Pendekar Remaja Jilid 30 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Remaja

Karya Kho Ping Hoo

JILID 30

GADIS ini berdiri dengan tegak dan tiba-tiba kedua kakinya menendang ke arah Ban Sai Cinjin dengan tendangan Soan-hong-lian-hoat-twi, yaitu kedua kakinya secara bertubi-tubi mengirim tendangan berantai yang amat berbahaya!

Ban Sai Cinjin terkejut sekali dan cepat dia melompat pergi, lalu berkata dengan gemas, “Lihat, Suheng, betapa jahatnya gadis liar ini. Hmm, ingin aku menghancurkan kepalanya dengan sekali ketuk agar ia tidak dapat menimbulkan kepusingan lagi!” Ia menggenggam huncwe-nya erat-erat.

Wi Kong Siansu melompat maju dan menghadapi Lili yang memandang dengan mata mendelik. Sedikit pun gadis ini tidak takut biar pun dengan kedua tangan lumpuh ia telah tak berdaya sama sekali.

“Nona Sie, kenapa kau begitu bodoh? Kami tidak akan mengganggumu, hanya kau harus tahu bahwa di antara keluargamu dengan kami timbul permusuhan. Dengan menawan kau, Nona, kami berusaha untuk meredakan permusuhan ini. Bulan depan akan diadakan pertemuan pibu dan dengan kau berada di pihak kami, pinto akan berusaha agar supaya ayahmu dan kawan-kawannya tidak berlaku kejam. Betapa pun juga, kita semua masih orang-orang segolongan, maka lebih baik kita menghabisi segala permusuhan yang telah lewat.”

“Enak saja kau bicara, tosu murah!” bentak Lili dengan marah sekali. Kemudian ketika melihat Bouw Hun Ti berdiri di dekat Ban Sai Cinjin sambil memandang dirinya dengan senyum sindir, ia lalu mengertak gigi dan berkata, “Dengarlah, Wi Kong Siansu! Aku tidak tahu mengapa seorang seperti kau membela orang-orang berhati iblis macam Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin! Dengan kau dan yang lain-lainnya boleh saja aku menghabiskan permusuhan, akan tetapi aku tak akan pernah memberi ampun kepada dua ekor binatang bermuka manusia ini!”

“Suheng, biar kubunuh gadis liar ini!” Ban Sai Cinjin berseru marah.

“Majulah, binatang! Kedua kakiku pun masih sanggup memecahkan dadamu!” teriak Lili menantang.

“Sabar, Sute, mengapa mengumbar nafsu? Nona Sie, sikapmu ini benar-benar hanya akan menyusahkan dirimu sendiri saja. Kalau kau menurut saja ikut dengan kami ke Thian-san, kami tak akan mengganggumu. Akan tetapi kalau kau menimbulkan kesulitan, agaknya terpaksa kau harus dibikin lumpuh dan hal ini tentu tak kau kehendaki, bukan?”

Biar pun dia merasa amat mendongkol dan ingin memaki-maki semua orang itu, tetapi ia merasa bahwa ucapan Wi Kong Siansu ini ada benarnya juga. Ia sudah tak berdaya lagi, maka meski pun ia akan mengamuk dengan kedua kakinya, tetap saja ia takkan sanggup menang. Kalau sampai dia dibikin lumpuh seperti tadi, lebih tidak enak lagi, maka dia lalu diam saja sambil menundukkan mukanya.

Gadis ini tidak takut sama sekali. Ia diam saja untuk memutar otak mencari jalan bagai mana agar ia dapat melepaskan diri dari kekuasaan orang-orang ini. Ia telah mendengar pertempuran-pertempuran di atas genteng dan menduga-duga siapakah orangnya yang bertempur melawan Ban Sai Cinjin. Ia tidak tahu bahwa tadi Lie Siong sudah berusaha menolongnya, dan bahwa pemuda itu kini sudah melarikan diri dengan menderita luka hebat oleh panah beracun dari Ban Sai Cinjin.

*****

Cersil karya Kho Ping Serial Pendekar Sakti Bu Pun Su

Lie Siong melarikan diri dengan hati gelisah sekali. Rasa sakit yang hebat pada kakinya tidak melebihi sakit hatinya, karena ia selalu berkuatir memikirkan nasib Lili. Kalau saja ia tidak memikirkan Lili, tadi pun dia tentu akan menerjang mati-matian dan biar pun sudah terluka hebat, dia lebih baik mati dari pada melarikan diri. Akan tetapi dia harus menolong Lili, oleh karena itu dia harus hidup untuk dapat menyusul dan menolong Lili.

Ia telah berlari jauh sekali dan perbuatannya ini menghebatkan pengaruh bisa di luka itu. Dia kini merasa seluruh tubuhnya panas dan pandang matanya berkunang-kunang. Dia memang hendak mempertahankan diri, akan tetapi pandangan matanya makin gelap dan akhirnya dia terhuyung-huyung dan roboh di atas rumput tak sadarkan diri lagi.

Ban Sai Cinjin tidak akan sedemikian tersohor namanya apa bila tidak sangat lihai dalam menggunakan huncwe maut dan kalau saja senjata rahasianya tidak amat ganas. Kakek ini memang seorang ahli dalam penggunaan racun yang amat ganas dan jahat, maka dia merasa pasti bahwa pemuda putera Ang I Niocu yang sudah terkena racun pada panah hitamnya tentu akan mati dalam waktu tiga hari.

Memang keadaan Lie Siong mengerikan sekali. Kaki kirinya dari batas paha ke bawah telah berwarna kehitam-hitaman dan tubuhnya panas sekali. Ia pingsan dan menggeletak di atas rumput sampai fajar mendatang.

Tapi Ban Sai Cinjin agaknya lupa bahwa mati hidup seseorang tak dapat ditentukan oleh manusia yang mana pun juga. Apa bila Thian (Tuhan) menghendaki, seseorang boleh hidup walau pun nampaknya tidak mungkin bagi pendapat seorang manusia, sebaliknya seorang yang nampak sehat segar boleh mati di saat itu juga apa bila telah dikehendaki oleh Thian.

Demikianlah, ketika Lie Siong rebah seperti mati di atas rumput dan tubuhnya diselimuti embun pagi, datanglah dua sosok bayangan orang yang melalui tempat itu. Dua orang ini gerakannya cepat sekali dan ketika melihat seorang pemuda menggeletak di tempat itu, mereka lalu mendekati dan memeriksa.

“Dia adalah putera Ang I Niocu...!” seru suara seorang laki-laki.

“Betul, Koko, dia adalah Lie Siong penolong dari Adik Cin!” seru yang wanita, seorang gadis yang cantik jelita. Mereka ini bukan lain adalah Goat Lan dan Hong Beng yang kebetulan sekali lewat di tempat itu dan mendapatkan Lie Siong menggeletak di jalan.

“Aduh, panas sekali tubuhnya!” Hong Beng berseru ketika dia meraba jidat Lie Siong.

“Lihat, Koko, pahanya terluka dan tentu terkena serangan senjata beracun. Mari, angkat dia ke tempat yang lebih baik, Koko. Aku harus cepat-cepat mencoba menolongnya!” kata Goat Lan, murid dari mendiang Yok-ong Sin Kong Tianglo Raja Tabib!

Hong Beng lalu memondong tubuh Lie Siong yang amat panas itu dan mereka membawa pemuda itu masuk ke dalam sebuah hutan kecil dan meletakkan pemuda itu di bawah pohon besar, di atas tanah yang bersih dan kering.

Goat Lan menurunkan buntalan pakaiannya, menggulung lengan baju dan mengeluarkan obat-obat penolak racun yang selalu dibekalnya. Kemudian tanpa sungkan-sungkan lagi dan sangat cekatan, menjadikan kekaguman Hong Beng yang membantunya, Goat Lan lalu menyingsingkan pakaian Lie Siong dari bawah sehingga nampak paha yang terluka oleh panah tangan itu. Tanpa ragu-ragu lagi gadis ini lalu menggunakan bambu runcing itu untuk ditusukkan ke luka yang telah membengkak dan berwarna merah kehitaman itu.

Darah hitam mengalir keluar dari luka tusukan bambu runcing ini dan Goat Lan segera menggunakan jari telunjuknya untuk menotok pangkal paha dan beberapa bagian jalan darah di kaki kiri Lie Siong. Kemudian ia mengurut kaki itu, menghalau darah yang sudah terkena racun supaya keluar dari paha itu hingga Hong Beng sendiri diam-diam merasa ngeri dan mengutuk orang yang menggunakan panah tangan.

Kemudian Goat Lan lalu menempelkan obat pada luka di paha itu, minta supaya Hong Beng membereskan pakaian Lie Siong. Setelah kepala Lie Siong dibasahi air dan sedikit arak dimasukkan ke dalam mulutnya, pemuda ini siuman kembali. Akan tetapi ia masih menutup kedua matanya dan bibirnya bergerak, “Lili... Lili...!”

Goat Lan dan Hong Beng saling pandang penuh arti dan keduanya tersenyum kecil. Goat Lan lalu mencairkan tiga butir pil merah ke dalam arak dan menyuruh tunangannya agar meminumkannya.kepada Lie Siong.

Barulah Lie Siong membuka matanya dan ia memandang kepada mereka dengan mata mengandung keheranan. Akan tetapi dia segera meramkan kedua matanya kembali dan mengeluh. Kakinya terasa sakit bukan main.

“Jangan bergerak dulu, Saudara Lie Siong dan minumlah obat ini segera,” Hong Beng berkata dengan ramah.

Lie Siong kembali membuka mata dan sambil menatap wajah Hong Beng, ia lalu minum obat itu yang terasa pahit akan tetapi berbau harum itu. Sesudah obat itu memasuki perutnya, ia merasa betapa panas di dalam dada dan perutnya berangsur-angsur mulai menghilang. Kemudian, tiba-tiba ia tak dapat lagi menahan rasa kantuknya dan tubuhnya menjadi lemas, terus dia tertidur nyenyak. Memang ini adalah akibat khasiat dari obat yang diberikan oleh Goat Lan itu.

“Tidak lama lagi dia akan sembuh,” kata Goat Lan kepada Hong Beng. “Kalau dia terus pulas itu berarti bahwa racun di dalam tubuhnya telah bersih, kalau dia tidak dapat pulas, agaknya terpaksa aku harus mengeluarkan banyak darahnya lagi. Sekarang dia hanya memerlukan obat penambah darah saja.” Hong Beng mengangguk-angguk dan kembali ia memandang pada tunangannya dengan penuh kekaguman sehingga Goat Lan menjadi merah mukanya.

“Mengapa kau memandangku seperti itu?” tegurnya.

“Lan-moi, kau... hebat sekali!”

“Hushh, aku hanya murid yang bodoh dari Yok-ong guruku,” kata gadis ini.

Dengan kata-kata ini Goat Lan seakan-akan hendak mengingatkan kepada Hong Beng bahwa yang patut mendapat pujian ialah mendiang gurunya. Memang demikianlah watak yang sangat baik dari Goat Lan. Tidak suka sombong dan selalu merendahkan diri, biar terhadap tunangan sendiri sekali pun.

Mereka tidak merasa heran pada waktu tadi Lie Siong menyebut-nyebut nama Lili dalam igauannya, karena kedua orang muda ini belum lama yang lalu telah berjumpa dengan Lo Sian. Dari Sin-kai Lo Sian mereka telah mendengar tentang kematian Ang I Niocu dan mendengar akan pesan Ang I Niocu untuk menjodohkan Lie Siong dengan Lili. Kemudian Sin-kai Lo Sian melanjutkan perjalanan menuju ke rumah Pendekar Bodoh.

Ada pun Goat Lan dan Hong Beng melanjutkan perjalanan untuk mencari Ban Sai Cinjin. Memang, kedua orang muda ini meninggalkan tempat tinggal mereka dengan dua tujuan. Pertama-tama untuk mencari Lili yang belum juga pulang, kedua kalinya untuk mencari Ban Sai Cinjin, karena Goat Lan ingin minta kembali Thian-te Ban-yo Pit-kip yang telah dicuri oleh Ban Sai Cinjin.

Orang tua mereka berpesan agar mereka berhati-hati, kemudian Pendekar Bodoh bahkan berpesan agar supaya mereka terus saja menuju ke Thian-san, karena tidak lama lagi Pendekar Bodoh sendiri pun akan menuju ke sana untuk menyambut tantangan pibu dari Wi Kong Siansu dan kawan-kawannya. Oleh karena itulah, maka Goat Lan dan Hong Beng mengambil jalan ini dan bertemu dengan Lie Siong.

Setelah hari menjadi senja, barulah Lie Siong bangun dari tidurnya. Begitu bangun dia segera bertanya kepada Hong Beng,

“Siapakah Ji-wi (Saudara berdua) yang telah menolong siauwte yang bodoh?”

Hong Beng dan Goat Lan tersenyum. “Saudara Lie Siong,” kata Hong Beng, “kami bukan orang-orang lain, aku adalah Sie Hong Beng dan dia ini adalah Kwee Goat Lan.”

Lie Siong benar-benar terkejut. Ketika dia bersama gurunya mengirim kembali Kwee Cin ke benteng Alkata-san, dia tidak memperhatikan semua orang, maka dia tidak melihat mereka ini.

“Ahh...” katanya dengan tercengang, kemudian wajahnya yang tampan nampak gembira. Akan tetapi segera dia menjadi pucat ketika teringat kepada Lili, maka dia lalu melompat berdiri. “Celaka... kita harus cepat kejar mereka!”

“Saudara Lie Siong, tenanglah. Walau pun lukamu sudah sembuh, akan tetapi lukamu masih lemah dan kegugupanmu itu amat tidak bagi kesehatanmu,” kata Goat Lan sambil memandang tajam penuh perhatian seperti layaknya seorang tabib memandang kepada pasiennya.

Mendengar omongan ini, Lie Siong baru sadar. Dia pun sudah mendengar bahwa Kwee Goat Lan yang menjadi tunangan Sie Hong Beng adalah seorang gadis ahli pengobatan, maka dia lalu menjura memberi hormat sambil berkata,

“Siauwte memang seorang bodoh dan kasar, sampai-sampai lupa untuk menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Lihiap. Tanpa pertolonganmu, agaknya nyawaku sudah lenyap dalam tangan Ban Sai Cinjin.”

“Lie Siong, jangan main sandiwara! Namaku Goat Lan, panggil saja namaku karena Lili biasanya juga memanggil namaku begitu saja!” Kegembiraan Goat Lan timbul kembali, akan tetapi segera disusulnya kelakarnya ini dengan kata-kata sengit, “Di mana Ban Sai Cinjin si keparat? Apakah dia pula yang melukai pahamu?”

Lie Siong senang sekali melihat sikap Goat Lan ini, seorang gadis yang lincah dan yang mengingatkan dia akan kejenakaan dan kegalakan Lili. Akan tetapi pada saat itu hatinya penuh oleh kekuatiran terhadap nasib Lili, maka ia lalu berkata,

“Celaka sekali. Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya yang amat lihai sudah menculik Lili! Ketika aku hendak menolong, mereka mengeroyokku dan secara curang sekali Ban Sai Cinjin telah melukaiku dengan panah beracun.”

Lie Siong lalu menuturkan dengan singkat tentang peristiwa itu. Goat Lan dan Hong Beng menjadi marah sekali.

“Ban Sai Cinjin manusia curang dan pengecut!” terdengar Hong Beng menggeram. “Awas saja kepalamu, kakek jahanam, akan kuhancurkan kepalamu kalau sampai kau berani mengganggu adikku.”

“Kau baru sehari semalam meninggalkan mereka. Mereka itu tentu takkan lari jauh. Mari kita mengejar mereka,” kata Goat Lan.

Maka berangkatlah tiga orang muda yang perkasa ini menuju ke Thian-san sambil di jalan mencari keterangan mengenai Ban Sai Cinjin dan rombongannya. Memang tidak salah, menurut petunjuk dari penduduk kampung yang mereka lalui, Ban Sai Cinjin mengambil jalan ini dan agaknya rombongan itu pun sedang menuju ke Thian-san pula.

Sayangnya bahwa Lie Siong belum boleh menggunakan terlalu banyak tenaga sehingga pengejaran itu tidak dapat dilakukan dengan cepat-cepat. Sedikitnya lima hari Lie Siong harus memulihkan tenaganya kembali, kata Goat Lan dan pemuda itu tentu saja menurut nasehat nona penolongnya.

*****

Tiga orang muda itu benar-benar gagah. Melihat mereka berjalan cepat mendaki gunung melompati jurang, sungguh membuat orang merasa kagum sekali. Hong Beng nampak gagah dengan tubuhnya yang tegap dan wajahnya tampan. Lie Siong berpakaian kuning, pedang naganya menempel di punggungnya, tubuhnya lebih kecil dari pada Hong Beng, akan tetapi ia tampan sekali. Ada pun Goat Lan benar-benar nampak cantik jelita dan gagah. Sepasang bambu runcingnya tergantung di punggung seperti pedang.

Sambil berlari cepat, mereka saling menuturkan riwayat dan pengalaman masing-masing dan makin lama Lie Siong semakin suka kepada sepasang orang muda ini. Ia diam-diam menyesal kenapa tidak sejak kecil dia bersahabat dengan orang-orang ini, dan secara diam-diam ia merasa girang bahwa dahulu ibunya adalah sahabat baik dari orang-orang tua Goat Lan dan Hong Beng. Bahkan ada rasa bangga dalam hatinya karena mereka membicarakan ibunya dengan kekaguman, apa lagi Goat Lan yang pernah ditolong oleh ibunya.

Beberapa hari kemudian mereka telah sampai jauh di barat dan tiba di daerah bergunung yang gundul tiada pohon. Tiba-tiba mereka melihat bayangan seorang kakek melompat-lompat di atas batu yang jika dilihat dari jauh orang itu seperti seekor garuda putih saja, karena kedua ujung lengan bajunya yang lebar dan panjang itu berkibar di kanan kirinya seperti sayap dan ujung baju di belakang terbawa angin seperti ekornya.

“Dia adalah Thai Eng Tosu pembantu Ban Sai Cinjin!” tiba-tiba Lie Siong berseru.

Tahu-tahu dia telah meninggalkan kedua orang kawannya dan mengejar ke atas dengan pedang Sin-liong-kiam di tangan. Melihat gerakan dari Lie Siong yang demikian cepatnya ini, Goat Lan dan Hong Beng terkejut dan kagum sekali. Memang selama ini Lie Siong belum pernah memperlihatkan kepandaiannya.

“Tosu keparat, ke mana kau hendak pergi?!” Lie Siong membentak sambil mengejar.

Memang tosu itu adalah Thai Eng Tosu, orang tertua dari ketiga ketua Pek-eng-kauw. Mendengar seruan ini, kakek ini berhenti dan menengok, kemudian dia tersenyum ketika mengenal pemuda ini. “Jadi kau sudah sembuh? Baguslah, memang orang yang benar selalu dilindungi oleh Thian.”

“Jangan berpura-pura alim, siapa tidak tahu bahwa kau adalah kawan dari Ban Sai Cinjin yang jahat?” bentak Lie Siong sambil memutar pedangnya.

“Anak muda, memang sudah sepatutnya aku dimaki. Aku dan adik-adikku sudah terbujuk oleh Ban Sai Cinjin. Akan tetapi semenjak dia merampas puteri Pendekar Bodoh itu, aku mencuci tangan dan meninggalkan rombongannya. Hanya dua orang adikku yang masih ikut.” Ia menarik napas panjang tanda bahwa hatinya kesal.

“Ke mana rombongan itu membawa Lili?” Lie Siong bertanya dengan suara mengancam. “Katakanlah, baru aku akan mengampuni jiwamu.”

“Kau kira aku demikian busuk hati untuk mengkhianati mereka? Carilah sendiri!”

Lie Siong marah. “Bagus, kalau begitu kau harus mampus!”

Thai Eng Tosu mengeluarkan suling bambunya yang kecil. “Majulah, anak muda, mari kita main-main sebentar. Apa bila betul-betul kau mampu mengalahkan sulingku ini, aku berjanji akan memberi tahu dirimu ke mana mereka itu membawa puteri Pendekar Bodoh!”

Lie Siong sudah merasa gemas sekali dan cepat menyerang dengan pedangnya. Tosu itu menangkis dan segera mereka bertempur dengan serunya di atas tempat yang penuh batu karang itu.

Sementara itu, Goat Lan beserta Hong Beng juga sudah mengejar sampai di tempat itu, akan tetapi melihat betapa pedang Lie Siong bergerak hebat sekali, Hong Beng berkata, “Biarlah, kita menonton dari dekat saja dan jangan dibantu bila Lie Siong tidak terdesak. Dia keras hati, kalau kita bantu, jangan-jangan dia akan merasa tak senang.”

“Seperti Lili...,” kata Goat Lan.

“Memang mereka cocok sekali seperti kita...” kata Hong Beng.

Kerling mata Goat Lan menyambar dan keduanya tersenyum bahagia.

Gerakan ilmu silat tosu itu memang betul-betul lihai sekali dan makin lama ia bertempur, makin nampak nyata bahwa ilmu silatnya itu mempunyai gerakan-gerakan seperti seekor burung garuda. Akan tetapi kini ia menghadapi Lie Siong yang di samping berkepandaian tinggi juga sedang marah dan sakit hati sekali sehingga pedang naganya bergerak cepat bagaikan kilat menyambar-nyambar.

Pada jurus ke lima puluh, setelah Lie Siong mulai mendesak lawannya, tiba-tiba pemuda itu menyambarkan pedangnya dan membabat ke arah leher Thai Eng Tosu. Pendeta ini membungkuk dan merendahkan tubuhnya sehingga sambaran pedang itu lewat di atas kepalanya. Akan tetapi ia tahu bahwa lidah naga yang merah itu tidak tinggal diam dan tahu-tahu sulingnya yang berada di tangan kanannya telah terlibat dan terbetot oleh lidah naga itu. Sekali Lie Siong membentak sambil menendang, tosu itu terpaksa mengelakkan diri dan otomatis sulingnya kena dirampas oleh Lie Siong!

“Sudahlah, sudahlah, memang orang yang benar selalu menang!” tosu itu berkata sambil menghela napas ketika melihat betapa sulingnya hancur dibanting oleh Lie Siong. “Baru tiga hari yang lalu mereka meninggalkan tempat ini menuju ke Thian-san. Lekaslah kau menyusul ke barat, anak muda yang gagah.”

Lie Siong segera memberi tanda kepada Goat Lan dan Hong Beng dan mereka bertiga berlari cepat sekali meninggalkan Thai Eng Tosu yang memandang dengan bengong. Ia menggeleng-geleng kepalanya dan berkata seorang diri, “Keturunan Bu Pun Su memang lihai... lihai sekali...”

Sepekan kemudian, sampailah mereka di kota Hami dan setelah bertanya-tanya mereka dapat mendengar berita tentang Ban Sai Cinjin dan rombongannya, bahkan mendengar pula cerita tentang Lili yang amat menarik hati sekali.

Ternyata bahwa rombongan Ban Sai Cinjin yang terdiri dari Lili, Wi Kong Siansu, Bouw Hun Ti, Hailun Thai-lek Sam-kui dan kedua tosu dari Pek-eng-kauw, setelah tiba di kota Hami, lalu mereka berhenti pada sebuah kuil di mana Ban Sai Cinjin sudah kenal baik dengan pengurusnya.

Lili masih tetap dalam keadaan tak berdaya dan biar pun gadis ini selalu berusaha untuk melepaskan diri, namun tidak ada kesempatan sama sekali baginya. Gadis ini tidak putus harapan, maka dia pun menjaga kesehatannya dengan baik, tidak pernah menolak untuk makan dan minum, akan tetapi sama sekali tidak mau bicara dengan mereka.

Ban Sai Cinjin menderita kepusingan pertama saat Thai Eng Tosu ‘mogok’ di pegunungan itu dan tidak mau melanjutkan perjalanannya karena tidak setuju dengan ditawannya Lili. Kemudian ia menjadi makin pusing karena nampaknya Kim Eng Tosu dan juga Bouw Ki, orang termuda dari Hailun Thai-tek Sam-kui, sudah tergila-gila kepada Lili dan beberapa kali mencoba mengganggunya.

Setelah sampai di kuil itu, Bouw Hun Ti lalu mengajukan usulnya kepada Ban Sai Cinjin, yakniu agar supaya Lili dikawinkan saja kepadanya dengan upacara yang sah! Ban Sai Cinjin melotot dan hendak memakinya, akan tetapi dengan sungguh-sungguh Bouw Hun Ti berkata,

“Suhu, ada tiga hal penting sekali yang mendorong teecu mengajukan usul ini. Pertama, biar pun teecu telah berusia empat puluh lebih akan tetapi teecu masih belum menikah, dan seorang isteri Nona Sie itu sudah cukup memenuhi syarat. Ke dua, kalau Nona Sie sudah menjadi isteri teecu, kiranya Pendekar Bodoh beserta kawan-kawannya akan suka menghabiskan perkara permusuhannya dengan kita, oleh karena adanya ikatan keluarga dengan teecu, dan lagi pula kalau Nona Sie sudah menjadi isteri teecu tentu akan suka mencegah orang tuanya mengganggu kita. Ke tiga, kita semua akan terbebas pula dari gangguan-gangguan kawan-kawan sendiri yang tergila-gila kepada Nona Sie!”

Mendengar ini Ban Sai Cinjin mengangguk-angguk girang. Memang betul sekali alasan-alasan muridnya ini, maka dia lalu minta pendapat dari semua orang. Seperti biasanya, Wi Kong Siansu tidak peduli akan urusan yang dianggapnya remeh ini, ada pun Hailun Thai-lek Sam-kui juga tidak berani mencegahnya. Demikian juga kedua orang tosu dari Pek-eng-kauw.

“Kalau saja Nona Sie suka, tentu tidak ada orang yang berkeberatan,” kata Bouw Ki, orang ke tiga dari Hailun Thai-lek Sam-kui untuk menyembunyikan kecewanya.

Ban Sai Cinjin tersenyum. Untuk ini ia sudah pikirkan baik-baik. “Tentu saja ia akan suka. Cu-wi lihat saja sendiri nanti.”

Dan pada keesokan harinya, kuil itu dihias meriah dan penduduk yang mendengar kabar bahwa di situ akan dilangsungkan pernikahan antara dua orang-orang pelancong, segera berduyun datang menonton. Dan benar saja, tidak seperti biasanya, Lili kini menurut saja pada saat dirias seperti pengantin dan dipertemukan dengan Bouw Hun Ti di depan meja sembahyang!

Tentu saja Hailun Thai-lek Sam-kui dan yang lain-lain merasa heran sekali. Sebenarnya tidak usah dibuat heran, kalau orang sudah mengenal betul siapa adanya Ban Sai Cinjin. Seperti juga pernah dia lakukan kepada Sin-kai Lo Siang, kini dia pun mempergunakan pengaruh obat beracun yang dicampur di dalam makanan yang dimakan oleh Lili malam tadi.

Hanya bedanya, kalau Sin-kai Lo Sian dahulu menjadi gila dan terampas ingatannya, kini Lili hanya terampas ingatannya dan lumpuh kemauannya saja. Dia seakan-akan menjadi seorang tanpa semangat dan menurut saja apa yang orang perintahkan kepadanya!

Akan tetapi, selagi hwesio penjaga kelenteng itu akan melakukan upacara sembahyang bagi sepasang pengantin, tiba-tiba dari antara penonton muncul seorang kate kecil yang bernyanyi sambil menenggak araknya, kemudian ia melangkah ke depan dan mendorong hwesio itu sehingga terjungkal!

“Enak saja orang mengawinkan anak orang tanpa bertanya kepada orang tuanya!” seru orang tua kate itu sambil menggandeng tangan Lili. “Lebih baik dikawinkan dengan aku Si Tua Bangka!”

Bouw Hun Ti marah sekali. Akan tetapi ketika ia memandang seperti juga Ban Sai Cinjin dan yang lain-lain, dia pun menjadi kaget sekali karena kakek kate ini bukan lain adalah Im-yang Giok-cu! Kedua tokoh Pek-eng-kauw yang tidak kenal siapa adanya kakek kate ini, menjadi marah melihat kekurang ajarannya, maka cepat sekali Sin Eng Tosu dan Kim Eng Tosu menyerang dengan ujung lengan baju mereka.

“Enyahlah kau orang kate!”

Akan tetapi bukan main hebatnya akibat dari hinaan dan serangan ini. Orang tidak tahu bagaimana kakek itu bergerak namun tahu-tahu kedua orang tosu berpakaian putih itu sudah jatuh tersungkur ke kolong meja dalam keadaan pingsan!

Bouw Hun Ti mencabut goloknya dan sebelum Ban Sai Cinjin sempat mencegah, Bouw Hun Ti telah melakukan serangan kilat yang hebat sekali ke arah kepala orang kate yang tertawa-tawa itu! Im-yang Giok-cu mendengar sambaran angin dari belakang dan tanpa menengok lagi lalu mengangkat guci araknya yang kehijauan itu.

“Traaaaang…!”

Golok yang dipegang oleh Bouw Hun Ti lantas terpental dari pegangan saking kerasnya benturan kedua macam benda ini. Dan sebelum Bouw Hun Ti sempat mengelak, tangan Im-yang Giok-cu sudah ‘masuk’ ke dalam iganya. Bouw Hun Ti mengeluh panjang, lalu tubuhnya terkulai ke atas lantai!

Orang-orang yang menonton pengantin menjadi panik dan berserabutan melarikan diri sehingga tempat itu sebentar saja menjadi sunyi, hanya tersisa Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu, Hailun Thai-lek Sam-kui, Im-yang Giok-cu, beserta Lili saja yang masih berdiri, karena dua orang tosu Pek-eng-kauw dan Bouw Hun Ti masih belum dapat bangun. Ada pun hwesio yang tadi melakukan upacara sembahyang ternyata sudah lari bersembunyi entah ke mana.

Ketika melihat orang kate yang datang-datang mengamuk, Hailun Thai-lek Sam-kui yang doyan berkelahi segera mencabut senjata mereka masing-masing. Akan tetapi Ban Sai Cinjin segera memberi tanda dengan tangannya, mencegah kawan-kawannya itu turun tangan.

Mata Im-yang Giok-cu yang lihai melihat gerakan mereka ini, karena itu setelah tertawa bergelak ia lalu berkata menantang, “Ha-ha-ha, Sam-kui (Tiga Setan), mengapa tidak jadi mencabut senjata? Kalau kalian hendak meramaikan pesta perkawinanku, marilah maju!”

Ban Sai Cinjin buru-buru maju dan menjura di depan Im-yang Giok-cu. “Totiang, belum lama ini kita saling bertemu dan tidak ada urusan sesuatu di antara kita. Tapi mengapa Totiang hari ini menggagalkan pernikahan yang sah dan baik-baik?”

Im-yang Giok-cu menjemput cawan arak di atas meja yang masih penuh, kemudian dia menenggaknya. Akan tetapi dia lalu menyemburkan arak itu ke arah Ban Sai Cinjin yang walau pun sudah cepat mengelak, masih saja ujung bajunya terkena arak dan baju itu menjadi bolong-bolong! Ia kaget sekali dan pucatlah mukanya.

“Arak busuk, seperti orangnya!” Im-yang Giok-cu memaki. “Ban Sai Cinjin, kejahatanmu sudah bertumpuk-tumpuk. Kau kira aku tidak dapat melihat bahwa nona ini terpengaruh oleh obatmu yang jahat? Hayo kau lekas memberi obat penawarnya, kalau tidak, jangan bilang Im-yang Giok-cu keterlaluan kalau aku membunuh muridmu dan juga kau dan kawan-kawanmu di tempat ini juga tanpa menanti sampai di puncak Thian-san!”

Mendengar ucapan sombong ini, dengan marah Wi Kong Siansu bangun berdiri. Akan tetapi Ban Sai Cinjin cepat melangkah maju dan berkata dengan hormatnya,

“Totiang, ternyata matamu tajam sekali. Akan tetapi sayang, aku tidak mempunyai obat penawarnya! Biarlah kau boleh mengamuk, belum tentu kami kalah, akan tetapi Nona ini selamanya akan menjadi seorang boneka hidup!” Ban Sai Cinjin yang cerdik ini hendak menggunakan keadaan Lili sebagai kunci mencapai kemenangan!

Im-yang Giok-cu menjadi ragu-ragu, kemudian ia berkata, “Ban Sai Cinjin, buku Thian-te Ban-yo Pit-kip berada bersamamu, bukalah lembarannya dan carilah di dalamnya, tentu ada obat penawar untuk racunmu yang keji ini.”

Ban Sai Cinjin menjadi pucat dan melangkah mundur dua tindak. “Bagaimana kau bisa tahu?” tanyanya. “Kitab itu sudah terbakar...”

“Sudahlah, jangan seperti anak kecil! Dahulu Sin Kong Tianglo pernah memperlihatkan kepadaku bahwa kitab itu terbuat dari kertas yang tidak dapat terbakar karena sudah direndam dengan obat. Jangan kau bermain gila di hadapanku. Sekarang begini sajalah, kau kembalikan kitab itu kepadaku agar Nona ini dapat ditolong, dan aku melepaskan muridmu dan takkan turun tangan, baik di sini mau pun di Thian-san. Nah, bagaimana? Apakah kau memilih kekerasan?”

Setelah berpikir-pikir sejenak, Ban Sai Cinjin akhirnya mengalah. Dikeluarkannya kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip yang memang disimpannya sebab dahulu yang terbakar adalah kitab tiruannya saja. Bersama-sama mereka segera mencari obat penawar untuk Lili dan ternyata obat itu mudah saja. Ban Sai Cinjin lalu menyediakan obat itu.

Setelah Lili disuruh meminumnya yang dilakukan dengan taat, gadis itu lalu jatuh pulas. Setengah hari Lili tidur, ditunggui oleh Im-yang Giok-cu dan semua orang tidak ada yang berani turun tangan. Kemudian, menjelang senja Lili sadar dan ternyata dia telah sembuh kembali!

Ia hendak mengamuk, akan tetapi Im-yang Giok-cu mencegahnya dan memperkenalkan diri sebagai guru Goat Lan. “Kau pergilah dan bawalah kitab ini, kembalikan kepada Goat Lan.”

Lili tidak membantah. Setelah menghaturkan terima kasihnya ia kemudian melompat dan menghilang di dalam gelap.

Tentu saja Ban Sai Cinjin menjadi marah sekali ketika melihat Lili melarikan diri sambil membawa kitab itu. Ia hendak mengejar, akan tetapi Im-yang Giok-cu menghadangnya,

“Kitab itu adalah milik Yok-ong, harus dikembalikan kepada muridnya.”

“Im-yang Giok-cu, kau terlalu sekali! Kau sudah berjanji takkan menggunakan kekerasan, akan tetapi tidak saja kau menghina kami, bahkan kitab itu pun kau suruh bawa pergi.”

“Tenang, Ban Sai Cinjin. Tadi aku hanya berjanji bahwa aku tidak akan menggunakan kekerasan dan tidak ikut bertempur di sini mau pun di Thian-san. Aku tidak berjanji apa pun tentang kitab itu, dan tentang gadis itu. Dia puteri Pendekar Bodoh, harus dihormati dan ditolong.”

“Keparat!” seru Ban Sai Cinjin dan dengan gemas dia kemudian memberi isyarat kawan-kawannya untuk mengeroyok.

Im-yang Giok-cu tertawa bergelak-gelak, lalu cepat memutar guci araknya menghadapi keroyokan banyak orang. Hebat sekali sepak terjang kakek kate ini, akan tetapi jumlah pengeroyoknya terlalu banyak. Ia dikepung oleh orang-orang yang berkepandaian tinggi, yaitu oleh Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu, tiga kakek Hailun Thai-lek Sam-kui, Sin Eng Tosu, Kim Eng Tosu dan juga Bouw Hun Ti!

Betapa pun lihainya Im-yang Giok-cu, tentu saja ia tidak tahan menghadapi lawan yang tak seimbang ini. Kepandaiannya hanya setingkat lebih tinggi dari pada Wi Kong Siansu, sedangkan para pengeroyoknya, kecuali Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin, mempunyai kepandaian setingkat dengan Wi Kong Siansu.

Beberapa kali kakek kate ini telah menerima pukulan senjata lawan dan biar pun tidak mendatangkan luka hebat, tetap saja semakin melemahkan tenaganya. Akhirnya, ujung payung yang lihai dari Thian-te Te-it Siansu telah berhasil menotok iganya dengan telak dan keras sehingga kakek kate ini terhuyung-huyung sambil tertawa bergelak.

Dia lalu melontarkan guci araknya sedemikian kerasnya dan orang yang sial menerima hantaman guci arak ini adalah Bouw Hun Ti sendiri! Guci arak itu melayang dengan kecepatan yang tidak dapat dielakkan lagi dan dengan mengeluarkan suara keras, guci arak dan kepala Bouw Hun Ti menjadi remuk dan orang jahat itu telah menghembuskan napas terakhir sebelum tubuhnya roboh ke lantai! Ternyata bahwa maut telah meminjam tangan Im-yang Giok-cu untuk membalaskan dendam orang-orang yang dibikin sakit hati oleh Bouw Hun Ti.

Melihat muridnya binasa, Ban Sai Cinjin memekik marah dan ia lalu melompat mendekati Im-yang Giok-cu yang terluka hebat. Sekali huncwe-nya terayun, terdengar suara pletak, dan retaklah kepala Im-yang Giok-cu yang membuat nyawanya melayang meninggalkan raganya.

Ban Sai Cinjin merasa menyesal sekali. Tidak saja ia kehilangan Lili, bahkan juga sudah kehilangan kitab obat itu. Hanya sedikit keuntungannya, di samping kerugian kehilangan murid, mereka telah berhasil membunuh Im-yang Giok-cu, karena kalau kakek kate ini ikut membantu Pendekar Bodoh, ia merupakan tenaga yang amat menguatirkan.

Ketika Goat Lan mendengar berita tentang kematian Im-yang Giok-cu, ia menangis sedih sekali dan mengajak Lie Siong serta Hong Beng untuk mengunjungi kuburan Im-yang Giok-cu di belakang kelenteng. Jenazah kakek kate ini telah diurus oleh hwesio-hwesio dan dimakamkan di belakang kelenteng, bersama dengan jenazah Bouw Hun Ti yang juga dimakamkan di bagian lain di belakang kelenteng.

Goat Lan menangis dan bersembahyang di hadapan kuburan gurunya, bersumpah untuk membalaskan dendam kepada Ban Sai Cinjin beserta kawan-kawannya. Malam harinya mereka bertiga bermalam di kelenteng itu dan alangkah girangnya hati mereka ketika Lili tiba-tiba muncul dari dalam gelap!

Goat Lan menubruk dan memeluk Lili, lalu beramai-ramai empat orang muda itu saling menuturkan pengalaman mereka. Ternyata sesudah ditolong oleh Im-yang Giok-cu, Lili bersembunyi di dalam sebuah hutan di dekat kota itu. Kemudian, pada keesokan harinya ia mendengar tentang kematian Im-yang Giok-cu, maka menyesallah dia mengapa dia tidak dapat membantu kakek penolongnya itu. Ia pikir bahwa masanya untuk mengadu kepandaian di Thian-san sudah tiba, maka lebih baik ia menanti di situ untuk mencari kawan-kawan guna menghadapi Ban Sai Cinjin yang benar-benar amat curang dan lihai.

“Dan bagaimana kalian bertiga bisa bersama-sama?” Lili bertanya sambil mengerling ke arah Lie Siong yang semenjak tadi hanya diam saja, hanya kadang-kadang memandang kepada Lili dengan hati bersyukur bahwa gadis yang dicintainya itu telah terhindar dari bahaya hebat.

Pada waktu Lie Siong menceritakan pengalamannya dan betapa ia terluka ketika hendak menolong Lili, gadis ini melirik dan dengan cemberut dia lantas berkata, “Selama itu kau melakukan perjalanan mengikuti dan tidak memperlihatkan diri? Mengapa begitu?”

Merahlah wajah Lie Siong dan sambil menundukkan muka ia berkata, “Aku takut kalau ternyata kau... kau tidak suka berjalan bersamaku.”

“Apa-apaan pula ini, Song-ko?” tegur Lili dengan sepasang mata terbelalak. “Kau sendiri yang tidak mau melakukan perjalanan bersamaku, dan tahu-tahu kau mengikutiku tanpa memperlihatkan diri... aneh... aneh...!”

Lie Siong makin merah mukanya dan terdengar Goat Lan tertawa geli. “Sekarang kita berempat sudah bertemu dan berkumpul, maka yang sudah biarlah lalu, sekarang kita melakukan perjalanan bersama menuju ke Thian-an. Dengan berempat kita akan lebih kuat menghadapi mereka,” kata Hong Beng.

“Enci Lan,” kata Lili tiba-tiba, “kitabmu masih kusimpan, takkan kuberikan sekarang. Nanti saja kalau kau dan Beng-ko kawin, akan kuberikan sebagai... hadiah perkawinan!”

Timbul kembali kenakalan Lili, karena itu Goat Lan juga menjadi gembira, terhibur dari kesedihan hatinya mendengar tentang kematian gurunya. “Eh, katamu betul, Lili. Aku jadi teringat akan Sin-kai Lo Sian yang berjumpa dengan kami di jalan. Katanya dia hendak mengajukan pinangan kepada orang tuamu, meminang engkau untuk... untuk siapa, ya?” Sambil berkata demikian, dengan penuh arti Goat Lan mengerling ke arah Lie Siong.

Lili menjadi jengah dan merah sekali mukanya. Ia mengulurkan tangan hendak mencubit Goat Lan, akan tetapi Goat Lan cepat mengelak, dan Hong Beng lalu menyela,

“Sudahlah, kalian ini bersenda gurau saja. Urusan itu sudah bukan rahasia lagi bagi kita semua, dan urusan itu akan dapat terjadi dengan lancar tanpa ada halangan apa-apa lagi.”

Maka berangkatlah dua pasangan muda yang gagah perkasa ini. Di sepanjang jalan, Lili dan Goat Lan bersenda gurau sehingga Hong Beng dan Lie Siong turut menjadi gembira pula.

Empat orang pendekar remaja ini menuju Thian-san di mana mereka hendak mengukur kepandaian dengan tokoh-tokoh besar dunia persilatan. Sedikit pun mereka tidak merasa gentar dan takut sesudah mereka berkumpul menjadi satu. Dengan seorang yang dicinta di sebelahnya siapakah yang akan merasa takut...?

*****

Musim chun (semi) sudah tiba. Puncak Thian-san nampak kehijauan dan pemandangan alamnya indah sekali. Di puncak itu terdapat sebuah kuil besar yang kuno dengan ukiran-ukiran indah, akan tetapi kuil ini tidak terurus oleh karena penghuninya telah berpuluh tahun yang lalu mengosongkan tempat ini.

Dahulu, kuil ini adalah pusat dari partai persilatan Thian-san-pai yang besar. Akan tetapi akhir-akhir ini habislah orang yang tadinya masih suka mengurus kuil ini, karena semua anak murid Thian-san-pai lebih suka berkelana di dunia bebas.

Akan tetapi pagi hari itu di dalam kuil ini tidak sunyi seperti biasanya. Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya telah berada di tempat itu sedang berunding dengan kawan-kawannya. Betapa pun juga, setelah Im-yang Giok-cu tewas, mereka tidak berapa takut menghadapi Pendekar Bodoh. Mereka telah memperhitungkan bahwa untuk menghadapi teman-teman Pendekar Bodoh, kepandaian mereka masih sanggup mengimbangi, ada pun Pendekar Bodoh sendiri akan dilawan oleh Wi Kong Siansu.

Tiba-tiba dari luar kuil terdengar suara nyaring yang menantang mereka, “Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu! Kami sudah datang untuk memenuhi tantanganmu!”

Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu, Thian-te Te-it Siansu, Lak Mou Couwsu, Bouw Ki, dan Coa Ong Lojin serta beberapa orang pemimpin Coa-tung Kai-pang yang sudah datang terlebih dulu di tempat itu, keluar dari kuil itu dan ketika tiba di luar, dengan tercengang mereka melihat empat orang muda yang bukan lain adalah Goat Lan, Lili, Lie Siong dan Hong Beng!

Hati Ban Sai Cinjin berdebar. Ia tidak melihat Pendekar Bodoh, orang yang paling ditakuti dan dibencinya, maka untuk menetapkan hatinya dia bertanya, “Mana Pendekar Bodoh? Apakah dia takut datang ke sini sehingga mewakilkannya kepada anak-anaknya?”

“Ban Sai Cinjin, jangan membuka mulut sombong!” Lili berseru marah. “Orang macam kau tidak pantas untuk dilawan oleh ayahku. Kami orang-orang muda sudah cukup untuk membuktikan bahwa kepandaian kami tidak kalah olehmu.”

“Cu-wi-enghiong,” kata Hong Beng yang lebih tenang dan sabar sambil menjura kepada pihak tuan rumah, “kedatangan kami berempat mengandung dua maksud. Pertama untuk memenuhi tantangan Wi Kong Siansu yang telah menantang ayah untuk datang berpibu di sini pada waktu ini. Dan kedua kalinya, kami harus membalas dendam dan sakit hati kepada Ban Sai Cinjin yang telah membunuh Lie Kong Sian supek, Ang I Niocu bibi kami dan juga Im-yang Giok-cu suhu dari Nona Kwee. Nah, terserah kepada Wi Kong Siansu hendak memulai pibu itu atau memberikan kesempatan kepada kami membunuh Ban Sai Cinjin lebih dulu.”

Wi Kong Siansu tak dapat menjawab dan hanya saling pandang dengan Ban Sai Cinjin. Dibandingkan dengan yang lain, sebetulnya Wi Kong Siansu lebih gagah, karena dalam beberapa pertempuran keroyokan sebelumnya, tosu ini sengaja tidak mau mengeluarkan seluruh kepandaiannya, karena ia merasa malu untuk mendapatkan kemenangan sambil mengeroyok. Kini melihat empat orang muda itu menantang, tentu saja dia merasa malu pula untuk maju mengeroyok.

"Sute, apakah kau merasa tidak kuat menghadapi seorang di antara mereka?” tanyanya kepada Ban Sai Cinjin perlahan sekali.

Ban Sai Cinjin sudah mengenal kehebatan empat orang muda itu, akan tetapi akhir-akhir ini dia sudah memperdalam ilmu silatnya dan kalau bertempur satu lawan satu, agaknya sukar sekali dipercaya kalau dia akan kalah. Lagi pula, tentu saja dia merasa malu kalau menyatakan takut.

Maka dia kemudian melompat maju dan berkata menantang. “Orang-orang muda yang sombong! Siapa sih takut padamu? Majulah, mana saja, atau kalian hendak mengeroyok aku?” sambil berkata demikian, dia mengisi huncwe baru yang berwarna hitam dengan tembakau hitamnya yang terkenal, bahkan lalu mempersiapkan sepuluh batang panah tangan di saku bajunya.

Kemudian terjadi hal yang lucu. Empat orang muda itu saling berebut untuk menghadapi Ban Sai Cinjin!

“Dia membunuh guruku Im-yang Giok-cu, akulah yang berhak untuk membalasnya!” kata Goat Lan.

“Tidak, Goat Lan. Dia telah menewaskan ayah bundaku, akulah yang lebih berhak pula!” kata Lie Siong sambil mengeluarkan pedangnya.

“Aku yang paling tua, biar aku saja menghancurkan kepalanya!” kata Hong Beng.

“Tidak, tidak! Akulah yang akan membunuh anjing tua ini, Enci Lan, kau mengalah sajalah kepadaku. Siong-ko, biar aku yang membalaskan sakit hati orang tuamu dan Beng-ko, kau harus mengalah terhadap adikmu!” kata Lili dan sekali menggerakkan dua kakinya, gadis ini telah melompat menghadapi Ban Sai Cinjin!

“Lili, kau tidak boleh bertangan kosong saja!” kata Hong Beng yang amat mengkuatirkan keselamatan adiknya, karena ia maklum bahwa kelihaian Lili tergantung dari kipas dan pedangnya.

“Lili, kau pakailah bambu runcingku!” kata Goat Lan.

Ada pun Lie Siong segera melompat mengejar dan menyerahkan pedangnya kepada Lili. “Kau pakailah ini, Lili.”

Lili menatap dengan mesra dan berterima kasih. “Tak usah, Siong-ko, jangan membikin kotor pedangmu, kedua tanganku cukup untuk menghadapinya.”

Lie Siong melompat mundur kembali dan diam-diam tiga orang muda itu merasa gelisah. Bagaimana Lili demikian sembrono untuk menghadapi Ban Sai Cinjin yang lihai dengan bertangan kosong saja?

Akan tetapi Ban Sai Cinjin tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Dia berseru keras dan segera menyerang Lili dengan huncwe-nya. Gadis itu tersenyum mengejek dan begitu dia mengeluarkan Ilmu Pukulan Hang-liong-cap-it-ciang, tidak saja Ban Sai Cinjin yang menjadi terkejut sekali, bahkan Lie Siong, Hong Beng, dan Goat Lan juga memandang dengan mata terbelalak. Belum pernah mereka menyaksikan ilmu pukulan seperti itu dan seingat Hong Beng, ayahnya sendiri pun tidak pernah memberi pelajaran ilmu silat seperti yang dimainkan oleh Lili ini.

Namun hasilnya luar biasa sekali. Dalam jurus-jurus pertama saja Ban Sai Cinjin sudah amat terdesak. Huncwe-nya terbentur dengan tenaga pukulan yang lebih berbahaya dari pada senjata tajam. Memang hebat sekali Hang-liong-cap-it-ciang ini dan kalau Lili mau, setelah menyerang selama tiga puluh jurus lebih, dia dapat membinasakan lawannya.

Akan tetapi, di samping kegalakan dan kelincahannya, tabiat ayahnya menempel gadis ini. Ia pemurah dan mudah memberi ampun. Ketika mendapat kesempatan, ia mengirim pukulan dengan kedua tangan bahkan kaki kirinya juga mendupak ke arah dada lawan.

Terdengar bunyi keras dan kembali untuk kedua kalinya huncwe maut dari Ban Sai Cinjin pecah terkena hawa pukulan Hang-liong-cap-it-ciang, dan walau pun kakek itu hendak menangkis, tetap saja dadanya terkena pukulan hingga dia menjerit dan terlempar roboh sambil memuntahkan darah segar! Walau pun Lili tidak membunuhnya, namun dia telah menderita luka berat dan untuk sementara waktu takkan dapat bergerak!

Wi Kong Siansu melompat ke depan hendak menantang, akan tetapi pada saat itu pula berkelebat bayangan tujuh orang dan muncullah Cin Hai, Kwee An, Lin Lin, Ma Hoa, yang dikawani oleh Kam Liong, Kam Wi, dan Tiong Kun Tojin!

“Kami datang atas perintah Kaisar menangkap pengkhianat dan pemberontak Ban Sai Cinjin, Coa Ong Lojin dan pengemis-pengemis Coa-tung Kai-pang!” seru Kam Wi sambil mengeluarkan lengki (bendera titah raja). Melihat bendera ini, Wi Kong Siansu dan ketiga Hailun Thai-lek Sam-kui lalu berlutut.

Coa Ong Lojin hendak melarikan diri, akan tetapi sekali menggerakkan tangannya, Tiong Kun Tojin sudah berhasil menangkapnya dan menotok punggungnya! Kam Wi tertawa bergelak, lalu berpaling kepada Pendekar Bodoh sambil berkata,

“Urusan kami sudah beres, beberapa hari lagi kami akan datang ke Shaning mengurus perjodohan!”

Ia lalu menyeret Coa Ong Lojin, Ban Sai Cinjin dan beberapa orang pengemis Coa-tung Kai-pang, lalu menjura dan meninggalkan tempat itu bersama Kam Liong dan Tiong Kun Tojin sambil membawa tawanan-tawanan mereka.

Pendekar Bodoh tersenyum, lalu menjura kepada Wi Kong Siansu. “Wi Kong Siansu, sekarang kau melihat sendiri betapa jahatnya sute-mu itu. Ia sudah bersekongkol untuk membunuh putera Kaisar dan bahkan ia membantu pula pergerakan orang-orang Mongol yang lalu. Nah, karena kita berhadapan sebagai musuh hanya karena gara-gara Ban Sai Cinjin, perlukah permusuhan ini dilanjutkan lagi?”

Wi Kong Siansu dan Hailun Thai-lek Sam-kui saling pandang. Terang bahwa keadaan pihak mereka jauh kalah kuat. Akan tetapi untuk menutup rasa malu, Wi Kong Siansu lalu berkata. “Pendekar Bodoh, orang-orang seperti kita hanya punya satu macam kesukaan, yaitu memperdalam pengertian ilmu silat. Kini setelah kita bertemu, mengapa kita tidak main-main sebentar?”

Cin Hai menghela napas. “Baiklah, orang tua. Kau boleh menyerangku tanpa kubalas, dan bila mana dalam sepuluh jurus kau dapat membuatku menggerakkan kaki selangkah saja, aku mengaku kalah padamu!” Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu berdiri tegak dan menundukkan kepalanya. Dia memegang sebatang suling dan meramkan matanya seperti tidur!

“Pendekar Bodoh, agaknya kau benar-benar sudah mewarisi kepandaian Bu Pun Su. Biarlah aku mencobanya!” Sambil berkata demikian, Wi Kong Siansu segera mencabut Hek-kwi-kiam, lalu berseru, “Lihat pedang!”

Dia membuka serangan dengan sebuah tusukan ke arah dada Cin Hai. Namun Pendekar Bodoh tetap tidak membuka matanya, hanya pada saat pedang itu sudah dekat dengan dadanya, dia baru mengangkat sulingnya menangkis. Wi Kong Siansu merasa telapak tangannya tergetar, lalu ia menerjang kembali sampai tiga kali, namun tetap saja sia-sia, karena selalu suling di tangan Cin Hai dapat menangkis dengan tepat.

Saat Wi Kong Siansu hendak menyerang untuk yang ketujuh kalinya tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Lie Siong telah menangkis dengan Sin-liong-kiam.

“Wi Kong Siansu, sungguh tidak tahu malu sekali kau menyerang seorang lawan yang tidak membalas, bahkan melihatmu pun tidak. Kalau kau memang orang gagah, lawanlah pedangku!” Tanpa menanti jawaban, Lie Siong lalu menyerang.

Wi Kong Siansu kaget sekali melihat gerakan pedang pemuda ini benar-benar luar biasa sekali. Semua orang lalu menonton karena pertempuran ini jauh lebih menarik dan ramai.

“Heran sekali...” Cin Hai yang sudah membuka matanya berkata perlahan. “Dari mana ia memperoleh gerakan-gerakan ini?”

Memang matanya yang tajam melihat gerakan-gerakan ilmu pedang yang aneh dan lihai, yang membuat sinar pedang hitam di tangan Wi Kong Siansu makin lama makin kecil.

“Siong-ji, tahan! Jangan mendesak orang tua!” Cin Hai berseru dan sekali ia melompat, ia telah berada di antara ke dua orang yang bertempur itu.

Wi Kong Siansu menyimpan pedangnya dan menarik napas panjang kemudian berkata, “Hebat, memang hebat! Keturunanmu memang hebat, Pendekar Bodoh. Pinto mengaku kalah.” Ia hendak pergi setelah menjura.

Akan tetapi Lili lalu berkata kepadanya, “Totiang, jangan kau salah sangka. Pembunuh muridmu, Song Kam Seng, adalah Ban Sai Cinjin. Aku sendirilah yang sudah mengurus pemakamannya!”

Wi Kong Siansu amat terkejut dan menoleh. Gadis itu dengan singkat lalu menceritakan peristiwa itu. Wi Kong Siansu kembali menarik napas panjang lalu pergi dari situ dengan hati terpukul.

Dengan lega dan girang, Pendekar Bodoh lalu mengajak semua orang kembali ke timur. Di sepanjang jalan tiada hentinya saling menuturkan pengalaman masing-masing.

*****

Rumah Pendekar Bodoh dihias indah. Tidak heran karena pada hari itu dilangsungkan pernikahan dua orang anak mereka, Hong Beng dengan Goat Lan dan Hong Li dengan Lie Siong!

Tamu-tamu sudah memenuhi ruangan dan di antara mereka terdapat pula tokoh-tokoh persilatan baik kawan mau pun bekas lawan seperti Hailun Thai-lek Sam-kui dan lainnya! Pasangan Hong Beng dan Goat Lan diperkenalkan kepada tamu-tamu lebih dahulu dan sesudah mendapat sambutan dan pemberian selamat, mereka lalu mengundurkan diri, diganti oleh pasangan Lie Siong dan Hong Li.

Akan tetapi, ketika sepasang pengantin ini sedang menerima penghormatan dan ucapan selamat dari para tamu, tiba-tiba seorang tinggi besar bangkit berdiri dari bangkunya dan dengan suara keras berkata, “Cu-wi, sekalian! Sebagai sama-sama orang kang-ouw, biarlah pada saat ini aku menyampaikan perasaan tidak enak hatiku kepada sepasang pengantin dan juga tuan rumah!”

Semua orang segera memandang dan ternyata yang berbicara itu adalah Kam Wi, tokoh Kun-lun-pai, paman dari Panglima Kam Liong!

“Sebelum Nona Sie dipinang orang lain, aku telah meminangnya lebih dulu untuk putera keponakanku, Kam Liong. Biar pun belum resmi, pihak keluarga Sie sudah menyatakan cocok, bahkan keponakanku sudah mengadakan perjalanan bersama dengan Nona Sie. Akan tetapi siapa kira pada hari ini aku melihat Nona Sie menjadi isteri Lie Siong yang sesungguhnya telah menjadi suami dari seorang gadis Haimi bernama Lilani!”

Terdengar teriakan nyaring. Pengantin wanita, yaitu Lili, merenggut hiasan kepala yang menutupi mukanya dan membanting hiasan itu hingga terdengar suara keras.

“Bangsat tua, apakah kau sengaja datang untuk mengantarkan nyawa?” teriaknya dan ia hendak menyerang Kam Wi yang telah tertawa bergelak-gelak.

Akan tetapi Lie Siong memegang tangannya sambil berbisik, “Sudahlah, Li-moi, dia itu orang mabuk!”

Mendengar cegahan ini, Lili makin gemas, merenggutkan tangannya dan berkata, “Orang lemah, lebih baik kau kembali kepada Lilani!” Setelah berkata demikian, dengan isak di tenggorokan ia lalu melompat keluar dari rumah dan melarikan diri!

Lie Siong menjadi bingung, membanting topi pengantinnya lalu menyusul dan mengejar Lili yang berlari seperti terbang cepatnya! Gegerlah keadaan di sana dan Kam Wi yang masih tertawa-tawa itu ditarik tangannya oleh Tiong Kun Tojin yang cepat mintakan maaf kepada Pendekar Bodoh untuk sute-nya yang kasar.

Lili berlari terus, dan ketika ia tahu bahwa Lie Siong mengejarnya, ia berlari makin cepat. Berhari-hari mereka kejar mengejar dan akhirnya Lili tiba di dekat sumur rahasia tempat tinggal nenek aneh yang menjadi gurunya. Ia lalu terjun ke dalam sumur itu.

Lie Siong terkejut sekali, akan tetapi pemuda ini pun ikut pula terjun ke dalam sumur. Di dalam kamar di goa yang aneh itu, Lili dan Lie Siong melihat nenek yang gagu itu tengah duduk bersila dan di pangkuannya terbaring kepala seorang kakek.

Alangkah terkejut hati Lie Siong ketika melihat bahwa kakek itu adalah gurunya yang mengajarnya bermain gundu! Nenek itu keadaannya sudah sangat lemah, kurus kering dan pucat, ada pun kakek itu ternyata telah menjadi mayat! Mendengar gerakan Lili dan Lie Siong, nenek yang lihai itu membuka matanya.

“Suthai, kau kenapakah...?” Lili bertanya sambil berlutut.

Nenek itu mencoret-coret di atas tanah. Lili dan Lie Siong lalu membaca tulisan-tulisan itu yang ternyata menceritakan riwayat nenek itu bersama kakek yang kini dipangkunya dan yang telah mati. Ternyata keduanya memiliki riwayat yang ada hubungan dekat dengan penghidupan Bu Pun Su, guru dari Pendekar Bodoh!

Setelah selesai menuturkan riwayatnya dengan tulisan, nenek itu tak kuat lagi dan ketika kedua orang muda itu memandang, ternyata bahwa nenek itupun telah menghembuskan napas terakhirnya! Dengan penuh khidmat, Lie Siong dan Lili lalu meninggalkan goa itu, menutupnya dengan batu besar, kemudian keluar dari sumur itu dan menimbuni sumur itu dengan pepohonan sehingga tempat itu merupakan sebuah makam yang luar biasa. Kemudian mereka berjalan sambil bergandengan tangan.

“Li-moi, aku tidak dapat berkata apa-apa lagi. Tergantung dari keputusanmu sekarang, hanya inilah tanda bahwa semenjak dahulu aku mencintamu.” Lie Siong mengeluarkan sepatu yang dulu dirampasnya dari saku bajunya.

Lili menerima sepatu itu dengan terharu. Setelah membaca riwayat nenek yang menjadi gurunya itu, lenyaplah marah dan cemburunya terhadap Lie Siong.

“Hemm, kalian ini laki-laki di seluruh dunia sama saja!” katanya cemberut akan tetapi kerling matanya membesarkan hati Lie Siong. “Kalau Sucouw Bu Pun Su sendiri sampai terjerumus, biarlah aku maafkan kau yang satu kali masuk dalam perangkap nafsu. Akan tetapi, awas, jangan sampai terulang lagi!”

Lie Siong memegang tangan Lili dengan penuh kasih sayang. “Tidak akan terulang lagi sampai aku mati, Li-moi. Pula, harap kau ingat bahwa peristiwa antara aku dengan Lilani itu terjadi sebelum aku berjumpa dengan kau! Sejak aku bertemu dengan kau... isteriku, jangankan Lilani, biar ada bidadari dari kahyangan menggodaku, hatiku tetap tidak akan tergoncang!”

Lili mencibirkan bibirnya sambil merenggutkan tangannya. “Cih, mulut laki-laki memang manis, pandai membujuk merayu. Siapa dapat percaya?”

Setelah berkata demikian dia segera melarikan diri, dikejar oleh Lie Siong! Akan tetapi mereka kini berkejar-kejaran sambil tertawa-tawa dan juga mereka mengarahkan tujuan kembali ke Shaning di mana menanti semua keluarga dengan hati gelisah.

*****

Bagaimanakah riwayat nenek dan kakek guru-guru yang aneh dari Lili dan Lie Siong itu? Mengapa riwayat mereka sampai mengharukan hati Lili hingga membuat gadis ini dapat memaafkan kesalahan Lie Siong yang sudah bertindak salah sebelum bertemu dengan dia?

Untuk mengetahui ini, dipersilakan untuk membaca cerita Pendakar Sakti (Bu Pun Su Lu Kwan Cu), di mana akan muncul tokoh-tokoh besar seperti Bu Pun Su, Hok Peng Taisu, Swi Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, di waktu tokoh-tokoh ini masih muda!

Bacalah riwayat Bu Pun Su di waktu kanak-kanak sampai menjadi seorang pendekar muda yang sakti dan luar biasa.

T A M A T


Pendekar Remaja Jilid 30

Pendekar Remaja

Karya Kho Ping Hoo

JILID 30

GADIS ini berdiri dengan tegak dan tiba-tiba kedua kakinya menendang ke arah Ban Sai Cinjin dengan tendangan Soan-hong-lian-hoat-twi, yaitu kedua kakinya secara bertubi-tubi mengirim tendangan berantai yang amat berbahaya!

Ban Sai Cinjin terkejut sekali dan cepat dia melompat pergi, lalu berkata dengan gemas, “Lihat, Suheng, betapa jahatnya gadis liar ini. Hmm, ingin aku menghancurkan kepalanya dengan sekali ketuk agar ia tidak dapat menimbulkan kepusingan lagi!” Ia menggenggam huncwe-nya erat-erat.

Wi Kong Siansu melompat maju dan menghadapi Lili yang memandang dengan mata mendelik. Sedikit pun gadis ini tidak takut biar pun dengan kedua tangan lumpuh ia telah tak berdaya sama sekali.

“Nona Sie, kenapa kau begitu bodoh? Kami tidak akan mengganggumu, hanya kau harus tahu bahwa di antara keluargamu dengan kami timbul permusuhan. Dengan menawan kau, Nona, kami berusaha untuk meredakan permusuhan ini. Bulan depan akan diadakan pertemuan pibu dan dengan kau berada di pihak kami, pinto akan berusaha agar supaya ayahmu dan kawan-kawannya tidak berlaku kejam. Betapa pun juga, kita semua masih orang-orang segolongan, maka lebih baik kita menghabisi segala permusuhan yang telah lewat.”

“Enak saja kau bicara, tosu murah!” bentak Lili dengan marah sekali. Kemudian ketika melihat Bouw Hun Ti berdiri di dekat Ban Sai Cinjin sambil memandang dirinya dengan senyum sindir, ia lalu mengertak gigi dan berkata, “Dengarlah, Wi Kong Siansu! Aku tidak tahu mengapa seorang seperti kau membela orang-orang berhati iblis macam Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin! Dengan kau dan yang lain-lainnya boleh saja aku menghabiskan permusuhan, akan tetapi aku tak akan pernah memberi ampun kepada dua ekor binatang bermuka manusia ini!”

“Suheng, biar kubunuh gadis liar ini!” Ban Sai Cinjin berseru marah.

“Majulah, binatang! Kedua kakiku pun masih sanggup memecahkan dadamu!” teriak Lili menantang.

“Sabar, Sute, mengapa mengumbar nafsu? Nona Sie, sikapmu ini benar-benar hanya akan menyusahkan dirimu sendiri saja. Kalau kau menurut saja ikut dengan kami ke Thian-san, kami tak akan mengganggumu. Akan tetapi kalau kau menimbulkan kesulitan, agaknya terpaksa kau harus dibikin lumpuh dan hal ini tentu tak kau kehendaki, bukan?”

Biar pun dia merasa amat mendongkol dan ingin memaki-maki semua orang itu, tetapi ia merasa bahwa ucapan Wi Kong Siansu ini ada benarnya juga. Ia sudah tak berdaya lagi, maka meski pun ia akan mengamuk dengan kedua kakinya, tetap saja ia takkan sanggup menang. Kalau sampai dia dibikin lumpuh seperti tadi, lebih tidak enak lagi, maka dia lalu diam saja sambil menundukkan mukanya.

Gadis ini tidak takut sama sekali. Ia diam saja untuk memutar otak mencari jalan bagai mana agar ia dapat melepaskan diri dari kekuasaan orang-orang ini. Ia telah mendengar pertempuran-pertempuran di atas genteng dan menduga-duga siapakah orangnya yang bertempur melawan Ban Sai Cinjin. Ia tidak tahu bahwa tadi Lie Siong sudah berusaha menolongnya, dan bahwa pemuda itu kini sudah melarikan diri dengan menderita luka hebat oleh panah beracun dari Ban Sai Cinjin.

*****

Cersil karya Kho Ping Serial Pendekar Sakti Bu Pun Su

Lie Siong melarikan diri dengan hati gelisah sekali. Rasa sakit yang hebat pada kakinya tidak melebihi sakit hatinya, karena ia selalu berkuatir memikirkan nasib Lili. Kalau saja ia tidak memikirkan Lili, tadi pun dia tentu akan menerjang mati-matian dan biar pun sudah terluka hebat, dia lebih baik mati dari pada melarikan diri. Akan tetapi dia harus menolong Lili, oleh karena itu dia harus hidup untuk dapat menyusul dan menolong Lili.

Ia telah berlari jauh sekali dan perbuatannya ini menghebatkan pengaruh bisa di luka itu. Dia kini merasa seluruh tubuhnya panas dan pandang matanya berkunang-kunang. Dia memang hendak mempertahankan diri, akan tetapi pandangan matanya makin gelap dan akhirnya dia terhuyung-huyung dan roboh di atas rumput tak sadarkan diri lagi.

Ban Sai Cinjin tidak akan sedemikian tersohor namanya apa bila tidak sangat lihai dalam menggunakan huncwe maut dan kalau saja senjata rahasianya tidak amat ganas. Kakek ini memang seorang ahli dalam penggunaan racun yang amat ganas dan jahat, maka dia merasa pasti bahwa pemuda putera Ang I Niocu yang sudah terkena racun pada panah hitamnya tentu akan mati dalam waktu tiga hari.

Memang keadaan Lie Siong mengerikan sekali. Kaki kirinya dari batas paha ke bawah telah berwarna kehitam-hitaman dan tubuhnya panas sekali. Ia pingsan dan menggeletak di atas rumput sampai fajar mendatang.

Tapi Ban Sai Cinjin agaknya lupa bahwa mati hidup seseorang tak dapat ditentukan oleh manusia yang mana pun juga. Apa bila Thian (Tuhan) menghendaki, seseorang boleh hidup walau pun nampaknya tidak mungkin bagi pendapat seorang manusia, sebaliknya seorang yang nampak sehat segar boleh mati di saat itu juga apa bila telah dikehendaki oleh Thian.

Demikianlah, ketika Lie Siong rebah seperti mati di atas rumput dan tubuhnya diselimuti embun pagi, datanglah dua sosok bayangan orang yang melalui tempat itu. Dua orang ini gerakannya cepat sekali dan ketika melihat seorang pemuda menggeletak di tempat itu, mereka lalu mendekati dan memeriksa.

“Dia adalah putera Ang I Niocu...!” seru suara seorang laki-laki.

“Betul, Koko, dia adalah Lie Siong penolong dari Adik Cin!” seru yang wanita, seorang gadis yang cantik jelita. Mereka ini bukan lain adalah Goat Lan dan Hong Beng yang kebetulan sekali lewat di tempat itu dan mendapatkan Lie Siong menggeletak di jalan.

“Aduh, panas sekali tubuhnya!” Hong Beng berseru ketika dia meraba jidat Lie Siong.

“Lihat, Koko, pahanya terluka dan tentu terkena serangan senjata beracun. Mari, angkat dia ke tempat yang lebih baik, Koko. Aku harus cepat-cepat mencoba menolongnya!” kata Goat Lan, murid dari mendiang Yok-ong Sin Kong Tianglo Raja Tabib!

Hong Beng lalu memondong tubuh Lie Siong yang amat panas itu dan mereka membawa pemuda itu masuk ke dalam sebuah hutan kecil dan meletakkan pemuda itu di bawah pohon besar, di atas tanah yang bersih dan kering.

Goat Lan menurunkan buntalan pakaiannya, menggulung lengan baju dan mengeluarkan obat-obat penolak racun yang selalu dibekalnya. Kemudian tanpa sungkan-sungkan lagi dan sangat cekatan, menjadikan kekaguman Hong Beng yang membantunya, Goat Lan lalu menyingsingkan pakaian Lie Siong dari bawah sehingga nampak paha yang terluka oleh panah tangan itu. Tanpa ragu-ragu lagi gadis ini lalu menggunakan bambu runcing itu untuk ditusukkan ke luka yang telah membengkak dan berwarna merah kehitaman itu.

Darah hitam mengalir keluar dari luka tusukan bambu runcing ini dan Goat Lan segera menggunakan jari telunjuknya untuk menotok pangkal paha dan beberapa bagian jalan darah di kaki kiri Lie Siong. Kemudian ia mengurut kaki itu, menghalau darah yang sudah terkena racun supaya keluar dari paha itu hingga Hong Beng sendiri diam-diam merasa ngeri dan mengutuk orang yang menggunakan panah tangan.

Kemudian Goat Lan lalu menempelkan obat pada luka di paha itu, minta supaya Hong Beng membereskan pakaian Lie Siong. Setelah kepala Lie Siong dibasahi air dan sedikit arak dimasukkan ke dalam mulutnya, pemuda ini siuman kembali. Akan tetapi ia masih menutup kedua matanya dan bibirnya bergerak, “Lili... Lili...!”

Goat Lan dan Hong Beng saling pandang penuh arti dan keduanya tersenyum kecil. Goat Lan lalu mencairkan tiga butir pil merah ke dalam arak dan menyuruh tunangannya agar meminumkannya.kepada Lie Siong.

Barulah Lie Siong membuka matanya dan ia memandang kepada mereka dengan mata mengandung keheranan. Akan tetapi dia segera meramkan kedua matanya kembali dan mengeluh. Kakinya terasa sakit bukan main.

“Jangan bergerak dulu, Saudara Lie Siong dan minumlah obat ini segera,” Hong Beng berkata dengan ramah.

Lie Siong kembali membuka mata dan sambil menatap wajah Hong Beng, ia lalu minum obat itu yang terasa pahit akan tetapi berbau harum itu. Sesudah obat itu memasuki perutnya, ia merasa betapa panas di dalam dada dan perutnya berangsur-angsur mulai menghilang. Kemudian, tiba-tiba ia tak dapat lagi menahan rasa kantuknya dan tubuhnya menjadi lemas, terus dia tertidur nyenyak. Memang ini adalah akibat khasiat dari obat yang diberikan oleh Goat Lan itu.

“Tidak lama lagi dia akan sembuh,” kata Goat Lan kepada Hong Beng. “Kalau dia terus pulas itu berarti bahwa racun di dalam tubuhnya telah bersih, kalau dia tidak dapat pulas, agaknya terpaksa aku harus mengeluarkan banyak darahnya lagi. Sekarang dia hanya memerlukan obat penambah darah saja.” Hong Beng mengangguk-angguk dan kembali ia memandang pada tunangannya dengan penuh kekaguman sehingga Goat Lan menjadi merah mukanya.

“Mengapa kau memandangku seperti itu?” tegurnya.

“Lan-moi, kau... hebat sekali!”

“Hushh, aku hanya murid yang bodoh dari Yok-ong guruku,” kata gadis ini.

Dengan kata-kata ini Goat Lan seakan-akan hendak mengingatkan kepada Hong Beng bahwa yang patut mendapat pujian ialah mendiang gurunya. Memang demikianlah watak yang sangat baik dari Goat Lan. Tidak suka sombong dan selalu merendahkan diri, biar terhadap tunangan sendiri sekali pun.

Mereka tidak merasa heran pada waktu tadi Lie Siong menyebut-nyebut nama Lili dalam igauannya, karena kedua orang muda ini belum lama yang lalu telah berjumpa dengan Lo Sian. Dari Sin-kai Lo Sian mereka telah mendengar tentang kematian Ang I Niocu dan mendengar akan pesan Ang I Niocu untuk menjodohkan Lie Siong dengan Lili. Kemudian Sin-kai Lo Sian melanjutkan perjalanan menuju ke rumah Pendekar Bodoh.

Ada pun Goat Lan dan Hong Beng melanjutkan perjalanan untuk mencari Ban Sai Cinjin. Memang, kedua orang muda ini meninggalkan tempat tinggal mereka dengan dua tujuan. Pertama-tama untuk mencari Lili yang belum juga pulang, kedua kalinya untuk mencari Ban Sai Cinjin, karena Goat Lan ingin minta kembali Thian-te Ban-yo Pit-kip yang telah dicuri oleh Ban Sai Cinjin.

Orang tua mereka berpesan agar mereka berhati-hati, kemudian Pendekar Bodoh bahkan berpesan agar supaya mereka terus saja menuju ke Thian-san, karena tidak lama lagi Pendekar Bodoh sendiri pun akan menuju ke sana untuk menyambut tantangan pibu dari Wi Kong Siansu dan kawan-kawannya. Oleh karena itulah, maka Goat Lan dan Hong Beng mengambil jalan ini dan bertemu dengan Lie Siong.

Setelah hari menjadi senja, barulah Lie Siong bangun dari tidurnya. Begitu bangun dia segera bertanya kepada Hong Beng,

“Siapakah Ji-wi (Saudara berdua) yang telah menolong siauwte yang bodoh?”

Hong Beng dan Goat Lan tersenyum. “Saudara Lie Siong,” kata Hong Beng, “kami bukan orang-orang lain, aku adalah Sie Hong Beng dan dia ini adalah Kwee Goat Lan.”

Lie Siong benar-benar terkejut. Ketika dia bersama gurunya mengirim kembali Kwee Cin ke benteng Alkata-san, dia tidak memperhatikan semua orang, maka dia tidak melihat mereka ini.

“Ahh...” katanya dengan tercengang, kemudian wajahnya yang tampan nampak gembira. Akan tetapi segera dia menjadi pucat ketika teringat kepada Lili, maka dia lalu melompat berdiri. “Celaka... kita harus cepat kejar mereka!”

“Saudara Lie Siong, tenanglah. Walau pun lukamu sudah sembuh, akan tetapi lukamu masih lemah dan kegugupanmu itu amat tidak bagi kesehatanmu,” kata Goat Lan sambil memandang tajam penuh perhatian seperti layaknya seorang tabib memandang kepada pasiennya.

Mendengar omongan ini, Lie Siong baru sadar. Dia pun sudah mendengar bahwa Kwee Goat Lan yang menjadi tunangan Sie Hong Beng adalah seorang gadis ahli pengobatan, maka dia lalu menjura memberi hormat sambil berkata,

“Siauwte memang seorang bodoh dan kasar, sampai-sampai lupa untuk menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Lihiap. Tanpa pertolonganmu, agaknya nyawaku sudah lenyap dalam tangan Ban Sai Cinjin.”

“Lie Siong, jangan main sandiwara! Namaku Goat Lan, panggil saja namaku karena Lili biasanya juga memanggil namaku begitu saja!” Kegembiraan Goat Lan timbul kembali, akan tetapi segera disusulnya kelakarnya ini dengan kata-kata sengit, “Di mana Ban Sai Cinjin si keparat? Apakah dia pula yang melukai pahamu?”

Lie Siong senang sekali melihat sikap Goat Lan ini, seorang gadis yang lincah dan yang mengingatkan dia akan kejenakaan dan kegalakan Lili. Akan tetapi pada saat itu hatinya penuh oleh kekuatiran terhadap nasib Lili, maka ia lalu berkata,

“Celaka sekali. Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya yang amat lihai sudah menculik Lili! Ketika aku hendak menolong, mereka mengeroyokku dan secara curang sekali Ban Sai Cinjin telah melukaiku dengan panah beracun.”

Lie Siong lalu menuturkan dengan singkat tentang peristiwa itu. Goat Lan dan Hong Beng menjadi marah sekali.

“Ban Sai Cinjin manusia curang dan pengecut!” terdengar Hong Beng menggeram. “Awas saja kepalamu, kakek jahanam, akan kuhancurkan kepalamu kalau sampai kau berani mengganggu adikku.”

“Kau baru sehari semalam meninggalkan mereka. Mereka itu tentu takkan lari jauh. Mari kita mengejar mereka,” kata Goat Lan.

Maka berangkatlah tiga orang muda yang perkasa ini menuju ke Thian-san sambil di jalan mencari keterangan mengenai Ban Sai Cinjin dan rombongannya. Memang tidak salah, menurut petunjuk dari penduduk kampung yang mereka lalui, Ban Sai Cinjin mengambil jalan ini dan agaknya rombongan itu pun sedang menuju ke Thian-san pula.

Sayangnya bahwa Lie Siong belum boleh menggunakan terlalu banyak tenaga sehingga pengejaran itu tidak dapat dilakukan dengan cepat-cepat. Sedikitnya lima hari Lie Siong harus memulihkan tenaganya kembali, kata Goat Lan dan pemuda itu tentu saja menurut nasehat nona penolongnya.

*****

Tiga orang muda itu benar-benar gagah. Melihat mereka berjalan cepat mendaki gunung melompati jurang, sungguh membuat orang merasa kagum sekali. Hong Beng nampak gagah dengan tubuhnya yang tegap dan wajahnya tampan. Lie Siong berpakaian kuning, pedang naganya menempel di punggungnya, tubuhnya lebih kecil dari pada Hong Beng, akan tetapi ia tampan sekali. Ada pun Goat Lan benar-benar nampak cantik jelita dan gagah. Sepasang bambu runcingnya tergantung di punggung seperti pedang.

Sambil berlari cepat, mereka saling menuturkan riwayat dan pengalaman masing-masing dan makin lama Lie Siong semakin suka kepada sepasang orang muda ini. Ia diam-diam menyesal kenapa tidak sejak kecil dia bersahabat dengan orang-orang ini, dan secara diam-diam ia merasa girang bahwa dahulu ibunya adalah sahabat baik dari orang-orang tua Goat Lan dan Hong Beng. Bahkan ada rasa bangga dalam hatinya karena mereka membicarakan ibunya dengan kekaguman, apa lagi Goat Lan yang pernah ditolong oleh ibunya.

Beberapa hari kemudian mereka telah sampai jauh di barat dan tiba di daerah bergunung yang gundul tiada pohon. Tiba-tiba mereka melihat bayangan seorang kakek melompat-lompat di atas batu yang jika dilihat dari jauh orang itu seperti seekor garuda putih saja, karena kedua ujung lengan bajunya yang lebar dan panjang itu berkibar di kanan kirinya seperti sayap dan ujung baju di belakang terbawa angin seperti ekornya.

“Dia adalah Thai Eng Tosu pembantu Ban Sai Cinjin!” tiba-tiba Lie Siong berseru.

Tahu-tahu dia telah meninggalkan kedua orang kawannya dan mengejar ke atas dengan pedang Sin-liong-kiam di tangan. Melihat gerakan dari Lie Siong yang demikian cepatnya ini, Goat Lan dan Hong Beng terkejut dan kagum sekali. Memang selama ini Lie Siong belum pernah memperlihatkan kepandaiannya.

“Tosu keparat, ke mana kau hendak pergi?!” Lie Siong membentak sambil mengejar.

Memang tosu itu adalah Thai Eng Tosu, orang tertua dari ketiga ketua Pek-eng-kauw. Mendengar seruan ini, kakek ini berhenti dan menengok, kemudian dia tersenyum ketika mengenal pemuda ini. “Jadi kau sudah sembuh? Baguslah, memang orang yang benar selalu dilindungi oleh Thian.”

“Jangan berpura-pura alim, siapa tidak tahu bahwa kau adalah kawan dari Ban Sai Cinjin yang jahat?” bentak Lie Siong sambil memutar pedangnya.

“Anak muda, memang sudah sepatutnya aku dimaki. Aku dan adik-adikku sudah terbujuk oleh Ban Sai Cinjin. Akan tetapi semenjak dia merampas puteri Pendekar Bodoh itu, aku mencuci tangan dan meninggalkan rombongannya. Hanya dua orang adikku yang masih ikut.” Ia menarik napas panjang tanda bahwa hatinya kesal.

“Ke mana rombongan itu membawa Lili?” Lie Siong bertanya dengan suara mengancam. “Katakanlah, baru aku akan mengampuni jiwamu.”

“Kau kira aku demikian busuk hati untuk mengkhianati mereka? Carilah sendiri!”

Lie Siong marah. “Bagus, kalau begitu kau harus mampus!”

Thai Eng Tosu mengeluarkan suling bambunya yang kecil. “Majulah, anak muda, mari kita main-main sebentar. Apa bila betul-betul kau mampu mengalahkan sulingku ini, aku berjanji akan memberi tahu dirimu ke mana mereka itu membawa puteri Pendekar Bodoh!”

Lie Siong sudah merasa gemas sekali dan cepat menyerang dengan pedangnya. Tosu itu menangkis dan segera mereka bertempur dengan serunya di atas tempat yang penuh batu karang itu.

Sementara itu, Goat Lan beserta Hong Beng juga sudah mengejar sampai di tempat itu, akan tetapi melihat betapa pedang Lie Siong bergerak hebat sekali, Hong Beng berkata, “Biarlah, kita menonton dari dekat saja dan jangan dibantu bila Lie Siong tidak terdesak. Dia keras hati, kalau kita bantu, jangan-jangan dia akan merasa tak senang.”

“Seperti Lili...,” kata Goat Lan.

“Memang mereka cocok sekali seperti kita...” kata Hong Beng.

Kerling mata Goat Lan menyambar dan keduanya tersenyum bahagia.

Gerakan ilmu silat tosu itu memang betul-betul lihai sekali dan makin lama ia bertempur, makin nampak nyata bahwa ilmu silatnya itu mempunyai gerakan-gerakan seperti seekor burung garuda. Akan tetapi kini ia menghadapi Lie Siong yang di samping berkepandaian tinggi juga sedang marah dan sakit hati sekali sehingga pedang naganya bergerak cepat bagaikan kilat menyambar-nyambar.

Pada jurus ke lima puluh, setelah Lie Siong mulai mendesak lawannya, tiba-tiba pemuda itu menyambarkan pedangnya dan membabat ke arah leher Thai Eng Tosu. Pendeta ini membungkuk dan merendahkan tubuhnya sehingga sambaran pedang itu lewat di atas kepalanya. Akan tetapi ia tahu bahwa lidah naga yang merah itu tidak tinggal diam dan tahu-tahu sulingnya yang berada di tangan kanannya telah terlibat dan terbetot oleh lidah naga itu. Sekali Lie Siong membentak sambil menendang, tosu itu terpaksa mengelakkan diri dan otomatis sulingnya kena dirampas oleh Lie Siong!

“Sudahlah, sudahlah, memang orang yang benar selalu menang!” tosu itu berkata sambil menghela napas ketika melihat betapa sulingnya hancur dibanting oleh Lie Siong. “Baru tiga hari yang lalu mereka meninggalkan tempat ini menuju ke Thian-san. Lekaslah kau menyusul ke barat, anak muda yang gagah.”

Lie Siong segera memberi tanda kepada Goat Lan dan Hong Beng dan mereka bertiga berlari cepat sekali meninggalkan Thai Eng Tosu yang memandang dengan bengong. Ia menggeleng-geleng kepalanya dan berkata seorang diri, “Keturunan Bu Pun Su memang lihai... lihai sekali...”

Sepekan kemudian, sampailah mereka di kota Hami dan setelah bertanya-tanya mereka dapat mendengar berita tentang Ban Sai Cinjin dan rombongannya, bahkan mendengar pula cerita tentang Lili yang amat menarik hati sekali.

Ternyata bahwa rombongan Ban Sai Cinjin yang terdiri dari Lili, Wi Kong Siansu, Bouw Hun Ti, Hailun Thai-lek Sam-kui dan kedua tosu dari Pek-eng-kauw, setelah tiba di kota Hami, lalu mereka berhenti pada sebuah kuil di mana Ban Sai Cinjin sudah kenal baik dengan pengurusnya.

Lili masih tetap dalam keadaan tak berdaya dan biar pun gadis ini selalu berusaha untuk melepaskan diri, namun tidak ada kesempatan sama sekali baginya. Gadis ini tidak putus harapan, maka dia pun menjaga kesehatannya dengan baik, tidak pernah menolak untuk makan dan minum, akan tetapi sama sekali tidak mau bicara dengan mereka.

Ban Sai Cinjin menderita kepusingan pertama saat Thai Eng Tosu ‘mogok’ di pegunungan itu dan tidak mau melanjutkan perjalanannya karena tidak setuju dengan ditawannya Lili. Kemudian ia menjadi makin pusing karena nampaknya Kim Eng Tosu dan juga Bouw Ki, orang termuda dari Hailun Thai-tek Sam-kui, sudah tergila-gila kepada Lili dan beberapa kali mencoba mengganggunya.

Setelah sampai di kuil itu, Bouw Hun Ti lalu mengajukan usulnya kepada Ban Sai Cinjin, yakniu agar supaya Lili dikawinkan saja kepadanya dengan upacara yang sah! Ban Sai Cinjin melotot dan hendak memakinya, akan tetapi dengan sungguh-sungguh Bouw Hun Ti berkata,

“Suhu, ada tiga hal penting sekali yang mendorong teecu mengajukan usul ini. Pertama, biar pun teecu telah berusia empat puluh lebih akan tetapi teecu masih belum menikah, dan seorang isteri Nona Sie itu sudah cukup memenuhi syarat. Ke dua, kalau Nona Sie sudah menjadi isteri teecu, kiranya Pendekar Bodoh beserta kawan-kawannya akan suka menghabiskan perkara permusuhannya dengan kita, oleh karena adanya ikatan keluarga dengan teecu, dan lagi pula kalau Nona Sie sudah menjadi isteri teecu tentu akan suka mencegah orang tuanya mengganggu kita. Ke tiga, kita semua akan terbebas pula dari gangguan-gangguan kawan-kawan sendiri yang tergila-gila kepada Nona Sie!”

Mendengar ini Ban Sai Cinjin mengangguk-angguk girang. Memang betul sekali alasan-alasan muridnya ini, maka dia lalu minta pendapat dari semua orang. Seperti biasanya, Wi Kong Siansu tidak peduli akan urusan yang dianggapnya remeh ini, ada pun Hailun Thai-lek Sam-kui juga tidak berani mencegahnya. Demikian juga kedua orang tosu dari Pek-eng-kauw.

“Kalau saja Nona Sie suka, tentu tidak ada orang yang berkeberatan,” kata Bouw Ki, orang ke tiga dari Hailun Thai-lek Sam-kui untuk menyembunyikan kecewanya.

Ban Sai Cinjin tersenyum. Untuk ini ia sudah pikirkan baik-baik. “Tentu saja ia akan suka. Cu-wi lihat saja sendiri nanti.”

Dan pada keesokan harinya, kuil itu dihias meriah dan penduduk yang mendengar kabar bahwa di situ akan dilangsungkan pernikahan antara dua orang-orang pelancong, segera berduyun datang menonton. Dan benar saja, tidak seperti biasanya, Lili kini menurut saja pada saat dirias seperti pengantin dan dipertemukan dengan Bouw Hun Ti di depan meja sembahyang!

Tentu saja Hailun Thai-lek Sam-kui dan yang lain-lain merasa heran sekali. Sebenarnya tidak usah dibuat heran, kalau orang sudah mengenal betul siapa adanya Ban Sai Cinjin. Seperti juga pernah dia lakukan kepada Sin-kai Lo Siang, kini dia pun mempergunakan pengaruh obat beracun yang dicampur di dalam makanan yang dimakan oleh Lili malam tadi.

Hanya bedanya, kalau Sin-kai Lo Sian dahulu menjadi gila dan terampas ingatannya, kini Lili hanya terampas ingatannya dan lumpuh kemauannya saja. Dia seakan-akan menjadi seorang tanpa semangat dan menurut saja apa yang orang perintahkan kepadanya!

Akan tetapi, selagi hwesio penjaga kelenteng itu akan melakukan upacara sembahyang bagi sepasang pengantin, tiba-tiba dari antara penonton muncul seorang kate kecil yang bernyanyi sambil menenggak araknya, kemudian ia melangkah ke depan dan mendorong hwesio itu sehingga terjungkal!

“Enak saja orang mengawinkan anak orang tanpa bertanya kepada orang tuanya!” seru orang tua kate itu sambil menggandeng tangan Lili. “Lebih baik dikawinkan dengan aku Si Tua Bangka!”

Bouw Hun Ti marah sekali. Akan tetapi ketika ia memandang seperti juga Ban Sai Cinjin dan yang lain-lain, dia pun menjadi kaget sekali karena kakek kate ini bukan lain adalah Im-yang Giok-cu! Kedua tokoh Pek-eng-kauw yang tidak kenal siapa adanya kakek kate ini, menjadi marah melihat kekurang ajarannya, maka cepat sekali Sin Eng Tosu dan Kim Eng Tosu menyerang dengan ujung lengan baju mereka.

“Enyahlah kau orang kate!”

Akan tetapi bukan main hebatnya akibat dari hinaan dan serangan ini. Orang tidak tahu bagaimana kakek itu bergerak namun tahu-tahu kedua orang tosu berpakaian putih itu sudah jatuh tersungkur ke kolong meja dalam keadaan pingsan!

Bouw Hun Ti mencabut goloknya dan sebelum Ban Sai Cinjin sempat mencegah, Bouw Hun Ti telah melakukan serangan kilat yang hebat sekali ke arah kepala orang kate yang tertawa-tawa itu! Im-yang Giok-cu mendengar sambaran angin dari belakang dan tanpa menengok lagi lalu mengangkat guci araknya yang kehijauan itu.

“Traaaaang…!”

Golok yang dipegang oleh Bouw Hun Ti lantas terpental dari pegangan saking kerasnya benturan kedua macam benda ini. Dan sebelum Bouw Hun Ti sempat mengelak, tangan Im-yang Giok-cu sudah ‘masuk’ ke dalam iganya. Bouw Hun Ti mengeluh panjang, lalu tubuhnya terkulai ke atas lantai!

Orang-orang yang menonton pengantin menjadi panik dan berserabutan melarikan diri sehingga tempat itu sebentar saja menjadi sunyi, hanya tersisa Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu, Hailun Thai-lek Sam-kui, Im-yang Giok-cu, beserta Lili saja yang masih berdiri, karena dua orang tosu Pek-eng-kauw dan Bouw Hun Ti masih belum dapat bangun. Ada pun hwesio yang tadi melakukan upacara sembahyang ternyata sudah lari bersembunyi entah ke mana.

Ketika melihat orang kate yang datang-datang mengamuk, Hailun Thai-lek Sam-kui yang doyan berkelahi segera mencabut senjata mereka masing-masing. Akan tetapi Ban Sai Cinjin segera memberi tanda dengan tangannya, mencegah kawan-kawannya itu turun tangan.

Mata Im-yang Giok-cu yang lihai melihat gerakan mereka ini, karena itu setelah tertawa bergelak ia lalu berkata menantang, “Ha-ha-ha, Sam-kui (Tiga Setan), mengapa tidak jadi mencabut senjata? Kalau kalian hendak meramaikan pesta perkawinanku, marilah maju!”

Ban Sai Cinjin buru-buru maju dan menjura di depan Im-yang Giok-cu. “Totiang, belum lama ini kita saling bertemu dan tidak ada urusan sesuatu di antara kita. Tapi mengapa Totiang hari ini menggagalkan pernikahan yang sah dan baik-baik?”

Im-yang Giok-cu menjemput cawan arak di atas meja yang masih penuh, kemudian dia menenggaknya. Akan tetapi dia lalu menyemburkan arak itu ke arah Ban Sai Cinjin yang walau pun sudah cepat mengelak, masih saja ujung bajunya terkena arak dan baju itu menjadi bolong-bolong! Ia kaget sekali dan pucatlah mukanya.

“Arak busuk, seperti orangnya!” Im-yang Giok-cu memaki. “Ban Sai Cinjin, kejahatanmu sudah bertumpuk-tumpuk. Kau kira aku tidak dapat melihat bahwa nona ini terpengaruh oleh obatmu yang jahat? Hayo kau lekas memberi obat penawarnya, kalau tidak, jangan bilang Im-yang Giok-cu keterlaluan kalau aku membunuh muridmu dan juga kau dan kawan-kawanmu di tempat ini juga tanpa menanti sampai di puncak Thian-san!”

Mendengar ucapan sombong ini, dengan marah Wi Kong Siansu bangun berdiri. Akan tetapi Ban Sai Cinjin cepat melangkah maju dan berkata dengan hormatnya,

“Totiang, ternyata matamu tajam sekali. Akan tetapi sayang, aku tidak mempunyai obat penawarnya! Biarlah kau boleh mengamuk, belum tentu kami kalah, akan tetapi Nona ini selamanya akan menjadi seorang boneka hidup!” Ban Sai Cinjin yang cerdik ini hendak menggunakan keadaan Lili sebagai kunci mencapai kemenangan!

Im-yang Giok-cu menjadi ragu-ragu, kemudian ia berkata, “Ban Sai Cinjin, buku Thian-te Ban-yo Pit-kip berada bersamamu, bukalah lembarannya dan carilah di dalamnya, tentu ada obat penawar untuk racunmu yang keji ini.”

Ban Sai Cinjin menjadi pucat dan melangkah mundur dua tindak. “Bagaimana kau bisa tahu?” tanyanya. “Kitab itu sudah terbakar...”

“Sudahlah, jangan seperti anak kecil! Dahulu Sin Kong Tianglo pernah memperlihatkan kepadaku bahwa kitab itu terbuat dari kertas yang tidak dapat terbakar karena sudah direndam dengan obat. Jangan kau bermain gila di hadapanku. Sekarang begini sajalah, kau kembalikan kitab itu kepadaku agar Nona ini dapat ditolong, dan aku melepaskan muridmu dan takkan turun tangan, baik di sini mau pun di Thian-san. Nah, bagaimana? Apakah kau memilih kekerasan?”

Setelah berpikir-pikir sejenak, Ban Sai Cinjin akhirnya mengalah. Dikeluarkannya kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip yang memang disimpannya sebab dahulu yang terbakar adalah kitab tiruannya saja. Bersama-sama mereka segera mencari obat penawar untuk Lili dan ternyata obat itu mudah saja. Ban Sai Cinjin lalu menyediakan obat itu.

Setelah Lili disuruh meminumnya yang dilakukan dengan taat, gadis itu lalu jatuh pulas. Setengah hari Lili tidur, ditunggui oleh Im-yang Giok-cu dan semua orang tidak ada yang berani turun tangan. Kemudian, menjelang senja Lili sadar dan ternyata dia telah sembuh kembali!

Ia hendak mengamuk, akan tetapi Im-yang Giok-cu mencegahnya dan memperkenalkan diri sebagai guru Goat Lan. “Kau pergilah dan bawalah kitab ini, kembalikan kepada Goat Lan.”

Lili tidak membantah. Setelah menghaturkan terima kasihnya ia kemudian melompat dan menghilang di dalam gelap.

Tentu saja Ban Sai Cinjin menjadi marah sekali ketika melihat Lili melarikan diri sambil membawa kitab itu. Ia hendak mengejar, akan tetapi Im-yang Giok-cu menghadangnya,

“Kitab itu adalah milik Yok-ong, harus dikembalikan kepada muridnya.”

“Im-yang Giok-cu, kau terlalu sekali! Kau sudah berjanji takkan menggunakan kekerasan, akan tetapi tidak saja kau menghina kami, bahkan kitab itu pun kau suruh bawa pergi.”

“Tenang, Ban Sai Cinjin. Tadi aku hanya berjanji bahwa aku tidak akan menggunakan kekerasan dan tidak ikut bertempur di sini mau pun di Thian-san. Aku tidak berjanji apa pun tentang kitab itu, dan tentang gadis itu. Dia puteri Pendekar Bodoh, harus dihormati dan ditolong.”

“Keparat!” seru Ban Sai Cinjin dan dengan gemas dia kemudian memberi isyarat kawan-kawannya untuk mengeroyok.

Im-yang Giok-cu tertawa bergelak-gelak, lalu cepat memutar guci araknya menghadapi keroyokan banyak orang. Hebat sekali sepak terjang kakek kate ini, akan tetapi jumlah pengeroyoknya terlalu banyak. Ia dikepung oleh orang-orang yang berkepandaian tinggi, yaitu oleh Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu, tiga kakek Hailun Thai-lek Sam-kui, Sin Eng Tosu, Kim Eng Tosu dan juga Bouw Hun Ti!

Betapa pun lihainya Im-yang Giok-cu, tentu saja ia tidak tahan menghadapi lawan yang tak seimbang ini. Kepandaiannya hanya setingkat lebih tinggi dari pada Wi Kong Siansu, sedangkan para pengeroyoknya, kecuali Bouw Hun Ti dan Ban Sai Cinjin, mempunyai kepandaian setingkat dengan Wi Kong Siansu.

Beberapa kali kakek kate ini telah menerima pukulan senjata lawan dan biar pun tidak mendatangkan luka hebat, tetap saja semakin melemahkan tenaganya. Akhirnya, ujung payung yang lihai dari Thian-te Te-it Siansu telah berhasil menotok iganya dengan telak dan keras sehingga kakek kate ini terhuyung-huyung sambil tertawa bergelak.

Dia lalu melontarkan guci araknya sedemikian kerasnya dan orang yang sial menerima hantaman guci arak ini adalah Bouw Hun Ti sendiri! Guci arak itu melayang dengan kecepatan yang tidak dapat dielakkan lagi dan dengan mengeluarkan suara keras, guci arak dan kepala Bouw Hun Ti menjadi remuk dan orang jahat itu telah menghembuskan napas terakhir sebelum tubuhnya roboh ke lantai! Ternyata bahwa maut telah meminjam tangan Im-yang Giok-cu untuk membalaskan dendam orang-orang yang dibikin sakit hati oleh Bouw Hun Ti.

Melihat muridnya binasa, Ban Sai Cinjin memekik marah dan ia lalu melompat mendekati Im-yang Giok-cu yang terluka hebat. Sekali huncwe-nya terayun, terdengar suara pletak, dan retaklah kepala Im-yang Giok-cu yang membuat nyawanya melayang meninggalkan raganya.

Ban Sai Cinjin merasa menyesal sekali. Tidak saja ia kehilangan Lili, bahkan juga sudah kehilangan kitab obat itu. Hanya sedikit keuntungannya, di samping kerugian kehilangan murid, mereka telah berhasil membunuh Im-yang Giok-cu, karena kalau kakek kate ini ikut membantu Pendekar Bodoh, ia merupakan tenaga yang amat menguatirkan.

Ketika Goat Lan mendengar berita tentang kematian Im-yang Giok-cu, ia menangis sedih sekali dan mengajak Lie Siong serta Hong Beng untuk mengunjungi kuburan Im-yang Giok-cu di belakang kelenteng. Jenazah kakek kate ini telah diurus oleh hwesio-hwesio dan dimakamkan di belakang kelenteng, bersama dengan jenazah Bouw Hun Ti yang juga dimakamkan di bagian lain di belakang kelenteng.

Goat Lan menangis dan bersembahyang di hadapan kuburan gurunya, bersumpah untuk membalaskan dendam kepada Ban Sai Cinjin beserta kawan-kawannya. Malam harinya mereka bertiga bermalam di kelenteng itu dan alangkah girangnya hati mereka ketika Lili tiba-tiba muncul dari dalam gelap!

Goat Lan menubruk dan memeluk Lili, lalu beramai-ramai empat orang muda itu saling menuturkan pengalaman mereka. Ternyata sesudah ditolong oleh Im-yang Giok-cu, Lili bersembunyi di dalam sebuah hutan di dekat kota itu. Kemudian, pada keesokan harinya ia mendengar tentang kematian Im-yang Giok-cu, maka menyesallah dia mengapa dia tidak dapat membantu kakek penolongnya itu. Ia pikir bahwa masanya untuk mengadu kepandaian di Thian-san sudah tiba, maka lebih baik ia menanti di situ untuk mencari kawan-kawan guna menghadapi Ban Sai Cinjin yang benar-benar amat curang dan lihai.

“Dan bagaimana kalian bertiga bisa bersama-sama?” Lili bertanya sambil mengerling ke arah Lie Siong yang semenjak tadi hanya diam saja, hanya kadang-kadang memandang kepada Lili dengan hati bersyukur bahwa gadis yang dicintainya itu telah terhindar dari bahaya hebat.

Pada waktu Lie Siong menceritakan pengalamannya dan betapa ia terluka ketika hendak menolong Lili, gadis ini melirik dan dengan cemberut dia lantas berkata, “Selama itu kau melakukan perjalanan mengikuti dan tidak memperlihatkan diri? Mengapa begitu?”

Merahlah wajah Lie Siong dan sambil menundukkan muka ia berkata, “Aku takut kalau ternyata kau... kau tidak suka berjalan bersamaku.”

“Apa-apaan pula ini, Song-ko?” tegur Lili dengan sepasang mata terbelalak. “Kau sendiri yang tidak mau melakukan perjalanan bersamaku, dan tahu-tahu kau mengikutiku tanpa memperlihatkan diri... aneh... aneh...!”

Lie Siong makin merah mukanya dan terdengar Goat Lan tertawa geli. “Sekarang kita berempat sudah bertemu dan berkumpul, maka yang sudah biarlah lalu, sekarang kita melakukan perjalanan bersama menuju ke Thian-an. Dengan berempat kita akan lebih kuat menghadapi mereka,” kata Hong Beng.

“Enci Lan,” kata Lili tiba-tiba, “kitabmu masih kusimpan, takkan kuberikan sekarang. Nanti saja kalau kau dan Beng-ko kawin, akan kuberikan sebagai... hadiah perkawinan!”

Timbul kembali kenakalan Lili, karena itu Goat Lan juga menjadi gembira, terhibur dari kesedihan hatinya mendengar tentang kematian gurunya. “Eh, katamu betul, Lili. Aku jadi teringat akan Sin-kai Lo Sian yang berjumpa dengan kami di jalan. Katanya dia hendak mengajukan pinangan kepada orang tuamu, meminang engkau untuk... untuk siapa, ya?” Sambil berkata demikian, dengan penuh arti Goat Lan mengerling ke arah Lie Siong.

Lili menjadi jengah dan merah sekali mukanya. Ia mengulurkan tangan hendak mencubit Goat Lan, akan tetapi Goat Lan cepat mengelak, dan Hong Beng lalu menyela,

“Sudahlah, kalian ini bersenda gurau saja. Urusan itu sudah bukan rahasia lagi bagi kita semua, dan urusan itu akan dapat terjadi dengan lancar tanpa ada halangan apa-apa lagi.”

Maka berangkatlah dua pasangan muda yang gagah perkasa ini. Di sepanjang jalan, Lili dan Goat Lan bersenda gurau sehingga Hong Beng dan Lie Siong turut menjadi gembira pula.

Empat orang pendekar remaja ini menuju Thian-san di mana mereka hendak mengukur kepandaian dengan tokoh-tokoh besar dunia persilatan. Sedikit pun mereka tidak merasa gentar dan takut sesudah mereka berkumpul menjadi satu. Dengan seorang yang dicinta di sebelahnya siapakah yang akan merasa takut...?

*****

Musim chun (semi) sudah tiba. Puncak Thian-san nampak kehijauan dan pemandangan alamnya indah sekali. Di puncak itu terdapat sebuah kuil besar yang kuno dengan ukiran-ukiran indah, akan tetapi kuil ini tidak terurus oleh karena penghuninya telah berpuluh tahun yang lalu mengosongkan tempat ini.

Dahulu, kuil ini adalah pusat dari partai persilatan Thian-san-pai yang besar. Akan tetapi akhir-akhir ini habislah orang yang tadinya masih suka mengurus kuil ini, karena semua anak murid Thian-san-pai lebih suka berkelana di dunia bebas.

Akan tetapi pagi hari itu di dalam kuil ini tidak sunyi seperti biasanya. Ban Sai Cinjin dan kawan-kawannya telah berada di tempat itu sedang berunding dengan kawan-kawannya. Betapa pun juga, setelah Im-yang Giok-cu tewas, mereka tidak berapa takut menghadapi Pendekar Bodoh. Mereka telah memperhitungkan bahwa untuk menghadapi teman-teman Pendekar Bodoh, kepandaian mereka masih sanggup mengimbangi, ada pun Pendekar Bodoh sendiri akan dilawan oleh Wi Kong Siansu.

Tiba-tiba dari luar kuil terdengar suara nyaring yang menantang mereka, “Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu! Kami sudah datang untuk memenuhi tantanganmu!”

Ban Sai Cinjin, Wi Kong Siansu, Thian-te Te-it Siansu, Lak Mou Couwsu, Bouw Ki, dan Coa Ong Lojin serta beberapa orang pemimpin Coa-tung Kai-pang yang sudah datang terlebih dulu di tempat itu, keluar dari kuil itu dan ketika tiba di luar, dengan tercengang mereka melihat empat orang muda yang bukan lain adalah Goat Lan, Lili, Lie Siong dan Hong Beng!

Hati Ban Sai Cinjin berdebar. Ia tidak melihat Pendekar Bodoh, orang yang paling ditakuti dan dibencinya, maka untuk menetapkan hatinya dia bertanya, “Mana Pendekar Bodoh? Apakah dia takut datang ke sini sehingga mewakilkannya kepada anak-anaknya?”

“Ban Sai Cinjin, jangan membuka mulut sombong!” Lili berseru marah. “Orang macam kau tidak pantas untuk dilawan oleh ayahku. Kami orang-orang muda sudah cukup untuk membuktikan bahwa kepandaian kami tidak kalah olehmu.”

“Cu-wi-enghiong,” kata Hong Beng yang lebih tenang dan sabar sambil menjura kepada pihak tuan rumah, “kedatangan kami berempat mengandung dua maksud. Pertama untuk memenuhi tantangan Wi Kong Siansu yang telah menantang ayah untuk datang berpibu di sini pada waktu ini. Dan kedua kalinya, kami harus membalas dendam dan sakit hati kepada Ban Sai Cinjin yang telah membunuh Lie Kong Sian supek, Ang I Niocu bibi kami dan juga Im-yang Giok-cu suhu dari Nona Kwee. Nah, terserah kepada Wi Kong Siansu hendak memulai pibu itu atau memberikan kesempatan kepada kami membunuh Ban Sai Cinjin lebih dulu.”

Wi Kong Siansu tak dapat menjawab dan hanya saling pandang dengan Ban Sai Cinjin. Dibandingkan dengan yang lain, sebetulnya Wi Kong Siansu lebih gagah, karena dalam beberapa pertempuran keroyokan sebelumnya, tosu ini sengaja tidak mau mengeluarkan seluruh kepandaiannya, karena ia merasa malu untuk mendapatkan kemenangan sambil mengeroyok. Kini melihat empat orang muda itu menantang, tentu saja dia merasa malu pula untuk maju mengeroyok.

"Sute, apakah kau merasa tidak kuat menghadapi seorang di antara mereka?” tanyanya kepada Ban Sai Cinjin perlahan sekali.

Ban Sai Cinjin sudah mengenal kehebatan empat orang muda itu, akan tetapi akhir-akhir ini dia sudah memperdalam ilmu silatnya dan kalau bertempur satu lawan satu, agaknya sukar sekali dipercaya kalau dia akan kalah. Lagi pula, tentu saja dia merasa malu kalau menyatakan takut.

Maka dia kemudian melompat maju dan berkata menantang. “Orang-orang muda yang sombong! Siapa sih takut padamu? Majulah, mana saja, atau kalian hendak mengeroyok aku?” sambil berkata demikian, dia mengisi huncwe baru yang berwarna hitam dengan tembakau hitamnya yang terkenal, bahkan lalu mempersiapkan sepuluh batang panah tangan di saku bajunya.

Kemudian terjadi hal yang lucu. Empat orang muda itu saling berebut untuk menghadapi Ban Sai Cinjin!

“Dia membunuh guruku Im-yang Giok-cu, akulah yang berhak untuk membalasnya!” kata Goat Lan.

“Tidak, Goat Lan. Dia telah menewaskan ayah bundaku, akulah yang lebih berhak pula!” kata Lie Siong sambil mengeluarkan pedangnya.

“Aku yang paling tua, biar aku saja menghancurkan kepalanya!” kata Hong Beng.

“Tidak, tidak! Akulah yang akan membunuh anjing tua ini, Enci Lan, kau mengalah sajalah kepadaku. Siong-ko, biar aku yang membalaskan sakit hati orang tuamu dan Beng-ko, kau harus mengalah terhadap adikmu!” kata Lili dan sekali menggerakkan dua kakinya, gadis ini telah melompat menghadapi Ban Sai Cinjin!

“Lili, kau tidak boleh bertangan kosong saja!” kata Hong Beng yang amat mengkuatirkan keselamatan adiknya, karena ia maklum bahwa kelihaian Lili tergantung dari kipas dan pedangnya.

“Lili, kau pakailah bambu runcingku!” kata Goat Lan.

Ada pun Lie Siong segera melompat mengejar dan menyerahkan pedangnya kepada Lili. “Kau pakailah ini, Lili.”

Lili menatap dengan mesra dan berterima kasih. “Tak usah, Siong-ko, jangan membikin kotor pedangmu, kedua tanganku cukup untuk menghadapinya.”

Lie Siong melompat mundur kembali dan diam-diam tiga orang muda itu merasa gelisah. Bagaimana Lili demikian sembrono untuk menghadapi Ban Sai Cinjin yang lihai dengan bertangan kosong saja?

Akan tetapi Ban Sai Cinjin tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Dia berseru keras dan segera menyerang Lili dengan huncwe-nya. Gadis itu tersenyum mengejek dan begitu dia mengeluarkan Ilmu Pukulan Hang-liong-cap-it-ciang, tidak saja Ban Sai Cinjin yang menjadi terkejut sekali, bahkan Lie Siong, Hong Beng, dan Goat Lan juga memandang dengan mata terbelalak. Belum pernah mereka menyaksikan ilmu pukulan seperti itu dan seingat Hong Beng, ayahnya sendiri pun tidak pernah memberi pelajaran ilmu silat seperti yang dimainkan oleh Lili ini.

Namun hasilnya luar biasa sekali. Dalam jurus-jurus pertama saja Ban Sai Cinjin sudah amat terdesak. Huncwe-nya terbentur dengan tenaga pukulan yang lebih berbahaya dari pada senjata tajam. Memang hebat sekali Hang-liong-cap-it-ciang ini dan kalau Lili mau, setelah menyerang selama tiga puluh jurus lebih, dia dapat membinasakan lawannya.

Akan tetapi, di samping kegalakan dan kelincahannya, tabiat ayahnya menempel gadis ini. Ia pemurah dan mudah memberi ampun. Ketika mendapat kesempatan, ia mengirim pukulan dengan kedua tangan bahkan kaki kirinya juga mendupak ke arah dada lawan.

Terdengar bunyi keras dan kembali untuk kedua kalinya huncwe maut dari Ban Sai Cinjin pecah terkena hawa pukulan Hang-liong-cap-it-ciang, dan walau pun kakek itu hendak menangkis, tetap saja dadanya terkena pukulan hingga dia menjerit dan terlempar roboh sambil memuntahkan darah segar! Walau pun Lili tidak membunuhnya, namun dia telah menderita luka berat dan untuk sementara waktu takkan dapat bergerak!

Wi Kong Siansu melompat ke depan hendak menantang, akan tetapi pada saat itu pula berkelebat bayangan tujuh orang dan muncullah Cin Hai, Kwee An, Lin Lin, Ma Hoa, yang dikawani oleh Kam Liong, Kam Wi, dan Tiong Kun Tojin!

“Kami datang atas perintah Kaisar menangkap pengkhianat dan pemberontak Ban Sai Cinjin, Coa Ong Lojin dan pengemis-pengemis Coa-tung Kai-pang!” seru Kam Wi sambil mengeluarkan lengki (bendera titah raja). Melihat bendera ini, Wi Kong Siansu dan ketiga Hailun Thai-lek Sam-kui lalu berlutut.

Coa Ong Lojin hendak melarikan diri, akan tetapi sekali menggerakkan tangannya, Tiong Kun Tojin sudah berhasil menangkapnya dan menotok punggungnya! Kam Wi tertawa bergelak, lalu berpaling kepada Pendekar Bodoh sambil berkata,

“Urusan kami sudah beres, beberapa hari lagi kami akan datang ke Shaning mengurus perjodohan!”

Ia lalu menyeret Coa Ong Lojin, Ban Sai Cinjin dan beberapa orang pengemis Coa-tung Kai-pang, lalu menjura dan meninggalkan tempat itu bersama Kam Liong dan Tiong Kun Tojin sambil membawa tawanan-tawanan mereka.

Pendekar Bodoh tersenyum, lalu menjura kepada Wi Kong Siansu. “Wi Kong Siansu, sekarang kau melihat sendiri betapa jahatnya sute-mu itu. Ia sudah bersekongkol untuk membunuh putera Kaisar dan bahkan ia membantu pula pergerakan orang-orang Mongol yang lalu. Nah, karena kita berhadapan sebagai musuh hanya karena gara-gara Ban Sai Cinjin, perlukah permusuhan ini dilanjutkan lagi?”

Wi Kong Siansu dan Hailun Thai-lek Sam-kui saling pandang. Terang bahwa keadaan pihak mereka jauh kalah kuat. Akan tetapi untuk menutup rasa malu, Wi Kong Siansu lalu berkata. “Pendekar Bodoh, orang-orang seperti kita hanya punya satu macam kesukaan, yaitu memperdalam pengertian ilmu silat. Kini setelah kita bertemu, mengapa kita tidak main-main sebentar?”

Cin Hai menghela napas. “Baiklah, orang tua. Kau boleh menyerangku tanpa kubalas, dan bila mana dalam sepuluh jurus kau dapat membuatku menggerakkan kaki selangkah saja, aku mengaku kalah padamu!” Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu berdiri tegak dan menundukkan kepalanya. Dia memegang sebatang suling dan meramkan matanya seperti tidur!

“Pendekar Bodoh, agaknya kau benar-benar sudah mewarisi kepandaian Bu Pun Su. Biarlah aku mencobanya!” Sambil berkata demikian, Wi Kong Siansu segera mencabut Hek-kwi-kiam, lalu berseru, “Lihat pedang!”

Dia membuka serangan dengan sebuah tusukan ke arah dada Cin Hai. Namun Pendekar Bodoh tetap tidak membuka matanya, hanya pada saat pedang itu sudah dekat dengan dadanya, dia baru mengangkat sulingnya menangkis. Wi Kong Siansu merasa telapak tangannya tergetar, lalu ia menerjang kembali sampai tiga kali, namun tetap saja sia-sia, karena selalu suling di tangan Cin Hai dapat menangkis dengan tepat.

Saat Wi Kong Siansu hendak menyerang untuk yang ketujuh kalinya tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu Lie Siong telah menangkis dengan Sin-liong-kiam.

“Wi Kong Siansu, sungguh tidak tahu malu sekali kau menyerang seorang lawan yang tidak membalas, bahkan melihatmu pun tidak. Kalau kau memang orang gagah, lawanlah pedangku!” Tanpa menanti jawaban, Lie Siong lalu menyerang.

Wi Kong Siansu kaget sekali melihat gerakan pedang pemuda ini benar-benar luar biasa sekali. Semua orang lalu menonton karena pertempuran ini jauh lebih menarik dan ramai.

“Heran sekali...” Cin Hai yang sudah membuka matanya berkata perlahan. “Dari mana ia memperoleh gerakan-gerakan ini?”

Memang matanya yang tajam melihat gerakan-gerakan ilmu pedang yang aneh dan lihai, yang membuat sinar pedang hitam di tangan Wi Kong Siansu makin lama makin kecil.

“Siong-ji, tahan! Jangan mendesak orang tua!” Cin Hai berseru dan sekali ia melompat, ia telah berada di antara ke dua orang yang bertempur itu.

Wi Kong Siansu menyimpan pedangnya dan menarik napas panjang kemudian berkata, “Hebat, memang hebat! Keturunanmu memang hebat, Pendekar Bodoh. Pinto mengaku kalah.” Ia hendak pergi setelah menjura.

Akan tetapi Lili lalu berkata kepadanya, “Totiang, jangan kau salah sangka. Pembunuh muridmu, Song Kam Seng, adalah Ban Sai Cinjin. Aku sendirilah yang sudah mengurus pemakamannya!”

Wi Kong Siansu amat terkejut dan menoleh. Gadis itu dengan singkat lalu menceritakan peristiwa itu. Wi Kong Siansu kembali menarik napas panjang lalu pergi dari situ dengan hati terpukul.

Dengan lega dan girang, Pendekar Bodoh lalu mengajak semua orang kembali ke timur. Di sepanjang jalan tiada hentinya saling menuturkan pengalaman masing-masing.

*****

Rumah Pendekar Bodoh dihias indah. Tidak heran karena pada hari itu dilangsungkan pernikahan dua orang anak mereka, Hong Beng dengan Goat Lan dan Hong Li dengan Lie Siong!

Tamu-tamu sudah memenuhi ruangan dan di antara mereka terdapat pula tokoh-tokoh persilatan baik kawan mau pun bekas lawan seperti Hailun Thai-lek Sam-kui dan lainnya! Pasangan Hong Beng dan Goat Lan diperkenalkan kepada tamu-tamu lebih dahulu dan sesudah mendapat sambutan dan pemberian selamat, mereka lalu mengundurkan diri, diganti oleh pasangan Lie Siong dan Hong Li.

Akan tetapi, ketika sepasang pengantin ini sedang menerima penghormatan dan ucapan selamat dari para tamu, tiba-tiba seorang tinggi besar bangkit berdiri dari bangkunya dan dengan suara keras berkata, “Cu-wi, sekalian! Sebagai sama-sama orang kang-ouw, biarlah pada saat ini aku menyampaikan perasaan tidak enak hatiku kepada sepasang pengantin dan juga tuan rumah!”

Semua orang segera memandang dan ternyata yang berbicara itu adalah Kam Wi, tokoh Kun-lun-pai, paman dari Panglima Kam Liong!

“Sebelum Nona Sie dipinang orang lain, aku telah meminangnya lebih dulu untuk putera keponakanku, Kam Liong. Biar pun belum resmi, pihak keluarga Sie sudah menyatakan cocok, bahkan keponakanku sudah mengadakan perjalanan bersama dengan Nona Sie. Akan tetapi siapa kira pada hari ini aku melihat Nona Sie menjadi isteri Lie Siong yang sesungguhnya telah menjadi suami dari seorang gadis Haimi bernama Lilani!”

Terdengar teriakan nyaring. Pengantin wanita, yaitu Lili, merenggut hiasan kepala yang menutupi mukanya dan membanting hiasan itu hingga terdengar suara keras.

“Bangsat tua, apakah kau sengaja datang untuk mengantarkan nyawa?” teriaknya dan ia hendak menyerang Kam Wi yang telah tertawa bergelak-gelak.

Akan tetapi Lie Siong memegang tangannya sambil berbisik, “Sudahlah, Li-moi, dia itu orang mabuk!”

Mendengar cegahan ini, Lili makin gemas, merenggutkan tangannya dan berkata, “Orang lemah, lebih baik kau kembali kepada Lilani!” Setelah berkata demikian, dengan isak di tenggorokan ia lalu melompat keluar dari rumah dan melarikan diri!

Lie Siong menjadi bingung, membanting topi pengantinnya lalu menyusul dan mengejar Lili yang berlari seperti terbang cepatnya! Gegerlah keadaan di sana dan Kam Wi yang masih tertawa-tawa itu ditarik tangannya oleh Tiong Kun Tojin yang cepat mintakan maaf kepada Pendekar Bodoh untuk sute-nya yang kasar.

Lili berlari terus, dan ketika ia tahu bahwa Lie Siong mengejarnya, ia berlari makin cepat. Berhari-hari mereka kejar mengejar dan akhirnya Lili tiba di dekat sumur rahasia tempat tinggal nenek aneh yang menjadi gurunya. Ia lalu terjun ke dalam sumur itu.

Lie Siong terkejut sekali, akan tetapi pemuda ini pun ikut pula terjun ke dalam sumur. Di dalam kamar di goa yang aneh itu, Lili dan Lie Siong melihat nenek yang gagu itu tengah duduk bersila dan di pangkuannya terbaring kepala seorang kakek.

Alangkah terkejut hati Lie Siong ketika melihat bahwa kakek itu adalah gurunya yang mengajarnya bermain gundu! Nenek itu keadaannya sudah sangat lemah, kurus kering dan pucat, ada pun kakek itu ternyata telah menjadi mayat! Mendengar gerakan Lili dan Lie Siong, nenek yang lihai itu membuka matanya.

“Suthai, kau kenapakah...?” Lili bertanya sambil berlutut.

Nenek itu mencoret-coret di atas tanah. Lili dan Lie Siong lalu membaca tulisan-tulisan itu yang ternyata menceritakan riwayat nenek itu bersama kakek yang kini dipangkunya dan yang telah mati. Ternyata keduanya memiliki riwayat yang ada hubungan dekat dengan penghidupan Bu Pun Su, guru dari Pendekar Bodoh!

Setelah selesai menuturkan riwayatnya dengan tulisan, nenek itu tak kuat lagi dan ketika kedua orang muda itu memandang, ternyata bahwa nenek itupun telah menghembuskan napas terakhirnya! Dengan penuh khidmat, Lie Siong dan Lili lalu meninggalkan goa itu, menutupnya dengan batu besar, kemudian keluar dari sumur itu dan menimbuni sumur itu dengan pepohonan sehingga tempat itu merupakan sebuah makam yang luar biasa. Kemudian mereka berjalan sambil bergandengan tangan.

“Li-moi, aku tidak dapat berkata apa-apa lagi. Tergantung dari keputusanmu sekarang, hanya inilah tanda bahwa semenjak dahulu aku mencintamu.” Lie Siong mengeluarkan sepatu yang dulu dirampasnya dari saku bajunya.

Lili menerima sepatu itu dengan terharu. Setelah membaca riwayat nenek yang menjadi gurunya itu, lenyaplah marah dan cemburunya terhadap Lie Siong.

“Hemm, kalian ini laki-laki di seluruh dunia sama saja!” katanya cemberut akan tetapi kerling matanya membesarkan hati Lie Siong. “Kalau Sucouw Bu Pun Su sendiri sampai terjerumus, biarlah aku maafkan kau yang satu kali masuk dalam perangkap nafsu. Akan tetapi, awas, jangan sampai terulang lagi!”

Lie Siong memegang tangan Lili dengan penuh kasih sayang. “Tidak akan terulang lagi sampai aku mati, Li-moi. Pula, harap kau ingat bahwa peristiwa antara aku dengan Lilani itu terjadi sebelum aku berjumpa dengan kau! Sejak aku bertemu dengan kau... isteriku, jangankan Lilani, biar ada bidadari dari kahyangan menggodaku, hatiku tetap tidak akan tergoncang!”

Lili mencibirkan bibirnya sambil merenggutkan tangannya. “Cih, mulut laki-laki memang manis, pandai membujuk merayu. Siapa dapat percaya?”

Setelah berkata demikian dia segera melarikan diri, dikejar oleh Lie Siong! Akan tetapi mereka kini berkejar-kejaran sambil tertawa-tawa dan juga mereka mengarahkan tujuan kembali ke Shaning di mana menanti semua keluarga dengan hati gelisah.

*****

Bagaimanakah riwayat nenek dan kakek guru-guru yang aneh dari Lili dan Lie Siong itu? Mengapa riwayat mereka sampai mengharukan hati Lili hingga membuat gadis ini dapat memaafkan kesalahan Lie Siong yang sudah bertindak salah sebelum bertemu dengan dia?

Untuk mengetahui ini, dipersilakan untuk membaca cerita Pendakar Sakti (Bu Pun Su Lu Kwan Cu), di mana akan muncul tokoh-tokoh besar seperti Bu Pun Su, Hok Peng Taisu, Swi Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, di waktu tokoh-tokoh ini masih muda!

Bacalah riwayat Bu Pun Su di waktu kanak-kanak sampai menjadi seorang pendekar muda yang sakti dan luar biasa.

T A M A T