara lemah.

“Kakang tadi tidak sadarkan diri. Sebaiknya, jangan bergerak dulu. Kakang perlu istirahat cukup!” saran Anggraini. Gadis itu menundukkan kepala. Dia tidak berani menatap mata Pendekar Rajawali Sakti secara terang-terangan.

Rangga mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi sebelumnya. Kini, segala-galanya menjadi jelas. Bukankah dia bertarung habis-habisan melawan Bara Genta? Lalu, musuh besarnya itu tewas di ujung pedangnya.

“Aku ingin melihat mayat Bara Genta!” kata Rangga.

Anggraini menggeleng. “Bara Genta hilang begitu saja. Entah, siapa yang telah melarikannya!” jelas gadis itu.

“Apa? Bagaimana mungkin?! Bukankah dia sudah mati?!” sentak Rangga seakan tidak percaya.

“Memang! Bahkan aku sendiri melihatnya. Menurut Dewa Petir, Bara Genta mungkin diselamatkan Kitab Pelebur Jiwa.”

“Siapa Dewa Petir?” tanya Rangga.

“Dewa Petir adalah orang yang membantu Kakang. Kawannya yang bernama Nyai Jeliteng tewas.”

“Mengenai Kitab Pelebur Jiwa, aku telah mendengarnya. Hanya aku tidak melihat kitab itu, ketika berhadapan dengan Bara Genta!” kata Rangga perlahan.

“Kitab itu memang tidak pernah ada. Dia hanya berupa kekuatan gaib yang datang dalam wujud Iblis Hitam.”

“Heh?! Sungguh tidak masuk akal. Menurut Ki Renta Alam, kitab itu ada di dalam Gua Seribu Malam di dasar Laut Utara. Kurasa yang benar adalah, di dalam Kitab Pelebur Jiwa berkuasa sebuah kekuatan iblis, yang dapat diperintah melakukan apa saja sesuai kehendak pemiliknya. Jadi yang datang menyelamatkan Bara Genta yang sudah mati itu adalah kekuatan gaib yang berada dalam Kitab Pelebur Jiwa,” jelas Rangga.

“Maafkan aku, Kakang. Aku hanya samar-samar saja mendengar pembicaraan antara Ayah dan Dewa Petir,” ucap Anggraini meralat kata-katanya. “Sebaiknya Kakang pikirkan dulu masalah kesehatan Kakang. Nanti setelah Kakang pulih benar, baru pikirkan yang lain-lainnya.”

Pendekar Rajawali Sakti jadi tak enak hati. Dia merasa yakin pastilah sejak tidak sadarkan diri, gadis ini yang telah mengurusnya.

“Kau baik sekali kepadaku. Aku berhutang nyawa padamu, Anggraini,” kata Rangga tulus.

“Pertolongan yang Kakang berikan untuk penduduk di sini, jauh lebih besar daripada semua apa yang telah kuperbuat. Terus terang, aku memang mengkhawatirkan keselamatanmu!” sahut Anggraini, dengan suara bergetar sambil menundukkan kepala.

“Aku merasa berterima kasih atas perhatianmu!” ucap Pendekar Rajawali Sakti.

Pembicaraan antara kedua anak muda itu terhenti ketika Ki Jatayu dan Dewa Petir masuk ke dalam ruangan.

“Puji syukur pada Yang Maha Tunggal. Ternyata kau sudah sadar, Rangga,” desah Ki Suta. “Perkenalkan aku Dewa Petir. Dan aku tahu namamu dari Ki Jatayu. Sungguh pertemuan yang tidak disangka-sangka....”

“Salam hormatku untukmu, Dewa Petir. Sayang, kita tak bisa berbincang-bincang lama, karena nanti sore aku sudah harus melakukan perjalanan kembali untuk mencari mayat Bara Genta yang hilang,” kata Rangga, sambil memberi hormat dengan merapatkan telapak tangan di depan dada.

“Tapi kau memerlukan istirahat lebih lama, Pendekar Rajawali Sakti. Aku takut, Bara Genta hidup kembali!” sergah Dewa Petir cemas.

“Bagaimana mungkin?” tanya Rangga.

“Tentu saja berkat Kitab Pelebur Jiwa. Tentu kau tidak tahu kekuatan Iblis Hitam yang menguasai kitab itu,” jelas Ki Suta.

“Lalu...?”

“Untuk sementara, biarkan kami yang mencari mayat Bara Genta. Itu pun kalau memang dia benar-benar mati. Tetapi jika hidup kembali, aku dan kawan-kawan segolongan tentu harus menghadapinya!”

“Dewa Petir! Kau sendiri sudah merasakan kehebatan Bara Genta. Kita harus menemukan cara lain untuk menghadapinya!” kata Rangga.

“Waktu kita sangat terbatas....”

Ucapan Ki Suta ini langsung terhenti ketika melihat salah seorang penduduk memberi isyarat pada kepala desanya agar keluar sebentar. Ki Jatayu langsung menjumpai warganya. Namun tidak lama dia telah datang kembali menjumpai Ki Suta dan Rangga.

“Menurut wargaku, ada tiga orang gila ingin menjumpaimu, Ki,” lapor Ki Jatayu.

Dewa Petir tersenyum-senyum. Sudah dapat ditebak siapa kiranya yang datang.

“Suruh mereka masuk!” pinta Ki Suta pada Kepala Desa.

Tanpa berkata apa-apa, Ki Jatayu segera keluar lagi. Dan ketika kembali, dia sudah bersama tiga orang laki-laki.

“Ha ha ha...! Akhirnya kita bertemu kembali, Ki! Di tengah jalan, kami bertemu Pendekar Seruling Perak. Tapi Kemudian dia memilih berpisah dan bergabung bersama Pendekar Beruang Merah. Ha ha ha...! Sungguh tolol dia!” kata laki-laki gemuk berbaju dari kulit beruang hitam itu disertai tawa.

“Betul, Ki,” timpal laki-laki lain. “Katanya mereka takut jadi gendeng, karena ikut kami!”

“Gila Ketawa dan Sepasang Pendekar Gendeng! Pendekar yang terbaring ini adalah Pendekar Rajawali Sakti! Silakan kalian saling berkenalan,” ujar Dewa Petir, tak menghiraukan gurauan kawan-kawannya yang baru datang.

Baik Si Gila Ketawa maupun Subali dan Indrajit memandang ke arah Rangga. Kemudian, mereka saling bersalaman. Namun mendadak, Si Gila Ketawa terpingkal-pingkal.

“Ha ha ha...! Pendekar Rajawali Sakti! Kulihat kau berhasil membuat Pendekar Seruling Perak yang berangasan kaku seperti patung. Setelah sampai di sini, kulihat pula wajahmu babak belur. Bagaimana ini?!”

“Bukan babak belur, tapi hampir mati,” sahut Rangga kalem.

“Gila Ketawa! Kuharap dalam suasana seperti ini kalian dapat bersikap lebih bersungguh-sungguh. Sekarang aku ingin bertanya. Selama dalam perjalanan, apa yang kalian dapatkan?” sela Dewa Petir.

Indrajit maju ke depan mewakili dua orang kawannya.

“Tidak banyak, Ki. Terakhir, kami melihat kejadian yang sangat sulit diterima akal,” jelas Indrajit.

Kemudian Indrajit secara terperinci menceritakan tentang mayat Bara Genta yang dihidupkan kembali oleh Iblis Hitam.

“Apakah Iblis Hitam membawa Kitab Pelebur Jiwa? Atau mungkin dia menyinggung-nyinggung tentang kitab itu?” tanya Dewa Petir, setelah Indrajit selesai bercerita.

“Sebenarnya Kitab Pelebur Jiwa adalah sumber kebangkitan Iblis Hitam itu sendiri. Kita tidak mungkin dapat menemukannya, karena tidak akan ada yang sanggup menyelam di dasar Laut Utara. Satu-satunya cara yang terbaik menurutku adalah, dengan cara memancing Rumbai Mangkulangit alias Si Bayang-Bayang keluar dari Gua Seribu Malam,” kata Si Gila Ketawa mengemukakan pendapatnya.

“Kurasa pendapat Gila Ketawa benar, Ki Suta,” timpal Rangga. “Untuk itu, kita harus menemukan Bara Genta yang telah berhasil dihidupkan kembali oleh Iblis Hitam. Satu kelemahan kita, tidak seorang pun di antara kita yang tahu, dengan cara bagaimana dapat melakukannya!” keluh Rangga.

“Maaf.... Kudengar kau seorang pendekar besar. Kurasa kau mampu mengatasinya!” kata Subali.

Rangga tersenyum saja. Sejenak suasana jadi hening. “Ingat! Si Bayang-Bayang sengaja menciptakan jurus-jurus serta ajian yang gunanya untuk mematahkan seranganku. Kau dapat bertanya langsung pada Dewa Petir, betapa hebatnya dia, Subali!” kata Pendekar Rajawali Sakti, memecah keheningan.

“Hmmm.... Kalau begitu, semakin sulitlah bagi kita untuk menyelesaikan persoalan satu ini,” keluh Indrajit.

“Rangga.... Sebaiknya kau istirahat saja dulu. Nanti sore kita bahas lagi persoalan ini,” ujar Dewa Petir.

“Baiklah.... Kalau itu maumu, untuk sementara ini aku hanya dapat menurut saja,” sahut Rangga.

Dewa Petir dan yang lainnya, termasuk juga Kepala Desa Pasir Molek meninggalkan ruangan kamar yang ditempati Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga di dalam ruangan itu sekarang hanya tinggal Rangga dan Anggraini saja.

“Anggraini.... Sebaiknya kau tinggalkan aku sebentar saja!” pinta Rangga.

Anggraini tersenyum. Dengan perasaan tulus ditinggalkannya ruangan kamar ini. Setelah putri kepala desa itu meninggalkannya, Rangga berusaha menggerakkan tubuhnya. Tapi, niatnya urung. Karena entah dari mana datangnya, tahu-tahu seorang lelaki tua berbadan pendek berambut putih telah berada di depannya!

“Ki Renta Alam!” seru pemuda berbaju rompi putih itu.

“Syukur otakmu masih waras, sehingga masih mengenali siapa aku ini,” kata laki-laki tua itu sambil mengelus-elus jenggotnya yang cuma beberapa lembar.

“Ya! Tetapi aku hampir mati di tangannya!” sahut Rangga lesu.

“Kau tidak boleh putus asa! Dia adalah musuhmu. Dan kau harus bisa mengatasi persoalan yang dihadapi,” ujar Ki Renta Alam, tegas.

“Seperti ceritamu beberapa waktu yang lalu, Ki. Dia dapat mengatasi setiap jurus maupun pukulan yang kukerahkan untuk menyerangnya. Aku baru bisa membunuhnya, setelah mempergunakan Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Kini setelah dibawa Iblis Hitam, dia dapat hidup kembali. Pernahkan kau berpikir bahwa saat ini aku benar-benar mengalami kesulitan?” tanya Rangga.

Ki Renta Alam tersenyum. “Semua manusia di muka bumi ini punya kesulitan sendiri-sendiri. Aku bisa sedikit membantu persoalanmu."

“Hanya sedikit saja?” ujar Rangga, tak puas.

“Dengar dulu,” sela Ki Renta Alam. “Hanya padamu, sebagai lelembut aku mau menampakkan diri. Kau bisa mengalahkan dia, hanya pada siang hari saja. Satu hal yang perlu kau ingat, Bara Genta dulunya hanya bernama Genta saja. Dialah kepala bajak laut yang ditenggelamkan Ki Wanayasa di Laut Utara. Dia sebenarnya sudah mati, tetapi berhasil dihidupkan kembali berkat Kitab Pelebur Jiwa. Si Bayang-Bayang menambahkan nama Bara di depan namanya. Dengan arti, bara tidak akan pernah padam. Sekarang Bara Genta sudah dua kali mengalami kehidupan. Sekali lagi binasa, dia sudah tidak punya kehidupan lagi...!” papar Ki Renta Alam.

“Lalu...?”

“Jika kau berhasil membunuhnya, usahakan mayatnya jangan sampai menyentuh tanah. Mayat itu boleh disangkutkan di mana saja. Untuk melakukan semua itu, kau bisa bekerja sama dengan Dewa Petir. Dan kabarkan kepada semua kawan-kawannya, tentang kelemahan Bara Genta ini. Yang perlu kutekankan, kalian harus bertarung dengannya hanya pada siang hari saja. Karena pada saat itu, kekuatannya tidak sehebat pada malam hari. Itulah kekuatan semua iblis. Nah, sekarang apa kau sudah mengerti?”

“Sudah, Ki,” sahut Rangga.

Ki Renta Alam menggelengkan kepalanya. Entah, apa maksud gelengan kepalanya. Rangga sendiri tidak mengerti. Ki Renta Alam lantas duduk di pinggir tempat tidur yang ditempati Rangga. Kemudian matanya melirik ke arah pintu, seakan apa yang ingin diucapkannya takut didengar orang lain.

“Rangga! Ada satu hal lagi yang perlu kau ketahui,” bisik Ki Renta Alam.

“Apa itu, Ki?” tanya Rangga.

“Secara tidak langsung, putri kepala desa itu telah menyelamatkan dirimu.”

“Ya, aku tahu. Dan aku telah berterima kasih kepadanya,” jawab Rangga.

Ki Renta Alam tertawa perlahan. “Yang kau tidak tahu, sebenarnya Anggraini menyukaimu. Dia mencintaimu. Belum pernah ada cinta anak manusia sebesar cintanya. Aku tidak mengajarimu bersikap macam-macam. Karena menurut mata gaibku, kau sudah punya kekasih bernama Pandan Wangi. Ha ha ha...!”

Rangga tersipu. Dia sama sekali heran, bagaimana manusia lelembut ini bisa tahu nama kekasihnya. Padahal, pemuda ini tidak pernah bercerita tentang masalah pribadinya pada siapa pun.

“Kau bisa saja, Ki!” kata Pendekar Rajawali Sakti salah tingkah.

“Sudahlah.... Tidak usah dipersoalkan lagi. Sekarang aku mau pergi. Tapi, kuharap kau mau memejamkan matamu sebentar!” pinta Ki Renta Alam.

“Kenapa?”

“Supaya kau tidak mengintipku. Ha ha ha...!”

Rangga langsung memejamkan matanya. Ketika matanya membuka kembali, Ki Renta Alam sudah lenyap dari ruangan.

Setelah semalam Rangga memaparkan pertemuannya dengan Ki Renta Alam yang menjelaskan kelemahan-kelemahan Bara Genta, paginya Si Gila Ketawa dan Sepasang Pendekar Gendeng berangkat lebih awal untuk mencari Pembegal Jagad. Tindakan mereka yang secara diam-diam membuat Ki Suta marah besar. Dia khawatir terjadi sesuatu terhadap tiga orang sahabatnya.

“Apakah kita harus menyusulnya, Rangga?” tanya Dewa Petir.

“Aku memerlukan waktu sehari lagi untuk menyembuhkan luka-luka yang masih tersisa, Ki!” pinta Rangga, terus terang.

Memang Pendekar Rajawali Sakti harus memulihkan kesehatannya secara menyeluruh. Sebab dia sendiri sudah merasakan, betapa dahsyatnya perlawanan yang dilakukan Pembegal Jagad.

“Sebaiknya aku berangkat duluan!” usul Dewa Petir.

“Tidak jelaskah perkataanku ini, Ki?”

“Aku memahami sepenuhnya. Tetapi, mereka tidak mungkin mampu menghadapi Bara Genta!” sergah Dewa Petir, cemas.

“Baiklah, Ki. Aku hanya dapat mendoakan keselamatan kalian saja...!” ucap Pendekar Rajawali Sakti.

Saat itu juga berangkatlah Dewa Petir menyusul kawan-kawannya. Rangga memang tidak dapat menyertainya, karena harus mengembalikan kesehatan tubuhnya yang sempat terluka parah.

********************

Di tengah-tengah teriknya matahari siang ini, dua laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun terus berjalan sambil mengedarkan pandangan ke sekitar Hutan Wonocolo. Mereka kemudian menemukan ceceran darah yang telah mengering.

“Kurasa dia masih di sekitar sini, Beruang Merah! Subuh tadi, aku sempat melihat Bara Genta dihidupkan kembali oleh Iblis Hitam. Lagi pula, dia pasti mencari korban baru,” kata laki-laki berbaju putih yang tak lain Pendekar Seruling Perak.

“Kau bersama orang-orang gendeng! Mana mungkin orang gendeng bisa mengambil tindakan tepat!” gerutu laki-laki satunya yang ternyata Pendekar Beruang Merah.

“Memang benar, Sahabatku. Aku bisa jadi gendeng, bila ikut mereka terus. Itu sebabnya aku mencarimu,” jelas Pendekar Seruling Perak.

Rupanya, mereka sama sekali tidak menyadari ada sepasang mata yang terus mengawasi dari atas sebuah pohon besar. Sosok pemilik sepasang mata itu menyeringai. Sehingga wajahnya yang angker semakin bertambah menyeramkan. Dan tiba-tiba, sosok itu melompat dari atas pohon. Gerakannya ringan, tidak menimbulkan suara. Jelas ilmu meringankan tubuhnya sangat sempurna.

“Kalian mencari aku?"

“Heh...?!” Serentak kedua pendekar itu menoleh ke belakang ketika mendengar suara menggetarkan. Mereka terkejut, karena orang menegurnya tadi tidak lain dari Bara Genta.

Pendekar Seruling Perak langsung meneliti keadaan Bara Genta. Ternyata, pemuda bertelanjang dada ini dalam keadaan sehat tidak kurang sesuatu apa pun. Luka di perutnya juga sudah tidak meninggalkan bekas sama sekali.

“Ya! Memang kami mencarimu!” jawab Pendekar Seruling Perak.

“Ha ha ha...! Kalian hanya mengantar nyawa sia-sia. Pulanglah ke pangkuan ibumu!” ejek Bara Genta, disertai senyum mengejek. Ucapan Bara Genta yang sangat meremehkan membuat kedua pendekar ini menjadi marah.

“Kau terlalu memandang remeh pada kami, Manusia Iblis!” teriak Pendekar Beruang Merah gusar.

“Ha ha ha...! Aku bicara apa adanya! Jika Pendekar Rajawali Sakti saja tidak sanggup mengalahkan aku, apalagi kalian!” dengus Bara Genta.

“Kurang ajar! Kesalahanmu sudah selangit. Jangan coba-coba menakut-nakuti kami!” desis Pendekar Beruang Merah.

“Sekarang yang bicara adalah kenyataan. Kalau kalian tidak percaya, cobalah maju. Tidak usah satu-satu, tapi sekalian secara berbarengan!” tantang Bara Genta.

Disertai amarah meluap, Pendekar Beruang Merah memberi isyarat pada Pendekar Seruling Perak untuk melakukan penyerangan.

TUJUH

Wajah Pendekar Seruling Perak dan Pendekar Beruang Merah seperti tomat matang. Tiba-tiba Abiyasa menerjang ke depan, melakukan serangan cepat dengan mengandalkan jurus-jurus andalan. Bara Genta tertawa menghadapi serangan Pendekar Seruling Perak. Ketika tangan kanan lawannya meluncur deras ke arah dada, dia sama sekali tidak menghindar. Sehingga....

Buuuk!

“Heeep!” Bara Genta hanya tergetar saja. Sedangkan Pendekar Seruling Perak merasa tangannya seperti membentur batu karang yang amat keras. Ketika Pembegal Jagad menggerakkan tangannya, Pendekar Seruling Perak yang bernama asli Abiyasa merasa seperti ada sebuah batu besar menghimpit tubuhnya.

“Huaaakh...!” Pendekar Seruling Perak terpelanting roboh dengan mulut mengucurkan darah. Sementara Pendekar Beruang Merah tidak tinggal diam. Disertai teriakan keras diterjangnya Bara Genta dengan jurus-jurus ‘Beruang’ yang dimilikinya. Tangannya dengan ganas menyambar ke bagian-bagian yang mematikan.

Bara Genta segera mengeluarkan jurus ‘Liukan Sang Api’. Seperti diketahui, jurus ini hampir sama hebatnya dengan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti.

“Hiyaaa...!” Melihat serangannya berhasil dipatahkan, disertai teriakan keras Pendekar Beruang Merah langsung mengerahkan jurus ‘Beruang Membalik Bukit’. Kemudian dilepaskannya tendangan telak ke arah sasaran.

Sedemikian cepat tendangan itu, namun Bara Genta masih saja bisa menghindar dengan melompat ke samping. Bahkan tangan kanannya meluncur ke arah kaki Pendekar Beruang Merah. Maka....

Duuuk!

“Auuukh...!” Benturan keras terjadi. Pendekar Beruang Merah terhuyung-huyung ke belakang sambil terpincang-pincang. Kakinya yang membentur tangan Bara Genta langsung membengkak. Kenyataan ini sungguh mengejutkan. Karena, tadi dia telah mengerahkan tenaga dalamnya ke bagian kaki.

“Ha ha ha...! Sebentar lagi kau akan kukirim ke neraka bersama kawanmu yang tolol ini!” dengus Bara Genta

“Dasar keparat! Hiyaaa...!” teriak Pendekar Beruang Merah.

Tiba-tiba laki-laki ini meluruk dengan kecepatan dahsyat. Kedua tangannya bergerak cepat, mementang jurus-jurus yang diandalkannya. Dan tiba-tiba tangannya dikibaskan.

“Pukulan ‘Angkara Murka’! Heaaa...!”

Bara Genta hanya tersenyum ketika melihat seleret sinar merah meluncur deras ke arahnya. Begitu sinar itu sejengkal lagi menghantam, kedua tangannya disilangkan ke depan dada. Sekejap kemudian tubuhnya pun bergetar. Bersamaan dengan itu pukulan yang dilepaskan Pendekar Beruang Merah menghantam.

Blaaar!

“He he he...!” Sungguh sial bagi Pendekar Beruang Merah. Karena hawa panas yang menghantam, hanya membuat pemuda berkulit gelap itu terjengkang sambil tertawa-tawa. Secepatnya Pembegal Jagad berdiri. Secepat itu pula tenaga dalamnya dikerahkan ke bagian tangan.

“Aji ‘Pedut Segara’! Hiyaaa...!” Dengan teriakan membahana, Pembegal Jagad melompat ke depan. Tangannya seketika dikibaskan. Suasana terang mendadak berubah redup.

Saat itu juga bertiup angin menderu disertai udara dingin yang sedemikian menusuk. Sementara Pendekar Beruang Merah sudah tidak sempat menghindar lagi. Maka...

Glaaar!

“Aaa...!" Jeritan keras terdengar, ditingkahi ledakan dahsyat. Pendekar Beruang Merah terpelanting roboh. Tubuhnya berkelojotan sebentar. Sementara, darah terus menetes dari hidung dan mulutnya. Laki-laki itu tewas detik itu juga.

Pendekar Seruling Perak tampak terkejut sekali melihat kematian kawannya. Seketika langsung dikeluarkannya seruling berwarna perak mengkilat. Tatapan matanya memandang geram pada Bara Genta.

Sebaliknya, Pembegal Jagad memandang dengan sinar mata dingin. “Satu telah kubunuh. Dan kau giliran selanjutnya!” desis Bara Genta.

Pendekar Seruling Perak tidak menanggapi ucapan lawannya. Segera serulingnya ditiup. Suara seruling mengalun tinggi, mendayu-dayu. Bara Genta yang tidak menyangka dengan kehebatan seruling itu langsung terkesiap. Tampaknya, dia terpengaruh irama seruling. Maka ketika suara seruling itu berubah sedih, Pembegal Jagad menangis tersedu-sedu seperti anak kecil. Dia terus menangis seirama suara seruling. Langkah Bara Genta pun terhuyung-huyung, sampai kemudian kakinya terpeleset. Bara Genta tersungkur jatuh. Namun justru hal ini mengembalikan kesadarannya dari pengaruh seruling.

“Keparat! Kau menipuku dengan segala permainan yang tidak ada artinya!” teriak Bara Genta marah bukan main.

“Jangan banyak mulut. Majulah...!” tantang Pendekar Seruling Perak.

Mendapat tantangan seperti itu, Pembegal Jagad tidak tinggal diam. “Heaaa...!” Mendadak, Bara Genta melakukan beberapa gerakan, lalu melompat ke depan. Kakinya melakukan sapuan ke kaki Pendekar Seruling Perak.

Abiyasa cepat melompat ke udara, membuat serangan Bara Genta hanya menebas angin. Namun cepat sekali Pembegal Jagad menghantamkan tinjunya ke wajah itu. Bersamaan waktunya, Pendekar Seruling Perak juga mengibaskan serulingnya.

Trak!

“Heh...?!” Dengan wajah terkejut Abiyasa melompat mundur. Tangannya yang memegang seruling terasa dingin bagaikan ditusuk-tusuk jarum.

Sementara, Bara Genta sendiri hanya terhuyung-huyung saja sambil memegangi tangannya yang agak membengkak. “Boleh juga permainanmu! Tapi kurasa kau tidak dapat bertahan lama dalam menghadapi aku! Hiyaaa...!”

Disertai teriakan keras Pembegal Jagad melompat tinggi ke udara, dan langsung berjumpalitan beberapa kali. Ketika tubuhnya meluncur deras ke bawah, dengan mempergunakan jurus ‘Mematahkan Sambaran Sang Api’ tangannya bergerak ke bagian bahu Pendekar Seruling Perak.

Duk! Duk!

Krak! Krak!

“Aaaugkh...!” Hantaman kedua tangan Bara Genta yang sedemikian keras, membuat bahu Pendekar Seruling Perak patah menimbulkan suara berderak. Laki-laki berbaju putih ini menjerit dan jatuh terduduk.

Bara Genta tersenyum dingin melihat penderitaan pendekar ini. “Sekarang aku telah membuktikan sebagian di antaranya! Ha ha ha...!” leceh Bara Genta dingin. Perlahan-lahan Pembegal Jagad menghampiri Abiyasa yang tulang bahunya telah hancur. Sambil mendengus, Bara Genta menendang.

Sementara Pendekar Seruling Perak jelas tidak dapat bergerak leluasa. Sehingga....

Buuuk!

“Hekh...!” Pendekar Seruling Perak terpelanting. Dua buah tulang iganya remuk. Darah mengucur dari hidung dan mulutnya. Tampaknya dia begitu sulit bernapas.

“Kau hanya bermulut besar, Manusia Tolol! Mana kehebatanmu? Kau tidak lebih dari seorang banci!” ejek Bara Genta.

“Iblis Jahanam! Kau menang! Sekarang, tunggu apa lagi?!” sentak Pendekar Seruling Perak.

Pembegal Jagad tertawa-tawa. Wajahnya yang hitam berubah makin kelam. Kemudian dia melompat mundur sejauh dua batang tombak. Setelah itu...

“Aji ‘Pedut Segara’! Hiyaaa...!” Bara Genta tiba-tiba mengibaskan tangannya ke depan. Saat itu juga segulung angin dingin menebar kabut putih meluncur deras ke arah Abiyasa. Tidak dapat dihindari lagi....

Blar!

“Aaa...!” Dengan telak pukulan yang dilepaskan Bara Genta menghantam Pendekar Seruling Perak. Ledakan disertai suara jerit kesakitan terdengar, mengiringi kematian Pendekar Seruling Perak.

Bara Genta tersenyum penuh kejumawaan. Matanya hanya sekejap saja memperhatikan lawannya yang sudah tidak bernyawa. Dan sambil mendengus, tubuhnya berkelebat pergi.

********************

Malam ini bulan tersenyum cantik. Cahayanya yang kuning keemasan menerangi alam mayapada. Desa Pasir Molek tetap dalam keadaan sunyi. Ada sepotong hati milik Anggraini yang semakin gelisah, saat-saat perpisahan itu semakin bertambah dekat. Sehingga, membuatnya tidak enak makan, tidak bisa tidur, oleh perasaan was-was yang menghantui.

Anggraini yang sejak tadi tidak dapat tidur keluar dari kamarnya. Ketika melihat ke kamar yang ditempati Rangga, ternyata kamar itu dalam keadaan kosong. Anggraini dengan hati berdebar-debar segera melihat ke halaman samping. Ternyata, Pendekar Rajawali Sakti sedang duduk termenung di situ.

Anggraini menghampiri. Dan Rangga menoleh ketika merasa ada tangan menyentuh bahunya. Bibirnya tersenyum pada gadis itu. “Kakang belum juga tidur?” sapa Anggraini bergetar suaranya.

“Belum. Aku belum mengantuk,” sahut Rangga masih tetap tersenyum.

“Apa yang Kakang pikirkan?” usik gadis ini.

“Hmm,” Rangga menggumam tidak jelas. “Begitu banyak persoalan yang kuhadapi.”

“Aku selalu mengkhawatirkan keselamatanmu, Kakang!” desah Anggraini.

Pendekar Rajawali Sakti memang sudah mengetahui tentang perasaan gadis ini dari Ki Renta Alam. Maka dia segera dapat memakluminya.

“Aku selalu dalam keadaan baik-baik saja. Jangan khawatir!” kilah Rangga, tenang.

Anggraini kemudian duduk di samping Rangga. Sehingga, harum tubuhnya tercium pemuda itu.

“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu...!” desah gadis cantik itu, agak gugup.

“Apa? Coba katakan!” ujar Rangga.

“Eee..., tidak.... Aku tidak bisa...!” Anggraini jadi gugup.

Pendekar Rajawali Sakti menepuk bahu gadis di sebelahnya. Sehingga, membuat tubuh Anggraini jadi panas dingin.

“Aku tahu,” kata Rangga.

“Tahu apa?”

“Tahu kalau kau cantik,” goda Rangga.

“liih..., Kakang...!” Anggraini semakin tersipu-sipu. Serasa tak sadar, tiba-tiba ia memeluk Rangga.

Rangga sebenarnya tak ingin memberi harapan pada gadis itu. Dia tak ingin membuat Anggraini kecewa nantinya. Namun entah karena dorongan apa, tiba-tiba dibalasnya pelukan gadis ini yang telah menelusupkan kepalanya di dada bidang Pendekar Rajawali Sakti.

“Kakang...!”

“Hmmm...”

Sepasang mata Anggraini yang bening memandang penuh rasa kagum pada pemuda di samping. Dalam jarak yang demikian dekat, bau harum gadis ini semakin bertambah tajam.

Rangga tiba-tiba saja mendekatkan wajahnya ke wajah Anggraini. Perlahan Anggraini memejamkan matanya. Betapa wajahnya tampak semakin cantik dalam keadaan begitu. Lalu entah siapa yang memulainya, bibir mereka telah berpagutan dengan lembut. Hingga kemudian terdengar erangan lirih dari bibir gadis ini yang setengah terbuka.

Mendadak di benak Pendekar Rajawali Sakti terlintas bayangan Pandan Wangi. Cepat-cepat wajahnya dijauhkan dari Anggraini. Ada perasaan berdosa di hati Rangga terhadap Pandan Wangi, satu-satunya gadis yang paling dicintainya. Tapi Pendekar Rajawali Sakti sadar bahwa dirinya adalah laki-laki biasa yang mempunyai nafsu. Sekarang, tinggal bagaimana dia menguasai nafsunya.

“Kakang! Kenapa?” tanya gadis itu keheranan.

“Eeeh..., tidak apa-apa ... Sebaiknya kita masuk sekarang. Nanti kalau dilihat orang lain tidak enak jadinya!” kilah Pendekar Rajawali Sakti.

“Tapi...!”

“Aku tak ingin bertemu denganmu lagi, kalau kau suka membantah.”

Anggraini tidak sempat melanjutkan ucapannya, karena Pendekar Rajawali Sakti sudah memotongnya.

********************

Di pagi yang cerah, Sepasang Pendekar Gendeng dan Si Gila Ketawa menemukan mayat Pendekar Seruling Perak dan Pendekar Beruang Merah yang dalam keadaan mengenaskan sekali. Sehingga ketiga laki-laki itu merasa yakin bahwa yang membunuh tidak lain adalah Bara Genta!

“Kurasa iblis itu yang harus kita cari!” desis Si Gila Ketawa.

“Apakah kau tidak tahu bahwa kita ini sedang mencarinya?” tukas Indrajit.

“Mari kita pergi ke arah sana!” ajak Subali.

Mereka segera menuju ke arah selatan. Tidak lama, sampailah mereka di sebuah lembah yang sangat curam.

“Coba kita lihat ke situ!”

“Lembah ini sangat curam. Mustahil ia tinggal di situ!” bantah Si Gila Ketawa.

“Belum tentu. Aku mengendus tanda-tanda kehadirannya!” sahut Indrajit.

Tanpa menunggu lebih lagi lagi, mereka segera menuruni lembah. Namun tiba-tiba....

Set! Set!

Crap!

“Aaa...!” Terdengar teriakan kesakitan dari Si Gila Ketawa. Sepasang Pendekar Gendeng segera berbalik. Ternyata, punggung sahabat mereka telah tertembus kayu runcing yang tampaknya dilemparkan dengan tenaga dalam tinggi. Begitu cepatnya, membuat Si Gila Ketawa tak mendengar desir angin serangan dari belakangnya.

“Hah? Astaga...!” desis Indrajit.

Sepasang Pendekar Gendeng segera memberi pertolongan pada Si Gila Ketawa. Tapi, tusukan kayu runcing yang menembus jantung laki-laki ini begitu parah. Setelah kelojotan sejenak, nyawa Si Gila Ketawa tidak tertolong lagi.

“Waspadalah! Kurasa pemuda iblis itu bersembunyi di sekitar sini!” desis Subali.

Laki-laki ini segera memberi isyarat pada Indrajit agar meningkatkan kewaspadaannya. Mereka segera mencari-cari. Setiap tempat yang dianggap mencurigakan didatangi. Sampai kemudian....

Set! Set!

Kali ini desiran halus itu terdengar. Serentak Sepasang Pendekar Gendeng berpaling ke arah datangnya suara. Ternyata, dua batang kayu berujung runcing kembali meluncur deras. Serentak mereka menghindarinya sambil berjumpalitan beberapa kali.

Cap! Cap!

Dua batang kayu menancap di batang pohon di belakang mereka. Kemudian suasana berubah sunyi kembali. Sebentar saja, karena sekejap kemudian terlihat sosok tubuh meluncur dari balik pohon.

“Ha ha ha...! Ada saja orang yang minta mati dengan datang kemari. Siapa kalian?” tanya sosok yang ternyata seorang pemuda berkulit legam.

“Kami Sepasang Pendekar Gendeng. Tujuan kami kemari jelas ingin menangkapmu!” tegas Indrajit, mengenali pemuda yang tak lain Bara Genta.

“Jika kalian hanya punya selembar nyawa, sebaiknya menyingkirlah sebelum terlambat!” seru pemuda bertelanjang dada ini.

“Kepada orang lain, kau boleh bicara begitu. Tapi kepada kami jangan coba-coba menggertak!” desis Subali.

“Aku bukan bicara omong kosong. Kalau kalian memang sudah bosan hidup, memang sebaiknya harus kukirim ke neraka! Hiyaaa...!”

Secepat kilat, Bara Genta hantamkan tinjunya ke dua arah sekaligus. Sepasang Pendekar Gendeng cepat menghindar dengan merunduk, membuat pukulan itu hanya setengah jengkal menyambar di atas kepala mereka. Setelah itu, Subali dan Indrajit mengirimkan pukulan balasan ke arah dada.

Bukkk!

“Hegkh...!” Serangan mereka tepat menghantam sasarannya. Sambil mengeluh tertahan, Bara Genta terhuyung-huyung.

Pemuda berkulit gelap itu menggeram penuh amarah. Namun Sepasang Pendekar Gendeng tampak sudah tidak memberi kesempatan lagi. Maka terpaksa Bara Genta mempergunakan jurus ‘Liukan Sang Api’ untuk menghindarinya.

Jurus aneh ini membuat setiap serangan yang dilancarkan Sepasang Pendekar Gendeng tidak mengenai sasaran. Subali dan Indrajit tiba-tiba melompat mundur sejauh satu batang tombak. Segera mereka mengambil tongkat sepanjang dua jengkal yang terselip di balik baju.

Trek! Treeek!

Ketika mereka menekan tonjolan kecil berwarna merah di tengah-tengah tongkat, pada kedua ujung tongkat keluar mata pisau yang sangat tajam berwarna putih mengkilat.

“Kalian akan mati dengan senjata kalian sendiri!” desis Bara Genta.

Sepasang Pendekar Gendeng hanya tersenyum kecut tanpa mempedulikan gertakan Pembegal Jagad.

DELAPAN

Secara serentak, Sepasang Pendekar Gendeng memutar tongkat pendek berujung dua mata pisau dengan cepat, menimbulkan desir angin halus yang menderu-deru. Begitu Subali dan Indrajit menerjang, Bara Genta tidak tinggal diam. Saat mata-mata pisau itu menerjang ke beberapa bagian tubuhnya, secepat kilat tubuhnya melenting ke udara. Namun gerakannya kalah cepat dibandingkan luncuran senjata di tangan Subali. Sehingga....

Cres!

“Auuukh...!” Bara Genta memekik keras ketika ujung mata pisau menghujam tumitnya. Dia jatuh terguling-guling. Sambil meringis menahan sakit, dia bangkit berdiri.

“Huh! Kalian boleh juga. Tapi kesempatan itu hanya sekali saja dalam hidup kalian! Heaaa...!”

Bara Genta pun tiba-tiba merangkapkan kedua tangannya ke depan dada.

“Aji ‘Sirep Hampa’!” Disertai teriakan menggelegar, Pembegal Jagad cepat mengibaskan kedua tangannya ke dua arah. Sekejap kemudian, suasana berubah redup. Dan tiba-tiba ada sebuah kekuatan yang tidak terlihat menyedot tubuh Sepasang Pendekar Gendeng. Kekuatan itu membuat mereka terseret-seret mendekati Bara Genta.

Walaupun Subali dan Indrajit telah berusaha mempertahankan diri dengan pengerahan tenaga dalam, namun tetap saja terseret mendekati lawannya. Keadaan ini tentu sangat berbahaya. Terlebih-lebih setelah terlihat kedua tangan Pembegal Jagad telah berubah menjadi hitam pekat.

“Selamatkan dirimu, Subali!” seru Indrajit tegang.

Peringatan Indrajit hanya sia-sia saja. Karena baik Subali maupun Indrajit sama-sama tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh sedotan. Ketika jarak mereka semakin bertambah dekat, secepat kilat tangan Bara Genta bergerak ke bagian kepala Subali.

Praaak!

“Aaa...!” Subali langsung tersungkur roboh. Kepalanya pecah. Darah bercampur otak kontan berhamburan keluar. Sedangkan Indrajit sendiri yang sedang berusaha membebaskan diri dari pengaruh kekuatan Bara Genta hanya mampu membelalakkan matanya. Tubuhnya sendiri terus terseret oleh satu kekuatan tidak terlihat.

“Iblis...!” desis Indrajit. Setelah sekian kalinya berusaha membebaskan diri dari pengaruh kekuatan lawan, Indrajit mencoba melompat ke samping. Usahanya ini tetap sia-sia saja.

Dan ketika Bara Genta menjulurkan tangan ke arahnya, pemuda ini hanya dapat mengibaskan senjatanya. Namun tangan Pembegal Jagad yang satunya cepat menghalau. Kemudian....

Braaak!

“Aaa...!” Tangan Bara Genta mendadak menghantam telak dada Indrajit. Saat itu juga, pemuda ini terjengkang dan ambruk di tanah. Tubuhnya langsung menghitam. Dari mulut dan hidungnya mengucur darah kental berwarna kehitam-hitaman.

Bara Genta tersenyum puas Dan baru saja dia hendak melanjutkan langkah....

“Sungguh keji sekali perbuatanmu itu, Pemuda Iblis!” Terdengar bentakan keras dari belakang. Namun dengan tenang, Bara Genta menoleh. Tidak jauh di depannya, tampak seorang laki-laki tua berambut panjang berdiri tegak sambil memandangi penuh amarah.

“Rasanya aku pernah melihatmu, Kisanak? Coba katakan, apa tujuanmu!” tegur Bara Genta, langsung.

“Tujuanku sudah jelas. Kau telah membunuh kawan-kawanku. Di samping itu, aku muak melihat tindakanmu yang sewenang-wenang!” desis laki-laki tua yang tak lain Dewa Petir tegas.

“Hem, begitu? Rupanya masih belum jelas bagimu, bahwa aku sengaja datang ke sini untuk menciptakan neraka dunia? Jadi, kuperingatkan padamu jika tidak punya nyawa rangkap, sebaiknya jangan campuri urusanku!” gertak Bara Genta.

“Kau memang iblis sombong yang pantas dikirim ke neraka!” desis Dewa Petir.

“Tidak usah banyak omong! Buktikanlah semua ucapanmu itu jika kau benar-benar punya kemampuan!” tantang Bara Genta, sesumbar.

Dewa Petir yang memang sudah mengetahui kehebatan lawannya ini tidak mau bersikap gegabah. Segera dia bersikap waspada untuk menghadapi segala kemungkinan. Dan tiba-tiba kedua tangannya dihentakkan ke arah Bara Genta. Seketika sinar keperakan bagai petir meluncur.

“Huh! Hanya pukulan picisan. Rasanya tidak ada gunanya kau pamerkan di depanku!” ejek pemuda berkulit hitam ini. Satu tombak sinar bagai petir itu menghantam, Bara Genta mengibaskan tangannya.

Wuuut! Blaaar!

Terjadi guncangan yang cukup keras bagai gempa disertai ledakan. Dewa Petir yang sempat terhuyung-huyung mundur dapat menguasai keadaannya. Sedangkan Bara Genta yang menganggap enteng serangan lawannya, sempat jatuh terduduk.

Secepatnya Bara Genta bangkit. Malah kini segera menerjang Dewa Petir dengan mempergunakan jurus ‘Tendangan Badai Topan’. Tentu saja serangan itu tidak dapat dianggap main-main. Melihat gerakan tangan dan kaki Bara Genta yang cukup cepat, Dewa Petir segera melenting ke udara. Namun pada saat yang bersamaan, Pembegal Jagad juga melompat ke udara. Ketika tubuh mereka sama-sama mengambang di atas, serangkaian tendangan dilancarkan.

Duk!

“Heh...?!” Dewa Petir sempat tergetar juga saat terjadi benturan kaki di udara. Dengan sebisanya, kedua kakinya mendarat di atas tanah, namun sempat jatuh terjengkang. Ketika matanya melirik, ternyata kakinya sudah membiru. Jelas, tadi Bara Genta telah mengerahkan tenaga dalam.

“Boleh juga kau punya kepandaian! Heaaa...!” Bara Genta mengakhiri ucapannya dengan serangkaian serangan ganas.

Ki Suta yang memang telah merasakan kehebatan lawan, sekarang tidak mau bersikap setengah-setengah lagi. Dengan segera dikerahkannya jurus ‘Amarah Sang Dewa’. Bahkan jurus-jurus ini dirangkai jurus-jurus lainnya. Sehingga, serangan yang dilancarkannya semakin bertambah cepat dan sangat berbahaya.

“Hiyaaa...!”

“Ciaaat...!”

Bara Genta dan Dewa Petir sudah kembali terlibat pertarungan. Rupanya sekarang mereka memang sedang berusaha membunuh satu sama lain dalam waktu secepatnya. Niat yang terkandung dalam hati masing-masing tentu sangat sulit diwujudkan, mengingat mereka sama-sama sengaja mengerahkan jurus-jurus simpanannya.

Lama-kelamaan Dewa Petir jadi tidak sabar juga. Tiba-tiba kedua tangannya dirangkapkan, seraya mengerahkan tenaga dalam ke bagian telapak tangan. Dan sekejap kemudian....

“Aji ‘Dewa Pamungkas’! Hiyaaa...!” Disertai teriakan keras Ki Suta menghentakkan tangannya ke depan. Seketika seleret sinar berwarna biru meluncur deras ke arah Bara Genta.

Tampaknya, Bara Genta juga tidak tinggal diam. Secara cepat tangannya dikibaskan menyongsong pukulan Dewa Petir. “Aji ‘Sirep Hampa’! Heaaa...!”

Bum! Buuum!

Dua luncuran sinar yang datang dari dua arah bertubrukan di udara. Ledakan-ledakan dahsyat terdengar. Dewa Petir sempat terpelanting hingga sejauh tiga batang tombak. Dari mulutnya tampak meneteskan darah kental.

Bara Genta sendiri sempat merasa dadanya sesak bukan main. Peredaran darahnya kacau dan jantungnya berdetak lebih cepat lagi. Akan tetapi setelah mengatur pernapasan, keadaannya telah berangsur-angsur membaik. Perlahan-lahan Bara Genta berdiri kembali. Tatapan matanya sedemikian tajam menusuk, memandang dingin pada Ki Suta.

Dewa Petir segera mencoba bangkit berdiri. Namun pada saat itu, seluruh tenaganya seperti hilang begitu saja. Padahal, Bara Genta telah bersiap-siap melepaskan pukulan dahsyat untuk mengakhiri perlawanannya. Dalam keadaan sulit berjalan itu, Ki Suta tidak mau mati pasrah begitu. Segala macam usaha dilakukannya.

“Kau segera mati, Orang Tua!” geram Bara Genta.

“Pemuda iblis! Jangan terlalu takabur dengan kemampuan diri sendiri!” dengus Ki Suta.

“Hiyaaa...!” Disertai teriakan menggelegak, Bara Genta menerjang ke depan. Kedua tangannya segera didorong ke depan. Seketika segulung angin kencang yang tidak terlihat meluruk deras ke arah Dewa Petir.

Ki Suta tiba-tiba saja merasakan ada suatu kekuatan yang sangat besar menyedotnya. Dan tiba-tiba pula, tubuhnya seperti tertarik, terseret-seret mendekati Bara Genta. Dewa Petir kaget bukan main melihat daya tarik yang sedemikian hebat ini. Sementara itu, tangan Bara Genta sendiri telah menghitam.

Rupanya, Pembegal Jagad sedang mengerahkan ajian ‘Pamiluto Gaib’. Walaupun Ki Suta telah berusaha keras untuk mempertahankan diri dari pengaruh daya tarik itu, namun usahanya sia-sia. Kini keselamatan Ki Suta benar-benar bagaikan telur di ujung tanduk. Apalagi melihat jarak satu sama lain semakin lama semakin dekat saja.

Dalam keadaan yang sangat gawat, tiba-tiba melesat sesosok bayangan putih dari sebelah kanan. Pembegal Jagad terkesiap. Segera tangan kirinya dipergunakan untuk memapak.

Wuuut! Plak!

“Auaaakh...!” Bara Genta terjengkang disertai teriakan melengking tinggi.

Sedangkan Dewa Petir selamat dari jarum maut. Di lain waktu tidak jauh dari mereka telah berdiri seorang pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti.

“Huh! Kau rupanya!” dengus Bara Genta sinis.

“Kau memang hebat. Sudah mati, dapat hidup kembali. Tetapi jangan terlalu banyak berharap dengan kehidupanmu yang ketiga. Karena sekali ini, Iblis Hitam yang menguasai Kitab Pelebur Jiwa tidak akan sanggup lagi menolongmu!” desis Rangga.

“Kurang ajar! Jangan terlalu yakin dengan kemampuanmu, Pendekar Rajawali Sakti! Kau telah ditakdirkan mati di tanganku hari ini!” teriak Bara Genta. “Aji ‘Pamiluto Gaib’! Hiyaaa...!"

Melihat lawannya mempergunakan jurus yang paling berbahaya, seketika Pendekar Rajawali Sakti sudah tidak ingin membuang waktu lagi. Segera dicabutnya Pedang Pusaka Rajawali Sakti di punggungnya.

Sring!

Rangga mengerahkan setengah dari tenaga dalamnya dan menyalurkannya ke bagian hulu pedang, maka saat itu pula senjata itu kemudian diputar. Pada saat itu juga, Bara Genta merasakan adanya suatu kelainan. Ajian ‘Pamiluto Gaib’ seakan macet, tidak berguna sebagaimana mestinya. Padahal, pedang di tangan Rangga terus meluncur menghantam ke arah dada.

Pemuda berhati iblis ini cepat berusaha menghindarinya dengan cara meliukkan badannya berulang-ulang. Serangan pertama ini gagal mengenai sasarannya. Tetapi pedang itu seakan memiliki mata saja. Kelebatannya seperti mengejar Bara Genta ke mana saja.

“Hiyaaa...!” Pendekar Rajawali Sakti berteriak sekeras-kerasnya. Pedangnya dikibaskan, kemudian langsung menyodok ke bagian perut Bara Genta.

Pemuda bertelanjang dada ini memang sudah tidak punya waktu lagi menghindar. Apalagi, pedang bersinar biru berkilau itu sangat cepat datangnya. Tidak ampun lagi....

Cres!

“Aaa...!” Bara Genta melolong keras begitu perutnya tertembus pedang. Tubuhnya jatuh terduduk. Sedangkan darah menyembur dari luka di perutnya.

Rangga yang mengetahui kelemahan Pembegal Jagad langsung mencabut pedangnya. Kemudian dengan dibantu Dewa Petir, diangkatnya tubuh Bara Genta ke udara.

“Aaa...!” Suara lolongan semakin bertambah panjang. Tubuh yang berlumuran darah itu cepat langsung membusuk, menebarkan bau yang sangat menusuk.

“Sangkutkan mayat ini ke atas pohon, Ki!” perintah Rangga setelah memasukkan pedangnya ke warangka.

Ki Suta segera melompat ke atas pohon. Sedangkan Rangga melemparkan mayat Bara Genta ke arah Ki Suta.

Tap!

Dewa Petir menangkapnya. Kemudian mayat Bara Genta yang mengalami pembusukan secara cepat ini disangkutkan di atas pohon.

Wusss...!

Pada saat itu, tiba-tiba berhembus angin kencang yang disertai hujan dan suara petir sambung-menyambung. Lalu di tengah-tengah hujan, tampak sesosok tubuh bergerak cepat ke arah Rangga. Sosok tubuh ini memiliki empat tangan dan dua kepala.

Pendekar Rajawali Sakti segera menyadari kalau laki-laki berwujud aneh dan mengerikan itu tidak lain dari gurunya Bara Genta. Sebelum laki-laki berkepala dua ini berkata apa-apa, tiba-tiba....

“Hanya pedangmu yang dapat mengatasinya! Penggal lehernya! Baru dia mati!” Sebuah bisikan terdengar di telinga Pendekar Rajawali Sakti. Rangga kenal betul kalau orang yang berbisik itu tidak lain dari Ki Renta Alam.

“Kitab Pelebur Jiwa! Iblis Hitam yang selalu bersemayam di dalamnya. Bunuh kedua manusia yang telah membunuh muridku!” perintah laki-laki berkepala dua dan bertangan empat. Dia tidak lain dari Rumbai Mangkulangit yang berjuluk Si Bayang-Bayang!

Sekejap kemudian, Si Bayang-Bayang mengambil sebuah kitab dari balik pakaiannya. Kitab berwarna hitam dan sangat kumal itu diacungkan ke udara, dan digoyang-goyangkan, Saat itu juga terlihat asap putih membubung tinggi ke udara.

Asap yang menyerupai kabut itu kemudian bergerak. Dan dari balik asap tampak sosok serba hitam. Tubuhnya sangat tinggi. Dialah Iblis Hitam, penghuni Kitab Pelebur Jiwa!

“Bunuh!” perintah Si Bayang-Bayang lantang.

“Perintah dijalankan!” sahut Iblis Hitam.

Secepat kilat kedua tangan Iblis Hitam yang dapat terjulur memanjang tanpa batas itu bergerak ke dua arah. Tangan kirinya berusaha menggapai leher Dewa Petir yang sedang di atas pohon, sedangkan tangan kanannya hendak mencengkeram punggung Rangga.

Dewa Petir terkesiap. Namun sebelum cengkeraman itu sampai pada sasaran, dilepaskannya pukulan ‘Dewa Menolak Bala’.

Blasshh! Blammm!

Pukulan yang dilepaskan Ki Suta ini tepat mengenai sasarannya. Tetapi begitu ledakan terjadi Iblis Hitam tidak mengalami luka apa-apa. Dewa Petir jadi geram setengah mati. Sementara, tangan Iblis Hitam yang hitam dan besar sudah mencengkeram punggungnya. Tubuh Ki Suta diangkat tinggi-tinggi, lalu dibanting sekeras-kerasnya.

Bruk!

“Argkh...!” Dewa Petir menggeliat kesakitan ketika tubuhnya menghantam tanah.

Kiranya perlakuan yang sama juga dialami Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda ini pun terhempas. Untung sebelumnya tenaga dalamnya sudah dikerahkan untuk melindungi diri.

Sekarang, Iblis Hitam terus mengejar Dewa Petir. Kakinya yang besar berusaha menginjak tubuh laki-laki tua itu. Namun pada saat itulah Rangga kembali mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti.

Sring!

“Hiyaaa...!” Disertai teriakan menggelegar, Rangga melompat ke udara. Ujung pedang di tangannya meluncur deras ke punggung Iblis Hitam. Dengan mempergunakan kesempatan saat Iblis Hitam lagi lengah, Pendekar Rajawali Sakti menusukkan pedangnya.

Jrooos!

“Haaargkh...!” Iblis Hitam penghuni Kitab Pelebur Jiwa menjerit keras saat wujudnya tertusuk senjata Rangga. Tubuhnya kontan terbakar. Pada saat yang sama, kitab di tangan Si Bayang-Bayang terbakar.

Rumbai Mangkulangit terpaksa melepaskan kitabnya. Lolongan panjang Iblis Hitam terdengar menjauh. Semakin lama semakin jauh, hingga akhirnya lenyap begitu saja. Rumbai Mangkulangit jelas terkejut melihat kehebatan senjata di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Pedang itulah yang tidak pernah berhasil dilihat melalui kekuatan gaibnya! Sehingga dia tidak menciptakan senjata yang dapat mengimbangi pedang milik Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa senjata tandingan, mustahil pemuda itu dapat dikalahkan.

Sementara Rangga sendiri segera melompat menghadapi Si Bayang-Bayang. “Setelah kehancuran Iblis Hitam, sekarang giliranmu yang harus kukembalikan ke neraka!” dengus Rangga.

Si Bayang-Bayang melompat mundur, ketika Pendekar Rajawali Sakti menebaskan senjatanya. Saat itu juga terasa adanya hawa panas yang menerjang. Rumbai Mangkulangit terkesiap, lalu melompat lagi. Melihat kenyataan ini, Pendekar Rajawali Sakti hilang kesabarannya. Dengan mempergunakan jurus dari rangkaian jurus-jurus ‘Rajawali Sakti’, diserangnya laki-laki tua itu dengan gencar.

Mendapat serangan begini rupa, Rumbai Mangkulangit jadi pontang-panting. Agaknya dia begitu takut menghadapi Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Saking takutnya, dia lupa mempergunakan pukulan-pukulan saktinya!

Tiba-tiba Si Bayang-Bayang mengambil sebuah benda dari balik saku celananya. Kemudian benda bulat itu dilemparkannya ke tanah di depan Rangga.

Buuum!

Terjadi letupan keras, disertai menebarnya asap tebal. Suasana di sekitarnya jadi gelap gulita.

“Dasar licik!” teriak Rangga. Pendekar Rajawali Sakti berusaha keluar dari kepungan asap tebal. Begitu terbebas, ternyata Si Bayang-Bayang telah lenyap.

“Hari ini adalah kekalahanku, Pendekar Rajawali Sakti! Suatu saat jika aku telah menemukan senjata ampuh, aku akan mencarimu!” Terdengar suara Si Bayang-Bayang yang dikirimkan lewat ilmu mengirimkan suara.

“Tantanganmu kuterima, Pengecut!” teriak Rangga, lantang.

“Rangga! Kita telah terkecoh. Sayang, aku sendiri juga tidak dapat menghentikannya,” keluh Dewa Petir, seakan menyalahkan diri sendiri.

“Sudahlah, Ki. Kita telah membunuh muridnya, dan juga memusnahkan Kitab Pelebur Jiwa. Lain kali, kita pasti dapat menghancurkan Si Bayang-Bayang!” tandas Pendekar Rajawali Sakti.

“Sekarang kita ke mana?” tanya Ki Suta.

“Ke Desa Pasir Molek, bagaimana?” tanya Pendekar Rajawali Sakti disertai senyum.

Dewa Petir mengangguk setuju. Ketika mereka meninggalkan Hutan Wonocolo, hari sudah mulai gelap. Hati mereka lega, karena telah berhasil membunuh Bara Genta.

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: TITAH SANG RATU