Mutiara Dari Selatan - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Rajawali Sakti

Karya Teguh S

MUTIARA DARI SELATAN

SATU

SEEKOR kuda hitam berpacu cepat menyusuri tepian pantai berpasir putih. Penunggannya, seorang pemuda bertubuh tegap yang otot-ototnya bersembulan sehingga menampakkan kejantanannya. Rambutnya panjang terurai, meriap melambai-lambai dipermainkan angin pantai. Kuda hitam itu terus berpacu cepat bagaikan angin, menerjang ombak pantai.

"Hiya! Hiyaaa..."

Pemuda itu mendera kudanya semakin cepat. Kuda hitam itu meringkik keras. Begitu cepat larinya sehingga bagaikan tidak menapak pasir basah yang senantiasa dijilat ombak. Tiba-tiba saja kuda itu berbelok, dan terus berlari kencang menembus kelebatan hutan bakau. Namun kuda hitam itu tidak juga memperlambat larinya. Bahkan semakin cepat saja berpacu bagai dikejar setan

"Hooop...!"

Penunggang kuda hitam Itu menarik tali kekang kudanya. Bersamaan dengan terdengarnya ringkik kuda, pemuda itu melompat turun. Kuda hitam itu berhenti seketika. Sungguh indah dan ringan lompatannya, pertanda pemuda itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tidak rendah.

Pemuda berwajah tampan dan berbaju rompi putih itu memandangi sekitarnya Tatapan matanya begitu tajam. Sesekali kepalanya menggeleng ke kiri dan ke kanan, atau mendongak ke atas. Sepertinya tengah menunggu sesuatu di tempat itu. Tempat yang berpasir, dan dipenuhi tanaman bakau yang akarakarnya menyemak rapat

Tiba-tiba saja dari arah samping kanan, meluncur sebatang anak panah. Pemuda itu menarik tubuhnya ke belakang sedikit, lalu tangannya bergerak cepat menangkap anak panah itu, tapi tidak terlihat satu bayangan pun yang berkelebat. Kemudlan pandangannya beralih pada anak panah yang berada dalam genggamannya.

"Hm...!" gumamnya dengan kening berkerut

Ada selembar daun lontar pada bagian tengah anak panah berwarna keperakan itu, yang diikat pita merah muda. Pemuda berbaju rompi putih itu mem-buka ikatan, dan mengamati lembaran daun itu. Keningnya kembali berkerut, sehingga sepasang alisnya yang tebal bertaut menjadi satu. Hanya ada sebaris kalimat yang tertera di sana.

BERJALANLAH KE ARAH SELATAN... MUTIARA DARI SELATAN.

Pemuda itu melipat daun lontar itu dan menyelipkannya di balik lipatan sabuk. Sebentar diangkat kepalanya, menatap ke arah Selatan. Arah datangnya anak panah tadi. Digerakkan tangannya, maka kuda hitam itu melangkah mendekat. Binatang tunggangan itu mendengus sambil mengangguk-anggukkan kepalanya di samping pemuda berbaju rompi putih itu.

"Hitam, aku tidak tahu apa keinginan orang ini. Sebaiknya kita ikuti saja petunjuknya," kata pemuda itu setengah bergumam

Kuda hitam pekat berotot kuat itu meringkik perlahan, seakan-akan mengerti ucapan majikannya. Pemuda berbaju rompi putih itu melompat naik dengan tangkasnya, dan menggebah kuda hitam itu perlahan-lahan. Kuda itu berjalan lambat menuju ke arah Selatan.

"Hm..., siapa sebenarnya orang itu? Kenapa selalu menamakan dirinya Mutiara dari Selatan...?" pemuda itu bergumam bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Sementara kuda hitam itu terus berjalan perlahan-lahan menerobos lebatnya hutan bakau di sepanjang pantai ini. Semakin jauh masuk ke dalam, hutan bakau itu semakin merenggang. Pemuda itu berdecak pelan, sehingga kuda hitam itu mulai mempercepat langkahnya. Mereka terus bergerak menuju Selatan, seperti yang tertulis pada daun lontar itu.

Hutan bakau yang menjadi pembatas pantai dengan daratan, telah terlewati. Dan kini pemuda penunggang kuda hitam itu mulai memasuki suatu padang rumput yang tidak begitu luas. Tampak di seberang sana terhampar hutan yang kelihatannya tidak pernah terjamah manusia. Pemuda itu menghentikan laju kudanya, lalu memandang ke sekeliling. Arah pandangannya langsung tertuju pada hutan di seberang padang rumput ini.

"Kau merasakan sesuatu, Hitam?" tanya pemuda itu melihat kuda hitamnya tampak gelisah.

Kuda hitam itu terangguk-angguk, dan sebelah kaki depannya menggaruk-garuk tanah berumput tebal. Pemuda itu melompat turun dari punggung kudanya. Dipegangi tali kekang kuda hitam itu. Namun binatang itu kelihatan masih tetap gelisah, meskipun sudah ditepuk-tepuk lehernya untuk ditenangkan.

"Tenanglah, Hitam...," bisik pemuda itu mencoba menenangkan kudanya.

Tapi kuda itu malah meringkik keras sambil mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi. Pemuda itu melompat melepaskan pegangannya pada tali kekangnya. Kuda hitam itu mendengus-dengus menghentak-hentakkan kakinya ke tanah. Sedangkan pemuda itu semakin heran melihatnya. Tapi belum juga keheranannya lenyap, mendadak hatinya dikejutkan oleh munculnya satu bayangan biru.

"Heh...! Hup!"

Pemuda itu bergegas melentingkan tubuhnya ke belakang, karena bayangan itu meluncur deras ke arahnya. Bayangan itu lewat di antara putaran tubuhnya, dan terus meluncur deras menghantam sebuah pohon. Pemuda itu berdiri tegak menatap wonggok kain berwarna biru cerah yang tergeletak di antara pohon yang tumbang kena terjangannya.

"Hm.... Apa pula ini...?" gumamnya bertanya-tanya sendiri.

******************

Pemuda berbaju rompi putih melangkah perlahan-lahan mendekati seonggok kain biru itu. Sejenak dipandangi bungkusan itu, kemudian dipungutnya. Bungkusan kain biru itu tidak terlalu besar. Bentuknya bulat yang salah satu ujungnya bulat besar dan satunya lagi kecil. Dibukanya lipatan kain biru itu, dan matanya membeliak lebar ketika melihat isinya.

"Biadab...!" desisnya sambil membungkus kembali kain biru itu.

Hatinya geram bukan main, karena bungkusan kain biru itu ternyata berisi sebuah kepala manusia yang darahnya sudah mengering. Pada kepala buntung itu ada ikat kepala terbuat dari bahan seperti emas yang dihiasi manik-manik dari mutiara. Pemuda berbaju rompi putih itu meletakkan bungkusan itu di bawah pohon.

"Ha ha ha...!"

Tiba-tiba terdengar suara tawa keras menggelegar. Pemuda itu langsung berbalik, dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Suara tawa itu seolah-olah datang dari segala arah. Jelas, kalau suara itu disertai pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi.

"Hm...," gumam pemuda itu perlahan.

Belum sempat pemuda itu menemukan arah sumber suara tawa itu, tiba-tiba satu bayangan berkelebat. Tahu-tahu, tidak jauh di depannya telah muncul seorang wanita tua berjubah kumal sambil memegang tongkat keperakan. Wanita itu masih juga terbahak-bahak. Pemuda itu menggeser kakinya ke depan beberapa tindak, dan pandangannya tajam menusuk langsung kearah wanita itu.

"Hebat sekali permainanmu, Nisanak," dengus pemuda itu kurang senang.

Wanita tua itu segera menghentikan tawanya. Ditatapnya pemuda tampan di depannya dalam-dalam. Perlahan tongkatnya terangkat dan tertuju langsung ke arah dada pemuda berbaju rompi putih itu.

"Kuperingatkan padamu, Pendekar Rajawali Sakti. Jangan turun campur urusan ini!" dingin suara wanita tua itu.

"Kau sudah tahu namaku. Siapa kau sebenarnya?" tanya pemuda yang ternyata Pendekar Rajawali Sakti.

"Kau tidak perlu tahu siapa aku!" sahut wanita tua itu tetap dingin. Tongkatnya diturunkan perlahanlahan.

"Baik. Aku tidak kenal siapa dirimu. Tadi kau katakan jangan mencampuri urusanmu? Aku tidak mengerti maksudmu, Nisanak," tenang, namun dingin sekali nada suara Pendekar Rajawali Sakti.

"Jangan berlagak bodoh, Pendekar Rajawali Sakti! Aku tahu maksudmu datang ke daerah Selatan ini. Maka kuperingatkan sekali lagi padamu. Tinggalkan daerah ini atau bernasib sama dengannya!" ujar wanita tua itu seraya menunjuk bungkusan kain biru di bawah pohon.

"Hm..., siapa dia?" tanya Rangga atau yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.

"Orang yang tidak menuruti kata-kataku. Terpaksa kupenggal kepalanya karena keras kepala. Nah! Sudah kuperingatkan padamu, Pendekar Rajawali Sakti. Tinggalkan daerah ini sebelum kepalamu terpisah dari badan!" ancam wanita tua itu tidak main-main.

Setelah berkata demikian, cepat sekali tubuhnya melesat, dan tahu-tahu sudah lenyap dari hadapan Rangga Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga wanita tua itu bagaikan lenyap ditelan bumi. Rangga menarik napas panjang, lalu menoleh. Betapa terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti, karena bungkusan kain biru itu juga lenyap entah ke mana.

Meskipun merasa terkejut, tapi Pendekar Rajawali Sakti itu bisa mengerti. Cukup dikagumi kehebatan wanita tua itu. Bisa melesat cepat sambil menyambar bungkusan kain biru itu tanpa diketahui. Tapi di balik rasa kagumnya, Rangga juga jadi tidak mengerti maksud wanita tua itu. Kedatangannya ke daerah ini karena selalu mendapat pesan tertulis di daun lontar.

Sepanjang perjalanan, sudah didapatkan tidak kurang dari lima kali. Dan semua pesan itu menunjukkan arah yang harus ditempuhnya, tanpa dijelaskan apa maksudnya. Yang menjadi pertanyaan, siapa sebenarnya pengirim pesan dalam daun lontar itu? Setiap pesan selalu tertulis kata Mutiara dari Selatan.... Rangga tidak mengerti, apakah Mutiara dari Selatan hanya sebuah julukan, atau mempunyai maksud tertentu di dalamnya.

"Hm..., pesan itu seperti bernada meminta bantuan. Tapi bantuan apa...?" gumam Rangga dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti itu makin tidak mengerti setelah menghubungkan semua pesan-pesan itu dengan kejadian-kejadian membingungkan selama menempuh perjalanan ke Selatan ini. Apalagi dengan munculnya wanita tua yang tidak mau menyebutkan namanya tadi. Memang bisa dirasakan kalau peringatannya tidak main-main, dan mengandung ancaman serius. Buktinya adalah sebuah kepala terbungkus kain biru.

Rangga mengernyitkan keningnya. Kepala buntung tadi memakai semacam gelang pada kepalanya. Dan pengikat kepala macam itu biasanya dimiliki para pembesar kerajaan sebagai pertanda kedudukan. Walaupun Rangga sebagai raja, tapi belum pernah melihat bentuk ikat kepala seperti ini. Bahkan juga tidak terdapat tanda tanda dari satu kerajaan mana. Ikat kepala yang kelihatannya terbuat dari emas bertahtakan batu mutiara. Jelas itu pertanda kalau pemiliknya bukan orang sembarangan dan memiliki kedudukan yang tinggi pada suatu daerah.

"Hhh.... Aku jadi penasaran...," desah Rangga pelan.

Pendekar Rajawali Sakti itu menghampiri kudanya yang hitam pekat dengan tubuh tinggi tegap dan otot bersembulan. Binatang itu mendengus-dengus seraya menganggukkan kepalanya beberapa kali. Rangga memperhatikan sejenak, lalu melompat naik ke punggung kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu. Tapi Rangga lebih suka memanggil si Hitam saja. Sepertinya kuda itu juga tidak keberatan terhadap nama barunya yang hanya dipakai Pendekar Rajawali Sakti.

"Kita terus ke arah Selatan, Hitam," perintah Rangga seraya menghentakkan tali kekangnya.

Kuda hitam itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, kemudian melompat cepat dan berlari bagaikan sebatang anak panah lepas dari busurnya. Begitu cepatnya kuda hitam itu berlari, seakan-akan keempat kakinya tidak menapak tanah.

******************

Rangga menghentikan lari kudanya. Pandangannya lurus menatap ke depan. Hampir tidak dipercaya kalau di tengah-tengah hutan lebat begini masih ada sebuah perkampungan yang begitu besar. Perkampungan ini sepertinya tidak pantas disebut desa. Semua rumah berdinding batu dan besar-besar. Bentuknya pun indah dikelilingi tembok benteng yang tinggi.

Perkampungan ini bagaikan sekelompok benteng. Rangga berdecak pelan, lalu menghentakkan tali kekang kudanya. Si Hitam berjalan perlahan-lahan memasuki perkampungan yang aneh luar biasa itu. Dari atas punggung kudanya, Pendekar Rajawali Sakti itu memandang ke sekeliling. Perasaannya jadi semakin aneh, karena sejak tadi tidak melihat seorang pun di tempat ini. Keadaannya sangat sunyi, seperti sudah begitu lama ditinggalkan.

Ketika pandangan Rangga tertuju pada sebuah bangunan yang di depannya terdapat sebuah patung singa, di situ sebuah bayangan berkelebat menyelinap ke balik pagar tembok yang tinggi besar itu. Bergegas Rangga melompat ke arah bayangan itu. Begitu cepatnya, tahu-tahu sudah berada di balik tembok.

"Eh...!" Rangga terkejut bukan main begitu melihat seorang gadis berdiri tegak. Wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar.

Punggung gadis itu menempel pada dinding tembok. Tiba-tiba saja dia jatuh berlutut, kemudian menangis terisak-isak. Rangga jadi heran. Dihampirinya gadis itu dan berlutut di depannya. Dengan lembut tangannya menyentuh pundak gadis itu. Tapi gadis itu malah tersentak, dan berlutut. Tentu saja Rangga semakin keheranan tidak mengerti.

"Nisanak...," tegur Rangga pelan.

"Ampun, Den.... Ampun...," rintih gadis itu memelas.

"Bangunlah, jangan berlutut begitu," kata Rangga lembut.

Pendekar Rajawali Sakti mencekal kedua pundak gadis yang berbaju kain kasar dengan beberapa bagian sobek. Rambutnya yang hitam pekat, tidak teratur bentuknya. Perlahan-lahan gadis itu bangkit, tapi masih juga berlutut. Rangga terpaksa tetap berlutut sehingga kedua lututnya menyentuh tanah.

"Siapa namamu, Nisanak?" tanya Rangga lembut Gadis itu tidak langsung menjawab. Perlahan-lahan diangkat kepalanya. Tampak air mata berlinangan membasahi wajahnya yang kotor berdebu. Tubuhnya masih gemetar menahan isaknya. Rangga melepaskan cekalan pada gadis itu. Ditatapnya gadis itu dengan lembut.

"Siapa namamu? Mengapa menangis?" tanya Rangga lagi lebih lembut

"Kencana...," sahut gadis itu pelan. Begitu pelannya, sehingga hampir tidak terdengar kala menyebutkan namanya.

"Kenapa menangis?" tanya Rangga tetap lembut.

"Aku..., aku...," gadis itu tampak ketakutan.

Dan belum lagi dapat berkata benar, mendadak matanya membeliak menatap lewat bahu Rangga. Tubuhnya semakin bergetar hebat, dan wajahnya pucat pasi. Mulumya yang dihiasi bibir mungil dan berwarna merah delima, terbuka lebar seperti ingin mengucapkan sesuatu.

Rangga tidak mengerti, lalu menoleh. Tapi mendadak saja satu desiran halus terdengar ke arahnya. Dan belum lagi sempat disadari, tahu-tahu tubuhnya terpental ke samping. Pendekar Rajawali Sakti itu jatuh bergulingan di tanah, kemudian melompat bangkit. Bibirnya meringis sedikit merasakan sakit pada bagian iganya.

Rangga masih belum mengerti apa yang terjadi, tahu-tahu satu bayangan besar berkelebat cepat menerjang ke arahnya. Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melompat ke samping sambil mengayunkan satu pukulan disertai pengerahan tenaga dalam tidak penuh.

"Hegh...!"

Terdengar erangan kecil, tapi Rangga merasakan tangannya seperti memukul segumpal kapas yang begitu lunak. Pukulannya terasa berbalik, membuat pergelangannya nyeri. Rangga cepat-cepat berbalik. Matanya langsung membelalak begitu melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar bagai raksasa berdiri tegak tidak jauh di depannya.

"Waladala! Manusia macam apa ini...?" desah Rangga terperangah.

Kepala orang itu menggeleng beberapa kali, membuat suara gemerincing dari anting-anting yang dikenakannya. Rangga sendiri sampai terpana melihatnya. Orang itu mengenakan pakaian yang sangat indah, terbuat dari bahan sutra halus bersulamkan benang emas pada bagian tepinya. Hiasan rambutnya juga terbuat dari emas, dengan kalung besar dan anting-anting seperti boneka kayu. Wajahnya cukup bersih dan tampan, tapi perawakannya seperti raksasa. Penampilannya tadi benar-benar mengerikan.

"Siapa kau bocah cilik?" tanya orang itu.

"Kau bertanya padaku?" Rangga balik bertanya, karena merasa bukan bocah lagi.

"Gradah...! Aku bertanya padamu, tolol!" bentak orang itu keras.

Rangga sampai melangkah mundur mendengar bentakan yang demikian menggelegar, bagai guntur di siang bolong. Bukan karena gentar, tapi terkejut mendengar suara itu.

"Kau sendiri, siapa?" Rangga malah balik bertanya.

"Ha ha ha...!" Manusia raksasa itu tertawa terbahak-bahak.

"Ditanya malah tertawa!" gerutu Rangga tidak enak mendengar tawa menggelegar dan memekakkan telinga itu.

"Bocah edan! Aku yang bertanya padamu, goblok!" bentak orang tinggi besar itu keras.

"Baik. Aku berikan namaku, tapi kau juga harus menyebutkan namamu," Rangga menawarkan.

"Berani sekali kau, setan cilik! Tapi baiklah, kuterima syaratmu!" kata orang itu jadi tertawa kembali.

"Jangan tertawa! Telingaku sakit!" bentak Rangga keras.

Orang itu langsung diam. Dia menggereng dengan mata merah membara menatap langsung bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Sebutkan, siapa namamu!" bentaknya.

"Rangga, dan kau?"

"Raden Segara!"

Rangga menelan ludahnya mendengar orang bertubuh tinggi besar itu menyebutkan namanya. Malah hampir-hampir tertawa. Sungguh mati tidak dikira kalau orang bertubuh tinggi besar itu seorang bangsawan. Apakah di dunia ini ada sekelompok manusia setengah raksasa?

DUA

Raden Segara melangkah mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Sepasang kakinya yang besar, terayun berat Namun tidak ada suara sedikit pun saat melangkah. Manusia tinggi besar itu berdiri tepat sekitar tiga langkah lagi di depan Rangga. Kemudian dia duduk bersila tanpa mempedulikan kalau tempat ini hanya tanah berdebu.

Rangga sendiri tidak mengerti, kenapa tiba-tiba manusia setengah raksasa itu tidak garang seperti tadi. Bahkan sepasang bola matanya juga memancarkan cahaya persahabatan, bukan seperti tadi yang merah menyala penuh rasa permusuhan. Raden Segara merentangkan tangannya sedikit. Rangga mengerti, lalu duduk bersila di depan manusia raksasa itu. Tubuhnya dua kali lipat dari tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

"Apa maksudmu datang ke tempat ini?" tanya Raden Segara. Meskipun suaranya lunak, tapi masih juga terdengar besar dan kasar.

"Hanya kebetulan lewat," sahut Rangga.

"Hm.... Kau seorang pengembara?"

"Benar."

"Kalau kau tidak punya tujuan di sini, sebaiknya cepat angkat kaki. Aku tidak mau kau celaka di sini. Kau orang asing, dan aku tidak suka lagi ada pembunuhan orang asing di sini," tegas nada suara Raden Segara.

Rangga tidak bersuara. Diliriknya Kencana yang masing berlutut bersandar pada dinding tembok pagar tinggi dan sangat besar. Raden Segara juga melirik ke arah yang sama.

"Kencana, kemari kau!" panggil Raden Segara.

"Hamba, Raden...," sahut Kencana dengan suara bergetar.

Gadis yang berpakaian koyak itu menggeser tubuhnya mendekat. Kepalanya tertunduk, lalu memberi hormat pada manusia setengah raksasa itu.

"Kau sudah kuberi kesempatan, tapi kenapa tidak digunakan?" ujar Raden Segara menatap tajam pada gadis itu.

"Ampun, Raden. Hamba..., hamba...," jawab Kencana tergagap.

"Aku tidak suka mendengar alasanmu lagi. Pergi-lah sebelum para pengawal Ayahanda Prabu menemukanmu di sini."

Kencana memberi hormat dengan merapatkan telapak tangannya di depan hidung Gadis itu melirik Rangga yang duduk tidak jauh di sampingnya.

"Sebaiknya gadis ini kau bawa pergi, aku percaya kau bersedia melindunginya," kata Raden Segara seperti bisa mengerti lirikan Kencana.

"Kenapa?" tanya Rangga tidak mengerti.

"Cepatlah, sebelum mereka menemukan kalian di sini," desak Raden Segara.

Rangga bangkit berdiri, tapi benaknya masih dipenuhi berbagai macam pertanyaan dan keheranan. Sama sekali tidak dimengerti akan semua kejadian ini Rangga menghampiri Kencana sambil bersiul sedikit Tidak berapa lama, seekor kuda hitam datang meng hampiri.

"Naiklah ke kudaku," kata Rangga.

Kencana memandangi pemuda di depannya, kemudian menatap pada Raden Segara. Manusia setengah raksasa yang sudah berdiri itu, menganggukkan kepalanya sedikit Gadis itu segera naik ke punggung kuda hitam dibantu Rangga. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti itu juga melompat naik ke belakang gadis itu. Dewa Bayu masih belum digebah, karena masih ada satu ganjalan yang mengganggu benaknya.

"Raden, kalau boleh aku tahu, kenapa kau tadi menyerangku?" tanya Rangga

"Hanya untuk mengujimu. Ah, sudahlah...! Cepat kalian pergi!" sahut Raden Segara.

Rangga ingin bertanya lagi, tapi manusia tinggi besar itu sudah melesat cepat. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan. Pendekar Rajawali Sakti itu tidak menggebah kudanya kern ball ke arah semula, tapi malah memacunya ke arah Selatan.

Dewa Bayu terus berlari kencang bagai melayang di atas tanah. Mungkin karena debu yang mengepul itulah yang menandakan kalau keempat kakinya mendepak tanah. Rangga terus memacunya cepat, dan keluar dari perkampungan aneh itu. Lari kudanya dihentikan setelah berada di dalam hutan, jauh dari tempat yang membuatnya jadi seperti orang gila. Rangga benar-benar tidak mengerti akan semua peristiwa yang dialaminya sekarang. Sepertinya berada di alam lain saja!

"Hup!"

Pendekar Rajawali Sakti melompat turun, kemudian membantu Kencana turun dari punggung kuda hitam itu. Gadis itu langsung melangkah pelan, kemudian menghenyakkan tubuhnya di atas akar pohon yang menyembul dari dalam tanah. Rangga menghampiri dan berdiri bersandar pada pohon itu. Dibiarkan saja kudanya merumput

"Terima kasih! Raden telah membawaku keluar dari neraka itu," ucap Kencana perlahan.

"Apa maksudmu? Neraka?" tanya Rangga tidak mengerti.

"Tempat itu merupakan penjara yang lebih menyakitkan daripada neraka...," jelas Kencana sambil tertunduk. Suaranya juga terdengar begitu pelan, hampir tak tertangkap.

Rangga menghampiri dan duduk di sebelahnya. Dipandangi gadis itu dalam-dalam, kemudlan diangkatnya wajah Kencana dengan ujung jari berada di dagu. Ditatapnya bola mata yang bulat indah itu. Dalam hati, Rangga mengakui kecantikan Kencana. Hanya saja keadaannya yang kotor dan tidak terawat membuat kecantikannya agak memudar.

Di dalam sinar mata indah itu, Rangga bisa menangkap adanya sesuatu yang tersembunyi dalam diri gadis ini. Yang jelas, terlihat adanya tekanan penderitaan yang sangat besar. Pendekar Rajawali Sakti itu membetulkan letak pakaian Kencana yang tidak karuan bentuknya. Gadis itu diam saja, bahkan malah memandangi dengan sinar mata sukar diartikan.

******************

Rangga duduk menghadapi api unggun kecil. Sedangkan tidak jauh di sampingnya, Kencana tidur memeluk lutut. Udara malam ini memang dingin sekali. Sesekali Rangga melirik gadis itu yang selalu merintih menggigil karena kedinginan. Kalau saja bisa ditemukan sebuah goa di hutan ini, mungkin bisa lebih hangat. Tapi sudah satu harian berjalan, tidak juga ditemukan tempat yang cocok untuk bermalam. Hutan ini juga sangat luas, seperti tidak bertepi.

Rangga mengeluarkan lembaran-lembaran daun lontar dari balik lipatan sabuknya. Dibukanya satu persatu lipatan daun lontar itu, lalu dibacanya setiap tulisan yang tertera. Semua tulisan itu memberikan petunjuk agar dirinya menuju Selatan. Tapi, tidak dijelaskan untuk apa petunjuk itu. Rangga mencoba menghubungkan semua peristiwa yang dialami selama menuju Selatan ini. Beberapa kejadian memang seperti ada hubungannya dengan kepergiannya ini. Yang sudah jelas adalah perempuan tua itu

Sama sekali Rangga tidak mengerti maksud perempuan tua itu melarangnya pergi ke arah Selatan. Bahkan sempat mengancam! Sedangkan yang baru terjadi... Itu pun belum bisa dimengerti. Sampai saat ini Kencana masih belum bisa diajak bicara. Gadis itu seperti baru saja menghadapi persoalan yang membuatnya selalu diliputi perasaan takut. Sementara di daerah ini tidak ditemukan satu perkampungan pun, selain perkampungan yang aneh itu.

Mendadak, Rangga tersentak ketika telinganya mendengar desiran halus mengarah padanya. Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh. Dan betapa terkejutnya dia ketika melihat sebuah benda keperakan meluncur deras ke arahnya. Dengan sigap diangkat tangannya, dan ditangkapnya benda itu.

"Panah perak...," desis Rangga begitu melihat sebatang anak panah berada dalam genggamannya.

Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melompat ke arah datangnya anak panah ini, tapi tidak menemukan apa-apa di sana. Agak lama juga matanya ditajamkan mengamati ke sekeliling. Telinganya juga dipasang lebih tajam, tapi tetap saja sunyi sepi. Tak ada tanda-tanda ada seseorang di sekitar hutan ini. Rangga kembali menghampiri api unggun, lalu duduk kembali di tempatnya semula.

"Daun lontar lagi...," desisnya begitu melihat ada daun lontar terikat pada batang anak panah itu.

Rangga membuka ikatan daun lontar itu, dan melemparkan anak panahnya ke atas api. Keningnya berkerut membaca tulisan yang tertera di atas daun lontar. Sebentar ditatapnya Kencana yang masih tidur pulas, kemudian dibacanya lagi tulisan itu seperti kurang percaya.

"Bawa gadis itu ke Gunung Sintruk. Mutiara dari Selatan," gumam Rangga membaca tulisan itu sekali lagi

Rangga melipat daun lontar itu dan menyatukannya dengan yang lain di balik sabuknya. Kembali dipandangi Kencana yang masih melingkar tertidur pulas. Semakin memikirkan pesan pesan di dalam daun lontar itu, semakin kesal hatinya. Rangga merasakan dirinya seperti dijadikan bahan permainan belaka tanpa tujuan yang pasti. Tapi...

"Ah! Aku yakin, orang itu pasti punya tujuan. Hhh...! Caranya saja yang membuatku kesal!" gerutu Rangga seorang diri. "Huh! Kalau bertemu nanti, akan kuhajar dia!"

Rangga menggerutu kesal karena merasa diper-mainkan. Dilemparkan ranting ranting yang sudah lembab ke dalam api. Api itu memercik melahap ranting-ranting kering itu. Sebentar nyalanya kecil seperti hampir mati, kemudian membesar sehingga sekitarnya terasa hangat. Kencana menggeliat, dan Rangga melirik ke arah gadis itu. Rasa hangat dari api yang membesar, membuat gadis Itu tidak lagi memeluk lututnya.

Semalaman Rangga tidak bisa memejamkan matanya sekejap pun. Pikirannya sibuk dibebani oleh tulisan-tulisan yang tertera pada daun lontar. Pesan-pesan itu selalu ditujukan ke arahnya, menggunakan anak panah berwama perak. Dia yakin, orang yang mengirimkan pasti memiliki kepandaian memanah luar biasa. Dan yang pasti, punya tujuan tertentu. Hanya saja sampai saat ini Rangga belum tahu maksudnya.

Rangga mengangkat kepalanya ketika Kencana datang menghampiri. Gadis itu kelihatan segar dan cantik. Tidak jauh dari tempat Ini mengalir sungai kecil, dan gadis itu baru saja membersihkan dirinya di sana. Meskipun bajunya masih kotor dan koyak, namun wajahnya sudah begitu bersih memancarkan kecantikan yang selama ini tersembunyi. Rangga sampai tidak berkedip memandangnya.

"Berangkat sekarang?" ucap Rangga seraya bangkit berdiri.

Kencana hanya mengangguk saja.

"Mari kubantu," ajak Rangga sambil memegangi tali kekang kudanya.

"Jalan kaki saja," tolak Kencana.

"Aku tidak tahu harus berjalan ke mana. Sebaiknya kau naik kuda, biar aku saja yang jalan kaki," tegas Rangga.

"Kemarin kau sudah jalan kaki. Aku tidak ingin dimanjakan," rungut gadis itu.

"Baiklah, kalau itu keinginanmu," Rangga menyerah.

Tanpa bicara lagi, mereka berjalan. Rangga menuntun kudanya, sedangkan Kencana melangkah di sampingnya. Mereka berjalan pelan-pelan tanpa bicara sedikit pun. Kebisuan ini memang tidak menyenangkan, apalagi bersama teman seper-jalanan. Rangga mendehem tiga kali, seolah tengah mengumpulkan kata-kata untuk diucapkan. Sedangkan Kencana tetap saja membisu dengan kepala setengah tertunduk.

"Kencana, kau tahu di mana letaknya Gunung Sintruk?" tanya Rangga setelah cukup lama diam.

Kencana tidak langsung menjawab. Perlahan-lahan diangkat kepalanya, lalu ditatapnya Rangga yang juga tengah menatapnya. Gadis itu kembali memalingkan kepalanya menatap ke depan.

"Mau apa ke sana?" tanya Kencana tanpa menjawab pertanyaan Rangga tadi.

"Ada yang ingin kuketahui di sana," jawab Rangga. Sedangkan bagi Rangga, jawaban gadis itu tadi sudah cukup untuk mengerti bahwa dia tahu letak Gunung Sintruk.

"Tidak ada yang bisa didapatkan di sana, Raden," tegas Kencana.

"Berarti kau tahu letaknya, bukan?"

"Ya," sahut Kencana mendesah.

"Tunjukkan, di mana?" desak Rangga.

"Di Selatan," sahut Kencana pelan.

"Hm..., bukankah ini daerah Selatan? Lalu ke arah yang mana lagi?" tanya Rangga bingung juga.

"Jalan saja terus ke Selatan. Setelah keluar dari hutan ini, nanti akan bertemu sungai kecil. Seberangi sungai itu, terus akan bertemu sebuah desa. Namanya, Desa Sintruk. Letaknya memang di Kaki Gunung Sintruk. Tapi percuma saja kau ke sana. Desa itu sudah tidak berpenghuni lagi," jelas Kencana.

"Kenapa?" tanya Rangga ingin tahu.

"Entahlah," jawab Kencana seraya menghembuskan napas panjang.

Rangga menatap dalam-dalam. Dirasakan kalau gadis ini menyembunyikan sesuatu padanya. Gadis itu pasti tahu kenapa desa itu tidak berpenghuni lagi, tapi tidak bersedia mengatakannya. Dan Rangga sebenarnya ingin tahu, hanya saja tidak ingin terlalu mendesak. Sepertinya Kencana memang belum bisa tenang. Gadis ini memang terlalu pendiam, tidak suka bicara kalau tidak didahului.

Mereka terus saja melangkah perlahan-lahan menembus hutan yang cukup lebat Pohon-pohonnya terlalu tinggi dan rimbun, menghalangi cahaya mata hari. Udara di hutan ini terasa lembab sehingga lumut dan jamur tumbuh subur pada batang-batang pohon dan bebatuan. Sampai tengah hari, mereka baru berhenti. Dan itu pun sudah sampai di tepi hutan. Memang benar apa yang dikatakan Kencana. Tidak jauh di depan, mengalir sebuah sungai kecil yang airnya jernih.

"Hm.... Tidak terlalu sukar menyeberangi sungai ini," gumam Rangga seraya melangkah lebih ke tepi.

"Sungai ini memang dangkal. Dulu sering dipakai penduduk Desa Sintruk untuk mandi dan mencuci," sambung Kencana tanpa diminta

"Oh...," Rangga mengernyitkan keningnya menatap Kencana yang sudah berada di sampingnya.

Kencana seperti tidak tahu kalau tengah dipandangi. Wajahnya tetap lurus ke depan, tapi tatapan matanya kosong ke seberang sungai. Rangga juga mengalihkan pandangannya ke sana.

"Yuk...?" ajak Rangga.

Kencana tetap diam, tapi kakinya melangkah juga menyeberangi sungai itu. Rangga mengikutinya dari belakang sambil menuntun kuda hitamnya. Mereka tidak mendapat kesulitan sama sekali ketika menyeberangi sungai kecil ini. Dasarnya begitu dangkal, dan aimya sejuk jemih mengalir tenang. Mereka langsung saja berjalan begitu keluar dari sungai, dan tanpa bicara lagi.

******************

Rangga jadi heran setengah mati melihat Kencana tiba-tiba menangis begitu tiba di depan sebuah rumah yang cukup besar di Desa Sintruk Desa yang tampak sunyi senyap dan tidak berpenghuni sama sekali. Beberapa rumah tampak hancur, dan sebagian lagi sudah roboh rata dengan tanah. Pendekar Rajawali Sakti itu menepuk pundak Kencana yang masih terisak memandangi rumah besar itu.

"Kenapa, Kencana?" tanya Rangga lembut.

"Tidak..., tidak apa-apa. Yuk, jalan lagi," jawab Kencana seraya mengayunkan kakinya.

Tapi Rangga cepat menarik tangan gadis itu, dan menahannya. Belum sempat Rangga membuka mulut, mendadak dari dalam rumah besar itu melesat bayangan yang langsung menerjang mereka. Cepat sekali Rangga melompat ke samping sambil menarik tubuh Kencana. Untunglah terjangan itu luput dari sasaran. Rangga mendorong tubuh gadis itu agar berlindung ke balik tembok yang berlumut

"Tunggu...!" seru Rangga ketika melihat seorang perempuan setengah baya sudah bersiap hendak menyerangnya kembali. Wanita berbaju ketat warna kuning gading itu telah menghunus sebilah pedang pendek yang tipis, agak kehitaman. Diurungkan niatnya untuk menyerang setelah mendengar bentakan Rangga.

"Siapa kau? Kenapa menyerangku?" tanya Rangga.

"Tidak perlu banyak tanya, Anak Muda! Siapa pun yang berani masuk ke sini harus mampus!" ujar wanita setengah baya itu ketus.

"Kenapa? Apakah daerah ini terlarang?" tanya Rangga tidak mengerti.

Saat itu Kencana keluar dari persembunyiannya. Wanita setengah baya itu menatap gadis berpakaian koyak yang baru muncul dari balik tembok. Pada saat yang sama, Kencana juga menatap ke arahnya. Sesaat mereka saling tatap. Tentu saja hal ini membuat Rangga jadi semakin tidak mengerti.

"Ibu...," desis Kencana lirih.

"Kencana, Anakku...!"

Tiba-tiba saja kedua wanita itu berlari, dan saling berpelukan erat sambil mendesis lirih. Rangga hanya memperhatikan, tapi kepalanya dipenuhi tanda tanya besar. Sungguh tidak bisa dipahami semua kejadian ini. Kencana memanggil wanita setengah baya itu dengan sebutan Ibu. Sedangkan sebaliknya, wanita itu memanggil anak pada Kencana. Apakah mereka...?

Rangga belum berpikir lebih jauh lagi, tapi Kencana dan wanita setengah baya Itu sudah melepaskan pelukannya. Mereka sama-sama menatap pada Pendekar Rajawali Sakti. Kencana melangkah menghampiri sambil memegangi tangan wanita setengah baya itu.

"Ibu..., dia yang menolongku keluar dari mereka," tegas Kencana, memahami apa yang tengah dipikirkan ibunya.

Rangga menganggukkan kepalanya sedikit, tapi benaknya tetap diliputi berbagai macam pertanyaan. Dijulurkan tangannya yang kemudian disambut wanita itu. Rangga menyebutkan namanya dan melepaskan tangannya kembali.

"Aku Nyai Talut. Terima kasih atas pertolonganmu membebaskan anakku," ucap wanita setengah baya itu memperkenalkan diri. Tapi nada suaranya agak tersendat. "Maaf kalau tadi aku tidak ramah padamu, Den..."

"Rangga, Nyai. Panggil saja aku Rangga," potong Rangga mendengar suara Nyai Talut terputus.

"Mari, sebaiknya kita ke dalam," ajak Nyai Talut Rangga tidak menolak, lalu ikut melangkah di belakang Nyai Talut dan Kencana. Dua wanita itu berjalan sambil berangkulan mesra. Sedangkan Rangga memperhatikan saja dari belakang. Mereka masuk ke dalam rumah besar berdinding batu.

Sejenak Rangga memandangi bagian dalam rumah ini. Keadaannya sangat kotor, seperti cukup lama tidak pernah terjamah tangan. Sarang laba-laba menyemati bagian atas, ditambah debu yang menebal. Hampir semua perabotannya hancur berserakan di lantai. Nyai Talut membawa masuk ke ruangan lain, dan tibalah mereka pada salah satu kamar yang cukup bersih.

Sebuah kamar tidur dengan ranjang cukup besar. Di situ juga ada seperangkat meja kursi yang terletak di bawah jendela, dan lemari besar berukir di salah satu sudut kamar ini. Rangga menghenyakkan tubuhnya di kursi setelah dipersilakan. Sedangkan Kencana merebahkan dirinya di pembaringan. Nyai Talut sendiri hanya duduk saja di tepi pembaringan.

"Bagaimana ceritanya sehingga kau bertemu dengan anakku, Den Rangga?" tanya Nyai Talut setelah cukup lama berdiam diri.

"Tidak sengaja, Nyai," sahut Rangga yang sengaja menutupi hal yang sebenarnya sehingga ada di daerah Selatan ini.

"Ibu..., Raden Rangga masuk ke daerah terlarang itu. Semula aku takut. Tapi setelah Raden Segara muncul dan menolong kami lari, aku jadi percaya kalau Den Rangga orang baik, Bu," selak Kencana seraya duduk di samping ibunya.

"Raden Segara...?!" Nyai Talut nampak terkejut

"Benar, Bu. Raden Segaralah yang selalu melindungiku, dan memintaku untuk menjadi pelayan pribadinya. Dia orang baik, Bu. Bahkan selalu membelaku dari mereka yang bermaksud kotor," tutur Kencana.

"Manusia-manusia busuk itu memang harus dibasmi!" dengus Nyai Talut dingin

"Bu...," terputus suara Kencana.

"Apa saja yang telah mereka lakukan padamu, Kencana?" tanya Nyai Talut.

"Mereka tidak melakukan apa apa, Bu. Sungguh... Raden Segara selalu melindungiku, bahkan juga menolongku melarikan diri," kata Kencana mengulang lagi.

"Apa pun katamu, mereka telah membuat keluarga kita berantakan. Bahkan seluruh penduduk desa ini telah hancur karenanya. Mereka telah menyengsarakan dirimu, menjadikanmu budak! Penghinaan ini harus dibalas, Kencana!" tegas dan bernada dingin kata-kata Nyai Talut.

Kencana terdiam. Sementara itu Rangga hanya memperhatikan saja tanpa membuka suara sedikit pun. Dicobanya untuk menelaah setiap pembicaraan kedua wanita itu. Namun Pendekar Rajawali Sakti masih juga belum bisa mengerti penuh. Apalagi untuk menghubungkannya dengan tulisan-tulisan pada daun lontar yang membawanya sampai ke daerah ini. Daerah yang begitu jauh dari tempat asalnya.

Sementara Rangga masih disibuki dengan pikirannya, Kencana bangkit berdiri dan menghampiri lemari besar, lalu membukanya. Diambilnya seperangkat pakaian, kemudian gadis itu melangkah keluar dari kamar ini. Nyai Talut juga ikut keluar setelah memberi pesan agar Rangga jangan pergi dulu sampai mereka kembali. Rangga hanya mengangguk saja.

******************

TIGA

Dua hari Rangga terpaksa tinggal di dalam rumah besar ini, dan baru sekaranglah dapat mengetahui keadaan yang telah terjadi di Desa Sintruk yang terletak di bagian Utara kaki Gunung Sintruk. Desa ini memang telah dihancurkan oleh sekelompok orang yang menginginkan berdirinya sebuah kerajaan di daerah Selatan ini. Seluruh penduluk desa telah diangkut dan dijadikan budak untuk bekerja paksa membangun daerah Selatan.

Dan perkampungan aneh yang dilihat Rangga kemarin, merupakan benteng pertahanan sekelompok orang itu. Bukan hanya Desa Sintruk yang dihancurkan, tapi desa-desa lain pun mengalami nasib yang sama tanpa terkecuali. Mereka membunuh orang-orang jompo dan lemah, mengangkut yang masih muda dan kuat. Tidak peduli apakah itu laki-laki atau perempuan. Sedangkan anak-anak tidak dibutuhkan, sehingga dibantai habis semuanya.

Darah Pendekar Rajawali Sakti mendidih tatkala mendengar semua penuturan Nyai Talut dan Kencana itu. Nyai Talut masih beruntung dapat meloloskan diri dari kekejaman orang-orang liar yang terlalu muluk keinginannya. Hanya saja, dia tetap bertahan di tanah kelahirannya sambil menunggu saat yang tepat untuk membalas semua kekejaman ini.

"Sebenarnya bukan aku saja yang berhasil lolos, Den. Masih ada beberapa lagi, termasuk suamiku yang kini entah berada di mana...," tutur Nyai Talut di suatu malam saat mereka berada di dalam kamar yang hanya satu-satunya bisa ditempati.

"Jumlah mereka hanya sedikit, tidak lebih dari dua puluh orang. Kenapa tidak dapat dilawan?" tanya Rangga.

"Terlalu tangguh, Den. Tubuh mereka besar-besar bagai raksasa. Bahkan juga kebal terhadap senjata apa pun juga. Desa Sintruk ini juga mempunyai perguruan silat Tapi semua muridnya, bahkan semua guru kami tewas di tangan mereka. Siapa saja yang mencoba melawan akan dibunuh tanpa ampun," ujar Nyai Talut, agak pelan suaranya.

"Mereka berasal dari mana?" tanya Rangga yang teringat akan Raden Segara, laki-laki berwajah cukup tampan dan bertubuh tinggi besar setengah raksasa itu.

"Tidak ada yang tahu mereka datang dari mana, Den. Tahu-tahu muncul dan menjarah harta kami semua. Mereka mendirikan sebuah perkampungan di sebelah Utara Hutan Nangkil. Bahkan juga membangun rumah-rumah bagai benteng pertahanan. Hhh.... Kau pasti sudah melihatnya, Den."

"Benar. Memang agak aneh juga bentuknya," desah Rangga.

Rangga menatap Kencana yang sejak tadi diam saja. Gadis itu hanya duduk di tepi pembaringan sambil memandang ke luar melalui jendela yang terbuka. Udara malam yang cukup dingin berhembus kencang menerobos masuk. Kencana tampak cantik dengan baju biru muda yang agak ketat Namun wajahnya masih terlihat murung, seolah-olah masih menyembunyikan sesuatu dalam dirinya. Sesuatu yang hanya diketahuinya sendiri.

"Sudah lama aku berusaha mencari bantuan untuk membebaskan seluruh penduduk Desa Sintruk dari cengkraman mereka, tapi semua usahaku sia-sia saja. Kebanyakan yang kumintakan bantuan, mengharapkan imbalan yang sangat besar. Sedangkan aku sendiri tidak punya apa-apa lagi," Nyai Talut mengeluh.

Rangga agak tersentak juga mendengar keluhan itu. Ingatannya langsung tertuju pada daun-daun lontar yang diterimanya secara aneh dalam beberapa hari ini. Kalimat-kalimat yang tertera di situlah yang membawanya sampai ke tempat ini. Rangga mengeluarkan lipatan-lipatan daun lontar dari balik sabuknya, kemudian menyerahkannya pada Nyai Talut. Wanita setengah baya itu memandang Rangga tidak mengerti.

"Terus terang, aku sampai ke sini karena mendapat petunjuk seseorang yang tidak jelas siapa orangnya. Dia mengirimkan daun-daun lontar ini padaku," jelas Rangga.

Nyai Talut menerima daun-daun lontar itu, lalu membuka lipatannya satu persatu. Kencana menghampiri, dan ikut membaca setiap baris kali mat yang tertera pada daun lontar itu. Sesaat kedua wanita itu menatap Rangga setelah selesai membaca semua daun lontar itu. Nyai Talut menyerahkan kembali pada Rangga.

"Apakah Nyai yang mengirimkan semua ini?" tebak Rangga. Disimpannya kembali semua daun lontar itu dalam sabuknya di pinggang.

"'Tidak...," sahut Nyai Talut keheranan.

"Aneh juga ya, Bu. Semua daun lontar itu ada tulisan Mutiara dari Selatan...," gumam Kencana seperti bicara kepada dirinya sendiri.

"Dugaanku, itu hanya sebuah kata samaran saja," kata Rangga.

"Itu bukan nama samaran, tapi sebuah julukan yang sangat terkenal di sini," sergah Nyai Talut

"Oh...?!" Rangga tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

"Sudah terlalu lama tidak kudengar lagi namanya. Yaaah.... Sejak orang-orang liar itu menjarah ke desa ini, Mutiara dari Selatan seperti menghilang begitu saja. Padahal aku pribadi mengharapkan kemunculannya untuk mengenyahkan mereka selamanya," ujar Nyai Talut agak pelan suaranya.

"Siapa Mutiara dari Selatan itu?" tanya Rangga.

Belum sempat Nyai Talut menjawab, tiba-tiba mereka dikejutkan suara bergemuruh dari luar. Suara itu demikian jelas terdengar, dan menggetarkan seluruh isi kamar ini. Rangga langsung melompat ke jendela, begitu pula Nyai Talut dan Kencana Mereka membeliak begitu melihat apa yang ada di luar dari jendela kamar ini. Sementara suara gemuruh itu semakin jelas terdengar.

******************

"Hhh! Apa maksudnya mereka datang ke sini...?" dengus Nyai Talut setengah bergumam.

Di luar sana memang terlihat enam orang laki-laki bertubuh tinggi besar bagai raksasa. Pakaian mereka begitu indah, dan berhias manik-manik dari batu mutiara. Mereka berdiri tegak di depan rumah ini. Di tangan masing-masing tergenggam sebuah gada berwama kuning emas, yang ujungnya berbentuk bulatan berduri kasar dan tajam.

"Kencana! Tidak ada gunanya bersembunyi! Keluarlah kau...!" teriak salah seorang dengan suara besar menggelegar. Orang itu berdiri paling tengah menyandang gada besar di pundaknya.

"Ibu...," Kencana jadi bergetar. Wajahnya seketika pucat pasi. Dipeluk ibunya erat-erat

"Tenanglah, Kencana. Mereka tidak akan membawamu kembali. Kau aman bersamaku," Nyai Talut berusaha menenangkan anak gadisnya.

"Hm..., dari mana mereka tahu Kencana ada di sini?" gumam Rangga bertanya pada dirinya sendiri.

"Raden Segara," sergah Nyai Talut menyahut

Rangga menatap Nyai Talut dalam-dalam, kemudian melirik Kencana. Gadis itu hanya diam saja, namun sinar matanya menyiratkan bantahan atas dugaan ibunya tadi.

"Bukan hanya Kencana saja yang jadi umpan permainannya. Sudah banyak gadis yang dilepas, kemudian diburu lagi untuk kesenangan," kata Nyai Talut.

"Bu...," Kencana ingin membantah.

"Kebaikannya hanya sementara, Kencana. Kau akan tahu nanti, siapa sebenarnya Raden Segara itu. Dia tidak lebih dari seorang iblis berhati kejam dan licik. Kalau dapat tertangkap kembali, kau akan diperkosa dan dibunuh!"

Kencana bergidik mendengamya, namun sinar matanya masih juga belum percaya atas keterangan ibunya itu. Sedangkan Rangga sudah mengalihkan perhatiannya kembali pada enam orang laki-laki bertubuh setengah raksasa di depan rumah ini. Mereka mulai bergerak perlahan menghampiri. Rangga membuka jendela lebar-lebar, kemudian menatap pada Nyai Talut dan Kencana.

"Menyingkirlah sebelum mereka mengetahui," perintah Rangga setengah berbisik

"Sulit menghadapi mereka sendirian, Raden," kata Nyai Talut.

"Aku hanya mengalihkan perhatian mereka sampai kalian berada di tempat yang aman," tegas Rangga.

"Ayo, Bu. Kita cepat pergi dari sini," desak Kencana ketakutan.

"Baik, hati-hatilah Mereka tidak bisa diajak damai," pesan Nyai Talut.

Rangga hanya tersenyum Nyai Talut mengajak anak gadisnya menghampiri pintu lemari, lalu membukanya. Rangga memperhatikan sebentar. Ternyata itu adalah sebuah pintu rahasia. Di balik lemari terdapat pintu lain yang langsung menembus ke sebuah lorong. Nyai Talut bergegas masuk diikuti Kencana. Mereka menutup kembali pintu lemari itu. Sedangkan Rangga bergegas melompat keluar dari jendela setelah mematikan lampu ruangan ini.

Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf sempurna, Pendekar Rajawali Sakti itu langsung meluruk ke arah enam orang yang tengah bergerak perlahan mendekati rumah besar ini. Mereka cukup terperanjat, karena tiba-tiba mendapat serangan dari sebuah bayangan putih yang bergerak begitu cepat bagai kilat.

Rangga ingat pesan Nyai Talut, dan mempercayai keterangan wanita setengah baya itu. Enam orang laki-laki bertubuh tinggi besar itu berlomatan menghindari terjangan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu cepat. Dan belum lagi sempat mengatur posisi, Rangga sudah menyerang mereka kembali. Tentu saja enam orang bagai raksasa itu jadi kelabakan. Rangga memang menyerang disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang begitu sempurna, sehingga tidak bisa di ketahui arah dan kapan menyerangnya.

Pekikan melengking dan raungan keras terdengar saling sambut, disertai tubuh-tubuh besar yang bergelimpangan ke tanah. Rangga tidak memberi kesempatan sedikit pun untuk balas menyerang. Saat mereka baru bisa bangkit berdiri, Pendekar Rajawali Sakti itu sudah cepat menyerang kembali.

"Berpencar...!" seru salah seorang tiba-tiba.

Enam orang itu langsung berlompatan berpencar. Dan kini Rangga berada di tengah-tengah. Pendekar Rajawali Sakti itu jadi sangat gusar, karena tidak mungkin bisa menyerang sekaligus seperti tadi.

"Ha ha ha...!"

Tiba-tiba saja terdengar suara tawa menggelegar. Rangga langsung menoleh ke arah sumber suara tawa itu. Tampak Raden Segara berdiri tegak di atas tembok pagar rumah yang tidak begitu tinggi, namun cukup tebal dan kuat. Sarung pedang panjang dan besar tergenggam di tangan kirinya.

"Raden Segara! Apa yang kau lakukan ini?!" geram Rangga merasa dipermainkan.

"Bocah cilik! Kau harus dihukum berat karena berani membawa lari pelayanku!" kata Raden Segara keras menggelegar.

"Setan alas! Kau sendiri yang membantu melepaskannya!" bentak Rangga geram

"Ha ha ha...! Aku memang melepaskannya untuk binatang buruan. Tapi kemudian kau muncul, maka buruanku jadi dua. Ha ha ha!" Raden Segara tertawa terbahak-bahak.

Rangga menggeram dahsyat, benar-benar marah. Kata-kata Raden Segara sungguh menyinggung perasaannya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga segera menggerakkan tangannya di depan dada. Dan seketika itu....

"Aji 'Bayu Bajra'...!" seni Rangga keras.

Seketika itu juga tangannya menghentak ke arah Raden Segara. Dan bersamaan dengan itu, meluncur aliran angin deras yang begitu kuat dan dahsyat. Dorongan angin itu langsung menghantam tembok yang dipijak Raden Segara. Tembok itu langsung hancur berkeping-keping sehingga menimbulkan suara bergemuruh bagai terjadi gempa. Perkiraan Rangga, tubuh Raden Segara pasti hancur berkeping-keping. Tadi dilihatnya laki-laki bertubuh setengah raksasa itu tidak bergeming sedikit pun. Namun yang terjadi sungguh membuat Pendekar Rajawali Sakti membeliak tidak percaya.

"Setan...!" geram Rangga.

Raden Segara masih tetap berdiri tegak di atas reruntuhan tembok batu itu. Bahkan malah tertawa terbahak-bahak dan bersikap meremehkan. Rangga segera menghimpun kembali ajiannya, dan cepat sekali dilontarkan kembali aji 'Bayu Bajra' dengan kekuatan penuh.

"Ha ha ha...!"

Kembali Rangga terkejut. Jelas kalau gempurannya menghantam tubuh tinggi besar itu, namun sama sekali Raden Segara tidak bergeming! Manusia setengah raksasa itu benar-benar kebal, tidak mempan meskipun digempur ilmu kesaktian yang tangguh.

"Hm.... Akan kucoba dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'," gumam Rangga dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti itu segera mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' pada tingkat terakhir. Begitu dahsyatnya jurus itu, sehingga kedua kepalan tangannya berubah menjadi merah membara bagai terbakar. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melompat sambil berteriak keras menggelegar. "Hiyaaat..!"

******************

Pukulan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam dada Raden Segara yang tidak bergeming sedikit pun. Bahkan menerima pukulan itu tanpa membalas sama sekali. Namun yang terjadi sungguh di luar dugaan. Pendekar Rajawali Sakti malah terpental ke belakang begitu pukulannya menghantam dada laki-laki tinggi besar setengah raksasa itu.

Dua kali Rangga berputar di udara, kemudian manis sekali mendarat. Hampir tidak dipercaya kalau pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dapat berbalik. Seakan-akan baru saja memukul segumpal kapas yang begitu lunak. Jurus ampuhnya seperti teredam begitu saja.

"Keluarkan seluruh kepandaianmu, Rangga. Ha ha ha...!" Raden Segara tertawa mengejek. Bahkan enam orang yang sejak tadi diam, juga ikut tertawa terbahak-bahak

Rangga jadi geram karena dua serangannya tidak berarti sama sekali bagi manusia setengah raksasa, tapi berwajah cukup tampan itu. Rangga jadi ingat akan kata-kata Nyai Talut padanya. Semua kata-kata wanita setengah baya itu bukan bualan belaka. Dan kini Pendekar Rajawali Sakti merasakannya sendiri.

"Bunuh dia!" perintah Raden Segara.

Enam orang laki-laki bertubuh tinggi besar, langsung berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Gada mereka yang besamya melebihi paha orang dewasa, berdesiran cepat menimbulkan suara bergemuruh. Rangga berlompatan menghindari serangan dahsyat yang datang bertubi tubi. Setiap kali gada menghantam tanah, langsung berlubang membuat bumi bergetar. Tembok dan rumah rumah hancur terkena sambaran gada berduri enam orang setengah raksasa itu.

Tidak mudah bagi Pendekar Rajawali Sakti menghadapi enam orang lawannya kali ini. Beberapa pukulannya berhasil disarangkan telak, namun enam orang laki-laki bertubuh tinggi besar itu tidak terpengaruh sama sekali. Gerakan mereka memang tidak gesit, tapi tubuhnya begitu kebal. Rangga benar-benar kewalahan, tapi tidak mungkin bisa bertahan lama dalam keadaan seperti ini. Semua jurus andalannya sudah dikeluarkan, tapi tidak satu pun yang berguna.

Enam orang bertubuh besar setengah raksasa itu terus merangsek semakin ganas. Namun sampai sejauh ini, belum ada yang dapat menghantam Pendekar Rajawali Sakti. Padahal pemuda berbaju rompi putih itu sudah kewalahan. Sementara itu Raden Segara memperhatikan pertarungan itu dari tempatnya berdiri.

"Cukup!" bentak Raden Segara tiba-tiba.

Enam orang yang menyerang Rangga, serentak berlompatan mundur. Tanpa diduga, Rangga masih sempat melontarkan satu pukulan telak pada salah seorang dari mereka, dan tepat mengenai bagian mata. Orang itu meraung keras sambil menutupi wajahnya. Pukulan itu tepat menghantam di antara kedua matanya.

Tampak yang lain begitu terkejut, begitu pula Raden Segara. Orang itu menggerung-gerung bergulingan di tanah. Tampak darah mengucur keluar dari kening di atas hidungnya. Rangga sendiri tidak mengerti, mengapa pukulannya kali ini membuat lawannya bergulingan dan mengucurkan darah. Padahal sudah tidak terhitung lagi pukulan dan tendangan bertenaga dalam penuh, berhasil disarangkan pada tubuh lawannya, tapi tidak ada satu pun yang berarti banyak. Dan ini, pukulan terakhirnya ini.... Padahal tadi dilepaskan dengan pengerahan tenaga setengah, tapi malah berakibat di luar dugaan sama sekali.

"Keparat! Kau lukai orangku!" geram Raden Segara seraya melompat ke depan beberapa tombak jauhnya.

Pemuda berwajah tampan dan bertubuh tinggi besar bagai raksasa itu, menjejak bumi begitu keras. Tubuhnya melesat, dan mendarat tepat sekitar lima langkah lagi di depan Rangga. Bumi jadi bergetar bagai gempa. Rangga sempat terkejut juga, lalu melangkah mundur setindak.

"Kau harus membayar mahal, setan cilik!" dengus Raden Segara sambil menahan kemarahannya, melihat salah seorang pembantunya terluka menggerung-gerung di tanah.

Lima orang lainnya segera membantu temannya yang masih menggerung-gerung menutupi wajahnya. Darah semakin banyak keluar dari luka di antara kedua mata orang itu Raden Segara memberi isyarat agar dua orang itu membawa pergi orang yang terluka. Sedangkan tiga orang lainnya segera ber-gerak mengepung Pendekar Rajawali Sakti

Rangga menyadari kalau semua lawannya diliputi kemarahan yang meluap-luap akibat salah seorang dari mereka terluka. Dan Rangga juga mengetahui kelemahan mereka sekarang. Seluruh bagian tubuh orang-orang tinggi besar ini memang kebal. Tapi pada bagian di antara kedua mata jelas adalah kelemahan mereka!

"Hm..." Rangga bergumam perlahan. Dipandanginya empat orang yang sudah mengepungnya.

"Bunuh dia...!" seru Raden Segara memberi perintah.

"Yaaah...!"

Tiga orang serentak beriompatan sambil mengayunkan gada yang besamya bukan main. Rangga melompat melentingkan tubuhnya menghindari hantaman gada itu, yang langsung menghajar tanah hingga berlubang. Pada saat itu, "Rangga mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras melengking, Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak menukik dan kedua kakinya bergerak cepat berputar. Ketiga orang itu terperangah, karena sepasang kaki itu jelas mengincar bagian tengah-tengah mata. Cepat-cepat mereka berlompatan menghindar.

Tapi Rangga tidak membiarkan begitu saja. Begitu kakinya menjejak tanah, dengan cepat diganti jurusnya menjadi 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', dan langsung diarahkan ke wajah salah seorang yang berada di depannya.

"Ah...!" orang itu terperangah.

Namun belum juga pukulan Rangga mencapai sasaran, dengan cepatnya Raden Segara melompat sambil mengibaskan pedang yang panjang dan besar. Satu desiran angin keras membuat Rangga melentingkan tubuhnya ke belakang, menggagalkan serangannya. Dan belum lagi kaki Pendekar Rajawali Sakti itu menjejak tanah, salah seorang sudah melompat sambil mengayunkan gadanya.

"Hait..!"

Rangga tidak bisa lagi berkelit. Cepat-cepat disampoknya gada itu dengan satu tendangan keras. Tapi Rangga malah memekik keras. Kakinya seperti remuk begitu menendang gada itu. Buru-buru tubuhnya melompat ke atas, dan hinggap di atap rumah. Secepat itu pula dilentingkan tubuhnya, dan langsung lenyap ditelan kegelapan malam.

"Kejar...! Jangan biarkan lolos!" seru Raden Segara memerintah.

Tiga orang pembantunya segera berlarian mengejar. Dan Raden Segara sendiri bergegas melangkah menghampiri jendela kamar yang terbuka lebar tempat Rangga keluar tadi. Raden Segara melompat masuk. Tak lama, terdengar suara ribut dari barang-barang yang terbanting Sebentar kemudian laki-laki tinggi besar itu sudah melompat kembali keluar. Wajahnya merah padam.

"Setan keparat..! Kubunuh kalian semua...!" teriak Raden Segara keras.

Begitu kerasnya teriakan itu, sehingga suaranya menggelegar terpantul Gunung Sintruk yang membelakangi desa ini. Raden Segara bergegas melompat mengejar ke arah Rangga melailkan diri tadi. Malam yang semula bising oleh suara pertempuran, kini jadi sunyi senyap bagai tidak pernah terjadi apa-apa di tempat itu.

******************

EMPAT

Rangga duduk merenung sendiri sambil memandang ke arah Desa Sintruk. Diyakini kalau ini adalah tujuannya yang terakhir dari pesan pesan yang tertulis di atas selembar daun lontar. Sejak sampai di desa itu, tidak ada lagi pesan-pesan yang diterimanya.

Hanya saja masih belum dimengerti, untuk apa orang yang menamakan diri Mutiara dari Selatan itu menggiringnya ke tempat ini? Tempat yang aneh dengan peristiwa-peristiwa yang membuat kepalanya serasa akan pecah. Dan kini dia sendiri tidak tahu di mana kini berada.

"Kencana...," desis Rangga tiba-tiba.

Entah dari mana datangnya, tahu-tahu Rangga teringat gadis yang ditolongnya sehingga membuatnya sekarang ada di tempat sunyi mengerikan ini. Tempat ini ditumbuhi pohon-pohon besar yang sepertinya tidak pernah terjadi siang. Sepertinya selalu diselimuti gelap. Rangga sendiri jadi heran. Sejak masuk ke Desa Sintruk, suasana di sekitar Gunung Sintruk ini selalu terlihat malam.

Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas bangkit berdiri, tapi sesaat kemudian menjadi tercenung. Dia tidak tahu, di mana Kencana dan ibunya kini berada. Apalagi untuk mengetahui, di mana tembusan jalan rahasia yang dimasuki kedua wanita itu. Jalan satu-satunya hanya melalui rumah itu kembali. Tapi tidak mungkin. Rumah itu sekarang ini pasti tengah diawasi.

Selagi Pendekar Rajawali Sakti kebingungan, mendadak sebuah benda keperakan meluncur pesat ke arahnya. Dengan sigap sekali Rangga memiringkan tubuhnya sedikit ke belakang, dan tangannya langsung bergerak menanngkap benda itu.

"Panah perak!" desis Rangga.

Langsung diambilnya daun lontar yang terikat di tengah-tengah batang panah berwarna perak itu. Keningnya berkerut membaca tulisan di atas daun lontar itu.

"Berjalanlah membelakangi Desa Sintruk. Kau akan menemukan sebuah kuil tua. Tunggu di sana!" Rangga membaca dengan suara pelan.

"Huh! Apa maksudnya orang ini...?" dengus Rangga jadi kesal sendiri.

Daun lontar itu diselipkan di balik sabuknya, menyatu dengan daun-daun lontar sebelumnya. Sebentar Rangga memandangi sekitarnya, lalu berbalik membelakangi arah Desa Sintruk. Kakinya mulai melangkah pergi. Meskipun benaknya dipenuhi berbagai macam pertanyaan, namun Rangga tetap menuruti kata-kata yang tertera pada daun lontar itu. Hatinya memang semakin penasaran. Apa sesung-guhnya yang diinginkan orang itu? Memberi petunjuk tanpa jelas maksudnya lewat selembar daun lontar pada sebatang anak panah perak.

Namun belum lagi Rangga jauh berjalan, mendadak sebuah bayangan berkelebat di depannya. Dan kini, tahu-tahu di depan Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berdiri seorang perempuan tua yang bertongkat warna perak. Rangga terkejut juga atas kemunculan perempuan tua berbaju kumal itu.

"Kau benar-benar keras kepala, bocah!" dingin nada suara perempuan tua itu.

"Kenapa kau selalu menggangguku, Nisanak?" tanya Rangga, kesal juga terhadap perempuan tua ini.

Kemunculannya selalu membuat masalah, dan selalu menghalangi kepergiannya ke daerah Selatan ini. Sama sekali Rangga tidak tahu, apa keinginan perempuan tua yang tidak pernah bersedia menyebutkan namanya itu.

"Karena kau terlalu angkuh dan keras kepala, Pendekar Rajawali Sakti!" sahut wanita tua itu ketus.

"Nisanak. Aku tidak kenal siapa dirimu. Aku juga tidak tahu apa maksudmu selalu menghalangi jalanku. Sebelumnya belum pernah kita bertemu, kecuali waktu itu. Dan kau muncul langsung membuat persoalan. Katakan yang sebenarnya, siapa dirimu? Dan apa maksudmu selalu menghalangi? Apa tujuanmu sebenarnya...?" Rangga memborong semua pertanyaan dan kekesalan hatinya.

"Dasar bodoh! Seharusnya kau sudah bisa mengerti, Pendekar Rajawali Sakti!"

"Jangan berbelit-belit, Nisanak. Siapa kau ini sebenarnya?" desak Rangga tidak sabar.

"Kau lihat tongkatku ini, bocah...?" perempuan tua itu menunjukkan tongkat peraknya. "Aku dikenal dengan nama si Iblis Tongkat Perak!"

Wanita tua yang memperkenalkan nama julukannya itu jadi tertegun, karena apa yang diharapkan meleset sama sekali. Semula diduganya pemuda itu bakal terkejut mendengar namanya. Tapi. Rangga kini malah tersenyum senyum. Iblis Tongkat Perak menghentakkan tongkatnya ke tanah, tepat di ujung kakinya.

"Nama yang hebat. Cocok untuk menidurkan anak kecil," dengus Rangga sinis.

"Kadal! Harus kau bayar penghinaan ini, bocah keparat!" geram si Iblis Tongkat Perak marah.

"Lantas, kapan akan kau bayar keusilanmu?" tantang Rangga berbalik.

"Aku bukan usil, tapi memperingatkanmu!"

"Oh, ya ? Dengan cara menghambat perjalananku? Begitu? Nisanak, sudah dua kali kau halangi jalanku. Untuk apa kau lakukan itu?" selidik Rangga.

"Kau sendiri, apa maksudmu ke daerah Selatan ini?" Iblis Tongkat Perak malah balik bertanya.

"Bukan urusanmu!" dengus Rangga sengit "Kau selalu menghalangi perjalananku. Kenapa masih bertanya juga? Kau pasti sudah tahu jawabannya!"

"Bocah sombong!"

Iblis Tongkat Perak menghentakkan tongkatnya ke tanah. Perlahan-lahan diangkat tongkat berwarna perak itu. Satu ujungnya ditujukan lurus ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu bisa ditebak kalau wanita tua itu menginginkan pertarungan. Pendekar Rajawali Sakti segera bersiap-siap menyambut serangan Iblis Tongkat Perak.

******************

"Kau tidak akan berhasil, bocah. Kembalilah! Ini peringatanku yang terakhir!" tegas dan dingin sekali nada suara si Iblis Tongkat Perak.

"Juga terakhir bagimu menghalangiku, Iblis Tongkat Perak!" sambut Rangga tidak kalah dinginnya.

"Kepala batu! Terimalah kematianmu! Hiyaaa...!"

Perempuan tua itu tidak mungkin menarik serangannya kembali. Dia berteriak keras dan melompat cepat sambil mengibaskan tongkatnya ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti. Namun Rangga yang sudah siap sejak tadi, hanya menarik kepalanya sedikit ke belakang.

Di luar dugaan, Iblis Tongkat Perak cepat menusukkan tongkatnya begitu kibasannya melewati sasaran. Cepat-cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan. Pada saat itu juga ditarik kakinya ke belakang. Dan dengan kecepatan kilat, dihentakkan kakinya ke depan.

"Uts...!"

Iblis Tongkat Perak terperanjat. Buru-buru ditarik tubuhnya ke belakang selangkah, dan langsung dikibaskan tongkatnya ke arah kaki Pendekar Rajawali Sakti. Namun kaki itu bisa berputar, seraya mengikuti arah kibasan tongkat itu. Dan begitu kaki Rangga menapak tanah, langsung dilentingkan tubuhnya ke depan setelah ujung kakinya bertumpu pada tanah. Segera saja dikirimkan satu tendangan keras bertenaga dalam sangat tinggi.

"Keparat!" dengus Iblis Tongkat Perak terkejut

Buru-buru tubuhnya dibanttng ke tanah dan bergulingan beberapa kali, lalu cepat-cepat melompat bangkit. Sementara itu Rangga sudah berdiri tegak dan bersikap menantang. Iblis Tongkat Perak mendengus kesal menyemburkan ludahnya. Sepasang matanya merah menyala bagai bola api yang hendak membakar hangus tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Jangan bangga dulu dengan ilmu picisanmu itu, Pendekar Rajawali Sakti. Rasakanlah tongkatku ini. Yaaat..!" Iblis Tongkat Perak kembali melompat sambil mengirimkan serangan beruntun.

"Hup! Hiyaaa!"

Untuk menghadapi serangan itu, Rangga mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Satu jurus yang mengandalkan kecepatan dan kelincahan gerak kaki. Itu pun masih diimbangi kelenturan tubuh dalam menghindari setiap serangan yang datang. Beberapa kibasan maupun tusukan tongkat perak itu, dapat dihindarkan dengan mudah. Hal itu membuat si Iblis Tongkat Perak semakin bertambah berang.

Jurus demi jurus berlalu cepat Namun Iblis Tongkat Perak belum juga mampu mendesak Pendekar Rajawali Sakti yang hanya berkelit dan meng hindar tanpa memberikan perlawanan sama sekali. Namun begitu, tidak mudah bagi Iblis Tongkat Perak menjatuhkannya. Untuk mendesak saja sampai saat ini belum bisa dilakukannya. Dia tidak tahu kalau Rangga masih mempelajari setiap jurus yang dikeluarkan Iblis Tongkat Perak.

"Hap! Lepas...!"

Tiba-tiba saja Rangga berseru nyaring. Tepat ketika ujung tongkat Iblis Tongkat Perak mehusuk ke arah dada, Pendekar Rajawali Sakti memiringkan tubuhnya ke samping. Dan tanpa diduga, tangan kanannya menghentak cepat Iblis Tongkat Perak terperanjat setengah mati. Buru-buru ditarik pulang tongkatnya. Namun gerakannya terlambat! Dupakan tangan Pendekar Rajawali Sakti tepat mengenai bagian tengah tongkat berwarna perak itu.

"Ikh!" Iblis Tongkat Perak memekik tertahan.

Tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti memang sudah mencapai tingkat sempurna. Akibatnya tongkat Iblis Tongkat Perak terlepas begitu terhantam pukulan Pendekar Rajawali Sakti itu. Perempuan tua berjubah kumal Itu langsung melompat mengejar tongkat peraknya. Namun secepat kilat, Rangga melesat mengejar pula. Buk! Buk!

Dalam keadaan tubuh melesat ke udara, Rangga masih sempat mengirimkan dua tendangan keras ke arah perempuan tua itu. Tendangan yang tak terduga sama sekali itu mendarat telak dl bagian dada dan perut Iblis Tongkat Perak terpekik tertahan. Tubuhnya langsung terjungkal keras ke tanah

"Hup!"
Tap!

Tangkas sekali Rangga menangkap tongkat lawannya yang melayang tinggi ke angkasa. Tubuhnya segera meluruk turun dengan tangan terkembang. Bersamaan dengan tergulingnya tubuh perempuan tua berjuluk Iblis Tongkat Perak Itu, sepasang kaki Pendekar Rajawali Sakti menapak tanah, dan langsung melesat ke arah tubuh warpa tua itu.

"Oh...!" Iblis Tongkat Petak terperanjat.

Ujung tongkat berwarna perak yang runcing telah tertekan ke bagian tenggolokan perempuan tua itu. Saat itu, tubuhnya memang masih belum sempat bangkit. Apalagi Pendekar Rajawali Sakti juga berada tepat di sampingnya. Iblis Tongkat Perak menatap tajam penuh kebencian dan dendam atas kekalahannya ini, namun tidak bisa berbuat lebih. Sedikit saja melakukan gerakan, ujung tongkatnya sendiri bisa memanggang lehernya.

"Jawab pertanyaanku sejujur-jujurnya, atau kau tewas dengan senjatamu sendiri!" ancam Rangga tanpa tekanan nada suara sedikit pun.

"Huh!" Iblis Tongkat Perak hanya mendengus saja.

"Kenapa kau selalu membuntutiku, perempuan iblis?" tanya Rangga datar dan dingin nada suaranya

"Jawablah sendiri!" sahut Iblis Tongkat Perak ketus.

Rangga menekan ujung tongkat itu lebih keras.

"Ukh!" Iblis Tongkat Perak mengeluh pendek.

Ujung tongkat yang runcing itu mulai menyayat kulit leher perempuan tua itu. Darah mulai merembes keluar. Iblis Tongkat Perak meringis menahan rasa perih pada bagian lehernya yang tergores sedikit.

"Siapa yang memerintahmu untuk mengikutiku?" tanya Rangga lagi lebih dingin

"Tidak ada seorang pun yang dapat memerintahku, bocah setan!" sahut Iblis Tongkat Perak sinis.

"Lalu, apa maksudmu menghalangiku?" desak Rangga.

"Sudah kukatakan, kau bisa jawab sendiri!"

"Hhh! Aku tidak yakin kepalamu sekeras batu, perempuan iblis!" ancam Rangga.

"Tidak ada gunanya mengancamku, bocah. Kau pikir kematian membuatku gentar? Ha ha ha...!" Iblis Tongkat Perak malah tertawa terbahak-bahak.

Lalu, tiba-tiba saja tubuh perempuan tua itu menggerinjang, dan menusukkan sendiri lehernya ke ujung tongkat itu. Rangga terkejut. Buru-buru ditarik tongkatnya, tapi terlambat. Kepala Iblis Tongkat Perak ikut terangkat saat dihentakkan tongkat yang sudah memanggang leher perempuan tua itu hingga tembus ke belakang.

Dengan kesal, Rangga mencampakkan tongkat yang telah menembus leher Iblis Tongkat Perak. Wanita tua Itu langsung diam tidak bergerak-gerak lagi. Lehernya terpanggang tongkatnya sendiri. Darah mengucur deras dari leher yang terpanggang. Rangga mendengus kesal, dan menghentakkan kakinya ke tanah.
Pendekar Rajawali Sakti
Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak menginginkan kematian perempuan tua yang berjuluk Iblis Tongkat Perak itu. Masalahnya belum sempat diperoleh apa-apa darinya. Dengan perasaan kesal dan kemarahan yang meluap, Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah pergi meninggalkan mayat Iblis Tongkat Perak.

Tanpa diketahui, sepasang bola mata yang tersembunyi di balik semak memperhatikan semua kejadian itu. Jaraknya memang cukup jauh. Mata itu juga memperhatikan langkah Pendekar Rajawali Sakti yang terus menuju Selatan. Dan begitu tubuh Rangga lenyap, pemilik sepasang mata itu menampakkan diri. Dia kemudian langsung melesat cepat bagaikan kilat ke arah Selatan, ke arah Pendekar Rajawali Sakti pergi.

"Bagus! Usahaku tidak sia-sia...," dia bergumam pelan sebelum pergi ke arah Selatan.

Gerakannya begitu cepat, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap bagai asap. Sementara itu Rangga yang berjalan cepat dan sudah begitu jauh, semakin masuk ke dalam hutan menuju arah Selatan. Kelihatannya berjalan biasa, namun gerakan kakinya begitu ringan. Seolah-olah jalannya tidak menapak tanah. Rangga memang berjalan menggunakan ilmu meringankan tubuh agar lebih cepat sampai ke tujuan.

Langkah kaki Pendekar Rajawali Sakti itu terhenti ketika di depannya menghadang sebuah bangunan kuil yang tidak begitu besar. Kuil itu terbuat dari tumpukan batu yang diukir indah. Hanya sayangnya seperti tidak terurus. Buktinya halaman kuil dikotori oleh dedaunan kering dan rumput-rumput liar. Bahkan hampir seluruh dindingnya tertutup lumut tebal.

"Hm.... Inikah tempat yang dimaksud...?" Rangga bergumam pelan.

Pendekar Rajawali Sakti kembali melangkah perlahan-lahan mendekati kuil tua itu. Tatapan matanya tajam beredar ke sekeliling. Rangga diam-diam juga mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Suara sekecii apa pun, bisa tertangkap oleh pendengarannya.

"Hm... Aku mendengar tarikan napas ringan di belakang," gumam Rangga dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti itu tetap saja melangkah mendekati kuil itu. Dan begitu sampai di depan undakan baru, tubuhnya cepat melesat ke atas, dan langsung menyelinap di balik batu-batu kuil itu. Sesaat suasana menjadi sunyi sepi. Tidak sedikit pun terdengar suara, kecuali desiran angin

Tidak berapa lama berselang, muncul seorang berpakaian ketat putih yang menonjolkan lekuk-lekuk tubuhnya. Ayunan kakinya ringan tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Tarikan napasnya juga halus, sampai-sampai sukar didengar telinga biasa. Orang itu tetap melangkah ringan dan perlahan mendekati kuil. Dan begitu kakinya baru menapak undakan batu pertama, tiba-tiba melesat sebuah bayangan menghadangnya.

"Hait..!"

Orang berpakaian ketat putih itu melompat mundur dan langsung menarik pedangnya yang tergantung di pinggang. Tapi begitu mengetahui siapa yang kini berdiri di depannya, tiba-tiba dimasukkan kembali pedangnya. Sedikit dibungkukkan tubuhnya untuk memberi hormat.

Rangga yang tadi melompat menghadang, jadi heran akan sikap orang berpakaian putih itu. Wajahnya tidak terlihat jelas karena tertutup caping yang cukup besar. Terlebih lagi cara memakai caping dari anyaman bambu itu agak diturunkan ke depan. Tapi Rangga dapat memastikan kalau dia seorang wanita. Bentuk tubuhnya yang ramping dan dadanya membukit, sudah mengisyaratkan itu adalah wanita.

"Siapa kau?" tanya Rangga tetap bersikap waspada.

Beberapa peristiwa yang dialaminya selama dalam perjalanan ke Selatan ini, membuat Pendekar Rajawali Sakti itu jadi lebih hati-hati. Rangga menapak turun dari undakan baru itu, dan baru berhenti setelah jaraknya dengan wanita berbaju putih itu tinggal sekitar satu batang tombak.

"Salam hormatku, Pendekar Rajawali Sakti," ucap wanita bercaping itu halus. Sekali lagi dibungkukkan tubuhnya memberi hormat

"Hm.., kau tahu namaku. Siapa kau ini sebenarnya?" tanya Rangga tanpa membalas salam hormat itu.

"Sebentar lagi kau akan tahu. Tunggulah barang beberapa saat lagi," sahut wanita itu. Suaranya tetap halus dan lembut.

Rangga ingin membuka suara lagi, tapi tiba-tiba terdengar suara lonceng kecil yang panjang dan tiada henri. Suara lonceng itu tidak jelas berasal dari arah mana. Sepertinya datang dari segala penjuru. Rangga memiring-miringkan kepalanya, mencoba mencari sumber suara itu mempergunakan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Tapi, tetap saja suara itu membingungkannya.

Dan belum lagi Pendekar Rajawali Sakti itu dapat menentukan suara lonceng itu, muncul seseorang dari balik semak belukar yang berada di bagian kanan puri ini. Seorang laki laki bertubuh gemuk dan pendek. Perutnya buncit seperti bola. Kepalanya gundul dengan kalung dengan manik-manik besar berwarna hitam melingkar di lehernya. Tangan kanannya menggenggam sebatang tongkat kayu coklat yang bagian atasnya tersimpul sebuah lonceng kecil

Laki-laki gemuk berpakaian seperti pendeta itu melangkah ringan mendekati Rangga. Sebentar kemudian dia sudah berdiri di tengah tengah antara Pendekar Rajawali Sakti dengan wanita berbaju putih dan bercaping besar itu. Suara lonceng berhenti, bersamaan dengan berhentinya langkah kaki laki-laki gemuk berpakaian pendeta itu.

"Puji bagi Sang Hyang Widi yang memberkati seluruh umat manusia di Mayapada ini...," ucap laki-laki gemuk itu ringan. Namun nada suaranya jelas terdengar penuh kewibawaan.

Laki-laki berpakaian pendeta dan berkepala gundul itu berpaling menatap Rangga, kemudian berpaling menatap wanita berbaju putih yang belum juga membuka capingnya. Kepalanya pun mengangguk beberapa kali. Digerakkan tangan kanannya yang memegang tongkat, maka suara lonceng pun terdengar kecil, namun begitu nyaring menggema.

Tepat ketika suara lonceng itu berhenti, tiba-tiba dari dalam kuil bermunculan orang-orang yang membawa golok di pinggangnya. Mereka berdiri berjajar lalu membungkukkan tubuhnya pada laki-laki gemuk itu. Dan tidak berapa lama kemudian, muncul lagi beberapa wanita serta anak-anak. Rangga hampir terpekik begitu melihat Nyai Talut dan Kencana ada di antara kelompok para wanita dan anak-anak itu.

Dan sebelum Rangga bisa mengerti semua ini, muncul lagi seorang pemuda tampan diikuti seorang wanita cantik memakai baju sama berwarna biru muda. Masing-masing di punggungnya tersampir sekantung anak panah berwarna perak. Sedangkan busurnya juga dari perak, yang tergenggam di tangan kanan. Mereka membungkuk di depan laki-laki gemuk berperut buncit itu.

Rangga benar-benar tidak mengerti semua ini. Ditatapnya Kencana dan Nyai Talut bergantian. Tapi yang dipandang hanya menundukkan kepalanya saja, seakan-akan tidak berani menatap Pendekar Rajawali Sakti itu. Pada saat Rangga masih diliputi berbagai perasaan dan pertanyaan di hatinya, dari atas kuil meluncur sesosok tubuh berpakaian keemasan. Dan tubuh itu mendarat ringan di undakan ketujuh dari kuil itu. Semua orang serentak berlutut

Orang berpakaian indah bagai terbuat dari benang emas itu mengangkat tangannya sedikit. Maka semua orang yang berlutut, segera duduk bersila. Rangga yang masih berdiri bersama wanita bercaping itu, menatap sosok orang berwajah cantik bagai dewi dari kahyangan itu. Di atas kepalanya yang berambut panjang hitam itu, terpasang sebuah mahkota kecil bertahtakan manik-manik batu permata. Di tangannya yang halus, masing-masing menggenggam sebatang tongkat pendek dan sebuah kipas. Semuanya berwarna kuning keemasan, yang berkilat memancarkan cahaya terang. Rangga sendiri dibuat terpesona, terutama memandang wajah orang itu yang bercahaya nan cantik jelita bagai bidadari

******************

LIMA

"Paman Pendeta Wuragil, bagaimana tugas yang kau emban?" tanya wanita berbaju indah keemasan itu. Suaranya begitu lembut, namun mencerminkan kewibawaan yang luar biasa.

"Ampun, Gusti Ratu Mutiara. Tugas hamba telah terlaksana dengan baik berkat bantuan Sepasang Panah Perak. Namun hamba hanya memperoleh dua orang pendekar," sahut laki-laki gemuk berkepala botak yang dipanggil Pendeta Wuragil itu.

Saat itu Rangga melirik dua orang yang membawa busur dan anak panah. Otaknya langsung bekerja, mencoba memahami semua yang ada di sini. Juga situasinya.

"Pendekar-pendekar yang perkasa, perkenalkanlah namamu," pinta Ratu Mutiara lembut dan berwibawa. Pandangannya langsung tertuju pada Rangga dan wanita bercaping.

"Tuan Pendekar, Gusti Ratu meminta Tuan menyebutkan nama masing-masing," tambah Pendeta Wuragil seraya menunjuk Rangga dan wanita bercaping itu.

"Namaku Rangga," ucap Rangga lebih dahulu.

"Dan kau?" Ratu Mutiara menunjuk wanita bercaping di samping Rangga.

"Dewi Wila Marta," sahut wanita itu seraya membuka caping besarnya. Tampak seraut wajah cantik dengan sepasang bola mata indah bersinar bagai bintang.

"Kuucapkan terima kasih atas kesediaan kalian berdua memenuhi undanganku," ucap Ratu Mutiara.

Pendekar Rajawali Sakti itu mulai bisa mengerti duduk persoalannya, meskipun masih terlalu banyak pertanyaan yang belum terjawab di benaknya. Tapi, paling tidak, sudah bisa diketahui jika semua daun lontar yang ditujukan padanya benar benar berasal dari wanita berbaju indah keemasan yang dipanggil Ratu Mutiara. Apakah pesan itu dikirimkan dua orang anak muda yang berjuluk Sepasang Panah Perak? Kelihatannya, dugaan Rangga menjurus ke arah itu.

"Aku juga mohon maaf jika undangan ini membuat kalian susah," sambung Ratu Mutiara.

Ratu Mutiara menatap Pendeta Wuragil. Dan laki-laki gemuk botak itu menjura memberi hormat.

"Paman, aku ingin berbicara langsung dengan kedua pendekar itu di dalam kuil," pinta Ratu Mutiara, tetap lembut nada suaranya. "Juga dengan kau dan kedua muridmu."

"Baik, Gusti Ratu," sahut pendeta Wuragil. Ratu Mutiara berbalik, dan langsung melayang bagaikan terbang saja. Seketika itu juga tubuhnya lenyap begitu sampai di puncak kuil. Rangga benar-benar mengagumi ilmu meringankan tubuhnya yang begitu sempurna. Bisa melesat ringan bagaikan terbang!

Pendeta Wuragil mempersilakan Rangga dan Dewi Wila Marta mengikutinya. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu tetap saja berdiri tak bergeming. Malah ditatapnya Kencana dan Nyai Talut yang tetap duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk. Saat itu Sepasang Panah Perak menghampirinya.

"Silakan, Pendekar Rajawali Sakti," ucap salah seorang dari Sepasang Panah Perak.

"Hm.... Boleh aku bicara sebentar dengan kedua wanita itu?" pinta Rangga seraya menunjuk Kencana dan ibunya.

"Nanti saja setelah kau bertemu Ratu Mutiara," kata Pendeta Wuragil.

Rangga mengangkat bahunya, kemudian melangkah mengikuti Pendeta Wuragil Dewi Wila Marta berjalan di samping Pendekar Rajawali Sakti itu. Di belakang, Sepasang Panah Perak mengikuti. Mereka berjalan meniti undakan batu.

Pada lantai pertama kuil itu terdapat sebuah rongga bagai pintu tanpa penutup. Pendeta Wuragil terus melangkah memasukinya diikuti yang lain. Suasana di dalam begitu gelap, dan mereka terus melangkah. Semakin masuk ke dalam, keadaan semakin terlihat terang. Rangga merasakan kalau jalan yang dilalui seperti menurun.

Setelah melewati suatu tikungan, mereka tiba pada sebuah ruangan cukup besar yang ditata indah. Lantainya beralaskan permadani bulu tebal berwarna biru laut. Pada bagian depan mereka, tampak Ratu Mutiara duduk di atas singgasana indah bagai terbuat dari emas yang berkilat tertimpa cahaya obor dan pelita yang menerangi ruangan ini.

Pendeta Wuragil dan Sepasang Panah Perak berlutut memberi hormat. Sedangkan Rangga dan Dewi Wila Marta hanya membungkuk sedikit. Pendeta Wuragil dan kedua muridnya bergeser, kemudian duduk bersila. Ratu Mutiara mempersilakan kedua pendekar itu duduk di bangku yang sudah disediakan. Rangga duduk di depan, sebelah kanan Ratu Mutiara. Sedangkan Dewi Wila Marta di seberangnya.

Pendeta Wuragil memberi hormat, kemudian melangkah menghampiri Ratu Mutiara, dan berdiri di samping kanannya. Sedangkan Sepasang Panah Perak masih tetap duduk bersila bersisian. Ratu Mutiara mengangkat tangannya sedikit dengan telapak tangan di atas. Sepasang Panah Perak mem-beri hormat, kemudian mereka duduk di samping Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan yang wanita di samping Dewi Wila Marta.

******************

"Aku ingin mendengar perjalanan kalian berdua hingga sampai ke sini," pinta Ratu Mutiara.

"Tidak ada yang menarik. Perjalananku mulus tanpa hambatan sama sekali," jelas Dewi Wila Marta mendahului.

"Terlalu banyak rintangan, dan aku masih kesal!" dengus Rangga mengeluarkan isi hatinya.

"Oh...?!" Ratu Mutiara tampak terkejut.

"Bisa kau ceritakan, Pendekar Rajawali Sakti?" pinta Pendeta Wuragil.

"Aku ingin bertanya lebih dahulu," selak Rangga.

"Silakan," Ratu Mutiara mempersilakan dengan lembutnya.

"Aku sampai ke sini karena mendapat tuntunan. Oleh sebab itu aku ingin tahu, siapa yang mengirimkan semua ini?" Rangga mengeluarkan semua lembaran daun lontar dari balik sabuknya.

"Aku," sahut pemuda yang berada di sebelah Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga menatap pemuda itu agak tajam.

"Maaf, kalau caraku tidak menyenangkan hatimu. Tapi hanya itu yang bisa kulakukan untuk menjaga kerahasiaan ini. Masalahnya tugas ini sudah bocor dan diketahui Iblis Tongkat Perak," jelas pemuda itu.

"Huh! Lagi-lagi perempuan iblis itu!" rungut Pendeta Wuragil.

"Sebenarnya aku cemas ketika kau bertarung dengan Raden Segara dan enam orang pengawalnya. Apalagi si Iblis Tongkat Perak terus membuntuti. Tapi aku lega karena kau mampu mengatasi semua itu, bahkan berhasil membunuh si Iblis Tongkat Perak," sambung pemuda itu.

"Benar itu, Benawa?" sergah Pendeta Wuragil hampir tidak percaya.

"Benar, Pendeta. Aku melihat sendiri."

"Oh!" Pendeta Wuragil mendesah panjang. Sepertinya hendak dilonggarkan dadanya, saat mendengar berita kematian Iblis Tongkat Perak.

"Tampaknya kau gembira sekali mendengar berita itu, Paman Pendeta. Sebenarnya slapakah Iblis Tongkat Perak itu?" setengah bergumam nada suara Rangga

"Salah seorang musuh kami. Dialah yang selalu menghalangi setiap maksud dan rencana Gusti Ratu Mutiara untuk merebut kembali tahtanya yang diduduki orang-orang asing bertubuh setengah raksasa. Bahkan seluruh rakyat jadi menderita karena kekejamannya," jelas Pendeta Wuragil singkat

"Orang-orang asing...?! Siapa mereka?" tanya Rangga.

"Raden Segara dan pengawal-pengawalnya," selak Ratu Mutiara cepat

"Mereka sekarang menduduki Kerajaan Karang Putih, dan telah membangun benteng-benteng pertahanan di perbatasan sebelah Timur kerajaan. Hm.... Kau tentu telah melewati daerah itu," Pendeta Wuragil mencoba menjelaskan.

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas mulai bisa dipahami maksud semua ini. Tapi masih ada lagi pertanyaan di hatinya. Dan tanpa raguragu lagi langsung dikemukakan ganjalan di hatinya itu.

"Satu lagi, Ratu Mutiara. Siapa sebenarnya Mutiara dari Selatan itu?"

Ratu Mutiara tersenyum mendengar pertanyaan itu. Sedangkan Pendeta Wuragil kelihatan kikuk dan serba salah. Terlebih lagi Benawa. Pemuda itu jadi merah padam wajahnya, dan hanya tertunduk tidak mampu menatap semua yang ada di ruangan ini. Rangga jadi heran tidak mengerti. Apakah pertanyaannya itu salah?

"Gusti Ratu, apakah pertanyaan itu perlu dijawab?" Pendeta Wuragil meminta pertimbangan dengan hormat.

"Jawab saja, Paman. Sekarang ini kita membutuhkan bantuan mereka, dan tidak sepantasnya menyembunyikan kerahasiaan," sahut Ratu Mutiara lembut.

"Baik, Gusti Ratu."

Rangga menatap Pendeta Wuragil. Demikian juga Dewi Wila Marta yang sejak tadi hanya diam saja mendengarkan. Masalahnya dia memang tidak mempunyai persoalan atau hambatan apa pun seperti yang dialami Rangga. Lagi pula, kedatangannya dijemput gadis murid Pendeta Wuragil yang duduk di sebelahnya kini. Dan gadis itu telah menjelaskan semuanya sepanjang perjalanan. Jadi maksud undangan ini memang sudah diketahuinya.

Lain halnya Pendekar Rajawali Sakti yang harus menerima undangan dengan cara membingungkan, ditambah berbagai macam hambatan. Dewi Wila Marta pun sudah tahu tentang kedatangan Pendekar Rajawali Sakti itu, karena sudah diberitahu oleh gadis itu juga. Dengan senang hati, maka dipenuhilah undangan ini. Apalagi setelah sering mendengar sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti. Biasanya, jarang seorang pendekar dapat memperoleh kesempatan bertemu pendekar ternama dan digdaya seperti Pendekar Rajawali Sakti ini.

"Sebenarnya Mutiara dari Selatan itu adalah Gusti Ratu sendiri...," ucap Pendeta Wuragil, agak tersipu jawabannya.

"Sudah kuduga," desis Rangga dalam hati.

"Dulu, sebelum menjadi ratu menggantikan Ayahanda Prabu, aku sering bepergian mencari ilmu. Dan aku selalu menamakan diri Mutiara dari Selatan," Ratu Mutiara menambahkan. "Sebenarnya namaku bukan Mutiara. Tapi karena lebih dikenal dengan sebutan Mutiara dari Selatan, maka sampai sekarang aku selalu dipanggil Mutiara. Dan aku sama sekali tidak keberatan."

"Terima kasih, kini aku paham. Dan sekarang aku ingin tahu, untuk apa aku diundang ke sini?" ucap Rangga.

"Pendeta Wuragil yang akan menjelaskan nanti," tegas Ratu Mutiara.

******************

Rangga memandangi pondok kecil yang berjajar rapi di belakang kuil. Pondok-pondok itu terbuat dari belahan kayu dan beratapkan daun rumbia. Sangat sederhana, tapi terlihat apik karena teratur letaknya. Rangga mengayunkan kakinya menuju salah satu pondok. Di sana duduk seorang gadis yang tengah sibuk menyulam.

"Kencana...," panggil Rangga setelah dekat

"Oh...!" gadis itu tampak terkejut, dan langsung mengangkat kepalanya.

Rangga lebih mendekat, dan duduk di samping Kencana tanpa diminta lagi. Gadis itu menggeser duduknya agar merenggang. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan, seakan-akan takut ada yang melihat.

"Kapan kau sampai ke sini?" tanya Rangga.

"Hari itu juga," sahut Kencana. "Lorong itu langsung tembus ke sini"

"Oh...," Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya.

Kembali Rangga memandang sekitarnya. Satu pondok dihuni satu keluarga. Semuanya berisi orang tua dan anak-anak Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh memandang Kencana. Sedangkan yang dipandang hanya menunduk saja.

"Ke mana Ibumu?" tanya Rangga teringat akan Nyai Talut

"Ada," sahut Kencana tanpa mengangkat kepalanya.

"Kencana, ada yang ingin kutanyakan padamu. Aku berharap kau bersedia membantuku," kata Rangga mulai serius.

Kencana mengangkat kepalanya, dan langsung menatap bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Kencana, apakah wanita yang ada di puri itu seorang ratu?" tanya Rangga bernada menyangsikan.

"Benar," sahut Kencana.

"Kalau seorang ratu, tentu memiliki prajurit. Sedangkan tidak ada seorang prajurit pun di sini. Katakan padaku sejujurnya, Kencana. Kau dan ibumu terkejut ketika kusebut nama Mutiara dari Selatan. Sedangkan waktu itu ibumu berharap orang yang bernama Mutiara dari Selatan muncul. Terus terang, Kencana. Aku jadi tidak mengerti semua ini." kata Rangga.

"Apa yang harus kulakukan?" Kencana malah bertanya.

"Kau jawab saja semua pertanyaanku, Kencana," pinta Rangga.

"Dia tidak tahu apa-apa," tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang.

Rangga langsung menoleh. Tampak Nyai Talut sudah berdiri di belakang Pendekar Rajawali Sakti itu. Wanita setengah baya itu melangkah menghampiri anaknya, lalu duduk di sampingnya.

"Sebenarnya aku dan Kencana tidak punya hak untuk memberi keterangan apa-apa padamu, Raden. Tapi Pendeta Wuragil telah mengijinkan untuk memberikan semua yang kau perlukan. Dia tahu kalau aku dan Kencana bisa berada di sini berkat pertolonganmu. Semua itu sudah diketahuinya dari Benawa," kata Nyai Talut

Rangga menatap dalam-dalam wanita setengah baya itu.

'"Aku sendiri tidak tahu kalau lorong rahasia itu akan sampai ke tempat ini. Meskipun tahu ada lorong rahasia di rumahku, tapi belum pernah kulalui. Baru kali itulah kuberanikan diri untuk melewatinya," lanjut Nyai Talut.

"Kenapa?" Tanya Rangga ingin tahu.

"Suamiku yang melarang," sahut Nyai Talut. "Suamiku seorang panglima di Kerajaan Karang Putih. Ternyata dia juga ada di sini, dan sekarang sedang menghimpun kekuatan. Rasanya tidak perlu kuberitahu di mana suamiku dan para prajurit lainnya kini berada. Yang pasti, suatu saat mereka akan mengusir orang-orang itu dari Karang Putih."

"Hm.... Masih punya-prajurit, kenapa masih juga mencari pendekar...?" Rangga bergumam seperti ber-tanya pada dirinya sendiri.

"Raden sudah menghadapinya sendiri. Mereka tidak mudah dikalahkan. Tubuh mereka kebal, dan berilmu sangat tinggi. Pernah dua kali Gusti Ratu mencoba, tapi malah kehilangan banyak prajurit. Gusti Ratu berpendapat, hanya orang rimba persilatan sajalah yang dapat menandingi mereka," jelas Nyai Talut.

"Bukankah hal itu juga pernah dicoba?" Rangga teringat kata-kata Pendeta Wuragil

"Aku tidak tahu," sahut Nyai Talut.

Saat itu Sepasang Panah Perak datang menghampiri. Mereka membungkuk sedikit memberi hormat Rangga bangkit berdiri, diikuti Nyai Talut dan Kencana. Pendekar Rajawali Sakti itu menatap dua anak muda murid Pendeta Wuragil itu.

"Pendeta Wuragil hendak bertemu Tuan Pendekar," kata Danawa hormat.

"Hm..., baiklah."

Rangga memandang sejenak pada Nyai Talut dan Kencana, kemudian melangkah pergi mengikuti Sepasang Panah Perak itu. Nyai Talut memandangi sampai punggung ketiga anak muda Itu lenyap dari pandangannya. Setelah mendesah panjang, kakinya melangkah masuk ke dalam pondok. Kencana kembali duduk di balai-balai bambu, dan kembali sibuk menyulam. Tapi hanya sebentar, kemudian diangkat kepalanya. Pandangannya kosong menatap ke depan. Sepertinya ada yang mengganjal di relung hati gadis ini.

"Kencana, kemari sebentar...!" terdengar panggilan dari dalam.

"Oh! lya, Bu...! Sebentar!"

Kencana bergegas membereskan peralatan sulamannya, kemudian melangkah masuk ke dalam pondok. Gadis itu menutup pintunya, dan tidak muncul-muncul lagi. Terdengar suara percakapan perlahan dari dalam pondok itu. Suara percakapan yang tidak terdengar, karena suara itu setengah berbisik.

Tapi tidak lama kemudian, terdengar suara isak tangis tertahan. Dan suara percakapan itu pun tidak terdengar lagi, hilang tertelan oleh isak yang tersandat. Sesaat kemudian Nyai Talut muncul, dan melangkah tergesa-gesa meninggalkan pondok itu.

"Bu...!"

Kencana keluar dan berdiri bersandar pada ambang pintu. Nyai Talut berhenti melangkah dan berbalik. Tampak wajah Kencana telah dipenuhi air mata.

"Jangan ke mana-mana sebelum aku kembali," kata Nyai Talut seraya berbalik dan bergegas melangkah pergi.

"Ibu...," Kencana merintih lirih.

Gadis itu berbalik dan menutup pintu pondoknya. Tidak ada yang dapat didengar lagi, kecuali isak tangis tersendat yang terdengar pelan.

*** 6 Kegelapan menyelimuti sekitar daerah Selatan di hutan hutan dekat Gunung Sintruk. Kegelapan yang tak pernah berlalu sejak kedatangan manusia-manusia bertubuh tinggi besar setengah raksasa. Mereka begitu kebal dan sukar untuk ditandingi. Sementara, dari kegelapan terlihat dua bayangan berkelebat cepat menyeberangi hutan yang kini oleh pohon-pohon yang tinggi besar menjulang.

Dua bayangan itu baru berhenti bergerak setelah tiba di pinggir sebuah perkampungan yang cukup aneh. Bentuk bangunannya bagai benteng, ber-dinding batu yang tinggi dan tebal dua sosok tubuh itu jelas tengah mengamati sekitar perkampungan bagai benteng itu. Mereka tidak lain dari Rangga dan Dewi Wila Marta, dua pendekar yang diundang Ratu Mutiara atau lebih dikenal bejuluk Mutiara dari Selatan.

"Apa mungkin mereka ada di sini?" tanya Dewi Wila Marta setengah tidak percaya, melihat suasana yang sepi senyap bagai tidak berpenghuni.

"Aku pernah bertemu salah seorang di sini," tegas Rangga agak berbisik.

"Bertarung?"

"Hampir."

Rangga menoleh menatap gadis di sampingnya. Capingnya terbuka menyampir di punggung. Wajahnya cukup cantik, tapi terlihat agak pucat Titik-titik keringat berkilat di dahinya. Agak heran juga Pendekar Rajawali Sakti itu melihatnya.

"Kau takut?" tanya Rangga tiba-tiba.

"Takut...?!" Dewi Wila Marta terkejut. Langsung ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti itu. "Kenapa harus takut? Aku sering menghadapi bahaya!"

Agak berkerenyit juga kening Rangga mendengar nada suara yang sedikit bergetar itu. Sedangkan Dewi Wila Marta kembali berpaling menatap ke depan. Rangga bisa menebak kalau gadis itu gelisah, namun tidak tahu apa yang digelisahkannya.

"Kau tinggal dulu di sini, akan kuselidiki dulu keadaan di sana," kata Rangga.

"Heh...! Ini tugas kita berdua. Aku tidak ingin jadi penonton!" sentak Dewi Wila Marta.

"Bukan untuk menonton. Kalau aku tertangkap, kau bisa cepat memberitahu Ratu Mutiara," kata Rangga beralasan. Padahal dia tidak ingin menyertakan gadis yang kelihatan gelisah itu. Entah apa sebabnya?

"Segala resiko kita tanggung bersama. Kita sama-sama diundang dan diminta menghancurkan mereka. Kau tidak bisa bergerak sendirian, Rangga. Ingat, posisi kita sama di sini!" tegas Dewi Wila Marta menolak usulan Rangga

"Aku sudah pernah bertemu mereka. Bahkan sempat bertarung di Desa Sintruk. Yang kita hadapi sekarang tidak bisa dianggap sembarangan, Wila."

"Jangan merendahkanku, Rangga. Kau sendiri belum tentu bisa mengalahkanku!" dengus Dewi Wila Marta ketus.

"Bukannya aku merendahkanmu, Wila. Kau sendiri sedang tidak tenang...," Rangga terpaksa berterus terang.

Dewi Wila Marta nampak terkejut. Tajam sekali tatapannya tertuju pada Pendekar Rajawali Sakti.

Tebakan Rangga memang tepat. Saat ini hatinya sedang gelisah. Dan kegelisahannya itu hanya diketahuinya sendiri. Dewi Wila Marta berpaling lagi menatap ke depan. Sekuat tenaga berusaha ditekan kegelisahannya. Sebelumnya juga sudah dicoba untuk menutupinya, tapi Rangga ternyata sangat jeli. Ternyata Pendekar Rajawali Sakti mampu menilai seseorang dari raut wajahnya. Diam-diam, Dewi Wila Marta kagum juga terhadap pandangan tajam pemuda itu.

"Tunggu saja di sini, sebentar aku kembali," kata Rangga.

Dewi Wila Marta diam saja. Dan Rangga sudah melesat cepat bagaikan kilat ke arah perkampungan yang terdiri dari bangunan-bangunan besar terbuat dari batu yang kokoh. Begitu cepatnya bergerak, sebentar saja tubuhnya sudah berada pada salah satu sisi bangunan bertembok tinggi. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti itu menatap ke arah Dewi Wila Marta yang tetap berada di sana.

"Hup!"

Hanya sekali lompatan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di atas tembok. Matanya langsung beredar ke sekeliling mengamati keadaan sekitarnya. Kemudian dia melompat lagi, dan berputar di udara tiga kali. Ringan dan tanpa suara sedikit pun sepasang kakinya mendarat di atas sebuah bangunan besar berdinding batu.

Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh, Rangga berjalan setengah merayap di atas atap itu. Telinganya dipasang tajam-tajam dengan mempergunakan immu 'Pembeda Gerak dan Suara'. Sungguh aneh! Sama sekali tidak terdengar suara apa pun, kecuali desiran angin saja yang mengganggu gendang telinganya. Pendekar Rajawali Sakti itu berhenti melangkah setelah sampai di bagian tepi atap bangunan itu.

"Sepi... Apakah bangunan ini kosong?" gumam Rangga dalam hati.

Ringan sekali Pendekar Rajawali Sakti itu melesat turun. Gerakannya cepat, tapi tak bersuara sedikit pun. Seperti kapas tertiup angin, kakinya mendarat lunak di tanah, tepat di bawah sebuah jendela berukuran besar yang terbuka lebar. Rangga menjulurkan kepalanya, meneliti bagian dalam melalui jendela itu.

"Kosong...," desis Rangga pelan.

Pendekar Rajawali Sakti itu melompat masuk, dan langsung meneliti ruangan yang besar dan nampak kosong ini. Ada beberapa kamar, dan semuanya kosong tak berpenghuni. Hanya sebentar saja Rangga berada di dalam bangunan besar itu, kemudian keluar lagi. Tubuhnya langsung melesat ke atas atap bangunan satunya.

Delapan bangunan dari sepuluh yang ada sudah diperiksa Rangga. Tapi tidak satu pun yang berpenghuni. Semuanya kosong, dan tidak ada satu pun perabotan. Rangga berpikir juga melihat keadaan ini.

Rangga berdiri tegak di atas atap bangunan terakhir yang diperiksanya. Benar benar sukar dimengerti kalau bangunan terakhir juga tidak berpenghuni. Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melesat cepat ke arah Dewi Wila Marta yang telah ditinggalkannya. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah sampai di samping gadis itu

"Bagaimana?" tanya Dewi Wila Marta ketika Rangga baru saja menjejakkan kakinya.

Rangga mengangkat bahunya disertai dengusan napas panjang. Dewi Wila Marta menatapnya dalam-dalam. Hatinya merasa heran juga melihat raut wajah Pendekar Rajawali Sakti yang jadi kusut. Sulit dimengerti. Sedangkan Rangga berbalik dan menatap lurus ke arah perkampungan aneh itu. Dia sendiri masih belum bisa memahami keadaan bangunan-bangunan besar menyerupai benteng itu.

"Apa yang kau peroleh di sana, Rangga?" tanya Dewi Wila Marta penasaran melihat sikap Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Tidak ada!" sahut Rangga seraya mendengus.

"Tidak ada...?!" Dewi Wila Marta benar-benar tidak mengerti. Ditatapnya Rangga semakin dalam.

"Semua kosong, tidak ada apa-apa di sana!"

"Lalu..."

******************

Entah apa yang ada di dalam diri Pendekar Rajawali Sakti sekarang ini. Mungkin rasa kesal, geram, bingung, atau apa lagi. Yang jelas, saat ini Rangga tidak bisa memahami semua yang dialaminya sekarang. Semua yang terjadi sunggguh membingungkan, dan sulit diterima akal sehatnya. Sering dia mengalami kejadian-kejadian aneh, tapi peristiwa kali ini sungguh membuat kepalanya terasa akan pecah.

Sambil bersungut-sungut tidak karuan, Rangga melangkah menuju ke perkampungan aneh itu. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak tersentak. Bergegas dia berbalik dan berjalan cepat. Sementara Dewi Wila Marta jadi tidak mengerti melihat sikap Rangga, lalu bergegas mengikuti. Disejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Ada apa, Rangga?" tanya Dewi Wila Marta.

"Aku merasa ini semua cuma tipuan belaka!" sahut Rangga mendengus.

"Tipuan...? Aku tidak mengerti maksudmu."

Rangga menghentikan langkahnya, lalu berbalik menghadap gadis di sampingnya. Ditatapnya dalam-dalam bola mata gadis itu Dewi Wila Marta jadi kikuk juga ditatap sedemikian rupa. Dipalingkan wajahnya sedikit, tidak tahan membalas pandangan mata pemuda itu.

"Wila, kau belum menceritakan bagaimana perjalananmu sampai ke sini," kata Rangga serius.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Rangga. Untuk apa kuceritakan hal itu padamu? Lagi pula aku tidak mengalami kesulitan apa pun. Semuanya berjalan lancar tanpa gangguan sedikit pun," sahut Dewi Wila Marta keheranan.

"Kau datang dari mana?" tanya Rangga.

"Daerah Utara," sahut Dewi Wila Marta.

"Tepatnya?" desak Rangga. Masalahnya seluruh daerah Utara sudah dijelajahinya. Jadi kenal betul seluk beluk di sana.

"Gunung Waja," sahut Dewi Wila Marta.

"Aku tahu, di mana itu Gunung Waja...," gumam Rangga. "Hm..., apakah kau dari Padepokan Arang Watu?"

"Benar, dari mana kau tahu?"

"Kalau benar kau berasal dari sana, tentunya kau murid Resi Kamuka. Hm..., rasanya tidak mungkin Resi Kamuka mengutusmu ke sini. Sedangkan beliau memiliki murid-murid utama yang tangguh dan berkepandaian cukup tinggi. Wila, kau tidak berbohong padaku?" Rangga jadi curiga.

"Untuk apa berdusta? Aku memang murid Resi Kamuka dari Padepokan Arang Watu, dan ke sini tanpa sepengetahuan Resi Kamuka. Aku bertemu Witarsih di kedai perbatasan Kerajaan Jiwanala, lalu tertarik ketika dia menceritakan semuanya dan bermaksud mencari para pendekar," tutur Dewi Wila Marta terus terang.

Rangga menarik napat panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat Sedangkan Dewi Wila Marta memandangnya tidak mengerti

"Ada apa sebenarnya, Rangga?" tlanya Dewi Wila Marta ingin tahu.

"Entahlah, aku sendiri belum bisa memastikan. Yang jelas kau terlalu berani datang ke sini tanpa memberitahu lebih dahulu gurumu. Kau dalam bahaya besar, Wila," desah Rangga.

"Bahaya ..?!" Dewi Wila Marta mendelik.

Belum sempat Rangga menjelaskan, tiba-tiba terdengar suara tawa keras terbahak-bahak. Suara tawa itu terdengar menggelegar, sehingga merontokkan daun-daun pohon dan menggetarkan batu-batuan. Rangga langsung menarik tangan Dewi Wila Marta, dan menempatkan di belakangnya. Tampak wajah Dewi Wila Marta sedikit pucat mendengar suara tawa menggelegar itu.

Belum lagi hilang suara tawa itu, tiba-tiba muncul sepuluh orang laki-laki bertubuh tinggi besar bagai raksasa. Mereka semua membawa gada besar yang bagian kepalanya bulat berduri kasar dan tajam. Mereka berlompatan membuat lingkaran mengepung dua pendekar itu.

"Ihhh...!" Dewi Wila Marta agak bergidik melihat manusia-manusia setengah raksasa itu.

Saat Rangga menolehkan kepalanya ke kiri, melesat sesosok tubuh setengah raksasa. Ternyata, Raden Segara. Bumi terasa bergetar begitu kaki Raden Segara menjejak tanah. Dewi Wila Marta sampai terbeliak melihat perawakan tinggi besar itu. Belum pernah dilihat sebelumnya manusia begini besar, yang besarnya hampir dua kali lipat dari orang biasa!

"Siapa mereka, Rangga...?" tanya Dewi Wila Marta setengah berbisik. Suaranya terdengar sedikit bergetar.

"Aku tidak tahu siapa mereka. Yang jelas, merekalah lawan kita," sahut Rangga

"Mereka...?!" Dewi Wila Marta tidak bisa lagi menyembunyikan keterkejutannya.

"Kenapa? Takut?""

"Tidak!" sahut Dewi Wila Marta. Tapi suaranya masih juga terdengar bergetar.

Rangga bisa memaklumi. Kalau Dewi Wila Marta memang benar murid Resi Kamuka, pasti belum berpengalaman menghadapi tokoh-tokoh rimba persilatan. Yang jelas, Resi Kamuka tidak akan sembrono mengirimkan seorang gadis yang tingkat kepandaiannya belum cukup. Apalagi untuk berpetualang ke daerah yang begitu jauh.

"Tidak perlu repot mencarimu, Rangga. Aku kagum dengan keberanianmu, tapi sayang kau harus mati di sini," kata Raden Segara.

"Justru aku datang untuk membunuh kalian semua!" dingin nada suara Rangga.

"Ha ha ha " Raden Segara tertawa terbahak-bahak.

"Ih ! Manusia atau jin, ini?!" desis Dewi Wila Marta pelan di belakang punggung Pendekar Rajawali Sakti.

"Rupanya kau sudah sampai ke kuil itu! Ha ha ha...! Sudah kuduga, kau datang ke sini memang bukan sekadar lewat. Hebat! Benar-benar licik dia. Tidak mampu menghadapiku sendiri, tapi malah meminta bantuan orang lain. Sayang kau terlalu bodoh, Rangga," ujar Raden Segara lantang.

"Aku tidak peduli apa yang kau katakan, Raden Segara. Siapa saja yang meminta pertolonganku, akan kutolong. Dan aku tidak segan-segan menentang kekejaman!" mantap kata-kata Rangga.

"Kekejaman..., heh!" dingus Raden Segara sinis.

"Perbuatanmu tidak bisa lagi didiamkan, Raden Segara."

"Perbuatanku? Apa yang telah kulakukan? Heh...! Rupanya orang-orang busuk itu sudah mempengaruhi otakmu, dan kau terlalu bodoh untuk menilai!"

Rangga menatap tajam laki-laki bertubuh setengah raksasa itu. Sedangkan Dewi Wila Marta hanya diam saja tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.

"Dengar, Rangga. Aku tidak peduli siapa dirimu, dan dari mana datangnya. Siapa pun yang berani mengusikku, itu berarti harus berhadapan denganku. Seperti juga orang-orang busuk di puri itu. Mereka harus menerima akibat perbuatannya karena mencoba menentangku!" tegas kata-kata Raden Segara.

"Mereka pantas menentangmu karena tidak tahan terhadap kekejaman dan kebrutalanmu!" sambut Rangga ketus.

"Itu peraturanku, Rangga. Tidak ada seorang pun yang boleh melanggar aturanku!" dengus Raden Segara.

"Dengan menjadikan tawanan sebagai binatang buruan? Membantai orang-orang tua dan anak-anak? Menculik gadis-gadis, dan mempekerjakan pemudapemuda secara paksa. Apa itu bukan kekejaman namanya? Dan kau harus tahu, Raden Segara. Di mana aku berada, maka tidak akan berdiam diri melihat keangkaramurkaan!"

"Dengan kata lain kau menantangku, Rangga."

"Terserah apa pendapatmu. Yang jelas, kuminta kau membebaskan seluruh tawananmu, dan kembali ke asalmu!"

"Kadal busuk! Menyesal kau kubiarkan hidup!"

Raden Segara menggerakkan tangannya sedikit, maka empat orang yang memegang gada besar langsung melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Serangan itu demikian cepat, dan Rangga tidak punya pilihan lain. Langsung saja dikerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Di samping harus menghindari serangan-serangan itu, dia juga harus melindungi Dewi Wila Marta.

"Hiya! Hiya...!"

Sambil berteriak keras, Rangga memutar tubuhnya lalu melesat ke atas. Dua pukulan bertenaga dalam sempurna dilepaskan langsung mengarah ke bagian di antara dua mata penyerangnya. Dua pukulan itu demikian cepat, sehingga dua orang penyerangnya tidak bisa menghindari diri lagi.

Kedua orang tinggi besar bagai raksasa itu meraung keras sambil menutup wajahnya. Darah mengalir dari sela-sela jarinya. Mereka ambruk berdebum ke tanah dengan kerasnya, dan menggeliat-geliat sambil meraung keras. Dua orang lagi jadi terpana, dan segera menghentikan serangannya memandang dua temannya yang menggelepar-gelepar meraung kesakitan.

"Keparat!" geram Raden Segara marah.

"Hm...," Rangga tersenyum sinis.

******************

Keanehan terjadi tiba-tiba. Dua orang yang menggelepar dan meraung di tanah, mendadak diam kaku. Kemudian dari seluruh tubuhnya mengepul asap tipis yang semakin lama semakin menebal. Asap itu kini menyelubungi seluruh tubuh kedua manusia setengah raksasa itu. Tidak berapa lama, asap itu menghilang. Dan kedua tubuh yang menggeletak di tanah, kini berubah menjadi kecil seukuran tubuh manusia biasa. Dua sosok tubuh kurus kering itu berlubang pada bagian di antara kedua matanya. Tampak sebutir batu merah terdapat dalam lubang di kening mereka.

Rangga menggeser kakinya ke belakang dua tin-dak. Hampir tidak dipercaya dengan apa yang dilihatnya. Ternyata di kening manusia-manusia setengah raksasa itu tertanam sebutir batu mutiara merah. Dan rupanya, di situlah letak kelemahannya. Rangga sendiri belum mengerti tentang semua ini, tapi sudah bisa mengetahui letak kelemahan manusia-manusia raksasa ini.

"Wila, kau harus bisa melawan mereka. Pusatkan perhatian seranganmu pada kening. Di situ letak kelemahannya," jelas Rangga setengah berbisik.

"Baik, Rangga," sahut Dewi Wila Marta.

Sementara itu Raden Segara sudah memberi isyarat dengan tangannya. Maka delapan manusia setengah raksasa lainnya, serentak bergerak menyerang sambil mengayunkan gadanya yang besar dan berduri kasar. Kali ini Dewi Wila Marta tidak luput dari serangan mereka. Gadis itu mencabut pedangnya, kemudian berlompatan menghindari setiap serangan yang datang.

"Huh! Kenapa susah-susah mengarahkan ke kening? Gerakan mereka tidak terlalu cepat, dan aku bisa menusukkan pedang ke mana saja!" dengus Dewi Wila Marta dalam hati.

Seketika itu juga Dewi Wila Marta membabatkan pedangnya ke arah leher salah seorang penyerangnya yang terdekat. Tapi begitu pedangnya menghantam leher lawan, gadis itu terpekik kaget. Pedangnya terpental kembali dengan kuat. Bahkan dirasakan tangannya bergetar hebat. Sedangkan lawannya tidak terluka sedikit pun!

Rangga yang sempat melihat kejadian itu, langsung melompat mendekati Dewi Wila Marta. Padahal dia sendiri tengah sibuk menghadapi enam orang manusia setengah raksasa.

"Sudah kukatakan, jangan coba-coba!" bentak Rangga, kesal juga akan kebandelan gadis itu.

"Aku hanya ingin tahu!" rungut Dewi Wila Marta.

"Kau tidak punya pedang lagi! Sebaiknya, cepat tinggalkan tempat ini!" perintah Rangga.

"Tidak!"

Rangga geram juga akan gadis keras kepala ini. Dan pada saat itu salah seorang dari manusia setengah raksasa itu menyerang ke arah Dewi Wila Marta. Namun belum sempat orang itu mendekat, Rangga sudah lebih dahulu melompat sambil mengirimkan satu tendangan ke arah kening. Tendangan yang cepat disertai pengerahan tenaga dalam sempurna itu tidak bisa lagi dihindari. Padahal orang itu sudah mencoba mengelak. Dia meraung keras sambil menutupi wajahnya.

"Hup!"

Rangga langsung menyambar pedang Dewi Wila Marta yang menggeletak di tanah. Secepat kilat, tubuhnya melesat seraya menyambar gadis itu. Begitu cepatnya gerakan Rangga, tahu-tahu lenyap bagai tertelan bumi. Raden Segara jadi berang setengah mati. Diperintahkanlah pembantu-pembantunya untuk mengejar. Sementara dia sendiri kembali ke perkampungan. Tidak dihiraukannya lagi seorang pembantunya yang mulai berubah wujud menjadi sosok tubuh kurus kering dengan kening bolong dan sebutir mutiara merah di keningnya.

******************

TUJUH

Dewi Wila Marta bersungut-sungut seraya bangkit berdiri. Dibersihkan debu yang melekat di bajunya. Sedangkan Rangga berdiri tegak tidak jauh darinya. Pandangan mata Pendekar Rajawali Sakti itu demikian tajam menusuk. Dewi Wila Marta memungut pedangnya yang menggeletak di tanah, dan disarungkan kembali di pinggang.

"Sebaiknya kau kembali saja ke Gunung Waja!" ujar Rangga dingin.

"Kalau aku tidak mau?" dengus Dewi Wila Marta ketus.

"Aku yang akan membawamu ke sana. Aku yakin, Resi Kamuka tidak menyukai tindakanmu. Kau telah melangkahi wewenang gurumu sendiri."

"Aku bosan di padepokan terus!" rungut Dewi Wila Marta.

"Kau belum siap terjun ke dalam rimba persilatan, Wila. Masih banyak yang belum kau ketahui. Bekalmu belum lagi cukup. Mengertilah itu, Wila. Dunia persilatan, dunia yang keras. Tidak ada hukum yang bisa mengaturnya. Masing-masing pribadi punya hukum sendiri-sendiri," Rangga mencoba memberi pengertian pada gadis itu.

Apa yang dilakukan Dewi Wila Marta tadi sudah menandakan kalau gadis itu masih terlalu hijau untuk terjun ke dalam kancah persilatan. Terlalu berbahaya bagi keselamatan dirinya sendiri. Dan Rangga tidak ingin gadis itu mati sia-sia hanya karena menuruti kata hati belaka.

"Jurus-jurusmu memang dari Padepokan Arang Watu. Tapi kau belum begitu sempurna memilikinya. Harus lebih banyak lagi belajar, Wila. Kau tidak bisa merambah ganasnya rimba persilatan hanya dengan kepandaian yang setengah. Pulanglah, sebelum semuanya terlambat," ujar Rangga lebih lembut.

"Aku tadi hanya mencoba, kenapa kau menilaiku begitu? Kau pikir aku bocah ingusan yang tidak tahu apa-apa? Kau boleh mengujiku, Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun kau seorang pendekar digdaya, tapi belum tentu mampu menjatuhkanku dalam lima jurus!" tantang Dewi Wila Marta ketus.

"Untuk apa? Aku sudah bisa mengukur, sampai di mana lingkat kepandaianmu!" selak Rangga jadi sengit.

"Sombong! Kau terlalu angkuh, Rangga. Ayo, kita bertarung. Jika mampu merobohkan dalam lima jurus, aku akan menuruti kata-katamu. Tapi kalau tidak..., jangan harap bisa mengaturku!" tantang Dewi Wila Marta sambil mencabut pedangnya.

Pendekar Rajawali Sakti menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah gadis itu. Rangga sudah sering malang-melintang dalam rimba persilatan. Sudah tidak terhitung lagi, berapa tokoh golongan hitam yang dihadapinya, dan berapa pendekar yang dikenalnya. Seorang tokoh rimba persilatan tidak akan cepat-cepat mencabut senjata kalau tidak terdesak. Sikap Dewi Wila Marta yang langsung mencabut senjata, sudah menandakan kalau gadis itu masih terlalu hijau.

"Aku yakin, baru pertama kali ini kau keluar dari padepokan," tebak Rangga.

"Jangan banyak omong! Ayo lawan aku!" rungut Dewi Wila Marta senglt

"Tidak ada gunanya menurutimu, Gadis Manis. Dari sikapmu saja sudah menunjukkan kalau kau belum pernah berkecimpung di dunia luar. Apa kau sudah lupa ajaran dari padepokanmu? Seorang pendekar pantang mencabut senjata kalau tidak terpaksa. Dan senjatamu itu sudah menunjukkan kalau kau masih harus lebih banyak belajar lagi."

Seketika wajah Dewi Wila Marta menyemburat merah dadu. Kata-kata Rangga yang tenang dan lembut sungguh tepat mengenai sasaran. Mendadak, seluruh tubuh Dewi Wila Marta jadi lemas. Pedang yang tergenggam erat, jatuh ke sampingnya. Kemudian tubuhnya sendiri jatuh berlutut

Rangga menghampiri dan memungut pedang gadis itu. Disentuhnya pundak gadis itu, dan memintanya untuk bangkit berdiri. Perlahan-lahan gadis itu bangkit. Namun kepalanya terus tertunduk dalam, seolah-olah malu untuk menatap wajah Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Sarungkan kembali pedangmu," ujar Rangga lembut.

Perlahan-lahan Dewi Wila Marta mengangkat kepalanya. Diterimanya pedang itu dari tangan Rangga, dan disarungkannya kembali.

"Bisa kurasakan adanya kesungguhan di hatimu untuk menjadi seorang pendekar. Tapi kesungguhan hati tidak cukup untuk berkecimpung di dalam rimba persilatan," kata Rangga lembut. "Masih banyak yang harus dipelajari dan dipahami di padepokan. Bukan hanya penguasaan jurus-jurus, tapi juga pengetahuan lain agar tidak terperosok dan akan membuat dirimu dirundung penyesalan seumur hidup."

"Maafkan aku...," ucap Dewi Wila Marta menyesal.

''Tidak ada yang perlu dimaafkan. Anggap saja ini sebagai pelajaran berharga untuk di kemudian hari jika kau sudah benar-benar siap menjadi seorang pendekar," ujar Rangga tetap lembut

"Aku memang belum siap, tapi aku ingin menimba pengalaman di luar. Resi Kamuka tidak pernah mengijinkan setiap muridnya keluar sebelum menyelesaikan pelajarannya di padepokan. Sedangkan aku sudah tidak tahan lagi. Sejak kecil aku berada di Padepokan Arang Watu, dan tidak ingin sampai tua di sana," keluh Dewi Wila Marta.

"Aku bisa memahami perasaanmu, Wila."

"Sudah lebih dari sepekan kutinggalkan padepokan tanpa ijin. Tidak mungkin aku kembali lagi ke sana. Resi Kamuka pasti tidak bersedia menerimaku lagi. Dan semuanya pasti sudah menganggapku murid murtad."

"Aku tahu siapa gurumu. Beliau orang yang bijaksana. Kalau kau mengakui semua kesalahanmu, pasti masih diterima dengan tangan terbuka."

Dewi Wila Marta menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku takut, Rangga. Aku tidak sanggup lagi bertemu Resi Kamuka. Rasanya dia sudah kubuat kecewa," lirih suara Dewi Wila Marta

"Tidak perlu takut. Aku akan menjelaskannya nanti pada Resi Kamuka," janji Rangga.

"Oh, sungguh...?"
Rangga mengangguk.
"Terima kasih...."
"Rangga."
"Boleh aku memanggilmu Kakang?"
"Kenapa tidak?"

"Terima kasih," ucap Dewi Wila Marta mulai cerah kembali wajahnya. "Tapi...," mendadak wajahnya kembali mendung.

"Apa lagi?" tanya Rangga.

"Apa mungkin Resi Kamuka masih menerimaku lagi?" tanya Dewi Wila Marta pelan.

"Kenapa tidak? Kau punya bakat besar. Aku yakin, dalam waktu dua atau tiga tahun saja kau sudah mampu malang melintang dalam dunia persilatan," Rangga meyakinkan.

"Resi Kamuka pasti menghukumku, Kakang."

"Segala perbuatan mengandung resiko. Kau berani melakukan perbuatan ini, tentu berani juga menanggung resikonya. Aku rasa hukuman yang akan kau dapat tidak berarti banyak bila kau sudah terjun ke dunia luar. Resiko seorang pendekar lebih berat lagi daripada hukuman yang pasti hanya bersifat mendidik. Bukan karena kebencian semata."

"Aku gembira bisa bertemu denganmu, Kakang. Resi Kamuka sering menceritakan tentang dirimu, dan aku ingin sekali bertemu denganmu," ungkap Dewi Wila Marta terus terang.

"Aku tidak percaya hanya karena hal itu kau berani mengambil resiko besar seperti ini," Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang sudah bisa ditebak sebabnya Dewi Wila Marta berada di sini sekarang.

"Iya," sahut Dewi Wila Marta tersipu.

******************

Rangga menepuk pundak Dewi Wiia Marta, dan mengajaknya berjalan. Tapi belum juga jauh melangkah, tiba-tiba muncul Raden Segara bersama lebih dari dua puluh orang pengawalnya. Mereka membuat suara-suara gaduh sambil mengayun-ayunkan gada yang besar dan berduri tajam. Dewi Wila Marta terkesiap juga melihat manusia setengah raksasa yang tahu-tahu sudah mengepungnya.

Sedangkan Rangga jadi berpikir melihat jumlah manusia manusia setengah raksasa Itu demikian banyak. Menghadapi lima atau enam orang saja sudah begitu sukar baginya. Apalagi harus menghadapi sekian banyak! Namun yang menjadi bahan pikiran Pendekar Rajawali Sakti adalah Dewi Wila Marta. Gadis ini pasti tidak akan mampu menghadapi mereka. Seorang saja belum tentu bisa dihadapi Dewi Wila Marta yang masih terlalu hijau dalam dunia kependekaran.

"Ha ha ha...! Kali ini kau tidak akan bisa lolos dariku, bocah setan!" keras sekali suara Raden Segara.

Para pengawalnya yang semuanya bertubuh setengah raksasa, ikut tertawa terbahak-bahak. Dewi Wila Marta cepat menutup telinganya, tidak tahan mendengar suara yang menggelegar itu.

"Bunuh dia! Biarkan yang perempuan hidup!" perintah Raden Segara menggelegar.

Lebih dari dua puluh orang bertubuh tinggi besar itu menghambur dan berteriak-teriak mengayun-ayunkan gadanya. Mereka langsung merangsek Pendekar Rajawali Sakti, dan menggiringnya agar terpisah dari Dewi Wila Marta. Tentu saja hal ini membuat Dewi Wila Marta jadi ketakutan juga. Dengan sekuat tenaga dan semampunya gadis itu berusaha melawan mempergunakan pedang dan jurus-jurus yang dipelajari di Padepokan Arang Watu.

Rangga sendiri agak kewalahan juga menghadapi keroyokan manusia setengah raksasa itu. Mereka kini sudah mengetahui kelemahan masing-masing, sehingga tidak mudah bagi Rangga untuk mengarahkan pukulannya ke kening. Setiap kali pukulannya mengarah ke sana, selalu saja ada yang menjegal, atau menghantamkan gada besar dan berduri besar. Mereka bahkan membiarkan saja bagian tubuh lainnya terbuka lebar. Mudah bagi Rangga untuk menghantam dada, perut, atau bagian tubuh lainnya yang dapat mematikan bagi orang lain. Tapi tidak ada gunanya bagi manusia setengah raksasa ini.

"Ha ha ha...!" Raden Segara yang menyaksikan pertarungan itu tertawa terbahak-bahak.

Sedangkan Rangga harus berpikir keras mencari jalan untuk mengalahkan manusia-manusia setengah raksasa ini. Gerakan mereka terlihat lebih cepat, dan selalu melindungi kening dengan gadanya. Sedangkan Rangga tahu, hanya di situlah letak kelemahan mereka. Seluruh jurus maupun aji kesaktian yang dimiliki tidak berarti apa-apa sama sekali! Rangga hanya mengandalkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Tapi, itu pun sudah terasa sulit, karena lawannya begitu banyak dan ruang gerak juga semakin terbatas.

"Akh...!" tiba-tiba terdengar suara pekikan tertahan dari Dewi Wila Marta.

"Wila...!" sentak Rangga terkejut

Tampak Dewi Wila Marta terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya. Tampak dari sudut bibirnya keluar darah segar. Dan selagi gadis itu terhuyung, sebuah hantaman keras mendarat di punggungnya. Dewi Wila Marta kembali memekik keras, dan tubuhnya langsung terjerembab mencium tanah. Rangga yang melihat keadaan gadis itu, langsung melompat. Tapi sebuah gada melayang deras menghadang lompatannya.

"Hup!"

Rangga melentingkan tubuhnya berputar menghindari terjangan gada besar berduri itu. Dan tubuhnya langsung meluruk deras menjangkau Dewi Wila Marta yang tengah berusaha bangkit berdiri. Tapi sebelum Pendekar Rajawali Sakti itu bisa meraih tubuh Dewi Wila Marta, mendadak satu tendangan keras mendarat di punggungnya.

"Ugh!" Rangga mengeluh pendek.

Pendekar Rajawali Sakti terdorong beberapa langkah ke depan. Dan selagi tubuhnya belum seimbang, satu pukulan keras kembali mendarat di dadanya. Satu pekikan keras terdengar dari mulut Pendekar Rajawali Sakti itu. Tubuhnya cepat mencelat tinggi ke udara, dan berputaran beberapa kali.

Bukan Pendekar Rajawali Sakti kalau tidak mampu menghadapi keadaan sulit ini dengan cepat. Mengetahui dirinya mendapat dua pukulan sekaligus, cepat-cepat Rangga melentingkan tubuhnya dan hinggap di atas dahan. Sebentar digerakkan tangannya, mengerahkan hawa murni untuk mengurangi rasa nyeri pada punggung dan dadanya.

"Phuih!" Rangga menyemburkan ludahnya.

Sret!

Cahaya biru berkilau langsung menyemburat menerangi sekitarnya begitu pedang pusaka Rajawali Sakti tercabut dari warangkanya di punggung. Semua orang bertubuh tinggi besar bagai raksasa itu terpana melihat cahaya biru memancar dari pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dua orang yang tengah memegangi Dewi Wila Marta, jadi terpaku. Dan kesempatan ini cepat dimanfaatkan gadis itu untuk meloloskan diri.

Dengan cepat Dewi Wila Marta berlari begitu dapat terlepas dari cekalan dua manusia setengah raksasa itu. Dia lari ke bawah pohon tempat Rangga berada. Pendekar Rajawali Sakti itu segera meluruk turun, dan mendarat manis sekali di depan Dewi Wila Marta. Pedangnya melintang di depan dada.

"Bocah setan! Dari mana kau dapatkan pusaka itu?" bentak Raden Segara seraya membeliak lebar.

"Hm...," Rangga hanya menggumam kecil.

Pertanyaan Raden Segara membuat kening Pendekar Rajawali Sakti berkerut juga. Terlebih lagi melihat wajah manusia-manusia setengah raksasa yang kehhatan pucat dengan mata membeliak lebar ketika melihat pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan-lahan mereka bergerak mundur.

"Kakang, mereka takut melihat pedangmu," kata Dewi Wila Marta setengah berbisik

Lagi-lagi Rangga hanya bergumam saja, kemudian kakinya bergerak maju perlahan-lahan Manusia-manusia setengah raksasa itu semakin bergerak mundur.

Sret!

Raden Segara mencabut pedangnya yang panjang dan cukup besar. Digenggamnya pedang itu erat-erat dengan kedua tangannya. Perlahan kakinya menggeser ke kanan beberapa tindak. Kedua matanya tajam menatap pedang berwarna biru berkilau di tangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Serang...!" teriak Raden Segara keras.

Empat orang serentak melompat maju seraya mengayunkan gadanya kuat-kuat. Sedangkan Rangga hanya menggeser sedikit ke kanan kakinya, lalu mengibaskan pedangnya ke arah salah seorang penyerangnya yang berada di sebelah kanan. Kibasan pedang bercahaya biru berkilau itu demikian cepat, sehingga tidak dapat dielakkan lagi. Ujung pedang itu langsung membabat dada manusia setengah raksasa itu.

"Aaargh...!"

Satu raungan keras terdengar. Seketika orang itu menggelepar dan dadanya yang robek panjang langsung mengucurkan darah segar. Belum lagi lenyap suara raungan itu, Rangga sudah melompat sambil mengebutkan pedangnya ke kiri. Kembali terdengar raungan keras disusul ambruknya seorang penyerang lagi. Dua orang lainnya langsung melompat mundur. Tampak dua orang yang menggelepar di tanah, langsung berubah mengecil setelah asap menyelubungi tubuhnya. Kini yang ada hanya dua orang laki-laki kurus kering seperti seonggok mayat yang sudah lama terkubur di dalam tanah.

Rangga berdiri tegak dengan pedang pusakanya menyilang di depan dada. Sungguh tidak dimengerti, kenapa pedang pusakanya mampu mengoyak tubuh mereka yang kebal. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu jadi tersenyum gembira dalam hati. Kini, tidak perlu lagi dipusatkan perhatiannya pada kening manusia-manusia setengah raksasa itu. Dengan Pedang Rajawali Sakti, kekebalan tubuh mereka tidak ada artinya.

Rangga sempat melirik dua sosok tubuh yang menggeletak tidak jauh darinya. Tampak pada bagian kening di antara kedua matanya, terdapat satu lubang yang tidak berapa besar. Dan di dalam lubang itu terlihat sebutir mutiara merah. Bau busuk yang datang dari dua sosok tubuh yang tergeletak mulai terasa menyengat hidung.

"Serang! Bunuh bocah setan itu...!" teriak Raden Segara kalap.

Raden Segara langsung melompat sambil mengi-baskan pedangnya ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti. Tapi manis sekali Rangga mengelakkannya. Bahkan pedangnya berkelebat cepat menusuk ke arah perut Raden Segara terkesiap sesaat, dan cepat-cepat melompat mundur ke belakang. Pada saat itu pengawal-pengawalnya sudah berhamburan menye-rang Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa di antaranya mengeroyok Dewi Wila Marta.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Sambil berteriak nyaring, Rangga berlompatan cepat seraya mengibaskan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Raungan keras terdengar saling sambut, disusul ambruknya tubuh-tubuh besar bersimbah darah. Rangga bagaikan seekor singa gurun yang terluka. Gerakannya demikian cepat, sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Jeritan melengking terdengar saling sambut disertai raungan keras dari tubuh-tubuh yang menggelepar bersimbah darah. Asap mengepul di beberapa tempat. Sebentar saja, tidak kurang dari delapan mayat bergelimpangan membusuk. Kening mereka berlubang, dan ada sebutir batu mutiara merah di dalamnya.

Melihat delapan orang pengawalnya tewas, Raden Segara agak gentar juga menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Langsung dialihkan perhatiannya pada Dewi Wila Marta. Secepat kilat Raden Segara melompat dan langsung menyambar tubuh gadis itu. Dewi Wila Marta terpekik kaget. Tapi tubuhnya sudah tidak berdaya lagi dalam kempitan tangan yang besar.

"Wila...!" teriak Rangga terkejut.

Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melompat, namun beberapa orang bertubuh tinggi besar sudah menghadangnya. Mereka langsung memberikan serangan dahsyat. Sementara, Raden Segara sudah melesat kabur membawa Dewi Wila Marta. Pengawal-pengawalnya yang tersisa juga segera berlarian cepat ke segala arah.

"Iblis! Pengecut...!" rutuk Rangga geram.

******************

DELAPAN

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat melesat mengejar Raden Segara yang kabur membawa lari Dewi Wila Marta. Meskipun bayangan manusia setengah raksasa itu sudah tidak terlihat lagi, namun Pendekar Rajawali Sakti masih bisa melihat arah kepergiannya.

Ilmu meringankan tubuh yang dimiiiki Pendekar Rajawali Sakti memang sudah mencapai taraf sempurna, sehingga dalam waktu tidak berapa lama sudah sampai di perkampungan aneh. Perkampungan yang lebih tepat disebut benteng pertahanan. Namun Rangga tidak berhenti sampai di situ Dia terus menuju ke arah Timur, menerobos lebatnya semak belukar dan pepohonan yang merapat, menambah gelapnya suasana.

Rangga baru berhenti setelah di depannya terlihat sebuah bangunan besar bagai istana, yang dikelilingi tembok benteng tinggi dan tebal. Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah perlahan mendekati pintu gerbang benteng yang nampak terbuka lebar, seakan-akan sengaja memberi peluang untuk dimasuki. Namun Rangga tidak gegabah begitu saja. Dia berhenti sekitar tiga batang tombak jaraknya di depan pintu gerbang benteng istana itu.

Slap...!

Mendadak seberkas cahaya merah meluncur dari dalam benteng istana itu. Sinar merah yang begitu terang, meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Bergegas Rangga melompat, dan berputar sekali di udara. Cahaya merah itu meluncur deras dalam putaran tubuhnya. Dan begitu kakinya mendarat di tanah, kembali datang dua sinar merah sekaligus. Rangga terpaksa beriompatan kembali di udara menghindari terjangan sinar-sinar merah itu. Suara ledakan terdengar beruntun, disusul tumbangnya pepohonan yang terlanda sinar-sinar merah itu.

"Rangga, kemari...!"

Tiba-tiba terdengar suara panggilan keras dari belakang. Pada saat itu, Rangga baru saja menjejakkan kakinya di tanah. Dia langsung menoleh, dan seketika kembali meluncur seberkas sinar merah dari dalam benteng istana.

"Awas..!" terdengar seruan kecil, namun terdengar jelas.

"Hup! Hiyaaa...!"
Terlambat....

"Akh...!" Rangga memekik keras agak tertahan. Tubuhnya terlontar beberapa tombak ke belakang.

Sinar merah itu tepat menghantam dada Pendekar Rajawali Sakti, sehingga tubuhnya terlontar ke belakang. Dua batang pohon yang sangat besar langsung tumbang terlanda tubuh pemuda pendekar itu. Belum lagi Rangga sempat bangkit, tiba-tiba melesat satu bayangan kuning keemasan, langsung menyambar tubuh Pendekar Rajawali Sakti dan membawanya pergi dari tempat itu. Tepat, pada saat itu kembali seberkas cahaya merah melesat, menghantam tempat tadi Rangga tergolek. Sedangkan bayangan kuning keemasan itu sudah membawa Rangga cukup jauh dari perkampungan bagai benteng itu. Dibaringkan kembali tubuh Pendekar Rajawali Sakti di tempat yang cukup aman.

"Ugh!" Rangga mengeluh pendek begitu dia merasakan tubuhnya kembali terbaring di tanah.

Rangga berusaha bangkit, tapi sebentuk tangan halus mencegahnya. Pendekar Rajawali Sakti itu memandang seraut wajah cantik bagai bidadari kahyangan. Pakaiannya begitu indah terbuat dari surra halus yang penuh terhias sulaman benang emas. Wanita itu memberikan senyum yang begitu manis menawan.

"Ratu Mutiara...," desis Rangga seraya berusaha bangkit, tapi kemudian meringis karena dadanya nyeri sekali.

"Jangan bangun dulu. Tetaplah berbaring," kata Ratu Mutiara lembut

Rangga tidak bergerak lagi. Dirasakan sepasang tangan yang halus dan lembut menekan dadanya.

Perlahan-lahan seluruh rongga dadanya serasa jadi dingin. Namun sesaat kemudian mendadak seluruh dadanya jadi sesak, dan tulang-tulangnya seperti diremas. Begitu menyakitkan, membuat Pendekar Rajawali Sakti itu meringis menahan rasa sakit yang luar biasa.

"Hoek...!" Rangga memuntahkan darah kental kehitaman.

Ratu Mutiara melepaskan tangannya. Saat itu Rangga rherasakan seluruh rongga dadanya kembali longgar, dan napasnya pun kembali teratur. Tidak ada lagi rasa nyeri dan sakit di dadanya, bahkan kini sudah bisa bangkit dan duduk bersila. Ratu Mutiara juga tetap duduk di depan Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Apa yang terjadi padaku?" tanya Rangga seraya meraba dadanya.

"Kau terkena ilmu pukulan jarak jauh yang mengandung racun mematikan. Tapi bukan karena itu. Dalam pukulan itu tersimpan sebutir mutiara merah," sahut Ratu Mutiara.

"Mutiara Merah...!" Rangga jadi teringat batu-batu mutiara yang selalu ada pada setiap kening manusia-manusia setengah raksasa itu.

"Mutiara kehidupan yang juga mematikan."

"Aku tidak mengerti maksudmu?"

"Memang sukar untuk dimengerti bangsa manusia. Itu sebabnya aku pergi dari puri menemuimu," kata Ratu Mutiara.

Rangga semakin tidak dapat memahami kata-kata Ratu Mutiara tadi. Benaknya kini dipenuhi bermacam dugaan. Sedangkan Ratu Mutiara hanya tersenyum, seolah bisa membaca yang ada di dalam benak Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Aku dan seluruh rakyatku sebenarnya bukan bangsa manusia seperti yang kau lihat. Demikian pula dengan Raden Segara dan pengawal-pengawahnya. Sebenarnya kami semua termasuk bangsa siluman yang tidak bisa terlihat oleh manusia. Tapi karena ulah Raden Segara, semuanya jadi seperti melawan kodrat alam," kata Ratu Mutiara mencoba menjelaskan.

Rangga mencoba menangkap penjelasan yang sukar dipahami ini.

"Sejak nenek moyang kami diciptakan, antara bangsaku dengan bangsa Raden Segara sudah terjadi permusuhan. Dan itu tidak akan dapat terselesaikan hingga akhir jaman. Aku sendiri menjadi ratu sejak ribuan tahun lamanya. Demikian juga Ayah Raden Segara. Meskipun kami semua bangsa siluman, tapi kami hidup seperti layaknya bangsa manusia. Bisa berkembang biak, dan juga dapat mati. Dan semua itu sudah takdir. Hanya para pemimpinlah yang tidak akan mati kalau tidak menyalahi kodrat yang telah digariskan. Dan semua kodrat yang telah digariskan Sang Pencipta itu telah dilanggar Raden Segara."

Sedikit-sedikit Rangga mulai bisa memahami.

"Sejak pertama kali diciptakan, antara bangsaku dengan bangsa Raden Segara tidak akan bisa bersatu. Tapi Raden Segara tidak peduli. Dia tetap ingln menyuntingku sebagai istrinya. Tentu saja aku menolak, karena tidak ingin menyalahi kodrat yang telah digariskan. Raden Segara tidak bersedia menerimanya. Maka, dicurilah mutiara-mutiara merah yang menjadi kekuatan kehidupan dan kematian bangsa siluman. Mutiara merah itu bisa menjadi lambang kekuatan kehidupan abadi jika digunakan secara benar, tapi juga bisa membuat kematian bila digunakan secara salah. Mutiara Merah itu juga tidak akan berguna banyak bagi bangsa manusia, dan akan musnah kekuatannya oleh bangsa manusia jika sudah mengetahui letak penanamannya."

"Maksudmu?" tanya Rangga ingin lebih jelas.

"Kau sudah tahu di mana letak mutiara merah itu berada, bukan?" tanya Ratu Mutiara.

"Ya," sahut Rangga.

"Letak yang sebenarnya bukan di antara kedua mata, tapi di dalam hati. Ini maksudnya sebagai sumber dari segala pusat kehidupan setiap makhluk siluman. Dan hal itu kemudian diketahui Raden Segara. Kemudian, diculik dan dibunuhlah bangsaku untuk diambil mutiara merahnya, lalu dikenakan pada pengawal-pengawalnya di antara kedua mata mereka. Dia sendiri juga mengenakannya. Itulah sebabnya kenapa dirinya dan para pengawalnya bisa berubah menjadi setengah raksasa. Itu tak lain karena kesalahan dalam penggunaan yang sebenarnya sudah diketahui, tapi tetap dilanggar. Kau tahu, hatinya begitu culas dan selalu ingin berkuasa...."

"Terutama untuk mendesakmu menerima lamarannya. Bukan begitu?" tebak Rangga mulai mengerti.

"Benar! Tapi dia sangat kecewa karena aku tetap pada pendirianku. Yang jelas, aku tidak mau menentang kodrat yang telah digariskan. Aku sudah ditentukan akan menikah dengan seseorang, tapi bukan pada saat-saat sekarang ini. Malah calon suamiku belum jelas berada di mana. Yang pasti, aku akan menikah dengan bangsa siluman juga. Tapi bukan dari lawan-lawanku, seperti bangsa siluman Raden Segara."

"Hm.... Aku masih belum mengerti, kenapa mereka.... Maksudku Raden Segara mengambil mutiara merah dari bangsamu?" tanya Rangga.

"Raden Segara tahu, kekuatan bangsaku berada pada mutiara merah yang tertanam di hati. Tanpa mutiara itu sudah sejak lama kami musnah, dan jumlah mutiara itu pun terbatas. Makanya setiap ada bangsaku yang mati, mutiaranya kusimpan untuk diberikan pada yang baru lahir. Bisa kau bayangkan jika semua mutiara merah berhasil dikuasainya. Semua bangsaku akan musnah. Dan itu bukan saja membahayakan seluruh bangsa siluman lainnya, tapi bagi kehidupan manusia! Karena, dari mutiara merah itu mereka bisa terlihat jelas oleh manusia. Dan kau tahu sendiri, mereka tidak mudah untuk dikalahkan."

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda mulai bisa mengerti duduk persoalannya. Pantas saja sejak pertama kali datang, dan saat menerima pesan-pesan aneh yang membingungkan, sudah dirasakan adanya kelainan. Terlebih lagi setelah menginjakkan kakinya di daerah Selatan ini. Daerah yang masih diselubungi hutan lebat yang tidak terjamah manusia.

"Apa yang kau pikirkan, Rangga?" tanya Ratu Mutiara.

"Hm," Rangga bergumam saja.

"Katakan, dengan senang hari akan kujawab. Sudah kutetapkan, kau harus tahu semuanya karena telah terlibat langsung dalam persoalan ini."

"Hm...," kembali Rangga bergumam, seperti mencari kata-kata yang tepat agar tidak menyinggung perasaan wanita ini.

Sedangkan Ratu Mutiara menunggu sabar. Bibir-nya selalu menyunggingkan senyum, meskipun tidak sedang tersenyum.

******************

"Katakan saja. Jangan khawatir, aku tak akan tersinggung," kata Ratu Mutiara lembut Sepertinya, dia selalu tahu setiap kali Rangga berpikir.

"Jalan pikiranku selalu bisa kau tebak dengan tepat. Tentu kau tahu, apa yang ada dalam pikiranku saat ini," kata Rangga bisa merasakan.

"Kau ingin tahu kenapa aku meminta bantuanmu, begitu?" tebak Ratu Mutiara langsung.

"Tepat!" sahut Rangga kagum.

"Karena aku tahu siapa dirimu, dari mana kau peroleh semua kepandaianmu. asal-usulmu, dan semuanya.

"Oh, ya...?" terkejut juga Rangga.

"Jangan heran. Aku ini bangsa siluman, sehingga bisa mengetahui yang tidak bisa diketahui manusia. Tapi aku bukan dewa, sehingga juga punya keterbatasan."

"Kalau begitu, kau juga pasti tahu kalau bukan karena aku saja yang...."

"Kau ingin dengar alasanku, Rangga?" potong Ratu Mutiara.

"Jika tidak keberatan."

"Aku memilihmu karena kau mewarisi ilmu Pendekar Rajawali yang hidup seratus tahun lalu. Terlebih lagi, kau juga membawa pedang pusaka Rajawali Sakti. Itu yang menyebabkan aku memilihmu, Rangga"

"Apa hubungannya?"

"Karena dulu Pendekar Rajawali pernah mengalahkan bangsa siluman dari kaum Raden Segara. Makanya aku percaya betul kalau kau juga pasti mampu."

"Bagaimana dengan Dewi Wila Marta?" Rangga jadi teringat gadis dari Padepokan Arang Watu itu.

"Sejak semula, sudah kuketahui kalau dia tidak akan berguna. Tapi aku tidak ingin mengecewakannya. Maka kubiarkan saja karena aku tahu apa yang ada dalam hatinya."

"Dia sudah menyadari kekeliruannya," jelas Rangga.

"Aku tahu, dan sekarang aku juga tahu kalau dia berada di tangan Raden Segara. Tapi tidak perlu khawatir. Kodrat manusia dengan siluman itu berbeda. Raden Segara tidak akan dapat menyamakannya. Dia akan selamat tanpa kurang satu apa pun. Itu juga kalau Raden Segara tidak membunuhnya. Terlalu mudah baginya untuk membunuh manusia."

"Aku harus cepat membebaskannya," tegas Rangga.

"Rangga, kau bisa membunuh mereka. Tapi jangan membunuh Raden Segara. Bagaimanapun juga, dia yang akan meneruskan kodrat kaumnya. Dan ini tidak boleh dilanggar meskipun sifatnya buruk. Dan memang itu yang sudah terjadi. Ada sifat baik, ada juga sifat buruk. Aku yakin, bangsa manusia juga begitu."

"Aku janji," kata Rangga.

"Terima kasih."

Rangga bangkit berdiri. Ratu Mutiara juga ikut berdiri.

"Ada satu lagi, Rangga," kata Ratu Mutiara begitu mereka melangkah kembali menuju bangunan istana megah itu.

"Apa?" tanya Rangga terus saja melangkah.

"Kau hadapi mereka, biar aku yang membebaskan Dewi Wila Marta bersama yang lainnya."

"Kenapa begitu?"

"Karena, aku tidak dapat membunuh mereka yang memakai mutiara merah. Itu sama saja membunuh rakyatku sendiri. Karena perbedaan antara siluman terletak pada alat kehidupan dan kematiannya. Mereka juga memilikinya. Dan, kau tidak perlu tahu, Rangga."

"Kenapa?"

"Ini kodrat, yang tak boleh dilanggar."

Rangga langsung diam. Sebenarnya hatinya kesal juga, karena Ratu Mutiara selalu berkata kodrat. Dia memang percaya adanya kodrat yang telah digariskan Sang Hyang Widi. Dan itu tidak bisa ditolak ataupun dilanggar. Sebesar apa pun usahanya untuk melawan, tetap akan datang juga. Tapi Rangga tidak terlalu terpaku pada kodrat. Yang dipercayainya hanya adanya nasib baik dan buruk. Keberuntungan dan kesialan. Hanya itu yang tertanam dalam hatinya sebagai seorang pendekar pemberantas keangkaramurkaan di Mayapada ini

Sementara itu mereka mulai berjalan menuju pintu gerbang benteng istana. Benteng yang seharusnya ditempati Ratu Mutiara beserta seluruh rakyatnya. Mereka berhenti setelah dekat benteng istana itu.

"Akan kubebaskan tawanan mereka. Kau masuk saja sendiri. Jangan hiraukan serangan sinar merah mereka. Kau sudah kebal sekarang," kata Ratu Mutiara.

"Apa yang kau lakukan pada diriku tadi?" tanya Rangga.

"Hanya perisai. Gunakan pedangmu, karena hanya senjata itulah yang dapat menghancurkan mereka," pesan Ratu Mutiara.

Belum lagi Rangga membuka mulut, Ratu Mutiara mendadak telah lenyap dari pandangannya. Rangga mengangkat bahunya, kemudian melangkah memasuki pintu gerbang benteng istana itu. Baru saja kakinya melewati ambang pintu, beberapa cahaya merah meluruk deras ke arahnya. Cahaya itu langsung menghantam tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan kali ini Rangga bisa tersenyum karena sinar-sinar itu langsung pudar begitu menyentuh tubuhnya. Rangga tersenyum sambil terus melangkah masuk.

"Serang...!" tiba-tiba terdengar seruan keras.

"Hiyaaa...!"
"Graaagh...!"

******************

Entah dari mana datangnya, tahu-tahu telah banyak manusia setengah raksasa bermunculan. Mereka berlarlan cepat memperdengarkan suara gemuruh ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu Rangga segera teringat pesan Ratu Mutiara. Tanpa menunggu datangnya serangan lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu langsung mencabut pedang pusakanya yang bercahaya biru.

Sret!
"Hiya! Yaaahhh...!"

Rangga tidak lagi menunggu terlalu lama. Begitu pedangnya terhunus, segera dikibaskan cepat disertai pengerahan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Satu jurus yang sangat dahsyat dan sangat jarang digunakan.

"Aukh...!"
"Aaargh...!"

Suara-suara pekikan dan raungan menyayat terdengar saling sambut, disusul ambruknya tubuh-tubuh yang bersimbah darah segar. Cahaya biru berkelebatan menyambar-nyambar mengikuti gerak tubuh Pendekar Rajawali Sakti, dan tidak bisa terbendung lagi. Setiap kali berkelebat, satu dua nyawa melayang diiringi erangan menyayat. Tidak terhitung lagi berapa tubuh bergelimpangan bersimbah darah. Rangga mengamuk bagai banteng terluka. Meskipun dikeroyok puluhan manusia setengah raksasa, tapi mampu menjatuhkan begitu banyak lawan.

Tiba-tiba saja Rangga dikejutkan adanya suara gemuruh, yang langsung disusul jerit dan pekikan melengking dari arah belakang. Belum sempat Rangga mengetahui apa yang terjadi, mendadak di dekatnya muncul Ratu Mutiara. Rangga cepat melompat menghampiri.

"Temanmu sudah ada di perbatasan Utara," kata Ratu Mutiara.

Secepat dia berkata, secepat itu pula tubuhnya melesat melewati beberapa kepala manusia-manusia setengah raksasa. Rangga ikut melesat cepat menyusul. Dan begitu kakinya mendarat, tampak Ratu Mutiara sudah berdiri tegak menghadapi Raden Segara. Pendekar Rajawali Sakti menempatkan diri di samping wanita cantik bangsa siluman itu. Sementara di belakang mereka, terlihat prajurit-prajurit Ratu. Mutiara bertarung sengit melawan pengawal pengawal Raden Segara.

"Kuakui, kali ini kau menang, Mutiara. Tapi jangan harap aku menyerah begitu saja," kata Raden Segara dingin.

"Kembalikan saja mutiara merah itu, Raden. Aku janji, semua yang terjadi di sini tidak akan sampai terdengar ayahmu," ujar Ratu Mutiara lembut

Raden Segara bergumam agak mendesis, kemudian meraba wajahnya. Dilemparkan sebutir mutiara merah, dan Ratu Mutiara langsung menangkapnya. Bibirnya tersenyum setelah melihat sebutir mutiara berada dalam genggamannya. Keanehan terjadi. Raden Segara langsung jadi menyusut kecil, dan kembali seperti sediakala.

Seketika itu juga, para pengawalnya pun berubah mengecil kembali Pertarungan pun segera berhenti. Pengawal-pengawal Raden Segara berlompatan seraya melemparkan batu mutiara merah. Prajurit-prajurit Ratu Mutiara juga segera menangkapnya.

"Suatu saat aku akan kembali lagi, Mutiara. Ingat! Kau harus jadi milikku," kata Raden Segara, tetap dingin nada suaranya.

Raden Segara menatap tajam pada Pendekar Rajawali Sakti. "Hhh! Seharusnya aku tahu kalau kau seorang manusia. Sayang, kau masih terikat persaudaraan dengan Raja Siluman Ular. Kalau tidak, nyawamu sudah menghuni penjara istanaku, Rangga," dengus Raden Segara.

Setelah berkata demikian, Raden Segara langsung lenyap, disusul para pengawalnya. Ratu Mutiara menarik napas panjang, kemudian berpaling pada Rangga yang berdiri di sampingnya.

"Terima kasih, Rangga," ucap Ratu Mutiara.

"Tapi berhati-hatilah, Raden Segara begitu dendam padamu."

"Kenapa dia tidak mau melawanku?" tanya Rangga.

"Karena kau saudara angkat Satria Naga Emas, Raja Siluman Ular."

"Hm...."

"Tidak ada satu pun bangsa siluman yang berani menentang Raja Siluman Ular. Dia adalah raja dari segala raja siluman yang ada. Beruntunglah kau memiliki saudara angkat seperti dia."

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Kasihan temanmu. Dia pasti sudah menunggu lama," Ratu Mutiara mengingatkan.

"Baiklah. Aku pergi dulu," pamit Rangga.

"Atas nama seluruh rakyatku, kuucapkan banyak terima kasih, Rangga."

"Ah! Sudah sepantasnya aku membantu siapa saja yang memerlukan," desah Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti itu membungkukkan badannya, kemudian melesat cepat menuju ke arah Utara. Saat itu, perlahan-lahan tempat Ratu Mutiara dan seluruh rakyatnya berada, berubah kembali menjadi hutan belantara. Tidak ada lagi satu bangunan pun yang terlihat. Semuanya lenyap, kembali menjadi sediakala. Sementara Rangga terus berlari cepat menuju perbatasan Utara dengan wilayah kaum siluman itu.

Alam kembali terang benderang. Matahari bersinar cerah, tepat di saat Rangga bisa menemukan Dewi Wila Marta yang memang telah menunggunya setelah dibebaskan Ratu Mutiara. Mereka tidak banyak bicara lagi, dan langsung pergi menunggang kuda masing-masing.

Rangga sendiri tidak ingin bertanya bagaimana caranya Ratu Mutiara membebaskan Dewi Wila Marta. Bahkan juga menyediakan kuda-kuda di tempat ini. Pendekar Rajawali Sakti sempat menoleh ke belakang, dan terlihat bayangan Ratu Mutiara yang mengambang sambil tersenyum manis.

SELESAI

EPISODE SELANJUTNYA: WARISAN BERDARAH

Mutiara Dari Selatan

Pendekar Rajawali Sakti

Karya Teguh S

MUTIARA DARI SELATAN

SATU

SEEKOR kuda hitam berpacu cepat menyusuri tepian pantai berpasir putih. Penunggannya, seorang pemuda bertubuh tegap yang otot-ototnya bersembulan sehingga menampakkan kejantanannya. Rambutnya panjang terurai, meriap melambai-lambai dipermainkan angin pantai. Kuda hitam itu terus berpacu cepat bagaikan angin, menerjang ombak pantai.

"Hiya! Hiyaaa..."

Pemuda itu mendera kudanya semakin cepat. Kuda hitam itu meringkik keras. Begitu cepat larinya sehingga bagaikan tidak menapak pasir basah yang senantiasa dijilat ombak. Tiba-tiba saja kuda itu berbelok, dan terus berlari kencang menembus kelebatan hutan bakau. Namun kuda hitam itu tidak juga memperlambat larinya. Bahkan semakin cepat saja berpacu bagai dikejar setan

"Hooop...!"

Penunggang kuda hitam Itu menarik tali kekang kudanya. Bersamaan dengan terdengarnya ringkik kuda, pemuda itu melompat turun. Kuda hitam itu berhenti seketika. Sungguh indah dan ringan lompatannya, pertanda pemuda itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang tidak rendah.

Pemuda berwajah tampan dan berbaju rompi putih itu memandangi sekitarnya Tatapan matanya begitu tajam. Sesekali kepalanya menggeleng ke kiri dan ke kanan, atau mendongak ke atas. Sepertinya tengah menunggu sesuatu di tempat itu. Tempat yang berpasir, dan dipenuhi tanaman bakau yang akarakarnya menyemak rapat

Tiba-tiba saja dari arah samping kanan, meluncur sebatang anak panah. Pemuda itu menarik tubuhnya ke belakang sedikit, lalu tangannya bergerak cepat menangkap anak panah itu, tapi tidak terlihat satu bayangan pun yang berkelebat. Kemudlan pandangannya beralih pada anak panah yang berada dalam genggamannya.

"Hm...!" gumamnya dengan kening berkerut

Ada selembar daun lontar pada bagian tengah anak panah berwarna keperakan itu, yang diikat pita merah muda. Pemuda berbaju rompi putih itu mem-buka ikatan, dan mengamati lembaran daun itu. Keningnya kembali berkerut, sehingga sepasang alisnya yang tebal bertaut menjadi satu. Hanya ada sebaris kalimat yang tertera di sana.

BERJALANLAH KE ARAH SELATAN... MUTIARA DARI SELATAN.

Pemuda itu melipat daun lontar itu dan menyelipkannya di balik lipatan sabuk. Sebentar diangkat kepalanya, menatap ke arah Selatan. Arah datangnya anak panah tadi. Digerakkan tangannya, maka kuda hitam itu melangkah mendekat. Binatang tunggangan itu mendengus sambil mengangguk-anggukkan kepalanya di samping pemuda berbaju rompi putih itu.

"Hitam, aku tidak tahu apa keinginan orang ini. Sebaiknya kita ikuti saja petunjuknya," kata pemuda itu setengah bergumam

Kuda hitam pekat berotot kuat itu meringkik perlahan, seakan-akan mengerti ucapan majikannya. Pemuda berbaju rompi putih itu melompat naik dengan tangkasnya, dan menggebah kuda hitam itu perlahan-lahan. Kuda itu berjalan lambat menuju ke arah Selatan.

"Hm..., siapa sebenarnya orang itu? Kenapa selalu menamakan dirinya Mutiara dari Selatan...?" pemuda itu bergumam bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Sementara kuda hitam itu terus berjalan perlahan-lahan menerobos lebatnya hutan bakau di sepanjang pantai ini. Semakin jauh masuk ke dalam, hutan bakau itu semakin merenggang. Pemuda itu berdecak pelan, sehingga kuda hitam itu mulai mempercepat langkahnya. Mereka terus bergerak menuju Selatan, seperti yang tertulis pada daun lontar itu.

Hutan bakau yang menjadi pembatas pantai dengan daratan, telah terlewati. Dan kini pemuda penunggang kuda hitam itu mulai memasuki suatu padang rumput yang tidak begitu luas. Tampak di seberang sana terhampar hutan yang kelihatannya tidak pernah terjamah manusia. Pemuda itu menghentikan laju kudanya, lalu memandang ke sekeliling. Arah pandangannya langsung tertuju pada hutan di seberang padang rumput ini.

"Kau merasakan sesuatu, Hitam?" tanya pemuda itu melihat kuda hitamnya tampak gelisah.

Kuda hitam itu terangguk-angguk, dan sebelah kaki depannya menggaruk-garuk tanah berumput tebal. Pemuda itu melompat turun dari punggung kudanya. Dipegangi tali kekang kuda hitam itu. Namun binatang itu kelihatan masih tetap gelisah, meskipun sudah ditepuk-tepuk lehernya untuk ditenangkan.

"Tenanglah, Hitam...," bisik pemuda itu mencoba menenangkan kudanya.

Tapi kuda itu malah meringkik keras sambil mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi. Pemuda itu melompat melepaskan pegangannya pada tali kekangnya. Kuda hitam itu mendengus-dengus menghentak-hentakkan kakinya ke tanah. Sedangkan pemuda itu semakin heran melihatnya. Tapi belum juga keheranannya lenyap, mendadak hatinya dikejutkan oleh munculnya satu bayangan biru.

"Heh...! Hup!"

Pemuda itu bergegas melentingkan tubuhnya ke belakang, karena bayangan itu meluncur deras ke arahnya. Bayangan itu lewat di antara putaran tubuhnya, dan terus meluncur deras menghantam sebuah pohon. Pemuda itu berdiri tegak menatap wonggok kain berwarna biru cerah yang tergeletak di antara pohon yang tumbang kena terjangannya.

"Hm.... Apa pula ini...?" gumamnya bertanya-tanya sendiri.

******************

Pemuda berbaju rompi putih melangkah perlahan-lahan mendekati seonggok kain biru itu. Sejenak dipandangi bungkusan itu, kemudian dipungutnya. Bungkusan kain biru itu tidak terlalu besar. Bentuknya bulat yang salah satu ujungnya bulat besar dan satunya lagi kecil. Dibukanya lipatan kain biru itu, dan matanya membeliak lebar ketika melihat isinya.

"Biadab...!" desisnya sambil membungkus kembali kain biru itu.

Hatinya geram bukan main, karena bungkusan kain biru itu ternyata berisi sebuah kepala manusia yang darahnya sudah mengering. Pada kepala buntung itu ada ikat kepala terbuat dari bahan seperti emas yang dihiasi manik-manik dari mutiara. Pemuda berbaju rompi putih itu meletakkan bungkusan itu di bawah pohon.

"Ha ha ha...!"

Tiba-tiba terdengar suara tawa keras menggelegar. Pemuda itu langsung berbalik, dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Suara tawa itu seolah-olah datang dari segala arah. Jelas, kalau suara itu disertai pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi.

"Hm...," gumam pemuda itu perlahan.

Belum sempat pemuda itu menemukan arah sumber suara tawa itu, tiba-tiba satu bayangan berkelebat. Tahu-tahu, tidak jauh di depannya telah muncul seorang wanita tua berjubah kumal sambil memegang tongkat keperakan. Wanita itu masih juga terbahak-bahak. Pemuda itu menggeser kakinya ke depan beberapa tindak, dan pandangannya tajam menusuk langsung kearah wanita itu.

"Hebat sekali permainanmu, Nisanak," dengus pemuda itu kurang senang.

Wanita tua itu segera menghentikan tawanya. Ditatapnya pemuda tampan di depannya dalam-dalam. Perlahan tongkatnya terangkat dan tertuju langsung ke arah dada pemuda berbaju rompi putih itu.

"Kuperingatkan padamu, Pendekar Rajawali Sakti. Jangan turun campur urusan ini!" dingin suara wanita tua itu.

"Kau sudah tahu namaku. Siapa kau sebenarnya?" tanya pemuda yang ternyata Pendekar Rajawali Sakti.

"Kau tidak perlu tahu siapa aku!" sahut wanita tua itu tetap dingin. Tongkatnya diturunkan perlahanlahan.

"Baik. Aku tidak kenal siapa dirimu. Tadi kau katakan jangan mencampuri urusanmu? Aku tidak mengerti maksudmu, Nisanak," tenang, namun dingin sekali nada suara Pendekar Rajawali Sakti.

"Jangan berlagak bodoh, Pendekar Rajawali Sakti! Aku tahu maksudmu datang ke daerah Selatan ini. Maka kuperingatkan sekali lagi padamu. Tinggalkan daerah ini atau bernasib sama dengannya!" ujar wanita tua itu seraya menunjuk bungkusan kain biru di bawah pohon.

"Hm..., siapa dia?" tanya Rangga atau yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.

"Orang yang tidak menuruti kata-kataku. Terpaksa kupenggal kepalanya karena keras kepala. Nah! Sudah kuperingatkan padamu, Pendekar Rajawali Sakti. Tinggalkan daerah ini sebelum kepalamu terpisah dari badan!" ancam wanita tua itu tidak main-main.

Setelah berkata demikian, cepat sekali tubuhnya melesat, dan tahu-tahu sudah lenyap dari hadapan Rangga Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga wanita tua itu bagaikan lenyap ditelan bumi. Rangga menarik napas panjang, lalu menoleh. Betapa terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti, karena bungkusan kain biru itu juga lenyap entah ke mana.

Meskipun merasa terkejut, tapi Pendekar Rajawali Sakti itu bisa mengerti. Cukup dikagumi kehebatan wanita tua itu. Bisa melesat cepat sambil menyambar bungkusan kain biru itu tanpa diketahui. Tapi di balik rasa kagumnya, Rangga juga jadi tidak mengerti maksud wanita tua itu. Kedatangannya ke daerah ini karena selalu mendapat pesan tertulis di daun lontar.

Sepanjang perjalanan, sudah didapatkan tidak kurang dari lima kali. Dan semua pesan itu menunjukkan arah yang harus ditempuhnya, tanpa dijelaskan apa maksudnya. Yang menjadi pertanyaan, siapa sebenarnya pengirim pesan dalam daun lontar itu? Setiap pesan selalu tertulis kata Mutiara dari Selatan.... Rangga tidak mengerti, apakah Mutiara dari Selatan hanya sebuah julukan, atau mempunyai maksud tertentu di dalamnya.

"Hm..., pesan itu seperti bernada meminta bantuan. Tapi bantuan apa...?" gumam Rangga dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti itu makin tidak mengerti setelah menghubungkan semua pesan-pesan itu dengan kejadian-kejadian membingungkan selama menempuh perjalanan ke Selatan ini. Apalagi dengan munculnya wanita tua yang tidak mau menyebutkan namanya tadi. Memang bisa dirasakan kalau peringatannya tidak main-main, dan mengandung ancaman serius. Buktinya adalah sebuah kepala terbungkus kain biru.

Rangga mengernyitkan keningnya. Kepala buntung tadi memakai semacam gelang pada kepalanya. Dan pengikat kepala macam itu biasanya dimiliki para pembesar kerajaan sebagai pertanda kedudukan. Walaupun Rangga sebagai raja, tapi belum pernah melihat bentuk ikat kepala seperti ini. Bahkan juga tidak terdapat tanda tanda dari satu kerajaan mana. Ikat kepala yang kelihatannya terbuat dari emas bertahtakan batu mutiara. Jelas itu pertanda kalau pemiliknya bukan orang sembarangan dan memiliki kedudukan yang tinggi pada suatu daerah.

"Hhh.... Aku jadi penasaran...," desah Rangga pelan.

Pendekar Rajawali Sakti itu menghampiri kudanya yang hitam pekat dengan tubuh tinggi tegap dan otot bersembulan. Binatang itu mendengus-dengus seraya menganggukkan kepalanya beberapa kali. Rangga memperhatikan sejenak, lalu melompat naik ke punggung kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu. Tapi Rangga lebih suka memanggil si Hitam saja. Sepertinya kuda itu juga tidak keberatan terhadap nama barunya yang hanya dipakai Pendekar Rajawali Sakti.

"Kita terus ke arah Selatan, Hitam," perintah Rangga seraya menghentakkan tali kekangnya.

Kuda hitam itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, kemudian melompat cepat dan berlari bagaikan sebatang anak panah lepas dari busurnya. Begitu cepatnya kuda hitam itu berlari, seakan-akan keempat kakinya tidak menapak tanah.

******************

Rangga menghentikan lari kudanya. Pandangannya lurus menatap ke depan. Hampir tidak dipercaya kalau di tengah-tengah hutan lebat begini masih ada sebuah perkampungan yang begitu besar. Perkampungan ini sepertinya tidak pantas disebut desa. Semua rumah berdinding batu dan besar-besar. Bentuknya pun indah dikelilingi tembok benteng yang tinggi.

Perkampungan ini bagaikan sekelompok benteng. Rangga berdecak pelan, lalu menghentakkan tali kekang kudanya. Si Hitam berjalan perlahan-lahan memasuki perkampungan yang aneh luar biasa itu. Dari atas punggung kudanya, Pendekar Rajawali Sakti itu memandang ke sekeliling. Perasaannya jadi semakin aneh, karena sejak tadi tidak melihat seorang pun di tempat ini. Keadaannya sangat sunyi, seperti sudah begitu lama ditinggalkan.

Ketika pandangan Rangga tertuju pada sebuah bangunan yang di depannya terdapat sebuah patung singa, di situ sebuah bayangan berkelebat menyelinap ke balik pagar tembok yang tinggi besar itu. Bergegas Rangga melompat ke arah bayangan itu. Begitu cepatnya, tahu-tahu sudah berada di balik tembok.

"Eh...!" Rangga terkejut bukan main begitu melihat seorang gadis berdiri tegak. Wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar.

Punggung gadis itu menempel pada dinding tembok. Tiba-tiba saja dia jatuh berlutut, kemudian menangis terisak-isak. Rangga jadi heran. Dihampirinya gadis itu dan berlutut di depannya. Dengan lembut tangannya menyentuh pundak gadis itu. Tapi gadis itu malah tersentak, dan berlutut. Tentu saja Rangga semakin keheranan tidak mengerti.

"Nisanak...," tegur Rangga pelan.

"Ampun, Den.... Ampun...," rintih gadis itu memelas.

"Bangunlah, jangan berlutut begitu," kata Rangga lembut.

Pendekar Rajawali Sakti mencekal kedua pundak gadis yang berbaju kain kasar dengan beberapa bagian sobek. Rambutnya yang hitam pekat, tidak teratur bentuknya. Perlahan-lahan gadis itu bangkit, tapi masih juga berlutut. Rangga terpaksa tetap berlutut sehingga kedua lututnya menyentuh tanah.

"Siapa namamu, Nisanak?" tanya Rangga lembut Gadis itu tidak langsung menjawab. Perlahan-lahan diangkat kepalanya. Tampak air mata berlinangan membasahi wajahnya yang kotor berdebu. Tubuhnya masih gemetar menahan isaknya. Rangga melepaskan cekalan pada gadis itu. Ditatapnya gadis itu dengan lembut.

"Siapa namamu? Mengapa menangis?" tanya Rangga lagi lebih lembut

"Kencana...," sahut gadis itu pelan. Begitu pelannya, sehingga hampir tidak terdengar kala menyebutkan namanya.

"Kenapa menangis?" tanya Rangga tetap lembut.

"Aku..., aku...," gadis itu tampak ketakutan.

Dan belum lagi dapat berkata benar, mendadak matanya membeliak menatap lewat bahu Rangga. Tubuhnya semakin bergetar hebat, dan wajahnya pucat pasi. Mulumya yang dihiasi bibir mungil dan berwarna merah delima, terbuka lebar seperti ingin mengucapkan sesuatu.

Rangga tidak mengerti, lalu menoleh. Tapi mendadak saja satu desiran halus terdengar ke arahnya. Dan belum lagi sempat disadari, tahu-tahu tubuhnya terpental ke samping. Pendekar Rajawali Sakti itu jatuh bergulingan di tanah, kemudian melompat bangkit. Bibirnya meringis sedikit merasakan sakit pada bagian iganya.

Rangga masih belum mengerti apa yang terjadi, tahu-tahu satu bayangan besar berkelebat cepat menerjang ke arahnya. Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melompat ke samping sambil mengayunkan satu pukulan disertai pengerahan tenaga dalam tidak penuh.

"Hegh...!"

Terdengar erangan kecil, tapi Rangga merasakan tangannya seperti memukul segumpal kapas yang begitu lunak. Pukulannya terasa berbalik, membuat pergelangannya nyeri. Rangga cepat-cepat berbalik. Matanya langsung membelalak begitu melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar bagai raksasa berdiri tegak tidak jauh di depannya.

"Waladala! Manusia macam apa ini...?" desah Rangga terperangah.

Kepala orang itu menggeleng beberapa kali, membuat suara gemerincing dari anting-anting yang dikenakannya. Rangga sendiri sampai terpana melihatnya. Orang itu mengenakan pakaian yang sangat indah, terbuat dari bahan sutra halus bersulamkan benang emas pada bagian tepinya. Hiasan rambutnya juga terbuat dari emas, dengan kalung besar dan anting-anting seperti boneka kayu. Wajahnya cukup bersih dan tampan, tapi perawakannya seperti raksasa. Penampilannya tadi benar-benar mengerikan.

"Siapa kau bocah cilik?" tanya orang itu.

"Kau bertanya padaku?" Rangga balik bertanya, karena merasa bukan bocah lagi.

"Gradah...! Aku bertanya padamu, tolol!" bentak orang itu keras.

Rangga sampai melangkah mundur mendengar bentakan yang demikian menggelegar, bagai guntur di siang bolong. Bukan karena gentar, tapi terkejut mendengar suara itu.

"Kau sendiri, siapa?" Rangga malah balik bertanya.

"Ha ha ha...!" Manusia raksasa itu tertawa terbahak-bahak.

"Ditanya malah tertawa!" gerutu Rangga tidak enak mendengar tawa menggelegar dan memekakkan telinga itu.

"Bocah edan! Aku yang bertanya padamu, goblok!" bentak orang tinggi besar itu keras.

"Baik. Aku berikan namaku, tapi kau juga harus menyebutkan namamu," Rangga menawarkan.

"Berani sekali kau, setan cilik! Tapi baiklah, kuterima syaratmu!" kata orang itu jadi tertawa kembali.

"Jangan tertawa! Telingaku sakit!" bentak Rangga keras.

Orang itu langsung diam. Dia menggereng dengan mata merah membara menatap langsung bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Sebutkan, siapa namamu!" bentaknya.

"Rangga, dan kau?"

"Raden Segara!"

Rangga menelan ludahnya mendengar orang bertubuh tinggi besar itu menyebutkan namanya. Malah hampir-hampir tertawa. Sungguh mati tidak dikira kalau orang bertubuh tinggi besar itu seorang bangsawan. Apakah di dunia ini ada sekelompok manusia setengah raksasa?

DUA

Raden Segara melangkah mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Sepasang kakinya yang besar, terayun berat Namun tidak ada suara sedikit pun saat melangkah. Manusia tinggi besar itu berdiri tepat sekitar tiga langkah lagi di depan Rangga. Kemudian dia duduk bersila tanpa mempedulikan kalau tempat ini hanya tanah berdebu.

Rangga sendiri tidak mengerti, kenapa tiba-tiba manusia setengah raksasa itu tidak garang seperti tadi. Bahkan sepasang bola matanya juga memancarkan cahaya persahabatan, bukan seperti tadi yang merah menyala penuh rasa permusuhan. Raden Segara merentangkan tangannya sedikit. Rangga mengerti, lalu duduk bersila di depan manusia raksasa itu. Tubuhnya dua kali lipat dari tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

"Apa maksudmu datang ke tempat ini?" tanya Raden Segara. Meskipun suaranya lunak, tapi masih juga terdengar besar dan kasar.

"Hanya kebetulan lewat," sahut Rangga.

"Hm.... Kau seorang pengembara?"

"Benar."

"Kalau kau tidak punya tujuan di sini, sebaiknya cepat angkat kaki. Aku tidak mau kau celaka di sini. Kau orang asing, dan aku tidak suka lagi ada pembunuhan orang asing di sini," tegas nada suara Raden Segara.

Rangga tidak bersuara. Diliriknya Kencana yang masing berlutut bersandar pada dinding tembok pagar tinggi dan sangat besar. Raden Segara juga melirik ke arah yang sama.

"Kencana, kemari kau!" panggil Raden Segara.

"Hamba, Raden...," sahut Kencana dengan suara bergetar.

Gadis yang berpakaian koyak itu menggeser tubuhnya mendekat. Kepalanya tertunduk, lalu memberi hormat pada manusia setengah raksasa itu.

"Kau sudah kuberi kesempatan, tapi kenapa tidak digunakan?" ujar Raden Segara menatap tajam pada gadis itu.

"Ampun, Raden. Hamba..., hamba...," jawab Kencana tergagap.

"Aku tidak suka mendengar alasanmu lagi. Pergi-lah sebelum para pengawal Ayahanda Prabu menemukanmu di sini."

Kencana memberi hormat dengan merapatkan telapak tangannya di depan hidung Gadis itu melirik Rangga yang duduk tidak jauh di sampingnya.

"Sebaiknya gadis ini kau bawa pergi, aku percaya kau bersedia melindunginya," kata Raden Segara seperti bisa mengerti lirikan Kencana.

"Kenapa?" tanya Rangga tidak mengerti.

"Cepatlah, sebelum mereka menemukan kalian di sini," desak Raden Segara.

Rangga bangkit berdiri, tapi benaknya masih dipenuhi berbagai macam pertanyaan dan keheranan. Sama sekali tidak dimengerti akan semua kejadian ini Rangga menghampiri Kencana sambil bersiul sedikit Tidak berapa lama, seekor kuda hitam datang meng hampiri.

"Naiklah ke kudaku," kata Rangga.

Kencana memandangi pemuda di depannya, kemudian menatap pada Raden Segara. Manusia setengah raksasa yang sudah berdiri itu, menganggukkan kepalanya sedikit Gadis itu segera naik ke punggung kuda hitam dibantu Rangga. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti itu juga melompat naik ke belakang gadis itu. Dewa Bayu masih belum digebah, karena masih ada satu ganjalan yang mengganggu benaknya.

"Raden, kalau boleh aku tahu, kenapa kau tadi menyerangku?" tanya Rangga

"Hanya untuk mengujimu. Ah, sudahlah...! Cepat kalian pergi!" sahut Raden Segara.

Rangga ingin bertanya lagi, tapi manusia tinggi besar itu sudah melesat cepat. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan. Pendekar Rajawali Sakti itu tidak menggebah kudanya kern ball ke arah semula, tapi malah memacunya ke arah Selatan.

Dewa Bayu terus berlari kencang bagai melayang di atas tanah. Mungkin karena debu yang mengepul itulah yang menandakan kalau keempat kakinya mendepak tanah. Rangga terus memacunya cepat, dan keluar dari perkampungan aneh itu. Lari kudanya dihentikan setelah berada di dalam hutan, jauh dari tempat yang membuatnya jadi seperti orang gila. Rangga benar-benar tidak mengerti akan semua peristiwa yang dialaminya sekarang. Sepertinya berada di alam lain saja!

"Hup!"

Pendekar Rajawali Sakti melompat turun, kemudian membantu Kencana turun dari punggung kuda hitam itu. Gadis itu langsung melangkah pelan, kemudian menghenyakkan tubuhnya di atas akar pohon yang menyembul dari dalam tanah. Rangga menghampiri dan berdiri bersandar pada pohon itu. Dibiarkan saja kudanya merumput

"Terima kasih! Raden telah membawaku keluar dari neraka itu," ucap Kencana perlahan.

"Apa maksudmu? Neraka?" tanya Rangga tidak mengerti.

"Tempat itu merupakan penjara yang lebih menyakitkan daripada neraka...," jelas Kencana sambil tertunduk. Suaranya juga terdengar begitu pelan, hampir tak tertangkap.

Rangga menghampiri dan duduk di sebelahnya. Dipandangi gadis itu dalam-dalam, kemudlan diangkatnya wajah Kencana dengan ujung jari berada di dagu. Ditatapnya bola mata yang bulat indah itu. Dalam hati, Rangga mengakui kecantikan Kencana. Hanya saja keadaannya yang kotor dan tidak terawat membuat kecantikannya agak memudar.

Di dalam sinar mata indah itu, Rangga bisa menangkap adanya sesuatu yang tersembunyi dalam diri gadis ini. Yang jelas, terlihat adanya tekanan penderitaan yang sangat besar. Pendekar Rajawali Sakti itu membetulkan letak pakaian Kencana yang tidak karuan bentuknya. Gadis itu diam saja, bahkan malah memandangi dengan sinar mata sukar diartikan.

******************

Rangga duduk menghadapi api unggun kecil. Sedangkan tidak jauh di sampingnya, Kencana tidur memeluk lutut. Udara malam ini memang dingin sekali. Sesekali Rangga melirik gadis itu yang selalu merintih menggigil karena kedinginan. Kalau saja bisa ditemukan sebuah goa di hutan ini, mungkin bisa lebih hangat. Tapi sudah satu harian berjalan, tidak juga ditemukan tempat yang cocok untuk bermalam. Hutan ini juga sangat luas, seperti tidak bertepi.

Rangga mengeluarkan lembaran-lembaran daun lontar dari balik lipatan sabuknya. Dibukanya satu persatu lipatan daun lontar itu, lalu dibacanya setiap tulisan yang tertera. Semua tulisan itu memberikan petunjuk agar dirinya menuju Selatan. Tapi, tidak dijelaskan untuk apa petunjuk itu. Rangga mencoba menghubungkan semua peristiwa yang dialami selama menuju Selatan ini. Beberapa kejadian memang seperti ada hubungannya dengan kepergiannya ini. Yang sudah jelas adalah perempuan tua itu

Sama sekali Rangga tidak mengerti maksud perempuan tua itu melarangnya pergi ke arah Selatan. Bahkan sempat mengancam! Sedangkan yang baru terjadi... Itu pun belum bisa dimengerti. Sampai saat ini Kencana masih belum bisa diajak bicara. Gadis itu seperti baru saja menghadapi persoalan yang membuatnya selalu diliputi perasaan takut. Sementara di daerah ini tidak ditemukan satu perkampungan pun, selain perkampungan yang aneh itu.

Mendadak, Rangga tersentak ketika telinganya mendengar desiran halus mengarah padanya. Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh. Dan betapa terkejutnya dia ketika melihat sebuah benda keperakan meluncur deras ke arahnya. Dengan sigap diangkat tangannya, dan ditangkapnya benda itu.

"Panah perak...," desis Rangga begitu melihat sebatang anak panah berada dalam genggamannya.

Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melompat ke arah datangnya anak panah ini, tapi tidak menemukan apa-apa di sana. Agak lama juga matanya ditajamkan mengamati ke sekeliling. Telinganya juga dipasang lebih tajam, tapi tetap saja sunyi sepi. Tak ada tanda-tanda ada seseorang di sekitar hutan ini. Rangga kembali menghampiri api unggun, lalu duduk kembali di tempatnya semula.

"Daun lontar lagi...," desisnya begitu melihat ada daun lontar terikat pada batang anak panah itu.

Rangga membuka ikatan daun lontar itu, dan melemparkan anak panahnya ke atas api. Keningnya berkerut membaca tulisan yang tertera di atas daun lontar. Sebentar ditatapnya Kencana yang masih tidur pulas, kemudian dibacanya lagi tulisan itu seperti kurang percaya.

"Bawa gadis itu ke Gunung Sintruk. Mutiara dari Selatan," gumam Rangga membaca tulisan itu sekali lagi

Rangga melipat daun lontar itu dan menyatukannya dengan yang lain di balik sabuknya. Kembali dipandangi Kencana yang masih melingkar tertidur pulas. Semakin memikirkan pesan pesan di dalam daun lontar itu, semakin kesal hatinya. Rangga merasakan dirinya seperti dijadikan bahan permainan belaka tanpa tujuan yang pasti. Tapi...

"Ah! Aku yakin, orang itu pasti punya tujuan. Hhh...! Caranya saja yang membuatku kesal!" gerutu Rangga seorang diri. "Huh! Kalau bertemu nanti, akan kuhajar dia!"

Rangga menggerutu kesal karena merasa diper-mainkan. Dilemparkan ranting ranting yang sudah lembab ke dalam api. Api itu memercik melahap ranting-ranting kering itu. Sebentar nyalanya kecil seperti hampir mati, kemudian membesar sehingga sekitarnya terasa hangat. Kencana menggeliat, dan Rangga melirik ke arah gadis itu. Rasa hangat dari api yang membesar, membuat gadis Itu tidak lagi memeluk lututnya.

Semalaman Rangga tidak bisa memejamkan matanya sekejap pun. Pikirannya sibuk dibebani oleh tulisan-tulisan yang tertera pada daun lontar. Pesan-pesan itu selalu ditujukan ke arahnya, menggunakan anak panah berwama perak. Dia yakin, orang yang mengirimkan pasti memiliki kepandaian memanah luar biasa. Dan yang pasti, punya tujuan tertentu. Hanya saja sampai saat ini Rangga belum tahu maksudnya.

Rangga mengangkat kepalanya ketika Kencana datang menghampiri. Gadis itu kelihatan segar dan cantik. Tidak jauh dari tempat Ini mengalir sungai kecil, dan gadis itu baru saja membersihkan dirinya di sana. Meskipun bajunya masih kotor dan koyak, namun wajahnya sudah begitu bersih memancarkan kecantikan yang selama ini tersembunyi. Rangga sampai tidak berkedip memandangnya.

"Berangkat sekarang?" ucap Rangga seraya bangkit berdiri.

Kencana hanya mengangguk saja.

"Mari kubantu," ajak Rangga sambil memegangi tali kekang kudanya.

"Jalan kaki saja," tolak Kencana.

"Aku tidak tahu harus berjalan ke mana. Sebaiknya kau naik kuda, biar aku saja yang jalan kaki," tegas Rangga.

"Kemarin kau sudah jalan kaki. Aku tidak ingin dimanjakan," rungut gadis itu.

"Baiklah, kalau itu keinginanmu," Rangga menyerah.

Tanpa bicara lagi, mereka berjalan. Rangga menuntun kudanya, sedangkan Kencana melangkah di sampingnya. Mereka berjalan pelan-pelan tanpa bicara sedikit pun. Kebisuan ini memang tidak menyenangkan, apalagi bersama teman seper-jalanan. Rangga mendehem tiga kali, seolah tengah mengumpulkan kata-kata untuk diucapkan. Sedangkan Kencana tetap saja membisu dengan kepala setengah tertunduk.

"Kencana, kau tahu di mana letaknya Gunung Sintruk?" tanya Rangga setelah cukup lama diam.

Kencana tidak langsung menjawab. Perlahan-lahan diangkat kepalanya, lalu ditatapnya Rangga yang juga tengah menatapnya. Gadis itu kembali memalingkan kepalanya menatap ke depan.

"Mau apa ke sana?" tanya Kencana tanpa menjawab pertanyaan Rangga tadi.

"Ada yang ingin kuketahui di sana," jawab Rangga. Sedangkan bagi Rangga, jawaban gadis itu tadi sudah cukup untuk mengerti bahwa dia tahu letak Gunung Sintruk.

"Tidak ada yang bisa didapatkan di sana, Raden," tegas Kencana.

"Berarti kau tahu letaknya, bukan?"

"Ya," sahut Kencana mendesah.

"Tunjukkan, di mana?" desak Rangga.

"Di Selatan," sahut Kencana pelan.

"Hm..., bukankah ini daerah Selatan? Lalu ke arah yang mana lagi?" tanya Rangga bingung juga.

"Jalan saja terus ke Selatan. Setelah keluar dari hutan ini, nanti akan bertemu sungai kecil. Seberangi sungai itu, terus akan bertemu sebuah desa. Namanya, Desa Sintruk. Letaknya memang di Kaki Gunung Sintruk. Tapi percuma saja kau ke sana. Desa itu sudah tidak berpenghuni lagi," jelas Kencana.

"Kenapa?" tanya Rangga ingin tahu.

"Entahlah," jawab Kencana seraya menghembuskan napas panjang.

Rangga menatap dalam-dalam. Dirasakan kalau gadis ini menyembunyikan sesuatu padanya. Gadis itu pasti tahu kenapa desa itu tidak berpenghuni lagi, tapi tidak bersedia mengatakannya. Dan Rangga sebenarnya ingin tahu, hanya saja tidak ingin terlalu mendesak. Sepertinya Kencana memang belum bisa tenang. Gadis ini memang terlalu pendiam, tidak suka bicara kalau tidak didahului.

Mereka terus saja melangkah perlahan-lahan menembus hutan yang cukup lebat Pohon-pohonnya terlalu tinggi dan rimbun, menghalangi cahaya mata hari. Udara di hutan ini terasa lembab sehingga lumut dan jamur tumbuh subur pada batang-batang pohon dan bebatuan. Sampai tengah hari, mereka baru berhenti. Dan itu pun sudah sampai di tepi hutan. Memang benar apa yang dikatakan Kencana. Tidak jauh di depan, mengalir sebuah sungai kecil yang airnya jernih.

"Hm.... Tidak terlalu sukar menyeberangi sungai ini," gumam Rangga seraya melangkah lebih ke tepi.

"Sungai ini memang dangkal. Dulu sering dipakai penduduk Desa Sintruk untuk mandi dan mencuci," sambung Kencana tanpa diminta

"Oh...," Rangga mengernyitkan keningnya menatap Kencana yang sudah berada di sampingnya.

Kencana seperti tidak tahu kalau tengah dipandangi. Wajahnya tetap lurus ke depan, tapi tatapan matanya kosong ke seberang sungai. Rangga juga mengalihkan pandangannya ke sana.

"Yuk...?" ajak Rangga.

Kencana tetap diam, tapi kakinya melangkah juga menyeberangi sungai itu. Rangga mengikutinya dari belakang sambil menuntun kuda hitamnya. Mereka tidak mendapat kesulitan sama sekali ketika menyeberangi sungai kecil ini. Dasarnya begitu dangkal, dan aimya sejuk jemih mengalir tenang. Mereka langsung saja berjalan begitu keluar dari sungai, dan tanpa bicara lagi.

******************

Rangga jadi heran setengah mati melihat Kencana tiba-tiba menangis begitu tiba di depan sebuah rumah yang cukup besar di Desa Sintruk Desa yang tampak sunyi senyap dan tidak berpenghuni sama sekali. Beberapa rumah tampak hancur, dan sebagian lagi sudah roboh rata dengan tanah. Pendekar Rajawali Sakti itu menepuk pundak Kencana yang masih terisak memandangi rumah besar itu.

"Kenapa, Kencana?" tanya Rangga lembut.

"Tidak..., tidak apa-apa. Yuk, jalan lagi," jawab Kencana seraya mengayunkan kakinya.

Tapi Rangga cepat menarik tangan gadis itu, dan menahannya. Belum sempat Rangga membuka mulut, mendadak dari dalam rumah besar itu melesat bayangan yang langsung menerjang mereka. Cepat sekali Rangga melompat ke samping sambil menarik tubuh Kencana. Untunglah terjangan itu luput dari sasaran. Rangga mendorong tubuh gadis itu agar berlindung ke balik tembok yang berlumut

"Tunggu...!" seru Rangga ketika melihat seorang perempuan setengah baya sudah bersiap hendak menyerangnya kembali. Wanita berbaju ketat warna kuning gading itu telah menghunus sebilah pedang pendek yang tipis, agak kehitaman. Diurungkan niatnya untuk menyerang setelah mendengar bentakan Rangga.

"Siapa kau? Kenapa menyerangku?" tanya Rangga.

"Tidak perlu banyak tanya, Anak Muda! Siapa pun yang berani masuk ke sini harus mampus!" ujar wanita setengah baya itu ketus.

"Kenapa? Apakah daerah ini terlarang?" tanya Rangga tidak mengerti.

Saat itu Kencana keluar dari persembunyiannya. Wanita setengah baya itu menatap gadis berpakaian koyak yang baru muncul dari balik tembok. Pada saat yang sama, Kencana juga menatap ke arahnya. Sesaat mereka saling tatap. Tentu saja hal ini membuat Rangga jadi semakin tidak mengerti.

"Ibu...," desis Kencana lirih.

"Kencana, Anakku...!"

Tiba-tiba saja kedua wanita itu berlari, dan saling berpelukan erat sambil mendesis lirih. Rangga hanya memperhatikan, tapi kepalanya dipenuhi tanda tanya besar. Sungguh tidak bisa dipahami semua kejadian ini. Kencana memanggil wanita setengah baya itu dengan sebutan Ibu. Sedangkan sebaliknya, wanita itu memanggil anak pada Kencana. Apakah mereka...?

Rangga belum berpikir lebih jauh lagi, tapi Kencana dan wanita setengah baya Itu sudah melepaskan pelukannya. Mereka sama-sama menatap pada Pendekar Rajawali Sakti. Kencana melangkah menghampiri sambil memegangi tangan wanita setengah baya itu.

"Ibu..., dia yang menolongku keluar dari mereka," tegas Kencana, memahami apa yang tengah dipikirkan ibunya.

Rangga menganggukkan kepalanya sedikit, tapi benaknya tetap diliputi berbagai macam pertanyaan. Dijulurkan tangannya yang kemudian disambut wanita itu. Rangga menyebutkan namanya dan melepaskan tangannya kembali.

"Aku Nyai Talut. Terima kasih atas pertolonganmu membebaskan anakku," ucap wanita setengah baya itu memperkenalkan diri. Tapi nada suaranya agak tersendat. "Maaf kalau tadi aku tidak ramah padamu, Den..."

"Rangga, Nyai. Panggil saja aku Rangga," potong Rangga mendengar suara Nyai Talut terputus.

"Mari, sebaiknya kita ke dalam," ajak Nyai Talut Rangga tidak menolak, lalu ikut melangkah di belakang Nyai Talut dan Kencana. Dua wanita itu berjalan sambil berangkulan mesra. Sedangkan Rangga memperhatikan saja dari belakang. Mereka masuk ke dalam rumah besar berdinding batu.

Sejenak Rangga memandangi bagian dalam rumah ini. Keadaannya sangat kotor, seperti cukup lama tidak pernah terjamah tangan. Sarang laba-laba menyemati bagian atas, ditambah debu yang menebal. Hampir semua perabotannya hancur berserakan di lantai. Nyai Talut membawa masuk ke ruangan lain, dan tibalah mereka pada salah satu kamar yang cukup bersih.

Sebuah kamar tidur dengan ranjang cukup besar. Di situ juga ada seperangkat meja kursi yang terletak di bawah jendela, dan lemari besar berukir di salah satu sudut kamar ini. Rangga menghenyakkan tubuhnya di kursi setelah dipersilakan. Sedangkan Kencana merebahkan dirinya di pembaringan. Nyai Talut sendiri hanya duduk saja di tepi pembaringan.

"Bagaimana ceritanya sehingga kau bertemu dengan anakku, Den Rangga?" tanya Nyai Talut setelah cukup lama berdiam diri.

"Tidak sengaja, Nyai," sahut Rangga yang sengaja menutupi hal yang sebenarnya sehingga ada di daerah Selatan ini.

"Ibu..., Raden Rangga masuk ke daerah terlarang itu. Semula aku takut. Tapi setelah Raden Segara muncul dan menolong kami lari, aku jadi percaya kalau Den Rangga orang baik, Bu," selak Kencana seraya duduk di samping ibunya.

"Raden Segara...?!" Nyai Talut nampak terkejut

"Benar, Bu. Raden Segaralah yang selalu melindungiku, dan memintaku untuk menjadi pelayan pribadinya. Dia orang baik, Bu. Bahkan selalu membelaku dari mereka yang bermaksud kotor," tutur Kencana.

"Manusia-manusia busuk itu memang harus dibasmi!" dengus Nyai Talut dingin

"Bu...," terputus suara Kencana.

"Apa saja yang telah mereka lakukan padamu, Kencana?" tanya Nyai Talut.

"Mereka tidak melakukan apa apa, Bu. Sungguh... Raden Segara selalu melindungiku, bahkan juga menolongku melarikan diri," kata Kencana mengulang lagi.

"Apa pun katamu, mereka telah membuat keluarga kita berantakan. Bahkan seluruh penduduk desa ini telah hancur karenanya. Mereka telah menyengsarakan dirimu, menjadikanmu budak! Penghinaan ini harus dibalas, Kencana!" tegas dan bernada dingin kata-kata Nyai Talut.

Kencana terdiam. Sementara itu Rangga hanya memperhatikan saja tanpa membuka suara sedikit pun. Dicobanya untuk menelaah setiap pembicaraan kedua wanita itu. Namun Pendekar Rajawali Sakti masih juga belum bisa mengerti penuh. Apalagi untuk menghubungkannya dengan tulisan-tulisan pada daun lontar yang membawanya sampai ke daerah ini. Daerah yang begitu jauh dari tempat asalnya.

Sementara Rangga masih disibuki dengan pikirannya, Kencana bangkit berdiri dan menghampiri lemari besar, lalu membukanya. Diambilnya seperangkat pakaian, kemudian gadis itu melangkah keluar dari kamar ini. Nyai Talut juga ikut keluar setelah memberi pesan agar Rangga jangan pergi dulu sampai mereka kembali. Rangga hanya mengangguk saja.

******************

TIGA

Dua hari Rangga terpaksa tinggal di dalam rumah besar ini, dan baru sekaranglah dapat mengetahui keadaan yang telah terjadi di Desa Sintruk yang terletak di bagian Utara kaki Gunung Sintruk. Desa ini memang telah dihancurkan oleh sekelompok orang yang menginginkan berdirinya sebuah kerajaan di daerah Selatan ini. Seluruh penduluk desa telah diangkut dan dijadikan budak untuk bekerja paksa membangun daerah Selatan.

Dan perkampungan aneh yang dilihat Rangga kemarin, merupakan benteng pertahanan sekelompok orang itu. Bukan hanya Desa Sintruk yang dihancurkan, tapi desa-desa lain pun mengalami nasib yang sama tanpa terkecuali. Mereka membunuh orang-orang jompo dan lemah, mengangkut yang masih muda dan kuat. Tidak peduli apakah itu laki-laki atau perempuan. Sedangkan anak-anak tidak dibutuhkan, sehingga dibantai habis semuanya.

Darah Pendekar Rajawali Sakti mendidih tatkala mendengar semua penuturan Nyai Talut dan Kencana itu. Nyai Talut masih beruntung dapat meloloskan diri dari kekejaman orang-orang liar yang terlalu muluk keinginannya. Hanya saja, dia tetap bertahan di tanah kelahirannya sambil menunggu saat yang tepat untuk membalas semua kekejaman ini.

"Sebenarnya bukan aku saja yang berhasil lolos, Den. Masih ada beberapa lagi, termasuk suamiku yang kini entah berada di mana...," tutur Nyai Talut di suatu malam saat mereka berada di dalam kamar yang hanya satu-satunya bisa ditempati.

"Jumlah mereka hanya sedikit, tidak lebih dari dua puluh orang. Kenapa tidak dapat dilawan?" tanya Rangga.

"Terlalu tangguh, Den. Tubuh mereka besar-besar bagai raksasa. Bahkan juga kebal terhadap senjata apa pun juga. Desa Sintruk ini juga mempunyai perguruan silat Tapi semua muridnya, bahkan semua guru kami tewas di tangan mereka. Siapa saja yang mencoba melawan akan dibunuh tanpa ampun," ujar Nyai Talut, agak pelan suaranya.

"Mereka berasal dari mana?" tanya Rangga yang teringat akan Raden Segara, laki-laki berwajah cukup tampan dan bertubuh tinggi besar setengah raksasa itu.

"Tidak ada yang tahu mereka datang dari mana, Den. Tahu-tahu muncul dan menjarah harta kami semua. Mereka mendirikan sebuah perkampungan di sebelah Utara Hutan Nangkil. Bahkan juga membangun rumah-rumah bagai benteng pertahanan. Hhh.... Kau pasti sudah melihatnya, Den."

"Benar. Memang agak aneh juga bentuknya," desah Rangga.

Rangga menatap Kencana yang sejak tadi diam saja. Gadis itu hanya duduk di tepi pembaringan sambil memandang ke luar melalui jendela yang terbuka. Udara malam yang cukup dingin berhembus kencang menerobos masuk. Kencana tampak cantik dengan baju biru muda yang agak ketat Namun wajahnya masih terlihat murung, seolah-olah masih menyembunyikan sesuatu dalam dirinya. Sesuatu yang hanya diketahuinya sendiri.

"Sudah lama aku berusaha mencari bantuan untuk membebaskan seluruh penduduk Desa Sintruk dari cengkraman mereka, tapi semua usahaku sia-sia saja. Kebanyakan yang kumintakan bantuan, mengharapkan imbalan yang sangat besar. Sedangkan aku sendiri tidak punya apa-apa lagi," Nyai Talut mengeluh.

Rangga agak tersentak juga mendengar keluhan itu. Ingatannya langsung tertuju pada daun-daun lontar yang diterimanya secara aneh dalam beberapa hari ini. Kalimat-kalimat yang tertera di situlah yang membawanya sampai ke tempat ini. Rangga mengeluarkan lipatan-lipatan daun lontar dari balik sabuknya, kemudian menyerahkannya pada Nyai Talut. Wanita setengah baya itu memandang Rangga tidak mengerti.

"Terus terang, aku sampai ke sini karena mendapat petunjuk seseorang yang tidak jelas siapa orangnya. Dia mengirimkan daun-daun lontar ini padaku," jelas Rangga.

Nyai Talut menerima daun-daun lontar itu, lalu membuka lipatannya satu persatu. Kencana menghampiri, dan ikut membaca setiap baris kali mat yang tertera pada daun lontar itu. Sesaat kedua wanita itu menatap Rangga setelah selesai membaca semua daun lontar itu. Nyai Talut menyerahkan kembali pada Rangga.

"Apakah Nyai yang mengirimkan semua ini?" tebak Rangga. Disimpannya kembali semua daun lontar itu dalam sabuknya di pinggang.

"'Tidak...," sahut Nyai Talut keheranan.

"Aneh juga ya, Bu. Semua daun lontar itu ada tulisan Mutiara dari Selatan...," gumam Kencana seperti bicara kepada dirinya sendiri.

"Dugaanku, itu hanya sebuah kata samaran saja," kata Rangga.

"Itu bukan nama samaran, tapi sebuah julukan yang sangat terkenal di sini," sergah Nyai Talut

"Oh...?!" Rangga tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

"Sudah terlalu lama tidak kudengar lagi namanya. Yaaah.... Sejak orang-orang liar itu menjarah ke desa ini, Mutiara dari Selatan seperti menghilang begitu saja. Padahal aku pribadi mengharapkan kemunculannya untuk mengenyahkan mereka selamanya," ujar Nyai Talut agak pelan suaranya.

"Siapa Mutiara dari Selatan itu?" tanya Rangga.

Belum sempat Nyai Talut menjawab, tiba-tiba mereka dikejutkan suara bergemuruh dari luar. Suara itu demikian jelas terdengar, dan menggetarkan seluruh isi kamar ini. Rangga langsung melompat ke jendela, begitu pula Nyai Talut dan Kencana Mereka membeliak begitu melihat apa yang ada di luar dari jendela kamar ini. Sementara suara gemuruh itu semakin jelas terdengar.

******************

"Hhh! Apa maksudnya mereka datang ke sini...?" dengus Nyai Talut setengah bergumam.

Di luar sana memang terlihat enam orang laki-laki bertubuh tinggi besar bagai raksasa. Pakaian mereka begitu indah, dan berhias manik-manik dari batu mutiara. Mereka berdiri tegak di depan rumah ini. Di tangan masing-masing tergenggam sebuah gada berwama kuning emas, yang ujungnya berbentuk bulatan berduri kasar dan tajam.

"Kencana! Tidak ada gunanya bersembunyi! Keluarlah kau...!" teriak salah seorang dengan suara besar menggelegar. Orang itu berdiri paling tengah menyandang gada besar di pundaknya.

"Ibu...," Kencana jadi bergetar. Wajahnya seketika pucat pasi. Dipeluk ibunya erat-erat

"Tenanglah, Kencana. Mereka tidak akan membawamu kembali. Kau aman bersamaku," Nyai Talut berusaha menenangkan anak gadisnya.

"Hm..., dari mana mereka tahu Kencana ada di sini?" gumam Rangga bertanya pada dirinya sendiri.

"Raden Segara," sergah Nyai Talut menyahut

Rangga menatap Nyai Talut dalam-dalam, kemudian melirik Kencana. Gadis itu hanya diam saja, namun sinar matanya menyiratkan bantahan atas dugaan ibunya tadi.

"Bukan hanya Kencana saja yang jadi umpan permainannya. Sudah banyak gadis yang dilepas, kemudian diburu lagi untuk kesenangan," kata Nyai Talut.

"Bu...," Kencana ingin membantah.

"Kebaikannya hanya sementara, Kencana. Kau akan tahu nanti, siapa sebenarnya Raden Segara itu. Dia tidak lebih dari seorang iblis berhati kejam dan licik. Kalau dapat tertangkap kembali, kau akan diperkosa dan dibunuh!"

Kencana bergidik mendengamya, namun sinar matanya masih juga belum percaya atas keterangan ibunya itu. Sedangkan Rangga sudah mengalihkan perhatiannya kembali pada enam orang laki-laki bertubuh setengah raksasa di depan rumah ini. Mereka mulai bergerak perlahan menghampiri. Rangga membuka jendela lebar-lebar, kemudian menatap pada Nyai Talut dan Kencana.

"Menyingkirlah sebelum mereka mengetahui," perintah Rangga setengah berbisik

"Sulit menghadapi mereka sendirian, Raden," kata Nyai Talut.

"Aku hanya mengalihkan perhatian mereka sampai kalian berada di tempat yang aman," tegas Rangga.

"Ayo, Bu. Kita cepat pergi dari sini," desak Kencana ketakutan.

"Baik, hati-hatilah Mereka tidak bisa diajak damai," pesan Nyai Talut.

Rangga hanya tersenyum Nyai Talut mengajak anak gadisnya menghampiri pintu lemari, lalu membukanya. Rangga memperhatikan sebentar. Ternyata itu adalah sebuah pintu rahasia. Di balik lemari terdapat pintu lain yang langsung menembus ke sebuah lorong. Nyai Talut bergegas masuk diikuti Kencana. Mereka menutup kembali pintu lemari itu. Sedangkan Rangga bergegas melompat keluar dari jendela setelah mematikan lampu ruangan ini.

Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf sempurna, Pendekar Rajawali Sakti itu langsung meluruk ke arah enam orang yang tengah bergerak perlahan mendekati rumah besar ini. Mereka cukup terperanjat, karena tiba-tiba mendapat serangan dari sebuah bayangan putih yang bergerak begitu cepat bagai kilat.

Rangga ingat pesan Nyai Talut, dan mempercayai keterangan wanita setengah baya itu. Enam orang laki-laki bertubuh tinggi besar itu berlomatan menghindari terjangan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu cepat. Dan belum lagi sempat mengatur posisi, Rangga sudah menyerang mereka kembali. Tentu saja enam orang bagai raksasa itu jadi kelabakan. Rangga memang menyerang disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang begitu sempurna, sehingga tidak bisa di ketahui arah dan kapan menyerangnya.

Pekikan melengking dan raungan keras terdengar saling sambut, disertai tubuh-tubuh besar yang bergelimpangan ke tanah. Rangga tidak memberi kesempatan sedikit pun untuk balas menyerang. Saat mereka baru bisa bangkit berdiri, Pendekar Rajawali Sakti itu sudah cepat menyerang kembali.

"Berpencar...!" seru salah seorang tiba-tiba.

Enam orang itu langsung berlompatan berpencar. Dan kini Rangga berada di tengah-tengah. Pendekar Rajawali Sakti itu jadi sangat gusar, karena tidak mungkin bisa menyerang sekaligus seperti tadi.

"Ha ha ha...!"

Tiba-tiba saja terdengar suara tawa menggelegar. Rangga langsung menoleh ke arah sumber suara tawa itu. Tampak Raden Segara berdiri tegak di atas tembok pagar rumah yang tidak begitu tinggi, namun cukup tebal dan kuat. Sarung pedang panjang dan besar tergenggam di tangan kirinya.

"Raden Segara! Apa yang kau lakukan ini?!" geram Rangga merasa dipermainkan.

"Bocah cilik! Kau harus dihukum berat karena berani membawa lari pelayanku!" kata Raden Segara keras menggelegar.

"Setan alas! Kau sendiri yang membantu melepaskannya!" bentak Rangga geram

"Ha ha ha...! Aku memang melepaskannya untuk binatang buruan. Tapi kemudian kau muncul, maka buruanku jadi dua. Ha ha ha!" Raden Segara tertawa terbahak-bahak.

Rangga menggeram dahsyat, benar-benar marah. Kata-kata Raden Segara sungguh menyinggung perasaannya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga segera menggerakkan tangannya di depan dada. Dan seketika itu....

"Aji 'Bayu Bajra'...!" seni Rangga keras.

Seketika itu juga tangannya menghentak ke arah Raden Segara. Dan bersamaan dengan itu, meluncur aliran angin deras yang begitu kuat dan dahsyat. Dorongan angin itu langsung menghantam tembok yang dipijak Raden Segara. Tembok itu langsung hancur berkeping-keping sehingga menimbulkan suara bergemuruh bagai terjadi gempa. Perkiraan Rangga, tubuh Raden Segara pasti hancur berkeping-keping. Tadi dilihatnya laki-laki bertubuh setengah raksasa itu tidak bergeming sedikit pun. Namun yang terjadi sungguh membuat Pendekar Rajawali Sakti membeliak tidak percaya.

"Setan...!" geram Rangga.

Raden Segara masih tetap berdiri tegak di atas reruntuhan tembok batu itu. Bahkan malah tertawa terbahak-bahak dan bersikap meremehkan. Rangga segera menghimpun kembali ajiannya, dan cepat sekali dilontarkan kembali aji 'Bayu Bajra' dengan kekuatan penuh.

"Ha ha ha...!"

Kembali Rangga terkejut. Jelas kalau gempurannya menghantam tubuh tinggi besar itu, namun sama sekali Raden Segara tidak bergeming! Manusia setengah raksasa itu benar-benar kebal, tidak mempan meskipun digempur ilmu kesaktian yang tangguh.

"Hm.... Akan kucoba dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'," gumam Rangga dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti itu segera mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' pada tingkat terakhir. Begitu dahsyatnya jurus itu, sehingga kedua kepalan tangannya berubah menjadi merah membara bagai terbakar. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melompat sambil berteriak keras menggelegar. "Hiyaaat..!"

******************

Pukulan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam dada Raden Segara yang tidak bergeming sedikit pun. Bahkan menerima pukulan itu tanpa membalas sama sekali. Namun yang terjadi sungguh di luar dugaan. Pendekar Rajawali Sakti malah terpental ke belakang begitu pukulannya menghantam dada laki-laki tinggi besar setengah raksasa itu.

Dua kali Rangga berputar di udara, kemudian manis sekali mendarat. Hampir tidak dipercaya kalau pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dapat berbalik. Seakan-akan baru saja memukul segumpal kapas yang begitu lunak. Jurus ampuhnya seperti teredam begitu saja.

"Keluarkan seluruh kepandaianmu, Rangga. Ha ha ha...!" Raden Segara tertawa mengejek. Bahkan enam orang yang sejak tadi diam, juga ikut tertawa terbahak-bahak

Rangga jadi geram karena dua serangannya tidak berarti sama sekali bagi manusia setengah raksasa, tapi berwajah cukup tampan itu. Rangga jadi ingat akan kata-kata Nyai Talut padanya. Semua kata-kata wanita setengah baya itu bukan bualan belaka. Dan kini Pendekar Rajawali Sakti merasakannya sendiri.

"Bunuh dia!" perintah Raden Segara.

Enam orang laki-laki bertubuh tinggi besar, langsung berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Gada mereka yang besamya melebihi paha orang dewasa, berdesiran cepat menimbulkan suara bergemuruh. Rangga berlompatan menghindari serangan dahsyat yang datang bertubi tubi. Setiap kali gada menghantam tanah, langsung berlubang membuat bumi bergetar. Tembok dan rumah rumah hancur terkena sambaran gada berduri enam orang setengah raksasa itu.

Tidak mudah bagi Pendekar Rajawali Sakti menghadapi enam orang lawannya kali ini. Beberapa pukulannya berhasil disarangkan telak, namun enam orang laki-laki bertubuh tinggi besar itu tidak terpengaruh sama sekali. Gerakan mereka memang tidak gesit, tapi tubuhnya begitu kebal. Rangga benar-benar kewalahan, tapi tidak mungkin bisa bertahan lama dalam keadaan seperti ini. Semua jurus andalannya sudah dikeluarkan, tapi tidak satu pun yang berguna.

Enam orang bertubuh besar setengah raksasa itu terus merangsek semakin ganas. Namun sampai sejauh ini, belum ada yang dapat menghantam Pendekar Rajawali Sakti. Padahal pemuda berbaju rompi putih itu sudah kewalahan. Sementara itu Raden Segara memperhatikan pertarungan itu dari tempatnya berdiri.

"Cukup!" bentak Raden Segara tiba-tiba.

Enam orang yang menyerang Rangga, serentak berlompatan mundur. Tanpa diduga, Rangga masih sempat melontarkan satu pukulan telak pada salah seorang dari mereka, dan tepat mengenai bagian mata. Orang itu meraung keras sambil menutupi wajahnya. Pukulan itu tepat menghantam di antara kedua matanya.

Tampak yang lain begitu terkejut, begitu pula Raden Segara. Orang itu menggerung-gerung bergulingan di tanah. Tampak darah mengucur keluar dari kening di atas hidungnya. Rangga sendiri tidak mengerti, mengapa pukulannya kali ini membuat lawannya bergulingan dan mengucurkan darah. Padahal sudah tidak terhitung lagi pukulan dan tendangan bertenaga dalam penuh, berhasil disarangkan pada tubuh lawannya, tapi tidak ada satu pun yang berarti banyak. Dan ini, pukulan terakhirnya ini.... Padahal tadi dilepaskan dengan pengerahan tenaga setengah, tapi malah berakibat di luar dugaan sama sekali.

"Keparat! Kau lukai orangku!" geram Raden Segara seraya melompat ke depan beberapa tombak jauhnya.

Pemuda berwajah tampan dan bertubuh tinggi besar bagai raksasa itu, menjejak bumi begitu keras. Tubuhnya melesat, dan mendarat tepat sekitar lima langkah lagi di depan Rangga. Bumi jadi bergetar bagai gempa. Rangga sempat terkejut juga, lalu melangkah mundur setindak.

"Kau harus membayar mahal, setan cilik!" dengus Raden Segara sambil menahan kemarahannya, melihat salah seorang pembantunya terluka menggerung-gerung di tanah.

Lima orang lainnya segera membantu temannya yang masih menggerung-gerung menutupi wajahnya. Darah semakin banyak keluar dari luka di antara kedua mata orang itu Raden Segara memberi isyarat agar dua orang itu membawa pergi orang yang terluka. Sedangkan tiga orang lainnya segera ber-gerak mengepung Pendekar Rajawali Sakti

Rangga menyadari kalau semua lawannya diliputi kemarahan yang meluap-luap akibat salah seorang dari mereka terluka. Dan Rangga juga mengetahui kelemahan mereka sekarang. Seluruh bagian tubuh orang-orang tinggi besar ini memang kebal. Tapi pada bagian di antara kedua mata jelas adalah kelemahan mereka!

"Hm..." Rangga bergumam perlahan. Dipandanginya empat orang yang sudah mengepungnya.

"Bunuh dia...!" seru Raden Segara memberi perintah.

"Yaaah...!"

Tiga orang serentak beriompatan sambil mengayunkan gada yang besamya bukan main. Rangga melompat melentingkan tubuhnya menghindari hantaman gada itu, yang langsung menghajar tanah hingga berlubang. Pada saat itu, "Rangga mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras melengking, Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak menukik dan kedua kakinya bergerak cepat berputar. Ketiga orang itu terperangah, karena sepasang kaki itu jelas mengincar bagian tengah-tengah mata. Cepat-cepat mereka berlompatan menghindar.

Tapi Rangga tidak membiarkan begitu saja. Begitu kakinya menjejak tanah, dengan cepat diganti jurusnya menjadi 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', dan langsung diarahkan ke wajah salah seorang yang berada di depannya.

"Ah...!" orang itu terperangah.

Namun belum juga pukulan Rangga mencapai sasaran, dengan cepatnya Raden Segara melompat sambil mengibaskan pedang yang panjang dan besar. Satu desiran angin keras membuat Rangga melentingkan tubuhnya ke belakang, menggagalkan serangannya. Dan belum lagi kaki Pendekar Rajawali Sakti itu menjejak tanah, salah seorang sudah melompat sambil mengayunkan gadanya.

"Hait..!"

Rangga tidak bisa lagi berkelit. Cepat-cepat disampoknya gada itu dengan satu tendangan keras. Tapi Rangga malah memekik keras. Kakinya seperti remuk begitu menendang gada itu. Buru-buru tubuhnya melompat ke atas, dan hinggap di atap rumah. Secepat itu pula dilentingkan tubuhnya, dan langsung lenyap ditelan kegelapan malam.

"Kejar...! Jangan biarkan lolos!" seru Raden Segara memerintah.

Tiga orang pembantunya segera berlarian mengejar. Dan Raden Segara sendiri bergegas melangkah menghampiri jendela kamar yang terbuka lebar tempat Rangga keluar tadi. Raden Segara melompat masuk. Tak lama, terdengar suara ribut dari barang-barang yang terbanting Sebentar kemudian laki-laki tinggi besar itu sudah melompat kembali keluar. Wajahnya merah padam.

"Setan keparat..! Kubunuh kalian semua...!" teriak Raden Segara keras.

Begitu kerasnya teriakan itu, sehingga suaranya menggelegar terpantul Gunung Sintruk yang membelakangi desa ini. Raden Segara bergegas melompat mengejar ke arah Rangga melailkan diri tadi. Malam yang semula bising oleh suara pertempuran, kini jadi sunyi senyap bagai tidak pernah terjadi apa-apa di tempat itu.

******************

EMPAT

Rangga duduk merenung sendiri sambil memandang ke arah Desa Sintruk. Diyakini kalau ini adalah tujuannya yang terakhir dari pesan pesan yang tertulis di atas selembar daun lontar. Sejak sampai di desa itu, tidak ada lagi pesan-pesan yang diterimanya.

Hanya saja masih belum dimengerti, untuk apa orang yang menamakan diri Mutiara dari Selatan itu menggiringnya ke tempat ini? Tempat yang aneh dengan peristiwa-peristiwa yang membuat kepalanya serasa akan pecah. Dan kini dia sendiri tidak tahu di mana kini berada.

"Kencana...," desis Rangga tiba-tiba.

Entah dari mana datangnya, tahu-tahu Rangga teringat gadis yang ditolongnya sehingga membuatnya sekarang ada di tempat sunyi mengerikan ini. Tempat ini ditumbuhi pohon-pohon besar yang sepertinya tidak pernah terjadi siang. Sepertinya selalu diselimuti gelap. Rangga sendiri jadi heran. Sejak masuk ke Desa Sintruk, suasana di sekitar Gunung Sintruk ini selalu terlihat malam.

Pendekar Rajawali Sakti itu bergegas bangkit berdiri, tapi sesaat kemudian menjadi tercenung. Dia tidak tahu, di mana Kencana dan ibunya kini berada. Apalagi untuk mengetahui, di mana tembusan jalan rahasia yang dimasuki kedua wanita itu. Jalan satu-satunya hanya melalui rumah itu kembali. Tapi tidak mungkin. Rumah itu sekarang ini pasti tengah diawasi.

Selagi Pendekar Rajawali Sakti kebingungan, mendadak sebuah benda keperakan meluncur pesat ke arahnya. Dengan sigap sekali Rangga memiringkan tubuhnya sedikit ke belakang, dan tangannya langsung bergerak menanngkap benda itu.

"Panah perak!" desis Rangga.

Langsung diambilnya daun lontar yang terikat di tengah-tengah batang panah berwarna perak itu. Keningnya berkerut membaca tulisan di atas daun lontar itu.

"Berjalanlah membelakangi Desa Sintruk. Kau akan menemukan sebuah kuil tua. Tunggu di sana!" Rangga membaca dengan suara pelan.

"Huh! Apa maksudnya orang ini...?" dengus Rangga jadi kesal sendiri.

Daun lontar itu diselipkan di balik sabuknya, menyatu dengan daun-daun lontar sebelumnya. Sebentar Rangga memandangi sekitarnya, lalu berbalik membelakangi arah Desa Sintruk. Kakinya mulai melangkah pergi. Meskipun benaknya dipenuhi berbagai macam pertanyaan, namun Rangga tetap menuruti kata-kata yang tertera pada daun lontar itu. Hatinya memang semakin penasaran. Apa sesung-guhnya yang diinginkan orang itu? Memberi petunjuk tanpa jelas maksudnya lewat selembar daun lontar pada sebatang anak panah perak.

Namun belum lagi Rangga jauh berjalan, mendadak sebuah bayangan berkelebat di depannya. Dan kini, tahu-tahu di depan Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berdiri seorang perempuan tua yang bertongkat warna perak. Rangga terkejut juga atas kemunculan perempuan tua berbaju kumal itu.

"Kau benar-benar keras kepala, bocah!" dingin nada suara perempuan tua itu.

"Kenapa kau selalu menggangguku, Nisanak?" tanya Rangga, kesal juga terhadap perempuan tua ini.

Kemunculannya selalu membuat masalah, dan selalu menghalangi kepergiannya ke daerah Selatan ini. Sama sekali Rangga tidak tahu, apa keinginan perempuan tua yang tidak pernah bersedia menyebutkan namanya itu.

"Karena kau terlalu angkuh dan keras kepala, Pendekar Rajawali Sakti!" sahut wanita tua itu ketus.

"Nisanak. Aku tidak kenal siapa dirimu. Aku juga tidak tahu apa maksudmu selalu menghalangi jalanku. Sebelumnya belum pernah kita bertemu, kecuali waktu itu. Dan kau muncul langsung membuat persoalan. Katakan yang sebenarnya, siapa dirimu? Dan apa maksudmu selalu menghalangi? Apa tujuanmu sebenarnya...?" Rangga memborong semua pertanyaan dan kekesalan hatinya.

"Dasar bodoh! Seharusnya kau sudah bisa mengerti, Pendekar Rajawali Sakti!"

"Jangan berbelit-belit, Nisanak. Siapa kau ini sebenarnya?" desak Rangga tidak sabar.

"Kau lihat tongkatku ini, bocah...?" perempuan tua itu menunjukkan tongkat peraknya. "Aku dikenal dengan nama si Iblis Tongkat Perak!"

Wanita tua yang memperkenalkan nama julukannya itu jadi tertegun, karena apa yang diharapkan meleset sama sekali. Semula diduganya pemuda itu bakal terkejut mendengar namanya. Tapi. Rangga kini malah tersenyum senyum. Iblis Tongkat Perak menghentakkan tongkatnya ke tanah, tepat di ujung kakinya.

"Nama yang hebat. Cocok untuk menidurkan anak kecil," dengus Rangga sinis.

"Kadal! Harus kau bayar penghinaan ini, bocah keparat!" geram si Iblis Tongkat Perak marah.

"Lantas, kapan akan kau bayar keusilanmu?" tantang Rangga berbalik.

"Aku bukan usil, tapi memperingatkanmu!"

"Oh, ya ? Dengan cara menghambat perjalananku? Begitu? Nisanak, sudah dua kali kau halangi jalanku. Untuk apa kau lakukan itu?" selidik Rangga.

"Kau sendiri, apa maksudmu ke daerah Selatan ini?" Iblis Tongkat Perak malah balik bertanya.

"Bukan urusanmu!" dengus Rangga sengit "Kau selalu menghalangi perjalananku. Kenapa masih bertanya juga? Kau pasti sudah tahu jawabannya!"

"Bocah sombong!"

Iblis Tongkat Perak menghentakkan tongkatnya ke tanah. Perlahan-lahan diangkat tongkat berwarna perak itu. Satu ujungnya ditujukan lurus ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu bisa ditebak kalau wanita tua itu menginginkan pertarungan. Pendekar Rajawali Sakti segera bersiap-siap menyambut serangan Iblis Tongkat Perak.

******************

"Kau tidak akan berhasil, bocah. Kembalilah! Ini peringatanku yang terakhir!" tegas dan dingin sekali nada suara si Iblis Tongkat Perak.

"Juga terakhir bagimu menghalangiku, Iblis Tongkat Perak!" sambut Rangga tidak kalah dinginnya.

"Kepala batu! Terimalah kematianmu! Hiyaaa...!"

Perempuan tua itu tidak mungkin menarik serangannya kembali. Dia berteriak keras dan melompat cepat sambil mengibaskan tongkatnya ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti. Namun Rangga yang sudah siap sejak tadi, hanya menarik kepalanya sedikit ke belakang.

Di luar dugaan, Iblis Tongkat Perak cepat menusukkan tongkatnya begitu kibasannya melewati sasaran. Cepat-cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan. Pada saat itu juga ditarik kakinya ke belakang. Dan dengan kecepatan kilat, dihentakkan kakinya ke depan.

"Uts...!"

Iblis Tongkat Perak terperanjat. Buru-buru ditarik tubuhnya ke belakang selangkah, dan langsung dikibaskan tongkatnya ke arah kaki Pendekar Rajawali Sakti. Namun kaki itu bisa berputar, seraya mengikuti arah kibasan tongkat itu. Dan begitu kaki Rangga menapak tanah, langsung dilentingkan tubuhnya ke depan setelah ujung kakinya bertumpu pada tanah. Segera saja dikirimkan satu tendangan keras bertenaga dalam sangat tinggi.

"Keparat!" dengus Iblis Tongkat Perak terkejut

Buru-buru tubuhnya dibanttng ke tanah dan bergulingan beberapa kali, lalu cepat-cepat melompat bangkit. Sementara itu Rangga sudah berdiri tegak dan bersikap menantang. Iblis Tongkat Perak mendengus kesal menyemburkan ludahnya. Sepasang matanya merah menyala bagai bola api yang hendak membakar hangus tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Jangan bangga dulu dengan ilmu picisanmu itu, Pendekar Rajawali Sakti. Rasakanlah tongkatku ini. Yaaat..!" Iblis Tongkat Perak kembali melompat sambil mengirimkan serangan beruntun.

"Hup! Hiyaaa!"

Untuk menghadapi serangan itu, Rangga mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Satu jurus yang mengandalkan kecepatan dan kelincahan gerak kaki. Itu pun masih diimbangi kelenturan tubuh dalam menghindari setiap serangan yang datang. Beberapa kibasan maupun tusukan tongkat perak itu, dapat dihindarkan dengan mudah. Hal itu membuat si Iblis Tongkat Perak semakin bertambah berang.

Jurus demi jurus berlalu cepat Namun Iblis Tongkat Perak belum juga mampu mendesak Pendekar Rajawali Sakti yang hanya berkelit dan meng hindar tanpa memberikan perlawanan sama sekali. Namun begitu, tidak mudah bagi Iblis Tongkat Perak menjatuhkannya. Untuk mendesak saja sampai saat ini belum bisa dilakukannya. Dia tidak tahu kalau Rangga masih mempelajari setiap jurus yang dikeluarkan Iblis Tongkat Perak.

"Hap! Lepas...!"

Tiba-tiba saja Rangga berseru nyaring. Tepat ketika ujung tongkat Iblis Tongkat Perak mehusuk ke arah dada, Pendekar Rajawali Sakti memiringkan tubuhnya ke samping. Dan tanpa diduga, tangan kanannya menghentak cepat Iblis Tongkat Perak terperanjat setengah mati. Buru-buru ditarik pulang tongkatnya. Namun gerakannya terlambat! Dupakan tangan Pendekar Rajawali Sakti tepat mengenai bagian tengah tongkat berwarna perak itu.

"Ikh!" Iblis Tongkat Perak memekik tertahan.

Tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti memang sudah mencapai tingkat sempurna. Akibatnya tongkat Iblis Tongkat Perak terlepas begitu terhantam pukulan Pendekar Rajawali Sakti itu. Perempuan tua berjubah kumal Itu langsung melompat mengejar tongkat peraknya. Namun secepat kilat, Rangga melesat mengejar pula. Buk! Buk!

Dalam keadaan tubuh melesat ke udara, Rangga masih sempat mengirimkan dua tendangan keras ke arah perempuan tua itu. Tendangan yang tak terduga sama sekali itu mendarat telak dl bagian dada dan perut Iblis Tongkat Perak terpekik tertahan. Tubuhnya langsung terjungkal keras ke tanah

"Hup!"
Tap!

Tangkas sekali Rangga menangkap tongkat lawannya yang melayang tinggi ke angkasa. Tubuhnya segera meluruk turun dengan tangan terkembang. Bersamaan dengan tergulingnya tubuh perempuan tua berjuluk Iblis Tongkat Perak Itu, sepasang kaki Pendekar Rajawali Sakti menapak tanah, dan langsung melesat ke arah tubuh warpa tua itu.

"Oh...!" Iblis Tongkat Petak terperanjat.

Ujung tongkat berwarna perak yang runcing telah tertekan ke bagian tenggolokan perempuan tua itu. Saat itu, tubuhnya memang masih belum sempat bangkit. Apalagi Pendekar Rajawali Sakti juga berada tepat di sampingnya. Iblis Tongkat Perak menatap tajam penuh kebencian dan dendam atas kekalahannya ini, namun tidak bisa berbuat lebih. Sedikit saja melakukan gerakan, ujung tongkatnya sendiri bisa memanggang lehernya.

"Jawab pertanyaanku sejujur-jujurnya, atau kau tewas dengan senjatamu sendiri!" ancam Rangga tanpa tekanan nada suara sedikit pun.

"Huh!" Iblis Tongkat Perak hanya mendengus saja.

"Kenapa kau selalu membuntutiku, perempuan iblis?" tanya Rangga datar dan dingin nada suaranya

"Jawablah sendiri!" sahut Iblis Tongkat Perak ketus.

Rangga menekan ujung tongkat itu lebih keras.

"Ukh!" Iblis Tongkat Perak mengeluh pendek.

Ujung tongkat yang runcing itu mulai menyayat kulit leher perempuan tua itu. Darah mulai merembes keluar. Iblis Tongkat Perak meringis menahan rasa perih pada bagian lehernya yang tergores sedikit.

"Siapa yang memerintahmu untuk mengikutiku?" tanya Rangga lagi lebih dingin

"Tidak ada seorang pun yang dapat memerintahku, bocah setan!" sahut Iblis Tongkat Perak sinis.

"Lalu, apa maksudmu menghalangiku?" desak Rangga.

"Sudah kukatakan, kau bisa jawab sendiri!"

"Hhh! Aku tidak yakin kepalamu sekeras batu, perempuan iblis!" ancam Rangga.

"Tidak ada gunanya mengancamku, bocah. Kau pikir kematian membuatku gentar? Ha ha ha...!" Iblis Tongkat Perak malah tertawa terbahak-bahak.

Lalu, tiba-tiba saja tubuh perempuan tua itu menggerinjang, dan menusukkan sendiri lehernya ke ujung tongkat itu. Rangga terkejut. Buru-buru ditarik tongkatnya, tapi terlambat. Kepala Iblis Tongkat Perak ikut terangkat saat dihentakkan tongkat yang sudah memanggang leher perempuan tua itu hingga tembus ke belakang.

Dengan kesal, Rangga mencampakkan tongkat yang telah menembus leher Iblis Tongkat Perak. Wanita tua Itu langsung diam tidak bergerak-gerak lagi. Lehernya terpanggang tongkatnya sendiri. Darah mengucur deras dari leher yang terpanggang. Rangga mendengus kesal, dan menghentakkan kakinya ke tanah.
Pendekar Rajawali Sakti
Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak menginginkan kematian perempuan tua yang berjuluk Iblis Tongkat Perak itu. Masalahnya belum sempat diperoleh apa-apa darinya. Dengan perasaan kesal dan kemarahan yang meluap, Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah pergi meninggalkan mayat Iblis Tongkat Perak.

Tanpa diketahui, sepasang bola mata yang tersembunyi di balik semak memperhatikan semua kejadian itu. Jaraknya memang cukup jauh. Mata itu juga memperhatikan langkah Pendekar Rajawali Sakti yang terus menuju Selatan. Dan begitu tubuh Rangga lenyap, pemilik sepasang mata itu menampakkan diri. Dia kemudian langsung melesat cepat bagaikan kilat ke arah Selatan, ke arah Pendekar Rajawali Sakti pergi.

"Bagus! Usahaku tidak sia-sia...," dia bergumam pelan sebelum pergi ke arah Selatan.

Gerakannya begitu cepat, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap bagai asap. Sementara itu Rangga yang berjalan cepat dan sudah begitu jauh, semakin masuk ke dalam hutan menuju arah Selatan. Kelihatannya berjalan biasa, namun gerakan kakinya begitu ringan. Seolah-olah jalannya tidak menapak tanah. Rangga memang berjalan menggunakan ilmu meringankan tubuh agar lebih cepat sampai ke tujuan.

Langkah kaki Pendekar Rajawali Sakti itu terhenti ketika di depannya menghadang sebuah bangunan kuil yang tidak begitu besar. Kuil itu terbuat dari tumpukan batu yang diukir indah. Hanya sayangnya seperti tidak terurus. Buktinya halaman kuil dikotori oleh dedaunan kering dan rumput-rumput liar. Bahkan hampir seluruh dindingnya tertutup lumut tebal.

"Hm.... Inikah tempat yang dimaksud...?" Rangga bergumam pelan.

Pendekar Rajawali Sakti kembali melangkah perlahan-lahan mendekati kuil tua itu. Tatapan matanya tajam beredar ke sekeliling. Rangga diam-diam juga mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Suara sekecii apa pun, bisa tertangkap oleh pendengarannya.

"Hm... Aku mendengar tarikan napas ringan di belakang," gumam Rangga dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti itu tetap saja melangkah mendekati kuil itu. Dan begitu sampai di depan undakan baru, tubuhnya cepat melesat ke atas, dan langsung menyelinap di balik batu-batu kuil itu. Sesaat suasana menjadi sunyi sepi. Tidak sedikit pun terdengar suara, kecuali desiran angin

Tidak berapa lama berselang, muncul seorang berpakaian ketat putih yang menonjolkan lekuk-lekuk tubuhnya. Ayunan kakinya ringan tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Tarikan napasnya juga halus, sampai-sampai sukar didengar telinga biasa. Orang itu tetap melangkah ringan dan perlahan mendekati kuil. Dan begitu kakinya baru menapak undakan batu pertama, tiba-tiba melesat sebuah bayangan menghadangnya.

"Hait..!"

Orang berpakaian ketat putih itu melompat mundur dan langsung menarik pedangnya yang tergantung di pinggang. Tapi begitu mengetahui siapa yang kini berdiri di depannya, tiba-tiba dimasukkan kembali pedangnya. Sedikit dibungkukkan tubuhnya untuk memberi hormat.

Rangga yang tadi melompat menghadang, jadi heran akan sikap orang berpakaian putih itu. Wajahnya tidak terlihat jelas karena tertutup caping yang cukup besar. Terlebih lagi cara memakai caping dari anyaman bambu itu agak diturunkan ke depan. Tapi Rangga dapat memastikan kalau dia seorang wanita. Bentuk tubuhnya yang ramping dan dadanya membukit, sudah mengisyaratkan itu adalah wanita.

"Siapa kau?" tanya Rangga tetap bersikap waspada.

Beberapa peristiwa yang dialaminya selama dalam perjalanan ke Selatan ini, membuat Pendekar Rajawali Sakti itu jadi lebih hati-hati. Rangga menapak turun dari undakan baru itu, dan baru berhenti setelah jaraknya dengan wanita berbaju putih itu tinggal sekitar satu batang tombak.

"Salam hormatku, Pendekar Rajawali Sakti," ucap wanita bercaping itu halus. Sekali lagi dibungkukkan tubuhnya memberi hormat

"Hm.., kau tahu namaku. Siapa kau ini sebenarnya?" tanya Rangga tanpa membalas salam hormat itu.

"Sebentar lagi kau akan tahu. Tunggulah barang beberapa saat lagi," sahut wanita itu. Suaranya tetap halus dan lembut.

Rangga ingin membuka suara lagi, tapi tiba-tiba terdengar suara lonceng kecil yang panjang dan tiada henri. Suara lonceng itu tidak jelas berasal dari arah mana. Sepertinya datang dari segala penjuru. Rangga memiring-miringkan kepalanya, mencoba mencari sumber suara itu mempergunakan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Tapi, tetap saja suara itu membingungkannya.

Dan belum lagi Pendekar Rajawali Sakti itu dapat menentukan suara lonceng itu, muncul seseorang dari balik semak belukar yang berada di bagian kanan puri ini. Seorang laki laki bertubuh gemuk dan pendek. Perutnya buncit seperti bola. Kepalanya gundul dengan kalung dengan manik-manik besar berwarna hitam melingkar di lehernya. Tangan kanannya menggenggam sebatang tongkat kayu coklat yang bagian atasnya tersimpul sebuah lonceng kecil

Laki-laki gemuk berpakaian seperti pendeta itu melangkah ringan mendekati Rangga. Sebentar kemudian dia sudah berdiri di tengah tengah antara Pendekar Rajawali Sakti dengan wanita berbaju putih dan bercaping besar itu. Suara lonceng berhenti, bersamaan dengan berhentinya langkah kaki laki-laki gemuk berpakaian pendeta itu.

"Puji bagi Sang Hyang Widi yang memberkati seluruh umat manusia di Mayapada ini...," ucap laki-laki gemuk itu ringan. Namun nada suaranya jelas terdengar penuh kewibawaan.

Laki-laki berpakaian pendeta dan berkepala gundul itu berpaling menatap Rangga, kemudian berpaling menatap wanita berbaju putih yang belum juga membuka capingnya. Kepalanya pun mengangguk beberapa kali. Digerakkan tangan kanannya yang memegang tongkat, maka suara lonceng pun terdengar kecil, namun begitu nyaring menggema.

Tepat ketika suara lonceng itu berhenti, tiba-tiba dari dalam kuil bermunculan orang-orang yang membawa golok di pinggangnya. Mereka berdiri berjajar lalu membungkukkan tubuhnya pada laki-laki gemuk itu. Dan tidak berapa lama kemudian, muncul lagi beberapa wanita serta anak-anak. Rangga hampir terpekik begitu melihat Nyai Talut dan Kencana ada di antara kelompok para wanita dan anak-anak itu.

Dan sebelum Rangga bisa mengerti semua ini, muncul lagi seorang pemuda tampan diikuti seorang wanita cantik memakai baju sama berwarna biru muda. Masing-masing di punggungnya tersampir sekantung anak panah berwarna perak. Sedangkan busurnya juga dari perak, yang tergenggam di tangan kanan. Mereka membungkuk di depan laki-laki gemuk berperut buncit itu.

Rangga benar-benar tidak mengerti semua ini. Ditatapnya Kencana dan Nyai Talut bergantian. Tapi yang dipandang hanya menundukkan kepalanya saja, seakan-akan tidak berani menatap Pendekar Rajawali Sakti itu. Pada saat Rangga masih diliputi berbagai perasaan dan pertanyaan di hatinya, dari atas kuil meluncur sesosok tubuh berpakaian keemasan. Dan tubuh itu mendarat ringan di undakan ketujuh dari kuil itu. Semua orang serentak berlutut

Orang berpakaian indah bagai terbuat dari benang emas itu mengangkat tangannya sedikit. Maka semua orang yang berlutut, segera duduk bersila. Rangga yang masih berdiri bersama wanita bercaping itu, menatap sosok orang berwajah cantik bagai dewi dari kahyangan itu. Di atas kepalanya yang berambut panjang hitam itu, terpasang sebuah mahkota kecil bertahtakan manik-manik batu permata. Di tangannya yang halus, masing-masing menggenggam sebatang tongkat pendek dan sebuah kipas. Semuanya berwarna kuning keemasan, yang berkilat memancarkan cahaya terang. Rangga sendiri dibuat terpesona, terutama memandang wajah orang itu yang bercahaya nan cantik jelita bagai bidadari

******************

LIMA

"Paman Pendeta Wuragil, bagaimana tugas yang kau emban?" tanya wanita berbaju indah keemasan itu. Suaranya begitu lembut, namun mencerminkan kewibawaan yang luar biasa.

"Ampun, Gusti Ratu Mutiara. Tugas hamba telah terlaksana dengan baik berkat bantuan Sepasang Panah Perak. Namun hamba hanya memperoleh dua orang pendekar," sahut laki-laki gemuk berkepala botak yang dipanggil Pendeta Wuragil itu.

Saat itu Rangga melirik dua orang yang membawa busur dan anak panah. Otaknya langsung bekerja, mencoba memahami semua yang ada di sini. Juga situasinya.

"Pendekar-pendekar yang perkasa, perkenalkanlah namamu," pinta Ratu Mutiara lembut dan berwibawa. Pandangannya langsung tertuju pada Rangga dan wanita bercaping.

"Tuan Pendekar, Gusti Ratu meminta Tuan menyebutkan nama masing-masing," tambah Pendeta Wuragil seraya menunjuk Rangga dan wanita bercaping itu.

"Namaku Rangga," ucap Rangga lebih dahulu.

"Dan kau?" Ratu Mutiara menunjuk wanita bercaping di samping Rangga.

"Dewi Wila Marta," sahut wanita itu seraya membuka caping besarnya. Tampak seraut wajah cantik dengan sepasang bola mata indah bersinar bagai bintang.

"Kuucapkan terima kasih atas kesediaan kalian berdua memenuhi undanganku," ucap Ratu Mutiara.

Pendekar Rajawali Sakti itu mulai bisa mengerti duduk persoalannya, meskipun masih terlalu banyak pertanyaan yang belum terjawab di benaknya. Tapi, paling tidak, sudah bisa diketahui jika semua daun lontar yang ditujukan padanya benar benar berasal dari wanita berbaju indah keemasan yang dipanggil Ratu Mutiara. Apakah pesan itu dikirimkan dua orang anak muda yang berjuluk Sepasang Panah Perak? Kelihatannya, dugaan Rangga menjurus ke arah itu.

"Aku juga mohon maaf jika undangan ini membuat kalian susah," sambung Ratu Mutiara.

Ratu Mutiara menatap Pendeta Wuragil. Dan laki-laki gemuk botak itu menjura memberi hormat.

"Paman, aku ingin berbicara langsung dengan kedua pendekar itu di dalam kuil," pinta Ratu Mutiara, tetap lembut nada suaranya. "Juga dengan kau dan kedua muridmu."

"Baik, Gusti Ratu," sahut pendeta Wuragil. Ratu Mutiara berbalik, dan langsung melayang bagaikan terbang saja. Seketika itu juga tubuhnya lenyap begitu sampai di puncak kuil. Rangga benar-benar mengagumi ilmu meringankan tubuhnya yang begitu sempurna. Bisa melesat ringan bagaikan terbang!

Pendeta Wuragil mempersilakan Rangga dan Dewi Wila Marta mengikutinya. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu tetap saja berdiri tak bergeming. Malah ditatapnya Kencana dan Nyai Talut yang tetap duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk. Saat itu Sepasang Panah Perak menghampirinya.

"Silakan, Pendekar Rajawali Sakti," ucap salah seorang dari Sepasang Panah Perak.

"Hm.... Boleh aku bicara sebentar dengan kedua wanita itu?" pinta Rangga seraya menunjuk Kencana dan ibunya.

"Nanti saja setelah kau bertemu Ratu Mutiara," kata Pendeta Wuragil.

Rangga mengangkat bahunya, kemudian melangkah mengikuti Pendeta Wuragil Dewi Wila Marta berjalan di samping Pendekar Rajawali Sakti itu. Di belakang, Sepasang Panah Perak mengikuti. Mereka berjalan meniti undakan batu.

Pada lantai pertama kuil itu terdapat sebuah rongga bagai pintu tanpa penutup. Pendeta Wuragil terus melangkah memasukinya diikuti yang lain. Suasana di dalam begitu gelap, dan mereka terus melangkah. Semakin masuk ke dalam, keadaan semakin terlihat terang. Rangga merasakan kalau jalan yang dilalui seperti menurun.

Setelah melewati suatu tikungan, mereka tiba pada sebuah ruangan cukup besar yang ditata indah. Lantainya beralaskan permadani bulu tebal berwarna biru laut. Pada bagian depan mereka, tampak Ratu Mutiara duduk di atas singgasana indah bagai terbuat dari emas yang berkilat tertimpa cahaya obor dan pelita yang menerangi ruangan ini.

Pendeta Wuragil dan Sepasang Panah Perak berlutut memberi hormat. Sedangkan Rangga dan Dewi Wila Marta hanya membungkuk sedikit. Pendeta Wuragil dan kedua muridnya bergeser, kemudian duduk bersila. Ratu Mutiara mempersilakan kedua pendekar itu duduk di bangku yang sudah disediakan. Rangga duduk di depan, sebelah kanan Ratu Mutiara. Sedangkan Dewi Wila Marta di seberangnya.

Pendeta Wuragil memberi hormat, kemudian melangkah menghampiri Ratu Mutiara, dan berdiri di samping kanannya. Sedangkan Sepasang Panah Perak masih tetap duduk bersila bersisian. Ratu Mutiara mengangkat tangannya sedikit dengan telapak tangan di atas. Sepasang Panah Perak mem-beri hormat, kemudian mereka duduk di samping Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan yang wanita di samping Dewi Wila Marta.

******************

"Aku ingin mendengar perjalanan kalian berdua hingga sampai ke sini," pinta Ratu Mutiara.

"Tidak ada yang menarik. Perjalananku mulus tanpa hambatan sama sekali," jelas Dewi Wila Marta mendahului.

"Terlalu banyak rintangan, dan aku masih kesal!" dengus Rangga mengeluarkan isi hatinya.

"Oh...?!" Ratu Mutiara tampak terkejut.

"Bisa kau ceritakan, Pendekar Rajawali Sakti?" pinta Pendeta Wuragil.

"Aku ingin bertanya lebih dahulu," selak Rangga.

"Silakan," Ratu Mutiara mempersilakan dengan lembutnya.

"Aku sampai ke sini karena mendapat tuntunan. Oleh sebab itu aku ingin tahu, siapa yang mengirimkan semua ini?" Rangga mengeluarkan semua lembaran daun lontar dari balik sabuknya.

"Aku," sahut pemuda yang berada di sebelah Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga menatap pemuda itu agak tajam.

"Maaf, kalau caraku tidak menyenangkan hatimu. Tapi hanya itu yang bisa kulakukan untuk menjaga kerahasiaan ini. Masalahnya tugas ini sudah bocor dan diketahui Iblis Tongkat Perak," jelas pemuda itu.

"Huh! Lagi-lagi perempuan iblis itu!" rungut Pendeta Wuragil.

"Sebenarnya aku cemas ketika kau bertarung dengan Raden Segara dan enam orang pengawalnya. Apalagi si Iblis Tongkat Perak terus membuntuti. Tapi aku lega karena kau mampu mengatasi semua itu, bahkan berhasil membunuh si Iblis Tongkat Perak," sambung pemuda itu.

"Benar itu, Benawa?" sergah Pendeta Wuragil hampir tidak percaya.

"Benar, Pendeta. Aku melihat sendiri."

"Oh!" Pendeta Wuragil mendesah panjang. Sepertinya hendak dilonggarkan dadanya, saat mendengar berita kematian Iblis Tongkat Perak.

"Tampaknya kau gembira sekali mendengar berita itu, Paman Pendeta. Sebenarnya slapakah Iblis Tongkat Perak itu?" setengah bergumam nada suara Rangga

"Salah seorang musuh kami. Dialah yang selalu menghalangi setiap maksud dan rencana Gusti Ratu Mutiara untuk merebut kembali tahtanya yang diduduki orang-orang asing bertubuh setengah raksasa. Bahkan seluruh rakyat jadi menderita karena kekejamannya," jelas Pendeta Wuragil singkat

"Orang-orang asing...?! Siapa mereka?" tanya Rangga.

"Raden Segara dan pengawal-pengawalnya," selak Ratu Mutiara cepat

"Mereka sekarang menduduki Kerajaan Karang Putih, dan telah membangun benteng-benteng pertahanan di perbatasan sebelah Timur kerajaan. Hm.... Kau tentu telah melewati daerah itu," Pendeta Wuragil mencoba menjelaskan.

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas mulai bisa dipahami maksud semua ini. Tapi masih ada lagi pertanyaan di hatinya. Dan tanpa raguragu lagi langsung dikemukakan ganjalan di hatinya itu.

"Satu lagi, Ratu Mutiara. Siapa sebenarnya Mutiara dari Selatan itu?"

Ratu Mutiara tersenyum mendengar pertanyaan itu. Sedangkan Pendeta Wuragil kelihatan kikuk dan serba salah. Terlebih lagi Benawa. Pemuda itu jadi merah padam wajahnya, dan hanya tertunduk tidak mampu menatap semua yang ada di ruangan ini. Rangga jadi heran tidak mengerti. Apakah pertanyaannya itu salah?

"Gusti Ratu, apakah pertanyaan itu perlu dijawab?" Pendeta Wuragil meminta pertimbangan dengan hormat.

"Jawab saja, Paman. Sekarang ini kita membutuhkan bantuan mereka, dan tidak sepantasnya menyembunyikan kerahasiaan," sahut Ratu Mutiara lembut.

"Baik, Gusti Ratu."

Rangga menatap Pendeta Wuragil. Demikian juga Dewi Wila Marta yang sejak tadi hanya diam saja mendengarkan. Masalahnya dia memang tidak mempunyai persoalan atau hambatan apa pun seperti yang dialami Rangga. Lagi pula, kedatangannya dijemput gadis murid Pendeta Wuragil yang duduk di sebelahnya kini. Dan gadis itu telah menjelaskan semuanya sepanjang perjalanan. Jadi maksud undangan ini memang sudah diketahuinya.

Lain halnya Pendekar Rajawali Sakti yang harus menerima undangan dengan cara membingungkan, ditambah berbagai macam hambatan. Dewi Wila Marta pun sudah tahu tentang kedatangan Pendekar Rajawali Sakti itu, karena sudah diberitahu oleh gadis itu juga. Dengan senang hati, maka dipenuhilah undangan ini. Apalagi setelah sering mendengar sepak terjang Pendekar Rajawali Sakti. Biasanya, jarang seorang pendekar dapat memperoleh kesempatan bertemu pendekar ternama dan digdaya seperti Pendekar Rajawali Sakti ini.

"Sebenarnya Mutiara dari Selatan itu adalah Gusti Ratu sendiri...," ucap Pendeta Wuragil, agak tersipu jawabannya.

"Sudah kuduga," desis Rangga dalam hati.

"Dulu, sebelum menjadi ratu menggantikan Ayahanda Prabu, aku sering bepergian mencari ilmu. Dan aku selalu menamakan diri Mutiara dari Selatan," Ratu Mutiara menambahkan. "Sebenarnya namaku bukan Mutiara. Tapi karena lebih dikenal dengan sebutan Mutiara dari Selatan, maka sampai sekarang aku selalu dipanggil Mutiara. Dan aku sama sekali tidak keberatan."

"Terima kasih, kini aku paham. Dan sekarang aku ingin tahu, untuk apa aku diundang ke sini?" ucap Rangga.

"Pendeta Wuragil yang akan menjelaskan nanti," tegas Ratu Mutiara.

******************

Rangga memandangi pondok kecil yang berjajar rapi di belakang kuil. Pondok-pondok itu terbuat dari belahan kayu dan beratapkan daun rumbia. Sangat sederhana, tapi terlihat apik karena teratur letaknya. Rangga mengayunkan kakinya menuju salah satu pondok. Di sana duduk seorang gadis yang tengah sibuk menyulam.

"Kencana...," panggil Rangga setelah dekat

"Oh...!" gadis itu tampak terkejut, dan langsung mengangkat kepalanya.

Rangga lebih mendekat, dan duduk di samping Kencana tanpa diminta lagi. Gadis itu menggeser duduknya agar merenggang. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan, seakan-akan takut ada yang melihat.

"Kapan kau sampai ke sini?" tanya Rangga.

"Hari itu juga," sahut Kencana. "Lorong itu langsung tembus ke sini"

"Oh...," Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya.

Kembali Rangga memandang sekitarnya. Satu pondok dihuni satu keluarga. Semuanya berisi orang tua dan anak-anak Pendekar Rajawali Sakti itu menoleh memandang Kencana. Sedangkan yang dipandang hanya menunduk saja.

"Ke mana Ibumu?" tanya Rangga teringat akan Nyai Talut

"Ada," sahut Kencana tanpa mengangkat kepalanya.

"Kencana, ada yang ingin kutanyakan padamu. Aku berharap kau bersedia membantuku," kata Rangga mulai serius.

Kencana mengangkat kepalanya, dan langsung menatap bola mata Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Kencana, apakah wanita yang ada di puri itu seorang ratu?" tanya Rangga bernada menyangsikan.

"Benar," sahut Kencana.

"Kalau seorang ratu, tentu memiliki prajurit. Sedangkan tidak ada seorang prajurit pun di sini. Katakan padaku sejujurnya, Kencana. Kau dan ibumu terkejut ketika kusebut nama Mutiara dari Selatan. Sedangkan waktu itu ibumu berharap orang yang bernama Mutiara dari Selatan muncul. Terus terang, Kencana. Aku jadi tidak mengerti semua ini." kata Rangga.

"Apa yang harus kulakukan?" Kencana malah bertanya.

"Kau jawab saja semua pertanyaanku, Kencana," pinta Rangga.

"Dia tidak tahu apa-apa," tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang.

Rangga langsung menoleh. Tampak Nyai Talut sudah berdiri di belakang Pendekar Rajawali Sakti itu. Wanita setengah baya itu melangkah menghampiri anaknya, lalu duduk di sampingnya.

"Sebenarnya aku dan Kencana tidak punya hak untuk memberi keterangan apa-apa padamu, Raden. Tapi Pendeta Wuragil telah mengijinkan untuk memberikan semua yang kau perlukan. Dia tahu kalau aku dan Kencana bisa berada di sini berkat pertolonganmu. Semua itu sudah diketahuinya dari Benawa," kata Nyai Talut

Rangga menatap dalam-dalam wanita setengah baya itu.

'"Aku sendiri tidak tahu kalau lorong rahasia itu akan sampai ke tempat ini. Meskipun tahu ada lorong rahasia di rumahku, tapi belum pernah kulalui. Baru kali itulah kuberanikan diri untuk melewatinya," lanjut Nyai Talut.

"Kenapa?" Tanya Rangga ingin tahu.

"Suamiku yang melarang," sahut Nyai Talut. "Suamiku seorang panglima di Kerajaan Karang Putih. Ternyata dia juga ada di sini, dan sekarang sedang menghimpun kekuatan. Rasanya tidak perlu kuberitahu di mana suamiku dan para prajurit lainnya kini berada. Yang pasti, suatu saat mereka akan mengusir orang-orang itu dari Karang Putih."

"Hm.... Masih punya-prajurit, kenapa masih juga mencari pendekar...?" Rangga bergumam seperti ber-tanya pada dirinya sendiri.

"Raden sudah menghadapinya sendiri. Mereka tidak mudah dikalahkan. Tubuh mereka kebal, dan berilmu sangat tinggi. Pernah dua kali Gusti Ratu mencoba, tapi malah kehilangan banyak prajurit. Gusti Ratu berpendapat, hanya orang rimba persilatan sajalah yang dapat menandingi mereka," jelas Nyai Talut.

"Bukankah hal itu juga pernah dicoba?" Rangga teringat kata-kata Pendeta Wuragil

"Aku tidak tahu," sahut Nyai Talut.

Saat itu Sepasang Panah Perak datang menghampiri. Mereka membungkuk sedikit memberi hormat Rangga bangkit berdiri, diikuti Nyai Talut dan Kencana. Pendekar Rajawali Sakti itu menatap dua anak muda murid Pendeta Wuragil itu.

"Pendeta Wuragil hendak bertemu Tuan Pendekar," kata Danawa hormat.

"Hm..., baiklah."

Rangga memandang sejenak pada Nyai Talut dan Kencana, kemudian melangkah pergi mengikuti Sepasang Panah Perak itu. Nyai Talut memandangi sampai punggung ketiga anak muda Itu lenyap dari pandangannya. Setelah mendesah panjang, kakinya melangkah masuk ke dalam pondok. Kencana kembali duduk di balai-balai bambu, dan kembali sibuk menyulam. Tapi hanya sebentar, kemudian diangkat kepalanya. Pandangannya kosong menatap ke depan. Sepertinya ada yang mengganjal di relung hati gadis ini.

"Kencana, kemari sebentar...!" terdengar panggilan dari dalam.

"Oh! lya, Bu...! Sebentar!"

Kencana bergegas membereskan peralatan sulamannya, kemudian melangkah masuk ke dalam pondok. Gadis itu menutup pintunya, dan tidak muncul-muncul lagi. Terdengar suara percakapan perlahan dari dalam pondok itu. Suara percakapan yang tidak terdengar, karena suara itu setengah berbisik.

Tapi tidak lama kemudian, terdengar suara isak tangis tertahan. Dan suara percakapan itu pun tidak terdengar lagi, hilang tertelan oleh isak yang tersandat. Sesaat kemudian Nyai Talut muncul, dan melangkah tergesa-gesa meninggalkan pondok itu.

"Bu...!"

Kencana keluar dan berdiri bersandar pada ambang pintu. Nyai Talut berhenti melangkah dan berbalik. Tampak wajah Kencana telah dipenuhi air mata.

"Jangan ke mana-mana sebelum aku kembali," kata Nyai Talut seraya berbalik dan bergegas melangkah pergi.

"Ibu...," Kencana merintih lirih.

Gadis itu berbalik dan menutup pintu pondoknya. Tidak ada yang dapat didengar lagi, kecuali isak tangis tersendat yang terdengar pelan.

*** 6 Kegelapan menyelimuti sekitar daerah Selatan di hutan hutan dekat Gunung Sintruk. Kegelapan yang tak pernah berlalu sejak kedatangan manusia-manusia bertubuh tinggi besar setengah raksasa. Mereka begitu kebal dan sukar untuk ditandingi. Sementara, dari kegelapan terlihat dua bayangan berkelebat cepat menyeberangi hutan yang kini oleh pohon-pohon yang tinggi besar menjulang.

Dua bayangan itu baru berhenti bergerak setelah tiba di pinggir sebuah perkampungan yang cukup aneh. Bentuk bangunannya bagai benteng, ber-dinding batu yang tinggi dan tebal dua sosok tubuh itu jelas tengah mengamati sekitar perkampungan bagai benteng itu. Mereka tidak lain dari Rangga dan Dewi Wila Marta, dua pendekar yang diundang Ratu Mutiara atau lebih dikenal bejuluk Mutiara dari Selatan.

"Apa mungkin mereka ada di sini?" tanya Dewi Wila Marta setengah tidak percaya, melihat suasana yang sepi senyap bagai tidak berpenghuni.

"Aku pernah bertemu salah seorang di sini," tegas Rangga agak berbisik.

"Bertarung?"

"Hampir."

Rangga menoleh menatap gadis di sampingnya. Capingnya terbuka menyampir di punggung. Wajahnya cukup cantik, tapi terlihat agak pucat Titik-titik keringat berkilat di dahinya. Agak heran juga Pendekar Rajawali Sakti itu melihatnya.

"Kau takut?" tanya Rangga tiba-tiba.

"Takut...?!" Dewi Wila Marta terkejut. Langsung ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti itu. "Kenapa harus takut? Aku sering menghadapi bahaya!"

Agak berkerenyit juga kening Rangga mendengar nada suara yang sedikit bergetar itu. Sedangkan Dewi Wila Marta kembali berpaling menatap ke depan. Rangga bisa menebak kalau gadis itu gelisah, namun tidak tahu apa yang digelisahkannya.

"Kau tinggal dulu di sini, akan kuselidiki dulu keadaan di sana," kata Rangga.

"Heh...! Ini tugas kita berdua. Aku tidak ingin jadi penonton!" sentak Dewi Wila Marta.

"Bukan untuk menonton. Kalau aku tertangkap, kau bisa cepat memberitahu Ratu Mutiara," kata Rangga beralasan. Padahal dia tidak ingin menyertakan gadis yang kelihatan gelisah itu. Entah apa sebabnya?

"Segala resiko kita tanggung bersama. Kita sama-sama diundang dan diminta menghancurkan mereka. Kau tidak bisa bergerak sendirian, Rangga. Ingat, posisi kita sama di sini!" tegas Dewi Wila Marta menolak usulan Rangga

"Aku sudah pernah bertemu mereka. Bahkan sempat bertarung di Desa Sintruk. Yang kita hadapi sekarang tidak bisa dianggap sembarangan, Wila."

"Jangan merendahkanku, Rangga. Kau sendiri belum tentu bisa mengalahkanku!" dengus Dewi Wila Marta ketus.

"Bukannya aku merendahkanmu, Wila. Kau sendiri sedang tidak tenang...," Rangga terpaksa berterus terang.

Dewi Wila Marta nampak terkejut. Tajam sekali tatapannya tertuju pada Pendekar Rajawali Sakti.

Tebakan Rangga memang tepat. Saat ini hatinya sedang gelisah. Dan kegelisahannya itu hanya diketahuinya sendiri. Dewi Wila Marta berpaling lagi menatap ke depan. Sekuat tenaga berusaha ditekan kegelisahannya. Sebelumnya juga sudah dicoba untuk menutupinya, tapi Rangga ternyata sangat jeli. Ternyata Pendekar Rajawali Sakti mampu menilai seseorang dari raut wajahnya. Diam-diam, Dewi Wila Marta kagum juga terhadap pandangan tajam pemuda itu.

"Tunggu saja di sini, sebentar aku kembali," kata Rangga.

Dewi Wila Marta diam saja. Dan Rangga sudah melesat cepat bagaikan kilat ke arah perkampungan yang terdiri dari bangunan-bangunan besar terbuat dari batu yang kokoh. Begitu cepatnya bergerak, sebentar saja tubuhnya sudah berada pada salah satu sisi bangunan bertembok tinggi. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti itu menatap ke arah Dewi Wila Marta yang tetap berada di sana.

"Hup!"

Hanya sekali lompatan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di atas tembok. Matanya langsung beredar ke sekeliling mengamati keadaan sekitarnya. Kemudian dia melompat lagi, dan berputar di udara tiga kali. Ringan dan tanpa suara sedikit pun sepasang kakinya mendarat di atas sebuah bangunan besar berdinding batu.

Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh, Rangga berjalan setengah merayap di atas atap itu. Telinganya dipasang tajam-tajam dengan mempergunakan immu 'Pembeda Gerak dan Suara'. Sungguh aneh! Sama sekali tidak terdengar suara apa pun, kecuali desiran angin saja yang mengganggu gendang telinganya. Pendekar Rajawali Sakti itu berhenti melangkah setelah sampai di bagian tepi atap bangunan itu.

"Sepi... Apakah bangunan ini kosong?" gumam Rangga dalam hati.

Ringan sekali Pendekar Rajawali Sakti itu melesat turun. Gerakannya cepat, tapi tak bersuara sedikit pun. Seperti kapas tertiup angin, kakinya mendarat lunak di tanah, tepat di bawah sebuah jendela berukuran besar yang terbuka lebar. Rangga menjulurkan kepalanya, meneliti bagian dalam melalui jendela itu.

"Kosong...," desis Rangga pelan.

Pendekar Rajawali Sakti itu melompat masuk, dan langsung meneliti ruangan yang besar dan nampak kosong ini. Ada beberapa kamar, dan semuanya kosong tak berpenghuni. Hanya sebentar saja Rangga berada di dalam bangunan besar itu, kemudian keluar lagi. Tubuhnya langsung melesat ke atas atap bangunan satunya.

Delapan bangunan dari sepuluh yang ada sudah diperiksa Rangga. Tapi tidak satu pun yang berpenghuni. Semuanya kosong, dan tidak ada satu pun perabotan. Rangga berpikir juga melihat keadaan ini.

Rangga berdiri tegak di atas atap bangunan terakhir yang diperiksanya. Benar benar sukar dimengerti kalau bangunan terakhir juga tidak berpenghuni. Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melesat cepat ke arah Dewi Wila Marta yang telah ditinggalkannya. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah sampai di samping gadis itu

"Bagaimana?" tanya Dewi Wila Marta ketika Rangga baru saja menjejakkan kakinya.

Rangga mengangkat bahunya disertai dengusan napas panjang. Dewi Wila Marta menatapnya dalam-dalam. Hatinya merasa heran juga melihat raut wajah Pendekar Rajawali Sakti yang jadi kusut. Sulit dimengerti. Sedangkan Rangga berbalik dan menatap lurus ke arah perkampungan aneh itu. Dia sendiri masih belum bisa memahami keadaan bangunan-bangunan besar menyerupai benteng itu.

"Apa yang kau peroleh di sana, Rangga?" tanya Dewi Wila Marta penasaran melihat sikap Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Tidak ada!" sahut Rangga seraya mendengus.

"Tidak ada...?!" Dewi Wila Marta benar-benar tidak mengerti. Ditatapnya Rangga semakin dalam.

"Semua kosong, tidak ada apa-apa di sana!"

"Lalu..."

******************

Entah apa yang ada di dalam diri Pendekar Rajawali Sakti sekarang ini. Mungkin rasa kesal, geram, bingung, atau apa lagi. Yang jelas, saat ini Rangga tidak bisa memahami semua yang dialaminya sekarang. Semua yang terjadi sunggguh membingungkan, dan sulit diterima akal sehatnya. Sering dia mengalami kejadian-kejadian aneh, tapi peristiwa kali ini sungguh membuat kepalanya terasa akan pecah.

Sambil bersungut-sungut tidak karuan, Rangga melangkah menuju ke perkampungan aneh itu. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak tersentak. Bergegas dia berbalik dan berjalan cepat. Sementara Dewi Wila Marta jadi tidak mengerti melihat sikap Rangga, lalu bergegas mengikuti. Disejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Ada apa, Rangga?" tanya Dewi Wila Marta.

"Aku merasa ini semua cuma tipuan belaka!" sahut Rangga mendengus.

"Tipuan...? Aku tidak mengerti maksudmu."

Rangga menghentikan langkahnya, lalu berbalik menghadap gadis di sampingnya. Ditatapnya dalam-dalam bola mata gadis itu Dewi Wila Marta jadi kikuk juga ditatap sedemikian rupa. Dipalingkan wajahnya sedikit, tidak tahan membalas pandangan mata pemuda itu.

"Wila, kau belum menceritakan bagaimana perjalananmu sampai ke sini," kata Rangga serius.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Rangga. Untuk apa kuceritakan hal itu padamu? Lagi pula aku tidak mengalami kesulitan apa pun. Semuanya berjalan lancar tanpa gangguan sedikit pun," sahut Dewi Wila Marta keheranan.

"Kau datang dari mana?" tanya Rangga.

"Daerah Utara," sahut Dewi Wila Marta.

"Tepatnya?" desak Rangga. Masalahnya seluruh daerah Utara sudah dijelajahinya. Jadi kenal betul seluk beluk di sana.

"Gunung Waja," sahut Dewi Wila Marta.

"Aku tahu, di mana itu Gunung Waja...," gumam Rangga. "Hm..., apakah kau dari Padepokan Arang Watu?"

"Benar, dari mana kau tahu?"

"Kalau benar kau berasal dari sana, tentunya kau murid Resi Kamuka. Hm..., rasanya tidak mungkin Resi Kamuka mengutusmu ke sini. Sedangkan beliau memiliki murid-murid utama yang tangguh dan berkepandaian cukup tinggi. Wila, kau tidak berbohong padaku?" Rangga jadi curiga.

"Untuk apa berdusta? Aku memang murid Resi Kamuka dari Padepokan Arang Watu, dan ke sini tanpa sepengetahuan Resi Kamuka. Aku bertemu Witarsih di kedai perbatasan Kerajaan Jiwanala, lalu tertarik ketika dia menceritakan semuanya dan bermaksud mencari para pendekar," tutur Dewi Wila Marta terus terang.

Rangga menarik napat panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat Sedangkan Dewi Wila Marta memandangnya tidak mengerti

"Ada apa sebenarnya, Rangga?" tlanya Dewi Wila Marta ingin tahu.

"Entahlah, aku sendiri belum bisa memastikan. Yang jelas kau terlalu berani datang ke sini tanpa memberitahu lebih dahulu gurumu. Kau dalam bahaya besar, Wila," desah Rangga.

"Bahaya ..?!" Dewi Wila Marta mendelik.

Belum sempat Rangga menjelaskan, tiba-tiba terdengar suara tawa keras terbahak-bahak. Suara tawa itu terdengar menggelegar, sehingga merontokkan daun-daun pohon dan menggetarkan batu-batuan. Rangga langsung menarik tangan Dewi Wila Marta, dan menempatkan di belakangnya. Tampak wajah Dewi Wila Marta sedikit pucat mendengar suara tawa menggelegar itu.

Belum lagi hilang suara tawa itu, tiba-tiba muncul sepuluh orang laki-laki bertubuh tinggi besar bagai raksasa. Mereka semua membawa gada besar yang bagian kepalanya bulat berduri kasar dan tajam. Mereka berlompatan membuat lingkaran mengepung dua pendekar itu.

"Ihhh...!" Dewi Wila Marta agak bergidik melihat manusia-manusia setengah raksasa itu.

Saat Rangga menolehkan kepalanya ke kiri, melesat sesosok tubuh setengah raksasa. Ternyata, Raden Segara. Bumi terasa bergetar begitu kaki Raden Segara menjejak tanah. Dewi Wila Marta sampai terbeliak melihat perawakan tinggi besar itu. Belum pernah dilihat sebelumnya manusia begini besar, yang besarnya hampir dua kali lipat dari orang biasa!

"Siapa mereka, Rangga...?" tanya Dewi Wila Marta setengah berbisik. Suaranya terdengar sedikit bergetar.

"Aku tidak tahu siapa mereka. Yang jelas, merekalah lawan kita," sahut Rangga

"Mereka...?!" Dewi Wila Marta tidak bisa lagi menyembunyikan keterkejutannya.

"Kenapa? Takut?""

"Tidak!" sahut Dewi Wila Marta. Tapi suaranya masih juga terdengar bergetar.

Rangga bisa memaklumi. Kalau Dewi Wila Marta memang benar murid Resi Kamuka, pasti belum berpengalaman menghadapi tokoh-tokoh rimba persilatan. Yang jelas, Resi Kamuka tidak akan sembrono mengirimkan seorang gadis yang tingkat kepandaiannya belum cukup. Apalagi untuk berpetualang ke daerah yang begitu jauh.

"Tidak perlu repot mencarimu, Rangga. Aku kagum dengan keberanianmu, tapi sayang kau harus mati di sini," kata Raden Segara.

"Justru aku datang untuk membunuh kalian semua!" dingin nada suara Rangga.

"Ha ha ha " Raden Segara tertawa terbahak-bahak.

"Ih ! Manusia atau jin, ini?!" desis Dewi Wila Marta pelan di belakang punggung Pendekar Rajawali Sakti.

"Rupanya kau sudah sampai ke kuil itu! Ha ha ha...! Sudah kuduga, kau datang ke sini memang bukan sekadar lewat. Hebat! Benar-benar licik dia. Tidak mampu menghadapiku sendiri, tapi malah meminta bantuan orang lain. Sayang kau terlalu bodoh, Rangga," ujar Raden Segara lantang.

"Aku tidak peduli apa yang kau katakan, Raden Segara. Siapa saja yang meminta pertolonganku, akan kutolong. Dan aku tidak segan-segan menentang kekejaman!" mantap kata-kata Rangga.

"Kekejaman..., heh!" dingus Raden Segara sinis.

"Perbuatanmu tidak bisa lagi didiamkan, Raden Segara."

"Perbuatanku? Apa yang telah kulakukan? Heh...! Rupanya orang-orang busuk itu sudah mempengaruhi otakmu, dan kau terlalu bodoh untuk menilai!"

Rangga menatap tajam laki-laki bertubuh setengah raksasa itu. Sedangkan Dewi Wila Marta hanya diam saja tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.

"Dengar, Rangga. Aku tidak peduli siapa dirimu, dan dari mana datangnya. Siapa pun yang berani mengusikku, itu berarti harus berhadapan denganku. Seperti juga orang-orang busuk di puri itu. Mereka harus menerima akibat perbuatannya karena mencoba menentangku!" tegas kata-kata Raden Segara.

"Mereka pantas menentangmu karena tidak tahan terhadap kekejaman dan kebrutalanmu!" sambut Rangga ketus.

"Itu peraturanku, Rangga. Tidak ada seorang pun yang boleh melanggar aturanku!" dengus Raden Segara.

"Dengan menjadikan tawanan sebagai binatang buruan? Membantai orang-orang tua dan anak-anak? Menculik gadis-gadis, dan mempekerjakan pemudapemuda secara paksa. Apa itu bukan kekejaman namanya? Dan kau harus tahu, Raden Segara. Di mana aku berada, maka tidak akan berdiam diri melihat keangkaramurkaan!"

"Dengan kata lain kau menantangku, Rangga."

"Terserah apa pendapatmu. Yang jelas, kuminta kau membebaskan seluruh tawananmu, dan kembali ke asalmu!"

"Kadal busuk! Menyesal kau kubiarkan hidup!"

Raden Segara menggerakkan tangannya sedikit, maka empat orang yang memegang gada besar langsung melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Serangan itu demikian cepat, dan Rangga tidak punya pilihan lain. Langsung saja dikerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Di samping harus menghindari serangan-serangan itu, dia juga harus melindungi Dewi Wila Marta.

"Hiya! Hiya...!"

Sambil berteriak keras, Rangga memutar tubuhnya lalu melesat ke atas. Dua pukulan bertenaga dalam sempurna dilepaskan langsung mengarah ke bagian di antara dua mata penyerangnya. Dua pukulan itu demikian cepat, sehingga dua orang penyerangnya tidak bisa menghindari diri lagi.

Kedua orang tinggi besar bagai raksasa itu meraung keras sambil menutup wajahnya. Darah mengalir dari sela-sela jarinya. Mereka ambruk berdebum ke tanah dengan kerasnya, dan menggeliat-geliat sambil meraung keras. Dua orang lagi jadi terpana, dan segera menghentikan serangannya memandang dua temannya yang menggelepar-gelepar meraung kesakitan.

"Keparat!" geram Raden Segara marah.

"Hm...," Rangga tersenyum sinis.

******************

Keanehan terjadi tiba-tiba. Dua orang yang menggelepar dan meraung di tanah, mendadak diam kaku. Kemudian dari seluruh tubuhnya mengepul asap tipis yang semakin lama semakin menebal. Asap itu kini menyelubungi seluruh tubuh kedua manusia setengah raksasa itu. Tidak berapa lama, asap itu menghilang. Dan kedua tubuh yang menggeletak di tanah, kini berubah menjadi kecil seukuran tubuh manusia biasa. Dua sosok tubuh kurus kering itu berlubang pada bagian di antara kedua matanya. Tampak sebutir batu merah terdapat dalam lubang di kening mereka.

Rangga menggeser kakinya ke belakang dua tin-dak. Hampir tidak dipercaya dengan apa yang dilihatnya. Ternyata di kening manusia-manusia setengah raksasa itu tertanam sebutir batu mutiara merah. Dan rupanya, di situlah letak kelemahannya. Rangga sendiri belum mengerti tentang semua ini, tapi sudah bisa mengetahui letak kelemahan manusia-manusia raksasa ini.

"Wila, kau harus bisa melawan mereka. Pusatkan perhatian seranganmu pada kening. Di situ letak kelemahannya," jelas Rangga setengah berbisik.

"Baik, Rangga," sahut Dewi Wila Marta.

Sementara itu Raden Segara sudah memberi isyarat dengan tangannya. Maka delapan manusia setengah raksasa lainnya, serentak bergerak menyerang sambil mengayunkan gadanya yang besar dan berduri kasar. Kali ini Dewi Wila Marta tidak luput dari serangan mereka. Gadis itu mencabut pedangnya, kemudian berlompatan menghindari setiap serangan yang datang.

"Huh! Kenapa susah-susah mengarahkan ke kening? Gerakan mereka tidak terlalu cepat, dan aku bisa menusukkan pedang ke mana saja!" dengus Dewi Wila Marta dalam hati.

Seketika itu juga Dewi Wila Marta membabatkan pedangnya ke arah leher salah seorang penyerangnya yang terdekat. Tapi begitu pedangnya menghantam leher lawan, gadis itu terpekik kaget. Pedangnya terpental kembali dengan kuat. Bahkan dirasakan tangannya bergetar hebat. Sedangkan lawannya tidak terluka sedikit pun!

Rangga yang sempat melihat kejadian itu, langsung melompat mendekati Dewi Wila Marta. Padahal dia sendiri tengah sibuk menghadapi enam orang manusia setengah raksasa.

"Sudah kukatakan, jangan coba-coba!" bentak Rangga, kesal juga akan kebandelan gadis itu.

"Aku hanya ingin tahu!" rungut Dewi Wila Marta.

"Kau tidak punya pedang lagi! Sebaiknya, cepat tinggalkan tempat ini!" perintah Rangga.

"Tidak!"

Rangga geram juga akan gadis keras kepala ini. Dan pada saat itu salah seorang dari manusia setengah raksasa itu menyerang ke arah Dewi Wila Marta. Namun belum sempat orang itu mendekat, Rangga sudah lebih dahulu melompat sambil mengirimkan satu tendangan ke arah kening. Tendangan yang cepat disertai pengerahan tenaga dalam sempurna itu tidak bisa lagi dihindari. Padahal orang itu sudah mencoba mengelak. Dia meraung keras sambil menutupi wajahnya.

"Hup!"

Rangga langsung menyambar pedang Dewi Wila Marta yang menggeletak di tanah. Secepat kilat, tubuhnya melesat seraya menyambar gadis itu. Begitu cepatnya gerakan Rangga, tahu-tahu lenyap bagai tertelan bumi. Raden Segara jadi berang setengah mati. Diperintahkanlah pembantu-pembantunya untuk mengejar. Sementara dia sendiri kembali ke perkampungan. Tidak dihiraukannya lagi seorang pembantunya yang mulai berubah wujud menjadi sosok tubuh kurus kering dengan kening bolong dan sebutir mutiara merah di keningnya.

******************

TUJUH

Dewi Wila Marta bersungut-sungut seraya bangkit berdiri. Dibersihkan debu yang melekat di bajunya. Sedangkan Rangga berdiri tegak tidak jauh darinya. Pandangan mata Pendekar Rajawali Sakti itu demikian tajam menusuk. Dewi Wila Marta memungut pedangnya yang menggeletak di tanah, dan disarungkan kembali di pinggang.

"Sebaiknya kau kembali saja ke Gunung Waja!" ujar Rangga dingin.

"Kalau aku tidak mau?" dengus Dewi Wila Marta ketus.

"Aku yang akan membawamu ke sana. Aku yakin, Resi Kamuka tidak menyukai tindakanmu. Kau telah melangkahi wewenang gurumu sendiri."

"Aku bosan di padepokan terus!" rungut Dewi Wila Marta.

"Kau belum siap terjun ke dalam rimba persilatan, Wila. Masih banyak yang belum kau ketahui. Bekalmu belum lagi cukup. Mengertilah itu, Wila. Dunia persilatan, dunia yang keras. Tidak ada hukum yang bisa mengaturnya. Masing-masing pribadi punya hukum sendiri-sendiri," Rangga mencoba memberi pengertian pada gadis itu.

Apa yang dilakukan Dewi Wila Marta tadi sudah menandakan kalau gadis itu masih terlalu hijau untuk terjun ke dalam kancah persilatan. Terlalu berbahaya bagi keselamatan dirinya sendiri. Dan Rangga tidak ingin gadis itu mati sia-sia hanya karena menuruti kata hati belaka.

"Jurus-jurusmu memang dari Padepokan Arang Watu. Tapi kau belum begitu sempurna memilikinya. Harus lebih banyak lagi belajar, Wila. Kau tidak bisa merambah ganasnya rimba persilatan hanya dengan kepandaian yang setengah. Pulanglah, sebelum semuanya terlambat," ujar Rangga lebih lembut.

"Aku tadi hanya mencoba, kenapa kau menilaiku begitu? Kau pikir aku bocah ingusan yang tidak tahu apa-apa? Kau boleh mengujiku, Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun kau seorang pendekar digdaya, tapi belum tentu mampu menjatuhkanku dalam lima jurus!" tantang Dewi Wila Marta ketus.

"Untuk apa? Aku sudah bisa mengukur, sampai di mana lingkat kepandaianmu!" selak Rangga jadi sengit.

"Sombong! Kau terlalu angkuh, Rangga. Ayo, kita bertarung. Jika mampu merobohkan dalam lima jurus, aku akan menuruti kata-katamu. Tapi kalau tidak..., jangan harap bisa mengaturku!" tantang Dewi Wila Marta sambil mencabut pedangnya.

Pendekar Rajawali Sakti menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah gadis itu. Rangga sudah sering malang-melintang dalam rimba persilatan. Sudah tidak terhitung lagi, berapa tokoh golongan hitam yang dihadapinya, dan berapa pendekar yang dikenalnya. Seorang tokoh rimba persilatan tidak akan cepat-cepat mencabut senjata kalau tidak terdesak. Sikap Dewi Wila Marta yang langsung mencabut senjata, sudah menandakan kalau gadis itu masih terlalu hijau.

"Aku yakin, baru pertama kali ini kau keluar dari padepokan," tebak Rangga.

"Jangan banyak omong! Ayo lawan aku!" rungut Dewi Wila Marta senglt

"Tidak ada gunanya menurutimu, Gadis Manis. Dari sikapmu saja sudah menunjukkan kalau kau belum pernah berkecimpung di dunia luar. Apa kau sudah lupa ajaran dari padepokanmu? Seorang pendekar pantang mencabut senjata kalau tidak terpaksa. Dan senjatamu itu sudah menunjukkan kalau kau masih harus lebih banyak belajar lagi."

Seketika wajah Dewi Wila Marta menyemburat merah dadu. Kata-kata Rangga yang tenang dan lembut sungguh tepat mengenai sasaran. Mendadak, seluruh tubuh Dewi Wila Marta jadi lemas. Pedang yang tergenggam erat, jatuh ke sampingnya. Kemudian tubuhnya sendiri jatuh berlutut

Rangga menghampiri dan memungut pedang gadis itu. Disentuhnya pundak gadis itu, dan memintanya untuk bangkit berdiri. Perlahan-lahan gadis itu bangkit. Namun kepalanya terus tertunduk dalam, seolah-olah malu untuk menatap wajah Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Sarungkan kembali pedangmu," ujar Rangga lembut.

Perlahan-lahan Dewi Wila Marta mengangkat kepalanya. Diterimanya pedang itu dari tangan Rangga, dan disarungkannya kembali.

"Bisa kurasakan adanya kesungguhan di hatimu untuk menjadi seorang pendekar. Tapi kesungguhan hati tidak cukup untuk berkecimpung di dalam rimba persilatan," kata Rangga lembut. "Masih banyak yang harus dipelajari dan dipahami di padepokan. Bukan hanya penguasaan jurus-jurus, tapi juga pengetahuan lain agar tidak terperosok dan akan membuat dirimu dirundung penyesalan seumur hidup."

"Maafkan aku...," ucap Dewi Wila Marta menyesal.

''Tidak ada yang perlu dimaafkan. Anggap saja ini sebagai pelajaran berharga untuk di kemudian hari jika kau sudah benar-benar siap menjadi seorang pendekar," ujar Rangga tetap lembut

"Aku memang belum siap, tapi aku ingin menimba pengalaman di luar. Resi Kamuka tidak pernah mengijinkan setiap muridnya keluar sebelum menyelesaikan pelajarannya di padepokan. Sedangkan aku sudah tidak tahan lagi. Sejak kecil aku berada di Padepokan Arang Watu, dan tidak ingin sampai tua di sana," keluh Dewi Wila Marta.

"Aku bisa memahami perasaanmu, Wila."

"Sudah lebih dari sepekan kutinggalkan padepokan tanpa ijin. Tidak mungkin aku kembali lagi ke sana. Resi Kamuka pasti tidak bersedia menerimaku lagi. Dan semuanya pasti sudah menganggapku murid murtad."

"Aku tahu siapa gurumu. Beliau orang yang bijaksana. Kalau kau mengakui semua kesalahanmu, pasti masih diterima dengan tangan terbuka."

Dewi Wila Marta menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku takut, Rangga. Aku tidak sanggup lagi bertemu Resi Kamuka. Rasanya dia sudah kubuat kecewa," lirih suara Dewi Wila Marta

"Tidak perlu takut. Aku akan menjelaskannya nanti pada Resi Kamuka," janji Rangga.

"Oh, sungguh...?"
Rangga mengangguk.
"Terima kasih...."
"Rangga."
"Boleh aku memanggilmu Kakang?"
"Kenapa tidak?"

"Terima kasih," ucap Dewi Wila Marta mulai cerah kembali wajahnya. "Tapi...," mendadak wajahnya kembali mendung.

"Apa lagi?" tanya Rangga.

"Apa mungkin Resi Kamuka masih menerimaku lagi?" tanya Dewi Wila Marta pelan.

"Kenapa tidak? Kau punya bakat besar. Aku yakin, dalam waktu dua atau tiga tahun saja kau sudah mampu malang melintang dalam dunia persilatan," Rangga meyakinkan.

"Resi Kamuka pasti menghukumku, Kakang."

"Segala perbuatan mengandung resiko. Kau berani melakukan perbuatan ini, tentu berani juga menanggung resikonya. Aku rasa hukuman yang akan kau dapat tidak berarti banyak bila kau sudah terjun ke dunia luar. Resiko seorang pendekar lebih berat lagi daripada hukuman yang pasti hanya bersifat mendidik. Bukan karena kebencian semata."

"Aku gembira bisa bertemu denganmu, Kakang. Resi Kamuka sering menceritakan tentang dirimu, dan aku ingin sekali bertemu denganmu," ungkap Dewi Wila Marta terus terang.

"Aku tidak percaya hanya karena hal itu kau berani mengambil resiko besar seperti ini," Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang sudah bisa ditebak sebabnya Dewi Wila Marta berada di sini sekarang.

"Iya," sahut Dewi Wila Marta tersipu.

******************

Rangga menepuk pundak Dewi Wiia Marta, dan mengajaknya berjalan. Tapi belum juga jauh melangkah, tiba-tiba muncul Raden Segara bersama lebih dari dua puluh orang pengawalnya. Mereka membuat suara-suara gaduh sambil mengayun-ayunkan gada yang besar dan berduri tajam. Dewi Wila Marta terkesiap juga melihat manusia setengah raksasa yang tahu-tahu sudah mengepungnya.

Sedangkan Rangga jadi berpikir melihat jumlah manusia manusia setengah raksasa Itu demikian banyak. Menghadapi lima atau enam orang saja sudah begitu sukar baginya. Apalagi harus menghadapi sekian banyak! Namun yang menjadi bahan pikiran Pendekar Rajawali Sakti adalah Dewi Wila Marta. Gadis ini pasti tidak akan mampu menghadapi mereka. Seorang saja belum tentu bisa dihadapi Dewi Wila Marta yang masih terlalu hijau dalam dunia kependekaran.

"Ha ha ha...! Kali ini kau tidak akan bisa lolos dariku, bocah setan!" keras sekali suara Raden Segara.

Para pengawalnya yang semuanya bertubuh setengah raksasa, ikut tertawa terbahak-bahak. Dewi Wila Marta cepat menutup telinganya, tidak tahan mendengar suara yang menggelegar itu.

"Bunuh dia! Biarkan yang perempuan hidup!" perintah Raden Segara menggelegar.

Lebih dari dua puluh orang bertubuh tinggi besar itu menghambur dan berteriak-teriak mengayun-ayunkan gadanya. Mereka langsung merangsek Pendekar Rajawali Sakti, dan menggiringnya agar terpisah dari Dewi Wila Marta. Tentu saja hal ini membuat Dewi Wila Marta jadi ketakutan juga. Dengan sekuat tenaga dan semampunya gadis itu berusaha melawan mempergunakan pedang dan jurus-jurus yang dipelajari di Padepokan Arang Watu.

Rangga sendiri agak kewalahan juga menghadapi keroyokan manusia setengah raksasa itu. Mereka kini sudah mengetahui kelemahan masing-masing, sehingga tidak mudah bagi Rangga untuk mengarahkan pukulannya ke kening. Setiap kali pukulannya mengarah ke sana, selalu saja ada yang menjegal, atau menghantamkan gada besar dan berduri besar. Mereka bahkan membiarkan saja bagian tubuh lainnya terbuka lebar. Mudah bagi Rangga untuk menghantam dada, perut, atau bagian tubuh lainnya yang dapat mematikan bagi orang lain. Tapi tidak ada gunanya bagi manusia setengah raksasa ini.

"Ha ha ha...!" Raden Segara yang menyaksikan pertarungan itu tertawa terbahak-bahak.

Sedangkan Rangga harus berpikir keras mencari jalan untuk mengalahkan manusia-manusia setengah raksasa ini. Gerakan mereka terlihat lebih cepat, dan selalu melindungi kening dengan gadanya. Sedangkan Rangga tahu, hanya di situlah letak kelemahan mereka. Seluruh jurus maupun aji kesaktian yang dimiliki tidak berarti apa-apa sama sekali! Rangga hanya mengandalkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Tapi, itu pun sudah terasa sulit, karena lawannya begitu banyak dan ruang gerak juga semakin terbatas.

"Akh...!" tiba-tiba terdengar suara pekikan tertahan dari Dewi Wila Marta.

"Wila...!" sentak Rangga terkejut

Tampak Dewi Wila Marta terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya. Tampak dari sudut bibirnya keluar darah segar. Dan selagi gadis itu terhuyung, sebuah hantaman keras mendarat di punggungnya. Dewi Wila Marta kembali memekik keras, dan tubuhnya langsung terjerembab mencium tanah. Rangga yang melihat keadaan gadis itu, langsung melompat. Tapi sebuah gada melayang deras menghadang lompatannya.

"Hup!"

Rangga melentingkan tubuhnya berputar menghindari terjangan gada besar berduri itu. Dan tubuhnya langsung meluruk deras menjangkau Dewi Wila Marta yang tengah berusaha bangkit berdiri. Tapi sebelum Pendekar Rajawali Sakti itu bisa meraih tubuh Dewi Wila Marta, mendadak satu tendangan keras mendarat di punggungnya.

"Ugh!" Rangga mengeluh pendek.

Pendekar Rajawali Sakti terdorong beberapa langkah ke depan. Dan selagi tubuhnya belum seimbang, satu pukulan keras kembali mendarat di dadanya. Satu pekikan keras terdengar dari mulut Pendekar Rajawali Sakti itu. Tubuhnya cepat mencelat tinggi ke udara, dan berputaran beberapa kali.

Bukan Pendekar Rajawali Sakti kalau tidak mampu menghadapi keadaan sulit ini dengan cepat. Mengetahui dirinya mendapat dua pukulan sekaligus, cepat-cepat Rangga melentingkan tubuhnya dan hinggap di atas dahan. Sebentar digerakkan tangannya, mengerahkan hawa murni untuk mengurangi rasa nyeri pada punggung dan dadanya.

"Phuih!" Rangga menyemburkan ludahnya.

Sret!

Cahaya biru berkilau langsung menyemburat menerangi sekitarnya begitu pedang pusaka Rajawali Sakti tercabut dari warangkanya di punggung. Semua orang bertubuh tinggi besar bagai raksasa itu terpana melihat cahaya biru memancar dari pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dua orang yang tengah memegangi Dewi Wila Marta, jadi terpaku. Dan kesempatan ini cepat dimanfaatkan gadis itu untuk meloloskan diri.

Dengan cepat Dewi Wila Marta berlari begitu dapat terlepas dari cekalan dua manusia setengah raksasa itu. Dia lari ke bawah pohon tempat Rangga berada. Pendekar Rajawali Sakti itu segera meluruk turun, dan mendarat manis sekali di depan Dewi Wila Marta. Pedangnya melintang di depan dada.

"Bocah setan! Dari mana kau dapatkan pusaka itu?" bentak Raden Segara seraya membeliak lebar.

"Hm...," Rangga hanya menggumam kecil.

Pertanyaan Raden Segara membuat kening Pendekar Rajawali Sakti berkerut juga. Terlebih lagi melihat wajah manusia-manusia setengah raksasa yang kehhatan pucat dengan mata membeliak lebar ketika melihat pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan-lahan mereka bergerak mundur.

"Kakang, mereka takut melihat pedangmu," kata Dewi Wila Marta setengah berbisik

Lagi-lagi Rangga hanya bergumam saja, kemudian kakinya bergerak maju perlahan-lahan Manusia-manusia setengah raksasa itu semakin bergerak mundur.

Sret!

Raden Segara mencabut pedangnya yang panjang dan cukup besar. Digenggamnya pedang itu erat-erat dengan kedua tangannya. Perlahan kakinya menggeser ke kanan beberapa tindak. Kedua matanya tajam menatap pedang berwarna biru berkilau di tangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Serang...!" teriak Raden Segara keras.

Empat orang serentak melompat maju seraya mengayunkan gadanya kuat-kuat. Sedangkan Rangga hanya menggeser sedikit ke kanan kakinya, lalu mengibaskan pedangnya ke arah salah seorang penyerangnya yang berada di sebelah kanan. Kibasan pedang bercahaya biru berkilau itu demikian cepat, sehingga tidak dapat dielakkan lagi. Ujung pedang itu langsung membabat dada manusia setengah raksasa itu.

"Aaargh...!"

Satu raungan keras terdengar. Seketika orang itu menggelepar dan dadanya yang robek panjang langsung mengucurkan darah segar. Belum lagi lenyap suara raungan itu, Rangga sudah melompat sambil mengebutkan pedangnya ke kiri. Kembali terdengar raungan keras disusul ambruknya seorang penyerang lagi. Dua orang lainnya langsung melompat mundur. Tampak dua orang yang menggelepar di tanah, langsung berubah mengecil setelah asap menyelubungi tubuhnya. Kini yang ada hanya dua orang laki-laki kurus kering seperti seonggok mayat yang sudah lama terkubur di dalam tanah.

Rangga berdiri tegak dengan pedang pusakanya menyilang di depan dada. Sungguh tidak dimengerti, kenapa pedang pusakanya mampu mengoyak tubuh mereka yang kebal. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu jadi tersenyum gembira dalam hati. Kini, tidak perlu lagi dipusatkan perhatiannya pada kening manusia-manusia setengah raksasa itu. Dengan Pedang Rajawali Sakti, kekebalan tubuh mereka tidak ada artinya.

Rangga sempat melirik dua sosok tubuh yang menggeletak tidak jauh darinya. Tampak pada bagian kening di antara kedua matanya, terdapat satu lubang yang tidak berapa besar. Dan di dalam lubang itu terlihat sebutir mutiara merah. Bau busuk yang datang dari dua sosok tubuh yang tergeletak mulai terasa menyengat hidung.

"Serang! Bunuh bocah setan itu...!" teriak Raden Segara kalap.

Raden Segara langsung melompat sambil mengi-baskan pedangnya ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti. Tapi manis sekali Rangga mengelakkannya. Bahkan pedangnya berkelebat cepat menusuk ke arah perut Raden Segara terkesiap sesaat, dan cepat-cepat melompat mundur ke belakang. Pada saat itu pengawal-pengawalnya sudah berhamburan menye-rang Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa di antaranya mengeroyok Dewi Wila Marta.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Sambil berteriak nyaring, Rangga berlompatan cepat seraya mengibaskan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Raungan keras terdengar saling sambut, disusul ambruknya tubuh-tubuh besar bersimbah darah. Rangga bagaikan seekor singa gurun yang terluka. Gerakannya demikian cepat, sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Jeritan melengking terdengar saling sambut disertai raungan keras dari tubuh-tubuh yang menggelepar bersimbah darah. Asap mengepul di beberapa tempat. Sebentar saja, tidak kurang dari delapan mayat bergelimpangan membusuk. Kening mereka berlubang, dan ada sebutir batu mutiara merah di dalamnya.

Melihat delapan orang pengawalnya tewas, Raden Segara agak gentar juga menghadapi Pendekar Rajawali Sakti. Langsung dialihkan perhatiannya pada Dewi Wila Marta. Secepat kilat Raden Segara melompat dan langsung menyambar tubuh gadis itu. Dewi Wila Marta terpekik kaget. Tapi tubuhnya sudah tidak berdaya lagi dalam kempitan tangan yang besar.

"Wila...!" teriak Rangga terkejut.

Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melompat, namun beberapa orang bertubuh tinggi besar sudah menghadangnya. Mereka langsung memberikan serangan dahsyat. Sementara, Raden Segara sudah melesat kabur membawa Dewi Wila Marta. Pengawal-pengawalnya yang tersisa juga segera berlarian cepat ke segala arah.

"Iblis! Pengecut...!" rutuk Rangga geram.

******************

DELAPAN

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat melesat mengejar Raden Segara yang kabur membawa lari Dewi Wila Marta. Meskipun bayangan manusia setengah raksasa itu sudah tidak terlihat lagi, namun Pendekar Rajawali Sakti masih bisa melihat arah kepergiannya.

Ilmu meringankan tubuh yang dimiiiki Pendekar Rajawali Sakti memang sudah mencapai taraf sempurna, sehingga dalam waktu tidak berapa lama sudah sampai di perkampungan aneh. Perkampungan yang lebih tepat disebut benteng pertahanan. Namun Rangga tidak berhenti sampai di situ Dia terus menuju ke arah Timur, menerobos lebatnya semak belukar dan pepohonan yang merapat, menambah gelapnya suasana.

Rangga baru berhenti setelah di depannya terlihat sebuah bangunan besar bagai istana, yang dikelilingi tembok benteng tinggi dan tebal. Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah perlahan mendekati pintu gerbang benteng yang nampak terbuka lebar, seakan-akan sengaja memberi peluang untuk dimasuki. Namun Rangga tidak gegabah begitu saja. Dia berhenti sekitar tiga batang tombak jaraknya di depan pintu gerbang benteng istana itu.

Slap...!

Mendadak seberkas cahaya merah meluncur dari dalam benteng istana itu. Sinar merah yang begitu terang, meluruk deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Bergegas Rangga melompat, dan berputar sekali di udara. Cahaya merah itu meluncur deras dalam putaran tubuhnya. Dan begitu kakinya mendarat di tanah, kembali datang dua sinar merah sekaligus. Rangga terpaksa beriompatan kembali di udara menghindari terjangan sinar-sinar merah itu. Suara ledakan terdengar beruntun, disusul tumbangnya pepohonan yang terlanda sinar-sinar merah itu.

"Rangga, kemari...!"

Tiba-tiba terdengar suara panggilan keras dari belakang. Pada saat itu, Rangga baru saja menjejakkan kakinya di tanah. Dia langsung menoleh, dan seketika kembali meluncur seberkas sinar merah dari dalam benteng istana.

"Awas..!" terdengar seruan kecil, namun terdengar jelas.

"Hup! Hiyaaa...!"
Terlambat....

"Akh...!" Rangga memekik keras agak tertahan. Tubuhnya terlontar beberapa tombak ke belakang.

Sinar merah itu tepat menghantam dada Pendekar Rajawali Sakti, sehingga tubuhnya terlontar ke belakang. Dua batang pohon yang sangat besar langsung tumbang terlanda tubuh pemuda pendekar itu. Belum lagi Rangga sempat bangkit, tiba-tiba melesat satu bayangan kuning keemasan, langsung menyambar tubuh Pendekar Rajawali Sakti dan membawanya pergi dari tempat itu. Tepat, pada saat itu kembali seberkas cahaya merah melesat, menghantam tempat tadi Rangga tergolek. Sedangkan bayangan kuning keemasan itu sudah membawa Rangga cukup jauh dari perkampungan bagai benteng itu. Dibaringkan kembali tubuh Pendekar Rajawali Sakti di tempat yang cukup aman.

"Ugh!" Rangga mengeluh pendek begitu dia merasakan tubuhnya kembali terbaring di tanah.

Rangga berusaha bangkit, tapi sebentuk tangan halus mencegahnya. Pendekar Rajawali Sakti itu memandang seraut wajah cantik bagai bidadari kahyangan. Pakaiannya begitu indah terbuat dari surra halus yang penuh terhias sulaman benang emas. Wanita itu memberikan senyum yang begitu manis menawan.

"Ratu Mutiara...," desis Rangga seraya berusaha bangkit, tapi kemudian meringis karena dadanya nyeri sekali.

"Jangan bangun dulu. Tetaplah berbaring," kata Ratu Mutiara lembut

Rangga tidak bergerak lagi. Dirasakan sepasang tangan yang halus dan lembut menekan dadanya.

Perlahan-lahan seluruh rongga dadanya serasa jadi dingin. Namun sesaat kemudian mendadak seluruh dadanya jadi sesak, dan tulang-tulangnya seperti diremas. Begitu menyakitkan, membuat Pendekar Rajawali Sakti itu meringis menahan rasa sakit yang luar biasa.

"Hoek...!" Rangga memuntahkan darah kental kehitaman.

Ratu Mutiara melepaskan tangannya. Saat itu Rangga rherasakan seluruh rongga dadanya kembali longgar, dan napasnya pun kembali teratur. Tidak ada lagi rasa nyeri dan sakit di dadanya, bahkan kini sudah bisa bangkit dan duduk bersila. Ratu Mutiara juga tetap duduk di depan Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Apa yang terjadi padaku?" tanya Rangga seraya meraba dadanya.

"Kau terkena ilmu pukulan jarak jauh yang mengandung racun mematikan. Tapi bukan karena itu. Dalam pukulan itu tersimpan sebutir mutiara merah," sahut Ratu Mutiara.

"Mutiara Merah...!" Rangga jadi teringat batu-batu mutiara yang selalu ada pada setiap kening manusia-manusia setengah raksasa itu.

"Mutiara kehidupan yang juga mematikan."

"Aku tidak mengerti maksudmu?"

"Memang sukar untuk dimengerti bangsa manusia. Itu sebabnya aku pergi dari puri menemuimu," kata Ratu Mutiara.

Rangga semakin tidak dapat memahami kata-kata Ratu Mutiara tadi. Benaknya kini dipenuhi bermacam dugaan. Sedangkan Ratu Mutiara hanya tersenyum, seolah bisa membaca yang ada di dalam benak Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Aku dan seluruh rakyatku sebenarnya bukan bangsa manusia seperti yang kau lihat. Demikian pula dengan Raden Segara dan pengawal-pengawahnya. Sebenarnya kami semua termasuk bangsa siluman yang tidak bisa terlihat oleh manusia. Tapi karena ulah Raden Segara, semuanya jadi seperti melawan kodrat alam," kata Ratu Mutiara mencoba menjelaskan.

Rangga mencoba menangkap penjelasan yang sukar dipahami ini.

"Sejak nenek moyang kami diciptakan, antara bangsaku dengan bangsa Raden Segara sudah terjadi permusuhan. Dan itu tidak akan dapat terselesaikan hingga akhir jaman. Aku sendiri menjadi ratu sejak ribuan tahun lamanya. Demikian juga Ayah Raden Segara. Meskipun kami semua bangsa siluman, tapi kami hidup seperti layaknya bangsa manusia. Bisa berkembang biak, dan juga dapat mati. Dan semua itu sudah takdir. Hanya para pemimpinlah yang tidak akan mati kalau tidak menyalahi kodrat yang telah digariskan. Dan semua kodrat yang telah digariskan Sang Pencipta itu telah dilanggar Raden Segara."

Sedikit-sedikit Rangga mulai bisa memahami.

"Sejak pertama kali diciptakan, antara bangsaku dengan bangsa Raden Segara tidak akan bisa bersatu. Tapi Raden Segara tidak peduli. Dia tetap ingln menyuntingku sebagai istrinya. Tentu saja aku menolak, karena tidak ingin menyalahi kodrat yang telah digariskan. Raden Segara tidak bersedia menerimanya. Maka, dicurilah mutiara-mutiara merah yang menjadi kekuatan kehidupan dan kematian bangsa siluman. Mutiara merah itu bisa menjadi lambang kekuatan kehidupan abadi jika digunakan secara benar, tapi juga bisa membuat kematian bila digunakan secara salah. Mutiara Merah itu juga tidak akan berguna banyak bagi bangsa manusia, dan akan musnah kekuatannya oleh bangsa manusia jika sudah mengetahui letak penanamannya."

"Maksudmu?" tanya Rangga ingin lebih jelas.

"Kau sudah tahu di mana letak mutiara merah itu berada, bukan?" tanya Ratu Mutiara.

"Ya," sahut Rangga.

"Letak yang sebenarnya bukan di antara kedua mata, tapi di dalam hati. Ini maksudnya sebagai sumber dari segala pusat kehidupan setiap makhluk siluman. Dan hal itu kemudian diketahui Raden Segara. Kemudian, diculik dan dibunuhlah bangsaku untuk diambil mutiara merahnya, lalu dikenakan pada pengawal-pengawalnya di antara kedua mata mereka. Dia sendiri juga mengenakannya. Itulah sebabnya kenapa dirinya dan para pengawalnya bisa berubah menjadi setengah raksasa. Itu tak lain karena kesalahan dalam penggunaan yang sebenarnya sudah diketahui, tapi tetap dilanggar. Kau tahu, hatinya begitu culas dan selalu ingin berkuasa...."

"Terutama untuk mendesakmu menerima lamarannya. Bukan begitu?" tebak Rangga mulai mengerti.

"Benar! Tapi dia sangat kecewa karena aku tetap pada pendirianku. Yang jelas, aku tidak mau menentang kodrat yang telah digariskan. Aku sudah ditentukan akan menikah dengan seseorang, tapi bukan pada saat-saat sekarang ini. Malah calon suamiku belum jelas berada di mana. Yang pasti, aku akan menikah dengan bangsa siluman juga. Tapi bukan dari lawan-lawanku, seperti bangsa siluman Raden Segara."

"Hm.... Aku masih belum mengerti, kenapa mereka.... Maksudku Raden Segara mengambil mutiara merah dari bangsamu?" tanya Rangga.

"Raden Segara tahu, kekuatan bangsaku berada pada mutiara merah yang tertanam di hati. Tanpa mutiara itu sudah sejak lama kami musnah, dan jumlah mutiara itu pun terbatas. Makanya setiap ada bangsaku yang mati, mutiaranya kusimpan untuk diberikan pada yang baru lahir. Bisa kau bayangkan jika semua mutiara merah berhasil dikuasainya. Semua bangsaku akan musnah. Dan itu bukan saja membahayakan seluruh bangsa siluman lainnya, tapi bagi kehidupan manusia! Karena, dari mutiara merah itu mereka bisa terlihat jelas oleh manusia. Dan kau tahu sendiri, mereka tidak mudah untuk dikalahkan."

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda mulai bisa mengerti duduk persoalannya. Pantas saja sejak pertama kali datang, dan saat menerima pesan-pesan aneh yang membingungkan, sudah dirasakan adanya kelainan. Terlebih lagi setelah menginjakkan kakinya di daerah Selatan ini. Daerah yang masih diselubungi hutan lebat yang tidak terjamah manusia.

"Apa yang kau pikirkan, Rangga?" tanya Ratu Mutiara.

"Hm," Rangga bergumam saja.

"Katakan, dengan senang hari akan kujawab. Sudah kutetapkan, kau harus tahu semuanya karena telah terlibat langsung dalam persoalan ini."

"Hm...," kembali Rangga bergumam, seperti mencari kata-kata yang tepat agar tidak menyinggung perasaan wanita ini.

Sedangkan Ratu Mutiara menunggu sabar. Bibir-nya selalu menyunggingkan senyum, meskipun tidak sedang tersenyum.

******************

"Katakan saja. Jangan khawatir, aku tak akan tersinggung," kata Ratu Mutiara lembut Sepertinya, dia selalu tahu setiap kali Rangga berpikir.

"Jalan pikiranku selalu bisa kau tebak dengan tepat. Tentu kau tahu, apa yang ada dalam pikiranku saat ini," kata Rangga bisa merasakan.

"Kau ingin tahu kenapa aku meminta bantuanmu, begitu?" tebak Ratu Mutiara langsung.

"Tepat!" sahut Rangga kagum.

"Karena aku tahu siapa dirimu, dari mana kau peroleh semua kepandaianmu. asal-usulmu, dan semuanya.

"Oh, ya...?" terkejut juga Rangga.

"Jangan heran. Aku ini bangsa siluman, sehingga bisa mengetahui yang tidak bisa diketahui manusia. Tapi aku bukan dewa, sehingga juga punya keterbatasan."

"Kalau begitu, kau juga pasti tahu kalau bukan karena aku saja yang...."

"Kau ingin dengar alasanku, Rangga?" potong Ratu Mutiara.

"Jika tidak keberatan."

"Aku memilihmu karena kau mewarisi ilmu Pendekar Rajawali yang hidup seratus tahun lalu. Terlebih lagi, kau juga membawa pedang pusaka Rajawali Sakti. Itu yang menyebabkan aku memilihmu, Rangga"

"Apa hubungannya?"

"Karena dulu Pendekar Rajawali pernah mengalahkan bangsa siluman dari kaum Raden Segara. Makanya aku percaya betul kalau kau juga pasti mampu."

"Bagaimana dengan Dewi Wila Marta?" Rangga jadi teringat gadis dari Padepokan Arang Watu itu.

"Sejak semula, sudah kuketahui kalau dia tidak akan berguna. Tapi aku tidak ingin mengecewakannya. Maka kubiarkan saja karena aku tahu apa yang ada dalam hatinya."

"Dia sudah menyadari kekeliruannya," jelas Rangga.

"Aku tahu, dan sekarang aku juga tahu kalau dia berada di tangan Raden Segara. Tapi tidak perlu khawatir. Kodrat manusia dengan siluman itu berbeda. Raden Segara tidak akan dapat menyamakannya. Dia akan selamat tanpa kurang satu apa pun. Itu juga kalau Raden Segara tidak membunuhnya. Terlalu mudah baginya untuk membunuh manusia."

"Aku harus cepat membebaskannya," tegas Rangga.

"Rangga, kau bisa membunuh mereka. Tapi jangan membunuh Raden Segara. Bagaimanapun juga, dia yang akan meneruskan kodrat kaumnya. Dan ini tidak boleh dilanggar meskipun sifatnya buruk. Dan memang itu yang sudah terjadi. Ada sifat baik, ada juga sifat buruk. Aku yakin, bangsa manusia juga begitu."

"Aku janji," kata Rangga.

"Terima kasih."

Rangga bangkit berdiri. Ratu Mutiara juga ikut berdiri.

"Ada satu lagi, Rangga," kata Ratu Mutiara begitu mereka melangkah kembali menuju bangunan istana megah itu.

"Apa?" tanya Rangga terus saja melangkah.

"Kau hadapi mereka, biar aku yang membebaskan Dewi Wila Marta bersama yang lainnya."

"Kenapa begitu?"

"Karena, aku tidak dapat membunuh mereka yang memakai mutiara merah. Itu sama saja membunuh rakyatku sendiri. Karena perbedaan antara siluman terletak pada alat kehidupan dan kematiannya. Mereka juga memilikinya. Dan, kau tidak perlu tahu, Rangga."

"Kenapa?"

"Ini kodrat, yang tak boleh dilanggar."

Rangga langsung diam. Sebenarnya hatinya kesal juga, karena Ratu Mutiara selalu berkata kodrat. Dia memang percaya adanya kodrat yang telah digariskan Sang Hyang Widi. Dan itu tidak bisa ditolak ataupun dilanggar. Sebesar apa pun usahanya untuk melawan, tetap akan datang juga. Tapi Rangga tidak terlalu terpaku pada kodrat. Yang dipercayainya hanya adanya nasib baik dan buruk. Keberuntungan dan kesialan. Hanya itu yang tertanam dalam hatinya sebagai seorang pendekar pemberantas keangkaramurkaan di Mayapada ini

Sementara itu mereka mulai berjalan menuju pintu gerbang benteng istana. Benteng yang seharusnya ditempati Ratu Mutiara beserta seluruh rakyatnya. Mereka berhenti setelah dekat benteng istana itu.

"Akan kubebaskan tawanan mereka. Kau masuk saja sendiri. Jangan hiraukan serangan sinar merah mereka. Kau sudah kebal sekarang," kata Ratu Mutiara.

"Apa yang kau lakukan pada diriku tadi?" tanya Rangga.

"Hanya perisai. Gunakan pedangmu, karena hanya senjata itulah yang dapat menghancurkan mereka," pesan Ratu Mutiara.

Belum lagi Rangga membuka mulut, Ratu Mutiara mendadak telah lenyap dari pandangannya. Rangga mengangkat bahunya, kemudian melangkah memasuki pintu gerbang benteng istana itu. Baru saja kakinya melewati ambang pintu, beberapa cahaya merah meluruk deras ke arahnya. Cahaya itu langsung menghantam tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu. Dan kali ini Rangga bisa tersenyum karena sinar-sinar itu langsung pudar begitu menyentuh tubuhnya. Rangga tersenyum sambil terus melangkah masuk.

"Serang...!" tiba-tiba terdengar seruan keras.

"Hiyaaa...!"
"Graaagh...!"

******************

Entah dari mana datangnya, tahu-tahu telah banyak manusia setengah raksasa bermunculan. Mereka berlarlan cepat memperdengarkan suara gemuruh ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu Rangga segera teringat pesan Ratu Mutiara. Tanpa menunggu datangnya serangan lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu langsung mencabut pedang pusakanya yang bercahaya biru.

Sret!
"Hiya! Yaaahhh...!"

Rangga tidak lagi menunggu terlalu lama. Begitu pedangnya terhunus, segera dikibaskan cepat disertai pengerahan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Satu jurus yang sangat dahsyat dan sangat jarang digunakan.

"Aukh...!"
"Aaargh...!"

Suara-suara pekikan dan raungan menyayat terdengar saling sambut, disusul ambruknya tubuh-tubuh yang bersimbah darah segar. Cahaya biru berkelebatan menyambar-nyambar mengikuti gerak tubuh Pendekar Rajawali Sakti, dan tidak bisa terbendung lagi. Setiap kali berkelebat, satu dua nyawa melayang diiringi erangan menyayat. Tidak terhitung lagi berapa tubuh bergelimpangan bersimbah darah. Rangga mengamuk bagai banteng terluka. Meskipun dikeroyok puluhan manusia setengah raksasa, tapi mampu menjatuhkan begitu banyak lawan.

Tiba-tiba saja Rangga dikejutkan adanya suara gemuruh, yang langsung disusul jerit dan pekikan melengking dari arah belakang. Belum sempat Rangga mengetahui apa yang terjadi, mendadak di dekatnya muncul Ratu Mutiara. Rangga cepat melompat menghampiri.

"Temanmu sudah ada di perbatasan Utara," kata Ratu Mutiara.

Secepat dia berkata, secepat itu pula tubuhnya melesat melewati beberapa kepala manusia-manusia setengah raksasa. Rangga ikut melesat cepat menyusul. Dan begitu kakinya mendarat, tampak Ratu Mutiara sudah berdiri tegak menghadapi Raden Segara. Pendekar Rajawali Sakti menempatkan diri di samping wanita cantik bangsa siluman itu. Sementara di belakang mereka, terlihat prajurit-prajurit Ratu. Mutiara bertarung sengit melawan pengawal pengawal Raden Segara.

"Kuakui, kali ini kau menang, Mutiara. Tapi jangan harap aku menyerah begitu saja," kata Raden Segara dingin.

"Kembalikan saja mutiara merah itu, Raden. Aku janji, semua yang terjadi di sini tidak akan sampai terdengar ayahmu," ujar Ratu Mutiara lembut

Raden Segara bergumam agak mendesis, kemudian meraba wajahnya. Dilemparkan sebutir mutiara merah, dan Ratu Mutiara langsung menangkapnya. Bibirnya tersenyum setelah melihat sebutir mutiara berada dalam genggamannya. Keanehan terjadi. Raden Segara langsung jadi menyusut kecil, dan kembali seperti sediakala.

Seketika itu juga, para pengawalnya pun berubah mengecil kembali Pertarungan pun segera berhenti. Pengawal-pengawal Raden Segara berlompatan seraya melemparkan batu mutiara merah. Prajurit-prajurit Ratu Mutiara juga segera menangkapnya.

"Suatu saat aku akan kembali lagi, Mutiara. Ingat! Kau harus jadi milikku," kata Raden Segara, tetap dingin nada suaranya.

Raden Segara menatap tajam pada Pendekar Rajawali Sakti. "Hhh! Seharusnya aku tahu kalau kau seorang manusia. Sayang, kau masih terikat persaudaraan dengan Raja Siluman Ular. Kalau tidak, nyawamu sudah menghuni penjara istanaku, Rangga," dengus Raden Segara.

Setelah berkata demikian, Raden Segara langsung lenyap, disusul para pengawalnya. Ratu Mutiara menarik napas panjang, kemudian berpaling pada Rangga yang berdiri di sampingnya.

"Terima kasih, Rangga," ucap Ratu Mutiara.

"Tapi berhati-hatilah, Raden Segara begitu dendam padamu."

"Kenapa dia tidak mau melawanku?" tanya Rangga.

"Karena kau saudara angkat Satria Naga Emas, Raja Siluman Ular."

"Hm...."

"Tidak ada satu pun bangsa siluman yang berani menentang Raja Siluman Ular. Dia adalah raja dari segala raja siluman yang ada. Beruntunglah kau memiliki saudara angkat seperti dia."

Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Kasihan temanmu. Dia pasti sudah menunggu lama," Ratu Mutiara mengingatkan.

"Baiklah. Aku pergi dulu," pamit Rangga.

"Atas nama seluruh rakyatku, kuucapkan banyak terima kasih, Rangga."

"Ah! Sudah sepantasnya aku membantu siapa saja yang memerlukan," desah Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti itu membungkukkan badannya, kemudian melesat cepat menuju ke arah Utara. Saat itu, perlahan-lahan tempat Ratu Mutiara dan seluruh rakyatnya berada, berubah kembali menjadi hutan belantara. Tidak ada lagi satu bangunan pun yang terlihat. Semuanya lenyap, kembali menjadi sediakala. Sementara Rangga terus berlari cepat menuju perbatasan Utara dengan wilayah kaum siluman itu.

Alam kembali terang benderang. Matahari bersinar cerah, tepat di saat Rangga bisa menemukan Dewi Wila Marta yang memang telah menunggunya setelah dibebaskan Ratu Mutiara. Mereka tidak banyak bicara lagi, dan langsung pergi menunggang kuda masing-masing.

Rangga sendiri tidak ingin bertanya bagaimana caranya Ratu Mutiara membebaskan Dewi Wila Marta. Bahkan juga menyediakan kuda-kuda di tempat ini. Pendekar Rajawali Sakti sempat menoleh ke belakang, dan terlihat bayangan Ratu Mutiara yang mengambang sambil tersenyum manis.

SELESAI

EPISODE SELANJUTNYA: WARISAN BERDARAH