Iblis Pemenggal Kepala - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

IBLIS PEMENGGAL KEPALA

SATU

MALAM baru saja beranjak. Namun Desa Ketawang sudah nampak sepi. Kendati demikian, masih saja ada dua orang yang berjalan berangkulan, seperti tak ingin terpisahkan.

"Apa yang sebenarnya yang hendak Kakang Soma bicarakan?" tanya sosok yang berada di kanan, dan ternyata seorang gadis.

"Kita ke sana, Narti," tunjuk pemuda yang dipanggil Soma.

"Kakang! Ini sudah cukup jauh dari rumah!" sahut gadis bernama Narti.

"Ya! Tapi, belum cukup jauh dari rumah tetanggamu."

"Apa maksud Kakang sebenamya?" tanya Narti curiga, ketika pemuda itu terus menyeretnya agak jauh dari pemukiman penduduk.

"Kenapa? Apakah kau takut padaku, Narti?" tukas Soma.

"Tapi, Kakang...?"

"Kau tidak mencintaiku lagi?"

"Jangan berkata begitu, Kang! Kau tahu, betapa aku sangat mencintaimu."

"Nah! Kalau begitu, jangan banyak tanya-tanya lagi!"

"Tapi, mau dibawa ke mana aku? Tidak biasanya Kakang bersikap seperti ini. Kalau sekadar ngobrol, kita bisa melakukannya dirumah. Atau barangkali...."

Narti bergidik ngeri membayangkan apa yang ada di benaknya. Bagaimana kalau Soma memperkosanya? Meskipun dia kekasihnya, tapi hal itu belum pantas dilakukan! Apalagi melihat gelagat pemuda itu yang aneh dan mencurigakan. Tapi gadis ini takut menduga seperti itu. Dia berharap, Soma tidak bermaksud buruk. Itulah sebabnya, dia tak mau meneruskan kata-katanya.

"Apa? Kau mulai takut padaku, Narti? Kau tak percaya lagi padaku?!"

Tiba-tiba saja mereka berhenti. Soma memandang geram pada Narti. Hela napasnya laksana seekor harimau yang siap menerkam mangsa. Dan ini membuat gadis itu bergidik ngeri. Apalagi ketika tiba-tiba saja Soma memeluknya kuat-kuat, membuat tulang-belulangnya terasa mau patah.

"Kakang, lepaskan aku! Kau menyakitiku!" teriak Narti.

"Kau ingin lepas? Ingin bebas dariku?! He he he...! Dengan senang hati akan kulakukan! Ha ha ha...!"

Mendadak Soma berubah liar. Bola matanya membulat dan kelihatan garang. Dan tiba-tiba pula dirobeknya pakaian gadis itu sambil tertawa-tawa kegirangan.

Bret! Bret!

"Ha ha ha...!"

"Kakang! Apa yang hendak kau lakukan? Oh! Kau keterialuan, Kakang! Lepaskan aku! Lepaskan aku, Kakang Soma!" teriak Narti, berusaha berontak melepaskan diri.

"He he he...! Kau mau melepaskan diri dariku? Tidak akan bisa! Tidak akan bisa...!" desis Soma, terkekeh.

"Kakang, sadarlah! Apa yang tengah kau perbuat padaku?! Kakang Soma, kumohon sadarlah! Urungkan niatmu!" teriak Narti.

Tapi percuma segala teriakan Narti. Pemuda itu seperti kesurupan setan. Dia bukan saja merobek-robek pakaiannya, tapi juga menyumpal mulut gadis itu dengan kain. Bahkan dengan gerakan cepat dia mengikat kedua tangan dan kaki Narti.

"Kini apa dayamu? Kau tak akan mampu berbuat apa-apa?" desis pemuda itu dengan tatapan dingin dan seringai menyeramkan.

"Ehmm...! Hmmm...!" Bola mata gadis itu melotot garang. Meski mulutnya tersumpal, dia berusaha memaki-maki pemuda itu.

"Ha ha ha...! Terserah apa yang kau katakan. Mungkin kau samakan aku dengan bajingan atau apa, terserah. Yang jelas, pestaku kali ini tak akan terganggu. Ayo! Mari kita rayakan, Sayang. Di suatu tempat yang pasti kau sukai!"

Setelah itu, Soma memondong Narti dan berkelebat cepat dari tempat itu disertai suara terkekeh.

********************

"Brengsek! Brengsek! Kalau begini jadinya tak ada yang bisa kuajak bertanding!"

Seorang laki laki tua berambut putih sebahu terlihat uring-uringan sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Mulutnya tak henti-hentinya mengomel. Sementara tidak jauh darinya seorang pemuda tampan tengah terduduk di bawah pohon tanpa bisa bergerak sedikit pun.

"Rasakan sendiri!" sahut pemuda itu.

"Diam kau, Jaka Tawang! Kalau terus mengomel, maka sampai seharian kau akan terus tertotok begitu!" bentak laki-laki tua ini.

"Apa hebatnya? Aku justru merasa enak begini...," sahut pemuda yang ternyata Jaka Tawang. Dan orang tua yang mengomel tak lain dari Ki Sabda Gendeng gurunya sendiri.

"Enak katamu? Huh! Apa enaknya orang ditotok?" tukas Ki Sabda Gendeng.

"Bagi orang-orang mungkin siksaan. Tapi bagiku, ditotok seperti ini bagai berada di surga. Tak perlu mencarikan makanan, serta tak perlu bertanding catur melawan Guru...!" kilah Jaka Tawang.

Murid dan guru itu memang sama sablengnya. Bila Jaka Tawang sering membantah gurunya yang selalu mengajaknya main catur, maka hukumanlah yang harus diterimanya. Sementara, Ki Sabda Gendeng sendiri juga keterlaluan. Kalau bertanding main catur, dia maunya menang melulu. Dan bila Jaka Tawang mengalahkannya, laki-laki tua ini akan marah tak karuan. Tapi bila Jaka Tawang sengaja mengalah, Ki Sabda Gendeng akan menghinanya terus menerus.

"Tidak makan selama beberapa hari, kau tentu akan merasa lebih enak!" dengus laki-laki tua yang gila catur itu.

"Lebih baik ketimbang disuruh main catur dengan orang goblok!" balas Jaka Tawang.

"Eee...! Kau bilang aku goblok?! Murid kurang ajar! Kukemplang kepalamu berhenti jadi orang kau!"

Mata Ki Sabda Gendeng melotot. Tangannya terangkat, siap mengemplang. Namun Jaka Tawang tak terpengaruh sedikit pun. Wajahnya tetap ceria dengan bibir selalu tersenyum.

"Lho? Kok Guru jadi sewot? Siapa yang bilang guru, goblok?"

"Itu tadi?!"

"Aku kan hanya mengatakan, lebih enak tak makan ketimbang disuruh main catur dengan orang goblok!"

"Nah, itu berarti aku!" serobot Ki Sabda Gendeng.

"Apakah Guru merasa sebagai orang goblok?" tukas Jaka Tawang.

"Tentu saja tidak!"

"Nah! Berarti kata-kataku bukan ditujukan pada Guru!" tandas Jaka Tawang.

"Jadi pada siapa?" tanya Ki Sabda Gendeng.

"Ya, pada orang goblok tentunya," sahut pemuda itu sekenanya.

"Tapi, kau main catur hanya denganku saja. Maka tak ada orang lain yang bisa dikatakan goblok, selain aku!"

"Kenapa Guru begitu ngotot?! Apa itu artinya Guru memang senang dikatakan goblok?!" tukas Jaka Tawang menyudutkan.

"Tentu saja tidak, Murid Gendeng!"

"Ya, sudah! Kalau Guru memang tidak goblok, berarti aku menujukannya pada orang lain. Kecuali, kalau Guru memang merasa goblok."

"Sialan! Pintar saja kau bersilat lidah!"

Jaka Tawang terkekeh. Matanya berbinar-binar karena bisa mengerjai gurunya. Itu memang selalu diharapkan, karena selama ini selalu dikerjai Ki Sabda Gendeng.

"Jadi, kau sungguh-sungguh lebih enak begini?!" tanya Ki Sabda Gendeng.

"Yaaah.... Ketimbang minta dibukakan, tapi tidak juga dikabulkan...," desah Jaka Tawang, sambil menengadah ke atas. Dari celah-celah dedaunan pepohonan terlihat kalau langit mulai gelap. Sementara di ufuk barat sana, sinar merah jelaga nampak membias.

"Itu karena kau tak mau main catur denganku!" sentak Ki Sabda Gendeng, membuat Jaka Tawang menoleh lagi ke arahnya.

"Buat apa? Kalau kalah, Guru tak mau terima. Dan maunya aku yang terus kalah. Mana ada permainan catur seperti itu!"

"Jangan suka buat alasan. Itu karena kau saja yang tolol!"

"Hm.... Biasanya orang yang suka main dengan orang tolol, sebenamya dia tolol juga," sahut Jaka Tawang, kalem.

"Brengsek! Kau berani mengatakan aku tolol?!" bentak Ki Sabda Gendeng dengan mata mendelik lebar.

"Eeeh, nanti dulu! Siapa yang mengatakan Guru tolol?" tukas Jaka Tawang berkelit.

"Jangan berdalih lagi! Baru saja kau mengatakan begitu!"

"Nah! Ini seperti tadi. Guru tidak menyimak dengan teliti, dan akibatnya timbul salah pengertian. Aku hanya mengatakan, biasanya orang yang bermain dengan orang tolol, sebenamya tolol juga. Dan itu berarti bukan aku mengatakan Guru tolol."

Laki-laki tua yang gila catur ini mendengus beberapa kali. "Huh! Sekarang ini apa otakku yang butek, atau dia yang licik? Sebenarnya bocah ini melecehkan aku. Tapi setelah diteliti, dia memang mengatakan yang sebenarnya. Huh! Bagaimana ini?" gerutunya sambil menepuk-nepuk jidat

"Aku bisa menjawabnya!" selak Jaka Tawang.

"Aku tidak bicara denganmu!" sentak Ki Sabda Gendeng.

"Tapi ini menyangkut persoalanku, bukan? Nah, berarti aku yang bisa menjawabnya."

"Benarkah?" Jaka Tawang mengangguk cepat. "Kalau begitu, katakanlah!"

"Tapi ada syaratnya."

"Apa?"

"Bebaskan totokanku dulu."

"Hm.... Kau mau mengakaliku, bukan?" cibir Ki Sabda Gendeng.

"Ya, itu sih terserah Guru saja. Kalau totokanku dibuka, maka aku bisa menerangkannya dengan leluasa. Tapi kalau tidak, mana mungkin bisa jelas menerangkannya."

"Baiklah...." Ki Sabda Gendeng menyetujui setelah berpikir sebentar. Dia bangkit, lalu menghampiri Joko Tawang. Sebentar saja totokan di tubuh pemuda itu telah dibebaskannya.

"Ayo, katakan!" lanjut Ki Sabda Gendeng.

"Sebentar...." Jaka Tawang menggerak-gerakkan badannya. Tubuhnya terasa pegal setelah sekian lama jadi patung. Dan dia mesti melemaskan otot-ototnya.

"Kalau coba menggunakan akal bulusmu, akan kuhajar kau!" desis Ki Sabda Gendeng.

Pemuda itu tersenyum. Tapi belum lagi Jaka Tawang mulai menjelaskan, mendadak beberapa orang menghampiri dengan wajah garang. Di tangan mereka tergenggam beberapa macam senjata tajam. Ada apa dengan Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang?

DUA

Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang menoleh dengan kening berkerut Hati mereka bertanya-tanya, mengapa orang-orang itu mendatangi dengan wajah tak bersahabat? Namun belum sempat terjawab pertanyaan itu.

"Huh! Kurung mereka! Kita harus menghukumnya!" perintah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun berpakaian ketat warna merah. Wajahnya kokoh. Agaknya, dialah yang memimpin orang-orang ini.

"Kurasa itu tidak adil. Mereka harus ditanyai dulu," sergah seorang laki-laki tua berpakaian putih. Wajahnya berwibawa, namun penuh kehati-hatian.

"Ki Jumanta? Kenapa kau bersikap lemah? Aku melihat mereka sudah dua hari berada di Desa Ketakus ini. Sikap mereka sangat mencurigakan! Apa maunya kalau bukan mencari mangsa?" dengus laki-laki lain yang berusia tiga puluh tahun.

"Aku mengerti, Praba! Tapi kita perlu meneliti, agar tidak salah menghukum orang...," sahut laki-laki tua yang dipanggil Ki Jumanta.

"Sebagai kepala desa, kau terlalu lunak! Tapi, kami tak bisa mengikuti caramu," dengus laki-laki bemama Praba.

Ki Jumanta hanya menghela napas saja. Kepalanya menggeleng-geleng penuh penyesalan melihat sikap warganya yang susah diajak berpikiran dingin. Sementara, Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang hanya memperhatikan dan sesekali saling berpandangan. Sungguh mereka tak mengerti, ada apa sebenamya!

"Aku tidak peduli! Mereka berdua akan kubunuh dengan golokku ini!" dengus laki-laki berpakaian merah.

"Tahan, Ketawang! Jangan main hakim sendiri...!" seru Ki Jumanta.

Tapi laki-laki berpakaian merah yang bemama Ketawang telah mengacung-acungkan golok. Bahkan telah melompat sambil menebaskan goloknya ke arah Jaka Tawang yang berada di dekatnya.

"Yeaaa...!"

"Uts! Hei?! Apa-apaan ini?!" seru Jaka Tawang kaget sambil melompat ke belakang. Setelah berputaran dua kali, dia mendarat kokoh di tanah.

"Jangan banyak omong! Kalian pembunuh keparat! Dan hari ini, harus mati di tanganku!" bentak Ketawang, sengit.

"Pembunuh? Kurang ajar! Jangan seenaknya kau menuduh!" dengus Jaka Tawang, geram.

"Banyak bacot!" Saat itu juga Praba dan beberapa orang lain ikut menyerbu. Tidak tanggung-tanggung, kini lima orang yang mengeroyok Jaka Tawang dengan penuh nafsu untuk segera menghabisinya.

Sedangkan Ki Jumanta sambil menghela napas kesal, beringsut ke belakang dengan sikap serba salah. Sebagai kepala desa dia memang harus mengayomi dan melindungi rakyatnya. Tapi bila rakyatnya main hakim sendiri, setelah tanpa alasan kuat?

"Kami sudah cukup lama bersabar! Tapi kali ini, jangan harap akan kami diamkan. Pembunuh keparat sepertimu mesti dilenyapkan sekarang juga!" dengus Ketawang, setelah ikut ambil bagian lagi dalam menjatuhkan Jaka Tawang.

"Terkutuk! Gadis itu masih belia! Kau penggal kepalanya, setelah kau nodai!" timpal yang lain.

"Dasar sinting! Kapan aku pernah menodai seorang gadis? Kapan pula aku pernah memenggal kepala orang?" tukas Jaka Tawang membela diri mati-matian.

Kata-kata murid Ki Sabda Gendeng disambut dengan kelebatan golok yang silih berganti mengancam keutuhan lehernya. Para pengeroyok betul-betul tidak memberi kesempatan padanya untuk mengetahui duduk persoalan yang sebenamya.

"He he he...! Itu hukum karma namanya!" ejek Ki Sabda Gendeng. "Kau mengakali gurumu. Sekarang, orang-orang ini membalaskannya untukku!"

Laki-laki tua gila catur ini sama sekali tidak bermaksud membantu. Dia malah enak-enakan menenggak tuak di bumbung bambu sambil duduk kembali menghadapi papan catur di depannya.

"Jangan tertawa dulu, Orang Tua! Kau sama saja dengannya!" Mendadak seorang pengeroyok lain menyerang Ki Sabda Gendeng dengan tusukan golok.

Siuuut!

"Eh!" Ki Sabda Gendeng mengegos ke kiri, sehingga tusukan sebilah golok dapat dihindarinya. Orang itu terus bergerak terbawa luncuran tubuhnya. Dan Ki Sabda Gendeng tinggal menggaet kakinya, sehingga....

Brukkk...!

Orang itu jatuh tersungkur. Pada saat yang sama, para pengeroyok lain tidak berdiam diri, Mereka langsung meluruk ke arah Ki Sabda Gendeng yang telah bangkit dengan sikap waspada.

"Ha ha ha...! Inikah yang Guru katakan hukum karma? Ternyata kita sama-sama merasakannya!" teriak Jaka Tawang mengejek.

"Sialan!" Ki Sabda Gendeng hanya bisa mengumpat. Dengan tangan kiri mengepit bumbung bambu di tangan kanannya mencoba dibantu kedua kakinya. Begitu cepat gerakan laki-laki tua ini. Bahkan belum sempat disadari para pengeroyok, tubuhnya cepat bergerak melakukan serangan balasan.

Buk! Des!

"Aaakh...!" Dua pengeroyok menjerit kesakitan saat kaki dan tangan Ki Sabda Gendeng berhasil menghantam dada serta perut mereka.

Pada saat yang sama seorang pengeroyok meluruk sambil menebaskan golok. Ki Sabda Gendeng berkelebat. Tangan kanannya cepat mencengkeram leher baju penyerangnya.

Krep! Wuuut!

"Aaa...!" Orang itu berteriak ketakutan Ki Sabda Gendeng melemparkannya ke udara. Tubuhnya melayang dan jatuh dengan keras ke bawah.

Belum sempat Ki Sabda Gendeng menarik napas lega, dua pengeroyok telah menyerangnya sekaligus. Namun dengan tenangnya, laki-laki tua ini memutar tubuhnya. Dan seketika disambarnya bumbung bambu yang tadi dikempit di ketiak. Lalu....

Bletak! Tak!

"Aaakh...!" Kedua orang itu menjerit sambil memegangi kepalanya yang benjol dihantam bumbung bambu.

"Jaka Tawang! Apa kau mau seharian meladeni yang tak berguna ini?!" teriak Ki Sabda Gendeng, seraya melompat ke belakang.

"Tidak, Guru!" sahut Jaka Tawang.

"Lalu kenapa masih di sini?" Sehabis berkata demikian, Ki Sabda Gendeng melesat kabur.

"He he he...! Kalau begitu kemauan Guru, mana berani aku membantahnya?"

Setelah melihat tindakan gurunya, pemuda itu mencelat ke belakang. Disambarnya tongkat bambunya yang diletakkan di bawah pohon, lalu diputar-putar untuk menghalau serangan. Kemudian dengan ringan tubuhnya berkelebat mengikuti gurunya yang telah lebih dulu kabur.

"Kejaaar...!" teriak Ketawang. "Jangan biarkan lolos!"

Tapi percuma saja mereka mengerahkan seluruh tenaga untuk mengejar. Murid dan guru itu telah berkelebat cepat Dan sebentar saja, mereka tidak kelihatan lagi batang hidungnya.

Orang-orang itu memang tidak tahu kalau dua orang yang barusan dikeroyok adalah dua orang tokoh persilatan yang namanya mulai diperhitungkan para tokoh hitam. Murid dan guru itu bukannya takut menghadapi para pengeroyok tadi, tapi hanya sekadar menghindari dari kesalah pahaman yang bisa berakibat jatuhnya korban.

"Guru, tunggu! Tunggu dulu! Mereka sudah jauh dan tidak mungkin bisa mengejar kita!" teriak Jaka Tawang sambil mengejar Ki Sabda Gendeng yang tak juga menghentikan larinya.

"Benarkah?" Ki Sabda Gendeng menghentikan larinya. Kepalanya menoleh ke belakang. Meski telah berlari sekian jauh, tapi tidak terlihat kalau laki-laki tua urakan megap-megap. Dadanya mengembang seperti biasa, sebagai tanda mahir menguasai pernapasan. Dan orang seperti itu biasanya memiliki tenaga dalam hebat!

"Aku tidak mengerti, kenapa mereka tiba-tiba saja mengamuk dan menuduh kita pembunuh...," gumam Jaka Tawang, seperti berkata sendiri.

"Kau kira aku mengerti?" Ki Sabda Gendeng melotot

"Mereka orang-orang desa yang polos, Guru. Pasti ada sesuatu yang menimpa mereka. Kita mesti membantunya," jelas Jaka Tawang.

"Polos katamu? Leherku hampir saja terpisah! Dan kita mesti membantu orang-orang yang nyaris menebas leherku? Huh! Kurasa malaikat pun tidak akan berbuat sebaik pikiranmu itu!" dengus laki-laki tua itu.

"Tapi mereka berbuat begitu karena kalap dan tidak tahu, Guru. Kita mesti memakluminya...."

"Ah..., kau saja yang memaklumi!"

"Jadi Guru tidak mau membantu?"

"Tidak!" sahut Ki Sabda Gendeng, seraya melengos dengan tangan bersedekap.

"Kalau begitu, Guru bukan pendekar sejati!" tuding Jaka Tawang.

"Dasar bocah tolol!" Ki Sabda Gendeng menatap muridnya. "Sejak kapan aku mimpi jadi pendekar sejati? Kesukaanku hanya main catur. Nah! Kalau menjadi pemain catur sejati, tentu saja aku mau."

"Sama saja!"

"Apa?"

"lya! Main catur dengan dunia kependekaran, toh tiada jauh berbeda. Sama-sama berusaha mengalahkan lawan secepatnya."

"lya, ya! Benar juga kau...!" Ki Sabda Gendeng mengangguk-anggukkan kepala.

"Maka Guru harus menjunjung tinggi sifat-sifat seorang pendekar. Yaitu, menolong orang-orang yang kesusahan, salah satunya...."

"Tentu saja! Selama ini aku selalu berbuat seperti itu!" kilah Ki Sabda Gendeng.

"Nah! Hari ini, kita lihat penduduk desa itu tengah kesusahan. Mereka mengira kita sebagai pembunuh. Kita harus menangkap si pembunuh yang sebenarnya, dan menyerahkannya kepada mereka. Dengan begitu kita menjunjung sifat-sifat seorang pendekar," kata Jaka Tawang memberi pengertian.

"Betul, apa yang kau katakan itu!" sambut laki-laki tua gila catur ini.

"Nah! Berarti Guru setuju, bukan?"

"Tentu saja!"

"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Ayo kita can" pembunuh keparat itu!"

"Untuk membantu mereka?"

"Tentu saja!"

"Tidak! Sudah kukatakan, aku tidak mau membantu mereka."

"Lho? Bukankah Guru mengatakan setuju untuk membantu mereka yang kesusahan?"

"Tentu saja! Tapi sekarang yang susah mereka atau kita? Kita dikejar-kejar dengan puluhan golok terhunus. Lalu, kita mesti membantu mereka. Huh! Orang sinting sepertiku saja bisa membedakan, mana yang mesti dibantu dan mana yang tidak!"

"Ah, sudahlah! Percuma berdebat dengan Guru. Kalau tak mau membantu, biar aku saja yang ke sana!" Disertai napas kesal, Jaka Tawang berbalik. Kakinya langsung melangkah lebar ke arah Desa Ketakus lagi.

"Eee.... Mau ke mana kau?!" sentak Ki Sabda Gendeng seraya melangkah menghampiri Jaka Tawang yang sudah berhenti lagi.

"Membantu mereka menangkap pembunuh sebenarnya," sahut Joko Tawang disertai desahan napas kesal.

"Kalau kau mendekati orang-orang itu, memang akan sangat membantu. Membantu mereka dalam menangkapmu!" ejek Ki Sabda Gendeng, meremehkan.

"Aku tidak akan sebodoh itu!" desis pemuda ini.

"Hm..., apa maksudmu?"

"Aku akan menyamar, sehingga mereka tidak mengenalinya. Dengan begitu, aku bisa leluasa mencari keterangan."

"Gigih juga semangatmu. Tapi, mau menyamar jadi apa?" tanya Ki Sabda Gendeng bernada meremehkan.

"Jadi apa saja yang tidak dicurigai! Jadi orang tua, atau jadi perempuan juga bisa!" sahut Jaka Tawang sekenanya.

"Ha ha ha...!"

Jaka Tawang menatap gurunya dengan sinar mata tidak suka. Dia merasa gurunya seperti meremehkan apa yang jadi rencananya. "Kenapa Guru tertawa?"

"Kalau jadi perempuan, kau tak perlu menyamar. Karena, sekarang pun sudah mirip," ledek Ki Sabda Gendeng, tak menghiraukan tatapan muridnya.

"Brengsek!" maki Jaka Tawang. Tapi tentu saja makian itu hanya di hati, karena kalau sampai terlontar dari mulutnya, akan timbul masalah lagi.

Ki Sabda Gendeng memang sedikit curang. Kalau dirinya boleh memaki seenaknya. Tapi giliran dimaki, maka akan blingsatan. Tangannya gatal-gatal kalau tidak menghajar orang yang memakinya. Meskipun, itu murid sendiri. Dan Jaka Tawang paham betul tabiat gurunya.

"Aku pergi dulu," kata pemuda itu pendek, langsung melangkah.

"He he he...!" Ki Sabda Gendeng terkekeh. Tapi tiba-tiba dia teringat sesuatu. Dan secepat itu tawanya siena.

"Sial! Kenapa dia enak-enakan membantu orang lain? Bukankah sebaiknya membantuku? Main catur, misalnya? Hei, Jaka Tawang! Berhenti kau! Berhentiii...!" teriaknya mengejar.

Jaka Tawang agaknya mengerti gelagat. Meski jaraknya cukup jauh, namun telinganya masih mampu mendengar teriakan gurunya. Kalau sudah begitu, pasti urusannya jadi lain. Gurunya teringat akan catur dan pasti akan memaksanya main. Ini berabe, dan bisa mengganggu rencananya. Kalau lari, orang tua itu pasti bisa mengejar. Maka jalan terbaik adalah bersembunyi. Jaka Tawang langsung berkelebat ke amping, lalu menghilang di lebatnya hutan kecil ini.

"Keluar kau, Jaka Tawang! Aku tahu kau mendengar teriakanku! Ayo, keluar!" ujar Ki Sabda Gendeng begitu tiba ditempat Jaka Tawang menghilang tadi.

Tapi mana mau pemuda itu menuruti permintaan gurunya. Kalau dia keluar, tentu akan mendapat hukuman. Dan hukuman yang paling membuatnya kesal adalah disuruh bermain catur!

"Ayo keluar kau, Bocah Edan! Kalau sampai kutemukan, kubuat kau jadi patung seumur hidup!" ancam Ki Sabda Gendeng. Baru saja gema suara laki-laki tua itu lenyap.

Tak!

Mendadak terdengar suara ranting patah dari belakang. Tanpa menoleh lagi, Ki Sabda Gendeng mendengus. "Akhirnya kau muncul juga, Bocah Edan! Jangan harap kau lolos dari hukuman!"

"Hei, Orang Tua Sinting! Kini kau tidak bisa lari lagi!"

Ki Sabda Gendeng berbalik. Wajahnya kontan merah karena marah. Dikira yang muncul Jaka Tawang yang sudah amat kelewatan. Tapi keningnya langsung berkerut, ketika melihat sosok lain telah tegak berdiri mengawasinya dengan wajah geram. Sosok itu adalah seorang laki-laki muda berbadan tegap terbungkus pakaian kuning. Rambutnya sepanjang pundak dibiarkan lepas begitu saja. Bola matanya tajam memandangnya. Di pinggang kiri terselip sebilah kapak.

Hei?! Siapa kau, Bocah?!" tegur Ki Sabda Gendeng.

"Aku malaikat maut yang akan mencabut nyawamu!"

"Brengsek! Kau kira aku bocah ingusan yang bisa ditakut-takuti, he?!" hardik Ki Sabda Gendeng.

"Kau pembunuh biadab! Dan aku tidak akan melepaskanmu sebelum menebas lehermu!" balas pemuda yang baru datang ini.

"Edan! Galak juga rupanya kau. Hei?! Apa orang tuamu tidak mengajarkan sopan-santun? Tahukah kau, tengah berhadapan dengan siapa saat ini? Salah-salah malah kepalamu yang bisa kutebas!" maki Ki Sabda Gendeng.

"Iblis terkutuk! Cabut senjatamu sebelum kapakku menebas lehermu!" Pemuda tegap itu mendengus garang. Lalu secepat kilat mencabut senjata kapaknya.

"Yeaaa...!" Disertai teriakan menggetarkan, pemuda itu melompat dengan babatan kapak.

"Sial! Mimpi apa aku semalam? Hari ini kok, apes bener!" umpat lelaki tua gila catur ini seraya mengibaskan tongkat bambu hitam ke arah kapak pemuda itu.

Trak!

"Hiih!" Meski tongkat Ki Sabda Gendeng membentur kapak baja, namun sama sekali tidak bergeming. Malah pemuda itu yang merasakan suatu tenaga tak tampak, yang membuat tangannya bergetar. Tapi mana mau pemuda ini mengalah begitu saja. Kaki kirinya langsung menyodok ke perut.

"Hup!" Namun Ki Sabda Gendeng cepat mencelat ke atas.

Sambil berputar, pemuda itu menyabetkan kapaknya ke atas, membuat Ki Sabda Gendeng harus cepat memalangkan tongkatnya ke atas.

Trak!

Dari benturan barusan, Ki Sabda Gendeng mempergunakan kekuatan benturan untuk melenting ke belakang. Dan indah sekali kakinya mendarat di tanah.

"Bocah edan! Jangan memaksaku untuk memecahkan batok kepalamu, he?!" maki Ki Sabda Gendeng dengan mata melotot, setelah menyadari kalau pemuda ini benar-benar menginginkan nyawanya.

"Orang tua busuk! Jangan banyak omong! Nyawamu berada di tanganku. Lebih baik berdoa, mudah-mudahan dosa-dosamu diampuni Yang Maha Kuasa!" balas pemuda ini.

"Dasar gendeng!" maki Ki Sabda Gendeng.

Dan pemuda berbaju kuning itu tak peduli kelihatannya. Dia betul-betul ingin membuktikan kata-katanya. Begitu tubuhnya meluruk, maka serangan yang dilancarkannya sekarang makin berlipat ganda. Bahkan kapaknya terus menerus mengancam keselamatan Ki Sabda Gendeng.

Sampai beberapa jurus Ki Sabda Gendeng tidak berusaha membalas, melainkan hanya menghindar. Tapi, kesabaran orang tua itu mulai habis. Dan sebenarnya sifatnya bukanlah orang sabar. Hanya saja karena di hatinya masih tersisa pertimbangan kalau pemuda ini salah paham, maka tangan kejamnya tidak berusaha diturunkan.

Tapi, sekarang persoalan sudah lain. Pemuda itu tak memberinya kesempatan. Dan dia pun mulai tak peduli. Maka, tongkat bambunya yang semula cuma menangkis, kini balas menyerang.

Trak!

"Uhh...!" Sekali membentur kapak, maka ujung tongkat Ki Sabda Gendeng terus menyodok ke leher. Pemuda itu tercekat Matanya melotot kaget, karena tak menyangka laki-laki tua lawannya mampu bergerak secepat itu.

"Hiih!" Ki Sabda Gendeng tak meneruskan serangan. Tubuhnya berbalik sambil melepaskan sepakan ke dada.

Desss...!

"Ughh...!" Pemuda itu kontan tersungkur sambil mengeluh kesakitan. Tangan kirinya mendekap dadanya yang terasa sesak dan nyeri. Dan dengan wajah garang dia bangkit kembali.

"Iblis terkutuk, aku akan mengadu jiwa denganmu! Heaaa....!" Diiringi teriakan keras, pemuda itu menerjang penuh nafsu.

"Bocah semprul! Dikasih hati, malah minta jantung. Kau kira aku jangkrik yang mau diadu-adu?!" maki Ki Sabda Gendeng.

Tapi pemuda itu tak mempedulikannya. Dia terus menyerang dengan sambaran kapaknya.

Wuuuttt...!

Sementara, Ki Sabda Gendeng benar-benar habis kesabarannya. Tongkatnya cepat berputar, menangkis sambaran kapak.

Trak!

Begitu terjadi benturan, tongkat itu bergerak cepat menyambar pergelangan tangan pemuda berbaju kuning ini. Namun tongkat bambu Ki Sabda Gendeng menyambar angin, ketika pemuda ini menarik tangannya. Sayang di luar dugaan, tongkat yang menyambar angin tahu-tahu telah berbalik dengan kecepatan dahsyat, menuju perut. Lalu....

Duk!

"Aaakh...!" Pemuda itu terpekik ketika perutnya terhantam tongkat. Tubuhnya terjajar mundur beberapa lang-kah.

"He he he...! Kau kira bisa menganggap enteng padaku?" ejek Ki Sabda Gendeng, seraya melanjutkan serangan langsung menghantam tangan pemuda itu dengan tongkatnya.

Tak!

"Aaakh...!" Kembali pemuda itu mengeluh tertahan. Sebelum dia sempat berbuat apa-apa, pergelangan tangannya seperti kaku, sehingga kapaknya terlepas dari genggaman. Hajaran tongkat itu kuat bukan main. Terasa kalau tulang pergelangan tangannya retak. Namun sebelum laki-laki gila catur itu meneruskan serangan....

"Sabda Gendeng! Hentikan seranganmu!" Terdengar satu suara, membuat Ki Sabda Gendeng terkejut dan langsung menoleh.

"Hem!" Ki Sabda Gendeng mendelik garang ketika melihat kemunculan seorang laki-laki tua berjubah putih. Rambutnya panjang yang sebagian telah ubanan. Tubuhnya kurus. Berdirinya seolah melayang-layang diterpa angin. Namun dari pancaran sorot matanya, orang akan merasakan suatu kekuatan dahsyat dalam dirinya.

"Kukira siapa. Kau rupanya, Sampagul. Apa maumu?!" tegur Ki Sabda Gendeng.

"Jangan beraninya pada muridku. Hadapi aku!" dengus orang tua yang dipanggil Sampagul.

"Ha ha ha...! Jadi, bocah semprul itu muridmu? Pantas! Pantas rasanya, aku memang pernah mengenal ilmu silat yang dimainkannya."

"Jangan banyak omong! Bersiaplah untuk menghadapiku!"

"Hee, tunggu dulu! Aku mesti mengerti, apa persoalannya sehingga bocah semprul itu menyerangku!"

"Kau orang tua ugal-ugalan! Siapa pun tahu, kau suka mencari gara-gara! Ayo, lekas perlihatkan jurus-jurusmu!"

"Dasar muridnya geblek, gurunya pun pasti biangnya!" umpat Ki Sabda Gendeng.

"Keparat!"

"Yeaaa...!" Ki Sampagul tidak dapat lagi menahan diri. Langsung diserangnya Ki Sabda Gendeng.

"Eee, nekat juga!"

"Jangan banyak omong, Pengecut! Akan kuberi kau pelajaran yang tak akan terlupakan seumur hidup!" dengus Ki Sampagul, langsung menjotos.

TIGA

Dengan indah sekali, Ki Sabda Gendeng berkelit ke samping. Tangan kirinya langsung bergerak memapak.

Plak!

Ki Sampagul dan Ki Sabda Gendeng sama-sama terjajar. Namun, Ki Sabda Gendeng telah cepat memutar tubuhnya sambil melepas tendangan berputar ke perut.

"Hup...!" Ki Sampagul melenting ke atas. Dan tahu-tahu kakinya telah terjulur, mengancam dada Ki Sabda Gendeng.

Namun laki-laki tua gila catur ini agaknya tidak semudah itu dipecundangi. Tubuhnya tiba-tiba mencelat ke samping sambil mengibaskan tongkat, mengarah ke kaki.

Ki Sampagul semakin kalap. Cepat kakinya ditarik pulang sambil mencabut kapak perak yang terselip di pinggang.

"Heaaa...!" Dengan memutar tubuhnya di udara, Ki Sampagul menghantamkan tongkat menggunakan kapak.

Trak!

Dengan menggunakan daya lontaran tubuhnya, Ki Sampagul memutar tubuhnya kembali ke. belakang. Lalu, manis sekali kakinya mendarat di tanah. Sementara Ki Sabda Gendeng terjajar mundur.

Kini kedua tokoh tua itu telah siap saling gebrak lagi. Sorot mata mereka sama-sama tajam, seperti hendak menembus jantung lewat bola mata.

"Heaaa...!"

"Hiaaa...!"

Dan pertarungan itu agaknya memang tak terhindarkan lagi dan semakin seru. Gerakan mereka begitu cepat sehingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan saja. Bahkan tenaga dalam yang ditimbulkan dari setiap benturan yang terjadi mampu menggetarkan daerah di sekitarnya. Itu menandakan kalau keduanya memiliki tenaga dalam hebat.

"Sampagul! Sesinting-sintingnya aku, masih bisa membedakan mana kawan dan mana lawan...," teriak Ki Sabda Gendeng di tengah pertarungan.

"Kau lawanku! Jangan banyak mulut, Setan!" semprot Ki Sampagul.

"Brengsek! Dasar orang tua bau tanah!"

"Bajingan! Apa kau kira hanya aku yang bau tanah?! Kalau aku mau, sebentar lagi kau malah bisa bersatu dengan tanah. Bahkan namamu juga bisa ikut terkubur di tanah!"

"Huh! Kenapa tidak dari tadi dibuktikan? Jangan-jangan cuma mulut besarmu saja."

"Kurang ajar! Kau boleh rasakan ini! Yeaaa...!" Ki Sampagul menggeram marah karena diremehkan. Dia menyerang sekuat tenaga, mengeluarkan semua jurus terhebat yang dimiliki.

Tapi Ki Sabda Gendeng pun bukanlah tokoh kemarin sore. Sehingga pertarungan mereka bukan lagi pertarungan biasa, tapi berlanjut menjadi pertarungan hidup mati.

Pada saat pertarungan telah mencapai puncaknya, mendadak sebuah bayangan putih berkelebat masuk ke dalam celah dua sosok yang bertarung.

Plak! Plak!

"Heh...?!"

Kedua tokoh itu sama-sama terjajar mundur dengan wajah tersentak kaget ketika tangan mereka terhantam bayangan putih yang sudah berdiri di tengah tengah.

"Kalian bukanlah tokoh kemarin sore yang penuh pertimbangan dalam bertindak. Mengapa saling baku hantam sampai sehebat ini?!" tegur sosok bayangan putih yang temyata seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Di punggungnya tersampir sebilah pedang bergagang kepala burung.

"Hei, Kisanak! Sebaiknya jangan turut campur!" sahut pemuda murid Ki Sampagul yang tadi dihajar Ki Sabda Gendeng.

"Siapa kau?" tanya pemuda berbaju rompi putih.

"Aku Sumantri, murid Ki Sampagul," sahut pemuda murid Ki Sampagul yang bemama Sumantri.

"Aku kenal gurumu. Dia bukan tokoh jahat. Kenapa kau malah membiarkannya menempur Ki Sabda Gendeng mati-matian?" tegur pemuda berbaju rompi putih.

"Orang tua pemabuk itu pembunuh terkutuk!" tuding Sumantri

"Pembunuh terkutuk? Apa maksudmu?"

"Dia bukan manusia, tapi iblis. Telah banyak gadis yang menjadi korban kekejiannya. Mereka mati dengan leher putus setelah terlebih dahulu dinodai."

"Hm.... Aku tidak yakin, itu perbuatan Ki Sabda Gendeng..."

"Tapi buktinya orang-orang desa yakin, kalau dia pelakunya."

"Berarti kau tidak melihat sendiri kalau dia pelakunya, bukan?"

"Aku percaya dengan tuduhan orang-orang desa itu!"

"Menuduh seseorang tanpa bukti, namanya fitnah. Dan selamanya fitnah itu amat buruk dan keji!"

"Tidak usah banyak bicara. Katakan saja kalau kau hendak membelanya!" bentak Sumantri.

"Bocah edan! Rupanya kau kawan si Bajingan ini, he?!" bentak Ki Sampagul.

"Ki Sampagul, tenanglah! Aku tidak bermaksud ikut campur. Tapi kulihat ada kesalahpahaman di antara kalian. Dan aku bermaksud menengahinya...," kilah pemuda berbaju rompi putih.

"Tidak perlu! Kau kira dirimu siapa? Dasar bocah tak tahu diri!" dengus Ki Sampagul.

"He he he...! Sekarang kau kena batunya, Rangga!" kata Ki Sabda Gendeng, sambil terkekeh. "Mereka memang kepala batu.... Susah diberi pengertian...."

"Hm, pantas! Rupanya kalian saling berkawan, he?!" dengus Ki Sampagul. "Tapi jangan kira aku takut, meski kalian mengeroyokku. Ayo, maju. Dan seranglah aku! Akan kuhajar kalian sekaligus!"

"Dasar orang tua sinting! Aku tak perlu main keroyok untuk menghajar kunyuk sepertimu?!" semprot Ki Sabda Gendeng.

"Bajingan pemabuk! Kurang ajar kau! Dan kau, Bocah Edan! Tunggulah bagianmu! Biar kubereskan bajingan ini lebih dulu. Atau bila kau tak sabaran, silakan maju mengeroyokku!"

Pemuda berbaju rompi putih yang ternyata Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti hanya menghela napas pendek. "Susah...."

Dan baru saja Ki Sabda Gendeng dan Ki Sampagul memasang kuda-kuda, mendadak muncul beberapa orang penduduk ke tempat itu. Seorang yang berusia sekitar enam puluh tahun berjalan paling depan.

"Kisanak semua...! Aku Ki Jumanta atas nama seluruh penduduk Desa Ketakus memohon agar kalian segera menghentikan pertarungan!"

Namun seruan laki-laki tua yang ternyata Ki Jumanta sama sekali tidak digubris. Karena, kedua tokoh tua itu langsung saling gebrak. Dan laki-laki Kepala Desa Ketakus itu hanya menarik napas.

Namun kemudian kedua tangannya diangkat ke dada. Telapaknya menghadap ke atas, dan sisinya merapat ke dada. "Heaaa...!"

Dengan satu bentakan kuat, Ki Jumanta yang ternyata punya kepandaian pula menghentakkan kedua tangannya.

Wuuusss!

"Heh?!"

Serangkum angin kencang langsung meluruk ke arah dua orang yang tengah berkelahi. Meski keduanya berilmu tinggi, tapi serangan itu cukup membuat kaget. Mereka cepat melompat bersamaan ke belakang.

Pada saat itulah Ki Jumanta mencelat dan tegak berdiri di tengah-tengah. "Kisanak semua! Hentikanlah pertarungan sia-sia ini. Kalian berkelahi tanpa dasar yang kuat!" bentak Ki Jumanta.

"Siapa kau?! Jangan ikut campur urusan kami. Atau, kau akan mendapat bagian juga?!" bentak Ki Sampagul.

"Sabar, Kisanak! Aku mewakili orang-orang desa hendak menjelaskan persoalan yang tengah diributkan," ujar Ki Jumanta.

"Apa maksudmu?" tanya Ki Sampagul. Matanya melotot tajam.

"Kudengar kalian ribut karena salah paham. Makanya, aku ke sini untuk menjernihkannya...."

"Hm...!"

"Ki Sabda Gendeng bukanlah pembunuh yang kami maksudkan," lanjut Jumanta.

"Lalu, siapa pembunuh sebenamya?" sela Sumantri.

"Itulah yang sedang kami cari."

Mendengar itu, Sumantri jadi salah tingkah. Tapi dasar pemuda keras kepala, dia tidak sudi minta maaf pada Ki Sabda Gendeng. Begitu juga gurunya.

"Dari mana kau tahu kalau si tua pemabukan ini bukan pembunuhnya?" tanya Ki Sampagul, penasaran.

"Ada saksi yang menguatkan. Baru saja kami menemukan mayat salah seorang penduduk desa ini. Namanya, Narti. Dia guru Nyi Sumbi. Seperti biasa, kepalanya terpenggal dan tubuhnya telanjang seperti..., maaf, habis diperkosa...."

"Terkutuk!" desis Ki Sabda Gendeng.

Ki Sampagul dan muridnya mendengus. "Alangkah baiknya kalau pertikaian kalian dialihkan menjadi sesuatu yang berguna. Yaitu, membantu kami menangkap pembunuh itu. Daripada tenaga dibuang pecuma untuk persoalan sia-sia...," lanjut Ki Jumanta.

"Ya, ya...! Aku setuju! Orang itu memang bukan manusia, tapi iblis! Iblis terkutuk yang mesti dilenyapkan dari muka bumi ini!" timpal Ki Sabda Gendeng.

"Bagaimana denganmu, Ki...?" Ki Jumanta menatap Ki Sampagul.

"Panggil aku Ki Sampagul. Dan kehadiranku di sini bahkan untuk membunuh keparat itu. Kenapa masih diragukan lagi?"

"Syukurlah kalau memang begitu...."

"Hm.... Ki Jumanta.... Kalau tidak keberatan, bolehkan kau mempertemukanku dengan Nyi Sumbi?" Rangga buka suara.

"Apakah kau hendak menimang nenek itu, Kecil?" goda Ki Sabda Gendeng.

Rangga hanya tersenyum, tak meladeni gurauan sobat lamanya.

"Nyi Sumbi tengah bersedih. Tapi apa keperluanmu bertemu dengannya, Anak Muda?" tanya Ki Jumanta.

"Aku ikut bersama kalian untuk mencari pembunuh terkutuk itu! Dan mungkin keterangan Nyi Sumbi bisa membantu untuk mendapatkan jejak si pembunuh...," sahut Pendekar Rajawali Sakti.

"Terima kasih atas kesediaanmu membantu kami, Nak...."

"Rangga. Panggil saja begitu...."

"Baik, Rangga. Tentu saja dengan senang hati kami menerima kesediaanmu. Mudah-mudahan Nyi Sumbi mau bertemu denganmu. Kalaupun tidak, kuharap kau bisa mengerti. Narti adalah cucu satu satunya. Dan, amat disayanginya...," ucap Ki Jumanta.

"Ya. Aku bisa merasakannya. Dia pasti amat terpukul...."

Ki Jumanta mengangguk. "Rangga, mari ikut denganku!"

Bersama Rangga, Ki Sabda Gendeng pun mengikuti dari belakang. Disusul orang-orang desa lainnya. Lalu..., Ki Sampagul dan Sumantri.

********************

Wajah perempuan tua bernama Nyi Sumbi masih kelihatan muram. Kelopak matanya terlihat sembab. Suaranya pun serak, tercekat di tenggorokan. Namun begitu dia agaknya tidak keberatan bertemu Rangga. Terutama, karena mendengar dari Ki Jumanta kalau pemuda berbaju rompi putih itu hendak membantu meringkus pembunuh cucunya.

"Nyi Sumbi, inilah pemuda yang kuceritakan tadi. Namanya Rangga. Dan yang ini Ki Sabda Gendeng," jelas Ki Jumanta.

"Hm... ya. Mari silakan masuk. Jangan sungkan-sungkan," sambut Nyi Sumbi.

"Terima kasih, Nek," ucap Pendekar Rajawali Sakti begitu kedatangannya diterima Nyi Sumbi.

"Aku menunggu di luar saja, Sobat!" seru Ki Sabda Gendeng, seraya berbalik dan melangkah keluar.

Rangga mengangguk. Di temani Ki Jumanta Pendekar Rajawali Sakti duduk saling berhadapan dengan Nyi Sumbi di ruang tamu. Tak banyak perabotan di tempat ini. Hanya kursi dan meja, serta lemari kecil.

Bola mata wanita tua itu kelihatan berkaca-kaca. Untuk sesaat, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.

"Nek.... Kalau ini terasa berat, aku tak bermaksud memaksamu...."

"Tidak. Tidak apa, Rangga. Silakan, apa yang hendak kau tanyakan?"

"Sebelum Narti ditemukan tewas..., apakah ada peristiwa lain?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, memulai.

"Ya! Seorang pemuda membawanya keluar. Kukira sebentar. Namun sampai aku bangun pagi harinya, mereka belum juga kembali. Dan..., dan tadi barulah kudengar peristiwa naas yang menimpa Narti...," tutur Nyi Sumbi terputus, lalu menangis sesegukan.

Rangga menunggu beberapa saat, sampai tangis Nyi Sumbi reda. "Nenek kenal pemuda itu?"

"Dia pernah berkunjung ke sini beberapa kali. Anaknya kelihatan sopan, dan baik. Aku tak yakin kalau dia pembunuhnya...."

"Bisakah kau gambarkan ciri-ciri pemuda itu, Nek?"

"Aku tidak begitu ingat. Tapi dia tampan. Kulitnya sawo matang, bersih, dan..., seperti terpelajar...."

"Adakah ciri-ciri khusus yang kau ingat, Nek?"

"Ng..., sebentar. Hm, ya. Aku ingat! Dia memiliki tahi lalat di sudut bibir kirinya. Tidak berapa besar. Tapi kalau kita melihatnya dari dekat, akan terlihat jelas," urai Nyi Sumbi.

"Apakah kau menduga kalau pemuda itu pelakunya?" tanya Ki Jumanta.

"Pemuda itu tidak tewas seperti Narti, bukan?"

"Pembunuhan seperti ini telah terjadi kurang lebih sebulan belakangan. Dan, telah memakan korban sebanyak dua puluh orang. Di desa ini saja ditemukan lima korban. Termasuk, Narti. Dan semuanya gadis belia. Iblis itu sepertinya tidak bernafsu membunuh orang selain gadis-gadis belia," jelas Ki Jumanta.

"Tapi bukan berarti dia tak mau melakukannya, bukan?" Ki Jumanta terdiam.

"Adakah yang tahu, di mana pemuda itu berada?" tanya Rangga.

"Aku baru sekali bertemu. Itu pun ketika Narti mengantarkannya keluar pagar. Orangnya cukup sumringah. Dan seperti yang dikatakan Nyi Sumbi, dia terpelajar dan sopan. Tapi, aku belum pernah kenal sebelumnya. Apalagi mengetahui keberadaannya," sahut Ki Jumanta.

"Aku sendiri tak banyak bertanya...," desah Nyi Sumbi.

Rangga terdiam sebentar. Dicobanya merekam ciri-ciri pemuda itu di benaknya.

"Kenapa, Rangga? Apakah kau pernah mengenalnya?" tanya Ki Jumanta.

"Hm, tidak!" sahut Rangga.

Meski begitu, Ki Jumanta memandangnya curiga. Dia tak yakin dengan jawaban pemuda itu. Tapi, juga tak mau mendesaknya.

"Nek, aku berjanji akan mencari pembunuh cucumu. Berdoalah. Mudah-mudahan cepat berhasil. Dan orang itu pasti akan mendapat balasan setimpal atas perbuatannya."

Nyi Sumbi mengangguk. "Tangkaplah pembunuh itu, Rangga. Aku ingin dia merasakan hukuman yang setimpal atas perbuatannya."

"Jangan khawatir, Nyi Sumbi. Bukan hanya Rangga yang akan meringkus iblis keparat itu. Tapi, seluruh warga desa dan yang lainnya akan berusaha meringkusnya."

"Terima kasih...." Wajah perempuan tua itu sedikit cerah. Namun, tak mampu menghapus awan kelabu yang menyelimuti hatinya.

Rangga dan Ki Jumanta beranjak bangkit Mereka melangkah keluar rumah diiringi Nyi Sumbi sampai di depan pintu.

"Ki Jumanta, aku permisi dulu," kata Rangga setelah berada di luar rumah yang tak terialu besar ini.

"Apa selanjutnya yang akan kau lakukan, Rangga?" tanya Ki Jumanta.

"Aku belum tahu. Tapi, ada seseorang yang mesti kutemui," sahut Pendekar Rajawali Sakti.

"Siapa?"

Rangga tersenyum memandang Ki Jumanta. "Kukira kau punya cara lain untuk menangkap pembunuh itu, Ki...."

"Oh, maaf! Sepertinya aku mencampuri urusan. Maaf, Rangga. Aku hanya merasa kalau kita sebaiknya bekerjasama untuk menangkap pembunuh itu," ucap Ki Jumanta, merasa tidak enak hati.

"Ya, itu baik. Tapi aku punya cara sendiri. Mungkin kurang berkenan di hatimu, Ki. Dan aku tak bermaksud merepotkan orang lain. Maaf, aku harus segera pergi dari sini."

Rangga sengaja tak mau banyak omong. Dan setelah menjura hormat, dia segera angkat kaki. Ki Sabda Gendeng yang ada di belakangnya segera mengikuti.

"Silakan, Rangga! Silakan...!" Ki Jumanta pun tak bisa mencegah lagi. Bibirnya tersenyum hambar. Beberapa saat dia berdiri sambil mengawasi kedua orang tadi sampai hilang dari pandangan.

EMPAT

"Aku tak percaya dengan mulut manis si tua tadi!" dengus Ki Sabda Gendeng, ketika bersama Rangga telah tiba di luar batas Desa Ketakus.

"Siapa yang kau maksudkan?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, langsung menghentikan langkah.

"Si Jumanta!" dengus Ki Sabda Gendeng, juga menghentikan langkah.

"Kenapa rupanya dengan dia? Apakah kau pernah bertemu sebelumnya, Ki?"

"Orang lain boleh tertipu. Tapi, mata tuaku tidak. Aku bisa merasakan sorot matanya menyimpan sesuatu. Entah apa. Tapi semacam rahasia. Dia mungkin juga, berkaitan dengan soal pembunuhan itu!"

Ki Sabda Gendeng menatap Rangga penuh kesungguhan. Sepertinya, dia ingin minta dukungan Rangga atas pendapatnya.

"Tidak baik mencurigai orang tanpa bukti...." Rangga malah memberi tanggapan yang tak diharapkan.

"Aku bukan mencurigai. Tapi menuduh?" tandas Ki Sabda Gendeng.

"Menuduh bagaimana?" tukas Pendekar Rajawali Sakti.

"Dialah pembunuh keji itu!" Rangga tersenyum.

"Kenapa? Kau tak percaya?!" sentak laki-laki tua gila catur ini.

"Apa alasannya?".

"Mungkin sebagai tumbal ilmu sesat, atau sekadar melampiaskan nafsu iblis yang bergejolak dalam dadanya!"

Rangga terdiam. Namun keningnya sedikit berkerut.

"Nah! Kau percaya, bukan!" sela Ki Sabda Gendeng.

"Ya!" sahut Rangga, pendek.

"Kalau begitu, tunggu apa lagi?! Ayo, kita ringkus dia!" desak Ki Sabda Gendeng.

"Ki Jumanta?"

"Siapa lagi?!"

"Aku percaya ceritamu, Ki. Tapi bukan berarti aku mempercayai tuduhanmu pada Ki Jumanta," jelas Rangga, kalem.

"Lalu kalau bukan dia, siapa?!" tukas laki-laki tua ini, sedikit kesal.

"Itulah yang tengah kucari."

"Bagaimana caramu mencarinya?!"

"Aku akan menemui seseorang untuk mencocokkan cerita Nyi Sumbi tadi"

"Siapa orang yang kau maksud?" cecar Ki Sabda Gendeng.

"Pembunuh itu, mungkin...."

"lya, siapa?! Dia kan punya nama!"

Pendekar Rajawali Sakti tak langsung menjawab. Bibirnya malah tersenyum seraya memandang Ki Sabda Gendeng. "Maaf.... Untuk saat ini tak bisa kukatakan, Ki...," ucap Pendekar Rajawali Sakti, perlahan.

"Kau tak percaya padaku?"

"Bukan itu."

"Lalu apa? Apa karena kau tak menyertakanku untuk menangkapnya? Merasa kepandaianmu lebih tinggi dariku, he?!" desis laki-laki tua ini.

Rangga tergelak. "Ki Sabda Gendeng.... Jangan berprasangka buruk. Aku sama sekali tidak berpikir begitu. Ini semata-mata demi kerahasiaan saja. Kalau kukatakan, mungkin kau akan kaget dan berbalik mencurigaiku. Oleh karenanya, lebih baik tidak kukatakan," kilah Pendekar Rajawali Sakti.

"Siapa bilang aku pengaget?!" dengus Ki Sabda Gendeng. "Berita apa pun, tidak akan membuatku kaget."

Rangga tidak menyahut. Dia bersuit nyaring. "Suiiit!"

"He?! Kau sungguh-sungguh tak mau mengatakannya?!" bentak Ki Sabda Gendeng.

Pada saat yang sama, muncul seekor kuda hitam langsung mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar Rangga mengusap-usap leher kudanya, lalu dengan sigap melompat ke punggungnya.

"Bocah semprul! Kau betul-betul tidak menganggap sebelah mata padaku, he?!" maki Ki Sabda Gendeng, kalap.

"Kau betul-betul ingin tahu?" tanya Rangga.

"Tentu saja! Ayo, lekas katakan?!" desak laki-laki tua itu.

"Betul-betul tidak kaget?"

"Sialan! Kau kira aku banci?!"

"Orangnya adalah..., kau sendiri! Heaaa...!"

Setelah berkata begitu Rangga menggebah kuda bemama Dewa Bayu itu kuat-kuat. Seketika, kuda yang bukan kuda sembarangan itu melesat cepat bagai kilat.

"Hei, apa maksudmu aku?! Bocah semprul, berhenti kau! Berhentiii...!" teriak Ki Sabda Gendeng, seraya menggenjot tubuh, hendak menyusul pemuda itu.

"Ayo, Ki! Hitung-hitung mengencangkan otot-otot yang kendor!"

"Brengsek kau, Bocah! Kalau dapat, kubeset mulutmu!"

"Ha ha ha...!"

Ilmu meringankan tubuh Ki Sabda Gendeng memang sudah mencapai tingkat tinggi. Tapi Dewa Bayu yang ditunggangi Rangga adalah kuda pemberian para dewa. Larinya begitu cepat, jauh di atas kuda-kuda tunggangan lain. Pada saat Rangga mengendorkan lari kudanya, Ki Sabda Gendeng berhasil mendekatkan jarak. Tapi lambat laun dia mulai tertinggal. Dan akhirnya jauh tertinggal di belakang Dewa Bayu.

"Keparat kau, Bocah Semprul!" maki laki-laki tua ini. Sambil mengatur jalan napasnya, Ki Sabda Gendeng memandang ke depan. Dia berharap pemuda itu akan berbalik. Dan bila itu terjadi, maka akan dihajarnya habis-habisan. "Biar tahu rasa!" rutuknya.

Tapi harapan tinggal harapan. Karena, Rangga dan kudanya malah semakin jauh. Dan entah ke mana mereka pergi. Sementara Ki Sabda Gendeng hanya bisa memaki, lalu sesekali menenggak tuak di dalam bumbung bambu.

"Kodok bunting! Kadal bengek! Tikus kudisan! Kalau ketemu biar kujitak sampai benjol tiga belas...! Bocah semprul! Edan...! Sialan...!" maki laki-laki ini, tak karuan.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Keadaan kotaraja seperti biasa. Tiada yang istimewa dibanding hari biasa. Peristiwa pembunuhan yang belakangan ini merajalela, seperti tidak membuat resah penduduk kotaraja. Demikian pula keadaan di Istana Kerajaan Swama Pura. Penjagaan tetap ketat seperti biasa. Para prajurit bersiaga penuh.

Rangga turun dari kuda. Sambil menuntun Dewa Bayu, kakinya melangkah pelan mendekati pintu gerbang. Dua penjaga menghampiri, lalu membungkuk hormat.

"Pendekar Rajawali Sakti.... Selamat datang kembali di Istana Swarna Pura!" sapa seorang prajurit. "Mudah-mudahan kau selalu sehat dan panjang umur!"

"Terima kasih, Kisanak. Mudah-mudahan kalian pun demikian. Aku ingin bertemu Gusti Prabu Arya Dwipa. Apakah beliau ada?"

"Kebetulan Gusti Prabu ada. Biar kuberitahukan pada beliau!"

Seorang prajurit buru-buru ke dalam. Prajurit yang seorang lagi mempersilakan Rangga masuk. Sampai di dalam, prajurit ini memanggil seorang prajurit lain untuk mengurusi Dewa Bayu yang ditinggalkan di halaman.

Rangga tidak lama menunggu, karena sesaat kemudian Gusti Prabu Arya Dwipa sendiri yang tergopoh-gopoh menyambutnya bersama beberapa perwira kerajaan lain. Di antaranya sudah dikenalnya, mereka adalah Ki Sedopati, Ki Jayawane, Ki Pranajaya dan Ki Lola Abang

(Untuk lebih jelas tentang Gusti Prabu Arya Dwipa dan perwira-perwira kerajaan ini, silakan baca episode Utusan Dari Andalas)

"Saudaraku, Rangga! Angin apa gerangan yang membuat langkahmu ke sini?! Hm.... aku gembira sekali! Silakan masuk!" sambut Gusti Prabu Arya Dwipa dengan senyum lebar.

"Terima kasih, Gusti Prabu!"

Gusti Prabu Arya Dwipa membawa Rangga ke balairung pribadi, yang biasa digunakan menyambut tamu-tamu penting yang sifatnya pribadi. Di tempat itu pengawalan tidak begitu ketat Di dalamnya, dia ditemani beberapa pejabat kerajaan terdekat.

"Silakan, Rangga!"

Pendekar Rajawali Sakti mengambil tempat di dekat Gusti Prabu Arya Dwipa. Sementara yang lainnya berjejer duduk di sebelah kanan dan kiri dari hadapan Gusti Prabu Arya Dwipa.

"Silakan dicicipi hidangannya, Rangga...."

"Terima kasih. Aku selalu teringat kalau makanan di tempat ini lezat-lezat," ucap Pendekar Rajawali Sakti.

"Ha ha ha...! Bisa saja kau, Sobat!"

"Gusti Prabu.... Aku tidak melihat putra-putrimu berada di tempat ini. Apakah mereka tengah bepergian?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Ada. Apakah kau hendak bertemu mereka?" sahut Gusti Prabu Arya Dwipa seraya balik bertanya.

"Kurasa kedatanganku ke sini tidak menyampaikan pesan khusus yang berkaitan dengan kepentingan kerajaan. Ini hanya kunjungan biasa antara seorang kawan. Oleh karenanya, kuanggap kehadiran kerabat dekat kerajaan adalah hal wajar, sejauh mereka adalah keluargamu atau kawan-kawan dekat"

"He he he...! Kau benar, Sobat." Gusti Prabu Arya Dwipa lantas bertepuk sekali. Tak lama, seorang prajurit buru-buru masuk sambil menyembah hormat.

"Panggil putra-putriku ke sini! Katakan, mereka mesti menemui kawan karibku!"

"Daulat, Gusti!"

Putra-putri Gusti Prabu Arya Dwipa ada empat Yang sulung bernama Wiraguna. Usianya hampir sebaya dengan Rangga. Sementara yang kedua, Jayalaksana. Ketiga Jayadilaga. Dan yang bungsu, bernama Mayang. Selisih usia mereka sekitar setahun setengah. Sehingga jika berdiri bersamaan, akan terlihat kalau keempatnya seperti sebaya.

Rangga tidak menunggu lama, karena tiga dari empat putra Gusti Prabu Arya Dwipa segera muncul. Setelah memberi salam hormat, mereka segera mengambil tempat di dekat Gusti Prabu Arya Dwipa. Persis di depan Rangga. Dan Pendekar Rajawali Sakti pun dapat memperhatikan dengan jelas.

"Gusti Prabu mengapa tidak kulihat Pangeran Jayadilaga di antara mereka. Ke mana gerangan dia?"

Gusti Prabu Arya Dwipa melirik pada prajurit tadi yang disuruh memanggil.

"Ampun, Gusti Prabu! Hamba tidak menemukan Gusti Pangeran di tempatnya!"

"Kakang Jayadilaga tengah bepergian...," sahut Mayang.

"Bepergian ke mana? Dan mengapa tidak memberitahu Ayah sebelumnya?" tanya Gusti Prabu Arya Dwipa dengan kening berkerut

"Ayahanda.,.. Aku..., aku tidak tahu...," sahut Mayang, agak gugup.

"Gusti Prabu, sudahlah. Kalau memang Pangeran Jayadilaga tak ada, tidak jadi masalah. Jangan dibesarkan-besarkan persoalan ini," ujar Pendekar Rajawali Sakti.

Gusti Prabu Arya Dwipa menarik napas panjang. Kelihatan kalau hatinya memendam perasaan kesal. Kalau sampai seorang ayah tidak mengetahui anaknya pergi atau tidak, itu sangat memalukan. Terutama, di depan orang yang menjadi sahabat-sahabat dekatnya.

"Sebenarnya kepentinganku pun hanya pada Gusti Prabu. Jadi, ketidak hadiran Pangeran Jayadilaga sama sekali bukan masalah...," tambah Rangga.

"Rangga.... Kabar apa yang akan membawamu ke sini?" tanya Ki Pranajaya. Laki-laki tua itu cepat mengambil sikap, melihat suasana kaku yang menyelimuti tempat ini.

"Sebenarnya bukan kabar penting, Ki Pranajaya. Dari jauh, masih terus kupantau keadilan serta kebijaksanaan Gusti Prabu. Hatiku tersentuh. Dan seorang raja yang demikian amatlah langka. Sehingga, aku perlu mengunjunginya sekali lagi. Entah berapa kali lagi untuk menatap beliau sepuas hati. Bahkan menjadikannya sahabat sejatiku...," sahut Rangga, memuji.

"Rangga, aku atas nama seluruh kerajaan, juga atas nama pribadi Gusti Prabu Arya Dwipa, mengucapkan terima kasih atas pujianmu. Pujian itu mungkin berlebihan, karena Gusti Prabu adalah manusia biasa, yang..., bisa saja berbuat salah atau khilaf. Oleh karena itu sudilah kiranya kau terus memperingatkan beliau. Atau memperingatkan kami pada umumnya."

"Ki Pranajaya.... Perkataanmu benar sekali. Aku setuju." Kemudian Rangga berpaling pada Gusti Prabu Arya Dwipa "Gusti Prabu, maukah mendengar sebuah cerita yang disampaikan orang tua hamba?"

"Sobat! Kau terialu banyak peradatan padaku. Aku adalah kawanmu. Maka, bersikaplah sebagai seorang kawan," tandas Gusti Prabu Arya Dwipa.

"Terima kasih atas penghargaan itu, Gusti Prabu."

"Nah! Cerita, apa yang hendak kau sampaikan padaku? Aku tentu senang sekali mendengamya," ujar Gusti Prabu Arya Dwipa lagi.

"Cerita ini mengenai anak harimau yang menyamar sebagai kijang jantan yang cantik dan gagah," jelas Pendekar Rajawali Sakti.

"Ceritakanlah! Bagaimana kisah itu!"

"Alkisah, terdapatlah seekor harimau yang pernah berjanji untuk memerintah kerajaannya dengan aman dan tenteram...," Rangga memulai.

Orang-orang yang berada di ruangan ini mendengarkan dengan seksama. Ini peristiwa yang menarik. Karena Rangga dikenal bukan seorang pendongeng. Semua yang ada di sini tahu, kalau Rangga adalah seorang pendekar yang disegani. Kalau pemuda itu mendongeng, maka bisa saja ada sesuatu yang hendak disampaikannya.

"Harimau itu memegang teguh janjinya, sehingga rakyatnya pun merasa tenteram dan tidak was-was. Bila ada kesalahan dari para pembantunya, maka rakyat tidak segan-segan melapor pada beliau. Sampai pada suatu ketika, salah seorang anak sang harimau merasa tak tahan mengendalikan diri. Maka dengan bersembunyi di balik baju seekor kijang, dia mulai berbuat kejahatan di mana-mana. Tahukah Gusti Prabu, kenapa dia berbuat seperti itu?" tutur Pendekar Rajawali Sakti yang diakhiri dengan pertanyaan.

"Karena menuruti naluri seekor harimau yang buas dan haus darah," jawab Gusti Prabu Arya Dwipa.

"Hampir tepat! Tapi sebenarnya tidak begitu."

"Sang anak mempunyai maksud tertentu?" duga Ki Pranajaya.

"Apakah maksud sang anak sebenamya?" tanya Ki Lola Abang.

"Untuk memuaskan hawa nafsunya?" tebak Gusti Prabu Arya Dwipa.

"Benar, Gusti Prabu!" sahut Pendekar Rajawali Sakti. Sang anak berkeliaran mencari mangsa untuk memuaskan nafsu pribadinya. Bukan karena dia keturunan seekor harimau, atau keturunan orang berkuasa yang bisa berbuat sesuka hati. Sebab ayahandanya sangat keras pada peraturan. Tidak peduli kepada anak sendiri. Itulah sebabnya, dia perlu menyamar sebagai seekor kijang agar tidak seorang pun yang mengetahui. Tidak ayahnya, tidak pula rakyatnya. Yang dirugikan adalah rakyat karena, dicekam ketakutan."

"Mengapa rakyatnya tidak melapor pada sang harimau itu?" tanya Gusti Prabu Arya Dwipa. "Bukankah katamu mereka tidak sungkan-sungkan untuk melaporkan segala peristiwa padanya?"

"Itu pertanyaan bagus, Gusti Prabu. Hamba pun dulu bertanya pada si empunya cerita. Tapi, tahukah Gusti Prabu, apa jawaban si empunya ceritanya?" tukas Pendekar Rajawali Sakti.

"Apa jawabannya?" tuntut Gusti Prabu Arya Dwipa.

"Beliau menyerahkan jawaban pada orang yang tengah diceritakan," jelas pemuda berbaju rompi putih, membingungkan.

"Kenapa begitu?" tanya Gusti Prabu Arya Dwipa lagi.

"Sebab orang yang tengah diceritakan mempunyai tanggung jawab untuk menjawabnya sendiri. Mengapa mereka tak mengadukannya pada sang harimau? Apakah karena mengetahui kalau kijang cantik itu putra sang harimau? Atau sang kijang menyebar kaki tangan untuk menakut-nakuti mereka?" jawab Rangga, seperti memberi teka-teki.

"Hm, ya. Aku paham ceritamu," gumam Gusti Prabu Arya Dwipa.

"Syukurlah kalau demikian," kata Pendekar Rajawali Sakti.

"Tapi apa pelajaran yang bisa diberikan pada cerita ini, Rangga?" tanya Ki Lola Abang.

"Ya! Cerita biasanya mempunyai pelajaran tersembunyi. Pelajaran apa yang bisa diperoleh dari ceritamu tadi?" timpal Ki Pranajaya.

"Cerita itu sebenarnya tidak mempunyai pelajaran tersembunyi, melainkan terang-terangan. Dan ujungnya, adalah sebuah tantangan."

"Apa maksudnya, Sobat?" tanya Gusti Prabu Arya Dwipa, dengan kening berkerut

"Ya, jelaskanlah pada kami!" selak Ki Pranajaya.

"Tantangannya adalah, sikap apa yang akan diambil sang harimau jika mengetahui kalau putranya melakukan kejahatan!" sahut Pendekar Rajawali Sakti, tandas.

"Aku yakin, harimau itu akan menindak tegas anaknya!" sahut Gusti Prabu Arya Dwipa.

"Ya. Mestinya begitu!" timpal Ki Pranajaya.

"Bagaimana kalau seandainya keadaan demikian menimpa Kisanak semua?" Rangga kembali seperti memberi teka-teki.

Untuk sesaat ruangan itu sepi. Mereka mungkin telah menduga kalau Rangga berpikir begitu. Namun sama sekali tidak mengira kalau pemuda itu mengatakannya terang-terangan di depan mereka semua. Ini mencurigakan. Paling tidak, itu yang di-rasakan semua yang hadir. Sehingga sebagian dari mereka memandang Gusti Prabu Arya Dwipa, lalu berganti kepada Rangga.

"Apakah ceritaku itu menyinggung perasaan, sehingga ruangan ini mendadak sepi?" usik Rangga.

"Rangga! Sudikah kau menjelaskan dengan jelas, ditujukan kepada siapa cerita tadi?" tanya Ki Sedopati yang sejak tadi berdiam diri. Rangga menoleh pada Ki Sedopati.

"Ceritaku bukan ditujukan pada siapa-siapa. Tapi, kepada kita semua. Yang kuingin dengar adalah sikap kalian semua. Juga, kepada Gusti Prabu khususnya. Apa sikap Gusti Prabu seandainya hal itu menimpa Gusti?"

"Rangga! Kau terlalu lancang bertanya begitu pada Gusti Prabu!" bentak Ki Sedopati dengan wajah tidak senang. Bahkan sempat berdiri dari kursinya.

"Maaf, Ki Sedopati. Kurasa kau salah dengar. Sebab, aku bertanya pada Gusti Prabu. Bukan kepadamu!"

Mendengar jawaban pedas itu, telinga Ki Sedopati memerah menahan malu dan geram. Namun dia tak bisa berbuat apa-apa. Sambil menahan amarah, dia kembali duduk.

Rangga segera bangkit berdiri. Dia segera memberi hormat pada yang lainnya. Juga, kepada Gusti Prabu Arya Dwipa. "Gusti Prabu dan kisanak semua. Maafkan jika pertanyaanku menyinggung perasaan. Kita harus membuat terang semua persoalan dari awal, sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kalau memang pertanyaanku tadi dianggap lancang, aku tak bisa berkata yang lebih halus lagi. Maaf! Aku mohon diri dulu!" ucap Pendekar Rajawali Sakti.

"Rangga, tunggu!" cegah Gusti Prabu Arya Dwipa.

"Hm.... Ada apa, Gusti Prabu?"

"Aku ingin mendengar jawaban langsung darimu. Apakah kau menuduh salah seorang putraku berbuat kejahatan tanpa sepengetahuanku?" tuntut Gusti Prabu Arya Dwipa.

"Aku tidak berani berkata begitu. Pertanyaan harus dibuktikan dengan kenyataan. Tanpa bukti, berarti fitnah namanya!" Setelah berkata begitu, Rangga segera mohon diri secepatnya.

"Hmm.... Jayadilaga tidak ada di tempat... Dan Gusti Prabu Arya Dwipa tidak tahu.... Mungkinkah dia...?" gumam Pendekar Rajawali Sakti, ketika keluar dari Istana Kerajaan Swama Pura.

Pendekar Rajawali Sakti masih menjalankan Dewa Bayu perlahan-lahan. Bermacam-macam pertanyaan menggayut di hatinya. Dia berusaha menghubung-hubungkan cerita yang satu dengan yang lain.

"Aku yakin, Iblis Pemenggal Kepala dalang dari semua ini. Para korban pembunuhan dan perkosaan memiliki cara kematian yang sama. Kepalanya terpenggal. Dan itu pernah dilakukan oleh Iblis Pemenggal Kepala. Hmm.... Walaupun dia ditawan di Kerajaan Swama Pura, tidak mustahil bisa keluyuran. Bisa jadi ada persekongkolan di kerajaan itu. Atau bisa jadi orang lain yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu, namun masih ada hubungannya dengan tokoh sesat itu! Hm.... Kedatanganku ke Kerajaan Swama Pura sebenarnya hendak melihat dan membuktikan apakah tokoh sesat itu masih ada atau tidak. Tapi ketika aku bertanya tentang putra-putri Gusti Prabu Arya Dwipa, entah kenapa aku punya pemikiran seperti itu.... Hm.... Jayadilaga."

Pendekar Rajawali Sakti benar-benar dibuat pusing tujuh keliling. Sampai saat ini dia masih meraba-raba dengan dugaannya. Belum bisa diputuskan, apa yang harus diperbuat. Namun bayangan tentang si pembunuh mulai terlihat di benaknya.

"Heaaa...!"

LIMA

Tidak ada halangan yang menimpanya ketika Pendekar Rajawali Sakti melewati kotaraja. Namun ketika berada di pinggiran kota, naluri kependekarannya mengatakan kalau ada beberapa orang yang mengikuti dari belakang. Sejenak Rangga melirik ke belakang.

"Hmm.... Kalian mau coba-coba padaku? Boleh saja!" Rangga tetap memperlambat lari kuda hingga tiba di pinggiran sebuah hutan. Dengan ilmu 'Pembeda Gerak Dan Suara' yang dimilikinya, Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau orang-orang tadi masih mengikuti. "Apa yang mereka inginkan? Kenapa belum bertindak juga?"

Tapi Rangga agaknya tidak perlu menunggu terlalu lama atas pertanyaannya. Tidak berapa lama, tidak jauh di depan terlihat sepuluh penunggang kuda berpakaian serba hitam dan memakai topeng hitam pula telah mencegatnya.

Dan ketika menoleh ke belakang, kurang lebih lima belas penunggang kuda lain telah berpacu ke arahnya. Begitu dekat, jelas kalau semuanya memakai topeng hitam! Dan kini mereka berhenti pada jarak sepuluh tombak di belakang Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti menghentikan Dewa Bayu, namun tetap berada di punggungnya. Diawasinya orang-orang yang menghadang dengan tenang. Sepasang matanya menyipit, melihat salah seorang penunggang kuda paling depan.

Penunggang kuda paling depan yang agaknya menjadi pemimpin ini mendekat. Hingga jaraknya dengan Rangga terpaut lima langkah. "Kudengar kau seorang pendekar ternama," tegur orang bertopeng itu.

"Kau salah dengar. Aku hanya manusia biasa yang tak berkepandaian apa-apa," sahut Pendekar Rajawali Sakti datar.

"Hmm! Tidak perlu menutupi diri. Aku tahu, siapa kau sebenamya. Kalau saja kau tidak terlalu usil mencampuri urusan orang lain, mungkin hidupmu akan lebih panjang," gumam orang bertopeng itu mengancam.

"Syukurlah kalau kau tahu siapa aku. Berarti, kau pun tahu kalau hidupku bukan di tanganmu. Atau, di tangan begundal-begundalmu ini!" sahut Rangga, tak kalah gertak.

"Sombong! Padahal sebentar lagi nyawamu akan melayang!"

"Hmm.... Mungkin lebih baik menyombongkan diri, daripada berlutut minta ampun pada kalian!"

"Hm...!" Orang bertopeng itu mendengus geram. Tangan kanannya diangkat. Maka saat itu juga tujuh penunggang kuda di belakangnya bergerak maju.

"Heaaa...!"

Masih berada di punggung kuda, orang-orang berpakaian serba hitam itu serentak menyerang Rangga. Dua orang bersenjata tambang. Dua lainnya menggunakan pedang, serta seorang menggunakan tombak. Sedangkan sisanya memegang clurit besar.

"Ayo, Dewa Bayu! Perlihatkan ketangkasanmu!"

"Hieee...!" Kuda berbulu hitam mengkilat itu meringkik keras. Tubuhnya melonjak-lonjak dengan sepasang mata nyalang memandang orang-orang berpakaian serba hitam. Dengan satu lompatan kencang, dilewatinya kepala salah seorang yang bersenjata clurit.

"Kuda celaka, mampus kau! Hiih...!" dengus orang itu sambil membabatkan cluritnya, hendak menebas dua kaki depan Dewa Bayu.

Sing!

Tapi Rangga bergerak tak kalah sigap. Sambil berpegang pada pelana, Pendekar Rajawali Sakti melompat dengan kaki terayun ke depan. Lalu....

Desss...!

"Aaa...!" Orang bersenjata clurit itu kontan terlempar dari kudanya dengan dada ambrol. Begitu jatuh ke tanah dia tak bangun-bangun lagi. Sementara Pendekar Rajawali Sakti telah mengayun tubuhnya, lalu hinggap lagi di punggung Dewa Bayu.

"Bunuh dia!" teriak orang bertopeng yang menjadi pemimpin. "Heaaa...!"

Dengan kematian salah seorang, membuat para pengeroyok menjadi kalap. Seketika semuanya mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti. Baik yang berada di depan maupun di belakang.

Melihat hal ini Pendekar Rajawali Sakti merasa tak ada pilihan Iain. "Hup!" Rangga melompat setelah menepuk pantat Dewa Bayu agar segera menyingkir menjauh. Begitu mendarat langsung dibuatnya kuda-kuda kokoh. Lalu begitu kedua tangannya menghentak....

"Heaaa...!" teriak Rangga seraya mengerahkan aji 'Bayu Bajra'.

Wesss...!

"Aaa...!" Para pengeroyok yang berada di depan langsung terhantam angin topan dahsyat yang meluncur dari tangan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berputaran berikut kuda yang tunggangi.

Namun pada saat yang sama, orang-orang berpakaian serba hitam yang berada di belakang telah menerjang dengan kudanya sambil mengebutkan senjata masing-masing.

Tak ada waktu lagi buat Pendekar Rajawali Sakti untuk menghimpun tenaga dalam kembali, dalam mengerahkan aji 'Bayu Braja'! Para pengeroyok sudah begitu dekat. Maka saat itu juga, tangannya bergerak ke punggung. Dan....

Sring!

Begitu Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang bersinar biru berkilauan tercabut, Rangga langsung mengebutkannya.

Crasss...! "Aaa...!"

Pedang Pendekar Rajawali Sakti langsung merobek perut dua orang pengeroyok hingga jatuh bergelimang darah. Tapi bersamaan dengan itu, orang bertopeng yang menjadi pemimpin telah meluruk deras. Pendekar Rajawali Sakti memang sempat menangkap desir halus di belakangnya. Tapi untuk menghindar sudah terlambat. Dia hanya sempat mengibaskan tangannya ke belakang.

Des!

"Aaakh!" Rangga mengeluh tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke depan, merasakan hantaman keras yang seperti meremukkan tulang punggungnya dengan sambaran tangannya yang tadi mengibas ke belakang.

"Habisi dia!" teriak pemimpin orang bertopeng ini.

Rangga mendengus geram. Sambil menahan rasa sakit dia mengibaskan pedang yang dipadu dengan jurus-jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'.

Tras! Bret! "Aaa...!"

Batang pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti yang bersinar biru berkilau bergerak secepat kilat mencari mangsa. Dua orang langsung terjungkal bersimbah darah. Namun, tidak membuat yang lainnya surut Mereka menyerang semakin ganas.

"Hmm!"

"Dia sudah terluka! Serang terus, dan pastikan kematiannya!" teriak orang bertopeng yang menjadi pemimpian.

"Yeaaa...!"

Dengan segala cara mereka berusaha mendesak Pendekar Rajawali Sakti. Namun Rangga juga mengamuk sejadi-jadinya. Sementara pemimpin orang bertopeng sesekali ikut menyerang, hingga cukup merepotkan Pendekar Rajawali Sakti juga. Apalagi, orang itu memiliki kepandaian tinggi. Akibatnya beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti semakin terdesak.

"Ayo! Terus hajar dia! Bunuh dia cepat..!" teriak pemimpin orang-orang bertopeng.

"Heaaa...!"

"Keparat!" Berkali-kali Rangga menggeram sambil menggigit bibir menahan nyeri yang menggigit di punggung. Tapi dia tak mau menyerah begitu saja, dan tetap mengadakan perlawanan.

"He he he...! Bocah semprul! Untung kutemukan kau di sini!" Mendadak terdengar sebuah suara, membuat Pendekar Rajawali Sakti sedikit melirik.

"Ki Sabda Gendeng...!" seru Pendekar Rajawali Sakti, begitu melihat laki-laki tua yang memang Ki Sabda Gendeng.

"Heaaa...!" Disertai teriakan keras, laki-laki tua gila catur ini langsung terjun dalam kancah pertarungan. Tubuhnya berkelebat sambil mengibaskan tongkat hitamnya.

Tak! Tak! "Aaa...!"

Dua orang kontan terpekik ketika tongkat Ki Sabda Gendeng mendarat di kepala. Mereka terhuyung-huyung sambil mendekap kepala, lalu ambruk tak berdaya.

"He he he...! Kau rasakan tongkatku!" ejek Ki Sabda Gendeng sambil terkekeh.

"Setan alas! Heaaa...!" Orang bertopeng yang menjadi pemimpin menggeram marah. Dengan serta-merta dia melompat menerjang dengan sebilah pedang.

"Yeaaa...!"

"Ki Sabda Gendeng! Hati-hati dengannya! Orang itu tak bisa dipandang enteng!" teriak Rangga, mengingatkan sambil terus meladeni beberapa pengeroyok.

"He he he...! Tenang saja. Apa kau benar-benar menganggap enteng padaku?

"Wut!

Baru saja selesai kata-kata laki-laki tua itu, ujung pedang orang bertopeng yang menjadi pemimpin menyambar ke leher.

"Uts...!" Ki Sabda Gendeng mengegos ke samping sambil mundur selangkah. Namun, tendangan orang bertopeng segera menyusuli. Terpaksa laki-laki tua ini jumpalitan ke belakang.

Baru saja Ki Sabda Gendeng mendarat, pedang orang bertopeng telah meluruk deras. Saat itu juga tongkat bambunya dikebutkan ke depan, menangkis.

Trak!

Ki Sabda Gendeng terjajar mundur. Belum juga memperbaiki keseimbangan, orang bertopeng telah mengebutkan telapak tangan kirinya.

"Heaaa...! Ki Sabda Gendeng tercekat Cepat dia melempar tubuhnya ke samping ketika melihat sinar kuning meluruk ke arahnya.

Blarrr...!

Terdengar ledakan, begitu sinar kuning tadi menghantam tanah, tempat Ki Sabda Gendeng berdiri.

"Gila! Pukulan 'Remuk Garba'...?! Siapa kau sebenarnya? Apakah memang kau sendiri...," sentak Ki Sabda Gendeng, setelah bangkit berdiri dengan wajah terkejut.

"Banyak omong! Pergilah ke neraka, Setan Tua!" bentak laki-laki bertopeng yang menjadi pemimpin. Baru saja orang bertopeng hendak menghentakkan tangannya....

"Tahan...!"

"Heh...?!" Orang bertopeng itu terkejut, mendengar bentakan nyaring. Ketika menoleh dia tertegun melihat kehadiran seorang gadis jelita berusia kurang lebih enam belas tahun dengan pedang melintang di dada.

"Kalau kau teruskan niatmu, maka aku tak akan segan-segan memotong lehermu!" lanjut gadis itu, mengancam.

"Hmm! Tinggalkan tempat ini!" Orang bertopeng yang jadi pemimpin tidak banyak bicara. Diberinya isyarat pada sisa kawan-kawannya. Dan secepatnya, mereka membawa orang-orang yang tewas untuk segera meninggalkan tempat itu.

"Kakang Rangga, kau tak apa-apa?!" tanya gadis itu dengan wajah khawatir.

"Putri Mayang.... Terima kasih atas pertolonganmu. Kau hebat sekali, sehingga berhasil menakut-nakuti mereka. Aku tak apa-apa...," sahut Pendekar Rajawali Sakti, setelah menyarungkan kembali pedangnya di punggung.

Tapi, Rangga tidak bisa menipu diri, ketika beberapa tetes darah keluar dari sudut bibirnya. Padahal, dia telah berusaha untuk menahan. Namun desakan dari dadanya begitu kuat. Dan kalau saja tak tertahan, mungkin akan menyembur.

"Kakang Rangga.... Kau..., kau terluka...?!" tanya putri Gusti Prabu Arya Dwipa.

"Aku..., aku tidak apa-apa...," sahut Pendekar Rajawali Sakti, berbohong.

"Kau terluka. Mari kutolong! Ayo.... Kita harus buru-buru ke istana!" ajak Putri Mayang, seraya memapah Pendekar Rajawali Sakti.

Tapi Rangga buru-buru mencela tangan gadis ini. Ditepisnya pelan-pelan tangan itu sambil berusaha tersenyum. "Putri, tidak usah repot-repot. Aku mampu mengurus diriku sendiri...," ujar Pendekar Rajawali Sakti.

"Tapi kau terluka parah?!" desak gadis itu.

"Ini soal biasa. Dan, bukan sekali ini aku mengalaminya. Tidak usah cemas. Sebaiknya, kembali ke istana. Nanti orang-orang akan mencari-carimu," sergah Pendekar Rajawali Sakti.

"Ayahanda yang menyuruhku untuk menyusulmu...."

"Apa yang beliau inginkan?"

Putri Mayang tidak langsung menjawab. Matanya melirik sebentar pada Ki Sabda Gendeng yang tengah mengatur jalan napas.

"Ayahanda meminta maaf atas kejadian tadi...," desah gadis ini.

"Sampaikan pada ayahandamu. Beliau tidak bersalah. Aku yang terlalu lancang," kata Pendekar Rajawali Sakti.

"Ayahanda hanya terkejut. Beliau tak mengira Kakang Rangga akan berkata seperti itu...."

"Ya, aku bisa memahaminya...."

"Eh! Ng..., kalau boleh kutahu, apa sebenarnya persoalan yang tengah Kakang Rangga alami?"

"Aku tidak mengalami apa-apa. Tapi orang lain yang mengalaminya."

"Apakah tentang pembunuhan beruntun yang belakangan ini terjadi?"

"Hm.... Rupanya Gusti Prabu Arya Dwipa telah mengetahuinya pula," gumam Pendekar Rajawali Sakti.

"Ayahanda mengira persoalan itu sebabnya...," desah Putri Mayang.

"Ya. Karena persoalan itu, sebetulnya aku ke sana."

"Lalu kenapa tidak dikatakan saja?"

"Aku bermaksud mengatakannya. Tapi, ayahmu keburu kaget..."

"Tapi Kakang Rangga tidak mengatakannya secara langsung. Melainkan mengagetkan semua pihak."

"Aku ingin mereka mengetahui dari awal, sebelum terkejut nantinya," kelit Rangga.

"Apakah Kakang Rangga menuduh salah seorang dari kami pelakunya?"

"Aku belum punya bukti. Tapi akan kudapatkan buktinya nanti."

"Siapa?" desak Putri Mayang.

"Aku tidak bisa mengatakan," sahut Rangga.

"Jayadilaga?" duga gadis ini.

"Putri, maaf.... Aku tidak bisa mengatakannya."

"Atau barangkali Jayalaksana? Kadang-kadang dia suka bersikap aneh-aneh." Rangga tersenyum. "Kakang Rangga, katakanlah padaku. Atas dasar apa kau mencurigai kami?" desak gadis ini semakin penasaran saja.

"Mungkin aku belum bisa mengatakannya.... Tapi, tahukah kau siapa kira-kira mereka tadi?"

"Aku tidak mengenalnya...."

"Putri.... Orang-orang itu memiliki ilmu silat yang tidak rendah. Demikian hebatnyakah kepandaianmu, sehingga mereka takut begitu mendengar ancamanmu?"

"Kakang Rangga.... Terus terang..., aku sendiri tak tahu."

"Begitukah?"

"Kau mencurigaiku pula?"

"Tidak. Aku hanya heran. Dan mungkin juga kagum padamu."

"Aku bersungguh-sungguh, tidak kenal mereka. Hanya...."

"Hanya apa?"

"Aku pernah memergoki salah seorang yang baru saja memenggal kepala korbannya. Kukejar dia, ketika coba melarikan diri. Sambil berlari, dia berusaha menutupi wajah dengan topeng hitam...."

"Sempat melihat wajahnya?"

"Sayang sekali, tidak...," sahut Putri Mayang menggeleng lemah. "Waktu itu dia membelakangiku. Dan, sama sekali tak menoleh. Ilmu meringankan tubuhnya hebat. Karena sebentar saja, aku kehilangan jejak."

"Hmm...!"

"Tak ada yang kusembunyikan darimu soal ini. Hanya itu yang kuketahui," lanjut gadis ini coba meyakinkan Rangga.

"Ya.... Aku mengerti, Putri. Sekarang, pulanglah. Katakan pada ayahandamu, aku tidak marah padanya. Dan, tidak juga bermaksud memusuhinya. Namun yang benar-benar harus kau jelaskan adalah sikapku. Siapa pun pembunuh itu, jangan harap akan lepas dari tanganku!" tegas Rangga. Begitu habis kata-katanya, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat meninggalkan tempat ini.

"Hei, Bocah Semprul! Tunggu aku...!" teriak Ki Sabda Gendeng.

ENAM

Gusti Prabu Arya Dwipa mengajak Ki Sedopati menuju penjara bawah tanah. Begitu pintu penjara terbuka, di sudut ruangan gelap yang masih dibatasi jeruji besi, terlihat seorang laki-laki tua duduk tenang dengan kedua kaki tertekuk. Rambutnya panjang awut-awutan. Bajunya lusuh dan warnnya pun telah pudar. Sepasang matanya melirik ke arah jeruji besi yang kokoh, namun kembali memusatkan perhatian pada seekor tikus dalam genggaman tangannya.

"He he he...! Hari ini kau tak akan selamat lagi dariku, Binatang Kecil! Kau menjadi santapanku. Hi hi hi...!"

Tes! Kres!

Ki Sedopati yang berdiri di pintu memejamkan mata, menahan jijik dan mual ketika kepala tikus itu dipotes. Sebelum darahnya mengucur, kepala tikus berikut tubuhnya telah pindah ke mulut laki-laki tua itu. Lalu senikmat menyantap makanan lezat mulutnya menyeringai lebar.

"Hi hi hi...! Siapa lagi yang akan menjadi korban?"

"Swagira! Aku datang menemuimu!" kata Gusti Prabu Arya Dwipa yang berdiri di belakang Ki Sedopati. Penguasa Kerajaan Swama Pura lalu melangkah mendekati jeruji besi, di sebelah Ki Sedopati.

"He he he...! Aku tak peduli kau datang atau tidak!" sahut laki-laki tua bemama Swagira.

"Swagira! Berlakulah sopan kepada Gusti Prabu!" bentak Ki Sedopati.

"He he he...! Sedopati! Suaramu tidak lebih keras ketimbang dulu! Apa kau baru mulai belajar berteriak?" ejek Ki Swagira.

"Keparat!" Ki Sedopati menggeram. Laki-laki ini bermaksud menghajar Ki Swagira dengan pukulan jarak jauh, namun keburu dicegah Gusti Prabu Arya Dwipa.

"He he he...! Hari ini aku lapar. Dan kalian datang ke sini tanpa makanan. Lebih baik tinggalkan aku sendiri!" ujar Ki Swagira, seenaknya.

"Swagira! Ada yang mesti kutanyakan padamu...."

"Aku bosan dengan pertanyaan! Aku mau makanan!" sergah Ki Swagira dengan suara menggelegar.

Ki Sedopati makin merah wajahnya. Kembali tangannya siap menghentak.

"Jangan!" tahan Gusti Prabu Arya Dwipa. "Perintahkan seorang prajurit membawa makanan padanya."

"Tapi Gusti...."

"Ki Sedopati! Apakah kau tak sudi menuruti perintahku?"

"Baiklah, Gusti!"

"Sedopati! Jangan lupa, bawakan pula daging-daging tikus kesukaanku!" teriak Ki Swagira menambahkan sambil cekikikan.

Kalau saja tidak ingat larangan Gusti Prabu Arya Dwipa, ingin rasanya Ki Sedopati menghantam Ki Swagira sampai mati. Tapi apa boleh buat? Dia tak bisa berbuat apa-apa, selain melaksanakan keinginan laki-laki tua aneh itu.

Mereka harus menunggu beberapa saat untuk menyiapkan hidangan yang diinginkan Ki Swagira. Beberapa kerat daging segar yang masih berlumuran darah, dan sepuluh ekor tikus besar yang masih hidup.

Semua orang yang ada di ruangan ini sebenarnya jijik melihat selera makan Ki Swagira yang 'keterlaluan'. Bahkan mereka tak berani berada dekat-dekat Barulah ketika Ki Swagira selesai bersantap, Gusti Prabu Arya Dwipa, Ki Sedopati, dan beberapa prajurit mulai mendekat.

"Apa yang ingin kau tanyakan?" kata Ki Swagira tanpa menoleh dan sambil menepuk-nepuk perut.

"Aku tidak tahu bagaimana caramu keluar. Tapi, kau telah membuat ulah lagi di luaran, Swagira!" hiding Gusti Prabu Arya Dwipa.

"Ulah apa yang kau maksudkan?" tukas Ki Swagira.

"Pembunuhan dengan kepala terpenggal. Itu adalah ciri khasmu."

"Pembunuhan? Ha ha ha...! Bagaimana mungkin? Kau menuduhku. Sedangkan aku di sini dengan penjagaan ketat. Lalu dengan cara bagaimana aku bisa keluar, kemudian melakukan pembunuhan? Ha ha ha...! Dasar sinting! Kau benar-benar sinting, Arya Dwipa!"

Kata-kata laki-laki aneh itu benar-benar keterlaluan. Kalau saja tidak dicegah Gusti Prabu Arya Dwipa, maka orang-orang menyertainya segera menghajar Ki Swagira.

Dan Ki Swagira bukannya takut, tapi malah membuat mereka semakin geram. "He he he...! Kalian mau berebutan mampus? Ayo tidak usah satu-satu. Semuanya saja sekaligus."

"Jangan ladeni dia!"

"Gusti Prabu! Orang ini benar-benar keterlaluan! Dia mesti dihukum mati!" desis Ki Sedopati.

"Gusti Prabu! Hamba pun setuju! Dia benar-benar keterlaluan!" timpal seorang perwira kerajaan.

"Menghukum mati? He he he...! Apa lagi kesalahanku yang bisa kalian buat? Kalian kira aku takut mati? Ayo, bunuh aku kalau bisa! Bunuuuh...!" tantang Ki Swagira.

"Swagira! Aku tidak akan menghukummu kalau saja kau mau mengatakan, perbuatan siapa ini semua?" desak Gusti Prabu Arya Dwipa.

"Kenapa mesti repot-repot mengurusiku segala? Kalau mau hukum silakan hukum. Mau dimatikan, pun tak jadi masalah. Kau punya kekuasaan, silakan bertindak!"

"Aku berusaha mencari kebenaran!"

"Kebenaran? He he he...! Kebenarankah namanya jika mengurungku di sini selama lima tahun lebih, tanpa memberi makanan yang baik? Kebenarankah namanya mengurungku di sini, tanpa diadakan pengadilan? Kebenarankah namanya dengan merampas kemerdekaanku?!" oceh Ki Swagira.

"Kau mungkin sinting. Tapi, aku mengurungmu bukan karena kezaliman. Melainkan karena kejahatanmu yang kelewat batas! Kau terbukti membunuh dan memperkosa gadis-gadis dan memenggal kepalanya. Kejahatan itu amat keji. Kau merampas kemerdekaan mereka! Kau merampas hidup mereka! Kau iblis terkutuk, Swagira! Kau lebih kejam dari iblis mana pun...!" bentak Gusti Prabu Arya Dwipa dengan suara menggelegar.

Ki Swagira terhenyak. Sesaat dia memandang Gusti Prabu Arya Dwipa lekat-lekat. Matanya melotot, seperti tersihir. Tapi Gusti Prabu Arya Dwipa tak lama berada di situ. Setelah memandang tawanannya sekilas, tubuhnya berbalik dan meninggalkan tempat itu.

********************

Dewa Bayu terus berlari kencang, membawa Pendekar Rajawali Sakti dan Ki Sabda Gendeng.

"Jadi orang yang kau curigai itu pejabat kerajaan?! Hei, jawab pertanyaanku, Bocah Edan! Kenapa kau diam saja?!" teriak Ki Sabda Gendeng untuk mengalahkan suara deru angin.

Rangga diam membisu menahan rasa sakit di punggungnya.

"Bocah! Kau dengar pertanyaanku atau tidak?!"

"Hup!" Kuda berbulu hitam mengkilat itu berhenti perlahan-lahan. Saat itu juga tubuh Rangga terkulai ke bawah. Dari mulutnya menyembur darah segar.

"Bocah, kau...?! Dasar semprul!" maki Ki Sabda Gendeng. Buru-buru laki-laki tua ini turun, segera dipapahnya Rangga turun dan dibawanya ke bawah sebatang pohon rindang.

"Aku lupa kalau kau terkena pukulan 'Remuk Garba'. Mestinya tulangmu sudah remuk. Tapi kau punya daya tahan luar biasa, Bocah!"

"Heup...!"

"Bagus! Kosongkan pikiranmu. Dan, lemaskan seluruh tenagamu. Aku akan menyalurkan hawa murni untuk menyembuhkan luka dalammu!" ujar Ki Sabda Gendeng seraya menempelkan kedua telapak tangan ke punggung Pendekar Rajawali Sakti.

"Terima kasih, Sobat...."

"Eee, jangan berterima kasih dulu! Kau belum lagi selamat. Bisa saja nanti kau mampus!"

"Lukaku tidak begitu parah. Aku hanya tidak sempat mengobatinya sejak tadi...."

"Sudah, jangan banyak bicara!"

Pukulan 'Remuk Garba' yang menghantam Pendekar Rajawali Sakti memang dahsyat. Dan kalau saja orang yang terkena tidak memiliki tenaga dalam tinggi, niscaya akan tewas dalam waktu singkat.

"Hoeeekh...!" Pendekar Rajawali Sakti memuntahkan darah berwarna hitam beberapa kali. Yang terakhir terlihat berwama merah segar. Wajahnya pucat, sorot matanya kelihatan letih.

"Nah, Bocah! Peredaran darahmu mulai berjalan lancar kembali. Dan dengan sedikit bersemadi, rasanya kau akan sehat lagi."

Ki Sabda Gendeng menyudahi penyaluran hawa murninya. Lalu, dia mengambil gumbung tuaknya. Ditenggak tuaknya beberapa teguk.

"Minum tuak ini. Bagus untuk kesehatanmu!" kata Ki Sabda Gendeng.

"Terima kasih!" ucap Pendekar Rajawali Sakti. Rangga menenggak tuak itu barang beberapa teguk. Wajahnya seketika merah dan berkerut, merasakan aroma tuak yang amat menyengat.

"Ha ha ha...!"

"Brengsek!" umpat Rangga.

"Tuak ini lima kali lebih keras daripada tuak-tuak lainnya. Kalau tidak terbiasa, akan merasa kaget. Tapi, jangan khawatir.... Sebab aliran darahmu akan lancar. Kau bisa merasakannya sebentar lagi. Nah, sekarang bersemadilah...."

Rangga duduk bersila mengambil sikap semadi. Jalan napasnya mulai diatur untuk beberapa saat. Matanya dipejamkan dengan pikiran terpusat pada satu titik. Sekian lama bersemadi, apa yang dikatakan Ki Sabda Gendeng memang benar. Tuak yang diminum Pendekar Rajawali Sakti mulai terasa. Tubuhnya terasa hangat dan aliran darahnya berjalan lancar. Dengan begitu penyembuhannya pun berjalan cepat.

"Heup!" Rangga menghentikan semadinya kemudian bangkit berdiri. Dihampirinya Ki Sabda Gendeng yang masih menenggak tuak sambil duduk seenaknya dan bersandar di bawah sebatang pohon.

"Sobat! Aku berhutang budi padamu. Bagaimana aku bisa membalasnya?"

"Cukup satu saja!"

"Apa itu?"

"Jawab pertanyaanku, siapa sebenamya yang kau curigai sebagai pelaku pembunuhan itu?" tanya Ki Sabda Gendeng menyudutkan.

Rangga terdiam sejurus lamanya. Kelihatan kalau dia agak berat mengatakannya.

"Sudahlah. Kalau kau memang tak mempercayaiku lagi, buat apa lagi kita berkawan!" gerutu Ki Sabda Gendeng, lalu bangkit dari duduknya.

"Sobat! Aku bukannya tidak mempercayaimu. Hanya saja aku belum punya bukti-bukti yang kuat...," kilah Pendekar Rajawali Sakti.

"Ya, aku tahu...."

"Ini baru dugaan, bukan tuduhan."

"Aku tahu!"

"Jangan sampai karena dugaan, lalu akhirnya berkembang menjadi tuduhan. Padahal, bukti belum lagi didapatkan. Ini akan berkembang menjadi fitnah. Dan aku bertanggung jawab penuh akan hal itu."

"Aku tahu!"

"Syukurlah kalau kau mengerti...."

"Kau salah. Aku sama sekali tak mengerti!"

"Ki Sabda...."

"Aku tak mengerti kalau kau mengira aku akan menyebarkan dugaanmu pada orang-orang. Aku juga tak mengerti, kalau kau menolak niat baikku untuk mengungkap pembunuhan ini. Aku memang orang tua sinting!" potong Ki Sabda Gendeng, langsung menyerocos.

Rangga tersenyum getir. Baru kali ini didengarnya orang tua itu bicara agak mendalam selama di kenalnya. "Maafkan aku, Sobat...," ucap Rangga.

"Tak apa...," sahut Ki Sabda Gendeng pendek.

"Kau sungguh-sungguh ingin tahu dugaanku?"

"Kau masih keberatan tentunya?"

"Nyi Sumbi memberi keterangan yang membuatku teringat pada seseorang...," jelas Rangga

"Seseorang yang berada di kerajaan?" tanya Ki Sabda Gendeng, semakin penasaran.

"Benar."

"Siapa?" Belum juga Rangga menjawab....

"Tolong...!" Terdengar suara minta tolong dari tempat yang tak begitu jauh. Rangga dan Ki Sabda Gendeng saling berpandangan.

"Kuharap kau mendengar apa yang kudengar...," kata Rangga.

"Semprul! Kau kira aku tuli, he?!" maki laki-laki tua itu.

"Kalau begitu, tunggu apa lagi?!" Tanpa membuang waktu lagi mereka segera berlari menuju jeritan tadi.

Seorang gadis menjerit ketakutan sambil melangkah mundur. Wajahnya pucat seperti kehabisan darah. Bola matanya membulat, menatap pemuda di depannya tak berkedip.

"Kakang Soma! Kau..., kau...." Gadis itu berkata tergagap saking ketakutannya.

"Dia telah mendapat bagiannya. Kini giliranmu!" desis pemuda yang dipanggil Soma.

"Kau..., tidak kusangka kau sekejam itu. Kau bunuh dia dengan mata tak berkedip. Kau bukanlah Kakang Soma yang kukenal. Kau iblis terkutuk yang haus darah!"

"Syukurlah kalau kau mengetahuinya sekarang, Marni..."

"Huh! Kalau kutahu dari dulu, tidak kudengar segala rayuanmu yang busuk!"

"Sudah terlambat, Sayang. Kini tak berguna lagi penyesalanmu. Setelah kita bersenang-senang, maka nasibmu sama sepertinya."

Gadis bernama Marni memandang sesosok mayat yang tak jauh dari situ. Seorang gadis dengan leher putus. Tubuhnya polos tanpa sehelai benang pun.

Tadi ketika sampai di tempat ini, Marni baru saja menyaksikan Soma selesai menodai gadis yang kini telah menjadi mayat. Kemudian dengan telengas, ditebasnya leher gadis itu dengan sisi telapak tangan kanan. Marni melihat hal ini menjerit ketakutan. Dan malang..., ternyata pemuda itu cepat mengetahui persembunyiannya. Yang amat menyakitkan, ternyata Marni kenal betul dengan pemuda itu. Maka semakin terperanjat saja ketika semua kebusukan Soma jelas terlihat di depan matanya.

"Percuma saja kau melarikan diri, Marni. Tak akan ada seorang pun yang bisa menolongmu dariku...," ancam Soma sambil melangkah mendekati.

"Iblis terkutuk! Enyahlah kau...!" bentak Marni.

"Ha ha ha...! Percuma saja, Marni Percuma saja. Lebih baik kau menyerah dan pasrah pada kehendakku...!" kata Soma, pongah.

"Busuk! Aku lebih suka mati ketimbang mengikuti kemauanmu yang bejat!"

"Pada akhirnya, toh kau pun akan mampus juga di tanganku! Jadi buat apa bertahan segala?"

"Jangan coba-coba, Kakang Soma! Aku akan membenturkan kepalaku ke batu ini!" ancam Marni, sambil bersandar ke batu besar yang ada di belakangnya.

"Kau hendak membenturkan kepalamu ke situ? Ayo, lakukanlah! Ingin kulihat dengan mata kepalaku sendiri," ejek pemuda itu sambil mendekat.

"Berhenti! Berhenti kataku! Aku akan bunuh diri sekarang juga!"

"Ha ha ha...! Percuma saja mengancamku, Marni. Aku sama sekali tidak peduli. Kau mati di tanganku, atau di tangan orang lain, atau bunuh diri, sama sekali bukan masalah. Yang terpenting, kau mampus. Ayo, lakukanlah!" balas Soma, kalem tanpa perasaan.

Merasa ancamannya tidak mengena, Marni jadi kian gementar. Dadanya mengembang penuh udara panas dibakar amarah dan kesal bercampur putus asa. Sementara, pemuda itu terus mendekatinya sambil menyeringai lebar.

"Hiih!" Dibayangi perasaan putus asa dan tekad bulat untuk tidak mau menuruti keinginan pemuda itu, Marni nekat menghempaskan kepalanya ke batu besar di belakangnya.

"Hup!" Namun sebelum kepala membentur batu, pemuda itu bergerak cepat menangkap kepala Marni. Tap! Bahkan tangan Soma cepat bergerak menotok.

Tuk! Tuk!

"Ohh...!" Marni kontan terkulai tanpa daya. Badannya tak bisa digerakkan lagi.

"Ha ha ha...! Kau kira bisa menghalangi niatku?" oceh Soma.

"Terkutuk! Iblis terkutuk! Lepaskan aku! Lepaskaaan...!" teriak Marni.

"Lebih baik kau diam saja. Hemat tenagamu untuk nanti, Sayang!" ujar pemuda itu sambil menyeringai. Dibawanya gadis itu kebalik rerimbunan semak.

"Lepaskan aku! Lepaskan! Tolooong...! Lebih baik aku mati daripada kau jamah! Terkutuk kau, Soma! Kau benar-benar biadab!" teriak Marni.

"Memakilah sepuas hatimu. Tapi, jangan harap aku akan melepaskanmu. Kita akan bersenang-senang, kemudian setelah itu kau boleh mampus di tanganku," kata Soma.

Ancaman pemuda itu agaknya bukan main-main. Tawanya pun berubah menjadi seringai tajam. Raut wajahnya mengerikan. Hela napasnya terasa kasar. Lalu tiba-tiba....

Bret! Bret!

"Aouw...! Soma! Lepaskan aku! Lepaskan! Lebih baik kau bunuh saja aku!" teriak Marni.

"Hm!" Percuma saja Marni berteriak, karena pemuda itu seolah-olah tak mendengamya. Dengan penuh nafsu dicabik-cabiknya semua pakaian gadis itu.

Marni terus berteriak-teriak kalang-kabut Segala makian dan serapah disemburkannya pada pemuda itu. Namun semuanya tetap tidak menyurutkan langkah Soma.

"Sekarang waktunya berpesta, Sayang..,!"

Suara Soma terdengar menggeram. Dan wajahnya menyeringai, seperti seekor serigala kelaparan. Tapi sebelum dia bergerak hendak melampiaskan hawa nafsunya...

"Ha ha ha...! Alangkah sedapnya. Seorang pemuda hendak melepaskan hasrat birahinya. Dan ketika si gadis menolak, maka tak ada jalan lain daripada memaksa. Ini betul-betul konyol. Sekaligus, terkutuk!"

"Heh?!" Soma tersentak kaget begitu melihat seorang laki-laki tua membawa tongkat bambu berwama hitam dan menggendong bumbung bambu penuh tuak.

TUJUH

"Hem, Orang Tua Busuk! Enyahlah kau dari mukaku!" bentak Soma geram.

"He he he...! Supaya kau bebas melampiaskan niat bejatmu?" sindir laki-laki tua yang tak lain Ki Sabda Gendeng.

"Setan! Kubunuh kau, Keparat...!"

"Membunuh itu perkara mudah. Tapi yang jadi pertanyaan adalah, siapa yang terbunuh? saat ini aku enggan mampus. Maka lebih baik kau saja yang mampus!" Pemuda itu baru saja akan lompat menyerang, namun....

"Perbuatanmu sungguh tidak terpuji, Jayadilaga!" Tiba-tiba terdengar suara dari belakang. Soma langsung menoleh.

"Hm, Rangga. Rupanya kau pun berada disini," kata Soma yang ternyata adalah Jayadilaga, begitu mengenali siapa yang datang.

"Ya Aku telah di sini sejak tadi.," sahut pemuda yang baru datang. Dia memang Pendekar Rajawali Sakti.

"Kau tentu tidak tahu duduk persoalannya, bukan?"

"Mungkin saja. Tapi aku melihat apa yang hendak kau lakukan terhadap gadis ini."

"Itu tidak seperti yang kau bayangkan. Gadis ini seorang pelacur. Dan aku telah membayar mahal untuk itu. Tapi, tiba-tiba saja dia menolak dengan satu alasan tidak jelas. Belakangan baru kutahu kalau dia merencanakan sesuatu. Dia mencuri uangku, dan bermaksud kabur dengan kekasihnya," kelit Jayadilaga berusaha mempengaruhi Pendekar Rajawali Sakti.

"Dusta! Itu tidak benar. Aku bukan pelacur! Dan aku tidak pernah mencuri uangnya barang sekeping pun!" bantah Marni dengan suara lantang. Lalu dia menoleh ke arah Jayadilaga. "Kakang Soma! Tega betul kau berkata begitu padaku? Dimana sifat kesatriamu dengan melemparkan kesalahan dan bermaksud cuci tangan?!"

"Diam kau, Perempuan rendah! Aku tidak tergoda oleh perempuan sepertimu!" bentak Soma alias Jayadilaga.

"Kau yang bajingan rendah! Iblis terkutuk! Kau bunuh gadis itu secara kejam, setelah kau nodai. Kini hendak kau ulangi pada diriku!" balas Marni.

"Dasar perempuan lacur! Mulutmu berbisa seperti ular! Pintar membalikkan kenyataan dan mengarang sandiwara!"

"Hei, Keparat Busuk! Kaulah sebenamya yang tengah bersandiwara dan memutarbalikkan kenyataan. Apakah kau tak merasa malu pada dirimu sendiri?!" hardik Ki Sabda Gendeng, garang.

"Orang tua, jaga mulutmu! Jangan ikut campur, jika tak tahu urusan orang! Sebaiknya, enyahlah dari sini sebelum aku naik darah dan menghukummu!" bentak Jayadilaga.

"Menghukumku? Ha ha ha...! Bocah bau kencur! Kau kira siapa dirimu bisa menghukumku? Kakek moyangmu pun tidak berhak melakukannya!"

"Kau tidak tahu! Aku adalah Jayadilaga, putra Gusti Prabu Arya Dwipa penguasa negeri ini!" gertak Jayadilaga.

Mestinya Ki Sabda Gendeng terkejut mendengar pemyataan itu. Tapi yang dilakukannya justru tertawa terbahak-bahak. "Ha ha ha...! Putra Sang Gusti Prabu rupanya. Lalu, apa hebatnya? Dengan membawa-bawa nama ayahmu hendak kau tangkap aku? Memfitnah aku sebagai penjahat? Lalu, mengerahkan ribuan prajurit untuk menangkapku? Lalu, menjatuhkan hukuman mati? Ha ha ha...! Dasar kunyuk edan! Aku sama sekali tidak peduli kau anak siapa! Biar anak jin dari kolong neraka sekalipun, jangan harap bisa menakut-nakuti si Sabda Gendeng!" sahut laki-laki tua itu, mantap.

"Huh! Tidak perlu membawa seribu pasukan untuk meringkusmu! Aku sendiri mampu melakukannya. Bersiaplah...!" Jayadilaga maju mendekati Ki Sabda Gendeng.

Tapi orang tua itu tenang-tenang saja. Bahkan menenggak tuaknya seperti tidak ada kejadian apa-apa. "Huaaa, enaaak...!" Dengan tenang Ki Sabda Gendeng menyeka mulut Dan mulutnya cengar-cengir memandang Jayadilaga. "Bocah! Kalau saja kawanku tidak punya urusan denganmu, sudah sejak tadi kubeset mulutmu yang kurang ajar itu!"

"Kau begitu bernafsu hendak menghajar orang tua itu, Jayadilaga. Padahal orang tuamu seorang yang bijaksana. Apakah kau tidak diajarkan untuk mengekang hawa nafsumu?" sindir Rangga.

"Sebaiknya kalian jangan mencampuri urusanku!" dengus pemuda itu.

"Sayang sekali. Semula memang tidak. Namun setelah melihat apa yang kau lakukan, terpaksa aku harus bertindak," sahut Pendekar Rajawali Sakti tegas.

"Aku menghormatimu sebagai kawan ayahku. Maka jangan hilangkan rasa hormat itu dengan campur tanganmu pada urusanku!" desis Jayadilaga.

"Aku tidak bisa surut dari niatku. Oleh karena itu, lupakan segala rasa hormat itu. Aku tak butuh rasa hormat dari manusia bejat sepertimu!" balas Rangga, sengit

"Huh! Kalau begitu, aku tidak sungkan-sungkan lagi padamu!"

"Kau memang sudah tak sungkan-sungkan lagi padaku, sejak tadi. Apalagi saat mengenakan topeng."

"Apa maksudmu? Jangan berbelit-belit!" sentak Jayadilaga dengan wajah sedikit kaget.

"Kau bisa saja menutupi wajahmu dengan topeng. Namun luka yang kubuat, tidak akan bisa disembunyikan begitu saja. Perhatikan baik-baik leher kirimu. Ada goresan luka kecil bekas sayatan kuku tanganku," jelas Pendekar Rajawali Sakti.

"Ahhh...!" Tanpa sadar, Jayadilaga memeriksa luka di leher kirinya. Luka itu sama sekali tidak berarti, meski mengeluarkan darah tidak sampai setetes. Tapi cukup mengejutkan karena sama sekali tidak menghiraukannya. Dalam dugaannya, luka itu mungkin tergores ranting atau terkena cakaran gadis yang tadi dibunuhnya. Tapi siapa sangka kalau luka itu ternyata dibuat kuku Pendekar Rajawali Sakti tanpa disadari?

"Kini kau tak bisa mungkir lagi, Jayadilaga!"

"Keparat!" Jayadilaga mendengus geram. Dan tiba-tiba saja tubuhnya meluruk kearah Pendekar Rajawali Sakti.

"Ki Sabda Gendeng! Ini urusanku. Biar kutangani sendiri. Bantulah gadis itu!" seru Rangga seraya melompat ke atas menghindari serangan.

"Jangan khawatir! Aku tak akan ikutç’±kutan...!" sahut Ki Sabda Gendeng.

"Kau akan mampus di tanganku, Rangga!"

"Tidak usah banyak sesumbar, Jayadilaga. Buktikan saja kehebatanmu!" balas Pendekar Rajawali Sakti yang sudah murka melihat sepak terjang Jayadilaga selama ini.

"Huh! Tadi kau dapat kulukai. Dan kini, akan kubunuh kau tanpa seorang pun yang bisa membantu," dengus Jayadilaga.

"Kesombonganmu boleh juga."

"Heaaa...!" Kembali Jayadilaga meluruk sambil mengibaskan tangan berisi tenaga dalam tinggi secara beruntun. Namun Pendekar Rajawali Sakti yang langsung menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' cepat berkelit. Tubuhnya meliuk-liuk dengan gerakan kaki lincah.

"Hup...!" Mendadak Jayadilaga melejit keatas. Tubuhnya berputar di atas kepala Pendekar Rajawali Sakti, siap menghantamkan pukulan.

Rangga cepat merendahkan kuda-kudanya, lalu melepaskan tendangan lurus ke atas menghantam ke perut Jayadilaga yang tengah mengapung. Tentu saja putra Gusti Prabu Arya Dwipa tak ingin perutnya jadi sasaran. Cepat tangannya yang telah terkepal memapak.

Plak!

Tenaga benturan dimanfaatkan Jayadilaga untuk melenting kembali ke udara. Tepat ketika Rangga berbalik, Jayadilaga telah kembali meluruk hendak melepaskan hantaman telapak tangan.

"Uts...!" Namun dengan sigap Rangga memutar tubuhnya.

Akibatnya tubuh Jayadilaga terus meluncur ke bawah. Dan... Bless...! Pukulan Jayadilaga menghantam tanah sampai amblas beberapa jengkal.

"Hm, inikah pukulan 'Remuk Garba' yang kau banggakan?" kata Rangga.

"Syukurlah kau tahu pukulan istimewaku. Sebentar lagi, pukulanku akan memastikan kematianmu!"

"Aku telah mencicipinya. Dan ternyata, tidak ada apa-apanya. Mungkin tepukan seorang banci lebih keras daripada itu," ledek Pendekar Rajawali Sakti, memanasi.

"Setan! Rasakan ini...!" Jayadilaga kembali melepaskan pukulan mautnya. Namun sekali lagi Rangga berhasil menghindar, dengan meliukkan tubuhnya.

Pukulan itu memang berbeda dari kebanyakan ilmu pukulan lain. Tidak menimbulkan desir angin. Kalaupun ada, sangat tipis. Itu pun yang bisa menangkap hanya tokoh berkepandaian tinggi. Dan tiba-tiba saja, pukulan itu bisa mengenai sasaran.

"Aku tahu, ilmu pukulan ini hanya dimiliki Ki Swagira yang berjuluk Iblis Pemenggal Kepala. Dari mana kau bisa mendapatkannya? Setahuku si keparat itu berada dalam penjara bawah tanah di Istana Kerajaan Swama Pura."

"Dia adalah guruku!"

"Hm.... Ternyata bukan hanya kelakuanmu saja yang bejat. Tapi kau pun telah menikam ayahandamu dari belakang. Beliau telah bersikap adil tidak membunuh Ki Swagira atas perbuatan-perbuatannya yang keji. Tapi dengan diam-diam, kau malah berguru padanya," gumam Pendekar Rajawali Sakti.

"Huh! Itu bukan urusanmu!" sentak Jayadilaga.

"Sekarang menjadi urusanku, Jayadilaga! Kalau saja yang menjadi korban adalah adikmu, aku tentu tidak begitu marah dan menganggap itu persoalan pribadi. Tapi orang lain yang menjadi korbanmu, maka aku tak akan tinggal diam," sahut Pendekar Rajawali Sakti, enteng.

"Banyak omong! Hiih...!" Sambil melompat, Jayadilaga menghentakkan tangannya melepaskan pukulan 'Remuk Garba'.

Wut!

Dengan gesit Rangga melompat ke samping. Seketika tubuhnya berkelebat. Dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', tangannya bergerak mengibas.

"Yeaaa...!"

Jayadilaga terkejut. Buru-buru ditangkisnya ketika kepalan kanan Pendekar Rajawali Sakti bergerak mengibas.

Plak!

"Uhh...!" Namun wajah pemuda itu berkerut kesakitan, merasakan tenaga dalam Rangga yang bukan main kuatnya. Tulang-belulangnya sampai terasa linu.

Sementara Rangga tidak memberi kesempatan. Ujung kaki kirinya terns mengincar ke ulu hati. "Hiih...!"

"Uhh...!" Dengan susah-payah Jayadilaga mencelat ke belakang. Dan Rangga mengejarnya dengan mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' tingkat tertinggi.

Jayadilaga terkesiap. Sungguh tak disangka Pendekar Rajawali Sakti mampu bergerak secepat itu. Padahal, dia belum lagi bersiap-siap. Maka hela napasnya masih kalang-kabut akibat benturan tadi. Meskipun mampu menangkis, namun tenaganya kurang sempurna. Akibatnya, tulang lengannya terasa ngilu bukan main.

Satu kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti berhasil dihindari Jayadilaga. Namun gerakan itu hanya tipuan. Karena begitu Jayadilaga memiringkan tubuhnya, tangan Pendekar Rajawali Sakti yang satu lagi sudah menunggu. Hingga....

Duk!

"Hekh...!" Jayadilaga menjerit kesakitan ketika sampokan Rangga mendarat ke ulu hatinya. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.

"Yeaaa...!" Rangga benar-benar bertindak tidak kepalang tanggung. Tubuhnya berputar, dengan kaki kiri menggedor dada.

Desss...!

"Aaakh...!" Jayadilaga kembali menjerit ketika tendangan Pendekar Rajawali Sakti telak sekali mendarat di dadanya. Tubuhnya terlempar kebelakang disertai muntahan darah segar.

"Kau boleh mampus sekarang!" dengus Rangga.

"Eh, ampun...! Ampun, Rangga. Kau tak boleh membunuhku...!" ratap Jayadilaga sambil bersujud didepan Pendekar Rajawali Sakti.

"Jayadilaga! Bangunlah! Dan, tunjukkan ksatriaanmu!"

"Tidak! Aku tak akan bangun sebelum kau berjanji mengampuniku!"

"Pengecut busuk! Tidak malu pada diri sendiri?! Dengan wanita tak berdaya, kau tega memperkosanya, lalu membunuhnya. Kini dalam keadaan tidak berdaya kau coba meratap demi selembar nyawa busukmu!"

"Aku tak peduli apa yang kau katakan. Tapi, kau mesti mengampuniku, Rangga!"

"Hemm...!" Rangga terdiam. Ditariknya napas panjang.

"Rangga, kumohon ampunilah aku! Ampuni aku...!" ratap Jayadilaga.

"Kisanak! Kau tak boleh mengampuninya! Orang ini amat jahat dan pembunuh keji! Dia harus mati untuk menebus dosa-dosanya!" teriak Marni, kalap.

"Eh, dasar edan! Tadi begitu garang. Dan kini, setelah kena beberapa hajaran, keok seperti ayam kampung. Huh! Aku tak pernah mengampuni orang seperti itu. Dalam sekejap, akan kupecahkan batok kepalanya!" timpal Ki Sabda Gendeng.

"Mestinya memang begitu...."

Mendengar kata-kata Rangga itu, Jayadilaga semakin ketakutan. Dan buru-buru ditubruk kaki Pendekar Rajawali Sakti. "Rangga! Kau adalah kawan dekat ayahandaku. Memandang hubungan baik itu, sudilah kiranya kau mengampuniku. Ampuni aku, Rangga! Ampuni aku...!" ratap Jayadilaga.

"Apakah kau akan bertobat jika kuampuni?"

"Tentu saja! Tentu! Aku akan bertobat!"

"Sungguhkah?"

"Aku berani bersumpah!"

"Hmm...!" Rangga berbalik, melangkah membelakangi. "Aku percaya akan kata-katamu. Karena, kau keluarga terhormat. Orang sepertimu mestinya teguh memegang...!"

Wesss...!

Kata-kata Pendekar Rajawali Sakti terhenti ketika merasakan desir angin kencang di belakang.

"Rangga, awaaas...!" teriak Ki Sabda Gendeng.

"Yeaaa...!" Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas, membuat desir angin dari pukulan jarak jauh yang dilepas Jayadilaga hanya menyambar tempat kosong. Setelah berputaran dua kali, Rangga meluruk sambil melepas kibasan tangan dalam jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Sebisanya Jayadilaga mengegos sambil memapak.

Plak!

"Aaakh...!" Kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti memang berhasil menangkis. Namun akibatnya, Jayadilaga terjajar mundur dengan tangan terasa sakit bukan main. Bahkan dadanya mendadak terasa sesak. Belum sempat Jayadilaga mengatur pernapasannya, Pendekar Rajawali Sakti yang masih mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' memutar tubuhnya. Kakinya yang berisi tenaga dalam langsung melepas tendangan berputar ke dada. Dan....

Desss...!

"Aaakh...!" Jayadilaga menjerit kesakitan. Darah mengucur dari mulut dan hidungnya. Isi dadanya terasa remuk dan rulang-tulang dadanya terasa patah. Tubuhnya terjungkal,. jauh kebelakang dan membentur sebatang pohon.

"Jangan coba membokong orang dari belakang jika kau tak tahu kewaspadaannya, Jayadilaga!" desis Rangga seraya mendekati pemuda itu.

Jayadilaga beringsut ke belakang dengan wajah pucat ketakutan. Dia sering mendengar cerita kalau Pendekar Rajawali Sakti jarang mengampuni lawan-lawan yang bersifat culas, dengan membokong dari belakang. Apakah hal itu akan terjadi padanya? Membayangkan dirinya terbunuh, adalah suatu hal yang selama ini tidak terpikir dalam benaknya. Maka pengalaman itu membuat hatinya terguncang.

"Oh, tidak! Tidaaak! Kau tak boleh membunuhku! Kau tak boleh membunuhku. Aku harus tetap hidup! Aku harus tetap hiduuup...!" teriak Jayadilaga.

"Kau mau tetap hidup, Jayadilaga?" gumam Rangga.

"Iya! Aku mau hidup! Aku harus tetap hidup...!"

"Baiklah. Kukabulkan keinginanmu itu! Tapi, jawab pertanyaanku!"

"Apa itu...?"

"Mengapa kau menuntut ilmu pada Iblis Pemenggal Kepala...?"

"Karena..., karena aku ingin menuntut ilmu kedigdayaan tanpa susah-susah. Dengan hanya memuja iblis sesembahan guruku, aku akan langsung mendapat kesaktian. Dan sebagai tumbalnya, aku harus menodai lima puluh gadis dan membuntungi kepalanya...," papar Jayadilaga.

"Lantas, apa yang kau dapat selama ini?" kejar Rangga.

"Karena baru mendapat tiga puluh lima tumbal, aku baru dapat sebagian isi kitab yang diajarkannya...."

"Lalu imbalan apa yang kau berikan pada Swagira?"

"Aku hanya disuruh mengambil Kitab Batara Karang yang isinya sulit dipelajari. Kitab itu semula disimpan di sebuah gua di Bukit Sabung. Begitu sulit kitab itu untuk kupelajari sendiri, sehingga terpaksa aku meminta Ki Swagira untuk mengajariku...," urai Jayadilaga.

"Hmm.... Siapa pula orang-orang bertopeng yang menjadi pengikutmu selama ini?" tanya Rangga lagi.

"Mereka bekas anak buah Ki Swagira. Setelah aku mendapat tanda kesetiaan, anak buah Ki Swagira percaya kalau aku muridnya...."

"Baik! Sekarang semuanya sudah cukup jelas."

Begitu kata-katanya habis Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat. Tangannya meluncur deras ke tubuh Jayadilaga. Lalu....

Tuk! Tuk! "Ohh...!"

Rangga menotok urat gerak pemuda itu hingga tak berdaya. Namun tindakan Pendekar Rajawali Sakti membuat Ki Sabda Gendeng ngomel-ngomel tak karuan.

"Dasar bocah gendeng! Kenapa tidak dibunuh saja dia? Kalau kau tak mampu membunuhnya, biar aku yang melakukannya!"

"Jangan!" tahan Rangga ketika tongkat Ki Sabda Gendeng siap mengepruk batok kepala Jayadilaga.

"Kenapa? Apa sekarang hatimu lemah mendengar ratapannya?" tukas Ki Sabda Gendeng, tak senang.

"Tidak. Aku punya urusan sendiri dengan ayahnya."

"Urusan apa?"

"Ingin kulihat, apakah Gusti Prabu Arya Dwipa berani menjatuhkan hukuman mati untuknya!"

"Kalau ternyata ayahnya tidak berani menjatuhkan hukuman mati baginya?" tanya laki-laki tua itu.

"Aku yang akan melakukannya di depan ayahnya!" desis Rangga.

"Ha ha ha...! Itu bagus, Sobat, Itu baru sobatku!"

Rangga tersenyum, lalu berpaling pada Marni yang mengenakan pakaian seadanya. "Nisanak! Maukah kau ikut dengan kami ke istana kerajaan?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Untuk apa?" Marni balik bertanya.

"Menjadi saksi atas kebejatan pangeran kerajaan ini. Bersediakan kau?"

"Aku mau asal dia dihukum mati nantinya!" tandas Mami, sambil melirik ke arah Jayadilaga.

"Kita akan lihat, sejauh mana keadilan di negeri ini diterapkan oleh rajamu."

"Baiklah."

"Kita berangkat sekarang juga!"

Maka dengan membawa tubuh Jayadilaga yang terluka di punggung kuda, mereka segera meninggalkan tempat itu.

********************

DELAPAN

Sementara itu di Istana Kerajaan Swarna Pura terjadi keributan. Tawanan utama yang bernama Ki Swagira telah menewaskan beberapa prajurit kerajaan, setelah menjebol pintu penjara. Suara tawanya lantang dan bergema di seluruh dinding bangunan istana. Tanah tempatnya ditahan bergetar seperti dilanda gempa. Dia berhasil keluar dari bawah tanah, tanpa seorang pun yang bisa menahannya!

"Ha ha ha...! Hari ini telah sempuma apa yang kumilikl Dan, tak seorang pun bisa menghalangiku!"

Beberapa prajurit kerajaan yang coba meringkus terpelanting disapu kebutan tangannya. Beberapa prajurit lain yang datang cepat tersapu angin serangan Ki Swagira.

"Hei, Arya Dwipa! Kuperingatkan padamu, suruh kecoa-kecoa ini minggir kalau tidak mau binasa di tanganku...!" teriak tokoh sesat ini menggelegar.

Tapi sebagai jawaban, justru mencelat lima tokoh utama kerajaan di tempat itu. Mereka adalah Ki Pranajaya, Ki Lola Abang, Ki Sedopati. Ki Sanjaya, dan Ki Jayawane.

"Swagira! Kembali ke tempatmu, sebelum kami memaksa!" bentak Ki Sedopati.

"Hua ha ha...! Sedopati! Mulutmu masih juga besar seperti dulu. Harap kau ketahui, selama lima tahun di penjara bawah tanah sana, aku telah memperdalam ilmu-ilmuku dengan Kitab Batara Karang yang berhasil disisipkan ke penjara. Jadi jangan harap kalian bisa meringkusku. Meski jumlah kalian bertambah sepuluh kali lipat, tidak akan mampu berbuat apa-apa!"

"Huh, sombong! Rasakan ini!" Ki Sedopati yang memang sudah panas sejak tadi langsung saja menyerang. Dilepaskannya hantaman tangan beberapa kali disertai mengerahkan tenaga dalam penuh.

"Cari mampus!" dengus Ki Swagira, langsung memapak dengan tangan pula.

Plak! Plak!

Serangan-serangan beruntun yang dilakukan Ki Sedopati dengan mudah ditangkisnya. Seperti menangkis pukulan-pukulan seorang bocah!

"Kalau kau ingin sekali mampus, rasakan ini!" Dengan tiba-tiba kepalan tangan Ki Swagira yang berjuluk Iblis Pemenggal Kepala menghantam ke dada. Ki Sedopati berusaha menangkis.

Plak! Desss...!

"Aaa...!" Aneh pukulan itu terus meluncur. Dan kontan menghantam dada. Laki-laki tua itu menjerit kesakitan. Terdengar tulang dadanya remuk. Dari mulutnya menyembur darah segar. Tubuhnya terjajar ke belakang langsung terhuyung-huyung. Dan sebelum sempat tersungkur ke tanah, Ki Swagira telah mengejar.

"Ini balasan dariku atas penghinaanmu! Hiih!" Iblis Pemenggal Kepala langsung mengibaskan telapak tangannya.

Tes! "Ekh...!"

"Heh?!"

Kejadian itu begitu cepat dan mengejutkan semua pihak yang menyaksikannya. Dengan sisi telapak tangan, Iblis Pemenggal Kepala menebas leher Ki Sedopati yang hanya sempat menjerit tertahan. Saat itu juga kepala pejabat kerajaan ini menggelinding ke tanah dengan darah menyembur dari leher.

"Biadab!"

"Terkutuk...!"

Sumpah serapah segera keluar dari mulut tokoh-tokoh kerajaan lainnya. Namun Ki Swagira malah terkekeh kegirangan.

"He he he...! Hanya itu yang bisa kalian lakukan? Menyumpah dan memaki?"

"Bangsat! Kau harus mampu sekarang juga!" Ki Lola Abang menggeram. Dengan tongkat mautnya diserangnya Ki Swagira. Dan yang lain pun segera mengikut.

Mereka adalah tokoh utama kerajaan berkepandaian yang rata-rata cukup tinggi. Namun mereka juga menyadari kalau Iblis Pemenggal Kepala bukanlah tokoh rendah. Dulu saja mereka bersusah-payah meringkusnya. Itu pun dengan bantuan Ki Jagat Awang, seorang tokoh tua yang berilmu tinggi.

Tapi, Ki Jagat Awang kini entah berada di mana. Dan kalaupun ada, rasanya tak akan sudi membantu karena Gusti Prabu Arya Dwipa telah menghukum keponakannya, yaitu Kebo Bangah.

(Baca Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah Utusan Dari Andalas)

Menghadapi keroyokan empat lawan, serta puluhan prajurit yang mengurung rapat, sama sekali tidak membuat Ki Swagira gentar. Dengan bertangan kosong dia malah berada di atas angin.

Tak!

"Aaakh...!" Ki Lola Abang mengeluh ketika Iblis Pemenggal Kepala menepis tongkatnya dengan tangan. Dan mestinya, tangan Ki Swagira yang remuk. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Tangan Ki Lola Abang yang terasa kesemutan. Dan itu membuktikan kalau tenaga dalam tawanan ini tak bisa dibuat main-main.

Belum lagi Ki Lola Abang sempat menyadari selanjutnya, tiba-tiba saja tubuhnya seperti tersedot ketika Iblis Pemenggal Kepala menarik tongkatnya kuat-kuat. Tak ada jalan lain baginya untuk selamat selain melepaskan senjata andalannya. Tapi sebelum dilakukan, Ki Swagira telah menghentakkan tangan kirinya.

Desss...!

"Aaakh...!" Satu hantaman telak menggedor dada, membuat Ki Lola Abang kontan terpekik. Tubuhnya terjungkal ke belakang disertai semburan darah segar.

"Heaaa...!" Ki Sanjaya menggeram. Golok besarnya langsung menebar leher Iblis Pemenggal Kepala. Namun dengan tak disangka-sangka, Ki Swagira mengayunkan tangan.

Tak! Plas!

Golok itu terpental dari genggaman Ki Sanjaya. Bahkan mendadak, sikut Ki Swagira cepat menyodok ke dada.

Krak!

"Aaakh...!" Ki Sanjaya menjerit kesakitan ketika tulang dadanya terasa patah. Sebelum sempat terhempas ke belakang, Ki Swagira menghantamkan kepalan tangan ke jidatnya.

Prak!

Kontan Ki Sanjaya terlempar tidak berdaya. Begitu menyentuh tanah, nyawanya melayang dengan kepala remuk.

"Biadab!" dengus Ki Pranajaya. Saat itu juga, lelaki tua ini menyerang Ki Swagira. Demikian pula yang dilakukan Ki Jayawane.

"Heaaa...!"

Ki Swagira melejit ke atas seringan kapas. Begitu meluruk, dia langsung balas menyerang. Pukulan Iblis Pemenggal Kepala membuat kedua lawannya terkejut dan pontang-panting menyelamatkan diri. Dan sebelum mereka menjejakkan kaki ke tanah, Ki Swagira telah berkelebat menyerang Ki Jayawane.

"Ki Jayawane, awaaas...!" teriak Ki Pranajaya memperingatkan. Ki Pranajaya cepat menghentakkan tangannya, melepaskan pukulan jarak jauh untuk melindungi kawannya.

Tapi enak sekali Ki Swagira menepis dengan kibasan telapak tangan kiri, tanpa melepaskan perhatian pada Ki Jayawane. Sementara pukulan Ki Pranajaya kandas dihempas gelombang angin kencang laksana badai topan.

Kini tak ada seorang pun yang bisa menyelamatkan Ki Jayawane dari incaran. Meski telah mengibaskan tombak, namun dengan mudah Ki Swagira menepisnya. Tombak itu terpental dan telapak tangannya terkelupas. Ki Jayawane terkesiap, pasrah menerima maut.

"Kau akan menyusul kawan-kawanmu di neraka! Ha ha ha...!" Sambil berkata demikian, Iblis Pemenggal Kepala siap menyabetkan tangannya.

"Ki Swagira! Lihat ke sini!" Tiba-tiba terdengar teriakan dari belakang.

"Hmmhh...!" Ki Swagira membatalkan serangan. Dan tanpa menoleh lagi, dilepaskannya pukulan jarak jauh ke belakang.

Deb!

"Hem!" Iblis Pemenggal Kepala menggumam tak jelas ketika, kali ini pukulan yang dilepaskannya berbalik menghantam meskipun dengan tenaga lemah. Namun itu telah cukup mengalihkan perhatiannya.

Tanpa mempedulikan Ki Jayawane, Iblis Pemenggal Kepala berbalik dan mengawasi seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan gagang pedang menyembul dari punggungnya.

Tidak jauh darinya, terlihat seorang laki-laki tua menyandang bumbung tuak dan membawa tongkat bambu hitam. Juga terdapat seorang gadis desa dan seorang pemuda yang terkulai tak berdaya di punggung seekor kuda. Dari mulut dan hidungnya terus meneteskan darah segar.

"Anakku Jayadilaga...!" Terdengar teriakan seorang wanita setengah baya. Diikuti Gusti Prabau Arya Dwipa serta tiga putra-putrinya, wanita itu tergopoh-gopoh menghampiri Jayadilaga.

"Tetap ditempat kalian!" bentak Rangga garang, ketika orang-orang itu hendak mendekati Jayadilaga.

"Rangga! Apa yang terjadi dengan anakku? Kenapa dia?!" teriak wanita yang tak lain Permaisuri Gusti Prabu Arya Dwipa dengan wajah cemas. Air mata wanita ini mulai menetes. Dan perlahan-lahan didekatinya Jayadilaga.

"Jangan coba-coba mendekatinya!" bentak Rangga kembali, membuat langkah permaisuri surut. "Aku tidak peduli siapa pun orangnya. Tapi siapa pun yang coba-coba menolongnya, maka jangan salahkan kalau aku akan bertindak keras padanya!"

"Rangga...?!" sapa Gusti Prabu Arya Dwipa.

"Hm!" Pendekar Rajawali Sakti tegak berdiri di tempatnya dengan wajah penuh perbawa. Sama sekali kepalanya tak menoleh ketika Gusti Prabu Arya Dwipa coba menyapa.

"Bocah keparat! Jangan bertingkah di depanku. Kau kira bisa berbuat seenaknya pada muridku?!" dengus Iblis Pemenggal Kepala. Ki Swagira mendengus geram. Dan mendadak, dia lompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

"Sobat! Jaga tawanan kita! Jangan biarkan seorang pun menyentuhnya!" desis Rangga pada Ki Sabda Gendeng.

Sebelum orang tua itu sempat menjawab, Pendekar Rajawali Sakti telah meluncur sambil berputar seperti gasing. Langsung dipapakinya serangan Ki Swagira.

Jder!

"Uhh...!" Sesaat terdengar suara keras ketika kedua pukulan beradu. Mereka sama-sama mencelat ke belakang untuk mengatur jarak dan jalan napasnya. Bahu masing-masing turun naik dengan cepat, karena merasakan kedahsyatan tenaga dalam satu sama lain.

"Hm.... Hebat juga kau, Bocah! Tapi jangan dikira Iblis Pemenggal Kepala bisa ditaklukkan!" desis Ki Swagira.

Ki Swagira itu memandang Rangga tak berkedip. Lalu, kedua telapak tangannya dirangkapkan, menempel ke dada. Bibirnya berkerut menahan geram.

"Heaaa...!" Disertai bentakan keras, Ki Swagira menyorongkan telapak tangannya ke depan. Tidak terasa ada angin kencang, juga hawa panas atau dingin. Tidak juga terdengar suara mendesis atau hingar-bingar. Namun, Rangga melompat kalang-kabut menghindari sesuatu yang membuat sebagian orang-orang di tempat itu kaget.

"Hm.... Percuma saja kau mengumbar pukulan 'Remuk Garba'. Aku sudah mengetahuinya!"

"Keparat! Kau akan mampus dengan pukulanku ini!"

"Jangan terlalu berharap, Kisanak!" Rangga telah telah memasang kuda-kuda kokoh. Dibuatnya beberapa gerakan tangan dengan tubuh miring ke kiri dan ke kanan. Tepat ketika tubuhnya tegak kembali. Kedua telapaknya yang telah bersinar biru berkilau telah menyatu di depan dada.

"Heaaa...!" Begitu Ki Swagira melepaskan pukulan kembali, Rangga telah siap memapaki disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Heaaa...!" teriak Rangga seraya mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'.

Disertai teriakan menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua telapak tangannya. Sinar biru berkilau langsung meluncur ketika aji 'Cakra Buana Sukma' terlepas. Suaranya membahana laksana semilir puluhan duan kelapa yang tertiup angin.

Blap!

Cahaya biru terang yang melesat kearah Ki Swagira seperti membentur sesuatu. Tertahan sebentar, tapi perlahan-lahan terus maju ke arah Iblis Pemenggal Kepala.

"Keparat! Rupanya kau Pendekar Rajawali Sakti?!" desis Ki Swagira dengan wajah berkerut.

Perlahan namun pasti, cahaya biru milik Pendekar Rajawali Sakti terus mendesak ke arah Ki Swagira. Bahkan perlahan-lahan makin menyelubungi tubuh Iblis Pemenggal Kepala.

"Heh...?!" Ki Swagira terkejut. Dan secepat kilat dia berusaha mengerahkan tenaga dalamnya untuk menaklukkan sinar biru yang seperti mengekangnya. Namun semakin dia mengerahkan tenaga dalam sekuat mungkin, justru kekuatannya makin tertersedot.

"Heaaat...!" Rangga tak memberi kesempatan. Aji Cakra Buana Sukma segera dilipatgandakan.

"Kurang ajar, kau bocah! Lepaskan aku! Kita bertarung sampai mati!" teriak Iblis Pemenggal Kepala kalap, menyadari kekuatannya semakin lama semakin berkurang saja.

"Hiyaaa...!" Bersamaan dengan itu Rangga melenting sambil menarik gagang Pedang Pusaka Rajawali Sakti di punggung.

Sring!

Begitu pedang tercabut, Rangga meluruk deras. Saat itu juga pedang yang bersinar biru berkilau berkelebat. Dan....

Crasss...!

Tanpa bisa menjerit lagi, kepala Iblis Pemenggal Kepala menggelinding ditebas pedang pusaka milik Pendekar Rajawali Sakti. Darah langsung menyembur deras dari leher. Sebentar tubuhnya limbung. Tepat ketika Rangga mendarat sambil memasukkan pedang, Ki Swagira ambruk dan tewas seketika. Suasana di tempat itu seketika sepi.

"Jayadilaga adalah murid Swagira...! Dia secara diam-diam menyusupkan Kitab Batara Karang ke penjara, lalu ikut mempelajari kitab itu. Dan dialah petaka pembunuhan selama ini, untuk menuntut ilmu dari Swagira! Lantas, dia ku tangkap ketika tengah melakukan perbuatan kejinya. Gadis ini menjadi saksi bahwa aku tak berdusta. Siapa kini yang coba-coba membelanya?!" teriak Rangga lantang.

"Anakku pembunuh! Oh, tidak! Tidaaakkk...!" jerit Permaisuri Gusti Prabu Arya Dwipa dengan air mata berlinang. Dan seketika dia memeluk suaminya.

Yang lain terhenyak mendengar berita yang disampaikan Rangga. Meski mereka semua mengetahui kalau pangeran yang satu itu doyan perempuan, tapi tidak seorang pun pernah menduga kalau ternyata juga pembunuh keji.

"Gusti Prabu! Kini kau telah tahu duduk persoalannya. Dan setelah jelas semuanya, maka aku datang kepadamu membawa bukti-bukti nyata. Kini, apa keputusanmu?!"

"Rangga! Aku tak bisa mempercayai kata-katamu begitu saja, sebelum mengadakan pemeriksaan lebih teliti...."

"Jika ternyata putramu bersalah, hukuman apa yang hendak kau jatuhkan?!"

"Hukuman mati!" sahut Gusti Prabu Arya Dwipa, berusaha menahan debur di hatinya yang semakin kencang.

"Ohh...?!"

"Kakang...?!"

Semua orang yang mendengar keputusan Gusti Prabu Arya Dwipa terkejut. Demikian pula halnya Gusti Permaisuri. Saking hebatnya rasa terkejut di hati, membuatnya tak sadarkan diri. Putri Mayang buru-buru memapahnya dan membawanya ke dalam. Sementara itu suasana di tempat itu masih terlihat tegang.

"Gusti Prabu! Aku berterima kasih atas keputusanmu yang bijaksana. Kalau saja tidak memandangmu, putramu pasti sudah binasa di tanganku. Kini kuserahkan dia padamu. Dan, harap adakan pengadilan yang setimpal untuknya. Aku akan mencari orang-orang yang pernah menyaksikan kebejatannya sebagai saksi."

Setelah berkata begitu, Rangga segera menurunkan Pangeran Jayadilaga dari punggung Dewa Bayu dan menyerahkannya pada seorang prajurit. Kemudian, dia sendiri melompat ke punggung kudanya. Sedangkan Marni ikut di belakangnya.

"Gusti Prabu, aku mohon diri dulu...!"

"Tunggu!" teriak Gusti Prabu Arya Dwipa menahan.

"Hm...!" Namun ketika Pendekar Rajawali Sakti, Ki Sabda Gendeng, dan Marni menatap, Gusti Prabu Arya Dwipa tak kuasa berkata sepatah kata pun.

"Gusti Prabu...! Kalau kau menganggap ku sebagai musuh, aku menerimanya. Dan kalau tetap menganggapku sahabat, itu yang terbaik. Tapi, kebenaran mesti ditegakkan meski sepahit apa pun. Dan aku akan mendengar terus, apa yang akan kau lakukan. Jika ternyata putramu tak bersalah, kau boleh membebaskannya. Namun jika terbukti bersalah dan kau menutup-nutupinya, aku akan datang dan menghukumnya dengan caraku sendiri!" tandas Pendekar Rajawali Sakti.

Setelah berkata demikian, Rangga menggebah kuda. Sementara Ki Sabda Gendeng ikut berkelebat dari tempat ini.

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: RATU ALAM BAKA

Iblis Pemenggal Kepala

IBLIS PEMENGGAL KEPALA

SATU

MALAM baru saja beranjak. Namun Desa Ketawang sudah nampak sepi. Kendati demikian, masih saja ada dua orang yang berjalan berangkulan, seperti tak ingin terpisahkan.

"Apa yang sebenarnya yang hendak Kakang Soma bicarakan?" tanya sosok yang berada di kanan, dan ternyata seorang gadis.

"Kita ke sana, Narti," tunjuk pemuda yang dipanggil Soma.

"Kakang! Ini sudah cukup jauh dari rumah!" sahut gadis bernama Narti.

"Ya! Tapi, belum cukup jauh dari rumah tetanggamu."

"Apa maksud Kakang sebenamya?" tanya Narti curiga, ketika pemuda itu terus menyeretnya agak jauh dari pemukiman penduduk.

"Kenapa? Apakah kau takut padaku, Narti?" tukas Soma.

"Tapi, Kakang...?"

"Kau tidak mencintaiku lagi?"

"Jangan berkata begitu, Kang! Kau tahu, betapa aku sangat mencintaimu."

"Nah! Kalau begitu, jangan banyak tanya-tanya lagi!"

"Tapi, mau dibawa ke mana aku? Tidak biasanya Kakang bersikap seperti ini. Kalau sekadar ngobrol, kita bisa melakukannya dirumah. Atau barangkali...."

Narti bergidik ngeri membayangkan apa yang ada di benaknya. Bagaimana kalau Soma memperkosanya? Meskipun dia kekasihnya, tapi hal itu belum pantas dilakukan! Apalagi melihat gelagat pemuda itu yang aneh dan mencurigakan. Tapi gadis ini takut menduga seperti itu. Dia berharap, Soma tidak bermaksud buruk. Itulah sebabnya, dia tak mau meneruskan kata-katanya.

"Apa? Kau mulai takut padaku, Narti? Kau tak percaya lagi padaku?!"

Tiba-tiba saja mereka berhenti. Soma memandang geram pada Narti. Hela napasnya laksana seekor harimau yang siap menerkam mangsa. Dan ini membuat gadis itu bergidik ngeri. Apalagi ketika tiba-tiba saja Soma memeluknya kuat-kuat, membuat tulang-belulangnya terasa mau patah.

"Kakang, lepaskan aku! Kau menyakitiku!" teriak Narti.

"Kau ingin lepas? Ingin bebas dariku?! He he he...! Dengan senang hati akan kulakukan! Ha ha ha...!"

Mendadak Soma berubah liar. Bola matanya membulat dan kelihatan garang. Dan tiba-tiba pula dirobeknya pakaian gadis itu sambil tertawa-tawa kegirangan.

Bret! Bret!

"Ha ha ha...!"

"Kakang! Apa yang hendak kau lakukan? Oh! Kau keterialuan, Kakang! Lepaskan aku! Lepaskan aku, Kakang Soma!" teriak Narti, berusaha berontak melepaskan diri.

"He he he...! Kau mau melepaskan diri dariku? Tidak akan bisa! Tidak akan bisa...!" desis Soma, terkekeh.

"Kakang, sadarlah! Apa yang tengah kau perbuat padaku?! Kakang Soma, kumohon sadarlah! Urungkan niatmu!" teriak Narti.

Tapi percuma segala teriakan Narti. Pemuda itu seperti kesurupan setan. Dia bukan saja merobek-robek pakaiannya, tapi juga menyumpal mulut gadis itu dengan kain. Bahkan dengan gerakan cepat dia mengikat kedua tangan dan kaki Narti.

"Kini apa dayamu? Kau tak akan mampu berbuat apa-apa?" desis pemuda itu dengan tatapan dingin dan seringai menyeramkan.

"Ehmm...! Hmmm...!" Bola mata gadis itu melotot garang. Meski mulutnya tersumpal, dia berusaha memaki-maki pemuda itu.

"Ha ha ha...! Terserah apa yang kau katakan. Mungkin kau samakan aku dengan bajingan atau apa, terserah. Yang jelas, pestaku kali ini tak akan terganggu. Ayo! Mari kita rayakan, Sayang. Di suatu tempat yang pasti kau sukai!"

Setelah itu, Soma memondong Narti dan berkelebat cepat dari tempat itu disertai suara terkekeh.

********************

"Brengsek! Brengsek! Kalau begini jadinya tak ada yang bisa kuajak bertanding!"

Seorang laki laki tua berambut putih sebahu terlihat uring-uringan sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Mulutnya tak henti-hentinya mengomel. Sementara tidak jauh darinya seorang pemuda tampan tengah terduduk di bawah pohon tanpa bisa bergerak sedikit pun.

"Rasakan sendiri!" sahut pemuda itu.

"Diam kau, Jaka Tawang! Kalau terus mengomel, maka sampai seharian kau akan terus tertotok begitu!" bentak laki-laki tua ini.

"Apa hebatnya? Aku justru merasa enak begini...," sahut pemuda yang ternyata Jaka Tawang. Dan orang tua yang mengomel tak lain dari Ki Sabda Gendeng gurunya sendiri.

"Enak katamu? Huh! Apa enaknya orang ditotok?" tukas Ki Sabda Gendeng.

"Bagi orang-orang mungkin siksaan. Tapi bagiku, ditotok seperti ini bagai berada di surga. Tak perlu mencarikan makanan, serta tak perlu bertanding catur melawan Guru...!" kilah Jaka Tawang.

Murid dan guru itu memang sama sablengnya. Bila Jaka Tawang sering membantah gurunya yang selalu mengajaknya main catur, maka hukumanlah yang harus diterimanya. Sementara, Ki Sabda Gendeng sendiri juga keterlaluan. Kalau bertanding main catur, dia maunya menang melulu. Dan bila Jaka Tawang mengalahkannya, laki-laki tua ini akan marah tak karuan. Tapi bila Jaka Tawang sengaja mengalah, Ki Sabda Gendeng akan menghinanya terus menerus.

"Tidak makan selama beberapa hari, kau tentu akan merasa lebih enak!" dengus laki-laki tua yang gila catur itu.

"Lebih baik ketimbang disuruh main catur dengan orang goblok!" balas Jaka Tawang.

"Eee...! Kau bilang aku goblok?! Murid kurang ajar! Kukemplang kepalamu berhenti jadi orang kau!"

Mata Ki Sabda Gendeng melotot. Tangannya terangkat, siap mengemplang. Namun Jaka Tawang tak terpengaruh sedikit pun. Wajahnya tetap ceria dengan bibir selalu tersenyum.

"Lho? Kok Guru jadi sewot? Siapa yang bilang guru, goblok?"

"Itu tadi?!"

"Aku kan hanya mengatakan, lebih enak tak makan ketimbang disuruh main catur dengan orang goblok!"

"Nah, itu berarti aku!" serobot Ki Sabda Gendeng.

"Apakah Guru merasa sebagai orang goblok?" tukas Jaka Tawang.

"Tentu saja tidak!"

"Nah! Berarti kata-kataku bukan ditujukan pada Guru!" tandas Jaka Tawang.

"Jadi pada siapa?" tanya Ki Sabda Gendeng.

"Ya, pada orang goblok tentunya," sahut pemuda itu sekenanya.

"Tapi, kau main catur hanya denganku saja. Maka tak ada orang lain yang bisa dikatakan goblok, selain aku!"

"Kenapa Guru begitu ngotot?! Apa itu artinya Guru memang senang dikatakan goblok?!" tukas Jaka Tawang menyudutkan.

"Tentu saja tidak, Murid Gendeng!"

"Ya, sudah! Kalau Guru memang tidak goblok, berarti aku menujukannya pada orang lain. Kecuali, kalau Guru memang merasa goblok."

"Sialan! Pintar saja kau bersilat lidah!"

Jaka Tawang terkekeh. Matanya berbinar-binar karena bisa mengerjai gurunya. Itu memang selalu diharapkan, karena selama ini selalu dikerjai Ki Sabda Gendeng.

"Jadi, kau sungguh-sungguh lebih enak begini?!" tanya Ki Sabda Gendeng.

"Yaaah.... Ketimbang minta dibukakan, tapi tidak juga dikabulkan...," desah Jaka Tawang, sambil menengadah ke atas. Dari celah-celah dedaunan pepohonan terlihat kalau langit mulai gelap. Sementara di ufuk barat sana, sinar merah jelaga nampak membias.

"Itu karena kau tak mau main catur denganku!" sentak Ki Sabda Gendeng, membuat Jaka Tawang menoleh lagi ke arahnya.

"Buat apa? Kalau kalah, Guru tak mau terima. Dan maunya aku yang terus kalah. Mana ada permainan catur seperti itu!"

"Jangan suka buat alasan. Itu karena kau saja yang tolol!"

"Hm.... Biasanya orang yang suka main dengan orang tolol, sebenamya dia tolol juga," sahut Jaka Tawang, kalem.

"Brengsek! Kau berani mengatakan aku tolol?!" bentak Ki Sabda Gendeng dengan mata mendelik lebar.

"Eeeh, nanti dulu! Siapa yang mengatakan Guru tolol?" tukas Jaka Tawang berkelit.

"Jangan berdalih lagi! Baru saja kau mengatakan begitu!"

"Nah! Ini seperti tadi. Guru tidak menyimak dengan teliti, dan akibatnya timbul salah pengertian. Aku hanya mengatakan, biasanya orang yang bermain dengan orang tolol, sebenamya tolol juga. Dan itu berarti bukan aku mengatakan Guru tolol."

Laki-laki tua yang gila catur ini mendengus beberapa kali. "Huh! Sekarang ini apa otakku yang butek, atau dia yang licik? Sebenarnya bocah ini melecehkan aku. Tapi setelah diteliti, dia memang mengatakan yang sebenarnya. Huh! Bagaimana ini?" gerutunya sambil menepuk-nepuk jidat

"Aku bisa menjawabnya!" selak Jaka Tawang.

"Aku tidak bicara denganmu!" sentak Ki Sabda Gendeng.

"Tapi ini menyangkut persoalanku, bukan? Nah, berarti aku yang bisa menjawabnya."

"Benarkah?" Jaka Tawang mengangguk cepat. "Kalau begitu, katakanlah!"

"Tapi ada syaratnya."

"Apa?"

"Bebaskan totokanku dulu."

"Hm.... Kau mau mengakaliku, bukan?" cibir Ki Sabda Gendeng.

"Ya, itu sih terserah Guru saja. Kalau totokanku dibuka, maka aku bisa menerangkannya dengan leluasa. Tapi kalau tidak, mana mungkin bisa jelas menerangkannya."

"Baiklah...." Ki Sabda Gendeng menyetujui setelah berpikir sebentar. Dia bangkit, lalu menghampiri Joko Tawang. Sebentar saja totokan di tubuh pemuda itu telah dibebaskannya.

"Ayo, katakan!" lanjut Ki Sabda Gendeng.

"Sebentar...." Jaka Tawang menggerak-gerakkan badannya. Tubuhnya terasa pegal setelah sekian lama jadi patung. Dan dia mesti melemaskan otot-ototnya.

"Kalau coba menggunakan akal bulusmu, akan kuhajar kau!" desis Ki Sabda Gendeng.

Pemuda itu tersenyum. Tapi belum lagi Jaka Tawang mulai menjelaskan, mendadak beberapa orang menghampiri dengan wajah garang. Di tangan mereka tergenggam beberapa macam senjata tajam. Ada apa dengan Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang?

DUA

Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang menoleh dengan kening berkerut Hati mereka bertanya-tanya, mengapa orang-orang itu mendatangi dengan wajah tak bersahabat? Namun belum sempat terjawab pertanyaan itu.

"Huh! Kurung mereka! Kita harus menghukumnya!" perintah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun berpakaian ketat warna merah. Wajahnya kokoh. Agaknya, dialah yang memimpin orang-orang ini.

"Kurasa itu tidak adil. Mereka harus ditanyai dulu," sergah seorang laki-laki tua berpakaian putih. Wajahnya berwibawa, namun penuh kehati-hatian.

"Ki Jumanta? Kenapa kau bersikap lemah? Aku melihat mereka sudah dua hari berada di Desa Ketakus ini. Sikap mereka sangat mencurigakan! Apa maunya kalau bukan mencari mangsa?" dengus laki-laki lain yang berusia tiga puluh tahun.

"Aku mengerti, Praba! Tapi kita perlu meneliti, agar tidak salah menghukum orang...," sahut laki-laki tua yang dipanggil Ki Jumanta.

"Sebagai kepala desa, kau terlalu lunak! Tapi, kami tak bisa mengikuti caramu," dengus laki-laki bemama Praba.

Ki Jumanta hanya menghela napas saja. Kepalanya menggeleng-geleng penuh penyesalan melihat sikap warganya yang susah diajak berpikiran dingin. Sementara, Ki Sabda Gendeng dan Jaka Tawang hanya memperhatikan dan sesekali saling berpandangan. Sungguh mereka tak mengerti, ada apa sebenamya!

"Aku tidak peduli! Mereka berdua akan kubunuh dengan golokku ini!" dengus laki-laki berpakaian merah.

"Tahan, Ketawang! Jangan main hakim sendiri...!" seru Ki Jumanta.

Tapi laki-laki berpakaian merah yang bemama Ketawang telah mengacung-acungkan golok. Bahkan telah melompat sambil menebaskan goloknya ke arah Jaka Tawang yang berada di dekatnya.

"Yeaaa...!"

"Uts! Hei?! Apa-apaan ini?!" seru Jaka Tawang kaget sambil melompat ke belakang. Setelah berputaran dua kali, dia mendarat kokoh di tanah.

"Jangan banyak omong! Kalian pembunuh keparat! Dan hari ini, harus mati di tanganku!" bentak Ketawang, sengit.

"Pembunuh? Kurang ajar! Jangan seenaknya kau menuduh!" dengus Jaka Tawang, geram.

"Banyak bacot!" Saat itu juga Praba dan beberapa orang lain ikut menyerbu. Tidak tanggung-tanggung, kini lima orang yang mengeroyok Jaka Tawang dengan penuh nafsu untuk segera menghabisinya.

Sedangkan Ki Jumanta sambil menghela napas kesal, beringsut ke belakang dengan sikap serba salah. Sebagai kepala desa dia memang harus mengayomi dan melindungi rakyatnya. Tapi bila rakyatnya main hakim sendiri, setelah tanpa alasan kuat?

"Kami sudah cukup lama bersabar! Tapi kali ini, jangan harap akan kami diamkan. Pembunuh keparat sepertimu mesti dilenyapkan sekarang juga!" dengus Ketawang, setelah ikut ambil bagian lagi dalam menjatuhkan Jaka Tawang.

"Terkutuk! Gadis itu masih belia! Kau penggal kepalanya, setelah kau nodai!" timpal yang lain.

"Dasar sinting! Kapan aku pernah menodai seorang gadis? Kapan pula aku pernah memenggal kepala orang?" tukas Jaka Tawang membela diri mati-matian.

Kata-kata murid Ki Sabda Gendeng disambut dengan kelebatan golok yang silih berganti mengancam keutuhan lehernya. Para pengeroyok betul-betul tidak memberi kesempatan padanya untuk mengetahui duduk persoalan yang sebenamya.

"He he he...! Itu hukum karma namanya!" ejek Ki Sabda Gendeng. "Kau mengakali gurumu. Sekarang, orang-orang ini membalaskannya untukku!"

Laki-laki tua gila catur ini sama sekali tidak bermaksud membantu. Dia malah enak-enakan menenggak tuak di bumbung bambu sambil duduk kembali menghadapi papan catur di depannya.

"Jangan tertawa dulu, Orang Tua! Kau sama saja dengannya!" Mendadak seorang pengeroyok lain menyerang Ki Sabda Gendeng dengan tusukan golok.

Siuuut!

"Eh!" Ki Sabda Gendeng mengegos ke kiri, sehingga tusukan sebilah golok dapat dihindarinya. Orang itu terus bergerak terbawa luncuran tubuhnya. Dan Ki Sabda Gendeng tinggal menggaet kakinya, sehingga....

Brukkk...!

Orang itu jatuh tersungkur. Pada saat yang sama, para pengeroyok lain tidak berdiam diri, Mereka langsung meluruk ke arah Ki Sabda Gendeng yang telah bangkit dengan sikap waspada.

"Ha ha ha...! Inikah yang Guru katakan hukum karma? Ternyata kita sama-sama merasakannya!" teriak Jaka Tawang mengejek.

"Sialan!" Ki Sabda Gendeng hanya bisa mengumpat. Dengan tangan kiri mengepit bumbung bambu di tangan kanannya mencoba dibantu kedua kakinya. Begitu cepat gerakan laki-laki tua ini. Bahkan belum sempat disadari para pengeroyok, tubuhnya cepat bergerak melakukan serangan balasan.

Buk! Des!

"Aaakh...!" Dua pengeroyok menjerit kesakitan saat kaki dan tangan Ki Sabda Gendeng berhasil menghantam dada serta perut mereka.

Pada saat yang sama seorang pengeroyok meluruk sambil menebaskan golok. Ki Sabda Gendeng berkelebat. Tangan kanannya cepat mencengkeram leher baju penyerangnya.

Krep! Wuuut!

"Aaa...!" Orang itu berteriak ketakutan Ki Sabda Gendeng melemparkannya ke udara. Tubuhnya melayang dan jatuh dengan keras ke bawah.

Belum sempat Ki Sabda Gendeng menarik napas lega, dua pengeroyok telah menyerangnya sekaligus. Namun dengan tenangnya, laki-laki tua ini memutar tubuhnya. Dan seketika disambarnya bumbung bambu yang tadi dikempit di ketiak. Lalu....

Bletak! Tak!

"Aaakh...!" Kedua orang itu menjerit sambil memegangi kepalanya yang benjol dihantam bumbung bambu.

"Jaka Tawang! Apa kau mau seharian meladeni yang tak berguna ini?!" teriak Ki Sabda Gendeng, seraya melompat ke belakang.

"Tidak, Guru!" sahut Jaka Tawang.

"Lalu kenapa masih di sini?" Sehabis berkata demikian, Ki Sabda Gendeng melesat kabur.

"He he he...! Kalau begitu kemauan Guru, mana berani aku membantahnya?"

Setelah melihat tindakan gurunya, pemuda itu mencelat ke belakang. Disambarnya tongkat bambunya yang diletakkan di bawah pohon, lalu diputar-putar untuk menghalau serangan. Kemudian dengan ringan tubuhnya berkelebat mengikuti gurunya yang telah lebih dulu kabur.

"Kejaaar...!" teriak Ketawang. "Jangan biarkan lolos!"

Tapi percuma saja mereka mengerahkan seluruh tenaga untuk mengejar. Murid dan guru itu telah berkelebat cepat Dan sebentar saja, mereka tidak kelihatan lagi batang hidungnya.

Orang-orang itu memang tidak tahu kalau dua orang yang barusan dikeroyok adalah dua orang tokoh persilatan yang namanya mulai diperhitungkan para tokoh hitam. Murid dan guru itu bukannya takut menghadapi para pengeroyok tadi, tapi hanya sekadar menghindari dari kesalah pahaman yang bisa berakibat jatuhnya korban.

"Guru, tunggu! Tunggu dulu! Mereka sudah jauh dan tidak mungkin bisa mengejar kita!" teriak Jaka Tawang sambil mengejar Ki Sabda Gendeng yang tak juga menghentikan larinya.

"Benarkah?" Ki Sabda Gendeng menghentikan larinya. Kepalanya menoleh ke belakang. Meski telah berlari sekian jauh, tapi tidak terlihat kalau laki-laki tua urakan megap-megap. Dadanya mengembang seperti biasa, sebagai tanda mahir menguasai pernapasan. Dan orang seperti itu biasanya memiliki tenaga dalam hebat!

"Aku tidak mengerti, kenapa mereka tiba-tiba saja mengamuk dan menuduh kita pembunuh...," gumam Jaka Tawang, seperti berkata sendiri.

"Kau kira aku mengerti?" Ki Sabda Gendeng melotot

"Mereka orang-orang desa yang polos, Guru. Pasti ada sesuatu yang menimpa mereka. Kita mesti membantunya," jelas Jaka Tawang.

"Polos katamu? Leherku hampir saja terpisah! Dan kita mesti membantu orang-orang yang nyaris menebas leherku? Huh! Kurasa malaikat pun tidak akan berbuat sebaik pikiranmu itu!" dengus laki-laki tua itu.

"Tapi mereka berbuat begitu karena kalap dan tidak tahu, Guru. Kita mesti memakluminya...."

"Ah..., kau saja yang memaklumi!"

"Jadi Guru tidak mau membantu?"

"Tidak!" sahut Ki Sabda Gendeng, seraya melengos dengan tangan bersedekap.

"Kalau begitu, Guru bukan pendekar sejati!" tuding Jaka Tawang.

"Dasar bocah tolol!" Ki Sabda Gendeng menatap muridnya. "Sejak kapan aku mimpi jadi pendekar sejati? Kesukaanku hanya main catur. Nah! Kalau menjadi pemain catur sejati, tentu saja aku mau."

"Sama saja!"

"Apa?"

"lya! Main catur dengan dunia kependekaran, toh tiada jauh berbeda. Sama-sama berusaha mengalahkan lawan secepatnya."

"lya, ya! Benar juga kau...!" Ki Sabda Gendeng mengangguk-anggukkan kepala.

"Maka Guru harus menjunjung tinggi sifat-sifat seorang pendekar. Yaitu, menolong orang-orang yang kesusahan, salah satunya...."

"Tentu saja! Selama ini aku selalu berbuat seperti itu!" kilah Ki Sabda Gendeng.

"Nah! Hari ini, kita lihat penduduk desa itu tengah kesusahan. Mereka mengira kita sebagai pembunuh. Kita harus menangkap si pembunuh yang sebenarnya, dan menyerahkannya kepada mereka. Dengan begitu kita menjunjung sifat-sifat seorang pendekar," kata Jaka Tawang memberi pengertian.

"Betul, apa yang kau katakan itu!" sambut laki-laki tua gila catur ini.

"Nah! Berarti Guru setuju, bukan?"

"Tentu saja!"

"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Ayo kita can" pembunuh keparat itu!"

"Untuk membantu mereka?"

"Tentu saja!"

"Tidak! Sudah kukatakan, aku tidak mau membantu mereka."

"Lho? Bukankah Guru mengatakan setuju untuk membantu mereka yang kesusahan?"

"Tentu saja! Tapi sekarang yang susah mereka atau kita? Kita dikejar-kejar dengan puluhan golok terhunus. Lalu, kita mesti membantu mereka. Huh! Orang sinting sepertiku saja bisa membedakan, mana yang mesti dibantu dan mana yang tidak!"

"Ah, sudahlah! Percuma berdebat dengan Guru. Kalau tak mau membantu, biar aku saja yang ke sana!" Disertai napas kesal, Jaka Tawang berbalik. Kakinya langsung melangkah lebar ke arah Desa Ketakus lagi.

"Eee.... Mau ke mana kau?!" sentak Ki Sabda Gendeng seraya melangkah menghampiri Jaka Tawang yang sudah berhenti lagi.

"Membantu mereka menangkap pembunuh sebenarnya," sahut Joko Tawang disertai desahan napas kesal.

"Kalau kau mendekati orang-orang itu, memang akan sangat membantu. Membantu mereka dalam menangkapmu!" ejek Ki Sabda Gendeng, meremehkan.

"Aku tidak akan sebodoh itu!" desis pemuda ini.

"Hm..., apa maksudmu?"

"Aku akan menyamar, sehingga mereka tidak mengenalinya. Dengan begitu, aku bisa leluasa mencari keterangan."

"Gigih juga semangatmu. Tapi, mau menyamar jadi apa?" tanya Ki Sabda Gendeng bernada meremehkan.

"Jadi apa saja yang tidak dicurigai! Jadi orang tua, atau jadi perempuan juga bisa!" sahut Jaka Tawang sekenanya.

"Ha ha ha...!"

Jaka Tawang menatap gurunya dengan sinar mata tidak suka. Dia merasa gurunya seperti meremehkan apa yang jadi rencananya. "Kenapa Guru tertawa?"

"Kalau jadi perempuan, kau tak perlu menyamar. Karena, sekarang pun sudah mirip," ledek Ki Sabda Gendeng, tak menghiraukan tatapan muridnya.

"Brengsek!" maki Jaka Tawang. Tapi tentu saja makian itu hanya di hati, karena kalau sampai terlontar dari mulutnya, akan timbul masalah lagi.

Ki Sabda Gendeng memang sedikit curang. Kalau dirinya boleh memaki seenaknya. Tapi giliran dimaki, maka akan blingsatan. Tangannya gatal-gatal kalau tidak menghajar orang yang memakinya. Meskipun, itu murid sendiri. Dan Jaka Tawang paham betul tabiat gurunya.

"Aku pergi dulu," kata pemuda itu pendek, langsung melangkah.

"He he he...!" Ki Sabda Gendeng terkekeh. Tapi tiba-tiba dia teringat sesuatu. Dan secepat itu tawanya siena.

"Sial! Kenapa dia enak-enakan membantu orang lain? Bukankah sebaiknya membantuku? Main catur, misalnya? Hei, Jaka Tawang! Berhenti kau! Berhentiii...!" teriaknya mengejar.

Jaka Tawang agaknya mengerti gelagat. Meski jaraknya cukup jauh, namun telinganya masih mampu mendengar teriakan gurunya. Kalau sudah begitu, pasti urusannya jadi lain. Gurunya teringat akan catur dan pasti akan memaksanya main. Ini berabe, dan bisa mengganggu rencananya. Kalau lari, orang tua itu pasti bisa mengejar. Maka jalan terbaik adalah bersembunyi. Jaka Tawang langsung berkelebat ke amping, lalu menghilang di lebatnya hutan kecil ini.

"Keluar kau, Jaka Tawang! Aku tahu kau mendengar teriakanku! Ayo, keluar!" ujar Ki Sabda Gendeng begitu tiba ditempat Jaka Tawang menghilang tadi.

Tapi mana mau pemuda itu menuruti permintaan gurunya. Kalau dia keluar, tentu akan mendapat hukuman. Dan hukuman yang paling membuatnya kesal adalah disuruh bermain catur!

"Ayo keluar kau, Bocah Edan! Kalau sampai kutemukan, kubuat kau jadi patung seumur hidup!" ancam Ki Sabda Gendeng. Baru saja gema suara laki-laki tua itu lenyap.

Tak!

Mendadak terdengar suara ranting patah dari belakang. Tanpa menoleh lagi, Ki Sabda Gendeng mendengus. "Akhirnya kau muncul juga, Bocah Edan! Jangan harap kau lolos dari hukuman!"

"Hei, Orang Tua Sinting! Kini kau tidak bisa lari lagi!"

Ki Sabda Gendeng berbalik. Wajahnya kontan merah karena marah. Dikira yang muncul Jaka Tawang yang sudah amat kelewatan. Tapi keningnya langsung berkerut, ketika melihat sosok lain telah tegak berdiri mengawasinya dengan wajah geram. Sosok itu adalah seorang laki-laki muda berbadan tegap terbungkus pakaian kuning. Rambutnya sepanjang pundak dibiarkan lepas begitu saja. Bola matanya tajam memandangnya. Di pinggang kiri terselip sebilah kapak.

Hei?! Siapa kau, Bocah?!" tegur Ki Sabda Gendeng.

"Aku malaikat maut yang akan mencabut nyawamu!"

"Brengsek! Kau kira aku bocah ingusan yang bisa ditakut-takuti, he?!" hardik Ki Sabda Gendeng.

"Kau pembunuh biadab! Dan aku tidak akan melepaskanmu sebelum menebas lehermu!" balas pemuda yang baru datang ini.

"Edan! Galak juga rupanya kau. Hei?! Apa orang tuamu tidak mengajarkan sopan-santun? Tahukah kau, tengah berhadapan dengan siapa saat ini? Salah-salah malah kepalamu yang bisa kutebas!" maki Ki Sabda Gendeng.

"Iblis terkutuk! Cabut senjatamu sebelum kapakku menebas lehermu!" Pemuda tegap itu mendengus garang. Lalu secepat kilat mencabut senjata kapaknya.

"Yeaaa...!" Disertai teriakan menggetarkan, pemuda itu melompat dengan babatan kapak.

"Sial! Mimpi apa aku semalam? Hari ini kok, apes bener!" umpat lelaki tua gila catur ini seraya mengibaskan tongkat bambu hitam ke arah kapak pemuda itu.

Trak!

"Hiih!" Meski tongkat Ki Sabda Gendeng membentur kapak baja, namun sama sekali tidak bergeming. Malah pemuda itu yang merasakan suatu tenaga tak tampak, yang membuat tangannya bergetar. Tapi mana mau pemuda ini mengalah begitu saja. Kaki kirinya langsung menyodok ke perut.

"Hup!" Namun Ki Sabda Gendeng cepat mencelat ke atas.

Sambil berputar, pemuda itu menyabetkan kapaknya ke atas, membuat Ki Sabda Gendeng harus cepat memalangkan tongkatnya ke atas.

Trak!

Dari benturan barusan, Ki Sabda Gendeng mempergunakan kekuatan benturan untuk melenting ke belakang. Dan indah sekali kakinya mendarat di tanah.

"Bocah edan! Jangan memaksaku untuk memecahkan batok kepalamu, he?!" maki Ki Sabda Gendeng dengan mata melotot, setelah menyadari kalau pemuda ini benar-benar menginginkan nyawanya.

"Orang tua busuk! Jangan banyak omong! Nyawamu berada di tanganku. Lebih baik berdoa, mudah-mudahan dosa-dosamu diampuni Yang Maha Kuasa!" balas pemuda ini.

"Dasar gendeng!" maki Ki Sabda Gendeng.

Dan pemuda berbaju kuning itu tak peduli kelihatannya. Dia betul-betul ingin membuktikan kata-katanya. Begitu tubuhnya meluruk, maka serangan yang dilancarkannya sekarang makin berlipat ganda. Bahkan kapaknya terus menerus mengancam keselamatan Ki Sabda Gendeng.

Sampai beberapa jurus Ki Sabda Gendeng tidak berusaha membalas, melainkan hanya menghindar. Tapi, kesabaran orang tua itu mulai habis. Dan sebenarnya sifatnya bukanlah orang sabar. Hanya saja karena di hatinya masih tersisa pertimbangan kalau pemuda ini salah paham, maka tangan kejamnya tidak berusaha diturunkan.

Tapi, sekarang persoalan sudah lain. Pemuda itu tak memberinya kesempatan. Dan dia pun mulai tak peduli. Maka, tongkat bambunya yang semula cuma menangkis, kini balas menyerang.

Trak!

"Uhh...!" Sekali membentur kapak, maka ujung tongkat Ki Sabda Gendeng terus menyodok ke leher. Pemuda itu tercekat Matanya melotot kaget, karena tak menyangka laki-laki tua lawannya mampu bergerak secepat itu.

"Hiih!" Ki Sabda Gendeng tak meneruskan serangan. Tubuhnya berbalik sambil melepaskan sepakan ke dada.

Desss...!

"Ughh...!" Pemuda itu kontan tersungkur sambil mengeluh kesakitan. Tangan kirinya mendekap dadanya yang terasa sesak dan nyeri. Dan dengan wajah garang dia bangkit kembali.

"Iblis terkutuk, aku akan mengadu jiwa denganmu! Heaaa....!" Diiringi teriakan keras, pemuda itu menerjang penuh nafsu.

"Bocah semprul! Dikasih hati, malah minta jantung. Kau kira aku jangkrik yang mau diadu-adu?!" maki Ki Sabda Gendeng.

Tapi pemuda itu tak mempedulikannya. Dia terus menyerang dengan sambaran kapaknya.

Wuuuttt...!

Sementara, Ki Sabda Gendeng benar-benar habis kesabarannya. Tongkatnya cepat berputar, menangkis sambaran kapak.

Trak!

Begitu terjadi benturan, tongkat itu bergerak cepat menyambar pergelangan tangan pemuda berbaju kuning ini. Namun tongkat bambu Ki Sabda Gendeng menyambar angin, ketika pemuda ini menarik tangannya. Sayang di luar dugaan, tongkat yang menyambar angin tahu-tahu telah berbalik dengan kecepatan dahsyat, menuju perut. Lalu....

Duk!

"Aaakh...!" Pemuda itu terpekik ketika perutnya terhantam tongkat. Tubuhnya terjajar mundur beberapa lang-kah.

"He he he...! Kau kira bisa menganggap enteng padaku?" ejek Ki Sabda Gendeng, seraya melanjutkan serangan langsung menghantam tangan pemuda itu dengan tongkatnya.

Tak!

"Aaakh...!" Kembali pemuda itu mengeluh tertahan. Sebelum dia sempat berbuat apa-apa, pergelangan tangannya seperti kaku, sehingga kapaknya terlepas dari genggaman. Hajaran tongkat itu kuat bukan main. Terasa kalau tulang pergelangan tangannya retak. Namun sebelum laki-laki gila catur itu meneruskan serangan....

"Sabda Gendeng! Hentikan seranganmu!" Terdengar satu suara, membuat Ki Sabda Gendeng terkejut dan langsung menoleh.

"Hem!" Ki Sabda Gendeng mendelik garang ketika melihat kemunculan seorang laki-laki tua berjubah putih. Rambutnya panjang yang sebagian telah ubanan. Tubuhnya kurus. Berdirinya seolah melayang-layang diterpa angin. Namun dari pancaran sorot matanya, orang akan merasakan suatu kekuatan dahsyat dalam dirinya.

"Kukira siapa. Kau rupanya, Sampagul. Apa maumu?!" tegur Ki Sabda Gendeng.

"Jangan beraninya pada muridku. Hadapi aku!" dengus orang tua yang dipanggil Sampagul.

"Ha ha ha...! Jadi, bocah semprul itu muridmu? Pantas! Pantas rasanya, aku memang pernah mengenal ilmu silat yang dimainkannya."

"Jangan banyak omong! Bersiaplah untuk menghadapiku!"

"Hee, tunggu dulu! Aku mesti mengerti, apa persoalannya sehingga bocah semprul itu menyerangku!"

"Kau orang tua ugal-ugalan! Siapa pun tahu, kau suka mencari gara-gara! Ayo, lekas perlihatkan jurus-jurusmu!"

"Dasar muridnya geblek, gurunya pun pasti biangnya!" umpat Ki Sabda Gendeng.

"Keparat!"

"Yeaaa...!" Ki Sampagul tidak dapat lagi menahan diri. Langsung diserangnya Ki Sabda Gendeng.

"Eee, nekat juga!"

"Jangan banyak omong, Pengecut! Akan kuberi kau pelajaran yang tak akan terlupakan seumur hidup!" dengus Ki Sampagul, langsung menjotos.

TIGA

Dengan indah sekali, Ki Sabda Gendeng berkelit ke samping. Tangan kirinya langsung bergerak memapak.

Plak!

Ki Sampagul dan Ki Sabda Gendeng sama-sama terjajar. Namun, Ki Sabda Gendeng telah cepat memutar tubuhnya sambil melepas tendangan berputar ke perut.

"Hup...!" Ki Sampagul melenting ke atas. Dan tahu-tahu kakinya telah terjulur, mengancam dada Ki Sabda Gendeng.

Namun laki-laki tua gila catur ini agaknya tidak semudah itu dipecundangi. Tubuhnya tiba-tiba mencelat ke samping sambil mengibaskan tongkat, mengarah ke kaki.

Ki Sampagul semakin kalap. Cepat kakinya ditarik pulang sambil mencabut kapak perak yang terselip di pinggang.

"Heaaa...!" Dengan memutar tubuhnya di udara, Ki Sampagul menghantamkan tongkat menggunakan kapak.

Trak!

Dengan menggunakan daya lontaran tubuhnya, Ki Sampagul memutar tubuhnya kembali ke. belakang. Lalu, manis sekali kakinya mendarat di tanah. Sementara Ki Sabda Gendeng terjajar mundur.

Kini kedua tokoh tua itu telah siap saling gebrak lagi. Sorot mata mereka sama-sama tajam, seperti hendak menembus jantung lewat bola mata.

"Heaaa...!"

"Hiaaa...!"

Dan pertarungan itu agaknya memang tak terhindarkan lagi dan semakin seru. Gerakan mereka begitu cepat sehingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan saja. Bahkan tenaga dalam yang ditimbulkan dari setiap benturan yang terjadi mampu menggetarkan daerah di sekitarnya. Itu menandakan kalau keduanya memiliki tenaga dalam hebat.

"Sampagul! Sesinting-sintingnya aku, masih bisa membedakan mana kawan dan mana lawan...," teriak Ki Sabda Gendeng di tengah pertarungan.

"Kau lawanku! Jangan banyak mulut, Setan!" semprot Ki Sampagul.

"Brengsek! Dasar orang tua bau tanah!"

"Bajingan! Apa kau kira hanya aku yang bau tanah?! Kalau aku mau, sebentar lagi kau malah bisa bersatu dengan tanah. Bahkan namamu juga bisa ikut terkubur di tanah!"

"Huh! Kenapa tidak dari tadi dibuktikan? Jangan-jangan cuma mulut besarmu saja."

"Kurang ajar! Kau boleh rasakan ini! Yeaaa...!" Ki Sampagul menggeram marah karena diremehkan. Dia menyerang sekuat tenaga, mengeluarkan semua jurus terhebat yang dimiliki.

Tapi Ki Sabda Gendeng pun bukanlah tokoh kemarin sore. Sehingga pertarungan mereka bukan lagi pertarungan biasa, tapi berlanjut menjadi pertarungan hidup mati.

Pada saat pertarungan telah mencapai puncaknya, mendadak sebuah bayangan putih berkelebat masuk ke dalam celah dua sosok yang bertarung.

Plak! Plak!

"Heh...?!"

Kedua tokoh itu sama-sama terjajar mundur dengan wajah tersentak kaget ketika tangan mereka terhantam bayangan putih yang sudah berdiri di tengah tengah.

"Kalian bukanlah tokoh kemarin sore yang penuh pertimbangan dalam bertindak. Mengapa saling baku hantam sampai sehebat ini?!" tegur sosok bayangan putih yang temyata seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Di punggungnya tersampir sebilah pedang bergagang kepala burung.

"Hei, Kisanak! Sebaiknya jangan turut campur!" sahut pemuda murid Ki Sampagul yang tadi dihajar Ki Sabda Gendeng.

"Siapa kau?" tanya pemuda berbaju rompi putih.

"Aku Sumantri, murid Ki Sampagul," sahut pemuda murid Ki Sampagul yang bemama Sumantri.

"Aku kenal gurumu. Dia bukan tokoh jahat. Kenapa kau malah membiarkannya menempur Ki Sabda Gendeng mati-matian?" tegur pemuda berbaju rompi putih.

"Orang tua pemabuk itu pembunuh terkutuk!" tuding Sumantri

"Pembunuh terkutuk? Apa maksudmu?"

"Dia bukan manusia, tapi iblis. Telah banyak gadis yang menjadi korban kekejiannya. Mereka mati dengan leher putus setelah terlebih dahulu dinodai."

"Hm.... Aku tidak yakin, itu perbuatan Ki Sabda Gendeng..."

"Tapi buktinya orang-orang desa yakin, kalau dia pelakunya."

"Berarti kau tidak melihat sendiri kalau dia pelakunya, bukan?"

"Aku percaya dengan tuduhan orang-orang desa itu!"

"Menuduh seseorang tanpa bukti, namanya fitnah. Dan selamanya fitnah itu amat buruk dan keji!"

"Tidak usah banyak bicara. Katakan saja kalau kau hendak membelanya!" bentak Sumantri.

"Bocah edan! Rupanya kau kawan si Bajingan ini, he?!" bentak Ki Sampagul.

"Ki Sampagul, tenanglah! Aku tidak bermaksud ikut campur. Tapi kulihat ada kesalahpahaman di antara kalian. Dan aku bermaksud menengahinya...," kilah pemuda berbaju rompi putih.

"Tidak perlu! Kau kira dirimu siapa? Dasar bocah tak tahu diri!" dengus Ki Sampagul.

"He he he...! Sekarang kau kena batunya, Rangga!" kata Ki Sabda Gendeng, sambil terkekeh. "Mereka memang kepala batu.... Susah diberi pengertian...."

"Hm, pantas! Rupanya kalian saling berkawan, he?!" dengus Ki Sampagul. "Tapi jangan kira aku takut, meski kalian mengeroyokku. Ayo, maju. Dan seranglah aku! Akan kuhajar kalian sekaligus!"

"Dasar orang tua sinting! Aku tak perlu main keroyok untuk menghajar kunyuk sepertimu?!" semprot Ki Sabda Gendeng.

"Bajingan pemabuk! Kurang ajar kau! Dan kau, Bocah Edan! Tunggulah bagianmu! Biar kubereskan bajingan ini lebih dulu. Atau bila kau tak sabaran, silakan maju mengeroyokku!"

Pemuda berbaju rompi putih yang ternyata Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti hanya menghela napas pendek. "Susah...."

Dan baru saja Ki Sabda Gendeng dan Ki Sampagul memasang kuda-kuda, mendadak muncul beberapa orang penduduk ke tempat itu. Seorang yang berusia sekitar enam puluh tahun berjalan paling depan.

"Kisanak semua...! Aku Ki Jumanta atas nama seluruh penduduk Desa Ketakus memohon agar kalian segera menghentikan pertarungan!"

Namun seruan laki-laki tua yang ternyata Ki Jumanta sama sekali tidak digubris. Karena, kedua tokoh tua itu langsung saling gebrak. Dan laki-laki Kepala Desa Ketakus itu hanya menarik napas.

Namun kemudian kedua tangannya diangkat ke dada. Telapaknya menghadap ke atas, dan sisinya merapat ke dada. "Heaaa...!"

Dengan satu bentakan kuat, Ki Jumanta yang ternyata punya kepandaian pula menghentakkan kedua tangannya.

Wuuusss!

"Heh?!"

Serangkum angin kencang langsung meluruk ke arah dua orang yang tengah berkelahi. Meski keduanya berilmu tinggi, tapi serangan itu cukup membuat kaget. Mereka cepat melompat bersamaan ke belakang.

Pada saat itulah Ki Jumanta mencelat dan tegak berdiri di tengah-tengah. "Kisanak semua! Hentikanlah pertarungan sia-sia ini. Kalian berkelahi tanpa dasar yang kuat!" bentak Ki Jumanta.

"Siapa kau?! Jangan ikut campur urusan kami. Atau, kau akan mendapat bagian juga?!" bentak Ki Sampagul.

"Sabar, Kisanak! Aku mewakili orang-orang desa hendak menjelaskan persoalan yang tengah diributkan," ujar Ki Jumanta.

"Apa maksudmu?" tanya Ki Sampagul. Matanya melotot tajam.

"Kudengar kalian ribut karena salah paham. Makanya, aku ke sini untuk menjernihkannya...."

"Hm...!"

"Ki Sabda Gendeng bukanlah pembunuh yang kami maksudkan," lanjut Jumanta.

"Lalu, siapa pembunuh sebenamya?" sela Sumantri.

"Itulah yang sedang kami cari."

Mendengar itu, Sumantri jadi salah tingkah. Tapi dasar pemuda keras kepala, dia tidak sudi minta maaf pada Ki Sabda Gendeng. Begitu juga gurunya.

"Dari mana kau tahu kalau si tua pemabukan ini bukan pembunuhnya?" tanya Ki Sampagul, penasaran.

"Ada saksi yang menguatkan. Baru saja kami menemukan mayat salah seorang penduduk desa ini. Namanya, Narti. Dia guru Nyi Sumbi. Seperti biasa, kepalanya terpenggal dan tubuhnya telanjang seperti..., maaf, habis diperkosa...."

"Terkutuk!" desis Ki Sabda Gendeng.

Ki Sampagul dan muridnya mendengus. "Alangkah baiknya kalau pertikaian kalian dialihkan menjadi sesuatu yang berguna. Yaitu, membantu kami menangkap pembunuh itu. Daripada tenaga dibuang pecuma untuk persoalan sia-sia...," lanjut Ki Jumanta.

"Ya, ya...! Aku setuju! Orang itu memang bukan manusia, tapi iblis! Iblis terkutuk yang mesti dilenyapkan dari muka bumi ini!" timpal Ki Sabda Gendeng.

"Bagaimana denganmu, Ki...?" Ki Jumanta menatap Ki Sampagul.

"Panggil aku Ki Sampagul. Dan kehadiranku di sini bahkan untuk membunuh keparat itu. Kenapa masih diragukan lagi?"

"Syukurlah kalau memang begitu...."

"Hm.... Ki Jumanta.... Kalau tidak keberatan, bolehkan kau mempertemukanku dengan Nyi Sumbi?" Rangga buka suara.

"Apakah kau hendak menimang nenek itu, Kecil?" goda Ki Sabda Gendeng.

Rangga hanya tersenyum, tak meladeni gurauan sobat lamanya.

"Nyi Sumbi tengah bersedih. Tapi apa keperluanmu bertemu dengannya, Anak Muda?" tanya Ki Jumanta.

"Aku ikut bersama kalian untuk mencari pembunuh terkutuk itu! Dan mungkin keterangan Nyi Sumbi bisa membantu untuk mendapatkan jejak si pembunuh...," sahut Pendekar Rajawali Sakti.

"Terima kasih atas kesediaanmu membantu kami, Nak...."

"Rangga. Panggil saja begitu...."

"Baik, Rangga. Tentu saja dengan senang hati kami menerima kesediaanmu. Mudah-mudahan Nyi Sumbi mau bertemu denganmu. Kalaupun tidak, kuharap kau bisa mengerti. Narti adalah cucu satu satunya. Dan, amat disayanginya...," ucap Ki Jumanta.

"Ya. Aku bisa merasakannya. Dia pasti amat terpukul...."

Ki Jumanta mengangguk. "Rangga, mari ikut denganku!"

Bersama Rangga, Ki Sabda Gendeng pun mengikuti dari belakang. Disusul orang-orang desa lainnya. Lalu..., Ki Sampagul dan Sumantri.

********************

Wajah perempuan tua bernama Nyi Sumbi masih kelihatan muram. Kelopak matanya terlihat sembab. Suaranya pun serak, tercekat di tenggorokan. Namun begitu dia agaknya tidak keberatan bertemu Rangga. Terutama, karena mendengar dari Ki Jumanta kalau pemuda berbaju rompi putih itu hendak membantu meringkus pembunuh cucunya.

"Nyi Sumbi, inilah pemuda yang kuceritakan tadi. Namanya Rangga. Dan yang ini Ki Sabda Gendeng," jelas Ki Jumanta.

"Hm... ya. Mari silakan masuk. Jangan sungkan-sungkan," sambut Nyi Sumbi.

"Terima kasih, Nek," ucap Pendekar Rajawali Sakti begitu kedatangannya diterima Nyi Sumbi.

"Aku menunggu di luar saja, Sobat!" seru Ki Sabda Gendeng, seraya berbalik dan melangkah keluar.

Rangga mengangguk. Di temani Ki Jumanta Pendekar Rajawali Sakti duduk saling berhadapan dengan Nyi Sumbi di ruang tamu. Tak banyak perabotan di tempat ini. Hanya kursi dan meja, serta lemari kecil.

Bola mata wanita tua itu kelihatan berkaca-kaca. Untuk sesaat, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.

"Nek.... Kalau ini terasa berat, aku tak bermaksud memaksamu...."

"Tidak. Tidak apa, Rangga. Silakan, apa yang hendak kau tanyakan?"

"Sebelum Narti ditemukan tewas..., apakah ada peristiwa lain?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, memulai.

"Ya! Seorang pemuda membawanya keluar. Kukira sebentar. Namun sampai aku bangun pagi harinya, mereka belum juga kembali. Dan..., dan tadi barulah kudengar peristiwa naas yang menimpa Narti...," tutur Nyi Sumbi terputus, lalu menangis sesegukan.

Rangga menunggu beberapa saat, sampai tangis Nyi Sumbi reda. "Nenek kenal pemuda itu?"

"Dia pernah berkunjung ke sini beberapa kali. Anaknya kelihatan sopan, dan baik. Aku tak yakin kalau dia pembunuhnya...."

"Bisakah kau gambarkan ciri-ciri pemuda itu, Nek?"

"Aku tidak begitu ingat. Tapi dia tampan. Kulitnya sawo matang, bersih, dan..., seperti terpelajar...."

"Adakah ciri-ciri khusus yang kau ingat, Nek?"

"Ng..., sebentar. Hm, ya. Aku ingat! Dia memiliki tahi lalat di sudut bibir kirinya. Tidak berapa besar. Tapi kalau kita melihatnya dari dekat, akan terlihat jelas," urai Nyi Sumbi.

"Apakah kau menduga kalau pemuda itu pelakunya?" tanya Ki Jumanta.

"Pemuda itu tidak tewas seperti Narti, bukan?"

"Pembunuhan seperti ini telah terjadi kurang lebih sebulan belakangan. Dan, telah memakan korban sebanyak dua puluh orang. Di desa ini saja ditemukan lima korban. Termasuk, Narti. Dan semuanya gadis belia. Iblis itu sepertinya tidak bernafsu membunuh orang selain gadis-gadis belia," jelas Ki Jumanta.

"Tapi bukan berarti dia tak mau melakukannya, bukan?" Ki Jumanta terdiam.

"Adakah yang tahu, di mana pemuda itu berada?" tanya Rangga.

"Aku baru sekali bertemu. Itu pun ketika Narti mengantarkannya keluar pagar. Orangnya cukup sumringah. Dan seperti yang dikatakan Nyi Sumbi, dia terpelajar dan sopan. Tapi, aku belum pernah kenal sebelumnya. Apalagi mengetahui keberadaannya," sahut Ki Jumanta.

"Aku sendiri tak banyak bertanya...," desah Nyi Sumbi.

Rangga terdiam sebentar. Dicobanya merekam ciri-ciri pemuda itu di benaknya.

"Kenapa, Rangga? Apakah kau pernah mengenalnya?" tanya Ki Jumanta.

"Hm, tidak!" sahut Rangga.

Meski begitu, Ki Jumanta memandangnya curiga. Dia tak yakin dengan jawaban pemuda itu. Tapi, juga tak mau mendesaknya.

"Nek, aku berjanji akan mencari pembunuh cucumu. Berdoalah. Mudah-mudahan cepat berhasil. Dan orang itu pasti akan mendapat balasan setimpal atas perbuatannya."

Nyi Sumbi mengangguk. "Tangkaplah pembunuh itu, Rangga. Aku ingin dia merasakan hukuman yang setimpal atas perbuatannya."

"Jangan khawatir, Nyi Sumbi. Bukan hanya Rangga yang akan meringkus iblis keparat itu. Tapi, seluruh warga desa dan yang lainnya akan berusaha meringkusnya."

"Terima kasih...." Wajah perempuan tua itu sedikit cerah. Namun, tak mampu menghapus awan kelabu yang menyelimuti hatinya.

Rangga dan Ki Jumanta beranjak bangkit Mereka melangkah keluar rumah diiringi Nyi Sumbi sampai di depan pintu.

"Ki Jumanta, aku permisi dulu," kata Rangga setelah berada di luar rumah yang tak terialu besar ini.

"Apa selanjutnya yang akan kau lakukan, Rangga?" tanya Ki Jumanta.

"Aku belum tahu. Tapi, ada seseorang yang mesti kutemui," sahut Pendekar Rajawali Sakti.

"Siapa?"

Rangga tersenyum memandang Ki Jumanta. "Kukira kau punya cara lain untuk menangkap pembunuh itu, Ki...."

"Oh, maaf! Sepertinya aku mencampuri urusan. Maaf, Rangga. Aku hanya merasa kalau kita sebaiknya bekerjasama untuk menangkap pembunuh itu," ucap Ki Jumanta, merasa tidak enak hati.

"Ya, itu baik. Tapi aku punya cara sendiri. Mungkin kurang berkenan di hatimu, Ki. Dan aku tak bermaksud merepotkan orang lain. Maaf, aku harus segera pergi dari sini."

Rangga sengaja tak mau banyak omong. Dan setelah menjura hormat, dia segera angkat kaki. Ki Sabda Gendeng yang ada di belakangnya segera mengikuti.

"Silakan, Rangga! Silakan...!" Ki Jumanta pun tak bisa mencegah lagi. Bibirnya tersenyum hambar. Beberapa saat dia berdiri sambil mengawasi kedua orang tadi sampai hilang dari pandangan.

EMPAT

"Aku tak percaya dengan mulut manis si tua tadi!" dengus Ki Sabda Gendeng, ketika bersama Rangga telah tiba di luar batas Desa Ketakus.

"Siapa yang kau maksudkan?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, langsung menghentikan langkah.

"Si Jumanta!" dengus Ki Sabda Gendeng, juga menghentikan langkah.

"Kenapa rupanya dengan dia? Apakah kau pernah bertemu sebelumnya, Ki?"

"Orang lain boleh tertipu. Tapi, mata tuaku tidak. Aku bisa merasakan sorot matanya menyimpan sesuatu. Entah apa. Tapi semacam rahasia. Dia mungkin juga, berkaitan dengan soal pembunuhan itu!"

Ki Sabda Gendeng menatap Rangga penuh kesungguhan. Sepertinya, dia ingin minta dukungan Rangga atas pendapatnya.

"Tidak baik mencurigai orang tanpa bukti...." Rangga malah memberi tanggapan yang tak diharapkan.

"Aku bukan mencurigai. Tapi menuduh?" tandas Ki Sabda Gendeng.

"Menuduh bagaimana?" tukas Pendekar Rajawali Sakti.

"Dialah pembunuh keji itu!" Rangga tersenyum.

"Kenapa? Kau tak percaya?!" sentak laki-laki tua gila catur ini.

"Apa alasannya?".

"Mungkin sebagai tumbal ilmu sesat, atau sekadar melampiaskan nafsu iblis yang bergejolak dalam dadanya!"

Rangga terdiam. Namun keningnya sedikit berkerut.

"Nah! Kau percaya, bukan!" sela Ki Sabda Gendeng.

"Ya!" sahut Rangga, pendek.

"Kalau begitu, tunggu apa lagi?! Ayo, kita ringkus dia!" desak Ki Sabda Gendeng.

"Ki Jumanta?"

"Siapa lagi?!"

"Aku percaya ceritamu, Ki. Tapi bukan berarti aku mempercayai tuduhanmu pada Ki Jumanta," jelas Rangga, kalem.

"Lalu kalau bukan dia, siapa?!" tukas laki-laki tua ini, sedikit kesal.

"Itulah yang tengah kucari."

"Bagaimana caramu mencarinya?!"

"Aku akan menemui seseorang untuk mencocokkan cerita Nyi Sumbi tadi"

"Siapa orang yang kau maksud?" cecar Ki Sabda Gendeng.

"Pembunuh itu, mungkin...."

"lya, siapa?! Dia kan punya nama!"

Pendekar Rajawali Sakti tak langsung menjawab. Bibirnya malah tersenyum seraya memandang Ki Sabda Gendeng. "Maaf.... Untuk saat ini tak bisa kukatakan, Ki...," ucap Pendekar Rajawali Sakti, perlahan.

"Kau tak percaya padaku?"

"Bukan itu."

"Lalu apa? Apa karena kau tak menyertakanku untuk menangkapnya? Merasa kepandaianmu lebih tinggi dariku, he?!" desis laki-laki tua ini.

Rangga tergelak. "Ki Sabda Gendeng.... Jangan berprasangka buruk. Aku sama sekali tidak berpikir begitu. Ini semata-mata demi kerahasiaan saja. Kalau kukatakan, mungkin kau akan kaget dan berbalik mencurigaiku. Oleh karenanya, lebih baik tidak kukatakan," kilah Pendekar Rajawali Sakti.

"Siapa bilang aku pengaget?!" dengus Ki Sabda Gendeng. "Berita apa pun, tidak akan membuatku kaget."

Rangga tidak menyahut. Dia bersuit nyaring. "Suiiit!"

"He?! Kau sungguh-sungguh tak mau mengatakannya?!" bentak Ki Sabda Gendeng.

Pada saat yang sama, muncul seekor kuda hitam langsung mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar Rangga mengusap-usap leher kudanya, lalu dengan sigap melompat ke punggungnya.

"Bocah semprul! Kau betul-betul tidak menganggap sebelah mata padaku, he?!" maki Ki Sabda Gendeng, kalap.

"Kau betul-betul ingin tahu?" tanya Rangga.

"Tentu saja! Ayo, lekas katakan?!" desak laki-laki tua itu.

"Betul-betul tidak kaget?"

"Sialan! Kau kira aku banci?!"

"Orangnya adalah..., kau sendiri! Heaaa...!"

Setelah berkata begitu Rangga menggebah kuda bemama Dewa Bayu itu kuat-kuat. Seketika, kuda yang bukan kuda sembarangan itu melesat cepat bagai kilat.

"Hei, apa maksudmu aku?! Bocah semprul, berhenti kau! Berhentiii...!" teriak Ki Sabda Gendeng, seraya menggenjot tubuh, hendak menyusul pemuda itu.

"Ayo, Ki! Hitung-hitung mengencangkan otot-otot yang kendor!"

"Brengsek kau, Bocah! Kalau dapat, kubeset mulutmu!"

"Ha ha ha...!"

Ilmu meringankan tubuh Ki Sabda Gendeng memang sudah mencapai tingkat tinggi. Tapi Dewa Bayu yang ditunggangi Rangga adalah kuda pemberian para dewa. Larinya begitu cepat, jauh di atas kuda-kuda tunggangan lain. Pada saat Rangga mengendorkan lari kudanya, Ki Sabda Gendeng berhasil mendekatkan jarak. Tapi lambat laun dia mulai tertinggal. Dan akhirnya jauh tertinggal di belakang Dewa Bayu.

"Keparat kau, Bocah Semprul!" maki laki-laki tua ini. Sambil mengatur jalan napasnya, Ki Sabda Gendeng memandang ke depan. Dia berharap pemuda itu akan berbalik. Dan bila itu terjadi, maka akan dihajarnya habis-habisan. "Biar tahu rasa!" rutuknya.

Tapi harapan tinggal harapan. Karena, Rangga dan kudanya malah semakin jauh. Dan entah ke mana mereka pergi. Sementara Ki Sabda Gendeng hanya bisa memaki, lalu sesekali menenggak tuak di dalam bumbung bambu.

"Kodok bunting! Kadal bengek! Tikus kudisan! Kalau ketemu biar kujitak sampai benjol tiga belas...! Bocah semprul! Edan...! Sialan...!" maki laki-laki ini, tak karuan.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Keadaan kotaraja seperti biasa. Tiada yang istimewa dibanding hari biasa. Peristiwa pembunuhan yang belakangan ini merajalela, seperti tidak membuat resah penduduk kotaraja. Demikian pula keadaan di Istana Kerajaan Swama Pura. Penjagaan tetap ketat seperti biasa. Para prajurit bersiaga penuh.

Rangga turun dari kuda. Sambil menuntun Dewa Bayu, kakinya melangkah pelan mendekati pintu gerbang. Dua penjaga menghampiri, lalu membungkuk hormat.

"Pendekar Rajawali Sakti.... Selamat datang kembali di Istana Swarna Pura!" sapa seorang prajurit. "Mudah-mudahan kau selalu sehat dan panjang umur!"

"Terima kasih, Kisanak. Mudah-mudahan kalian pun demikian. Aku ingin bertemu Gusti Prabu Arya Dwipa. Apakah beliau ada?"

"Kebetulan Gusti Prabu ada. Biar kuberitahukan pada beliau!"

Seorang prajurit buru-buru ke dalam. Prajurit yang seorang lagi mempersilakan Rangga masuk. Sampai di dalam, prajurit ini memanggil seorang prajurit lain untuk mengurusi Dewa Bayu yang ditinggalkan di halaman.

Rangga tidak lama menunggu, karena sesaat kemudian Gusti Prabu Arya Dwipa sendiri yang tergopoh-gopoh menyambutnya bersama beberapa perwira kerajaan lain. Di antaranya sudah dikenalnya, mereka adalah Ki Sedopati, Ki Jayawane, Ki Pranajaya dan Ki Lola Abang

(Untuk lebih jelas tentang Gusti Prabu Arya Dwipa dan perwira-perwira kerajaan ini, silakan baca episode Utusan Dari Andalas)

"Saudaraku, Rangga! Angin apa gerangan yang membuat langkahmu ke sini?! Hm.... aku gembira sekali! Silakan masuk!" sambut Gusti Prabu Arya Dwipa dengan senyum lebar.

"Terima kasih, Gusti Prabu!"

Gusti Prabu Arya Dwipa membawa Rangga ke balairung pribadi, yang biasa digunakan menyambut tamu-tamu penting yang sifatnya pribadi. Di tempat itu pengawalan tidak begitu ketat Di dalamnya, dia ditemani beberapa pejabat kerajaan terdekat.

"Silakan, Rangga!"

Pendekar Rajawali Sakti mengambil tempat di dekat Gusti Prabu Arya Dwipa. Sementara yang lainnya berjejer duduk di sebelah kanan dan kiri dari hadapan Gusti Prabu Arya Dwipa.

"Silakan dicicipi hidangannya, Rangga...."

"Terima kasih. Aku selalu teringat kalau makanan di tempat ini lezat-lezat," ucap Pendekar Rajawali Sakti.

"Ha ha ha...! Bisa saja kau, Sobat!"

"Gusti Prabu.... Aku tidak melihat putra-putrimu berada di tempat ini. Apakah mereka tengah bepergian?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Ada. Apakah kau hendak bertemu mereka?" sahut Gusti Prabu Arya Dwipa seraya balik bertanya.

"Kurasa kedatanganku ke sini tidak menyampaikan pesan khusus yang berkaitan dengan kepentingan kerajaan. Ini hanya kunjungan biasa antara seorang kawan. Oleh karenanya, kuanggap kehadiran kerabat dekat kerajaan adalah hal wajar, sejauh mereka adalah keluargamu atau kawan-kawan dekat"

"He he he...! Kau benar, Sobat." Gusti Prabu Arya Dwipa lantas bertepuk sekali. Tak lama, seorang prajurit buru-buru masuk sambil menyembah hormat.

"Panggil putra-putriku ke sini! Katakan, mereka mesti menemui kawan karibku!"

"Daulat, Gusti!"

Putra-putri Gusti Prabu Arya Dwipa ada empat Yang sulung bernama Wiraguna. Usianya hampir sebaya dengan Rangga. Sementara yang kedua, Jayalaksana. Ketiga Jayadilaga. Dan yang bungsu, bernama Mayang. Selisih usia mereka sekitar setahun setengah. Sehingga jika berdiri bersamaan, akan terlihat kalau keempatnya seperti sebaya.

Rangga tidak menunggu lama, karena tiga dari empat putra Gusti Prabu Arya Dwipa segera muncul. Setelah memberi salam hormat, mereka segera mengambil tempat di dekat Gusti Prabu Arya Dwipa. Persis di depan Rangga. Dan Pendekar Rajawali Sakti pun dapat memperhatikan dengan jelas.

"Gusti Prabu mengapa tidak kulihat Pangeran Jayadilaga di antara mereka. Ke mana gerangan dia?"

Gusti Prabu Arya Dwipa melirik pada prajurit tadi yang disuruh memanggil.

"Ampun, Gusti Prabu! Hamba tidak menemukan Gusti Pangeran di tempatnya!"

"Kakang Jayadilaga tengah bepergian...," sahut Mayang.

"Bepergian ke mana? Dan mengapa tidak memberitahu Ayah sebelumnya?" tanya Gusti Prabu Arya Dwipa dengan kening berkerut

"Ayahanda.,.. Aku..., aku tidak tahu...," sahut Mayang, agak gugup.

"Gusti Prabu, sudahlah. Kalau memang Pangeran Jayadilaga tak ada, tidak jadi masalah. Jangan dibesarkan-besarkan persoalan ini," ujar Pendekar Rajawali Sakti.

Gusti Prabu Arya Dwipa menarik napas panjang. Kelihatan kalau hatinya memendam perasaan kesal. Kalau sampai seorang ayah tidak mengetahui anaknya pergi atau tidak, itu sangat memalukan. Terutama, di depan orang yang menjadi sahabat-sahabat dekatnya.

"Sebenarnya kepentinganku pun hanya pada Gusti Prabu. Jadi, ketidak hadiran Pangeran Jayadilaga sama sekali bukan masalah...," tambah Rangga.

"Rangga.... Kabar apa yang akan membawamu ke sini?" tanya Ki Pranajaya. Laki-laki tua itu cepat mengambil sikap, melihat suasana kaku yang menyelimuti tempat ini.

"Sebenarnya bukan kabar penting, Ki Pranajaya. Dari jauh, masih terus kupantau keadilan serta kebijaksanaan Gusti Prabu. Hatiku tersentuh. Dan seorang raja yang demikian amatlah langka. Sehingga, aku perlu mengunjunginya sekali lagi. Entah berapa kali lagi untuk menatap beliau sepuas hati. Bahkan menjadikannya sahabat sejatiku...," sahut Rangga, memuji.

"Rangga, aku atas nama seluruh kerajaan, juga atas nama pribadi Gusti Prabu Arya Dwipa, mengucapkan terima kasih atas pujianmu. Pujian itu mungkin berlebihan, karena Gusti Prabu adalah manusia biasa, yang..., bisa saja berbuat salah atau khilaf. Oleh karena itu sudilah kiranya kau terus memperingatkan beliau. Atau memperingatkan kami pada umumnya."

"Ki Pranajaya.... Perkataanmu benar sekali. Aku setuju." Kemudian Rangga berpaling pada Gusti Prabu Arya Dwipa "Gusti Prabu, maukah mendengar sebuah cerita yang disampaikan orang tua hamba?"

"Sobat! Kau terialu banyak peradatan padaku. Aku adalah kawanmu. Maka, bersikaplah sebagai seorang kawan," tandas Gusti Prabu Arya Dwipa.

"Terima kasih atas penghargaan itu, Gusti Prabu."

"Nah! Cerita, apa yang hendak kau sampaikan padaku? Aku tentu senang sekali mendengamya," ujar Gusti Prabu Arya Dwipa lagi.

"Cerita ini mengenai anak harimau yang menyamar sebagai kijang jantan yang cantik dan gagah," jelas Pendekar Rajawali Sakti.

"Ceritakanlah! Bagaimana kisah itu!"

"Alkisah, terdapatlah seekor harimau yang pernah berjanji untuk memerintah kerajaannya dengan aman dan tenteram...," Rangga memulai.

Orang-orang yang berada di ruangan ini mendengarkan dengan seksama. Ini peristiwa yang menarik. Karena Rangga dikenal bukan seorang pendongeng. Semua yang ada di sini tahu, kalau Rangga adalah seorang pendekar yang disegani. Kalau pemuda itu mendongeng, maka bisa saja ada sesuatu yang hendak disampaikannya.

"Harimau itu memegang teguh janjinya, sehingga rakyatnya pun merasa tenteram dan tidak was-was. Bila ada kesalahan dari para pembantunya, maka rakyat tidak segan-segan melapor pada beliau. Sampai pada suatu ketika, salah seorang anak sang harimau merasa tak tahan mengendalikan diri. Maka dengan bersembunyi di balik baju seekor kijang, dia mulai berbuat kejahatan di mana-mana. Tahukah Gusti Prabu, kenapa dia berbuat seperti itu?" tutur Pendekar Rajawali Sakti yang diakhiri dengan pertanyaan.

"Karena menuruti naluri seekor harimau yang buas dan haus darah," jawab Gusti Prabu Arya Dwipa.

"Hampir tepat! Tapi sebenarnya tidak begitu."

"Sang anak mempunyai maksud tertentu?" duga Ki Pranajaya.

"Apakah maksud sang anak sebenamya?" tanya Ki Lola Abang.

"Untuk memuaskan hawa nafsunya?" tebak Gusti Prabu Arya Dwipa.

"Benar, Gusti Prabu!" sahut Pendekar Rajawali Sakti. Sang anak berkeliaran mencari mangsa untuk memuaskan nafsu pribadinya. Bukan karena dia keturunan seekor harimau, atau keturunan orang berkuasa yang bisa berbuat sesuka hati. Sebab ayahandanya sangat keras pada peraturan. Tidak peduli kepada anak sendiri. Itulah sebabnya, dia perlu menyamar sebagai seekor kijang agar tidak seorang pun yang mengetahui. Tidak ayahnya, tidak pula rakyatnya. Yang dirugikan adalah rakyat karena, dicekam ketakutan."

"Mengapa rakyatnya tidak melapor pada sang harimau itu?" tanya Gusti Prabu Arya Dwipa. "Bukankah katamu mereka tidak sungkan-sungkan untuk melaporkan segala peristiwa padanya?"

"Itu pertanyaan bagus, Gusti Prabu. Hamba pun dulu bertanya pada si empunya cerita. Tapi, tahukah Gusti Prabu, apa jawaban si empunya ceritanya?" tukas Pendekar Rajawali Sakti.

"Apa jawabannya?" tuntut Gusti Prabu Arya Dwipa.

"Beliau menyerahkan jawaban pada orang yang tengah diceritakan," jelas pemuda berbaju rompi putih, membingungkan.

"Kenapa begitu?" tanya Gusti Prabu Arya Dwipa lagi.

"Sebab orang yang tengah diceritakan mempunyai tanggung jawab untuk menjawabnya sendiri. Mengapa mereka tak mengadukannya pada sang harimau? Apakah karena mengetahui kalau kijang cantik itu putra sang harimau? Atau sang kijang menyebar kaki tangan untuk menakut-nakuti mereka?" jawab Rangga, seperti memberi teka-teki.

"Hm, ya. Aku paham ceritamu," gumam Gusti Prabu Arya Dwipa.

"Syukurlah kalau demikian," kata Pendekar Rajawali Sakti.

"Tapi apa pelajaran yang bisa diberikan pada cerita ini, Rangga?" tanya Ki Lola Abang.

"Ya! Cerita biasanya mempunyai pelajaran tersembunyi. Pelajaran apa yang bisa diperoleh dari ceritamu tadi?" timpal Ki Pranajaya.

"Cerita itu sebenarnya tidak mempunyai pelajaran tersembunyi, melainkan terang-terangan. Dan ujungnya, adalah sebuah tantangan."

"Apa maksudnya, Sobat?" tanya Gusti Prabu Arya Dwipa, dengan kening berkerut

"Ya, jelaskanlah pada kami!" selak Ki Pranajaya.

"Tantangannya adalah, sikap apa yang akan diambil sang harimau jika mengetahui kalau putranya melakukan kejahatan!" sahut Pendekar Rajawali Sakti, tandas.

"Aku yakin, harimau itu akan menindak tegas anaknya!" sahut Gusti Prabu Arya Dwipa.

"Ya. Mestinya begitu!" timpal Ki Pranajaya.

"Bagaimana kalau seandainya keadaan demikian menimpa Kisanak semua?" Rangga kembali seperti memberi teka-teki.

Untuk sesaat ruangan itu sepi. Mereka mungkin telah menduga kalau Rangga berpikir begitu. Namun sama sekali tidak mengira kalau pemuda itu mengatakannya terang-terangan di depan mereka semua. Ini mencurigakan. Paling tidak, itu yang di-rasakan semua yang hadir. Sehingga sebagian dari mereka memandang Gusti Prabu Arya Dwipa, lalu berganti kepada Rangga.

"Apakah ceritaku itu menyinggung perasaan, sehingga ruangan ini mendadak sepi?" usik Rangga.

"Rangga! Sudikah kau menjelaskan dengan jelas, ditujukan kepada siapa cerita tadi?" tanya Ki Sedopati yang sejak tadi berdiam diri. Rangga menoleh pada Ki Sedopati.

"Ceritaku bukan ditujukan pada siapa-siapa. Tapi, kepada kita semua. Yang kuingin dengar adalah sikap kalian semua. Juga, kepada Gusti Prabu khususnya. Apa sikap Gusti Prabu seandainya hal itu menimpa Gusti?"

"Rangga! Kau terlalu lancang bertanya begitu pada Gusti Prabu!" bentak Ki Sedopati dengan wajah tidak senang. Bahkan sempat berdiri dari kursinya.

"Maaf, Ki Sedopati. Kurasa kau salah dengar. Sebab, aku bertanya pada Gusti Prabu. Bukan kepadamu!"

Mendengar jawaban pedas itu, telinga Ki Sedopati memerah menahan malu dan geram. Namun dia tak bisa berbuat apa-apa. Sambil menahan amarah, dia kembali duduk.

Rangga segera bangkit berdiri. Dia segera memberi hormat pada yang lainnya. Juga, kepada Gusti Prabu Arya Dwipa. "Gusti Prabu dan kisanak semua. Maafkan jika pertanyaanku menyinggung perasaan. Kita harus membuat terang semua persoalan dari awal, sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kalau memang pertanyaanku tadi dianggap lancang, aku tak bisa berkata yang lebih halus lagi. Maaf! Aku mohon diri dulu!" ucap Pendekar Rajawali Sakti.

"Rangga, tunggu!" cegah Gusti Prabu Arya Dwipa.

"Hm.... Ada apa, Gusti Prabu?"

"Aku ingin mendengar jawaban langsung darimu. Apakah kau menuduh salah seorang putraku berbuat kejahatan tanpa sepengetahuanku?" tuntut Gusti Prabu Arya Dwipa.

"Aku tidak berani berkata begitu. Pertanyaan harus dibuktikan dengan kenyataan. Tanpa bukti, berarti fitnah namanya!" Setelah berkata begitu, Rangga segera mohon diri secepatnya.

"Hmm.... Jayadilaga tidak ada di tempat... Dan Gusti Prabu Arya Dwipa tidak tahu.... Mungkinkah dia...?" gumam Pendekar Rajawali Sakti, ketika keluar dari Istana Kerajaan Swama Pura.

Pendekar Rajawali Sakti masih menjalankan Dewa Bayu perlahan-lahan. Bermacam-macam pertanyaan menggayut di hatinya. Dia berusaha menghubung-hubungkan cerita yang satu dengan yang lain.

"Aku yakin, Iblis Pemenggal Kepala dalang dari semua ini. Para korban pembunuhan dan perkosaan memiliki cara kematian yang sama. Kepalanya terpenggal. Dan itu pernah dilakukan oleh Iblis Pemenggal Kepala. Hmm.... Walaupun dia ditawan di Kerajaan Swama Pura, tidak mustahil bisa keluyuran. Bisa jadi ada persekongkolan di kerajaan itu. Atau bisa jadi orang lain yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu, namun masih ada hubungannya dengan tokoh sesat itu! Hm.... Kedatanganku ke Kerajaan Swama Pura sebenarnya hendak melihat dan membuktikan apakah tokoh sesat itu masih ada atau tidak. Tapi ketika aku bertanya tentang putra-putri Gusti Prabu Arya Dwipa, entah kenapa aku punya pemikiran seperti itu.... Hm.... Jayadilaga."

Pendekar Rajawali Sakti benar-benar dibuat pusing tujuh keliling. Sampai saat ini dia masih meraba-raba dengan dugaannya. Belum bisa diputuskan, apa yang harus diperbuat. Namun bayangan tentang si pembunuh mulai terlihat di benaknya.

"Heaaa...!"

LIMA

Tidak ada halangan yang menimpanya ketika Pendekar Rajawali Sakti melewati kotaraja. Namun ketika berada di pinggiran kota, naluri kependekarannya mengatakan kalau ada beberapa orang yang mengikuti dari belakang. Sejenak Rangga melirik ke belakang.

"Hmm.... Kalian mau coba-coba padaku? Boleh saja!" Rangga tetap memperlambat lari kuda hingga tiba di pinggiran sebuah hutan. Dengan ilmu 'Pembeda Gerak Dan Suara' yang dimilikinya, Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau orang-orang tadi masih mengikuti. "Apa yang mereka inginkan? Kenapa belum bertindak juga?"

Tapi Rangga agaknya tidak perlu menunggu terlalu lama atas pertanyaannya. Tidak berapa lama, tidak jauh di depan terlihat sepuluh penunggang kuda berpakaian serba hitam dan memakai topeng hitam pula telah mencegatnya.

Dan ketika menoleh ke belakang, kurang lebih lima belas penunggang kuda lain telah berpacu ke arahnya. Begitu dekat, jelas kalau semuanya memakai topeng hitam! Dan kini mereka berhenti pada jarak sepuluh tombak di belakang Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti menghentikan Dewa Bayu, namun tetap berada di punggungnya. Diawasinya orang-orang yang menghadang dengan tenang. Sepasang matanya menyipit, melihat salah seorang penunggang kuda paling depan.

Penunggang kuda paling depan yang agaknya menjadi pemimpin ini mendekat. Hingga jaraknya dengan Rangga terpaut lima langkah. "Kudengar kau seorang pendekar ternama," tegur orang bertopeng itu.

"Kau salah dengar. Aku hanya manusia biasa yang tak berkepandaian apa-apa," sahut Pendekar Rajawali Sakti datar.

"Hmm! Tidak perlu menutupi diri. Aku tahu, siapa kau sebenamya. Kalau saja kau tidak terlalu usil mencampuri urusan orang lain, mungkin hidupmu akan lebih panjang," gumam orang bertopeng itu mengancam.

"Syukurlah kalau kau tahu siapa aku. Berarti, kau pun tahu kalau hidupku bukan di tanganmu. Atau, di tangan begundal-begundalmu ini!" sahut Rangga, tak kalah gertak.

"Sombong! Padahal sebentar lagi nyawamu akan melayang!"

"Hmm.... Mungkin lebih baik menyombongkan diri, daripada berlutut minta ampun pada kalian!"

"Hm...!" Orang bertopeng itu mendengus geram. Tangan kanannya diangkat. Maka saat itu juga tujuh penunggang kuda di belakangnya bergerak maju.

"Heaaa...!"

Masih berada di punggung kuda, orang-orang berpakaian serba hitam itu serentak menyerang Rangga. Dua orang bersenjata tambang. Dua lainnya menggunakan pedang, serta seorang menggunakan tombak. Sedangkan sisanya memegang clurit besar.

"Ayo, Dewa Bayu! Perlihatkan ketangkasanmu!"

"Hieee...!" Kuda berbulu hitam mengkilat itu meringkik keras. Tubuhnya melonjak-lonjak dengan sepasang mata nyalang memandang orang-orang berpakaian serba hitam. Dengan satu lompatan kencang, dilewatinya kepala salah seorang yang bersenjata clurit.

"Kuda celaka, mampus kau! Hiih...!" dengus orang itu sambil membabatkan cluritnya, hendak menebas dua kaki depan Dewa Bayu.

Sing!

Tapi Rangga bergerak tak kalah sigap. Sambil berpegang pada pelana, Pendekar Rajawali Sakti melompat dengan kaki terayun ke depan. Lalu....

Desss...!

"Aaa...!" Orang bersenjata clurit itu kontan terlempar dari kudanya dengan dada ambrol. Begitu jatuh ke tanah dia tak bangun-bangun lagi. Sementara Pendekar Rajawali Sakti telah mengayun tubuhnya, lalu hinggap lagi di punggung Dewa Bayu.

"Bunuh dia!" teriak orang bertopeng yang menjadi pemimpin. "Heaaa...!"

Dengan kematian salah seorang, membuat para pengeroyok menjadi kalap. Seketika semuanya mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti. Baik yang berada di depan maupun di belakang.

Melihat hal ini Pendekar Rajawali Sakti merasa tak ada pilihan Iain. "Hup!" Rangga melompat setelah menepuk pantat Dewa Bayu agar segera menyingkir menjauh. Begitu mendarat langsung dibuatnya kuda-kuda kokoh. Lalu begitu kedua tangannya menghentak....

"Heaaa...!" teriak Rangga seraya mengerahkan aji 'Bayu Bajra'.

Wesss...!

"Aaa...!" Para pengeroyok yang berada di depan langsung terhantam angin topan dahsyat yang meluncur dari tangan Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berputaran berikut kuda yang tunggangi.

Namun pada saat yang sama, orang-orang berpakaian serba hitam yang berada di belakang telah menerjang dengan kudanya sambil mengebutkan senjata masing-masing.

Tak ada waktu lagi buat Pendekar Rajawali Sakti untuk menghimpun tenaga dalam kembali, dalam mengerahkan aji 'Bayu Braja'! Para pengeroyok sudah begitu dekat. Maka saat itu juga, tangannya bergerak ke punggung. Dan....

Sring!

Begitu Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang bersinar biru berkilauan tercabut, Rangga langsung mengebutkannya.

Crasss...! "Aaa...!"

Pedang Pendekar Rajawali Sakti langsung merobek perut dua orang pengeroyok hingga jatuh bergelimang darah. Tapi bersamaan dengan itu, orang bertopeng yang menjadi pemimpin telah meluruk deras. Pendekar Rajawali Sakti memang sempat menangkap desir halus di belakangnya. Tapi untuk menghindar sudah terlambat. Dia hanya sempat mengibaskan tangannya ke belakang.

Des!

"Aaakh!" Rangga mengeluh tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke depan, merasakan hantaman keras yang seperti meremukkan tulang punggungnya dengan sambaran tangannya yang tadi mengibas ke belakang.

"Habisi dia!" teriak pemimpin orang bertopeng ini.

Rangga mendengus geram. Sambil menahan rasa sakit dia mengibaskan pedang yang dipadu dengan jurus-jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'.

Tras! Bret! "Aaa...!"

Batang pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti yang bersinar biru berkilau bergerak secepat kilat mencari mangsa. Dua orang langsung terjungkal bersimbah darah. Namun, tidak membuat yang lainnya surut Mereka menyerang semakin ganas.

"Hmm!"

"Dia sudah terluka! Serang terus, dan pastikan kematiannya!" teriak orang bertopeng yang menjadi pemimpian.

"Yeaaa...!"

Dengan segala cara mereka berusaha mendesak Pendekar Rajawali Sakti. Namun Rangga juga mengamuk sejadi-jadinya. Sementara pemimpin orang bertopeng sesekali ikut menyerang, hingga cukup merepotkan Pendekar Rajawali Sakti juga. Apalagi, orang itu memiliki kepandaian tinggi. Akibatnya beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti semakin terdesak.

"Ayo! Terus hajar dia! Bunuh dia cepat..!" teriak pemimpin orang-orang bertopeng.

"Heaaa...!"

"Keparat!" Berkali-kali Rangga menggeram sambil menggigit bibir menahan nyeri yang menggigit di punggung. Tapi dia tak mau menyerah begitu saja, dan tetap mengadakan perlawanan.

"He he he...! Bocah semprul! Untung kutemukan kau di sini!" Mendadak terdengar sebuah suara, membuat Pendekar Rajawali Sakti sedikit melirik.

"Ki Sabda Gendeng...!" seru Pendekar Rajawali Sakti, begitu melihat laki-laki tua yang memang Ki Sabda Gendeng.

"Heaaa...!" Disertai teriakan keras, laki-laki tua gila catur ini langsung terjun dalam kancah pertarungan. Tubuhnya berkelebat sambil mengibaskan tongkat hitamnya.

Tak! Tak! "Aaa...!"

Dua orang kontan terpekik ketika tongkat Ki Sabda Gendeng mendarat di kepala. Mereka terhuyung-huyung sambil mendekap kepala, lalu ambruk tak berdaya.

"He he he...! Kau rasakan tongkatku!" ejek Ki Sabda Gendeng sambil terkekeh.

"Setan alas! Heaaa...!" Orang bertopeng yang menjadi pemimpin menggeram marah. Dengan serta-merta dia melompat menerjang dengan sebilah pedang.

"Yeaaa...!"

"Ki Sabda Gendeng! Hati-hati dengannya! Orang itu tak bisa dipandang enteng!" teriak Rangga, mengingatkan sambil terus meladeni beberapa pengeroyok.

"He he he...! Tenang saja. Apa kau benar-benar menganggap enteng padaku?

"Wut!

Baru saja selesai kata-kata laki-laki tua itu, ujung pedang orang bertopeng yang menjadi pemimpin menyambar ke leher.

"Uts...!" Ki Sabda Gendeng mengegos ke samping sambil mundur selangkah. Namun, tendangan orang bertopeng segera menyusuli. Terpaksa laki-laki tua ini jumpalitan ke belakang.

Baru saja Ki Sabda Gendeng mendarat, pedang orang bertopeng telah meluruk deras. Saat itu juga tongkat bambunya dikebutkan ke depan, menangkis.

Trak!

Ki Sabda Gendeng terjajar mundur. Belum juga memperbaiki keseimbangan, orang bertopeng telah mengebutkan telapak tangan kirinya.

"Heaaa...! Ki Sabda Gendeng tercekat Cepat dia melempar tubuhnya ke samping ketika melihat sinar kuning meluruk ke arahnya.

Blarrr...!

Terdengar ledakan, begitu sinar kuning tadi menghantam tanah, tempat Ki Sabda Gendeng berdiri.

"Gila! Pukulan 'Remuk Garba'...?! Siapa kau sebenarnya? Apakah memang kau sendiri...," sentak Ki Sabda Gendeng, setelah bangkit berdiri dengan wajah terkejut.

"Banyak omong! Pergilah ke neraka, Setan Tua!" bentak laki-laki bertopeng yang menjadi pemimpin. Baru saja orang bertopeng hendak menghentakkan tangannya....

"Tahan...!"

"Heh...?!" Orang bertopeng itu terkejut, mendengar bentakan nyaring. Ketika menoleh dia tertegun melihat kehadiran seorang gadis jelita berusia kurang lebih enam belas tahun dengan pedang melintang di dada.

"Kalau kau teruskan niatmu, maka aku tak akan segan-segan memotong lehermu!" lanjut gadis itu, mengancam.

"Hmm! Tinggalkan tempat ini!" Orang bertopeng yang jadi pemimpin tidak banyak bicara. Diberinya isyarat pada sisa kawan-kawannya. Dan secepatnya, mereka membawa orang-orang yang tewas untuk segera meninggalkan tempat itu.

"Kakang Rangga, kau tak apa-apa?!" tanya gadis itu dengan wajah khawatir.

"Putri Mayang.... Terima kasih atas pertolonganmu. Kau hebat sekali, sehingga berhasil menakut-nakuti mereka. Aku tak apa-apa...," sahut Pendekar Rajawali Sakti, setelah menyarungkan kembali pedangnya di punggung.

Tapi, Rangga tidak bisa menipu diri, ketika beberapa tetes darah keluar dari sudut bibirnya. Padahal, dia telah berusaha untuk menahan. Namun desakan dari dadanya begitu kuat. Dan kalau saja tak tertahan, mungkin akan menyembur.

"Kakang Rangga.... Kau..., kau terluka...?!" tanya putri Gusti Prabu Arya Dwipa.

"Aku..., aku tidak apa-apa...," sahut Pendekar Rajawali Sakti, berbohong.

"Kau terluka. Mari kutolong! Ayo.... Kita harus buru-buru ke istana!" ajak Putri Mayang, seraya memapah Pendekar Rajawali Sakti.

Tapi Rangga buru-buru mencela tangan gadis ini. Ditepisnya pelan-pelan tangan itu sambil berusaha tersenyum. "Putri, tidak usah repot-repot. Aku mampu mengurus diriku sendiri...," ujar Pendekar Rajawali Sakti.

"Tapi kau terluka parah?!" desak gadis itu.

"Ini soal biasa. Dan, bukan sekali ini aku mengalaminya. Tidak usah cemas. Sebaiknya, kembali ke istana. Nanti orang-orang akan mencari-carimu," sergah Pendekar Rajawali Sakti.

"Ayahanda yang menyuruhku untuk menyusulmu...."

"Apa yang beliau inginkan?"

Putri Mayang tidak langsung menjawab. Matanya melirik sebentar pada Ki Sabda Gendeng yang tengah mengatur jalan napas.

"Ayahanda meminta maaf atas kejadian tadi...," desah gadis ini.

"Sampaikan pada ayahandamu. Beliau tidak bersalah. Aku yang terlalu lancang," kata Pendekar Rajawali Sakti.

"Ayahanda hanya terkejut. Beliau tak mengira Kakang Rangga akan berkata seperti itu...."

"Ya, aku bisa memahaminya...."

"Eh! Ng..., kalau boleh kutahu, apa sebenarnya persoalan yang tengah Kakang Rangga alami?"

"Aku tidak mengalami apa-apa. Tapi orang lain yang mengalaminya."

"Apakah tentang pembunuhan beruntun yang belakangan ini terjadi?"

"Hm.... Rupanya Gusti Prabu Arya Dwipa telah mengetahuinya pula," gumam Pendekar Rajawali Sakti.

"Ayahanda mengira persoalan itu sebabnya...," desah Putri Mayang.

"Ya. Karena persoalan itu, sebetulnya aku ke sana."

"Lalu kenapa tidak dikatakan saja?"

"Aku bermaksud mengatakannya. Tapi, ayahmu keburu kaget..."

"Tapi Kakang Rangga tidak mengatakannya secara langsung. Melainkan mengagetkan semua pihak."

"Aku ingin mereka mengetahui dari awal, sebelum terkejut nantinya," kelit Rangga.

"Apakah Kakang Rangga menuduh salah seorang dari kami pelakunya?"

"Aku belum punya bukti. Tapi akan kudapatkan buktinya nanti."

"Siapa?" desak Putri Mayang.

"Aku tidak bisa mengatakan," sahut Rangga.

"Jayadilaga?" duga gadis ini.

"Putri, maaf.... Aku tidak bisa mengatakannya."

"Atau barangkali Jayalaksana? Kadang-kadang dia suka bersikap aneh-aneh." Rangga tersenyum. "Kakang Rangga, katakanlah padaku. Atas dasar apa kau mencurigai kami?" desak gadis ini semakin penasaran saja.

"Mungkin aku belum bisa mengatakannya.... Tapi, tahukah kau siapa kira-kira mereka tadi?"

"Aku tidak mengenalnya...."

"Putri.... Orang-orang itu memiliki ilmu silat yang tidak rendah. Demikian hebatnyakah kepandaianmu, sehingga mereka takut begitu mendengar ancamanmu?"

"Kakang Rangga.... Terus terang..., aku sendiri tak tahu."

"Begitukah?"

"Kau mencurigaiku pula?"

"Tidak. Aku hanya heran. Dan mungkin juga kagum padamu."

"Aku bersungguh-sungguh, tidak kenal mereka. Hanya...."

"Hanya apa?"

"Aku pernah memergoki salah seorang yang baru saja memenggal kepala korbannya. Kukejar dia, ketika coba melarikan diri. Sambil berlari, dia berusaha menutupi wajah dengan topeng hitam...."

"Sempat melihat wajahnya?"

"Sayang sekali, tidak...," sahut Putri Mayang menggeleng lemah. "Waktu itu dia membelakangiku. Dan, sama sekali tak menoleh. Ilmu meringankan tubuhnya hebat. Karena sebentar saja, aku kehilangan jejak."

"Hmm...!"

"Tak ada yang kusembunyikan darimu soal ini. Hanya itu yang kuketahui," lanjut gadis ini coba meyakinkan Rangga.

"Ya.... Aku mengerti, Putri. Sekarang, pulanglah. Katakan pada ayahandamu, aku tidak marah padanya. Dan, tidak juga bermaksud memusuhinya. Namun yang benar-benar harus kau jelaskan adalah sikapku. Siapa pun pembunuh itu, jangan harap akan lepas dari tanganku!" tegas Rangga. Begitu habis kata-katanya, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat meninggalkan tempat ini.

"Hei, Bocah Semprul! Tunggu aku...!" teriak Ki Sabda Gendeng.

ENAM

Gusti Prabu Arya Dwipa mengajak Ki Sedopati menuju penjara bawah tanah. Begitu pintu penjara terbuka, di sudut ruangan gelap yang masih dibatasi jeruji besi, terlihat seorang laki-laki tua duduk tenang dengan kedua kaki tertekuk. Rambutnya panjang awut-awutan. Bajunya lusuh dan warnnya pun telah pudar. Sepasang matanya melirik ke arah jeruji besi yang kokoh, namun kembali memusatkan perhatian pada seekor tikus dalam genggaman tangannya.

"He he he...! Hari ini kau tak akan selamat lagi dariku, Binatang Kecil! Kau menjadi santapanku. Hi hi hi...!"

Tes! Kres!

Ki Sedopati yang berdiri di pintu memejamkan mata, menahan jijik dan mual ketika kepala tikus itu dipotes. Sebelum darahnya mengucur, kepala tikus berikut tubuhnya telah pindah ke mulut laki-laki tua itu. Lalu senikmat menyantap makanan lezat mulutnya menyeringai lebar.

"Hi hi hi...! Siapa lagi yang akan menjadi korban?"

"Swagira! Aku datang menemuimu!" kata Gusti Prabu Arya Dwipa yang berdiri di belakang Ki Sedopati. Penguasa Kerajaan Swama Pura lalu melangkah mendekati jeruji besi, di sebelah Ki Sedopati.

"He he he...! Aku tak peduli kau datang atau tidak!" sahut laki-laki tua bemama Swagira.

"Swagira! Berlakulah sopan kepada Gusti Prabu!" bentak Ki Sedopati.

"He he he...! Sedopati! Suaramu tidak lebih keras ketimbang dulu! Apa kau baru mulai belajar berteriak?" ejek Ki Swagira.

"Keparat!" Ki Sedopati menggeram. Laki-laki ini bermaksud menghajar Ki Swagira dengan pukulan jarak jauh, namun keburu dicegah Gusti Prabu Arya Dwipa.

"He he he...! Hari ini aku lapar. Dan kalian datang ke sini tanpa makanan. Lebih baik tinggalkan aku sendiri!" ujar Ki Swagira, seenaknya.

"Swagira! Ada yang mesti kutanyakan padamu...."

"Aku bosan dengan pertanyaan! Aku mau makanan!" sergah Ki Swagira dengan suara menggelegar.

Ki Sedopati makin merah wajahnya. Kembali tangannya siap menghentak.

"Jangan!" tahan Gusti Prabu Arya Dwipa. "Perintahkan seorang prajurit membawa makanan padanya."

"Tapi Gusti...."

"Ki Sedopati! Apakah kau tak sudi menuruti perintahku?"

"Baiklah, Gusti!"

"Sedopati! Jangan lupa, bawakan pula daging-daging tikus kesukaanku!" teriak Ki Swagira menambahkan sambil cekikikan.

Kalau saja tidak ingat larangan Gusti Prabu Arya Dwipa, ingin rasanya Ki Sedopati menghantam Ki Swagira sampai mati. Tapi apa boleh buat? Dia tak bisa berbuat apa-apa, selain melaksanakan keinginan laki-laki tua aneh itu.

Mereka harus menunggu beberapa saat untuk menyiapkan hidangan yang diinginkan Ki Swagira. Beberapa kerat daging segar yang masih berlumuran darah, dan sepuluh ekor tikus besar yang masih hidup.

Semua orang yang ada di ruangan ini sebenarnya jijik melihat selera makan Ki Swagira yang 'keterlaluan'. Bahkan mereka tak berani berada dekat-dekat Barulah ketika Ki Swagira selesai bersantap, Gusti Prabu Arya Dwipa, Ki Sedopati, dan beberapa prajurit mulai mendekat.

"Apa yang ingin kau tanyakan?" kata Ki Swagira tanpa menoleh dan sambil menepuk-nepuk perut.

"Aku tidak tahu bagaimana caramu keluar. Tapi, kau telah membuat ulah lagi di luaran, Swagira!" hiding Gusti Prabu Arya Dwipa.

"Ulah apa yang kau maksudkan?" tukas Ki Swagira.

"Pembunuhan dengan kepala terpenggal. Itu adalah ciri khasmu."

"Pembunuhan? Ha ha ha...! Bagaimana mungkin? Kau menuduhku. Sedangkan aku di sini dengan penjagaan ketat. Lalu dengan cara bagaimana aku bisa keluar, kemudian melakukan pembunuhan? Ha ha ha...! Dasar sinting! Kau benar-benar sinting, Arya Dwipa!"

Kata-kata laki-laki aneh itu benar-benar keterlaluan. Kalau saja tidak dicegah Gusti Prabu Arya Dwipa, maka orang-orang menyertainya segera menghajar Ki Swagira.

Dan Ki Swagira bukannya takut, tapi malah membuat mereka semakin geram. "He he he...! Kalian mau berebutan mampus? Ayo tidak usah satu-satu. Semuanya saja sekaligus."

"Jangan ladeni dia!"

"Gusti Prabu! Orang ini benar-benar keterlaluan! Dia mesti dihukum mati!" desis Ki Sedopati.

"Gusti Prabu! Hamba pun setuju! Dia benar-benar keterlaluan!" timpal seorang perwira kerajaan.

"Menghukum mati? He he he...! Apa lagi kesalahanku yang bisa kalian buat? Kalian kira aku takut mati? Ayo, bunuh aku kalau bisa! Bunuuuh...!" tantang Ki Swagira.

"Swagira! Aku tidak akan menghukummu kalau saja kau mau mengatakan, perbuatan siapa ini semua?" desak Gusti Prabu Arya Dwipa.

"Kenapa mesti repot-repot mengurusiku segala? Kalau mau hukum silakan hukum. Mau dimatikan, pun tak jadi masalah. Kau punya kekuasaan, silakan bertindak!"

"Aku berusaha mencari kebenaran!"

"Kebenaran? He he he...! Kebenarankah namanya jika mengurungku di sini selama lima tahun lebih, tanpa memberi makanan yang baik? Kebenarankah namanya mengurungku di sini, tanpa diadakan pengadilan? Kebenarankah namanya dengan merampas kemerdekaanku?!" oceh Ki Swagira.

"Kau mungkin sinting. Tapi, aku mengurungmu bukan karena kezaliman. Melainkan karena kejahatanmu yang kelewat batas! Kau terbukti membunuh dan memperkosa gadis-gadis dan memenggal kepalanya. Kejahatan itu amat keji. Kau merampas kemerdekaan mereka! Kau merampas hidup mereka! Kau iblis terkutuk, Swagira! Kau lebih kejam dari iblis mana pun...!" bentak Gusti Prabu Arya Dwipa dengan suara menggelegar.

Ki Swagira terhenyak. Sesaat dia memandang Gusti Prabu Arya Dwipa lekat-lekat. Matanya melotot, seperti tersihir. Tapi Gusti Prabu Arya Dwipa tak lama berada di situ. Setelah memandang tawanannya sekilas, tubuhnya berbalik dan meninggalkan tempat itu.

********************

Dewa Bayu terus berlari kencang, membawa Pendekar Rajawali Sakti dan Ki Sabda Gendeng.

"Jadi orang yang kau curigai itu pejabat kerajaan?! Hei, jawab pertanyaanku, Bocah Edan! Kenapa kau diam saja?!" teriak Ki Sabda Gendeng untuk mengalahkan suara deru angin.

Rangga diam membisu menahan rasa sakit di punggungnya.

"Bocah! Kau dengar pertanyaanku atau tidak?!"

"Hup!" Kuda berbulu hitam mengkilat itu berhenti perlahan-lahan. Saat itu juga tubuh Rangga terkulai ke bawah. Dari mulutnya menyembur darah segar.

"Bocah, kau...?! Dasar semprul!" maki Ki Sabda Gendeng. Buru-buru laki-laki tua ini turun, segera dipapahnya Rangga turun dan dibawanya ke bawah sebatang pohon rindang.

"Aku lupa kalau kau terkena pukulan 'Remuk Garba'. Mestinya tulangmu sudah remuk. Tapi kau punya daya tahan luar biasa, Bocah!"

"Heup...!"

"Bagus! Kosongkan pikiranmu. Dan, lemaskan seluruh tenagamu. Aku akan menyalurkan hawa murni untuk menyembuhkan luka dalammu!" ujar Ki Sabda Gendeng seraya menempelkan kedua telapak tangan ke punggung Pendekar Rajawali Sakti.

"Terima kasih, Sobat...."

"Eee, jangan berterima kasih dulu! Kau belum lagi selamat. Bisa saja nanti kau mampus!"

"Lukaku tidak begitu parah. Aku hanya tidak sempat mengobatinya sejak tadi...."

"Sudah, jangan banyak bicara!"

Pukulan 'Remuk Garba' yang menghantam Pendekar Rajawali Sakti memang dahsyat. Dan kalau saja orang yang terkena tidak memiliki tenaga dalam tinggi, niscaya akan tewas dalam waktu singkat.

"Hoeeekh...!" Pendekar Rajawali Sakti memuntahkan darah berwarna hitam beberapa kali. Yang terakhir terlihat berwama merah segar. Wajahnya pucat, sorot matanya kelihatan letih.

"Nah, Bocah! Peredaran darahmu mulai berjalan lancar kembali. Dan dengan sedikit bersemadi, rasanya kau akan sehat lagi."

Ki Sabda Gendeng menyudahi penyaluran hawa murninya. Lalu, dia mengambil gumbung tuaknya. Ditenggak tuaknya beberapa teguk.

"Minum tuak ini. Bagus untuk kesehatanmu!" kata Ki Sabda Gendeng.

"Terima kasih!" ucap Pendekar Rajawali Sakti. Rangga menenggak tuak itu barang beberapa teguk. Wajahnya seketika merah dan berkerut, merasakan aroma tuak yang amat menyengat.

"Ha ha ha...!"

"Brengsek!" umpat Rangga.

"Tuak ini lima kali lebih keras daripada tuak-tuak lainnya. Kalau tidak terbiasa, akan merasa kaget. Tapi, jangan khawatir.... Sebab aliran darahmu akan lancar. Kau bisa merasakannya sebentar lagi. Nah, sekarang bersemadilah...."

Rangga duduk bersila mengambil sikap semadi. Jalan napasnya mulai diatur untuk beberapa saat. Matanya dipejamkan dengan pikiran terpusat pada satu titik. Sekian lama bersemadi, apa yang dikatakan Ki Sabda Gendeng memang benar. Tuak yang diminum Pendekar Rajawali Sakti mulai terasa. Tubuhnya terasa hangat dan aliran darahnya berjalan lancar. Dengan begitu penyembuhannya pun berjalan cepat.

"Heup!" Rangga menghentikan semadinya kemudian bangkit berdiri. Dihampirinya Ki Sabda Gendeng yang masih menenggak tuak sambil duduk seenaknya dan bersandar di bawah sebatang pohon.

"Sobat! Aku berhutang budi padamu. Bagaimana aku bisa membalasnya?"

"Cukup satu saja!"

"Apa itu?"

"Jawab pertanyaanku, siapa sebenamya yang kau curigai sebagai pelaku pembunuhan itu?" tanya Ki Sabda Gendeng menyudutkan.

Rangga terdiam sejurus lamanya. Kelihatan kalau dia agak berat mengatakannya.

"Sudahlah. Kalau kau memang tak mempercayaiku lagi, buat apa lagi kita berkawan!" gerutu Ki Sabda Gendeng, lalu bangkit dari duduknya.

"Sobat! Aku bukannya tidak mempercayaimu. Hanya saja aku belum punya bukti-bukti yang kuat...," kilah Pendekar Rajawali Sakti.

"Ya, aku tahu...."

"Ini baru dugaan, bukan tuduhan."

"Aku tahu!"

"Jangan sampai karena dugaan, lalu akhirnya berkembang menjadi tuduhan. Padahal, bukti belum lagi didapatkan. Ini akan berkembang menjadi fitnah. Dan aku bertanggung jawab penuh akan hal itu."

"Aku tahu!"

"Syukurlah kalau kau mengerti...."

"Kau salah. Aku sama sekali tak mengerti!"

"Ki Sabda...."

"Aku tak mengerti kalau kau mengira aku akan menyebarkan dugaanmu pada orang-orang. Aku juga tak mengerti, kalau kau menolak niat baikku untuk mengungkap pembunuhan ini. Aku memang orang tua sinting!" potong Ki Sabda Gendeng, langsung menyerocos.

Rangga tersenyum getir. Baru kali ini didengarnya orang tua itu bicara agak mendalam selama di kenalnya. "Maafkan aku, Sobat...," ucap Rangga.

"Tak apa...," sahut Ki Sabda Gendeng pendek.

"Kau sungguh-sungguh ingin tahu dugaanku?"

"Kau masih keberatan tentunya?"

"Nyi Sumbi memberi keterangan yang membuatku teringat pada seseorang...," jelas Rangga

"Seseorang yang berada di kerajaan?" tanya Ki Sabda Gendeng, semakin penasaran.

"Benar."

"Siapa?" Belum juga Rangga menjawab....

"Tolong...!" Terdengar suara minta tolong dari tempat yang tak begitu jauh. Rangga dan Ki Sabda Gendeng saling berpandangan.

"Kuharap kau mendengar apa yang kudengar...," kata Rangga.

"Semprul! Kau kira aku tuli, he?!" maki laki-laki tua itu.

"Kalau begitu, tunggu apa lagi?!" Tanpa membuang waktu lagi mereka segera berlari menuju jeritan tadi.

Seorang gadis menjerit ketakutan sambil melangkah mundur. Wajahnya pucat seperti kehabisan darah. Bola matanya membulat, menatap pemuda di depannya tak berkedip.

"Kakang Soma! Kau..., kau...." Gadis itu berkata tergagap saking ketakutannya.

"Dia telah mendapat bagiannya. Kini giliranmu!" desis pemuda yang dipanggil Soma.

"Kau..., tidak kusangka kau sekejam itu. Kau bunuh dia dengan mata tak berkedip. Kau bukanlah Kakang Soma yang kukenal. Kau iblis terkutuk yang haus darah!"

"Syukurlah kalau kau mengetahuinya sekarang, Marni..."

"Huh! Kalau kutahu dari dulu, tidak kudengar segala rayuanmu yang busuk!"

"Sudah terlambat, Sayang. Kini tak berguna lagi penyesalanmu. Setelah kita bersenang-senang, maka nasibmu sama sepertinya."

Gadis bernama Marni memandang sesosok mayat yang tak jauh dari situ. Seorang gadis dengan leher putus. Tubuhnya polos tanpa sehelai benang pun.

Tadi ketika sampai di tempat ini, Marni baru saja menyaksikan Soma selesai menodai gadis yang kini telah menjadi mayat. Kemudian dengan telengas, ditebasnya leher gadis itu dengan sisi telapak tangan kanan. Marni melihat hal ini menjerit ketakutan. Dan malang..., ternyata pemuda itu cepat mengetahui persembunyiannya. Yang amat menyakitkan, ternyata Marni kenal betul dengan pemuda itu. Maka semakin terperanjat saja ketika semua kebusukan Soma jelas terlihat di depan matanya.

"Percuma saja kau melarikan diri, Marni. Tak akan ada seorang pun yang bisa menolongmu dariku...," ancam Soma sambil melangkah mendekati.

"Iblis terkutuk! Enyahlah kau...!" bentak Marni.

"Ha ha ha...! Percuma saja, Marni Percuma saja. Lebih baik kau menyerah dan pasrah pada kehendakku...!" kata Soma, pongah.

"Busuk! Aku lebih suka mati ketimbang mengikuti kemauanmu yang bejat!"

"Pada akhirnya, toh kau pun akan mampus juga di tanganku! Jadi buat apa bertahan segala?"

"Jangan coba-coba, Kakang Soma! Aku akan membenturkan kepalaku ke batu ini!" ancam Marni, sambil bersandar ke batu besar yang ada di belakangnya.

"Kau hendak membenturkan kepalamu ke situ? Ayo, lakukanlah! Ingin kulihat dengan mata kepalaku sendiri," ejek pemuda itu sambil mendekat.

"Berhenti! Berhenti kataku! Aku akan bunuh diri sekarang juga!"

"Ha ha ha...! Percuma saja mengancamku, Marni. Aku sama sekali tidak peduli. Kau mati di tanganku, atau di tangan orang lain, atau bunuh diri, sama sekali bukan masalah. Yang terpenting, kau mampus. Ayo, lakukanlah!" balas Soma, kalem tanpa perasaan.

Merasa ancamannya tidak mengena, Marni jadi kian gementar. Dadanya mengembang penuh udara panas dibakar amarah dan kesal bercampur putus asa. Sementara, pemuda itu terus mendekatinya sambil menyeringai lebar.

"Hiih!" Dibayangi perasaan putus asa dan tekad bulat untuk tidak mau menuruti keinginan pemuda itu, Marni nekat menghempaskan kepalanya ke batu besar di belakangnya.

"Hup!" Namun sebelum kepala membentur batu, pemuda itu bergerak cepat menangkap kepala Marni. Tap! Bahkan tangan Soma cepat bergerak menotok.

Tuk! Tuk!

"Ohh...!" Marni kontan terkulai tanpa daya. Badannya tak bisa digerakkan lagi.

"Ha ha ha...! Kau kira bisa menghalangi niatku?" oceh Soma.

"Terkutuk! Iblis terkutuk! Lepaskan aku! Lepaskaaan...!" teriak Marni.

"Lebih baik kau diam saja. Hemat tenagamu untuk nanti, Sayang!" ujar pemuda itu sambil menyeringai. Dibawanya gadis itu kebalik rerimbunan semak.

"Lepaskan aku! Lepaskan! Tolooong...! Lebih baik aku mati daripada kau jamah! Terkutuk kau, Soma! Kau benar-benar biadab!" teriak Marni.

"Memakilah sepuas hatimu. Tapi, jangan harap aku akan melepaskanmu. Kita akan bersenang-senang, kemudian setelah itu kau boleh mampus di tanganku," kata Soma.

Ancaman pemuda itu agaknya bukan main-main. Tawanya pun berubah menjadi seringai tajam. Raut wajahnya mengerikan. Hela napasnya terasa kasar. Lalu tiba-tiba....

Bret! Bret!

"Aouw...! Soma! Lepaskan aku! Lepaskan! Lebih baik kau bunuh saja aku!" teriak Marni.

"Hm!" Percuma saja Marni berteriak, karena pemuda itu seolah-olah tak mendengamya. Dengan penuh nafsu dicabik-cabiknya semua pakaian gadis itu.

Marni terus berteriak-teriak kalang-kabut Segala makian dan serapah disemburkannya pada pemuda itu. Namun semuanya tetap tidak menyurutkan langkah Soma.

"Sekarang waktunya berpesta, Sayang..,!"

Suara Soma terdengar menggeram. Dan wajahnya menyeringai, seperti seekor serigala kelaparan. Tapi sebelum dia bergerak hendak melampiaskan hawa nafsunya...

"Ha ha ha...! Alangkah sedapnya. Seorang pemuda hendak melepaskan hasrat birahinya. Dan ketika si gadis menolak, maka tak ada jalan lain daripada memaksa. Ini betul-betul konyol. Sekaligus, terkutuk!"

"Heh?!" Soma tersentak kaget begitu melihat seorang laki-laki tua membawa tongkat bambu berwama hitam dan menggendong bumbung bambu penuh tuak.

TUJUH

"Hem, Orang Tua Busuk! Enyahlah kau dari mukaku!" bentak Soma geram.

"He he he...! Supaya kau bebas melampiaskan niat bejatmu?" sindir laki-laki tua yang tak lain Ki Sabda Gendeng.

"Setan! Kubunuh kau, Keparat...!"

"Membunuh itu perkara mudah. Tapi yang jadi pertanyaan adalah, siapa yang terbunuh? saat ini aku enggan mampus. Maka lebih baik kau saja yang mampus!" Pemuda itu baru saja akan lompat menyerang, namun....

"Perbuatanmu sungguh tidak terpuji, Jayadilaga!" Tiba-tiba terdengar suara dari belakang. Soma langsung menoleh.

"Hm, Rangga. Rupanya kau pun berada disini," kata Soma yang ternyata adalah Jayadilaga, begitu mengenali siapa yang datang.

"Ya Aku telah di sini sejak tadi.," sahut pemuda yang baru datang. Dia memang Pendekar Rajawali Sakti.

"Kau tentu tidak tahu duduk persoalannya, bukan?"

"Mungkin saja. Tapi aku melihat apa yang hendak kau lakukan terhadap gadis ini."

"Itu tidak seperti yang kau bayangkan. Gadis ini seorang pelacur. Dan aku telah membayar mahal untuk itu. Tapi, tiba-tiba saja dia menolak dengan satu alasan tidak jelas. Belakangan baru kutahu kalau dia merencanakan sesuatu. Dia mencuri uangku, dan bermaksud kabur dengan kekasihnya," kelit Jayadilaga berusaha mempengaruhi Pendekar Rajawali Sakti.

"Dusta! Itu tidak benar. Aku bukan pelacur! Dan aku tidak pernah mencuri uangnya barang sekeping pun!" bantah Marni dengan suara lantang. Lalu dia menoleh ke arah Jayadilaga. "Kakang Soma! Tega betul kau berkata begitu padaku? Dimana sifat kesatriamu dengan melemparkan kesalahan dan bermaksud cuci tangan?!"

"Diam kau, Perempuan rendah! Aku tidak tergoda oleh perempuan sepertimu!" bentak Soma alias Jayadilaga.

"Kau yang bajingan rendah! Iblis terkutuk! Kau bunuh gadis itu secara kejam, setelah kau nodai. Kini hendak kau ulangi pada diriku!" balas Marni.

"Dasar perempuan lacur! Mulutmu berbisa seperti ular! Pintar membalikkan kenyataan dan mengarang sandiwara!"

"Hei, Keparat Busuk! Kaulah sebenamya yang tengah bersandiwara dan memutarbalikkan kenyataan. Apakah kau tak merasa malu pada dirimu sendiri?!" hardik Ki Sabda Gendeng, garang.

"Orang tua, jaga mulutmu! Jangan ikut campur, jika tak tahu urusan orang! Sebaiknya, enyahlah dari sini sebelum aku naik darah dan menghukummu!" bentak Jayadilaga.

"Menghukumku? Ha ha ha...! Bocah bau kencur! Kau kira siapa dirimu bisa menghukumku? Kakek moyangmu pun tidak berhak melakukannya!"

"Kau tidak tahu! Aku adalah Jayadilaga, putra Gusti Prabu Arya Dwipa penguasa negeri ini!" gertak Jayadilaga.

Mestinya Ki Sabda Gendeng terkejut mendengar pemyataan itu. Tapi yang dilakukannya justru tertawa terbahak-bahak. "Ha ha ha...! Putra Sang Gusti Prabu rupanya. Lalu, apa hebatnya? Dengan membawa-bawa nama ayahmu hendak kau tangkap aku? Memfitnah aku sebagai penjahat? Lalu, mengerahkan ribuan prajurit untuk menangkapku? Lalu, menjatuhkan hukuman mati? Ha ha ha...! Dasar kunyuk edan! Aku sama sekali tidak peduli kau anak siapa! Biar anak jin dari kolong neraka sekalipun, jangan harap bisa menakut-nakuti si Sabda Gendeng!" sahut laki-laki tua itu, mantap.

"Huh! Tidak perlu membawa seribu pasukan untuk meringkusmu! Aku sendiri mampu melakukannya. Bersiaplah...!" Jayadilaga maju mendekati Ki Sabda Gendeng.

Tapi orang tua itu tenang-tenang saja. Bahkan menenggak tuaknya seperti tidak ada kejadian apa-apa. "Huaaa, enaaak...!" Dengan tenang Ki Sabda Gendeng menyeka mulut Dan mulutnya cengar-cengir memandang Jayadilaga. "Bocah! Kalau saja kawanku tidak punya urusan denganmu, sudah sejak tadi kubeset mulutmu yang kurang ajar itu!"

"Kau begitu bernafsu hendak menghajar orang tua itu, Jayadilaga. Padahal orang tuamu seorang yang bijaksana. Apakah kau tidak diajarkan untuk mengekang hawa nafsumu?" sindir Rangga.

"Sebaiknya kalian jangan mencampuri urusanku!" dengus pemuda itu.

"Sayang sekali. Semula memang tidak. Namun setelah melihat apa yang kau lakukan, terpaksa aku harus bertindak," sahut Pendekar Rajawali Sakti tegas.

"Aku menghormatimu sebagai kawan ayahku. Maka jangan hilangkan rasa hormat itu dengan campur tanganmu pada urusanku!" desis Jayadilaga.

"Aku tidak bisa surut dari niatku. Oleh karena itu, lupakan segala rasa hormat itu. Aku tak butuh rasa hormat dari manusia bejat sepertimu!" balas Rangga, sengit

"Huh! Kalau begitu, aku tidak sungkan-sungkan lagi padamu!"

"Kau memang sudah tak sungkan-sungkan lagi padaku, sejak tadi. Apalagi saat mengenakan topeng."

"Apa maksudmu? Jangan berbelit-belit!" sentak Jayadilaga dengan wajah sedikit kaget.

"Kau bisa saja menutupi wajahmu dengan topeng. Namun luka yang kubuat, tidak akan bisa disembunyikan begitu saja. Perhatikan baik-baik leher kirimu. Ada goresan luka kecil bekas sayatan kuku tanganku," jelas Pendekar Rajawali Sakti.

"Ahhh...!" Tanpa sadar, Jayadilaga memeriksa luka di leher kirinya. Luka itu sama sekali tidak berarti, meski mengeluarkan darah tidak sampai setetes. Tapi cukup mengejutkan karena sama sekali tidak menghiraukannya. Dalam dugaannya, luka itu mungkin tergores ranting atau terkena cakaran gadis yang tadi dibunuhnya. Tapi siapa sangka kalau luka itu ternyata dibuat kuku Pendekar Rajawali Sakti tanpa disadari?

"Kini kau tak bisa mungkir lagi, Jayadilaga!"

"Keparat!" Jayadilaga mendengus geram. Dan tiba-tiba saja tubuhnya meluruk kearah Pendekar Rajawali Sakti.

"Ki Sabda Gendeng! Ini urusanku. Biar kutangani sendiri. Bantulah gadis itu!" seru Rangga seraya melompat ke atas menghindari serangan.

"Jangan khawatir! Aku tak akan ikutç’±kutan...!" sahut Ki Sabda Gendeng.

"Kau akan mampus di tanganku, Rangga!"

"Tidak usah banyak sesumbar, Jayadilaga. Buktikan saja kehebatanmu!" balas Pendekar Rajawali Sakti yang sudah murka melihat sepak terjang Jayadilaga selama ini.

"Huh! Tadi kau dapat kulukai. Dan kini, akan kubunuh kau tanpa seorang pun yang bisa membantu," dengus Jayadilaga.

"Kesombonganmu boleh juga."

"Heaaa...!" Kembali Jayadilaga meluruk sambil mengibaskan tangan berisi tenaga dalam tinggi secara beruntun. Namun Pendekar Rajawali Sakti yang langsung menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' cepat berkelit. Tubuhnya meliuk-liuk dengan gerakan kaki lincah.

"Hup...!" Mendadak Jayadilaga melejit keatas. Tubuhnya berputar di atas kepala Pendekar Rajawali Sakti, siap menghantamkan pukulan.

Rangga cepat merendahkan kuda-kudanya, lalu melepaskan tendangan lurus ke atas menghantam ke perut Jayadilaga yang tengah mengapung. Tentu saja putra Gusti Prabu Arya Dwipa tak ingin perutnya jadi sasaran. Cepat tangannya yang telah terkepal memapak.

Plak!

Tenaga benturan dimanfaatkan Jayadilaga untuk melenting kembali ke udara. Tepat ketika Rangga berbalik, Jayadilaga telah kembali meluruk hendak melepaskan hantaman telapak tangan.

"Uts...!" Namun dengan sigap Rangga memutar tubuhnya.

Akibatnya tubuh Jayadilaga terus meluncur ke bawah. Dan... Bless...! Pukulan Jayadilaga menghantam tanah sampai amblas beberapa jengkal.

"Hm, inikah pukulan 'Remuk Garba' yang kau banggakan?" kata Rangga.

"Syukurlah kau tahu pukulan istimewaku. Sebentar lagi, pukulanku akan memastikan kematianmu!"

"Aku telah mencicipinya. Dan ternyata, tidak ada apa-apanya. Mungkin tepukan seorang banci lebih keras daripada itu," ledek Pendekar Rajawali Sakti, memanasi.

"Setan! Rasakan ini...!" Jayadilaga kembali melepaskan pukulan mautnya. Namun sekali lagi Rangga berhasil menghindar, dengan meliukkan tubuhnya.

Pukulan itu memang berbeda dari kebanyakan ilmu pukulan lain. Tidak menimbulkan desir angin. Kalaupun ada, sangat tipis. Itu pun yang bisa menangkap hanya tokoh berkepandaian tinggi. Dan tiba-tiba saja, pukulan itu bisa mengenai sasaran.

"Aku tahu, ilmu pukulan ini hanya dimiliki Ki Swagira yang berjuluk Iblis Pemenggal Kepala. Dari mana kau bisa mendapatkannya? Setahuku si keparat itu berada dalam penjara bawah tanah di Istana Kerajaan Swama Pura."

"Dia adalah guruku!"

"Hm.... Ternyata bukan hanya kelakuanmu saja yang bejat. Tapi kau pun telah menikam ayahandamu dari belakang. Beliau telah bersikap adil tidak membunuh Ki Swagira atas perbuatan-perbuatannya yang keji. Tapi dengan diam-diam, kau malah berguru padanya," gumam Pendekar Rajawali Sakti.

"Huh! Itu bukan urusanmu!" sentak Jayadilaga.

"Sekarang menjadi urusanku, Jayadilaga! Kalau saja yang menjadi korban adalah adikmu, aku tentu tidak begitu marah dan menganggap itu persoalan pribadi. Tapi orang lain yang menjadi korbanmu, maka aku tak akan tinggal diam," sahut Pendekar Rajawali Sakti, enteng.

"Banyak omong! Hiih...!" Sambil melompat, Jayadilaga menghentakkan tangannya melepaskan pukulan 'Remuk Garba'.

Wut!

Dengan gesit Rangga melompat ke samping. Seketika tubuhnya berkelebat. Dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', tangannya bergerak mengibas.

"Yeaaa...!"

Jayadilaga terkejut. Buru-buru ditangkisnya ketika kepalan kanan Pendekar Rajawali Sakti bergerak mengibas.

Plak!

"Uhh...!" Namun wajah pemuda itu berkerut kesakitan, merasakan tenaga dalam Rangga yang bukan main kuatnya. Tulang-belulangnya sampai terasa linu.

Sementara Rangga tidak memberi kesempatan. Ujung kaki kirinya terns mengincar ke ulu hati. "Hiih...!"

"Uhh...!" Dengan susah-payah Jayadilaga mencelat ke belakang. Dan Rangga mengejarnya dengan mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' tingkat tertinggi.

Jayadilaga terkesiap. Sungguh tak disangka Pendekar Rajawali Sakti mampu bergerak secepat itu. Padahal, dia belum lagi bersiap-siap. Maka hela napasnya masih kalang-kabut akibat benturan tadi. Meskipun mampu menangkis, namun tenaganya kurang sempurna. Akibatnya, tulang lengannya terasa ngilu bukan main.

Satu kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti berhasil dihindari Jayadilaga. Namun gerakan itu hanya tipuan. Karena begitu Jayadilaga memiringkan tubuhnya, tangan Pendekar Rajawali Sakti yang satu lagi sudah menunggu. Hingga....

Duk!

"Hekh...!" Jayadilaga menjerit kesakitan ketika sampokan Rangga mendarat ke ulu hatinya. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.

"Yeaaa...!" Rangga benar-benar bertindak tidak kepalang tanggung. Tubuhnya berputar, dengan kaki kiri menggedor dada.

Desss...!

"Aaakh...!" Jayadilaga kembali menjerit ketika tendangan Pendekar Rajawali Sakti telak sekali mendarat di dadanya. Tubuhnya terlempar kebelakang disertai muntahan darah segar.

"Kau boleh mampus sekarang!" dengus Rangga.

"Eh, ampun...! Ampun, Rangga. Kau tak boleh membunuhku...!" ratap Jayadilaga sambil bersujud didepan Pendekar Rajawali Sakti.

"Jayadilaga! Bangunlah! Dan, tunjukkan ksatriaanmu!"

"Tidak! Aku tak akan bangun sebelum kau berjanji mengampuniku!"

"Pengecut busuk! Tidak malu pada diri sendiri?! Dengan wanita tak berdaya, kau tega memperkosanya, lalu membunuhnya. Kini dalam keadaan tidak berdaya kau coba meratap demi selembar nyawa busukmu!"

"Aku tak peduli apa yang kau katakan. Tapi, kau mesti mengampuniku, Rangga!"

"Hemm...!" Rangga terdiam. Ditariknya napas panjang.

"Rangga, kumohon ampunilah aku! Ampuni aku...!" ratap Jayadilaga.

"Kisanak! Kau tak boleh mengampuninya! Orang ini amat jahat dan pembunuh keji! Dia harus mati untuk menebus dosa-dosanya!" teriak Marni, kalap.

"Eh, dasar edan! Tadi begitu garang. Dan kini, setelah kena beberapa hajaran, keok seperti ayam kampung. Huh! Aku tak pernah mengampuni orang seperti itu. Dalam sekejap, akan kupecahkan batok kepalanya!" timpal Ki Sabda Gendeng.

"Mestinya memang begitu...."

Mendengar kata-kata Rangga itu, Jayadilaga semakin ketakutan. Dan buru-buru ditubruk kaki Pendekar Rajawali Sakti. "Rangga! Kau adalah kawan dekat ayahandaku. Memandang hubungan baik itu, sudilah kiranya kau mengampuniku. Ampuni aku, Rangga! Ampuni aku...!" ratap Jayadilaga.

"Apakah kau akan bertobat jika kuampuni?"

"Tentu saja! Tentu! Aku akan bertobat!"

"Sungguhkah?"

"Aku berani bersumpah!"

"Hmm...!" Rangga berbalik, melangkah membelakangi. "Aku percaya akan kata-katamu. Karena, kau keluarga terhormat. Orang sepertimu mestinya teguh memegang...!"

Wesss...!

Kata-kata Pendekar Rajawali Sakti terhenti ketika merasakan desir angin kencang di belakang.

"Rangga, awaaas...!" teriak Ki Sabda Gendeng.

"Yeaaa...!" Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas, membuat desir angin dari pukulan jarak jauh yang dilepas Jayadilaga hanya menyambar tempat kosong. Setelah berputaran dua kali, Rangga meluruk sambil melepas kibasan tangan dalam jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Sebisanya Jayadilaga mengegos sambil memapak.

Plak!

"Aaakh...!" Kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti memang berhasil menangkis. Namun akibatnya, Jayadilaga terjajar mundur dengan tangan terasa sakit bukan main. Bahkan dadanya mendadak terasa sesak. Belum sempat Jayadilaga mengatur pernapasannya, Pendekar Rajawali Sakti yang masih mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' memutar tubuhnya. Kakinya yang berisi tenaga dalam langsung melepas tendangan berputar ke dada. Dan....

Desss...!

"Aaakh...!" Jayadilaga menjerit kesakitan. Darah mengucur dari mulut dan hidungnya. Isi dadanya terasa remuk dan rulang-tulang dadanya terasa patah. Tubuhnya terjungkal,. jauh kebelakang dan membentur sebatang pohon.

"Jangan coba membokong orang dari belakang jika kau tak tahu kewaspadaannya, Jayadilaga!" desis Rangga seraya mendekati pemuda itu.

Jayadilaga beringsut ke belakang dengan wajah pucat ketakutan. Dia sering mendengar cerita kalau Pendekar Rajawali Sakti jarang mengampuni lawan-lawan yang bersifat culas, dengan membokong dari belakang. Apakah hal itu akan terjadi padanya? Membayangkan dirinya terbunuh, adalah suatu hal yang selama ini tidak terpikir dalam benaknya. Maka pengalaman itu membuat hatinya terguncang.

"Oh, tidak! Tidaaak! Kau tak boleh membunuhku! Kau tak boleh membunuhku. Aku harus tetap hidup! Aku harus tetap hiduuup...!" teriak Jayadilaga.

"Kau mau tetap hidup, Jayadilaga?" gumam Rangga.

"Iya! Aku mau hidup! Aku harus tetap hidup...!"

"Baiklah. Kukabulkan keinginanmu itu! Tapi, jawab pertanyaanku!"

"Apa itu...?"

"Mengapa kau menuntut ilmu pada Iblis Pemenggal Kepala...?"

"Karena..., karena aku ingin menuntut ilmu kedigdayaan tanpa susah-susah. Dengan hanya memuja iblis sesembahan guruku, aku akan langsung mendapat kesaktian. Dan sebagai tumbalnya, aku harus menodai lima puluh gadis dan membuntungi kepalanya...," papar Jayadilaga.

"Lantas, apa yang kau dapat selama ini?" kejar Rangga.

"Karena baru mendapat tiga puluh lima tumbal, aku baru dapat sebagian isi kitab yang diajarkannya...."

"Lalu imbalan apa yang kau berikan pada Swagira?"

"Aku hanya disuruh mengambil Kitab Batara Karang yang isinya sulit dipelajari. Kitab itu semula disimpan di sebuah gua di Bukit Sabung. Begitu sulit kitab itu untuk kupelajari sendiri, sehingga terpaksa aku meminta Ki Swagira untuk mengajariku...," urai Jayadilaga.

"Hmm.... Siapa pula orang-orang bertopeng yang menjadi pengikutmu selama ini?" tanya Rangga lagi.

"Mereka bekas anak buah Ki Swagira. Setelah aku mendapat tanda kesetiaan, anak buah Ki Swagira percaya kalau aku muridnya...."

"Baik! Sekarang semuanya sudah cukup jelas."

Begitu kata-katanya habis Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat. Tangannya meluncur deras ke tubuh Jayadilaga. Lalu....

Tuk! Tuk! "Ohh...!"

Rangga menotok urat gerak pemuda itu hingga tak berdaya. Namun tindakan Pendekar Rajawali Sakti membuat Ki Sabda Gendeng ngomel-ngomel tak karuan.

"Dasar bocah gendeng! Kenapa tidak dibunuh saja dia? Kalau kau tak mampu membunuhnya, biar aku yang melakukannya!"

"Jangan!" tahan Rangga ketika tongkat Ki Sabda Gendeng siap mengepruk batok kepala Jayadilaga.

"Kenapa? Apa sekarang hatimu lemah mendengar ratapannya?" tukas Ki Sabda Gendeng, tak senang.

"Tidak. Aku punya urusan sendiri dengan ayahnya."

"Urusan apa?"

"Ingin kulihat, apakah Gusti Prabu Arya Dwipa berani menjatuhkan hukuman mati untuknya!"

"Kalau ternyata ayahnya tidak berani menjatuhkan hukuman mati baginya?" tanya laki-laki tua itu.

"Aku yang akan melakukannya di depan ayahnya!" desis Rangga.

"Ha ha ha...! Itu bagus, Sobat, Itu baru sobatku!"

Rangga tersenyum, lalu berpaling pada Marni yang mengenakan pakaian seadanya. "Nisanak! Maukah kau ikut dengan kami ke istana kerajaan?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Untuk apa?" Marni balik bertanya.

"Menjadi saksi atas kebejatan pangeran kerajaan ini. Bersediakan kau?"

"Aku mau asal dia dihukum mati nantinya!" tandas Mami, sambil melirik ke arah Jayadilaga.

"Kita akan lihat, sejauh mana keadilan di negeri ini diterapkan oleh rajamu."

"Baiklah."

"Kita berangkat sekarang juga!"

Maka dengan membawa tubuh Jayadilaga yang terluka di punggung kuda, mereka segera meninggalkan tempat itu.

********************

DELAPAN

Sementara itu di Istana Kerajaan Swarna Pura terjadi keributan. Tawanan utama yang bernama Ki Swagira telah menewaskan beberapa prajurit kerajaan, setelah menjebol pintu penjara. Suara tawanya lantang dan bergema di seluruh dinding bangunan istana. Tanah tempatnya ditahan bergetar seperti dilanda gempa. Dia berhasil keluar dari bawah tanah, tanpa seorang pun yang bisa menahannya!

"Ha ha ha...! Hari ini telah sempuma apa yang kumilikl Dan, tak seorang pun bisa menghalangiku!"

Beberapa prajurit kerajaan yang coba meringkus terpelanting disapu kebutan tangannya. Beberapa prajurit lain yang datang cepat tersapu angin serangan Ki Swagira.

"Hei, Arya Dwipa! Kuperingatkan padamu, suruh kecoa-kecoa ini minggir kalau tidak mau binasa di tanganku...!" teriak tokoh sesat ini menggelegar.

Tapi sebagai jawaban, justru mencelat lima tokoh utama kerajaan di tempat itu. Mereka adalah Ki Pranajaya, Ki Lola Abang, Ki Sedopati. Ki Sanjaya, dan Ki Jayawane.

"Swagira! Kembali ke tempatmu, sebelum kami memaksa!" bentak Ki Sedopati.

"Hua ha ha...! Sedopati! Mulutmu masih juga besar seperti dulu. Harap kau ketahui, selama lima tahun di penjara bawah tanah sana, aku telah memperdalam ilmu-ilmuku dengan Kitab Batara Karang yang berhasil disisipkan ke penjara. Jadi jangan harap kalian bisa meringkusku. Meski jumlah kalian bertambah sepuluh kali lipat, tidak akan mampu berbuat apa-apa!"

"Huh, sombong! Rasakan ini!" Ki Sedopati yang memang sudah panas sejak tadi langsung saja menyerang. Dilepaskannya hantaman tangan beberapa kali disertai mengerahkan tenaga dalam penuh.

"Cari mampus!" dengus Ki Swagira, langsung memapak dengan tangan pula.

Plak! Plak!

Serangan-serangan beruntun yang dilakukan Ki Sedopati dengan mudah ditangkisnya. Seperti menangkis pukulan-pukulan seorang bocah!

"Kalau kau ingin sekali mampus, rasakan ini!" Dengan tiba-tiba kepalan tangan Ki Swagira yang berjuluk Iblis Pemenggal Kepala menghantam ke dada. Ki Sedopati berusaha menangkis.

Plak! Desss...!

"Aaa...!" Aneh pukulan itu terus meluncur. Dan kontan menghantam dada. Laki-laki tua itu menjerit kesakitan. Terdengar tulang dadanya remuk. Dari mulutnya menyembur darah segar. Tubuhnya terjajar ke belakang langsung terhuyung-huyung. Dan sebelum sempat tersungkur ke tanah, Ki Swagira telah mengejar.

"Ini balasan dariku atas penghinaanmu! Hiih!" Iblis Pemenggal Kepala langsung mengibaskan telapak tangannya.

Tes! "Ekh...!"

"Heh?!"

Kejadian itu begitu cepat dan mengejutkan semua pihak yang menyaksikannya. Dengan sisi telapak tangan, Iblis Pemenggal Kepala menebas leher Ki Sedopati yang hanya sempat menjerit tertahan. Saat itu juga kepala pejabat kerajaan ini menggelinding ke tanah dengan darah menyembur dari leher.

"Biadab!"

"Terkutuk...!"

Sumpah serapah segera keluar dari mulut tokoh-tokoh kerajaan lainnya. Namun Ki Swagira malah terkekeh kegirangan.

"He he he...! Hanya itu yang bisa kalian lakukan? Menyumpah dan memaki?"

"Bangsat! Kau harus mampu sekarang juga!" Ki Lola Abang menggeram. Dengan tongkat mautnya diserangnya Ki Swagira. Dan yang lain pun segera mengikut.

Mereka adalah tokoh utama kerajaan berkepandaian yang rata-rata cukup tinggi. Namun mereka juga menyadari kalau Iblis Pemenggal Kepala bukanlah tokoh rendah. Dulu saja mereka bersusah-payah meringkusnya. Itu pun dengan bantuan Ki Jagat Awang, seorang tokoh tua yang berilmu tinggi.

Tapi, Ki Jagat Awang kini entah berada di mana. Dan kalaupun ada, rasanya tak akan sudi membantu karena Gusti Prabu Arya Dwipa telah menghukum keponakannya, yaitu Kebo Bangah.

(Baca Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah Utusan Dari Andalas)

Menghadapi keroyokan empat lawan, serta puluhan prajurit yang mengurung rapat, sama sekali tidak membuat Ki Swagira gentar. Dengan bertangan kosong dia malah berada di atas angin.

Tak!

"Aaakh...!" Ki Lola Abang mengeluh ketika Iblis Pemenggal Kepala menepis tongkatnya dengan tangan. Dan mestinya, tangan Ki Swagira yang remuk. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Tangan Ki Lola Abang yang terasa kesemutan. Dan itu membuktikan kalau tenaga dalam tawanan ini tak bisa dibuat main-main.

Belum lagi Ki Lola Abang sempat menyadari selanjutnya, tiba-tiba saja tubuhnya seperti tersedot ketika Iblis Pemenggal Kepala menarik tongkatnya kuat-kuat. Tak ada jalan lain baginya untuk selamat selain melepaskan senjata andalannya. Tapi sebelum dilakukan, Ki Swagira telah menghentakkan tangan kirinya.

Desss...!

"Aaakh...!" Satu hantaman telak menggedor dada, membuat Ki Lola Abang kontan terpekik. Tubuhnya terjungkal ke belakang disertai semburan darah segar.

"Heaaa...!" Ki Sanjaya menggeram. Golok besarnya langsung menebar leher Iblis Pemenggal Kepala. Namun dengan tak disangka-sangka, Ki Swagira mengayunkan tangan.

Tak! Plas!

Golok itu terpental dari genggaman Ki Sanjaya. Bahkan mendadak, sikut Ki Swagira cepat menyodok ke dada.

Krak!

"Aaakh...!" Ki Sanjaya menjerit kesakitan ketika tulang dadanya terasa patah. Sebelum sempat terhempas ke belakang, Ki Swagira menghantamkan kepalan tangan ke jidatnya.

Prak!

Kontan Ki Sanjaya terlempar tidak berdaya. Begitu menyentuh tanah, nyawanya melayang dengan kepala remuk.

"Biadab!" dengus Ki Pranajaya. Saat itu juga, lelaki tua ini menyerang Ki Swagira. Demikian pula yang dilakukan Ki Jayawane.

"Heaaa...!"

Ki Swagira melejit ke atas seringan kapas. Begitu meluruk, dia langsung balas menyerang. Pukulan Iblis Pemenggal Kepala membuat kedua lawannya terkejut dan pontang-panting menyelamatkan diri. Dan sebelum mereka menjejakkan kaki ke tanah, Ki Swagira telah berkelebat menyerang Ki Jayawane.

"Ki Jayawane, awaaas...!" teriak Ki Pranajaya memperingatkan. Ki Pranajaya cepat menghentakkan tangannya, melepaskan pukulan jarak jauh untuk melindungi kawannya.

Tapi enak sekali Ki Swagira menepis dengan kibasan telapak tangan kiri, tanpa melepaskan perhatian pada Ki Jayawane. Sementara pukulan Ki Pranajaya kandas dihempas gelombang angin kencang laksana badai topan.

Kini tak ada seorang pun yang bisa menyelamatkan Ki Jayawane dari incaran. Meski telah mengibaskan tombak, namun dengan mudah Ki Swagira menepisnya. Tombak itu terpental dan telapak tangannya terkelupas. Ki Jayawane terkesiap, pasrah menerima maut.

"Kau akan menyusul kawan-kawanmu di neraka! Ha ha ha...!" Sambil berkata demikian, Iblis Pemenggal Kepala siap menyabetkan tangannya.

"Ki Swagira! Lihat ke sini!" Tiba-tiba terdengar teriakan dari belakang.

"Hmmhh...!" Ki Swagira membatalkan serangan. Dan tanpa menoleh lagi, dilepaskannya pukulan jarak jauh ke belakang.

Deb!

"Hem!" Iblis Pemenggal Kepala menggumam tak jelas ketika, kali ini pukulan yang dilepaskannya berbalik menghantam meskipun dengan tenaga lemah. Namun itu telah cukup mengalihkan perhatiannya.

Tanpa mempedulikan Ki Jayawane, Iblis Pemenggal Kepala berbalik dan mengawasi seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan gagang pedang menyembul dari punggungnya.

Tidak jauh darinya, terlihat seorang laki-laki tua menyandang bumbung tuak dan membawa tongkat bambu hitam. Juga terdapat seorang gadis desa dan seorang pemuda yang terkulai tak berdaya di punggung seekor kuda. Dari mulut dan hidungnya terus meneteskan darah segar.

"Anakku Jayadilaga...!" Terdengar teriakan seorang wanita setengah baya. Diikuti Gusti Prabau Arya Dwipa serta tiga putra-putrinya, wanita itu tergopoh-gopoh menghampiri Jayadilaga.

"Tetap ditempat kalian!" bentak Rangga garang, ketika orang-orang itu hendak mendekati Jayadilaga.

"Rangga! Apa yang terjadi dengan anakku? Kenapa dia?!" teriak wanita yang tak lain Permaisuri Gusti Prabu Arya Dwipa dengan wajah cemas. Air mata wanita ini mulai menetes. Dan perlahan-lahan didekatinya Jayadilaga.

"Jangan coba-coba mendekatinya!" bentak Rangga kembali, membuat langkah permaisuri surut. "Aku tidak peduli siapa pun orangnya. Tapi siapa pun yang coba-coba menolongnya, maka jangan salahkan kalau aku akan bertindak keras padanya!"

"Rangga...?!" sapa Gusti Prabu Arya Dwipa.

"Hm!" Pendekar Rajawali Sakti tegak berdiri di tempatnya dengan wajah penuh perbawa. Sama sekali kepalanya tak menoleh ketika Gusti Prabu Arya Dwipa coba menyapa.

"Bocah keparat! Jangan bertingkah di depanku. Kau kira bisa berbuat seenaknya pada muridku?!" dengus Iblis Pemenggal Kepala. Ki Swagira mendengus geram. Dan mendadak, dia lompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

"Sobat! Jaga tawanan kita! Jangan biarkan seorang pun menyentuhnya!" desis Rangga pada Ki Sabda Gendeng.

Sebelum orang tua itu sempat menjawab, Pendekar Rajawali Sakti telah meluncur sambil berputar seperti gasing. Langsung dipapakinya serangan Ki Swagira.

Jder!

"Uhh...!" Sesaat terdengar suara keras ketika kedua pukulan beradu. Mereka sama-sama mencelat ke belakang untuk mengatur jarak dan jalan napasnya. Bahu masing-masing turun naik dengan cepat, karena merasakan kedahsyatan tenaga dalam satu sama lain.

"Hm.... Hebat juga kau, Bocah! Tapi jangan dikira Iblis Pemenggal Kepala bisa ditaklukkan!" desis Ki Swagira.

Ki Swagira itu memandang Rangga tak berkedip. Lalu, kedua telapak tangannya dirangkapkan, menempel ke dada. Bibirnya berkerut menahan geram.

"Heaaa...!" Disertai bentakan keras, Ki Swagira menyorongkan telapak tangannya ke depan. Tidak terasa ada angin kencang, juga hawa panas atau dingin. Tidak juga terdengar suara mendesis atau hingar-bingar. Namun, Rangga melompat kalang-kabut menghindari sesuatu yang membuat sebagian orang-orang di tempat itu kaget.

"Hm.... Percuma saja kau mengumbar pukulan 'Remuk Garba'. Aku sudah mengetahuinya!"

"Keparat! Kau akan mampus dengan pukulanku ini!"

"Jangan terlalu berharap, Kisanak!" Rangga telah telah memasang kuda-kuda kokoh. Dibuatnya beberapa gerakan tangan dengan tubuh miring ke kiri dan ke kanan. Tepat ketika tubuhnya tegak kembali. Kedua telapaknya yang telah bersinar biru berkilau telah menyatu di depan dada.

"Heaaa...!" Begitu Ki Swagira melepaskan pukulan kembali, Rangga telah siap memapaki disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Heaaa...!" teriak Rangga seraya mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'.

Disertai teriakan menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua telapak tangannya. Sinar biru berkilau langsung meluncur ketika aji 'Cakra Buana Sukma' terlepas. Suaranya membahana laksana semilir puluhan duan kelapa yang tertiup angin.

Blap!

Cahaya biru terang yang melesat kearah Ki Swagira seperti membentur sesuatu. Tertahan sebentar, tapi perlahan-lahan terus maju ke arah Iblis Pemenggal Kepala.

"Keparat! Rupanya kau Pendekar Rajawali Sakti?!" desis Ki Swagira dengan wajah berkerut.

Perlahan namun pasti, cahaya biru milik Pendekar Rajawali Sakti terus mendesak ke arah Ki Swagira. Bahkan perlahan-lahan makin menyelubungi tubuh Iblis Pemenggal Kepala.

"Heh...?!" Ki Swagira terkejut. Dan secepat kilat dia berusaha mengerahkan tenaga dalamnya untuk menaklukkan sinar biru yang seperti mengekangnya. Namun semakin dia mengerahkan tenaga dalam sekuat mungkin, justru kekuatannya makin tertersedot.

"Heaaat...!" Rangga tak memberi kesempatan. Aji Cakra Buana Sukma segera dilipatgandakan.

"Kurang ajar, kau bocah! Lepaskan aku! Kita bertarung sampai mati!" teriak Iblis Pemenggal Kepala kalap, menyadari kekuatannya semakin lama semakin berkurang saja.

"Hiyaaa...!" Bersamaan dengan itu Rangga melenting sambil menarik gagang Pedang Pusaka Rajawali Sakti di punggung.

Sring!

Begitu pedang tercabut, Rangga meluruk deras. Saat itu juga pedang yang bersinar biru berkilau berkelebat. Dan....

Crasss...!

Tanpa bisa menjerit lagi, kepala Iblis Pemenggal Kepala menggelinding ditebas pedang pusaka milik Pendekar Rajawali Sakti. Darah langsung menyembur deras dari leher. Sebentar tubuhnya limbung. Tepat ketika Rangga mendarat sambil memasukkan pedang, Ki Swagira ambruk dan tewas seketika. Suasana di tempat itu seketika sepi.

"Jayadilaga adalah murid Swagira...! Dia secara diam-diam menyusupkan Kitab Batara Karang ke penjara, lalu ikut mempelajari kitab itu. Dan dialah petaka pembunuhan selama ini, untuk menuntut ilmu dari Swagira! Lantas, dia ku tangkap ketika tengah melakukan perbuatan kejinya. Gadis ini menjadi saksi bahwa aku tak berdusta. Siapa kini yang coba-coba membelanya?!" teriak Rangga lantang.

"Anakku pembunuh! Oh, tidak! Tidaaakkk...!" jerit Permaisuri Gusti Prabu Arya Dwipa dengan air mata berlinang. Dan seketika dia memeluk suaminya.

Yang lain terhenyak mendengar berita yang disampaikan Rangga. Meski mereka semua mengetahui kalau pangeran yang satu itu doyan perempuan, tapi tidak seorang pun pernah menduga kalau ternyata juga pembunuh keji.

"Gusti Prabu! Kini kau telah tahu duduk persoalannya. Dan setelah jelas semuanya, maka aku datang kepadamu membawa bukti-bukti nyata. Kini, apa keputusanmu?!"

"Rangga! Aku tak bisa mempercayai kata-katamu begitu saja, sebelum mengadakan pemeriksaan lebih teliti...."

"Jika ternyata putramu bersalah, hukuman apa yang hendak kau jatuhkan?!"

"Hukuman mati!" sahut Gusti Prabu Arya Dwipa, berusaha menahan debur di hatinya yang semakin kencang.

"Ohh...?!"

"Kakang...?!"

Semua orang yang mendengar keputusan Gusti Prabu Arya Dwipa terkejut. Demikian pula halnya Gusti Permaisuri. Saking hebatnya rasa terkejut di hati, membuatnya tak sadarkan diri. Putri Mayang buru-buru memapahnya dan membawanya ke dalam. Sementara itu suasana di tempat itu masih terlihat tegang.

"Gusti Prabu! Aku berterima kasih atas keputusanmu yang bijaksana. Kalau saja tidak memandangmu, putramu pasti sudah binasa di tanganku. Kini kuserahkan dia padamu. Dan, harap adakan pengadilan yang setimpal untuknya. Aku akan mencari orang-orang yang pernah menyaksikan kebejatannya sebagai saksi."

Setelah berkata begitu, Rangga segera menurunkan Pangeran Jayadilaga dari punggung Dewa Bayu dan menyerahkannya pada seorang prajurit. Kemudian, dia sendiri melompat ke punggung kudanya. Sedangkan Marni ikut di belakangnya.

"Gusti Prabu, aku mohon diri dulu...!"

"Tunggu!" teriak Gusti Prabu Arya Dwipa menahan.

"Hm...!" Namun ketika Pendekar Rajawali Sakti, Ki Sabda Gendeng, dan Marni menatap, Gusti Prabu Arya Dwipa tak kuasa berkata sepatah kata pun.

"Gusti Prabu...! Kalau kau menganggap ku sebagai musuh, aku menerimanya. Dan kalau tetap menganggapku sahabat, itu yang terbaik. Tapi, kebenaran mesti ditegakkan meski sepahit apa pun. Dan aku akan mendengar terus, apa yang akan kau lakukan. Jika ternyata putramu tak bersalah, kau boleh membebaskannya. Namun jika terbukti bersalah dan kau menutup-nutupinya, aku akan datang dan menghukumnya dengan caraku sendiri!" tandas Pendekar Rajawali Sakti.

Setelah berkata demikian, Rangga menggebah kuda. Sementara Ki Sabda Gendeng ikut berkelebat dari tempat ini.

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: RATU ALAM BAKA