Sepasang Rajawali - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode
Sepasang Rajawali


Pendekar Rajawali Sakti

SATU

"Khraghk...!"

Seekor burung rajawali raksasa berwarna putih keperakan melayang-layang di angkasa. Di punggungnya duduk seorang pemuda berbaju rompi putih yang berkibar­-kibar tertiup angin. Burung rajawali raksasa itu terus menukik turun menuju sebuah lembah besar. Sebuah danau berair biru bening menghias lembah itu. Pemuda tampan di atas punggung rajawali raksasa itu bergegas melompat turun, begitu burung itu mendarat di tepi danau.

Rajawali raksasa mengepak-ngepakkan sayapnya dan kepalanya digeleng-gelengkan. Sikapnya kelihatan begitu gelisah. Sebelah kaki kanannya dihentak-hentakkan ke tanah. Pemuda tampan berbaju rompi yang ternyata adalah Rangga si Pendekar Rajawali Sakti, memperhatikan dengan kening berkerut. Dihampiri dan dipeluknya kepala burung itu. Namun rajawali raksasa melepaskan pelukan Rangga.

"Rajawali, ada apa? Kenapa gelisah begitu?" tanya Rangga tidak mengerti akan sikap sahabatnya itu.

"Khrrrk...!" rajawali raksasa hanya mengkirik gelisah.

"Tidak biasanya kau bersikap begini, Rajawali. Apa yang membuatmu gelisah?" tanya Rangga penuh rasa heran dan khawatir.

Rajawali raksasa mendekam dan menggerung-gerung lirih. Sayapnya terpentang lebar, menutupi hamparan rumput di tepi danau. Rangga semakin heran, kemudian duduk bersila di depan rajawali raksasa. Kegelisahan burung raksasa itu membuatnya bertanya-tanya sendiri. Dia yakin ada sesuatu yang membuat rajawali raksasa bersikap begitu. Tapi apa?

"Rajawali, Sahabatku. Kenapa kau gelisah begitu?" tanya Rangga mendesak lagi.

"Grrrhk...!" rajawali raksasa menggerung pelan. Kepalanya terangkat naik, kemudian menjulur ke arah tebing lembah sebelah Selatan.

Rangga melayangkan pandangannya ke arah tebing lembah sebelah Selatan. Tidak ada yang dapat ditemukan di sana, selain dinding yang cukup curam dan berbatu dengan beberapa pohon menyembul keluar dari bebatuan. Dinding itu sangat curam, dan sukar untuk didaki. Pendekar Rajawali Sakti masih belum mengerti maksudnya. Dia menolehkan kepalanya memandang kembali kepada rajawali raksasa yang terus menggerung-gerung lirih.

"Tidak ada apa-apa di sana. Apa yang...."

Belum sempat Rangga melanjutkan ucapannya, mendadak rajawali raksasa membumbung naik ke angkasa. Rangga melompat berdiri memandangi sahabat­nya yang terus melayang dan berputar-putar di atas lembah ini. Sungguh tidak dimengerti sikap rajawali raksasa yang menjadi gurunya, orang tua angkat, dan juga sahabatnya ini.

"Rajawali, turunlah! Apa yang kau lakukan di atas sana?" seru Rangga keras.

"Khraghk!"

"Aku tidak mengerti maksudmu?"

Rajawali raksasa membuat putaran tiga kali di udara, kemudian membumbung semakin tinggi dan terus melesat ke arah Utara. Begitu cepatnya, sehingga dalam waktu sebentar saja rajawali raksasa telah lenyap dari pandangan. Kini tinggal Rangga berdiri mematung sambil memandang kepergian rajawali raksasa itu dengan perasaan berkecamuk tidak menentu. Benar-benar membingungkan sikap rajawali raksasa sahabatnya itu. Belum pernah rajawali bersikap seperti itu sebelumnya. Apa sebenarnya yang terjadi? Macam-macam pertanyaan berkecamuk di benak Pendekar Rajawali Sakti.

"Hm..., dia menunjuk ke arah Selatan. Ketika melayang di udara, dia melakukan putaran tiga kali di udara. Apa maksudnya? Apakah aku harus pergi ke arah Selatan?" gumam Rangga bertanya-tanya sendiri.
Rangga mengarahkan pandangannya kearah Selatan. Terlihat dinding lembah yang sangat curam, berbatu, dan hanya sedikit pepohonan yang terdapat. Tidak terlalu tinggi memang, namun sangat curam. Sangat sukar untuk didaki. Namun bagi Pendekar Rajawali Sakti hal itu bukanlah suatu kesulitan. Hanya dua kali lompatan saja, pasti sudah bisa mencapai puncak tebing itu.

"Hm..., lembah ini seperti tidak pernah dimasuki orang. Dan.... Heh! Ada apa di atas sana?"

Telinga Rangga yang tajam bagai setajam rajawali, langsung dapat mendengar suara pertempuran dari atas tebing lembah ini. Tanpa berpikir lebih jauh lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu melesat cepat mendaki tebing curam berbatu itu. Gerakannya sungguh ringan, bagaikan segumpal kapas tertiup angin. Hanya dua kali lompatan saja, sudah tiba di puncak tebing.

"Oh!" Rangga tersentak kaget begitu mencapai puncak tebing lembah.

Apa yang dilihat Pendekar Rajawali Sakti hingga sampai terkejut seperti itu?

Seorang laki-laki bertubuh gemuk berpakaian indah bersulam benang emas, bertarung sengit melawan empat perempuan tua berbaju kumal dan warna hampir sama. Tampak sekali kalau laki-laki bertubuh gemuk itu kewalahan menghadapi lawan-lawannya. Entah sudah berapa kali menerima pukulan dan tendangan keras dari empat lawannya itu. Di sekitar tempat itu tergeletak kira­-kira dua puluh orang berpakaian seragam prajurit.

Rangga kenal betul dengan lambang yang dikenakan pada bagian dada prajurit-prajurit yang menggeletak tak bernyawa itu. Lambang Kerajaan Galung. Dan laki-laki gemuk yang tengah bertarung itu tidak lain adalah Patih Giling Wesi, seorang patih kenamaan dari Kerajaan Galung. Rangga kenal betul dengan Patih Giling Wesi, sewaktu sama-sama menghadapi gerombolan Bidadari Sungai Ular.

Gerombolan yang dipimpin seorang wanita bernama Saka Lintang itu dulu telah menculik Intan Kemuning, putri tunggal Patih Giling Wesi (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode Bidadari Sungai Ular). Entah sudah berapa lama peristiwa itu terjadi, dan Rangga tidak bisa mengingatnya secara pasti.

"Akh!" Patih Giling Wesi memekik tertahan ketika satu batang tongkat berkepala bulat menghantam keras dadanya.

Laki-laki bertubuh gemuk itu terjungkal deras ke tanah. Dan belum sempat bangkit, satu tendangan keras menghantam iganya. Akibatnya tubuh gemuk itu bergulingan beberapa tombak. Seorang dari empat perempuan tua itu melompat tinggi, dan meluruk deras sambil mengarahkan tongkatnya yang berujung runcing ke arah dada Patih Giling Wesi.

"Hih!" Melihat keadaan Patih Giling Wesi yang sudah tidak berdaya lagi, Rangga segera melesat cepat memapak serangan perempuan tua itu.

Tangan kirinya tepat menghantam tongkat, sedangkan kaki kanannya mendarat telak di tubuh perempuan tua itu. Akibatnya, perempuan tua itu terpental jauh ke belakang. Rangga mendarat lunak di samping Patih Giling Wesi yang menggeletak dengan napas tersengal.

"Rangga...," desis Patih Giling Wesi setengah tidak percaya begitu mengenali orang yang menyelamatkan nyawanya.

"Apa kabar, Paman Patih?" ucap Rangga lembut seraya membantu Patih Giling Wesi berdiri.

"Baik! Terima kasih," sahut Patih Giling Wesi setelah mampu berdiri lagi.

"Mengapa mereka mengeroyokmu, Paman?" tanya Rangga seraya melirik empat orang perempuan tua yang sudah berdiri berdampingan dengan tatapan mata penuh kemarahan.

"Nanti akan kuceritakan! Sebaiknya kita segera tinggalkan tempat ini," sahut Patih Giling Wesi.

"Kenapa?"

Belum sempat pertanyaan Rangga terjawab, salah seorang dari perempuan tua itu melompat sambil berteriak keras. Ujung tongkatnya yang runcing mengarah ke dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan gesit sekali, Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan seraya tangan kirinya menepak tongkat itu hingga terpental ke samping. Secepat itu pula, kaki kanannya melayang sambil memutar tubuhnya sedikit. Hasilnya, telapak kaki Rangga tepat menghantam dada wanita tua itu.

"Hugh!" wanita tua itu mengeluh pendek, dan tersuruk ke belakang beberapa langkah.

"Cepat, Rangga! Tinggalkan tempat ini!" seru Patih Giling Wesi.

"Tunggu!" sentak Rangga cepat.

Namun Patih Giling Wesi sudah berlari cepat disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh. Rangga tidak punya pilihan lain. Kembali melesat cepat, dan menyambar tubuh Patih Giling Wesi. Begitu cepatnya Pendekar Rajawali Sakti bergerak, sehingga dalam waktu sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap membawa Patih Giling Wesi.

"Setan alas! Kejar mereka!" seru salah seorang perempuan tua mengumpat geram.

Empat orang wanita itu segera berlari cepat mengejar ke arah Rangga dan Patih Giling Wesi pergi. Dilihat dari gerakan berlari, jelas kalau mereka berempat bukanlah orang sembarangan. Gerakan kakinya begitu lincah dan ringan, seolah-olah melayang di atas tanah. Begitu cepatnya mereka berlari, sehingga yang tampak hanya empat bayangan coklat kehitaman berkelebatan di pepohonan yang rapat.

Mereka sudah berlari begitu jauh, namun belum juga melihat bayangan dua orang yang dikejarnya. Rangga dan Patih Giling Wesi bagaikan lenyap ditelan bumi. Mereka menghentikan pengejaran di sebuah padang rumput luas, lalu merayapi sekitarnya beberapa saat. Tak tampak sebuah bayangan pun berkelebat di sekitar tempat itu.

"Monyet! Setan belang!" salah seorang perempuan tua itu menyumpah-nyumpah kesal.

"Sebaiknya kita kembali saja ke Galung," usul seorang lagi.

"Tidak! Patih sialan itu harus ditemukan!" sanggah seorang lagi. "Huh! Siapa anak muda itu...?"

"Empat Bayangan Iblis Neraka tidak boleh dipermalukan. Siapa pun dia, harus mampus!" rungut salah seorang.

"Kalau begitu, ayo kita cari lagi. Mereka pasti belum jauh dari tempat ini," ajak satunya lagi.

"Cepatlah, sebelum hari gelap!" Empat orang perempuan tua yang berjuluk Empat Bayangan Iblis Neraka itu segera bergerak cepat meninggalkan padang rumput yang luas ini. Julukan Bayangan Iblis memang tepat, karena gerakan mereka begitu cepat seperti bayangan saja. Dalam waktu sekejap saja mereka sudah lenyap kembali masuk ke dalam hutan.

Mereka adalah tokoh rimba persilatan dari golongan hitam. Masing-masing nama dapat dikenali dari tongkat yang digunakan sebagai senjata. Yang bertongkat merah, bernama Rara Merah. Sedangkan yang bertongkat kuning, bernama Rara Kuning. Juga yang hijau dan biru bernama Rara Hijau dan Rara Biru. Mereka empat bersaudara dengan tingkat kepandaian cukup tinggi.

*******************

Sementara itu jauh di dalam hutan, Rangga menurunkan Patih Giling Wesi dari kempitannya. Laki-laki itu menggeliatkan tubuhnya, berusaha menghilangkan rasa pegal akibat kempitan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara siang telah berganti senja. Suasana sekitar hutan yang gelap, semakin bertambah gelap karena kurang mendapat cahaya matahari.

Patih Giling Wesi mengumpulkan ranting kering yang banyak tersebar di sekitar hutan itu. Setelah terkumpul, kemudian ditumpuk dan dinyalakannya dengan pemantik api yang diambil dari balik sabuknya. Laki-laki gemuk itu duduk di dekat api kecil dari ranting-ranting kering yang terbakar. Rangga mendekati dan duduk di sampingnya.

"Api ini akan mengundang mereka, Paman Patih," kata Rangga memperingatkan.

"Hari sudah gelap. Hutan ini banyak binatang buasnya, Rangga," sahut Patih Giling Wesi. Memang, dia kenal betul seluk-beluk Hutan Krambang ini.

Rangga tidak berkata-kata lagi. Tapi dikuranginya ranting-ranting itu, sehingga nyala api menjadi lebih kecil. Patih Giling Wesi hanya diam saja. Kata-kata Rangga memang ada benarnya juga. Tapi api penting juga untuk mencegah binatang buas yang mendekati mereka. Terlebih lagi binatang-binatang yang berbisa.

"Kenapa Paman Patih berada di hutan ini?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.

"Ceritanya cukup panjang, Rangga. Dan aku berada di sini karena terpaksa, selain harus mencari putriku yang hilang," sahut Patih Giling Wesi sendu.

"Intan Kemuning?" Rangga mengerutkan keningnya.

"Benar."

Rangga jadi ingat akan gadis cantik yang diselamatkannya dari sarang Bidadari Sungai Ular. Gadis cantik yang lugu dan polos, putri tunggal Patih Giling Wesi (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti, dalam episode "Bidadari Sungai Ular"). Rangga menggeser duduknya agar lebih dekat lagi dengan laki-laki gemuk itu. Diperhatikannya wajah Patih Giling Wesi yang berubah mendung.

"Apa yang terjadi, Paman?" tanya Rangga.

"Kau tahu, apa yang terjadi terhadap diri Intan Kemuning di sarang Bidadari Sungai Ular, bukan?"

"Ya," Rangga mengangguk.

"Anakku yang semula lugu dan polos, berubah jadi tertarik mempelajari ilmu olah kanuragan dan kesaktian.

Semua ini gara-gara Saka Lintang si Bidadari Sungai Ular. Wanita itu memberikan dasar-dasar ilmu olah kanuragan. Dan Intan Kemuning jadi tertarik mempelajarinya. Aku tak kuasa menentang keinginannya yang keras...," Patih Giling Wesi berheriti sejenak.

Rangga menunggu kelanjutannya dengan sabar.

"Entah sudah berapa panglima dan orang berilmu tinggi yang memberikan ilmu olah kanuragan pada anakku. Tapi Intan Kemuning belum juga puas, meskipun telah berubah menjadi seorang gadis digdaya dan sukar dicari tandingannya. Dan itu menjadikan awal malapetaka bagi keluargaku. Bahkan sampai meluas menjadi malapetaka bagi seluruh Kerajaan Galung," Ianjut Patih Giling Wesi.

"Kenapa bisa begitu?" tanya Rangga tidak mengerti.

"Itulah yang dinamakan perubahan pada manusia, Rangga. Setiap orang dapat berubah dalam waktu singkat, tanpa dapat dicegah lagi. Dan ini terjadi pada putriku. Dia merasa dirinya tangguh dan digdaya, sehingga tidak ada yang mampu menandinginya. Bahkan para panglima yang semula melatih ilmu olah kanuragan juga tidak mampu menandinginya. Hal ini membuat Intan Kemuning jadi kian besar kepala. Dia menantang siapa saja yang memiliki nyali besar."

"Hebat...," desis Rangga bergumam.

"Memang hebat, kalau saja tidak keterlaluan."

"Oh...?!"kening Rangga berkerut dalam.

"Intan Kemuning mengundang tokoh-tokoh sakti di seluruh rimba persilatan untuk diajak duel. Kau tahu apa akibatnya? Hampir seluruh tokoh sakti tumpah di Kerajaan Galung! Tentu saja hal ini membuat seluruh panglima dan prajurit sibuk bukan kepalang, karena hampir di setiap pelosok terjadi keributan akibat ulah orang-orang rimba persilatan yang rata-rata dari golongan hitam."

"Bisa dimaklumi. Tapi apa yang membuat mereka tertarik?" tanya Rangga.

"Intan Kemuning mencari suami, dengan syarat dapat mengalahkan dirinya. Tapi bukan itu saja. Dia juga mempertaruhkan Kerajaan Galung!"

"Gila!"

"Itulah yang membuat Prabu Galung murka, sehingga memerintahkan seluruh panglima dan prajurit menangkap Intan. Bahkan aku sendiri diperintahkan untuk menangkapnya. Bisa kau bayangkan, betapa malunya aku terhadap seluruh pembesar kerajaan, terutama Prabu Galung."

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Malapetaka besar terjadi ketika Intan Kemuning berhasil dikalahkan Empat Bayangan Iblis Neraka. Dan sudah pasti mereka menuntut haknya untuk menguasai Kerajaan Galung. Akibatnya, Prabu Galung semakin murka. Tapi Empat Bayangan Iblis Neraka telah lebih dulu menggempur istana bersama tokoh-tokoh hitam rimba persilatan lainnya yang pernah dikalahkan anakku. Bisa kau bayangkan, apa yang terjadi. Para panglima dan prajurit tidak ada yang mampu menghadang gempuran mereka. Dan kini Prabu Galung terpaksa meninggalkan istana."

"Apakah empat orang perempuan tua tadi yang bernama Empat Bayangan Iblis Neraka?" tanya Rangga.

"Benar! Dan mereka terus mencari Intan Kemuning. Bahkan kini mereka membunuh siapa saja yang pernah menjadi pembesar Kerajaan Galung. Mereka pun memberi hadiah besar bagi siapa saja yang berhasil membunuh Prabu Galung, dan membawa Intan Kemuning kepadanya. Kerajaan Galung benar-benar menjadi neraka, Rangga."

"Aneh! Apa yang dicari Intan Kemuning?" gumam Rangga seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Itulah yang membuatku tidak mengerti, Rangga. Putriku berubah tanpa dapat kuketahui penyebabnya. Benar-benar aku tidak mengerti akan sikapnya," keluh Patih Giling Wesi.

Rangga terdiam membisu. Benar-benar tidak disangka kalau gadis yang lugu dan poles, bisa berubah demikian cepat menjadi gadis liar berilmu tinggi. Memang sukar untuk dipercaya. Tapi, itulah kenyataan yang harus dihadapi. Rangga jadi iba melihat penderitaan Patih Giling Wesi. Bagaimanapun laki-laki gemuk itu harus bisa mengembalikan keadaan Kerajaan Galung seperti semula. Suatu kewajiban yang tidak ringan dan harus dilaksanakan.

"Paman tahu, ke mana Intan Kemuning pergi?" tanya Rangga.

Patih Giling Wesi menggeleng-gelengkan kepalanya lesu. Dia sama sekali tidak tahu. ke mana perginya Intan Kemuning. Gadis itu lenyap setelah dikalahkan Empat Bayangan Iblis Neraka dalam pertarungan yang diinginkan Intan Kemuning sendiri. Dari beberapa orang yang menyaksikan pertarungan itu, Patih Giiing Wesi mendengar kabar kalau Intan Kemuning terlempar jatuh ke dalam lembah yang sangat luas. Lembah tempat Patih Giling Wesi hampir tewas di tangan Empat Bayangan Iblis Neraka tadi.

Di atas lembah tebing itulah Intan Kemuning selalu bertarung melawan setiap tokoh sakti rimba persilatan yang diundangnya. Hari sial menimpa dirinya saat melawan Empat Bayangan Iblis Neraka. Dan Patih Giling Wesi tahu, kalau lembah itu tidak pernah didatangi orang. Lembah yang sukar dijamah, dan terkenal keganasannya. Tidak sedikit orang yang putus asa menceburkan diri ke danau di lembah itu. Biasanya, tidak ada yang kembali lagi dalam keadaan hidup. Yang dikhawatirkan Patih Giling Wesi, Intan Kemuning merasa putus asa lalu menceburkan diri ke dalam danau angker itu.

Dan semua ini telah diceritakannya pada Pendekar Rajawali Sakti. Sementara Rangga sendiri jadi semakin heran dan tidak mengerti. Dia berada di tempat ini karena sikap rajawali raksasa yang aneh tidak seperti biasanya. Dan juga tidak disangka kalau akan bertemu lagi dengan Patih Giling Wesi yang membawa masalah berat dan sangat serius.

"Sebaiknya kita kembali lagi ke tempat itu, Paman," kata Rangga setelah cukup lama terdiam.

"Aku merasa kalau Intan Kemuning telah tewas dalam lembah itu, Rangga," pelan suara Patih Giling Wesi.

"Kalaupun tewas, kita harus mendapatkan mayatnya."

"Percuma! Peristiwa itu telah berlangsung beberapa purnama. Dan lagi, tak ada seorang pun yang berhasil hidup dalam lembah itu. Air danaunya beracun, dan banyak dihuni ular-ular berbisa."

"Tapi, mengapa Paman masih mencari?" tanya Rangga.

"Entahlah. Sepertinya aku begitu yakin kalau anakku masih hidup, meskipun hatiku selalu mengatakan Intan Kemuning sudah tewas."

"Aku bisa memahami, Paman."

"Terima kasih, Rangga," ucap Patih Giling Wesi lirih.

"Tapi aku punya kewajiban yang lebih berat lagi, yakni harus mengembalikan Kerajaan Galung seperti semula dan mengusir orang-orang rimba persilatan yang kini menguasai Istana Galung."

"Kerajaan Galung pasti bisa pulih kembali, Paman," Rangga membesarkan hati laki-laki gemuk itu.

"Tidak...," lesu suara Patih Giling Wesi. Kepalanya menggeleng beberapa kali.

"Pasti bisa, Paman. Ini kalau prajurit yang tersisa mau bersatu kembali. Dan aku pasti akan membantu mengusir mereka," janji Rangga.

"Oh, sungguhkah?" Patih Giling Wesi bangkit kembali semangatnya.

"Ya. Dan setelah itu akan kucari Intan Kemuning."

"Dewata Yang Agung..., terima kasih, Rangga."

Rangga tersenyum tipis.

*******************

DUA

Malam belum begitu larut. Suasana dalam Istana Galung tampak ramai bagai tengah diadakan pesta yang begitu meriah. Nyala api obor yang terpancang di setiap sudut, menerangi hampir seluruh areal benteng Istana Kerajaan Galung itu. Tawa dan canda terdengar dari ruangan besar dalam istana itu. Tampak orang yang tengah berpesta-pora, memenuhi ruangan besar dan mewah di bagian tengah Istana Galung.

Dari pakaian dan senjata yang disandang, dapat dipastikan kalau mereka adalah tokoh rimba persilatan. Namun dari tampang dan tingkah laku, bisa dikatakan kalau mereka dari golongan hitam. Tidak sedikit wanita yang menemani mereka berpesta. Meskipun dari bibir wanita-wanita itu terdengar suara tawa, namun pancaran sinar matanya menunjukkan penekanan dan pemberontakan. Bau asap tembakau menyeruak bercampur bau minuman arak yang tertumpah-ruah ke lantai.

Di atas bangku besar dan indah, duduk seorang laki-laki berwajah tampan dan berkulit putih halus. Di samping kanan dan kirinya duduk empat orang perempuan tua memegang tongkat yang berlalnan warnanya, meskipun bentuk tongkatnya sama persis. Empat perempuan tua itulah yang dikenal dengan julukan Empat Bayangan Iblis Neraka. Sedangkan pemuda tampan yang duduk di singgasana itu murid tunggal mereka yang bernama Kalaban. Saat ini Kerajaan Galung diperintah oleh Kalaban yang menduduki singgasana istana. Walaupun sebagai murid, tapi secara diam-diam Kalaban memiliki ilmu yang lebih tinggi dibanding keempat gurunya itu.

"Kalaban! Tidak seharusnya kau mengadakan pesta seperti ini," kata Rara Merah yang memang kelihatannya tidak menikmati pesta itu.

"Mengapa?" tanya Kalaban seraya menoleh pada wanita tua yang duduk di samping kanannya, dengan tongkat merah di tangan.

"Masih banyak musuh kita yang mencari kelemahan. Pesta ini membuat orang-orang kita lengah, dan itu bisa membahayakan," jelas Rara Merah.

"Aku rasa tidak ada salahnya memberi kesenangan pada mereka, Nyai Guru."

"Mereka sudah cukup mendapat kesenangan di luar."

"Nyai Guru Rara Merah. Aku tidak ingin dikatakan mementingkan diri sendiri, meskipun semua yang kita peroleh berkat Nyai Guru berempat. Tentunya wajar kalau sekali-sekali menyelenggarakan pesta dan memberi kesenangan pada mereka Bagaimanapun juga, jasa mereka cukup besar," sergah Kalaban.

"Baiklah, hanya untuk kali ini saja. Hanya yang perlu diingat, Patih Giling Wesi belum tewas. Dan lagi Prabu Galung juga tidak jelas berada di mana sekarang. Masih banyak prajurit yang tersebar, dan tidak sedikit panglima yang tengah menyusun kekuatan untuk merebut kembali istana ini. Hal itu jangan kau lupakan, Kalaban."

"Aku tidak akan lupa, Nyai Guru. Terutama pada Intan Kemuning. Dia harus jadi istriku," jawab Kalaban.

"Jangan mengharapkan gadis itu lagi, Kalaban. Dia sudah mampus di Lembah Ular Berbisa," celeruk Rara Kuning.

"Aku belum puas kalau Intan Kemuning belum ditemukan."

"Meskipun dia sudah jadi mayat, aku akan membawanya untukmu, Kalaban," janji Rara Biru.

"Terima kasih, Nyai Rara Biru."

Rara Biru hanya tersenyum getir. Empat perempuan tua itu kemudian bangkit berdiri setelah mendapat isyarat dari Rara Merah. Mereka melangkah meninggalkan ruangan itu tanpa berkata-kata lagi, dan baru berhenti setelah tiba di bagian depan istana. Beberapa orang berwajah kasar yang menyandang senjata beraneka ragam, terlihat berjaga-jaga di sekitar halaman Istana Galung ini.

"Kalaban memang pantas jadi raja. Dia tidak mengosongkan penjagaan," gumam Rara Hijau pelan.

"Asal kalian jangan larut, dan lupa siapa dia sebenarnya," Rara Merah mengingatkan.

"Tentu saja tidak. Kita wajib membela dan mendampinginya sampai ajal," sahut Rara Biru.

"Memang itu tugas kita yang utama," sambut Rara Kuning.

"Hemmm...."

"Ada apa, Rara Kuning?" tanya Rara Merah melihat Rara Kuning mendongakkan kepalanya.

"Dengar...,"desis Rara Kuning.

Tiga orang perempuan tua lainnya terdiam, seraya memasang pendengarannya lebih tajam lagi. Seperti mendapat komando saja, mereka bergegas melompat, dan tahu-tahu sudah berdiri di tengah-tengah halaman depan istana yang luas. Kepala mereka terdongak ke atas. Dan bersamaan dengan itu, di angkasa terlihat sebuah bayangan hitam pekat melesat cepat.

Belum sempat menyadari apa yang terjadi, mendadak bayangan hitam besar itu meluruk ke arah mereka berempat. Hal ini membuat Empat Bayangan Iblis Neraka tersentak kaget Namun dengan gerakan cepat, mereka berlompatan berpencar menghindari terjangan bayangan hitam besar itu.

Angin yang menyambar keras, membuat Empat Bayangan Iblis Neraka limbung sesaat. Dan saat itu pula terdengar jeritan melengking dari beberapa orang penjaga yang berada di sekitar tempat itu. Tampak delapan orang penjaga menggelepar di tanah dengan tubuh bersimbah darah.

Jeritan panjang itu membuat orang-orang yang sedang berpesta, berhamburan ke luar. Suasana malam yang semula dipenuhi suara tawa dan canda kelakar, mendadak gaduh oleh teriakan panik dari wanita-wanita yang ikut berpesta. Kegaduhan itu pun masih ditambah dengan teriakan-teriakan bernada perintah.

"Nyai Guru, ada apa?" tanya Kalaban seraya menghampiri empat gurunya yang sudah berdiri berjajar dengan kepala menengadah.

Belum sempat ada yang menjawab, bayangan hitam pekat dan besar itu kembali meluruk turun dengan cepat menimbuikan suara angin mengguruh bagai badai. Orang-orang yang berada di sekitar halaman depan istana itu serentak berhamburan menyelamatkan diri. Namun mereka yang terlambat, menjerit keras terlanda bayangan hitam itu.

"Keparat! Benda apa itu...?!" geram Kalaban.

*******************

Orang-orang yang terdiri dari tokoh rimba persilatan golongan hitam, langsung bersiaga menghunus senjata masing-masing. Dalam dua kali serangan saja, tidak kurang dari enam belas orang tewas bersimbah darah. Bayangan hitam pekat dan besar itu melayang-layang di angkasa dan berputar mengelilingi Istana Galung.

"Panah...!" salah seorang dari mereka berteriak keras.

Tampak sekitar lima puluh orang bersenjata panah segera melepaskan anak-anak panahnya ke arah bayangan hitam di angkasa itu. Puluhan anak panah melesat cepat menimbulkan suara mendesing menyakitkan telinga. Namun bayangan hitam itu dengan gesit menghindari serbuan senjata itu. Bahkan tidak sedikit anak panah yang mengarah ke bayangan hitam itu berbalik arah bagai dihempas angin topan yang amat dahsyat.

Bahkan kini anak panah itu berbalik melesat lebih cepat dari semula. Beberapa orang yang tidak sempat menghindar, tertembus anak panah yang berbalik itu. Jerit kematian kembali mewarnai malam yang pekat ini. Dan pada saat semua orang terperangah, bayangan hitam itu meluruk deras ke arah mereka. Dari bayangan hitam besar itu juga melesat sebuah bayangan hitam lainnya yang lebih kecil.

Ternyata bayangan hitam yang kecil itu adalah seorang yang mengenakan baju serba hitam dengan cadar hitam menutupi wajahnya. Dengan sebilah pedang di tangan, dia segera mengamuk membantai orang-orang yang berada di halaman depan Istana Galung. Sedangkan bayangan hitam besar itu juga bergerak cepat menyambar setiap orang yang coba-coba menghadang.

"Khraghk...!"

Terdengar suara keras menyakitkan telinga di antara jerit pekik melengking dan suara pertempuran. Sementara Empat Bayangan Iblis Neraka dan Kalaban masih tetap berdiri memperhatikan pembantaian di depan mata.

"Rajawali raksasa...," desis Rara Merah begitu mendengar suara keras memekakkan tadi.

"Apa...?!" tiga wanita tua lainnya terperanjat juga.

"Mundur...!" teriak Rara Merah keras, disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.

Orang-orang yang tengah bertarung melawan sosok berbaju hitam dan bayangan hitam pekat dan besar itu, segera berlompatan mundur begitu mendengar seruan keras bertenaga dalam tinggi dari Rara Merah. Mereka segera membuat lingkaran besar disertai sikap waspada dan berjaga-jaga penuh. Kini di tengah-tengah lingkaran itu, berdiri seseorang berbaju serba hitam. Di sampingnya berdiri seekor burung raksasa berwarna hitam pekat.

"Tidak mungkin..!" desis Rara Merah, begitu melihat jelas sosok yang baru saja membunuhi orang-orangnya.

"Ada apa, Rara Merah?" tanya Rara Kuning.

"Aku tidak percaya kalau dia adalah Pendekar Rajawali Sakti,” sahut Rara Merah tidak yakin.

Tiga orang perempuan tua lainnya saling berpandangan. Mereka memang pernah mendengar tentang sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti. Seorang tokoh muda yang memiliki tingkat kepandaian sukar diukur ketinggiannya. Pendekar pilih tanding, dan belum ada yang mampu melawannya sampai kini. Tapi apa yang mereka dengar tentang ciri-ciri Pendekar Rajawali Sakti, rasanya tidak terdapat pada orang dan burung raksasa itu.

Dan belum lagi didapat jawabannya. Orang berbaju serba hitam itu melompat naik ke punggung burung raksasa itu. Seketika burung raksasa itu cepat melesat naik membumbung tinggi ke angkasa. Dalam sekejap saja, bayangan hitam itu lenyap di balik awan hitam sebelah Utara. Sementara Empat Bayangan Iblis Neraka dan Kalaban masih terdiam memandang ke arah Utara. Mereka tidak peduli dengan orang-orang yang segera berlompatan mengejar bayangan hitam itu.

"Siapa dia, Nyai Guru?" tanya Kalaban setelah lama terdiam.

"Aku tidak tahu, tapi...," jawab Rara Merah ragu-ragu.

"Nyai Guru Rara Merah. Siapa itu Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Kalaban mendesak.

"Seorang pendekar digdaya yang sukar dicari tandingannya," Rara Kuning yang menyahuti.

"Aku tidak tahu pasti. Apakah itu tadi Pendekar Rajawali Sakti atau bukan. Rasanya terlalu jauh perbedaannya," kata Rara Merah bergumam, seolah-olah bicara untuk dirinya sendiri.

"Ya, memang terlalu menyolok," sambut Rara Hijau, juga bergumam pelan.

Sementara itu di halaman depan Istana Galung kembali sepi. Hanya beberapa orang saja yang masih terlihat, karena tengah sibuk mengumpulkan mayat yang bergelimpangan. Dalam waktu singkat saja, tidak kurang dari lima puluh orang tewas dalam pertarungan mendadak dan tiba-tiba itu. Malam ini Istana Galung kembali banjir darah. Setahun yang lalu pun juga pernah terjadi, setelah orang-orang rimba persilatan golongan hitam menyerang dan merebut istana ini. Dan semua itu dipimpin Empat Bayangan Iblis Neraka, yang kemudian mengangkat murid tunggalnya untuk menduduki tahta.

"Setan!" umpat Rara Merah tiba-tiba. "Mengapa sekarang aku baru ingat...!?"

"Ada apa, Rara Merah?" tanya Rara Kuning.

"Pemuda itu...!" seru Rara Merah.

"Pemuda yang mana?" tanya Rara Hijau tidak mengerti.

“Yang menolong Patih Giling Wesi."

Wanita-wanita tua itu saling berpandangan. Sedangkan Kalaban semakin tidak mengerti saja dengan pembicaraan keempat gurunya ini. Yang dilakukannya hanya diam saja dengan benak dipenuhi berbagai macam pikiran dan dugaan-dugaan. Tapi dia berusaha untuk dapat mengerti arah pembicaraan ini.

"Ada apa dengan pemuda itu?" tanya Rara Biru setelah mereka semua cukup lama terdiam.

"Apa kalian tidak mengenali ciri-cirinya?" Rara Merah malah balik bertanya.

"Maksudmu?" Rara Hijau tidak mengerti, tapi juga berkerut keningnya.

"Dialah yang benar-benar berjuluk Pendekar Rajawali Sakti," desis Rara Merah.

"Apa...?!"

"Pendekar Rajawali Sakti!" Rara Merah mengulangi.

"Mustahil!" desis Rara Kuning. Tapi dalam benaknya berkata lain.

Ciri-ciri Pendekar Rajawali Sakti yang pernah didengarnya memang ada pada pemuda yang telah menolong nyawa Patih Giling Wesi dari kematian. Pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung bertengger di balik punggung. Dan pemuda itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi tingkatannya. Itu sudah menandakan kalau tingkat kepandaiannya juga sangat tinggi, dan sukar untuk diukur.

Meskipun hanya beberapa kali gebrak saja, namun Empat Bayangan Iblis Neraka telah yakin, kalau pemuda itu sungguh luar biasa. Dia mampu mengelak dengan mudah setiap serangan, bahkan mampu memberi serangan balasan yang sangat cepat dan tidak terduga sama sekali. Tapi benarkah yang baru saja datang memporak porandakan dan membinasakan banyak orang itu adalah Pendekar Rajawali Sakti?

*******************

Sementara itu tidak jauh dari perbatasan Kerajaan Galung, dua orang laki-laki tengah berjalan mendekati gerbang perbatasan. Yang seorang bertubuh gemuk dan berpakaian mewah dengan sulaman benang emas. Sedangkan yang seorang lagi masih muda, berwajah tampan dengan rambut panjang terikat. Dia mengenakan baju rompi putih. Gagang pedang berbentuk kepala burung menyembul dari balik punggungnya.

Mereka berhenti melangkah setelah melewati gerbang perbatasan yang menuju langsung ke Kotaraja Kerajaan Galung. Suasana malam begitu sepi, tak terlihat seorang penjaga pun di gerbang perbatasan ini. Pandangan mata mereka lantas tertumbuk pada empat sosok manusia yang tergeletak tidak jauh dari gerbang perbatasan yang terbuat dari batu ukir kembar itu.

Pemuda berbaju rompi putih itu menghampiri empat sosok tubuh yang tergeletak tidak bernyawa. Sebentar diperiksa luka-luka di sekujur tubuh empat orang itu. Sedangkan orang bertubuh gemuk, hanya memperhatikan saja dengan mata tidak berkedip.

"Luka-lukanya seperti diserang binatang," gumam pemuda itu pelan, seperti untuk dirinya sendiri.

"Tidak ada binatang buas di sini, Rangga." Pemuda tampan berbaju rompi putih yang ternyata memang Rangga, menoleh pada laki-laki gemuk di sampingnya. Sebentar kemudian diperhatikan luka-luka di tubuh salah seorang mayat yang berada dekat kakinya. Luka-luka itu seperti cakaran kuku tajam seekor binatang. Bahkan dada dua orang lainnya koyak tercabik-cabik.

"Coba perhatikan luka-luka itu, Paman Patih," kata Rangga menunjuk empat mayat yang menggeletak.

"Hm...,"Patih Giling Wesi mengerutkan keningnya.

Memang benar kata Rangga. Luka-luka itu seperti akibat serangan binatang. Cukup dalam dan mampu membuat orang tewas seketika. Dari garis-garis luka itu bisa dipastikan akibat kuku tajam binatang buas. Tapi Patih Giling Wesi berani bersumpah kalau di sekitar perbatasan tidak ada seekor binatang buas pun berkeliaran.

Wus!

Tiba-tiba saja bertiup angin kencang di angkasa. Rangga dan Patih Giling Wesi terperanjat, dan segera mendongak. Tampak sebuah bayangan hitam besar berkelebat cepat bagai kilat. Begitu cepatnya, sehingga langsung hilang tanpa dapat dilihat jelas. Namun bagi Pendekar Rajawali Sakti, sudah cukup jelas untuk mengetahui bentuk bayangan hitam itu. Dan dia sangat terkejut, hampir tidak percaya dengan yang dilihatnya barusan.

"Rajawali...,"desis Rangga dalam hati.

"Apa itu?" tanya Patih Giling Wesi.

"Entahlah," sahut Rangga mendesah.

Pendekar Rajawali Sakti itu terus memandang ke arah Utara, tempat bayangan hitam tadi lenyap ke arah sana. Hatinya masih bertanya-tanya diliputi keraguan, bercampur rasa heran dan tidak percaya dengan yang dilihatnya barusan. Apa yang terjadi di Kerajaan Galung ini, membuat Rangga terus bertanya-tanya. Pertama, sikap burung rajawali raksasa yang aneh. Kemudian malapetaka yang menimpa Patih Giling Wesi dan Kerajaan Galung. Dan kini yang baru saja terjadi.

Belum sempat Rangga memperoleh semua jawaban dari berbagai macam pertanyaan yang berkecamuk di benaknya, pendengarannya yang setajam rajawali menangkap suara beberapa orang yang berlari cepat menuju ke arahnya. Begitu pula dengan Patih Giling Wesi. Sesaat mereka saling berpandangan. Tanpa berkata-kata lagi, mereka segera melesat ke atas, dan hinggap di dahan yang cukup tinggi dan berdaun rindang.

Tidak lama kemudian, dari arah Selatan bermunculan sekitar tiga puluh orang. Mereka berlari cepat menuju ke arah Utara. Dari cara berlari, sudah dapat diketahui kalau mereka rata-rata memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi. Begitu cepatnya mereka berlari, sehingga perbatasan itu hanya terlewati dalam sekejap saja.

Rangga dan Patih Giling Wesi menunggu sampai orang-orang itu tidak terlihat lagi. Tak lama, mereka melompat turun dengan gerakan yang sangat ringan, tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Patih Giling Wesi memandang lurus ke arah Utara. Raut wajahnya seketika berubah memerah.

"Kau mengenali mereka, Paman?" tanya Rangga langsung menebak.

"Ya," sahut Patih Giling Wesi.

"Merekalah yang meruntuhkan Kerajaan Galung. Aku tidak tahu, apa yang mereka buru di sana."

Rangga tidak bertanya lagi. Dia memandang ke arah Utara juga, tapi tertuju ke angkasa. Tidak ada lagi bayangan hitam di sana. Hanya awan pekat yang berarak menutup cahaya bulan. Pikirannya masih terpusat pada burung rajawali raksasa yang baru saja melintas bagai kilat di angkasa. Kemudian pandangan matanya beralih pada empat sosok mayat yang masih tergeletak di pinggir jalan.

"Tidak mungkin rajawali melakukan pembunuhan tanpa ada sebabnya. Tapi..., luka itu bekas cakaran burung raksasa.... Ah!" Rangga berbicara sendiri di dalam hati.

Memang sukar untuk dipercaya. Tapi kenyataan yang dihadapi, membuat Rangga tidak habis berpikir. Sejak kecil dia bersama Rajawali Sakti sahabatnya, yang juga menjadi guru dan orang tua angkatnya. Dia kenal betul watak Rajawali Sakti. Tidak mungkin membunuh orang tanpa ada sebabnya.

Tapi melihat sikap Rajawali Sakti sahabatnya yang aneh beberapa hari lalu, membuat Rangga jadi berpikir keras. Tidak biasanya Rajawali Sakti meninggalkannya begitu saja dengan perasaan gelisah. Sepertinya ada sesuatu yang.... Rangga tidak bisa melanjutkan. Dia tidak tahu lagi, dan tidak bisa menduga-duga.

*******************

TIGA

Rangga meninggalkan Patih Giling Wesi di sebuah rumah penginapan. Yang tentu saja diterima dengan rasa hormat dan bangga, sehingga patih itu diberi kamar khusus oleh pemilik rumah penginapan. Bahkan dia berharap agar Istana Galung kembali bersih dari manusia-manusia kotor yang membuat seluruh rakyat seperti berada di atas api neraka. Dari pemilik rumah penginapan itu pula Rangga mengetahui keadaan Kerajaan Galung.

Dengan mengerahkan ilmu lari cepat, Rangga menuju sebuah hutan lebat di sebelah Utara Kerajaan Galung. Dia baru berhenti setelah tiba di sebuah padang rumput yang cukup luas. Sebentar diamati keadaan sekitarnya, kemudian berdiri tegak memandang ke angkasa.

"Suiiit...!"

Pendekar Rajawali Sakti itu bersiul panjang melengking, bernada aneh. Dua kali dia bersiul nyaring. Kemudian menunggu dengan pandangan lurus ke angkasa. Setelah cukup lama juga berdiri menunggu, kemudian terlihat sebuah titik putih keperakan di angkasa. Titik kecil itu kini semakin jelas terlihat bentuknya.

"Khraghk...!"

"Rajawali! Ke sini!" seru Rangga seraya melambaikan tangannya.

"Khraghk!"

Burung rajawali raksasa meluruk turun dengan cepat, dan mendarat ringan di depan Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda berbaju rompi putih itu menghampiri, dan mengelus-elus leher burung raksasa itu. Rajawali Sakti menggerung-gerung seraya menggeIeng-gelengkan kepalanya.

"Aku ingin bertanya padamu. Aku harap kau bersedia mengatakannya terus terang," kata Rangga hati-hati, tidak ingin menyinggung perasaan Rajawali Sakti.

"Khrrrk..."

"Kau tidak ke Kerajaan Galung semalam, Rajawali?" tanya Rangga.

Sebentar burung raksasa itu memandang pada Rangga, kemudian kepalanya menggeleng-geleng disertai suara mengkirik lirih.

"Terus terang, aku melihat rajawali melintas di atas kepalaku. Dan ada empat orang tewas akibat..."

"Graghk...!"

Rangga terdiam sebelum ucapannya selesai. Keningnya berkerut dalam melihat rajawali menggerung hebat, serta sayapnya dikepakkan kuat-kuat, Kepalanya menggeleng­-geleng, dan sinar matanya memerah tajam. Sebelah kakinya terhentak-hentak keras, membuat bumi yang dipijaknya bergetar bagai terjadi gempa.

"Maafkan aku, Rajawali. Bukan maksudku membuatmu marah. Aku hanya ingin mengatakan yang sebenarnya," ucap Rangga buru-buru, berusaha meredakan kemarahan Rajawali Sakti.

Rajawali Sakti menggerung lirih. Kepalanya tertunduk dalam menekur tanah. Dia merunduk mendekam diam, memperdengarkan suara lirih. Rangga memeluk leher burung raksasa itu. Tangannya mengelus-elus lembut.

"Aku juga tidak percaya kalau kau yang melakukan itu, Rajawali," ucap Rangga pelan.

"Krrrhhh...."

"Aku tidak tahu, apa yang membuatmu jadi gelisah dan marah! Mana pernah aku menyangka buruk terhadapmu. Bahkan sudah kucoba untuk menyangkal penglihatanku semalam. Tapi aku benar-benar melihat jelas, meskipun berulang kali kubantah. Aku percaya kalau kau tidak pergi ke mana-mana semalam," Rangga mengungkapkan isi hatinya.

Rajawali Sakti menarik kepalanya lepas dari pelukan Rangga. Ditatapnya lurus bola mata pemuda itu. Mata yang semula merah menyala, kini terlihat redup dan sayu. Rangga jadi tergerak hatinya melihat pandangan mata yang begitu sendu. Dapat dirasakan adanya kepedihan di had Rajawali Sakti. Tapi dia tidak tahu, apa sebenarnya yang membuat Rajawali Sakti bersikap aneh seperti ini. Cepat tersinggung, dan mudah sedih.

Burung rajawali raksasa itu mematuk-matuk tanah di depannya, kemudian menyorongkan kepalanya ke depan. Rangga lebih mendekat, dan naik ke punggungnya. Dia tahu kalau rajawali memintanya naik.

"Khraghk...!"

Dua kali kepakan sayap saja, Rajawali Sakti itu telah melambung tinggi ke angkasa. Dua kali berputar, kemudian melesat terbang menuju ke arah Utara.

"Mau ke mana?" tanya Rangga keras, berusaha mengalahkan deru angin.

"Khraghk!"

Rangga menjulurkan kepalanya, dan memandang ke bawah. Tampak hutan lebat bagai tidak bertepi, terhampar hijau di bawah sana. Sama sekali tak terlihat apa-apa, selain kehijauan hutan dan dataran yang menggunung. Rajawali Sakti membelokkan terbangnya ke arah Barat, dan terus melesat cepat sambil berkaokan keras. Entah sudah berapa gunung, lembah, dataran, serta padang rumput yang terlewati, tapi Rajawali Sakti tetap terbang cepat. Rangga tidak lagi memandang ke bawah. Dia tidak mengerti, akan dibawa ke mana! Meskipun ingin bertanya, tapi hanya disimpan saja dalam hati.

*******************

Hampir satu harian Rajawali Sakti terbang bersama Rangga yang berada di punggungnya. Hingga pada satu daerah yang berlembah sangat dalam, rajawali menukik turun. Rangga mengerutkan keningnya. Kini terlihat jelas kalau lembah itu adalah Lembah Bangkai, tempat dia menempa diri di bawah bimbingan Rajawali Sakti.

Rajawali terus menukik turun masuk ke dalam lembah, lalu hinggap di depan mulut goa yang sangat besar. Tidak jauh dari goa itu terdapat sebuah makam yang sangat indah dan terawat rapi. Tidak ada rumput liar di sekitar makam itu. Rangga melompat turun dari punggung rajawali. Sebentar dipandangi tempat yang penuh kenangan baginya ini.

"Rajawali, kenapa kau bawa aku ke sini?" tanya Rangga.

"Krrrkh...!" Rajawali Sakti mengkirik lirih.

Rangga memperhatikan gerak kepala burung itu yang mematuk-matuk tanah, kemudian menjulurkan kepala ke mulut goa. Rajawali berjalan gontai memasuki goa itu. Rangga mengikutinya dengan kening masih berkerut. Goa ini tidak begitu dalam, tapi terdapat empat ruangan khusus. Rajawali mendekam di atas ranting kering dan rerumputan yang tertata rapi. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri, kemudian menjulur ke salah satu ruangan goa di samping kanannya.

"Ruang baca...," gumam Rangga mengenali ruangan itu.

"Buku apa yang harus kubaca?"

Rajawali mematuki tubuhnya sendiri pada bagian dada. Sebentar Rangga memperhatikan, kemudian melangkah masuk ke dalam ruangan baca itu. Ruangan yang tidak begitu besar, namun tersimpan bermacam-macam buku kumal dan telah berusia ratusan tahun. Hampir semua buku di dalam ruangan ini sudah dibacanya. Bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu tidak berkedip memandangi buku-buku yang terjajar di dalam rak dari kayu jati. Tangannya menjulur mengambil sebuah buku bersampul merah muda bergambar dua ekor burung rajawali. Sebentar dipandangi sampul buku itu, lalu dibersihkannya debu yang rnelekat. Sebentar kemudian dia melangkah ke luar.

"Buku ini yang kau maksud?" Rangga menunjukkan buku di tangannya pada rajawali.

"Khrrrk."

Kepala burung rajawali raksasa itu terangguk-angguk beberapa kali. Rangga tersenyum dan menganggukkan kepalanya sedikit. Segera dihampiri sebuah batu yang datar dengan permukaan licin berkilat Batu pualam putih itu terasa dingin saat Rangga duduk bersila di atasnya.

Pendekar Rajawali Sakti itu mulai membuka buku yang diambil dari ruangan baca. Buku itu ternyata hanya berisi gambar-gambar burung rajawali dengan berbagai tingkah­ polahnya. Ada dua burung rajawali. Yang satu berwarna putih keperakan, sedangkan satu lagi berwarna hitam pekat. Tidak ada satu pun tulisan di dalam buku ini. Sampai pada lembar terakhir, hanya ada satu kalimat yang tertera.

"SEPENGGAL DARI SEPASANG RAJAWALI SAKTI".

"Hmmm..., apa maksudnya?" gumam Rangga bertanya­tanya sendiri dalam hati.

Rangga kembali membolak-balik isi buku itu. Satu persatu gambar diperhatikan dengan teliti. Kemudian kepalanya terangkat, langsung menatap rajawali yang mendekam memperhatikannya pula. Kembali Rangga memandang ke arah buku yang terbuka di tangannya, lalu kembali mengangkat kepalanya lagi. Terlihat kening Pendekar Rajawali Sakti berkerut dalam memandang Rajawali Sakti' di depannya.

"Ini gambarmu?" tanya Rangga menunjuk satu gambar rajawali berwarna putih keperakan.

Rajawali mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Dan siapa yang satunya lagi?" tanya Rangga.

Rajawali menjulurkan sebelah kakinya ke depan. Dengan cakarnya yang besar dan kuat, dikais-kais tanah di depannya. Rangga beranjak turun dari batu pualam yang didudukinya, lalu menghampiri rajawali itu. Kembali keningnya berkerut dengan mata agak menyipit melihat sebuah kitab kumal tertimbun di dalam tanah.

"Kitab apa ini?" tanya Rangga seraya mengambil kitab itu. Dibersihkan kitab tersebut dari tanah yang melekat.

"Khraghk!"

"Rupanya kau ingin menunjukkan sesuatu padaku, Rajawali," kata Rangga lembut.

Pendekar Rajawali Sakti kembali duduk di atas batu pualam pipih berkilat itu. Dia duduk bersila dan mulai membuka lembaran kitab itu. Ternyata kitab tersebut berisi riwayat kehidupan Rajawali Sakti disertai beberapa gambar dua ekor burung dengan tingkah-polahnya. Sesekali Rangga memandangi rajawali yang mendekam dengan kepala tertunduk. Semakin dalam membaca kitab itu, semakin jelas dan dimengerti diri Rajawali Sakti.

Rangga menutup kitab itu setelah selesai membacanya. Agak lama juga dipandangi Rajawali Sakti yang masih mendekam dengan kepala tepekur dalam. Sepasang bola matanya redup, tanpa terlihat cahaya kegairahan. Ada perasaan iba terselip dalam hati Rangga, melihat sikap rajawali yang kelihatan begitu sedih dan murung. Dia ingin menghibur, tapi tidak tahu bagaimana caranya.

"Rajawali...,"pelan suara Rangga memanggil.

"Krrrhk...," Rajawali Sakti mengkirik lirih. Kepalanya terangkat sedikit menatap pada pemuda di depannya.

"Maafkan aku, Rajawali. Seharusnya aku tidak menyinggung-nyinggung masa lalumu," ucap Rangga pelan.

"Khrrrhk...," kepala burung rajawali menggeleng pelahan.

"Sejak kapan kau berpisah dengan pasanganmu?" tanya Rangga.

Rajawali menunjuk buku yang dipegang Rangga dengan menjulurkan kepalanya. Rangga membuka kembali buku itu.

"Hm..., hampir seratus tahun...?!" Rangga bergumam terkejut. la kembali membaca tulisan di buku itu. "Hal ini terpaksa kulakukan demi kelangsungan hidup Rajawali Putih. Mereka akan kembali ke nirwana jika sampai melangsungkan perkawinan. Rajawali Hitam memang diciptakan untuk menggoda dan mempengaruhi Rajawali Putih. Sifat mereka berdua berbeda dan saling bertolak belakang. Sayang, aku tidak mampu melenyapkan Rajawali Hitam. Dan mereka memang tidak dapat mati, karena mereka adalah titisan Dewa untuk melindungi manusia dari kehancuran dan keangkara murkaan. Tapi tugas utama itu telah disalahgunakan Rajawali Hitam. Maaf, terpaksa kupisahkan kalian berdua. Ini kulakukan agar kau tetap berada di jalan yang lurus, Rajawali Putih...."

Rangga berhenti membaca, lalu menatap Rajawali Putih di depannya. Kini dia baru tahu panggilan untuk burung raksasa itu. Dan dia juga baru tahu kalau di dunia ini ada rajawali lain yang sifatnya bertolak belakang dengan Rajawali Putih. Buku ini memang sengaja ditulis Pendekar Rajawali yang hidup ratusan tahun lalu. Seorang pendekar tanpa tanding, yang kemudian menyepi karena tidak ada lagi yang mampu melawannya (Baca serial perdana Pendekar Rajawali Sakti, dalam episode Iblis Lembah Tengkorak).

"Aku bisa memahami perasaanmu, tapi kau juga tidak boleh mengabaikan kewajiban utamamu. Makhluk sejati tidak pernah mementingkan diri sendiri, Rajawali Putih. Ikhlaskan dia pergi dengan membawa nafsu dan kesenangan pribadinya. Bahkan aku mengharapkan kau, atau siapa saja yang dapat mengendalikannya, untuk merubah segala sifatnya yang buruk. Aku yakin, suatu saat dia akan mendapatkan pengasuh yang mampu menunjukkan jalan kebenaran..." Rangga melanjutkan membaca.

"Khraghk!" tiba-tiba Rajawali Putih mengangkat kepalanya. Suaranya begitu keras, seakan-akan hendak menghancurkan seluruh dinding goa ini.

Rangga juga terlonjak, dan cepat melompat ke luar. Ditinggalkan kitab di tangannya itu diatas batu pualam putih. Begitu cepat ia melompat, tahu-tahu sudah berada di luar goa. Pada saat kakinya menjejak tanah, di atas kepalanya melintas satu bayangan besar berwarna hitam.

Rajawali Putih juga melesat keluar goa. Dia berkaokan keras dengan kepala menjulur tinggi ke atas. Rangga mendongakkan kepalanya. Bayangan hitam besar itu berputar tiga kali di udara, lalu melesat cepat ke arah Selatan.

"Rajawali Hitam...," desis Rangga. "Hup!"

Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Dan seketika itu juga, Rajawali Putih melesat ke angkasa dengan kecepatan penuh. Bagaikan kilat saja, tahu-tahu sudah mengawang tinggi, dan terus menuju ke arah Selatan. Rangga terpaksa berpegangan erat pada leher burung rajawali raksasa itu. Angin yang bertiup begitu keras, menderu memekakkan telinga.

"Dia turun ke gunung itu...!" seru Rangga memberitahu.

"Khraghk!"

Rajawali Putih meluruk turun ke arah Puncak Gunung Kilasan yang tertutup kabut tebal. Rangga segera melompat turun begitu kaki Rajawali Putih menyentuh tanah. Ringan dan tanpa suara sedikit pun, sepasang kaki Pendekar Rajawali Sakti menjejak tanah berumput tebal. Sejenak dia memandang berkeliling, namun yang tampak hanya kabut tebal menghalangi pandangannya.

Rangga segera mengerahkan aji 'Tatar Netra', sehingga dapat melihat jauh dan terang, meskipun sekelilingnya tertutup kabut tebal. Hanya saja dia tetap tidak dapat menemukan yang dicarinya.

"Hhh! Kemana dia? Jelas sekali kalau tadi turun ke sini," gumam Rangga pelan.

"Kherkh...!"

"Kau melihat sesuatu. Rajawali Putih?" tanya Rangga.

Rajawali Putih mengkirik lagi, lalu kepalanya bergoyang ke kiri dan ke kanan beberapa kali. Rangga menarik napas panjang. Rajawali Putih juga tidak melihat apa-apa. Udara pun bertambah dingin menggigilkan tubuh.

"Mungkin bukan di sini tempatnya," duga Rangga.

Rajawali Putih menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kau yakin ini tempat Rajawali Hitam?"

Kepala Rajawali Putih mengangguk.

"Aku percaya antara kau dengan Rajawali Hitam ada hubungan batin yang kuat. Kalau begitu, sebaiknya kita cari di sekitar tempat ini," usul Rangga.

Rajawali Putih menjulurkan kepalanya ke depan, hingga hampir menyentuh tanah. Rangga mengerti maksudnya. Segera dia melompat naik ke punggung Rajawali Putih itu. Sesaat kemudian, Rajawali Putih sudah membumbung tinggi ke angkasa, dan berputar-putar di atas Puncak Gunung Kilasan ini. Tapi sejauh mata memandang, hanya warna hijau tertutup kabut tebal saja yang tampak.

"Lebih ke bawah lagi! Ke lereng!" seru Rangga keras.

"Khraghk!"

Rajawali menukik sampai ke Lereng Gunung Kilasan ini. Dia berkeliling sampai tiga kali, tapi tidak juga menemukan yang dicarinya. Bahkan sampai terus ke kaki gunung, belum juga didapat. apa yang dicarinya. Rangga meminta rajawali agar mendarat. Sementara matahari sudah tergelincir ke Barat. Suasana remang-remang, berangsur gelap. Udara di-sekitar Gunung Kilasan ini semakin dingin.

"Kau masih merasakan dia ada di sini, Rajawali Putih?" tanya Rangga setelah turun dari punggung Rajawali Putih itu.

Rajawali Putih hanya diam saja, tidak membuat gerakan sedikit pun. Rangga memperhatikan, sepertinya Rajawali Putih tengah diliputi kebimbangan. Meskipun hanya seekor burung, tapi sikap dan perasaan Rajawali Putih melebihi manusia. Dan Rangga bisa memahami perasaan Rajawali Putih saat ini.

"Bagaimana sekarang? Hari sudah gelap," kata Rangga memberikan pilihan.

Rajawali Putih hanya mengkirik lirih. Kepalanya bergerak menggeleng beberapa kali. Rangga mengerti kalau burung raksasa itu tidak punya pilihan lagi. Dan saat ini juga Rangga tidak tahu, apa yang akan dilakukan Sementara dia pun jadi teringat dengan Patih Giling Wesi yang ditinggalkan di sebuah rumah penginapan.

"Kau di sini saja, Rajawali. Aku akan pergi sebentar," kata Rangga.

"Krrrhk...!"

"Tidak mungkin. Aku akan ke Kotaraja Kerajaan Galung. Kau di sini saja. Besok pagi aku datang, lalu kita akan mencari lagi Rajawali Hitam."

Rajawali Putih mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Aku pergi dulu."

*******************

EMPAT

Rangga terkejut memandangi rumah penginapan yang tampak sepi, serta bagian depan rumah yang terlihat hancur. Meja kursi dan perabotan lainnya berantakan di depan. Perasaan tidak enak menyelinap di hatinya. Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas melangkah masuk ke dalam rumah penginapan itu.

Langkahnya cepat, dan terlihat buru-buru. Ayunan kakinya terhenti seketika begitu memasuki lorong yang di kanan dan kirinya terdapat pintu kamar. Tidak ada satu pintu pun yang tertutup. Dan keadaannya pun berantakan sekali. Di lantai lorong, tergeletak tiga sosok mayat laki­laki. Pelahan-lahan Rangga melangkah menyusuri lorong itu.

Kembali langkahnya terhenti setelah tiba di depan salah satu pintu kamar yang terbuka lebar dan setengah hancur. Keadaan di dalam kamar itu juga berantakan, seperti habis diamuk binatang liar. Tidak ada seorang pun terlihat. Tapi, di lantai dan dinding kamar itu terdapat bercak-bercak darah yang masih basah.

"Paman Patih...," desis Rangga bergetar.

Di kamar inilah Rangga meninggalkan Patih Giling Wesi pagi tadi. Kecemasan melanda hati Pendekar Rajawali Sakti ini. Bergegas dia berbalik dan melangkah cepat meninggalkan lorong kamar penginapan ini. Namun begitu kakinya menginjak ujung lorong yang langsung berhubungan dengan bagian depan, mendadak sebatang tombak panjang meluruk deras ke arahnya.

"Uts, hap!"

Cepat sekali Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan, seraya tangannya bergerak cepat menangkap tombak itu. Namun belum juga bisa menarik kembali tubuhnya, Sviseorang melompat cepat sambil mengayunkan sebilah golok besar dan panjang. Dengan cepat Rangga mengayunkan tombak yang ditangkapnya tadi, untuk memapak kibasan golok itu.

Trak!

Tombak itu terpenggal menjadi dua bagian, tapi Rangga segera melompat ke samping menjauhi orang yang menyerangnya secara tiba-tiba itu. Pada saat kaki Pendekar Rajawali Sakti baru menyentuh lantai, orang itu sudah berbalik dan langsung melompat menyerang. Goloknya yang besar berkelebat cepat ke arah dada.

Dalam posisi seperti ini, tidak ada kesempatan buat Rangga berkelit. Jalan satu-satunya adalah mengangkat tangannya ke depan dada, lalu mengepit golok itu dengan kedua telapak tangan yang menyatu rapat. Dan secepat itu pula, kaki kanannya melayang ke depan mendupak tepat di perut orang itu.

"Ugh!" orang itu mengeluh pendek, dan terdorong beberapa langkah ke belakang.

Kalau saja tadi Rangga mengerahkan tenaga dalam, mungkin perut orang itu bakal jebol. Tapi dupakan itu memang cukup keras, sehingga membuat orang itu meringis kesakitan. Rangga membuang golok yang berhasil dirampasnya.

"Paman Walaka...!" seru Rangga begitu mengenali orang yang menyerangnya. "Kenapa kau menyerangku...?"

"Ugh! Oh...!" laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun itu juga tampak terkejut.

Dia memang Paman Walaka, pemilik rumah penginapan ini. Rangga bergegas menghampiri, dan mengambil kursi yang terguling. Kemudian dituntunnya Paman Walaka, dan didudukkannya di kursi kayu itu. Sebentar Rangga memeriksa perut laki-laki itu, kemudian mengambil kursi lagi dan duduk di depannya.

"Apa yang terjadi di sini?" tanya Rangga setelah Paman Walaka terlihat tenang.

"Mereka..., mereka menghancurkan tempatku, membunuh tamu-tamuku, Tuan," sahut Paman Walaka tersedu.

"Siapa mereka?"

"Mereka orang jahat yang menguasai Istana Galung."

"Hm..., Paman. Di mana Paman Patih Giling Wesi?" tanya Rangga.

"Aku tidak tahu. Semula Gusti Patih Giling Wesi sempat bertarung dengan mereka. Selanjutnya, aku tidak tahu lagi. Aku berusaha menyelamatkan diri, karena tidak mungkin melawan mereka yang punya kemampuan tinggi "

"Paman melihat mereka menangkap Paman Patih?" desak Rangga.

"Tidak."

Rangga bangkit dari duduknya dan melangkah ke depan.

"Tuan..."

Rangga menghentikan langkahnya, lalu berbalik.

"Tolong bebaskan kami. Bebaskan Kerajaan Galung dari tangan mereka. Rakyat begitu menderita akibat kekejaman mereka, Tuan," ratap Paman Walaka memelas.

"Berapa banyak jumlah mereka?" tanya Rangga.

"Tidak tahu pasti. Tapi mereka begitu banyak, dan rata-rata memiliki tingkat kepandaian tinggi. Bahkan para panglima tidak sanggup menghadapinya. Dan lagi, Gusti Prabu pun tidak mampu menandingi pemimpin mereka. Tolong, Tuan! Tuan seorang pendekar, kami semua pasti tidak akan tinggal diam, dan akan membantu semampu kami. Semua rakyat Galung sudah tidak tahan lagi hidup dalam penindasan dan kekejaman mereka," rengek Paman Walaka.

Rangga sangat trenyuh mendengar permintaan orang tua ini. Dia hanya bisa tersenyum getir dan mengangguk, kemudian berbalik melangkah ke luar. Paman Walaka mendesah panjang. Dia sangat berharap agar pendekar muda itu mengusir orang-orang berhati iblis dari bumi Kerajaan Galung ini. Bahkan seluruh rakyat akan rela berkorban menyabung nyawa.

*******************

Rangga berjalan pelahan-lahan melintasi jalan utama yang cukup besar di Kerajaan Galung ini. Sepanjang jalan yang dilalui, tidak terlihat seorang pun berada di luar rumah. Semua rumah yang berada di kerajaan ini tertutup rapat pintu dan jendelanya. Sungguh suatu pemandangan yang tidak menyenangkan hati.

"Berhenti...!"

Ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti terhenti ketika terdengar suara keras dari arah belakang. Belum sempat menoleh, dari setiap balik dinding rumah penduduk, berlompatan orang bersenjata terhunus. Mereka serentak mengepung dengan sorot mata permusuhan.

"Hm..., lima belas orang," gumam Rangga menghitung dalam hati.

"Kisanak, siapa kau? Dan apa tujuanmu datang ke sini?" bentak salah seorang yang berdiri tepat di depan Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti itu tidak segera menjawab. Diperhatikannya orang setengah baya berbaju ketat berwarna merah, yang menghunus tombak panjang bermata tiga itu. Wajahnya kasar, mencerminkan kebengisan. Sinar matanya merah menyala, menyorotkan nafsu membunuh.

"Aku seorang pengembara, dan hanya sekedar lewat sini saja," sahut Rangga kalem.

"Kisanak! Daerah ini terlarang bagi siapa pun. Dan mereka yang berani melanggar, harus menyerahkan semua harta bendanya!" kata orang itu dingin.

"Aku tidak punya harta. Apa yang kalian inginkan dariku?" masih terdengar tenang suara Rangga, namun dari nadanya dapat dirasakan ketidak sukaan.

"Hm..., kau membawa pedang cukup bagus. Apa kau bisa menggunakannya?"

"Tentu saja. Aku menggunakan pedang ini untuk menghancurkan iblis berkedok manusia!"

Merah padam wajah orang itu mendengar kata-kata yang terdengar tenang, namun sangat menyakitkan telinga. Bahkan empat belas orang lainnya menggereng marah. Kata-kata Rangga sungguh menyinggung perasaan. Tentu saja itu berarti sebuah tantangan.

"Kadal! Rupanya kau cari mampus di sini, heh!" bentak orang itu sengit.

"Untuk apa aku mencari mati? Hanya Dewata yang tahu kematianku," sahut Rangga mulai sinis.

"Wadyabala! Cincang keparat busuk ini!"

"Hiya...!"
"Yeaaah...!"

Tanpa diperintah dua kali, mereka yang memang sudah tidak sabar lagi, langsung berlompatan menyerang. Rangga melompat ke atas sebelum orang-orang itu sempat menyentuh tubuhnya. Dengan indah sekali dia mendarat di atas atap sebuah rumah. Namun tiga orang dari mereka cepat melesat mengejar.

"Yaaah...!"

Sambil berteriak nyaring, Rangga menghentakkan tangannya ke depan. Satu aliran tenaga dalam yang sangat dahsyat, terlontar dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Akibatnya, tiga orang itu terlempar jatuh deras ke bawah sebelum mencapai atap. Begitu derasnya, sehingga terdengar bunyi tulang-tulang yang patah. Ketiga orang itu menggeliat dan merintih kesakitan.

Rangga melompat turun ke bawah, dan segera menyerang orang-orang itu. Pukulan dan tendangannya demikian keras, serta mengandung tenaga dalam sangat sempurna. Siapa saja yang terkena tendangan dan pukulannya, terlontar jauh dengan tulang remuk. Namun mereka bukanlah orang sembarangan yang hanya umbar bacot saja. Tingkat kepandaian mereka juga cukup tinggi, sehingga mampu menandingi Pendekar Rajawali Sakti dalam beberapa jurus.

Satu persatu mereka dibuat jatuh bangun. Namun serangan yang datang tidak berhenti. Bahkan semakin bertambah dahsyat saja. Beberapa kali Rangga harus berlompatan menghindari senjata lawannya. Jerit kematian dan teriakan-teriakan pertarungan berbaur menjadi satu.

Terlihat, sudah lima orang tergeletak tak bernyawa lagi.

"Khraghk...!"

Tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar dari angkasa. Belum sempat ada yang menyadari, sebuah bayangan hitam meluruk deras langsung menghajar orang-orang yang mengepung Pendekar Rajawali Sakti. Sesaat Rangga terperangah, namun dengan cepat melompat mundur.

"Khraghk!"

"Rajawali Hitam...," desis Rangga begitu melihat jelas benda besar hitam yang kini tengah mengamuk membantai orang-orang itu.

Jerit melengking terdengar saling sambut, disusul tubuh-tubuh yang bergelimpangan bersimbah darah. Rajawali Hitam mengamuk, mencakar, mengoyak, dan mematuk orang-orang itu. Sementara Rangga semakin terkesiap melihat di punggung burung raksasa berwarna hitam pekat itu, duduk seseorang yang juga memakai baju warna hitam pekat dan sangat ketat. Orang itu menghunus sebuah pedang hitam panjang yang selalu mengepulkan asap merah tipis.

Pedang itu berkelebatan cepat membabat setiap orang yang dekat dalam jangkauannya. Sukar dipercaya! Dalam waktu sebentar saja, tidak ada lagi yang hidup. Dan burung raksasa berwarna hitam itu pun langsung melesat ke angkasa.

"Hey! Tunggu...!" seru Rangga keras.

"Khraghk...!"

Burung raksasa itu berputar rendah di atas kepala Rangga, kemudian membumbung tinggi ke angkasa. Dengan gerakan cepat bagai kilat, Rangga melompat ke udara. Dengan mempergunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', dikejarnya burung raksasa itu.

"Hup!"

Pendekar Rajawali Sakti berhasil menangkap sebelah kaki burung raksasa itu, dan memeluknya erat-erat. Burung raksasa itu menghentakkan kakinya berusaha melepaskan rangkulan Rangga yang sangat kuat. Merasa sukar untuk melepaskan rangkulan itu, Rajawali Hitam itu menukik deras, lalu menyambar sebatang pohon besar dengan kakinya.

"Akh...!" Rangga memekik keras begitu tubuhnya membentur batang pohon itu.

Namun dia tetap bertahan, berpegangan erat pada kaki sebesar batang pohon kelapa itu. Burung raksasa itu kembali membumbung tinggi ke angkasa, dan kembali menukik deras ke bawah. Sebongkah batu cadas yang besar dihajar dengan kakinya. Batu itu hancur berkeping­-keping. Namun Rangga tetap bertahan tidak melepaskan rangkulannya.

"Khraghk...!"

"Cukup, Rajawali Hitam. Bawa dia turun!" terdengar suara kecil namun tegas nadanya.

"Khraghk!"

Burung Rajawali Hitam meluruk turun. Dan mendarat lunak di hamparan padang rumput yang luas. Rangga langsung melompat menjauh, lalu berdiri tegak memandang burung rajawali raksasa berwarna hitam pekat itu. Dan kini pandangannya tertumpu pada orang yang berada di punggung rajawali hitam itu, yang kemudian melompat turun. Gerakannya begitu indah dan ringan, pertanda memiliki kepandaian yang tinggi.

Bola mata Rangga agak menyipit, berusaha melihat jelas wajah yang terselubung cadar biru pekat yang tipis. Dari bayang-bayang cadar itu, dapat dipastikan kalau orang itu adalah wanita. Bentuk tubuhnya pun ramping dengan tonjolan indah pada dadanya. Orang itu berdiri tegak di depan burung Rajawali Hitamnya.

"Aku tahu siapa dirimu. Aku minta, jangan campuri urusan Kerajaan Galung. Itu urusanku sendiri!" tegas kata­-kata orang itu.

"Siapa kau?" tanya Rangga.

"Kau tidak perlu tahu siapa aku."

Orang itu segera melesat naik ke punggung Rajawali Hitam.

"Tunggu dulu!" seru Rangga cepat.

"Aku percaya kau mampu dan memiliki kepandaian yang sangat tinggi, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi itu bukan urusanmu! Aku masih mampu menghancurkan mereka!"

"Hey...!"

Rangga ingin berkata lagi, tapi burung hitam raksasa itu sudah keburu melesat tinggi. Rangga hanya bisa memandangi dengan benak diliputi berbagai macam pertanyaan yang sulit terjawab saat ini.

"Siapa dia? Dalam buku milik Pendekar Rajawali yang hidup seratus tahun lalu, dituliskan kalau Rajawali Hitam ada yang memiliki. Aneh...? Dia mengatakan urusan Kerajaan Galung adalah urusannya sendiri. Siapa dia sebenarnya?" Rangga jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti masih berdiri mematung, namun hatinya berbicara sendiri. Kini persoalan yang dihadapinya semakin pelik. Di satu pihak, tidak bisa membiarkan orang-orang berhati iblis menguasai Kerajaan Galung. Di pihak lain, dia pun harus mengetahui orang yang kini menguasai Rajawali Hitam, sekaligus ingin menentramkan hati Rajawali Putihnya.

Memang ada resiko yang sangat besar bila Rangga berhasil mempertemukan kedua burung rajawali raksasa itu. Tapi ini yang tidak diinginkannya. Rajawali Putih bakal kembali ke Nirwana untuk selama-lamanya. Bukan hanya dua persoalan yang kini dihadapi Rangga, tapi juga harus berhadapan dengan dua pilihan yang amat sulit Dan dia harus menentukan pilihan itu.

Namun tidak mudah untuk menentukannya. Persoalannya, kedua pilihan itu tidak diinginkannya sama sekali! Jelas, ini mengandung resiko yang amat besar. Bukan hanya bagi dirinya, tapi juga bagi Rajawali Putih yang amat disayangi, melebihi pada dirinya sendiri.

"Oh, Dewata Yang Agung... Apa yang harus kulakukan sekarang...?" keluh Rangga.

Rangga berjalan pelahan-lahan menuju Gunung Kilasan. Kepalanya tertunduk dalam, dan sesekali terdengar tarikan napasnya yang panjang dan berat. Saat ini dia tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan. Persoalan yang dihadapi sungguh luar biasa, dan membuatnya bingung untuk mencari pemecahannya. Otaknya serasa buntu, tidak mampu lagi diajak berpikir.

Sementara malam merayap bertambah larut. Udara di sekitarnya semakin dingin. Kabut tebal pun turun menghalangi pandangan mata. Namun Pendekar Rajawali Sakti tetap melangkah. Hanya saja, kini dia tidak tahu lagi arah yang dituju. Sepanjang mata memandang, hanya ketebalan kabut yang pekat. Entah sudah berapa jauh berjalan. Rangga baru menyadari kakinya menyentuh bibir Lembah Ular Berbisa. Satu daerah yang tidak pernah diinjak manusia.

"Kenapa aku sampai di sini...?" Rangga jadi heran sendiri. "Sepertinya tadi aku menuju ke Gunung Kilasan. Tapi kenapa bisa sampai di sini...?"

Arah yang dituju memang jauh berlawanan. Gunung Kilasan berada di sebelah Utara Lembah Ular Berbisa, yang letaknya berada di sebelah Timur Kerajaan Galung. Dan ini berarti dia harus kembali lagi melintasi Hutan Krambang. Tapi dalam cuaca yang berkabut seperti ini, memang sukar mencari arah. Bisa-bisa malah semakin jauh tersesat.

Rangga mendongakkan kepalanya ke atas, bersiap-siap memanggil Rajawali Putih. Tapi niatnya itu diurungkan karena kabut yang demikian tebal. Pendekar Rajawali Sakti itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dikerahkan aji 'Tatar Netra' untuk mengatasi kabut yang tebal. Dengan aji 'Tatar Netra, kabut setebal apa pun tidak menjadi halangan bagi penglihatannya.

"Ada api," gumam Rangga saat memandang ke arah Hutan Krambang.

Bergegas Rangga melangkah ke arah api yang dilihatnya. Jarak yang harus ditempuh cukup jauh. Tapi dengan aji 'Tatar Netra', dia tidak lagi mengalami kesulitan dengan penglihatannya. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti itu mampu mengerahkan ilmu meringankan tubuh untuk mempercepat langkahnya.

Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti sudah mencapai taraf kesempurnaan. Sehingga dalam waktu sebentar saja, sudah sampai di tempat api yang dilihatnya tadi. Tampak seorang laki-laki bertubuh gemuk, duduk dekat api itu. Dan dia menoleh begitu merasa ada orang lain menghampirinya.

"Paman Patih..." desis Rangga begitu orang gemuk itu memalingkan mukanya.

"Rangga...!" Patih Giling Wesi terkejut bercampur gembira melihat kedatangan Rangga.

Rangga menghampiri dan duduk di depan Patih Giling Wesi. Sesaat mereka terdiam dan hanya saling pandang saja. Keadaan Patih Giling Wesi begitu kumuh. Pakaiannya koyak di beberapa bagian. Walaupun udara sekitarnya terasa dingin, tapi terlihat adanya titik keringat pada wajah laki-laki gemuk itu.

"Kau tidak apa-apa, Paman?" tanya Rangga seraya merayapi wajah dan tubuh Patih Giling Wesi. Dia teringat keadaan kamar sewaan laki-laki gemuk itu, dan noda darah yang melekat pada lantai serta dinding.

"Hanya letih," sahut Patih Giling Wesi mencoba tersenyum.

"Aku cemas kau mendapat luka," ujar Rangga polos.

"Terima kasih, tapi aku masih mampu mengatasinya," ucap Patih Giling Wesi. "Kau sudah tahu apa yang terjadi?"

"Sudah... Paman Walaka yang menceritakannya," sahut Rangga.

"Mereka sangat tangguh. Aku benar-benar kewalahan menghadapinya. Itu baru kroco, belum lagi biangnya. Hhh...! Aku tidak tahu lagi, apa jadinya Kerajaan Galung kalau mereka terus bercokol di sana," nada bicara Patih Giling Wesi terdengar mengeluh. "Ini semua gara-gara anakku!"

Rangga hanya diam saja karena tidak tahu lagi, harus berkata apa. Semua yang terjadi di Kerajaan Galung sudah didengar. Bukan hanya dari Patih Giling Wesi, tapi juga dari Paman Walaka, pemilik rumah penginapan. Bahkan banyak rakyat Galung yang mengeluh seperti itu. Mereka menyesali perbuatan Intan Kemuning, sehingga Kerajaan Galung menjadi neraka bagi banyak orang.

Memang, tindakan Intan Kemuning terlalu ceroboh. Tapi Rangga tidak dapat menyalahkan begitu saja. Dalam dunia persilatan, tidak ada salahnya menantang tokoh-tokoh lain untuk menguji tingkat kepandaian. Hanya saja yang dilakukan Intan Kemuning berakibat fatal. Bukan saja bagi diri dan keluarganya sendiri, tapi juga bagi seluruh rakyat Kerajaan Galung!

"Dia bukan saja telah mencoreng mukaku, tapi juga telah mengakibatkan ibunya meninggal di tangan iblis-iblis keparat itu!" suara Patih Giling Wesi bernada gusar.

"Paman..."

"Intan Kemuning bukan lagi Intan yang dulu, yang kupuja dan kubanggakan! Dia kini jadi gadis liar, haus akan ilmu kesaktian. Intan... Intan. Apakah tidak kau pikirkan dulu? Mengapa tidak kau rundingkan dulu denganku...?" keluh Paman Patih Giling Wesi.

Rangga benar-benar bungkam. Dia hanya diam memandang dengan perasaan iba pada laki-laki gemuk ini. Lidahnya serasa kelu, sukar untuk diajak bicara. Otaknya pun beku, tidak mampu melahirkan kata-kata untuk menghibur. Bahkan untuk mengambil sikap pun sulit. Apa yang terjadi pada Patih Giling Wesi, memang di luar kemampuannya sebagai seorang pendekar.

"Ah! Maafkan aku, Rangga. Tidak seharusnya aku mengeluh demikian rupa kepadamu," ucap Patih Giling Wesi tersadar.

"Tidak mengapa, Paman," hanya itu yang bisa diucapkan Rangga.

"Aku sekarang tidak peduli lagi padanya. Hanya satu yang harus kulakukan sekarang, yaitu mengembalikan Istana Galung pada Gusti Prabu," ujar Patih Giling Wesi. "Dan mungkin aku juga tidak akan berkecimpung di dalam kepatihan lagi. Sudah kuputuskan untuk menjadi pertapa."

"Paman putus asa?"

"Tidak! Tapi hanya itu yang bisa kulakukan. Tidak ada lagi yang kumiliki sekarang. Semuanya hancur!"

"Paman masih punya Intan Kemuning."

Patih Giling Wesi menatap Rangga dalam-dalam. Kata­-kata Pendekar Rajawali Sakti itu sungguh mengejutkan hatinya. Namun Rangga sendiri jadi blingsatan. Baru disadari, kalau kata-katanya meluncur tanpa dipikirkan lebih dahulu! Dia sendiri heran, kenapa bisa berkata seperti itu? Saat ini pun Rangga tidak tahu nasib Intan Kemuning sesungguhnya. Bahkan selama berada di Kerajaan Galung ini, belum pernah menjumpainya.

"Maaf, Paman. Aku hanya merasa yakin kalau Intan Kemuning masih hidup. Dan mungkin kini tengah menyesali perbuatannya," ucap Rangga buru-buru.

"Kau yakin?"
"Entahlah."

"Rangga. Meskipun kusesali perbuatan Intan Kemuning, tapi aku tetap menyayanginya. Bagaimanapun juga dia anakku! Apa yang dilakukannya adalah tanggung jawabku juga. Terus terang. Dalam hati kecilku, aku masih berharap Intan tetap hidup dan berada di suatu tempat," Patih Giling Wesi mengemukakan perasaan hatinya.

"Aku juga merasa begitu, Paman."

"Rangga. Setelah mereka bisa terusir dari istana, aku bertekad untuk mencari anakku! Setelah itu baru aku akan bertapa mengisi sisa hidupku. Kau bersedia membantuku, Rangga?" pinta Patih Giling Wesi penuh harap.

"Tentu saja, Paman. Pasti akan kucari Intan Kemuning sampai dapat. Paman bisa beristirahat, sementara aku mencari Intan," sahut Rangga.

"Terima kasih, Rangga."

*******************

LIMA

Pagi-pagi sekali, di saat matahari baru menampakkan diri, Rangga sudah beranjak dari tempat tidurnya. Tempat yang tidak layak, namun cukup untuk beristirahat menghilangkan rasa penat. Ranting yang terbakar sudah padam, hanya sisa asap tipis yang mengepul bercampur kabut. Cahaya matahari pagi yang hangat mulai menguak kabut di sekitar Hutan Krambang.

"Paman...!" Rangga tersentak kaget begitu menyadari Patih Giling Wesi sudah tidak berada di tempatnya lagi.

Bergegas Pendekar Rajawali Sakti itu beranjak bangkit. Sebentar dia memandang ke sekeliling, menembus kabut yang mulai memudar. Semalam tidurnya memang nyenyak sekali, sehingga tidak mendengar suara apa pun. Rangga mulai diliputi kecemasan. Semalam Patih Giling Wesi mengatakan akan ke Istana Galung, hendak mengusir orang-orang berhati iblis yang kini menguasai istana itu.

"Celaka, kalau dia datang sendiri ke sana!" gumam Rangga dalam hati.

"Paman...!Paman Patih...!"teriak Rangga memanggil.

Tapi tidak ada sahutan. Suara Rangga yang keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna itu meng­gema menyelusup ke seluruh Hutan Krambang ini. Beberapa kali Rangga memanggil, tapi tetap tidak ada sahutan. Rangga semakin cemas, kemudian bergegas meninggalkan tempat itu.

"Hutan ini cukup jauh dari Kerajaan Galung. Mungkin satu harian penuh baru sampai di sana," gumam Rangga berkata sendiri.

Pendekar Rajawali Sakti itu memandang berkeliling. Tempat dia berada sekarang ini cukup terbuka, meskipun tidak seberapa luas. Paling tidak cukup untuk pendaratan Rajawali Putih. Rangga bersiap-siap mengerahkan siulan saktinya untuk memanggil burung rajawali raksasa itu.

"Suiiit...!"

Satu siulan melengking tinggi bersuara kecil, namun bernada aneh itu terdengar dari mulut Pendekar Rajawali Sakti. Cukup lama juga Rangga menunggu dengan kepala menengadah ke atas. Dan pada siulan yang kedua kali, terlihat satu titik kecil di angkasa. Semakin lama titik kecil itu semakin jelas bentuknya.

"Khraghk...!"

"Rajawali Putih, ke sini...!" seru Rangga keras. Burung rajawali raksasa berwarna putih keperakan itu meluruk turun, dan mendarat tepat di depan Rangga. Kepalanya langsung disodorkan ke depan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga segera melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Dan tanpa diminta lagi, burung raksasa itu membumbung tinggi ke angkasa!

"Langsung ke Kerajaan Galung, Rajawali," kata Rangga sedikit keras.

Rajawali Putih kembali berseru keras. Dikepakkan sayapnya dengan cepat, sehingga terbangnya bagaikan kilat membelah angkasa. Angin terasa menderu-deru memekakkan telinga. Rangga terpaksa harus berpegangan erat pada leher Rajawali Putih, agar tidak terlempar oleh hempasan angin.

Dalam waktu tidak berapa lama, Rajawali Putih sudah berada di atas Istana Galung. Burung raksasa itu berputar­-putar dengan ketinggian yang sukar dilihat dari bawah oleh mata biasa. Rangga menggunakan aji 'Tatar Netra' untuk melihat ke bawah agar lebih jelas. Keningnya agak berkerut juga menyaksikan suasana di sekitar Istana Galung kelihatan sepi-sepi saja. Bahkan tampaknya tidak ada satu kejadian pun di sana.

Rangga mengamati setiap jengkal tanah sekitar istana megah itu. Tidak terlihat seorang pun yang berpakaian prajurit di sana. Orang-orang yang terlihat berjaga-jaga di pos penjagaan, semuanya mengenakan pakaian biasa seperti layaknya kaum rimba persilatan.

"Rajawali Putih, barangkali Paman Patih Giling Wesi belum sampai ke sini," kata Rangga.

"Kreeekhgh...!"

"Kau menduga dia tidak ke sini? Lalu, ke mana perginya?" Rangga seperti bisa mengerti saja arti suara Rajawali Putih.

"Khraghk!"

Rajawali Putih segera melesat cepat bagaikan kilat menuju ke arah Barat. Rangga tidak ingin menghalangi. Dia yakin kalau tujuan yang ditempuh Rajawali Putih akan membawanya pada Patih Giling Wesi, atau setidaknya sesuatu yang bermanfaat dalam menyelesaikan kemelut ini.

Cepat sekali Rajawali Putih terbang, sehingga dalam waktu tidak berapa lama telah melintasi batas Kerajaan Galung sebelah Barat. Sekarang burung raksasa itu meluruk turun pada suatu dataran luas berumput. Manis sekali dia mendarat di pinggiran dataran rumput itu. Dan Rangga pun segera melompat turun dari punggung Rajawali Putih.

"Rajawali...."

Belum lagi Rangga bisa meneruskan ucapannya, mendadak sebuah bayangan hitam melesat cepat di atas kepalanya. Seketika itu pula, Rajawali Putih melesat naik mengejar. Begitu cepatnya dia terbang tahu-tahu sudah berada di depan bayangan hitam yang ternyata adalah seekor burung rajawali raksasa berwarna hitam.

Rajawali Hitam sangat terkejut melihat ada Rajawali Putih menghadang terbangnya. Dia langsung berhenti, dengan sayap mengepak pelahan-lahan. Sebentar kedua burung raksasa itu saling berhadapan, lalu sama-sama bergerak turun. Di punggung Rajawali Hitam bertengger seorang bertubuh ramping. Bajunya ketat berwarna hitam pekat Di punggungnya menyembul gagang pedang berwarna hitam berbentuk kepala burung.

Rangga yang berada di bawah, tertegun sejenak begitu melihat dua burung raksasa mendarat pelahan-lahan secara bersamaan, tidak jauh darinya. Tapi sebentar kemudian Rangga melangkah menghampiri Rajawali Putih. Orang yang berada di punggung Rajawali Hitam melompat turun dengan manis. Kini dua orang saling berhadapan dengan dua ekor burung raksasa yang juga berhadapan. Sesaat lamanya tidak ada yang membuka suara.

Baik Rangga maupun orang berbaju hitam itu saling memandangi dua burung rajawali raksasa yang saling berhadapan dan melempar pandangan. Sikap kedua burung raksasa itu kelihatan kaku, seolah-olah sudah sekian lama tidak pernah berjumpa lagi dan tahu-tahu kini saling berhadapan. Terlihat jelas kalau kedua burung raksasa itu sama-sama menjaga diri.

Rajawali Hitam mendekam dengan sayap terpentang lebar ke samping. Sementara Rajawali Putih kelihatan diam, dan tampak ragu-ragu. Tapi akhirnya dia bergerak menghampiri Rajawali Hitam. Dan pada saat itu, Rangga teringat akan tulisan dalam kitab yang dibacanya dalam goa Lembah Bangkai. Tulisan yang dituangkan oleh Pendekar Rajawali seratus tahun lalu.

"Hup!"

Rangga bergegas melompat, dan langsung berdiri di tengah-tengah kedua burung rajawali raksasa itu. Rajawali Putih langsung berhenti bergerak mendekati Rajawali Hitam. Sebentar dipandanginya Rangga, kemudian beralih pada Rajawali Hitam yang sudah berdiri kembali dengan kedua kakinya yang kokoh dan besar.

"Rajawali Putih! Apa yang akan kau lakukan?" tanya Rangga.

"Krekh...," Rajawali Putih bersuara pelan.

"Tidak! Kau tidak boleh mengajaknya bersama-sama lagi. Kau harus menjauhinya! Dia bukan pasanganmu karena akan menjerumuskanmu ke dalam kubangan lumpur dosa!" kata Rangga seperti mengerti jawaban Rajawali Putih.

"Graghk...!" Rajawali Hitam berteriak nyaring melengking.

Sepasang bola matanya yang merah menyala, menatap tajam ke wajah Rangga. Sepertinya bisa dimengerti kata­kata Pendekar Rajawali Sakti itu. Sepasang sayapnya terpentang lebar agak tertekuk ke bawah. Sikap yang menunjukkan kemarahan dan ketidaksenangan pada pemuda berbaju rompi putih itu.

"Sadarlah, Rajawali Putih. Dia diciptakan untuk menyeretmu ke dalam lumpur dosa dan nista untuk selama-lamanya! Jangan mudah terpancing. Dia bukan diciptakan untukmu! Sadarlah, Rajawali Putih," ujar Rangga mencoba menyadarkan Rajawali Putih.

Rajawali Putih kelihatan bimbang. Sebentar dia menatap pada Rangga, sebentar kemudian menatap pada Rajawali Hitam di depannya. Rangga yang sudah mengetahui kalau Rajawali Putih adalah titisan Dewa Wisnu, tidak akan membiarkan sahabat sekaligus gurunya terjerumus akibat hadirnya Rajawali Hitam yang sengaja diciptakan oleh Dewa Angkara Murka untuk menggagalkan tugas suci di dunia ini.

"Apa pun yang akan terjadi, aku tetap akan menghalangi bersatunya kalian," tegas Rangga.

"Graghk...!"

Rajawali Hitam meraung keras. Bola matanya semakin merah menyala, pertanda benar-benar memuncak kemarahannya. Dan kemarahannya tidak bisa dibendung lagi. Digerakkan kepalanya dengan cepat hendak mematuk Rangga. Namun dengan gerakan yang gesit, Rangga berhasil mengelakkan serangan Rajawali Hitam. Tentu saja hal ini membuat Rajawali Hitam semakin bertambah murka.

Dengan gerakan yang sangat cepat luar biasa, Rajawali Hitam melompat sambil mengepakkan sayapnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan kali ini pun Rangga berhasil mengelakkannya dengan melompat mundur ke belakang beberapa langkah. Tapi belum juga kakinya bisa menjejak tanah, sebelah sayap Rajawali Hitam telah menyambar tubuhnya dengan cepat.

"Akh!" Rangga memekik tertahan.

Kibasan sayap Rajawali Hitam yang keras dan tidak terduga itu membuat tubuh Rangga terpental cukup jauh, lalu membentur sebatang pohon ara tua yang cukup besar. Pohon itu kontan tumbang, hancur berantakan terbentur tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan cepat, Rangga mampu bangkit kembali.

Melihat anak muda yang menjadi penghalang maksudnya masih mampu bangkit tanpa kurang satu apa pun, Rajawali Hitam semakin bertambah berang. Sambil berteriak keras menggeletar, dia melompat cepat bagai kilat. Cakarnya terkembang, siap mencabik-cabik tubuh pemuda itu.

"Hiya...!"

Rangga melentingkan tubuhnya ke atas, lalu bersalto dua kali di udara. Dilewati tubuh Rajawali Hitam yang meluruk deras dengan cakar terkembang. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti itu menjejak tanah, langsung berbalik sambil melontarkan pukulan jarak jauh yang bertenaga dalam sangat sempurna.

"Yaaa...!"

"Khraghk...!" Rajawali Hitam memekik keras dengan suaranya yang parau.

Hanya sedikit saja tubuhnya terdorong, dan sekejap saja mampu melesat kembali menerjang Rangga. Begitu cepatnya dia melesat, sehinga membuat Rangga terperangah. Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa lagi menghindari terjangan burung hitam raksasa itu. Kembali Rangga terlontar jauh ke belakang, lalu menabrak sebongkah batu besar dan hitam berlumut. Batu itu hancur berkeping-keping terlanda tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

"Khraghk!"

Rajawali Hitam cepat meluruk deras hendak menerjang Rangga yang sedang berusaha bangkit berdiri. Namun ketika paruh yang sudah terbuka lebar itu hendak mencaplok kepala Rangga, Rajawali Putih melesat cepat menyambar tubuh Rangga dengan cakarnya. Langsung tubuh Rangga dibawa terbang tinggi menembus awan.

"Graghk...!" Rajawali Hitam berteriak keras disertai kemarahan memuncak.

"Hitam! Tunggu...!" seru orang berbaju hitam yang sejak tadi hanya diam memperhatikan saja.

Rajawali Hitam yang sudah akan melesat mengejar, langsung mengurungkan niatnya. Kepalanya sedikit tertekuk menoleh pada orang berbaju serba hitam itu. Dia mengkirik pelahan dengan kepala setengah ditundukkan.

"Kita masih punya persoalan yang lebih penting lagi. Urusan ini bisa diselesaikan nanti."

"Khrighk...!"

"Aku tahu, aku juga sudah membaca buku tentang riwayatmu. Tapi yang penting sekarang, kita harus menggempur dulu Istana Galung, dan menghancurkan mereka."

Setelah berkata demikian, orang berbaju serba hitam itu segera melompat naik ke punggung Rajawali Hitam. Sambil berkaokan keras, Rajawali Hitam membumbung naik ke angkasa. Cepat sekali lesatannya, sehingga dalam sekejap saja sudah begitu tinggi me-layang di udara.

"Khraghk...!"

"Langsung ke Istana Galung, Hitam!"

"Khraghk!"

*******************

Saat itu, Rajawali Putih yang membawa Rangga di cakarnya, meluruk turun di balik Gunung Kilasan. Dia mendarat lunak di sebuah dataran rumput yang cukup luas. Rangga bergulingan beberapa kali setelah Rajawali Putih melepaskan cengkeramannya, lalu bergegas bangkit dan membersihkan rumput kering yang melekat di tubuhnya.

"Seharusnya kau jangan membawaku kabur, Rajawali Putih," dengus Rangga tidak senang.

"Krrr...!" Rajawali Putih hanya mengkirik lirih.

"Jangan bodoh, Rajawali Putih. Dia bukan pasanganmu! Dan kau tidak boleh merasa berbelas kasih, apalagi menyukainya. Dia diciptakan hanya untuk menjerumuskanmu. Kau harus menyadari hal itu, Rajawali Putih," kata Rangga berusaha menghilangkan perasaan suka Rajawali Putih pada Rajawali Hitam.

Rajawali Putih hanya diam saja sambil mendekam dengan kepala tertunduk dalam. Sepasang bola matanya memancar sayu tanpa gairah kehidupan. Rangga melangkah menghampiri dan memeluk leher burung raksasa itu.

"Aku menyayangimu, Rajawali Putih. Aku tidak ingin kehilanganmu. Aku mencintaimu. Sungguh! Aku mencintaimu, Rajawali Putih...," pelan suara Rangga.

"Krrrkhg...!" Rajawali Putih mengkirik lirih.

Rangga melepaskan pelukannya pada leher burung raksasa itu. Sesaat lamanya dia menatap langsung ke bola mata yang sayu dan redup itu. Dirasakan betapa sulitnya Rajawali Putih menentukan sikap. Waktu seratus tahun bukanlah waktu yang pendek. Dan selama itu mereka berpisah setelah masing-masing saling menyukai. Memang, perpisahan itu mesti terjadi demi kelangsungan hidup mereka.

Kini Rangga punya kewajiban yang sangat berat. Harus dikuatkan hatinya untuk memisahkan Sepasang Rajawali itu. Memang berat, tapi itu harus dilakukan. Di dunia ini tidak ada rajawali raksasa hidup sepasang. Dan kalau hal itu terjadi, Sepasang Rajawali akan pupus kembali ke asalnya. Bukan hanya itu saja, Rajawali Putih akan tersiksa selamanya dan terbuang dari kalangan Dewa di Nirwana.

Rangga ingin mengatakan sesuatu, tapi tiba-tiba saja bumi serasa bergetar. Kini terdengar suara bergemuruh dari kejauhan. Suara itu semakin lama semakin terdengar jelas. Tampak debu mengepul di udara, di arah Selatan. Sejenak Rangga memandangi debu yang mengepul tebal itu, kemudian bergegas melompat naik ke punggung Rajawali Putih.

"Cepat, Rajawali! Ada orang berkuda menuju ke sini," ujar Rangga.

"Khraghk!"

Rajawali Putih melesat cepat, naik membumbung tinggi ke angkasa. Dan pada saat itu, terlihat serombongan orang berkuda cepat melintasi tempat Rangga dan Rajawali Putih berada tadi.

"Prajurit Kerajaan Galung...," desis Rangga setelah mengenali pakaian seragam prajurit yang dikenakan orang-orang berkuda itu.

Dan Rangga pun mengenali salah seorang yang berkuda paling depan. Dua orang laki-laki. Yang seorang berperawakan gemuk, dan seorang lagi sudah berusia lanjut, namun masih terlihat gagah. Kedua orang itu tidak lain dari Prabu Galung dan Patih Giling Wesi. Hanya Patih Giling Wesi yang dikenalnya. Sedangkan di belakangnya terlihat enam orang berpakaian panglima dan puluhan punggawa serta ratusan prajurit bersenjata lengkap. Mereka semua memacu cepat kudanya menuju arah Kerajaan Galung.

"Ikuti mereka, Rajawali," kata Rangga agak keras.

"Khrrr...!"

Rajawali Putih membumbung tinggi di udara, dan bergerak searah dengan ratusan orang berkuda di bawahnya. Rangga yang berada di punggung rajawali raksasa itu tidak berkedip memandang ke bawah. Dia agak heran juga terhadap Patih Giling Wesi yang kini sudah bergabung bersama rombongan prajurit Kerajaan Galung. Padahal sebelumnya dia mengatakan tidak tahu, di mana para prajurit dan Prabu Galung berada.

"Kita cegat mereka di tepi Hutan Krambang itu, Rajawali Putih," kata Rangga.

"Khraghk!"

Rajawali Putih segera melesat cepat menuju arah yang ditunjuk Rangga. Begitu cepatnya rajawali raksasa itu bergerak, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah menukik turun ke tepi Hutan Krambang. Rangga segera melompat turun sebelum kaki Rajawali Putih menjejak tanah. Dan burung raksasa itu segera melesat kembali membumbung tinggi ke angkasa.

"Hup!"

Rangga melompat ke sebuah pohon yang cukup tinggi. Sedangkan Rajawali Putih berputar-putar sangat tinggi di angkasa. Pandangan mata Rangga tidak berkedip ke arah kepulan debu yang bergerak mendekati arahnya.

"Hiyaaa...!"

Rangga melompat turun ketika rombongan berkuda itu melintas di bawahnya. Patih Giling Wesi dan Prabu Galung terkejut sekali. Bergegas mereka menghentikan lari kudanya, diikuti para punggawa dan prajurit. Rangga berdiri tegak sekitar lima batang tombak di depan rombongan berkuda itu.

"Rangga...," desis Patih Giling Wesi.

"Paman Patih, siapa anak muda itu?" tanya Prabu Galung mendengar desisan Patih Giling Wesi.

"Ampun, Gusti Prabu. Pemuda ini bernama Rangga yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Dialah yang menolong hamba ketika membebaskan Intan Kemuning dari tangan Bidadari Sungai Ular," cerita Patih Giling Wesi tentang Rangga.

"Hm..., jadi pemuda itu yang kau ceritakan padaku kemarin?" pelan suara Prabu Galung.

"Benar, Gusti," sahut Patih Giling Wesi.

Prabu Galung turun dari punggung kudanya. Patih Giling Wesi juga bergegas turun pula. Mereka berjalan menghampiri Rangga yang tetap berdiri tegak menghadang. Dua orang penting dan utama dari Kerajaan Galung itu berhenti tepat di depan Pendekar Rajawali Sakti. Jarak mereka tinggal beberapa langkah lagi.

Untuk beberapa saat lamanya mereka bertiga saling berdiam diri. Rangga menatap agak tajam pada Patih Giling Wesi, sedangkan yang ditatap hanya membalas dengan bibir menyunggingkan senyum. Pendekar Rajawali Sakti melangkah tiga tindak ke depan.

"Kau yang bernama Rangga si Pendekar Rajawali Sakti?" Prabu Galung membuka suara lebih dulu.

"Benar," sahut Rangga tanpa mengalihkan pandangannya dari Patih Giling Wesi. Dia memang tidak mengenali siapa yang bertanya padanya barusan.

"Rangga, ini Prabu Galung," Patih Giling Wesi memberitahu.

Rangga agak tersentak juga mendengarnya. Buru-buru dia membungkuk memberi hormat. Prabu Galung hanya tersenyum dengan tangan mengelus-elus janggutnya yang putih panjang.

"Maaf, hamba tidak mengenali Gusti Prabu," ucap Rangga merendah.

"Tidak mengapa, Anak Muda. Aku tahu tentang dirimu. Kehadiranmu memang sangat kuharapkan. Hanya kau yang dapat kuandalkan untuk menghadapi mereka," kata Prabu Galung bijaksana.

"Hm...," Rangga bergumam tidak jelas. Dari sudut ekor matanya, diliriknya Patih Giling Wesi.

"Ampun, Gusti Prabu. Boleh hamba bicara berdua saja dengan Rangga?" pinta Patih Giling Wesi seraya memberi hormat.

"Silakan, Paman Patih."

"Hamba, Gusti."

Patih Giling Wesi menjura memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk, lalu melangkah menghampiri Rangga. Kedua orang itu berjalan menjauh. Mereka baru berhenti setelah berada di bawah sebatang pohon yang cukup rindang. Sementara para panglima memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk beristirahat Prabu Galung sendiri kemudian beristirahat, duduk di bawah pohon rindang beralaskan permadani tebal berbulu halus.

ENAM

"Aku tahu, apa yang akan kau tanyakan padaku, Rangga," kata Patih Giling Wesi mendahului.

"Kau mempermainkan aku, Paman," agak dingin suara Rangga.

"Sama sekali tidak, Rangga."

"Lantas, mengapa berpura-pura tidak tahu tentang Prabu Galung?"

"Aku memang tidak tahu sama sekali di mana Prabu Galung berada ketika itu," tenang suara Patih Giling Wesi.

"Mustahil!" rungut Rangga seraya mengalihkan pandangannya pada Prabu Galung.

"Kau berhak untuk marah, Rangga. Kau memang patut marah karena aku meninggalkanmu tanpa memberitahu lebih dulu."

Rangga diam saja.

"Pagi-pagi sekali, saat kau belum bangun, aku sudah berjalan-jalan mencari makanan untuk kita. Di saat itu, kulihat seseorang merunduk-runduk di antara semak belukar. Aku memergokinya, dan ternyata dia Panglima Jamali. Dari Panglima Jamali lah aku tahu di mana Prabu Galung berada. Saat itu, Panglima Jamali juga tengah berburu. Maaf, kalau aku tidak sempat memberitahukanmu lebih dahulu. Karena...."

"Kenapa?" desak Rangga.

"Aku terlalu gembira mendengar Prabu Galung masih hidup bersama dua ratus prajurit, panglima, dan punggawa. Serta para pembesar kerajaan lainnya yang sempat melarikan diri begitu Istana Galung jatuh. Aku jadi lupa denganmu, Rangga. Maaf...," ada nada penyesalan pada suara Patih Giling Wesi.

Rangga menatap pada laki-laki gemuk itu, kemudian tersenyum memaklumi. Perasaan kesal yang diawali dengan kecemasan, langsung pupus seketika.

"Kau memaafkan aku, Rangga...?" ucap Patih Giling Wesi berharap.

"Lupakan saja," sahut Rangga seraya tersenyum.

"Terima kasih."

"Paman, kulihat tampaknya sudah siap tempur. Apakah memang...."

"Benar, Rangga," Patih Giling Wesi memutuskan kata­kata Pendekar Rajawali Sakti.

"Kami memang telah bertekad untuk merebut kembali Istana Galung. Hampir seluruh prajurit yang tercecer sudah berkumpul kembali. Memang masih banyak juga yang belum diketahui nasibnya. Tapi aku yakin, pasti mereka akan segera bergabung di Kerajaan Galung."

Rangga terdiam. Dipandangi para prajurit yang sedang beristirahat, kemudian pandangannya beralih ke arah Prabu Galung yang sudah bangkit berdiri. Laki-laki tua yang selalu mengenakan jubah putih itu melangkah menghampiri Patih Giling Wesi dan Pendekar Rajawali Sakti. Patih Giling Wesi dan Rangga segera memberi hormat.

"Apakah sudah selesai pembicaraan kalian, Paman Patih?" tanya Prabu Galung lembut.

"Ampun, Gusti Prabu. Perjalanan ini agak terhambat sedikit," ujar Patih Giling Wesi bersikap penuh hormat.

"Tidak mengapa, Paman Patih. Dan kau, Rangga. Sungguh kuharapkan bantuanmu untuk bergabung bersama kami semua," Prabu Galung beralih menatap pada Rangga.

"Dengan senang hati. Tapi hamba tidak bisa berangkat bersama-sama," sahut Rangga hormat.

"Aku maklum, Rangga. Dan sebelumnya kuucapkan terima kasih atas kesediaanmu."

"Silakan, jika Gusti Prabu hendak meneruskan perjalanan ini."

Patih Giling Wesi melambaikan tangannya. Dua orang prajurit menghampiri sambil menuntun dua ekor kuda. Prabu Galung dan Patih Giling Wesi segera melompat naik ke punggung kudanya masing-masing, diikuti para prajurit, panglima, serta punggawa. Rangga bergerak ke samping memberi jalan.

"Sampai bertemu lagi di Istana Galung, Pendekar Rajawali Sakti!" ucap Prabu Galung memberi salam. Rangga hanya membungkukkan tubuhnya sedikit.

Prabu Galung menghentakkan tali kekang kudanya. Kuda putih dengan kaki hitam itu meringkik nyaring, kemudian berlari cepat. Patih Giling Wesi segera menggebah kudanya, diikuti oleh para prajurit Kerajaan Galung. Debu berkepul kembali di udara, tersepak kaki­kaki kuda yang berjumlah ratusan itu. Sementara Rangga masih tetap berdiri di tempatnya, memandangi ratusan prajurit yang mengiringi rajanya.

"Suiiit..!" Rangga bersiul nyaring bernada aneh. Rajawali Putih yang memang masih menunggu di atas, langsung menukik turun. Pada saat itu, rombongan Prabu Galung sudah tidak terlihat lagi. Rajawali Putih mendarat tepat di depan Rangga. Kepalanya terangguk-angguk, dan sayapnya mengepak beberapa kali.

"Ada apa?" tanya Rangga seraya mendekati.

"Khraghk!" Rajawali Putih menunjuk ke arah Kerajaan Galung dengan kepalanya.

"Jelaskan lagi," pinta Rangga mencoba untuk mengerti.

Rajawali Putih membuat gerakan-gerakan menggunakan kepala dan sayapnya. Rangga memperhatikan dengan kening berkerut dalam.

"Kau melihat Rajawali Hitam di sana?" Rangga ingin memastikan.

"Khraghk!" Rajawali Putih menganggukkan kepalanya.

"Aneh..., mau apa dia di sana...?" Rangga bertanya­ tanya sendiri.

"Khraghk...!"

"Baik. Secepatnya kita ke sana sebelum Prabu Galung sampai."

Pendekar Rajawali Sakti itu segera melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Dan seketika itu, rajawali raksasa itu melesat naik membumbung tinggi ke angkasa. Suaranya begitu keras memekakkan telinga. Lesatannya bagaikan kilat menuju Kerajaan Galung.

"Lebih cepat lagi, Rajawali Putih!" seru Rangga keras.

"Khraghk...!"

*******************

Sementara itu Prabu Galung, Patih Giling Wesi, dan para prajuritnya telah sampai di perbatasan Kerajaan Galung. Dua orang penjaga gerbang perbatasan, tewas tersambar anak panah yang dilepaskan salah seorang prajurit. Ratusan orang berkuda itu, terus memacu cepat kudanya memasuki Kotaraja Kerajaan Galung.

Derap kaki kuda yang dipacu cepat, menimbulkan suara bergemuruh bagai gempa. Bumi Kerajaan Galung bagai bergetar dengan debu mengepul tinggi ke angkasa. Seluruh rakyat Galung yang mengetahui kalau itu adalah Prabu Galung dan para prajuritnya, langsung berhamburan keluar. Laki-laki tua dan muda serentak bergabung membawa senjata seadanya.

Prabu Galung tidak dapat menahan keharuannya melihat semangat rakyatnya yang begitu besar, meskipun hanya membawa senjata seadanya. Mereka tidak peduli, siapa yang akan dihadapinya. Pekik dan sorak-sorai pembangkit semangat bergemuruh bagai hendak mengguncang langit siang ini. Tanpa disadari, setetes air bening menitik dari sudut mata Prabu Galung.

"Gusti...," tegur Patih Giling Wesi pelan.

"Oh...!" Prabu Galung buru-buru menghapus air matanya.

"Ada apa, Paman Patih?"

"Rakyat semakin banyak memasuki barisan," kata Patih Giling Wesi.

"Hhh...! Sudah cukup lama mereka menderita, Paman Patih. Aku tidak bisa mencegah mereka untuk mengangkat senjata demi mempertahankan Kerajaan Galung ini," agak tersendat suara Prabu Galung.

"Tapi itu akan memakan banyak korban sia-sia, Gusti," debat Patih Giling Wesi.

"Lihatlah, Paman Patih! Mereka begitu bersemangat, tanpa mengenal takut! Bisa kurasakan kobaran api semangat mereka untuk keluar dari lembah penderitaan. Biarkan mereka mengangkat senjata, Paman Patih. Biarkan mereka merasakan ikut memiliki Kerajaan Galung ini, yang memang milik mereka. Aku bangga dengan rakyatku," kata Prabu Galung demikian tegas.

"Gusti...."

"Jangan halangi mereka, Paman Patih. Mata kita jangan buta terhadap kenyataan yang ada. Tanpa rakyat, kita bukanlah apa-apa," sergah Prabu Galung cepat.

Patih Giling Wesi diam seketika. Kata-kata Prabu Galung yang bernada tegas itu, memang tidak dapat dibantah lagi. Tanpa rakyat, mereka memanglah bukan apa-apa. Dan sekarang rakyat telah bangkit semangatnya untuk mengusir orang-orang berhati iblis yang kini masih menguasai seluruh Kerajaan Galung. Meskipun Patih Giling Wesi tidak ingin rakyat ikut bertempur, tapi rasanya sulit untuk mencegahnya.

Semakin dalam memasuki kotaraja, semakin banyak saja rakyat yang ikut dalam barisan ini. Tapi mereka patuh terhadap perintah panglima yang mengaturnya untuk berada dalam barisan di belakang para prajurit. Memang hanya itu yang dapat dilakukan untuk mencegah jatuhnya korban sia-sia, meskipun hal itu sangat sulit untuk dihindarkan.

Rombongan yang kini berjumlah ribuan itu, tiba di depan pintu gerbang Istana Kerajaan Galung. Pintu yang terbuat dari kayu jati tebal dan kokoh, masih tertutup rapat. Di atas benteng tembok yang tinggi tebal, terlihat orang-orang dengan panah siap dilesatkan.

"Mundur...!" seru Prabu Galung keras.

Saat itu juga dari atas tembok benteng, meluncur anak panah berjumlah ratusan bagai hujan. Rakyat dan prajurit yang berada di sekitar benteng istana itu serentak berlarian mundur. Tapi beberapa di antaranya tidak sempat lagi menyelamatkan diri. Anak panah yang bertaburan bagai hujan itu, segera minta korban para prajurit dan rakyat yang berbaur menyelamatkan diri.

Tahan...!" teriak Patih Giling Wesi keras, berusaha mengalahkan teriakan panik dan jerit kematian.

Para prajurit yang sudah berada dalam jangkauan panah, segera berhenti berlari. Mereka pun melindungi rakyat yang berada di bagian belakang. Prabu Galung dan Patih Giling Wesi berada di punggung kudanya, bersama beberapa panglima. Mereka memandang ke arah benteng istana, namun hujan panah sudah tidak terlihat lagi.

"Bagaimana, Paman Patih? Kelihatannya mereka sudah siap menyambut kita," kata Prabu Galung meminta pertimbangan.

Tidak mudah mendekatinya, Gusti Prabu," sahut Patih Giling Wesi setengah bergumam.

"Kalau begitu, perintahkan seluruh prajurit untuk mengepung. Kita tunggu saat yang tepat untuk menyerang," perintah Prabu Galung.

Patih Giling Wesi membagi tugas kepada para panglima perang yang kemudian segera dilaksanakan tugas itu untuk mengatur pengepungan. Sebuah tenda besar didirikan untuk tempat beristirahat Prabu Galung. Memang kalau melihat kokohnya benteng istana, dan ditambah orang-orang yang siap dengan panah di atasnya, tidak mudah untuk masuk ke dalam benteng istana itu.

Sementara para panglima perang sibuk mengatur prajurit mengepung benteng istana itu. Patih Giling Wesi sendiri segera menghampiri tenda besar tempat Prabu Galung beristirahat di situ. Namun belum juga kakinya sampai di depan pintu tenda, entah kenapa kepalanya mendongak. Dan pada saat itu terlihat dua bayangan hitam dan putih saling sambar di udara. Patih Giling Wesi tertegun menyaksikan dua bayangan itu.

"Hm..., apa itu...?" gumamnya dalam hati.

Dua bayangan hitam dan putih yang berkelebatan saling sambar di angkasa tinggi itu, memang sukar untuk dikenali bentuknya. Patih Giling Wesi sampai tertegun menyaksikannya, hingga tidak menyadari kalau Prabu Galung sudah keluar dari dalam tenda ikut memandang ke atas juga. Keningnya langsung berkerut dalam begitu melihat kelebatan dua bayangan bagai kilat di angkasa.

"Apa itu, Paman Patih?" tanya Prabu Galung.

"Oh! Gusti...,"Patih Giling Wesi terkejut. "Entahlah...."

"Hm...," Prabu Galung menggumam tidak jelas. Diam­diam dikerahkan satu ajian untuk melihat jarak jauh. Ajian yang dinamakan 'Sepasang Mata Dewa' itu memang ampuh, dapat melihat dalam jarak yang sangat jauh. Bahkan dapat mengenali satu gerakan yang sangat cepat sekalipun. Aji 'Sepasang Mata Dewa' memang hampir mirip dengan aji 'Tatar Netra' ataupun aji 'Mata Dewa Elang' yang dimiliki Rangga. Namun aji 'Sepasang Mata Dewa' hanya bisa untuk melihat jarak jauh dengan jelas dan menajamkan penglihatan saja.

"Sepasang Rajawali...," desis Prabu Galung begitu melihat jelas bayangan yang berkelebatan di angkasa itu.

"Apa, Gusti...?" tanya Patih Giling Wesi.

"Dua burung rajawali raksasa. Yang satu berwarna putih keperakan, dan satunya lagi hitam pekat. Hm...," kelopak mata Prabu Galung agak menyipit.

"Ada apa, Gusti?" tanya Patih Giling Wesi lagi.

"Sukar dipercaya...," Prabu Galung menggeleng­-gelengkan kepalanya.

"Gusti...."

"Apakah Rangga yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti itu mempunyai tunggangan burung rajawali raksasa, Paman Patih?" tanya Prabu Galung.

"Hamba tidak mengerti maksud Gusti Prabu."

"Rangga ada di atas burung rajawali putih," pelan suara Prabu Galung, seperti tidak percaya dengan perkataannya sendiri.

"Rangga...?!" Patih Giling Wesi terperanjat tidak percaya.

"Kau pimpin pasukan di sini!" perintah Prabu Galung tiba-tiba.

"Gusti...!"

Tapi Prabu Galung sudah melesat cepat ke arah Selatan. Pada saat itu, dua bayangan hitam dan putih di angkasa sudah lebih dahulu melesat ke arah yang sama. Tampak kalau bayangan hitam berada di depan. Sementara Patih Giling Wesi hanya terpaku tanpa mampu berbuat sesuatu.

Prabu Galung kini sudah tidak terlihat lagi bayangannya, bertepatan dengan menghilangnya dua bayangan di angkasa ke arah Selatan. Patih Giling Wesi menoleh ke sekitarnya. Dia agak kaget mendapatkan para panglima juga melihat kejadian aneh di angkasa tadi.

"Panglima Jamali," panggil Patih Giling Wesi.

"Hamba, Gusti," seorang laki-laki setengah baya bergegas menghampiri.

"Sementara kau ambil alih pimpinan. Jangan melakukan sesuatu sampai aku kembali."

"Gusti...."
"Ini perintah!"
"Hamba, Gush."

Patih Giling Wesi tidak banyak bicara lagi, lalu segera melompat cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi tingkatannya. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja sudah jauh menuju arah Selatan. Sementara Panglima Jamali dan panglima lainnya hanya bisa saling pandang.

*******************

Sementara itu, apa yang dilihat Prabu Galung memang benar. Dua bayangan yang melayang di angkasa adalah Sepasang Rajawali. Rajawali Putih ditunggangi Rangga, sedangkan Rajawali Hitam ditunggangi seseorang yang selalu mengenakan baju hitam dan cadar hitam pula.

"Dia turun ke padang rumput sana, Rajawali Putih!" seru Rangga keras. Tangannya menunjuk Rajawali Hitam yang menukik ke arah padang rumput di tengah-tengah Hutan Krambang.

"Khraghk...!"

Rajawali Putih segera menukik turun mengejar Rajawali Hitam. Dan kedua burung raksasa itu kini mendarat ringan di tengah-tengah padang rumput yang sangat luas. Mereka saling berhadapan, dan penunggangnya melompat turun ke depan.

"Aku tidak tahu, apakah kau berpihak pada mereka atau tidak. Tapi yang jelas kau telah menghalangi maksudku, dan membiarkan rakyat Galung terbantai!" dingin nada bicara orang berbaju serba hitam itu. Jelas itu suara seorang wanita.

"Nisanak, siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga agak terkejut juga mendengar kata-kata wanita itu.

"Aku Putri Rajawali Hitam!" jawab wanita itu tegas.

"Lalu, apa hubunganmu dengan Kerajaan Galung?" desak Rangga.

"Itu bukan urusanmu, Pendekar Rajawali Sakti."

"Kau berurusan dengan Kerajaan Galung, itu berarti juga berurusan denganku."

Wanita berbaju serba hitam yang bernama Putri Rajawali Hitam itu terdiam beberapa saat. Dari lubang cadar yang menutupi sebagian wajahnya, terlihat sepasang bola mata bening berkilat menatap wajah Pendekar Rajawali Sakti.

"Kenapa kau selalu memburuku, Pendekar Rajawali Sakti?" Putri Rajawali Hitam malah balik bertanya.

"Bukan dirimu, tapi Rajawali Hitam tungganganmu!" sahut Rangga tegas.

"Ha ha ha...!" Putri Rajawali Hitam malah tertawa terbahak-bahak.

"Hey! Kenapa tertawa?!" sentak Rangga sengit.

"Kau bodoh, Pendekar Rajawali Sakti. Sukar dipercaya kalau kau begitu bodoh!"

"Bukan saatnya berolok-olok, Nisanak!" rungut Rangga.

"Aku kenal siapa dirimu, dan tidak lagi terkejut dengan Rajawali Putih tungganganmu itu. Aku tahu banyak tentang dirimu, dan Rajawali Putih, serta hubungannya dengan Rajawali Hitam. Benar-benar mengagumkan.... Pendekar digdaya yang ternama dari sukar dicari tandingannya begitu bodoh, tidak bisa melihat kenyataan," kata Putri Rajawali Hitam seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Nisanak, apa maksudmu berkata seperti itu?" Rangga jadi tambah penasaran.

"Maaf, tidak ada waktu untuk menjelaskan. Aku harus segera kembali ke Istana Galung. Aku tidak ingin melihat darah membasahi bumi Kerajaan Galung dari orang-orang tidak berdosa," kata Putri Rajawali Hitam tegas.

"Hey, tunggu...!"

Tapi Putri Rajawali Hitam sudah lebih dulu melompat naik ke punggung Rajawali Hitam tunggangannya. Dan dengan cepat, burung rajawali raksasa itu melesat naik ke angkasa, langsung menuju ke Istana Kerajaan Galung. Sebentar Rangga diam tertegun. Dia baru melompat naik ke punggung Rajawali Putih setelah kepala burung itu mendorong punggungnya.

Tapi belum juga Rajawali Putih itu membumbung tinggi ke angkasa, dari arah Utara muncul Prabu Galung. Rangga tidak sempat lagi memerintahkan Rajawali Putih untuk terbang. Sedangkan Prabu Galung begitu terpana melihat seekor burung raksasa dengan seorang pemuda berada di punggungnya. Dia sampai berhenti lalu berdiri terpaku dengan mulut menganga lebar.

"Rangga...," desis Prabu Galung hampir tidak percaya.

Rangga melompat turun dari punggung Rajawali Putih, lalu melangkah menghampiri Raja Kerajaan Galung itu. Prabu Galung masih berdiri terpaku memandang burung raksasa, karena masih belum percaya dengan penglihatannya. Seumur hidup, baru kali ini melihat seekor burung sebesar itu!

"Maaf, Gusti Prabu. Kita harus cepat ke Istana Galung," ajak Rangga.

Prabu Galung masih belum bisa mempercayai dirinya. Rangga segera menarik tangannya, lalu dengan cepat mereka melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Prabu Galung berada di depan, dan sesaat kemudian ia hampir menjerit begitu Rajawali Putih membumbung ke angkasa.

*******************

TUJUH

Sementara itu di dalam benteng Istana Galung, orang-orang yang menguasai istana itu menjadi kalang-kabut mendapat gempuran dahsyat dari seekor burung hitam raksasa. Putri Rajawali Hitam mengamuk sambil mengibas­-ngibaskan pedangnya yang bergagang kepala burung dan berwarna hitam di atas punggung Rajawali Hitam. Pedang itu menyambar-nyambar cepat, sehingga, orang-orang di dekatnya kocar-kacir berusaha menyelamatkan diri.

"Khraghk...!"

Tiba-tiba saja di angkasa terdengar suara keras serak memekakkan telinga. Tampak seekor burung Rajawali Putih raksasa meluruk turun, langsung membantu Rajawali Hitam. Rangga dan Prabu Galung bergegas melompat turun dari punggung Rajawali Putih. Kedatangan Rangga dan Prabu Galung yang menunggang burung Rajawali Putih raksasa, membuat suasana di dalam benteng istana itu semakin kacau.

"Hiyaaat...!"

Sambil berteriak nyaring, Rangga mencabut Pedang Rajawali Sakti. Dan dengan cepat dia melompat ke arah pintu benteng yang kokoh. Pedang berwarna biru berkilau itu berkelebat cepat menghajar pintu benteng itu. Glarrr...!

Sebuah ledakan keras membuat pintu benteng dari kayu jati tebal itu hancur berkeping-keping. Rangga membalikkan tubuhnya, maka terlihatlah Putri Rajawali Hitam telah turun dari punggung Rajawali Hitam tunggangannya. Dia mengamuk bagai singa betina terluka. Setiap orang yang berani mendekati, tewas terbabat pedang hitam bergagang kepala burung itu.

Sementara Prabu Galung pun telah bertarung menggunakan pedang berwarna keperakan yang berkelebat cepat bagai kilat. Setiap kibasannya pasti mengambil nyawa. Tidak terhitung lagi, berapa tubuh yang ambruk bersimbah darah. Saat itu dari luar terdengar teriakan-teriakan bergemuruh. Ternyata berasal dari orang­-orang berpakaian seragam prajurit yang menyerbu masuk melalui pintu benteng yang sudah jebol berantakan. Tampak Panglima Jamali memimpin para prajurit Kerajaan Galung.

Denting senjata, teriakan pertempuran, dan jerit menyayat berbaur menjadi satu, membuat seluruh angkasa Kerajaan Galung bagai terbelah. Tubuh-tubuh bersimbah darah, ambruk bergelimpangan tak bernyawa.

Saat itu, Rangga yang tengah bertarung dengan beberapa orang, sempat melihat empat perempuan tua yang berjuluk Empat Bayangan Iblis Neraka berdiri di tengah istana bersama seorang pemuda berwajah tampan, namun sorot matanya terlihat bengis.

Rangga segera melesat begitu melihat Putri Rajawali Hitam sudah melompat cepat ke arah Empat Bayangan Iblis Neraka dan Kalaban. Hampir bersamaan, Putri Rajawali Hitam dan Pendekar Rajawali Sakti menjejak tepat di depan tangga istana. Mereka berdiri berjajar dengan pedang sama-sama menyilang di depan dada.

Bukan hanya Rangga, tapi juga Empat Bayangan Iblis Neraka dan Kalaban pun terperanjat kaget. Sikap Putri Rajawali Hitam begitu sama dengan sikap Pendekar Rajawali Sakti dalam hal memegang pedang.

Dan belum lagi hilang rasa terkejut mereka semua, Putri Rajawali Hitam sudah melompat menyerang. Rangga langsung tersadar dari rasa kaget dan herannya. Dia pun segera melompat menyerang lima orang yang menjadi pangkal kerusuhan di Kerajaan Galung ini.

Rangga yang menghadapi Kalaban, masih sempat melihat Putri Rajawali Hitam yang bertarung melawan Empat Bayangan Iblis Neraka. Hampir tidak dipercaya kalau wanita itu, menggunakan jurus-jurus dari rangkaian 'Lima Jurus Rajawali Sakti'. Tentu saja Rangga mengenali jurus-jurus itu, karena juga memilikinya.

Hal ini menjadikan Pendekar Rajawali Sakti terpecah perhatiannya. Sungguh tidak dilihat kalau Kalaban melepaskan senjata rahasia dengan cepat. Rangga terperangah sejenak, lalu buru-buru melompat menghindar. Namun gerakannya terlambat. Senjata rahasia berupa ruyung kecil itu menancap di bahu kiri.

"Ugh!" Rangga mengeluh pendek.

Tubuhnya sedikit terhuyung ke belakang. Ruyung kecil yang menancap itu ternyata mengandung racun yang sangat kuat. Dan itu sangat dirasakan Rangga. Bergegas dikerahkan hawa murni dari pusat tubuhnya, kemudian dicabutnya ruyung itu. Darah kental kehitaman mengucur dari luka di bahu kirinya.

"Hup, yaaah...!"

Disertai teriakan nyaring, Rangga melompat sambil mengibaskan pedang pusakanya ke arah leher Kalaban. Namun pemuda tampan berhati telengas itu mampu berkelit menghindari tebasan pedang itu. Bahkan masih mampu pula memberikan satu sodokan bertenaga dalam cukup tinggi ke arah perut Pendekar Rajawali Sakti.

"Uts!" Rangga menarik perutnya ke belakang, lalu dengan cepat dihentakkan tangan kirinya memapak sodokan tangan kanan itu.

"Akh!" Kalaban terpekik tertahan begitu tangannya berbenturan dengan tangan kiri Rangga.

Tenaga dalam yang dimiliki Kalaban memang berada di bawah Pendekar Rajawali Sakti. Tidak heran kalau harus memekik saat tangannya beradu dengan tangan Rangga. Sambil melompat mundur, Kalaban melontarkan tiga senjata rahasianya.

"Hiya, hiya, hiyaaa...!"

"Hup!"

Rangga berkelit dengan melompat ke atas. Dua kali dia berputar di udara, kemudian meluruk deras ke arah Kalaban sambil mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Serangan Pendekar Rajawali Sakti begitu cepat dan tidak terduga sama sekali, sehingga Kalaban tak sempat menghindar lagi. Tidak ada pilihan lain baginya.

"Hup, hiyaaa...!"

Kalaban mencabut senjatanya yang berupa tongkat pendek yang kedua ujungnya berbentuk tengkorak kepala manusia. Cepat sekali diayunkan tongkat pendek itu untuk memapak Pedang Rajawali Sakti.

Trang!

"Akh...!" Kalaban memekik keras.

Pemuda itu sampai terlontar jauh ke belakang. Dan senjata kebanggaannya terpotong menjadi dua bagian. Seluruh tubuhnya bergetar. Lebih-lebih tangannya yang serasa mati, sukar digerakkan lagi.

"Mampus kau! Hiyaaa...!" pekik Rangga keras.

Kalaban hanya bisa terperangah melihat Rangga sudah melompat sambil mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Pedangnya berputar cepat membuat lingkaran biru yang menyilaukan mata. Rangga meluruk deras bagai anak panah lepas dari busurnya. Begitu cepatnya serangan Rangga, sehingga kali ini Kalaban sulit untuk berkelit.

Dan pada saat ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti hampir menebas leher Kalaban, satu bayangan merah berkelebat cepat memapak laju pedang itu.

Tring!

"Akh!" terdengar satu pekikan keras, disusul terpentalnya bayangan merah itu.

Rangga juga melompat ke belakang beberapa tindak, sedangkan pedangnya menyilang di depan dada. Saat itu Kalaban bergegas mundur begitu nyawanya selamat dari maut. Tapi tidak jauh dari pemuda itu terlihat Rara Merah menggelepar dengan perut sobek mengucurkan darah segar!

Rupanya waktu memapak serangan Pendekar Rajawali Sakti, posisi Rara Merah terlalu dekat. Akibatnya, ujung pedang Rangga berhasil merobek perutnya setelah mematahkan tongkatnya. Kalaban yang melihat salah satu dari gurunya menggelepar dengan perut sobek, semakin merah padam wajahnya. Gerahamnya bergemeletuk menahan geram.

"Keparat! Kau harus membayar nyawa guruku!" geram Kalaban.

Kematian Rara Merah ternyata juga membuat tiga dari Empat Bayangan Iblis Neraka marah. Mereka serentak berlompatan menerjang Pendekar Rajawali Sakti tanpa mempedulikan Putri Rajawali Hitam. Kini Rangga harus menghadapi empat orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

"Setan! Rupanya mereka lebih tertarik pada Rangga...!" gerutu Putri Rajawali Hitam.

Putri Rajawali Hitam hanya bisa diam menyaksikan pertarungan itu. Dari sinar matanya terpancar sesuatu yang sukar diartikan. Bahkan sampai tidak berkedip memandangi setiap gerakan Pendekar Rajawali Sakti. Pandangannya beralih ketika mendengar suara pekikan serak menggelegar dari angkasa.

Tampak dua ekor burung rajawali raksasa tengah berkelebatan cepat menyambar anak buah Kalaban. Dan ini membuat prajurit-prajurit Kerajaan Galung jadi menganggur. Mereka hanya jadi penonton, menyaksikan Sepasang Rajawali membantai orang-orang rimba persilatan golongan hitam. Lebih-lebih Prabu Galung yang berdiri didampingi para panglimanya. Dia masih juga belum percaya penuh dengan yang disaksikannya kini.

"Khraghk!"

"Grahk...!"

Orang-orang yang merasa tidak mampu menghadapi Sepasang Rajawali itu berusaha melarikan diri. Tapi para prajurit yang memang sudah siaga penuh, tidak membiarkannya begitu saja. Mereka yang mencoba melarikan diri, tak pelak lagi terbantai senjata prajurit Kerajaan Galung.

Sementara itu Rangga masih bertarung melawan empat orang yang menggempurnya dengan kemarahan meluap dalam dada. Jurus-jurus yang digunakan pun sudah mencapai tingkat tinggi Yang terlihat kini hanya bayangan­-bayangan berkelebat cepat saling sambar. Tapi bagi Putri Rajawali Hitam, setiap gerakan pertarungan itu dapat dilihat jelas. Matanya tidak berkedip memandangi Rangga yang kelihatannya masih mampu menghadapi empat orang lawannya itu.

Bahkan Pendekar Rajawali Sakti itu mampu memberi serangan balasan yang tidak terduga. Entah sudah berapa jurus dilewati, namun pertarungan masih kelihatan sengit. Sementara Sepasang Rajawali telah menyelesaikan pertarungannya. Tidak ada seorang pun pengikut Empat Bayangan Iblis Neraka dan Kalaban yang dibiarkan hidup. Mereka yang lolos dari Sepasang Rajawali, pasti tewas di tangan para prajurit.

"Hm..., aku yakin. Pendekar Rajawali Sakti tidak butuh bantuan. Tapi mereka musuhku. Tidak pantas rasanya kalau diam menonton tanpa berbuat sesuatu...," gumam Putri Rajawali Hitam dalam hati.

Saat itu memang Rangga berada di atas angin. Serangan-serangannya begitu cepat dan tajam. Empat Bayangan Iblis Neraka yang kini tinggal tiga orang ditambah Kalaban, seperti tidak berdaya menghadapi Pendekar Rajawali Sakti yang menggunakan jurus 'Seribu Rajawali'. Mereka selalu terkecoh dan mendapat serangan balasan yang tidak terduga.

Berapa tidak? Gerakan Rangga demikian cepat, seolah­olah tubuhnya terpisah-pisah menjadi seribu banyaknya. Hal ini tentu saja membuat lawan-lawannya menjadi kebingungan. Setiap kali mereka menyerang, selalu hanya menemui bayangan Pendekar Rajawali Sakti saja. Karuan saja mereka jadi tidak percaya diri.

Pada saat itu pula, Putri Rajawali Hitam masuk dalam kancah pertempuran. Pedang hitamnya berkelebat cepat membabat ke arah dada Rara Biru. Serangan Putri Rajawali Hitam yang cepat dan tidak terduga itu membuat Rara Biru tidak sempat lagi berkelit...

"Akh...!" Rara Biru memekik keras tertahan.

Ujung pedang Putri Rajawali Hitam menggores dalam di dada Rara Biru. Darah pun segera mengucur deras dari luka yang panjang dan dalam itu. Rara Biru terhuyung­huyung ke belakang. Dan selagi terhuyung, satu tendangan menggeledek yang dilepaskan Putri Rajawali Hitam, telak menghantam dadanya.

"Aaa...!" Rara Biru memekik keras melengking.

Seketika tubuhnya terlontar beberapa tombak ke belakang. Keras sekali tubuhnya membentur dinding tembok benteng istana, hingga tembok yang tebal itu hancur berkeping-keping. Hanya sebentar Rara Biru meregang nyawa, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi.

"Keparat...!" geram Kalaban.

Kalaban cepat melompat menerjang Putri Rajawali Hitam yang masih memandangi Rara Biru. Terjangan Kalaban begitu cepat, sehingga tidak diduga sebelumnya. Kaki kanan Kalaban mendarat telak di punggung Putri Rajawali Hitam. Wanita yang wajahnya selalu ditutupi oleh cadar hitam itu terjungkal keras.

Beberapa kali Putri Rajawali Hitam bergulingan di tanah, tapi cepat bangkit kembali walaupun dengan tubuh limbung. Dua kali wanita itu memuntahkan darah kental kehitaman. Pandangan matanya pun berkunang-kunang. Sementara Kalaban sudah bersiap-siap hendak menyerang kembali.

"Mampus kau! Hiyaaa...!" teriak Kalaban keras.

"Khraghk...!"

"Akh!" Kalaban memekik terperanjat.

Rajawali Hitam tanpa diduga dengan cepat menyambar tubuh Kalaban, sehingga pemuda itu terlempar jauh beberapa tombak. Segera dia bangkit kembali dan berdiri tegak.

"Khraghk...!" pekik Rajawali Hitam keras.

Trak!

Kalaban mencabut sebatang tongkat pendek berwarna perak dari balik ikat pinggangnya. Dipegangnya ujung-ujung tongkat itu, lalu ditarik hingga panjangnya sama dengan rentangan tangan. Kalaban memutar-mutar tongkatnya bagai baling-baling. Dan pada saat itu, Rajawali Hitam sudah meluruk deras ke arahnya sambil berkaokan keras memekakkan telinga.

"Hiyaaa...!"

Sambil berteriak nyaring, Kalaban mengebutkan tongkatnya disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Ujung tongkat yang berbentuk bulat itu memancarkan cahaya merah jingga.

"Khraghk...!"

Satu pekikan keras terdengar dari Rajawali Hitam. Tongkat Kalaban bersarang telak di dada Rajawali Hitam, sehingga burung raksasa itu terjajar ke belakang.

"Rajawali.... Oh, tidak...!" pekik Putri Rajawali Hitam histeris.

Putri Rajawali Hitam bergegas memburu burung rajawali raksasa miliknya itu. Burung raksasa itu menggeletak di tanah sambil menggerung lirih. Putri Rajawali Hitam memeluk kepala burung itu, dan memeriksa dada yang terkena pukulan tongkat Kalaban tadi.

"Ha ha ha...!" Kalaban tertawa terbahak-bahak.

"Iblis! Kubunuh, kau!" geram Putri Rajawali Hitam.

Kalaban masih tertawa terbahak-bahak sambil menyandang tongkatnya di pundak. Sementara Putri Rajawali Hitam telah bangkit berdiri. Gerahamnya bergemeletuk menahan marah. Bola matanya bernyala­-nyala bagai hendak membakar pemuda itu. Sementara Rajawali Hitam mendekam dengan kepala tertunduk. Sementara itu, Rajawali Putih pun menghampiri, dan mematuki dada Rajawali Hitam. Entah apa yang diperbuat Rajawali Putih. Yang jelas, Rajawali Hitam membuka kembali matanya seraya mengangkat kepalanya.

Pada saat itu Putri Rajawali Hitam sudah melompat menerjang Kalaban. Pedang yang berwarna hitam pekat dalam genggamannya, berkelebat cepat membentuk putaran. Kalaban memang sudah siap menghadapi wanita berbaju hitam dengan cadar menutupi wajahnya itu.

"Mampus kau, setan! Hiyaaat...!" teriak Putri Rajawali Hitam keras.

"Hait"

Kalaban mengibaskan tongkatnya memapak serangan pedang Putri Rajawali Hitam. Dan dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa, Kalaban melontarkan satu tendangan keras dan langsung mendarat di perut wanita itu. Putri Rajawali Hitam memekik tertahan. Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang.

Tapi wanita itu kembali menerjang dengan ganas. Sementara di tempat lain, Pendekar Rajawali Sakti masih bertarung melawan dua orang perempuan tua yang berjuluk Empat Bayangan Iblis Neraka. Dan di sekitar arena pertarungan itu. Prabu Galung yang didampingi panglimanya, berdiri memperhatikan. Sedangkan di pihak lain para prajurit tetap berjaga-jaga.

DELAPAN

Meskipun menghadapi dua tokoh sakti berilmu tinggi, Rangga masih sempat membagi perhatiannya pada pertarungan Kalaban melawan Putri Rajawali Hitam. Dia agak cemas juga melihat Putri Rajawali Hitam tampak kewalahan menghadapi Kalaban.

"Aku harus cepat mengakhiri pertarungan ini," gumam Rangga dalam hati.

Saat itu juga, Pendekar Rajawali Sakti merubah jurusnya. Langsung dikeluarkan jurus andalannya, yaitu 'Pedang Pemecah Sukma'. Memang dalam beberapa gebrakan saja, kedua tokoh hitam itu kewalahan menghadapi jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Untungnya mereka masih bisa mengimbangi. Bahkan kini pertarungan kembali seimbang. Rangga tidak punya pilihan lain lagi, dan...

"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!" teriaknya keras. Dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti itu menggosok telapak tangannya ke mata pedang. Maka cahaya biru pun menggumpal di ujung Pedang Rajawali Sakti itu. Namun dengan cepat, dimasukkan pedang ke dalam warangkanya. Kini cahaya biru itu menggumpal di kedua telapak tangannya.

"Hiyaaa...!"

Rangga langsung melompat bagai seekor burung rajawali hendak menerkam mangsa. Tepat sekali telapak tangannya menangkap tangan kedua perempuan tua itu. Rara Kuning dan Rara Hijau berusaha melepaskan cekalan itu. Namun semakin kuat mereka mencoba, semakin sukar untuk melepaskannya. Bahkan mereka merasakan kalau tenaganya kini tersedot keras.

Cahaya biru yang memancar dari tangan Rangga mulai menyelimuti tubuh Rara Kuning dan Rara Hijau. Kedua wanita tua itu masih menggeliat-geliat berusaha melepaskan diri. Namun semakin kuat mereka mengerahkan tenaga, semakin keras tenaga tersedot. Hingga pada satu saat, Rangga menghentakkan tangannya ke depan. Hasilnya tubuh kedua wanita tua itu terlontar menyatu.

Cring!

Secepat kilat ditarik pedangnya ke luar. Dan kini dengan cepat pula Pedang Rajawali Sakti berkelebat menebas tubuh kedua wanita itu sekaligus. Tak ada lagi suara terdengar. Tubuh kedua wanita tua itu kontan ambruk ke tanah dengan tubuh hampir terpisah!

Pada saat yang sama, Kalaban berhasil mendaratkan tongkatnya ke tubuh Putri Rajawali Hitam. Wanita itu memekik keras, lalu tubuhnya limbung ke belakang. Kesempatan ini tidak disia-siakan Kalaban. Satu tendangan bertenaga dalam tinggi dengan cepat dilayangkan ke dada Putri Rajawali Hitam.

"Akh...!" Putri Rajawali Hitam memekik keras. Wanita berbaju serba hitam itu terlontar deras ke belakang, dan hampir menabrak tembok benteng. Untung saja Rajawali Hitam cepat merentangkan sayapnya yang lebar. Putri Rajawali Hitam terdampar di sayap yang berbulu lebat dan lunak itu. Tampak dari cadar yang menutupi wajahnya, merembes darah kental.

"Oh...,"Putri Rajawali Hitam merintih lirih.

"Kalaban! Akulah lawanmu!" seru Rangga keras seraya melompat ke depan pemuda itu.

"Bagus! Rupanya kau juga ingin menyusul pasanganmu ke neraka!" sambut Kalaban pongah.

Rangga sempat melirik Putri Rajawali Hitam yang menggeletak merintih di samping Rajawali Hitam tunggangannya. Sementara di samping Rajawali Hitam, mendekam pula Rajawali Putih yang tidak lepas-lepas memandangi pasangannya. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti itu tidak dapat berlama-lama memperhatikan Sepasang Rajawali dan Putri Rajawali Hitam, karena Kalaban sudah menyerang ganas.

"Hup, hiyaaa...!" seru Rangga menghadang serangan Kalaban, langsung dengan aji Bayu Braja.

Seketika itu juga tubuh Kalaban terlontar jauh ke belakang begitu kedua tangan Rangga menghentak ke depan. Kalaban berlompatan beberapa kali di udara, dan masih dapat mendarat dengan kedua kakinya. Namun tubuhnya terlihat limbung. Pemuda itu menggeleng­-gelengkan kepalanya sesaat. Sebentar dipandangi empat gurunya yang sudah terbujur tak bernyawa lagi.

Ada sedikit kegentaran dan perasaan dendam di hati Kalaban. Disadari kalau Pendekar Rajawali Sakti bukanlah lawannya. Tapi melihat empat gurunya tewas, Kalaban tidak lagi peduli. Segera dihimpun kekuatannya dan bersiap-siap untuk menyerang kembali.

"Haitt Yaaah....!" teriak Kalaban keras. Sambil mengibaskan tongkatnya beberapa kali, Kalaban melompat deras menerjang Rangga. Sementara Pendekar Rajawali Sakti pun sudah siap dengan 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Tebasan tongkat Kalaban berhasil ditangkis dengan tangan kiri, lalu dengan cepat disodoknya dada pemuda itu.

Buk!

"Akh!" kembali Kalaban memekik. Belum lagi Kalaban bisa berbuat sesuatu, kembali satu pukulan telak jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' menghantam dadanya. Seketika itu juga tubuh Kalaban terpental jauh ke belakang. Dan Rangga yang langsung mencabut pedangnya kembali, melompat cepat seraya mengibaskan pedangnya ke arah leher.

"Hiyaaa...!"
Slap!

Mendadak satu bayangan berkelebat cepat menyambar tubuh Kalaban, sehingga tebasan pedang Rangga hanya menghantam tempat kosong. Begitu cepatnya bayangan itu berkelebat, sehingga dalam sekejap mata saja, tubuh Kalaban telah lenyap tidak ketahuan bekasnya.

"Khraghk...!" Rajawali Hitam berkaokan keras.

Bagaikan kilat, burung raksasa. itu melesat ke angkasa sambil menyambar tubuh Putri Rajawali Hitam yang masih tergeletak tak sadarkan diri.

"Hey...!" Rangga terperanjat kaget.

"Rangga! Tunggu!" seru Prabu Galung tiba-tiba.

Rangga yang akan melompat ke atas punggung Rajawali Putih, mengurungkan niatnya. Prabu Galung berlari-lari kecil menghampiri. Rangga berdiri tegak di samping Rajawali Putih yang sudah lebih dulu menghampirinya.

Pada saat yang sama seekor kuda berpacu cepat memasuki halaman istana. Ternyata penunggangnya adalah Patih Giling Wesi. Setelah menghentikan kudanya, dia melompat turun, dan segera bersujud di depan Prabu Galung. Namun Prabu Galung segera menyentuh pundaknya, lalu mengajaknya bangkit berdiri.

"Ampun, Gusti Prabu. Hamba tidak bermaksud melepaskan tanggung jawab. Hamba pergi menyusul Gusti Prabu karena khawatir akan keselamatan Gusti," ucap Patih Giling Wesi.

"Sudahlah, Paman Patih. Keadaan sudah teratasi," sahut Prabu Galung bijaksana.

"Ampunkan hamba, Gusti...."

"Aku mengerti, Paman Patih."

Prabu Galung kembali mengalihkan perhatiannya pada Rangga yang masih diam saja. Patih Giling Wesi yang baru mengangkat wajahnya, kontan terlonjak kaget begitu melihat seekor burung rajawali raksasa berada di samping Pendekar Rajawali Sakti. Untung saja tidak ada yang memperhatikan. Tapi, pandangan Patih Giling Wesi tidak berkedip ke arah burung raksasa itu.

"Aku tidak tahu, apa yang harus kuberikan padamu. Aku benar-benar berhutang budi padamu...," ucap Prabu Galung.

"Itu sudah kewajibanku, Gusti Prabu," jawab Rangga merendah.

"Tapi kau telah berjasa besar, dan itu patut diberi hadiah."

"Terima kasih. Hanya saja tidak bisa kuterima karena masih ada tugas yang harus kuselesaikan," tolak Rangga halus.

"Aku mengerti. Sebagai seorang pendekar, tugasmu cukup banyak. Tapi...."

"Gusti. ljinkan aku segera pergi. Kalaban menghilang dan harus kucari. Terus terang, aku pun masih harus mencari keterangan tentang Putri Rajawali Hitam dan burung tunggangannya itu."

"Jadi..., kau tidak tahu siapa dia...?!" Prabu Galung tidak percaya. Selama ini dia menganggap kalau Rangga dan orang misterius itu adalah berpasangan.

Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Gusti. Hamba pun juga mohon diri," selak Patih Giling Wesi.

"Paman Patih, kau akan ke mana?"

"Ampun, Gusti. Hamba harus mencari Intan Kemuning. Bagaimanapun juga, dia anak hamba satu-satunya. Kalaupun Intan Kemuning masih hidup, hamba harus menemukannya. Dan kalau sudah mati, harus ada mayatnya. Ampunkan hamba, Gusti."

"Paman Patih, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Tapi perlu kau ketahui, Kerajaan Galung sangat membutuhkan sumbangan tenaga dan pikiranmu," ucap Prabu Galung pelan.

"Ampun, Gusti Prabu. Rasanya masih banyak tenaga muda yang dapat diandalkan. Hamba sudah bertekad untuk mencari Intan Kemuning sampai dapat."

Prabu Galung hanya bisa mendesah berat.

"Hamba pamit, Gusti," ucap Patih Giling Wesi berpamitan.

"Baik, hati-hatilah. Dan kumohon, kembalilah dulu jika sudah bertemu dengan anakmu," pesan Prabu Galung. Memang hanya itu yang bisa diucapkannya.

Patih Giling Wesi memberi hormat, kemudian bergegas naik ke punggung kudanya. Hanya sekali gebah saja, kuda itu sudah berpacu cepat meninggalkan halaman Istana Galung. Prabu Galung hanya bisa memandangi dengan mata berkaca-kaca. Dan dia baru menoleh begitu teringat pada Rangga. Tapi Prabu Galung jadi celingukan, karena Pendekar Rajawali Sakti dan burungnya sudah tidak ada lagi. Dia mendongak, maka tampaklah di angkasa burung rajawali raksasa tengah melayang berputar-putar.

"Selamat jalan, Rangga...," desis Prabu Galung melambaikan tangannya.

"Khraghk...!"

Rajawali Putih itu langsung melesat cepat meninggalkan Istana Galung. Sementara para prajurit telah sibuk mengangkuti mayat-mayat. Sementara itu, Prabu Galung pun memerintahkan beberapa panglima agar menjemput para pembesar dan keluarganya untuk kembali ke istana. Demikian pula dengan keluarga istana yang masih berada di tempat pengasingan. Prabu Galung kemudian melangkah menaiki anak-anak tangga istana.

Saat itu di angkasa, Rajawali Putih terbang menembus awan. Rangga yang berada di atas punggungnya, memandang ke bawah. Sempat dilihatnya Patih Giling Wesi yang memacu kudanya dengan cepat menembus Hutan Krambang. Sementara Patih Giling Wesi mencari anak gadisnya, Rangga juga harus bisa mengetahui siapa sebenarnya orang yang kini menguasai Rajawali Hitam. Siapa sebenarnya dia? Bagaimana luka-lukanya? Dan siapa yang telah menyelamatkan Kalaban dari hadapannya?

Untuk mengetahui kelanjutannya, ikutilah kisah Pendekar Rajawali Sakti dalam episode: SABUK PENAWAR RACUN

Sepasang Rajawali

Cerita Silat Pendekar Rajawali Sakti
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Episode
Sepasang Rajawali


Pendekar Rajawali Sakti

SATU

"Khraghk...!"

Seekor burung rajawali raksasa berwarna putih keperakan melayang-layang di angkasa. Di punggungnya duduk seorang pemuda berbaju rompi putih yang berkibar­-kibar tertiup angin. Burung rajawali raksasa itu terus menukik turun menuju sebuah lembah besar. Sebuah danau berair biru bening menghias lembah itu. Pemuda tampan di atas punggung rajawali raksasa itu bergegas melompat turun, begitu burung itu mendarat di tepi danau.

Rajawali raksasa mengepak-ngepakkan sayapnya dan kepalanya digeleng-gelengkan. Sikapnya kelihatan begitu gelisah. Sebelah kaki kanannya dihentak-hentakkan ke tanah. Pemuda tampan berbaju rompi yang ternyata adalah Rangga si Pendekar Rajawali Sakti, memperhatikan dengan kening berkerut. Dihampiri dan dipeluknya kepala burung itu. Namun rajawali raksasa melepaskan pelukan Rangga.

"Rajawali, ada apa? Kenapa gelisah begitu?" tanya Rangga tidak mengerti akan sikap sahabatnya itu.

"Khrrrk...!" rajawali raksasa hanya mengkirik gelisah.

"Tidak biasanya kau bersikap begini, Rajawali. Apa yang membuatmu gelisah?" tanya Rangga penuh rasa heran dan khawatir.

Rajawali raksasa mendekam dan menggerung-gerung lirih. Sayapnya terpentang lebar, menutupi hamparan rumput di tepi danau. Rangga semakin heran, kemudian duduk bersila di depan rajawali raksasa. Kegelisahan burung raksasa itu membuatnya bertanya-tanya sendiri. Dia yakin ada sesuatu yang membuat rajawali raksasa bersikap begitu. Tapi apa?

"Rajawali, Sahabatku. Kenapa kau gelisah begitu?" tanya Rangga mendesak lagi.

"Grrrhk...!" rajawali raksasa menggerung pelan. Kepalanya terangkat naik, kemudian menjulur ke arah tebing lembah sebelah Selatan.

Rangga melayangkan pandangannya ke arah tebing lembah sebelah Selatan. Tidak ada yang dapat ditemukan di sana, selain dinding yang cukup curam dan berbatu dengan beberapa pohon menyembul keluar dari bebatuan. Dinding itu sangat curam, dan sukar untuk didaki. Pendekar Rajawali Sakti masih belum mengerti maksudnya. Dia menolehkan kepalanya memandang kembali kepada rajawali raksasa yang terus menggerung-gerung lirih.

"Tidak ada apa-apa di sana. Apa yang...."

Belum sempat Rangga melanjutkan ucapannya, mendadak rajawali raksasa membumbung naik ke angkasa. Rangga melompat berdiri memandangi sahabat­nya yang terus melayang dan berputar-putar di atas lembah ini. Sungguh tidak dimengerti sikap rajawali raksasa yang menjadi gurunya, orang tua angkat, dan juga sahabatnya ini.

"Rajawali, turunlah! Apa yang kau lakukan di atas sana?" seru Rangga keras.

"Khraghk!"

"Aku tidak mengerti maksudmu?"

Rajawali raksasa membuat putaran tiga kali di udara, kemudian membumbung semakin tinggi dan terus melesat ke arah Utara. Begitu cepatnya, sehingga dalam waktu sebentar saja rajawali raksasa telah lenyap dari pandangan. Kini tinggal Rangga berdiri mematung sambil memandang kepergian rajawali raksasa itu dengan perasaan berkecamuk tidak menentu. Benar-benar membingungkan sikap rajawali raksasa sahabatnya itu. Belum pernah rajawali bersikap seperti itu sebelumnya. Apa sebenarnya yang terjadi? Macam-macam pertanyaan berkecamuk di benak Pendekar Rajawali Sakti.

"Hm..., dia menunjuk ke arah Selatan. Ketika melayang di udara, dia melakukan putaran tiga kali di udara. Apa maksudnya? Apakah aku harus pergi ke arah Selatan?" gumam Rangga bertanya-tanya sendiri.
Rangga mengarahkan pandangannya kearah Selatan. Terlihat dinding lembah yang sangat curam, berbatu, dan hanya sedikit pepohonan yang terdapat. Tidak terlalu tinggi memang, namun sangat curam. Sangat sukar untuk didaki. Namun bagi Pendekar Rajawali Sakti hal itu bukanlah suatu kesulitan. Hanya dua kali lompatan saja, pasti sudah bisa mencapai puncak tebing itu.

"Hm..., lembah ini seperti tidak pernah dimasuki orang. Dan.... Heh! Ada apa di atas sana?"

Telinga Rangga yang tajam bagai setajam rajawali, langsung dapat mendengar suara pertempuran dari atas tebing lembah ini. Tanpa berpikir lebih jauh lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu melesat cepat mendaki tebing curam berbatu itu. Gerakannya sungguh ringan, bagaikan segumpal kapas tertiup angin. Hanya dua kali lompatan saja, sudah tiba di puncak tebing.

"Oh!" Rangga tersentak kaget begitu mencapai puncak tebing lembah.

Apa yang dilihat Pendekar Rajawali Sakti hingga sampai terkejut seperti itu?

Seorang laki-laki bertubuh gemuk berpakaian indah bersulam benang emas, bertarung sengit melawan empat perempuan tua berbaju kumal dan warna hampir sama. Tampak sekali kalau laki-laki bertubuh gemuk itu kewalahan menghadapi lawan-lawannya. Entah sudah berapa kali menerima pukulan dan tendangan keras dari empat lawannya itu. Di sekitar tempat itu tergeletak kira­-kira dua puluh orang berpakaian seragam prajurit.

Rangga kenal betul dengan lambang yang dikenakan pada bagian dada prajurit-prajurit yang menggeletak tak bernyawa itu. Lambang Kerajaan Galung. Dan laki-laki gemuk yang tengah bertarung itu tidak lain adalah Patih Giling Wesi, seorang patih kenamaan dari Kerajaan Galung. Rangga kenal betul dengan Patih Giling Wesi, sewaktu sama-sama menghadapi gerombolan Bidadari Sungai Ular.

Gerombolan yang dipimpin seorang wanita bernama Saka Lintang itu dulu telah menculik Intan Kemuning, putri tunggal Patih Giling Wesi (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam episode Bidadari Sungai Ular). Entah sudah berapa lama peristiwa itu terjadi, dan Rangga tidak bisa mengingatnya secara pasti.

"Akh!" Patih Giling Wesi memekik tertahan ketika satu batang tongkat berkepala bulat menghantam keras dadanya.

Laki-laki bertubuh gemuk itu terjungkal deras ke tanah. Dan belum sempat bangkit, satu tendangan keras menghantam iganya. Akibatnya tubuh gemuk itu bergulingan beberapa tombak. Seorang dari empat perempuan tua itu melompat tinggi, dan meluruk deras sambil mengarahkan tongkatnya yang berujung runcing ke arah dada Patih Giling Wesi.

"Hih!" Melihat keadaan Patih Giling Wesi yang sudah tidak berdaya lagi, Rangga segera melesat cepat memapak serangan perempuan tua itu.

Tangan kirinya tepat menghantam tongkat, sedangkan kaki kanannya mendarat telak di tubuh perempuan tua itu. Akibatnya, perempuan tua itu terpental jauh ke belakang. Rangga mendarat lunak di samping Patih Giling Wesi yang menggeletak dengan napas tersengal.

"Rangga...," desis Patih Giling Wesi setengah tidak percaya begitu mengenali orang yang menyelamatkan nyawanya.

"Apa kabar, Paman Patih?" ucap Rangga lembut seraya membantu Patih Giling Wesi berdiri.

"Baik! Terima kasih," sahut Patih Giling Wesi setelah mampu berdiri lagi.

"Mengapa mereka mengeroyokmu, Paman?" tanya Rangga seraya melirik empat orang perempuan tua yang sudah berdiri berdampingan dengan tatapan mata penuh kemarahan.

"Nanti akan kuceritakan! Sebaiknya kita segera tinggalkan tempat ini," sahut Patih Giling Wesi.

"Kenapa?"

Belum sempat pertanyaan Rangga terjawab, salah seorang dari perempuan tua itu melompat sambil berteriak keras. Ujung tongkatnya yang runcing mengarah ke dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan gesit sekali, Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan seraya tangan kirinya menepak tongkat itu hingga terpental ke samping. Secepat itu pula, kaki kanannya melayang sambil memutar tubuhnya sedikit. Hasilnya, telapak kaki Rangga tepat menghantam dada wanita tua itu.

"Hugh!" wanita tua itu mengeluh pendek, dan tersuruk ke belakang beberapa langkah.

"Cepat, Rangga! Tinggalkan tempat ini!" seru Patih Giling Wesi.

"Tunggu!" sentak Rangga cepat.

Namun Patih Giling Wesi sudah berlari cepat disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh. Rangga tidak punya pilihan lain. Kembali melesat cepat, dan menyambar tubuh Patih Giling Wesi. Begitu cepatnya Pendekar Rajawali Sakti bergerak, sehingga dalam waktu sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap membawa Patih Giling Wesi.

"Setan alas! Kejar mereka!" seru salah seorang perempuan tua mengumpat geram.

Empat orang wanita itu segera berlari cepat mengejar ke arah Rangga dan Patih Giling Wesi pergi. Dilihat dari gerakan berlari, jelas kalau mereka berempat bukanlah orang sembarangan. Gerakan kakinya begitu lincah dan ringan, seolah-olah melayang di atas tanah. Begitu cepatnya mereka berlari, sehingga yang tampak hanya empat bayangan coklat kehitaman berkelebatan di pepohonan yang rapat.

Mereka sudah berlari begitu jauh, namun belum juga melihat bayangan dua orang yang dikejarnya. Rangga dan Patih Giling Wesi bagaikan lenyap ditelan bumi. Mereka menghentikan pengejaran di sebuah padang rumput luas, lalu merayapi sekitarnya beberapa saat. Tak tampak sebuah bayangan pun berkelebat di sekitar tempat itu.

"Monyet! Setan belang!" salah seorang perempuan tua itu menyumpah-nyumpah kesal.

"Sebaiknya kita kembali saja ke Galung," usul seorang lagi.

"Tidak! Patih sialan itu harus ditemukan!" sanggah seorang lagi. "Huh! Siapa anak muda itu...?"

"Empat Bayangan Iblis Neraka tidak boleh dipermalukan. Siapa pun dia, harus mampus!" rungut salah seorang.

"Kalau begitu, ayo kita cari lagi. Mereka pasti belum jauh dari tempat ini," ajak satunya lagi.

"Cepatlah, sebelum hari gelap!" Empat orang perempuan tua yang berjuluk Empat Bayangan Iblis Neraka itu segera bergerak cepat meninggalkan padang rumput yang luas ini. Julukan Bayangan Iblis memang tepat, karena gerakan mereka begitu cepat seperti bayangan saja. Dalam waktu sekejap saja mereka sudah lenyap kembali masuk ke dalam hutan.

Mereka adalah tokoh rimba persilatan dari golongan hitam. Masing-masing nama dapat dikenali dari tongkat yang digunakan sebagai senjata. Yang bertongkat merah, bernama Rara Merah. Sedangkan yang bertongkat kuning, bernama Rara Kuning. Juga yang hijau dan biru bernama Rara Hijau dan Rara Biru. Mereka empat bersaudara dengan tingkat kepandaian cukup tinggi.

*******************

Sementara itu jauh di dalam hutan, Rangga menurunkan Patih Giling Wesi dari kempitannya. Laki-laki itu menggeliatkan tubuhnya, berusaha menghilangkan rasa pegal akibat kempitan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara siang telah berganti senja. Suasana sekitar hutan yang gelap, semakin bertambah gelap karena kurang mendapat cahaya matahari.

Patih Giling Wesi mengumpulkan ranting kering yang banyak tersebar di sekitar hutan itu. Setelah terkumpul, kemudian ditumpuk dan dinyalakannya dengan pemantik api yang diambil dari balik sabuknya. Laki-laki gemuk itu duduk di dekat api kecil dari ranting-ranting kering yang terbakar. Rangga mendekati dan duduk di sampingnya.

"Api ini akan mengundang mereka, Paman Patih," kata Rangga memperingatkan.

"Hari sudah gelap. Hutan ini banyak binatang buasnya, Rangga," sahut Patih Giling Wesi. Memang, dia kenal betul seluk-beluk Hutan Krambang ini.

Rangga tidak berkata-kata lagi. Tapi dikuranginya ranting-ranting itu, sehingga nyala api menjadi lebih kecil. Patih Giling Wesi hanya diam saja. Kata-kata Rangga memang ada benarnya juga. Tapi api penting juga untuk mencegah binatang buas yang mendekati mereka. Terlebih lagi binatang-binatang yang berbisa.

"Kenapa Paman Patih berada di hutan ini?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.

"Ceritanya cukup panjang, Rangga. Dan aku berada di sini karena terpaksa, selain harus mencari putriku yang hilang," sahut Patih Giling Wesi sendu.

"Intan Kemuning?" Rangga mengerutkan keningnya.

"Benar."

Rangga jadi ingat akan gadis cantik yang diselamatkannya dari sarang Bidadari Sungai Ular. Gadis cantik yang lugu dan polos, putri tunggal Patih Giling Wesi (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti, dalam episode "Bidadari Sungai Ular"). Rangga menggeser duduknya agar lebih dekat lagi dengan laki-laki gemuk itu. Diperhatikannya wajah Patih Giling Wesi yang berubah mendung.

"Apa yang terjadi, Paman?" tanya Rangga.

"Kau tahu, apa yang terjadi terhadap diri Intan Kemuning di sarang Bidadari Sungai Ular, bukan?"

"Ya," Rangga mengangguk.

"Anakku yang semula lugu dan polos, berubah jadi tertarik mempelajari ilmu olah kanuragan dan kesaktian.

Semua ini gara-gara Saka Lintang si Bidadari Sungai Ular. Wanita itu memberikan dasar-dasar ilmu olah kanuragan. Dan Intan Kemuning jadi tertarik mempelajarinya. Aku tak kuasa menentang keinginannya yang keras...," Patih Giling Wesi berheriti sejenak.

Rangga menunggu kelanjutannya dengan sabar.

"Entah sudah berapa panglima dan orang berilmu tinggi yang memberikan ilmu olah kanuragan pada anakku. Tapi Intan Kemuning belum juga puas, meskipun telah berubah menjadi seorang gadis digdaya dan sukar dicari tandingannya. Dan itu menjadikan awal malapetaka bagi keluargaku. Bahkan sampai meluas menjadi malapetaka bagi seluruh Kerajaan Galung," Ianjut Patih Giling Wesi.

"Kenapa bisa begitu?" tanya Rangga tidak mengerti.

"Itulah yang dinamakan perubahan pada manusia, Rangga. Setiap orang dapat berubah dalam waktu singkat, tanpa dapat dicegah lagi. Dan ini terjadi pada putriku. Dia merasa dirinya tangguh dan digdaya, sehingga tidak ada yang mampu menandinginya. Bahkan para panglima yang semula melatih ilmu olah kanuragan juga tidak mampu menandinginya. Hal ini membuat Intan Kemuning jadi kian besar kepala. Dia menantang siapa saja yang memiliki nyali besar."

"Hebat...," desis Rangga bergumam.

"Memang hebat, kalau saja tidak keterlaluan."

"Oh...?!"kening Rangga berkerut dalam.

"Intan Kemuning mengundang tokoh-tokoh sakti di seluruh rimba persilatan untuk diajak duel. Kau tahu apa akibatnya? Hampir seluruh tokoh sakti tumpah di Kerajaan Galung! Tentu saja hal ini membuat seluruh panglima dan prajurit sibuk bukan kepalang, karena hampir di setiap pelosok terjadi keributan akibat ulah orang-orang rimba persilatan yang rata-rata dari golongan hitam."

"Bisa dimaklumi. Tapi apa yang membuat mereka tertarik?" tanya Rangga.

"Intan Kemuning mencari suami, dengan syarat dapat mengalahkan dirinya. Tapi bukan itu saja. Dia juga mempertaruhkan Kerajaan Galung!"

"Gila!"

"Itulah yang membuat Prabu Galung murka, sehingga memerintahkan seluruh panglima dan prajurit menangkap Intan. Bahkan aku sendiri diperintahkan untuk menangkapnya. Bisa kau bayangkan, betapa malunya aku terhadap seluruh pembesar kerajaan, terutama Prabu Galung."

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Malapetaka besar terjadi ketika Intan Kemuning berhasil dikalahkan Empat Bayangan Iblis Neraka. Dan sudah pasti mereka menuntut haknya untuk menguasai Kerajaan Galung. Akibatnya, Prabu Galung semakin murka. Tapi Empat Bayangan Iblis Neraka telah lebih dulu menggempur istana bersama tokoh-tokoh hitam rimba persilatan lainnya yang pernah dikalahkan anakku. Bisa kau bayangkan, apa yang terjadi. Para panglima dan prajurit tidak ada yang mampu menghadang gempuran mereka. Dan kini Prabu Galung terpaksa meninggalkan istana."

"Apakah empat orang perempuan tua tadi yang bernama Empat Bayangan Iblis Neraka?" tanya Rangga.

"Benar! Dan mereka terus mencari Intan Kemuning. Bahkan kini mereka membunuh siapa saja yang pernah menjadi pembesar Kerajaan Galung. Mereka pun memberi hadiah besar bagi siapa saja yang berhasil membunuh Prabu Galung, dan membawa Intan Kemuning kepadanya. Kerajaan Galung benar-benar menjadi neraka, Rangga."

"Aneh! Apa yang dicari Intan Kemuning?" gumam Rangga seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Itulah yang membuatku tidak mengerti, Rangga. Putriku berubah tanpa dapat kuketahui penyebabnya. Benar-benar aku tidak mengerti akan sikapnya," keluh Patih Giling Wesi.

Rangga terdiam membisu. Benar-benar tidak disangka kalau gadis yang lugu dan poles, bisa berubah demikian cepat menjadi gadis liar berilmu tinggi. Memang sukar untuk dipercaya. Tapi, itulah kenyataan yang harus dihadapi. Rangga jadi iba melihat penderitaan Patih Giling Wesi. Bagaimanapun laki-laki gemuk itu harus bisa mengembalikan keadaan Kerajaan Galung seperti semula. Suatu kewajiban yang tidak ringan dan harus dilaksanakan.

"Paman tahu, ke mana Intan Kemuning pergi?" tanya Rangga.

Patih Giling Wesi menggeleng-gelengkan kepalanya lesu. Dia sama sekali tidak tahu. ke mana perginya Intan Kemuning. Gadis itu lenyap setelah dikalahkan Empat Bayangan Iblis Neraka dalam pertarungan yang diinginkan Intan Kemuning sendiri. Dari beberapa orang yang menyaksikan pertarungan itu, Patih Giiing Wesi mendengar kabar kalau Intan Kemuning terlempar jatuh ke dalam lembah yang sangat luas. Lembah tempat Patih Giling Wesi hampir tewas di tangan Empat Bayangan Iblis Neraka tadi.

Di atas lembah tebing itulah Intan Kemuning selalu bertarung melawan setiap tokoh sakti rimba persilatan yang diundangnya. Hari sial menimpa dirinya saat melawan Empat Bayangan Iblis Neraka. Dan Patih Giling Wesi tahu, kalau lembah itu tidak pernah didatangi orang. Lembah yang sukar dijamah, dan terkenal keganasannya. Tidak sedikit orang yang putus asa menceburkan diri ke danau di lembah itu. Biasanya, tidak ada yang kembali lagi dalam keadaan hidup. Yang dikhawatirkan Patih Giling Wesi, Intan Kemuning merasa putus asa lalu menceburkan diri ke dalam danau angker itu.

Dan semua ini telah diceritakannya pada Pendekar Rajawali Sakti. Sementara Rangga sendiri jadi semakin heran dan tidak mengerti. Dia berada di tempat ini karena sikap rajawali raksasa yang aneh tidak seperti biasanya. Dan juga tidak disangka kalau akan bertemu lagi dengan Patih Giling Wesi yang membawa masalah berat dan sangat serius.

"Sebaiknya kita kembali lagi ke tempat itu, Paman," kata Rangga setelah cukup lama terdiam.

"Aku merasa kalau Intan Kemuning telah tewas dalam lembah itu, Rangga," pelan suara Patih Giling Wesi.

"Kalaupun tewas, kita harus mendapatkan mayatnya."

"Percuma! Peristiwa itu telah berlangsung beberapa purnama. Dan lagi, tak ada seorang pun yang berhasil hidup dalam lembah itu. Air danaunya beracun, dan banyak dihuni ular-ular berbisa."

"Tapi, mengapa Paman masih mencari?" tanya Rangga.

"Entahlah. Sepertinya aku begitu yakin kalau anakku masih hidup, meskipun hatiku selalu mengatakan Intan Kemuning sudah tewas."

"Aku bisa memahami, Paman."

"Terima kasih, Rangga," ucap Patih Giling Wesi lirih.

"Tapi aku punya kewajiban yang lebih berat lagi, yakni harus mengembalikan Kerajaan Galung seperti semula dan mengusir orang-orang rimba persilatan yang kini menguasai Istana Galung."

"Kerajaan Galung pasti bisa pulih kembali, Paman," Rangga membesarkan hati laki-laki gemuk itu.

"Tidak...," lesu suara Patih Giling Wesi. Kepalanya menggeleng beberapa kali.

"Pasti bisa, Paman. Ini kalau prajurit yang tersisa mau bersatu kembali. Dan aku pasti akan membantu mengusir mereka," janji Rangga.

"Oh, sungguhkah?" Patih Giling Wesi bangkit kembali semangatnya.

"Ya. Dan setelah itu akan kucari Intan Kemuning."

"Dewata Yang Agung..., terima kasih, Rangga."

Rangga tersenyum tipis.

*******************

DUA

Malam belum begitu larut. Suasana dalam Istana Galung tampak ramai bagai tengah diadakan pesta yang begitu meriah. Nyala api obor yang terpancang di setiap sudut, menerangi hampir seluruh areal benteng Istana Kerajaan Galung itu. Tawa dan canda terdengar dari ruangan besar dalam istana itu. Tampak orang yang tengah berpesta-pora, memenuhi ruangan besar dan mewah di bagian tengah Istana Galung.

Dari pakaian dan senjata yang disandang, dapat dipastikan kalau mereka adalah tokoh rimba persilatan. Namun dari tampang dan tingkah laku, bisa dikatakan kalau mereka dari golongan hitam. Tidak sedikit wanita yang menemani mereka berpesta. Meskipun dari bibir wanita-wanita itu terdengar suara tawa, namun pancaran sinar matanya menunjukkan penekanan dan pemberontakan. Bau asap tembakau menyeruak bercampur bau minuman arak yang tertumpah-ruah ke lantai.

Di atas bangku besar dan indah, duduk seorang laki-laki berwajah tampan dan berkulit putih halus. Di samping kanan dan kirinya duduk empat orang perempuan tua memegang tongkat yang berlalnan warnanya, meskipun bentuk tongkatnya sama persis. Empat perempuan tua itulah yang dikenal dengan julukan Empat Bayangan Iblis Neraka. Sedangkan pemuda tampan yang duduk di singgasana itu murid tunggal mereka yang bernama Kalaban. Saat ini Kerajaan Galung diperintah oleh Kalaban yang menduduki singgasana istana. Walaupun sebagai murid, tapi secara diam-diam Kalaban memiliki ilmu yang lebih tinggi dibanding keempat gurunya itu.

"Kalaban! Tidak seharusnya kau mengadakan pesta seperti ini," kata Rara Merah yang memang kelihatannya tidak menikmati pesta itu.

"Mengapa?" tanya Kalaban seraya menoleh pada wanita tua yang duduk di samping kanannya, dengan tongkat merah di tangan.

"Masih banyak musuh kita yang mencari kelemahan. Pesta ini membuat orang-orang kita lengah, dan itu bisa membahayakan," jelas Rara Merah.

"Aku rasa tidak ada salahnya memberi kesenangan pada mereka, Nyai Guru."

"Mereka sudah cukup mendapat kesenangan di luar."

"Nyai Guru Rara Merah. Aku tidak ingin dikatakan mementingkan diri sendiri, meskipun semua yang kita peroleh berkat Nyai Guru berempat. Tentunya wajar kalau sekali-sekali menyelenggarakan pesta dan memberi kesenangan pada mereka Bagaimanapun juga, jasa mereka cukup besar," sergah Kalaban.

"Baiklah, hanya untuk kali ini saja. Hanya yang perlu diingat, Patih Giling Wesi belum tewas. Dan lagi Prabu Galung juga tidak jelas berada di mana sekarang. Masih banyak prajurit yang tersebar, dan tidak sedikit panglima yang tengah menyusun kekuatan untuk merebut kembali istana ini. Hal itu jangan kau lupakan, Kalaban."

"Aku tidak akan lupa, Nyai Guru. Terutama pada Intan Kemuning. Dia harus jadi istriku," jawab Kalaban.

"Jangan mengharapkan gadis itu lagi, Kalaban. Dia sudah mampus di Lembah Ular Berbisa," celeruk Rara Kuning.

"Aku belum puas kalau Intan Kemuning belum ditemukan."

"Meskipun dia sudah jadi mayat, aku akan membawanya untukmu, Kalaban," janji Rara Biru.

"Terima kasih, Nyai Rara Biru."

Rara Biru hanya tersenyum getir. Empat perempuan tua itu kemudian bangkit berdiri setelah mendapat isyarat dari Rara Merah. Mereka melangkah meninggalkan ruangan itu tanpa berkata-kata lagi, dan baru berhenti setelah tiba di bagian depan istana. Beberapa orang berwajah kasar yang menyandang senjata beraneka ragam, terlihat berjaga-jaga di sekitar halaman Istana Galung ini.

"Kalaban memang pantas jadi raja. Dia tidak mengosongkan penjagaan," gumam Rara Hijau pelan.

"Asal kalian jangan larut, dan lupa siapa dia sebenarnya," Rara Merah mengingatkan.

"Tentu saja tidak. Kita wajib membela dan mendampinginya sampai ajal," sahut Rara Biru.

"Memang itu tugas kita yang utama," sambut Rara Kuning.

"Hemmm...."

"Ada apa, Rara Kuning?" tanya Rara Merah melihat Rara Kuning mendongakkan kepalanya.

"Dengar...,"desis Rara Kuning.

Tiga orang perempuan tua lainnya terdiam, seraya memasang pendengarannya lebih tajam lagi. Seperti mendapat komando saja, mereka bergegas melompat, dan tahu-tahu sudah berdiri di tengah-tengah halaman depan istana yang luas. Kepala mereka terdongak ke atas. Dan bersamaan dengan itu, di angkasa terlihat sebuah bayangan hitam pekat melesat cepat.

Belum sempat menyadari apa yang terjadi, mendadak bayangan hitam besar itu meluruk ke arah mereka berempat. Hal ini membuat Empat Bayangan Iblis Neraka tersentak kaget Namun dengan gerakan cepat, mereka berlompatan berpencar menghindari terjangan bayangan hitam besar itu.

Angin yang menyambar keras, membuat Empat Bayangan Iblis Neraka limbung sesaat. Dan saat itu pula terdengar jeritan melengking dari beberapa orang penjaga yang berada di sekitar tempat itu. Tampak delapan orang penjaga menggelepar di tanah dengan tubuh bersimbah darah.

Jeritan panjang itu membuat orang-orang yang sedang berpesta, berhamburan ke luar. Suasana malam yang semula dipenuhi suara tawa dan canda kelakar, mendadak gaduh oleh teriakan panik dari wanita-wanita yang ikut berpesta. Kegaduhan itu pun masih ditambah dengan teriakan-teriakan bernada perintah.

"Nyai Guru, ada apa?" tanya Kalaban seraya menghampiri empat gurunya yang sudah berdiri berjajar dengan kepala menengadah.

Belum sempat ada yang menjawab, bayangan hitam pekat dan besar itu kembali meluruk turun dengan cepat menimbuikan suara angin mengguruh bagai badai. Orang-orang yang berada di sekitar halaman depan istana itu serentak berhamburan menyelamatkan diri. Namun mereka yang terlambat, menjerit keras terlanda bayangan hitam itu.

"Keparat! Benda apa itu...?!" geram Kalaban.

*******************

Orang-orang yang terdiri dari tokoh rimba persilatan golongan hitam, langsung bersiaga menghunus senjata masing-masing. Dalam dua kali serangan saja, tidak kurang dari enam belas orang tewas bersimbah darah. Bayangan hitam pekat dan besar itu melayang-layang di angkasa dan berputar mengelilingi Istana Galung.

"Panah...!" salah seorang dari mereka berteriak keras.

Tampak sekitar lima puluh orang bersenjata panah segera melepaskan anak-anak panahnya ke arah bayangan hitam di angkasa itu. Puluhan anak panah melesat cepat menimbulkan suara mendesing menyakitkan telinga. Namun bayangan hitam itu dengan gesit menghindari serbuan senjata itu. Bahkan tidak sedikit anak panah yang mengarah ke bayangan hitam itu berbalik arah bagai dihempas angin topan yang amat dahsyat.

Bahkan kini anak panah itu berbalik melesat lebih cepat dari semula. Beberapa orang yang tidak sempat menghindar, tertembus anak panah yang berbalik itu. Jerit kematian kembali mewarnai malam yang pekat ini. Dan pada saat semua orang terperangah, bayangan hitam itu meluruk deras ke arah mereka. Dari bayangan hitam besar itu juga melesat sebuah bayangan hitam lainnya yang lebih kecil.

Ternyata bayangan hitam yang kecil itu adalah seorang yang mengenakan baju serba hitam dengan cadar hitam menutupi wajahnya. Dengan sebilah pedang di tangan, dia segera mengamuk membantai orang-orang yang berada di halaman depan Istana Galung. Sedangkan bayangan hitam besar itu juga bergerak cepat menyambar setiap orang yang coba-coba menghadang.

"Khraghk...!"

Terdengar suara keras menyakitkan telinga di antara jerit pekik melengking dan suara pertempuran. Sementara Empat Bayangan Iblis Neraka dan Kalaban masih tetap berdiri memperhatikan pembantaian di depan mata.

"Rajawali raksasa...," desis Rara Merah begitu mendengar suara keras memekakkan tadi.

"Apa...?!" tiga wanita tua lainnya terperanjat juga.

"Mundur...!" teriak Rara Merah keras, disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.

Orang-orang yang tengah bertarung melawan sosok berbaju hitam dan bayangan hitam pekat dan besar itu, segera berlompatan mundur begitu mendengar seruan keras bertenaga dalam tinggi dari Rara Merah. Mereka segera membuat lingkaran besar disertai sikap waspada dan berjaga-jaga penuh. Kini di tengah-tengah lingkaran itu, berdiri seseorang berbaju serba hitam. Di sampingnya berdiri seekor burung raksasa berwarna hitam pekat.

"Tidak mungkin..!" desis Rara Merah, begitu melihat jelas sosok yang baru saja membunuhi orang-orangnya.

"Ada apa, Rara Merah?" tanya Rara Kuning.

"Aku tidak percaya kalau dia adalah Pendekar Rajawali Sakti,” sahut Rara Merah tidak yakin.

Tiga orang perempuan tua lainnya saling berpandangan. Mereka memang pernah mendengar tentang sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti. Seorang tokoh muda yang memiliki tingkat kepandaian sukar diukur ketinggiannya. Pendekar pilih tanding, dan belum ada yang mampu melawannya sampai kini. Tapi apa yang mereka dengar tentang ciri-ciri Pendekar Rajawali Sakti, rasanya tidak terdapat pada orang dan burung raksasa itu.

Dan belum lagi didapat jawabannya. Orang berbaju serba hitam itu melompat naik ke punggung burung raksasa itu. Seketika burung raksasa itu cepat melesat naik membumbung tinggi ke angkasa. Dalam sekejap saja, bayangan hitam itu lenyap di balik awan hitam sebelah Utara. Sementara Empat Bayangan Iblis Neraka dan Kalaban masih terdiam memandang ke arah Utara. Mereka tidak peduli dengan orang-orang yang segera berlompatan mengejar bayangan hitam itu.

"Siapa dia, Nyai Guru?" tanya Kalaban setelah lama terdiam.

"Aku tidak tahu, tapi...," jawab Rara Merah ragu-ragu.

"Nyai Guru Rara Merah. Siapa itu Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Kalaban mendesak.

"Seorang pendekar digdaya yang sukar dicari tandingannya," Rara Kuning yang menyahuti.

"Aku tidak tahu pasti. Apakah itu tadi Pendekar Rajawali Sakti atau bukan. Rasanya terlalu jauh perbedaannya," kata Rara Merah bergumam, seolah-olah bicara untuk dirinya sendiri.

"Ya, memang terlalu menyolok," sambut Rara Hijau, juga bergumam pelan.

Sementara itu di halaman depan Istana Galung kembali sepi. Hanya beberapa orang saja yang masih terlihat, karena tengah sibuk mengumpulkan mayat yang bergelimpangan. Dalam waktu singkat saja, tidak kurang dari lima puluh orang tewas dalam pertarungan mendadak dan tiba-tiba itu. Malam ini Istana Galung kembali banjir darah. Setahun yang lalu pun juga pernah terjadi, setelah orang-orang rimba persilatan golongan hitam menyerang dan merebut istana ini. Dan semua itu dipimpin Empat Bayangan Iblis Neraka, yang kemudian mengangkat murid tunggalnya untuk menduduki tahta.

"Setan!" umpat Rara Merah tiba-tiba. "Mengapa sekarang aku baru ingat...!?"

"Ada apa, Rara Merah?" tanya Rara Kuning.

"Pemuda itu...!" seru Rara Merah.

"Pemuda yang mana?" tanya Rara Hijau tidak mengerti.

“Yang menolong Patih Giling Wesi."

Wanita-wanita tua itu saling berpandangan. Sedangkan Kalaban semakin tidak mengerti saja dengan pembicaraan keempat gurunya ini. Yang dilakukannya hanya diam saja dengan benak dipenuhi berbagai macam pikiran dan dugaan-dugaan. Tapi dia berusaha untuk dapat mengerti arah pembicaraan ini.

"Ada apa dengan pemuda itu?" tanya Rara Biru setelah mereka semua cukup lama terdiam.

"Apa kalian tidak mengenali ciri-cirinya?" Rara Merah malah balik bertanya.

"Maksudmu?" Rara Hijau tidak mengerti, tapi juga berkerut keningnya.

"Dialah yang benar-benar berjuluk Pendekar Rajawali Sakti," desis Rara Merah.

"Apa...?!"

"Pendekar Rajawali Sakti!" Rara Merah mengulangi.

"Mustahil!" desis Rara Kuning. Tapi dalam benaknya berkata lain.

Ciri-ciri Pendekar Rajawali Sakti yang pernah didengarnya memang ada pada pemuda yang telah menolong nyawa Patih Giling Wesi dari kematian. Pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung bertengger di balik punggung. Dan pemuda itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi tingkatannya. Itu sudah menandakan kalau tingkat kepandaiannya juga sangat tinggi, dan sukar untuk diukur.

Meskipun hanya beberapa kali gebrak saja, namun Empat Bayangan Iblis Neraka telah yakin, kalau pemuda itu sungguh luar biasa. Dia mampu mengelak dengan mudah setiap serangan, bahkan mampu memberi serangan balasan yang sangat cepat dan tidak terduga sama sekali. Tapi benarkah yang baru saja datang memporak porandakan dan membinasakan banyak orang itu adalah Pendekar Rajawali Sakti?

*******************

Sementara itu tidak jauh dari perbatasan Kerajaan Galung, dua orang laki-laki tengah berjalan mendekati gerbang perbatasan. Yang seorang bertubuh gemuk dan berpakaian mewah dengan sulaman benang emas. Sedangkan yang seorang lagi masih muda, berwajah tampan dengan rambut panjang terikat. Dia mengenakan baju rompi putih. Gagang pedang berbentuk kepala burung menyembul dari balik punggungnya.

Mereka berhenti melangkah setelah melewati gerbang perbatasan yang menuju langsung ke Kotaraja Kerajaan Galung. Suasana malam begitu sepi, tak terlihat seorang penjaga pun di gerbang perbatasan ini. Pandangan mata mereka lantas tertumbuk pada empat sosok manusia yang tergeletak tidak jauh dari gerbang perbatasan yang terbuat dari batu ukir kembar itu.

Pemuda berbaju rompi putih itu menghampiri empat sosok tubuh yang tergeletak tidak bernyawa. Sebentar diperiksa luka-luka di sekujur tubuh empat orang itu. Sedangkan orang bertubuh gemuk, hanya memperhatikan saja dengan mata tidak berkedip.

"Luka-lukanya seperti diserang binatang," gumam pemuda itu pelan, seperti untuk dirinya sendiri.

"Tidak ada binatang buas di sini, Rangga." Pemuda tampan berbaju rompi putih yang ternyata memang Rangga, menoleh pada laki-laki gemuk di sampingnya. Sebentar kemudian diperhatikan luka-luka di tubuh salah seorang mayat yang berada dekat kakinya. Luka-luka itu seperti cakaran kuku tajam seekor binatang. Bahkan dada dua orang lainnya koyak tercabik-cabik.

"Coba perhatikan luka-luka itu, Paman Patih," kata Rangga menunjuk empat mayat yang menggeletak.

"Hm...,"Patih Giling Wesi mengerutkan keningnya.

Memang benar kata Rangga. Luka-luka itu seperti akibat serangan binatang. Cukup dalam dan mampu membuat orang tewas seketika. Dari garis-garis luka itu bisa dipastikan akibat kuku tajam binatang buas. Tapi Patih Giling Wesi berani bersumpah kalau di sekitar perbatasan tidak ada seekor binatang buas pun berkeliaran.

Wus!

Tiba-tiba saja bertiup angin kencang di angkasa. Rangga dan Patih Giling Wesi terperanjat, dan segera mendongak. Tampak sebuah bayangan hitam besar berkelebat cepat bagai kilat. Begitu cepatnya, sehingga langsung hilang tanpa dapat dilihat jelas. Namun bagi Pendekar Rajawali Sakti, sudah cukup jelas untuk mengetahui bentuk bayangan hitam itu. Dan dia sangat terkejut, hampir tidak percaya dengan yang dilihatnya barusan.

"Rajawali...,"desis Rangga dalam hati.

"Apa itu?" tanya Patih Giling Wesi.

"Entahlah," sahut Rangga mendesah.

Pendekar Rajawali Sakti itu terus memandang ke arah Utara, tempat bayangan hitam tadi lenyap ke arah sana. Hatinya masih bertanya-tanya diliputi keraguan, bercampur rasa heran dan tidak percaya dengan yang dilihatnya barusan. Apa yang terjadi di Kerajaan Galung ini, membuat Rangga terus bertanya-tanya. Pertama, sikap burung rajawali raksasa yang aneh. Kemudian malapetaka yang menimpa Patih Giling Wesi dan Kerajaan Galung. Dan kini yang baru saja terjadi.

Belum sempat Rangga memperoleh semua jawaban dari berbagai macam pertanyaan yang berkecamuk di benaknya, pendengarannya yang setajam rajawali menangkap suara beberapa orang yang berlari cepat menuju ke arahnya. Begitu pula dengan Patih Giling Wesi. Sesaat mereka saling berpandangan. Tanpa berkata-kata lagi, mereka segera melesat ke atas, dan hinggap di dahan yang cukup tinggi dan berdaun rindang.

Tidak lama kemudian, dari arah Selatan bermunculan sekitar tiga puluh orang. Mereka berlari cepat menuju ke arah Utara. Dari cara berlari, sudah dapat diketahui kalau mereka rata-rata memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi. Begitu cepatnya mereka berlari, sehingga perbatasan itu hanya terlewati dalam sekejap saja.

Rangga dan Patih Giling Wesi menunggu sampai orang-orang itu tidak terlihat lagi. Tak lama, mereka melompat turun dengan gerakan yang sangat ringan, tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Patih Giling Wesi memandang lurus ke arah Utara. Raut wajahnya seketika berubah memerah.

"Kau mengenali mereka, Paman?" tanya Rangga langsung menebak.

"Ya," sahut Patih Giling Wesi.

"Merekalah yang meruntuhkan Kerajaan Galung. Aku tidak tahu, apa yang mereka buru di sana."

Rangga tidak bertanya lagi. Dia memandang ke arah Utara juga, tapi tertuju ke angkasa. Tidak ada lagi bayangan hitam di sana. Hanya awan pekat yang berarak menutup cahaya bulan. Pikirannya masih terpusat pada burung rajawali raksasa yang baru saja melintas bagai kilat di angkasa. Kemudian pandangan matanya beralih pada empat sosok mayat yang masih tergeletak di pinggir jalan.

"Tidak mungkin rajawali melakukan pembunuhan tanpa ada sebabnya. Tapi..., luka itu bekas cakaran burung raksasa.... Ah!" Rangga berbicara sendiri di dalam hati.

Memang sukar untuk dipercaya. Tapi kenyataan yang dihadapi, membuat Rangga tidak habis berpikir. Sejak kecil dia bersama Rajawali Sakti sahabatnya, yang juga menjadi guru dan orang tua angkatnya. Dia kenal betul watak Rajawali Sakti. Tidak mungkin membunuh orang tanpa ada sebabnya.

Tapi melihat sikap Rajawali Sakti sahabatnya yang aneh beberapa hari lalu, membuat Rangga jadi berpikir keras. Tidak biasanya Rajawali Sakti meninggalkannya begitu saja dengan perasaan gelisah. Sepertinya ada sesuatu yang.... Rangga tidak bisa melanjutkan. Dia tidak tahu lagi, dan tidak bisa menduga-duga.

*******************

TIGA

Rangga meninggalkan Patih Giling Wesi di sebuah rumah penginapan. Yang tentu saja diterima dengan rasa hormat dan bangga, sehingga patih itu diberi kamar khusus oleh pemilik rumah penginapan. Bahkan dia berharap agar Istana Galung kembali bersih dari manusia-manusia kotor yang membuat seluruh rakyat seperti berada di atas api neraka. Dari pemilik rumah penginapan itu pula Rangga mengetahui keadaan Kerajaan Galung.

Dengan mengerahkan ilmu lari cepat, Rangga menuju sebuah hutan lebat di sebelah Utara Kerajaan Galung. Dia baru berhenti setelah tiba di sebuah padang rumput yang cukup luas. Sebentar diamati keadaan sekitarnya, kemudian berdiri tegak memandang ke angkasa.

"Suiiit...!"

Pendekar Rajawali Sakti itu bersiul panjang melengking, bernada aneh. Dua kali dia bersiul nyaring. Kemudian menunggu dengan pandangan lurus ke angkasa. Setelah cukup lama juga berdiri menunggu, kemudian terlihat sebuah titik putih keperakan di angkasa. Titik kecil itu kini semakin jelas terlihat bentuknya.

"Khraghk...!"

"Rajawali! Ke sini!" seru Rangga seraya melambaikan tangannya.

"Khraghk!"

Burung rajawali raksasa meluruk turun dengan cepat, dan mendarat ringan di depan Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda berbaju rompi putih itu menghampiri, dan mengelus-elus leher burung raksasa itu. Rajawali Sakti menggerung-gerung seraya menggeIeng-gelengkan kepalanya.

"Aku ingin bertanya padamu. Aku harap kau bersedia mengatakannya terus terang," kata Rangga hati-hati, tidak ingin menyinggung perasaan Rajawali Sakti.

"Khrrrk..."

"Kau tidak ke Kerajaan Galung semalam, Rajawali?" tanya Rangga.

Sebentar burung raksasa itu memandang pada Rangga, kemudian kepalanya menggeleng-geleng disertai suara mengkirik lirih.

"Terus terang, aku melihat rajawali melintas di atas kepalaku. Dan ada empat orang tewas akibat..."

"Graghk...!"

Rangga terdiam sebelum ucapannya selesai. Keningnya berkerut dalam melihat rajawali menggerung hebat, serta sayapnya dikepakkan kuat-kuat, Kepalanya menggeleng­-geleng, dan sinar matanya memerah tajam. Sebelah kakinya terhentak-hentak keras, membuat bumi yang dipijaknya bergetar bagai terjadi gempa.

"Maafkan aku, Rajawali. Bukan maksudku membuatmu marah. Aku hanya ingin mengatakan yang sebenarnya," ucap Rangga buru-buru, berusaha meredakan kemarahan Rajawali Sakti.

Rajawali Sakti menggerung lirih. Kepalanya tertunduk dalam menekur tanah. Dia merunduk mendekam diam, memperdengarkan suara lirih. Rangga memeluk leher burung raksasa itu. Tangannya mengelus-elus lembut.

"Aku juga tidak percaya kalau kau yang melakukan itu, Rajawali," ucap Rangga pelan.

"Krrrhhh...."

"Aku tidak tahu, apa yang membuatmu jadi gelisah dan marah! Mana pernah aku menyangka buruk terhadapmu. Bahkan sudah kucoba untuk menyangkal penglihatanku semalam. Tapi aku benar-benar melihat jelas, meskipun berulang kali kubantah. Aku percaya kalau kau tidak pergi ke mana-mana semalam," Rangga mengungkapkan isi hatinya.

Rajawali Sakti menarik kepalanya lepas dari pelukan Rangga. Ditatapnya lurus bola mata pemuda itu. Mata yang semula merah menyala, kini terlihat redup dan sayu. Rangga jadi tergerak hatinya melihat pandangan mata yang begitu sendu. Dapat dirasakan adanya kepedihan di had Rajawali Sakti. Tapi dia tidak tahu, apa sebenarnya yang membuat Rajawali Sakti bersikap aneh seperti ini. Cepat tersinggung, dan mudah sedih.

Burung rajawali raksasa itu mematuk-matuk tanah di depannya, kemudian menyorongkan kepalanya ke depan. Rangga lebih mendekat, dan naik ke punggungnya. Dia tahu kalau rajawali memintanya naik.

"Khraghk...!"

Dua kali kepakan sayap saja, Rajawali Sakti itu telah melambung tinggi ke angkasa. Dua kali berputar, kemudian melesat terbang menuju ke arah Utara.

"Mau ke mana?" tanya Rangga keras, berusaha mengalahkan deru angin.

"Khraghk!"

Rangga menjulurkan kepalanya, dan memandang ke bawah. Tampak hutan lebat bagai tidak bertepi, terhampar hijau di bawah sana. Sama sekali tak terlihat apa-apa, selain kehijauan hutan dan dataran yang menggunung. Rajawali Sakti membelokkan terbangnya ke arah Barat, dan terus melesat cepat sambil berkaokan keras. Entah sudah berapa gunung, lembah, dataran, serta padang rumput yang terlewati, tapi Rajawali Sakti tetap terbang cepat. Rangga tidak lagi memandang ke bawah. Dia tidak mengerti, akan dibawa ke mana! Meskipun ingin bertanya, tapi hanya disimpan saja dalam hati.

*******************

Hampir satu harian Rajawali Sakti terbang bersama Rangga yang berada di punggungnya. Hingga pada satu daerah yang berlembah sangat dalam, rajawali menukik turun. Rangga mengerutkan keningnya. Kini terlihat jelas kalau lembah itu adalah Lembah Bangkai, tempat dia menempa diri di bawah bimbingan Rajawali Sakti.

Rajawali terus menukik turun masuk ke dalam lembah, lalu hinggap di depan mulut goa yang sangat besar. Tidak jauh dari goa itu terdapat sebuah makam yang sangat indah dan terawat rapi. Tidak ada rumput liar di sekitar makam itu. Rangga melompat turun dari punggung rajawali. Sebentar dipandangi tempat yang penuh kenangan baginya ini.

"Rajawali, kenapa kau bawa aku ke sini?" tanya Rangga.

"Krrrkh...!" Rajawali Sakti mengkirik lirih.

Rangga memperhatikan gerak kepala burung itu yang mematuk-matuk tanah, kemudian menjulurkan kepala ke mulut goa. Rajawali berjalan gontai memasuki goa itu. Rangga mengikutinya dengan kening masih berkerut. Goa ini tidak begitu dalam, tapi terdapat empat ruangan khusus. Rajawali mendekam di atas ranting kering dan rerumputan yang tertata rapi. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri, kemudian menjulur ke salah satu ruangan goa di samping kanannya.

"Ruang baca...," gumam Rangga mengenali ruangan itu.

"Buku apa yang harus kubaca?"

Rajawali mematuki tubuhnya sendiri pada bagian dada. Sebentar Rangga memperhatikan, kemudian melangkah masuk ke dalam ruangan baca itu. Ruangan yang tidak begitu besar, namun tersimpan bermacam-macam buku kumal dan telah berusia ratusan tahun. Hampir semua buku di dalam ruangan ini sudah dibacanya. Bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu tidak berkedip memandangi buku-buku yang terjajar di dalam rak dari kayu jati. Tangannya menjulur mengambil sebuah buku bersampul merah muda bergambar dua ekor burung rajawali. Sebentar dipandangi sampul buku itu, lalu dibersihkannya debu yang rnelekat. Sebentar kemudian dia melangkah ke luar.

"Buku ini yang kau maksud?" Rangga menunjukkan buku di tangannya pada rajawali.

"Khrrrk."

Kepala burung rajawali raksasa itu terangguk-angguk beberapa kali. Rangga tersenyum dan menganggukkan kepalanya sedikit. Segera dihampiri sebuah batu yang datar dengan permukaan licin berkilat Batu pualam putih itu terasa dingin saat Rangga duduk bersila di atasnya.

Pendekar Rajawali Sakti itu mulai membuka buku yang diambil dari ruangan baca. Buku itu ternyata hanya berisi gambar-gambar burung rajawali dengan berbagai tingkah­ polahnya. Ada dua burung rajawali. Yang satu berwarna putih keperakan, sedangkan satu lagi berwarna hitam pekat. Tidak ada satu pun tulisan di dalam buku ini. Sampai pada lembar terakhir, hanya ada satu kalimat yang tertera.

"SEPENGGAL DARI SEPASANG RAJAWALI SAKTI".

"Hmmm..., apa maksudnya?" gumam Rangga bertanya­tanya sendiri dalam hati.

Rangga kembali membolak-balik isi buku itu. Satu persatu gambar diperhatikan dengan teliti. Kemudian kepalanya terangkat, langsung menatap rajawali yang mendekam memperhatikannya pula. Kembali Rangga memandang ke arah buku yang terbuka di tangannya, lalu kembali mengangkat kepalanya lagi. Terlihat kening Pendekar Rajawali Sakti berkerut dalam memandang Rajawali Sakti' di depannya.

"Ini gambarmu?" tanya Rangga menunjuk satu gambar rajawali berwarna putih keperakan.

Rajawali mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Dan siapa yang satunya lagi?" tanya Rangga.

Rajawali menjulurkan sebelah kakinya ke depan. Dengan cakarnya yang besar dan kuat, dikais-kais tanah di depannya. Rangga beranjak turun dari batu pualam yang didudukinya, lalu menghampiri rajawali itu. Kembali keningnya berkerut dengan mata agak menyipit melihat sebuah kitab kumal tertimbun di dalam tanah.

"Kitab apa ini?" tanya Rangga seraya mengambil kitab itu. Dibersihkan kitab tersebut dari tanah yang melekat.

"Khraghk!"

"Rupanya kau ingin menunjukkan sesuatu padaku, Rajawali," kata Rangga lembut.

Pendekar Rajawali Sakti kembali duduk di atas batu pualam pipih berkilat itu. Dia duduk bersila dan mulai membuka lembaran kitab itu. Ternyata kitab tersebut berisi riwayat kehidupan Rajawali Sakti disertai beberapa gambar dua ekor burung dengan tingkah-polahnya. Sesekali Rangga memandangi rajawali yang mendekam dengan kepala tertunduk. Semakin dalam membaca kitab itu, semakin jelas dan dimengerti diri Rajawali Sakti.

Rangga menutup kitab itu setelah selesai membacanya. Agak lama juga dipandangi Rajawali Sakti yang masih mendekam dengan kepala tepekur dalam. Sepasang bola matanya redup, tanpa terlihat cahaya kegairahan. Ada perasaan iba terselip dalam hati Rangga, melihat sikap rajawali yang kelihatan begitu sedih dan murung. Dia ingin menghibur, tapi tidak tahu bagaimana caranya.

"Rajawali...,"pelan suara Rangga memanggil.

"Krrrhk...," Rajawali Sakti mengkirik lirih. Kepalanya terangkat sedikit menatap pada pemuda di depannya.

"Maafkan aku, Rajawali. Seharusnya aku tidak menyinggung-nyinggung masa lalumu," ucap Rangga pelan.

"Khrrrhk...," kepala burung rajawali menggeleng pelahan.

"Sejak kapan kau berpisah dengan pasanganmu?" tanya Rangga.

Rajawali menunjuk buku yang dipegang Rangga dengan menjulurkan kepalanya. Rangga membuka kembali buku itu.

"Hm..., hampir seratus tahun...?!" Rangga bergumam terkejut. la kembali membaca tulisan di buku itu. "Hal ini terpaksa kulakukan demi kelangsungan hidup Rajawali Putih. Mereka akan kembali ke nirwana jika sampai melangsungkan perkawinan. Rajawali Hitam memang diciptakan untuk menggoda dan mempengaruhi Rajawali Putih. Sifat mereka berdua berbeda dan saling bertolak belakang. Sayang, aku tidak mampu melenyapkan Rajawali Hitam. Dan mereka memang tidak dapat mati, karena mereka adalah titisan Dewa untuk melindungi manusia dari kehancuran dan keangkara murkaan. Tapi tugas utama itu telah disalahgunakan Rajawali Hitam. Maaf, terpaksa kupisahkan kalian berdua. Ini kulakukan agar kau tetap berada di jalan yang lurus, Rajawali Putih...."

Rangga berhenti membaca, lalu menatap Rajawali Putih di depannya. Kini dia baru tahu panggilan untuk burung raksasa itu. Dan dia juga baru tahu kalau di dunia ini ada rajawali lain yang sifatnya bertolak belakang dengan Rajawali Putih. Buku ini memang sengaja ditulis Pendekar Rajawali yang hidup ratusan tahun lalu. Seorang pendekar tanpa tanding, yang kemudian menyepi karena tidak ada lagi yang mampu melawannya (Baca serial perdana Pendekar Rajawali Sakti, dalam episode Iblis Lembah Tengkorak).

"Aku bisa memahami perasaanmu, tapi kau juga tidak boleh mengabaikan kewajiban utamamu. Makhluk sejati tidak pernah mementingkan diri sendiri, Rajawali Putih. Ikhlaskan dia pergi dengan membawa nafsu dan kesenangan pribadinya. Bahkan aku mengharapkan kau, atau siapa saja yang dapat mengendalikannya, untuk merubah segala sifatnya yang buruk. Aku yakin, suatu saat dia akan mendapatkan pengasuh yang mampu menunjukkan jalan kebenaran..." Rangga melanjutkan membaca.

"Khraghk!" tiba-tiba Rajawali Putih mengangkat kepalanya. Suaranya begitu keras, seakan-akan hendak menghancurkan seluruh dinding goa ini.

Rangga juga terlonjak, dan cepat melompat ke luar. Ditinggalkan kitab di tangannya itu diatas batu pualam putih. Begitu cepat ia melompat, tahu-tahu sudah berada di luar goa. Pada saat kakinya menjejak tanah, di atas kepalanya melintas satu bayangan besar berwarna hitam.

Rajawali Putih juga melesat keluar goa. Dia berkaokan keras dengan kepala menjulur tinggi ke atas. Rangga mendongakkan kepalanya. Bayangan hitam besar itu berputar tiga kali di udara, lalu melesat cepat ke arah Selatan.

"Rajawali Hitam...," desis Rangga. "Hup!"

Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Dan seketika itu juga, Rajawali Putih melesat ke angkasa dengan kecepatan penuh. Bagaikan kilat saja, tahu-tahu sudah mengawang tinggi, dan terus menuju ke arah Selatan. Rangga terpaksa berpegangan erat pada leher burung rajawali raksasa itu. Angin yang bertiup begitu keras, menderu memekakkan telinga.

"Dia turun ke gunung itu...!" seru Rangga memberitahu.

"Khraghk!"

Rajawali Putih meluruk turun ke arah Puncak Gunung Kilasan yang tertutup kabut tebal. Rangga segera melompat turun begitu kaki Rajawali Putih menyentuh tanah. Ringan dan tanpa suara sedikit pun, sepasang kaki Pendekar Rajawali Sakti menjejak tanah berumput tebal. Sejenak dia memandang berkeliling, namun yang tampak hanya kabut tebal menghalangi pandangannya.

Rangga segera mengerahkan aji 'Tatar Netra', sehingga dapat melihat jauh dan terang, meskipun sekelilingnya tertutup kabut tebal. Hanya saja dia tetap tidak dapat menemukan yang dicarinya.

"Hhh! Kemana dia? Jelas sekali kalau tadi turun ke sini," gumam Rangga pelan.

"Kherkh...!"

"Kau melihat sesuatu. Rajawali Putih?" tanya Rangga.

Rajawali Putih mengkirik lagi, lalu kepalanya bergoyang ke kiri dan ke kanan beberapa kali. Rangga menarik napas panjang. Rajawali Putih juga tidak melihat apa-apa. Udara pun bertambah dingin menggigilkan tubuh.

"Mungkin bukan di sini tempatnya," duga Rangga.

Rajawali Putih menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kau yakin ini tempat Rajawali Hitam?"

Kepala Rajawali Putih mengangguk.

"Aku percaya antara kau dengan Rajawali Hitam ada hubungan batin yang kuat. Kalau begitu, sebaiknya kita cari di sekitar tempat ini," usul Rangga.

Rajawali Putih menjulurkan kepalanya ke depan, hingga hampir menyentuh tanah. Rangga mengerti maksudnya. Segera dia melompat naik ke punggung Rajawali Putih itu. Sesaat kemudian, Rajawali Putih sudah membumbung tinggi ke angkasa, dan berputar-putar di atas Puncak Gunung Kilasan ini. Tapi sejauh mata memandang, hanya warna hijau tertutup kabut tebal saja yang tampak.

"Lebih ke bawah lagi! Ke lereng!" seru Rangga keras.

"Khraghk!"

Rajawali menukik sampai ke Lereng Gunung Kilasan ini. Dia berkeliling sampai tiga kali, tapi tidak juga menemukan yang dicarinya. Bahkan sampai terus ke kaki gunung, belum juga didapat. apa yang dicarinya. Rangga meminta rajawali agar mendarat. Sementara matahari sudah tergelincir ke Barat. Suasana remang-remang, berangsur gelap. Udara di-sekitar Gunung Kilasan ini semakin dingin.

"Kau masih merasakan dia ada di sini, Rajawali Putih?" tanya Rangga setelah turun dari punggung Rajawali Putih itu.

Rajawali Putih hanya diam saja, tidak membuat gerakan sedikit pun. Rangga memperhatikan, sepertinya Rajawali Putih tengah diliputi kebimbangan. Meskipun hanya seekor burung, tapi sikap dan perasaan Rajawali Putih melebihi manusia. Dan Rangga bisa memahami perasaan Rajawali Putih saat ini.

"Bagaimana sekarang? Hari sudah gelap," kata Rangga memberikan pilihan.

Rajawali Putih hanya mengkirik lirih. Kepalanya bergerak menggeleng beberapa kali. Rangga mengerti kalau burung raksasa itu tidak punya pilihan lagi. Dan saat ini juga Rangga tidak tahu, apa yang akan dilakukan Sementara dia pun jadi teringat dengan Patih Giling Wesi yang ditinggalkan di sebuah rumah penginapan.

"Kau di sini saja, Rajawali. Aku akan pergi sebentar," kata Rangga.

"Krrrhk...!"

"Tidak mungkin. Aku akan ke Kotaraja Kerajaan Galung. Kau di sini saja. Besok pagi aku datang, lalu kita akan mencari lagi Rajawali Hitam."

Rajawali Putih mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Aku pergi dulu."

*******************

EMPAT

Rangga terkejut memandangi rumah penginapan yang tampak sepi, serta bagian depan rumah yang terlihat hancur. Meja kursi dan perabotan lainnya berantakan di depan. Perasaan tidak enak menyelinap di hatinya. Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas melangkah masuk ke dalam rumah penginapan itu.

Langkahnya cepat, dan terlihat buru-buru. Ayunan kakinya terhenti seketika begitu memasuki lorong yang di kanan dan kirinya terdapat pintu kamar. Tidak ada satu pintu pun yang tertutup. Dan keadaannya pun berantakan sekali. Di lantai lorong, tergeletak tiga sosok mayat laki­laki. Pelahan-lahan Rangga melangkah menyusuri lorong itu.

Kembali langkahnya terhenti setelah tiba di depan salah satu pintu kamar yang terbuka lebar dan setengah hancur. Keadaan di dalam kamar itu juga berantakan, seperti habis diamuk binatang liar. Tidak ada seorang pun terlihat. Tapi, di lantai dan dinding kamar itu terdapat bercak-bercak darah yang masih basah.

"Paman Patih...," desis Rangga bergetar.

Di kamar inilah Rangga meninggalkan Patih Giling Wesi pagi tadi. Kecemasan melanda hati Pendekar Rajawali Sakti ini. Bergegas dia berbalik dan melangkah cepat meninggalkan lorong kamar penginapan ini. Namun begitu kakinya menginjak ujung lorong yang langsung berhubungan dengan bagian depan, mendadak sebatang tombak panjang meluruk deras ke arahnya.

"Uts, hap!"

Cepat sekali Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan, seraya tangannya bergerak cepat menangkap tombak itu. Namun belum juga bisa menarik kembali tubuhnya, Sviseorang melompat cepat sambil mengayunkan sebilah golok besar dan panjang. Dengan cepat Rangga mengayunkan tombak yang ditangkapnya tadi, untuk memapak kibasan golok itu.

Trak!

Tombak itu terpenggal menjadi dua bagian, tapi Rangga segera melompat ke samping menjauhi orang yang menyerangnya secara tiba-tiba itu. Pada saat kaki Pendekar Rajawali Sakti baru menyentuh lantai, orang itu sudah berbalik dan langsung melompat menyerang. Goloknya yang besar berkelebat cepat ke arah dada.

Dalam posisi seperti ini, tidak ada kesempatan buat Rangga berkelit. Jalan satu-satunya adalah mengangkat tangannya ke depan dada, lalu mengepit golok itu dengan kedua telapak tangan yang menyatu rapat. Dan secepat itu pula, kaki kanannya melayang ke depan mendupak tepat di perut orang itu.

"Ugh!" orang itu mengeluh pendek, dan terdorong beberapa langkah ke belakang.

Kalau saja tadi Rangga mengerahkan tenaga dalam, mungkin perut orang itu bakal jebol. Tapi dupakan itu memang cukup keras, sehingga membuat orang itu meringis kesakitan. Rangga membuang golok yang berhasil dirampasnya.

"Paman Walaka...!" seru Rangga begitu mengenali orang yang menyerangnya. "Kenapa kau menyerangku...?"

"Ugh! Oh...!" laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun itu juga tampak terkejut.

Dia memang Paman Walaka, pemilik rumah penginapan ini. Rangga bergegas menghampiri, dan mengambil kursi yang terguling. Kemudian dituntunnya Paman Walaka, dan didudukkannya di kursi kayu itu. Sebentar Rangga memeriksa perut laki-laki itu, kemudian mengambil kursi lagi dan duduk di depannya.

"Apa yang terjadi di sini?" tanya Rangga setelah Paman Walaka terlihat tenang.

"Mereka..., mereka menghancurkan tempatku, membunuh tamu-tamuku, Tuan," sahut Paman Walaka tersedu.

"Siapa mereka?"

"Mereka orang jahat yang menguasai Istana Galung."

"Hm..., Paman. Di mana Paman Patih Giling Wesi?" tanya Rangga.

"Aku tidak tahu. Semula Gusti Patih Giling Wesi sempat bertarung dengan mereka. Selanjutnya, aku tidak tahu lagi. Aku berusaha menyelamatkan diri, karena tidak mungkin melawan mereka yang punya kemampuan tinggi "

"Paman melihat mereka menangkap Paman Patih?" desak Rangga.

"Tidak."

Rangga bangkit dari duduknya dan melangkah ke depan.

"Tuan..."

Rangga menghentikan langkahnya, lalu berbalik.

"Tolong bebaskan kami. Bebaskan Kerajaan Galung dari tangan mereka. Rakyat begitu menderita akibat kekejaman mereka, Tuan," ratap Paman Walaka memelas.

"Berapa banyak jumlah mereka?" tanya Rangga.

"Tidak tahu pasti. Tapi mereka begitu banyak, dan rata-rata memiliki tingkat kepandaian tinggi. Bahkan para panglima tidak sanggup menghadapinya. Dan lagi, Gusti Prabu pun tidak mampu menandingi pemimpin mereka. Tolong, Tuan! Tuan seorang pendekar, kami semua pasti tidak akan tinggal diam, dan akan membantu semampu kami. Semua rakyat Galung sudah tidak tahan lagi hidup dalam penindasan dan kekejaman mereka," rengek Paman Walaka.

Rangga sangat trenyuh mendengar permintaan orang tua ini. Dia hanya bisa tersenyum getir dan mengangguk, kemudian berbalik melangkah ke luar. Paman Walaka mendesah panjang. Dia sangat berharap agar pendekar muda itu mengusir orang-orang berhati iblis dari bumi Kerajaan Galung ini. Bahkan seluruh rakyat akan rela berkorban menyabung nyawa.

*******************

Rangga berjalan pelahan-lahan melintasi jalan utama yang cukup besar di Kerajaan Galung ini. Sepanjang jalan yang dilalui, tidak terlihat seorang pun berada di luar rumah. Semua rumah yang berada di kerajaan ini tertutup rapat pintu dan jendelanya. Sungguh suatu pemandangan yang tidak menyenangkan hati.

"Berhenti...!"

Ayunan kaki Pendekar Rajawali Sakti terhenti ketika terdengar suara keras dari arah belakang. Belum sempat menoleh, dari setiap balik dinding rumah penduduk, berlompatan orang bersenjata terhunus. Mereka serentak mengepung dengan sorot mata permusuhan.

"Hm..., lima belas orang," gumam Rangga menghitung dalam hati.

"Kisanak, siapa kau? Dan apa tujuanmu datang ke sini?" bentak salah seorang yang berdiri tepat di depan Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti itu tidak segera menjawab. Diperhatikannya orang setengah baya berbaju ketat berwarna merah, yang menghunus tombak panjang bermata tiga itu. Wajahnya kasar, mencerminkan kebengisan. Sinar matanya merah menyala, menyorotkan nafsu membunuh.

"Aku seorang pengembara, dan hanya sekedar lewat sini saja," sahut Rangga kalem.

"Kisanak! Daerah ini terlarang bagi siapa pun. Dan mereka yang berani melanggar, harus menyerahkan semua harta bendanya!" kata orang itu dingin.

"Aku tidak punya harta. Apa yang kalian inginkan dariku?" masih terdengar tenang suara Rangga, namun dari nadanya dapat dirasakan ketidak sukaan.

"Hm..., kau membawa pedang cukup bagus. Apa kau bisa menggunakannya?"

"Tentu saja. Aku menggunakan pedang ini untuk menghancurkan iblis berkedok manusia!"

Merah padam wajah orang itu mendengar kata-kata yang terdengar tenang, namun sangat menyakitkan telinga. Bahkan empat belas orang lainnya menggereng marah. Kata-kata Rangga sungguh menyinggung perasaan. Tentu saja itu berarti sebuah tantangan.

"Kadal! Rupanya kau cari mampus di sini, heh!" bentak orang itu sengit.

"Untuk apa aku mencari mati? Hanya Dewata yang tahu kematianku," sahut Rangga mulai sinis.

"Wadyabala! Cincang keparat busuk ini!"

"Hiya...!"
"Yeaaah...!"

Tanpa diperintah dua kali, mereka yang memang sudah tidak sabar lagi, langsung berlompatan menyerang. Rangga melompat ke atas sebelum orang-orang itu sempat menyentuh tubuhnya. Dengan indah sekali dia mendarat di atas atap sebuah rumah. Namun tiga orang dari mereka cepat melesat mengejar.

"Yaaah...!"

Sambil berteriak nyaring, Rangga menghentakkan tangannya ke depan. Satu aliran tenaga dalam yang sangat dahsyat, terlontar dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Akibatnya, tiga orang itu terlempar jatuh deras ke bawah sebelum mencapai atap. Begitu derasnya, sehingga terdengar bunyi tulang-tulang yang patah. Ketiga orang itu menggeliat dan merintih kesakitan.

Rangga melompat turun ke bawah, dan segera menyerang orang-orang itu. Pukulan dan tendangannya demikian keras, serta mengandung tenaga dalam sangat sempurna. Siapa saja yang terkena tendangan dan pukulannya, terlontar jauh dengan tulang remuk. Namun mereka bukanlah orang sembarangan yang hanya umbar bacot saja. Tingkat kepandaian mereka juga cukup tinggi, sehingga mampu menandingi Pendekar Rajawali Sakti dalam beberapa jurus.

Satu persatu mereka dibuat jatuh bangun. Namun serangan yang datang tidak berhenti. Bahkan semakin bertambah dahsyat saja. Beberapa kali Rangga harus berlompatan menghindari senjata lawannya. Jerit kematian dan teriakan-teriakan pertarungan berbaur menjadi satu.

Terlihat, sudah lima orang tergeletak tak bernyawa lagi.

"Khraghk...!"

Tiba-tiba terdengar suara keras menggelegar dari angkasa. Belum sempat ada yang menyadari, sebuah bayangan hitam meluruk deras langsung menghajar orang-orang yang mengepung Pendekar Rajawali Sakti. Sesaat Rangga terperangah, namun dengan cepat melompat mundur.

"Khraghk!"

"Rajawali Hitam...," desis Rangga begitu melihat jelas benda besar hitam yang kini tengah mengamuk membantai orang-orang itu.

Jerit melengking terdengar saling sambut, disusul tubuh-tubuh yang bergelimpangan bersimbah darah. Rajawali Hitam mengamuk, mencakar, mengoyak, dan mematuk orang-orang itu. Sementara Rangga semakin terkesiap melihat di punggung burung raksasa berwarna hitam pekat itu, duduk seseorang yang juga memakai baju warna hitam pekat dan sangat ketat. Orang itu menghunus sebuah pedang hitam panjang yang selalu mengepulkan asap merah tipis.

Pedang itu berkelebatan cepat membabat setiap orang yang dekat dalam jangkauannya. Sukar dipercaya! Dalam waktu sebentar saja, tidak ada lagi yang hidup. Dan burung raksasa berwarna hitam itu pun langsung melesat ke angkasa.

"Hey! Tunggu...!" seru Rangga keras.

"Khraghk...!"

Burung raksasa itu berputar rendah di atas kepala Rangga, kemudian membumbung tinggi ke angkasa. Dengan gerakan cepat bagai kilat, Rangga melompat ke udara. Dengan mempergunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', dikejarnya burung raksasa itu.

"Hup!"

Pendekar Rajawali Sakti berhasil menangkap sebelah kaki burung raksasa itu, dan memeluknya erat-erat. Burung raksasa itu menghentakkan kakinya berusaha melepaskan rangkulan Rangga yang sangat kuat. Merasa sukar untuk melepaskan rangkulan itu, Rajawali Hitam itu menukik deras, lalu menyambar sebatang pohon besar dengan kakinya.

"Akh...!" Rangga memekik keras begitu tubuhnya membentur batang pohon itu.

Namun dia tetap bertahan, berpegangan erat pada kaki sebesar batang pohon kelapa itu. Burung raksasa itu kembali membumbung tinggi ke angkasa, dan kembali menukik deras ke bawah. Sebongkah batu cadas yang besar dihajar dengan kakinya. Batu itu hancur berkeping­-keping. Namun Rangga tetap bertahan tidak melepaskan rangkulannya.

"Khraghk...!"

"Cukup, Rajawali Hitam. Bawa dia turun!" terdengar suara kecil namun tegas nadanya.

"Khraghk!"

Burung Rajawali Hitam meluruk turun. Dan mendarat lunak di hamparan padang rumput yang luas. Rangga langsung melompat menjauh, lalu berdiri tegak memandang burung rajawali raksasa berwarna hitam pekat itu. Dan kini pandangannya tertumpu pada orang yang berada di punggung rajawali hitam itu, yang kemudian melompat turun. Gerakannya begitu indah dan ringan, pertanda memiliki kepandaian yang tinggi.

Bola mata Rangga agak menyipit, berusaha melihat jelas wajah yang terselubung cadar biru pekat yang tipis. Dari bayang-bayang cadar itu, dapat dipastikan kalau orang itu adalah wanita. Bentuk tubuhnya pun ramping dengan tonjolan indah pada dadanya. Orang itu berdiri tegak di depan burung Rajawali Hitamnya.

"Aku tahu siapa dirimu. Aku minta, jangan campuri urusan Kerajaan Galung. Itu urusanku sendiri!" tegas kata­-kata orang itu.

"Siapa kau?" tanya Rangga.

"Kau tidak perlu tahu siapa aku."

Orang itu segera melesat naik ke punggung Rajawali Hitam.

"Tunggu dulu!" seru Rangga cepat.

"Aku percaya kau mampu dan memiliki kepandaian yang sangat tinggi, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi itu bukan urusanmu! Aku masih mampu menghancurkan mereka!"

"Hey...!"

Rangga ingin berkata lagi, tapi burung hitam raksasa itu sudah keburu melesat tinggi. Rangga hanya bisa memandangi dengan benak diliputi berbagai macam pertanyaan yang sulit terjawab saat ini.

"Siapa dia? Dalam buku milik Pendekar Rajawali yang hidup seratus tahun lalu, dituliskan kalau Rajawali Hitam ada yang memiliki. Aneh...? Dia mengatakan urusan Kerajaan Galung adalah urusannya sendiri. Siapa dia sebenarnya?" Rangga jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti masih berdiri mematung, namun hatinya berbicara sendiri. Kini persoalan yang dihadapinya semakin pelik. Di satu pihak, tidak bisa membiarkan orang-orang berhati iblis menguasai Kerajaan Galung. Di pihak lain, dia pun harus mengetahui orang yang kini menguasai Rajawali Hitam, sekaligus ingin menentramkan hati Rajawali Putihnya.

Memang ada resiko yang sangat besar bila Rangga berhasil mempertemukan kedua burung rajawali raksasa itu. Tapi ini yang tidak diinginkannya. Rajawali Putih bakal kembali ke Nirwana untuk selama-lamanya. Bukan hanya dua persoalan yang kini dihadapi Rangga, tapi juga harus berhadapan dengan dua pilihan yang amat sulit Dan dia harus menentukan pilihan itu.

Namun tidak mudah untuk menentukannya. Persoalannya, kedua pilihan itu tidak diinginkannya sama sekali! Jelas, ini mengandung resiko yang amat besar. Bukan hanya bagi dirinya, tapi juga bagi Rajawali Putih yang amat disayangi, melebihi pada dirinya sendiri.

"Oh, Dewata Yang Agung... Apa yang harus kulakukan sekarang...?" keluh Rangga.

Rangga berjalan pelahan-lahan menuju Gunung Kilasan. Kepalanya tertunduk dalam, dan sesekali terdengar tarikan napasnya yang panjang dan berat. Saat ini dia tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan. Persoalan yang dihadapi sungguh luar biasa, dan membuatnya bingung untuk mencari pemecahannya. Otaknya serasa buntu, tidak mampu lagi diajak berpikir.

Sementara malam merayap bertambah larut. Udara di sekitarnya semakin dingin. Kabut tebal pun turun menghalangi pandangan mata. Namun Pendekar Rajawali Sakti tetap melangkah. Hanya saja, kini dia tidak tahu lagi arah yang dituju. Sepanjang mata memandang, hanya ketebalan kabut yang pekat. Entah sudah berapa jauh berjalan. Rangga baru menyadari kakinya menyentuh bibir Lembah Ular Berbisa. Satu daerah yang tidak pernah diinjak manusia.

"Kenapa aku sampai di sini...?" Rangga jadi heran sendiri. "Sepertinya tadi aku menuju ke Gunung Kilasan. Tapi kenapa bisa sampai di sini...?"

Arah yang dituju memang jauh berlawanan. Gunung Kilasan berada di sebelah Utara Lembah Ular Berbisa, yang letaknya berada di sebelah Timur Kerajaan Galung. Dan ini berarti dia harus kembali lagi melintasi Hutan Krambang. Tapi dalam cuaca yang berkabut seperti ini, memang sukar mencari arah. Bisa-bisa malah semakin jauh tersesat.

Rangga mendongakkan kepalanya ke atas, bersiap-siap memanggil Rajawali Putih. Tapi niatnya itu diurungkan karena kabut yang demikian tebal. Pendekar Rajawali Sakti itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dikerahkan aji 'Tatar Netra' untuk mengatasi kabut yang tebal. Dengan aji 'Tatar Netra, kabut setebal apa pun tidak menjadi halangan bagi penglihatannya.

"Ada api," gumam Rangga saat memandang ke arah Hutan Krambang.

Bergegas Rangga melangkah ke arah api yang dilihatnya. Jarak yang harus ditempuh cukup jauh. Tapi dengan aji 'Tatar Netra', dia tidak lagi mengalami kesulitan dengan penglihatannya. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti itu mampu mengerahkan ilmu meringankan tubuh untuk mempercepat langkahnya.

Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti sudah mencapai taraf kesempurnaan. Sehingga dalam waktu sebentar saja, sudah sampai di tempat api yang dilihatnya tadi. Tampak seorang laki-laki bertubuh gemuk, duduk dekat api itu. Dan dia menoleh begitu merasa ada orang lain menghampirinya.

"Paman Patih..." desis Rangga begitu orang gemuk itu memalingkan mukanya.

"Rangga...!" Patih Giling Wesi terkejut bercampur gembira melihat kedatangan Rangga.

Rangga menghampiri dan duduk di depan Patih Giling Wesi. Sesaat mereka terdiam dan hanya saling pandang saja. Keadaan Patih Giling Wesi begitu kumuh. Pakaiannya koyak di beberapa bagian. Walaupun udara sekitarnya terasa dingin, tapi terlihat adanya titik keringat pada wajah laki-laki gemuk itu.

"Kau tidak apa-apa, Paman?" tanya Rangga seraya merayapi wajah dan tubuh Patih Giling Wesi. Dia teringat keadaan kamar sewaan laki-laki gemuk itu, dan noda darah yang melekat pada lantai serta dinding.

"Hanya letih," sahut Patih Giling Wesi mencoba tersenyum.

"Aku cemas kau mendapat luka," ujar Rangga polos.

"Terima kasih, tapi aku masih mampu mengatasinya," ucap Patih Giling Wesi. "Kau sudah tahu apa yang terjadi?"

"Sudah... Paman Walaka yang menceritakannya," sahut Rangga.

"Mereka sangat tangguh. Aku benar-benar kewalahan menghadapinya. Itu baru kroco, belum lagi biangnya. Hhh...! Aku tidak tahu lagi, apa jadinya Kerajaan Galung kalau mereka terus bercokol di sana," nada bicara Patih Giling Wesi terdengar mengeluh. "Ini semua gara-gara anakku!"

Rangga hanya diam saja karena tidak tahu lagi, harus berkata apa. Semua yang terjadi di Kerajaan Galung sudah didengar. Bukan hanya dari Patih Giling Wesi, tapi juga dari Paman Walaka, pemilik rumah penginapan. Bahkan banyak rakyat Galung yang mengeluh seperti itu. Mereka menyesali perbuatan Intan Kemuning, sehingga Kerajaan Galung menjadi neraka bagi banyak orang.

Memang, tindakan Intan Kemuning terlalu ceroboh. Tapi Rangga tidak dapat menyalahkan begitu saja. Dalam dunia persilatan, tidak ada salahnya menantang tokoh-tokoh lain untuk menguji tingkat kepandaian. Hanya saja yang dilakukan Intan Kemuning berakibat fatal. Bukan saja bagi diri dan keluarganya sendiri, tapi juga bagi seluruh rakyat Kerajaan Galung!

"Dia bukan saja telah mencoreng mukaku, tapi juga telah mengakibatkan ibunya meninggal di tangan iblis-iblis keparat itu!" suara Patih Giling Wesi bernada gusar.

"Paman..."

"Intan Kemuning bukan lagi Intan yang dulu, yang kupuja dan kubanggakan! Dia kini jadi gadis liar, haus akan ilmu kesaktian. Intan... Intan. Apakah tidak kau pikirkan dulu? Mengapa tidak kau rundingkan dulu denganku...?" keluh Paman Patih Giling Wesi.

Rangga benar-benar bungkam. Dia hanya diam memandang dengan perasaan iba pada laki-laki gemuk ini. Lidahnya serasa kelu, sukar untuk diajak bicara. Otaknya pun beku, tidak mampu melahirkan kata-kata untuk menghibur. Bahkan untuk mengambil sikap pun sulit. Apa yang terjadi pada Patih Giling Wesi, memang di luar kemampuannya sebagai seorang pendekar.

"Ah! Maafkan aku, Rangga. Tidak seharusnya aku mengeluh demikian rupa kepadamu," ucap Patih Giling Wesi tersadar.

"Tidak mengapa, Paman," hanya itu yang bisa diucapkan Rangga.

"Aku sekarang tidak peduli lagi padanya. Hanya satu yang harus kulakukan sekarang, yaitu mengembalikan Istana Galung pada Gusti Prabu," ujar Patih Giling Wesi. "Dan mungkin aku juga tidak akan berkecimpung di dalam kepatihan lagi. Sudah kuputuskan untuk menjadi pertapa."

"Paman putus asa?"

"Tidak! Tapi hanya itu yang bisa kulakukan. Tidak ada lagi yang kumiliki sekarang. Semuanya hancur!"

"Paman masih punya Intan Kemuning."

Patih Giling Wesi menatap Rangga dalam-dalam. Kata­-kata Pendekar Rajawali Sakti itu sungguh mengejutkan hatinya. Namun Rangga sendiri jadi blingsatan. Baru disadari, kalau kata-katanya meluncur tanpa dipikirkan lebih dahulu! Dia sendiri heran, kenapa bisa berkata seperti itu? Saat ini pun Rangga tidak tahu nasib Intan Kemuning sesungguhnya. Bahkan selama berada di Kerajaan Galung ini, belum pernah menjumpainya.

"Maaf, Paman. Aku hanya merasa yakin kalau Intan Kemuning masih hidup. Dan mungkin kini tengah menyesali perbuatannya," ucap Rangga buru-buru.

"Kau yakin?"
"Entahlah."

"Rangga. Meskipun kusesali perbuatan Intan Kemuning, tapi aku tetap menyayanginya. Bagaimanapun juga dia anakku! Apa yang dilakukannya adalah tanggung jawabku juga. Terus terang. Dalam hati kecilku, aku masih berharap Intan tetap hidup dan berada di suatu tempat," Patih Giling Wesi mengemukakan perasaan hatinya.

"Aku juga merasa begitu, Paman."

"Rangga. Setelah mereka bisa terusir dari istana, aku bertekad untuk mencari anakku! Setelah itu baru aku akan bertapa mengisi sisa hidupku. Kau bersedia membantuku, Rangga?" pinta Patih Giling Wesi penuh harap.

"Tentu saja, Paman. Pasti akan kucari Intan Kemuning sampai dapat. Paman bisa beristirahat, sementara aku mencari Intan," sahut Rangga.

"Terima kasih, Rangga."

*******************

LIMA

Pagi-pagi sekali, di saat matahari baru menampakkan diri, Rangga sudah beranjak dari tempat tidurnya. Tempat yang tidak layak, namun cukup untuk beristirahat menghilangkan rasa penat. Ranting yang terbakar sudah padam, hanya sisa asap tipis yang mengepul bercampur kabut. Cahaya matahari pagi yang hangat mulai menguak kabut di sekitar Hutan Krambang.

"Paman...!" Rangga tersentak kaget begitu menyadari Patih Giling Wesi sudah tidak berada di tempatnya lagi.

Bergegas Pendekar Rajawali Sakti itu beranjak bangkit. Sebentar dia memandang ke sekeliling, menembus kabut yang mulai memudar. Semalam tidurnya memang nyenyak sekali, sehingga tidak mendengar suara apa pun. Rangga mulai diliputi kecemasan. Semalam Patih Giling Wesi mengatakan akan ke Istana Galung, hendak mengusir orang-orang berhati iblis yang kini menguasai istana itu.

"Celaka, kalau dia datang sendiri ke sana!" gumam Rangga dalam hati.

"Paman...!Paman Patih...!"teriak Rangga memanggil.

Tapi tidak ada sahutan. Suara Rangga yang keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna itu meng­gema menyelusup ke seluruh Hutan Krambang ini. Beberapa kali Rangga memanggil, tapi tetap tidak ada sahutan. Rangga semakin cemas, kemudian bergegas meninggalkan tempat itu.

"Hutan ini cukup jauh dari Kerajaan Galung. Mungkin satu harian penuh baru sampai di sana," gumam Rangga berkata sendiri.

Pendekar Rajawali Sakti itu memandang berkeliling. Tempat dia berada sekarang ini cukup terbuka, meskipun tidak seberapa luas. Paling tidak cukup untuk pendaratan Rajawali Putih. Rangga bersiap-siap mengerahkan siulan saktinya untuk memanggil burung rajawali raksasa itu.

"Suiiit...!"

Satu siulan melengking tinggi bersuara kecil, namun bernada aneh itu terdengar dari mulut Pendekar Rajawali Sakti. Cukup lama juga Rangga menunggu dengan kepala menengadah ke atas. Dan pada siulan yang kedua kali, terlihat satu titik kecil di angkasa. Semakin lama titik kecil itu semakin jelas bentuknya.

"Khraghk...!"

"Rajawali Putih, ke sini...!" seru Rangga keras. Burung rajawali raksasa berwarna putih keperakan itu meluruk turun, dan mendarat tepat di depan Rangga. Kepalanya langsung disodorkan ke depan. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga segera melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Dan tanpa diminta lagi, burung raksasa itu membumbung tinggi ke angkasa!

"Langsung ke Kerajaan Galung, Rajawali," kata Rangga sedikit keras.

Rajawali Putih kembali berseru keras. Dikepakkan sayapnya dengan cepat, sehingga terbangnya bagaikan kilat membelah angkasa. Angin terasa menderu-deru memekakkan telinga. Rangga terpaksa harus berpegangan erat pada leher Rajawali Putih, agar tidak terlempar oleh hempasan angin.

Dalam waktu tidak berapa lama, Rajawali Putih sudah berada di atas Istana Galung. Burung raksasa itu berputar­-putar dengan ketinggian yang sukar dilihat dari bawah oleh mata biasa. Rangga menggunakan aji 'Tatar Netra' untuk melihat ke bawah agar lebih jelas. Keningnya agak berkerut juga menyaksikan suasana di sekitar Istana Galung kelihatan sepi-sepi saja. Bahkan tampaknya tidak ada satu kejadian pun di sana.

Rangga mengamati setiap jengkal tanah sekitar istana megah itu. Tidak terlihat seorang pun yang berpakaian prajurit di sana. Orang-orang yang terlihat berjaga-jaga di pos penjagaan, semuanya mengenakan pakaian biasa seperti layaknya kaum rimba persilatan.

"Rajawali Putih, barangkali Paman Patih Giling Wesi belum sampai ke sini," kata Rangga.

"Kreeekhgh...!"

"Kau menduga dia tidak ke sini? Lalu, ke mana perginya?" Rangga seperti bisa mengerti saja arti suara Rajawali Putih.

"Khraghk!"

Rajawali Putih segera melesat cepat bagaikan kilat menuju ke arah Barat. Rangga tidak ingin menghalangi. Dia yakin kalau tujuan yang ditempuh Rajawali Putih akan membawanya pada Patih Giling Wesi, atau setidaknya sesuatu yang bermanfaat dalam menyelesaikan kemelut ini.

Cepat sekali Rajawali Putih terbang, sehingga dalam waktu tidak berapa lama telah melintasi batas Kerajaan Galung sebelah Barat. Sekarang burung raksasa itu meluruk turun pada suatu dataran luas berumput. Manis sekali dia mendarat di pinggiran dataran rumput itu. Dan Rangga pun segera melompat turun dari punggung Rajawali Putih.

"Rajawali...."

Belum lagi Rangga bisa meneruskan ucapannya, mendadak sebuah bayangan hitam melesat cepat di atas kepalanya. Seketika itu pula, Rajawali Putih melesat naik mengejar. Begitu cepatnya dia terbang tahu-tahu sudah berada di depan bayangan hitam yang ternyata adalah seekor burung rajawali raksasa berwarna hitam.

Rajawali Hitam sangat terkejut melihat ada Rajawali Putih menghadang terbangnya. Dia langsung berhenti, dengan sayap mengepak pelahan-lahan. Sebentar kedua burung raksasa itu saling berhadapan, lalu sama-sama bergerak turun. Di punggung Rajawali Hitam bertengger seorang bertubuh ramping. Bajunya ketat berwarna hitam pekat Di punggungnya menyembul gagang pedang berwarna hitam berbentuk kepala burung.

Rangga yang berada di bawah, tertegun sejenak begitu melihat dua burung raksasa mendarat pelahan-lahan secara bersamaan, tidak jauh darinya. Tapi sebentar kemudian Rangga melangkah menghampiri Rajawali Putih. Orang yang berada di punggung Rajawali Hitam melompat turun dengan manis. Kini dua orang saling berhadapan dengan dua ekor burung raksasa yang juga berhadapan. Sesaat lamanya tidak ada yang membuka suara.

Baik Rangga maupun orang berbaju hitam itu saling memandangi dua burung rajawali raksasa yang saling berhadapan dan melempar pandangan. Sikap kedua burung raksasa itu kelihatan kaku, seolah-olah sudah sekian lama tidak pernah berjumpa lagi dan tahu-tahu kini saling berhadapan. Terlihat jelas kalau kedua burung raksasa itu sama-sama menjaga diri.

Rajawali Hitam mendekam dengan sayap terpentang lebar ke samping. Sementara Rajawali Putih kelihatan diam, dan tampak ragu-ragu. Tapi akhirnya dia bergerak menghampiri Rajawali Hitam. Dan pada saat itu, Rangga teringat akan tulisan dalam kitab yang dibacanya dalam goa Lembah Bangkai. Tulisan yang dituangkan oleh Pendekar Rajawali seratus tahun lalu.

"Hup!"

Rangga bergegas melompat, dan langsung berdiri di tengah-tengah kedua burung rajawali raksasa itu. Rajawali Putih langsung berhenti bergerak mendekati Rajawali Hitam. Sebentar dipandanginya Rangga, kemudian beralih pada Rajawali Hitam yang sudah berdiri kembali dengan kedua kakinya yang kokoh dan besar.

"Rajawali Putih! Apa yang akan kau lakukan?" tanya Rangga.

"Krekh...," Rajawali Putih bersuara pelan.

"Tidak! Kau tidak boleh mengajaknya bersama-sama lagi. Kau harus menjauhinya! Dia bukan pasanganmu karena akan menjerumuskanmu ke dalam kubangan lumpur dosa!" kata Rangga seperti mengerti jawaban Rajawali Putih.

"Graghk...!" Rajawali Hitam berteriak nyaring melengking.

Sepasang bola matanya yang merah menyala, menatap tajam ke wajah Rangga. Sepertinya bisa dimengerti kata­kata Pendekar Rajawali Sakti itu. Sepasang sayapnya terpentang lebar agak tertekuk ke bawah. Sikap yang menunjukkan kemarahan dan ketidaksenangan pada pemuda berbaju rompi putih itu.

"Sadarlah, Rajawali Putih. Dia diciptakan untuk menyeretmu ke dalam lumpur dosa dan nista untuk selama-lamanya! Jangan mudah terpancing. Dia bukan diciptakan untukmu! Sadarlah, Rajawali Putih," ujar Rangga mencoba menyadarkan Rajawali Putih.

Rajawali Putih kelihatan bimbang. Sebentar dia menatap pada Rangga, sebentar kemudian menatap pada Rajawali Hitam di depannya. Rangga yang sudah mengetahui kalau Rajawali Putih adalah titisan Dewa Wisnu, tidak akan membiarkan sahabat sekaligus gurunya terjerumus akibat hadirnya Rajawali Hitam yang sengaja diciptakan oleh Dewa Angkara Murka untuk menggagalkan tugas suci di dunia ini.

"Apa pun yang akan terjadi, aku tetap akan menghalangi bersatunya kalian," tegas Rangga.

"Graghk...!"

Rajawali Hitam meraung keras. Bola matanya semakin merah menyala, pertanda benar-benar memuncak kemarahannya. Dan kemarahannya tidak bisa dibendung lagi. Digerakkan kepalanya dengan cepat hendak mematuk Rangga. Namun dengan gerakan yang gesit, Rangga berhasil mengelakkan serangan Rajawali Hitam. Tentu saja hal ini membuat Rajawali Hitam semakin bertambah murka.

Dengan gerakan yang sangat cepat luar biasa, Rajawali Hitam melompat sambil mengepakkan sayapnya ke arah Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan kali ini pun Rangga berhasil mengelakkannya dengan melompat mundur ke belakang beberapa langkah. Tapi belum juga kakinya bisa menjejak tanah, sebelah sayap Rajawali Hitam telah menyambar tubuhnya dengan cepat.

"Akh!" Rangga memekik tertahan.

Kibasan sayap Rajawali Hitam yang keras dan tidak terduga itu membuat tubuh Rangga terpental cukup jauh, lalu membentur sebatang pohon ara tua yang cukup besar. Pohon itu kontan tumbang, hancur berantakan terbentur tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan cepat, Rangga mampu bangkit kembali.

Melihat anak muda yang menjadi penghalang maksudnya masih mampu bangkit tanpa kurang satu apa pun, Rajawali Hitam semakin bertambah berang. Sambil berteriak keras menggeletar, dia melompat cepat bagai kilat. Cakarnya terkembang, siap mencabik-cabik tubuh pemuda itu.

"Hiya...!"

Rangga melentingkan tubuhnya ke atas, lalu bersalto dua kali di udara. Dilewati tubuh Rajawali Hitam yang meluruk deras dengan cakar terkembang. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti itu menjejak tanah, langsung berbalik sambil melontarkan pukulan jarak jauh yang bertenaga dalam sangat sempurna.

"Yaaa...!"

"Khraghk...!" Rajawali Hitam memekik keras dengan suaranya yang parau.

Hanya sedikit saja tubuhnya terdorong, dan sekejap saja mampu melesat kembali menerjang Rangga. Begitu cepatnya dia melesat, sehinga membuat Rangga terperangah. Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa lagi menghindari terjangan burung hitam raksasa itu. Kembali Rangga terlontar jauh ke belakang, lalu menabrak sebongkah batu besar dan hitam berlumut. Batu itu hancur berkeping-keping terlanda tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

"Khraghk!"

Rajawali Hitam cepat meluruk deras hendak menerjang Rangga yang sedang berusaha bangkit berdiri. Namun ketika paruh yang sudah terbuka lebar itu hendak mencaplok kepala Rangga, Rajawali Putih melesat cepat menyambar tubuh Rangga dengan cakarnya. Langsung tubuh Rangga dibawa terbang tinggi menembus awan.

"Graghk...!" Rajawali Hitam berteriak keras disertai kemarahan memuncak.

"Hitam! Tunggu...!" seru orang berbaju hitam yang sejak tadi hanya diam memperhatikan saja.

Rajawali Hitam yang sudah akan melesat mengejar, langsung mengurungkan niatnya. Kepalanya sedikit tertekuk menoleh pada orang berbaju serba hitam itu. Dia mengkirik pelahan dengan kepala setengah ditundukkan.

"Kita masih punya persoalan yang lebih penting lagi. Urusan ini bisa diselesaikan nanti."

"Khrighk...!"

"Aku tahu, aku juga sudah membaca buku tentang riwayatmu. Tapi yang penting sekarang, kita harus menggempur dulu Istana Galung, dan menghancurkan mereka."

Setelah berkata demikian, orang berbaju serba hitam itu segera melompat naik ke punggung Rajawali Hitam. Sambil berkaokan keras, Rajawali Hitam membumbung naik ke angkasa. Cepat sekali lesatannya, sehingga dalam sekejap saja sudah begitu tinggi me-layang di udara.

"Khraghk...!"

"Langsung ke Istana Galung, Hitam!"

"Khraghk!"

*******************

Saat itu, Rajawali Putih yang membawa Rangga di cakarnya, meluruk turun di balik Gunung Kilasan. Dia mendarat lunak di sebuah dataran rumput yang cukup luas. Rangga bergulingan beberapa kali setelah Rajawali Putih melepaskan cengkeramannya, lalu bergegas bangkit dan membersihkan rumput kering yang melekat di tubuhnya.

"Seharusnya kau jangan membawaku kabur, Rajawali Putih," dengus Rangga tidak senang.

"Krrr...!" Rajawali Putih hanya mengkirik lirih.

"Jangan bodoh, Rajawali Putih. Dia bukan pasanganmu! Dan kau tidak boleh merasa berbelas kasih, apalagi menyukainya. Dia diciptakan hanya untuk menjerumuskanmu. Kau harus menyadari hal itu, Rajawali Putih," kata Rangga berusaha menghilangkan perasaan suka Rajawali Putih pada Rajawali Hitam.

Rajawali Putih hanya diam saja sambil mendekam dengan kepala tertunduk dalam. Sepasang bola matanya memancar sayu tanpa gairah kehidupan. Rangga melangkah menghampiri dan memeluk leher burung raksasa itu.

"Aku menyayangimu, Rajawali Putih. Aku tidak ingin kehilanganmu. Aku mencintaimu. Sungguh! Aku mencintaimu, Rajawali Putih...," pelan suara Rangga.

"Krrrkhg...!" Rajawali Putih mengkirik lirih.

Rangga melepaskan pelukannya pada leher burung raksasa itu. Sesaat lamanya dia menatap langsung ke bola mata yang sayu dan redup itu. Dirasakan betapa sulitnya Rajawali Putih menentukan sikap. Waktu seratus tahun bukanlah waktu yang pendek. Dan selama itu mereka berpisah setelah masing-masing saling menyukai. Memang, perpisahan itu mesti terjadi demi kelangsungan hidup mereka.

Kini Rangga punya kewajiban yang sangat berat. Harus dikuatkan hatinya untuk memisahkan Sepasang Rajawali itu. Memang berat, tapi itu harus dilakukan. Di dunia ini tidak ada rajawali raksasa hidup sepasang. Dan kalau hal itu terjadi, Sepasang Rajawali akan pupus kembali ke asalnya. Bukan hanya itu saja, Rajawali Putih akan tersiksa selamanya dan terbuang dari kalangan Dewa di Nirwana.

Rangga ingin mengatakan sesuatu, tapi tiba-tiba saja bumi serasa bergetar. Kini terdengar suara bergemuruh dari kejauhan. Suara itu semakin lama semakin terdengar jelas. Tampak debu mengepul di udara, di arah Selatan. Sejenak Rangga memandangi debu yang mengepul tebal itu, kemudian bergegas melompat naik ke punggung Rajawali Putih.

"Cepat, Rajawali! Ada orang berkuda menuju ke sini," ujar Rangga.

"Khraghk!"

Rajawali Putih melesat cepat, naik membumbung tinggi ke angkasa. Dan pada saat itu, terlihat serombongan orang berkuda cepat melintasi tempat Rangga dan Rajawali Putih berada tadi.

"Prajurit Kerajaan Galung...," desis Rangga setelah mengenali pakaian seragam prajurit yang dikenakan orang-orang berkuda itu.

Dan Rangga pun mengenali salah seorang yang berkuda paling depan. Dua orang laki-laki. Yang seorang berperawakan gemuk, dan seorang lagi sudah berusia lanjut, namun masih terlihat gagah. Kedua orang itu tidak lain dari Prabu Galung dan Patih Giling Wesi. Hanya Patih Giling Wesi yang dikenalnya. Sedangkan di belakangnya terlihat enam orang berpakaian panglima dan puluhan punggawa serta ratusan prajurit bersenjata lengkap. Mereka semua memacu cepat kudanya menuju arah Kerajaan Galung.

"Ikuti mereka, Rajawali," kata Rangga agak keras.

"Khrrr...!"

Rajawali Putih membumbung tinggi di udara, dan bergerak searah dengan ratusan orang berkuda di bawahnya. Rangga yang berada di punggung rajawali raksasa itu tidak berkedip memandang ke bawah. Dia agak heran juga terhadap Patih Giling Wesi yang kini sudah bergabung bersama rombongan prajurit Kerajaan Galung. Padahal sebelumnya dia mengatakan tidak tahu, di mana para prajurit dan Prabu Galung berada.

"Kita cegat mereka di tepi Hutan Krambang itu, Rajawali Putih," kata Rangga.

"Khraghk!"

Rajawali Putih segera melesat cepat menuju arah yang ditunjuk Rangga. Begitu cepatnya rajawali raksasa itu bergerak, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah menukik turun ke tepi Hutan Krambang. Rangga segera melompat turun sebelum kaki Rajawali Putih menjejak tanah. Dan burung raksasa itu segera melesat kembali membumbung tinggi ke angkasa.

"Hup!"

Rangga melompat ke sebuah pohon yang cukup tinggi. Sedangkan Rajawali Putih berputar-putar sangat tinggi di angkasa. Pandangan mata Rangga tidak berkedip ke arah kepulan debu yang bergerak mendekati arahnya.

"Hiyaaa...!"

Rangga melompat turun ketika rombongan berkuda itu melintas di bawahnya. Patih Giling Wesi dan Prabu Galung terkejut sekali. Bergegas mereka menghentikan lari kudanya, diikuti para punggawa dan prajurit. Rangga berdiri tegak sekitar lima batang tombak di depan rombongan berkuda itu.

"Rangga...," desis Patih Giling Wesi.

"Paman Patih, siapa anak muda itu?" tanya Prabu Galung mendengar desisan Patih Giling Wesi.

"Ampun, Gusti Prabu. Pemuda ini bernama Rangga yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Dialah yang menolong hamba ketika membebaskan Intan Kemuning dari tangan Bidadari Sungai Ular," cerita Patih Giling Wesi tentang Rangga.

"Hm..., jadi pemuda itu yang kau ceritakan padaku kemarin?" pelan suara Prabu Galung.

"Benar, Gusti," sahut Patih Giling Wesi.

Prabu Galung turun dari punggung kudanya. Patih Giling Wesi juga bergegas turun pula. Mereka berjalan menghampiri Rangga yang tetap berdiri tegak menghadang. Dua orang penting dan utama dari Kerajaan Galung itu berhenti tepat di depan Pendekar Rajawali Sakti. Jarak mereka tinggal beberapa langkah lagi.

Untuk beberapa saat lamanya mereka bertiga saling berdiam diri. Rangga menatap agak tajam pada Patih Giling Wesi, sedangkan yang ditatap hanya membalas dengan bibir menyunggingkan senyum. Pendekar Rajawali Sakti melangkah tiga tindak ke depan.

"Kau yang bernama Rangga si Pendekar Rajawali Sakti?" Prabu Galung membuka suara lebih dulu.

"Benar," sahut Rangga tanpa mengalihkan pandangannya dari Patih Giling Wesi. Dia memang tidak mengenali siapa yang bertanya padanya barusan.

"Rangga, ini Prabu Galung," Patih Giling Wesi memberitahu.

Rangga agak tersentak juga mendengarnya. Buru-buru dia membungkuk memberi hormat. Prabu Galung hanya tersenyum dengan tangan mengelus-elus janggutnya yang putih panjang.

"Maaf, hamba tidak mengenali Gusti Prabu," ucap Rangga merendah.

"Tidak mengapa, Anak Muda. Aku tahu tentang dirimu. Kehadiranmu memang sangat kuharapkan. Hanya kau yang dapat kuandalkan untuk menghadapi mereka," kata Prabu Galung bijaksana.

"Hm...," Rangga bergumam tidak jelas. Dari sudut ekor matanya, diliriknya Patih Giling Wesi.

"Ampun, Gusti Prabu. Boleh hamba bicara berdua saja dengan Rangga?" pinta Patih Giling Wesi seraya memberi hormat.

"Silakan, Paman Patih."

"Hamba, Gusti."

Patih Giling Wesi menjura memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk, lalu melangkah menghampiri Rangga. Kedua orang itu berjalan menjauh. Mereka baru berhenti setelah berada di bawah sebatang pohon yang cukup rindang. Sementara para panglima memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk beristirahat Prabu Galung sendiri kemudian beristirahat, duduk di bawah pohon rindang beralaskan permadani tebal berbulu halus.

ENAM

"Aku tahu, apa yang akan kau tanyakan padaku, Rangga," kata Patih Giling Wesi mendahului.

"Kau mempermainkan aku, Paman," agak dingin suara Rangga.

"Sama sekali tidak, Rangga."

"Lantas, mengapa berpura-pura tidak tahu tentang Prabu Galung?"

"Aku memang tidak tahu sama sekali di mana Prabu Galung berada ketika itu," tenang suara Patih Giling Wesi.

"Mustahil!" rungut Rangga seraya mengalihkan pandangannya pada Prabu Galung.

"Kau berhak untuk marah, Rangga. Kau memang patut marah karena aku meninggalkanmu tanpa memberitahu lebih dulu."

Rangga diam saja.

"Pagi-pagi sekali, saat kau belum bangun, aku sudah berjalan-jalan mencari makanan untuk kita. Di saat itu, kulihat seseorang merunduk-runduk di antara semak belukar. Aku memergokinya, dan ternyata dia Panglima Jamali. Dari Panglima Jamali lah aku tahu di mana Prabu Galung berada. Saat itu, Panglima Jamali juga tengah berburu. Maaf, kalau aku tidak sempat memberitahukanmu lebih dahulu. Karena...."

"Kenapa?" desak Rangga.

"Aku terlalu gembira mendengar Prabu Galung masih hidup bersama dua ratus prajurit, panglima, dan punggawa. Serta para pembesar kerajaan lainnya yang sempat melarikan diri begitu Istana Galung jatuh. Aku jadi lupa denganmu, Rangga. Maaf...," ada nada penyesalan pada suara Patih Giling Wesi.

Rangga menatap pada laki-laki gemuk itu, kemudian tersenyum memaklumi. Perasaan kesal yang diawali dengan kecemasan, langsung pupus seketika.

"Kau memaafkan aku, Rangga...?" ucap Patih Giling Wesi berharap.

"Lupakan saja," sahut Rangga seraya tersenyum.

"Terima kasih."

"Paman, kulihat tampaknya sudah siap tempur. Apakah memang...."

"Benar, Rangga," Patih Giling Wesi memutuskan kata­kata Pendekar Rajawali Sakti.

"Kami memang telah bertekad untuk merebut kembali Istana Galung. Hampir seluruh prajurit yang tercecer sudah berkumpul kembali. Memang masih banyak juga yang belum diketahui nasibnya. Tapi aku yakin, pasti mereka akan segera bergabung di Kerajaan Galung."

Rangga terdiam. Dipandangi para prajurit yang sedang beristirahat, kemudian pandangannya beralih ke arah Prabu Galung yang sudah bangkit berdiri. Laki-laki tua yang selalu mengenakan jubah putih itu melangkah menghampiri Patih Giling Wesi dan Pendekar Rajawali Sakti. Patih Giling Wesi dan Rangga segera memberi hormat.

"Apakah sudah selesai pembicaraan kalian, Paman Patih?" tanya Prabu Galung lembut.

"Ampun, Gusti Prabu. Perjalanan ini agak terhambat sedikit," ujar Patih Giling Wesi bersikap penuh hormat.

"Tidak mengapa, Paman Patih. Dan kau, Rangga. Sungguh kuharapkan bantuanmu untuk bergabung bersama kami semua," Prabu Galung beralih menatap pada Rangga.

"Dengan senang hati. Tapi hamba tidak bisa berangkat bersama-sama," sahut Rangga hormat.

"Aku maklum, Rangga. Dan sebelumnya kuucapkan terima kasih atas kesediaanmu."

"Silakan, jika Gusti Prabu hendak meneruskan perjalanan ini."

Patih Giling Wesi melambaikan tangannya. Dua orang prajurit menghampiri sambil menuntun dua ekor kuda. Prabu Galung dan Patih Giling Wesi segera melompat naik ke punggung kudanya masing-masing, diikuti para prajurit, panglima, serta punggawa. Rangga bergerak ke samping memberi jalan.

"Sampai bertemu lagi di Istana Galung, Pendekar Rajawali Sakti!" ucap Prabu Galung memberi salam. Rangga hanya membungkukkan tubuhnya sedikit.

Prabu Galung menghentakkan tali kekang kudanya. Kuda putih dengan kaki hitam itu meringkik nyaring, kemudian berlari cepat. Patih Giling Wesi segera menggebah kudanya, diikuti oleh para prajurit Kerajaan Galung. Debu berkepul kembali di udara, tersepak kaki­kaki kuda yang berjumlah ratusan itu. Sementara Rangga masih tetap berdiri di tempatnya, memandangi ratusan prajurit yang mengiringi rajanya.

"Suiiit..!" Rangga bersiul nyaring bernada aneh. Rajawali Putih yang memang masih menunggu di atas, langsung menukik turun. Pada saat itu, rombongan Prabu Galung sudah tidak terlihat lagi. Rajawali Putih mendarat tepat di depan Rangga. Kepalanya terangguk-angguk, dan sayapnya mengepak beberapa kali.

"Ada apa?" tanya Rangga seraya mendekati.

"Khraghk!" Rajawali Putih menunjuk ke arah Kerajaan Galung dengan kepalanya.

"Jelaskan lagi," pinta Rangga mencoba untuk mengerti.

Rajawali Putih membuat gerakan-gerakan menggunakan kepala dan sayapnya. Rangga memperhatikan dengan kening berkerut dalam.

"Kau melihat Rajawali Hitam di sana?" Rangga ingin memastikan.

"Khraghk!" Rajawali Putih menganggukkan kepalanya.

"Aneh..., mau apa dia di sana...?" Rangga bertanya­ tanya sendiri.

"Khraghk...!"

"Baik. Secepatnya kita ke sana sebelum Prabu Galung sampai."

Pendekar Rajawali Sakti itu segera melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Dan seketika itu, rajawali raksasa itu melesat naik membumbung tinggi ke angkasa. Suaranya begitu keras memekakkan telinga. Lesatannya bagaikan kilat menuju Kerajaan Galung.

"Lebih cepat lagi, Rajawali Putih!" seru Rangga keras.

"Khraghk...!"

*******************

Sementara itu Prabu Galung, Patih Giling Wesi, dan para prajuritnya telah sampai di perbatasan Kerajaan Galung. Dua orang penjaga gerbang perbatasan, tewas tersambar anak panah yang dilepaskan salah seorang prajurit. Ratusan orang berkuda itu, terus memacu cepat kudanya memasuki Kotaraja Kerajaan Galung.

Derap kaki kuda yang dipacu cepat, menimbulkan suara bergemuruh bagai gempa. Bumi Kerajaan Galung bagai bergetar dengan debu mengepul tinggi ke angkasa. Seluruh rakyat Galung yang mengetahui kalau itu adalah Prabu Galung dan para prajuritnya, langsung berhamburan keluar. Laki-laki tua dan muda serentak bergabung membawa senjata seadanya.

Prabu Galung tidak dapat menahan keharuannya melihat semangat rakyatnya yang begitu besar, meskipun hanya membawa senjata seadanya. Mereka tidak peduli, siapa yang akan dihadapinya. Pekik dan sorak-sorai pembangkit semangat bergemuruh bagai hendak mengguncang langit siang ini. Tanpa disadari, setetes air bening menitik dari sudut mata Prabu Galung.

"Gusti...," tegur Patih Giling Wesi pelan.

"Oh...!" Prabu Galung buru-buru menghapus air matanya.

"Ada apa, Paman Patih?"

"Rakyat semakin banyak memasuki barisan," kata Patih Giling Wesi.

"Hhh...! Sudah cukup lama mereka menderita, Paman Patih. Aku tidak bisa mencegah mereka untuk mengangkat senjata demi mempertahankan Kerajaan Galung ini," agak tersendat suara Prabu Galung.

"Tapi itu akan memakan banyak korban sia-sia, Gusti," debat Patih Giling Wesi.

"Lihatlah, Paman Patih! Mereka begitu bersemangat, tanpa mengenal takut! Bisa kurasakan kobaran api semangat mereka untuk keluar dari lembah penderitaan. Biarkan mereka mengangkat senjata, Paman Patih. Biarkan mereka merasakan ikut memiliki Kerajaan Galung ini, yang memang milik mereka. Aku bangga dengan rakyatku," kata Prabu Galung demikian tegas.

"Gusti...."

"Jangan halangi mereka, Paman Patih. Mata kita jangan buta terhadap kenyataan yang ada. Tanpa rakyat, kita bukanlah apa-apa," sergah Prabu Galung cepat.

Patih Giling Wesi diam seketika. Kata-kata Prabu Galung yang bernada tegas itu, memang tidak dapat dibantah lagi. Tanpa rakyat, mereka memanglah bukan apa-apa. Dan sekarang rakyat telah bangkit semangatnya untuk mengusir orang-orang berhati iblis yang kini masih menguasai seluruh Kerajaan Galung. Meskipun Patih Giling Wesi tidak ingin rakyat ikut bertempur, tapi rasanya sulit untuk mencegahnya.

Semakin dalam memasuki kotaraja, semakin banyak saja rakyat yang ikut dalam barisan ini. Tapi mereka patuh terhadap perintah panglima yang mengaturnya untuk berada dalam barisan di belakang para prajurit. Memang hanya itu yang dapat dilakukan untuk mencegah jatuhnya korban sia-sia, meskipun hal itu sangat sulit untuk dihindarkan.

Rombongan yang kini berjumlah ribuan itu, tiba di depan pintu gerbang Istana Kerajaan Galung. Pintu yang terbuat dari kayu jati tebal dan kokoh, masih tertutup rapat. Di atas benteng tembok yang tinggi tebal, terlihat orang-orang dengan panah siap dilesatkan.

"Mundur...!" seru Prabu Galung keras.

Saat itu juga dari atas tembok benteng, meluncur anak panah berjumlah ratusan bagai hujan. Rakyat dan prajurit yang berada di sekitar benteng istana itu serentak berlarian mundur. Tapi beberapa di antaranya tidak sempat lagi menyelamatkan diri. Anak panah yang bertaburan bagai hujan itu, segera minta korban para prajurit dan rakyat yang berbaur menyelamatkan diri.

Tahan...!" teriak Patih Giling Wesi keras, berusaha mengalahkan teriakan panik dan jerit kematian.

Para prajurit yang sudah berada dalam jangkauan panah, segera berhenti berlari. Mereka pun melindungi rakyat yang berada di bagian belakang. Prabu Galung dan Patih Giling Wesi berada di punggung kudanya, bersama beberapa panglima. Mereka memandang ke arah benteng istana, namun hujan panah sudah tidak terlihat lagi.

"Bagaimana, Paman Patih? Kelihatannya mereka sudah siap menyambut kita," kata Prabu Galung meminta pertimbangan.

Tidak mudah mendekatinya, Gusti Prabu," sahut Patih Giling Wesi setengah bergumam.

"Kalau begitu, perintahkan seluruh prajurit untuk mengepung. Kita tunggu saat yang tepat untuk menyerang," perintah Prabu Galung.

Patih Giling Wesi membagi tugas kepada para panglima perang yang kemudian segera dilaksanakan tugas itu untuk mengatur pengepungan. Sebuah tenda besar didirikan untuk tempat beristirahat Prabu Galung. Memang kalau melihat kokohnya benteng istana, dan ditambah orang-orang yang siap dengan panah di atasnya, tidak mudah untuk masuk ke dalam benteng istana itu.

Sementara para panglima perang sibuk mengatur prajurit mengepung benteng istana itu. Patih Giling Wesi sendiri segera menghampiri tenda besar tempat Prabu Galung beristirahat di situ. Namun belum juga kakinya sampai di depan pintu tenda, entah kenapa kepalanya mendongak. Dan pada saat itu terlihat dua bayangan hitam dan putih saling sambar di udara. Patih Giling Wesi tertegun menyaksikan dua bayangan itu.

"Hm..., apa itu...?" gumamnya dalam hati.

Dua bayangan hitam dan putih yang berkelebatan saling sambar di angkasa tinggi itu, memang sukar untuk dikenali bentuknya. Patih Giling Wesi sampai tertegun menyaksikannya, hingga tidak menyadari kalau Prabu Galung sudah keluar dari dalam tenda ikut memandang ke atas juga. Keningnya langsung berkerut dalam begitu melihat kelebatan dua bayangan bagai kilat di angkasa.

"Apa itu, Paman Patih?" tanya Prabu Galung.

"Oh! Gusti...,"Patih Giling Wesi terkejut. "Entahlah...."

"Hm...," Prabu Galung menggumam tidak jelas. Diam­diam dikerahkan satu ajian untuk melihat jarak jauh. Ajian yang dinamakan 'Sepasang Mata Dewa' itu memang ampuh, dapat melihat dalam jarak yang sangat jauh. Bahkan dapat mengenali satu gerakan yang sangat cepat sekalipun. Aji 'Sepasang Mata Dewa' memang hampir mirip dengan aji 'Tatar Netra' ataupun aji 'Mata Dewa Elang' yang dimiliki Rangga. Namun aji 'Sepasang Mata Dewa' hanya bisa untuk melihat jarak jauh dengan jelas dan menajamkan penglihatan saja.

"Sepasang Rajawali...," desis Prabu Galung begitu melihat jelas bayangan yang berkelebatan di angkasa itu.

"Apa, Gusti...?" tanya Patih Giling Wesi.

"Dua burung rajawali raksasa. Yang satu berwarna putih keperakan, dan satunya lagi hitam pekat. Hm...," kelopak mata Prabu Galung agak menyipit.

"Ada apa, Gusti?" tanya Patih Giling Wesi lagi.

"Sukar dipercaya...," Prabu Galung menggeleng­-gelengkan kepalanya.

"Gusti...."

"Apakah Rangga yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti itu mempunyai tunggangan burung rajawali raksasa, Paman Patih?" tanya Prabu Galung.

"Hamba tidak mengerti maksud Gusti Prabu."

"Rangga ada di atas burung rajawali putih," pelan suara Prabu Galung, seperti tidak percaya dengan perkataannya sendiri.

"Rangga...?!" Patih Giling Wesi terperanjat tidak percaya.

"Kau pimpin pasukan di sini!" perintah Prabu Galung tiba-tiba.

"Gusti...!"

Tapi Prabu Galung sudah melesat cepat ke arah Selatan. Pada saat itu, dua bayangan hitam dan putih di angkasa sudah lebih dahulu melesat ke arah yang sama. Tampak kalau bayangan hitam berada di depan. Sementara Patih Giling Wesi hanya terpaku tanpa mampu berbuat sesuatu.

Prabu Galung kini sudah tidak terlihat lagi bayangannya, bertepatan dengan menghilangnya dua bayangan di angkasa ke arah Selatan. Patih Giling Wesi menoleh ke sekitarnya. Dia agak kaget mendapatkan para panglima juga melihat kejadian aneh di angkasa tadi.

"Panglima Jamali," panggil Patih Giling Wesi.

"Hamba, Gusti," seorang laki-laki setengah baya bergegas menghampiri.

"Sementara kau ambil alih pimpinan. Jangan melakukan sesuatu sampai aku kembali."

"Gusti...."
"Ini perintah!"
"Hamba, Gush."

Patih Giling Wesi tidak banyak bicara lagi, lalu segera melompat cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi tingkatannya. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja sudah jauh menuju arah Selatan. Sementara Panglima Jamali dan panglima lainnya hanya bisa saling pandang.

*******************

Sementara itu, apa yang dilihat Prabu Galung memang benar. Dua bayangan yang melayang di angkasa adalah Sepasang Rajawali. Rajawali Putih ditunggangi Rangga, sedangkan Rajawali Hitam ditunggangi seseorang yang selalu mengenakan baju hitam dan cadar hitam pula.

"Dia turun ke padang rumput sana, Rajawali Putih!" seru Rangga keras. Tangannya menunjuk Rajawali Hitam yang menukik ke arah padang rumput di tengah-tengah Hutan Krambang.

"Khraghk...!"

Rajawali Putih segera menukik turun mengejar Rajawali Hitam. Dan kedua burung raksasa itu kini mendarat ringan di tengah-tengah padang rumput yang sangat luas. Mereka saling berhadapan, dan penunggangnya melompat turun ke depan.

"Aku tidak tahu, apakah kau berpihak pada mereka atau tidak. Tapi yang jelas kau telah menghalangi maksudku, dan membiarkan rakyat Galung terbantai!" dingin nada bicara orang berbaju serba hitam itu. Jelas itu suara seorang wanita.

"Nisanak, siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga agak terkejut juga mendengar kata-kata wanita itu.

"Aku Putri Rajawali Hitam!" jawab wanita itu tegas.

"Lalu, apa hubunganmu dengan Kerajaan Galung?" desak Rangga.

"Itu bukan urusanmu, Pendekar Rajawali Sakti."

"Kau berurusan dengan Kerajaan Galung, itu berarti juga berurusan denganku."

Wanita berbaju serba hitam yang bernama Putri Rajawali Hitam itu terdiam beberapa saat. Dari lubang cadar yang menutupi sebagian wajahnya, terlihat sepasang bola mata bening berkilat menatap wajah Pendekar Rajawali Sakti.

"Kenapa kau selalu memburuku, Pendekar Rajawali Sakti?" Putri Rajawali Hitam malah balik bertanya.

"Bukan dirimu, tapi Rajawali Hitam tungganganmu!" sahut Rangga tegas.

"Ha ha ha...!" Putri Rajawali Hitam malah tertawa terbahak-bahak.

"Hey! Kenapa tertawa?!" sentak Rangga sengit.

"Kau bodoh, Pendekar Rajawali Sakti. Sukar dipercaya kalau kau begitu bodoh!"

"Bukan saatnya berolok-olok, Nisanak!" rungut Rangga.

"Aku kenal siapa dirimu, dan tidak lagi terkejut dengan Rajawali Putih tungganganmu itu. Aku tahu banyak tentang dirimu, dan Rajawali Putih, serta hubungannya dengan Rajawali Hitam. Benar-benar mengagumkan.... Pendekar digdaya yang ternama dari sukar dicari tandingannya begitu bodoh, tidak bisa melihat kenyataan," kata Putri Rajawali Hitam seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Nisanak, apa maksudmu berkata seperti itu?" Rangga jadi tambah penasaran.

"Maaf, tidak ada waktu untuk menjelaskan. Aku harus segera kembali ke Istana Galung. Aku tidak ingin melihat darah membasahi bumi Kerajaan Galung dari orang-orang tidak berdosa," kata Putri Rajawali Hitam tegas.

"Hey, tunggu...!"

Tapi Putri Rajawali Hitam sudah lebih dulu melompat naik ke punggung Rajawali Hitam tunggangannya. Dan dengan cepat, burung rajawali raksasa itu melesat naik ke angkasa, langsung menuju ke Istana Kerajaan Galung. Sebentar Rangga diam tertegun. Dia baru melompat naik ke punggung Rajawali Putih setelah kepala burung itu mendorong punggungnya.

Tapi belum juga Rajawali Putih itu membumbung tinggi ke angkasa, dari arah Utara muncul Prabu Galung. Rangga tidak sempat lagi memerintahkan Rajawali Putih untuk terbang. Sedangkan Prabu Galung begitu terpana melihat seekor burung raksasa dengan seorang pemuda berada di punggungnya. Dia sampai berhenti lalu berdiri terpaku dengan mulut menganga lebar.

"Rangga...," desis Prabu Galung hampir tidak percaya.

Rangga melompat turun dari punggung Rajawali Putih, lalu melangkah menghampiri Raja Kerajaan Galung itu. Prabu Galung masih berdiri terpaku memandang burung raksasa, karena masih belum percaya dengan penglihatannya. Seumur hidup, baru kali ini melihat seekor burung sebesar itu!

"Maaf, Gusti Prabu. Kita harus cepat ke Istana Galung," ajak Rangga.

Prabu Galung masih belum bisa mempercayai dirinya. Rangga segera menarik tangannya, lalu dengan cepat mereka melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Prabu Galung berada di depan, dan sesaat kemudian ia hampir menjerit begitu Rajawali Putih membumbung ke angkasa.

*******************

TUJUH

Sementara itu di dalam benteng Istana Galung, orang-orang yang menguasai istana itu menjadi kalang-kabut mendapat gempuran dahsyat dari seekor burung hitam raksasa. Putri Rajawali Hitam mengamuk sambil mengibas­-ngibaskan pedangnya yang bergagang kepala burung dan berwarna hitam di atas punggung Rajawali Hitam. Pedang itu menyambar-nyambar cepat, sehingga, orang-orang di dekatnya kocar-kacir berusaha menyelamatkan diri.

"Khraghk...!"

Tiba-tiba saja di angkasa terdengar suara keras serak memekakkan telinga. Tampak seekor burung Rajawali Putih raksasa meluruk turun, langsung membantu Rajawali Hitam. Rangga dan Prabu Galung bergegas melompat turun dari punggung Rajawali Putih. Kedatangan Rangga dan Prabu Galung yang menunggang burung Rajawali Putih raksasa, membuat suasana di dalam benteng istana itu semakin kacau.

"Hiyaaat...!"

Sambil berteriak nyaring, Rangga mencabut Pedang Rajawali Sakti. Dan dengan cepat dia melompat ke arah pintu benteng yang kokoh. Pedang berwarna biru berkilau itu berkelebat cepat menghajar pintu benteng itu. Glarrr...!

Sebuah ledakan keras membuat pintu benteng dari kayu jati tebal itu hancur berkeping-keping. Rangga membalikkan tubuhnya, maka terlihatlah Putri Rajawali Hitam telah turun dari punggung Rajawali Hitam tunggangannya. Dia mengamuk bagai singa betina terluka. Setiap orang yang berani mendekati, tewas terbabat pedang hitam bergagang kepala burung itu.

Sementara Prabu Galung pun telah bertarung menggunakan pedang berwarna keperakan yang berkelebat cepat bagai kilat. Setiap kibasannya pasti mengambil nyawa. Tidak terhitung lagi, berapa tubuh yang ambruk bersimbah darah. Saat itu dari luar terdengar teriakan-teriakan bergemuruh. Ternyata berasal dari orang­-orang berpakaian seragam prajurit yang menyerbu masuk melalui pintu benteng yang sudah jebol berantakan. Tampak Panglima Jamali memimpin para prajurit Kerajaan Galung.

Denting senjata, teriakan pertempuran, dan jerit menyayat berbaur menjadi satu, membuat seluruh angkasa Kerajaan Galung bagai terbelah. Tubuh-tubuh bersimbah darah, ambruk bergelimpangan tak bernyawa.

Saat itu, Rangga yang tengah bertarung dengan beberapa orang, sempat melihat empat perempuan tua yang berjuluk Empat Bayangan Iblis Neraka berdiri di tengah istana bersama seorang pemuda berwajah tampan, namun sorot matanya terlihat bengis.

Rangga segera melesat begitu melihat Putri Rajawali Hitam sudah melompat cepat ke arah Empat Bayangan Iblis Neraka dan Kalaban. Hampir bersamaan, Putri Rajawali Hitam dan Pendekar Rajawali Sakti menjejak tepat di depan tangga istana. Mereka berdiri berjajar dengan pedang sama-sama menyilang di depan dada.

Bukan hanya Rangga, tapi juga Empat Bayangan Iblis Neraka dan Kalaban pun terperanjat kaget. Sikap Putri Rajawali Hitam begitu sama dengan sikap Pendekar Rajawali Sakti dalam hal memegang pedang.

Dan belum lagi hilang rasa terkejut mereka semua, Putri Rajawali Hitam sudah melompat menyerang. Rangga langsung tersadar dari rasa kaget dan herannya. Dia pun segera melompat menyerang lima orang yang menjadi pangkal kerusuhan di Kerajaan Galung ini.

Rangga yang menghadapi Kalaban, masih sempat melihat Putri Rajawali Hitam yang bertarung melawan Empat Bayangan Iblis Neraka. Hampir tidak dipercaya kalau wanita itu, menggunakan jurus-jurus dari rangkaian 'Lima Jurus Rajawali Sakti'. Tentu saja Rangga mengenali jurus-jurus itu, karena juga memilikinya.

Hal ini menjadikan Pendekar Rajawali Sakti terpecah perhatiannya. Sungguh tidak dilihat kalau Kalaban melepaskan senjata rahasia dengan cepat. Rangga terperangah sejenak, lalu buru-buru melompat menghindar. Namun gerakannya terlambat. Senjata rahasia berupa ruyung kecil itu menancap di bahu kiri.

"Ugh!" Rangga mengeluh pendek.

Tubuhnya sedikit terhuyung ke belakang. Ruyung kecil yang menancap itu ternyata mengandung racun yang sangat kuat. Dan itu sangat dirasakan Rangga. Bergegas dikerahkan hawa murni dari pusat tubuhnya, kemudian dicabutnya ruyung itu. Darah kental kehitaman mengucur dari luka di bahu kirinya.

"Hup, yaaah...!"

Disertai teriakan nyaring, Rangga melompat sambil mengibaskan pedang pusakanya ke arah leher Kalaban. Namun pemuda tampan berhati telengas itu mampu berkelit menghindari tebasan pedang itu. Bahkan masih mampu pula memberikan satu sodokan bertenaga dalam cukup tinggi ke arah perut Pendekar Rajawali Sakti.

"Uts!" Rangga menarik perutnya ke belakang, lalu dengan cepat dihentakkan tangan kirinya memapak sodokan tangan kanan itu.

"Akh!" Kalaban terpekik tertahan begitu tangannya berbenturan dengan tangan kiri Rangga.

Tenaga dalam yang dimiliki Kalaban memang berada di bawah Pendekar Rajawali Sakti. Tidak heran kalau harus memekik saat tangannya beradu dengan tangan Rangga. Sambil melompat mundur, Kalaban melontarkan tiga senjata rahasianya.

"Hiya, hiya, hiyaaa...!"

"Hup!"

Rangga berkelit dengan melompat ke atas. Dua kali dia berputar di udara, kemudian meluruk deras ke arah Kalaban sambil mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Serangan Pendekar Rajawali Sakti begitu cepat dan tidak terduga sama sekali, sehingga Kalaban tak sempat menghindar lagi. Tidak ada pilihan lain baginya.

"Hup, hiyaaa...!"

Kalaban mencabut senjatanya yang berupa tongkat pendek yang kedua ujungnya berbentuk tengkorak kepala manusia. Cepat sekali diayunkan tongkat pendek itu untuk memapak Pedang Rajawali Sakti.

Trang!

"Akh...!" Kalaban memekik keras.

Pemuda itu sampai terlontar jauh ke belakang. Dan senjata kebanggaannya terpotong menjadi dua bagian. Seluruh tubuhnya bergetar. Lebih-lebih tangannya yang serasa mati, sukar digerakkan lagi.

"Mampus kau! Hiyaaa...!" pekik Rangga keras.

Kalaban hanya bisa terperangah melihat Rangga sudah melompat sambil mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Pedangnya berputar cepat membuat lingkaran biru yang menyilaukan mata. Rangga meluruk deras bagai anak panah lepas dari busurnya. Begitu cepatnya serangan Rangga, sehingga kali ini Kalaban sulit untuk berkelit.

Dan pada saat ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti hampir menebas leher Kalaban, satu bayangan merah berkelebat cepat memapak laju pedang itu.

Tring!

"Akh!" terdengar satu pekikan keras, disusul terpentalnya bayangan merah itu.

Rangga juga melompat ke belakang beberapa tindak, sedangkan pedangnya menyilang di depan dada. Saat itu Kalaban bergegas mundur begitu nyawanya selamat dari maut. Tapi tidak jauh dari pemuda itu terlihat Rara Merah menggelepar dengan perut sobek mengucurkan darah segar!

Rupanya waktu memapak serangan Pendekar Rajawali Sakti, posisi Rara Merah terlalu dekat. Akibatnya, ujung pedang Rangga berhasil merobek perutnya setelah mematahkan tongkatnya. Kalaban yang melihat salah satu dari gurunya menggelepar dengan perut sobek, semakin merah padam wajahnya. Gerahamnya bergemeletuk menahan geram.

"Keparat! Kau harus membayar nyawa guruku!" geram Kalaban.

Kematian Rara Merah ternyata juga membuat tiga dari Empat Bayangan Iblis Neraka marah. Mereka serentak berlompatan menerjang Pendekar Rajawali Sakti tanpa mempedulikan Putri Rajawali Hitam. Kini Rangga harus menghadapi empat orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

"Setan! Rupanya mereka lebih tertarik pada Rangga...!" gerutu Putri Rajawali Hitam.

Putri Rajawali Hitam hanya bisa diam menyaksikan pertarungan itu. Dari sinar matanya terpancar sesuatu yang sukar diartikan. Bahkan sampai tidak berkedip memandangi setiap gerakan Pendekar Rajawali Sakti. Pandangannya beralih ketika mendengar suara pekikan serak menggelegar dari angkasa.

Tampak dua ekor burung rajawali raksasa tengah berkelebatan cepat menyambar anak buah Kalaban. Dan ini membuat prajurit-prajurit Kerajaan Galung jadi menganggur. Mereka hanya jadi penonton, menyaksikan Sepasang Rajawali membantai orang-orang rimba persilatan golongan hitam. Lebih-lebih Prabu Galung yang berdiri didampingi para panglimanya. Dia masih juga belum percaya penuh dengan yang disaksikannya kini.

"Khraghk!"

"Grahk...!"

Orang-orang yang merasa tidak mampu menghadapi Sepasang Rajawali itu berusaha melarikan diri. Tapi para prajurit yang memang sudah siaga penuh, tidak membiarkannya begitu saja. Mereka yang mencoba melarikan diri, tak pelak lagi terbantai senjata prajurit Kerajaan Galung.

Sementara itu Rangga masih bertarung melawan empat orang yang menggempurnya dengan kemarahan meluap dalam dada. Jurus-jurus yang digunakan pun sudah mencapai tingkat tinggi Yang terlihat kini hanya bayangan­-bayangan berkelebat cepat saling sambar. Tapi bagi Putri Rajawali Hitam, setiap gerakan pertarungan itu dapat dilihat jelas. Matanya tidak berkedip memandangi Rangga yang kelihatannya masih mampu menghadapi empat orang lawannya itu.

Bahkan Pendekar Rajawali Sakti itu mampu memberi serangan balasan yang tidak terduga. Entah sudah berapa jurus dilewati, namun pertarungan masih kelihatan sengit. Sementara Sepasang Rajawali telah menyelesaikan pertarungannya. Tidak ada seorang pun pengikut Empat Bayangan Iblis Neraka dan Kalaban yang dibiarkan hidup. Mereka yang lolos dari Sepasang Rajawali, pasti tewas di tangan para prajurit.

"Hm..., aku yakin. Pendekar Rajawali Sakti tidak butuh bantuan. Tapi mereka musuhku. Tidak pantas rasanya kalau diam menonton tanpa berbuat sesuatu...," gumam Putri Rajawali Hitam dalam hati.

Saat itu memang Rangga berada di atas angin. Serangan-serangannya begitu cepat dan tajam. Empat Bayangan Iblis Neraka yang kini tinggal tiga orang ditambah Kalaban, seperti tidak berdaya menghadapi Pendekar Rajawali Sakti yang menggunakan jurus 'Seribu Rajawali'. Mereka selalu terkecoh dan mendapat serangan balasan yang tidak terduga.

Berapa tidak? Gerakan Rangga demikian cepat, seolah­olah tubuhnya terpisah-pisah menjadi seribu banyaknya. Hal ini tentu saja membuat lawan-lawannya menjadi kebingungan. Setiap kali mereka menyerang, selalu hanya menemui bayangan Pendekar Rajawali Sakti saja. Karuan saja mereka jadi tidak percaya diri.

Pada saat itu pula, Putri Rajawali Hitam masuk dalam kancah pertempuran. Pedang hitamnya berkelebat cepat membabat ke arah dada Rara Biru. Serangan Putri Rajawali Hitam yang cepat dan tidak terduga itu membuat Rara Biru tidak sempat lagi berkelit...

"Akh...!" Rara Biru memekik keras tertahan.

Ujung pedang Putri Rajawali Hitam menggores dalam di dada Rara Biru. Darah pun segera mengucur deras dari luka yang panjang dan dalam itu. Rara Biru terhuyung­huyung ke belakang. Dan selagi terhuyung, satu tendangan menggeledek yang dilepaskan Putri Rajawali Hitam, telak menghantam dadanya.

"Aaa...!" Rara Biru memekik keras melengking.

Seketika tubuhnya terlontar beberapa tombak ke belakang. Keras sekali tubuhnya membentur dinding tembok benteng istana, hingga tembok yang tebal itu hancur berkeping-keping. Hanya sebentar Rara Biru meregang nyawa, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi.

"Keparat...!" geram Kalaban.

Kalaban cepat melompat menerjang Putri Rajawali Hitam yang masih memandangi Rara Biru. Terjangan Kalaban begitu cepat, sehingga tidak diduga sebelumnya. Kaki kanan Kalaban mendarat telak di punggung Putri Rajawali Hitam. Wanita yang wajahnya selalu ditutupi oleh cadar hitam itu terjungkal keras.

Beberapa kali Putri Rajawali Hitam bergulingan di tanah, tapi cepat bangkit kembali walaupun dengan tubuh limbung. Dua kali wanita itu memuntahkan darah kental kehitaman. Pandangan matanya pun berkunang-kunang. Sementara Kalaban sudah bersiap-siap hendak menyerang kembali.

"Mampus kau! Hiyaaa...!" teriak Kalaban keras.

"Khraghk...!"

"Akh!" Kalaban memekik terperanjat.

Rajawali Hitam tanpa diduga dengan cepat menyambar tubuh Kalaban, sehingga pemuda itu terlempar jauh beberapa tombak. Segera dia bangkit kembali dan berdiri tegak.

"Khraghk...!" pekik Rajawali Hitam keras.

Trak!

Kalaban mencabut sebatang tongkat pendek berwarna perak dari balik ikat pinggangnya. Dipegangnya ujung-ujung tongkat itu, lalu ditarik hingga panjangnya sama dengan rentangan tangan. Kalaban memutar-mutar tongkatnya bagai baling-baling. Dan pada saat itu, Rajawali Hitam sudah meluruk deras ke arahnya sambil berkaokan keras memekakkan telinga.

"Hiyaaa...!"

Sambil berteriak nyaring, Kalaban mengebutkan tongkatnya disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Ujung tongkat yang berbentuk bulat itu memancarkan cahaya merah jingga.

"Khraghk...!"

Satu pekikan keras terdengar dari Rajawali Hitam. Tongkat Kalaban bersarang telak di dada Rajawali Hitam, sehingga burung raksasa itu terjajar ke belakang.

"Rajawali.... Oh, tidak...!" pekik Putri Rajawali Hitam histeris.

Putri Rajawali Hitam bergegas memburu burung rajawali raksasa miliknya itu. Burung raksasa itu menggeletak di tanah sambil menggerung lirih. Putri Rajawali Hitam memeluk kepala burung itu, dan memeriksa dada yang terkena pukulan tongkat Kalaban tadi.

"Ha ha ha...!" Kalaban tertawa terbahak-bahak.

"Iblis! Kubunuh, kau!" geram Putri Rajawali Hitam.

Kalaban masih tertawa terbahak-bahak sambil menyandang tongkatnya di pundak. Sementara Putri Rajawali Hitam telah bangkit berdiri. Gerahamnya bergemeletuk menahan marah. Bola matanya bernyala­-nyala bagai hendak membakar pemuda itu. Sementara Rajawali Hitam mendekam dengan kepala tertunduk. Sementara itu, Rajawali Putih pun menghampiri, dan mematuki dada Rajawali Hitam. Entah apa yang diperbuat Rajawali Putih. Yang jelas, Rajawali Hitam membuka kembali matanya seraya mengangkat kepalanya.

Pada saat itu Putri Rajawali Hitam sudah melompat menerjang Kalaban. Pedang yang berwarna hitam pekat dalam genggamannya, berkelebat cepat membentuk putaran. Kalaban memang sudah siap menghadapi wanita berbaju hitam dengan cadar menutupi wajahnya itu.

"Mampus kau, setan! Hiyaaat...!" teriak Putri Rajawali Hitam keras.

"Hait"

Kalaban mengibaskan tongkatnya memapak serangan pedang Putri Rajawali Hitam. Dan dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa, Kalaban melontarkan satu tendangan keras dan langsung mendarat di perut wanita itu. Putri Rajawali Hitam memekik tertahan. Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang.

Tapi wanita itu kembali menerjang dengan ganas. Sementara di tempat lain, Pendekar Rajawali Sakti masih bertarung melawan dua orang perempuan tua yang berjuluk Empat Bayangan Iblis Neraka. Dan di sekitar arena pertarungan itu. Prabu Galung yang didampingi panglimanya, berdiri memperhatikan. Sedangkan di pihak lain para prajurit tetap berjaga-jaga.

DELAPAN

Meskipun menghadapi dua tokoh sakti berilmu tinggi, Rangga masih sempat membagi perhatiannya pada pertarungan Kalaban melawan Putri Rajawali Hitam. Dia agak cemas juga melihat Putri Rajawali Hitam tampak kewalahan menghadapi Kalaban.

"Aku harus cepat mengakhiri pertarungan ini," gumam Rangga dalam hati.

Saat itu juga, Pendekar Rajawali Sakti merubah jurusnya. Langsung dikeluarkan jurus andalannya, yaitu 'Pedang Pemecah Sukma'. Memang dalam beberapa gebrakan saja, kedua tokoh hitam itu kewalahan menghadapi jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Untungnya mereka masih bisa mengimbangi. Bahkan kini pertarungan kembali seimbang. Rangga tidak punya pilihan lain lagi, dan...

"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!" teriaknya keras. Dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti itu menggosok telapak tangannya ke mata pedang. Maka cahaya biru pun menggumpal di ujung Pedang Rajawali Sakti itu. Namun dengan cepat, dimasukkan pedang ke dalam warangkanya. Kini cahaya biru itu menggumpal di kedua telapak tangannya.

"Hiyaaa...!"

Rangga langsung melompat bagai seekor burung rajawali hendak menerkam mangsa. Tepat sekali telapak tangannya menangkap tangan kedua perempuan tua itu. Rara Kuning dan Rara Hijau berusaha melepaskan cekalan itu. Namun semakin kuat mereka mencoba, semakin sukar untuk melepaskannya. Bahkan mereka merasakan kalau tenaganya kini tersedot keras.

Cahaya biru yang memancar dari tangan Rangga mulai menyelimuti tubuh Rara Kuning dan Rara Hijau. Kedua wanita tua itu masih menggeliat-geliat berusaha melepaskan diri. Namun semakin kuat mereka mengerahkan tenaga, semakin keras tenaga tersedot. Hingga pada satu saat, Rangga menghentakkan tangannya ke depan. Hasilnya tubuh kedua wanita tua itu terlontar menyatu.

Cring!

Secepat kilat ditarik pedangnya ke luar. Dan kini dengan cepat pula Pedang Rajawali Sakti berkelebat menebas tubuh kedua wanita itu sekaligus. Tak ada lagi suara terdengar. Tubuh kedua wanita tua itu kontan ambruk ke tanah dengan tubuh hampir terpisah!

Pada saat yang sama, Kalaban berhasil mendaratkan tongkatnya ke tubuh Putri Rajawali Hitam. Wanita itu memekik keras, lalu tubuhnya limbung ke belakang. Kesempatan ini tidak disia-siakan Kalaban. Satu tendangan bertenaga dalam tinggi dengan cepat dilayangkan ke dada Putri Rajawali Hitam.

"Akh...!" Putri Rajawali Hitam memekik keras. Wanita berbaju serba hitam itu terlontar deras ke belakang, dan hampir menabrak tembok benteng. Untung saja Rajawali Hitam cepat merentangkan sayapnya yang lebar. Putri Rajawali Hitam terdampar di sayap yang berbulu lebat dan lunak itu. Tampak dari cadar yang menutupi wajahnya, merembes darah kental.

"Oh...,"Putri Rajawali Hitam merintih lirih.

"Kalaban! Akulah lawanmu!" seru Rangga keras seraya melompat ke depan pemuda itu.

"Bagus! Rupanya kau juga ingin menyusul pasanganmu ke neraka!" sambut Kalaban pongah.

Rangga sempat melirik Putri Rajawali Hitam yang menggeletak merintih di samping Rajawali Hitam tunggangannya. Sementara di samping Rajawali Hitam, mendekam pula Rajawali Putih yang tidak lepas-lepas memandangi pasangannya. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti itu tidak dapat berlama-lama memperhatikan Sepasang Rajawali dan Putri Rajawali Hitam, karena Kalaban sudah menyerang ganas.

"Hup, hiyaaa...!" seru Rangga menghadang serangan Kalaban, langsung dengan aji Bayu Braja.

Seketika itu juga tubuh Kalaban terlontar jauh ke belakang begitu kedua tangan Rangga menghentak ke depan. Kalaban berlompatan beberapa kali di udara, dan masih dapat mendarat dengan kedua kakinya. Namun tubuhnya terlihat limbung. Pemuda itu menggeleng­-gelengkan kepalanya sesaat. Sebentar dipandangi empat gurunya yang sudah terbujur tak bernyawa lagi.

Ada sedikit kegentaran dan perasaan dendam di hati Kalaban. Disadari kalau Pendekar Rajawali Sakti bukanlah lawannya. Tapi melihat empat gurunya tewas, Kalaban tidak lagi peduli. Segera dihimpun kekuatannya dan bersiap-siap untuk menyerang kembali.

"Haitt Yaaah....!" teriak Kalaban keras. Sambil mengibaskan tongkatnya beberapa kali, Kalaban melompat deras menerjang Rangga. Sementara Pendekar Rajawali Sakti pun sudah siap dengan 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Tebasan tongkat Kalaban berhasil ditangkis dengan tangan kiri, lalu dengan cepat disodoknya dada pemuda itu.

Buk!

"Akh!" kembali Kalaban memekik. Belum lagi Kalaban bisa berbuat sesuatu, kembali satu pukulan telak jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' menghantam dadanya. Seketika itu juga tubuh Kalaban terpental jauh ke belakang. Dan Rangga yang langsung mencabut pedangnya kembali, melompat cepat seraya mengibaskan pedangnya ke arah leher.

"Hiyaaa...!"
Slap!

Mendadak satu bayangan berkelebat cepat menyambar tubuh Kalaban, sehingga tebasan pedang Rangga hanya menghantam tempat kosong. Begitu cepatnya bayangan itu berkelebat, sehingga dalam sekejap mata saja, tubuh Kalaban telah lenyap tidak ketahuan bekasnya.

"Khraghk...!" Rajawali Hitam berkaokan keras.

Bagaikan kilat, burung raksasa. itu melesat ke angkasa sambil menyambar tubuh Putri Rajawali Hitam yang masih tergeletak tak sadarkan diri.

"Hey...!" Rangga terperanjat kaget.

"Rangga! Tunggu!" seru Prabu Galung tiba-tiba.

Rangga yang akan melompat ke atas punggung Rajawali Putih, mengurungkan niatnya. Prabu Galung berlari-lari kecil menghampiri. Rangga berdiri tegak di samping Rajawali Putih yang sudah lebih dulu menghampirinya.

Pada saat yang sama seekor kuda berpacu cepat memasuki halaman istana. Ternyata penunggangnya adalah Patih Giling Wesi. Setelah menghentikan kudanya, dia melompat turun, dan segera bersujud di depan Prabu Galung. Namun Prabu Galung segera menyentuh pundaknya, lalu mengajaknya bangkit berdiri.

"Ampun, Gusti Prabu. Hamba tidak bermaksud melepaskan tanggung jawab. Hamba pergi menyusul Gusti Prabu karena khawatir akan keselamatan Gusti," ucap Patih Giling Wesi.

"Sudahlah, Paman Patih. Keadaan sudah teratasi," sahut Prabu Galung bijaksana.

"Ampunkan hamba, Gusti...."

"Aku mengerti, Paman Patih."

Prabu Galung kembali mengalihkan perhatiannya pada Rangga yang masih diam saja. Patih Giling Wesi yang baru mengangkat wajahnya, kontan terlonjak kaget begitu melihat seekor burung rajawali raksasa berada di samping Pendekar Rajawali Sakti. Untung saja tidak ada yang memperhatikan. Tapi, pandangan Patih Giling Wesi tidak berkedip ke arah burung raksasa itu.

"Aku tidak tahu, apa yang harus kuberikan padamu. Aku benar-benar berhutang budi padamu...," ucap Prabu Galung.

"Itu sudah kewajibanku, Gusti Prabu," jawab Rangga merendah.

"Tapi kau telah berjasa besar, dan itu patut diberi hadiah."

"Terima kasih. Hanya saja tidak bisa kuterima karena masih ada tugas yang harus kuselesaikan," tolak Rangga halus.

"Aku mengerti. Sebagai seorang pendekar, tugasmu cukup banyak. Tapi...."

"Gusti. ljinkan aku segera pergi. Kalaban menghilang dan harus kucari. Terus terang, aku pun masih harus mencari keterangan tentang Putri Rajawali Hitam dan burung tunggangannya itu."

"Jadi..., kau tidak tahu siapa dia...?!" Prabu Galung tidak percaya. Selama ini dia menganggap kalau Rangga dan orang misterius itu adalah berpasangan.

Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Gusti. Hamba pun juga mohon diri," selak Patih Giling Wesi.

"Paman Patih, kau akan ke mana?"

"Ampun, Gusti. Hamba harus mencari Intan Kemuning. Bagaimanapun juga, dia anak hamba satu-satunya. Kalaupun Intan Kemuning masih hidup, hamba harus menemukannya. Dan kalau sudah mati, harus ada mayatnya. Ampunkan hamba, Gusti."

"Paman Patih, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Tapi perlu kau ketahui, Kerajaan Galung sangat membutuhkan sumbangan tenaga dan pikiranmu," ucap Prabu Galung pelan.

"Ampun, Gusti Prabu. Rasanya masih banyak tenaga muda yang dapat diandalkan. Hamba sudah bertekad untuk mencari Intan Kemuning sampai dapat."

Prabu Galung hanya bisa mendesah berat.

"Hamba pamit, Gusti," ucap Patih Giling Wesi berpamitan.

"Baik, hati-hatilah. Dan kumohon, kembalilah dulu jika sudah bertemu dengan anakmu," pesan Prabu Galung. Memang hanya itu yang bisa diucapkannya.

Patih Giling Wesi memberi hormat, kemudian bergegas naik ke punggung kudanya. Hanya sekali gebah saja, kuda itu sudah berpacu cepat meninggalkan halaman Istana Galung. Prabu Galung hanya bisa memandangi dengan mata berkaca-kaca. Dan dia baru menoleh begitu teringat pada Rangga. Tapi Prabu Galung jadi celingukan, karena Pendekar Rajawali Sakti dan burungnya sudah tidak ada lagi. Dia mendongak, maka tampaklah di angkasa burung rajawali raksasa tengah melayang berputar-putar.

"Selamat jalan, Rangga...," desis Prabu Galung melambaikan tangannya.

"Khraghk...!"

Rajawali Putih itu langsung melesat cepat meninggalkan Istana Galung. Sementara para prajurit telah sibuk mengangkuti mayat-mayat. Sementara itu, Prabu Galung pun memerintahkan beberapa panglima agar menjemput para pembesar dan keluarganya untuk kembali ke istana. Demikian pula dengan keluarga istana yang masih berada di tempat pengasingan. Prabu Galung kemudian melangkah menaiki anak-anak tangga istana.

Saat itu di angkasa, Rajawali Putih terbang menembus awan. Rangga yang berada di atas punggungnya, memandang ke bawah. Sempat dilihatnya Patih Giling Wesi yang memacu kudanya dengan cepat menembus Hutan Krambang. Sementara Patih Giling Wesi mencari anak gadisnya, Rangga juga harus bisa mengetahui siapa sebenarnya orang yang kini menguasai Rajawali Hitam. Siapa sebenarnya dia? Bagaimana luka-lukanya? Dan siapa yang telah menyelamatkan Kalaban dari hadapannya?

Untuk mengetahui kelanjutannya, ikutilah kisah Pendekar Rajawali Sakti dalam episode: SABUK PENAWAR RACUN