Darah Di Bukit Srigala - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Rajawali Sakti

Darah Di Bukit Srigala

Karya Teguh S

SATU
SENJA sebentar lagi jatuh di mayapada ini. Matahari sudah tak terasa lagi sengatannya di kulit Di bawah siraman cahaya senja yang merah jingga, tampak sebuah rombongan pedati yang berjumlah tujuh buah sudah mulai memasuki sebuah kawanan perbukitan yang lengang. Nampaknya, keadaannya amat indah. Apalagi, jauh di depan mata terlihat hamparan rumput bak permadani luas terbentang, yang dilatarbelakangi oleh beberapa bukit yang memiliki ketinggian beragam.

Beberapa buah bukit tampak berdiri sendiri-sendiri. Namun, ada juga yang saling bersambungan seperti barisan benteng kokoh. Entah sejak kapan daerah ini disebut Bukit Serigala. Tapi banyak di antara mereka yang pernah melewati tempat itu melihat dari bawah ujung bukit-bukit itu runcing-runcing, mirip taring serigala. Atau mungkin saja, karena di bukit-bukit itu pernah dijumpai kawanan serigala yang mendiami daerah selatan. Bahkan tak jarang kawanan serigala itu berada di tempat yang sering dilalui para pedagang.

Maka semakin kuatlah dugaan, kalau nama barisan bukit itu diambil dari banyaknya serigala yang mendiami kawasan sekitamya. Tak heran bila setiap pedagang yang lewat melalui jalan ini harus mempersiapkan segala keamanannya secara seksama. Mereka harus menyewa tukang-tukang pukul yang berkepandaian tinggi atau menyiapkan banyak obor menyala untuk mengusir serigala-serigala itu.

Namun, tak jarang banyak pula pedagang yang harus merugi karena keganasan kawanan serigala yang buas itu. Sebenarnya, bukan hanya kawanan serigala itu saja yang menjadi ancaman para pedagang atau orang yang akan melewati tempat ini. Konon, didaerah Bukit Serigala itu bercokol perampok-perampok yang keganasannya tak kalah dibanding kawanan serigala itu. Namun, para pedagang itu tak mempunyai pilihan lain.

Bukit Serigala memang jalan pintas yang tercepat bagi mereka yang hendak bepergian dari barat ke timur. Demikian pula sebaliknya. Jalan itu diambil, karena biasanya para pedagang memang harus cepat mendapat keuntungan. Sehingga, mereka hampir tak pernah mempedulikan keselamatannya sendiri. Kalaupun para pedagang ingin mencari jalan lain yang aman, maka harus mengitari beberapa buah gunung dan daerah-daerah curam.

Dan waktu yang ditempuh akan lama sekali, sehingga dagangan mereka pasti tidak laku setelah sampai di tujuan. Maka tak jarang rombongan pedagang yang akan berpergian seperti mempertaruhkan nyawa, ketika melewati Bukit Serigala itu. Kalau toh mereka selamat pasti jumlahnya tinggal sedikit sekali. Demikian pula rombongan pedagang yang kini melewati Bukit Serigala ini.

Tampak dua orang penunggang kuda yang membawa golok panjang, berada di depan mengawasi dari kanan dan kiri iring-iringan ketujuh pedati yang penuh berisi barang-barang dagangan. Rombongan itu sendiri bergerak perlahan-lahan seolah bersikap waspada. Masing-masing kusir yang duduk di atas pedati menatap ke sekeliling dengan sorot mata tajam. Sementara, empat penunggang kuda lain masing-masing berada di tengah dan di belakang rombongan.

Kusir pedati yang berada paling depan adalah seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya yang besar terbungkus kulit hitam dengan otot-otot yang menonjol. Kumisnya tebal dan sorot matanya tajam. Bisa ditebak kalau laki-laki itu seorang pemberani dan tak kenal takut. Sementara di sebelahnya terlihat seorang pemuda tanggung berusia sekitar empat belas tahun. Tubuhnya kurus terbungkus pakaian abu-abu yang lusuh. Wajahnya terlihat tegang dan gelisah, seperti takut akan menghadapi sesuatu.

"Apakah mereka akan menyerang kita, Ayah?" tanya pemuda tanggung itu dengan suara nyaris tak terdengar. Laki-laki setengah baya di sampingnya menoleh, kemudian terlihat tersenyum pahit.

"Kau takut, Puger?" tanya laki-laki setengah baya itu.

Pemuda yang dipanggil Puger itu tak menyahut. Hanya pandangannya yang dialihkan ke depan. Suasana masih terus mencekam. Sedangkan suasana di perbukitan itu terasa lengang sekali.

"Kalau mereka tak kita hadapi, Ayah tak punya pekerjaan, Ger. Hanya inilah satu-satunya yang bisa kukerjakan. Mengawal para pedagang dan barang-barangnya ke tempat tujuan..."

"Ya! Ayah juga pernah bercerita kalau pekerjaan ini baik dan tak merugikan orang lain. Tapi...," sahut Puger, terputus.

"Tapi kenapa, Ger?" desak laki-laki setengah baya yang ternyata ayah dari pemuda bernama Puger.

"Kenapa ada orang yang mencari pekerjaan dengan cara merampok harta benda orang lain? Bukankah hal itu merugikan?" tanya Puger sedikit kesal.

Laki-laki setengah baya itu terdiam sebentar. Kemudian, terdengar helaan napasnya yang berat. "Tak perlu heran, Puger. Di dunia ini banyak orang yang mencari jalan termudah untuk mencapai keinginannya. Termasuk perampok. Mereka tak peduli, apakah korbannya akan rugi atau menderita...," jelas laki-laki bertubuh besar itu lagi. Dan baru saja kata-katanya selesai, mendadak terdengar teriakan seseorang dari ujung depan sana.

"Berhentiii...!"

Laki-laki yang menjadi kusir pedati paling depan langsung menarik tali kekangnya, kemudian lompat dari tempat duduknya. Sedangkan salah seorang penunggang kuda dengan pakaian ketat warna merah dan berada di depan, juga menghampiri. Wajahnya tampak cemas, melihat beberapa orang telah menghalang perjalanan.

"Kita dihadang, Kang?"

Laki-laki setengah baya itu mengangguk, kemudian melangkah perlahan-lahan ke depan. Tak begitu jauh di depan mereka, telah berdiri tegak tiga sosok tubuh berwajah seram sorot mata tajam menusuk. Yang seorang memakai pakaian hitam dengan selempang kain warna kuning tua. Rambutnya panjang bergelombang berwarna kuning keemasan. Tubuhnya tak terlalu besar, namun memiliki kuku-kuku yang runcing dan panjang. Tangan kanannya tampak menggenggam sebuah cambuk berwarna keemasan.

Berdiri di sebelah kirinya adalah seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Rambutnya juga panjang. Tangan kirinya tampak disambung dengan besi yang berbentur cakar serigala sampai sebatas siku. Sedangkan tangan kanannya memegang senjata berbentuk arit. Sementara orang yang terakhir berusia hampir sama dengan orang yang tangan kirinya terbuat dari besi. Hanya saja, tubuhnya sedikit lebih kurus. Mata kirinya tampak tertutup kain hitam. Senjatanya berupa tombak bermata tiga.

"Kisanak! Aku Suriareja yang memimpin rombongan ini. Dan aku mohon pada kalian agar diizinkan lewat" ucap laki-laki bertubuh besar dan berusia setengah baya dengan nada sopan, setelah memperkenalkan diri. Ternyata, namanya Suriareja.

"Aku Ki Lodaya, di sebelah kiriku adalah muridku. Namanya, Gumarang. Dan sebelah kananku muridku juga. Namanya, Rajendra," sahut laki-laki yang mengaku bernama Ki Lodaya. Lak-laki bernama Suriareja mencoba tersenyum.

"Apakah itu berarti kami boleh lewat?" tanya Suriareja.

"Tentu saja. Tapi, setelah semua barang bawaan itu kalian tinggalkan!" sahut Ki Lodaya tegas.

Suriareja tersentak kaget, namun berusaha menyembunyikan perasaannya. "Kisanak Kami hanya rombongan pedagang kecil yang mengadu nasib untuk sekadar sesuap nasi buat makan anak istri. Harap sudilah kau mengerti," sahut Suriareja merendah.

"Aku tak peduli dengan alasan kalian. Yang jelas ingin selamat, pergi, dan tinggalkanlah harta benda yang kalian bawa dalam pedati itu!" lanjut Ki Lodaya dengan suara semakin keras.

Orang-orang yang berada dalam ketujuh pedati itu tampak cemas. Mereka sama-sama melongokkan kepala, melihat ketiga sosok tubuh di depan dengan sikap menghadang. Wajah mereka kelihatan sama sekali tak bersahabat. Meski begitu, masih terbersit harapan di benak mereka. Karena, mereka yakin kalau Suriareja yang dipercaya untuk mengawal rombongan ini beserta sepuluh orang anak buahnya pasti mampu membereskan ketiga begal ini. Sementara itu tampak kesepuluh anak buah Suriareja telah berada di belakang dengan sikap bersiaga, sambil menggenggam senjata masing-masing.

Melihat itu Ki Lodaya dan kedua muridnya hanya tersenyum sinis. "Kuhitung sampai tiga Dan kau harus menentukan pilihan!" ancam Ki Lodaya memberi peringatan.

"Ki Lodaya! Aku...," Suriareja bermaksud memberikan alasannya lagi, namun Ki Lodaya seperti tak mempedulikannya.

"Satu!"

"Ki Lodaya! Cobalah sedikit bermurah hati, dan jangan terlalu memaksa kami?"

"Dua!" teriak Ki Lodaya sambil menggerakkan cambuk di tangannya.

"Ki Lodaya..."

"Hancurkan mereka!" teriak Ki Lodaya memberi perintah pada dua orang muridnya yang bernama Gumarang dan Rajendra.

Tanpa diperintah dua kali, kedua murid Ki Lodaya langsung melompat dan mengayunkan senjatanya. Gumarang menyerang Suriareja, sementara Rajendra mengamuk menghadapi kesepuluh anak buah Suriareja yang sejak tadi telah siap menanti serangan.

"Yeaaa...!"

"Kau tak memberi pilihan lain kepada kami, Ki Lodaya. Maaf! Kalau itu maumu, kami berhak mempertahankan diri!" sahut Suriareja sambil mencabut golok yang terselip di pinggang, siap memapak serangan Gumarang.

Ki Lodaya sama sekali tak menyahuti ucapan Suriareja. Laki-laki berpakaian hitam dengan selempang kuning itu masih tetap tegak berdiri di tempatnya semula, sambil memperhatikan dengan seksama. Suriareja sebenarnya bukanlah orang sembarangan. Dulu, laki-laki itu pernah berguru pada salah satu padepokan terkenal di daerah selatan. Bahkan sempat berkelana ke mana-mana, mengabdikan kepandaiannya.

Kemudian setelah kawin, Suriareja berhenti berkelana dan menetap di suatu tempat. Namun pekerjaaan lain baginya amat sulit, karena kepandaian yang dimiliki hanya bermain silat. Sehingga, akhirnya dia bersedia mengawal rombongan pedagang yang merasa harta bendanya terancam, seperti sekarang ini! Tapi yang dihadapi Suriareja ini bukanlah orang sembarangan. Hal itu semakin terbukti ketika berhadapan dengan Gumarang yang mampu bergerak cepat dan ganas.

Bahkan boleh dibilang tak kenal ampun. Tangan kirinya yang terbuat dari besi dan membentuk cakar, beberapa kali mengancam keselamatan Suriareja. Belum lagi sambaran senjata arit di tangan kanan yang mengancam seluruh bagian tubuh seperti tiada henti. Beberapa kali sambaran itu ditangkisnya dengan golok yang tergenggam, namun Suriareja jadi tersentak sendiri. Tangannya jadi bergetar hebat. Dan rasanya, golok itu nyaris terlepas dari genggaman saking hebatnya tenaga dalam yang dimilik Gumarang.

"Yeaaa...!"

Suriareja kembali tersentak kaget ketika tubuh lawan bergerak cepat dari arah atas. Tampak Gumarang menukik sambil mengayunkan arit di tangannya. Maka buru-buru Suriareja menundukkan kepalanya sambil bergerak ke samping. Namun....

Brettt!
"Uhhh...!"

Cakar kiri Gumarang tiba-tiba saja menyambar punggung Suriareja. Dia kontan mengeluh kesakitan. Dan belum lagi Suriareja mengambil napas, satu tendangan kembali diluncurkan lawan. Untung Suriareja masih sempat membuang diri ke tanah bergulingan beberapa kali. Dan begitu tubuhnya telah bangkit berdiri, goloknya langsung bergerak menyambar.

Namun, tubuh Gumarang telah melenting ke atas sambil membuat gerakan jungkir balik. Begitu mendarat di tanah, bagai serigala menerkam, tubuh Gumarang melayang menyambar lawan yang tengah terpaku setelah serangannya gagal.

"Graungrrr...!"

Gumarang menggeram buas. Bola matanya tajam berkilat bagai nyala api yang sedang berkobar-kobar. Suriareja sempat bergidik nyalinya melihat roman muka lawannya yang buas seperti binatang liar. Apalagi, ketika terdengar raungan keras, sehingga sempat membuat jantungnya berdebar-debar.

"Hiiih...!"

Cakar kiri Gumarang menyambar wajah Suriareja. Namun, laki-laki setengah baya itu cepat bergulingan ke samping untuk menghindari serangan. Bahkan sempat mengayunkan kakinya untuk menyambar pinggang lawan. Tapi, tubuh Gumarang sudah bisa membaca gerakan lawan. Hanya diikutinya saja gerakan itu, hingga tendangan Suriareja hanya mengenai tempat kosong. Dan tentu saja hal itu amat mempengaruhi keadaan Suriareja.

Apalagi tendangannya demikian keras, sehingga membuat keseimbangannya jadi goyah. Melihat kesempatan ini, Gumarang tak mau menyia-nyiakannya. Senjatanya langsung menyambar ke arah perut lawan. Dan Suriareja sendiri memang tak punya pilihan lain, selain menangkis. Meskipun, dia tahu kalau hal itu bakal berakibat buruk baginya.

Bettt
Trakkk!

Benar saja! Ketika senjata mereka beradu, golok di tangan Suriareja terlepas. Sementara, senjata berbentuk arit milik Gumarang terus bergerak merobek perutnya.

Crasss!
"Aaakh...!"

Suriareja kontan terpekik kesakitan, begitu sambaran arit Gumarang menyambar perutnya. Tangannya langsung memegang perutnya yang terluka dengan darah mengalir deras. Dan belum lagi menyadari lebih jauh, hantaman tangan kiri Gumarang yang terbuat dari besi langsung menembus jantungnya.

Brosss!
"Aaa...!"

Suriareja langsung terjajar disertai pekikan memilukan. Dia terhuyung-huyung sebentar, lalu ambruk di tanah. Sebentar dia meregang nyawa, kemudian tak bergerak-gerak lagi. Tampak darah terus mengalir membasahi tubuhnya. Kematian Suriareja tentu saja amat mengagetkan anak buahnya serta para pedagang yang berada dalam pedati. Semangat mereka mulai mengendur. Dan kecemasan pun mulai tumbuh perlahan-lahan dalam hati para pedagang itu. Apalagi, ketika melihat kesepuluh anak buah Suriareja tak seorang pun yang mampu mendesak lawan.

"Ayah...!"

Puger berteriak dengan suara pilu ketika melihat ayahnya telah terbujur kaku berlumur darah. Pemuda tanggung itu langsung melompat turun dari pedati dan berlari kencang menghampiri mayat ayahnya. Tapi dengan wajah dingin dan senyum sinis, Ki Lodaya lalu mengayunkan cambuk di tangannya ke arah pemuda tanggung itu.

Ctar!
"Aaa...!"

Puger memang tak seperti ayahnya yang memiliki kepandaian lumayan. Apalagi Suriareja memang tak pernah mengajarkannya ilmu silat. Sehingga ketika ujung cambuk di tangan Ki Lodaya menyambar dadanya, anak itu tak mampu menghindari. Tubuhnya kontan terlempar keras ke belakang dan jatuh di tanah dengan tulang rusuk patah. Dan nyawanya langsung melayang saat pekikannya terhenti.

"Biadab!" geram salah salah seorang anak buah Suriareja sambil melompat menyerang Ki Lodaya. Namun sebelum anak buah Suriareja berhasil menyentuh tubuh Ki Lodaya, Gumarang sudah mencelat menghadang sambil menggeram buas.

"Graungrrr...!"
"Hup!"

Terpaksa laki-laki berpakaian merah itu mengurungkan niatnya. Dan dengan memutar tubuhnya, dihindarinya sambaran arit Gumarang. Golok di tangannya bergerak cepat menyambar leher Gumarang. Namun, murid-murid pertama Ki Lodaya sigap sekali membungkukkan tubuhnya. Kemudian, tubuhnya berputar dengan kaki kanan terayun ke pelipis.

Yeaaa...!

Tapi, serangan itu ternyata telah dibaca Gumarang. Terbukti, tubuhnya telah melejit ke atas sambil mengayunkan senjata ke leher. Anak buah Suriareja itu kontan terkejut. Maka buru-buru dijatuhkan tubuhnya untuk menghindari. Namun, kaki kiri Gumarang yang berada di bawah langsung menghajar ke arah perut.

Desss!
"Aaakh!"

Tubuh orang berpakaian merah itu kontan terpental pada jarak tiga langkah ke belakang. Tapi Gumarang tak berhenti sampai di situ. Begitu kakinya menendang, maka saat itu pula tubuhnya mencelat mengikuti gerakan lawan. Sedangkan tangan kirinya cepat menyambar ke arah dada. Sementara, lawan masih sempat melihat serangan itu, dan berusaha menghindari sambil memapak dengan goloknya.

Crakkk!

Tangan orang berpakaian merah itu kontan ber-getar hebat dan goloknya terlepas dari genggaman, begitu cakar kiri Gumarang menghantam mata goloknya. Bersamaan dengan itu, senjata arit di tangan kanan Gumarang sudah terus menyambar ke arah leher.

Crasss!
"Aaa...!"

Orang berpakain merah itu hanya terpekik sesaat, begitu bahunya terbabat arit Gumarang. Kemudian kepalanya terlihat menggelinding ke tanah dengan darah mengucur deras dari pangkal leher. Sebentar dia limbung, lalu ambruk di tanah dengan nyawa melayang dari badan.

"Bagus Gumarang!" puji Ki Lodaya sambil tersenyum.

Gumarang memandang sekilas pada gurunya, kemudian menatap kepada adik seperguruannya yang belum juga selesai menghabisi lawannya yang tinggal empat orang lagi.

"Rajendra! Apakah kau perlu bantuan Gumarang untuk membereskan lawan-lawanmu?!" teriak Ki Lodaya dengan suara kesal.

"Maaf, Guru. Kalau Guru menghendaki agar mereka mampus dengan cepat, baiklah. Aku masih sanggup melakukannya!" teriak Rajendra di sela-sela pertarungannya.

"Bagus. Nah! Cepat lakukanlah!"

"Yeaaa...!"
Ser! Ser!

Diiringi bentakan nyaring, tubuh Rajendra langsung melompat ke atas setinggi satu tombak. Kemudian begitu tangannya menghentak ke depan, terlihat beberapa buah paku beracun melesat dari tangan ke arah empat lawannya.

"Awaaas! Dia mulai menggunakan senjata rahasia!" teriak salah seorang anak buah Suriareja memperingatkan kawan-kawannya.

"Keparat! Dia menggunakan paku-paku beracun!" geram yang lain.

"Ha ha ha...! Mampuslah kalian sekarang!" teriak Rajendra sambil tertawa nyaring.

Tubuh Rajendra melesat deras ke bawah sambil memutar senjatanya membentur kitiran. Maka dua orang lawannya langsung memapak, sementara dua lainnya mencari sisi pertahanan yang terbuka.

Trak! Trak!
Wuttt!
Ser! Ser!

Dua golok anak buah Suriareja yang coba menangkis berhasil dibuat terpental dari genggaman. Kedua orang itu kontan tersentak kaget, namun masih sempat menyelamatkan diri sambil menunduk. Sementara, Rajendra terus mengejar sambil melemparkan senjata rahasianya ke arah dua orang lawannya yang lain.

"Hiyaaa...!"

Ujung tombak bermata tiga milik Rajendra kembali menyambar kedua lawannya yang berada di depan, kedua anak buah Suriareja itu buru-buru menjatuhkan diri. Melihat kesempatan ini, Rajendra cepat menyusuli. Dan dengan satu tendangan keras yang tak mampu dielakkan oleh salah seorang dari mereka. Maka....

Diegkh!
"Aaakh...!"

Salah seorang anak buah Suriareja kontan memekik kesakitan. Tubuhnya terlempar lima langkah ke Belakang. Namun, Rajendra terus mengejarnya dengan lemparan senjata rahasia yang tak mungkin dielakkan lagi!

Crasss!
"Aaakh...!"

Begitu dadanya tertembus senjata rahasia Rajendra, orang itu kontan terpekik. Tubuhnya terhuyung-huyung sambil memegangi dadanya yang tertembus paku-paku beracun. Tak lama kemudian, orang itu duduk di tanah, dengan tubuh membiru. Dari mulutnya tampak mengeluarkan busa berwarna kekuning-kuningan. Rajendra terus melempar senjata rahasianya ke belakang kepada dua orang lawannya yang tadi berhasil menghindari. Betapa terkejutnya kedua orang itu.

Salah seorang memang berhasil menghindar dengan membuang tubuhnya ke tanah. Namun seorang lagi kontan menjerit keras, ketika sebuah paku beracun menembus dada kirinya. Tubuhnya langsung terjungkal ambruk di tanah, dan menggelepar-gelepar seperti ayam dipotong. Tapi, mana mau Rajendra mempedulikannya. Bahkan ketika kedua lawannya yang tersisa melompat berbarengan membawa serangan, tubuhnya sedikit merendah. Kemudian, dia berputar mengikuti gerakan tombaknya. Lalu....

Bret!
Cras!
"Aaa...!"

Kedua orang itu langsung memekik ketika perut mereka robek diterjang ujung tombak lawan yang bergerak amat cepat. Mereka langsung ambruk ke tanah dengan darah berhamburan dari perut. Sebentar mereka meregang nyawa, lalu diam tak berkutik lagi. Mati!

"Beres!" dengus Rajendra sambil mengibas-ngibaskan tangannya, ketika seluruh lawannya sudah tak bangun-bangun lagi. Sebentar dipandanginya mayat-mayat lawannya, lalu dihampirinya Ki Lodaya dan Gumarang.

Perlahan-lahan ketiga orang itu menghampiri ketujuh pedati dengan wajah dingin mengancam. Ki Lodaya memandang beberapa orang yang berada dalam pedati itu, kemudian berteriak lantang.

"Kalau kalian masih sayang dengan nyawa, boleh keluar! Kuhitung sampai tiga. Dan, kalian boleh pergi dari tempat ini dengan berjalan kaki!" kata Ki Lodaya.

Belum lagi Ki Lodaya menghitung mereka yang berada dalam pedati itu langsung melompat keluar dengan muka pucat. Bahkan beberapa orang di antaranya langsung kabur terbirit-birit. Melihat hal itu, yang lainnya pun ikut-ikutan. Agaknya, mereka memang tak punya pilihan lain. Memang tak seorang pun yang mengerti ilmu silat karena hanya para pedagang. Kalaupun punya, sudah ciut lebih dulu nyali mereka melihat sepak terjang kedua murid Ki Lodaya.

"Ha ha ha...!"

Ketiga orang itu tertawa terbahak-bahak dan membiarkan saja mereka lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu.

"Guru! Mereka membawa banyak uang mas!" teriak Rajendra, setelah memeriksa isi pedati yang berada di barisan tengah.

"Mereka juga membawa pakaian dan perhiasan mahal!" teriak Gumarang pula. begitu memeriksa isi pedati barisan kedua.

"Bagus! Nah, sekarang kalian giring kuda-kuda itu ke markas kita!" perintah Ki Lodaya.

"Baik, Guru!" sahut keduanya serentak.

Kini, mereka segera berlalu dari tempat itu sambil menggiring kuda-kudanya yang menarik pedati itu ke suatu lembah, di kaki Bukit Serigala. Bukit Serigala kini lengang. Tapi sekawanan burung pemakan bangkai sudah terbang berputar-putar di angkasa!

********************

DUA

Malam merangkak semakin larut. Bulan sepotong tampak mengintip malu-malu dari celah-celah ranting-ranting pohon yang tidak begitu rapat, mengamati kedua anak muda yang tengah menikmati santapan daging kelinci bakar. Di dalam hutan yang tak begitu rapat ini, mereka seperti tengah beristirahat. Api unggun, tampak masih membakar ranting-ranting kayu membuat suasana di sekelilingnya pada jarak tiga tombak jadi terang benderang. Sementara, malam terus merambat membawa angin dingin yang menjatuhkan embun-embun. Sehingga, suasana jadi semakin dingin menusuk tulang.

"Huuu! Seharusnya kita tak bermalam di sini, Kakang!" gerutu gadis cantik berbaju biru muda yang duduk bersandar pada sebatang pohon, bersama seorang pemuda tampan berbaju rompi putih di sebelahnya.

Sementara, pemuda berbaju rompi putih itu hanya menoleh sekilas. "Kenapa, Pandan?!"

"Dingiiin!" sahut gadis berbaju biru yang ternyata memang Pandan Wangi, dengan tubuh menggigil. Pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung itu kemudian tersenyum. Dia memang Rangga, yang di kalangan persilatan berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.

"Dekatkan tubuhmu ke api unggun ini," ujar Rangga.

"Huuu! Bisa-bisa, kalau ketiduran tubuhku terbakar!" sungut Pandan Wangi, manja.

Kembali Rangga tersenyum. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan dalam senyumannya.

"Senang ya?!" rutuk Pandan Wangi sambil memelototkan matanya.

"Tidak. Aku hanya geli melihat sikapmu. Setiap kali mendapat kesulitan, kau selalu mengeluh. Serahkanlah semuanya pada Hyang Widhi," sahut Rangga tenang.

Pandan Wangi mendesah berat, seperti berusaha melepaskan beban di hatinya. Kemudian tubuhnya direbahkan pada jarak enam jengkal dari api unggun. Sedangkan Rangga masih duduk menekur di sampingnya, memandangi nyala api di depannya.

"Pandan...?"

"Ya?" sahut gadis itu tanpa menoleh, tapi bernada lembut.

"Kau bosan mengembara bersamaku?" tanya Rangga suaranya terdengar lirih, namun mengandung pertanyaan yang mendalam.

Pandan Wangi lalu memiringkan tubuhnya, dipandanginya pemuda itu dengan sorot mata heran. "Kenapa Kakang berkata seperti itu?"

"Yah..., hanya dugaanku saja," desah Rangga.

Pandan Wangi terus menatap pemuda itu, kemudian beranjak duduk di sebelahnya. "Entahlah, Kakang. Mungkin aku hanya jenuh saja. Tapi percayalah. Besok pagi aku sudah seperti biasa kembali," kilah Pandan Wangi.

"Aku percaya padamu, Pandan. Tapi sebaiknya, bicaralah padaku bila kau punya persoalan. Ingat, Pandan kita sudah sekian lama selalu bersama-sama, tidak ada lagi yang harus disembunyikan dalam diri kita masing-masing," ujar Rangga halus, namun bernada mendesah.

"Sudahlah, Kakang. Jangan mendesakku terus," desah Pandan Wangi, seperti bisa membaca arah pembicaraan Rangga.

Dan Pendekar Rajawali Sakti hanya mengangkat bahunya sedikit, tidak ingin mendesak Pandan Wangi. Dia tahu betul watak gadis itu, yang selalu manja namun juga keras kepala. Maka Rangga hanya menghadapinya dengan kesabaran. Kini Pandan Wangi merebahkan kembali tubuhnya. Dan sebentar saja, sudah terdengar dengkurnya yang halus dari sebelah Pendekar Rajawali Sakti.

Memang, tampaknya gadis itu lelah sekali. Mungkin karena lelahnya, kemanjaannya pada Rangga muncul kembali. Rangga lalu mendesah perlahan. Kakinya kemudian bersila. Kedua matanya dipejamkan, mulai bersemadi untuk memusatkan pikirannya dan mengatur jalan darahnya. Namun, belum juga Rangga bisa menyatukan pikirannya, mendadak matanya terbuka. Pandangannya langsung ditujukan lurus ke depan, dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

"Kisanak yang mengintip di atas pohon, keluarlah! Kenapa malu-malu menampakkan diri? Kalau hendak bergabung, silakan saja!" kata Rangga, lantang.

Srak!

Tiba-bba dari salah satu cabang pohon, melesat turun sesosok tubuh gemuk pendek dengan dahi lebar. Rambutnya jarang-jarang dan mukanya bulat. Begitu mendarat, orang itu tersenyum lebar sambil memberi salam penghormatan kepada pemuda itu.

"He he he...! Sungguh jeli matamu itu, Bocah. Kau tentu bukan orang sembarangan. Namaku, Gemuli. Dan orang-orang menyebutku sebagai si Badut Gembel. Nah! Siapakah kalian ini sebenarnya?" kata orang itu disertai tawa keras.

Suara orang yang mengaku bernama Gemuli atau si Badut Gembel itu terdengar keras, sehingga membuat Pandan Wangi terjaga. Gadis itu beringsut sambil memandang pada orang asing yang baru datang itu dengan wajah heran.

"Hm.... Badut Gembel, agaknya kami sungguh beruntung bisa bertemu pendekar hebat yang namanya menggetarkan jagat. Namaku, Rangga. Dan ini kawanku. Namanya Pandan Wangi," sahut Rangga sambil membalas salam hormat laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun itu.

Rangga sengaja memuji, karena julukan Badut Gembel memang pernah didengarnya. Memang kepandaiannya tinggi sekali. Namun, sikapnya sering angin-anginan. Bahkan sulit ditebak. Dan menurut cerita orang, si Badut Gembel pun paling suka di-sanjung. Dia akan tertawa kegirangan, jika orang lain yang ditemui mengenalinya.

"Ha ha ha...! Tak dinyana kalian bocah kemarin sore kenal juga denganku. Bagus! Bagus! Tapi..., heh?! Tunggu dulu!" cegah si Badut Gembel tiba-tiba seraya mengerutkan dahinya seperti sedang berpikir.

"Ada apa, Badut Gembel?"

"Rangga..., Rangga. Di mana aku pernah mengenal nama itu...?" kata Badut Gembel sambil mengingat-ingat.

"Mana mungkin kau mengenal namaku, Badut Gembel. Aku hanyalah seorang pengembara," elak Rangga mencoba menyembunyikan jati dirinya.

"Edan! Aku tahu! Kau... Kau pasti Pendekar Rajawali Sakti, bukan?!" tunjuk Gemuli dengan wajah girang. Kemudian terlihat si Badut Gembel menari-nari di tempat itu sambil berkali-kali menunjuk ke arah Rangga.

"Kisanak. Aku hanya seorang pengembara yang tak punya kepandaian apa-apa," Pendekar Rajawali Sakti beralasan demikian, sebab si Badut Gembel suka sekali berbuat yang aneh-aneh. Misalnya, menghajar orang yang tak disukainya tanpa alasan. Atau, menguji kepandaian dengan pendekar hebat yang sudah kondang. Menyadari hal itu, maka Rangga bersikap untuk mengalah saja. Itulah sebabnya dia tak mau mengaku kalau dirinya Pendekar Rajawali Sakti.

"Edan! Kau tak mau mengaku juga heh?!" bentak si Badut Gembel sambil membelalakkan mata dan menuding-nuding ke arah pemuda itu.

Melihat sikap orang itu, bukan Rangga yang menjadi panas. Tapi Pandan Wangi-lah yang langsung bangkit.

"Orang tua! Apa maumu sebenarnya? Datang-datang cekikikan seperti monyet. Dan kini, malah memaksa orang untuk mengaku macam-macam, Dasar Gila!" dengus Pandan Wangi jengkel, sambil menuding si Badut Gembel.

"Wueeeh! Gadis cantik cerewet! Siapa pula kau ini? Apa kau gendaknya?!" sahut si Badut Gembel, tak kalah garang.

"Kurang ajar! Kusobek mulut kotormu itu. Yeaaa...!" Pandan Wangi tak dapat lagi menahan amarahnya yang menggelegak dalam dada. Maka langsung diserangnya si Bagut Gembel.

"Pandan, tahan...!" Rangga berteriak hendak mencegah, namun Pandan Wangi tidak lagi mempedulikan.

"He he he...! Bagus! Rupanya kau punya kepandaian juga, Bocah Centil. Ingin kulihat, sampai di mana kemampuanmu itu," sahut si Badut Gembel sambil bergerak lincah menghindari serangan gadis itu.

"Jangan banyak mulut, Orang Tua Gila! Setelah kurobek mulutmu, barulah matamu terbuka kalau bukan kau saja yang terhebat di jagat ini!"

"Ha ha ha...! Uts, boleh juga!" sentak si Badut Gembel, menghentikan tawanya ketika satu tendangan keras nyaris menghajar pelipis.

Gemuli terus melompat ke belakang sambil mengangkat sebelah kakinya, ketika tubuh Pandan Wangi berbalik dan mengirim tendangan berikut Si Badut Gembel kembali terkekeh. Tubuhnya langsung melejit keatas, kemudian bersalto di udara beberapa kali. Lalu, kakinya mendarat ringan di belakang gadis itu. Kembali Pandan Wangi berbalik sambil mengayunkan kepalan tangannya menyambar leher.

"Yeaaa...!" "Uts, copot kepalaku!" ejek si Badut Gembel sambil menunduk dan memegang kepalanya.

"Sial!" maki Pandan Wangi kesal ketika serangannya luput. Dipermainkan begitu rupa, panas juga hati Pandan Wangi. Dengan geram dicabutnya kipas baja putih yang terselip di pinggangnya.

Srak!

"He he he...! Kebetulan, aku sedang kepanasan. Kau hendak mengipasiku, Cah Ayu?" ejek si Badut Gembel.

"Ya! Aku akan mengipas lehermu biar mampus sekalian!" geram Pandan Wangi sambil mengayunkan kipasnya yang terkembang.

Desir angin serangan kipas itu cukup kuat, sehingga pakaian serta rambut si Badut Gembel berkibar-kibar. Namun, laki-laki setengah baya itu tenang-tenang saja. Baru ketika ujung kipas itu hendak menyambar lehernya, kepalanya cukup dimiringkan sedikit Lalu, kaki kanannya menyapu pergelangan tangan gadis itu.

"Hiiih!"
Bet!

Cepat bagai kilat, Pandan Wangi merendahkan tangan untuk menghindari sambaran kaki lawan. Tubuhnya kemudian berputar, sambil melepaskan kepalan tangan kirinya. Ke arah dada si Badut Gembel. Namun dengan lincah lelaki bertubuh gemuk pendek itu melompat ke atas sambil terkekeh. Bahkan tubuhnya langsung menukik tajam seraya menghantamkan tangan kanannya ke arah kepala Pandan Wangi. Tentu saja tindakan ini membuat gadis itu terkesiap. Apalagi, tak ada waktu untuk menghindar. Maka cepat ditangkisnya serangan itu.

"Hiyaaa!"
Plak!
"Uhhh...."

Pandan Wangi langsung mengeluh kesakitan ketika menangkis kepalan tangan lawan dengan tangan kirinya. Masih untung kepala cepat ditundukkan, karena si Badut Gembel menyusulinya ke bagian atas tubuhnya. Sedangkan tangan kanannya yang memegang kipas maut cepat menyambar ke dada lawan. Namun, si Badut Gembel telah melompat ke belakang menghindarinya sambil terus terkekeh-kekeh.

"He he he...! Lumayan, Bocah. Lumayan. Tapi, sayang. Aku tak berselera untuk bertarung denganmu. Hei kenapa kekasihmu tak kau suruh saja untuk menghadapiku?!"

"Keparat! Kau pikir, aku tak mampu menghajarmu, he?!" gumam Pandan Wangi semakin menjadi-jadi.

"He he he...! Aku tak pernah bertindak kasar pada wanita. Tapi kalau kau coba memaksa, akan kutendang pantatmu itu!" ujar si Badut Gembel, tenang.

"Keparat! Kau memang tak bisa diberi ampun!" bentak Pandan Wangi sambil melompat menyerang lawan.

"Pandan Wangi, cukup!" Rangga cepat bertindak. Dia langsung melompat dan menangkap pergelangan tangan gadis itu.

"Lepaskan, Kakang! Biar kuhajar dulu keparat bermulut besar itu agar tak sembarangan mengumbar mulut! Lepaskan!"

"Pandan, tenanglah. Kita tak punya urusan dengannya. Sebaiknya, mari kita pergi dari sini," ajak Rangga, tenang.

Pendekar Rajawali Sakti langsung menatap gadis itu dalam-dalam. Pandan Wangi tahu, kata-kata Rangga yang tenang tidak mungkin bisa dibantahnya lagi. Itu kelihatan jelas dari sinar mata Pendekar Rajawali Sakti. Dan gadis itu hanya menghembuskan panas berat seraya melotot geram pada si Badut Gembel yang masih terkekeh-kekeh. Sambil kembali mendengus kesal, dihampiri kuda putihnya yang tertambat tak jauh dari situ.

Rangga pun perlahan-lahan mengikuti langkah gadis itu dari belakang, dan segera menuju kuda hitam yang bernama Dewa Bayu. Secara bersamaan, mereka melompat naik ke punggung kuda. Namun ketika mereka telah siap menjalankan kuda masing-masing si Badut Gembel melompat menghadang sambil berkacak pinggang.

"He he he...! Jangan harap kalian boleh pergi begitu saja dari tempat ini tanpa izinku!" dengus Gumali, alias si Badut Gembel.

"Badut Gembel! Maaf, kami tak bisa meladeni keinginanmu. Menepilah, karena kami terburu-buru," sahut Rangga tenang.

"Ha ha ha...! Beginikah sikap Pendekar Rajawali Sakti yang gagah perkasa dan tak seorang pun pernah mengalahkannya? He, Bocah! Aku sekarang menantangmu!" tantang si Badut Gembel dengan sorot mata tajam menusuk.

"Maaf. Kau telah tahu jawabanku...."

"Dan kau tahu pula, bagaimana pendirianku!" sahut si Badut Gembel tak peduli.

"Kisanak! Apa maksudmu?" tanya Rangga, heran.

"Aku menantangmu! Dan, kau mesti meladeninya!" dingin suara si Badut Gembel.

Bersamaan dengan itu tubuh si Badut Gembel langsung melesat, melepaskan tendangan lurus ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Kisanak! Akh..., uts!"

Rangga tak sempat melanjutkan kata-katanya, ketika satu tendangan si Badut Gembel nyaris menghajarnya. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti cepat melenting ke atas dari kudanya, dan berputaran beberapa kali. Dan begitu kedua kakinya menyentuh tanah, kembali si Badut Gembel menerjang dengan sebuah tendangan lagi.

"Jebol perutmu!"
"Uhhh!"

Dengan gesit, tubuh Pendekar Rajawali Sakti melejut lima jengkal ke atas, sambil balas mengayunkan kakinya ke wajah lawan.

"Maaf!" Namun, si Badut Gembel cepat melompat ke samping, sehingga tendangan Pendekar Rajawali Sakti hanya menyambar angin kosong.

"He he he...! Akhirnya toh, kau mau juga meladeniku!" kata si Badut Gembel sambil tertawa senang, setelah berhasil menghindar. Agaknya, si Badut Gembel ini ingin membuktikan kalau dirinya lebih unggul dari lawan. Maka begitu habis menghindar, dia seperti tak hendak memberi kesempatan sedikit pun pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Hiyaaa!"
"Uts!"
"Hiiih!"

Kembali satu tendangan keras yang dibarengi tenaga dalam tinggi bergerak hendak menghantam dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun, pemuda ber-baju rompi putih itu gesit sekali bergerak ke samping dengan pengerahan jurus 'Sembilan Lang-kah Ajaib'. Suatu jurus yang hanya mengandalkan gerakan yang lincah, dengan tubuh melentur ke sana kemari. Tapi tanpa diduga, kepalan tangan si Badut Gembel menyambar ke batok kepala. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat ke atas sambil jungkir balik. Dan ternyata, Gemuli yang berjuluk si Badut Gembel telah menyusuli dengan satu sapuan kaki yang keras.

"Yeaaa...!"

Dengan geram, Pendekar Rajawali Sakti membentak keras. Lalu disambutnya sapuan kaki si Badut Gembel yang lurus terarah ke dada dengan tangan kanan. Dan....

Degkh!

Benturan antara tangan Pendekar Rajawali Sakti dengan kaki si Badut Gembel terdengar keras.

"Uhhh...!"

"Maaf, Kisanak...," ucap Rangga ketika melihat laki-laki setengah baya itu terjajar ke belakang sambil meringis kesakitan. Rasanya, kakinya bagai kesengat kala berbisa.

"He he he...! Apakah kau pikir aku akan kalah, karena kau telah berhasil menangkis seranganku?" ejek si Badut Gembel sambil tertawa sinis. Namun dari sorot matanya sudah terbaca ada rasa kekaguman terhadap pemuda berbaju rompi putih itu.

Sementara Rangga masih berdiri tegak sambil memandang pada laki-laki setengah baya bertubuh gemuk pendek itu dengan seksama. Jarak mereka kini hanya tujuh langkah. Namun tiba-tiba tubuh laki-laki gemuk itu telah kembali melompat menyerang bagaikan kilat.

"Yeaaa!"
"Uts!"

Kepalan tangan si Badut Gembel menderu ke arah wajah Pendekar Rajawali Sakti, menimbulkan angin bersiur kencang yang hebat bukan main. Maka buru-buru Rangga menjatuhkan diri ke tanah. Lalu, kedua kakinya diayunkan ke tubuh si Badut Gembel yang sedang melayang di atasnya.

"Yeaaa!"
"Heh?!"

Rangga seperti tak percaya dengan apa yang dialaminya. Ternyata, kedua tangan si Badut Gembel yang terkepal malah bermaksud hendak memapak tendangannya yang berisi tenaga dalam tinggi. Tentu saja hal itu sangat membahayakan diri si Badut Gembel sendiri. Apalagi, dari benturan pertama tadi, Rangga sudah bisa mengukur tenaga dalam lawan yang berada di bawahnya. Jelas, kedua tangan si Badut Gembel bakal remuk terhantam tendangan kakinya. Tapi, siapa nyana ketika telapak kaki Pendekar Rajawali Sakti beradu dengan kedua kepalan tangan si Badut Gembel.

Ternyata Rangga hanya merasa menghantam angin saja. Sedang tubuh si Badut Gembel itu telah berputar ke atas lalu meluncur deras ke bawah, tertuju lurus ke dada Pendekar Rajawali Sakti yang masih terbaring di tanah. Dan sungguh menakjubkan ternyata si Badut Gembel mendaratkan sebelah kakinya ke telapak kaki Rangga yang menjulur ke atas.

Agaknya, dia bermaksud mengadu kekuatan dengan mengerahkan tenaga dalam sekuat mungkin pada kakinya. Hal itu dirasakan betul oleh Pendekar Rajawali Sakti. Maka, seluruh tenaga dalamnya segera disalurkan ke telapak kakinya. Dan seketika, kedua kakinya yang perlahan-lahan tertekuk, cepat dihentakkan ke atas.

"Hiiih!"
"Hup!"

Mendapat dorongan yang demikian kuat si Badut Gembel jadi terlontar ke atas. Namun dengan indahnya, tubuhnya kembali menukik cepat sambil berputaran bagai gasing. Lalu langsung disiapkannya satu hantaman berupa pukulan tangan kanan yang keras ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang masih terbaring di tanah. Namun, Rangga tak kalah gesit. Cepat tubuhnya bergulingan dengan kedua kaki bergerak melingkar menyambar pinggang lawan.

"Hiyaaa!"

Namun, si Badut Gembel ternyata telah cepat melemparkan tubuh ke samping. Maka, sambaran kaki Pendekar Rajawali Sakti hanya menghantam angin belaka. Sedangkan si Badut Gembel kini sudah berdiri berjarak beberapa tombak, ketika Pendekar Rajawali Sakti baru saja bangkit berdiri.

"Ha ha ha...! Ternyata, apa yang kudengar tentang dirimu tidak berlebihan, Bocah. Kau memang memiliki kepandaian luar biasa! Nah, sekarang pergilah kalian sebelum pikiranku berubah!" teriak si Badut Gembel.

Rangga hanya tersenyum kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kata-kata laki-laki setengah baya itu seperti menyiratkan kalau telah mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan terkesan mengampuni jiwa Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi. Padahal kalau saja, Pendekar Rajawali Sakti mau mencelakakannya, sejak tadi bisa dilakukannya. Lagi pula setelah berkata demikian si Badut Gembel yang melesat dari tempat itu. Dan sebentar saja, tubuhnya telah lenyap tertelan kegelapan malam.

"Dasar orang tua sinting!" gerutu Pandan Wangi melihat ulah si Badut Gembel.

Rangga tak menjawab, malah melangkah ke kuda hitamnya. Dengan gerakan manis sekali, dia melompat ke punggung kudanya dan memacunya pelan mengikuti Pandan Wangi yang telah lebih dulu melompat dan menggebah kudanya. Memang, kadang-kadang sifat manusia aneh. Mereka suka bermain api, tanpa sadar akibatnya. Demikian pula si Badut Gembel. Tokoh satu ini memang sering usil. Sering mengganggu, tanpa tahu akibat yang akan diderita. Tapi sebenarnya dia orang baik, karena sering membantu orang lemah. Kepandaiannya yang cukup tinggi, sering digunakan untuk menumpas kejahatan. Hanya sayangnya, sifatnya kadang-kadang usil. Itu saja.

********************

TIGA

Dua orang berpakaian serba hitam tampak berjalan di pinggiran Hutan Jati Kembar tergesa-gesa. Ternyata mereka telah ditunggu oleh lebih dari dua puluh orang yang rata-rata berwajah seram. Tampak sebilah golok terselip di pinggang mereka semua. Salah seorang yang berdiri di tengah dua puluh orang itu bertubuh besar. Bajunya terbuat dari kulit macan loreng. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai. Tangan kirinya memakai gelang bahar berukuran besar berwarna hitam mengkilat. Wajahnya polos tanpa kumis dan jenggot. Namun, sorot matanya demikian tajam berkilat, laksana seekor harimau liar. Sehingga membuat siapa pun yang bertatapan dengannya pasti merasa takut dan ngeri.

"Apa yang kalian dapat hari ini Gidon, Wowor?!" bentak orang bertubuh besar itu yang agaknya bertindak sebagai pimpinan.

"Hanya pepesan kosong, Ki Warkala...," sahut orang laki-laki berkumis tebal, yang ternyata bernama Gidon. Sedangkan kawannya yang satu datang bersamanya, tadi dipanggilnya dengan nama Wowor.

"Daripada tidak dapat sama sekali, kami hanya berhasil merampok gerobak butut dan kerbau ini" timpal Wowor.

"Keparat!" orang yang dipanggil Ki Warkala itu menggeram sambil mengepalkan tangannya. Melihat perubahan wajah Ki Warkala, semua anak buahnya terlihat membisu sambil menundukkan kepala. Mereka tahu, apa artinya itu. Dan tak seorang pun yang berani bersuara.

"Kita tak bisa membiarkan hal ini terjadi terus-menerus!" lanjut Ki Warkala, masih dengan suara seram.

"Lalu apa yang harus kita lakukan, Ki...?" tanya Gidon, lirih.

Ki Warkala memandang laki-laki berkumis tebal itu sekilas. Kemudian, matanya menatap lurus ke depan. "Aku sudah punya rencana...," gumam Ki Warkala.

"Rencana apa itu, Ki?" tanya Wowor.

"Kalian tahu Bukit Serigala?"

"Siapa yang tak kenal tempat itu," sahut Gidon.

"Bagus! Kita akan berangkat ke sana, dan menguasai tempat itu!" sahut Ki Warkala mantap.

"Menguasai Bukit Serigala?!" kata beberapa orang serentak, dengan wajah tak percaya.

"Kenapa? Kalian takut ke sana?!" ujar Ki Warkala, agak mendengus.

"Bukan begitu, Ki. Tapi...," sahut Gidon ragu.

"Tapi kenapa?!" bentak Ki Warkala, menggeledek.

"Bukankah di tempat itu telah bercokol Ki Lodaya yang berjuluk Serigala Iblis Bercambuk Emas? Bahkan dia tak sendirian, tapi beserta dua orang muridnya. Dan kabarnya juga, di tempat itu banyak kawanan serigala yang patuh pada perintah mereka," jelas Gidon, mengemukakan kekhawatirannya.

"Apakah kau ingin kusebut penakut?" tanya Ki Warkala dengan sorot mata tajam menusuk.

"Eh! Bukan begitu, Ki. Tapi...."

"Diam!" bentak Ki Warkala nyaring. Dipandanginya anak buahnya satu persatu dengan sorot mata tajam menusuk.

"Perampok Macan Loreng selama ini tak pernah takut pada siapa saja. Apa yang kita inginkan, harus didapatkan. Aku tak ingin kalian berjiwa pengecut! Dan lagi, kita tak bisa terus-menerus berada di tempat ini, sementara Serigala Iblis Bercambuk Emas beserta dua orang muridnya bergemilang harta di sana! Padahal, hanya mereka bertiga. Sedangkan kita, jauh lebih banyak daripada mereka. Maka, akan kita hancurkan mereka sekarang juga. Dan siapa yang tak mau ikut, akan menerima hukuman dariku!" kata Ki Warkala, dengan suara keras.

"Aku ikut, Ki...!" sahut Wowor, terdengar bergetar.

Mendengar jawaban Wowor, yang lain satu ada seorang pun yang berani membantah Ki Warkala. Dan kalau ada yang membantah, maka dia tak akan segan-segan membunuh. Masih untung, Gidon tak menerima hukuman. Memang, Gidon adalah orang kepercayaan Ki Warkala. Tapi bila anak buah yang lain, maka bisa dipastikan nyawanya akan melayang dihukum Ki Warkala, jika berani membantah.

"Kita berangkat sekarang juga!" lanjut Ki Warkala.

********************

Pendekar Rajawali Sakti

Di kaki Bukit Serigala, suasana terasa lengang. Hawa dingin terasa menyapu sekitarnya, di antara kabut yang belum seluruhnya sirna. Daun-daun dan rerumputan masih basah oleh embun. Rombongan Ki Warkala tampak bergerak perlahan-lahan dengan mata tajam mengawasi keadaan sekelilingnya.

"Waspada! Jangan lengah!" bisik Ki Warkala pada anak buahnya.

"Baik, Ki."

"Jangan berpencar! Kalian harus saling mengawasi satu sama lain!" lanjut Ki Warkala kembali.

Semua anak buah Ki Warkala mengangguk cepat. "Aduh! Apa ini?!" sentak salah seorang anak buahnya, ketika tubuhnya terjerembab karena tersandung sesuatu di tanah.

"Astaga! Tempat ini penuh tulang tengkorak manusia!" desis kawannya, ketika melihat ke bawah.

Yang lainnya tersentak kaget, ketika mengetahui apa yang terdapat di sekitar tempat itu. Wajah mereka tampak cemas, rasa ketakutan kini mulai merasuki hati mereka.

"Ada apa ribut-ribut?!" sentak Ki Warkala geram.

"Anu, Ki. Tempat ini penuh tulang tengkorak manusia...," sahut Gidon, takut-takut.

"Keparat! Apa yang kalian takutkan dengan tulang-belulang itu? Apa dia bisa melawan kalau dihajar?!" geram Ki Warkala, sambil melotot.

"Eh! Ti..., tidak, Ki..."

"Sudah! Kalau begitu, jangan ribut! Sekali lagi kudengar teriakan ketakutan, kupecahkan batok kepala kalian!" Semua anak buah Ki Warkala menelan ludah, menahan rasa takut.

Mata mereka melotot lebar, seolah-olah di sekeliling tempat itu penuh hantu yang siap mencekik kapan saja. Wajah mereka tampak semakin pucat, dan rasa takut semakin menjadi-jadi bergolak di hati. Keadaan di tempat itu sendiri masih terasa sunyi mencekam. Sampai kemudian, mereka disentakkan oleh lolongan serigala yang terdengar sayup-sayup di kejauhan.

"He, kurang ajar!" maki Ki Warkala yang ikut tersentak kaget.

Kembali terdengar lolongan serigala. Kali ini, nadanya pendek dan terdengar tak jauh dari tempat ini.

"Ki Warkala...," desah beberapa orang anak buahnya dengan suara bergetar.

"Diam!" bentak Ki Warkala mulai kalut.

"Ha ha ha! Siapa yang berani cari mati memasuki daerah kekuasaanku...!"

Tiba-tiba terdengar suara keras yang nyaring. Seolah-olah, suara itu berasal dari segala penjuru.

"Heh?!"

Mereka yang berada di tempat itu kontan jadi terkejut. Termasuk Ki Warkala. Namun, dia cepat-cepat menguasai diri.

"Siapa kau?! Tunjukkan dirimu! Kami adalah Gerombolan Perampok Macan Loreng!" Ki Warkala balas membentak lantang.

"Ha ha ha...! Perampok tengik semacam kalian mau bertingkah di sini. Pergilah sebelum kalian menjadi tulang-belulang!" kembali terdengar suara yang keras dan lantang.

"Keparat! Tunjukkan dirimu di hadapan kami!" bentak Ki Warkala geram.

"Kalian tak ada derajat untuk berhadapan denganku!"

"Phuih! Siapa pun dirimu, aku tak peduli. Dan sekarang kutegaskan, mulai hari ini kami yang menguasai Bukit Serigala. Maka yang coba-coba menghalangi, akan mampus di tanganku!"

"Ha ha ha...! Perampok Tengik Macan Loreng, sesumbarmu tak ada artinya. Aku Serigala Iblis Bercambuk Emas, penguasa tempat ini. Siapa pun yang berada di wilayah kekuasaanku, harus tunduk padaku. Dan karena kau telah sesumbar bacot, maka kau dan seluruh anak buahmu harus mampus!"

"Huh! Serigala Iblis Bercambuk Emas, buktikanlah kata-katamu kalau memang mampu!" sahut Ki Warkala menantang.

"Auuung...!"
"Heh?!"

Baru saja Ki Warkala selesai berkata, mendadak terdengar raungan serigala yang saling bersahutan. Bahkan amat dekat dari tempat mereka berada. Ki Warkala dan anak buahnya kontan tersentak kaget. Dan samar-samar di antara kabut yang mulai menipis, tampak jelas puluhan ekor serigala telah mengurung tempat itu sambil memperlihatkan lidahnya yang terjulur meneteskan air liur. Sorot mata binatang itu terlihat liar dan buas.

"Ki Warkala...," desah beberapa orang anak buah Ki Warkala bernada ketakutan.

Tapi Ki Warkala tak mengacuhkan kecemasan anak buahnya. Sambil bertolak pinggang, matanya merayapi sekeliling tempat itu.

"Serigala Iblis Bercambuk Emas! Apakah kau seorang pengecut, sehingga beraninya hanya mengandalkan binatang-binatang menjijikkan itu?!"

"Ha ha ha...! Kalian sama menjijikan dengan binatang-binatang itu. Maka untuk itulah aku perlu mendatangkan lawan yang sepadan. Nah, Sobat Nikmatilah keramahan mereka."

Ctarrr!
"Graungrrr...!"

Tiba-tiba terdengar lecutan cambuk, yang disusul raungan serigala yang siap mendapatkan mangsa.

"Awaaas!"

Bersamaan dengan itu, serigala-serigala yang mengurung tempat itu bersamaan menerjang Gerombolan Perampok Macan Loreng. Sementara, anak buah Ki Warkala tampak terkejut untuk sesaat. Namun seketika, mereka mencabut golok masing-masing.

"Hiyaaa...!"

"Huh! Binatang-binatang celaka, mampuslah kalian!"

Sambil menggeram penuh amarah, Ki Warkala menerjang dua ekor serigala yang melompat berbarengan menerkamnya. Sementara, dua ekor lagi menerkamnya dari samping. Ujung golok laki-laki tua itu langsung berkelebat cepat. Hasilnya, perut dua ekor serigala berhasil dirobek goloknya. Hewan itu kontan menjerit melengking secara bersamaan. Tubuh kedua hewan itu terjungkal di tanah dalam keadaan bermandikan darah, dan tak bergerak-gerak lagi. Untung saja laki-laki tua itu cepat memiringkan tubuhnya, dan terus melompat ke belakang. Maka terkaman yang mematikan dari dua ekor Serigala itu berhasil dihindarinya.

"Aaa...!"
"Heh?!"
"Graungrrr...!"

Ki Warkala terkejut ketika tiba-tiba terdengar jeritan beberapa orang anak buahnya. Terlihat beberapa orang anak buahnya sudah terjungkal diterjang beberapa ekor serigala yang langsung mengerubuti dan merencah tubuh mereka yang terluka. Darah seketika membajiri tempat itu, dibarengi pekik kesakitan yang menyayat. Dengan amarah meluap-luap, laki-laki tua itu melompat membantu. Namun, lima ekor serigala lain cepat menghadang dari lima arah yang berbeda.

"Binatang-binatang laknat, mampuslah kalian semua...!" dengus Ki Warkala.

"Graungrrr...."
"Hiiih!"

Berkali-kali Ki Warkala menyabetkan goloknya. Namun kali ini kawanan serigala itu seperti mengerti lawannya yang satu ini tak bisa dianggap enteng. Itulah sebabnya, binatang-binatang liar ini melompat menerkam dengan lompatan tinggi yang tak diperhitungkan sebelumnya oleh Ki Warkala. Dikira, serigala-serigala itu akan menyerangnya. Padahal, hewan-hewan buas itu hanya membingungkannya saja, sehingga membuatnya kelelahan.

Ciet... Ciet! Ciet... Ciet!
"Heh?!"

Pendengaran Ki Warkala yang tajam tiba-tiba menangkap suara angin yang aneh di antara hiruk-pikuk raungan serigala dan teriakan-teriakan anak buahnya yang menghadapi amukan hewan-hewan liar itu. Namun belum lagi bisa menduga apa yang akan terjadi...

"Aaa...!"

Sekonyong-konyong terdengar kembali pekikan panjang yang bersahutan dari anak buahnya. Tiga orang yang tumbang sekaligus, langsung diterkam serigala-serigala kelaparan itu.

"Keparat! Kalian telah bermain curang, he?!" geram Ki Warkala ketika menyadari adanya sambaran senjata rahasia yang sengaja dilemparkan ke arah anak buahnya.

Baru saja orang tua itu akan melompat ke arah sesosok bayangan yang muncul tiba-tiba di tempat itu, kembali mendesir angin kencang ke arahnya. Buru-buru Ki Warkala melompat menangkis dengan golok di tangan.

"Hup!"
Trang! Trak!

Dalam keadaan repot menangkis senjata rahasia yang bertubi-tubi menyerangnya, seekor serigala menerkam punggung kiri Ki Warkala. Laki-laki tua itu terkesiap, namun tidak bisa berbuat banyak lagi. Maka....

Brettt!
"Aaakh!"

Ki Warkala kontan menjerit kesakitan. Seketika tubuhnya berbalik, seraya mengayunkan goloknya ke belakang untuk menyambar serigala itu. Akibatnya hewan liar itu melolong kesakitan. Bahkan tubuhnya langsung terbelah dua. Tapi, saat itu juga kembali mendesir angin kencang dari senjata rahasia sebuah sosok bayangan yang mengancam keselamatan Ki Warkala. Dua buah berhasil di tangkis goloknya, namun...

"Aaakh!"

Ki Warkala langsung mengeluh kesakitan, ketika sebuah senjata rahasia menancap di pahanya. Tubuhnya kontan terhuyung-huyung ke belakang. Dengan cepat, dicabutnya senjata rahasia yang berupa paku sebesar telunjuk itu. Tampak di sekitar lukanya telah berubah menjadi biru yang menandakan kalau paku itu beracun. Dan agaknya racun itu cepat menjalar. Ki Warkala seketika merasakan kaki kanannya sulit digerakkan lagi. Peredaran darahnya seperti terhenti dan otot-ototnya langsung kejang.

Namun, orang tua itu masih berhasil menghindar dengan menjatuhkan diri, ketika dua ekor serigala menerkamnya. Dan baru saja tubuhnya menyentuh tanah, kembali terdengar pekik kesakitan dari anak buahnya. Tiga orang telah ambruk dan langsung diterkam kawanan serigala itu. Darah mulai menggenangi tempat itu, setelah didahului oleh teriakan kematian yang memilukan.

"Serigala Iblis Bercambuk Emas! Hadapilah aku, kalau kau memang jantan. Jangan bisanya hanya mengandalkan binatang-binatang keparat itu!" teriak Ki Warkala geram setelah berhasil menghindari terkaman dua ekor serigala. Dan kedua binatang buas itu langsung menyerang anak buah Ki Warkala.

********************

EMPAT

"Ha ha ha...! Kenapa tanganku mesti kotor oleh darah busuk kalian? Tapi agar kematianmu lebih berarti, baiklah. Akan kusambut tantanganmu itu!" sahut sebuah suara yang tak jelas wujudnya.

Ctarrr!

Kembali terdengar cambuk membelah angkasa. Maka, satu persatu kawanan serigala itu kontan menghentikan serangannya. Dan, perlahan-lahan mereka menjauhi gerombolan Perampok Macan Loreng yang kini tinggal tujuh orang, termasuk Ki Warkala. Memang sebagian besar telah tewas diterkam kawanan serigala itu. Dan sebagian lagi, tersambar senjata rahasia berupa paku-paku beracun.

Di hadapan Gerombolan Perampok Macan Loreng, kini berdiri sesosok bertubuh tegap terbungkus kulit hitam. Rambutnya yang riap-riapan sepanjang bahu, dibiarkan begitu saja tak terurus. Mata kirinya ditutupi kain hitam, namun mata kanannya menatap tajam satu persatu lawan-lawannya. Kemudian, kepalanya berpaling kepada Ki Warkala.

"Majulah kalau ingin mampus!" dengus laki-laki bertubuh tegap itu dingin.

Ki Warkala memandang agak lama pada laki-laki di hadapannya. Ternyata, orang itu hanya memegang sebatang tombak bermata tiga. Jadi, bukan senjata cambuk seperti dugaan sebelumnya. Lalu, dari mana datangnya suara cambuk tadi?

"Kaukah yang bernama Serigala Iblis Bercambuk Emas?" tanya Ki Warkala, seraya menatap tajam laki-laki yang memegang sebatang tombak bermata tiga.

"Bukan. Aku Serigala Mata Satu, murid kedua Serigala Iblis Bercambuk Emas!"

"Huh! Aku ingin bertemu dan bertarung melawan gurumu! Pergilah kau, Bocah. Dan, panggil gurumu ke sini untuk menghadapiku!" sahut Ki Warkala, menganggap remeh lawannya.

"Ha ha ha...! Dasar macan ompong! Nyawamu sudah di ujung tanduk saja, tapi masih berlagak. Kau masih beruntung berhadapan denganku, sehingga mau tak percuma direncah serigala-serigala ke-laparan itu. Nah, bersiaplah kau!" ejek laki-laki bertubuh tegap, yang ternyata Rajendra atau berjuluk Serigala Mata Satu.

Ki Warkala bergerak ke samping, ketika ujung tombak Rajendra menyambar kepalanya. Dan tubuhnya langsung melompat ke belakang, ketika Serigala Mata Satu menyusuli dengan satu tendangan keras. Namun, ketika ujung tombak Rajendera terus berkelebat cepat menyambar, Ki Warkala tak bisa berbuat banyak. Maka....

Bet! Bet!
"Aaakh!"

Ki Warkala kontan menjerit kesakitan, ketika sambaran ujung tombak merobek kulit dadanya. Seketika, beberapa tulang rusuknya terasa ngilu. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil memuntahkan darah kental berwarna kehitaman. Agaknya, racun yang berasal dari mata tombak Serigala Mata Satu bekerja cepat. Bahkan langsung mempengaruhi seluruh aliran darahnya. Terbukti, Ki Warkala kemudian jatuh ke tanah, dan langsung menggelepar-gelepar sambil menjerit-jerit kesakitan. Dia berusaha bangkit, namun saat itu juga tubuhnya kembali terjerembab!

"Ke..., kenapa kalian di..., diam saja? Ha..., hajar dia...!" ujar Ki Warkala pada anak buahnya dengan suara terbata-bata. Namun kemudian terlihat laki-laki itu kembali berguling-gulingan menahan rasa sakit yang semakin hebat di sekujur tubuhnya.

"Ti..., tidak. Lebih baik aku menyelamatkan diri saja," sahut salah seorang anak buah Ki Warkala.

Dan dia langsung kabur dari tempat itu. Ternyata, perbuatan itu diikuti dua orang kawannya yang lain. Namun baru saja mereka berlari sejauh lima tombak, sekonyong-konyong kawanan serigala yang masih berjaga-jaga di tempat itu menerkam tanpa kenal ampun.

"Graungrrr...!"
"Aaa...!"

Dalam sekejap, ketiga orang itu ambruk bersimbah darah. Dan seketika kawanan serigala yang kelaparan itu merencah daging mereka tanpa tersisa lagi.

"Biadab!" geram salah seorang anak buah Perampok Macan Loreng yang masih tersisa.

"Aaa...!"

Mendadak mereka dikejutkan oleh lenguhan panjang Ki Warkala ketika tubuhnya mengejang. Darah kental berwarna kehitaman tampak mengalir dari sudut-sudut bibirnya. Sepasang matanya melotot. Dan saat itu pula, nyawanya melayang dengan sekujur tubuh menjadi biru kehitam-hitaman!

"Serigala Mata Satu! Kami akan mengadu jiwa denganmu!" dengus anak buah Perampok Macan Loreng yang lain.

"Sayang, kalian juga akan mampus!" dengus Serigala Mata Satu sambil melompat ke arah mereka sambil mengayunkan tombaknya.

"Awaaas...!" teriak salah seoang di antara anak buah Ki Warkala memperingatkan ketiga kawannya.

Serigala Mata Satu bergerak cepat sambil mengayunkan tombaknya ke arah lawan. Dua orang berhasil menghindar dengan menundukkan kepala. Namun ketika tubuh Rajendra berbalik, yang seorang tak sempat menghindar ketika Serigala Mata Satu langsung melancarkan tendangan. Desss! Orang itu menjerit kesakitan. Tubuhnya langsung terpental beberapa langkah. Dan belum lagi orang itu menyadari apa yang terjadi, kawanan serigala sudah menerkamnya.

"Aaa...!"

Sementara itu seorang lagi anak buah Ki Warkala terus mencoba menghindari tendangan Rajendra dengan memiringkan badan. Namun, rupanya gerakan itu hanya tipuan belaka. Karena, justru kepalan kiri si Serigala Mata Satu sudah cepat menghantam telak dadanya. Akibatnya tubuh orang itu kontan terjengkang ke belakang, dan kembali disambut kawanan serigala itu dengan buasnya.

Dua orang dari Perampok Macan Loreng yang tersisa kini hanya diam sejenak sambil memandang ke arah Serigala Mata Satu yang tegak berdiri mengawasi. Wajah mereka tampak pucat, sejenak mereka saling berpandangan, kemudian perlahan-lahan mundur ke belakang. Namun baru saja beberapa langkah, terdengar beberapa ekor serigala menggeram buas. Tentu saja hal ini membuat keduanya tersentak kaget. Wajah mereka semakin pucat, dan keringat dingin mulai mengucur deras dengan tubuh gemetar.

"Tinggal kalian berdua sekarang. Nah, bersiaplah untuk mampus!" dingin sekali suara Serigala Mata Satu sambil melangkah perlahan mendekati kedua lawannya.

"Kisanak, ampunilah kami! Tolong, jangan bunuh kami...!" pinta keduanya, seraya bersujud ke tanah menghiba.

"Ha ha ha...! Ternyata kalian kenal takut juga. Baiklah, kalian akan kuampuni. Nah! Berdiri, dan cepat pergi dari sini!" sahut Serigala Mata Satu.

"Oh, benarkah? Terima kasih, Kisanak. Terima kasih! Kami tentu tak akan melupakan budi baikmu!" kata mereka serentak sambil bersujud beberapa kali.

Kemudian dengan cepat, tubuh mereka berbalik dan berlari terbirit-birit meninggalkan tempat itu. Seperti mengerti apa yang dikatakan Serigala Mata Satu, kawanan serigala yang berada di sekitar tempat itu mendiamkan saja kedua orang yang kabur. Namun baru saja mereka belari kira-kira sepuluh tombak, tubuh Serigala Mata Satu melompat ke atas sambil berputar.

"Hup!"
Ser! Ser!

Dari sebelah tangan Rajendra langsung melesat beberapa buah paku beracun. Senjata rahasia itu terus meluncur deras, menghantam punggung kiri sisa terakhir anak buah Ki Warkala.

Crab! Crab!
"Aaa...!"

Kedua orang itu langsung tersungkur ke tanah sambil menjerit kesakitan.

"Itu bagian kalian!" dengus Serigala Mata Satu sambil membelakangi kedua lawannya yang terkapar.

"Graungrrr...!"

Begitu selesai kata-katanya, maka seketika itu juga kawanan serigala itu melompat menerkam kedua orang yang tengah sekarat di tanah dengan tubuh membiru. Mereka terus memekik setinggi langit, namun dalam sekejap suara itu sudah berhenti. Kini di tempat itu telah basah oleh darah.

"Huh!"

Serigala Mata Satu mendengus sinis, kemudian perlahan meninggalkan tempat itu. Namun baru saja beberapa langkah berjalan, mendadak sekelebat bayangan hitam melesat ke arahnya. Begitu cepatnya, sehingga suaranya nyaris tak terdengar. Serigala Mata Satu menunduk sambil mengayunkan tombaknya ke atas. Namun, tubuhnya hanya seperti menyambar angin belaka. Pandangannya yang tajam langsung melihat sesosok bayangan hitam kembali berkelebat menyambar ke arahnya.

"Hiiih!"

Cepat Rajendra mengayunkan tombaknya menyambut serangan lawan. Namun, bayangan hitam itu menghindar ke samping. Dan kemudian satu tendangan keras nyaris membuat batok kepala Rajendra pecah, kalau tak cepat bergulingan. Jelas, tendangan itu keras bukan main. Dan itu dapat dirasakan dari angin sambarannya. Rajendra terus bergulingan, sementara bayangan hitam itu terus mencecarnya. Bahkan kaki bayangan hitam itu nyaris membuat tubuhnya hancur kalau saja tidak terus bergulingan.

Jder!

Terdengar suara besar menggelegar, begitu kaki bayangan hitam itu tidak menemui sasaran, dan hanya menghantam tanah. Terlihat bekas tapak kaki di tanah yang melesak sedalam hampir dua jengkal. Padahal, tanah di tempa itu keras dan berbatu!

Ser! Ser!

Meski begitu, Rajendra masih mampu melemparkan beberapa buah senjata rahasi ke arah bayangan hitam yang masih melesat ke arahnya. Seketika bayangan hitam itu menangguhkan serangannya, dan langsung berjumpalitan menghindar sambil mengebutkan tangannya. Terdengar bunyi berdenting ketika senjata rahasia berbalik menyerang diri Rajendra sendiri.

"Hup! Sial...!"

Serigala Mata Satu memaki geram sambil melompat ke depan, menghindari senjatanya sendiri. Namun saat itu, satu sambaran serangan bayangan hitam itu kembali mengincar menderu batok kepalanya. Begitu cepat gerakan bayangan hitam itu, sehingga tak ada waktu lagi bagi Rajendra untuk menghindar. Maka langsung dipapaknya hantaman yang mengincar kepalanya.

Plak!
"Uhhh!"

Rajendra atau Serigala Mata Satu mengeluh kesakitan ketika pergelangan tangannya terasa sakit dan linu sekali, akibat berbenturan dengan tangan bayangan hitam itu tadi. Tapi masih untung tubuhnya cepat bergulingan, ketika merasakan satu sapuan keras kembali mengarah ke dada.

"Kurang ajar!"

Cepat-cepat tombak di tangan Rajendra diputar-putar bagai kitiran untuk melindungi pertahanan dada, sekaligus mendesak lawan. Dalam sekejap saja, tempat di sekitar itu bertiup angin kencang yang menerbangkan dedaunan kering dan debu, sehingga menghalangi pandangan.

"Hiyaaa...!"

Dalam keadaan begitu, terdengar bentakan nyaring dari bayangan hitam itu. Sementara Serigala Mata Satu balas meningkatkan tenaga dalamnya saat memainkan tombak. Namun, mendadak tubuhnya bergetar hebat. Bahkan genggaman pada tombaknya nyaris mengendur ketika membentur sebuah benda sekeras baja. Tubuhnya langsung ter-huyung-huyung ke belakang, namun masih sempat melemparkan senjata rahasia.

"Yeaaa!"
Ser! Ser!

Tubuh sosok berpakaian serba hitam itu cepat melesat dan berputaran beberapa kali, menghindari serangan senjata rahasia Rajendra. Namun tanpa diduga sama sekali, sosok berpakaian hitam itu terus melesat ke arah Rajendra. Tak ada kesempatan lagi buat Serigala Mata Satu untuk menghindar. Dan tiba-tiba saja dadanya terasa mendapat hantaman keras, sehingga membuatnya terjungkal ke tanah sambil menjerit kesakitan. Masih untung, sosok bayangan hitam itu tak melanjutkan serangan. Setelah berputaran beberapa kali, dia mendarat dan tegak berdiri mengawasi sambil tertawa terbahak-bahak.

"Ha ha ha! Hanya Segitukah kehebatanmu?" Serigala Mata Satu cepat bangkit dengan wajah gusar.

Mulutnya nampak meringis, karena dadanya terasa nyeri. Kini bisa terlihat jelas, siapa penyerangnya. Ternyata, dia adalah seorang laki-laki berpakaian serba hitam. Rambut yang panjang, diikat pita hitam pula. Kulitnya putih bersih. Dan melihat dari raut wajahnya, paling tidak laki-laki yang menggenggam sebilah pedang besar itu berusia sekitar tiga puluh tahun. Tampangnya tak seram, bahkan penuh senyum.

"Siapa kau?!" bentak Rajendra. Namun sebelum pertanyaan itu terjawab, mendadak melesat sesosok tubuh yang langsung menjejakkan kaki di samping Serigala Mata Satu.

"Rajendra, minggiriah! Kau bukan tandingan si Dewa Bermuka Bulan!"

"Guru!"

Serigala Mata Satu langsung menjura hormat ketika melihat kemunculan gurunya, yang jelas berjuluk Serigala Iblis Bercambuk Emas.

"Ha ha ha...! Hm... jadi inikah tampang si Serigala Iblis Bercambuk Emas yang kesohor itu?" tanya laki-laki berpakaian serba hitam itu yang tadi telah menyerang Serigala Mata Satu.

Serigala Iblis Bercambuk Emas tersenyum sinis, di hadapan laki-laki yang ternyata berjuluk Dewa Bermuka Bulan, berjarak lima langkah. Sorot matanya tajam menusuk seperti ingin menduga, sampai sejauh mana kekuatan Dewa Bermuka Bulan.

"Dewa Bermuka Bulan! Angin apa yang membawamu jauh-jauh datang ke tempatku ini?"

"He he he...? Apakah seorang dewa memerlukan angin untuk membawanya ke sini? Hidungku mencium bau tak sedap di tempat ini. Dan tiba-tiba saja, aku telah berada di sini!" sahut Dewa Bermuka Bulan, cengar-cengir.

"Jangan berbelit-belit! Katakanlah, apa yang kau inginkan sebenarnya? Apakah kau juga ingin menguasai tempat ini seperti kawanan busuk yang menamakan diri Perampok Macan Loreng itu?"

"Ha ha ha...! Apakah kau menganggapku demikian rendah, hanya untuk menguasai tempat busuk ini? Heh, Serigala Iblis Bercambuk Emas! Kedatanganku ke sini bukan karena silau oleh harta benda curianmu, tapi karena urusan nyawa!" tandas Dewa Bermuka Bulan.

"Hm, sudah kuduga. Lalu, nyawa siapa yang akan kau tebus dariku?" tanya Serigala Iblis Bercambuk Emas. Suaranya terdengar datar, dan sama sekali tak terkejut.

"Masih ingatkah dengan Ki Srengseng yang kau bunuh beberapa hari yang lalu?"

"Ki Srengseng? Apakah yang kau maksudkan adalah si Pedang Bertangan Delapan?"

"Tepat! Dan dia adalah kakakku!"

"Ha ha ha...! Jelas sudah kedatanganmu ke sini. Tapi sebaiknya berpikirlah seribu kali, untuk niatmu itu!" sahut Ki Lodaya alis Serigala Iblis Bercambuk Emas.

"He he he...! Aku bahkan tak perlu berpikir untuk datang ke sini. Apa yang musti ku khawatirkan darimu? Masalahnya, kau tak lebih dari kecoa busuk yang bisanya hanya menakut-nakuti orang-orang lemah saja!" ejek Dewa Bermuka Bulan sambil tertawa terkekeh-kekeh.

"Julukan Dewa Bermuka Bulan memang sudah tersohor dan memiliki kepandaian tinggi. Tapi berhadapan denganku, kau mesti hati-hati! Ingat kakakmu saja mampus di tanganku. Apalagi kau!" balas Ki Lodaya mengingatkan.

"Heh? Apakah kau sudah pikun atau benar-benar tuli? Bukankah sudah kukatakan, bahwa kau bisanya hanya menakut-nakuti orang lemah dan tak memiliki kepandaian apa-apa? Kuakui, kakakku memang kalah denganmu. Tapi terhadapku, jangan coba-coba pamer gertakan busukmu itu!" dengus Dewa Bermuka Bulan.

"Huh! Kita akan buktikan sekarang juga! Ayo, balaskanlah dendam kakakmu itu!" tantang Ki Lodaya seraya memasang jurus, siap menghadapi lawan.

"He he he...! Silakan, Kawan. Ingin kulihat kepandaianmu. Apakah gembar-gembormu sepadan dengan kenyataannya?" kata Dewa Bermuka Bulan tenang sambil menggenggam pedang erat-erat.

"Hiyaaa!"

Serigala Iblis Bermuka Emas langsung bergerak cepat bagai sapuan angin, mengirim satu tendangan keras ke aras Dewa Bermuka Bulan. Namun dengan enteng, laki-laki berpakaian serba hitam itu merapatkan telapak tangan kirinya ke dada. Kemudian ditangkisnya tendangan Ki Lodaya.

Plak!

Serigala Iblis Bercambuk Emas terperanjat. Ternyata Dewa Bermuka Bulan sedikit pun tak merasakan kesakitan akibat benturan tadi. Malah masih sempat mengayunkan kaki kanan, menghajar ke arah dadanya. Masih untung tubuhnya cepat diputar ke samping dan terus meloncat ke atas. Langsung kepalan tangannya diayunkan ke batok kepala laki-laki berpakaian serba hitam itu.

"Yeaaa!"
"Huh!"

Namun dengan lincah, tubuh Dewa Bermuka Bulan berputar ke samping untuk menghindarinya. Laki-laki berwajah tampan itu kemudian menyodokkan kaki kirinya ke dagu Ki Lodaya.

"Hiiih!"
"Uts, ha!"

Ki Lodaya cepat bagai kilat mundur dua langkah. Kemudian tubuhnya berbalik sambil mengayunkan satu sapuan kaki yang keras ke arah perut. Tapi, Dewa Bermuka Bulan telah melompat ke atas, seraya menghindar dengan kaki kanan ke arah dada. Agaknya, Ki Lodaya telah menduga hal itu. Maka cepat tubuhnya ditundukkan. Dewa Bermuka Bulan jelas bersikap ksatria, untuk tidak mengguliakan pedang di tangan kanannya. Dia melihat, Ki Lodaya juga belum menggunakan senjata.

Namun hanya menggunakan tangan kiri untuk menyerang, itu sama artinya merendahkan kemampuan Serigala Iblis Bercambuk Emas. Dan hal itu membuat Ki Lodaya sudah menjadi gusar. Maka dengan geram Ki Lodaya segera merangsek Dewa Bermuka Bulan disertai pengerahan ilmu silat tingkat tinggi yang dimiliki. Sehingga yang terlihat hanya kelebatan tubuhnya yang bergerak amat cepat dan ringan sekali.

Tapi Dewa Bermuka Bulan ternyata bukan orang sembarangan. Kemampuannya sebagai tokoh tingkat atas yang tak mudah dipecundangi begitu saja, segera dibuktikan. Tubuhnya segera berkelebat ringan, mengikuti gerakan Ki Lodaya. Bahkan sesekali menusuk pertahanan Ki Lodaya, sehingga membuat kelabakan laki-laki tua itu. Memasuki jurus yang kedua puluh dua, pertarungan kian meningkat sengit.

Ki Lodaya kini menyerang gencar, dan menghajar ke mana saja Dewa Bermuka Bulan bergerak. Namun dengan lincah tubuh laki-laki tampan itu merunduk ke bawah. Dan kepalan kakinya cepat diayunkan, menyodok ke perut. Tak ada waktu lagi untuk menghindar. Maka Ki Lodaya terpaksa menangkis sodokan tangan kiri itu.

Plak!
"Uhhh...!"
"Hiiih!"

Ki Lodaya terkejut setengah mati, begitu tangannya terasa bergetar hebat akibat benturan tadi. Tubuhnya cepat melompat ke belakang, ketika Dewa Bermuka Bulan menyusul dengan satu tendangan keras ke arah perut. Dan begitu tendangannya tidak menemui sasaran, Dewa Bermuka Bulan segera melompat mengejar. Kembali dikirimkannya satu sodokan keras ke arah dada.

Ternyata hal ini membuat Ki Lodaya terkejut, dan bersiap menangkis. Namun ketika kedua tangan mereka hampir beradu, Dewa Bermuka Bulan menarik serangannya. Dan tubuhnya segera berputar cepat dengan kaki kanan menghantam ke arah perut. Begitu cepat gerakannya, sehingga Ki Lodaya tidak bisa menghindarinya.

Begkh!
"Aaakh!"

Tubuh Ki Lodaya kontan terjajar ke belakang beberapa langkah sambil memegangi perutnya yang terasa mual akibat tendangan Dewa Bermuka Bulan tadi. Masih untung keseimbangan tubuhnya bisa terjaga, sehingga tidak jatuh.

"Guru...!"

Serigala Mata Satu yang sejak tadi masih berdiri disitu sambil memperhatikan pertarungan, tersentak kaget. Buru-buru dihampirinya Ki Lodaya yang juga gurunya itu.

"Minggir!" sentak Ki Lodaya dengan muka merah menahan malu. Ki Lodaya menatap tajam ke arah Dewa Bermuka Bulan. Seakan-akan lewat tatapannya, dia ingin menelan bulat-bulat laki-laki berpakaian serba hitam di depannya.

"He he he...! Agaknya kau tak bersungguh-sungguh menghadapiku, Kisanak. Nah, berhati-hatilah," sindir Dewa Bermuka Bulan.

Ki Lodaya cepat akan menyerang lawan kembali, dengan jurus barunya. Namun saat itu juga, melesat satu sosok bayangan di sampingnya, dan langsung menjura memberi hormat padanya.

"Guru! Izinkan aku menghajar orang sombong itu...," pinta sosok bayangan itu.

"Gumarang! Menepilah kau! Apa kau pikir aku tak mampu merobek mulutnya? Huh! Kau ini hanya membuat malu saja!" dengus Ki Lodaya.

"He he he...! Jadi, kaukah yang berjuluk Serigala Buntung? Hm.... Semangatmu boleh juga, Kisanak. Tapi, sebaiknya kau memang menepi. Dan jangan mencampuri urusan gurumu," sahut Dewa Bermuka Bulan enteng.

Serigala Buntung yang bernama asli Gumarang, sudah hendak menghajar lawan sambil menggeram buas. Namun...

"Gumarang, minggir kataku!" bentak Ki Lodaya garang, langsung mencegah.

Terpaksa Gumarang menyurutkan langkahnya seraya menahan perasaan geram di hati. Dan dia hanya bisa memperhatikan gurunya yang sudah bersiap menghadapi Dewa Bermuka Bulan sambil memegang cambuk emasnya di tangan.

"Kisanak, silakan. Aku sudah siap...," lanjut Ki Lodaya dingin.

"Ha ha ha...! Aku pun telah siap sejak tadi. Hm... Begitu lebih baik. Jadi, rasanya aku mendapat kehormatan untuk mencicipi ilmu cambukmu yang hebat itu!" sahut Dewa Bermuka Bulan tenang.

"Dewa Bermuka Bulan, hati-hatilah! Sekali cambuk ini terlecut, maka aku tak bisa menahan kawanan serigala yang akan menerkammu dengan buas!" Ki Lodaya memberi peringatan.

"Kau juga patut berhati-hati, Kisanak. Pedangku ini tak bermata, karena tak pernah peduli pada orang yang akan mampus disambarnya!" kata Dewa Bermuka Bulan, dingin.

"Hiyaaa...!"
Ctarrr!

Sekali Ki Lodaya membentak, maka saat itu juga cambuk di tangannya melecut membelah angkasa. Seketika terdengar suara keras yang memecah udara pagi menjelang siang ini.

"Grrr...!"
"Graungrrr...!"

Dan begitu mendengar suara lecutan cambuk itu, kawanan serigala yang masih berada tak jauh dari situ menggeram liar. Dan ketika kembali terdengar lecutan cambuk, maka secara bersamaan binatang-binatang liar itu menerjang ke arah Dewa Bermuka Bulan disertai raungan keras. Sementara, Ki Lodaya pun seperti berpacu dengan kawanan serigala itu sambil mengayunkan cambuknya ke arah Dewa Bermuka Bulan.

Ctar!

Dewa Bermuka Bulan cepat melompat ke atas sambil menyilangkan pedang di tangannya. Tubuhnya terus berputaran beberapa kali untuk menghindari kejaran ujung cambuk Ki Lodaya, sekalian berkelit dari terkaman kawanan serigala liar. "Hup!" Dewa Bermuka Bulan lalu meluncur ke bawah, sambil membabatkan pedangnya ke arah beberapa ekor serigala.

Wuttt!
Cras!
Brettt!
"Ngiek!"

Sekali Dewa Bermuka Bulan mengelebatkan pedang, maka dua ekor serigala melengking setinggi langit. Tubuh binatang-binatang itu nyaris terbelah menjadi dua dan isi perutnya terburai keluar, ujung pedang Dewa Bermuka Bulan menyambar. Namun bersamaan dengan itu, ujung cambuk Ki Lodaya menyambar dengan gerakan meliuk-liuk cepat seperti mengikuti gerakannya.

Kontan cambuk yang membelah udara, membuat gendang telinga laki-laki berpakaian serba hitam itu terasa perih. Agaknya, permainan cambuk Serigala Iblis Bercambuk Emas dilakukan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Maka tak heran bila suaranya membuat jantung berdetak tak karuan, dan kulit terasa seperti diiris-iris.

Ser! Ser!

Betapa terkejut Dewa Bermuka Bulan. Karena baru saja kedua kakinya menjejak tanah, saat itu juga datang serangan beruntun berupa senjata rahasia ke arahnya. Ternyata lemparan senjata-senjata rahasia itu dilakukan oleh Serigala Mata Satu dan Serigala Buntung. Untung saja, Dewa Bermuka Bulan cepat mengelebatkan pedangnya. Maka sebelum senjata-senjata rahasia itu menghujani tubuhnya, sudah terpapak oleh senjatanya.

"He he he...! Ternyata dugaanku tak salah. Kalian ternyata bukan hanya gerombolan pengecut yang bisanya membegal orang-orang lemah dan tak berdaya, tapi juga tukang main keroyok!" ejek Dewa Bermuka Bulan sambil terkekeh-kekeh.

Padahal jelas kedudukan Dewa Bermuka Bulan tak ada kesempatan sedikit pun baginya untuk balas menyerang. Untuk mempertahankan diri dari serangan lawan saja, barangkali tak akan bertahan lama. Karena dengan ikut mengeroyoknya kedua murid Serigala Iblis Bercambuk Emas, jelas hal itu akan membuatnya semakin terjepit saja. Dan baru saja Dewa Bermuka Bulan menarik napas, ujung cambuk Ki Lodaya sudah menyambar ke arah pinggang kanannya.

Ctarrr!
"Uts!"

Dewa Bermuka Bulan cepat bagai kilat melenting ke atas dengan gerakan ringan. Namun salah seekor serigala bergerak menyambar ke arah punggungnya. Maka cepat-cepat Dewa Bermuka Bulan menyabetkan pedangnya ke arah perut binatang buas itu.

"Mampus kau!"
Bret!
"Nguiek!"

Seketika binatang liar itu ambruk ke tanah, begitu tersambar pedang Dewa Bermuka Bulan. Melihat hal itu Serigala Mata Satu segera me-lempar senjata rahasia ke arah laki-laki berpakaian serba hitam.

Ser! Ser!

Dua buah berhasil dirontokkannya. Namun, sebuah paku beracun berhasil menancap di punggung kanannya.

"Aaakh!"

Dewa Bermuka Bulan kontan meringis kesakitan, begitu tertancap sebuah paku beracun pada punggungnya. Untung saja, dia agak jauh dari para pengeroyoknya. Maka kesempatan itu digunakan untuk melesat dari tempat itu. Disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi, tubuhnya berkelebat cepat, kabur dari situ. Tak ada kesempatan bagi para pengeroyok untuk mengejar. Apalagi, tindakan itu demikian cepat. Mereka hanya saling berpandangan, kemudian menatap ke arah kepergian Dewa Bermuka Bulan yang sudah menghilang.

"Serigala Iblis Bercambuk Emas, aku akan datang lagi untuk membuat perhitungan dengan kalian!" teriak Dewa Bermuka Bulan sayup-sayup dari kejauhan, menggema ke segala penjuru.

Ki Lodaya yang tidak berusaha mengejar hanya mendengus garang. Tanpa bicara apa-apa, laki-laki itu segera berlalu diikuti kedua muridnya.

********************

LIMA

Adipati Tanuwijaya adalah penguasa di kadipaten wilayah barat. Dan kadipaten itu meliputi tujuh buah desa yang cukup ramai. Beliau sendiri menetap di Kota Kadipaten Indrakasih, suatu daerah yang cukup padat penduduknya dan subur tanahnya. Tak heran bila hasil panen selalu berlimpah ruah, sehingga penduduknya hidup dalam kecukupan.

Di sebelah utara kadipaten itu terdapat sebuah tambang emas. Tiga kali dalam setahun, para penduduk kadipaten itu diwajibkan menyerahkan upeti kepada pihak kerajaan. Tidak hanya berupa hasil panen dan ternak, tapi juga emas. Dan justru itulah yang belakangan ini meresahkan sang Adipati!

Pusat kerajaan berada di wilayah timur. Dan untuk menuju ke sana, jalan yang tercepat dan termudah adalah melewati Bukit Serigala. Ada juga jalan lain, tapi terlalu berbahaya juga. Selain memutar jalan itu juga sulit didaki. Bahkan terdapat turunan terlalu curam. Sedangkan bila melewati Bukit Serigala, sudah jelas di sana akan dihadang Serigala Iblis Bercambuk Emas bersama dua orang muridnya.

Dan belakangan ini, mereka memang menjadi momok yang menakutkan bagi setiap orang. Maka sebulan yang lalu upeti yang semula dikirim untuk kerajaan, dirampok oleh kawanan itu. Dan jelas, hal itu membuat pihak kerajaan mulai marah. Mereka mengira Adipati Tanuwijaya sengaja melupakan kewajibannya. Maka tentu saja Adipati Tanuwijaya gelisah bukan main.

Amarahnya semakin menjadi ketika beberapa pengawal terbaiknya yang dikirim untuk menghabisi Serigala Iblis Bercambuk Emas, ternyata hanya kembali seorang. Itu pun penuh luka di tubuhnya yang bahkan tak bisa tertolong lagi, karena keburu tewas setelah menyampaikan berita kematian kawan-kawannya. Dan kali ini, Adipati Tanuwijaya tentu tak mau gagal lagi. Maka dipersiapkannya segala sesuatu sebaik mungkin.

Termasuk, para pengawal yang akan menjaga upeti nantinya. Dan untuk mencari para pengawal yang baik dan mampu diandalkan, kini di kadipaten itu diadakan suatu sayembara dalam bentuk pertandingan adu ketangkasan. Sepuluh orang pemenang terbaik akan diangkat menjadi pengawal pribadi Adipati Tanuwijaya, ditambah hadiah besar. Dan mulai hari itu juga pengumuman disebar ke seluruh wilayah kadipaten!

********************

Matahari yang menyengat, membawa dua anak muda ke tepi sebuah sungai yang airnya amat bening, di wilayah Kadipaten Indra Kasih. Mereka berhenti dan membasuh mukanya untuk menyegarkan diri. Kemudian setelah merasa segar, mereka berjalan ke arah sebuah pohon yang berdaun lebat. Tak lama, punggung mereka sudah bersandar di bawah pohon itu, untuk melindungi diri dari sengatan matahari. Sedangkan kedua kuda mereka dibiarkan minum air sepuas-puasnya.

"Kakang! Aku masih jengkel dengan orang tua busuk itu!" kata gadis berwajah cantik memakai baju biru muda, dengan pedang bergagang kepala naga tersembul di balik punggungnya. Memang, dia tak lain dari Pandan Wangi. Sedangkan pemuda di sebelahnya adalah Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti. Rangga tersenyum dan tak menyahut.

"Lagaknya seperti yang paling hebat saja!" cibir Pandan Wangi kesal.

"Orang itu memang aneh. Dan itu memang sudah kelakuannya. Kitalah yang patutnya bisa menahan diri...," sahut Rangga, sabar.

"Huh! Menahan diri? Enak saja!" dengus Pandan Wangi, sengit.

"Kalau tak bisa menahan diri, maka dia akan semakin menggoda kita," jelas Rangga.

"Huh! Kalau berhadapan dengan mereka yang tak punya kemampuan apa-apa, mungkin dia bisa berbuat sekehendak hatinya. Tapi kepadaku, jangan coba-coba, ya!"

Rangga hanya melirik sekilas pada kekasihnya. Pemuda itu sudah paham betul watak gadis itu. Makanya, dia tidak terlalu menanggapi kekesalan hati Pandan Wangi.

"Kenapa tersenyum?" tanya Pandan Wangi, tak senang.

Dan ini memang sudah wataknya. Gadis itu seolah-olah ingin mengajak perang mulut, untuk menunjukkan kemanjaannya.

"Mengejekku, ya!"

Rangga malah tertawa lebar. Sebaliknya Pandan Wangi langsung mencubit tangan Rangga. Pemuda itu berusaha menghindar, sambil bangkit dan berlari menjauhi Pandan Wangi.

"Huh! Ke ujung langit sekalipun, akan kukejar kau!" dengus Pandan Wangi, langsung mengejar pemuda itu.

Kejar-kejaran di antara mereka seolah tak mau berhenti. Tanpa disadari, Pandan Wangi mengerah-kan ilmu meringankan tubuhnya. Namun sejauh itu, belum juga berhasil mengejar. Rangga masih tenang-tenang saja berlari di depannya dan terus berputar-putar di sekeliling tempat itu.

"To..., tolong...."
"Heh?!"

Rangga seketika menghentikan larinya begitu pendengarannya yang tajam menangkap teriakan minta tolong yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Bola matanya langsung mencari-cari sambil melangkah pelan ke satu arah, dengan pendengaran dipasang tajam. Sementara Pandan Wangi saat itu sudah dekat. Dan....

"Kenapa kau!" teriak Pandan Wangi, langsung mencubit pemuda itu.

Namun Rangga tak peduli. Malah tangannya memberi isyarat agar gadis itu tak membuat keributan. Pandan Wangi jadi celingukan sendiri sambil menatap ke sekeliling tempat itu dengan wajah heran.

"Kenapa? Ada apa, Kakang?"

"Ada teriakan minta tolong dari seseorang...," sahut pemuda itu.

Baru saja Rangga menyelesaikan kata-katanya, mendadak sesosok tubuh berpakaian serba hitam melangkah sempoyongan ke arah mereka. Wajahnya tampak pucat. Dan begitu melihat Rangga dan Pandan Wangi tangannya langsung menggapai-gapai.

"To..., tolong..."

Tubuh orang itu langsung ambruk persis di depan Rangga berdiri. Rangga dan Pandan Wangi langsung menghampiri. Dan seketika itu juga Pendekar Rajawali Sakti langsung memeriksa keadaan tubuh orang itu. Kemudian tanpa banyak bicara lagi, Rangga segera membopong orang berpakaian serba hitam itu. Segera dibawanya orang itu ke tepi sungai. Sementara, Pandan Wangi segera mengikuti dari belakang, setelah memungut sebilah pedang berukuran besar yang tadi terjatuh dari genggaman orang itu.

Sosok orang berpakaian serba hitam itu tak tahu, sudah berapa lama tak sadarkan diri di tepi sungai. Namun ketika kesadarannya mulai pulih, perlahan-lahan matanya melihat sepasang anak muda di depannya, yang tak lain dari Rangga dan Pandan Wangi. Dia cepat bangkit dan bersandar di batang pohon. Kemudian, ditatapnya Pandan Wangi dan Rangga bergantian.

"Siapa kalian?" tanya sosok berpakaian serba hitam itu, lemah.

"Aku Rangga. Dan ini kawanku, Pandan Wangi. Kami menemukanmu dalam keadaan tak sadarkan diri. Siapa namamu, dan apa yang telah terjadi padamu, Kisanak?" tanya Rangga disertai senyuman manis di bibir.

Orang berpakaian serba hitam itu tak langsung menjawab. Dan matanya malah meneliti keadaan tubuhnya, serta melihat beberapa buah luka yang dideritanya. Kemudian tatapannya beralih pada sepasang anak muda di depannya.

"Aku Kamajaya alias Dewa Bermuka Bulan. Huh! Kalau saja mereka tak bermain curang! Dalam pertarunganku melawan Serigala Iblis Bermuka Emas, tubuhku telah terkena senjata rahasia. Dan tiba-tiba kepalaku pusing dan darahku seperti berhenti mengalir. Jelas senjata rahasia itu pasti beracun. Tapi kini keadaanku sudah berangsur-angsur baik. Kaukah yang mengobatiku?" jelas laki-laki berpakaian serba hitam, yang ternyata Dewa Bermuka Bulan.

Suaranya terdengar masih lemah, walaupun seluruh racun dalam tubuhnya sudah keluar. Memang, Pendekar Rajawali Sakti telah memberi pengobatan padanya, dengan penyaluran hawa murni.

"Darahmu telah bercampur racun dari senjata rahasia yang menancap di tubuhmu. Dan luka di pinggangmu seperti terbakar. Kau banyak muntah darah tadi. Ini, telah kubuatkan ramuan dari tumbuhan di sekitar sini. Mudah-mudahan ramuan ini bisa mengembalikan kesegaran tubuhmu. Minumlah," ujar Rangga sambil menyerahkan ramuan obat yang ditampung dengan tempurung kelapa.

Dewa Bermuka Bulan yang bernama asli Kamajaya itu agak ragu-ragu menerimanya. Namun begitu melihat sorot mata Rangga yang memancarkan kesungguhan, akhirnya diterimanya juga ramuan obat itu dan diteguknya sampai tandas.

"Kau tak boleh banyak mengeluarkan tenaga dulu, Kisanak. Dalam keadaan begini, sangat berbahaya bagi kesehatanmu," ujar Rangga.

"Terima kasih atas kebaikan kalian padaku," ucap Dewa Bermuka Bulan sambil tersenyum, kendati agak pahit.

"Sama-sama, Kisanak. Dan memang sudah kewajiban kami untuk menolong orang yang membutuhkan pertolongan. Oh, ya. Apa yang telah terjadi padamu, sehingga mengalami luka separah ini?" tanya Rangga.

"Huh, Serigala Iblis Bercambuk Emas keparat! Kalau saja dia tak berlaku curang, mana bisa mengalahkan aku!" dengus Dewa Bermuka Bulan.

"Serigala Iblis Bercambuk Emas? Siapa dia?" tanya Rangga dengan kening berkerut.

"Apakah kalian tak tahu?"

Rangga dan Pandan Wangi, sama-sama menggeleng kepala.

"Ah! Kukira julukan itu sudah menggetarkan jagad ini. Tapi nyatanya kalian pun tak tahu. Kalau begitu, tak salah jika aku menuduhnya sebagai pengecut hina yang beraninya hanya merampok orang-orang tak berdaya...," sahut Dewa Bermuka Bulan seperti berkata pada diri sendiri.

"Maaf, Kisanak. Aku tak mengerti, apa yang tengah kau bicarakan. Sudikah kau menceritakan, siapa orang yang dimaksud dengan Serigala Iblis Bercambuk Emas? Dan, mengapa kau sampai bertarung dengannya?" tanya Rangga.

Kamajaya terdiam sesaat seperti tengah mengumpulkan kata-kata yang tepat. Kemudian segera diceritakannya semua yang dialaminya. Namun karena urusannya pada Serigala Iblis Bercambuk Emas adalah soal balas dendam, maka agaknya dia lebih tertarik menceritakan soal itu lebih banyak. Hanya saja, Rangga dan Pandan Wangi lebih tertarik dengan sepak tenang Serigala Iblis Bercambuk Emas yang diceritakan sepintas oleh Kamajaya.

"Kalau ada kesempatan lagi, akan kuhabisi keparat licik itu!" dengus Kamajaya, setelah mengakhiri ceritanya sambil mengepalkan tangan.

Rangga dan Pandan Wangi hanya mengangguk-angguk.

"Apakah kalian betul-betul belum pernah mengenal keparat licik itu selumnya?" tanya Kamajaya ingin meyakinkan.

Sepasang pendekar dari Karang Setra menggeleng pelan. Dan Kamajaya pun ikut-ikutan menggelengkan kepala dengan wajah sedih.

"Sayang sekali. Padahal kalau kalian berurusan dengannya, aku pasti bisa menghajarnya habis-habisan. Orang itu tak bisa dibiarkan hidup lama lagi. Sudah banyak orang yang dirugikannya...," gumam Kamajaya lirih.

"Kami mengerti, apa yang kau rasakan, Kisanak. Tapi suatu saat, dendammu pasti akan terbalaskan," hibur Rangga.

"Ya, aku tahu itu. Aku memang mesti bersabar dan mencari jalan lain untuk membalas kelicikannya itu," sahut Kamajaya lirih. Tak berapa lama kemudian, Kamajaya mohon diri. Tak lupa diucapkannya terima kasih berkali-kali pada kedua pendekar itu.

"Aku tak akan melupakan pertolongan kalian," ucap Kamajaya seraya bangun, dan langsung berkelebat cepat dari situ.

"Aku suka orang itu. Selalu riang gembira meskipun hatinya dendam dan sedih...," gumam Pandan Wangi, begitu Kamajaya sudah tak terlihat lagi.

"Hm, suka...?" tanya Rangga meyakinkan.

"Ya, kenapa?" sahut Pandan Wangi balik bertanya sambil melirik dengan senyum genit pada kekasihnya.

"O...," hanya itu yang keluar dari mulut Rangga.

********************

ENAM

Hari menjelang sore, ketika Rangga dan Pandan Wangi tiba di Kadipaten Indrakasih. Suasana di sini tampak ramai. Di sepanjang jalan, banyak terlihat umbul-umbul berwarna-warni. Apalagi, orang tampak berduyun-duyun mendatangi alun-alun yang terletak tepat di depan istana kadipaten. Ketika melihat seorang laki-laki setengah baya tergopoh-gopoh menuju tempat yang sama, Rangga segera menghampiri.

"Ada perayaan apa, Ki. Mengapa ramai betul di alun-alun itu?" tanya Rangga, sopan.

Sejenak laki-laki setengah baya itu memperhatikan Pendekar Rajawali Sakti dari ujung kepala, hingga ujung kaki. Sepertinya, dia sedang menduga jati diri Pendekar Rajawali Sakti.

"Apakah kau tak tahu?" laki-laki setengah baya itu malah balik bertanya.

Rangga menggeleng, sambil tersenyum.

"Hm.... Kau bukan penduduk sini rupanya. Apakah kau seorang pendekar atau paling tidak, berkepandaian tinggi?" lanjut laki-laki tua itu kembali bertanya.

"Aku dan temanku ini hanya pengembara biasa, Ki. Memangnya kenapa?" kata Rangga, merendah.

"Sayang sekali, kalau saja kalian boleh ikut sayembara itu. Hadiahnya besar. Bahkan yang menang akan menjadi pengawal pribadi Adipati Tanuwijaya!" jelas orang tua itu, meyakinkan.

"Sudikah kau menjelaskan pada kami, sayembara apa yang sedang diadakan oleh adipati di sini?" tanya Rangga.

"Adipati Tanuwijaya tengah mengadakan sayembara. Dia mencari pengawal pribadi yang bisa diandalkan untuk melawan Serigala Iblis Bercambuk Emas. Siapa yang menang dalam pertandingan, maka akan mendapat hadiah seribu kepeng emas murni. Bahkan akan diangkat menjadi pengawal pribadinya. Sedangkan pemenang kedua akan menjadi kepala pasukan pengawal," jelas orang tua itu, berseri-seri. Rangga mengangguk-angguk, tanda mengerti.

"Maaf, Kisanak. Aku harus buru-buru! Kesempatan bisa melihat tokoh-tokoh persilatan bertarung, jarang terjadi. Pasti akan berlangsung seru dan hebat. Mari, Kisanak!" pamit laki-laki setengah baya itu seraya berlari-lari kecil mengikuti orang-orang yang berjalan menuju alun-alun di depan istana, tempat kediaman Adipati Tanuwijaya.

"Bagaimana, Kakang? Apakah kau ingin ikut serta sayembara itu? Siapa tahu kau bisa menjadi pasukan pengawal di kadipaten ini?" tanya Pandan Wangi, menggoda.

Pendekar Rajawali Sakti tersenyum. Entah, apa arti senyumnya. Yang jelas, buat Rangga sayembara itu tak ada artinya sama sekali. Toh dia adalah Raja di Karang Setra. Apalagi hanya untuk mendapatkan seribu kepeng emas dan jabatan pengawal pribadi. Bukannya Rangga merendahkan, tapi yang pasti kepandaiannya hanya untuk membela orang yang lemah, dan untuk menumpas keangkaramurkaan.

"Ada baiknya kita melihat pertandingan itu. Aku heran, mengapa adipati itu sampai menempuh jalan ini. Apakah para pengawalnya tak mampu mengatasi orang yang berjuluk Serigala Iblis Bercambuk Emas itu?" kata Rangga mengalihkan pertanyaan Pandan Wangi.

"Kau lupa, Kakang! Serigala Iblis Bercambuk Emas itu berilmu tinggi. Apalagi dia mampu memerintah kawanan serigala liar untuk menyerang musuhnya. Aku menduga, adipati itu memang pantas memerlukan para pengawal yang dapat diandalkan dalam jumlah banyak," timpal Pandan Wangi.

Rangga hanya menggut-manggut mendengarkan penjelasan Pandan Wangi. Tak lama kemudian, mereka segera berjalan perlahan sambil menuntun kuda masing-masing mendekati keramaian yang ada di alun-alun depan kediaman Adipati Tanuwijaya. Orang telah ramai memadati tempat itu. Bukan hanya dari kadipaten ini saja, melainkan juga dari desa di sekitarnya.

Tempat sayembara itu sendiri dipagari bambu berbentuk lingkaran dengan garis tengah kira-kira sepuluh tombak. Di salah satu sudut, tampak Adipati Tanuwijaya duduk memperhatikan pertandingan bersama beberapa orang juri yang akan menentukan pemenangnya. Ketika Rangga dan Pandan Wangi tiba di sana, juri telah menentukan lima orang pemenang. Karena pesertanya cukup alot, maka diputuskan bagi mereka yang mampu mengungguli lawan sebanyak tiga kali berturut-turut patut menjadi pemenangnya.

Kini babak penentuan telah berlangsung. Di arena, tengah berhadapan seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus terbungkus baju merah. Dan lawannya adalah laki-laki bertubuh sedang dengan wajah penuh cambang bauk. Pertarungan tampak berlangsung singkat, karena dengan mudah laki-laki bercambang bauk itu mengalahkan lawannya. Dan lawan kedua pun mampu dikalahkannya dalam waktu cepat. Hal itu tak mengherankan, karena kepandaian laki-laki itu memang di atas lawan-lawannya.

"Hidup Jumangun...!"

"Hidup jago Kadipaten Indrakasih!" teriak para penonton lain menimpali.

Jumangun sendiri tersenyum-senyum sambil menjura memberi hormat kepada penonton.

"Siapa lagi yang akan maju menantang Jumangun?!" teriak salah seorang juri dengan suara lantang.

Pada saat itu juga, melesat sesosok tubuh ke arena pertarungan. Dan dengan gerakan ringan kedua kakinya mendarat manis di tempat arena. Rambutnya panjang dan awut-awutan. Mata kirinya tertutup kain hitam. Tangan kanan tampak menggenggam sebatang tombak bermata tiga. Sorot matanya yang hanya tinggal sebelah itu, tampak tajam menusuk. Sehingga membuat Jumangun bergidik ngeri untuk sesaat. Sementara orang-orang yang berada di tempat itu mulai was-was. Sosok yang baru datang itu terlihat buas. Dan agaknya, dia tak segan-segan membunuh lawan. Dan yang lebih mengagetkan lagi, ternyata penonton mengenali orang itu.

"Dia si Serigala Mata Satu. Murid si Serigala Iblis Bercambuk Emas!" teriak seseorang.

"Heh?!" Seketika saja di tempat itu terdengar gumaman-gumaman tak jelas seperti suara kawanan lebah.

Bahkan sebagian dari mereka, wajahnya menjadi cemas. Namun, tak seorang pun yang meninggalkan tempat itu. Agaknya, mereka ingin menyaksikan kejadian selanjutnya.

"He, Adipati Tanuwijaya! Apakah ada peraturan bahwa aku tak boleh ikut dalam pertandignan ini? Kudengar sayembara ini boleh diikuti semua orang. Lagi pula, bukankah kecoa-kecoa ini yang akan kau andalkan untuk menghancurkan kami? Nah kini aku datang ke sini seorang diri. Jadi kenapa mesti menunggu hingga pertarungan ini selesai? Lebih baik, suruh jago-jagomu untuk menghadapiku sekarang juga!" tantang Serigala Mata Satu jumawa.

Adipati Tanuwijaya memandang geram pada Rajendra alias Serigala Mata Satu. Namun sekuat mungkin dia menahan sabar. Sebentar dia berbisik pada beberapa orang juri, kemudian terlihat kembali memandang Serigala Mata Satu.

"Sebagai seorang adipati, aku patut memenuhi janjiku. Meskipun kau seorang pengacau yang seharusnya ditangkap dan diadili, tapi kau kuperkenankan untuk ikut dalam pertandingan ini," ujar Adipati Tanuwijaya.

Kemudian, Adipati Tanuwijaya berpaling pada Jumangun. "Jumangun! Apakah kau bersedia menghadapi lawanmu?"

"Ampun, Kanjeng Adipati. Mana mungkin hamba berani menolak kalau memang lawan telah menunggu hamba!"

"He, cepat cabut senjatamu!" dengus Serigala Mata Satu.

"Kisanak! Sejak awal pertarungan, tak ada yang memakai senjata. Karena, tujuan pertandingan ini bukan untuk mencelakakan lawan," sahut Jumangun tenang.

"Huh! Siapa yang peduli! Bukankah tak ada peraturan yang mengatakan kalau tidak boleh menggunakan senjata? Bahkan kalau kau mampus di tanganku, maka pertarungan sah saja. Nah! Siapkanlah dirimu sebaik mungkin!" sahut Serigala Mata Satu, seraya melompat menyerang lawan.

"Hup!" Jumangun cepat menundukkan kepala, ketika satu tendangan Rajendra meluncur deras hendak menghantamnya. Tapi kemudian laki-laki bercambang bauk itu terkejut sendiri. Ternyata setelah menghindari, sambaran angin kencang Serigala Mata Satu seakan menggiris kulitnya.

Dan belum juga Jumangun mampu bernapas lagi, dia harus bergulingan menghindari serangan Serigala Mata Satu yang tak kepalang tanggung, dalam mempermainkan senjata tombak bermata tiganya. Dan hal ini membuat kedudukannya semakin terjepit. Sementara orang-orang yang menonton pertandingan mulai memaki-maki Serigala Mata Satu. Namun, tak seorang pun yang berani menghentikan pertarungan itu. Memang, dari semula tak ada aturan yang melarang seorang peserta menggunakan senjata.

"Yeaaa!"
"Uts!"

Jumangun semakin terdesak saja. Tubuhnya jatuh bangun berusaha menghindari serangan tanpa mampu membalas. Bahkan sepertinya dia tidak mampu mengelak ketika Serigala Mata Satu mengayunkan satu tendangan ke arah batok kepala. Namun dengan untung-untungan, kepalanya ditundukkan sambil melompat ke belakang. Sayang, saat itu juga Serigala Mata Satu lebih cepat berbalik dan langsung menyodokkan kepalan tangan kirinya ke dada Jumangun.

Desss!
"Aaakh...!"

Jumangun kontan memekik kesakitan. Tubuhnya langsung terjungkal sambil memuntahkan darah segar. Tapi, agaknya Serigala Mata Satu tak mau berhenti sampai di situ. Tubuhnya sudah melompat bermaksud menghabisi nyawa lawannya yang sudah ambruk di lantai arena. Namun, Serigala Mata Satu tidak mempedulikan bentakan itu. Dia terus melompat cepat sambil mengayunkan tombak di tangan untuk menghabisi Jumangun. Dan begitu ujung tombak hampir menyentuh tubuh Jumangun, mendadak saja melesat sesosok bayangan biru yang memapak serangan.

Trakkk!
"Uhhh...!"

Serigala Mata Satu kaget setengah mati ketika merasakan tombaknya ditangkis oleh suatu benda yang kuat luar biasa. Bahkan mampu membuat dadanya berdetak kencang. Belum lagi disadari apa yang terjadi, sekonyong-konyong datang serangan kembali yang menderu ke arahnya. Buru-buru dia melompat menghindari sambil memutar tombaknya dan kembali menangkis.

Trang!
Bet!
"Ohhh!"

Ketika dua senjata kembali beradu, kali ini himpitan tenaga dalam sosok berpakaian biru yang disalurkan lewat senjata membuat telapak tangan Serigala Mata Satu terasa nyeri. Bahkan tubuhnya sampai terjajar beberapa langkah. Keringat dingin kini mulai mengalir di tubuh Rajendra. Namun laki-laki itu tak kehilangan akal. Maka senjata rahasianya langsung dilemparkan.

Ser! Ser!

Beberapa buah benda melesat cepat, mengancam keselamatan sosok berpakaian biru itu. Namun dengan gerakan cepat bagai kilat sosok berpakaian biru itu memutar senjatanya yang berupa kipas baja putih sambil berjumpalitan.

Tring! Trang!

Beberapa buah paku beracun yang melesat ke arah bayangan biru itu, kontan buyar dan rontok ke bawah, tersambar kipas baja putih. Dan begitu bayangan biru itu menjejakkan kakinya, barulah Serigala Mata Satu bisa jelas melihatnya. Ternyata orang yang memapak serangannya adalah gadis cantik berbaju biru. Tampak tangannya memegang kipas baja putih. Gadis yang tak lain Pandan Wangi itu memandang sinis pada Serigala Mata Satu.

"Siapa kau?!" bentak Serigala Mata Satu, garang.

"Aku malaikat maut yang akan mencabut nyawamu!" kata Pandan Wangi, dingin.

"Setan! Kau pikir aku takut bila hanya berhadapan dengan seorang gadis?"

"Kau tak perlu takut, sebab memang akan mampus!" dengus Pandan Wangi geram.

Mendengar hal itu, bukan main geramnya Serigala Mata Satu. Maka dia langsung melompat menyerang lawan disertai pengerahan segenap kemampuan yang dimilikinya. Tapi, Pandan Wangi yang sejak tadi sudah geram melihat tingkah orang itu, langsung melayaninya. Maka kini pertarungan tak terelakkan lagi. Sementara itu, para penonton yang tadi kesal dan geram terhadap Serigala Mata Satu kini bersorak-sorak gembira. Apalagi yang maju kini seorang gadis cantik berkepandaian tinggi.

Sementara, Adipati Tanuwijaya sendiri yang merasa hajatnya jadi berantakan, tak tahu lagi harus berbuat apa, selain mendiamkan saja pertarungan berlangsung. Dalam adu senjata tadi, bisa dirasakan kalau tenaga dalam gadis itu tak berada di bawah lawannya. Bahkan mampu mengimbangi kecepatan gerak Serigala Mata Satu. Hal itulah yang membuat Pandan Wangi semakin percaya diri saat ini.

Meskipun lawan telah mengerahkan seluruh kehebatan permainan tombaknya, namun dengan gesit Pandan Wangi mampu lolos dari setiap incarannya. Bahkan dalam satu kesempatan, gadis itu berhasil menyodok pertahanan Serigala Mata Satu. Tubuhnya cepat menukik tajam, dan langsung menghantam genggaman tangannya pada tombak.

"Hiyaaa!"
Trang!

Ketika kedua senjata itu beradu, Serigala Mata Satu mengeluh kesakitan. Tubuhnya langsung mundur dengan langkah terhuyung-huyung. Tapi, Pandan Wangi tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kaki kanannya cepat terayun, menghantam ke arah dada lawan.

Desss!
"Uhh...!"

Serigala Mata Satu kontan memekik kesakitan. Tubuhnya langsung terlempar beberapa langkah kebelakang, dan jatuh deras di lantai arena. Dan pada saat itu juga, Pandan Wangi bermaksud menghabisi Serigala Mata Satu secepatnya. Bagaikan anak panah, tubuhnya melesat sambil mengayunkan pedangnya yang berisi tenaga dalam kuat.

"Yeaaa...!"
Ser! Ser!

Namun pada saat terjepit begitu, Serigala Mata Satu masih mampu berbuat curang, cepat dilemparkan paku-paku beracun ke arah Pandan Wangi. Namun, untung gadis itu telah dapat menduga. Maka kipas baja putihnya cepat diputar, dengan gemas menghantam senjata rahasia Serigala Mata Satu.

Trak! Trak!

Paku-paku beracun itu kontan rontok di hajar kipas baja putih Pandan Wangi. Namun ketika gadis itu berhenti memapak, Serigala Mata Satu telah melesat kabur.

"Wanita sial! Aku belum kalah. Hari ini, kau boleh merasakan kemenanganmu. Tapi lain hari, aku akan datang mencarimu! Dan saat itulah hari kematianmu!" teriak Serigala Mata Satu begitu tubuhnya telah jauh.

"Jahanam busuk! Ke sinilah kalau benar-benar bukan pengecut!" bentak Pandan Wangi sambil mendengus garang.

Tapi, gadis itu hanya bisa memandang geram, karena Serigala Mata Satu telah menghilang. Sambil menyelipkan kembali kipas baja putih pada pinggangnya, gadis itu keluar dari arena pertarungan. Namun baru saja melangkah dua tindak, Adipati Tanuwijaya menghampiri.

"Nisanak, kemarilah sesaat!"

Pandan Wangi menoleh, memandang lelaki berpakaian mewah itu. Sambil tersenyum, tubuhnya membungkuk memberi salam hormat.

"Maaf. Kalau tak salah, bukankah Kisanak Adipati Tanuwijaya? Maafkan sikapku!"

"Tak ada yang perlu dimaafkan Nisanak. Malah, akulah yang harus mengucapkan terima kasih. Kemarilah, ada yang ingin kubicarakan denganmu," ucap Adipati Tanuwijaya.

"Kanjeng Adipati, maaf. Hamba tak bisa menghampiri seorang diri, sebab hamba ke tempat ini bersama kawan," sahut Pandan Wangi.

"Hm. Kalau demikian, ajaklah kawanmu itu," titah Adipati Tanuwijaya.

********************

TUJUH

Pandan Wangi pun akhirnya mengajak Rangga untuk bersama-sama menghadap sang Adipati. Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti tak setuju atas ajakan itu. Bahkan sebelum Pandan Wangi turun tangan untuk membereskan Serigala Mata Satu, ada sesuatu yang ingin dirahasiakannya. Dan itu menyangkut keadaan dirinya. Beberapa tahun silam, raja negeri ini pernah datang ke Kerajaan Karang Setra. Dan pada saat itu, dia mengajak salah seorang adipatinya. Dan Rangga tak akan lupa wajah adipati itu. Dialah laki-laki berpakaian merah, yang kini tengah memanggil mereka!

"Kanjeng Adipati, maaf. Kami tak sengaja mengacau tempat ini," ucap Rangga hormat sambil menunduk ketika telah berada di hadapan Adipati Tanuwijaya.

Adipati Tanuwijaya langsung menatap tajam memperhatikan dari ujung kaki hingga kepala pemuda itu. Rasa-rasanya, pemuda ini memang pernah dikenalnya. Kemudian, terlihat dia buru-buru bangkit dari tempat duduknya, langsung tubuhnya membungkuk memberi penghormatan.

"Ampunkan hamba, Gusti Prabu Karang Setra. Suatu kehormatan besar bagi kadipaten ini mendapat kunjungan Kanjeng Gusti Prabu," ucap Adipati Tanuwijaya merendah.

"Kanjeng Adipati, apa-apaan ini? Apa yang kau lakukan? Bangkitlah. Lihatlah orang-orang memperhatikan dengan heran. Kami hanya pengembara biasa!" sahut Rangga, setengah tergagap.

"Gusti Prabu tak bisa menipu hamba. Dan pokoknya hamba tak akan berdiri sebelum Gusti Prabu mengakui hal itu," sahut Adipati Tanuwijaya, berkeras.

Rangga tak tahu, harus bersikap apa mendengar kata-kata Adipati Tanuwijaya. Meskipun dengan berat hati, akhirnya diakui kalau dirinya adalah Raja Karang Setra. Setelah itu, barulah Adipati Tanuwijaya bangkit seraya memberitahukan pada rakyatnya bahwa tamu mereka adalah Raja Karang Setra. Maka seketika orang-orang yang berada di tempat itu jadi terkejut melihat penampilan seorang raja dari kerajaan besar, tapi hanya berpakaian seperti orang-orang persilatan pada umumnya.

"Hidup Raja Karang Setra...!" teriak seseorang, kemudian diikuti yang lainnya dengan gegap gempita.

Hal seperti itulah yang tak disukai Rangga. Namun pada akhirnya, dia tak mampu menghindar. Adipati Tanuwijaya benar-benar menyambutnya dengan meriah. Maka seketika itu juga, seluruh orang yang berada dalam istana kadipaten sibuk menyambut kedatangan Raja Karang Setra itu. Adipati Tanuwijaya terus membawa Rangga dan Pandan wangi menuju ruangan balai sema agung istana kadipaten.

Dan di situ ternyata telah tersaji jamuan-jamuan untuk tamu kehormatan. Tak lupa, Adipati Tanuwijaya juga menjamu rakyatnya yang masih berkerumun di alun-alun depan rumahnya. Adipati Tanuwijaya sudah lama mengetahui kalau Rangga disamping seorang raja, juga seorang pendekar sakti yang sering mengembara. Hal itu pun diutarakan ketika mereka usai mengadakan jamuan makan.

"Gusti Prabu, sebenarnya hamba tak pantas memohon. Namun kedudukan hamba sangat terjepit. Sementara, pihak kerajaan mengira hamba melalaikan kewajiban dalam menyerahkan upeti. Oleh karena itulah, hamba mengadakan pertandingan ini," jelas Adipati Tanuwijaya, setelah menceritakan persoalan yang menimpa dirinya.

"Ya, ya. Aku mengerti apa yang kau pikirkan, Paman Adipati Tanuwijaya," kata Rangga yang telah menyebut paman pada adipati itu.

"Sepanjang perjalanan menuju tempat ini, banyak kudengar berita tentang Serigala Iblis Bercambuk Emas. Hal ini memang tak bisa dibiarkan berlarut-larut..."

"Hamba telah kehabisan akal untuk menghadapinya, Gusti Prabu. Dan kini tak tahu harus berbuat apa. Kalau dibiarkan terus, mereka akan semakin merajalela. Beberapa utusan yang hamba kiri ke kerajaan untuk memberitahukan hal ini, mereka bunuh. Bahkan tak seorang pun yang pernah kembali lagi," kata Adipati Tanuwijaya melanjutkan keterangannya. Rangga kembali mengangguk-angguk kecil.

"Aku pun tegah berpikir untuk memberi peringatan padanya," kata Rangga pelan.

"Oh! Sungguhkah Gusti Prabu akan membantu kami?!" tanya Adipati Tanuwijaya, meyakinkan dengan wajah berbinar-binar. Rangga mengangguk pasti.

"Oh! Terima kasih, Gusti Prabu! Terima kasih! Kami tak tahu bagaimana membalas kebaikan Gusti Prabu," ucap Adipati Tanuwijaya, sambil memberi hormat berkali-kali.

"Apakah mereka bersarang di Bukit Serigala? Hm.... Kalau tak salah di tempat itu terdapat kawanan serigala liar yang bisa diperintah mereka untuk menyerang lawan-lawannya?" gumam Rangga seperti berkata pada diri sendiri.

"Betul, Gusti Prabu! Hal itulah yang amat menyulitkan para pengawal hamba untuk meringkus, selain kepandaian mereka juga tinggi!" jelas Adipati Tanuwijaya.

"Hm.... Ajaklah para pengawalmu, serta penduduk kadipaten ini. Bawa obor yang banyak, dan kita akan ke Bukit Serigala.

"Ya! Hamba mengerti. Serigala takut api. Bukankah obor-obor itu untuk menakut-nakuti kawanan serigala, Gusti Prabu?" Rangga mengangguk.

"Tapi kalian tak boleh menampakkan diri, sampai aku berhadapan dengan mereka. Dan obor-obor itu juga jangan dinyalakan dulu. Ketika kawanan serigala itu menyerbu, barulah obor itu dinyalakan. Dan kalian segera bergerak bersama-sama menghalau kawanan serigala itu," jelas Rangga.

"Hamba mengerti, Gusti Prabu. Hamba sendiri yang akan turun tangan memimpin mereka!" sahut Adipati Tanuwijaya bersemangat.

"Syukurlah. Nah! Kalau demikian, kita bisa mulai ke Bukit Serigala setelah hari sedikit gelap. Persiapkanlah segala sesuatunya dari sekarang!"

"Baik, Gusti Prabu! Hamba akan mempersiapkannya sekarang juga!" sahut Adipati Tanuwijaya dengan wajah cerah

********************

Menjelang sore, Bukit Serigala tampak diliputi suasana yang mencekam. Beberapa orang tampak berhadapan dengan dua sosok tubuh. Sorot mata masing-masing terlihat nyalang. Yang dua orang tak lain Ki Lodaya alias Serigala Iblis Bercambuk Emas. Dia didampingi murid pertamanya, Gumarang. Atau, lebih dikenal sebagai Serigala Buntung.

Sementara di depan mereka, terlihat seorang laki-laki bertubuh gemuk dan besar. Mukanya lebar, dengan dagu agak panjang. Sepasang matanya agak menyipit. Bajunya longgar, sehingga tubuhnya jadi mirip gajah. Tangan kanannya tampak menggenggam sebuah senjata tongkat. Namun bentuknya mirip seekor ular yang sedang melilit pada sebatang pohon. Dan pada kedua sisinya tampak tajam, seperti mata pedang. Bahkan pada ujungnya berbentuk anak panah.

Melihat ciri-cirinya, orang sering memanggilnya Ki Keong Geni. Sementara di sebelah Ki Keong Geni terlihat seorang lelaki berkepala botak. Kulit yang hitam legam terbungkus rompi hitam. Di pinggangnya tampak terselip golok. Orang itu bernama Wisesa, Ketua Perampok Golok Perak. Dan di belakangnya, tampak sepuluh orang anak buah pilihan berdiri siap menunggu perintah.

Mereka semua memang mempunyai tujuan menguasai Bukit Serigala ini. Dan sebelum datang ke sini, kekuatan Ki Lodaya beserta dua orang muridnya memang telah diperhitungkan. Untuk itulah, Wisesa hanya membawa sepuluh anak buahnya yang bisa diandalkan.

"Pulanglah kalian, sebelum amarahku memuncak! Tujuan kalian hanya sia-sia ke tempat ini!" kata Ki Lodaya, yang begitu berang mendengar maksud mereka.

"Ha ha ha...! Ki Lodaya! Apakah kau pikir dirimu itu sudah hebat? Phuih! Kami datang jauh-jauh ke tempat ini sudah jelas maksudnya. Kau terlalu serakah menyimpan harta rampokan. Dan kami pun ingin mencicipi sedikit!" sahut Ki Keong Geni.

Dia dikenal sebagai tokoh golongan hitam yang sering merampok dan membunuh. "Ha ha ha...! Serigala Iblis Bercambuk Emas! Kalau kami malah cukup berbaik hati. Jika kau memberi sedikit bagian, tentu kami tak akan mengganggumu lagi," sahut Wisesa sambil terkekeh kecil.

Mendengar kata-kata mereka yang bernada terang-terangan, tentu saja Ki Lodaya merasa tak senang. Wajahnya semakin kelam. Sedangkan sorot matanya tampak memancar kebencian yang dalam. Perlahan-lahan dilepaskannya cambuk yang terselip di pinggangnya.

"Kalau demikian, aku pun tak punya pilihan lagi. Kalian harus mati!" ancam Serigala Iblis Bercambuk Emas, dingin menggetarkan.

"Huh! Kau pikir aku takut? Kaulah yang sebaiknya cepat mampus lebih dulu!" geram Ki Keong Geni, langsung melesat hendak menyerang lawan.

"Aku juga tak mau ketinggalan, Kisanak! Lebih cepat dia mampus, akan lebih baik!" timpal Wisesa sudah ikut menyerang lawan.

"Gumarang! Si botak jelek ini, bagianmu. Sementara biar anak buahnya direncah kawanan serigala itu!" dengus Ki Lodaya sambil melecutkan cambuk membelah angkasa.

"Baik, Guru!" sahut Gumarang cepat memapak serangan Wisesa.

Ctarrr!

"Serbuuu...!" teriak anak buah Wisesa ikut mengeroyok kedua guru dan murid itu.

Namun dengan gesit dan lincah, Ki Lodaya melenting tinggi sambil berputaran di udara untuk menghindari sambaran senjata Ki Keong Geni yang aneh itu. Cambuk di tangannya kembali melesat ke angkasa, menimbulkan suara menggelegar memekakkan telinga.

Ctarrr!
"Auuung...!"
"Heh?!"

Seketika juga, terdengar raungan serigala dari kejauhan saling bersahutan. Dan dalam beberapa saat saja, terlihat debu mengepul di kejauhan dalam deretan yang panjang. Ki Keong Geni, Wisesa, dan anak buahnya tersentak kaget, dan lebih terkejut lagi, ketika melihat puluhan kawanan serigala berlari cepat ke arah pertarungan. Namun kelengahan yang sesaat itu, justru membuat keselamatan mereka terancam. Karena, Ki Lodaya dan Gumarang memang tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka langsung mengebutkan senjata masing-masing, mengancam keselamatan musuh-musuhnya.

Brettt!
Crasss!
Begkh!
Ctarrr!
"Aaa...!"

Dua orang anak buah Wisesa kontan tewas tersambar cakar besi di tangan kiri Gumarang. Sementara, seorang lagi tersambar senjata aritnya. Akibatnya hampir membuat leher orang itu putus. Gumarang sendiri nyaris terkena sodokan, kalau tak buru-buru melompat ke belakang. Sementara itu dua orang anak buah Wisesa yang mengeroyok Ki Lodaya, langsung terjengkang sambil menjerit kesakitan, begitu satu tendangan keras menghantam dada mereka hampir bersamaan.

Sedangkan Ki Keong Geni mengeluh kesakitan ketika ujung cambuk lawan menyambar dada kanannya, sehingga membuat luka yang cukup parah. Kalau saja tadi tak sempat memiringkan tubuh, niscaya akan remuk dihajar ujung cambuk yang berisi tenaga dalam tinggi itu. Bahkan dalam keadaan demikian, mereka dibuat repot oleh kehadiran kawanan serigala liar yang langsung menerkam buas.

Melihat hal ini Ki Keong Geni jadi mengerutukkan rahang. Dan senjatanya langsung diayunkan menghadapi serbuan hewan-hewan liar itu. Demikian juga halnya Wisesa, serta anak buahnya yang tersisa. Tapi, gerakan mereka tak leluasa lagi. Bahkan semakin terjepit ketika Ki Lodaya dan muridnya tak memberi sedikit pun kesempatan untuk bisa lolos dari tempat itu.

"Kalian akan mampus semuanya! Tak seorang pun yang boleh pergi dari tempat ini dengan selamat!" dengus Ki Lodaya geram.

Agaknya, Serigala Iblis Bercambuk Emas memang betul-betul ingin membuktikan ucapannya. Sehingga, tak heran bila serangan-serangan yang dilakukan demikian gencar. Akibatnya, Ki Keong Geni semakin keteter saja.

"Guru, aku datang membantu!" Dan pada saat itu juga, mendadak terdengar satu bentakan nyaring yang langsung menyerang Ki Keong Geni.

"Yeaaa...!"
Ser! Ser!
"Uhhh...!"
Tring! Tring!

Ki Keong Geni kontan terkejut setengah mati ketika merasakan ada sambaran senjata rahasia ke arahnya. Dengan cepat tubuhnya berbalik sambil mengayunkan senjatanya untuk menangkis. Beberapa buah paku beracun berhasil dirontokkannya.

Ctarrr!
"Graungrrr...!
Crab!

Namun saat itu pula, ujung cambuk Ki Lodaya menjilat ke arah perutnya. Ki Keong Geni terkesiap, lalu buru-buru membalikkan tubuhnya untuk menangkis. Namun bersamaan dengan itu, seekor serigala cepat menerkam tengkuknya dari belakang. Bahkan senjata rahasia yang kembali dilemparkan orang yang baru datang itu cepat menghujam pinggang hingga ke kakinya.

"Aaa...!"

Ki Keong Geni memekik. Perutnya terlihat hancur dihantam cambuk lawan meskipun masih sempat menangkis. Dan lehernya di bagian pundak terluka parah, digigit serigala itu. Sementara, dua buah paku beracun tampak menancap di pinggang kiri dan kanannya. Tubuh Ki Keong Geni terhuyung-huyung sebentar, lalu ambruk di tanah. Dia menggelepar beberapa saat, kemudian diam tak bergerak! Tampak darah mengalir deras dari perut dan pundaknya.

Ki Lodaya kembali melesat, langsung membereskan anak buah Wisesa yang hanya tinggal segelintir saja. Apalagi semangat orang-orang berkepandaian tanggung itu telah terbang begitu melihat kawanan serigala. Sehingga dalam waktu singkat, mereka sudah dapat dibinasakan. Wisesa sendiri keadaannya sangat terjepit. Beberapa kali senjata Gumarang nyaris merobek tubuhnya.

Belum lagi, harus menghindar dengan hati-hati dari terkaman serigala-serigala liar. Namun sekuat apa pun bertahan, dia tak akan bertahan lama. Hal itu terlihat, ketika tangan Gumarang yang terbuat dari besi berbentuk cakar serigala menyambar ke arah perut lawan. Wisesa melompat ke atas. Namun, tiga ekor serigala langsung serentak menerkamnya. Maka dengan kalang kabut, goloknya dikibaskan. Dua ekor berhasil dibunuh, namun yang seekor lagi sempat merobek paha kanannya. Dan pada saat itu, senjata Gumarang cepat menyambar dadanya.

Wuttt!
Crasss...!
"Aaa...!"

Wisesa kontan terpekik. Dan beberapa buah tulang rusuknya patah dan dadanya terluka parah. Namun Gumarang tak mau memberi kesempatan lagi. Tangan kirinya kembali menyambar ke arah leher, tak sempat dihindari Wisesa sedikit pun.

Brettt!
"Okh...."

Wisesa hanya bisa mengeluh tertahan. Lehernya kontan nyaris putus disambar cakar kiri Gumarang. Darah kontan menyembur deras dari leher. Sebentar dia terhuyung lalu jatuh ke tanah tidak bergerak lagi. Napasnya putus seketika itu juga. Bahkan begitu jatuh di tanah, kawanan serigala cepat merencahnya dengan buas.

Beberapa saat saja, orang-orang itu tinggal tulang belulangnya. Kawanan serigala itu agaknya masih belum kenyang dengan santapan yang telah habis, sehingga sorot mata mereka memancar tajam terarah pada Ki Lodaya dan kedua muridnya. Namun dengan sekali melecutkan cambuknya, maka kawanan serigala itu perlahan-lahan menjauh.

"Rajendra! Apa yang kau peroleh dari Kadipaten Indrakasih?" tanya Ki Lodaya, setelah kawanan serigala itu berlarian menjauhi mereka.

"Adipati Tanuwijaya mengadakan sayembara. Dia mencari orang-orang yang bisa diandalkan untuk menghancurkan kita," jelas Rajendra alias Serigala Mata Satu setelah menjura hormat.

"Aku berhasil memporak-porandakan mereka, dan bermaksud menghabisi orang-orang itu...," sahut Rajendra menghentikan kata-katanya sambil menundukkan kepala.

"Lalu?!" desak Ki Lodaya, keras penuh curiga.

"Kalau saja pada saat itu tak muncul seorang gadis berbaju biru yang menggagalkan rencanaku...," lanjut Rajendra, takut-takut.

"Keparat! Jadi kau dikalahkan oleh gadis itu?!" bola mata Ki Lodaya" mendelik garang.

"Ma..., maafkan aku, Guru. Kepandaian gadis itu memang hebat. Aku telah berusaha melawan sekuat tenaga, tapi dia memang terlalu kuat bagiku," jelas Rajendra, terbata-bata.

Serigala Iblis Bercambuk Emas diam beberapa saat sambil memandang muridnya dengan sorot mata tajam. Sedangkan Rajendra tak berani mengangkat wajahnya. Dia hanya bisa menunduk dalam-dalam, menekuri tanah. Agaknya, hatinya sudah pasrah bila saja nanti mendapat hukuman yang akan dijatuhkan gurunya.

"Guru! Aku memang tak mampu menjalankan tugas dengan baik. Silakan kalau Guru hendak menghukumku...," kata Rajendra lirih.

"Seharusnya kau memang pantas dihukum. Tapi, aku ingin tahu lebih lanjut apa yang kau lakukan setelah kabur dari hadapan mereka?" tanya Ki Lodaya.

"Aku berusaha mencari tahu, siapa gadis itu. Lalu, aku menyelinap secara diam-diam di antara kerumunan penduduk desa," sahut Rajendra.

"Bagus! Lantas, apa yang kau ketahui tentangnya?"

"Tak banyak, Guru. Tapi, justru kawannya tiba-tiba saja dielu-elukan para penduduk."

"Kawannya?"

"Ya! Agaknya, mereka baru tiba di kadipaten itu. Kawan gadis itu adalah pemuda gagah berwajah tampan. Bajunya rompi putih, dan membawa sebilah pedang bergagang kepala burung yang tersandang di punggung. Mereka menyebutnya sebagai Gusti Prabu. Dan belakangan ini kuketahui, kalau dia adalah Raja dari Karang Setra," jelas Rajendra.

"Raja dari Karang Setra? Hm... Ya..., ya. Sebentar! Apa yang kau katakan tadi? Pemuda tampan yang memakai baju rompi putih?" tanya Ki Lodaya dengan wajah terkejut.

"Betul, Guru. Apakah Guru mengenalnya?"

"Apa dia orangnya...?" gumam Ki Lodaya seperti pada diri sendiri. Kedua murid Ki Lodaya menjadi bingung melihat sikap gurunya.

"Apakah Guru mengenal pemuda itu?" tanya Gumarang, memberanikan diri.

"Aku curiga. Jangan-jangan, dia Pendekar Rajawali Sakti...."

"Pendekar Rajawali Sakti? Siapa dia itu Guru?" tanya Gumarang lagi.

"Dia seorang pendekar sakti yang tak terkalahkan. Ciri-cirinya pernah kudengar dan kulihat sendiri. Dan itu sama persis dengan yang diceritakan Rajendra. Lagi pula, pernah kudengar kalau dia memang seorang raja yang sering berkelana!" desis Ki Lodaya termangu sendiri.

"Guru! Apakah Guru khawatir jika dia datang ke tempat kita ini?" tanya Gumarang kembali. Ki Lodaya tak langsung menjawab, melainkan memperhatikan wajah muridnya satu persatu.

"Tak seorang pun kuperkenankan untuk menangkapku. Dengan adanya kalian serigala-serigala liar, serta cambuk emas yang kumiliki ini, tak seorang pun yang mampu mengusik kita!" tandas Ki Lodaya penuh semangat.

"Guru! Apakah kita perlu untuk menyerang mereka ke kadipaten itu?" tanya Gumarang.

"Tidak perlu. Aku tahu betul. Pendekar Rajawali Sakti tak akan diam begitu saja, setelah mengetahui tentang kita. Dia pasti akan datang ke sini. Dan untuk itu, kita harus siap-siap menyambutnya. Dan kau, Rajendra. Kali ini kegagalanmu kumaafkan. Bersiaplah untuk menghadapi lawan yang lebih tangguh!" ujar Ki Lodaya sambil melangkah perlahan meninggalkan tempat itu.

"Terima kasih, Guru!" sahut Rajendra, dengan wajah cerah.

Mereka kemudian berlalu dari tempat itu. Sementara, matahari telah tenggelam di ufuk barat meninggalkan bias kemerahan yang masih tersisa. Dan perlahan-lahan, cahayanya memudar ketika malam telah menyergap kawasan itu.

********************

DELAPAN

Kegelapan mulai menyelimuti seluruh kawasan Bukit Serigala ini. Dingin menyapu sekitarnya, begitu angin bertiup perlahan-lahan. Langit terlihat cerah. Dan bulan lembut sekali memancarkan sinar yang kemilau menerangi seluruh tempat itu. Di kejauhan, terdengar lolongan serigala saling bersahutan. Di sebuah jalan yang menuju Bukit Serigala, tampak dua orang tengah mengendarai kuda. Mereka berhenti persis di dekat sebuah batu karang yang menjulang ke atas dan membentuk sebuah kerucut.

Bagian bawahnya sendiri lebar tak rata, dan terus bersambung dengan jejeran bukit-bukit kecil yang tandus di sekitarnya. Sementara, tak jauh di belakang gugusan karang-karang kecil itu terlihat sebuah hutan yang memanjang dan luas. Sedangkan di depan mereka, terhambar padang rumput yang cukup lebar. Dan di ujung mata memandang, terlihat dua buah gunung yang menjulang tinggi. Kedua anak muda yang tak lain Rangga dan Pandan Wangi itu memandang sekilas ke sekeliling tempat itu tanpa turun dari punggung kuda masing-masing.

"Kakang! Tempat ini sepi dan menyeramkan...," kata Pandan Wangi sambil memandang ke sekeliling.

"Kenapa? Kau takut?" tanya Rangga sambil tersenyum kecil.

"Tidak. Justru aku ingin cepat-cepat melihat tampang orang yang berjuluk Serigala Iblis Bercambuk Emas!" sahut Pandan Wangi sengit.

"Kurasa dia telah mengetahui kehadiran kita...," kata Rangga tenang.

"Kakang...?" Pandan Wangi langsung memandang wajah pemuda itu, seolah ingin meyakinkan kata-kata yang dikeluarkan Rangga tadi.

"Mereka tengah mengawasi kita," kata Rangga tersenyum dan mengangguk.

"Di mana?"

"Di balik pepohonan itu...," tunjuk Rangga, kesebuah pohon yang tumbuh beberapa tombak di depannya. Baru saja Rangga selesai berkata demikian, mendadak melesat satu sosok tubuh dari arah yang ditunjuknya.

"Ha ha ha...! Dugaanku tak salah, ternyata Pendekar Rajawali Sakti berkenan juga untuk mengunjungi tempatku yang buruk ini!"

Begitu menjejakkan kaki pada jarak sepuluh langkah di depan Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi, sosok itu langsung tertawa terbahak-bahak. Rangga dan Pandan Wangi jelas dapat melihat sesosok laki-laki bertubuh sedang itu. Tampak kain kuning, diselempangkan ke pundak kirinya. Mukanya seram dan kedua rahangnya menonjol. Rambutnya panjang riap-riap berwarna kuning keemasan. Di pinggang sebelah kanan, terlihat seutas cambuk berwarna keemasan.

"Kaukah yang bernama Serigala Iblis Bercambuk Emas?" tanya Rangga meyakinkan.

"Tak salah. Ternyata, namaku telah sampai pula di telingamu!" sahut orang yang berjuluk Serigala Iblis Bercambuk Emas itu sambil tersenyum sinis.

"Serigala Iblis Bercambuk Emas! Aku telah banyak mendengar sepak terjangmu bersama dua muridmu. Dan ternyata kau sudah melampaui batas-batas kemanusiaan. Maka, kuminta agar kau dan dua muridmu menyerahkan diri sekarang juga...."

"Pendekar Rajawali Sakti! Kau tak perlu berbasa-basi! Tempat ini milikku. Dan, akulah yang berkuasa di sini. Tak seorang pun yang berhak memerintahku. Jika aku ingin nyawa kalian, hanya seperti membalikkan tangan saja. Nah! Tak usah banyak bicara lagi. Cabutlah pedangmu, dan pertahankan nyawamu. Karena, aku akan mengambil sekarang juga!" sentak Serigala Iblis Bercambuk Emas.

"Hm.... Aku percaya kata-katamu itu, Kisanak. Tapi, jangan terlalu jumawa. Aku takut, malah kau sendiri yang terkubur di sini bersama dua muridmu yang berjiwa melempem, karena terus bersembunyi di belakang pohon itu," balas Pendekar Rajawali Sakti dingin.

Ki Lodaya mendengus geram mendengar perkataan Pendekar Rajawali Sakti yang seperti meremehkannya. Kemudian matanya memandang ke satu arah, seraya melambaikan tangannya. Saat itu juga, melesat dua sosok tubuh ke tempat ini. Mereka tak lain dari Gumarang alias Serigala Buntung, dan Rajendra alias Serigala Mata Satu.

"Nah! Kami kini telah berkumpul. Kau boleh menentukan kematianmu sendiri, Kisanak," geram Ki Lodaya.

"Apakah kalian bersungguh-sungguh? Padahal aku datang secara baik-baik. Tapi apabila kau menjualnya apa salahnya kubeli. Sekalian untuk mempertanggungjawabkan sepak terjangmu selama ini...," timpal Rangga lagi, tenang.

"Banyak mulut! Lebih baik, mampuslah kau sekarang!" bentak Rajendra. Kemudian, Serigala Mata Satu langsung melemparkan paku-paku racunnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Serigala Iblis Bercambuk Emas, kuperingatkan sekali lagi! Aku masih bisa menahan sabar, agar tidak ada pertumpahan darah!" bentak Rangga sambil melompat dari punggung kudanya untuk menghindari lemparan senjata rahasia Rajendra.

"Sebaiknya jagalah dirimu agar selamat, daripada coba-coba mengancamku!" balas Ki Lodaya sudah langsung melecut cambuknya, tepat ketika Rangga mendarat manis di tanah.

Ctarrr...!

Belum juga gema lecutan cambuk itu hilang, dari kejauhan terlihat puluhan ekor kawanan serigala liar berlari kencang mendekati tempat itu. Ki Lodaya langsung menunjukkan wajah cerah.

"Kau lihat itu, Pendekar Rajawali Sakti? Setinggi apa pun ilmu yang dimiliki, mampukah melawan kawanan serigala yang buas dan kelaparan itu? Ha ha ha...! Kalian akan mampus direncah mereka!" ejek Ki Lodaya sambil tertawa.

Rangga tersenyum dingin, kemudian bersuit nyaring. Maka dari jarak yang cukup jauh, terlihat lebih dari seratus orang penduduk berdatangan sambil menyalakan obor. Dan kini mereka siap menghadang kawanan serigala itu. Ki Lodaya tersentak kaget. Demikian juga kedua orang muridnya.

"Serigala-serigala liar itu kini mempunyai lawan-lawannya. Dan kalian akan berurusan dengan kami!" kata Rangga kalem.

"Huh! Kalau begitu, mampuslah kalian!" dengus Ki Lodaya sambil melecutkan cambuknya menghajar lawan.

Ctarrr...!

Pendekar Rajawali Sakti cepat melenting ke atas ketika merasakan angin kencang yang membuat perih kulit tubuhnya, akibat lecutan cambuk lawan. Dan bersamaan dengan itu, kawanan serigala yang tengah dihadang para penduduk itu terlihat semakin garang saja. Meskipun pada mulanya takut-takut melihat obor yang menerangi tempat itu, namun lecutan cambuk itu seperti memacu keberanian mereka!

Sehingga, tak heran bila beberapa ekor serigala berani menjerang orang-orang yang tengah menghadangnya. Dan hal itu menimbulkan kekalutan bagi orang-orang yang kebanyakan bermodal keberanian saja. Ketika tercium bau darah yang berasal dai beberapa orang yang berhasil dilukai, kawanan serigala itu seperti berlomba untuk mendapatkan mangsanya. Apalagi, ketika mendengar suara cambuk yang berkali-kali melecut di angkasa.

Maka kawanan serigala itu bertambah liar dan buas saja. Hal itu agaknya disengaja oleh Ki Lodaya untuk mengalihkan perhatian lawan. Di samping mempengaruhi kawanan serigala. Hal inilah yang membuat Pendekar Rajawali Sakti menjadi geram. Apalagi, ketika mendengar jeritan kesakitan dari beberapa orang penduduk yang mulai menjadi korban kebuasan kawanan serigala itu.

"Serigala Iblis Bercambuk Emas! Kau sudah keterlaluan! Perbuatanmu tak bisa kubiarkan lagi. Pertahankanlah jiwamu sekuat mungkin!" geram Rangga sambil mencabut pedang pusakanya.

Rupanya, Pendekar Rajawali Sakti menganggap kalau lawannya tidak mungkin dihadapi dengan tangan kosong saja. Apalagi, ketika melihat kawanan serigala itu telah membunuh beberapa penduduk. Dan Pendekar Rajawali Sakti memang tidak mau tanggung-tanggung lagi. Maka untuk menahan lecutan cambuk yang bisa mempengaruhi serigala, Rangga harus mencabut pedangnya.

Srang!
"Heh?!"

Untuk sesaat, Ki Lodaya dan Rajendra tersentak kaget melihat sinar biru terpancar dari batang Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang menerangi sekitarnya. Raut wajah Pendekar Rajawali Sakti mengandung hawa kemarahan, seperti seekor rajawali yang hendak menerkam mangsanya.

"Keparat! Apa kau pikir aku takut dengan pedang bututmu?!" geram Ki Lodaya dan muridnya. Dan mereka sudah langsung melompat menyerang lawan.

"Yeaaa...!"
Ser! Ser!
Ctarrr...!

Dengan didahului lontaran paku-paku beracun, Serigala Mata Satu, langsung menyambar tubuh Pendekar Rajawali Sakti dengan senjata tombak bermata tiga yang diputar-putar bagai kitiran. Sementara, Serigala Iblis Bercambuk Emas mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya yang dimiliki, sambil mengayunkan cambuk yang siap menjilat tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga cepat menyilangkan pedangnya persis di depan wajah, kemudian mendadak tubuhnya melompat ke atas. Dan Pendekar Rajawali Sakti langsung mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', yang digabung dengan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.

"Hiyaaa...!"
Trasss! Trasss!
Weerrr...!

Sekali pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti berkelebat, maka paku-paku beracun yang dilepaskan Serigala Mata Satu rontok tak berbentuk. Bahkan tombak bermata tiga di tangannya pun patah menjadi tiga bagian. Dan tubuh Rajendra nyaris terkoyak kalau saja pada saat itu tak buru-buru menjatuhkan diri ke tanah. Demikian pula halnya Serigala Iblis Bercambuk Emas.

Bukan main terkejutnya dia, ketika melihat cambuknya yang melesat ke arah lawan, dihajar Pedang Pusaka Pendekar Rajawali Sakti hingga putus dari setengahnya. Saat itu, ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti tampak bergetar menyambar ke arah dadanya. Ki Lodaya tergagap, dan berusaha menjatuhkan diri ke bawah. Namun, Pendekar Rajawali Sakti cepat melepaskan tendangan kaki kiri. Begitu cepatnya tendangan itu, sehingga tak mampu dihindari.

Desss!
"Aaakh...!"

Ki Lodaya kontan memekik kesakitan. Tubuhnya langsung terjungkal ke tanah lebih kurang tujuh langkah sambil memuntahkan darah segar. Namun Pendekar Rajawali Sakti tak langsung mengejar. Dia malah berjalan perlahan-lahan mendekati lawan yang berusaha bangkit susah payah. Dan tanpa diketahui, tiba-tiba Rajendra melesat cepat hendak membokong Pendekar Rajawali Sakti. Untung saja pada saat yang sama, terdengar satu suara nyaring yang diikuti melesatnya sesosok tubuh. Dan sosok itu langsung memapak serangan Serigala Mata Satu!

"Pendekar Rajawali Sakti! Izinkanlah Dewa Bermuka Bulan untuk membantumu menghajar keparat licik ini! Yeaaa...!"

Ternyata sosok itu adalah Dewa Bermuka Bulan. Dan laki-laki berpakaian serba hitam itu langsung menyerang Serigala Mata Satu. Rangga tak menoleh sedikit pun mendengar suara itu. Pandangannya masih lurus menatap ke arah Ki Lodaya, seperti tak berkedip. Serigala Iblis Bercambuk Emas itu sendiri beringsut-ingsut mundur dengan wajah ketakutan.

"Ampun.... Ampunilah selembar nyawa ini, Kisanak. Aku mengaku salah, dan rela dihukum berat asal kau tak mencabut nyawaku ini...!" ratap Ki Lodaya, memasang wajah memilukan.

Langkah Pendekar Rajawali Sakti terhenti, ketika jaraknya hanya tinggal tiga langkah lagi. Ditatapnya wajah Ki Lodaya yang memelas itu sesaat. Kemudian tanpa berkata apa-apa, tubuhnya berbalik dan bersiap menyarungkan pedangnya perlahan-lahan. Merasa kalau lawan berbuat lengah, diam-diam Ki Lodaya mencabut dua bilah pisau kecil berwarna keemasan dari balik pinggangnya. Dan pisau beracun yang jarang digunakan itu cepat dihujamkan ke arah dua paha lawan.

"Mampuslah kau keparat! Hiiih!"
Wuttt!

Namun Pendekar Rajawali Sakti agaknya sudah menduga kelicikan Ki Lodaya. Maka tubuhnya langsung melenting ke atas sambil berputar. Seketika pedangnya berkelebat, menyambar dengan gerakan menyilang.

Crasss!
"Aaa...!"

Mulai dari bahu kiri hingga pinggang kanan Ki Lodaya nyaris terbelah tersambar senjata Pendekar Rajawali Sakti. Diiringi jeritan panjang memilukan, tubuh Serigala Iblis Bercambuk Emas langsung ambruk ke tanah. Setelah meregang nyawa sesaat, Nyawa Ki Lodaya melayang saat itu juga.

Melihat kematian gurunya, agaknya berpengaruh besar bagi Rajendra dan Gumarang. Bahkan Gumarang yang sejak tadi didesak habis-habisan oleh Pandan Wangi, kini harus menerima pengalaman pahit, begitu lengah saat melihat kematian gurunya. Pedang di tangan Pandan Wangi tanpa dapat dicegah lagi menyambar tangan kirinya sebatas bahu!

Crasss!
"Aaakh...!"

Serigala Buntung kontan memekik kesakitan, begitu tangannya buntung sebatas bahu. Dan nampaknya Pandan Wangi tidak memberi kesempatan lagi. Kaki kanannya cepat bergerak menghajar dada kiri Gumarang.

Begkh!
"Ugkh!"

Serigala Buntung kembali memekik kesakitan. Tubuhnya kontan terjungkal ke tanah beberapa langkah sambil memuntahkan darah segar. Bahkan tulang rusuk di dada kirinya sempat patah dan melesak ke dalam, akibat tendangan Pandan Wangi. Seketika Gumarang hanya bisa menggelepar-gelepar beberapa saat, kemudian diam tak bergerak lagi. Mati!

Sementara itu Serigala Mata Satu, semakin gelisah saja melihat guru dan saudara seperguruannya tewas. Lebih lagi, yang dihadapinya kali ini adalah lawan tangguh yang pernah mempecundanginya beberapa hari yang lalu, yaitu Dewa Bermuka Bulan. Tanpa tombaknya, Rajendra menjadi bulan-bulanan dan hanya mengandalkan senjata rahasia yang semakin menipis jumlahnya. Sedangkan Dewa Bermuka Bulan terus mencecar dan tak memberi sedikit pun kesempatan. Dalam satu kesempatan ujung pedangnya menyambar dada Rajendra. Begitu cepat sambarannya, sehingga Rajendra tak bisa menghindarinya.

Crasss!
"Aaakh...!"

Serigala Mata Satu kontan menjerit kesakitan begitu perutnya robek tersambar pedang Dewa Bermuka Bulan. Dan kesempatan itu tidak disia-siakan oleh laki-laki berpakaian serba hitam itu, dengan pedangnya kembali berkelebat menyambar.

Crasss!
"Aaa...!"

Kali ini, Serigala Mata Satu hanya bisa berteriak tertahan ketika ujung pedang Dewa Bermuka Bulan nyaris membuat lehernya putus! Darah kontan muncrat dari leher. Sebentar Rajendra terhuyung-huyung, lalu ambruk ke tanah. Mati!

"Mampus!" dengus Dewa Bermuka Bulan sambil menyarungkan pedangnya.

Dewa Bermuka Bulan melihat sekilas ke arah para penduduk desa yang berhasil mengusir kawanan serigala itu. Sejak cambuk di tangan Ki Lodaya berhasil dihancurkan Pendekar Rajawali Sakti, kawanan serigala itu seperti kebingungan. Maka kesempatan itu digunakan sebagian penduduk desa yang terdiri dari para pengawal kadipaten dan jago-jago silat, untuk menghalau serigala-serigala itu.

Tindakan itu tentu saja membuat penduduk lain yang tadinya merasa takut, langsung bangkit semangatnya. Dan secara beramai-ramai mereka menghalau kawanan serigala hingga lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu. Kemudian sambil berteriak-teriak gembira, mereka beramai-ramai menghampiri Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi.

"Serigala Iblis Bercambuk Emas telah mati! Hidup Pendekar Rajawali Sakti!" teriak seseorang.

"Hidup Raja Karang Setra...!" timpal yang lain dengan gegap gempita.

"Hm.... Tak kusangka kalau penolongku ternyata seorang pendekar tersohor!" ujar Dewa Bermuka Bulan sambil menghampiri Rangga dan Pandan Wangi.

"Terima kasih juga atas pertolonganmu, Kisanak," sahut Rangga merendah.

"Ah, tak perlu! Aku memang mempunyai dendam terhadap mereka. Tak dapat si keparat Lodaya itu, muridnya pun tak apa. Nah, Kisanak. Rasanya aku tak bisa berlama-lama di sini. Selamat tinggal, dan sampai ketemu lagi!" sahut Dewa Bermuka Bulan.

Tubuhnya langsung melesat meninggalkan tempat itu, sebelum rombongan yang dipimpin Adipati Tanuwijaya tiba di tempat itu. Ilmu meringankan tubuhnya memang cukup tinggi, sehingga sebentar saja tubuhnya telah menghilang dari tempat itu. Rangga dan Pandan Wangi hanya tersenyum melihat Dewa Bermuka Bulan. Tak lama kemudian, mereka harus menghadapi kerumunan penduduk desa yang mengelu-elukannya. Bukit Serigala yang semula sepi dan menimbulkan ketakutan bagi siapa yang mendekatinya, kini ramai oleh teriakan suka cita para penduduk kadipaten. Sinar rembulan dan obor-obor yang dibawa para penduduk menerangi tempat itu.

"Gusti Prabu, aku akan merasa mendapat kehormatan bila Gusti Prabu mengunjungi raja kami," pinta Adipati Tanuwijaya.

"Adipati Tanuwijaya, aku telah mampir ke wilayah negeri ini. Dan mau tak mau, aku harus beranjang-sana kepada raja kalian. Terima kasih atas keramahtamahan yang kuterima," sahut Rangga sambil tersenyum.

"Oh, sungguhkah itu?" tanya Adipati Tanuwijaya meyakinkan. Rangga kembali mengangguk pelan. "Oh! Terima kasih, Gusti Prabu! Terima kasih. Ini suatu kemuliaan bagi hamba, bisa mengawal Gusti Prabu. Kami akan menyiapkan segala sesuatunya bagi keperluan Gusti Prabu!" sahut Adipati Tanuwijaya cepat.

Tak berapa lama kemudian, mereka segera meninggalkan Bukit Serigala sambil berteriak-teriak melepaskan perasaan gembira yang meluap. Sementara, malam telah merambat pagi. Di kejauhan terdengar kokok ayam jantan bersahut-sahutan tanda datangnya kehidupan baru.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: SEKUTU IBLIS

Darah Di Bukit Srigala

Pendekar Rajawali Sakti

Darah Di Bukit Srigala

Karya Teguh S

SATU
SENJA sebentar lagi jatuh di mayapada ini. Matahari sudah tak terasa lagi sengatannya di kulit Di bawah siraman cahaya senja yang merah jingga, tampak sebuah rombongan pedati yang berjumlah tujuh buah sudah mulai memasuki sebuah kawanan perbukitan yang lengang. Nampaknya, keadaannya amat indah. Apalagi, jauh di depan mata terlihat hamparan rumput bak permadani luas terbentang, yang dilatarbelakangi oleh beberapa bukit yang memiliki ketinggian beragam.

Beberapa buah bukit tampak berdiri sendiri-sendiri. Namun, ada juga yang saling bersambungan seperti barisan benteng kokoh. Entah sejak kapan daerah ini disebut Bukit Serigala. Tapi banyak di antara mereka yang pernah melewati tempat itu melihat dari bawah ujung bukit-bukit itu runcing-runcing, mirip taring serigala. Atau mungkin saja, karena di bukit-bukit itu pernah dijumpai kawanan serigala yang mendiami daerah selatan. Bahkan tak jarang kawanan serigala itu berada di tempat yang sering dilalui para pedagang.

Maka semakin kuatlah dugaan, kalau nama barisan bukit itu diambil dari banyaknya serigala yang mendiami kawasan sekitamya. Tak heran bila setiap pedagang yang lewat melalui jalan ini harus mempersiapkan segala keamanannya secara seksama. Mereka harus menyewa tukang-tukang pukul yang berkepandaian tinggi atau menyiapkan banyak obor menyala untuk mengusir serigala-serigala itu.

Namun, tak jarang banyak pula pedagang yang harus merugi karena keganasan kawanan serigala yang buas itu. Sebenarnya, bukan hanya kawanan serigala itu saja yang menjadi ancaman para pedagang atau orang yang akan melewati tempat ini. Konon, didaerah Bukit Serigala itu bercokol perampok-perampok yang keganasannya tak kalah dibanding kawanan serigala itu. Namun, para pedagang itu tak mempunyai pilihan lain.

Bukit Serigala memang jalan pintas yang tercepat bagi mereka yang hendak bepergian dari barat ke timur. Demikian pula sebaliknya. Jalan itu diambil, karena biasanya para pedagang memang harus cepat mendapat keuntungan. Sehingga, mereka hampir tak pernah mempedulikan keselamatannya sendiri. Kalaupun para pedagang ingin mencari jalan lain yang aman, maka harus mengitari beberapa buah gunung dan daerah-daerah curam.

Dan waktu yang ditempuh akan lama sekali, sehingga dagangan mereka pasti tidak laku setelah sampai di tujuan. Maka tak jarang rombongan pedagang yang akan berpergian seperti mempertaruhkan nyawa, ketika melewati Bukit Serigala itu. Kalau toh mereka selamat pasti jumlahnya tinggal sedikit sekali. Demikian pula rombongan pedagang yang kini melewati Bukit Serigala ini.

Tampak dua orang penunggang kuda yang membawa golok panjang, berada di depan mengawasi dari kanan dan kiri iring-iringan ketujuh pedati yang penuh berisi barang-barang dagangan. Rombongan itu sendiri bergerak perlahan-lahan seolah bersikap waspada. Masing-masing kusir yang duduk di atas pedati menatap ke sekeliling dengan sorot mata tajam. Sementara, empat penunggang kuda lain masing-masing berada di tengah dan di belakang rombongan.

Kusir pedati yang berada paling depan adalah seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya yang besar terbungkus kulit hitam dengan otot-otot yang menonjol. Kumisnya tebal dan sorot matanya tajam. Bisa ditebak kalau laki-laki itu seorang pemberani dan tak kenal takut. Sementara di sebelahnya terlihat seorang pemuda tanggung berusia sekitar empat belas tahun. Tubuhnya kurus terbungkus pakaian abu-abu yang lusuh. Wajahnya terlihat tegang dan gelisah, seperti takut akan menghadapi sesuatu.

"Apakah mereka akan menyerang kita, Ayah?" tanya pemuda tanggung itu dengan suara nyaris tak terdengar. Laki-laki setengah baya di sampingnya menoleh, kemudian terlihat tersenyum pahit.

"Kau takut, Puger?" tanya laki-laki setengah baya itu.

Pemuda yang dipanggil Puger itu tak menyahut. Hanya pandangannya yang dialihkan ke depan. Suasana masih terus mencekam. Sedangkan suasana di perbukitan itu terasa lengang sekali.

"Kalau mereka tak kita hadapi, Ayah tak punya pekerjaan, Ger. Hanya inilah satu-satunya yang bisa kukerjakan. Mengawal para pedagang dan barang-barangnya ke tempat tujuan..."

"Ya! Ayah juga pernah bercerita kalau pekerjaan ini baik dan tak merugikan orang lain. Tapi...," sahut Puger, terputus.

"Tapi kenapa, Ger?" desak laki-laki setengah baya yang ternyata ayah dari pemuda bernama Puger.

"Kenapa ada orang yang mencari pekerjaan dengan cara merampok harta benda orang lain? Bukankah hal itu merugikan?" tanya Puger sedikit kesal.

Laki-laki setengah baya itu terdiam sebentar. Kemudian, terdengar helaan napasnya yang berat. "Tak perlu heran, Puger. Di dunia ini banyak orang yang mencari jalan termudah untuk mencapai keinginannya. Termasuk perampok. Mereka tak peduli, apakah korbannya akan rugi atau menderita...," jelas laki-laki bertubuh besar itu lagi. Dan baru saja kata-katanya selesai, mendadak terdengar teriakan seseorang dari ujung depan sana.

"Berhentiii...!"

Laki-laki yang menjadi kusir pedati paling depan langsung menarik tali kekangnya, kemudian lompat dari tempat duduknya. Sedangkan salah seorang penunggang kuda dengan pakaian ketat warna merah dan berada di depan, juga menghampiri. Wajahnya tampak cemas, melihat beberapa orang telah menghalang perjalanan.

"Kita dihadang, Kang?"

Laki-laki setengah baya itu mengangguk, kemudian melangkah perlahan-lahan ke depan. Tak begitu jauh di depan mereka, telah berdiri tegak tiga sosok tubuh berwajah seram sorot mata tajam menusuk. Yang seorang memakai pakaian hitam dengan selempang kain warna kuning tua. Rambutnya panjang bergelombang berwarna kuning keemasan. Tubuhnya tak terlalu besar, namun memiliki kuku-kuku yang runcing dan panjang. Tangan kanannya tampak menggenggam sebuah cambuk berwarna keemasan.

Berdiri di sebelah kirinya adalah seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Rambutnya juga panjang. Tangan kirinya tampak disambung dengan besi yang berbentur cakar serigala sampai sebatas siku. Sedangkan tangan kanannya memegang senjata berbentuk arit. Sementara orang yang terakhir berusia hampir sama dengan orang yang tangan kirinya terbuat dari besi. Hanya saja, tubuhnya sedikit lebih kurus. Mata kirinya tampak tertutup kain hitam. Senjatanya berupa tombak bermata tiga.

"Kisanak! Aku Suriareja yang memimpin rombongan ini. Dan aku mohon pada kalian agar diizinkan lewat" ucap laki-laki bertubuh besar dan berusia setengah baya dengan nada sopan, setelah memperkenalkan diri. Ternyata, namanya Suriareja.

"Aku Ki Lodaya, di sebelah kiriku adalah muridku. Namanya, Gumarang. Dan sebelah kananku muridku juga. Namanya, Rajendra," sahut laki-laki yang mengaku bernama Ki Lodaya. Lak-laki bernama Suriareja mencoba tersenyum.

"Apakah itu berarti kami boleh lewat?" tanya Suriareja.

"Tentu saja. Tapi, setelah semua barang bawaan itu kalian tinggalkan!" sahut Ki Lodaya tegas.

Suriareja tersentak kaget, namun berusaha menyembunyikan perasaannya. "Kisanak Kami hanya rombongan pedagang kecil yang mengadu nasib untuk sekadar sesuap nasi buat makan anak istri. Harap sudilah kau mengerti," sahut Suriareja merendah.

"Aku tak peduli dengan alasan kalian. Yang jelas ingin selamat, pergi, dan tinggalkanlah harta benda yang kalian bawa dalam pedati itu!" lanjut Ki Lodaya dengan suara semakin keras.

Orang-orang yang berada dalam ketujuh pedati itu tampak cemas. Mereka sama-sama melongokkan kepala, melihat ketiga sosok tubuh di depan dengan sikap menghadang. Wajah mereka kelihatan sama sekali tak bersahabat. Meski begitu, masih terbersit harapan di benak mereka. Karena, mereka yakin kalau Suriareja yang dipercaya untuk mengawal rombongan ini beserta sepuluh orang anak buahnya pasti mampu membereskan ketiga begal ini. Sementara itu tampak kesepuluh anak buah Suriareja telah berada di belakang dengan sikap bersiaga, sambil menggenggam senjata masing-masing.

Melihat itu Ki Lodaya dan kedua muridnya hanya tersenyum sinis. "Kuhitung sampai tiga Dan kau harus menentukan pilihan!" ancam Ki Lodaya memberi peringatan.

"Ki Lodaya! Aku...," Suriareja bermaksud memberikan alasannya lagi, namun Ki Lodaya seperti tak mempedulikannya.

"Satu!"

"Ki Lodaya! Cobalah sedikit bermurah hati, dan jangan terlalu memaksa kami?"

"Dua!" teriak Ki Lodaya sambil menggerakkan cambuk di tangannya.

"Ki Lodaya..."

"Hancurkan mereka!" teriak Ki Lodaya memberi perintah pada dua orang muridnya yang bernama Gumarang dan Rajendra.

Tanpa diperintah dua kali, kedua murid Ki Lodaya langsung melompat dan mengayunkan senjatanya. Gumarang menyerang Suriareja, sementara Rajendra mengamuk menghadapi kesepuluh anak buah Suriareja yang sejak tadi telah siap menanti serangan.

"Yeaaa...!"

"Kau tak memberi pilihan lain kepada kami, Ki Lodaya. Maaf! Kalau itu maumu, kami berhak mempertahankan diri!" sahut Suriareja sambil mencabut golok yang terselip di pinggang, siap memapak serangan Gumarang.

Ki Lodaya sama sekali tak menyahuti ucapan Suriareja. Laki-laki berpakaian hitam dengan selempang kuning itu masih tetap tegak berdiri di tempatnya semula, sambil memperhatikan dengan seksama. Suriareja sebenarnya bukanlah orang sembarangan. Dulu, laki-laki itu pernah berguru pada salah satu padepokan terkenal di daerah selatan. Bahkan sempat berkelana ke mana-mana, mengabdikan kepandaiannya.

Kemudian setelah kawin, Suriareja berhenti berkelana dan menetap di suatu tempat. Namun pekerjaaan lain baginya amat sulit, karena kepandaian yang dimiliki hanya bermain silat. Sehingga, akhirnya dia bersedia mengawal rombongan pedagang yang merasa harta bendanya terancam, seperti sekarang ini! Tapi yang dihadapi Suriareja ini bukanlah orang sembarangan. Hal itu semakin terbukti ketika berhadapan dengan Gumarang yang mampu bergerak cepat dan ganas.

Bahkan boleh dibilang tak kenal ampun. Tangan kirinya yang terbuat dari besi dan membentuk cakar, beberapa kali mengancam keselamatan Suriareja. Belum lagi sambaran senjata arit di tangan kanan yang mengancam seluruh bagian tubuh seperti tiada henti. Beberapa kali sambaran itu ditangkisnya dengan golok yang tergenggam, namun Suriareja jadi tersentak sendiri. Tangannya jadi bergetar hebat. Dan rasanya, golok itu nyaris terlepas dari genggaman saking hebatnya tenaga dalam yang dimilik Gumarang.

"Yeaaa...!"

Suriareja kembali tersentak kaget ketika tubuh lawan bergerak cepat dari arah atas. Tampak Gumarang menukik sambil mengayunkan arit di tangannya. Maka buru-buru Suriareja menundukkan kepalanya sambil bergerak ke samping. Namun....

Brettt!
"Uhhh...!"

Cakar kiri Gumarang tiba-tiba saja menyambar punggung Suriareja. Dia kontan mengeluh kesakitan. Dan belum lagi Suriareja mengambil napas, satu tendangan kembali diluncurkan lawan. Untung Suriareja masih sempat membuang diri ke tanah bergulingan beberapa kali. Dan begitu tubuhnya telah bangkit berdiri, goloknya langsung bergerak menyambar.

Namun, tubuh Gumarang telah melenting ke atas sambil membuat gerakan jungkir balik. Begitu mendarat di tanah, bagai serigala menerkam, tubuh Gumarang melayang menyambar lawan yang tengah terpaku setelah serangannya gagal.

"Graungrrr...!"

Gumarang menggeram buas. Bola matanya tajam berkilat bagai nyala api yang sedang berkobar-kobar. Suriareja sempat bergidik nyalinya melihat roman muka lawannya yang buas seperti binatang liar. Apalagi, ketika terdengar raungan keras, sehingga sempat membuat jantungnya berdebar-debar.

"Hiiih...!"

Cakar kiri Gumarang menyambar wajah Suriareja. Namun, laki-laki setengah baya itu cepat bergulingan ke samping untuk menghindari serangan. Bahkan sempat mengayunkan kakinya untuk menyambar pinggang lawan. Tapi, tubuh Gumarang sudah bisa membaca gerakan lawan. Hanya diikutinya saja gerakan itu, hingga tendangan Suriareja hanya mengenai tempat kosong. Dan tentu saja hal itu amat mempengaruhi keadaan Suriareja.

Apalagi tendangannya demikian keras, sehingga membuat keseimbangannya jadi goyah. Melihat kesempatan ini, Gumarang tak mau menyia-nyiakannya. Senjatanya langsung menyambar ke arah perut lawan. Dan Suriareja sendiri memang tak punya pilihan lain, selain menangkis. Meskipun, dia tahu kalau hal itu bakal berakibat buruk baginya.

Bettt
Trakkk!

Benar saja! Ketika senjata mereka beradu, golok di tangan Suriareja terlepas. Sementara, senjata berbentuk arit milik Gumarang terus bergerak merobek perutnya.

Crasss!
"Aaakh...!"

Suriareja kontan terpekik kesakitan, begitu sambaran arit Gumarang menyambar perutnya. Tangannya langsung memegang perutnya yang terluka dengan darah mengalir deras. Dan belum lagi menyadari lebih jauh, hantaman tangan kiri Gumarang yang terbuat dari besi langsung menembus jantungnya.

Brosss!
"Aaa...!"

Suriareja langsung terjajar disertai pekikan memilukan. Dia terhuyung-huyung sebentar, lalu ambruk di tanah. Sebentar dia meregang nyawa, kemudian tak bergerak-gerak lagi. Tampak darah terus mengalir membasahi tubuhnya. Kematian Suriareja tentu saja amat mengagetkan anak buahnya serta para pedagang yang berada dalam pedati. Semangat mereka mulai mengendur. Dan kecemasan pun mulai tumbuh perlahan-lahan dalam hati para pedagang itu. Apalagi, ketika melihat kesepuluh anak buah Suriareja tak seorang pun yang mampu mendesak lawan.

"Ayah...!"

Puger berteriak dengan suara pilu ketika melihat ayahnya telah terbujur kaku berlumur darah. Pemuda tanggung itu langsung melompat turun dari pedati dan berlari kencang menghampiri mayat ayahnya. Tapi dengan wajah dingin dan senyum sinis, Ki Lodaya lalu mengayunkan cambuk di tangannya ke arah pemuda tanggung itu.

Ctar!
"Aaa...!"

Puger memang tak seperti ayahnya yang memiliki kepandaian lumayan. Apalagi Suriareja memang tak pernah mengajarkannya ilmu silat. Sehingga ketika ujung cambuk di tangan Ki Lodaya menyambar dadanya, anak itu tak mampu menghindari. Tubuhnya kontan terlempar keras ke belakang dan jatuh di tanah dengan tulang rusuk patah. Dan nyawanya langsung melayang saat pekikannya terhenti.

"Biadab!" geram salah salah seorang anak buah Suriareja sambil melompat menyerang Ki Lodaya. Namun sebelum anak buah Suriareja berhasil menyentuh tubuh Ki Lodaya, Gumarang sudah mencelat menghadang sambil menggeram buas.

"Graungrrr...!"
"Hup!"

Terpaksa laki-laki berpakaian merah itu mengurungkan niatnya. Dan dengan memutar tubuhnya, dihindarinya sambaran arit Gumarang. Golok di tangannya bergerak cepat menyambar leher Gumarang. Namun, murid-murid pertama Ki Lodaya sigap sekali membungkukkan tubuhnya. Kemudian, tubuhnya berputar dengan kaki kanan terayun ke pelipis.

Yeaaa...!

Tapi, serangan itu ternyata telah dibaca Gumarang. Terbukti, tubuhnya telah melejit ke atas sambil mengayunkan senjata ke leher. Anak buah Suriareja itu kontan terkejut. Maka buru-buru dijatuhkan tubuhnya untuk menghindari. Namun, kaki kiri Gumarang yang berada di bawah langsung menghajar ke arah perut.

Desss!
"Aaakh!"

Tubuh orang berpakaian merah itu kontan terpental pada jarak tiga langkah ke belakang. Tapi Gumarang tak berhenti sampai di situ. Begitu kakinya menendang, maka saat itu pula tubuhnya mencelat mengikuti gerakan lawan. Sedangkan tangan kirinya cepat menyambar ke arah dada. Sementara, lawan masih sempat melihat serangan itu, dan berusaha menghindari sambil memapak dengan goloknya.

Crakkk!

Tangan orang berpakaian merah itu kontan ber-getar hebat dan goloknya terlepas dari genggaman, begitu cakar kiri Gumarang menghantam mata goloknya. Bersamaan dengan itu, senjata arit di tangan kanan Gumarang sudah terus menyambar ke arah leher.

Crasss!
"Aaa...!"

Orang berpakain merah itu hanya terpekik sesaat, begitu bahunya terbabat arit Gumarang. Kemudian kepalanya terlihat menggelinding ke tanah dengan darah mengucur deras dari pangkal leher. Sebentar dia limbung, lalu ambruk di tanah dengan nyawa melayang dari badan.

"Bagus Gumarang!" puji Ki Lodaya sambil tersenyum.

Gumarang memandang sekilas pada gurunya, kemudian menatap kepada adik seperguruannya yang belum juga selesai menghabisi lawannya yang tinggal empat orang lagi.

"Rajendra! Apakah kau perlu bantuan Gumarang untuk membereskan lawan-lawanmu?!" teriak Ki Lodaya dengan suara kesal.

"Maaf, Guru. Kalau Guru menghendaki agar mereka mampus dengan cepat, baiklah. Aku masih sanggup melakukannya!" teriak Rajendra di sela-sela pertarungannya.

"Bagus. Nah! Cepat lakukanlah!"

"Yeaaa...!"
Ser! Ser!

Diiringi bentakan nyaring, tubuh Rajendra langsung melompat ke atas setinggi satu tombak. Kemudian begitu tangannya menghentak ke depan, terlihat beberapa buah paku beracun melesat dari tangan ke arah empat lawannya.

"Awaaas! Dia mulai menggunakan senjata rahasia!" teriak salah seorang anak buah Suriareja memperingatkan kawan-kawannya.

"Keparat! Dia menggunakan paku-paku beracun!" geram yang lain.

"Ha ha ha...! Mampuslah kalian sekarang!" teriak Rajendra sambil tertawa nyaring.

Tubuh Rajendra melesat deras ke bawah sambil memutar senjatanya membentur kitiran. Maka dua orang lawannya langsung memapak, sementara dua lainnya mencari sisi pertahanan yang terbuka.

Trak! Trak!
Wuttt!
Ser! Ser!

Dua golok anak buah Suriareja yang coba menangkis berhasil dibuat terpental dari genggaman. Kedua orang itu kontan tersentak kaget, namun masih sempat menyelamatkan diri sambil menunduk. Sementara, Rajendra terus mengejar sambil melemparkan senjata rahasianya ke arah dua orang lawannya yang lain.

"Hiyaaa...!"

Ujung tombak bermata tiga milik Rajendra kembali menyambar kedua lawannya yang berada di depan, kedua anak buah Suriareja itu buru-buru menjatuhkan diri. Melihat kesempatan ini, Rajendra cepat menyusuli. Dan dengan satu tendangan keras yang tak mampu dielakkan oleh salah seorang dari mereka. Maka....

Diegkh!
"Aaakh...!"

Salah seorang anak buah Suriareja kontan memekik kesakitan. Tubuhnya terlempar lima langkah ke Belakang. Namun, Rajendra terus mengejarnya dengan lemparan senjata rahasia yang tak mungkin dielakkan lagi!

Crasss!
"Aaakh...!"

Begitu dadanya tertembus senjata rahasia Rajendra, orang itu kontan terpekik. Tubuhnya terhuyung-huyung sambil memegangi dadanya yang tertembus paku-paku beracun. Tak lama kemudian, orang itu duduk di tanah, dengan tubuh membiru. Dari mulutnya tampak mengeluarkan busa berwarna kekuning-kuningan. Rajendra terus melempar senjata rahasianya ke belakang kepada dua orang lawannya yang tadi berhasil menghindari. Betapa terkejutnya kedua orang itu.

Salah seorang memang berhasil menghindar dengan membuang tubuhnya ke tanah. Namun seorang lagi kontan menjerit keras, ketika sebuah paku beracun menembus dada kirinya. Tubuhnya langsung terjungkal ambruk di tanah, dan menggelepar-gelepar seperti ayam dipotong. Tapi, mana mau Rajendra mempedulikannya. Bahkan ketika kedua lawannya yang tersisa melompat berbarengan membawa serangan, tubuhnya sedikit merendah. Kemudian, dia berputar mengikuti gerakan tombaknya. Lalu....

Bret!
Cras!
"Aaa...!"

Kedua orang itu langsung memekik ketika perut mereka robek diterjang ujung tombak lawan yang bergerak amat cepat. Mereka langsung ambruk ke tanah dengan darah berhamburan dari perut. Sebentar mereka meregang nyawa, lalu diam tak berkutik lagi. Mati!

"Beres!" dengus Rajendra sambil mengibas-ngibaskan tangannya, ketika seluruh lawannya sudah tak bangun-bangun lagi. Sebentar dipandanginya mayat-mayat lawannya, lalu dihampirinya Ki Lodaya dan Gumarang.

Perlahan-lahan ketiga orang itu menghampiri ketujuh pedati dengan wajah dingin mengancam. Ki Lodaya memandang beberapa orang yang berada dalam pedati itu, kemudian berteriak lantang.

"Kalau kalian masih sayang dengan nyawa, boleh keluar! Kuhitung sampai tiga. Dan, kalian boleh pergi dari tempat ini dengan berjalan kaki!" kata Ki Lodaya.

Belum lagi Ki Lodaya menghitung mereka yang berada dalam pedati itu langsung melompat keluar dengan muka pucat. Bahkan beberapa orang di antaranya langsung kabur terbirit-birit. Melihat hal itu, yang lainnya pun ikut-ikutan. Agaknya, mereka memang tak punya pilihan lain. Memang tak seorang pun yang mengerti ilmu silat karena hanya para pedagang. Kalaupun punya, sudah ciut lebih dulu nyali mereka melihat sepak terjang kedua murid Ki Lodaya.

"Ha ha ha...!"

Ketiga orang itu tertawa terbahak-bahak dan membiarkan saja mereka lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu.

"Guru! Mereka membawa banyak uang mas!" teriak Rajendra, setelah memeriksa isi pedati yang berada di barisan tengah.

"Mereka juga membawa pakaian dan perhiasan mahal!" teriak Gumarang pula. begitu memeriksa isi pedati barisan kedua.

"Bagus! Nah, sekarang kalian giring kuda-kuda itu ke markas kita!" perintah Ki Lodaya.

"Baik, Guru!" sahut keduanya serentak.

Kini, mereka segera berlalu dari tempat itu sambil menggiring kuda-kudanya yang menarik pedati itu ke suatu lembah, di kaki Bukit Serigala. Bukit Serigala kini lengang. Tapi sekawanan burung pemakan bangkai sudah terbang berputar-putar di angkasa!

********************

DUA

Malam merangkak semakin larut. Bulan sepotong tampak mengintip malu-malu dari celah-celah ranting-ranting pohon yang tidak begitu rapat, mengamati kedua anak muda yang tengah menikmati santapan daging kelinci bakar. Di dalam hutan yang tak begitu rapat ini, mereka seperti tengah beristirahat. Api unggun, tampak masih membakar ranting-ranting kayu membuat suasana di sekelilingnya pada jarak tiga tombak jadi terang benderang. Sementara, malam terus merambat membawa angin dingin yang menjatuhkan embun-embun. Sehingga, suasana jadi semakin dingin menusuk tulang.

"Huuu! Seharusnya kita tak bermalam di sini, Kakang!" gerutu gadis cantik berbaju biru muda yang duduk bersandar pada sebatang pohon, bersama seorang pemuda tampan berbaju rompi putih di sebelahnya.

Sementara, pemuda berbaju rompi putih itu hanya menoleh sekilas. "Kenapa, Pandan?!"

"Dingiiin!" sahut gadis berbaju biru yang ternyata memang Pandan Wangi, dengan tubuh menggigil. Pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung itu kemudian tersenyum. Dia memang Rangga, yang di kalangan persilatan berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.

"Dekatkan tubuhmu ke api unggun ini," ujar Rangga.

"Huuu! Bisa-bisa, kalau ketiduran tubuhku terbakar!" sungut Pandan Wangi, manja.

Kembali Rangga tersenyum. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan dalam senyumannya.

"Senang ya?!" rutuk Pandan Wangi sambil memelototkan matanya.

"Tidak. Aku hanya geli melihat sikapmu. Setiap kali mendapat kesulitan, kau selalu mengeluh. Serahkanlah semuanya pada Hyang Widhi," sahut Rangga tenang.

Pandan Wangi mendesah berat, seperti berusaha melepaskan beban di hatinya. Kemudian tubuhnya direbahkan pada jarak enam jengkal dari api unggun. Sedangkan Rangga masih duduk menekur di sampingnya, memandangi nyala api di depannya.

"Pandan...?"

"Ya?" sahut gadis itu tanpa menoleh, tapi bernada lembut.

"Kau bosan mengembara bersamaku?" tanya Rangga suaranya terdengar lirih, namun mengandung pertanyaan yang mendalam.

Pandan Wangi lalu memiringkan tubuhnya, dipandanginya pemuda itu dengan sorot mata heran. "Kenapa Kakang berkata seperti itu?"

"Yah..., hanya dugaanku saja," desah Rangga.

Pandan Wangi terus menatap pemuda itu, kemudian beranjak duduk di sebelahnya. "Entahlah, Kakang. Mungkin aku hanya jenuh saja. Tapi percayalah. Besok pagi aku sudah seperti biasa kembali," kilah Pandan Wangi.

"Aku percaya padamu, Pandan. Tapi sebaiknya, bicaralah padaku bila kau punya persoalan. Ingat, Pandan kita sudah sekian lama selalu bersama-sama, tidak ada lagi yang harus disembunyikan dalam diri kita masing-masing," ujar Rangga halus, namun bernada mendesah.

"Sudahlah, Kakang. Jangan mendesakku terus," desah Pandan Wangi, seperti bisa membaca arah pembicaraan Rangga.

Dan Pendekar Rajawali Sakti hanya mengangkat bahunya sedikit, tidak ingin mendesak Pandan Wangi. Dia tahu betul watak gadis itu, yang selalu manja namun juga keras kepala. Maka Rangga hanya menghadapinya dengan kesabaran. Kini Pandan Wangi merebahkan kembali tubuhnya. Dan sebentar saja, sudah terdengar dengkurnya yang halus dari sebelah Pendekar Rajawali Sakti.

Memang, tampaknya gadis itu lelah sekali. Mungkin karena lelahnya, kemanjaannya pada Rangga muncul kembali. Rangga lalu mendesah perlahan. Kakinya kemudian bersila. Kedua matanya dipejamkan, mulai bersemadi untuk memusatkan pikirannya dan mengatur jalan darahnya. Namun, belum juga Rangga bisa menyatukan pikirannya, mendadak matanya terbuka. Pandangannya langsung ditujukan lurus ke depan, dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

"Kisanak yang mengintip di atas pohon, keluarlah! Kenapa malu-malu menampakkan diri? Kalau hendak bergabung, silakan saja!" kata Rangga, lantang.

Srak!

Tiba-bba dari salah satu cabang pohon, melesat turun sesosok tubuh gemuk pendek dengan dahi lebar. Rambutnya jarang-jarang dan mukanya bulat. Begitu mendarat, orang itu tersenyum lebar sambil memberi salam penghormatan kepada pemuda itu.

"He he he...! Sungguh jeli matamu itu, Bocah. Kau tentu bukan orang sembarangan. Namaku, Gemuli. Dan orang-orang menyebutku sebagai si Badut Gembel. Nah! Siapakah kalian ini sebenarnya?" kata orang itu disertai tawa keras.

Suara orang yang mengaku bernama Gemuli atau si Badut Gembel itu terdengar keras, sehingga membuat Pandan Wangi terjaga. Gadis itu beringsut sambil memandang pada orang asing yang baru datang itu dengan wajah heran.

"Hm.... Badut Gembel, agaknya kami sungguh beruntung bisa bertemu pendekar hebat yang namanya menggetarkan jagat. Namaku, Rangga. Dan ini kawanku. Namanya Pandan Wangi," sahut Rangga sambil membalas salam hormat laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun itu.

Rangga sengaja memuji, karena julukan Badut Gembel memang pernah didengarnya. Memang kepandaiannya tinggi sekali. Namun, sikapnya sering angin-anginan. Bahkan sulit ditebak. Dan menurut cerita orang, si Badut Gembel pun paling suka di-sanjung. Dia akan tertawa kegirangan, jika orang lain yang ditemui mengenalinya.

"Ha ha ha...! Tak dinyana kalian bocah kemarin sore kenal juga denganku. Bagus! Bagus! Tapi..., heh?! Tunggu dulu!" cegah si Badut Gembel tiba-tiba seraya mengerutkan dahinya seperti sedang berpikir.

"Ada apa, Badut Gembel?"

"Rangga..., Rangga. Di mana aku pernah mengenal nama itu...?" kata Badut Gembel sambil mengingat-ingat.

"Mana mungkin kau mengenal namaku, Badut Gembel. Aku hanyalah seorang pengembara," elak Rangga mencoba menyembunyikan jati dirinya.

"Edan! Aku tahu! Kau... Kau pasti Pendekar Rajawali Sakti, bukan?!" tunjuk Gemuli dengan wajah girang. Kemudian terlihat si Badut Gembel menari-nari di tempat itu sambil berkali-kali menunjuk ke arah Rangga.

"Kisanak. Aku hanya seorang pengembara yang tak punya kepandaian apa-apa," Pendekar Rajawali Sakti beralasan demikian, sebab si Badut Gembel suka sekali berbuat yang aneh-aneh. Misalnya, menghajar orang yang tak disukainya tanpa alasan. Atau, menguji kepandaian dengan pendekar hebat yang sudah kondang. Menyadari hal itu, maka Rangga bersikap untuk mengalah saja. Itulah sebabnya dia tak mau mengaku kalau dirinya Pendekar Rajawali Sakti.

"Edan! Kau tak mau mengaku juga heh?!" bentak si Badut Gembel sambil membelalakkan mata dan menuding-nuding ke arah pemuda itu.

Melihat sikap orang itu, bukan Rangga yang menjadi panas. Tapi Pandan Wangi-lah yang langsung bangkit.

"Orang tua! Apa maumu sebenarnya? Datang-datang cekikikan seperti monyet. Dan kini, malah memaksa orang untuk mengaku macam-macam, Dasar Gila!" dengus Pandan Wangi jengkel, sambil menuding si Badut Gembel.

"Wueeeh! Gadis cantik cerewet! Siapa pula kau ini? Apa kau gendaknya?!" sahut si Badut Gembel, tak kalah garang.

"Kurang ajar! Kusobek mulut kotormu itu. Yeaaa...!" Pandan Wangi tak dapat lagi menahan amarahnya yang menggelegak dalam dada. Maka langsung diserangnya si Bagut Gembel.

"Pandan, tahan...!" Rangga berteriak hendak mencegah, namun Pandan Wangi tidak lagi mempedulikan.

"He he he...! Bagus! Rupanya kau punya kepandaian juga, Bocah Centil. Ingin kulihat, sampai di mana kemampuanmu itu," sahut si Badut Gembel sambil bergerak lincah menghindari serangan gadis itu.

"Jangan banyak mulut, Orang Tua Gila! Setelah kurobek mulutmu, barulah matamu terbuka kalau bukan kau saja yang terhebat di jagat ini!"

"Ha ha ha...! Uts, boleh juga!" sentak si Badut Gembel, menghentikan tawanya ketika satu tendangan keras nyaris menghajar pelipis.

Gemuli terus melompat ke belakang sambil mengangkat sebelah kakinya, ketika tubuh Pandan Wangi berbalik dan mengirim tendangan berikut Si Badut Gembel kembali terkekeh. Tubuhnya langsung melejit keatas, kemudian bersalto di udara beberapa kali. Lalu, kakinya mendarat ringan di belakang gadis itu. Kembali Pandan Wangi berbalik sambil mengayunkan kepalan tangannya menyambar leher.

"Yeaaa...!" "Uts, copot kepalaku!" ejek si Badut Gembel sambil menunduk dan memegang kepalanya.

"Sial!" maki Pandan Wangi kesal ketika serangannya luput. Dipermainkan begitu rupa, panas juga hati Pandan Wangi. Dengan geram dicabutnya kipas baja putih yang terselip di pinggangnya.

Srak!

"He he he...! Kebetulan, aku sedang kepanasan. Kau hendak mengipasiku, Cah Ayu?" ejek si Badut Gembel.

"Ya! Aku akan mengipas lehermu biar mampus sekalian!" geram Pandan Wangi sambil mengayunkan kipasnya yang terkembang.

Desir angin serangan kipas itu cukup kuat, sehingga pakaian serta rambut si Badut Gembel berkibar-kibar. Namun, laki-laki setengah baya itu tenang-tenang saja. Baru ketika ujung kipas itu hendak menyambar lehernya, kepalanya cukup dimiringkan sedikit Lalu, kaki kanannya menyapu pergelangan tangan gadis itu.

"Hiiih!"
Bet!

Cepat bagai kilat, Pandan Wangi merendahkan tangan untuk menghindari sambaran kaki lawan. Tubuhnya kemudian berputar, sambil melepaskan kepalan tangan kirinya. Ke arah dada si Badut Gembel. Namun dengan lincah lelaki bertubuh gemuk pendek itu melompat ke atas sambil terkekeh. Bahkan tubuhnya langsung menukik tajam seraya menghantamkan tangan kanannya ke arah kepala Pandan Wangi. Tentu saja tindakan ini membuat gadis itu terkesiap. Apalagi, tak ada waktu untuk menghindar. Maka cepat ditangkisnya serangan itu.

"Hiyaaa!"
Plak!
"Uhhh...."

Pandan Wangi langsung mengeluh kesakitan ketika menangkis kepalan tangan lawan dengan tangan kirinya. Masih untung kepala cepat ditundukkan, karena si Badut Gembel menyusulinya ke bagian atas tubuhnya. Sedangkan tangan kanannya yang memegang kipas maut cepat menyambar ke dada lawan. Namun, si Badut Gembel telah melompat ke belakang menghindarinya sambil terus terkekeh-kekeh.

"He he he...! Lumayan, Bocah. Lumayan. Tapi, sayang. Aku tak berselera untuk bertarung denganmu. Hei kenapa kekasihmu tak kau suruh saja untuk menghadapiku?!"

"Keparat! Kau pikir, aku tak mampu menghajarmu, he?!" gumam Pandan Wangi semakin menjadi-jadi.

"He he he...! Aku tak pernah bertindak kasar pada wanita. Tapi kalau kau coba memaksa, akan kutendang pantatmu itu!" ujar si Badut Gembel, tenang.

"Keparat! Kau memang tak bisa diberi ampun!" bentak Pandan Wangi sambil melompat menyerang lawan.

"Pandan Wangi, cukup!" Rangga cepat bertindak. Dia langsung melompat dan menangkap pergelangan tangan gadis itu.

"Lepaskan, Kakang! Biar kuhajar dulu keparat bermulut besar itu agar tak sembarangan mengumbar mulut! Lepaskan!"

"Pandan, tenanglah. Kita tak punya urusan dengannya. Sebaiknya, mari kita pergi dari sini," ajak Rangga, tenang.

Pendekar Rajawali Sakti langsung menatap gadis itu dalam-dalam. Pandan Wangi tahu, kata-kata Rangga yang tenang tidak mungkin bisa dibantahnya lagi. Itu kelihatan jelas dari sinar mata Pendekar Rajawali Sakti. Dan gadis itu hanya menghembuskan panas berat seraya melotot geram pada si Badut Gembel yang masih terkekeh-kekeh. Sambil kembali mendengus kesal, dihampiri kuda putihnya yang tertambat tak jauh dari situ.

Rangga pun perlahan-lahan mengikuti langkah gadis itu dari belakang, dan segera menuju kuda hitam yang bernama Dewa Bayu. Secara bersamaan, mereka melompat naik ke punggung kuda. Namun ketika mereka telah siap menjalankan kuda masing-masing si Badut Gembel melompat menghadang sambil berkacak pinggang.

"He he he...! Jangan harap kalian boleh pergi begitu saja dari tempat ini tanpa izinku!" dengus Gumali, alias si Badut Gembel.

"Badut Gembel! Maaf, kami tak bisa meladeni keinginanmu. Menepilah, karena kami terburu-buru," sahut Rangga tenang.

"Ha ha ha...! Beginikah sikap Pendekar Rajawali Sakti yang gagah perkasa dan tak seorang pun pernah mengalahkannya? He, Bocah! Aku sekarang menantangmu!" tantang si Badut Gembel dengan sorot mata tajam menusuk.

"Maaf. Kau telah tahu jawabanku...."

"Dan kau tahu pula, bagaimana pendirianku!" sahut si Badut Gembel tak peduli.

"Kisanak! Apa maksudmu?" tanya Rangga, heran.

"Aku menantangmu! Dan, kau mesti meladeninya!" dingin suara si Badut Gembel.

Bersamaan dengan itu tubuh si Badut Gembel langsung melesat, melepaskan tendangan lurus ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Kisanak! Akh..., uts!"

Rangga tak sempat melanjutkan kata-katanya, ketika satu tendangan si Badut Gembel nyaris menghajarnya. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti cepat melenting ke atas dari kudanya, dan berputaran beberapa kali. Dan begitu kedua kakinya menyentuh tanah, kembali si Badut Gembel menerjang dengan sebuah tendangan lagi.

"Jebol perutmu!"
"Uhhh!"

Dengan gesit, tubuh Pendekar Rajawali Sakti melejut lima jengkal ke atas, sambil balas mengayunkan kakinya ke wajah lawan.

"Maaf!" Namun, si Badut Gembel cepat melompat ke samping, sehingga tendangan Pendekar Rajawali Sakti hanya menyambar angin kosong.

"He he he...! Akhirnya toh, kau mau juga meladeniku!" kata si Badut Gembel sambil tertawa senang, setelah berhasil menghindar. Agaknya, si Badut Gembel ini ingin membuktikan kalau dirinya lebih unggul dari lawan. Maka begitu habis menghindar, dia seperti tak hendak memberi kesempatan sedikit pun pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Hiyaaa!"
"Uts!"
"Hiiih!"

Kembali satu tendangan keras yang dibarengi tenaga dalam tinggi bergerak hendak menghantam dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun, pemuda ber-baju rompi putih itu gesit sekali bergerak ke samping dengan pengerahan jurus 'Sembilan Lang-kah Ajaib'. Suatu jurus yang hanya mengandalkan gerakan yang lincah, dengan tubuh melentur ke sana kemari. Tapi tanpa diduga, kepalan tangan si Badut Gembel menyambar ke batok kepala. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat ke atas sambil jungkir balik. Dan ternyata, Gemuli yang berjuluk si Badut Gembel telah menyusuli dengan satu sapuan kaki yang keras.

"Yeaaa...!"

Dengan geram, Pendekar Rajawali Sakti membentak keras. Lalu disambutnya sapuan kaki si Badut Gembel yang lurus terarah ke dada dengan tangan kanan. Dan....

Degkh!

Benturan antara tangan Pendekar Rajawali Sakti dengan kaki si Badut Gembel terdengar keras.

"Uhhh...!"

"Maaf, Kisanak...," ucap Rangga ketika melihat laki-laki setengah baya itu terjajar ke belakang sambil meringis kesakitan. Rasanya, kakinya bagai kesengat kala berbisa.

"He he he...! Apakah kau pikir aku akan kalah, karena kau telah berhasil menangkis seranganku?" ejek si Badut Gembel sambil tertawa sinis. Namun dari sorot matanya sudah terbaca ada rasa kekaguman terhadap pemuda berbaju rompi putih itu.

Sementara Rangga masih berdiri tegak sambil memandang pada laki-laki setengah baya bertubuh gemuk pendek itu dengan seksama. Jarak mereka kini hanya tujuh langkah. Namun tiba-tiba tubuh laki-laki gemuk itu telah kembali melompat menyerang bagaikan kilat.

"Yeaaa!"
"Uts!"

Kepalan tangan si Badut Gembel menderu ke arah wajah Pendekar Rajawali Sakti, menimbulkan angin bersiur kencang yang hebat bukan main. Maka buru-buru Rangga menjatuhkan diri ke tanah. Lalu, kedua kakinya diayunkan ke tubuh si Badut Gembel yang sedang melayang di atasnya.

"Yeaaa!"
"Heh?!"

Rangga seperti tak percaya dengan apa yang dialaminya. Ternyata, kedua tangan si Badut Gembel yang terkepal malah bermaksud hendak memapak tendangannya yang berisi tenaga dalam tinggi. Tentu saja hal itu sangat membahayakan diri si Badut Gembel sendiri. Apalagi, dari benturan pertama tadi, Rangga sudah bisa mengukur tenaga dalam lawan yang berada di bawahnya. Jelas, kedua tangan si Badut Gembel bakal remuk terhantam tendangan kakinya. Tapi, siapa nyana ketika telapak kaki Pendekar Rajawali Sakti beradu dengan kedua kepalan tangan si Badut Gembel.

Ternyata Rangga hanya merasa menghantam angin saja. Sedang tubuh si Badut Gembel itu telah berputar ke atas lalu meluncur deras ke bawah, tertuju lurus ke dada Pendekar Rajawali Sakti yang masih terbaring di tanah. Dan sungguh menakjubkan ternyata si Badut Gembel mendaratkan sebelah kakinya ke telapak kaki Rangga yang menjulur ke atas.

Agaknya, dia bermaksud mengadu kekuatan dengan mengerahkan tenaga dalam sekuat mungkin pada kakinya. Hal itu dirasakan betul oleh Pendekar Rajawali Sakti. Maka, seluruh tenaga dalamnya segera disalurkan ke telapak kakinya. Dan seketika, kedua kakinya yang perlahan-lahan tertekuk, cepat dihentakkan ke atas.

"Hiiih!"
"Hup!"

Mendapat dorongan yang demikian kuat si Badut Gembel jadi terlontar ke atas. Namun dengan indahnya, tubuhnya kembali menukik cepat sambil berputaran bagai gasing. Lalu langsung disiapkannya satu hantaman berupa pukulan tangan kanan yang keras ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang masih terbaring di tanah. Namun, Rangga tak kalah gesit. Cepat tubuhnya bergulingan dengan kedua kaki bergerak melingkar menyambar pinggang lawan.

"Hiyaaa!"

Namun, si Badut Gembel ternyata telah cepat melemparkan tubuh ke samping. Maka, sambaran kaki Pendekar Rajawali Sakti hanya menghantam angin belaka. Sedangkan si Badut Gembel kini sudah berdiri berjarak beberapa tombak, ketika Pendekar Rajawali Sakti baru saja bangkit berdiri.

"Ha ha ha...! Ternyata, apa yang kudengar tentang dirimu tidak berlebihan, Bocah. Kau memang memiliki kepandaian luar biasa! Nah, sekarang pergilah kalian sebelum pikiranku berubah!" teriak si Badut Gembel.

Rangga hanya tersenyum kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kata-kata laki-laki setengah baya itu seperti menyiratkan kalau telah mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan terkesan mengampuni jiwa Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi. Padahal kalau saja, Pendekar Rajawali Sakti mau mencelakakannya, sejak tadi bisa dilakukannya. Lagi pula setelah berkata demikian si Badut Gembel yang melesat dari tempat itu. Dan sebentar saja, tubuhnya telah lenyap tertelan kegelapan malam.

"Dasar orang tua sinting!" gerutu Pandan Wangi melihat ulah si Badut Gembel.

Rangga tak menjawab, malah melangkah ke kuda hitamnya. Dengan gerakan manis sekali, dia melompat ke punggung kudanya dan memacunya pelan mengikuti Pandan Wangi yang telah lebih dulu melompat dan menggebah kudanya. Memang, kadang-kadang sifat manusia aneh. Mereka suka bermain api, tanpa sadar akibatnya. Demikian pula si Badut Gembel. Tokoh satu ini memang sering usil. Sering mengganggu, tanpa tahu akibat yang akan diderita. Tapi sebenarnya dia orang baik, karena sering membantu orang lemah. Kepandaiannya yang cukup tinggi, sering digunakan untuk menumpas kejahatan. Hanya sayangnya, sifatnya kadang-kadang usil. Itu saja.

********************

TIGA

Dua orang berpakaian serba hitam tampak berjalan di pinggiran Hutan Jati Kembar tergesa-gesa. Ternyata mereka telah ditunggu oleh lebih dari dua puluh orang yang rata-rata berwajah seram. Tampak sebilah golok terselip di pinggang mereka semua. Salah seorang yang berdiri di tengah dua puluh orang itu bertubuh besar. Bajunya terbuat dari kulit macan loreng. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai. Tangan kirinya memakai gelang bahar berukuran besar berwarna hitam mengkilat. Wajahnya polos tanpa kumis dan jenggot. Namun, sorot matanya demikian tajam berkilat, laksana seekor harimau liar. Sehingga membuat siapa pun yang bertatapan dengannya pasti merasa takut dan ngeri.

"Apa yang kalian dapat hari ini Gidon, Wowor?!" bentak orang bertubuh besar itu yang agaknya bertindak sebagai pimpinan.

"Hanya pepesan kosong, Ki Warkala...," sahut orang laki-laki berkumis tebal, yang ternyata bernama Gidon. Sedangkan kawannya yang satu datang bersamanya, tadi dipanggilnya dengan nama Wowor.

"Daripada tidak dapat sama sekali, kami hanya berhasil merampok gerobak butut dan kerbau ini" timpal Wowor.

"Keparat!" orang yang dipanggil Ki Warkala itu menggeram sambil mengepalkan tangannya. Melihat perubahan wajah Ki Warkala, semua anak buahnya terlihat membisu sambil menundukkan kepala. Mereka tahu, apa artinya itu. Dan tak seorang pun yang berani bersuara.

"Kita tak bisa membiarkan hal ini terjadi terus-menerus!" lanjut Ki Warkala, masih dengan suara seram.

"Lalu apa yang harus kita lakukan, Ki...?" tanya Gidon, lirih.

Ki Warkala memandang laki-laki berkumis tebal itu sekilas. Kemudian, matanya menatap lurus ke depan. "Aku sudah punya rencana...," gumam Ki Warkala.

"Rencana apa itu, Ki?" tanya Wowor.

"Kalian tahu Bukit Serigala?"

"Siapa yang tak kenal tempat itu," sahut Gidon.

"Bagus! Kita akan berangkat ke sana, dan menguasai tempat itu!" sahut Ki Warkala mantap.

"Menguasai Bukit Serigala?!" kata beberapa orang serentak, dengan wajah tak percaya.

"Kenapa? Kalian takut ke sana?!" ujar Ki Warkala, agak mendengus.

"Bukan begitu, Ki. Tapi...," sahut Gidon ragu.

"Tapi kenapa?!" bentak Ki Warkala, menggeledek.

"Bukankah di tempat itu telah bercokol Ki Lodaya yang berjuluk Serigala Iblis Bercambuk Emas? Bahkan dia tak sendirian, tapi beserta dua orang muridnya. Dan kabarnya juga, di tempat itu banyak kawanan serigala yang patuh pada perintah mereka," jelas Gidon, mengemukakan kekhawatirannya.

"Apakah kau ingin kusebut penakut?" tanya Ki Warkala dengan sorot mata tajam menusuk.

"Eh! Bukan begitu, Ki. Tapi...."

"Diam!" bentak Ki Warkala nyaring. Dipandanginya anak buahnya satu persatu dengan sorot mata tajam menusuk.

"Perampok Macan Loreng selama ini tak pernah takut pada siapa saja. Apa yang kita inginkan, harus didapatkan. Aku tak ingin kalian berjiwa pengecut! Dan lagi, kita tak bisa terus-menerus berada di tempat ini, sementara Serigala Iblis Bercambuk Emas beserta dua orang muridnya bergemilang harta di sana! Padahal, hanya mereka bertiga. Sedangkan kita, jauh lebih banyak daripada mereka. Maka, akan kita hancurkan mereka sekarang juga. Dan siapa yang tak mau ikut, akan menerima hukuman dariku!" kata Ki Warkala, dengan suara keras.

"Aku ikut, Ki...!" sahut Wowor, terdengar bergetar.

Mendengar jawaban Wowor, yang lain satu ada seorang pun yang berani membantah Ki Warkala. Dan kalau ada yang membantah, maka dia tak akan segan-segan membunuh. Masih untung, Gidon tak menerima hukuman. Memang, Gidon adalah orang kepercayaan Ki Warkala. Tapi bila anak buah yang lain, maka bisa dipastikan nyawanya akan melayang dihukum Ki Warkala, jika berani membantah.

"Kita berangkat sekarang juga!" lanjut Ki Warkala.

********************

Pendekar Rajawali Sakti

Di kaki Bukit Serigala, suasana terasa lengang. Hawa dingin terasa menyapu sekitarnya, di antara kabut yang belum seluruhnya sirna. Daun-daun dan rerumputan masih basah oleh embun. Rombongan Ki Warkala tampak bergerak perlahan-lahan dengan mata tajam mengawasi keadaan sekelilingnya.

"Waspada! Jangan lengah!" bisik Ki Warkala pada anak buahnya.

"Baik, Ki."

"Jangan berpencar! Kalian harus saling mengawasi satu sama lain!" lanjut Ki Warkala kembali.

Semua anak buah Ki Warkala mengangguk cepat. "Aduh! Apa ini?!" sentak salah seorang anak buahnya, ketika tubuhnya terjerembab karena tersandung sesuatu di tanah.

"Astaga! Tempat ini penuh tulang tengkorak manusia!" desis kawannya, ketika melihat ke bawah.

Yang lainnya tersentak kaget, ketika mengetahui apa yang terdapat di sekitar tempat itu. Wajah mereka tampak cemas, rasa ketakutan kini mulai merasuki hati mereka.

"Ada apa ribut-ribut?!" sentak Ki Warkala geram.

"Anu, Ki. Tempat ini penuh tulang tengkorak manusia...," sahut Gidon, takut-takut.

"Keparat! Apa yang kalian takutkan dengan tulang-belulang itu? Apa dia bisa melawan kalau dihajar?!" geram Ki Warkala, sambil melotot.

"Eh! Ti..., tidak, Ki..."

"Sudah! Kalau begitu, jangan ribut! Sekali lagi kudengar teriakan ketakutan, kupecahkan batok kepala kalian!" Semua anak buah Ki Warkala menelan ludah, menahan rasa takut.

Mata mereka melotot lebar, seolah-olah di sekeliling tempat itu penuh hantu yang siap mencekik kapan saja. Wajah mereka tampak semakin pucat, dan rasa takut semakin menjadi-jadi bergolak di hati. Keadaan di tempat itu sendiri masih terasa sunyi mencekam. Sampai kemudian, mereka disentakkan oleh lolongan serigala yang terdengar sayup-sayup di kejauhan.

"He, kurang ajar!" maki Ki Warkala yang ikut tersentak kaget.

Kembali terdengar lolongan serigala. Kali ini, nadanya pendek dan terdengar tak jauh dari tempat ini.

"Ki Warkala...," desah beberapa orang anak buahnya dengan suara bergetar.

"Diam!" bentak Ki Warkala mulai kalut.

"Ha ha ha! Siapa yang berani cari mati memasuki daerah kekuasaanku...!"

Tiba-tiba terdengar suara keras yang nyaring. Seolah-olah, suara itu berasal dari segala penjuru.

"Heh?!"

Mereka yang berada di tempat itu kontan jadi terkejut. Termasuk Ki Warkala. Namun, dia cepat-cepat menguasai diri.

"Siapa kau?! Tunjukkan dirimu! Kami adalah Gerombolan Perampok Macan Loreng!" Ki Warkala balas membentak lantang.

"Ha ha ha...! Perampok tengik semacam kalian mau bertingkah di sini. Pergilah sebelum kalian menjadi tulang-belulang!" kembali terdengar suara yang keras dan lantang.

"Keparat! Tunjukkan dirimu di hadapan kami!" bentak Ki Warkala geram.

"Kalian tak ada derajat untuk berhadapan denganku!"

"Phuih! Siapa pun dirimu, aku tak peduli. Dan sekarang kutegaskan, mulai hari ini kami yang menguasai Bukit Serigala. Maka yang coba-coba menghalangi, akan mampus di tanganku!"

"Ha ha ha...! Perampok Tengik Macan Loreng, sesumbarmu tak ada artinya. Aku Serigala Iblis Bercambuk Emas, penguasa tempat ini. Siapa pun yang berada di wilayah kekuasaanku, harus tunduk padaku. Dan karena kau telah sesumbar bacot, maka kau dan seluruh anak buahmu harus mampus!"

"Huh! Serigala Iblis Bercambuk Emas, buktikanlah kata-katamu kalau memang mampu!" sahut Ki Warkala menantang.

"Auuung...!"
"Heh?!"

Baru saja Ki Warkala selesai berkata, mendadak terdengar raungan serigala yang saling bersahutan. Bahkan amat dekat dari tempat mereka berada. Ki Warkala dan anak buahnya kontan tersentak kaget. Dan samar-samar di antara kabut yang mulai menipis, tampak jelas puluhan ekor serigala telah mengurung tempat itu sambil memperlihatkan lidahnya yang terjulur meneteskan air liur. Sorot mata binatang itu terlihat liar dan buas.

"Ki Warkala...," desah beberapa orang anak buah Ki Warkala bernada ketakutan.

Tapi Ki Warkala tak mengacuhkan kecemasan anak buahnya. Sambil bertolak pinggang, matanya merayapi sekeliling tempat itu.

"Serigala Iblis Bercambuk Emas! Apakah kau seorang pengecut, sehingga beraninya hanya mengandalkan binatang-binatang menjijikkan itu?!"

"Ha ha ha...! Kalian sama menjijikan dengan binatang-binatang itu. Maka untuk itulah aku perlu mendatangkan lawan yang sepadan. Nah, Sobat Nikmatilah keramahan mereka."

Ctarrr!
"Graungrrr...!"

Tiba-tiba terdengar lecutan cambuk, yang disusul raungan serigala yang siap mendapatkan mangsa.

"Awaaas!"

Bersamaan dengan itu, serigala-serigala yang mengurung tempat itu bersamaan menerjang Gerombolan Perampok Macan Loreng. Sementara, anak buah Ki Warkala tampak terkejut untuk sesaat. Namun seketika, mereka mencabut golok masing-masing.

"Hiyaaa...!"

"Huh! Binatang-binatang celaka, mampuslah kalian!"

Sambil menggeram penuh amarah, Ki Warkala menerjang dua ekor serigala yang melompat berbarengan menerkamnya. Sementara, dua ekor lagi menerkamnya dari samping. Ujung golok laki-laki tua itu langsung berkelebat cepat. Hasilnya, perut dua ekor serigala berhasil dirobek goloknya. Hewan itu kontan menjerit melengking secara bersamaan. Tubuh kedua hewan itu terjungkal di tanah dalam keadaan bermandikan darah, dan tak bergerak-gerak lagi. Untung saja laki-laki tua itu cepat memiringkan tubuhnya, dan terus melompat ke belakang. Maka terkaman yang mematikan dari dua ekor Serigala itu berhasil dihindarinya.

"Aaa...!"
"Heh?!"
"Graungrrr...!"

Ki Warkala terkejut ketika tiba-tiba terdengar jeritan beberapa orang anak buahnya. Terlihat beberapa orang anak buahnya sudah terjungkal diterjang beberapa ekor serigala yang langsung mengerubuti dan merencah tubuh mereka yang terluka. Darah seketika membajiri tempat itu, dibarengi pekik kesakitan yang menyayat. Dengan amarah meluap-luap, laki-laki tua itu melompat membantu. Namun, lima ekor serigala lain cepat menghadang dari lima arah yang berbeda.

"Binatang-binatang laknat, mampuslah kalian semua...!" dengus Ki Warkala.

"Graungrrr...."
"Hiiih!"

Berkali-kali Ki Warkala menyabetkan goloknya. Namun kali ini kawanan serigala itu seperti mengerti lawannya yang satu ini tak bisa dianggap enteng. Itulah sebabnya, binatang-binatang liar ini melompat menerkam dengan lompatan tinggi yang tak diperhitungkan sebelumnya oleh Ki Warkala. Dikira, serigala-serigala itu akan menyerangnya. Padahal, hewan-hewan buas itu hanya membingungkannya saja, sehingga membuatnya kelelahan.

Ciet... Ciet! Ciet... Ciet!
"Heh?!"

Pendengaran Ki Warkala yang tajam tiba-tiba menangkap suara angin yang aneh di antara hiruk-pikuk raungan serigala dan teriakan-teriakan anak buahnya yang menghadapi amukan hewan-hewan liar itu. Namun belum lagi bisa menduga apa yang akan terjadi...

"Aaa...!"

Sekonyong-konyong terdengar kembali pekikan panjang yang bersahutan dari anak buahnya. Tiga orang yang tumbang sekaligus, langsung diterkam serigala-serigala kelaparan itu.

"Keparat! Kalian telah bermain curang, he?!" geram Ki Warkala ketika menyadari adanya sambaran senjata rahasia yang sengaja dilemparkan ke arah anak buahnya.

Baru saja orang tua itu akan melompat ke arah sesosok bayangan yang muncul tiba-tiba di tempat itu, kembali mendesir angin kencang ke arahnya. Buru-buru Ki Warkala melompat menangkis dengan golok di tangan.

"Hup!"
Trang! Trak!

Dalam keadaan repot menangkis senjata rahasia yang bertubi-tubi menyerangnya, seekor serigala menerkam punggung kiri Ki Warkala. Laki-laki tua itu terkesiap, namun tidak bisa berbuat banyak lagi. Maka....

Brettt!
"Aaakh!"

Ki Warkala kontan menjerit kesakitan. Seketika tubuhnya berbalik, seraya mengayunkan goloknya ke belakang untuk menyambar serigala itu. Akibatnya hewan liar itu melolong kesakitan. Bahkan tubuhnya langsung terbelah dua. Tapi, saat itu juga kembali mendesir angin kencang dari senjata rahasia sebuah sosok bayangan yang mengancam keselamatan Ki Warkala. Dua buah berhasil di tangkis goloknya, namun...

"Aaakh!"

Ki Warkala langsung mengeluh kesakitan, ketika sebuah senjata rahasia menancap di pahanya. Tubuhnya kontan terhuyung-huyung ke belakang. Dengan cepat, dicabutnya senjata rahasia yang berupa paku sebesar telunjuk itu. Tampak di sekitar lukanya telah berubah menjadi biru yang menandakan kalau paku itu beracun. Dan agaknya racun itu cepat menjalar. Ki Warkala seketika merasakan kaki kanannya sulit digerakkan lagi. Peredaran darahnya seperti terhenti dan otot-ototnya langsung kejang.

Namun, orang tua itu masih berhasil menghindar dengan menjatuhkan diri, ketika dua ekor serigala menerkamnya. Dan baru saja tubuhnya menyentuh tanah, kembali terdengar pekik kesakitan dari anak buahnya. Tiga orang telah ambruk dan langsung diterkam kawanan serigala itu. Darah mulai menggenangi tempat itu, setelah didahului oleh teriakan kematian yang memilukan.

"Serigala Iblis Bercambuk Emas! Hadapilah aku, kalau kau memang jantan. Jangan bisanya hanya mengandalkan binatang-binatang keparat itu!" teriak Ki Warkala geram setelah berhasil menghindari terkaman dua ekor serigala. Dan kedua binatang buas itu langsung menyerang anak buah Ki Warkala.

********************

EMPAT

"Ha ha ha...! Kenapa tanganku mesti kotor oleh darah busuk kalian? Tapi agar kematianmu lebih berarti, baiklah. Akan kusambut tantanganmu itu!" sahut sebuah suara yang tak jelas wujudnya.

Ctarrr!

Kembali terdengar cambuk membelah angkasa. Maka, satu persatu kawanan serigala itu kontan menghentikan serangannya. Dan, perlahan-lahan mereka menjauhi gerombolan Perampok Macan Loreng yang kini tinggal tujuh orang, termasuk Ki Warkala. Memang sebagian besar telah tewas diterkam kawanan serigala itu. Dan sebagian lagi, tersambar senjata rahasia berupa paku-paku beracun.

Di hadapan Gerombolan Perampok Macan Loreng, kini berdiri sesosok bertubuh tegap terbungkus kulit hitam. Rambutnya yang riap-riapan sepanjang bahu, dibiarkan begitu saja tak terurus. Mata kirinya ditutupi kain hitam, namun mata kanannya menatap tajam satu persatu lawan-lawannya. Kemudian, kepalanya berpaling kepada Ki Warkala.

"Majulah kalau ingin mampus!" dengus laki-laki bertubuh tegap itu dingin.

Ki Warkala memandang agak lama pada laki-laki di hadapannya. Ternyata, orang itu hanya memegang sebatang tombak bermata tiga. Jadi, bukan senjata cambuk seperti dugaan sebelumnya. Lalu, dari mana datangnya suara cambuk tadi?

"Kaukah yang bernama Serigala Iblis Bercambuk Emas?" tanya Ki Warkala, seraya menatap tajam laki-laki yang memegang sebatang tombak bermata tiga.

"Bukan. Aku Serigala Mata Satu, murid kedua Serigala Iblis Bercambuk Emas!"

"Huh! Aku ingin bertemu dan bertarung melawan gurumu! Pergilah kau, Bocah. Dan, panggil gurumu ke sini untuk menghadapiku!" sahut Ki Warkala, menganggap remeh lawannya.

"Ha ha ha...! Dasar macan ompong! Nyawamu sudah di ujung tanduk saja, tapi masih berlagak. Kau masih beruntung berhadapan denganku, sehingga mau tak percuma direncah serigala-serigala ke-laparan itu. Nah, bersiaplah kau!" ejek laki-laki bertubuh tegap, yang ternyata Rajendra atau berjuluk Serigala Mata Satu.

Ki Warkala bergerak ke samping, ketika ujung tombak Rajendra menyambar kepalanya. Dan tubuhnya langsung melompat ke belakang, ketika Serigala Mata Satu menyusuli dengan satu tendangan keras. Namun, ketika ujung tombak Rajendera terus berkelebat cepat menyambar, Ki Warkala tak bisa berbuat banyak. Maka....

Bet! Bet!
"Aaakh!"

Ki Warkala kontan menjerit kesakitan, ketika sambaran ujung tombak merobek kulit dadanya. Seketika, beberapa tulang rusuknya terasa ngilu. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil memuntahkan darah kental berwarna kehitaman. Agaknya, racun yang berasal dari mata tombak Serigala Mata Satu bekerja cepat. Bahkan langsung mempengaruhi seluruh aliran darahnya. Terbukti, Ki Warkala kemudian jatuh ke tanah, dan langsung menggelepar-gelepar sambil menjerit-jerit kesakitan. Dia berusaha bangkit, namun saat itu juga tubuhnya kembali terjerembab!

"Ke..., kenapa kalian di..., diam saja? Ha..., hajar dia...!" ujar Ki Warkala pada anak buahnya dengan suara terbata-bata. Namun kemudian terlihat laki-laki itu kembali berguling-gulingan menahan rasa sakit yang semakin hebat di sekujur tubuhnya.

"Ti..., tidak. Lebih baik aku menyelamatkan diri saja," sahut salah seorang anak buah Ki Warkala.

Dan dia langsung kabur dari tempat itu. Ternyata, perbuatan itu diikuti dua orang kawannya yang lain. Namun baru saja mereka berlari sejauh lima tombak, sekonyong-konyong kawanan serigala yang masih berjaga-jaga di tempat itu menerkam tanpa kenal ampun.

"Graungrrr...!"
"Aaa...!"

Dalam sekejap, ketiga orang itu ambruk bersimbah darah. Dan seketika kawanan serigala yang kelaparan itu merencah daging mereka tanpa tersisa lagi.

"Biadab!" geram salah seorang anak buah Perampok Macan Loreng yang masih tersisa.

"Aaa...!"

Mendadak mereka dikejutkan oleh lenguhan panjang Ki Warkala ketika tubuhnya mengejang. Darah kental berwarna kehitaman tampak mengalir dari sudut-sudut bibirnya. Sepasang matanya melotot. Dan saat itu pula, nyawanya melayang dengan sekujur tubuh menjadi biru kehitam-hitaman!

"Serigala Mata Satu! Kami akan mengadu jiwa denganmu!" dengus anak buah Perampok Macan Loreng yang lain.

"Sayang, kalian juga akan mampus!" dengus Serigala Mata Satu sambil melompat ke arah mereka sambil mengayunkan tombaknya.

"Awaaas...!" teriak salah seoang di antara anak buah Ki Warkala memperingatkan ketiga kawannya.

Serigala Mata Satu bergerak cepat sambil mengayunkan tombaknya ke arah lawan. Dua orang berhasil menghindar dengan menundukkan kepala. Namun ketika tubuh Rajendra berbalik, yang seorang tak sempat menghindar ketika Serigala Mata Satu langsung melancarkan tendangan. Desss! Orang itu menjerit kesakitan. Tubuhnya langsung terpental beberapa langkah. Dan belum lagi orang itu menyadari apa yang terjadi, kawanan serigala sudah menerkamnya.

"Aaa...!"

Sementara itu seorang lagi anak buah Ki Warkala terus mencoba menghindari tendangan Rajendra dengan memiringkan badan. Namun, rupanya gerakan itu hanya tipuan belaka. Karena, justru kepalan kiri si Serigala Mata Satu sudah cepat menghantam telak dadanya. Akibatnya tubuh orang itu kontan terjengkang ke belakang, dan kembali disambut kawanan serigala itu dengan buasnya.

Dua orang dari Perampok Macan Loreng yang tersisa kini hanya diam sejenak sambil memandang ke arah Serigala Mata Satu yang tegak berdiri mengawasi. Wajah mereka tampak pucat, sejenak mereka saling berpandangan, kemudian perlahan-lahan mundur ke belakang. Namun baru saja beberapa langkah, terdengar beberapa ekor serigala menggeram buas. Tentu saja hal ini membuat keduanya tersentak kaget. Wajah mereka semakin pucat, dan keringat dingin mulai mengucur deras dengan tubuh gemetar.

"Tinggal kalian berdua sekarang. Nah, bersiaplah untuk mampus!" dingin sekali suara Serigala Mata Satu sambil melangkah perlahan mendekati kedua lawannya.

"Kisanak, ampunilah kami! Tolong, jangan bunuh kami...!" pinta keduanya, seraya bersujud ke tanah menghiba.

"Ha ha ha...! Ternyata kalian kenal takut juga. Baiklah, kalian akan kuampuni. Nah! Berdiri, dan cepat pergi dari sini!" sahut Serigala Mata Satu.

"Oh, benarkah? Terima kasih, Kisanak. Terima kasih! Kami tentu tak akan melupakan budi baikmu!" kata mereka serentak sambil bersujud beberapa kali.

Kemudian dengan cepat, tubuh mereka berbalik dan berlari terbirit-birit meninggalkan tempat itu. Seperti mengerti apa yang dikatakan Serigala Mata Satu, kawanan serigala yang berada di sekitar tempat itu mendiamkan saja kedua orang yang kabur. Namun baru saja mereka belari kira-kira sepuluh tombak, tubuh Serigala Mata Satu melompat ke atas sambil berputar.

"Hup!"
Ser! Ser!

Dari sebelah tangan Rajendra langsung melesat beberapa buah paku beracun. Senjata rahasia itu terus meluncur deras, menghantam punggung kiri sisa terakhir anak buah Ki Warkala.

Crab! Crab!
"Aaa...!"

Kedua orang itu langsung tersungkur ke tanah sambil menjerit kesakitan.

"Itu bagian kalian!" dengus Serigala Mata Satu sambil membelakangi kedua lawannya yang terkapar.

"Graungrrr...!"

Begitu selesai kata-katanya, maka seketika itu juga kawanan serigala itu melompat menerkam kedua orang yang tengah sekarat di tanah dengan tubuh membiru. Mereka terus memekik setinggi langit, namun dalam sekejap suara itu sudah berhenti. Kini di tempat itu telah basah oleh darah.

"Huh!"

Serigala Mata Satu mendengus sinis, kemudian perlahan meninggalkan tempat itu. Namun baru saja beberapa langkah berjalan, mendadak sekelebat bayangan hitam melesat ke arahnya. Begitu cepatnya, sehingga suaranya nyaris tak terdengar. Serigala Mata Satu menunduk sambil mengayunkan tombaknya ke atas. Namun, tubuhnya hanya seperti menyambar angin belaka. Pandangannya yang tajam langsung melihat sesosok bayangan hitam kembali berkelebat menyambar ke arahnya.

"Hiiih!"

Cepat Rajendra mengayunkan tombaknya menyambut serangan lawan. Namun, bayangan hitam itu menghindar ke samping. Dan kemudian satu tendangan keras nyaris membuat batok kepala Rajendra pecah, kalau tak cepat bergulingan. Jelas, tendangan itu keras bukan main. Dan itu dapat dirasakan dari angin sambarannya. Rajendra terus bergulingan, sementara bayangan hitam itu terus mencecarnya. Bahkan kaki bayangan hitam itu nyaris membuat tubuhnya hancur kalau saja tidak terus bergulingan.

Jder!

Terdengar suara besar menggelegar, begitu kaki bayangan hitam itu tidak menemui sasaran, dan hanya menghantam tanah. Terlihat bekas tapak kaki di tanah yang melesak sedalam hampir dua jengkal. Padahal, tanah di tempa itu keras dan berbatu!

Ser! Ser!

Meski begitu, Rajendra masih mampu melemparkan beberapa buah senjata rahasi ke arah bayangan hitam yang masih melesat ke arahnya. Seketika bayangan hitam itu menangguhkan serangannya, dan langsung berjumpalitan menghindar sambil mengebutkan tangannya. Terdengar bunyi berdenting ketika senjata rahasia berbalik menyerang diri Rajendra sendiri.

"Hup! Sial...!"

Serigala Mata Satu memaki geram sambil melompat ke depan, menghindari senjatanya sendiri. Namun saat itu, satu sambaran serangan bayangan hitam itu kembali mengincar menderu batok kepalanya. Begitu cepat gerakan bayangan hitam itu, sehingga tak ada waktu lagi bagi Rajendra untuk menghindar. Maka langsung dipapaknya hantaman yang mengincar kepalanya.

Plak!
"Uhhh!"

Rajendra atau Serigala Mata Satu mengeluh kesakitan ketika pergelangan tangannya terasa sakit dan linu sekali, akibat berbenturan dengan tangan bayangan hitam itu tadi. Tapi masih untung tubuhnya cepat bergulingan, ketika merasakan satu sapuan keras kembali mengarah ke dada.

"Kurang ajar!"

Cepat-cepat tombak di tangan Rajendra diputar-putar bagai kitiran untuk melindungi pertahanan dada, sekaligus mendesak lawan. Dalam sekejap saja, tempat di sekitar itu bertiup angin kencang yang menerbangkan dedaunan kering dan debu, sehingga menghalangi pandangan.

"Hiyaaa...!"

Dalam keadaan begitu, terdengar bentakan nyaring dari bayangan hitam itu. Sementara Serigala Mata Satu balas meningkatkan tenaga dalamnya saat memainkan tombak. Namun, mendadak tubuhnya bergetar hebat. Bahkan genggaman pada tombaknya nyaris mengendur ketika membentur sebuah benda sekeras baja. Tubuhnya langsung ter-huyung-huyung ke belakang, namun masih sempat melemparkan senjata rahasia.

"Yeaaa!"
Ser! Ser!

Tubuh sosok berpakaian serba hitam itu cepat melesat dan berputaran beberapa kali, menghindari serangan senjata rahasia Rajendra. Namun tanpa diduga sama sekali, sosok berpakaian hitam itu terus melesat ke arah Rajendra. Tak ada kesempatan lagi buat Serigala Mata Satu untuk menghindar. Dan tiba-tiba saja dadanya terasa mendapat hantaman keras, sehingga membuatnya terjungkal ke tanah sambil menjerit kesakitan. Masih untung, sosok bayangan hitam itu tak melanjutkan serangan. Setelah berputaran beberapa kali, dia mendarat dan tegak berdiri mengawasi sambil tertawa terbahak-bahak.

"Ha ha ha! Hanya Segitukah kehebatanmu?" Serigala Mata Satu cepat bangkit dengan wajah gusar.

Mulutnya nampak meringis, karena dadanya terasa nyeri. Kini bisa terlihat jelas, siapa penyerangnya. Ternyata, dia adalah seorang laki-laki berpakaian serba hitam. Rambut yang panjang, diikat pita hitam pula. Kulitnya putih bersih. Dan melihat dari raut wajahnya, paling tidak laki-laki yang menggenggam sebilah pedang besar itu berusia sekitar tiga puluh tahun. Tampangnya tak seram, bahkan penuh senyum.

"Siapa kau?!" bentak Rajendra. Namun sebelum pertanyaan itu terjawab, mendadak melesat sesosok tubuh yang langsung menjejakkan kaki di samping Serigala Mata Satu.

"Rajendra, minggiriah! Kau bukan tandingan si Dewa Bermuka Bulan!"

"Guru!"

Serigala Mata Satu langsung menjura hormat ketika melihat kemunculan gurunya, yang jelas berjuluk Serigala Iblis Bercambuk Emas.

"Ha ha ha...! Hm... jadi inikah tampang si Serigala Iblis Bercambuk Emas yang kesohor itu?" tanya laki-laki berpakaian serba hitam itu yang tadi telah menyerang Serigala Mata Satu.

Serigala Iblis Bercambuk Emas tersenyum sinis, di hadapan laki-laki yang ternyata berjuluk Dewa Bermuka Bulan, berjarak lima langkah. Sorot matanya tajam menusuk seperti ingin menduga, sampai sejauh mana kekuatan Dewa Bermuka Bulan.

"Dewa Bermuka Bulan! Angin apa yang membawamu jauh-jauh datang ke tempatku ini?"

"He he he...? Apakah seorang dewa memerlukan angin untuk membawanya ke sini? Hidungku mencium bau tak sedap di tempat ini. Dan tiba-tiba saja, aku telah berada di sini!" sahut Dewa Bermuka Bulan, cengar-cengir.

"Jangan berbelit-belit! Katakanlah, apa yang kau inginkan sebenarnya? Apakah kau juga ingin menguasai tempat ini seperti kawanan busuk yang menamakan diri Perampok Macan Loreng itu?"

"Ha ha ha...! Apakah kau menganggapku demikian rendah, hanya untuk menguasai tempat busuk ini? Heh, Serigala Iblis Bercambuk Emas! Kedatanganku ke sini bukan karena silau oleh harta benda curianmu, tapi karena urusan nyawa!" tandas Dewa Bermuka Bulan.

"Hm, sudah kuduga. Lalu, nyawa siapa yang akan kau tebus dariku?" tanya Serigala Iblis Bercambuk Emas. Suaranya terdengar datar, dan sama sekali tak terkejut.

"Masih ingatkah dengan Ki Srengseng yang kau bunuh beberapa hari yang lalu?"

"Ki Srengseng? Apakah yang kau maksudkan adalah si Pedang Bertangan Delapan?"

"Tepat! Dan dia adalah kakakku!"

"Ha ha ha...! Jelas sudah kedatanganmu ke sini. Tapi sebaiknya berpikirlah seribu kali, untuk niatmu itu!" sahut Ki Lodaya alis Serigala Iblis Bercambuk Emas.

"He he he...! Aku bahkan tak perlu berpikir untuk datang ke sini. Apa yang musti ku khawatirkan darimu? Masalahnya, kau tak lebih dari kecoa busuk yang bisanya hanya menakut-nakuti orang-orang lemah saja!" ejek Dewa Bermuka Bulan sambil tertawa terkekeh-kekeh.

"Julukan Dewa Bermuka Bulan memang sudah tersohor dan memiliki kepandaian tinggi. Tapi berhadapan denganku, kau mesti hati-hati! Ingat kakakmu saja mampus di tanganku. Apalagi kau!" balas Ki Lodaya mengingatkan.

"Heh? Apakah kau sudah pikun atau benar-benar tuli? Bukankah sudah kukatakan, bahwa kau bisanya hanya menakut-nakuti orang lemah dan tak memiliki kepandaian apa-apa? Kuakui, kakakku memang kalah denganmu. Tapi terhadapku, jangan coba-coba pamer gertakan busukmu itu!" dengus Dewa Bermuka Bulan.

"Huh! Kita akan buktikan sekarang juga! Ayo, balaskanlah dendam kakakmu itu!" tantang Ki Lodaya seraya memasang jurus, siap menghadapi lawan.

"He he he...! Silakan, Kawan. Ingin kulihat kepandaianmu. Apakah gembar-gembormu sepadan dengan kenyataannya?" kata Dewa Bermuka Bulan tenang sambil menggenggam pedang erat-erat.

"Hiyaaa!"

Serigala Iblis Bermuka Emas langsung bergerak cepat bagai sapuan angin, mengirim satu tendangan keras ke aras Dewa Bermuka Bulan. Namun dengan enteng, laki-laki berpakaian serba hitam itu merapatkan telapak tangan kirinya ke dada. Kemudian ditangkisnya tendangan Ki Lodaya.

Plak!

Serigala Iblis Bercambuk Emas terperanjat. Ternyata Dewa Bermuka Bulan sedikit pun tak merasakan kesakitan akibat benturan tadi. Malah masih sempat mengayunkan kaki kanan, menghajar ke arah dadanya. Masih untung tubuhnya cepat diputar ke samping dan terus meloncat ke atas. Langsung kepalan tangannya diayunkan ke batok kepala laki-laki berpakaian serba hitam itu.

"Yeaaa!"
"Huh!"

Namun dengan lincah, tubuh Dewa Bermuka Bulan berputar ke samping untuk menghindarinya. Laki-laki berwajah tampan itu kemudian menyodokkan kaki kirinya ke dagu Ki Lodaya.

"Hiiih!"
"Uts, ha!"

Ki Lodaya cepat bagai kilat mundur dua langkah. Kemudian tubuhnya berbalik sambil mengayunkan satu sapuan kaki yang keras ke arah perut. Tapi, Dewa Bermuka Bulan telah melompat ke atas, seraya menghindar dengan kaki kanan ke arah dada. Agaknya, Ki Lodaya telah menduga hal itu. Maka cepat tubuhnya ditundukkan. Dewa Bermuka Bulan jelas bersikap ksatria, untuk tidak mengguliakan pedang di tangan kanannya. Dia melihat, Ki Lodaya juga belum menggunakan senjata.

Namun hanya menggunakan tangan kiri untuk menyerang, itu sama artinya merendahkan kemampuan Serigala Iblis Bercambuk Emas. Dan hal itu membuat Ki Lodaya sudah menjadi gusar. Maka dengan geram Ki Lodaya segera merangsek Dewa Bermuka Bulan disertai pengerahan ilmu silat tingkat tinggi yang dimiliki. Sehingga yang terlihat hanya kelebatan tubuhnya yang bergerak amat cepat dan ringan sekali.

Tapi Dewa Bermuka Bulan ternyata bukan orang sembarangan. Kemampuannya sebagai tokoh tingkat atas yang tak mudah dipecundangi begitu saja, segera dibuktikan. Tubuhnya segera berkelebat ringan, mengikuti gerakan Ki Lodaya. Bahkan sesekali menusuk pertahanan Ki Lodaya, sehingga membuat kelabakan laki-laki tua itu. Memasuki jurus yang kedua puluh dua, pertarungan kian meningkat sengit.

Ki Lodaya kini menyerang gencar, dan menghajar ke mana saja Dewa Bermuka Bulan bergerak. Namun dengan lincah tubuh laki-laki tampan itu merunduk ke bawah. Dan kepalan kakinya cepat diayunkan, menyodok ke perut. Tak ada waktu lagi untuk menghindar. Maka Ki Lodaya terpaksa menangkis sodokan tangan kiri itu.

Plak!
"Uhhh...!"
"Hiiih!"

Ki Lodaya terkejut setengah mati, begitu tangannya terasa bergetar hebat akibat benturan tadi. Tubuhnya cepat melompat ke belakang, ketika Dewa Bermuka Bulan menyusul dengan satu tendangan keras ke arah perut. Dan begitu tendangannya tidak menemui sasaran, Dewa Bermuka Bulan segera melompat mengejar. Kembali dikirimkannya satu sodokan keras ke arah dada.

Ternyata hal ini membuat Ki Lodaya terkejut, dan bersiap menangkis. Namun ketika kedua tangan mereka hampir beradu, Dewa Bermuka Bulan menarik serangannya. Dan tubuhnya segera berputar cepat dengan kaki kanan menghantam ke arah perut. Begitu cepat gerakannya, sehingga Ki Lodaya tidak bisa menghindarinya.

Begkh!
"Aaakh!"

Tubuh Ki Lodaya kontan terjajar ke belakang beberapa langkah sambil memegangi perutnya yang terasa mual akibat tendangan Dewa Bermuka Bulan tadi. Masih untung keseimbangan tubuhnya bisa terjaga, sehingga tidak jatuh.

"Guru...!"

Serigala Mata Satu yang sejak tadi masih berdiri disitu sambil memperhatikan pertarungan, tersentak kaget. Buru-buru dihampirinya Ki Lodaya yang juga gurunya itu.

"Minggir!" sentak Ki Lodaya dengan muka merah menahan malu. Ki Lodaya menatap tajam ke arah Dewa Bermuka Bulan. Seakan-akan lewat tatapannya, dia ingin menelan bulat-bulat laki-laki berpakaian serba hitam di depannya.

"He he he...! Agaknya kau tak bersungguh-sungguh menghadapiku, Kisanak. Nah, berhati-hatilah," sindir Dewa Bermuka Bulan.

Ki Lodaya cepat akan menyerang lawan kembali, dengan jurus barunya. Namun saat itu juga, melesat satu sosok bayangan di sampingnya, dan langsung menjura memberi hormat padanya.

"Guru! Izinkan aku menghajar orang sombong itu...," pinta sosok bayangan itu.

"Gumarang! Menepilah kau! Apa kau pikir aku tak mampu merobek mulutnya? Huh! Kau ini hanya membuat malu saja!" dengus Ki Lodaya.

"He he he...! Jadi, kaukah yang berjuluk Serigala Buntung? Hm.... Semangatmu boleh juga, Kisanak. Tapi, sebaiknya kau memang menepi. Dan jangan mencampuri urusan gurumu," sahut Dewa Bermuka Bulan enteng.

Serigala Buntung yang bernama asli Gumarang, sudah hendak menghajar lawan sambil menggeram buas. Namun...

"Gumarang, minggir kataku!" bentak Ki Lodaya garang, langsung mencegah.

Terpaksa Gumarang menyurutkan langkahnya seraya menahan perasaan geram di hati. Dan dia hanya bisa memperhatikan gurunya yang sudah bersiap menghadapi Dewa Bermuka Bulan sambil memegang cambuk emasnya di tangan.

"Kisanak, silakan. Aku sudah siap...," lanjut Ki Lodaya dingin.

"Ha ha ha...! Aku pun telah siap sejak tadi. Hm... Begitu lebih baik. Jadi, rasanya aku mendapat kehormatan untuk mencicipi ilmu cambukmu yang hebat itu!" sahut Dewa Bermuka Bulan tenang.

"Dewa Bermuka Bulan, hati-hatilah! Sekali cambuk ini terlecut, maka aku tak bisa menahan kawanan serigala yang akan menerkammu dengan buas!" Ki Lodaya memberi peringatan.

"Kau juga patut berhati-hati, Kisanak. Pedangku ini tak bermata, karena tak pernah peduli pada orang yang akan mampus disambarnya!" kata Dewa Bermuka Bulan, dingin.

"Hiyaaa...!"
Ctarrr!

Sekali Ki Lodaya membentak, maka saat itu juga cambuk di tangannya melecut membelah angkasa. Seketika terdengar suara keras yang memecah udara pagi menjelang siang ini.

"Grrr...!"
"Graungrrr...!"

Dan begitu mendengar suara lecutan cambuk itu, kawanan serigala yang masih berada tak jauh dari situ menggeram liar. Dan ketika kembali terdengar lecutan cambuk, maka secara bersamaan binatang-binatang liar itu menerjang ke arah Dewa Bermuka Bulan disertai raungan keras. Sementara, Ki Lodaya pun seperti berpacu dengan kawanan serigala itu sambil mengayunkan cambuknya ke arah Dewa Bermuka Bulan.

Ctar!

Dewa Bermuka Bulan cepat melompat ke atas sambil menyilangkan pedang di tangannya. Tubuhnya terus berputaran beberapa kali untuk menghindari kejaran ujung cambuk Ki Lodaya, sekalian berkelit dari terkaman kawanan serigala liar. "Hup!" Dewa Bermuka Bulan lalu meluncur ke bawah, sambil membabatkan pedangnya ke arah beberapa ekor serigala.

Wuttt!
Cras!
Brettt!
"Ngiek!"

Sekali Dewa Bermuka Bulan mengelebatkan pedang, maka dua ekor serigala melengking setinggi langit. Tubuh binatang-binatang itu nyaris terbelah menjadi dua dan isi perutnya terburai keluar, ujung pedang Dewa Bermuka Bulan menyambar. Namun bersamaan dengan itu, ujung cambuk Ki Lodaya menyambar dengan gerakan meliuk-liuk cepat seperti mengikuti gerakannya.

Kontan cambuk yang membelah udara, membuat gendang telinga laki-laki berpakaian serba hitam itu terasa perih. Agaknya, permainan cambuk Serigala Iblis Bercambuk Emas dilakukan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Maka tak heran bila suaranya membuat jantung berdetak tak karuan, dan kulit terasa seperti diiris-iris.

Ser! Ser!

Betapa terkejut Dewa Bermuka Bulan. Karena baru saja kedua kakinya menjejak tanah, saat itu juga datang serangan beruntun berupa senjata rahasia ke arahnya. Ternyata lemparan senjata-senjata rahasia itu dilakukan oleh Serigala Mata Satu dan Serigala Buntung. Untung saja, Dewa Bermuka Bulan cepat mengelebatkan pedangnya. Maka sebelum senjata-senjata rahasia itu menghujani tubuhnya, sudah terpapak oleh senjatanya.

"He he he...! Ternyata dugaanku tak salah. Kalian ternyata bukan hanya gerombolan pengecut yang bisanya membegal orang-orang lemah dan tak berdaya, tapi juga tukang main keroyok!" ejek Dewa Bermuka Bulan sambil terkekeh-kekeh.

Padahal jelas kedudukan Dewa Bermuka Bulan tak ada kesempatan sedikit pun baginya untuk balas menyerang. Untuk mempertahankan diri dari serangan lawan saja, barangkali tak akan bertahan lama. Karena dengan ikut mengeroyoknya kedua murid Serigala Iblis Bercambuk Emas, jelas hal itu akan membuatnya semakin terjepit saja. Dan baru saja Dewa Bermuka Bulan menarik napas, ujung cambuk Ki Lodaya sudah menyambar ke arah pinggang kanannya.

Ctarrr!
"Uts!"

Dewa Bermuka Bulan cepat bagai kilat melenting ke atas dengan gerakan ringan. Namun salah seekor serigala bergerak menyambar ke arah punggungnya. Maka cepat-cepat Dewa Bermuka Bulan menyabetkan pedangnya ke arah perut binatang buas itu.

"Mampus kau!"
Bret!
"Nguiek!"

Seketika binatang liar itu ambruk ke tanah, begitu tersambar pedang Dewa Bermuka Bulan. Melihat hal itu Serigala Mata Satu segera me-lempar senjata rahasia ke arah laki-laki berpakaian serba hitam.

Ser! Ser!

Dua buah berhasil dirontokkannya. Namun, sebuah paku beracun berhasil menancap di punggung kanannya.

"Aaakh!"

Dewa Bermuka Bulan kontan meringis kesakitan, begitu tertancap sebuah paku beracun pada punggungnya. Untung saja, dia agak jauh dari para pengeroyoknya. Maka kesempatan itu digunakan untuk melesat dari tempat itu. Disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi, tubuhnya berkelebat cepat, kabur dari situ. Tak ada kesempatan bagi para pengeroyok untuk mengejar. Apalagi, tindakan itu demikian cepat. Mereka hanya saling berpandangan, kemudian menatap ke arah kepergian Dewa Bermuka Bulan yang sudah menghilang.

"Serigala Iblis Bercambuk Emas, aku akan datang lagi untuk membuat perhitungan dengan kalian!" teriak Dewa Bermuka Bulan sayup-sayup dari kejauhan, menggema ke segala penjuru.

Ki Lodaya yang tidak berusaha mengejar hanya mendengus garang. Tanpa bicara apa-apa, laki-laki itu segera berlalu diikuti kedua muridnya.

********************

LIMA

Adipati Tanuwijaya adalah penguasa di kadipaten wilayah barat. Dan kadipaten itu meliputi tujuh buah desa yang cukup ramai. Beliau sendiri menetap di Kota Kadipaten Indrakasih, suatu daerah yang cukup padat penduduknya dan subur tanahnya. Tak heran bila hasil panen selalu berlimpah ruah, sehingga penduduknya hidup dalam kecukupan.

Di sebelah utara kadipaten itu terdapat sebuah tambang emas. Tiga kali dalam setahun, para penduduk kadipaten itu diwajibkan menyerahkan upeti kepada pihak kerajaan. Tidak hanya berupa hasil panen dan ternak, tapi juga emas. Dan justru itulah yang belakangan ini meresahkan sang Adipati!

Pusat kerajaan berada di wilayah timur. Dan untuk menuju ke sana, jalan yang tercepat dan termudah adalah melewati Bukit Serigala. Ada juga jalan lain, tapi terlalu berbahaya juga. Selain memutar jalan itu juga sulit didaki. Bahkan terdapat turunan terlalu curam. Sedangkan bila melewati Bukit Serigala, sudah jelas di sana akan dihadang Serigala Iblis Bercambuk Emas bersama dua orang muridnya.

Dan belakangan ini, mereka memang menjadi momok yang menakutkan bagi setiap orang. Maka sebulan yang lalu upeti yang semula dikirim untuk kerajaan, dirampok oleh kawanan itu. Dan jelas, hal itu membuat pihak kerajaan mulai marah. Mereka mengira Adipati Tanuwijaya sengaja melupakan kewajibannya. Maka tentu saja Adipati Tanuwijaya gelisah bukan main.

Amarahnya semakin menjadi ketika beberapa pengawal terbaiknya yang dikirim untuk menghabisi Serigala Iblis Bercambuk Emas, ternyata hanya kembali seorang. Itu pun penuh luka di tubuhnya yang bahkan tak bisa tertolong lagi, karena keburu tewas setelah menyampaikan berita kematian kawan-kawannya. Dan kali ini, Adipati Tanuwijaya tentu tak mau gagal lagi. Maka dipersiapkannya segala sesuatu sebaik mungkin.

Termasuk, para pengawal yang akan menjaga upeti nantinya. Dan untuk mencari para pengawal yang baik dan mampu diandalkan, kini di kadipaten itu diadakan suatu sayembara dalam bentuk pertandingan adu ketangkasan. Sepuluh orang pemenang terbaik akan diangkat menjadi pengawal pribadi Adipati Tanuwijaya, ditambah hadiah besar. Dan mulai hari itu juga pengumuman disebar ke seluruh wilayah kadipaten!

********************

Matahari yang menyengat, membawa dua anak muda ke tepi sebuah sungai yang airnya amat bening, di wilayah Kadipaten Indra Kasih. Mereka berhenti dan membasuh mukanya untuk menyegarkan diri. Kemudian setelah merasa segar, mereka berjalan ke arah sebuah pohon yang berdaun lebat. Tak lama, punggung mereka sudah bersandar di bawah pohon itu, untuk melindungi diri dari sengatan matahari. Sedangkan kedua kuda mereka dibiarkan minum air sepuas-puasnya.

"Kakang! Aku masih jengkel dengan orang tua busuk itu!" kata gadis berwajah cantik memakai baju biru muda, dengan pedang bergagang kepala naga tersembul di balik punggungnya. Memang, dia tak lain dari Pandan Wangi. Sedangkan pemuda di sebelahnya adalah Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti. Rangga tersenyum dan tak menyahut.

"Lagaknya seperti yang paling hebat saja!" cibir Pandan Wangi kesal.

"Orang itu memang aneh. Dan itu memang sudah kelakuannya. Kitalah yang patutnya bisa menahan diri...," sahut Rangga, sabar.

"Huh! Menahan diri? Enak saja!" dengus Pandan Wangi, sengit.

"Kalau tak bisa menahan diri, maka dia akan semakin menggoda kita," jelas Rangga.

"Huh! Kalau berhadapan dengan mereka yang tak punya kemampuan apa-apa, mungkin dia bisa berbuat sekehendak hatinya. Tapi kepadaku, jangan coba-coba, ya!"

Rangga hanya melirik sekilas pada kekasihnya. Pemuda itu sudah paham betul watak gadis itu. Makanya, dia tidak terlalu menanggapi kekesalan hati Pandan Wangi.

"Kenapa tersenyum?" tanya Pandan Wangi, tak senang.

Dan ini memang sudah wataknya. Gadis itu seolah-olah ingin mengajak perang mulut, untuk menunjukkan kemanjaannya.

"Mengejekku, ya!"

Rangga malah tertawa lebar. Sebaliknya Pandan Wangi langsung mencubit tangan Rangga. Pemuda itu berusaha menghindar, sambil bangkit dan berlari menjauhi Pandan Wangi.

"Huh! Ke ujung langit sekalipun, akan kukejar kau!" dengus Pandan Wangi, langsung mengejar pemuda itu.

Kejar-kejaran di antara mereka seolah tak mau berhenti. Tanpa disadari, Pandan Wangi mengerah-kan ilmu meringankan tubuhnya. Namun sejauh itu, belum juga berhasil mengejar. Rangga masih tenang-tenang saja berlari di depannya dan terus berputar-putar di sekeliling tempat itu.

"To..., tolong...."
"Heh?!"

Rangga seketika menghentikan larinya begitu pendengarannya yang tajam menangkap teriakan minta tolong yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Bola matanya langsung mencari-cari sambil melangkah pelan ke satu arah, dengan pendengaran dipasang tajam. Sementara Pandan Wangi saat itu sudah dekat. Dan....

"Kenapa kau!" teriak Pandan Wangi, langsung mencubit pemuda itu.

Namun Rangga tak peduli. Malah tangannya memberi isyarat agar gadis itu tak membuat keributan. Pandan Wangi jadi celingukan sendiri sambil menatap ke sekeliling tempat itu dengan wajah heran.

"Kenapa? Ada apa, Kakang?"

"Ada teriakan minta tolong dari seseorang...," sahut pemuda itu.

Baru saja Rangga menyelesaikan kata-katanya, mendadak sesosok tubuh berpakaian serba hitam melangkah sempoyongan ke arah mereka. Wajahnya tampak pucat. Dan begitu melihat Rangga dan Pandan Wangi tangannya langsung menggapai-gapai.

"To..., tolong..."

Tubuh orang itu langsung ambruk persis di depan Rangga berdiri. Rangga dan Pandan Wangi langsung menghampiri. Dan seketika itu juga Pendekar Rajawali Sakti langsung memeriksa keadaan tubuh orang itu. Kemudian tanpa banyak bicara lagi, Rangga segera membopong orang berpakaian serba hitam itu. Segera dibawanya orang itu ke tepi sungai. Sementara, Pandan Wangi segera mengikuti dari belakang, setelah memungut sebilah pedang berukuran besar yang tadi terjatuh dari genggaman orang itu.

Sosok orang berpakaian serba hitam itu tak tahu, sudah berapa lama tak sadarkan diri di tepi sungai. Namun ketika kesadarannya mulai pulih, perlahan-lahan matanya melihat sepasang anak muda di depannya, yang tak lain dari Rangga dan Pandan Wangi. Dia cepat bangkit dan bersandar di batang pohon. Kemudian, ditatapnya Pandan Wangi dan Rangga bergantian.

"Siapa kalian?" tanya sosok berpakaian serba hitam itu, lemah.

"Aku Rangga. Dan ini kawanku, Pandan Wangi. Kami menemukanmu dalam keadaan tak sadarkan diri. Siapa namamu, dan apa yang telah terjadi padamu, Kisanak?" tanya Rangga disertai senyuman manis di bibir.

Orang berpakaian serba hitam itu tak langsung menjawab. Dan matanya malah meneliti keadaan tubuhnya, serta melihat beberapa buah luka yang dideritanya. Kemudian tatapannya beralih pada sepasang anak muda di depannya.

"Aku Kamajaya alias Dewa Bermuka Bulan. Huh! Kalau saja mereka tak bermain curang! Dalam pertarunganku melawan Serigala Iblis Bermuka Emas, tubuhku telah terkena senjata rahasia. Dan tiba-tiba kepalaku pusing dan darahku seperti berhenti mengalir. Jelas senjata rahasia itu pasti beracun. Tapi kini keadaanku sudah berangsur-angsur baik. Kaukah yang mengobatiku?" jelas laki-laki berpakaian serba hitam, yang ternyata Dewa Bermuka Bulan.

Suaranya terdengar masih lemah, walaupun seluruh racun dalam tubuhnya sudah keluar. Memang, Pendekar Rajawali Sakti telah memberi pengobatan padanya, dengan penyaluran hawa murni.

"Darahmu telah bercampur racun dari senjata rahasia yang menancap di tubuhmu. Dan luka di pinggangmu seperti terbakar. Kau banyak muntah darah tadi. Ini, telah kubuatkan ramuan dari tumbuhan di sekitar sini. Mudah-mudahan ramuan ini bisa mengembalikan kesegaran tubuhmu. Minumlah," ujar Rangga sambil menyerahkan ramuan obat yang ditampung dengan tempurung kelapa.

Dewa Bermuka Bulan yang bernama asli Kamajaya itu agak ragu-ragu menerimanya. Namun begitu melihat sorot mata Rangga yang memancarkan kesungguhan, akhirnya diterimanya juga ramuan obat itu dan diteguknya sampai tandas.

"Kau tak boleh banyak mengeluarkan tenaga dulu, Kisanak. Dalam keadaan begini, sangat berbahaya bagi kesehatanmu," ujar Rangga.

"Terima kasih atas kebaikan kalian padaku," ucap Dewa Bermuka Bulan sambil tersenyum, kendati agak pahit.

"Sama-sama, Kisanak. Dan memang sudah kewajiban kami untuk menolong orang yang membutuhkan pertolongan. Oh, ya. Apa yang telah terjadi padamu, sehingga mengalami luka separah ini?" tanya Rangga.

"Huh, Serigala Iblis Bercambuk Emas keparat! Kalau saja dia tak berlaku curang, mana bisa mengalahkan aku!" dengus Dewa Bermuka Bulan.

"Serigala Iblis Bercambuk Emas? Siapa dia?" tanya Rangga dengan kening berkerut.

"Apakah kalian tak tahu?"

Rangga dan Pandan Wangi, sama-sama menggeleng kepala.

"Ah! Kukira julukan itu sudah menggetarkan jagad ini. Tapi nyatanya kalian pun tak tahu. Kalau begitu, tak salah jika aku menuduhnya sebagai pengecut hina yang beraninya hanya merampok orang-orang tak berdaya...," sahut Dewa Bermuka Bulan seperti berkata pada diri sendiri.

"Maaf, Kisanak. Aku tak mengerti, apa yang tengah kau bicarakan. Sudikah kau menceritakan, siapa orang yang dimaksud dengan Serigala Iblis Bercambuk Emas? Dan, mengapa kau sampai bertarung dengannya?" tanya Rangga.

Kamajaya terdiam sesaat seperti tengah mengumpulkan kata-kata yang tepat. Kemudian segera diceritakannya semua yang dialaminya. Namun karena urusannya pada Serigala Iblis Bercambuk Emas adalah soal balas dendam, maka agaknya dia lebih tertarik menceritakan soal itu lebih banyak. Hanya saja, Rangga dan Pandan Wangi lebih tertarik dengan sepak tenang Serigala Iblis Bercambuk Emas yang diceritakan sepintas oleh Kamajaya.

"Kalau ada kesempatan lagi, akan kuhabisi keparat licik itu!" dengus Kamajaya, setelah mengakhiri ceritanya sambil mengepalkan tangan.

Rangga dan Pandan Wangi hanya mengangguk-angguk.

"Apakah kalian betul-betul belum pernah mengenal keparat licik itu selumnya?" tanya Kamajaya ingin meyakinkan.

Sepasang pendekar dari Karang Setra menggeleng pelan. Dan Kamajaya pun ikut-ikutan menggelengkan kepala dengan wajah sedih.

"Sayang sekali. Padahal kalau kalian berurusan dengannya, aku pasti bisa menghajarnya habis-habisan. Orang itu tak bisa dibiarkan hidup lama lagi. Sudah banyak orang yang dirugikannya...," gumam Kamajaya lirih.

"Kami mengerti, apa yang kau rasakan, Kisanak. Tapi suatu saat, dendammu pasti akan terbalaskan," hibur Rangga.

"Ya, aku tahu itu. Aku memang mesti bersabar dan mencari jalan lain untuk membalas kelicikannya itu," sahut Kamajaya lirih. Tak berapa lama kemudian, Kamajaya mohon diri. Tak lupa diucapkannya terima kasih berkali-kali pada kedua pendekar itu.

"Aku tak akan melupakan pertolongan kalian," ucap Kamajaya seraya bangun, dan langsung berkelebat cepat dari situ.

"Aku suka orang itu. Selalu riang gembira meskipun hatinya dendam dan sedih...," gumam Pandan Wangi, begitu Kamajaya sudah tak terlihat lagi.

"Hm, suka...?" tanya Rangga meyakinkan.

"Ya, kenapa?" sahut Pandan Wangi balik bertanya sambil melirik dengan senyum genit pada kekasihnya.

"O...," hanya itu yang keluar dari mulut Rangga.

********************

ENAM

Hari menjelang sore, ketika Rangga dan Pandan Wangi tiba di Kadipaten Indrakasih. Suasana di sini tampak ramai. Di sepanjang jalan, banyak terlihat umbul-umbul berwarna-warni. Apalagi, orang tampak berduyun-duyun mendatangi alun-alun yang terletak tepat di depan istana kadipaten. Ketika melihat seorang laki-laki setengah baya tergopoh-gopoh menuju tempat yang sama, Rangga segera menghampiri.

"Ada perayaan apa, Ki. Mengapa ramai betul di alun-alun itu?" tanya Rangga, sopan.

Sejenak laki-laki setengah baya itu memperhatikan Pendekar Rajawali Sakti dari ujung kepala, hingga ujung kaki. Sepertinya, dia sedang menduga jati diri Pendekar Rajawali Sakti.

"Apakah kau tak tahu?" laki-laki setengah baya itu malah balik bertanya.

Rangga menggeleng, sambil tersenyum.

"Hm.... Kau bukan penduduk sini rupanya. Apakah kau seorang pendekar atau paling tidak, berkepandaian tinggi?" lanjut laki-laki tua itu kembali bertanya.

"Aku dan temanku ini hanya pengembara biasa, Ki. Memangnya kenapa?" kata Rangga, merendah.

"Sayang sekali, kalau saja kalian boleh ikut sayembara itu. Hadiahnya besar. Bahkan yang menang akan menjadi pengawal pribadi Adipati Tanuwijaya!" jelas orang tua itu, meyakinkan.

"Sudikah kau menjelaskan pada kami, sayembara apa yang sedang diadakan oleh adipati di sini?" tanya Rangga.

"Adipati Tanuwijaya tengah mengadakan sayembara. Dia mencari pengawal pribadi yang bisa diandalkan untuk melawan Serigala Iblis Bercambuk Emas. Siapa yang menang dalam pertandingan, maka akan mendapat hadiah seribu kepeng emas murni. Bahkan akan diangkat menjadi pengawal pribadinya. Sedangkan pemenang kedua akan menjadi kepala pasukan pengawal," jelas orang tua itu, berseri-seri. Rangga mengangguk-angguk, tanda mengerti.

"Maaf, Kisanak. Aku harus buru-buru! Kesempatan bisa melihat tokoh-tokoh persilatan bertarung, jarang terjadi. Pasti akan berlangsung seru dan hebat. Mari, Kisanak!" pamit laki-laki setengah baya itu seraya berlari-lari kecil mengikuti orang-orang yang berjalan menuju alun-alun di depan istana, tempat kediaman Adipati Tanuwijaya.

"Bagaimana, Kakang? Apakah kau ingin ikut serta sayembara itu? Siapa tahu kau bisa menjadi pasukan pengawal di kadipaten ini?" tanya Pandan Wangi, menggoda.

Pendekar Rajawali Sakti tersenyum. Entah, apa arti senyumnya. Yang jelas, buat Rangga sayembara itu tak ada artinya sama sekali. Toh dia adalah Raja di Karang Setra. Apalagi hanya untuk mendapatkan seribu kepeng emas dan jabatan pengawal pribadi. Bukannya Rangga merendahkan, tapi yang pasti kepandaiannya hanya untuk membela orang yang lemah, dan untuk menumpas keangkaramurkaan.

"Ada baiknya kita melihat pertandingan itu. Aku heran, mengapa adipati itu sampai menempuh jalan ini. Apakah para pengawalnya tak mampu mengatasi orang yang berjuluk Serigala Iblis Bercambuk Emas itu?" kata Rangga mengalihkan pertanyaan Pandan Wangi.

"Kau lupa, Kakang! Serigala Iblis Bercambuk Emas itu berilmu tinggi. Apalagi dia mampu memerintah kawanan serigala liar untuk menyerang musuhnya. Aku menduga, adipati itu memang pantas memerlukan para pengawal yang dapat diandalkan dalam jumlah banyak," timpal Pandan Wangi.

Rangga hanya menggut-manggut mendengarkan penjelasan Pandan Wangi. Tak lama kemudian, mereka segera berjalan perlahan sambil menuntun kuda masing-masing mendekati keramaian yang ada di alun-alun depan kediaman Adipati Tanuwijaya. Orang telah ramai memadati tempat itu. Bukan hanya dari kadipaten ini saja, melainkan juga dari desa di sekitarnya.

Tempat sayembara itu sendiri dipagari bambu berbentuk lingkaran dengan garis tengah kira-kira sepuluh tombak. Di salah satu sudut, tampak Adipati Tanuwijaya duduk memperhatikan pertandingan bersama beberapa orang juri yang akan menentukan pemenangnya. Ketika Rangga dan Pandan Wangi tiba di sana, juri telah menentukan lima orang pemenang. Karena pesertanya cukup alot, maka diputuskan bagi mereka yang mampu mengungguli lawan sebanyak tiga kali berturut-turut patut menjadi pemenangnya.

Kini babak penentuan telah berlangsung. Di arena, tengah berhadapan seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus terbungkus baju merah. Dan lawannya adalah laki-laki bertubuh sedang dengan wajah penuh cambang bauk. Pertarungan tampak berlangsung singkat, karena dengan mudah laki-laki bercambang bauk itu mengalahkan lawannya. Dan lawan kedua pun mampu dikalahkannya dalam waktu cepat. Hal itu tak mengherankan, karena kepandaian laki-laki itu memang di atas lawan-lawannya.

"Hidup Jumangun...!"

"Hidup jago Kadipaten Indrakasih!" teriak para penonton lain menimpali.

Jumangun sendiri tersenyum-senyum sambil menjura memberi hormat kepada penonton.

"Siapa lagi yang akan maju menantang Jumangun?!" teriak salah seorang juri dengan suara lantang.

Pada saat itu juga, melesat sesosok tubuh ke arena pertarungan. Dan dengan gerakan ringan kedua kakinya mendarat manis di tempat arena. Rambutnya panjang dan awut-awutan. Mata kirinya tertutup kain hitam. Tangan kanan tampak menggenggam sebatang tombak bermata tiga. Sorot matanya yang hanya tinggal sebelah itu, tampak tajam menusuk. Sehingga membuat Jumangun bergidik ngeri untuk sesaat. Sementara orang-orang yang berada di tempat itu mulai was-was. Sosok yang baru datang itu terlihat buas. Dan agaknya, dia tak segan-segan membunuh lawan. Dan yang lebih mengagetkan lagi, ternyata penonton mengenali orang itu.

"Dia si Serigala Mata Satu. Murid si Serigala Iblis Bercambuk Emas!" teriak seseorang.

"Heh?!" Seketika saja di tempat itu terdengar gumaman-gumaman tak jelas seperti suara kawanan lebah.

Bahkan sebagian dari mereka, wajahnya menjadi cemas. Namun, tak seorang pun yang meninggalkan tempat itu. Agaknya, mereka ingin menyaksikan kejadian selanjutnya.

"He, Adipati Tanuwijaya! Apakah ada peraturan bahwa aku tak boleh ikut dalam pertandignan ini? Kudengar sayembara ini boleh diikuti semua orang. Lagi pula, bukankah kecoa-kecoa ini yang akan kau andalkan untuk menghancurkan kami? Nah kini aku datang ke sini seorang diri. Jadi kenapa mesti menunggu hingga pertarungan ini selesai? Lebih baik, suruh jago-jagomu untuk menghadapiku sekarang juga!" tantang Serigala Mata Satu jumawa.

Adipati Tanuwijaya memandang geram pada Rajendra alias Serigala Mata Satu. Namun sekuat mungkin dia menahan sabar. Sebentar dia berbisik pada beberapa orang juri, kemudian terlihat kembali memandang Serigala Mata Satu.

"Sebagai seorang adipati, aku patut memenuhi janjiku. Meskipun kau seorang pengacau yang seharusnya ditangkap dan diadili, tapi kau kuperkenankan untuk ikut dalam pertandingan ini," ujar Adipati Tanuwijaya.

Kemudian, Adipati Tanuwijaya berpaling pada Jumangun. "Jumangun! Apakah kau bersedia menghadapi lawanmu?"

"Ampun, Kanjeng Adipati. Mana mungkin hamba berani menolak kalau memang lawan telah menunggu hamba!"

"He, cepat cabut senjatamu!" dengus Serigala Mata Satu.

"Kisanak! Sejak awal pertarungan, tak ada yang memakai senjata. Karena, tujuan pertandingan ini bukan untuk mencelakakan lawan," sahut Jumangun tenang.

"Huh! Siapa yang peduli! Bukankah tak ada peraturan yang mengatakan kalau tidak boleh menggunakan senjata? Bahkan kalau kau mampus di tanganku, maka pertarungan sah saja. Nah! Siapkanlah dirimu sebaik mungkin!" sahut Serigala Mata Satu, seraya melompat menyerang lawan.

"Hup!" Jumangun cepat menundukkan kepala, ketika satu tendangan Rajendra meluncur deras hendak menghantamnya. Tapi kemudian laki-laki bercambang bauk itu terkejut sendiri. Ternyata setelah menghindari, sambaran angin kencang Serigala Mata Satu seakan menggiris kulitnya.

Dan belum juga Jumangun mampu bernapas lagi, dia harus bergulingan menghindari serangan Serigala Mata Satu yang tak kepalang tanggung, dalam mempermainkan senjata tombak bermata tiganya. Dan hal ini membuat kedudukannya semakin terjepit. Sementara orang-orang yang menonton pertandingan mulai memaki-maki Serigala Mata Satu. Namun, tak seorang pun yang berani menghentikan pertarungan itu. Memang, dari semula tak ada aturan yang melarang seorang peserta menggunakan senjata.

"Yeaaa!"
"Uts!"

Jumangun semakin terdesak saja. Tubuhnya jatuh bangun berusaha menghindari serangan tanpa mampu membalas. Bahkan sepertinya dia tidak mampu mengelak ketika Serigala Mata Satu mengayunkan satu tendangan ke arah batok kepala. Namun dengan untung-untungan, kepalanya ditundukkan sambil melompat ke belakang. Sayang, saat itu juga Serigala Mata Satu lebih cepat berbalik dan langsung menyodokkan kepalan tangan kirinya ke dada Jumangun.

Desss!
"Aaakh...!"

Jumangun kontan memekik kesakitan. Tubuhnya langsung terjungkal sambil memuntahkan darah segar. Tapi, agaknya Serigala Mata Satu tak mau berhenti sampai di situ. Tubuhnya sudah melompat bermaksud menghabisi nyawa lawannya yang sudah ambruk di lantai arena. Namun, Serigala Mata Satu tidak mempedulikan bentakan itu. Dia terus melompat cepat sambil mengayunkan tombak di tangan untuk menghabisi Jumangun. Dan begitu ujung tombak hampir menyentuh tubuh Jumangun, mendadak saja melesat sesosok bayangan biru yang memapak serangan.

Trakkk!
"Uhhh...!"

Serigala Mata Satu kaget setengah mati ketika merasakan tombaknya ditangkis oleh suatu benda yang kuat luar biasa. Bahkan mampu membuat dadanya berdetak kencang. Belum lagi disadari apa yang terjadi, sekonyong-konyong datang serangan kembali yang menderu ke arahnya. Buru-buru dia melompat menghindari sambil memutar tombaknya dan kembali menangkis.

Trang!
Bet!
"Ohhh!"

Ketika dua senjata kembali beradu, kali ini himpitan tenaga dalam sosok berpakaian biru yang disalurkan lewat senjata membuat telapak tangan Serigala Mata Satu terasa nyeri. Bahkan tubuhnya sampai terjajar beberapa langkah. Keringat dingin kini mulai mengalir di tubuh Rajendra. Namun laki-laki itu tak kehilangan akal. Maka senjata rahasianya langsung dilemparkan.

Ser! Ser!

Beberapa buah benda melesat cepat, mengancam keselamatan sosok berpakaian biru itu. Namun dengan gerakan cepat bagai kilat sosok berpakaian biru itu memutar senjatanya yang berupa kipas baja putih sambil berjumpalitan.

Tring! Trang!

Beberapa buah paku beracun yang melesat ke arah bayangan biru itu, kontan buyar dan rontok ke bawah, tersambar kipas baja putih. Dan begitu bayangan biru itu menjejakkan kakinya, barulah Serigala Mata Satu bisa jelas melihatnya. Ternyata orang yang memapak serangannya adalah gadis cantik berbaju biru. Tampak tangannya memegang kipas baja putih. Gadis yang tak lain Pandan Wangi itu memandang sinis pada Serigala Mata Satu.

"Siapa kau?!" bentak Serigala Mata Satu, garang.

"Aku malaikat maut yang akan mencabut nyawamu!" kata Pandan Wangi, dingin.

"Setan! Kau pikir aku takut bila hanya berhadapan dengan seorang gadis?"

"Kau tak perlu takut, sebab memang akan mampus!" dengus Pandan Wangi geram.

Mendengar hal itu, bukan main geramnya Serigala Mata Satu. Maka dia langsung melompat menyerang lawan disertai pengerahan segenap kemampuan yang dimilikinya. Tapi, Pandan Wangi yang sejak tadi sudah geram melihat tingkah orang itu, langsung melayaninya. Maka kini pertarungan tak terelakkan lagi. Sementara itu, para penonton yang tadi kesal dan geram terhadap Serigala Mata Satu kini bersorak-sorak gembira. Apalagi yang maju kini seorang gadis cantik berkepandaian tinggi.

Sementara, Adipati Tanuwijaya sendiri yang merasa hajatnya jadi berantakan, tak tahu lagi harus berbuat apa, selain mendiamkan saja pertarungan berlangsung. Dalam adu senjata tadi, bisa dirasakan kalau tenaga dalam gadis itu tak berada di bawah lawannya. Bahkan mampu mengimbangi kecepatan gerak Serigala Mata Satu. Hal itulah yang membuat Pandan Wangi semakin percaya diri saat ini.

Meskipun lawan telah mengerahkan seluruh kehebatan permainan tombaknya, namun dengan gesit Pandan Wangi mampu lolos dari setiap incarannya. Bahkan dalam satu kesempatan, gadis itu berhasil menyodok pertahanan Serigala Mata Satu. Tubuhnya cepat menukik tajam, dan langsung menghantam genggaman tangannya pada tombak.

"Hiyaaa!"
Trang!

Ketika kedua senjata itu beradu, Serigala Mata Satu mengeluh kesakitan. Tubuhnya langsung mundur dengan langkah terhuyung-huyung. Tapi, Pandan Wangi tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kaki kanannya cepat terayun, menghantam ke arah dada lawan.

Desss!
"Uhh...!"

Serigala Mata Satu kontan memekik kesakitan. Tubuhnya langsung terlempar beberapa langkah kebelakang, dan jatuh deras di lantai arena. Dan pada saat itu juga, Pandan Wangi bermaksud menghabisi Serigala Mata Satu secepatnya. Bagaikan anak panah, tubuhnya melesat sambil mengayunkan pedangnya yang berisi tenaga dalam kuat.

"Yeaaa...!"
Ser! Ser!

Namun pada saat terjepit begitu, Serigala Mata Satu masih mampu berbuat curang, cepat dilemparkan paku-paku beracun ke arah Pandan Wangi. Namun, untung gadis itu telah dapat menduga. Maka kipas baja putihnya cepat diputar, dengan gemas menghantam senjata rahasia Serigala Mata Satu.

Trak! Trak!

Paku-paku beracun itu kontan rontok di hajar kipas baja putih Pandan Wangi. Namun ketika gadis itu berhenti memapak, Serigala Mata Satu telah melesat kabur.

"Wanita sial! Aku belum kalah. Hari ini, kau boleh merasakan kemenanganmu. Tapi lain hari, aku akan datang mencarimu! Dan saat itulah hari kematianmu!" teriak Serigala Mata Satu begitu tubuhnya telah jauh.

"Jahanam busuk! Ke sinilah kalau benar-benar bukan pengecut!" bentak Pandan Wangi sambil mendengus garang.

Tapi, gadis itu hanya bisa memandang geram, karena Serigala Mata Satu telah menghilang. Sambil menyelipkan kembali kipas baja putih pada pinggangnya, gadis itu keluar dari arena pertarungan. Namun baru saja melangkah dua tindak, Adipati Tanuwijaya menghampiri.

"Nisanak, kemarilah sesaat!"

Pandan Wangi menoleh, memandang lelaki berpakaian mewah itu. Sambil tersenyum, tubuhnya membungkuk memberi salam hormat.

"Maaf. Kalau tak salah, bukankah Kisanak Adipati Tanuwijaya? Maafkan sikapku!"

"Tak ada yang perlu dimaafkan Nisanak. Malah, akulah yang harus mengucapkan terima kasih. Kemarilah, ada yang ingin kubicarakan denganmu," ucap Adipati Tanuwijaya.

"Kanjeng Adipati, maaf. Hamba tak bisa menghampiri seorang diri, sebab hamba ke tempat ini bersama kawan," sahut Pandan Wangi.

"Hm. Kalau demikian, ajaklah kawanmu itu," titah Adipati Tanuwijaya.

********************

TUJUH

Pandan Wangi pun akhirnya mengajak Rangga untuk bersama-sama menghadap sang Adipati. Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti tak setuju atas ajakan itu. Bahkan sebelum Pandan Wangi turun tangan untuk membereskan Serigala Mata Satu, ada sesuatu yang ingin dirahasiakannya. Dan itu menyangkut keadaan dirinya. Beberapa tahun silam, raja negeri ini pernah datang ke Kerajaan Karang Setra. Dan pada saat itu, dia mengajak salah seorang adipatinya. Dan Rangga tak akan lupa wajah adipati itu. Dialah laki-laki berpakaian merah, yang kini tengah memanggil mereka!

"Kanjeng Adipati, maaf. Kami tak sengaja mengacau tempat ini," ucap Rangga hormat sambil menunduk ketika telah berada di hadapan Adipati Tanuwijaya.

Adipati Tanuwijaya langsung menatap tajam memperhatikan dari ujung kaki hingga kepala pemuda itu. Rasa-rasanya, pemuda ini memang pernah dikenalnya. Kemudian, terlihat dia buru-buru bangkit dari tempat duduknya, langsung tubuhnya membungkuk memberi penghormatan.

"Ampunkan hamba, Gusti Prabu Karang Setra. Suatu kehormatan besar bagi kadipaten ini mendapat kunjungan Kanjeng Gusti Prabu," ucap Adipati Tanuwijaya merendah.

"Kanjeng Adipati, apa-apaan ini? Apa yang kau lakukan? Bangkitlah. Lihatlah orang-orang memperhatikan dengan heran. Kami hanya pengembara biasa!" sahut Rangga, setengah tergagap.

"Gusti Prabu tak bisa menipu hamba. Dan pokoknya hamba tak akan berdiri sebelum Gusti Prabu mengakui hal itu," sahut Adipati Tanuwijaya, berkeras.

Rangga tak tahu, harus bersikap apa mendengar kata-kata Adipati Tanuwijaya. Meskipun dengan berat hati, akhirnya diakui kalau dirinya adalah Raja Karang Setra. Setelah itu, barulah Adipati Tanuwijaya bangkit seraya memberitahukan pada rakyatnya bahwa tamu mereka adalah Raja Karang Setra. Maka seketika orang-orang yang berada di tempat itu jadi terkejut melihat penampilan seorang raja dari kerajaan besar, tapi hanya berpakaian seperti orang-orang persilatan pada umumnya.

"Hidup Raja Karang Setra...!" teriak seseorang, kemudian diikuti yang lainnya dengan gegap gempita.

Hal seperti itulah yang tak disukai Rangga. Namun pada akhirnya, dia tak mampu menghindar. Adipati Tanuwijaya benar-benar menyambutnya dengan meriah. Maka seketika itu juga, seluruh orang yang berada dalam istana kadipaten sibuk menyambut kedatangan Raja Karang Setra itu. Adipati Tanuwijaya terus membawa Rangga dan Pandan wangi menuju ruangan balai sema agung istana kadipaten.

Dan di situ ternyata telah tersaji jamuan-jamuan untuk tamu kehormatan. Tak lupa, Adipati Tanuwijaya juga menjamu rakyatnya yang masih berkerumun di alun-alun depan rumahnya. Adipati Tanuwijaya sudah lama mengetahui kalau Rangga disamping seorang raja, juga seorang pendekar sakti yang sering mengembara. Hal itu pun diutarakan ketika mereka usai mengadakan jamuan makan.

"Gusti Prabu, sebenarnya hamba tak pantas memohon. Namun kedudukan hamba sangat terjepit. Sementara, pihak kerajaan mengira hamba melalaikan kewajiban dalam menyerahkan upeti. Oleh karena itulah, hamba mengadakan pertandingan ini," jelas Adipati Tanuwijaya, setelah menceritakan persoalan yang menimpa dirinya.

"Ya, ya. Aku mengerti apa yang kau pikirkan, Paman Adipati Tanuwijaya," kata Rangga yang telah menyebut paman pada adipati itu.

"Sepanjang perjalanan menuju tempat ini, banyak kudengar berita tentang Serigala Iblis Bercambuk Emas. Hal ini memang tak bisa dibiarkan berlarut-larut..."

"Hamba telah kehabisan akal untuk menghadapinya, Gusti Prabu. Dan kini tak tahu harus berbuat apa. Kalau dibiarkan terus, mereka akan semakin merajalela. Beberapa utusan yang hamba kiri ke kerajaan untuk memberitahukan hal ini, mereka bunuh. Bahkan tak seorang pun yang pernah kembali lagi," kata Adipati Tanuwijaya melanjutkan keterangannya. Rangga kembali mengangguk-angguk kecil.

"Aku pun tegah berpikir untuk memberi peringatan padanya," kata Rangga pelan.

"Oh! Sungguhkah Gusti Prabu akan membantu kami?!" tanya Adipati Tanuwijaya, meyakinkan dengan wajah berbinar-binar. Rangga mengangguk pasti.

"Oh! Terima kasih, Gusti Prabu! Terima kasih! Kami tak tahu bagaimana membalas kebaikan Gusti Prabu," ucap Adipati Tanuwijaya, sambil memberi hormat berkali-kali.

"Apakah mereka bersarang di Bukit Serigala? Hm.... Kalau tak salah di tempat itu terdapat kawanan serigala liar yang bisa diperintah mereka untuk menyerang lawan-lawannya?" gumam Rangga seperti berkata pada diri sendiri.

"Betul, Gusti Prabu! Hal itulah yang amat menyulitkan para pengawal hamba untuk meringkus, selain kepandaian mereka juga tinggi!" jelas Adipati Tanuwijaya.

"Hm.... Ajaklah para pengawalmu, serta penduduk kadipaten ini. Bawa obor yang banyak, dan kita akan ke Bukit Serigala.

"Ya! Hamba mengerti. Serigala takut api. Bukankah obor-obor itu untuk menakut-nakuti kawanan serigala, Gusti Prabu?" Rangga mengangguk.

"Tapi kalian tak boleh menampakkan diri, sampai aku berhadapan dengan mereka. Dan obor-obor itu juga jangan dinyalakan dulu. Ketika kawanan serigala itu menyerbu, barulah obor itu dinyalakan. Dan kalian segera bergerak bersama-sama menghalau kawanan serigala itu," jelas Rangga.

"Hamba mengerti, Gusti Prabu. Hamba sendiri yang akan turun tangan memimpin mereka!" sahut Adipati Tanuwijaya bersemangat.

"Syukurlah. Nah! Kalau demikian, kita bisa mulai ke Bukit Serigala setelah hari sedikit gelap. Persiapkanlah segala sesuatunya dari sekarang!"

"Baik, Gusti Prabu! Hamba akan mempersiapkannya sekarang juga!" sahut Adipati Tanuwijaya dengan wajah cerah

********************

Menjelang sore, Bukit Serigala tampak diliputi suasana yang mencekam. Beberapa orang tampak berhadapan dengan dua sosok tubuh. Sorot mata masing-masing terlihat nyalang. Yang dua orang tak lain Ki Lodaya alias Serigala Iblis Bercambuk Emas. Dia didampingi murid pertamanya, Gumarang. Atau, lebih dikenal sebagai Serigala Buntung.

Sementara di depan mereka, terlihat seorang laki-laki bertubuh gemuk dan besar. Mukanya lebar, dengan dagu agak panjang. Sepasang matanya agak menyipit. Bajunya longgar, sehingga tubuhnya jadi mirip gajah. Tangan kanannya tampak menggenggam sebuah senjata tongkat. Namun bentuknya mirip seekor ular yang sedang melilit pada sebatang pohon. Dan pada kedua sisinya tampak tajam, seperti mata pedang. Bahkan pada ujungnya berbentuk anak panah.

Melihat ciri-cirinya, orang sering memanggilnya Ki Keong Geni. Sementara di sebelah Ki Keong Geni terlihat seorang lelaki berkepala botak. Kulit yang hitam legam terbungkus rompi hitam. Di pinggangnya tampak terselip golok. Orang itu bernama Wisesa, Ketua Perampok Golok Perak. Dan di belakangnya, tampak sepuluh orang anak buah pilihan berdiri siap menunggu perintah.

Mereka semua memang mempunyai tujuan menguasai Bukit Serigala ini. Dan sebelum datang ke sini, kekuatan Ki Lodaya beserta dua orang muridnya memang telah diperhitungkan. Untuk itulah, Wisesa hanya membawa sepuluh anak buahnya yang bisa diandalkan.

"Pulanglah kalian, sebelum amarahku memuncak! Tujuan kalian hanya sia-sia ke tempat ini!" kata Ki Lodaya, yang begitu berang mendengar maksud mereka.

"Ha ha ha...! Ki Lodaya! Apakah kau pikir dirimu itu sudah hebat? Phuih! Kami datang jauh-jauh ke tempat ini sudah jelas maksudnya. Kau terlalu serakah menyimpan harta rampokan. Dan kami pun ingin mencicipi sedikit!" sahut Ki Keong Geni.

Dia dikenal sebagai tokoh golongan hitam yang sering merampok dan membunuh. "Ha ha ha...! Serigala Iblis Bercambuk Emas! Kalau kami malah cukup berbaik hati. Jika kau memberi sedikit bagian, tentu kami tak akan mengganggumu lagi," sahut Wisesa sambil terkekeh kecil.

Mendengar kata-kata mereka yang bernada terang-terangan, tentu saja Ki Lodaya merasa tak senang. Wajahnya semakin kelam. Sedangkan sorot matanya tampak memancar kebencian yang dalam. Perlahan-lahan dilepaskannya cambuk yang terselip di pinggangnya.

"Kalau demikian, aku pun tak punya pilihan lagi. Kalian harus mati!" ancam Serigala Iblis Bercambuk Emas, dingin menggetarkan.

"Huh! Kau pikir aku takut? Kaulah yang sebaiknya cepat mampus lebih dulu!" geram Ki Keong Geni, langsung melesat hendak menyerang lawan.

"Aku juga tak mau ketinggalan, Kisanak! Lebih cepat dia mampus, akan lebih baik!" timpal Wisesa sudah ikut menyerang lawan.

"Gumarang! Si botak jelek ini, bagianmu. Sementara biar anak buahnya direncah kawanan serigala itu!" dengus Ki Lodaya sambil melecutkan cambuk membelah angkasa.

"Baik, Guru!" sahut Gumarang cepat memapak serangan Wisesa.

Ctarrr!

"Serbuuu...!" teriak anak buah Wisesa ikut mengeroyok kedua guru dan murid itu.

Namun dengan gesit dan lincah, Ki Lodaya melenting tinggi sambil berputaran di udara untuk menghindari sambaran senjata Ki Keong Geni yang aneh itu. Cambuk di tangannya kembali melesat ke angkasa, menimbulkan suara menggelegar memekakkan telinga.

Ctarrr!
"Auuung...!"
"Heh?!"

Seketika juga, terdengar raungan serigala dari kejauhan saling bersahutan. Dan dalam beberapa saat saja, terlihat debu mengepul di kejauhan dalam deretan yang panjang. Ki Keong Geni, Wisesa, dan anak buahnya tersentak kaget, dan lebih terkejut lagi, ketika melihat puluhan kawanan serigala berlari cepat ke arah pertarungan. Namun kelengahan yang sesaat itu, justru membuat keselamatan mereka terancam. Karena, Ki Lodaya dan Gumarang memang tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka langsung mengebutkan senjata masing-masing, mengancam keselamatan musuh-musuhnya.

Brettt!
Crasss!
Begkh!
Ctarrr!
"Aaa...!"

Dua orang anak buah Wisesa kontan tewas tersambar cakar besi di tangan kiri Gumarang. Sementara, seorang lagi tersambar senjata aritnya. Akibatnya hampir membuat leher orang itu putus. Gumarang sendiri nyaris terkena sodokan, kalau tak buru-buru melompat ke belakang. Sementara itu dua orang anak buah Wisesa yang mengeroyok Ki Lodaya, langsung terjengkang sambil menjerit kesakitan, begitu satu tendangan keras menghantam dada mereka hampir bersamaan.

Sedangkan Ki Keong Geni mengeluh kesakitan ketika ujung cambuk lawan menyambar dada kanannya, sehingga membuat luka yang cukup parah. Kalau saja tadi tak sempat memiringkan tubuh, niscaya akan remuk dihajar ujung cambuk yang berisi tenaga dalam tinggi itu. Bahkan dalam keadaan demikian, mereka dibuat repot oleh kehadiran kawanan serigala liar yang langsung menerkam buas.

Melihat hal ini Ki Keong Geni jadi mengerutukkan rahang. Dan senjatanya langsung diayunkan menghadapi serbuan hewan-hewan liar itu. Demikian juga halnya Wisesa, serta anak buahnya yang tersisa. Tapi, gerakan mereka tak leluasa lagi. Bahkan semakin terjepit ketika Ki Lodaya dan muridnya tak memberi sedikit pun kesempatan untuk bisa lolos dari tempat itu.

"Kalian akan mampus semuanya! Tak seorang pun yang boleh pergi dari tempat ini dengan selamat!" dengus Ki Lodaya geram.

Agaknya, Serigala Iblis Bercambuk Emas memang betul-betul ingin membuktikan ucapannya. Sehingga, tak heran bila serangan-serangan yang dilakukan demikian gencar. Akibatnya, Ki Keong Geni semakin keteter saja.

"Guru, aku datang membantu!" Dan pada saat itu juga, mendadak terdengar satu bentakan nyaring yang langsung menyerang Ki Keong Geni.

"Yeaaa...!"
Ser! Ser!
"Uhhh...!"
Tring! Tring!

Ki Keong Geni kontan terkejut setengah mati ketika merasakan ada sambaran senjata rahasia ke arahnya. Dengan cepat tubuhnya berbalik sambil mengayunkan senjatanya untuk menangkis. Beberapa buah paku beracun berhasil dirontokkannya.

Ctarrr!
"Graungrrr...!
Crab!

Namun saat itu pula, ujung cambuk Ki Lodaya menjilat ke arah perutnya. Ki Keong Geni terkesiap, lalu buru-buru membalikkan tubuhnya untuk menangkis. Namun bersamaan dengan itu, seekor serigala cepat menerkam tengkuknya dari belakang. Bahkan senjata rahasia yang kembali dilemparkan orang yang baru datang itu cepat menghujam pinggang hingga ke kakinya.

"Aaa...!"

Ki Keong Geni memekik. Perutnya terlihat hancur dihantam cambuk lawan meskipun masih sempat menangkis. Dan lehernya di bagian pundak terluka parah, digigit serigala itu. Sementara, dua buah paku beracun tampak menancap di pinggang kiri dan kanannya. Tubuh Ki Keong Geni terhuyung-huyung sebentar, lalu ambruk di tanah. Dia menggelepar beberapa saat, kemudian diam tak bergerak! Tampak darah mengalir deras dari perut dan pundaknya.

Ki Lodaya kembali melesat, langsung membereskan anak buah Wisesa yang hanya tinggal segelintir saja. Apalagi semangat orang-orang berkepandaian tanggung itu telah terbang begitu melihat kawanan serigala. Sehingga dalam waktu singkat, mereka sudah dapat dibinasakan. Wisesa sendiri keadaannya sangat terjepit. Beberapa kali senjata Gumarang nyaris merobek tubuhnya.

Belum lagi, harus menghindar dengan hati-hati dari terkaman serigala-serigala liar. Namun sekuat apa pun bertahan, dia tak akan bertahan lama. Hal itu terlihat, ketika tangan Gumarang yang terbuat dari besi berbentuk cakar serigala menyambar ke arah perut lawan. Wisesa melompat ke atas. Namun, tiga ekor serigala langsung serentak menerkamnya. Maka dengan kalang kabut, goloknya dikibaskan. Dua ekor berhasil dibunuh, namun yang seekor lagi sempat merobek paha kanannya. Dan pada saat itu, senjata Gumarang cepat menyambar dadanya.

Wuttt!
Crasss...!
"Aaa...!"

Wisesa kontan terpekik. Dan beberapa buah tulang rusuknya patah dan dadanya terluka parah. Namun Gumarang tak mau memberi kesempatan lagi. Tangan kirinya kembali menyambar ke arah leher, tak sempat dihindari Wisesa sedikit pun.

Brettt!
"Okh...."

Wisesa hanya bisa mengeluh tertahan. Lehernya kontan nyaris putus disambar cakar kiri Gumarang. Darah kontan menyembur deras dari leher. Sebentar dia terhuyung lalu jatuh ke tanah tidak bergerak lagi. Napasnya putus seketika itu juga. Bahkan begitu jatuh di tanah, kawanan serigala cepat merencahnya dengan buas.

Beberapa saat saja, orang-orang itu tinggal tulang belulangnya. Kawanan serigala itu agaknya masih belum kenyang dengan santapan yang telah habis, sehingga sorot mata mereka memancar tajam terarah pada Ki Lodaya dan kedua muridnya. Namun dengan sekali melecutkan cambuknya, maka kawanan serigala itu perlahan-lahan menjauh.

"Rajendra! Apa yang kau peroleh dari Kadipaten Indrakasih?" tanya Ki Lodaya, setelah kawanan serigala itu berlarian menjauhi mereka.

"Adipati Tanuwijaya mengadakan sayembara. Dia mencari orang-orang yang bisa diandalkan untuk menghancurkan kita," jelas Rajendra alias Serigala Mata Satu setelah menjura hormat.

"Aku berhasil memporak-porandakan mereka, dan bermaksud menghabisi orang-orang itu...," sahut Rajendra menghentikan kata-katanya sambil menundukkan kepala.

"Lalu?!" desak Ki Lodaya, keras penuh curiga.

"Kalau saja pada saat itu tak muncul seorang gadis berbaju biru yang menggagalkan rencanaku...," lanjut Rajendra, takut-takut.

"Keparat! Jadi kau dikalahkan oleh gadis itu?!" bola mata Ki Lodaya" mendelik garang.

"Ma..., maafkan aku, Guru. Kepandaian gadis itu memang hebat. Aku telah berusaha melawan sekuat tenaga, tapi dia memang terlalu kuat bagiku," jelas Rajendra, terbata-bata.

Serigala Iblis Bercambuk Emas diam beberapa saat sambil memandang muridnya dengan sorot mata tajam. Sedangkan Rajendra tak berani mengangkat wajahnya. Dia hanya bisa menunduk dalam-dalam, menekuri tanah. Agaknya, hatinya sudah pasrah bila saja nanti mendapat hukuman yang akan dijatuhkan gurunya.

"Guru! Aku memang tak mampu menjalankan tugas dengan baik. Silakan kalau Guru hendak menghukumku...," kata Rajendra lirih.

"Seharusnya kau memang pantas dihukum. Tapi, aku ingin tahu lebih lanjut apa yang kau lakukan setelah kabur dari hadapan mereka?" tanya Ki Lodaya.

"Aku berusaha mencari tahu, siapa gadis itu. Lalu, aku menyelinap secara diam-diam di antara kerumunan penduduk desa," sahut Rajendra.

"Bagus! Lantas, apa yang kau ketahui tentangnya?"

"Tak banyak, Guru. Tapi, justru kawannya tiba-tiba saja dielu-elukan para penduduk."

"Kawannya?"

"Ya! Agaknya, mereka baru tiba di kadipaten itu. Kawan gadis itu adalah pemuda gagah berwajah tampan. Bajunya rompi putih, dan membawa sebilah pedang bergagang kepala burung yang tersandang di punggung. Mereka menyebutnya sebagai Gusti Prabu. Dan belakangan ini kuketahui, kalau dia adalah Raja dari Karang Setra," jelas Rajendra.

"Raja dari Karang Setra? Hm... Ya..., ya. Sebentar! Apa yang kau katakan tadi? Pemuda tampan yang memakai baju rompi putih?" tanya Ki Lodaya dengan wajah terkejut.

"Betul, Guru. Apakah Guru mengenalnya?"

"Apa dia orangnya...?" gumam Ki Lodaya seperti pada diri sendiri. Kedua murid Ki Lodaya menjadi bingung melihat sikap gurunya.

"Apakah Guru mengenal pemuda itu?" tanya Gumarang, memberanikan diri.

"Aku curiga. Jangan-jangan, dia Pendekar Rajawali Sakti...."

"Pendekar Rajawali Sakti? Siapa dia itu Guru?" tanya Gumarang lagi.

"Dia seorang pendekar sakti yang tak terkalahkan. Ciri-cirinya pernah kudengar dan kulihat sendiri. Dan itu sama persis dengan yang diceritakan Rajendra. Lagi pula, pernah kudengar kalau dia memang seorang raja yang sering berkelana!" desis Ki Lodaya termangu sendiri.

"Guru! Apakah Guru khawatir jika dia datang ke tempat kita ini?" tanya Gumarang kembali. Ki Lodaya tak langsung menjawab, melainkan memperhatikan wajah muridnya satu persatu.

"Tak seorang pun kuperkenankan untuk menangkapku. Dengan adanya kalian serigala-serigala liar, serta cambuk emas yang kumiliki ini, tak seorang pun yang mampu mengusik kita!" tandas Ki Lodaya penuh semangat.

"Guru! Apakah kita perlu untuk menyerang mereka ke kadipaten itu?" tanya Gumarang.

"Tidak perlu. Aku tahu betul. Pendekar Rajawali Sakti tak akan diam begitu saja, setelah mengetahui tentang kita. Dia pasti akan datang ke sini. Dan untuk itu, kita harus siap-siap menyambutnya. Dan kau, Rajendra. Kali ini kegagalanmu kumaafkan. Bersiaplah untuk menghadapi lawan yang lebih tangguh!" ujar Ki Lodaya sambil melangkah perlahan meninggalkan tempat itu.

"Terima kasih, Guru!" sahut Rajendra, dengan wajah cerah.

Mereka kemudian berlalu dari tempat itu. Sementara, matahari telah tenggelam di ufuk barat meninggalkan bias kemerahan yang masih tersisa. Dan perlahan-lahan, cahayanya memudar ketika malam telah menyergap kawasan itu.

********************

DELAPAN

Kegelapan mulai menyelimuti seluruh kawasan Bukit Serigala ini. Dingin menyapu sekitarnya, begitu angin bertiup perlahan-lahan. Langit terlihat cerah. Dan bulan lembut sekali memancarkan sinar yang kemilau menerangi seluruh tempat itu. Di kejauhan, terdengar lolongan serigala saling bersahutan. Di sebuah jalan yang menuju Bukit Serigala, tampak dua orang tengah mengendarai kuda. Mereka berhenti persis di dekat sebuah batu karang yang menjulang ke atas dan membentuk sebuah kerucut.

Bagian bawahnya sendiri lebar tak rata, dan terus bersambung dengan jejeran bukit-bukit kecil yang tandus di sekitarnya. Sementara, tak jauh di belakang gugusan karang-karang kecil itu terlihat sebuah hutan yang memanjang dan luas. Sedangkan di depan mereka, terhambar padang rumput yang cukup lebar. Dan di ujung mata memandang, terlihat dua buah gunung yang menjulang tinggi. Kedua anak muda yang tak lain Rangga dan Pandan Wangi itu memandang sekilas ke sekeliling tempat itu tanpa turun dari punggung kuda masing-masing.

"Kakang! Tempat ini sepi dan menyeramkan...," kata Pandan Wangi sambil memandang ke sekeliling.

"Kenapa? Kau takut?" tanya Rangga sambil tersenyum kecil.

"Tidak. Justru aku ingin cepat-cepat melihat tampang orang yang berjuluk Serigala Iblis Bercambuk Emas!" sahut Pandan Wangi sengit.

"Kurasa dia telah mengetahui kehadiran kita...," kata Rangga tenang.

"Kakang...?" Pandan Wangi langsung memandang wajah pemuda itu, seolah ingin meyakinkan kata-kata yang dikeluarkan Rangga tadi.

"Mereka tengah mengawasi kita," kata Rangga tersenyum dan mengangguk.

"Di mana?"

"Di balik pepohonan itu...," tunjuk Rangga, kesebuah pohon yang tumbuh beberapa tombak di depannya. Baru saja Rangga selesai berkata demikian, mendadak melesat satu sosok tubuh dari arah yang ditunjuknya.

"Ha ha ha...! Dugaanku tak salah, ternyata Pendekar Rajawali Sakti berkenan juga untuk mengunjungi tempatku yang buruk ini!"

Begitu menjejakkan kaki pada jarak sepuluh langkah di depan Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi, sosok itu langsung tertawa terbahak-bahak. Rangga dan Pandan Wangi jelas dapat melihat sesosok laki-laki bertubuh sedang itu. Tampak kain kuning, diselempangkan ke pundak kirinya. Mukanya seram dan kedua rahangnya menonjol. Rambutnya panjang riap-riap berwarna kuning keemasan. Di pinggang sebelah kanan, terlihat seutas cambuk berwarna keemasan.

"Kaukah yang bernama Serigala Iblis Bercambuk Emas?" tanya Rangga meyakinkan.

"Tak salah. Ternyata, namaku telah sampai pula di telingamu!" sahut orang yang berjuluk Serigala Iblis Bercambuk Emas itu sambil tersenyum sinis.

"Serigala Iblis Bercambuk Emas! Aku telah banyak mendengar sepak terjangmu bersama dua muridmu. Dan ternyata kau sudah melampaui batas-batas kemanusiaan. Maka, kuminta agar kau dan dua muridmu menyerahkan diri sekarang juga...."

"Pendekar Rajawali Sakti! Kau tak perlu berbasa-basi! Tempat ini milikku. Dan, akulah yang berkuasa di sini. Tak seorang pun yang berhak memerintahku. Jika aku ingin nyawa kalian, hanya seperti membalikkan tangan saja. Nah! Tak usah banyak bicara lagi. Cabutlah pedangmu, dan pertahankan nyawamu. Karena, aku akan mengambil sekarang juga!" sentak Serigala Iblis Bercambuk Emas.

"Hm.... Aku percaya kata-katamu itu, Kisanak. Tapi, jangan terlalu jumawa. Aku takut, malah kau sendiri yang terkubur di sini bersama dua muridmu yang berjiwa melempem, karena terus bersembunyi di belakang pohon itu," balas Pendekar Rajawali Sakti dingin.

Ki Lodaya mendengus geram mendengar perkataan Pendekar Rajawali Sakti yang seperti meremehkannya. Kemudian matanya memandang ke satu arah, seraya melambaikan tangannya. Saat itu juga, melesat dua sosok tubuh ke tempat ini. Mereka tak lain dari Gumarang alias Serigala Buntung, dan Rajendra alias Serigala Mata Satu.

"Nah! Kami kini telah berkumpul. Kau boleh menentukan kematianmu sendiri, Kisanak," geram Ki Lodaya.

"Apakah kalian bersungguh-sungguh? Padahal aku datang secara baik-baik. Tapi apabila kau menjualnya apa salahnya kubeli. Sekalian untuk mempertanggungjawabkan sepak terjangmu selama ini...," timpal Rangga lagi, tenang.

"Banyak mulut! Lebih baik, mampuslah kau sekarang!" bentak Rajendra. Kemudian, Serigala Mata Satu langsung melemparkan paku-paku racunnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Serigala Iblis Bercambuk Emas, kuperingatkan sekali lagi! Aku masih bisa menahan sabar, agar tidak ada pertumpahan darah!" bentak Rangga sambil melompat dari punggung kudanya untuk menghindari lemparan senjata rahasia Rajendra.

"Sebaiknya jagalah dirimu agar selamat, daripada coba-coba mengancamku!" balas Ki Lodaya sudah langsung melecut cambuknya, tepat ketika Rangga mendarat manis di tanah.

Ctarrr...!

Belum juga gema lecutan cambuk itu hilang, dari kejauhan terlihat puluhan ekor kawanan serigala liar berlari kencang mendekati tempat itu. Ki Lodaya langsung menunjukkan wajah cerah.

"Kau lihat itu, Pendekar Rajawali Sakti? Setinggi apa pun ilmu yang dimiliki, mampukah melawan kawanan serigala yang buas dan kelaparan itu? Ha ha ha...! Kalian akan mampus direncah mereka!" ejek Ki Lodaya sambil tertawa.

Rangga tersenyum dingin, kemudian bersuit nyaring. Maka dari jarak yang cukup jauh, terlihat lebih dari seratus orang penduduk berdatangan sambil menyalakan obor. Dan kini mereka siap menghadang kawanan serigala itu. Ki Lodaya tersentak kaget. Demikian juga kedua orang muridnya.

"Serigala-serigala liar itu kini mempunyai lawan-lawannya. Dan kalian akan berurusan dengan kami!" kata Rangga kalem.

"Huh! Kalau begitu, mampuslah kalian!" dengus Ki Lodaya sambil melecutkan cambuknya menghajar lawan.

Ctarrr...!

Pendekar Rajawali Sakti cepat melenting ke atas ketika merasakan angin kencang yang membuat perih kulit tubuhnya, akibat lecutan cambuk lawan. Dan bersamaan dengan itu, kawanan serigala yang tengah dihadang para penduduk itu terlihat semakin garang saja. Meskipun pada mulanya takut-takut melihat obor yang menerangi tempat itu, namun lecutan cambuk itu seperti memacu keberanian mereka!

Sehingga, tak heran bila beberapa ekor serigala berani menjerang orang-orang yang tengah menghadangnya. Dan hal itu menimbulkan kekalutan bagi orang-orang yang kebanyakan bermodal keberanian saja. Ketika tercium bau darah yang berasal dai beberapa orang yang berhasil dilukai, kawanan serigala itu seperti berlomba untuk mendapatkan mangsanya. Apalagi, ketika mendengar suara cambuk yang berkali-kali melecut di angkasa.

Maka kawanan serigala itu bertambah liar dan buas saja. Hal itu agaknya disengaja oleh Ki Lodaya untuk mengalihkan perhatian lawan. Di samping mempengaruhi kawanan serigala. Hal inilah yang membuat Pendekar Rajawali Sakti menjadi geram. Apalagi, ketika mendengar jeritan kesakitan dari beberapa orang penduduk yang mulai menjadi korban kebuasan kawanan serigala itu.

"Serigala Iblis Bercambuk Emas! Kau sudah keterlaluan! Perbuatanmu tak bisa kubiarkan lagi. Pertahankanlah jiwamu sekuat mungkin!" geram Rangga sambil mencabut pedang pusakanya.

Rupanya, Pendekar Rajawali Sakti menganggap kalau lawannya tidak mungkin dihadapi dengan tangan kosong saja. Apalagi, ketika melihat kawanan serigala itu telah membunuh beberapa penduduk. Dan Pendekar Rajawali Sakti memang tidak mau tanggung-tanggung lagi. Maka untuk menahan lecutan cambuk yang bisa mempengaruhi serigala, Rangga harus mencabut pedangnya.

Srang!
"Heh?!"

Untuk sesaat, Ki Lodaya dan Rajendra tersentak kaget melihat sinar biru terpancar dari batang Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang menerangi sekitarnya. Raut wajah Pendekar Rajawali Sakti mengandung hawa kemarahan, seperti seekor rajawali yang hendak menerkam mangsanya.

"Keparat! Apa kau pikir aku takut dengan pedang bututmu?!" geram Ki Lodaya dan muridnya. Dan mereka sudah langsung melompat menyerang lawan.

"Yeaaa...!"
Ser! Ser!
Ctarrr...!

Dengan didahului lontaran paku-paku beracun, Serigala Mata Satu, langsung menyambar tubuh Pendekar Rajawali Sakti dengan senjata tombak bermata tiga yang diputar-putar bagai kitiran. Sementara, Serigala Iblis Bercambuk Emas mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya yang dimiliki, sambil mengayunkan cambuk yang siap menjilat tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga cepat menyilangkan pedangnya persis di depan wajah, kemudian mendadak tubuhnya melompat ke atas. Dan Pendekar Rajawali Sakti langsung mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', yang digabung dengan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'.

"Hiyaaa...!"
Trasss! Trasss!
Weerrr...!

Sekali pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti berkelebat, maka paku-paku beracun yang dilepaskan Serigala Mata Satu rontok tak berbentuk. Bahkan tombak bermata tiga di tangannya pun patah menjadi tiga bagian. Dan tubuh Rajendra nyaris terkoyak kalau saja pada saat itu tak buru-buru menjatuhkan diri ke tanah. Demikian pula halnya Serigala Iblis Bercambuk Emas.

Bukan main terkejutnya dia, ketika melihat cambuknya yang melesat ke arah lawan, dihajar Pedang Pusaka Pendekar Rajawali Sakti hingga putus dari setengahnya. Saat itu, ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti tampak bergetar menyambar ke arah dadanya. Ki Lodaya tergagap, dan berusaha menjatuhkan diri ke bawah. Namun, Pendekar Rajawali Sakti cepat melepaskan tendangan kaki kiri. Begitu cepatnya tendangan itu, sehingga tak mampu dihindari.

Desss!
"Aaakh...!"

Ki Lodaya kontan memekik kesakitan. Tubuhnya langsung terjungkal ke tanah lebih kurang tujuh langkah sambil memuntahkan darah segar. Namun Pendekar Rajawali Sakti tak langsung mengejar. Dia malah berjalan perlahan-lahan mendekati lawan yang berusaha bangkit susah payah. Dan tanpa diketahui, tiba-tiba Rajendra melesat cepat hendak membokong Pendekar Rajawali Sakti. Untung saja pada saat yang sama, terdengar satu suara nyaring yang diikuti melesatnya sesosok tubuh. Dan sosok itu langsung memapak serangan Serigala Mata Satu!

"Pendekar Rajawali Sakti! Izinkanlah Dewa Bermuka Bulan untuk membantumu menghajar keparat licik ini! Yeaaa...!"

Ternyata sosok itu adalah Dewa Bermuka Bulan. Dan laki-laki berpakaian serba hitam itu langsung menyerang Serigala Mata Satu. Rangga tak menoleh sedikit pun mendengar suara itu. Pandangannya masih lurus menatap ke arah Ki Lodaya, seperti tak berkedip. Serigala Iblis Bercambuk Emas itu sendiri beringsut-ingsut mundur dengan wajah ketakutan.

"Ampun.... Ampunilah selembar nyawa ini, Kisanak. Aku mengaku salah, dan rela dihukum berat asal kau tak mencabut nyawaku ini...!" ratap Ki Lodaya, memasang wajah memilukan.

Langkah Pendekar Rajawali Sakti terhenti, ketika jaraknya hanya tinggal tiga langkah lagi. Ditatapnya wajah Ki Lodaya yang memelas itu sesaat. Kemudian tanpa berkata apa-apa, tubuhnya berbalik dan bersiap menyarungkan pedangnya perlahan-lahan. Merasa kalau lawan berbuat lengah, diam-diam Ki Lodaya mencabut dua bilah pisau kecil berwarna keemasan dari balik pinggangnya. Dan pisau beracun yang jarang digunakan itu cepat dihujamkan ke arah dua paha lawan.

"Mampuslah kau keparat! Hiiih!"
Wuttt!

Namun Pendekar Rajawali Sakti agaknya sudah menduga kelicikan Ki Lodaya. Maka tubuhnya langsung melenting ke atas sambil berputar. Seketika pedangnya berkelebat, menyambar dengan gerakan menyilang.

Crasss!
"Aaa...!"

Mulai dari bahu kiri hingga pinggang kanan Ki Lodaya nyaris terbelah tersambar senjata Pendekar Rajawali Sakti. Diiringi jeritan panjang memilukan, tubuh Serigala Iblis Bercambuk Emas langsung ambruk ke tanah. Setelah meregang nyawa sesaat, Nyawa Ki Lodaya melayang saat itu juga.

Melihat kematian gurunya, agaknya berpengaruh besar bagi Rajendra dan Gumarang. Bahkan Gumarang yang sejak tadi didesak habis-habisan oleh Pandan Wangi, kini harus menerima pengalaman pahit, begitu lengah saat melihat kematian gurunya. Pedang di tangan Pandan Wangi tanpa dapat dicegah lagi menyambar tangan kirinya sebatas bahu!

Crasss!
"Aaakh...!"

Serigala Buntung kontan memekik kesakitan, begitu tangannya buntung sebatas bahu. Dan nampaknya Pandan Wangi tidak memberi kesempatan lagi. Kaki kanannya cepat bergerak menghajar dada kiri Gumarang.

Begkh!
"Ugkh!"

Serigala Buntung kembali memekik kesakitan. Tubuhnya kontan terjungkal ke tanah beberapa langkah sambil memuntahkan darah segar. Bahkan tulang rusuk di dada kirinya sempat patah dan melesak ke dalam, akibat tendangan Pandan Wangi. Seketika Gumarang hanya bisa menggelepar-gelepar beberapa saat, kemudian diam tak bergerak lagi. Mati!

Sementara itu Serigala Mata Satu, semakin gelisah saja melihat guru dan saudara seperguruannya tewas. Lebih lagi, yang dihadapinya kali ini adalah lawan tangguh yang pernah mempecundanginya beberapa hari yang lalu, yaitu Dewa Bermuka Bulan. Tanpa tombaknya, Rajendra menjadi bulan-bulanan dan hanya mengandalkan senjata rahasia yang semakin menipis jumlahnya. Sedangkan Dewa Bermuka Bulan terus mencecar dan tak memberi sedikit pun kesempatan. Dalam satu kesempatan ujung pedangnya menyambar dada Rajendra. Begitu cepat sambarannya, sehingga Rajendra tak bisa menghindarinya.

Crasss!
"Aaakh...!"

Serigala Mata Satu kontan menjerit kesakitan begitu perutnya robek tersambar pedang Dewa Bermuka Bulan. Dan kesempatan itu tidak disia-siakan oleh laki-laki berpakaian serba hitam itu, dengan pedangnya kembali berkelebat menyambar.

Crasss!
"Aaa...!"

Kali ini, Serigala Mata Satu hanya bisa berteriak tertahan ketika ujung pedang Dewa Bermuka Bulan nyaris membuat lehernya putus! Darah kontan muncrat dari leher. Sebentar Rajendra terhuyung-huyung, lalu ambruk ke tanah. Mati!

"Mampus!" dengus Dewa Bermuka Bulan sambil menyarungkan pedangnya.

Dewa Bermuka Bulan melihat sekilas ke arah para penduduk desa yang berhasil mengusir kawanan serigala itu. Sejak cambuk di tangan Ki Lodaya berhasil dihancurkan Pendekar Rajawali Sakti, kawanan serigala itu seperti kebingungan. Maka kesempatan itu digunakan sebagian penduduk desa yang terdiri dari para pengawal kadipaten dan jago-jago silat, untuk menghalau serigala-serigala itu.

Tindakan itu tentu saja membuat penduduk lain yang tadinya merasa takut, langsung bangkit semangatnya. Dan secara beramai-ramai mereka menghalau kawanan serigala hingga lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu. Kemudian sambil berteriak-teriak gembira, mereka beramai-ramai menghampiri Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi.

"Serigala Iblis Bercambuk Emas telah mati! Hidup Pendekar Rajawali Sakti!" teriak seseorang.

"Hidup Raja Karang Setra...!" timpal yang lain dengan gegap gempita.

"Hm.... Tak kusangka kalau penolongku ternyata seorang pendekar tersohor!" ujar Dewa Bermuka Bulan sambil menghampiri Rangga dan Pandan Wangi.

"Terima kasih juga atas pertolonganmu, Kisanak," sahut Rangga merendah.

"Ah, tak perlu! Aku memang mempunyai dendam terhadap mereka. Tak dapat si keparat Lodaya itu, muridnya pun tak apa. Nah, Kisanak. Rasanya aku tak bisa berlama-lama di sini. Selamat tinggal, dan sampai ketemu lagi!" sahut Dewa Bermuka Bulan.

Tubuhnya langsung melesat meninggalkan tempat itu, sebelum rombongan yang dipimpin Adipati Tanuwijaya tiba di tempat itu. Ilmu meringankan tubuhnya memang cukup tinggi, sehingga sebentar saja tubuhnya telah menghilang dari tempat itu. Rangga dan Pandan Wangi hanya tersenyum melihat Dewa Bermuka Bulan. Tak lama kemudian, mereka harus menghadapi kerumunan penduduk desa yang mengelu-elukannya. Bukit Serigala yang semula sepi dan menimbulkan ketakutan bagi siapa yang mendekatinya, kini ramai oleh teriakan suka cita para penduduk kadipaten. Sinar rembulan dan obor-obor yang dibawa para penduduk menerangi tempat itu.

"Gusti Prabu, aku akan merasa mendapat kehormatan bila Gusti Prabu mengunjungi raja kami," pinta Adipati Tanuwijaya.

"Adipati Tanuwijaya, aku telah mampir ke wilayah negeri ini. Dan mau tak mau, aku harus beranjang-sana kepada raja kalian. Terima kasih atas keramahtamahan yang kuterima," sahut Rangga sambil tersenyum.

"Oh, sungguhkah itu?" tanya Adipati Tanuwijaya meyakinkan. Rangga kembali mengangguk pelan. "Oh! Terima kasih, Gusti Prabu! Terima kasih. Ini suatu kemuliaan bagi hamba, bisa mengawal Gusti Prabu. Kami akan menyiapkan segala sesuatunya bagi keperluan Gusti Prabu!" sahut Adipati Tanuwijaya cepat.

Tak berapa lama kemudian, mereka segera meninggalkan Bukit Serigala sambil berteriak-teriak melepaskan perasaan gembira yang meluap. Sementara, malam telah merambat pagi. Di kejauhan terdengar kokok ayam jantan bersahut-sahutan tanda datangnya kehidupan baru.

SELESAI

EPISODE BERIKUTNYA: SEKUTU IBLIS