Bagus Sajiwo Jilid 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Bagus Sajiwo

Jilid 03

DIA tidak mengenal tiga orang yang berkelahi itu. Dia tidak tahu sebab perkelahian, siapa yang bersalah. Karena itu, teringat akan nasihat mendiang gurunya agar dia tidak sembarangan mencampuri urusan orang lain dan berpihak sebelum mengetahui benar duduk persoalannya, dia hanya bersembunyi di balik batang pohon sawo dan mengintai.

Mula-mula dia memang tidak perduli dan tidak berpihak. Akan tetapi ketika melihat betapa wanita itu mulai terdesak dan terancam bahaya maut di tangan Jaka Bintara, jiwa satrianya tergerak. Tidak mungkin dia membiarkan seorang wanita terbunuh begitu saja di depan matanya tanpa dia melakukan sesuatu untuk mencegahnya. Maka, cepat dia mengambil sepotong kerikil dan sekali dia menyentilkan jari telunjuknya, kerikil itu meluncur dan menghantam lutut kanan Jaka Bintara sehingga pangeran itu terhuyung.

Kemudian, melihat betapa dua orang pria itu menyerang Maya Dewi dengan aji pukulan jarak jauh yang amat ampuh dan wanita itu dengan nekat menyambut dengan aji pukulan jarak jauh Tapak Darah, Bagus Sajiwo merasa ngeri. Dia maklum benar bahwa nyawa wanita itu terancam maut. Maka, tanpa ragu lagi dia membantu dengan sentilan dua buah kerikil. Maya Dewi memang terluka parah, akan tetapi dua orang laki-laki itupun terpelanting dan terkejut, ketakutan lalu melarikan diri.

Kini pemuda remaja itu menghampiri tubuh berlepotan darah itu. Sejenak dia mengamati dan hatinya merasa iba sekali. Sebagai seorang yang sejak kecil mendalami ilmu pengobatan dari Ki Ageng Mahendra, dia mengetahui bahwa wanita itu menderita luka dalam yang amat berbahaya. Juga dia mencium bau darah yang amat amis dan keras, tanda bahwa darah itu mengandung racun! Tubuh itu harus dibersihkan dari semua darah. Kalau tidak, kulit tubuh itu dapat membusuk dan rusak. Tanpa ragu atau sungkan lagi, Bagus Sajiwo lalu membungkuk dan memondong tubuh Maya Dewi yang terkulai lemas. Dia melangkah memasuki pendopo mungil itu dengan maksud hendak mencarikan tempat di mana dia dapat merebahkan tubuh itu dan merawatnya.

Senja belum gelap benar. Dia harus segera dapat menemukan dan menyalakan lampu di ruangan depan itu. Akan tetapi tiba-tiba tubuh Maya Dewi bergerak menggeliat. Wanita itu siuman dan ketika mendapatkan dirinya dipondong seorang laki-laki, ia menjadi marah, mengira bahwa laki-laki itu Jaka Bintara yang hendak berbuat tidak senonoh. Ia menggerakkan tangan lalu menyerang dengan tamparan tangannya ke dada Bagus Sajiwa.

"Plak-plak!!" Dua kali tangannya menampar, akan tetapi karena tenaganya amat lemah dan dada Bagus Sajiwo amat kokoh kuat, tamparan itu sama sekali tidak terasa olehnya.

"Lepaskan aku, jahanam busuk! Lepaskan tanganmu yang kotor, lelaki keparat, pencoleng, gentho cabul dan gila!" Maya Dewi dengan lemah meronta-ronta dan mencaci maki dengan kata-kata kotor yang membuat rona muka Bagus Sajiwo menjadi merah karena rikuh dan malu.

"Tenanglah, mbakayu. Aku hanya Ingin menolongmu, lain tidak!" dia membantah halus.

"Menolong? Huh, engkau mau mencabuli aku, setan alas!" Maya Dewi meronta lagi.

Bagus Sajiwo terkejut, tidak paham akan maksud kata-kata itu, akan tetapi merasa ngeri dan otomatis dia melepaskan tubuh yang dipondongnya itu. "Bruukk...!" Tak dapat dihindarkan lagi tubuh itu terjatuh dan terbanting ke atas tanah.

"Aduh....!" Maya Dewi yang tubuhnya sudah lemah dan sakit semua itu menjerit karena pundaknya terbanting ke atas lantai.

"Salahmu sendiri," Bagus Sajiwo menegur, merasa kasihan. "Sudah kukatakan, aku hanya ingin menolongmu, kenapa engkau tidak percaya bahkan memukul aku?"

Maya Dewi mulai menyadari bahwa ia salah menduga orang. Pemuda ini bukan musuh dan dari suaranya bahkan terdengar bahwa dia masih muda sekali. Diam-diam ia merasa heran. Dari mana datangnya bocah ini? Dan bagaimana mempunyai keberanian yang begitu besar? Juga gerak-geriknya, sikapnya, mengandung wibawa demikian besar!

Maya Dewi bangkit duduk di atas lantai. Ia belum mampu bangkit berdiri. Cuaca mulai remang. "Heh, ujang (sebutan anak laki-laki)! Hayo nyalakan lampu gantung itu. Cepat!" Perintahnya.

Bagus Sajiwo melaksanakan perintah itu. Hatinya mengomel. "Aduh galaknya! Ia ini bidadari atau wewe (setan betina) sih?"

"Kamu ngomel apa, hah?" Maya Dewi membentak.

"Apa? Ah, tidak apa-apa." Bagus Sajiwo menyalakan lampu dan ruangan itu menjadi terang.

"Hayo engkau berdiri di bawah lampu itu. Angkat mukamu, aku ingin melihat mukamu!"

"Perempuan aneh, aneh dan gila." Bagus Sajiwo mengomel dalam hatinya. Akan tetapi dia tidak membantah dan mengangkat mukanya ke atas sehingga cahaya lampu menyinari muka dan tubuhnya.

Maya Dewi melihat sepotong wajah yang tampan gagah, akan tetapi baginya tampak tolol kekanak-kanakan. Hanya sepasang mata yang sinarnya mencorong itu saja yang masuk hitungan. Selebihnya "tidak ada apa-apanya" bagi wanita itu.

Sejenak mereka saling berpandangan. Akan tetapi di dalam pandang mata Bagus Sajiwo sama sekali tidak terdapat penilaian tentang keindahannya karena yang menjadi pusat perhatiannya adalah keadaan kesehatan tubuh wanita yang' berlumuran darah itu. Dia kini semakin yakin bahwa wanita itu sudah berada di ambang pintu maut! Maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu membungkuk dan memondong tubuh itu sedemikian ringannya seperti memondong tubuh seorang anak kecil saja.

Maya Dewi terbelalak, meronta dan memaki kalang kabut. "Hei, lepaskan aku! Kamu munyuk monyet, lutung, celeng gotheng, tobil kadal anjing kucing tikus....!" Jari-jari tangan kanannya mencengkeram ke arah leher Bagus Sajiwo untuk menemukan dan menghancurkan otot besar.

Akan tetapi, alangkah kaget dan herannya ketika ia merasa betapa jari tangannya itu tidak menemukan otot yang dicarinya. Tempat itu kosong, hanya ada kulit keras dan daging kenyal. Otot besar di leher anak itu seolah telah berpindah tempat atau bersembunyi entah kemana!

Bagus Sajiwo membawa tubuh Maya Dewi keruangan dalam dan meletakkannya ke atas sebuah pembaringan. Karena tadi mengerahkan seluruh tenaga terakhir, Maya Dewi merasa tubuhnya lemas dan lemah lunglai. Ia rebah telentang, sama sekali tidak dapat bergerak.

Ia hanya memandang bingung kepada Bagus Sajiwo yang sudah menyalakan lagi dua buah lampu gantung dalam ruangan itu. Melihat tubuh pemuda yang kokoh kuat itu kini datang menghampirinya membawa sebuah gentong air besar, Maya Dewi membelalakkan matanya, bertanya gemetar. "Mau... mau apa... apa kau...?"

Setelah meletakkan gentong air ke atas lantai, Bagus Sajiwo menjawab tenang. "Pertama, akan kucuci dan kubersihkan semua darah dari tubuhmu agar kulitmu tidak keracunan. Kemudian akan kubantu engkau mengusir hawa beracun dari tubuhmu karena kalau terlambat, nyawamu tidak akan dapat ditolong lagi. Setelah itu, aku akan berusaha mengobatimu dan akan kurawat engkau sampai sembuh."

Sepasang mata yang indah namun suram cahayanya itu membelalak. "...Kau ....kau cuci.... tubuhku....?"

Maya Dewi merasa heran luar biasa akan perasaan hati dan tubuhnya sendiri pada saat seperti itu. Kenapa seluruh tubuhnya merasa menggelinjang, mengkirik (meremang) karena risi, sungkan dan malu membayangkan tubuhnya akan ditelanjangi dan dimandikan oleh jari-jari tangan laki-laki yang masih begitu muda belia seperti kanak-kanak? Ia bukan seorang perawan muda. Ia seorang wanita yang sudah iebih dari dewasa, bahkan sudah terlalu dewasa. Ia bukan gadis yang asing dengan pria. Bahkan ia sudah mengalami banyak pergaulan dengan pria, mempermainkan pria sesuka hatinya, tak pernah merasa rikuh atau malu terhadap pria. Akan tetapi mengapa kini ia menjadi malu-malu seperti seorang gadis remaja yang mentah dan hijau hanya menghadapi seorang pemuda remaja yang masih hijau?

Ia hendak bangkit dan lari karena merasa tidak kuasa menggerakkan tenaga menyerang, akan tetapi ia terkulai kembali, bahkan mengerahkan tenaga paksaan ini membuatnya roboh pingsan!

Bagus Sajiwo menggaruk-garuk belakang telinganya yang tidak gatal, menggeleng kepala dan mengomel. "Aneh... aneh... belum pernah aku melihat orang seaneh ini...!" Akan tetapi melihat pernapasan Maya Dewi terengah-engah tinggal satu-satu, dia melupakan semua keheranannya dan dia menggerakkan kedua tangannya, mulai sibuk bekerja.

Disingkap dan disingkirkannya rambut hitam panjang sehalus sutera itu dari atas muka dan tubuh yang berlumuran darah. Kemudian, tanpa ragu-ragu lagi dia menanggalkan dan melepaskan semua pakaian yang menutupi tubuh itu sehingga tubuh Maya Dewi menjadi bugil, telanjang bulat bagai-kan seorang bayi yang baru dilahirkan.

Namun, tidak pernah sedetikpun pandang mata Bagus Sajiwo tertarik oleh semua penglihatan yang bagi mata pria pada umumnya tentu memiliki daya tarik yang dapat menimbulkan rangsangan nafsu berahi. Hal ini terjadi bukan sekali-kali karena Bagus Sajiwo bukan seorang pemuda remaja yang normal. Sama sekali bukan.

Melainkan karena pertama, dia seorang pemuda yang batinnya sudah ditempa dan digembleng sejak kecil oleh seorang arif bijaksana sehingga nafsu daya rendah dalam dirinya tidak liar. Ke dua, karena pada saat itu seluruh perhatiannya, seluruh panca-inderanya dicurahkan untuk menolong Maya Dewi dan mengobatinya sehingga kuasa kegelapan tidak sempat mempengaruhinya.

Dan ke tiga, batinnya belum pernah mendapat kesempatan untuk berkenalan dengan apa yang disebut kenikmatan nafsu berahi. Maka, ketelanjangan tubuh wanita yang mulus itu dipandangnya sebagai suatu penglihatan yang wajar saja, seperti seorang menghadapi ketelanjangan seorang anak perempuan kecil. Segala bentuk nafsu itu didorong oleh keinginan menikmati pengalaman badani yang pernah dirasakan.

Jari-jari tangan Bagus Sajiwo yang trampil dan ahli itu dengan amat cekatan mencuci, memandikan dan membersihkan seluruh anggauta tubuh Maya Dewi, dari rambutnya yang hitam panjang sampai ke telapak kakinya, tanpa kecuali sehingga semua darah yang mengotorinya tercuci bersih.

Setelah merasa bahwa tubuh wanita itu benar-benar telah bersih dari semua darah, Bagus Sajiwo lalu menghampiri sebuah peti besar hitam yang berada di dalam sebuah kamar. Dia kagum ketika membuka tutup peti. Sinar lampu menimpa benda-benda emas permata yang berkilauan.

Diambilnya sehelai kain dan seperangkat pakaian wanita, lalu dihampiri pula Maya Dewi yang masih menggeletak pingsan, telentang di atas pembaringan. Sebagian rambut hitam selembut sutera menutupi dada dan perutnya. Seluruh tubuh itu masih basah bekas dimandikan Bagus Sajiwo, tampak putih mulus berkilau tertimpa sinar lampu yang kesemuanya, sebanyak enam buah, telah dinyalakan Bagus Sajiwo. Muka yang elok itu kini tampak tenang, tidak lagi mengerikan seperti tadi, mengingatkan pemuda itu akan bayangan muka bidadari.

Dengan hati-hati pemuda remaja itu mempergunakan kain kering bersih untuk mengeringkan tubuh yang basah itu, lalu dengan ngawur dan sekenanya dia mencoba untuk menggulung dan menyanggul rambut panjang itu sambil menanggalkan semua perhiasan yang menempel di tubuh Maya Dewi. Ketika jari-jari tangannya menyentuh tubuh itu, dia merasa betapa dinginnya tubuh itu. Dia terkejut. Tubuh itu dingin seperti mayat. Dirabanya dada Maya Dewi, di bawah payudara kiri. Detik jantungnya lemah sekali, tinggal satu-satu, dan di bagian itulah yang paling dingin.

Celaka, pikir Bagus Sajiwo. Kalau tidak cepat ditolong, tentu nyawa wanita ini akan meninggalkan badannya. Dia lalu mengerahkan tenaganya dan mulai menggosok-gosokkan kain kering itu kuat-kuat ke seluruh tubuh, terutama dibagian-bagian terpenting seperti kepala, leher, dada, pungung dan perut. Karena Bagus Sajiwo menggosok dengan kuat, maka kulit yang tadinya putih dan agak pucat itu mulailah menjadi agak kemerahan, dan tubuh yang tadinya amat dingin itu mulai menjadi hangat.

Melihat ini, legalah hati Bagus Sajiwo. Biarpun usahanya untuk melancarkan jalan darah itu hanya usaha sementara dan belum berarti penyembuhan, namun setidaknya dia sudah mengurangi ancaman bahaya maut. Dia lalu cepat mengenakan pakaian wanita itu, kembali sekenanya saja karena tentu saja dalam hal memasang pakaian wanita, apa lagi wanita dewasa, dia sama sekali belum biasa. Pokoknya asal tubuh itu tertutup dan tidak menjadi bugil seperti itu karena setelah tubuh itu dia gosok kuat-kuat dan menjadi putih kemerahan, mulailah matanya menemukan keindahan-keindahan yang dirasanya aneh, tidak dimengerti, namun yang membuat jantungnya berdebar lebih cepat.

Setelah pertolongan tahap pertama dilaksanakan dengan baik, kulit tubuh wanita itu kini telah terbebas dari ancaman darah yang mengandung racun tadi dan dia berhasil agak memperlancar jalan darah yang hampir membuat darah dalam tubuh Maya Dewi membeku, Bagus Sajiwo mulai dengan pertolongan tahap kedua.

Pertolongan ke dua ini penting sekali karena dia harus dapat mengeluarkan hawa beracun yang mengeram di dalam tubuh wanita itu. Dia tahu bahwa wanita itu tadi terkena serangan tenaga pukulan jarak jauh yang amat ampuh dan yang mengandung hawa beracun keji sekali. Dia lalu membantu Maya Dewi yang masih lunglai itu duduk, mengatur kedua kaki wanita itu sehingga duduk dengan sikap Bunga Teratai, yaitu kedua kaki bersilang dan masing-masing kaki di atas paha. Akan tetapi setelah kedua kaki itu bersila dalam bentuk Bunga Teratai dan dia melepaskannya, tubuh yang lemah lunglai itu terkulai dan tergelimpang miring!

Bagus Sajiwo menangkap kedua pundak Maya Dewi dan menahannya, akan tetapi setiap kali dilepas, terkulai lagi. Terpaksa dia lalu menarik tubuh itu sehingga punggungnya bersandar pada dinding dibelakang pembaringan. Setelah wanita itu dapat duduk bersandar, mulailah dia mengerahkan tenaga sakti, menyalurkan tenaga itu ke arah kedua telapak tangannya, kemudian dia menempelkan kedua telapak tangannya yang kiri ke pusar dan yang kanan ke ulu hati. Lalu mulailah dia dengan usaha pengusiran hawa beracun dari tubuh wanita itu. Hawa yang hangat menjalar keluar dari kedua tangannya, mula-mula hangat lalu mulai menjadi semakin panas sampai tampak uap putih mengepul diantara pertemuan telapak tangan dan kedua bagian tubuh Maya Dewi itu.

Hawa beracun dingin yang mengeram dalam rubuh Maya Dewi mulai terbakar dan menguap digempur hawa murni yang panas dari tenaga sakti Bagus Sajiwo. Inilah tenaga inti Bromokendali yang amat ampuh, satu diantara aji kesaktian yang amat luar biasa yang dia dapatkan dari mendiang Ki Ageng Mahendra. Kurang lebih setengah jam kemudian, tubuh Maya Dewi mulai bergoyang-goyang dan menggigil. Kini dari seluruh tubuhnya membubung uap dingin yang keluar. Lambat laun uap yang keluar itu semakin menipis dan akhirnya wanita itu menghela napas panjang, mulutnya gemetar, bibir yang mulai tampak merah itu bergerak-gerak, lalu kedua matanya terbuka.

Sejenak ia nanar. Ketika pandang matanya mulai dapat melihat nyata, ia melihat betapa dirinya duduk bersila di atas pembaringan bersandarkan dinding, sedangkan di depannya, dekat sekali, duduk pemuda tadi, bersila dan tangan pemuda itu menempel pada pusarnya, sedangkan tangan kanannya menempel pada ulu hatinya, diantara kedua payudaranya. Iapun menyadari bahwa kini ia telah berpakaian, walaupun letak pakaiannya itu tidak karuan, terbolak-balik sama sekali. Alisnya mulai berkerut dan kembali wataknya yang liar timbul.

Sejak kecil Maya Dewi memang terdidik dalam dunia sesat. Apalagi setelah dewasa ia menjadi seorang datuk sesat dan belum pernah selama hidupnya ia mempercayai orang! Semua orang dianggapnya palsu belaka dan selalu mementingkan diri sendiri, siap mencelakai orang lain seperti juga wataknya sendiri. Itulah sebabnya mengapa ia yang sudah mendapat bukti kebaikan Bagus Sajiwo yang menolongnya, setelah kini siuman dan sudah mulai terusir hawa beracun dari dalam tubuhnya, mulai merasa curiga kembali!

Kecurigaannya ini bertambah ketika ia melihat kenyataan betapa pemuda yang masih remaja itu telah mampu mengerahkan tenaga sakti yang demikian hebatnya! Tenaga sakti panas yang mampu menggempur hawa beracun dingin yang tadi mengancam nyawanya. Pemuda ini berbahaya, pikirnya. Kalau tidak. cepat disingkirkan, siapa tahu kelak dapat mencelakakannya!

Ia memperhatikan dan melihat betapa pemuda itu sedang mencurahkan segenap perhatiannya kepada apa yang sedang dilakukan. Tangan kanannya menempel pada ulu hati dan tangan kirinya menempel pada pusarnya. Kedua matanya setengah terpejam. Saat yang amat baik untuk menyerangnya!

Setelah kini hawa beracun meninggalkan tubuhnya, Maya Dewi mulai mengumpulkan tenaga saktinya. Ia seorang wanita yang sakti. Sekali pukul saja ia akan mampu membunuh orang ini! Diam-diam ia mengumpulkan tenaga pada dua jari tangan kanannya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah lalu memandang wajah Bagus Sajiwo. Mana yang akan diserangnya? Dua matanya? Seketika mata itu akan buta, biji matanya akan hancur! Atau di titik pusat antara kedua matanya? Akibatnya, pemuda itu akan kehilangan ingatannya dan akan menjadi gila! Atau dilehernya, di atas kalamenjingnya? Akan putus otot pernapasannya dan akibatnya mati!

Maya Dewi menimbang-nimbang. Bagaimanapun juga, kesehatannya belum pulih sepenuhnya. Dan pemuda ini memiliki kepandaian dan tenaga lumayan. Masih dapat ia pergunakan! Kalau dibunuh, selain tidak ada gunanya lagi, juga merepotkan. Ia harus menyingkirkan mayatnya! Ia lalu mendapatkan akal yang dianggapnya terbaik. Ia akan membikin pemuda ini menjadi budaknya. Dengan paksa! Dan hal itu akan berhasil kalau ia membuat pemuda ini menjadi manusia cacat yang tidak berbahaya.

Pertama-tama harus ia buat tidak berdaya lebih dulu dengan jalan menotok jalan darah sehingga lumpuh. Pikiran ini dianggapnya begitu sempurna dan cerdik sehingga bibirnya tersenyum manis sekali. Ia harus berhati-hati sekali. Syarafnya harus tenang. Sedikit saja menegang pemuda itu akan merasakan dan menjadi curiga.

Maya Dewi tidak tahu bahwa biarpun Bagus Sajiwo telah menguasai aji kesaktian yang luar biasa, namun dia adalah seorang pemuda yang masih remaja sekali belum ada pengalaman di dunia persilatan, apa lagi di dunia sesat. Baginya, semua manusia itu baik dan dapat dipercaya! Maka, saat itu dia mencurahkan seluruh perhatian pada pengobatannya, tak tahu akan bahaya mengancam di depan mata!

Tiba-tiba bagaikan dua ekor ular kobra menyambar, dua lengan Maya Dewi meluncur ke depan dan dua jari kedua tangannya sudah menotok ke arah kedua pundak Bagus Sajiwo. "Syuuuutt... tuk-tuk...!"

Tubuh Bagus Sajiwo yang duduk bersila di tepi pembaringan itu tiba-tiba terdorong ke belakang dan dia terguling jatuh ke atas lantai, rebah telentang tak mampu bergerak lagi, hanya memandang terbelalak ke arah Maya Dewi yang sudah meloncat turun dan berdiri sambil tertawa cekikikan karena senang dan geli. "Hi-hi-hi-hik.... heh-heh.... bocah tolol gudel (anak kerbau) goblok!" Ia tertawa mengejek dan memaki.

Totokan tadi sebetulnya hebat sekali. Kalau yang ditotok kurang kuat, dapat mengakibatkan kelumpuhan seumur hidup! Akan tetapi tubuh Bagus Sajiwo sudah terisi hawa sakti yang amat kuat sehingga dia hanya menjadi lumpuh sementara saja. Itupun yang tak dapat dia gerakkan hanya kedua kaki tangan. Dia masih mampu mengerjakan semua inderanya, termasuk berpikir dan berbicara. Dia sungguh terkejut dan terheran-heran melihat apa yang dilakukan wanita itu kepadanya. Dia bersungguh-sungguh berusaha untuk mengobati wanita itu. Kenapa ia malah membalasnya dengan serangan sehebat itu? Dia tahu bahwa totokan itu membuat ia lumpuh. Dan kini wanita itu tertawa-tawa dan menghinanya!

Perempuan macam apakah ini? Akan tetapi ia melihat wajah cantik itu tertawa-tawa seperti topeng saja. Dia melihat bayangan duka yang amat mendalam di balik topeng tawa itu. "Mbakayu...."

"Sejak kapan aku jadi mbakayumu? Aku tidak sudi punya adik macam kamu! Aku Maya Dewi, kalau mau sebut, panggil saja Dewi!"

"Dewi, kenapa kau memukul aku?"

"Aku ingin kau jadi pembantuku. Aku mau pukul, mau bunuh, sesuka hatiku!"

"Tidak perlu kau pukul, aku memang sejak tadi sudah berniat membantumu...."

"Cerewet amat sih kamu! Kuhajar mulutmu baru kapok!" Maya Dewi melangkah maju, membungkuk dan menggerakkan tangan kiri hendak menampar. Bagus Sajiwo tak mampu mengelak, tak mampu bergerak, menerima saja dengan kedua mata tak berkedip. "Plak! Plak!" Kedua pipi pemuda itu terkena tamparan yang cukup kuat sehingga kulit pipi itu menjadi bengkak dan merah kebiruan!

Akan tetapi, ketika menampar tadi Maya Dewi telah mengerahkan terlalu banyak tenaga, padahal disebelah dalam dirinya masih terluka parah. Maka, begitu menampar dua kali pipi Bagus Sajiwo, ia tertawa lagi terkekeh-kekeh dan tiba-tiba mulut yang tertawa itu berubah. Mukanya pucat sekali, mulutnya menyeringai, lalu terbuka dan terbatuk-batuk. Darah mengalir dari ujung bibirnya dan pernapasannya terengah-engah.

Bagus Sajiwo sudah melupakan rasa nyeri pada mukanya. "Dewi! Cepat! Gunakan dua jari tangan kananmu untuk menotok jalan darah di pundak kirimu! Lalu tahan napas dan pergunakan ibu jari tangan kirimu untuk menekan ulu hatimu! Cepat sebelum terlambat!"

Dalam keadaan menderita nyeri luar biasa itu Maya Dewi tidak dapat berpikir kecuali menurut petunjuk Bagus Sajiwo yang lumpuh itu. Petunjuk itu bukan ngawur, melainkan merupakan suatu ilmu menotok dan menekan jalan darah untuk melancarkan jalan darah yang terganggu. Begitu Maya Dewi melaksanakan petunjuk itu pernapasan Maya Dewi menjadi normal kembali, darah berhenti keluar dari mulutnya dan rasa nyeri tadipun lenyap. Maya Dewi menghela napas panjang lalu duduk di atas dipan. Ia memandang Bagus Sajiwo. Kembali pemuda itu menyelamatkannya. Bahkan pandang mata pemuda itu kepadanya sama sekali tidak membayangkan kebencian, bahkan mengandung perasaan iba. Padahal ia sudah memaki, menghina, dan memukulnya, bahkan dengan maksud membunuhnya! Anak macam apakah ini? Dewakah?

"Eh, siapa namamu?" Akhirnya ia bertanya.

"Namaku Bagus Sajiwo."

"Hemm....? Bagus?" Maya Dewi memandang wajah yang bengkak-bengkak itu. "Engkau tidak bagus tapi jelek dan tolol. Aku akan panggil engkau Tolol saja."

"Terserah kepadamu, Dewi."

"Sebetulnya dari mana kau bisa mengobati?"

"Aku pernah belajar dari guruku."

"Hemm, kalau menurut engkau, bagaimana keadaan diriku sekarang ini?"

"Aku baru dapat mengatakan setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti. Akan tetapi kaki tanganku kau lumpuhkan."

"Kalau kubebaskan engkau, bagaimana kalau engkau lalu menyerangku selagi aku terluka parah begini?"

"Itu tak mungkin sama sekali Dewi!"

"Bersumpahlah dulu!"

"Bersumpah? Apa itu dan bagaimana itu? Aku tidak bisa."

"Tirukan kata-kataku! Aku, Bagus Sajiwo!"

"Aku Bagus Sajiwo!" Bagus Sajiwo menirukan.

"Eh, bukan! Aku, Si Tolol!"

"Namaku bukan Si Tolol!" Bagus Sajiwo membantah.

"Cerewet! Tirukan saja!"

"Baiklah." Pemuda itu menghela napas panjang "Aku, Si Tolol!"

"Bersumpah bahwa kalau aku sudah dibebaskan dari totokan, aku akan menurut dan tidak melawan. Kalau aku melanggar sumpahku, biar aku disambar geledek tujuh kali!"

Bagus Sajiwo merasa geli dan ingin tertawa, akan tetapi ditahannya dan dia mengulang kata-kata itu. Setelah mengulang, dia berpikir, masa bodoh amat, selain aku tidak ingin memusuhi perempuan ini, yang disambar geledek sampai tujuh kali toh bukan dia, melainkan Si Tolol dan dia bukan Si Tolol, melainkan Bagus Sajiwo!

Setelah pemuda itu mengucapkan sumpah, Maya Dewi segera menghampiri tubuh yang masih menggeletak di atas lantai itu. Padahal, saat itu pengaruh totokan sudah menipis, tidak kuat berlama-lama menguasai tubuh yang kuat itu. Bagus Sajiwo maklum bahwa perempuan itu masih lemah, maka ketika jari-jari tangan Maya Dewi membuka totokan diam-diam dia mengerahkan tenaga yang bangkit dari pusarnya dan seketika kaki tangannya dapat bergerak kembali. Ketika Bagus Sajiwo bangkit berdiri, tiba-tiba berkelebat sinar keemasan.

"Tarrr....!" Dan tahu-tahu ujung sabuk Cinde Kencana sudah melingkari lehernya! Kiranya Maya Dewi yang sudah siap siaga telah menodongkan dengan senjata ampuh itu.

"Dewi, tidak ada gunanya engkau menggunakan senjatamu ini. Tubuhmu luka parah, kalau engkau menarik senjata ini, bukan aku yang mati, melainkan engkau akan terpukul tenagamu sendiri sehingga membahayakan nyawamu! Pula, aku tidak akan melawanmu, mengapa engkau kejam hendak membunuhku?"

Mendengar ini, Maya Dewi mencoba mengerahkan tenaga akan tetapi ia mengeluh, melepaskan sabuk Cinde Kencana lalu terkulai ke atas pembaringan, tangan kiri mendekap dada, napasnya terengah-engah.

"Tolol.... tolong.... periksa...." ia berkata, suaranya berubah sama sekali, penuh permohonan, penuh harapan, penuh duka yang mendalam.

Bagus Sajiwo cepat menghampiri dan meraba nadi di leher dan dada. Dia terkejut sekali. Tubuh itu panas seperti ada api besar bernyala dalam tubuh itu. Maya Dewi mendesis-desis kepanasan, uap mengepul dari seluruh tubuhnya. Bagus Sajiwo cepat mengerahkan tenaga sakti dingin untuk melawannya. Dalam beberapa detik saja terjadi perubahan hebat. Tubuh itu kini berubah dingin sekali, lebih dingin dari air yang keluar dari puncak Gunung Wilis.

Maya Dewi kini menggigil kedinginan, seluruh tubuhnya membiru seolah-olah semua cairan dalam tubuhnya membeku. Bagus Sajiwo cepat mengubah sifat hawa saktinya menjadi panas. Ketika kembali tubuh Maya Dewi berubah panas, dia lalu membagi tenaga saktinya, yang kiri dingin yang kanan panas sehingga terdapat keseimbangan dalam tubuh Maya Dewi.

Maya Dewi menjadi tenang kembali. Ia kini memandang kepada pemuda itu. Pandang mata yang berubah sama sekali. Tidak liar, akan tetapi ada keheranan, kekaguman dan keharuan. "Bagus...." katanya lirih, "bagaimana....?"

Perubahan panggilan itu menyejukkan hati Bagus Sajiwo. "Dewi, engkau terkena serangan pukulan hebat yang memporak-porandakan aji-aji yang pernah kau latih dan kau kuasai. Sayang latihanmu itu mengandung kesesatan sehingga kini berakibat seperti ini. Engkau tentu pernah melatih aji pukulan yang mengandung hawa beracun amat panas, bukan?"

Sambil rebah telentang, Maya Dewi mengangguk. "Aku melatih aji pukulan beracun panas, yaitu Tapak Rudira."

"Hemm..... kalau engkau ingin aku mengobatimu, ceritakan cara engkau melatihnya."

"Aku.... aku mengorbankan banyak anak laki-laki untuk kuambil sari darahnya, dan kulatih dalam panas bumi untuk menyerap hawa panasnya."

"Duh Gusti, ampunilah kiranya dosa Dewi." Bagus Sajiwo bergumam lirih dengan hati ngeri.

"Kau bilang apa tadi?" Maya Dewi bertanya.

"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin kepastian apakah dulu engkau pernah melatih diri dengan aji pukulan beracun dingin?"

"Benar. Aku berlatih aji pukulan Wisa Sarpa (Racun Ular) dengan mengambil inti racun selaksa ular berbisa dan untuk memperoleh hawa dingin aku berlatih di puncak-puncak gunung yang paling dingin di daerah Parahyangan."

Bagus Sajiwo mengangguk-angguk. "Sudah kuduga demikian, Dewi. Dua tenaga sakti sesat yang saling bertentangan dan sudah porak peranda itu kini menyerang dirimu sendiri dan keadaan ini sungguh berbahaya sekali!"

Maya Dewi bangkit dengan lemas dan Bagus Sajiwo cepat membantunya. "Bagus, apa.... apa.... keadaanku tidak ada harapan lagi? Apa engkau tidak dapat menyembuhkan aku?"

Bagus Sajiwo duduk ditepi pembaringan. "Aku pernah mempelajari dua macam aji yang dapat meredakan amukan dua hawa berlawanan dalam tubuh itu, Dewi. Akan tetapi untuk menghilangkan sama sekali, akan sukar dan makan waktu lama, mungkin sampai berbulan bahkan bertahun-tahun! Akan tetapi kalau pengobatan dilakukan di tempat yang berhawa panas dan dingin seperti ketika engkau melatihnya, mungkin akan cepat berhasil."

"Ah, tempat-tempat seperti itu ada disini, Bagus! Sengaja kubuat untuk tempat latihan dan tempat sembunyi!"

"Tempat sembunyi?"

"Musuh-musuhku banyak sekali dan mereka itu orang-orang sakti mandraguna, sewaktu-waktu mungkin aku harus berlindung dari mereka di tempat sembunyi yang aman."

Sementara itu, waktu berjalan cepat. Peristiwa tadi terjadi selama semalan dan tiba-tiba terdengar kokok ayam hutan saling sahut dengan kicau burung. Mereka melihat keluar dan kegelapan malam telah diusir sinar matahari fajar. Bagus Sajiwo bangkit berdiri dan memadamkan lampu-lampu gantung itu. Tiba-tiba, ketika lampu yang belum padam tinggal sebuah, terdengar bunyi ledakan. "Darrrr....!" Dan lampu itu pecah dan padam.

Bagus Sajiwo terkejut dan cepat melompat mendekati pembaringan untuk melindungi Maya Dewi. "Sudah kukatakan, musuhku banyak dan ini agaknya kaki tangan Kumpeni Belanda." kata wanita itu dengan suara tenang walaupun ia sendiri dalam keadaan lemah tak berdaya.

"Aku akan melindungimu!" kata Bagus Sajiwo dengan gagah.

"Dar-dar-darr!!" Kembali terdengar ledakan-ledakan senjata api dan beberapa buah perabot dalam rumah itu pecah-pecah.

"Nyi Maya Dewi, pengkhianat rendah! Keluar dan menyerahlah sebelum kami bakar rumahmu! Kamu jadi tawanan Kumpeni!" terdengar teriakan dari luar.

Maya Dewi memegang tangan Bagus Sajiwo yang memapahnya dan mereka berindap-indap sembunyi di balik jendela, mengintai keluar. Mereka melihat dalam keremangan cahaya fajar ada lima orang serdadu membawa bedil dan tiga orang yang melihat pakaiannya seperti yang biasa dipakai para jagoan dari daerah Blambangan. Tiga orang tinggi besar berusia sekitar empat puluh tahun dan membawa senjata klewang (golok) besar.

"Hmm... kalau tak salah mereka itu adalah orang dari Blambangan bajak2 selat yang sakti." kata Maya Dewi "Siapa kira mereka agaknya telah diperalat Kumpeni Belanda!"

"Jadi mereka itulah orang-orang yang begitu hina memysuhi bangsa sendiri, menjual tanah air kepada Kumpeni Belanda?" kata Bagus Sajiwo. "Dewi, biar kuhajar mereka itu!"

"Sstt, nanti dulu. Lihat....!" Maya Dewi memegang lengan Bagus Sajiwo dan pemuda itu merasa heran karena jari-jari tangan wanita itu dingin dan menggigil seperti orang ketakutan. Dia cepat memandang dan melihat sesosok bayangan putih berkelebat. Tahu-tahu disitu telah berdiri seorang wanita berpakaian sutera putih.

Wanita itu berusia sekitar empat puluh tahun, cantik sekali walaupun wajahnya tanpa gincu, pakaiannya seperti pakaian pendeta, tanpa perhiasan apapun. Rambutnya digelung ke atas, kakinya memakai sandal kayu dan tangan kanannya memegang sebuah kebutan berbulu putih. Sebatang pedang menempel dibelakang punggungnya. Selain berwajah cantik manis, wanita itu memiliki bentuk tubuh yang indah, padat menggairahkan dengan lekuk-lengkung sempurna pada dada dan pinggang serta pinggul, seperti tubuh seorang dara belasan tahun saja! Ia berdiri tegak bagaikan area menghadapi tiga orang jagoan Blambangan dan lima orang serdadu itu, hanya menggoyang-goyangkan kebutannya.

"Heh, nyi sanak, siapa andika? pergilah, jangan mengganggu urusan kami!" bentak seorang di antara Tri Sadula, sedangkan lima orang serdadu sudah menodongkan senapan mereka.

Wanita baju putih itu menggerakkan kebutannya seperti gerakan orang menari. Wajahnya yang cantik tampak dingin, sedikitpun tidak mengandung senyuman atau kemarahan, dingin saja, dingin dan tidak acuh.

"Kalian mau apa menembaki rumah itu?" suaranya lembut dan merdu, akan tetapi mengandung kekuatan dan kedinginan yang menyeramkan, seolah suara yang keluar dari alam lain. Suara itu mengandung gema seperti bisikan yang mengikuti setiap suara dalam kata-katanya.

"Kami hendak menangkap Nyi Maya Dewi. Kalau ia tidak mau keluar, terpaksa kami akan membakar rumahnya dan membunuhnya!" kata seorang diantara Tri Sardula yang tadi menegur wanita baju putih itu. "Pergilah dan jangan mencampuri urusan kami!" Dia menggertak, agak ragu karena dari sikap dan suaranya, dia dapat menduga bahwa wanita baju putih itu tentu bukan orang sembarangan.

Wanita baju putih itu mengeluarkan suara mendengung dari hidungnya seperti orang mengejek dan pandang matanya menyapu tiga orang Tri Sardula dan lima orang serdadu itu. Sepasang mata itu tampak mencorong seperti mata harimau di tempat gelap sehingga mengejutkan tiga orang jagoan Blambangan itu.

"Tak seorangpun di dunia ini boleh membunuh Maya Dewi kecuali aku! Kalian cepat menyingkir dari sini. Kalau kesabaranku hilang, kalian tidak akan sempat menyelamatkan diri lagi. Hayo pergi!" Wanita itu menudingkan telunjuknya ke bawah puncak bukit.

Tri Sardula adalah tiga orang gemblengan dari Blambangan. Tentu saja mereka tidak takut menghadapi ancaman seorang wanita yang demikian cantiknya, apalagi disitu masih terdapat lima serdadu antek Belanda yang bersenjatakan lima buah senapan. Mereka marah sekali mendengar ucapan wanita baju putih itu yang meremehkan mereka.

"Tangkap wanita itu!" perintah pemimpin Tri Sardula kepada seorang serdadu yang bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat. Mendapat perintah yang menyenangkan ini, serdadu itu memberikan bedilnya kepada seorang kawan, kemudian dia menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan sambil menyeringai lebar dia menghampiri wanita baju putih itu.

"Hayo, manis denok montok, mari kupondong tubuhmu yang denok itu!" Dia mengembangkan lengannya hendak menangkap dan memondong wanita baju putih yang kecantikannya membuat empat orang kawannya yang lain iri hati kepadanya.

Akan tetapi, belum juga jari tangannya menyentuh tubuh wanita baju putih itu, wanita itu menggerakkan tangan kiri. Jari, telunjuknya seperti menusuk ke depan dan tampak sinar putih mencuat ke arah dada yang bidang itu.

"Wuuutt.... crottt....!" Darah menyembur dan serdadu itu terjengkang roboh dan berkelojotan. Dari dadanya muncrat darah segar dan sebentar saja dia tewas. Tri Sardula dan empat orang serdadu Kumpeni Belanda itu terkejut dan marah sekali. "Bunuh iblis betina itu!" bentak tiga orang Tri Sardula yang sudah mencabut golok besar mereka.

"Dar-dar-dar-darrr....!" Para serdadu segera menembakkan bedil mereka, akan tetapi tiba-tiba saja tubuh wanita itu lenyap. Yang tampak hanya berkelebatnya bayangan putih dan tahu-tahu, bagaikan seekor burung garuda putih, wanita itu telah menyambar dari atas dan dengan gerakan cepat sekali kedua tangannya menampar. Terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya empat orang serdadu itu, dengan kepala retak dan mereka tewas seketika!

Tiga orang Tri Sardulo menjadi semakin marah. Mereka mengeluarkan pekik dahsyat dan menyerang dengan golok besar mereka sambil berlari mengejar ke arah wanita itu. Akan tetapi wanita baju putih itu tiba-tiba menekuk kedua lututnya, dengan tubuh agak merendah ia lalu mendorongkan kedua tangannya sambil berseru dengan suara melengking,

"Aji Bajradenta!!" Dari kedua telapak tangan itu menyambar semacam sinar berkilat putih, menyambut tiga orang itu dan tiga orang itu benar-benar seperti disambar halilintar. Tubuh mereka terpental kebelakang dan tewas dalam keadaan menyeramkan karena tubuh mereka berubah menghitam seperti hangus! Pada hal, tiga orang itu adalah jagoan-jagoan tangguh dari Blambangan!

Wanita itu mencabut kembali kebutan yang tadi diselipkan di pinggang ketika ia hendak menyambut tiga orang Tri Sardula dengan pukulan jarak jauh yang amat dahsyat dan ampuh itu, dan sambil menggoyang-goyang kebutannya ia melangkah, menghampiri pondok sambil mengeluarkan kata-kata yang terdengar jelas oleh Bagus Sajiwo.

"Tidak ada yang boleh membunuh Maya Dewi. Aku sendiri yang hendak menghukum dan membunuh adik yang murtad dan menjadi tersesat dan kotor itu. Hina dan rendah sekali!"

Melihat kehebatan dan keganasan wanita baju putih itu melakukan pembunuhan, Bagus Sajiwo juga terkejut, lebih lagi ketika tadi Maya Dewi berbisik, "Itulah kakak tiriku, Mbakayu Candra Dewi...."

Kini, mendengar Candra Dewi menghampiri pondok dan mengancam hendak membunuh adik tirinya sendiri dan mengatakan bahwa Maya Dewi murtad dan tersesat, bahkan hina dan rendah, Bagus Sajiwo segera bergerak hendak keluar. Tangan Maya Dewi memegang lengannya, akan tetapi Bagus Sajiwo yang bertekad hendak melindunginya, sudah merenggut lengannya dan dia melompat keluar, menghadapi Candra Dewi!

cerita silat online karya kho ping hoo

Candra Dewi menghadapi Bagus Sajiwo yang berdiri di depannya dengan alis berkerut. Bocah remaja itu tampaknya begitu berani, menentang pandang matanya dengan sinar tajam, sedikitpun tidak tampak takut. "Hemm, siapa engkau?" tanyanya singkat.

"Namaku Bagus Sajiwo. Mbakayu Candra Dewi...."

"Huh, bagaimana engkau bisa mengetahui namaku?" wanita itu memandang tajam penuh selidik dan kebutan dalam tangannya menggetar.

"Aku tahu dari Dewi. Aku sengaja bertemu denganmu untuk memberitahu bahwa Maya Dewi adalah seorang wanita berhati mulia, sama sekali tidak murtad atau sesat, bahkan kini dalam keadaan sakit berat. Karena itu engkau tidak semestinya mengancam hendak membunuhnya."

"Lancang benar engkau!"

"Mbakayu Candra Dewi, engkau salah duga. Bukankah Maya Dewi itu adikmu sendiri? Mengapa engakau hendak tega membunuhnya?"

"Tutup mulutmu!"

"Mbakayu Candra Dewi, aku melihat tadi betapa engkau menentang orang-orang jahat. Melihat tindakanmu dan melihat sikap dan pakaianmu, aku dapat menduga bahwa engkau tentulah seorang pendekar wanita yang menuntut kehidupan suci. Mengapa engkau hendak berbuat kejam membunuh adik sendiri?"

Kini Candra Dewi menjadi marah. Kulit pipinya yang putih halus itu menjadi kemerahan seperti buah tomat masak. Matanya yang jeriiih tajam itu kini seperti mengeluarkan kilat. "Bocah setan! Kalau aku mau membunuhnya, lalu engkau mau apa!?"

"Mbakayu Candra Dewi, kalau engkau nekat hendak berbuat jahat membunuh Maya Dewi, akupun terpaksa nekat hendak berbuat baik menentang kejahatan dan melindungi Maya Dewi!"

Candra Dewi begitu heran mendengar ucapan dan melihat sikap pemuda remaja itu kepadanya. "Kau....? Kau hendak berlagak menjadi pendekar dan hendak melawan aku?"

"Ya benar, mengapa tidak? Sudah menjadi tugasku untuk menentang perbuatan jahat!" jawab Bagus Sajiwo dengan tegas dan sejujurnya.

"Ha-ha-heh-heh-heh-hi-hik....!" Candra Dewi tertawa terkekeh-kekeh karena merasa lucu, akan tetapi suara tawanya itu makin melengking dan Bagus Sajiwo merasa betapa suara tawa itu mengandung serangan hawa sakti yang amat hebat, menggetarkan jantungnya dan kalau dia tidak cepat melawannya, dia khawatir Maya Dewi yang sedang terluka itu akan tidak kuat bertahan mendengarnya. Serangan suara tawa itu demikian dahsyatnya sehingga dapat menulikan telinga atau bahkan mengguncang jantung menyebabkan kematian!

Bagus Sajiwo lalu mengerahkan tenaga sakti dari pusar dan mengeluarkannya melalui suara jeritan melengking yang amat dahsyat. Itulah Aji Jerit Nogo yang amat hebat. Suara jeritan melengking itu seolah menjadi perisai yang amat kuat sehingga daya serang suara tawa Candra Dewi terbendung dan getarannya membalik!

Bukan main kagetnya hati Candra Dewi. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa pemuda remaja yang tampaknya masih hijau itu memiliki tenaga sakti yang demikian dahsyat sehingga dapat menangkal serangan suara tawanya dengan pekik yang demikian kuatnya. Tentu saja ia menjadi penasaran sekali. Kegagalan serangannya melalui suara tawanya tadi sungguh amat memalukan! Ia lalu melompat ke depan dengan muka merah dan tangan kiri menampar. Tamparan ini kelihatan biasa saja, namun karena ia menggunakan aji pukulan yang mengandung hawa beracun, sekali mengenai kepala atau dada, cukup untuk membuat lawan terkapar dan tewas seketika.

"Wuuuuttt.... dukk!" Bagus Sajiwo menangkis dengan tangan kanannya dan ketika kedua lengan bertemu, kembali Candra Dewi dibuat terkejut bukan main. Bukan saja lengan pemuda remaja itu mampu menangkis dan menandingi tenaga saktinya, bahkan hawa beracun pukulannya itu agaknya tidak mengganggu sedikitpun pemuda itu.

Dengan gemas ia melanjutkan serangannya dengan tamparan bertubi-tubi, akan tetapi dengan gesitnya Bagus Sajiwo memainkan ilmu silat tangan kosong Bajrakirana sehingga semua tamparan Candra Dewi itu dapat dielakkan atau ditangkisnya dengan baik. Sampai belasan jurus, semua serangan Candra Dewi gagal, bahkan kini Bagus Sajiwo mulai dapat membalas dengan tamparan yang tidak kalah dahsyatnya.

"Bocah setan!" Candra Dewi yang sudah memuncak rasa penasaran dan kemarahannya, kini melompat kebelakang, menekuk kedua lututnya sehingga tubuhnya merendah, lalu ia melancarkan pukulan jarak jauh yang menjadi aji, pamungkasnya. "Aji Bajradenta...!!"

"Bagus! Awas....!" terdengar suara Maya Dewi menjerit dari dalam pondok dan wanita itu sudah melompat keluar dari pintu pondok.

Bagus Sajiwo terkejut mendengar teriakan Maya Dewi, akan tetapi dia masih sempat menyambut aji pukulan jarak jauh yang amat dahsyat dari lawannya itu dengan Aji Bromokendali.

"Wuuuttt.... bresss....!!" Dua tenaga sakti yang dahsyat bertubrukan di udara dan karena Bagus Sajiwo tidak berniat buruk maka dia tadi mengerahkan tenaga hanya untuk melindungi dirinya, maka tubuhnya terpental ke belakang sehingga dia terbanting jatuh bergulingan namun sedikitpun tidak menderita luka luar maupun dalam. Tubuh Candra Dewi juga terguncang hebat karena daya pukulannya bertemu dengan tenaga yang amat kuat. Akan tetapi ia mendengus dan mengejek melihat lawannya terbanting dan terguling-guling. Ia mengira bahwa pemuda remaja itu tentu terluka dalam yang parah atau sudah mati!

"Bagus....!!" Maya Dewi berlari menghampiri Bagus Sajiwo dan berjongkok untuk memeriksa keadaan pemuda remaja itu yang disangkanya terluka parah karena ia melihat betapa tubuh pemuda itu terpental dan terbanting jatuh lalu terguling-guling.

Ia merangkul pemuda itu dengan hati amat khawatir. Akan tetapi, Bagus Sajiwo tersenyum kepadanya dan bergerak bangkit duduk yang segera dibantu oleh Maya Dewi yang merangkulnya. Melihat betapa mesranya Maya Dewi merangkul Bagus Sajiwo, sepasang mata Candra Dewi berkilat dan alisnya berkerut, tanda bahwa ia marah sekali.

"Dewi, jangan khawatir, aku tidak apa-apa. Mbakayumu itu memiliki pukulan yang hebat bukan main." kata Bagus Sajiwo.

Ucapannya ini sungguh-sungguh, akan tetapi Candra Dewi menganggapnya lain. Ia menganggap bahwa pemuda remaja itu mengejeknya karena pukulannya ternyata tidak melukai pemuda itu!

"Maya Dewi! Sungguh tidak tahu malu dan tersesat engkau! Bercinta-cintaan dengan seorang bocah remaja!" Candra Dewi membentak.

Dengan tangan kiri masih merangkul pundak Bagus Sajiwo, Maya Dewi menoleh kepada kakak tirinya itu. "Mbakayu Candra, Bagus Sajiwo tidak bersalah apa-apa kepadamu, mengapa engkau menggunakan Aji Bajradenta untuk membunuhnya?"

"Tak tahu malu! Engkau masih berani membela bocah setan ini dihadapanku? Aku memang datang untuk menghukummu, dan sekarang aku akan membunuhmu bersama kekasihmu, perempuan tak tahu malu!" Setelah berkata demikian, ia melangkah maju menghampiri. "Bocah setan ini akan kubunuh lebih dulu di depan matamu!" Setelah berkata demikian, Candra Dewi menggerakkan kebutannya.

"Tar-tar-tarrr....!" Ujung kebutan berbulu itu menyambar-nyambar ke arah kepala Bagus Sajiwo. Akan tetapi Maya Dewi cepat bangkit berdiri dan maju menyambut sambaran kebutan itu dengan tangannya.

"Wuuuttt.... prat-prattt....!" Lengan Maya Dewi luka-luka berdarah seperti disayat pisau tajam ketika menangkis ujung bulu kebutan itu. Ia yang memang sudah terluka dalam dan keadaannya lemah terhuyung kebelakang. Namun Candra Dewi yang marah melihat betapa Maya Dewi nekat melindungi Bagus Sajiwo bahkan mengorbankan diri untuk menyelamatkan pemuda remaja itu, menjadi marah sekali.

"Baiklah, engkau yang akan kuhukum dan siksa lebih dulu!" teriak Candra Dewi dan kebutannya kini mengejar dan menyambar-nyambar ke arah Maya Dewi dengan bunyi ledakan-ledakan itu. Kini tubuh Maya Dewi dihajar dan ujung kebutan itu menyayat pakaian Maya Dewi sehingga robek-robek dan juga kulit tubuh wanita itu ikut tersayat dan berdarah.

Melihat ini, Bagus Sajiwo marah bukan main. Akan tetapi dia tahu betapa saktinya Candra Dewi dan dia tidak ingin melancarkan pukulan mematikan dari belakang, maka diapun melompat dan menerkam tubuh Candra Dewi dari belakang, merangkul dan memegangi kedua lengannya dari belakang agar Candra Dewi tidak dapat menyerang Maya Dewi lagi. Dengan demikian, dia menempel ditubuh belakang Candra Dewi seperti digendong dan kedua lengannya tmelalui atas pundak memegangi kedua lengan wanita itu. Dengan demikian, tubuhnya menempel ketat dengan tubuh Candra Dewi.

Candra Dewi adalah seorang wanita cantik jelita, akan tetapi aneh. Sejak kecil dia membenci pria, terutama sekali setelah ayah tirinya, Resi Koloyitmo, pernah hendak memaksanya menjadi isterinya. Ia bersumpah untuk tidak menikah, bahkan tidak suka bersentuhan dengan tubuh laki-laki. Kalau ada laki-laki berani menyentuhnya, berarti laki-laki itu tentu akan mati dibunuhnya!

Maka, ketika mendengar dari Jaka Bintara, pangeran Banten itu tentang diri Maya Dewi yang suka bergaul dengan banyak pria, ia menjadi marah dan malu, lalu mencari adik tirinya itu untuk dihukum. Kebetulan sekali, di kaki Bukit Keluwung ia bertemu dengan Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra dan mendengar dari mereka bahwa Maya Dewi berada di puncak bukit itu, maka ia cepat mendaki bukit itu.

Kini, merasa betapa tubuh bagian belakangnya didekap ketat oleh Bagus Sajiwo, merasa betapa tubuh laki-laki menempel ketat, ia merasa ngeri bukan main. Seluruh tubuhnya merinding dan geli sehingga ia tidak melanjutkan pengejarannya terhadap Maya Dewi, melainkan dengan menahan tubuhnya yang mengkirik kegelian ia mengerahkan tenaga untuk meronta agar pemuda itu terlepas dari gendongannya. Akan tetapi Bagus Sajiwo yang mengkhawatirkan keselamatan Maya Dewi, mendekapnya lebih kuat lagi dan tidak mau melepaskan kedua lengan wanita itu yang dipegangnya. Terjadilah betot membetot, tarik menarik, namun tubuh pemuda itu menempel di tubuh belakang Candra Dewi seperti seekor lintah!

Hampir pingsan Candra Dewi saking geli dan ngerinya. Ia bahkan menjatuhkan dirinya bergulingan di atas tanah agar Bagus Sajiwo terlepas, namun pemuda itu tetap saja menempel di punggungnya. Bahkan karena wanita itu meronta semakin kuat dan dia sendiri tidak dapat menggunakan kedua tangan untuk menyerang, tahu bahwa sekali dia melepaskan pegangannya, tentu wanita itu akan menggunakan tangan yang bebas untuk memberi pukulan maut kepadanya, Bagus Sajiwo teringat betapa tubuh Maya Dewi menderita luka-luka berdarah oleh sayatan cambuk, maka dia lalu menundukkan mukanya.... dan.... digigitnya leher yang berkulit putih mulus itu kuat-kuat!

Mulutnya merasakan darah yang asin, akan tetapi dia menggigit terus, tak mau melepaskan dan ada rasa puas bahwa dia telah dapat membalaskan Maya Dewi dengan membuat wanita ini terluka berdarah!

Merasa lehernya digigit, Candra Dewi tidak memikirkan nyerinya, melainkan matanya terbelalak membayangkan lehernya "dicium" mulut laki-laki! Saking ngerinya, ia mengeluarkan jerit melengking dan tiba-tiba saja kekuatannya menjadi berlipat ganda dan begitu ia meronta, Bagus Sajiwo tidak mampu bertahan lagi dan tubuhnya terpental jauh!

"Bagus....!" Maya Dewi lari terhuyung menghampiri Bagus Sajiwo yang tidak terluka apa-apa. Mereka berdua memandang ke arah Candra Dewi. Terjadi keanehan pada diri wanita cantik berpakaian putih ini. Pakaiannya ada noda-noda merah dari darah yang menetes dari lehernya yang terluka. Ia terbelalak, kemudian ia menangis.

"Hu-hu-huuu.... terkutuk.... kau.... telah membuyarkan sumpahku.... hu-hu-huuuu...." Wanita itu jatuh terduduk di atas tanah lalu menangis tersedu-sedu, menangis mengguguk seperti anak kecil dan memukul-mukulkan kebutannya pada tanah sehingga debu dan batu-batu berhamburan!

"Cepat... Bagus... cepat kita lari. Hayo...!" seru Maya Dewi.

"Akan tetapi kasihan ia.... aku harus minta maaf...." kata Bagus Sajiwo ragu sambil memandang ke arah Candra Dewi yang masih menangis.

"Sudahlah, hayo cepat lari selagi ada kesempatan!" Maya Dewi yang amat mengkhawatirkan keselamatan Bagus Sajiwo, biarpun tubuhnya terasa pedih dan nyeri oleh cambukan-cambukan tadi dan pakaiannya koyak-koyak, ia mengumpulkan sisa tenaganya dan menarik tangan Bagus Sajiwo diajak melarikan diri. Bagus Sajiwo tidak tega menolak dan mereka berlari memasuki pondok.

"Cepat kumpulkan pakaian!" kata Maya Dewi. Ia mengumpulkan pakaian dan menyuruh Bagus Sajiwo membawa peti perhiasannya. Kemudian, ia mengajak Bagus Sajiwo berlari ke belakang pondok, melalui taman bunga dan tiba di depan sebuah guha.

Bagus Sajiwo menurut saja ketika diajak masuk guha yang ternyata merupakan guha terowongan yang amat dalam. Setelah masuk terowongan beberapa puluh meter dalamnya, Maya Dewi berhenti lalu menarik sebuah kaitan besi. Agaknya tubuhnya yang lemah tidak mampu.

"Bagus, cepat tarik kaitan ini kuat-kuat. Inilah tempat persembunyian yang telah kupersiapkan, tempat ini menuju ke pusat panas bumi yang kumaksudkan."

Bagus Sajiwo menarik kaitan itu dan .... terdengar bunyi berdentang ketika sebuah pintu baja yang tebal meluncur dari atas dan menutup terowongan itu. Mereka kini berada di sebelah dalam dan begitu terowongan tertutup pintu baja, cuaca menjadi gelap pekat.

Dengan tangan kiri menjinjing buntalan pakaian, tangan kanan Maya Dewi menggandeng tangan kiri Bagus Sajiwo yang tangan kanannya memanggul peti perhiasan, Maya Dewi melangkah perlahan di tempat gelap, masuk terowongan yang amat panjang itu. Ia agaknya hafal akan jalan gelap itu dan berkali-kali memberi peringatan kepada Bagus Sajiwo untuk merendahkan diri agar kepalanya tidak terbentur batu-batu yang bergantungan rendah. Terkadang mereka harus melangkahi batu yang menonjol agak tinggi agar jangan tersandung.

"Kenapa gelap begini....?" akhirnya Bagus Sajiwo bertanya karena dia merasa bingung tidak mampu melihat apa-apa kecuali kegelapan yang menghitam.

"Disana terang, lihat sudah tampak cahayanya." kata Maya Dewi.

Bagus Sajiwo memandang ke depan dan hatinya merasa gembira. Benar saja, di depan sana tampak ada cahaya sehingga kekhawatirannya bahwa sepasang matanya telah menjadi buta lenyap. Makin lama cahaya itu menjadi semakin terang dan akhirnya terasa ada hawa yang panas menyambut mereka.

"Hawanya panas sekali!" kata Bagus Sajiwo dan dia mulai berkeringat.

"Kita sudah hampir tiba di ruangan tempat aku latihan, ruangan yang kunamakan Ruangan Pusat Panas Bumi!"

Tak lama kemudian tibalah mereka di sebuah ruangan bawah tanah yang cukup luas. Di bagian atasnya terdapat lubang-lubang cukup lebar sehingga ada sinar matahari menerobos masuk membuat ruangan itu cukup terang. Di tengah ruangan bundar yang garis tengahnya kurang lebih lima puluh meter itu, terdapat sumur yang sebetulnya adalah sebuah kawah yang mengeluarkan uap panas sekali, berikut sedikit asap berbau belerang yang membubung ke atas dan keluar dari lubang-lubang di atas itu.

"Inilah tempat kuberlatih, inilah Ruangan Pusat Panas Bumi itu!" kata Maya Dewi dan ia tampak lelah sekali. Ia melepaskan buntalan pakaian lalu terkulai ke atas tanah yang kering kerontang. "Aku.... aku.... lemas sekali...." Ia mengeluh.

Bagus Sajiwo juga sudah menaruh peti di atas tanah. Dia cepat memeriksa keadaan Maya Dewi. "Tempat beginilah yang kumaksudkan," katanya. "Hawa disini cukup panas untuk mengusir hawa beracun dingin dari tubuhmu dengan cepat. Mari kita mulai, Dewi. Duduklah bersila dan pusatkan seluruh perhatianmu untuk menyerap hawa panas dalam ruangan ini sehingga dapat menggempur hawa dingin Aji Wisa Sarpa yang kau latih secara sesat. Aku akan membantumu dengan penyaluran hawa sakti. Mari kita mulai agar engkau dapat cepat terbebas dari luka dalam tubuhmu yang disebabkan oleh kedua ajimu yang membalik itu."

Maya Dewi yang sudah lemah itu mengangguk. Mereka lalu duduk bersila. Bagus Sajiwo duduk di belakang wanita itu, menjulurkan tangan kanannya menempel pada pungung Maya Dewi, sedangkan Maya Dewi duduk bersila, kedua tangan menyembah dan diletakkan di pusar. Ia merasa betapa hawa yang hangat lembut mengalir masuk melalui telapak tangan pemuda itu ke dalam tubuhnya.

Sementara itu, hawa panas dari kawah itupun m'enerpanya dari luar. Ia mencurahkan perhatiannya untuk menyerap hawa panas dari luar itu, membiarkan hawa itu berputaran dalam tubuhnya, dibantu oleh hawa dari tangan Bagus Sajiwo yang kini menjadi semakin panas. Kurang lebih sejam kemudian, hawa panas yang hebat telah membakar tubuhnya, keringat bercucuran, perut dan kepalanya serasa mau meledak.

"Maya Dewi keluarlah atau kuhancurkan pintu ini! Bukakan pintu!" Terdengar gema suara yang datangnya dari jauh, namun jelas terdengar oleh mereka. Suara ini membuat perhatian Maya Dewi terpecah sehingga hawa panas yang membakar itu menurun, bahkan ada hawa dingin menyerangnya dari dalam.

Bagus Sajiwo merasakan ini. "Dewi, tenanglah dan tetap usahakan untuk menyerap hawa panas itu." bisik Bagus Sajiwo yang menambah tenaganya sehingga dari tangan kanannya itu mengalir hawa yang semakin panas. "Kalau ia masuk, jangan khawatir, aku yang akan melawannya."

Maya Dewi tenang kembali dan dapat menyerap hawa panas itu sehingga hawa dingin menghilang. "Aku hanya kaget, tidak takut. Kalau ia menjebol pintu itu, batu-batu akan longsor ke bawah, menutup terowongan ini dan mungkin ia akan mati tertimbun batu." bisik Maya Dewi kembali.

Mendengar ini, Bagus Sajiwo agak kaget sehingga tangannya yang menempel punggung tergoyang. Maya Dewi merasakan ini dan ia berbisik, "Jangan khawatir, Bagus. Ada jalan rahasia untuk keluar dari tempat ini."

Bagus Sajiwo menjadi lega karena sesungguhnya itulah yang dia khawatirkan tadi mendengar kalau pintu besi itu dijebol dari luar, terowongan itu akan tertimbun batu yang longsor dari atas sehingga mereka berdua akan terperangkap di tempat itu dan tidak dapat keluar. Dia lalu mengerahkan tenaganya membantu Maya Dewi. Tak lama kemudian, kembali Maya Dewi kepanasan dan ia mulai menggeliat, mendesis dan mengeluh.

"Pertahankan, Maya. Hawa dingin beracun itu harus kita gempur sampai lenyap!" Bagus Sajiwo berbisik.

Maya Dewi terengah-engah dan menggeliat kepanasan. "Augh, panas.... panas ....!" Kedua tangannya bergerak. "Bret.... bret.... bret....!" Kedua tangan itu merenggut seluruh pakaiannya sehingga ia bertelanjang bulat karena panasnya. Ia lakukan ini tanpa disadari lagi, saking panas dan gerahnya.

Bagus Sajiwo memejamkan mata, memusatkan perhatian pada telapak tangannya dan berbisik, "Pertahankan... pertahankan...!"

"Mayaaaa Dewiiii! Kuhancurkan pintu ini....!" terdengar teriakan Candra Dewi melengking. Namun kini Maya Dewi dan Bagus Sajiwo tidak memperdulikan lagi suara itu.

"Dunggg....! Dunggg....! Blarrrr....!" Suara ini keras sekali, disusul suara gemuruh berkepanjangan. Agaknya batu-batu telah longsor dan berjatuhan memenuhi terowongan dan mungkin wanita berhati kejam itu telah bertimbun batu-batu. Akan tetapi Maya Dewi sama sekali tidak memperhatikan suara gaduh itu karena ia masih sibuk sendiri dengan hawa panas yang menyerangnya. Ia mengeluh dan menggeliat-geliat, akan tetapi Bagus Sajiwo tetap menempelkan tangan kanannya di punggungnya.

Setelah melihat bahwa wanita itu seperti tidak dapat menahan lagi dan menjadi semakin lemah, dia lalu menggantikan tangan kanan dengan tangan kiri dan perlahan-lahan dia mengerahkan tenaga sakti berhawa dingin. Merasa betapa ada hawa dingin memasuki tubuhnya dengan lembut, Maya Dewi merasa tidak begitu menderita lagi dan iapun berhenti mengeluh, berhenti menggeliat dapat duduk bersila lagi, masih dalam keadaan bugil.

Dengan tangan kiri masih menempel dipunggung Maya Dewi yang rambutnya terurai karena sanggulnya lepas sehingga tubuhnya seperti diselimuti tirai sutera hitam itu, Bagus Sajiwo menggunakan jari tangan kanannya untuk memeriksa denyut nadi pergelangan tangan kanan Maya Dewi. Dengan girang dia mendapat kenyataan bahwa keadaan dalam tubuh Maya Dewi mengalami banyak kebaikan...

Bagus Sajiwo Jilid 03

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Bagus Sajiwo

Jilid 03

DIA tidak mengenal tiga orang yang berkelahi itu. Dia tidak tahu sebab perkelahian, siapa yang bersalah. Karena itu, teringat akan nasihat mendiang gurunya agar dia tidak sembarangan mencampuri urusan orang lain dan berpihak sebelum mengetahui benar duduk persoalannya, dia hanya bersembunyi di balik batang pohon sawo dan mengintai.

Mula-mula dia memang tidak perduli dan tidak berpihak. Akan tetapi ketika melihat betapa wanita itu mulai terdesak dan terancam bahaya maut di tangan Jaka Bintara, jiwa satrianya tergerak. Tidak mungkin dia membiarkan seorang wanita terbunuh begitu saja di depan matanya tanpa dia melakukan sesuatu untuk mencegahnya. Maka, cepat dia mengambil sepotong kerikil dan sekali dia menyentilkan jari telunjuknya, kerikil itu meluncur dan menghantam lutut kanan Jaka Bintara sehingga pangeran itu terhuyung.

Kemudian, melihat betapa dua orang pria itu menyerang Maya Dewi dengan aji pukulan jarak jauh yang amat ampuh dan wanita itu dengan nekat menyambut dengan aji pukulan jarak jauh Tapak Darah, Bagus Sajiwo merasa ngeri. Dia maklum benar bahwa nyawa wanita itu terancam maut. Maka, tanpa ragu lagi dia membantu dengan sentilan dua buah kerikil. Maya Dewi memang terluka parah, akan tetapi dua orang laki-laki itupun terpelanting dan terkejut, ketakutan lalu melarikan diri.

Kini pemuda remaja itu menghampiri tubuh berlepotan darah itu. Sejenak dia mengamati dan hatinya merasa iba sekali. Sebagai seorang yang sejak kecil mendalami ilmu pengobatan dari Ki Ageng Mahendra, dia mengetahui bahwa wanita itu menderita luka dalam yang amat berbahaya. Juga dia mencium bau darah yang amat amis dan keras, tanda bahwa darah itu mengandung racun! Tubuh itu harus dibersihkan dari semua darah. Kalau tidak, kulit tubuh itu dapat membusuk dan rusak. Tanpa ragu atau sungkan lagi, Bagus Sajiwo lalu membungkuk dan memondong tubuh Maya Dewi yang terkulai lemas. Dia melangkah memasuki pendopo mungil itu dengan maksud hendak mencarikan tempat di mana dia dapat merebahkan tubuh itu dan merawatnya.

Senja belum gelap benar. Dia harus segera dapat menemukan dan menyalakan lampu di ruangan depan itu. Akan tetapi tiba-tiba tubuh Maya Dewi bergerak menggeliat. Wanita itu siuman dan ketika mendapatkan dirinya dipondong seorang laki-laki, ia menjadi marah, mengira bahwa laki-laki itu Jaka Bintara yang hendak berbuat tidak senonoh. Ia menggerakkan tangan lalu menyerang dengan tamparan tangannya ke dada Bagus Sajiwa.

"Plak-plak!!" Dua kali tangannya menampar, akan tetapi karena tenaganya amat lemah dan dada Bagus Sajiwo amat kokoh kuat, tamparan itu sama sekali tidak terasa olehnya.

"Lepaskan aku, jahanam busuk! Lepaskan tanganmu yang kotor, lelaki keparat, pencoleng, gentho cabul dan gila!" Maya Dewi dengan lemah meronta-ronta dan mencaci maki dengan kata-kata kotor yang membuat rona muka Bagus Sajiwo menjadi merah karena rikuh dan malu.

"Tenanglah, mbakayu. Aku hanya Ingin menolongmu, lain tidak!" dia membantah halus.

"Menolong? Huh, engkau mau mencabuli aku, setan alas!" Maya Dewi meronta lagi.

Bagus Sajiwo terkejut, tidak paham akan maksud kata-kata itu, akan tetapi merasa ngeri dan otomatis dia melepaskan tubuh yang dipondongnya itu. "Bruukk...!" Tak dapat dihindarkan lagi tubuh itu terjatuh dan terbanting ke atas tanah.

"Aduh....!" Maya Dewi yang tubuhnya sudah lemah dan sakit semua itu menjerit karena pundaknya terbanting ke atas lantai.

"Salahmu sendiri," Bagus Sajiwo menegur, merasa kasihan. "Sudah kukatakan, aku hanya ingin menolongmu, kenapa engkau tidak percaya bahkan memukul aku?"

Maya Dewi mulai menyadari bahwa ia salah menduga orang. Pemuda ini bukan musuh dan dari suaranya bahkan terdengar bahwa dia masih muda sekali. Diam-diam ia merasa heran. Dari mana datangnya bocah ini? Dan bagaimana mempunyai keberanian yang begitu besar? Juga gerak-geriknya, sikapnya, mengandung wibawa demikian besar!

Maya Dewi bangkit duduk di atas lantai. Ia belum mampu bangkit berdiri. Cuaca mulai remang. "Heh, ujang (sebutan anak laki-laki)! Hayo nyalakan lampu gantung itu. Cepat!" Perintahnya.

Bagus Sajiwo melaksanakan perintah itu. Hatinya mengomel. "Aduh galaknya! Ia ini bidadari atau wewe (setan betina) sih?"

"Kamu ngomel apa, hah?" Maya Dewi membentak.

"Apa? Ah, tidak apa-apa." Bagus Sajiwo menyalakan lampu dan ruangan itu menjadi terang.

"Hayo engkau berdiri di bawah lampu itu. Angkat mukamu, aku ingin melihat mukamu!"

"Perempuan aneh, aneh dan gila." Bagus Sajiwo mengomel dalam hatinya. Akan tetapi dia tidak membantah dan mengangkat mukanya ke atas sehingga cahaya lampu menyinari muka dan tubuhnya.

Maya Dewi melihat sepotong wajah yang tampan gagah, akan tetapi baginya tampak tolol kekanak-kanakan. Hanya sepasang mata yang sinarnya mencorong itu saja yang masuk hitungan. Selebihnya "tidak ada apa-apanya" bagi wanita itu.

Sejenak mereka saling berpandangan. Akan tetapi di dalam pandang mata Bagus Sajiwo sama sekali tidak terdapat penilaian tentang keindahannya karena yang menjadi pusat perhatiannya adalah keadaan kesehatan tubuh wanita yang' berlumuran darah itu. Dia kini semakin yakin bahwa wanita itu sudah berada di ambang pintu maut! Maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu membungkuk dan memondong tubuh itu sedemikian ringannya seperti memondong tubuh seorang anak kecil saja.

Maya Dewi terbelalak, meronta dan memaki kalang kabut. "Hei, lepaskan aku! Kamu munyuk monyet, lutung, celeng gotheng, tobil kadal anjing kucing tikus....!" Jari-jari tangan kanannya mencengkeram ke arah leher Bagus Sajiwo untuk menemukan dan menghancurkan otot besar.

Akan tetapi, alangkah kaget dan herannya ketika ia merasa betapa jari tangannya itu tidak menemukan otot yang dicarinya. Tempat itu kosong, hanya ada kulit keras dan daging kenyal. Otot besar di leher anak itu seolah telah berpindah tempat atau bersembunyi entah kemana!

Bagus Sajiwo membawa tubuh Maya Dewi keruangan dalam dan meletakkannya ke atas sebuah pembaringan. Karena tadi mengerahkan seluruh tenaga terakhir, Maya Dewi merasa tubuhnya lemas dan lemah lunglai. Ia rebah telentang, sama sekali tidak dapat bergerak.

Ia hanya memandang bingung kepada Bagus Sajiwo yang sudah menyalakan lagi dua buah lampu gantung dalam ruangan itu. Melihat tubuh pemuda yang kokoh kuat itu kini datang menghampirinya membawa sebuah gentong air besar, Maya Dewi membelalakkan matanya, bertanya gemetar. "Mau... mau apa... apa kau...?"

Setelah meletakkan gentong air ke atas lantai, Bagus Sajiwo menjawab tenang. "Pertama, akan kucuci dan kubersihkan semua darah dari tubuhmu agar kulitmu tidak keracunan. Kemudian akan kubantu engkau mengusir hawa beracun dari tubuhmu karena kalau terlambat, nyawamu tidak akan dapat ditolong lagi. Setelah itu, aku akan berusaha mengobatimu dan akan kurawat engkau sampai sembuh."

Sepasang mata yang indah namun suram cahayanya itu membelalak. "...Kau ....kau cuci.... tubuhku....?"

Maya Dewi merasa heran luar biasa akan perasaan hati dan tubuhnya sendiri pada saat seperti itu. Kenapa seluruh tubuhnya merasa menggelinjang, mengkirik (meremang) karena risi, sungkan dan malu membayangkan tubuhnya akan ditelanjangi dan dimandikan oleh jari-jari tangan laki-laki yang masih begitu muda belia seperti kanak-kanak? Ia bukan seorang perawan muda. Ia seorang wanita yang sudah iebih dari dewasa, bahkan sudah terlalu dewasa. Ia bukan gadis yang asing dengan pria. Bahkan ia sudah mengalami banyak pergaulan dengan pria, mempermainkan pria sesuka hatinya, tak pernah merasa rikuh atau malu terhadap pria. Akan tetapi mengapa kini ia menjadi malu-malu seperti seorang gadis remaja yang mentah dan hijau hanya menghadapi seorang pemuda remaja yang masih hijau?

Ia hendak bangkit dan lari karena merasa tidak kuasa menggerakkan tenaga menyerang, akan tetapi ia terkulai kembali, bahkan mengerahkan tenaga paksaan ini membuatnya roboh pingsan!

Bagus Sajiwo menggaruk-garuk belakang telinganya yang tidak gatal, menggeleng kepala dan mengomel. "Aneh... aneh... belum pernah aku melihat orang seaneh ini...!" Akan tetapi melihat pernapasan Maya Dewi terengah-engah tinggal satu-satu, dia melupakan semua keheranannya dan dia menggerakkan kedua tangannya, mulai sibuk bekerja.

Disingkap dan disingkirkannya rambut hitam panjang sehalus sutera itu dari atas muka dan tubuh yang berlumuran darah. Kemudian, tanpa ragu-ragu lagi dia menanggalkan dan melepaskan semua pakaian yang menutupi tubuh itu sehingga tubuh Maya Dewi menjadi bugil, telanjang bulat bagai-kan seorang bayi yang baru dilahirkan.

Namun, tidak pernah sedetikpun pandang mata Bagus Sajiwo tertarik oleh semua penglihatan yang bagi mata pria pada umumnya tentu memiliki daya tarik yang dapat menimbulkan rangsangan nafsu berahi. Hal ini terjadi bukan sekali-kali karena Bagus Sajiwo bukan seorang pemuda remaja yang normal. Sama sekali bukan.

Melainkan karena pertama, dia seorang pemuda yang batinnya sudah ditempa dan digembleng sejak kecil oleh seorang arif bijaksana sehingga nafsu daya rendah dalam dirinya tidak liar. Ke dua, karena pada saat itu seluruh perhatiannya, seluruh panca-inderanya dicurahkan untuk menolong Maya Dewi dan mengobatinya sehingga kuasa kegelapan tidak sempat mempengaruhinya.

Dan ke tiga, batinnya belum pernah mendapat kesempatan untuk berkenalan dengan apa yang disebut kenikmatan nafsu berahi. Maka, ketelanjangan tubuh wanita yang mulus itu dipandangnya sebagai suatu penglihatan yang wajar saja, seperti seorang menghadapi ketelanjangan seorang anak perempuan kecil. Segala bentuk nafsu itu didorong oleh keinginan menikmati pengalaman badani yang pernah dirasakan.

Jari-jari tangan Bagus Sajiwo yang trampil dan ahli itu dengan amat cekatan mencuci, memandikan dan membersihkan seluruh anggauta tubuh Maya Dewi, dari rambutnya yang hitam panjang sampai ke telapak kakinya, tanpa kecuali sehingga semua darah yang mengotorinya tercuci bersih.

Setelah merasa bahwa tubuh wanita itu benar-benar telah bersih dari semua darah, Bagus Sajiwo lalu menghampiri sebuah peti besar hitam yang berada di dalam sebuah kamar. Dia kagum ketika membuka tutup peti. Sinar lampu menimpa benda-benda emas permata yang berkilauan.

Diambilnya sehelai kain dan seperangkat pakaian wanita, lalu dihampiri pula Maya Dewi yang masih menggeletak pingsan, telentang di atas pembaringan. Sebagian rambut hitam selembut sutera menutupi dada dan perutnya. Seluruh tubuh itu masih basah bekas dimandikan Bagus Sajiwo, tampak putih mulus berkilau tertimpa sinar lampu yang kesemuanya, sebanyak enam buah, telah dinyalakan Bagus Sajiwo. Muka yang elok itu kini tampak tenang, tidak lagi mengerikan seperti tadi, mengingatkan pemuda itu akan bayangan muka bidadari.

Dengan hati-hati pemuda remaja itu mempergunakan kain kering bersih untuk mengeringkan tubuh yang basah itu, lalu dengan ngawur dan sekenanya dia mencoba untuk menggulung dan menyanggul rambut panjang itu sambil menanggalkan semua perhiasan yang menempel di tubuh Maya Dewi. Ketika jari-jari tangannya menyentuh tubuh itu, dia merasa betapa dinginnya tubuh itu. Dia terkejut. Tubuh itu dingin seperti mayat. Dirabanya dada Maya Dewi, di bawah payudara kiri. Detik jantungnya lemah sekali, tinggal satu-satu, dan di bagian itulah yang paling dingin.

Celaka, pikir Bagus Sajiwo. Kalau tidak cepat ditolong, tentu nyawa wanita ini akan meninggalkan badannya. Dia lalu mengerahkan tenaganya dan mulai menggosok-gosokkan kain kering itu kuat-kuat ke seluruh tubuh, terutama dibagian-bagian terpenting seperti kepala, leher, dada, pungung dan perut. Karena Bagus Sajiwo menggosok dengan kuat, maka kulit yang tadinya putih dan agak pucat itu mulailah menjadi agak kemerahan, dan tubuh yang tadinya amat dingin itu mulai menjadi hangat.

Melihat ini, legalah hati Bagus Sajiwo. Biarpun usahanya untuk melancarkan jalan darah itu hanya usaha sementara dan belum berarti penyembuhan, namun setidaknya dia sudah mengurangi ancaman bahaya maut. Dia lalu cepat mengenakan pakaian wanita itu, kembali sekenanya saja karena tentu saja dalam hal memasang pakaian wanita, apa lagi wanita dewasa, dia sama sekali belum biasa. Pokoknya asal tubuh itu tertutup dan tidak menjadi bugil seperti itu karena setelah tubuh itu dia gosok kuat-kuat dan menjadi putih kemerahan, mulailah matanya menemukan keindahan-keindahan yang dirasanya aneh, tidak dimengerti, namun yang membuat jantungnya berdebar lebih cepat.

Setelah pertolongan tahap pertama dilaksanakan dengan baik, kulit tubuh wanita itu kini telah terbebas dari ancaman darah yang mengandung racun tadi dan dia berhasil agak memperlancar jalan darah yang hampir membuat darah dalam tubuh Maya Dewi membeku, Bagus Sajiwo mulai dengan pertolongan tahap kedua.

Pertolongan ke dua ini penting sekali karena dia harus dapat mengeluarkan hawa beracun yang mengeram di dalam tubuh wanita itu. Dia tahu bahwa wanita itu tadi terkena serangan tenaga pukulan jarak jauh yang amat ampuh dan yang mengandung hawa beracun keji sekali. Dia lalu membantu Maya Dewi yang masih lunglai itu duduk, mengatur kedua kaki wanita itu sehingga duduk dengan sikap Bunga Teratai, yaitu kedua kaki bersilang dan masing-masing kaki di atas paha. Akan tetapi setelah kedua kaki itu bersila dalam bentuk Bunga Teratai dan dia melepaskannya, tubuh yang lemah lunglai itu terkulai dan tergelimpang miring!

Bagus Sajiwo menangkap kedua pundak Maya Dewi dan menahannya, akan tetapi setiap kali dilepas, terkulai lagi. Terpaksa dia lalu menarik tubuh itu sehingga punggungnya bersandar pada dinding dibelakang pembaringan. Setelah wanita itu dapat duduk bersandar, mulailah dia mengerahkan tenaga sakti, menyalurkan tenaga itu ke arah kedua telapak tangannya, kemudian dia menempelkan kedua telapak tangannya yang kiri ke pusar dan yang kanan ke ulu hati. Lalu mulailah dia dengan usaha pengusiran hawa beracun dari tubuh wanita itu. Hawa yang hangat menjalar keluar dari kedua tangannya, mula-mula hangat lalu mulai menjadi semakin panas sampai tampak uap putih mengepul diantara pertemuan telapak tangan dan kedua bagian tubuh Maya Dewi itu.

Hawa beracun dingin yang mengeram dalam rubuh Maya Dewi mulai terbakar dan menguap digempur hawa murni yang panas dari tenaga sakti Bagus Sajiwo. Inilah tenaga inti Bromokendali yang amat ampuh, satu diantara aji kesaktian yang amat luar biasa yang dia dapatkan dari mendiang Ki Ageng Mahendra. Kurang lebih setengah jam kemudian, tubuh Maya Dewi mulai bergoyang-goyang dan menggigil. Kini dari seluruh tubuhnya membubung uap dingin yang keluar. Lambat laun uap yang keluar itu semakin menipis dan akhirnya wanita itu menghela napas panjang, mulutnya gemetar, bibir yang mulai tampak merah itu bergerak-gerak, lalu kedua matanya terbuka.

Sejenak ia nanar. Ketika pandang matanya mulai dapat melihat nyata, ia melihat betapa dirinya duduk bersila di atas pembaringan bersandarkan dinding, sedangkan di depannya, dekat sekali, duduk pemuda tadi, bersila dan tangan pemuda itu menempel pada pusarnya, sedangkan tangan kanannya menempel pada ulu hatinya, diantara kedua payudaranya. Iapun menyadari bahwa kini ia telah berpakaian, walaupun letak pakaiannya itu tidak karuan, terbolak-balik sama sekali. Alisnya mulai berkerut dan kembali wataknya yang liar timbul.

Sejak kecil Maya Dewi memang terdidik dalam dunia sesat. Apalagi setelah dewasa ia menjadi seorang datuk sesat dan belum pernah selama hidupnya ia mempercayai orang! Semua orang dianggapnya palsu belaka dan selalu mementingkan diri sendiri, siap mencelakai orang lain seperti juga wataknya sendiri. Itulah sebabnya mengapa ia yang sudah mendapat bukti kebaikan Bagus Sajiwo yang menolongnya, setelah kini siuman dan sudah mulai terusir hawa beracun dari dalam tubuhnya, mulai merasa curiga kembali!

Kecurigaannya ini bertambah ketika ia melihat kenyataan betapa pemuda yang masih remaja itu telah mampu mengerahkan tenaga sakti yang demikian hebatnya! Tenaga sakti panas yang mampu menggempur hawa beracun dingin yang tadi mengancam nyawanya. Pemuda ini berbahaya, pikirnya. Kalau tidak. cepat disingkirkan, siapa tahu kelak dapat mencelakakannya!

Ia memperhatikan dan melihat betapa pemuda itu sedang mencurahkan segenap perhatiannya kepada apa yang sedang dilakukan. Tangan kanannya menempel pada ulu hati dan tangan kirinya menempel pada pusarnya. Kedua matanya setengah terpejam. Saat yang amat baik untuk menyerangnya!

Setelah kini hawa beracun meninggalkan tubuhnya, Maya Dewi mulai mengumpulkan tenaga saktinya. Ia seorang wanita yang sakti. Sekali pukul saja ia akan mampu membunuh orang ini! Diam-diam ia mengumpulkan tenaga pada dua jari tangan kanannya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah lalu memandang wajah Bagus Sajiwo. Mana yang akan diserangnya? Dua matanya? Seketika mata itu akan buta, biji matanya akan hancur! Atau di titik pusat antara kedua matanya? Akibatnya, pemuda itu akan kehilangan ingatannya dan akan menjadi gila! Atau dilehernya, di atas kalamenjingnya? Akan putus otot pernapasannya dan akibatnya mati!

Maya Dewi menimbang-nimbang. Bagaimanapun juga, kesehatannya belum pulih sepenuhnya. Dan pemuda ini memiliki kepandaian dan tenaga lumayan. Masih dapat ia pergunakan! Kalau dibunuh, selain tidak ada gunanya lagi, juga merepotkan. Ia harus menyingkirkan mayatnya! Ia lalu mendapatkan akal yang dianggapnya terbaik. Ia akan membikin pemuda ini menjadi budaknya. Dengan paksa! Dan hal itu akan berhasil kalau ia membuat pemuda ini menjadi manusia cacat yang tidak berbahaya.

Pertama-tama harus ia buat tidak berdaya lebih dulu dengan jalan menotok jalan darah sehingga lumpuh. Pikiran ini dianggapnya begitu sempurna dan cerdik sehingga bibirnya tersenyum manis sekali. Ia harus berhati-hati sekali. Syarafnya harus tenang. Sedikit saja menegang pemuda itu akan merasakan dan menjadi curiga.

Maya Dewi tidak tahu bahwa biarpun Bagus Sajiwo telah menguasai aji kesaktian yang luar biasa, namun dia adalah seorang pemuda yang masih remaja sekali belum ada pengalaman di dunia persilatan, apa lagi di dunia sesat. Baginya, semua manusia itu baik dan dapat dipercaya! Maka, saat itu dia mencurahkan seluruh perhatian pada pengobatannya, tak tahu akan bahaya mengancam di depan mata!

Tiba-tiba bagaikan dua ekor ular kobra menyambar, dua lengan Maya Dewi meluncur ke depan dan dua jari kedua tangannya sudah menotok ke arah kedua pundak Bagus Sajiwo. "Syuuuutt... tuk-tuk...!"

Tubuh Bagus Sajiwo yang duduk bersila di tepi pembaringan itu tiba-tiba terdorong ke belakang dan dia terguling jatuh ke atas lantai, rebah telentang tak mampu bergerak lagi, hanya memandang terbelalak ke arah Maya Dewi yang sudah meloncat turun dan berdiri sambil tertawa cekikikan karena senang dan geli. "Hi-hi-hi-hik.... heh-heh.... bocah tolol gudel (anak kerbau) goblok!" Ia tertawa mengejek dan memaki.

Totokan tadi sebetulnya hebat sekali. Kalau yang ditotok kurang kuat, dapat mengakibatkan kelumpuhan seumur hidup! Akan tetapi tubuh Bagus Sajiwo sudah terisi hawa sakti yang amat kuat sehingga dia hanya menjadi lumpuh sementara saja. Itupun yang tak dapat dia gerakkan hanya kedua kaki tangan. Dia masih mampu mengerjakan semua inderanya, termasuk berpikir dan berbicara. Dia sungguh terkejut dan terheran-heran melihat apa yang dilakukan wanita itu kepadanya. Dia bersungguh-sungguh berusaha untuk mengobati wanita itu. Kenapa ia malah membalasnya dengan serangan sehebat itu? Dia tahu bahwa totokan itu membuat ia lumpuh. Dan kini wanita itu tertawa-tawa dan menghinanya!

Perempuan macam apakah ini? Akan tetapi ia melihat wajah cantik itu tertawa-tawa seperti topeng saja. Dia melihat bayangan duka yang amat mendalam di balik topeng tawa itu. "Mbakayu...."

"Sejak kapan aku jadi mbakayumu? Aku tidak sudi punya adik macam kamu! Aku Maya Dewi, kalau mau sebut, panggil saja Dewi!"

"Dewi, kenapa kau memukul aku?"

"Aku ingin kau jadi pembantuku. Aku mau pukul, mau bunuh, sesuka hatiku!"

"Tidak perlu kau pukul, aku memang sejak tadi sudah berniat membantumu...."

"Cerewet amat sih kamu! Kuhajar mulutmu baru kapok!" Maya Dewi melangkah maju, membungkuk dan menggerakkan tangan kiri hendak menampar. Bagus Sajiwo tak mampu mengelak, tak mampu bergerak, menerima saja dengan kedua mata tak berkedip. "Plak! Plak!" Kedua pipi pemuda itu terkena tamparan yang cukup kuat sehingga kulit pipi itu menjadi bengkak dan merah kebiruan!

Akan tetapi, ketika menampar tadi Maya Dewi telah mengerahkan terlalu banyak tenaga, padahal disebelah dalam dirinya masih terluka parah. Maka, begitu menampar dua kali pipi Bagus Sajiwo, ia tertawa lagi terkekeh-kekeh dan tiba-tiba mulut yang tertawa itu berubah. Mukanya pucat sekali, mulutnya menyeringai, lalu terbuka dan terbatuk-batuk. Darah mengalir dari ujung bibirnya dan pernapasannya terengah-engah.

Bagus Sajiwo sudah melupakan rasa nyeri pada mukanya. "Dewi! Cepat! Gunakan dua jari tangan kananmu untuk menotok jalan darah di pundak kirimu! Lalu tahan napas dan pergunakan ibu jari tangan kirimu untuk menekan ulu hatimu! Cepat sebelum terlambat!"

Dalam keadaan menderita nyeri luar biasa itu Maya Dewi tidak dapat berpikir kecuali menurut petunjuk Bagus Sajiwo yang lumpuh itu. Petunjuk itu bukan ngawur, melainkan merupakan suatu ilmu menotok dan menekan jalan darah untuk melancarkan jalan darah yang terganggu. Begitu Maya Dewi melaksanakan petunjuk itu pernapasan Maya Dewi menjadi normal kembali, darah berhenti keluar dari mulutnya dan rasa nyeri tadipun lenyap. Maya Dewi menghela napas panjang lalu duduk di atas dipan. Ia memandang Bagus Sajiwo. Kembali pemuda itu menyelamatkannya. Bahkan pandang mata pemuda itu kepadanya sama sekali tidak membayangkan kebencian, bahkan mengandung perasaan iba. Padahal ia sudah memaki, menghina, dan memukulnya, bahkan dengan maksud membunuhnya! Anak macam apakah ini? Dewakah?

"Eh, siapa namamu?" Akhirnya ia bertanya.

"Namaku Bagus Sajiwo."

"Hemm....? Bagus?" Maya Dewi memandang wajah yang bengkak-bengkak itu. "Engkau tidak bagus tapi jelek dan tolol. Aku akan panggil engkau Tolol saja."

"Terserah kepadamu, Dewi."

"Sebetulnya dari mana kau bisa mengobati?"

"Aku pernah belajar dari guruku."

"Hemm, kalau menurut engkau, bagaimana keadaan diriku sekarang ini?"

"Aku baru dapat mengatakan setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti. Akan tetapi kaki tanganku kau lumpuhkan."

"Kalau kubebaskan engkau, bagaimana kalau engkau lalu menyerangku selagi aku terluka parah begini?"

"Itu tak mungkin sama sekali Dewi!"

"Bersumpahlah dulu!"

"Bersumpah? Apa itu dan bagaimana itu? Aku tidak bisa."

"Tirukan kata-kataku! Aku, Bagus Sajiwo!"

"Aku Bagus Sajiwo!" Bagus Sajiwo menirukan.

"Eh, bukan! Aku, Si Tolol!"

"Namaku bukan Si Tolol!" Bagus Sajiwo membantah.

"Cerewet! Tirukan saja!"

"Baiklah." Pemuda itu menghela napas panjang "Aku, Si Tolol!"

"Bersumpah bahwa kalau aku sudah dibebaskan dari totokan, aku akan menurut dan tidak melawan. Kalau aku melanggar sumpahku, biar aku disambar geledek tujuh kali!"

Bagus Sajiwo merasa geli dan ingin tertawa, akan tetapi ditahannya dan dia mengulang kata-kata itu. Setelah mengulang, dia berpikir, masa bodoh amat, selain aku tidak ingin memusuhi perempuan ini, yang disambar geledek sampai tujuh kali toh bukan dia, melainkan Si Tolol dan dia bukan Si Tolol, melainkan Bagus Sajiwo!

Setelah pemuda itu mengucapkan sumpah, Maya Dewi segera menghampiri tubuh yang masih menggeletak di atas lantai itu. Padahal, saat itu pengaruh totokan sudah menipis, tidak kuat berlama-lama menguasai tubuh yang kuat itu. Bagus Sajiwo maklum bahwa perempuan itu masih lemah, maka ketika jari-jari tangan Maya Dewi membuka totokan diam-diam dia mengerahkan tenaga yang bangkit dari pusarnya dan seketika kaki tangannya dapat bergerak kembali. Ketika Bagus Sajiwo bangkit berdiri, tiba-tiba berkelebat sinar keemasan.

"Tarrr....!" Dan tahu-tahu ujung sabuk Cinde Kencana sudah melingkari lehernya! Kiranya Maya Dewi yang sudah siap siaga telah menodongkan dengan senjata ampuh itu.

"Dewi, tidak ada gunanya engkau menggunakan senjatamu ini. Tubuhmu luka parah, kalau engkau menarik senjata ini, bukan aku yang mati, melainkan engkau akan terpukul tenagamu sendiri sehingga membahayakan nyawamu! Pula, aku tidak akan melawanmu, mengapa engkau kejam hendak membunuhku?"

Mendengar ini, Maya Dewi mencoba mengerahkan tenaga akan tetapi ia mengeluh, melepaskan sabuk Cinde Kencana lalu terkulai ke atas pembaringan, tangan kiri mendekap dada, napasnya terengah-engah.

"Tolol.... tolong.... periksa...." ia berkata, suaranya berubah sama sekali, penuh permohonan, penuh harapan, penuh duka yang mendalam.

Bagus Sajiwo cepat menghampiri dan meraba nadi di leher dan dada. Dia terkejut sekali. Tubuh itu panas seperti ada api besar bernyala dalam tubuh itu. Maya Dewi mendesis-desis kepanasan, uap mengepul dari seluruh tubuhnya. Bagus Sajiwo cepat mengerahkan tenaga sakti dingin untuk melawannya. Dalam beberapa detik saja terjadi perubahan hebat. Tubuh itu kini berubah dingin sekali, lebih dingin dari air yang keluar dari puncak Gunung Wilis.

Maya Dewi kini menggigil kedinginan, seluruh tubuhnya membiru seolah-olah semua cairan dalam tubuhnya membeku. Bagus Sajiwo cepat mengubah sifat hawa saktinya menjadi panas. Ketika kembali tubuh Maya Dewi berubah panas, dia lalu membagi tenaga saktinya, yang kiri dingin yang kanan panas sehingga terdapat keseimbangan dalam tubuh Maya Dewi.

Maya Dewi menjadi tenang kembali. Ia kini memandang kepada pemuda itu. Pandang mata yang berubah sama sekali. Tidak liar, akan tetapi ada keheranan, kekaguman dan keharuan. "Bagus...." katanya lirih, "bagaimana....?"

Perubahan panggilan itu menyejukkan hati Bagus Sajiwo. "Dewi, engkau terkena serangan pukulan hebat yang memporak-porandakan aji-aji yang pernah kau latih dan kau kuasai. Sayang latihanmu itu mengandung kesesatan sehingga kini berakibat seperti ini. Engkau tentu pernah melatih aji pukulan yang mengandung hawa beracun amat panas, bukan?"

Sambil rebah telentang, Maya Dewi mengangguk. "Aku melatih aji pukulan beracun panas, yaitu Tapak Rudira."

"Hemm..... kalau engkau ingin aku mengobatimu, ceritakan cara engkau melatihnya."

"Aku.... aku mengorbankan banyak anak laki-laki untuk kuambil sari darahnya, dan kulatih dalam panas bumi untuk menyerap hawa panasnya."

"Duh Gusti, ampunilah kiranya dosa Dewi." Bagus Sajiwo bergumam lirih dengan hati ngeri.

"Kau bilang apa tadi?" Maya Dewi bertanya.

"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin kepastian apakah dulu engkau pernah melatih diri dengan aji pukulan beracun dingin?"

"Benar. Aku berlatih aji pukulan Wisa Sarpa (Racun Ular) dengan mengambil inti racun selaksa ular berbisa dan untuk memperoleh hawa dingin aku berlatih di puncak-puncak gunung yang paling dingin di daerah Parahyangan."

Bagus Sajiwo mengangguk-angguk. "Sudah kuduga demikian, Dewi. Dua tenaga sakti sesat yang saling bertentangan dan sudah porak peranda itu kini menyerang dirimu sendiri dan keadaan ini sungguh berbahaya sekali!"

Maya Dewi bangkit dengan lemas dan Bagus Sajiwo cepat membantunya. "Bagus, apa.... apa.... keadaanku tidak ada harapan lagi? Apa engkau tidak dapat menyembuhkan aku?"

Bagus Sajiwo duduk ditepi pembaringan. "Aku pernah mempelajari dua macam aji yang dapat meredakan amukan dua hawa berlawanan dalam tubuh itu, Dewi. Akan tetapi untuk menghilangkan sama sekali, akan sukar dan makan waktu lama, mungkin sampai berbulan bahkan bertahun-tahun! Akan tetapi kalau pengobatan dilakukan di tempat yang berhawa panas dan dingin seperti ketika engkau melatihnya, mungkin akan cepat berhasil."

"Ah, tempat-tempat seperti itu ada disini, Bagus! Sengaja kubuat untuk tempat latihan dan tempat sembunyi!"

"Tempat sembunyi?"

"Musuh-musuhku banyak sekali dan mereka itu orang-orang sakti mandraguna, sewaktu-waktu mungkin aku harus berlindung dari mereka di tempat sembunyi yang aman."

Sementara itu, waktu berjalan cepat. Peristiwa tadi terjadi selama semalan dan tiba-tiba terdengar kokok ayam hutan saling sahut dengan kicau burung. Mereka melihat keluar dan kegelapan malam telah diusir sinar matahari fajar. Bagus Sajiwo bangkit berdiri dan memadamkan lampu-lampu gantung itu. Tiba-tiba, ketika lampu yang belum padam tinggal sebuah, terdengar bunyi ledakan. "Darrrr....!" Dan lampu itu pecah dan padam.

Bagus Sajiwo terkejut dan cepat melompat mendekati pembaringan untuk melindungi Maya Dewi. "Sudah kukatakan, musuhku banyak dan ini agaknya kaki tangan Kumpeni Belanda." kata wanita itu dengan suara tenang walaupun ia sendiri dalam keadaan lemah tak berdaya.

"Aku akan melindungimu!" kata Bagus Sajiwo dengan gagah.

"Dar-dar-darr!!" Kembali terdengar ledakan-ledakan senjata api dan beberapa buah perabot dalam rumah itu pecah-pecah.

"Nyi Maya Dewi, pengkhianat rendah! Keluar dan menyerahlah sebelum kami bakar rumahmu! Kamu jadi tawanan Kumpeni!" terdengar teriakan dari luar.

Maya Dewi memegang tangan Bagus Sajiwo yang memapahnya dan mereka berindap-indap sembunyi di balik jendela, mengintai keluar. Mereka melihat dalam keremangan cahaya fajar ada lima orang serdadu membawa bedil dan tiga orang yang melihat pakaiannya seperti yang biasa dipakai para jagoan dari daerah Blambangan. Tiga orang tinggi besar berusia sekitar empat puluh tahun dan membawa senjata klewang (golok) besar.

"Hmm... kalau tak salah mereka itu adalah orang dari Blambangan bajak2 selat yang sakti." kata Maya Dewi "Siapa kira mereka agaknya telah diperalat Kumpeni Belanda!"

"Jadi mereka itulah orang-orang yang begitu hina memysuhi bangsa sendiri, menjual tanah air kepada Kumpeni Belanda?" kata Bagus Sajiwo. "Dewi, biar kuhajar mereka itu!"

"Sstt, nanti dulu. Lihat....!" Maya Dewi memegang lengan Bagus Sajiwo dan pemuda itu merasa heran karena jari-jari tangan wanita itu dingin dan menggigil seperti orang ketakutan. Dia cepat memandang dan melihat sesosok bayangan putih berkelebat. Tahu-tahu disitu telah berdiri seorang wanita berpakaian sutera putih.

Wanita itu berusia sekitar empat puluh tahun, cantik sekali walaupun wajahnya tanpa gincu, pakaiannya seperti pakaian pendeta, tanpa perhiasan apapun. Rambutnya digelung ke atas, kakinya memakai sandal kayu dan tangan kanannya memegang sebuah kebutan berbulu putih. Sebatang pedang menempel dibelakang punggungnya. Selain berwajah cantik manis, wanita itu memiliki bentuk tubuh yang indah, padat menggairahkan dengan lekuk-lengkung sempurna pada dada dan pinggang serta pinggul, seperti tubuh seorang dara belasan tahun saja! Ia berdiri tegak bagaikan area menghadapi tiga orang jagoan Blambangan dan lima orang serdadu itu, hanya menggoyang-goyangkan kebutannya.

"Heh, nyi sanak, siapa andika? pergilah, jangan mengganggu urusan kami!" bentak seorang di antara Tri Sadula, sedangkan lima orang serdadu sudah menodongkan senapan mereka.

Wanita baju putih itu menggerakkan kebutannya seperti gerakan orang menari. Wajahnya yang cantik tampak dingin, sedikitpun tidak mengandung senyuman atau kemarahan, dingin saja, dingin dan tidak acuh.

"Kalian mau apa menembaki rumah itu?" suaranya lembut dan merdu, akan tetapi mengandung kekuatan dan kedinginan yang menyeramkan, seolah suara yang keluar dari alam lain. Suara itu mengandung gema seperti bisikan yang mengikuti setiap suara dalam kata-katanya.

"Kami hendak menangkap Nyi Maya Dewi. Kalau ia tidak mau keluar, terpaksa kami akan membakar rumahnya dan membunuhnya!" kata seorang diantara Tri Sardula yang tadi menegur wanita baju putih itu. "Pergilah dan jangan mencampuri urusan kami!" Dia menggertak, agak ragu karena dari sikap dan suaranya, dia dapat menduga bahwa wanita baju putih itu tentu bukan orang sembarangan.

Wanita baju putih itu mengeluarkan suara mendengung dari hidungnya seperti orang mengejek dan pandang matanya menyapu tiga orang Tri Sardula dan lima orang serdadu itu. Sepasang mata itu tampak mencorong seperti mata harimau di tempat gelap sehingga mengejutkan tiga orang jagoan Blambangan itu.

"Tak seorangpun di dunia ini boleh membunuh Maya Dewi kecuali aku! Kalian cepat menyingkir dari sini. Kalau kesabaranku hilang, kalian tidak akan sempat menyelamatkan diri lagi. Hayo pergi!" Wanita itu menudingkan telunjuknya ke bawah puncak bukit.

Tri Sardula adalah tiga orang gemblengan dari Blambangan. Tentu saja mereka tidak takut menghadapi ancaman seorang wanita yang demikian cantiknya, apalagi disitu masih terdapat lima serdadu antek Belanda yang bersenjatakan lima buah senapan. Mereka marah sekali mendengar ucapan wanita baju putih itu yang meremehkan mereka.

"Tangkap wanita itu!" perintah pemimpin Tri Sardula kepada seorang serdadu yang bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat. Mendapat perintah yang menyenangkan ini, serdadu itu memberikan bedilnya kepada seorang kawan, kemudian dia menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan sambil menyeringai lebar dia menghampiri wanita baju putih itu.

"Hayo, manis denok montok, mari kupondong tubuhmu yang denok itu!" Dia mengembangkan lengannya hendak menangkap dan memondong wanita baju putih yang kecantikannya membuat empat orang kawannya yang lain iri hati kepadanya.

Akan tetapi, belum juga jari tangannya menyentuh tubuh wanita baju putih itu, wanita itu menggerakkan tangan kiri. Jari, telunjuknya seperti menusuk ke depan dan tampak sinar putih mencuat ke arah dada yang bidang itu.

"Wuuutt.... crottt....!" Darah menyembur dan serdadu itu terjengkang roboh dan berkelojotan. Dari dadanya muncrat darah segar dan sebentar saja dia tewas. Tri Sardula dan empat orang serdadu Kumpeni Belanda itu terkejut dan marah sekali. "Bunuh iblis betina itu!" bentak tiga orang Tri Sardula yang sudah mencabut golok besar mereka.

"Dar-dar-dar-darrr....!" Para serdadu segera menembakkan bedil mereka, akan tetapi tiba-tiba saja tubuh wanita itu lenyap. Yang tampak hanya berkelebatnya bayangan putih dan tahu-tahu, bagaikan seekor burung garuda putih, wanita itu telah menyambar dari atas dan dengan gerakan cepat sekali kedua tangannya menampar. Terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya empat orang serdadu itu, dengan kepala retak dan mereka tewas seketika!

Tiga orang Tri Sardulo menjadi semakin marah. Mereka mengeluarkan pekik dahsyat dan menyerang dengan golok besar mereka sambil berlari mengejar ke arah wanita itu. Akan tetapi wanita baju putih itu tiba-tiba menekuk kedua lututnya, dengan tubuh agak merendah ia lalu mendorongkan kedua tangannya sambil berseru dengan suara melengking,

"Aji Bajradenta!!" Dari kedua telapak tangan itu menyambar semacam sinar berkilat putih, menyambut tiga orang itu dan tiga orang itu benar-benar seperti disambar halilintar. Tubuh mereka terpental kebelakang dan tewas dalam keadaan menyeramkan karena tubuh mereka berubah menghitam seperti hangus! Pada hal, tiga orang itu adalah jagoan-jagoan tangguh dari Blambangan!

Wanita itu mencabut kembali kebutan yang tadi diselipkan di pinggang ketika ia hendak menyambut tiga orang Tri Sardula dengan pukulan jarak jauh yang amat dahsyat dan ampuh itu, dan sambil menggoyang-goyang kebutannya ia melangkah, menghampiri pondok sambil mengeluarkan kata-kata yang terdengar jelas oleh Bagus Sajiwo.

"Tidak ada yang boleh membunuh Maya Dewi. Aku sendiri yang hendak menghukum dan membunuh adik yang murtad dan menjadi tersesat dan kotor itu. Hina dan rendah sekali!"

Melihat kehebatan dan keganasan wanita baju putih itu melakukan pembunuhan, Bagus Sajiwo juga terkejut, lebih lagi ketika tadi Maya Dewi berbisik, "Itulah kakak tiriku, Mbakayu Candra Dewi...."

Kini, mendengar Candra Dewi menghampiri pondok dan mengancam hendak membunuh adik tirinya sendiri dan mengatakan bahwa Maya Dewi murtad dan tersesat, bahkan hina dan rendah, Bagus Sajiwo segera bergerak hendak keluar. Tangan Maya Dewi memegang lengannya, akan tetapi Bagus Sajiwo yang bertekad hendak melindunginya, sudah merenggut lengannya dan dia melompat keluar, menghadapi Candra Dewi!

cerita silat online karya kho ping hoo

Candra Dewi menghadapi Bagus Sajiwo yang berdiri di depannya dengan alis berkerut. Bocah remaja itu tampaknya begitu berani, menentang pandang matanya dengan sinar tajam, sedikitpun tidak tampak takut. "Hemm, siapa engkau?" tanyanya singkat.

"Namaku Bagus Sajiwo. Mbakayu Candra Dewi...."

"Huh, bagaimana engkau bisa mengetahui namaku?" wanita itu memandang tajam penuh selidik dan kebutan dalam tangannya menggetar.

"Aku tahu dari Dewi. Aku sengaja bertemu denganmu untuk memberitahu bahwa Maya Dewi adalah seorang wanita berhati mulia, sama sekali tidak murtad atau sesat, bahkan kini dalam keadaan sakit berat. Karena itu engkau tidak semestinya mengancam hendak membunuhnya."

"Lancang benar engkau!"

"Mbakayu Candra Dewi, engkau salah duga. Bukankah Maya Dewi itu adikmu sendiri? Mengapa engakau hendak tega membunuhnya?"

"Tutup mulutmu!"

"Mbakayu Candra Dewi, aku melihat tadi betapa engkau menentang orang-orang jahat. Melihat tindakanmu dan melihat sikap dan pakaianmu, aku dapat menduga bahwa engkau tentulah seorang pendekar wanita yang menuntut kehidupan suci. Mengapa engkau hendak berbuat kejam membunuh adik sendiri?"

Kini Candra Dewi menjadi marah. Kulit pipinya yang putih halus itu menjadi kemerahan seperti buah tomat masak. Matanya yang jeriiih tajam itu kini seperti mengeluarkan kilat. "Bocah setan! Kalau aku mau membunuhnya, lalu engkau mau apa!?"

"Mbakayu Candra Dewi, kalau engkau nekat hendak berbuat jahat membunuh Maya Dewi, akupun terpaksa nekat hendak berbuat baik menentang kejahatan dan melindungi Maya Dewi!"

Candra Dewi begitu heran mendengar ucapan dan melihat sikap pemuda remaja itu kepadanya. "Kau....? Kau hendak berlagak menjadi pendekar dan hendak melawan aku?"

"Ya benar, mengapa tidak? Sudah menjadi tugasku untuk menentang perbuatan jahat!" jawab Bagus Sajiwo dengan tegas dan sejujurnya.

"Ha-ha-heh-heh-heh-hi-hik....!" Candra Dewi tertawa terkekeh-kekeh karena merasa lucu, akan tetapi suara tawanya itu makin melengking dan Bagus Sajiwo merasa betapa suara tawa itu mengandung serangan hawa sakti yang amat hebat, menggetarkan jantungnya dan kalau dia tidak cepat melawannya, dia khawatir Maya Dewi yang sedang terluka itu akan tidak kuat bertahan mendengarnya. Serangan suara tawa itu demikian dahsyatnya sehingga dapat menulikan telinga atau bahkan mengguncang jantung menyebabkan kematian!

Bagus Sajiwo lalu mengerahkan tenaga sakti dari pusar dan mengeluarkannya melalui suara jeritan melengking yang amat dahsyat. Itulah Aji Jerit Nogo yang amat hebat. Suara jeritan melengking itu seolah menjadi perisai yang amat kuat sehingga daya serang suara tawa Candra Dewi terbendung dan getarannya membalik!

Bukan main kagetnya hati Candra Dewi. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa pemuda remaja yang tampaknya masih hijau itu memiliki tenaga sakti yang demikian dahsyat sehingga dapat menangkal serangan suara tawanya dengan pekik yang demikian kuatnya. Tentu saja ia menjadi penasaran sekali. Kegagalan serangannya melalui suara tawanya tadi sungguh amat memalukan! Ia lalu melompat ke depan dengan muka merah dan tangan kiri menampar. Tamparan ini kelihatan biasa saja, namun karena ia menggunakan aji pukulan yang mengandung hawa beracun, sekali mengenai kepala atau dada, cukup untuk membuat lawan terkapar dan tewas seketika.

"Wuuuuttt.... dukk!" Bagus Sajiwo menangkis dengan tangan kanannya dan ketika kedua lengan bertemu, kembali Candra Dewi dibuat terkejut bukan main. Bukan saja lengan pemuda remaja itu mampu menangkis dan menandingi tenaga saktinya, bahkan hawa beracun pukulannya itu agaknya tidak mengganggu sedikitpun pemuda itu.

Dengan gemas ia melanjutkan serangannya dengan tamparan bertubi-tubi, akan tetapi dengan gesitnya Bagus Sajiwo memainkan ilmu silat tangan kosong Bajrakirana sehingga semua tamparan Candra Dewi itu dapat dielakkan atau ditangkisnya dengan baik. Sampai belasan jurus, semua serangan Candra Dewi gagal, bahkan kini Bagus Sajiwo mulai dapat membalas dengan tamparan yang tidak kalah dahsyatnya.

"Bocah setan!" Candra Dewi yang sudah memuncak rasa penasaran dan kemarahannya, kini melompat kebelakang, menekuk kedua lututnya sehingga tubuhnya merendah, lalu ia melancarkan pukulan jarak jauh yang menjadi aji, pamungkasnya. "Aji Bajradenta...!!"

"Bagus! Awas....!" terdengar suara Maya Dewi menjerit dari dalam pondok dan wanita itu sudah melompat keluar dari pintu pondok.

Bagus Sajiwo terkejut mendengar teriakan Maya Dewi, akan tetapi dia masih sempat menyambut aji pukulan jarak jauh yang amat dahsyat dari lawannya itu dengan Aji Bromokendali.

"Wuuuttt.... bresss....!!" Dua tenaga sakti yang dahsyat bertubrukan di udara dan karena Bagus Sajiwo tidak berniat buruk maka dia tadi mengerahkan tenaga hanya untuk melindungi dirinya, maka tubuhnya terpental ke belakang sehingga dia terbanting jatuh bergulingan namun sedikitpun tidak menderita luka luar maupun dalam. Tubuh Candra Dewi juga terguncang hebat karena daya pukulannya bertemu dengan tenaga yang amat kuat. Akan tetapi ia mendengus dan mengejek melihat lawannya terbanting dan terguling-guling. Ia mengira bahwa pemuda remaja itu tentu terluka dalam yang parah atau sudah mati!

"Bagus....!!" Maya Dewi berlari menghampiri Bagus Sajiwo dan berjongkok untuk memeriksa keadaan pemuda remaja itu yang disangkanya terluka parah karena ia melihat betapa tubuh pemuda itu terpental dan terbanting jatuh lalu terguling-guling.

Ia merangkul pemuda itu dengan hati amat khawatir. Akan tetapi, Bagus Sajiwo tersenyum kepadanya dan bergerak bangkit duduk yang segera dibantu oleh Maya Dewi yang merangkulnya. Melihat betapa mesranya Maya Dewi merangkul Bagus Sajiwo, sepasang mata Candra Dewi berkilat dan alisnya berkerut, tanda bahwa ia marah sekali.

"Dewi, jangan khawatir, aku tidak apa-apa. Mbakayumu itu memiliki pukulan yang hebat bukan main." kata Bagus Sajiwo.

Ucapannya ini sungguh-sungguh, akan tetapi Candra Dewi menganggapnya lain. Ia menganggap bahwa pemuda remaja itu mengejeknya karena pukulannya ternyata tidak melukai pemuda itu!

"Maya Dewi! Sungguh tidak tahu malu dan tersesat engkau! Bercinta-cintaan dengan seorang bocah remaja!" Candra Dewi membentak.

Dengan tangan kiri masih merangkul pundak Bagus Sajiwo, Maya Dewi menoleh kepada kakak tirinya itu. "Mbakayu Candra, Bagus Sajiwo tidak bersalah apa-apa kepadamu, mengapa engkau menggunakan Aji Bajradenta untuk membunuhnya?"

"Tak tahu malu! Engkau masih berani membela bocah setan ini dihadapanku? Aku memang datang untuk menghukummu, dan sekarang aku akan membunuhmu bersama kekasihmu, perempuan tak tahu malu!" Setelah berkata demikian, ia melangkah maju menghampiri. "Bocah setan ini akan kubunuh lebih dulu di depan matamu!" Setelah berkata demikian, Candra Dewi menggerakkan kebutannya.

"Tar-tar-tarrr....!" Ujung kebutan berbulu itu menyambar-nyambar ke arah kepala Bagus Sajiwo. Akan tetapi Maya Dewi cepat bangkit berdiri dan maju menyambut sambaran kebutan itu dengan tangannya.

"Wuuuttt.... prat-prattt....!" Lengan Maya Dewi luka-luka berdarah seperti disayat pisau tajam ketika menangkis ujung bulu kebutan itu. Ia yang memang sudah terluka dalam dan keadaannya lemah terhuyung kebelakang. Namun Candra Dewi yang marah melihat betapa Maya Dewi nekat melindungi Bagus Sajiwo bahkan mengorbankan diri untuk menyelamatkan pemuda remaja itu, menjadi marah sekali.

"Baiklah, engkau yang akan kuhukum dan siksa lebih dulu!" teriak Candra Dewi dan kebutannya kini mengejar dan menyambar-nyambar ke arah Maya Dewi dengan bunyi ledakan-ledakan itu. Kini tubuh Maya Dewi dihajar dan ujung kebutan itu menyayat pakaian Maya Dewi sehingga robek-robek dan juga kulit tubuh wanita itu ikut tersayat dan berdarah.

Melihat ini, Bagus Sajiwo marah bukan main. Akan tetapi dia tahu betapa saktinya Candra Dewi dan dia tidak ingin melancarkan pukulan mematikan dari belakang, maka diapun melompat dan menerkam tubuh Candra Dewi dari belakang, merangkul dan memegangi kedua lengannya dari belakang agar Candra Dewi tidak dapat menyerang Maya Dewi lagi. Dengan demikian, dia menempel ditubuh belakang Candra Dewi seperti digendong dan kedua lengannya tmelalui atas pundak memegangi kedua lengan wanita itu. Dengan demikian, tubuhnya menempel ketat dengan tubuh Candra Dewi.

Candra Dewi adalah seorang wanita cantik jelita, akan tetapi aneh. Sejak kecil dia membenci pria, terutama sekali setelah ayah tirinya, Resi Koloyitmo, pernah hendak memaksanya menjadi isterinya. Ia bersumpah untuk tidak menikah, bahkan tidak suka bersentuhan dengan tubuh laki-laki. Kalau ada laki-laki berani menyentuhnya, berarti laki-laki itu tentu akan mati dibunuhnya!

Maka, ketika mendengar dari Jaka Bintara, pangeran Banten itu tentang diri Maya Dewi yang suka bergaul dengan banyak pria, ia menjadi marah dan malu, lalu mencari adik tirinya itu untuk dihukum. Kebetulan sekali, di kaki Bukit Keluwung ia bertemu dengan Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra dan mendengar dari mereka bahwa Maya Dewi berada di puncak bukit itu, maka ia cepat mendaki bukit itu.

Kini, merasa betapa tubuh bagian belakangnya didekap ketat oleh Bagus Sajiwo, merasa betapa tubuh laki-laki menempel ketat, ia merasa ngeri bukan main. Seluruh tubuhnya merinding dan geli sehingga ia tidak melanjutkan pengejarannya terhadap Maya Dewi, melainkan dengan menahan tubuhnya yang mengkirik kegelian ia mengerahkan tenaga untuk meronta agar pemuda itu terlepas dari gendongannya. Akan tetapi Bagus Sajiwo yang mengkhawatirkan keselamatan Maya Dewi, mendekapnya lebih kuat lagi dan tidak mau melepaskan kedua lengan wanita itu yang dipegangnya. Terjadilah betot membetot, tarik menarik, namun tubuh pemuda itu menempel di tubuh belakang Candra Dewi seperti seekor lintah!

Hampir pingsan Candra Dewi saking geli dan ngerinya. Ia bahkan menjatuhkan dirinya bergulingan di atas tanah agar Bagus Sajiwo terlepas, namun pemuda itu tetap saja menempel di punggungnya. Bahkan karena wanita itu meronta semakin kuat dan dia sendiri tidak dapat menggunakan kedua tangan untuk menyerang, tahu bahwa sekali dia melepaskan pegangannya, tentu wanita itu akan menggunakan tangan yang bebas untuk memberi pukulan maut kepadanya, Bagus Sajiwo teringat betapa tubuh Maya Dewi menderita luka-luka berdarah oleh sayatan cambuk, maka dia lalu menundukkan mukanya.... dan.... digigitnya leher yang berkulit putih mulus itu kuat-kuat!

Mulutnya merasakan darah yang asin, akan tetapi dia menggigit terus, tak mau melepaskan dan ada rasa puas bahwa dia telah dapat membalaskan Maya Dewi dengan membuat wanita ini terluka berdarah!

Merasa lehernya digigit, Candra Dewi tidak memikirkan nyerinya, melainkan matanya terbelalak membayangkan lehernya "dicium" mulut laki-laki! Saking ngerinya, ia mengeluarkan jerit melengking dan tiba-tiba saja kekuatannya menjadi berlipat ganda dan begitu ia meronta, Bagus Sajiwo tidak mampu bertahan lagi dan tubuhnya terpental jauh!

"Bagus....!" Maya Dewi lari terhuyung menghampiri Bagus Sajiwo yang tidak terluka apa-apa. Mereka berdua memandang ke arah Candra Dewi. Terjadi keanehan pada diri wanita cantik berpakaian putih ini. Pakaiannya ada noda-noda merah dari darah yang menetes dari lehernya yang terluka. Ia terbelalak, kemudian ia menangis.

"Hu-hu-huuu.... terkutuk.... kau.... telah membuyarkan sumpahku.... hu-hu-huuuu...." Wanita itu jatuh terduduk di atas tanah lalu menangis tersedu-sedu, menangis mengguguk seperti anak kecil dan memukul-mukulkan kebutannya pada tanah sehingga debu dan batu-batu berhamburan!

"Cepat... Bagus... cepat kita lari. Hayo...!" seru Maya Dewi.

"Akan tetapi kasihan ia.... aku harus minta maaf...." kata Bagus Sajiwo ragu sambil memandang ke arah Candra Dewi yang masih menangis.

"Sudahlah, hayo cepat lari selagi ada kesempatan!" Maya Dewi yang amat mengkhawatirkan keselamatan Bagus Sajiwo, biarpun tubuhnya terasa pedih dan nyeri oleh cambukan-cambukan tadi dan pakaiannya koyak-koyak, ia mengumpulkan sisa tenaganya dan menarik tangan Bagus Sajiwo diajak melarikan diri. Bagus Sajiwo tidak tega menolak dan mereka berlari memasuki pondok.

"Cepat kumpulkan pakaian!" kata Maya Dewi. Ia mengumpulkan pakaian dan menyuruh Bagus Sajiwo membawa peti perhiasannya. Kemudian, ia mengajak Bagus Sajiwo berlari ke belakang pondok, melalui taman bunga dan tiba di depan sebuah guha.

Bagus Sajiwo menurut saja ketika diajak masuk guha yang ternyata merupakan guha terowongan yang amat dalam. Setelah masuk terowongan beberapa puluh meter dalamnya, Maya Dewi berhenti lalu menarik sebuah kaitan besi. Agaknya tubuhnya yang lemah tidak mampu.

"Bagus, cepat tarik kaitan ini kuat-kuat. Inilah tempat persembunyian yang telah kupersiapkan, tempat ini menuju ke pusat panas bumi yang kumaksudkan."

Bagus Sajiwo menarik kaitan itu dan .... terdengar bunyi berdentang ketika sebuah pintu baja yang tebal meluncur dari atas dan menutup terowongan itu. Mereka kini berada di sebelah dalam dan begitu terowongan tertutup pintu baja, cuaca menjadi gelap pekat.

Dengan tangan kiri menjinjing buntalan pakaian, tangan kanan Maya Dewi menggandeng tangan kiri Bagus Sajiwo yang tangan kanannya memanggul peti perhiasan, Maya Dewi melangkah perlahan di tempat gelap, masuk terowongan yang amat panjang itu. Ia agaknya hafal akan jalan gelap itu dan berkali-kali memberi peringatan kepada Bagus Sajiwo untuk merendahkan diri agar kepalanya tidak terbentur batu-batu yang bergantungan rendah. Terkadang mereka harus melangkahi batu yang menonjol agak tinggi agar jangan tersandung.

"Kenapa gelap begini....?" akhirnya Bagus Sajiwo bertanya karena dia merasa bingung tidak mampu melihat apa-apa kecuali kegelapan yang menghitam.

"Disana terang, lihat sudah tampak cahayanya." kata Maya Dewi.

Bagus Sajiwo memandang ke depan dan hatinya merasa gembira. Benar saja, di depan sana tampak ada cahaya sehingga kekhawatirannya bahwa sepasang matanya telah menjadi buta lenyap. Makin lama cahaya itu menjadi semakin terang dan akhirnya terasa ada hawa yang panas menyambut mereka.

"Hawanya panas sekali!" kata Bagus Sajiwo dan dia mulai berkeringat.

"Kita sudah hampir tiba di ruangan tempat aku latihan, ruangan yang kunamakan Ruangan Pusat Panas Bumi!"

Tak lama kemudian tibalah mereka di sebuah ruangan bawah tanah yang cukup luas. Di bagian atasnya terdapat lubang-lubang cukup lebar sehingga ada sinar matahari menerobos masuk membuat ruangan itu cukup terang. Di tengah ruangan bundar yang garis tengahnya kurang lebih lima puluh meter itu, terdapat sumur yang sebetulnya adalah sebuah kawah yang mengeluarkan uap panas sekali, berikut sedikit asap berbau belerang yang membubung ke atas dan keluar dari lubang-lubang di atas itu.

"Inilah tempat kuberlatih, inilah Ruangan Pusat Panas Bumi itu!" kata Maya Dewi dan ia tampak lelah sekali. Ia melepaskan buntalan pakaian lalu terkulai ke atas tanah yang kering kerontang. "Aku.... aku.... lemas sekali...." Ia mengeluh.

Bagus Sajiwo juga sudah menaruh peti di atas tanah. Dia cepat memeriksa keadaan Maya Dewi. "Tempat beginilah yang kumaksudkan," katanya. "Hawa disini cukup panas untuk mengusir hawa beracun dingin dari tubuhmu dengan cepat. Mari kita mulai, Dewi. Duduklah bersila dan pusatkan seluruh perhatianmu untuk menyerap hawa panas dalam ruangan ini sehingga dapat menggempur hawa dingin Aji Wisa Sarpa yang kau latih secara sesat. Aku akan membantumu dengan penyaluran hawa sakti. Mari kita mulai agar engkau dapat cepat terbebas dari luka dalam tubuhmu yang disebabkan oleh kedua ajimu yang membalik itu."

Maya Dewi yang sudah lemah itu mengangguk. Mereka lalu duduk bersila. Bagus Sajiwo duduk di belakang wanita itu, menjulurkan tangan kanannya menempel pada pungung Maya Dewi, sedangkan Maya Dewi duduk bersila, kedua tangan menyembah dan diletakkan di pusar. Ia merasa betapa hawa yang hangat lembut mengalir masuk melalui telapak tangan pemuda itu ke dalam tubuhnya.

Sementara itu, hawa panas dari kawah itupun m'enerpanya dari luar. Ia mencurahkan perhatiannya untuk menyerap hawa panas dari luar itu, membiarkan hawa itu berputaran dalam tubuhnya, dibantu oleh hawa dari tangan Bagus Sajiwo yang kini menjadi semakin panas. Kurang lebih sejam kemudian, hawa panas yang hebat telah membakar tubuhnya, keringat bercucuran, perut dan kepalanya serasa mau meledak.

"Maya Dewi keluarlah atau kuhancurkan pintu ini! Bukakan pintu!" Terdengar gema suara yang datangnya dari jauh, namun jelas terdengar oleh mereka. Suara ini membuat perhatian Maya Dewi terpecah sehingga hawa panas yang membakar itu menurun, bahkan ada hawa dingin menyerangnya dari dalam.

Bagus Sajiwo merasakan ini. "Dewi, tenanglah dan tetap usahakan untuk menyerap hawa panas itu." bisik Bagus Sajiwo yang menambah tenaganya sehingga dari tangan kanannya itu mengalir hawa yang semakin panas. "Kalau ia masuk, jangan khawatir, aku yang akan melawannya."

Maya Dewi tenang kembali dan dapat menyerap hawa panas itu sehingga hawa dingin menghilang. "Aku hanya kaget, tidak takut. Kalau ia menjebol pintu itu, batu-batu akan longsor ke bawah, menutup terowongan ini dan mungkin ia akan mati tertimbun batu." bisik Maya Dewi kembali.

Mendengar ini, Bagus Sajiwo agak kaget sehingga tangannya yang menempel punggung tergoyang. Maya Dewi merasakan ini dan ia berbisik, "Jangan khawatir, Bagus. Ada jalan rahasia untuk keluar dari tempat ini."

Bagus Sajiwo menjadi lega karena sesungguhnya itulah yang dia khawatirkan tadi mendengar kalau pintu besi itu dijebol dari luar, terowongan itu akan tertimbun batu yang longsor dari atas sehingga mereka berdua akan terperangkap di tempat itu dan tidak dapat keluar. Dia lalu mengerahkan tenaganya membantu Maya Dewi. Tak lama kemudian, kembali Maya Dewi kepanasan dan ia mulai menggeliat, mendesis dan mengeluh.

"Pertahankan, Maya. Hawa dingin beracun itu harus kita gempur sampai lenyap!" Bagus Sajiwo berbisik.

Maya Dewi terengah-engah dan menggeliat kepanasan. "Augh, panas.... panas ....!" Kedua tangannya bergerak. "Bret.... bret.... bret....!" Kedua tangan itu merenggut seluruh pakaiannya sehingga ia bertelanjang bulat karena panasnya. Ia lakukan ini tanpa disadari lagi, saking panas dan gerahnya.

Bagus Sajiwo memejamkan mata, memusatkan perhatian pada telapak tangannya dan berbisik, "Pertahankan... pertahankan...!"

"Mayaaaa Dewiiii! Kuhancurkan pintu ini....!" terdengar teriakan Candra Dewi melengking. Namun kini Maya Dewi dan Bagus Sajiwo tidak memperdulikan lagi suara itu.

"Dunggg....! Dunggg....! Blarrrr....!" Suara ini keras sekali, disusul suara gemuruh berkepanjangan. Agaknya batu-batu telah longsor dan berjatuhan memenuhi terowongan dan mungkin wanita berhati kejam itu telah bertimbun batu-batu. Akan tetapi Maya Dewi sama sekali tidak memperhatikan suara gaduh itu karena ia masih sibuk sendiri dengan hawa panas yang menyerangnya. Ia mengeluh dan menggeliat-geliat, akan tetapi Bagus Sajiwo tetap menempelkan tangan kanannya di punggungnya.

Setelah melihat bahwa wanita itu seperti tidak dapat menahan lagi dan menjadi semakin lemah, dia lalu menggantikan tangan kanan dengan tangan kiri dan perlahan-lahan dia mengerahkan tenaga sakti berhawa dingin. Merasa betapa ada hawa dingin memasuki tubuhnya dengan lembut, Maya Dewi merasa tidak begitu menderita lagi dan iapun berhenti mengeluh, berhenti menggeliat dapat duduk bersila lagi, masih dalam keadaan bugil.

Dengan tangan kiri masih menempel dipunggung Maya Dewi yang rambutnya terurai karena sanggulnya lepas sehingga tubuhnya seperti diselimuti tirai sutera hitam itu, Bagus Sajiwo menggunakan jari tangan kanannya untuk memeriksa denyut nadi pergelangan tangan kanan Maya Dewi. Dengan girang dia mendapat kenyataan bahwa keadaan dalam tubuh Maya Dewi mengalami banyak kebaikan...