Korban Ratu Pelangi - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Rajawali Sakti

KORBAN RATU PELANGI


SATU
Cras! Glarrr....!

Ledakan keras menggelegar, menggetarkan seluruh mayapada. Ledakan itu terjadi mengikuti kilatan cahaya terang di langit yang menghitam, tertutup gumpalan awan tebal. Beberapa kali kilat menyambar membelah angkasa, disertai ledakan guntur yang menggelegar. Suaranya benar-benar memekakkan telinga. Angin pun bertiup kencang, menebarkan udara dingin yang menusuk sampai ke tulang.

Alam yang seakan sedang murka ini sama sekali tidak mengendurkan langkah seorang pemuda. Dia berjalan tertatih-tatih menentang hembusan angin kencang. Kakinya yang telanjang terus terayun perlahan-lahan meniti jalan kecil yang penuh dengan kerikil tajam. Sama sekali tidak dipedulikan rasa nyeri pada kulit kakinya yang pecah, tergores kerikil-kerikil sepanjang jalan setapak ini. Dan sedikit pun tidak dipedulikannya ledakan guntur yang menggelegar atau kilatan cahaya petir yang menyambar membelah angkasa. Dia terus berjalan perlahan-lahan dengan kepala tertunduk, menekuri ayunan kakinya yang telanjang.

Cras!
Glarrr...!

Kembali kilat menyambar, disertai ledakan guntur yang sangat keras menggelegar. Kepala pemuda itu mendongak sedikit ke atas, seakan-akan hendak menentang guntur yang meledak mengejutkan itu. Tampak jelas wajahnya yang cukup tampan. Dan, guratan-guratan jalan kehidupan yang keras tersirat pada sorot matanya yang tajam. Hanya sesaat langkah kakinya dihentikan, kemudian kembali ber-jalan perlahan-lahan. Sorot matanya tampak makin terlihat tajam, tertuju lurus ke depan.

"Hm..."

Pemuda itu menggumam perlahan begitu sorot matanya menangkap bayang-bayang sebuah bangunan tua. Tampaknya sebuah puri. Masih terlalu sukar baginya untuk bisa melihat dengan jelas. Jaraknya masih cukup jauh, sedangkan sekitar bangunan itu diselimuti kabut yang cukup tebal. Bangunan itu hanya terlihat samar-samar.

Kembali pemuda itu berhenti melangkah setelah berada sekitar dua batang tombak lagi dari bangunan berbentuk puri itu. Seluruh dindingnya terbuat dari tumpukan batu persegi, dihiasi oleh berbagai macam ukiran kasar. Seluruh dinding batu itu hampir tertutup oleh lumut cukup tebal. Sepi sekali sekelilingnya. Sepertinya tak terlihat adanya tanda-tanda ke-hidupan. Perlahan pemuda yang mengenakan baju kumal penuh tambalan itu melangkah mendekatinya.

Sorot matanya masih tetap tajam, tertuju langsung ke arah bangunan puri yang semakin dekat di depannya. Saat tinggal beberapa langkah lagi jaraknya dari puri itu, dia kembali berhenti. Tak terlihat ada satu pintu pun di puri ini. Bahkan tidak ada satu pun jendela terlihat. Bangunan ini seperti hanya berupa tumpukan batu-batu, seperti bukit. Sebentar pemuda berbaju kumal penuh tambalan itu merayapi bangunan puri ini dari bawah sampai ke ujung atas, kemudian pandangannya beredar berkeliling.

"Oh...."

Pemuda itu terlongong ketika tiba-tiba dari atas puncak puri itu membersit cahaya benderang yang menyilaukan mata. Alam sekitarnya yang gelap gulita menjadi terang bagai tersiram cahaya mentari yang bersorot terik.

Dari lingkaran cahaya itu, tampak meluncur pelangi yang begitu indah, dengan warnanya yang beraneka ragam. Ujung pelangi jatuh tepat di ujung kaki pemuda berbaju kumal seperti gembel ini, seakan-akan menyambutnya agar naik ke atas puri melalui pelangi itu. Sedangkan si pemuda masih juga terpesona, memandangi lingkaran cahaya terang berkilau menyilaukan mata di atas puri.

"Oh...."

Pemuda itu kembali mendesah panjang ketika tiba-tiba dari lingkaran cahaya terang itu terlihat satu bentuk bayangan tubuh yang sangat ramping dan indah. Perlahan-lahan bayangan tubuh itu bergerak mengikuti alur pelangi yang melengkung turun ke bawah. Dan, bayangan ramping itu semakin lama se-makin terlihat jelas, membuat kedua bola mata pemuda itu tidak berkedip memandangnya.

"Oh! Apakah aku bermimpi...?" desah pemuda itu tidak percaya dengan pandangannya sendiri.

Memang sukar dipercaya. Seorang wanita yang sangat cantik rupawan kini sudah berada dekat sekali. Baju yang dikenakannya begitu indah, terbuat dari bahan sangat tipis. Sehingga, lekuk-lekuk tubuhnya begitu jelas terlihat. Akibatnya mata pemuda itu semakin lebar tak berkedip memandanginya. Seakan-akan dia sedang berhadapan dengan seorang dewi yang baru turun dari kayangan.

Bibir yang memerah indah bergerak lembut menyunggingkan senyuman yang sangat menawan, membuat jakun pemuda itu bergerak turun naik. Aroma harum langsung menyeruak merangsang hidung, saat wanita itu menggerakkan tangannya. Pemuda itu langsung gemetar begitu jari-jari tangan yang lentik dan halus rnenyentuhnya. Seketika itu juga kesadarannya langsung lenyap. Dia tidak tahu lagi, apa yang mesti dilakukannya.

"Apa yang kau inginkan sampai datang ke tempatku ini, Jaka Gembel?" Lembut sekali suara wanita itu.

"Aku... aku..." Pemuda yang dipanggil Jaka Gembel itu tergagap, tidak bisa menjawab pertanyaan wanita cantik bagai bidadari itu.

Keajaiban yang tertadi di depan matanya ini benar-benar membuatnya jadi tergagap setengah mati. Sukar untuk bisa menjawab pertanyaan yang dikeluarkan dengan nada yang sangat lembut itu. Beberapa kali Jaka Gembel harus menelan ludahnya, membasahi tenggorokannya yang mendadak terasa kering, bagai berada di sebuah padang pasir yang teramat panas dan gersang.

Wanita itu hanya tersenyum. Dia semakin dekat saja, membuat detak jantung Jaka Gembel semakin menggemuruh. Jaka Gembel tidak bisa lagi berbuat apa pun ketika jari-jari tangan yang halus dan lentik itu menggenggam tangannya dengan lembut. Kakinya terayun melangkah mengikuti wanita cantik itu menyusuri cahaya pelangi yang melengkung naik ke atas puri. Seluruh tubuhnya langsung terselimut cahaya terang benderang yang berkabut tebal. Tangannya terus digenggam erat wanita cantik yang berjalan di depannya.

Dan, ketika sampai di puncak puri, tiba-tiba saja tubuh mereka lenyap, bersamaan dengan lenyapnya cahaya terang dan pelangi itu. Alam sekitar puri kembali gelap gulita. Awan tebal menghitam masih bergulung-gulung. Sesekali terbersit cahaya kilat disertai ledakan guntur yang membelah angkasa. Sedangkan pemuda yang mengenakan baju kumal seperti Gembel itu sudah lenyap bersama wanita cantik bagai bidadari tadi.

********************

Waktu berjalan begitu cepat. Hari berganti hari. Bulan pun berganti bulan. Lenyapnya Jaka Gembel dari Kadipaten Kuring sama sekali tidak dipedulikan oleh seluruh penduduk. Bahkan mereka merasa lega, karena tidak terganggu lagi dengan kehadiran pemuda gembel itu. Roda kehidupan di desa ini berjalan seperti biasanya, meskipun bukan Jaka Gembel saja pengemis yang ada disana.

Memang para gelandangan tidak mendapat tempat di Kadipaten Kuring. Mereka bagaikan sekumpulan sampah yang mengotori Kadipaten itu. Sehingga, hilangnya satu orang gelandangan seperti Jaka Gembel tidak akan mendapat perhatian sama sekali.

Hari itu suasana di Kadipaten Kuring lain dari biasanya. Di setiap pelosok kadipaten itu terpasang umbul-umbul yang membuat suasana menjadi begitu semarak. Seluruh penduduk tumpah ruah di jalan-jalan yang dipenuhi oleh hiasan berwarna-warni. Tak tampak sedikit pun wajah duka. Yang ada hanyalah wajah-wajah cerah penuh keceriaan. Hari itu memang merupakan hari istimewa bagi seluruh penduduk Kadipaten Kuring.

"Minggir...! Minggir...!"

Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras. Orangorang yang memadati jalan berserabutan menyingkir, bersamaan dengan melintasnya beberapa ekor kuda yang ditunggangi orang-orang berpakaian seragam prajurit. Di belakang para prajurit berkuda itu terlihat sebuah kereta yang ditarik delapan ekor kuda putih. Dan dua puluh gadis-gadis cantik mengiringi kereta kuda yang sangat indah itu. Di belakangnya lagi, tampak satu pasukan prajurit berjalan kaki. Kemudian disusul oleh tiga puluh orang prajurit berkuda.

Semua orang kini berdiri berjajar dengan pandangan mata tertuju pada kereta kuda indah yang dikawal puluhan prajurit dan diiringi gadis dayang yang cantik-cantik dan masih berusia muda itu. Di dalam kereta tampak duduk seorang wanita berwajah cantik bagai bidadari, mengenakan baju dari bahan sutera halus yang sangat indah gemerlapan. Namun, wajahnya begitu mendung. Tak ada senyum sedikit pun tersungging di bibirnya yang merah merekah.

Iring-iringan itu terus bergerak menuju sebuah bangunan besar dan megah, yang dikelilingi pagar tembok tinggi dan tebal. Inilah bangunan istana kadipatenan yang sangat megah, dengan dihiasi aneka ragam hiasan dan umbul-umbul. Puluhan prajurit bersenjata lengkap terlihat berjaga-jaga di sekeliling istana itu. Pintu gerbang langsung dibuka begitu iring-iringan hampir memasukinya. Suara gamelan terdengar bertalu-talu, membuat suasana di Kadipaten Kuring semakin bertambah semarak. Bukan hanya di luar benteng istana, tapi di dalam benteng istana ini pun penuh dengan orang yang ingin melihat putri cantik itu.

Iring-iringan baru berhenti setelah sampai di depan tangga bangunan istana yang sangat megah dan indah ini, yang tidak kalah megahnya dengan istana kerajaan. Paturakan memang sebuah kadipaten yang besar dan kaya. Tampak seorang laki-laki separuh baya berdiri tegak di ujung atas tangga istana, dikawal tiga puluh prajurit dan gadis-gadis dayang yang cantik. Pakaiannya yang indah gemerlap menonjol di antara begitu banyak orang memadati halaman depan istana kadipatenan. Laki-laki itu adalah Adipati Paturakan.

Sementara itu dari dalam kereta kencana muncul gadis berpakaian indah tadi dengan wajah yang cantik bagai rembulan bersinar penuh.

"Selamat datang di Kadipaten Kuring, Dinda Ayu Dewi Winarti....'' sambut Adipati Arya Paturakan, dengan sikap yang ramah sekali.

Gadis cantik yang baru turun dari kereta kencana itu tersenyum. Dengan ayunan kaki yang anggun sekali, dia melangkah meniti anak-anak tangga istana, diiringi oleh dayangnya. Walaupun wajahnya tampak begitu cantik, kabut mendung yang menyelimutinya sangat jelas terlihat. Tapi, mendung itu tetap tidak membuat kecantikannya memudar sedikit pun.

"Mari, silakan masuk. Kami semua sudah lama menunggu kedatanganmu, Dinda Ayu Dewi...," sambut Adipati Arya Paturakan lagi.

"Terima kasih," balas Ayu Dewi Winarti, tanpa basa-basi.

Suaranya terdengar lembut dan perlahan sekali, bahkan hampir tidak terdengar di telinga. Dengan ayunan langkah yang lembut, dia terus berialan masuk ke dalam istana kadipatenan, diiringi Adipati Arya Paturakan. Semua dayang terus mengiringinya.

Di dalam sebuah ruang yang sangat luas, yang ditata dengan indah, sudah berkumpul para pembesar kadipaten serta tamu undangan yang terdiri dari para saudagar dan pembesar-pembesar kadi-paten lain. Dengan sikap yang agak angkuh, Adipati Patarukan melangkah tegap di samping Ayu Dewi Winarti. Mereka berjalan diiringi puluhan pasangan mata yang memandanginya sampai di kursi singga-sana yang sangat megah. Kemudian keduanya duduk berdampingan sementara itu. suara gamelan masih terdengar mengalun lembut, membuat suasana di bangsal agung itu terasa begitu khidmat.

"Kau lihat, Dinda. Mereka semua begitu kagum dan memuji kecantikanmu. Rasanya aku benar-benar mendapat kehormatan bisa berdampingan denganmu," kata Adipati Paturakan.

"Hm..."

Ayu Dewi Winarti hanya tersenyum tipis. Sama sekali dia tidak merasa senang, meskipun semua mata mengagumi kecantikannya. Bahkan raut wajahnya makin terlihat bertambah mendung. Sebentar dia melirik pada laki-laki separuh baya yang duduk di sampingnya. Kemudian dia bangkit berdiri, melangkah meninggalkan ruangan itu, tanpa bicara sedikit pun.

Sikap Ayu Dewi Winarti yang kelihatan aneh membuat Adipati Arya Paturakan terheran-heran. Tapi dia menutupi keheranannya, karena tidak ingin tamu-tamu undangannya terpengaruh oleh sikap Ayu Dewi Winarti itu, yang tampaknya tidak menyenangi suasana penyambutan yang meriah ini. Cepat-cepat Adipati Paturakan bangkit berdiri.

"Maaf. Kalian terus saja berpesta," kata Adipati Arya Paturakan.

Bergegas dia melangkah menyusul Ayu Dewi Winarti yang sudah menghilang dari ruangan bangsal agung ini. Bisik-bisik pun mulai terdengar begitu Adipati Arya Paturakan tidak terlihat lagi di dalam ruangan.

"Sikapmu sudah keterlaluan, Ayu Dewi. Kau sudah mencoreng mukaku di depan sahabat-sahabatku!" Adipati Arya Paturakan, dengan suara agak mendesis.

"Seharusnya kau malu pada dirimu sendiri, Gusti Adipati," ujar Ayu Dewi Winarti, sinis.

Gadis itu tetap berdiri tegak menghadap ke jendela, membelakangi laki-laki separuh baya penguasa Kadipaten Kuring ini. Tak ada seorang pun selain mereka berdua di dalam kamar yang berukuran cukup luas ini. Sementara itu suara gamelan masih terdengar mengalun lembut, mengiringi pesta yang berlangsung di balai agung istana kadipaten ini. Bahkan pesta itu juga berlangsung di seluruh pelosok kota kadipaten, semuanya turut menyambut ke-datangan Ayu Dewi Winarti

"Malu...? Apa yang kau bicarakan, Ayu...?" agak keras suara Adipati Paturakan.

"Seharusnya kau sudah bisa mengetahuinya, Gusti Adipati."

"Huh! Kau semakin membuatku kesal saja, Ayu," dengus Adipati Paturakan. "Katakan, apa sebenarnya yang kau inginkan...?"

Ayu Dewi Winarti tidak langsung menjawab. Dia memutar tubuhnya. Bibirnya yang selalu tampak merah menyunggingkan senyuman tipis yang sinis sekali. Sinar matanya sangat tajam, menusuk langsung ke bola mata laki-laki separuh baya yang berdiri tidak seberapa jauh di depannya itu.

"Aku sudah memenuhi janjiku untuk datang ke sini, Gusti Adipati. Tapi kau belum juga memenuhi janjimu. Seharusnya bukan kemeriahan ini yang kau berikan untuk menyambutku. Aku menginginkan sambutan dari kakakku. Kau sudah berjanji membawa kakakku sesampainya aku di sini." ujar Ayu Dewi Winarti dengan nada suara yang tegas sekali.

"Kau terlalu mengada-ada, Ayu...." desis Adipati Paturakan.

"Mengada-ada...? Justru kau yang mengada-ada, Gusti Adipati. Aku rela menjadi istrimu, asal kau bisa menemukan kakakku kembali," tegas Ayu Dewi Winarti lagi.

"Mustahil! Mana mungkin aku bisa menemukan orang yang sudah tahunan menghilang...?"

"Tapi kau sudah berjanji, Gusti. Kau sudah berjanji untuk menemukan kakakku. Hanya itulah permintaanku, sebelum dipersunting. Kau harus ingat dengan janjimu sendiri, Gusti Adipati.''

"Edan...!" dengus Adipati Paturakan sengit.

Wajahnya memberengut kesal. Sedangkan Ayu Dewi Winarti hanya tersenyum kecil memandang laki-laki separuh baya yang pantas menjadi ayahnya itu. Diiringi pandangan mata bernada sinis dari gadis cantik itu, Adipati Paturakan melangkah ke luar tanpa berkata apa-apa lagi. Dengan perasaan yang sangat kesal, dibantingnya pintu kamar hingga tertutup rapat. Ayu Dewi Winarti tetap saja tersenyum tipis sambil duduk di tepi pembaringan yang beralaskan kain sutera halus berwarna merah muda.

"Ayu..."
"Oh...!"

Ayu Dewi Winarti tersentak kaget. Suara yang halus dan lembut sekali memanggil namanya. Cepat dia bangkit berdiri dan memutar tubuhnya memandang ke arah jendela. Tapi, tak terlihat seorang pun di sana. Perlahan kakinya melangkah mendekati jendela yang sejak tadi terbuka lebar. tapi tetap saja tidak melihat ada seorang pun di luar jendela ini.

"Ayu...."

Kembali terdengar bisikan yang halus sekali. Gadis itu cepat-cepat memutar tubuhnya. Dan, dia jadi terbeliak. Ternyata tiba-tiba saja di dalam kamar ini sudah ada seseorang yang berdiri membelakanginya. Hampir dia terpekik kalau saja orang itu tidak segera memutar tubuhnya berbalik menghadapnya. Ayu Dewi Winarti cepat-cepat menutup mulutnya, agar pekikannya tidak terdengar ke luar.

Sosok tubuh itu begitu mengerikan, bungkuk, dengan tonjolan dipunggungnya. Sedangkan wajahnya yang hampir penuh tertutup rambut kelihatan kotor dan buruk sekali. Kulitnya hitam legam seperti arang kayu. Sebagian bibir atasnya tampak mengelupas, sehingga memperlihatkan baris-baris gigi yang hitam dan tidak beraturan letaknya.

Dia mengenakan baju kumal yang sangat kotor dan penuh tambalan. Sebatang tongkat kayu ber-warna hitam tergenggam di tangan kanannya, menyangga tubuhnya yang bungkuk. Beberapa saat Ayu Dewi Winarti merayapi sosok tubuh yang bentuknya sangat mengerikan itu. Tapi, dia langsung menyadari bahwa laki-laki buruk rupa dan bungkuk itu memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Terbukti dari kemunculannya yang sama sekali tidak diketahui.

"Siapa kau...?" tanya Ayu Dewi Winarti, dengan suara bergetar.

"Orang-orang selalu memanggilku si Gembel Bungkuk," sahut laki-laki tua itu.

Suaranya terdengar sangat kering dan serak. Begitu datar. Tak ada sedikit pun tekanan pada nada suaranya. Ayu Dewi Winarti harus menelan ludahnya untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak terasa kering, begitu mendengar nada suara laki-laki tua bertubuh aneh ini.

"Mau apa kau berada di sini?" tanya Ayu Dewi Winarti lagi, setelah kekuatan yang ada pada dirlnya kembali terkumpul.

"Aku tahu kesulitan yang sedang kau hadapi, Ayu. Apa yang kau hadapi tidak jauh berbeda dengan yang sedang aku hadapi sekarang ini. Kita sama-sama sedang menghadapi seorang manusia berhati iblis, manusia serakah yang hatinya sudah terbalut oleh nafsu-nafsu iblis dan keangkaramurkaan," kata si Gembel Bungkuk itu.

Kali ini terdengar ada sedikit tekanan dari nada suaranya. Sepertinya dia menyimpan sesuatu di dalam hatinya. Sesuatu yang sangat menekan dan mengganjal relung hatinya yang paling dalam. Ayu Dewi Winarti bisa merasakan kegundahan hati laki-laki buruk rupa bertubuh bungkuk ini.

"Aku..., aku tidak tahu apa maksudmu, Ki..,"ujar Ayu Winarti masih dengan suara yang agak tergagap.

Si Gembel Bungkuk hanya tersenyum. Tapi, bagi Ayu Dewi Winarti, senyuman itu seperti sebuah seringai yang sangat mengerikan, yang membuat bulu-bulu halus di tengkuknya meremang berdiri. Dan, untuk beberapa saat mereka terdiam, membuat suasana di dalam kamar yang berukuran cukup luas dan indah ini terasa sunyi sekali.

********************

DUA

Laki-laki tua buruk rupa bertubuh bungkuk itu melangkah perlahan dan agak terseret mendekati Ayu Dewi Winarti. Sedangkan gadis cantik itu hanya diam saja, berdiri tegak membelakangi jendela. Dirayapinya setiap gerak yang dilakukan si Gembel Bungkuk. Kini jarak mereka tinggal sekitar empat langkah. Begitu dekatnya, sehingga Ayu Dewi Winarti dapat melihat jelas rupa wajah laki-laki itu.

"Aku tahu, di mana kakak dan kedua orang tuamu, Ayu. Penyerahan dirimu pada Adipati Paturakan hanyalah perbuatan sia-sia. Kau tidak akan dapat bertemu lagi dengan kakak dan orang tuamu," kata si Gembel Bungkuk, dengan nada suara agak dalam.

"Kau..., kau tahu...?" Ayu Dewi Winarti hampir tidak percaya dengan pendengarannya.

"Ya, aku tahu. Bahkan aku juga tahu di mana anak angkatku berada. Tapi..." si Gembel Bungkuk tidak meneruskan kata-katanya.

"Anak angkatmu...?" Ayu Dewi Winarti mengerutkan keningnya.

Tatapan matanya semakin dalam menembus langsung ke bola mata laki-laki tua yang buruk dan bungkuk ini. Dia melihat ada kesenduan pada bola mata yang berselimut kabut itu. Meskipun bentuk tubuh dan wajahnya sangat buruk, terlihat ada kelembutan pada hati si Gembel Bungkuk ini. Bahkan kedukaan hatinya begitu nyata tersirat pada sorot matanya yang agak memerah.

"Aku memiliki banyak anak angkat. Beberapa hari ini, mereka menghilang tanpa ketahuan rimbanya. Hal seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya, ketika Kadipaten ini masih dipimpin oleh Gusti Adipati Bayangkala. Sekarang semuanya berubah, setelah Paturakan merebut kadipaten dan mengangkat dirinya menjadi adipati...," kata si Gembel Bungkuk bernada agak kesal.

Ayu Dewi Winarti diam saja. Dia kemudian duduk di kursi yang ada di samping jedela kamar. Sedangkan si Gembel Bungkuk masih tetap berdiri, bersandar di pinggiran jendela. Sesekali matanya menatap ke luar melalui jendela yang tetap dibiarkan terbuka lebar itu

"Kita harus menyingkirkan adipati iblis itu, Ayu."

"Tapi, bagaimana caranya...? Dia terlalu kuat. Kesaktiannya tidak tertandingi. Ayah dan kakakku saja dapat dikalahkannya. Dan entah di mana dan bagaimana nasib mereka sekarang," kata Ayu Dewi Winarti.

"Itulah persoalannya, Ayu. Aku sendiri tidak mungkin bisa menandingi kesaktiannya. Dia terlalu tangguh untuk dilawan. Sedangkan setiap hari anak-anak angkatku pasti ada yang hilang entah ke mana. Aku yakin, kalau semua pengemis di kadipaten ini sudah habis, pasti para penduduk yang menjadi sasarannya. Bahkan, bukan tidak mungkin, para pembesar kadipaten pun akan mendapat giliran."

"Lalu, aku harus bagaimana?" tanya Ayu Dewi Winarti kebingungan.

"Kau harus tetap pada pendirianmu sekarang ini, Ayu. Jaga jangan sampai dia bisa menyentuhmu. Tampaknya dia tidak akan menyentuhmu kalau kau tetap menolak dan tetap bertahan pada pengajuan syaratmu," tegas si Gembel Bungkuk.

"Sampai kapan?"

Si Gembel Bungkuk tidak bisa menjawab. Memang sulit menjawab pertanyaan gadis cantik ini. Karena dia juga tidak tahu, kapan Kadipaten Kuring bisa terbebas dari cengkeraman Adipati Paturakan. Sampai sekarang ini, sifat-sifat iblisnya belum lagi tampak. Masih banyak orang yang mengelu-elukannya. Inilah yang membingungkan si Gembel Bungkuk. Kehadiran Adipati Paturakan tampaknya disenangi oleh seluruh rakyat kadipaten ini.

Pada saat itu terdengar ketukan di pintu. Si Gembel Bungkuk dan Ayu Dewi Winarti langsung menoleh ke arah pintu. Sebentar kemudian mereka saling melempar pandang.

"Aku pergi dulu, Ayu. Ingat, jangan sampai seorang pun tahu aku ke sini. Aku pasti akan menjagamu," kata si Gembel Bungkuk berbisik.

Belum lagi Ayu Dewi Winarti sempat membuka suara, si Gembel Bungkuk sudah melesat cepat, ke luar dari dalam kamar. Ketukan pada pintu kembali terdengar beberapa kali. Bergegas Ayu Dewi Winarti menghampiri pintu dan membukanya sedikit, setelah yakin bahwa si Gembel Bungkuk sudah tidak ada lagi di dalam kamar ini. Tampak empat orang gadis dayang berdiri di depan pintu. Mereka memberi sembah dengan sikap yang hormat sekali.

"Ada apa?" tanya Ayu Dewi Winarti

"Kami diperintah untuk menemani Gusti Ayu di sini," sahut salah seorang gadis dayang.

Ayu Dewi Winarti tidak menjawab sedikit pun. Dia berbalik dan melangkah, membiarkan pintu tetap terbuka. Dayang-dayang itu bergegas masuk ke dalam kamar, kemudian menutup pintunya kembali. Ayu Dewi Winarti pun kemudian merebahkan tubuhnya di atas pembaringan. Dan, keempat gadis dayang itu duduk bersimpuh di lantai, tanpa berbicara sedikit pun.

Pesta yang berlangsung di ruangan balai agung Istana Kadipaten Kuring berakhir saat hari sudah menjelang tengah malam. Di dalam ruangan yang sangat besar dan indah itu, Adipati Paturakan masih tetap duduk di singgasananya, ditemani dua orang laki-laki berusia sebaya dengannya. Dari pakaian dan senjata yang tersandang, bisa dipastikan kalau mereka bukan orang-orang sembarangan. Paling tidak, mereka memiliki tingkat kedigdayaan yang tinggi.

Suasana di dalam ruangan balai agung tampak sunyi sepi. Tak terdengar suara sedikit pun. Hanya desiran angin yang terdengar merasuk dari celah-celah jendela yang sudah tertutup. Tampak beberapa orang berseragam prajurit berjaga-jaga di setiap pintu ruangan balai agung ini.

"Rasanya semua yang aku lakukan sia-sia saja...," desah Adipati Paturakan bernada mengeluh.

"Tidak ada yang sia-sia, Kakang Paturakan," ujar salah seorang, yang mengenakan baju hitam ketat. Wajah lelaki itu agak kasar, dengan kumis tebal menghiasi bibirnya yang juga tebal. Sinar matanya begitu tajam dan memerah. Dipinggangnya terlilit seutas rantai baja hitam, dengan tiga buah bola baja hitam pada bagian ujungnya. Oleh sebab itu julukannya adalah Iblis Rantai Baja.

Sedangkan yang seorang lagi mengenakan baju warna merah menyala. Di tangan kanannya tergenggam sebuah tongkat pendek, yang bagian tengahnya dilingkari cincin berwarna emas berbentuk seekor ular. Raut wajahnya masih ketihatan tampan dan gagah, meskipun sebagian rambutnya sudah memutih. Bibirnya yang merah seperti wanita tidak pernah terlepas dari senyuman. Namun, sorot matanya yang tajam tampak mencerminkan watak kebengisan. Yang satu ini dikenal sebagai si Tongkat Merah Samber Nyawa.

Kedua-duanya pengikut setia Adipati Paturakan. Mereka akan mengikuti ke mana pun Adipati Paturakan pergi. Bahkan, mereka sudah mendampinginya sebelum Paturakan yang lebih dikenal dengan julukan si Tangan Api itu menguasai Kadipaten Kuring. Dan, di kadipaten ini, sepak terjang mereka belum diketahui siapa pun. Sehingga, ketika mereka menggulingkan Adipati Bayangkala, lalu menguasai kadipaten ini, seluruh rakyat dan pembesar kadipaten menyambutnya dengan gembira. Adipati Bayangkala memang dikenal sebagai penguasa yang selalu memerintah dengan tangan besi. Ia lebih mementingkan diri sendiri daripada memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.

"Sampai saat ini aku belum bisa melunakkan hati Ayu Dewi Winarti. Dia tetap saja menuntut agar dipertemukan dengan kakaknya," kata Adipati Paturakan lagi, dengan suara yang masih terdengar pelahan.

"Jangan terlalu terpikat pada kecantikannya, Kakang. Ini bisa menyulitkan kita semua," kata Tongkat Merah Samber Nyawa mengingatkan.

"Dia memang cantik, Tongkat Merah. Rasanya tidak ada seorang gadis pun di mayapada ini yang bisa menandingi kecantikannya. Hhhh.... Sudah cukup lama aku merencanakan semua ini. Tapi setelah bisa tercapai, dia malah mengajukan syarat yang tidak mungkin bisa kupenuhi," ujar Adipati Paturakan, masih saja mengeluh.

"Katakan saja kalau kakaknya sudah mati, Kakang," usul Iblis Rantai Baja.

"Kalau aku katakan begitu, dia ingin melihat mayatnya. Bagaimana mungkin aku bisa menunjukkannya, Rantai Baja? Sedangkan kalian semua tahu sendiri...."

Iblis Rantai Baja dan Tongkat Merah Samber Nyawa terdiam saja. Memang tidak mudah memecahkan masalah yang sedang dihadapi si Tangan Api ini. Mereka semua tahu, syarat yang diajukan Ayu Dewi Winarti tidak mungkin bisa dipenuhi. Tidak mungkin mereka bisa membawa orang tua dan kakak gadis itu ke istana kadipaten ini.

"Apakah tidak ada cara lain untuk menaklukkannya, Kakang Paturakan?" tanya Iblis Rantai Baja.

"Sudah seribu cara kugunakan. Dia tetap saja kuat pada pendiriannya," sahut Adipati Paturakan.

"Lalu...?"

"Aku tidak tahu lagi, apa yang harus kulakukan."

"Kenapa kau tidak temui saja Ratu Pelangi Maut, Kakang?" usul Tongkat Merah Samber Nyawa.

"Edan...! Apa yang harus aku katakan padanya...?" sungut Adipati Paturakan.

"Katakan saja apa adanya, Aku yakin, dia pasti mau mengerti dan bisa membantumu. Seperti ketika kita merebut kadipaten ini, Kakang."

"Huh! Perempuan itu pasti meminta syarat lebih berat lagi," dengus Adipati Paturakan.

"Selama masih bisa kita penuhi, tidak ada salahnya meminta tolong dia lagi. Toh apa saja yang diperlukan, semuanya tersedia di sini. Dan harus diingat Kakang. Kau sekarang seorang adipati. Jadi bisa memerintahkan apa saja yang kau inginkan di sini." tegas Tongkat Merah Samber Nyawa lagi.

Adipati Paturakan jadi terdiam membisu. Keningnya berkerut dalam sekali. Pandangannya menerawang lurus ke depan. Perlahan dia bangkit dari kursi singgasananya. Kakinya terayun melangkah pelan-pelan mendekati sebuah jendela tidak jauh dari singgasana itu. Dibukanya jendela lebar-lebar, sehingga angin malam yang cukup dingin menerobos masuk menerpa kulit wajahnya.

Beberapa saat lamanya Adipati Paturakan berdiri mematung dan membisu di depan jendela. Sedang-kan dua orang pengikut setianya tetap duduk di kursinya. Mereka tidak berkedip memandangi laki-laki separuh baya yang masih kelihatan gagah itu. Sambil menghembuskan napas panjang, Adipati Paturakan memutar tubuhnya, membelakangi jendela yang dibiarkan tetap terbuka lebar. Dipandanginya wajah dua orang pengikut setianya secara bergantian. Dan dia masih tetap diam membisu untuk beberapa saat.

"Baiklah.... Aku akan pergi sendiri sekarang juga ke Gunung Tambur. Dan kalian tetap berada di sini, selama aku pergi," ujar Adipati Paturakan setetah cukup lama berdiam diri

"Kenapa tidak besok pagi saja, Kakang?" ujar Iblis Rantai Baja memberi saran.

Adipati Paturakan hanya menanggapi dengan senyuman tipis. Kemudian dia melangkah agak cepat ke luar dari ruangan balai agung itu. Iblis Rantai Baja dan Tongkat Merah Samber Nyawa bergegas mengikuti. Mereka tidak bisa lagi mencegah keinginan si Tangan Api untuk segera pergi menemui Ratu Pelangi Maut di puncak Gunung Tambur, malam ini juga.

********************

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Adipati Paturakan memacu kudanya dengan cepat, meninggalkan istana Kadipaten Kuring. Sementara, malam sudah larut sekali. Hanya beberapa orang saja yang masih terlihat berada diluar. Dan mereka tidak menyadari bahwa orang yang berkuda seperti dikejar setan itu adalah Adipati Paturakan.

Malam yang gelap dan menggigilkan ini sama sekali tidak dihiraukan laki-laki separuh baya yang dikenal dengan julukan si Tangan Api itu. Dia terus memacu kudanya dengan cepat, menuju ke perbatasan kota sebelah utara. Sedikit pun dia tidak mengendorkan lari kudanya saat melewati gerbang perbatasan yang dijaga oleh empat prajurit bersejata tombak. Keempat prajurit itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala ketika mengenali si penunggang kuda yang seperti kesetanan itu adalah Adipati Paturakan.

"Hiya! Hiya! Hiyaaaa...!"

Adipati Paturakan terus menggebah kudanya agar berlari lebih cepat lagi begitu berada di luar kota. Jalan yang dilalui semakin sepi saja. Bahkan tak ada lagi satu rumah pun yang tertihat. Di kanan kiri hanya pepohonan lebat yang menghitam pekat. Memang, malam ini bulan tidak muncul dengan penuh. Bahkan langit tampak agak kelam, terselimut awan yang juga menghitam cukup pekat. Bintang-bintang di angkasa pun tidak tampak memancarkan cahayanya yang gemerlap.

"Hieeeh...!"

Tiba-tiba saja kuda yang ditunggangi Adipati Paturakan meringkik keras, sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Kuda putih bertubuh tegap itu langsung berhenti berlari seketika, membuat Adipati Paturakan terkejut setengah mati. Cepat-cepat dia melentingkan tubuhnya ke udara, hingga tidak sempat terlontar dari punggung kuda itu. Dan, begitu dia menjejakkan kakinya di tanah, mendadak saja kedua bola matanya terbeliak lebar.

"Heh...?"

Bukan main terkejutnya dia, begitu melihat kuda tunggangannya menggelepar di tanah. Bergegas Adipati Paturakan menghampiri. Dan, dia semakin terkejut, begitu melihat pada leher kuda itu tertancap dengan dalamnya sebatang anak panah. Darah bercucuran dari leher kuda putih itu. Beberapa saat kuda itu masih menggelepar, kemudian diam tak bergerak lagi, tewas.

"Keparat..! Siapa berani main-main denganku, heh...!" bentak Adipati Paturakan dengan berangnya.

Tak terdengar sedikit pun suara yang menyahuti bentakan si Tangan Api itu. Keadaan di sekeliling masih begitu sunyi. Hanya desiran angin yang terdengar. Gema suara bentakannya pun hanya sekejap terpantul oleh pepohonan. Adipati Paturakan berdiri tegak sambil menajamkan mata dan melihat ke sekelilingnya. Namun, hanya kegelapan dan kepekatan malam yang tampak. Kembali dia menatap pada kudanya yang kini sudah tidak bernyawa lagi, dengan sebatang anak panah tertanam dalam-dalam pada lehernya.

Trek !

Tiba-tiba terdengar suara ranting patah seperti terinjak dari arah belakang. Cepat sekali Adipati Paturakan memutar tubuhnya, sambil mengebutkan kedua tangannya yang sudah lerbuka lebar jarijarinya.

"Hiyaaa...!"
Crasss!

Dari kedua tangan laki-laki separuh baya ini tiba-tiba saja keluar gumpalan bola api yang meluncur begitu cepat bagai kilat. Bola api itu langsung menghantam hingga hancur sebuah pohon yang sangat besar, disertai suara ledakan dahsyat menggelegar. Api langsung berkobar membakar pohon yang hancur berkeping-keping itu. Malam yang gelap menjadi terang oleh cahaya api yang berkobar cukup besar itu.

Adipati Paturakan tetap berdiri tegak, dengan sinar mata tajam menatap ke arah kobaran api itu. Tak ada seorang pun yang terlihat. Bahkan tak ada seekor binatang pun yang dilihatnya. Hanya suara gemeretak kayu termakan api saja yang bisa didengar.

"Setan Keparat...!" desis Adipati Paturakan menggeram marah, merasa dipermainkan.

"Hiyaaa...!"

Cepat sekali dia kembali menghentakkan tangannya yang sudah memerah bagai terbakar ke arah kanan, begitu telinganya mendengar suara yang sangat mencurigakan. Dari telapak tangan kanannya kembali meluncur segumpal bola api yang langsung menghantam pohon.

Glarrr...!

Kembali terdengar ledakan dahsyat menggelegar begitu bola api yang keluar dari telapak tangan si Tangan Api menghantam pohon hingga hancur dan terbakar. Pada saat itu, terlihat sebuah bayangan berkelebat cepat sekali. Dan...

"Hiyaaa...!"

Adipati Paturakan langsung melesat cepat bagai kilat, begitu matanya melihat bayangan berkelebat dari balik api yang membakar pohon. Beberapa kali dia melakukan putaran di udara. Dan, setelah melewati beberapa puncak pohon, dengan manis sekali dia menjejaki kakinya kembali di tanah.

"Berhenti kau...!" bentak Adipati Paturakan lantang menggelegar.

"He he he...!"

"Hm...," Adipati Paturakan menggumam kecil sambil menyipitkan matanya.

Di depannya kini berdiri seorang laki-laki tua berjubah biru yang panjang dan longgar. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat kayu yang tidak beraturan bentuknya. Seluruh rambutnya sudah berwarna putih. Kumisnya yang juga sudah memutih menyatu dengan jenggotnya yang panjang dan lebat.

"Pertapa Goa Biru." desis Adipati Paturakan langsung mengenali laki-laki tua berjubah biru itu.

"He he he...! Sungguh pesat kemajuanmu, Paturakan. Dan tampaknya kau juga sudah berhasil mencapai keinginanmu," ujar si Pertapa Goa Biru diiringi suara tawanya yang terkekeh kering.

"Hm...," Adipati Paturakan hanya menggumam perlahan.

TIGA

"Apa maksudmu menghadang jalanku, Pertapa Gua Biru?" tanya Adipati Paturakan agak ketus.

"Seharusnya kau sudah tahu jawabannya, Paturakan. Selama aku masih hidup, kau tidak bisa berbuat seenakmu," sahut Pertapa Gua Biru, dingin.

"Hh! Seharusnya waktu itu aku tidak memberimu kesempatan hidup, pertapa edan!" dengus Adipati Paturakan.

"He he he...! Itu salahmu sendiri, Paturakan. Dan sekarang aku akan membalas kekalahanku waktu itu. Hanya seorang diri, kau seperti anak ayam kehilangan induknya"

"Setan...! Keluarkan semua kesaktianmu, pertapa gila!" bentak Adipati Paturakan berang.

"He he he...!"
"Hep!"

Adipati Paturakan langsung menyiapkan jurusnya. Kedua tangannya merentang ke samping seraya menarik kaki kanannya ke belakang. Lalu tubuhnya direndahkan hingga kedua lututnya tertekuk. Sementara, Pertapa Gua Biru masih tetap berdiri tegap dengan tangan kanan menggenggam erat tongkat kayu yang menekan kuat ke tanah di ujung jari kakinya.

"Kali ini kau tidak lagi kuberi ampun, Pertapa Gua Biru...," desis Adipati Paturakan dingin. "Hiyaaat..!"

Bagaikan kilat, Adipati Paturakan melompat sambil mengebutkan kedua tangannya bergantian. Begitu cepatnya kebutan itu, sehingga tangannya seperti menjadi banyak. Sedangkan si Pertapa Gua Biru langsung melompat ke belakang, sambil memutar tongkatnya ke depan. Namun tanpa diduga sama sekali, Adipati Paturakan melenting ke atas, hingga melewati kepala laki-laki tua berjubah biru itu.

"Yeaaah...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, si Tangan Api menghentakkan tangan kanan ke arah kepala Pertapa Gua Biru. Begitu cepat pukulannya, sampai Pertapa Gua Biru jadi terperangah setengah mati.

"Hait...!"

Buru-buru dia mengebutkan tongkat kayunya ke atas, melindungi kepalan dari pukulan maut yang dilepaskan si Tangan Api. Tanpa dapat dielakkan lagi, pukulan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu langsung membentur keras tongkat kayu yang berkelebat cepat.

Trak!
"Hih...?!"

Pertapa Gua Biru jadi terperanjat setengah mati ketika tiba-tiba dirasakan tangannya menjadi panas seperti terbakar, begitu tongkatnya membentur tangan Adipati Paturakan. Maka cepat-cepat dia melompat ke belakang beberapa langkah. Pada saat itu, Adipati Paturakan sudah kembali menjejakkan kakinya di tanah. Langsung dilepaskannya dua pukulan beruntun ke arah dada laki-laki tua pertapa berjubah biru itu.

Serangan yang begitu cepat ini membuat si Pertapa Gua Biru kewalahan. Dia meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari setiap pukulan yang datang secara beruntun. Bahkan sebelum sempat menarik tubuhnya tegak kembali, Adipati Paturakan sudah melepaskan satu tendangan yang sangat keras dan menggeledek. Begitu cepatnya tendangan si Tangan Api hingga Pertapa Gua Biru tidak sempat lagi mengambil tindakan menghindar. Dia hanya bisa mengibaskan tongkatnya, mencoba menangkis tendangan dahsyat menggeledek itu. Tapi....

"Hih!"
Trak!

Begitu kerasnya tendangan yang dilancarkan Adipati Paturakan, sehingga Pertapa Gua Biru terhuyung-huyung ke belakang. Dan, kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, begitu tongkatnya sudah patah menjadi dua bagian.

"Ha ha ha...!" Adipati Paturakan tertawa terbahakbahak.

"Phuih!"

Sambil menyemburkan ludahnya, Pertapa Gua Biru membuang tongkatnya yang sudah patah. Lalu, dari balik jubahnya dikeluarkan sebuah pedang yang berkilatan memancarkan cahaya keperakan. Pertapa Gua Biru langsung menyilangkan pedangnya di depan dada. Sedangkan Adipati Paturakan masih tetap berdiri tegak, dengan mata tidak berkedip menatap mata pedang yang memancarkan cahaya keperakan dan gemerlapan itu.

"Hiyaaa...!"
Wuk!

Sambil berteriak keras menggelegar, Pertapa Gua Biru langsung melompat menyerang, mengibaskan pedangnya beberapa kali dengan kecepatan bagai kilat Adipati Paturakan pun berjumpalitan, meliuk-liukkan tubuhnya menghindari setiap tebasan pedang bercahaya keperakan itu.

Tampaknya Pertapa Gua Biru tidak mau memberi kesempatan pada si Tangan Api untuk balas menyerang. Dengan jurus-jurus yang cepat dan dahsyat, dia terus mencecar, mengurung rapat setiap ruang gerak yang dimiliki si Tangan Api. Namun, sampai beberapa jurus berlalu, belum juga dia berhasil mendesak Adipati Paturakan. Bahkan, setiap serangan-serangan yang dilancarkannya selalu berhasil dimentahkan dengan mudah.

Meskipun lawannya hanya bertangan kosong dan berusia lebih muda, Pertapa Gua Biru tampaknya mengalami kesulitan untuk mendesak, apalagi menjatuhkannya. Beberapa kali pula dia hampir kecolongan. Jurus-jurus yang dimiliki Adipati Paturakan memang sangat sulit diterka arahnya. Bahkan gerakan-gerakan tubuhnya begitu lentur dan cepat sekali.

Walau sudah didesak dengan kepungan pedang yang begitu cepat, masih saja Adipati Paturakan berhasil melepaskan diri beberapa kali. Bahkan beberapa kali pula dia berhasil melancarkan serangan balasan yang begitu dahsyat, membuat Pertapa Gua Biru makin kewalahan.

"Hup! Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja Adipati Paturakan melentingkan tubuhnya ke udara dengan cepat bagai kilat, tepat di saat Pertapa Gua Biru mengebutkan pedangnya ke arah kaki. Dan ini membuat si Pertapa Gua Biru jadi terperangah tidak menyangka sama sekali.

Namun, sebelum dia sempat menyadari apa yang terjadi, secara tak terduga Adipati Paturakan sudah meluruk deras sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek ke punggung laki-laki tua berjubah biru itu.

"Yeaaah...!"
Des!

"Akh...!" Pertapa Gua Biru terpekik keras.

Tendangan yang dilepaskan Adipati Paturakan tepat mendarat di punggungnya. Laki-laki tua berjubah biru itu pun terjerembab mencium tanah. Namun, dia cepat menggelimpangkan tubuhnya, sebelum si Tangan Api bertindak lebih jauh lagi. Bergegas dia melompat bangkit berdiri, meskipun agak terhuyung saat kakinya menjejak tanah kembali. Tampak dari sudut bibirnya mengalir darah agak kental. Pertapa Gua Biru menyeka darah di sudut bibirnya dengan punggung tangan kiri.

Bet!

Pada saat yang sama, Adipati Paturakan memutar tangan kanannya ke belakang. Dan, begitu tangan itu kembali tersilang di depan dada, tampak sebuah tameng berbentuk persegi enam sudah berada di punggung tangan kanannya. Tameng berwarna kuning keemasan itu setiap ujungnya menyerupai mata panah yang sangat runcing dan tajam.

Tameng itu memancarkan cahaya yang sangat menyilaukan, membuat Pertapa Gua Biru harus menyilangkan tangan kirinya, menutupi matanya yang mendadak terasa pedih. Sebelum dia bisa berbuat lebih jauh lagi, tiba-tiba saja si Tangan Api sudah melompat cepat bagai kilat sambil berteriak keras menggelegar.

"Hiyaaat...!"
Wuk!
"Hih."

Pertapa Gua Biru cepat-cepat mengebutkan pedangnya, begitu Adipati Paturakan mengibaskan tangannya yang bertameng itu. Sehingga....

Trang!

Bunga api langsung memercik ke segala arah begitu pedang Pertapa Gua Biru menghantam bagian tengah tameng si Tangan Api. Tapi, satu keajaiban tiba-tiba saja terjadi.

"He..?!"

Pertapa Gua Biru terperanjat setengah mati. Pedangnya tidak bisa lagi ditarik. Mata pedangnya menempel kuat pada bagian tengah tameng keemasan itu. Dan, sebelum dia sempat menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba saja....

"Hih! Hiyaaa...!"

Cepat sekali Adipati Paturakan melompat sambil melepaskan satu tendangan yang sangat keras dan menggeledek ke arah dada Pertapa Gua Biru. Begitu cepat dan dahsyatnya tendangan itu sehingga Pertapa Gua Biru tidak punya kesempatan lagi untuk menghindar. Dan...

Bekh!
"Aaah...!"

Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar begitu menyayat ketika tendangan kaki si Tangan Api mendarat telak di dada Pertapa Gua Biru. Tak pelak lagi, tubuh laki-laki tua berjubah biru itu langsung terpental sejauh dua batang tombak ke belakang. Dan dia tidak bisa lagi mempertahankan pedangnya yang melekat erat pada tameng keemasan di tangan kanan Adipati Paturakan.

"Hih! Yeaaah...!"

Seccpat tangan kirinya mencabut pedang yang melekat pada tamengnya, secepat itu pula Tangan Api melemparkannya ke arah Pertapa Gua Biru yang masih menggeletak telentang di tanah. Pedang itu meluncur deras bagai kilat ke arah dada laki-laki tua berjubah biru itu.

Wusss...!
Crab!
"Aaa...!"

Memang terlalu sulit untuk dapat menghindar lagi. Pertapa Gua Biru harus menerima pedangnya sendiri dengan dadanya. Pedang itu langsung menghunjam dalam ke dada yang sudah tak terlindung itu. Darah langsung memuncrat dari mulutnya. Hanya sebentar Pertapa Gua Biru mengejang, kemudian dia terkulai lemah, menggeletak di tanah dengan pedangnya sendiri terhunjam di dada.

Adipati Paturakan berdiri tegak. Dia sudah menyimpan kembali tamengnya dii punggung. Beberapa saat dipandanginya tubuh Pertapa Gua Biru yang sudah menggeletak tak berkutik lagi.

"Hhhh...! Kau sudah memilih cara kematianmu sendiri, Pertapa Goa Biru," dengus Adipati Paturakan dingin.

Perlahan dia memutar tubuhnya dan menghampiri kudanya yang sudah menggeletak tak bernyawa. Beberapa saat dia memandangi kudanya. Kemudian terdengar suara tarikan napas yang begitu panjang dan terasa berat. Sekilas dia melirik tubuh Pertapa Goa Biru yang menelentang tak bergerak.

"Hup!"

Tiba-tiba saja Adipati Paturakan melompat pergi dengan mengerahkan llmu meringankan tubuhnya. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, sehingga dalam sekejap sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Tinggal si Pertapa Goa Btru dan kuda putih menggeletak tak bergerak-gerak lagi di tanah. Dan, tak seorang pun menyaksikan pertarungan itu.

********************

Adipati Paturakan terus berlari cepat dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan yang tinggi sekali, ke Gunung Tambur yang sudah terlihat begitu dekat di depan. Memang sebenarnya lebih cepat sampai bila menggunakan ilmu meringankan tubuh daripada menunggang kuda. Tapi, Adipati Paturakan sebenarnya lebih senang menunggang kuda. Kini apa boleh buat, kudanya sudah tewas tertembus panah Pertapa Gua Biru

Dia baru berhenti berlari setelah sampai di puncak Gunung Tambur. Keadaan di sini begitu menyeramkan. Pohon-pohonnya tinggi dan besarbesar sekali. Udaranya pun terasa begitu dingin membekukan tulang. Tampak di langit, awan hitam bergulung-gulung menggumpal. Dan sesekali terbersit kilatan cahaya disertai ledakan guntur yang menggelegar menggetarkan jantung.

"Hhhh...!" Adipati Paturakan mengembuskan napas berat. Sudah beberapa kali dia pergi ke Puncak Gunung Tambur ini, tapi masih juga terselip perasaan ngeri yang mencekam di relung hatinya. Perlahan dia melangkah mendekati sebuah bangunan berbentuk puri yang tampak angker dan menyimpan sejuta misteri di dalamnya.

Degup jantung si Tangan Api ini semakin terasa berdetak kencang manakala dia semakin dekat dengan bangunan puri itu. Dan kembali dia berhenti setelah berada dekat sekali dengan bangunan yang seluruhnya terdiri dari batu-batu yang bertumpuk dan sudah terselimut lumut tebal itu.

Crasss!
Glaaar...!

Bersamaan dengan berkelebatnya cahaya kilat yang disertai ledakan guntur menggelegar dahsyat, tiba-tiba dari atas puncak puri itu memendar cahaya terang menyilaukan mata. Adipati Paturakan sampai menahan napas memandang lingkaran cahaya terang di atas bangunan puri itu.

Dia baru mengembuskan napas panjang begitu terlihat sebaris cahaya pelangi menjulur ke bawah, bagai sebuah lidah raksasa. Ujung pelangi itu mendarat tepat di ujung jari kakinya. Tepat pada saat itu tertihat sesosok tubuh ramping terselimut lingkaran cahaya terang yang memancar di atas puncak bangunan puri ini.

"Kemarilah, Paturakan...," terdengar suara yang halus menggema di telinga Adipati Paturakan.

"Hhhh...!"

Setelah mengembuskan napas panjang, Adipati Paturakan melangkahkan kakinya menaiki cahaya pelangi. Sungguh ajaib, dia merasakan seakan-akan berjalan di atas tanah biasa. Tidak sedikit pun terasa bahwa dia sesungguhnya sedang berjalan di atas cahaya pelangi yang begitu indah. Perlahan-lahan Adipati Paturakan terus berjalan naik hingga ke bagian puncak bangunan puri yang terselimut cahaya terang berkilauan ini.

Tiba-tiba cahaya terang itu menghllang, bersamaan dengan lenyapnya cahaya pelangi yang menjadi tangga menuju ke puncak bangunan puri ini. Pada saat itu Juga, Adipati Paturakan merasakan tubuhnya tersedot ke bawah. Jantungnya terasa copot, karena tiba-tiba tubuhnya meluncur deras ke bawah. Keadaan sekelilingnya kini gelap-gulita, sehingga sulit bisa melihat jelas. Yang ada hanya kegelapan yang pekat.

"Ufffs..!"

Adipati Paturakan terlonjak ketika secara tiba-tiba dia merasakan tubuhnya jatuh di tempat yang sangat lembut dan lunak. Sekelilingnya masih gelap sekali. Perlahan dia bangkit berdiri. Dia merasakan kakinya berpijak pada sesuatu yang sangat lembut dan lunak. Pada saat itulah tiba-tiba sekelilingnya menjadi terang-benderang. Adipati Paturakan mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba menguasai keadaan yang begitu cepat berubah.

"Ohhh...?"

Kembali dia dihinggapi perasaan kagum dan ngeri begitu melihat sekelilingnya. Adipati Paturakan terkejut setengah mati, karena dia baru menyadari kalau kakinya berpijak pada tumpukan tubuh manusia yang memenuhi seluruh ruangan berukuran tidak begitu besar ini. Tubuhnya bergidik melihat tubuh-tubuh saling tumpang-tindih menjadi satu.

"Masuklah ke sini, Paturakan...," kembali terdengar suara lembut menggema di tetinga Adipati Paturakan.

Saat itu juga si Tangan Api melihat sebuah pintu yang memancarkan cahaya terang berkilauan. Sambil berjingkat dia melangkah melewati tubuh-tubuh manusia yang bergelimpangan saling tumpang tindih. Tak ada tempat yang kosong. Terpaksa menginjak tubuh yang sudah tak bernyawa itu. Tapi, tidak diciumnya bau busuk sedikit pun, walau tubuh itu tentunya sudah lama bertumpuk di dalam ruangan ini.

Si Tangan Api baru bisa merasa lega sedikit, begitu dia sudah berada di dalam ruangan lain yang sangat besar dan tampak bersih serta indah sekali. Dia berpaling ke belakang, tapi tidak lagi dilihat pintu yang baru saja dilewatinya. Kakinya terus terayun mendekati sebuah pembaringan yang berukuran cukup besar. Tampak di atas pembaringan itu tergolek sesosok tubuh ramping yang hanya di tutupi selembar kain tipis dan halus berwarna biru muda.

Adipati Paturakan melirik sebuah ruangan lain yang hanya dibatasi dengan jeruji-jeruji besi. Tampak di dalam ruangan seperti penjara itu beberapa orang laki-laki yang kelihatan lesu tanpa gairan hidup lagi. Beberapa di antara mereka sudah dikenalinya. Si Tangan Api cepat-cepat mengalihkan pandangannya pada sosok tubuh ramping dan indah yang kini sudah duduk di tepi pembaringan. Kemudian dia duduk bersila di atas lantai yang beralaskan permadani berbulu lembut, bergambar bunga-bunga.

"Terimalah salam dan sembahku, Gusti Ratu Pelangi," ucap Adipati Paturakan seraya merapatkan kedua telapak tangannya ke depan hidung, memberi sembah pada wanita cantik berbaju tipis yang duduk di tepi pembaringan itu.

"Ada perlu apa lagi kau datang ke sini, Paturakan?" tanya wanita cantik yang ternyata adalah Ratu Pelangi Maut itu, lembut.

"Ada sesuatu yang ingin aku utarakan, Gusti Ratu," sahut Adipati Paturakan masih dengan sikap yang hormat sekali.

"Hm, katakanlah..."

Adipati Paturakan tidak langsung mengutarakan maksud kedatangannya. Dia melirik sedikit ke arah ruangan penjara yang berhubungan langsung dengan ruangan besar dan indah ini. Sorot matanya langsung di balas oleh seorang pemuda tampan berbaju merah muda dari bahan sutera halus juga dari seorang pemuda berbaju kumal penuh tambalan dan seorang laki-laki tua.

Bahkan ada enam orang lagi yang berpakaian kumal penuh tambalan di dalam ruangan seperti penjara itu, yang juga menatapnya dengan tajam dan penuh kebencian. Mereka adalah para pengemis dan gelandangan dari Kadipaten Kuring. Hanya dua orang yang tidak tampak seperti pengemis. Salah seorang dari pengemis itu adalah Jaka Gembel, anak angkat yang sedang dicari-cari si Gembel Bungkuk.

"Apa yang ingin kau katakan padaku, Paturakan?" tanya Ratu Pelangi Maut lagi, agak mendesak.

"Oh Maafkan aku, Gusti Ratu. Aku... aku memerlukan Raden Pangrona," sahut Adipati Paturakan agak tergagap, seraya melirik kembali pada pemuda tampan yang mengenakan baju merah muda dari bahan sutera halus di dalam kamar tahanan itu.

"Untuk apa?" tanya Ratu Pelangi Maut agak berkerut keningnya.

"Aku perlu untuk meluluhkan hati adiknya, Gusti Dewi."

"Maksudmu?"

"Ayu Dewi Winarti belum mau kupersunting kalau dia tidak didampingi oleh kakaknya, Gusti Ratu. Aku mohon, kau bersedia memberikan dia padaku untuk meluluhkan hatinya."

"Hm..., bukankah gads itu sekarang sudah berada di istanamu kembali?"

"Benar, Gusti Ratu."

"Lalu, kenapa kau harus membawa Raden Pangrona ke sana?"

"Itu permintaannya, Gusti Ratu. Dia baru bersedia kupersunting kalau Raden Pangrona bisa kubawa ke istana."

"Permintaanmu terlalu berat, Paturakan.

Tapi...," Ratu Pelangi Maut tidak meneruskan ucapannya.

Dia bangkit berdtri dari pembaringannya, melangkah menghampiri kamar tahanan yang berjeruji besi itu. Sedangkan Adiipati Paturakan masih tetap duduk bersila memandangi wanita cantik yang hanya mengenakan baju tipis berwarna biru muda itu.

"Aku bisa kabulkan permintaanmu, Paturakan. Tapi dengan satu syarat..." kata Ratu Pelangi Maut.

"Apa itu, Gusti Ratu?" tanya Adipati Paturakan tanpa berpikir panjang lagi.

"Di wilayah kulon ini ada seorang pendekar muda yang juga seorang raja. Dia bernama Rangga dan bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Dia raja Kerajaan Karang Setra. Hm..., rasanya pantas kalau Raden Pangrona ditukar dengannya. Bagaimana.... kau sanggup membawa dia ke sini, Paturakan?"

Adipati Paturakan tak langsung menjawab syarat yang diajukan wanita cantik itu. Dia memang sering mendengar ada seorang pendekar muda yang sangat digdaya dan bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, sama sekali dia belum pernah bertemu dengan pendekar itu. Dan lagi, apa yang didengar, rasanya terlalu sulit untuk bisa membawa Pendekar Rajawali Sakti ke puri ini. Paling tidak, harus bisa mengalahkan pendekar itu dahulu.

"Bagaimana, Paturakan?"

"Baiklah, Gusti Ratu. Aku sanggupi syaratmu," sahut Adipati Paturakan setelah berpikir beberapa saat.

"Kau boleh membawa Raden Pangrona setelah kau bisa membawa Pendekar Rajawali Sakti ke sini," kata Ratu Pelangi Maut lagi.

Adipati Paturakan hanya bisa mengangguk. Memang dia tak bisa berbuat lain lagi, kecuali menyanggupi syarat yang diajukan, meskipun terasa sangat berat untuk dilaksanakan. Tapi dia sudah tak sanggup bertahan lebih lama lagi, untuk bisa mempersunting gadis yang sudah lama diinginkannya.

"Nah, sekarang kau kembalilah. Bawa Pendekar Rajawali Sakti untukku," kata Ratu Pelangi Maut.

"Baik, Gusti Ratu," sahut Adipati Paturakan, seraya memberi hormat dengan merapatkan kedua tangan di depan hidungnya.

EMPAT

Sudah tiga hari ini, Adipati Paturakan berusaha mencari tahu, di mana Rangga yang dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti berada. Bahkan dia sudah mengirim utusan ke Kerajaan Karang Setra. Tapi, didapat jawaban bahwa Rangga tidak berada di istana kerajaan itu. Pendekar Rajawali Sakti dikabarkan sedang pergi mengembara dengan Pandan Wangi. Dan, tidak ada seorang pun yang tahu ke mana mereka berdua pergi. Hal ini membuat Adipati Paturakan selalu gelisah.

Belum lagi, dia harus menghadapi sikap Ayu Dewi Winarti yang sudah tidak mau lagi ditemui. Gadis itu terus mengurung diri di dalam kamarnya. Dia sama sekali tidak mau keluar. Ayu Dewi Winarti tetap menuntut untuk bertemu dengan kakaknya, yang menghilang sejak Kadipaten Kuring diikuasai oleh Paturakan, yang sekarang menjadi adipatinya.

Siang itu udara di seluruh wilayah Kadipaten Kuring terasa panas sekali. Matahari bersinar terik menyengat, seakan hendak menghanguskan apa saja yang ada di atas permukaan bumi ini. Begitu panas-nya, sehingga hampir semua orang lebih menyukai diam di dalam rumah atau berteduh di bawah pohon-pohon yang rindang dan rimbun daunnya.

Di bawah teriknya sinar sang mentari, tampak dua orang penunggang kuda menyusuri jalan tanah yang berdebu. Yang satu adalah pemuda berbaju rompi putih dengan menunggang kuda hitam dan yang satunya lagi seorang gadis cantik berbaju biru yang menunggang kuda berwarna putih dan cantik. Mereka mengendalikan kudanya perlahan-lahan sambil mengedarkan pandangan, mengamati keadaan sekitarnya yang tampak agak sepi ini.

"Kau tidak merasa lelah, Kakang... ?" lembut sekali suara gadis cantik berbaju biru yang menunggang kuda putih itu.

"Tentu saja. Sudah dua hari kita berkuda. Rasanya pinggang ini mau patah," sahut pemuda tampan berbaju rompi putih yang menunggang kuda hitam itu.

"Di sana ada kedai," kata si gadis sambil menunjuk sebuah kedai yang tidak jauh lagi letaknya.

"Tampaknya cukup baik dan bersih," sambut pemuda itu.

Mereka kemudian menuju kedai yang tampaknya tidak ramai dikunjungi itu. Sebuah kedai kecil, namun kelihatan baik dan bersih. Mereka menambatkan kudanya di bawah pohon yang ada di depan kedai itu. Seorang perempuan setengah baya bertubuh gemuk bergegas menyambutnya dengan sikap yang ramah dan hormat sekali.

"Mari, silakan masuk...."

"Terima kasih," sahut keduanya, hampir bersamaan.

Mereka kemudian masuk ke dalam kedai dan memilih tempat yang berada dekat dengan jendela, sehingga bisa memandang ke luar dengan bebas. Wanita bertubuh gemuk itu kembali masuk ke belakang setelah pemuda berbaju rompi putih yang berwajah tampan itu mengatakan pesanannya. Tidak lama kemudian pesanan yang diminta sepasang anak muda itu telah tersedia.

"Enak juga masakannya, Kakang," ujar gadis cantik berbaju biru itu, setelah menikmati sedikit makanan yang terhidang di meja.

"Ya," sahut pemuda berbaju rompi putih itu singkat.

Mereka menyantap hidangan yang tersedia dengan nikmat sekali. Sehingga tidak sadar bahwa sejak masuk ke dalam kedai ini mereka terus diawasi oleh dua orang laki-laki separuh baya yang duduk di sudut, agak terlindung oleh tiang penyangga atap di tengah-tengah ruangan kedai ini.

Mereka adalah Iblis Rantai Baja dan Tongkat Merah Samber Nyawa, dua orang pengikut setia Adipati Paturakan yang lebih dikenal dengan julukan si Tangan Api. Mata mereka tidak berkedip mengamati kedua penunggang kuda yang baru masuk kedai itu. Apalagi seorang diantaranya adalah gadis cantik dengan baju biru muda yang agak ketat, yang bentuk tubuhnya ramping dan indah sekali.

"Aku yakin, lelaki itu pasti Pendekar Rajawali Sakti, Rantai Baja." ujar si Tongkat Merah Samber Nyawa agak berbisik.

"Hmmm... dari ciri-cirinya, dia memang mirip dengan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, apa mungkin dia sekarang berada di sini...?" sambut Iblis Rantai Baja bernada ragu-ragu.

"Kau ingat, Rantai Baja. Pendekar Rajawali Sakti sekarang sedang mengembara. Dia itulah orangnya," kata Tongkat Merah Samber Nyawa, "Coba kau lihat pedang di punggungnya. Tangkai pedang itu ber-bentuk kepala burung. Dan dia juga memakai baju putih tanpa lengan. Tampan dan gagah sekali dia. Aku yakin, dia pasti Pendekar Rajawali Sakti."

"Lalu, siapa gadis yang bersamanya?" tanya Ibis Rantai Baja sambil menatap gadis cantik berbaju ketat itu.

"Dia pasti Pandan Wangi si Kipas Maut. Pendekar Rajawali Sakti memang selalu pergi mengembara bersama si Kipas Maut. Dan mereka seperti tidak bisa lagi dipisahkan," sahut si Tongkat Merah Samber Nyawa

"Kau yakin itu, Tongkat Merah?"

"Ya, aku merasa yakin kalau dia itu Pendekar Rajawali Sakti."

"Tapi kita harus membuktikannya dulu, Tongkat Merah. Kalau memang sudah benar-benar yakin, baru kita laporkan kepada Kakang Paturakan. Dia pasti senang kalau mendengar Pendekar Rajawali Sakti berada di sini," kata Iblis Rantai Baja.

"Hmm..., kau benar, Rantai Baja. Kita memang harus membuktikannya dulu"

Mereka kemudian terdiam dan terus mengawasi pemuda berbaju rompi putih itu tanpa berkedip sedukit juga. Sedangkan yang diawasi sama sekali tidak menyadari, dan terus saja menikmati hidangannya dengan penuh nikmat. Kedua pengembara itu tidak segera beranjak pergi, meskipun hidangan di atas meja sudah habis berpindah ke dalam perut. Entah apa yang dbicarakan. Saat matahari sudah mulai condong ke arah barat, mereka baru beranjak pergi.

Iblis Rantai Baja dan si Tongkat Merah Samber Nyawa pun segera bergegas mengikuti dua orang anak muda yang diyakini sebagai Pendekar Rajawal Sakti dan si Kipas Maut, yang selama beberapa hari ini selalu dicari-cari itu.

********************

"Cukup sudah kalian berjalan-jalan, Anak-anak Muda..."

Pemuda berbaju rompi putih dan gadis berbaju biru yang menunggang kuda itu berkerut keningnya, ketika tiba-tiba saja mereka mendengar teguran bernada tidak bersahabat tadi. Mereka langsung menghentikan kudanya dan melompat turun begitu dari balik sebuah pohon yang cukup besar di pinggir jalan muncul dua orang laki-laki berusia setengah baya. Yang satu mengenakan baju hitam dengan rantai baja melilit pinggangnya, sedangkan satunya lagi mengenakan baju merah dan memegang tongkat yang juga berwarna merah. Mereka tak lain adalah Iblis Rantai Baja dan si Tongkat Merah Samber Nyawa.

"Kau yang bernama Rangga dan berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?" Iblis Rantai Baja langsung melontarkan pertanyaan sambil menunjukkan jarinya pada pemuda berbaju rompi putih yang berdiri di depan kuda hitamnya.

"Benar," sahut pemuda itu dengan mata agak menyipit.

Agak terkejut juga dia, karena dua orang mencegat jalannya ini sudah tahu namanya. Dia memang Rangga, yang di kalangan rimba persilatan dikenal dengan Julukan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan gadis cantik berbaju biru yang berada di sampingnya tak lain adalah Pandan Wangi, yang lebih dikenal dengan julukan si Kipas Maut.

"Aku tidak percaya kau adalah Pendekar Rajawali Sakti, Anak Muda. Kau harus tunjukkan pada kami kalau kau benar-benar Pendekar Rajawali Sakti," kata si Tongkat Merah Samber Nyawa.

"Apa maksud Kisanak berdua ini...?" tanya Rangga tidak mengerti.

Tapi, Iblis Rantai Baja dan Tongkat Merah Samber Nyawa melompat cepat bagai kilat sambil mengebutkan tongkatnya ke arah kepala Rangga. Serangan yang begitu cepat dan mendadak ini membuat Pendekar Rajawali Sakti itu terperangah tidak mengerti. Cepat-cepat dia merundukkan kepalanya, menghindari sabetan tongkat berwarna merah itu. Pada saat yang bersamaan Pandan Wangi pun melompat ke belakang beberapa langkah, agar tidak terkena sambaran tongkat itu.

"Tunggu dulu, Kisanak...! Uts...!"
Bet!

Hampir saja senjata si Tongkat Merah Samber Nyawa membabat dadanya, kalau saja Pendekar Rajawali Sakti itu tidak cepat-cepat meliukkan tubuhnya menghindarkan diri. Lalu dia cepat-cepat melompat ke belakang beberapa tindak. Namun, begitu kakinya baru saja menjejak tanah, secara tak terduga Rantai baja berwarna hitam sudah meluruk deras ke arahnya dengan kecepatan bagai kilat.

"Hup..."

Terpaksa Rangga melentingkan tubuhnya ke udara, menghindari terjangan ujung rantai hitam yang berbandul tiga buah bola besi berduri itu. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti melakukan putaran di udara, sebelum kembali mendarat dengan manis sekali di tanah.

"Tahan...! Tunggu dulu, Kisanak!" sentak Rangga mencoba menghentikan serangan dua orang yang sama sekali tidak dikenalnya ini.

"Keluarkan semua kesaktianmu, Anak Muda. Kau harus menghadapi kami berdua jika kau benar-benar Pendekar Rajawali Sakti," ujar Iblis Rantai Baja tegas.

"Tahan seranganku! Hiyaaat...!"

Si Tongkat Merah Samber Nyawa tidak mau lagi banyak bicara. Dengan cepat sekali dia kembali melompat bagai kilat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Tongkatnya yang berwarna merah berkelebatan cepat mengincar bagian-bagian tubuh Rangga yang rawan. Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti itu berjumpalitan, meliuk-liukkan tubuhnya menghindari setiap serangan maut dari si Tongkat Merah Samber Nyawa yang begitu cepat dan dahsyat.

Sementara, agak jauh dari tempat pertarungan itu, Pandan Wangi terus memperhatikan dengan mata tidak berkedip sedikit pun. Dia sendiri tidak mengerti, kenapa tiba-tiba dua orang laki-laki separuh baya yang tidak dikenalnya itu menyerang Rangga. Bahkan kehadirannya di tempat ini sama sekali tidak mereka pedulikan. Semua perhatian mereka begitu terpusat pada Pendekar Rajawali Sakti. Mereka melakukan serangan-serangan yang begitu cepat dan dahsyat secara bergantian. Tampaknya tidak diberi kesempatan sedikit pun pada pemuda berbaju rompi putih itu untuk membalas menyerang.

Jurus demi jurus berlalu dengan cepat sekali. Meskipun diserang dengan jurus-jurus yang dahsyat dan bergantian begitu cepatnya Rangga yang hanya menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' masih terlalu sulit untuk didesak. Bahkan tak satu pun dari serangan mereka berhasil mencapai sasaran. Pendekar Rajawali Sakti itu memang terlalu tangguh bagi keduanya. Dan memang tingkat kepandaian mereka masih kalah jauh di bawah Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga, tidak heran, meskipun sudah berusaha keras mereka belum juga berhasil memaksa Rangga untuk mengeluarkan jurus-jurusnya yang bisa menunjukkan bahwa dirinya adalah Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup!"
"Hap..!"

Pada suatu ketika, Iblis Rantai Baja dan Tongkat Merah Samber Nyawa sama-sama lompat mundur sejauh dua batang tombak. Rangga tetap berdiri tegak menanti datangnya serangan berikut. Dua pengikut setia si Tangan Api itu tetap berdampingan. Mereka memandangi pemuda berbaju rompi putih itu dengan sinar mata tajam dengan napas yang memburu, seperti kuda yang dipakai mendaki bukit terjal dan tinggi.

"Cabut pedangmu, Anak Muda!" bentak Iblis Rantai Baja agak kasar.

"Untuk apa...? Senjata tidak perlu digunakan jika keadaan tidak genting," sahut Rangga kalem.

"Setan...! Kau terlalu merendahkan kami, Anak Muda!" geram Tongkat Merah Samber Nyawa.

"Sama sekali aku tidak merendahkan kalian berdua. Tapi aku merasa tidak perlu menggunakan senjata untuk saat ini. Dan kalian tidak bisa memaksaku untuk mengeluarkannya," tegas Rangga.

"Keparat! Kau terlalu angkuh, Anak Muda!" bentak Tongkat Merah Samber Nyawa tidak bisa menahan berangnya.

Hampir saja si Tongkat Merah Samber Nyawa menyerang kalau saja Iblis Rantai Baja tidak segera mencekal pergelangan tangannya. Si Tongkat Merah Samber Nyawa hanya bisa mendesis geram, menatap tajam ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu.

Sementara itu Pandan Wangi masih terpaku di tempat yang cukup aman bersama kuda-kudanya. Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu terus memerhatikan dengan mata tidak berkedip sedikit pun.

"Jangan terpancing amarahmu, Tongkat Merah. Kita bisa melakukan cara lain untuk memastikan bahwa dia benar-benar Pendekar Rajawali Sakti," kata Iblis Rantai Baja berbisik.

"Pakai cara apa lagi?" tanya si Tongkat Merah Samber Nyawa tidak mengerti.

"Tetap menyerang, tapi dengan cara lain."

"Maksudmu?"

"Aku serang dia dengan rantai baja sakti ku. Dan kau akan menyerang dengan ilmu kesaktianmu di saat dia sibuk menghadapiku. Aku yakin, dia pasti akan mengeluarkan pedang pusakanya yang terkenal itu."

"Hm...,"

Tongkat Merah Samber Nyawa mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia bisa mengerti usul dari Iblis Rantai Baja tadi. Harus digunakan siasat khusus untuk bisa menekan pemuda berbaju rompi putih itu agar mengeluarkan senjata saktinya yang sangat terkenal dahsyat di kalangan rimba peralatan ini. Mereka segara berpencar, menggeserkan tubuh ke samping, sehingga masing-masing kini berada di sebelah kanan dan kiri pendekar Rajawali Sakti.

"Seraaang...!" seru Iblis Rantai Baja tiba-tiba.

"Hiyaaat..!"
Cring!
Wuk!

Cepat sekali laki-laki separuh baya berbaju hitam itu melontarkan rantainya, disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi sekali tingkatannya. Ujung Rantai berbandul bola besi berduri itu langsung meluruk deras bagai kilat ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti.

"Haiiit...!"

Dengan hanya sedikit merundukkan kepalanya, Rangga berhasil menghindari serangan Iblis Rantai Baja itu. Namun, sungguh sukar dipercaya, Rantai baja berujung tiga bola besi berduri itu bisa berputar begitu cepat dan kembali meluruk deras dengan suara yang menggemuruh bagai guntur di siang hari bolong. Cepat-cepat Rangga meliukkan tubuhnya, menghindari serangan maut itu.

Pada saat itu, ketika Pendekar Rajawali Sakti tengah sibuk menghindari serangan-serangan dahsyat dari Iblis Rantai Baja, si Tongkat Merah Samber Nyawa segera mempersiapkan kesaktiannya berupa pukulan jarak jauh dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi sekali tingkatannya. Tepat di saat Rangga baru menjejakkan kakinya di tanah, secepat kilat.

"Hiyaaa...!"
Slap!
"Hup!"

Rangga cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke udara, ketika tiba-tiba saja dari ujung tongkat si Tongkat Merah Samber Nyawa meluncur secercah sinar merah ke arahnya. Dan ujung sinar merah itu langsung menghantam tanah tempat Rangga berpijak tadi. Satu ledakan dahsyat terdengar menggelegar, bersamaan dengan terbongkarnya tanah yang terhantam sinar merah dari ujung tongkat laki-laki berbaju merah itu.

Beberapa kali Rangga berputaran di udara, karena dia juga harus menghindari serangan senjata maut si Iblis Rantai Baja. Namun, dengan gerakan yang manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti berhasil menjejakkan kakinya kembali di tanah. Di saat itu pula Iblis Rantai Baja melontarkan Rantai hitamnya disertai pengerahan tenaga dalam sepenuhnya.

"Hiyaaa....!"
"Hap!"

Kali ini Rangga sama sekali tidak berusaha menghindari serangan ini. Dia menunggu. Dan, tepat ketika ujung Rantai baja hitam itu dekat dengan dadanya, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti itu mengatupkan kedua telapak tangannya, menangkap rantai berbandul bola besi berduri tajam itu.

Tap!
"Heh...!"

Iblis Rantai Baja jadi terkejut setengah mati. Belum lagi dia bisa menghilangkan keterkejutannya, mendadak saja Rangga menghentakkan kedua tangannya ke atas, sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.

"Hih! Yeaaah...!"
"Whaaa...!"

Seketika Iblis Rantai Baja melayang ke angkasa. Bersamaan itu, tubuh Rangga melenting ke udara, mengejar si Iblis Rantai Baja. Sambil kerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', dia berputar cepat mengelilingi tubuh Iblis Rantai Baja sambil me-megangi ujung rantai berwarna hitam itu. Dan, ketika Pendekar Rajawali Sakti itu berhenti berputar, tampak seluruh tubuh si Iblis Rantai Baja sudah ter-lilit rantainya sendiri.

"Hup!"

Sambil menangkap tubuh Iblis Rantai Baja, si Pendekar Rajawali Sakti meluruk turun dengan gerakan yang sangat ringan. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang diikuasainya, sehingga dengan manis sekali Pendekar Rajawali Sakti berhasil mendaratkan kakinya di tanah, tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Langsung dilemparnya Iblis Rantai Baja yang sudah terlilit rantainya sendiri itu.

Tubuh Iblis Rantai Baja jatuh bergulingan di tanah sambil mengeluarkan pekikan keras agak tertahan. Gulingan itu baru berhenti setelah berada di dekat ujung kaki si Tongkat Merah Samber Nyawa. Laki-laki separuh baya berbaju merah menyala itu hanya bisa terlongong bengong menyaksikan peristiwa yang berlangsung cepat itu.

"Siapa pun kalian berdua, aku tidak ada urusan sama sekali. Aku harap kalian jangan lagi mencari gara-gara denganku!" tegas Rangga.

Setelah memberi peringatan, Pendekar Rajawali Sakti segera melompat ke arah kudanya. Manis sekali lompatan pemuda berbaju rompi putih itu. Dia langsung hinggap di atas pelana kuda hitamnya yang selalu dipanggilnya kuda Dewa Bayu. Pada saat yang hampir bersamaan, Pandan Wangi juga segera melompat naik ke punggung kudanya. Tanpa berbicara sedikit pun, kedua pendekar muda dari Karang Setra itu langsung menggebah kudanya dengan cepat meninggalkan si Tongkat Merah Samber Nyawa yang masih berdiri terlongong seperti tengah bermimpi.

LIMA

Rangga dan Pandan Wangi terus memacu kudanya dengan kecepatan yang tinggi, keluar dari kota Kadipaten Kuring. Mereka baru berhenti menggebah kudanya setelah sampai di tepi hutan yang ada di luar perbatasan kota sebelah utara. Mereka langsung berlompatan turun dari punggung kudanya masing-masing. Kemudian kuda-kuda itu dibiarkan melepas dahaga di pinggiran sebuah sungai kecil yang mengalir jernih. Sementara itu senja semakin merayap turun. Dan, keremangan mulai menyelimuti mayapada ini.

"Siapa mereka itu tadi, Kakang?" tanya Pandan Wangi sambil mengempaskan dirinya di bawah pohon yang berumput cukup tebal.

"Entahlah, aku tidak kenal dengan mereka," sahut Rangga sambil mengangkat bahunya.

Pendekar Rajawali Sakti tetap berdiri menyandarkan punggungnya di pohon yang tidak seberapa jauh dari Pandan Wangi. Pandangannya tertuju pada dua ekor kuda yang sedang melepas dahaga di pinggiran sungai kecil di tepi hutan ini. Sedangkan Pandan Wangi mengamati wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun sudah sering pergi mengembara bersama-sama, tidak pernah ada rasa bosan baginya memandangi wajah tampan itu. Dan, Pandan Wangi selalu merasa senang bila dapat berdekatan dengan Rangga dan memandangi wajah lelaki gagah itu.

"Tapi, kenapa mereka mengenalmu, dan langsung menyerangmu, Kakang?" tanya Pandan Wangi lagi, masih belum mengerti tentang peristiwa yang dialami Rangga barusan.

"Apa kau tidak dengar apa yang mereka katakan, Pandan...? Mereka ingin membuktikan bahwa aku benar-benar Pendekar Rajawali Sakti. Dan aku rasa, mereka menyerangku tidak dengan sungguh-sungguh. Tapi ingin membuktikan diriku yang sebenarnya saja."

"Hm..., apa itu mungkin, Kakang?" tanya Pandan Wangi agak menggumam, seakan pertanyaan itu untuk dirinya sendiri.

"Entahlah. Terlalu dini untuk bisa menduganya. Sikap mereka aneh sekali. Aku yakin, mereka tidak kenal denganku secara langsung. Dan mereka tadi hanya ingin membuktikan tentang diriku yang sesungguhnya. Hm..., ada apa sebenarnya ini...?"

"Kakang...."

Rangga berpaling menatap gadis cantik berjuluk si Kipas Maut itu. Dan gadis itu langsung beranjak berdiri, melangkah menghampirinya. Dia berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti, lalu memeluk lengan yang kekar dan berotot kuat itu. Rangga membiarkan Pandan Wangi menunjukkan kemanjaannya. Dia kembali mengarahkan pandangannya pada kuda-kuda mereka yang kini sedang merumput dengan nikmat sekali di tepian sungai kecil itu. Rerumputan di sana sangat subur sehingga seperti tidak akan pernah habis dilahap kuda sebanyak apa pun.

"Kau ingat ketika kita makan di kedai tadi...?" ujar Pandan Wangi bernada bertanya.

"Maksudmu...?" Rangga balik bertanya tidak mengerti.

"Dua orang yang menyerangmu tadi rasanya juga berada di kedai itu. Tapi aku tidak begitu memperhatikan, karena masih ada orang lain lagi di sana," kata Pandan Wangi, agak ragu-ragu.

"Kau menduga mereka bukan penduduk Kadipaten Kuring ini, Pandan?" tanya Rangga menebak.

"Mungkin. Dan tampaknya mereka para pengembara, Kakang. Dari pakaian dan senjata yang digunakan, aku yakin kalau mereka dari kalangan persilatan. Tapi..., apa maksudnya mereka menyerangmu, Kakang..?"

Rangga tidak menyahut. Dia diam saja sambil mengedarkan pandangannya berkeliling. Sementara itu matahari sudah benar-benar tenggelam di balik belahan bumi bagian barat. Namun, beruntung sekali, saat ini bulan bersinar penuh dan langit tampak bercahaya oleh gemerlapnya bintang-bintang yang bertaburan di angkasa bagai mutiara. Malam tampak begitu indahnya.

Rangga melepaskan pelukan Pandan Wangi pada tangannya. Kemudian dia mengumpulkan ranting-ranting kering yang banyak berserakan di sekitar tepian hutan ini. Dengan ranting-ranting kering itu, dia membuat api unggun. Pandan Wangi langsung duduk di dekat api unggun yang dibuat Rangga. Udara di tepian hutan ini sudah terasa dingin. meskipun malam belum begitu lama jatuh menyelimuti permukaan bumi ini.

"Tolooong...?!"
"Heh...?!"
"Apa itu...?"

Kedua pendekar muda itu terkejut mendengar teriakan itu. Suara itu terdengar sangat jelas, tampaknya tak jauh dari tempat mereka berada saat ini. Bergegas kedua pendekar muda dari Karang Setra bangkit berdiri. Sebentar mereka memasang telinga, mencoba mencari sumber teriakan tadi.

"Hup...!"

Tiba-tiba saja Rangga melesat cepat begitu telinganya mendengar suara-suara yang datang dari arah timur. Pandan Wangi pun tidak mau ketinggalan. Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan hampir sempurna, si Kipas Maut bergegas melesat mengikuti Pendekar Rajawali Sakti.

Pendekar Rajawali Sakti

"Hey...!" Rangga membentak keras. Dia melihat, sekitar sepuluh orang berpakaian seragam prajurit tengah menyeret seorang laki-laki muda yang berpakaian compang-camping penuh tambalan seperti gembel. Bentakan Rangga yang begitu keras membuat para prajurit itu terkejut setengah mati. Mereka langsung berhenti. Sambil mencabut pedang masing-masing yang tergantung di pinggang. Sedangkan dua di antara para prajurit itu masih memegangi tambang yang mengikat kedua tangan pemuda pengemis.

"Apa yang kalian lakukan ini, heh...?" tanya Rangga agak mendelik, melihat para prajurit itu menyiksa seorang pemuda pengemis.

"Siapa kau...? Jangan ikut campur urusan ini!" bentak salah seorang prajurit dengan kasar.

"Aku Rangga," sahut Rangga memperkenalkan diri, "Kenapa kalian menyiksa pengemis itu?"

"Ini bukan urusanmu, Anak Muda! Pergi saja kau dari sini!" bentak prajurit itu semakin kasar.

Pada saat itu Pandan Wangi sudah sampai. Dia juga terkejut melihat seorang pengemis menggeletak di tanah dengan kedua tangan menyatu terikat tambang. Pakaiannya yang sudah kumal dan compang-camping tampak semakin rusak karena terlalu jauh terseret Pengemis itu merintih, menahan perih pada sekujur tubuhnya yang lecet akibat terseret tadi.

"Lepaskan dia. Kalian tidak boleh menyiksa orang yang lemah," kata Rangga tegas.

"Ha ha ha...!"

Para prajurit itu malah tertawa terbahak-bahak. Dan empat di antaranya langsung maju mendekati Pendekar Rajawali Sakti itu dengan sikap yang pongah dan angkuh sekali. Sedang Rangga dan Pandan Wangi tetap berdiri tegak dengan sinar mata tajam menusuk.

"Enyah dari sini. Atau kau sudah bosan hidup, heh...!" desis salah seorang prajurit itu dingin.

"Sebaiknya, justru kalian yang harus pergi dari sini!" selak Pandan Wangi tidak kalah dinginnya.

"He...! Bocah Ayu, kau tahu sedang berhadapan dengan siapa, heh...? Kami para prajurit pilihan Kadipaten Kuring. Tak ada seorang pun yang bisa memerintah kami selain Gusti Adipati Paturakan!"

"Hm...?!"

Rangga dan Pandan Wangi tampak terkejut mendengar nama Adipati Paturakan disebut. Sedangkan keempat orang prajurit tadi makin mendekat saja. Pedang mereka terhunus di tangan masing-masing.

"He he he.... Kalian pasti terkejut mendengar nama Gusti Adipati Paturakan. Sebaiknya kalian cepat enyah dari sini, sebelum pedang-pedang kami memenggal leher kalian," kata prajurit itu lagi, yang makin pongah tingkahnya.

Namun, secara tak terduga Pandan Wangi melompat kilat ke arah pengemis muda yang masih merintih dan menggeletak di tanah itu. Begitu cepatnya gerakan si Kipas Maut, sehingga tak ada seorang pun yang sempat menyadarinya. Dan, tiba-tiba Pandan Wangi sudah mengeluarkan kipas baja putihnya yang sakti. Langsung dikebutkannya kipas itu ke tambang yang mengikat ke dua tangan si pengemis muda.

Tas!
"Hup...!"

Secepat kilat pula, Pandan Wangi langsung menyambar pengemis muda itu. Dan, tiba-tiba ia sudah berada sekitar sepuluh langkah di belakang Rangga, sambil menyangga pengemis muda yang sudah terbebas dari kekangan para prajurit itu.

"Setan keparat..!" geram salah seorang prajurit yang tampaknya menjadi pemimpin mereka.

Sedangkan Rangga hanya tersenyum melihat tindakan Pandan Wangi yang begitu cepat itu. Senyuman di bibir Pendekar Rajawali Sakti ini semakin lebar saat Pandan Wangi memapah pengemis muda itu ke tempat yang cukup aman.

"Bunuh mereka semua...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Begitu keluar perintah yang keras menggelegar, sepuluh orang berseragam prajurit itu langsung berhamburan menyerang Rangga.

"Hup! Yeaaah...!"

Tanpa membuang waktu lagi, Rangga langsung menyongsong serangan para prajurit itu. Gerakannya bagai kilat. Beberapa pukulan keras yang disertai serta tenaga dalam dilontarkan cepat sekali, sehingga para prajurit itu tak sempat lagi berkelit. Jeritan-jeritan panjang dan keluh kesakitan terdengar saling susul. Terlihat segera lima prajurit bergelimpangan terkena pukulan keras Pendekar Rajawali Sakti itu. Hanya sekali gebrakan saja, Rangga sudah mampu merobohkan lima orang prajurit.

Belum lagi lima prajurit lainnya menyadari apa yang telah terjadi, Rangga kembali melepaskan pukulan beruntun yang luar biasa cepatnya. Kembali terdengar jeritan-jeritan panjang yang saling susul. Dan lagi-lagi terlihat para prajurit jatuh bergelimpangan sambil mengaduh kesakitan. Sehingga, tak ada lagi seorang prajurit pun yang bisa berdiri. Dan, entah bagaimana caranya, Rangga sudah merampas semua pedang para prajurit yang kini bergelimpangan sambil merintih kesakitan.

"Cepat kalian pergi dari sini. Jangan sampai aku lepaskan nyawa kalian!" ancam Rangga dingin menggetarkan.

Cring!

Sekali lempar saja, sepuluh bilah pedang yang berada di tangannya langsung menancap berbaris di dekat para prajurit yang berusaha bangkit sambil terus menyeringai kesakitan itu. Dan, begitu bisa berdiri tanpa berkata apa-apa lagi mereka langsung berlari berserabutan, tanpa memikirkan lagi pedangnya yang tertancap berbaris seperti pagar di tanah. Rangga tersenyum saja melihat tingkah para prajurit itu.

Si Pendekar Rajawali Sakti kemudian berbalik dan melangkah menghampiri Pandan Wangi yang tengah merawat pengemis muda itu. Pandan Wangi langsung menyingkir, membiarkan Rangga menggantikan dirinya memeriksa luka-luka pengemis muda itu.

"Hanya luka luar," ujar Rangga setelah memeriksa luka-luka itu.

"Terima kasih, Kisanak...," ucap pengemis itu agak lirih.

"Siapa namamu? Dan kenapa kau sampai disiksa para prajurit itu?" tanya Rangga lembut sekali.

"Namaku Wadira. Mereka mau membawaku ke puncak Gunung Tambur," sahut pengemis muda itu, yang masih meringis menahan rasa perih di sekujur tubuhnya yang luka-luka.

"Ke Gunung Tambur...? Untuk apa?" tanya Pandan Wangi menyetak.

"Sudah banyak yang dibawa mereka ke sana. Terutama kami, para pengemis dan gelandangan yang ada di Kadipaten Kuring ini. Dan tak ada seorang pun yang kembali kalau sudah dibawa ke sana," kata pengemis muda yang mengaku bernama Wadira itu.

"Aneh...," desah Pandan Wangi menggumam perlahan.

"Sejak si Tangan Api menguasai Kadipaten Kuring, semuanya langsung berubah. Dan dia sekarang menjadi Adipati di sini. Dia menangkapi para pengemis dan gelandangan, lalu membawanya ke Gunung Tambur. Bahkan Gusti Adipati Bayangkala dan putranya, Raden Pangrona, juga dibawa ke sana. Anak angkat pemimpin kami, Jaka Gembel, juga dibawa ke Puncak Gunung Tambur. Sampai sekarang ini tidak ada kabarnya lagi. Sedangkan putri Gusti Adipati Bayangkala, Ayu Dewi Winarti, sekarang berada dalam tawanan si Tangan Api itu," tanpa diminta lagi Wadira menjelaskan keadaan yang sedang terjadi di Kadipaten Kuring ini.

Rangga dan Pandan Wangi berpandangan. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa sudah terjadi perubahan yang begitu besar di Kadipaten Kuring ini. Siang tadi, sama sekali mereka tidak melihat adanya perubahan. Hanya saja, mereka memang tidak lagi melihat pengemis dan gelandangan berkeliaran di jalan-jalan seperti biasanya. Kadipataen Kuring memang dikenal sebagai kota pengemis, karena begitu banyaknya pengemis dan gelandangan hidup di kota kadipaten ini. Sebelumnya mereka sama sekali tidak memperhatikan hilangnya para pengemis itu.

Kini mereka baru tahu, Adipati Paturakan yang dijuluki si Tangan Api ternyata menangkapi para pengemis dan gelandangan. Mereka lalu dibawa ke Puncak Gunung Tambur. Kota itu sekarang benar-benar terbebas dari kaum pengemis dan gelandangan. Memang tindakan pembersihan yang bagus, tapi Rangga melihat adanya sesuatu yang tidak wajar di balik tindakan ini. Di samping itu, dia tidak pernah membeda-bedakan manusia, baik itu para pembesar dan saudagar kaya, rakyat biasa, maupun para gelandangan. Jiwa kependekaran Rangga langsung ter-sentuh mendengar kisah yang dituturkan Wadira barusan.

"Wadira, ceritakanlah apa yang teriadi sebenarnya di Kadipaten Kuring ini," pinta Rangga, serius.

"Menyedihkan sekali...," sahut Wadira mendesah panjang.

"Menyedihkan...? Apa maksudmu, Wadira?" tanya Rangga tidak mengerti.

"Sulit untuk dikatakan. Sebaiknya kalian tanyakan saja hal ini pada Ki Gembel Bungkuk," sahut Wadira seraya bangkit berdiri.

Wadira masih meringis saat bergerak berdiri. Rasa perih masih menyengat seluruh tubuhnya yang penuh oleh luka gores. Rangga dan Pandan Wangi pun ikut berdiri.

"Siapa itu Ki Gembel Bungkuk?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.

"Ayah angkat semua kaum gembel dan pengemis," sahut Wadira. "Dia tahu semua yang teriadi di Kadipaten Kuring ini. Bahkan dia yang menjaga keselamatan Ayu Dewi Winarti di istana kadipaten."

"Tampaknya ini masalah yang serius sekali, Kakang. Tidak baik jika sebuah kadipaten dipimpin oleh orang yang salah," kata Pandan Wangi. "Akibatnya akan buruk nanti bagi seluruh rakyat Kadipaten itu sendiri. "

"Tapi Gusti Adrpati Bayangkala juga tidak baik dalam menjalankan pemerintahannya," selak Wadira.

"Maksudmu...?" tanya Rangga.

"Dia memerintah dengan tangan besi. Apa saja yang diinginkannya harus terlaksana, bagaimanapun sulitnya. Dia memang tak pernah memusuhi kaum pengemis dan gelandangan. Bahkan dia memberi tempat pada kaum kami di Kadipaten ini. Hanya saja, dia...," Wadira tidak melanjutkan kata-katanya.

"Hanya saja apa, Wadira?" desak Rangga ingin tahu.

"Dia selalu memperkaya diri. Dia tidak pernah mau memperhatikan nasib dan kesejahteraan rakyatnya. Bahkan dia memaksa rakyat untuk menyerahkan berbagai macam upeti yang sangat tinggi. Maka, ketika si Tangan Api berhasil menggulingkannya, seluruh rakyat jadi gembira. Terlebih lagi, si Tangan Api berjanji akan mengubah tata kehidupan seluruh rakyat di Kadipaten Kuring ini. Tapi itu semua hanya janji kosong. Buktinya dia sudah menangkapi para pengemis dan gelandangan, lalu membuangnya ke Puncak Gunung Tambur. Entah bagaimana nasib mereka yang sudah dibawa ke sana. Aku yakin, kalau tidak ada lagi pengemis dan gelandangan, rakyat pun akan mendapat giliran. Karena...," kembali Wadira tidak melanjutkan ucapannya.

"Kenapa, Wadira?" pinta Pandan Wangi ingin tahu.

"Dia... si Tangan Api bersekutu dengan perempuan iblis penguasa puncak Gunung Tambur," sahut Wadira dengan suara yang berbisik perlahan, seakan dia takut ada orang lain yang mendengarkannya.

"Siapa lagi perempuan Iblis itu?" tanya Pandan Wangi lagi.

"Aku... aku tidak bisa mengatakannya. Sebaiknya kalian tanyakan saja pada Ki Gembel Bungkuk. Dia tahu lebih banyak dari aku sendiri," sahut Wadira.

Pandan Wangi menatap pada Rangga yang juga tengah memandangnya. Beberapa saat mereka terdiam. Kemudian kedua pendekar itu sama-sama mengangkat bahu. Dari sedikit keterangan yang keluar dari mulut Wadira, mereka sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa Kadipaten Kuring saat ini sedang berada di ambang pintu kehancuran. Kekuasaannya dipegang oleh orang yang bersekutu dengan iblis.

"Baiklah, ayo kita pergi sekarang menemui ayah angkatmu," ajak Rangga.

"Ayo, aku antarkan," sambut Wadira.

ENAM

Tidak lama kemudian, sampailah Rangga, Pandan Wangi, dan Wadira pada sebuah pondok kecil di tengah-tengah sebuah ladang perkebunan. Si Gembel Bungkuk berada di pondok itu. Kelihatannya dia memang sedang menunggu kedatangan mereka.

Rangga merasa seperti bermimpi. Dia menatap tak berkedip pada laki-laki tua bertubuh bungkuk itu. Wajah lelaki itu begitu buruk dan kulitnya hitam seperti arang. Rangga teringat pada sahabatnya yang juga memiliki tubuh seperti si Gembel Bungkuk ini. Sahabatnya itu pun biasa dipanggil si Bungkuk, karena tubuhnya juga bungkuk, berpunuk bagai onta pada punggungnya.

"Kenapa kau memandangku seperti itu, Rangga?" tegur si Gembel Bungkuk.

"Oh...! Kau tahu namaku...?" Rangga terperanjat.

Dia sama sekali belum memperkenalkan namanya tadi. Dan, mereka baru sekali ini bertemu. Bahkan Wadira pun belum sempat memperkenalkan Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut ini pada si Gembel Bungkuk itu. Tapi, laki-laki tua berbaju hitam yang buruk rupa dan bertubuh bungkuk itu sudah mengetahui nama Rangga.

"Tentu saja aku tahu siapa kau, Rangga. Tidak ada orang lain di dunia ini yang sepertimu," sahut si Gembel Bungkuk.

"Dari mana kau tahu namaku?" tanya Rangga penasaran.

"Kau tentu tidak lupa dengan si Bungkuk, kan...?"

Rangga mengangguk. Rasa herannya semakin besar menyelimuti hatinya. Berbagai macam dugaan langsung bergayut di dalam benaknya.

"Aku dan dia bersaudara. Dia telah banyak bercerita tentang dirimu. Makanya aku langsung mengenalmu begitu melihat kau datang, Rangga," kata si Gembel Bungkuk menjelaskan dengan nada suara yang tenang sekali.

"Oh...." Rangga mendesah panjang. Apa yang terlintas di dalam benaknya tadi ternyata memang benar. Dia sudah menduga kalau antara si Bungkuk dan si Gembel Bungkuk ini mempunyai hubungan yang amat dekat. Mereka memang bersaudara. Itu sebabnya mereka mirip sekali, sehingga Rangga sempat mengira bahwa laki-laki tua ini adalah si Bungkuk, sahabatnya yang sudah lama tidak dilihatnya lagi. Rangga dan si Bungkuk memang sama-sama pengembara yang tidak pernah diketahui tempat tinggal dan tujuannya.

"Apa ada sesuatu yang sangat penting hendak kau sampaikan sehingga kau mau menemui manusia hina sepertiku ini, Rangga?" tanya si Gembel Bungkuk.

"Sebenanya tidak. Kebetulan saja aku bertemu dengan Wadira. Dan sama sekali aku tidak tahu kalau di sini ada saudara Paman Bungkuk," sahut Rangga.

"Benar, Ki," selak Wadira.

Tanpa diminta lagi, Wadira pun langsung menceritakan semua peristiwa yang telah dialaminya. Cerita itu di awali dengan ditangkapnya dia oleh para prajurit Kadipaten dan di akhiri dengan diselamatkannya dia oleh Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Semuanya diceritakan Wadira dengan jelas, tanpa ada yang dikurangi atau dilebihkan.

"Hm..., jadi mereka masih juga mengejar anak-anakku...," gumam si Gembel Bungkuk setelah Wadira menyelesaikan kisahnya.

Kepalanya terangguk beberapa kali. Sebentar dia menatap pada Wadira, salah seorang anak angkatnya. Semua Gembel dan pengemis di Kadipaten Kuring ini memang dianggap sebagai anak angkatnya. Semua kaum pengemis juga menganggap laki-laki tua bertubuh bungkuk ini sebagai pemimpinnya. Bahkan si Gembel Bungkuk ini juga memberikan pelajaran berbagai ilmu olah kanuragan, agar para gelandangan bisa membela diri bila mendapat perlakuan sewenang-wenang dari orang lain.

Kelompok pengemis yang dipimpin oleh si Gembel Bungkuk ini sudah sangat terkenal. Ketenarannya tidak hanya terbatas di Kadipaten Kuring, tetapi juga sampai ke luar wilayah Kadipaten Kuring turut menggabungkan diri ke dalam kelompok ini untuk meminta perlindungan.

"Maaf, Ki... Sebenarnya apa yang terjadi di Kadipaten Kuring ini?" tanya Rangga.

"Apa Wadira tidak mengatakannya padamu, Rangga?" si Gembel Bungkuk itu malah balik bertanya.

"Sudah, tapi katanya bisa lebih jelas lagi kalau kau sendiri yang mengatakannya."

"Kalau kau sudah tahu, lalu apa yang akan kau lakukan?" tanya si Gembel Bungkuk lagi.

"Aku seorang pendekar, Ki. Aku tidak bisa melihat ada penindasan dan kesewenang-wenangan terjadi di depan mataku. Dan aku tidak akan lari dari segala keangkaramurkaan," sahut Rangga tegas.

"Hm...!"

Si Gembel Bungkuk mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia sudah begitu banyak mendengar sepak terjang pemuda berbaju rompi putih yang dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti ini. Dan, dia percaya bahwa Pendekar Rajawali Sakti akan mampu mengatasi semua persoalan yang sedang dihadapi oleh seluruh rakyat Kadipaten Kuring ini. Persoalan yang sangat berat itu tidak mungkin bisa dihadapi Gembel Bungkuk seorang diri. Terlebih lagi, sudah begitu banyak anak angkatnya yang menghilang tanpa ketahuan lagi nasibnya. Bahkan anak angkat kesayangannya pun ikut menghilang di puncak Gunung Tambur. Hingga kini tidak ada lagi beritanya.

"Kau tentu sudah tahu kalau Kadipaten Kuring ini dikuasai oleh seseorang yang memiliki hati iblis. Bahkan dia bersekutu dengan perempuan iblis yang menguasai puncak Gunung Tambur. Kau tentu sudah bisa meraba, apa yang akan terjadi jika hal ini terus berlangsung," kata si Gembel Bungkuk, perlahan sekali.

"Aku bisa mengerti, Ki," sahut Rangga.

"Ia bukan orang sembarangan, Rangga. Tingkat kepandaiannya sangat tinggi. Aku sendiri belum cukup mampu menandinginya...," kata si Gembel Bungkuk, terdengar seperti mengeluh. "Bahkan untuk menghadapi dua orang pengikutnya saja, aku tidak bakal mampu."

"Siapa saja mereka, Ki?" tanya Pandan Wangi.

"Kau pasti sudah tahu. Penguasa berhati iblis itu bernama Paturakan, yang dijuluki si Tangan Api. Sedangkan dua orang pengikutnya adalah si Tongkat Merah Samber Nyawa dan Iblis Rantai Baja," sahut si Gembel Bungkuk menjelaskan.

Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan setelah mendengar nama kedua orang pengikut setia si Tangan Api itu. Mereka langsung teringat pada dua orang laki-laki separuh baya yang mencegat dan langsung menyerang Rangga tanpa diketahui maksudnya. Dari semua penjelasan yang mereka dengar, Rangga dan Pandan Wangi langsung bisa mengetahui bahwa kedua orang yang mencegat itu adalah si Tongkat Merah Samber Nyawa dan Iblis Tongkat Baja, pengikut setia si Tangan Api. "Ki, apakah dua orang itu memakai senjata rantai dan tongkat berwarna merah...?" tanya Pandan Wangi untuk memastikan dugaannya.

"Benar."

"Tidak salah lagi...," desis Pandan Wangi.

"Ada apa...? Apa kalian pernah bertemu dengan mereka?" tanya si Gembel Bungkuk, sambil memandangi Rangga dan Pandan Wangi bergantian.

"Terus terang, Ki. Sampai saat ini pun aku belum bisa mengerti. Mereka tiba-tiba saja menghadang lalu menyerang tanpa alasan yang pasti," kata Rangga mencoba menjelaskan.

"Mereka sudah bertemu denganmu, Rangga?" tanya si Gembel Bungkuk ingin memastikan.

"Benar, Ki," Pandan Wangi yang menyahuti.

"Oh...," desah si Gembel Bungkuk panjang.

"Tapi tampaknya mereka tidak begitu mengenal Kakang Rangga, Ki. Bahkan mereka sempat mencoba meyakinkan bahwa Kakang Rangga adalah Pendekar Rajawali Sakti yang sesungguhnya," kata Pandan Wangi lagi.

"Kedatanganmu ke kadipaten ini akan menguntungkan mereka, Rangga," ujar si Gembel Bungkuk agak mendesah perlahan sekali sehingga hampir tidak terdengar.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Ki..?" ujar Rangga meminta penjelasan.

"Sesungguhnya mereka memang sedang mencarimu, Rangga. Bahkan mereka sudah mengirim utusan ke Istana Karang Setra. Mereka tahu kalau kau bukan hanya seorang pendekar kelana, tapi juga seorang raja di Karang Setra. Tentu kedatanganmu ke sini akan membuat mereka gembira, Rangga. Itu berarti mereka tidak perlu susah-susah lagi mencarimu. Dan itu juga berarti awal kehancuran bagi...," si Gembel Bungkuk tidak meneruskan.

Jelas sekali terlihat, raut wajah laki-laki tua itu berubah menjadi mendung, berselimut kabut tebal. Perubahan itu cepat diketahui Rangga dan Pandan Wangi, yang sejak tadi memang selalu memperhatikan laki-laki tua bermuka buruk dan bertubuh bungkuk ini. Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu tertegun tidak mengerti. Mereka hanya bisa bertanya tanya di dalam hati. Sedangkan si Gembel Bungkuk masih tetap terdiam, dengan kepala tertunduk dan wajah tetap mendung terselimut kabut.

"Ada apa, Ki? Kau kelihatan sedih sekali," tegur Pandan Wangi.

"Kalian tahu, untuk apa Paturakan mencarimu, Rangga?" kata si Gembel Bungkuk.

"Untuk apa...?" tanya Pandan Wangi.

"Dia harus bisa membawamu pada Ratu Pelangi Maut di Gunung Tambur untuk ditukar dengan Raden Pangrona. Itulah satu-satunya syarat agar dia bisa menyunting Ayu Dewi Winarti putri Gusti Adipati Bayangkala." si Gembel Bungkuk menjelaskan dengan gamblang.

"Edan...!" desis Pandan Wangi geram.

"Memang begitulah tingkah si Tangan Api. Dia merebut Kadipaten Kuring ini hanya untuk mempersunting Ayu Dewi Winarti. Padahal, kalau dilihat dari usianya, dia lebih pantas menjadi ayahnya. Dia sudah terlalu tua untuk Ayu Dewi Winarti. Tapi dia tetap saja menginginkan gadis itu untuk dijadikan istrinya."

"Tidak tahu malu!" dengus Pandan Wangi.

Rangga sendiri diam saja. Dia mencerna semua kata-kata yang diucapkan si Gembel Bungkuk. Sungguh tidak disangka bahwa kedatangannya ke Kadipaten Kuring ternyata memang diharapkan sekali. Tapi, yang tidak bisa dimengertinya, si Tangan Api menginginkan dirinya untuk dijadikan barang pertukaran. Hal itu sangat menyinggung dan merendahkan martabatnya. Meski begitu, Rangga harus bisa menahan diri dulu. Dia tidak ingin termakan kata-kata dari satu orang saja. Dia harus menyelidiki terlebih dahulu, apa yang terjadi sebenarnya.

"Aku jadi ingin tahu, seperti apa si Tangan Api itu," desis Pandan Wangi geregetan.

"Dia bukan orang sembarangan, Pandan. Ilmu olah kanuragan dan kesakitannya tinggi sekali. Rasanya sukar dicari tandingannya, kecuali..." si Gembel Bungkuk tidak meneruskan ucapannya. Dia melirik pada Rangga, yang tetap saja berdiam diri.

"Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa hanya Kakang Rangga yang bisa menandinginya, Ki?" tanya Pandan Wangi langsung bisa menebak isi hati laki-laki tua bungkuk itu.

"Sekarang ini, tidak ada satu orang pun yang bisa menandingi ilmu kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti. Aku yakin, Rangga pasti bisa menandingi si Tangan Api itu," sahut si Gembel Bungkuk mantap.

Pandan Wangi melirik sedikit pada Rangga. Sedangkan Rangga masih diam membisu. Entah apa yang ada di dalam benak Pendekar Rajawali Sakti saat ini. Tak ada seorang pun yang bisa menduganya. Bahkan Pandan Wangi pun, yang kerap kali mendampinginya, tidak mampu menebak jalan pikiran dan isi hari pemuda tampan itu.

Rangga bangkit berdiri tanpa bicara sedikit pun. Dia melangkah keluar dari pondok kecil di tengah-tengah ladang perkebunan ini. Dia terus melangkah tanpa menoleh lagi. Sedangkan Pandan Wangi, si Gembel Bungkuk, dan Wadira masih tetap berada di dalam pondok kecil itu. Dan, Rangga terus melangkah menjauhi pondok. Dia baru berhenti setelah sampai di tepi sungai yang mengalir jernih. Ternyata si Pendekar Rajawali Sakti menghampiri kudanya yang tengah melepas dahaga di tepian sungai itu.

"Kita menghadapi persoalan yang tidak ringan sekarang ini Dewa Bayu. Aku benar-benar sulit untuk menentukan keputusan. Aku tidak tahu, mana yang harus aku ambil," kata Rangga kepada kudanya.

Kuda hitam Dewa Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil mendengus beberapa kali. Seakan dia bisa mengerti semua yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan, Rangga mengelus-elus leher kuda hitam itu dengan penuh kasih sayang.

"Kau tahu, apa yang harus aku lakukan sekarang, Dewa Bayu...?"

Dewa bayu menghentak-hentakkan satu kaki depannya ke tanah. Diangkatnya pula kepalanya tinggi-tinggi ke atas. Lalu dia meringkik keras memekakkan telinga.

"Hup...!"

Tanpa membuang waktu lagi, Rangga langsung melompat naik ke punggung kudanya. Sekali lagi kuda hitam itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Ringkikan kuda yang sangat keras itu membuat orang-orang yang ada di dalam pondok bergegas ke luar. Mereka terkejut sekali melihat Rangga sudah memacu kudanya dengan cepat, bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya.

"Kakang...! Mau kemana kau...?" teriak Pandan Wangi sekuat-kuatnya.

Tapi, Rangga sudah begitu jauh. Kemudian dia menghilang ditelan lebatnya pepohonan. Pandan Wangi, si Gembel Bungkuk, dan Wadira hanya bisa memandangi kepulan debu yang ditinggalkan Dewa Bayu.

"Mau ke mana dia�?" tanya si Gembel Bungkuk, seperti kepada dirinya sendiri.

********************

Rangga terus mengikuti lari kudanya. Sama sekali dia tidak mengendalikan kuda itu, walaupun tali kekang kuda hitam yang terbuat dari perak itu berada erat di dalam genggaman tangannya. Dewa Bayu terus berlari kencang seperti terbang di atas tanah. Debu berkepul tebal, membumbung tinggi ke angkasa.

"Hieeekh. ..!"

Sambil meringkik keras, tiba-tiba saja kuda hitam itu berhenti berlari. Dia mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Rangga langsung melompat turun begitu kaki depan kudanya kemball menjejak tanah. Ringan sekali gerakan Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan, tanpa menimbulkan suara sedikit pun, dia mendarat dengan manis sekali di tanah berumput yang basah oleh embun.

Beberapa saat Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling, merayapi sekitarnya yang tampak begitu sunyi. Hanya pepohonan dan bebatuan yang tertihat. Kabut sangat tebal sehingga si Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa memandang lebih jauh lagi. Rangga tidak tahu, berada di mana dia sekarang ini. Tapi, begitu kabut sedikit tersibak, Pendekar Rajawali Sakti pun tertegun.

"Puri..." desisnya perlahan.

Dia sungguh tidak mengerti, di depannya sekarang ini berdiri sebuah bangunan puri yang seluruhnya terbuat dari batu berselaput lumut tebal. Namun, Rangga kemudian menyadari bahwa sekarang ini dia berada di atas Puncak Gunung Tambur. Sebuah tempat yang selama ini menjadi momok menakutkan bagi seluruh kaum pengemis dan gelandangan di Kadipaten Kuring. Beberapa saat lamanya Pendekar Rajawali Sakti itu mengamati bangunan yang tampak angker dan menyeramkan ini.

Keadaan sekeliling yang terselimut kabut tebal membuat suasana di sekitar puncak Gunung Tambur ini semakin terasa mengerikan. Tak terdengar suara sedikit pun. Bahkan angin sama sekali tidak terasakan. Tak ada satu binatang pun yang terlihat. Perlahan Rangga melangkah hendak mendekati bangunan puri itu. Tapi, baru saja dia berjalan tiga langkah, kuda hitam Dewa Bayu sudah mencegahnya.

"Hm..., ada apa. Dewa Bayu?" tanya Rangga.

Kuda hitam Dewa Bayu hanya mendengus kecil beberapa kali, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Seakan dia hendak mencegah niatnya sambil menggelengkan kepalanya. Seakan dia hendak mencegah si Pendekar Rajawali Sakti untuk mendekati bangunan puri itu. Rangga bisa mengerti maksud kuda tunggangannya ini. Dia tidak jadi melangkah mendekati puri itu. Dia hanya memandanginya dengan benak diliputi berbagai macam pertanyaan yang tidak mungkin bisa terjawab dengan cepat. Dia memang pernah mendengar tentang puri ini dari cerita si Gembel Bungkuk dan Wadira. Tapi, dia tidak tahu, ada apa di dalam puri angker itu.

"Kenapa kau mengajakku ke sini, Dewa Bayu?" tanya Rangga.

Tapi, kuda hitam itu hanya diam saja. Dia malah memandangi Rangga dengan sinar mata yang merah dan begitu dalam. Rangga tidak mengerti sama sekali arti pandangan kuda tunggangannya ini. Dia memegang tali kekang kudanya yang terbuat dari perak itu. Kemudian Rangga melompat naik ke punggung Dewa Bayu dengan gerakan yang manis dan ringan sekali.

"Ayo kita kembali," ajak Rangga, sambil menghentakkan tali kekang kudanya ini.

Tapi, kuda hitam itu tidak juga mau bergerak. Belum lagi Pendekar Rajawali Sakti hilang rasa keheranannya dengan sikap kuda tunggangannya ini, mendadak saja dari balik pepohonan bermunculan pemuda-pemuda yang mengenakan baju kumal penuh tambalan, seperti kaum pengemis dan gelandangan. Mereka bergerak perlahan mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Rangga benar-benar terkejut, karena sekelilingnya sekarang sudah terkepung oleh puluhan orang mengenakan baju kumal penuh tambalan. Dan, semuanya menggenggam tongkat kayu yang beraneka macam ukurannya.

"Mau apa mereka...?" Rangga bertanya-tanya sendiri di dalam hati.

Dan, pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti itu langsung terjawab ketika tiba-tiba salah seorang dari pengemis itu melompat cepat sambil berteriak keras menggelegar.

"Hiyaaat..!"
"Heh...?! Uts!"

Rangga terkejut setengah mati mendapat serangan yang sangat mendadak itu. Buru-buru dia membungkukkan tubuhnya. menghindari sabetan tongkat dari pengemis muda tadi. Tongkat kayu itu pun langsung lewat di atas tubuhnya yang membungkuk dii punggung kuda. Tapi, belum juga Rangga bisa menegakkan tubuhnya kembali, sudah datang lagi dua serangan sekaligus dari arah kanan dan kirinya.

"Hup!"

Pendekar Rajawali Sakti terpaksa melentingkan tubuhnya ke udara. Lalu, sambil mengerahkan Jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Dia meluruk turun dengan deras sekali. Kedua kakinya bergerak cepat menghantam dua orang pengemis itu sekaligus. Jeritan keras melengking tinggi seketika, disusul ambruknya dua orang pengemis berusia muda itu.

"Hap! Yeaaah...!"

Cepat-cepat Rangga merundukkan tubuhnya begitu sebatang tongkat berkelebat cepat mengarah ke kepalanya. Padahal, dia baru saja menjejakkan kakinya di tanah. Sementara itu, kuda hitam Dewa Bayu menyingkir perlahan, menjauhi pertarungan itu. Dia dengan tenang mengawasi Rangga yang terus diserang oleh puluhan pemuda berpakaian pengemis itu. Tampaknya Pendekar Rajawali Sakti akan mampu menghadapi keroyokan para pengemis ini.

"Hap!"

Cepat sekali Rangga menarik napasnya dalam-dalam dan menahannya di dalam perut. Dipindahkannya jalan pernapasannya melalui perut. Kemudian, langsung dia mengerahkan jurus-jurus dari 'Rangkaian Lima Jurus Rajawali' yang dikuasainya secara bertahap dari tingkatan pertama.

Tapi, begitu hampir pada Jurus 'Seribu Rajawali". Rangga langsung memindahkannya ke jurus yang pertama. Pendekar Rajawali Sakti itu belum menganggap perlu menggunakan jurus 'Seribu Rajawali'. Dan, ketika dia mengeluarkan jurus 'Cakar Rajawali', beberapa orang pengemis yang mengeroyoknya langsung bertumbangan dengan hanya beberapa gebrakan saja. Cepat Rangga mengubah jurusnya kembali. Dikeluarkannya jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Gerakan-gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti itu luar biasa cepatnya. Para pengeroyoknya menjadi kesulitan untuk mendesak. Tubuh-tubuh yang bergelimpangan sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Rangga terus berkelebatan cepat sambil melontarkan pukulan beruntun yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, disertai sesekali tendangan menggeledek dari jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Lawan-lawannya pun semakin tidak berdaya menghadapinya.

"Hup! Hiyaaa...!"

Dan, begitu Rangga meiliki kesempatan. cepat-cepat dia melompat, langsung hinggap di punggung kudanya. Tanpa membuang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu langsung menggebah kudanya dengan cepat. Kuda hitam itu meringkik keras. Seketika itu juga dia melesat cepat bagai angin.

"Hiya! Hiyaaa...!"

TUJUH

Belum jauh melarikan kudanya, mendadak sebuah bayangan merah muda berkelebat cepat bagai kilat di atas kepalanya. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti itu merundukkan kepalanya, sambil menarik tali kekang kudanya hingga berhenti mendadak. Kuda hitam itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, membuat Pendekar Rajawali Sakti itu terpaksa melompat sebetum terlempar dari pungung kuda itu.

"Hap!"

Dengan gerakan yang manis sekali, Rangga berjumpalitan di udara. Dan, dengan manis sekali dia menjejakkan kakinya di tanah. Kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti itu menyipit, begitu dilihat di depannya kini sudah berdiri seorang wanita cantik mengenakan baju merah muda yang ketat dan tipis sekali.

"Lama sekali aku menunggu kedatanganmu, Rangga," kata wanita cantik berbaju merah muda yang sangat tipis itu dengan lembutnya.

"Hm..., kau yang bernama Ratu Pelangi..?" tanya Rangga datar.

"Tepat..! Aku Ratu Pelangi. Dan kau akan menjadi pendampingku, Rangga. Sudah lama aku menunggu kesempatan ini. Hanya kau satu-satunya yang pantas untuk menjadi pendampingku di Puri Tambur."

"Aku tidak kenal dengan dirimu. Bagaimana mungkin kau bisa menetapkan begitu, Ratu Pelangi?"

"Ha ha ha...! Kau memang belum mengenalku, Rangga. Aku tahu banyak dirimu sebelum kau lahir. "

"Hmmm..." Rangga hanya menggumam sedikit.

"Sekarang kau sudah datang, Rangga. Dan kau tidak bisa lagi pergi dariku," tegas Ratu Pelangi Maut.

"Begitukah...?"

"Ya! Kau harus tinggal bersamaku, selamanya."

"Hmm... Bagaimana lelaki yang kau simpan?" pancing Rangga.

"Heh...?! Laki-laki mana...?" Ratu Pelangi Maut tampak terkejut.

"Kau tidak perlu berpura-pura, Ratu Pelangi. Aku tahu kalau kau menyimpan beberapa laki-laki di sini. Dan aku rasa, kau tidak lagi memerlukan diriku."

"Huh! Dari mana kau tahu?" dengus Ratu Pelangi Maut.

"Itu tak penting bagimu, Ratu Pelangi. Kalau kau benar-benar menginginkan aku tinggal di sini, aku tidak ingin ada laki-laki lain kecuali diriku sendiri. Dan kau harus membebaskan mereka semua, tanpa kecuali."

"Siapa yang mengirimmu ke sini, Rangga?" tanya Ratu Pelangi Maut, dengan nada suara yang jelas sekali mengandung curiga

"Tidak ada. Aku datang sendiri ke sini bersama kudaku," sahut Rangga kalem.

"Kau jangan dusta, Rangga. Kedatanganmu atas permintaan Paturakan, bukan...? Katakan terus terang, kau datang karena dia atau bukan...?" desak Ratu Pelangi Maut tegas.

"Tidak! Aku tidak kenal dengan orang yang kau sebutkan itu. Aku datang sendiri bersama kudaku," sahut Rangga tidak kalah tegasnya.

"Lalu, dari mana kau tahu kalau aku menyimpan laki-laki di sini?"

Rangga tidak langsung bisa menjawab pertanyaan itu. Memang terlalu sulit baginya. Tidak mungkin mengatakan bahwa sebenarnya dia sudah tahu semuanya dari si Gembel Bungkuk dan Wadira, yang sekarang ini pasti sedang mencarinya bersama Pandan Wangi.

"Baiklah, Rangga. Kalau kau tidak mau menjawab. Aku akan melenyapkan mereka semua. Dan tinggal kau sendiri yang ada di sini bersamaku," kata Ratu Pelangi Maut tegas.

"Apa maksudmu, Ratu Pelangi..?" sentak Rangga terkejut.

"Mereka memang tidak ada gunanya. Aku hanya memakai mereka untuk memancingmu ke sini. Dan sekarang kau sudah ada di sini, itu berarti mereka tidak ada gunanya lagi bagiku. Mereka sudah sepantasnya dilenyapkan," kata Ratu Pelangi Maut dengan tenangnya.

"Kau tidak bisa berbuat seenaknya, Ratu Pelangi...! Biarkan mereka bebas," sentak Rangga.

"Ini wilayah kekuasaanku, Rangga. Aku bebas melakukan apa saja yang kusukai di sini. Jadi, jangan berlagak di depanku. Kalau aku bilang mereka harus lenyap, tidak ada yang bisa mencegahku Dan kau juga tidak...!" sentak Dewi Pelangi Maut lantang menggelegar.

"Aku tetap akan mencegahmu membunuh mereka, Ratu Pelangi," desis Rangga tegas menggetarkan.

"Hhh! Sudah kuduga sejak semula. Kau memang tidak mudah ditaklukkan, Rangga. Baik... kita adakan perjanjian."

"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan.

"Kalau kau berhasil mengalahkan aku, kau dan semua laki-laki yang ada di sini bisa bebas pergi. Tapi kalau kau kalah, kau harus tunduk padaku dan jangan sekali-sekali menentang. Bagaimana...?" Ratu Pelangi Maut mengajukan persyaratan.

"Baik, aku terima syaratmu," sambut Rangga tanpa berpikir panjang lagi.

Ratu Pelangi Maut tersenyum lebar mendengar sambutan Rangga yang begitu cepat dan tegas itu. Dia memang sudah menduga kalau Pendekar Rajawali Sakti itu akan menerima tawarannya. Ini memang yang diinginkannya sejak semula. Itu berarti dia bisa menjajal tingkat kepandaian yang dimiliki si Pendekar Rajawali Sakti.

"Nah...! Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti. Hiyaaat...!"

"Hup! Yeaaah...!"

Pertarungan pun tidak dapat dihindari lagi. Ratu Pelangi Maut langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan jurus-jurusnya yang sangat dahsyat dan berbahaya. Tapi, Rangga malah hanya mengeluarkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Dia memang belum tahu, sampai di mana tingkat kepandaian yang dimiliki wanita cantik penguasa Puncak Gunung Tambur ini.

Sebentar saja Ratu Pelangi Maut sudah menghabiskan lima jurus. Sedangkan Rangga baru mengeluarkan satu jurus. Namun, wanita cantik berbaju merah muda yang tipis itu belum juga bisa mendesak Pendekar Rajawali Sakti ini Jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang dimainkan Rangga memang terlalu sukar untuk ditembus. Rangga seakan akan selalu mengetahui ke arah mana serangan Ratu Pelangi Maut dilancarkan. Dan, dengan gerakan tubuh yang begitu manis, Pendekar Rajawali Sakti itu selalu saja berhasil menghindari setiap serangan.

"Hiyaaa...!"

Tiba-tiba saja Rangga mengubah jurusnya begitu Ratu Pelangi Maut sudah menghabiskan sepuluh jurus. Pemuda berbaju rompi putih itu kini mengeluarkan jurus 'Cakar Rajawali'. Semua jari tangannya terkembang kaku seperti cakar seekor burung Rajawali yang siap hendak merobek-robek tubuh mangsanya. Gerakan-gerakan kedua tangannya juga begitu cepat, yang dimbangi pula dengan gerakan-gerakan tubuh yang meliuk indah dan gerakan kaki yang begitu lincah dan ringan.

Baru beberapa gebrakan. Rangga sudah bisa membuat Ratu Pelangi Maut kelabakan setengah mati. Dan, ketika Rangga mengubah jurusnya dengan cepat, wanita cantik itu semakin bertambah kelabakan. Bahkan, kini Pendekar Rajawali Sakti itu cepat sekali mengubah jurus-jurusnya, membuat Ratu Pelangi Maut terdesak.

"Hiyaaa...!"

Tiba-tiba saja Ratu Pelangi Maut melentingkan tubuhnya ke udara dan melakukan beberapa kali putaran. Lalu wanita itu kembali menjejak tanah sejauh dua batang tombak dari Pendekar Rajawali Sakti.

"Phuih! Kau benar-benar hebat, Rangga," puji Ratu Pelangi Maut dengan tulus.

"Terima kasih," ucap Rangga sambil tersenyum.

"Tapi kau belum menang, Rangga. Dan aku juga belum kalah."

"Terserah apa katamu, Ratu Pelangi."

"Hep...!"

Ratu Pelangi Maut cepat merapat kedua tangannya di depan dada. Kemudian dia menarik napasnya dalam-dalam. Lalu direntangkan kedua kakinya lebar-lebar ke samping. Sorot matanya tajam sekali, menusuk langsung ke bola mata Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu masih tampak berdiri tenang, walaupun dia tahu bahwa Ratu Pelangi Maut sedang bersiap mengerahkan ilmu kesaktiannya.

"Hap! Yeaaah....!"

Cepat sekali Ratu Pelangi Maut menghentakkan tangannya ke depan. Dan, ketika itu juga, dari kedua telapak tangannya meluncur secercah cahaya yang berwarna-warni bagai pelangi. Begitu indahnya cahaya pelangi itu, hingga membuat Rangga tertegun sejenak. Namun, begitu ujung cahaya pelangi itu hampir menyentuh tubuhnya, cepat-cepat Rangga membanting diri ke tanah dan bergulingan beberapa kali.

Glarrr....!

Ledakan dahsyat terdengar begitu keras menggelegar. Ujung cahaya pelangi yang keluar dari telapak tangan wanita cantik itu menghantam sebuah pohon yang tadi berada di belakang Rangga. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat bangkit berdiri, setelah beberapa kali bergulingan di tanah.

Namun, sebelum dia berdiri tegak dengan sempurna, tiba-tiba cahaya pelangi yang memancar dari telapak tangan Ratu Pelangi Maut itu sudah meliuk cepat meluruk bagai anak panah ke arah dada pemuda itu.

"Hup! Hiyaaa...!"

Rangga cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke udara, menghindari terjangan cahaya pelangi itu. Tapi, dia kini terkejut setengah mati. Cahaya pelangi itu tampak seperti memiliki mata saja. Cahaya itu terus mengejar ke mana pun Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak menghindar. Hal ini membuat Rangga harus berjumpalitan di udara.

"Hap!"

Rangga cepat-cepat merapatkan kedua tangannya di depan dada begitu kakinya bisa menjejak tanah. Tapi, belum juga dia bisa mengeluarkan aji kesaktiannya, cahaya pelangi itu sudah kembali menyerang dengan kecepatan yang begitu tinggi. Dia berputar dua kali di udara.

"Huh! Akan kukecoh dia dengan Jurus 'Seribu Rajawali'," dengus Rangga dalam hati.

Tepat ketika Pendekar Rajawali Sakti itu berhasil lagi menjejakkan kakinya di tanah, dengan cepat dia kembali melesat ke samping. Lalu dia terus berpindah-pindah dengan kecepatan yang begitu tinggi. Bahkan kini Rangga bergerak cepat mengitari tubuh Ratu Pelangi Maut. Begitu cepatnya gerakan-gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga seolah-olah pemuda berbaju rompi putih itu menjadi banyak jumlahnya.

"Setan...! Ilmu apa yang dia pakai...?" dengus Ratu Pelangi Maut kebingungan.

Beberapa kali dia menghantamkan cahaya pelanginya. Tapi, setiap kali ujung cahaya itu tampak sudah mengenal tubuh Rangga, ternyata hanya bayangan Pendekar Rajawali Sakti itu yang terkena. Ratu Pelangi Maut sama sekali sudah tidak bisa menemukan tubuh Rangga yang sesungguhnya. Kini dia seperti dikelilingi oleh seribu Rangga yang mengeluarkan Jurus 'Seribu Rajawali'.

"Setan keparat..! Hiyaaat...!"

Ratu Pelangi Maut marah setengah mati. Sambil mengangkat dan memutar tubuhnya dengan cepat, dia merentangkan kedua tangannya ke samping. Sehingga, cahaya pelangi yang memancar dari kedua telapak tangannya itu bergulung-gulung menyambar setiap tubuh Rangga yang berada di sekelilingnya. Ledakan pun terdengar saling susul dengan dahsyatnya. Pepohonan dan batu-batuan yang ada di sekitar ajang pertarungan ini hancur berkeping-keping terkena hantaman sinar pelangi itu

"Hiyaaa...!"
"Heh...?!"

Ratu Pelangi Maut terkejut setengah mati ketika tiba-tiba saja dari atas kepalanya meluncur Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat itu dia juga melihat di sekelilingnya begitu banyak Pendekar Rajawali Sakti lainnya. Tapi, hanya sesaat dia terkejut. Dengan cepat sekali wanita cantik itu menjatuhkan tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan menghindari serangan Rangga yang datang dari atas kepalanya tadi.

"Hup! Hiyaaa...!"

Begitu melompat bangkit kembali Ratu Pelangi Maut langsung menghentakkan kedua tangannya ke depan. Saat itu juga Rangga-Rangga palsu menghilang. Dan, pada saat yang sama, Rangga yang kini kembali menjadi satu orang juga menghentakkan kedua tangannya ke depan.

"Aji Cakra Buana Sukma! Yeaaah...!"

Seleret cahaya biru berkilauan memancar seketika dari kedua telapak tangan Rangga begitu dia mengerahkan 'Aji Cakra Buana Sukma', salah satu ilmu kesaktiannya yang sangat dahsyat dan belum ada tandingannya sampai saat ini.

Tepat di tengah-tengah, dua cahaya yang saling berlawanan itu beradu, hingga menimbulkan ledakan yang menggelegar. Begitu dahsyatnya ledakan itu, sehingga tanah yang mereka pijak bergetar hebat bagai diguncang gempa.

"Akh....!" Ratu Pelangi Maut memekik agak tertahan.

Cahaya pelangi yang memancar dari kedua telapak tangannya menghilang seketika. Tapi, cahaya biru yang memancar dari telapak tangan Rangga terus meluruk deras bagai kilat. Tak ada waku lagi bagi Ratu Pelangi Maut untuk menghindar. Seketika itu juga seluruh tubuhnya langsung tergulung cahaya biru yang semakin banyak keluar dari telapak tangan si Pendekar Rajawali Sakti.

"Aaa...!" Ratu Pelangi Maut melengking tinggi. Tubuhnya menggeliat-geliat di dalam selubung cahaya biru dari 'Aji Cakra Buana Sukma'. Sedangkan Rangga mengayunkan kakinya sedikit demi sedikit mendekati wanita yang kini sudah hampir tidak berdaya itu.

Ratu Pelangi Maut terus menggeliat-geliat sambil berteriak-teriak, mencoba melepaskan diri dari selubung sinar biru itu. Tapi, semakin banyak dia mengerahkan tenaga, semakin banyak pula kekuatannya yang tersedot, tanpa dapat dikendalikan lagi. Akhirnya, gerakan-gerakan tubuh wanita itu semakin mengendor dan kemudian tidak bergerak sama sekali.

Begitu Rangga mencabut aji kesaktiannya, tubuh Ratu Pelangi langsung terjatuh menggeletak ke tanah dengan seluruh tubuh lemas tak bertenaga. Hanya gerak perlahan di dadanya yang menandakan kalau dia masih hkiup. Sedangkan sinar matanya sudah begitu redup, bagai tak ada lagi gairah hidup. Perlahan Rangga menghampiri wanita cantik yang kini sudah tidak lagi memiliki daya itu.

"Di mana mereka?" tanya Rangga langsung.

"Untuk apa kau tanyakan mereka, Rangga...?" sahut Ratu Pelangi Maut, lemah sekali.

"Kau sudah kalah, Ratu Pelangi. Kau harus memenuhi janjimu sendiri," kata Rangga tegas. "Katakan, di mana mereka...?"

"Di dalam puri," Jawab Ratu Pelangi lesu.

Rangga menggerakkan jari tangannya beberapa kali, memberikan totokan di dada wanita cantik itu. Perlahan kemudian Ratu Pelangi Maut bisa menggerakkan tubuhnya kembali. Lalu dia bangkit berdiri. Tapi, wanita itu kini benar-benar sudah tidak mempunyai daya lagi. Dia sudah tidak mungkin bisa melanjutkan pertarungannya. Tenaganya benar-benar terkuras habis. Bahkan mungkin kesaktiannya pun sudah lenyap.

"Kau bisa memulihkan kembali kekuatanmu, Ratu Pelangi. Tapi kau harus menunggu paling tidak satu tahun," kata Rangga memberi tahu.

"Ilmu apa yang gunakan tadi?" tanya Ratu Pelangi Maut.

"Aji Cakra Buana Sukma," sahut Rangga tanpa bermaksud menyombongkan diri.

"Selama ini belum ada yang bisa menandingiku. Baru kau seorang yang bisa melumpuhkanku, Rangga. Kenapa tidak kau bunuh saja aku..?"

"Tidak ada gunanya membunuhmu, Ratu Pelangi. Aku bukan pembunuh. Dan aku tak berhak mencabut nyawamu. Dewata sajalah yang berhak."

"Apa yang kau inginkan dariku, Rangga?"

"Bebaskan semua yang kau kurung," sahut Rangga tegas.

"Mereka ada di dalam puri."

"Kau bisa tunjukkan di mana tempatnya?"

Tidak ada pilihan lain bagi Ratu Pelangi Maut selain menunjukkan jalan masuk ke dalam puri. Rangga mengikuti wanita itu dari belakang. Ayunan kaki wanita cantik itu gontai sekali. Dia sama sekali tidak bergairah. Dia sudah menyadari bahwa tidak ada lagi kekuatan di dalam dirinya. Sekarang Ratu Pelangi Maut benar-benar menjadi wanita lemah tanpa daya.

Akhir dari pertarungan itu sungguh menyakitkan bagi Ratu Pelangi Maut. Tapi, dia tidak menyesali kekalahannya ini. Dia justru malah senang, karena dikalahkan oleh seorang pemuda yang berkepandaian lebih tinggi darinya, yang juga disukainya selama ini. Meskipun, tidak ada harapan lagi baginya untuk bisa mendapatkan Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Boleh aku tahu sesuatu darimu, Rangga?"

"Katakanlah."

"Apa yang akan kau lakukan setelah mereka semua bebas?"

"Mengembalikan mereka."

"Itu berarti kau harus berhadapan dengan Paturakan dan para pengikutnya"

"Semua sudah aku perhitungkan, Ratu Pelangi."

"Aku yakin, kau pasti bisa mengalahkan mereka, karena kau sudah bisa mengalahkan aku."

Rangga hanya tersenyum.

DELAPAN

Sementara itu, di dalam istana Kadipaten Kuring, Adipati Paturakan tampak gelisah sekali. Entah sudah berapa kali dia berjalan mondar-mandir di dalam ruangan balai agung yang luas ini. Sedangkan dua orang pengikut setianya hanya berdiri dengan mulut terkatup rapat memperhatikan si Tangan Api yang kelihatan gelisah itu.

"Kalian yakin kalau anak muda itu Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Adipati Paturakan

"Yakin sekali, Kakang Paturakan," sahut Tongkat Merah Samber Nyawa mantap.

"Lalu, kenapa kalian tidak bisa menangkap Pendekar Rajawali Sakti itu?"

"Kepandaiannya sangat tinggi, Kakang. Aku dan Rantai Baja sudah berusaha, tapi...."

"Kalian dapat dikalahkannya? Begitu...?" selak Adipati Paturakan.

Tongkat Merah Samber Nyawa langsung bungkam. Sedangkan Adipati Paturakan kini berdiri mematung di depan jendela. Dan, baru saja dia hendak memutar tubuhnya berbalik, tiba-tiba matanya menangkap sebuah bayangan putih berkelebat cepat melewati jendela itu.

"Heh...?!"

Bukan Adipati Paturakan saja yang terkejut. Dua orang pengikut setianya pun terperanjat setengah mati. Tiba-tiba saja di dalam ruangan ini sudah berdiri seorang pemuda tampan yang mengenakan baju rompi putih. Gagang pedang berbentuk kepala burung tersembul di punggung pemuda itu.

"Pendekar Rajawali Sakti...," desis Adipati Paturakan langsung mengenali pemuda tampan berbaju rompi putih yang muncul seperti setan itu.

"Kenapa terkejut, Tangan Api...? Bukankah kau menghendaki aku?" datar sekali nada suara Rangga.

"Dari mana kau tahu...?" tanya Adipati Paturakan tambah terkejut.

"Aku."

Terdengar sahutan berat dari pintu depan. Adipati Paturakan dan kedua orang pengikut setianya terbeliak saat berpaling bersamaan ke arah datangnya suara itu. Tampak di ambang pintu sudah berdiri seorang laki-laki tua bertubuh bungkuk, dengan wajah yang buruk dan berkulit hitam seperti arang. Pakaiannya sangat kumal dan penuh dengan tambalan.

"Ki Gembel Bungkuk...," desis Adipati Paturakan langsung mengenali.

Laki-laki tua bertubuh bungkuk yang ternyata memang si Gembel Bungkuk itu melangkah masuk ke dalam ruangan yang sangat luas dan indah ini. Kemudian menyusul pula Pandan Wangi dan Wadira. Keterkejutan si Tangan Api dan dua orang pengikut setianya semakin bertambah, ketika di belakang Pandan Wangi dan Wadira muncul pula Adipati Bayangkala, Raden Pangrona, Jaka Gembel, dan beberapa orang berpakaian kumal penuh tambalan yang semuanya sudah dikirim ke puncak Gunung Tambur. Semuanya langsung mengambil tempat di belakang Pendekar Rajawali Sakti. Hanya Ki Gembel Bungkuk dan Adipati Bayangkala yang berdiri sejajar dengan pemuda berbaju rompi putih itu.

"Sekeliling istana ini sudah terkepung. Tidak ada lagi prajurit yang mau setia padamu, Paturakan," kata Adipati Bayangkala agak lantang.

"Ba... bagaimana kalian bisa ke luar dari puri...?" tanya Paturakan, tergagap.

"Rangga menyediakan diri untuk ditukar dengan Raden Pangrona. Tapi sayang, Ratu Pelangi Maut junjunganmu itu tidak sanggup menandingi kesaktian Pendekar Rajawali Sakti ini. Dia menyerah dan membebaskan semua tawanannya," jelas Ki Gembel Bungkuk dengan singkat.

Seluruh tubuh Paturakan menggeletar sedikit mendengar Ratu Pelangi Maut sudah berhasil ditundukkan oleh Pendekar Rajawali Sakti. Dia langsung menyadari bahwa dia tak akan mungkin bisa mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti. Tingkat kepandaian yang dimilikinya saja masih berada di bawah tingkat kepandaian Ratu Pelangi Maut.

Dan, wanita penguasa puncak Gunung Tambur itu sudah ditundukkan oleh pemuda berbaju rompi putih yang berjuluk si Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, Paturakan yang dikenal dengan julukan si Tangan Api ini tidak mau menyerah begitu saja. Meskipun, dia menyadari bahwa keadaannya tidak lagi menguntungkan.

"Sebaiknya kau menyerah saja, Paturakan. Tidak ada gunanya lagi kau bertahan," kata Adipati Bayangkala tegas. "Kau lihat sekeliling istana ini sudah terkepung. Tidak ada lagi kesempatan untukmu meloloskan diri."

"Phuih! Kau tidak bisa menggertakku begitu saja. Bayangkala! Aku belum kalah...!" dengus Paturakan lantang.

Sret!

Si Tangan Api langsung saja mencabut pedangnya yang tersembunyi di balik jubah birunya yang panjang. Cahaya keperakan langsung membersit dari pedang yang sudah terhunus melintang di depan dada itu. Tongkat Merah Samber Nyawa dan Iblis Rantai Baja juga sudah siap dengan senjatanya masing-masing. Mereka benar-benar tidak ingin menyerah, meskipun sadar tidak mungkin bisa meloloskan diri lagi.

"Hiyaaat..!"

Tanpa berpikir panjang, Adi Paturakan langsung melompat cepat sambil mengebutkan pedangnya ke arah Rangga yang berdiri di tengah-tengah. Pada saat itu juga, Rangga menghentakkan kedua tangannya ke samping, mendorong Adipati Bayangkala dan Ki Gembel Bungkuk, sehingga mereka menyingkir. Langsung Pendekar Rajawali Sakti itu merundukkan kepalanya, menghindari tebasan pedang si Tangan Api

"Hih!"

Dan, tanpa diduga sama sekali, tangan kanan Rangga menghentak ke depan, memberikan sodokan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi, ke arah perut si Tangan Api. Begitu cepatnya sodokan tangan Pendekar Rajawali Sakti itu, sehingga si Tangan Api terbeliak kaget.

"Hah...!"

Cepat-cepat si Tangan Api memutar tubuhnya. berjumpalitan ke belakang dua kali. Dan, begitu kakinya kembali menjejak tanah, langsung pedangnya dikebutkan ke depan mengarah ke dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun, sedikit pun Rangga tidak berusaha menghindar. Dan, begitu ujung pedang bercahaya keperakan itu hampir menghunjam dadanya, dengan cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti itu mengatupkan kedua tangannya di depan dada.

Tap!
"Heh..?!"

Paturakan terkejut setengah mati. Ujung pedangnya dijepit oleh kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan, pada saat itu, Tongkat Merah Samber Nyawa melompat secepat kilat hendak membantu si Tangan Api. Namun....

"Hiyaaa...!"

Secepat itu pula Pandan Wangi melesat menghadang serangan si Tongkat Merah Samber Nyawa. Gadis itu langsung mengebutkan kipas baja putihnya yang terkenal maut itu. Si Tongkat Merah Samber Nyawa pun harus memutar tubuhnya, berjumpalitan menghindari tebasan kipas baja putih berujung runcing itu.

Sementara itu Rangga sudah menghentakkan kedua tangannya ke atas, sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya yang sudah mencapai pada tingkat kesempurnaan. Begitu kuatnya hentakan tangan pendekar Rajawali Sakti itu, sehingga Adipati Paturakan tidak mampu lagi bertahan. Dan...

"Hiyaaa...!"
Wuk!

Pedang bercahaya keperakan itu langsung melayang tinggi ke udara, terlepas dari genggaman si Tangan Api. Dan, pada saat yang bersamaan, Rangga menghentakkan kaki kanannya, memberikan satu tendangan keras menggeledek yang begitu cepat.

"Hiyaaa...!"
Des!

"Akh...!" Adipati Paturakan terpekik keras.

Tendangan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti itu tepat menghantam dada si Tangan Api. Tak pelak lagi, seketika itu juga Adipati Paturakan terpental ke belakang dengan keras sekali. Punggungnya langsung menghantam dinding begitu kerasnya. Dinding itu jadi bergetar bagai diguncang gempa.

"Hiyaaa...!"
Cring!

Belum lagi Rangga memburu si Tangan Api itu, tiba-tiba saja iblis Rantai Baja sudah melontarkan rantai baja hitamnya yang berbandul tiga buah bola besi baja berduri.

'"Uts!"

Buru-buru Rangga membungkukkan tubuhnya, sehingga tiga bola besi berduri di ujung rantai baja hitam itu lewat di atas kepalanya. Pada saat itu pula, dengan cepat sekali Rangga meliukkan tubuhnya dan langsung berdiri tegak kembali. Lalu, dengan kecepatan yang luar biasa, tangannya bergerak mengelebat. Dan...

Tap!
Cring!
Rrrt...!
"Heh...?"

Iblis Rantai Baja terkejut setengah mati begitu tangan Rangga tiba-tiba sudah merenggut bagian tengah rantai baja hitam itu. Dan, belum lagi hilang rasa terkejutnya, mendadak Rangga menghentakkan ujung rantai berbandul tiga bola besi itu ke arah pemiliknya sendiri.

"Oh...?! Hait..!"

Buru-buru Iblis Rantai Baja melentingkan tubuhnya, berputar-putaran ke belakang. Dan, pada saat yang bersamaan, Rangga menghentakkan tangannya yang menggenggam rantai baja itu ke belakang dengan cepat sekali. Tidak pelak lagi, tubuh iblis Rantai Baja tertarik ke depan tanpa keseimbangan dan dapat dikendalikan lagi. Pada saat itu juga, Rangga menghentakkan kaki kanannya ke depan menyambut tubuh Iblis Rantai Baja yang meluncur deras ke arahnya. Dan....

Diekh!

"Akh....!"

Iblis Rantai Baja langsung terpental balik ke belakang sambil memekik keras. Dadanya terkena tendangan kencang bertenaga dalam tinggi dari Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan rantai kebanggaannya kini sudah berpindah ke tangan pemuda berbaju rompi putih itu. Dan, pada saat yang bersamaan, beberapa orang pemuda berpakaian pengemis langsung meluruk deras menyerang si iblis Rantai Baja yang sudah tidak berdaya itu. Tendangan Rangga yang begitu keras pada dadanya tadi membuatnya tidak mampu lagi bergerak.

"Bunuh...!"
"Cincang...!"
Jleb!
Crasss!
"Aaaa...!"

Para pengemis muda yang memang menyimpan dendam itu tidak bertindak tanggung-tanggung. Mereka langsung menghujani tubuh si Iblis Rantai Baja dengan golok dan ujung tongkat yang runcing. Sehingga, laki-laki separuh baya berbaju hitam itu benar-benar tidak dapat lagi berbuat lebih banyak. Dia hanya bisa menjerit melengking tinggi, mengiringi kematiannya.

Melihat Iblis Rantai Baja tewas dicincang para pengemis, Tongkat Merah Samber Nyawa yang masih bertarung melawan Pandan Wangi bergetar juga hatinya. Dan, tanpa berpikir panjang lagi, dia berusaha melompat ke jendela untuk melarikan diri. Tapi, belum juga dia bisa melompati jendela balai agung yang cukup besar itu, tiba-tiba puluhan panah sudah datang menyerbu dengan cepat sekali. Sehingga, tidak ada lagi kesempatan baginya untuk menghindar. Dan, tak pelak lagi, tubuh si Tongkat Merah Samber Nyawa menjadi sasaran yang sangat empuk panah para prajurit itu.

Crab!
Zleb!
"Aaaa...!"

Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Tampak tubuh si Tongkat Merah Samber Nyawa ambruk menggelepar dengan puluhan anak panah menghunjam di tubuhnya. Darah seketika bercucuran ke luar, hanya sebentar dia mampu menggeliat. Tubuhnya kemudian terdiam kaku tak bernyawa lagi.

Sementara itu, Adipati Paturakan yang sudah bisa berdiri kembali terlongong bengong melihat dua orang pengikut setianya telah menjadi mayat dalam keadaan yang mengerikan sekali. Seluruh tubuh si Tongkat Samber Nyawa penuh dengan anak panah. Sedangkan tubuh Iblis Rantai Baja sudah tidak ketahuan lagi bentuknya. Tubuh itu dicincang-cincang oleh para pengemis muda yang merasa dendam karena berhari-hari terkurung di dalam puri wanita Iblis si Ratu Pelangi Maut

"Tidak ada gunanya lagi kau melawan, Paturakan. Sebaiknya kau menyerah saja." kata Adipati Bayangkala.

"Phuih!" Paturakan hanya mendengus sambil menyemburkan ludahnya.

Tatapan matanya begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata Rangga, dengan sinar yang memancarkan dendam. Dia begitu dendamnya kepada Pendekar Rajawali Sakti itu. Akibat campur tangan pendekar muda itu, apa yang selama ini diimpikannya menjadi berantakan. Bahkan dua orang pengikut setianya sudah menggeletak tak bernyawa lagi.

"Aku berjanji akan memperlakukanmu dengan adil, Paturakan." kata Adipati Bayangkala membujuk lagi.

"Jangan banyak omong, Bayangkala! Bunuh saja aku...!" sentak Paturakan garang.

Adipati Bayangkala hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Perlahan dia melangkah mendekati si Tangan Api. Tapi, baru saja dia melangkah beberapa tindak, tiba-tiba Paturakan mengeluarkan sebuah pisau dari balik jubah birunya. Dan, pisau itu diangkatnya tinggi-tinggi tertuju lurus ke dadanya sendiri.

"Jangan berbuat bodoh, Paturakan...!" sentak Adipati Bayangkala

"Ha ha ha...! Kau pikir aku mau menyerah begitu saja, Bayangkala? Aku lebih baik mati daripada..."

Sebelum Adipati Paturakan menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba Rangga melemparkan rantai baja hitam yang masih berada di tangannya dengan cepat sekali, disertai pengerahan tenaga dalam sepenuhnya.

Rrrt...!

"Akh...!" Adipati Paturakan terpekik keras. Rantai baja hitam itu langsung menghantam pergelangan tangan Adipati Paturakan, sehingga pisau yang digenggamnya terpental lepas. Dan, sebelum si Tangan Api menyadari apa yang baru saja terjadi, Rangga sudah melompat cepat bagai kilat. Dan, tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berada dekat sekali di depan si Tangan Api.

"Hih!"

Cepat sekali Rangga memberikan tiga kali totokan di dada Adipati Paturakan, sebelum si Tangan Api itu bisa berbuat lebih banyak lagi. Seketika itu juga tubuh Adipati Paturakan jatuh lemas tak bertenaga. Pusat jalan darahnya telah terkena totokan jari tangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Setan keparat...!" desis Paturakan dengan berang.

Namun, dia sudah tidak bisa lagi berbuat sesuatu. Jalan darahnya sudah tertotok dengan kuat sehingga dia tidak lagi mampu bergerak sedikit pun. Seluruh tubuhnya menjadi lumpuh. Hanya sorot matanya yang masih menatap tajam pada Rangga, memancarkan sinar dendam yang meluap-luap di dalam dada.

"Ringkus dia...!" seru Adipati Bayangkala cepat-cepat.

Dua orang prajurit yang berada di ambang pintu bergegas berlari dan langsung meringkus si Tangan Api. Mereka menyeretnya keluar, setelah mengikat tangan, kaki, dan seluruh tubuh laki-laki tua berjubah biru itu dengan rantai yang kuat. Adipati Bayangkala melangkah menghampiri Rangga yang sudah didampingi Pandan Wangi. Pada saat itu, dari ruangan lain, muncul Ayu Dewi Winarti. Gadis itu langsung berlari menghampiri ayahnya dan memeluknya dengan rasa kasih dan rindu yang mendalam.

"Ayo kita pergi Pandan," ajak Rangga berbisik.

Tapi, sebelum kedua pendekar muda itu bergerak meninggalkan balai agung Istana Kadipaten Kuring, Adipati Bayangkala sudah mengetahui dan langsung mencegahnya.

"Kalian tinggal dulu beberapa hari di sini. Dan kau juga, Ki Gembel Bungkuk. Kalian semua menjadi tamu agungku di istana ini," kata Adipati Bayangkala.

Tidak ada yang bisa menolak. Mereka hanya bisa mengangkat bahu. Rangga dan Pandan Wangi pun tidak mungkin lagi bisa menolak permintaan tulus dari Adipati Bayangkala ini.


SELESAI

Korban Ratu Pelangi

Pendekar Rajawali Sakti

KORBAN RATU PELANGI


SATU
Cras! Glarrr....!

Ledakan keras menggelegar, menggetarkan seluruh mayapada. Ledakan itu terjadi mengikuti kilatan cahaya terang di langit yang menghitam, tertutup gumpalan awan tebal. Beberapa kali kilat menyambar membelah angkasa, disertai ledakan guntur yang menggelegar. Suaranya benar-benar memekakkan telinga. Angin pun bertiup kencang, menebarkan udara dingin yang menusuk sampai ke tulang.

Alam yang seakan sedang murka ini sama sekali tidak mengendurkan langkah seorang pemuda. Dia berjalan tertatih-tatih menentang hembusan angin kencang. Kakinya yang telanjang terus terayun perlahan-lahan meniti jalan kecil yang penuh dengan kerikil tajam. Sama sekali tidak dipedulikan rasa nyeri pada kulit kakinya yang pecah, tergores kerikil-kerikil sepanjang jalan setapak ini. Dan sedikit pun tidak dipedulikannya ledakan guntur yang menggelegar atau kilatan cahaya petir yang menyambar membelah angkasa. Dia terus berjalan perlahan-lahan dengan kepala tertunduk, menekuri ayunan kakinya yang telanjang.

Cras!
Glarrr...!

Kembali kilat menyambar, disertai ledakan guntur yang sangat keras menggelegar. Kepala pemuda itu mendongak sedikit ke atas, seakan-akan hendak menentang guntur yang meledak mengejutkan itu. Tampak jelas wajahnya yang cukup tampan. Dan, guratan-guratan jalan kehidupan yang keras tersirat pada sorot matanya yang tajam. Hanya sesaat langkah kakinya dihentikan, kemudian kembali ber-jalan perlahan-lahan. Sorot matanya tampak makin terlihat tajam, tertuju lurus ke depan.

"Hm..."

Pemuda itu menggumam perlahan begitu sorot matanya menangkap bayang-bayang sebuah bangunan tua. Tampaknya sebuah puri. Masih terlalu sukar baginya untuk bisa melihat dengan jelas. Jaraknya masih cukup jauh, sedangkan sekitar bangunan itu diselimuti kabut yang cukup tebal. Bangunan itu hanya terlihat samar-samar.

Kembali pemuda itu berhenti melangkah setelah berada sekitar dua batang tombak lagi dari bangunan berbentuk puri itu. Seluruh dindingnya terbuat dari tumpukan batu persegi, dihiasi oleh berbagai macam ukiran kasar. Seluruh dinding batu itu hampir tertutup oleh lumut cukup tebal. Sepi sekali sekelilingnya. Sepertinya tak terlihat adanya tanda-tanda ke-hidupan. Perlahan pemuda yang mengenakan baju kumal penuh tambalan itu melangkah mendekatinya.

Sorot matanya masih tetap tajam, tertuju langsung ke arah bangunan puri yang semakin dekat di depannya. Saat tinggal beberapa langkah lagi jaraknya dari puri itu, dia kembali berhenti. Tak terlihat ada satu pintu pun di puri ini. Bahkan tidak ada satu pun jendela terlihat. Bangunan ini seperti hanya berupa tumpukan batu-batu, seperti bukit. Sebentar pemuda berbaju kumal penuh tambalan itu merayapi bangunan puri ini dari bawah sampai ke ujung atas, kemudian pandangannya beredar berkeliling.

"Oh...."

Pemuda itu terlongong ketika tiba-tiba dari atas puncak puri itu membersit cahaya benderang yang menyilaukan mata. Alam sekitarnya yang gelap gulita menjadi terang bagai tersiram cahaya mentari yang bersorot terik.

Dari lingkaran cahaya itu, tampak meluncur pelangi yang begitu indah, dengan warnanya yang beraneka ragam. Ujung pelangi jatuh tepat di ujung kaki pemuda berbaju kumal seperti gembel ini, seakan-akan menyambutnya agar naik ke atas puri melalui pelangi itu. Sedangkan si pemuda masih juga terpesona, memandangi lingkaran cahaya terang berkilau menyilaukan mata di atas puri.

"Oh...."

Pemuda itu kembali mendesah panjang ketika tiba-tiba dari lingkaran cahaya terang itu terlihat satu bentuk bayangan tubuh yang sangat ramping dan indah. Perlahan-lahan bayangan tubuh itu bergerak mengikuti alur pelangi yang melengkung turun ke bawah. Dan, bayangan ramping itu semakin lama se-makin terlihat jelas, membuat kedua bola mata pemuda itu tidak berkedip memandangnya.

"Oh! Apakah aku bermimpi...?" desah pemuda itu tidak percaya dengan pandangannya sendiri.

Memang sukar dipercaya. Seorang wanita yang sangat cantik rupawan kini sudah berada dekat sekali. Baju yang dikenakannya begitu indah, terbuat dari bahan sangat tipis. Sehingga, lekuk-lekuk tubuhnya begitu jelas terlihat. Akibatnya mata pemuda itu semakin lebar tak berkedip memandanginya. Seakan-akan dia sedang berhadapan dengan seorang dewi yang baru turun dari kayangan.

Bibir yang memerah indah bergerak lembut menyunggingkan senyuman yang sangat menawan, membuat jakun pemuda itu bergerak turun naik. Aroma harum langsung menyeruak merangsang hidung, saat wanita itu menggerakkan tangannya. Pemuda itu langsung gemetar begitu jari-jari tangan yang lentik dan halus rnenyentuhnya. Seketika itu juga kesadarannya langsung lenyap. Dia tidak tahu lagi, apa yang mesti dilakukannya.

"Apa yang kau inginkan sampai datang ke tempatku ini, Jaka Gembel?" Lembut sekali suara wanita itu.

"Aku... aku..." Pemuda yang dipanggil Jaka Gembel itu tergagap, tidak bisa menjawab pertanyaan wanita cantik bagai bidadari itu.

Keajaiban yang tertadi di depan matanya ini benar-benar membuatnya jadi tergagap setengah mati. Sukar untuk bisa menjawab pertanyaan yang dikeluarkan dengan nada yang sangat lembut itu. Beberapa kali Jaka Gembel harus menelan ludahnya, membasahi tenggorokannya yang mendadak terasa kering, bagai berada di sebuah padang pasir yang teramat panas dan gersang.

Wanita itu hanya tersenyum. Dia semakin dekat saja, membuat detak jantung Jaka Gembel semakin menggemuruh. Jaka Gembel tidak bisa lagi berbuat apa pun ketika jari-jari tangan yang halus dan lentik itu menggenggam tangannya dengan lembut. Kakinya terayun melangkah mengikuti wanita cantik itu menyusuri cahaya pelangi yang melengkung naik ke atas puri. Seluruh tubuhnya langsung terselimut cahaya terang benderang yang berkabut tebal. Tangannya terus digenggam erat wanita cantik yang berjalan di depannya.

Dan, ketika sampai di puncak puri, tiba-tiba saja tubuh mereka lenyap, bersamaan dengan lenyapnya cahaya terang dan pelangi itu. Alam sekitar puri kembali gelap gulita. Awan tebal menghitam masih bergulung-gulung. Sesekali terbersit cahaya kilat disertai ledakan guntur yang membelah angkasa. Sedangkan pemuda yang mengenakan baju kumal seperti Gembel itu sudah lenyap bersama wanita cantik bagai bidadari tadi.

********************

Waktu berjalan begitu cepat. Hari berganti hari. Bulan pun berganti bulan. Lenyapnya Jaka Gembel dari Kadipaten Kuring sama sekali tidak dipedulikan oleh seluruh penduduk. Bahkan mereka merasa lega, karena tidak terganggu lagi dengan kehadiran pemuda gembel itu. Roda kehidupan di desa ini berjalan seperti biasanya, meskipun bukan Jaka Gembel saja pengemis yang ada disana.

Memang para gelandangan tidak mendapat tempat di Kadipaten Kuring. Mereka bagaikan sekumpulan sampah yang mengotori Kadipaten itu. Sehingga, hilangnya satu orang gelandangan seperti Jaka Gembel tidak akan mendapat perhatian sama sekali.

Hari itu suasana di Kadipaten Kuring lain dari biasanya. Di setiap pelosok kadipaten itu terpasang umbul-umbul yang membuat suasana menjadi begitu semarak. Seluruh penduduk tumpah ruah di jalan-jalan yang dipenuhi oleh hiasan berwarna-warni. Tak tampak sedikit pun wajah duka. Yang ada hanyalah wajah-wajah cerah penuh keceriaan. Hari itu memang merupakan hari istimewa bagi seluruh penduduk Kadipaten Kuring.

"Minggir...! Minggir...!"

Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras. Orangorang yang memadati jalan berserabutan menyingkir, bersamaan dengan melintasnya beberapa ekor kuda yang ditunggangi orang-orang berpakaian seragam prajurit. Di belakang para prajurit berkuda itu terlihat sebuah kereta yang ditarik delapan ekor kuda putih. Dan dua puluh gadis-gadis cantik mengiringi kereta kuda yang sangat indah itu. Di belakangnya lagi, tampak satu pasukan prajurit berjalan kaki. Kemudian disusul oleh tiga puluh orang prajurit berkuda.

Semua orang kini berdiri berjajar dengan pandangan mata tertuju pada kereta kuda indah yang dikawal puluhan prajurit dan diiringi gadis dayang yang cantik-cantik dan masih berusia muda itu. Di dalam kereta tampak duduk seorang wanita berwajah cantik bagai bidadari, mengenakan baju dari bahan sutera halus yang sangat indah gemerlapan. Namun, wajahnya begitu mendung. Tak ada senyum sedikit pun tersungging di bibirnya yang merah merekah.

Iring-iringan itu terus bergerak menuju sebuah bangunan besar dan megah, yang dikelilingi pagar tembok tinggi dan tebal. Inilah bangunan istana kadipatenan yang sangat megah, dengan dihiasi aneka ragam hiasan dan umbul-umbul. Puluhan prajurit bersenjata lengkap terlihat berjaga-jaga di sekeliling istana itu. Pintu gerbang langsung dibuka begitu iring-iringan hampir memasukinya. Suara gamelan terdengar bertalu-talu, membuat suasana di Kadipaten Kuring semakin bertambah semarak. Bukan hanya di luar benteng istana, tapi di dalam benteng istana ini pun penuh dengan orang yang ingin melihat putri cantik itu.

Iring-iringan baru berhenti setelah sampai di depan tangga bangunan istana yang sangat megah dan indah ini, yang tidak kalah megahnya dengan istana kerajaan. Paturakan memang sebuah kadipaten yang besar dan kaya. Tampak seorang laki-laki separuh baya berdiri tegak di ujung atas tangga istana, dikawal tiga puluh prajurit dan gadis-gadis dayang yang cantik. Pakaiannya yang indah gemerlap menonjol di antara begitu banyak orang memadati halaman depan istana kadipatenan. Laki-laki itu adalah Adipati Paturakan.

Sementara itu dari dalam kereta kencana muncul gadis berpakaian indah tadi dengan wajah yang cantik bagai rembulan bersinar penuh.

"Selamat datang di Kadipaten Kuring, Dinda Ayu Dewi Winarti....'' sambut Adipati Arya Paturakan, dengan sikap yang ramah sekali.

Gadis cantik yang baru turun dari kereta kencana itu tersenyum. Dengan ayunan kaki yang anggun sekali, dia melangkah meniti anak-anak tangga istana, diiringi oleh dayangnya. Walaupun wajahnya tampak begitu cantik, kabut mendung yang menyelimutinya sangat jelas terlihat. Tapi, mendung itu tetap tidak membuat kecantikannya memudar sedikit pun.

"Mari, silakan masuk. Kami semua sudah lama menunggu kedatanganmu, Dinda Ayu Dewi...," sambut Adipati Arya Paturakan lagi.

"Terima kasih," balas Ayu Dewi Winarti, tanpa basa-basi.

Suaranya terdengar lembut dan perlahan sekali, bahkan hampir tidak terdengar di telinga. Dengan ayunan langkah yang lembut, dia terus berialan masuk ke dalam istana kadipatenan, diiringi Adipati Arya Paturakan. Semua dayang terus mengiringinya.

Di dalam sebuah ruang yang sangat luas, yang ditata dengan indah, sudah berkumpul para pembesar kadipaten serta tamu undangan yang terdiri dari para saudagar dan pembesar-pembesar kadi-paten lain. Dengan sikap yang agak angkuh, Adipati Patarukan melangkah tegap di samping Ayu Dewi Winarti. Mereka berjalan diiringi puluhan pasangan mata yang memandanginya sampai di kursi singga-sana yang sangat megah. Kemudian keduanya duduk berdampingan sementara itu. suara gamelan masih terdengar mengalun lembut, membuat suasana di bangsal agung itu terasa begitu khidmat.

"Kau lihat, Dinda. Mereka semua begitu kagum dan memuji kecantikanmu. Rasanya aku benar-benar mendapat kehormatan bisa berdampingan denganmu," kata Adipati Paturakan.

"Hm..."

Ayu Dewi Winarti hanya tersenyum tipis. Sama sekali dia tidak merasa senang, meskipun semua mata mengagumi kecantikannya. Bahkan raut wajahnya makin terlihat bertambah mendung. Sebentar dia melirik pada laki-laki separuh baya yang duduk di sampingnya. Kemudian dia bangkit berdiri, melangkah meninggalkan ruangan itu, tanpa bicara sedikit pun.

Sikap Ayu Dewi Winarti yang kelihatan aneh membuat Adipati Arya Paturakan terheran-heran. Tapi dia menutupi keheranannya, karena tidak ingin tamu-tamu undangannya terpengaruh oleh sikap Ayu Dewi Winarti itu, yang tampaknya tidak menyenangi suasana penyambutan yang meriah ini. Cepat-cepat Adipati Paturakan bangkit berdiri.

"Maaf. Kalian terus saja berpesta," kata Adipati Arya Paturakan.

Bergegas dia melangkah menyusul Ayu Dewi Winarti yang sudah menghilang dari ruangan bangsal agung ini. Bisik-bisik pun mulai terdengar begitu Adipati Arya Paturakan tidak terlihat lagi di dalam ruangan.

"Sikapmu sudah keterlaluan, Ayu Dewi. Kau sudah mencoreng mukaku di depan sahabat-sahabatku!" Adipati Arya Paturakan, dengan suara agak mendesis.

"Seharusnya kau malu pada dirimu sendiri, Gusti Adipati," ujar Ayu Dewi Winarti, sinis.

Gadis itu tetap berdiri tegak menghadap ke jendela, membelakangi laki-laki separuh baya penguasa Kadipaten Kuring ini. Tak ada seorang pun selain mereka berdua di dalam kamar yang berukuran cukup luas ini. Sementara itu suara gamelan masih terdengar mengalun lembut, mengiringi pesta yang berlangsung di balai agung istana kadipaten ini. Bahkan pesta itu juga berlangsung di seluruh pelosok kota kadipaten, semuanya turut menyambut ke-datangan Ayu Dewi Winarti

"Malu...? Apa yang kau bicarakan, Ayu...?" agak keras suara Adipati Paturakan.

"Seharusnya kau sudah bisa mengetahuinya, Gusti Adipati."

"Huh! Kau semakin membuatku kesal saja, Ayu," dengus Adipati Paturakan. "Katakan, apa sebenarnya yang kau inginkan...?"

Ayu Dewi Winarti tidak langsung menjawab. Dia memutar tubuhnya. Bibirnya yang selalu tampak merah menyunggingkan senyuman tipis yang sinis sekali. Sinar matanya sangat tajam, menusuk langsung ke bola mata laki-laki separuh baya yang berdiri tidak seberapa jauh di depannya itu.

"Aku sudah memenuhi janjiku untuk datang ke sini, Gusti Adipati. Tapi kau belum juga memenuhi janjimu. Seharusnya bukan kemeriahan ini yang kau berikan untuk menyambutku. Aku menginginkan sambutan dari kakakku. Kau sudah berjanji membawa kakakku sesampainya aku di sini." ujar Ayu Dewi Winarti dengan nada suara yang tegas sekali.

"Kau terlalu mengada-ada, Ayu...." desis Adipati Paturakan.

"Mengada-ada...? Justru kau yang mengada-ada, Gusti Adipati. Aku rela menjadi istrimu, asal kau bisa menemukan kakakku kembali," tegas Ayu Dewi Winarti lagi.

"Mustahil! Mana mungkin aku bisa menemukan orang yang sudah tahunan menghilang...?"

"Tapi kau sudah berjanji, Gusti. Kau sudah berjanji untuk menemukan kakakku. Hanya itulah permintaanku, sebelum dipersunting. Kau harus ingat dengan janjimu sendiri, Gusti Adipati.''

"Edan...!" dengus Adipati Paturakan sengit.

Wajahnya memberengut kesal. Sedangkan Ayu Dewi Winarti hanya tersenyum kecil memandang laki-laki separuh baya yang pantas menjadi ayahnya itu. Diiringi pandangan mata bernada sinis dari gadis cantik itu, Adipati Paturakan melangkah ke luar tanpa berkata apa-apa lagi. Dengan perasaan yang sangat kesal, dibantingnya pintu kamar hingga tertutup rapat. Ayu Dewi Winarti tetap saja tersenyum tipis sambil duduk di tepi pembaringan yang beralaskan kain sutera halus berwarna merah muda.

"Ayu..."
"Oh...!"

Ayu Dewi Winarti tersentak kaget. Suara yang halus dan lembut sekali memanggil namanya. Cepat dia bangkit berdiri dan memutar tubuhnya memandang ke arah jendela. Tapi, tak terlihat seorang pun di sana. Perlahan kakinya melangkah mendekati jendela yang sejak tadi terbuka lebar. tapi tetap saja tidak melihat ada seorang pun di luar jendela ini.

"Ayu...."

Kembali terdengar bisikan yang halus sekali. Gadis itu cepat-cepat memutar tubuhnya. Dan, dia jadi terbeliak. Ternyata tiba-tiba saja di dalam kamar ini sudah ada seseorang yang berdiri membelakanginya. Hampir dia terpekik kalau saja orang itu tidak segera memutar tubuhnya berbalik menghadapnya. Ayu Dewi Winarti cepat-cepat menutup mulutnya, agar pekikannya tidak terdengar ke luar.

Sosok tubuh itu begitu mengerikan, bungkuk, dengan tonjolan dipunggungnya. Sedangkan wajahnya yang hampir penuh tertutup rambut kelihatan kotor dan buruk sekali. Kulitnya hitam legam seperti arang kayu. Sebagian bibir atasnya tampak mengelupas, sehingga memperlihatkan baris-baris gigi yang hitam dan tidak beraturan letaknya.

Dia mengenakan baju kumal yang sangat kotor dan penuh tambalan. Sebatang tongkat kayu ber-warna hitam tergenggam di tangan kanannya, menyangga tubuhnya yang bungkuk. Beberapa saat Ayu Dewi Winarti merayapi sosok tubuh yang bentuknya sangat mengerikan itu. Tapi, dia langsung menyadari bahwa laki-laki buruk rupa dan bungkuk itu memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Terbukti dari kemunculannya yang sama sekali tidak diketahui.

"Siapa kau...?" tanya Ayu Dewi Winarti, dengan suara bergetar.

"Orang-orang selalu memanggilku si Gembel Bungkuk," sahut laki-laki tua itu.

Suaranya terdengar sangat kering dan serak. Begitu datar. Tak ada sedikit pun tekanan pada nada suaranya. Ayu Dewi Winarti harus menelan ludahnya untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak terasa kering, begitu mendengar nada suara laki-laki tua bertubuh aneh ini.

"Mau apa kau berada di sini?" tanya Ayu Dewi Winarti lagi, setelah kekuatan yang ada pada dirlnya kembali terkumpul.

"Aku tahu kesulitan yang sedang kau hadapi, Ayu. Apa yang kau hadapi tidak jauh berbeda dengan yang sedang aku hadapi sekarang ini. Kita sama-sama sedang menghadapi seorang manusia berhati iblis, manusia serakah yang hatinya sudah terbalut oleh nafsu-nafsu iblis dan keangkaramurkaan," kata si Gembel Bungkuk itu.

Kali ini terdengar ada sedikit tekanan dari nada suaranya. Sepertinya dia menyimpan sesuatu di dalam hatinya. Sesuatu yang sangat menekan dan mengganjal relung hatinya yang paling dalam. Ayu Dewi Winarti bisa merasakan kegundahan hati laki-laki buruk rupa bertubuh bungkuk ini.

"Aku..., aku tidak tahu apa maksudmu, Ki..,"ujar Ayu Winarti masih dengan suara yang agak tergagap.

Si Gembel Bungkuk hanya tersenyum. Tapi, bagi Ayu Dewi Winarti, senyuman itu seperti sebuah seringai yang sangat mengerikan, yang membuat bulu-bulu halus di tengkuknya meremang berdiri. Dan, untuk beberapa saat mereka terdiam, membuat suasana di dalam kamar yang berukuran cukup luas dan indah ini terasa sunyi sekali.

********************

DUA

Laki-laki tua buruk rupa bertubuh bungkuk itu melangkah perlahan dan agak terseret mendekati Ayu Dewi Winarti. Sedangkan gadis cantik itu hanya diam saja, berdiri tegak membelakangi jendela. Dirayapinya setiap gerak yang dilakukan si Gembel Bungkuk. Kini jarak mereka tinggal sekitar empat langkah. Begitu dekatnya, sehingga Ayu Dewi Winarti dapat melihat jelas rupa wajah laki-laki itu.

"Aku tahu, di mana kakak dan kedua orang tuamu, Ayu. Penyerahan dirimu pada Adipati Paturakan hanyalah perbuatan sia-sia. Kau tidak akan dapat bertemu lagi dengan kakak dan orang tuamu," kata si Gembel Bungkuk, dengan nada suara agak dalam.

"Kau..., kau tahu...?" Ayu Dewi Winarti hampir tidak percaya dengan pendengarannya.

"Ya, aku tahu. Bahkan aku juga tahu di mana anak angkatku berada. Tapi..." si Gembel Bungkuk tidak meneruskan kata-katanya.

"Anak angkatmu...?" Ayu Dewi Winarti mengerutkan keningnya.

Tatapan matanya semakin dalam menembus langsung ke bola mata laki-laki tua yang buruk dan bungkuk ini. Dia melihat ada kesenduan pada bola mata yang berselimut kabut itu. Meskipun bentuk tubuh dan wajahnya sangat buruk, terlihat ada kelembutan pada hati si Gembel Bungkuk ini. Bahkan kedukaan hatinya begitu nyata tersirat pada sorot matanya yang agak memerah.

"Aku memiliki banyak anak angkat. Beberapa hari ini, mereka menghilang tanpa ketahuan rimbanya. Hal seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya, ketika Kadipaten ini masih dipimpin oleh Gusti Adipati Bayangkala. Sekarang semuanya berubah, setelah Paturakan merebut kadipaten dan mengangkat dirinya menjadi adipati...," kata si Gembel Bungkuk bernada agak kesal.

Ayu Dewi Winarti diam saja. Dia kemudian duduk di kursi yang ada di samping jedela kamar. Sedangkan si Gembel Bungkuk masih tetap berdiri, bersandar di pinggiran jendela. Sesekali matanya menatap ke luar melalui jendela yang tetap dibiarkan terbuka lebar itu

"Kita harus menyingkirkan adipati iblis itu, Ayu."

"Tapi, bagaimana caranya...? Dia terlalu kuat. Kesaktiannya tidak tertandingi. Ayah dan kakakku saja dapat dikalahkannya. Dan entah di mana dan bagaimana nasib mereka sekarang," kata Ayu Dewi Winarti.

"Itulah persoalannya, Ayu. Aku sendiri tidak mungkin bisa menandingi kesaktiannya. Dia terlalu tangguh untuk dilawan. Sedangkan setiap hari anak-anak angkatku pasti ada yang hilang entah ke mana. Aku yakin, kalau semua pengemis di kadipaten ini sudah habis, pasti para penduduk yang menjadi sasarannya. Bahkan, bukan tidak mungkin, para pembesar kadipaten pun akan mendapat giliran."

"Lalu, aku harus bagaimana?" tanya Ayu Dewi Winarti kebingungan.

"Kau harus tetap pada pendirianmu sekarang ini, Ayu. Jaga jangan sampai dia bisa menyentuhmu. Tampaknya dia tidak akan menyentuhmu kalau kau tetap menolak dan tetap bertahan pada pengajuan syaratmu," tegas si Gembel Bungkuk.

"Sampai kapan?"

Si Gembel Bungkuk tidak bisa menjawab. Memang sulit menjawab pertanyaan gadis cantik ini. Karena dia juga tidak tahu, kapan Kadipaten Kuring bisa terbebas dari cengkeraman Adipati Paturakan. Sampai sekarang ini, sifat-sifat iblisnya belum lagi tampak. Masih banyak orang yang mengelu-elukannya. Inilah yang membingungkan si Gembel Bungkuk. Kehadiran Adipati Paturakan tampaknya disenangi oleh seluruh rakyat kadipaten ini.

Pada saat itu terdengar ketukan di pintu. Si Gembel Bungkuk dan Ayu Dewi Winarti langsung menoleh ke arah pintu. Sebentar kemudian mereka saling melempar pandang.

"Aku pergi dulu, Ayu. Ingat, jangan sampai seorang pun tahu aku ke sini. Aku pasti akan menjagamu," kata si Gembel Bungkuk berbisik.

Belum lagi Ayu Dewi Winarti sempat membuka suara, si Gembel Bungkuk sudah melesat cepat, ke luar dari dalam kamar. Ketukan pada pintu kembali terdengar beberapa kali. Bergegas Ayu Dewi Winarti menghampiri pintu dan membukanya sedikit, setelah yakin bahwa si Gembel Bungkuk sudah tidak ada lagi di dalam kamar ini. Tampak empat orang gadis dayang berdiri di depan pintu. Mereka memberi sembah dengan sikap yang hormat sekali.

"Ada apa?" tanya Ayu Dewi Winarti

"Kami diperintah untuk menemani Gusti Ayu di sini," sahut salah seorang gadis dayang.

Ayu Dewi Winarti tidak menjawab sedikit pun. Dia berbalik dan melangkah, membiarkan pintu tetap terbuka. Dayang-dayang itu bergegas masuk ke dalam kamar, kemudian menutup pintunya kembali. Ayu Dewi Winarti pun kemudian merebahkan tubuhnya di atas pembaringan. Dan, keempat gadis dayang itu duduk bersimpuh di lantai, tanpa berbicara sedikit pun.

Pesta yang berlangsung di ruangan balai agung Istana Kadipaten Kuring berakhir saat hari sudah menjelang tengah malam. Di dalam ruangan yang sangat besar dan indah itu, Adipati Paturakan masih tetap duduk di singgasananya, ditemani dua orang laki-laki berusia sebaya dengannya. Dari pakaian dan senjata yang tersandang, bisa dipastikan kalau mereka bukan orang-orang sembarangan. Paling tidak, mereka memiliki tingkat kedigdayaan yang tinggi.

Suasana di dalam ruangan balai agung tampak sunyi sepi. Tak terdengar suara sedikit pun. Hanya desiran angin yang terdengar merasuk dari celah-celah jendela yang sudah tertutup. Tampak beberapa orang berseragam prajurit berjaga-jaga di setiap pintu ruangan balai agung ini.

"Rasanya semua yang aku lakukan sia-sia saja...," desah Adipati Paturakan bernada mengeluh.

"Tidak ada yang sia-sia, Kakang Paturakan," ujar salah seorang, yang mengenakan baju hitam ketat. Wajah lelaki itu agak kasar, dengan kumis tebal menghiasi bibirnya yang juga tebal. Sinar matanya begitu tajam dan memerah. Dipinggangnya terlilit seutas rantai baja hitam, dengan tiga buah bola baja hitam pada bagian ujungnya. Oleh sebab itu julukannya adalah Iblis Rantai Baja.

Sedangkan yang seorang lagi mengenakan baju warna merah menyala. Di tangan kanannya tergenggam sebuah tongkat pendek, yang bagian tengahnya dilingkari cincin berwarna emas berbentuk seekor ular. Raut wajahnya masih ketihatan tampan dan gagah, meskipun sebagian rambutnya sudah memutih. Bibirnya yang merah seperti wanita tidak pernah terlepas dari senyuman. Namun, sorot matanya yang tajam tampak mencerminkan watak kebengisan. Yang satu ini dikenal sebagai si Tongkat Merah Samber Nyawa.

Kedua-duanya pengikut setia Adipati Paturakan. Mereka akan mengikuti ke mana pun Adipati Paturakan pergi. Bahkan, mereka sudah mendampinginya sebelum Paturakan yang lebih dikenal dengan julukan si Tangan Api itu menguasai Kadipaten Kuring. Dan, di kadipaten ini, sepak terjang mereka belum diketahui siapa pun. Sehingga, ketika mereka menggulingkan Adipati Bayangkala, lalu menguasai kadipaten ini, seluruh rakyat dan pembesar kadipaten menyambutnya dengan gembira. Adipati Bayangkala memang dikenal sebagai penguasa yang selalu memerintah dengan tangan besi. Ia lebih mementingkan diri sendiri daripada memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.

"Sampai saat ini aku belum bisa melunakkan hati Ayu Dewi Winarti. Dia tetap saja menuntut agar dipertemukan dengan kakaknya," kata Adipati Paturakan lagi, dengan suara yang masih terdengar pelahan.

"Jangan terlalu terpikat pada kecantikannya, Kakang. Ini bisa menyulitkan kita semua," kata Tongkat Merah Samber Nyawa mengingatkan.

"Dia memang cantik, Tongkat Merah. Rasanya tidak ada seorang gadis pun di mayapada ini yang bisa menandingi kecantikannya. Hhhh.... Sudah cukup lama aku merencanakan semua ini. Tapi setelah bisa tercapai, dia malah mengajukan syarat yang tidak mungkin bisa kupenuhi," ujar Adipati Paturakan, masih saja mengeluh.

"Katakan saja kalau kakaknya sudah mati, Kakang," usul Iblis Rantai Baja.

"Kalau aku katakan begitu, dia ingin melihat mayatnya. Bagaimana mungkin aku bisa menunjukkannya, Rantai Baja? Sedangkan kalian semua tahu sendiri...."

Iblis Rantai Baja dan Tongkat Merah Samber Nyawa terdiam saja. Memang tidak mudah memecahkan masalah yang sedang dihadapi si Tangan Api ini. Mereka semua tahu, syarat yang diajukan Ayu Dewi Winarti tidak mungkin bisa dipenuhi. Tidak mungkin mereka bisa membawa orang tua dan kakak gadis itu ke istana kadipaten ini.

"Apakah tidak ada cara lain untuk menaklukkannya, Kakang Paturakan?" tanya Iblis Rantai Baja.

"Sudah seribu cara kugunakan. Dia tetap saja kuat pada pendiriannya," sahut Adipati Paturakan.

"Lalu...?"

"Aku tidak tahu lagi, apa yang harus kulakukan."

"Kenapa kau tidak temui saja Ratu Pelangi Maut, Kakang?" usul Tongkat Merah Samber Nyawa.

"Edan...! Apa yang harus aku katakan padanya...?" sungut Adipati Paturakan.

"Katakan saja apa adanya, Aku yakin, dia pasti mau mengerti dan bisa membantumu. Seperti ketika kita merebut kadipaten ini, Kakang."

"Huh! Perempuan itu pasti meminta syarat lebih berat lagi," dengus Adipati Paturakan.

"Selama masih bisa kita penuhi, tidak ada salahnya meminta tolong dia lagi. Toh apa saja yang diperlukan, semuanya tersedia di sini. Dan harus diingat Kakang. Kau sekarang seorang adipati. Jadi bisa memerintahkan apa saja yang kau inginkan di sini." tegas Tongkat Merah Samber Nyawa lagi.

Adipati Paturakan jadi terdiam membisu. Keningnya berkerut dalam sekali. Pandangannya menerawang lurus ke depan. Perlahan dia bangkit dari kursi singgasananya. Kakinya terayun melangkah pelan-pelan mendekati sebuah jendela tidak jauh dari singgasana itu. Dibukanya jendela lebar-lebar, sehingga angin malam yang cukup dingin menerobos masuk menerpa kulit wajahnya.

Beberapa saat lamanya Adipati Paturakan berdiri mematung dan membisu di depan jendela. Sedang-kan dua orang pengikut setianya tetap duduk di kursinya. Mereka tidak berkedip memandangi laki-laki separuh baya yang masih kelihatan gagah itu. Sambil menghembuskan napas panjang, Adipati Paturakan memutar tubuhnya, membelakangi jendela yang dibiarkan tetap terbuka lebar. Dipandanginya wajah dua orang pengikut setianya secara bergantian. Dan dia masih tetap diam membisu untuk beberapa saat.

"Baiklah.... Aku akan pergi sendiri sekarang juga ke Gunung Tambur. Dan kalian tetap berada di sini, selama aku pergi," ujar Adipati Paturakan setetah cukup lama berdiam diri

"Kenapa tidak besok pagi saja, Kakang?" ujar Iblis Rantai Baja memberi saran.

Adipati Paturakan hanya menanggapi dengan senyuman tipis. Kemudian dia melangkah agak cepat ke luar dari ruangan balai agung itu. Iblis Rantai Baja dan Tongkat Merah Samber Nyawa bergegas mengikuti. Mereka tidak bisa lagi mencegah keinginan si Tangan Api untuk segera pergi menemui Ratu Pelangi Maut di puncak Gunung Tambur, malam ini juga.

********************

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Adipati Paturakan memacu kudanya dengan cepat, meninggalkan istana Kadipaten Kuring. Sementara, malam sudah larut sekali. Hanya beberapa orang saja yang masih terlihat berada diluar. Dan mereka tidak menyadari bahwa orang yang berkuda seperti dikejar setan itu adalah Adipati Paturakan.

Malam yang gelap dan menggigilkan ini sama sekali tidak dihiraukan laki-laki separuh baya yang dikenal dengan julukan si Tangan Api itu. Dia terus memacu kudanya dengan cepat, menuju ke perbatasan kota sebelah utara. Sedikit pun dia tidak mengendorkan lari kudanya saat melewati gerbang perbatasan yang dijaga oleh empat prajurit bersejata tombak. Keempat prajurit itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala ketika mengenali si penunggang kuda yang seperti kesetanan itu adalah Adipati Paturakan.

"Hiya! Hiya! Hiyaaaa...!"

Adipati Paturakan terus menggebah kudanya agar berlari lebih cepat lagi begitu berada di luar kota. Jalan yang dilalui semakin sepi saja. Bahkan tak ada lagi satu rumah pun yang tertihat. Di kanan kiri hanya pepohonan lebat yang menghitam pekat. Memang, malam ini bulan tidak muncul dengan penuh. Bahkan langit tampak agak kelam, terselimut awan yang juga menghitam cukup pekat. Bintang-bintang di angkasa pun tidak tampak memancarkan cahayanya yang gemerlap.

"Hieeeh...!"

Tiba-tiba saja kuda yang ditunggangi Adipati Paturakan meringkik keras, sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Kuda putih bertubuh tegap itu langsung berhenti berlari seketika, membuat Adipati Paturakan terkejut setengah mati. Cepat-cepat dia melentingkan tubuhnya ke udara, hingga tidak sempat terlontar dari punggung kuda itu. Dan, begitu dia menjejakkan kakinya di tanah, mendadak saja kedua bola matanya terbeliak lebar.

"Heh...?"

Bukan main terkejutnya dia, begitu melihat kuda tunggangannya menggelepar di tanah. Bergegas Adipati Paturakan menghampiri. Dan, dia semakin terkejut, begitu melihat pada leher kuda itu tertancap dengan dalamnya sebatang anak panah. Darah bercucuran dari leher kuda putih itu. Beberapa saat kuda itu masih menggelepar, kemudian diam tak bergerak lagi, tewas.

"Keparat..! Siapa berani main-main denganku, heh...!" bentak Adipati Paturakan dengan berangnya.

Tak terdengar sedikit pun suara yang menyahuti bentakan si Tangan Api itu. Keadaan di sekeliling masih begitu sunyi. Hanya desiran angin yang terdengar. Gema suara bentakannya pun hanya sekejap terpantul oleh pepohonan. Adipati Paturakan berdiri tegak sambil menajamkan mata dan melihat ke sekelilingnya. Namun, hanya kegelapan dan kepekatan malam yang tampak. Kembali dia menatap pada kudanya yang kini sudah tidak bernyawa lagi, dengan sebatang anak panah tertanam dalam-dalam pada lehernya.

Trek !

Tiba-tiba terdengar suara ranting patah seperti terinjak dari arah belakang. Cepat sekali Adipati Paturakan memutar tubuhnya, sambil mengebutkan kedua tangannya yang sudah lerbuka lebar jarijarinya.

"Hiyaaa...!"
Crasss!

Dari kedua tangan laki-laki separuh baya ini tiba-tiba saja keluar gumpalan bola api yang meluncur begitu cepat bagai kilat. Bola api itu langsung menghantam hingga hancur sebuah pohon yang sangat besar, disertai suara ledakan dahsyat menggelegar. Api langsung berkobar membakar pohon yang hancur berkeping-keping itu. Malam yang gelap menjadi terang oleh cahaya api yang berkobar cukup besar itu.

Adipati Paturakan tetap berdiri tegak, dengan sinar mata tajam menatap ke arah kobaran api itu. Tak ada seorang pun yang terlihat. Bahkan tak ada seekor binatang pun yang dilihatnya. Hanya suara gemeretak kayu termakan api saja yang bisa didengar.

"Setan Keparat...!" desis Adipati Paturakan menggeram marah, merasa dipermainkan.

"Hiyaaa...!"

Cepat sekali dia kembali menghentakkan tangannya yang sudah memerah bagai terbakar ke arah kanan, begitu telinganya mendengar suara yang sangat mencurigakan. Dari telapak tangan kanannya kembali meluncur segumpal bola api yang langsung menghantam pohon.

Glarrr...!

Kembali terdengar ledakan dahsyat menggelegar begitu bola api yang keluar dari telapak tangan si Tangan Api menghantam pohon hingga hancur dan terbakar. Pada saat itu, terlihat sebuah bayangan berkelebat cepat sekali. Dan...

"Hiyaaa...!"

Adipati Paturakan langsung melesat cepat bagai kilat, begitu matanya melihat bayangan berkelebat dari balik api yang membakar pohon. Beberapa kali dia melakukan putaran di udara. Dan, setelah melewati beberapa puncak pohon, dengan manis sekali dia menjejaki kakinya kembali di tanah.

"Berhenti kau...!" bentak Adipati Paturakan lantang menggelegar.

"He he he...!"

"Hm...," Adipati Paturakan menggumam kecil sambil menyipitkan matanya.

Di depannya kini berdiri seorang laki-laki tua berjubah biru yang panjang dan longgar. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat kayu yang tidak beraturan bentuknya. Seluruh rambutnya sudah berwarna putih. Kumisnya yang juga sudah memutih menyatu dengan jenggotnya yang panjang dan lebat.

"Pertapa Goa Biru." desis Adipati Paturakan langsung mengenali laki-laki tua berjubah biru itu.

"He he he...! Sungguh pesat kemajuanmu, Paturakan. Dan tampaknya kau juga sudah berhasil mencapai keinginanmu," ujar si Pertapa Goa Biru diiringi suara tawanya yang terkekeh kering.

"Hm...," Adipati Paturakan hanya menggumam perlahan.

TIGA

"Apa maksudmu menghadang jalanku, Pertapa Gua Biru?" tanya Adipati Paturakan agak ketus.

"Seharusnya kau sudah tahu jawabannya, Paturakan. Selama aku masih hidup, kau tidak bisa berbuat seenakmu," sahut Pertapa Gua Biru, dingin.

"Hh! Seharusnya waktu itu aku tidak memberimu kesempatan hidup, pertapa edan!" dengus Adipati Paturakan.

"He he he...! Itu salahmu sendiri, Paturakan. Dan sekarang aku akan membalas kekalahanku waktu itu. Hanya seorang diri, kau seperti anak ayam kehilangan induknya"

"Setan...! Keluarkan semua kesaktianmu, pertapa gila!" bentak Adipati Paturakan berang.

"He he he...!"
"Hep!"

Adipati Paturakan langsung menyiapkan jurusnya. Kedua tangannya merentang ke samping seraya menarik kaki kanannya ke belakang. Lalu tubuhnya direndahkan hingga kedua lututnya tertekuk. Sementara, Pertapa Gua Biru masih tetap berdiri tegap dengan tangan kanan menggenggam erat tongkat kayu yang menekan kuat ke tanah di ujung jari kakinya.

"Kali ini kau tidak lagi kuberi ampun, Pertapa Gua Biru...," desis Adipati Paturakan dingin. "Hiyaaat..!"

Bagaikan kilat, Adipati Paturakan melompat sambil mengebutkan kedua tangannya bergantian. Begitu cepatnya kebutan itu, sehingga tangannya seperti menjadi banyak. Sedangkan si Pertapa Gua Biru langsung melompat ke belakang, sambil memutar tongkatnya ke depan. Namun tanpa diduga sama sekali, Adipati Paturakan melenting ke atas, hingga melewati kepala laki-laki tua berjubah biru itu.

"Yeaaah...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, si Tangan Api menghentakkan tangan kanan ke arah kepala Pertapa Gua Biru. Begitu cepat pukulannya, sampai Pertapa Gua Biru jadi terperangah setengah mati.

"Hait...!"

Buru-buru dia mengebutkan tongkat kayunya ke atas, melindungi kepalan dari pukulan maut yang dilepaskan si Tangan Api. Tanpa dapat dielakkan lagi, pukulan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu langsung membentur keras tongkat kayu yang berkelebat cepat.

Trak!
"Hih...?!"

Pertapa Gua Biru jadi terperanjat setengah mati ketika tiba-tiba dirasakan tangannya menjadi panas seperti terbakar, begitu tongkatnya membentur tangan Adipati Paturakan. Maka cepat-cepat dia melompat ke belakang beberapa langkah. Pada saat itu, Adipati Paturakan sudah kembali menjejakkan kakinya di tanah. Langsung dilepaskannya dua pukulan beruntun ke arah dada laki-laki tua pertapa berjubah biru itu.

Serangan yang begitu cepat ini membuat si Pertapa Gua Biru kewalahan. Dia meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari setiap pukulan yang datang secara beruntun. Bahkan sebelum sempat menarik tubuhnya tegak kembali, Adipati Paturakan sudah melepaskan satu tendangan yang sangat keras dan menggeledek. Begitu cepatnya tendangan si Tangan Api hingga Pertapa Gua Biru tidak sempat lagi mengambil tindakan menghindar. Dia hanya bisa mengibaskan tongkatnya, mencoba menangkis tendangan dahsyat menggeledek itu. Tapi....

"Hih!"
Trak!

Begitu kerasnya tendangan yang dilancarkan Adipati Paturakan, sehingga Pertapa Gua Biru terhuyung-huyung ke belakang. Dan, kedua bola matanya jadi terbeliak lebar, begitu tongkatnya sudah patah menjadi dua bagian.

"Ha ha ha...!" Adipati Paturakan tertawa terbahakbahak.

"Phuih!"

Sambil menyemburkan ludahnya, Pertapa Gua Biru membuang tongkatnya yang sudah patah. Lalu, dari balik jubahnya dikeluarkan sebuah pedang yang berkilatan memancarkan cahaya keperakan. Pertapa Gua Biru langsung menyilangkan pedangnya di depan dada. Sedangkan Adipati Paturakan masih tetap berdiri tegak, dengan mata tidak berkedip menatap mata pedang yang memancarkan cahaya keperakan dan gemerlapan itu.

"Hiyaaa...!"
Wuk!

Sambil berteriak keras menggelegar, Pertapa Gua Biru langsung melompat menyerang, mengibaskan pedangnya beberapa kali dengan kecepatan bagai kilat Adipati Paturakan pun berjumpalitan, meliuk-liukkan tubuhnya menghindari setiap tebasan pedang bercahaya keperakan itu.

Tampaknya Pertapa Gua Biru tidak mau memberi kesempatan pada si Tangan Api untuk balas menyerang. Dengan jurus-jurus yang cepat dan dahsyat, dia terus mencecar, mengurung rapat setiap ruang gerak yang dimiliki si Tangan Api. Namun, sampai beberapa jurus berlalu, belum juga dia berhasil mendesak Adipati Paturakan. Bahkan, setiap serangan-serangan yang dilancarkannya selalu berhasil dimentahkan dengan mudah.

Meskipun lawannya hanya bertangan kosong dan berusia lebih muda, Pertapa Gua Biru tampaknya mengalami kesulitan untuk mendesak, apalagi menjatuhkannya. Beberapa kali pula dia hampir kecolongan. Jurus-jurus yang dimiliki Adipati Paturakan memang sangat sulit diterka arahnya. Bahkan gerakan-gerakan tubuhnya begitu lentur dan cepat sekali.

Walau sudah didesak dengan kepungan pedang yang begitu cepat, masih saja Adipati Paturakan berhasil melepaskan diri beberapa kali. Bahkan beberapa kali pula dia berhasil melancarkan serangan balasan yang begitu dahsyat, membuat Pertapa Gua Biru makin kewalahan.

"Hup! Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja Adipati Paturakan melentingkan tubuhnya ke udara dengan cepat bagai kilat, tepat di saat Pertapa Gua Biru mengebutkan pedangnya ke arah kaki. Dan ini membuat si Pertapa Gua Biru jadi terperangah tidak menyangka sama sekali.

Namun, sebelum dia sempat menyadari apa yang terjadi, secara tak terduga Adipati Paturakan sudah meluruk deras sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek ke punggung laki-laki tua berjubah biru itu.

"Yeaaah...!"
Des!

"Akh...!" Pertapa Gua Biru terpekik keras.

Tendangan yang dilepaskan Adipati Paturakan tepat mendarat di punggungnya. Laki-laki tua berjubah biru itu pun terjerembab mencium tanah. Namun, dia cepat menggelimpangkan tubuhnya, sebelum si Tangan Api bertindak lebih jauh lagi. Bergegas dia melompat bangkit berdiri, meskipun agak terhuyung saat kakinya menjejak tanah kembali. Tampak dari sudut bibirnya mengalir darah agak kental. Pertapa Gua Biru menyeka darah di sudut bibirnya dengan punggung tangan kiri.

Bet!

Pada saat yang sama, Adipati Paturakan memutar tangan kanannya ke belakang. Dan, begitu tangan itu kembali tersilang di depan dada, tampak sebuah tameng berbentuk persegi enam sudah berada di punggung tangan kanannya. Tameng berwarna kuning keemasan itu setiap ujungnya menyerupai mata panah yang sangat runcing dan tajam.

Tameng itu memancarkan cahaya yang sangat menyilaukan, membuat Pertapa Gua Biru harus menyilangkan tangan kirinya, menutupi matanya yang mendadak terasa pedih. Sebelum dia bisa berbuat lebih jauh lagi, tiba-tiba saja si Tangan Api sudah melompat cepat bagai kilat sambil berteriak keras menggelegar.

"Hiyaaat...!"
Wuk!
"Hih."

Pertapa Gua Biru cepat-cepat mengebutkan pedangnya, begitu Adipati Paturakan mengibaskan tangannya yang bertameng itu. Sehingga....

Trang!

Bunga api langsung memercik ke segala arah begitu pedang Pertapa Gua Biru menghantam bagian tengah tameng si Tangan Api. Tapi, satu keajaiban tiba-tiba saja terjadi.

"He..?!"

Pertapa Gua Biru terperanjat setengah mati. Pedangnya tidak bisa lagi ditarik. Mata pedangnya menempel kuat pada bagian tengah tameng keemasan itu. Dan, sebelum dia sempat menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba saja....

"Hih! Hiyaaa...!"

Cepat sekali Adipati Paturakan melompat sambil melepaskan satu tendangan yang sangat keras dan menggeledek ke arah dada Pertapa Gua Biru. Begitu cepat dan dahsyatnya tendangan itu sehingga Pertapa Gua Biru tidak punya kesempatan lagi untuk menghindar. Dan...

Bekh!
"Aaah...!"

Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar begitu menyayat ketika tendangan kaki si Tangan Api mendarat telak di dada Pertapa Gua Biru. Tak pelak lagi, tubuh laki-laki tua berjubah biru itu langsung terpental sejauh dua batang tombak ke belakang. Dan dia tidak bisa lagi mempertahankan pedangnya yang melekat erat pada tameng keemasan di tangan kanan Adipati Paturakan.

"Hih! Yeaaah...!"

Seccpat tangan kirinya mencabut pedang yang melekat pada tamengnya, secepat itu pula Tangan Api melemparkannya ke arah Pertapa Gua Biru yang masih menggeletak telentang di tanah. Pedang itu meluncur deras bagai kilat ke arah dada laki-laki tua berjubah biru itu.

Wusss...!
Crab!
"Aaa...!"

Memang terlalu sulit untuk dapat menghindar lagi. Pertapa Gua Biru harus menerima pedangnya sendiri dengan dadanya. Pedang itu langsung menghunjam dalam ke dada yang sudah tak terlindung itu. Darah langsung memuncrat dari mulutnya. Hanya sebentar Pertapa Gua Biru mengejang, kemudian dia terkulai lemah, menggeletak di tanah dengan pedangnya sendiri terhunjam di dada.

Adipati Paturakan berdiri tegak. Dia sudah menyimpan kembali tamengnya dii punggung. Beberapa saat dipandanginya tubuh Pertapa Gua Biru yang sudah menggeletak tak berkutik lagi.

"Hhhh...! Kau sudah memilih cara kematianmu sendiri, Pertapa Goa Biru," dengus Adipati Paturakan dingin.

Perlahan dia memutar tubuhnya dan menghampiri kudanya yang sudah menggeletak tak bernyawa. Beberapa saat dia memandangi kudanya. Kemudian terdengar suara tarikan napas yang begitu panjang dan terasa berat. Sekilas dia melirik tubuh Pertapa Goa Biru yang menelentang tak bergerak.

"Hup!"

Tiba-tiba saja Adipati Paturakan melompat pergi dengan mengerahkan llmu meringankan tubuhnya. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, sehingga dalam sekejap sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Tinggal si Pertapa Goa Btru dan kuda putih menggeletak tak bergerak-gerak lagi di tanah. Dan, tak seorang pun menyaksikan pertarungan itu.

********************

Adipati Paturakan terus berlari cepat dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan yang tinggi sekali, ke Gunung Tambur yang sudah terlihat begitu dekat di depan. Memang sebenarnya lebih cepat sampai bila menggunakan ilmu meringankan tubuh daripada menunggang kuda. Tapi, Adipati Paturakan sebenarnya lebih senang menunggang kuda. Kini apa boleh buat, kudanya sudah tewas tertembus panah Pertapa Gua Biru

Dia baru berhenti berlari setelah sampai di puncak Gunung Tambur. Keadaan di sini begitu menyeramkan. Pohon-pohonnya tinggi dan besarbesar sekali. Udaranya pun terasa begitu dingin membekukan tulang. Tampak di langit, awan hitam bergulung-gulung menggumpal. Dan sesekali terbersit kilatan cahaya disertai ledakan guntur yang menggelegar menggetarkan jantung.

"Hhhh...!" Adipati Paturakan mengembuskan napas berat. Sudah beberapa kali dia pergi ke Puncak Gunung Tambur ini, tapi masih juga terselip perasaan ngeri yang mencekam di relung hatinya. Perlahan dia melangkah mendekati sebuah bangunan berbentuk puri yang tampak angker dan menyimpan sejuta misteri di dalamnya.

Degup jantung si Tangan Api ini semakin terasa berdetak kencang manakala dia semakin dekat dengan bangunan puri itu. Dan kembali dia berhenti setelah berada dekat sekali dengan bangunan yang seluruhnya terdiri dari batu-batu yang bertumpuk dan sudah terselimut lumut tebal itu.

Crasss!
Glaaar...!

Bersamaan dengan berkelebatnya cahaya kilat yang disertai ledakan guntur menggelegar dahsyat, tiba-tiba dari atas puncak puri itu memendar cahaya terang menyilaukan mata. Adipati Paturakan sampai menahan napas memandang lingkaran cahaya terang di atas bangunan puri itu.

Dia baru mengembuskan napas panjang begitu terlihat sebaris cahaya pelangi menjulur ke bawah, bagai sebuah lidah raksasa. Ujung pelangi itu mendarat tepat di ujung jari kakinya. Tepat pada saat itu tertihat sesosok tubuh ramping terselimut lingkaran cahaya terang yang memancar di atas puncak bangunan puri ini.

"Kemarilah, Paturakan...," terdengar suara yang halus menggema di telinga Adipati Paturakan.

"Hhhh...!"

Setelah mengembuskan napas panjang, Adipati Paturakan melangkahkan kakinya menaiki cahaya pelangi. Sungguh ajaib, dia merasakan seakan-akan berjalan di atas tanah biasa. Tidak sedikit pun terasa bahwa dia sesungguhnya sedang berjalan di atas cahaya pelangi yang begitu indah. Perlahan-lahan Adipati Paturakan terus berjalan naik hingga ke bagian puncak bangunan puri yang terselimut cahaya terang berkilauan ini.

Tiba-tiba cahaya terang itu menghllang, bersamaan dengan lenyapnya cahaya pelangi yang menjadi tangga menuju ke puncak bangunan puri ini. Pada saat itu Juga, Adipati Paturakan merasakan tubuhnya tersedot ke bawah. Jantungnya terasa copot, karena tiba-tiba tubuhnya meluncur deras ke bawah. Keadaan sekelilingnya kini gelap-gulita, sehingga sulit bisa melihat jelas. Yang ada hanya kegelapan yang pekat.

"Ufffs..!"

Adipati Paturakan terlonjak ketika secara tiba-tiba dia merasakan tubuhnya jatuh di tempat yang sangat lembut dan lunak. Sekelilingnya masih gelap sekali. Perlahan dia bangkit berdiri. Dia merasakan kakinya berpijak pada sesuatu yang sangat lembut dan lunak. Pada saat itulah tiba-tiba sekelilingnya menjadi terang-benderang. Adipati Paturakan mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba menguasai keadaan yang begitu cepat berubah.

"Ohhh...?"

Kembali dia dihinggapi perasaan kagum dan ngeri begitu melihat sekelilingnya. Adipati Paturakan terkejut setengah mati, karena dia baru menyadari kalau kakinya berpijak pada tumpukan tubuh manusia yang memenuhi seluruh ruangan berukuran tidak begitu besar ini. Tubuhnya bergidik melihat tubuh-tubuh saling tumpang-tindih menjadi satu.

"Masuklah ke sini, Paturakan...," kembali terdengar suara lembut menggema di tetinga Adipati Paturakan.

Saat itu juga si Tangan Api melihat sebuah pintu yang memancarkan cahaya terang berkilauan. Sambil berjingkat dia melangkah melewati tubuh-tubuh manusia yang bergelimpangan saling tumpang tindih. Tak ada tempat yang kosong. Terpaksa menginjak tubuh yang sudah tak bernyawa itu. Tapi, tidak diciumnya bau busuk sedikit pun, walau tubuh itu tentunya sudah lama bertumpuk di dalam ruangan ini.

Si Tangan Api baru bisa merasa lega sedikit, begitu dia sudah berada di dalam ruangan lain yang sangat besar dan tampak bersih serta indah sekali. Dia berpaling ke belakang, tapi tidak lagi dilihat pintu yang baru saja dilewatinya. Kakinya terus terayun mendekati sebuah pembaringan yang berukuran cukup besar. Tampak di atas pembaringan itu tergolek sesosok tubuh ramping yang hanya di tutupi selembar kain tipis dan halus berwarna biru muda.

Adipati Paturakan melirik sebuah ruangan lain yang hanya dibatasi dengan jeruji-jeruji besi. Tampak di dalam ruangan seperti penjara itu beberapa orang laki-laki yang kelihatan lesu tanpa gairan hidup lagi. Beberapa di antara mereka sudah dikenalinya. Si Tangan Api cepat-cepat mengalihkan pandangannya pada sosok tubuh ramping dan indah yang kini sudah duduk di tepi pembaringan. Kemudian dia duduk bersila di atas lantai yang beralaskan permadani berbulu lembut, bergambar bunga-bunga.

"Terimalah salam dan sembahku, Gusti Ratu Pelangi," ucap Adipati Paturakan seraya merapatkan kedua telapak tangannya ke depan hidung, memberi sembah pada wanita cantik berbaju tipis yang duduk di tepi pembaringan itu.

"Ada perlu apa lagi kau datang ke sini, Paturakan?" tanya wanita cantik yang ternyata adalah Ratu Pelangi Maut itu, lembut.

"Ada sesuatu yang ingin aku utarakan, Gusti Ratu," sahut Adipati Paturakan masih dengan sikap yang hormat sekali.

"Hm, katakanlah..."

Adipati Paturakan tidak langsung mengutarakan maksud kedatangannya. Dia melirik sedikit ke arah ruangan penjara yang berhubungan langsung dengan ruangan besar dan indah ini. Sorot matanya langsung di balas oleh seorang pemuda tampan berbaju merah muda dari bahan sutera halus juga dari seorang pemuda berbaju kumal penuh tambalan dan seorang laki-laki tua.

Bahkan ada enam orang lagi yang berpakaian kumal penuh tambalan di dalam ruangan seperti penjara itu, yang juga menatapnya dengan tajam dan penuh kebencian. Mereka adalah para pengemis dan gelandangan dari Kadipaten Kuring. Hanya dua orang yang tidak tampak seperti pengemis. Salah seorang dari pengemis itu adalah Jaka Gembel, anak angkat yang sedang dicari-cari si Gembel Bungkuk.

"Apa yang ingin kau katakan padaku, Paturakan?" tanya Ratu Pelangi Maut lagi, agak mendesak.

"Oh Maafkan aku, Gusti Ratu. Aku... aku memerlukan Raden Pangrona," sahut Adipati Paturakan agak tergagap, seraya melirik kembali pada pemuda tampan yang mengenakan baju merah muda dari bahan sutera halus di dalam kamar tahanan itu.

"Untuk apa?" tanya Ratu Pelangi Maut agak berkerut keningnya.

"Aku perlu untuk meluluhkan hati adiknya, Gusti Dewi."

"Maksudmu?"

"Ayu Dewi Winarti belum mau kupersunting kalau dia tidak didampingi oleh kakaknya, Gusti Ratu. Aku mohon, kau bersedia memberikan dia padaku untuk meluluhkan hatinya."

"Hm..., bukankah gads itu sekarang sudah berada di istanamu kembali?"

"Benar, Gusti Ratu."

"Lalu, kenapa kau harus membawa Raden Pangrona ke sana?"

"Itu permintaannya, Gusti Ratu. Dia baru bersedia kupersunting kalau Raden Pangrona bisa kubawa ke istana."

"Permintaanmu terlalu berat, Paturakan.

Tapi...," Ratu Pelangi Maut tidak meneruskan ucapannya.

Dia bangkit berdtri dari pembaringannya, melangkah menghampiri kamar tahanan yang berjeruji besi itu. Sedangkan Adiipati Paturakan masih tetap duduk bersila memandangi wanita cantik yang hanya mengenakan baju tipis berwarna biru muda itu.

"Aku bisa kabulkan permintaanmu, Paturakan. Tapi dengan satu syarat..." kata Ratu Pelangi Maut.

"Apa itu, Gusti Ratu?" tanya Adipati Paturakan tanpa berpikir panjang lagi.

"Di wilayah kulon ini ada seorang pendekar muda yang juga seorang raja. Dia bernama Rangga dan bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Dia raja Kerajaan Karang Setra. Hm..., rasanya pantas kalau Raden Pangrona ditukar dengannya. Bagaimana.... kau sanggup membawa dia ke sini, Paturakan?"

Adipati Paturakan tak langsung menjawab syarat yang diajukan wanita cantik itu. Dia memang sering mendengar ada seorang pendekar muda yang sangat digdaya dan bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, sama sekali dia belum pernah bertemu dengan pendekar itu. Dan lagi, apa yang didengar, rasanya terlalu sulit untuk bisa membawa Pendekar Rajawali Sakti ke puri ini. Paling tidak, harus bisa mengalahkan pendekar itu dahulu.

"Bagaimana, Paturakan?"

"Baiklah, Gusti Ratu. Aku sanggupi syaratmu," sahut Adipati Paturakan setelah berpikir beberapa saat.

"Kau boleh membawa Raden Pangrona setelah kau bisa membawa Pendekar Rajawali Sakti ke sini," kata Ratu Pelangi Maut lagi.

Adipati Paturakan hanya bisa mengangguk. Memang dia tak bisa berbuat lain lagi, kecuali menyanggupi syarat yang diajukan, meskipun terasa sangat berat untuk dilaksanakan. Tapi dia sudah tak sanggup bertahan lebih lama lagi, untuk bisa mempersunting gadis yang sudah lama diinginkannya.

"Nah, sekarang kau kembalilah. Bawa Pendekar Rajawali Sakti untukku," kata Ratu Pelangi Maut.

"Baik, Gusti Ratu," sahut Adipati Paturakan, seraya memberi hormat dengan merapatkan kedua tangan di depan hidungnya.

EMPAT

Sudah tiga hari ini, Adipati Paturakan berusaha mencari tahu, di mana Rangga yang dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti berada. Bahkan dia sudah mengirim utusan ke Kerajaan Karang Setra. Tapi, didapat jawaban bahwa Rangga tidak berada di istana kerajaan itu. Pendekar Rajawali Sakti dikabarkan sedang pergi mengembara dengan Pandan Wangi. Dan, tidak ada seorang pun yang tahu ke mana mereka berdua pergi. Hal ini membuat Adipati Paturakan selalu gelisah.

Belum lagi, dia harus menghadapi sikap Ayu Dewi Winarti yang sudah tidak mau lagi ditemui. Gadis itu terus mengurung diri di dalam kamarnya. Dia sama sekali tidak mau keluar. Ayu Dewi Winarti tetap menuntut untuk bertemu dengan kakaknya, yang menghilang sejak Kadipaten Kuring diikuasai oleh Paturakan, yang sekarang menjadi adipatinya.

Siang itu udara di seluruh wilayah Kadipaten Kuring terasa panas sekali. Matahari bersinar terik menyengat, seakan hendak menghanguskan apa saja yang ada di atas permukaan bumi ini. Begitu panas-nya, sehingga hampir semua orang lebih menyukai diam di dalam rumah atau berteduh di bawah pohon-pohon yang rindang dan rimbun daunnya.

Di bawah teriknya sinar sang mentari, tampak dua orang penunggang kuda menyusuri jalan tanah yang berdebu. Yang satu adalah pemuda berbaju rompi putih dengan menunggang kuda hitam dan yang satunya lagi seorang gadis cantik berbaju biru yang menunggang kuda berwarna putih dan cantik. Mereka mengendalikan kudanya perlahan-lahan sambil mengedarkan pandangan, mengamati keadaan sekitarnya yang tampak agak sepi ini.

"Kau tidak merasa lelah, Kakang... ?" lembut sekali suara gadis cantik berbaju biru yang menunggang kuda putih itu.

"Tentu saja. Sudah dua hari kita berkuda. Rasanya pinggang ini mau patah," sahut pemuda tampan berbaju rompi putih yang menunggang kuda hitam itu.

"Di sana ada kedai," kata si gadis sambil menunjuk sebuah kedai yang tidak jauh lagi letaknya.

"Tampaknya cukup baik dan bersih," sambut pemuda itu.

Mereka kemudian menuju kedai yang tampaknya tidak ramai dikunjungi itu. Sebuah kedai kecil, namun kelihatan baik dan bersih. Mereka menambatkan kudanya di bawah pohon yang ada di depan kedai itu. Seorang perempuan setengah baya bertubuh gemuk bergegas menyambutnya dengan sikap yang ramah dan hormat sekali.

"Mari, silakan masuk...."

"Terima kasih," sahut keduanya, hampir bersamaan.

Mereka kemudian masuk ke dalam kedai dan memilih tempat yang berada dekat dengan jendela, sehingga bisa memandang ke luar dengan bebas. Wanita bertubuh gemuk itu kembali masuk ke belakang setelah pemuda berbaju rompi putih yang berwajah tampan itu mengatakan pesanannya. Tidak lama kemudian pesanan yang diminta sepasang anak muda itu telah tersedia.

"Enak juga masakannya, Kakang," ujar gadis cantik berbaju biru itu, setelah menikmati sedikit makanan yang terhidang di meja.

"Ya," sahut pemuda berbaju rompi putih itu singkat.

Mereka menyantap hidangan yang tersedia dengan nikmat sekali. Sehingga tidak sadar bahwa sejak masuk ke dalam kedai ini mereka terus diawasi oleh dua orang laki-laki separuh baya yang duduk di sudut, agak terlindung oleh tiang penyangga atap di tengah-tengah ruangan kedai ini.

Mereka adalah Iblis Rantai Baja dan Tongkat Merah Samber Nyawa, dua orang pengikut setia Adipati Paturakan yang lebih dikenal dengan julukan si Tangan Api. Mata mereka tidak berkedip mengamati kedua penunggang kuda yang baru masuk kedai itu. Apalagi seorang diantaranya adalah gadis cantik dengan baju biru muda yang agak ketat, yang bentuk tubuhnya ramping dan indah sekali.

"Aku yakin, lelaki itu pasti Pendekar Rajawali Sakti, Rantai Baja." ujar si Tongkat Merah Samber Nyawa agak berbisik.

"Hmmm... dari ciri-cirinya, dia memang mirip dengan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, apa mungkin dia sekarang berada di sini...?" sambut Iblis Rantai Baja bernada ragu-ragu.

"Kau ingat, Rantai Baja. Pendekar Rajawali Sakti sekarang sedang mengembara. Dia itulah orangnya," kata Tongkat Merah Samber Nyawa, "Coba kau lihat pedang di punggungnya. Tangkai pedang itu ber-bentuk kepala burung. Dan dia juga memakai baju putih tanpa lengan. Tampan dan gagah sekali dia. Aku yakin, dia pasti Pendekar Rajawali Sakti."

"Lalu, siapa gadis yang bersamanya?" tanya Ibis Rantai Baja sambil menatap gadis cantik berbaju ketat itu.

"Dia pasti Pandan Wangi si Kipas Maut. Pendekar Rajawali Sakti memang selalu pergi mengembara bersama si Kipas Maut. Dan mereka seperti tidak bisa lagi dipisahkan," sahut si Tongkat Merah Samber Nyawa

"Kau yakin itu, Tongkat Merah?"

"Ya, aku merasa yakin kalau dia itu Pendekar Rajawali Sakti."

"Tapi kita harus membuktikannya dulu, Tongkat Merah. Kalau memang sudah benar-benar yakin, baru kita laporkan kepada Kakang Paturakan. Dia pasti senang kalau mendengar Pendekar Rajawali Sakti berada di sini," kata Iblis Rantai Baja.

"Hmm..., kau benar, Rantai Baja. Kita memang harus membuktikannya dulu"

Mereka kemudian terdiam dan terus mengawasi pemuda berbaju rompi putih itu tanpa berkedip sedukit juga. Sedangkan yang diawasi sama sekali tidak menyadari, dan terus saja menikmati hidangannya dengan penuh nikmat. Kedua pengembara itu tidak segera beranjak pergi, meskipun hidangan di atas meja sudah habis berpindah ke dalam perut. Entah apa yang dbicarakan. Saat matahari sudah mulai condong ke arah barat, mereka baru beranjak pergi.

Iblis Rantai Baja dan si Tongkat Merah Samber Nyawa pun segera bergegas mengikuti dua orang anak muda yang diyakini sebagai Pendekar Rajawal Sakti dan si Kipas Maut, yang selama beberapa hari ini selalu dicari-cari itu.

********************

"Cukup sudah kalian berjalan-jalan, Anak-anak Muda..."

Pemuda berbaju rompi putih dan gadis berbaju biru yang menunggang kuda itu berkerut keningnya, ketika tiba-tiba saja mereka mendengar teguran bernada tidak bersahabat tadi. Mereka langsung menghentikan kudanya dan melompat turun begitu dari balik sebuah pohon yang cukup besar di pinggir jalan muncul dua orang laki-laki berusia setengah baya. Yang satu mengenakan baju hitam dengan rantai baja melilit pinggangnya, sedangkan satunya lagi mengenakan baju merah dan memegang tongkat yang juga berwarna merah. Mereka tak lain adalah Iblis Rantai Baja dan si Tongkat Merah Samber Nyawa.

"Kau yang bernama Rangga dan berjuluk Pendekar Rajawali Sakti?" Iblis Rantai Baja langsung melontarkan pertanyaan sambil menunjukkan jarinya pada pemuda berbaju rompi putih yang berdiri di depan kuda hitamnya.

"Benar," sahut pemuda itu dengan mata agak menyipit.

Agak terkejut juga dia, karena dua orang mencegat jalannya ini sudah tahu namanya. Dia memang Rangga, yang di kalangan rimba persilatan dikenal dengan Julukan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan gadis cantik berbaju biru yang berada di sampingnya tak lain adalah Pandan Wangi, yang lebih dikenal dengan julukan si Kipas Maut.

"Aku tidak percaya kau adalah Pendekar Rajawali Sakti, Anak Muda. Kau harus tunjukkan pada kami kalau kau benar-benar Pendekar Rajawali Sakti," kata si Tongkat Merah Samber Nyawa.

"Apa maksud Kisanak berdua ini...?" tanya Rangga tidak mengerti.

Tapi, Iblis Rantai Baja dan Tongkat Merah Samber Nyawa melompat cepat bagai kilat sambil mengebutkan tongkatnya ke arah kepala Rangga. Serangan yang begitu cepat dan mendadak ini membuat Pendekar Rajawali Sakti itu terperangah tidak mengerti. Cepat-cepat dia merundukkan kepalanya, menghindari sabetan tongkat berwarna merah itu. Pada saat yang bersamaan Pandan Wangi pun melompat ke belakang beberapa langkah, agar tidak terkena sambaran tongkat itu.

"Tunggu dulu, Kisanak...! Uts...!"
Bet!

Hampir saja senjata si Tongkat Merah Samber Nyawa membabat dadanya, kalau saja Pendekar Rajawali Sakti itu tidak cepat-cepat meliukkan tubuhnya menghindarkan diri. Lalu dia cepat-cepat melompat ke belakang beberapa tindak. Namun, begitu kakinya baru saja menjejak tanah, secara tak terduga Rantai baja berwarna hitam sudah meluruk deras ke arahnya dengan kecepatan bagai kilat.

"Hup..."

Terpaksa Rangga melentingkan tubuhnya ke udara, menghindari terjangan ujung rantai hitam yang berbandul tiga buah bola besi berduri itu. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti melakukan putaran di udara, sebelum kembali mendarat dengan manis sekali di tanah.

"Tahan...! Tunggu dulu, Kisanak!" sentak Rangga mencoba menghentikan serangan dua orang yang sama sekali tidak dikenalnya ini.

"Keluarkan semua kesaktianmu, Anak Muda. Kau harus menghadapi kami berdua jika kau benar-benar Pendekar Rajawali Sakti," ujar Iblis Rantai Baja tegas.

"Tahan seranganku! Hiyaaat...!"

Si Tongkat Merah Samber Nyawa tidak mau lagi banyak bicara. Dengan cepat sekali dia kembali melompat bagai kilat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Tongkatnya yang berwarna merah berkelebatan cepat mengincar bagian-bagian tubuh Rangga yang rawan. Terpaksa Pendekar Rajawali Sakti itu berjumpalitan, meliuk-liukkan tubuhnya menghindari setiap serangan maut dari si Tongkat Merah Samber Nyawa yang begitu cepat dan dahsyat.

Sementara, agak jauh dari tempat pertarungan itu, Pandan Wangi terus memperhatikan dengan mata tidak berkedip sedikit pun. Dia sendiri tidak mengerti, kenapa tiba-tiba dua orang laki-laki separuh baya yang tidak dikenalnya itu menyerang Rangga. Bahkan kehadirannya di tempat ini sama sekali tidak mereka pedulikan. Semua perhatian mereka begitu terpusat pada Pendekar Rajawali Sakti. Mereka melakukan serangan-serangan yang begitu cepat dan dahsyat secara bergantian. Tampaknya tidak diberi kesempatan sedikit pun pada pemuda berbaju rompi putih itu untuk membalas menyerang.

Jurus demi jurus berlalu dengan cepat sekali. Meskipun diserang dengan jurus-jurus yang dahsyat dan bergantian begitu cepatnya Rangga yang hanya menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' masih terlalu sulit untuk didesak. Bahkan tak satu pun dari serangan mereka berhasil mencapai sasaran. Pendekar Rajawali Sakti itu memang terlalu tangguh bagi keduanya. Dan memang tingkat kepandaian mereka masih kalah jauh di bawah Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga, tidak heran, meskipun sudah berusaha keras mereka belum juga berhasil memaksa Rangga untuk mengeluarkan jurus-jurusnya yang bisa menunjukkan bahwa dirinya adalah Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup!"
"Hap..!"

Pada suatu ketika, Iblis Rantai Baja dan Tongkat Merah Samber Nyawa sama-sama lompat mundur sejauh dua batang tombak. Rangga tetap berdiri tegak menanti datangnya serangan berikut. Dua pengikut setia si Tangan Api itu tetap berdampingan. Mereka memandangi pemuda berbaju rompi putih itu dengan sinar mata tajam dengan napas yang memburu, seperti kuda yang dipakai mendaki bukit terjal dan tinggi.

"Cabut pedangmu, Anak Muda!" bentak Iblis Rantai Baja agak kasar.

"Untuk apa...? Senjata tidak perlu digunakan jika keadaan tidak genting," sahut Rangga kalem.

"Setan...! Kau terlalu merendahkan kami, Anak Muda!" geram Tongkat Merah Samber Nyawa.

"Sama sekali aku tidak merendahkan kalian berdua. Tapi aku merasa tidak perlu menggunakan senjata untuk saat ini. Dan kalian tidak bisa memaksaku untuk mengeluarkannya," tegas Rangga.

"Keparat! Kau terlalu angkuh, Anak Muda!" bentak Tongkat Merah Samber Nyawa tidak bisa menahan berangnya.

Hampir saja si Tongkat Merah Samber Nyawa menyerang kalau saja Iblis Rantai Baja tidak segera mencekal pergelangan tangannya. Si Tongkat Merah Samber Nyawa hanya bisa mendesis geram, menatap tajam ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu.

Sementara itu Pandan Wangi masih terpaku di tempat yang cukup aman bersama kuda-kudanya. Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu terus memerhatikan dengan mata tidak berkedip sedikit pun.

"Jangan terpancing amarahmu, Tongkat Merah. Kita bisa melakukan cara lain untuk memastikan bahwa dia benar-benar Pendekar Rajawali Sakti," kata Iblis Rantai Baja berbisik.

"Pakai cara apa lagi?" tanya si Tongkat Merah Samber Nyawa tidak mengerti.

"Tetap menyerang, tapi dengan cara lain."

"Maksudmu?"

"Aku serang dia dengan rantai baja sakti ku. Dan kau akan menyerang dengan ilmu kesaktianmu di saat dia sibuk menghadapiku. Aku yakin, dia pasti akan mengeluarkan pedang pusakanya yang terkenal itu."

"Hm...,"

Tongkat Merah Samber Nyawa mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia bisa mengerti usul dari Iblis Rantai Baja tadi. Harus digunakan siasat khusus untuk bisa menekan pemuda berbaju rompi putih itu agar mengeluarkan senjata saktinya yang sangat terkenal dahsyat di kalangan rimba peralatan ini. Mereka segara berpencar, menggeserkan tubuh ke samping, sehingga masing-masing kini berada di sebelah kanan dan kiri pendekar Rajawali Sakti.

"Seraaang...!" seru Iblis Rantai Baja tiba-tiba.

"Hiyaaat..!"
Cring!
Wuk!

Cepat sekali laki-laki separuh baya berbaju hitam itu melontarkan rantainya, disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi sekali tingkatannya. Ujung Rantai berbandul bola besi berduri itu langsung meluruk deras bagai kilat ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti.

"Haiiit...!"

Dengan hanya sedikit merundukkan kepalanya, Rangga berhasil menghindari serangan Iblis Rantai Baja itu. Namun, sungguh sukar dipercaya, Rantai baja berujung tiga bola besi berduri itu bisa berputar begitu cepat dan kembali meluruk deras dengan suara yang menggemuruh bagai guntur di siang hari bolong. Cepat-cepat Rangga meliukkan tubuhnya, menghindari serangan maut itu.

Pada saat itu, ketika Pendekar Rajawali Sakti tengah sibuk menghindari serangan-serangan dahsyat dari Iblis Rantai Baja, si Tongkat Merah Samber Nyawa segera mempersiapkan kesaktiannya berupa pukulan jarak jauh dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi sekali tingkatannya. Tepat di saat Rangga baru menjejakkan kakinya di tanah, secepat kilat.

"Hiyaaa...!"
Slap!
"Hup!"

Rangga cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke udara, ketika tiba-tiba saja dari ujung tongkat si Tongkat Merah Samber Nyawa meluncur secercah sinar merah ke arahnya. Dan ujung sinar merah itu langsung menghantam tanah tempat Rangga berpijak tadi. Satu ledakan dahsyat terdengar menggelegar, bersamaan dengan terbongkarnya tanah yang terhantam sinar merah dari ujung tongkat laki-laki berbaju merah itu.

Beberapa kali Rangga berputaran di udara, karena dia juga harus menghindari serangan senjata maut si Iblis Rantai Baja. Namun, dengan gerakan yang manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti berhasil menjejakkan kakinya kembali di tanah. Di saat itu pula Iblis Rantai Baja melontarkan Rantai hitamnya disertai pengerahan tenaga dalam sepenuhnya.

"Hiyaaa....!"
"Hap!"

Kali ini Rangga sama sekali tidak berusaha menghindari serangan ini. Dia menunggu. Dan, tepat ketika ujung Rantai baja hitam itu dekat dengan dadanya, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti itu mengatupkan kedua telapak tangannya, menangkap rantai berbandul bola besi berduri tajam itu.

Tap!
"Heh...!"

Iblis Rantai Baja jadi terkejut setengah mati. Belum lagi dia bisa menghilangkan keterkejutannya, mendadak saja Rangga menghentakkan kedua tangannya ke atas, sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.

"Hih! Yeaaah...!"
"Whaaa...!"

Seketika Iblis Rantai Baja melayang ke angkasa. Bersamaan itu, tubuh Rangga melenting ke udara, mengejar si Iblis Rantai Baja. Sambil kerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', dia berputar cepat mengelilingi tubuh Iblis Rantai Baja sambil me-megangi ujung rantai berwarna hitam itu. Dan, ketika Pendekar Rajawali Sakti itu berhenti berputar, tampak seluruh tubuh si Iblis Rantai Baja sudah ter-lilit rantainya sendiri.

"Hup!"

Sambil menangkap tubuh Iblis Rantai Baja, si Pendekar Rajawali Sakti meluruk turun dengan gerakan yang sangat ringan. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang diikuasainya, sehingga dengan manis sekali Pendekar Rajawali Sakti berhasil mendaratkan kakinya di tanah, tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Langsung dilemparnya Iblis Rantai Baja yang sudah terlilit rantainya sendiri itu.

Tubuh Iblis Rantai Baja jatuh bergulingan di tanah sambil mengeluarkan pekikan keras agak tertahan. Gulingan itu baru berhenti setelah berada di dekat ujung kaki si Tongkat Merah Samber Nyawa. Laki-laki separuh baya berbaju merah menyala itu hanya bisa terlongong bengong menyaksikan peristiwa yang berlangsung cepat itu.

"Siapa pun kalian berdua, aku tidak ada urusan sama sekali. Aku harap kalian jangan lagi mencari gara-gara denganku!" tegas Rangga.

Setelah memberi peringatan, Pendekar Rajawali Sakti segera melompat ke arah kudanya. Manis sekali lompatan pemuda berbaju rompi putih itu. Dia langsung hinggap di atas pelana kuda hitamnya yang selalu dipanggilnya kuda Dewa Bayu. Pada saat yang hampir bersamaan, Pandan Wangi juga segera melompat naik ke punggung kudanya. Tanpa berbicara sedikit pun, kedua pendekar muda dari Karang Setra itu langsung menggebah kudanya dengan cepat meninggalkan si Tongkat Merah Samber Nyawa yang masih berdiri terlongong seperti tengah bermimpi.

LIMA

Rangga dan Pandan Wangi terus memacu kudanya dengan kecepatan yang tinggi, keluar dari kota Kadipaten Kuring. Mereka baru berhenti menggebah kudanya setelah sampai di tepi hutan yang ada di luar perbatasan kota sebelah utara. Mereka langsung berlompatan turun dari punggung kudanya masing-masing. Kemudian kuda-kuda itu dibiarkan melepas dahaga di pinggiran sebuah sungai kecil yang mengalir jernih. Sementara itu senja semakin merayap turun. Dan, keremangan mulai menyelimuti mayapada ini.

"Siapa mereka itu tadi, Kakang?" tanya Pandan Wangi sambil mengempaskan dirinya di bawah pohon yang berumput cukup tebal.

"Entahlah, aku tidak kenal dengan mereka," sahut Rangga sambil mengangkat bahunya.

Pendekar Rajawali Sakti tetap berdiri menyandarkan punggungnya di pohon yang tidak seberapa jauh dari Pandan Wangi. Pandangannya tertuju pada dua ekor kuda yang sedang melepas dahaga di pinggiran sungai kecil di tepi hutan ini. Sedangkan Pandan Wangi mengamati wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun sudah sering pergi mengembara bersama-sama, tidak pernah ada rasa bosan baginya memandangi wajah tampan itu. Dan, Pandan Wangi selalu merasa senang bila dapat berdekatan dengan Rangga dan memandangi wajah lelaki gagah itu.

"Tapi, kenapa mereka mengenalmu, dan langsung menyerangmu, Kakang?" tanya Pandan Wangi lagi, masih belum mengerti tentang peristiwa yang dialami Rangga barusan.

"Apa kau tidak dengar apa yang mereka katakan, Pandan...? Mereka ingin membuktikan bahwa aku benar-benar Pendekar Rajawali Sakti. Dan aku rasa, mereka menyerangku tidak dengan sungguh-sungguh. Tapi ingin membuktikan diriku yang sebenarnya saja."

"Hm..., apa itu mungkin, Kakang?" tanya Pandan Wangi agak menggumam, seakan pertanyaan itu untuk dirinya sendiri.

"Entahlah. Terlalu dini untuk bisa menduganya. Sikap mereka aneh sekali. Aku yakin, mereka tidak kenal denganku secara langsung. Dan mereka tadi hanya ingin membuktikan tentang diriku yang sesungguhnya. Hm..., ada apa sebenarnya ini...?"

"Kakang...."

Rangga berpaling menatap gadis cantik berjuluk si Kipas Maut itu. Dan gadis itu langsung beranjak berdiri, melangkah menghampirinya. Dia berdiri di samping Pendekar Rajawali Sakti, lalu memeluk lengan yang kekar dan berotot kuat itu. Rangga membiarkan Pandan Wangi menunjukkan kemanjaannya. Dia kembali mengarahkan pandangannya pada kuda-kuda mereka yang kini sedang merumput dengan nikmat sekali di tepian sungai kecil itu. Rerumputan di sana sangat subur sehingga seperti tidak akan pernah habis dilahap kuda sebanyak apa pun.

"Kau ingat ketika kita makan di kedai tadi...?" ujar Pandan Wangi bernada bertanya.

"Maksudmu...?" Rangga balik bertanya tidak mengerti.

"Dua orang yang menyerangmu tadi rasanya juga berada di kedai itu. Tapi aku tidak begitu memperhatikan, karena masih ada orang lain lagi di sana," kata Pandan Wangi, agak ragu-ragu.

"Kau menduga mereka bukan penduduk Kadipaten Kuring ini, Pandan?" tanya Rangga menebak.

"Mungkin. Dan tampaknya mereka para pengembara, Kakang. Dari pakaian dan senjata yang digunakan, aku yakin kalau mereka dari kalangan persilatan. Tapi..., apa maksudnya mereka menyerangmu, Kakang..?"

Rangga tidak menyahut. Dia diam saja sambil mengedarkan pandangannya berkeliling. Sementara itu matahari sudah benar-benar tenggelam di balik belahan bumi bagian barat. Namun, beruntung sekali, saat ini bulan bersinar penuh dan langit tampak bercahaya oleh gemerlapnya bintang-bintang yang bertaburan di angkasa bagai mutiara. Malam tampak begitu indahnya.

Rangga melepaskan pelukan Pandan Wangi pada tangannya. Kemudian dia mengumpulkan ranting-ranting kering yang banyak berserakan di sekitar tepian hutan ini. Dengan ranting-ranting kering itu, dia membuat api unggun. Pandan Wangi langsung duduk di dekat api unggun yang dibuat Rangga. Udara di tepian hutan ini sudah terasa dingin. meskipun malam belum begitu lama jatuh menyelimuti permukaan bumi ini.

"Tolooong...?!"
"Heh...?!"
"Apa itu...?"

Kedua pendekar muda itu terkejut mendengar teriakan itu. Suara itu terdengar sangat jelas, tampaknya tak jauh dari tempat mereka berada saat ini. Bergegas kedua pendekar muda dari Karang Setra bangkit berdiri. Sebentar mereka memasang telinga, mencoba mencari sumber teriakan tadi.

"Hup...!"

Tiba-tiba saja Rangga melesat cepat begitu telinganya mendengar suara-suara yang datang dari arah timur. Pandan Wangi pun tidak mau ketinggalan. Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkatan hampir sempurna, si Kipas Maut bergegas melesat mengikuti Pendekar Rajawali Sakti.

Pendekar Rajawali Sakti

"Hey...!" Rangga membentak keras. Dia melihat, sekitar sepuluh orang berpakaian seragam prajurit tengah menyeret seorang laki-laki muda yang berpakaian compang-camping penuh tambalan seperti gembel. Bentakan Rangga yang begitu keras membuat para prajurit itu terkejut setengah mati. Mereka langsung berhenti. Sambil mencabut pedang masing-masing yang tergantung di pinggang. Sedangkan dua di antara para prajurit itu masih memegangi tambang yang mengikat kedua tangan pemuda pengemis.

"Apa yang kalian lakukan ini, heh...?" tanya Rangga agak mendelik, melihat para prajurit itu menyiksa seorang pemuda pengemis.

"Siapa kau...? Jangan ikut campur urusan ini!" bentak salah seorang prajurit dengan kasar.

"Aku Rangga," sahut Rangga memperkenalkan diri, "Kenapa kalian menyiksa pengemis itu?"

"Ini bukan urusanmu, Anak Muda! Pergi saja kau dari sini!" bentak prajurit itu semakin kasar.

Pada saat itu Pandan Wangi sudah sampai. Dia juga terkejut melihat seorang pengemis menggeletak di tanah dengan kedua tangan menyatu terikat tambang. Pakaiannya yang sudah kumal dan compang-camping tampak semakin rusak karena terlalu jauh terseret Pengemis itu merintih, menahan perih pada sekujur tubuhnya yang lecet akibat terseret tadi.

"Lepaskan dia. Kalian tidak boleh menyiksa orang yang lemah," kata Rangga tegas.

"Ha ha ha...!"

Para prajurit itu malah tertawa terbahak-bahak. Dan empat di antaranya langsung maju mendekati Pendekar Rajawali Sakti itu dengan sikap yang pongah dan angkuh sekali. Sedang Rangga dan Pandan Wangi tetap berdiri tegak dengan sinar mata tajam menusuk.

"Enyah dari sini. Atau kau sudah bosan hidup, heh...!" desis salah seorang prajurit itu dingin.

"Sebaiknya, justru kalian yang harus pergi dari sini!" selak Pandan Wangi tidak kalah dinginnya.

"He...! Bocah Ayu, kau tahu sedang berhadapan dengan siapa, heh...? Kami para prajurit pilihan Kadipaten Kuring. Tak ada seorang pun yang bisa memerintah kami selain Gusti Adipati Paturakan!"

"Hm...?!"

Rangga dan Pandan Wangi tampak terkejut mendengar nama Adipati Paturakan disebut. Sedangkan keempat orang prajurit tadi makin mendekat saja. Pedang mereka terhunus di tangan masing-masing.

"He he he.... Kalian pasti terkejut mendengar nama Gusti Adipati Paturakan. Sebaiknya kalian cepat enyah dari sini, sebelum pedang-pedang kami memenggal leher kalian," kata prajurit itu lagi, yang makin pongah tingkahnya.

Namun, secara tak terduga Pandan Wangi melompat kilat ke arah pengemis muda yang masih merintih dan menggeletak di tanah itu. Begitu cepatnya gerakan si Kipas Maut, sehingga tak ada seorang pun yang sempat menyadarinya. Dan, tiba-tiba Pandan Wangi sudah mengeluarkan kipas baja putihnya yang sakti. Langsung dikebutkannya kipas itu ke tambang yang mengikat ke dua tangan si pengemis muda.

Tas!
"Hup...!"

Secepat kilat pula, Pandan Wangi langsung menyambar pengemis muda itu. Dan, tiba-tiba ia sudah berada sekitar sepuluh langkah di belakang Rangga, sambil menyangga pengemis muda yang sudah terbebas dari kekangan para prajurit itu.

"Setan keparat..!" geram salah seorang prajurit yang tampaknya menjadi pemimpin mereka.

Sedangkan Rangga hanya tersenyum melihat tindakan Pandan Wangi yang begitu cepat itu. Senyuman di bibir Pendekar Rajawali Sakti ini semakin lebar saat Pandan Wangi memapah pengemis muda itu ke tempat yang cukup aman.

"Bunuh mereka semua...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Begitu keluar perintah yang keras menggelegar, sepuluh orang berseragam prajurit itu langsung berhamburan menyerang Rangga.

"Hup! Yeaaah...!"

Tanpa membuang waktu lagi, Rangga langsung menyongsong serangan para prajurit itu. Gerakannya bagai kilat. Beberapa pukulan keras yang disertai serta tenaga dalam dilontarkan cepat sekali, sehingga para prajurit itu tak sempat lagi berkelit. Jeritan-jeritan panjang dan keluh kesakitan terdengar saling susul. Terlihat segera lima prajurit bergelimpangan terkena pukulan keras Pendekar Rajawali Sakti itu. Hanya sekali gebrakan saja, Rangga sudah mampu merobohkan lima orang prajurit.

Belum lagi lima prajurit lainnya menyadari apa yang telah terjadi, Rangga kembali melepaskan pukulan beruntun yang luar biasa cepatnya. Kembali terdengar jeritan-jeritan panjang yang saling susul. Dan lagi-lagi terlihat para prajurit jatuh bergelimpangan sambil mengaduh kesakitan. Sehingga, tak ada lagi seorang prajurit pun yang bisa berdiri. Dan, entah bagaimana caranya, Rangga sudah merampas semua pedang para prajurit yang kini bergelimpangan sambil merintih kesakitan.

"Cepat kalian pergi dari sini. Jangan sampai aku lepaskan nyawa kalian!" ancam Rangga dingin menggetarkan.

Cring!

Sekali lempar saja, sepuluh bilah pedang yang berada di tangannya langsung menancap berbaris di dekat para prajurit yang berusaha bangkit sambil terus menyeringai kesakitan itu. Dan, begitu bisa berdiri tanpa berkata apa-apa lagi mereka langsung berlari berserabutan, tanpa memikirkan lagi pedangnya yang tertancap berbaris seperti pagar di tanah. Rangga tersenyum saja melihat tingkah para prajurit itu.

Si Pendekar Rajawali Sakti kemudian berbalik dan melangkah menghampiri Pandan Wangi yang tengah merawat pengemis muda itu. Pandan Wangi langsung menyingkir, membiarkan Rangga menggantikan dirinya memeriksa luka-luka pengemis muda itu.

"Hanya luka luar," ujar Rangga setelah memeriksa luka-luka itu.

"Terima kasih, Kisanak...," ucap pengemis itu agak lirih.

"Siapa namamu? Dan kenapa kau sampai disiksa para prajurit itu?" tanya Rangga lembut sekali.

"Namaku Wadira. Mereka mau membawaku ke puncak Gunung Tambur," sahut pengemis muda itu, yang masih meringis menahan rasa perih di sekujur tubuhnya yang luka-luka.

"Ke Gunung Tambur...? Untuk apa?" tanya Pandan Wangi menyetak.

"Sudah banyak yang dibawa mereka ke sana. Terutama kami, para pengemis dan gelandangan yang ada di Kadipaten Kuring ini. Dan tak ada seorang pun yang kembali kalau sudah dibawa ke sana," kata pengemis muda yang mengaku bernama Wadira itu.

"Aneh...," desah Pandan Wangi menggumam perlahan.

"Sejak si Tangan Api menguasai Kadipaten Kuring, semuanya langsung berubah. Dan dia sekarang menjadi Adipati di sini. Dia menangkapi para pengemis dan gelandangan, lalu membawanya ke Gunung Tambur. Bahkan Gusti Adipati Bayangkala dan putranya, Raden Pangrona, juga dibawa ke sana. Anak angkat pemimpin kami, Jaka Gembel, juga dibawa ke Puncak Gunung Tambur. Sampai sekarang ini tidak ada kabarnya lagi. Sedangkan putri Gusti Adipati Bayangkala, Ayu Dewi Winarti, sekarang berada dalam tawanan si Tangan Api itu," tanpa diminta lagi Wadira menjelaskan keadaan yang sedang terjadi di Kadipaten Kuring ini.

Rangga dan Pandan Wangi berpandangan. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa sudah terjadi perubahan yang begitu besar di Kadipaten Kuring ini. Siang tadi, sama sekali mereka tidak melihat adanya perubahan. Hanya saja, mereka memang tidak lagi melihat pengemis dan gelandangan berkeliaran di jalan-jalan seperti biasanya. Kadipataen Kuring memang dikenal sebagai kota pengemis, karena begitu banyaknya pengemis dan gelandangan hidup di kota kadipaten ini. Sebelumnya mereka sama sekali tidak memperhatikan hilangnya para pengemis itu.

Kini mereka baru tahu, Adipati Paturakan yang dijuluki si Tangan Api ternyata menangkapi para pengemis dan gelandangan. Mereka lalu dibawa ke Puncak Gunung Tambur. Kota itu sekarang benar-benar terbebas dari kaum pengemis dan gelandangan. Memang tindakan pembersihan yang bagus, tapi Rangga melihat adanya sesuatu yang tidak wajar di balik tindakan ini. Di samping itu, dia tidak pernah membeda-bedakan manusia, baik itu para pembesar dan saudagar kaya, rakyat biasa, maupun para gelandangan. Jiwa kependekaran Rangga langsung ter-sentuh mendengar kisah yang dituturkan Wadira barusan.

"Wadira, ceritakanlah apa yang teriadi sebenarnya di Kadipaten Kuring ini," pinta Rangga, serius.

"Menyedihkan sekali...," sahut Wadira mendesah panjang.

"Menyedihkan...? Apa maksudmu, Wadira?" tanya Rangga tidak mengerti.

"Sulit untuk dikatakan. Sebaiknya kalian tanyakan saja hal ini pada Ki Gembel Bungkuk," sahut Wadira seraya bangkit berdiri.

Wadira masih meringis saat bergerak berdiri. Rasa perih masih menyengat seluruh tubuhnya yang penuh oleh luka gores. Rangga dan Pandan Wangi pun ikut berdiri.

"Siapa itu Ki Gembel Bungkuk?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.

"Ayah angkat semua kaum gembel dan pengemis," sahut Wadira. "Dia tahu semua yang teriadi di Kadipaten Kuring ini. Bahkan dia yang menjaga keselamatan Ayu Dewi Winarti di istana kadipaten."

"Tampaknya ini masalah yang serius sekali, Kakang. Tidak baik jika sebuah kadipaten dipimpin oleh orang yang salah," kata Pandan Wangi. "Akibatnya akan buruk nanti bagi seluruh rakyat Kadipaten itu sendiri. "

"Tapi Gusti Adrpati Bayangkala juga tidak baik dalam menjalankan pemerintahannya," selak Wadira.

"Maksudmu...?" tanya Rangga.

"Dia memerintah dengan tangan besi. Apa saja yang diinginkannya harus terlaksana, bagaimanapun sulitnya. Dia memang tak pernah memusuhi kaum pengemis dan gelandangan. Bahkan dia memberi tempat pada kaum kami di Kadipaten ini. Hanya saja, dia...," Wadira tidak melanjutkan kata-katanya.

"Hanya saja apa, Wadira?" desak Rangga ingin tahu.

"Dia selalu memperkaya diri. Dia tidak pernah mau memperhatikan nasib dan kesejahteraan rakyatnya. Bahkan dia memaksa rakyat untuk menyerahkan berbagai macam upeti yang sangat tinggi. Maka, ketika si Tangan Api berhasil menggulingkannya, seluruh rakyat jadi gembira. Terlebih lagi, si Tangan Api berjanji akan mengubah tata kehidupan seluruh rakyat di Kadipaten Kuring ini. Tapi itu semua hanya janji kosong. Buktinya dia sudah menangkapi para pengemis dan gelandangan, lalu membuangnya ke Puncak Gunung Tambur. Entah bagaimana nasib mereka yang sudah dibawa ke sana. Aku yakin, kalau tidak ada lagi pengemis dan gelandangan, rakyat pun akan mendapat giliran. Karena...," kembali Wadira tidak melanjutkan ucapannya.

"Kenapa, Wadira?" pinta Pandan Wangi ingin tahu.

"Dia... si Tangan Api bersekutu dengan perempuan iblis penguasa puncak Gunung Tambur," sahut Wadira dengan suara yang berbisik perlahan, seakan dia takut ada orang lain yang mendengarkannya.

"Siapa lagi perempuan Iblis itu?" tanya Pandan Wangi lagi.

"Aku... aku tidak bisa mengatakannya. Sebaiknya kalian tanyakan saja pada Ki Gembel Bungkuk. Dia tahu lebih banyak dari aku sendiri," sahut Wadira.

Pandan Wangi menatap pada Rangga yang juga tengah memandangnya. Beberapa saat mereka terdiam. Kemudian kedua pendekar itu sama-sama mengangkat bahu. Dari sedikit keterangan yang keluar dari mulut Wadira, mereka sudah bisa mengambil kesimpulan bahwa Kadipaten Kuring saat ini sedang berada di ambang pintu kehancuran. Kekuasaannya dipegang oleh orang yang bersekutu dengan iblis.

"Baiklah, ayo kita pergi sekarang menemui ayah angkatmu," ajak Rangga.

"Ayo, aku antarkan," sambut Wadira.

ENAM

Tidak lama kemudian, sampailah Rangga, Pandan Wangi, dan Wadira pada sebuah pondok kecil di tengah-tengah sebuah ladang perkebunan. Si Gembel Bungkuk berada di pondok itu. Kelihatannya dia memang sedang menunggu kedatangan mereka.

Rangga merasa seperti bermimpi. Dia menatap tak berkedip pada laki-laki tua bertubuh bungkuk itu. Wajah lelaki itu begitu buruk dan kulitnya hitam seperti arang. Rangga teringat pada sahabatnya yang juga memiliki tubuh seperti si Gembel Bungkuk ini. Sahabatnya itu pun biasa dipanggil si Bungkuk, karena tubuhnya juga bungkuk, berpunuk bagai onta pada punggungnya.

"Kenapa kau memandangku seperti itu, Rangga?" tegur si Gembel Bungkuk.

"Oh...! Kau tahu namaku...?" Rangga terperanjat.

Dia sama sekali belum memperkenalkan namanya tadi. Dan, mereka baru sekali ini bertemu. Bahkan Wadira pun belum sempat memperkenalkan Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut ini pada si Gembel Bungkuk itu. Tapi, laki-laki tua berbaju hitam yang buruk rupa dan bertubuh bungkuk itu sudah mengetahui nama Rangga.

"Tentu saja aku tahu siapa kau, Rangga. Tidak ada orang lain di dunia ini yang sepertimu," sahut si Gembel Bungkuk.

"Dari mana kau tahu namaku?" tanya Rangga penasaran.

"Kau tentu tidak lupa dengan si Bungkuk, kan...?"

Rangga mengangguk. Rasa herannya semakin besar menyelimuti hatinya. Berbagai macam dugaan langsung bergayut di dalam benaknya.

"Aku dan dia bersaudara. Dia telah banyak bercerita tentang dirimu. Makanya aku langsung mengenalmu begitu melihat kau datang, Rangga," kata si Gembel Bungkuk menjelaskan dengan nada suara yang tenang sekali.

"Oh...." Rangga mendesah panjang. Apa yang terlintas di dalam benaknya tadi ternyata memang benar. Dia sudah menduga kalau antara si Bungkuk dan si Gembel Bungkuk ini mempunyai hubungan yang amat dekat. Mereka memang bersaudara. Itu sebabnya mereka mirip sekali, sehingga Rangga sempat mengira bahwa laki-laki tua ini adalah si Bungkuk, sahabatnya yang sudah lama tidak dilihatnya lagi. Rangga dan si Bungkuk memang sama-sama pengembara yang tidak pernah diketahui tempat tinggal dan tujuannya.

"Apa ada sesuatu yang sangat penting hendak kau sampaikan sehingga kau mau menemui manusia hina sepertiku ini, Rangga?" tanya si Gembel Bungkuk.

"Sebenanya tidak. Kebetulan saja aku bertemu dengan Wadira. Dan sama sekali aku tidak tahu kalau di sini ada saudara Paman Bungkuk," sahut Rangga.

"Benar, Ki," selak Wadira.

Tanpa diminta lagi, Wadira pun langsung menceritakan semua peristiwa yang telah dialaminya. Cerita itu di awali dengan ditangkapnya dia oleh para prajurit Kadipaten dan di akhiri dengan diselamatkannya dia oleh Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Semuanya diceritakan Wadira dengan jelas, tanpa ada yang dikurangi atau dilebihkan.

"Hm..., jadi mereka masih juga mengejar anak-anakku...," gumam si Gembel Bungkuk setelah Wadira menyelesaikan kisahnya.

Kepalanya terangguk beberapa kali. Sebentar dia menatap pada Wadira, salah seorang anak angkatnya. Semua Gembel dan pengemis di Kadipaten Kuring ini memang dianggap sebagai anak angkatnya. Semua kaum pengemis juga menganggap laki-laki tua bertubuh bungkuk ini sebagai pemimpinnya. Bahkan si Gembel Bungkuk ini juga memberikan pelajaran berbagai ilmu olah kanuragan, agar para gelandangan bisa membela diri bila mendapat perlakuan sewenang-wenang dari orang lain.

Kelompok pengemis yang dipimpin oleh si Gembel Bungkuk ini sudah sangat terkenal. Ketenarannya tidak hanya terbatas di Kadipaten Kuring, tetapi juga sampai ke luar wilayah Kadipaten Kuring turut menggabungkan diri ke dalam kelompok ini untuk meminta perlindungan.

"Maaf, Ki... Sebenarnya apa yang terjadi di Kadipaten Kuring ini?" tanya Rangga.

"Apa Wadira tidak mengatakannya padamu, Rangga?" si Gembel Bungkuk itu malah balik bertanya.

"Sudah, tapi katanya bisa lebih jelas lagi kalau kau sendiri yang mengatakannya."

"Kalau kau sudah tahu, lalu apa yang akan kau lakukan?" tanya si Gembel Bungkuk lagi.

"Aku seorang pendekar, Ki. Aku tidak bisa melihat ada penindasan dan kesewenang-wenangan terjadi di depan mataku. Dan aku tidak akan lari dari segala keangkaramurkaan," sahut Rangga tegas.

"Hm...!"

Si Gembel Bungkuk mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia sudah begitu banyak mendengar sepak terjang pemuda berbaju rompi putih yang dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali Sakti ini. Dan, dia percaya bahwa Pendekar Rajawali Sakti akan mampu mengatasi semua persoalan yang sedang dihadapi oleh seluruh rakyat Kadipaten Kuring ini. Persoalan yang sangat berat itu tidak mungkin bisa dihadapi Gembel Bungkuk seorang diri. Terlebih lagi, sudah begitu banyak anak angkatnya yang menghilang tanpa ketahuan lagi nasibnya. Bahkan anak angkat kesayangannya pun ikut menghilang di puncak Gunung Tambur. Hingga kini tidak ada lagi beritanya.

"Kau tentu sudah tahu kalau Kadipaten Kuring ini dikuasai oleh seseorang yang memiliki hati iblis. Bahkan dia bersekutu dengan perempuan iblis yang menguasai puncak Gunung Tambur. Kau tentu sudah bisa meraba, apa yang akan terjadi jika hal ini terus berlangsung," kata si Gembel Bungkuk, perlahan sekali.

"Aku bisa mengerti, Ki," sahut Rangga.

"Ia bukan orang sembarangan, Rangga. Tingkat kepandaiannya sangat tinggi. Aku sendiri belum cukup mampu menandinginya...," kata si Gembel Bungkuk, terdengar seperti mengeluh. "Bahkan untuk menghadapi dua orang pengikutnya saja, aku tidak bakal mampu."

"Siapa saja mereka, Ki?" tanya Pandan Wangi.

"Kau pasti sudah tahu. Penguasa berhati iblis itu bernama Paturakan, yang dijuluki si Tangan Api. Sedangkan dua orang pengikutnya adalah si Tongkat Merah Samber Nyawa dan Iblis Rantai Baja," sahut si Gembel Bungkuk menjelaskan.

Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan setelah mendengar nama kedua orang pengikut setia si Tangan Api itu. Mereka langsung teringat pada dua orang laki-laki separuh baya yang mencegat dan langsung menyerang Rangga tanpa diketahui maksudnya. Dari semua penjelasan yang mereka dengar, Rangga dan Pandan Wangi langsung bisa mengetahui bahwa kedua orang yang mencegat itu adalah si Tongkat Merah Samber Nyawa dan Iblis Tongkat Baja, pengikut setia si Tangan Api. "Ki, apakah dua orang itu memakai senjata rantai dan tongkat berwarna merah...?" tanya Pandan Wangi untuk memastikan dugaannya.

"Benar."

"Tidak salah lagi...," desis Pandan Wangi.

"Ada apa...? Apa kalian pernah bertemu dengan mereka?" tanya si Gembel Bungkuk, sambil memandangi Rangga dan Pandan Wangi bergantian.

"Terus terang, Ki. Sampai saat ini pun aku belum bisa mengerti. Mereka tiba-tiba saja menghadang lalu menyerang tanpa alasan yang pasti," kata Rangga mencoba menjelaskan.

"Mereka sudah bertemu denganmu, Rangga?" tanya si Gembel Bungkuk ingin memastikan.

"Benar, Ki," Pandan Wangi yang menyahuti.

"Oh...," desah si Gembel Bungkuk panjang.

"Tapi tampaknya mereka tidak begitu mengenal Kakang Rangga, Ki. Bahkan mereka sempat mencoba meyakinkan bahwa Kakang Rangga adalah Pendekar Rajawali Sakti yang sesungguhnya," kata Pandan Wangi lagi.

"Kedatanganmu ke kadipaten ini akan menguntungkan mereka, Rangga," ujar si Gembel Bungkuk agak mendesah perlahan sekali sehingga hampir tidak terdengar.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Ki..?" ujar Rangga meminta penjelasan.

"Sesungguhnya mereka memang sedang mencarimu, Rangga. Bahkan mereka sudah mengirim utusan ke Istana Karang Setra. Mereka tahu kalau kau bukan hanya seorang pendekar kelana, tapi juga seorang raja di Karang Setra. Tentu kedatanganmu ke sini akan membuat mereka gembira, Rangga. Itu berarti mereka tidak perlu susah-susah lagi mencarimu. Dan itu juga berarti awal kehancuran bagi...," si Gembel Bungkuk tidak meneruskan.

Jelas sekali terlihat, raut wajah laki-laki tua itu berubah menjadi mendung, berselimut kabut tebal. Perubahan itu cepat diketahui Rangga dan Pandan Wangi, yang sejak tadi memang selalu memperhatikan laki-laki tua bermuka buruk dan bertubuh bungkuk ini. Kedua pendekar muda dari Karang Setra itu tertegun tidak mengerti. Mereka hanya bisa bertanya tanya di dalam hati. Sedangkan si Gembel Bungkuk masih tetap terdiam, dengan kepala tertunduk dan wajah tetap mendung terselimut kabut.

"Ada apa, Ki? Kau kelihatan sedih sekali," tegur Pandan Wangi.

"Kalian tahu, untuk apa Paturakan mencarimu, Rangga?" kata si Gembel Bungkuk.

"Untuk apa...?" tanya Pandan Wangi.

"Dia harus bisa membawamu pada Ratu Pelangi Maut di Gunung Tambur untuk ditukar dengan Raden Pangrona. Itulah satu-satunya syarat agar dia bisa menyunting Ayu Dewi Winarti putri Gusti Adipati Bayangkala." si Gembel Bungkuk menjelaskan dengan gamblang.

"Edan...!" desis Pandan Wangi geram.

"Memang begitulah tingkah si Tangan Api. Dia merebut Kadipaten Kuring ini hanya untuk mempersunting Ayu Dewi Winarti. Padahal, kalau dilihat dari usianya, dia lebih pantas menjadi ayahnya. Dia sudah terlalu tua untuk Ayu Dewi Winarti. Tapi dia tetap saja menginginkan gadis itu untuk dijadikan istrinya."

"Tidak tahu malu!" dengus Pandan Wangi.

Rangga sendiri diam saja. Dia mencerna semua kata-kata yang diucapkan si Gembel Bungkuk. Sungguh tidak disangka bahwa kedatangannya ke Kadipaten Kuring ternyata memang diharapkan sekali. Tapi, yang tidak bisa dimengertinya, si Tangan Api menginginkan dirinya untuk dijadikan barang pertukaran. Hal itu sangat menyinggung dan merendahkan martabatnya. Meski begitu, Rangga harus bisa menahan diri dulu. Dia tidak ingin termakan kata-kata dari satu orang saja. Dia harus menyelidiki terlebih dahulu, apa yang terjadi sebenarnya.

"Aku jadi ingin tahu, seperti apa si Tangan Api itu," desis Pandan Wangi geregetan.

"Dia bukan orang sembarangan, Pandan. Ilmu olah kanuragan dan kesakitannya tinggi sekali. Rasanya sukar dicari tandingannya, kecuali..." si Gembel Bungkuk tidak meneruskan ucapannya. Dia melirik pada Rangga, yang tetap saja berdiam diri.

"Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa hanya Kakang Rangga yang bisa menandinginya, Ki?" tanya Pandan Wangi langsung bisa menebak isi hati laki-laki tua bungkuk itu.

"Sekarang ini, tidak ada satu orang pun yang bisa menandingi ilmu kedigdayaan Pendekar Rajawali Sakti. Aku yakin, Rangga pasti bisa menandingi si Tangan Api itu," sahut si Gembel Bungkuk mantap.

Pandan Wangi melirik sedikit pada Rangga. Sedangkan Rangga masih diam membisu. Entah apa yang ada di dalam benak Pendekar Rajawali Sakti saat ini. Tak ada seorang pun yang bisa menduganya. Bahkan Pandan Wangi pun, yang kerap kali mendampinginya, tidak mampu menebak jalan pikiran dan isi hari pemuda tampan itu.

Rangga bangkit berdiri tanpa bicara sedikit pun. Dia melangkah keluar dari pondok kecil di tengah-tengah ladang perkebunan ini. Dia terus melangkah tanpa menoleh lagi. Sedangkan Pandan Wangi, si Gembel Bungkuk, dan Wadira masih tetap berada di dalam pondok kecil itu. Dan, Rangga terus melangkah menjauhi pondok. Dia baru berhenti setelah sampai di tepi sungai yang mengalir jernih. Ternyata si Pendekar Rajawali Sakti menghampiri kudanya yang tengah melepas dahaga di tepian sungai itu.

"Kita menghadapi persoalan yang tidak ringan sekarang ini Dewa Bayu. Aku benar-benar sulit untuk menentukan keputusan. Aku tidak tahu, mana yang harus aku ambil," kata Rangga kepada kudanya.

Kuda hitam Dewa Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya, sambil mendengus beberapa kali. Seakan dia bisa mengerti semua yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan, Rangga mengelus-elus leher kuda hitam itu dengan penuh kasih sayang.

"Kau tahu, apa yang harus aku lakukan sekarang, Dewa Bayu...?"

Dewa bayu menghentak-hentakkan satu kaki depannya ke tanah. Diangkatnya pula kepalanya tinggi-tinggi ke atas. Lalu dia meringkik keras memekakkan telinga.

"Hup...!"

Tanpa membuang waktu lagi, Rangga langsung melompat naik ke punggung kudanya. Sekali lagi kuda hitam itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Ringkikan kuda yang sangat keras itu membuat orang-orang yang ada di dalam pondok bergegas ke luar. Mereka terkejut sekali melihat Rangga sudah memacu kudanya dengan cepat, bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya.

"Kakang...! Mau kemana kau...?" teriak Pandan Wangi sekuat-kuatnya.

Tapi, Rangga sudah begitu jauh. Kemudian dia menghilang ditelan lebatnya pepohonan. Pandan Wangi, si Gembel Bungkuk, dan Wadira hanya bisa memandangi kepulan debu yang ditinggalkan Dewa Bayu.

"Mau ke mana dia�?" tanya si Gembel Bungkuk, seperti kepada dirinya sendiri.

********************

Rangga terus mengikuti lari kudanya. Sama sekali dia tidak mengendalikan kuda itu, walaupun tali kekang kuda hitam yang terbuat dari perak itu berada erat di dalam genggaman tangannya. Dewa Bayu terus berlari kencang seperti terbang di atas tanah. Debu berkepul tebal, membumbung tinggi ke angkasa.

"Hieeekh. ..!"

Sambil meringkik keras, tiba-tiba saja kuda hitam itu berhenti berlari. Dia mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Rangga langsung melompat turun begitu kaki depan kudanya kemball menjejak tanah. Ringan sekali gerakan Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan, tanpa menimbulkan suara sedikit pun, dia mendarat dengan manis sekali di tanah berumput yang basah oleh embun.

Beberapa saat Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling, merayapi sekitarnya yang tampak begitu sunyi. Hanya pepohonan dan bebatuan yang tertihat. Kabut sangat tebal sehingga si Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa memandang lebih jauh lagi. Rangga tidak tahu, berada di mana dia sekarang ini. Tapi, begitu kabut sedikit tersibak, Pendekar Rajawali Sakti pun tertegun.

"Puri..." desisnya perlahan.

Dia sungguh tidak mengerti, di depannya sekarang ini berdiri sebuah bangunan puri yang seluruhnya terbuat dari batu berselaput lumut tebal. Namun, Rangga kemudian menyadari bahwa sekarang ini dia berada di atas Puncak Gunung Tambur. Sebuah tempat yang selama ini menjadi momok menakutkan bagi seluruh kaum pengemis dan gelandangan di Kadipaten Kuring. Beberapa saat lamanya Pendekar Rajawali Sakti itu mengamati bangunan yang tampak angker dan menyeramkan ini.

Keadaan sekeliling yang terselimut kabut tebal membuat suasana di sekitar puncak Gunung Tambur ini semakin terasa mengerikan. Tak terdengar suara sedikit pun. Bahkan angin sama sekali tidak terasakan. Tak ada satu binatang pun yang terlihat. Perlahan Rangga melangkah hendak mendekati bangunan puri itu. Tapi, baru saja dia berjalan tiga langkah, kuda hitam Dewa Bayu sudah mencegahnya.

"Hm..., ada apa. Dewa Bayu?" tanya Rangga.

Kuda hitam Dewa Bayu hanya mendengus kecil beberapa kali, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Seakan dia hendak mencegah niatnya sambil menggelengkan kepalanya. Seakan dia hendak mencegah si Pendekar Rajawali Sakti untuk mendekati bangunan puri itu. Rangga bisa mengerti maksud kuda tunggangannya ini. Dia tidak jadi melangkah mendekati puri itu. Dia hanya memandanginya dengan benak diliputi berbagai macam pertanyaan yang tidak mungkin bisa terjawab dengan cepat. Dia memang pernah mendengar tentang puri ini dari cerita si Gembel Bungkuk dan Wadira. Tapi, dia tidak tahu, ada apa di dalam puri angker itu.

"Kenapa kau mengajakku ke sini, Dewa Bayu?" tanya Rangga.

Tapi, kuda hitam itu hanya diam saja. Dia malah memandangi Rangga dengan sinar mata yang merah dan begitu dalam. Rangga tidak mengerti sama sekali arti pandangan kuda tunggangannya ini. Dia memegang tali kekang kudanya yang terbuat dari perak itu. Kemudian Rangga melompat naik ke punggung Dewa Bayu dengan gerakan yang manis dan ringan sekali.

"Ayo kita kembali," ajak Rangga, sambil menghentakkan tali kekang kudanya ini.

Tapi, kuda hitam itu tidak juga mau bergerak. Belum lagi Pendekar Rajawali Sakti hilang rasa keheranannya dengan sikap kuda tunggangannya ini, mendadak saja dari balik pepohonan bermunculan pemuda-pemuda yang mengenakan baju kumal penuh tambalan, seperti kaum pengemis dan gelandangan. Mereka bergerak perlahan mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Rangga benar-benar terkejut, karena sekelilingnya sekarang sudah terkepung oleh puluhan orang mengenakan baju kumal penuh tambalan. Dan, semuanya menggenggam tongkat kayu yang beraneka macam ukurannya.

"Mau apa mereka...?" Rangga bertanya-tanya sendiri di dalam hati.

Dan, pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti itu langsung terjawab ketika tiba-tiba salah seorang dari pengemis itu melompat cepat sambil berteriak keras menggelegar.

"Hiyaaat..!"
"Heh...?! Uts!"

Rangga terkejut setengah mati mendapat serangan yang sangat mendadak itu. Buru-buru dia membungkukkan tubuhnya. menghindari sabetan tongkat dari pengemis muda tadi. Tongkat kayu itu pun langsung lewat di atas tubuhnya yang membungkuk dii punggung kuda. Tapi, belum juga Rangga bisa menegakkan tubuhnya kembali, sudah datang lagi dua serangan sekaligus dari arah kanan dan kirinya.

"Hup!"

Pendekar Rajawali Sakti terpaksa melentingkan tubuhnya ke udara. Lalu, sambil mengerahkan Jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Dia meluruk turun dengan deras sekali. Kedua kakinya bergerak cepat menghantam dua orang pengemis itu sekaligus. Jeritan keras melengking tinggi seketika, disusul ambruknya dua orang pengemis berusia muda itu.

"Hap! Yeaaah...!"

Cepat-cepat Rangga merundukkan tubuhnya begitu sebatang tongkat berkelebat cepat mengarah ke kepalanya. Padahal, dia baru saja menjejakkan kakinya di tanah. Sementara itu, kuda hitam Dewa Bayu menyingkir perlahan, menjauhi pertarungan itu. Dia dengan tenang mengawasi Rangga yang terus diserang oleh puluhan pemuda berpakaian pengemis itu. Tampaknya Pendekar Rajawali Sakti akan mampu menghadapi keroyokan para pengemis ini.

"Hap!"

Cepat sekali Rangga menarik napasnya dalam-dalam dan menahannya di dalam perut. Dipindahkannya jalan pernapasannya melalui perut. Kemudian, langsung dia mengerahkan jurus-jurus dari 'Rangkaian Lima Jurus Rajawali' yang dikuasainya secara bertahap dari tingkatan pertama.

Tapi, begitu hampir pada Jurus 'Seribu Rajawali". Rangga langsung memindahkannya ke jurus yang pertama. Pendekar Rajawali Sakti itu belum menganggap perlu menggunakan jurus 'Seribu Rajawali'. Dan, ketika dia mengeluarkan jurus 'Cakar Rajawali', beberapa orang pengemis yang mengeroyoknya langsung bertumbangan dengan hanya beberapa gebrakan saja. Cepat Rangga mengubah jurusnya kembali. Dikeluarkannya jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Gerakan-gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti itu luar biasa cepatnya. Para pengeroyoknya menjadi kesulitan untuk mendesak. Tubuh-tubuh yang bergelimpangan sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Rangga terus berkelebatan cepat sambil melontarkan pukulan beruntun yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, disertai sesekali tendangan menggeledek dari jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Lawan-lawannya pun semakin tidak berdaya menghadapinya.

"Hup! Hiyaaa...!"

Dan, begitu Rangga meiliki kesempatan. cepat-cepat dia melompat, langsung hinggap di punggung kudanya. Tanpa membuang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu langsung menggebah kudanya dengan cepat. Kuda hitam itu meringkik keras. Seketika itu juga dia melesat cepat bagai angin.

"Hiya! Hiyaaa...!"

TUJUH

Belum jauh melarikan kudanya, mendadak sebuah bayangan merah muda berkelebat cepat bagai kilat di atas kepalanya. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti itu merundukkan kepalanya, sambil menarik tali kekang kudanya hingga berhenti mendadak. Kuda hitam itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, membuat Pendekar Rajawali Sakti itu terpaksa melompat sebetum terlempar dari pungung kuda itu.

"Hap!"

Dengan gerakan yang manis sekali, Rangga berjumpalitan di udara. Dan, dengan manis sekali dia menjejakkan kakinya di tanah. Kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti itu menyipit, begitu dilihat di depannya kini sudah berdiri seorang wanita cantik mengenakan baju merah muda yang ketat dan tipis sekali.

"Lama sekali aku menunggu kedatanganmu, Rangga," kata wanita cantik berbaju merah muda yang sangat tipis itu dengan lembutnya.

"Hm..., kau yang bernama Ratu Pelangi..?" tanya Rangga datar.

"Tepat..! Aku Ratu Pelangi. Dan kau akan menjadi pendampingku, Rangga. Sudah lama aku menunggu kesempatan ini. Hanya kau satu-satunya yang pantas untuk menjadi pendampingku di Puri Tambur."

"Aku tidak kenal dengan dirimu. Bagaimana mungkin kau bisa menetapkan begitu, Ratu Pelangi?"

"Ha ha ha...! Kau memang belum mengenalku, Rangga. Aku tahu banyak dirimu sebelum kau lahir. "

"Hmmm..." Rangga hanya menggumam sedikit.

"Sekarang kau sudah datang, Rangga. Dan kau tidak bisa lagi pergi dariku," tegas Ratu Pelangi Maut.

"Begitukah...?"

"Ya! Kau harus tinggal bersamaku, selamanya."

"Hmm... Bagaimana lelaki yang kau simpan?" pancing Rangga.

"Heh...?! Laki-laki mana...?" Ratu Pelangi Maut tampak terkejut.

"Kau tidak perlu berpura-pura, Ratu Pelangi. Aku tahu kalau kau menyimpan beberapa laki-laki di sini. Dan aku rasa, kau tidak lagi memerlukan diriku."

"Huh! Dari mana kau tahu?" dengus Ratu Pelangi Maut.

"Itu tak penting bagimu, Ratu Pelangi. Kalau kau benar-benar menginginkan aku tinggal di sini, aku tidak ingin ada laki-laki lain kecuali diriku sendiri. Dan kau harus membebaskan mereka semua, tanpa kecuali."

"Siapa yang mengirimmu ke sini, Rangga?" tanya Ratu Pelangi Maut, dengan nada suara yang jelas sekali mengandung curiga

"Tidak ada. Aku datang sendiri ke sini bersama kudaku," sahut Rangga kalem.

"Kau jangan dusta, Rangga. Kedatanganmu atas permintaan Paturakan, bukan...? Katakan terus terang, kau datang karena dia atau bukan...?" desak Ratu Pelangi Maut tegas.

"Tidak! Aku tidak kenal dengan orang yang kau sebutkan itu. Aku datang sendiri bersama kudaku," sahut Rangga tidak kalah tegasnya.

"Lalu, dari mana kau tahu kalau aku menyimpan laki-laki di sini?"

Rangga tidak langsung bisa menjawab pertanyaan itu. Memang terlalu sulit baginya. Tidak mungkin mengatakan bahwa sebenarnya dia sudah tahu semuanya dari si Gembel Bungkuk dan Wadira, yang sekarang ini pasti sedang mencarinya bersama Pandan Wangi.

"Baiklah, Rangga. Kalau kau tidak mau menjawab. Aku akan melenyapkan mereka semua. Dan tinggal kau sendiri yang ada di sini bersamaku," kata Ratu Pelangi Maut tegas.

"Apa maksudmu, Ratu Pelangi..?" sentak Rangga terkejut.

"Mereka memang tidak ada gunanya. Aku hanya memakai mereka untuk memancingmu ke sini. Dan sekarang kau sudah ada di sini, itu berarti mereka tidak ada gunanya lagi bagiku. Mereka sudah sepantasnya dilenyapkan," kata Ratu Pelangi Maut dengan tenangnya.

"Kau tidak bisa berbuat seenaknya, Ratu Pelangi...! Biarkan mereka bebas," sentak Rangga.

"Ini wilayah kekuasaanku, Rangga. Aku bebas melakukan apa saja yang kusukai di sini. Jadi, jangan berlagak di depanku. Kalau aku bilang mereka harus lenyap, tidak ada yang bisa mencegahku Dan kau juga tidak...!" sentak Dewi Pelangi Maut lantang menggelegar.

"Aku tetap akan mencegahmu membunuh mereka, Ratu Pelangi," desis Rangga tegas menggetarkan.

"Hhh! Sudah kuduga sejak semula. Kau memang tidak mudah ditaklukkan, Rangga. Baik... kita adakan perjanjian."

"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan.

"Kalau kau berhasil mengalahkan aku, kau dan semua laki-laki yang ada di sini bisa bebas pergi. Tapi kalau kau kalah, kau harus tunduk padaku dan jangan sekali-sekali menentang. Bagaimana...?" Ratu Pelangi Maut mengajukan persyaratan.

"Baik, aku terima syaratmu," sambut Rangga tanpa berpikir panjang lagi.

Ratu Pelangi Maut tersenyum lebar mendengar sambutan Rangga yang begitu cepat dan tegas itu. Dia memang sudah menduga kalau Pendekar Rajawali Sakti itu akan menerima tawarannya. Ini memang yang diinginkannya sejak semula. Itu berarti dia bisa menjajal tingkat kepandaian yang dimiliki si Pendekar Rajawali Sakti.

"Nah...! Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti. Hiyaaat...!"

"Hup! Yeaaah...!"

Pertarungan pun tidak dapat dihindari lagi. Ratu Pelangi Maut langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan jurus-jurusnya yang sangat dahsyat dan berbahaya. Tapi, Rangga malah hanya mengeluarkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Dia memang belum tahu, sampai di mana tingkat kepandaian yang dimiliki wanita cantik penguasa Puncak Gunung Tambur ini.

Sebentar saja Ratu Pelangi Maut sudah menghabiskan lima jurus. Sedangkan Rangga baru mengeluarkan satu jurus. Namun, wanita cantik berbaju merah muda yang tipis itu belum juga bisa mendesak Pendekar Rajawali Sakti ini Jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang dimainkan Rangga memang terlalu sukar untuk ditembus. Rangga seakan akan selalu mengetahui ke arah mana serangan Ratu Pelangi Maut dilancarkan. Dan, dengan gerakan tubuh yang begitu manis, Pendekar Rajawali Sakti itu selalu saja berhasil menghindari setiap serangan.

"Hiyaaa...!"

Tiba-tiba saja Rangga mengubah jurusnya begitu Ratu Pelangi Maut sudah menghabiskan sepuluh jurus. Pemuda berbaju rompi putih itu kini mengeluarkan jurus 'Cakar Rajawali'. Semua jari tangannya terkembang kaku seperti cakar seekor burung Rajawali yang siap hendak merobek-robek tubuh mangsanya. Gerakan-gerakan kedua tangannya juga begitu cepat, yang dimbangi pula dengan gerakan-gerakan tubuh yang meliuk indah dan gerakan kaki yang begitu lincah dan ringan.

Baru beberapa gebrakan. Rangga sudah bisa membuat Ratu Pelangi Maut kelabakan setengah mati. Dan, ketika Rangga mengubah jurusnya dengan cepat, wanita cantik itu semakin bertambah kelabakan. Bahkan, kini Pendekar Rajawali Sakti itu cepat sekali mengubah jurus-jurusnya, membuat Ratu Pelangi Maut terdesak.

"Hiyaaa...!"

Tiba-tiba saja Ratu Pelangi Maut melentingkan tubuhnya ke udara dan melakukan beberapa kali putaran. Lalu wanita itu kembali menjejak tanah sejauh dua batang tombak dari Pendekar Rajawali Sakti.

"Phuih! Kau benar-benar hebat, Rangga," puji Ratu Pelangi Maut dengan tulus.

"Terima kasih," ucap Rangga sambil tersenyum.

"Tapi kau belum menang, Rangga. Dan aku juga belum kalah."

"Terserah apa katamu, Ratu Pelangi."

"Hep...!"

Ratu Pelangi Maut cepat merapat kedua tangannya di depan dada. Kemudian dia menarik napasnya dalam-dalam. Lalu direntangkan kedua kakinya lebar-lebar ke samping. Sorot matanya tajam sekali, menusuk langsung ke bola mata Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu masih tampak berdiri tenang, walaupun dia tahu bahwa Ratu Pelangi Maut sedang bersiap mengerahkan ilmu kesaktiannya.

"Hap! Yeaaah....!"

Cepat sekali Ratu Pelangi Maut menghentakkan tangannya ke depan. Dan, ketika itu juga, dari kedua telapak tangannya meluncur secercah cahaya yang berwarna-warni bagai pelangi. Begitu indahnya cahaya pelangi itu, hingga membuat Rangga tertegun sejenak. Namun, begitu ujung cahaya pelangi itu hampir menyentuh tubuhnya, cepat-cepat Rangga membanting diri ke tanah dan bergulingan beberapa kali.

Glarrr....!

Ledakan dahsyat terdengar begitu keras menggelegar. Ujung cahaya pelangi yang keluar dari telapak tangan wanita cantik itu menghantam sebuah pohon yang tadi berada di belakang Rangga. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat bangkit berdiri, setelah beberapa kali bergulingan di tanah.

Namun, sebelum dia berdiri tegak dengan sempurna, tiba-tiba cahaya pelangi yang memancar dari telapak tangan Ratu Pelangi Maut itu sudah meliuk cepat meluruk bagai anak panah ke arah dada pemuda itu.

"Hup! Hiyaaa...!"

Rangga cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke udara, menghindari terjangan cahaya pelangi itu. Tapi, dia kini terkejut setengah mati. Cahaya pelangi itu tampak seperti memiliki mata saja. Cahaya itu terus mengejar ke mana pun Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak menghindar. Hal ini membuat Rangga harus berjumpalitan di udara.

"Hap!"

Rangga cepat-cepat merapatkan kedua tangannya di depan dada begitu kakinya bisa menjejak tanah. Tapi, belum juga dia bisa mengeluarkan aji kesaktiannya, cahaya pelangi itu sudah kembali menyerang dengan kecepatan yang begitu tinggi. Dia berputar dua kali di udara.

"Huh! Akan kukecoh dia dengan Jurus 'Seribu Rajawali'," dengus Rangga dalam hati.

Tepat ketika Pendekar Rajawali Sakti itu berhasil lagi menjejakkan kakinya di tanah, dengan cepat dia kembali melesat ke samping. Lalu dia terus berpindah-pindah dengan kecepatan yang begitu tinggi. Bahkan kini Rangga bergerak cepat mengitari tubuh Ratu Pelangi Maut. Begitu cepatnya gerakan-gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga seolah-olah pemuda berbaju rompi putih itu menjadi banyak jumlahnya.

"Setan...! Ilmu apa yang dia pakai...?" dengus Ratu Pelangi Maut kebingungan.

Beberapa kali dia menghantamkan cahaya pelanginya. Tapi, setiap kali ujung cahaya itu tampak sudah mengenal tubuh Rangga, ternyata hanya bayangan Pendekar Rajawali Sakti itu yang terkena. Ratu Pelangi Maut sama sekali sudah tidak bisa menemukan tubuh Rangga yang sesungguhnya. Kini dia seperti dikelilingi oleh seribu Rangga yang mengeluarkan Jurus 'Seribu Rajawali'.

"Setan keparat..! Hiyaaat...!"

Ratu Pelangi Maut marah setengah mati. Sambil mengangkat dan memutar tubuhnya dengan cepat, dia merentangkan kedua tangannya ke samping. Sehingga, cahaya pelangi yang memancar dari kedua telapak tangannya itu bergulung-gulung menyambar setiap tubuh Rangga yang berada di sekelilingnya. Ledakan pun terdengar saling susul dengan dahsyatnya. Pepohonan dan batu-batuan yang ada di sekitar ajang pertarungan ini hancur berkeping-keping terkena hantaman sinar pelangi itu

"Hiyaaa...!"
"Heh...?!"

Ratu Pelangi Maut terkejut setengah mati ketika tiba-tiba saja dari atas kepalanya meluncur Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat itu dia juga melihat di sekelilingnya begitu banyak Pendekar Rajawali Sakti lainnya. Tapi, hanya sesaat dia terkejut. Dengan cepat sekali wanita cantik itu menjatuhkan tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan menghindari serangan Rangga yang datang dari atas kepalanya tadi.

"Hup! Hiyaaa...!"

Begitu melompat bangkit kembali Ratu Pelangi Maut langsung menghentakkan kedua tangannya ke depan. Saat itu juga Rangga-Rangga palsu menghilang. Dan, pada saat yang sama, Rangga yang kini kembali menjadi satu orang juga menghentakkan kedua tangannya ke depan.

"Aji Cakra Buana Sukma! Yeaaah...!"

Seleret cahaya biru berkilauan memancar seketika dari kedua telapak tangan Rangga begitu dia mengerahkan 'Aji Cakra Buana Sukma', salah satu ilmu kesaktiannya yang sangat dahsyat dan belum ada tandingannya sampai saat ini.

Tepat di tengah-tengah, dua cahaya yang saling berlawanan itu beradu, hingga menimbulkan ledakan yang menggelegar. Begitu dahsyatnya ledakan itu, sehingga tanah yang mereka pijak bergetar hebat bagai diguncang gempa.

"Akh....!" Ratu Pelangi Maut memekik agak tertahan.

Cahaya pelangi yang memancar dari kedua telapak tangannya menghilang seketika. Tapi, cahaya biru yang memancar dari telapak tangan Rangga terus meluruk deras bagai kilat. Tak ada waku lagi bagi Ratu Pelangi Maut untuk menghindar. Seketika itu juga seluruh tubuhnya langsung tergulung cahaya biru yang semakin banyak keluar dari telapak tangan si Pendekar Rajawali Sakti.

"Aaa...!" Ratu Pelangi Maut melengking tinggi. Tubuhnya menggeliat-geliat di dalam selubung cahaya biru dari 'Aji Cakra Buana Sukma'. Sedangkan Rangga mengayunkan kakinya sedikit demi sedikit mendekati wanita yang kini sudah hampir tidak berdaya itu.

Ratu Pelangi Maut terus menggeliat-geliat sambil berteriak-teriak, mencoba melepaskan diri dari selubung sinar biru itu. Tapi, semakin banyak dia mengerahkan tenaga, semakin banyak pula kekuatannya yang tersedot, tanpa dapat dikendalikan lagi. Akhirnya, gerakan-gerakan tubuh wanita itu semakin mengendor dan kemudian tidak bergerak sama sekali.

Begitu Rangga mencabut aji kesaktiannya, tubuh Ratu Pelangi langsung terjatuh menggeletak ke tanah dengan seluruh tubuh lemas tak bertenaga. Hanya gerak perlahan di dadanya yang menandakan kalau dia masih hkiup. Sedangkan sinar matanya sudah begitu redup, bagai tak ada lagi gairah hidup. Perlahan Rangga menghampiri wanita cantik yang kini sudah tidak lagi memiliki daya itu.

"Di mana mereka?" tanya Rangga langsung.

"Untuk apa kau tanyakan mereka, Rangga...?" sahut Ratu Pelangi Maut, lemah sekali.

"Kau sudah kalah, Ratu Pelangi. Kau harus memenuhi janjimu sendiri," kata Rangga tegas. "Katakan, di mana mereka...?"

"Di dalam puri," Jawab Ratu Pelangi lesu.

Rangga menggerakkan jari tangannya beberapa kali, memberikan totokan di dada wanita cantik itu. Perlahan kemudian Ratu Pelangi Maut bisa menggerakkan tubuhnya kembali. Lalu dia bangkit berdiri. Tapi, wanita itu kini benar-benar sudah tidak mempunyai daya lagi. Dia sudah tidak mungkin bisa melanjutkan pertarungannya. Tenaganya benar-benar terkuras habis. Bahkan mungkin kesaktiannya pun sudah lenyap.

"Kau bisa memulihkan kembali kekuatanmu, Ratu Pelangi. Tapi kau harus menunggu paling tidak satu tahun," kata Rangga memberi tahu.

"Ilmu apa yang gunakan tadi?" tanya Ratu Pelangi Maut.

"Aji Cakra Buana Sukma," sahut Rangga tanpa bermaksud menyombongkan diri.

"Selama ini belum ada yang bisa menandingiku. Baru kau seorang yang bisa melumpuhkanku, Rangga. Kenapa tidak kau bunuh saja aku..?"

"Tidak ada gunanya membunuhmu, Ratu Pelangi. Aku bukan pembunuh. Dan aku tak berhak mencabut nyawamu. Dewata sajalah yang berhak."

"Apa yang kau inginkan dariku, Rangga?"

"Bebaskan semua yang kau kurung," sahut Rangga tegas.

"Mereka ada di dalam puri."

"Kau bisa tunjukkan di mana tempatnya?"

Tidak ada pilihan lain bagi Ratu Pelangi Maut selain menunjukkan jalan masuk ke dalam puri. Rangga mengikuti wanita itu dari belakang. Ayunan kaki wanita cantik itu gontai sekali. Dia sama sekali tidak bergairah. Dia sudah menyadari bahwa tidak ada lagi kekuatan di dalam dirinya. Sekarang Ratu Pelangi Maut benar-benar menjadi wanita lemah tanpa daya.

Akhir dari pertarungan itu sungguh menyakitkan bagi Ratu Pelangi Maut. Tapi, dia tidak menyesali kekalahannya ini. Dia justru malah senang, karena dikalahkan oleh seorang pemuda yang berkepandaian lebih tinggi darinya, yang juga disukainya selama ini. Meskipun, tidak ada harapan lagi baginya untuk bisa mendapatkan Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Boleh aku tahu sesuatu darimu, Rangga?"

"Katakanlah."

"Apa yang akan kau lakukan setelah mereka semua bebas?"

"Mengembalikan mereka."

"Itu berarti kau harus berhadapan dengan Paturakan dan para pengikutnya"

"Semua sudah aku perhitungkan, Ratu Pelangi."

"Aku yakin, kau pasti bisa mengalahkan mereka, karena kau sudah bisa mengalahkan aku."

Rangga hanya tersenyum.

DELAPAN

Sementara itu, di dalam istana Kadipaten Kuring, Adipati Paturakan tampak gelisah sekali. Entah sudah berapa kali dia berjalan mondar-mandir di dalam ruangan balai agung yang luas ini. Sedangkan dua orang pengikut setianya hanya berdiri dengan mulut terkatup rapat memperhatikan si Tangan Api yang kelihatan gelisah itu.

"Kalian yakin kalau anak muda itu Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Adipati Paturakan

"Yakin sekali, Kakang Paturakan," sahut Tongkat Merah Samber Nyawa mantap.

"Lalu, kenapa kalian tidak bisa menangkap Pendekar Rajawali Sakti itu?"

"Kepandaiannya sangat tinggi, Kakang. Aku dan Rantai Baja sudah berusaha, tapi...."

"Kalian dapat dikalahkannya? Begitu...?" selak Adipati Paturakan.

Tongkat Merah Samber Nyawa langsung bungkam. Sedangkan Adipati Paturakan kini berdiri mematung di depan jendela. Dan, baru saja dia hendak memutar tubuhnya berbalik, tiba-tiba matanya menangkap sebuah bayangan putih berkelebat cepat melewati jendela itu.

"Heh...?!"

Bukan Adipati Paturakan saja yang terkejut. Dua orang pengikut setianya pun terperanjat setengah mati. Tiba-tiba saja di dalam ruangan ini sudah berdiri seorang pemuda tampan yang mengenakan baju rompi putih. Gagang pedang berbentuk kepala burung tersembul di punggung pemuda itu.

"Pendekar Rajawali Sakti...," desis Adipati Paturakan langsung mengenali pemuda tampan berbaju rompi putih yang muncul seperti setan itu.

"Kenapa terkejut, Tangan Api...? Bukankah kau menghendaki aku?" datar sekali nada suara Rangga.

"Dari mana kau tahu...?" tanya Adipati Paturakan tambah terkejut.

"Aku."

Terdengar sahutan berat dari pintu depan. Adipati Paturakan dan kedua orang pengikut setianya terbeliak saat berpaling bersamaan ke arah datangnya suara itu. Tampak di ambang pintu sudah berdiri seorang laki-laki tua bertubuh bungkuk, dengan wajah yang buruk dan berkulit hitam seperti arang. Pakaiannya sangat kumal dan penuh dengan tambalan.

"Ki Gembel Bungkuk...," desis Adipati Paturakan langsung mengenali.

Laki-laki tua bertubuh bungkuk yang ternyata memang si Gembel Bungkuk itu melangkah masuk ke dalam ruangan yang sangat luas dan indah ini. Kemudian menyusul pula Pandan Wangi dan Wadira. Keterkejutan si Tangan Api dan dua orang pengikut setianya semakin bertambah, ketika di belakang Pandan Wangi dan Wadira muncul pula Adipati Bayangkala, Raden Pangrona, Jaka Gembel, dan beberapa orang berpakaian kumal penuh tambalan yang semuanya sudah dikirim ke puncak Gunung Tambur. Semuanya langsung mengambil tempat di belakang Pendekar Rajawali Sakti. Hanya Ki Gembel Bungkuk dan Adipati Bayangkala yang berdiri sejajar dengan pemuda berbaju rompi putih itu.

"Sekeliling istana ini sudah terkepung. Tidak ada lagi prajurit yang mau setia padamu, Paturakan," kata Adipati Bayangkala agak lantang.

"Ba... bagaimana kalian bisa ke luar dari puri...?" tanya Paturakan, tergagap.

"Rangga menyediakan diri untuk ditukar dengan Raden Pangrona. Tapi sayang, Ratu Pelangi Maut junjunganmu itu tidak sanggup menandingi kesaktian Pendekar Rajawali Sakti ini. Dia menyerah dan membebaskan semua tawanannya," jelas Ki Gembel Bungkuk dengan singkat.

Seluruh tubuh Paturakan menggeletar sedikit mendengar Ratu Pelangi Maut sudah berhasil ditundukkan oleh Pendekar Rajawali Sakti. Dia langsung menyadari bahwa dia tak akan mungkin bisa mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti. Tingkat kepandaian yang dimilikinya saja masih berada di bawah tingkat kepandaian Ratu Pelangi Maut.

Dan, wanita penguasa puncak Gunung Tambur itu sudah ditundukkan oleh pemuda berbaju rompi putih yang berjuluk si Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, Paturakan yang dikenal dengan julukan si Tangan Api ini tidak mau menyerah begitu saja. Meskipun, dia menyadari bahwa keadaannya tidak lagi menguntungkan.

"Sebaiknya kau menyerah saja, Paturakan. Tidak ada gunanya lagi kau bertahan," kata Adipati Bayangkala tegas. "Kau lihat sekeliling istana ini sudah terkepung. Tidak ada lagi kesempatan untukmu meloloskan diri."

"Phuih! Kau tidak bisa menggertakku begitu saja. Bayangkala! Aku belum kalah...!" dengus Paturakan lantang.

Sret!

Si Tangan Api langsung saja mencabut pedangnya yang tersembunyi di balik jubah birunya yang panjang. Cahaya keperakan langsung membersit dari pedang yang sudah terhunus melintang di depan dada itu. Tongkat Merah Samber Nyawa dan Iblis Rantai Baja juga sudah siap dengan senjatanya masing-masing. Mereka benar-benar tidak ingin menyerah, meskipun sadar tidak mungkin bisa meloloskan diri lagi.

"Hiyaaat..!"

Tanpa berpikir panjang, Adi Paturakan langsung melompat cepat sambil mengebutkan pedangnya ke arah Rangga yang berdiri di tengah-tengah. Pada saat itu juga, Rangga menghentakkan kedua tangannya ke samping, mendorong Adipati Bayangkala dan Ki Gembel Bungkuk, sehingga mereka menyingkir. Langsung Pendekar Rajawali Sakti itu merundukkan kepalanya, menghindari tebasan pedang si Tangan Api

"Hih!"

Dan, tanpa diduga sama sekali, tangan kanan Rangga menghentak ke depan, memberikan sodokan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi, ke arah perut si Tangan Api. Begitu cepatnya sodokan tangan Pendekar Rajawali Sakti itu, sehingga si Tangan Api terbeliak kaget.

"Hah...!"

Cepat-cepat si Tangan Api memutar tubuhnya. berjumpalitan ke belakang dua kali. Dan, begitu kakinya kembali menjejak tanah, langsung pedangnya dikebutkan ke depan mengarah ke dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun, sedikit pun Rangga tidak berusaha menghindar. Dan, begitu ujung pedang bercahaya keperakan itu hampir menghunjam dadanya, dengan cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti itu mengatupkan kedua tangannya di depan dada.

Tap!
"Heh..?!"

Paturakan terkejut setengah mati. Ujung pedangnya dijepit oleh kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan, pada saat itu, Tongkat Merah Samber Nyawa melompat secepat kilat hendak membantu si Tangan Api. Namun....

"Hiyaaa...!"

Secepat itu pula Pandan Wangi melesat menghadang serangan si Tongkat Merah Samber Nyawa. Gadis itu langsung mengebutkan kipas baja putihnya yang terkenal maut itu. Si Tongkat Merah Samber Nyawa pun harus memutar tubuhnya, berjumpalitan menghindari tebasan kipas baja putih berujung runcing itu.

Sementara itu Rangga sudah menghentakkan kedua tangannya ke atas, sambil mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya yang sudah mencapai pada tingkat kesempurnaan. Begitu kuatnya hentakan tangan pendekar Rajawali Sakti itu, sehingga Adipati Paturakan tidak mampu lagi bertahan. Dan...

"Hiyaaa...!"
Wuk!

Pedang bercahaya keperakan itu langsung melayang tinggi ke udara, terlepas dari genggaman si Tangan Api. Dan, pada saat yang bersamaan, Rangga menghentakkan kaki kanannya, memberikan satu tendangan keras menggeledek yang begitu cepat.

"Hiyaaa...!"
Des!

"Akh...!" Adipati Paturakan terpekik keras.

Tendangan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti itu tepat menghantam dada si Tangan Api. Tak pelak lagi, seketika itu juga Adipati Paturakan terpental ke belakang dengan keras sekali. Punggungnya langsung menghantam dinding begitu kerasnya. Dinding itu jadi bergetar bagai diguncang gempa.

"Hiyaaa...!"
Cring!

Belum lagi Rangga memburu si Tangan Api itu, tiba-tiba saja iblis Rantai Baja sudah melontarkan rantai baja hitamnya yang berbandul tiga buah bola besi baja berduri.

'"Uts!"

Buru-buru Rangga membungkukkan tubuhnya, sehingga tiga bola besi berduri di ujung rantai baja hitam itu lewat di atas kepalanya. Pada saat itu pula, dengan cepat sekali Rangga meliukkan tubuhnya dan langsung berdiri tegak kembali. Lalu, dengan kecepatan yang luar biasa, tangannya bergerak mengelebat. Dan...

Tap!
Cring!
Rrrt...!
"Heh...?"

Iblis Rantai Baja terkejut setengah mati begitu tangan Rangga tiba-tiba sudah merenggut bagian tengah rantai baja hitam itu. Dan, belum lagi hilang rasa terkejutnya, mendadak Rangga menghentakkan ujung rantai berbandul tiga bola besi itu ke arah pemiliknya sendiri.

"Oh...?! Hait..!"

Buru-buru Iblis Rantai Baja melentingkan tubuhnya, berputar-putaran ke belakang. Dan, pada saat yang bersamaan, Rangga menghentakkan tangannya yang menggenggam rantai baja itu ke belakang dengan cepat sekali. Tidak pelak lagi, tubuh iblis Rantai Baja tertarik ke depan tanpa keseimbangan dan dapat dikendalikan lagi. Pada saat itu juga, Rangga menghentakkan kaki kanannya ke depan menyambut tubuh Iblis Rantai Baja yang meluncur deras ke arahnya. Dan....

Diekh!

"Akh....!"

Iblis Rantai Baja langsung terpental balik ke belakang sambil memekik keras. Dadanya terkena tendangan kencang bertenaga dalam tinggi dari Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan rantai kebanggaannya kini sudah berpindah ke tangan pemuda berbaju rompi putih itu. Dan, pada saat yang bersamaan, beberapa orang pemuda berpakaian pengemis langsung meluruk deras menyerang si iblis Rantai Baja yang sudah tidak berdaya itu. Tendangan Rangga yang begitu keras pada dadanya tadi membuatnya tidak mampu lagi bergerak.

"Bunuh...!"
"Cincang...!"
Jleb!
Crasss!
"Aaaa...!"

Para pengemis muda yang memang menyimpan dendam itu tidak bertindak tanggung-tanggung. Mereka langsung menghujani tubuh si Iblis Rantai Baja dengan golok dan ujung tongkat yang runcing. Sehingga, laki-laki separuh baya berbaju hitam itu benar-benar tidak dapat lagi berbuat lebih banyak. Dia hanya bisa menjerit melengking tinggi, mengiringi kematiannya.

Melihat Iblis Rantai Baja tewas dicincang para pengemis, Tongkat Merah Samber Nyawa yang masih bertarung melawan Pandan Wangi bergetar juga hatinya. Dan, tanpa berpikir panjang lagi, dia berusaha melompat ke jendela untuk melarikan diri. Tapi, belum juga dia bisa melompati jendela balai agung yang cukup besar itu, tiba-tiba puluhan panah sudah datang menyerbu dengan cepat sekali. Sehingga, tidak ada lagi kesempatan baginya untuk menghindar. Dan, tak pelak lagi, tubuh si Tongkat Merah Samber Nyawa menjadi sasaran yang sangat empuk panah para prajurit itu.

Crab!
Zleb!
"Aaaa...!"

Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Tampak tubuh si Tongkat Merah Samber Nyawa ambruk menggelepar dengan puluhan anak panah menghunjam di tubuhnya. Darah seketika bercucuran ke luar, hanya sebentar dia mampu menggeliat. Tubuhnya kemudian terdiam kaku tak bernyawa lagi.

Sementara itu, Adipati Paturakan yang sudah bisa berdiri kembali terlongong bengong melihat dua orang pengikut setianya telah menjadi mayat dalam keadaan yang mengerikan sekali. Seluruh tubuh si Tongkat Samber Nyawa penuh dengan anak panah. Sedangkan tubuh Iblis Rantai Baja sudah tidak ketahuan lagi bentuknya. Tubuh itu dicincang-cincang oleh para pengemis muda yang merasa dendam karena berhari-hari terkurung di dalam puri wanita Iblis si Ratu Pelangi Maut

"Tidak ada gunanya lagi kau melawan, Paturakan. Sebaiknya kau menyerah saja." kata Adipati Bayangkala.

"Phuih!" Paturakan hanya mendengus sambil menyemburkan ludahnya.

Tatapan matanya begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata Rangga, dengan sinar yang memancarkan dendam. Dia begitu dendamnya kepada Pendekar Rajawali Sakti itu. Akibat campur tangan pendekar muda itu, apa yang selama ini diimpikannya menjadi berantakan. Bahkan dua orang pengikut setianya sudah menggeletak tak bernyawa lagi.

"Aku berjanji akan memperlakukanmu dengan adil, Paturakan." kata Adipati Bayangkala membujuk lagi.

"Jangan banyak omong, Bayangkala! Bunuh saja aku...!" sentak Paturakan garang.

Adipati Bayangkala hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Perlahan dia melangkah mendekati si Tangan Api. Tapi, baru saja dia melangkah beberapa tindak, tiba-tiba Paturakan mengeluarkan sebuah pisau dari balik jubah birunya. Dan, pisau itu diangkatnya tinggi-tinggi tertuju lurus ke dadanya sendiri.

"Jangan berbuat bodoh, Paturakan...!" sentak Adipati Bayangkala

"Ha ha ha...! Kau pikir aku mau menyerah begitu saja, Bayangkala? Aku lebih baik mati daripada..."

Sebelum Adipati Paturakan menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba Rangga melemparkan rantai baja hitam yang masih berada di tangannya dengan cepat sekali, disertai pengerahan tenaga dalam sepenuhnya.

Rrrt...!

"Akh...!" Adipati Paturakan terpekik keras. Rantai baja hitam itu langsung menghantam pergelangan tangan Adipati Paturakan, sehingga pisau yang digenggamnya terpental lepas. Dan, sebelum si Tangan Api menyadari apa yang baru saja terjadi, Rangga sudah melompat cepat bagai kilat. Dan, tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berada dekat sekali di depan si Tangan Api.

"Hih!"

Cepat sekali Rangga memberikan tiga kali totokan di dada Adipati Paturakan, sebelum si Tangan Api itu bisa berbuat lebih banyak lagi. Seketika itu juga tubuh Adipati Paturakan jatuh lemas tak bertenaga. Pusat jalan darahnya telah terkena totokan jari tangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Setan keparat...!" desis Paturakan dengan berang.

Namun, dia sudah tidak bisa lagi berbuat sesuatu. Jalan darahnya sudah tertotok dengan kuat sehingga dia tidak lagi mampu bergerak sedikit pun. Seluruh tubuhnya menjadi lumpuh. Hanya sorot matanya yang masih menatap tajam pada Rangga, memancarkan sinar dendam yang meluap-luap di dalam dada.

"Ringkus dia...!" seru Adipati Bayangkala cepat-cepat.

Dua orang prajurit yang berada di ambang pintu bergegas berlari dan langsung meringkus si Tangan Api. Mereka menyeretnya keluar, setelah mengikat tangan, kaki, dan seluruh tubuh laki-laki tua berjubah biru itu dengan rantai yang kuat. Adipati Bayangkala melangkah menghampiri Rangga yang sudah didampingi Pandan Wangi. Pada saat itu, dari ruangan lain, muncul Ayu Dewi Winarti. Gadis itu langsung berlari menghampiri ayahnya dan memeluknya dengan rasa kasih dan rindu yang mendalam.

"Ayo kita pergi Pandan," ajak Rangga berbisik.

Tapi, sebelum kedua pendekar muda itu bergerak meninggalkan balai agung Istana Kadipaten Kuring, Adipati Bayangkala sudah mengetahui dan langsung mencegahnya.

"Kalian tinggal dulu beberapa hari di sini. Dan kau juga, Ki Gembel Bungkuk. Kalian semua menjadi tamu agungku di istana ini," kata Adipati Bayangkala.

Tidak ada yang bisa menolak. Mereka hanya bisa mengangkat bahu. Rangga dan Pandan Wangi pun tidak mungkin lagi bisa menolak permintaan tulus dari Adipati Bayangkala ini.


SELESAI