Titah Sang Ratu - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

TITAH SANG RATU

SATU

DESA MAJA saat ini kelihatan ramai. Umbul-umbul di sepanjang jalan utama sampai alun-alun terpasang berwarna-warni. Para penduduk sudah sejak tadi berkerumun, memadati setiap penjuru alun-alun. Ini merupakan minggu ketiga dari bulan ketujuh. Hari inilah waktu yang ditentukan sebagai ajang tanding dari beberapa padepokan silat yang ada di desa itu.

Kebiasaan ini telah berlangsung puluhan tahun yang lalu, dan masih dilestarikan hingga kini. Bahkan bukan hanya padepokan silat yang ada di Desa Maja saja, melainkan padepokan silat yang berada di luar desa pun boleh ikut serta. Karena sifat pertandingan adalah persahabatan, sehingga para peserta tidak dibenarkan membunuh lawannya.

Seperti biasa, beberapa tokoh tua di desa itu duduk sebagai juri. Mereka tidak terikat padepokan-padepokan silat yang ada di Desa Maja ini, sehingga penilaian mereka bisa dipertanggungjawabkan.

"Gong...!"

Gong berbunyi. Seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun berdiri dan berjalan ke tengah alun-alun. Diumumkannya nama-nama padepokan yang kali ini ikut serta.

“Dan untuk kali ini pula, akan ditambahkan satu pertandingan menarik, berupa pertandingan perorangan. Dengan demikian diharapkan acara ini akan lebih meriah. Siapa saja yang merasa punya kemampuan, boleh menjajal lawan. Meski begitu, syarat-syarat mesti dipenuhi seperti biasa!”

Prok! Prok! Prok...!

Penonton bertepuk tangan. Dan masing-masing siap menjagokan tokoh yang dibanggakannya.

“Kali ini Padepokan Buaya Ireng akan menjuarai pertandingan!” kata salah seorang penonton, yakin.

“Ah, mana bisa?! Aku yakin Padepokan Camar Emas yang akan juara!” sergah penonton lainnya.

“Huh! Kedua padepokan itu tidak ada apa-apanya. Aku yakin, Padepokan Garuda Merah yang akan menguasai semuanya!” sahut yang lainnya, bernada meremehkan.

“Hei, jangan lupa! Padepokan-padepokan dari luar desa kita pun tidak kalah tangguh. Konon kabarnya murid-murid mereka terkenal ke seantero wilayah selatan ini!”

“Jangan membesar-besarkan padepokan luar desa kita, Gedeng! Siapapun tahu, Desa Maja gudangnya tokoh-tokoh silat!” sergah seorang pemuda berbaju hitam dengan wajah tak suka.

“Kau macam-macam saja, Gedeng! Orang-orang dari seantero negeri datang ke sini untuk belajar di padepokan-padepokan yang ada di desa kita. Itu menunjukkan kalau desa kita ini gudangnya tokoh-tokoh silat!” timpal yang lain.

“Entahlah... Aku hanya mengingatkan. Meski desa kita gudangnya ilmu silat, tapi jangan sampai meremehkan lawan-lawan dari desa lain...,” desah pemuda kurus yang dipanggil Gedeng dengan suara pelan.

Percakapan mereka berhenti, karena laki-laki setengah baya yang berbicara di tengah alun-alun telah kembali ke tempatnya setelah mengumumkan pihak-pihak yang akan bertanding lebih dulu. Sesaat kemudian muncul dua orang pemuda ke tengah tempat pertandingan yang disambut tepuk tangan para penonton. Yang berbaju serba hitam adalah murid Padepokan Buaya Ireng. Sedang yang memakai baju kuning keemasan murid Padepokan Camar Emas.

“Wah! Ini bakal seru! Mereka pernah bertemu tahun lalu!” seru seorang penonton.

“Ya! Dan kalau tak salah, murid Buaya Ireng kalah.”

“Tapi belakangan ini, Ki Suralaga menggembleng murid-murid Buaya Ireng dengan keras. Mereka bertekad untuk memenangkan kejuaraan ini.”

“Hm.... Pertandingan ini pasti akan seru!”

Pertarungan telah berlangsung. Murid Padepokan Buaya Ireng menyerang ganas. Sebaliknya murid Padepokan Camar Emas menghadapinya dengan tenang, namun penuh kelincahan.

“Hup!”

Plak!

Satu tendangan keras meluncur ke perut murid Padepokan Camar Emas. Namun dengan manis dapat ditepisnya dengan kebutan tangan kiri. Bahkan kepalan tangan kanannya tiba-tiba bergerak cepat ke muka murid Padepokan Buaya Ireng.

“Hiih!” Murid Padepokan Buaya Ireng terkejut. Dia melompat ke belakang, tapi murid Padepokan Camar Emas terus mengejar dan mendesak.

Plak! Plak!

Benturan tangan terjadi. Masing-masing terjajar beberapa langkah. Namun sekejap kemudian, pemuda murid Padepokan Camar Emas memutar tubuhnya, seraya melepas tendangan setengah lingkaran yang begitu cepat tak terduga. Sehingga....

Des!

“Akh!” Tendangan itu telak menghantam dada murid Padepokan Buaya Ireng, hingga jatuh terjengkang di tanah.

“Brengsek!” Murid Padepokan Buaya Ireng menggeram seraya bangkit berdiri. Wajahnya meringis menahan nyeri. Dibuatnya beberapa gerakan dengan jurus-jurus andalan. Kemudian kembali dia menyerang. Tubuhnya meluruk, seraya melepas suatu hantaman tangan.

“Yeaaa...!” Sambil menggeser tubuhnya ke kiri, murid Padepokan Camar Emas mengibaskan tangan kanannya.

Plak!

Kembali terjadi benturan. Namun sekejap kemudian, murid Padepokan Buaya Ireng menyusuli dengan tendangan. Namun, murid Padepokan Camar Emas cepat mengegos ke samping sambil membungkuk. Lalu tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas sambil mengayunkan tendangan. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Desss...!

“Akh...!” Untuk kedua kalinya, murid Padepokan Buaya Ireng terjungkal roboh sambil mengeluh tertahan terhantam tendangan telak.

“Sapta, maju!” seru Ketua Padepokan Buaya Ireng yang bemama Ki Suralaga.

Murid yang kalah segera menyingkir. Dan kedudukannya diganti seorang pemuda berbadan tegap bernama Sapta. Melihat hal ini, Ketua Padepokan Camar Emas tidak mau kalah. Buru-buru dia memberi isyarat pada murid di sebelahnya.

“Badar! Gantikan Sukma!”

“Baik, Guru!”

Setelah memberi isyarat pada pemuda bernama Sukma, Badar langsung mencelat ke tengah. Dan dia langsung berhadapan dengan Sapta dari Padepokan Buaya Ireng. Keduanya langsung mengadakan pertarungan dalam tempo cepat. Melihat cara berkelahi, akan kelihatan kalau masing-masing memiliki tingkat yang lebih tinggi dibanding kedua saudara seperguruan mereka tadi. Namun bila diamat-amati lebih seksama, maka segera dapat diketahui kalau murid Padepokan Camar Emas memiliki gerakan lebih ringan. Sedangkan murid Padepokan Buaya Ireng lebih lambat, namun terkadang cukup gesit pada saat-saat tertentu.

“Yiaaap!” Sapta menyodokkan kaki kanan ke perut. Namun Badar cukup memiringkan tubuhnya sedikit, lalu melompat ke atas. Begitu berada di udara kaki kanannya mencelat, melepaskan tendangan.

“Uts...!” Sapta segera merendahkan tubuhnya, seraya mengangkat kaki kanannya menuju daerah terlarang milik Badar.

“Uts!” Badar terkesiap, namun cepat tanggap. Cepat kakinya yang satu lagi menahan kaki Sapta.

Plak!

Dan dengan meminjam tenaga benturan, Badar bersalto ke belakang. Begitu mendarat, murid Padepokan Camar Emas kembali meluruk.

“Heh?!" Sapta yang baru saja menegakkan tubuhnya terkesiap, melihat Badar yang telah begitu cepat menyerangnya kembali. Mau tak mau terpaksa ditangkisnya serangan dengan mengibaskan tangannya.

Plak!

Benturan tangan terjadi, Sapta terjajar. Sementara Badar telah memutar tubuhnya melepas tendangan menggeledek yang begitu cepat tak tertahankan. Hingga....

Desss...!

“Aaakh...!” Tendangan Badar tepat menggedor dada, membuat murid Padepokan Buaya Ireng terjungkal roboh. Hampir menimpa beberapa penonton yang menyorakinya.

“Wah, payah! Buaya Ireng dari dulu begitu terus. Payah! Payah sekali...!”

“Iya, ya! Padahal, katanya Ki Suralaga telah melatih dengan keras.”

“Mungkin hanya siasat supaya lawan waspada. Padahal, memang tidak ada apa-apanya....”

“Ssst...! Jangan bicara sembarangan kau.”

“Uff! Maaf....” Orang itu buru-buru menutup mulutnya. Apalagi ketika Ki Suralaga yang tengah dibicarakan, melirik dengan sorot mata angker.

Hati Ki Suralaga panas bukan main. Dua muridnya dapat dikalahkan murid-murid Padepokan Camar Emas. Entah, mau dikemanakan mukanya saat ini. Apalagi mendengar cemoohan-cemoohan penonton. Untuk sesaat dia mesti menahan diri sambil menyaksikan dengan tertib acara selanjutnya.

Kali ini seorang pemuda murid Padepokan Garuda Merah yang akan menantang murid Padepokan Camar Emas tadi sudah maju ke tengah kancah pertandingan.

“Silakan, Kisanak...,” ucap Badar penuh percaya diri. “Hiih!”

Agaknya murid Padepokan Garuda Merah tak mau berbasa-basi lagi. Langsung dikirimkannya sebuah serangan dengan kepalan tangan kanan ke muka.

“Uts...!” Sambil menggeser tubuhnya, Badar menangkis dengan telapak tangan kiri.

Plak!

Begitu terjadi benturan, murid Padepokan Garuda Merah langsung melanjutkan dengan tendangan. Terpaksa Badar harus menghindar dengan melenting ke belakang. Namun baru saja Badar mendarat, murid Padepokan Garuda Merah telah mencelat mengejar, melepas serangan beruntun lewat perpaduan antara pukulan dan tendangan. Begitu cepat dan bertenaga serangan yang dilancarkannya, membuat Badar kerepotan. Satu dua serangan berhasil dihindari Badar. Namun serangan berikutnya....

Desss...!

“Aaakh...!” Badar terjajar ke belakang sambil menjerit kesakitan, ketika sebuah hantaman mendarat di dadanya.

“Heaaa...!” Belum sempat murid Padepokan Camar Emas itu bersiap kembali, dua buah hantaman berturut-turut telah bersarang di dadanya.

Des! Des!

“Aakh...!” Badar terpekik, dan terlempar ke arah penonton.

“Aku lawanmu, Kisanak!” seru seorang pemuda bertubuh kurus yang langsung melompat ke tengah.

“Heaaa...!” Namun baru juga orang yang baru melompat itu memasang kuda-kuda, murid Padepokan Garuda Merah sudah meluruk seperti tak memberi kesempatan barang sedikit pun. Dilepaskannya serangan bertubi-tubi dengan sambaran telapak tangannya yang membentuk paruh garuda.

Namun pemuda bertubuh kurus berpakaian serba hijau dengan lambang bergambar kepala ular di dada itu bukan lawan sembarangan. Sebab pemuda kurus yang agaknya dari Padepokan Ular Hijau ini mampu bergerak menghindarinya dengan gesit bagaikan seekor ular hijau.

“Hup! Yeaaa...!” Setelah meliukkan tubuhnya, pemuda kurus itu langsung balas menyerang dengan sambaran tangan yang menyerupai ular. Meski kurus, namun angin serangannya kencang. Itu menandakan kalau tenaga dalamnya cukup hebat.

“Hup!” Namun, murid Padepokan Garuda Merah tak kalah sigap sambil melompat ke atas dipapaknya patukan tangan itu dengan tangan yang membentuk paruh.

Plak!

Begitu terjadi benturan, murid Padepokan Garuda Merah langsung menyambarkan tangannya ke punggung, sambil memutar tubuhnya di udara.

“Uts!” Untung saja pemuda murid Padepokan Ular Hijau cepat menyadari bahaya. Walau terlihat kerepotan, dia langsung menjatuhkan diri seraya bergulingan.

“Hiaaat...!” Pemuda kurus itu cepat melenting bangkit Pada saat yang sama, murid Padepokan Garuda Merah yang telah mendarat di tanah telah meluruk dengan hantaman bertubi-tubi. Secepat kilat, pemuda kurus itu memapaki dengan geram.

Plak! Plak!

“Uhh...!” Dua kali benturan terjadi. Namun yang ketiga terdengar keluhan tertahan dari mulut pemuda kurus. Tubuhnya terjajar beberapa langkah. Kesempatan ini tidak disia-siakan murid Padepokan Garuda Merah. Kaki kanannya cepat menyodok ke ulu hati.

Begkh!

“Aakh...!” Tanpa ampun lagi, pemuda kurus murid Padepokan Ular Hijau terjungkal disertai jerit kesakitan.

“Wah, hebat! Murid-murid Padepokan Garuda Merah memang kesohor sejak dulu!” puji seorang penonton. Yang lain menimpali dengan kesan sama.

“Siapa lagi yang bakal dihajar?”

“Wuiih! Agaknya dia yang bakal jadi juara!”

“Belum tentu! Belum tentu! Masih banyak peserta lain yang mampu menandinginya.”

“Iya, iya...! Nah, lihat! Tuh, kan, masih ada yang berani menantangnya!”

DUA

Kini bola mata mereka menatap tegang ke tengah kancah pertandingan. Seperti juga yang lain, mereka kini melihat seorang gadis cantik berbaju merah. Rambutnya panjang sebahu, dengan ikat kepala warna merah pula. Agaknya dia akan menantang murid Padepokan Garuda Merah.

“Ini bakal seru!”

“Suiit...! Suiiittt...!”

“Mendingan jangan berkelahi di sini. Tapi, di kasur...!” teriak seorang penonton, geregetan.

“Hush! Jangan sembarangan ngomong kau!”

“Lho? Memangnya kenapa?”

“Gadis itu kelihatan galak. Bisa-bisa malah ‘ular kasur’mu yang akan dipotongnya.”

“Hiii...!”

Agaknya bukan hanya penonton yang menganggap enteng pada gadis berbaju merah. Bahkan murid Padepokan Garuda Merah yang akan menghadapinya pun hanya melirik dengan bersedekap. Wajahnya ditinggikan. Sikapnya benar-benar meremehkan.

“Sebaiknya keluar saja dari arena, Nisanak. Aku khawatir kulitmu yang halus akan lecet karena pukulanku,” ujar pemuda murid Padepokan Garuda Merah.

“Hei, Bocah! Kalau kau mampu mengalahkanku dalam lima jurus, aku mengaku kalah padamu!” sahut gadis baju merah, lantang.

“Ha ha ha...! Lima jurus? Aku bahkan mampu meringkusmu kurang dari sejurus.”

“Bocah sombong! Tidak usah banyak omong! Buktikanlah!”

Murid Padepokan Garuda Merah ini geram bukan main dipanggil bocah. Saat itu juga gengsinya dibuangnya jauh-jauh bila harus menghadapi seorang perempuan yang dianggap lemah.

“Kau yang menginginkannya. Maka, rasakan akibatnya! Heaaat...!” Disertai teriakan keras, pemuda itu meluruk seraya mengibaskan tangan. Sedikit tenaga dalam yang diperkirakan mampu menjatuhkan gadis itu segera dikerahkan.

Wussss!

Dugaan pemuda ini keliru. Ternyata gadis baju merah ini hanya sedikit memiringkan kepala, maka tamparan itu hanya menyapu angin. Murid Padepokan Garuda Merah segera mengulangi tindakannya seraya dia menambah kecepatan dan tenaga. Bahkan kemudian diikuti tendangan kaki.

Wut! Bet!

Tapi hanya dengan melompat ke kiri dan kanan, gadis baju merah mampu menyelamatkan diri. Bukan main geramnya murid Padepokan Garuda Merah itu. Seketika serangannya bertambah ganas.

“Huh! Hanya begitukah kepandaianmu? Kau. tak lebih dari seorang bocah yang baru belajar ilmu olah kanuragan!” ejek gadis baju merah, juga menambah kecepatan menghindarnya.

“Kurang ajar!” Murid Padepokan Garuda Merah menggeram marah karena tak satu serangannya yang berhasil disarangkan. Perhatiannya mulai tertuju sepenuhnya, untuk menjatuhkan gadis ini secepatnya.

“Ini sudah lebih dari lima jurus. Dan kau tak mampu meringkusku. Ternyata, kau hanya omong besar, Bocah!” leceh gadis baju merah.

“Sebentar lagi aku akan menghajarmu, Gadis Liar!” sahut murid Padepokan Garuda Merah.

“Huh! Mulut besar! Kini giliranku yang menyerang!” Gadis berbaju merah itu mendengus geram. Kalau tadi dia hanya menghindar, maka kini terlihat mulai balas menyerang. Kedua tangannya bergerak lincah silih berganti, melepaskan hantaman bertenaga dalam dahsyat.

Mendapat serangan beruntun, pemuda murid Padepokan Garuda Merah berusaha menghindar sambil menangkis. Kedudukannya jadi terdesak. Dia hanya mampu bermain mundur. Pada satu kesempatan, gadis baju merah menyodokkan telapak tangan kanannya ke wajah dengan kecepatan tinggi.

“Uts...!” Pemuda murid Padepokan Garuda Merah mengegos ke kiri. Namun pada kejap itu juga, tangan kiri gadis berbaju merah bergerak menyampok ke dada. Dan....

Desss...!

“Aaakh...!” Pemuda itu jatuh terjengkang, begitu sampokan gadis baju merah mendarat di dadanya. Dengan menahan rasa sakit, pemuda itu bangkit dengan wajah marah. “Bangsat! Kau akan merasakan hajaranku yang sesungguhnya!” maki pemuda itu.

“Banyak omong!”

“Yeaaa...!” Disertai teriakan keras, pemuda itu bergerak menyerang. Namun mendadak gadis baju merah memutar tubuh. Seketika kaki kanannya melepaskan tendangan berputar yang begitu cepat tak terkira.

Diegkh...!

“Aaakh...!” Kembali pemuda itu terjungkal roboh disertai jerit kesakitan. Dia langsung memegangi kepalanya yang terasa pusing bukan main. Tendangan itu memang tidak mematikan, tapi cukup menyakitkan. Tak heran kalau pemuda itu berguling-gulingan keluar kancah pertarungan.

“Gila! Gadis itu ternyata tak bisa dibuat main-main!” seru seorang penonton.

“Murid padepokan mana dia?”

Tak ada yang menjawab. Semua seperti terkesima melihat penampilan gadis itu. Sementara itu seorang pemuda berbaju ketat warna putih telah melompat ke tengah. Matanya langsung menatap tajam gadis berbaju merah.

“Namaku Supena dari Padepokan Gajah Putih...!” kata pemuda berbaju putih, memperkenalkan diri.

“Aku Sekartaji. Silakan dimulai!” sahut gadis baju merah, mantap.

“Kalau boleh tahu, dari padepokan mana kau berasal?” tanya pemuda bernama Supena.

“Aku datang atas namaku sendiri,” jawab gadis yang ternyata bernama Sekartaji.

“Hm.... Kalau begitu, mungkin kau tidak keberatan menyebut nama gurumu?” gumam Supena.

“Kau mau bertarung atau ngobrol?! Kalau bertarung, silakan dimulai. Kalau ngobrol, aku tak punya waktu!” sentak Sekartaji, lantang.

“He he he...! Agaknya kau orang yang tak suka berbasa-basi. Baiklah. Lihat serangan!” Tiba-tiba Supena mengayunkan kaki. Namun dengan tenang, Sekartaji bergeser ke kiri seraya menepis dengan tangan kanan.

Plak!

Begitu serangannya gagal, Supena melanjutkan serangan. Dia maju selangkah dengan kepalan kiri menyodok ke dada.

“Uts...!” Sekartaji kembali bergeser seraya menahan dengan telapak tangan.

Plak!

Begitu terjadi benturan, kaki kanan Sekartaji melayang ke ulu hati. Sementara, Supena tersenyum mengejek. Dia cepat mencelat ke belakang. Namun, gadis itu terus menggeser sambil melayangkan tendangan berturut-turut. Sambil menggumam tak jelas, Supena beberapa kali bersalto ke belakang, hingga beberapa penonton terpaksa menyingkir.

Tapi sebelum kedua kakinya menyentuh tanah, mendadak Sekartaji telah bergerak amat cepat. Gerakannya membuat tokoh-tokoh silat yang hadir terkesima. Dan sebelum keterpanaan mereka lenyap, kedua tangan gadis itu telah mendarat di dada Supena.

Duk! Duk!

“Aaakh...!” Supena terjungkal ke belakang sambil menjerit kesakitan. Dia ingin segera bangkit, tapi rasa nyeri yang amat sangat menahan gerakannya.

Sementara Sekartaji hanya menatap dingin, lalu melompat kembali ke tengah kancah pertandingan. “Siapa lagi yang akan mencoba?” tantang Sekartaji. Mata tajam gadis ini beredar ke sekeliling.

Para penonton yang tadi memandang rendah, kini berubah kagum. Bahkan ada yang bergidik ngeri. Bagaimana jadinya kalau aturan pertandingan ini dirubah? Mungkin gadis itu bisa membunuh lawan-lawannya!

“Nisanak! Biar kujajal kepandaianmu!”

Mendadak terdengar suara. Semua mata langsung tertuju pada pemilik suara yang ternyata seorang laki-laki tua. Dengan gerakan ringan, laki-laki ini melompat ke tengah. Rambutnya pendek dan telah memutih, diikat kain warna-warni. Di pinggang kirinya terselip sebilah golok agak panjang. Dengan jubah warna kuning emas berlambang burung camar di dada, membuat penampilan orang tua itu tampak berwibawa.

“Wah, Ki Bagas Lodra yang turun tangan sendiri!” seru seorang penonton.

“Gila! Ini pertarungan tidak seimbang!” sahut yang lain, “Yang satu Ketua Padepokan Camar Emas. Sedang lawannya hanya seorang gadis....”

“Eh, nanti dulu! Meski masih muda, tapi gadis itu memiliki kepandaian hebat. Dia pasti bisa mengimbanginya."

“Iya. Aku yakin. Bahkan bukan tidak mungkin Ki Bagas Lodra akan ditundukinya. Kalau itu sampai terjadi, maka ini akan menjadi kejutan besar.”

“Huh! Mana mungkin!”

“Kenapa tidak? Toh sehebat-hebatnya Ki Bagas Lodra, dia manusia juga. Dan pasti bisa dikalahkan!”

“Iya. Tapi siapa pun tahu, kalau Ki Bagas Lodra tokoh tidak sembarang orang bisa mengalahkannya."

“Lebih baik kita lihat saja hasilnya.”

Sementara para penonton mulai berdebar-debar melihat siapa yang menjadi lawan Sekartaji. Sebaliknya gadis itu tenang-tenang saja. Dia bukannya tidak mendengar suara-suara penonton. Tapi, wajahnya malah kelihatan cerah.

“Sepertinya kau tokoh hebat, Orang Tua. Kuharap kau bisa mengalahkanku,” sambut Sekartaji.

“Jangan percaya cerita yang tak benar. Aku hanya kagum pada kelihaianmu. Seorang gadis muda berilmu tinggi. Hm..., itu jarang sekali ada!” kata laki-laki tua yang tak lain Ketua Padepokan Camar Emas, bernama Ki Bagas Lodra.

“Silakan, Orang Tua!”

“Yeaaa...!” Disertai teriakan seperti hendak merobek langit, Ki Bagas Lodra langsung menyerang. Telapak tangannya yang terkembang dihentakkan lurus ke depan. Seketika meluncur angin kencang yang mampu menggeser sebongkah batu sebesar kerbau. Apalagi tubuh seorang gadis seperti Sekartaji.

Tapi gadis itu sama sekali tak bergeming. Dia malah berkacak pinggang di tempatnya semula. Namun diam-diam dikerahkannya tenaga dalam di kedua kaki, membuat tubuhnya tak bergeser sama sekali. Hanya rambut dan pakaiannya yang berkibar bertiup angin.

“Hiyaaa!” Meski kaget, namun Ki Bagas Lodra tidak menunjukkannya. Bahkan terus menyerang dengan kepalan tangan kanan menghantam ke dada. Sementara telapak tangan kirinya meluncur ke ulu hati.

“Hiih...!” Sekartaji mengibaskan tangan kiri untuk menangkis kepalan tangan yang meluncur ke dadanya yang membusung.

Plak! Tap!

Lalu gadis ini menangkap pergelangan tangan kiri laki-laki tua Ketua Padepokan Camar Emas. Ki Bagas Lodra menyentak. Tapi cekalan gadis itu tak terlepas. Tenaga dalamnya segera ditambah. Dan seketika sambil menyentak kembali, kaki kanannya terangkat, melepas tendangan ke perut.

“Hup...!" Dengan gerakan ringan, Sekartaji melenting ke atas setelah melepas cekalan tangannya. Dan begitu mendarat, tahu-tahu berada di belakang Ki Bagas Lodra. “Lihat serangan...!” teriak Sekartaji, seraya melepas tendangan ke belakang.

“Hei?!” Dengan rasa terkejut, Ki Bagas Lodra berbalik seraya mengibaskan tangannya, menangkis.

Plak!

Justru, tenaga tangkisan itu digunakan Sekartaji untuk menambah kekuatan tendangan susulannya yang cepat bagai kilat. Sehingga....

Desss...!

“Ohhh..!” Dengan lenguhan tertahan Ki Bagas Lodra terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dada. Sebelum dia sempat bersiap-siap, Sekartaji telah kembali meluruk. Dia seperti tak ingin memberi kesempatan sedikit pun. Kedua tangannya langsung bergerak silih berganti, ke arah dada dan perut.

Desss...! Diegkh...!

“Hegkh...!” Untuk yang kedua kalinya Ki Bagas Lodra terkena hajaran Sekartaji. Ketua Padepokan Camar Emas ini melipat tubuhnya ke depan, lalu jatuh berlutut di tanah sambil meringis kesakitan. Meski tak sampai membuatnya terjungkal, tapi wajahnya memerah menahan malu. Betapa tidak? Hanya beberapa kali gebrak, dia dikalahkan oleh seorang gadis yang sama sekali tak terkenal?

“Ki Bagas Lodra! Menepilah! Biar kuladeni gadis ini!” Kembali terdengar suara dari kerumunan penonton. Tak lama, melompat dan mendarat di tengah kancah. Seorang laki-laki tua berpakaian dari kulit buaya. Rambutnya telah memutih, dengan ikat kepala dari kulit buaya pula.

“Hm, Ki Suralaga rupanya....”

Laki-laki berpakaian kulit buaya yang tak lain Ki Suralaga tersenyum dingin. Hatinya penasaran dan sekaligus kaget melihat Ki Bagas Lodra dapat dicundangi oleh anak kemarin sore. Maka dia bermaksud menjajalnya.

Sebelum kembali terjadi pertarungan, mendadak melompat sebuah bayangan hijau. Begitu mendarat, ternyata seorang gadis berbaju hijau dengan tubuh tegap seperti laki-laki. Namun demikian, wajahnya cukup cantik. Bahkan beberapa penonton ada yang bersuit-suit menggoda.

“Biar kuladeni dia, Sekartaji!” kata gadis berbaju hijau.

“Tanganmu sudah gatal pula, Arimbi? Baiklah. Tapi, berhati-hatilah...,” ujar Sekartaji. Ketika Sekartaji turun gelanggang, gadis bernama Arimbi memandang tajam pada Ki Suralaga yang merupakan Ketua Padepokan Buaya Ireng.

“Kisanak! Silakan dimulai!”

“Sebenarnya aku ingin berhadapan dengan gadis tadi. Tapi kalau kau memaksa, apa boleh buat?” tukas Ki Sularaga, sedikit kecewa.

“Dia atau aku sama saja. Kau belum tentu menang!” sentak Arimbi, lantang.

“Bocah sombong! Terhadap orang lain, kau boleh menepuk dada. Tapi menghadapi Sularaga, kau harus mikir dulu tujuh turunan!”

“Banyak mulut! Lihat serangan...!” Gadis bertubuh tegap terbungkus pakaian serba hijau ini bergerak cepat. Tubuhnya melepas tendangan terbang. Ki Suralaga masih tersenyum, menganggap enteng. Dengan tenang tangan kanannya mengibas menangkis.

Plak!

“Uhh...!” Tapi setelah merasakan tenaga dalam Arimbi, Ketua Padepokan Buaya Ireng ini mengeluh dalam hati. Tubuhnya sampai terjajar dengan tangan terasa nyeri bukan main. Dari sebelum dia bisa menghilangkan rasa sakitnya, gadis itu telah memutar tubuhnya, kembali melepas tendangan.

“Kurang ajar!” Sambil memaki Ki Suralaga mencelat ke belakang. Jantungnya berdegup kencang dan darahnya seperti berhenti mengalir. Dalam kekagetannya, membuat orang tua itu marah.

Pada saat yang sama, Arimbi telah kembali menyerang. Tubuhnya meluncur deras dengan satu sampokan ke dada. Laki-laki tua berpakaian kulit buaya yang baru saja mendarat, tak punya waktu lagi untuk menghindar. Seketika tangannya bergerak mengibas.

Plak!

Terjadi benturan keras. Kali ini, Arimbi yang terjajar. Sementara, Ki Suralaga langsung mengangkat kaki kiri, melepas tendangan ke dada.

“Uts!” Gadis berbaju hijau itu merendahkan tubuhnya. Sambil berputar, tahu-tahu sebelah kepalan tangannya menghantam ke pinggang.

Desss...!

“Uhhh...!” Ki Suralaga terjajar ke depan disertai keluhan tertahan.

Dan kesempatan itu justru dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Arimbi. Seketika tubuhnya mencelat, dan kaki kirinya menghantam punggung.

Buk!

“Aaakh...!” Kembali Ki Suralaga mengeluh tertahan. Tubuhnya terjungkal ke depan. Dari mulutnya menyembur darah segar. Dia ingin bangkit, tapi rasa nyeri di dada membuat niatnya tak tersampaikan.

“Astaga! Hebat betul dia!” seru seorang penonton.

“Gila! Ki Suralaga bukan orang sembarangan, tapi dapat dikalahkannya dengan mudah!”

“Sampai di mana kehebatan gadis ini?!”

“Siapa lagi yang maju menantangku?!” seni Arimbi lantang. Kedua tangannya bersedekap di depan dada.

“Akulah lawanmu, Nisanak!” Terdengar seruan yang disusul berkelebatnya satu sosok bayangan hitam ke tengah gelanggang. Begitu mendarat, tampak seorang pemuda berpakaian serba hitam berdiri menantang. Bibirnya menyungging senyum. Namun sorot matanya tajam berkilat.

TIGA

“Tolong sebutkan namamu!” ujar Arimbi, kalem.

“Aku Jatimerta!” sahut pemuda berpakaian hitam, dingin. “Kau akan rasakan, dalam lima jurus tingkahmu akan ditertawakan orang!”

“Silakan!”

“Heaaa...!” Tanpa basa-basi lagi pemuda bernama Jatimerta menerkam Arimbi dengan kedua tangan membentuk cakar. Tapi sebelum gadis berbadan tegap itu menghindar, mendadak melesat satu sosok bayangan kuning.

“Arimbi, mundurlah! Kini giliranku...!”

“Baik, Kak Sriwangi...!”

Gadis berbaju kuning bernama Sriwangi langsung menangkis serangan Jatimerta.

Plak!

Begitu terjadi benturan, Jatimerta langsung melabrak dengan sebuah hantaman menggeledek. Namun dengan gesit Sriwangi melompat ke atas. Sebentar saja pertunjukan menarik terjadi. Kedua orang yang bertarung ini saling bertukar jurus. Masing-masing ingin menjatuhkan satu sama lain secepatnya.

Jatimerta terlihat menggunakan jurus aneh tapi bertenaga kuat. Serangannya gencar dan berbau maut. Kedua tangannya yang membentuk cakar sekuat besi, senantiasa mengancam keselamatan gadis berbaju kuning. Tapi, Sriwangi tenang-tenang saja meladeninya. Bahkan berikutnya dia balas menyerang. Gerakannya lembut, namun lincah dan bertenaga kuat. Beberapa kali pemuda itu menggeram marah, karena serangan-serangannya selalu luput dari sasaran.

“Kau akan mampus di tanganku!” desis Jatimerta, seraya mengganti jurusnya.

“Hm.... Itu menyalahi aturan. Tapi meski begitu, kau tak akan mampu melakukannya, Anak Muda,” sahut Sriwangi sambil tersenyum.

“Huh!” Sambil mengayun badannya ke kiri dan kanan, kedua tangan Jatimerta menyambar ke perut secara menyilang. Tepat ketika pemuda ini bergerak ke kiri, Sriwangi cepat bergerak ke kanan. Dan ketika Jatimerta bergerak ke kanan, gadis itu telah melenting ke atas berbuat sesuatu, mendadak....

Plak! Plak!

“Aaakh...!" Jatimerta menjerit kesakitan ketika Sriwangi sambil melenting mendaratkan tamparan ke kedua pelipis pemuda ini. Meski begitu pemuda ini melepas tendangan ke atas.

“Hup!” Sayang, Sriwangi saat itu lebih cepat mendarat. Tubuhnya langsung merendah dan berputar. Seketika dilepaskannya satu tendangan ke perut Jatimerta.

Des!

“Wuaaakh...!” Pemuda itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terlempar ke tengah-tengah penonton. Namun dia segera bangkit dan melompat ke tengah gelanggang.

Beberapa orang juri langsung memutuskan kalau Jatimerta kalah. Namun, pemuda ini agaknya tidak mau terima. “Aku belum kalah!” teriak Jatimerta, kalap.

“Kau telah kalah, Anak Muda! Mundurlah! Beri kesempatan pada yang lain untuk menantang gadis itu!” seru seorang juri.

“Kurang ajar! Aku masih mampu untuk membunuhnya! Heaaa...!” teriak Jatimerta garang. Begitu habis kata-katanya, pemuda itu lompat menyerang Sriwangi yang telah bersiap dengan kuda-kuda kokoh.

“Heaaa...!" Jatimerta meluruk dengan cakaran kedua tangan bertubi-tubi. Namun, Sriwangi, tampak terlihat tenang. Dan ketika serangan itu sejengkal lagi menyentuhnya, kedua tangannya cepat bergerak mengibas.

Plak! Plak!

Begitu berhasil memapak, Sriwangi mencelat ke atas. Tubuhnya berputaran beberapa kali. Dengan sekuat tenaga, Jatimerta mengempos tubuhnya. Dia mengejar dengan kedua cakar terpentang siap mencabik gadis itu. Dengan lincah sekali, Sriwangi menggerakkan kedua kakinya, menyapu pergelangan tangan Jatimerta.

Plak!

Pemuda itu kontan terlempar ke belakang. Dan dengan gerakan manis, dia berputaran lalu mendarat di tanah. Tapi pada saat yang sama, Sriwangi yang telah mendarat cepat meluruk sambil melepaskan gedoran ke dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga...

Desss...!

“Aaakh...!” Jatimerta mengeluh tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan mulut menyeringai kesakitan.

“Nih, makan!” Sambil mendengus, Sriwangi melepas tendangan menggeledek, saat Jatimerta belum bersiap. Dan....

Desss...!

“Aaakh...!” Pemuda itu kontan terlempar disertai semburan darah dari mulut sepanjang luncuran tubuhnya. Dadanya terasa nyeri bukan main.

“Kalau masih penasaran, ke sini lagi. Biar kuberi hajaran yang pantas untukmu!” ejek Sriwangi, dingin. Matanya menatap tajam pada Jatimerta yang memegangi dadanya dengan mulut menyeringai.

“Tunggu saja! Aku belum kalah! Kau akan tahu setelah ayahku ke sini!” ancam pemuda itu.

“Tidak usah ayahmu! Nenek moyangmu sekalian, suruh ke sini!” balas Sriwangi.

“Kau belum tahu! Ayahku adalah Kera Hitam Bertangan Besi. Kau tak akan selamat darinya!” desis Jatimerta.

Bukan Sriwangi yang terkejut, tapi para penonton dan beberapa juri yang kontan terjingkat. Betapa kaget mereka mendengar nama yang sudah tak asing lagi.

“Dia putra Kera Hitam Bertangan Besi?!”

“Celaka! Urusan ini akan runyam!”

Beberapa penonton memandang Sriwangi dengan tatapan iba. Sebaliknya, gadis itu tenang-tenang saja. Bahkan sama sekali tidak terlihat perubahan di wajahnya, mendengar pemuda itu menyebutkan nama ayahnya.

“Hi hi hi...! Jangankan Kera Hitam Bertangan Besi. Biang Monyet Berotot Baja pun, aku tak takut! Suruh dia ke sini!” sahut Sriwangi, lantang.

“Bedebah! Kau lihat saja nanti!” Selesai memaki, Jatimerta segera angkat kaki.

Para penonton terpaku. Kegembiraan mereka berganti rasa cemas. Seolah-olah, ada ribuan hantu kejam yang akan muncul di desa ini. Dan arena pertandingan itu tidak lagi ramai seperti tadi. Satu persatu para penonton meninggalkan tempat itu.

“Ayo, siapa lagi yang akan menantangku?!” teriak Sriwangi, lantang.

Namun tak seorang pun yang berani tampil. Sehingga, gadis berbaju kuning ini kembali berteriak-teriak menantang.

“Nisanak! Pertandingan telah selesai. Mereka tak tertarik lagi melihatnya...,” kata seorang laki-laki setengah baya, seraya menghampiri Sriwangi. Rupanya, dia adalah salah seorang juri.

“Kenapa? Aku tidak menyalahi aturan? Luka-luka kecil, bukankah hal lumrah?” tukas Sriwangi, heran.

“Bukan itu soalnya...,” desah laki-laki setengah baya ini.

“Jadi apa?”

“Kekalahan pemuda tadi akan mengundang si Kera Hitam Bertangan Besi ke sini....”

“O, itu rupanya? Ada apa rupanya? Kalau dia mau melawanku, aku akan menghadapi. Jangan dia kira aku takut.”

“Nisanak.... Kau salah duga. Kalau sekadar menghadapimu, urusannya tidak akan begini. Penonton tidak akan resah. Tapi mereka tahu, lawan yang bakal kau hadapi tidak cukup sekadar menghajarmu. Bahkan akan merembet pada yang lain. Mereka akan jadi korban...” jelas laki-laki setengah baya itu, gelisah.

“Kenapa mesti begitu? Di desa ini banyak terdapat padepokan tangguh. Tidakkah kalian bisa menghadapinya? Kalaupun tidak, biar aku yang membereskannya!” sergah Sriwangi.

“Kau mungkin hebat. Tapi, si Kera Hitam Bertangan Besi itu gila. Dia haus darah. Membunuh orang demi kesenangan. Ilmunya demikian tinggi. Meski kami semua bersatu, belum tentu bisa mengalahkannya,” jelas laki-laki itu lagi.

“Jangan menganggap rendah padaku, Orang Tua. Kau mungkin melihatku baru menjatuhkan seorang. Tapi siapa pun, di antara kalian yang berilmu tinggi boleh juga menghadapiku,” desis gadis berbaju kuning ini.

Laki-laki setengah baya itu tersenyum. Matanya melirik sebentar pada penonton. Kelihatan sebagian dari mereka sudah bubar. Tapi, sebagian lain masih terlihat penasaran. Mereka ingin melihat, siapa gerangan yang mampu menjatuhkan gadis itu.

“Nisanak! Bukankah kau ingin mengikuti pertarungan ini?” tanya laki-laki setengah baya tadi.

“Tentu saja! Aku ingin mencari orang yang bisa mengalahkanku!” sahut Sriwangi mantap.

“Melihat keadaannya, pertandingan ini telah selesai. Kau boleh kembali tahun depan?”

“Orang tua! Kau tidak boleh berkata begitu! Lanjutkan pertarungan. Dan, biarkan mereka menantangku!”

“Penonton telah bubar. Dan sebagian dari peserta telah meninggalkan tempat ini. Itu berarti pertandingan telah selesai. Tidak ada lagi yang bisa dikerjakan,” kilah laki-laki setengah baya.

“Huh! Tidak kusangka di desa ini hanya pengecut-pengecut Tadinya kukira di tempat ini yang banyak kutemui tokoh gagah. Tapi setelah mendengar nama Kera Hitam Bertangan Besi, nyali kalian sudah ciut!” ejek gadis berbaju kuning ini.

“Nisanak! Kau boleh berkata apa saja, sebab kau tidak mengenal orang itu....”

“Di mana orang itu tinggal?”

“Di kaki Bukit Kapur, sebelah selatan desa ini. Perjalanan ke sana memerlukan waktu dua hari perjalanan berkuda.”

“Hm.... Tempat yang cukup jauh juga. Tapi, terima kasih atas keteranganmu,” ucap Sriwangi seraya berbalik.

“Hei, mau ke mana kau?!” Percuma saja laki-laki setengah baya itu berteriak, karena secepat kilat Sriwangi telah berkelebat, diikuti empat orang gadis lain dari belakang.

Empat orang gadis dengan pakaian yang berbeda warna tampak berdiri menunggu di bawah pohon. Tak lama kemudian muncul, seorang gadis berbaju putih tengah menunggang kuda. Di belakangnya terlihat empat ekor kuda tanpa penunggang mengikuti.

“Hanya ini yang kudapat,” kata gadis berbaju putih setelah tiba di dekat keempat gadis itu.

“Kuda buruk!” cibir gadis berbaju biru

“Jangan begitu, Kak Gandasari. Kak Harum Sari telah berusaha!” kata gadis berbaju hijau.

“Ya, ya...! Aku tahu, Arimbi. Tapi berapa lama perjalanan kita tiba di sana? Dan, apakah kuda ini kuat membawa kita sampai tujuan?” tukas gadis berbaju biru bernama Gandasari.

“Kita akan cari di desa lain. Mudah-mudahan kita akan menemukan kuda-kuda yang lebih kuat dan kencang larinya.” lanjut gadis berbaju biru.

“Lupakan sebentar soal itu. Aku punya usul yang mungkin menarik!” kata gadis berbaju kuning.

“Usul apa, Kak Sriwangi?” tanya yang lain.

“Ini berkaitan dengan tujuan kita. Selama ini, kita belum menemukan orang yang kita cari. Aku punya usul, bagaimana kalau kita saling berlomba?” jelas gadis berbaju kuning yang tak lain Sriwangi.

“Berlomba bagaimana, Kak?” tanya Arimbi, yang bertubuh tegap.

“Kita berpisah di sini. Lalu dua minggu kemudian, bertemu di tempat ini lagi dengan membawa orang yang dimaksud. Siapa yang lebih dulu membawanya, dia yang menjadi pemenang,” jelas Sriwangi lagi.

“Apa ada hadiahnya?” tanya Gandasari.

“Ya, apa hadiahnya?” tuntut Harum Sari.

“Hm, hadiahnya....” Sriwangi tak melanjutkan ucapannya, keningnya berkerut berpikir sesaat.

“Hadiahnya harus hebat. Kalau tidak, perlombaan ini tidak menarik!” cetus Arimbi.

“Hi hi hi...! Tentu saja. Akan kita buktikan, siapa di antara kita yang paling gesit, hebat, dan cerdik!” timpal Gandasari.

“Aku tidak terlalu mementingkan hadiah. Yang terpenting, kita menyelesaikan tugas yang diberikan Ibunda!” tegas gadis berbaju merah yang tak lain Sekartaji.

“Hadiah itu perlu sebagai perangsang...,” sambung Harum Sari.

“Bagaimana kalau..., takhta kerajaan?!” tawar Sriwangi.

“Takhta kerajaan? Apa maksud Kakak?!” tanya keempat gadis, yang semuanya adik kandung Sriwangi. Wajah mereka kaget. Dahi mereka berkerut meski mengerti tujuan Sriwangi. Tapi ada rasa tak percaya di hati kalau sampai Sriwangi mempertaruhkan takhta kerajaan.

“Aku ahli waris Ibunda. Maka aku harus yang lebih hebat. Jika aku tidak hebat, maka tak ada gunanya. Jadi, kalian bisa menggantikanku asal bisa membawa orang yang dimaksud,” jelas Sriwangi.

“Apakah Kakak tidak menyesal?” tanya Sekartaji.

“Itu sudah kupikirkan masak-masak,” tandas Sriwangi.

“Sebenarnya tidak perlu begitu...,” sesal Harum Sari.

“Tidak apa. Aku rela kalau memang kalian mampu mendapatkannya lebih cepat”

“Aku punya usul lain!” sela Arimbi.

“Usul apa?” tanya Sriwangi.

“Setelah masing-masing mendapatkan, kita lihat saja yang lebih hebat. Maka, itulah pemenangnya!”

“Hm, usul yang bagus!” puji Sekartaji.

“Aku setuju! Itu lebih adil!” timpal Harum Sari.

“Ya! Aku pun setuju! Dengan begitu, kita akan mendapatkan orang yang tepat. Dan mestinya, orang itu cukup menarik!” sambut Gandasari.

“Dasar genit! Kau selalu mencari sempurna!” semprot Harum Sari.

“Ah, jangan begitu! Kakak juga sebenarnya setuju, kan?”

“Huh!

Gandasari tersenyum-senyum melihat kakaknya mendengus.

“Baiknya, sekarang saja kita berpisah. Kau Gandasari, apakah hendak melanjutkan tujuan ke selatan?” tanya Sriwangi.

“Hm.... Melihat gelagatnya..., aku membatalkan saja!” sahut Gandasari, tegas.

“Kenapa?”

“Orang itu pasti tua dan jelek!” sahut Gandasari sambil terkikik halus. “Aku mau cari yang muda dan..., tampan!”

“Kalau Kakak tak mau, biar aku saja!” sela Arimbi.

“Oh, kau mau? Silakan saja! Itu lebih baik, karena kau punya tujuan jelas.”

“Kau sendiri mau ke mana, Gandasari?” tanya Harum Sari.

“Entahlah. Aku belum menemukannya. Tapi, itu tak lama....”

“Kau sendiri, Sekartaji?”

“Aku tak tahu. Tapi, mudah-mudahan saja cepat kutemui.”

“Baiklah adik-adikku. Kita berpisah di sini. Jangan lupa, waktunya dua minggu. Berhasil atau tidak, kita berkumpul lagi di sini!” tandas Sriwangi, mengingatkan.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Sudah setengah harian Gandasari berkuda, namun tetap tak berhenti. Meski wajahnya menyiratkan kelelahan, namun matanya tetap berbinar menandakan hatinya yang riang penuh semangat.

“Sebentar lagi malam. Aku mesti mencari penginapan...,” gumam gadis berbaju biru ini. Dia telah cukup jauh berpisah dari saudara-saudaranya.

Di sekeliling tempat ini hanya ada pepohonan dan semak belukar. Belum terlihat sebuah rumah pun. Apalagi sebuah desa.

“Sepertinya masih jauh dari perkampungan. Dan..., kuda ini pun kelihatan letih. Dasar kuda payah! Aku mesti cari kuda yang lebih kuat.”

Baru saja Gandasari berpikir begitu, tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada seekor kuda berbulu hitam berkilat yang tengah merumput di depannya.

“Hm.... Itu baru kuda hebat! Aku mesti mendapatkannya,” gumam gadis berbaju biru itu.

Pelan-pelan Gandasari turun dari punggung kudanya. Lalu dia berjalan mengendap-endap, mendekati kuda hitam yang dilihatnya itu. Kuda hitam itu seperti sadar kalau ada seseorang yang sedang mendekatinya. Dia berhenti merumput sebentar. Kedua bola matanya tampak bergerak-gerak, seiring gerakan kepalanya. Kedua telinganya pun ikut bergoyang-goyang. Tapi kemudian kembali merumput.

“Bagus! Ini akan lebih mudah...!” desah Gandasari, senang.

Jarak mereka kini terpaut kurang lebih sepuluh langkah. Gadis itu bersiap-siap melompat. Sementara kuda hitam di depannya tetap merumput dengan tenang.

“Hup!” Tanpa mengeluarkan suara berarti, Gandasari melompat ringan menuju ke arah kuda.

“Hieee!” Kuda hitam itu meringkik halus, lalu melompat gesit. Sehingga terkaman gadis itu meleset. Untung dia cepat membuat putaran di udara, kalau tak ingin jatuh terjerembab.

“Kurang ajar! Dia hendak mempermainkan aku rupanya!” desis Gandasari, begitu menjejakkan kakinya.

Dan yang lebih membuat gadis ini geram adalah, kuda itu tidak beranjak jauh. Hewan itu kini berada pada jarak kurang lebih tujuh langkah dari tempatnya berada. Bahkan seperti hendak mengejeknya.

“Yap!” Kembali Gandasari melompat. Dan bersamaan dengan itu, kuda hitam di depannya mencelat menghindar. Sehingga, terkaman gadis ini luput dari sasaran. Tapi Gandasari tidak berhenti. Dia terus mengejar, membuat kuda itu berlari kencang menghindarinya.

“Huh! Bagaimanapun, kuda itu mesti kudapatkan!” dengus Gandasari.

Kuda itu berlari semakin kencang, berputar-putar di tempat itu. Sehingga, membuat gadis ini semakin dongkol. Meskipun hebat, namun lari gadis itu pun tidak kalah hebat. Bahkan ringan laksana kapas tertiup angin, dan kencang seperti anak panah melesat dari busur.

“Hup!” Dengan perhitungan yang matang, Gandasari memutar tubuhnya di udara. Tepat ketika kuda itu berada dalam jarak jangkauannya, tubuhnya meluruk deras ke punggung kuda. Lalu...

Tap!

“Kena kau!” seru Gandasari girang. Kali ini, Gandasari tepat duduk di punggung kuda hitam yang langsung berjingkrak-jingkrak. Kuda ini berusaha menghempaskan tubuh Gandasari. Gerakannya dahsyat dan kuat. Tubuh gadis itu berguncang-guncang dibuatnya. Kalau saja tidak berpegangan erat-erat pada leher kuda itu, niscaya akan terpelanting!

“Agaknya kau belum mau bersahabat denganku. Tapi itu tak lama, Sobat. Sebentar lagi, kau harus menurut padaku,” kata Gandasari, berusaha menenangkan. Dua buah jari tangan kiri gadis ini tiba-tiba bergerak menotok ke punggung kuda itu.

Tuk!

“Hiekh...!” Kuda ini kontan berhenti bergerak, diam seperti patung. Totokan bertenaga dalam tinggi dari gadis berbaju biru itu membuat otot-otot kuda ini tak mampu digerakkan.

“Nah, kini bisa apa kau padaku? Kalau mau bekerjasama, kau akan kujadikan sahabatku. Tapi kalau melawan, kau akan terus begini!” ancam Gandasari. Gadis itu menunggu sesaat. Diperhatikannya kuda ini dengan seksama.

“Aku bisa mengerti isyaratmu. Katakan setuju melalui apa pun caramu!”

Namun kuda berbulu hitam itu tak memberi jawaban apa-apa. Diam membisu seperti pertama kali ditotok.

“Hm.... Agaknya kau keras kepala juga! Bagaimana kalau kupecahkan kepalamu? Aku bisa saja kejam,” ancam Gandasari. Kuda itu tetap diam seperti patung. “Ayo, tinggal sedikit lagi waktumu! Aku tak bisa berlama-lama. Kau jadi sahabatku dan bekerja sama, atau kubunuh?!”

Wajah Gandasari tampak geram. Tangan kanannya telah terkepal, siap dihantamkan ke batok kepala hewan perkasa itu. “Aku tidak main-main! Ayo, lekas katakan persetujuanmu!”

Kuda hitam itu tetap membisu. Tangan Gandasari siap menghantam. Namun....

EMPAT

“Nisanak! Kuda itu tidak akan menurut padamu. Jadi, tak ada gunanya kau memaksa.”

“Hei?!”

Terdengar suara teguran dari samping, membuat gadis itu cepat menoleh dengan dahi berkerut. Tampak tak jauh dari tempatnya berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Sebilah pedang bergagang kepala burung rajawali tersampir di punggungnya. Kehadiran pemuda itu sama sekali tak dirasakannya. Atau, barangkali dia yang terlalu memusatkan perhatian pada kuda ini, sehingga melupakan kehadiran pemuda itu?

“Siapa kau?!” bentak Gandasari."

“Aku pengembara yang kebetulan lewat di sini...,” sahut pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga. Dalam rimba persilatan, dia dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.

“Aku tak tanya itu. Yang kutanya, siapa namamu?!” bentak Gandasari lagi.

“Namaku? Hm.... Kau boleh memanggilku apa saja,” sahut Rangga, seenaknya.

“Kau kira lucu? Huh! Aku sering menemukan orang sepertimu. Berlagak pilon uniuk mencari perhatian gadis-gadis!” cibir Gandasari.

“Terima kasih. Berarti aku hebat, ya? Bisa seperti orang-orang. Tapi, aku sama sekali tak bermaksud mencari perhatian,” ucap Rangga, kalem.

 “Lalu apa maumu ke sini?!”

“Aku tengah mencari kudaku....”

“Kau boleh mencarinya ke tempat lain!”

“Sayangnya, aku telah menemukan kudaku di sini...”

“Apa maksudmu?”

“Nisanak! Kau tengah berada di punggung kudaku!” jelas Rangga, agak keras.

Wajah gadis itu tampak memerah. Dan sesaat, sikapnya jadi serba salah. Tapi sekejap kemudian, dia mampu menguasai diri. Sambil tersenyum-senyum, dia tak beranjak dari punggung kuda berbulu hitam itu.

“Huh! Jangan mengaku-ngaku, ya?! Kau pasti tertarik dengan kudaku yang bagus ini… Kau ingin memilikinya, bukan?” tangkis Gandasari.

“O, jadi ini kudamu?” tukas Pendekar Rajawali Sakti.

“Tentu saja!” terabas gadis itu.

“Kalau begitu, lepaskan totokannya. Akan kita lihat, kuda siapa itu sebenarnya.”

Gadis itu tercekat. Dan dia berpikir sejurus lamanya. Akal pemuda itu memang bagus. Tapi sayang, akan merugikannya. Gandasari sadar, kuda itu memang bukan miliknya. Kalau totokan itu dilepaskan, maka kuda itu akan mengamuk. Dan kalau benar kuda itu milik pemuda ini, dia pasti akan memanggilnya. Dan kalau kuda itu penurut, maka akan menghampirinya. Dan gadis ini akan malu sendiri.

“Itu bukan urusanmu! Kuda ini milikku. Dan orang lain tak boleh ikut campur!” desis Gandasari.

“Kalau begitu, mengapa kau totok?” tukas Pendekar Rajawali Sakti, menyudutkan. Matanya menatap tajam pada gadis ini.

“Sudah kukatakan, ini urusanku! Kenapa kau mau ikut campur?! Pergilah. Dan, jangan urusi persoalanku!” bentak Gandasari, melotot garang.

“Aku akan pergi, setelah kuda itu kudapatkan,” sahut Rangga, tetap kalem.

“Hm, bandel!”

“Nisanak! Jangan suka mengambil benda yang bukan milikmu!”

“Ambillah kalau memang kuda ini milikmu!” dengus gadis berbaju biru.

“Tentu saja!” Lalu secepatnya Pendekar Rajawali Sakti melompat mendekati kudanya. Dia bermaksud melepaskan totokan. Tapi, Gandasari tentu saja tak membiarkan begitu saja. Seketika, tangannya bergerak menepis.

Plak!

Begitu habis menepis, sebelah kaki Gandasari cepat menyodok ke arah dada. Rangga cepat mundur ke belakang sambil mengibaskan tangan guna menangkis.

Plak!

“Menganggap enteng padaku, he?!” dengus gadis itu, melotot garang.

“Nisanak, jangan cari masalah...” ujar Rangga.

“Kau yang mencari masalah denganku!” bentak Gandasari, sengit.

“Hm! Aku hanya menginginkan kuda....”

“Jangan banyak mulut! Lakukan kalau mampu!”

“Hm!” gumam Rangga, tak jelas. Pendekar Rajawali Sakti bersiap. Kakinya melangkah sedikit demi sedikit. Mendadak sebelah tangannya terjulur untuk melepaskan totokan. Dan sekali lagi, Gandasari menepis.

"Uts...!” Namun kali ini Rangga menarik pulang tangannya. Seketika tubuhnya melenting ke atas.

Melihat kesempatan baik, Gandasari mengangkat kedua kakinya dengan kedua tangan bertumpu pada pelana kuda. Dia hendak menghajar tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Namun Rangga lebih cepat menukik turun. Begitu mendarat, tangannya terjulur cepat membebaskan totokan kuda hitam yang tak lain Dewa Bayu.

“Hieee...!” Begitu terbebas, Dewa Bayu langsung meringkik girang. Kedua kaki depannya diangkat tinggi-tinggi. Gandasari yang hendak menunggangi kembali kontan terlempar.

“Hup...!” Dengan satu gerakan ringan, gadis ini berhasil mematahkan luncuran tubuhnya, sehingga tidak terjerembab di tanah. Dan begitu melihat ke arah kuda hitam itu, ternyata Rangga telah duduk tenang di atas tunggangannya.

“Ayo, Dewa Bayu! Kita pergi dari sini! Heaaa...!” teriak Pendekar Rajawali Sakti. Dewa Bayu meringkik keras, lalu melesat kencang.

“Bangsat! Heaaa...!” Tiba-tiba gadis berbaju biru itu menghentakkan kedua tangannya ke depan. Seketika meluruk segulung angin yang menderu tajam ke arah Dewa Bayu yang terus berlari.

Pendekar Rajawali Sakti tahu, ada angin serangan mendesir di belakangnya. Secepat kilat tubuhnya bersalto ke belakang dari punggung kuda. Begitu mendarat kedua tangannya langsung menghentak, menghadang serangan.

“Aji ‘Bayu Bajra’!” Dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti, meluncur angin dahsyat bagai topan. Seketika terdengar suara berdesir keras. Angin topan yang ditimbulkannya nyaris merobohkan beberapa batang pohon di sekitar tempat itu.

“Ahh...!” Gadis itu tersentak kaget melihat pukulan jarak jauhnya sirna begitu saja. Tubuhnya pun bergoyang-goyang seperti hendak roboh. Namun begitu, dia tetap tegak berdiri di atas kedua telapak kakinya dengan pengerahan tenaga dalam.

“Hmm, hebat!” puji Gandasari, setelah terbebas dari terpaan angin dahsyat dari aji ‘Bayu Bajra’.

“Maaf, Nisanak. Aku tidak bisa membiarkan kau mencelakai kudaku. Dia sahabatku. Maka selama berada di dekatku, keselamatannya kupertaruhkan,” ucap Rangga kalem.

“Tenagamu luar biasa. Dan..., itu membuatku tertarik. Maukah kau menunjukkan beberapa jurus-jurus yang lain?” tukas Gandasari, tak mempedulikan arah pembicaraan Rangga.

“Maaf.... Aku tak bisa mengabulkan keinginanmu. Aku mesti buru-buru!”

“Maaf, aku harus memaksamu!”

“Hm....”

“Hiaaa...!” Gandasari langsung lompat menyerang. Kedua tangannya berkelebat. Yang kanan menghantam ke muka, sedangkan yang kiri mengancam bagian dada.

Rangga tak mau kalah. Dihadangnya serangan. Kedua tangannya juga berkelebatan, memapak.

Plak! Plak!

Begitu terjadi benturan, mendadak kaki kiri Gandasari meliuk menghantam ke perut.

“Hup!” Rangga mencelat ke atas dan berputaran beberapa kali. Namun baru saja kakinya menjejak tanah, serangan gadis itu telah tiba mengancam leher. Maka secepat kilat tubuhnya mengegos sambil mengibaskan tangannya.

Plak!

“Yeaaa!” Gandasari agaknya tak mau memberi kesempatan sedikit pun. Tubuhnya cepat berputar, seraya melepas tendangan. Dengan gerakan kilat. Pendekar Rajawali Sakti merendahkan tubuhnya, seraya berputar. Kakinya bergerak menyapu kaki gadis itu.

Plak! Bruk...!

Gandasari kontan jatuh terduduk dengan mulut meringis. Matanya menatap tajam Rangga yang berdiri tegak dengan senyum dingin.

“Hm, hebat! Kecepatanmu sungguh luar biasa, Nisanak,” puji Rangga, tulus.

“Selama beberapa minggu berkelana, baru sekali ini aku menemukan lawan tangguh sepertimu! Kaulah mungkin orang yang kucari,” kata gadis itu seraya bangkit berdiri.

“Aku tak mengenalimu. Dan kau tak berurusan denganku,” ucap Rangga, halus.

“Sombong sekali! Tahukah kau urusan apa yang tengah kukerjakan?!” sentak Gandasari.

“Aku tak peduli dengan urusanmu!” Setelah berkata begitu, Rangga berbalik. Dia melangkah mendekati Dewa bayu, lalu melompat ke punggungnya. Tapi gadis itu cepat berkelebat, dan berdiri di depan Dewa Bayu.

“Urusan kita belum selesai. Dan kau mesti menghadapiku!” sentak Gandasari.

“Jangan memaksaku, Nisanak,” tolak Rangga halus.

“Aku memang memaksamu!” sentak gadis berbaju biru ini, melotot garang.

“Hm...! Di antara kita tak ada urusan, mengapa kau begitu penasaran?”

“Ini urusanku. Dan kau tak mau tahu, bukan?”

“Hm, kau pasti tak bersungguh-sungguh?”

“Kau boleh pergi, asal bisa mengalahkanku! Kalau tidak, aku yang akan menghajarmu!”

“Urusan apa sebenarnya yang membuatmu begitu bersemangat menantangku?” tanya Rangga, dengan senyum kecut. Hatinya sebenarnya mangkel.

“Jadi kau ingin tahu?” gadis itu malah balik bertanya.

“Ya, akhirnya...!” sahut Rangga sambil angkat bahu.

“Aku ingin ada seseorang yang bisa mengalahkanku!” jelas Gandasari, tandas.

“Buat apa?” tanya Pendekar Rajawali Sakti dengan kening berkerut.

“Untuk kujadikan suamiku.”

Rangga tersenyum, penuh wibawa.

“Kenapa kau tersenyum?!” sentak Gandasari.

“Jadi kau mau cari suami? Kenapa mesti repot-repot dengan mengajakku bertarung? Asal mau saja, kau bisa mendapatkan seribu laki-laki yang pasti bersedia menjadi suamimu.”

“Benarkah?” mendadak gadis itu tersenyum. Genit sekali.

“Ya.”

“Kenapa kau begitu yakin?” tanya Gandasari.

“Karena... Karena, ya, kau cantik! Lalu..., ah! Pokoknya laki-laki akan suka padamu!” sahut Rangga jadi salah tingkah.

“Termasuk kau sendiri?” cecar Gandasari menyudutkan.

“Hah?!” Rangga terkejut, tapi buru-buru tersenyum. “Itu soal lain.”

“Kau tak menyukaiku?” tanya Gandasari, tanpa tedeng aling-aling.

“Ah, siapa bilang?” tukas Rangga.

“Kalau begitu kau menyukaiku?”

“Yaaah, tidak juga....”

“Kenapa mesti berbelit-belit?! Katakan saja. Suka atau tidak"

“Aku tak bisa jawab....”

“Kau katakan, semua laki-laki akan suka padaku. Sedangkan kau sendiri tak memberi jawaban suka atau tidak. Kalau begitu, apa maksudmu?” cecar gadis itu kian penasaran.

“Maksudku..., aku sering bertemu gadis cantik. Dan aku jadi bingung, karena tak tahu siapa yang kusuka,” sahut Pendekar Rajawali Sakti, berdusta.

“Huh! Dasar ceriwis...!”

Rangga tersenyum kecut.

“Tapi bagaimanapun, kau harus bertarung denganku!” sentak Gandasari, berubah garang kembali.

“Kalau aku tak mau?” pancing Pendekar Rajawali Sakti.

“Aku akan menghajarmu!”

“Hm, galak betul!”

“Bersiaplah!”

“Hei, tunggu dulu!” cegah Rangga berteriak.

Tapi gadis itu telah mencelat menyerang. Mau tak mau terpaksa Rangga mesti melompat seraya menepuk badan Dewa Bayu.

“Dewa Bayu! Pergilah lebih dulu! Aku menyusul belakangan!”

“Hieee...!” Kuda berbulu hitam itu meringkik, kemudian berlari kencang meninggalkan tempat itu. Sementara Rangga sudah jungkir balik, menghindari serangan-serangan gencar Gandasari.

“Uhh...! Kau benar-benar ingin membunuhku, Nisanak...?!” keluh Pendekar Rajawali Sakti sambil terus berkelit-kelit menghindar.

“Kalau perlu!” sahut Gandasari, terus mencecar.

“Sayang sekali, gadis secantikmu berwatak kejam...."

“Itu penilaianmu. Padahal yang kuinginkan agar kau mampu mengalahkanku!”

“Mana mungkin!”

“Kenapa tidak! Kepandaianmu hebat!”

“Maksudku, mana mungkin kau bisa mengalahkanku!” lanjut Rangga sambil terus berkelit.

“Sombong...!” Gandasari mengibaskan tangannya. Namun cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti memapak.

Plak!

Benturan keras terjadi. Keduanya sama-sama terjajar mundur. Bedanya, Gandasari sampai lima langkah, sedangkan Rangga hanya selangkah saja.

Gandasari berniat menyerang kembali. Tapi....

“Tahan...!” teriak Rangga, seraya mengangkat kedua telapaknya ke depan. Rangga sadar, kepandaian gadis ini cukup hebat. Demikian pula ilmu meringankan tubuhnya dan kekuatan tenaga dalamnya. Setiap kali benturan, maka tangannya terasa linu dan kesemutan. Namun bukan berarti Pendekar Rajawali Sakti tak bisa mengunggulinya. Pemuda ini hanya tak ingin sampai menjatuhkan tangan kejam pada seorang gadis yang sebenarnya tak bermaksud membunuhnya.

“Kenapa berhenti? Kau menyerah?” tanya Gandasari.

“Bukan! Bukan begitu. Aku hanya ingin tahu, siapa namamu,” kilah Pendekar Rajawali Sakti.

“Namaku Gandasari...,” sahut Gandasari.

“Hm.... Nama yang bagus! Namaku Rangga.”

“Hem...!”

“Gandasari, sebaiknya sudahi saja permainan ini...,” ujar Pendekar Rajawali Sakti halus.

“Maaf, aku tak bermaksud melukaimu. Tapi, kau mesti mengalahkanku dengan cara apa pun. Kalau tidak, maka tak ada cara lain. Aku terpaksa menghajarmu untuk membuktikan, kalau kau tak mampu mengalahkanku!” sahut gadis ini, keras kepala. Bahkan suaranya terdengar mantap.

“Bukankah itu sama artinya mengganggu ketenangan orang lain?” tukas Rangga.

“Aku tak peduli. Yang penting, kalahkan aku dulu!” sentak Gandasari.

“Lalu setelah itu?”

“Maka kau menjadi calon suamiku!”

“Gandasari.... Tak usah dengan berkelahi pun, kau pasti akan mendapatkan suami. Laki-laki mana yang akan menolak gadis secantikmu...?” Rangga mencoba menasihati.

“Kecuali kau, ya?” selak gadis itu menyudutkan.

Rangga tersenyum kecut. Sikapnya jadi serba salah.

“Aku tak peduli apa pun alasanmu. Tapi..., apakah gadis sepertiku sama sekali tak menarik perhatianmu?” lanjut Gandasari.

“Eh! Ng..., sebagai laki-laki dewasa, tentu saja aku tertarik!” sahut Rangga, tergagap.

“Lalu...?!”

“Lalu..., ya. Lalu apa, ya...?” tanya Rangga berlagak pilon sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

“Sudahlah.... Jangan banyak mulut! Heaaat...!” Disertai teriakan keras, Gandasari meluruk dengan kaki terjulur hendak menghantam perut.

“Hup...!” Dengan gerakan indah sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat dan langsung berputaran di udara. Tepat ketika Rangga mendarat, Gandasari yang telah berbalik langsung memutar tubuhnya, seraya melepas tendangan setengah lingkaran. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Des!

“Uhh...!” Telak sekali dada Pendekar Rajawali Sakti mendapat hantaman Gandasari. Tak ayal lagi, Rangga terjajar ke belakang disertai keluhan tertahan.

“Yiaaat...!”

Kesempatan ini digunakan Gandasari untuk menyerang kembali. Tubuhnya telah melesat dengan kecepatan penuh, membuat pemuda itu berdecak kagum.

“Gila! Gerakannya cukup hebat!” Pendekar Rajawali Sakti langsung mengerahkan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ untuk menghindarinya. Tubuhnya meliuk-liuk bagai orang mabuk, ditunjang gerakan kaki yang cepat bukan main. Sehingga tak satu serangan pun yang berhasil menyentuh tubuhnya.

Gandasari semakin geram, karena serangannya selalu kandas. Serangannya makin ditingkatkan. Kali ini, kakinya bergerak menyapu ke kepala Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan perhitungan matang, Rangga meliukkan tubuhnya sambil merendah. Sehingga, sapuan kaki gadis itu lewat di atas kepalanya. Dan dengan gerakan tak terduga, Pendekar Rajawali Sakti menyodokkan sikutnya ke perut.

Desss...!

“Ahh...!” Gandasari terhuyung-huyung ke belakang. Belum sempat dia berbuat sesuatu, Rangga telah memapas kakinya dengan sebuah sapuan kaki sambil memutar tubuhnya.

Pak! Bruk!

“Oh...!”

Tepat ketika gadis itu jatuh terguling-guling, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat meninggalkannya. Begitu cepat gerakan tubuhnya, sehingga ketika gadis itu bangkit, Rangga tak terlihat lagi.

“Heh? Ke mana dia?! Tak mungkin bisa kabur secepat itu?!” desis Gandasari geram seraya mencari-cari. Hasilnya nihil. Pendekar Rajawali Sakti raib seperti ditelan bumi. “Kurang ajar! Ke mana perginya?!” maki gadis ini seraya melangkah menuju kudanya sendiri.

Gandasari melompat ke punggung kudanya. Dan berkeliling di sekitar tempat itu, sampai matahari tenggelam di ufuk barat. Hari mulai gelap. Namun yang dicarinya tak kunjung terlihat batang hidungnya. Dengan kesal ditinggalkannya tempat itu.

Sepeninggal gadis itu dari atas sebuah pohon melesat turun sesosok pemuda rompi putih yang cengar-cengir penuh kemenangan. “Kau kira bisa memperdayaiku, heh?!” dengus pemuda yang memang Rangga halus. “Tapi..., uh! Mau pecah juga rasanya dadaku menahan napas selama itu.” Rangga lantas bersuit nyaring. “Suiiittt...!”

Tak berapa lama muncul Dewa Bayu yang tadi melarikan diri. Kuda hitam ini mendengus kasar seraya mengusap-usapkan kepalanya ke dada Rangga. “Tak apa, Sobat. Sekarang aman. Tak akan kubiarkan orang lain mencelakaimu....”

Rangga sengaja tidak mengambil jalan yang searah dengan Gandasari melainkan sebaliknya. Dengan begitu, dia berharap tidak akan bertemu lagi dengannya.

LIMA

Hari sudah malam ketika Pendekar Rajawali Sakti tiba di Desa Karangkates. Suasana telah sunyi senyap. Tak terlihat seorang pun yang berkeliaran di luar. Rangga perlahan turun dari kudanya. Perlahan-lahan kakinya melangkah sambil menuntun Dewa Bayu di jalan utama desa ini.

“Tidak kelihatan seorang pun. Hm.... Bagaimana aku bisa bermalam di sini!” gumam Pendekar Rajawali Sakti, pertehan. Tengah berjalan begitu, mendadak....

“Heh?!”

Terdengar siulan pelan yang berirama, membuat Pendekar Rajawali Sakti tersentak. Langkahnya langsung berhenti. Matanya tajam terarah ke sebuah rumah yang gelap. Samar-samar terlihat sesosok tubuh ramping duduk tenang di depan rumah. Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti kembali melangkah, menghampiri. Siulan itu berhenti ketika Rangga mendekat.

“Jadi kau orangnya?” tuding sosok ramping.

Rangga tertegun sejenak. Dan sosok tubuh itu beranjak dari duduknya. Didekatinya Rangga pelan-pelan. Kini Pendekar Rajawali Sakti bisa jelas melihat sosok ramping itu. Seorang gadis cantik berbaju ketat warna putih. Menilik dari wajah, Rangga yakin gadis ini adalah seorang bangsawan. Penampilannya terlihat anggun dan terpelajar. Pakaian ketatnya pun terbuat dari bahan bagus dan mahal. Tapi..., mau apa malam-malam di sini?

“Hei! Kenapa diam?! Kaukah orang yang dibangga-banggakan orang desa ini?!” bentak gadis berbaju putih dan berikat kepala putih.

“Aku tak mengerti maksudmu, Nisanak. Aku hanya seorang pengembara, dan baru saja menginjakkan kaki di desa ini. Maksudku untuk menumpang menginap...,” kilah Pendekar Rajawali Sakti.

“Jangan berpura-pura! Kau harus menghadapiku malam ini juga!” sentak gadis ini.

“Siapa kau ini, Nisanak? Dan aku harus menghadapimu bagaimana?” tanya Rangga.

“Aku Harum Sari. Yang akan menantangmu bertarung!” sahut gadis yang tak lain Harum Sari, tegas.

“Bertarung denganmu? Gila! Aku tak ada urusan denganmu, kenapa mesti berkelahi?” tukas Rangga dengan kening berkerut.

“Agar kau bisa mengalahkanku,” sahut Harum Sari.

“Hm.... Ini benar-benar sinting! Baru tadi, kutemui gadis yang ingin berkelahi denganku. Dan sekarang, kutemui lagi gadis berwatak aneh. Sama anehnya dengan gadis tadi..,” gumam Rangga sambil menggeleng lemah.

“Bersiaplah!”

“Eh, bersiap apa...?”

Tanpa menjawab, gadis itu telah menyiapkan jurus. Langsung diserangnya Pendekar Rajawali Sakti. “Heaaa...!”

“Uts! Brengsek...!” Terpaksa Rangga melompat ke belakang menghindari serangan.

Tapi seperti gadis yang tadi ditemui sebelumnya, Harum Sari pun memiliki gerakan gesit dan cepat. Belum lagi Pendekar Rajawali Sakti menjejak tanah, telah kembali datang serangan.

“Hup...!” Cepat Rangga menjatuhkan diri, menghindari tendangan menggeledek.

“Heaaat...!” Harum Sari seperti tak ingin memberi kesempatan. Kembali diterjangnya Rangga yang baru saja bangkit.

“Nisanak, hentikan seranganmu!” cegah Rangga, berteriak.

“Jadi kau memilih untuk kuhajar?”

“Bukankah kita bisa bicara baik-baik?”

“Tunjuk saja kehebatanmu seperti yang mereka katakan.”

“Gila! Ini benar-benar sinting!”

“Jangan mengomel! Lawan aku!” bentak Harum Sari, kembali melancarkan serangan dahsyat.

Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ untuk menghindari serangan-serangan. Kemampuan jurusnya benar-benar terusik kali ini. Beberapa kali nyaris serangan gadis itu menghajarnya. Serangan itu tidak sekadar cepat, tapi juga bertenaga kuat.

“Bagus! Ternyata apa yang mereka katakan tidak sekadar omong kosong! Kehebatanmu bisa diandalkan!” puji Harum Sari, cepat menarik serangannya. Diperhatikannya Rangga dengan seksama.

“Terima kasih,” ucap Rangga.

“Nah! Keluarkan lagi semua kepandaianmu agar aku tak mesti menghajarmu!”

“Kenapa tidak kau saja? Keluarkan seluruh kemampuanmu agar aku tidak begitu mudah meringkusmu.“

“Hi hi hi...! Kau kira begitu mudah meringkusku?”

“Ya, begitulah....”

“Lihat serangan!” Mendadak Harum Sari menghentakkan telapak kakinya. Seketika meluruk angin panas kuat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Uts!” Rangga melenting ke atas, sehingga pukulan itu menghantam sebuah rumah. Bagian depan rumah itu kontan hancur berantakan, menghitam seperti arang. Penghuninya menjerit ketakutan, buru-buru keluar menyelamatkan diri.

Agaknya bukan hanya mereka yang sejak tadi keluar rumah. Bahkan penduduk lain pun telah keluar sejak tadi. Selain ingin mengikuti jalannya pertarungan, mereka merasa keluar dari rumah akan lebih aman, agar tidak menjadi sasaran pukulan nyasar seperti tadi.

“Nisanak! Kau merusak rumah penduduk yang....”

Belum selesai kata-kata Rangga, mendadak telapak dan kaki gadis itu telah menyambar dada dan perut dengan cepat. Rangga mencelat ke samping seraya berputar. Kedua tangannya berkelebat, menepis pukulan dan tendangan.

Plak! Plak!

“Kenapa kau tak melawan? Ayo, serang aku! Seraaang...!” bentak Harum Sari geram.

“Aku tak ada urusan denganmu, Nisanak....”

“Tapi aku berurusan denganmu!”

“Itu urusanmu.”

“Dan kini menjadi urusanmu pula!”

Rangga tersenyum hambar. Seperti gadis yang tadi ditemuinya, gadis ini pun nekat terus menyerangnya. Padahal, dia tak punya alasan untuk bertarung. Kini Pendekar Rajawali Sakti menunggu kesempatan kabur. Bukannya takut, tapi sekadar menghindar dari perselisihan yang tak berujung pangkal. Tapi niat Rangga tak mudah dilaksanakan. Selama dia terus berhadapan, maka tak akan lepas dari pengawasan gadis ini.

“Berhenti...!”

“Heh?!”

Mendadak terdengar bentakan keras, membuat Rangga dan Harum Sari terkejut. Mereka langsung menghentikan pertarungan. Di dekat mereka, tampak seorang pemuda tegap berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Di pinggang kirinya terselip sebilah golok.

“Siapa kalian?! Berani-beraninya mengacau di desaku?!” bentak pemuda itu sambil berkacak pinggang.

“O, jadi kau jagoan desa ini, he?!” sahut gadis itu balik bertanya dengan suara penuh kegeraman.

“Mau apa kau sebenarnya?!” sahut pemuda desa itu. “Kudengar ada seorang gadis yang mengajakku berkelahi. Kaukah orangnya?”

Harum Sari baru saja hendak menyahut, namun tiba-tiba teringat akan lawannya tadi. Namun ketika menoleh, Pendekar Rajawali Sakti telah lenyap entah ke mana.

“Kurang ajar! Ke mana dia?!” dengus gadis ini geram, seraya hendak berkelebat.

“Hei, tunggu dulu! Kau tidak bisa pergi begitu saja dari hadapan Jagabaya!” bentak pemuda bersenjata golok yang mengaku bernama Jagabaya.

Wut!

Pemuda itu melenting ringan, lalu mendarat di depan Harum Sari. “Setelah mengacau di sini, kau kira bisa pergi seenaknya?!” dengus Jagabaya.

“Huh! Lumayan juga. Tapi aku tak yakin orang sepertimu mempunyai kepandaian hebat,” cibir gadis itu.

“Kau boleh mencobanya, Nisanak.”

Gadis itu menjawabnya dengan sebuah serangan. Satu kibasan tangan dilepaskan dengan tenaga dalam kuat. Sambil mengegos, Jagabaya menahan kibasan tangan itu dengan tangan kanannya.

Plak!

“Heh?!” Bukan main kagetnya Jagabaya ketika tangannya beradu dengan tangan Harum Sari. Terasa tulangnya remuk. Meski begitu, dia masih sempat melepas sodokan dengan tangan kiri. Tapi gerakannya kalah cepat, karena Harum Sari telah lebih dulu melepas hantaman ke dada. Hingga....

Duk!

“Aaakh...!” Pemuda itu kontan terjajar disertai jerit kesakitan. Belum lagi bisa menguasai keseimbangan, kepalan tangan kanan gadis itu kembali meluruk.

Des!

“Aaakh...!” Tak ampun lagi, Jagabaya terhempas, memuntahkan darah segar. Sambil menekap dadanya, dia berusaha bangkit.

Hal ini amat mengejutkan penduduk Desa Karangkates yang menyaksikannya. Mereka tahu, pemuda itu berilmu tinggi. Bahkan amat disegani di desa ini. Tapi dengan beberapa kali hajaran, dia menjadi bulan-bulanan gadis itu. Maka mereka menjadi berpikir, bagaimana pula kehebatan gadis itu?

“Aku tak bermaksud melukaimu. Tapi, kau terlalu angkuh. Itu perlu untuk menyadarkan diri kalau di dunia ini bukan hanya kau yang berilmu hebat!” cibir Harum Sari.

“Setan! Aku belum kalah!” dengus Jagabaya geram, langsung bangkit seraya meraba gagang goloknya.

Srak!

Begitu golok tercabut, Jagabaya mengacungkannya pada Harum Sari.

“Hm, bandel!” desis gadis ini.

“Bersiaplah!” Dengan satu lompatan gesit, Jagabaya menyerang. Goloknya langsung disabetkan.

Gadis itu hanya sedikit bergeser. Tangan kirinya cepat menangkap pergelangan tangan pemuda itu.

Tap!

Dan sebelum tangan Jagabaya yang satu lagi menghantam, lutut kanan Harum Sari telah menyodok ke ulu hati sambil merampas golok.

Plak! Duk!

“Aaakh...!” Untuk yang kedua kalinya, Jagabaya terjungkal. Kali ini jeritannya lebih keras ketimbang yang pertama.

“Aku tak bermaksud melukaimu. Tapi kalau kau penasaran, aku bisa membunuhmu!” desis Harum Sari, tegas. Wajah cantik gadis ini berubah garang. Bola matanya memandang ganas. Golok di tangan kanannya ditudingkan pada Jagabaya. Melihat itu, bergetar juga hati pemuda ini.

“Kau ingin mampus sekarang juga?!” bentak Harum Sari.

“Eh, tidak. Tentu saja tidak...,” sahut Jagabaya, tercekat.

“Bagus! Sebaiknya jangan coba-coba. Karena, akibatnya buruk bagimu.” Pemuda itu mengangguk pelan. “Kau kenal pemuda tadi?” tanya Harum Sari, agak merendahkan suaranya.

“Eh, pemuda yang mana?” Jagabaya malah balik bertanya.

“Yang tadi bertarung denganku.”

“Tidak. Aku sama sekali tidak mengenalnya!”

“Jadi, dia bukan penduduk desa ini?”

“Nisanak! Aku lahir dan dibesarkan di sini. Semua penduduk desa ini kukenal. Dan bisa kuyakini, bahwa pemuda itu sama sekali bukan penduduk desa ini,” tandas Jagabaya.

“Hm....” Dahi Harum Sari berkerut. Dia berpikir sebentar, lalu berpaling pada pemuda itu. “Kalau begitu siapa dia? Apakah kau pernah mengenalnya?” lanjut gadis ini bertanya.

“Aku tak yakin....”

“Meskipun tidak begitu yakin, katakan saja siapa dia?”

“Nisanak! Kau orang persilatan. Pasti kenal siapa dia....”

“Tidak. Aku tidak mengenalnya.”

Kali ini dahi pemuda itu yang mengerut. Kalau gadis ini bisa menjatuhkannya, maka pasti bukan orang sembarangan. Paling tidak, tokoh yang cukup disegani di kalangan persilatan. “Hm.... Melihat ciri-cirinya, mungkin dia yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Tapi tadi aku kurang begitu memperhatikan. Yang kutahu, dia memakai baju rompi putih itu saja. Mungkinkah dia Pendekar Rajawali Sakti...?” gumam Jagabaya seperti tak yakin dengan dugaannya sendiri.

“Aku tak peduli dugaanmu. Yang penting, apakah orang yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu hebat?” sergah Harum Sari.

“Sepanjang pengetahuanku, Pendekar Rajawali Sakti saat ini satu-satunya pendekar yang paling diandalkan dunia persilatan....”

“Hm.... Kalau begitu, aku mesti mencarinya sampai ketemu!”

“Hei?!” Jagabaya serta penduduk desa itu terkejut. Harum Sari yang terlihat berbalik dan berjalan pelan, tapi tiba-tiba melesat bagai anak panah lepas dari busur. Lalu, secepatnya menghilang dari pandangan.

********************

ENAM

“Heaaat..!”

“Chiaaat...!”

Suara-suara pertarungan terdengar keras membahana, seperti hendak meruntuhkan isi alam ini. Seorang gadis berbaju merah yang tak bersenjata, berusaha mengimbangi permainan tongkat seorang laki-laki setengah baya berpakaian serba putih. Beberapa kali tongkat itu mengancam keselamatannya. Namun tak satu pun yang mampu menyentuhnya. Bahkan dengan satu kelebatan gesit, gadis itu berhasil menyarangkan tendangan ke perut.

Duk!

“Aaakh!” Laki-laki setengah baya itu terjajar beberapa langkah, setelah mengeluh tertahan. Namun, gadis lawannya seperti tak memberi kesempatan.

Desss!

Sebelum laki-laki itu terjengkang, gadis ini cepat merampas tongkatnya. Langsung dipatahkannya tongkat itu dengan mengadukannya pada pangkal paha.

Krak!

“Siapa lagi sekarang?” tantang gadis ini, sambil menatap lawannya yang terpental sejauh lima langkah dengan mulut meringis. Kemudian matanya memandang dua laki-laki lain yang juga berusia setengah baya, mereka sejak tadi mengawasi pertarungan.

“Biar aku yang meladenimu!” Salah seorang laki-laki yang bertubuh agak gemuk, melompat ke hadapan gadis itu. “Sebutkan namamu, Cah Ayu! Aku, Jumeneng, siap melayanimu dengan senjata atau tanpa senjata!” ujar laki-laki gemuk ini, tegas.

“Aku Sekartaji. Bertangan kosong atau bersenjata, terserah!” sahut gadis yang tak lain Sekartaji, lantang.

“Aku bertangan kosong,” kata laki-laki bernama Ki Jumeneng.

“Baik. Kalau begitu bersiaplah. Lihat serangan!”

Tanpa basa-basi, gadis berbaju merah itu menyerang. Kepalan kanannya menghantam ke muka. Sedangkan telapak tangan kirinya mengincar dada. Ki Jumeneng coba menangkis dengan mengibaskan tangannya ke kiri dan kanan.

Plak! Plak!

“Gila! Semuda ini tenaga dalamnya luar biasa! Pantas saja Kakang Bangira begitu mudah dikalahkannya!” keluh Ki Jumeneng membatin.

“Heaaa...!”

Serangan gadis itu gencar tak berhenti, seperti ombak di lautan. Sampai-sampai, Ki Jumeneng kalang kabut dibuatnya. Bahkan sama sekali tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan jurus-jurusnya. Apalagi untuk balas menyerang.

Lewat dua jurus, keadaan Ki Jumeneng kian terdesak. Satu tendangan Sekartaji yang sempat ditangkis membuatnya sempoyongan. Gadis itu tidak memberi kesempatan. Tubuhnya meluncur deras. Seketika tendangan beruntunnya menghujani laki-laki setengah baya itu tanpa henti.

Desss...!

“Aaakh...!” Ki Jumeneng menjerit kesakitan. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke belakang.

“Cukup, Nisanak!” Terdengar bentakan keras, yang disusul berkelebatnya satu sosok tubuh sambil menyabetkan tombaknya ke perut Sekartaji yang terpaksa menghentikan serangannya pada Ki Jumeneng.

“Hup!” Dengan gesit, gadis ini melenting ke atas dan bersalto beberapa kali di udara menghindari kejaran ujung tombak. Begitu mendarat, tubuhnya melesat ke arah laki-laki bersenjata tombak yang kini menjadi lawannya.

“Uhh...!” Laki-laki itu terkesiap. Tombaknya tidak sempat menghalau serangan. Maka dengan nekat dipapakinya serangan itu dengan telapak tangan kiri.

Plak!

“Aaakh...!” Laki-laki itu pun mengeluh tertahan, ketika menahan pukulan Sekartaji. Cepat dia melompat ke belakang menghindari serangan berikut sambil mengibaskan tombak.

Kaki kanan Sekartaji bergerak secepat kilat menahan serangan tombak.

Krakkk...!

“Heh?!” Laki-laki itu terkejut melihat tombaknya patah jadi dua. Belum juga keterkejutannya hilang, Sekartaji telah berkelebat sambil menghantamkan kepalan tangannya ke dada!

Desss...!

“Aaakh...!” Laki-laki bersenjata tombak itu kontan terjengkang ke tanah. Mulutnya meringis menahan sakit. Kedua tangannya mendekap dada yang terasa nyeri.

“Hm.... Kalau masih penasaran, kau boleh melawanku lagi!” tantang Sekartaji.

“Tidak! Kami menyerah kalah padamu, Nisanak...,” sahut laki-laki itu, lemah.

Gadis itu agaknya tidak puas. Tapi, tak bermaksud menghajar mereka. “Dapatkah kalian tunjukkan padaku, siapa di wilayah ini yang berilmu tinggi?” tanya Sekartaji, bernada sedikit pongah.

“Nisanak! Apakah hal itu amat penting bagimu?” tanya laki-laki bernama Ki Bangira, orang pertama yang berhasil dijatuhkan gadis itu.

“Itu bukan urusanmu! Katakan saja, siapa tokoh-tokoh silat yang kalian kenal? Orang itu mesti hebat!” sentak gadis ini.

“Di wilayah ini banyak sekali, Nisanak. Kami tak bisa menyebutkannya satu persatu.”

“Kau bisa sebutkan beberapa orang. Mereka mesti tokoh papan atas!”

“Hm, mungkin..., si Toya Maut. Dia guru kami. Atau, si Pedang Kilat, dan Ki Baladewa. Mereka tokoh angkatan tua yang berilmu tinggi.”

“Di mana mereka tinggal?” tanya Sekartaji bersemangat. “Siapa di antara mereka yang paling tangguh?”

“Nisanak.... Kami tak bisa mengatakan, siapa yang paling hebat...,” kali ini yang menyahuti Ki Jumeneng.

“Hm.... Aku ada pertanyaan. Dan kuharap, kalian bisa menjawab. Siapa saat ini tokoh persilatan yang paling menonjol? Tidak peduli dia tokoh jahat ataupun tokoh baik,” tanya Sekartaji.

“Kau sungguh-sungguh hendak menantang mereka?” tukas Ki Bangira.

“Itu urusanku!” sahut gadis ini ketus. “Jawab saja pertanyaanku!”

“Mungkin tak banyak. Tapi tokoh terkenal belakangan ini, salah seorang adalah yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti,” jelas Ki Bangira.

“Di mana bisa kutemui dia?” cecar Sekartaji.

“Dia mengembara ke mana-mana, sehingga sulit ditemui.”

“Tunggu dulu...!” sela Ki Jumeneng ketika melihat seseorang melintasi tempat itu. Tampak seorang pemuda berbaju rompi putih dengan pedang berhulu kepala burung rajawali tersandang di punggung tengah menunggang kuda menuju tempat itu. “Agaknya kau amat beruntung, Nisanak. Orang yang kita bicarakan ada di sini...,” kata Ki Jumeneng.

“Apa maksudmu?” tanya Sekartaji.

“Pemuda itulah yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti.”

“Hmm!”

Begitu melintas pemuda yang tak lain Rangga tersenyum sambil mengangguk pelan. Laju kudanya segera dilambatkan. Dia sama sekali tidak bermaksud berhenti, tapi Sekartaji telah menghadang sambil berkacak pinggang. Mau tak mau, terpaksa Pendekar Rajawali Sakti menghentikan laju Dewa Bayu. Lalu dia turun dari kudanya.

“Nisanak! Ada apa ini? Kenapa kau menghalangi langkah kudaku?” tanya Rangga dengan kening berkerut.

“Aku ingin tahu, apakah kau yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti?” tanya Sekartaji, langsung.

“Ah..., itu hanya julukan kosong belaka,” sahut Rangga, merendah.

“Kudengar kau seorang pendekar digdaya? Aku ingin mengujimu!” tukas Sekartaji.

Rangga menarik napas sesak sambil menggeleng lemah. “Satu lagi perempuan, aneh!” keluh Pendekar Rajawali Sakti di hati. “Ada berapa banyak perempuan aneh di jagat ini?”

“Kenapa kau diam?” kejar gadis itu.

“Eh, maaf! Nisanak, kukira kau salah alamat,” kelit Rangga.

“Bukankah kau Pendekar Rajawali Sakti?”

“Ah, itu tidak benar! Aku hanya ingin gagah-gagahan saja memakai nama itu,” Rangga berdusta.

“Anak muda! Aku pernah melihatmu beberapa minggu lalu. Dan kurasa, aku tak mudah lupa begitu saja. Kau adalah Pendekar Rajawali Sakti!” cetus Ki Jumeneng.

“Orang sinting!” maki Rangga dalam hati. Namun begitu Pendekar Rajawali Sakti coba tersenyum dan berusaha bersikap wajar. “Kurasa kau salah mengenali orang Ki. Aku sama sekali bukan Pendekar Rajawali Sakti. Tahukah kalian, mengapa aku menggunakan namanya? Ya, karena orang sering keliru mengenaliku. Makanya, kugunakan kesempatan ini untuk membonceng namanya buat gagah-gagahan,” lanjut Rangga terus berdusta.

“Tapi..., tapi wajahmu mirip sekali...,” kata Ki Jumeneng, sedikit ragu meski batinnya masih tak percaya.

“Orang sepertimu mestinya dapat hukuman! Memakai nama orang lain untuk gagah-gagahan!” dengus Sekartaji siap menyerang.

“Brengsek!” maki Rangga, membatin. “Kenapa tadi aku mesti lewat sini? Dasar nasib apes!”

“Hiih!” Gadis itu langsung melayangkan tangan ke pipi.

Mulanya Rangga pasrah. Tapi merasakan angin serangan kuat yang bisa merontokkan gigi-gigi, mau tak mau dia mesti menghindar. “Hmm!” Tinggal seujung rambut lagi jaraknya, Pendekar Rajawali Sakti melengos cepat.

Wuuuttt! Plas!

Angin serangan itu terasa menampar pipi Rangga kuat sekali. Tapi, itu sudah cukup membuat gadis ini kagum. Demikian pula tiga laki-laki setengah baya yang berada di situ.

“Orang biasa tak mampu berkelit begitu gesit...,” kata Ki Bangira.

“Aku yakin, dia memang Pendekar Rajawali Sakti!” tandas Ki Jumeneng.

“Tapi kenapa dia mesti berbohong?” tanya laki-laki setengah baya yang satu lagi, seperti bertanya untuk diri sendiri.

“Mungkin dia tak ingin terlibat perkelahian, Purwaka!” jawab Ki Bangira menduga.

“Mungkin juga. Tapi sekarang telah terlambat...,” desah laki-laki bernama Purwaka.

“Mereka kini terlibat perkelahian seru, sungguh suatu pertunjukan yang tak mungkin kita lewatkan...,” tunjuk Ki Jumeneng.

Apa yang mereka katakan memang benar. Melihat tamparannya luput. Gadis itu melanjutkan serangan. Kepalan kirinya maju ke dada. Tapi pemuda itu telah melompat ke udara, sehingga pukulan itu menghantam angin.

“Huh! Ternyata kau hanya bisa menghindar saja! Ayo serang aku!” bentak Sekartaji garang, karena tak satu pun serangannya yang berhasil.

“Aku tak bermaksud begitu, Nisanak. Tapi berkelahi tanpa alasan kuat bukanlah sifatku,” tolak Rangga halus.

“Aku tak peduli sifatmu. Kau harus bisa mengalahkanku!” desah gadis ini.

“Itu lebih tak mungkin! Untuk urusan apa sehingga aku mesti mengalahkanmu? Bertemu pun baru hari ini,” Rangga memberi alasan.

“Aku tak peduli!” sentak Sekartaji.

“Kalau begitu kita tak perlu bertarung! Aku tak mau melawanmu!” tandas Rangga.

“Kalau begitu aku akan menghajarmu! Heaaa...!” Sekartaji menghentakkan kedua tangannya, melepaskan pukulan jarak jauh. Seketika selarik sinar merah meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Hup!”

Blarrr...!

Rangga melenting ke atas, membuat sinar merah itu menghantam sebuah pohon hingga tumbang dan hangus seketika.

“Nisanak! Aku tak ingin di antara kita ada yang terluka!” Kali ini Rangga mengeluarkan suara keras setelah mendarat di tanah. Hatinya benar-benar kesal menghadapi gadis seperti yang pernah ditemuinya dua kali. Tanpa ada masalah apa-apa, langsung mengajaknya bertarung.

“Aku tak peduli!” sahut Sekartaji.

“Kalau sekadar ada yang kalah, aku punya usul,” ujar Pendekar Rajawali Sakti.

Gadis itu memandang tajam pada Pendekar Rajawali Sakti. “Apa maksudmu?” tanya Sekartaji.

“Bukankah yang kau inginkan hanya kekalahan atau kemenangan?”

“Ya.”

“Kalau begitu tak perlu kita saling melukai. Bagaimana kalau diadakan adu kecepatan, atau sejenisnya. Umpamanya, bila aku berhasil mengambil ikat kepalamu yang berwarna merah itu, maka aku yang menang. Sebaliknya, bila kau berhasil menyentuh kepalaku saja kau yang menang. Bagaimana? Kau setuju?”

Sekartaji berpikir sebentar, sebelum akhirnya menyetujui. “Baiklah. Kuberi kau kesempatan lima jurus, untuk mengambil ikat kepalaku. Kalau gagal, kau kalah. Dan bila berhasil, kau menang,” ujar Sekartaji.

“Begitu memang lebih adil.”

“Silakan dimulai!”

“Hmm.” Rangga menatap tajam ke arah ikat kepala gadis itu, lalu secepatnya bergerak. Namun Sekartaji bergerak begitu gesit. Sambil menghindar ke samping, ditepis tangan Rangga.

Plak!

Beberapa kali Rangga mencoba, namun hal itu tak mudah. Selain gesit, gadis itu pun melindungi ikat kepalanya dengan baik. Dan sampai tiga jurus berlalu, ikat kepala itu belum juga berhasil direbut Pendekar Rajawali Sakti.

“Tinggal dua jurus lagi. Dan kau mesti mempertaruhkan kesempatan itu,” kata Sekartaji, mengingatkan.

“Tenang saja. aku pasti berhasil merampasnya,” ujar Pendekar Rajawali Sakti, kalem.

Lalu dengan sigap Rangga kembali melompat menerkam. Sasarannya tetap tertuju ke arah ikat kepala. Sementara Sekartaji pun semakin apik melindunginya.

“Heaaa...!

Tapi mendadak pemuda itu melayangkan tendangan ke arah perut. Dengan wajah terkejut Sekartaji cepat mencelat ke belakang.

“Hiaaa...!”

Rangga mengejarnya gesit sambil melepas pukulan beruntun berisi tenaga dalam kuat. Dengan sigap, Sekartaji membuat pertahanan dengan kedua tangannya

Plak! Plak!

“Hmm!” Gadis itu menggeram ketika tubuhnya terjajar beberapa langkah. Dahinya berkerut. Serangan pemuda itu mulai terasa berat. Sedangkan dia tak punya kesempatan untuk balas menyerang.

Pendekar Rajawali Sakti agaknya tak mau memberi sedikit pun kesempatan. Belum juga sempurna Sekartaji berdiri, Rangga telah berkelebat cepat bagai kilat mengerahkan jurus ‘Seribu Rajawali’. Ketika Rangga mengitari gadis itu, tubuhnya jadi berubah bagai puluhan jumlahnya. Dan ini membuat Sekartaji bingung setengah mati. Dia berusaha memperhatikan, mana Pendekar Rajawali Sakti yang asli. Tapi semakin lama memperhatikan, dia semakin bingung saja.

“Heaaa...!”

Ketika perhatian Sekartaji tertuju pada salah satu bayangan Pendekar Rajawali Sakti, tahu-tahu dari arah belakangnya terdengar teriakan keras di sertai desir angin halus. Dan....

Slap!

“Oh...?!” Sekartaji tercekat, karena tahu-tahu ada yang aneh di kepalanya. Ketika tangannya bergerak meraba kepala....”

“Kau mencari ikat kepalamu, Nisanak? Ini, ada di tanganku...!”

“Heh...?!” Gadis itu menoleh ke kiri dengan wajah terkejut.

TUJUH

Rangga mengibar-ngibarkan ikat kepala dari kain berwarna merah yang dirampasnya dari rambut Sekartaji.

“Huh! Itu pertarungan tidak adil! Kau curang!” bentak gadis itu, tak puas.

“Curang bagaimana? Aku tidak menyalahi aturan?” tukas Pendekar Rajawali Sakti.

“Perjanjian kita hanya merebut kain ikat kepala. Tapi, kau menyerangku dengan-hebat. Apakah kau hendak membunuhku?!” kilah Sekartaji.

Rangga tersenyum. “Yang terpenting, aku tidak menyalahi aturan. Kita tidak membuat perjanjian bagaimana caranya merampas ikat kepalamu. Itu terserahku. Dan nyatanya, ikat kepalamu kudapatkan. Kau kalah, Nisanak!” balas Rangga.

“Aku tidak terima caramu! Kau curang! Akan kulihat sampai di mana kehebatanmu!” Gadis itu menggeram marah. Secepat kilat dia meluruk menyerang Rangga dengan hantaman tangan bertubi-tubi dan silih berganti.

“Eee, apa-apaan ini?! Tunggu dulu!” Percuma saja Rangga berteriak karena Sekartaji tak bakal hentikan serangan. Buru-buru dia menghindar dengan melompat ke sana kemari kalau tak mau babak belur. “Uh! Urusan jadi runyam!” gerutu Rangga.

“Itu salahmu sendiri!”

“Ya, ya.... Semua salahku.”

“Lihat serangan!” Gadis ini benar-benar kalap. Dia sakit hati karena merasa tertipu. Maka serangannya berbau maut. Lengah sedikit, maka kepala Pendekar Rajawali Sakti bakal remuk. Atau barangkali tulang-tulang rusuknya yang patah digedor pukulan bertenaga dalam tinggi.

“Aku tidak bisa terus begini. Heaaa...!” Disertai teriakan keras membahana, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas dengan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’. Begitu meluruk, kedua kakinya mengincar batok kepala Sekartaji.

“Eh...?!” Gadis itu terkejut, namun cepat menggeser tubuhnya ke kanan.

Tendangan Pendekar Rajawali Sakti lewat begitu dekat di depan matanya. Meski berhasil mengelak, namun serangan pemuda itu berikutnya menyusul cepat. Dan yang lebih membuatnya gemas, gerakan-gerakan yang diciptakan Pendekar Rajawali Sakti agak membingungkannya. Ketika kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti menyabet ke bawah, maka kaki kirinya menyusul ke atas menyambar kepala.

Sekartaji hanya bisa mundur. Dan sebelum gadis ini mampu balas menyerang, Rangga bersalto di udara. Lalu tiba-tiba kakinya mencuat ke tubuh gadis ini begitu cepat gerakannya. Sehingga....

Des! Begkh!

“Aaakh...!” Dua tendangan berturut-turut mendarat mulus di perut dan dada Sekartaji yang kontan terpekik. Dengan terhuyung-huyung, dia coba memantapkan kuda-kuda.

“Hiyaaat...!” Rangga tak memberi kesempatan. Tubuhnya kembali melesat langsung menyerang.

“Hup!” Gadis itu merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Tubuhnya berputar seperti gasing. Sebelum serangan Pendekar Rajawali Sakti tiba, tubuhnya telah amblas ke tanah.

Pras!

“Heh?!” Rangga terperangah kaget. Tubuhnya berbalik, menatap ke arah tanah tempat Sekartaji tadi amblas. Dan sebelum keterkejutannya hilang....

Tap! Tap!

Tiba-tiba saja Sekartaji muncul tepat di bawah Rangga berdiri. Pemuda itu yang sempat tercekat, tak kuasa mengelak. Kedua pergelangan kakinya kena dicengkeram.

“Hup!” Seketika, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas, tapi gadis itu keburu membantingnya kuat-kuat.

“Hiaaah...!” Pendekar Rajawali Sakti berhasil mematahkan bantingan dengan bersalto tiga kali. Lalu, kakinya mendarat mulus. Kini bola matanya mencari-cari. Ternyata gadis tadi telah amblas kembali ke tanah.

“Hmm!” Rangga seketika mengeterapkan aji ‘Pembeda Gerak Dan Suara’ untuk mengetahui gerakan yang dibuat gadis itu. “Yeaaa...!”

Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas, dan hinggap pada salah satu cabang pohon. Di tempatnya tadi berdiri, sekilas terlihat dua tangan menyembul. Dan secepat kilat, kembali masuk ke tanah.

Krak!

“Hei?!” Belum sempat Pendekar Rajawali Sakti menarik napas lega, pohon yang dihinggapinya bergoyang. Lalu, roboh dengan deras seperti dihantam banteng mengamuk.

“Gila! Kalau begini caranya bisa sinting aku!” rutuk Pendekar Rajawali Sakti. Dengan ringan, Rangga melompat turun. Seketika tubuhnya melesat sekencang-kencangnya meninggalkan tempat itu.

“Maaf, Nisanak! Aku tak bisa meladenimu main kucing-kucingan begini...!” teriak Pendekar Rajawali Sakti. Dalam keadaan seperti itu, rasanya tak masuk di akal bila Sekartaji mampu mengejarnya. Bahkan tokoh-tokoh tingkat tinggi pun akan sukar menandingi ilmu meringankan tubuhnya. Rangga bisa bernapas lega, tapi tak menghentikan larinya.

“Kurasa ini sudah cukup jauh. Hhh...! Mau pecah rasanya dadaku...,” desah Pendekar Rajawali Sakti. Rangga berhenti setelah dirasa cukup jauh. Napasnya diatur sebentar, lalu perjalanannya dilanjutkan. Tapi baru beberapa langkah berjalan, seseorang tegak berdiri menghadang. Seorang gadis berbaju merah yang membuatnya kaget.

“Gila! Bagaimana mungkin kau bisa di sini?!” sentak Rangga, penuh keheranan.

Sekartaji tersenyum, lalu melangkah mendekati. “Kau kira bisa pergi begitu mudah dariku?” cibir gadis itu.

“Ini benar-benar tak masuk akal!” Rangga memukul kepalanya, pelan. Dan nyatanya terasa sakit. “Berarti aku tidak mimpi! Tapi..., bagaimana mungkin dia bisa menyusulku secepat ini?”

“Bagaimana kau bisa tiba di sini?” tanya Pendekar Rajawali Sakti setelah batinnya tak yakin bisa menemukan jawaban.

“Itu urusanku!” sahut Sekartaji, seenaknya.

“Ya, sudahlah. Barangkali kau memang keturunan siluman....”

Gadis itu tersenyum, penuh arti. “Urusan kita belum selesai. Kau harus bisa mengalahkanku. Kalau tidak..., aku akan menghajarmu!” desis Sekartaji.

“Aku telah mengalahkanmu. Kenapa kau tak mau mengakuinya?” tukas Rangga.

“Kau belum pernah mengalahkanku!”

“Dalam rebutan ikat kepala tadi?”

“Kau curang. Aku tak mengakuinya!"

“Itu karena kau licik dan mengagungkan kehebatanmu. Sehingga, kau tidak mau berpikir terang. Kalau kau mau saja sedikit jujur, maka pasti mau mengakui kalau aku telah mengalahkanmu. Kita toh, tak mesti saling hajar sampai salah seorang terluka parah. Atau, barangkali itu yang kau inginkan? Atau..., kau mengincar nyawaku?”

Gadis itu terdiam sejurus lamanya.

“Entah kau sinting atau kurang kerjaan. Orang berkelahi mestinya punya tujuan jelas...,” desah Rangga, sambil mengangkat bahunya.

“Aku punya tujuan jelas!” tandas Sekartaji.

“Tujuan apa? Katakan padaku!” tuntut Pendekar Rajawali Sakti.

“Itu urusanku!”

“Orang berkelahi mesti ada alasan. Entah karena dendam, marah, mencari ketenaran, atau sekadar melampiaskan kegembiraan. Yang mana alasanmu?” tanya Rangga.

“Bukan salah satu di antaranya,” sahut gadis itu terus terang.

“Hm.... Jadi apa tujuanmu?”

“Aku tak bisa mengatakannya padamu....”

“Baiklah.... Mungkin itu urusanmu. Aku tidak berhak tahu. Tapi, kau juga tak berhak memaksakan tujuanmu pada orang lain. Kau ini manusia yang berperasaan atau tidak?! Aku tak mau berkelahi tanpa alasan kuat. Dan kau mesti mengerti hal itu!”

Sekartaji kembali terdiam.

“Kita tak saling kenal. Aku bahkan tak tahu namamu. Dan di antara kita, tak pernah ada masalah. Jadi tak ada urusan yang mesti membuat kita berkelahi!” lanjut Rangga.

“Namaku Sekartaji. Dan aku hanya ingin mencari orang yang bisa mengalahkanku,” sahut Sekartaji perlahan.

“Untuk apa?” kejar Rangga.

“Melaksanakan titah Sang Ratu....”

“Ratu siapa?”

“Ratu kami....”

“Hm.... Aku mulai sedikit mengerti. Tapi, apa maksud ratumu menyuruhmu bertarung denganku sampai aku bisa mengalahkanmu?” tanya Rangga lagi, semakin tertarik.

“Bukan hanya kau.... Beliau hanya ingin agar aku mencari seseorang yang bisa mengalahkanku...,” jelas Sekartaji.

“Untuk apa?” cecar Pendekar Rajawali Sakti.

“Menjadi suamiku.”

“Apa? Hm.... Ratumu pasti orang tak waras. Bagaimana mungkin dia mencampuri urusan jodoh orang lain dengan cara begitu?” kata Rangga seperti bertanya pada diri sendiri.

“Hush! Jangan bicara keras-keras. Aku khawatir beliau mendengarnya!” ujar Sekartaji. Gadis itu menempelkan telunjuk ke bibir. Matanya liar memandang ke sekelilingnya.

“Ada apa? Apakah ratumu selalu mengikuti ke mana saja kau pergi?” tanya Rangga, berbisik.

Tak sadar, gadis itu mengira Rangga mengerti isyaratnya. Padahal lewat air mukanya, Rangga tengah mengejeknya. Sejak tadi dia mengerahkan aji ‘Pembeda Gerak Dan Suara’. Dan Rangga tahu tak ada orang lain di sekitar tempat ini, selain mereka. Jadi gadis itu pasti mengada-ada jika mengatakan ratunya tengah mengintai.

“Bukan. Tapi para prajurit...,” jelas Sekartaji.

“O.... Prajurit, ya?”

“Mereka tak terlihat pandangan matamu.”

Dahi Rangga berkerut. Lalu dikerahkannya ilmu ‘Tatar Netra’ untuk memandang ke sekeliling tempat.

“Percuma! Meski kau punya pandangan tajam, tak akan mampu menembus jasad mereka,” jelas Sekartaji, seperti mengerti apa yang tengah dilakukan Rangga.

“Apa maksudmu?” tanya Pendekar Rajawali Sakti.

“Mereka kaum siluman,” sahut Sekartaji.

“Hei?!” Rangga tercekat. Benarkah? Atau, gadis ini tengah mengada-ada untuk menakut-nakutinya. “O.... Kaum siluman, ya?” Rangga mengangguk kecil. “Jadi..., kau pun termasuk kaum mereka?”

“Aku tak memaksamu untuk percaya.”

“Eh! Aku percaya....”

Plas!

“Eh?!” Kata-kata Rangga terpenggal dan berganti keterkejutan ketika tiba-tiba gadis berbaju merah itu lenyap dari pandangannya. Semula dia menyangsikan kata-kata Sekartaji. Tapi kini...? “Gila! Ke mana dia? Apa benar-benar menghilang? Atau barangkali mataku yang sudah lamur?!”

Rangga mengucek-ngucek matanya sesaat. Lalu dia memandang ke tempat gadis itu berdiri. Tetap saja tak ada. Begitu juga ketika mengedar pandangan ke sekeliling.

“Aku di sini...!”

“Ehh...!” Mendadak saja jantung Pendekar Rajawali Sakti seperti mau copot, ketika gadis itu tegak berdiri di belakang. Hela napasnya terasa dekat menghembus tengkuk. Buru-buru Rangga meloncat. Sementara Sekartaji tersenyum-senyum melihat ulahnya.

“Kini masih belum percaya?” tanya Sekartaji.

“Eh, iya. Tapi sedikit...,” sahut Rangga, masih juga menyangsikan.

“Berarti kau belum yakin kalau aku ini siluman?” tukas gadis ini.

“Aku pernah dengar, konon siluman bisa menjelma menjadi apa saja, seperti..., singa berkepala manusia, atau....”

“Kau sungguh-sungguh ingin melihat aku menjelma seperti itu?” potong Sekartaji.

“Paling tidak..., untuk membuatku percaya,” sahut Rangga.

“Lalu setelah itu?”

“Setelah itu... ya, tidak apa-apa!”

“Itu bukan tujuan utamaku. Aku tak peduli, kau percaya atau tidak. Titah ratuku tak bisa dibantah. Dan aku mesti melaksanakannya!”

“Kenapa dia begitu ikut campur soal jodohmu?”

“Karena dia ibuku!”

“O...!” Rangga terdiam. Kepalanya mengangguk-angguk, kemudian tersenyum malu. “Maaf, aku tak tahu...,” ucap Rangga, perlahan.

“Tak apa....”

“Kau bisa mencari orang lain, Sekartaji,” kata Rangga, sudah memanggil gadis itu dengan namanya.

“Telah banyak tokoh yang kudatangi. Namun mereka semua tak memenuhi syarat. Menurut apa yang kudengar, mereka tokoh-tokoh hebat. Tapi, nyatanya bisa kukalahkan.”

“Kalau kau mampu menghilang, lalu muncul tiba-tiba di belakang mereka, jelas siapa pun tak bisa mengalahkanmu. Apalagi, kau mampu bergerak cepat.”

“Aku tak menggunakan ilmu gaib, ketika melawan mereka. Demikian pula ketika tadi melawanmu. Juga, saat kau merebut ikat kepalaku...,” jelas Sekartaji.

“Untuk apa? Padahal kau bisa mengalahkan mereka dengan mudah?” tanya Rangga.

“Aku ingin manusia mengalahkanku dengan kemampuan apa adanya. Bukan dengan bantuan ilmu-ilmu gaib,” sahut gadis itu menjelaskan. “Ini juga perintah Sang Ratu. Kalau tidak, kami tidak akan dikirim ke dunia kasar untuk mencari seorang suami dari kaum manusia.”

“Untuk apa?” tanya Rangga lagi.

“Aku tidak tahu....”

“Apa di kalangan siluman tak ada yang berilmu tinggi. Atau, yang berwajah menarik?”

“Banyak. Dan bagi kami, soal wajah bukan masalah. Kaum siluman bisa saja menyerupai wajah siapa pun yang disukainya.”

“Lalu, apa masalahnya?”

“Aku tak tahu. Kami hanya diwajibkan patuh pada Sang Ratu.”

“Kepatuhan yang menakjubkan. Seandainya Sang Ratu memberi perintah untuk memenggal kepala, apakah kalian mau mematuhinya?” pancing Rangga.

“Ya!” sahut Sekartaji, singkat. Rangga mendesah sambil menggeleng takjub. “Makanya, kau mesti bertarung denganku!” gadis itu kembali mengingatkan.

“Tapi kau sudah kalah, bukan?” kelit Rangga.

“Itu tidak bisa dijadikan ukuran,” tangkis Sekartaji.

“Kenapa? Toh sama saja! Kita sudah membuat perjanjian.”

“Bagaimana bisa kau menghadapi calon-calon suami kakakku dengan cara begitu?”

“Ee..., tunggu dulu! Apa maksudmu? Calon-calon suami kakakmu?” Rangga malah balik tanya, menuntut jawaban.

“Benar. Mereka pun sepertiku, dan mengemban tugas yang sama.”

“Di antara mereka memakai baju biru, dan putih?” tanya Pendekar Rajawali Sakti lagi seraya menyebutkan ciri-ciri kedua gadis yang pernah ditemuinya.

“Benar! Dari mana kau mengetahuinya?!” seru Sekartaji dengan wajah berbinar. “Mereka adalah Kakak Gandasari dan Kakak Harum Sari!”

“Hm, pantas!” gumam Pendekar Rajawali Sakti.

“Kau bertemu mereka?” tanya Sekartaji.

“Ya.”

“Lalu?”

“Ya, seperti keinginanmu yang aneh, mereka pun mengajakku bertarung tanpa alasan jelas.

“Lalu?!”

“Lalu..., ya, aku berhasil mengecoh mereka!"

“Dasar jahat!”

“Eee, sembarangan menuduh orang! Yang jahat itu aku atau kalian?!”

“Kenapa kau tega mengecoh mereka? Padahal, toh kau bisa meladeni tantangan mereka.”

“Aku tak suka berkelahi tanpa alasan kuat. Apalagi, hanya soal sepele.”

“Ini bukan soal sepele. Ini soal hidup dan mati!”

“Jangan membesar-besarkan persoalan.”

“Kalau gagal membawa calon suami, maka kami mendapat hukuman mati!”

“Aku tak percaya.”

“Ikutlah dengan kami. Maka kau akan lihat, berapa orang dari kami yang mendapat hukuman mati.”

Rangga tertegun. Dipikirkannya kata-kata gadis itu. “Luar biasa tega ibunda kalian itu!” desis Rangga. “Apakah dia tak punya perasaan?”

“Aku tak tahu...,” desah Sekartaji.

“Apakah kau suka mencari jodoh dengan cara seperti itu?” tanya Rangga, memancing. Gadis ini tak menjawab. “Tak ingin sekali-sekali kau berontak?” desak Rangga.

“Itu tak mungkin. Sang Ratu akan menghukum kami dengan berat...,” desah Sekartaji, lirih.

“Kenapa tidak melarikan diri?”

“Seluruh tempat akan mereka cari untuk menemukanku. Tak ada yang bisa lolos begitu saja.”

“Tapi, aku bisa lolos dari kedua kakakmu? Itu berarti, kau pun bisa.”

“Untuk sementara, mungkin. Tapi, tidak selamanya. Coba kau lihat ke belakang.”

Rangga menoleh. Dan wajahnya kontan terkejut melihat dua sosok tubuh tegak berdiri di belakangnya pada jarak sekitar tujuh langkah. Dua gadis yang pernah dikenalnya. Satu berbaju biru, dan seorang lagi berbaju putih.

DELAPAN

“Eh! Kalian pun ternyata ada di sini? Apa kabar?” tegur Pendekar Rajawali Sakti, pura-pura seperti tak terjadi masalah sebelumnya.

“Tidak usah tersenyum-senyum. Kali ini, kau tidak bisa kabur lagi,” kata gadis berbaju biru yang bernama Gandasari.

“Sekartaji! Agaknya kau lebih beruntung dari kami. Kau berhasil menjinakkannya!” seru gadis berbaju putih.

“Terima kasih, Kakak Harum Sari.”

“Tapi kau mesti tahu, aku yang pertama kali bertemu dengannya!” sentak Harum Sari, tiba-tiba.

“Jangan serakah, Harum Sari. Aku juga lebih dulu bertemu dengannya ketimbang Sekartaji.”

“Eee, tunggu dulu! Apa-apaan ini? Apa yang kalian bicarakan?” tukas Rangga.

“Kami membicarakanmu, Sayang. Tidakkah kau mengerti? Atau barangkali kau mau berlagak pilon?” ujar Harum Sari.

“Aku masih belum mengerti....”

“Mereka bermaksud memilikimu juga...,” tambah Sekartaji menjelaskan.

“Memilikiku? Gila! Memangnya aku apa?!” sentak Rangga.

“Kau adalah calon suamiku, Sayang.”

“Harum Sari! Agaknya kau betul-betul tak mengalah, he?!” dengus Gandasari.

“Diam kalian semua! Dialah milikku. Karena hanya denganku dia betul-betul bertarung!” bentak Sekartaji, tak mau kalah.

“Hi hi hi...! Sekartaji! Apakah kau tidak tahu? Dia pun bertarung denganku!” kata Harum Sari.

“Tidak! Dia bertarung denganku!” terabas Gandasari.

“Hei! Hei, berhenti! Berhenti...! Apa-apaan kalian ini?! Aku memang bertarung dengan kalian semua. Tapi bukan berarti kalian bisa berbuat seenaknya padaku. Aku yang akan menentukan, apa yang mesti kulakukan!” bentak Rangga, tak suka.

Ketiga gadis itu terdiam. Mereka memandang pemuda itu dengan sorot mata tajam. Untuk sesaat Rangga pun ikut terdiam. Dibalasnya tatapan mereka sambil menyeringai kesal.

“Kalian tidak berhak apa-apa atas diriku...,” desah Rangga.

“Benarkah?” tukas Harum Sari seraya melangkah mendekati.

“Aku adalah milik diriku sendiri! Kalian harus ingat itu!” tandas Rangga.

“Kau adalah milikku!” tukas Gandasari.

“Dia milikku!” dengus Sekartaji.

“Tidak! Aku bukan milik siapa pun dari kalian!”

“Kau tidak bisa membantah, Pendekar Rajawali Sakti,” ujar Harum Sari.

“Aku bisa berbuat apa saja yang kusuka!”

“Apakah kau kira mampu menghalangi niat kami?”

“Apa mau kalian?!”

“Kami bisa meringkusmu!”

“Kalau begitu, terpaksa aku akan melawan!”

“Kau tak akan mampu menandingi salah seorang dari kami sedikit pun!”

“Kalau begitu, aku tak memenuhi syarat. Lalu kenapa kalian masih berkeras ingin meringkusku?”

“Kau salah! Kau justru memenuhi syarat. Tapi soal meringkusmu, tidak termasuk dalam acara pertarungan kita. Dan bila kau bermaksud menolak, maka kami terpaksa menggunakan kekerasan,” tegas Gandasari.

“Aku tetap tidak bisa memenuhi permintaan kalian. Apa pun akibatnya!” tandas Rangga.

“Pendekar Rajawali Sakti! Jangan bertindak bodoh!” seru Sekartaji.

Pendekar Rajawali Sakti tersenyum sinis. “Aku sudah siap!” tegas Rangga, dengan nada rendah.

“Dasar keras kepala!” umpat Sekartaji kesal.

Biar aku yang meringkusnya!” Gandasari mendadak mengibaskan tangan. Seketika, serangkum angin kencang menerpa Pendekar Rajawali Sakti.

Wuuusss!

“Uhh...!” Rangga berusaha bertahan dengan pengerahan tenaga dalam. Tapi, tubuhnya terasa seringan kapas, melayang diterpa badai topan ciptaan Gandasari. Sia-sia saja dia bertahan. Apalagi balas,menyerang. Tubuhnya terasa lemas dan pegal-pegal.

“Keparat! Ilmu apa yang digunakannya? Tubuhku terasa lemah tak berdaya!” rutuk Rangga.

“Hiih!” Gandasari menjentikkan tangan kanan.

Duk!

“Ughh!” Rangga kontan terlempar beberapa langkah ke belakang seperti dihantam pukulan keras. Pemuda itu betul-betul tak kuasa menghindar atau menangkis. Pukulan itu terjadi demikian cepat serta tak terlihat!

“Ayo, lawanlah! Bukankah kau telah siap? Lawanlah dengan semua kekuatan yang kau miliki!” teriak Gandasari sambil tertawa kegirangan.

“Kenapa kau, Rangga? Kudengar kau pendekar digdaya di masa ini? Tapi nyatanya hanya seorang pecundang! timpal Harum Sari.

“Uhh. Rangga berusaha bangkit sambil menahan nyeri di dada. Tubuhnya semakin parah saja. Dan kekuatannya saat ini betul-betul hilang entah kenapa.

“Hiih!” Gandasari menyerang kembali. Dengan membawa kesal di hati, dihajarnya pemuda itu berkali-kali.

Des! Des!

“Aaakh...!”

“Cukup, Kakak! Hentikan! Kau menyiksanya...!” bentak Sekartaji.

Sekartaji melompat, tegak berdiri di depan Rangga untuk menghalangi serangan Gandasari selanjutnya. “Kau tak boleh menyiksanya. Dia akan mati!” sentak Sekartaji.

“Kenapa, Sekartaji? Kau kasihan padanya? Padahal, dia coba menentang kita?” tanya Gandasari.

Sekartaji tak langsung menjawab. Diliriknya Pendekar Rajawali Sakti. Dari mulut dan hidung pemuda itu tampak menetes darah segar. Sambil mendengus kasar gadis itu memandang kedua kakaknya.

“Kau telah mengunci ilmunya. Sehingga saat menghajarnya, sama saja menghajar orang yang tak memiliki kehebatan apa-apa!” bela Sekartaji.

“Orang sepertinya harus mendapat hukuman, Sekartaji,” sahut Gandasari kalem.

“Kenapa kau, Adikku? Kau mulai jatuh cinta padanya? Hi hi hi...! Kalau begitu, kita pun sama. Tapi, Sang Ratu tak akan mau mengerti hal itu. Beliau hanya menginginkan masing-masing dari kita membawa pasangannya. Dan pemuda itu milikku. Kenapa kau tidak tahu diri, lalu membiarkan agar kubawa?” tukas Harum Sari.

“Jangan sembarangan bicara kau, Harum Sari!” bentak Gandasari.

“Eh! Maksudku..., tentu saja untuk kita,” ralat Harum Sari.

“Dia milikku!” bentak Gandasari.

“Eh, iya. Maksudku pun begitu!” kata Harum Sari, cengar-cengir.

“Huh!” Gandasari mendengus sinis. Kepalanya berpaling pada Pendekar Rajawali Sakti, lalu beralih pada Sekartaji yang tengah menghapus darah yang berlepotan di wajah pemuda itu.

“Sekartaji, minggir kau!” bentak Gandasari.

“Kakak Gandasari...?”

“Minggir kataku!”

“Kau tak boleh menyiksanya lagi....”

Gandasari tak peduli. Dengan geram, ditangkapnya pergelangan tangan adiknya. Lalu dihempaskannya. “Hiih!”

Sekartaji terlempar jauh. Namun dengan gerakan indah kakinya mendarat mantap. Lalu tubuhnya kembali mencelat ke dekat kakaknya. Tepat saat itu Gandasari telah melepaskan dua tendangan beruntun menghajar dada Pendekar Rajawali Sakti.

Desss...! Desss...!

“Ayo, lawanlah! Bukankah kau katakan mampu menghadapi kami? Ayo, lawan!” teriak Gandasari.

“Kakak, sudah! Kau tak boleh menyiksanya lagi!” teriak Sekartaji. Dengan nekat, Sekartaji menangkap pergelangan tangan kakaknya. Dan ini membuat Gandasari menggeram dan menyentaknya kuat-kuat. Namun, kali ini Sekartaji tidak diam saja. Dia terus bertahan.

Melihat hal ini, Gandasari malah semakin geram. “Kurang ajar! Kau berani melawanku, he?!” bentak Gandasari.

“Kakak! Aku tak bermaksud begitu...,” sahut Sekartaji, tak kalah keras.

“Tapi nyatanya begitu, kan?! Kuhajar kau, Sekartaji! Kuhajar kau!”

Sekartaji jadi salah tingkah. Dia tak biasa melawan kakaknya. Dan, tak pernah sekalipun dilakukannya. Tapi nyatanya hal itu kini terjadi. Dia hanya tak ingin kakaknya melukai pemuda itu dengan menghajarnya sampai babak belur. Dan memang, agaknya sulit sekali mengingatkan kakaknya.

“Rangga, larilah cepat! Larilah sekuat tenagamu...!”

“Uhh...!” Rangga seperti tersengat. Dadanya terasa nyeri. Apalagi di dalamnya. Tapi, dia tak mau mati konyol di tempat ini. Maka begitu mendengar teriakan, dia segera kumpulkan sisa tenaga yang dimilikinya untuk segera kabur.

“Cepat lari! Lari...! Larilah cepat...!” teriak Sekartaji, ketika Pendekar Rajawali Sakti berkelebat kabur.

“Adik kurang ajar! Kau rela mengkhianatiku untuk seseorang yang baru saja kau kenal!” maki Gandasari.

“Kakak! Aku tak bermaksud begitu. Tapi, kau keterlaluan sekali menghukumnya...,” kilah Sekartaji.

“Tutup mulutmu! Tahukah kau, hukuman apa yang akan dijatuhkan padamu seandainya hal ini kulaporkan kepada Sang Ratu?!” bentak Gandasari.

“Kakak...?!”

“Kau akan mendapat ganjaran setimpal, Sekartaji! Hukuman akan berlipat ganda karena berani melawanku.”

“Kakak! Kau tentu tidak akan berbuat sekejam itu pada adikmu sendiri, bukan?”

“Aku akan melakukannya! Tak seorang pun lolos dari hukuman meski orang dekat sekalipun. Itulah sabda Sang Ratu!”

“Kakak, kau..., kau?!”

“Sekartaji! Kau tak bakal lolos dari hukuman. Sia-sia saja usahamu, karena pemuda itu pun tidak akan lari ke mana-mana.”

Gandasari berpaling pada Harum Sari. “Kejar! Dan tangkap dia kembali!”

“Baik, Kak!” sahut Harum Sari, seraya berkelebat.

Sementara Harum Sari mengejar Rangga, Gandasari menyerang Sekartaji dengan gencar. Kepandaian ilmu mereka seimbang satu sama lain. Sehingga sulit menentukan siapa yang paling hebat. Maka mesti Gandasari menyerang gencar, Sekartaji tidak berusaha balas menyerang. Dia hanya menghindar atau menangkis sebisanya.

“Kau tidak mau menyerah juga, Sekartaji?!” desis Gandasari, terus menyerang.

“Kakak! Jangan paksa aku...,” sahut Sekartaji, lirih sambil terus bermain mundur.

“Baik. Kalau begitu terpaksa aku mesti meringkusmu seperti tawanan!”

“Kakak, kumohon! Jangan memaksaku untuk melawanmu.”

“Adik kurang ajar! Kau kira aku takut kalau kau melawanku? Ayo, lawanlah! Balas serangan-serangankui”

“Kakak...!”

“Jangan panggil aku sebagai kakakmu! Ayo, anggap saja aku musuh besarmu!”

“Aku, ah...! Kakak, tolonglah...!”

“Tutup mulutmu! Kalau kau tetap tak mau melawan, jangan salahkan kalau aku tetap akan menghajarmu!”

Sekartaji tetap merasa bersalah dan bingung. Kalau dia melawan, maka Sang Ratu pasti akan menghukumnya dengan berat. Tapi kalau tak dilawan, bisa-bisa dirinya akan celaka.

“Hei, ada apa di sini...?!” Mendadak terdengar teriakan, membuat pertarungan itu segera berhenti. Tampak empat sosok tubuh muncul. Dua gadis berbaju hijau dan kuning bersama dua orang laki-laki berusia setengah baya.

“Arimbi, Kakak Sriwangi!” seru Gandasari, begitu mengetahui siapa yang datang.

“Ada apa? Kenapa kalian berkelahi sehebat ini?” tanya gadis berbaju kuning yang bernama Sriwangi seraya menghampiri.

“Tahukah kau? Aku tengah memberi pelajaran pada seorang pengkhianat!” sahut Gandasari, sengit.

“Kakak! Jangan sembarangan menuduh!” tukas Sekartaji.

“Diam kau!” bentak Gandasari.

“Hei! Hei! Tenanglah dulu. Ada apa ini? Apa yang terjadi, Gandasari?” lerai Sriwangi.

Gandasari segera menceritakan duduk persoalannya. Tentu saja dengan membawa segala amarah di hatinya. Sampai-sampai, Sekartaji tidak sedikit pun bisa membela diri.

“Dia pengkhianat! Dan kini malah berani melawanku!” tuding Gandasari, geram.

“Kakak! Itu tidak benar! Aku hanya tak ingin kau menghajarnya. Dia punya batas daya tahan. Apalagi, Kakak Gandasari telah mengunci ilmu-ilmunya. Dia tak akan bertahan lama menerima hajaran begitu keras,” kilah Sekartaji.

“Aku bermaksud membawanya. Maka, mana mungkin aku akan membunuhnya!”

“Tapi..., Kakak Gandasari dalam keadaan kalap...”

“Jangan membela diri, Sekartaji! Katakan saja kau berusaha merebutnya dariku dengan mengambil hatinya.”

“Kakak! Aku tak bermaksud begitu...!”

“Alaaah, tutup mulutmu!” bentak Gandasari. Dia kemudian memandang pada kedua saudaranya yang baru muncul. “Kalian bantu aku menangkap pengkhianat ini! Kita akan menyerahkannya pada Sang Ratu untuk mendapat hukuman setimpal!”

“Tapi, Kakak...,” Arimbi sedikit keberatan, namun tidak demikian halnya Sriwangi. Dia langsung melompat menyerang Sekartaji.

“Sekartaji! Lebih baik kau menyerah. Atau, kami akan meringkusmu dengan paksa!” bentak Sriwangi.

“Kakak, jangan memaksaku...!”

“Huh! Dari dulu kau memang selalu saja membantah. Tapi hari ini, kau sudah keterlaluan!”

Sementara Sriwangi menyerang Sekartaji, Arimbi masih ragu-ragu. Di antara saudara-saudaranya, memang hubungan Arimbi dengan Sekartaji memang lebih baik ketimbang yang lainnya. Maka, dia tak sampai hati ikut mengerubuti. Tapi, Gandasari terus memaksa sambil mengancam.

Kalau dia tak membantu, maka akan dianggap bersekutu dengan Sekartaji. Bahkan melaporkan hal itu pada Sang Ratu. Dengan terpaksa akhirnya Arimbi ikut mengerubuti adik bungsunya. Menghadapi kepandaian mereka bertiga, Sekartaji tak kuasa bertahan. Dalam waktu singkat, dia berhasil diringkus.

“Kini kau tak bisa ke mana-mana lagi, Sekartaji! Ilmumu telah kami kunci!” dengus Sriwangi.

Sekartaji diam tertunduk. Diliriknya Arimbi. Tapi kakaknya pura-pura tak melihat. Gadis itu tertunduk kembali. Pasrah! Harum Sari telah kembali dengan Rangga yang berada di salah satu pundaknya.

“Bagus! Ternyata kau mampu meringkusnya!” puji Gandasari.

“Apa sulitnya? Dia seperti bayi yang tak berdaya,” kata Harum Sari, bangga.

“Mana pasanganmu, Kakak Harum Sari?” tanya Arimbi.

“Aku..., aku belum mendapatkannya. Dan kau sendiri?” sahut Harum Sari.

“Kau lihat laki-laki kurus itu? Dia calon suamiku!” tunjuk Arimbi bangga.

“Laki-laki itu?!” Harum Sari terkikik geli. Yang dilihatnya adalah seorang laki-laki tua bertubuh kurus dan berkulit hitam. Rambutnya sebagian telah memutih, dipotong pendek dengan dahi lebar.

“Kenapa tertawa? Meski begitu dia seorang tokoh hebat yang ditakuti banyak orang,” bela Arimbi.

“Kau tak jadi menaklukkan si Kera Hitam Bertangan Besi?”

“Orang itu tak punya kemampuan apa-apa. Calon suamiku ini, adalah gurunya. Ilmunya hebat. Dan kurasa, saat ini tak seorang pun yang mampu menandinginya!” Lagi-lagi Arimbi menjelaskannya dengan bangga.

“Ya, ya. Itu terserahmu kalau mau kawin dengan tua bangka bau tanah itu,” cibir Gandasari.

“Kakak sendiri bagaimana? Sudah menemukan yang cocok?”

“Sebentar lagi!”

“Kakak Sriwangi pun punya calon suami yang tak kalah tua dariku.”

Gandasari melirik sekilas. Laki-laki tua yang ditunjukkan Arimbi itu pun tidak kalah buruk ketimbang calon suami Arimbi sendiri. Dia tertawa kecil.

“Kalian ingin berangkat sekarang?” tanya Gandasari.

“Ya!” jawab Sriwangi.

“Baiklah, silakan kalian berangkat. Aku tak bisa menyertai sebelum mendapatkan pasanganku,” ujar Harum Sari.

Setelah itu, Harum Sari menyerahkan Rangga pada Gandasari. Sedangkan Sekartaji yang telah dilumpuhkan, digendong Arimbi.

“Hati-hati kau di sini! Jaga dirimu baik-baik...!” pesan Gandasari.

“Jangan khawatir. Kau kira ada orang yang mampu menandingiku?” tukas Harum Sari pongah.

“Jangan gegabah, Harum Sari! Dunia penuh hal tak terduga.”

Gadis itu hanya tertawa, menganggap enteng. Sementara saudari-saudarinya meninggalkannya ke arah selatan bersama dua laki-laki setengah baya yang akan menjadi suami Arimbi dan Sriwangi.

Harum Sari tegak berdiri mengawasi mereka untuk sejurus lamanya, lalu mengambil arah yang berlawanan setelah mereka menghilang dari pandangan...

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: ASMARA GILA DI LOKANANTA

Titah Sang Ratu

TITAH SANG RATU

SATU

DESA MAJA saat ini kelihatan ramai. Umbul-umbul di sepanjang jalan utama sampai alun-alun terpasang berwarna-warni. Para penduduk sudah sejak tadi berkerumun, memadati setiap penjuru alun-alun. Ini merupakan minggu ketiga dari bulan ketujuh. Hari inilah waktu yang ditentukan sebagai ajang tanding dari beberapa padepokan silat yang ada di desa itu.

Kebiasaan ini telah berlangsung puluhan tahun yang lalu, dan masih dilestarikan hingga kini. Bahkan bukan hanya padepokan silat yang ada di Desa Maja saja, melainkan padepokan silat yang berada di luar desa pun boleh ikut serta. Karena sifat pertandingan adalah persahabatan, sehingga para peserta tidak dibenarkan membunuh lawannya.

Seperti biasa, beberapa tokoh tua di desa itu duduk sebagai juri. Mereka tidak terikat padepokan-padepokan silat yang ada di Desa Maja ini, sehingga penilaian mereka bisa dipertanggungjawabkan.

"Gong...!"

Gong berbunyi. Seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun berdiri dan berjalan ke tengah alun-alun. Diumumkannya nama-nama padepokan yang kali ini ikut serta.

“Dan untuk kali ini pula, akan ditambahkan satu pertandingan menarik, berupa pertandingan perorangan. Dengan demikian diharapkan acara ini akan lebih meriah. Siapa saja yang merasa punya kemampuan, boleh menjajal lawan. Meski begitu, syarat-syarat mesti dipenuhi seperti biasa!”

Prok! Prok! Prok...!

Penonton bertepuk tangan. Dan masing-masing siap menjagokan tokoh yang dibanggakannya.

“Kali ini Padepokan Buaya Ireng akan menjuarai pertandingan!” kata salah seorang penonton, yakin.

“Ah, mana bisa?! Aku yakin Padepokan Camar Emas yang akan juara!” sergah penonton lainnya.

“Huh! Kedua padepokan itu tidak ada apa-apanya. Aku yakin, Padepokan Garuda Merah yang akan menguasai semuanya!” sahut yang lainnya, bernada meremehkan.

“Hei, jangan lupa! Padepokan-padepokan dari luar desa kita pun tidak kalah tangguh. Konon kabarnya murid-murid mereka terkenal ke seantero wilayah selatan ini!”

“Jangan membesar-besarkan padepokan luar desa kita, Gedeng! Siapapun tahu, Desa Maja gudangnya tokoh-tokoh silat!” sergah seorang pemuda berbaju hitam dengan wajah tak suka.

“Kau macam-macam saja, Gedeng! Orang-orang dari seantero negeri datang ke sini untuk belajar di padepokan-padepokan yang ada di desa kita. Itu menunjukkan kalau desa kita ini gudangnya tokoh-tokoh silat!” timpal yang lain.

“Entahlah... Aku hanya mengingatkan. Meski desa kita gudangnya ilmu silat, tapi jangan sampai meremehkan lawan-lawan dari desa lain...,” desah pemuda kurus yang dipanggil Gedeng dengan suara pelan.

Percakapan mereka berhenti, karena laki-laki setengah baya yang berbicara di tengah alun-alun telah kembali ke tempatnya setelah mengumumkan pihak-pihak yang akan bertanding lebih dulu. Sesaat kemudian muncul dua orang pemuda ke tengah tempat pertandingan yang disambut tepuk tangan para penonton. Yang berbaju serba hitam adalah murid Padepokan Buaya Ireng. Sedang yang memakai baju kuning keemasan murid Padepokan Camar Emas.

“Wah! Ini bakal seru! Mereka pernah bertemu tahun lalu!” seru seorang penonton.

“Ya! Dan kalau tak salah, murid Buaya Ireng kalah.”

“Tapi belakangan ini, Ki Suralaga menggembleng murid-murid Buaya Ireng dengan keras. Mereka bertekad untuk memenangkan kejuaraan ini.”

“Hm.... Pertandingan ini pasti akan seru!”

Pertarungan telah berlangsung. Murid Padepokan Buaya Ireng menyerang ganas. Sebaliknya murid Padepokan Camar Emas menghadapinya dengan tenang, namun penuh kelincahan.

“Hup!”

Plak!

Satu tendangan keras meluncur ke perut murid Padepokan Camar Emas. Namun dengan manis dapat ditepisnya dengan kebutan tangan kiri. Bahkan kepalan tangan kanannya tiba-tiba bergerak cepat ke muka murid Padepokan Buaya Ireng.

“Hiih!” Murid Padepokan Buaya Ireng terkejut. Dia melompat ke belakang, tapi murid Padepokan Camar Emas terus mengejar dan mendesak.

Plak! Plak!

Benturan tangan terjadi. Masing-masing terjajar beberapa langkah. Namun sekejap kemudian, pemuda murid Padepokan Camar Emas memutar tubuhnya, seraya melepas tendangan setengah lingkaran yang begitu cepat tak terduga. Sehingga....

Des!

“Akh!” Tendangan itu telak menghantam dada murid Padepokan Buaya Ireng, hingga jatuh terjengkang di tanah.

“Brengsek!” Murid Padepokan Buaya Ireng menggeram seraya bangkit berdiri. Wajahnya meringis menahan nyeri. Dibuatnya beberapa gerakan dengan jurus-jurus andalan. Kemudian kembali dia menyerang. Tubuhnya meluruk, seraya melepas suatu hantaman tangan.

“Yeaaa...!” Sambil menggeser tubuhnya ke kiri, murid Padepokan Camar Emas mengibaskan tangan kanannya.

Plak!

Kembali terjadi benturan. Namun sekejap kemudian, murid Padepokan Buaya Ireng menyusuli dengan tendangan. Namun, murid Padepokan Camar Emas cepat mengegos ke samping sambil membungkuk. Lalu tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas sambil mengayunkan tendangan. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Desss...!

“Akh...!” Untuk kedua kalinya, murid Padepokan Buaya Ireng terjungkal roboh sambil mengeluh tertahan terhantam tendangan telak.

“Sapta, maju!” seru Ketua Padepokan Buaya Ireng yang bemama Ki Suralaga.

Murid yang kalah segera menyingkir. Dan kedudukannya diganti seorang pemuda berbadan tegap bernama Sapta. Melihat hal ini, Ketua Padepokan Camar Emas tidak mau kalah. Buru-buru dia memberi isyarat pada murid di sebelahnya.

“Badar! Gantikan Sukma!”

“Baik, Guru!”

Setelah memberi isyarat pada pemuda bernama Sukma, Badar langsung mencelat ke tengah. Dan dia langsung berhadapan dengan Sapta dari Padepokan Buaya Ireng. Keduanya langsung mengadakan pertarungan dalam tempo cepat. Melihat cara berkelahi, akan kelihatan kalau masing-masing memiliki tingkat yang lebih tinggi dibanding kedua saudara seperguruan mereka tadi. Namun bila diamat-amati lebih seksama, maka segera dapat diketahui kalau murid Padepokan Camar Emas memiliki gerakan lebih ringan. Sedangkan murid Padepokan Buaya Ireng lebih lambat, namun terkadang cukup gesit pada saat-saat tertentu.

“Yiaaap!” Sapta menyodokkan kaki kanan ke perut. Namun Badar cukup memiringkan tubuhnya sedikit, lalu melompat ke atas. Begitu berada di udara kaki kanannya mencelat, melepaskan tendangan.

“Uts...!” Sapta segera merendahkan tubuhnya, seraya mengangkat kaki kanannya menuju daerah terlarang milik Badar.

“Uts!” Badar terkesiap, namun cepat tanggap. Cepat kakinya yang satu lagi menahan kaki Sapta.

Plak!

Dan dengan meminjam tenaga benturan, Badar bersalto ke belakang. Begitu mendarat, murid Padepokan Camar Emas kembali meluruk.

“Heh?!" Sapta yang baru saja menegakkan tubuhnya terkesiap, melihat Badar yang telah begitu cepat menyerangnya kembali. Mau tak mau terpaksa ditangkisnya serangan dengan mengibaskan tangannya.

Plak!

Benturan tangan terjadi, Sapta terjajar. Sementara Badar telah memutar tubuhnya melepas tendangan menggeledek yang begitu cepat tak tertahankan. Hingga....

Desss...!

“Aaakh...!” Tendangan Badar tepat menggedor dada, membuat murid Padepokan Buaya Ireng terjungkal roboh. Hampir menimpa beberapa penonton yang menyorakinya.

“Wah, payah! Buaya Ireng dari dulu begitu terus. Payah! Payah sekali...!”

“Iya, ya! Padahal, katanya Ki Suralaga telah melatih dengan keras.”

“Mungkin hanya siasat supaya lawan waspada. Padahal, memang tidak ada apa-apanya....”

“Ssst...! Jangan bicara sembarangan kau.”

“Uff! Maaf....” Orang itu buru-buru menutup mulutnya. Apalagi ketika Ki Suralaga yang tengah dibicarakan, melirik dengan sorot mata angker.

Hati Ki Suralaga panas bukan main. Dua muridnya dapat dikalahkan murid-murid Padepokan Camar Emas. Entah, mau dikemanakan mukanya saat ini. Apalagi mendengar cemoohan-cemoohan penonton. Untuk sesaat dia mesti menahan diri sambil menyaksikan dengan tertib acara selanjutnya.

Kali ini seorang pemuda murid Padepokan Garuda Merah yang akan menantang murid Padepokan Camar Emas tadi sudah maju ke tengah kancah pertandingan.

“Silakan, Kisanak...,” ucap Badar penuh percaya diri. “Hiih!”

Agaknya murid Padepokan Garuda Merah tak mau berbasa-basi lagi. Langsung dikirimkannya sebuah serangan dengan kepalan tangan kanan ke muka.

“Uts...!” Sambil menggeser tubuhnya, Badar menangkis dengan telapak tangan kiri.

Plak!

Begitu terjadi benturan, murid Padepokan Garuda Merah langsung melanjutkan dengan tendangan. Terpaksa Badar harus menghindar dengan melenting ke belakang. Namun baru saja Badar mendarat, murid Padepokan Garuda Merah telah mencelat mengejar, melepas serangan beruntun lewat perpaduan antara pukulan dan tendangan. Begitu cepat dan bertenaga serangan yang dilancarkannya, membuat Badar kerepotan. Satu dua serangan berhasil dihindari Badar. Namun serangan berikutnya....

Desss...!

“Aaakh...!” Badar terjajar ke belakang sambil menjerit kesakitan, ketika sebuah hantaman mendarat di dadanya.

“Heaaa...!” Belum sempat murid Padepokan Camar Emas itu bersiap kembali, dua buah hantaman berturut-turut telah bersarang di dadanya.

Des! Des!

“Aakh...!” Badar terpekik, dan terlempar ke arah penonton.

“Aku lawanmu, Kisanak!” seru seorang pemuda bertubuh kurus yang langsung melompat ke tengah.

“Heaaa...!” Namun baru juga orang yang baru melompat itu memasang kuda-kuda, murid Padepokan Garuda Merah sudah meluruk seperti tak memberi kesempatan barang sedikit pun. Dilepaskannya serangan bertubi-tubi dengan sambaran telapak tangannya yang membentuk paruh garuda.

Namun pemuda bertubuh kurus berpakaian serba hijau dengan lambang bergambar kepala ular di dada itu bukan lawan sembarangan. Sebab pemuda kurus yang agaknya dari Padepokan Ular Hijau ini mampu bergerak menghindarinya dengan gesit bagaikan seekor ular hijau.

“Hup! Yeaaa...!” Setelah meliukkan tubuhnya, pemuda kurus itu langsung balas menyerang dengan sambaran tangan yang menyerupai ular. Meski kurus, namun angin serangannya kencang. Itu menandakan kalau tenaga dalamnya cukup hebat.

“Hup!” Namun, murid Padepokan Garuda Merah tak kalah sigap sambil melompat ke atas dipapaknya patukan tangan itu dengan tangan yang membentuk paruh.

Plak!

Begitu terjadi benturan, murid Padepokan Garuda Merah langsung menyambarkan tangannya ke punggung, sambil memutar tubuhnya di udara.

“Uts!” Untung saja pemuda murid Padepokan Ular Hijau cepat menyadari bahaya. Walau terlihat kerepotan, dia langsung menjatuhkan diri seraya bergulingan.

“Hiaaat...!” Pemuda kurus itu cepat melenting bangkit Pada saat yang sama, murid Padepokan Garuda Merah yang telah mendarat di tanah telah meluruk dengan hantaman bertubi-tubi. Secepat kilat, pemuda kurus itu memapaki dengan geram.

Plak! Plak!

“Uhh...!” Dua kali benturan terjadi. Namun yang ketiga terdengar keluhan tertahan dari mulut pemuda kurus. Tubuhnya terjajar beberapa langkah. Kesempatan ini tidak disia-siakan murid Padepokan Garuda Merah. Kaki kanannya cepat menyodok ke ulu hati.

Begkh!

“Aakh...!” Tanpa ampun lagi, pemuda kurus murid Padepokan Ular Hijau terjungkal disertai jerit kesakitan.

“Wah, hebat! Murid-murid Padepokan Garuda Merah memang kesohor sejak dulu!” puji seorang penonton. Yang lain menimpali dengan kesan sama.

“Siapa lagi yang bakal dihajar?”

“Wuiih! Agaknya dia yang bakal jadi juara!”

“Belum tentu! Belum tentu! Masih banyak peserta lain yang mampu menandinginya.”

“Iya, iya...! Nah, lihat! Tuh, kan, masih ada yang berani menantangnya!”

DUA

Kini bola mata mereka menatap tegang ke tengah kancah pertandingan. Seperti juga yang lain, mereka kini melihat seorang gadis cantik berbaju merah. Rambutnya panjang sebahu, dengan ikat kepala warna merah pula. Agaknya dia akan menantang murid Padepokan Garuda Merah.

“Ini bakal seru!”

“Suiit...! Suiiittt...!”

“Mendingan jangan berkelahi di sini. Tapi, di kasur...!” teriak seorang penonton, geregetan.

“Hush! Jangan sembarangan ngomong kau!”

“Lho? Memangnya kenapa?”

“Gadis itu kelihatan galak. Bisa-bisa malah ‘ular kasur’mu yang akan dipotongnya.”

“Hiii...!”

Agaknya bukan hanya penonton yang menganggap enteng pada gadis berbaju merah. Bahkan murid Padepokan Garuda Merah yang akan menghadapinya pun hanya melirik dengan bersedekap. Wajahnya ditinggikan. Sikapnya benar-benar meremehkan.

“Sebaiknya keluar saja dari arena, Nisanak. Aku khawatir kulitmu yang halus akan lecet karena pukulanku,” ujar pemuda murid Padepokan Garuda Merah.

“Hei, Bocah! Kalau kau mampu mengalahkanku dalam lima jurus, aku mengaku kalah padamu!” sahut gadis baju merah, lantang.

“Ha ha ha...! Lima jurus? Aku bahkan mampu meringkusmu kurang dari sejurus.”

“Bocah sombong! Tidak usah banyak omong! Buktikanlah!”

Murid Padepokan Garuda Merah ini geram bukan main dipanggil bocah. Saat itu juga gengsinya dibuangnya jauh-jauh bila harus menghadapi seorang perempuan yang dianggap lemah.

“Kau yang menginginkannya. Maka, rasakan akibatnya! Heaaat...!” Disertai teriakan keras, pemuda itu meluruk seraya mengibaskan tangan. Sedikit tenaga dalam yang diperkirakan mampu menjatuhkan gadis itu segera dikerahkan.

Wussss!

Dugaan pemuda ini keliru. Ternyata gadis baju merah ini hanya sedikit memiringkan kepala, maka tamparan itu hanya menyapu angin. Murid Padepokan Garuda Merah segera mengulangi tindakannya seraya dia menambah kecepatan dan tenaga. Bahkan kemudian diikuti tendangan kaki.

Wut! Bet!

Tapi hanya dengan melompat ke kiri dan kanan, gadis baju merah mampu menyelamatkan diri. Bukan main geramnya murid Padepokan Garuda Merah itu. Seketika serangannya bertambah ganas.

“Huh! Hanya begitukah kepandaianmu? Kau. tak lebih dari seorang bocah yang baru belajar ilmu olah kanuragan!” ejek gadis baju merah, juga menambah kecepatan menghindarnya.

“Kurang ajar!” Murid Padepokan Garuda Merah menggeram marah karena tak satu serangannya yang berhasil disarangkan. Perhatiannya mulai tertuju sepenuhnya, untuk menjatuhkan gadis ini secepatnya.

“Ini sudah lebih dari lima jurus. Dan kau tak mampu meringkusku. Ternyata, kau hanya omong besar, Bocah!” leceh gadis baju merah.

“Sebentar lagi aku akan menghajarmu, Gadis Liar!” sahut murid Padepokan Garuda Merah.

“Huh! Mulut besar! Kini giliranku yang menyerang!” Gadis berbaju merah itu mendengus geram. Kalau tadi dia hanya menghindar, maka kini terlihat mulai balas menyerang. Kedua tangannya bergerak lincah silih berganti, melepaskan hantaman bertenaga dalam dahsyat.

Mendapat serangan beruntun, pemuda murid Padepokan Garuda Merah berusaha menghindar sambil menangkis. Kedudukannya jadi terdesak. Dia hanya mampu bermain mundur. Pada satu kesempatan, gadis baju merah menyodokkan telapak tangan kanannya ke wajah dengan kecepatan tinggi.

“Uts...!” Pemuda murid Padepokan Garuda Merah mengegos ke kiri. Namun pada kejap itu juga, tangan kiri gadis berbaju merah bergerak menyampok ke dada. Dan....

Desss...!

“Aaakh...!” Pemuda itu jatuh terjengkang, begitu sampokan gadis baju merah mendarat di dadanya. Dengan menahan rasa sakit, pemuda itu bangkit dengan wajah marah. “Bangsat! Kau akan merasakan hajaranku yang sesungguhnya!” maki pemuda itu.

“Banyak omong!”

“Yeaaa...!” Disertai teriakan keras, pemuda itu bergerak menyerang. Namun mendadak gadis baju merah memutar tubuh. Seketika kaki kanannya melepaskan tendangan berputar yang begitu cepat tak terkira.

Diegkh...!

“Aaakh...!” Kembali pemuda itu terjungkal roboh disertai jerit kesakitan. Dia langsung memegangi kepalanya yang terasa pusing bukan main. Tendangan itu memang tidak mematikan, tapi cukup menyakitkan. Tak heran kalau pemuda itu berguling-gulingan keluar kancah pertarungan.

“Gila! Gadis itu ternyata tak bisa dibuat main-main!” seru seorang penonton.

“Murid padepokan mana dia?”

Tak ada yang menjawab. Semua seperti terkesima melihat penampilan gadis itu. Sementara itu seorang pemuda berbaju ketat warna putih telah melompat ke tengah. Matanya langsung menatap tajam gadis berbaju merah.

“Namaku Supena dari Padepokan Gajah Putih...!” kata pemuda berbaju putih, memperkenalkan diri.

“Aku Sekartaji. Silakan dimulai!” sahut gadis baju merah, mantap.

“Kalau boleh tahu, dari padepokan mana kau berasal?” tanya pemuda bernama Supena.

“Aku datang atas namaku sendiri,” jawab gadis yang ternyata bernama Sekartaji.

“Hm.... Kalau begitu, mungkin kau tidak keberatan menyebut nama gurumu?” gumam Supena.

“Kau mau bertarung atau ngobrol?! Kalau bertarung, silakan dimulai. Kalau ngobrol, aku tak punya waktu!” sentak Sekartaji, lantang.

“He he he...! Agaknya kau orang yang tak suka berbasa-basi. Baiklah. Lihat serangan!” Tiba-tiba Supena mengayunkan kaki. Namun dengan tenang, Sekartaji bergeser ke kiri seraya menepis dengan tangan kanan.

Plak!

Begitu serangannya gagal, Supena melanjutkan serangan. Dia maju selangkah dengan kepalan kiri menyodok ke dada.

“Uts...!” Sekartaji kembali bergeser seraya menahan dengan telapak tangan.

Plak!

Begitu terjadi benturan, kaki kanan Sekartaji melayang ke ulu hati. Sementara, Supena tersenyum mengejek. Dia cepat mencelat ke belakang. Namun, gadis itu terus menggeser sambil melayangkan tendangan berturut-turut. Sambil menggumam tak jelas, Supena beberapa kali bersalto ke belakang, hingga beberapa penonton terpaksa menyingkir.

Tapi sebelum kedua kakinya menyentuh tanah, mendadak Sekartaji telah bergerak amat cepat. Gerakannya membuat tokoh-tokoh silat yang hadir terkesima. Dan sebelum keterpanaan mereka lenyap, kedua tangan gadis itu telah mendarat di dada Supena.

Duk! Duk!

“Aaakh...!” Supena terjungkal ke belakang sambil menjerit kesakitan. Dia ingin segera bangkit, tapi rasa nyeri yang amat sangat menahan gerakannya.

Sementara Sekartaji hanya menatap dingin, lalu melompat kembali ke tengah kancah pertandingan. “Siapa lagi yang akan mencoba?” tantang Sekartaji. Mata tajam gadis ini beredar ke sekeliling.

Para penonton yang tadi memandang rendah, kini berubah kagum. Bahkan ada yang bergidik ngeri. Bagaimana jadinya kalau aturan pertandingan ini dirubah? Mungkin gadis itu bisa membunuh lawan-lawannya!

“Nisanak! Biar kujajal kepandaianmu!”

Mendadak terdengar suara. Semua mata langsung tertuju pada pemilik suara yang ternyata seorang laki-laki tua. Dengan gerakan ringan, laki-laki ini melompat ke tengah. Rambutnya pendek dan telah memutih, diikat kain warna-warni. Di pinggang kirinya terselip sebilah golok agak panjang. Dengan jubah warna kuning emas berlambang burung camar di dada, membuat penampilan orang tua itu tampak berwibawa.

“Wah, Ki Bagas Lodra yang turun tangan sendiri!” seru seorang penonton.

“Gila! Ini pertarungan tidak seimbang!” sahut yang lain, “Yang satu Ketua Padepokan Camar Emas. Sedang lawannya hanya seorang gadis....”

“Eh, nanti dulu! Meski masih muda, tapi gadis itu memiliki kepandaian hebat. Dia pasti bisa mengimbanginya."

“Iya. Aku yakin. Bahkan bukan tidak mungkin Ki Bagas Lodra akan ditundukinya. Kalau itu sampai terjadi, maka ini akan menjadi kejutan besar.”

“Huh! Mana mungkin!”

“Kenapa tidak? Toh sehebat-hebatnya Ki Bagas Lodra, dia manusia juga. Dan pasti bisa dikalahkan!”

“Iya. Tapi siapa pun tahu, kalau Ki Bagas Lodra tokoh tidak sembarang orang bisa mengalahkannya."

“Lebih baik kita lihat saja hasilnya.”

Sementara para penonton mulai berdebar-debar melihat siapa yang menjadi lawan Sekartaji. Sebaliknya gadis itu tenang-tenang saja. Dia bukannya tidak mendengar suara-suara penonton. Tapi, wajahnya malah kelihatan cerah.

“Sepertinya kau tokoh hebat, Orang Tua. Kuharap kau bisa mengalahkanku,” sambut Sekartaji.

“Jangan percaya cerita yang tak benar. Aku hanya kagum pada kelihaianmu. Seorang gadis muda berilmu tinggi. Hm..., itu jarang sekali ada!” kata laki-laki tua yang tak lain Ketua Padepokan Camar Emas, bernama Ki Bagas Lodra.

“Silakan, Orang Tua!”

“Yeaaa...!” Disertai teriakan seperti hendak merobek langit, Ki Bagas Lodra langsung menyerang. Telapak tangannya yang terkembang dihentakkan lurus ke depan. Seketika meluncur angin kencang yang mampu menggeser sebongkah batu sebesar kerbau. Apalagi tubuh seorang gadis seperti Sekartaji.

Tapi gadis itu sama sekali tak bergeming. Dia malah berkacak pinggang di tempatnya semula. Namun diam-diam dikerahkannya tenaga dalam di kedua kaki, membuat tubuhnya tak bergeser sama sekali. Hanya rambut dan pakaiannya yang berkibar bertiup angin.

“Hiyaaa!” Meski kaget, namun Ki Bagas Lodra tidak menunjukkannya. Bahkan terus menyerang dengan kepalan tangan kanan menghantam ke dada. Sementara telapak tangan kirinya meluncur ke ulu hati.

“Hiih...!” Sekartaji mengibaskan tangan kiri untuk menangkis kepalan tangan yang meluncur ke dadanya yang membusung.

Plak! Tap!

Lalu gadis ini menangkap pergelangan tangan kiri laki-laki tua Ketua Padepokan Camar Emas. Ki Bagas Lodra menyentak. Tapi cekalan gadis itu tak terlepas. Tenaga dalamnya segera ditambah. Dan seketika sambil menyentak kembali, kaki kanannya terangkat, melepas tendangan ke perut.

“Hup...!" Dengan gerakan ringan, Sekartaji melenting ke atas setelah melepas cekalan tangannya. Dan begitu mendarat, tahu-tahu berada di belakang Ki Bagas Lodra. “Lihat serangan...!” teriak Sekartaji, seraya melepas tendangan ke belakang.

“Hei?!” Dengan rasa terkejut, Ki Bagas Lodra berbalik seraya mengibaskan tangannya, menangkis.

Plak!

Justru, tenaga tangkisan itu digunakan Sekartaji untuk menambah kekuatan tendangan susulannya yang cepat bagai kilat. Sehingga....

Desss...!

“Ohhh..!” Dengan lenguhan tertahan Ki Bagas Lodra terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dada. Sebelum dia sempat bersiap-siap, Sekartaji telah kembali meluruk. Dia seperti tak ingin memberi kesempatan sedikit pun. Kedua tangannya langsung bergerak silih berganti, ke arah dada dan perut.

Desss...! Diegkh...!

“Hegkh...!” Untuk yang kedua kalinya Ki Bagas Lodra terkena hajaran Sekartaji. Ketua Padepokan Camar Emas ini melipat tubuhnya ke depan, lalu jatuh berlutut di tanah sambil meringis kesakitan. Meski tak sampai membuatnya terjungkal, tapi wajahnya memerah menahan malu. Betapa tidak? Hanya beberapa kali gebrak, dia dikalahkan oleh seorang gadis yang sama sekali tak terkenal?

“Ki Bagas Lodra! Menepilah! Biar kuladeni gadis ini!” Kembali terdengar suara dari kerumunan penonton. Tak lama, melompat dan mendarat di tengah kancah. Seorang laki-laki tua berpakaian dari kulit buaya. Rambutnya telah memutih, dengan ikat kepala dari kulit buaya pula.

“Hm, Ki Suralaga rupanya....”

Laki-laki berpakaian kulit buaya yang tak lain Ki Suralaga tersenyum dingin. Hatinya penasaran dan sekaligus kaget melihat Ki Bagas Lodra dapat dicundangi oleh anak kemarin sore. Maka dia bermaksud menjajalnya.

Sebelum kembali terjadi pertarungan, mendadak melompat sebuah bayangan hijau. Begitu mendarat, ternyata seorang gadis berbaju hijau dengan tubuh tegap seperti laki-laki. Namun demikian, wajahnya cukup cantik. Bahkan beberapa penonton ada yang bersuit-suit menggoda.

“Biar kuladeni dia, Sekartaji!” kata gadis berbaju hijau.

“Tanganmu sudah gatal pula, Arimbi? Baiklah. Tapi, berhati-hatilah...,” ujar Sekartaji. Ketika Sekartaji turun gelanggang, gadis bernama Arimbi memandang tajam pada Ki Suralaga yang merupakan Ketua Padepokan Buaya Ireng.

“Kisanak! Silakan dimulai!”

“Sebenarnya aku ingin berhadapan dengan gadis tadi. Tapi kalau kau memaksa, apa boleh buat?” tukas Ki Sularaga, sedikit kecewa.

“Dia atau aku sama saja. Kau belum tentu menang!” sentak Arimbi, lantang.

“Bocah sombong! Terhadap orang lain, kau boleh menepuk dada. Tapi menghadapi Sularaga, kau harus mikir dulu tujuh turunan!”

“Banyak mulut! Lihat serangan...!” Gadis bertubuh tegap terbungkus pakaian serba hijau ini bergerak cepat. Tubuhnya melepas tendangan terbang. Ki Suralaga masih tersenyum, menganggap enteng. Dengan tenang tangan kanannya mengibas menangkis.

Plak!

“Uhh...!” Tapi setelah merasakan tenaga dalam Arimbi, Ketua Padepokan Buaya Ireng ini mengeluh dalam hati. Tubuhnya sampai terjajar dengan tangan terasa nyeri bukan main. Dari sebelum dia bisa menghilangkan rasa sakitnya, gadis itu telah memutar tubuhnya, kembali melepas tendangan.

“Kurang ajar!” Sambil memaki Ki Suralaga mencelat ke belakang. Jantungnya berdegup kencang dan darahnya seperti berhenti mengalir. Dalam kekagetannya, membuat orang tua itu marah.

Pada saat yang sama, Arimbi telah kembali menyerang. Tubuhnya meluncur deras dengan satu sampokan ke dada. Laki-laki tua berpakaian kulit buaya yang baru saja mendarat, tak punya waktu lagi untuk menghindar. Seketika tangannya bergerak mengibas.

Plak!

Terjadi benturan keras. Kali ini, Arimbi yang terjajar. Sementara, Ki Suralaga langsung mengangkat kaki kiri, melepas tendangan ke dada.

“Uts!” Gadis berbaju hijau itu merendahkan tubuhnya. Sambil berputar, tahu-tahu sebelah kepalan tangannya menghantam ke pinggang.

Desss...!

“Uhhh...!” Ki Suralaga terjajar ke depan disertai keluhan tertahan.

Dan kesempatan itu justru dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Arimbi. Seketika tubuhnya mencelat, dan kaki kirinya menghantam punggung.

Buk!

“Aaakh...!” Kembali Ki Suralaga mengeluh tertahan. Tubuhnya terjungkal ke depan. Dari mulutnya menyembur darah segar. Dia ingin bangkit, tapi rasa nyeri di dada membuat niatnya tak tersampaikan.

“Astaga! Hebat betul dia!” seru seorang penonton.

“Gila! Ki Suralaga bukan orang sembarangan, tapi dapat dikalahkannya dengan mudah!”

“Sampai di mana kehebatan gadis ini?!”

“Siapa lagi yang maju menantangku?!” seni Arimbi lantang. Kedua tangannya bersedekap di depan dada.

“Akulah lawanmu, Nisanak!” Terdengar seruan yang disusul berkelebatnya satu sosok bayangan hitam ke tengah gelanggang. Begitu mendarat, tampak seorang pemuda berpakaian serba hitam berdiri menantang. Bibirnya menyungging senyum. Namun sorot matanya tajam berkilat.

TIGA

“Tolong sebutkan namamu!” ujar Arimbi, kalem.

“Aku Jatimerta!” sahut pemuda berpakaian hitam, dingin. “Kau akan rasakan, dalam lima jurus tingkahmu akan ditertawakan orang!”

“Silakan!”

“Heaaa...!” Tanpa basa-basi lagi pemuda bernama Jatimerta menerkam Arimbi dengan kedua tangan membentuk cakar. Tapi sebelum gadis berbadan tegap itu menghindar, mendadak melesat satu sosok bayangan kuning.

“Arimbi, mundurlah! Kini giliranku...!”

“Baik, Kak Sriwangi...!”

Gadis berbaju kuning bernama Sriwangi langsung menangkis serangan Jatimerta.

Plak!

Begitu terjadi benturan, Jatimerta langsung melabrak dengan sebuah hantaman menggeledek. Namun dengan gesit Sriwangi melompat ke atas. Sebentar saja pertunjukan menarik terjadi. Kedua orang yang bertarung ini saling bertukar jurus. Masing-masing ingin menjatuhkan satu sama lain secepatnya.

Jatimerta terlihat menggunakan jurus aneh tapi bertenaga kuat. Serangannya gencar dan berbau maut. Kedua tangannya yang membentuk cakar sekuat besi, senantiasa mengancam keselamatan gadis berbaju kuning. Tapi, Sriwangi tenang-tenang saja meladeninya. Bahkan berikutnya dia balas menyerang. Gerakannya lembut, namun lincah dan bertenaga kuat. Beberapa kali pemuda itu menggeram marah, karena serangan-serangannya selalu luput dari sasaran.

“Kau akan mampus di tanganku!” desis Jatimerta, seraya mengganti jurusnya.

“Hm.... Itu menyalahi aturan. Tapi meski begitu, kau tak akan mampu melakukannya, Anak Muda,” sahut Sriwangi sambil tersenyum.

“Huh!” Sambil mengayun badannya ke kiri dan kanan, kedua tangan Jatimerta menyambar ke perut secara menyilang. Tepat ketika pemuda ini bergerak ke kiri, Sriwangi cepat bergerak ke kanan. Dan ketika Jatimerta bergerak ke kanan, gadis itu telah melenting ke atas berbuat sesuatu, mendadak....

Plak! Plak!

“Aaakh...!" Jatimerta menjerit kesakitan ketika Sriwangi sambil melenting mendaratkan tamparan ke kedua pelipis pemuda ini. Meski begitu pemuda ini melepas tendangan ke atas.

“Hup!” Sayang, Sriwangi saat itu lebih cepat mendarat. Tubuhnya langsung merendah dan berputar. Seketika dilepaskannya satu tendangan ke perut Jatimerta.

Des!

“Wuaaakh...!” Pemuda itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terlempar ke tengah-tengah penonton. Namun dia segera bangkit dan melompat ke tengah gelanggang.

Beberapa orang juri langsung memutuskan kalau Jatimerta kalah. Namun, pemuda ini agaknya tidak mau terima. “Aku belum kalah!” teriak Jatimerta, kalap.

“Kau telah kalah, Anak Muda! Mundurlah! Beri kesempatan pada yang lain untuk menantang gadis itu!” seru seorang juri.

“Kurang ajar! Aku masih mampu untuk membunuhnya! Heaaa...!” teriak Jatimerta garang. Begitu habis kata-katanya, pemuda itu lompat menyerang Sriwangi yang telah bersiap dengan kuda-kuda kokoh.

“Heaaa...!" Jatimerta meluruk dengan cakaran kedua tangan bertubi-tubi. Namun, Sriwangi, tampak terlihat tenang. Dan ketika serangan itu sejengkal lagi menyentuhnya, kedua tangannya cepat bergerak mengibas.

Plak! Plak!

Begitu berhasil memapak, Sriwangi mencelat ke atas. Tubuhnya berputaran beberapa kali. Dengan sekuat tenaga, Jatimerta mengempos tubuhnya. Dia mengejar dengan kedua cakar terpentang siap mencabik gadis itu. Dengan lincah sekali, Sriwangi menggerakkan kedua kakinya, menyapu pergelangan tangan Jatimerta.

Plak!

Pemuda itu kontan terlempar ke belakang. Dan dengan gerakan manis, dia berputaran lalu mendarat di tanah. Tapi pada saat yang sama, Sriwangi yang telah mendarat cepat meluruk sambil melepaskan gedoran ke dada. Begitu cepat gerakannya, sehingga...

Desss...!

“Aaakh...!” Jatimerta mengeluh tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan mulut menyeringai kesakitan.

“Nih, makan!” Sambil mendengus, Sriwangi melepas tendangan menggeledek, saat Jatimerta belum bersiap. Dan....

Desss...!

“Aaakh...!” Pemuda itu kontan terlempar disertai semburan darah dari mulut sepanjang luncuran tubuhnya. Dadanya terasa nyeri bukan main.

“Kalau masih penasaran, ke sini lagi. Biar kuberi hajaran yang pantas untukmu!” ejek Sriwangi, dingin. Matanya menatap tajam pada Jatimerta yang memegangi dadanya dengan mulut menyeringai.

“Tunggu saja! Aku belum kalah! Kau akan tahu setelah ayahku ke sini!” ancam pemuda itu.

“Tidak usah ayahmu! Nenek moyangmu sekalian, suruh ke sini!” balas Sriwangi.

“Kau belum tahu! Ayahku adalah Kera Hitam Bertangan Besi. Kau tak akan selamat darinya!” desis Jatimerta.

Bukan Sriwangi yang terkejut, tapi para penonton dan beberapa juri yang kontan terjingkat. Betapa kaget mereka mendengar nama yang sudah tak asing lagi.

“Dia putra Kera Hitam Bertangan Besi?!”

“Celaka! Urusan ini akan runyam!”

Beberapa penonton memandang Sriwangi dengan tatapan iba. Sebaliknya, gadis itu tenang-tenang saja. Bahkan sama sekali tidak terlihat perubahan di wajahnya, mendengar pemuda itu menyebutkan nama ayahnya.

“Hi hi hi...! Jangankan Kera Hitam Bertangan Besi. Biang Monyet Berotot Baja pun, aku tak takut! Suruh dia ke sini!” sahut Sriwangi, lantang.

“Bedebah! Kau lihat saja nanti!” Selesai memaki, Jatimerta segera angkat kaki.

Para penonton terpaku. Kegembiraan mereka berganti rasa cemas. Seolah-olah, ada ribuan hantu kejam yang akan muncul di desa ini. Dan arena pertandingan itu tidak lagi ramai seperti tadi. Satu persatu para penonton meninggalkan tempat itu.

“Ayo, siapa lagi yang akan menantangku?!” teriak Sriwangi, lantang.

Namun tak seorang pun yang berani tampil. Sehingga, gadis berbaju kuning ini kembali berteriak-teriak menantang.

“Nisanak! Pertandingan telah selesai. Mereka tak tertarik lagi melihatnya...,” kata seorang laki-laki setengah baya, seraya menghampiri Sriwangi. Rupanya, dia adalah salah seorang juri.

“Kenapa? Aku tidak menyalahi aturan? Luka-luka kecil, bukankah hal lumrah?” tukas Sriwangi, heran.

“Bukan itu soalnya...,” desah laki-laki setengah baya ini.

“Jadi apa?”

“Kekalahan pemuda tadi akan mengundang si Kera Hitam Bertangan Besi ke sini....”

“O, itu rupanya? Ada apa rupanya? Kalau dia mau melawanku, aku akan menghadapi. Jangan dia kira aku takut.”

“Nisanak.... Kau salah duga. Kalau sekadar menghadapimu, urusannya tidak akan begini. Penonton tidak akan resah. Tapi mereka tahu, lawan yang bakal kau hadapi tidak cukup sekadar menghajarmu. Bahkan akan merembet pada yang lain. Mereka akan jadi korban...” jelas laki-laki setengah baya itu, gelisah.

“Kenapa mesti begitu? Di desa ini banyak terdapat padepokan tangguh. Tidakkah kalian bisa menghadapinya? Kalaupun tidak, biar aku yang membereskannya!” sergah Sriwangi.

“Kau mungkin hebat. Tapi, si Kera Hitam Bertangan Besi itu gila. Dia haus darah. Membunuh orang demi kesenangan. Ilmunya demikian tinggi. Meski kami semua bersatu, belum tentu bisa mengalahkannya,” jelas laki-laki itu lagi.

“Jangan menganggap rendah padaku, Orang Tua. Kau mungkin melihatku baru menjatuhkan seorang. Tapi siapa pun, di antara kalian yang berilmu tinggi boleh juga menghadapiku,” desis gadis berbaju kuning ini.

Laki-laki setengah baya itu tersenyum. Matanya melirik sebentar pada penonton. Kelihatan sebagian dari mereka sudah bubar. Tapi, sebagian lain masih terlihat penasaran. Mereka ingin melihat, siapa gerangan yang mampu menjatuhkan gadis itu.

“Nisanak! Bukankah kau ingin mengikuti pertarungan ini?” tanya laki-laki setengah baya tadi.

“Tentu saja! Aku ingin mencari orang yang bisa mengalahkanku!” sahut Sriwangi mantap.

“Melihat keadaannya, pertandingan ini telah selesai. Kau boleh kembali tahun depan?”

“Orang tua! Kau tidak boleh berkata begitu! Lanjutkan pertarungan. Dan, biarkan mereka menantangku!”

“Penonton telah bubar. Dan sebagian dari peserta telah meninggalkan tempat ini. Itu berarti pertandingan telah selesai. Tidak ada lagi yang bisa dikerjakan,” kilah laki-laki setengah baya.

“Huh! Tidak kusangka di desa ini hanya pengecut-pengecut Tadinya kukira di tempat ini yang banyak kutemui tokoh gagah. Tapi setelah mendengar nama Kera Hitam Bertangan Besi, nyali kalian sudah ciut!” ejek gadis berbaju kuning ini.

“Nisanak! Kau boleh berkata apa saja, sebab kau tidak mengenal orang itu....”

“Di mana orang itu tinggal?”

“Di kaki Bukit Kapur, sebelah selatan desa ini. Perjalanan ke sana memerlukan waktu dua hari perjalanan berkuda.”

“Hm.... Tempat yang cukup jauh juga. Tapi, terima kasih atas keteranganmu,” ucap Sriwangi seraya berbalik.

“Hei, mau ke mana kau?!” Percuma saja laki-laki setengah baya itu berteriak, karena secepat kilat Sriwangi telah berkelebat, diikuti empat orang gadis lain dari belakang.

Empat orang gadis dengan pakaian yang berbeda warna tampak berdiri menunggu di bawah pohon. Tak lama kemudian muncul, seorang gadis berbaju putih tengah menunggang kuda. Di belakangnya terlihat empat ekor kuda tanpa penunggang mengikuti.

“Hanya ini yang kudapat,” kata gadis berbaju putih setelah tiba di dekat keempat gadis itu.

“Kuda buruk!” cibir gadis berbaju biru

“Jangan begitu, Kak Gandasari. Kak Harum Sari telah berusaha!” kata gadis berbaju hijau.

“Ya, ya...! Aku tahu, Arimbi. Tapi berapa lama perjalanan kita tiba di sana? Dan, apakah kuda ini kuat membawa kita sampai tujuan?” tukas gadis berbaju biru bernama Gandasari.

“Kita akan cari di desa lain. Mudah-mudahan kita akan menemukan kuda-kuda yang lebih kuat dan kencang larinya.” lanjut gadis berbaju biru.

“Lupakan sebentar soal itu. Aku punya usul yang mungkin menarik!” kata gadis berbaju kuning.

“Usul apa, Kak Sriwangi?” tanya yang lain.

“Ini berkaitan dengan tujuan kita. Selama ini, kita belum menemukan orang yang kita cari. Aku punya usul, bagaimana kalau kita saling berlomba?” jelas gadis berbaju kuning yang tak lain Sriwangi.

“Berlomba bagaimana, Kak?” tanya Arimbi, yang bertubuh tegap.

“Kita berpisah di sini. Lalu dua minggu kemudian, bertemu di tempat ini lagi dengan membawa orang yang dimaksud. Siapa yang lebih dulu membawanya, dia yang menjadi pemenang,” jelas Sriwangi lagi.

“Apa ada hadiahnya?” tanya Gandasari.

“Ya, apa hadiahnya?” tuntut Harum Sari.

“Hm, hadiahnya....” Sriwangi tak melanjutkan ucapannya, keningnya berkerut berpikir sesaat.

“Hadiahnya harus hebat. Kalau tidak, perlombaan ini tidak menarik!” cetus Arimbi.

“Hi hi hi...! Tentu saja. Akan kita buktikan, siapa di antara kita yang paling gesit, hebat, dan cerdik!” timpal Gandasari.

“Aku tidak terlalu mementingkan hadiah. Yang terpenting, kita menyelesaikan tugas yang diberikan Ibunda!” tegas gadis berbaju merah yang tak lain Sekartaji.

“Hadiah itu perlu sebagai perangsang...,” sambung Harum Sari.

“Bagaimana kalau..., takhta kerajaan?!” tawar Sriwangi.

“Takhta kerajaan? Apa maksud Kakak?!” tanya keempat gadis, yang semuanya adik kandung Sriwangi. Wajah mereka kaget. Dahi mereka berkerut meski mengerti tujuan Sriwangi. Tapi ada rasa tak percaya di hati kalau sampai Sriwangi mempertaruhkan takhta kerajaan.

“Aku ahli waris Ibunda. Maka aku harus yang lebih hebat. Jika aku tidak hebat, maka tak ada gunanya. Jadi, kalian bisa menggantikanku asal bisa membawa orang yang dimaksud,” jelas Sriwangi.

“Apakah Kakak tidak menyesal?” tanya Sekartaji.

“Itu sudah kupikirkan masak-masak,” tandas Sriwangi.

“Sebenarnya tidak perlu begitu...,” sesal Harum Sari.

“Tidak apa. Aku rela kalau memang kalian mampu mendapatkannya lebih cepat”

“Aku punya usul lain!” sela Arimbi.

“Usul apa?” tanya Sriwangi.

“Setelah masing-masing mendapatkan, kita lihat saja yang lebih hebat. Maka, itulah pemenangnya!”

“Hm, usul yang bagus!” puji Sekartaji.

“Aku setuju! Itu lebih adil!” timpal Harum Sari.

“Ya! Aku pun setuju! Dengan begitu, kita akan mendapatkan orang yang tepat. Dan mestinya, orang itu cukup menarik!” sambut Gandasari.

“Dasar genit! Kau selalu mencari sempurna!” semprot Harum Sari.

“Ah, jangan begitu! Kakak juga sebenarnya setuju, kan?”

“Huh!

Gandasari tersenyum-senyum melihat kakaknya mendengus.

“Baiknya, sekarang saja kita berpisah. Kau Gandasari, apakah hendak melanjutkan tujuan ke selatan?” tanya Sriwangi.

“Hm.... Melihat gelagatnya..., aku membatalkan saja!” sahut Gandasari, tegas.

“Kenapa?”

“Orang itu pasti tua dan jelek!” sahut Gandasari sambil terkikik halus. “Aku mau cari yang muda dan..., tampan!”

“Kalau Kakak tak mau, biar aku saja!” sela Arimbi.

“Oh, kau mau? Silakan saja! Itu lebih baik, karena kau punya tujuan jelas.”

“Kau sendiri mau ke mana, Gandasari?” tanya Harum Sari.

“Entahlah. Aku belum menemukannya. Tapi, itu tak lama....”

“Kau sendiri, Sekartaji?”

“Aku tak tahu. Tapi, mudah-mudahan saja cepat kutemui.”

“Baiklah adik-adikku. Kita berpisah di sini. Jangan lupa, waktunya dua minggu. Berhasil atau tidak, kita berkumpul lagi di sini!” tandas Sriwangi, mengingatkan.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Sudah setengah harian Gandasari berkuda, namun tetap tak berhenti. Meski wajahnya menyiratkan kelelahan, namun matanya tetap berbinar menandakan hatinya yang riang penuh semangat.

“Sebentar lagi malam. Aku mesti mencari penginapan...,” gumam gadis berbaju biru ini. Dia telah cukup jauh berpisah dari saudara-saudaranya.

Di sekeliling tempat ini hanya ada pepohonan dan semak belukar. Belum terlihat sebuah rumah pun. Apalagi sebuah desa.

“Sepertinya masih jauh dari perkampungan. Dan..., kuda ini pun kelihatan letih. Dasar kuda payah! Aku mesti cari kuda yang lebih kuat.”

Baru saja Gandasari berpikir begitu, tiba-tiba pandangannya tertumbuk pada seekor kuda berbulu hitam berkilat yang tengah merumput di depannya.

“Hm.... Itu baru kuda hebat! Aku mesti mendapatkannya,” gumam gadis berbaju biru itu.

Pelan-pelan Gandasari turun dari punggung kudanya. Lalu dia berjalan mengendap-endap, mendekati kuda hitam yang dilihatnya itu. Kuda hitam itu seperti sadar kalau ada seseorang yang sedang mendekatinya. Dia berhenti merumput sebentar. Kedua bola matanya tampak bergerak-gerak, seiring gerakan kepalanya. Kedua telinganya pun ikut bergoyang-goyang. Tapi kemudian kembali merumput.

“Bagus! Ini akan lebih mudah...!” desah Gandasari, senang.

Jarak mereka kini terpaut kurang lebih sepuluh langkah. Gadis itu bersiap-siap melompat. Sementara kuda hitam di depannya tetap merumput dengan tenang.

“Hup!” Tanpa mengeluarkan suara berarti, Gandasari melompat ringan menuju ke arah kuda.

“Hieee!” Kuda hitam itu meringkik halus, lalu melompat gesit. Sehingga terkaman gadis itu meleset. Untung dia cepat membuat putaran di udara, kalau tak ingin jatuh terjerembab.

“Kurang ajar! Dia hendak mempermainkan aku rupanya!” desis Gandasari, begitu menjejakkan kakinya.

Dan yang lebih membuat gadis ini geram adalah, kuda itu tidak beranjak jauh. Hewan itu kini berada pada jarak kurang lebih tujuh langkah dari tempatnya berada. Bahkan seperti hendak mengejeknya.

“Yap!” Kembali Gandasari melompat. Dan bersamaan dengan itu, kuda hitam di depannya mencelat menghindar. Sehingga, terkaman gadis ini luput dari sasaran. Tapi Gandasari tidak berhenti. Dia terus mengejar, membuat kuda itu berlari kencang menghindarinya.

“Huh! Bagaimanapun, kuda itu mesti kudapatkan!” dengus Gandasari.

Kuda itu berlari semakin kencang, berputar-putar di tempat itu. Sehingga, membuat gadis ini semakin dongkol. Meskipun hebat, namun lari gadis itu pun tidak kalah hebat. Bahkan ringan laksana kapas tertiup angin, dan kencang seperti anak panah melesat dari busur.

“Hup!” Dengan perhitungan yang matang, Gandasari memutar tubuhnya di udara. Tepat ketika kuda itu berada dalam jarak jangkauannya, tubuhnya meluruk deras ke punggung kuda. Lalu...

Tap!

“Kena kau!” seru Gandasari girang. Kali ini, Gandasari tepat duduk di punggung kuda hitam yang langsung berjingkrak-jingkrak. Kuda ini berusaha menghempaskan tubuh Gandasari. Gerakannya dahsyat dan kuat. Tubuh gadis itu berguncang-guncang dibuatnya. Kalau saja tidak berpegangan erat-erat pada leher kuda itu, niscaya akan terpelanting!

“Agaknya kau belum mau bersahabat denganku. Tapi itu tak lama, Sobat. Sebentar lagi, kau harus menurut padaku,” kata Gandasari, berusaha menenangkan. Dua buah jari tangan kiri gadis ini tiba-tiba bergerak menotok ke punggung kuda itu.

Tuk!

“Hiekh...!” Kuda ini kontan berhenti bergerak, diam seperti patung. Totokan bertenaga dalam tinggi dari gadis berbaju biru itu membuat otot-otot kuda ini tak mampu digerakkan.

“Nah, kini bisa apa kau padaku? Kalau mau bekerjasama, kau akan kujadikan sahabatku. Tapi kalau melawan, kau akan terus begini!” ancam Gandasari. Gadis itu menunggu sesaat. Diperhatikannya kuda ini dengan seksama.

“Aku bisa mengerti isyaratmu. Katakan setuju melalui apa pun caramu!”

Namun kuda berbulu hitam itu tak memberi jawaban apa-apa. Diam membisu seperti pertama kali ditotok.

“Hm.... Agaknya kau keras kepala juga! Bagaimana kalau kupecahkan kepalamu? Aku bisa saja kejam,” ancam Gandasari. Kuda itu tetap diam seperti patung. “Ayo, tinggal sedikit lagi waktumu! Aku tak bisa berlama-lama. Kau jadi sahabatku dan bekerja sama, atau kubunuh?!”

Wajah Gandasari tampak geram. Tangan kanannya telah terkepal, siap dihantamkan ke batok kepala hewan perkasa itu. “Aku tidak main-main! Ayo, lekas katakan persetujuanmu!”

Kuda hitam itu tetap membisu. Tangan Gandasari siap menghantam. Namun....

EMPAT

“Nisanak! Kuda itu tidak akan menurut padamu. Jadi, tak ada gunanya kau memaksa.”

“Hei?!”

Terdengar suara teguran dari samping, membuat gadis itu cepat menoleh dengan dahi berkerut. Tampak tak jauh dari tempatnya berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Sebilah pedang bergagang kepala burung rajawali tersampir di punggungnya. Kehadiran pemuda itu sama sekali tak dirasakannya. Atau, barangkali dia yang terlalu memusatkan perhatian pada kuda ini, sehingga melupakan kehadiran pemuda itu?

“Siapa kau?!” bentak Gandasari."

“Aku pengembara yang kebetulan lewat di sini...,” sahut pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga. Dalam rimba persilatan, dia dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.

“Aku tak tanya itu. Yang kutanya, siapa namamu?!” bentak Gandasari lagi.

“Namaku? Hm.... Kau boleh memanggilku apa saja,” sahut Rangga, seenaknya.

“Kau kira lucu? Huh! Aku sering menemukan orang sepertimu. Berlagak pilon uniuk mencari perhatian gadis-gadis!” cibir Gandasari.

“Terima kasih. Berarti aku hebat, ya? Bisa seperti orang-orang. Tapi, aku sama sekali tak bermaksud mencari perhatian,” ucap Rangga, kalem.

 “Lalu apa maumu ke sini?!”

“Aku tengah mencari kudaku....”

“Kau boleh mencarinya ke tempat lain!”

“Sayangnya, aku telah menemukan kudaku di sini...”

“Apa maksudmu?”

“Nisanak! Kau tengah berada di punggung kudaku!” jelas Rangga, agak keras.

Wajah gadis itu tampak memerah. Dan sesaat, sikapnya jadi serba salah. Tapi sekejap kemudian, dia mampu menguasai diri. Sambil tersenyum-senyum, dia tak beranjak dari punggung kuda berbulu hitam itu.

“Huh! Jangan mengaku-ngaku, ya?! Kau pasti tertarik dengan kudaku yang bagus ini… Kau ingin memilikinya, bukan?” tangkis Gandasari.

“O, jadi ini kudamu?” tukas Pendekar Rajawali Sakti.

“Tentu saja!” terabas gadis itu.

“Kalau begitu, lepaskan totokannya. Akan kita lihat, kuda siapa itu sebenarnya.”

Gadis itu tercekat. Dan dia berpikir sejurus lamanya. Akal pemuda itu memang bagus. Tapi sayang, akan merugikannya. Gandasari sadar, kuda itu memang bukan miliknya. Kalau totokan itu dilepaskan, maka kuda itu akan mengamuk. Dan kalau benar kuda itu milik pemuda ini, dia pasti akan memanggilnya. Dan kalau kuda itu penurut, maka akan menghampirinya. Dan gadis ini akan malu sendiri.

“Itu bukan urusanmu! Kuda ini milikku. Dan orang lain tak boleh ikut campur!” desis Gandasari.

“Kalau begitu, mengapa kau totok?” tukas Pendekar Rajawali Sakti, menyudutkan. Matanya menatap tajam pada gadis ini.

“Sudah kukatakan, ini urusanku! Kenapa kau mau ikut campur?! Pergilah. Dan, jangan urusi persoalanku!” bentak Gandasari, melotot garang.

“Aku akan pergi, setelah kuda itu kudapatkan,” sahut Rangga, tetap kalem.

“Hm, bandel!”

“Nisanak! Jangan suka mengambil benda yang bukan milikmu!”

“Ambillah kalau memang kuda ini milikmu!” dengus gadis berbaju biru.

“Tentu saja!” Lalu secepatnya Pendekar Rajawali Sakti melompat mendekati kudanya. Dia bermaksud melepaskan totokan. Tapi, Gandasari tentu saja tak membiarkan begitu saja. Seketika, tangannya bergerak menepis.

Plak!

Begitu habis menepis, sebelah kaki Gandasari cepat menyodok ke arah dada. Rangga cepat mundur ke belakang sambil mengibaskan tangan guna menangkis.

Plak!

“Menganggap enteng padaku, he?!” dengus gadis itu, melotot garang.

“Nisanak, jangan cari masalah...” ujar Rangga.

“Kau yang mencari masalah denganku!” bentak Gandasari, sengit.

“Hm! Aku hanya menginginkan kuda....”

“Jangan banyak mulut! Lakukan kalau mampu!”

“Hm!” gumam Rangga, tak jelas. Pendekar Rajawali Sakti bersiap. Kakinya melangkah sedikit demi sedikit. Mendadak sebelah tangannya terjulur untuk melepaskan totokan. Dan sekali lagi, Gandasari menepis.

"Uts...!” Namun kali ini Rangga menarik pulang tangannya. Seketika tubuhnya melenting ke atas.

Melihat kesempatan baik, Gandasari mengangkat kedua kakinya dengan kedua tangan bertumpu pada pelana kuda. Dia hendak menghajar tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Namun Rangga lebih cepat menukik turun. Begitu mendarat, tangannya terjulur cepat membebaskan totokan kuda hitam yang tak lain Dewa Bayu.

“Hieee...!” Begitu terbebas, Dewa Bayu langsung meringkik girang. Kedua kaki depannya diangkat tinggi-tinggi. Gandasari yang hendak menunggangi kembali kontan terlempar.

“Hup...!” Dengan satu gerakan ringan, gadis ini berhasil mematahkan luncuran tubuhnya, sehingga tidak terjerembab di tanah. Dan begitu melihat ke arah kuda hitam itu, ternyata Rangga telah duduk tenang di atas tunggangannya.

“Ayo, Dewa Bayu! Kita pergi dari sini! Heaaa...!” teriak Pendekar Rajawali Sakti. Dewa Bayu meringkik keras, lalu melesat kencang.

“Bangsat! Heaaa...!” Tiba-tiba gadis berbaju biru itu menghentakkan kedua tangannya ke depan. Seketika meluruk segulung angin yang menderu tajam ke arah Dewa Bayu yang terus berlari.

Pendekar Rajawali Sakti tahu, ada angin serangan mendesir di belakangnya. Secepat kilat tubuhnya bersalto ke belakang dari punggung kuda. Begitu mendarat kedua tangannya langsung menghentak, menghadang serangan.

“Aji ‘Bayu Bajra’!” Dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti, meluncur angin dahsyat bagai topan. Seketika terdengar suara berdesir keras. Angin topan yang ditimbulkannya nyaris merobohkan beberapa batang pohon di sekitar tempat itu.

“Ahh...!” Gadis itu tersentak kaget melihat pukulan jarak jauhnya sirna begitu saja. Tubuhnya pun bergoyang-goyang seperti hendak roboh. Namun begitu, dia tetap tegak berdiri di atas kedua telapak kakinya dengan pengerahan tenaga dalam.

“Hmm, hebat!” puji Gandasari, setelah terbebas dari terpaan angin dahsyat dari aji ‘Bayu Bajra’.

“Maaf, Nisanak. Aku tidak bisa membiarkan kau mencelakai kudaku. Dia sahabatku. Maka selama berada di dekatku, keselamatannya kupertaruhkan,” ucap Rangga kalem.

“Tenagamu luar biasa. Dan..., itu membuatku tertarik. Maukah kau menunjukkan beberapa jurus-jurus yang lain?” tukas Gandasari, tak mempedulikan arah pembicaraan Rangga.

“Maaf.... Aku tak bisa mengabulkan keinginanmu. Aku mesti buru-buru!”

“Maaf, aku harus memaksamu!”

“Hm....”

“Hiaaa...!” Gandasari langsung lompat menyerang. Kedua tangannya berkelebat. Yang kanan menghantam ke muka, sedangkan yang kiri mengancam bagian dada.

Rangga tak mau kalah. Dihadangnya serangan. Kedua tangannya juga berkelebatan, memapak.

Plak! Plak!

Begitu terjadi benturan, mendadak kaki kiri Gandasari meliuk menghantam ke perut.

“Hup!” Rangga mencelat ke atas dan berputaran beberapa kali. Namun baru saja kakinya menjejak tanah, serangan gadis itu telah tiba mengancam leher. Maka secepat kilat tubuhnya mengegos sambil mengibaskan tangannya.

Plak!

“Yeaaa!” Gandasari agaknya tak mau memberi kesempatan sedikit pun. Tubuhnya cepat berputar, seraya melepas tendangan. Dengan gerakan kilat. Pendekar Rajawali Sakti merendahkan tubuhnya, seraya berputar. Kakinya bergerak menyapu kaki gadis itu.

Plak! Bruk...!

Gandasari kontan jatuh terduduk dengan mulut meringis. Matanya menatap tajam Rangga yang berdiri tegak dengan senyum dingin.

“Hm, hebat! Kecepatanmu sungguh luar biasa, Nisanak,” puji Rangga, tulus.

“Selama beberapa minggu berkelana, baru sekali ini aku menemukan lawan tangguh sepertimu! Kaulah mungkin orang yang kucari,” kata gadis itu seraya bangkit berdiri.

“Aku tak mengenalimu. Dan kau tak berurusan denganku,” ucap Rangga, halus.

“Sombong sekali! Tahukah kau urusan apa yang tengah kukerjakan?!” sentak Gandasari.

“Aku tak peduli dengan urusanmu!” Setelah berkata begitu, Rangga berbalik. Dia melangkah mendekati Dewa bayu, lalu melompat ke punggungnya. Tapi gadis itu cepat berkelebat, dan berdiri di depan Dewa Bayu.

“Urusan kita belum selesai. Dan kau mesti menghadapiku!” sentak Gandasari.

“Jangan memaksaku, Nisanak,” tolak Rangga halus.

“Aku memang memaksamu!” sentak gadis berbaju biru ini, melotot garang.

“Hm...! Di antara kita tak ada urusan, mengapa kau begitu penasaran?”

“Ini urusanku. Dan kau tak mau tahu, bukan?”

“Hm, kau pasti tak bersungguh-sungguh?”

“Kau boleh pergi, asal bisa mengalahkanku! Kalau tidak, aku yang akan menghajarmu!”

“Urusan apa sebenarnya yang membuatmu begitu bersemangat menantangku?” tanya Rangga, dengan senyum kecut. Hatinya sebenarnya mangkel.

“Jadi kau ingin tahu?” gadis itu malah balik bertanya.

“Ya, akhirnya...!” sahut Rangga sambil angkat bahu.

“Aku ingin ada seseorang yang bisa mengalahkanku!” jelas Gandasari, tandas.

“Buat apa?” tanya Pendekar Rajawali Sakti dengan kening berkerut.

“Untuk kujadikan suamiku.”

Rangga tersenyum, penuh wibawa.

“Kenapa kau tersenyum?!” sentak Gandasari.

“Jadi kau mau cari suami? Kenapa mesti repot-repot dengan mengajakku bertarung? Asal mau saja, kau bisa mendapatkan seribu laki-laki yang pasti bersedia menjadi suamimu.”

“Benarkah?” mendadak gadis itu tersenyum. Genit sekali.

“Ya.”

“Kenapa kau begitu yakin?” tanya Gandasari.

“Karena... Karena, ya, kau cantik! Lalu..., ah! Pokoknya laki-laki akan suka padamu!” sahut Rangga jadi salah tingkah.

“Termasuk kau sendiri?” cecar Gandasari menyudutkan.

“Hah?!” Rangga terkejut, tapi buru-buru tersenyum. “Itu soal lain.”

“Kau tak menyukaiku?” tanya Gandasari, tanpa tedeng aling-aling.

“Ah, siapa bilang?” tukas Rangga.

“Kalau begitu kau menyukaiku?”

“Yaaah, tidak juga....”

“Kenapa mesti berbelit-belit?! Katakan saja. Suka atau tidak"

“Aku tak bisa jawab....”

“Kau katakan, semua laki-laki akan suka padaku. Sedangkan kau sendiri tak memberi jawaban suka atau tidak. Kalau begitu, apa maksudmu?” cecar gadis itu kian penasaran.

“Maksudku..., aku sering bertemu gadis cantik. Dan aku jadi bingung, karena tak tahu siapa yang kusuka,” sahut Pendekar Rajawali Sakti, berdusta.

“Huh! Dasar ceriwis...!”

Rangga tersenyum kecut.

“Tapi bagaimanapun, kau harus bertarung denganku!” sentak Gandasari, berubah garang kembali.

“Kalau aku tak mau?” pancing Pendekar Rajawali Sakti.

“Aku akan menghajarmu!”

“Hm, galak betul!”

“Bersiaplah!”

“Hei, tunggu dulu!” cegah Rangga berteriak.

Tapi gadis itu telah mencelat menyerang. Mau tak mau terpaksa Rangga mesti melompat seraya menepuk badan Dewa Bayu.

“Dewa Bayu! Pergilah lebih dulu! Aku menyusul belakangan!”

“Hieee...!” Kuda berbulu hitam itu meringkik, kemudian berlari kencang meninggalkan tempat itu. Sementara Rangga sudah jungkir balik, menghindari serangan-serangan gencar Gandasari.

“Uhh...! Kau benar-benar ingin membunuhku, Nisanak...?!” keluh Pendekar Rajawali Sakti sambil terus berkelit-kelit menghindar.

“Kalau perlu!” sahut Gandasari, terus mencecar.

“Sayang sekali, gadis secantikmu berwatak kejam...."

“Itu penilaianmu. Padahal yang kuinginkan agar kau mampu mengalahkanku!”

“Mana mungkin!”

“Kenapa tidak! Kepandaianmu hebat!”

“Maksudku, mana mungkin kau bisa mengalahkanku!” lanjut Rangga sambil terus berkelit.

“Sombong...!” Gandasari mengibaskan tangannya. Namun cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti memapak.

Plak!

Benturan keras terjadi. Keduanya sama-sama terjajar mundur. Bedanya, Gandasari sampai lima langkah, sedangkan Rangga hanya selangkah saja.

Gandasari berniat menyerang kembali. Tapi....

“Tahan...!” teriak Rangga, seraya mengangkat kedua telapaknya ke depan. Rangga sadar, kepandaian gadis ini cukup hebat. Demikian pula ilmu meringankan tubuhnya dan kekuatan tenaga dalamnya. Setiap kali benturan, maka tangannya terasa linu dan kesemutan. Namun bukan berarti Pendekar Rajawali Sakti tak bisa mengunggulinya. Pemuda ini hanya tak ingin sampai menjatuhkan tangan kejam pada seorang gadis yang sebenarnya tak bermaksud membunuhnya.

“Kenapa berhenti? Kau menyerah?” tanya Gandasari.

“Bukan! Bukan begitu. Aku hanya ingin tahu, siapa namamu,” kilah Pendekar Rajawali Sakti.

“Namaku Gandasari...,” sahut Gandasari.

“Hm.... Nama yang bagus! Namaku Rangga.”

“Hem...!”

“Gandasari, sebaiknya sudahi saja permainan ini...,” ujar Pendekar Rajawali Sakti halus.

“Maaf, aku tak bermaksud melukaimu. Tapi, kau mesti mengalahkanku dengan cara apa pun. Kalau tidak, maka tak ada cara lain. Aku terpaksa menghajarmu untuk membuktikan, kalau kau tak mampu mengalahkanku!” sahut gadis ini, keras kepala. Bahkan suaranya terdengar mantap.

“Bukankah itu sama artinya mengganggu ketenangan orang lain?” tukas Rangga.

“Aku tak peduli. Yang penting, kalahkan aku dulu!” sentak Gandasari.

“Lalu setelah itu?”

“Maka kau menjadi calon suamiku!”

“Gandasari.... Tak usah dengan berkelahi pun, kau pasti akan mendapatkan suami. Laki-laki mana yang akan menolak gadis secantikmu...?” Rangga mencoba menasihati.

“Kecuali kau, ya?” selak gadis itu menyudutkan.

Rangga tersenyum kecut. Sikapnya jadi serba salah.

“Aku tak peduli apa pun alasanmu. Tapi..., apakah gadis sepertiku sama sekali tak menarik perhatianmu?” lanjut Gandasari.

“Eh! Ng..., sebagai laki-laki dewasa, tentu saja aku tertarik!” sahut Rangga, tergagap.

“Lalu...?!”

“Lalu..., ya. Lalu apa, ya...?” tanya Rangga berlagak pilon sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

“Sudahlah.... Jangan banyak mulut! Heaaat...!” Disertai teriakan keras, Gandasari meluruk dengan kaki terjulur hendak menghantam perut.

“Hup...!” Dengan gerakan indah sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat dan langsung berputaran di udara. Tepat ketika Rangga mendarat, Gandasari yang telah berbalik langsung memutar tubuhnya, seraya melepas tendangan setengah lingkaran. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Des!

“Uhh...!” Telak sekali dada Pendekar Rajawali Sakti mendapat hantaman Gandasari. Tak ayal lagi, Rangga terjajar ke belakang disertai keluhan tertahan.

“Yiaaat...!”

Kesempatan ini digunakan Gandasari untuk menyerang kembali. Tubuhnya telah melesat dengan kecepatan penuh, membuat pemuda itu berdecak kagum.

“Gila! Gerakannya cukup hebat!” Pendekar Rajawali Sakti langsung mengerahkan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ untuk menghindarinya. Tubuhnya meliuk-liuk bagai orang mabuk, ditunjang gerakan kaki yang cepat bukan main. Sehingga tak satu serangan pun yang berhasil menyentuh tubuhnya.

Gandasari semakin geram, karena serangannya selalu kandas. Serangannya makin ditingkatkan. Kali ini, kakinya bergerak menyapu ke kepala Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan perhitungan matang, Rangga meliukkan tubuhnya sambil merendah. Sehingga, sapuan kaki gadis itu lewat di atas kepalanya. Dan dengan gerakan tak terduga, Pendekar Rajawali Sakti menyodokkan sikutnya ke perut.

Desss...!

“Ahh...!” Gandasari terhuyung-huyung ke belakang. Belum sempat dia berbuat sesuatu, Rangga telah memapas kakinya dengan sebuah sapuan kaki sambil memutar tubuhnya.

Pak! Bruk!

“Oh...!”

Tepat ketika gadis itu jatuh terguling-guling, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat meninggalkannya. Begitu cepat gerakan tubuhnya, sehingga ketika gadis itu bangkit, Rangga tak terlihat lagi.

“Heh? Ke mana dia?! Tak mungkin bisa kabur secepat itu?!” desis Gandasari geram seraya mencari-cari. Hasilnya nihil. Pendekar Rajawali Sakti raib seperti ditelan bumi. “Kurang ajar! Ke mana perginya?!” maki gadis ini seraya melangkah menuju kudanya sendiri.

Gandasari melompat ke punggung kudanya. Dan berkeliling di sekitar tempat itu, sampai matahari tenggelam di ufuk barat. Hari mulai gelap. Namun yang dicarinya tak kunjung terlihat batang hidungnya. Dengan kesal ditinggalkannya tempat itu.

Sepeninggal gadis itu dari atas sebuah pohon melesat turun sesosok pemuda rompi putih yang cengar-cengir penuh kemenangan. “Kau kira bisa memperdayaiku, heh?!” dengus pemuda yang memang Rangga halus. “Tapi..., uh! Mau pecah juga rasanya dadaku menahan napas selama itu.” Rangga lantas bersuit nyaring. “Suiiittt...!”

Tak berapa lama muncul Dewa Bayu yang tadi melarikan diri. Kuda hitam ini mendengus kasar seraya mengusap-usapkan kepalanya ke dada Rangga. “Tak apa, Sobat. Sekarang aman. Tak akan kubiarkan orang lain mencelakaimu....”

Rangga sengaja tidak mengambil jalan yang searah dengan Gandasari melainkan sebaliknya. Dengan begitu, dia berharap tidak akan bertemu lagi dengannya.

LIMA

Hari sudah malam ketika Pendekar Rajawali Sakti tiba di Desa Karangkates. Suasana telah sunyi senyap. Tak terlihat seorang pun yang berkeliaran di luar. Rangga perlahan turun dari kudanya. Perlahan-lahan kakinya melangkah sambil menuntun Dewa Bayu di jalan utama desa ini.

“Tidak kelihatan seorang pun. Hm.... Bagaimana aku bisa bermalam di sini!” gumam Pendekar Rajawali Sakti, pertehan. Tengah berjalan begitu, mendadak....

“Heh?!”

Terdengar siulan pelan yang berirama, membuat Pendekar Rajawali Sakti tersentak. Langkahnya langsung berhenti. Matanya tajam terarah ke sebuah rumah yang gelap. Samar-samar terlihat sesosok tubuh ramping duduk tenang di depan rumah. Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti kembali melangkah, menghampiri. Siulan itu berhenti ketika Rangga mendekat.

“Jadi kau orangnya?” tuding sosok ramping.

Rangga tertegun sejenak. Dan sosok tubuh itu beranjak dari duduknya. Didekatinya Rangga pelan-pelan. Kini Pendekar Rajawali Sakti bisa jelas melihat sosok ramping itu. Seorang gadis cantik berbaju ketat warna putih. Menilik dari wajah, Rangga yakin gadis ini adalah seorang bangsawan. Penampilannya terlihat anggun dan terpelajar. Pakaian ketatnya pun terbuat dari bahan bagus dan mahal. Tapi..., mau apa malam-malam di sini?

“Hei! Kenapa diam?! Kaukah orang yang dibangga-banggakan orang desa ini?!” bentak gadis berbaju putih dan berikat kepala putih.

“Aku tak mengerti maksudmu, Nisanak. Aku hanya seorang pengembara, dan baru saja menginjakkan kaki di desa ini. Maksudku untuk menumpang menginap...,” kilah Pendekar Rajawali Sakti.

“Jangan berpura-pura! Kau harus menghadapiku malam ini juga!” sentak gadis ini.

“Siapa kau ini, Nisanak? Dan aku harus menghadapimu bagaimana?” tanya Rangga.

“Aku Harum Sari. Yang akan menantangmu bertarung!” sahut gadis yang tak lain Harum Sari, tegas.

“Bertarung denganmu? Gila! Aku tak ada urusan denganmu, kenapa mesti berkelahi?” tukas Rangga dengan kening berkerut.

“Agar kau bisa mengalahkanku,” sahut Harum Sari.

“Hm.... Ini benar-benar sinting! Baru tadi, kutemui gadis yang ingin berkelahi denganku. Dan sekarang, kutemui lagi gadis berwatak aneh. Sama anehnya dengan gadis tadi..,” gumam Rangga sambil menggeleng lemah.

“Bersiaplah!”

“Eh, bersiap apa...?”

Tanpa menjawab, gadis itu telah menyiapkan jurus. Langsung diserangnya Pendekar Rajawali Sakti. “Heaaa...!”

“Uts! Brengsek...!” Terpaksa Rangga melompat ke belakang menghindari serangan.

Tapi seperti gadis yang tadi ditemui sebelumnya, Harum Sari pun memiliki gerakan gesit dan cepat. Belum lagi Pendekar Rajawali Sakti menjejak tanah, telah kembali datang serangan.

“Hup...!” Cepat Rangga menjatuhkan diri, menghindari tendangan menggeledek.

“Heaaat...!” Harum Sari seperti tak ingin memberi kesempatan. Kembali diterjangnya Rangga yang baru saja bangkit.

“Nisanak, hentikan seranganmu!” cegah Rangga, berteriak.

“Jadi kau memilih untuk kuhajar?”

“Bukankah kita bisa bicara baik-baik?”

“Tunjuk saja kehebatanmu seperti yang mereka katakan.”

“Gila! Ini benar-benar sinting!”

“Jangan mengomel! Lawan aku!” bentak Harum Sari, kembali melancarkan serangan dahsyat.

Pendekar Rajawali Sakti segera mengerahkan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ untuk menghindari serangan-serangan. Kemampuan jurusnya benar-benar terusik kali ini. Beberapa kali nyaris serangan gadis itu menghajarnya. Serangan itu tidak sekadar cepat, tapi juga bertenaga kuat.

“Bagus! Ternyata apa yang mereka katakan tidak sekadar omong kosong! Kehebatanmu bisa diandalkan!” puji Harum Sari, cepat menarik serangannya. Diperhatikannya Rangga dengan seksama.

“Terima kasih,” ucap Rangga.

“Nah! Keluarkan lagi semua kepandaianmu agar aku tak mesti menghajarmu!”

“Kenapa tidak kau saja? Keluarkan seluruh kemampuanmu agar aku tidak begitu mudah meringkusmu.“

“Hi hi hi...! Kau kira begitu mudah meringkusku?”

“Ya, begitulah....”

“Lihat serangan!” Mendadak Harum Sari menghentakkan telapak kakinya. Seketika meluruk angin panas kuat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Uts!” Rangga melenting ke atas, sehingga pukulan itu menghantam sebuah rumah. Bagian depan rumah itu kontan hancur berantakan, menghitam seperti arang. Penghuninya menjerit ketakutan, buru-buru keluar menyelamatkan diri.

Agaknya bukan hanya mereka yang sejak tadi keluar rumah. Bahkan penduduk lain pun telah keluar sejak tadi. Selain ingin mengikuti jalannya pertarungan, mereka merasa keluar dari rumah akan lebih aman, agar tidak menjadi sasaran pukulan nyasar seperti tadi.

“Nisanak! Kau merusak rumah penduduk yang....”

Belum selesai kata-kata Rangga, mendadak telapak dan kaki gadis itu telah menyambar dada dan perut dengan cepat. Rangga mencelat ke samping seraya berputar. Kedua tangannya berkelebat, menepis pukulan dan tendangan.

Plak! Plak!

“Kenapa kau tak melawan? Ayo, serang aku! Seraaang...!” bentak Harum Sari geram.

“Aku tak ada urusan denganmu, Nisanak....”

“Tapi aku berurusan denganmu!”

“Itu urusanmu.”

“Dan kini menjadi urusanmu pula!”

Rangga tersenyum hambar. Seperti gadis yang tadi ditemuinya, gadis ini pun nekat terus menyerangnya. Padahal, dia tak punya alasan untuk bertarung. Kini Pendekar Rajawali Sakti menunggu kesempatan kabur. Bukannya takut, tapi sekadar menghindar dari perselisihan yang tak berujung pangkal. Tapi niat Rangga tak mudah dilaksanakan. Selama dia terus berhadapan, maka tak akan lepas dari pengawasan gadis ini.

“Berhenti...!”

“Heh?!”

Mendadak terdengar bentakan keras, membuat Rangga dan Harum Sari terkejut. Mereka langsung menghentikan pertarungan. Di dekat mereka, tampak seorang pemuda tegap berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Di pinggang kirinya terselip sebilah golok.

“Siapa kalian?! Berani-beraninya mengacau di desaku?!” bentak pemuda itu sambil berkacak pinggang.

“O, jadi kau jagoan desa ini, he?!” sahut gadis itu balik bertanya dengan suara penuh kegeraman.

“Mau apa kau sebenarnya?!” sahut pemuda desa itu. “Kudengar ada seorang gadis yang mengajakku berkelahi. Kaukah orangnya?”

Harum Sari baru saja hendak menyahut, namun tiba-tiba teringat akan lawannya tadi. Namun ketika menoleh, Pendekar Rajawali Sakti telah lenyap entah ke mana.

“Kurang ajar! Ke mana dia?!” dengus gadis ini geram, seraya hendak berkelebat.

“Hei, tunggu dulu! Kau tidak bisa pergi begitu saja dari hadapan Jagabaya!” bentak pemuda bersenjata golok yang mengaku bernama Jagabaya.

Wut!

Pemuda itu melenting ringan, lalu mendarat di depan Harum Sari. “Setelah mengacau di sini, kau kira bisa pergi seenaknya?!” dengus Jagabaya.

“Huh! Lumayan juga. Tapi aku tak yakin orang sepertimu mempunyai kepandaian hebat,” cibir gadis itu.

“Kau boleh mencobanya, Nisanak.”

Gadis itu menjawabnya dengan sebuah serangan. Satu kibasan tangan dilepaskan dengan tenaga dalam kuat. Sambil mengegos, Jagabaya menahan kibasan tangan itu dengan tangan kanannya.

Plak!

“Heh?!” Bukan main kagetnya Jagabaya ketika tangannya beradu dengan tangan Harum Sari. Terasa tulangnya remuk. Meski begitu, dia masih sempat melepas sodokan dengan tangan kiri. Tapi gerakannya kalah cepat, karena Harum Sari telah lebih dulu melepas hantaman ke dada. Hingga....

Duk!

“Aaakh...!” Pemuda itu kontan terjajar disertai jerit kesakitan. Belum lagi bisa menguasai keseimbangan, kepalan tangan kanan gadis itu kembali meluruk.

Des!

“Aaakh...!” Tak ampun lagi, Jagabaya terhempas, memuntahkan darah segar. Sambil menekap dadanya, dia berusaha bangkit.

Hal ini amat mengejutkan penduduk Desa Karangkates yang menyaksikannya. Mereka tahu, pemuda itu berilmu tinggi. Bahkan amat disegani di desa ini. Tapi dengan beberapa kali hajaran, dia menjadi bulan-bulanan gadis itu. Maka mereka menjadi berpikir, bagaimana pula kehebatan gadis itu?

“Aku tak bermaksud melukaimu. Tapi, kau terlalu angkuh. Itu perlu untuk menyadarkan diri kalau di dunia ini bukan hanya kau yang berilmu hebat!” cibir Harum Sari.

“Setan! Aku belum kalah!” dengus Jagabaya geram, langsung bangkit seraya meraba gagang goloknya.

Srak!

Begitu golok tercabut, Jagabaya mengacungkannya pada Harum Sari.

“Hm, bandel!” desis gadis ini.

“Bersiaplah!” Dengan satu lompatan gesit, Jagabaya menyerang. Goloknya langsung disabetkan.

Gadis itu hanya sedikit bergeser. Tangan kirinya cepat menangkap pergelangan tangan pemuda itu.

Tap!

Dan sebelum tangan Jagabaya yang satu lagi menghantam, lutut kanan Harum Sari telah menyodok ke ulu hati sambil merampas golok.

Plak! Duk!

“Aaakh...!” Untuk yang kedua kalinya, Jagabaya terjungkal. Kali ini jeritannya lebih keras ketimbang yang pertama.

“Aku tak bermaksud melukaimu. Tapi kalau kau penasaran, aku bisa membunuhmu!” desis Harum Sari, tegas. Wajah cantik gadis ini berubah garang. Bola matanya memandang ganas. Golok di tangan kanannya ditudingkan pada Jagabaya. Melihat itu, bergetar juga hati pemuda ini.

“Kau ingin mampus sekarang juga?!” bentak Harum Sari.

“Eh, tidak. Tentu saja tidak...,” sahut Jagabaya, tercekat.

“Bagus! Sebaiknya jangan coba-coba. Karena, akibatnya buruk bagimu.” Pemuda itu mengangguk pelan. “Kau kenal pemuda tadi?” tanya Harum Sari, agak merendahkan suaranya.

“Eh, pemuda yang mana?” Jagabaya malah balik bertanya.

“Yang tadi bertarung denganku.”

“Tidak. Aku sama sekali tidak mengenalnya!”

“Jadi, dia bukan penduduk desa ini?”

“Nisanak! Aku lahir dan dibesarkan di sini. Semua penduduk desa ini kukenal. Dan bisa kuyakini, bahwa pemuda itu sama sekali bukan penduduk desa ini,” tandas Jagabaya.

“Hm....” Dahi Harum Sari berkerut. Dia berpikir sebentar, lalu berpaling pada pemuda itu. “Kalau begitu siapa dia? Apakah kau pernah mengenalnya?” lanjut gadis ini bertanya.

“Aku tak yakin....”

“Meskipun tidak begitu yakin, katakan saja siapa dia?”

“Nisanak! Kau orang persilatan. Pasti kenal siapa dia....”

“Tidak. Aku tidak mengenalnya.”

Kali ini dahi pemuda itu yang mengerut. Kalau gadis ini bisa menjatuhkannya, maka pasti bukan orang sembarangan. Paling tidak, tokoh yang cukup disegani di kalangan persilatan. “Hm.... Melihat ciri-cirinya, mungkin dia yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Tapi tadi aku kurang begitu memperhatikan. Yang kutahu, dia memakai baju rompi putih itu saja. Mungkinkah dia Pendekar Rajawali Sakti...?” gumam Jagabaya seperti tak yakin dengan dugaannya sendiri.

“Aku tak peduli dugaanmu. Yang penting, apakah orang yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu hebat?” sergah Harum Sari.

“Sepanjang pengetahuanku, Pendekar Rajawali Sakti saat ini satu-satunya pendekar yang paling diandalkan dunia persilatan....”

“Hm.... Kalau begitu, aku mesti mencarinya sampai ketemu!”

“Hei?!” Jagabaya serta penduduk desa itu terkejut. Harum Sari yang terlihat berbalik dan berjalan pelan, tapi tiba-tiba melesat bagai anak panah lepas dari busur. Lalu, secepatnya menghilang dari pandangan.

********************

ENAM

“Heaaat..!”

“Chiaaat...!”

Suara-suara pertarungan terdengar keras membahana, seperti hendak meruntuhkan isi alam ini. Seorang gadis berbaju merah yang tak bersenjata, berusaha mengimbangi permainan tongkat seorang laki-laki setengah baya berpakaian serba putih. Beberapa kali tongkat itu mengancam keselamatannya. Namun tak satu pun yang mampu menyentuhnya. Bahkan dengan satu kelebatan gesit, gadis itu berhasil menyarangkan tendangan ke perut.

Duk!

“Aaakh!” Laki-laki setengah baya itu terjajar beberapa langkah, setelah mengeluh tertahan. Namun, gadis lawannya seperti tak memberi kesempatan.

Desss!

Sebelum laki-laki itu terjengkang, gadis ini cepat merampas tongkatnya. Langsung dipatahkannya tongkat itu dengan mengadukannya pada pangkal paha.

Krak!

“Siapa lagi sekarang?” tantang gadis ini, sambil menatap lawannya yang terpental sejauh lima langkah dengan mulut meringis. Kemudian matanya memandang dua laki-laki lain yang juga berusia setengah baya, mereka sejak tadi mengawasi pertarungan.

“Biar aku yang meladenimu!” Salah seorang laki-laki yang bertubuh agak gemuk, melompat ke hadapan gadis itu. “Sebutkan namamu, Cah Ayu! Aku, Jumeneng, siap melayanimu dengan senjata atau tanpa senjata!” ujar laki-laki gemuk ini, tegas.

“Aku Sekartaji. Bertangan kosong atau bersenjata, terserah!” sahut gadis yang tak lain Sekartaji, lantang.

“Aku bertangan kosong,” kata laki-laki bernama Ki Jumeneng.

“Baik. Kalau begitu bersiaplah. Lihat serangan!”

Tanpa basa-basi, gadis berbaju merah itu menyerang. Kepalan kanannya menghantam ke muka. Sedangkan telapak tangan kirinya mengincar dada. Ki Jumeneng coba menangkis dengan mengibaskan tangannya ke kiri dan kanan.

Plak! Plak!

“Gila! Semuda ini tenaga dalamnya luar biasa! Pantas saja Kakang Bangira begitu mudah dikalahkannya!” keluh Ki Jumeneng membatin.

“Heaaa...!”

Serangan gadis itu gencar tak berhenti, seperti ombak di lautan. Sampai-sampai, Ki Jumeneng kalang kabut dibuatnya. Bahkan sama sekali tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan jurus-jurusnya. Apalagi untuk balas menyerang.

Lewat dua jurus, keadaan Ki Jumeneng kian terdesak. Satu tendangan Sekartaji yang sempat ditangkis membuatnya sempoyongan. Gadis itu tidak memberi kesempatan. Tubuhnya meluncur deras. Seketika tendangan beruntunnya menghujani laki-laki setengah baya itu tanpa henti.

Desss...!

“Aaakh...!” Ki Jumeneng menjerit kesakitan. Tubuhnya terjungkal beberapa langkah ke belakang.

“Cukup, Nisanak!” Terdengar bentakan keras, yang disusul berkelebatnya satu sosok tubuh sambil menyabetkan tombaknya ke perut Sekartaji yang terpaksa menghentikan serangannya pada Ki Jumeneng.

“Hup!” Dengan gesit, gadis ini melenting ke atas dan bersalto beberapa kali di udara menghindari kejaran ujung tombak. Begitu mendarat, tubuhnya melesat ke arah laki-laki bersenjata tombak yang kini menjadi lawannya.

“Uhh...!” Laki-laki itu terkesiap. Tombaknya tidak sempat menghalau serangan. Maka dengan nekat dipapakinya serangan itu dengan telapak tangan kiri.

Plak!

“Aaakh...!” Laki-laki itu pun mengeluh tertahan, ketika menahan pukulan Sekartaji. Cepat dia melompat ke belakang menghindari serangan berikut sambil mengibaskan tombak.

Kaki kanan Sekartaji bergerak secepat kilat menahan serangan tombak.

Krakkk...!

“Heh?!” Laki-laki itu terkejut melihat tombaknya patah jadi dua. Belum juga keterkejutannya hilang, Sekartaji telah berkelebat sambil menghantamkan kepalan tangannya ke dada!

Desss...!

“Aaakh...!” Laki-laki bersenjata tombak itu kontan terjengkang ke tanah. Mulutnya meringis menahan sakit. Kedua tangannya mendekap dada yang terasa nyeri.

“Hm.... Kalau masih penasaran, kau boleh melawanku lagi!” tantang Sekartaji.

“Tidak! Kami menyerah kalah padamu, Nisanak...,” sahut laki-laki itu, lemah.

Gadis itu agaknya tidak puas. Tapi, tak bermaksud menghajar mereka. “Dapatkah kalian tunjukkan padaku, siapa di wilayah ini yang berilmu tinggi?” tanya Sekartaji, bernada sedikit pongah.

“Nisanak! Apakah hal itu amat penting bagimu?” tanya laki-laki bernama Ki Bangira, orang pertama yang berhasil dijatuhkan gadis itu.

“Itu bukan urusanmu! Katakan saja, siapa tokoh-tokoh silat yang kalian kenal? Orang itu mesti hebat!” sentak gadis ini.

“Di wilayah ini banyak sekali, Nisanak. Kami tak bisa menyebutkannya satu persatu.”

“Kau bisa sebutkan beberapa orang. Mereka mesti tokoh papan atas!”

“Hm, mungkin..., si Toya Maut. Dia guru kami. Atau, si Pedang Kilat, dan Ki Baladewa. Mereka tokoh angkatan tua yang berilmu tinggi.”

“Di mana mereka tinggal?” tanya Sekartaji bersemangat. “Siapa di antara mereka yang paling tangguh?”

“Nisanak.... Kami tak bisa mengatakan, siapa yang paling hebat...,” kali ini yang menyahuti Ki Jumeneng.

“Hm.... Aku ada pertanyaan. Dan kuharap, kalian bisa menjawab. Siapa saat ini tokoh persilatan yang paling menonjol? Tidak peduli dia tokoh jahat ataupun tokoh baik,” tanya Sekartaji.

“Kau sungguh-sungguh hendak menantang mereka?” tukas Ki Bangira.

“Itu urusanku!” sahut gadis ini ketus. “Jawab saja pertanyaanku!”

“Mungkin tak banyak. Tapi tokoh terkenal belakangan ini, salah seorang adalah yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti,” jelas Ki Bangira.

“Di mana bisa kutemui dia?” cecar Sekartaji.

“Dia mengembara ke mana-mana, sehingga sulit ditemui.”

“Tunggu dulu...!” sela Ki Jumeneng ketika melihat seseorang melintasi tempat itu. Tampak seorang pemuda berbaju rompi putih dengan pedang berhulu kepala burung rajawali tersandang di punggung tengah menunggang kuda menuju tempat itu. “Agaknya kau amat beruntung, Nisanak. Orang yang kita bicarakan ada di sini...,” kata Ki Jumeneng.

“Apa maksudmu?” tanya Sekartaji.

“Pemuda itulah yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti.”

“Hmm!”

Begitu melintas pemuda yang tak lain Rangga tersenyum sambil mengangguk pelan. Laju kudanya segera dilambatkan. Dia sama sekali tidak bermaksud berhenti, tapi Sekartaji telah menghadang sambil berkacak pinggang. Mau tak mau, terpaksa Pendekar Rajawali Sakti menghentikan laju Dewa Bayu. Lalu dia turun dari kudanya.

“Nisanak! Ada apa ini? Kenapa kau menghalangi langkah kudaku?” tanya Rangga dengan kening berkerut.

“Aku ingin tahu, apakah kau yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti?” tanya Sekartaji, langsung.

“Ah..., itu hanya julukan kosong belaka,” sahut Rangga, merendah.

“Kudengar kau seorang pendekar digdaya? Aku ingin mengujimu!” tukas Sekartaji.

Rangga menarik napas sesak sambil menggeleng lemah. “Satu lagi perempuan, aneh!” keluh Pendekar Rajawali Sakti di hati. “Ada berapa banyak perempuan aneh di jagat ini?”

“Kenapa kau diam?” kejar gadis itu.

“Eh, maaf! Nisanak, kukira kau salah alamat,” kelit Rangga.

“Bukankah kau Pendekar Rajawali Sakti?”

“Ah, itu tidak benar! Aku hanya ingin gagah-gagahan saja memakai nama itu,” Rangga berdusta.

“Anak muda! Aku pernah melihatmu beberapa minggu lalu. Dan kurasa, aku tak mudah lupa begitu saja. Kau adalah Pendekar Rajawali Sakti!” cetus Ki Jumeneng.

“Orang sinting!” maki Rangga dalam hati. Namun begitu Pendekar Rajawali Sakti coba tersenyum dan berusaha bersikap wajar. “Kurasa kau salah mengenali orang Ki. Aku sama sekali bukan Pendekar Rajawali Sakti. Tahukah kalian, mengapa aku menggunakan namanya? Ya, karena orang sering keliru mengenaliku. Makanya, kugunakan kesempatan ini untuk membonceng namanya buat gagah-gagahan,” lanjut Rangga terus berdusta.

“Tapi..., tapi wajahmu mirip sekali...,” kata Ki Jumeneng, sedikit ragu meski batinnya masih tak percaya.

“Orang sepertimu mestinya dapat hukuman! Memakai nama orang lain untuk gagah-gagahan!” dengus Sekartaji siap menyerang.

“Brengsek!” maki Rangga, membatin. “Kenapa tadi aku mesti lewat sini? Dasar nasib apes!”

“Hiih!” Gadis itu langsung melayangkan tangan ke pipi.

Mulanya Rangga pasrah. Tapi merasakan angin serangan kuat yang bisa merontokkan gigi-gigi, mau tak mau dia mesti menghindar. “Hmm!” Tinggal seujung rambut lagi jaraknya, Pendekar Rajawali Sakti melengos cepat.

Wuuuttt! Plas!

Angin serangan itu terasa menampar pipi Rangga kuat sekali. Tapi, itu sudah cukup membuat gadis ini kagum. Demikian pula tiga laki-laki setengah baya yang berada di situ.

“Orang biasa tak mampu berkelit begitu gesit...,” kata Ki Bangira.

“Aku yakin, dia memang Pendekar Rajawali Sakti!” tandas Ki Jumeneng.

“Tapi kenapa dia mesti berbohong?” tanya laki-laki setengah baya yang satu lagi, seperti bertanya untuk diri sendiri.

“Mungkin dia tak ingin terlibat perkelahian, Purwaka!” jawab Ki Bangira menduga.

“Mungkin juga. Tapi sekarang telah terlambat...,” desah laki-laki bernama Purwaka.

“Mereka kini terlibat perkelahian seru, sungguh suatu pertunjukan yang tak mungkin kita lewatkan...,” tunjuk Ki Jumeneng.

Apa yang mereka katakan memang benar. Melihat tamparannya luput. Gadis itu melanjutkan serangan. Kepalan kirinya maju ke dada. Tapi pemuda itu telah melompat ke udara, sehingga pukulan itu menghantam angin.

“Huh! Ternyata kau hanya bisa menghindar saja! Ayo serang aku!” bentak Sekartaji garang, karena tak satu pun serangannya yang berhasil.

“Aku tak bermaksud begitu, Nisanak. Tapi berkelahi tanpa alasan kuat bukanlah sifatku,” tolak Rangga halus.

“Aku tak peduli sifatmu. Kau harus bisa mengalahkanku!” desah gadis ini.

“Itu lebih tak mungkin! Untuk urusan apa sehingga aku mesti mengalahkanmu? Bertemu pun baru hari ini,” Rangga memberi alasan.

“Aku tak peduli!” sentak Sekartaji.

“Kalau begitu kita tak perlu bertarung! Aku tak mau melawanmu!” tandas Rangga.

“Kalau begitu aku akan menghajarmu! Heaaa...!” Sekartaji menghentakkan kedua tangannya, melepaskan pukulan jarak jauh. Seketika selarik sinar merah meluruk ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Hup!”

Blarrr...!

Rangga melenting ke atas, membuat sinar merah itu menghantam sebuah pohon hingga tumbang dan hangus seketika.

“Nisanak! Aku tak ingin di antara kita ada yang terluka!” Kali ini Rangga mengeluarkan suara keras setelah mendarat di tanah. Hatinya benar-benar kesal menghadapi gadis seperti yang pernah ditemuinya dua kali. Tanpa ada masalah apa-apa, langsung mengajaknya bertarung.

“Aku tak peduli!” sahut Sekartaji.

“Kalau sekadar ada yang kalah, aku punya usul,” ujar Pendekar Rajawali Sakti.

Gadis itu memandang tajam pada Pendekar Rajawali Sakti. “Apa maksudmu?” tanya Sekartaji.

“Bukankah yang kau inginkan hanya kekalahan atau kemenangan?”

“Ya.”

“Kalau begitu tak perlu kita saling melukai. Bagaimana kalau diadakan adu kecepatan, atau sejenisnya. Umpamanya, bila aku berhasil mengambil ikat kepalamu yang berwarna merah itu, maka aku yang menang. Sebaliknya, bila kau berhasil menyentuh kepalaku saja kau yang menang. Bagaimana? Kau setuju?”

Sekartaji berpikir sebentar, sebelum akhirnya menyetujui. “Baiklah. Kuberi kau kesempatan lima jurus, untuk mengambil ikat kepalaku. Kalau gagal, kau kalah. Dan bila berhasil, kau menang,” ujar Sekartaji.

“Begitu memang lebih adil.”

“Silakan dimulai!”

“Hmm.” Rangga menatap tajam ke arah ikat kepala gadis itu, lalu secepatnya bergerak. Namun Sekartaji bergerak begitu gesit. Sambil menghindar ke samping, ditepis tangan Rangga.

Plak!

Beberapa kali Rangga mencoba, namun hal itu tak mudah. Selain gesit, gadis itu pun melindungi ikat kepalanya dengan baik. Dan sampai tiga jurus berlalu, ikat kepala itu belum juga berhasil direbut Pendekar Rajawali Sakti.

“Tinggal dua jurus lagi. Dan kau mesti mempertaruhkan kesempatan itu,” kata Sekartaji, mengingatkan.

“Tenang saja. aku pasti berhasil merampasnya,” ujar Pendekar Rajawali Sakti, kalem.

Lalu dengan sigap Rangga kembali melompat menerkam. Sasarannya tetap tertuju ke arah ikat kepala. Sementara Sekartaji pun semakin apik melindunginya.

“Heaaa...!

Tapi mendadak pemuda itu melayangkan tendangan ke arah perut. Dengan wajah terkejut Sekartaji cepat mencelat ke belakang.

“Hiaaa...!”

Rangga mengejarnya gesit sambil melepas pukulan beruntun berisi tenaga dalam kuat. Dengan sigap, Sekartaji membuat pertahanan dengan kedua tangannya

Plak! Plak!

“Hmm!” Gadis itu menggeram ketika tubuhnya terjajar beberapa langkah. Dahinya berkerut. Serangan pemuda itu mulai terasa berat. Sedangkan dia tak punya kesempatan untuk balas menyerang.

Pendekar Rajawali Sakti agaknya tak mau memberi sedikit pun kesempatan. Belum juga sempurna Sekartaji berdiri, Rangga telah berkelebat cepat bagai kilat mengerahkan jurus ‘Seribu Rajawali’. Ketika Rangga mengitari gadis itu, tubuhnya jadi berubah bagai puluhan jumlahnya. Dan ini membuat Sekartaji bingung setengah mati. Dia berusaha memperhatikan, mana Pendekar Rajawali Sakti yang asli. Tapi semakin lama memperhatikan, dia semakin bingung saja.

“Heaaa...!”

Ketika perhatian Sekartaji tertuju pada salah satu bayangan Pendekar Rajawali Sakti, tahu-tahu dari arah belakangnya terdengar teriakan keras di sertai desir angin halus. Dan....

Slap!

“Oh...?!” Sekartaji tercekat, karena tahu-tahu ada yang aneh di kepalanya. Ketika tangannya bergerak meraba kepala....”

“Kau mencari ikat kepalamu, Nisanak? Ini, ada di tanganku...!”

“Heh...?!” Gadis itu menoleh ke kiri dengan wajah terkejut.

TUJUH

Rangga mengibar-ngibarkan ikat kepala dari kain berwarna merah yang dirampasnya dari rambut Sekartaji.

“Huh! Itu pertarungan tidak adil! Kau curang!” bentak gadis itu, tak puas.

“Curang bagaimana? Aku tidak menyalahi aturan?” tukas Pendekar Rajawali Sakti.

“Perjanjian kita hanya merebut kain ikat kepala. Tapi, kau menyerangku dengan-hebat. Apakah kau hendak membunuhku?!” kilah Sekartaji.

Rangga tersenyum. “Yang terpenting, aku tidak menyalahi aturan. Kita tidak membuat perjanjian bagaimana caranya merampas ikat kepalamu. Itu terserahku. Dan nyatanya, ikat kepalamu kudapatkan. Kau kalah, Nisanak!” balas Rangga.

“Aku tidak terima caramu! Kau curang! Akan kulihat sampai di mana kehebatanmu!” Gadis itu menggeram marah. Secepat kilat dia meluruk menyerang Rangga dengan hantaman tangan bertubi-tubi dan silih berganti.

“Eee, apa-apaan ini?! Tunggu dulu!” Percuma saja Rangga berteriak karena Sekartaji tak bakal hentikan serangan. Buru-buru dia menghindar dengan melompat ke sana kemari kalau tak mau babak belur. “Uh! Urusan jadi runyam!” gerutu Rangga.

“Itu salahmu sendiri!”

“Ya, ya.... Semua salahku.”

“Lihat serangan!” Gadis ini benar-benar kalap. Dia sakit hati karena merasa tertipu. Maka serangannya berbau maut. Lengah sedikit, maka kepala Pendekar Rajawali Sakti bakal remuk. Atau barangkali tulang-tulang rusuknya yang patah digedor pukulan bertenaga dalam tinggi.

“Aku tidak bisa terus begini. Heaaa...!” Disertai teriakan keras membahana, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas dengan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’. Begitu meluruk, kedua kakinya mengincar batok kepala Sekartaji.

“Eh...?!” Gadis itu terkejut, namun cepat menggeser tubuhnya ke kanan.

Tendangan Pendekar Rajawali Sakti lewat begitu dekat di depan matanya. Meski berhasil mengelak, namun serangan pemuda itu berikutnya menyusul cepat. Dan yang lebih membuatnya gemas, gerakan-gerakan yang diciptakan Pendekar Rajawali Sakti agak membingungkannya. Ketika kaki kanan Pendekar Rajawali Sakti menyabet ke bawah, maka kaki kirinya menyusul ke atas menyambar kepala.

Sekartaji hanya bisa mundur. Dan sebelum gadis ini mampu balas menyerang, Rangga bersalto di udara. Lalu tiba-tiba kakinya mencuat ke tubuh gadis ini begitu cepat gerakannya. Sehingga....

Des! Begkh!

“Aaakh...!” Dua tendangan berturut-turut mendarat mulus di perut dan dada Sekartaji yang kontan terpekik. Dengan terhuyung-huyung, dia coba memantapkan kuda-kuda.

“Hiyaaat...!” Rangga tak memberi kesempatan. Tubuhnya kembali melesat langsung menyerang.

“Hup!” Gadis itu merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Tubuhnya berputar seperti gasing. Sebelum serangan Pendekar Rajawali Sakti tiba, tubuhnya telah amblas ke tanah.

Pras!

“Heh?!” Rangga terperangah kaget. Tubuhnya berbalik, menatap ke arah tanah tempat Sekartaji tadi amblas. Dan sebelum keterkejutannya hilang....

Tap! Tap!

Tiba-tiba saja Sekartaji muncul tepat di bawah Rangga berdiri. Pemuda itu yang sempat tercekat, tak kuasa mengelak. Kedua pergelangan kakinya kena dicengkeram.

“Hup!” Seketika, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas, tapi gadis itu keburu membantingnya kuat-kuat.

“Hiaaah...!” Pendekar Rajawali Sakti berhasil mematahkan bantingan dengan bersalto tiga kali. Lalu, kakinya mendarat mulus. Kini bola matanya mencari-cari. Ternyata gadis tadi telah amblas kembali ke tanah.

“Hmm!” Rangga seketika mengeterapkan aji ‘Pembeda Gerak Dan Suara’ untuk mengetahui gerakan yang dibuat gadis itu. “Yeaaa...!”

Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke atas, dan hinggap pada salah satu cabang pohon. Di tempatnya tadi berdiri, sekilas terlihat dua tangan menyembul. Dan secepat kilat, kembali masuk ke tanah.

Krak!

“Hei?!” Belum sempat Pendekar Rajawali Sakti menarik napas lega, pohon yang dihinggapinya bergoyang. Lalu, roboh dengan deras seperti dihantam banteng mengamuk.

“Gila! Kalau begini caranya bisa sinting aku!” rutuk Pendekar Rajawali Sakti. Dengan ringan, Rangga melompat turun. Seketika tubuhnya melesat sekencang-kencangnya meninggalkan tempat itu.

“Maaf, Nisanak! Aku tak bisa meladenimu main kucing-kucingan begini...!” teriak Pendekar Rajawali Sakti. Dalam keadaan seperti itu, rasanya tak masuk di akal bila Sekartaji mampu mengejarnya. Bahkan tokoh-tokoh tingkat tinggi pun akan sukar menandingi ilmu meringankan tubuhnya. Rangga bisa bernapas lega, tapi tak menghentikan larinya.

“Kurasa ini sudah cukup jauh. Hhh...! Mau pecah rasanya dadaku...,” desah Pendekar Rajawali Sakti. Rangga berhenti setelah dirasa cukup jauh. Napasnya diatur sebentar, lalu perjalanannya dilanjutkan. Tapi baru beberapa langkah berjalan, seseorang tegak berdiri menghadang. Seorang gadis berbaju merah yang membuatnya kaget.

“Gila! Bagaimana mungkin kau bisa di sini?!” sentak Rangga, penuh keheranan.

Sekartaji tersenyum, lalu melangkah mendekati. “Kau kira bisa pergi begitu mudah dariku?” cibir gadis itu.

“Ini benar-benar tak masuk akal!” Rangga memukul kepalanya, pelan. Dan nyatanya terasa sakit. “Berarti aku tidak mimpi! Tapi..., bagaimana mungkin dia bisa menyusulku secepat ini?”

“Bagaimana kau bisa tiba di sini?” tanya Pendekar Rajawali Sakti setelah batinnya tak yakin bisa menemukan jawaban.

“Itu urusanku!” sahut Sekartaji, seenaknya.

“Ya, sudahlah. Barangkali kau memang keturunan siluman....”

Gadis itu tersenyum, penuh arti. “Urusan kita belum selesai. Kau harus bisa mengalahkanku. Kalau tidak..., aku akan menghajarmu!” desis Sekartaji.

“Aku telah mengalahkanmu. Kenapa kau tak mau mengakuinya?” tukas Rangga.

“Kau belum pernah mengalahkanku!”

“Dalam rebutan ikat kepala tadi?”

“Kau curang. Aku tak mengakuinya!"

“Itu karena kau licik dan mengagungkan kehebatanmu. Sehingga, kau tidak mau berpikir terang. Kalau kau mau saja sedikit jujur, maka pasti mau mengakui kalau aku telah mengalahkanmu. Kita toh, tak mesti saling hajar sampai salah seorang terluka parah. Atau, barangkali itu yang kau inginkan? Atau..., kau mengincar nyawaku?”

Gadis itu terdiam sejurus lamanya.

“Entah kau sinting atau kurang kerjaan. Orang berkelahi mestinya punya tujuan jelas...,” desah Rangga, sambil mengangkat bahunya.

“Aku punya tujuan jelas!” tandas Sekartaji.

“Tujuan apa? Katakan padaku!” tuntut Pendekar Rajawali Sakti.

“Itu urusanku!”

“Orang berkelahi mesti ada alasan. Entah karena dendam, marah, mencari ketenaran, atau sekadar melampiaskan kegembiraan. Yang mana alasanmu?” tanya Rangga.

“Bukan salah satu di antaranya,” sahut gadis itu terus terang.

“Hm.... Jadi apa tujuanmu?”

“Aku tak bisa mengatakannya padamu....”

“Baiklah.... Mungkin itu urusanmu. Aku tidak berhak tahu. Tapi, kau juga tak berhak memaksakan tujuanmu pada orang lain. Kau ini manusia yang berperasaan atau tidak?! Aku tak mau berkelahi tanpa alasan kuat. Dan kau mesti mengerti hal itu!”

Sekartaji kembali terdiam.

“Kita tak saling kenal. Aku bahkan tak tahu namamu. Dan di antara kita, tak pernah ada masalah. Jadi tak ada urusan yang mesti membuat kita berkelahi!” lanjut Rangga.

“Namaku Sekartaji. Dan aku hanya ingin mencari orang yang bisa mengalahkanku,” sahut Sekartaji perlahan.

“Untuk apa?” kejar Rangga.

“Melaksanakan titah Sang Ratu....”

“Ratu siapa?”

“Ratu kami....”

“Hm.... Aku mulai sedikit mengerti. Tapi, apa maksud ratumu menyuruhmu bertarung denganku sampai aku bisa mengalahkanmu?” tanya Rangga lagi, semakin tertarik.

“Bukan hanya kau.... Beliau hanya ingin agar aku mencari seseorang yang bisa mengalahkanku...,” jelas Sekartaji.

“Untuk apa?” cecar Pendekar Rajawali Sakti.

“Menjadi suamiku.”

“Apa? Hm.... Ratumu pasti orang tak waras. Bagaimana mungkin dia mencampuri urusan jodoh orang lain dengan cara begitu?” kata Rangga seperti bertanya pada diri sendiri.

“Hush! Jangan bicara keras-keras. Aku khawatir beliau mendengarnya!” ujar Sekartaji. Gadis itu menempelkan telunjuk ke bibir. Matanya liar memandang ke sekelilingnya.

“Ada apa? Apakah ratumu selalu mengikuti ke mana saja kau pergi?” tanya Rangga, berbisik.

Tak sadar, gadis itu mengira Rangga mengerti isyaratnya. Padahal lewat air mukanya, Rangga tengah mengejeknya. Sejak tadi dia mengerahkan aji ‘Pembeda Gerak Dan Suara’. Dan Rangga tahu tak ada orang lain di sekitar tempat ini, selain mereka. Jadi gadis itu pasti mengada-ada jika mengatakan ratunya tengah mengintai.

“Bukan. Tapi para prajurit...,” jelas Sekartaji.

“O.... Prajurit, ya?”

“Mereka tak terlihat pandangan matamu.”

Dahi Rangga berkerut. Lalu dikerahkannya ilmu ‘Tatar Netra’ untuk memandang ke sekeliling tempat.

“Percuma! Meski kau punya pandangan tajam, tak akan mampu menembus jasad mereka,” jelas Sekartaji, seperti mengerti apa yang tengah dilakukan Rangga.

“Apa maksudmu?” tanya Pendekar Rajawali Sakti.

“Mereka kaum siluman,” sahut Sekartaji.

“Hei?!” Rangga tercekat. Benarkah? Atau, gadis ini tengah mengada-ada untuk menakut-nakutinya. “O.... Kaum siluman, ya?” Rangga mengangguk kecil. “Jadi..., kau pun termasuk kaum mereka?”

“Aku tak memaksamu untuk percaya.”

“Eh! Aku percaya....”

Plas!

“Eh?!” Kata-kata Rangga terpenggal dan berganti keterkejutan ketika tiba-tiba gadis berbaju merah itu lenyap dari pandangannya. Semula dia menyangsikan kata-kata Sekartaji. Tapi kini...? “Gila! Ke mana dia? Apa benar-benar menghilang? Atau barangkali mataku yang sudah lamur?!”

Rangga mengucek-ngucek matanya sesaat. Lalu dia memandang ke tempat gadis itu berdiri. Tetap saja tak ada. Begitu juga ketika mengedar pandangan ke sekeliling.

“Aku di sini...!”

“Ehh...!” Mendadak saja jantung Pendekar Rajawali Sakti seperti mau copot, ketika gadis itu tegak berdiri di belakang. Hela napasnya terasa dekat menghembus tengkuk. Buru-buru Rangga meloncat. Sementara Sekartaji tersenyum-senyum melihat ulahnya.

“Kini masih belum percaya?” tanya Sekartaji.

“Eh, iya. Tapi sedikit...,” sahut Rangga, masih juga menyangsikan.

“Berarti kau belum yakin kalau aku ini siluman?” tukas gadis ini.

“Aku pernah dengar, konon siluman bisa menjelma menjadi apa saja, seperti..., singa berkepala manusia, atau....”

“Kau sungguh-sungguh ingin melihat aku menjelma seperti itu?” potong Sekartaji.

“Paling tidak..., untuk membuatku percaya,” sahut Rangga.

“Lalu setelah itu?”

“Setelah itu... ya, tidak apa-apa!”

“Itu bukan tujuan utamaku. Aku tak peduli, kau percaya atau tidak. Titah ratuku tak bisa dibantah. Dan aku mesti melaksanakannya!”

“Kenapa dia begitu ikut campur soal jodohmu?”

“Karena dia ibuku!”

“O...!” Rangga terdiam. Kepalanya mengangguk-angguk, kemudian tersenyum malu. “Maaf, aku tak tahu...,” ucap Rangga, perlahan.

“Tak apa....”

“Kau bisa mencari orang lain, Sekartaji,” kata Rangga, sudah memanggil gadis itu dengan namanya.

“Telah banyak tokoh yang kudatangi. Namun mereka semua tak memenuhi syarat. Menurut apa yang kudengar, mereka tokoh-tokoh hebat. Tapi, nyatanya bisa kukalahkan.”

“Kalau kau mampu menghilang, lalu muncul tiba-tiba di belakang mereka, jelas siapa pun tak bisa mengalahkanmu. Apalagi, kau mampu bergerak cepat.”

“Aku tak menggunakan ilmu gaib, ketika melawan mereka. Demikian pula ketika tadi melawanmu. Juga, saat kau merebut ikat kepalaku...,” jelas Sekartaji.

“Untuk apa? Padahal kau bisa mengalahkan mereka dengan mudah?” tanya Rangga.

“Aku ingin manusia mengalahkanku dengan kemampuan apa adanya. Bukan dengan bantuan ilmu-ilmu gaib,” sahut gadis itu menjelaskan. “Ini juga perintah Sang Ratu. Kalau tidak, kami tidak akan dikirim ke dunia kasar untuk mencari seorang suami dari kaum manusia.”

“Untuk apa?” tanya Rangga lagi.

“Aku tidak tahu....”

“Apa di kalangan siluman tak ada yang berilmu tinggi. Atau, yang berwajah menarik?”

“Banyak. Dan bagi kami, soal wajah bukan masalah. Kaum siluman bisa saja menyerupai wajah siapa pun yang disukainya.”

“Lalu, apa masalahnya?”

“Aku tak tahu. Kami hanya diwajibkan patuh pada Sang Ratu.”

“Kepatuhan yang menakjubkan. Seandainya Sang Ratu memberi perintah untuk memenggal kepala, apakah kalian mau mematuhinya?” pancing Rangga.

“Ya!” sahut Sekartaji, singkat. Rangga mendesah sambil menggeleng takjub. “Makanya, kau mesti bertarung denganku!” gadis itu kembali mengingatkan.

“Tapi kau sudah kalah, bukan?” kelit Rangga.

“Itu tidak bisa dijadikan ukuran,” tangkis Sekartaji.

“Kenapa? Toh sama saja! Kita sudah membuat perjanjian.”

“Bagaimana bisa kau menghadapi calon-calon suami kakakku dengan cara begitu?”

“Ee..., tunggu dulu! Apa maksudmu? Calon-calon suami kakakmu?” Rangga malah balik tanya, menuntut jawaban.

“Benar. Mereka pun sepertiku, dan mengemban tugas yang sama.”

“Di antara mereka memakai baju biru, dan putih?” tanya Pendekar Rajawali Sakti lagi seraya menyebutkan ciri-ciri kedua gadis yang pernah ditemuinya.

“Benar! Dari mana kau mengetahuinya?!” seru Sekartaji dengan wajah berbinar. “Mereka adalah Kakak Gandasari dan Kakak Harum Sari!”

“Hm, pantas!” gumam Pendekar Rajawali Sakti.

“Kau bertemu mereka?” tanya Sekartaji.

“Ya.”

“Lalu?”

“Ya, seperti keinginanmu yang aneh, mereka pun mengajakku bertarung tanpa alasan jelas.

“Lalu?!”

“Lalu..., ya, aku berhasil mengecoh mereka!"

“Dasar jahat!”

“Eee, sembarangan menuduh orang! Yang jahat itu aku atau kalian?!”

“Kenapa kau tega mengecoh mereka? Padahal, toh kau bisa meladeni tantangan mereka.”

“Aku tak suka berkelahi tanpa alasan kuat. Apalagi, hanya soal sepele.”

“Ini bukan soal sepele. Ini soal hidup dan mati!”

“Jangan membesar-besarkan persoalan.”

“Kalau gagal membawa calon suami, maka kami mendapat hukuman mati!”

“Aku tak percaya.”

“Ikutlah dengan kami. Maka kau akan lihat, berapa orang dari kami yang mendapat hukuman mati.”

Rangga tertegun. Dipikirkannya kata-kata gadis itu. “Luar biasa tega ibunda kalian itu!” desis Rangga. “Apakah dia tak punya perasaan?”

“Aku tak tahu...,” desah Sekartaji.

“Apakah kau suka mencari jodoh dengan cara seperti itu?” tanya Rangga, memancing. Gadis ini tak menjawab. “Tak ingin sekali-sekali kau berontak?” desak Rangga.

“Itu tak mungkin. Sang Ratu akan menghukum kami dengan berat...,” desah Sekartaji, lirih.

“Kenapa tidak melarikan diri?”

“Seluruh tempat akan mereka cari untuk menemukanku. Tak ada yang bisa lolos begitu saja.”

“Tapi, aku bisa lolos dari kedua kakakmu? Itu berarti, kau pun bisa.”

“Untuk sementara, mungkin. Tapi, tidak selamanya. Coba kau lihat ke belakang.”

Rangga menoleh. Dan wajahnya kontan terkejut melihat dua sosok tubuh tegak berdiri di belakangnya pada jarak sekitar tujuh langkah. Dua gadis yang pernah dikenalnya. Satu berbaju biru, dan seorang lagi berbaju putih.

DELAPAN

“Eh! Kalian pun ternyata ada di sini? Apa kabar?” tegur Pendekar Rajawali Sakti, pura-pura seperti tak terjadi masalah sebelumnya.

“Tidak usah tersenyum-senyum. Kali ini, kau tidak bisa kabur lagi,” kata gadis berbaju biru yang bernama Gandasari.

“Sekartaji! Agaknya kau lebih beruntung dari kami. Kau berhasil menjinakkannya!” seru gadis berbaju putih.

“Terima kasih, Kakak Harum Sari.”

“Tapi kau mesti tahu, aku yang pertama kali bertemu dengannya!” sentak Harum Sari, tiba-tiba.

“Jangan serakah, Harum Sari. Aku juga lebih dulu bertemu dengannya ketimbang Sekartaji.”

“Eee, tunggu dulu! Apa-apaan ini? Apa yang kalian bicarakan?” tukas Rangga.

“Kami membicarakanmu, Sayang. Tidakkah kau mengerti? Atau barangkali kau mau berlagak pilon?” ujar Harum Sari.

“Aku masih belum mengerti....”

“Mereka bermaksud memilikimu juga...,” tambah Sekartaji menjelaskan.

“Memilikiku? Gila! Memangnya aku apa?!” sentak Rangga.

“Kau adalah calon suamiku, Sayang.”

“Harum Sari! Agaknya kau betul-betul tak mengalah, he?!” dengus Gandasari.

“Diam kalian semua! Dialah milikku. Karena hanya denganku dia betul-betul bertarung!” bentak Sekartaji, tak mau kalah.

“Hi hi hi...! Sekartaji! Apakah kau tidak tahu? Dia pun bertarung denganku!” kata Harum Sari.

“Tidak! Dia bertarung denganku!” terabas Gandasari.

“Hei! Hei, berhenti! Berhenti...! Apa-apaan kalian ini?! Aku memang bertarung dengan kalian semua. Tapi bukan berarti kalian bisa berbuat seenaknya padaku. Aku yang akan menentukan, apa yang mesti kulakukan!” bentak Rangga, tak suka.

Ketiga gadis itu terdiam. Mereka memandang pemuda itu dengan sorot mata tajam. Untuk sesaat Rangga pun ikut terdiam. Dibalasnya tatapan mereka sambil menyeringai kesal.

“Kalian tidak berhak apa-apa atas diriku...,” desah Rangga.

“Benarkah?” tukas Harum Sari seraya melangkah mendekati.

“Aku adalah milik diriku sendiri! Kalian harus ingat itu!” tandas Rangga.

“Kau adalah milikku!” tukas Gandasari.

“Dia milikku!” dengus Sekartaji.

“Tidak! Aku bukan milik siapa pun dari kalian!”

“Kau tidak bisa membantah, Pendekar Rajawali Sakti,” ujar Harum Sari.

“Aku bisa berbuat apa saja yang kusuka!”

“Apakah kau kira mampu menghalangi niat kami?”

“Apa mau kalian?!”

“Kami bisa meringkusmu!”

“Kalau begitu, terpaksa aku akan melawan!”

“Kau tak akan mampu menandingi salah seorang dari kami sedikit pun!”

“Kalau begitu, aku tak memenuhi syarat. Lalu kenapa kalian masih berkeras ingin meringkusku?”

“Kau salah! Kau justru memenuhi syarat. Tapi soal meringkusmu, tidak termasuk dalam acara pertarungan kita. Dan bila kau bermaksud menolak, maka kami terpaksa menggunakan kekerasan,” tegas Gandasari.

“Aku tetap tidak bisa memenuhi permintaan kalian. Apa pun akibatnya!” tandas Rangga.

“Pendekar Rajawali Sakti! Jangan bertindak bodoh!” seru Sekartaji.

Pendekar Rajawali Sakti tersenyum sinis. “Aku sudah siap!” tegas Rangga, dengan nada rendah.

“Dasar keras kepala!” umpat Sekartaji kesal.

Biar aku yang meringkusnya!” Gandasari mendadak mengibaskan tangan. Seketika, serangkum angin kencang menerpa Pendekar Rajawali Sakti.

Wuuusss!

“Uhh...!” Rangga berusaha bertahan dengan pengerahan tenaga dalam. Tapi, tubuhnya terasa seringan kapas, melayang diterpa badai topan ciptaan Gandasari. Sia-sia saja dia bertahan. Apalagi balas,menyerang. Tubuhnya terasa lemas dan pegal-pegal.

“Keparat! Ilmu apa yang digunakannya? Tubuhku terasa lemah tak berdaya!” rutuk Rangga.

“Hiih!” Gandasari menjentikkan tangan kanan.

Duk!

“Ughh!” Rangga kontan terlempar beberapa langkah ke belakang seperti dihantam pukulan keras. Pemuda itu betul-betul tak kuasa menghindar atau menangkis. Pukulan itu terjadi demikian cepat serta tak terlihat!

“Ayo, lawanlah! Bukankah kau telah siap? Lawanlah dengan semua kekuatan yang kau miliki!” teriak Gandasari sambil tertawa kegirangan.

“Kenapa kau, Rangga? Kudengar kau pendekar digdaya di masa ini? Tapi nyatanya hanya seorang pecundang! timpal Harum Sari.

“Uhh. Rangga berusaha bangkit sambil menahan nyeri di dada. Tubuhnya semakin parah saja. Dan kekuatannya saat ini betul-betul hilang entah kenapa.

“Hiih!” Gandasari menyerang kembali. Dengan membawa kesal di hati, dihajarnya pemuda itu berkali-kali.

Des! Des!

“Aaakh...!”

“Cukup, Kakak! Hentikan! Kau menyiksanya...!” bentak Sekartaji.

Sekartaji melompat, tegak berdiri di depan Rangga untuk menghalangi serangan Gandasari selanjutnya. “Kau tak boleh menyiksanya. Dia akan mati!” sentak Sekartaji.

“Kenapa, Sekartaji? Kau kasihan padanya? Padahal, dia coba menentang kita?” tanya Gandasari.

Sekartaji tak langsung menjawab. Diliriknya Pendekar Rajawali Sakti. Dari mulut dan hidung pemuda itu tampak menetes darah segar. Sambil mendengus kasar gadis itu memandang kedua kakaknya.

“Kau telah mengunci ilmunya. Sehingga saat menghajarnya, sama saja menghajar orang yang tak memiliki kehebatan apa-apa!” bela Sekartaji.

“Orang sepertinya harus mendapat hukuman, Sekartaji,” sahut Gandasari kalem.

“Kenapa kau, Adikku? Kau mulai jatuh cinta padanya? Hi hi hi...! Kalau begitu, kita pun sama. Tapi, Sang Ratu tak akan mau mengerti hal itu. Beliau hanya menginginkan masing-masing dari kita membawa pasangannya. Dan pemuda itu milikku. Kenapa kau tidak tahu diri, lalu membiarkan agar kubawa?” tukas Harum Sari.

“Jangan sembarangan bicara kau, Harum Sari!” bentak Gandasari.

“Eh! Maksudku..., tentu saja untuk kita,” ralat Harum Sari.

“Dia milikku!” bentak Gandasari.

“Eh, iya. Maksudku pun begitu!” kata Harum Sari, cengar-cengir.

“Huh!” Gandasari mendengus sinis. Kepalanya berpaling pada Pendekar Rajawali Sakti, lalu beralih pada Sekartaji yang tengah menghapus darah yang berlepotan di wajah pemuda itu.

“Sekartaji, minggir kau!” bentak Gandasari.

“Kakak Gandasari...?”

“Minggir kataku!”

“Kau tak boleh menyiksanya lagi....”

Gandasari tak peduli. Dengan geram, ditangkapnya pergelangan tangan adiknya. Lalu dihempaskannya. “Hiih!”

Sekartaji terlempar jauh. Namun dengan gerakan indah kakinya mendarat mantap. Lalu tubuhnya kembali mencelat ke dekat kakaknya. Tepat saat itu Gandasari telah melepaskan dua tendangan beruntun menghajar dada Pendekar Rajawali Sakti.

Desss...! Desss...!

“Ayo, lawanlah! Bukankah kau katakan mampu menghadapi kami? Ayo, lawan!” teriak Gandasari.

“Kakak, sudah! Kau tak boleh menyiksanya lagi!” teriak Sekartaji. Dengan nekat, Sekartaji menangkap pergelangan tangan kakaknya. Dan ini membuat Gandasari menggeram dan menyentaknya kuat-kuat. Namun, kali ini Sekartaji tidak diam saja. Dia terus bertahan.

Melihat hal ini, Gandasari malah semakin geram. “Kurang ajar! Kau berani melawanku, he?!” bentak Gandasari.

“Kakak! Aku tak bermaksud begitu...,” sahut Sekartaji, tak kalah keras.

“Tapi nyatanya begitu, kan?! Kuhajar kau, Sekartaji! Kuhajar kau!”

Sekartaji jadi salah tingkah. Dia tak biasa melawan kakaknya. Dan, tak pernah sekalipun dilakukannya. Tapi nyatanya hal itu kini terjadi. Dia hanya tak ingin kakaknya melukai pemuda itu dengan menghajarnya sampai babak belur. Dan memang, agaknya sulit sekali mengingatkan kakaknya.

“Rangga, larilah cepat! Larilah sekuat tenagamu...!”

“Uhh...!” Rangga seperti tersengat. Dadanya terasa nyeri. Apalagi di dalamnya. Tapi, dia tak mau mati konyol di tempat ini. Maka begitu mendengar teriakan, dia segera kumpulkan sisa tenaga yang dimilikinya untuk segera kabur.

“Cepat lari! Lari...! Larilah cepat...!” teriak Sekartaji, ketika Pendekar Rajawali Sakti berkelebat kabur.

“Adik kurang ajar! Kau rela mengkhianatiku untuk seseorang yang baru saja kau kenal!” maki Gandasari.

“Kakak! Aku tak bermaksud begitu. Tapi, kau keterlaluan sekali menghukumnya...,” kilah Sekartaji.

“Tutup mulutmu! Tahukah kau, hukuman apa yang akan dijatuhkan padamu seandainya hal ini kulaporkan kepada Sang Ratu?!” bentak Gandasari.

“Kakak...?!”

“Kau akan mendapat ganjaran setimpal, Sekartaji! Hukuman akan berlipat ganda karena berani melawanku.”

“Kakak! Kau tentu tidak akan berbuat sekejam itu pada adikmu sendiri, bukan?”

“Aku akan melakukannya! Tak seorang pun lolos dari hukuman meski orang dekat sekalipun. Itulah sabda Sang Ratu!”

“Kakak, kau..., kau?!”

“Sekartaji! Kau tak bakal lolos dari hukuman. Sia-sia saja usahamu, karena pemuda itu pun tidak akan lari ke mana-mana.”

Gandasari berpaling pada Harum Sari. “Kejar! Dan tangkap dia kembali!”

“Baik, Kak!” sahut Harum Sari, seraya berkelebat.

Sementara Harum Sari mengejar Rangga, Gandasari menyerang Sekartaji dengan gencar. Kepandaian ilmu mereka seimbang satu sama lain. Sehingga sulit menentukan siapa yang paling hebat. Maka mesti Gandasari menyerang gencar, Sekartaji tidak berusaha balas menyerang. Dia hanya menghindar atau menangkis sebisanya.

“Kau tidak mau menyerah juga, Sekartaji?!” desis Gandasari, terus menyerang.

“Kakak! Jangan paksa aku...,” sahut Sekartaji, lirih sambil terus bermain mundur.

“Baik. Kalau begitu terpaksa aku mesti meringkusmu seperti tawanan!”

“Kakak, kumohon! Jangan memaksaku untuk melawanmu.”

“Adik kurang ajar! Kau kira aku takut kalau kau melawanku? Ayo, lawanlah! Balas serangan-serangankui”

“Kakak...!”

“Jangan panggil aku sebagai kakakmu! Ayo, anggap saja aku musuh besarmu!”

“Aku, ah...! Kakak, tolonglah...!”

“Tutup mulutmu! Kalau kau tetap tak mau melawan, jangan salahkan kalau aku tetap akan menghajarmu!”

Sekartaji tetap merasa bersalah dan bingung. Kalau dia melawan, maka Sang Ratu pasti akan menghukumnya dengan berat. Tapi kalau tak dilawan, bisa-bisa dirinya akan celaka.

“Hei, ada apa di sini...?!” Mendadak terdengar teriakan, membuat pertarungan itu segera berhenti. Tampak empat sosok tubuh muncul. Dua gadis berbaju hijau dan kuning bersama dua orang laki-laki berusia setengah baya.

“Arimbi, Kakak Sriwangi!” seru Gandasari, begitu mengetahui siapa yang datang.

“Ada apa? Kenapa kalian berkelahi sehebat ini?” tanya gadis berbaju kuning yang bernama Sriwangi seraya menghampiri.

“Tahukah kau? Aku tengah memberi pelajaran pada seorang pengkhianat!” sahut Gandasari, sengit.

“Kakak! Jangan sembarangan menuduh!” tukas Sekartaji.

“Diam kau!” bentak Gandasari.

“Hei! Hei! Tenanglah dulu. Ada apa ini? Apa yang terjadi, Gandasari?” lerai Sriwangi.

Gandasari segera menceritakan duduk persoalannya. Tentu saja dengan membawa segala amarah di hatinya. Sampai-sampai, Sekartaji tidak sedikit pun bisa membela diri.

“Dia pengkhianat! Dan kini malah berani melawanku!” tuding Gandasari, geram.

“Kakak! Itu tidak benar! Aku hanya tak ingin kau menghajarnya. Dia punya batas daya tahan. Apalagi, Kakak Gandasari telah mengunci ilmu-ilmunya. Dia tak akan bertahan lama menerima hajaran begitu keras,” kilah Sekartaji.

“Aku bermaksud membawanya. Maka, mana mungkin aku akan membunuhnya!”

“Tapi..., Kakak Gandasari dalam keadaan kalap...”

“Jangan membela diri, Sekartaji! Katakan saja kau berusaha merebutnya dariku dengan mengambil hatinya.”

“Kakak! Aku tak bermaksud begitu...!”

“Alaaah, tutup mulutmu!” bentak Gandasari. Dia kemudian memandang pada kedua saudaranya yang baru muncul. “Kalian bantu aku menangkap pengkhianat ini! Kita akan menyerahkannya pada Sang Ratu untuk mendapat hukuman setimpal!”

“Tapi, Kakak...,” Arimbi sedikit keberatan, namun tidak demikian halnya Sriwangi. Dia langsung melompat menyerang Sekartaji.

“Sekartaji! Lebih baik kau menyerah. Atau, kami akan meringkusmu dengan paksa!” bentak Sriwangi.

“Kakak, jangan memaksaku...!”

“Huh! Dari dulu kau memang selalu saja membantah. Tapi hari ini, kau sudah keterlaluan!”

Sementara Sriwangi menyerang Sekartaji, Arimbi masih ragu-ragu. Di antara saudara-saudaranya, memang hubungan Arimbi dengan Sekartaji memang lebih baik ketimbang yang lainnya. Maka, dia tak sampai hati ikut mengerubuti. Tapi, Gandasari terus memaksa sambil mengancam.

Kalau dia tak membantu, maka akan dianggap bersekutu dengan Sekartaji. Bahkan melaporkan hal itu pada Sang Ratu. Dengan terpaksa akhirnya Arimbi ikut mengerubuti adik bungsunya. Menghadapi kepandaian mereka bertiga, Sekartaji tak kuasa bertahan. Dalam waktu singkat, dia berhasil diringkus.

“Kini kau tak bisa ke mana-mana lagi, Sekartaji! Ilmumu telah kami kunci!” dengus Sriwangi.

Sekartaji diam tertunduk. Diliriknya Arimbi. Tapi kakaknya pura-pura tak melihat. Gadis itu tertunduk kembali. Pasrah! Harum Sari telah kembali dengan Rangga yang berada di salah satu pundaknya.

“Bagus! Ternyata kau mampu meringkusnya!” puji Gandasari.

“Apa sulitnya? Dia seperti bayi yang tak berdaya,” kata Harum Sari, bangga.

“Mana pasanganmu, Kakak Harum Sari?” tanya Arimbi.

“Aku..., aku belum mendapatkannya. Dan kau sendiri?” sahut Harum Sari.

“Kau lihat laki-laki kurus itu? Dia calon suamiku!” tunjuk Arimbi bangga.

“Laki-laki itu?!” Harum Sari terkikik geli. Yang dilihatnya adalah seorang laki-laki tua bertubuh kurus dan berkulit hitam. Rambutnya sebagian telah memutih, dipotong pendek dengan dahi lebar.

“Kenapa tertawa? Meski begitu dia seorang tokoh hebat yang ditakuti banyak orang,” bela Arimbi.

“Kau tak jadi menaklukkan si Kera Hitam Bertangan Besi?”

“Orang itu tak punya kemampuan apa-apa. Calon suamiku ini, adalah gurunya. Ilmunya hebat. Dan kurasa, saat ini tak seorang pun yang mampu menandinginya!” Lagi-lagi Arimbi menjelaskannya dengan bangga.

“Ya, ya. Itu terserahmu kalau mau kawin dengan tua bangka bau tanah itu,” cibir Gandasari.

“Kakak sendiri bagaimana? Sudah menemukan yang cocok?”

“Sebentar lagi!”

“Kakak Sriwangi pun punya calon suami yang tak kalah tua dariku.”

Gandasari melirik sekilas. Laki-laki tua yang ditunjukkan Arimbi itu pun tidak kalah buruk ketimbang calon suami Arimbi sendiri. Dia tertawa kecil.

“Kalian ingin berangkat sekarang?” tanya Gandasari.

“Ya!” jawab Sriwangi.

“Baiklah, silakan kalian berangkat. Aku tak bisa menyertai sebelum mendapatkan pasanganku,” ujar Harum Sari.

Setelah itu, Harum Sari menyerahkan Rangga pada Gandasari. Sedangkan Sekartaji yang telah dilumpuhkan, digendong Arimbi.

“Hati-hati kau di sini! Jaga dirimu baik-baik...!” pesan Gandasari.

“Jangan khawatir. Kau kira ada orang yang mampu menandingiku?” tukas Harum Sari pongah.

“Jangan gegabah, Harum Sari! Dunia penuh hal tak terduga.”

Gadis itu hanya tertawa, menganggap enteng. Sementara saudari-saudarinya meninggalkannya ke arah selatan bersama dua laki-laki setengah baya yang akan menjadi suami Arimbi dan Sriwangi.

Harum Sari tegak berdiri mengawasi mereka untuk sejurus lamanya, lalu mengambil arah yang berlawanan setelah mereka menghilang dari pandangan...

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: ASMARA GILA DI LOKANANTA