Ratu Alam Baka - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

RATU ALAM BAKA

SATU

HUJAN deras senja tadi masih menyisakan air di ujung‐ujung dedaunan. Tanah di sepanjang jalan sunyi menuju Pemakaman Keramat Sokalarang pun masih tergenang air. Kegelapan menyelimuti alam sekitarnya. Di atas langit sana, bulan purnama bersembunyi di balik gerumbulan awan hitam.

Sementara dua sosok bayangan hitam yang tengah menyelusuri jalan menuju ke makam keramat di ujung Desa Sokalarang itu seperti tak mengenal rasa takut. Langkah mereka tergesa-gesa dengan napas terengah-engah. Agaknya kedua sosok yang ternyata berbaju serba hitam ini baru saja melakukan perjalanan sangat jauh. Namun anehnya, di tangan masing‐masing terdapat sebuah cangkul.

“Kita hampir sampai, Balaga!” bisik sosok bertubuh pendek, menghentikan langkahnya.

“Benar, Sambika! Tapi semakin dekat, semakin banyak bahaya yang akan dihadapi! Kita harus bersikap waspada!” sahut sosok berbadan jangkung bernama Balaga, juga menghentikan langkah.

Balaga langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling. Seakan dia khawatir kehadiran mereka telah diketahui orang lain.

“Jangan takut, Balaga! Kita telah banyak melakukan pembunuhan. Aku yakin, kuncen pemakaman ini tidak akan banyak tingkah terhadap kita,” ujar Sambika membesarkan semangat kawannya.

“Aku tidak pernah merasa takut pada siapa pun! Apalagi hanya terhadap seorang kuncen seperti Paratama. Dia tidak ada apa‐apanya!” dengus Balaga penuh keyakinan.

“Bergegaslah! Kita sudah hampir sampai!” ujar Sambika tidak sabar lagi.

Maka tanpa membuang-buang waktu mereka segera berlari kembali. Tidak sampai sepemakan sirih, mereka sudah tiba di depan gerbang Pemakaman Keramat Sokalarang. Suasana tempat ini terasa lebih sunyi dan mencekam. Begitu sunyinya, sehingga degup jantung pun terasa jelas terdengar.

Kedua orang ini kemudian mulai mengedarkan pandangan kembali sambil terus memperhatikan seluruh sudut makam. Puluhan bahkan ratusan nisan tampak tegak membisu, berjajar dalam barisan rapi.

“Sebaiknya kita nyalakan obor dulu!” usul Balaga mengingatkan.

Laki‐laki berbadan pendek berpakaian serba hitam mengangguk setuju. Segera dinyalakannya obor kecil yang dibawa. Maka tempat di sekitar makam keramat ini jadi terang benderang. Batu nisan langsung diperiksa satu demi satu.

“Ini dia...!” seru Sambika. Balaga segera menghampiri. Segera dibacanya tulisan di atas batu nisan. Setelah merasa yakin barulah cangkul yang dipegangnya diayunkan ke tanah. Tindakannya diikuti Sambika.

Crak! Crak!

Terdengar suara mata pacul menghujam tanah. Namun baru beberapa kali mereka melakukan penggalian.

Set...!

“Awas...!” teriak Balaga, sambil melompat ke belakang ketika sebuah sinar hijau melesat cepat ke arah mereka. Malang bagi Sambika. Baru saja dia hendak melompat, sinar biru telah lebih dulu menghantam tangannya.

Crasss...!

“Aaakh...!” Laki‐laki berbadan pendek kontan terlempar disertai jerit kesakitan! Dengan tertatih‐tatih, Sambika beranjak bangkit. Obornya langsung mati, terlempar entah ke mana. Sehingga, hanya obor milik Balaga yang masih menyala, membuat suasana jadi remang‐remang.

“Tanganku.... Ohh..., siapa yang melakukannya..!” desis laki-laki pendek ini.

Sementara, Balaga langsung menghampirinya. Sambika dan Balaga langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan sikap waspada. Tapi tidak ada sesuatu pun yang mencurigakan disitu. Sampai akhirnya....

“Ha ha ha...!”

Mendadak terdengar suara tawa berkepanjangan, yang disusul melesatnya sosok tubuh ke arah mereka. Hanya dalam beberapa kejap saja bayangan itu telah berdiri tegak sejauh dua batang tombak dari Balaga dan Sambika.

Balaga dan Sambika memandang tegang pada sosok yang ternyata memakai topeng hitam pakaiannya juga hitam. Sehingga wajahnya sulit dikenali.

“Siapa kau?!” desis Sambika curiga.

“Hik hik hik...! Sepantasnya akulah yang bertanya, siapa kalian,” dengus orang bertopeng tidak senang.

“Kami Sepasang Pacul Maut dari Pasundan! Maka, jangan ganggu urusan kami!” kata Balaga.

“Huh! Kalian tidak punya kekuasaan apa‐apa untuk melarangku. Tidak seorang pun yang akan kubiarkan menggali kubur yang satu ini!” dengus orang bertopeng.

“Apakah kau kuncen yang bemama Paratama?”

“Kalian tidak pantas untuk mengetahuinya!” dengus laki‐laki bertopeng itu sengit.

Tiba-tiba saja orang bertopeng ini mengibaskan kedua tangannya ke arah dua laki-laki yang mengaku berjuluk Sepasang Pacul Maut. Seketika dua leret sinar hijau melesat ke arah Sepasang Pacul Maut. Hawa panas langsung menyambar.

Namun, kedua laki‐laki berbaju serba hitam ini menyambut serangan dengan menyorongkan mata pacul.

Breng!

Suara keras terdengar ketika sinar yang melesat dari tangan orang bertopeng menghantam punggung mata pacu. Dan akibatnya, Sepasang Pacul Maut terpelanting roboh. Dari sini bisa diduga kabu tenaga dalam mereka berada di bawah orang bertopeng itu. Sepasang Pacul Maut menggeram marah. Mereka segera bangkit berdiri. Dan secara bersamaan mereka membangun serangan kembali, menggunakan jurus-jurus andalan.

“Heaaa...!”

Wuuuttt..! Wuuuttt...!

Kali ini kedua pacul itu berkelebatan menghantam kepala dan punggung orang bertopeng. Begitu cepatnya serangan mereka, sehingga menimbulkan desir angin yang terasa memedihkan mata.

Secepatnya orang bertopeng ini meliukkan tubuhnya, seraya menggeser langkahnya ke samping kiri. Namun, kedua pacul itu terus mengejarnya ke mana pun tubuhnya bergerak.

Wuuuttt...!

Dan ketika dua mata pacul meluruk deras ke arah dada, orang bertopeng itu mencondongkan tubuhnya ke belakang dengan tangan terangkat, hendak menangkap gagang pacul.

Tap! Tap!

Kedua gagang pacul berhasil dicekal orang bertopeng. Dan sambil menarik, kedua kakinya terjulur menghantam perut Sepasang Pacul Maut

Des! Des!

“Wuaaakh...!” Sepasang Pacul Maut terlempar ke belakang. Mereka memegangi penjt yang terasa mual bukan main. Namun secepatnya mereka bahgkit kembali. Dan hanya dalam waktu singkat, kedua orang ini telah melakukan serangan gencar.

“Hiyaaa..!” teriak Sepasang Pacul Maut seraya mengeluarkan pukulan Bangau Berkubang Lumpur dengan mendorongkan kedua tangan ke depan.

Wuuuss...!

Dua larik sinar putih langsung berkeiebat, mengarah ke sasaran. Tetapi sebelum kedua sinar itu sampai, orang bertopeng juga telah mengibaskan tangannya. Akibatnya....

Glarrr!

“Wuaaah...!”

Suara ledakan keras terdengar, disertai kepulan asap tebal serta percikan bunga api. Tampak jelas tiga sosok tubuh terlempar ke belakang. Jika orang yang memakai topeng hitam itu masih dapat menjejakkan kakinya dengan manis, maka Sepasang Pacul Maut jatuh terguling-guling. Agaknya, mereka menderita luka dalam yang cukup parah. Sedangkan dari mulut tampak menetes darah kental berwarna hitam.

“Bukan kalian saja yang kukirim ke neraka. Siapa pun yang berani menyambangi tempat ini harus mati!” gertak orang bertopeng, mendesis.

Tiba‐tiba saja orang bertopeng ini menjentikkan jemari tangannya ke arah kedua lawannya. Dalam kegelapan itu, terdengar suara desiran halus. Tampak tiga buah benda‐benda hitam melesat ke arah Sepasang Pacul Maut. Serangan ini tidak sempat terlihat kedua laki‐laki berpakaian serba hitam. Sehingga....

Jresss!

“Aaa...!” Tepat sekali senjata rahasia itu menghujam ke jantung Sepasang Pacul Maut. Mereka kontan menjerit kesakitan. Tubuh mereka melejang sekejap, lalu terdiam. Mati!

Laki‐laki bertopeng hitam ini segera menjalankan tugasnya. Diseretnya mayat Sepasang Pacul Maut untuk dibawa ke gerbang Pemakaman Keramat Sokalarang.

********************

Gunung Wilis berdiri angkuh, seakan hendak menggapai langit. Tak jauh dari lerengnya, membentang sebuah lembah yang sangat dikenal sebagai Lembah Seribu Duka yang sejak dulu menjadi tempat tinggal. kaum pendekar golongan putih.

Selama bertahun-tahun, keberadaan mereka tidak pernah terusik. Kalangan persilatan tak asing lagi dengan nama‐nama seperti Kaswatama, Dewi Kunti, Ki Sumping, Erlangga, dan Gagak Lamar. Mereka adalah lambang kekuatan yang sangat disegani baik kawan maupun lawan.

Sesuatu yang sangat bertentangan dengan kodrat sebagai manusia adalah, kelima orang tokoh persilatan ini tidak pernah menikah atau berumah tangga sepanjang hidupnya. Konon, mereka dulu sewaktu masih muda selalu mengalami patah hati dan gagal dalam menjalin asmara. Begitu pahitnya kisah cinta mereka, sehingga bersumpah untuk tidak akan pernah lagi jatuh cinta pada lawan jenisnya.

Sungguhpun Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka telah mengasingkan diri dari dunia persilatan, tetapi tidak jarang salah seorang yang meninggalkan tempat kediaman untuk berkelana selama beberapa purnama. Memang, bagaimanapun, mereka adalah orang‐orang yang cinta perdamaian. Sehingga wajar bila Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka selalu mengikuti perkembangan yang terjadi pada masa ini.

Hari ini setelah dua purnama kembali dari perjalanan jauh, Kaswatama memanggil semua pendekar yang berdiam di Lembah Seribu Duka. Hal seperti ini bukanlah kebiasaannya, karena pada waktu‐waktu sebelumnya orang tertua dari Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka selalu tidur sampai berpekan-pekan, setelah melakukan perjalanan sangat jauh.

Empat Pendekar lainnya kini telah menghadap sesepuh dari Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka itu. Dewi Kunti, Ki Sumping, Erlangga, dan Gagak Lamar mengerutkan kening ketika melihat Ki Kaswatama tampak murung. Walaupun saat itu berusaha tersenyum menyambut kedatangan rekan-rekannya, namun senyumnya terasa hambar, seperti dipaksakan.

“Bagaimana, Ki. Apakah perjalananmu kali ini menyenangkan?” tanya Ki Sumping.

“Aku memanggil kalian semua, karena ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi,” jelas Ki Kaswatama.

“Maksudmu? Apakah ada pengacau yang telah membuat kerusuhan di bagian tengah tanah Jawa ini?” tanya Erlangga, penasaran.

Ki Kaswatama menggelengkan kepala. “Yang ini, sebenarnya cukup lucu. Aku sedih, tetapi anehnya ingin tertawa. Aku merasa geli, tapi ingin menangis. Kita di sini adalah orang-orang yang pernah merasakan pahit getirnya asmara. Itu sebabnya, kita telah berjanji untuk tidak jatuh hati lagi pada siapa pun. Benar, bukan?”

“Mengenai ucapanmu itu, kami semua telah tahu. Lalu, apa yang membuatmu sedih?” tanya Dewi Kunti, tak sabar. Perempuan berbadan ramping ini berumur kurang lebih empat puluh tahun. Namun, wajahnya masih tetap cantik. Kulitnya halus. Tatapan matanya setajam burung elang.

“Berita yang kubawa ada hubungannya denganmu!” tegas Ki Kaswatama. “Kalian mungkin tidak percaya jika kukatakan ada orang yang tergila-gila pada Dewi Kunti. Karena gilanya, sampai‐sampai di batang pohon, di warung‐warung, bahkan di setiap tempat kulihat sebuah pesan yang menggelikan!”

“Pesan apa? Jangan membuat kami penasaran, Ki!” desis Erlangga.

Ki Kaswatama tidak segera menjawab. Malah segera diambilnya selembar kulit yang tampak halus pada bagian permukaannya. Kemudian diserahkannya gulungan kulit itu pada Dewi Kunti.

Namun perempuan setengah umur ini tidak langsung menerimanya. Keningnya berkerut dalam ketika melihat permukaan kulit tersebut. “Bukankah ini kulit manusia?” tanya Dewi Kunti dengan terkejut.

“Betul! Semua pesan ditulis di atas kulit orang yang sudah mati. Aku tidak tahu, berapa kuburan yang harus dibongkar untuk diambil kulitnya. Tetapi pesan itu jelas ditujukan untuk dirimu, Dewi!” tegas Ki Kaswatama.

“Orang mati hanya meninggalkan tulang‐belulang. Kurasa, penulis pesan itu membunuh orang‐orang tidak berdosa untuk diambil kulitnya!” timpal Gagak Lamar, merasa yakin dengan dugaannya.

“Sudahlah, jangan banyak bicara. Sebaiknya, baca tulisan di dalam kulit itu!” ujar Ki Kaswatama.

Dewi Kunti dengan hati-hati segera membuka kulit dari orang yang sudah mati itu. Dewi Kunti.... Kubiarkan seluruh dunia tahu tentang cinta kita yang gagal di tengah jalan. Kau dan kawan‐kawanmu telah melahirkan sebuah penderitaan bagiku. Keputusanmu adalah kehancuran dalam hidupku. Tetapi ingat! Sebelum aku benar‐benar hancur, kalian akan melihat betapa pembalasanku akan membuat seluruh manusia di rimba persilatan akan menderita.

Hanya itu saja. Tidak ada tanda, siapa yang membuat selembaran yang dianggap Dewi Kunti sangat memalukan itu. Wajah perempuan itu tampak berubah dingin. Sebeku tatapan matanya yang berkilat‐kilat.

“Kurasa hanya orang gila yang menulis pesan memalukan ini. Jauh-jauh kau melakukan perjalanan, kiranya hanya berita sialan ini yang dibawa pulang, Ki Kaswatama!” dengus Dewi Kunti. “Lebih baik aku bermain-main dengan undur‐undur, daripada berbincang‐bincang dengan tua gila sepertimu!”Dewi Kunti bangkit berdiri berniat meninggalkan ruangan.

Namun sebelum benar‐benar pergi, Ki Kaswatama telah memberi isyarat padanya untuk duduk kembali. “Aku sudah bosan duduk di sini. Kalian semua tahu, bagaimana perasaanku…!” dengus Dewi Kunti.

“Memang kami percaya. Tapi, ada beberapa hal yang belum kusampaikan kepadamu. Juga, kepada kalian semua!” jelas Ki Kaswatama dengan sikap lebih tegas lagi.

“Coba katakanlah!” desak Gagak Lamar.

“Sejak selebaran ini tersebar di mana‐mana, kudengar ada beberapa orang dari rimba persilatan baik dari golongan hitam maupun putih pergi ke makam keramat di Desa Sokalarang. Tetapi mereka tidak pernah kembali ke daerah asal masing-masing. Bahkan pendekar‐pendekar aliran putih hilang secara aneh dari tempat tinggalnya. Sepertinya ada satu kelompok yang menculik mereka!” jelas Ki Kaswatama.

“Lalu, apa hubungannya dengan diriku?” tanya Dewi Kunti, semakin tak mengerti.

“Hubungannya mungkin saja ada. Pesan itu, siapa pun yang membuatnya, aku ingin agar kau mengingat siapa orang terakhir yang pernah menjalin cinta denganmu!”

“Gila!” dengus Dewi Kunti. Wajah perempuan yang masih kelihatan cantik ini seketika berubah memerah. “Begitu banyak laki‐laki dulu jatuh cinta padaku. Tetapi, tidak satu pun yang sesuai keinginanku. Itu sebabnya, aku memilih tetap hidup menyendiri sampai mati,” tegas Dewi Kunti.

“Ya! Aku ingin kau mengingatnya kembali!” Ki Kaswatama mengulangi pernyataannya.

“Aku tidak dapat mengingatnya. Mereka semua masih hidup. Jadi, sulit kutebak siapa yang menulis pesan ini.”

“Sebaiknya kita pergi ke Padepokan Camar Putih. Kurasa, ketua Padepokan itu tahu tentang Pemakaman Keramat Sokalarang, mengingat daerahnya yang cukup dekat dengan makam itu,” usul Erlangga, menengahi.

“Kau mengenalnya?” tanya Gagak Lamar.

“Ya! Ki Sidarata dulu pernah minta bantuanku, ketika terjadi kerusuhan di padepokannya. Kuharap beliau masih ingat denganku,” sahut Erlangga.

“Kapan kita berangkat?” tanya Ki Kaswatama.

“Kurasa sebaiknya besok pagi saja. Di lembah ini sebentar lagi akan turun kabut tebal. Selain itu, aku tidak mau kemalaman di jalan,” Jawab Erlangga.

Semua orang yang berkumpul di tempat kediaman Ki Kaswatama mengangguk setuju. Namun pada waktu yang bersamaan pula....

“Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka...,” terdengar teriakan dari luar pondok. “Kami datang menjalankan perintah. Kuharap kalian tidak pengecut seperti dugaan ketua kami"

Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka sama‐sama terkejut. Bukan karena suara teriakan tadi, tapi karena heran mengingat untuk sampai ke Lembah Seribu Duka tidak mudah dan banyak perangkap. Mereka menduga, pastilah orang‐orang yang datang di luar sana mempunyai kepandaian sangat tinggi.

“Biarkan aku yang mengatasi tamu-tamu tidak diundang itu!” tegas Ki Kaswatama.

“Enak saja! Sudah bertahun-tahun tanganku gatal‐gatal ingin bertarung. Sekarang tiba giliranku untuk ikut merayakan pesta!” sergah Gagak Lamar, yang memang bersifat sedikit berangasan.

DUA

Tanpa menunggu lama lagi, Ki Kaswatama segera bergegas keluar. Sementara, empat orang pendekar lainnya ikut menyusul pula. Ketika Ki Kaswatama sampai di depan pintu pondok, tampak tiga orang pemuda telah berdiri di sana dengan sekujur tubuh bersimbah darah. Mereka sama sekali tidak tampak menderita, walaupun dipenuhi luka‐luka. Tampaknya, perangkap‐perangkap yang dipasang di sekeliling lembah oleh, Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka telah mengenai sasaran.

“Sambutan yang kami terima sangat jelek, Ki Kaswatama. Tetapi demi tugas, apa pun rintangannya tetap kami jalani!” kata salah satu dari ketiga orang ini, menyindir tentang perangkap yang dibuat Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka.

“Bagaimana kalian bisa mengenaliku?” tanya Ki Kaswatama tanpa dapat menutupi rasa terkejut. Sementara itu empat pendekar lainnya telah berada di belakang Ki Kaswatama. Tampaknya mereka juga terkejut, seperti halnya Ki Kaswatama.

“Semua lawan yang harus dimusnahkan telah dimasukkan dalam daftar hitam kematian oleh ketua kami!” jawab orang yang berada paling depan.

“Siapa ketua kalian?” serobot Dewi Kunti.

“Kami tidak boleh bicara apa-apa, terkecuali melakukan tugas sebaik-baiknya!”

Begitu tuntas kata‐katanya, orang-orang yang telah terluka akibat terkena perangkap di Lembah Seribu Duka kemudian menerjang Ki Kaswatama dengan serangan-serangan beruntun yang cukup ganas. Para pemuda yang terluka ini tampaknya memang dikendalikan sebuah kekuatan dari jarak jauh. Terbukti, walaupun sudah kehabisan darah oleh luka-luka yang diderita, ketiganya tidak mati. Bahkan terus menyerang dahsyat.

Namun Ki Kaswatama bukanlah tokoh kemarin sore. Ilmu olah kanuragannya sangat tinggi, di samping, kesaktiannya yang telah mumpuni. Sehingga ketika mendapat tekanan dari tiga orang lawan, segera dikerahkannya ilmu meringankan tubuhnya untuk menghindari setiap serangan.

Melihat serangan selalu gagal, lama kelamaan ketiga pemuda itu menjadi gusar juga, Mereka menjadi marah. Segera ketiganya meloloskan sebuah cambuk dari pinggang. Pada bagian ujung cambuk, terdapat sebuah mata pisau yang mempunyai ketajaman pada kedua sisinya.

“Kau harus mati di tangan kami!” teriak salah seorang pemuda yang bertubuh kekar sambil menerjang ke depan dengan cambuk dilecutkan.

"Tar!

Bagian ujung cambuk tampak meliuk-liuk ke arah Ki Kaswatama.

“Hup...!” Cepat bagai kilat laki‐laki berumur hampir enam puluh lima tahun ini segera melompat ke udara. Pada saat yang sama, telapak tangannya yang terkembang, menyambut ujung cambuk.

Trep!

Dengan gerakah sangat luar biasa, cambuk itu berhasil ditangkap Ki Kaswatama. Langsung disentaknya cambuk itu, hingga terlepas dari pegangan lawan. Sementara itu, empat pendekar yang memperhatikan jalannya pertarungannya jadi tak sabar.

“Sungguh memalukan! Hanya menghadapi manusia yang sudah menjadi bangkai saja, kalang kabut begitu!” teriak Dewi Kunti.

“Betul! Kita sudah bosan menunggu di sini. Atau kalau memang tidak punya kemampuan, lebih baik mundur saja. Biar aku yang membereskannya,” cemooh Gagak Lamar.

Ki Kaswatama diejek begitu jelas menjadi panas kupingnya. Apa lagi, dia termasuk orang tua. Begitu mendarat di tanah, cambuk yang berhasil dirampasnya tadi dilemparkan. Dan sekerika kedua tangannya digosok-gosok satu sama lain. Dari telapak tangannya kemudian tampak keluar kabut putih, menebarkan bau harum yang sangat menusuk. Lalu....

“Hiyaaa...!” teriak Ki Kaswatama, seraya mengerahkan pukulan Menebar Petaka Menuai Bencana dengan mendorongkan kedua tangannya ke tiga penjuru arah. Saat itu juga, tampak melesat tiga leret sinar kuning kehijau-hijauan ke arah tiga pemuda. Mereka berusaha menghindar, namun kalah cepat. Akibatnya....

Blarr! Blaarrr!

“Hegkh...!” Ketiga pemuda ini terjajar disertai keluhan tertahan. Sebagian wajah mereka hangus terkena pukulan Ki Kaswatama. Namun, secepatnya mereka menyerang kembali dengan serangan‐serangan beruntun yang cUkup ganas. Laki-laki tua ini jelas tidak memberi hati lagi pada mereka.

Saat tendangan mereka menghantam bagian ulu hati, Ki Kaswatama meliukkan tubuhnya sambil melompat ke samping kanan. Tetapi pada waktu bersamaan, dari arah kanan salah seorang lawan menghantam telapak tangan terbuka. Begitu cepat gerakannya, sehingga tidak ampun lagi...

Buk!

“Heh...?!” Laki‐laki berambut putih ini kontan terhuyung‐huyung dengan wajah terkejut. Namun segera tubuhnya melesat ke depan dengan kaki menghantam salah seorang lawan yang berada paling dekat.

Krak!

Bukan main kerasnya tendangan Ki Kaswatama, sehingga membuat kepala lawannya copot dari badan. Pemuda berbaju hitam itu roboh dan tidak berkutik lagi. Sementara dua pemuda lainnya menggeram marah.

“Bunuh...!” teriak salah seorang.

Tiba‐tiba saja, kedua pemuda ini melompat ke depan. Tangan mereka meluncur deras, mengincar tenggorokan dan kedua mata Ki Kaswatama. Sambil tertawa, Ki Kaswatama membuang tubuhnya ke samping. Dan sambil berguling‐guling kedua tangannya menghentak seeara beruntun.

Wut! Wut!

Dua leret sinar hijau kekuning‐kuningan seketika melesat bagaikan kilat ke arah kedua pemuda itu. Begitu cepat lesatannya, sehingga...

Glarrr!

“Aaa,..!” Jeritan keras terdengar di tengah-tengah ledakan yang sangat dahsyat. Kedua pemuda berbaju hitam itu kontan terlempar sejauh dua batang tombak. Tubuh mereka hangus dengan nyawa melayang.

“Ha ha ha...! Bagus! Ternyata sebagai sesepuh Lima Pendekar Dari Lembah Duka, kau tidak mengecewakan, Kaswatama!” seru Ki Sumping.

“Kami tidak kecewa karena mengangkatmu menjadi pimpinan kami di Lembah Seribu Duka Ini,” timpal Dewi Kunti.

“Jangan terlalu yakin dengan kemampuan kita. Besok mungkin sangat banyak persoalan yang harus dihadapi!” ujar Ki Kaswatama mengingatkan.

“Urusan besok kita selesaikan besok. Yang terpenting, masih ada waktu untuk istirahat. Dan kita bisa memanfaatkan sebaik-baiknya!” tambah Erlangga.

Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka kemudian menuju ke pondok masing-masing. Pada saat itu kegelapan mulai menyelimuti alam sekitarnya.

********************

Memang belum jelas benar, ada apa sebenarnya di Pemakaman Keramat Sokalarang. Namun, banyak tokoh persilatan yang penasaran, pergi juga ke tempat itu. Mereka berharap, tidak mustahil di tempat itu akan menemukan benda‐ -benda pusaka atau kitab-kitab yang berisi ilmu‐ilmu kedigdayaan tingkat tinggi. Namun sejak mereka sampai di sana, sejak itu pula mereka menghilang tak tentu rimbanya.

Hal ini membuat seorang ketua padepokan yang tak jauh letaknya dari pemakaman itu menjadi penasaran. Orang-orang persilatan tahu, padepokan yang letaknya paling dekat dengan Pemakaman Keramat Sokalarang hanyalah Padepokan Camar Putih yang diketahui Ki Sidarata. Kabarnya, laki-laki berusia enam puluh lima tahun itu pun telah berusaha menyelidiki ke Pemakaman Keramat Sokalarang. Hasilnya, menurut kabar dari murid‐muridnya, sampai sekarang laki-laki tua itu belum kembali. Bila tewas, tentu murid-muridnya akan cepat menemukan mayatnya.

Karena, mereka tahu betul seluk beluk pemakaman itu. Tapi, mereka tak menemukan tanda-tanda adanya mayat Ki Sidarata. Dan bila hilang, siapa yang menculiknya? Karena mustahil Ki Sidarata pergi begitu saja tanpa sebab. Sejak kepergiannya, Ki Sidarata menyerahkan tanggung jawab padepokan pada murid utamanya yang bernama Kuntala.

Dan laki-laki berusia tiga puluh enam tahun ini telah mencari gurunya ke mana-mana, tapi hasilnya nihil. Kini Padepokan Camar Putih setelah senja berlalu berubah menjadi sunyi. Memang, penjagaan tetap dilakukan seperti biasanya. Tetapi wajah‐wajah para penjaga yang sekaligus murid-murid padepokan itu tampak lesu seperti kekurangan darah.

Di bagian pendopo depan, tampak beberapa orang murid-murid padepokan sedang berbincang‐bincang dengan sesama saudara seperguruan. Sebagian tampak sedang tidur-tiduran, sambil mendengarkan pembicaraan kawan-kawan mereka tanpa semangat. Memang, setelah Ki Sidarata tidak pernah kembali lagi dari Pemakaman Keramat Sokalarang, seluruh kegiatan di padepokan terasa hambar. Kuntala tidak mungkin mengurung diri di dalam kamarnya secara terus menerus sejak tak mampu lagi menemukan gurunya.

Hal ini hanya akan membuat adik-adik seperguruannya kehilangan semangat untuk berlatih ilmu olah kanuragan. Namun dia tidak mungkin melatih adik-adik seperguruannya, jika perhatiannya terus terbagi-bagi. Karena hatinya akan selalu merasa penasaran jika belum menemukan gurunya. Bagaimanapun, besok pagi gurunya harus dicari kembali Itulah yang dipikirkannya sejak sore tadi. Pada saat Kuntala termenung dalam kesendiriannya....

“Kurung! Tangkap orang asing ini hidup atau mati!” terdengar teriakan‐teriakan penjaga dari halaman depan. Sementara itu di halaman depan, murid-murid Padepokan Camar Putih tengah mengepung seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Rasanya tidak mungkin bagi pemuda tampan ini untuk meloloskan diri lagi.

“Kalian salah! Aku bukan orang jahat. Aku hanya ingin bertemu Ketua Padepokan Camar Putih!” sergah pemuda berbaju rompi putih yang tidak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.

“Bohong! Kau pasti salah seorang yang telah menculik guru kami!” dengus salah seorang murid.

Pendekar Rajawali Sakti jelas sangat terkejut mendengar ucapan murid itu. Sama sekali tidak diduga kalau Ketua Padepokan Camar Putih ternyata telah diculik seseorang. Yang diketahuinya selama berada dalam perjalanan adalah, tentang orang-orang yang datang ke Pemakaman Keramat Sokalarang. Dan mereka tidak pernah kembali lagi ke daerah asal masing-masing.

Selain itu juga, Rangga ingin tahu tentang pesan yang terdapat pada setiap penjuru sudut yang ditulis di atas kulit orang mati. Dalam perjalanannya menuju ke Pemakaman Keramat Sokalarang, Rangga sengaja singgah di Padepokan Camar Putih, untuk mengumpulkan beberapa keterangan yang diperlukan. Namun siapa sangka kalau ketua padepokan itu juga menghilang.

“Kujelaskan pada kalian semua, kalian salah menuduh. Malah aku sedang berusaha menyingkap tabir ini,” kilah Rangga, tegas.

“Dusta! Bunuh dia...!” perintah seorang murid lainnya, lebih keras.

Tidak dapat dihindari lagi, lima orang murid padepokan serentak menerjang Rangga. Karena Pendekar Rajawali Sakti memang tidak punya persoalan apa-apa dengan mereka, maka sama sekali tidak ingin melukai seorang pun.

“Hup...!” Rangga melompat mundur. Tetapi, dari belakang datang pula serangan lain yang tidak kalah ganas dari serangan penjaga di depannya. Pemuda berbaju rompi putih ini untuk menghindari tusukan senjata segera meliuk-liukkan tubuhnya dengan gerakan kakinya yang lincah. Sehingga tak satu serangan pun yang mendarat di tubuhnya.

Murid-murid padepokan ini sempat terkesima karena tidak menyangka kalau pemuda itu mempunyai kelincahan yang mengagumkan. Tetapi kehebatan Rangga malah ditafsirkan lain. Dugaan mereka makin besar kalau pemuda berbaju rompi putih itulah yang menculik Ki Sidarata. Murid‐murid Padepokan Camar Putih secara bahu-membahu terus mendesak Rangga dengan berbagai jenis senjata terhunus.

Mendapat serangan yang sedemikian hebat ini, tentu saja Pendekar Rajawali Sakti tidak membiarkan dirinya tertusuk senjata. Repotnya, justru dia sama sekali tidak punya maksud menyakiti, sehingga harus menguras tenaga untuk menghindari hujan senjata.

“Hup! Hiyaaa...!” Rangga tiba-tiba melenting ke udara, keluar dari kepungan lawan-lawannya. Dan ketika kakinya menjejak kembali di atas tanah, murid-murid padepokan itu telah memburunya. “Kalian benar-benar tidak bisa membedakan orang!” dengus Rangga, mulai kesal.

Segera Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan gabungan jurus dari lima rangkaian jurus Rajawali Sakti. Perubahan gerakan yang dilakukan pemuda berbaju rompi putih ini sangat mengejutkan para murid padepokan. Apalagi ketika Rangga tengah mengerahkan jurus Sayap Rajawali Membelah Mega yang didukung ilmu meringankan tubuh yang telah sangat tinggi, dengan tenaga dalam kurang dari seperempatnya.

Wuuuttt!

Tubuh Rangga berkelebat begitu cepat Kedua tangannya bergerak bagaikan sayap rajawali. Dan begitu mengibas....

Buk! Buk!

“Huaaakh...!” Tiga orang murid Padepokan Camar Putih kontan terjengkang dengan gigi rontok dan hidung mengucurkan darah. Mungkin kalau Rangga mempergunakan tenaga dalam tinggi, seketika pemuda Itu telah binasa!

“Hidungku...! Hidungku bocor...!” rintih salah seorang murid sambil memegangi hidungnya.

“Maaf, aku terpaksa membungkam kebandelan kalian. Sebenarnya aku tak ingin menjatuhkan tangan. Tapi kalian terlalu memaksa...,” ucap Pendekar Rajawali Sakti, sedikit menyesali tindakannya, Karena dia tahu, perbuatan murid‐murid ini dilandasi rasa cinta terhadap guru mereka yang hilang entah ke mana.

“Keparat!” teriak salah seorang murid lain. “Bunuh dia!”

Dengan serentak, para murid Padepokan Camar Putih menerjang kembali. Berbagai senjata meluncur deras ke seluruh penjuru arah. Tetapi pada saat itu pula....

“Tahan...!”

Serentak murid‐murid padepokan menghentikan tindakan, ketika mendengar bentakan keras menggelegar, Mereka telah cukup kenal suara itu. Bahkan mereka segera berlompatan mundur. Ketika memandang ke arah datangnya suara, tampak di pendopo depan berdiri seorang laki-laki berusia tiga puluh enam tahun berbaju putih. Tubuhnya tegap dan wajahnya cukup tampan. Dia tidak lain dari Kuntala.

“Ada tamu datang, mengapa kalian tidak menyambut dengan baik? Sungguh sangat memalukan!” dengus Kuntala.

“Tetapi, Kakang Kuntala...!”

“Tidak ada tapi-tapian! Kalian pergi ke tempat masing-masing. Biarkan aku bicara dengan dia!” bentak Kuntala.

Walaupun tampak ragu-ragu, namun terpaksa murid-murid Padepokan Camar Putih mematuhi perintah saudara seperguruannya yang paling tua.

“Maafkan saudara‐saudaraku itu, Kisanak. Mereka menjadi lepas kendali setelah kepergian Guru kami,” ucap Kuntala pelan, ketika menerima Pendekar Rajawali Sakti di pendopo depan.

Mereka duduk berhadapan, dengan sebuah meja kecil yang membatasi. Di atas meja telah terhidang kopi hangat dan sepiring rebusan talas. Sejak tadi Pendekar Rajawali Sakti telah dipersilakan untuk mencicipi, namun belum satu pun yang disentuhnya.

“Aku dapat memahaminya, Kisanak. Aku datang ke sini justru ingin bertemu ketua padepokan ini. Tetapi setelah mendengar kabar yang sebenarnya, aku malah ikut merasa prihatin!” kata Rangga, perlahan.

“Oh, ya. Aku Kuntala. Dan kisanak siapa?” tanya Kuntala ramah.

“Namaku Rangga,” jawab Pendekar Rajawali Sakti, perlahan.

Kuntala terdiam. Namun, kedua alis matanya bertaut. Sedangkan tatapan matanya tidak lepas dari wajah pemuda berbaju rompi putih di depannya. “Sepertinya, aku pernah mendengar namamu. Tidak salah! Bukankah kau Pendekar Rajawali Sakti?” tebak Kuntala, terkejut.

Rangga sendiri tidak kalah kagetnya. Bagaimana Kuntala bisa mengenalinya? Padahal, berjumpa pun baru kali ini?

“Oh.... Betapa kami mendapat kehormatan besar dikunjungi seorang pendekar ternama sepertimu, Pendekar Rajawali Sakti. Dan semua ini sesuai mimpiku!” desah Kuntala, seraya berdiri dan menjura hormat. Wajahnya benar-benar cerah dan bangga, karena Pendekar Rajawali Sakti sudi berkunjung ke padepokan ini.

“Ah, sudahlah, Kuntala.... Tak perlu beradat istiadat denganku. Panggil saja aku Rangga. Hm..., ya. Tadi kau bilang, kau mengenalku lewat mimpi? Lantas apa saja yang kau dapat dalam mimpi itu, Kuntala?” tanya Rangga.

Kuntala yang telah duduk kembali seketika wajahnya berubah sedih. Seperti ada sesuatu yang sangat merisaukan hatinya. “Kalau kukatakan, mimpi tidak lebih hanya sebagai bunga tidur. Kenyataannya, aku bisa bertemu denganmu, Rangga! Tetapi, aku sangat takut jika kenyataan lain dalam mimpiku itu sampai terjadi!” desah Kuntala yang tak ragu-ragu lagi memanggil nama Rangga.

“Apa?”

“Dalam mimpiku, aku melihat padepokan ini tenggelam tergenang air. Lalu, kulihat Guru kami berdiri di atas bukit sambil tertawa-tawa menyaksikan murid-muridnya dalam keadaan sekarat. Selain guruku, ada beberapa orang berdiri di belakangnya. Tidak begitu jelas wajah mereka. Adik-adik seperguruanku semuanya tewas, dan tinggal aku sendiri. Aku tidak tahu, apa makna semua ini,” tutur Kuntala.

“Pertanda sangat buruk?” gumam Rangga, dalam hati.

“Apakah kau mengetahuinya, Rangga?” tanya Kuntala kemudian.

“Sayang aku bukan ahli tafsir mimpi. Sama sekali aku tidak tahu makna mimpi-mimpi itu!” sahut Rangga, tak ingin membuat Kuntala makin takut.

“Lalu bagaimana sekarang?” tanya Kuntala.

“Tentang gurumu itu, bukan?” tebak Rangga.

“Ya! Sejak beliau mengatakan ingin pergi ke Pemakaman Keramat Sokalarang sampai hari ini tidak pernah kembali,” keluh Kuntala.

“Jauhkah makam itu dari padepokan ini? Dan, apakah kau sudah mencarinya?” tanya Pendekar Rajawali Sakti perlahan.

“Tidak begitu jauh. Aku pun sudah mencarinya. Namun, jejaknya tidak kutemukan,” desah Kuntala.

“Apakah kau menemukan sesuatu di sana?”

“Ada. Ketika sampai di depan gerbang makam, aku melihat sisa-sisa tulang-belulang manusia tergantung di situ. Lalu, aku juga melihat ada ceceran darah yang telah mengering. Maksudku, di dalam pondok kuncen pemakaman itu,” jelas Kuntala.

“Siapa nama kuncen makam itu?” desah Rangga.

“Ki Paratama.”

“Ada kemungkinan kuncen makam itu dibunuh oleh seseorang. Tapi yang kuherankan, ke mana hilangnya orang-orang rimba persilatan yang pernah datang ke sana? Kalau mereka mati, seharusnya kau menemukan mayat mereka. Kalaupun dikubur, kau juga menemukan kuburnya. Aku tidak tahu, apakah ini ada hubunganya dengan penulis selebaran itu?!” papar Rangga.

“Sebaiknya besok pagi kita selidiki saja tempat itu!” saran Kuntala begitu bersemangat.

“Aku setuju! Tetapi, aku tidak mau semua murid padepokan ini menyertai kita,” tegas Rangga.

“Kenapa?” tanya Kuntala, tidak mengerti.

“Jika padepokan ini kosong, aku khawatir ada orang yang datang kemari dan menghancurkannya,” jelas Rangga.

Akhirnya, Kuntala dapat mengerti juga apa yang dimaksud Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian adik seperguruannya diperintahkan untuk menyediakan sebuah kamar buat Rangga.

TIGA

Sementara itu pada waktu yang bersamaan, di Pemakaman Keramat Sokalarang tampak beberapa sosok bayangan mendekati sebuah kubur yang tampaknya sudah sangat tua. Dalam suasana remang-remang yang hanya diterangi cahaya bulan tiga belas, bayangan-bayangan itu terus bergerak mengelilingi batu nisan yang sudah agak berlumut!

Pada salah satu sisi batu nisan tua ini terdapat Sebuah tulisan....

Demi Anggini. Dewi tercantik yang abadi. Meninggal secara aneh dalam umur dua puluh tahun.

Salah satu dari lima sosok bayangan itu segera mencabut baru nisan di depannya. Kemuda dua sosok lainnya yang masing-masing memegang pacul kecil maju mendekat di sisi-sisi makam. Dan, pada saat itulah terjadi getaran kecil di permukaan tanah makam keramat yang terbujur jasad Dewi Anggini di dalamnya. Getaran itu disertai hembusan angin amat dingin membekukan tulang.

“Hauuunggg...!”

Di kejauhan terdengar suara lolongan serigala yang begitu mendayu-dayu. Dan setelah lolongan serigala hilang terbawa angin....

“Sekarang adalah malam Jumat Kliwon. Malam ini adalah malam kebangkitan dari segala sesuatu yang berbau gaib. Hai, para jiwa yang telah berada dalam genggamanku. Khususnya pada Ki Sidarata! Pimpinlah empat orang segolonganmu untuk memindahkan calon ratu cinta kita ke tempat yang layak. Kini sudah saatnya bagi Dewi Anggini bangkit dari tidurnya. Ki Sidarata! Lakukan tugasmu. Sekejap lagi, kita akan melaksanakan pesta setan yang direstui para iblis penunggu kegelapan!”

Terdengar suara bagai desiran angin yang tak jelas wujud orangnya. Namun itu cukup menyentak perasaan laki‐laki tua bernama Ki Sidarata dan empat orang lainnya. Tatapan mata mereka yang menerawang kosong, sekarang tampak berubah kemerahan.

“Ketua memerintahkan untuk mengangkat ratu cinta dari tempat tidurnya. Kita harus memindahkannya ke istana yang layak. Cepat kerjakan!” perintah sosok paling tua, yang ternyata Ki Sidarata.

“Baiklah...!” sahut keempat sosok lainnya.

Crak! Crak!

Hanya dalam waktu sekejap saja sudah terdengar suara pacul membentur tanah. Suara‐suara pacul dari dua orang di antara mereka terus terdengar. Hingga akhirnya....

Tak!

“Berhenti...!” Kembali terdengar seruan.

Ternyata, salah satu pacul membentur sebuah benda cukup keras. Ketika sosok yang tak memegang pacul turun ke makam dan meraup tanahnya, ternyata benda keras itu tak lain dari peti jenazah yang terbuat dari kayu jati. Dan ternyata pula, peti itu masih utuh seperti sepuluh tahun yang lalu, saat mayat Dewi Anggini dikuburkan. Secara perlahan‐lahan, mereka pun membuangi tanah merah yang masih tersisa, hingga peti itu terlihat jelas.

“Angkat!” perintah Ki Sidarata.

Keempat laki‐laki lainnya dengan sekuat tenaga segera mengangkat peti mati, dan meletakannya di luar liang kubur.

“Mari kita bawa ke istana!” ujar Ki Sidarata lagi.

Mata laki‐laki tua yang sebenarnya Ketua Padepokan Camar Putih ini menatap kosong pada keempat orang yang berdiri di sekeliling peti mati. Tampaknya memang ada sebuah kekuatan yang tidak terlihat telah mempengaruhi jiwa dan raga Ki Sidarata, juga keempat laki-laki lainnya.

Sebenarnya mereka memang para pendekar aliran putih. Peti mati kini segera dipanggul menuju tempat yang tidak begitu jauh dari pemakaman. Hingga kemudian, mereka tiba di bawah pohon yang paling besar di tempat ini. Begitu besarnya, hingga tak terpeluk oleh lengan orang‐orang dewasa. Ketika Ki Sidarata mencungkil pohon besar itu, maka tampak sebuah lubang besar di batang pohon. Mereka pun segera memasukinya, setelah Ki Sidarata menutupnya kembali.

Ternyata di dasar pohon terdapat anak‐anak tangga batu untuk menuruni lubang hingga ke dasarnya. Sambil membawa peti rnayat itu mereka terus menuruni anak tangga batu. Dan tiba di bagian dasar lubang, terdapat sebuah ruangan yang sangat luas. Ada beberapa obor dari getah jarak yang menyala pada setiap dinding ruangan bawah tanah ini. Sehingga, suasana di dalamnya tampak terang benderang.

Mereka terus menggotong peti mati itu menuju ke ruangan lain, dan kini tiba di sebuah ruangan serba kuning yang ditata begitu rupa, mirip singgasana seorang putri raja. Sementara di dalam ruangan, telah berkumpul belasan orang memakai jubah kuning keemasan. Terkecuali bagian wajah, kepala mereka tertutup kain kuning. Sehingga, mereka tidak ubahnya memakai kerudung. Di antara orang-orang berjubah kuning, salah satu tampak memakai jubah merah. Dia duduk menghadap kursi kebesaran, yang di sampingnya terdapat sebuah ranjang berhias emas permata.

“Letakkan peti calon ratu di tengah‐tengah ruangan ini, Ki Sidarata. Sebentar lagi, kita akan membangkitkannya!” perintah orang berjubah merah tegas.

Empat orang pembantu Ki Sidarata yang berjubah hitam melakukan apa yang diperintahkan.

“Kalian adalah para abdiku, budakku, dan hamba-hambaku yang akan ikut ambil bagian dalam cita-citaku! Karena Racun Pelebur Akal, kalian sama sekali tidak dapat mengingat siapa diri kalian! Untuk sebuah cita-cita yang sangat besar, kalian harus bersedia melakukan apa saja. Mengerti?” tandas orang berjubah merah, melanjutkan.

“Kami mengerti, Ketua!” sahut orang-orang berjubah kuning dan hitam serentak.

“Bagus! Sekarang, kalian harus mengeluarkan calon ratu cinta dari dalam tempat tidurnya!” perintah orang berjubah merah yang dipanggil sebagai ketua.

Dengan patuh orang‐orang ini mengerjakan apa saja yang diperintahkan orang berjubah merah. Mereka segera membuka peti mati. Dan ketika peti terbuka, terciumlah bau harum khas seorang gadis. Dan di dalam peti mati, terlihat seorang gadis berwajah cantik bagai bidadari dalam keadaan seperti tertidur nyenyak. Dia memakai gaun putih bersih. Sedangkan kepalanya memakai ikat warna putih pula.

Tidak seorang pun percaya kalau gadis itu telah mati. Dengan terkagum‐kagum kelima lelaki itu mengeluarkan mayat gadis bernama Dewi Anggini, dan membaringkannya di atas tempat tidur. Tak heran kalau pakaian mayat Dewi Anggini tampak sudah rapuh di sana sini, karena telah terkubur selama sepuluh tahun.

“Kalian semua tahu, inilah gadis dan calon ratu cinta yang paling cantik di seluruh dunia! Tiada kecantikan melebihi kecantikannya. Dan sekejap lagi, kalian juga berhak mencicipi keindahan anggotanya! Karena, racun cinta akan melayani siapa saja yang menjadi anggotaku...!” jelas orang berjubah merah.

“Sekarang, kalian harus menggores jari tangan masing-masing untuk mengeluarkan tiga tetes darah. Darah ini gunanya untuk membangkitkan Dewi Anggini calon ratu cinta kita. Sebab, dialah yang akan memimpin kalian melakukan tugas-tugas yang telah kurencanakan. Apakah kalian semuanya mengerti?!”

“Kami mengerti dan siap melaksanakan perintah!” sahut orang-orang berjubah kuning dan hitam serentak.

“Ki Sidarata! Racun Pelebur Akal telah menguasai jiwamu. Sekarang, ambil nampan itu dan mulai gores tanganmu!”

“Siap, Ketua,” sahut Ki Sidarata.

Laki‐laki tua ini kemudian mengambil sebuah nampan dan sebuah pisau kecil. Sementara, di tengah-tengah ruangan orang yang memakai jubah merah mulai mengucapkan mantra-mantra untuk membangkitkan Dewi Anggini. Ki Sidarata segera menggores ujung jemarinya hingga terluka meneteskan darah.

Darah ditampung di atas nampan sebanyak tiga tetes. selanjutnya, orang-orang yang berada di dalam ruangan ini seluruhnya menggores tangan masing-masing dan mengumpulkan darah di tempat yang sama. Sebanyak dua puluh satu orang telah menumpahkan tiga tetes darahnya di atas nampan yang sama. Kemudian Ki Sidarata segera memberikan nampan yang berisi cairan darah kepada laki-laki berjubah merah, yang selanjutnya dibawa di atas tempat tidur.

Laki‐laki berjubah merah ini segera duduk bersila di atas ranjang. Mulutnya langsung komat-kamit, membaca mantra-mantra gaib sambil meneteskan darah di atas nampan pada kedua mata mayat Dewi Anggini. Sedangkan sisanya diteteskan ke mulut, ubun-ubun, dan pusar.

“Malam Jumat Kliwon saatnya bangkit! Malam penuh kemenangan, di mana tidak seorang pun yang dapat mengalahkan kekuatan iblis! Bangkitlah, Ratu Cinta.... Bangkitlah atas kekuatan iblis...!” seru orang berjubah merah.

Saat itu juga orang‐orang yang memakai jubah kuning dan hitam segera menirukan apa yang diucapkan ketuanya. Sehingga suasana di bawah tanah itu menjadi bergaung menyeramkan. Hanya sekejapan saja, terjadilah sesuatu yang sangat mencengangkan. Darah yang ada di kelopak mata, mulut, ubun-ubun maupun berada di atas pusar mayat Dewi Anggini lenyap tiba-tiba.

Sementara ranjang berwarna kuning keemasan itu pun bergetar hebat. Jenazah Dewi Anggini yang dalam keadaan utuh setelah terkubur selama sepuluh tahun tampak menggeliat. Matanya yang terpejam mengerjap terbuka.

“Setelah sepuluh tahun, Dewi! Setelah sekian lama, akhirnya aku dapat membangkitkan jenazahmu. Kau menjadi ratu cinta pemuas hasrat. Kau menjadi kaki tanganku untuk melampiaskan dendam berkarat yang telah lama kuderita. Penghinaan ini memang pantas ditebus dengan kematian mereka, dan juga kematian siapa saja! Sekarang, untuk mengendalikan semua orang yang berada di dalam ruangan ini agar menurut perintahku dan perintahmu, maka berilah kepuasan dengan tubuhmu, Ratu Alam Baka. Beri mereka kesenangan, agar selalu terikat dengan dirimu!” seru orang berjubah merah.

Sosok tubuh Dewi Anggini yang telah dihidupkan kembali itu menganggukkan kepala. Matanya mengedip ke arah orang berjubah merah yang telah berdiri di sisi ranjang. Tetapi orang ini tidak menanggapinya, dan malah kembali ke kursinya. Saat Dewi Anggini yang berjuluk Ratu Alam Baka menggerakkan tubuhnya, maka pakaian putihnya yang sudah lapuk terlepas. Sekarang, Dewi Anggini benar-benar dalam keadaan polos tanpa selembar benang pun.

“Siapa yang mendapat giliran lebih dulu?” tanya Dewi Anggini menantang.

Tidak ada yang berani menjawab. Padahal, setiap laki-laki berjubah hitam dan kuning ini ingin mendapat kesempatan pertama. Tetapi mereka selalu tunduk pada orang berjubah merah, berkat Racun Pelebur Akal.

Kemudian, orang berjubah merah berpaling pada Ki Sidarata, sambil tersenyum. Sebuah senyuman penuh arti. “Ki Sidarata pembantuku yang setia! Kau adalah calon wakil Ratu Alam Baka. Untuk itu, kau berhak mendapatkan kehangatannya yang pertama!” kata orang berjubah merah.

Seperti dalam pengaruh kekuatan sihir, Ki Sidarata menganggukkan kepala. Kakinya segera melangkah, mendekati Dewi Anggini. Sementara itu, orang berjubah merah segera memberi isyarat pada yang lain-lainnya untuk segera meninggalkan ruangan itu. Dan dia sendiri juga beranjak keluar ruangan ini. Di ruangan peraduan ini hanya tinggal Ki Sidarata dan Ratu Alam Baka.

Gadis itu tersenyum, langsung memeluk Ki Sidarata. “Lakukanlah apa yang kau inginkan, wahai wakilku!” bisik Ratu Alam Baka ditelinga laki-laki tua ini.

Ki Sidarata bagaikan harimau kelaparan langsung membalas pelukan Dewi Anggini yang menggebu-gebu. Dan wanita ini segera merebahkan diri, membawa tubuh Ki Sidarata yang terus menciuminya.

Ketika Ki Sidarata keluar dari ruangan Ratu Alam Baka, maka masuk laki-laki berjubah lainnya. Kejadian terkutuk itu pun kembali berlangsung. Dengan demikian Ratu Alarn Baka kembali melayani laki-laki yang berbeda-beda. Begitu seterusnya. Dan saat segala-galanya telah selesai, laki‐laki berjubah merah segera mengumpulkan anak buahnya kembali.

“Nanti sore kalian sudah bisa melakukan tugas yang kuberikan. Sedangkan yang menjadi pimpinan, adalah Ratu Alam Baka! Jelas?” tanya laki‐laki berjubah merah.

“Jelas, Ketua!” sahut orang-orang yang hadir di ruangan ini hampir serentak.

“Nah, sekarang kalian boleh istirahat!”

Berpasang-pasang mata yang selalu menatap kosong itu tampak saling berpandangan. Setelah melihat Ratu Alam Baka menganggukkan kepala sambil menggerakkan tangan, maka mereka segera membubarkan diikuti diri.

********************

EMPAT

Dua ekor kuda yang satu berbulu hitam dan satu lagi berbulu coklat berpacu begitu cepat. Penunggang kuda berbulu hitam adalah seorang pemuda tampan memakai baju rompi putih. Sedangkan yang berada di sebelahnya adalah seorang laki-laki berambut panjang sepinggang, memakai baju biru. Di dadanya terdapat sulaman bergambar burung camar putih. Dia tidak lain Kuntala, murid tertua Padepokan Camar Putih...

“Masih jauhkah tempat itu dari sini, Kuntala?” tanya pemuda berbaju rompi putih yang terpaksa harus meriyesuaikan lari kudanya dengan kuda Kuntala.

“Tidak lagi, Rangga. Setelah kita melewati tikungan itu, Pemakaman Keramat Sokalarang sudah terlihat!” sahut Kuntala.

Tidak lama setelah mereka melewati tikungan, segera terlihat sebuah makam luas. Mereka baru menghentikan kuda setelah sampai di depan pintu gerbang makam.

“Apakah penduduk Sokalarang yang meninggal juga dikuburkan di sini!” tanya pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga kalem. Pendekar Rajawali Sakti segera turun dari kuda hitam bernama Dewa Bayu.

“Bukan dari daerah kami saja. Daerah-daerah yang jauh dari makam ini juga menguburkan sanak keluarganya di sini!” sahut Kuntala, juga turun dari kuda coklatnya.

“Sebaiknya kita lakukan pemeriksaan sekarang!” putus Pendekar Rajawali Sakti.

Pendekar Rajawali Sakti membawa Dewa Bayu ke sebuah pohon, dan menambatkannya. Demikian pula Kuntala. Kemudian mereka memasuki pintu gerbang makam.

“Tidak ada apa-apa di sini! Kurasa kita telah datang ke tempat yang salah!” desis Rangga, ketika telah berjalan beberapa langkah.

“Maksudmu?” tanya Kuntala.

“Mungkin apa yang terdengar hanya kabar bohong saja. Dan di sini tidak pernah terjadi apa-apa.”

Kuntala tidak segera menjawab. Dan perhatiannya tertarik pada gundukan tanah yang tampaknya belum lama digali seseorang. “Coba kita lihat ke sana!” ajak Kuntala.

Pendekar Rajawali Sakti segera memperhatikan tempat yang dimaksudkan Kuntala. Tanpa bicara lagi, diikutinya Kuntala. Tidak lama, mereka telah sampai di pinggir sebuah lubang besar yang tampaknya baru saja digali. Dengan kening berkerut, Rangga memperhatikan tiap-tiap sudut lubang. Barangkali saja ada yang bisa digunakan sebagai petunjuk.

“Beberapa hari yang lalu, ini tidak ada. Kurasa ada orang yang menggalinya untuk mendapatkan sesuatu,” tebak Kuntala.

“Paling tidak tiga atau empat orang telah melakukan penggalian di sini. Aku juga curiga, jangan-jangan orang itu ingin mendapatkan tulang-belulang orang yang sudah mati!”

“Ya.... Tetapi, untuk apa...?”

“Pertanyaan seperti itu juga terlintas di dalam benakku. Untuk apa orang mengambil tulang-belulang manusia? Hm.... Pasti mereka punya tujuan tertentu. Oh, ya.... Apakah kau benar-benar yakin kalau kuncen makam ini benar-benar sudah mati?” tanya Pendekar Rajawali Sakti.

“Aku tidak tahu, Rangga. Ketika memeriksa pondok itu, aku hanya melihat tetesan darah yang sudah mengering. Aku telah memeriksa sekeliling pondok itu. Tetapi, aku tidak menemukan mayat kuncen itu!” jawab Kuntala, mendesah.

“Coba kita lakukan pemeriksaan ulang. Kulihat, jejak-jejak kaki ini seperti menuju ke arah pondok!” ujar Rangga.

Kuntala dan Rangga segera menelusuri jejak-jejak kaki menuju ke arah pondok. Tetapi sebelum sampai di pondok, jejak+jejak kaki itu hilang begitu saja.

“Tidak ada apa-apa di sini! Mungkin ini hanya tipuan saja. Kurasa, sebaiknya kita menuju ke utara sesuai arah jejak ini. Kalau nanti kita tidak memperoleh hasil sesuai yang diharapkan, sebaiknya kita kembali ke padepokan!” putus Rangga.

“Aku setuju! Tapi, entah mengapa sekarang perasaanku tidak enak begini!” keluh Kuntala, seperti kurang bersemangat.

“Jangan malas! Mudah-mudahan saja kita menemukan jejak gurumu. Kalau benar diculik, kuharap sampai sekarang dia masih hidup!”

“Aku tidak yakin guruku masih hidup. Mimpi-mimpi itu selalu menghantuiku ke mana pun aku pergi!”

“Sudahlah.... Jangan kau biarkan bayangan menakutkan menghantui dirimu. Kita sedang berusaha melakukan apa sebatas kemampuan. Kita harus berusaha. Hasilnya, terserah bagaimana Yang Maha Kuasa,” tegas Rangga disertai seulas senyum.

“Marilah. Aku harus mengikuti ke mana pun yang kau anggap baik, Rangga!” sahut Kuntala.

********************

Hari baru saja beranjak malam. Murid-murid Padepokan Camar Putih tampak duduk-duduk melepas lelah di pendopo. Setelah hampir sehari penuh bekeria di kebun dan meneoba menghilangkan berbagai beban yang menghimpit pikiran masing-masing, sekarang tiba giliran untuk merenung segala sesuatu yang telah terjadi. Baik tentang diri sendiri, atau tentang diri guru mereka yang tidak pernah kembali.

Mereka yang tidak suka memikirkan apa yang telah dan akan terjadi, malah menyibukkan diri dengan bermain catur. Sungguhpun demikian, mereka tidak pernah melupakan apa yang sudah menjadi kewajiban masing-masing.

Tanpa mereka sadari, tidak jauh dari bangunan Padepokan Camar Putih tampak bergerak belasan orang berjubah kuning dan hitam. Di depan rombongan itu tampak dua orang berkuda. Yang satu seorang gadis jelita memakai baju putih ketat. Sedangkan di sebelah‐nya tampak seorang laki-laki tua berbaju biru.

“Kita sudah hampir sampai, Ketua,” lapor laki-laki tua berbaju biru.

“Untuk membuktikan kesetiaanmu kepada ketua tertinggi, kau harus membunuh murid-muridmu. Ingat! Mereka bukan orang yang segolongan dengan kita!” perintah gadis cantik itu.

“Aku akan melaksanakan tugas sebaik-baiknya!” janji laki-laki itu mantap.

Beberapa saat kemudian, sampailah rombongan ini. Mereka langsung memasuki halaman Padepokan Camar Putih. Sekerika murid-murid padepokan kaget sekaligus kegirangan, ketika melihat kemunculan laki-laki tua berbaju biru.

“Guru telah datang! Guru kita telah datang...!” teriak murid-murid yang berada di pendopo.

Mereka yang berada di dalam bangunan padepokan berhamburan keluar. Tetapi beberapa orang di antaranya tampak terkejut, ketika melihat laki-laki tua yang tak lain Ki Sidarata disertai orang‐orang yang tidak dikenal sama sekali. Selain itu, tatapan mata Ki Sidarata juga sedemikian dingin dan terkadang menerawang kosong.

“Siapakah orang-orang yang menyertai Guru?” tanya salah seorang murid.

“Mereka adalah sahabat-sahabatku. Hm.... Siwalaya, kau sebagai murid kedua, kumpulkan semua adik seperguruanmu di halaman ini untuk memberi penghormatan!” ujar Ki Sidarata dengan suara datar.

Tanpa curiga, murid bernama Siwalaya memanggil semua murid Padepokan Camar Putih untuk berkumpul di halaman depan padepokan. Ki Sidarata tersenyum dingin.

“Sudah semuanya?” tanya Ki Sidarata lagi.

“Masa Guru lupa. Bukankah kami telah berkumpul di sini seluruhnya?” tukas Siwalaya, setelah tugasnya selesai.

“Aku tidak melihat Kuntala?” tanya Ki Sidarata.

“Dia justru sedang mencari Guru ke mana-mana!”

“Hm, begitu? Tidak mengapa. Sekarang, kalian menghormatlah pada kawan-kawanku!” perintah Ki Sidarata tegas.

Rupanya, walaupun pikiran warasnya hilang, Ki Sidarata masih diberi ingatan pada murid-muridnya. Tanpa merasa ragu, murid‐murid Padepokan Camar Putih segera melakukan apa yang diperintahkan guru mereka.

Namun pada saat itulah Ki Sidarata mencabut pedang yang tergantung di pinggang. Dengan kecepatan bagaikan kilat tubuhnya berkelebat dari punggung kuda. Seketika senjata di tangan mengibas ke arah murid-muridnya yang sedang membungkukkan badan.

Cras! Cras!

“Wuaagkh...!” Pedang camar yang berwarna putih mengkilat seperti perak langsung menghantam punggung beberapa orang murid Padepokan Camar Putih. Karena Ki Sidarata mempergunakan sebagian dari tenaga dalamnya, maka tubuh murid-murid malang itu terputus menjadi dua bagian!

Beberapa murid lain kontan terkejut mendengar jeritan kawan-kawannya. Mereka langsung menegakkan badan. Dan mereka lebih terkejut lagi, ketika melihat pedang di tangan guru mereka berlumuran darah.

“Guru! Apakah Guru sudah gila membunuh murid-muridmu sendiri?” teriak Siwalaya.

“Ha ha ha..,! Kalian bukan muridku! Kalian adalah sampah yang pantas disingkirkan!” dengus Ki Sidarata.

“Apa yang membuatmu berubah, Guru?! Apakah wanita itu yang telah meracuni Guru?” tanya murid yang lain dengan berang.

Rupanya setelah melihat air muka gurunya, murid‐murid Padepokan Camar Putih jadi curiga. Pasti ada yang tidak beres pada Ki Sidarata. Tetapi apa yang dapat dilakukan tanpa Kuntala?

“Tutup mulutmu! Kau tidak pantas bicara begitu pada ketua kami!” bentak Ki Sidarata dengan mata mendelik.

Tampaknya murid-murid Padepokan Camar Putih tidak mungkin dapat menyadarkan gurunya yang sudah seperti orang kehilangan ingatan itu. Sehingga mereka seperti mendapat aba-aba, langsung berlompatan mundur.

“Bunuh mereka!” perintah gadis berkuda yang tak lain Ratu Alam Baka kepada Ki Sidarata dan belasan orang lain yang menyertainya.

Serentak orang‐orang itu dengan tatapan kosong tanpa cahaya kehidupan segera mencabut berbagai senjata. Lalu....

“Hajar! Hiyaaa...!” teriak Ki Sidarata, memberi aba‐aba.

Seketika terjadilah pertempuran sengit. Dan sebagai murid, tentu saja pemuda-pemuda itu kewalahan menghadapi gurunya sendiri. Apalagi saat itu Ki Sidarata dibantu belasan orang pengikut Ratu Alam Baka. Sehingga, keadaan mereka ibarat telur di ujung tanduk.

Namun, murid-murid padepokan itu tidak mau pasrah menunggu nasib buruk. Dengan segenap kemampuan mereka terus berusaha melakukan perlawanan tidak kalah sengitnya. Pedang di tangan mereka diputar secepat kilat. Tetapi selain Ki Sidarata, ternyata pengikut-pengikut Ratu Alam Baka lainnya juga mempunyai tingkat kepandaian tidak rendah. Sehingga, mereka dalam waktu sangat singkat mulai mendesak mundur.

“Cepat habisi orang‐orang tolol itu!” teriak Ratu Alam Baka, memberi perintah.

“Hiyaaa...!” Seperti dirasuki iblis durjana, orang‐orang itu membantai murid-murid Padepokan Camar Putih. Satu demi satu murid‐murid yang malang ini mulai menemui ajal di ujung senjata. Bahkan Ki Sidarata sendiri tampak lebih ganas. Pedangnya diayunkan ketiga penjuru sekaligus.

“Ciaaat...!”

Cres! Cres!

“Aaa...!” Tiga orang yang sebenarnya murid Ki Sidarata menjerit keras terkena senjata pedang yang amat tajam pada bagian perut. Usus mereka memburai keluar disertai darah mengucur deras dari luka yang memanjang. Tidak lama terbanting, tubuh mereka kelojotan sebentar. Lalu, diam untuk selama-lamanya.

“Guru gila! Manusia sinting! Hiyaaa...!” jerit Siwalaya. Saat itu juga pemuda ini memutar pedangnya dengan pengerahan jurus andalan.

Wesss...!

Terasa sambaran angin halus menerpa wajah Ki Sidarata.

“Huh! Camar Putih Bermain Di Atas Ombak. Kau mainkan di depanku!” dengus Ki Sidarata.

Sebagai orang yang menciptakan jurus itu, tentu Ketua Padepokan Camar Putih ini sudah paham betul kehebatan serta kelemahannya. Maka tidak kalah hebatnya, pedangnya diputar untuk menangkis serangan Siwalaya.

Trang!

Akibat kerasnya benturan, pedang di tangan Siwalaya terpenal. Jelas saja, tenaga dalamnya kalah jauh dibandingkan tenaga dalam bekas gurunya. Pemuda itu terkejut sekali. Segera dia melompat mundur. Tetapi, laki‐laki tua itu terus memburunya dengan tusukan pedang.

“Aih...!” Siwalaya menjatuhkan diri seraya berguling-guling untuk menyelamatkan diri. Namun, Ki Sidarata, terus rnengejar. Tepat ketika Siwalaya bangkit berdiri, tendangan orang tua itu meluncur datang. Sehingga.....

Buk!

“Aaakh...!” Siwalaya menjerit keras dengan tubuh terhuyung-huyung. Dan belum juga dia menjaga keseimbangannya, pedang di tangan Ki Sidarata meluncur cepat tak terhindarkan lagi.

Crep!

“Aaa...!” Mantap sekali pedang itu menembus dada sampai ke bagian jantung Siwalaya. Murid yang malang itu ambruk dan tewas saat itu juga.

Ki Sidarata tertawa terbahak-bahak melihat kematian murid keduanya. Setelah kematian Siwalaya, maka korban terus berjatuhan. Sampai pada akhirnya hanya tinggal satu yang tersisa. Orang ini dalam keadaan terluka. Ketika melihat kematian kawan-kawannya, dia berpura‐pura mati untuk menyelamatkan nyawanya.

“Kau telah menjalankan tugas dengan baik, Wakilku. Aku pasti akan memberimu surga malam ini. Tetapi sebelum kita melanjutkan perjalanan untuk mencari musuh besar Ketua Yang Agung, lebih baik bakar dulu padepokan ini!” perintah Ratu Alam Baka tegas.

Membakar padepokan tentu bukan persoalan bagi Ki Sidarata. Apalagi, dia sudah kehilangan akal sehatnya akibat Racun Pelebur Akal. Dengan senang hati laki-laki tua ini memimpin pembakaran padepokan yang dibangunnya sendiri, dengan susah payah. Sekejap saja, api sudah menyala dan membakar habis bangunan yang banyak menyimpan suka duka. Para pembunuh berdarah dingin ini memperhatikan kobaran api sambil tersenyum puas.

“Mari kita pergi!” ujar Ratu Alam Baka.

“Mari, Ketua,” sahut Ki Sidarata.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Pagi Pendekar Rajawali Sakti dan Kuntala baru saja muncul dari arah utara. Jelas sekali mereka dalam keadaan tergesa-gesa. Saat melewati jalan desa yang lebar, penduduk yang kebetulan berlawanan arah dengan kedua penunggang kuda itu tidak marah oleh kepulan debu, yang tercipta. Sebab, mereka kenal baik dengan salah seorang yang tidak lain murid tertua Padepokan Camar Putih.

Sebaliknya, Kuntala sendiri menjadi heran. Karena setiap mereka berjumpa penduduk di situ, rata-rata langsung menundukkan kepala. Merasa semakin penasaran, Kuntala mempercepat lari kudanya. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti harus menyesuaikan lari kudanya dengan kuda Kuntala, agar selalu berada di sisinya. Ketika sudah mendekati Padepokan Camar Putih, rasa kaget di hati Kuntala semakin menjadi-jadi.

Dia melihat banyak penduduk yang tinggal berdekatan dengan padepokan berkerumun di halaman. Lebih kaget lagi, setelah melihat padepokan hanya tinggal puing-puing hangus yang rata dengan tanah. Di sana sini masih mengepulkan asap tipis. Kuntala segera melompat dari atas punggung kudanya diikuti Rangga. Lalu, dia berlari dan menyeruak di tengahtengah orang banyak.

“Apa yang telah terjadi di sini?” tanya Kuntala pada orang yang berdiri di sampingnya.

“Sepertinya kita telah datang terlambat, Kuntala,” gumam Rangga sambil menepuk-nepuk pundak Kuntala.

Kuntala seperti tidak percaya memperhatikan mayat-mayat saudara seperguruannya yang bergeletakan tak tentu arah. Di tengah-tengah kerumunan penduduk desa, Kuntala melihat seorang pemuda dengan dada dibalut kain menghampirinya. Kuntala jelas mengenali orang ini.

“Braga! Katakan, apa yang terjadi di sini? Siapa yang membunuh saudara-saudara kita?” terabas Kuntala, begitu pemuda bernama Braga tiba di depannya. Tanpa sadar Kuntala mencengkeram pundak Braga. Sehingga, pemuda yang belum sembuh dari lukanya itu menyeringai kesakitan.

“Lepaskan Kakang Kuntala!” Braga meronta.

“Ehhh..., maaf...!” ucap Kuntala.

Pendekar Rajawali Sakti segera mengajak kedua pemuda itu menjauhi penduduk yang semakin banyak berdatangan. Mereka duduk di bawah pohon beringin yang tidak jauh dari padepokan.

“Coba katakan padaku, siapa yang melakukan pembantaian ini!” desak Kuntala tidak sabar.

“Kejadiannya berlangsung sangat cepat, Kakang,” desah Braga dengan mata berkaca-kaca. “Ketika Guru kembali, semua saudara kita di sini sangat bergembira. Tetapi, apa yang dilakukannya tidak mungkin dapat kulupakan seumur hidupku. Dia bersama orang-orang berjubah kuning membunuhi saudara-saudara kita....”

“Apakah kau sudah gila?! Mana mungkin seorang Guru tega membunuh murid-muridnya sendiri!” sergah Kuntala. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti yang mendengarkan semua ini jadi kaget sekali.

“Bukan aku yang gila! Tetapi, Guru kita dan orang-orang berjubah itu,” sahut Braga pelan suaranya.

“Selain Guru dan orang-orang berjubah itu, lalu siapa lagi?” tanya Kuntala ingin kepastian.

“Seorang gadis yang cantik luar biasa. Guru memanggilnya dengan sebutan Ratu Alam Baka. Gadis itulah yang memimpin tidak kurang dari dua puluh orang laki-laki. Aku juga mendengar, mereka memanggil ketua pada gadis berbaju putih itu!” jelas Braga.

“Bagaimana, Rangga? Apakah kau mengenal mereka?” tanya Kuntala penasaran. Pendekar Rajawali Sakti dengan tegas menggeleng. “Lalu, apa lagi?”

“Gadis itu mengatakan tentang Ketua Yang Agung. Ya..., mereka sedang menjalankan tugas yang diberikan Ketua Yang Agung. Aku tidak tahu, siapa dia. Mungkin saja rajanya para iblis. Sebab, tindakan mereka benar-benar seperti iblis!” geram Braga.

“Sebaiknya kita bicarakan nanti saja, Rangga. Kita perlu menguburkan mayat-mayat itu,” ujar Kuntala.

“Kakang...” seru Braga.

“Ada apa?” Kuntala memperhatikan adik seperguruannya dengan heran.

“Jika penguburan saudara-saudara kita telah selesai, aku ingin kembali saja ke daerah asalku. Kurasa, aku tidak cocok berada di sini,” jelas Braga.

“Aku tidak bisa mencegahmu. Jika memang itu pilihanmu, silakan saja,” jawab Kuntala.

“Apa rencana kita selanjutnya, Rangga?” tanya Kuntala, ketika bersama Pendekar Rajawali Sakti tengah beristirahat di halaman padepokan yang telah rata dengan tanah.

“Pertama yang kita lakukan adalah, mencari Ratu Alam Baka dan anggotanya. Kurasa jika mereka dapat ditangkap, kita segera tahu siapa sebenarnya yang berdiri di belakang mereka!” jawab Rangga, tegas.

“Aku setuju! Namun yang membuatku heran, mengapa Ratu Alam Baka terlebih-lebih guruku sendiri, begini tega membunuh saudara-saudaraku!"

“Aku rasa, tujuan yang sebenarnya pastilah bukan itu. Saudara‐saudara seperguruanmu hanya korban sampingan saja. Atau bisa jadi, Ratu Alam Baka digerakkan seseorang untuk membunuh musuh besar orang itu sendiri,” duga Pendekar Rajawali Sakti.

“Jadi segala sesuatunya bersumber dari makam keramat?” tebak Kuntala.

“Betul sekali! lngat tidak, ketika kita menemukan sebuah kubur yang sepertinya telah digali seseorang?” tanya Rangga.

“Tentu saja ingat.”

“Apakah kau berani memastikan apakah kubur itu milik laki-laki atau perempuan?”

“Daerah makam yang di sebelah kanan, keseluruhannya adalah tempat mengubur mayat perempuan. Seingatku, aku membawa batu nisan yang tergeletak di samping lubang. Kurasa, nisan itu dapat memberi jawaban yang diinginkan,” jelas Kuntala.

“Mana?” tanya Rangga.

“Aku menyimpannya di pelana kuda. Tunggu sebentar. Biar kuambilkan...!” sahut Kuntala.

Sekejap kemudian Kuntala meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti untuk mendapatkan kudanya. Dan sekejap kemudian dia telah kembali lagi dengan membawa sebuah batu nisan yang telah dipatahkan bagian ujungnya. Kuntala menyerahkan batu nisan pada Rangga. Pendekar Rajawali Sakti langsung membaca tulisan yang tertera di atas nisan.

Dewi Anggini. Dewi yang tercantik abadi. Meninggal secara aneh dalam umur dua puluh tahun.

Rangga tercengang, setelah membaca tulisan yang tertera pada nisan. Sekarang sudah diperoleh gambaran agak lebih jelas. Namun kemudian timbul keraguan di hatinya. Benarkah orang yang telah mati dapat dihidupkan kembali? Lagi pula, mayatnya sudah jelas tidak utuh. Atau paling tidak tinggal tulangbelulang saja.

“Kau menemukan sesuatu, Rangga?” Tanya Kuntala.

“Aku menemukan jawaban yang sulit diterima akal sehat. Atau, kita semuanya apa memang sudah menjadi gila,” gumam Rangga.

“Maksudmu?” tanya Kuntala tidak mengerti.

“Kurasa, ada yang telah menggali dan mencuri mayat Dewi Anggini. Paling tidak, inilah jawaban yang kudapatkan dari batu nisan ini. Dan, Dewi Anggini telah dibangkitkan kembali,” jelas Rangga.

“Bagaimana mungkin orang yang sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu, mayatnya masih utuh?” tukas Kuntala.

“Kupikir Dewi Anggini mempunyai ilmu 'Karang'. Orang yang mempunyai ilmu ini, mayatnya tidak akan pernah membusuk walau telah terkubur selama berabad-abad,” jelas Pendekar Rajawali Sakti secara hati-hati.

“Lalu, siapa yang dapat membangkitkannya...?” tanya Kuntala.

“Paling tidak orang yang pernah mengenal baik gadis itu. Kalau dugaanku benar, berarti orang yang telah membangkitkan Dewi Anggini punya dendam khusus pada seseorang.”

“Dan kita tidak tahu, siapa musuh orang itu?” dengus Kuntala sambil tersenyum kecut.

“Kita segera mengetahui jika dapat menemukan jejak Ratu Alam Baka dan kawan‐kawannya. Ingat, mereka adalah orang‐orang yang telah digerakkan kekuatan iblis. Dan yang menjadi pimpinan dalam pelaksanaan tugas itu adalah gadis yang sudah mati. Mereka bisa mengancam keselamatan orang‐orang yang tidak berdosa. Kita harus menghentikan mereka!” tegas Rangga.

“Ayolah, sebaiknya kita berangkat sekarang juga...!”

********************

LIMA

Ke mana pun Ratu Alam Baka pergi bersama anak buahnya, maka di situ pula malapetaka terjadi. Desa-desa yang dilalui dibumihanguskan. Para penduduk baik laki-laki maupun perempuan dibunuh. Anak-anak dibakar. Tindakan Ratu Alam Baka dan anak buahnya yang sangat ganas ini memancing kemarahan tokoh‐tokoh rimba persilatan, baik yang beraliran hitam maupun putih. Mereka bahkan bahu-membahu berusaha menumpas Ratu Alam Baka dan komplotannya.

Tetapi ternyata lawan yang dihadapi begitu tangguh. Sehingga para pendekar yang cinta damai ini tewas secara sia-sia. Walaupun begitu, kekejaman Ratu Alam Baka dan pengikutnya tidak membuat surut tokoh-tokoh rimba persilatan dalam menumpas. Dengan berbagai cara mereka mencoba menghancurkan gadis alam kubur ini. Tetapi, seperti pendahulu-pendahulunya, mereka ini akhirnya menemui ajal di tangan pengikut Ratu Alam Baka.

Hanya dalam waktu beberapa purnama saja, kekejaman Ratu Alam Baka dan pengikut-pengikutnya telah tersebar di seluruh pelosok tanah Jawa. Namun anehnya mereka hanya melakukan penyerangan pada malam hari saja. Sedangkan di siang hari, menghilang begitu saja bagaikan di telan bumi.

Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka yang ketika itu sedang melakukan penyelidikan di Pemakaman Keramat Sokalarang tentu saja mendengar kejadian ini. Mereka segera melakukan pengejaran.

“Kurasa orang‐orang itu belum jauh dari sini,” duga Ki Sumping yang berbaju merah.

“Bagaimana kau tahu, Ki Sumping?” tanya Ki Kaswatama.

“Mayat‐mayat itu masih hangat,” sahut Ki Sumping.

Ki Kaswatama yang berdiri di sebelah Ki Sumping menarik napas dalam-dalam. “Kurasa kita harus bergerak cepat Kita harus menemukan mereka sebelum datangnya pagi!” lanjut Ki Kaswatama.

“Tampaknya kau mengkhawatirkan sesuatu, Ki Kaswatama?” tebak Erlangga.

“Kita menghadapi biangnya iblis, Erlangga! Melihat cara kerja Ratu Alam Baka, kelihatannya mereka lebih suka berkeliaran pada malam hari,” tegas laki‐laki tua berambut putih itu.

Sementara perempuan setengah baya yang menyertai keempat laki-laki itu sejak dari Pemakaman Keramat Sokalarang tampak diam membisu.

“Sebaiknya, mulai saat ini kita bagi-bagi tugas saja,” usul laki‐laki berperut buncit, bernama Gagak Lamar yang sangat jarang tertawa.

“Maksudmu?” tanya Ki Sumping.

“Aku dan Dewi Kunti mencari ke selatan. Sedangkan kau, Ki Kaswatama, dan Erlangga mencari ke arah lain,” jelas Gagak Lamar.

“Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka sebelumnya tidak pernah berpisah. Mengapa sekarang harus berpencar?” keluh Ki Sumping.

“Kalau ingin terus berkumpul, sebaliknya kembali ke Lembah Seribu Duka saja, Ki Sumping, Dan, jangan pernah pergi ke mana-mana,” dengus Gagak Lamar sewot.

“Kau keterlaluan. Aku hanya usul. Boleh dipakai, dan boleh dibuang. Kalau tidak suka, siapa berani memaksa?” sahut Ki Sumping sambil bersungut‐sungut.

“Aku tidak suka kalian ribut‐ribut. Kurasa usul Gagak Lamar cukup baik dilaksanakan. Sebab menurutku, jika semakin lama kita membiarkan Ratu Alam Baka bebas berkeliaran, keadaan akan semakin kacau. Kasihan rakyat yang tidak berdosa, karena akan menjadi korban mengenaskan,” tegas Ki Kaswatama.

Karena pimpinan Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka yang bicara, maka empat pendekar lainnya tidak berani membantah.

“Baiklah. Kalau memang itu yang menjadi keputusan Ki Kaswatama, kami tidak akan bertindak menuruti hati kami sendiri,” desah Erlangga.

“Sebaiknya sekarang kita pergi dengan arah yang telah sama-sama kita setujui,” lanjut Ki Kaswatama.

********************

“Bakar! Dan jangan biarkan ada seorang pun yang hidup!” teriak Ratu Alam Baka, ketika berada di Desa Jatisari.

Mendapat perintah seperti itu, Ki Sidarata dan anak buahnya segera membakar rumah-rumah di depan mereka. Penduduk langsung lari kucar‐kacir menyelamatkan diri. Namun mereka juga tidak luput dari sasaran tangan para pembunuh berdarah dingin itu. Dengan membabi-buta, anak buah Ratu Alam Baka melakukan pembantaian.

Sementara itu, sepasang mata yang terus mengawasi dari jarak yang tidak begitu berjauhan tampak tersenyum puas melihat tindakan Ratu Alam Baka dan pengikut-pengikutnya yang sangat kejam.

“Bakar semua rumah yang ada di desa ini!” teriak Ki Sidarata memberi aba-aba.

“Ha ha ha...! Inilah pekerjaan yang paling menyenangkan!” sahut belasan orang pengikut Ratu Alam Baka sambil berjingkrak-jingkrak kegirangan.

Obor-obor di tangan mereka langsung dilemparkan ke atas atap rumah-rumah yang, kebanyakan terbuat dari daun rumbia. Maka hanya dalam waktu beberapa kejap saja rumah-rumah penduduk desa pun telah dimakan api. Pada saat-saat yang sangat tegang itu... “Aaa...!” Beberapa pengikut Ratu Alam Baka mendadak menjerit kesakitan dengan tubuh berpelantingan ke seluruh penjuru.

Dari balik kobaran api berkelebat tiga sosok bayangan hitam, merah, dan putih yang langsung menghantam pengikutpengikut Ratu Alam Baka. Bukan main kompaknya serangan-serangan yang dilakukan ketiga sosok yang baru keluar dari kobaran api. Bahkan setiap serangan yang dilakukan tidak pernah meleset dari sasaran.

“Mampudah kalian semua, Setan! Hiyaaa.,.!” teriak sosok berbaju putih sambil menghantamkan tongkatnya.

“Haiiit!

Dari arah lain menderu pula serangan yang sama. Sehingga, anak buah Ratu Alam Baka yang memakai jubah kuning hanya dalam waktu singkat tampak semakin terdesak. Melihat kenyataan ini, lima orang yang berjubah hitam segera datang membantu.

“Sobat berjubah kuning, mundur semuanya!”

Serentak lima belas orang berjubah kuning melompat mundur. Tempat mereka segera digantikan orang-orang yang memakai jubah hitam.

Sementara ketiga penyerang tampak terkejut, melihat orang yang baru saja berteriak memberi aba-aba tadi. Agaknya, mereka mengenal Ki Sidarata yang merupakan Ketua Padepokan Camar Putih. Yang membuat mereka tidak habis pikir, mengapa Ki Sidarata malah bergabung dengan Ratu Alam Baka melakukan pembunuhan di mana-mana?

“Ki Sidarata, apa yang kau kerjakan di sini?” bentak sosok berpakaian serba putih.

Bekas Ketua Padepokan Camar Putih ini memandangi ketiga orang yang baru datang. Mereka tak Iain tiga dari Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka. Namun setelah sekian lama mengamati, tampaknya Ki Sidarata seperti tidak mengenal mereka, “Siapa kau?” tanya Ki Sidarata heran.

“Aku Erlangga, sahabatmu...!” jawab laki‐laki berbaju putih yang tak lain Erlangga tegas. Sementara dua pendekar lainnya adalah Ki Kaswatama dan Ki Sumping.

“Huh! Aku sama sekali tidak mengenalmu. Lebih baik, kalian pergi ke neraka...!”

Ki Kaswatama, Ki Sumping, dan Erlangga tercengang. Jelas ada sebuah kekuatan yang menguasai jiwa Ki Sidarata. Dan ketiga laki-laki ini tidak mungkin mampu menyadarkan Ketua Padepokan Camar Putih ini.

“Ingatlah, Ki. Iblis telah menguasaimu. Masih ada kesempatan bagimu untuk kembali ke jalan semula. Kami akan menolongmu!” ujar Erlangga, berusaha membujuk.

“Bunuh mereka!” perintah Ki Sidarata pada kelima anak buahnya yang memakai jubah hitam. Tentu saja hal ini amat mengejutkan ketiga pendekar itu.

“Bagus! Ternyata kau tetap setia pada Ketua Yang Agung, Sidarata. Untuk kesetiaanmu, nanti kuberikan surga lagi untukmu!” timpal Ratu Alam Baka, memuji.

Sementara itu, kelima laki-laki berjubah hitam menerjang ketiga pendekar ini dari seluruh penjuru arah. Tangan mereka yang berwarna hitam terkembang, meluncur deras mencari sasaran.

Namun dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, ketiga pendekar itu segera melenting ke udara. Tongkat bambu di tangan mereka serentak pula menghajar punggung lawan-lawannya.

Mendapat serangan itu, kelima laki-laki berjubah hitam dengan gesit berkelit, seraya coba menangkis serangan tongkat bambu. Namun ketiga pendekar itu mendadak menarik balik serangannya. Bahkan secepat kilat melepaskan tendangan ke wajah.

Serangan itu, tentu merupakan kehebatan tersendiri bagi ketiga pendekar itu. Karena, mereka menyerang justru pada saat tubuh tengah meluncur ke bawah. Maka orang-orang berjubah hitam ini sama sekali tidak sempat menghindar karena gugup. Lalu....

Buk! Buk! Buk! Prol!

“Wuaaakh...!” Tiga dari lima orang berjubah hitam terdorong ke belakang disertai jeritan tertahan sambil memegangi mulutnya yang mengucurkan darah. Pada saat mereka menyemburkan darah dari mulut, maka beberapa buah gigi tampak ikut tanggal terpental keluar.

Seperti tidak menghiraukan sakit yang diderita, lima laki-laki berjubah hitam kembali membangun serangan gencar. Tiga pendekar itu tidak tinggal diam. Mereka segera memutar bambu di tangan dengan cepat sekali, menimbulkan suara mendengung-dengung menyakitkan telinga.

Akibatnya lima laki-laki berjubah hitam terhuyung mundur. Namun mereka segera menutup telinga dengan pengerahan tenaga dalam. Sehingga, pengaruh putaran bambu menghilang dengan sendirinya. Pada saat itulah lima laki-laki bermantel hitam kembali mencecar ketiga pendekar itu. Pukulah-pukulan dahsyat dilepaskan. Bahkan tidak jarang melepaskan tendangan beruntun.

Namun, tampaknya ketiga pendekar dari Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka ini cukup tangguh. Para anak buah Ratu Alam Baka yang berjubah hitam melompat mundur. Sejenak mereka membuat gerakan tangan dengan gerakan rapi. Tepat ketika berhenti di depan dada, tenaga dalam telah tersalur ke bagian tangan, sehingga berubah menghitam. Dari telapak tangan langsung tercium bau amis pula, pertanda mereka telah bersiap-siap melepaskan pukulan keji.

“Hiyaaa...!” teriak kelima laki-laki berjubah hitam seraya mengeluarkan aji 'Harimau Hitam Keluar Sarang' secara serentak. Hanya beberapa kejap saja, kelima laki‐laki itu telah mendorongkan kedua tangan ketiga arah sekaligus. Karena suasana dalam keadaan gelap, maka ketiga pendekar itu tidak melihat sinar hitam yang meluncur deras.

Namun sebagai tokoh-tokoh yang telah banyak pengalaman di dunia persilatan, begitu merasakan adanya sambaran angin berbau amis, ketika pendekar ini langsung mengibaskan tangan ke depan.

Wut! Wut! Wut!

Saat itu juga, meluruk tiga leret sinar putih berkilauan menerangi kegelapan, memapak serangan yang tak terlihat. Maka, bertemunya kekuatan sakti itu pun tidak dapat dihindari lagi. Dan....

Glarrr!

Terdengar lima kali ledakan berturut-turut. Tampak lima sosok tubuh terpental sejauh tiga batang tombak. Lalu....

“Hoegkh...!” Kelima laki-laki berjubah hitam muntahkan darah segar. Tetapi mereka cepat bangkit kembali dan mulai membangun serangan.

Sementara ketiga pendekar itu hanya terjajar dengan tubuh bergetar. Namun dengan penyaluran napas dan sedikit hawa murni, mereka bisa menguasai diri lagi.

Sementara itu, tanpa ada yang sempat mencegah, lima belas laki-laki lain berjubah kuning terus melakukan pembakaran. Penduduk yang mencoba menyelamatkan diri langsung dibantai. Sehingga, di sana sini terdengar pekik kematian.

Ketiga pendekar itu memang hanya dapat mengurut dada mendengar jerit tidak berdaya para penduduk itu. Habis mau bilang apa? Sebab mereka sendiri saat itu sedang menghadapi lawan-lawan yang tampak tidak mempunyai titik kelemahan untuk dibinasakan.

“Pergunakan jurus 'Gempuran Sang Badai' ujar Ki Kaswatama, berbisik.

“Siap!” jawab Ki Sumping dan Erlangga.

Beberapa saat kemudian, pertarungan benar-benar tampak seru dan mendebarkan. Serentak dan secara susul-menyusul, mereka melakukan serangan gencar satu sama lain

Lima laki-laki berjubah hitam anak buah Ratu Alam Baka berusaha mendesak. Namun pertahanan Ki Kaswatama, Erlangga, dan Ki Sumping begitu kompak. Bahkan serangan balik ketiga pendekar itu sangat gencar. Akibatnya kelima anak buah Ratu Alam Baka terpaksa terus bermain mundur saja.

Kenyataan ini jelas menguntungkan bagi para pendekar dari Lembah Seribu Duka. Tiba‐tiba mereka mencampakkan bambu di tangan, dan segera mencabut senjata berupa pisau panjang berwarna putih mengkilat.

“Mari kita habisi mereka!” teriak Ki Kaswatama memberi aba-aba.

“Setuju! Hiyaaa...!” sahut Ki Sumping dan Erlangga.

Tubuh mereka bergerak memutar kelima arah sekaligus. Sedangkan pisau panjang di tangan meluncur deras menghantam tiga jalan kematian. Kelima laki-laki berjubah hitam ini terkesiap. Mereka cepat memiringkan badan ke samping. Tetapi, gerakan dua orang Pendekar Lembah Seribu Duka tidak kalah cepat. Sehingga....

Cras! Cras!

“Wuaaakh...!” Kedua laki‐laki berjubah hitam menjerit keras ketika tangan kanan mereka putus terkena sabetan senjata Ki Kaswatama dan Erlangga yang sangat tajam. Potongan tangan itu jatuh ke tanah. Tetapi anehnya bisa bergerak-gerak seakan hidup. Lalu, melayang ke udara dan melekat kembali ke bagian yang sempat terputus tadi.

Trep!

“Heh...?!” Tiga pendekar dari Lembah Seribu Duka terkejut setengah mati. Mereka merasa yakin ada kekuatan gaib yang telah mengembalikan tangan itu ke tempat asalnya.

“Kalian bertiga akan mati di tangan kami. Semua orang yang berani menentang Ratu Alam Baka dan Ketua Yang Agung, harus lenyap dari kolong langit!” dengus Dewi Anggini, sambil terus memperhatikan jalannya pertarungan.

“Kalian iblis keparat! Hiyaaa...!” teriak Ki Kaswatama.

Tiba-tiba tiga pendekar dari Lembah Seribu Duka berjumpalitan ke belakang. Begitu mendarat, tangan kanan mereka bergabung menjadi satu. Tidak lama kemudian, terdengar suara jeritan di sana-sini. Tubuh ketiga pendekar itu tampak bergetar hebat. Keringat sebesar-besar jagung membasahi sekujur tubuh dan pakaian.

“Hiyaaa…!” Disertai teriakan keras menggelegar, mereka segera mengerahkan aji Membelah Bumi dalam keadaan tangan mereka telah menyatu, mereka segera menghantamkan ke permukaan tanah.

Blarrr...!

Seketika terdengar suara bergemuruh. Dan tanah di depan mereka pun menganga lebar siap menelan lawan-lawannya. Di sela-sela retakan tanah selebar dua batang tombak itu, tiba-tiba terlihat nyala api yang seakan-akan keluar dari dasar perut bumi.

Dua orang berjubah hitam yang sempat menerjang ke depan sudah tidak sempat lagi menyelamatkan diri. Tubuh mereka tercebur dalam kobaran api yang keluar dari rengkahan tanah saat itu juga terdengar jeritan menyayat yang sangat memilukan. Ki Sidarata terkesiap melihat kehebatan ajian yang sangat langka. Sebaliknya, Ratu Alam Baka menggeram marah. Seketika matanya dikedipkan.

Wuusss...!

Seketika dari mata itu melesat sinar putih berwarna keperakan yang menyambar ke arah lubang besar memanjang di depan ketiga pendekar dari Lembah Seribu Duka.

Jleb!

“Heh?!” Ketiga laki‐laki ini tersentak kaget ketika melihat tanah di depan bertaut kembali. Semetara dua laki‐laki berjubah hitam yang sempat tercebur tadi, sudah tidak dapat diselamatkan lagi. Dan hal ini justru membuat Ratu Alam Baka menjadi sangat marah!

“Mundur kalian semuanya!” teriak Dewi Anggini.

Tiga orang berjubah hitam berlompatan mundur. Sedangkan lima belas laki-laki berjubah kuning telah mengurung ketat ketiga pendekar dari Lembah Seribu Duka.

“Ketua! Biarkan aku yang membereskan bangsat-bangsat ini!” sergah Ki Sidarata sambil menjura hormat.

Tetapi Dewi Anggini yang telah dibangkitkan dari alam kubur ini menggelengkan kepalanya. “Ketua Yang Agung baru saja mengatakan padaku, agar membunuh mereka secepatnya. Hanya akulah yang akan melakukannya dengan tangan dan mataku!” desis Ratu Alam Baka.

Ki Sidarata terpaksa melompat mundur untuk memberi kesempatan pada Ratu Alam Baka.

“Kita dahului dia!” sentak Ki Kaswatama. “Gunakan jurus Menari Di dalam Lingkaran Bulan.”

Dua pendekar lainnya, segera mengangguk seraya mengerahkan jurus yang disebutkan Ki Kaswatama. Saat itu juga, ketiga laki-laki ini segera meIepaskan serangan-serangan paling berbahaya. Tangan mereka mencengkeram kebagian mata dan juga perut Ratu Alam Baka.

Karena serangan yang dilakukan terlalu cepat, maka dalam waktu sekedipan mata saja tangan‐tangan maut mereka sudah hampir mencapai sasaran. Namun dalam keadaan yang sangat gawat, Dewi Anggini mengibaskan tangannya untuk menghadang serangan.

Duk! Duk!

“Huugkh...?” Terdengar keluhan tertahan. Tampak ketiga pendekar itu terhuyung ke belakang. Jangan mereka yang membentur tangan Ratu Alam Baka terasa sakit dan berubah dingin membekukan. Bahkan belum sempat mereka melancarkan serangan kembali, wanita itu telah mengedipkan mata yang telah berubah memutih keseluruhannya.

Set!

Seketika tiga leret sinar putih melesat bagaikan kilat ke arah ketiga pendekar itu yang langsung terkesiap, karena penglihatan menjadi silau.

“Menghindar!” Ki Kaswatama yang menyadari bahaya sedang mengancam jiwa segera memberi peringatan dengan suara keras. Dan tubuhnya segera berguling-guling ke samping.

Tetapi malang bagi Ki Sumping dan Erlangga. Mereka terlambat menyelamatkan diri. Akibatnya...

Blar! Blarrr!

“Aaa...!” Jerit kematian mewarnai ledakan keras akibat sinar-sinar putih itu menghantam tubuh Erlangga dan Ki Sumping.

Dan sesuatu yang sangat mengerikan pun terlihat. Tubuh kawan-kawan Ki Kaswatama meleleh bagaikan lilin. Dan dalam waktu sangat singkat, yang tertinggal hanya tengkorak dan tulang-belulang saja.

“Erlangga...! Ki Sumping...!” Ki Kaswatama menjerit menyayat melihat nasib menggiriskan yang terjadi pada dua sahabatnya. Laki‐laki Ketua Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka ini menggeram marah. Tangannya yang terkepal seketika diadu satu sama lain. “Hiyaaa...!” teriak Ki Kaswatama seraya mengerahkan pukulan Dewa Halilintar.

Gleger!

Terdengar serangkaian ledakan dahsyat bagaikan suara petir. Dari kepalan tangan yang diadu tadi, tampak bergulung-gulung sinar merah meluncur ke arah Ratu Alam Baka. Suasana panas kini seperti di neraka saja. Rupanya, Ki Kaswatama telah mengeluarkah pukulan Dewa Halilintar untuk menyerang wanita itu.

Pada saat yang sama, Ratu Alam Baka kembali mengedipkan matanya pula. Seketika sinar putih kembali melesat, memapak sinar pelangi. Kedua sinar itu saling himpit dan dorong-mendorong. Dan agaknya, Ki Kaswatama kalah dalam hal adu tenaga dalam. Sehingga....

Blarrr!

“Aaakh...!” Ketua Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka terjengkang. Dadanya terasa sesak. Ketika berusaha menarik napas, maka darah keluar dari hidung, mulut serta telinganya.

Ratu Alam Baka walaupun sudah melihat lawannya dalam keadaan sekarat tanpa rasa kasihan lagi mengedipkan matanya kembali. Maka kembali sinar putih melesat bagai kilat. Lalu....

Glarrr!

Sinar putih kontan meluluh lantakan tubuh Ki Kaswatama. Daging di tubuhnya mencair dan menebarkan bau busuk. Sebentar saja Ketua Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka ini hanya tinggal tulang-belulang saja.

Dewi Anggini tersenyum dingin, menatap mayat Ki Kaswatama. Sementara Ki Sidarata dan anak buah lainnya yang menyaksikan kehebatan ketua mereka tampak terkagum-kagum.

“Kehebatan yang kau miliki tidak perlu diragukan lagi, Ketua. Aku bangga menjadi wakilmu!” Puji Ki Sidarata, takjub.

“Hi hi hi...! Kau memang pandai memuji. Tetapi, sudahlah! Hari menjelang pagi. Aku dan kau memerlukan tempat persembunyian. Besok malam, kita bisa mencari lagi musuh besar Ketua Yang Agung,” ujar Ratu Alam Baka.

Mereka semua tentu patuh dan tunduk pada perintah Dewi Anggini. Tanpa bicara apa-apa, anak buah Ratu Alam Baka mengikuti ke mana pun Dewi Anggini pergi.

********************

ENAM

“Sial...!” maki Kuntala, di atas kuda coklatnya.

Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya menggeleng-gelengkan kepala, seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

“Aku tidak tahan melihat semua ini! Di mana-mana kulihat rumah-rumah dibumihanguskan. Mayat-mayat penduduk yang tidak berdosa berceceran tanpa bisa mengatakan, siapa yang bersalah. Kita bukan pengubur jenazah. Satu hal yang sangat kusesalkan, mengapa kita tidak bisa menghentikan mereka?” desis pemuda berbaju biru itu.

Rangga yang sejak tadi duduk diam di atas punggung Dewa Bayu memandang tajam pada Kuntala. “Bicaramu seperti menyalahkan aku, Kuntala? Mengapa? Aku pun tak sudi membiarkan para iblis Itu menebar maut di mana-mana? Kau lihatlah tulang-belulang ini?” desis Pendekar Rajawali Sakti. Rangga menunjuk pada tiga onggok tulang-belulang yang terhampar dekat kaki kuda mereka.

“Melihat tongkat dan pisau panjang yang tergolek dekat mereka, kalau tidak salah tiga tulang-belulang itu mayat dari para pendekar dari Lembah Seribu Duka,” jelas Kuntala pelan. “Aku tidak habis mengerti, mengapa mereka berbuat kejam pada Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka?”

“Itulah jawabannya,”seru Rangga.

“Kau ingatlah selebaran yang kuceritakan yang ditulis di atas kulit manusia. Tampaknya Ratu Alam Baka dan anak buahnya hanyalah alat. Apa pun alasannya, orang yang berdiri di belakang Ratu Alam Baka pasti punya dendam tertentu terhadap Dewi Kunti, salah satu dari Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka,” jelas Pendekar Rajawali Sakti.

“Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanya Kuntala semakin bingung.

“Kita harus mencarinya. Tetapi kuharap kau jangan menyudutkan aku terus. Aku hanya manusia biasa yang mempunyai keterbatasan,” pinta Pendekar Rajawali Sakti.

“Maafkanlah. Aku terlalu kalut. Dan ini membuatku tidak dapat berpikir luas!” ucap Kuntala menyesalkan.

Rangga terdiam. Menurut apa yang didengarnya, Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka adalah orang-orang berkepandaian tinggi. Jika tiga di antaranya sampai binasa, berarti lawan lebih hebat lagi.

“Kita harus menemukan titik kelemahan mereka. Kurasa mereka sangat tangguh apabila bertarung di malam hari.”

“Bagaimana kau bisa beranggapan begitu?” tanya Kuntala.

“Aku hanya menduga. Semoga saja dugaanku tidak meleset. Bagaimanapun, kekuatan iblis selalu begitu. Sudahlah.... Sekarang kita lanjutkan pencarian ini. Semoga mereka belum jauh dari sini!” tegas Rangga.

“Mari,” sahut murid tertua Padepokan Camar Putih.

Kedua pemuda ini menggebah kuda yang mereka tunggangi menelusuri jejak-jejak yang tertinggal di atas pasir. Sampai di pinggiran sebuah hutan yang lebat, Pendekar Rajawali Sakti dan Kuntala kehilangan jejak.

Begitu lebatnya hutan itu, sehingga bila masuk ke dalamnya bagai berada dalam suasana malam hari saja. Pendekar Rajawali Sakti langsung mengerahkan aji Pembeda Gerak Dan Suara. Dia menggumam tak jelas, seperti ada sesuatu yang tertangkap di telinganya.

“Mereka tidak mungkin menghilang seperti hantu. Kurasa mereka berada di depan sana,” kata Kuntala, langsung turun dari kudanya.

“Sebaiknya kita masuk ke dalam hutan itu sekarang!” putus Rangga yang agaknya merasa yakin dengan pendengarannya.

Pendekar Rajawali Sakti segera turun dari kudanya. Mereka kemudian meninggalkan kuda masing-masing di pinggir hutan. Namun baru beberapa langkah menelusuri hutan yang begitu rapat pepohonannya, tiba-tiba dari atas pohon berlompatan lima belas orang berjubah kuning dan tiga berjubah hitam. Hanya dalam waktu sebentar saja mereka telah mengurung Pendekar Rajawali Sakti dan Kuntala.

“Inilah orang-orang yang sangat kau harapkan itu, Kuntala!” bisik Rangga, kalem.

“Tapi aku tidak melihat Ki Sidarata?” sahut Kuntala.

“Mungkin gurumu menganggap orang-orang ini telah cukup kuat untuk menyambut kedatangan bekas muridnya yang terlupakan!” sindir Rangga, sehingga membuat wajah pemuda itu merona merah.

“Kalian benar-benar berani mati telah datang kemari!” desis salah seorang laki-laki berjubah hitam geram.

“Sangat disayangkan, justru kedatangan kami untuk memenggal kepala kalian satu demi satu!” sahut Kuntala tidak kalah sengit

“Kalian hanya pemimpi konyol! Bunuh mereka...!” perintah laki-laki berjubah hitam.

Disertai gumaman tidak jelas, lima orang berjubah kuning langsung menerjang Rangga dan Kuntala. Kedua pemuda ini menyambut serangan dengan tidak kalah sengit. Bahkan Kuntala sudah mengeluarkan jurus Camar Menepuk Buih, salah satu jurus simpanan yang cukup hebat. Tiba-tiba saja Kuntala menerjang ke depan sambil menghantamkan kedua tangannya. Dua orang lawan yang berada paling dekat menjadi sasaran....

Plak! Plak!

“Wuaah...!” Kedua laki-laki berjubah kuning itu kontan terjengkang. Hidung mereka patah mengucurkah darah.

Sementara, Rangga telah pula menjatuhkan tiga orang dengan sekali gebrak. Melihat lima kawannya jatuh sekaligus, sepuluh orang berjubah kuning segera melakukan pengeroyokan. Dengan senjata gada berduri mereka berusaha bergerak mendesak Rangga dan Kuntala.

Wuuutt! Wuuutt!

Hujan senjata datang bertubi-tubi menghantam kedua pemuda ini. Namun melihat keroyokan yang membabi-buta itu, Rangga sedikit pun tak ciut nyalinya segera dipergunakannya jurus Sembilan Langkah Ajaib untuk menghindari serangan. Kakinya segera bergerak-gerak cepat dan lincah, dengan tubuh terus meliuk-liuk manis sekali.

Dan tak satu serangan pun yang dilancarkan lawannya berhasil mengenai sasaran. Gerakan-gerakan yang dibuat Pendekar Rajawali Sakti membuat orang-orang berjubah kuning menjadi penasaran. Maka hampir bersamaan, mereka berlompatan mundur. Begitu mendarat serentak mereka menghentakkan tangan ke arah Pendekar Rajawali Sakti dan Kuntala.

Wuut! Wuutt!

Saat pukulan jarak jauh meluncur dari tangan lima belas orang berjubah kuning, Rangga langsung merasakan sengatan hawa dingin yang mematikan. Bahkan Kuntala sempat menjerit dan tergelimpang, karena jalan darahnya tersendat-sendat. Rangga yang bermaksud melepaskan pukulan balik terpaksa menyelamatkan Kuntala dulu. Seketika disambarnya Kuntala. Lalu tubuhnya melenting ke udara, membuat serangan yang ditujukan pada dua titik hanya mengenai tempat kosong.

Glarrr!

“Heh...?!” Pendekar Rajawali Sakti telah hinggap di sebuah dahan pohon bersama Kuntala jadi terkejut. Akibat pukulan orang-orang berjubah kuning yang digabungkan menjadi satu, ternyata menimbulkan sebuah lubang yang sangat besar!

“Salurkan tenaga dalammu. Aku akan membuat pertahanan mereka jadi porak-poranda!” ujar Rangga.

Kuntala mengangguk. Sementara Pendekar Rajawali Sakti yang masih bertumpu pada dahan pohon, segera menyalurkan tenaga dalam ke bagian telapak tangan. Tiba-tiba sambil meluruk ke bawah kedua tangannya menghentak.

“Hiyaaa...!” teriak Rangga seraya mengerahkan aji Guntur Geni. Seleret sinar merah langsung meluncur deras ke delapan penjuru. Orang‐orang berjubah kuning bersurut mundur, dan cepat mendorongkan kedua tangannya ke arah serangan sinar merah.

Blarrr!

“Aaaeee...!” Belasan sosok tubuh berpentalan disertai jeritan kesakitan saling sambut.

Rangga sendiri terguling-guling. Dari sudut-sudut bibirnya meneteskan darah segar. Jelas, tenaga dalam lima belas orang berjubah kuning itu bila bersatu ternyata lebih besar daripada yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda berbaju rompi putih itu segera berdiri. Tetapi dadanya tiba-tiba saja menjadi sesak. Padahal pada saat itu beberapa orang berjubah kuning telah menyerang dengan gada berduri.

Pada saat yang gawat Kuntala yang berada di atas cabang pohon segera mencabut pedangnya. Tubuhnya langsung meluncur turun sambil mengibaskan pedang ke arah orang-orang yang mengerubuti Rangga.

“Kucing kurap di dalam karung memang minta dipentung! Hiyaaa...!” teriak Kuntala. Dan pedang di tangannya pun terus meluncur deras tanpa dapat dicegah lagi.

Cras! Cras!

“Aaakh...!” Terdengar jeritan saling susUl disertai bergelimpangannya beberapa sosok tubuh bersimbah darah. Tampaknya, Kuntala memang mengamuk bagaikan banteng terluka. Hal ini merupakan kesempatan bagi Rangga untuk mengobati luka dalamnya, melalui pengerahan hawa murni.

“Mereka tidak bisa lagi diajak main‐main, Kuntala!” kata Rangga.

“Ayolah cepat, aku sudah hampir terdesak!” keluh Kuntala melihat Rangga masih merapatkan tangan di dada.

Kini Rangga sudah tidak memberi hati lagi. Begitu pengerahan hawa murninya selesai, langsung dikerahkannya jurus Sayap Rajawali Membelah Mega. “Hiaaa...!” Tiba‐tiba saja Pendekar Rajawali Sakti meluruk deras ke arah orang yang berada di samping kanan. Tangannya menghantam ke dada dan kepala.

Duk! Prak!

“Aaa...!” Dua orang berjubah kuning kontan jatuh terjengkang terhantam tangan Pendekar Rajawali Sakti yang berisi tenaga dalam tinggi. Yang satu kepalanya retak. Sedangkan yang satunya lagi, dadanya melesak ke dalam. Mereka langsung terkapar tak bangun lagi.

Bersamaan dengan itu dari samping meluncur sebuah gada hendak mengemplang kepala Rangga. Dengan gerakan manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti segera melompat ke belakang. Pada saat yang sama, dari belakang datang pula serangan lain yang dilakukan oleh laki‐laki berjubah hitam.

“Hup...!” Rangga segera melenting ke udara. Tubuhnya berjumpalitan beberapa kali, lalu meluncur deras ke bawah. Langsung dikerahkannya jurus Rajawali Menukik Menyambar Mangsa dengan kaki meluncur menyambar kepala lawan-lawannya.

Prak! Prak!

“Aaakh...!” Empat orang kembali terpelanting dengan kepala hancur dan nyawa melayang ke neraka. Rangga sudah tidak mempedulikan lawan-lawannya yang tewas. Dia terus menghajar para pengeroyok yang semakin menyusut.

TUJUH

Kuntala sendiri tampak semakin sibuk. Dalam keadaan melakukan serangan, sebenarnya hatinya bertanya-tanya dalam hati mengapa lawan-lawannya yang sudah tewas sekarang tampak bergerak-gerak kembali? Apakah mereka dapat hidup lagi? Mengingat tempat terjadinya pertempuran di bawah pohon lebat tak tertembus sinar matahari.

“Rangga! Mereka hidup lagi!” teriak Kuntala, ketika melihat satu dua orang lawan yang telah menjadi mayat bangkit kembali.

“Jangan khawatir! Sekarang hari telah menjelang panas. Kau tebangilah pohon-pohon yang terdapat di sekeliling tempat ini. Biarkan aku yang membereskan mereka!” jawab Rangga keras.

Benar saja! Seketika Kuntala segera menebangi pohon-pohon di sekeliling tempat pertarungan. Sedangkan Rangga mulai saat itu mulai melepaskan pukulan-pukulan dahsyat.

“Heaaa...!” teriak Rangga seraya mengerahkan aji Bayu Bajra. Disertai teriakan keras menggelegak, Rangga tiba-tiba saja menghantam kedua tangannya ke arah lawan-lawannya. Dari telapak tangannya, seketika angin topan bergulung-gulung melesat.

Orang-orang berjubah kuning itu bagaikan daun-daun kering berpelantingan tersapu serangan Pendekar Rajawali Sakti. Jeritan keras pun mewarnai berjatuhnya beberapa sosok tubuh lawan. Mereka ada yang masih dapat bangkit berdiri, tetapi ada pula yang dalam keadaan sekarat.

Sementara itu Kuntala mulai berhasil menebang beberapa batang pohon, sehingga menimbulkan suara gemuruh memekakkan telinga. Ketika sinar matahari dapat menembus ke bawah, jeritan mengerikan pun terdengar di sana-sini. Mereka yang masih selamat berusaha mencari perlindungan di kelebatan daun pohon. Tetapi, Rangga tidak memberi kesempatan lagi.

“Hm.... Setelah matahari dapat menyinari kalian, aku tahu kawan-kawan kalian yang sudah mati tidak mungkin bisa hidup kembali. Hei, orang berjubah hitam! Kawanmu yang berjubah kuning hanya tinggal tiga orang lagi. Mereka bagian kawanku. Sedangkan kalian adalah bagianku...!” tantang Rangga.

“Kalian berdua akan menyesal karena telah membunuh pengikut-pengikut Ratu Alam Baka!” sahut orang berjubah hitam yang berbadan lebih jangkung.

“Jangan banyak bicara! Suruh keluar Ratu Alam Baka dan orang yang bernama Ki Sidarata!” tantang Rangga sengit.

“Kalian tidak layak memerintah kami! Huh...!” terdengar orang ini marah.

“Kuntala! Tiga monyet kuning itu bagianmu! Biarkan monyet lutung yang di depanku ini menjadi bagianku!” ujar Pendekar Rajawali Sakti, berusaha memanas‐manasi.

“Beres! Haiiit...!” teriak Kuntala. Setelah memutar pedangnya beberapa kali, Kuntala mengerahkan jurus Camar Menyambar Mematuk Ikan untuk menyerang.

Maka tentu saja lawan yang cuma tinggal tiga orang mulai pontang-panting mempertahankan diri. Sekarang mereka tidak dapat lagi mengembangkan permainan gada. Malah beberapa kejap setelah itu hanya main mundur menghindari tebasan pedang Kuntala.

“Hiyaaa...!” Kuntala tiba-tiba saja menerjang ke depan sambil mengibaskan pedangnya ke arah salah seorang yang berada di samping kiri. Orang berjubah kuning ini mencoba menghindari sambil menangkis dengan gada.

Trang!

“Heh...?!” Gada itu kontan terpental. Sedangkan pedang di tangan Kuntala terus meluncur. Dan....

Cresss!

“Aaakh...!” Salah seorang dari laki‐laki berjubah kuning menjerit tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung, lalu roboh dengan darah menyembur dari luka di bagian jantung.

Sementara itu, lawan yang dihadapi Rangga memang mempunyai ilmu olah kanuragan sedikit lebih tinggi dibandingkan mereka yang memakai jubah kuning. Tetapi, tampaknya Pendekar Rajawali Sakti tidak merasakan kesulitan. Ketika lawan-lawannya menerjang dengan tendangan dan pukulan yang terarah ke bagian lambung dan kepala, Rangga segera melakukan salto di udara. Begitu meluruk kembali tangannya bergerak mengibas dengan jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali.

Prak! Prak! Prak!

“Aaa...!” Disertai jeritan keras ketiga laki‐laki itu terpelanting dengan kepala pecah terhantam telapak tangan yang membentuk paruh rajawali.

Pendekar Rajawali Sakti menarik napas dalam-dalam. Ketika matanya melirik, pada saat itu Kuntala sedang mengibaskan pedang ke bagian perut dan dada lawannya.

Cras! Cras!

“Aaa...!” Kedua laki-laki berjubah kuning itu terjengkang dengan isi perut terburai keluar. Mereka berkelojotan sebentar, lalu diam tak bergerak untuk selama-lamanya.

Trek!

Kuntala menghampiri Rangga, setelah menyarungkan pedangnya yang telah dibersihkan dengan baju pakaian salah seorang berjubah kuning. Dijabatnya tangan Rangga. Pendekar Rajawali Sakti merasa terheran-heran.

“Ada apa rupanya?” tanya Rangga.

“Aku hanya merasa senang, karena kita mampu membunuh pengikut-pengikut Ratu Alam Baka,” jawab Kuntala.

“Simpanlah kegembiraanmu. Karena, kita belum berhasil mendapatkan sasaran yang diinginkan!” ujar Rangga, tegas.

“Lalu bagaimana?”

“Kita harus mencari mereka. Mudah-mudahan, mereka masih berada di sekitar tempat ini,” kata Rangga.

Dan mereka pun segera menelusuri jejak Ratu Alam Baka. Namun setelah mencari-cari ke seluruh tepian hutan, tidak terlihat tanda-tanda Ratu Alam Baka bersembunyi di sekitar tempat itu.

“Induk ayam tidak pernah jauh dari anak-anaknya,”desis Rangga.

“Apa maksudnya?” tanya Kuntala.

“Maksudku, mustahil pengikut-pengikutnya terpisah jauh dari pimpinan mereka,” jelas Rangga.

“Tetapi kita tidak menemukannya. Lebih baik kita cari di tempat lain!” saran Kuntala.

Pendekar Rajawali Sakti memang merasa tidak ada gunanya bertahan di situ lebih lama lagi. Sehingga, mereka segera pergi meninggalkan tempat Ini.

********************

“Bagaimana, Ratu? Mengapa kita tidak bertindak ketika mereka membunuh seluruh pengikutmu?” tanya Ki Sidarata.

Dewi Anggini yang saat itu duduk di dalam sebuah gua kecil hanya diam membisu. Memang, dalam keterbatasannya, Ratu Alam Baka dan Ki Sidarata tak bisa berbuat apa-apa saat Pendekar Rajawali Sakti dan Kuntala menghabisi para anak buah Ratu Alam Baka yang berjubah kuning. dan berjubah hitam.

Mereka memang sebenarnya melihat pertarungan itu dari kelebatan hutan yang tak mereka lihat, daerah sekitar pertarungan mulai tertembus sinar matahari, setelah Kuntala menebangi pohon-pohon di sekitar pertarungan. Sehingga sinar matahari bisa menembus masuk. Inilah yang menghalangi Ratu Alam Baka dan Ki Sidarata.

Dan sebelum Ratu Alam Baka menjawab, muncul seorang laki-laki berjubah merah dari arah pintu gua. Begitu melihat siapa yang datang, Ki Sidarata maupuh Ratu Alam Baka langsung berlutut memberi hormat.

“Ketua Yang Agung menyusul kami?” tanya Ratu Alam Baka terkejut. “Jadi, Ketua Yang Agung juga melihat kehancuran anak buah kami di tangan kedua pemuda tadi...?”

“Aku selalu menyertai ke mana pun kalian pergi. Hari ini kita benar-benar kecolongah. Dan ini, membuatku sangat gusar!” desis laki-laki memakai jubah merah yang berjuluk Ketua Yang Agung.

“Aku tidak dapat melindungi mereka, Ketua Yang Agung. Karena....!”

“Ya..., aku tahu. Jika kau keluar pada saat matahari panas terik, maka seluruh kekuatanmu akan luntur. Kau menjadi orang yang mudah dikalahkan. Padahal, kau menjadi harapanku satu-satunya untuk menyelesaikah dendam lama,” potong Ketua Yang Agung seakan mengerti apa yang ingin diucapkan Ratu Alam Baka.

“Lalu bagaimana, Ketua Yang Agung?” tanya Ki Sidarata.

“Apa yang harus kalian lakukan tetap tidak berubah. Hanya tugas yang harus kalian hadapi kini bertambah dengan munculnya kedua pemuda tadi,” jelas Ketua Yang Agung.

“Tampaknya kedua pemuda itu mempunyai kepandaian tinggi, Ketua Yang Agung. Terlebih-lebih pemuda yang memakai baju rompi putih itu,” Ratu Alam Baka menimpali.

“Benar. Aku juga telah melihatnya,” sahut orang berjubah merah gusar. “Tetapi selama aku masih hidup, kalian tidak perlu merasa gentar. Karena, aku selalu mengawasi dan melindungi kalian berdua dari kehancuran. Kalian berdua akan tetap abadi selama-lamanya,” tandas Ketua Yang Agung disertai senyum dingin. “Dan kalian yang penting harus membayarkan dendamku pada salah satu dari Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka...!”

Ki Sidarata terdiam. Sementara Ratu Alam Baka sendiri merasa heran, siapa sebenarnya orang yang menjadi musuh besar majikannya itu? Bukankah menurut Ketua Yang Agung, dia telah membunuh tiga dari Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka? Lalu, siapa yang dimaksud?

“Ketua Yang Agung,” panggil Ratu Alam Baka yang bernama asli Dewi Anggini.

“Ya...!” sahut orang berjubah merah itu.

“Di antara Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka yang mana sebenarnya musuh besarmu?” tanya Ratu Alam Baka.

“Ha ha ha...! Kau rupanya ingin tahu, Dewi Anggini. Orang yang sangat kubenci adalah orang yang telah menyakiti hatiku! Aku ingin melihatnya mati. Dia bernama Dewi Kunti!”

“Dewi Kunti?” desis Ratu Alam Baka, seperti mencoba mengingat-ingat. Pada kesadarannya yang tumpul, Ratu Alam Baka seperti pernah dekat dengan nama itu. Hanya saja, dia tidak tahu kapan dan di mana?

“Tampaknya kau terkejut? Apakah kau mengingat sesuatu?” tanya laki-laki berjubah merah menyelidik.

“Tidak! Aku tidak dapat mengingat apa-apa. Yang aku tahu, persoalanmu adalah persoalanku juga, Ketua Yang Agung. Jika kau sedih, aku pun turut merasakan kesedihanmu. Hanya aku ingin bertanya, apakah anak buah kita yang telah mati itu nanti malam dapat bangkit kembali?”

Ketua Yang Agung terdiam. Wajahnya tampak berubah muram. Mustahil anak buahnya yang telah mati dapat dibangkitkan kembali. Karena, tubuh mereka telah terkena sinar matahari. Ilmu Pembangkit Raga tidak akan dapat dipergunakan untuk menghidupkan mayat yang telah terkena sinar matahari.

“Itu tidak dapat kita lakukan, Ratu Alam Baka. Terkecuali jenazah mereka terlindung dari pengaruh Sinar surya,” jelas orang berjubah merah.

“Sangat disayangkan,” desis Ki Sidarata ikut menimpali.

“Ya.... Memang sungguh disayangkan. Tetapi, sdahlah. Jangan pikirkan yang telah terjadi. Aku yakin, kita bertiga mampu menghadapi lawan-lawan kita. Sekarang, lebih baik kalian bersenang-senang!” ujar laki‐laki berjubah merah sambil tersenyum.

Ketua Yang Agung kemudian keluar meninggalkan gua kecil yang dijadikan tempat persembunyian. Sedangkan Ki Sidarata dan Ratu Alam Baka yang berada di dalam ruangan gelap ini tampak saling berpandangan.

“Bagaimana, Wakilku? Apakah kita akan bercinta sepanjang hari ini?” tanya gadis jelita berbadan padat ini disertai senyum menantang.

“Kurasa memang lebih baik begitu. Masa-masa yang akan datang, kita akan menghadapi tantangan yang sangat berat Tidak ada salahnya jika kita bersenang-senang,” jawab Ki Sidarata.

Gadis ini kemudian menggeser duduknya di samping Ki Sidarata, Seketika tercium bau harum tubuh Ratu Alam Baka di hidung laki-laki tua yang sudah lupa ingatan itu. Saat itu juga dadanya bergetar. Napasnya terasa tersengal. Dan aliran darahnya seperti terbalik.

Sekejap kemudian tubuh mereka pun sudah saling menyatu. Mereka menikmati apa saja yang dapat diraih. Tanpa disadari, bila telah menyatu seperti itu, kekuatan yang mereka miliki semakin berlipat ganda! Dan itulah yang memang diharapkan Ketua Yang Agung.

********************

Dewi Kunti dan Gagak Lamar yang semula menempuh jalan ke arah selatan, sekarang terpaksa berbalik arah menuju jalan yang ditempuh ketiga pendekar dari Lembah Seribu Duka lainnya. Sebab ketika mereka berada di selatan, tidak menemukan petunjuk apa-apa. Kini di sepanjang jalan yang ditempuh, Dewi Kunti dan Gagak Lamar melihat pemandangan yang sangat menggiriskan.

Rumah-rumah yang dibumihanguskan, dan mayat-mayat bergelimpangan, menjadi pemandangan yang tidak mengenakkan. Dan mayat-mayat itu semuanya hampir membusuk. Tidak ada waktu lagi Gagak Lamar dan Dewi Kunti untuk menguburkan. Kedua pendekar ini terus mengerahkan ilmu meringankan tubuh untuk mengejar Ratu Alam Baka dan pengikutnya.

Menjelang senja, kedua pendekar ini telah sampai di Desa Randu Abang yang suasananya tampak sepi. Mungkin penduduknya telah mengungsi ke daerah lain yang lebih aman. Sebab, siapa pun tahu tentang pembantaian yang dilakukan Ratu Alam Baka yang keji itu.

Setelah sampai di tengah-tengah desa, Dewi Kunti dan Gagak Lamar menghentikan langkahnya. Mereka memperhatikan suasana di sekeliling dengan tatapan curiga.

“Sebaiknya kita memeriksa tempat ini, Gagak!” saran Dewi Kunti.

“Apakah kau punya firasat bahwa para iblis itu berada di sekitar sini?” tanya Gagak Lamar, ragu.

“Entahlah! Jantungku berdebar terus. Perasaanku bahkan tidak begitu enak,” desah Dewi Kunti mengeluh.

“Mungkin karena kita jarang istirahat! Apa tidak sebaiknya kita melewatkan malam dengan beristirahat di sini?” usul Gagak Lamar.

“Tidak bisa! Kita tidak tahu, bagaimana nasib kawan-kawan kita. Lagi pula, mana mungkin aku bisa memejamkan mata, jika Ratu Alam Baka belum dapat dibekuk?” tegas Dewi Kunti.

“Lalu....?”

“Periksa rumah-rumah kosong di depan sana, Tolol!”

“Kau jangan marah terus padaku. Sebaiknya, jangan menyembunyikan sesuatu jika memang mengetahuinya, Kunti!” sergah Gagak Lamar, bersungut-sungut.

“Aku tidak dapat mengatakannya. Karena, aku merasa belum yakin betul,” jawab Dewi Kunti.

“Apa yang kau ketahui?”

“Sudahlah, periksa sana! Aku muak melihatmu. Kau sekarang menjadi orang yang sangat bawel di kolong langit ini,” desis perempuan setengah baya itu semakin sengit.

Gagak Lamar tidak ingin terjadi keributan di antara mereka. Untuk itu segera dikerjakannya apa yang diperintah Dewi Kunti. Namun baru saja beberapa langkah meninggalkan Dewi Kunti, tiba-tiba terlihat dua sosok tubuh membawa obor berjalan perlahan ke arah mereka. Gagak Lamar menghentikan langkahnya. Matanya memandang tajam ke depan. Ternyata, orang‐orang itu tidak lain dari seorang gadis berbaju putih, dan seorang laki‐laki berbaju biru.

“Siapa mereka, Kunti?” tanya Gagak Lamar, seraya mundur kembali mendekati Dewi Kunti.

Dewi Kunti terdiam. Matanya terus mengamati kedua orang yang baru datang itu. Setelah kedua orang membawa obor itu benar-benar berdiri di depannya, Dewi Kunti tampak terkejut setengah mati. Tanpa sadar, matanya terbelalak lebar.

“Dewi Anggini?” desis wanita setengah baya itu tidak percaya.

“Apa yang kau katakan tadi?” tanya Gagak Lamar.

“Anggini adalah keponakanku yang telah meninggal sepuluh tahun yang lalu...,” jelas Dewi Kunti, berbisik.

“Bagaimana mungkin?” sergah Gagak Lamar.

“Benar... Dewi Anggini telah meninggal karena diracun adik sepupuku yang bernama Gotawarman. Laki‐laki itu tahu, Dewi Anggini adalah orang yang sangat ku kasihi. Untuk menghancurkan hatiku, bangsat itu telah membunuhnya. Dan kini rupanya Gotawarman telah membangkitkan mayatnya. Aku baru menyadari, setelah kuburan di Pemakaman Keramat Sokalarang kita temukan dalam keadaan kosong,” papar Dewi Kunti.

“Bagaimana mungkin hal itu terjadi?” tanya Gagak Lamar dengan heran.

“Gotawarman adalah anak adik ayahku. Dia adalah manusia sesat yang dulu sangat mengharapkan cintaku. Tetapi aku tidak bisa menerimanya. Selain berpantangan, juga karena masih ada hubungan darah. Aku juga tidak suka perilakunya yang gila. Bahkan, dia juga telah membunuh kekasihku. Dan aku terus menghindarinya. Dari sini mungkin dia menjadi penasaran. Suatu ketika, aku melihatnya hampir memperkosa Dewi Anggini yang berdiri di depan kita saat ini. Namun, aku berhasil menggagalkannya,” urai Dewi Kunti, pilu.

DELAPAN

Gagak Lamar membisu. Sungguh tidak disangka masa lalu Dewi Kunti begitu menyedihkan. Pantas saja wanita ini rela tinggal di Lembah Seribu Duka bersama orang-orang yang senasib seperti dirinya.

“Kemudian karena Gotawarman tidak berhasil mempersunting dirimu, lalu kecewa?” tebak Gagak Lamar.

“Memang begitulah kenyataannya,” desah Dewi Kunti.

“Tetapi mengapa harus meracuni gadis ini?” tanya laki‐laki itu tampak tidak puas.

“Sudah kukatakan tadi, dewi Anggini adalah orang yang sangat dekat denganku. Dan buktinya, setelah kematian keponakanku ini, aku benar-benar hampir gila dibuatnya. Sementara, si keparat Gotawarman pergi entah ke mana?” ujar Dewi Kunti geram.

“Lupakanlah masalah itu. Dewi Anggini sudah mati. Dan artinya, sekarang ini kita sedang berhadapan dengan mayatnya yang telah dibangkitkan seseorang!”

“Betul, Gagak Lamar. Kebaikan mayat tergantung niat baik buruknya orang yang telah membuatnya hidup kembali. Lalu, siapa orang yang berada di sebelahnya?” tanya Dewi Kunti curiga.

“Kalau tidak salah, dialah Ketua Padepokan Camar Putih yang bernama Ki Sidarata,” sahut Gagak Lamar, pelan.

Dewi Kunti kemudian berjalan mendekati Dewi Anggini dan Ki Sidarata. Matanya tajam memperhatikan keponakannya yang telah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Kalau menuruti kata hati, ingin sekali dipeluknya Dewi Anggini yang sangat dirindukannya. Walaupun disadari, gadis yang sangat dimanjanya telah mati.

“Benarkah kau Dewi Anggini?” tanya Dewi Kunti suaranya bergetar memendam rindu.

“Huh! Jangan bicara sembarangan. Kau adalah musuh besar Ketua Yang Agung!” dengus Ratu Alam Baka.

“Siapa yang kau maksud dengan Ketua Yang Agung?” tanya Dewi Kunti.

“Kau memancingku! Tetapi, aku memilih tidak menjawabnya!” desis Ratu Alam Baka sinis.

“Baiklah kalau kau tidak mau menjawabnya. Tetapi, kau harus mengatakan sebuah kebenaran padaku. Bukankah kau Dewi Anggini? Dan, orang yang berdiri di sampingmu itu pasti Ki Sidarata, Ketua Padepokan Camar Putih.”

“Aku Ratu Alam Baka. Dan kekasihku yang merangkap wakilku ini adalah Pangeran Tampan Sidarata,” sahut Dewi Anggini tegas.

“Tampaknya kita tidak mungkin menyadarkannya. Jelas dalang yang berdiri di belakangnya adalah musuhmu!” kata Gagak Lamar mengingatkan Dewi Kunti.

Tetapi Dewi Kunti tampaknya masih penasaran juga. Dan dia merasa tidak yakin Dewi Anggini telah dikendalikan kekuatan jahat. Pertemuan itu membuat perempuan berumur sekitar empat puluh tahun ini lupa kalau gadis yang dihadapinya sebenarnya sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu.

“Dewi Anggini! Kau harus sadar, siapa dirimu. Kurasa kau tidak gila telah memilih laki-laki tua yang pantas menjadi ayahmu!” bujuk Dewi Kunti.

Mata Ratu Alam Baka tiba-tiba saja mendelik. Jarinya dijentikkan ke arah Dewi Kunti.

Set!

Gagak Lamar dan Dewi Kunti jadi terkejut, ketika melihat sinar hitam meluncur deras ke arah mereka. Sebagai orang berpengalaman, kedua pendekar dari Lembah Seribu Duka ini langsung melompat ke udara. Serangan yang dilakukan Ratu Alam Baka tidak mengenai sasaran, satu jengkal di bawah kaki Dewi Kunti dan Gagak Lamar.

Blarrr...!

Serangan tersebut menghantam rumah yang terdapat di belakang kedua pendekar itu, menimbulkan ledakan dahsyat. Bahkan rumah itu langsung terbakar. Baru saja Ratu Alam Baka hendak melancarkan serangan kembali, tiba-tiba dari dalam kegelapan melesat sosok bayangan merah ke tengah kancah pertamngan.

“Tahan dulu, Ratu Alam Baka...!” seru bayangan itu.

Ketika bayangan merah itu menjejakkan kakinya tidak jauh di samping Dewi Anggini, Dewi Kunti jelas tidak dapat menahan rasa kagetnya. Di depannya, tampak laki‐laki berjubah merah yang sangat dikenalnya.

“Heh?! Rupanya kaulah orangnya yang berdiri di belakang Ratu Alam Baka, Gotawarman?! Selama ini pergi ke mana saja kau, Manusia Keparat!” desis Dewi Kunti geram.

“Ha ha ha...! Aku berada di Pemakaman Keramat Sokalarang selama bertahun-tahun, menciptakan sebuah ilmu untuk menghancurkan kesombonganmu!” sahut laki-laki berjubah merah yang tidak lain Gotawarman.

“Manusia licik! Kau rupanya menyamar menjadi kuncen Pemakaman Keramat Sokalarang. Dan kau telah membangkitkan Dewi Anggini keponakanku dengan ilmu iblismu?” geram perempuan itu sambil berkacak pinggang.

“Ilmu 'Pembangkit Raga hanya aku saja yang memilikinya. Aku merasa senang, karena telah berhasil membangkitkan keponakanmu dari kematiannya. Mengapa kau tidak pernah berterima kasih?” ejek Gotawarman.

“Kau yang telah meracuni Anggini. Dan sekarang, kau memperalatnya, untuk menghadapi aku. Sebagai laki‐laki, kau adalah seorang pengecut memuakkan!”

“Ha ha ha...! Aku tidak membunuhnya. Aku hanya menyuruhnya beristirahat selama sepuluh tahun!” bantah Gotawarman sambil tertawa-tawa.

“Benarkah kau dulu telah meracuni aku, Ketua Yang Agung?” selak Ratu Alam Baka tiba-tiba.

“Tentu saja tidak. Pengacau ini hanya mengada-ada. Dia hendak mengadu domba di antara kita. Untuk seorang pengacau seperti dia, kalian berdua pantas membunuhnya. Dialah musuh besarku, Ratu Alam Baka. Sekarang, hancurkan mereka!” perintah Gotawarman tegas.

“Jangan percaya, Anggini. Dia manusia keparat sialan yang telah membunuhmu. Sadarlah kau...!” teriak Dewi Kunti.

“Percuma kau memperingatinya, Kunti! Dia telah dibangkitkan oleh orang yang salah, dan pada waktu yang keliru pula. Tidak ada pilihan lain bagimu, selain menghadapinya!” tandas Gagak Lamar.

Dewi Kunti terdiam. Tanpa disadarinya ada air mata menggenang di pelupuk matanya. Pergolakan telah terjadi di dalam hati sanubarinya. Dan, hanya dia sendiri yang tahu.

Dewi Kunti sebagaimana yang dikatakan Gagak Lamar memang tidak punya pilihan lain. Apalagi ketika juga Ki Sidarata yang telah mendapat isyarat dari Gotawarman, telah menerjang. Gagak Lamar langsung menghadang ke depan.

“kau adalah lawanku, Ki Sidarata! Hiyaaa...!” teriak Gagak Lamar.

Kedua laki‐laki ini sebentar saja telah terlibat dalam sebuah perkelahian seru. Masing-masing telah mengerahkan jurus-jurus simpanannya.

“Dengan berat hati, aku terpaksa mengembalikan kau ke asalmu, Anggini...!” desis Dewi Kunti.

Tiba-tiba perempuan setengah baya itu menerjang ke depan sambil melepaskan tendangan ke bagian wajah Dewi Anggini. Cepat sekali datangnya serangan, membuat Ratu Alam Baka terpaksa melompat mundur ke belakang.

Sementara itu Gotawarman terus mengawasi jalannya pertempuran dari jarak yang tidak begitu jauh. Setelah serangannya luput, maka Dewi Kunti segera mempergunakan jurus andalannya. Maka hanya dalam waktu lima belas jurus, perempuan itu mulai berhasil mendesak Ratu Alam Baka.

Pada kenyataannya, semasa hidup dulu Dewi Anggini adalah gadis yang kurang mahir dalam ilmu olah kanuragan. Kalaupun belajar, baru sampai pada bagian dasar saja. Waktu itu, Dewi Kunti yang melatihnya. Tidak dapat disangkal kalau dia hanya mampu menghindar dan menangkis.

Namun ketika tiba‐tiba Ratu Alam Baka menjentikkan kelima jemari tangannya, Dewi Kunti harus berjuang keras memutar tongkat bambu di tangannya. Sebab, sebanyak lima leret sinar hitam telah mengancam jalan darah di tubuhnya. Perempuan setengah baya ini membuat sebuah pertahanan dengan memutar tongkat bambunya.

Wuut! Trak! Tes! Tes! Tes!

“Aiiih...!” Tiga dari lima serangan Ratu Alam Baka berhasil memutus tongkat bambu di tangan Dewi Kunti menjadi tiga bagian. Terpaksa wanita setengah baya itu membuang tongkat bambunya yang hanya tinggal dua jengkal. Namun saat itu juga, Dewi Kunti mengerahkan tenaga dalam ke bagian telapak tangan. Dan ketika melompat ke depan....

“Hiyaaa..!” Disertai teriakan nyaring, Dewi Kunti mengerahkan aji Segara Guntur seraya mendorongkan tangannya ke depan.

Glegar!

Serentetan bunyi yang disertai kilatan bagai halilintar, sambung menyambung mendem ke arah Ratu Alam Baka. Ini merupakan serangkaian pukulan yang sangat berbahaya. Siapa pun yang terkena, tubuhnya akan hangus. Rupanya Ratu Alam Baka menyadari bahaya besar yang sedang mengancam. Seketika tenaga dalamnya dikerahkan ke bagian mata. Dan maka dalam waktu sekejap, kedua bola matanya telah memutih seluruhnya. Kemudian, matanya pun mengedip.

Wuuusss!

Dua leret sinar putih meluncur deras menghantam serangan yang dilepaskan Dewi Kunti.

Tep!

Ketika kedua tenaga sakti itu bertemu, terjadilah dorong-mendorong yang menegangkan. Dewi Kunti terhuyung ke belakang. Dadanya terasa sesak seperti ada batu gunung yang menghimpitnya. Sedangkan di pihak Ratu Alam Baka hanya bergetar saja. Hingga tiba-tiba Dewi Anggini menggelengkan kepalanya dengan keras. Lalu....

Glarr! Glarrr!

“Huaaakh!” Jeritan tertahan keluar dari mulut Dewi Kunti disertai semburan darah segar. Tubuhnya terpelanting ke belakang. Perempuan ini jelas menderita luka dalam yang cukup parah. Dan baru saja dia bangkit, Ratu Alam Baka telah meluruk kembali. Sambil menahan luka yang diderita, Dewi Kunti mencabut sebuah trisula di pinggang yang memiliki ketajaman luar biasa.

Dengan mempergunakan senjata itu dia berusaha menahan gempuran Dewi Anggini. Satu hal yang sangat dijaganya, wanita setengah baya ini tidak ingin melihat keponakannya itu melakukan serangan terlebih dahulu. Sebab, mata Ratu Alam Baka ternyata sangat berbahaya!

Sementara itu, perkelahian antara Ki Sidarta dan Gagak Lamar juga sudah mencapai puncaknya. Kedua orang ini tampaknya sudah sama-sama menderita luka dalam. Ki Sidarata yang telah mencabut pedangnya, segera mengerahkan jurus-jurus andalan.

“Mampuslah kau, Keparat! Hiyaaa...!” teriak Ki Sidarata sambil menusukkan senjatanya ke bagian perut Gagak Lamar.

Satu dari Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka mencabut keris berlekuk tujuh dari balik pakaiannya. Saat itu juga keris berwarna kuning keemasan ini dikibaskan.

Tring!

Keduanya sama-sama terkejut dan terhuyung mundur. Benturan tadi membuat pijaran bunga api dari senjata masing-masing. Tetapi, Ki Sidarata cepat melompat kembali. Pedang di tangannya kembali meluncur membelah udara.

“Hup...!” Gagak Lamar berusaha menghindar. Tubuhnya berkelit ke samping, namun....

Bret!

“Aaakh...!” Karena gerakan menghindar yang dilakukan Gagak Lamar kalah cepat, maka ujung pedang Ki Sidarata masih sempat menggores pinggangnya. Tubuh laki-laki ini terhuyung-huyung sambil memegangi luka yang dideritanya.

“Sekali ini kau pasti mati di tanganku!” desis Ki Sidarata. Seketika senjata Ketua Padepokan Camar Putih berputar beberapa kali. Selanjutnya tubuh laki-laki berbaju biru ini melesat ke depan. Sementara pedangnya meluncur ke bagian dada.

Tidak ada kesempatan lagi bagi Gagak Lamar untuk menyelamatkan diri. Dan dia hanya bisa memejamkan mata saja, pasrah menanti maut. Tetapi pada saat yang sangat menegangkan, dua bayangan berkelebat cepat yang masing-masing ke arah Gagak Lamar dan Dewi Kunti yang saat itu juga kembali terkena serangan.

Trang!

Kembali terjadi benturan. Sementara bayangan biru yang baru saja datang menolong Gagak Lamar tidak memberi kesempatan lagi pada Ki Sidarata. Tubuhnya yang masih dalam keadaan berputar-putar di udara, segera mengibaskan kembali pedang ke bagian perut Ketua Padepokan Camar Putih. Begitu cepat gerakannya. Sehingga....

Wuuut! Cres!

“Aaa...!” Ki Sidarata jatuh terduduk sambil mengerang-ngerang kesakitan. Ususnya berhamburan keluar.

Pada saat ini malam telah menjelang dinihari. Bahkan, Ratu Alam Baka yang baru saja jatuh terkena tendangan sosok bayangan putih tampak mulai cemas.

“Guru keparat! Matilah kau...!” teriak sosok bayangan biru yang ternyata Kuntala sambil menebaskan pedangnya lagi ke bagian leher Ki Sidarata.

Crak!

“Aaa...!” Kepala Ki Sidarata kontan menggelinding. Dari duduknya, tubuhnya ambruk. Tewas di tangan bekas muridnya sendiri dengan kepala terpisah.

Saat itu Gagak Lamar yang telah mengobati luka di bagian pinggangnya, telah berhadapan dengan Gotawarman. Sedangkan Kuntala kemudian menyusul, mengeroyok manusia sesat itu.

“Sebentar lagi matahari segera terbit. Segala kekuatan iblis akan melemah, Kuncen. Dan kau harus mempertanggungjawahkan semua perbuatanmu!” dengus Kuntala sengit.

“Bangsat kalian. Hiyaaa...!” teriak Gotawarman. Dengan sengit, laki‐laki berjubah merah itu pun segera melakukan serangan dahsyat ke arah Kuntala dan Gagak Lamar.

Sementara itu, bayangan putih yang langsung membawa Dewi Kunti ke tempat yang aman, telah kembali lagi. Pemuda yang ternyata berbaju rompi putih itu menghampiri Dewi Anggini.

“Hm.... Jadi, Ratu Alam Baka yang telah membunuh ratusan jiwa itu adalah seorang gadis luar biasa cantiknya. Sayang, sebenarnya kau telah mati. Untuk kejahatan yang telah kalian lakukan, aku akan membuatmu kembali ke alam baka untuk selama-lamanya!” dengus pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti.

“Kau tidak bisa melakukannya, Cah Bagus! Kau yang akan mampus di tanganku!” sahut Ratu Alam Baka.

“Kekuatan apa lagi yang kau andalkan? Lihatlah! Langit di sebelah timur sana telah dipenuhi cahaya matahari. Kekuatanmu akan sirna...!” balas Rangga, tak kalah gertak.

“Kurang ajar!” maki Ratu Alam Baka, mengetahui rahasianya tercium lawannya. Disertai teriakan keras, Ratu Alam Baka menjentikkan sepuluh jari tangannya ke arah Rangga. Walaupun serangan itu tidak sehebat malam hari, namun tetap saja mengancam keselamatan Pendekar Rajawali Sakti.

“Hup!” Terpaksa Rangga berjumpalitan untuk menghindari serangan.

Blarrr!

Rangga berhasil menghindari serangan. Sehingga, sinar-sinar itu menghantam tembok rumah yang terdapat di belakangnya. Ketika Ratu Alam Baka mempergunakan matanya untuk menyerang kembali, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara. Beberapa kali dia berputaran, lalu meluncur deras ke bawah. Langsung dipergunakannya jurus Rajawali Menukik Menyambar Mangsa dengan kaki kanannya cepat meluncur ke bagian kepala Ratu Alam Baka.

Duk!

“Heh...!” Rangga menjadi kaget, karena tendangannya tidak membuat kepala wanita itu pecah.

Malah sekarang, dengan beringas Ratu Alam Baka yang matanya telah berubah putih, terus menyerang kembali. Ketika Dewi Anggini mengedipkan matanya kembali, matahari tampak mulai beranjak dengan sinarnya yang cerah. Dan sinar-sinar yang diciptakan jadi berkurang kecepatannya, membuat Pendekar Rajawali Sakti mudah sekali menghindarinya.

Ternyata, kekuatan yang dimiliki Ratu Alam Baka semakin banyak berkurang dengan terbitnya sang surya. Hal ini membuat Rangga semakin bersemangat. Seketika sambil menyimpan tenaga dalam ke bagian tangan, Pendekar Rajawali Sakti membuat gerakan. Tubuhnya miring ke kiri dan ke kanan. Tepat ketika tubuhnya tegak dengan kuda-kuda kokoh, tangannya telah merangkap di depan dada. Lalu....

“Sheaaa...!” teriak Rangga seraya mengerahkan aji Cakra Buana Sukma.

Pendekar Rajawali Sakti langsung mendorong kedua tangannya yang telah terselubung sinar biru ke depan. Pada saat itu Ratu Alam Baka baru saja menyusun serangan. Melihat serangan datang, kesepuluh jari tangannya cepat dijentikkan. Namun, serangan yang dilakukannya kalah cepat dari serangan Rangga. Sehingga....

Glarrr!

“Aaakh...!” Telak sekali serangan Pendekar Rajawali Sakti menghantam tubuh Dewi Anggini. Tubuh gadis cantik jelita itu kontan hancur berkeping-keping. Seketika, tercium bau busuk yang sangat tajam.

Gotawarman yang memang sudah terdesak menghadapi Kuntala dan Gagak Lamar, tampak terkejut ketika melirik ke arah orang yang menjadi andalannya. Tetapi Gotawarman tidak punya waktu lagi untuk memikirkan segala sesuatu yang telah terjadi. Dua orang yang dihadapi telah cukup berat baginya. Apalagi bila Pendekar Rajawali Sakti ikut turun tangan.

Berpikir sampai di situ, tiba-tiba saja nyalinya menjadi ciut. Dia mulai berpikir untuk melarikan diri demi keselamatan nyawanya. Maka tanpa diduga-duga kedua tangannya menghentak melepas pukulan jarak jauh ke arah dua lawannya secara berbarengan.

Wuut! Wuut!

Melihat serangan yang mematikan itu, Kuntala dan Gagak Lamar terpaksa melompat mundur menghindar. Dan kesempatan itu dipergunakan Gotawarman untuk kabur. Belum sempat laki‐laki berjubah merah itu menjauh, sebuah bayangan putih telah berkelebat menghadang dengan pedang terhunus.

“Mau lari ke mana kau? Ke neraka...?” desis bayangan putih yang tak lain Rangga.

Rupanya begitu melihat Gotawarman kabur, Pendekar Rajawali Sakti segera mencabut pedangnya yang bersinar biru berkilau. Pedang Pusaka Rajawali langsung mengibas, menghantam ke arah Ketua Yang Agung.

Crak!”

“Aaakh...!” Jeritan Gotawarman terdengar tertahan, begitu kepalanya menggelinding. Darah langsung menyembur dari lehernya yang buntung. Tepat ketika Rangga segera memasukkan senjata ke dalam warangka, Gotawarman ambruk di tanah.

Sejenak Pendekar Rajawali Sakti memandang Kuntala, Gagak Lamar, dan Dewi Kunti secara bergantian. Dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat pergi.

“Tunggu...!” cegah Kuntala. Percuma saja Kuntala berteriak, karena Pendekar Rajawali Sakti telah lenyap dan pandangan.

“Dia, benar-benar seorang pemuda yang sangat luar biasa” puji Dewi Kunti.

“Kau tadi datang bersamanya, Anak Muda. Apakah kau kenal dia?” tanya Gagak Lamar.

“Itulah Pendekar Rajawali Sakti!” jawab Kuntala.

Dewi Kunti dan Gagak Lamar hanya dapat meludah, Sungguh tidak disangka mereka bertemu pendekar yang kesohor itu. Diam-diam mereka menyesal, karena tidak sempat mengucapkan rasa terima kasih kepada pemuda itu.
S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: BENCANA TANAH KUTUKAN

Ratu Alam Baka

RATU ALAM BAKA

SATU

HUJAN deras senja tadi masih menyisakan air di ujung‐ujung dedaunan. Tanah di sepanjang jalan sunyi menuju Pemakaman Keramat Sokalarang pun masih tergenang air. Kegelapan menyelimuti alam sekitarnya. Di atas langit sana, bulan purnama bersembunyi di balik gerumbulan awan hitam.

Sementara dua sosok bayangan hitam yang tengah menyelusuri jalan menuju ke makam keramat di ujung Desa Sokalarang itu seperti tak mengenal rasa takut. Langkah mereka tergesa-gesa dengan napas terengah-engah. Agaknya kedua sosok yang ternyata berbaju serba hitam ini baru saja melakukan perjalanan sangat jauh. Namun anehnya, di tangan masing‐masing terdapat sebuah cangkul.

“Kita hampir sampai, Balaga!” bisik sosok bertubuh pendek, menghentikan langkahnya.

“Benar, Sambika! Tapi semakin dekat, semakin banyak bahaya yang akan dihadapi! Kita harus bersikap waspada!” sahut sosok berbadan jangkung bernama Balaga, juga menghentikan langkah.

Balaga langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling. Seakan dia khawatir kehadiran mereka telah diketahui orang lain.

“Jangan takut, Balaga! Kita telah banyak melakukan pembunuhan. Aku yakin, kuncen pemakaman ini tidak akan banyak tingkah terhadap kita,” ujar Sambika membesarkan semangat kawannya.

“Aku tidak pernah merasa takut pada siapa pun! Apalagi hanya terhadap seorang kuncen seperti Paratama. Dia tidak ada apa‐apanya!” dengus Balaga penuh keyakinan.

“Bergegaslah! Kita sudah hampir sampai!” ujar Sambika tidak sabar lagi.

Maka tanpa membuang-buang waktu mereka segera berlari kembali. Tidak sampai sepemakan sirih, mereka sudah tiba di depan gerbang Pemakaman Keramat Sokalarang. Suasana tempat ini terasa lebih sunyi dan mencekam. Begitu sunyinya, sehingga degup jantung pun terasa jelas terdengar.

Kedua orang ini kemudian mulai mengedarkan pandangan kembali sambil terus memperhatikan seluruh sudut makam. Puluhan bahkan ratusan nisan tampak tegak membisu, berjajar dalam barisan rapi.

“Sebaiknya kita nyalakan obor dulu!” usul Balaga mengingatkan.

Laki‐laki berbadan pendek berpakaian serba hitam mengangguk setuju. Segera dinyalakannya obor kecil yang dibawa. Maka tempat di sekitar makam keramat ini jadi terang benderang. Batu nisan langsung diperiksa satu demi satu.

“Ini dia...!” seru Sambika. Balaga segera menghampiri. Segera dibacanya tulisan di atas batu nisan. Setelah merasa yakin barulah cangkul yang dipegangnya diayunkan ke tanah. Tindakannya diikuti Sambika.

Crak! Crak!

Terdengar suara mata pacul menghujam tanah. Namun baru beberapa kali mereka melakukan penggalian.

Set...!

“Awas...!” teriak Balaga, sambil melompat ke belakang ketika sebuah sinar hijau melesat cepat ke arah mereka. Malang bagi Sambika. Baru saja dia hendak melompat, sinar biru telah lebih dulu menghantam tangannya.

Crasss...!

“Aaakh...!” Laki‐laki berbadan pendek kontan terlempar disertai jerit kesakitan! Dengan tertatih‐tatih, Sambika beranjak bangkit. Obornya langsung mati, terlempar entah ke mana. Sehingga, hanya obor milik Balaga yang masih menyala, membuat suasana jadi remang‐remang.

“Tanganku.... Ohh..., siapa yang melakukannya..!” desis laki-laki pendek ini.

Sementara, Balaga langsung menghampirinya. Sambika dan Balaga langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan sikap waspada. Tapi tidak ada sesuatu pun yang mencurigakan disitu. Sampai akhirnya....

“Ha ha ha...!”

Mendadak terdengar suara tawa berkepanjangan, yang disusul melesatnya sosok tubuh ke arah mereka. Hanya dalam beberapa kejap saja bayangan itu telah berdiri tegak sejauh dua batang tombak dari Balaga dan Sambika.

Balaga dan Sambika memandang tegang pada sosok yang ternyata memakai topeng hitam pakaiannya juga hitam. Sehingga wajahnya sulit dikenali.

“Siapa kau?!” desis Sambika curiga.

“Hik hik hik...! Sepantasnya akulah yang bertanya, siapa kalian,” dengus orang bertopeng tidak senang.

“Kami Sepasang Pacul Maut dari Pasundan! Maka, jangan ganggu urusan kami!” kata Balaga.

“Huh! Kalian tidak punya kekuasaan apa‐apa untuk melarangku. Tidak seorang pun yang akan kubiarkan menggali kubur yang satu ini!” dengus orang bertopeng.

“Apakah kau kuncen yang bemama Paratama?”

“Kalian tidak pantas untuk mengetahuinya!” dengus laki‐laki bertopeng itu sengit.

Tiba-tiba saja orang bertopeng ini mengibaskan kedua tangannya ke arah dua laki-laki yang mengaku berjuluk Sepasang Pacul Maut. Seketika dua leret sinar hijau melesat ke arah Sepasang Pacul Maut. Hawa panas langsung menyambar.

Namun, kedua laki‐laki berbaju serba hitam ini menyambut serangan dengan menyorongkan mata pacul.

Breng!

Suara keras terdengar ketika sinar yang melesat dari tangan orang bertopeng menghantam punggung mata pacu. Dan akibatnya, Sepasang Pacul Maut terpelanting roboh. Dari sini bisa diduga kabu tenaga dalam mereka berada di bawah orang bertopeng itu. Sepasang Pacul Maut menggeram marah. Mereka segera bangkit berdiri. Dan secara bersamaan mereka membangun serangan kembali, menggunakan jurus-jurus andalan.

“Heaaa...!”

Wuuuttt..! Wuuuttt...!

Kali ini kedua pacul itu berkelebatan menghantam kepala dan punggung orang bertopeng. Begitu cepatnya serangan mereka, sehingga menimbulkan desir angin yang terasa memedihkan mata.

Secepatnya orang bertopeng ini meliukkan tubuhnya, seraya menggeser langkahnya ke samping kiri. Namun, kedua pacul itu terus mengejarnya ke mana pun tubuhnya bergerak.

Wuuuttt...!

Dan ketika dua mata pacul meluruk deras ke arah dada, orang bertopeng itu mencondongkan tubuhnya ke belakang dengan tangan terangkat, hendak menangkap gagang pacul.

Tap! Tap!

Kedua gagang pacul berhasil dicekal orang bertopeng. Dan sambil menarik, kedua kakinya terjulur menghantam perut Sepasang Pacul Maut

Des! Des!

“Wuaaakh...!” Sepasang Pacul Maut terlempar ke belakang. Mereka memegangi penjt yang terasa mual bukan main. Namun secepatnya mereka bahgkit kembali. Dan hanya dalam waktu singkat, kedua orang ini telah melakukan serangan gencar.

“Hiyaaa..!” teriak Sepasang Pacul Maut seraya mengeluarkan pukulan Bangau Berkubang Lumpur dengan mendorongkan kedua tangan ke depan.

Wuuuss...!

Dua larik sinar putih langsung berkeiebat, mengarah ke sasaran. Tetapi sebelum kedua sinar itu sampai, orang bertopeng juga telah mengibaskan tangannya. Akibatnya....

Glarrr!

“Wuaaah...!”

Suara ledakan keras terdengar, disertai kepulan asap tebal serta percikan bunga api. Tampak jelas tiga sosok tubuh terlempar ke belakang. Jika orang yang memakai topeng hitam itu masih dapat menjejakkan kakinya dengan manis, maka Sepasang Pacul Maut jatuh terguling-guling. Agaknya, mereka menderita luka dalam yang cukup parah. Sedangkan dari mulut tampak menetes darah kental berwarna hitam.

“Bukan kalian saja yang kukirim ke neraka. Siapa pun yang berani menyambangi tempat ini harus mati!” gertak orang bertopeng, mendesis.

Tiba‐tiba saja orang bertopeng ini menjentikkan jemari tangannya ke arah kedua lawannya. Dalam kegelapan itu, terdengar suara desiran halus. Tampak tiga buah benda‐benda hitam melesat ke arah Sepasang Pacul Maut. Serangan ini tidak sempat terlihat kedua laki‐laki berpakaian serba hitam. Sehingga....

Jresss!

“Aaa...!” Tepat sekali senjata rahasia itu menghujam ke jantung Sepasang Pacul Maut. Mereka kontan menjerit kesakitan. Tubuh mereka melejang sekejap, lalu terdiam. Mati!

Laki‐laki bertopeng hitam ini segera menjalankan tugasnya. Diseretnya mayat Sepasang Pacul Maut untuk dibawa ke gerbang Pemakaman Keramat Sokalarang.

********************

Gunung Wilis berdiri angkuh, seakan hendak menggapai langit. Tak jauh dari lerengnya, membentang sebuah lembah yang sangat dikenal sebagai Lembah Seribu Duka yang sejak dulu menjadi tempat tinggal. kaum pendekar golongan putih.

Selama bertahun-tahun, keberadaan mereka tidak pernah terusik. Kalangan persilatan tak asing lagi dengan nama‐nama seperti Kaswatama, Dewi Kunti, Ki Sumping, Erlangga, dan Gagak Lamar. Mereka adalah lambang kekuatan yang sangat disegani baik kawan maupun lawan.

Sesuatu yang sangat bertentangan dengan kodrat sebagai manusia adalah, kelima orang tokoh persilatan ini tidak pernah menikah atau berumah tangga sepanjang hidupnya. Konon, mereka dulu sewaktu masih muda selalu mengalami patah hati dan gagal dalam menjalin asmara. Begitu pahitnya kisah cinta mereka, sehingga bersumpah untuk tidak akan pernah lagi jatuh cinta pada lawan jenisnya.

Sungguhpun Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka telah mengasingkan diri dari dunia persilatan, tetapi tidak jarang salah seorang yang meninggalkan tempat kediaman untuk berkelana selama beberapa purnama. Memang, bagaimanapun, mereka adalah orang‐orang yang cinta perdamaian. Sehingga wajar bila Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka selalu mengikuti perkembangan yang terjadi pada masa ini.

Hari ini setelah dua purnama kembali dari perjalanan jauh, Kaswatama memanggil semua pendekar yang berdiam di Lembah Seribu Duka. Hal seperti ini bukanlah kebiasaannya, karena pada waktu‐waktu sebelumnya orang tertua dari Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka selalu tidur sampai berpekan-pekan, setelah melakukan perjalanan sangat jauh.

Empat Pendekar lainnya kini telah menghadap sesepuh dari Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka itu. Dewi Kunti, Ki Sumping, Erlangga, dan Gagak Lamar mengerutkan kening ketika melihat Ki Kaswatama tampak murung. Walaupun saat itu berusaha tersenyum menyambut kedatangan rekan-rekannya, namun senyumnya terasa hambar, seperti dipaksakan.

“Bagaimana, Ki. Apakah perjalananmu kali ini menyenangkan?” tanya Ki Sumping.

“Aku memanggil kalian semua, karena ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi,” jelas Ki Kaswatama.

“Maksudmu? Apakah ada pengacau yang telah membuat kerusuhan di bagian tengah tanah Jawa ini?” tanya Erlangga, penasaran.

Ki Kaswatama menggelengkan kepala. “Yang ini, sebenarnya cukup lucu. Aku sedih, tetapi anehnya ingin tertawa. Aku merasa geli, tapi ingin menangis. Kita di sini adalah orang-orang yang pernah merasakan pahit getirnya asmara. Itu sebabnya, kita telah berjanji untuk tidak jatuh hati lagi pada siapa pun. Benar, bukan?”

“Mengenai ucapanmu itu, kami semua telah tahu. Lalu, apa yang membuatmu sedih?” tanya Dewi Kunti, tak sabar. Perempuan berbadan ramping ini berumur kurang lebih empat puluh tahun. Namun, wajahnya masih tetap cantik. Kulitnya halus. Tatapan matanya setajam burung elang.

“Berita yang kubawa ada hubungannya denganmu!” tegas Ki Kaswatama. “Kalian mungkin tidak percaya jika kukatakan ada orang yang tergila-gila pada Dewi Kunti. Karena gilanya, sampai‐sampai di batang pohon, di warung‐warung, bahkan di setiap tempat kulihat sebuah pesan yang menggelikan!”

“Pesan apa? Jangan membuat kami penasaran, Ki!” desis Erlangga.

Ki Kaswatama tidak segera menjawab. Malah segera diambilnya selembar kulit yang tampak halus pada bagian permukaannya. Kemudian diserahkannya gulungan kulit itu pada Dewi Kunti.

Namun perempuan setengah umur ini tidak langsung menerimanya. Keningnya berkerut dalam ketika melihat permukaan kulit tersebut. “Bukankah ini kulit manusia?” tanya Dewi Kunti dengan terkejut.

“Betul! Semua pesan ditulis di atas kulit orang yang sudah mati. Aku tidak tahu, berapa kuburan yang harus dibongkar untuk diambil kulitnya. Tetapi pesan itu jelas ditujukan untuk dirimu, Dewi!” tegas Ki Kaswatama.

“Orang mati hanya meninggalkan tulang‐belulang. Kurasa, penulis pesan itu membunuh orang‐orang tidak berdosa untuk diambil kulitnya!” timpal Gagak Lamar, merasa yakin dengan dugaannya.

“Sudahlah, jangan banyak bicara. Sebaiknya, baca tulisan di dalam kulit itu!” ujar Ki Kaswatama.

Dewi Kunti dengan hati-hati segera membuka kulit dari orang yang sudah mati itu. Dewi Kunti.... Kubiarkan seluruh dunia tahu tentang cinta kita yang gagal di tengah jalan. Kau dan kawan‐kawanmu telah melahirkan sebuah penderitaan bagiku. Keputusanmu adalah kehancuran dalam hidupku. Tetapi ingat! Sebelum aku benar‐benar hancur, kalian akan melihat betapa pembalasanku akan membuat seluruh manusia di rimba persilatan akan menderita.

Hanya itu saja. Tidak ada tanda, siapa yang membuat selembaran yang dianggap Dewi Kunti sangat memalukan itu. Wajah perempuan itu tampak berubah dingin. Sebeku tatapan matanya yang berkilat‐kilat.

“Kurasa hanya orang gila yang menulis pesan memalukan ini. Jauh-jauh kau melakukan perjalanan, kiranya hanya berita sialan ini yang dibawa pulang, Ki Kaswatama!” dengus Dewi Kunti. “Lebih baik aku bermain-main dengan undur‐undur, daripada berbincang‐bincang dengan tua gila sepertimu!”Dewi Kunti bangkit berdiri berniat meninggalkan ruangan.

Namun sebelum benar‐benar pergi, Ki Kaswatama telah memberi isyarat padanya untuk duduk kembali. “Aku sudah bosan duduk di sini. Kalian semua tahu, bagaimana perasaanku…!” dengus Dewi Kunti.

“Memang kami percaya. Tapi, ada beberapa hal yang belum kusampaikan kepadamu. Juga, kepada kalian semua!” jelas Ki Kaswatama dengan sikap lebih tegas lagi.

“Coba katakanlah!” desak Gagak Lamar.

“Sejak selebaran ini tersebar di mana‐mana, kudengar ada beberapa orang dari rimba persilatan baik dari golongan hitam maupun putih pergi ke makam keramat di Desa Sokalarang. Tetapi mereka tidak pernah kembali ke daerah asal masing-masing. Bahkan pendekar‐pendekar aliran putih hilang secara aneh dari tempat tinggalnya. Sepertinya ada satu kelompok yang menculik mereka!” jelas Ki Kaswatama.

“Lalu, apa hubungannya dengan diriku?” tanya Dewi Kunti, semakin tak mengerti.

“Hubungannya mungkin saja ada. Pesan itu, siapa pun yang membuatnya, aku ingin agar kau mengingat siapa orang terakhir yang pernah menjalin cinta denganmu!”

“Gila!” dengus Dewi Kunti. Wajah perempuan yang masih kelihatan cantik ini seketika berubah memerah. “Begitu banyak laki‐laki dulu jatuh cinta padaku. Tetapi, tidak satu pun yang sesuai keinginanku. Itu sebabnya, aku memilih tetap hidup menyendiri sampai mati,” tegas Dewi Kunti.

“Ya! Aku ingin kau mengingatnya kembali!” Ki Kaswatama mengulangi pernyataannya.

“Aku tidak dapat mengingatnya. Mereka semua masih hidup. Jadi, sulit kutebak siapa yang menulis pesan ini.”

“Sebaiknya kita pergi ke Padepokan Camar Putih. Kurasa, ketua Padepokan itu tahu tentang Pemakaman Keramat Sokalarang, mengingat daerahnya yang cukup dekat dengan makam itu,” usul Erlangga, menengahi.

“Kau mengenalnya?” tanya Gagak Lamar.

“Ya! Ki Sidarata dulu pernah minta bantuanku, ketika terjadi kerusuhan di padepokannya. Kuharap beliau masih ingat denganku,” sahut Erlangga.

“Kapan kita berangkat?” tanya Ki Kaswatama.

“Kurasa sebaiknya besok pagi saja. Di lembah ini sebentar lagi akan turun kabut tebal. Selain itu, aku tidak mau kemalaman di jalan,” Jawab Erlangga.

Semua orang yang berkumpul di tempat kediaman Ki Kaswatama mengangguk setuju. Namun pada waktu yang bersamaan pula....

“Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka...,” terdengar teriakan dari luar pondok. “Kami datang menjalankan perintah. Kuharap kalian tidak pengecut seperti dugaan ketua kami"

Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka sama‐sama terkejut. Bukan karena suara teriakan tadi, tapi karena heran mengingat untuk sampai ke Lembah Seribu Duka tidak mudah dan banyak perangkap. Mereka menduga, pastilah orang‐orang yang datang di luar sana mempunyai kepandaian sangat tinggi.

“Biarkan aku yang mengatasi tamu-tamu tidak diundang itu!” tegas Ki Kaswatama.

“Enak saja! Sudah bertahun-tahun tanganku gatal‐gatal ingin bertarung. Sekarang tiba giliranku untuk ikut merayakan pesta!” sergah Gagak Lamar, yang memang bersifat sedikit berangasan.

DUA

Tanpa menunggu lama lagi, Ki Kaswatama segera bergegas keluar. Sementara, empat orang pendekar lainnya ikut menyusul pula. Ketika Ki Kaswatama sampai di depan pintu pondok, tampak tiga orang pemuda telah berdiri di sana dengan sekujur tubuh bersimbah darah. Mereka sama sekali tidak tampak menderita, walaupun dipenuhi luka‐luka. Tampaknya, perangkap‐perangkap yang dipasang di sekeliling lembah oleh, Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka telah mengenai sasaran.

“Sambutan yang kami terima sangat jelek, Ki Kaswatama. Tetapi demi tugas, apa pun rintangannya tetap kami jalani!” kata salah satu dari ketiga orang ini, menyindir tentang perangkap yang dibuat Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka.

“Bagaimana kalian bisa mengenaliku?” tanya Ki Kaswatama tanpa dapat menutupi rasa terkejut. Sementara itu empat pendekar lainnya telah berada di belakang Ki Kaswatama. Tampaknya mereka juga terkejut, seperti halnya Ki Kaswatama.

“Semua lawan yang harus dimusnahkan telah dimasukkan dalam daftar hitam kematian oleh ketua kami!” jawab orang yang berada paling depan.

“Siapa ketua kalian?” serobot Dewi Kunti.

“Kami tidak boleh bicara apa-apa, terkecuali melakukan tugas sebaik-baiknya!”

Begitu tuntas kata‐katanya, orang-orang yang telah terluka akibat terkena perangkap di Lembah Seribu Duka kemudian menerjang Ki Kaswatama dengan serangan-serangan beruntun yang cukup ganas. Para pemuda yang terluka ini tampaknya memang dikendalikan sebuah kekuatan dari jarak jauh. Terbukti, walaupun sudah kehabisan darah oleh luka-luka yang diderita, ketiganya tidak mati. Bahkan terus menyerang dahsyat.

Namun Ki Kaswatama bukanlah tokoh kemarin sore. Ilmu olah kanuragannya sangat tinggi, di samping, kesaktiannya yang telah mumpuni. Sehingga ketika mendapat tekanan dari tiga orang lawan, segera dikerahkannya ilmu meringankan tubuhnya untuk menghindari setiap serangan.

Melihat serangan selalu gagal, lama kelamaan ketiga pemuda itu menjadi gusar juga, Mereka menjadi marah. Segera ketiganya meloloskan sebuah cambuk dari pinggang. Pada bagian ujung cambuk, terdapat sebuah mata pisau yang mempunyai ketajaman pada kedua sisinya.

“Kau harus mati di tangan kami!” teriak salah seorang pemuda yang bertubuh kekar sambil menerjang ke depan dengan cambuk dilecutkan.

"Tar!

Bagian ujung cambuk tampak meliuk-liuk ke arah Ki Kaswatama.

“Hup...!” Cepat bagai kilat laki‐laki berumur hampir enam puluh lima tahun ini segera melompat ke udara. Pada saat yang sama, telapak tangannya yang terkembang, menyambut ujung cambuk.

Trep!

Dengan gerakah sangat luar biasa, cambuk itu berhasil ditangkap Ki Kaswatama. Langsung disentaknya cambuk itu, hingga terlepas dari pegangan lawan. Sementara itu, empat pendekar yang memperhatikan jalannya pertarungannya jadi tak sabar.

“Sungguh memalukan! Hanya menghadapi manusia yang sudah menjadi bangkai saja, kalang kabut begitu!” teriak Dewi Kunti.

“Betul! Kita sudah bosan menunggu di sini. Atau kalau memang tidak punya kemampuan, lebih baik mundur saja. Biar aku yang membereskannya,” cemooh Gagak Lamar.

Ki Kaswatama diejek begitu jelas menjadi panas kupingnya. Apa lagi, dia termasuk orang tua. Begitu mendarat di tanah, cambuk yang berhasil dirampasnya tadi dilemparkan. Dan sekerika kedua tangannya digosok-gosok satu sama lain. Dari telapak tangannya kemudian tampak keluar kabut putih, menebarkan bau harum yang sangat menusuk. Lalu....

“Hiyaaa...!” teriak Ki Kaswatama, seraya mengerahkan pukulan Menebar Petaka Menuai Bencana dengan mendorongkan kedua tangannya ke tiga penjuru arah. Saat itu juga, tampak melesat tiga leret sinar kuning kehijau-hijauan ke arah tiga pemuda. Mereka berusaha menghindar, namun kalah cepat. Akibatnya....

Blarr! Blaarrr!

“Hegkh...!” Ketiga pemuda ini terjajar disertai keluhan tertahan. Sebagian wajah mereka hangus terkena pukulan Ki Kaswatama. Namun, secepatnya mereka menyerang kembali dengan serangan‐serangan beruntun yang cUkup ganas. Laki-laki tua ini jelas tidak memberi hati lagi pada mereka.

Saat tendangan mereka menghantam bagian ulu hati, Ki Kaswatama meliukkan tubuhnya sambil melompat ke samping kanan. Tetapi pada waktu bersamaan, dari arah kanan salah seorang lawan menghantam telapak tangan terbuka. Begitu cepat gerakannya, sehingga tidak ampun lagi...

Buk!

“Heh...?!” Laki‐laki berambut putih ini kontan terhuyung‐huyung dengan wajah terkejut. Namun segera tubuhnya melesat ke depan dengan kaki menghantam salah seorang lawan yang berada paling dekat.

Krak!

Bukan main kerasnya tendangan Ki Kaswatama, sehingga membuat kepala lawannya copot dari badan. Pemuda berbaju hitam itu roboh dan tidak berkutik lagi. Sementara dua pemuda lainnya menggeram marah.

“Bunuh...!” teriak salah seorang.

Tiba‐tiba saja, kedua pemuda ini melompat ke depan. Tangan mereka meluncur deras, mengincar tenggorokan dan kedua mata Ki Kaswatama. Sambil tertawa, Ki Kaswatama membuang tubuhnya ke samping. Dan sambil berguling‐guling kedua tangannya menghentak seeara beruntun.

Wut! Wut!

Dua leret sinar hijau kekuning‐kuningan seketika melesat bagaikan kilat ke arah kedua pemuda itu. Begitu cepat lesatannya, sehingga...

Glarrr!

“Aaa,..!” Jeritan keras terdengar di tengah-tengah ledakan yang sangat dahsyat. Kedua pemuda berbaju hitam itu kontan terlempar sejauh dua batang tombak. Tubuh mereka hangus dengan nyawa melayang.

“Ha ha ha...! Bagus! Ternyata sebagai sesepuh Lima Pendekar Dari Lembah Duka, kau tidak mengecewakan, Kaswatama!” seru Ki Sumping.

“Kami tidak kecewa karena mengangkatmu menjadi pimpinan kami di Lembah Seribu Duka Ini,” timpal Dewi Kunti.

“Jangan terlalu yakin dengan kemampuan kita. Besok mungkin sangat banyak persoalan yang harus dihadapi!” ujar Ki Kaswatama mengingatkan.

“Urusan besok kita selesaikan besok. Yang terpenting, masih ada waktu untuk istirahat. Dan kita bisa memanfaatkan sebaik-baiknya!” tambah Erlangga.

Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka kemudian menuju ke pondok masing-masing. Pada saat itu kegelapan mulai menyelimuti alam sekitarnya.

********************

Memang belum jelas benar, ada apa sebenarnya di Pemakaman Keramat Sokalarang. Namun, banyak tokoh persilatan yang penasaran, pergi juga ke tempat itu. Mereka berharap, tidak mustahil di tempat itu akan menemukan benda‐ -benda pusaka atau kitab-kitab yang berisi ilmu‐ilmu kedigdayaan tingkat tinggi. Namun sejak mereka sampai di sana, sejak itu pula mereka menghilang tak tentu rimbanya.

Hal ini membuat seorang ketua padepokan yang tak jauh letaknya dari pemakaman itu menjadi penasaran. Orang-orang persilatan tahu, padepokan yang letaknya paling dekat dengan Pemakaman Keramat Sokalarang hanyalah Padepokan Camar Putih yang diketahui Ki Sidarata. Kabarnya, laki-laki berusia enam puluh lima tahun itu pun telah berusaha menyelidiki ke Pemakaman Keramat Sokalarang. Hasilnya, menurut kabar dari murid‐muridnya, sampai sekarang laki-laki tua itu belum kembali. Bila tewas, tentu murid-muridnya akan cepat menemukan mayatnya.

Karena, mereka tahu betul seluk beluk pemakaman itu. Tapi, mereka tak menemukan tanda-tanda adanya mayat Ki Sidarata. Dan bila hilang, siapa yang menculiknya? Karena mustahil Ki Sidarata pergi begitu saja tanpa sebab. Sejak kepergiannya, Ki Sidarata menyerahkan tanggung jawab padepokan pada murid utamanya yang bernama Kuntala.

Dan laki-laki berusia tiga puluh enam tahun ini telah mencari gurunya ke mana-mana, tapi hasilnya nihil. Kini Padepokan Camar Putih setelah senja berlalu berubah menjadi sunyi. Memang, penjagaan tetap dilakukan seperti biasanya. Tetapi wajah‐wajah para penjaga yang sekaligus murid-murid padepokan itu tampak lesu seperti kekurangan darah.

Di bagian pendopo depan, tampak beberapa orang murid-murid padepokan sedang berbincang‐bincang dengan sesama saudara seperguruan. Sebagian tampak sedang tidur-tiduran, sambil mendengarkan pembicaraan kawan-kawan mereka tanpa semangat. Memang, setelah Ki Sidarata tidak pernah kembali lagi dari Pemakaman Keramat Sokalarang, seluruh kegiatan di padepokan terasa hambar. Kuntala tidak mungkin mengurung diri di dalam kamarnya secara terus menerus sejak tak mampu lagi menemukan gurunya.

Hal ini hanya akan membuat adik-adik seperguruannya kehilangan semangat untuk berlatih ilmu olah kanuragan. Namun dia tidak mungkin melatih adik-adik seperguruannya, jika perhatiannya terus terbagi-bagi. Karena hatinya akan selalu merasa penasaran jika belum menemukan gurunya. Bagaimanapun, besok pagi gurunya harus dicari kembali Itulah yang dipikirkannya sejak sore tadi. Pada saat Kuntala termenung dalam kesendiriannya....

“Kurung! Tangkap orang asing ini hidup atau mati!” terdengar teriakan‐teriakan penjaga dari halaman depan. Sementara itu di halaman depan, murid-murid Padepokan Camar Putih tengah mengepung seorang pemuda tampan berbaju rompi putih. Rasanya tidak mungkin bagi pemuda tampan ini untuk meloloskan diri lagi.

“Kalian salah! Aku bukan orang jahat. Aku hanya ingin bertemu Ketua Padepokan Camar Putih!” sergah pemuda berbaju rompi putih yang tidak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.

“Bohong! Kau pasti salah seorang yang telah menculik guru kami!” dengus salah seorang murid.

Pendekar Rajawali Sakti jelas sangat terkejut mendengar ucapan murid itu. Sama sekali tidak diduga kalau Ketua Padepokan Camar Putih ternyata telah diculik seseorang. Yang diketahuinya selama berada dalam perjalanan adalah, tentang orang-orang yang datang ke Pemakaman Keramat Sokalarang. Dan mereka tidak pernah kembali lagi ke daerah asal masing-masing.

Selain itu juga, Rangga ingin tahu tentang pesan yang terdapat pada setiap penjuru sudut yang ditulis di atas kulit orang mati. Dalam perjalanannya menuju ke Pemakaman Keramat Sokalarang, Rangga sengaja singgah di Padepokan Camar Putih, untuk mengumpulkan beberapa keterangan yang diperlukan. Namun siapa sangka kalau ketua padepokan itu juga menghilang.

“Kujelaskan pada kalian semua, kalian salah menuduh. Malah aku sedang berusaha menyingkap tabir ini,” kilah Rangga, tegas.

“Dusta! Bunuh dia...!” perintah seorang murid lainnya, lebih keras.

Tidak dapat dihindari lagi, lima orang murid padepokan serentak menerjang Rangga. Karena Pendekar Rajawali Sakti memang tidak punya persoalan apa-apa dengan mereka, maka sama sekali tidak ingin melukai seorang pun.

“Hup...!” Rangga melompat mundur. Tetapi, dari belakang datang pula serangan lain yang tidak kalah ganas dari serangan penjaga di depannya. Pemuda berbaju rompi putih ini untuk menghindari tusukan senjata segera meliuk-liukkan tubuhnya dengan gerakan kakinya yang lincah. Sehingga tak satu serangan pun yang mendarat di tubuhnya.

Murid-murid padepokan ini sempat terkesima karena tidak menyangka kalau pemuda itu mempunyai kelincahan yang mengagumkan. Tetapi kehebatan Rangga malah ditafsirkan lain. Dugaan mereka makin besar kalau pemuda berbaju rompi putih itulah yang menculik Ki Sidarata. Murid‐murid Padepokan Camar Putih secara bahu-membahu terus mendesak Rangga dengan berbagai jenis senjata terhunus.

Mendapat serangan yang sedemikian hebat ini, tentu saja Pendekar Rajawali Sakti tidak membiarkan dirinya tertusuk senjata. Repotnya, justru dia sama sekali tidak punya maksud menyakiti, sehingga harus menguras tenaga untuk menghindari hujan senjata.

“Hup! Hiyaaa...!” Rangga tiba-tiba melenting ke udara, keluar dari kepungan lawan-lawannya. Dan ketika kakinya menjejak kembali di atas tanah, murid-murid padepokan itu telah memburunya. “Kalian benar-benar tidak bisa membedakan orang!” dengus Rangga, mulai kesal.

Segera Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan gabungan jurus dari lima rangkaian jurus Rajawali Sakti. Perubahan gerakan yang dilakukan pemuda berbaju rompi putih ini sangat mengejutkan para murid padepokan. Apalagi ketika Rangga tengah mengerahkan jurus Sayap Rajawali Membelah Mega yang didukung ilmu meringankan tubuh yang telah sangat tinggi, dengan tenaga dalam kurang dari seperempatnya.

Wuuuttt!

Tubuh Rangga berkelebat begitu cepat Kedua tangannya bergerak bagaikan sayap rajawali. Dan begitu mengibas....

Buk! Buk!

“Huaaakh...!” Tiga orang murid Padepokan Camar Putih kontan terjengkang dengan gigi rontok dan hidung mengucurkan darah. Mungkin kalau Rangga mempergunakan tenaga dalam tinggi, seketika pemuda Itu telah binasa!

“Hidungku...! Hidungku bocor...!” rintih salah seorang murid sambil memegangi hidungnya.

“Maaf, aku terpaksa membungkam kebandelan kalian. Sebenarnya aku tak ingin menjatuhkan tangan. Tapi kalian terlalu memaksa...,” ucap Pendekar Rajawali Sakti, sedikit menyesali tindakannya, Karena dia tahu, perbuatan murid‐murid ini dilandasi rasa cinta terhadap guru mereka yang hilang entah ke mana.

“Keparat!” teriak salah seorang murid lain. “Bunuh dia!”

Dengan serentak, para murid Padepokan Camar Putih menerjang kembali. Berbagai senjata meluncur deras ke seluruh penjuru arah. Tetapi pada saat itu pula....

“Tahan...!”

Serentak murid‐murid padepokan menghentikan tindakan, ketika mendengar bentakan keras menggelegar, Mereka telah cukup kenal suara itu. Bahkan mereka segera berlompatan mundur. Ketika memandang ke arah datangnya suara, tampak di pendopo depan berdiri seorang laki-laki berusia tiga puluh enam tahun berbaju putih. Tubuhnya tegap dan wajahnya cukup tampan. Dia tidak lain dari Kuntala.

“Ada tamu datang, mengapa kalian tidak menyambut dengan baik? Sungguh sangat memalukan!” dengus Kuntala.

“Tetapi, Kakang Kuntala...!”

“Tidak ada tapi-tapian! Kalian pergi ke tempat masing-masing. Biarkan aku bicara dengan dia!” bentak Kuntala.

Walaupun tampak ragu-ragu, namun terpaksa murid-murid Padepokan Camar Putih mematuhi perintah saudara seperguruannya yang paling tua.

“Maafkan saudara‐saudaraku itu, Kisanak. Mereka menjadi lepas kendali setelah kepergian Guru kami,” ucap Kuntala pelan, ketika menerima Pendekar Rajawali Sakti di pendopo depan.

Mereka duduk berhadapan, dengan sebuah meja kecil yang membatasi. Di atas meja telah terhidang kopi hangat dan sepiring rebusan talas. Sejak tadi Pendekar Rajawali Sakti telah dipersilakan untuk mencicipi, namun belum satu pun yang disentuhnya.

“Aku dapat memahaminya, Kisanak. Aku datang ke sini justru ingin bertemu ketua padepokan ini. Tetapi setelah mendengar kabar yang sebenarnya, aku malah ikut merasa prihatin!” kata Rangga, perlahan.

“Oh, ya. Aku Kuntala. Dan kisanak siapa?” tanya Kuntala ramah.

“Namaku Rangga,” jawab Pendekar Rajawali Sakti, perlahan.

Kuntala terdiam. Namun, kedua alis matanya bertaut. Sedangkan tatapan matanya tidak lepas dari wajah pemuda berbaju rompi putih di depannya. “Sepertinya, aku pernah mendengar namamu. Tidak salah! Bukankah kau Pendekar Rajawali Sakti?” tebak Kuntala, terkejut.

Rangga sendiri tidak kalah kagetnya. Bagaimana Kuntala bisa mengenalinya? Padahal, berjumpa pun baru kali ini?

“Oh.... Betapa kami mendapat kehormatan besar dikunjungi seorang pendekar ternama sepertimu, Pendekar Rajawali Sakti. Dan semua ini sesuai mimpiku!” desah Kuntala, seraya berdiri dan menjura hormat. Wajahnya benar-benar cerah dan bangga, karena Pendekar Rajawali Sakti sudi berkunjung ke padepokan ini.

“Ah, sudahlah, Kuntala.... Tak perlu beradat istiadat denganku. Panggil saja aku Rangga. Hm..., ya. Tadi kau bilang, kau mengenalku lewat mimpi? Lantas apa saja yang kau dapat dalam mimpi itu, Kuntala?” tanya Rangga.

Kuntala yang telah duduk kembali seketika wajahnya berubah sedih. Seperti ada sesuatu yang sangat merisaukan hatinya. “Kalau kukatakan, mimpi tidak lebih hanya sebagai bunga tidur. Kenyataannya, aku bisa bertemu denganmu, Rangga! Tetapi, aku sangat takut jika kenyataan lain dalam mimpiku itu sampai terjadi!” desah Kuntala yang tak ragu-ragu lagi memanggil nama Rangga.

“Apa?”

“Dalam mimpiku, aku melihat padepokan ini tenggelam tergenang air. Lalu, kulihat Guru kami berdiri di atas bukit sambil tertawa-tawa menyaksikan murid-muridnya dalam keadaan sekarat. Selain guruku, ada beberapa orang berdiri di belakangnya. Tidak begitu jelas wajah mereka. Adik-adik seperguruanku semuanya tewas, dan tinggal aku sendiri. Aku tidak tahu, apa makna semua ini,” tutur Kuntala.

“Pertanda sangat buruk?” gumam Rangga, dalam hati.

“Apakah kau mengetahuinya, Rangga?” tanya Kuntala kemudian.

“Sayang aku bukan ahli tafsir mimpi. Sama sekali aku tidak tahu makna mimpi-mimpi itu!” sahut Rangga, tak ingin membuat Kuntala makin takut.

“Lalu bagaimana sekarang?” tanya Kuntala.

“Tentang gurumu itu, bukan?” tebak Rangga.

“Ya! Sejak beliau mengatakan ingin pergi ke Pemakaman Keramat Sokalarang sampai hari ini tidak pernah kembali,” keluh Kuntala.

“Jauhkah makam itu dari padepokan ini? Dan, apakah kau sudah mencarinya?” tanya Pendekar Rajawali Sakti perlahan.

“Tidak begitu jauh. Aku pun sudah mencarinya. Namun, jejaknya tidak kutemukan,” desah Kuntala.

“Apakah kau menemukan sesuatu di sana?”

“Ada. Ketika sampai di depan gerbang makam, aku melihat sisa-sisa tulang-belulang manusia tergantung di situ. Lalu, aku juga melihat ada ceceran darah yang telah mengering. Maksudku, di dalam pondok kuncen pemakaman itu,” jelas Kuntala.

“Siapa nama kuncen makam itu?” desah Rangga.

“Ki Paratama.”

“Ada kemungkinan kuncen makam itu dibunuh oleh seseorang. Tapi yang kuherankan, ke mana hilangnya orang-orang rimba persilatan yang pernah datang ke sana? Kalau mereka mati, seharusnya kau menemukan mayat mereka. Kalaupun dikubur, kau juga menemukan kuburnya. Aku tidak tahu, apakah ini ada hubunganya dengan penulis selebaran itu?!” papar Rangga.

“Sebaiknya besok pagi kita selidiki saja tempat itu!” saran Kuntala begitu bersemangat.

“Aku setuju! Tetapi, aku tidak mau semua murid padepokan ini menyertai kita,” tegas Rangga.

“Kenapa?” tanya Kuntala, tidak mengerti.

“Jika padepokan ini kosong, aku khawatir ada orang yang datang kemari dan menghancurkannya,” jelas Rangga.

Akhirnya, Kuntala dapat mengerti juga apa yang dimaksud Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian adik seperguruannya diperintahkan untuk menyediakan sebuah kamar buat Rangga.

TIGA

Sementara itu pada waktu yang bersamaan, di Pemakaman Keramat Sokalarang tampak beberapa sosok bayangan mendekati sebuah kubur yang tampaknya sudah sangat tua. Dalam suasana remang-remang yang hanya diterangi cahaya bulan tiga belas, bayangan-bayangan itu terus bergerak mengelilingi batu nisan yang sudah agak berlumut!

Pada salah satu sisi batu nisan tua ini terdapat Sebuah tulisan....

Demi Anggini. Dewi tercantik yang abadi. Meninggal secara aneh dalam umur dua puluh tahun.

Salah satu dari lima sosok bayangan itu segera mencabut baru nisan di depannya. Kemuda dua sosok lainnya yang masing-masing memegang pacul kecil maju mendekat di sisi-sisi makam. Dan, pada saat itulah terjadi getaran kecil di permukaan tanah makam keramat yang terbujur jasad Dewi Anggini di dalamnya. Getaran itu disertai hembusan angin amat dingin membekukan tulang.

“Hauuunggg...!”

Di kejauhan terdengar suara lolongan serigala yang begitu mendayu-dayu. Dan setelah lolongan serigala hilang terbawa angin....

“Sekarang adalah malam Jumat Kliwon. Malam ini adalah malam kebangkitan dari segala sesuatu yang berbau gaib. Hai, para jiwa yang telah berada dalam genggamanku. Khususnya pada Ki Sidarata! Pimpinlah empat orang segolonganmu untuk memindahkan calon ratu cinta kita ke tempat yang layak. Kini sudah saatnya bagi Dewi Anggini bangkit dari tidurnya. Ki Sidarata! Lakukan tugasmu. Sekejap lagi, kita akan melaksanakan pesta setan yang direstui para iblis penunggu kegelapan!”

Terdengar suara bagai desiran angin yang tak jelas wujud orangnya. Namun itu cukup menyentak perasaan laki‐laki tua bernama Ki Sidarata dan empat orang lainnya. Tatapan mata mereka yang menerawang kosong, sekarang tampak berubah kemerahan.

“Ketua memerintahkan untuk mengangkat ratu cinta dari tempat tidurnya. Kita harus memindahkannya ke istana yang layak. Cepat kerjakan!” perintah sosok paling tua, yang ternyata Ki Sidarata.

“Baiklah...!” sahut keempat sosok lainnya.

Crak! Crak!

Hanya dalam waktu sekejap saja sudah terdengar suara pacul membentur tanah. Suara‐suara pacul dari dua orang di antara mereka terus terdengar. Hingga akhirnya....

Tak!

“Berhenti...!” Kembali terdengar seruan.

Ternyata, salah satu pacul membentur sebuah benda cukup keras. Ketika sosok yang tak memegang pacul turun ke makam dan meraup tanahnya, ternyata benda keras itu tak lain dari peti jenazah yang terbuat dari kayu jati. Dan ternyata pula, peti itu masih utuh seperti sepuluh tahun yang lalu, saat mayat Dewi Anggini dikuburkan. Secara perlahan‐lahan, mereka pun membuangi tanah merah yang masih tersisa, hingga peti itu terlihat jelas.

“Angkat!” perintah Ki Sidarata.

Keempat laki‐laki lainnya dengan sekuat tenaga segera mengangkat peti mati, dan meletakannya di luar liang kubur.

“Mari kita bawa ke istana!” ujar Ki Sidarata lagi.

Mata laki‐laki tua yang sebenarnya Ketua Padepokan Camar Putih ini menatap kosong pada keempat orang yang berdiri di sekeliling peti mati. Tampaknya memang ada sebuah kekuatan yang tidak terlihat telah mempengaruhi jiwa dan raga Ki Sidarata, juga keempat laki-laki lainnya.

Sebenarnya mereka memang para pendekar aliran putih. Peti mati kini segera dipanggul menuju tempat yang tidak begitu jauh dari pemakaman. Hingga kemudian, mereka tiba di bawah pohon yang paling besar di tempat ini. Begitu besarnya, hingga tak terpeluk oleh lengan orang‐orang dewasa. Ketika Ki Sidarata mencungkil pohon besar itu, maka tampak sebuah lubang besar di batang pohon. Mereka pun segera memasukinya, setelah Ki Sidarata menutupnya kembali.

Ternyata di dasar pohon terdapat anak‐anak tangga batu untuk menuruni lubang hingga ke dasarnya. Sambil membawa peti rnayat itu mereka terus menuruni anak tangga batu. Dan tiba di bagian dasar lubang, terdapat sebuah ruangan yang sangat luas. Ada beberapa obor dari getah jarak yang menyala pada setiap dinding ruangan bawah tanah ini. Sehingga, suasana di dalamnya tampak terang benderang.

Mereka terus menggotong peti mati itu menuju ke ruangan lain, dan kini tiba di sebuah ruangan serba kuning yang ditata begitu rupa, mirip singgasana seorang putri raja. Sementara di dalam ruangan, telah berkumpul belasan orang memakai jubah kuning keemasan. Terkecuali bagian wajah, kepala mereka tertutup kain kuning. Sehingga, mereka tidak ubahnya memakai kerudung. Di antara orang-orang berjubah kuning, salah satu tampak memakai jubah merah. Dia duduk menghadap kursi kebesaran, yang di sampingnya terdapat sebuah ranjang berhias emas permata.

“Letakkan peti calon ratu di tengah‐tengah ruangan ini, Ki Sidarata. Sebentar lagi, kita akan membangkitkannya!” perintah orang berjubah merah tegas.

Empat orang pembantu Ki Sidarata yang berjubah hitam melakukan apa yang diperintahkan.

“Kalian adalah para abdiku, budakku, dan hamba-hambaku yang akan ikut ambil bagian dalam cita-citaku! Karena Racun Pelebur Akal, kalian sama sekali tidak dapat mengingat siapa diri kalian! Untuk sebuah cita-cita yang sangat besar, kalian harus bersedia melakukan apa saja. Mengerti?” tandas orang berjubah merah, melanjutkan.

“Kami mengerti, Ketua!” sahut orang-orang berjubah kuning dan hitam serentak.

“Bagus! Sekarang, kalian harus mengeluarkan calon ratu cinta dari dalam tempat tidurnya!” perintah orang berjubah merah yang dipanggil sebagai ketua.

Dengan patuh orang‐orang ini mengerjakan apa saja yang diperintahkan orang berjubah merah. Mereka segera membuka peti mati. Dan ketika peti terbuka, terciumlah bau harum khas seorang gadis. Dan di dalam peti mati, terlihat seorang gadis berwajah cantik bagai bidadari dalam keadaan seperti tertidur nyenyak. Dia memakai gaun putih bersih. Sedangkan kepalanya memakai ikat warna putih pula.

Tidak seorang pun percaya kalau gadis itu telah mati. Dengan terkagum‐kagum kelima lelaki itu mengeluarkan mayat gadis bernama Dewi Anggini, dan membaringkannya di atas tempat tidur. Tak heran kalau pakaian mayat Dewi Anggini tampak sudah rapuh di sana sini, karena telah terkubur selama sepuluh tahun.

“Kalian semua tahu, inilah gadis dan calon ratu cinta yang paling cantik di seluruh dunia! Tiada kecantikan melebihi kecantikannya. Dan sekejap lagi, kalian juga berhak mencicipi keindahan anggotanya! Karena, racun cinta akan melayani siapa saja yang menjadi anggotaku...!” jelas orang berjubah merah.

“Sekarang, kalian harus menggores jari tangan masing-masing untuk mengeluarkan tiga tetes darah. Darah ini gunanya untuk membangkitkan Dewi Anggini calon ratu cinta kita. Sebab, dialah yang akan memimpin kalian melakukan tugas-tugas yang telah kurencanakan. Apakah kalian semuanya mengerti?!”

“Kami mengerti dan siap melaksanakan perintah!” sahut orang-orang berjubah kuning dan hitam serentak.

“Ki Sidarata! Racun Pelebur Akal telah menguasai jiwamu. Sekarang, ambil nampan itu dan mulai gores tanganmu!”

“Siap, Ketua,” sahut Ki Sidarata.

Laki‐laki tua ini kemudian mengambil sebuah nampan dan sebuah pisau kecil. Sementara, di tengah-tengah ruangan orang yang memakai jubah merah mulai mengucapkan mantra-mantra untuk membangkitkan Dewi Anggini. Ki Sidarata segera menggores ujung jemarinya hingga terluka meneteskan darah.

Darah ditampung di atas nampan sebanyak tiga tetes. selanjutnya, orang-orang yang berada di dalam ruangan ini seluruhnya menggores tangan masing-masing dan mengumpulkan darah di tempat yang sama. Sebanyak dua puluh satu orang telah menumpahkan tiga tetes darahnya di atas nampan yang sama. Kemudian Ki Sidarata segera memberikan nampan yang berisi cairan darah kepada laki-laki berjubah merah, yang selanjutnya dibawa di atas tempat tidur.

Laki‐laki berjubah merah ini segera duduk bersila di atas ranjang. Mulutnya langsung komat-kamit, membaca mantra-mantra gaib sambil meneteskan darah di atas nampan pada kedua mata mayat Dewi Anggini. Sedangkan sisanya diteteskan ke mulut, ubun-ubun, dan pusar.

“Malam Jumat Kliwon saatnya bangkit! Malam penuh kemenangan, di mana tidak seorang pun yang dapat mengalahkan kekuatan iblis! Bangkitlah, Ratu Cinta.... Bangkitlah atas kekuatan iblis...!” seru orang berjubah merah.

Saat itu juga orang‐orang yang memakai jubah kuning dan hitam segera menirukan apa yang diucapkan ketuanya. Sehingga suasana di bawah tanah itu menjadi bergaung menyeramkan. Hanya sekejapan saja, terjadilah sesuatu yang sangat mencengangkan. Darah yang ada di kelopak mata, mulut, ubun-ubun maupun berada di atas pusar mayat Dewi Anggini lenyap tiba-tiba.

Sementara ranjang berwarna kuning keemasan itu pun bergetar hebat. Jenazah Dewi Anggini yang dalam keadaan utuh setelah terkubur selama sepuluh tahun tampak menggeliat. Matanya yang terpejam mengerjap terbuka.

“Setelah sepuluh tahun, Dewi! Setelah sekian lama, akhirnya aku dapat membangkitkan jenazahmu. Kau menjadi ratu cinta pemuas hasrat. Kau menjadi kaki tanganku untuk melampiaskan dendam berkarat yang telah lama kuderita. Penghinaan ini memang pantas ditebus dengan kematian mereka, dan juga kematian siapa saja! Sekarang, untuk mengendalikan semua orang yang berada di dalam ruangan ini agar menurut perintahku dan perintahmu, maka berilah kepuasan dengan tubuhmu, Ratu Alam Baka. Beri mereka kesenangan, agar selalu terikat dengan dirimu!” seru orang berjubah merah.

Sosok tubuh Dewi Anggini yang telah dihidupkan kembali itu menganggukkan kepala. Matanya mengedip ke arah orang berjubah merah yang telah berdiri di sisi ranjang. Tetapi orang ini tidak menanggapinya, dan malah kembali ke kursinya. Saat Dewi Anggini yang berjuluk Ratu Alam Baka menggerakkan tubuhnya, maka pakaian putihnya yang sudah lapuk terlepas. Sekarang, Dewi Anggini benar-benar dalam keadaan polos tanpa selembar benang pun.

“Siapa yang mendapat giliran lebih dulu?” tanya Dewi Anggini menantang.

Tidak ada yang berani menjawab. Padahal, setiap laki-laki berjubah hitam dan kuning ini ingin mendapat kesempatan pertama. Tetapi mereka selalu tunduk pada orang berjubah merah, berkat Racun Pelebur Akal.

Kemudian, orang berjubah merah berpaling pada Ki Sidarata, sambil tersenyum. Sebuah senyuman penuh arti. “Ki Sidarata pembantuku yang setia! Kau adalah calon wakil Ratu Alam Baka. Untuk itu, kau berhak mendapatkan kehangatannya yang pertama!” kata orang berjubah merah.

Seperti dalam pengaruh kekuatan sihir, Ki Sidarata menganggukkan kepala. Kakinya segera melangkah, mendekati Dewi Anggini. Sementara itu, orang berjubah merah segera memberi isyarat pada yang lain-lainnya untuk segera meninggalkan ruangan itu. Dan dia sendiri juga beranjak keluar ruangan ini. Di ruangan peraduan ini hanya tinggal Ki Sidarata dan Ratu Alam Baka.

Gadis itu tersenyum, langsung memeluk Ki Sidarata. “Lakukanlah apa yang kau inginkan, wahai wakilku!” bisik Ratu Alam Baka ditelinga laki-laki tua ini.

Ki Sidarata bagaikan harimau kelaparan langsung membalas pelukan Dewi Anggini yang menggebu-gebu. Dan wanita ini segera merebahkan diri, membawa tubuh Ki Sidarata yang terus menciuminya.

Ketika Ki Sidarata keluar dari ruangan Ratu Alam Baka, maka masuk laki-laki berjubah lainnya. Kejadian terkutuk itu pun kembali berlangsung. Dengan demikian Ratu Alarn Baka kembali melayani laki-laki yang berbeda-beda. Begitu seterusnya. Dan saat segala-galanya telah selesai, laki‐laki berjubah merah segera mengumpulkan anak buahnya kembali.

“Nanti sore kalian sudah bisa melakukan tugas yang kuberikan. Sedangkan yang menjadi pimpinan, adalah Ratu Alam Baka! Jelas?” tanya laki‐laki berjubah merah.

“Jelas, Ketua!” sahut orang-orang yang hadir di ruangan ini hampir serentak.

“Nah, sekarang kalian boleh istirahat!”

Berpasang-pasang mata yang selalu menatap kosong itu tampak saling berpandangan. Setelah melihat Ratu Alam Baka menganggukkan kepala sambil menggerakkan tangan, maka mereka segera membubarkan diikuti diri.

********************

EMPAT

Dua ekor kuda yang satu berbulu hitam dan satu lagi berbulu coklat berpacu begitu cepat. Penunggang kuda berbulu hitam adalah seorang pemuda tampan memakai baju rompi putih. Sedangkan yang berada di sebelahnya adalah seorang laki-laki berambut panjang sepinggang, memakai baju biru. Di dadanya terdapat sulaman bergambar burung camar putih. Dia tidak lain Kuntala, murid tertua Padepokan Camar Putih...

“Masih jauhkah tempat itu dari sini, Kuntala?” tanya pemuda berbaju rompi putih yang terpaksa harus meriyesuaikan lari kudanya dengan kuda Kuntala.

“Tidak lagi, Rangga. Setelah kita melewati tikungan itu, Pemakaman Keramat Sokalarang sudah terlihat!” sahut Kuntala.

Tidak lama setelah mereka melewati tikungan, segera terlihat sebuah makam luas. Mereka baru menghentikan kuda setelah sampai di depan pintu gerbang makam.

“Apakah penduduk Sokalarang yang meninggal juga dikuburkan di sini!” tanya pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga kalem. Pendekar Rajawali Sakti segera turun dari kuda hitam bernama Dewa Bayu.

“Bukan dari daerah kami saja. Daerah-daerah yang jauh dari makam ini juga menguburkan sanak keluarganya di sini!” sahut Kuntala, juga turun dari kuda coklatnya.

“Sebaiknya kita lakukan pemeriksaan sekarang!” putus Pendekar Rajawali Sakti.

Pendekar Rajawali Sakti membawa Dewa Bayu ke sebuah pohon, dan menambatkannya. Demikian pula Kuntala. Kemudian mereka memasuki pintu gerbang makam.

“Tidak ada apa-apa di sini! Kurasa kita telah datang ke tempat yang salah!” desis Rangga, ketika telah berjalan beberapa langkah.

“Maksudmu?” tanya Kuntala.

“Mungkin apa yang terdengar hanya kabar bohong saja. Dan di sini tidak pernah terjadi apa-apa.”

Kuntala tidak segera menjawab. Dan perhatiannya tertarik pada gundukan tanah yang tampaknya belum lama digali seseorang. “Coba kita lihat ke sana!” ajak Kuntala.

Pendekar Rajawali Sakti segera memperhatikan tempat yang dimaksudkan Kuntala. Tanpa bicara lagi, diikutinya Kuntala. Tidak lama, mereka telah sampai di pinggir sebuah lubang besar yang tampaknya baru saja digali. Dengan kening berkerut, Rangga memperhatikan tiap-tiap sudut lubang. Barangkali saja ada yang bisa digunakan sebagai petunjuk.

“Beberapa hari yang lalu, ini tidak ada. Kurasa ada orang yang menggalinya untuk mendapatkan sesuatu,” tebak Kuntala.

“Paling tidak tiga atau empat orang telah melakukan penggalian di sini. Aku juga curiga, jangan-jangan orang itu ingin mendapatkan tulang-belulang orang yang sudah mati!”

“Ya.... Tetapi, untuk apa...?”

“Pertanyaan seperti itu juga terlintas di dalam benakku. Untuk apa orang mengambil tulang-belulang manusia? Hm.... Pasti mereka punya tujuan tertentu. Oh, ya.... Apakah kau benar-benar yakin kalau kuncen makam ini benar-benar sudah mati?” tanya Pendekar Rajawali Sakti.

“Aku tidak tahu, Rangga. Ketika memeriksa pondok itu, aku hanya melihat tetesan darah yang sudah mengering. Aku telah memeriksa sekeliling pondok itu. Tetapi, aku tidak menemukan mayat kuncen itu!” jawab Kuntala, mendesah.

“Coba kita lakukan pemeriksaan ulang. Kulihat, jejak-jejak kaki ini seperti menuju ke arah pondok!” ujar Rangga.

Kuntala dan Rangga segera menelusuri jejak-jejak kaki menuju ke arah pondok. Tetapi sebelum sampai di pondok, jejak+jejak kaki itu hilang begitu saja.

“Tidak ada apa-apa di sini! Mungkin ini hanya tipuan saja. Kurasa, sebaiknya kita menuju ke utara sesuai arah jejak ini. Kalau nanti kita tidak memperoleh hasil sesuai yang diharapkan, sebaiknya kita kembali ke padepokan!” putus Rangga.

“Aku setuju! Tapi, entah mengapa sekarang perasaanku tidak enak begini!” keluh Kuntala, seperti kurang bersemangat.

“Jangan malas! Mudah-mudahan saja kita menemukan jejak gurumu. Kalau benar diculik, kuharap sampai sekarang dia masih hidup!”

“Aku tidak yakin guruku masih hidup. Mimpi-mimpi itu selalu menghantuiku ke mana pun aku pergi!”

“Sudahlah.... Jangan kau biarkan bayangan menakutkan menghantui dirimu. Kita sedang berusaha melakukan apa sebatas kemampuan. Kita harus berusaha. Hasilnya, terserah bagaimana Yang Maha Kuasa,” tegas Rangga disertai seulas senyum.

“Marilah. Aku harus mengikuti ke mana pun yang kau anggap baik, Rangga!” sahut Kuntala.

********************

Hari baru saja beranjak malam. Murid-murid Padepokan Camar Putih tampak duduk-duduk melepas lelah di pendopo. Setelah hampir sehari penuh bekeria di kebun dan meneoba menghilangkan berbagai beban yang menghimpit pikiran masing-masing, sekarang tiba giliran untuk merenung segala sesuatu yang telah terjadi. Baik tentang diri sendiri, atau tentang diri guru mereka yang tidak pernah kembali.

Mereka yang tidak suka memikirkan apa yang telah dan akan terjadi, malah menyibukkan diri dengan bermain catur. Sungguhpun demikian, mereka tidak pernah melupakan apa yang sudah menjadi kewajiban masing-masing.

Tanpa mereka sadari, tidak jauh dari bangunan Padepokan Camar Putih tampak bergerak belasan orang berjubah kuning dan hitam. Di depan rombongan itu tampak dua orang berkuda. Yang satu seorang gadis jelita memakai baju putih ketat. Sedangkan di sebelah‐nya tampak seorang laki-laki tua berbaju biru.

“Kita sudah hampir sampai, Ketua,” lapor laki-laki tua berbaju biru.

“Untuk membuktikan kesetiaanmu kepada ketua tertinggi, kau harus membunuh murid-muridmu. Ingat! Mereka bukan orang yang segolongan dengan kita!” perintah gadis cantik itu.

“Aku akan melaksanakan tugas sebaik-baiknya!” janji laki-laki itu mantap.

Beberapa saat kemudian, sampailah rombongan ini. Mereka langsung memasuki halaman Padepokan Camar Putih. Sekerika murid-murid padepokan kaget sekaligus kegirangan, ketika melihat kemunculan laki-laki tua berbaju biru.

“Guru telah datang! Guru kita telah datang...!” teriak murid-murid yang berada di pendopo.

Mereka yang berada di dalam bangunan padepokan berhamburan keluar. Tetapi beberapa orang di antaranya tampak terkejut, ketika melihat laki-laki tua yang tak lain Ki Sidarata disertai orang‐orang yang tidak dikenal sama sekali. Selain itu, tatapan mata Ki Sidarata juga sedemikian dingin dan terkadang menerawang kosong.

“Siapakah orang-orang yang menyertai Guru?” tanya salah seorang murid.

“Mereka adalah sahabat-sahabatku. Hm.... Siwalaya, kau sebagai murid kedua, kumpulkan semua adik seperguruanmu di halaman ini untuk memberi penghormatan!” ujar Ki Sidarata dengan suara datar.

Tanpa curiga, murid bernama Siwalaya memanggil semua murid Padepokan Camar Putih untuk berkumpul di halaman depan padepokan. Ki Sidarata tersenyum dingin.

“Sudah semuanya?” tanya Ki Sidarata lagi.

“Masa Guru lupa. Bukankah kami telah berkumpul di sini seluruhnya?” tukas Siwalaya, setelah tugasnya selesai.

“Aku tidak melihat Kuntala?” tanya Ki Sidarata.

“Dia justru sedang mencari Guru ke mana-mana!”

“Hm, begitu? Tidak mengapa. Sekarang, kalian menghormatlah pada kawan-kawanku!” perintah Ki Sidarata tegas.

Rupanya, walaupun pikiran warasnya hilang, Ki Sidarata masih diberi ingatan pada murid-muridnya. Tanpa merasa ragu, murid‐murid Padepokan Camar Putih segera melakukan apa yang diperintahkan guru mereka.

Namun pada saat itulah Ki Sidarata mencabut pedang yang tergantung di pinggang. Dengan kecepatan bagaikan kilat tubuhnya berkelebat dari punggung kuda. Seketika senjata di tangan mengibas ke arah murid-muridnya yang sedang membungkukkan badan.

Cras! Cras!

“Wuaagkh...!” Pedang camar yang berwarna putih mengkilat seperti perak langsung menghantam punggung beberapa orang murid Padepokan Camar Putih. Karena Ki Sidarata mempergunakan sebagian dari tenaga dalamnya, maka tubuh murid-murid malang itu terputus menjadi dua bagian!

Beberapa murid lain kontan terkejut mendengar jeritan kawan-kawannya. Mereka langsung menegakkan badan. Dan mereka lebih terkejut lagi, ketika melihat pedang di tangan guru mereka berlumuran darah.

“Guru! Apakah Guru sudah gila membunuh murid-muridmu sendiri?” teriak Siwalaya.

“Ha ha ha..,! Kalian bukan muridku! Kalian adalah sampah yang pantas disingkirkan!” dengus Ki Sidarata.

“Apa yang membuatmu berubah, Guru?! Apakah wanita itu yang telah meracuni Guru?” tanya murid yang lain dengan berang.

Rupanya setelah melihat air muka gurunya, murid‐murid Padepokan Camar Putih jadi curiga. Pasti ada yang tidak beres pada Ki Sidarata. Tetapi apa yang dapat dilakukan tanpa Kuntala?

“Tutup mulutmu! Kau tidak pantas bicara begitu pada ketua kami!” bentak Ki Sidarata dengan mata mendelik.

Tampaknya murid-murid Padepokan Camar Putih tidak mungkin dapat menyadarkan gurunya yang sudah seperti orang kehilangan ingatan itu. Sehingga mereka seperti mendapat aba-aba, langsung berlompatan mundur.

“Bunuh mereka!” perintah gadis berkuda yang tak lain Ratu Alam Baka kepada Ki Sidarata dan belasan orang lain yang menyertainya.

Serentak orang‐orang itu dengan tatapan kosong tanpa cahaya kehidupan segera mencabut berbagai senjata. Lalu....

“Hajar! Hiyaaa...!” teriak Ki Sidarata, memberi aba‐aba.

Seketika terjadilah pertempuran sengit. Dan sebagai murid, tentu saja pemuda-pemuda itu kewalahan menghadapi gurunya sendiri. Apalagi saat itu Ki Sidarata dibantu belasan orang pengikut Ratu Alam Baka. Sehingga, keadaan mereka ibarat telur di ujung tanduk.

Namun, murid-murid padepokan itu tidak mau pasrah menunggu nasib buruk. Dengan segenap kemampuan mereka terus berusaha melakukan perlawanan tidak kalah sengitnya. Pedang di tangan mereka diputar secepat kilat. Tetapi selain Ki Sidarata, ternyata pengikut-pengikut Ratu Alam Baka lainnya juga mempunyai tingkat kepandaian tidak rendah. Sehingga, mereka dalam waktu sangat singkat mulai mendesak mundur.

“Cepat habisi orang‐orang tolol itu!” teriak Ratu Alam Baka, memberi perintah.

“Hiyaaa...!” Seperti dirasuki iblis durjana, orang‐orang itu membantai murid-murid Padepokan Camar Putih. Satu demi satu murid‐murid yang malang ini mulai menemui ajal di ujung senjata. Bahkan Ki Sidarata sendiri tampak lebih ganas. Pedangnya diayunkan ketiga penjuru sekaligus.

“Ciaaat...!”

Cres! Cres!

“Aaa...!” Tiga orang yang sebenarnya murid Ki Sidarata menjerit keras terkena senjata pedang yang amat tajam pada bagian perut. Usus mereka memburai keluar disertai darah mengucur deras dari luka yang memanjang. Tidak lama terbanting, tubuh mereka kelojotan sebentar. Lalu, diam untuk selama-lamanya.

“Guru gila! Manusia sinting! Hiyaaa...!” jerit Siwalaya. Saat itu juga pemuda ini memutar pedangnya dengan pengerahan jurus andalan.

Wesss...!

Terasa sambaran angin halus menerpa wajah Ki Sidarata.

“Huh! Camar Putih Bermain Di Atas Ombak. Kau mainkan di depanku!” dengus Ki Sidarata.

Sebagai orang yang menciptakan jurus itu, tentu Ketua Padepokan Camar Putih ini sudah paham betul kehebatan serta kelemahannya. Maka tidak kalah hebatnya, pedangnya diputar untuk menangkis serangan Siwalaya.

Trang!

Akibat kerasnya benturan, pedang di tangan Siwalaya terpenal. Jelas saja, tenaga dalamnya kalah jauh dibandingkan tenaga dalam bekas gurunya. Pemuda itu terkejut sekali. Segera dia melompat mundur. Tetapi, laki‐laki tua itu terus memburunya dengan tusukan pedang.

“Aih...!” Siwalaya menjatuhkan diri seraya berguling-guling untuk menyelamatkan diri. Namun, Ki Sidarata, terus rnengejar. Tepat ketika Siwalaya bangkit berdiri, tendangan orang tua itu meluncur datang. Sehingga.....

Buk!

“Aaakh...!” Siwalaya menjerit keras dengan tubuh terhuyung-huyung. Dan belum juga dia menjaga keseimbangannya, pedang di tangan Ki Sidarata meluncur cepat tak terhindarkan lagi.

Crep!

“Aaa...!” Mantap sekali pedang itu menembus dada sampai ke bagian jantung Siwalaya. Murid yang malang itu ambruk dan tewas saat itu juga.

Ki Sidarata tertawa terbahak-bahak melihat kematian murid keduanya. Setelah kematian Siwalaya, maka korban terus berjatuhan. Sampai pada akhirnya hanya tinggal satu yang tersisa. Orang ini dalam keadaan terluka. Ketika melihat kematian kawan-kawannya, dia berpura‐pura mati untuk menyelamatkan nyawanya.

“Kau telah menjalankan tugas dengan baik, Wakilku. Aku pasti akan memberimu surga malam ini. Tetapi sebelum kita melanjutkan perjalanan untuk mencari musuh besar Ketua Yang Agung, lebih baik bakar dulu padepokan ini!” perintah Ratu Alam Baka tegas.

Membakar padepokan tentu bukan persoalan bagi Ki Sidarata. Apalagi, dia sudah kehilangan akal sehatnya akibat Racun Pelebur Akal. Dengan senang hati laki-laki tua ini memimpin pembakaran padepokan yang dibangunnya sendiri, dengan susah payah. Sekejap saja, api sudah menyala dan membakar habis bangunan yang banyak menyimpan suka duka. Para pembunuh berdarah dingin ini memperhatikan kobaran api sambil tersenyum puas.

“Mari kita pergi!” ujar Ratu Alam Baka.

“Mari, Ketua,” sahut Ki Sidarata.

********************

cerita silat online serial pendekar rajawali sakti

Pagi Pendekar Rajawali Sakti dan Kuntala baru saja muncul dari arah utara. Jelas sekali mereka dalam keadaan tergesa-gesa. Saat melewati jalan desa yang lebar, penduduk yang kebetulan berlawanan arah dengan kedua penunggang kuda itu tidak marah oleh kepulan debu, yang tercipta. Sebab, mereka kenal baik dengan salah seorang yang tidak lain murid tertua Padepokan Camar Putih.

Sebaliknya, Kuntala sendiri menjadi heran. Karena setiap mereka berjumpa penduduk di situ, rata-rata langsung menundukkan kepala. Merasa semakin penasaran, Kuntala mempercepat lari kudanya. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti harus menyesuaikan lari kudanya dengan kuda Kuntala, agar selalu berada di sisinya. Ketika sudah mendekati Padepokan Camar Putih, rasa kaget di hati Kuntala semakin menjadi-jadi.

Dia melihat banyak penduduk yang tinggal berdekatan dengan padepokan berkerumun di halaman. Lebih kaget lagi, setelah melihat padepokan hanya tinggal puing-puing hangus yang rata dengan tanah. Di sana sini masih mengepulkan asap tipis. Kuntala segera melompat dari atas punggung kudanya diikuti Rangga. Lalu, dia berlari dan menyeruak di tengahtengah orang banyak.

“Apa yang telah terjadi di sini?” tanya Kuntala pada orang yang berdiri di sampingnya.

“Sepertinya kita telah datang terlambat, Kuntala,” gumam Rangga sambil menepuk-nepuk pundak Kuntala.

Kuntala seperti tidak percaya memperhatikan mayat-mayat saudara seperguruannya yang bergeletakan tak tentu arah. Di tengah-tengah kerumunan penduduk desa, Kuntala melihat seorang pemuda dengan dada dibalut kain menghampirinya. Kuntala jelas mengenali orang ini.

“Braga! Katakan, apa yang terjadi di sini? Siapa yang membunuh saudara-saudara kita?” terabas Kuntala, begitu pemuda bernama Braga tiba di depannya. Tanpa sadar Kuntala mencengkeram pundak Braga. Sehingga, pemuda yang belum sembuh dari lukanya itu menyeringai kesakitan.

“Lepaskan Kakang Kuntala!” Braga meronta.

“Ehhh..., maaf...!” ucap Kuntala.

Pendekar Rajawali Sakti segera mengajak kedua pemuda itu menjauhi penduduk yang semakin banyak berdatangan. Mereka duduk di bawah pohon beringin yang tidak jauh dari padepokan.

“Coba katakan padaku, siapa yang melakukan pembantaian ini!” desak Kuntala tidak sabar.

“Kejadiannya berlangsung sangat cepat, Kakang,” desah Braga dengan mata berkaca-kaca. “Ketika Guru kembali, semua saudara kita di sini sangat bergembira. Tetapi, apa yang dilakukannya tidak mungkin dapat kulupakan seumur hidupku. Dia bersama orang-orang berjubah kuning membunuhi saudara-saudara kita....”

“Apakah kau sudah gila?! Mana mungkin seorang Guru tega membunuh murid-muridnya sendiri!” sergah Kuntala. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti yang mendengarkan semua ini jadi kaget sekali.

“Bukan aku yang gila! Tetapi, Guru kita dan orang-orang berjubah itu,” sahut Braga pelan suaranya.

“Selain Guru dan orang-orang berjubah itu, lalu siapa lagi?” tanya Kuntala ingin kepastian.

“Seorang gadis yang cantik luar biasa. Guru memanggilnya dengan sebutan Ratu Alam Baka. Gadis itulah yang memimpin tidak kurang dari dua puluh orang laki-laki. Aku juga mendengar, mereka memanggil ketua pada gadis berbaju putih itu!” jelas Braga.

“Bagaimana, Rangga? Apakah kau mengenal mereka?” tanya Kuntala penasaran. Pendekar Rajawali Sakti dengan tegas menggeleng. “Lalu, apa lagi?”

“Gadis itu mengatakan tentang Ketua Yang Agung. Ya..., mereka sedang menjalankan tugas yang diberikan Ketua Yang Agung. Aku tidak tahu, siapa dia. Mungkin saja rajanya para iblis. Sebab, tindakan mereka benar-benar seperti iblis!” geram Braga.

“Sebaiknya kita bicarakan nanti saja, Rangga. Kita perlu menguburkan mayat-mayat itu,” ujar Kuntala.

“Kakang...” seru Braga.

“Ada apa?” Kuntala memperhatikan adik seperguruannya dengan heran.

“Jika penguburan saudara-saudara kita telah selesai, aku ingin kembali saja ke daerah asalku. Kurasa, aku tidak cocok berada di sini,” jelas Braga.

“Aku tidak bisa mencegahmu. Jika memang itu pilihanmu, silakan saja,” jawab Kuntala.

“Apa rencana kita selanjutnya, Rangga?” tanya Kuntala, ketika bersama Pendekar Rajawali Sakti tengah beristirahat di halaman padepokan yang telah rata dengan tanah.

“Pertama yang kita lakukan adalah, mencari Ratu Alam Baka dan anggotanya. Kurasa jika mereka dapat ditangkap, kita segera tahu siapa sebenarnya yang berdiri di belakang mereka!” jawab Rangga, tegas.

“Aku setuju! Namun yang membuatku heran, mengapa Ratu Alam Baka terlebih-lebih guruku sendiri, begini tega membunuh saudara-saudaraku!"

“Aku rasa, tujuan yang sebenarnya pastilah bukan itu. Saudara‐saudara seperguruanmu hanya korban sampingan saja. Atau bisa jadi, Ratu Alam Baka digerakkan seseorang untuk membunuh musuh besar orang itu sendiri,” duga Pendekar Rajawali Sakti.

“Jadi segala sesuatunya bersumber dari makam keramat?” tebak Kuntala.

“Betul sekali! lngat tidak, ketika kita menemukan sebuah kubur yang sepertinya telah digali seseorang?” tanya Rangga.

“Tentu saja ingat.”

“Apakah kau berani memastikan apakah kubur itu milik laki-laki atau perempuan?”

“Daerah makam yang di sebelah kanan, keseluruhannya adalah tempat mengubur mayat perempuan. Seingatku, aku membawa batu nisan yang tergeletak di samping lubang. Kurasa, nisan itu dapat memberi jawaban yang diinginkan,” jelas Kuntala.

“Mana?” tanya Rangga.

“Aku menyimpannya di pelana kuda. Tunggu sebentar. Biar kuambilkan...!” sahut Kuntala.

Sekejap kemudian Kuntala meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti untuk mendapatkan kudanya. Dan sekejap kemudian dia telah kembali lagi dengan membawa sebuah batu nisan yang telah dipatahkan bagian ujungnya. Kuntala menyerahkan batu nisan pada Rangga. Pendekar Rajawali Sakti langsung membaca tulisan yang tertera di atas nisan.

Dewi Anggini. Dewi yang tercantik abadi. Meninggal secara aneh dalam umur dua puluh tahun.

Rangga tercengang, setelah membaca tulisan yang tertera pada nisan. Sekarang sudah diperoleh gambaran agak lebih jelas. Namun kemudian timbul keraguan di hatinya. Benarkah orang yang telah mati dapat dihidupkan kembali? Lagi pula, mayatnya sudah jelas tidak utuh. Atau paling tidak tinggal tulangbelulang saja.

“Kau menemukan sesuatu, Rangga?” Tanya Kuntala.

“Aku menemukan jawaban yang sulit diterima akal sehat. Atau, kita semuanya apa memang sudah menjadi gila,” gumam Rangga.

“Maksudmu?” tanya Kuntala tidak mengerti.

“Kurasa, ada yang telah menggali dan mencuri mayat Dewi Anggini. Paling tidak, inilah jawaban yang kudapatkan dari batu nisan ini. Dan, Dewi Anggini telah dibangkitkan kembali,” jelas Rangga.

“Bagaimana mungkin orang yang sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu, mayatnya masih utuh?” tukas Kuntala.

“Kupikir Dewi Anggini mempunyai ilmu 'Karang'. Orang yang mempunyai ilmu ini, mayatnya tidak akan pernah membusuk walau telah terkubur selama berabad-abad,” jelas Pendekar Rajawali Sakti secara hati-hati.

“Lalu, siapa yang dapat membangkitkannya...?” tanya Kuntala.

“Paling tidak orang yang pernah mengenal baik gadis itu. Kalau dugaanku benar, berarti orang yang telah membangkitkan Dewi Anggini punya dendam khusus pada seseorang.”

“Dan kita tidak tahu, siapa musuh orang itu?” dengus Kuntala sambil tersenyum kecut.

“Kita segera mengetahui jika dapat menemukan jejak Ratu Alam Baka dan kawan‐kawannya. Ingat, mereka adalah orang‐orang yang telah digerakkan kekuatan iblis. Dan yang menjadi pimpinan dalam pelaksanaan tugas itu adalah gadis yang sudah mati. Mereka bisa mengancam keselamatan orang‐orang yang tidak berdosa. Kita harus menghentikan mereka!” tegas Rangga.

“Ayolah, sebaiknya kita berangkat sekarang juga...!”

********************

LIMA

Ke mana pun Ratu Alam Baka pergi bersama anak buahnya, maka di situ pula malapetaka terjadi. Desa-desa yang dilalui dibumihanguskan. Para penduduk baik laki-laki maupun perempuan dibunuh. Anak-anak dibakar. Tindakan Ratu Alam Baka dan anak buahnya yang sangat ganas ini memancing kemarahan tokoh‐tokoh rimba persilatan, baik yang beraliran hitam maupun putih. Mereka bahkan bahu-membahu berusaha menumpas Ratu Alam Baka dan komplotannya.

Tetapi ternyata lawan yang dihadapi begitu tangguh. Sehingga para pendekar yang cinta damai ini tewas secara sia-sia. Walaupun begitu, kekejaman Ratu Alam Baka dan pengikutnya tidak membuat surut tokoh-tokoh rimba persilatan dalam menumpas. Dengan berbagai cara mereka mencoba menghancurkan gadis alam kubur ini. Tetapi, seperti pendahulu-pendahulunya, mereka ini akhirnya menemui ajal di tangan pengikut Ratu Alam Baka.

Hanya dalam waktu beberapa purnama saja, kekejaman Ratu Alam Baka dan pengikut-pengikutnya telah tersebar di seluruh pelosok tanah Jawa. Namun anehnya mereka hanya melakukan penyerangan pada malam hari saja. Sedangkan di siang hari, menghilang begitu saja bagaikan di telan bumi.

Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka yang ketika itu sedang melakukan penyelidikan di Pemakaman Keramat Sokalarang tentu saja mendengar kejadian ini. Mereka segera melakukan pengejaran.

“Kurasa orang‐orang itu belum jauh dari sini,” duga Ki Sumping yang berbaju merah.

“Bagaimana kau tahu, Ki Sumping?” tanya Ki Kaswatama.

“Mayat‐mayat itu masih hangat,” sahut Ki Sumping.

Ki Kaswatama yang berdiri di sebelah Ki Sumping menarik napas dalam-dalam. “Kurasa kita harus bergerak cepat Kita harus menemukan mereka sebelum datangnya pagi!” lanjut Ki Kaswatama.

“Tampaknya kau mengkhawatirkan sesuatu, Ki Kaswatama?” tebak Erlangga.

“Kita menghadapi biangnya iblis, Erlangga! Melihat cara kerja Ratu Alam Baka, kelihatannya mereka lebih suka berkeliaran pada malam hari,” tegas laki‐laki tua berambut putih itu.

Sementara perempuan setengah baya yang menyertai keempat laki-laki itu sejak dari Pemakaman Keramat Sokalarang tampak diam membisu.

“Sebaiknya, mulai saat ini kita bagi-bagi tugas saja,” usul laki‐laki berperut buncit, bernama Gagak Lamar yang sangat jarang tertawa.

“Maksudmu?” tanya Ki Sumping.

“Aku dan Dewi Kunti mencari ke selatan. Sedangkan kau, Ki Kaswatama, dan Erlangga mencari ke arah lain,” jelas Gagak Lamar.

“Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka sebelumnya tidak pernah berpisah. Mengapa sekarang harus berpencar?” keluh Ki Sumping.

“Kalau ingin terus berkumpul, sebaliknya kembali ke Lembah Seribu Duka saja, Ki Sumping, Dan, jangan pernah pergi ke mana-mana,” dengus Gagak Lamar sewot.

“Kau keterlaluan. Aku hanya usul. Boleh dipakai, dan boleh dibuang. Kalau tidak suka, siapa berani memaksa?” sahut Ki Sumping sambil bersungut‐sungut.

“Aku tidak suka kalian ribut‐ribut. Kurasa usul Gagak Lamar cukup baik dilaksanakan. Sebab menurutku, jika semakin lama kita membiarkan Ratu Alam Baka bebas berkeliaran, keadaan akan semakin kacau. Kasihan rakyat yang tidak berdosa, karena akan menjadi korban mengenaskan,” tegas Ki Kaswatama.

Karena pimpinan Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka yang bicara, maka empat pendekar lainnya tidak berani membantah.

“Baiklah. Kalau memang itu yang menjadi keputusan Ki Kaswatama, kami tidak akan bertindak menuruti hati kami sendiri,” desah Erlangga.

“Sebaiknya sekarang kita pergi dengan arah yang telah sama-sama kita setujui,” lanjut Ki Kaswatama.

********************

“Bakar! Dan jangan biarkan ada seorang pun yang hidup!” teriak Ratu Alam Baka, ketika berada di Desa Jatisari.

Mendapat perintah seperti itu, Ki Sidarata dan anak buahnya segera membakar rumah-rumah di depan mereka. Penduduk langsung lari kucar‐kacir menyelamatkan diri. Namun mereka juga tidak luput dari sasaran tangan para pembunuh berdarah dingin itu. Dengan membabi-buta, anak buah Ratu Alam Baka melakukan pembantaian.

Sementara itu, sepasang mata yang terus mengawasi dari jarak yang tidak begitu berjauhan tampak tersenyum puas melihat tindakan Ratu Alam Baka dan pengikut-pengikutnya yang sangat kejam.

“Bakar semua rumah yang ada di desa ini!” teriak Ki Sidarata memberi aba-aba.

“Ha ha ha...! Inilah pekerjaan yang paling menyenangkan!” sahut belasan orang pengikut Ratu Alam Baka sambil berjingkrak-jingkrak kegirangan.

Obor-obor di tangan mereka langsung dilemparkan ke atas atap rumah-rumah yang, kebanyakan terbuat dari daun rumbia. Maka hanya dalam waktu beberapa kejap saja rumah-rumah penduduk desa pun telah dimakan api. Pada saat-saat yang sangat tegang itu... “Aaa...!” Beberapa pengikut Ratu Alam Baka mendadak menjerit kesakitan dengan tubuh berpelantingan ke seluruh penjuru.

Dari balik kobaran api berkelebat tiga sosok bayangan hitam, merah, dan putih yang langsung menghantam pengikutpengikut Ratu Alam Baka. Bukan main kompaknya serangan-serangan yang dilakukan ketiga sosok yang baru keluar dari kobaran api. Bahkan setiap serangan yang dilakukan tidak pernah meleset dari sasaran.

“Mampudah kalian semua, Setan! Hiyaaa.,.!” teriak sosok berbaju putih sambil menghantamkan tongkatnya.

“Haiiit!

Dari arah lain menderu pula serangan yang sama. Sehingga, anak buah Ratu Alam Baka yang memakai jubah kuning hanya dalam waktu singkat tampak semakin terdesak. Melihat kenyataan ini, lima orang yang berjubah hitam segera datang membantu.

“Sobat berjubah kuning, mundur semuanya!”

Serentak lima belas orang berjubah kuning melompat mundur. Tempat mereka segera digantikan orang-orang yang memakai jubah hitam.

Sementara ketiga penyerang tampak terkejut, melihat orang yang baru saja berteriak memberi aba-aba tadi. Agaknya, mereka mengenal Ki Sidarata yang merupakan Ketua Padepokan Camar Putih. Yang membuat mereka tidak habis pikir, mengapa Ki Sidarata malah bergabung dengan Ratu Alam Baka melakukan pembunuhan di mana-mana?

“Ki Sidarata, apa yang kau kerjakan di sini?” bentak sosok berpakaian serba putih.

Bekas Ketua Padepokan Camar Putih ini memandangi ketiga orang yang baru datang. Mereka tak Iain tiga dari Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka. Namun setelah sekian lama mengamati, tampaknya Ki Sidarata seperti tidak mengenal mereka, “Siapa kau?” tanya Ki Sidarata heran.

“Aku Erlangga, sahabatmu...!” jawab laki‐laki berbaju putih yang tak lain Erlangga tegas. Sementara dua pendekar lainnya adalah Ki Kaswatama dan Ki Sumping.

“Huh! Aku sama sekali tidak mengenalmu. Lebih baik, kalian pergi ke neraka...!”

Ki Kaswatama, Ki Sumping, dan Erlangga tercengang. Jelas ada sebuah kekuatan yang menguasai jiwa Ki Sidarata. Dan ketiga laki-laki ini tidak mungkin mampu menyadarkan Ketua Padepokan Camar Putih ini.

“Ingatlah, Ki. Iblis telah menguasaimu. Masih ada kesempatan bagimu untuk kembali ke jalan semula. Kami akan menolongmu!” ujar Erlangga, berusaha membujuk.

“Bunuh mereka!” perintah Ki Sidarata pada kelima anak buahnya yang memakai jubah hitam. Tentu saja hal ini amat mengejutkan ketiga pendekar itu.

“Bagus! Ternyata kau tetap setia pada Ketua Yang Agung, Sidarata. Untuk kesetiaanmu, nanti kuberikan surga lagi untukmu!” timpal Ratu Alam Baka, memuji.

Sementara itu, kelima laki-laki berjubah hitam menerjang ketiga pendekar ini dari seluruh penjuru arah. Tangan mereka yang berwarna hitam terkembang, meluncur deras mencari sasaran.

Namun dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, ketiga pendekar itu segera melenting ke udara. Tongkat bambu di tangan mereka serentak pula menghajar punggung lawan-lawannya.

Mendapat serangan itu, kelima laki-laki berjubah hitam dengan gesit berkelit, seraya coba menangkis serangan tongkat bambu. Namun ketiga pendekar itu mendadak menarik balik serangannya. Bahkan secepat kilat melepaskan tendangan ke wajah.

Serangan itu, tentu merupakan kehebatan tersendiri bagi ketiga pendekar itu. Karena, mereka menyerang justru pada saat tubuh tengah meluncur ke bawah. Maka orang-orang berjubah hitam ini sama sekali tidak sempat menghindar karena gugup. Lalu....

Buk! Buk! Buk! Prol!

“Wuaaakh...!” Tiga dari lima orang berjubah hitam terdorong ke belakang disertai jeritan tertahan sambil memegangi mulutnya yang mengucurkan darah. Pada saat mereka menyemburkan darah dari mulut, maka beberapa buah gigi tampak ikut tanggal terpental keluar.

Seperti tidak menghiraukan sakit yang diderita, lima laki-laki berjubah hitam kembali membangun serangan gencar. Tiga pendekar itu tidak tinggal diam. Mereka segera memutar bambu di tangan dengan cepat sekali, menimbulkan suara mendengung-dengung menyakitkan telinga.

Akibatnya lima laki-laki berjubah hitam terhuyung mundur. Namun mereka segera menutup telinga dengan pengerahan tenaga dalam. Sehingga, pengaruh putaran bambu menghilang dengan sendirinya. Pada saat itulah lima laki-laki bermantel hitam kembali mencecar ketiga pendekar itu. Pukulah-pukulan dahsyat dilepaskan. Bahkan tidak jarang melepaskan tendangan beruntun.

Namun, tampaknya ketiga pendekar dari Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka ini cukup tangguh. Para anak buah Ratu Alam Baka yang berjubah hitam melompat mundur. Sejenak mereka membuat gerakan tangan dengan gerakan rapi. Tepat ketika berhenti di depan dada, tenaga dalam telah tersalur ke bagian tangan, sehingga berubah menghitam. Dari telapak tangan langsung tercium bau amis pula, pertanda mereka telah bersiap-siap melepaskan pukulan keji.

“Hiyaaa...!” teriak kelima laki-laki berjubah hitam seraya mengeluarkan aji 'Harimau Hitam Keluar Sarang' secara serentak. Hanya beberapa kejap saja, kelima laki‐laki itu telah mendorongkan kedua tangan ketiga arah sekaligus. Karena suasana dalam keadaan gelap, maka ketiga pendekar itu tidak melihat sinar hitam yang meluncur deras.

Namun sebagai tokoh-tokoh yang telah banyak pengalaman di dunia persilatan, begitu merasakan adanya sambaran angin berbau amis, ketika pendekar ini langsung mengibaskan tangan ke depan.

Wut! Wut! Wut!

Saat itu juga, meluruk tiga leret sinar putih berkilauan menerangi kegelapan, memapak serangan yang tak terlihat. Maka, bertemunya kekuatan sakti itu pun tidak dapat dihindari lagi. Dan....

Glarrr!

Terdengar lima kali ledakan berturut-turut. Tampak lima sosok tubuh terpental sejauh tiga batang tombak. Lalu....

“Hoegkh...!” Kelima laki-laki berjubah hitam muntahkan darah segar. Tetapi mereka cepat bangkit kembali dan mulai membangun serangan.

Sementara ketiga pendekar itu hanya terjajar dengan tubuh bergetar. Namun dengan penyaluran napas dan sedikit hawa murni, mereka bisa menguasai diri lagi.

Sementara itu, tanpa ada yang sempat mencegah, lima belas laki-laki lain berjubah kuning terus melakukan pembakaran. Penduduk yang mencoba menyelamatkan diri langsung dibantai. Sehingga, di sana sini terdengar pekik kematian.

Ketiga pendekar itu memang hanya dapat mengurut dada mendengar jerit tidak berdaya para penduduk itu. Habis mau bilang apa? Sebab mereka sendiri saat itu sedang menghadapi lawan-lawan yang tampak tidak mempunyai titik kelemahan untuk dibinasakan.

“Pergunakan jurus 'Gempuran Sang Badai' ujar Ki Kaswatama, berbisik.

“Siap!” jawab Ki Sumping dan Erlangga.

Beberapa saat kemudian, pertarungan benar-benar tampak seru dan mendebarkan. Serentak dan secara susul-menyusul, mereka melakukan serangan gencar satu sama lain

Lima laki-laki berjubah hitam anak buah Ratu Alam Baka berusaha mendesak. Namun pertahanan Ki Kaswatama, Erlangga, dan Ki Sumping begitu kompak. Bahkan serangan balik ketiga pendekar itu sangat gencar. Akibatnya kelima anak buah Ratu Alam Baka terpaksa terus bermain mundur saja.

Kenyataan ini jelas menguntungkan bagi para pendekar dari Lembah Seribu Duka. Tiba‐tiba mereka mencampakkan bambu di tangan, dan segera mencabut senjata berupa pisau panjang berwarna putih mengkilat.

“Mari kita habisi mereka!” teriak Ki Kaswatama memberi aba-aba.

“Setuju! Hiyaaa...!” sahut Ki Sumping dan Erlangga.

Tubuh mereka bergerak memutar kelima arah sekaligus. Sedangkan pisau panjang di tangan meluncur deras menghantam tiga jalan kematian. Kelima laki-laki berjubah hitam ini terkesiap. Mereka cepat memiringkan badan ke samping. Tetapi, gerakan dua orang Pendekar Lembah Seribu Duka tidak kalah cepat. Sehingga....

Cras! Cras!

“Wuaaakh...!” Kedua laki‐laki berjubah hitam menjerit keras ketika tangan kanan mereka putus terkena sabetan senjata Ki Kaswatama dan Erlangga yang sangat tajam. Potongan tangan itu jatuh ke tanah. Tetapi anehnya bisa bergerak-gerak seakan hidup. Lalu, melayang ke udara dan melekat kembali ke bagian yang sempat terputus tadi.

Trep!

“Heh...?!” Tiga pendekar dari Lembah Seribu Duka terkejut setengah mati. Mereka merasa yakin ada kekuatan gaib yang telah mengembalikan tangan itu ke tempat asalnya.

“Kalian bertiga akan mati di tangan kami. Semua orang yang berani menentang Ratu Alam Baka dan Ketua Yang Agung, harus lenyap dari kolong langit!” dengus Dewi Anggini, sambil terus memperhatikan jalannya pertarungan.

“Kalian iblis keparat! Hiyaaa...!” teriak Ki Kaswatama.

Tiba-tiba tiga pendekar dari Lembah Seribu Duka berjumpalitan ke belakang. Begitu mendarat, tangan kanan mereka bergabung menjadi satu. Tidak lama kemudian, terdengar suara jeritan di sana-sini. Tubuh ketiga pendekar itu tampak bergetar hebat. Keringat sebesar-besar jagung membasahi sekujur tubuh dan pakaian.

“Hiyaaa…!” Disertai teriakan keras menggelegar, mereka segera mengerahkan aji Membelah Bumi dalam keadaan tangan mereka telah menyatu, mereka segera menghantamkan ke permukaan tanah.

Blarrr...!

Seketika terdengar suara bergemuruh. Dan tanah di depan mereka pun menganga lebar siap menelan lawan-lawannya. Di sela-sela retakan tanah selebar dua batang tombak itu, tiba-tiba terlihat nyala api yang seakan-akan keluar dari dasar perut bumi.

Dua orang berjubah hitam yang sempat menerjang ke depan sudah tidak sempat lagi menyelamatkan diri. Tubuh mereka tercebur dalam kobaran api yang keluar dari rengkahan tanah saat itu juga terdengar jeritan menyayat yang sangat memilukan. Ki Sidarata terkesiap melihat kehebatan ajian yang sangat langka. Sebaliknya, Ratu Alam Baka menggeram marah. Seketika matanya dikedipkan.

Wuusss...!

Seketika dari mata itu melesat sinar putih berwarna keperakan yang menyambar ke arah lubang besar memanjang di depan ketiga pendekar dari Lembah Seribu Duka.

Jleb!

“Heh?!” Ketiga laki‐laki ini tersentak kaget ketika melihat tanah di depan bertaut kembali. Semetara dua laki‐laki berjubah hitam yang sempat tercebur tadi, sudah tidak dapat diselamatkan lagi. Dan hal ini justru membuat Ratu Alam Baka menjadi sangat marah!

“Mundur kalian semuanya!” teriak Dewi Anggini.

Tiga orang berjubah hitam berlompatan mundur. Sedangkan lima belas laki-laki berjubah kuning telah mengurung ketat ketiga pendekar dari Lembah Seribu Duka.

“Ketua! Biarkan aku yang membereskan bangsat-bangsat ini!” sergah Ki Sidarata sambil menjura hormat.

Tetapi Dewi Anggini yang telah dibangkitkan dari alam kubur ini menggelengkan kepalanya. “Ketua Yang Agung baru saja mengatakan padaku, agar membunuh mereka secepatnya. Hanya akulah yang akan melakukannya dengan tangan dan mataku!” desis Ratu Alam Baka.

Ki Sidarata terpaksa melompat mundur untuk memberi kesempatan pada Ratu Alam Baka.

“Kita dahului dia!” sentak Ki Kaswatama. “Gunakan jurus Menari Di dalam Lingkaran Bulan.”

Dua pendekar lainnya, segera mengangguk seraya mengerahkan jurus yang disebutkan Ki Kaswatama. Saat itu juga, ketiga laki-laki ini segera meIepaskan serangan-serangan paling berbahaya. Tangan mereka mencengkeram kebagian mata dan juga perut Ratu Alam Baka.

Karena serangan yang dilakukan terlalu cepat, maka dalam waktu sekedipan mata saja tangan‐tangan maut mereka sudah hampir mencapai sasaran. Namun dalam keadaan yang sangat gawat, Dewi Anggini mengibaskan tangannya untuk menghadang serangan.

Duk! Duk!

“Huugkh...?” Terdengar keluhan tertahan. Tampak ketiga pendekar itu terhuyung ke belakang. Jangan mereka yang membentur tangan Ratu Alam Baka terasa sakit dan berubah dingin membekukan. Bahkan belum sempat mereka melancarkan serangan kembali, wanita itu telah mengedipkan mata yang telah berubah memutih keseluruhannya.

Set!

Seketika tiga leret sinar putih melesat bagaikan kilat ke arah ketiga pendekar itu yang langsung terkesiap, karena penglihatan menjadi silau.

“Menghindar!” Ki Kaswatama yang menyadari bahaya sedang mengancam jiwa segera memberi peringatan dengan suara keras. Dan tubuhnya segera berguling-guling ke samping.

Tetapi malang bagi Ki Sumping dan Erlangga. Mereka terlambat menyelamatkan diri. Akibatnya...

Blar! Blarrr!

“Aaa...!” Jerit kematian mewarnai ledakan keras akibat sinar-sinar putih itu menghantam tubuh Erlangga dan Ki Sumping.

Dan sesuatu yang sangat mengerikan pun terlihat. Tubuh kawan-kawan Ki Kaswatama meleleh bagaikan lilin. Dan dalam waktu sangat singkat, yang tertinggal hanya tengkorak dan tulang-belulang saja.

“Erlangga...! Ki Sumping...!” Ki Kaswatama menjerit menyayat melihat nasib menggiriskan yang terjadi pada dua sahabatnya. Laki‐laki Ketua Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka ini menggeram marah. Tangannya yang terkepal seketika diadu satu sama lain. “Hiyaaa...!” teriak Ki Kaswatama seraya mengerahkan pukulan Dewa Halilintar.

Gleger!

Terdengar serangkaian ledakan dahsyat bagaikan suara petir. Dari kepalan tangan yang diadu tadi, tampak bergulung-gulung sinar merah meluncur ke arah Ratu Alam Baka. Suasana panas kini seperti di neraka saja. Rupanya, Ki Kaswatama telah mengeluarkah pukulan Dewa Halilintar untuk menyerang wanita itu.

Pada saat yang sama, Ratu Alam Baka kembali mengedipkan matanya pula. Seketika sinar putih kembali melesat, memapak sinar pelangi. Kedua sinar itu saling himpit dan dorong-mendorong. Dan agaknya, Ki Kaswatama kalah dalam hal adu tenaga dalam. Sehingga....

Blarrr!

“Aaakh...!” Ketua Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka terjengkang. Dadanya terasa sesak. Ketika berusaha menarik napas, maka darah keluar dari hidung, mulut serta telinganya.

Ratu Alam Baka walaupun sudah melihat lawannya dalam keadaan sekarat tanpa rasa kasihan lagi mengedipkan matanya kembali. Maka kembali sinar putih melesat bagai kilat. Lalu....

Glarrr!

Sinar putih kontan meluluh lantakan tubuh Ki Kaswatama. Daging di tubuhnya mencair dan menebarkan bau busuk. Sebentar saja Ketua Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka ini hanya tinggal tulang-belulang saja.

Dewi Anggini tersenyum dingin, menatap mayat Ki Kaswatama. Sementara Ki Sidarata dan anak buah lainnya yang menyaksikan kehebatan ketua mereka tampak terkagum-kagum.

“Kehebatan yang kau miliki tidak perlu diragukan lagi, Ketua. Aku bangga menjadi wakilmu!” Puji Ki Sidarata, takjub.

“Hi hi hi...! Kau memang pandai memuji. Tetapi, sudahlah! Hari menjelang pagi. Aku dan kau memerlukan tempat persembunyian. Besok malam, kita bisa mencari lagi musuh besar Ketua Yang Agung,” ujar Ratu Alam Baka.

Mereka semua tentu patuh dan tunduk pada perintah Dewi Anggini. Tanpa bicara apa-apa, anak buah Ratu Alam Baka mengikuti ke mana pun Dewi Anggini pergi.

********************

ENAM

“Sial...!” maki Kuntala, di atas kuda coklatnya.

Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya menggeleng-gelengkan kepala, seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

“Aku tidak tahan melihat semua ini! Di mana-mana kulihat rumah-rumah dibumihanguskan. Mayat-mayat penduduk yang tidak berdosa berceceran tanpa bisa mengatakan, siapa yang bersalah. Kita bukan pengubur jenazah. Satu hal yang sangat kusesalkan, mengapa kita tidak bisa menghentikan mereka?” desis pemuda berbaju biru itu.

Rangga yang sejak tadi duduk diam di atas punggung Dewa Bayu memandang tajam pada Kuntala. “Bicaramu seperti menyalahkan aku, Kuntala? Mengapa? Aku pun tak sudi membiarkan para iblis Itu menebar maut di mana-mana? Kau lihatlah tulang-belulang ini?” desis Pendekar Rajawali Sakti. Rangga menunjuk pada tiga onggok tulang-belulang yang terhampar dekat kaki kuda mereka.

“Melihat tongkat dan pisau panjang yang tergolek dekat mereka, kalau tidak salah tiga tulang-belulang itu mayat dari para pendekar dari Lembah Seribu Duka,” jelas Kuntala pelan. “Aku tidak habis mengerti, mengapa mereka berbuat kejam pada Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka?”

“Itulah jawabannya,”seru Rangga.

“Kau ingatlah selebaran yang kuceritakan yang ditulis di atas kulit manusia. Tampaknya Ratu Alam Baka dan anak buahnya hanyalah alat. Apa pun alasannya, orang yang berdiri di belakang Ratu Alam Baka pasti punya dendam tertentu terhadap Dewi Kunti, salah satu dari Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka,” jelas Pendekar Rajawali Sakti.

“Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanya Kuntala semakin bingung.

“Kita harus mencarinya. Tetapi kuharap kau jangan menyudutkan aku terus. Aku hanya manusia biasa yang mempunyai keterbatasan,” pinta Pendekar Rajawali Sakti.

“Maafkanlah. Aku terlalu kalut. Dan ini membuatku tidak dapat berpikir luas!” ucap Kuntala menyesalkan.

Rangga terdiam. Menurut apa yang didengarnya, Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka adalah orang-orang berkepandaian tinggi. Jika tiga di antaranya sampai binasa, berarti lawan lebih hebat lagi.

“Kita harus menemukan titik kelemahan mereka. Kurasa mereka sangat tangguh apabila bertarung di malam hari.”

“Bagaimana kau bisa beranggapan begitu?” tanya Kuntala.

“Aku hanya menduga. Semoga saja dugaanku tidak meleset. Bagaimanapun, kekuatan iblis selalu begitu. Sudahlah.... Sekarang kita lanjutkan pencarian ini. Semoga mereka belum jauh dari sini!” tegas Rangga.

“Mari,” sahut murid tertua Padepokan Camar Putih.

Kedua pemuda ini menggebah kuda yang mereka tunggangi menelusuri jejak-jejak yang tertinggal di atas pasir. Sampai di pinggiran sebuah hutan yang lebat, Pendekar Rajawali Sakti dan Kuntala kehilangan jejak.

Begitu lebatnya hutan itu, sehingga bila masuk ke dalamnya bagai berada dalam suasana malam hari saja. Pendekar Rajawali Sakti langsung mengerahkan aji Pembeda Gerak Dan Suara. Dia menggumam tak jelas, seperti ada sesuatu yang tertangkap di telinganya.

“Mereka tidak mungkin menghilang seperti hantu. Kurasa mereka berada di depan sana,” kata Kuntala, langsung turun dari kudanya.

“Sebaiknya kita masuk ke dalam hutan itu sekarang!” putus Rangga yang agaknya merasa yakin dengan pendengarannya.

Pendekar Rajawali Sakti segera turun dari kudanya. Mereka kemudian meninggalkan kuda masing-masing di pinggir hutan. Namun baru beberapa langkah menelusuri hutan yang begitu rapat pepohonannya, tiba-tiba dari atas pohon berlompatan lima belas orang berjubah kuning dan tiga berjubah hitam. Hanya dalam waktu sebentar saja mereka telah mengurung Pendekar Rajawali Sakti dan Kuntala.

“Inilah orang-orang yang sangat kau harapkan itu, Kuntala!” bisik Rangga, kalem.

“Tapi aku tidak melihat Ki Sidarata?” sahut Kuntala.

“Mungkin gurumu menganggap orang-orang ini telah cukup kuat untuk menyambut kedatangan bekas muridnya yang terlupakan!” sindir Rangga, sehingga membuat wajah pemuda itu merona merah.

“Kalian benar-benar berani mati telah datang kemari!” desis salah seorang laki-laki berjubah hitam geram.

“Sangat disayangkan, justru kedatangan kami untuk memenggal kepala kalian satu demi satu!” sahut Kuntala tidak kalah sengit

“Kalian hanya pemimpi konyol! Bunuh mereka...!” perintah laki-laki berjubah hitam.

Disertai gumaman tidak jelas, lima orang berjubah kuning langsung menerjang Rangga dan Kuntala. Kedua pemuda ini menyambut serangan dengan tidak kalah sengit. Bahkan Kuntala sudah mengeluarkan jurus Camar Menepuk Buih, salah satu jurus simpanan yang cukup hebat. Tiba-tiba saja Kuntala menerjang ke depan sambil menghantamkan kedua tangannya. Dua orang lawan yang berada paling dekat menjadi sasaran....

Plak! Plak!

“Wuaah...!” Kedua laki-laki berjubah kuning itu kontan terjengkang. Hidung mereka patah mengucurkah darah.

Sementara, Rangga telah pula menjatuhkan tiga orang dengan sekali gebrak. Melihat lima kawannya jatuh sekaligus, sepuluh orang berjubah kuning segera melakukan pengeroyokan. Dengan senjata gada berduri mereka berusaha bergerak mendesak Rangga dan Kuntala.

Wuuutt! Wuuutt!

Hujan senjata datang bertubi-tubi menghantam kedua pemuda ini. Namun melihat keroyokan yang membabi-buta itu, Rangga sedikit pun tak ciut nyalinya segera dipergunakannya jurus Sembilan Langkah Ajaib untuk menghindari serangan. Kakinya segera bergerak-gerak cepat dan lincah, dengan tubuh terus meliuk-liuk manis sekali.

Dan tak satu serangan pun yang dilancarkan lawannya berhasil mengenai sasaran. Gerakan-gerakan yang dibuat Pendekar Rajawali Sakti membuat orang-orang berjubah kuning menjadi penasaran. Maka hampir bersamaan, mereka berlompatan mundur. Begitu mendarat serentak mereka menghentakkan tangan ke arah Pendekar Rajawali Sakti dan Kuntala.

Wuut! Wuutt!

Saat pukulan jarak jauh meluncur dari tangan lima belas orang berjubah kuning, Rangga langsung merasakan sengatan hawa dingin yang mematikan. Bahkan Kuntala sempat menjerit dan tergelimpang, karena jalan darahnya tersendat-sendat. Rangga yang bermaksud melepaskan pukulan balik terpaksa menyelamatkan Kuntala dulu. Seketika disambarnya Kuntala. Lalu tubuhnya melenting ke udara, membuat serangan yang ditujukan pada dua titik hanya mengenai tempat kosong.

Glarrr!

“Heh...?!” Pendekar Rajawali Sakti telah hinggap di sebuah dahan pohon bersama Kuntala jadi terkejut. Akibat pukulan orang-orang berjubah kuning yang digabungkan menjadi satu, ternyata menimbulkan sebuah lubang yang sangat besar!

“Salurkan tenaga dalammu. Aku akan membuat pertahanan mereka jadi porak-poranda!” ujar Rangga.

Kuntala mengangguk. Sementara Pendekar Rajawali Sakti yang masih bertumpu pada dahan pohon, segera menyalurkan tenaga dalam ke bagian telapak tangan. Tiba-tiba sambil meluruk ke bawah kedua tangannya menghentak.

“Hiyaaa...!” teriak Rangga seraya mengerahkan aji Guntur Geni. Seleret sinar merah langsung meluncur deras ke delapan penjuru. Orang‐orang berjubah kuning bersurut mundur, dan cepat mendorongkan kedua tangannya ke arah serangan sinar merah.

Blarrr!

“Aaaeee...!” Belasan sosok tubuh berpentalan disertai jeritan kesakitan saling sambut.

Rangga sendiri terguling-guling. Dari sudut-sudut bibirnya meneteskan darah segar. Jelas, tenaga dalam lima belas orang berjubah kuning itu bila bersatu ternyata lebih besar daripada yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda berbaju rompi putih itu segera berdiri. Tetapi dadanya tiba-tiba saja menjadi sesak. Padahal pada saat itu beberapa orang berjubah kuning telah menyerang dengan gada berduri.

Pada saat yang gawat Kuntala yang berada di atas cabang pohon segera mencabut pedangnya. Tubuhnya langsung meluncur turun sambil mengibaskan pedang ke arah orang-orang yang mengerubuti Rangga.

“Kucing kurap di dalam karung memang minta dipentung! Hiyaaa...!” teriak Kuntala. Dan pedang di tangannya pun terus meluncur deras tanpa dapat dicegah lagi.

Cras! Cras!

“Aaakh...!” Terdengar jeritan saling susUl disertai bergelimpangannya beberapa sosok tubuh bersimbah darah. Tampaknya, Kuntala memang mengamuk bagaikan banteng terluka. Hal ini merupakan kesempatan bagi Rangga untuk mengobati luka dalamnya, melalui pengerahan hawa murni.

“Mereka tidak bisa lagi diajak main‐main, Kuntala!” kata Rangga.

“Ayolah cepat, aku sudah hampir terdesak!” keluh Kuntala melihat Rangga masih merapatkan tangan di dada.

Kini Rangga sudah tidak memberi hati lagi. Begitu pengerahan hawa murninya selesai, langsung dikerahkannya jurus Sayap Rajawali Membelah Mega. “Hiaaa...!” Tiba‐tiba saja Pendekar Rajawali Sakti meluruk deras ke arah orang yang berada di samping kanan. Tangannya menghantam ke dada dan kepala.

Duk! Prak!

“Aaa...!” Dua orang berjubah kuning kontan jatuh terjengkang terhantam tangan Pendekar Rajawali Sakti yang berisi tenaga dalam tinggi. Yang satu kepalanya retak. Sedangkan yang satunya lagi, dadanya melesak ke dalam. Mereka langsung terkapar tak bangun lagi.

Bersamaan dengan itu dari samping meluncur sebuah gada hendak mengemplang kepala Rangga. Dengan gerakan manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti segera melompat ke belakang. Pada saat yang sama, dari belakang datang pula serangan lain yang dilakukan oleh laki‐laki berjubah hitam.

“Hup...!” Rangga segera melenting ke udara. Tubuhnya berjumpalitan beberapa kali, lalu meluncur deras ke bawah. Langsung dikerahkannya jurus Rajawali Menukik Menyambar Mangsa dengan kaki meluncur menyambar kepala lawan-lawannya.

Prak! Prak!

“Aaakh...!” Empat orang kembali terpelanting dengan kepala hancur dan nyawa melayang ke neraka. Rangga sudah tidak mempedulikan lawan-lawannya yang tewas. Dia terus menghajar para pengeroyok yang semakin menyusut.

TUJUH

Kuntala sendiri tampak semakin sibuk. Dalam keadaan melakukan serangan, sebenarnya hatinya bertanya-tanya dalam hati mengapa lawan-lawannya yang sudah tewas sekarang tampak bergerak-gerak kembali? Apakah mereka dapat hidup lagi? Mengingat tempat terjadinya pertempuran di bawah pohon lebat tak tertembus sinar matahari.

“Rangga! Mereka hidup lagi!” teriak Kuntala, ketika melihat satu dua orang lawan yang telah menjadi mayat bangkit kembali.

“Jangan khawatir! Sekarang hari telah menjelang panas. Kau tebangilah pohon-pohon yang terdapat di sekeliling tempat ini. Biarkan aku yang membereskan mereka!” jawab Rangga keras.

Benar saja! Seketika Kuntala segera menebangi pohon-pohon di sekeliling tempat pertarungan. Sedangkan Rangga mulai saat itu mulai melepaskan pukulan-pukulan dahsyat.

“Heaaa...!” teriak Rangga seraya mengerahkan aji Bayu Bajra. Disertai teriakan keras menggelegak, Rangga tiba-tiba saja menghantam kedua tangannya ke arah lawan-lawannya. Dari telapak tangannya, seketika angin topan bergulung-gulung melesat.

Orang-orang berjubah kuning itu bagaikan daun-daun kering berpelantingan tersapu serangan Pendekar Rajawali Sakti. Jeritan keras pun mewarnai berjatuhnya beberapa sosok tubuh lawan. Mereka ada yang masih dapat bangkit berdiri, tetapi ada pula yang dalam keadaan sekarat.

Sementara itu Kuntala mulai berhasil menebang beberapa batang pohon, sehingga menimbulkan suara gemuruh memekakkan telinga. Ketika sinar matahari dapat menembus ke bawah, jeritan mengerikan pun terdengar di sana-sini. Mereka yang masih selamat berusaha mencari perlindungan di kelebatan daun pohon. Tetapi, Rangga tidak memberi kesempatan lagi.

“Hm.... Setelah matahari dapat menyinari kalian, aku tahu kawan-kawan kalian yang sudah mati tidak mungkin bisa hidup kembali. Hei, orang berjubah hitam! Kawanmu yang berjubah kuning hanya tinggal tiga orang lagi. Mereka bagian kawanku. Sedangkan kalian adalah bagianku...!” tantang Rangga.

“Kalian berdua akan menyesal karena telah membunuh pengikut-pengikut Ratu Alam Baka!” sahut orang berjubah hitam yang berbadan lebih jangkung.

“Jangan banyak bicara! Suruh keluar Ratu Alam Baka dan orang yang bernama Ki Sidarata!” tantang Rangga sengit.

“Kalian tidak layak memerintah kami! Huh...!” terdengar orang ini marah.

“Kuntala! Tiga monyet kuning itu bagianmu! Biarkan monyet lutung yang di depanku ini menjadi bagianku!” ujar Pendekar Rajawali Sakti, berusaha memanas‐manasi.

“Beres! Haiiit...!” teriak Kuntala. Setelah memutar pedangnya beberapa kali, Kuntala mengerahkan jurus Camar Menyambar Mematuk Ikan untuk menyerang.

Maka tentu saja lawan yang cuma tinggal tiga orang mulai pontang-panting mempertahankan diri. Sekarang mereka tidak dapat lagi mengembangkan permainan gada. Malah beberapa kejap setelah itu hanya main mundur menghindari tebasan pedang Kuntala.

“Hiyaaa...!” Kuntala tiba-tiba saja menerjang ke depan sambil mengibaskan pedangnya ke arah salah seorang yang berada di samping kiri. Orang berjubah kuning ini mencoba menghindari sambil menangkis dengan gada.

Trang!

“Heh...?!” Gada itu kontan terpental. Sedangkan pedang di tangan Kuntala terus meluncur. Dan....

Cresss!

“Aaakh...!” Salah seorang dari laki‐laki berjubah kuning menjerit tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung, lalu roboh dengan darah menyembur dari luka di bagian jantung.

Sementara itu, lawan yang dihadapi Rangga memang mempunyai ilmu olah kanuragan sedikit lebih tinggi dibandingkan mereka yang memakai jubah kuning. Tetapi, tampaknya Pendekar Rajawali Sakti tidak merasakan kesulitan. Ketika lawan-lawannya menerjang dengan tendangan dan pukulan yang terarah ke bagian lambung dan kepala, Rangga segera melakukan salto di udara. Begitu meluruk kembali tangannya bergerak mengibas dengan jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali.

Prak! Prak! Prak!

“Aaa...!” Disertai jeritan keras ketiga laki‐laki itu terpelanting dengan kepala pecah terhantam telapak tangan yang membentuk paruh rajawali.

Pendekar Rajawali Sakti menarik napas dalam-dalam. Ketika matanya melirik, pada saat itu Kuntala sedang mengibaskan pedang ke bagian perut dan dada lawannya.

Cras! Cras!

“Aaa...!” Kedua laki-laki berjubah kuning itu terjengkang dengan isi perut terburai keluar. Mereka berkelojotan sebentar, lalu diam tak bergerak untuk selama-lamanya.

Trek!

Kuntala menghampiri Rangga, setelah menyarungkan pedangnya yang telah dibersihkan dengan baju pakaian salah seorang berjubah kuning. Dijabatnya tangan Rangga. Pendekar Rajawali Sakti merasa terheran-heran.

“Ada apa rupanya?” tanya Rangga.

“Aku hanya merasa senang, karena kita mampu membunuh pengikut-pengikut Ratu Alam Baka,” jawab Kuntala.

“Simpanlah kegembiraanmu. Karena, kita belum berhasil mendapatkan sasaran yang diinginkan!” ujar Rangga, tegas.

“Lalu bagaimana?”

“Kita harus mencari mereka. Mudah-mudahan, mereka masih berada di sekitar tempat ini,” kata Rangga.

Dan mereka pun segera menelusuri jejak Ratu Alam Baka. Namun setelah mencari-cari ke seluruh tepian hutan, tidak terlihat tanda-tanda Ratu Alam Baka bersembunyi di sekitar tempat itu.

“Induk ayam tidak pernah jauh dari anak-anaknya,”desis Rangga.

“Apa maksudnya?” tanya Kuntala.

“Maksudku, mustahil pengikut-pengikutnya terpisah jauh dari pimpinan mereka,” jelas Rangga.

“Tetapi kita tidak menemukannya. Lebih baik kita cari di tempat lain!” saran Kuntala.

Pendekar Rajawali Sakti memang merasa tidak ada gunanya bertahan di situ lebih lama lagi. Sehingga, mereka segera pergi meninggalkan tempat Ini.

********************

“Bagaimana, Ratu? Mengapa kita tidak bertindak ketika mereka membunuh seluruh pengikutmu?” tanya Ki Sidarata.

Dewi Anggini yang saat itu duduk di dalam sebuah gua kecil hanya diam membisu. Memang, dalam keterbatasannya, Ratu Alam Baka dan Ki Sidarata tak bisa berbuat apa-apa saat Pendekar Rajawali Sakti dan Kuntala menghabisi para anak buah Ratu Alam Baka yang berjubah kuning. dan berjubah hitam.

Mereka memang sebenarnya melihat pertarungan itu dari kelebatan hutan yang tak mereka lihat, daerah sekitar pertarungan mulai tertembus sinar matahari, setelah Kuntala menebangi pohon-pohon di sekitar pertarungan. Sehingga sinar matahari bisa menembus masuk. Inilah yang menghalangi Ratu Alam Baka dan Ki Sidarata.

Dan sebelum Ratu Alam Baka menjawab, muncul seorang laki-laki berjubah merah dari arah pintu gua. Begitu melihat siapa yang datang, Ki Sidarata maupuh Ratu Alam Baka langsung berlutut memberi hormat.

“Ketua Yang Agung menyusul kami?” tanya Ratu Alam Baka terkejut. “Jadi, Ketua Yang Agung juga melihat kehancuran anak buah kami di tangan kedua pemuda tadi...?”

“Aku selalu menyertai ke mana pun kalian pergi. Hari ini kita benar-benar kecolongah. Dan ini, membuatku sangat gusar!” desis laki-laki memakai jubah merah yang berjuluk Ketua Yang Agung.

“Aku tidak dapat melindungi mereka, Ketua Yang Agung. Karena....!”

“Ya..., aku tahu. Jika kau keluar pada saat matahari panas terik, maka seluruh kekuatanmu akan luntur. Kau menjadi orang yang mudah dikalahkan. Padahal, kau menjadi harapanku satu-satunya untuk menyelesaikah dendam lama,” potong Ketua Yang Agung seakan mengerti apa yang ingin diucapkan Ratu Alam Baka.

“Lalu bagaimana, Ketua Yang Agung?” tanya Ki Sidarata.

“Apa yang harus kalian lakukan tetap tidak berubah. Hanya tugas yang harus kalian hadapi kini bertambah dengan munculnya kedua pemuda tadi,” jelas Ketua Yang Agung.

“Tampaknya kedua pemuda itu mempunyai kepandaian tinggi, Ketua Yang Agung. Terlebih-lebih pemuda yang memakai baju rompi putih itu,” Ratu Alam Baka menimpali.

“Benar. Aku juga telah melihatnya,” sahut orang berjubah merah gusar. “Tetapi selama aku masih hidup, kalian tidak perlu merasa gentar. Karena, aku selalu mengawasi dan melindungi kalian berdua dari kehancuran. Kalian berdua akan tetap abadi selama-lamanya,” tandas Ketua Yang Agung disertai senyum dingin. “Dan kalian yang penting harus membayarkan dendamku pada salah satu dari Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka...!”

Ki Sidarata terdiam. Sementara Ratu Alam Baka sendiri merasa heran, siapa sebenarnya orang yang menjadi musuh besar majikannya itu? Bukankah menurut Ketua Yang Agung, dia telah membunuh tiga dari Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka? Lalu, siapa yang dimaksud?

“Ketua Yang Agung,” panggil Ratu Alam Baka yang bernama asli Dewi Anggini.

“Ya...!” sahut orang berjubah merah itu.

“Di antara Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka yang mana sebenarnya musuh besarmu?” tanya Ratu Alam Baka.

“Ha ha ha...! Kau rupanya ingin tahu, Dewi Anggini. Orang yang sangat kubenci adalah orang yang telah menyakiti hatiku! Aku ingin melihatnya mati. Dia bernama Dewi Kunti!”

“Dewi Kunti?” desis Ratu Alam Baka, seperti mencoba mengingat-ingat. Pada kesadarannya yang tumpul, Ratu Alam Baka seperti pernah dekat dengan nama itu. Hanya saja, dia tidak tahu kapan dan di mana?

“Tampaknya kau terkejut? Apakah kau mengingat sesuatu?” tanya laki-laki berjubah merah menyelidik.

“Tidak! Aku tidak dapat mengingat apa-apa. Yang aku tahu, persoalanmu adalah persoalanku juga, Ketua Yang Agung. Jika kau sedih, aku pun turut merasakan kesedihanmu. Hanya aku ingin bertanya, apakah anak buah kita yang telah mati itu nanti malam dapat bangkit kembali?”

Ketua Yang Agung terdiam. Wajahnya tampak berubah muram. Mustahil anak buahnya yang telah mati dapat dibangkitkan kembali. Karena, tubuh mereka telah terkena sinar matahari. Ilmu Pembangkit Raga tidak akan dapat dipergunakan untuk menghidupkan mayat yang telah terkena sinar matahari.

“Itu tidak dapat kita lakukan, Ratu Alam Baka. Terkecuali jenazah mereka terlindung dari pengaruh Sinar surya,” jelas orang berjubah merah.

“Sangat disayangkan,” desis Ki Sidarata ikut menimpali.

“Ya.... Memang sungguh disayangkan. Tetapi, sdahlah. Jangan pikirkan yang telah terjadi. Aku yakin, kita bertiga mampu menghadapi lawan-lawan kita. Sekarang, lebih baik kalian bersenang-senang!” ujar laki‐laki berjubah merah sambil tersenyum.

Ketua Yang Agung kemudian keluar meninggalkan gua kecil yang dijadikan tempat persembunyian. Sedangkan Ki Sidarata dan Ratu Alam Baka yang berada di dalam ruangan gelap ini tampak saling berpandangan.

“Bagaimana, Wakilku? Apakah kita akan bercinta sepanjang hari ini?” tanya gadis jelita berbadan padat ini disertai senyum menantang.

“Kurasa memang lebih baik begitu. Masa-masa yang akan datang, kita akan menghadapi tantangan yang sangat berat Tidak ada salahnya jika kita bersenang-senang,” jawab Ki Sidarata.

Gadis ini kemudian menggeser duduknya di samping Ki Sidarata, Seketika tercium bau harum tubuh Ratu Alam Baka di hidung laki-laki tua yang sudah lupa ingatan itu. Saat itu juga dadanya bergetar. Napasnya terasa tersengal. Dan aliran darahnya seperti terbalik.

Sekejap kemudian tubuh mereka pun sudah saling menyatu. Mereka menikmati apa saja yang dapat diraih. Tanpa disadari, bila telah menyatu seperti itu, kekuatan yang mereka miliki semakin berlipat ganda! Dan itulah yang memang diharapkan Ketua Yang Agung.

********************

Dewi Kunti dan Gagak Lamar yang semula menempuh jalan ke arah selatan, sekarang terpaksa berbalik arah menuju jalan yang ditempuh ketiga pendekar dari Lembah Seribu Duka lainnya. Sebab ketika mereka berada di selatan, tidak menemukan petunjuk apa-apa. Kini di sepanjang jalan yang ditempuh, Dewi Kunti dan Gagak Lamar melihat pemandangan yang sangat menggiriskan.

Rumah-rumah yang dibumihanguskan, dan mayat-mayat bergelimpangan, menjadi pemandangan yang tidak mengenakkan. Dan mayat-mayat itu semuanya hampir membusuk. Tidak ada waktu lagi Gagak Lamar dan Dewi Kunti untuk menguburkan. Kedua pendekar ini terus mengerahkan ilmu meringankan tubuh untuk mengejar Ratu Alam Baka dan pengikutnya.

Menjelang senja, kedua pendekar ini telah sampai di Desa Randu Abang yang suasananya tampak sepi. Mungkin penduduknya telah mengungsi ke daerah lain yang lebih aman. Sebab, siapa pun tahu tentang pembantaian yang dilakukan Ratu Alam Baka yang keji itu.

Setelah sampai di tengah-tengah desa, Dewi Kunti dan Gagak Lamar menghentikan langkahnya. Mereka memperhatikan suasana di sekeliling dengan tatapan curiga.

“Sebaiknya kita memeriksa tempat ini, Gagak!” saran Dewi Kunti.

“Apakah kau punya firasat bahwa para iblis itu berada di sekitar sini?” tanya Gagak Lamar, ragu.

“Entahlah! Jantungku berdebar terus. Perasaanku bahkan tidak begitu enak,” desah Dewi Kunti mengeluh.

“Mungkin karena kita jarang istirahat! Apa tidak sebaiknya kita melewatkan malam dengan beristirahat di sini?” usul Gagak Lamar.

“Tidak bisa! Kita tidak tahu, bagaimana nasib kawan-kawan kita. Lagi pula, mana mungkin aku bisa memejamkan mata, jika Ratu Alam Baka belum dapat dibekuk?” tegas Dewi Kunti.

“Lalu....?”

“Periksa rumah-rumah kosong di depan sana, Tolol!”

“Kau jangan marah terus padaku. Sebaiknya, jangan menyembunyikan sesuatu jika memang mengetahuinya, Kunti!” sergah Gagak Lamar, bersungut-sungut.

“Aku tidak dapat mengatakannya. Karena, aku merasa belum yakin betul,” jawab Dewi Kunti.

“Apa yang kau ketahui?”

“Sudahlah, periksa sana! Aku muak melihatmu. Kau sekarang menjadi orang yang sangat bawel di kolong langit ini,” desis perempuan setengah baya itu semakin sengit.

Gagak Lamar tidak ingin terjadi keributan di antara mereka. Untuk itu segera dikerjakannya apa yang diperintah Dewi Kunti. Namun baru saja beberapa langkah meninggalkan Dewi Kunti, tiba-tiba terlihat dua sosok tubuh membawa obor berjalan perlahan ke arah mereka. Gagak Lamar menghentikan langkahnya. Matanya memandang tajam ke depan. Ternyata, orang‐orang itu tidak lain dari seorang gadis berbaju putih, dan seorang laki‐laki berbaju biru.

“Siapa mereka, Kunti?” tanya Gagak Lamar, seraya mundur kembali mendekati Dewi Kunti.

Dewi Kunti terdiam. Matanya terus mengamati kedua orang yang baru datang itu. Setelah kedua orang membawa obor itu benar-benar berdiri di depannya, Dewi Kunti tampak terkejut setengah mati. Tanpa sadar, matanya terbelalak lebar.

“Dewi Anggini?” desis wanita setengah baya itu tidak percaya.

“Apa yang kau katakan tadi?” tanya Gagak Lamar.

“Anggini adalah keponakanku yang telah meninggal sepuluh tahun yang lalu...,” jelas Dewi Kunti, berbisik.

“Bagaimana mungkin?” sergah Gagak Lamar.

“Benar... Dewi Anggini telah meninggal karena diracun adik sepupuku yang bernama Gotawarman. Laki‐laki itu tahu, Dewi Anggini adalah orang yang sangat ku kasihi. Untuk menghancurkan hatiku, bangsat itu telah membunuhnya. Dan kini rupanya Gotawarman telah membangkitkan mayatnya. Aku baru menyadari, setelah kuburan di Pemakaman Keramat Sokalarang kita temukan dalam keadaan kosong,” papar Dewi Kunti.

“Bagaimana mungkin hal itu terjadi?” tanya Gagak Lamar dengan heran.

“Gotawarman adalah anak adik ayahku. Dia adalah manusia sesat yang dulu sangat mengharapkan cintaku. Tetapi aku tidak bisa menerimanya. Selain berpantangan, juga karena masih ada hubungan darah. Aku juga tidak suka perilakunya yang gila. Bahkan, dia juga telah membunuh kekasihku. Dan aku terus menghindarinya. Dari sini mungkin dia menjadi penasaran. Suatu ketika, aku melihatnya hampir memperkosa Dewi Anggini yang berdiri di depan kita saat ini. Namun, aku berhasil menggagalkannya,” urai Dewi Kunti, pilu.

DELAPAN

Gagak Lamar membisu. Sungguh tidak disangka masa lalu Dewi Kunti begitu menyedihkan. Pantas saja wanita ini rela tinggal di Lembah Seribu Duka bersama orang-orang yang senasib seperti dirinya.

“Kemudian karena Gotawarman tidak berhasil mempersunting dirimu, lalu kecewa?” tebak Gagak Lamar.

“Memang begitulah kenyataannya,” desah Dewi Kunti.

“Tetapi mengapa harus meracuni gadis ini?” tanya laki‐laki itu tampak tidak puas.

“Sudah kukatakan tadi, dewi Anggini adalah orang yang sangat dekat denganku. Dan buktinya, setelah kematian keponakanku ini, aku benar-benar hampir gila dibuatnya. Sementara, si keparat Gotawarman pergi entah ke mana?” ujar Dewi Kunti geram.

“Lupakanlah masalah itu. Dewi Anggini sudah mati. Dan artinya, sekarang ini kita sedang berhadapan dengan mayatnya yang telah dibangkitkan seseorang!”

“Betul, Gagak Lamar. Kebaikan mayat tergantung niat baik buruknya orang yang telah membuatnya hidup kembali. Lalu, siapa orang yang berada di sebelahnya?” tanya Dewi Kunti curiga.

“Kalau tidak salah, dialah Ketua Padepokan Camar Putih yang bernama Ki Sidarata,” sahut Gagak Lamar, pelan.

Dewi Kunti kemudian berjalan mendekati Dewi Anggini dan Ki Sidarata. Matanya tajam memperhatikan keponakannya yang telah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Kalau menuruti kata hati, ingin sekali dipeluknya Dewi Anggini yang sangat dirindukannya. Walaupun disadari, gadis yang sangat dimanjanya telah mati.

“Benarkah kau Dewi Anggini?” tanya Dewi Kunti suaranya bergetar memendam rindu.

“Huh! Jangan bicara sembarangan. Kau adalah musuh besar Ketua Yang Agung!” dengus Ratu Alam Baka.

“Siapa yang kau maksud dengan Ketua Yang Agung?” tanya Dewi Kunti.

“Kau memancingku! Tetapi, aku memilih tidak menjawabnya!” desis Ratu Alam Baka sinis.

“Baiklah kalau kau tidak mau menjawabnya. Tetapi, kau harus mengatakan sebuah kebenaran padaku. Bukankah kau Dewi Anggini? Dan, orang yang berdiri di sampingmu itu pasti Ki Sidarata, Ketua Padepokan Camar Putih.”

“Aku Ratu Alam Baka. Dan kekasihku yang merangkap wakilku ini adalah Pangeran Tampan Sidarata,” sahut Dewi Anggini tegas.

“Tampaknya kita tidak mungkin menyadarkannya. Jelas dalang yang berdiri di belakangnya adalah musuhmu!” kata Gagak Lamar mengingatkan Dewi Kunti.

Tetapi Dewi Kunti tampaknya masih penasaran juga. Dan dia merasa tidak yakin Dewi Anggini telah dikendalikan kekuatan jahat. Pertemuan itu membuat perempuan berumur sekitar empat puluh tahun ini lupa kalau gadis yang dihadapinya sebenarnya sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu.

“Dewi Anggini! Kau harus sadar, siapa dirimu. Kurasa kau tidak gila telah memilih laki-laki tua yang pantas menjadi ayahmu!” bujuk Dewi Kunti.

Mata Ratu Alam Baka tiba-tiba saja mendelik. Jarinya dijentikkan ke arah Dewi Kunti.

Set!

Gagak Lamar dan Dewi Kunti jadi terkejut, ketika melihat sinar hitam meluncur deras ke arah mereka. Sebagai orang berpengalaman, kedua pendekar dari Lembah Seribu Duka ini langsung melompat ke udara. Serangan yang dilakukan Ratu Alam Baka tidak mengenai sasaran, satu jengkal di bawah kaki Dewi Kunti dan Gagak Lamar.

Blarrr...!

Serangan tersebut menghantam rumah yang terdapat di belakang kedua pendekar itu, menimbulkan ledakan dahsyat. Bahkan rumah itu langsung terbakar. Baru saja Ratu Alam Baka hendak melancarkan serangan kembali, tiba-tiba dari dalam kegelapan melesat sosok bayangan merah ke tengah kancah pertamngan.

“Tahan dulu, Ratu Alam Baka...!” seru bayangan itu.

Ketika bayangan merah itu menjejakkan kakinya tidak jauh di samping Dewi Anggini, Dewi Kunti jelas tidak dapat menahan rasa kagetnya. Di depannya, tampak laki‐laki berjubah merah yang sangat dikenalnya.

“Heh?! Rupanya kaulah orangnya yang berdiri di belakang Ratu Alam Baka, Gotawarman?! Selama ini pergi ke mana saja kau, Manusia Keparat!” desis Dewi Kunti geram.

“Ha ha ha...! Aku berada di Pemakaman Keramat Sokalarang selama bertahun-tahun, menciptakan sebuah ilmu untuk menghancurkan kesombonganmu!” sahut laki-laki berjubah merah yang tidak lain Gotawarman.

“Manusia licik! Kau rupanya menyamar menjadi kuncen Pemakaman Keramat Sokalarang. Dan kau telah membangkitkan Dewi Anggini keponakanku dengan ilmu iblismu?” geram perempuan itu sambil berkacak pinggang.

“Ilmu 'Pembangkit Raga hanya aku saja yang memilikinya. Aku merasa senang, karena telah berhasil membangkitkan keponakanmu dari kematiannya. Mengapa kau tidak pernah berterima kasih?” ejek Gotawarman.

“Kau yang telah meracuni Anggini. Dan sekarang, kau memperalatnya, untuk menghadapi aku. Sebagai laki‐laki, kau adalah seorang pengecut memuakkan!”

“Ha ha ha...! Aku tidak membunuhnya. Aku hanya menyuruhnya beristirahat selama sepuluh tahun!” bantah Gotawarman sambil tertawa-tawa.

“Benarkah kau dulu telah meracuni aku, Ketua Yang Agung?” selak Ratu Alam Baka tiba-tiba.

“Tentu saja tidak. Pengacau ini hanya mengada-ada. Dia hendak mengadu domba di antara kita. Untuk seorang pengacau seperti dia, kalian berdua pantas membunuhnya. Dialah musuh besarku, Ratu Alam Baka. Sekarang, hancurkan mereka!” perintah Gotawarman tegas.

“Jangan percaya, Anggini. Dia manusia keparat sialan yang telah membunuhmu. Sadarlah kau...!” teriak Dewi Kunti.

“Percuma kau memperingatinya, Kunti! Dia telah dibangkitkan oleh orang yang salah, dan pada waktu yang keliru pula. Tidak ada pilihan lain bagimu, selain menghadapinya!” tandas Gagak Lamar.

Dewi Kunti terdiam. Tanpa disadarinya ada air mata menggenang di pelupuk matanya. Pergolakan telah terjadi di dalam hati sanubarinya. Dan, hanya dia sendiri yang tahu.

Dewi Kunti sebagaimana yang dikatakan Gagak Lamar memang tidak punya pilihan lain. Apalagi ketika juga Ki Sidarata yang telah mendapat isyarat dari Gotawarman, telah menerjang. Gagak Lamar langsung menghadang ke depan.

“kau adalah lawanku, Ki Sidarata! Hiyaaa...!” teriak Gagak Lamar.

Kedua laki‐laki ini sebentar saja telah terlibat dalam sebuah perkelahian seru. Masing-masing telah mengerahkan jurus-jurus simpanannya.

“Dengan berat hati, aku terpaksa mengembalikan kau ke asalmu, Anggini...!” desis Dewi Kunti.

Tiba-tiba perempuan setengah baya itu menerjang ke depan sambil melepaskan tendangan ke bagian wajah Dewi Anggini. Cepat sekali datangnya serangan, membuat Ratu Alam Baka terpaksa melompat mundur ke belakang.

Sementara itu Gotawarman terus mengawasi jalannya pertempuran dari jarak yang tidak begitu jauh. Setelah serangannya luput, maka Dewi Kunti segera mempergunakan jurus andalannya. Maka hanya dalam waktu lima belas jurus, perempuan itu mulai berhasil mendesak Ratu Alam Baka.

Pada kenyataannya, semasa hidup dulu Dewi Anggini adalah gadis yang kurang mahir dalam ilmu olah kanuragan. Kalaupun belajar, baru sampai pada bagian dasar saja. Waktu itu, Dewi Kunti yang melatihnya. Tidak dapat disangkal kalau dia hanya mampu menghindar dan menangkis.

Namun ketika tiba‐tiba Ratu Alam Baka menjentikkan kelima jemari tangannya, Dewi Kunti harus berjuang keras memutar tongkat bambu di tangannya. Sebab, sebanyak lima leret sinar hitam telah mengancam jalan darah di tubuhnya. Perempuan setengah baya ini membuat sebuah pertahanan dengan memutar tongkat bambunya.

Wuut! Trak! Tes! Tes! Tes!

“Aiiih...!” Tiga dari lima serangan Ratu Alam Baka berhasil memutus tongkat bambu di tangan Dewi Kunti menjadi tiga bagian. Terpaksa wanita setengah baya itu membuang tongkat bambunya yang hanya tinggal dua jengkal. Namun saat itu juga, Dewi Kunti mengerahkan tenaga dalam ke bagian telapak tangan. Dan ketika melompat ke depan....

“Hiyaaa..!” Disertai teriakan nyaring, Dewi Kunti mengerahkan aji Segara Guntur seraya mendorongkan tangannya ke depan.

Glegar!

Serentetan bunyi yang disertai kilatan bagai halilintar, sambung menyambung mendem ke arah Ratu Alam Baka. Ini merupakan serangkaian pukulan yang sangat berbahaya. Siapa pun yang terkena, tubuhnya akan hangus. Rupanya Ratu Alam Baka menyadari bahaya besar yang sedang mengancam. Seketika tenaga dalamnya dikerahkan ke bagian mata. Dan maka dalam waktu sekejap, kedua bola matanya telah memutih seluruhnya. Kemudian, matanya pun mengedip.

Wuuusss!

Dua leret sinar putih meluncur deras menghantam serangan yang dilepaskan Dewi Kunti.

Tep!

Ketika kedua tenaga sakti itu bertemu, terjadilah dorong-mendorong yang menegangkan. Dewi Kunti terhuyung ke belakang. Dadanya terasa sesak seperti ada batu gunung yang menghimpitnya. Sedangkan di pihak Ratu Alam Baka hanya bergetar saja. Hingga tiba-tiba Dewi Anggini menggelengkan kepalanya dengan keras. Lalu....

Glarr! Glarrr!

“Huaaakh!” Jeritan tertahan keluar dari mulut Dewi Kunti disertai semburan darah segar. Tubuhnya terpelanting ke belakang. Perempuan ini jelas menderita luka dalam yang cukup parah. Dan baru saja dia bangkit, Ratu Alam Baka telah meluruk kembali. Sambil menahan luka yang diderita, Dewi Kunti mencabut sebuah trisula di pinggang yang memiliki ketajaman luar biasa.

Dengan mempergunakan senjata itu dia berusaha menahan gempuran Dewi Anggini. Satu hal yang sangat dijaganya, wanita setengah baya ini tidak ingin melihat keponakannya itu melakukan serangan terlebih dahulu. Sebab, mata Ratu Alam Baka ternyata sangat berbahaya!

Sementara itu, perkelahian antara Ki Sidarta dan Gagak Lamar juga sudah mencapai puncaknya. Kedua orang ini tampaknya sudah sama-sama menderita luka dalam. Ki Sidarata yang telah mencabut pedangnya, segera mengerahkan jurus-jurus andalan.

“Mampuslah kau, Keparat! Hiyaaa...!” teriak Ki Sidarata sambil menusukkan senjatanya ke bagian perut Gagak Lamar.

Satu dari Lima Pendekar Dari Lembah Seribu Duka mencabut keris berlekuk tujuh dari balik pakaiannya. Saat itu juga keris berwarna kuning keemasan ini dikibaskan.

Tring!

Keduanya sama-sama terkejut dan terhuyung mundur. Benturan tadi membuat pijaran bunga api dari senjata masing-masing. Tetapi, Ki Sidarata cepat melompat kembali. Pedang di tangannya kembali meluncur membelah udara.

“Hup...!” Gagak Lamar berusaha menghindar. Tubuhnya berkelit ke samping, namun....

Bret!

“Aaakh...!” Karena gerakan menghindar yang dilakukan Gagak Lamar kalah cepat, maka ujung pedang Ki Sidarata masih sempat menggores pinggangnya. Tubuh laki-laki ini terhuyung-huyung sambil memegangi luka yang dideritanya.

“Sekali ini kau pasti mati di tanganku!” desis Ki Sidarata. Seketika senjata Ketua Padepokan Camar Putih berputar beberapa kali. Selanjutnya tubuh laki-laki berbaju biru ini melesat ke depan. Sementara pedangnya meluncur ke bagian dada.

Tidak ada kesempatan lagi bagi Gagak Lamar untuk menyelamatkan diri. Dan dia hanya bisa memejamkan mata saja, pasrah menanti maut. Tetapi pada saat yang sangat menegangkan, dua bayangan berkelebat cepat yang masing-masing ke arah Gagak Lamar dan Dewi Kunti yang saat itu juga kembali terkena serangan.

Trang!

Kembali terjadi benturan. Sementara bayangan biru yang baru saja datang menolong Gagak Lamar tidak memberi kesempatan lagi pada Ki Sidarata. Tubuhnya yang masih dalam keadaan berputar-putar di udara, segera mengibaskan kembali pedang ke bagian perut Ketua Padepokan Camar Putih. Begitu cepat gerakannya. Sehingga....

Wuuut! Cres!

“Aaa...!” Ki Sidarata jatuh terduduk sambil mengerang-ngerang kesakitan. Ususnya berhamburan keluar.

Pada saat ini malam telah menjelang dinihari. Bahkan, Ratu Alam Baka yang baru saja jatuh terkena tendangan sosok bayangan putih tampak mulai cemas.

“Guru keparat! Matilah kau...!” teriak sosok bayangan biru yang ternyata Kuntala sambil menebaskan pedangnya lagi ke bagian leher Ki Sidarata.

Crak!

“Aaa...!” Kepala Ki Sidarata kontan menggelinding. Dari duduknya, tubuhnya ambruk. Tewas di tangan bekas muridnya sendiri dengan kepala terpisah.

Saat itu Gagak Lamar yang telah mengobati luka di bagian pinggangnya, telah berhadapan dengan Gotawarman. Sedangkan Kuntala kemudian menyusul, mengeroyok manusia sesat itu.

“Sebentar lagi matahari segera terbit. Segala kekuatan iblis akan melemah, Kuncen. Dan kau harus mempertanggungjawahkan semua perbuatanmu!” dengus Kuntala sengit.

“Bangsat kalian. Hiyaaa...!” teriak Gotawarman. Dengan sengit, laki‐laki berjubah merah itu pun segera melakukan serangan dahsyat ke arah Kuntala dan Gagak Lamar.

Sementara itu, bayangan putih yang langsung membawa Dewi Kunti ke tempat yang aman, telah kembali lagi. Pemuda yang ternyata berbaju rompi putih itu menghampiri Dewi Anggini.

“Hm.... Jadi, Ratu Alam Baka yang telah membunuh ratusan jiwa itu adalah seorang gadis luar biasa cantiknya. Sayang, sebenarnya kau telah mati. Untuk kejahatan yang telah kalian lakukan, aku akan membuatmu kembali ke alam baka untuk selama-lamanya!” dengus pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti.

“Kau tidak bisa melakukannya, Cah Bagus! Kau yang akan mampus di tanganku!” sahut Ratu Alam Baka.

“Kekuatan apa lagi yang kau andalkan? Lihatlah! Langit di sebelah timur sana telah dipenuhi cahaya matahari. Kekuatanmu akan sirna...!” balas Rangga, tak kalah gertak.

“Kurang ajar!” maki Ratu Alam Baka, mengetahui rahasianya tercium lawannya. Disertai teriakan keras, Ratu Alam Baka menjentikkan sepuluh jari tangannya ke arah Rangga. Walaupun serangan itu tidak sehebat malam hari, namun tetap saja mengancam keselamatan Pendekar Rajawali Sakti.

“Hup!” Terpaksa Rangga berjumpalitan untuk menghindari serangan.

Blarrr!

Rangga berhasil menghindari serangan. Sehingga, sinar-sinar itu menghantam tembok rumah yang terdapat di belakangnya. Ketika Ratu Alam Baka mempergunakan matanya untuk menyerang kembali, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara. Beberapa kali dia berputaran, lalu meluncur deras ke bawah. Langsung dipergunakannya jurus Rajawali Menukik Menyambar Mangsa dengan kaki kanannya cepat meluncur ke bagian kepala Ratu Alam Baka.

Duk!

“Heh...!” Rangga menjadi kaget, karena tendangannya tidak membuat kepala wanita itu pecah.

Malah sekarang, dengan beringas Ratu Alam Baka yang matanya telah berubah putih, terus menyerang kembali. Ketika Dewi Anggini mengedipkan matanya kembali, matahari tampak mulai beranjak dengan sinarnya yang cerah. Dan sinar-sinar yang diciptakan jadi berkurang kecepatannya, membuat Pendekar Rajawali Sakti mudah sekali menghindarinya.

Ternyata, kekuatan yang dimiliki Ratu Alam Baka semakin banyak berkurang dengan terbitnya sang surya. Hal ini membuat Rangga semakin bersemangat. Seketika sambil menyimpan tenaga dalam ke bagian tangan, Pendekar Rajawali Sakti membuat gerakan. Tubuhnya miring ke kiri dan ke kanan. Tepat ketika tubuhnya tegak dengan kuda-kuda kokoh, tangannya telah merangkap di depan dada. Lalu....

“Sheaaa...!” teriak Rangga seraya mengerahkan aji Cakra Buana Sukma.

Pendekar Rajawali Sakti langsung mendorong kedua tangannya yang telah terselubung sinar biru ke depan. Pada saat itu Ratu Alam Baka baru saja menyusun serangan. Melihat serangan datang, kesepuluh jari tangannya cepat dijentikkan. Namun, serangan yang dilakukannya kalah cepat dari serangan Rangga. Sehingga....

Glarrr!

“Aaakh...!” Telak sekali serangan Pendekar Rajawali Sakti menghantam tubuh Dewi Anggini. Tubuh gadis cantik jelita itu kontan hancur berkeping-keping. Seketika, tercium bau busuk yang sangat tajam.

Gotawarman yang memang sudah terdesak menghadapi Kuntala dan Gagak Lamar, tampak terkejut ketika melirik ke arah orang yang menjadi andalannya. Tetapi Gotawarman tidak punya waktu lagi untuk memikirkan segala sesuatu yang telah terjadi. Dua orang yang dihadapi telah cukup berat baginya. Apalagi bila Pendekar Rajawali Sakti ikut turun tangan.

Berpikir sampai di situ, tiba-tiba saja nyalinya menjadi ciut. Dia mulai berpikir untuk melarikan diri demi keselamatan nyawanya. Maka tanpa diduga-duga kedua tangannya menghentak melepas pukulan jarak jauh ke arah dua lawannya secara berbarengan.

Wuut! Wuut!

Melihat serangan yang mematikan itu, Kuntala dan Gagak Lamar terpaksa melompat mundur menghindar. Dan kesempatan itu dipergunakan Gotawarman untuk kabur. Belum sempat laki‐laki berjubah merah itu menjauh, sebuah bayangan putih telah berkelebat menghadang dengan pedang terhunus.

“Mau lari ke mana kau? Ke neraka...?” desis bayangan putih yang tak lain Rangga.

Rupanya begitu melihat Gotawarman kabur, Pendekar Rajawali Sakti segera mencabut pedangnya yang bersinar biru berkilau. Pedang Pusaka Rajawali langsung mengibas, menghantam ke arah Ketua Yang Agung.

Crak!”

“Aaakh...!” Jeritan Gotawarman terdengar tertahan, begitu kepalanya menggelinding. Darah langsung menyembur dari lehernya yang buntung. Tepat ketika Rangga segera memasukkan senjata ke dalam warangka, Gotawarman ambruk di tanah.

Sejenak Pendekar Rajawali Sakti memandang Kuntala, Gagak Lamar, dan Dewi Kunti secara bergantian. Dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat pergi.

“Tunggu...!” cegah Kuntala. Percuma saja Kuntala berteriak, karena Pendekar Rajawali Sakti telah lenyap dan pandangan.

“Dia, benar-benar seorang pemuda yang sangat luar biasa” puji Dewi Kunti.

“Kau tadi datang bersamanya, Anak Muda. Apakah kau kenal dia?” tanya Gagak Lamar.

“Itulah Pendekar Rajawali Sakti!” jawab Kuntala.

Dewi Kunti dan Gagak Lamar hanya dapat meludah, Sungguh tidak disangka mereka bertemu pendekar yang kesohor itu. Diam-diam mereka menyesal, karena tidak sempat mengucapkan rasa terima kasih kepada pemuda itu.
S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: BENCANA TANAH KUTUKAN