Harga Sebuah Kepala - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Rajawali Sakti

HARGA SEBUAH KEPALA


SATU
“Hiyaaa…!”
"Yeaaah...!"
Glarrr...!

Malam yang seharusnya sunyi, mendadak saja dipecahkan oleh teriakan-teriakan keras yang disusul ledakan dahsyat menggelegar. Akibatnya, seluruh daerah disekitar kaki Gunung Puting jadi bergetar seperti ada gempa. Tampak letupan api membubung tinggi ke angkasa dari balik lereng sebelah barat. Kepulan asap hitam mengepul bercampur debu dan pecahan bebatuan menyebar ke angkasa.

Di antara kepulan debu yang menyebar tertiup angin, terlihat seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun tengah berdiri tegak di atas kedua kakinya yang kokoh. Kedua tangannya yang mengepal, tersilang di depan dada. Sorot matanya juga terlihat memancar begitu tajam, menatap lurus pada seorang wanita tua yang berdiri dengan tumpuan sebatang tongkat. Jarak mereka hanya sekitar dua batang tombak saja.

Satu sama lain saling berdiri tegak berhadapan dengan sorot mata begitu tajam menusuk. Tapi tidak lama kemudian, terlihat cairan kental berwarna merah agak kehitaman merembes keluar dari sela-sela bibir keriput wanita tua yang berjubah putih panjang dan longgar itu. Lalu sebentar saja, tubuhnya mulai limbung. Dan...

Bruk!

Seperti pohon yang tumbang tertiup angin, tubuh wanita tua itu ambruk ke tanah. Sama sekali tidak terlihat ada gerakan. Sementara, pemuda yang mengenakan baju ketat warna merah muda itu tetap berdiri tegak memandangi.

"Hhh...!"

Sambil menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat, pemuda itu melangkah perlahan menghampiri tubuh perempuan tua yang membujur kaku tidak bergerak-gerak lagi. Langkahnya berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga tindak lagi. Dipandanginya tubuh tua yang sudah tidak bergerak-gerak, tergeletak kaku ditanah berumput cukup tebal ini.

"Aku sudah memperingatkanmu, Nyi Langir. Tapi, kau memaksa. Maafkan aku...," desah pemuda itu perlahan.

Dia berlutut di samping tubuh perempuan tua yang dipanggil Nyi Langir. Lalu tangannya bergerak ke wajah yang sudah keriput memucat ini. Tampak darah masih terlihat mengalir dari sela-sela bibir Nyi Langir. Kelopak mata yang tadi terbuka, kini tertutup begitu telapak tangan pemuda ini terangkat dari wajah yang pucat dan keriput itu. Sambil menghela napas panjang, pemuda berwajah cukup tampan ini bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya wanita tua itu. Kemudian, tubuhnya berbalik dan melangkah pergi.

Begitu perlahan dan ringan ayunan langkah kaki pemuda itu, pertanda memiliki kepandaian tinggi. Sementara, kegelapan masih terus menyelimuti lereng Gunung Puting sebelah barat ini. Namun baru saja berjalan sejauh tiga batang tombak, mendadak saja....

Wusss!
"Heh?! Ups...!"

Pemuda tampan berbaju ketat warna merah muda itu cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke kanan, begitu pendengarannya yang tajam menangkap desir angin halus dari belakang. Saat itu juga, terlihat sebuah benda yang tampaknya sebatang anak panah berukuran pendek, melesat cepat bagai kilat di samping bahu kirinya. Kemudian cepat-cepat kakinya ditarik ke kanan dua langkah, dan tubuhnya diputar hingga berbalik lagi.

Saat itu juga, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat bagai kilat menerjang ke arah pemuda itu. Maka seketika kedua bola mata-nya jadi terbeliak lebar. Namun dengan gerakan begitu manis dan cepat, tubuhnya ditarik ke kiri, hingga tangan kirinya hampir menyentuh tanah. Maka bayangan putih itu lewat sedikit saja di samping tubuhnya.

"Hap!"

Cepat-cepat pemuda berbaju merah muda itu melompat sambil memutar tubuhnya berbalik. Saat itu, di depannya sudah berdiri seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Bajunya putih bersih dan begitu ketat potongannya, hingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot. Di tangan kirinya tergenggam sebatang pedang yang masih tersimpan dalam warangka.

"Ki Jalaksana...," desis pemuda itu langsung mengenali laki-laki yang muncul dan langsung menyerangnya tadi.

"Kau tidak bisa seenaknya pergi dari sini, Pranggala. Korbanmu sudah cukup banyak. Malam ini juga kau harus bayar segala dosa-dosa yang kau perbuat," terdengar begitu dingin nada suara laki-laki setengah baya yang dikenali sebagai Ki Jalaksana itu.

Sorot mata Ki Jalaksana juga terlihat begitu tajam dan memerah, bagai sepasang bola api yang hendak membakar hangus tubuh pemuda tampan yang ternyata bernama Pranggala. Sementara pemuda itu hanya diam saja. Dibalasnya tatapan mata yang tajam itu dengan sinar mata yang tidak kalah tajam. Hingga beberapa saat, mereka saling bertatapan. Seakan-akan, satu sama lain tengah mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki. Sedikit Pranggala menggeser gagang pedang yang tergantung di pinggang.

"Kau rupanya sama seperti yang lain, Ki Jalaksana. Entah dosa apa yang telah kubuat, hingga semua orang tidak ada lagi yang mau percaya padaku," ujar Pranggala, terdengar agak perlahan suaranya.

Tapi dari kata-katanya, jelas tersirat satu nada penyesalan. Seakan-akan, ada sesuatu yang mengganjal dalam hati Pranggala. Sesuatu yang membuatnya terpaksa harus menghadapi tokoh-tokoh persilatan tingkat tinggi, seperti Nyi Langir. Dan sekarang, di depannya sudah berdiri menantang seorang laki-laki yang juga sudah tidak asing lagi dalam rimba persilatan.

Ki Jalaksana memang tokoh persilatan tingkat tinggi yang sudah begitu ternama. Dan di dalam rimba persilatan, dia dikenal berjuluk Malaikat Putih Berambut Merah. Memang, warna rambut Ki Jalaksana merah seperti api. Rambut yang panjang itu tergelung ke atas, dengan sedikit anak rambut dibiarkan menjuntai dekat telinga.

"Tidak perlu banyak bicara, Pranggala. Sebaiknya menyerah saja, agar aku tidak perlu susah-susah membawa kepalamu pada Ki Tunggul Santak!" terasa ketus sekali nada suara Ki Jalaksana.

"Begitu berartikah kepalaku bagi Ki Tunggul Santak…?" suara Pranggala terdengar menggumam.

"Bukan hadiahnya yang membuat langkahku sampai ke sini, Pranggala. Tapi, tindakanmu yang membuat hatiku tergerak. Dengar, Pranggala! Meskipun Ki Tunggul Santak tidak memberi hadiah pun, aku tetap akan mencarimu untuk menghentikan semua sepak terjangmu yang memuakkan!" tegas Ki Jalaksana lantang.

"Kalau begitu, maaf. Aku terpaksa tidak sudi melayanimu, Ki Jalaksana. Hanya mereka yang tergiur janji-janji muluk Ki Tunggul Santak saja yang pantas menghadapiku. Sedangkan aku tahu siapa dirimu, Ki Jalaksana. Sekali lagi maaf...."

Setelah berkata demikian, cepat sekali Pranggala memutar tubuhnya. Dan pemuda itu langsung melesat cepat bagai kilat.

"Jangan harap bisa lari dariku, Pranggala! Hiyaaa...!"

Ki Jalaksana tidak sudi rnembiarkan pemuda itu pergi begitu saja. Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi, tubuhnya langsung saja melesat mengejar. Dan saat itu juga, tangan kanannya mengibas cepat ke depan, setelah masuk ke dalam bajunya yang ketat.

Wusss!

Seketika sebuah benda berbentuk seperti anak panah berukuran kecil melesat, mengejar Pranggala yang berlari dengan kecepatan tinggi. Desir angin senjata rahasia Ki Jalaksana membuat Pranggala terpaksa harus melenting ke atas dan berputaran dua kali, untuk menghindari serangan senjata rahasia Ki Jalaksana dari belakang.

"Hap!"

Manis sekali pemuda itu menjejakkan kakinya di tanah, tepat di saat Ki Jalaksana melompat dengan kecepatan bagai kilat. Dan laki-laki setengah baya itu langsung melepaskan satu pukulan keras menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Yeaaah...!"
"Huh! Haps...!"

Namun, Pranggala tidak berusaha menghindar sedikit pun juga. Malah kedua tangannya dihentakkan ke depan, menyambut pukulan yang dilepaskan Ki Jalaksana. Begitu cepat hentakan tangan yang mereka lakukan, hingga benturan pun tidak dapat dihindari lagi.

Glarrr!

Satu ledakan keras yang begitu dahsyat menggelegar, seketika terdengar begitu tangan satu sama lain beradu keras. Tampak Ki Jalaksana yang berada di udara terpental balik ke belakang, sejauh dua batang tombak. Tubuhnya berputaran beberapa kali di udara. Sementara, Pranggala terdorong beberapa langkah ke belakang. Daya dorongnya baru berhenti begitu punggungnya menghantam sebatang pohon yang cukup besar.

Brak!

Seketika pohon itu tumbang terlanda punggung Pranggala. Sementara itu, Ki Jalaksana manis sekali menjejakkan kakinya di tanah. Cepat kakinya digeser ke kanan, langsung menyiapkan jurus serangan lagi. Saat itu, Pranggala sudah melangkah ke depan beberapa tindak. Sorot matanya terlihat begitu tajam memerah, bagai pancaran sepasang bola mata api yang hendak menghanguskan tubuh laki-laki yang bergelar Malaikat Putih Berambut Merah itu.

"Jangan harap dapat lolos dariku, Pranggala!'' desis Ki Jalaksana dingin menggetarkan

"Tidak ada pertentangan di antara kita, Ki Jalaksana. Dan sebaiknya, jangan mencari persoalan baru denganku," Pranggala mencoba mengalah.

"Phuih! Kau takut menghadapiku, Pranggala...?" ejek Ki Jalaksana memanasi.

"Tidak ada yang kutakuti, selama masih berpijak pada kebenaran."

"Kebenaran katamu.,.? Ha ha ha...! Jangan bicara kebenaran di depanku, Pranggala. Coba saja pikir. Apa semua yang telah kau lakukan benar? Jangan bermimpi, Pranggala. Tidak ada lagi tempat di seluruh jagat ini untukmu berpijak. Kepalamu bukan saja berharga seribu kepeng emas. Dan tindakanmu sudah membuat semua orang menginginkan kematianmu!" lantang sekali suara Ki Jalaksana.

"Hm...," Pranggala hanya menggumam perlahan.

"Bersiaplah, Pranggala...," desis Ki Jalaksana sambil menggeser kakinya beberapa langkah ke depan. Dan....

"Hiyaaat..!"

Bagaikan kilat Ki Jalaksana melesat menerjang pemuda itu dengan satu pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sementara, Pranggala tetap berdiri tegak menanti. Dan begitu pukulan tangan kanan Ki Jalaksana dekat, cepat sekali kedua tangannya dihentakkan secara menyilang di depan dada.

"Hap!"

Namun dengan kecepatan yang sangat sukar diikuti mata biasa, Ki Jalaksana cepat menarik pukulannya. Bersamaan dengan itu, tubuhnya meliuk ke kiri. Lalu, kaki kanannya dihentakkan ke arah lambung.

"Haps!"

Tapi Pranggala rupanya sudah bisa membaca gerak tipu Ki Jalaksana. Maka dengan gerakan yang manis sekali, tubuhnya mengegos. Dengan demikian tendangan menyamping yang dilepaskan Malaikat Putih Berambut Merah bisa dihindari. Cepat Pranggala menarik kakinya ke belakang tiga langkah, begitu berhasil menghindari serangan Ki Jalaksana.

"Hap! Yeaaah...!"

Tampaknya serangan Ki Jalaksana tidak berhenti sampai di situ saja. Buktinya cepat sekali tubuhnya sudah melesat menerjang sambil melepaskan beberapa pukulan beruntun berkecepatan tinggi. Mau tak mau, Pranggala terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Bahkan beberapa pukulan Ki Jalaksana hampir saja mendarat di tubuh pemuda ini, namun masih bisa dihindari dengan lentingan yang manis sekali.

Pertarungan mereka memang berjalan cepat sekali. Pukulan-pukulan yang dilepaskan Ki Jalaksana selalu mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Hingga setiap pukulan yang tidak mengenai sasaran, dapat menghancurkan pohon hingga berkeping-keping bila terhantam.

"Hhh! Dahsyat sekali pukulannya...," dengus Pranggala perlahan. hingga suaranya tidak terdengar oleh lawan.

"Hup...!"

Pranggala mencari kesempatan dengan melompat ke belakang beberapa tindak. Dicarinya jarak untuk menghindari serangan beruntun itu. Pemuda itu menghembuskan napas berat, begitu berhasil menjaga jarak dengan si Malaikat Putih Berambut Merah.

"Huh! Kenapa kau menghindar, Pranggala?" dengus Ki Jalaksana dingin.

"Sudah kukatakan, aku tidak ada persoalan denganmu. Jadi sebaiknya jangan mencari persoalan baru, Ki Jalaksana," sahut Pranggala, terdengar agak jengkel nada suaranya.

"Kalau kau ingin persoalan, sekarang juga akan kubuatkan!"

"Hhh...!"

Pranggala benar-benar kesal melihat sikap si Malaikat Putih Berambut Merah ini. Dia benar-benar tidak ingin bertarung melawan laki-laki berusia setengah baya itu. Tapi, tampaknya Ki Jalaksana memang tidak bisa lagi diajak damai. Bahkan kini sudah siap mengeluarkan jurus barunya yang pasti lebih dahsyat lagi. Sementara, Pranggala masih tetap berdiri tegak memperhatikan.

"Tahan seranganku, Pranggala! Hiyaaat..!"

Sret!
Cring!

Sambil berteriak nyaring, Ki Jalaksana melesat cepat sambil mencabut pedang di tangan kirinya dengan tangan kanan. Dan secepat kilat pula pedang yang memancarkan cahaya putih keperakan itu dikebutkan, tepat ke arah kepala pemuda berbaju merah muda ini.

"Haps...!"

Namun hanya sedikit merundukkan kepala saja, Pranggala berhasil menghindari sabetan pedang si Malaikat Putih Berambut Merah ini. Saat itu juga, tubuhnya melesat tinggi-tinggi ke atas. Lalu, manis sekali kedua kakinya hinggap di atas batang pohon yang cukup tinggi, setelah berputaran beberapa kali.

Begitu cepat lesatan Pranggala, hingga membuat Ki Jalaksana jadi terpana juga. Sementara, pemuda itu sudah berdiri tegak sambil berkacak pinggang di atas dahan pohon yang cukup tinggi.

"Maaf! Aku tidak ada urusan denganmu, Ki Jalaksana, " ucap Pranggala datar.

Dan belum lagi kata katanya menghilang dari pendengaran....

"Hup!"

Bagaikan kilat, pemuda itu melesat meninggalkan Ki Jalaksana yang masih terpana. Begitu cepat lesatannya, hingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap tertelan gelapnya malam yang berselimut kabut cukup tebal ini.

"Hhh! Tidak kusangka, ilmunya sudah begitu hebat dalam waktu lima tahun saja...," desah Ki Jalaksana.

Memang tidak ada lagi kesempatan bagi Ki Jalaksana untuk mengejar. Begitu cepat lesatan Pranggala, hingga tidak ada kesempatan sedikit pun untuk mengejar. Ki Jalaksana memasukkan lagi pedang di tangan kanannya ke dalam warangka yang masih tergenggam di tangan kiri. Beberapa saat dia masih berdiri mematung memandang ke arah kepergian Pranggala.

"Pantas Ki Tunggul Santak rela mengeluarkan beribu kepeng emas untuk kepalanya...," gumam Ki Jalaksana lagi. "Dengan kepandaian yang begitu tinggi, dia pasti bisa menyebarkan keangkaramurkaan di seluruh jagat ini. Hhh...! Sayang jalan yang dipilihnya salah. Aku sendiri.... Hm, rasanya sulit luga untuk menandinginya."

Ki Jalaksana jadi berbicara sendiri. Suaranya terdengar menggumam perlahan. Memang baru kali ini Ki Jalaksana bisa bentrok, walaupun sudah mengenal pemuda itu sejak Pranggala masih bau kencur. Tapi sekarang, Pranggala bukanlah yang dulu lagi. Kepandaiannya sekarang begitu dahsyat, setelah menghilang hanya dalam waktu lima tahun saja. Kehebatannya memang patut diacungi jempol. Hanya saja, Ki Jalaksana menyayangkan jalan sesat yang ditempuh Pranggala. Padalah kepandaian ynng begitu tinggi, sangat berguna untuk memerangi kejahatan. Tapi, ternyata justru jalan hitam yang ditempuhnya. Tak heran kalau Ki Tunggul Santak bersedia mengeluarkan seribu kepeng emas untuk kepalanya.

"Malam ini, dia sudah berhasil menewaskan Nyi Langir. Entah siapa lagi yang menjadi giliran nya. Hhh.... Mudah-mudahan aku bisa mencegah nya lebih cepat, sebelum bertambah korban lagi," gumam Ki Jalaksana lagi.

Beberapa saat laki-laki setengah baya ini masih berdiri diam mematung di situ. Kemudian kakinya bergerak terayun perlahan meninggalkan lereng Gunung Puting ini. Meskipun kelihatannya berjalan perlahan, tapi begitu ringan. Hingga dalam waktu sebentar saja, Ki Jalaksana sudah jauh meninggalkan tempat pertarungan yang sudah porak poranda bagai baru diamuk puluhan gajah.

Sementara malam terus merayap semakin larut. Tanpa diketahui, ternyata Pranggala tidak pergi jauh dari tempat itu. Dia berlindung di balik pohon yang cukup besar sambil memperhatikan, sampai Ki Jalaksana lenyap dari pandangan. Pemuda itu baru keluar dari balik pohon, setelah Ki Jalaksana benar-benar tidak kembali lagi. Sedikit ditariknya napas, dan menghembuskannya perlahan-lahan.

"Ki Tunggul Santak! Hm...," gumam Pranggala perlahan.

DUA

Malam masih terlalu pekat menyelimuti seluruh daerah di sekitar kaki Gunung Puting. Tak jauh di sebelah barat kaki gunung yang menjulang tinggi dan selalu terselimut kabut itu, terlihat sebuah desa yang cukup besar dan padat. Namun desa itu kelihatan sunyi sekali, walaupun di setiap sudut terpancang obor. Suasana desa itu memang jadi terang-benderang bagai sedang mengadakan pesta panen, hanya saja tidak terlihat seorang pun di luar rumah. Dan memang, saat ini sudah lewat dari tengah malam.

Namun di dalam kesunyian itu, terlihat sesosok tubuh tengah berkelebat begitu cepat. Dia langsung menyelinap dari satu dinding rumah, ke dinding rumah lainnya. Begitu cepat gerakannya, hingga yang terlihat hanya bayangan merah muda saja. Dan sosok tubuh berbaju merah muda itu berhenti setelah tiba di pinggiran tembok baru yang cukup tinggi dan tebal. Sebuah tembok yang mengelilingi sebuah rumah berukuran besar, seperti sebuah istana kecil di tengah-tengah desa.

Dari wajahnya yang tampan dan baju merah muda ketat yang dikenakan, sudah dapat dipastikan kalau orang itu adalah Pranggala. Pemuda itu merapatkan punggungnya di dinding pagar bagai benteng ini. Kedua bola matanya tidak berkedip sedikit pun juga, merayapi sekitarnya. Tidak ada seorang pun terlihat. Begitu sunyi keadaan desa ini. Sampai sampai suara binatang malam terdengar begitu jelas, mengiringi detak jantung pemuda itu.

"Hm...."

Pranggala menggumam perlahan, saat matanya melihat seorang laki-laki berusia setengah baya sedang keluar dari pintu gerbang rumah berukuran besar, berpagar tembok tinggi dan tebal. Dan kelopak matanya jadi agak menyipit, ketika laki-laki yang usianya sekitar einpat puluh tahun itu melangkah menuju ke arahnya.

Meskipun kehadirannya kelihatan tidak diketahui, tapi Pranggala sudah siap dengan tangan terkepal. Kakinya digeser perlahan-lahan mendekati sebatang pohon yang tumbuh tidak jauh dari dinding pagar tembok ini. Tapi belum juga sampai, tiba-tiba saja...

"Hei...! Siapa itu...?!"
"Oh...?!"

Pranggala jadi terperanjat juga, begitu tiba-tiba terdengar bentakan yang sangat keras. Tampak laki-laki berbaju kulit binatang itu melangkah cepat menuju ke arah Pranggala. Sedangkan pemuda itu sendiri berdiri tegak menanti. Kini laki-laki berbaju dari kulit binatang itu berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar lima tindak lagi didepan Pranggala.

"Siapa kau...?" tanya laki-laki itu dengan suara ketus.

Tapi Pranggala hanya diam saja. Dan matanya malah menatap dengan sorot begitu tajam.

"Keparat! Ditanya malah melotot! Mau menantang, ya...?!" bentak orang itu sambil mendelik.

Namun Pranggala tetap saja diam.
"Huh! Benar benar mau mampus kau!"
Sret!
Tring!

Laki-laki berbaju kulit binatang itu langsung saja mencabut dua golok kembar yang tadi tersembunyi di belakang tubuhnya. Cepat kedua goloknya digerakkan, lalu disilangkan di depan dada. Sementara Pranggala masih tetap diam, tidak bergeming sedikit pun juga. Dan diperhatikannya setiap gerak yang dilakukan orang itu.

"Hup! Yeaaah...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, orang berpakaian kulit binatang itu melesat cepat sambil mengibaskan satu goloknya yang ada di tangan kiri, ke kepala Pranggala.

Wut!
"Haiiit…!"

Namun dengan gerakan manis sekali, Pranggala berhasil menghindari sabetan golok berukuran cukup besar itu. Dan belum juga kepalanya bisa ditegakkan lagi, satu golok lawan yang berada di tangan kanan sudah kembali mengibas cepat. Gerakannya, benar-benar sulit diikuti pandangan mata biasa.

"Hap!"

Pranggala sama sekali tidak bergeming. Dinantinya serangan itu. Dan begitu Ujung mata golok berada tepat di depan dada, cepat sekali tangan kirinya dikibaskan. Dan....

Trak!
"Ikh...!"

Orang berbaju kulit binatang itu jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba ujung jari Pranggala menyentil mata goloknya. Akibatnya, hampir saja golok itu terpental dari genggaman. Untung saja dia cepat-cepat melompat ke belakang tadi. Tapi begitu menjejakkan kaki, tubuhnya jadi terhuyung sedikit.

"Phuih!"

Laki-laki bertubuh tegap yang terbungkus baju kulit binatang itu menyemburkan ludahnya dengan sengit. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata pemuda tampan berbaju merah muda yang berdiri tegak tidak jauh di depannya.

"Rupanya kau punya kepandaian juga, ya.... Pantas berani keluyuran di tengah malam," terasa begitu dingin nada suara orang berbaju kulit binatang itu.

Perlahan laki-laki setengah baya itu menggeser kakinya ke kanan dengan golok tersilang di depan dada, membuat mata golok itu berkilatan terrimpa cahaya pelita. Sedangkan Pranggala tetap berdiri tegak tidak bergeming sedikit pun. Namun tatapan matanya terlihat sangat tajam, memperhatikan setiap gerak laki-laki berbaju binatang di depannya.

"Mampus kau! Hih! Yeaaah...!"

Sambil membentak keras, laki-laki berbaju kulit binatang itu melesat cepat bagai kilat. Goloknya langsung disabetkan ke arah kepala pemuda ini.

"Haiiit...!"

Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepala, golok itu lewat di depan wajah Pranggala. Dan pada saat yang tidak diduga-duga sama sekali, pemuda itu mengebutkan tangan kanannya ke depan, tepat mengarah ke dada lawan. Begitu cepat dan tidak terduga sama sekali, sehingga orang berbaju kulit binatang itu jadi terbeliak kaget. Maka cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang, mencoba menghindari sodokan tangan kanan pemuda lawannya itu.

Tapi saat itu juga, Pranggala kembali mela-kukan gerakan yang sangat cepat dan sulit diikuti pandangan mata biasa. Kakinya digeser ke kiri sambil tubuhnya diliukkan dengan indah. Dan saat itu juga, kaki kirinya dihentakkan ke depan. Benar-benar gerakan yang tak terduga, sehingga membuat lawan tidak dapat lagi berkelit. Dan....

Des!
"Akh...!"

Besamaan dengan terdengarnya pekikan tertahan, terlihat laki-laki bertubuh tegap berbaju kulit binatang itu terhuyung ke belakang beberapa langkah. Tampak darah menyembur dari mulutnya. Dan saat itu juga, Pranggala sudah melesat sambil berteriak keras menggelegar.

"Yeaaah...!"

Satu tendangan yang teramat keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam langsung dilepaskan, tepat ke arah kepala orang berbaju kulit binatang ini.

Prak!
"Aaa...!"

Malam yang sunyi ini kembali dipecahkan oleh jeritan panjang melengking tinggi yang begitu menyayat membelah angkasa. Tampak laki-laki bertubuh tegap dan berbaju dari kulit binatang itu terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi kepalanya. Goloknya sudah terlepas entah ke mana. Darah pun tampak mengalir deras dari sela-sela jari tangannya.

Bruk!

Hanya sebentar saja laki-laki setengah baya itu terhuyung, kemudian ambruk ke tanah dengan keras sekali. Sebentar pula tubuhnya menggelepar meregang nyawa sambil mengerang, kemudian mengejang kaku, dan diam tidak bergerak-gerak lagi. Sementara darah terus mengalir deras dari kepalanya yang pecah. Sedangkan Pranggala tetap berdiri tegak memandangi tubuh lawannya yang sudah menggeletak tidak bernyawa lagi.

"Hhh...!"

Sambil menghembuskan napas panjang, Pranggala melangkah meninggalkan tubuh yang sudah tergeletak tidak bernyawa lagi. Dan hanya beberapa langkah saja pemuda itu berjalan, kemudian melesat cepat bagai kilat. Hingga dalam sekejapan mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap tidak terlihat lagi. Sementara malam terus merayap semakin larut, menyebarkan udara dingin yang membekukan tulang.

Suara pertarungan dan jeritan kematian laki-laki tegap berbaju kulit harimau itu rupanya sempat juga membangunkan penduduk Desa Salak Rejeng. Bahkan dari bangunan besar berpagar baru berukuran tinggi, juga bermunculan orang-orang yang langsung berlarian menghampiri tubuh yang tergeletak di jalan dan tidak bernyawa lagi.

"Ki Jaran Jati...."

Bagi semua orang yang tinggal di Desa Salak Rejeng ini, Ki Jaran Jati memang sudah sangat dikenal. Selain menjabat kepala desa, Ki Jaran Jati juga seorang guru silat. Memang, rumahnya yang besar berhalaman luas telah dijadikan sebuah padepokan. Dan semua murid-muridnya juga berasal dari Desa Salak Rejeng ini. Maka tentu saja kematiannya membuat seluruh penduduk Desa Salak Rejeng jadi gempar. Terlebih lagi, Ki Jaran Jati tewas dengan kepala pecah seperti habis bertarung. Dan memang, laki-laki yang lebih senang mengenakan baju dari kulit binatang itu tewas akibat bertarung semalam.

Hingga matahari tepat berada di atas kepala, dan mayat Ki Jaran Jati sudah dimakamkan, tapi semua orang di desa itu masih tetap membicarakan kematiannya yang sangat menyedihkan itu. Kepalanya hancur, hingga wajahnya hampir saja tidak dikenali lagi. Terlebih tidak ada seorang pun yang mengetahui lawan tanding Ki Jaran Jati, hingga menemui ajalnya secara mengerikan sekali. Semua orang terus bertanya-tanya, tapi tidak ada yang tahu jawabannya.

Siang ini Desa Salak Rejeng memang terasa begitu panas. Matahari bersinar terik, tanpa sedikit pun awan menghalangi. Begitu panasnya, hingga hampir semua orang di desa ini tidak ada yang mau keluar dari dalam rumah. Seluruh tanah di desa itu bagai terpanggang, walaupun angin bertiup cukup kencang menebarkan debu yang menyebar ke segala arah. Saat itu terlihat seorang laki-laki tua berjubah putih tengah menunggang kuda putih. Dia dikawal sekitar dua puluh orang anak-anak muda yang semuanya membawa pedang tergantung di pinggang. Mereka menjalankan kudanya perlahan-lahan, menyusuri jalan tanah berdebu yang membelah Desa Salak Rejeng ini bagai menjadi dua bagian. Semua penduduk desa memandangi mereka dengan sinar mata bertanya-tanya. Tapi, rombongan kecil itu terus bergerak menuju rumah Ki Jaran Jati.

"Berhenti...!"

Dua orang pemuda yang membawa tombak langsung menghadang rombongan ini, tepat di depan pintu gerbang rumah kepala desa yang bagaikan sebuah benteng. Laki-laki tua penunggang kuda putih yang berada paling depan, segera mengangkat tangan kanannya sedikit ke atas. Maka rombongan itu segera berhenti. Laki-laki tua berjubah putih yang rambutnya sudah memutih semua ini bergegas melompat turun dari punggung kudanya. Gerakannya begitu ringan dan indah, pertanda kepandaiannya tidak bisa dipandang sebelah mata.

"Maaf. Apakah ini benar rumah Ki Jaran Jati, Kepala Desa Salak Rejeng ini, Anak Muda...?" tanya orang tua berjubah putih itu sopan.

"Benar," sahut salah seorang penjaga itu. "Dan kau siapa, Ki?"

"Aku Ki Tunggul Santak ingin bertemu Ki Jaran Jati. Dia tahu akan kedatanganku," sahut orang tua itu memperkenalkan diri.

"Oh, kaa... Kau Ki Tunggul Santak..?!"

Kedua pemuda yang menjaga pintu gerbang rumah kepala desa itu jadi tersentak kaget, begitu orang tua berjubah putih ini memperkenalkan diri. Cepat-cepat mereka menjatuhkan diri berlutut, memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung, bagaikan sedang berhadapan dengan seorang pembesar kerajaan. Ki Tunggul Santak jadi tersenyum. Kakinya lalu melangkah menghampiri. Disentuhnya pundak kedua pemuda itu dengan lembut.

"Bangunlah. Tidak pantas kalian bersikap begitu padaku," ujar Ki Tunggul Santak lembut.

"Maafkan kami, Ki. Kami tidak tahu kalau...."

"Sudahlah, lupakan saja," ujar Ki Tunggul Santak memotong.

"Biar kubukakan pintu, Ki."

Salah seorang bergegas bangkit, dan langsung membuka pintu gerbang yang sejak tadi tertutup rapat. Sedangkan yang seorang lagi cepat-cepat menghampiri kuda orang tua ini. Dipeganginya tali kekang kuda putih itu. Ki Tunggul Santak jadi menggelengkan kepala dengan bibir menyunggingkan senyum. Dengan isyarat tangan, murid-muridnya diperintahkan turun dari kuda masing-masing.

Kemudian mereka masuk ke dalam lingkungan rumah kepala desa yang juga dijadikan sebuah padepokan ini.

********************

Ki Tunggul Santak jadi tercenung mendengar berita kematian sahabatnya, Ki Jaran Jati yang begitu menggiriskan semalam. Semua itu diceritakan istri dan juga putra tunggal Ki Jaran Jati yang menemani di ruangan depan rumah besar ini. Cukup lama juga Ki Tunggul Santak terdiam, tanpa bicara sedikit pun juga, walaupun Nyi Jaran Jati dan putranya sudah tidak lagi menceritakan kematian Ki Jaran Jati yang begitu menyedihkan.

"Hhh...!"

Panjang sekali Ki Tunggul Santak menghem-buskan napas. Dan terasa begitu berat hembusan napasnya. Perlahan kepala yang sejak tadi terus tertunduk menekur terangkat. Pandangan matanya langsung bertemu dengan sorotan mata putra almarhum Ki Jaran Jati yang bernama Sangkalangit. Kemudian tatapannya berpindah pada Nyi Jaran Jati. Kembali ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat dengan perasaan begitu berat. Untuk beberapa saat lamanya mereka masih terdiam membisu.

"Apa tidak ada yang melihat kejadiannya, Nyi?" tanya Ki Tunggul Santak dengan suara begitu perlahan.

"Tidak," sahut Nyi Jaran Jati.

"Hhh...!" .

Kembali Ki Tunggul Santak menghembuskan napas panjang-panjang.

"Aku tahu, siapa yang membunuhnya," ujar Ki Tunggul Santak pelan.

Begitu pelan suara orang tua itu, sehingga hampir tidak terdengar di telinga. Kata-kata Ki Tunggul Santak yang begitu perlahan, membuat Nyi Jaran Jati dan putranya jadi terkejut. Mereka langsung memandangi wajah orang tua itu dalam-dalam.

"Kedatanganku ke sini justru hendak memperingatkannya. Tapi, rupanya dia lebih cepat sampai ke sini...," jelas Ki Tunggul Santak, dengan suara masih pelan.

"Siapa dia, Ki?" tanya Sangkalangit langsung.

"Kalaupun kuberi tahu, kau tidak akan mungkin bisa menemuinya, Sangkalangit. Dia pasti sudah jauh dari sini. Dan lagi, kurasa kau tidak akan bisa membalas kematian ayahmu," kata Ki Tunggul Santak seraya menatap lembut pemuda itu.

"Aku rela mempertaruhkan nyawa, asal bisa membalas kematian ayah, Ki," tegas Sangkalangit.

"Aku percaya pada tekadmu, Sangkalangit. Tapi percayalah, kau bukan tandingannya. Kalau tetap menuruti kata hatimu, berarti hanya akan mengantarkan nyawa saja padanya. Percayalah.

Aku yang akan membalaskan kematian ayahmu," tegas Ki Tunggul Santak.

"Kakang Santak. Boleh aku tahu, siapa prang yang membunuh suamiku...?" tanya Nyi Jaran Jati.

Ki Tunggul Santak tidak langsung menjawab. Dipandanginya Nyi Jaran Jati dan Sangkalangit bergantian. Kemudian pandangannya tertuju ke luar, melalui jendela yang terbuka lebar. Tampak murid-muridnya tengah beristirahat di pendopo samping, sambil menikmati hidangan yang disediakan murid-murid padepokan Ki Jaran Jati yang juga Kepala Desa Salak Rejeng ini. Dan kini matanya kembali menatap wajah Nyi Jaran Jati.

"Pranggala," ujar Ki Tunggul Santak perlahan.

"Siapa dia, Ki?" tanya Sangkalangit.

Ki Tunggul Santak tak langsung menjawab. Terlihat jelas dari sorot matanya, kalau begitu berat menjawab pertanyaan putra tunggal Ki Jaran Jati.

"Siapa dia, Ki...?" desak Sangkalangit lagi.

"Ah, sudahlah.... Sebaiknya aku pergi saja sebelum jatuh korban lebih banyak lagi," ujar Ki Tunggul Santak seraya bangkit berdiri.

Orang tua itu sengaja bersikap begitu, untuk menghindari desakan Sangkalangit.

"Kenapa tidak menginap saja di sini barang semalam, Ki...?" Nyi Jaran Jati menawarkan.

"Terima kasih, Nyi. Perjalananku masih terlalu panjang. Aku berjanji, kalau semua persoalan ini sudah selesai, pasti akan mampir dan menerima tawaranmu," sahut Ki Tunggul Santak seraya memberi senyum tipis.

Sebelum Sangkalangit mendesak lagi, Ki Tunggul Santak bergegas melangkah ke luar. Tapi baru saja berada di ambang pintu, Sangkalangit sudah menghadangnya. Sorot mata pemuda ini terlihat begitu tajam, seakan hendak menembus langsung ke bola mata orang tua berjubah putih itu.

"Pertanyaanku belum kau jawab, Ki," ujar Sangkalangit, terdengar agak datar suaranya.

"Sangkalangit...!" sentak Nyi Jaran Jati cepat-cepat, menarik tangan putranya ini.

Ki Tunggul Santak hanya diam saja memandangi pemuda itu.

"Maafkan atas sikap anakku, Ki," ucap Nyi Jaran Jati.

Ki Tunggul Santak hanya tersenyum tipis saja dan terasa amat getir. Sementara Sangkalangit kelihatan belum puas, tapi tidak bisa berbuat apa-apa dengan tangan tetap dicekal kuat-kuat oleh ibunya.

"Aku pergi dulu, Nyi. Terima kasih atas keramahanmu. Maaf aku tak bisa mencegahnya," ucap Ki Tunggul Santak membungkuk.

"Aku berterima kasih atas kunjunganmu, Ki. Sekali lagi, maafkan atas sikap anakku ini," sambut Nyi Jaran Jati.

Lagi-lagi Ki Tunggul Santak hanya tersenyum. Kemudian dia kembali menjura memberi salam penghormatan, lalu melangkah ke luar menghampiri murid-muridnya yang sudah berada di samping kuda masing-masing. Seorang pemuda murid padepokan ini memegangi kuda putih tunggangan Ki Tunggul Santak.

"Hup!"

Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Ki Tunggul Santak melompat naik kepunggung kudanya. Sebentar ditatapnya Nyi Jaran Jati dan Sangkalangit yang masih tetap berada di beranda depan. Sementara, semua muridnya yang berjumlah dua puluh orang sudah berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Saat ini, matahari sudah mulai terlihat condong ke barat.

Ki Tunggul Santak menggebah kudanya tidak terlalu kencang, keluar dari lingkungan rumah kepala desa yang juga dijadikan sebuah padepokan ini. Sementara dua puluh orang muridnya mengikuuti dari belakang. Mereka baru memacu cepat kudanya setelah melewati pintu gerbang. Debu langsung mengepul tinggi ke udara, tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu dengan kecepatan cukup tinggi. Sementara di beranda depan rumah besar yang dikelilingi pagar tembok baru cukup tinggi bagai benteng ini, Nyi Jaran Jati dan Sangkalangit masih berdiri di sana, memandangi pintu gerbang yang sudah tertutup lagi.

"Tadi seharusnya kau bisa menahan diri, Sangkalangit," ujar Nyi Jaran Jati, menyesali sikap anaknya.

"Tapi jelas, dia menyembunyikan sesuatu, Bu," kata Sangkalangit masih penasaran.

"Ya, Ibu tahu itu. Ibu dan ayahmu sudah lama kenal Ki Tunggul Santak. Bahkan antara dia dan ayahmu terjalin persahabatan yang sangat erat, hingga masing-masing mengangkat saudara. Jadi Ibu tahu betul wataknya. Dia tidak akan menyembunyikan, kalau yang dihadapinya masih dianggap ringan. Pasti pembunuh ayahmu itu seorang yang berkepandaian sangat tinggi, hingga Ki Tunggul Santak tidak mau mengatakannya pada kita," kata Nyi Jaran Jati mencoba menjelaskan.

"Biar bagaimanapun juga, kematian ayah harus kubalas, Bu," tegas Sangkalangit.

"Dengan cara apa...? Mengandalkan kepandaianmu yang hanya seujung kuku...? Kau tidak akan sanggup, Sangkalangit. Biar Ki Tunggul Santak yang membereskannya. Aku percaya, dia mampu melakukannya," kata Nyi Jaran Jati.

"Bu...."

"Sudahlah, Nak. Kau masih terlalu muda. Kau masih perlu banyak belajar sebelum terjun ke dalam dunia luar," potong Nyi Jaran Jati cepat.

Wanita setengah baya itu bergegas memutar tubuhnya berbalik, dan melangkah ke dalam rumahnya yang besar. Sementara, Sangkalangit masih tetap diam di beranda depan ini. Sedikit kepalanya melongok ke dalam, kemudian bergegas melangkah ke luar dari beranda. Kakinya terus melangkah ke bagian samping rumah yang berukuran sangat besar ini. Dan tidak lama kemudian, terlihat pemuda itu sudah memacu cepat kudanya keluar dari halaman rumah ini.

Mendengar suara kuda yang dipacu cepat, Nyi Jaran Jati bergegas keluar. Wanita itu terkejut melihat putranya memacu kuda dengan cepat sambil berteriak meminta dibukakan pintu. Dua orang penjaga bergegas membuka pintu gerbang lebar-lebar.

"Sangkalangit...!" teriak Nyi Jaran Jati memanggil.

Tapi, Sangkalangit sudah melesat cepat bersa-ma kudanya, melewati pintu gerbang. Nyi Jaran Jati hanya bisa terdiam memandangi debu yang mengepul mengikuti Sangkalangit yang terus menggebah kudanya semakin jauh. Sementara, dua orang penjaga pintu gerbang menutup kembali pintu yang terbuat dari kayu jati berukuran tebal dan sangat besar ini. Sedangkan Nyi Jaran jati tetap berdiri mematung di beranda. Pandangannya kosong, tertuju lurus ke depan.

"Badrun...!" teriak Nyi Jaran Jati kencang.

Belum lagi teriakan perempuan yang berusia sekitar empat puluh lima tahun itu hilang, sudah datang seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya tegap, mengenakan baju ketatwarna kuning gading. Hingga, membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot.

"Bawa teman-temanmu. Susul Sangkalangit" perintah Nyi Jaran Jati.

"Baik, Nyi," sahut Badrun hormat.

"Cepat! Jangan sampai kehilangan jejaknya."

"Iya, Nyi."

"Siapkan juga kudaku, Badrun."

Badrun hanya mengangguk saja, kemudian bergegas meninggalkan wanita berusia hampir setengah baya, namun masih kelihatan cantik. Hanya saja kerutan ketuaan sudah mulai terlihat di sekitar matanya.

Tidak berapa lama berselang, Badrun sudah kembali bersama sekitar tiga puluh orang anak muda yang semuanya berada dipunggung kuda masing-masing. Dia juga sudah berada di atas punggung kuda sambil memegang tali kekang kuda coklat berbelang putih yang tinggi dan gagah di sebelahnya. Nyi Jaran Jati bergegas keluar dari beranda depan rumahnya ini. Diambilnya tali kekang dari tangan Badrun. Dan dengan gerakan indah sekali, dia melompat naik ke punggung kudanya. Namun belum juga mereka bergerak, mendadak saja....

"Ha ha ha...!"
"Heh...?!"
"Hah...?!"
Wusss!

Belum lagi hilang rasa keterkejutan mereka, mendadak saja dari atas atap rumah kepala desa yang sangat besar ini melesat cepat bagai kilat sebuah bayangan merah muda. Dan tahu-tahu, tepat di depan Nyi Jaran Jati sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan, berbaju ketat warna merah muda. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang yang tangkainya berbentuk kepala seekor ular berwarna kuning keemasan. Dia berdiri tegak membelakangi beranda depan, dengan kedua tangan kiri menggenggam sebuah bungkusan dari kain putih.

TIGA

Tampak dari bagian bawah bungkusan itu menetes darah. Kedua bola mata Nyi Jaran Jati terbeliak, melihat darah yang menetes dari bungkusan di tangan kanan pemuda itu. Kemudian ditatapnya wajah tampan pemuda itu dengan sinar mata terlihat tajam sekali.

"Kalian tidak perlu repot-repot mencari. Nih, aku bawakan untuk kalian semua," kata pemuda tampan berbaju merah muda itu, sambil melemparkan bungkusan kain putih.

Bungkusan itu menggelinding, dan berhenti tepat di depan kaki kuda yang ditunggangi Nyi Jaran Jati. Saat itu, Badrun cepat melompat turun dari punggung kudanya. Bergegas kakinya melangkah menghampiri bungkusan yang bernoda darah itu. Segera dibukanya bungkusan itu. Dan saat itu juga....

"Hah...?!"
"Sangkalangit..!" jerit Nyi Jaran Jati.

Mereka semua jadi terperanjat setengah mati, melihat bungkusan bernoda darah itu berisi kepala Sangkalangit. Sementara, Nyi Jaran Jati sudah melompat turun dari punggung kudanya dengan wajah memerah dan napas memburu cepat.

"Iblis keparat! Kau harus membayar nyawa anakku!" bentak Nyi Jaran Jati.

Sret!

Langsung saja wanita itu mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang. Sementara, pemuda tampan berbaju merah muda yang tidak lain Pranggala itu hanya tersenyum saja. Sedangkan semua murid padepokan Ki Jaran Jati sudah berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Beberapa orang menyingkirkan kuda, dan yang lain langsung berlompatan mengepung sambil menghunus senjata masing-masing. Tapi, Pranggala masih tetap kelihatan tenang dengan senyum tipis tersungging di bibir. Badrun yang berada dekat di samping Nyi Jaran Jati juga sudah mencabut pedangnya.

"Mampus kau, Iblis Keparat! Hiyaaat...!"

Sambil berteriak nyaring, Nyi Jaran Jati melesat cepat bagai kilat menerjang pemuda ini. Pedangnya langsung dikebutkan tepat mengarah kepala. Namun hanya sedikit saja Pranggala mengegoskan kepala, tebasan pedang itu lewat tanpa membawa hasil. Sebenarnya Pranggala jadi terkejut juga, merasakan angin tebasan pedang berhawa panas yang menerpa kulit wajahnya.

"Hup!"

Cepat-cepat Pranggala melompat kebelakang dua langkah. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, dua orang yang berada di belakang sudah melompat menyerang.

"Hap! Yeaaah...!"

Namun Pranggala yang sudah bisa membaca gelagat, cepat membungkukkan tubuhnya. Langsung kaki kirinya dihentakkan ke belakang sambil berputar. Begitu cepat gerakannya, hingga dua orang murid Ki Jaran Jati tidak sempat lagi berkelit. Maka tendangan kaki Pranggala tepat menghantam dada, membuat mereka terpental balik ke belakang sambil memperdengarkan jeritan panjang melengking tinggi.

Bruk!

Kedua anak muda itu jatuh keras sekali menghantam tanah. Dan hanya sebentar saja mereka menggeliat, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Tampak dada mereka melesak hancur dengan darah mengalir deras dari mulut. Melihat dua orang murid suaminya tewas hanya dalam sekali gebrak saja, Nyi Jaran Jati jadi semakin berang.

"Hiyaaat..!"

Sambil berteriak keras menggelegar, wanita berusia hampir setengah baya itu melompat menerjang. Beberapa kali pedangnya dikebutkan cepat, membuat Pranggala terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Dan saat itu, Badrun juga sudah melesat membantu istri gurunya ini. Akibatnya, Pranggala semakin kelihatan kerepotan menghadapi serangan-serangan cepat dan beruntun dari dua arah ini.

Namun kerepotan yang dialami Pranggala tidak berlangsung lama. Karena begitu mendapatkan kesempatan yang sangat sedikit, cepat sekali tangan kanannya mencabut pedang, dan langsung dibabatkan ke arah Badrun. Begitu cepat kibasannya, hingga membuat Badrun tidak ada kesempatan lagi menghindarinya. Maka cepat-cepat pedangnya dilintangkan kedepan.

"Trang!
"Ikh...?!"

Badrun jadi terpekik kaget. Tenaga dalam yang dimilikinya memang masih kalah, hingga pedangnya terpental tinggi ke udara. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, mendadak saja Pranggala sudah cepat memutar pedangnya. Dan....

Wut!
Cras!
"Aaa...!"

Badrun menjerit begitu pedang Pranggala merobek dadanya. Darah seketika muncrat keluar dari dada pemuda itu. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Dan saat itu juga, Pranggala sudah melesat melepaskan satu tendangan keras menggeledek yang langsung menghantam kepala murid utama Ki Jaran Jati ini.

Prak!
"Aaakh...!"

Kembali Badrun menjerit melengking, begitu kepalanya pecah terkena tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Tubuhnya langsung ambruk, dan menggeletak diam tidak bernyawa lagi. Darah semakin banyak keluar dari kepala dan dadanya. Kematian Badrun membuat Nyi Jaran Jati dan semua muridnya jadi tersentak kaget. Dalam beberapa gebrakan saja, pemuda itu sudah menewaskan tiga orang.

"Serang! Bunuh setan keparat itu....'" teriak Nyi Jaran Jati jadi memuncak amarahnya.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Semua murid almarhum Ki Jaran Jati langsung saja berlompatan, tidak peduli kalau yang dihadapi adalah seorang yang berilmu tinggi. Bahkan juga membunuh guru mereka! Kemarahan sudah membuat kegentaran di hati mereka lenyap seketika. Sementara itu, Pranggala sudah melesat cepat sambil mengebutkan pedangnya beberapa kali. Kecepatannya sukar sekali diikuti pandangan mata biasa.

"Hiya! Yeaaah...!"
Bet!
Wut!
Cras!
"Aaa...!"

Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika itu juga terdengar menyayat, sating sambut yang disusul ambruknya lima orang sekaligus.

Tapi tampaknya Pranggala tidak berhenti sampai di situ saja. Dia berlompatan cepat sambil membabatkan pedangnya. Dan setiap kali pedangnya berkelebat, selalu terdengar jeritan panjang melengking tinggi yang disusul ambruknya tubuh bersimbah darah. Hingga dalam waktu tidak lama saja, sudah lebih dari separo jumlah murid padepokan ini yang ambruk tidak bernyawa lagi.

Darah terus mengalir membasahi halaman depan rumah Ki Jaran Jati. Dan bau anyir darah langsung menyebar terbawa angin. Sementara, Pranggala terus mengamuk. Pedangnya membabat bagai kilat hingga tidak ada seorang pun yang membendungnya lagi. Hanya Nyi Jaran Jati saja yang masih bisa bertahan, dan beberapa kali berhasil menghindari tebasan pedang pemuda itu. Tapi wanita itu juga sulit untuk melakukan serangan yang mendesak. Gerakan-gerakan Pranggala memang sangat cepat luar biasa. Bahkan sering tidak terduga sama sekali.

"Yeaaah...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Pranggala memutar tubuhnya begitu cepat sambil berlompatan menghajar lima orang yang masih tersisa. Dan seketika itu juga, jeritan-jeritan panjang melengking tinggi kembali terdengar menyayat, disusul ambruknya lima orang yang tersisa. Kembali darah berhamburan keluar dari tubuh mereka yang terbelah, menggenangi halaman rumah Ki Jaran Jati.

Kini Pranggala berdiri tegak di depan Nyi Jaran Jati yang jadi terpana melihat semua murid suaminya sudah bergelimpangan tidak bernyawa lagi. Tidak satu pun dari mereka yang kelihatan hidup. Wajah wanita itu jadi berubah memucat, tapi sebentar kemudian kembali memerah. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menatap langsung ke mata pemuda yang berdiri sekitar satu batang tombak di depannya.

"Maafkan aku, Nyi. Ini sudah sumpahku untuk melenyapkan semua yang pernah bersangkutan denganku. Bahkan mereka yang mencoba melindunginya," terasa begitu dingin nada suara Pranggala.

"Kau yang bernama Pranggala...?" tanya Nyi Jaran Jati.

"Benar, Nyi," sahut Pranggala datar.
"Hhh! Jadi kau juga yang membunuh suamiku?"
"Ya," sahut Pranggala terus terang.
"Iblis...! Kau harus membayar mahal, Pranggala!"

"Aku hanya menuntut kebenaran saja, Nyi. Kebenaran yang sudah diputarbalikkan suamimu. Tapi, sungguh. Aku sendiri tadinya tidak tahu kalau dia adalah Ki Jaran Jati. Padahal, sudah begitu lama aku mencarinya. Tapi mungkin memang sang Hyang Widhi sudah menuntunku hingga sampai ke sini. Sekali lagi aku mohon maaf, Nyi. Dan kalau kau sudi melupakan semua peristiwa ini, aku tidak akan datang-datang lagi menemuimu. Kau boleh bebas, karena aku merasa dirimu tidak ada urusan denganku. Tapi anakmu itu.... Dia sengaja mencariku. Bahkan menantangku bertarung. Aku sudah menjelaskannya, tapi dia tidak mau mendengarkan. Maka terpaksa aku harus menghindarinya."

"Kau membunuhnya,..!" sentak Nyi Jaran Jati kalap.

"Aku hanya menghindarinya, Nyi. Menghindari penghalang-penghalangku," bela Pranggala. "Dan kuharap, kau juga tidak mencoba menjadi penghalang."

Nyi Jaran Jati jadi terdiam.

"Maaf. Aku pergi dulu, Nyi. Masih banyak yang harus kukerjakan," kata Pranggala.

Setelah berkata demikian, Pranggala cepa melesat pergi melewati atap rumah. Dan Nyi Jaran Jati jadi tersentak. Cepat-cepat wanita itu melesat mengejar. Tapi begitu kakinya menjejak atap bayangan pemuda itu sudah lenyap tidak terlihat lagi. Nyi Jaran Jati mengedarkan pandangan ke sekeliling, tapi pemuda itu memang sudah tidak terlihat lagi. Entah lenyap ke mana dia....

"Hhh! Apa maksud semua ini...?"

Nyi Jaran Jati jadi bertanya-tanya sendiri. Kembali wanita itu melompat turun dari atas atap rumahnya. Pandangannya beredar merayapi tubuh-tubuh yang bergelimpangan tidak bernyawa lagi. Tidak ada seorang pun yang terlihat masih hidup. Juga, tidak ada lagi orang yang hidup di rumah ini selain dirinya. Nyi Jaran Jati jadi mengeluh sendiri dalam hati. Sungguh tidak pernah dibayangkan kalau akan seperti ini jadinya.

Nyi Jaran Jati terduduk lemas di pinggiran lantai beranda depan rumahnya. Benar-benar tidak dimengerti semua yang telah terjadi. Anak dan suaminya tewas. Juga, semua murid suaminya tidak ada lagi yang hidup. Mereka terbunuh hanya oleh satu orang saja. Tapi, sebenarnya bukan pemuda berbaju merah muda yang menamakan diri Pranggala itu yang menjadi beban pikirannya. Melainkan, apa yang dilakukan suaminya hingga pemuda itu membantai orang-orang terdekatnya...? Pertanyaan ini yang membuat kepala Nyi Jaran Jati jadi terasa mau pecah.

Di saat wanita yang usianya hampir setengah baya itu tengah duduk merenung, terdengar gerit dari arah pintu gerbang. Terlihat pintu gerbang yang sejak tadi tertutup rapat, perlahan-lahan terbuka. Nyi Jaran Jati segera mengangkat kepalanya memperhatikan. Dan dari balik pintu yang tebal dan besar itu, muncul seorang laki-laki berusia setengah baya. Dia berbaju putih bersih yang ketat, hingga membentuk tubuh tegap berotot. Sebilah pedang tampak tergantung di pinggangnya.

Laki-laki itu tampak terperanjat begitu melihat di halaman depan rumah yang cukup luas ini banyak berserakan tubuh tak bernyawa lagi, menyebarkan bau anyir darah menusuk hidung. Cepat-cepat ditutupnya pintu itu kembali, lalu melangkah dengan ayunan lebar begitu melihat Nyi Jaran Jati terduduk dipinggiran lantai beranda. Dari pakaian dan pedang yang dibawa, sudah dapat dipastikan kalau dia adalah Ki Jalaksana.

"Apa yang terjadi, Dewi Manik...?" tanya Ki Jalaksana langsung, memanggil istri kepala desa itu dengan nama aslinya.

"Neraka terjadi di sini, Kakang Jalaksana,” sahut Nyi Jaran Jati yang bernama asli Dewi Manik.

"Jelaskan padaku, apa sesungguhnya yang telah terjadi, Dewi," pinta Ki Jalaksana tidak sabar.

Dengan suara lesu, Dewi Manik yang sering di panggil Nyi Jaran Jati, menceritakan semua yang telah terjadi di rumah ini. Peristiwa yang berawal dari kematian suaminya, yang kemudian disusul anak tunggalnya. Lalu muncul pemuda bernama Pranggala yang ternyata pembunuh suami dan anaknya. Dan pemuda itu juga membantai murid-murid Ki Jaran Jati ini.

Semua diceritakan Dewi Manik secara jelas walaupun dengan suara pelan dan agak tersendat. Sementara, Ki Jalaksana mendengarkan penuh perhatian. Dia jadi tertegun begitu mendengar nama Pranggala disebut. Laki-laki berusia setengah baya itu menghela napas panjang-panjang, kemudian duduk tidak jauh di samping wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik dan gesit ini.

"Anak itu sudah membunuh begitu banyak tokoh persilatan. Dan belum lama ini, dia menewaskan Nyi Langir...," desah Ki Jalaksana.

"Apa...?!"

Dewi Manik tersentak kaget setengah mati, mendengar nama Nyi Langir. Apalagi, Ki Jalaksana mengatakan kalau Nyi Langir tewas di tangan Pranggala. Begitu terkejutnya, sampai kedua matanya terbeliak lebar memandangi wajah Ki Jalaksana. Bahkan dia sampai tidak bisa berkata-kata untuk beberapa saat.

"Kau bilang apa tadi, Kakang Jalaksana...?" tanya Dewi Manik seperti kurang jelas pendengarannya.

"Nyi Langir.... Dia tewas di tangan anak muda itu," sahut Ki Jalaksana mengulangi.

"Keparat..!" desis Dewi Manik geram.

Ki Jalaksana bisa memaklumi kalau wanita ini jadi begitu geram setengah mati mendengar kematian Nyi Langir. Dia tahu, Nyi Langir kakak kandung suaminya, Ki Jaran Jati.

"Dia juga sudah membunuh Eyang Rataka, Nyai Dewi Palanggata, Pendekar Mata Satu dan...."

"Cukup, Kakang...!" sentak Dewi Manik tidak tahan lagi mendengarnya.

Nama-nama yang disebutkan Ki Jalaksana sudah barang tentu sangat dikenalnya, karena masih ada hubungan persaudaraan dengan suaminya. Bahkan beberapa nama yang tidak sempat disebutkan, adalah sahabat-sahabat Ki Jaran Jati. Dan mereka semua tewas di tangan Pranggala!

"Kakang Jalaksana, apa keluarga mereka juga tewas?" tanya Dewi Manik.

"Ya! Bahkan semua pengikutnya, dan siapa saja yang mencoba menghalanginya," sahut Ki Jalaksana. "Sudah tidak terhitung lagi berapa orang yang mencoba menghentikannya telah tewas terbunuh. Bahkan sudah banyak pendekar yang mati di tangannya. Kau tahu, Dewi. Ki Tunggul Santak sendiri sampai menyediakan hadiah seribu kepeng emas untuk kepala anak muda itu."

"Ki Tunggul Santak belum lama datang ke sini. Yaaah.... Belum lama dia pergi, anak muda setan itu datang dan membuat neraka di sini. Ki Tunggul Santak juga sedang mencari anak muda itu," kata Dewi Manik perlahan.

"Kalau Ki Tunggul Santak sudah sampai turun tangan sendiri, ini pasti persoalannya semakin bertambah gawat Dewi," ujar Ki Jalaksana lagi.

"Kakang, kau tahu persoalan apa sebenarnya...?" tanya Dewi Manik ingin tahu.

"Inilah yang membuatku tidak mengerti, Dewi. Dia tiba-tiba saja muncul dan membunuh orang-orang yang sudah kita kenal. Bahkan sempat memporak-porandakan padepokan milik Ki Tunggul Santak, hingga tinggal dua puluh orang saja muridnya yang tersisa. Dari situ Ki Tunggul Santak menyediakan hadiah seribu kepeng emas untuk kepala Pranggala. Dan sampai sekarang, sudah banyak orang persilatan yang mencoba mengadu nasib. Tapi, mereka semua tewas di tangan anak muda itu," jelas Ki Jalaksana.

"Tidak ada yang tahu siapa dia, Kakang?" tanya Dewi Manik lagi.

"Tidak," sahut Ki Jalaksana. "Tapi...."

"Tapi kenapa, Kakang?"

"Anak muda itu muncul pertama kali justru di padepokan milik Ki Tunggul Santak. Setelah itu, dia menyebarkan neraka di mana-mana," jelas Ki Jalaksana lagi.

"Ki Tunggul Santak tidak banyak bercerita di sini. Dia juga hanya sebentar saja. Aku tidak tahu lagi, ke mana perginya," ujar Dewi Manik perlahan, dan terdengar agak mendesah suaranya.

"Dewi! Aku juga harus segera pergi. Anak muda itu harus dicegah secepatnya, sebelum jatuh korban lebih banyak lagi," kata Ki Jalaksana seraya bangkit berdiri.

"Kau bisa menandinginya, Kakang?" tanya Dewi Manik.

"Aku pernah bertarung sekali dengannya. Dan memang, dia memiliki kepandaian tinggi sekali. Tapi aku akan terus mencoba, walaupun nyawaku harus melayang," tegas Ki Jalaksana tegas.

"Kita pergi sama-sama, Kakang," kata Dewi Manik.

Ki Jalaksana memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan di halaman.

"Kita kuburkan mereka dulu,” Kata Dewi Manik seperti mengetahui jalan pikiran sahabat suaminya ini.

EMPAT

Cukup banyak desa yang tersebar di sekitar kaki Gunung Puting. Dan di setiap desa, Pranggala selalu menyebar neraka. Hanya saja, dia tidak pernah mengusik penduduk yang tidak tahu apa-apa. Yang dipilihnya hanya orang-orang tertentu saja. Dan mereka yang didatangi, justru masih ada ikatan tali persaudaraan dengan Ki Jaran Jati. Bahkan juga kerabat, serta para sahabatnya. Dan yang lebih mengherankan lagi, mereka semua bertalian saudara dengan Ki Tunggul Santak. Atau paling tidak memiliki hubungan dekat dengan orang tua itu.

Dan Ki Tunggul Santak sendiri jadi semakin geram saja. Malah hadiah yang disediakan ditambahkannya menjadi tiga ribu kepeng emas bagi siapa saja yang bisa membawa kepala Pranggala padanya. Maka mereka yang merasa memiliki kepandaian dan pemburu hadiah, berlomba-lomba memburu Pranggala. Dan ini semakin membuat darah terus berhamburan ke mana-mana. Dan tampaknya, Pranggala juga menyadari kalau dirinya sekarang menjadi buruan. Tindakannya juga semakin liar saja. Lawan yang menantangnya tidak akan dibiarkan hidup. Mereka yang mencoba merebut hadiah dari Ki Tunggul Santak, tidak ada seorang pun yang bisa hidup lagi. Semua tewas di tangannya.

Sementara itu, Ki Jalaksana dan Dewi Manik yang memburu Pranggala karena kepentingan lain, sudah berada di sebelah utara kaki Gunung Puting. Mereka sudah lima hari mengembara, tapi yang ditemui hanya para pemburu hadiah yang terbujur kaku tidak bernyawa lagi.

"Ini sudah hari kelima kita memburunya, Kakang. Tapi jejak anak setan itu tidak juga keli-hatan...," desah Dewi Manik, terdengar mengeluh.

"Pranggala memang pandai menghilangkan jejak Dewi. Namun kemunculannya juga bisa tak terduga. Dia seperti sudah tahu, di mana orang-orang yang memburunya. Bahkan selalu saja dapat menghindari, dan muncul secara tiba-tiba," jelas Ki Jalaksana yang sudah tahu banyak akan gerak Pranggala.

"Hhh...! Kita seperti menyusuri jejak-jejak setan saja, Kakang," desah Dewi Manik, bernada mengeluh lagi.

"Dia memang anak setan, Dewi. Jejak dan ge-rakannya juga seperti setan. Sukar diduga dan diikuti."

"Yaaah.... Aku jadi sangsi, Kakang."

"Kenapa?"

"Aku sangsi akan kemampuan yang kumiliki. Kalau mau, mungkin sejak kemarin-kemarin leherku sudah digorok, Kakang. Tapi anehnya, kenapa dia membiarkanku hidup...?"

"Kau tidak termasuk dalam hitungannya, Dewi. Dia hanya mencari orang-orang tertentu, serta para pengikut dan keturunannya saja. Memang semua para istri tidak ada yang dibunuh."

Tindakannya sangat membingungkan, Kakang. Aku sendiri hampir tidak bisa mempercayai. Dia begitu tampan, dan kata-katanya juga lembut tapi, tindakannya begitu liar dan kejam. Aku semakin tidak mengerti, Kakang...," ujar Dewi Manik lagi.

"Hhh...!"

Ki Jalaksana hanya menghembuskan napas saja. Dia sendiri sebenarnya masih belum bisa memahami gerakan Pranggala. Pemuda itu memang kelihatannya tidak berbahaya sama sekali. Bahkan setiap kali menewaskan lawannya, selalu mengucapkan kata-kata bernada penyesalan. Dan ini sudah beberapa kali Ki Jalaksana memergokinya, tapi baru sekali sempat bertarung. Itu pun Pranggala tidak melayaninya sungguh-sungguh. Bahkan meninggalkannya pergi begitu saja. Sikap pemuda itu sampai sekarang masih membuatnya bertanya-tanya.

"Ayo kita jalan lagi, Dewi," ajak Ki Jalaksana.

Dewi Manik berdiri sambil menarik napas dalam-dalam. Sementara Ki Jalaksana sudah berada di samping kudanya. Mereka kemudian berlompatan naik. Tapi belum juga menggebah kuda, mendadak saja terdengar jeritan panjang melengking tinggi yang bersamaan terdengarnya ledakan dahsyat menggelegar.

"Apa itu...?" tanya Dewi Manik
"Ayo kita lihat...!" seru Ki Jalaksana.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka langsung saja menggebah kudanya dengan kecepatan tinggi. Sehingga, debu dan dedaunan kering beterbangan ke angkasa tersepak kaki-kaki kuda.

********************

Pendekar Rajawali Sakti

Mata Ki Jalaksana dan Dewi Manik jadi terbeliak, begitu melihat seorang pemuda berbaju merah muda tengah mengamuk membabatkan pedangnya pada para pengeroyoknya. Ada sekitar tiga puluh orang mengeroyok pemuda itu. Dan di sekitar pertarungan itu sudah bergelimpangan tubuh-tubuh berlumuran darah.

Tepat di saat Ki Jalaksana dan Dewi Manik datang, pemuda berbaju merah muda yang tidak lain Pranggala itu sudah cepat memutar tubuhnya. Dan tangan kirinya cepat direntang lurus ke samping. Maka seketika itu juga dari telapak tangan kirinya memancar cahaya merah bagai api yang langsung menyebar, menghantam para pengeroyoknya. Akibatnya jeritan-jeritan panjang pun terdengar saling susul.

Tampak mereka yang tersambar cahaya merah itu langsung menggelepar dengan tubuh hangus seperti terbakar. Dan dalam waktu singkat saja, semua pengeroyok sudah bergelimpangan sambil merintih menggelepar meregang nyawa. Namun tidak berapa lama kemudian, mereka semua mengejang kaku. Mati! Sementara Pranggala sendiri berdiri tegak dengan pedang berlumuran darah tergenggam erat di tangan kanan. Sorot matanya terlihat begitu tajam, merayapi mayat-mayat bergelimpangan di sekitarnya.

Cring!

Dengan gerakan indah sekali, Pranggala memasukkan pedangnya di dalam warangka di pinggang. Lalu, kakinya segera melangkah. Namun baru saja terayun beberapa tindak...

"Pranggala, berhenti kau...!"

Ki Jalaksana membentak lantang, disertai pengerahan tenaga dalam.

"Hm...."

Pranggala menghentikan langkahnya. Perlahan tubuhnya berbalik. saat itu, Ki Jalaksana dan Dewi Manik sudah turun dari punggung kuda masing-masing. Mereka melangkah beberapa tindak mendekati, dan baru berhenti setelah tinggal berjarak sekitar dua batang tombak lagi di depan pemuda berwajah tampan yang sorot matanya begitu tajam memancarkan kebengisan.

"Kalian rupanya...," terasa begitu datar dan dingin nada suara Pranggala.

"Tindakanmu sudah keterlaluan, Pranggala. Kau sudah keluar dari tujuanmu!" dengus Ki Jalaksana.

"Aku sama sekali tak menghendaki, Ki Jalaksana. Mereka saja yang sengaja memburuku, karena ingin mendapatkan hadiah dari Ki Tunggul Santak. Seharusnya, bukan aku yang kau temui, Ki Jalaksana. Tapi, sahabatmu itu. Kalau saja dia tidak berbuat macam-macam, tidak akan seperti ini jadinya," tegas Pranggala.

"Apa pun alasanmu, kau sudah menyebarkan neraka di jagat ini!" sentak Ki Jalaksana.

"Jangan menuduh sembarangan, Ki Jalaksana," desis Pranggala merasa tidak senang.

"Kalau kau tidak mau dituduh, kenapa tidak sembunyi saja? Atau kau pergi ke tempat yang jauh dari sini."

"Masih ada satu lagi urusanku di sini, Ki Jalaksana. Dan ini yang terpenting bagiku."

"Aku tahu tujuanmu, Pranggala. Sebaiknya lupakan saja. Kau tidak akan mungkin bisa membunuh Ki Tunggul Santak. Bukankah dia...."

"Cukup...!" bentak Pranggala lantang, sehingga membuat kata-kata Ki Jalaksana terputus.

Sementara, Dewi Manik sudah menggenggam gagang pedang, walaupun belum tercabut dari warangkanya. Wanita itu sendiri sebenarnya sudah tidak sabar lagi, ingin mengepruk pemuda itu. Tapi dia masih bisa menahan diri, dan membiarkan Ki Jalaksana bicara. Ingin diketahuinya, ada apa sebenarnya di balik semua peristiwa berdarah ini.

"Ki Jalaksana! Sudah berulang kali aku memperingatkanmu. Dan kalau peringatanku yang terakhir ini tidak diindahkan, aku tidak segan-segan memasukkanmu ke dalam deretan orang-orang yang harus kulenyapkan!" kata Pranggala lantang menggelegar.

"Aku tidak akan berhenti sampai kau hentikan semua perbuatanmu, Pranggala," tandas Ki Jalaksana.

Pranggala menggeram kecil. Ditatapnya bola mata laki-laki setengah baya ini dengan sorot mata yang begitu tajam menusuk. Dan pandangannya kemudian berpindah pada Dewi Manik, yang diketahuinya istri Ki Jaran Jati. Kini tatapan matanya pun kembali beralih pada Ki Jalaksana.

"Ini peringatanku yang terakhir, Ki Jalaksana. Kalau tidak cepat pergi dari sini, aku tidak segan-segan memperlakukanmu seperti mereka...!" tegas Pranggala.

"Gertakanmu tidak akan bisa membuatku mundur selangkah pun, Pranggala."

"Jangan memaksaku, Ki Jalaksana."

"Tapi kau sudah memaksaku, Pranggala. Kau memaksaku untuk bertindak."

Pranggala kembali menggeram. Dari raut wajahnya yang memerah, jelas sekali kalau pemuda itu berusaha menahan kemarahan. Sedangkan Ki Jalaksana sudah melangkah lagi beberapa tindak. Sementara, Dewi Manik tetap berada di belakangnya. Perlahan pedangnya dicabut, bersamaan dengan tercabutnya pedang Ki Jalaksana dari warangka. Saat itu, Pranggala sudah tidak dapat lagi menahan kesabaran, melihat senjata dua orang di depannya sudah tercabut dari warangka. Perlahan pedangnya diangkat, hingga lurus sejajar dada dan tertuju langsung ke dada Ki Jalaksana.

"Kuharap, jangan menyesali tindakanmu yang bodoh, Ki Jalaksana," desis Pranggala dingin menggetarkan.

"Hari ini aku akan mengadu nyawa denganmu, Pranggala," sambut Ki Jalaksana tidak kalah dinginnya.

Lagi-lagi Pranggala menggeram kecil.

"Tahan seranganku, Pranggala! Hiyaaat...!"

Bet!

Bagaikan kilat Ki Jalaksana melompat sambil membabatkan pedang ke arah leher pemuda itu. Tapi hanya bergerak sedikit saja, Pranggala berhasil menghindari sabetan pedang itu. Lalu dengan cepat kakinya ditarik ke belakang dua langkah, sebelum Ki Jalaksana melancarkan serangan lagi. Saat itu juga, pedangnya dikebutkan lurus ke depan.

Wuk!
"Haiiit..!"

Ki Jalaksana cepat-cepat melenting dan berputar ke belakang, menghindari serangan balasan Pranggala. Dan begitu kakinya menjejak kembali di tanah, tubuhnya langsung melesat dengan pedang berputaran cepat mengincar bagian-bagian tubuh yang mematikan.

"Hap! Hiyaaa...!"

Begitu gencar serangan yang dilancarkan Ki Jalaksana, membuat Pranggala terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Dan beberapa kali pula pedang mereka berbenturan. Meskipun setiap kali terjadi benturan senjata Ki Jalaksana merasakan tangannya jadi bergetar, tapi tidak dipedulikan lagi. Dan memang disadari tingkat pengerahan tenaga dalam yang dimilikinya masih kalah dari pemuda ini. Namun tetap saja serangan-serangan gencar yang cepat dan beruntun dilancarkannya, membuat Pranggala tidak memiliki kesempatan balas menyerang. Dan pemuda itu hanya bisa berlompatan, berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang dengan gencar dan cepat ini.

Pertarungan antara Ki Jalaksana dan Pranggala memang berlangsung sengit. Dan mereka bertarung menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi yang begitu dahsyat. Gerakan-gerakan yang dilakukan juga begitu cepat, hingga sulit diikuti pandangan mata biasa. Sementara, Dewi Manik yang menyaksikan pertarungan itu jadi cemas juga. Sudah lebih dari sepuluh jurus pertarungan berlangsung, tapi Ki Jalaksana belum juga mampu mendesak. Bahkan serangan balasan yang dilancarkan Pranggala beberapa kali membuat Ki Jalaksana jadi kelabakan.

"Lepas...!"

Tiba-tiba saja Pranggala berseru keras mengejutkan. Dan seketika itu juga, pedangnya cepat dikebutkan untuk sengaja diadu dengan pedang Ki Jalaksana. Begitu cepat putaran pedangnya, sehingga Ki Jalaksana tidak sempat lagi menghindari pedangnya yang saat ini tengah menjulur ke depan. Hingga....

Trang!
"Ikh...!"

Ki Jalaksana jadi terpekik, begitu pedangnya tersambar pedang Pranggala. Begitu keras benturan tadi, hingga laki-laki setengah baya itu tidak dapat lagi menahan pedangnya hingga lepas dari genggaman. Dan saat itu juga, tangannya terasa jadi bergetar panas. Sementara, pedangnya sudah melambung tinggi ke angkasa.

"Hiyaaa...!"

Ki Jalaksana langsung melesat tinggi ke udara, hendak meraih pedangnya kembali. Tapi pada saat itu juga, Pranggala sudah melenting ke atas juga. Dan dengan kecepatan bagai kilat dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek dengan tangan kiri, yang disusul sabetan pedang ke arah perut.

"Haiiit..!"

Namun Ki Jalaksana masih bisa menghindari pukulan itu. Dan matanya jadi terbeliak, karena tidak menyangka kalau Pranggala bisa mengebutkan pedangnya begitu cepat bagai kilat. Akibatnya, dia tidak sempat lagi menghindar. Dan....

Cras!
"Aaakh...!"
Bruk!

Keras sekali Ki Jalaksana ambruk, terbanting ke tanah dengan bagian perut robek mengeluarkan darah.

Kakang...!" jerit Dewi Manik.

Wanita itu jadi tersentak kaget setengah mati, melihat Ki Jalaksana menggelepar di tanah sambil memegangi perutnya yang sobek berlumuran darah. Tanpa menunggu waktu lagi, segera tubuhnya melesat mengejar Pranggala yang baru saja menjejakkan kakinya kembali di tanah. Cepat sekali pedangnya dicabut dan langsung dibabatkan ke kepala pemuda itu.

"Kubunuh kau, Setan Keparat! Hiyaaat...!"
Bet!
"Hap!"

Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepala, tebasan pedang Dewi Manik tidak sampai mengenai kepala Pranggala. Lalu dengan gerakan manis sekali, Pranggala menarik kakinya ke belakang satu langkah. Dan seketika itu juga kaki kirinya cepat dihentakkan ke depan, sambil memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri.

"Yeaaah...!"

Begitu cepat dan sama sekali tidak terduga tendangan yang dilepaskan Pranggala, membuat tubuh Dewi Manik sama sekali tidak dapat lagi menghindarinya. Hingga....

Des!
"Akh...!"

Dewi Manik jadi terpekik, begitu tendangan yang cukup keras ini mendarat tepat di dadanya. Wanita itu terpental ke belakang sejauh lima langkah, namun cepat bisa menguasai keseimbangan. Dan dengan cepat, dia kembali melompat sambil menebaskan pedang ke arah dada.

"Hiyaaat...!"
Wut!
"Haiiit..!"

Pranggala cepat menarik tubuhnya ke belakang, sehingga ujung pedang Dewi Manik hanya lewat sedikit di depan dadanya. Dan saat itu juga, tangannya dijulurkan ke depan, mencoba melum-puhkan wanita ini dengan totokan. Tapi gerakan tangan yang lembut itu bisa diketahui Dewi Manik. Maka cepat-cepat pedangnya ditarik, dan langsung dikibaskan menyilang ke depan dada.

"Ups...!"

Pranggala agak terkejut juga melihat tindakan wanita ini. Maka cepat tangannya ditarik kembali, dengan kaki bergeser ke kanan sedikit. Lalu begitu tubuhnya doyong ke kiri, cepat sekali kaki kanannya menghentak ke depan, tepat mengarah ke dada wanita lawannya ini.

"Hap!"

Dewi Manik kembali menebaskan pedangnya secara berputar ke depan dada, membuat Pranggala terpaksa harus menarik pulang serangannya. Dan begitu kedua kakinya menjejak tanah, Dewi Manik sudah cepat mengebutkan pedangnya lagi ke arah perut sambil meliuk dengan gerakan indah sekali.

"Hap!"

Tapi tanpa diduga sama sekali, Pranggala tidak berusaha menghindar sedikit pun juga. Bahkan tanpa diduga telapak tangannya dirapatkan di depan perut, tepat di saat ujung pedang Dewi Manik berada di depan perutnya. Dan....

Tap!
"Ikh...!"

Dewi Manik jadi tersentak kaget, begitu ujung pedangnya terjepit kedua telapak tangan Pranggala. Segera pedangnya ditarik, tapi sedikit pun tidak bergerak. Bahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya sudah dikerahkan, membetot pedang yang terjepit di kedua telapak tangan lawannya ini. Tapi, tetap saja senjata itu sedikit pun tidak bergerak.

"Setan keparat! Hih! Yeaaah...!"

Dengan perasaan mendongkol, Dewi Manik langsung melenting ke atas. Dan saat itu juga, dilepaskannya satu tendangan keras yang mengarah ke kepala pemuda ini. Namun tanpa diduga sama sekali, Pranggala justru menghentakkan tangannya yang menjepit ujung pedang, hingga membuat Dewi Manik jadi tersentak setengah mati.

Dan belum juga hilang rasa keterkejutan Dewi Manik, mendadak saja Pranggala sudah melepaskan jepitan pada ujung pedang. Lalu begitu cepat tangan kanannya menghentak ke depan, tepat ke dada wanita ini. Saking cepatnya sentakan itu, sehingga Dewi Manik tidak sempat lagi menghindarinya. Dan...

Des!
"Akh...!"

Kembali Dewi Manik terpekik, begitu telapak tangan Pranggala menghantam keras dadanya. Akibatnya, tubuhnya terpental jauh ke belakang sejauh satu batang tombak. Dan saat itu juga, Pranggala sudah melesat cepat bagai kilat mengejar wanita ini. Bahkan sebelum tubuh Dewi Manik bisa menyentuh tanah, Pranggala sudah melepaskan satu tendangan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu deras tendangan itu, hingga sudah dapat dipastikan tubuh Dewi Manik pasti bakal hancur! Tapi sedikit lagi saja telapak kaki Pranggala menghantam tubuh wanita ini, mendadak...

Slap!
Plak!
"Ikh...?!"

Pranggala jadi tersentak kaget, karena tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan putih melesat begitu cepat memotong arus serangannya. Dan seketika itu juga, terasa ada sesuatu yang sangat keras menghantam kakinya. Akibatnya, dia jadi terpekik kaget, dan cepat-cepat melenting ke belakang. Tiga kali Pranggala melakukan putaran, lalu manis sekali kembali menjejakkan kakinya di tanah. Saat itu juga, kedua bola matanya jadi mendelik lebar. Ternyata sekitar dua batang tombak di depannya sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan, tengah memondong tubuh Dewi Manik yang tampaknya sudah tidak sadarkan diri lagi.

Pemuda berwajah tampan bertubuh tegap berotot dan berbaju putih tanpa lengan itu meletakkan tubuh Dewi Manik di atas tanah yang cukup teduh dan aman. Kemudian dia. berdiri lagi, menghadapi Pranggala. Namun, pandangannya tertuju pada Ki Jalaksana yang masih tergeletak dengan darah mengucur cukup deras dari perutnya yang sobek. Pemuda itu menghampiri laki-laki berusia setengah baya ini. Sebentar diperiksanya laki-laki itu, lalu diberikannya beberapa totokan di sekitar perut yang sobek. Seketika itu juga darah berhenti mengalir keluar. Dan, pemuda itu kembali berdiri tegak menghadapi Pranggala.

"Setan! Siapa kau...?!" bentak Pranggala gusar.

LIMA

"Kau yang membunuh mereka semua...?" pemuda berbaju rompi putih itu malah balik bertanya, dengan suara terdengar agak dingin.

"Merekalah yang cari mampus sendiri!" sahut Pranggala, ketus.

"Hebat sekali kepandaianmu, Kisanak Tapi sayang, digunakan untuk membantai sesamamu."

"Phuih! Apa urusanmu, heh...?! Atau kau juga tertarik oleh hadiah yang disediakan Ki Tunggul Santak untuk membawa kepalaku...? Kalau memang itu kemauanmu, ayo maju saja sekalian. Biar kukirim kau sekalian ke neraka!" dengus Pranggala lantang.

Tapi, pemuda berwajah tampan dan berkulit putih bersih yang terbungkus baju rompi putih itu hanya diam saja. Hanya saja matanya memandang dengan sorot mata tajam, menembus langsung ke bola mata Pranggala. Dan perlahan kakinya melangkah beberapa tindak ke depan, hingga jaraknya tinggal sekitar tujuh langkah lagi. Sementara, Pranggala sudah menyilangkan pedangnya di depan dada. Sorot matanya juga memancar begitu tajam, membalas tatapan mata pemuda berbaju rompi putih yang sama sekali tidak dikenalnya ini

Belum lagi mereka ada yang membuka suara terdengar suara langkah kaki-kaki kuda menuju tempat ini. Dan tidak lama kemudian terlihat seorang gadis cantik menunggang kuda putih sambil menuntun seekor kuda hitam yang melangkah belakang, tanpa penunggang. Gadis itu langsung melompat turun dari punggung kuda. Langsung dihampirinya pemuda berbaju rompi putih yang menyandang sebilah pedang bergagang kepala burung di punggung.

Gadis berwajah cantik berbaju biru muda itu lalu berdiri di sebelah kanan pemuda berbaju rompi putih ini. Pedangnya yang bergagang kepala naga berwarna hitam tampak menyembul di balik punggung. Sementara sebuah kipas putih keperakan tampak terselip di balik ikat pinggangnya. Saat itu, Pranggala hanya memperhatikan saja dengan sinar mata masih menyorot tajam menusuk.

"Kau urus mereka yang masih hidup, Pandan, ujar pemuda itu tanpa berpaling sedikit pun juga.

"Berapa orang?" tanya gadis cantik berbaju biru yang dipanggil Pandan ini

Memang, gadis cantik itu adalah Pandan Wangi. Di kalangan rimba persilatan, dia lebih dikenal sebagai si Kipas Maut. Sedangkan pemuda berbajui rompi putih yang menyelamatkan nyawa Dewi Manik ini tidak lain dari Rangga, yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.

"Dua. Satu wanita, dan satu lagi laki-laki yang berada di bawah pohon itu," sahut Rangga sambil menunjuk Ki Jalaksana.

Tanpa bertanya lagi, Pandan Wangi bergegas menghampiri Dewi Manik, satu-satunya wanita yang ada di tempat ini. Sebentar diperiksanya luka-luka yang diderita Dewi Manik. Dan wanita itu sempat mengatakan sesuatu pada si Kipas Maut. Setelah membawa Dewi Manik ke tempat yang lebih baik, Pandan Wangi bergegas menghampiri Ki Jalaksana. Keningnya seketika berkerut melihat luka dan keadaan tubuh laki-laki berusia setengah baya ini.

"Aku tidak tahu siapa dirimu, Kisanak. Tapi aku tahu, kaulah yang membantai mereka semua. Hhh...! Tindakanmu sungguh kejam. Tidak seharusnya mereka semua dibunuh," kata Rangga menyesali tindakan Pranggala yang membantai habis setiap lawannya.

"Hhh! Sudah kuduga.... Kau pasti sama seperti yang lain. Gampang tergiur oleh hadiah yang dijanjikan Ki Tunggul Santak. Baik! Aku tidak bakal menyingkir. Bahkan ingin bertemu langsung dengannya. Akan kulumat dia sampai habis, tidak bersisa lagi. Dan kalau kau mau mencoba, silakan. Dengan senang hati akan kulayani," kata Pranggala, agak datar nada suaranya.

"Sadarlah, Kisanak. Tidak ada gunanya mengumbar nafsu dan amarah dengan menyebarkan maut di mana-mana. Semua yang kau lakukan hanya menyulitkan dirimu saja. Percayalah. Semua persoalan pasti bisa diselesaikan secara baik-baik. Tidak harus dengan pertumpahan darah," kata Rangga mencoba lembut. "Sedangkan untuk mengetahui siapa yang salah dan siapa yang benar, nanti akar diketahui. Dan sebaiknya, hentikanlah semua pembantaian ini. Tidak ada gunanya lagi bagimu terus-menerus membantai sesama manusia.

"Sudah! Aku tidak perlu nasihatmu...!" bentak Pranggala sengit.

"Aku tidak menasihatimu, Kisanak. Aku hanya...."

"Cukup...!"

Rangga langsung berhenti, begitu Pranggala membentaknya dengan suara keras menggelegar. Tampak raut wajah pemuda itu jadi memerah. Sedangkan kedua bola matanya berapi-api, menatap langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Dan untuk beberapa saat mereka jadi terdiam, saling berpandangan dengan sorot mata tajam. Seakan-akan, tengah mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki masing-masing.

"Aku tidak mengenalmu, Kisanak. Sebaiknya jangan ikut campur urusanku. Sebelum pikiranku berubah, sebaiknya segeralah menyingkir dari sini. Daripada nanti kepalamu kupecahkan," terasa begitu dingin nada suara Pranggala.

Rangga jadi tercenung juga mendengar kata-kata bernada ancaman itu. Dan dari sorot matanya, Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau Pranggala tidak main-main. Sementara Pandan Wangi yang sejak tadi mendengar percakapan itu, sudah langsung gemas. Dia bangkit berdiri dan hendak meninggalkan Ki Jalaksana. Tapi belum juga kakinya terayun, Ki Jalaksana sudah mencegahnya.

"Sebaiknya kalian pergi saja. Dia bukan manusia lagi. Kalian hanya akan mengantarkan nyawa saja berurusan dengannya," lemah sekali suara Ki Jalaksana.

Kening Pandan Wangi jadi berkerut juga, mendengar kata-kata orang tua itu. Sebentar dipandanginya wajah Ki Jalaksana yang semakin kelihatan memucat. Kemudian pandangannya beralih pada Rangga yang masih berdiri berhadapan dengan Pranggala. Sementara itu, terlihat Pranggala sudah menyilangkan pedang kembali di depan dada. Sorot matanya sangat tajam, seakan hendak merobek jantung melalui kedua bola

mata Rangga yang juga menatap tidak kalah tajam.

"Turuti saja kata-kataku, Nisanak. Ajak temanmu pergi dari sini," ujar Ki Jalaksana lagi sambil terbatuk kecil.

Darah kembali keluar dari rongga mulut laki-laki setengah baya itu. Sementara Pandan Wangi kelihatan jadi bimbang. Tapi begitu mengalihkan pandangan pada Ki Jalaksana lagi, mendadak saja terdengar teriakan keras menggelegar yang begitu mengejutkan. Cepat Pandan Wangi memalingkan wajahnya. Saat itu tampak Pranggala sudah melesat menyerang Rangga dengan kecepatan tinggi. Pedangnya dikebutkan begitu cepat mengarah ke kepala PendekarRajawali Sakti.

Wut! br/> "Haps...!"

Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepala Pendekar Rajawali Sakti bisa menghindari serangan pedang Pranggala.Lalu cepat kakinya ditarik belakang dua langkah. Namun pada saat yang bersamaan, Pranggala sudah memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri. Dan saat itu juga, kaki kanannya melayang deras mengarahke dada.

"Haiiit..!"

Rangga agak terkejut juga mendapatkan serangan yang demikian cepat dan beruntun ini. Maka cepat tubuhnya dimiringkan ke kiri, menghindari tendangan menggeledek yang dilepaskan Pranggala. Lalu begitu cepat tangan kanannya dihentakkan, tepat menghantam tulang kering kaki Pranggala yang menjulur lurus, lewat di samping tubuhnya. Begitu cepat sekali sentakan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Pranggala tidak sempat lagi menghindarinya. Dan....

Plak!
"Ikh...!"

Pranggala jadi terpekik kecil. Cepat-cepat kakinya ditarik, dan melompat ke belakang. Untung saja Rangga tidak mengerahkan tenaga dalam pada pukulannya. Sehingga, Pranggala hanya meringis sedikit merasakan nyeri pada tulang kakinya.

Pranggala tadi memang terlalu menganggap enteng pemuda berbaju rompi putih ini, hingga sempat kecolongan. Dan untung saja pukulan Pendekar Rajawali Sakti barusan tidak disertai pengerahan tenaga dalam, sehingga tulang kakinya tidak sampai remuk. Saat itu juga, Pranggala cepat menyadari kalau lawan yang dihadapinya sekarang ini tidak seperti lawan-lawannya terdahulu. Nyatanya, pemuda berbaju rompi putih itu memiliki kemampuan tinggi. Ini bisa dilihat dari gerakannya yang begitu cepat, saat menghindari serangannya tadi. Bahkan Pranggala sama sekali tidak bisa melihat gerakan tangan pemuda berbaju rompi putih itu, yang begitu cepat menghantam tulang kering kaki kanannya tadi.

"Phuih! Rupanya kau punya kepandaian juga, heh...?!" dengus Pranggala seraya menyemburkan ludah dengan sengit.

Rangga hanya diam saja. Namun matanya terus memperhatikan gerakan kaki Pranggala yang menggeser ke kanan menyusuri tanah. Sedangkan pedang pemuda itu bergerak-gerak melintang di depan dada. Sementara, Pandan Wangi yang di samping Ki Jalaksana tanpa berkedip memperhatikan kedua pemuda yang berdiri saling berhadapan itu. Sedangkan Ki Jalaksana yang masih baring dengan wajah semakin memucat beberapa kali terbatuk disertai semburan darah dari mulutnya.

"Nisanak... Dengarkan aku.... Ugkh!"

Perhatian Pandan Wangi jadi beralih. Ditatapnya Ki Jalaksana yang berusaha bangkit, tapi kembali roboh dan menggeletak di tanah. Darah kental berwarna kehitaman menyembur dari mulutnya. Cepat-cepat Pandan Wangi mendekati, dan berlutut di sampingnya.

"Nisanak dia bernama Pranggala. Dia sudah banyak membunuh orang. Tidak sedikit pendekar tangguh mati di tangannya. Sebaiknya, cepatlah pergi. Dan jangan berurusan dengannya. Kau akan mati, Nisanak..," kata Ki Jalaksana terbata-bata.

"Siapa dia sebenarnya, Ki?" tanya Pandan Wangi.

Saat itu, pertarungan antara Pranggala dan Pendekar Rajawali Sakti sudah berlangsung sengit. Tapi, Pandan Wangi tidak mempunyai kesempatan untuk memperhatikan. Karena, perhatiannya kini tercurah penuh pada Ki Jalaksana yang semakin memucat wajahnya. Bahkan tarikan napasnya juga sudah tersendat-sendat. Beberapa kali Ki Jalaksa terbatuk dan menyemburkan darah kental berwarna agak kehitaman.

"Tidak ada seorang pun yang tahu siapa dia dan dari mana asalnya. Tapi...," kata-kata Ki jalaksana terputus. Kembali laki-laki setengah baya itu terbatuk beberapa kali dengan darah terus berhamburan dari mulutnya.

"Tapi kenapa, Ki?" tanya Pandan Wangi mendesak.

"Ki Tunggul Santak..."
"Siapa...?"

"Ki Tunggul Santak. Dialah yang menyediakan hadiah tiga ribu kepeng emas untuk kepala anak itu.... Ugkh...!"

"Ki...."

Pandan Wangi mengguncang bahu Ki Jalaksana. Tapi, laki-laki berusia setengah baya itu sudah mengejang, lalu terkulai tidak bernyawa lagi. Memang sangat parah luka yang dideritanya. Pandan Wangi hanya bisa menarik napas sedikit. Dan perhatiannya langsung beralih pada Dewi Manik. Bergegas dihampirinya wanita itu. Tapi gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu juga jadi terperanjat karena Dewi Manik juga sudah tidak bernyawa lagi.

"Hm.... Aku harus segera memberi tahu Kakang Rangga. Aku yakin, pemuda itu sangat berbahaya," gumam Pandan Wangi.

Lalu si Kipas Maut itu segera melangkah cepat menghampiri Rangga yang masih bertarung sengit melawan Pranggala. Tapi ayunan kakinya jadi terhenti, begitu melihat pertarungan kedua pemuda itu sepertinya tidak mungkin dihentikan begitu saja. Bahkan kalau Pendekar Rajawali Sakti dipanggil, bisa berbahaya akibatnya. Bisa-bisa pemuda berbaju rompi putih ini akan celaka. Kini Panda Wangi jadi kebingungan sendiri, tidak tahu bagaimana cara menghentikan pertarungan. Dan dia jadi berdiri mematung memperhatikan tanpa berkedip sedikit pun juga.

Sementara pertarungan antara Pranggala melawan Pendekar Rajawali Sakti terus berlangsung semakin sengit. Entah sudah berapa jurus berlalu tapi tampaknya tidak akan cepat-cepat berakhir. Kini mereka sudah sama-sama saling melontarkan serangan-serangan dahsyat yang sangat berbahaya. Sedikit saja kelengahan, akan sangat berbahaya akibatnya.

Saat itu, terlihat Rangga melentingkan tubuhnya ke atas, hingga melewati kepala lawannya. Dan dengan gerakan cepat sekali, tubuhnya menukik dengan kedua kaki berputar cepat mengarah ke kepala Pranggala. Begitu cepatnya gerakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti, membuat Pranggala jadi tersentak.

"Haiiit..!"
Wut!

Tapi Pranggala bisa cepat menguasai keadaan. Maka bagai kilat pedangnya dikebutkan ke atas kepala, hingga membuat Rangga terpaksa harus menarik kakinya kembali. Dan saat itu juga, tubuhnya terbalik, hingga kepalanya berada di bawah. Tepat di saat jangkauan tangannya berada di depan dada, secepat kilat tangan kanannya dihentakkan, melepaskan satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

"Yeaaah...!"

Begitu cepatnya gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Pranggala yang baru saja bisa menghindari terjangan kakinya, jadi terbeliak kaget setengah mati. Dan pemuda itu berusaha berkelit menghindarinya, tapi tanpa diduga Rangga merangkum jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Akibatnya, tangannya bisa berputar begitu cepat mengibas mengikuti gerakan tubuh Pranggala. Apalagi, gerakan Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak diduga. Hingga....

Diegkh!
"Akh...!"

Begitu keras kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Pranggala terpental sampai sejauh dua batang tombak. Dan tubuhnya jatuh menghantam tanah dengan keras, membuat pemuda itu kembali terpekik. Sementara, Rangga sudah kembali berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

"Phuih!"

Sambil menyemburkan ludah dengan sengit, Pranggala kembali bangkit berdiri. Dadanya terasa begitu sesak. Dan napasnya juga jadi tersengal, bagai ada sebongkah batu yang mengganjal rongga dadanya. Sedikit kepalanya menggeleng, mencoba mengusir rasa pening di kepala, yang membuat pandangannya jadi berkunang-kunang.

"Belum pernah ada seorang pun yang membuatku jatuh. Hhh!" Bisik dalam hati Pranggala.

Sorot mata Pranggala terlihat begitu tajam menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada, sejauh dua batang tombak.

"Kepandaianmu luar biasa, Kisanak. Tapi sayang, aku tidak ada waktu untuk terus meladenimu. Masih ada urusanku yang belum selesai. Kelak, akan bertemu lagi," kata Pranggala masih dengar suara yang terdengar dingin.

"Hm...."

Rangga hanya menggumam sedikit saja, melihat Pranggala memutar tubuhnya. Dan dengar kecepatan bagai kilat, pemuda itu melesat pergi. Begitu tinggi tingkat ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga dalam sekejap saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara Rangga masih tetap berdiri tegak memandang ke arah lenyapnya Pranggala.

Pendekar Rajawali Sakti baru memutar tubuhnya, begitu mendengar suara langkah-langkah kaki yang begitu ringan menghampiri. Ternyata itu langkah Pandan Wangi. Gadis itu berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi di depan pemuda berbaju rompi putih ini.

"Kenapa dia kau biarkan pergi, Kakang? Padahal, kau bisa saja membunuhnya tadi," kata Pandan Wangi langsung, seperti menyesali sikap Rangga yang membiarkan Pranggala pergi begitu saja.

"Tidak ada alasan untuk membunuhnya, Pandan," sahut Rangga kalem.

"Tidak ada alasan katamu...?" Pandan Wangi jadi mendelik. "Lihat mayat-mayat ini! Dialah yang membantainya, Kakang. Apa alasan itu belum cukup...?"

"Aku tidak tahu siapa mereka semua, Pandan."

"Aku tahu," selak Pandan Wangi cepat.

Kening Rangga jadi berkerut. Dipandanginya wajah cantik itu dalam-dalam. Dan yang dipandangi malah membalasnya dengan sorot mata tajam. Untuk beberapa saat, mereka terdiam saling berpandangan.

"Kalau pemuda tadi namanya Pranggala. Sudah banyak yang mati di tangannya. Bahkan tidak sedikit pendekar yang mati. Dan mereka ini...," Pandan Wangi penunjuk mayat-mayat yang bergelimpangan termasuk mayat Dewi Manik dan Ki Jalaksana. "Mereka semua hendak menangkap pemuda itu, Kakang."

"Dari mana kau tahu semua itu, Pandan?" tanya Rangga agak heran juga.

"Laki-laki itu yang mengatakannya padaku sebelum dia mati," sahut Pandan Wangi seraya menunjuk mayat Ki Jalaksana.

Rangga hanya melirik saja sedikit. Walaupun tidak memeriksa, dia juga sudah tahu kalau orang yang ditunjuk Pandan Wangi sudah tidak bernyawa lagi.

"Juga wanita itu, Kakang. Sebelum meninggal, dia sempat mengatakan kalau Pranggala itu iblis pembunuh yang harus dilenyapkan. Bahkan akan membunuh siapa saja yang dijumpainya. Apalagi, kepandaiannya juga sangat tinggi. Begitu berbahayanya, sampai-sampai Ki Tunggul Santak mengeluarkan hadiah tiga ribu kepeng emas untuk kepalanya," sambung Pandan Wangi, menjelaskan lagi.

"Siapa itu Ki Tunggul Santak?" tanya Rangga jadi semakin heran.

"Aku sendiri tidak tahu. Mereka tidak sempat mengatakan lebih jelas lagi. Luka yang mereka derita sangat parah, Kakang. Dan aku tidak bisa lagi menolong," sahut Pandan Wangi. "Tapi wanita itu sempat mengatakan, jika kita mau bertemu Ki Tunggul Santak, tempat tinggalnya tidak jauh dari sini. Dan katanya lagi, sekarang Ki Tunggul Santak sedang berada di sekitar Desa Salak Rejeng. Hanya saja tepatnya tidak tahu."

"Desa Salak Rejeng ada di kaki Gunung Puting ini," terdengar bergumam suara Rangga.

"Sebaiknya, kita ke sana saja, Kakang," kata Pandan Wangi cepat memberi saran.

"Untuk apa?" tanya Rangga.

"Mencari tahu, siapa sebenarnya Pranggala itu. Kalau memang sangat berbahaya, rasanya tidak mungkin kita berdiam diri saja, Kakang. Dan kalau kupikir, mustahil Ki Tunggul Santak sudi mengeluarkan hadiah begitu besar untuk kepala Pranggala. Jadi jelas, pemuda itu memang berbahaya," kata Pandan Wangi lagi.

Rangga jadi terdiam merenung. Kakinya lalu terayun menghampiri dua ekor kuda yang berada tidak seberapa jauh dari tempat mereka berdua berdiri. Pandan Wangi memandangi sebentar, lalu bergegas menyusul. Mereka memegangi tali kekang kuda masing-masing, tapi belum juga beranjak pergi dari tempat ini. Sementara angin yang bertiup perlahan, mulai menyebarkan bau anyir darah yang mengalir dari tubuh-tubuh bergelimpangan tak bernyawa lagi di sekitar tempat ini. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti merayapi tubuh-tubuh yang bergelimpangan saling tumpang tindih itu.

"Hup!"

Dengan gerakan ringan dan indah sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung kuda hitamnya yang dikenal bernama Dewa Bayu. Pandan Wangi bergegas mengikuti, naik ke punggung kuda putih tunggangannya. Tapi, mereka belum juga menggebahnya. Entah apa yang ada dalam benak Rangga, hingga seperti merenung memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan menyebarkan bau anyir darah.

"Tidak lama lagi malam akan tiba, Kakang. Kau mau bermalam di sini?" Pandan Wangi mengingatkan.

"Hanya Desa Salak Rejeng yang terdekat dari sini, Pandan," kata Rangga pelan, seperti bicara pada diri sendiri.

"Tidak ada salahnya kita ke sana, Kakang."

Rangga hanya tersenyum saja sedikit, kemudian mendecak. Tali kekang kudanya segera dihentakkan. Maka kuda hitam bernama Dewa Bayu itu melangkah perlahan-lahan. Sementara Pandan Wangi mengikuti dari samping kiri Pendekar Rajawali Sakti. Mereka terus menjalankan kuda perlahan-lahan, meninggalkan tubuh-tubuh yang bergelimpangan saling tumpang tindih tidak bernyawa lagi.

Saat itu, matahari memang sudah condong ke arah barat. Cahayanya tidak lagi terik. Dan angin yang bertiup sudah mulai terasa dingin. Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu terus menjalankan kuda perlahan-lahan menuju Desa Salak Rejeng yang tidak jauh lagi jaraknya.

********************

ENAM

Tidak terlalu sulit untuk mencari tempat tinggal Ki Tunggul Santak. Dengan pengumuman hadiah tiga ribu kepeng emas bagi siapa saja yang berhasil membawa kepala Pranggala kepadanya yang disebarkan, semua orang di Desa Salak Rejeng ini sudah mengenal Ki Tunggul Santak. Bahkan hanya sekali saja Rangga bertanya, maka orang yang ditanya langsung mengantarkan sampai ke depan rumahnya.

Rumah Ki Tunggul Santak memang tidak begitu besar, tapi memiliki halaman cukup luas. Dan sebenarnya rumah itu hanya disewa Ki Tunggul Santak, selama belum ada seorang pun yang mampu membawa kepala Pranggala padanya. Bukan hanya Rangga saja yang merasa heran, karena rumah itu dijaga ketat puluhan anak-anak muda bersenjata pedang dan golok. Tapi, Pandan Wangi juga jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Entah dari mana Ki Tunggul Santak bisa mengumpulkan mereka. Padahal, muridnya sendiri sudah tinggal sedikit. Tapi sekarang, rumah sewa yang kini menjadi tempat tinggal sementara dijaga ketat. Entah berapa puluh orang yang menjaga di sekeliling rumah itu.

Rangga langsung melompat turun dari punggung kudanya, begitu tiba di depan pintu pagar bambu yang mengelilingi rumah kecil dan sederhana bentuknya itu. Terlihat tiga orang anak muda yang semuanya menyandang pedang di pinggang menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Pandan Wangi juga segera turun dari punggung kudanya. Mereka menunggu tiga orang murid Ki Tunggul Santak itu sampai dekat.

"Maaf, apakah ini tempat tinggal Ki Tunggul Santak?" tanya Rangga langsung, setelah memberi salam.

"Benar," sahut salah seorang anak muda itu. "Kalian siapa, dan apa keperluannya hingga ingin bertemu Ki Tunggul...?"

"Kami hanya dua orang pengembara, yang mendengar kalau Ki Tunggul Santak menyediakan hadiah besar bagi siapa saja yang bisa membawa kepala Pranggala. Kami berdua merasa tertarik, dan ingin meminta keterangan sebelum mencari orang yang kepalanya disayembarakan itu," sahut Rangga beralasan.

"Ikut aku," kata pemuda itu lagi, seraya berbalik.

Pendekar Rajawali Sakti mengangguk, lalu melangkah mengikuti. Sementara Pandan Wangi juga ikut melangkah di samping kanannya. Tapi begitu mereka sampai di tengah halaman, dua orang pemuda mencegatnya.

"Biar kami yang mengurus kuda-kuda kalian," pinta salah seorang.

Rangga tersenyum, lalu menyerahkan tali kekang kudanya pada salah seorang dari mereka. Pandan Wangi juga menyerahkan kudanya. Kinimereka kembali melangkah mengikuti pemuda yang sejak tadi terus berjalan di depan. Kemudian pendekar muda dari Karang Setra itu kemudian disuruh menunggu, setelah tiba di beranda depan rumah yang kecil dan sederhana ini. Sementara, pemuda yang membawanya sudah menghilang ke dalam. Tapi tidak berapa lama, dia muncul lagi bersama seorang laki-laki tua berjubah putih bersih, dengan sebilah pedang tergenggam di tangan kiri. Sarung pedang itu terlihat indah berwarna hitam yang berkilat.

"Silakan duduk," ucap laki-laki tua yang tidak lain Ki Tunggul Santak, dengan senyum ramah tersungging di bibirnya.

"Terima kasih," ucap Rangga.

Mereka bertiga kemudian duduk di lantai beranda depan yang beralaskan selembar tikar lusuh. Sementara, anak muda yang mengantarkan kedua pendekar itu sudah menghilang lagi entah ke mana.

"Kudengar kalian ingin bertemu denganku...?" tanya Ki Tunggul Santak masih ramah sikapnya.

"Benar," sahut Rangga. "Kami ingin bertemu orang yang bernama Ki Tunggul Santak."

"Akulah Ki Tunggul Santak."
"Ooo...."

"Dan kalian dua orang pendekar yang ingin mengadu nasib?" tanya Ki Tunggul Santak ingin memastikan.

"Benar, Ki," sahut Rangga lagi seraya mengangguk sedikit.

"Ketahuilah. Orang yang akan kalian kejar memiliki kepandaian tinggi sekali dan sukar ditandingi. Sudah banyak pendekar seperti kalian, baik muda maupun tua yang mencoba mengadu nasib. Tapi sampai sekarang, yang kudengar hanya kematian mereka saja. Tidak seorang pun yang sanggup menandingi kesaktian Pranggala. Maaf, bukannya ingin menggentarkan dan menghilangkan semangat kalian berdua. Paling tidak kalian harus siap, kalau orang yang akan dihadapi tidak sembarangan," kata Ki Tunggul Santak langsung menjelaskan.

"Kami tahu, Ki," ujar Rangga kembali tersenyum sedikit.

"Ya, aku percaya. Kalian pasti sudah mendengar banyak dari orang-orang. Aku memang menyebar pengumuman itu, tidak hanya di Desa Salak Rejeng ini. Tapi di seluruh desa yang ada di sekitar kaki Gunung Puting ini."

"Mudah-mudahan nasib kami baik, Ki," Ujar Rangga.

"Bukan hanya pada kalian berdua saja. Setiap orang yang datang ke sini, selalu kuharapkan bisa datang kembali dengan membawa berita menggembirakan. Tapi sampai sekarang, tidak ada seorang pun yang bisa membawa kepala Pranggala kesini," kata Ki Tunggul Santak.

Rangga hanya diam saja. Bisa dirasakan adanya keputusasaan dalam nada suara laki-laki tua ini. Sedangkan Pandan Wangi sejak tadi hanya diam saja mendengarkan semua percakapan itu, tanpa sedikit pun menyelak. Juga bisa dirasakannya kalau kata-kata Ki Tunggul Santak tadi memang mengandung nada keputusasaan. Tapi diam-diam, ada sesuatu yang mengganjal dalam hati Pandan Wangi. Hanya saja gadis itu seperti tidak mau mengutarakannya. Dan hanya lirikan matanya saja yang beberapa kali hinggap di wajah Pendekar Rajawali Sakti.

Kesempatan Pandan Wangi untuk mengutarkan ganjalan yang ada dalam hatinya, memang terbuka juga. Itu terjadi setelah dia dan Rangga meninggalkan rumah yang disewa Ki Tunggul Santak. Mereka tidak menunggang kuda keluar dari halaman rumah yang dijaga sangat ketat itu. Dan kuda-kuda itu hanya dituntun, mengikuti dari belakang. Kedua pendekar muda dari Karang Setra ini berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan tanah berdebu yang membelah Desa Salak Rejeng ini.

"Kakang, apa kau tidak merasakan adanya kelainan pada Ki Tunggul Santak?" Pandan Wangi baru membuka suara setelah berada cukup jauh dari rumah yang disewa Ki Tunggul Santak.

"Maksudmu...?" tanya Rangga meminta penjelasan.

"Aku merasakan ada sesuatu yang tersembunyi dalam suaranya," sahut Pandan Wangi, terdengar agak ragu-ragu.

Rangga langsung menghentikan ayunan langkahnya, dan kontan menatap gadis di sebelahnya dalam-dalam. Dan yang dipandangi balas menatap dengan sorot mata begitu sukar diartikan.

"Kau memperhatikannya juga, Pandan...?" ujar Rangga bernada bertanya.

"Ya. Dia seperti putus asa, Kakang," sahut Pandan Wangi.

"Hm.... Kalau itu, aku juga merasakannya sejak pertama kali bertemu," kata Rangga sedikit menggumam.

"Tapi ada sesuatu yang sejak tadi menjadi beban pikiranku, Kakang," tambah Pandan Wangi, kembali terdengar agak ragu-ragu.

Pendekar Rajawali Sakti hanya diam saja. Kembali kakinya melangkah perlahan-lahan. Sementara, Pandan Wangi mengikuti disebelah kirinya.

"Rasanya sukar dipercaya kalau tidak ada sesuatu antara Pranggala dengan dia, sehingga Ki Tunggul Santak sampai mau menyediakan hadiah begitu besar hanya untuk sebuah kepala saja. Sedangkan kita, tidak tahu pasti permasalahannya sampai Pranggala menjadi buruan dan berharga begitu tinggi," papar Pandan Wangi, mulai mengemukakan ganjalan hatinya. Tapi Rangga masih tetap saja diam mende-ngarkan.

"Semua orang yang ada di desa ini tidak ada yang tahu, siapa Pranggala dan Ki Tunggul Santak itu. Mereka juga baru tahu setelah kedua orang itu ada di desa ini, Kakang. Dan mereka secara bersamaan muncul di sini, dengan membawa persoalan yang tidak bisa dipandang ringan. Sudah banyak nyawa yang melayang, tanpa ada seorang pun yang mengetahui permasalahannya. Bahkan mereka yang tergiur oleh hadiah itu, juga tidak tahu persoalannya. Sampai-sampai rela mengantarkan nyawa sia-sia. Aku merasa ada sesuatu yang tersembunyi dibalik semua peristiwa ini, Kakang. Kalau kita mengikuti arus, itu berarti harus menyusuri jejak-jejak setan yang tidak akan terlihat. Bahkan tidak tahu, di mana akhir perjalanannya," panjang lebar Pandan Wangi mengutarakan beban yang sejak tadi mengganjal hatinya.

"Hm...," tapi Rangga hanya menggumam sedikit saja.

Namun kening Pendekar Rajawali Sakti terlihat berkerut. Seakan-akan ada sesuatu yang tengah dipikirkannya. Sesuatu yang sulit dikemukakan, walaupun sorot matanya begitu jauh memandang ke depan. Pandan Wangi sendiri melangkah dengan pandangan lurus ke depan, seakan-akan juga tengah memikirkan sesuatu. Dan mereka jadi terdiam membisu, dengan pikiran terus menggantung di dalam benak masing-masing. Hingga mereka sampai di perbatasan desa, belum juga ada yang bicara.

Namun ayunan langkah mereka tiba-tiba jadi terhenti, begitu di depan tampak berdiri menghadang seorang pemuda yang hampir sebaya dengan Pendekar Rajawali Sakti, dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Baju warna merah muda yang dikenakannya sangat ketat sehingga otot-ototnya tampak bersembulan, membuat tubuhnya kelihatan tegap dan berisi. Dan sorot matanya terlihat seperti kosong, menatap lurus ke depan. Seakan-akan, kehadiran kedua pendekar yang berdiri sekitar dua batang tombak di depannya tidak diperhatikannya. Bukan hanya Pandan Wangi saja yang langsung bisa mengenali. Tapi, Rangga juga sudah langsung bisa mengetahui kalau pemuda yang menghadang di depan adalah Pranggala.

"Sejak semula sudah kuduga, kalian berada sini pasti tergiur oleh hadiah yang dijanjikan Ki Tunggul Santak. Hhh! Kalian akan mati sia-sia...! terasa begitu dingin nada suara Pranggala.

"Kau salah sangka, Kisanak," bantah Rangga tegas.

"Kalau tidak, untuk apa menemui Ki Tunggul Santak?"

"Hanya ingin mencari kebenarannya saja, sahut Rangga.

"Kebenaran...? Hhh! Tidak ada lagi kebenaran di jagat ini, Kisanak. Kebenaran sudah terlalu rapuh. Jadi, jangan harap bisa mendapatkannya," sinis sekali nada suara Pranggala.

"Kebenaran itu masih tetap ada, Kisanak. Walaupun aku tidak menyangkal, kalau kebenaran memang sudah rapuh. Tapi paling tidak, sekecil apapun dari segunung kesalahan, kebenaran pasti ada. Dan, sedikit kebenaran itulah yang kini kuinginkan. Maka kau juga jangan mengira kalau aku tergiur tiga ribu kepeng emas. Bagiku, hadiah sebesar itu tak ada artinya untuk nyawa orang. Terlebih lagi untukmu, Kisanak. Kau yang memiliki kepandaian tinggi, tidak seharusnya dihargai hanya tiga ribu kepeng emas untuk kepalamu."

"Kau bicara seolah-olah berada di pihakku, Kisanak Tapi, maaf. Aku tidak akan pernah percaya pada siapa pun juga. Setiap kali aku mempercayai seseorang, pasti orang itu selalu mengkhianatiku," masih terdengar sinis nada suara Pranggala.

"Aku tidak akan memihak pada siapa pun juga. Terlebih lagi, mereka yang suka membunuh orang-orang tidak berdosa."

"Kau membuatku bingung, Kisanak. Apa sebenarnya yang kau inginkan di sini, heh...?!"

"Kebenaran."

"Huh! Aku tidak percaya pada kebenaran!"

"Kau boleh tidak percaya. Tapi kalau kau berada di pihak yang benar, pasti akan merasakan arti kebenaran sesungguhnya walau hanya setitik debu."

Pranggala jadi tertegun mendengar kata-kata Rangga barusan. Memang diakui di dalam hati, baru kali ini dia bertemu seseorang yang berpandangan begitu luas. Bahkan begitu percaya akan adanya kebenaran, yang selama ini sudah hampir dilupakan orang. Memang, sekarang ini sulit mencari kebenaran yang kini bisa diputarbalikkan hanya dengan kekuatan harta. Harta memang bisa membuat yang salah menjadi benar. Tapi, tidak demikian halnya Pendekar Rajawali Sakti. Walaupun hanya setitik debu yang ada, dia tetap percaya kalau kebenaran bisa diperolehnya.

"Kisanak, siapa namamu?" tanya Pranggala mulai terdengar berubah nada suaranya.

"Rangga. Dan ini adikku. Namanya, Pandan Wangi," sahut Rangga memperkenalkan diri, juga Pandan Wangi yang berada di sebelah kirinya.

"Kau pasti sudah tahu namaku," kata Pranggala.

Rangga hanya tersenyum saja.

"Kau tahu, Rangga. Kenapa aku tidak memberi kesempatan hidup pada siapa saja yang menjadi lawanku? Padahal, sebenarnya mereka sudah berapa kali kubiarkan tetap hidup. Tapi mereka justru mencari kesempatan, dan menohokku dari belakang. Kau mengerti maksudku, Rangga...?' ujar Pranggala.

"Ya, aku mengerti. Memang tidak enak menjadi orang buruan," sahut Rangga.

"Seperti mereka yang pernah kau selamatkan nyawanya dari tanganku. Sudah berapa kali mereka kuberi kesempatan hidup tapi tetap saja memburuku seperti binatang buruan. Bahkan selalu mencuri kesempatan untuk membunuhku. Apakah aku salah kalau tidak sudi lagi memberi kesempatan pada mereka yang ingin membokongku...? Apa kau pikir tindakanku salah...? Lalu, di mana letak kebenarannya, Rangga...?"

Mendapat pertanyaan yang beruntun begitu, Rangga jadi tidak bisa menjawab langsung. Dia jadi tertegun juga, dan bingung memberi jawabannya. Memang sulit dijawab pertanyaan Pranggala barusan. Karena memang antara kesalahan dan kebenaran sekarang ini hanya dibatasi oleh benang yang amat tipis.

"Kalian berdua kubiarkan tetap hidup, karena baru sekali ini bertemu denganku. Tapi kalau kalian berdua tetap ingin membunuhku dengan segala cara, aku terpaksa membela diri. Dan kurasa, aku tidak salah kalau sampai membunuh kalian berdua," kata Pranggala lagi.

Kata-kata yang diutarkan Pranggala, membuat Rangga dan Pandan Wangi jadi tertegun. Kedua pendekar muda itu tidak bisa lagi menyangkal kebenaran yang diutarkan Pranggala barusan. Dan ini juga membuat mereka jadi bimbang. Walaupun Pranggala sudah banyak membunuh orang yang dianggap tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa, tapi sikap dan penuturannya membuat kedua pendekar itu jadi berpikir lain. Dan mereka merasa yakin kalau ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua peristiwa berdarah ini.

"Pranggala.... Hm.... Boleh aku memanggilmu begitu?" ujar Rangga.

"Kau bisa memanggilku apa saja, Rangga," sambut Pranggala.

"Boleh aku tahu, apa persoalanmu dengan KiTunggul Santak?" tanya Rangga langsung.

"Kenapa kau tanyakan itu?" Pranggala malah balik bertanya.

"Kau keberatan...?"

Pranggala terdiam. Beberapa saat ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam, kemudian beralih pada Pandan Wangi yang sejak tadi diam saja. Sedikit ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat. Sementara Rangga tetap menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi, yang membuat Pranggala jadi terdiam dan merasa berat menjawabnya.

"Belum pernah ada yang menanyakan hal itu padaku. Biasanya, mereka yang mencariku langsung menyerang tanpa bertanya lagi. Dan rupanya, mereka menyerangku karena menginginkan tiga ribu kepeng emas yang dijanjikan Ki Tunggul Santak," terdengar pelan sekali suara Pranggala.

Begitu pelannya, hampir tidak terdengar di telinga Rangga maupun Pandan Wangi. Dari nada suaranya, jelas sekali terasa kalau ada sesuatu yang bergolak dalam dada Pranggala.

"Kau punya persoalan pribadi dengan Ki Tunggul Santak?" tanya Pandan Wangi, setelah semuanya terdiam cukup lama.

Pranggala tidak langsung menjawab. Malah dipandanginya Pandan Wangi dalam-dalam. "Aku ingin membunuhnya," kata Pranggala pelan, namun terdengar tegas nada suaranya.

"Kenapa?" tanya Pandan Wangi lagi.

Lagi-lagi Pranggala tidak langsung menjawab. Kembali dipandanginya si Kipas Maut itu dalam-dalam. Seakan, pertanyaan Pandan Wangi barusan begitu mengganjal relung hatinya. Sementara diam-diam, Rangga terus mengamati pemuda itu dengan kelopak mata agak menyipit.

"Kalaupun kukatakan, kalian tidak akan bisa memahaminya. Ini persoalan pribadi antara aku dengan Ki Tunggul Santak. Tapi, dia sudah melibatkan orang lain. Bahkan mereka yang tidak tahu apa-apa, terpaksa harus mati di tanganku. Dan semua yang kulakukan hanya membela diri saja. Karena tentu saja aku tidak sudi mati di tangan siapa pun juga, sebelum bisa memenggal kepala Ki Tunggul Santak," tegas Pranggala.

"Mendekati Ki Tunggul Santak, tidak semudah seperti apa yang kau bayangkan, Pranggala. Dia dikelilingi jago-jago persilatan undangannya. Bahkan kurasa, kau tidak akan bisa mendekati tempat kediamannya," kata Rangga pelan, namun terdengar sangat dalam nada suaranya.

"Aku tahu. Itu sebabnya, kenapa aku selalu bersabar mencari kesempatan baik agar bisa berhadapan langsung dengannya," sambut Pranggala kalem.

"Kau berkepandaian sangat tinggi, Pranggala. Kalau kau menginginkan nyawa Ki Tunggul Santak, kenapa tidak mengajukan tantangan dan bertarung secara jujur saja...?" usul Pandan Wangi.

"Kau belum tahu siapa Ki Tunggul Santak itu Nisanak," terdengar agak sinis nada suara Pranggala.

"Aku memang baru mengenalnya tadi. Dan kulihat dia sangat ramah, sopan, berilmu tinggi dan tidak angkuh. Bahkan terlihat begitu merendah," kata Pandan Wangi lagi.

"Kau terlalu mudah terbius oleh penampilan luarnya saja. Kalau sudah tahu siapa dia yang sebenarnya, aku yakin kau tidak akan mau bertemu dengannya. Bahkan mungkin juga akan berhasrat melenyapkannya dari muka bumi ini," kata Pranggala dengan nada suara sinis lagi.

"Kau memandang Ki Tunggul Santak seperti seorang penjahat besar yang harus dilenyapkan saja," ujar Pandan Wangi terus memancing.

Tapi, Pandan Wangi hanya terlihat tersenyum kecil saja. Perlahan tubuhnya berbalik, lalu melangkah mendekati sebatang pohon yang cukup besar dan berdaun rindang. Sementara Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan beberapa saat. Mereka melihat Pranggala duduk bersila di bawah pohon yang cukup rindang, melindungi dirinya dari sengatan teriknya mentari.

Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu melangkah menghampiri, kemudian duduk bersila tidak jauh di depan Pranggala. Masih belum ada seorang pun yang membuka suara. Mereka semua terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

TUJUH

Entah sudah berapa lama Rangga dan Pandan Wangi berbicara dengan Pranggala. Sampai matahari sudah tenggelam di balik peraduannya, ketiga anak muda itu masih berada tidak jauh di luar perbatasan Desa Salak Rejeng. Dari semua pembicaraan itu, Rangga kini sudah memahami persoalan yang sedang dihadapi Pranggala. Walaupun, belum tuntas benar.

"Namamu sudah telanjur rusak, Pranggala. Memang, aku mengakui kalau kau belum tentu bersalah. Dan mereka yang selama ini memburumu, merasakan seperti tengah mengikuti jejak-jejak setan yang sangat sukar dilihat. Demikian pula, Ki Tunggul Santak. Dia juga mengalami kesulitan untuk bisa mengetahui keberadaanmu," kata Rangga perlahan.

"Aku bisa memahami, Rangga. Memang kedudukanku sekarang ini sangat sulit. Semua orang sudah telanjur menyangka aku adalah pembunuh. Mereka memandangku tidak lebih dari iblis haus darah. Tapi semua yang kulakukan hanya membela diri saja. Dan semua ini karena ulah Ki Tunggul Santak. Itu sebabnya, kenapa aku ingin membunuhnya. Tapi, rintangan yang kuhadapi terlalu besar. Begitu banyak orang yang tergiur oleh hadiah yang dijanjikan Ki Tunggul Santak," terdengar pelan sekali suara Pranggala, seakan begitu menyesali semua yang telah terjadi pada dirinya.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Pandan Wangi.

"Aku tidak tahu," sahut Pranggala agak mendesah, sambil mengangkat pundaknya sedikit.

"Kalau kau merasa tidak bersalah, kenapa tidak berusaha membersihkan diri?" saran Pandan Wangi.

"Bagaimana caranya?" tanya Pranggala meminta pendapat.

Pandan Wangi tidak langsung bisa menjawab. Malah matanya melirik Rangga. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya diam saja. Dan sampai sekarang, walaupun Pranggala sudah bercerita begitu banyak, tapi belum tahu juga sebab-sebab pertentangannya dengan Ki Tunggul Santak.

"Pranggala! Boleh aku tahu, kenapa kau menginginkan kematian Ki Tunggul Santak..? Juga, kenapa dia menginginkan kepalamu. Apa sebenarnya yang terjadi diantara kalian berdua, sampai mengorbankan begitu banyak orang yang tidak tahu apa-apa...?" tanya Rangga.

Pranggala tidak langsung menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda itu malah diam termenung, dengan pandangan tertuju lurus ke bola mata pemuda berbaju rompi putih yang berada tepat di depannya. Seakan-akan, dari sorot matanya memancarkan sesuatu yang sangat berat untuk diungkapkan. Sementara, Rangga membalas pandangan mata itu dengan sinar mata tidak kalah dalam. Ditunggunya jawaban dari pertanyaannya barusan.

"Hhh...!" Pranggala menghembuskan napas panjang-panjang. Terasa begitu berat hembusan napasnya.

Sementara, Rangga masih tetap sabar menunggu, sambil memandangi pemuda itu dengan sorot mata yang cukup dalam. Demikian pula Pandan Wangi yang hanya membisu, seperti menunggu jawaban Pranggala atas pertanyaan Rangga tadi.

"Sebenarnya, ini masalah pribadi antara aku dan Ki Tunggul Santak. Dan rasanya orang lain tidak perlu ikut campur. Tapi kenyataannya, Ki Tunggul Santak sendiri yang memulai, hingga orang lain ikut campur. Bahkan mereka semua mengejar, memburuku seperti binatang. Aku sendiri tidak tahu, kenapa bisa sampai sejauh ini persoalannya. Padahal, aku hanya menuntut tanggung jawabnya saja. Dan, hanya nyawanya saja yang kuinginkan. Tapi karena dia juga, terpaksa aku harus membunuh mereka yang sebenarnya tidak tahu apa-apa," terdengar berat dan pelan sekali suara Pranggala.

"Tanggung jawab apa yang kau tuntut dari KiTunggul Santak, Pranggala?" tanya Pandan Wangi, semakin ingin tahu.

"Hutang...," sahut Pranggala bernada terputus.

"Hutang apa?" desak Pandan Wangi lagi.

"Hutang nyawa."

Rangga dan Pandan Wangi jadi saling berpandangan. Mereka semakin tertarik saja untuk mengetahui persoalan yang kini sedang dihadapi. Mereka merasa kalau persoalan antara Pranggala dengan Ki Tunggul Santak semakin rumit. Dan kerumitan inilah yang membuat mereka semakin ingin tahu.

Tapi kedua pendekar muda dari Karang Setra itu sudah bisa membayangkan kalau Pranggala menuntut nyawa Ki Tunggul Santak. Dan ini tentu saja hanya sebuah persoalan balas dendam. Hanya tampaknya, Ki Tunggul Santak sudah meluaskan persoalan balas dendam berdarah ini dengan mengikutsertakan orang-orang luar yang tidak tahu apa-apa. Dan dia seolah-olah menjadikan Pranggala sosok penjahat besar haus darah, yang harus dilenyapkan dari muka bumi ini.

"Kalau kalian tahu, Ki Tunggul Santak sebenarnya bukan orang baik-baik. Dan dia juga tidak pernah mempunyai sebuah padepokan silat. Dia sebenarnya adalah seorang pemimpin gerombolan liar. Bersama murid-muridnya, desa kelahiranku dihancurkannya. Semua penduduk dibunuh, dan harta bendanya dirampas. Hanya aku sendiri yang masih bisa selamat. Aku lalu pergi dari desa, mengembara sampai dipungut murid oleh seorang pertapa. Dan sekarang, aku harus membalas kematian orangtuaku, saudara-saudaraku, dan seluruh penduduk desaku yang dibunuh dengan kejam," dengan nada suara sendu, Pranggala menceritakan awal persoalannya dengan Ki Tunggul Santak.

"Sudah berapa lama peristiwa itu terjadi?" tanya Pandan Wangi

"Lima belas tahun yang lalu. Waktu itu, aku masih berumur sebelas tahun. Dan aku tidak pernah lupa wajah laki-laki yang membunuh ayahku dengan keji. Memperkosa ibuku, lalu membakar mereka semua di dalam rumah. Rangga, apa aku salah bila hendak membalas dendam yang sudah kusimpan selama lima belas tahun ini...?" pandangan Pranggala tertuju lurus pada Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi diam saja mendengarkan.

"Sulit dikatakan, Pranggala. Balas dendam memang tidak akan ada yang bisa menghalangi. Aku tidak bisa mengatakan, apakah kau benar atau salah. Semuanya sudah terjadi. Pertumpahan darah sudah begitu banyak. Rasanya, aku memang tidak akan mungkin bisa mencegah pertumpahan darah lebih banyak lagi. Sedangkan, sekarang ini kau berada dalam kedudukan yang sangat sulit. Semua orang sudah memandangmu sebagai pembunuh kejam yang haus darah," sahut Rangga hati-hati.

"Terus terang, semua itu sebenarnya tidak kuinginkan, Rangga. Tapi setiap kali kucoba untuk menjelaskan, mereka tidak pernah mau mengerti. Bahkan malah ingin membunuhku. Apa yang kulakukan sekarang ini, hanya sekadar membalas dari semua perbuatan mereka, Rangga. Aku sudah berkelana mencari mereka yang dulu menghancurkan desaku. Satu persatu kudatangi, dan sekarang tinggal Ki Tunggul Santak saja. Aku sendiri tidak bisa menghentikan langkahku lagi, Rangga. Sudah tidak kupedulikan lagi kata-kata orang. Dan ini sudah menjadi sumpahku. Setelah kepala Ki Tunggul Santak terpisah, aku akan mengasingkan diri dari dunia persilatan. Aku akan mengikuti jejak guruku, menjadi pertapa," kata Pranggala mantap.

"Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi kalau memang itu sudah menjadi tekadmu, Pranggala. Tapi kalau boleh kusarankan, sebaiknya tantang langsung Ki Tunggul Santak, agar tidak terjadi lagi pertumpahan darah," sahut Rangga pelan.

"Kau bijaksana sekali, Rangga. Akan kugunakan saranmu. Aku tidak peduli lagi dengan orang-orang di sekelilingnya, dan segala tipu dayanya. Aku seperti telah mendapat semangat baru, setelah bertemu denganmu, Rangga. Rasanya, memang ini jalan satu-satunya agar tidak banyak pertumpahan darah lagi," sambut Pranggala, seraya tersenyum.

Sebentar pemuda itu memandangi Pendekar Rajawali Sakti, kemudian bangkit berdiri sambil menghembuskan napas sedikit. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi masih tetap duduk memandangi. Pranggala berdiri tegak dengan pandangan lurus ke Desa Salak Rejeng tanpa berkedip sedikit pun. Saat itu, Rangga dan Pandan Wangi sudah berdiri. Mereka berdiri di belakang pemuda yang selama ini selalu menjadi momok menakutkan semua orang.

"Akan kudatangi dia sekarang juga," ujar Pranggala perlahan, dan agak mendesis suaranya.

Setelah berkata demikian, dengan kecepatan bagai kilat Pranggala melesat pergi tanpa berpaling lagi sedikit pun pada kedua pendekar muda yang berada tepat di belakangnya. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam waktu sebentar saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.

"Kakang, kau tidak akan membantunya...?" ujar Pandan Wangi bertanya, seraya berpaling menatap Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tepat di sebelah kanannya.

"Hhh...!" Rangga hanya menghembuskan napas panjang saja.

Tanpa bicara sedikit pun, Pendekar Rajawali Sakti melangkah menghampiri kudanya. Kemudian, dia melompat naik ke punggung kuda hitam yang dikenal bernama Dewa Bayu. Sedangkan Pandan Wangi memandangi beberapa saat kemudian bergegas menghampiri kuda putihnya yang berada tidak begitu jauh dari Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.

Sebentar kemudian, Pandan Wangi sudah berada di atas punggung kuda putihnya. Mereka sebentar berpandangan, seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi tanpa bicara lagi, mereka segera menggebah kudanya perlahan-lahan meninggalkan tempat itu. Entah disadari atau tidak, mereka justru menuju Desa Salak Rejeng. Sementara, saat itu matahari sudah mulai condong ke arah barat Namun, sinarnya masih tetap terik dan menyengat kulit.

********************

Sementara itu Pranggala sudah tiba di Desa Salak Rejeng. Keningnya agak berkerut juga melihat keadaan desa yang begitu sunyi, seperti sudah ditinggalkan penduduknya. Seorang pun tidak ada dijumpainya pada jalan yang dilalui ini. Bahkan tidak terdengar sedikit pun suara-suara yang menandakan adanya kehidupan. Hanya hembusan angin saja yang terdengar mengusik telinga. Dan Pranggala terus melangkah mantap, membelah jalan desa yang berdebu ini.

Sesekali pemuda berwajah cukup tampan bertubuh tegap dengan sebilah pedang dalam warangka di genggaman tangan kirinya ini mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada satu rumah pun yang pintunya terbuka. Seakan, seluruh penduduk Desa Salak Rejeng ini sudah tahu akan kedatangannya. Dan mereka tidak ada yang berani keluar. Tapi, Pranggala tampaknya tidak peduli melihat keadaan desa yang sunyi ini. Kakinya terus melangkah perlahan-lahan, dengan ayunan mantap.

Dan ayunan langkah kaki pemuda itu baru berhenti, setelah tiba di depan sebuah rumah yang tidak begitu besar, namun berhalaman luas ini. Puluhan orang bersenjata dari segala macam bentuk dan ukuran tampak berjaga-jaga di sekitar itu. Mereka memandangi Pranggala yang berdiri tegak tidak jauh dari pintu pagar yang terbuat dari bambu ini. Sedangkan Pranggala sendiri tetap berdiri tegak, tidak bergeming sedikit pun. Sorot matanya begitu tajam, lurus ke arah rumah itu.

"Ki Tunggul Santak..! Aku Pranggala datang hendak membuat perhitungan lama denganmu...!'' lantang sekali suara Pranggala.

Begitu kerasnya suara Pranggala, sehingga menggema sampai ke seluruh pelosok Desa Salak Rejeng ini. Dari suaranya saja, sudah bisa dipastikan kalau tenaga dalam yang dimiliki pemuda ini sudah sangat tinggi tingkatannya. Karena jelas kalau suara itu dikerahkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi dan penuh.

Teriakan Pranggala yang lantang menggelegar dan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, mengejutkan semua orang yang ada di sekitar halaman rumah ini. Bahkan Ki Tunggul Santak yang berada didalam rumah juga jadi terkejut setengah mati. Bergegas laki-laki tua itu melangkah ke luar. Dan keterkejutannya semakin bertambah, begitu melihat Pranggala berdiri tegak di depan pintu pagar halaman rumah yang disewanya ini.

"Phuih! Akhirnya muncul juga bocah setan itu...!" dengus Ki Tunggul Santak sambil menyemburkan ludahnya dengan sengit.

Ki Tunggul Santak bergegas melangkah menghampiri pemuda ini, diikuti semua orang bayaran dan para pengikutnya. Dia baru berhenti melangkah, setelah sampai di depan pintu pagar yang terbuat dari belahan bambu itu. Sementara, mereka yang mengikuti Ki Tunggul Santak segera menyebar, mengepung Pranggala tanpa diperintah lagi.

Sret!
Cring!

Pranggala hanya melirik sedikit saja, begitu melihat orang-orang yang mengepungnya sudah langsung menghunus senjata. Sementara, Ki Tunggul Santak masih tetap berdiri tegak. Dan gagang pedangnya yang tergantung di pinggang segera digeser sedikit. Sorot matanya terlihat begitu tajam, penuh kebencian mengarah langsung ke bola mata Pranggala.

"Rupanya kau sudah bosan jadi binatang buruan, Pranggala. Dan sekarang, kau datang menyerahkan nyawamu," terasa begitu dingin nada suara Ki Tunggul Santak.

"Justru kedatanganku ingin memenggal kepalamu, Ular Busuk!" sambut Pranggala, tidak kalah dingin.

"Phuih!" Ki Tunggul Santak menyemburkan ludahnya dengan sengit.

Laki-laki tua itu memandangi para pengikut yang sudah mengepung pemuda musuh bebuyutannya itu. Tidak kurang dari lima puluh orang sudah siap dengan senjata terhunus. Dan kepandaian mereka semua sudah cukup tinggi. Sebagian adalah para pengikut setianya, dan sebagian lagi orang-orang bayarannya. Ki Tunggul Santak jadi tersenyum tipis melihat kekuatan yang dimilikinya. Dengan lima puluh orang berkepandaian tinggi, mustahil bagi Pranggala untuk bisa mempertahankan selembar nyawanya.

"He he he...!" Ki Tunggul Santak jadi terkekeh.

Namun belum juga hilang suara tawanya, mendadak saja Pranggala sudah mengebutkan tangan kanannya ke depan dengan kecepatan bagai kilat. Begitu cepat kebutan tangannya, hingga tidak ada seorang pun yang sempat menyadari. Dan seketika itu juga, dari telapak tangan Pranggala meluncur dua bilah pisau kecil yang memancarkan cahaya keperakan. Kedua pisau itu meluruk deras ke arah dada Ki Tunggul Santak.

"Heh...?! Hap!"

Ki Tunggul Santak jadi tersentak kaget setengah mati. Cepat-cepat dia melompat ke belakang, sambil memutar tubuhnya menghindari sambaran dua bilah pisau kecil yang dilontarkan Pranggala cepat bagai kilat. Maka kedua pisau bercahaya keperakan itu meluncur lewat sedikit saja di depan dada Ki Tunggul Santak yang berputaran di udara.

"Hap!"

Begitu kedua kaki orang tua ini menjejak tanah, saat itu juga Pranggala sudah melesat bagai kilat menerjang, sambil mencabut pedang yang sejak tadi tergenggam ditangan kanan. Bagaikan kilat pula, pedangnya dibabatkan ke arah leher Ki Tunggul Santak.

"Hiyaaat...!"
Wut!
"Haiiit..!"

Ki Tunggul Santak cepat-cepat mengegoskan kepalanya ke kanan, hingga ujung pedang Pranggala lewat sedikit saja di depan tenggorokan. Namun belum juga bisa menyeimbangkan tubuhnya, Pranggala sudah memberi satu tendangan keras yang begitu cepat menggeledek, sambil melompat ke arah dada orang tua ini.

"Jebol dadamu! Yeaaah...!"
"Ikh...!"

Ki Tunggul Santak jadi terbeliak. Cepat-cepat tubuhnya dibanting ke tanah, dan bergulingan beberapa kali menghindari tendangan Pranggala yang begitu dahsyat dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Hap!"

Dengan gerakan manis sekali, Ki Tunggul Santak melesat bangkit berdiri. Sementara, Pranggala sudah kembali berdiri tegak dengan pedang tersilang di depan dada. Saat itu, Ki Tunggul Santak memandangi dengan sorot mata tidak percaya, kalau anak muda yang dulu hampir mati di tangannya ini, sekarang memiliki kepandaian dahsyat. Pantas saja orang-orang yang tergiur hadiah yang dijanjikan Ki Tunggul Santak, sampai sekarang tidak ada yang bisa membawa kepala Pranggala padanya.

"Cabut pedangmu, Ki Tunggul Santak! Aku pantang membunuh orang tanpa senjata di tangan," ujar Pranggala dingin menggetarkan.

"Phuih!" Ki Tunggul Santak hanya menyemburkan ludahnya saja dengan sengit.

Perlahan orang tua yang berbaju jubah putih panjang dan longgar bagai pertapa itu menggeser kakinya ke kanan. Namun sorot matanya masih begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata Pranggala.

"Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Ki Tunggul Santak melesat cepat bagai kilat menerjang Pranggala. Satu tendangan keras yang menggeledek langsung dilepaskan ke kepala pemuda ini.

"Haps!"

Namun hanya sedikit saja Pranggala mengegos, tendangan dahsyat menggeledek yang dilepaskan Ki Tunggul Santak dapat dihindari. Bahkan tanpa diduga sama sekali, Pranggala melepaskan satu sodokan tangan yang begitu cepat, dan tepat mengarah ke lambung orang tua berjubah putih bersih ini. Begitu cepat sodokannya sehingga....

"Ikh...!"

Ki Tunggul Santak jadi terpekik kaget setengah mati. Cepat-cepat tubuhnya melenting setengah berputar ke belakang, menghindari sodokan tangan Pranggala. Namun begitu kakinya baru menjejak tanah kembali, Pranggala sudah melesat cepat sambil melepaskan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke arah dada.

"Haiiit..!"

Dan begitu Ki Tunggul Santak bisa menghindari pukulan tangan kiri, tanpa diduga sama sekali Pranggala memutar arah pukulan tangan kirinya. Lalu begitu cepat tangan kirinya itu dihentakkan.

Bet!
Plak!
"Akh...!"

Ki Tunggul Santak yang sama sekali tidak menduga kalau Pranggala bisa memutar tangannya begitu cepat sambil menyerang, tidak dapat lagi berkelit menghindar. Maka sentakan tangan pemuda itu tepat menghantam dadanya. Begitu keras sentakan tangan Pranggala, sampai Ki Tunggul Santak terhuyung ke belakang sejauh enam langkah.

"Setan keparat! Phuih...!"

"Serang! Bunuh bocah keparat itu...!" teriak Ki Tunggul Santak keras menggelegar.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Tanpa diperintah dua kali, mereka yang memang sejak tadi sudah siap dengan kepungannya, langsung saja berlompatan menyerang pemuda ini dari segala arah. Saat itu, Pranggala jadi terkesiap juga melihat arus serangan yang begitu deras datang dari segala penjuru mata angin di sekelilingnya.

"Hup! Hiyaaat..!"

Cepat-cepat Pranggala melenting ke udara. Namun pada saat itu juga, puluhan batang anak panah sudah berhamburan ke arahnya. Akibatnya, pemuda itu terpaksa harus berjumpalitan di udara, dan kembali meluruk turun. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, satu sambaran golok yang berukuran sangat besar sudah melayang ke arah kepala dari belakang.

Wusss!
"Ups!"

Sambaran angin tebasan golok itu sempat juga mengejutkan Pranggala. Namun kepalanya lebih cepat lagi merunduk, hingga tebasan golok itu lewat sedikit diatasnya. Dan saat itu juga, Pranggala menghentakkan kakinya ke belakang.

"Yeaaah...!"

Begitu cepat sentakan kaki Pranggala, hingga....

Dugkh!
"Akh...!"

Satu pekikan keras tertahan seketika itu juga terdengar. Tampak penyerang yang berada di belakangnya terpental jauh ke belakang, dengan darah muncrat dari mulutnya. Tendangan ke belakang yang dilepaskan Pranggala memang sangat kuat, mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Akibatnya, orang itu langsung ambruk menggelepar dengan darah mengalir dari mulutnya. Dan hanya sebentar saja tubuhnya masih bisa menggeliat, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati! Sementara darah masih terus mengalir dari lubang mulut dan hidungnya.

"Hup! Hiyaaa...!"

Sementara, Pranggala terus berlompatan cepat sambil mengibaskan pedang secara berputaran. Begitu cepat gerakan-gerakannya, hingga anak buah Ki Tunggul Santak tidak dapat lagi membaca setiap arah gerakan pedang pemuda itu. Dan sebentar saja, sudah terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi yang saling susul.

Dan kini, tubuh-tubuh tak bernyawa berlumuran darah pun sudah mulai terlihat bergelimpangan di sekitar pertarungan. Sementara itu, Ki Tunggul Santak semakin geram saja melihat orang-orangnya seakan tidak sanggup lagi menghadapi anak muda ini.

"Bocah setan! Kubunuh kau! Hiyaaat..!"

Sambil memaki dengan kemarahan meluap dalam dada, Ki Tunggul Santak cepat melesat menyerang Pranggala. Terjunnya Ki Tunggul Santak, yang rupanya membangkitkan semangat orang-orangnya. Maka, mereka semakin gencar saja menyerang. Sedangkan Ki Tunggul Santak bergerak begitu cepat mematahkan setiap serangan balasan yang dilancarkan Pranggala.

DELAPAN

Dan dalam waktu tidak berapa lama saja, keadaan jadi terbalik. Pranggala sudah kelihatan begitu kewalahan menghadapi serangan-serangan beruntun yang datang dari segala arah ini. Bahkan dalam waktu tidak begitu lama, entah sudah berapa kali pukulan dan tendangan mendarat di tubuhnya. Akibatnya keadaan pemuda itu jadi semakin mencemaskan. Namun di saat Pranggala benar-benar hampir tidak memiliki daya lagi, mendadak saja....

"Akh!"
"Aaa...!"

Tiba-tiba dari arah belakang kepungan, terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi yang saling sambut. Dan jeritan itu tentu saja membuat mereka yang sedang bertarung jadi terperanjat setengah mati. Sementara, Ki Tunggul Santak yang juga mendengar jeritan itu cepat-cepat melompat ke belakang sejauh setengah batang tombak, meninggalkan Pranggala yang terus sibuk menghindari setiap serangan yang datang dari sekelilingnya.

"Heh...?!"

Kedua bola mata Ki Tunggul Santak jadi terbeliak lebar, begitu melihat dua anak muda tengah mengamuk menghajar para pengikutnya. Dan tampaknya, kedua anak muda itu tidak akan dapat ditandingi. Dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah lebih dari lima belas orang yang dijatuhkan.

"Phuih...!" Ki Tunggul Santak menyemburkan ludahnya dengan sengit. "Hiyaaat..!"

Ki Tunggul Santak memang tidak dapat lagi menahan kegeramannya. Terlebih lagi, setelah mengetahui siapa dua orang yang menyerang anak buahnya, hingga jadi berantakan begitu. Mereka memang Rangga dan Pandan Wangi!

"Mampus kau! Yeaaah...!"
Cring!
Bet!

Secepat kilat Ki Tunggul Santak mencabut pedangnya yang sejak tadi tergantung di pinggang. Dan dengan kecepatan bagai kilat, pedangnya dibabatkan tepat ke leher Rangga.

"Haps...!"

Namun hanya sedikit saja Pendekar Rajawali Sakti mengegoskan kepala, maka tebasan Ki Tunggul Santak tidak sampai mengenai sasaran. Dan saat itu juga, Rangga menarik kakinya ke belakang. Tapi pada saat itu juga, satu tebasan golok meluncur cepat ke arah punggungnya.

"Yeaaah...!"

Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti membungkukkan tubuhnya. Lalu, langsung dilepaskannya satu tendangan keras ke belakang. Begitu cepat tendangannya, sehingga orang yang membokongnya dari belakang tidak dapat lagi menghindar. Dan....

Des!
"Akh...!"
"Hup! Hiyaaa...!"

Rangga tidak sempat lagi memperhatikan pembokongnya yang terpental balik ke belakang, karena harus cepat melesat ke atas. Memang, pada saat itu tebasan pedang Ki Tunggul Santak berkelebat begitu cepat mengarah ke kakinya. Dan mata pedang Ki Tunggul Santak yang berkilatan tertimpa cahaya matahari itu lewat sedikit saja di bawah telapak kaki Pendekar Rajawali Sakti.

Saat berada di udara itu, Rangga cepat memutar tubuhnya. Dan kedua tangannya langsung terentang lebar ke samping, kemudian bergerak cepat. Sehingga, Ki Tunggul Santak jadi terbeliak lebar, terkejut setengah mati. Dan...

Plak!
"Akh...!"

Ki Tunggul Santak jadi terpekik begitu kibasan tangan Rangga berhasil menghantam kepalanya. Seketika itu juga, darah mengucur deras dari bagian atas telinga orang tua ini. Memang keras sekali kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti yang menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Akibatnya Ki Tunggul Santak jadi terhuyung-huyung ke belakang, dengan darah mengalir deras dari bagian atas telinganya yang retak.

Sementara itu, di tempat lain Pandan Wangi tampak sama sekali tidak mengalami kesulitan mengatasi lawan-lawannya. Kipas baja putih di tangan kanannya berkelebat cepat diimbangi gerakan tubuh dan kakinya yang begitu indah dan lincah luar biasa. Hingga, tidak ada seorang pun lawan yang bisa menyentuh tubuh gadis cantik berjuluk si Kipas Maut ini.

Sedangkan di tempat lain lagi, terlihat Pranggala yang kini tidak lagi menghadapi Ki Tunggul Santak. Semangatnya juga sudah bangkit kembali. Terlebih lagi, dia tahu kalau Rangga dan Pandan Wangi berpihak kepadanya. Hingga, tidak segan-segan lagi lawan-lawannya dibabat dengan pedang. Maka jeritan-jeritan panjang melengking tinggi pun semakin sering terdengar menyayat. Tubuh-tubuh bersimbah darah terus berhamburan membasahi tanah berdebu ini.

Tapi, pengikut-pengikut Ki Tunggul Santak seakan tidak pernah habis. Mereka terus berdatangan dari setiap pelosok Desa Salak Rejeng ini. Rupanya, suara-suara pertarungan itu terdengar sampai ke pelosok desa. Dan mereka yang memang sedang berjaga-jaga di sekitar Desa Salak Rejeng ini, jadi berhamburan mendatangi dan langsung saja menyerang dari segala penjuru. Hingga, seakan-akan pengikut Ki Tunggul Santak tidak akan pernah ada habisnya. Selalu saja berdatangan, dan langsung menyerang.

Sementara itu, Rangga dan Ki Tunggul Santak sudah kembali bertarung sengit. Meskpun darah mengucur dari kepalanya, tapi gerakan-gerakan Ki Tunggul Santak masih tetap gesit dan cukup berbahaya. Beberapa kali Rangga terpaksa harus berjumpalitan di udara, menghindari setiap serangan Ki Tunggul Santak. Dan entah sudah berapa jurus pertarungan berlangsung. Tapi, tampaknya laki-laki tua berjubah putih itu sudah kelihatan terdesak sekali.

Beberapa kali pukulan keras bertenaga dalam yang dilepaskan Rangga mendarat di tubuhnya, tapi tetap saja orang tua itu terus menyerang seperti kesetanan. Sementara, Rangga sudah mulai merasa jengkel juga. Sengaja seluruh kepandaiannya tidak dikerahkan secara penuh. Rangga sebenarnya ingin memberi kesempatan pada Ki Tunggul Santak untuk memperbaiki perbuatannya. Tapi, tampaknya orang tua itu tidak mau mengerti kemurahan hati yang diberikan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan menganggap pemuda lawannya ini sudah meremehkannya.

"Phuih! Hiyaaat...!"

Sambil menyemburkan ludah yang bercampur darah, Ki Tunggul Santak melesat cepat sekali ke atas kepala Pendekar Rajawali Sakti. Dan saat itu juga, pedangnya dikibaskan disertai pengerahan tenaga dalam penuh.

"Haiiit..!"

Namun hanya sedikit saja Rangga mengegoskan kepala, tebasan pedang Ki Tunggul Santak tidak sampai mengenai sasaran. Bahkan tanpa diduga sama sekali, Rangga melepaskan satu tendangan keras, sambil membanting tubuhnya ke tanah. Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Ki Tunggul Santak tidak sempat lagi menghindarinya. Terlebih lagi, saat itu tubuhnya masih berada di udara. Dan....

Diegkh!
"Akh...!"

Ki Tunggul Santak jadi terpekik, begitu tendangan yang dilepaskan Rangga mendarat telak di dadanya. Akibatnya, tubuh orang tua itu melayang deras ke belakang. Dan tanpa disadari, tubuhnya justru melayang mendekati Pranggala yang kini hanya menghadapi tiga orang lawan saja.

Melihat Ki Tunggul Santak meluncur deras tanpa dapat menguasai keseimbangan tubuh lagi, Pranggala tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang hanya sedikit ini. Tanpa menghiraukan tiga orang lawannya, tubuhnya cepat melesat menyongsong tubuh Ki Tunggul Santak yang meluncur deras ke arahnya, akibat terkena tendangan menggeledek Pendekar Rajawali Sakti.

"Hiyaaat...!"
Wuk!

Langsung saja Pranggala menghunjamkan pedangnya ke tubuh orang tua berjubah putih ini. Dan....

Bresss!
"Aaa...!"
"Hih!"

Darah seketika muncrat keluar dari punggung Ki Tunggul Santak, begitu Pranggala mencabut pedangnya kembali. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Pranggala mengibaskan pedangnya ke leher disertai pengerahan tenaga dalam penuh dan tinggi.

"Hiyaaat..!"
Cras!
"Akh!"

Hanya sedikit saja terdengar pekikan tertahan, lalu kepala Ki Tunggul Santak langsung terpenggal buntung. Darah kontan muncrat berhamburan dari leher yang sudah tidak berkepala lagi itu. Hanya sebentar saja tubuh tua berjubah putih itu masih bisa berdiri, kemudian limbung dan ambruk menggelepar di tanah. Sementara, kepalanya menggelinding jauh dari tubuhnya. Pranggala berdiri tegak memandangi tubuh Ki Tunggul Santak yang menggeletak berlumuran darah tanpa kepala menempel di lehernya lagi.

Pendekar Rajawali Sakti hanya membiarkan saja Pranggala yang melampiaskan dendamnya. Sedangkan Pandan Wangi yang sudah mengakhiri pertarungan, langsung cepat membereskan tiga orang lawan Pranggala tadi. Tidak perlu waktu banyak karena sebentar saja ketiga lawannya sudah ambruk tak bangun-bangun lagi, terbabat kipas bajanya.

Sementara itu sambil menghembuskan napas panjang, Pranggala melangkah dan mengambil kepala Ki Tunggul Santak. Sebentar dipandanginya kepala yang masih mengucurkan darah segar itu, kemudian diletakkan kembali di tanah. Lalu pandangannya langsung beredar ke sekeliling. Kini, tidak ada lagi seorang pun yang hidup disekitarnya. Dan saat itu juga, Pranggala jadi tersentak....

"Eh, ke mana mereka...?"

Pranggala jadi celingukan sendiri, mencari Rangga dan Pandan Wangi yang sudah lenyap, begitu tidak ada lagi lawan yang dihadapi. Entah pergi ke mana kedua pendekar muda dari Karang Setra itu.

"Kalian benar-benar pendekar sejati. Terima kasih, atas bantuan kalian...," gumam Pranggala perlahan.

Sebentar pemuda itu memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan saling rumpang tindih di sekitarnya. Kemudian kakinya terayun melangkah meninggalkan tempat ini. Saat itu, matahari sudah benar-benar hampir tenggelam di cakrawala. Cahayanya yang memerah jingga menyemburat disebelah barat mayapada ini. Dan Pranggala semakin jauh melangkah, terus meninggalkan Desa Salak Rejeng yang kini banjir darah.

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: DARAH DI BUKIT SRIGALA

Harga Sebuah Kepala

Pendekar Rajawali Sakti

HARGA SEBUAH KEPALA


SATU
“Hiyaaa…!”
"Yeaaah...!"
Glarrr...!

Malam yang seharusnya sunyi, mendadak saja dipecahkan oleh teriakan-teriakan keras yang disusul ledakan dahsyat menggelegar. Akibatnya, seluruh daerah disekitar kaki Gunung Puting jadi bergetar seperti ada gempa. Tampak letupan api membubung tinggi ke angkasa dari balik lereng sebelah barat. Kepulan asap hitam mengepul bercampur debu dan pecahan bebatuan menyebar ke angkasa.

Di antara kepulan debu yang menyebar tertiup angin, terlihat seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun tengah berdiri tegak di atas kedua kakinya yang kokoh. Kedua tangannya yang mengepal, tersilang di depan dada. Sorot matanya juga terlihat memancar begitu tajam, menatap lurus pada seorang wanita tua yang berdiri dengan tumpuan sebatang tongkat. Jarak mereka hanya sekitar dua batang tombak saja.

Satu sama lain saling berdiri tegak berhadapan dengan sorot mata begitu tajam menusuk. Tapi tidak lama kemudian, terlihat cairan kental berwarna merah agak kehitaman merembes keluar dari sela-sela bibir keriput wanita tua yang berjubah putih panjang dan longgar itu. Lalu sebentar saja, tubuhnya mulai limbung. Dan...

Bruk!

Seperti pohon yang tumbang tertiup angin, tubuh wanita tua itu ambruk ke tanah. Sama sekali tidak terlihat ada gerakan. Sementara, pemuda yang mengenakan baju ketat warna merah muda itu tetap berdiri tegak memandangi.

"Hhh...!"

Sambil menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat, pemuda itu melangkah perlahan menghampiri tubuh perempuan tua yang membujur kaku tidak bergerak-gerak lagi. Langkahnya berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga tindak lagi. Dipandanginya tubuh tua yang sudah tidak bergerak-gerak, tergeletak kaku ditanah berumput cukup tebal ini.

"Aku sudah memperingatkanmu, Nyi Langir. Tapi, kau memaksa. Maafkan aku...," desah pemuda itu perlahan.

Dia berlutut di samping tubuh perempuan tua yang dipanggil Nyi Langir. Lalu tangannya bergerak ke wajah yang sudah keriput memucat ini. Tampak darah masih terlihat mengalir dari sela-sela bibir Nyi Langir. Kelopak mata yang tadi terbuka, kini tertutup begitu telapak tangan pemuda ini terangkat dari wajah yang pucat dan keriput itu. Sambil menghela napas panjang, pemuda berwajah cukup tampan ini bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya wanita tua itu. Kemudian, tubuhnya berbalik dan melangkah pergi.

Begitu perlahan dan ringan ayunan langkah kaki pemuda itu, pertanda memiliki kepandaian tinggi. Sementara, kegelapan masih terus menyelimuti lereng Gunung Puting sebelah barat ini. Namun baru saja berjalan sejauh tiga batang tombak, mendadak saja....

Wusss!
"Heh?! Ups...!"

Pemuda tampan berbaju ketat warna merah muda itu cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke kanan, begitu pendengarannya yang tajam menangkap desir angin halus dari belakang. Saat itu juga, terlihat sebuah benda yang tampaknya sebatang anak panah berukuran pendek, melesat cepat bagai kilat di samping bahu kirinya. Kemudian cepat-cepat kakinya ditarik ke kanan dua langkah, dan tubuhnya diputar hingga berbalik lagi.

Saat itu juga, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat bagai kilat menerjang ke arah pemuda itu. Maka seketika kedua bola mata-nya jadi terbeliak lebar. Namun dengan gerakan begitu manis dan cepat, tubuhnya ditarik ke kiri, hingga tangan kirinya hampir menyentuh tanah. Maka bayangan putih itu lewat sedikit saja di samping tubuhnya.

"Hap!"

Cepat-cepat pemuda berbaju merah muda itu melompat sambil memutar tubuhnya berbalik. Saat itu, di depannya sudah berdiri seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Bajunya putih bersih dan begitu ketat potongannya, hingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot. Di tangan kirinya tergenggam sebatang pedang yang masih tersimpan dalam warangka.

"Ki Jalaksana...," desis pemuda itu langsung mengenali laki-laki yang muncul dan langsung menyerangnya tadi.

"Kau tidak bisa seenaknya pergi dari sini, Pranggala. Korbanmu sudah cukup banyak. Malam ini juga kau harus bayar segala dosa-dosa yang kau perbuat," terdengar begitu dingin nada suara laki-laki setengah baya yang dikenali sebagai Ki Jalaksana itu.

Sorot mata Ki Jalaksana juga terlihat begitu tajam dan memerah, bagai sepasang bola api yang hendak membakar hangus tubuh pemuda tampan yang ternyata bernama Pranggala. Sementara pemuda itu hanya diam saja. Dibalasnya tatapan mata yang tajam itu dengan sinar mata yang tidak kalah tajam. Hingga beberapa saat, mereka saling bertatapan. Seakan-akan, satu sama lain tengah mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki. Sedikit Pranggala menggeser gagang pedang yang tergantung di pinggang.

"Kau rupanya sama seperti yang lain, Ki Jalaksana. Entah dosa apa yang telah kubuat, hingga semua orang tidak ada lagi yang mau percaya padaku," ujar Pranggala, terdengar agak perlahan suaranya.

Tapi dari kata-katanya, jelas tersirat satu nada penyesalan. Seakan-akan, ada sesuatu yang mengganjal dalam hati Pranggala. Sesuatu yang membuatnya terpaksa harus menghadapi tokoh-tokoh persilatan tingkat tinggi, seperti Nyi Langir. Dan sekarang, di depannya sudah berdiri menantang seorang laki-laki yang juga sudah tidak asing lagi dalam rimba persilatan.

Ki Jalaksana memang tokoh persilatan tingkat tinggi yang sudah begitu ternama. Dan di dalam rimba persilatan, dia dikenal berjuluk Malaikat Putih Berambut Merah. Memang, warna rambut Ki Jalaksana merah seperti api. Rambut yang panjang itu tergelung ke atas, dengan sedikit anak rambut dibiarkan menjuntai dekat telinga.

"Tidak perlu banyak bicara, Pranggala. Sebaiknya menyerah saja, agar aku tidak perlu susah-susah membawa kepalamu pada Ki Tunggul Santak!" terasa ketus sekali nada suara Ki Jalaksana.

"Begitu berartikah kepalaku bagi Ki Tunggul Santak…?" suara Pranggala terdengar menggumam.

"Bukan hadiahnya yang membuat langkahku sampai ke sini, Pranggala. Tapi, tindakanmu yang membuat hatiku tergerak. Dengar, Pranggala! Meskipun Ki Tunggul Santak tidak memberi hadiah pun, aku tetap akan mencarimu untuk menghentikan semua sepak terjangmu yang memuakkan!" tegas Ki Jalaksana lantang.

"Kalau begitu, maaf. Aku terpaksa tidak sudi melayanimu, Ki Jalaksana. Hanya mereka yang tergiur janji-janji muluk Ki Tunggul Santak saja yang pantas menghadapiku. Sedangkan aku tahu siapa dirimu, Ki Jalaksana. Sekali lagi maaf...."

Setelah berkata demikian, cepat sekali Pranggala memutar tubuhnya. Dan pemuda itu langsung melesat cepat bagai kilat.

"Jangan harap bisa lari dariku, Pranggala! Hiyaaa...!"

Ki Jalaksana tidak sudi rnembiarkan pemuda itu pergi begitu saja. Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi, tubuhnya langsung saja melesat mengejar. Dan saat itu juga, tangan kanannya mengibas cepat ke depan, setelah masuk ke dalam bajunya yang ketat.

Wusss!

Seketika sebuah benda berbentuk seperti anak panah berukuran kecil melesat, mengejar Pranggala yang berlari dengan kecepatan tinggi. Desir angin senjata rahasia Ki Jalaksana membuat Pranggala terpaksa harus melenting ke atas dan berputaran dua kali, untuk menghindari serangan senjata rahasia Ki Jalaksana dari belakang.

"Hap!"

Manis sekali pemuda itu menjejakkan kakinya di tanah, tepat di saat Ki Jalaksana melompat dengan kecepatan bagai kilat. Dan laki-laki setengah baya itu langsung melepaskan satu pukulan keras menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Yeaaah...!"
"Huh! Haps...!"

Namun, Pranggala tidak berusaha menghindar sedikit pun juga. Malah kedua tangannya dihentakkan ke depan, menyambut pukulan yang dilepaskan Ki Jalaksana. Begitu cepat hentakan tangan yang mereka lakukan, hingga benturan pun tidak dapat dihindari lagi.

Glarrr!

Satu ledakan keras yang begitu dahsyat menggelegar, seketika terdengar begitu tangan satu sama lain beradu keras. Tampak Ki Jalaksana yang berada di udara terpental balik ke belakang, sejauh dua batang tombak. Tubuhnya berputaran beberapa kali di udara. Sementara, Pranggala terdorong beberapa langkah ke belakang. Daya dorongnya baru berhenti begitu punggungnya menghantam sebatang pohon yang cukup besar.

Brak!

Seketika pohon itu tumbang terlanda punggung Pranggala. Sementara itu, Ki Jalaksana manis sekali menjejakkan kakinya di tanah. Cepat kakinya digeser ke kanan, langsung menyiapkan jurus serangan lagi. Saat itu, Pranggala sudah melangkah ke depan beberapa tindak. Sorot matanya terlihat begitu tajam memerah, bagai pancaran sepasang bola mata api yang hendak menghanguskan tubuh laki-laki yang bergelar Malaikat Putih Berambut Merah itu.

"Jangan harap dapat lolos dariku, Pranggala!'' desis Ki Jalaksana dingin menggetarkan

"Tidak ada pertentangan di antara kita, Ki Jalaksana. Dan sebaiknya, jangan mencari persoalan baru denganku," Pranggala mencoba mengalah.

"Phuih! Kau takut menghadapiku, Pranggala...?" ejek Ki Jalaksana memanasi.

"Tidak ada yang kutakuti, selama masih berpijak pada kebenaran."

"Kebenaran katamu.,.? Ha ha ha...! Jangan bicara kebenaran di depanku, Pranggala. Coba saja pikir. Apa semua yang telah kau lakukan benar? Jangan bermimpi, Pranggala. Tidak ada lagi tempat di seluruh jagat ini untukmu berpijak. Kepalamu bukan saja berharga seribu kepeng emas. Dan tindakanmu sudah membuat semua orang menginginkan kematianmu!" lantang sekali suara Ki Jalaksana.

"Hm...," Pranggala hanya menggumam perlahan.

"Bersiaplah, Pranggala...," desis Ki Jalaksana sambil menggeser kakinya beberapa langkah ke depan. Dan....

"Hiyaaat..!"

Bagaikan kilat Ki Jalaksana melesat menerjang pemuda itu dengan satu pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sementara, Pranggala tetap berdiri tegak menanti. Dan begitu pukulan tangan kanan Ki Jalaksana dekat, cepat sekali kedua tangannya dihentakkan secara menyilang di depan dada.

"Hap!"

Namun dengan kecepatan yang sangat sukar diikuti mata biasa, Ki Jalaksana cepat menarik pukulannya. Bersamaan dengan itu, tubuhnya meliuk ke kiri. Lalu, kaki kanannya dihentakkan ke arah lambung.

"Haps!"

Tapi Pranggala rupanya sudah bisa membaca gerak tipu Ki Jalaksana. Maka dengan gerakan yang manis sekali, tubuhnya mengegos. Dengan demikian tendangan menyamping yang dilepaskan Malaikat Putih Berambut Merah bisa dihindari. Cepat Pranggala menarik kakinya ke belakang tiga langkah, begitu berhasil menghindari serangan Ki Jalaksana.

"Hap! Yeaaah...!"

Tampaknya serangan Ki Jalaksana tidak berhenti sampai di situ saja. Buktinya cepat sekali tubuhnya sudah melesat menerjang sambil melepaskan beberapa pukulan beruntun berkecepatan tinggi. Mau tak mau, Pranggala terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Bahkan beberapa pukulan Ki Jalaksana hampir saja mendarat di tubuh pemuda ini, namun masih bisa dihindari dengan lentingan yang manis sekali.

Pertarungan mereka memang berjalan cepat sekali. Pukulan-pukulan yang dilepaskan Ki Jalaksana selalu mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Hingga setiap pukulan yang tidak mengenai sasaran, dapat menghancurkan pohon hingga berkeping-keping bila terhantam.

"Hhh! Dahsyat sekali pukulannya...," dengus Pranggala perlahan. hingga suaranya tidak terdengar oleh lawan.

"Hup...!"

Pranggala mencari kesempatan dengan melompat ke belakang beberapa tindak. Dicarinya jarak untuk menghindari serangan beruntun itu. Pemuda itu menghembuskan napas berat, begitu berhasil menjaga jarak dengan si Malaikat Putih Berambut Merah.

"Huh! Kenapa kau menghindar, Pranggala?" dengus Ki Jalaksana dingin.

"Sudah kukatakan, aku tidak ada persoalan denganmu. Jadi sebaiknya jangan mencari persoalan baru, Ki Jalaksana," sahut Pranggala, terdengar agak jengkel nada suaranya.

"Kalau kau ingin persoalan, sekarang juga akan kubuatkan!"

"Hhh...!"

Pranggala benar-benar kesal melihat sikap si Malaikat Putih Berambut Merah ini. Dia benar-benar tidak ingin bertarung melawan laki-laki berusia setengah baya itu. Tapi, tampaknya Ki Jalaksana memang tidak bisa lagi diajak damai. Bahkan kini sudah siap mengeluarkan jurus barunya yang pasti lebih dahsyat lagi. Sementara, Pranggala masih tetap berdiri tegak memperhatikan.

"Tahan seranganku, Pranggala! Hiyaaat..!"

Sret!
Cring!

Sambil berteriak nyaring, Ki Jalaksana melesat cepat sambil mencabut pedang di tangan kirinya dengan tangan kanan. Dan secepat kilat pula pedang yang memancarkan cahaya putih keperakan itu dikebutkan, tepat ke arah kepala pemuda berbaju merah muda ini.

"Haps...!"

Namun hanya sedikit merundukkan kepala saja, Pranggala berhasil menghindari sabetan pedang si Malaikat Putih Berambut Merah ini. Saat itu juga, tubuhnya melesat tinggi-tinggi ke atas. Lalu, manis sekali kedua kakinya hinggap di atas batang pohon yang cukup tinggi, setelah berputaran beberapa kali.

Begitu cepat lesatan Pranggala, hingga membuat Ki Jalaksana jadi terpana juga. Sementara, pemuda itu sudah berdiri tegak sambil berkacak pinggang di atas dahan pohon yang cukup tinggi.

"Maaf! Aku tidak ada urusan denganmu, Ki Jalaksana, " ucap Pranggala datar.

Dan belum lagi kata katanya menghilang dari pendengaran....

"Hup!"

Bagaikan kilat, pemuda itu melesat meninggalkan Ki Jalaksana yang masih terpana. Begitu cepat lesatannya, hingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap tertelan gelapnya malam yang berselimut kabut cukup tebal ini.

"Hhh! Tidak kusangka, ilmunya sudah begitu hebat dalam waktu lima tahun saja...," desah Ki Jalaksana.

Memang tidak ada lagi kesempatan bagi Ki Jalaksana untuk mengejar. Begitu cepat lesatan Pranggala, hingga tidak ada kesempatan sedikit pun untuk mengejar. Ki Jalaksana memasukkan lagi pedang di tangan kanannya ke dalam warangka yang masih tergenggam di tangan kiri. Beberapa saat dia masih berdiri mematung memandang ke arah kepergian Pranggala.

"Pantas Ki Tunggul Santak rela mengeluarkan beribu kepeng emas untuk kepalanya...," gumam Ki Jalaksana lagi. "Dengan kepandaian yang begitu tinggi, dia pasti bisa menyebarkan keangkaramurkaan di seluruh jagat ini. Hhh...! Sayang jalan yang dipilihnya salah. Aku sendiri.... Hm, rasanya sulit luga untuk menandinginya."

Ki Jalaksana jadi berbicara sendiri. Suaranya terdengar menggumam perlahan. Memang baru kali ini Ki Jalaksana bisa bentrok, walaupun sudah mengenal pemuda itu sejak Pranggala masih bau kencur. Tapi sekarang, Pranggala bukanlah yang dulu lagi. Kepandaiannya sekarang begitu dahsyat, setelah menghilang hanya dalam waktu lima tahun saja. Kehebatannya memang patut diacungi jempol. Hanya saja, Ki Jalaksana menyayangkan jalan sesat yang ditempuh Pranggala. Padalah kepandaian ynng begitu tinggi, sangat berguna untuk memerangi kejahatan. Tapi, ternyata justru jalan hitam yang ditempuhnya. Tak heran kalau Ki Tunggul Santak bersedia mengeluarkan seribu kepeng emas untuk kepalanya.

"Malam ini, dia sudah berhasil menewaskan Nyi Langir. Entah siapa lagi yang menjadi giliran nya. Hhh.... Mudah-mudahan aku bisa mencegah nya lebih cepat, sebelum bertambah korban lagi," gumam Ki Jalaksana lagi.

Beberapa saat laki-laki setengah baya ini masih berdiri diam mematung di situ. Kemudian kakinya bergerak terayun perlahan meninggalkan lereng Gunung Puting ini. Meskipun kelihatannya berjalan perlahan, tapi begitu ringan. Hingga dalam waktu sebentar saja, Ki Jalaksana sudah jauh meninggalkan tempat pertarungan yang sudah porak poranda bagai baru diamuk puluhan gajah.

Sementara malam terus merayap semakin larut. Tanpa diketahui, ternyata Pranggala tidak pergi jauh dari tempat itu. Dia berlindung di balik pohon yang cukup besar sambil memperhatikan, sampai Ki Jalaksana lenyap dari pandangan. Pemuda itu baru keluar dari balik pohon, setelah Ki Jalaksana benar-benar tidak kembali lagi. Sedikit ditariknya napas, dan menghembuskannya perlahan-lahan.

"Ki Tunggul Santak! Hm...," gumam Pranggala perlahan.

DUA

Malam masih terlalu pekat menyelimuti seluruh daerah di sekitar kaki Gunung Puting. Tak jauh di sebelah barat kaki gunung yang menjulang tinggi dan selalu terselimut kabut itu, terlihat sebuah desa yang cukup besar dan padat. Namun desa itu kelihatan sunyi sekali, walaupun di setiap sudut terpancang obor. Suasana desa itu memang jadi terang-benderang bagai sedang mengadakan pesta panen, hanya saja tidak terlihat seorang pun di luar rumah. Dan memang, saat ini sudah lewat dari tengah malam.

Namun di dalam kesunyian itu, terlihat sesosok tubuh tengah berkelebat begitu cepat. Dia langsung menyelinap dari satu dinding rumah, ke dinding rumah lainnya. Begitu cepat gerakannya, hingga yang terlihat hanya bayangan merah muda saja. Dan sosok tubuh berbaju merah muda itu berhenti setelah tiba di pinggiran tembok baru yang cukup tinggi dan tebal. Sebuah tembok yang mengelilingi sebuah rumah berukuran besar, seperti sebuah istana kecil di tengah-tengah desa.

Dari wajahnya yang tampan dan baju merah muda ketat yang dikenakan, sudah dapat dipastikan kalau orang itu adalah Pranggala. Pemuda itu merapatkan punggungnya di dinding pagar bagai benteng ini. Kedua bola matanya tidak berkedip sedikit pun juga, merayapi sekitarnya. Tidak ada seorang pun terlihat. Begitu sunyi keadaan desa ini. Sampai sampai suara binatang malam terdengar begitu jelas, mengiringi detak jantung pemuda itu.

"Hm...."

Pranggala menggumam perlahan, saat matanya melihat seorang laki-laki berusia setengah baya sedang keluar dari pintu gerbang rumah berukuran besar, berpagar tembok tinggi dan tebal. Dan kelopak matanya jadi agak menyipit, ketika laki-laki yang usianya sekitar einpat puluh tahun itu melangkah menuju ke arahnya.

Meskipun kehadirannya kelihatan tidak diketahui, tapi Pranggala sudah siap dengan tangan terkepal. Kakinya digeser perlahan-lahan mendekati sebatang pohon yang tumbuh tidak jauh dari dinding pagar tembok ini. Tapi belum juga sampai, tiba-tiba saja...

"Hei...! Siapa itu...?!"
"Oh...?!"

Pranggala jadi terperanjat juga, begitu tiba-tiba terdengar bentakan yang sangat keras. Tampak laki-laki berbaju kulit binatang itu melangkah cepat menuju ke arah Pranggala. Sedangkan pemuda itu sendiri berdiri tegak menanti. Kini laki-laki berbaju dari kulit binatang itu berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar lima tindak lagi didepan Pranggala.

"Siapa kau...?" tanya laki-laki itu dengan suara ketus.

Tapi Pranggala hanya diam saja. Dan matanya malah menatap dengan sorot begitu tajam.

"Keparat! Ditanya malah melotot! Mau menantang, ya...?!" bentak orang itu sambil mendelik.

Namun Pranggala tetap saja diam.
"Huh! Benar benar mau mampus kau!"
Sret!
Tring!

Laki-laki berbaju kulit binatang itu langsung saja mencabut dua golok kembar yang tadi tersembunyi di belakang tubuhnya. Cepat kedua goloknya digerakkan, lalu disilangkan di depan dada. Sementara Pranggala masih tetap diam, tidak bergeming sedikit pun juga. Dan diperhatikannya setiap gerak yang dilakukan orang itu.

"Hup! Yeaaah...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, orang berpakaian kulit binatang itu melesat cepat sambil mengibaskan satu goloknya yang ada di tangan kiri, ke kepala Pranggala.

Wut!
"Haiiit…!"

Namun dengan gerakan manis sekali, Pranggala berhasil menghindari sabetan golok berukuran cukup besar itu. Dan belum juga kepalanya bisa ditegakkan lagi, satu golok lawan yang berada di tangan kanan sudah kembali mengibas cepat. Gerakannya, benar-benar sulit diikuti pandangan mata biasa.

"Hap!"

Pranggala sama sekali tidak bergeming. Dinantinya serangan itu. Dan begitu Ujung mata golok berada tepat di depan dada, cepat sekali tangan kirinya dikibaskan. Dan....

Trak!
"Ikh...!"

Orang berbaju kulit binatang itu jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba ujung jari Pranggala menyentil mata goloknya. Akibatnya, hampir saja golok itu terpental dari genggaman. Untung saja dia cepat-cepat melompat ke belakang tadi. Tapi begitu menjejakkan kaki, tubuhnya jadi terhuyung sedikit.

"Phuih!"

Laki-laki bertubuh tegap yang terbungkus baju kulit binatang itu menyemburkan ludahnya dengan sengit. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata pemuda tampan berbaju merah muda yang berdiri tegak tidak jauh di depannya.

"Rupanya kau punya kepandaian juga, ya.... Pantas berani keluyuran di tengah malam," terasa begitu dingin nada suara orang berbaju kulit binatang itu.

Perlahan laki-laki setengah baya itu menggeser kakinya ke kanan dengan golok tersilang di depan dada, membuat mata golok itu berkilatan terrimpa cahaya pelita. Sedangkan Pranggala tetap berdiri tegak tidak bergeming sedikit pun. Namun tatapan matanya terlihat sangat tajam, memperhatikan setiap gerak laki-laki berbaju binatang di depannya.

"Mampus kau! Hih! Yeaaah...!"

Sambil membentak keras, laki-laki berbaju kulit binatang itu melesat cepat bagai kilat. Goloknya langsung disabetkan ke arah kepala pemuda ini.

"Haiiit...!"

Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepala, golok itu lewat di depan wajah Pranggala. Dan pada saat yang tidak diduga-duga sama sekali, pemuda itu mengebutkan tangan kanannya ke depan, tepat mengarah ke dada lawan. Begitu cepat dan tidak terduga sama sekali, sehingga orang berbaju kulit binatang itu jadi terbeliak kaget. Maka cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang, mencoba menghindari sodokan tangan kanan pemuda lawannya itu.

Tapi saat itu juga, Pranggala kembali mela-kukan gerakan yang sangat cepat dan sulit diikuti pandangan mata biasa. Kakinya digeser ke kiri sambil tubuhnya diliukkan dengan indah. Dan saat itu juga, kaki kirinya dihentakkan ke depan. Benar-benar gerakan yang tak terduga, sehingga membuat lawan tidak dapat lagi berkelit. Dan....

Des!
"Akh...!"

Besamaan dengan terdengarnya pekikan tertahan, terlihat laki-laki bertubuh tegap berbaju kulit binatang itu terhuyung ke belakang beberapa langkah. Tampak darah menyembur dari mulutnya. Dan saat itu juga, Pranggala sudah melesat sambil berteriak keras menggelegar.

"Yeaaah...!"

Satu tendangan yang teramat keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam langsung dilepaskan, tepat ke arah kepala orang berbaju kulit binatang ini.

Prak!
"Aaa...!"

Malam yang sunyi ini kembali dipecahkan oleh jeritan panjang melengking tinggi yang begitu menyayat membelah angkasa. Tampak laki-laki bertubuh tegap dan berbaju dari kulit binatang itu terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi kepalanya. Goloknya sudah terlepas entah ke mana. Darah pun tampak mengalir deras dari sela-sela jari tangannya.

Bruk!

Hanya sebentar saja laki-laki setengah baya itu terhuyung, kemudian ambruk ke tanah dengan keras sekali. Sebentar pula tubuhnya menggelepar meregang nyawa sambil mengerang, kemudian mengejang kaku, dan diam tidak bergerak-gerak lagi. Sementara darah terus mengalir deras dari kepalanya yang pecah. Sedangkan Pranggala tetap berdiri tegak memandangi tubuh lawannya yang sudah menggeletak tidak bernyawa lagi.

"Hhh...!"

Sambil menghembuskan napas panjang, Pranggala melangkah meninggalkan tubuh yang sudah tergeletak tidak bernyawa lagi. Dan hanya beberapa langkah saja pemuda itu berjalan, kemudian melesat cepat bagai kilat. Hingga dalam sekejapan mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap tidak terlihat lagi. Sementara malam terus merayap semakin larut, menyebarkan udara dingin yang membekukan tulang.

Suara pertarungan dan jeritan kematian laki-laki tegap berbaju kulit harimau itu rupanya sempat juga membangunkan penduduk Desa Salak Rejeng. Bahkan dari bangunan besar berpagar baru berukuran tinggi, juga bermunculan orang-orang yang langsung berlarian menghampiri tubuh yang tergeletak di jalan dan tidak bernyawa lagi.

"Ki Jaran Jati...."

Bagi semua orang yang tinggal di Desa Salak Rejeng ini, Ki Jaran Jati memang sudah sangat dikenal. Selain menjabat kepala desa, Ki Jaran Jati juga seorang guru silat. Memang, rumahnya yang besar berhalaman luas telah dijadikan sebuah padepokan. Dan semua murid-muridnya juga berasal dari Desa Salak Rejeng ini. Maka tentu saja kematiannya membuat seluruh penduduk Desa Salak Rejeng jadi gempar. Terlebih lagi, Ki Jaran Jati tewas dengan kepala pecah seperti habis bertarung. Dan memang, laki-laki yang lebih senang mengenakan baju dari kulit binatang itu tewas akibat bertarung semalam.

Hingga matahari tepat berada di atas kepala, dan mayat Ki Jaran Jati sudah dimakamkan, tapi semua orang di desa itu masih tetap membicarakan kematiannya yang sangat menyedihkan itu. Kepalanya hancur, hingga wajahnya hampir saja tidak dikenali lagi. Terlebih tidak ada seorang pun yang mengetahui lawan tanding Ki Jaran Jati, hingga menemui ajalnya secara mengerikan sekali. Semua orang terus bertanya-tanya, tapi tidak ada yang tahu jawabannya.

Siang ini Desa Salak Rejeng memang terasa begitu panas. Matahari bersinar terik, tanpa sedikit pun awan menghalangi. Begitu panasnya, hingga hampir semua orang di desa ini tidak ada yang mau keluar dari dalam rumah. Seluruh tanah di desa itu bagai terpanggang, walaupun angin bertiup cukup kencang menebarkan debu yang menyebar ke segala arah. Saat itu terlihat seorang laki-laki tua berjubah putih tengah menunggang kuda putih. Dia dikawal sekitar dua puluh orang anak-anak muda yang semuanya membawa pedang tergantung di pinggang. Mereka menjalankan kudanya perlahan-lahan, menyusuri jalan tanah berdebu yang membelah Desa Salak Rejeng ini bagai menjadi dua bagian. Semua penduduk desa memandangi mereka dengan sinar mata bertanya-tanya. Tapi, rombongan kecil itu terus bergerak menuju rumah Ki Jaran Jati.

"Berhenti...!"

Dua orang pemuda yang membawa tombak langsung menghadang rombongan ini, tepat di depan pintu gerbang rumah kepala desa yang bagaikan sebuah benteng. Laki-laki tua penunggang kuda putih yang berada paling depan, segera mengangkat tangan kanannya sedikit ke atas. Maka rombongan itu segera berhenti. Laki-laki tua berjubah putih yang rambutnya sudah memutih semua ini bergegas melompat turun dari punggung kudanya. Gerakannya begitu ringan dan indah, pertanda kepandaiannya tidak bisa dipandang sebelah mata.

"Maaf. Apakah ini benar rumah Ki Jaran Jati, Kepala Desa Salak Rejeng ini, Anak Muda...?" tanya orang tua berjubah putih itu sopan.

"Benar," sahut salah seorang penjaga itu. "Dan kau siapa, Ki?"

"Aku Ki Tunggul Santak ingin bertemu Ki Jaran Jati. Dia tahu akan kedatanganku," sahut orang tua itu memperkenalkan diri.

"Oh, kaa... Kau Ki Tunggul Santak..?!"

Kedua pemuda yang menjaga pintu gerbang rumah kepala desa itu jadi tersentak kaget, begitu orang tua berjubah putih ini memperkenalkan diri. Cepat-cepat mereka menjatuhkan diri berlutut, memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung, bagaikan sedang berhadapan dengan seorang pembesar kerajaan. Ki Tunggul Santak jadi tersenyum. Kakinya lalu melangkah menghampiri. Disentuhnya pundak kedua pemuda itu dengan lembut.

"Bangunlah. Tidak pantas kalian bersikap begitu padaku," ujar Ki Tunggul Santak lembut.

"Maafkan kami, Ki. Kami tidak tahu kalau...."

"Sudahlah, lupakan saja," ujar Ki Tunggul Santak memotong.

"Biar kubukakan pintu, Ki."

Salah seorang bergegas bangkit, dan langsung membuka pintu gerbang yang sejak tadi tertutup rapat. Sedangkan yang seorang lagi cepat-cepat menghampiri kuda orang tua ini. Dipeganginya tali kekang kuda putih itu. Ki Tunggul Santak jadi menggelengkan kepala dengan bibir menyunggingkan senyum. Dengan isyarat tangan, murid-muridnya diperintahkan turun dari kuda masing-masing.

Kemudian mereka masuk ke dalam lingkungan rumah kepala desa yang juga dijadikan sebuah padepokan ini.

********************

Ki Tunggul Santak jadi tercenung mendengar berita kematian sahabatnya, Ki Jaran Jati yang begitu menggiriskan semalam. Semua itu diceritakan istri dan juga putra tunggal Ki Jaran Jati yang menemani di ruangan depan rumah besar ini. Cukup lama juga Ki Tunggul Santak terdiam, tanpa bicara sedikit pun juga, walaupun Nyi Jaran Jati dan putranya sudah tidak lagi menceritakan kematian Ki Jaran Jati yang begitu menyedihkan.

"Hhh...!"

Panjang sekali Ki Tunggul Santak menghem-buskan napas. Dan terasa begitu berat hembusan napasnya. Perlahan kepala yang sejak tadi terus tertunduk menekur terangkat. Pandangan matanya langsung bertemu dengan sorotan mata putra almarhum Ki Jaran Jati yang bernama Sangkalangit. Kemudian tatapannya berpindah pada Nyi Jaran Jati. Kembali ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-kuat dengan perasaan begitu berat. Untuk beberapa saat lamanya mereka masih terdiam membisu.

"Apa tidak ada yang melihat kejadiannya, Nyi?" tanya Ki Tunggul Santak dengan suara begitu perlahan.

"Tidak," sahut Nyi Jaran Jati.

"Hhh...!" .

Kembali Ki Tunggul Santak menghembuskan napas panjang-panjang.

"Aku tahu, siapa yang membunuhnya," ujar Ki Tunggul Santak pelan.

Begitu pelan suara orang tua itu, sehingga hampir tidak terdengar di telinga. Kata-kata Ki Tunggul Santak yang begitu perlahan, membuat Nyi Jaran Jati dan putranya jadi terkejut. Mereka langsung memandangi wajah orang tua itu dalam-dalam.

"Kedatanganku ke sini justru hendak memperingatkannya. Tapi, rupanya dia lebih cepat sampai ke sini...," jelas Ki Tunggul Santak, dengan suara masih pelan.

"Siapa dia, Ki?" tanya Sangkalangit langsung.

"Kalaupun kuberi tahu, kau tidak akan mungkin bisa menemuinya, Sangkalangit. Dia pasti sudah jauh dari sini. Dan lagi, kurasa kau tidak akan bisa membalas kematian ayahmu," kata Ki Tunggul Santak seraya menatap lembut pemuda itu.

"Aku rela mempertaruhkan nyawa, asal bisa membalas kematian ayah, Ki," tegas Sangkalangit.

"Aku percaya pada tekadmu, Sangkalangit. Tapi percayalah, kau bukan tandingannya. Kalau tetap menuruti kata hatimu, berarti hanya akan mengantarkan nyawa saja padanya. Percayalah.

Aku yang akan membalaskan kematian ayahmu," tegas Ki Tunggul Santak.

"Kakang Santak. Boleh aku tahu, siapa prang yang membunuh suamiku...?" tanya Nyi Jaran Jati.

Ki Tunggul Santak tidak langsung menjawab. Dipandanginya Nyi Jaran Jati dan Sangkalangit bergantian. Kemudian pandangannya tertuju ke luar, melalui jendela yang terbuka lebar. Tampak murid-muridnya tengah beristirahat di pendopo samping, sambil menikmati hidangan yang disediakan murid-murid padepokan Ki Jaran Jati yang juga Kepala Desa Salak Rejeng ini. Dan kini matanya kembali menatap wajah Nyi Jaran Jati.

"Pranggala," ujar Ki Tunggul Santak perlahan.

"Siapa dia, Ki?" tanya Sangkalangit.

Ki Tunggul Santak tak langsung menjawab. Terlihat jelas dari sorot matanya, kalau begitu berat menjawab pertanyaan putra tunggal Ki Jaran Jati.

"Siapa dia, Ki...?" desak Sangkalangit lagi.

"Ah, sudahlah.... Sebaiknya aku pergi saja sebelum jatuh korban lebih banyak lagi," ujar Ki Tunggul Santak seraya bangkit berdiri.

Orang tua itu sengaja bersikap begitu, untuk menghindari desakan Sangkalangit.

"Kenapa tidak menginap saja di sini barang semalam, Ki...?" Nyi Jaran Jati menawarkan.

"Terima kasih, Nyi. Perjalananku masih terlalu panjang. Aku berjanji, kalau semua persoalan ini sudah selesai, pasti akan mampir dan menerima tawaranmu," sahut Ki Tunggul Santak seraya memberi senyum tipis.

Sebelum Sangkalangit mendesak lagi, Ki Tunggul Santak bergegas melangkah ke luar. Tapi baru saja berada di ambang pintu, Sangkalangit sudah menghadangnya. Sorot mata pemuda ini terlihat begitu tajam, seakan hendak menembus langsung ke bola mata orang tua berjubah putih itu.

"Pertanyaanku belum kau jawab, Ki," ujar Sangkalangit, terdengar agak datar suaranya.

"Sangkalangit...!" sentak Nyi Jaran Jati cepat-cepat, menarik tangan putranya ini.

Ki Tunggul Santak hanya diam saja memandangi pemuda itu.

"Maafkan atas sikap anakku, Ki," ucap Nyi Jaran Jati.

Ki Tunggul Santak hanya tersenyum tipis saja dan terasa amat getir. Sementara Sangkalangit kelihatan belum puas, tapi tidak bisa berbuat apa-apa dengan tangan tetap dicekal kuat-kuat oleh ibunya.

"Aku pergi dulu, Nyi. Terima kasih atas keramahanmu. Maaf aku tak bisa mencegahnya," ucap Ki Tunggul Santak membungkuk.

"Aku berterima kasih atas kunjunganmu, Ki. Sekali lagi, maafkan atas sikap anakku ini," sambut Nyi Jaran Jati.

Lagi-lagi Ki Tunggul Santak hanya tersenyum. Kemudian dia kembali menjura memberi salam penghormatan, lalu melangkah ke luar menghampiri murid-muridnya yang sudah berada di samping kuda masing-masing. Seorang pemuda murid padepokan ini memegangi kuda putih tunggangan Ki Tunggul Santak.

"Hup!"

Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Ki Tunggul Santak melompat naik kepunggung kudanya. Sebentar ditatapnya Nyi Jaran Jati dan Sangkalangit yang masih tetap berada di beranda depan. Sementara, semua muridnya yang berjumlah dua puluh orang sudah berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Saat ini, matahari sudah mulai terlihat condong ke barat.

Ki Tunggul Santak menggebah kudanya tidak terlalu kencang, keluar dari lingkungan rumah kepala desa yang juga dijadikan sebuah padepokan ini. Sementara dua puluh orang muridnya mengikuuti dari belakang. Mereka baru memacu cepat kudanya setelah melewati pintu gerbang. Debu langsung mengepul tinggi ke udara, tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu dengan kecepatan cukup tinggi. Sementara di beranda depan rumah besar yang dikelilingi pagar tembok baru cukup tinggi bagai benteng ini, Nyi Jaran Jati dan Sangkalangit masih berdiri di sana, memandangi pintu gerbang yang sudah tertutup lagi.

"Tadi seharusnya kau bisa menahan diri, Sangkalangit," ujar Nyi Jaran Jati, menyesali sikap anaknya.

"Tapi jelas, dia menyembunyikan sesuatu, Bu," kata Sangkalangit masih penasaran.

"Ya, Ibu tahu itu. Ibu dan ayahmu sudah lama kenal Ki Tunggul Santak. Bahkan antara dia dan ayahmu terjalin persahabatan yang sangat erat, hingga masing-masing mengangkat saudara. Jadi Ibu tahu betul wataknya. Dia tidak akan menyembunyikan, kalau yang dihadapinya masih dianggap ringan. Pasti pembunuh ayahmu itu seorang yang berkepandaian sangat tinggi, hingga Ki Tunggul Santak tidak mau mengatakannya pada kita," kata Nyi Jaran Jati mencoba menjelaskan.

"Biar bagaimanapun juga, kematian ayah harus kubalas, Bu," tegas Sangkalangit.

"Dengan cara apa...? Mengandalkan kepandaianmu yang hanya seujung kuku...? Kau tidak akan sanggup, Sangkalangit. Biar Ki Tunggul Santak yang membereskannya. Aku percaya, dia mampu melakukannya," kata Nyi Jaran Jati.

"Bu...."

"Sudahlah, Nak. Kau masih terlalu muda. Kau masih perlu banyak belajar sebelum terjun ke dalam dunia luar," potong Nyi Jaran Jati cepat.

Wanita setengah baya itu bergegas memutar tubuhnya berbalik, dan melangkah ke dalam rumahnya yang besar. Sementara, Sangkalangit masih tetap diam di beranda depan ini. Sedikit kepalanya melongok ke dalam, kemudian bergegas melangkah ke luar dari beranda. Kakinya terus melangkah ke bagian samping rumah yang berukuran sangat besar ini. Dan tidak lama kemudian, terlihat pemuda itu sudah memacu cepat kudanya keluar dari halaman rumah ini.

Mendengar suara kuda yang dipacu cepat, Nyi Jaran Jati bergegas keluar. Wanita itu terkejut melihat putranya memacu kuda dengan cepat sambil berteriak meminta dibukakan pintu. Dua orang penjaga bergegas membuka pintu gerbang lebar-lebar.

"Sangkalangit...!" teriak Nyi Jaran Jati memanggil.

Tapi, Sangkalangit sudah melesat cepat bersa-ma kudanya, melewati pintu gerbang. Nyi Jaran Jati hanya bisa terdiam memandangi debu yang mengepul mengikuti Sangkalangit yang terus menggebah kudanya semakin jauh. Sementara, dua orang penjaga pintu gerbang menutup kembali pintu yang terbuat dari kayu jati berukuran tebal dan sangat besar ini. Sedangkan Nyi Jaran jati tetap berdiri mematung di beranda. Pandangannya kosong, tertuju lurus ke depan.

"Badrun...!" teriak Nyi Jaran Jati kencang.

Belum lagi teriakan perempuan yang berusia sekitar empat puluh lima tahun itu hilang, sudah datang seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya tegap, mengenakan baju ketatwarna kuning gading. Hingga, membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot.

"Bawa teman-temanmu. Susul Sangkalangit" perintah Nyi Jaran Jati.

"Baik, Nyi," sahut Badrun hormat.

"Cepat! Jangan sampai kehilangan jejaknya."

"Iya, Nyi."

"Siapkan juga kudaku, Badrun."

Badrun hanya mengangguk saja, kemudian bergegas meninggalkan wanita berusia hampir setengah baya, namun masih kelihatan cantik. Hanya saja kerutan ketuaan sudah mulai terlihat di sekitar matanya.

Tidak berapa lama berselang, Badrun sudah kembali bersama sekitar tiga puluh orang anak muda yang semuanya berada dipunggung kuda masing-masing. Dia juga sudah berada di atas punggung kuda sambil memegang tali kekang kuda coklat berbelang putih yang tinggi dan gagah di sebelahnya. Nyi Jaran Jati bergegas keluar dari beranda depan rumahnya ini. Diambilnya tali kekang dari tangan Badrun. Dan dengan gerakan indah sekali, dia melompat naik ke punggung kudanya. Namun belum juga mereka bergerak, mendadak saja....

"Ha ha ha...!"
"Heh...?!"
"Hah...?!"
Wusss!

Belum lagi hilang rasa keterkejutan mereka, mendadak saja dari atas atap rumah kepala desa yang sangat besar ini melesat cepat bagai kilat sebuah bayangan merah muda. Dan tahu-tahu, tepat di depan Nyi Jaran Jati sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan, berbaju ketat warna merah muda. Di pinggangnya tergantung sebilah pedang yang tangkainya berbentuk kepala seekor ular berwarna kuning keemasan. Dia berdiri tegak membelakangi beranda depan, dengan kedua tangan kiri menggenggam sebuah bungkusan dari kain putih.

TIGA

Tampak dari bagian bawah bungkusan itu menetes darah. Kedua bola mata Nyi Jaran Jati terbeliak, melihat darah yang menetes dari bungkusan di tangan kanan pemuda itu. Kemudian ditatapnya wajah tampan pemuda itu dengan sinar mata terlihat tajam sekali.

"Kalian tidak perlu repot-repot mencari. Nih, aku bawakan untuk kalian semua," kata pemuda tampan berbaju merah muda itu, sambil melemparkan bungkusan kain putih.

Bungkusan itu menggelinding, dan berhenti tepat di depan kaki kuda yang ditunggangi Nyi Jaran Jati. Saat itu, Badrun cepat melompat turun dari punggung kudanya. Bergegas kakinya melangkah menghampiri bungkusan yang bernoda darah itu. Segera dibukanya bungkusan itu. Dan saat itu juga....

"Hah...?!"
"Sangkalangit..!" jerit Nyi Jaran Jati.

Mereka semua jadi terperanjat setengah mati, melihat bungkusan bernoda darah itu berisi kepala Sangkalangit. Sementara, Nyi Jaran Jati sudah melompat turun dari punggung kudanya dengan wajah memerah dan napas memburu cepat.

"Iblis keparat! Kau harus membayar nyawa anakku!" bentak Nyi Jaran Jati.

Sret!

Langsung saja wanita itu mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang. Sementara, pemuda tampan berbaju merah muda yang tidak lain Pranggala itu hanya tersenyum saja. Sedangkan semua murid padepokan Ki Jaran Jati sudah berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Beberapa orang menyingkirkan kuda, dan yang lain langsung berlompatan mengepung sambil menghunus senjata masing-masing. Tapi, Pranggala masih tetap kelihatan tenang dengan senyum tipis tersungging di bibir. Badrun yang berada dekat di samping Nyi Jaran Jati juga sudah mencabut pedangnya.

"Mampus kau, Iblis Keparat! Hiyaaat...!"

Sambil berteriak nyaring, Nyi Jaran Jati melesat cepat bagai kilat menerjang pemuda ini. Pedangnya langsung dikebutkan tepat mengarah kepala. Namun hanya sedikit saja Pranggala mengegoskan kepala, tebasan pedang itu lewat tanpa membawa hasil. Sebenarnya Pranggala jadi terkejut juga, merasakan angin tebasan pedang berhawa panas yang menerpa kulit wajahnya.

"Hup!"

Cepat-cepat Pranggala melompat kebelakang dua langkah. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah, dua orang yang berada di belakang sudah melompat menyerang.

"Hap! Yeaaah...!"

Namun Pranggala yang sudah bisa membaca gelagat, cepat membungkukkan tubuhnya. Langsung kaki kirinya dihentakkan ke belakang sambil berputar. Begitu cepat gerakannya, hingga dua orang murid Ki Jaran Jati tidak sempat lagi berkelit. Maka tendangan kaki Pranggala tepat menghantam dada, membuat mereka terpental balik ke belakang sambil memperdengarkan jeritan panjang melengking tinggi.

Bruk!

Kedua anak muda itu jatuh keras sekali menghantam tanah. Dan hanya sebentar saja mereka menggeliat, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Tampak dada mereka melesak hancur dengan darah mengalir deras dari mulut. Melihat dua orang murid suaminya tewas hanya dalam sekali gebrak saja, Nyi Jaran Jati jadi semakin berang.

"Hiyaaat..!"

Sambil berteriak keras menggelegar, wanita berusia hampir setengah baya itu melompat menerjang. Beberapa kali pedangnya dikebutkan cepat, membuat Pranggala terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Dan saat itu, Badrun juga sudah melesat membantu istri gurunya ini. Akibatnya, Pranggala semakin kelihatan kerepotan menghadapi serangan-serangan cepat dan beruntun dari dua arah ini.

Namun kerepotan yang dialami Pranggala tidak berlangsung lama. Karena begitu mendapatkan kesempatan yang sangat sedikit, cepat sekali tangan kanannya mencabut pedang, dan langsung dibabatkan ke arah Badrun. Begitu cepat kibasannya, hingga membuat Badrun tidak ada kesempatan lagi menghindarinya. Maka cepat-cepat pedangnya dilintangkan kedepan.

"Trang!
"Ikh...?!"

Badrun jadi terpekik kaget. Tenaga dalam yang dimilikinya memang masih kalah, hingga pedangnya terpental tinggi ke udara. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, mendadak saja Pranggala sudah cepat memutar pedangnya. Dan....

Wut!
Cras!
"Aaa...!"

Badrun menjerit begitu pedang Pranggala merobek dadanya. Darah seketika muncrat keluar dari dada pemuda itu. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Dan saat itu juga, Pranggala sudah melesat melepaskan satu tendangan keras menggeledek yang langsung menghantam kepala murid utama Ki Jaran Jati ini.

Prak!
"Aaakh...!"

Kembali Badrun menjerit melengking, begitu kepalanya pecah terkena tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Tubuhnya langsung ambruk, dan menggeletak diam tidak bernyawa lagi. Darah semakin banyak keluar dari kepala dan dadanya. Kematian Badrun membuat Nyi Jaran Jati dan semua muridnya jadi tersentak kaget. Dalam beberapa gebrakan saja, pemuda itu sudah menewaskan tiga orang.

"Serang! Bunuh setan keparat itu....'" teriak Nyi Jaran Jati jadi memuncak amarahnya.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Semua murid almarhum Ki Jaran Jati langsung saja berlompatan, tidak peduli kalau yang dihadapi adalah seorang yang berilmu tinggi. Bahkan juga membunuh guru mereka! Kemarahan sudah membuat kegentaran di hati mereka lenyap seketika. Sementara itu, Pranggala sudah melesat cepat sambil mengebutkan pedangnya beberapa kali. Kecepatannya sukar sekali diikuti pandangan mata biasa.

"Hiya! Yeaaah...!"
Bet!
Wut!
Cras!
"Aaa...!"

Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika itu juga terdengar menyayat, sating sambut yang disusul ambruknya lima orang sekaligus.

Tapi tampaknya Pranggala tidak berhenti sampai di situ saja. Dia berlompatan cepat sambil membabatkan pedangnya. Dan setiap kali pedangnya berkelebat, selalu terdengar jeritan panjang melengking tinggi yang disusul ambruknya tubuh bersimbah darah. Hingga dalam waktu tidak lama saja, sudah lebih dari separo jumlah murid padepokan ini yang ambruk tidak bernyawa lagi.

Darah terus mengalir membasahi halaman depan rumah Ki Jaran Jati. Dan bau anyir darah langsung menyebar terbawa angin. Sementara, Pranggala terus mengamuk. Pedangnya membabat bagai kilat hingga tidak ada seorang pun yang membendungnya lagi. Hanya Nyi Jaran Jati saja yang masih bisa bertahan, dan beberapa kali berhasil menghindari tebasan pedang pemuda itu. Tapi wanita itu juga sulit untuk melakukan serangan yang mendesak. Gerakan-gerakan Pranggala memang sangat cepat luar biasa. Bahkan sering tidak terduga sama sekali.

"Yeaaah...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Pranggala memutar tubuhnya begitu cepat sambil berlompatan menghajar lima orang yang masih tersisa. Dan seketika itu juga, jeritan-jeritan panjang melengking tinggi kembali terdengar menyayat, disusul ambruknya lima orang yang tersisa. Kembali darah berhamburan keluar dari tubuh mereka yang terbelah, menggenangi halaman rumah Ki Jaran Jati.

Kini Pranggala berdiri tegak di depan Nyi Jaran Jati yang jadi terpana melihat semua murid suaminya sudah bergelimpangan tidak bernyawa lagi. Tidak satu pun dari mereka yang kelihatan hidup. Wajah wanita itu jadi berubah memucat, tapi sebentar kemudian kembali memerah. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menatap langsung ke mata pemuda yang berdiri sekitar satu batang tombak di depannya.

"Maafkan aku, Nyi. Ini sudah sumpahku untuk melenyapkan semua yang pernah bersangkutan denganku. Bahkan mereka yang mencoba melindunginya," terasa begitu dingin nada suara Pranggala.

"Kau yang bernama Pranggala...?" tanya Nyi Jaran Jati.

"Benar, Nyi," sahut Pranggala datar.
"Hhh! Jadi kau juga yang membunuh suamiku?"
"Ya," sahut Pranggala terus terang.
"Iblis...! Kau harus membayar mahal, Pranggala!"

"Aku hanya menuntut kebenaran saja, Nyi. Kebenaran yang sudah diputarbalikkan suamimu. Tapi, sungguh. Aku sendiri tadinya tidak tahu kalau dia adalah Ki Jaran Jati. Padahal, sudah begitu lama aku mencarinya. Tapi mungkin memang sang Hyang Widhi sudah menuntunku hingga sampai ke sini. Sekali lagi aku mohon maaf, Nyi. Dan kalau kau sudi melupakan semua peristiwa ini, aku tidak akan datang-datang lagi menemuimu. Kau boleh bebas, karena aku merasa dirimu tidak ada urusan denganku. Tapi anakmu itu.... Dia sengaja mencariku. Bahkan menantangku bertarung. Aku sudah menjelaskannya, tapi dia tidak mau mendengarkan. Maka terpaksa aku harus menghindarinya."

"Kau membunuhnya,..!" sentak Nyi Jaran Jati kalap.

"Aku hanya menghindarinya, Nyi. Menghindari penghalang-penghalangku," bela Pranggala. "Dan kuharap, kau juga tidak mencoba menjadi penghalang."

Nyi Jaran Jati jadi terdiam.

"Maaf. Aku pergi dulu, Nyi. Masih banyak yang harus kukerjakan," kata Pranggala.

Setelah berkata demikian, Pranggala cepa melesat pergi melewati atap rumah. Dan Nyi Jaran Jati jadi tersentak. Cepat-cepat wanita itu melesat mengejar. Tapi begitu kakinya menjejak atap bayangan pemuda itu sudah lenyap tidak terlihat lagi. Nyi Jaran Jati mengedarkan pandangan ke sekeliling, tapi pemuda itu memang sudah tidak terlihat lagi. Entah lenyap ke mana dia....

"Hhh! Apa maksud semua ini...?"

Nyi Jaran Jati jadi bertanya-tanya sendiri. Kembali wanita itu melompat turun dari atas atap rumahnya. Pandangannya beredar merayapi tubuh-tubuh yang bergelimpangan tidak bernyawa lagi. Tidak ada seorang pun yang terlihat masih hidup. Juga, tidak ada lagi orang yang hidup di rumah ini selain dirinya. Nyi Jaran Jati jadi mengeluh sendiri dalam hati. Sungguh tidak pernah dibayangkan kalau akan seperti ini jadinya.

Nyi Jaran Jati terduduk lemas di pinggiran lantai beranda depan rumahnya. Benar-benar tidak dimengerti semua yang telah terjadi. Anak dan suaminya tewas. Juga, semua murid suaminya tidak ada lagi yang hidup. Mereka terbunuh hanya oleh satu orang saja. Tapi, sebenarnya bukan pemuda berbaju merah muda yang menamakan diri Pranggala itu yang menjadi beban pikirannya. Melainkan, apa yang dilakukan suaminya hingga pemuda itu membantai orang-orang terdekatnya...? Pertanyaan ini yang membuat kepala Nyi Jaran Jati jadi terasa mau pecah.

Di saat wanita yang usianya hampir setengah baya itu tengah duduk merenung, terdengar gerit dari arah pintu gerbang. Terlihat pintu gerbang yang sejak tadi tertutup rapat, perlahan-lahan terbuka. Nyi Jaran Jati segera mengangkat kepalanya memperhatikan. Dan dari balik pintu yang tebal dan besar itu, muncul seorang laki-laki berusia setengah baya. Dia berbaju putih bersih yang ketat, hingga membentuk tubuh tegap berotot. Sebilah pedang tampak tergantung di pinggangnya.

Laki-laki itu tampak terperanjat begitu melihat di halaman depan rumah yang cukup luas ini banyak berserakan tubuh tak bernyawa lagi, menyebarkan bau anyir darah menusuk hidung. Cepat-cepat ditutupnya pintu itu kembali, lalu melangkah dengan ayunan lebar begitu melihat Nyi Jaran Jati terduduk dipinggiran lantai beranda. Dari pakaian dan pedang yang dibawa, sudah dapat dipastikan kalau dia adalah Ki Jalaksana.

"Apa yang terjadi, Dewi Manik...?" tanya Ki Jalaksana langsung, memanggil istri kepala desa itu dengan nama aslinya.

"Neraka terjadi di sini, Kakang Jalaksana,” sahut Nyi Jaran Jati yang bernama asli Dewi Manik.

"Jelaskan padaku, apa sesungguhnya yang telah terjadi, Dewi," pinta Ki Jalaksana tidak sabar.

Dengan suara lesu, Dewi Manik yang sering di panggil Nyi Jaran Jati, menceritakan semua yang telah terjadi di rumah ini. Peristiwa yang berawal dari kematian suaminya, yang kemudian disusul anak tunggalnya. Lalu muncul pemuda bernama Pranggala yang ternyata pembunuh suami dan anaknya. Dan pemuda itu juga membantai murid-murid Ki Jaran Jati ini.

Semua diceritakan Dewi Manik secara jelas walaupun dengan suara pelan dan agak tersendat. Sementara, Ki Jalaksana mendengarkan penuh perhatian. Dia jadi tertegun begitu mendengar nama Pranggala disebut. Laki-laki berusia setengah baya itu menghela napas panjang-panjang, kemudian duduk tidak jauh di samping wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik dan gesit ini.

"Anak itu sudah membunuh begitu banyak tokoh persilatan. Dan belum lama ini, dia menewaskan Nyi Langir...," desah Ki Jalaksana.

"Apa...?!"

Dewi Manik tersentak kaget setengah mati, mendengar nama Nyi Langir. Apalagi, Ki Jalaksana mengatakan kalau Nyi Langir tewas di tangan Pranggala. Begitu terkejutnya, sampai kedua matanya terbeliak lebar memandangi wajah Ki Jalaksana. Bahkan dia sampai tidak bisa berkata-kata untuk beberapa saat.

"Kau bilang apa tadi, Kakang Jalaksana...?" tanya Dewi Manik seperti kurang jelas pendengarannya.

"Nyi Langir.... Dia tewas di tangan anak muda itu," sahut Ki Jalaksana mengulangi.

"Keparat..!" desis Dewi Manik geram.

Ki Jalaksana bisa memaklumi kalau wanita ini jadi begitu geram setengah mati mendengar kematian Nyi Langir. Dia tahu, Nyi Langir kakak kandung suaminya, Ki Jaran Jati.

"Dia juga sudah membunuh Eyang Rataka, Nyai Dewi Palanggata, Pendekar Mata Satu dan...."

"Cukup, Kakang...!" sentak Dewi Manik tidak tahan lagi mendengarnya.

Nama-nama yang disebutkan Ki Jalaksana sudah barang tentu sangat dikenalnya, karena masih ada hubungan persaudaraan dengan suaminya. Bahkan beberapa nama yang tidak sempat disebutkan, adalah sahabat-sahabat Ki Jaran Jati. Dan mereka semua tewas di tangan Pranggala!

"Kakang Jalaksana, apa keluarga mereka juga tewas?" tanya Dewi Manik.

"Ya! Bahkan semua pengikutnya, dan siapa saja yang mencoba menghalanginya," sahut Ki Jalaksana. "Sudah tidak terhitung lagi berapa orang yang mencoba menghentikannya telah tewas terbunuh. Bahkan sudah banyak pendekar yang mati di tangannya. Kau tahu, Dewi. Ki Tunggul Santak sendiri sampai menyediakan hadiah seribu kepeng emas untuk kepala anak muda itu."

"Ki Tunggul Santak belum lama datang ke sini. Yaaah.... Belum lama dia pergi, anak muda setan itu datang dan membuat neraka di sini. Ki Tunggul Santak juga sedang mencari anak muda itu," kata Dewi Manik perlahan.

"Kalau Ki Tunggul Santak sudah sampai turun tangan sendiri, ini pasti persoalannya semakin bertambah gawat Dewi," ujar Ki Jalaksana lagi.

"Kakang, kau tahu persoalan apa sebenarnya...?" tanya Dewi Manik ingin tahu.

"Inilah yang membuatku tidak mengerti, Dewi. Dia tiba-tiba saja muncul dan membunuh orang-orang yang sudah kita kenal. Bahkan sempat memporak-porandakan padepokan milik Ki Tunggul Santak, hingga tinggal dua puluh orang saja muridnya yang tersisa. Dari situ Ki Tunggul Santak menyediakan hadiah seribu kepeng emas untuk kepala Pranggala. Dan sampai sekarang, sudah banyak orang persilatan yang mencoba mengadu nasib. Tapi, mereka semua tewas di tangan anak muda itu," jelas Ki Jalaksana.

"Tidak ada yang tahu siapa dia, Kakang?" tanya Dewi Manik lagi.

"Tidak," sahut Ki Jalaksana. "Tapi...."

"Tapi kenapa, Kakang?"

"Anak muda itu muncul pertama kali justru di padepokan milik Ki Tunggul Santak. Setelah itu, dia menyebarkan neraka di mana-mana," jelas Ki Jalaksana lagi.

"Ki Tunggul Santak tidak banyak bercerita di sini. Dia juga hanya sebentar saja. Aku tidak tahu lagi, ke mana perginya," ujar Dewi Manik perlahan, dan terdengar agak mendesah suaranya.

"Dewi! Aku juga harus segera pergi. Anak muda itu harus dicegah secepatnya, sebelum jatuh korban lebih banyak lagi," kata Ki Jalaksana seraya bangkit berdiri.

"Kau bisa menandinginya, Kakang?" tanya Dewi Manik.

"Aku pernah bertarung sekali dengannya. Dan memang, dia memiliki kepandaian tinggi sekali. Tapi aku akan terus mencoba, walaupun nyawaku harus melayang," tegas Ki Jalaksana tegas.

"Kita pergi sama-sama, Kakang," kata Dewi Manik.

Ki Jalaksana memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan di halaman.

"Kita kuburkan mereka dulu,” Kata Dewi Manik seperti mengetahui jalan pikiran sahabat suaminya ini.

EMPAT

Cukup banyak desa yang tersebar di sekitar kaki Gunung Puting. Dan di setiap desa, Pranggala selalu menyebar neraka. Hanya saja, dia tidak pernah mengusik penduduk yang tidak tahu apa-apa. Yang dipilihnya hanya orang-orang tertentu saja. Dan mereka yang didatangi, justru masih ada ikatan tali persaudaraan dengan Ki Jaran Jati. Bahkan juga kerabat, serta para sahabatnya. Dan yang lebih mengherankan lagi, mereka semua bertalian saudara dengan Ki Tunggul Santak. Atau paling tidak memiliki hubungan dekat dengan orang tua itu.

Dan Ki Tunggul Santak sendiri jadi semakin geram saja. Malah hadiah yang disediakan ditambahkannya menjadi tiga ribu kepeng emas bagi siapa saja yang bisa membawa kepala Pranggala padanya. Maka mereka yang merasa memiliki kepandaian dan pemburu hadiah, berlomba-lomba memburu Pranggala. Dan ini semakin membuat darah terus berhamburan ke mana-mana. Dan tampaknya, Pranggala juga menyadari kalau dirinya sekarang menjadi buruan. Tindakannya juga semakin liar saja. Lawan yang menantangnya tidak akan dibiarkan hidup. Mereka yang mencoba merebut hadiah dari Ki Tunggul Santak, tidak ada seorang pun yang bisa hidup lagi. Semua tewas di tangannya.

Sementara itu, Ki Jalaksana dan Dewi Manik yang memburu Pranggala karena kepentingan lain, sudah berada di sebelah utara kaki Gunung Puting. Mereka sudah lima hari mengembara, tapi yang ditemui hanya para pemburu hadiah yang terbujur kaku tidak bernyawa lagi.

"Ini sudah hari kelima kita memburunya, Kakang. Tapi jejak anak setan itu tidak juga keli-hatan...," desah Dewi Manik, terdengar mengeluh.

"Pranggala memang pandai menghilangkan jejak Dewi. Namun kemunculannya juga bisa tak terduga. Dia seperti sudah tahu, di mana orang-orang yang memburunya. Bahkan selalu saja dapat menghindari, dan muncul secara tiba-tiba," jelas Ki Jalaksana yang sudah tahu banyak akan gerak Pranggala.

"Hhh...! Kita seperti menyusuri jejak-jejak setan saja, Kakang," desah Dewi Manik, bernada mengeluh lagi.

"Dia memang anak setan, Dewi. Jejak dan ge-rakannya juga seperti setan. Sukar diduga dan diikuti."

"Yaaah.... Aku jadi sangsi, Kakang."

"Kenapa?"

"Aku sangsi akan kemampuan yang kumiliki. Kalau mau, mungkin sejak kemarin-kemarin leherku sudah digorok, Kakang. Tapi anehnya, kenapa dia membiarkanku hidup...?"

"Kau tidak termasuk dalam hitungannya, Dewi. Dia hanya mencari orang-orang tertentu, serta para pengikut dan keturunannya saja. Memang semua para istri tidak ada yang dibunuh."

Tindakannya sangat membingungkan, Kakang. Aku sendiri hampir tidak bisa mempercayai. Dia begitu tampan, dan kata-katanya juga lembut tapi, tindakannya begitu liar dan kejam. Aku semakin tidak mengerti, Kakang...," ujar Dewi Manik lagi.

"Hhh...!"

Ki Jalaksana hanya menghembuskan napas saja. Dia sendiri sebenarnya masih belum bisa memahami gerakan Pranggala. Pemuda itu memang kelihatannya tidak berbahaya sama sekali. Bahkan setiap kali menewaskan lawannya, selalu mengucapkan kata-kata bernada penyesalan. Dan ini sudah beberapa kali Ki Jalaksana memergokinya, tapi baru sekali sempat bertarung. Itu pun Pranggala tidak melayaninya sungguh-sungguh. Bahkan meninggalkannya pergi begitu saja. Sikap pemuda itu sampai sekarang masih membuatnya bertanya-tanya.

"Ayo kita jalan lagi, Dewi," ajak Ki Jalaksana.

Dewi Manik berdiri sambil menarik napas dalam-dalam. Sementara Ki Jalaksana sudah berada di samping kudanya. Mereka kemudian berlompatan naik. Tapi belum juga menggebah kuda, mendadak saja terdengar jeritan panjang melengking tinggi yang bersamaan terdengarnya ledakan dahsyat menggelegar.

"Apa itu...?" tanya Dewi Manik
"Ayo kita lihat...!" seru Ki Jalaksana.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka langsung saja menggebah kudanya dengan kecepatan tinggi. Sehingga, debu dan dedaunan kering beterbangan ke angkasa tersepak kaki-kaki kuda.

********************

Pendekar Rajawali Sakti

Mata Ki Jalaksana dan Dewi Manik jadi terbeliak, begitu melihat seorang pemuda berbaju merah muda tengah mengamuk membabatkan pedangnya pada para pengeroyoknya. Ada sekitar tiga puluh orang mengeroyok pemuda itu. Dan di sekitar pertarungan itu sudah bergelimpangan tubuh-tubuh berlumuran darah.

Tepat di saat Ki Jalaksana dan Dewi Manik datang, pemuda berbaju merah muda yang tidak lain Pranggala itu sudah cepat memutar tubuhnya. Dan tangan kirinya cepat direntang lurus ke samping. Maka seketika itu juga dari telapak tangan kirinya memancar cahaya merah bagai api yang langsung menyebar, menghantam para pengeroyoknya. Akibatnya jeritan-jeritan panjang pun terdengar saling susul.

Tampak mereka yang tersambar cahaya merah itu langsung menggelepar dengan tubuh hangus seperti terbakar. Dan dalam waktu singkat saja, semua pengeroyok sudah bergelimpangan sambil merintih menggelepar meregang nyawa. Namun tidak berapa lama kemudian, mereka semua mengejang kaku. Mati! Sementara Pranggala sendiri berdiri tegak dengan pedang berlumuran darah tergenggam erat di tangan kanan. Sorot matanya terlihat begitu tajam, merayapi mayat-mayat bergelimpangan di sekitarnya.

Cring!

Dengan gerakan indah sekali, Pranggala memasukkan pedangnya di dalam warangka di pinggang. Lalu, kakinya segera melangkah. Namun baru saja terayun beberapa tindak...

"Pranggala, berhenti kau...!"

Ki Jalaksana membentak lantang, disertai pengerahan tenaga dalam.

"Hm...."

Pranggala menghentikan langkahnya. Perlahan tubuhnya berbalik. saat itu, Ki Jalaksana dan Dewi Manik sudah turun dari punggung kuda masing-masing. Mereka melangkah beberapa tindak mendekati, dan baru berhenti setelah tinggal berjarak sekitar dua batang tombak lagi di depan pemuda berwajah tampan yang sorot matanya begitu tajam memancarkan kebengisan.

"Kalian rupanya...," terasa begitu datar dan dingin nada suara Pranggala.

"Tindakanmu sudah keterlaluan, Pranggala. Kau sudah keluar dari tujuanmu!" dengus Ki Jalaksana.

"Aku sama sekali tak menghendaki, Ki Jalaksana. Mereka saja yang sengaja memburuku, karena ingin mendapatkan hadiah dari Ki Tunggul Santak. Seharusnya, bukan aku yang kau temui, Ki Jalaksana. Tapi, sahabatmu itu. Kalau saja dia tidak berbuat macam-macam, tidak akan seperti ini jadinya," tegas Pranggala.

"Apa pun alasanmu, kau sudah menyebarkan neraka di jagat ini!" sentak Ki Jalaksana.

"Jangan menuduh sembarangan, Ki Jalaksana," desis Pranggala merasa tidak senang.

"Kalau kau tidak mau dituduh, kenapa tidak sembunyi saja? Atau kau pergi ke tempat yang jauh dari sini."

"Masih ada satu lagi urusanku di sini, Ki Jalaksana. Dan ini yang terpenting bagiku."

"Aku tahu tujuanmu, Pranggala. Sebaiknya lupakan saja. Kau tidak akan mungkin bisa membunuh Ki Tunggul Santak. Bukankah dia...."

"Cukup...!" bentak Pranggala lantang, sehingga membuat kata-kata Ki Jalaksana terputus.

Sementara, Dewi Manik sudah menggenggam gagang pedang, walaupun belum tercabut dari warangkanya. Wanita itu sendiri sebenarnya sudah tidak sabar lagi, ingin mengepruk pemuda itu. Tapi dia masih bisa menahan diri, dan membiarkan Ki Jalaksana bicara. Ingin diketahuinya, ada apa sebenarnya di balik semua peristiwa berdarah ini.

"Ki Jalaksana! Sudah berulang kali aku memperingatkanmu. Dan kalau peringatanku yang terakhir ini tidak diindahkan, aku tidak segan-segan memasukkanmu ke dalam deretan orang-orang yang harus kulenyapkan!" kata Pranggala lantang menggelegar.

"Aku tidak akan berhenti sampai kau hentikan semua perbuatanmu, Pranggala," tandas Ki Jalaksana.

Pranggala menggeram kecil. Ditatapnya bola mata laki-laki setengah baya ini dengan sorot mata yang begitu tajam menusuk. Dan pandangannya kemudian berpindah pada Dewi Manik, yang diketahuinya istri Ki Jaran Jati. Kini tatapan matanya pun kembali beralih pada Ki Jalaksana.

"Ini peringatanku yang terakhir, Ki Jalaksana. Kalau tidak cepat pergi dari sini, aku tidak segan-segan memperlakukanmu seperti mereka...!" tegas Pranggala.

"Gertakanmu tidak akan bisa membuatku mundur selangkah pun, Pranggala."

"Jangan memaksaku, Ki Jalaksana."

"Tapi kau sudah memaksaku, Pranggala. Kau memaksaku untuk bertindak."

Pranggala kembali menggeram. Dari raut wajahnya yang memerah, jelas sekali kalau pemuda itu berusaha menahan kemarahan. Sedangkan Ki Jalaksana sudah melangkah lagi beberapa tindak. Sementara, Dewi Manik tetap berada di belakangnya. Perlahan pedangnya dicabut, bersamaan dengan tercabutnya pedang Ki Jalaksana dari warangka. Saat itu, Pranggala sudah tidak dapat lagi menahan kesabaran, melihat senjata dua orang di depannya sudah tercabut dari warangka. Perlahan pedangnya diangkat, hingga lurus sejajar dada dan tertuju langsung ke dada Ki Jalaksana.

"Kuharap, jangan menyesali tindakanmu yang bodoh, Ki Jalaksana," desis Pranggala dingin menggetarkan.

"Hari ini aku akan mengadu nyawa denganmu, Pranggala," sambut Ki Jalaksana tidak kalah dinginnya.

Lagi-lagi Pranggala menggeram kecil.

"Tahan seranganku, Pranggala! Hiyaaat...!"

Bet!

Bagaikan kilat Ki Jalaksana melompat sambil membabatkan pedang ke arah leher pemuda itu. Tapi hanya bergerak sedikit saja, Pranggala berhasil menghindari sabetan pedang itu. Lalu dengan cepat kakinya ditarik ke belakang dua langkah, sebelum Ki Jalaksana melancarkan serangan lagi. Saat itu juga, pedangnya dikebutkan lurus ke depan.

Wuk!
"Haiiit..!"

Ki Jalaksana cepat-cepat melenting dan berputar ke belakang, menghindari serangan balasan Pranggala. Dan begitu kakinya menjejak kembali di tanah, tubuhnya langsung melesat dengan pedang berputaran cepat mengincar bagian-bagian tubuh yang mematikan.

"Hap! Hiyaaa...!"

Begitu gencar serangan yang dilancarkan Ki Jalaksana, membuat Pranggala terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Dan beberapa kali pula pedang mereka berbenturan. Meskipun setiap kali terjadi benturan senjata Ki Jalaksana merasakan tangannya jadi bergetar, tapi tidak dipedulikan lagi. Dan memang disadari tingkat pengerahan tenaga dalam yang dimilikinya masih kalah dari pemuda ini. Namun tetap saja serangan-serangan gencar yang cepat dan beruntun dilancarkannya, membuat Pranggala tidak memiliki kesempatan balas menyerang. Dan pemuda itu hanya bisa berlompatan, berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang dengan gencar dan cepat ini.

Pertarungan antara Ki Jalaksana dan Pranggala memang berlangsung sengit. Dan mereka bertarung menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi yang begitu dahsyat. Gerakan-gerakan yang dilakukan juga begitu cepat, hingga sulit diikuti pandangan mata biasa. Sementara, Dewi Manik yang menyaksikan pertarungan itu jadi cemas juga. Sudah lebih dari sepuluh jurus pertarungan berlangsung, tapi Ki Jalaksana belum juga mampu mendesak. Bahkan serangan balasan yang dilancarkan Pranggala beberapa kali membuat Ki Jalaksana jadi kelabakan.

"Lepas...!"

Tiba-tiba saja Pranggala berseru keras mengejutkan. Dan seketika itu juga, pedangnya cepat dikebutkan untuk sengaja diadu dengan pedang Ki Jalaksana. Begitu cepat putaran pedangnya, sehingga Ki Jalaksana tidak sempat lagi menghindari pedangnya yang saat ini tengah menjulur ke depan. Hingga....

Trang!
"Ikh...!"

Ki Jalaksana jadi terpekik, begitu pedangnya tersambar pedang Pranggala. Begitu keras benturan tadi, hingga laki-laki setengah baya itu tidak dapat lagi menahan pedangnya hingga lepas dari genggaman. Dan saat itu juga, tangannya terasa jadi bergetar panas. Sementara, pedangnya sudah melambung tinggi ke angkasa.

"Hiyaaa...!"

Ki Jalaksana langsung melesat tinggi ke udara, hendak meraih pedangnya kembali. Tapi pada saat itu juga, Pranggala sudah melenting ke atas juga. Dan dengan kecepatan bagai kilat dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek dengan tangan kiri, yang disusul sabetan pedang ke arah perut.

"Haiiit..!"

Namun Ki Jalaksana masih bisa menghindari pukulan itu. Dan matanya jadi terbeliak, karena tidak menyangka kalau Pranggala bisa mengebutkan pedangnya begitu cepat bagai kilat. Akibatnya, dia tidak sempat lagi menghindar. Dan....

Cras!
"Aaakh...!"
Bruk!

Keras sekali Ki Jalaksana ambruk, terbanting ke tanah dengan bagian perut robek mengeluarkan darah.

Kakang...!" jerit Dewi Manik.

Wanita itu jadi tersentak kaget setengah mati, melihat Ki Jalaksana menggelepar di tanah sambil memegangi perutnya yang sobek berlumuran darah. Tanpa menunggu waktu lagi, segera tubuhnya melesat mengejar Pranggala yang baru saja menjejakkan kakinya kembali di tanah. Cepat sekali pedangnya dicabut dan langsung dibabatkan ke kepala pemuda itu.

"Kubunuh kau, Setan Keparat! Hiyaaat...!"
Bet!
"Hap!"

Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepala, tebasan pedang Dewi Manik tidak sampai mengenai kepala Pranggala. Lalu dengan gerakan manis sekali, Pranggala menarik kakinya ke belakang satu langkah. Dan seketika itu juga kaki kirinya cepat dihentakkan ke depan, sambil memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri.

"Yeaaah...!"

Begitu cepat dan sama sekali tidak terduga tendangan yang dilepaskan Pranggala, membuat tubuh Dewi Manik sama sekali tidak dapat lagi menghindarinya. Hingga....

Des!
"Akh...!"

Dewi Manik jadi terpekik, begitu tendangan yang cukup keras ini mendarat tepat di dadanya. Wanita itu terpental ke belakang sejauh lima langkah, namun cepat bisa menguasai keseimbangan. Dan dengan cepat, dia kembali melompat sambil menebaskan pedang ke arah dada.

"Hiyaaat...!"
Wut!
"Haiiit..!"

Pranggala cepat menarik tubuhnya ke belakang, sehingga ujung pedang Dewi Manik hanya lewat sedikit di depan dadanya. Dan saat itu juga, tangannya dijulurkan ke depan, mencoba melum-puhkan wanita ini dengan totokan. Tapi gerakan tangan yang lembut itu bisa diketahui Dewi Manik. Maka cepat-cepat pedangnya ditarik, dan langsung dikibaskan menyilang ke depan dada.

"Ups...!"

Pranggala agak terkejut juga melihat tindakan wanita ini. Maka cepat tangannya ditarik kembali, dengan kaki bergeser ke kanan sedikit. Lalu begitu tubuhnya doyong ke kiri, cepat sekali kaki kanannya menghentak ke depan, tepat mengarah ke dada wanita lawannya ini.

"Hap!"

Dewi Manik kembali menebaskan pedangnya secara berputar ke depan dada, membuat Pranggala terpaksa harus menarik pulang serangannya. Dan begitu kedua kakinya menjejak tanah, Dewi Manik sudah cepat mengebutkan pedangnya lagi ke arah perut sambil meliuk dengan gerakan indah sekali.

"Hap!"

Tapi tanpa diduga sama sekali, Pranggala tidak berusaha menghindar sedikit pun juga. Bahkan tanpa diduga telapak tangannya dirapatkan di depan perut, tepat di saat ujung pedang Dewi Manik berada di depan perutnya. Dan....

Tap!
"Ikh...!"

Dewi Manik jadi tersentak kaget, begitu ujung pedangnya terjepit kedua telapak tangan Pranggala. Segera pedangnya ditarik, tapi sedikit pun tidak bergerak. Bahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya sudah dikerahkan, membetot pedang yang terjepit di kedua telapak tangan lawannya ini. Tapi, tetap saja senjata itu sedikit pun tidak bergerak.

"Setan keparat! Hih! Yeaaah...!"

Dengan perasaan mendongkol, Dewi Manik langsung melenting ke atas. Dan saat itu juga, dilepaskannya satu tendangan keras yang mengarah ke kepala pemuda ini. Namun tanpa diduga sama sekali, Pranggala justru menghentakkan tangannya yang menjepit ujung pedang, hingga membuat Dewi Manik jadi tersentak setengah mati.

Dan belum juga hilang rasa keterkejutan Dewi Manik, mendadak saja Pranggala sudah melepaskan jepitan pada ujung pedang. Lalu begitu cepat tangan kanannya menghentak ke depan, tepat ke dada wanita ini. Saking cepatnya sentakan itu, sehingga Dewi Manik tidak sempat lagi menghindarinya. Dan...

Des!
"Akh...!"

Kembali Dewi Manik terpekik, begitu telapak tangan Pranggala menghantam keras dadanya. Akibatnya, tubuhnya terpental jauh ke belakang sejauh satu batang tombak. Dan saat itu juga, Pranggala sudah melesat cepat bagai kilat mengejar wanita ini. Bahkan sebelum tubuh Dewi Manik bisa menyentuh tanah, Pranggala sudah melepaskan satu tendangan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu deras tendangan itu, hingga sudah dapat dipastikan tubuh Dewi Manik pasti bakal hancur! Tapi sedikit lagi saja telapak kaki Pranggala menghantam tubuh wanita ini, mendadak...

Slap!
Plak!
"Ikh...?!"

Pranggala jadi tersentak kaget, karena tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan putih melesat begitu cepat memotong arus serangannya. Dan seketika itu juga, terasa ada sesuatu yang sangat keras menghantam kakinya. Akibatnya, dia jadi terpekik kaget, dan cepat-cepat melenting ke belakang. Tiga kali Pranggala melakukan putaran, lalu manis sekali kembali menjejakkan kakinya di tanah. Saat itu juga, kedua bola matanya jadi mendelik lebar. Ternyata sekitar dua batang tombak di depannya sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan, tengah memondong tubuh Dewi Manik yang tampaknya sudah tidak sadarkan diri lagi.

Pemuda berwajah tampan bertubuh tegap berotot dan berbaju putih tanpa lengan itu meletakkan tubuh Dewi Manik di atas tanah yang cukup teduh dan aman. Kemudian dia. berdiri lagi, menghadapi Pranggala. Namun, pandangannya tertuju pada Ki Jalaksana yang masih tergeletak dengan darah mengucur cukup deras dari perutnya yang sobek. Pemuda itu menghampiri laki-laki berusia setengah baya ini. Sebentar diperiksanya laki-laki itu, lalu diberikannya beberapa totokan di sekitar perut yang sobek. Seketika itu juga darah berhenti mengalir keluar. Dan, pemuda itu kembali berdiri tegak menghadapi Pranggala.

"Setan! Siapa kau...?!" bentak Pranggala gusar.

LIMA

"Kau yang membunuh mereka semua...?" pemuda berbaju rompi putih itu malah balik bertanya, dengan suara terdengar agak dingin.

"Merekalah yang cari mampus sendiri!" sahut Pranggala, ketus.

"Hebat sekali kepandaianmu, Kisanak Tapi sayang, digunakan untuk membantai sesamamu."

"Phuih! Apa urusanmu, heh...?! Atau kau juga tertarik oleh hadiah yang disediakan Ki Tunggul Santak untuk membawa kepalaku...? Kalau memang itu kemauanmu, ayo maju saja sekalian. Biar kukirim kau sekalian ke neraka!" dengus Pranggala lantang.

Tapi, pemuda berwajah tampan dan berkulit putih bersih yang terbungkus baju rompi putih itu hanya diam saja. Hanya saja matanya memandang dengan sorot mata tajam, menembus langsung ke bola mata Pranggala. Dan perlahan kakinya melangkah beberapa tindak ke depan, hingga jaraknya tinggal sekitar tujuh langkah lagi. Sementara, Pranggala sudah menyilangkan pedangnya di depan dada. Sorot matanya juga memancar begitu tajam, membalas tatapan mata pemuda berbaju rompi putih yang sama sekali tidak dikenalnya ini

Belum lagi mereka ada yang membuka suara terdengar suara langkah kaki-kaki kuda menuju tempat ini. Dan tidak lama kemudian terlihat seorang gadis cantik menunggang kuda putih sambil menuntun seekor kuda hitam yang melangkah belakang, tanpa penunggang. Gadis itu langsung melompat turun dari punggung kuda. Langsung dihampirinya pemuda berbaju rompi putih yang menyandang sebilah pedang bergagang kepala burung di punggung.

Gadis berwajah cantik berbaju biru muda itu lalu berdiri di sebelah kanan pemuda berbaju rompi putih ini. Pedangnya yang bergagang kepala naga berwarna hitam tampak menyembul di balik punggung. Sementara sebuah kipas putih keperakan tampak terselip di balik ikat pinggangnya. Saat itu, Pranggala hanya memperhatikan saja dengan sinar mata masih menyorot tajam menusuk.

"Kau urus mereka yang masih hidup, Pandan, ujar pemuda itu tanpa berpaling sedikit pun juga.

"Berapa orang?" tanya gadis cantik berbaju biru yang dipanggil Pandan ini

Memang, gadis cantik itu adalah Pandan Wangi. Di kalangan rimba persilatan, dia lebih dikenal sebagai si Kipas Maut. Sedangkan pemuda berbajui rompi putih yang menyelamatkan nyawa Dewi Manik ini tidak lain dari Rangga, yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.

"Dua. Satu wanita, dan satu lagi laki-laki yang berada di bawah pohon itu," sahut Rangga sambil menunjuk Ki Jalaksana.

Tanpa bertanya lagi, Pandan Wangi bergegas menghampiri Dewi Manik, satu-satunya wanita yang ada di tempat ini. Sebentar diperiksanya luka-luka yang diderita Dewi Manik. Dan wanita itu sempat mengatakan sesuatu pada si Kipas Maut. Setelah membawa Dewi Manik ke tempat yang lebih baik, Pandan Wangi bergegas menghampiri Ki Jalaksana. Keningnya seketika berkerut melihat luka dan keadaan tubuh laki-laki berusia setengah baya ini.

"Aku tidak tahu siapa dirimu, Kisanak. Tapi aku tahu, kaulah yang membantai mereka semua. Hhh...! Tindakanmu sungguh kejam. Tidak seharusnya mereka semua dibunuh," kata Rangga menyesali tindakan Pranggala yang membantai habis setiap lawannya.

"Hhh! Sudah kuduga.... Kau pasti sama seperti yang lain. Gampang tergiur oleh hadiah yang dijanjikan Ki Tunggul Santak. Baik! Aku tidak bakal menyingkir. Bahkan ingin bertemu langsung dengannya. Akan kulumat dia sampai habis, tidak bersisa lagi. Dan kalau kau mau mencoba, silakan. Dengan senang hati akan kulayani," kata Pranggala, agak datar nada suaranya.

"Sadarlah, Kisanak. Tidak ada gunanya mengumbar nafsu dan amarah dengan menyebarkan maut di mana-mana. Semua yang kau lakukan hanya menyulitkan dirimu saja. Percayalah. Semua persoalan pasti bisa diselesaikan secara baik-baik. Tidak harus dengan pertumpahan darah," kata Rangga mencoba lembut. "Sedangkan untuk mengetahui siapa yang salah dan siapa yang benar, nanti akar diketahui. Dan sebaiknya, hentikanlah semua pembantaian ini. Tidak ada gunanya lagi bagimu terus-menerus membantai sesama manusia.

"Sudah! Aku tidak perlu nasihatmu...!" bentak Pranggala sengit.

"Aku tidak menasihatimu, Kisanak. Aku hanya...."

"Cukup...!"

Rangga langsung berhenti, begitu Pranggala membentaknya dengan suara keras menggelegar. Tampak raut wajah pemuda itu jadi memerah. Sedangkan kedua bola matanya berapi-api, menatap langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Dan untuk beberapa saat mereka jadi terdiam, saling berpandangan dengan sorot mata tajam. Seakan-akan, tengah mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki masing-masing.

"Aku tidak mengenalmu, Kisanak. Sebaiknya jangan ikut campur urusanku. Sebelum pikiranku berubah, sebaiknya segeralah menyingkir dari sini. Daripada nanti kepalamu kupecahkan," terasa begitu dingin nada suara Pranggala.

Rangga jadi tercenung juga mendengar kata-kata bernada ancaman itu. Dan dari sorot matanya, Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau Pranggala tidak main-main. Sementara Pandan Wangi yang sejak tadi mendengar percakapan itu, sudah langsung gemas. Dia bangkit berdiri dan hendak meninggalkan Ki Jalaksana. Tapi belum juga kakinya terayun, Ki Jalaksana sudah mencegahnya.

"Sebaiknya kalian pergi saja. Dia bukan manusia lagi. Kalian hanya akan mengantarkan nyawa saja berurusan dengannya," lemah sekali suara Ki Jalaksana.

Kening Pandan Wangi jadi berkerut juga, mendengar kata-kata orang tua itu. Sebentar dipandanginya wajah Ki Jalaksana yang semakin kelihatan memucat. Kemudian pandangannya beralih pada Rangga yang masih berdiri berhadapan dengan Pranggala. Sementara itu, terlihat Pranggala sudah menyilangkan pedang kembali di depan dada. Sorot matanya sangat tajam, seakan hendak merobek jantung melalui kedua bola

mata Rangga yang juga menatap tidak kalah tajam.

"Turuti saja kata-kataku, Nisanak. Ajak temanmu pergi dari sini," ujar Ki Jalaksana lagi sambil terbatuk kecil.

Darah kembali keluar dari rongga mulut laki-laki setengah baya itu. Sementara Pandan Wangi kelihatan jadi bimbang. Tapi begitu mengalihkan pandangan pada Ki Jalaksana lagi, mendadak saja terdengar teriakan keras menggelegar yang begitu mengejutkan. Cepat Pandan Wangi memalingkan wajahnya. Saat itu tampak Pranggala sudah melesat menyerang Rangga dengan kecepatan tinggi. Pedangnya dikebutkan begitu cepat mengarah ke kepala PendekarRajawali Sakti.

Wut! br/> "Haps...!"

Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepala Pendekar Rajawali Sakti bisa menghindari serangan pedang Pranggala.Lalu cepat kakinya ditarik belakang dua langkah. Namun pada saat yang bersamaan, Pranggala sudah memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri. Dan saat itu juga, kaki kanannya melayang deras mengarahke dada.

"Haiiit..!"

Rangga agak terkejut juga mendapatkan serangan yang demikian cepat dan beruntun ini. Maka cepat tubuhnya dimiringkan ke kiri, menghindari tendangan menggeledek yang dilepaskan Pranggala. Lalu begitu cepat tangan kanannya dihentakkan, tepat menghantam tulang kering kaki Pranggala yang menjulur lurus, lewat di samping tubuhnya. Begitu cepat sekali sentakan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Pranggala tidak sempat lagi menghindarinya. Dan....

Plak!
"Ikh...!"

Pranggala jadi terpekik kecil. Cepat-cepat kakinya ditarik, dan melompat ke belakang. Untung saja Rangga tidak mengerahkan tenaga dalam pada pukulannya. Sehingga, Pranggala hanya meringis sedikit merasakan nyeri pada tulang kakinya.

Pranggala tadi memang terlalu menganggap enteng pemuda berbaju rompi putih ini, hingga sempat kecolongan. Dan untung saja pukulan Pendekar Rajawali Sakti barusan tidak disertai pengerahan tenaga dalam, sehingga tulang kakinya tidak sampai remuk. Saat itu juga, Pranggala cepat menyadari kalau lawan yang dihadapinya sekarang ini tidak seperti lawan-lawannya terdahulu. Nyatanya, pemuda berbaju rompi putih itu memiliki kemampuan tinggi. Ini bisa dilihat dari gerakannya yang begitu cepat, saat menghindari serangannya tadi. Bahkan Pranggala sama sekali tidak bisa melihat gerakan tangan pemuda berbaju rompi putih itu, yang begitu cepat menghantam tulang kering kaki kanannya tadi.

"Phuih! Rupanya kau punya kepandaian juga, heh...?!" dengus Pranggala seraya menyemburkan ludah dengan sengit.

Rangga hanya diam saja. Namun matanya terus memperhatikan gerakan kaki Pranggala yang menggeser ke kanan menyusuri tanah. Sedangkan pedang pemuda itu bergerak-gerak melintang di depan dada. Sementara, Pandan Wangi yang di samping Ki Jalaksana tanpa berkedip memperhatikan kedua pemuda yang berdiri saling berhadapan itu. Sedangkan Ki Jalaksana yang masih baring dengan wajah semakin memucat beberapa kali terbatuk disertai semburan darah dari mulutnya.

"Nisanak... Dengarkan aku.... Ugkh!"

Perhatian Pandan Wangi jadi beralih. Ditatapnya Ki Jalaksana yang berusaha bangkit, tapi kembali roboh dan menggeletak di tanah. Darah kental berwarna kehitaman menyembur dari mulutnya. Cepat-cepat Pandan Wangi mendekati, dan berlutut di sampingnya.

"Nisanak dia bernama Pranggala. Dia sudah banyak membunuh orang. Tidak sedikit pendekar tangguh mati di tangannya. Sebaiknya, cepatlah pergi. Dan jangan berurusan dengannya. Kau akan mati, Nisanak..," kata Ki Jalaksana terbata-bata.

"Siapa dia sebenarnya, Ki?" tanya Pandan Wangi.

Saat itu, pertarungan antara Pranggala dan Pendekar Rajawali Sakti sudah berlangsung sengit. Tapi, Pandan Wangi tidak mempunyai kesempatan untuk memperhatikan. Karena, perhatiannya kini tercurah penuh pada Ki Jalaksana yang semakin memucat wajahnya. Bahkan tarikan napasnya juga sudah tersendat-sendat. Beberapa kali Ki Jalaksa terbatuk dan menyemburkan darah kental berwarna agak kehitaman.

"Tidak ada seorang pun yang tahu siapa dia dan dari mana asalnya. Tapi...," kata-kata Ki jalaksana terputus. Kembali laki-laki setengah baya itu terbatuk beberapa kali dengan darah terus berhamburan dari mulutnya.

"Tapi kenapa, Ki?" tanya Pandan Wangi mendesak.

"Ki Tunggul Santak..."
"Siapa...?"

"Ki Tunggul Santak. Dialah yang menyediakan hadiah tiga ribu kepeng emas untuk kepala anak itu.... Ugkh...!"

"Ki...."

Pandan Wangi mengguncang bahu Ki Jalaksana. Tapi, laki-laki berusia setengah baya itu sudah mengejang, lalu terkulai tidak bernyawa lagi. Memang sangat parah luka yang dideritanya. Pandan Wangi hanya bisa menarik napas sedikit. Dan perhatiannya langsung beralih pada Dewi Manik. Bergegas dihampirinya wanita itu. Tapi gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu juga jadi terperanjat karena Dewi Manik juga sudah tidak bernyawa lagi.

"Hm.... Aku harus segera memberi tahu Kakang Rangga. Aku yakin, pemuda itu sangat berbahaya," gumam Pandan Wangi.

Lalu si Kipas Maut itu segera melangkah cepat menghampiri Rangga yang masih bertarung sengit melawan Pranggala. Tapi ayunan kakinya jadi terhenti, begitu melihat pertarungan kedua pemuda itu sepertinya tidak mungkin dihentikan begitu saja. Bahkan kalau Pendekar Rajawali Sakti dipanggil, bisa berbahaya akibatnya. Bisa-bisa pemuda berbaju rompi putih ini akan celaka. Kini Panda Wangi jadi kebingungan sendiri, tidak tahu bagaimana cara menghentikan pertarungan. Dan dia jadi berdiri mematung memperhatikan tanpa berkedip sedikit pun juga.

Sementara pertarungan antara Pranggala melawan Pendekar Rajawali Sakti terus berlangsung semakin sengit. Entah sudah berapa jurus berlalu tapi tampaknya tidak akan cepat-cepat berakhir. Kini mereka sudah sama-sama saling melontarkan serangan-serangan dahsyat yang sangat berbahaya. Sedikit saja kelengahan, akan sangat berbahaya akibatnya.

Saat itu, terlihat Rangga melentingkan tubuhnya ke atas, hingga melewati kepala lawannya. Dan dengan gerakan cepat sekali, tubuhnya menukik dengan kedua kaki berputar cepat mengarah ke kepala Pranggala. Begitu cepatnya gerakan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti, membuat Pranggala jadi tersentak.

"Haiiit..!"
Wut!

Tapi Pranggala bisa cepat menguasai keadaan. Maka bagai kilat pedangnya dikebutkan ke atas kepala, hingga membuat Rangga terpaksa harus menarik kakinya kembali. Dan saat itu juga, tubuhnya terbalik, hingga kepalanya berada di bawah. Tepat di saat jangkauan tangannya berada di depan dada, secepat kilat tangan kanannya dihentakkan, melepaskan satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

"Yeaaah...!"

Begitu cepatnya gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Pranggala yang baru saja bisa menghindari terjangan kakinya, jadi terbeliak kaget setengah mati. Dan pemuda itu berusaha berkelit menghindarinya, tapi tanpa diduga Rangga merangkum jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dengan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Akibatnya, tangannya bisa berputar begitu cepat mengibas mengikuti gerakan tubuh Pranggala. Apalagi, gerakan Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak diduga. Hingga....

Diegkh!
"Akh...!"

Begitu keras kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Pranggala terpental sampai sejauh dua batang tombak. Dan tubuhnya jatuh menghantam tanah dengan keras, membuat pemuda itu kembali terpekik. Sementara, Rangga sudah kembali berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

"Phuih!"

Sambil menyemburkan ludah dengan sengit, Pranggala kembali bangkit berdiri. Dadanya terasa begitu sesak. Dan napasnya juga jadi tersengal, bagai ada sebongkah batu yang mengganjal rongga dadanya. Sedikit kepalanya menggeleng, mencoba mengusir rasa pening di kepala, yang membuat pandangannya jadi berkunang-kunang.

"Belum pernah ada seorang pun yang membuatku jatuh. Hhh!" Bisik dalam hati Pranggala.

Sorot mata Pranggala terlihat begitu tajam menusuk langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada, sejauh dua batang tombak.

"Kepandaianmu luar biasa, Kisanak. Tapi sayang, aku tidak ada waktu untuk terus meladenimu. Masih ada urusanku yang belum selesai. Kelak, akan bertemu lagi," kata Pranggala masih dengar suara yang terdengar dingin.

"Hm...."

Rangga hanya menggumam sedikit saja, melihat Pranggala memutar tubuhnya. Dan dengar kecepatan bagai kilat, pemuda itu melesat pergi. Begitu tinggi tingkat ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga dalam sekejap saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara Rangga masih tetap berdiri tegak memandang ke arah lenyapnya Pranggala.

Pendekar Rajawali Sakti baru memutar tubuhnya, begitu mendengar suara langkah-langkah kaki yang begitu ringan menghampiri. Ternyata itu langkah Pandan Wangi. Gadis itu berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi di depan pemuda berbaju rompi putih ini.

"Kenapa dia kau biarkan pergi, Kakang? Padahal, kau bisa saja membunuhnya tadi," kata Pandan Wangi langsung, seperti menyesali sikap Rangga yang membiarkan Pranggala pergi begitu saja.

"Tidak ada alasan untuk membunuhnya, Pandan," sahut Rangga kalem.

"Tidak ada alasan katamu...?" Pandan Wangi jadi mendelik. "Lihat mayat-mayat ini! Dialah yang membantainya, Kakang. Apa alasan itu belum cukup...?"

"Aku tidak tahu siapa mereka semua, Pandan."

"Aku tahu," selak Pandan Wangi cepat.

Kening Rangga jadi berkerut. Dipandanginya wajah cantik itu dalam-dalam. Dan yang dipandangi malah membalasnya dengan sorot mata tajam. Untuk beberapa saat, mereka terdiam saling berpandangan.

"Kalau pemuda tadi namanya Pranggala. Sudah banyak yang mati di tangannya. Bahkan tidak sedikit pendekar yang mati. Dan mereka ini...," Pandan Wangi penunjuk mayat-mayat yang bergelimpangan termasuk mayat Dewi Manik dan Ki Jalaksana. "Mereka semua hendak menangkap pemuda itu, Kakang."

"Dari mana kau tahu semua itu, Pandan?" tanya Rangga agak heran juga.

"Laki-laki itu yang mengatakannya padaku sebelum dia mati," sahut Pandan Wangi seraya menunjuk mayat Ki Jalaksana.

Rangga hanya melirik saja sedikit. Walaupun tidak memeriksa, dia juga sudah tahu kalau orang yang ditunjuk Pandan Wangi sudah tidak bernyawa lagi.

"Juga wanita itu, Kakang. Sebelum meninggal, dia sempat mengatakan kalau Pranggala itu iblis pembunuh yang harus dilenyapkan. Bahkan akan membunuh siapa saja yang dijumpainya. Apalagi, kepandaiannya juga sangat tinggi. Begitu berbahayanya, sampai-sampai Ki Tunggul Santak mengeluarkan hadiah tiga ribu kepeng emas untuk kepalanya," sambung Pandan Wangi, menjelaskan lagi.

"Siapa itu Ki Tunggul Santak?" tanya Rangga jadi semakin heran.

"Aku sendiri tidak tahu. Mereka tidak sempat mengatakan lebih jelas lagi. Luka yang mereka derita sangat parah, Kakang. Dan aku tidak bisa lagi menolong," sahut Pandan Wangi. "Tapi wanita itu sempat mengatakan, jika kita mau bertemu Ki Tunggul Santak, tempat tinggalnya tidak jauh dari sini. Dan katanya lagi, sekarang Ki Tunggul Santak sedang berada di sekitar Desa Salak Rejeng. Hanya saja tepatnya tidak tahu."

"Desa Salak Rejeng ada di kaki Gunung Puting ini," terdengar bergumam suara Rangga.

"Sebaiknya, kita ke sana saja, Kakang," kata Pandan Wangi cepat memberi saran.

"Untuk apa?" tanya Rangga.

"Mencari tahu, siapa sebenarnya Pranggala itu. Kalau memang sangat berbahaya, rasanya tidak mungkin kita berdiam diri saja, Kakang. Dan kalau kupikir, mustahil Ki Tunggul Santak sudi mengeluarkan hadiah begitu besar untuk kepala Pranggala. Jadi jelas, pemuda itu memang berbahaya," kata Pandan Wangi lagi.

Rangga jadi terdiam merenung. Kakinya lalu terayun menghampiri dua ekor kuda yang berada tidak seberapa jauh dari tempat mereka berdua berdiri. Pandan Wangi memandangi sebentar, lalu bergegas menyusul. Mereka memegangi tali kekang kuda masing-masing, tapi belum juga beranjak pergi dari tempat ini. Sementara angin yang bertiup perlahan, mulai menyebarkan bau anyir darah yang mengalir dari tubuh-tubuh bergelimpangan tak bernyawa lagi di sekitar tempat ini. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti merayapi tubuh-tubuh yang bergelimpangan saling tumpang tindih itu.

"Hup!"

Dengan gerakan ringan dan indah sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung kuda hitamnya yang dikenal bernama Dewa Bayu. Pandan Wangi bergegas mengikuti, naik ke punggung kuda putih tunggangannya. Tapi, mereka belum juga menggebahnya. Entah apa yang ada dalam benak Rangga, hingga seperti merenung memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan menyebarkan bau anyir darah.

"Tidak lama lagi malam akan tiba, Kakang. Kau mau bermalam di sini?" Pandan Wangi mengingatkan.

"Hanya Desa Salak Rejeng yang terdekat dari sini, Pandan," kata Rangga pelan, seperti bicara pada diri sendiri.

"Tidak ada salahnya kita ke sana, Kakang."

Rangga hanya tersenyum saja sedikit, kemudian mendecak. Tali kekang kudanya segera dihentakkan. Maka kuda hitam bernama Dewa Bayu itu melangkah perlahan-lahan. Sementara Pandan Wangi mengikuti dari samping kiri Pendekar Rajawali Sakti. Mereka terus menjalankan kuda perlahan-lahan, meninggalkan tubuh-tubuh yang bergelimpangan saling tumpang tindih tidak bernyawa lagi.

Saat itu, matahari memang sudah condong ke arah barat. Cahayanya tidak lagi terik. Dan angin yang bertiup sudah mulai terasa dingin. Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu terus menjalankan kuda perlahan-lahan menuju Desa Salak Rejeng yang tidak jauh lagi jaraknya.

********************

ENAM

Tidak terlalu sulit untuk mencari tempat tinggal Ki Tunggul Santak. Dengan pengumuman hadiah tiga ribu kepeng emas bagi siapa saja yang berhasil membawa kepala Pranggala kepadanya yang disebarkan, semua orang di Desa Salak Rejeng ini sudah mengenal Ki Tunggul Santak. Bahkan hanya sekali saja Rangga bertanya, maka orang yang ditanya langsung mengantarkan sampai ke depan rumahnya.

Rumah Ki Tunggul Santak memang tidak begitu besar, tapi memiliki halaman cukup luas. Dan sebenarnya rumah itu hanya disewa Ki Tunggul Santak, selama belum ada seorang pun yang mampu membawa kepala Pranggala padanya. Bukan hanya Rangga saja yang merasa heran, karena rumah itu dijaga ketat puluhan anak-anak muda bersenjata pedang dan golok. Tapi, Pandan Wangi juga jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Entah dari mana Ki Tunggul Santak bisa mengumpulkan mereka. Padahal, muridnya sendiri sudah tinggal sedikit. Tapi sekarang, rumah sewa yang kini menjadi tempat tinggal sementara dijaga ketat. Entah berapa puluh orang yang menjaga di sekeliling rumah itu.

Rangga langsung melompat turun dari punggung kudanya, begitu tiba di depan pintu pagar bambu yang mengelilingi rumah kecil dan sederhana bentuknya itu. Terlihat tiga orang anak muda yang semuanya menyandang pedang di pinggang menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Pandan Wangi juga segera turun dari punggung kudanya. Mereka menunggu tiga orang murid Ki Tunggul Santak itu sampai dekat.

"Maaf, apakah ini tempat tinggal Ki Tunggul Santak?" tanya Rangga langsung, setelah memberi salam.

"Benar," sahut salah seorang anak muda itu. "Kalian siapa, dan apa keperluannya hingga ingin bertemu Ki Tunggul...?"

"Kami hanya dua orang pengembara, yang mendengar kalau Ki Tunggul Santak menyediakan hadiah besar bagi siapa saja yang bisa membawa kepala Pranggala. Kami berdua merasa tertarik, dan ingin meminta keterangan sebelum mencari orang yang kepalanya disayembarakan itu," sahut Rangga beralasan.

"Ikut aku," kata pemuda itu lagi, seraya berbalik.

Pendekar Rajawali Sakti mengangguk, lalu melangkah mengikuti. Sementara Pandan Wangi juga ikut melangkah di samping kanannya. Tapi begitu mereka sampai di tengah halaman, dua orang pemuda mencegatnya.

"Biar kami yang mengurus kuda-kuda kalian," pinta salah seorang.

Rangga tersenyum, lalu menyerahkan tali kekang kudanya pada salah seorang dari mereka. Pandan Wangi juga menyerahkan kudanya. Kinimereka kembali melangkah mengikuti pemuda yang sejak tadi terus berjalan di depan. Kemudian pendekar muda dari Karang Setra itu kemudian disuruh menunggu, setelah tiba di beranda depan rumah yang kecil dan sederhana ini. Sementara, pemuda yang membawanya sudah menghilang ke dalam. Tapi tidak berapa lama, dia muncul lagi bersama seorang laki-laki tua berjubah putih bersih, dengan sebilah pedang tergenggam di tangan kiri. Sarung pedang itu terlihat indah berwarna hitam yang berkilat.

"Silakan duduk," ucap laki-laki tua yang tidak lain Ki Tunggul Santak, dengan senyum ramah tersungging di bibirnya.

"Terima kasih," ucap Rangga.

Mereka bertiga kemudian duduk di lantai beranda depan yang beralaskan selembar tikar lusuh. Sementara, anak muda yang mengantarkan kedua pendekar itu sudah menghilang lagi entah ke mana.

"Kudengar kalian ingin bertemu denganku...?" tanya Ki Tunggul Santak masih ramah sikapnya.

"Benar," sahut Rangga. "Kami ingin bertemu orang yang bernama Ki Tunggul Santak."

"Akulah Ki Tunggul Santak."
"Ooo...."

"Dan kalian dua orang pendekar yang ingin mengadu nasib?" tanya Ki Tunggul Santak ingin memastikan.

"Benar, Ki," sahut Rangga lagi seraya mengangguk sedikit.

"Ketahuilah. Orang yang akan kalian kejar memiliki kepandaian tinggi sekali dan sukar ditandingi. Sudah banyak pendekar seperti kalian, baik muda maupun tua yang mencoba mengadu nasib. Tapi sampai sekarang, yang kudengar hanya kematian mereka saja. Tidak seorang pun yang sanggup menandingi kesaktian Pranggala. Maaf, bukannya ingin menggentarkan dan menghilangkan semangat kalian berdua. Paling tidak kalian harus siap, kalau orang yang akan dihadapi tidak sembarangan," kata Ki Tunggul Santak langsung menjelaskan.

"Kami tahu, Ki," ujar Rangga kembali tersenyum sedikit.

"Ya, aku percaya. Kalian pasti sudah mendengar banyak dari orang-orang. Aku memang menyebar pengumuman itu, tidak hanya di Desa Salak Rejeng ini. Tapi di seluruh desa yang ada di sekitar kaki Gunung Puting ini."

"Mudah-mudahan nasib kami baik, Ki," Ujar Rangga.

"Bukan hanya pada kalian berdua saja. Setiap orang yang datang ke sini, selalu kuharapkan bisa datang kembali dengan membawa berita menggembirakan. Tapi sampai sekarang, tidak ada seorang pun yang bisa membawa kepala Pranggala kesini," kata Ki Tunggul Santak.

Rangga hanya diam saja. Bisa dirasakan adanya keputusasaan dalam nada suara laki-laki tua ini. Sedangkan Pandan Wangi sejak tadi hanya diam saja mendengarkan semua percakapan itu, tanpa sedikit pun menyelak. Juga bisa dirasakannya kalau kata-kata Ki Tunggul Santak tadi memang mengandung nada keputusasaan. Tapi diam-diam, ada sesuatu yang mengganjal dalam hati Pandan Wangi. Hanya saja gadis itu seperti tidak mau mengutarakannya. Dan hanya lirikan matanya saja yang beberapa kali hinggap di wajah Pendekar Rajawali Sakti.

Kesempatan Pandan Wangi untuk mengutarkan ganjalan yang ada dalam hatinya, memang terbuka juga. Itu terjadi setelah dia dan Rangga meninggalkan rumah yang disewa Ki Tunggul Santak. Mereka tidak menunggang kuda keluar dari halaman rumah yang dijaga sangat ketat itu. Dan kuda-kuda itu hanya dituntun, mengikuti dari belakang. Kedua pendekar muda dari Karang Setra ini berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan tanah berdebu yang membelah Desa Salak Rejeng ini.

"Kakang, apa kau tidak merasakan adanya kelainan pada Ki Tunggul Santak?" Pandan Wangi baru membuka suara setelah berada cukup jauh dari rumah yang disewa Ki Tunggul Santak.

"Maksudmu...?" tanya Rangga meminta penjelasan.

"Aku merasakan ada sesuatu yang tersembunyi dalam suaranya," sahut Pandan Wangi, terdengar agak ragu-ragu.

Rangga langsung menghentikan ayunan langkahnya, dan kontan menatap gadis di sebelahnya dalam-dalam. Dan yang dipandangi balas menatap dengan sorot mata begitu sukar diartikan.

"Kau memperhatikannya juga, Pandan...?" ujar Rangga bernada bertanya.

"Ya. Dia seperti putus asa, Kakang," sahut Pandan Wangi.

"Hm.... Kalau itu, aku juga merasakannya sejak pertama kali bertemu," kata Rangga sedikit menggumam.

"Tapi ada sesuatu yang sejak tadi menjadi beban pikiranku, Kakang," tambah Pandan Wangi, kembali terdengar agak ragu-ragu.

Pendekar Rajawali Sakti hanya diam saja. Kembali kakinya melangkah perlahan-lahan. Sementara, Pandan Wangi mengikuti disebelah kirinya.

"Rasanya sukar dipercaya kalau tidak ada sesuatu antara Pranggala dengan dia, sehingga Ki Tunggul Santak sampai mau menyediakan hadiah begitu besar hanya untuk sebuah kepala saja. Sedangkan kita, tidak tahu pasti permasalahannya sampai Pranggala menjadi buruan dan berharga begitu tinggi," papar Pandan Wangi, mulai mengemukakan ganjalan hatinya. Tapi Rangga masih tetap saja diam mende-ngarkan.

"Semua orang yang ada di desa ini tidak ada yang tahu, siapa Pranggala dan Ki Tunggul Santak itu. Mereka juga baru tahu setelah kedua orang itu ada di desa ini, Kakang. Dan mereka secara bersamaan muncul di sini, dengan membawa persoalan yang tidak bisa dipandang ringan. Sudah banyak nyawa yang melayang, tanpa ada seorang pun yang mengetahui permasalahannya. Bahkan mereka yang tergiur oleh hadiah itu, juga tidak tahu persoalannya. Sampai-sampai rela mengantarkan nyawa sia-sia. Aku merasa ada sesuatu yang tersembunyi dibalik semua peristiwa ini, Kakang. Kalau kita mengikuti arus, itu berarti harus menyusuri jejak-jejak setan yang tidak akan terlihat. Bahkan tidak tahu, di mana akhir perjalanannya," panjang lebar Pandan Wangi mengutarakan beban yang sejak tadi mengganjal hatinya.

"Hm...," tapi Rangga hanya menggumam sedikit saja.

Namun kening Pendekar Rajawali Sakti terlihat berkerut. Seakan-akan ada sesuatu yang tengah dipikirkannya. Sesuatu yang sulit dikemukakan, walaupun sorot matanya begitu jauh memandang ke depan. Pandan Wangi sendiri melangkah dengan pandangan lurus ke depan, seakan-akan juga tengah memikirkan sesuatu. Dan mereka jadi terdiam membisu, dengan pikiran terus menggantung di dalam benak masing-masing. Hingga mereka sampai di perbatasan desa, belum juga ada yang bicara.

Namun ayunan langkah mereka tiba-tiba jadi terhenti, begitu di depan tampak berdiri menghadang seorang pemuda yang hampir sebaya dengan Pendekar Rajawali Sakti, dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Baju warna merah muda yang dikenakannya sangat ketat sehingga otot-ototnya tampak bersembulan, membuat tubuhnya kelihatan tegap dan berisi. Dan sorot matanya terlihat seperti kosong, menatap lurus ke depan. Seakan-akan, kehadiran kedua pendekar yang berdiri sekitar dua batang tombak di depannya tidak diperhatikannya. Bukan hanya Pandan Wangi saja yang langsung bisa mengenali. Tapi, Rangga juga sudah langsung bisa mengetahui kalau pemuda yang menghadang di depan adalah Pranggala.

"Sejak semula sudah kuduga, kalian berada sini pasti tergiur oleh hadiah yang dijanjikan Ki Tunggul Santak. Hhh! Kalian akan mati sia-sia...! terasa begitu dingin nada suara Pranggala.

"Kau salah sangka, Kisanak," bantah Rangga tegas.

"Kalau tidak, untuk apa menemui Ki Tunggul Santak?"

"Hanya ingin mencari kebenarannya saja, sahut Rangga.

"Kebenaran...? Hhh! Tidak ada lagi kebenaran di jagat ini, Kisanak. Kebenaran sudah terlalu rapuh. Jadi, jangan harap bisa mendapatkannya," sinis sekali nada suara Pranggala.

"Kebenaran itu masih tetap ada, Kisanak. Walaupun aku tidak menyangkal, kalau kebenaran memang sudah rapuh. Tapi paling tidak, sekecil apapun dari segunung kesalahan, kebenaran pasti ada. Dan, sedikit kebenaran itulah yang kini kuinginkan. Maka kau juga jangan mengira kalau aku tergiur tiga ribu kepeng emas. Bagiku, hadiah sebesar itu tak ada artinya untuk nyawa orang. Terlebih lagi untukmu, Kisanak. Kau yang memiliki kepandaian tinggi, tidak seharusnya dihargai hanya tiga ribu kepeng emas untuk kepalamu."

"Kau bicara seolah-olah berada di pihakku, Kisanak Tapi, maaf. Aku tidak akan pernah percaya pada siapa pun juga. Setiap kali aku mempercayai seseorang, pasti orang itu selalu mengkhianatiku," masih terdengar sinis nada suara Pranggala.

"Aku tidak akan memihak pada siapa pun juga. Terlebih lagi, mereka yang suka membunuh orang-orang tidak berdosa."

"Kau membuatku bingung, Kisanak. Apa sebenarnya yang kau inginkan di sini, heh...?!"

"Kebenaran."

"Huh! Aku tidak percaya pada kebenaran!"

"Kau boleh tidak percaya. Tapi kalau kau berada di pihak yang benar, pasti akan merasakan arti kebenaran sesungguhnya walau hanya setitik debu."

Pranggala jadi tertegun mendengar kata-kata Rangga barusan. Memang diakui di dalam hati, baru kali ini dia bertemu seseorang yang berpandangan begitu luas. Bahkan begitu percaya akan adanya kebenaran, yang selama ini sudah hampir dilupakan orang. Memang, sekarang ini sulit mencari kebenaran yang kini bisa diputarbalikkan hanya dengan kekuatan harta. Harta memang bisa membuat yang salah menjadi benar. Tapi, tidak demikian halnya Pendekar Rajawali Sakti. Walaupun hanya setitik debu yang ada, dia tetap percaya kalau kebenaran bisa diperolehnya.

"Kisanak, siapa namamu?" tanya Pranggala mulai terdengar berubah nada suaranya.

"Rangga. Dan ini adikku. Namanya, Pandan Wangi," sahut Rangga memperkenalkan diri, juga Pandan Wangi yang berada di sebelah kirinya.

"Kau pasti sudah tahu namaku," kata Pranggala.

Rangga hanya tersenyum saja.

"Kau tahu, Rangga. Kenapa aku tidak memberi kesempatan hidup pada siapa saja yang menjadi lawanku? Padahal, sebenarnya mereka sudah berapa kali kubiarkan tetap hidup. Tapi mereka justru mencari kesempatan, dan menohokku dari belakang. Kau mengerti maksudku, Rangga...?' ujar Pranggala.

"Ya, aku mengerti. Memang tidak enak menjadi orang buruan," sahut Rangga.

"Seperti mereka yang pernah kau selamatkan nyawanya dari tanganku. Sudah berapa kali mereka kuberi kesempatan hidup tapi tetap saja memburuku seperti binatang buruan. Bahkan selalu mencuri kesempatan untuk membunuhku. Apakah aku salah kalau tidak sudi lagi memberi kesempatan pada mereka yang ingin membokongku...? Apa kau pikir tindakanku salah...? Lalu, di mana letak kebenarannya, Rangga...?"

Mendapat pertanyaan yang beruntun begitu, Rangga jadi tidak bisa menjawab langsung. Dia jadi tertegun juga, dan bingung memberi jawabannya. Memang sulit dijawab pertanyaan Pranggala barusan. Karena memang antara kesalahan dan kebenaran sekarang ini hanya dibatasi oleh benang yang amat tipis.

"Kalian berdua kubiarkan tetap hidup, karena baru sekali ini bertemu denganku. Tapi kalau kalian berdua tetap ingin membunuhku dengan segala cara, aku terpaksa membela diri. Dan kurasa, aku tidak salah kalau sampai membunuh kalian berdua," kata Pranggala lagi.

Kata-kata yang diutarkan Pranggala, membuat Rangga dan Pandan Wangi jadi tertegun. Kedua pendekar muda itu tidak bisa lagi menyangkal kebenaran yang diutarkan Pranggala barusan. Dan ini juga membuat mereka jadi bimbang. Walaupun Pranggala sudah banyak membunuh orang yang dianggap tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa, tapi sikap dan penuturannya membuat kedua pendekar itu jadi berpikir lain. Dan mereka merasa yakin kalau ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua peristiwa berdarah ini.

"Pranggala.... Hm.... Boleh aku memanggilmu begitu?" ujar Rangga.

"Kau bisa memanggilku apa saja, Rangga," sambut Pranggala.

"Boleh aku tahu, apa persoalanmu dengan KiTunggul Santak?" tanya Rangga langsung.

"Kenapa kau tanyakan itu?" Pranggala malah balik bertanya.

"Kau keberatan...?"

Pranggala terdiam. Beberapa saat ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam, kemudian beralih pada Pandan Wangi yang sejak tadi diam saja. Sedikit ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat. Sementara Rangga tetap menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi, yang membuat Pranggala jadi terdiam dan merasa berat menjawabnya.

"Belum pernah ada yang menanyakan hal itu padaku. Biasanya, mereka yang mencariku langsung menyerang tanpa bertanya lagi. Dan rupanya, mereka menyerangku karena menginginkan tiga ribu kepeng emas yang dijanjikan Ki Tunggul Santak," terdengar pelan sekali suara Pranggala.

Begitu pelannya, hampir tidak terdengar di telinga Rangga maupun Pandan Wangi. Dari nada suaranya, jelas sekali terasa kalau ada sesuatu yang bergolak dalam dada Pranggala.

"Kau punya persoalan pribadi dengan Ki Tunggul Santak?" tanya Pandan Wangi, setelah semuanya terdiam cukup lama.

Pranggala tidak langsung menjawab. Malah dipandanginya Pandan Wangi dalam-dalam. "Aku ingin membunuhnya," kata Pranggala pelan, namun terdengar tegas nada suaranya.

"Kenapa?" tanya Pandan Wangi lagi.

Lagi-lagi Pranggala tidak langsung menjawab. Kembali dipandanginya si Kipas Maut itu dalam-dalam. Seakan, pertanyaan Pandan Wangi barusan begitu mengganjal relung hatinya. Sementara diam-diam, Rangga terus mengamati pemuda itu dengan kelopak mata agak menyipit.

"Kalaupun kukatakan, kalian tidak akan bisa memahaminya. Ini persoalan pribadi antara aku dengan Ki Tunggul Santak. Tapi, dia sudah melibatkan orang lain. Bahkan mereka yang tidak tahu apa-apa, terpaksa harus mati di tanganku. Dan semua yang kulakukan hanya membela diri saja. Karena tentu saja aku tidak sudi mati di tangan siapa pun juga, sebelum bisa memenggal kepala Ki Tunggul Santak," tegas Pranggala.

"Mendekati Ki Tunggul Santak, tidak semudah seperti apa yang kau bayangkan, Pranggala. Dia dikelilingi jago-jago persilatan undangannya. Bahkan kurasa, kau tidak akan bisa mendekati tempat kediamannya," kata Rangga pelan, namun terdengar sangat dalam nada suaranya.

"Aku tahu. Itu sebabnya, kenapa aku selalu bersabar mencari kesempatan baik agar bisa berhadapan langsung dengannya," sambut Pranggala kalem.

"Kau berkepandaian sangat tinggi, Pranggala. Kalau kau menginginkan nyawa Ki Tunggul Santak, kenapa tidak mengajukan tantangan dan bertarung secara jujur saja...?" usul Pandan Wangi.

"Kau belum tahu siapa Ki Tunggul Santak itu Nisanak," terdengar agak sinis nada suara Pranggala.

"Aku memang baru mengenalnya tadi. Dan kulihat dia sangat ramah, sopan, berilmu tinggi dan tidak angkuh. Bahkan terlihat begitu merendah," kata Pandan Wangi lagi.

"Kau terlalu mudah terbius oleh penampilan luarnya saja. Kalau sudah tahu siapa dia yang sebenarnya, aku yakin kau tidak akan mau bertemu dengannya. Bahkan mungkin juga akan berhasrat melenyapkannya dari muka bumi ini," kata Pranggala dengan nada suara sinis lagi.

"Kau memandang Ki Tunggul Santak seperti seorang penjahat besar yang harus dilenyapkan saja," ujar Pandan Wangi terus memancing.

Tapi, Pandan Wangi hanya terlihat tersenyum kecil saja. Perlahan tubuhnya berbalik, lalu melangkah mendekati sebatang pohon yang cukup besar dan berdaun rindang. Sementara Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan beberapa saat. Mereka melihat Pranggala duduk bersila di bawah pohon yang cukup rindang, melindungi dirinya dari sengatan teriknya mentari.

Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu melangkah menghampiri, kemudian duduk bersila tidak jauh di depan Pranggala. Masih belum ada seorang pun yang membuka suara. Mereka semua terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

TUJUH

Entah sudah berapa lama Rangga dan Pandan Wangi berbicara dengan Pranggala. Sampai matahari sudah tenggelam di balik peraduannya, ketiga anak muda itu masih berada tidak jauh di luar perbatasan Desa Salak Rejeng. Dari semua pembicaraan itu, Rangga kini sudah memahami persoalan yang sedang dihadapi Pranggala. Walaupun, belum tuntas benar.

"Namamu sudah telanjur rusak, Pranggala. Memang, aku mengakui kalau kau belum tentu bersalah. Dan mereka yang selama ini memburumu, merasakan seperti tengah mengikuti jejak-jejak setan yang sangat sukar dilihat. Demikian pula, Ki Tunggul Santak. Dia juga mengalami kesulitan untuk bisa mengetahui keberadaanmu," kata Rangga perlahan.

"Aku bisa memahami, Rangga. Memang kedudukanku sekarang ini sangat sulit. Semua orang sudah telanjur menyangka aku adalah pembunuh. Mereka memandangku tidak lebih dari iblis haus darah. Tapi semua yang kulakukan hanya membela diri saja. Dan semua ini karena ulah Ki Tunggul Santak. Itu sebabnya, kenapa aku ingin membunuhnya. Tapi, rintangan yang kuhadapi terlalu besar. Begitu banyak orang yang tergiur oleh hadiah yang dijanjikan Ki Tunggul Santak," terdengar pelan sekali suara Pranggala, seakan begitu menyesali semua yang telah terjadi pada dirinya.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Pandan Wangi.

"Aku tidak tahu," sahut Pranggala agak mendesah, sambil mengangkat pundaknya sedikit.

"Kalau kau merasa tidak bersalah, kenapa tidak berusaha membersihkan diri?" saran Pandan Wangi.

"Bagaimana caranya?" tanya Pranggala meminta pendapat.

Pandan Wangi tidak langsung bisa menjawab. Malah matanya melirik Rangga. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya diam saja. Dan sampai sekarang, walaupun Pranggala sudah bercerita begitu banyak, tapi belum tahu juga sebab-sebab pertentangannya dengan Ki Tunggul Santak.

"Pranggala! Boleh aku tahu, kenapa kau menginginkan kematian Ki Tunggul Santak..? Juga, kenapa dia menginginkan kepalamu. Apa sebenarnya yang terjadi diantara kalian berdua, sampai mengorbankan begitu banyak orang yang tidak tahu apa-apa...?" tanya Rangga.

Pranggala tidak langsung menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda itu malah diam termenung, dengan pandangan tertuju lurus ke bola mata pemuda berbaju rompi putih yang berada tepat di depannya. Seakan-akan, dari sorot matanya memancarkan sesuatu yang sangat berat untuk diungkapkan. Sementara, Rangga membalas pandangan mata itu dengan sinar mata tidak kalah dalam. Ditunggunya jawaban dari pertanyaannya barusan.

"Hhh...!" Pranggala menghembuskan napas panjang-panjang. Terasa begitu berat hembusan napasnya.

Sementara, Rangga masih tetap sabar menunggu, sambil memandangi pemuda itu dengan sorot mata yang cukup dalam. Demikian pula Pandan Wangi yang hanya membisu, seperti menunggu jawaban Pranggala atas pertanyaan Rangga tadi.

"Sebenarnya, ini masalah pribadi antara aku dan Ki Tunggul Santak. Dan rasanya orang lain tidak perlu ikut campur. Tapi kenyataannya, Ki Tunggul Santak sendiri yang memulai, hingga orang lain ikut campur. Bahkan mereka semua mengejar, memburuku seperti binatang. Aku sendiri tidak tahu, kenapa bisa sampai sejauh ini persoalannya. Padahal, aku hanya menuntut tanggung jawabnya saja. Dan, hanya nyawanya saja yang kuinginkan. Tapi karena dia juga, terpaksa aku harus membunuh mereka yang sebenarnya tidak tahu apa-apa," terdengar berat dan pelan sekali suara Pranggala.

"Tanggung jawab apa yang kau tuntut dari KiTunggul Santak, Pranggala?" tanya Pandan Wangi, semakin ingin tahu.

"Hutang...," sahut Pranggala bernada terputus.

"Hutang apa?" desak Pandan Wangi lagi.

"Hutang nyawa."

Rangga dan Pandan Wangi jadi saling berpandangan. Mereka semakin tertarik saja untuk mengetahui persoalan yang kini sedang dihadapi. Mereka merasa kalau persoalan antara Pranggala dengan Ki Tunggul Santak semakin rumit. Dan kerumitan inilah yang membuat mereka semakin ingin tahu.

Tapi kedua pendekar muda dari Karang Setra itu sudah bisa membayangkan kalau Pranggala menuntut nyawa Ki Tunggul Santak. Dan ini tentu saja hanya sebuah persoalan balas dendam. Hanya tampaknya, Ki Tunggul Santak sudah meluaskan persoalan balas dendam berdarah ini dengan mengikutsertakan orang-orang luar yang tidak tahu apa-apa. Dan dia seolah-olah menjadikan Pranggala sosok penjahat besar haus darah, yang harus dilenyapkan dari muka bumi ini.

"Kalau kalian tahu, Ki Tunggul Santak sebenarnya bukan orang baik-baik. Dan dia juga tidak pernah mempunyai sebuah padepokan silat. Dia sebenarnya adalah seorang pemimpin gerombolan liar. Bersama murid-muridnya, desa kelahiranku dihancurkannya. Semua penduduk dibunuh, dan harta bendanya dirampas. Hanya aku sendiri yang masih bisa selamat. Aku lalu pergi dari desa, mengembara sampai dipungut murid oleh seorang pertapa. Dan sekarang, aku harus membalas kematian orangtuaku, saudara-saudaraku, dan seluruh penduduk desaku yang dibunuh dengan kejam," dengan nada suara sendu, Pranggala menceritakan awal persoalannya dengan Ki Tunggul Santak.

"Sudah berapa lama peristiwa itu terjadi?" tanya Pandan Wangi

"Lima belas tahun yang lalu. Waktu itu, aku masih berumur sebelas tahun. Dan aku tidak pernah lupa wajah laki-laki yang membunuh ayahku dengan keji. Memperkosa ibuku, lalu membakar mereka semua di dalam rumah. Rangga, apa aku salah bila hendak membalas dendam yang sudah kusimpan selama lima belas tahun ini...?" pandangan Pranggala tertuju lurus pada Pendekar Rajawali Sakti yang sejak tadi diam saja mendengarkan.

"Sulit dikatakan, Pranggala. Balas dendam memang tidak akan ada yang bisa menghalangi. Aku tidak bisa mengatakan, apakah kau benar atau salah. Semuanya sudah terjadi. Pertumpahan darah sudah begitu banyak. Rasanya, aku memang tidak akan mungkin bisa mencegah pertumpahan darah lebih banyak lagi. Sedangkan, sekarang ini kau berada dalam kedudukan yang sangat sulit. Semua orang sudah memandangmu sebagai pembunuh kejam yang haus darah," sahut Rangga hati-hati.

"Terus terang, semua itu sebenarnya tidak kuinginkan, Rangga. Tapi setiap kali kucoba untuk menjelaskan, mereka tidak pernah mau mengerti. Bahkan malah ingin membunuhku. Apa yang kulakukan sekarang ini, hanya sekadar membalas dari semua perbuatan mereka, Rangga. Aku sudah berkelana mencari mereka yang dulu menghancurkan desaku. Satu persatu kudatangi, dan sekarang tinggal Ki Tunggul Santak saja. Aku sendiri tidak bisa menghentikan langkahku lagi, Rangga. Sudah tidak kupedulikan lagi kata-kata orang. Dan ini sudah menjadi sumpahku. Setelah kepala Ki Tunggul Santak terpisah, aku akan mengasingkan diri dari dunia persilatan. Aku akan mengikuti jejak guruku, menjadi pertapa," kata Pranggala mantap.

"Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi kalau memang itu sudah menjadi tekadmu, Pranggala. Tapi kalau boleh kusarankan, sebaiknya tantang langsung Ki Tunggul Santak, agar tidak terjadi lagi pertumpahan darah," sahut Rangga pelan.

"Kau bijaksana sekali, Rangga. Akan kugunakan saranmu. Aku tidak peduli lagi dengan orang-orang di sekelilingnya, dan segala tipu dayanya. Aku seperti telah mendapat semangat baru, setelah bertemu denganmu, Rangga. Rasanya, memang ini jalan satu-satunya agar tidak banyak pertumpahan darah lagi," sambut Pranggala, seraya tersenyum.

Sebentar pemuda itu memandangi Pendekar Rajawali Sakti, kemudian bangkit berdiri sambil menghembuskan napas sedikit. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi masih tetap duduk memandangi. Pranggala berdiri tegak dengan pandangan lurus ke Desa Salak Rejeng tanpa berkedip sedikit pun. Saat itu, Rangga dan Pandan Wangi sudah berdiri. Mereka berdiri di belakang pemuda yang selama ini selalu menjadi momok menakutkan semua orang.

"Akan kudatangi dia sekarang juga," ujar Pranggala perlahan, dan agak mendesis suaranya.

Setelah berkata demikian, dengan kecepatan bagai kilat Pranggala melesat pergi tanpa berpaling lagi sedikit pun pada kedua pendekar muda yang berada tepat di belakangnya. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam waktu sebentar saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.

"Kakang, kau tidak akan membantunya...?" ujar Pandan Wangi bertanya, seraya berpaling menatap Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tepat di sebelah kanannya.

"Hhh...!" Rangga hanya menghembuskan napas panjang saja.

Tanpa bicara sedikit pun, Pendekar Rajawali Sakti melangkah menghampiri kudanya. Kemudian, dia melompat naik ke punggung kuda hitam yang dikenal bernama Dewa Bayu. Sedangkan Pandan Wangi memandangi beberapa saat kemudian bergegas menghampiri kuda putihnya yang berada tidak begitu jauh dari Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.

Sebentar kemudian, Pandan Wangi sudah berada di atas punggung kuda putihnya. Mereka sebentar berpandangan, seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi tanpa bicara lagi, mereka segera menggebah kudanya perlahan-lahan meninggalkan tempat itu. Entah disadari atau tidak, mereka justru menuju Desa Salak Rejeng. Sementara, saat itu matahari sudah mulai condong ke arah barat Namun, sinarnya masih tetap terik dan menyengat kulit.

********************

Sementara itu Pranggala sudah tiba di Desa Salak Rejeng. Keningnya agak berkerut juga melihat keadaan desa yang begitu sunyi, seperti sudah ditinggalkan penduduknya. Seorang pun tidak ada dijumpainya pada jalan yang dilalui ini. Bahkan tidak terdengar sedikit pun suara-suara yang menandakan adanya kehidupan. Hanya hembusan angin saja yang terdengar mengusik telinga. Dan Pranggala terus melangkah mantap, membelah jalan desa yang berdebu ini.

Sesekali pemuda berwajah cukup tampan bertubuh tegap dengan sebilah pedang dalam warangka di genggaman tangan kirinya ini mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada satu rumah pun yang pintunya terbuka. Seakan, seluruh penduduk Desa Salak Rejeng ini sudah tahu akan kedatangannya. Dan mereka tidak ada yang berani keluar. Tapi, Pranggala tampaknya tidak peduli melihat keadaan desa yang sunyi ini. Kakinya terus melangkah perlahan-lahan, dengan ayunan mantap.

Dan ayunan langkah kaki pemuda itu baru berhenti, setelah tiba di depan sebuah rumah yang tidak begitu besar, namun berhalaman luas ini. Puluhan orang bersenjata dari segala macam bentuk dan ukuran tampak berjaga-jaga di sekitar itu. Mereka memandangi Pranggala yang berdiri tegak tidak jauh dari pintu pagar yang terbuat dari bambu ini. Sedangkan Pranggala sendiri tetap berdiri tegak, tidak bergeming sedikit pun. Sorot matanya begitu tajam, lurus ke arah rumah itu.

"Ki Tunggul Santak..! Aku Pranggala datang hendak membuat perhitungan lama denganmu...!'' lantang sekali suara Pranggala.

Begitu kerasnya suara Pranggala, sehingga menggema sampai ke seluruh pelosok Desa Salak Rejeng ini. Dari suaranya saja, sudah bisa dipastikan kalau tenaga dalam yang dimiliki pemuda ini sudah sangat tinggi tingkatannya. Karena jelas kalau suara itu dikerahkan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi dan penuh.

Teriakan Pranggala yang lantang menggelegar dan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, mengejutkan semua orang yang ada di sekitar halaman rumah ini. Bahkan Ki Tunggul Santak yang berada didalam rumah juga jadi terkejut setengah mati. Bergegas laki-laki tua itu melangkah ke luar. Dan keterkejutannya semakin bertambah, begitu melihat Pranggala berdiri tegak di depan pintu pagar halaman rumah yang disewanya ini.

"Phuih! Akhirnya muncul juga bocah setan itu...!" dengus Ki Tunggul Santak sambil menyemburkan ludahnya dengan sengit.

Ki Tunggul Santak bergegas melangkah menghampiri pemuda ini, diikuti semua orang bayaran dan para pengikutnya. Dia baru berhenti melangkah, setelah sampai di depan pintu pagar yang terbuat dari belahan bambu itu. Sementara, mereka yang mengikuti Ki Tunggul Santak segera menyebar, mengepung Pranggala tanpa diperintah lagi.

Sret!
Cring!

Pranggala hanya melirik sedikit saja, begitu melihat orang-orang yang mengepungnya sudah langsung menghunus senjata. Sementara, Ki Tunggul Santak masih tetap berdiri tegak. Dan gagang pedangnya yang tergantung di pinggang segera digeser sedikit. Sorot matanya terlihat begitu tajam, penuh kebencian mengarah langsung ke bola mata Pranggala.

"Rupanya kau sudah bosan jadi binatang buruan, Pranggala. Dan sekarang, kau datang menyerahkan nyawamu," terasa begitu dingin nada suara Ki Tunggul Santak.

"Justru kedatanganku ingin memenggal kepalamu, Ular Busuk!" sambut Pranggala, tidak kalah dingin.

"Phuih!" Ki Tunggul Santak menyemburkan ludahnya dengan sengit.

Laki-laki tua itu memandangi para pengikut yang sudah mengepung pemuda musuh bebuyutannya itu. Tidak kurang dari lima puluh orang sudah siap dengan senjata terhunus. Dan kepandaian mereka semua sudah cukup tinggi. Sebagian adalah para pengikut setianya, dan sebagian lagi orang-orang bayarannya. Ki Tunggul Santak jadi tersenyum tipis melihat kekuatan yang dimilikinya. Dengan lima puluh orang berkepandaian tinggi, mustahil bagi Pranggala untuk bisa mempertahankan selembar nyawanya.

"He he he...!" Ki Tunggul Santak jadi terkekeh.

Namun belum juga hilang suara tawanya, mendadak saja Pranggala sudah mengebutkan tangan kanannya ke depan dengan kecepatan bagai kilat. Begitu cepat kebutan tangannya, hingga tidak ada seorang pun yang sempat menyadari. Dan seketika itu juga, dari telapak tangan Pranggala meluncur dua bilah pisau kecil yang memancarkan cahaya keperakan. Kedua pisau itu meluruk deras ke arah dada Ki Tunggul Santak.

"Heh...?! Hap!"

Ki Tunggul Santak jadi tersentak kaget setengah mati. Cepat-cepat dia melompat ke belakang, sambil memutar tubuhnya menghindari sambaran dua bilah pisau kecil yang dilontarkan Pranggala cepat bagai kilat. Maka kedua pisau bercahaya keperakan itu meluncur lewat sedikit saja di depan dada Ki Tunggul Santak yang berputaran di udara.

"Hap!"

Begitu kedua kaki orang tua ini menjejak tanah, saat itu juga Pranggala sudah melesat bagai kilat menerjang, sambil mencabut pedang yang sejak tadi tergenggam ditangan kanan. Bagaikan kilat pula, pedangnya dibabatkan ke arah leher Ki Tunggul Santak.

"Hiyaaat...!"
Wut!
"Haiiit..!"

Ki Tunggul Santak cepat-cepat mengegoskan kepalanya ke kanan, hingga ujung pedang Pranggala lewat sedikit saja di depan tenggorokan. Namun belum juga bisa menyeimbangkan tubuhnya, Pranggala sudah memberi satu tendangan keras yang begitu cepat menggeledek, sambil melompat ke arah dada orang tua ini.

"Jebol dadamu! Yeaaah...!"
"Ikh...!"

Ki Tunggul Santak jadi terbeliak. Cepat-cepat tubuhnya dibanting ke tanah, dan bergulingan beberapa kali menghindari tendangan Pranggala yang begitu dahsyat dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Hap!"

Dengan gerakan manis sekali, Ki Tunggul Santak melesat bangkit berdiri. Sementara, Pranggala sudah kembali berdiri tegak dengan pedang tersilang di depan dada. Saat itu, Ki Tunggul Santak memandangi dengan sorot mata tidak percaya, kalau anak muda yang dulu hampir mati di tangannya ini, sekarang memiliki kepandaian dahsyat. Pantas saja orang-orang yang tergiur hadiah yang dijanjikan Ki Tunggul Santak, sampai sekarang tidak ada yang bisa membawa kepala Pranggala padanya.

"Cabut pedangmu, Ki Tunggul Santak! Aku pantang membunuh orang tanpa senjata di tangan," ujar Pranggala dingin menggetarkan.

"Phuih!" Ki Tunggul Santak hanya menyemburkan ludahnya saja dengan sengit.

Perlahan orang tua yang berbaju jubah putih panjang dan longgar bagai pertapa itu menggeser kakinya ke kanan. Namun sorot matanya masih begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata Pranggala.

"Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Ki Tunggul Santak melesat cepat bagai kilat menerjang Pranggala. Satu tendangan keras yang menggeledek langsung dilepaskan ke kepala pemuda ini.

"Haps!"

Namun hanya sedikit saja Pranggala mengegos, tendangan dahsyat menggeledek yang dilepaskan Ki Tunggul Santak dapat dihindari. Bahkan tanpa diduga sama sekali, Pranggala melepaskan satu sodokan tangan yang begitu cepat, dan tepat mengarah ke lambung orang tua berjubah putih bersih ini. Begitu cepat sodokannya sehingga....

"Ikh...!"

Ki Tunggul Santak jadi terpekik kaget setengah mati. Cepat-cepat tubuhnya melenting setengah berputar ke belakang, menghindari sodokan tangan Pranggala. Namun begitu kakinya baru menjejak tanah kembali, Pranggala sudah melesat cepat sambil melepaskan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke arah dada.

"Haiiit..!"

Dan begitu Ki Tunggul Santak bisa menghindari pukulan tangan kiri, tanpa diduga sama sekali Pranggala memutar arah pukulan tangan kirinya. Lalu begitu cepat tangan kirinya itu dihentakkan.

Bet!
Plak!
"Akh...!"

Ki Tunggul Santak yang sama sekali tidak menduga kalau Pranggala bisa memutar tangannya begitu cepat sambil menyerang, tidak dapat lagi berkelit menghindar. Maka sentakan tangan pemuda itu tepat menghantam dadanya. Begitu keras sentakan tangan Pranggala, sampai Ki Tunggul Santak terhuyung ke belakang sejauh enam langkah.

"Setan keparat! Phuih...!"

"Serang! Bunuh bocah keparat itu...!" teriak Ki Tunggul Santak keras menggelegar.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Tanpa diperintah dua kali, mereka yang memang sejak tadi sudah siap dengan kepungannya, langsung saja berlompatan menyerang pemuda ini dari segala arah. Saat itu, Pranggala jadi terkesiap juga melihat arus serangan yang begitu deras datang dari segala penjuru mata angin di sekelilingnya.

"Hup! Hiyaaat..!"

Cepat-cepat Pranggala melenting ke udara. Namun pada saat itu juga, puluhan batang anak panah sudah berhamburan ke arahnya. Akibatnya, pemuda itu terpaksa harus berjumpalitan di udara, dan kembali meluruk turun. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, satu sambaran golok yang berukuran sangat besar sudah melayang ke arah kepala dari belakang.

Wusss!
"Ups!"

Sambaran angin tebasan golok itu sempat juga mengejutkan Pranggala. Namun kepalanya lebih cepat lagi merunduk, hingga tebasan golok itu lewat sedikit diatasnya. Dan saat itu juga, Pranggala menghentakkan kakinya ke belakang.

"Yeaaah...!"

Begitu cepat sentakan kaki Pranggala, hingga....

Dugkh!
"Akh...!"

Satu pekikan keras tertahan seketika itu juga terdengar. Tampak penyerang yang berada di belakangnya terpental jauh ke belakang, dengan darah muncrat dari mulutnya. Tendangan ke belakang yang dilepaskan Pranggala memang sangat kuat, mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Akibatnya, orang itu langsung ambruk menggelepar dengan darah mengalir dari mulutnya. Dan hanya sebentar saja tubuhnya masih bisa menggeliat, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati! Sementara darah masih terus mengalir dari lubang mulut dan hidungnya.

"Hup! Hiyaaa...!"

Sementara, Pranggala terus berlompatan cepat sambil mengibaskan pedang secara berputaran. Begitu cepat gerakan-gerakannya, hingga anak buah Ki Tunggul Santak tidak dapat lagi membaca setiap arah gerakan pedang pemuda itu. Dan sebentar saja, sudah terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi yang saling susul.

Dan kini, tubuh-tubuh tak bernyawa berlumuran darah pun sudah mulai terlihat bergelimpangan di sekitar pertarungan. Sementara itu, Ki Tunggul Santak semakin geram saja melihat orang-orangnya seakan tidak sanggup lagi menghadapi anak muda ini.

"Bocah setan! Kubunuh kau! Hiyaaat..!"

Sambil memaki dengan kemarahan meluap dalam dada, Ki Tunggul Santak cepat melesat menyerang Pranggala. Terjunnya Ki Tunggul Santak, yang rupanya membangkitkan semangat orang-orangnya. Maka, mereka semakin gencar saja menyerang. Sedangkan Ki Tunggul Santak bergerak begitu cepat mematahkan setiap serangan balasan yang dilancarkan Pranggala.

DELAPAN

Dan dalam waktu tidak berapa lama saja, keadaan jadi terbalik. Pranggala sudah kelihatan begitu kewalahan menghadapi serangan-serangan beruntun yang datang dari segala arah ini. Bahkan dalam waktu tidak begitu lama, entah sudah berapa kali pukulan dan tendangan mendarat di tubuhnya. Akibatnya keadaan pemuda itu jadi semakin mencemaskan. Namun di saat Pranggala benar-benar hampir tidak memiliki daya lagi, mendadak saja....

"Akh!"
"Aaa...!"

Tiba-tiba dari arah belakang kepungan, terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi yang saling sambut. Dan jeritan itu tentu saja membuat mereka yang sedang bertarung jadi terperanjat setengah mati. Sementara, Ki Tunggul Santak yang juga mendengar jeritan itu cepat-cepat melompat ke belakang sejauh setengah batang tombak, meninggalkan Pranggala yang terus sibuk menghindari setiap serangan yang datang dari sekelilingnya.

"Heh...?!"

Kedua bola mata Ki Tunggul Santak jadi terbeliak lebar, begitu melihat dua anak muda tengah mengamuk menghajar para pengikutnya. Dan tampaknya, kedua anak muda itu tidak akan dapat ditandingi. Dalam waktu tidak berapa lama saja, sudah lebih dari lima belas orang yang dijatuhkan.

"Phuih...!" Ki Tunggul Santak menyemburkan ludahnya dengan sengit. "Hiyaaat..!"

Ki Tunggul Santak memang tidak dapat lagi menahan kegeramannya. Terlebih lagi, setelah mengetahui siapa dua orang yang menyerang anak buahnya, hingga jadi berantakan begitu. Mereka memang Rangga dan Pandan Wangi!

"Mampus kau! Yeaaah...!"
Cring!
Bet!

Secepat kilat Ki Tunggul Santak mencabut pedangnya yang sejak tadi tergantung di pinggang. Dan dengan kecepatan bagai kilat, pedangnya dibabatkan tepat ke leher Rangga.

"Haps...!"

Namun hanya sedikit saja Pendekar Rajawali Sakti mengegoskan kepala, maka tebasan Ki Tunggul Santak tidak sampai mengenai sasaran. Dan saat itu juga, Rangga menarik kakinya ke belakang. Tapi pada saat itu juga, satu tebasan golok meluncur cepat ke arah punggungnya.

"Yeaaah...!"

Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti membungkukkan tubuhnya. Lalu, langsung dilepaskannya satu tendangan keras ke belakang. Begitu cepat tendangannya, sehingga orang yang membokongnya dari belakang tidak dapat lagi menghindar. Dan....

Des!
"Akh...!"
"Hup! Hiyaaa...!"

Rangga tidak sempat lagi memperhatikan pembokongnya yang terpental balik ke belakang, karena harus cepat melesat ke atas. Memang, pada saat itu tebasan pedang Ki Tunggul Santak berkelebat begitu cepat mengarah ke kakinya. Dan mata pedang Ki Tunggul Santak yang berkilatan tertimpa cahaya matahari itu lewat sedikit saja di bawah telapak kaki Pendekar Rajawali Sakti.

Saat berada di udara itu, Rangga cepat memutar tubuhnya. Dan kedua tangannya langsung terentang lebar ke samping, kemudian bergerak cepat. Sehingga, Ki Tunggul Santak jadi terbeliak lebar, terkejut setengah mati. Dan...

Plak!
"Akh...!"

Ki Tunggul Santak jadi terpekik begitu kibasan tangan Rangga berhasil menghantam kepalanya. Seketika itu juga, darah mengucur deras dari bagian atas telinga orang tua ini. Memang keras sekali kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti yang menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Akibatnya Ki Tunggul Santak jadi terhuyung-huyung ke belakang, dengan darah mengalir deras dari bagian atas telinganya yang retak.

Sementara itu, di tempat lain Pandan Wangi tampak sama sekali tidak mengalami kesulitan mengatasi lawan-lawannya. Kipas baja putih di tangan kanannya berkelebat cepat diimbangi gerakan tubuh dan kakinya yang begitu indah dan lincah luar biasa. Hingga, tidak ada seorang pun lawan yang bisa menyentuh tubuh gadis cantik berjuluk si Kipas Maut ini.

Sedangkan di tempat lain lagi, terlihat Pranggala yang kini tidak lagi menghadapi Ki Tunggul Santak. Semangatnya juga sudah bangkit kembali. Terlebih lagi, dia tahu kalau Rangga dan Pandan Wangi berpihak kepadanya. Hingga, tidak segan-segan lagi lawan-lawannya dibabat dengan pedang. Maka jeritan-jeritan panjang melengking tinggi pun semakin sering terdengar menyayat. Tubuh-tubuh bersimbah darah terus berhamburan membasahi tanah berdebu ini.

Tapi, pengikut-pengikut Ki Tunggul Santak seakan tidak pernah habis. Mereka terus berdatangan dari setiap pelosok Desa Salak Rejeng ini. Rupanya, suara-suara pertarungan itu terdengar sampai ke pelosok desa. Dan mereka yang memang sedang berjaga-jaga di sekitar Desa Salak Rejeng ini, jadi berhamburan mendatangi dan langsung saja menyerang dari segala penjuru. Hingga, seakan-akan pengikut Ki Tunggul Santak tidak akan pernah ada habisnya. Selalu saja berdatangan, dan langsung menyerang.

Sementara itu, Rangga dan Ki Tunggul Santak sudah kembali bertarung sengit. Meskpun darah mengucur dari kepalanya, tapi gerakan-gerakan Ki Tunggul Santak masih tetap gesit dan cukup berbahaya. Beberapa kali Rangga terpaksa harus berjumpalitan di udara, menghindari setiap serangan Ki Tunggul Santak. Dan entah sudah berapa jurus pertarungan berlangsung. Tapi, tampaknya laki-laki tua berjubah putih itu sudah kelihatan terdesak sekali.

Beberapa kali pukulan keras bertenaga dalam yang dilepaskan Rangga mendarat di tubuhnya, tapi tetap saja orang tua itu terus menyerang seperti kesetanan. Sementara, Rangga sudah mulai merasa jengkel juga. Sengaja seluruh kepandaiannya tidak dikerahkan secara penuh. Rangga sebenarnya ingin memberi kesempatan pada Ki Tunggul Santak untuk memperbaiki perbuatannya. Tapi, tampaknya orang tua itu tidak mau mengerti kemurahan hati yang diberikan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan menganggap pemuda lawannya ini sudah meremehkannya.

"Phuih! Hiyaaat...!"

Sambil menyemburkan ludah yang bercampur darah, Ki Tunggul Santak melesat cepat sekali ke atas kepala Pendekar Rajawali Sakti. Dan saat itu juga, pedangnya dikibaskan disertai pengerahan tenaga dalam penuh.

"Haiiit..!"

Namun hanya sedikit saja Rangga mengegoskan kepala, tebasan pedang Ki Tunggul Santak tidak sampai mengenai sasaran. Bahkan tanpa diduga sama sekali, Rangga melepaskan satu tendangan keras, sambil membanting tubuhnya ke tanah. Begitu cepat gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Ki Tunggul Santak tidak sempat lagi menghindarinya. Terlebih lagi, saat itu tubuhnya masih berada di udara. Dan....

Diegkh!
"Akh...!"

Ki Tunggul Santak jadi terpekik, begitu tendangan yang dilepaskan Rangga mendarat telak di dadanya. Akibatnya, tubuh orang tua itu melayang deras ke belakang. Dan tanpa disadari, tubuhnya justru melayang mendekati Pranggala yang kini hanya menghadapi tiga orang lawan saja.

Melihat Ki Tunggul Santak meluncur deras tanpa dapat menguasai keseimbangan tubuh lagi, Pranggala tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang hanya sedikit ini. Tanpa menghiraukan tiga orang lawannya, tubuhnya cepat melesat menyongsong tubuh Ki Tunggul Santak yang meluncur deras ke arahnya, akibat terkena tendangan menggeledek Pendekar Rajawali Sakti.

"Hiyaaat...!"
Wuk!

Langsung saja Pranggala menghunjamkan pedangnya ke tubuh orang tua berjubah putih ini. Dan....

Bresss!
"Aaa...!"
"Hih!"

Darah seketika muncrat keluar dari punggung Ki Tunggul Santak, begitu Pranggala mencabut pedangnya kembali. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Pranggala mengibaskan pedangnya ke leher disertai pengerahan tenaga dalam penuh dan tinggi.

"Hiyaaat..!"
Cras!
"Akh!"

Hanya sedikit saja terdengar pekikan tertahan, lalu kepala Ki Tunggul Santak langsung terpenggal buntung. Darah kontan muncrat berhamburan dari leher yang sudah tidak berkepala lagi itu. Hanya sebentar saja tubuh tua berjubah putih itu masih bisa berdiri, kemudian limbung dan ambruk menggelepar di tanah. Sementara, kepalanya menggelinding jauh dari tubuhnya. Pranggala berdiri tegak memandangi tubuh Ki Tunggul Santak yang menggeletak berlumuran darah tanpa kepala menempel di lehernya lagi.

Pendekar Rajawali Sakti hanya membiarkan saja Pranggala yang melampiaskan dendamnya. Sedangkan Pandan Wangi yang sudah mengakhiri pertarungan, langsung cepat membereskan tiga orang lawan Pranggala tadi. Tidak perlu waktu banyak karena sebentar saja ketiga lawannya sudah ambruk tak bangun-bangun lagi, terbabat kipas bajanya.

Sementara itu sambil menghembuskan napas panjang, Pranggala melangkah dan mengambil kepala Ki Tunggul Santak. Sebentar dipandanginya kepala yang masih mengucurkan darah segar itu, kemudian diletakkan kembali di tanah. Lalu pandangannya langsung beredar ke sekeliling. Kini, tidak ada lagi seorang pun yang hidup disekitarnya. Dan saat itu juga, Pranggala jadi tersentak....

"Eh, ke mana mereka...?"

Pranggala jadi celingukan sendiri, mencari Rangga dan Pandan Wangi yang sudah lenyap, begitu tidak ada lagi lawan yang dihadapi. Entah pergi ke mana kedua pendekar muda dari Karang Setra itu.

"Kalian benar-benar pendekar sejati. Terima kasih, atas bantuan kalian...," gumam Pranggala perlahan.

Sebentar pemuda itu memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan saling rumpang tindih di sekitarnya. Kemudian kakinya terayun melangkah meninggalkan tempat ini. Saat itu, matahari sudah benar-benar hampir tenggelam di cakrawala. Cahayanya yang memerah jingga menyemburat disebelah barat mayapada ini. Dan Pranggala semakin jauh melangkah, terus meninggalkan Desa Salak Rejeng yang kini banjir darah.

S E L E S A I

EPISODE BERIKUTNYA: DARAH DI BUKIT SRIGALA