Bagus Sajiwo Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Bagus Sajiwo

Jilid 04

HAWA beracun dingin dalam tubuh wanita itu sudah tidak begitu kuat lagi. Akan tetapi Maya Dewi merasa lemas bukan main karena tadi harus mengerahkan seluruh tenaga untuk menahan hawa panas yang hebat itu.

Setelah mendapat kenyataan betapa hawa dingin beraCun itu sudah banyak hilang menguap, Bagus Sajiwo berani melepaskan tangan kirinya, lalu dia menghampiri buntalan pakaian Maya Dewi, membuka buntalan dan mengambil pakaian untuk wanita itu. Sama sekali dia tidak berani memperhatikan tubuh bugil yang sebagian tertutup tirai rambut hitam itu ketika Bagus Sajiwo membantu Maya Dewi mengenakan pakaiannya.

Wanita itupun mengenakan pakaiannya dan memandang pemuda remaja itu dengan sinar mata penuh rasa sukur, haru dan terima kasih. Ia menyadari bahwa tadi, dalam siksaan hawa panas yang membakar tubuhnya, saking tidak tahannya, dalam keadaan tersiksa itu ia merobek-robek pakaiannya sehingga ia berbugil. Akan tetapi tidak sedikitpun pemuda itu memperdulikan ke-telanjangannya ini dan baru setelah keadaannya membaik, Bagus Sajiwo mengambilkan pakaian dan tak pernah satu kalipun pandang mata pemuda itu memperhatikan tubuhnya yang telanjang. Ia merasakan terharu sekali dan ini merupakan pengalaman baru baginya, bertemu seorang laki-laki yang sama sekali tidak terusik gairah berahinya oleh kemulusan tubuhnya yang telanjang.

"Dewi, pintu agaknya telah jebol dan kudengar tadi batu-batu runtuh. Terowongan ini tentu sudah tertutup oleh tumpukan batu dan Candra Dewi tentu mati tertimpa dan tertimbun batu."

"Begitukah? Aku tadi tidak mendengarnya." kata Maya Dewi sambil mengusap keringat dari leher dan mukanya, lalu ia mulai menyanggul rambutnya.

Gerakan menyanggul rambut dengan kedua tangan ke atas dan ke belakang kepala ini merupakan gerakan indah khas wanita. Bagus Sajiwo terpesona. Dia dapat merasakan keindahan itu, akan tetapi bukan keindahan yang diselubungi gairah berahi karena dia sama sekali tidak berpikiran tentang itu. Dia melihat guratan-guratan merah pada kedua lengan yang berkulit putih mulus itu.

"Ah, kasihan engkau, Dewi. Kedua lenganmu penuh goresan, bekas serangan ujung kebutan Candra Dewi. Juga tadi aku melihat goresan-goresan berdarah pada tubuhmu. Mengapa engkau yang sedang terluka dalam itu nekat menandingi Candra Dewi yang kejam dan tangguh sekali itu?"

"Aku tidak tega melihat engkau diserang, aku tidak ingin melihat ia membunuhmu. Bagus, tubuhku terasa lemah sekali dan tenagaku habis. Bagaimana pendapatmu tentang keadaan luka dalam tubuhku sekarang?"

"Sudah jauh membaik, Dewi tadi aku sudah meneliti keadaanmu dan hawa beracun dari Aji Wisa Sarpa itu sudah banyak berkurang dan bahkan tidak membahayakan lagi."

"Akan tetapi ketika tadi melawan hawa dingin beracun itu, mengapa hawa panas itu demikian membakar? Berbeda jauh sekali dari kepanasan yang kurasakan di waktu berlatih dulu, padahal aku pun berlatih di tempat panas seperti ini."

"Hal itu tidak aneh, Dewi. Karena ketika engkau menyerap hawa panas bumi disini, hawa panas beracun dari Aji Tapak Rudira dalam tubuhmu bangkit sehingga hawa panas yang menjadi satu bertambah hebat. Akan tetapi semua itu bahkan menguntungkan karena dapat membuat hawa dingin beracun itu menguap dan tinggal sedikit. Dengan latihan menyerap hawa panas bumi, dalam beberapa hari saja kurasa engkau sudah terbebas dari bahaya ancaman hawa dingin beracun dari Aji Wisa Sarpa itu."

"Kalau begitu, aku akan kehilangan aji yang biasa kuandalkan itu?" tanya Maya Dewi dengan suara mengandung kekecewaan.

Bagus Sajiwo mengangguk. "Untuk apa menyesali hilangnya aji pukulan yang sesat itu, Dewi? Engkau telah bertahun-tahun berlatih ilmu kanuragan. Sebagai pengganti Aji Wisa Sarpa, engkau dapat berlatih diri dengan ilmu lain yang mengandung hawa dingin, akan tetapi yang tidak sesat seperti Wisa Sarpa."

Maya Dewi menghela napas panjang dan pada saat itu kedua orang itu tiba-tiba tertawa. Maya Dewi tersenyum malu-malu dan rikuh karena ia mendengar suara perut berkeruyuk, dari dalam perutnya sendiri dan perut Bagus Sajiwo!

"Ha-ha, perut kita menuntut isi, Dewi! Akan tetapi di tempat seperti ini, bagaimana kita dapat memperoleh makanan untuk mengisi perut kita?"

Maya Dewi tersenyum geli. Setelah kini tubuhnya tidak tersiksa lagi dan terasa lebih nyaman, walaupun tubuhnya lemas sekali, kegembiraannya bangkit. "Kenapa engkau begitu tolol?"

Bagus terkejut mendengar perubahan panggilan ini dan mengira wanita itu marah lagi kepadanya. Akan tetapi melihat bibir Maya Dewi terseyum manis dan mata yang agak redup membayangkan kelelahan itu memandang kepadanya dengan lembut, dia juga tersenyum, "Memang namaku Si Tolol, tentu saja aku sangat tolol. Lupakah engkau, Dewi?"

"Memang engkau tolol! Tadi sudah kukatakan kepadamu bahwa aku telah membuat sebuah jalan keluar rahasia sehingga tentu saja engkau dapat keluar dari tempat ini. Nah, sekarang keluarlah, nanti kutunjukkan jalannya. Engkau keluar mencari makanan untuk kita, sekalian engkau lihat apakah benar Mbak-ayu Candra Dewi telah tewas tertimbun batu-batu yang longsor dan menutup pintu terowongan."

"Bagus! Nah, sekarang tunjukkan jalan keluarnya!" kata Bagus Sajiwo gembira.

Tanpa bangkit dari tempat duduknya, Maya Dewi menuding ke depan dan berkata. Di ujung sana itu terdapat sebuah batu besar yang bentuknya bulat. Nah, kau dorong batu besar itu ke arah kiri dan engkau akan menemukan sebuah lubang yang cukup besar untuk kau masuki dengan jalan merangkak. Setelah engkau merangkak sejauh kurang lebih sepuluh meter, engkau akan tiba di lubang simpang empat. Beloklah ke kiri dan merangkak terus. Sekitar dua puluh meter engkau akan keluar dari lorong bawah tanah itu dan tiba diluar. Masuknya engkau ambil jalan yang sama."

"Baik," kata Bagus Sajiwo yang bangkit berdiri. "Aku pergi sekarang juga, Dewi. Engkau beristirahatlah saja dan jangan berlatih untuk menyerap inti panas bumi. Kalau engkau berdiam diri saja, tentu engkau dapat menahan panasnya hawa disini."

"Aku mengerti, Bagus." Maya Dewi mengangguk. "Dan jangan terlalu lama pergi."

"Baik, Dewi." Bagus Sajiwo lalu melangkah dan dari situ sudah tampak batu bulat itu.

Batu yang besar dan berat. Dalam keadaannya seperti sekarang ini, Maya Dewi tentu tidak akan mampu mendorong batu besar itu dan akan menderita kelaparan di tempat ini. Untung dia tidak terluka ketika bertanding melawan Candra Dewi. Wanita itu sungguh amat digdaya, dan agaknya Candra Dewi adalah seorang sakti mandraguna yang selama ini menyembunyikan dirinya sehingga mendiang gurunya, Ki Ageng Mahendra, ketika menceritakan padanya tentang tokoh-tokoh sakti, tidak pernah menyebut nama Candra Dewi.

Kini Bagus Sajiwo berdiri di depan batu besar itu. Dia mengerahkan tenaga saktinya, lalu mendorong batu itu ke arah kiri. Batu itu menggelinding perlahan dan Bagus Sajiwo menghentikan dorongannya setelah tampak sebuah lubang di dinding batu ruangan bawah tanah itu. Dia menoleh ke arah Maya Dewi yang melambaikan tangan kepadanya. Dia membalas dengan lambaian tangan lalu merangkak memasuki lubang itu seperti seekor tikus besar!

Tepat seperti apa yang diterangkan Maya Dewi tadi, setelah merangkak kurang lebih sepuluh meter, dia tiba di simpang empat. Kalau tidak dipesan oleh Maya Dewi, tentu dia akan memilih lubang yang terus atau yang membelok kekanan, karena lubang yang membelok ke kiri itu paling kecil, dan paling kasar batu lantainya. Seorang yang gemuk jangan harap dapat melalui lubang itu. Dia membelok ke kiri dan merangkak terus. Sekitar dua puluh meter dia merangkak dan tampaklah sinar terang. Ternyata dia keluar dari sebuah lubang yang berada di dinding lereng Bukit Keluwung!

Dia memandang ke arah lubang yang agak tertutup alang-alang itu. Seorang yang waras pikirannya tentu enggan memasuki lubang seperti itu, takut kalau-kalau lubang itu menjadi sarang ular besar atau binatang buas lainnya! Diam-diam dia kagum sekali kepada Maya Dewi. Wanita itu sungguh cerdik bukan main, dapat membuat sebuah ruangan tempat berlatih sekaligus tempat bersembunyi seperti Ruangan Inti Panas Bumi itu! Tak seorangpun akan menyangka bahwa dibelakang taman rumah mungil itu terdapat tempat seperti itu berikut alat rahasianya sehingga musuh tak dapat masuk dan kalau menggempur pintunya akan mati tertimbun batu-batu yang longsor!

Teringat akan hal ini Bagus Sajiwo bergegas mengitari puncak untuk melihat apakah Candra Dewi benar-benar mati tertimbun batu. Dia harus bekerja cepat karena hari telah menjelang sore!

Maka dia berlari cepat menuju ke guha yang menembus keterowongan menuju Ruangan Inti Panas Bumi. Dia memasuki guha dan setibanya di tempat dimana pintu baja itu menutup lorong, dia dihadang timbunan batu yang memenuhi terowongan dan membayangkan apa yang terjadi, dia merasa ngeri!

Tentu tubuh wanita cantik baju putih itu kini telah hancur dan gepeng tertindih tumpukan batu yang berton-ton beratnya. Dia menghela napas panjang dan berlari keluar terowongan untuk menuju ke pondok mungil milik Maya Dewi dan mencari bahan makanan. Dia melewati kebun dan taman bunga dan.... dia berdiri bengong ketika melihat betapa pondok mungil itu kini telah menjadi puing arang dan abu. Habis dibakar orang!

Dia terkejut sekali. Siapa yang melakukan pembakaran? Candra Dewikah? Kalau begitu ia masih hidup! Saking penasaran, dia lari lagi ke guha dan baru sekarang dia melihat tulisan di depan guha, tulisan pada batu seperti diukir.

KUBURAN MAYA DEWI DAN BAGUS SAJIWO

Demikian bunyi tulisan itu. Bagus Sajiwo mengangguk-angguk. Yang dapat membuat tulisan di atas batu seperti itu tentu orang sakti seperti Candra Dewi dan yang mengetahui bahwa Maya Dewi dan dia berada dalam guha itu hanya Candra Dewi. Maka dia dapat menarik kesimpulan pasti bahwa yang menulis itu tentulah Candra Dewi yang mengira bahwa Maya Dewi dan dia tentu mati terkubur dalam terowongan! Kemudian agaknya Candra Dewi yang masih penasaran itu melampiaskan kemarahannya pada pondok tempat tinggal Maya Dewi dan membakarnya!

Betapa kejamnya perempuan cantik itu. Seperti iblis betina! Bagus Sajiwo lalu cepat mencari bahan makanan dikebun dekat taman. Ternyata kebun itu ditanami banyak macam buah-buahan oleh para pelayan atas perintah Maya Dewi. Agaknya para pelayan itu, pagi tadi ketika mendaki puncak Bukit Keluwung, melihat pondok mungil sudah menjadi puing dan Maya Dewi tidak tampak, mereka ketakutan dan cepat melarikan diri pulang ke dusun mereka di kaki bukit.

Bagus Sajiwo mengambil setundun pisang tua dan sebagian mulai menguning, beberapa buah pepaya, jagung, ketela ubi dan karena tidak menemukan tanaman obat untuk mengobati luka lecet-lecet pada kulit tubuh Maya Dewi, dia memutus beberapa batang pohon ketela pohon. Semua bahan makanan itu dia bawa ke dinding lereng bukit dimana terdapat lubang yang menuju ke Ruangan Inti Panas Bumi. Kemudian dia merangkak ke dalam lubang terowongan dan tiba kembali di ruangan itu, dimana Maya Dewi menunggu sambil duduk dengan tenang.

Biarpun diluar tempat itu gelap ketika malam tiba seperti tadi malam, namun di ruangan itu gelap benar, akan tetapi remang-remang karena kawah itu mengeluarkan cahaya api membara yang cukup terang. Maya Dewi merasa girang melihat Bagus Sajiwo kembali membawa makanan, biarpun hanya buah-buahan, jagung dan ketela. Cukup untuk menahan lapar dan menguatkan tubuh.

Ketika Bagus Sajiwo menyerahkan batang ketela pohon (sing-kong) untuk mengobati luka lecet-lecet pada tubuhnya, Maya Dewi menurut. Ia mematah-matahkan tangkai daun singkong dan menggunakan getah yang putih dari pohon itu untuk dioleskan pada kulitnya yang lecet-lecet. Ia sendiri yang mengobati lecet-lecet pada dada dan perutnya, dan minta bantuan Bagus Sajiwo untuk mengobati bagian punggung dan pinggulnya.

Demikianlah, setiap hari Maya Dewi berlatih dibantu olah Bagus Sajiwo untuk mengobati atau mengusir hawa dingin beracun dari Aji Wisa Sarpa yang telah membalik dan melukai dirinya sendiri. Biarpun kalau menyerap hawa panas dari ruangan itu ia masih merasa panas sekali, akan tetapi kini tidaklah sehebat pertama kalinya sehingga ia masih sanggup bertahan walaupun merasa tersiksa. Ia tidak sampai menelanjangi dirinya tanpa disadarinya seperti pada hari pertama. Setiap hari kedua orang itu hanya makan buah-buahan, jagung dan singkong yang mereka bakar di atas kawah, dimana hawanya paling panas.

Tiga hari kemudian, Bagus Sajiwo tidak perlu lagi membantunya dan Maya Dewi dapat berlatih sendiri untuk mengusir sama sekali sisa hawa dingin beracun itu. Akan tetapi dengan lenyapnya hawa dingin beracun itu, iapun kehilangan Aji Wisa Sarpa. Ia tidak lagi mampu mengerahkan tenaga dingin beracun Wisa Sarpa yang ampuh itu.

Sementara itu, Bagus Sajiwo mempergunakan waktu luang dan kesempatan tempat yang amat baik untuk berlatih itu dengan tekun memperkuat Aji Bromokendali yang telah dikuasainya. Dengan bantuan tenaga inti panas bumi, dia dapat meningkatkan kekuatan Aji Bromokendali. Tempat itu memungkinkan dia untuk memperoleh kemajuan yang dalam tempat biasa dapat dicapainya dalam Waktu latihan dua tahun, hanya dengan melatih diri selama beberapa hari saja!

Setelah tinggal dalam Ruangan Inti Panas Bumi itu selama setengah bulan, pada suatu pagi Bagus Sajiwo memeriksa keadaan kesehatan Maya Dewi dengan merasakan denyut nadinya. Dia mengangguk-angguk. "Bagus sekali, Dewi. Sekarang, hawa dingin beracun dalam tubuhmu telah lenyap sama sekali. Engkau telah bebas dari ancaman maut hawa dingin beracun itu. Sebagai buktinya, cobalah engkau kerahkan Aji Wisa Sarpa yang pernah kau kuasai itu."

Maya Dewi mehurut. Ia mengerahkan tenaga aji itu, akan tetapi ketika ia mendorongkan kedua tangannya ke arah dinding batu karang itu, tidak terjadi apa-apa. Padahal sebelumnya, kalau ia menggunakan Aji Wisa Sarpa, dari kedua telapak tangannya akan keluar tenaga sakti yang amat dahsyat, yang dapat menggempur batu sampai pecah. Maya Dewi tidak merasa kaget karena ia sudah menduga sebelumnya bahwa ia kehilangan aji itu, akan tetapi bagaimana pun juga, tetap saja ia merasa kecewa, menghela napas panjang lalu duduk menundukkan muka.

Akan tetapi Bagus Sajiwo merasa girang. "Nah, engkau benar-benar telah bebas dari hawa dingin beracun yang berbahaya itu, Dewi. Dari pada memiliki sesuatu yang tidak ada gunanya, yang hanya membikin rugi diri sendiri dan orang lain, lebih baik tidak memiliki apa-apa. Tinggal melenyapkan hawa panas beracun dari Aji Tapak Rudira yang masih mengancam keselamatanmu. Kalau itu sudah dapat dilenyapkan, engkau benar-benar telah sembuh dan terbebas dari aji-aji yang sesat. Jauh lebih baik tidak memiliki aji apapun."

Maya Dewi mengerutkan sepasang alisnya. "Tolol, siapa bilang aku tidak memiliki apa-apa? Coba kau buka peti hartaku itu!" Suara wanita itu kini terdengar ketus seperti orang marah sehingga sebutan Tolol itu sekali ini mengejutkan hati Bagus Sajiwo.

Pernah Maya Dewi menyebutnya Tolol, akan tetapi sambil tersenyum manis, dan sekarang menyebut dia Tolol dengan alis berkerut dan mulut cemberut. Agaknya, sebutan ini dipakai Maya Dewi bukan hanya sebagai canda selagi hatinya gembira, akan tetapi juga sebagai makian selagi hatinya jengkel!

Akan tetapi Bagus Sajiwo tidak menjawab dan dia hanya memenuhi permintaannya dan membuka tutup peti yang dibawanya ketika mereka berdua meninggalkan rumah. Tampak perhiasan emas permatayang serba indah dan mahal sekali dalam peti itu.

"Lihat, aku masih memiliki harta benda yang amat banyak dan juga rumahku di puncak itu!" katanya membanggakan kekayaannya.

Bagus Sajiwo menghela napas dan berkata, "Maafkan aku, Dewi. Rumahmu di puncak telah dibakar habis oleh Candra Dewi, bahkan ia mengukir di atas batu depan guha bahwa engkau dan aku mati terkubur di dalamnya."

Maya Dewi bangkit berdiri, matanya terbuka lebar dan dia menghardik, "Tolol! Kenapa tidak kau ceritakan ketika engkau pulang mengambil makanan itu?"

"Aku khawatir engkau berduka karena pondokmu dibakarnya, Dewi."

"Siapa perduli tentang rumah? Aku masih mampu membuat seratus rumah seperti itu dengan hartaku! Yang kumaksudkan tentang Mbakayu Candra Dewi yang belum mati!"

"Maafkan aku, Dewi. Aku mengira hal itu tidak penting sekali bagimu."

"Dasar tolol! Tidak penting? Hemm, Mbakayu Candra Dewi adalah seorang yang sekali ada kemauan, takkan berhenti sebelum kemauannya terpenuhi! Ia ingin membunuhku, pasti ia akan mencariku kalau kemudian ia ketahui bahwa aku masih hidup. Dan aku.... dalam keadaan seperti ini.... kehilangan dua macam aji pamungkasku, bagaimana aku akan mampu menandinginya? Ah, agaknya memang sudah nasibku, harus mati di tangan kakak tiriku itu...." Maya Dewi tampak berduka sekali.

Bagus Sajiwo merasa iba. "Jangan bersedih, Dewi. Kalau hawa panas beracun sudah hilang dari tubuhmu, berarti tubuhmu sudah bersih dari pengaruh racun. Engkau dapat mempelajari ilmu-ilmu baru dan siap siaga untuk menghadapi ancaman Candra Dewi."

Tiba-tiba wajah Maya Dewi menjadi berseri kembali. "Benar sekali kata-katamu, Bagus! Aku tidak perlu takut, tidak perlu khawatir. Aku mempunyai harta benda yang amat banyak. Dengan harta bendaku, aku bisa mendapatkan apa saja yang kuinginkan. Perduli amat dengan Mbakayu Candra Dewi, perduli dengan orang-orang lain. Aku tidak membutuhkan siapa-siapa! Dengan harta benda, aku bisa membeli kekuasaan, kesenangan, kepandaian, apa saja heh-heh-hi-hi-hiik!" Maya Dewi tertawa-tawa, menghampiri peti hartanya dan meraup segenggam perhiasan, lalu dijatuhkan kembali ke dalam peti. Berkali-kali ia lakukan ini i sambil tertawa-tawa gembira.

Bagus Sajiwo mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya. Ia merasa kesal dan juga kasihan kalau melihat sikap dan jalan pikiran Maya Dewi kacau dan sesat seperti itu. "Engkau keliru, Dewi. Engkau keliru, salah besar sekali kalau mengira bahwa dengan harta benda engkau bisa mendapatkan segala apapun yang kau inginkan."

"Hah? Apa yang tak dapat kuraih dengan harta bendaku? Hayo katakan, apa itu, Tolol?" Kini Maya Dewi marah kembali.

"Ingat, andaikata penyakitmu ini tidak dapat disembuhkan, apa gunanya semua harta bendamu itu? Harta benda itu tidak dapat menyelamatkanmu."

"Akan tetapi aku mempunyai seorang sahabat baik, ialah engkau yang menolong aku untuk menyembuhkan aku dari penyakit ini!"

"Ya benar. Persahabatan. Nah, apakah engkau mampu membeli persahabatan dengan hartamu itu? Ingat, aku menjadi sahabat baikmu sama sekali tidak karena engkau memiliki harta benda. Sedikit pun aku tidak menginginkannya, Dewi. Juga cinta kasih! Apa harta bendamu itu akan mampu mengembalikan cinta kasih kepadamu dalam hati mbakyumu itu dan menghilangkan kebenciannya terhadap dirimu? Kukira, harta bendamu itu juga tidak ada arti baginya. Harta benda tidak mungkin mampu membeli persahabatan dan cinta kasih. Maksudku persahabatan dan cinta kasih sejati."

Tiba-tiba Maya Dewi seperti terkulai lemas dan ia duduk lagi di atas lantai batu yang oleh Bagus Sajiwo ditilami jerami kering sehingga menjadi tempat yang lunak untuk duduk dan tidur. Ia tercengang. Tepat sekali ucapan pemuda remaja itu, rasanya seperti sebilah pisau dihunjamkan ke jantung hatinya.

Selama ini ia tidak pernah mendapatkan persahabatan dan cinta kasih yang sejati. Semua orang yang bersahabat dengannya, semua pria yang bersumpah menyatakan cinta kepadanya, kesemuanya itu bergelimang nafsu dan mempunyai pamrih demi kesenangan dan keuntungan diri sendiri belaka. Selama hidup belum pernah ia bertemu dengan seorang seperti Bagus Sajiwo yang jelas menolong dan membelanya, bahkan dengan taruhan nyawa dan ia tidak sedikitpun melihat gairah nafsu atau pamrih untuk kesenangan diri sendiri dalam sikap dan perbuatan Bagus Sajiwo! Jelaslah bahwa persahabatan se-jati, cinta sejati, tidak dapat dibeli dengan harta benda!

"Hemm, agaknya ucapanmu itu ada benarnya juga, Bagus. Akan tetapi, dengan memiliki harta benda, aku tidak tergantung kepada siapapun juga. Aku dapat hidup serba kecukupan tanpa bantuan orang lain. Aku dapat mencukupi sandang pangan dan papan dengan harta bendaku."

Bagus Sajiwo boleh jadi masih muda remaja. Usianya baru enam belas tahun, namun sejak kecil dia sudah diasuh di bawah pendidikan seorang arif bijaksana seperti mendiang Ki Ageng Mahendra. Seringkali dia menerima wejangan-wejangan yang membuka mata batinnya sehingga diapun memiliki pandangan yang luas dan matang biarpun dia belum mempunyai pengalaman banyak tentang prikehidupan. Maka, mendengar ucapan Maya DeWi yang mengagungkan harta bendanya itu, dia sanggup melihat kesalahannya dan berusaha untuk meluruskan pandangan yang menyimpang dari kebenaran itu.

"Sekali lagi aku harus mengatakan bahwa pendapatmu itu keliru besar, Dewi. Manusia yang hidup di alam ramai tidak mungkin dapat hidup sendiri. Kalau ia ingin hidup wajar sebagai manusia ia harus saling terkait dan saling bergantung dengan orang-orang lain. Orang kaya raya tidak mungkin hidup tanpa ketergantungan dengan orang miskin dan demikian sebaliknya. Engkau memiliki harta benda, berarti engkau orang kaya. Mampukah engkau hidup sendiri dengan kekayaanmu tanpa bantuan orang miskin?"

"Mengapa tidak? Aku tidak membutuhkan bantuan siapapun...." lalu cepat disambungnya, "....kecuali bantuanmu, seorang sahabatku yang sejati!"

"Dewi, tadi engkau mengatakan bahwa engkau membutuhkan sandang pangan papan dan kau bilang bahwa dengan hartamu engkau dapat memertuhi kebutuhan itu semua."

"Tentu saja!"

"Hemm, sekarang kita bicara tentang sandang pangan saja. Apa kau kira engkau dapat memakai pakaian, kalau tidak ada orang lain yang menanam kapas, lalu menenun dan membuatkan bahan pakaian, bahkan lalu menjahitkan untukmu?"

"Aku bisa membeli dengan hartaku!"

"Itulah maka kukatakan bahwa orang kaya dan orang miskin itu saling bergantung, si kaya membantu dengan uangnya untuk membeli kain, si miskin membantu dengan membuatkan dan menjual kainnya. Kalau tidak ada kerja sama itu, bagaimana jadinya? Si kaya takkan dapat berpakaian, si miskin tidak akan dapat menjual hasil kerajinan untuk memperoleh uang guna membeli barang keperluan lain! Demikian pula dengan pangan. Bagaimana engkau akan dapat makan nasi kalau tidak ada si miskin yang menggarap sawah dan menanam padi? Si kebergantung kepada si miskin, dalam hal ini petani, untuk dapat makan dan tani juga bergantung kepada si kaya untuk mendapatkan hasil guna membeli segala kebutuhan hidupnya yang lain lagi. Juga papan atau perumahan. Apakah dengan hartamu itu engkau akan dapat membangun rumahmu? Engkau membutuhkan bantuan si miskin, buruh pertukangan dan merekapun membutuhkan bayaran darimu. Kalian saling terkait, saling bergantung dan tidak bisa hidup diri sendiri tanpa saling. bantu. Nah, Dewi, engkau sekarang mudah-mudahan menyadari bahwa bukan harta benda yang terpenting, melainkan saling menyayangi antara manusia, saling bantu menjalin persatuan yang kokoh kuat sehingga kita semua dapat hidup bersatu dan membagi kesejahteraan diantara kita. Manusia yang hidup saling mengasihi, bersatu padu, dan bekerja sama demi kemakmuran dan kebahagiaan bersama, adalah bangsa yang dikasihi Sang Hyang Widhi Wasa dan pasti menerima berkahnya yang berlimpah-limpah!"

Maya Dewi mendengarkan dan kini ia memandang bengong kepada pemuda remaja itu. Tiba-tiba ia tersenyum dan berkata dengan nada suara heran dan gembira, "Eh, Tolol! Bicaramu seperti seorang pendeta linuwih! Dari siapa engkau dapat mengetahui itu semua?"

"Sejak kecil aku mendengarkan pelajaran tentang kehidupan ini dari mendiang guruku."

"Siapa dia?"

"Mendiang guruku adalah Ki Ageng Mahendra."

"Aku tidak pernah mendengar namanya. Tentu dia seorang yang arif bijaksana."

"Memang, guruku adalah seorang yang arif bijaksana dan aku berbahagia sekali menjadi muridnya."

"Bahagia? Apa itu? Bagaimana itu? Selama hidupku, aku tidak pernah merasa bahagia!" kata Maya Dewi, nadanya keceWa.

"Aduh kasihan engkau, Dewi. Engkau ingin merasakan bahagia? Ulurkan tanganmu untuk memberi kasih sayang kepada orang lain, dengan jalan menolong orang lain engkau akan merasakan betapa bahagianya perasaan yang datang dari perbuatan itu."

"Menolong orang lain? Bagaimana caranya?"

"Tanpa adanya kasih sayang dalam hatimu terhadap orang lain, memang tidak akan ditemukan caranya. Akan tetapi kalau ada kasih sayang itu, akan muncul seribu satu macam cara. Jelasnya begini, Dewi, kalau ada kasih sayang dalam hatimu terhadap orang lain, maka segala yang kau lakukan, betapa baikpun, akan selalu didorong oleh nafsu daya rendah yang pada hakekatnya ingin mencari keuntungan diri sendiri dalam bentuk balas budi, pujian, kepuasan, dan sebagainya. Akan tetapi kalau ada kasih sayang dalam hatimu, maka kasih sayang itulah yang akan mendorongmu untuk menolong sesama hidupmu. Semua kelebihan pada diri kita merupakan anugerah Sang Hyang Widhi, maka kasih sayang akan mendorongmu untuk menyalurkan anugerah itu kepada orang lain yang memerlukannya. Dengan demikian engkau akan menjadi alat atau abdi Sang Hyang Widhi. Kalau itu merupakan anugerah harta, engkau dapat mengulurkan tangan memberi sebagian hartamu kepada mereka yang amat membutuhkannya. Kalau anugerah kepandaian, engkau dapat memberi kepada mereka yang tidak pandai berupa keterangan, nasihat dan sebagainya. Kalau engkau mendapat anugerah ilmu pengobatan, engkau dapat memberi ilmu itu kepada mereka yang sakit dan membutuhkan obat yang menyembuhkan, dan seterusnya. Inilah yang merupakan kewajiban manusia dalam hidupnya, Dewi."

"Maksudmu, kalau aku menolong orang lain, aku akan berbahagia? Pantas selama ini aku tidak merasakan kebahagiaan itu, karena aku tidak pernah menolong orang lain."

Bagus Sajiwo menggeleng kepalanya. "Bukan begitu, Dewi. Kalau engkau menolong orang dengan pamrih agar dapat berbahagia, itu bukan pertolongan namanya, melainkan usaha untuk membahagiakan diri sendiri dan engkau tidak akan berhasil, engkau menipu diri sendiri. Ini masih ulah nafsu daya rendah yang selalu melahirkan perbuatan untuk menyenangkan diri sendiri. Akan tetapi, kalau kasih sayang kepada sesama hidup sudah tumbuh dalam hatimu, ini merupakan anugerah Sang Hyang Widhi paling besar dan paling sempurna, maka semua perbuatanmu terhadap orang lain itu terdorong rasa kasih itu, sehingga perbuatan itu pasti baik dan benar, kepentingan diri sendiri hilang dan yang dipentingkan hanyalah orang lain."

"Wah, engkau ini pantasnya menjadi pendeta, Tolol!" kata Maya Dewi dan sepasang matanya berseri menatap wajah Bagus Sajiwo.

"Tidak, Dewi. Pelajaran ini untuk semua orang dari golongan apapun, kaya miskin, pintar bodoh, berkedudukan tinggi atau rendah. Bukan untuk dibicarakan saja, melainkan lebih utama untuk dilaksanakan. Pendeta sekalipun, kalau hanya menggembar-gemborkannya tanpa dia sendiri melaksanakan dalam hidupnya, kalau hidupnya tanpa cinta kasih kepada orang lain, maka percuma saja pengetahuan itu."

Maya Dewi mengangguk-angguk. "Hemm, jadi engkau membela dan menolongku mati-matian ini, karena ada rasa kasih sayang itu dalam hatimu terhadap aku, Tolol?"

Bagus Sajiwo mengangguk, lalu setelah melihat sinar mata wanita itu kepadanya, melanjutkan dengan cepat. "Kasih sayang dalam hatiku ini untuk semua orang, Dewi. Tidak pilih kasih."

Sepasang alis itu berkerut dan sinar mata Maya Dewi kelihatan tak senang. "Kau hendak mengatakan bahwa engkau mengasihiku seperti engkau mengasihi orang lain?"

Bagus Sajiwo mengangguk. "Memang begitulah seharusnya. Engkau harus memiliki hati yang dapat mengasihi semua orang tanpa pilihan, Dewi."

"Hemm, aku tidak bisa, Tolol. Aku hanya bisa mencinta orang yang menyenangkan hatiku dan kalau aku melihat orang itu mencinta orang lain, hatiku menjadi panas dan marah, aku benci!"

"Itu cinta nafsu daya rendah, Dewi. Bukan itu yang kumaksudkan, melainkan cinta kasih anugerah Sang Hyang Widhi."

"Bagaimana caranya untuk dapat memiliki cinta kasih seperti itu?"

"Tidak ada caranya, tidak dapat dipelajari, tidak dapat diusahakan, datang memenuhi diri atas kehendak Sang Hyang Widhi. Satu-satunya kewajiban kita hanyalah menyerah dengan sepenuh iman, kesabaran, keikhlasan dan ketawakalan, tiada hentinya berdoa semoga Hyang Widhi Wasa sudi memberi bimbingan dan memberi kekuatan lahir batin agar kita selalu dapat melaksanakan perintahNya dalam kehidupan sehari-hari seperti yang dikehendakiNya dan tertuang dalam kitab-kitab suci."

Semenjak percakapan itu, Maya Dewi lebih banyak diam termenung. Ia membayangkan kehidupannya yang lalu. Sejak kecil ayahnya, mendiang Resi Koloyitmo, selalu mendorongnya agar ia selalu mengejar harta, pangkat, derajat dan kemenangan karena hanya semua itu yang dapat mendatangkan kesenangan dalam hidupnya. Kemudian, setelah dewasa ia selalu mengejar kesenangan dan dalam pengejaran ini, ia menghalalkan segala cara. Semua gairah nafsunya dituruti dan ia menjadi budak dari nafsu-nafsunya sendiri yang pada akhirnya malah membuat ia merasa hidupnya hampa, kehilangan, kesepian dan melihat betapa semua itu palsu belaka. Mata batinnya seolah semakin terbuka oleh kata-kata pemuda remaja itu, akan tetapi ah, betapa sulitnya untuk melaksanakan semua nasihat yang diucapkan Bagus Sajiwo.

Pada keesokan harinya, Bagus sajiwo berkata, "Dewi, sekarang tiba saatnya untuk mengobati hawa panas beracun yang mengeram dalam tubuhmu. Biarpun hawa dingin beracun Wisa Sarpa telah lenyap, namun ancaman hawa panas beracun Tapak Rudira itu tetap amat membahayakan dirimu. Kalau hawa panas beracun itu telah lenyap, baru engkau benar-benar terbebas dari ancaman maut. Bukankah engkau pernah mengatakan bahwa disini terdapat tempat yang hawanya amat dingin, cukup dingin sehingga airpun akan membeku?"

"Memang ada, Bagus. Tempat itu terdapat di puncak Gunung Wilis yang berada tak jauh, di sebelah utara. Disana biasanya aku berlatih. Mari kita tinggalkan tempat ini dan berangkat kesana, Bagus."

Kedua orang itu lalu berangkat. Bagus Sajiwo membawa peti terisi perhiasan, sedangkan Maya Dewi membawa buntalan pakaian berisi pakaiannya dan sedikit pakaian Bagus Sajiwo.

Selama berada di Ruangan Inti Panas Bumi itu, Bagus Sajiwo yang mencuci pakaian kotor mereka diluar terowongan itu. Mereka berdua merangkak keluar dari lubang terowongan dan tiba di luar dengan selamat, lalu melanjutkan perjalanan menuju ke puncak Wilis.

Matahari telah condong ke barat ketika akhirnya mereka tiba di puncak. Tempat yang dimaksudkan oleh Maya Dewi itu memang amat dingin, akan tetapi juga indah sekali pemandangannya. Berdiri di puncak, mereka dapat melihat awan berarak di bawah kaki mereka. Di puncak terdapat sebuah sumber air yang membentuk sebuah kolam air yang cukup besar. Di waktu siang, biarpun air itu tetap dingin sekali, namun tidak sampai membeku. Akan tetapi di waktu malam, air kolam itu membeku saking dinginnya hawa disitu.

Hawa dingin menyambut mereka ketika mereka tiba disitu. Ada pohon-pohon besar disekitar kolam dan di bawah pohon merupakan tempat yang enak, ditumbuhi rumput tebal. Mereka segera memilih tempat yang agak kering dan setelah melepaskan peti dan buntalan, mereka duduk di atas akar pohon yang menonjol ke permukaan tanah.

Bagus Sajiwo memandang ke sekeliling dan merasa kagum. "Tempat ini bagus sekali, Dewi. Dan hawanya cukup dingin. Kurasa, di waktu malam kita dapat berlatih. Hawanya tentu amat dingin. Seperti ketika berlatih di ruangan Inti Panas Bumi, disini engkau dapat berlatih, menyerap hawa dingin dari luar dan kubantu dengan pengerahan tenaga berhawa dingin untuk menggempur hawa panas beracun yang berada di tubuhmu. Malam nanti, kalau hawa dingin sudah mencapai titik beku, kita mulai."

Maya Dewi hanya mengangguk. Sebetulnya, dalam hatinya ia merasa nelangsa. Ia sudah kehilangan Aji Wisa Sarpa, dan kini ia akan kehilangan pula Aji Tapak Rudira. Kalau ia kehilangan dua aji pamungkasnya itu, ia merasa tidak berdaya.

Akan tetapi tidak ada pilihan lain. Pertandingannya melawan Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra membuat ia terluka parah, terpukul oleh kedua ajinya sendiri yang membalik sehingga tubuhnya keracunan dua hawa yang berbeda. Terpaksa ia harus merelakan kehilangan dua aji pamungkas itu. Pula, bukankah kedua aji itu merupakan ilmu sesat menurut Bagus Sajiwo? Dan kesesatan pula yang membuat ia kini merana, merasa hidupnya hampa dan tidak bahagia!

Malam tiba. Hawa dingin mulai menyelubungi puncak itu. Hawa dingin yang menembus kulit daging menusuk tuiang. Darah dalam tubuh serasa membeku, seperti air di kolam yang mulai membeku.

"Sekarang waktunya, Dewi. Mari kita berlatih." kata Bagus Sajiwo.

Maya Dewi lalu duduk di tepi kolam, bersila di atas batu yang rata. Bagus Sajiwo duduk di belakangnya lalu menempelkan telapak tangan kirinya ke punggung wanita itu. Maya Dewi bernapas dalam-dalam, menyedot hawa dingin yang langsung ditarik ke pusarnya, sementara itu Bagus Sajiwo mengerahkan tenaga sakti yang mengandung hawa dingin untuk membantu Maya Dewi. Hawa dingin yang disatukan itu untuk menggempur hawa panas beracun dari Aji Tapak Rudira yang melukai tubuh sebelah dalam dari Maya Dewi.

Tubuh Maya Dewi mulai menggigil. Hawa dingin yang dipersatukan itu membuat darahnya seolah membeku. Giginyi mulai berbunyi saling beradu. Ia mula gelisah dan merintih. Bagus Sajiwo yang sudah mempersiapkan segalanya, mengambil kain yang tadi dia keluarkan dari buntalan dan ditumpuk di dekat mereka duduk, lalu mengambilnya dan diselimutkan pada tubuh Maya Dewi.

Akan tetapi, kehangatan kain itu hanya menolong sedikit dan sebentar saja. Tak lama kemudian, Maya Dewi mulai menggigil lagi dan merintih, giginya berkeratukan. Lalu ia menggeser tubuhnya, membalik dan menghadapi Bagus Sajiwo.

"Bagus.... tolonglah aku.... peluklah aku...." Maya Dewi tidak tahan lagi, tubuhnya semakin menggigil.

"Kuatkanlah, Dewi, pertahankanlah..." bisik Bagus Sajiwo.

Akan tetapi tiba-tiba Maya Dewi sudah merangkul leher Bagus Sajiwo dan merebahkan kepalanya di dada pemuda itu, duduk di atas pangkuannya.

Bagus Sajiwo terpaksa merangkulnya agar dapat terus menempelkan tangan kirinya ke punggung Maya Dewi. Agaknya kehangatan tubuh Bagus Sajiwo agak menolongnya, atau mungkin ia memperoleh kekuatan baru dalam rangkulan pemuda itu. Maya Dewi agak tenang dan mereka berangkulan seperti itu sepanjang malam. Maya Dewi merasa aman, terlindung, dan tenang dan ini banyak membantu penderitaannya karena hawa yang amat dingin.

Sementara itu, karena seluruh perhatiannya hanya ditujukan untuk mengobati dan menyelamatkan Maya Dewi, maka biar-pun kedua orang itu tampaknya berangkulan mesra, namun sedikitpun tidak ada gejolak nafsu berahi mengganggu keduanya. Semua terjadi dengan wajar, yang seorang mencari perlindungan, yang lain melindungi. Tidak ada gejolak nafsu daya rendah menyelinap diantara keduanya.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Wiku Menak Jelangger adalah seorang pendeta berusia sekitar enam puluh tahun, tinggal di sebuah padepokan di daerah Blambangan. Dia membangun sebuah padepokan di tepi Selat Bali dan menjadi seorang pertapa disitu. Dia memiliki dua orang cantrik, yang menemaninya dan tinggal dalam padepokan itu sebagai murid-murid dan juga pelayan-pelayannya. Kedua orang cantrik ini berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bernama Darun yang bertubuh pendek gendut dan Dayun yang bertubuh tinggi kurus.

Pada suatu pagi, setelah Darun dan Dayun menyelesaikan pekerjaan pagi mereka, menyapu pekarangan, menyirami tanam-tanaman sayur dan pohon-pohon buah, membersihkan rumah, melayani sang wiku sarapan pagi, mereka lalu duduk di pekarangan rumah itu, bersila di atas hamparan tikar menghadap sang wiku yang duduk bersila di atas sebuah lincak (bangku). Seperti biasa, sang wiku memberi wejangan-wejangan kepada dua orang cantriknya. Mereka berdua bukan hanya menerima wejangan ilmu tentang hidup yang benar, akan tetapi juga menerima latihan ilmu kanuragan yang pada dasarnya diperuntukkan menjaga kesehatan dan juga menjaga keselamatan diri dari ancaman luar.

Mereka bertiga duduk berbincang-bincang, sang guru memberi wejangan dan dua orang cantriknya mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang hal-hal yang bagi mereka masih kurang jelas. Sambil berbincang mereka sengaja duduk di tempat yang terbuka itu sehingga sinar matahari pagi yang hangat memandikan tubuh mereka.

Tiba-tiba Wiku Menak Jelangger menghentikan percakapan itu dan memandang ke arah belakang dua orang cantriknya, yaitu ke arah pagar halaman depan dengan sinar mata heran. Dua orang cantrik itupun cepat memutar leher mereka dan mereka berdua melihat bahwa yang membuat guru mereka heran adalah munculnya dua orang dihalaman itu.

Mereka adalah seorang pria dan seorang wanita. Prianya berusia sekitar empat puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap dan kokoh. Wajahnya gagah, dengan mata lebar bersemangat, alis tebal hidung mancung dan mulutnya selalu dihias senyum penuh pengertian. Kulitnya kuning dan rambutnya panjang digelung ke atas. Adapun yang wanita juga seorang yang cantik jelita. Usianya sekitar tiga puluh delapan tahun. Yang membuat ia tampak cantik itu terutama mata dan mulutnya karena kedua anggauta badan ini amat menarik dan indah, akan tetapi pada wajahnya yang ayu manis itu terbayang kekerasan hati. Dipunggung wanita cantik ini tergantung sebatang pedang yang sarungnya diukir gambar seekor naga.

Sang Wiku Menak Jelangger tidak mengenal pria dan wanita itu, namun sebagai seorang berilmu dia dapat menduga bahwa dua orang pendatang itu bukan penduduk dusun, bukan pula orang-orang biasa, melainkan orang-orang yang datang dari jauh dan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Dari langkah mereka yang begitu tegap namun ringan saja tahulah dia bahwa mereka memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Maka dengan sikap ramah dan hormat dia bangkit dari lincak dan berdiri menyambut. Darun dan Dayun juga tahu diri. Mereka segera bangkit dan mundur, berdiri agak jauh di belakang sang wiku sambil membungkuk untuk menghormati dua orang yang kini datang menghampiri pondok.

"Tejo-tejo sulaksana! Selamat datang di padepokan kami yang buruk dan kotor. Siapakah gerangan andika berdua yang terhormat dan apakah kiranya yang dapat kami bantu sehingga andika berdua mengunjungi kami?"

Melihat sikap dan mendengar sapaan yang penuh kelembutan dan hormat itu, pria itu membalas penghormatan dengan menyembah depan dada lalu membungkuk, diturut oleh wanita disebelahnya.

"Permisi, paman wiku. Maafkanlah kiranya kalau kami datang mengganggu keheningan dan ketenteraman andika. Saya bernama Ki Tejomanik, penduduk dusun Bayeman di lereng Gunung Kawi, dan ini adalah isteri saya bernama Retno Susilo."

"Jagat Dewa Bathara! Saya pernah mendengar akan nama besar Ki Sutejo dan isterinya yang bernama Retno Susilo, suami isteri tokoh Mataram yang sakti mandraguna. Andika berduakah itu?"

Ki Tejomanik yang di waktu muda terkenal dengan nama Sutejo itu mengangguk dan tersenyum. "Benar, paman, akan tetapi kami berdua tidaklah sehebat yang dikabarkan orang."

"Ah, Darun dan Dayun, kita kedatangan tamu agung! Cepat, sediakan minuman dan Nyamikan (makanan) seadanya untuk menyambut tamu-tamu kita!"

"Sendiko dawuh, Bapa Wiku!" Jawab dua orang cantrik itu dengan suara berbareng dan mereka lalu cepat memasuki pondok.

"Ah, tidak usah repot, paman. Kami hanya merepotkan saja!" kata Retno Susilo.

"Sama sekali tidak. Marilah, anak mas berdua, silakan masuk dan kita bicarakan tentang kepentingan andika berdua datang berkunjung, agar lebih leluasa kita bicara. Silakan!" Wiku Menak Jelangger mempersilakan dua orang tamunya duduk di ruangan depan yang mendapat cukup sinar matahari pagi melalui dua buah jendela di sebelah timur ruangan yang terbuka lebar-lebar sehingga ruangan itu cukup terang dan hawa udara pagi yang sejuk mengalir masuk berlimpah-limpah.

Mereka duduk mengelilingi sebuah meja yang terbuat dari kayu jati, meja dengan ukiran indah dengan empat kursinya yang terukir indah pula. Pasangan meja kursi ini merupakan hadiah dari Adipati Blambangan karena biarpun Wiku Menak Jelangger tidak pernah mencampuri urusan pemerintahan, bahkan tidak ikut membantu kalau kadipaten Blambangan berperang melawan musuhnya, namun sang wiku tetap dihormati sang adipati. Pertama karena Wiku Menak Jelangger menurunkan beberapa ilmunya kepada banyak senopati Blambangan dan juga karena kakak seperguruannya, mendiang Wiku Menak Koncar merupakan orang kepercayaan Sang Adipati Blambangan.

Darun dan Dayun menghidangkan minuman air teh panas dan jagung rebus, dan dengan ramah dan manis budi sang wiku mempersilakan kedua orang tamunya untuk menikmati jagung muda rebus yang masih mengepul panas itu dan minum air tehnya. Ki Tejomanik dan isterinya menyambut ajakan ini dan mereka berdua makan jagung rebus dan minum air teh. Setelah mereka berhenti makan, sang wiku lalu bertanya.

"Nah, sekarang harap anak mas suka menceritakan, apa yang mendorong andika berdua mengunjungi aku, seorang tua yang tidak mempunyai urusan apapun dengan dunia ramai? Bantuan apa yang dapat kuberikan kepada andika berdua?"

Suami isteri itu saling pandang dan karena hubungan mereka sebagai suami isteri sudah berjalan hampir dua puluh tahun, maka mereka saling mengenal secara mendalam, bahkan dari pandang mata saja mereka seolah dapat mengetahui isi hati dan pikiran masing-masing.

Kedua orang suami isteri ini merasa heran. Setahu mereka, dari cerita para pendekar yang membela Mataram, Wiku Menak Koncar yang menjadi tokoh besar Blambangan adalah seorang yang berwatak kejam, bahkan tidak segan untuk bersekutu dengan pihak Kumpeni Belanda untuk memusuhi Mataram. Juga mereka mendengar bahwa Wiku Menak Koncar tewas ketika bertanding melawan Sang Puteri Wandansari yang telah menjadi isteri Pangeran Pekik, Adipati Surabaya yang sakti mandraguna dan yang masih terhitung adik seperguruan Ki Tejomanik sendiri. Mereka berdualah yang langsung menerima masing-masing ilmu yang hebat yang merupakan aji pamungkas dari mendiang Resi Limut Manik.

Sang Puteri Wandansari menerima ilmu pedang Kartika Sakti, sedangkan Ki Tejomanik yang dulu bernama Sutejo menerima ilmu pecut Bajrakirana. Akan tetapi, Wiku Menak Jelangger ini, yang kabarnya adalah adik seperguruan mendiang Wiku Menak Koncar, sama sekali tidak membayangkan sikap seorang yang sesat dan jahat. Malah sebaliknya, dia tampak begitu bijaksana, manis budi dan menyambut orang-orang yang lebih muda seperti mereka dengan begitu ramah dan hormat! Karena ini, maka Ki Tejomanik dan isterinya bersikap hati-hati dan juga penuh hormat.

Retno Susilo membiarkan suaminya yang bicara, karena ia khawatir sikapnya yang terbuka sehingga terkadang kasar itu akan menyinggung perasaan sang wiku.

"Sekali lagi kami berdua mohon maaf sekiranya kunjungan kami tanpa undangan ini mengganggu dan merepotkan paman wiku. Terus terang saja, kedatangan kami ini untuk mohon pertolongan dari paman karena kiranya hanya andika yang dapat menolong kami, paman wiku."

"Hemm, bahagia sekali kalau aku merupakan satu-satunya orang yang dapat menolong andika berdua dan tentu saja aku bersedia untuk melakukan apa yang andika butuhkan. Nah, katakan, pertolongan apakah yang andika maksudkan itu?"

"Begini, paman wiku. Kami berdua jauh-jauh datang dari tempat tinggal kami di lereng Gunung Kawi untuk mencari keterangan perihal diri Sang Wiku Menak Koncar. Kami sudah berkeliling di Blambangan, akan tetapi tidak ada seorangpun yang dapat menceritakan apa yang ingin kami ketahui tentang Wiku Menak Koncar. Akhirnya kami mendengar bahwa andika adalah saudara seperguruan Wiku Menak Koncar. Karena itu kami yakin bahwa andika adalah satu-satunya orang yang akan dapat menceritakan masalah yang ingin kami ketahui tentang Wiku Menak Koncar."

Ki Tejomanik tidak berani langsung menceritakan persoalannya, karena dia ingin menjajagi (mengukur) lebih dulu sikap sang wiku.

Wiku Menak Jelangger menghela napas panjang. "Andika agaknya terlambat, Anak mas Tejomanik. Kakang Menak Koncar telah meninggal dunia, sekitar dua tiga tahun yang lalu."

"Kami sudah mengetahui, paman. Akan tetapi yang ingin kami ketahui tentang diri Sang Wiku Menak Koncar adalah pada waktu kurang lebih sepuluh tahun yang lalu."

Wiku Menak Jelangger tampak termenung, lalu menatap wajah Ki Tejomanik dengan pandang mata tajam penuh selidik, lalu dia bertanya. "Sepuluh tahun yang lalu? Apa yang ingin andika ketahui tentang dia sepuluh tahun yang lalu, anak mas? Apa yang telah terjadi?"

Wiku Menak Jelangger Kembali saling pandang dengan Retno Susilo. Mereka berdua memang merasa sungkan menceritakan tentang kejahatan mendiang Wiku Menak Koncar kepada adik seperguruannya yang manis budi ini. Akan tetapi sudah sepuluh tahun suami isteri ini merantau sampai jauh, bukan hanya untuk ikut berjuang membantu Mataram, melainkan terutama sekali untuk mencari putera mereka yang hilang diculik Wiku Menak Koncar.

Kurang lebih dua tahun yang lalu, mereka mendengar pengakuan Kyai Sidhi Kawasa bahwa yang menculik putera mereka dan membawa lari pedang Nogo Wilis adalah Wiku Menak Koncar dan Kyai Sidhi Kawasa membantunya. Setelah berhasil, Wiku Menak Koncar membawa pergi Bagus Sajiwo, putera ki Tejomanik dan Retno Susilo itu, sedangkan pedang pusaka itu diberikan kepada Sang Kyai Sidhi Kawasa.

Sebelum Kyai Sidhi Kawasa tewas membunuh diri karena kalah dalam pertempuran antara pasukan Kumpeni Belanda melawan Pasukan Mataram, dimana dia membantu Belanda, dia membuat pengakuan itu kepada Ki Tejomanik dan isterinya. Setelah perang berhenti karena balatentara Mataram gagal dalam penyerbuannya ke Batavia, suami isteri itu lalu mulai mencari keterangan tentang Wiku Menak Koncar, tentu saja ke Blambangan, tempat asal sang wiku yang menculik putera mereka itu.

Melihat suami isteri itu tampak ragu dan sungkan menjawab pertanyaan tadi, Wiku Menak Jelangger berkata, "Anak mas Tejomanik, tampaknya andika berdua ragu dan sungkan. Ceritakan saja apa yang terjadi, jangan sungkan karena akupun sudah mengetahui bahwa semasa hidupnya, Kakang Wiku Menak Koncar telah tersesat, langkah-langkah hidupnya menyimpang dari kebenaran. Aku dapat menduga bahwa tentu timbul permasalahan dan permusuhan antara andika berdua dan dia."

Mendengar ucapan itu, timbul keberanian di dalam hati Tejomanik. "Sebelumnya maafkan kami, paman wiku. Sesungguhnyalah, memang mendiang Wiku Menak Koncar memusuhi kami khususnya dan Mataram pada umumnya. Saudara-saudaranya, Ki Klabangkolo tewas dalam tangan mendiang ayah saya, Ki Harjodento ketua perkumpulan persilatan Nogo-dento. Biarpun kemudian dia dapat membalas dendam dan membunuh ayah ibu saya, namun dendamnya masih bernyala. dalam hatinya. Apalagi ketika saudaranya yang lain, Resi Wisangkolo tewas di tangan Gusti Puteri Wandansari, dia semakin mendendam. Nah, agaknya semua rasa dendam itu hendak dia tumpahkan kepada kami karena pertama, mungkin saya adalah putera musuh besarnya, kedua, saya adalah saudara seperguruan Gusti Puteri Wandansari, dan ke tiga saya adalah seorang kawula Mataram yang setia dan selalu membantu Mataram menghadapi para lawannya. Maka, pada suatu hari, kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, Wiku Menak Koncar yang dibantu oleh mendiang Kyai Sidhi Kawasa, mendatangi tempat tinggal kami di Gunung Kawi. Mereka berdua menculik puteraku yang bernama Bagus Sajiwo dan mencuri pedang pusaka Nogo Wilis selagi kami tidak berada di rumah. Kyai Sidhi Kawasa mendapat bagian pedang pusaka itu dan anak kami dibawa pergi oleh Wiku Menak Koncar. Tadinya kami tidak tahu siapa yang menculik putera kami dan kami mencari bertahun-tahun dengan sia-sia. Akhirnya, dua tahun yang lalu kami menemukan pedang pusaka Nogo Wilis dan tahu bahwa Kyai Sidhi Kawasa yang mencurinya. Kami mencarinya dan setelah bertemu dalam sebuah pertempuran dimana Kyai Sidhi Kawasa membantu Belanda, sebelum tewas membunuh diri, dia mengakui semua itu. Dialah yang menceritakan bahwa Wiku Menak Koncar yang melarikan anak kami. Akan tetapi kami sudah mendengar bahwa dia telah tewas di tangan Gusti Puteri Wandansari. Karena itulah kami mencari sampai disini dan mengharapkan keterangan paman tentang anak kami Bagus Sajiwo yang dilarikannya itu."

"Paman Wiku, saya percaya bahwa andika tentu cukup bijaksana untuk mengetahui betapa sakitnya hati seorang ibu yang dipisahkan dari anak tunggalnya. Karena itu, saya mohon andika suka memberi keterangan kepada kami!" kata Retno Susilo dengan suara yang menggetarkan penuh perasaan harap-harap cemas dan haru.

Mendengar penjelasan yang panjang dari Ki Tejomanik dan mendengar permohonan dari Retno Susilo, Wiku Menak Jelangger menghela napas panjang. "Duh Jagat Dewa Bathara, mengapa andika membuat karma yang demikian buruknya, Kakang Menak Koncar? Anak-mas Tejomanik berdua, sebetulnya tidak pantaslah kalau aku membicarakan keburukan kakak seperguruan sendiri. Anak-mas, jawablah sejujurnya, apakah andika berdua masih menaruh hati dendam kepadanya?"

"Sama sekali tidak, paman. Kami diajar untuk tidak membenci orangnya, melainkan menentang perbuatan jahat dari siapapun juga. Wiku Menak Koncar sudah tiada, kami tidak mendendam, akan tetapi kami hanya berusaha untuk menemukan kembali anak tunggal kami."

Wiku Menak Jelangger mengangguk-angguk dan mulutnya tersenyum. "Bagus, Andaikata tadi andika menjawab bahwa andika masih mendendam, sampai matipun aku tidak akan mau bercerita tentang mendiang kakang Wiku Menak Koncar. Akan tetapi demi untuk membantu kalian menemukan kembali putera kalian, aku akan menceritakan apa yang kuketahui."

"Terima kasih, paman wiku!" kata suami isteri itu.

"Sepuluh tahun yang lalu, Kakang Wiku Menak Koncar mengunjungi aku dengan wajah murung. Dia sedang jengkel dan marah dan setelah kutanyakan, dia bercerita terus terang bahwa dia telah berhasil menculik putera kalian."

"Mau diapakan anak saya dan kemana anakku dibawanya, paman?" Retno Susilo memotong dengan tidak sabar.

"Tenang dan sabarlah, diajeng. Biar paman wiku melanjutkan ceritanya." Ki Tejomanik menyentuh lengan isterinya.

"Dia bermaksud mendidik anak itu agar kelak kalau sudah dewasa dan tangguh dapat disuruh memusuhi andika berdua."

"Ahh, keparat!" Retno Susilo berseru.

"Tenang, diajeng!" Ki Tejomanik kini enegur isterinya, khawatir bahwa watak yang dulu liar dan keras ganas dari isterinya itu akan kambuh kembali saking cemas dan dukanya memikirkan anak tunggal mereka.

"Untung bahwa hal itu tidak terjadi. Dia menceritakan bahwa ketika dia membawa anak itu sampai di kaki pegunungan Ijen, muncul seorang kakek yang sakti mandraguna. Kakek itu merampas anak andika dari tangan Kakang Wiku Menak Koncar. Setelah dikalahkan dalam pertandingan, Kakang Wiku Menak Koncar terpaksa meninggalkan anak dan kakek tua itu. Dia masih penasaran dan bahkan mengajak aku untuk membantunya menghadapi kakek itu dan merampas kembali anak andika, akan tetapi setelah mendengar siapa kakek itu aku menasehatkan dia agar jangan melawan kakek yang aku tahu amat sakti mandraguna dan kami sama sekali bukan tandingannya itu."

"Jadi, kalau begitu, anak saya kini berada pada kakek itu, paman?" tanya Retno Susilo.

Wiku Menak Jelangger mengangguk-angguk.

"Paman wiku, siapakah nama kakek yang merampas anak kami dari tangan Wiku Menak Koncar itu?" tanya Ki Tejo manik.

"Namanya adalah Ki Ageng Mahendra."

"Ya Allah....!" Mendengar disebutnya nama ini, Ki Tejomanik merangkap kedua tangan dalam sembah dan memejamkan kedua matanya. "Terima kasih, gusti, hamba yakin kini bahwa putera hamba berada dalam tangan yang melindunginya." katanya lirih seperti berdoa.

Retno Susilo mengguncang lengan suaminya. "Siapa itu Ki Ageng Mahendra? Apa engkau mengenalnya? Aku tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya!"

"Memang nama itu tidak pernah muncul di dunia ramai. Akupun hanya mendengarnya satu kali saja ketika mendiang eyang guru menyebutnya. Eyang Ki Ageng Mahendra adalah adik seperguruan Eyang Guru Limut Manik." kata Ki Tejomanik.

Wiku Menak Jelangger tampak terkejut mendengar ucapan Ki Tejomanik dan memandang wajah satria itu dengan mata terbuka lebar. "Jadi andika ini murid Paman Resi Limut Manik? Jagat Dewa Bathara! Aduh Kakang Menak Koncar, mengapa andika begitu bodoh untuk memusuhi orang-orang seperti mereka ini? Tidak mengherankan kalau engkau dan teman-temanmu berguguran ...."

"Paman Wiku, kemanakah anak kami dibawa oleh Ki Ageng Mahendra itu? Dimana tempat tinggalnya?" tanya Retno Susilo yang juga sudah merasa tenang mendengar anaknya berada di tangan orang sakti yang melindunginya.

Wiku Menak Jelangger menggeleng kepalanya. "Aku tidak tahu, juga mendiang Kakang Menak Koncar tidak tahu. Yang dia tahu hanyalah bahwa dia bertemu Ki Ageng Mahendra itu di kaki pegunungan Ijen. Nah, hanya itulah yang kuketahui dari Kakang Menak Koncar tentang putera andika berdua, Anak mas Tejomanik."

"Terima kasih banyak, paman. Keterangan paman Wiku ini sungguh teramat berharga dan penting, selain dapat membuat kami berdua merasa tenang dan bahagia mendengar anak kami berada di tangan yang melindunginya, juga kami dapat menemukan jejak untuk mencari anak kami itu. Terima kasih dan kami mohon pamit, Paman Wiku Menak Jelangger."

"Berterima kasihlah kepada Yang Maha Kasih, bukan kepadaku, anak mas. Kalau andika berdua hendak melanjutkan usaha pencarian itu dan pergi sekarang, selamat jalan dan semoga andika dapat segera berkumpul kembali dengan anak tunggal andika."

"Terima kasih, paman." kata suami isteri itu lalu mereka meninggalkan padepokan Wiku Menak Jelangger.
********************

Pemuda dusun yang bertubuh tinggi tegap itu terhuyung-huyung menuruni lereng pegunungan Wilis. Keringatnya bercucuran dan mukanya yang bagi ukuran pedusunan dapat dikata tampan itu pucat pasi. Baru saja dia terhindar dari maut yang mengerikan. Ketika dia sedang berburu celeng (babi hutan) di hutan yang berada di lereng Wilis itu, dia melihat seekor celeng jantan besar diantara semak belukar.

Cepat dia menggunakan busur dan anak panah, menyerang celeng itu. Akan tetapi anak panahnya meleset ketika mengenai punggung celeng yang berkulit tebal. Celeng itu agaknya menjadi marah dan berlari ke arahnya sambil menundukkan kepala dan siap untuk menyerangnya dengan moncong yang dipersenjatai taring yang panjang runcing dan kuat itu!

Jayeng, demikian nama pemuda dusun itu, adalah seorang pemburu yang sudah berpengalaman. Usianya sekitar dua puluh lima tahun dan sudah lima tahun lebih dia mempunyai pekerjaan berburu binatang hutan, terutama celeng.

Kini, melihat celeng itu menyerangnya, dia tahu bahwa betapa besar bahayanya kalau binatang itu sudah marah. Dia cepat melarikan diri dan dengan jalan berputaran dari pohon ke pohon, dia dapat menghindarkan diri dari sergapan celeng itu yang kalau sudah berlari kencang, sukar untuk membelok apa lagi berputar, maka dipermainkan oleh Jayeng dengan cara berputar-putaran diantara pohon-pohon, dia tidak berdaya.

Akhirnya Jayeng dapat keluar dari hutan itu. Dia lalu melanjutkan perjalanannya berburu. Agaknya dia sedang sial karena sehari penuh dia tidak lagi menemukan binatang buruan yang memadai. Dia berjalan terus ke timur dan pada keesokan harinya, tibalah dia di daerah pegunungan sekitar Wilis. Tanpa setahunya, dia tiba di kaki Bukit Keluwung.

Daerah baru ini menarik hatinya. Siapa tahu, bukit yang dari bawah tampak dipenuhi hutan belukar itu mempunyai banyak binatang buruan. Dia mulai mendaki. Akan tetapi setibanya di dekat puncak, dia terkejut sekali melihat kobaran api di puncak bukit itu. Ada kebakaran. Dia tidak tahu apa yang menyebabkan kebakaran itu. Dia terus mendaki, mendekat. Dan dia bersembunyi mengintai dengan mata terbelalak keheranan. Dia melihat seorang wanita cantik jelita berpakaian serba putih, menangis sambil mengamuk dengan sebuah kebutan berbulu putih.

Sebuah pondok yang mungil dan indah sedang dimakan api berkobar dan wanita itu menggunakan kebutannya untuk menghancurkan apa saja yang berada di depannya. Bukan saja bagian rumah yang sedang terbakar itu, juga pohon-pohon, batu-batu, bertumbangan dan remuk dihantam bulu kebutannya yang mengeluarkan suara meledak-ledak. Dan wanita cantik itu mengamuk seperti kesetanan sambil menangis terisak-isak!

Bagus Sajiwo Jilid 04

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Bagus Sajiwo

Jilid 04

HAWA beracun dingin dalam tubuh wanita itu sudah tidak begitu kuat lagi. Akan tetapi Maya Dewi merasa lemas bukan main karena tadi harus mengerahkan seluruh tenaga untuk menahan hawa panas yang hebat itu.

Setelah mendapat kenyataan betapa hawa dingin beraCun itu sudah banyak hilang menguap, Bagus Sajiwo berani melepaskan tangan kirinya, lalu dia menghampiri buntalan pakaian Maya Dewi, membuka buntalan dan mengambil pakaian untuk wanita itu. Sama sekali dia tidak berani memperhatikan tubuh bugil yang sebagian tertutup tirai rambut hitam itu ketika Bagus Sajiwo membantu Maya Dewi mengenakan pakaiannya.

Wanita itupun mengenakan pakaiannya dan memandang pemuda remaja itu dengan sinar mata penuh rasa sukur, haru dan terima kasih. Ia menyadari bahwa tadi, dalam siksaan hawa panas yang membakar tubuhnya, saking tidak tahannya, dalam keadaan tersiksa itu ia merobek-robek pakaiannya sehingga ia berbugil. Akan tetapi tidak sedikitpun pemuda itu memperdulikan ke-telanjangannya ini dan baru setelah keadaannya membaik, Bagus Sajiwo mengambilkan pakaian dan tak pernah satu kalipun pandang mata pemuda itu memperhatikan tubuhnya yang telanjang. Ia merasakan terharu sekali dan ini merupakan pengalaman baru baginya, bertemu seorang laki-laki yang sama sekali tidak terusik gairah berahinya oleh kemulusan tubuhnya yang telanjang.

"Dewi, pintu agaknya telah jebol dan kudengar tadi batu-batu runtuh. Terowongan ini tentu sudah tertutup oleh tumpukan batu dan Candra Dewi tentu mati tertimpa dan tertimbun batu."

"Begitukah? Aku tadi tidak mendengarnya." kata Maya Dewi sambil mengusap keringat dari leher dan mukanya, lalu ia mulai menyanggul rambutnya.

Gerakan menyanggul rambut dengan kedua tangan ke atas dan ke belakang kepala ini merupakan gerakan indah khas wanita. Bagus Sajiwo terpesona. Dia dapat merasakan keindahan itu, akan tetapi bukan keindahan yang diselubungi gairah berahi karena dia sama sekali tidak berpikiran tentang itu. Dia melihat guratan-guratan merah pada kedua lengan yang berkulit putih mulus itu.

"Ah, kasihan engkau, Dewi. Kedua lenganmu penuh goresan, bekas serangan ujung kebutan Candra Dewi. Juga tadi aku melihat goresan-goresan berdarah pada tubuhmu. Mengapa engkau yang sedang terluka dalam itu nekat menandingi Candra Dewi yang kejam dan tangguh sekali itu?"

"Aku tidak tega melihat engkau diserang, aku tidak ingin melihat ia membunuhmu. Bagus, tubuhku terasa lemah sekali dan tenagaku habis. Bagaimana pendapatmu tentang keadaan luka dalam tubuhku sekarang?"

"Sudah jauh membaik, Dewi tadi aku sudah meneliti keadaanmu dan hawa beracun dari Aji Wisa Sarpa itu sudah banyak berkurang dan bahkan tidak membahayakan lagi."

"Akan tetapi ketika tadi melawan hawa dingin beracun itu, mengapa hawa panas itu demikian membakar? Berbeda jauh sekali dari kepanasan yang kurasakan di waktu berlatih dulu, padahal aku pun berlatih di tempat panas seperti ini."

"Hal itu tidak aneh, Dewi. Karena ketika engkau menyerap hawa panas bumi disini, hawa panas beracun dari Aji Tapak Rudira dalam tubuhmu bangkit sehingga hawa panas yang menjadi satu bertambah hebat. Akan tetapi semua itu bahkan menguntungkan karena dapat membuat hawa dingin beracun itu menguap dan tinggal sedikit. Dengan latihan menyerap hawa panas bumi, dalam beberapa hari saja kurasa engkau sudah terbebas dari bahaya ancaman hawa dingin beracun dari Aji Wisa Sarpa itu."

"Kalau begitu, aku akan kehilangan aji yang biasa kuandalkan itu?" tanya Maya Dewi dengan suara mengandung kekecewaan.

Bagus Sajiwo mengangguk. "Untuk apa menyesali hilangnya aji pukulan yang sesat itu, Dewi? Engkau telah bertahun-tahun berlatih ilmu kanuragan. Sebagai pengganti Aji Wisa Sarpa, engkau dapat berlatih diri dengan ilmu lain yang mengandung hawa dingin, akan tetapi yang tidak sesat seperti Wisa Sarpa."

Maya Dewi menghela napas panjang dan pada saat itu kedua orang itu tiba-tiba tertawa. Maya Dewi tersenyum malu-malu dan rikuh karena ia mendengar suara perut berkeruyuk, dari dalam perutnya sendiri dan perut Bagus Sajiwo!

"Ha-ha, perut kita menuntut isi, Dewi! Akan tetapi di tempat seperti ini, bagaimana kita dapat memperoleh makanan untuk mengisi perut kita?"

Maya Dewi tersenyum geli. Setelah kini tubuhnya tidak tersiksa lagi dan terasa lebih nyaman, walaupun tubuhnya lemas sekali, kegembiraannya bangkit. "Kenapa engkau begitu tolol?"

Bagus terkejut mendengar perubahan panggilan ini dan mengira wanita itu marah lagi kepadanya. Akan tetapi melihat bibir Maya Dewi terseyum manis dan mata yang agak redup membayangkan kelelahan itu memandang kepadanya dengan lembut, dia juga tersenyum, "Memang namaku Si Tolol, tentu saja aku sangat tolol. Lupakah engkau, Dewi?"

"Memang engkau tolol! Tadi sudah kukatakan kepadamu bahwa aku telah membuat sebuah jalan keluar rahasia sehingga tentu saja engkau dapat keluar dari tempat ini. Nah, sekarang keluarlah, nanti kutunjukkan jalannya. Engkau keluar mencari makanan untuk kita, sekalian engkau lihat apakah benar Mbak-ayu Candra Dewi telah tewas tertimbun batu-batu yang longsor dan menutup pintu terowongan."

"Bagus! Nah, sekarang tunjukkan jalan keluarnya!" kata Bagus Sajiwo gembira.

Tanpa bangkit dari tempat duduknya, Maya Dewi menuding ke depan dan berkata. Di ujung sana itu terdapat sebuah batu besar yang bentuknya bulat. Nah, kau dorong batu besar itu ke arah kiri dan engkau akan menemukan sebuah lubang yang cukup besar untuk kau masuki dengan jalan merangkak. Setelah engkau merangkak sejauh kurang lebih sepuluh meter, engkau akan tiba di lubang simpang empat. Beloklah ke kiri dan merangkak terus. Sekitar dua puluh meter engkau akan keluar dari lorong bawah tanah itu dan tiba diluar. Masuknya engkau ambil jalan yang sama."

"Baik," kata Bagus Sajiwo yang bangkit berdiri. "Aku pergi sekarang juga, Dewi. Engkau beristirahatlah saja dan jangan berlatih untuk menyerap inti panas bumi. Kalau engkau berdiam diri saja, tentu engkau dapat menahan panasnya hawa disini."

"Aku mengerti, Bagus." Maya Dewi mengangguk. "Dan jangan terlalu lama pergi."

"Baik, Dewi." Bagus Sajiwo lalu melangkah dan dari situ sudah tampak batu bulat itu.

Batu yang besar dan berat. Dalam keadaannya seperti sekarang ini, Maya Dewi tentu tidak akan mampu mendorong batu besar itu dan akan menderita kelaparan di tempat ini. Untung dia tidak terluka ketika bertanding melawan Candra Dewi. Wanita itu sungguh amat digdaya, dan agaknya Candra Dewi adalah seorang sakti mandraguna yang selama ini menyembunyikan dirinya sehingga mendiang gurunya, Ki Ageng Mahendra, ketika menceritakan padanya tentang tokoh-tokoh sakti, tidak pernah menyebut nama Candra Dewi.

Kini Bagus Sajiwo berdiri di depan batu besar itu. Dia mengerahkan tenaga saktinya, lalu mendorong batu itu ke arah kiri. Batu itu menggelinding perlahan dan Bagus Sajiwo menghentikan dorongannya setelah tampak sebuah lubang di dinding batu ruangan bawah tanah itu. Dia menoleh ke arah Maya Dewi yang melambaikan tangan kepadanya. Dia membalas dengan lambaian tangan lalu merangkak memasuki lubang itu seperti seekor tikus besar!

Tepat seperti apa yang diterangkan Maya Dewi tadi, setelah merangkak kurang lebih sepuluh meter, dia tiba di simpang empat. Kalau tidak dipesan oleh Maya Dewi, tentu dia akan memilih lubang yang terus atau yang membelok kekanan, karena lubang yang membelok ke kiri itu paling kecil, dan paling kasar batu lantainya. Seorang yang gemuk jangan harap dapat melalui lubang itu. Dia membelok ke kiri dan merangkak terus. Sekitar dua puluh meter dia merangkak dan tampaklah sinar terang. Ternyata dia keluar dari sebuah lubang yang berada di dinding lereng Bukit Keluwung!

Dia memandang ke arah lubang yang agak tertutup alang-alang itu. Seorang yang waras pikirannya tentu enggan memasuki lubang seperti itu, takut kalau-kalau lubang itu menjadi sarang ular besar atau binatang buas lainnya! Diam-diam dia kagum sekali kepada Maya Dewi. Wanita itu sungguh cerdik bukan main, dapat membuat sebuah ruangan tempat berlatih sekaligus tempat bersembunyi seperti Ruangan Inti Panas Bumi itu! Tak seorangpun akan menyangka bahwa dibelakang taman rumah mungil itu terdapat tempat seperti itu berikut alat rahasianya sehingga musuh tak dapat masuk dan kalau menggempur pintunya akan mati tertimbun batu-batu yang longsor!

Teringat akan hal ini Bagus Sajiwo bergegas mengitari puncak untuk melihat apakah Candra Dewi benar-benar mati tertimbun batu. Dia harus bekerja cepat karena hari telah menjelang sore!

Maka dia berlari cepat menuju ke guha yang menembus keterowongan menuju Ruangan Inti Panas Bumi. Dia memasuki guha dan setibanya di tempat dimana pintu baja itu menutup lorong, dia dihadang timbunan batu yang memenuhi terowongan dan membayangkan apa yang terjadi, dia merasa ngeri!

Tentu tubuh wanita cantik baju putih itu kini telah hancur dan gepeng tertindih tumpukan batu yang berton-ton beratnya. Dia menghela napas panjang dan berlari keluar terowongan untuk menuju ke pondok mungil milik Maya Dewi dan mencari bahan makanan. Dia melewati kebun dan taman bunga dan.... dia berdiri bengong ketika melihat betapa pondok mungil itu kini telah menjadi puing arang dan abu. Habis dibakar orang!

Dia terkejut sekali. Siapa yang melakukan pembakaran? Candra Dewikah? Kalau begitu ia masih hidup! Saking penasaran, dia lari lagi ke guha dan baru sekarang dia melihat tulisan di depan guha, tulisan pada batu seperti diukir.

KUBURAN MAYA DEWI DAN BAGUS SAJIWO

Demikian bunyi tulisan itu. Bagus Sajiwo mengangguk-angguk. Yang dapat membuat tulisan di atas batu seperti itu tentu orang sakti seperti Candra Dewi dan yang mengetahui bahwa Maya Dewi dan dia berada dalam guha itu hanya Candra Dewi. Maka dia dapat menarik kesimpulan pasti bahwa yang menulis itu tentulah Candra Dewi yang mengira bahwa Maya Dewi dan dia tentu mati terkubur dalam terowongan! Kemudian agaknya Candra Dewi yang masih penasaran itu melampiaskan kemarahannya pada pondok tempat tinggal Maya Dewi dan membakarnya!

Betapa kejamnya perempuan cantik itu. Seperti iblis betina! Bagus Sajiwo lalu cepat mencari bahan makanan dikebun dekat taman. Ternyata kebun itu ditanami banyak macam buah-buahan oleh para pelayan atas perintah Maya Dewi. Agaknya para pelayan itu, pagi tadi ketika mendaki puncak Bukit Keluwung, melihat pondok mungil sudah menjadi puing dan Maya Dewi tidak tampak, mereka ketakutan dan cepat melarikan diri pulang ke dusun mereka di kaki bukit.

Bagus Sajiwo mengambil setundun pisang tua dan sebagian mulai menguning, beberapa buah pepaya, jagung, ketela ubi dan karena tidak menemukan tanaman obat untuk mengobati luka lecet-lecet pada kulit tubuh Maya Dewi, dia memutus beberapa batang pohon ketela pohon. Semua bahan makanan itu dia bawa ke dinding lereng bukit dimana terdapat lubang yang menuju ke Ruangan Inti Panas Bumi. Kemudian dia merangkak ke dalam lubang terowongan dan tiba kembali di ruangan itu, dimana Maya Dewi menunggu sambil duduk dengan tenang.

Biarpun diluar tempat itu gelap ketika malam tiba seperti tadi malam, namun di ruangan itu gelap benar, akan tetapi remang-remang karena kawah itu mengeluarkan cahaya api membara yang cukup terang. Maya Dewi merasa girang melihat Bagus Sajiwo kembali membawa makanan, biarpun hanya buah-buahan, jagung dan ketela. Cukup untuk menahan lapar dan menguatkan tubuh.

Ketika Bagus Sajiwo menyerahkan batang ketela pohon (sing-kong) untuk mengobati luka lecet-lecet pada tubuhnya, Maya Dewi menurut. Ia mematah-matahkan tangkai daun singkong dan menggunakan getah yang putih dari pohon itu untuk dioleskan pada kulitnya yang lecet-lecet. Ia sendiri yang mengobati lecet-lecet pada dada dan perutnya, dan minta bantuan Bagus Sajiwo untuk mengobati bagian punggung dan pinggulnya.

Demikianlah, setiap hari Maya Dewi berlatih dibantu olah Bagus Sajiwo untuk mengobati atau mengusir hawa dingin beracun dari Aji Wisa Sarpa yang telah membalik dan melukai dirinya sendiri. Biarpun kalau menyerap hawa panas dari ruangan itu ia masih merasa panas sekali, akan tetapi kini tidaklah sehebat pertama kalinya sehingga ia masih sanggup bertahan walaupun merasa tersiksa. Ia tidak sampai menelanjangi dirinya tanpa disadarinya seperti pada hari pertama. Setiap hari kedua orang itu hanya makan buah-buahan, jagung dan singkong yang mereka bakar di atas kawah, dimana hawanya paling panas.

Tiga hari kemudian, Bagus Sajiwo tidak perlu lagi membantunya dan Maya Dewi dapat berlatih sendiri untuk mengusir sama sekali sisa hawa dingin beracun itu. Akan tetapi dengan lenyapnya hawa dingin beracun itu, iapun kehilangan Aji Wisa Sarpa. Ia tidak lagi mampu mengerahkan tenaga dingin beracun Wisa Sarpa yang ampuh itu.

Sementara itu, Bagus Sajiwo mempergunakan waktu luang dan kesempatan tempat yang amat baik untuk berlatih itu dengan tekun memperkuat Aji Bromokendali yang telah dikuasainya. Dengan bantuan tenaga inti panas bumi, dia dapat meningkatkan kekuatan Aji Bromokendali. Tempat itu memungkinkan dia untuk memperoleh kemajuan yang dalam tempat biasa dapat dicapainya dalam Waktu latihan dua tahun, hanya dengan melatih diri selama beberapa hari saja!

Setelah tinggal dalam Ruangan Inti Panas Bumi itu selama setengah bulan, pada suatu pagi Bagus Sajiwo memeriksa keadaan kesehatan Maya Dewi dengan merasakan denyut nadinya. Dia mengangguk-angguk. "Bagus sekali, Dewi. Sekarang, hawa dingin beracun dalam tubuhmu telah lenyap sama sekali. Engkau telah bebas dari ancaman maut hawa dingin beracun itu. Sebagai buktinya, cobalah engkau kerahkan Aji Wisa Sarpa yang pernah kau kuasai itu."

Maya Dewi mehurut. Ia mengerahkan tenaga aji itu, akan tetapi ketika ia mendorongkan kedua tangannya ke arah dinding batu karang itu, tidak terjadi apa-apa. Padahal sebelumnya, kalau ia menggunakan Aji Wisa Sarpa, dari kedua telapak tangannya akan keluar tenaga sakti yang amat dahsyat, yang dapat menggempur batu sampai pecah. Maya Dewi tidak merasa kaget karena ia sudah menduga sebelumnya bahwa ia kehilangan aji itu, akan tetapi bagaimana pun juga, tetap saja ia merasa kecewa, menghela napas panjang lalu duduk menundukkan muka.

Akan tetapi Bagus Sajiwo merasa girang. "Nah, engkau benar-benar telah bebas dari hawa dingin beracun yang berbahaya itu, Dewi. Dari pada memiliki sesuatu yang tidak ada gunanya, yang hanya membikin rugi diri sendiri dan orang lain, lebih baik tidak memiliki apa-apa. Tinggal melenyapkan hawa panas beracun dari Aji Tapak Rudira yang masih mengancam keselamatanmu. Kalau itu sudah dapat dilenyapkan, engkau benar-benar telah sembuh dan terbebas dari aji-aji yang sesat. Jauh lebih baik tidak memiliki aji apapun."

Maya Dewi mengerutkan sepasang alisnya. "Tolol, siapa bilang aku tidak memiliki apa-apa? Coba kau buka peti hartaku itu!" Suara wanita itu kini terdengar ketus seperti orang marah sehingga sebutan Tolol itu sekali ini mengejutkan hati Bagus Sajiwo.

Pernah Maya Dewi menyebutnya Tolol, akan tetapi sambil tersenyum manis, dan sekarang menyebut dia Tolol dengan alis berkerut dan mulut cemberut. Agaknya, sebutan ini dipakai Maya Dewi bukan hanya sebagai canda selagi hatinya gembira, akan tetapi juga sebagai makian selagi hatinya jengkel!

Akan tetapi Bagus Sajiwo tidak menjawab dan dia hanya memenuhi permintaannya dan membuka tutup peti yang dibawanya ketika mereka berdua meninggalkan rumah. Tampak perhiasan emas permatayang serba indah dan mahal sekali dalam peti itu.

"Lihat, aku masih memiliki harta benda yang amat banyak dan juga rumahku di puncak itu!" katanya membanggakan kekayaannya.

Bagus Sajiwo menghela napas dan berkata, "Maafkan aku, Dewi. Rumahmu di puncak telah dibakar habis oleh Candra Dewi, bahkan ia mengukir di atas batu depan guha bahwa engkau dan aku mati terkubur di dalamnya."

Maya Dewi bangkit berdiri, matanya terbuka lebar dan dia menghardik, "Tolol! Kenapa tidak kau ceritakan ketika engkau pulang mengambil makanan itu?"

"Aku khawatir engkau berduka karena pondokmu dibakarnya, Dewi."

"Siapa perduli tentang rumah? Aku masih mampu membuat seratus rumah seperti itu dengan hartaku! Yang kumaksudkan tentang Mbakayu Candra Dewi yang belum mati!"

"Maafkan aku, Dewi. Aku mengira hal itu tidak penting sekali bagimu."

"Dasar tolol! Tidak penting? Hemm, Mbakayu Candra Dewi adalah seorang yang sekali ada kemauan, takkan berhenti sebelum kemauannya terpenuhi! Ia ingin membunuhku, pasti ia akan mencariku kalau kemudian ia ketahui bahwa aku masih hidup. Dan aku.... dalam keadaan seperti ini.... kehilangan dua macam aji pamungkasku, bagaimana aku akan mampu menandinginya? Ah, agaknya memang sudah nasibku, harus mati di tangan kakak tiriku itu...." Maya Dewi tampak berduka sekali.

Bagus Sajiwo merasa iba. "Jangan bersedih, Dewi. Kalau hawa panas beracun sudah hilang dari tubuhmu, berarti tubuhmu sudah bersih dari pengaruh racun. Engkau dapat mempelajari ilmu-ilmu baru dan siap siaga untuk menghadapi ancaman Candra Dewi."

Tiba-tiba wajah Maya Dewi menjadi berseri kembali. "Benar sekali kata-katamu, Bagus! Aku tidak perlu takut, tidak perlu khawatir. Aku mempunyai harta benda yang amat banyak. Dengan harta bendaku, aku bisa mendapatkan apa saja yang kuinginkan. Perduli amat dengan Mbakayu Candra Dewi, perduli dengan orang-orang lain. Aku tidak membutuhkan siapa-siapa! Dengan harta benda, aku bisa membeli kekuasaan, kesenangan, kepandaian, apa saja heh-heh-hi-hi-hiik!" Maya Dewi tertawa-tawa, menghampiri peti hartanya dan meraup segenggam perhiasan, lalu dijatuhkan kembali ke dalam peti. Berkali-kali ia lakukan ini i sambil tertawa-tawa gembira.

Bagus Sajiwo mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya. Ia merasa kesal dan juga kasihan kalau melihat sikap dan jalan pikiran Maya Dewi kacau dan sesat seperti itu. "Engkau keliru, Dewi. Engkau keliru, salah besar sekali kalau mengira bahwa dengan harta benda engkau bisa mendapatkan segala apapun yang kau inginkan."

"Hah? Apa yang tak dapat kuraih dengan harta bendaku? Hayo katakan, apa itu, Tolol?" Kini Maya Dewi marah kembali.

"Ingat, andaikata penyakitmu ini tidak dapat disembuhkan, apa gunanya semua harta bendamu itu? Harta benda itu tidak dapat menyelamatkanmu."

"Akan tetapi aku mempunyai seorang sahabat baik, ialah engkau yang menolong aku untuk menyembuhkan aku dari penyakit ini!"

"Ya benar. Persahabatan. Nah, apakah engkau mampu membeli persahabatan dengan hartamu itu? Ingat, aku menjadi sahabat baikmu sama sekali tidak karena engkau memiliki harta benda. Sedikit pun aku tidak menginginkannya, Dewi. Juga cinta kasih! Apa harta bendamu itu akan mampu mengembalikan cinta kasih kepadamu dalam hati mbakyumu itu dan menghilangkan kebenciannya terhadap dirimu? Kukira, harta bendamu itu juga tidak ada arti baginya. Harta benda tidak mungkin mampu membeli persahabatan dan cinta kasih. Maksudku persahabatan dan cinta kasih sejati."

Tiba-tiba Maya Dewi seperti terkulai lemas dan ia duduk lagi di atas lantai batu yang oleh Bagus Sajiwo ditilami jerami kering sehingga menjadi tempat yang lunak untuk duduk dan tidur. Ia tercengang. Tepat sekali ucapan pemuda remaja itu, rasanya seperti sebilah pisau dihunjamkan ke jantung hatinya.

Selama ini ia tidak pernah mendapatkan persahabatan dan cinta kasih yang sejati. Semua orang yang bersahabat dengannya, semua pria yang bersumpah menyatakan cinta kepadanya, kesemuanya itu bergelimang nafsu dan mempunyai pamrih demi kesenangan dan keuntungan diri sendiri belaka. Selama hidup belum pernah ia bertemu dengan seorang seperti Bagus Sajiwo yang jelas menolong dan membelanya, bahkan dengan taruhan nyawa dan ia tidak sedikitpun melihat gairah nafsu atau pamrih untuk kesenangan diri sendiri dalam sikap dan perbuatan Bagus Sajiwo! Jelaslah bahwa persahabatan se-jati, cinta sejati, tidak dapat dibeli dengan harta benda!

"Hemm, agaknya ucapanmu itu ada benarnya juga, Bagus. Akan tetapi, dengan memiliki harta benda, aku tidak tergantung kepada siapapun juga. Aku dapat hidup serba kecukupan tanpa bantuan orang lain. Aku dapat mencukupi sandang pangan dan papan dengan harta bendaku."

Bagus Sajiwo boleh jadi masih muda remaja. Usianya baru enam belas tahun, namun sejak kecil dia sudah diasuh di bawah pendidikan seorang arif bijaksana seperti mendiang Ki Ageng Mahendra. Seringkali dia menerima wejangan-wejangan yang membuka mata batinnya sehingga diapun memiliki pandangan yang luas dan matang biarpun dia belum mempunyai pengalaman banyak tentang prikehidupan. Maka, mendengar ucapan Maya DeWi yang mengagungkan harta bendanya itu, dia sanggup melihat kesalahannya dan berusaha untuk meluruskan pandangan yang menyimpang dari kebenaran itu.

"Sekali lagi aku harus mengatakan bahwa pendapatmu itu keliru besar, Dewi. Manusia yang hidup di alam ramai tidak mungkin dapat hidup sendiri. Kalau ia ingin hidup wajar sebagai manusia ia harus saling terkait dan saling bergantung dengan orang-orang lain. Orang kaya raya tidak mungkin hidup tanpa ketergantungan dengan orang miskin dan demikian sebaliknya. Engkau memiliki harta benda, berarti engkau orang kaya. Mampukah engkau hidup sendiri dengan kekayaanmu tanpa bantuan orang miskin?"

"Mengapa tidak? Aku tidak membutuhkan bantuan siapapun...." lalu cepat disambungnya, "....kecuali bantuanmu, seorang sahabatku yang sejati!"

"Dewi, tadi engkau mengatakan bahwa engkau membutuhkan sandang pangan papan dan kau bilang bahwa dengan hartamu engkau dapat memertuhi kebutuhan itu semua."

"Tentu saja!"

"Hemm, sekarang kita bicara tentang sandang pangan saja. Apa kau kira engkau dapat memakai pakaian, kalau tidak ada orang lain yang menanam kapas, lalu menenun dan membuatkan bahan pakaian, bahkan lalu menjahitkan untukmu?"

"Aku bisa membeli dengan hartaku!"

"Itulah maka kukatakan bahwa orang kaya dan orang miskin itu saling bergantung, si kaya membantu dengan uangnya untuk membeli kain, si miskin membantu dengan membuatkan dan menjual kainnya. Kalau tidak ada kerja sama itu, bagaimana jadinya? Si kaya takkan dapat berpakaian, si miskin tidak akan dapat menjual hasil kerajinan untuk memperoleh uang guna membeli barang keperluan lain! Demikian pula dengan pangan. Bagaimana engkau akan dapat makan nasi kalau tidak ada si miskin yang menggarap sawah dan menanam padi? Si kebergantung kepada si miskin, dalam hal ini petani, untuk dapat makan dan tani juga bergantung kepada si kaya untuk mendapatkan hasil guna membeli segala kebutuhan hidupnya yang lain lagi. Juga papan atau perumahan. Apakah dengan hartamu itu engkau akan dapat membangun rumahmu? Engkau membutuhkan bantuan si miskin, buruh pertukangan dan merekapun membutuhkan bayaran darimu. Kalian saling terkait, saling bergantung dan tidak bisa hidup diri sendiri tanpa saling. bantu. Nah, Dewi, engkau sekarang mudah-mudahan menyadari bahwa bukan harta benda yang terpenting, melainkan saling menyayangi antara manusia, saling bantu menjalin persatuan yang kokoh kuat sehingga kita semua dapat hidup bersatu dan membagi kesejahteraan diantara kita. Manusia yang hidup saling mengasihi, bersatu padu, dan bekerja sama demi kemakmuran dan kebahagiaan bersama, adalah bangsa yang dikasihi Sang Hyang Widhi Wasa dan pasti menerima berkahnya yang berlimpah-limpah!"

Maya Dewi mendengarkan dan kini ia memandang bengong kepada pemuda remaja itu. Tiba-tiba ia tersenyum dan berkata dengan nada suara heran dan gembira, "Eh, Tolol! Bicaramu seperti seorang pendeta linuwih! Dari siapa engkau dapat mengetahui itu semua?"

"Sejak kecil aku mendengarkan pelajaran tentang kehidupan ini dari mendiang guruku."

"Siapa dia?"

"Mendiang guruku adalah Ki Ageng Mahendra."

"Aku tidak pernah mendengar namanya. Tentu dia seorang yang arif bijaksana."

"Memang, guruku adalah seorang yang arif bijaksana dan aku berbahagia sekali menjadi muridnya."

"Bahagia? Apa itu? Bagaimana itu? Selama hidupku, aku tidak pernah merasa bahagia!" kata Maya Dewi, nadanya keceWa.

"Aduh kasihan engkau, Dewi. Engkau ingin merasakan bahagia? Ulurkan tanganmu untuk memberi kasih sayang kepada orang lain, dengan jalan menolong orang lain engkau akan merasakan betapa bahagianya perasaan yang datang dari perbuatan itu."

"Menolong orang lain? Bagaimana caranya?"

"Tanpa adanya kasih sayang dalam hatimu terhadap orang lain, memang tidak akan ditemukan caranya. Akan tetapi kalau ada kasih sayang itu, akan muncul seribu satu macam cara. Jelasnya begini, Dewi, kalau ada kasih sayang dalam hatimu terhadap orang lain, maka segala yang kau lakukan, betapa baikpun, akan selalu didorong oleh nafsu daya rendah yang pada hakekatnya ingin mencari keuntungan diri sendiri dalam bentuk balas budi, pujian, kepuasan, dan sebagainya. Akan tetapi kalau ada kasih sayang dalam hatimu, maka kasih sayang itulah yang akan mendorongmu untuk menolong sesama hidupmu. Semua kelebihan pada diri kita merupakan anugerah Sang Hyang Widhi, maka kasih sayang akan mendorongmu untuk menyalurkan anugerah itu kepada orang lain yang memerlukannya. Dengan demikian engkau akan menjadi alat atau abdi Sang Hyang Widhi. Kalau itu merupakan anugerah harta, engkau dapat mengulurkan tangan memberi sebagian hartamu kepada mereka yang amat membutuhkannya. Kalau anugerah kepandaian, engkau dapat memberi kepada mereka yang tidak pandai berupa keterangan, nasihat dan sebagainya. Kalau engkau mendapat anugerah ilmu pengobatan, engkau dapat memberi ilmu itu kepada mereka yang sakit dan membutuhkan obat yang menyembuhkan, dan seterusnya. Inilah yang merupakan kewajiban manusia dalam hidupnya, Dewi."

"Maksudmu, kalau aku menolong orang lain, aku akan berbahagia? Pantas selama ini aku tidak merasakan kebahagiaan itu, karena aku tidak pernah menolong orang lain."

Bagus Sajiwo menggeleng kepalanya. "Bukan begitu, Dewi. Kalau engkau menolong orang dengan pamrih agar dapat berbahagia, itu bukan pertolongan namanya, melainkan usaha untuk membahagiakan diri sendiri dan engkau tidak akan berhasil, engkau menipu diri sendiri. Ini masih ulah nafsu daya rendah yang selalu melahirkan perbuatan untuk menyenangkan diri sendiri. Akan tetapi, kalau kasih sayang kepada sesama hidup sudah tumbuh dalam hatimu, ini merupakan anugerah Sang Hyang Widhi paling besar dan paling sempurna, maka semua perbuatanmu terhadap orang lain itu terdorong rasa kasih itu, sehingga perbuatan itu pasti baik dan benar, kepentingan diri sendiri hilang dan yang dipentingkan hanyalah orang lain."

"Wah, engkau ini pantasnya menjadi pendeta, Tolol!" kata Maya Dewi dan sepasang matanya berseri menatap wajah Bagus Sajiwo.

"Tidak, Dewi. Pelajaran ini untuk semua orang dari golongan apapun, kaya miskin, pintar bodoh, berkedudukan tinggi atau rendah. Bukan untuk dibicarakan saja, melainkan lebih utama untuk dilaksanakan. Pendeta sekalipun, kalau hanya menggembar-gemborkannya tanpa dia sendiri melaksanakan dalam hidupnya, kalau hidupnya tanpa cinta kasih kepada orang lain, maka percuma saja pengetahuan itu."

Maya Dewi mengangguk-angguk. "Hemm, jadi engkau membela dan menolongku mati-matian ini, karena ada rasa kasih sayang itu dalam hatimu terhadap aku, Tolol?"

Bagus Sajiwo mengangguk, lalu setelah melihat sinar mata wanita itu kepadanya, melanjutkan dengan cepat. "Kasih sayang dalam hatiku ini untuk semua orang, Dewi. Tidak pilih kasih."

Sepasang alis itu berkerut dan sinar mata Maya Dewi kelihatan tak senang. "Kau hendak mengatakan bahwa engkau mengasihiku seperti engkau mengasihi orang lain?"

Bagus Sajiwo mengangguk. "Memang begitulah seharusnya. Engkau harus memiliki hati yang dapat mengasihi semua orang tanpa pilihan, Dewi."

"Hemm, aku tidak bisa, Tolol. Aku hanya bisa mencinta orang yang menyenangkan hatiku dan kalau aku melihat orang itu mencinta orang lain, hatiku menjadi panas dan marah, aku benci!"

"Itu cinta nafsu daya rendah, Dewi. Bukan itu yang kumaksudkan, melainkan cinta kasih anugerah Sang Hyang Widhi."

"Bagaimana caranya untuk dapat memiliki cinta kasih seperti itu?"

"Tidak ada caranya, tidak dapat dipelajari, tidak dapat diusahakan, datang memenuhi diri atas kehendak Sang Hyang Widhi. Satu-satunya kewajiban kita hanyalah menyerah dengan sepenuh iman, kesabaran, keikhlasan dan ketawakalan, tiada hentinya berdoa semoga Hyang Widhi Wasa sudi memberi bimbingan dan memberi kekuatan lahir batin agar kita selalu dapat melaksanakan perintahNya dalam kehidupan sehari-hari seperti yang dikehendakiNya dan tertuang dalam kitab-kitab suci."

Semenjak percakapan itu, Maya Dewi lebih banyak diam termenung. Ia membayangkan kehidupannya yang lalu. Sejak kecil ayahnya, mendiang Resi Koloyitmo, selalu mendorongnya agar ia selalu mengejar harta, pangkat, derajat dan kemenangan karena hanya semua itu yang dapat mendatangkan kesenangan dalam hidupnya. Kemudian, setelah dewasa ia selalu mengejar kesenangan dan dalam pengejaran ini, ia menghalalkan segala cara. Semua gairah nafsunya dituruti dan ia menjadi budak dari nafsu-nafsunya sendiri yang pada akhirnya malah membuat ia merasa hidupnya hampa, kehilangan, kesepian dan melihat betapa semua itu palsu belaka. Mata batinnya seolah semakin terbuka oleh kata-kata pemuda remaja itu, akan tetapi ah, betapa sulitnya untuk melaksanakan semua nasihat yang diucapkan Bagus Sajiwo.

Pada keesokan harinya, Bagus sajiwo berkata, "Dewi, sekarang tiba saatnya untuk mengobati hawa panas beracun yang mengeram dalam tubuhmu. Biarpun hawa dingin beracun Wisa Sarpa telah lenyap, namun ancaman hawa panas beracun Tapak Rudira itu tetap amat membahayakan dirimu. Kalau hawa panas beracun itu telah lenyap, baru engkau benar-benar terbebas dari ancaman maut. Bukankah engkau pernah mengatakan bahwa disini terdapat tempat yang hawanya amat dingin, cukup dingin sehingga airpun akan membeku?"

"Memang ada, Bagus. Tempat itu terdapat di puncak Gunung Wilis yang berada tak jauh, di sebelah utara. Disana biasanya aku berlatih. Mari kita tinggalkan tempat ini dan berangkat kesana, Bagus."

Kedua orang itu lalu berangkat. Bagus Sajiwo membawa peti terisi perhiasan, sedangkan Maya Dewi membawa buntalan pakaian berisi pakaiannya dan sedikit pakaian Bagus Sajiwo.

Selama berada di Ruangan Inti Panas Bumi itu, Bagus Sajiwo yang mencuci pakaian kotor mereka diluar terowongan itu. Mereka berdua merangkak keluar dari lubang terowongan dan tiba di luar dengan selamat, lalu melanjutkan perjalanan menuju ke puncak Wilis.

Matahari telah condong ke barat ketika akhirnya mereka tiba di puncak. Tempat yang dimaksudkan oleh Maya Dewi itu memang amat dingin, akan tetapi juga indah sekali pemandangannya. Berdiri di puncak, mereka dapat melihat awan berarak di bawah kaki mereka. Di puncak terdapat sebuah sumber air yang membentuk sebuah kolam air yang cukup besar. Di waktu siang, biarpun air itu tetap dingin sekali, namun tidak sampai membeku. Akan tetapi di waktu malam, air kolam itu membeku saking dinginnya hawa disitu.

Hawa dingin menyambut mereka ketika mereka tiba disitu. Ada pohon-pohon besar disekitar kolam dan di bawah pohon merupakan tempat yang enak, ditumbuhi rumput tebal. Mereka segera memilih tempat yang agak kering dan setelah melepaskan peti dan buntalan, mereka duduk di atas akar pohon yang menonjol ke permukaan tanah.

Bagus Sajiwo memandang ke sekeliling dan merasa kagum. "Tempat ini bagus sekali, Dewi. Dan hawanya cukup dingin. Kurasa, di waktu malam kita dapat berlatih. Hawanya tentu amat dingin. Seperti ketika berlatih di ruangan Inti Panas Bumi, disini engkau dapat berlatih, menyerap hawa dingin dari luar dan kubantu dengan pengerahan tenaga berhawa dingin untuk menggempur hawa panas beracun yang berada di tubuhmu. Malam nanti, kalau hawa dingin sudah mencapai titik beku, kita mulai."

Maya Dewi hanya mengangguk. Sebetulnya, dalam hatinya ia merasa nelangsa. Ia sudah kehilangan Aji Wisa Sarpa, dan kini ia akan kehilangan pula Aji Tapak Rudira. Kalau ia kehilangan dua aji pamungkasnya itu, ia merasa tidak berdaya.

Akan tetapi tidak ada pilihan lain. Pertandingannya melawan Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra membuat ia terluka parah, terpukul oleh kedua ajinya sendiri yang membalik sehingga tubuhnya keracunan dua hawa yang berbeda. Terpaksa ia harus merelakan kehilangan dua aji pamungkas itu. Pula, bukankah kedua aji itu merupakan ilmu sesat menurut Bagus Sajiwo? Dan kesesatan pula yang membuat ia kini merana, merasa hidupnya hampa dan tidak bahagia!

Malam tiba. Hawa dingin mulai menyelubungi puncak itu. Hawa dingin yang menembus kulit daging menusuk tuiang. Darah dalam tubuh serasa membeku, seperti air di kolam yang mulai membeku.

"Sekarang waktunya, Dewi. Mari kita berlatih." kata Bagus Sajiwo.

Maya Dewi lalu duduk di tepi kolam, bersila di atas batu yang rata. Bagus Sajiwo duduk di belakangnya lalu menempelkan telapak tangan kirinya ke punggung wanita itu. Maya Dewi bernapas dalam-dalam, menyedot hawa dingin yang langsung ditarik ke pusarnya, sementara itu Bagus Sajiwo mengerahkan tenaga sakti yang mengandung hawa dingin untuk membantu Maya Dewi. Hawa dingin yang disatukan itu untuk menggempur hawa panas beracun dari Aji Tapak Rudira yang melukai tubuh sebelah dalam dari Maya Dewi.

Tubuh Maya Dewi mulai menggigil. Hawa dingin yang dipersatukan itu membuat darahnya seolah membeku. Giginyi mulai berbunyi saling beradu. Ia mula gelisah dan merintih. Bagus Sajiwo yang sudah mempersiapkan segalanya, mengambil kain yang tadi dia keluarkan dari buntalan dan ditumpuk di dekat mereka duduk, lalu mengambilnya dan diselimutkan pada tubuh Maya Dewi.

Akan tetapi, kehangatan kain itu hanya menolong sedikit dan sebentar saja. Tak lama kemudian, Maya Dewi mulai menggigil lagi dan merintih, giginya berkeratukan. Lalu ia menggeser tubuhnya, membalik dan menghadapi Bagus Sajiwo.

"Bagus.... tolonglah aku.... peluklah aku...." Maya Dewi tidak tahan lagi, tubuhnya semakin menggigil.

"Kuatkanlah, Dewi, pertahankanlah..." bisik Bagus Sajiwo.

Akan tetapi tiba-tiba Maya Dewi sudah merangkul leher Bagus Sajiwo dan merebahkan kepalanya di dada pemuda itu, duduk di atas pangkuannya.

Bagus Sajiwo terpaksa merangkulnya agar dapat terus menempelkan tangan kirinya ke punggung Maya Dewi. Agaknya kehangatan tubuh Bagus Sajiwo agak menolongnya, atau mungkin ia memperoleh kekuatan baru dalam rangkulan pemuda itu. Maya Dewi agak tenang dan mereka berangkulan seperti itu sepanjang malam. Maya Dewi merasa aman, terlindung, dan tenang dan ini banyak membantu penderitaannya karena hawa yang amat dingin.

Sementara itu, karena seluruh perhatiannya hanya ditujukan untuk mengobati dan menyelamatkan Maya Dewi, maka biar-pun kedua orang itu tampaknya berangkulan mesra, namun sedikitpun tidak ada gejolak nafsu berahi mengganggu keduanya. Semua terjadi dengan wajar, yang seorang mencari perlindungan, yang lain melindungi. Tidak ada gejolak nafsu daya rendah menyelinap diantara keduanya.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Wiku Menak Jelangger adalah seorang pendeta berusia sekitar enam puluh tahun, tinggal di sebuah padepokan di daerah Blambangan. Dia membangun sebuah padepokan di tepi Selat Bali dan menjadi seorang pertapa disitu. Dia memiliki dua orang cantrik, yang menemaninya dan tinggal dalam padepokan itu sebagai murid-murid dan juga pelayan-pelayannya. Kedua orang cantrik ini berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bernama Darun yang bertubuh pendek gendut dan Dayun yang bertubuh tinggi kurus.

Pada suatu pagi, setelah Darun dan Dayun menyelesaikan pekerjaan pagi mereka, menyapu pekarangan, menyirami tanam-tanaman sayur dan pohon-pohon buah, membersihkan rumah, melayani sang wiku sarapan pagi, mereka lalu duduk di pekarangan rumah itu, bersila di atas hamparan tikar menghadap sang wiku yang duduk bersila di atas sebuah lincak (bangku). Seperti biasa, sang wiku memberi wejangan-wejangan kepada dua orang cantriknya. Mereka berdua bukan hanya menerima wejangan ilmu tentang hidup yang benar, akan tetapi juga menerima latihan ilmu kanuragan yang pada dasarnya diperuntukkan menjaga kesehatan dan juga menjaga keselamatan diri dari ancaman luar.

Mereka bertiga duduk berbincang-bincang, sang guru memberi wejangan dan dua orang cantriknya mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang hal-hal yang bagi mereka masih kurang jelas. Sambil berbincang mereka sengaja duduk di tempat yang terbuka itu sehingga sinar matahari pagi yang hangat memandikan tubuh mereka.

Tiba-tiba Wiku Menak Jelangger menghentikan percakapan itu dan memandang ke arah belakang dua orang cantriknya, yaitu ke arah pagar halaman depan dengan sinar mata heran. Dua orang cantrik itupun cepat memutar leher mereka dan mereka berdua melihat bahwa yang membuat guru mereka heran adalah munculnya dua orang dihalaman itu.

Mereka adalah seorang pria dan seorang wanita. Prianya berusia sekitar empat puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap dan kokoh. Wajahnya gagah, dengan mata lebar bersemangat, alis tebal hidung mancung dan mulutnya selalu dihias senyum penuh pengertian. Kulitnya kuning dan rambutnya panjang digelung ke atas. Adapun yang wanita juga seorang yang cantik jelita. Usianya sekitar tiga puluh delapan tahun. Yang membuat ia tampak cantik itu terutama mata dan mulutnya karena kedua anggauta badan ini amat menarik dan indah, akan tetapi pada wajahnya yang ayu manis itu terbayang kekerasan hati. Dipunggung wanita cantik ini tergantung sebatang pedang yang sarungnya diukir gambar seekor naga.

Sang Wiku Menak Jelangger tidak mengenal pria dan wanita itu, namun sebagai seorang berilmu dia dapat menduga bahwa dua orang pendatang itu bukan penduduk dusun, bukan pula orang-orang biasa, melainkan orang-orang yang datang dari jauh dan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Dari langkah mereka yang begitu tegap namun ringan saja tahulah dia bahwa mereka memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Maka dengan sikap ramah dan hormat dia bangkit dari lincak dan berdiri menyambut. Darun dan Dayun juga tahu diri. Mereka segera bangkit dan mundur, berdiri agak jauh di belakang sang wiku sambil membungkuk untuk menghormati dua orang yang kini datang menghampiri pondok.

"Tejo-tejo sulaksana! Selamat datang di padepokan kami yang buruk dan kotor. Siapakah gerangan andika berdua yang terhormat dan apakah kiranya yang dapat kami bantu sehingga andika berdua mengunjungi kami?"

Melihat sikap dan mendengar sapaan yang penuh kelembutan dan hormat itu, pria itu membalas penghormatan dengan menyembah depan dada lalu membungkuk, diturut oleh wanita disebelahnya.

"Permisi, paman wiku. Maafkanlah kiranya kalau kami datang mengganggu keheningan dan ketenteraman andika. Saya bernama Ki Tejomanik, penduduk dusun Bayeman di lereng Gunung Kawi, dan ini adalah isteri saya bernama Retno Susilo."

"Jagat Dewa Bathara! Saya pernah mendengar akan nama besar Ki Sutejo dan isterinya yang bernama Retno Susilo, suami isteri tokoh Mataram yang sakti mandraguna. Andika berduakah itu?"

Ki Tejomanik yang di waktu muda terkenal dengan nama Sutejo itu mengangguk dan tersenyum. "Benar, paman, akan tetapi kami berdua tidaklah sehebat yang dikabarkan orang."

"Ah, Darun dan Dayun, kita kedatangan tamu agung! Cepat, sediakan minuman dan Nyamikan (makanan) seadanya untuk menyambut tamu-tamu kita!"

"Sendiko dawuh, Bapa Wiku!" Jawab dua orang cantrik itu dengan suara berbareng dan mereka lalu cepat memasuki pondok.

"Ah, tidak usah repot, paman. Kami hanya merepotkan saja!" kata Retno Susilo.

"Sama sekali tidak. Marilah, anak mas berdua, silakan masuk dan kita bicarakan tentang kepentingan andika berdua datang berkunjung, agar lebih leluasa kita bicara. Silakan!" Wiku Menak Jelangger mempersilakan dua orang tamunya duduk di ruangan depan yang mendapat cukup sinar matahari pagi melalui dua buah jendela di sebelah timur ruangan yang terbuka lebar-lebar sehingga ruangan itu cukup terang dan hawa udara pagi yang sejuk mengalir masuk berlimpah-limpah.

Mereka duduk mengelilingi sebuah meja yang terbuat dari kayu jati, meja dengan ukiran indah dengan empat kursinya yang terukir indah pula. Pasangan meja kursi ini merupakan hadiah dari Adipati Blambangan karena biarpun Wiku Menak Jelangger tidak pernah mencampuri urusan pemerintahan, bahkan tidak ikut membantu kalau kadipaten Blambangan berperang melawan musuhnya, namun sang wiku tetap dihormati sang adipati. Pertama karena Wiku Menak Jelangger menurunkan beberapa ilmunya kepada banyak senopati Blambangan dan juga karena kakak seperguruannya, mendiang Wiku Menak Koncar merupakan orang kepercayaan Sang Adipati Blambangan.

Darun dan Dayun menghidangkan minuman air teh panas dan jagung rebus, dan dengan ramah dan manis budi sang wiku mempersilakan kedua orang tamunya untuk menikmati jagung muda rebus yang masih mengepul panas itu dan minum air tehnya. Ki Tejomanik dan isterinya menyambut ajakan ini dan mereka berdua makan jagung rebus dan minum air teh. Setelah mereka berhenti makan, sang wiku lalu bertanya.

"Nah, sekarang harap anak mas suka menceritakan, apa yang mendorong andika berdua mengunjungi aku, seorang tua yang tidak mempunyai urusan apapun dengan dunia ramai? Bantuan apa yang dapat kuberikan kepada andika berdua?"

Suami isteri itu saling pandang dan karena hubungan mereka sebagai suami isteri sudah berjalan hampir dua puluh tahun, maka mereka saling mengenal secara mendalam, bahkan dari pandang mata saja mereka seolah dapat mengetahui isi hati dan pikiran masing-masing.

Kedua orang suami isteri ini merasa heran. Setahu mereka, dari cerita para pendekar yang membela Mataram, Wiku Menak Koncar yang menjadi tokoh besar Blambangan adalah seorang yang berwatak kejam, bahkan tidak segan untuk bersekutu dengan pihak Kumpeni Belanda untuk memusuhi Mataram. Juga mereka mendengar bahwa Wiku Menak Koncar tewas ketika bertanding melawan Sang Puteri Wandansari yang telah menjadi isteri Pangeran Pekik, Adipati Surabaya yang sakti mandraguna dan yang masih terhitung adik seperguruan Ki Tejomanik sendiri. Mereka berdualah yang langsung menerima masing-masing ilmu yang hebat yang merupakan aji pamungkas dari mendiang Resi Limut Manik.

Sang Puteri Wandansari menerima ilmu pedang Kartika Sakti, sedangkan Ki Tejomanik yang dulu bernama Sutejo menerima ilmu pecut Bajrakirana. Akan tetapi, Wiku Menak Jelangger ini, yang kabarnya adalah adik seperguruan mendiang Wiku Menak Koncar, sama sekali tidak membayangkan sikap seorang yang sesat dan jahat. Malah sebaliknya, dia tampak begitu bijaksana, manis budi dan menyambut orang-orang yang lebih muda seperti mereka dengan begitu ramah dan hormat! Karena ini, maka Ki Tejomanik dan isterinya bersikap hati-hati dan juga penuh hormat.

Retno Susilo membiarkan suaminya yang bicara, karena ia khawatir sikapnya yang terbuka sehingga terkadang kasar itu akan menyinggung perasaan sang wiku.

"Sekali lagi kami berdua mohon maaf sekiranya kunjungan kami tanpa undangan ini mengganggu dan merepotkan paman wiku. Terus terang saja, kedatangan kami ini untuk mohon pertolongan dari paman karena kiranya hanya andika yang dapat menolong kami, paman wiku."

"Hemm, bahagia sekali kalau aku merupakan satu-satunya orang yang dapat menolong andika berdua dan tentu saja aku bersedia untuk melakukan apa yang andika butuhkan. Nah, katakan, pertolongan apakah yang andika maksudkan itu?"

"Begini, paman wiku. Kami berdua jauh-jauh datang dari tempat tinggal kami di lereng Gunung Kawi untuk mencari keterangan perihal diri Sang Wiku Menak Koncar. Kami sudah berkeliling di Blambangan, akan tetapi tidak ada seorangpun yang dapat menceritakan apa yang ingin kami ketahui tentang Wiku Menak Koncar. Akhirnya kami mendengar bahwa andika adalah saudara seperguruan Wiku Menak Koncar. Karena itu kami yakin bahwa andika adalah satu-satunya orang yang akan dapat menceritakan masalah yang ingin kami ketahui tentang Wiku Menak Koncar."

Ki Tejomanik tidak berani langsung menceritakan persoalannya, karena dia ingin menjajagi (mengukur) lebih dulu sikap sang wiku.

Wiku Menak Jelangger menghela napas panjang. "Andika agaknya terlambat, Anak mas Tejomanik. Kakang Menak Koncar telah meninggal dunia, sekitar dua tiga tahun yang lalu."

"Kami sudah mengetahui, paman. Akan tetapi yang ingin kami ketahui tentang diri Sang Wiku Menak Koncar adalah pada waktu kurang lebih sepuluh tahun yang lalu."

Wiku Menak Jelangger tampak termenung, lalu menatap wajah Ki Tejomanik dengan pandang mata tajam penuh selidik, lalu dia bertanya. "Sepuluh tahun yang lalu? Apa yang ingin andika ketahui tentang dia sepuluh tahun yang lalu, anak mas? Apa yang telah terjadi?"

Wiku Menak Jelangger Kembali saling pandang dengan Retno Susilo. Mereka berdua memang merasa sungkan menceritakan tentang kejahatan mendiang Wiku Menak Koncar kepada adik seperguruannya yang manis budi ini. Akan tetapi sudah sepuluh tahun suami isteri ini merantau sampai jauh, bukan hanya untuk ikut berjuang membantu Mataram, melainkan terutama sekali untuk mencari putera mereka yang hilang diculik Wiku Menak Koncar.

Kurang lebih dua tahun yang lalu, mereka mendengar pengakuan Kyai Sidhi Kawasa bahwa yang menculik putera mereka dan membawa lari pedang Nogo Wilis adalah Wiku Menak Koncar dan Kyai Sidhi Kawasa membantunya. Setelah berhasil, Wiku Menak Koncar membawa pergi Bagus Sajiwo, putera ki Tejomanik dan Retno Susilo itu, sedangkan pedang pusaka itu diberikan kepada Sang Kyai Sidhi Kawasa.

Sebelum Kyai Sidhi Kawasa tewas membunuh diri karena kalah dalam pertempuran antara pasukan Kumpeni Belanda melawan Pasukan Mataram, dimana dia membantu Belanda, dia membuat pengakuan itu kepada Ki Tejomanik dan isterinya. Setelah perang berhenti karena balatentara Mataram gagal dalam penyerbuannya ke Batavia, suami isteri itu lalu mulai mencari keterangan tentang Wiku Menak Koncar, tentu saja ke Blambangan, tempat asal sang wiku yang menculik putera mereka itu.

Melihat suami isteri itu tampak ragu dan sungkan menjawab pertanyaan tadi, Wiku Menak Jelangger berkata, "Anak mas Tejomanik, tampaknya andika berdua ragu dan sungkan. Ceritakan saja apa yang terjadi, jangan sungkan karena akupun sudah mengetahui bahwa semasa hidupnya, Kakang Wiku Menak Koncar telah tersesat, langkah-langkah hidupnya menyimpang dari kebenaran. Aku dapat menduga bahwa tentu timbul permasalahan dan permusuhan antara andika berdua dan dia."

Mendengar ucapan itu, timbul keberanian di dalam hati Tejomanik. "Sebelumnya maafkan kami, paman wiku. Sesungguhnyalah, memang mendiang Wiku Menak Koncar memusuhi kami khususnya dan Mataram pada umumnya. Saudara-saudaranya, Ki Klabangkolo tewas dalam tangan mendiang ayah saya, Ki Harjodento ketua perkumpulan persilatan Nogo-dento. Biarpun kemudian dia dapat membalas dendam dan membunuh ayah ibu saya, namun dendamnya masih bernyala. dalam hatinya. Apalagi ketika saudaranya yang lain, Resi Wisangkolo tewas di tangan Gusti Puteri Wandansari, dia semakin mendendam. Nah, agaknya semua rasa dendam itu hendak dia tumpahkan kepada kami karena pertama, mungkin saya adalah putera musuh besarnya, kedua, saya adalah saudara seperguruan Gusti Puteri Wandansari, dan ke tiga saya adalah seorang kawula Mataram yang setia dan selalu membantu Mataram menghadapi para lawannya. Maka, pada suatu hari, kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, Wiku Menak Koncar yang dibantu oleh mendiang Kyai Sidhi Kawasa, mendatangi tempat tinggal kami di Gunung Kawi. Mereka berdua menculik puteraku yang bernama Bagus Sajiwo dan mencuri pedang pusaka Nogo Wilis selagi kami tidak berada di rumah. Kyai Sidhi Kawasa mendapat bagian pedang pusaka itu dan anak kami dibawa pergi oleh Wiku Menak Koncar. Tadinya kami tidak tahu siapa yang menculik putera kami dan kami mencari bertahun-tahun dengan sia-sia. Akhirnya, dua tahun yang lalu kami menemukan pedang pusaka Nogo Wilis dan tahu bahwa Kyai Sidhi Kawasa yang mencurinya. Kami mencarinya dan setelah bertemu dalam sebuah pertempuran dimana Kyai Sidhi Kawasa membantu Belanda, sebelum tewas membunuh diri, dia mengakui semua itu. Dialah yang menceritakan bahwa Wiku Menak Koncar yang melarikan anak kami. Akan tetapi kami sudah mendengar bahwa dia telah tewas di tangan Gusti Puteri Wandansari. Karena itulah kami mencari sampai disini dan mengharapkan keterangan paman tentang anak kami Bagus Sajiwo yang dilarikannya itu."

"Paman Wiku, saya percaya bahwa andika tentu cukup bijaksana untuk mengetahui betapa sakitnya hati seorang ibu yang dipisahkan dari anak tunggalnya. Karena itu, saya mohon andika suka memberi keterangan kepada kami!" kata Retno Susilo dengan suara yang menggetarkan penuh perasaan harap-harap cemas dan haru.

Mendengar penjelasan yang panjang dari Ki Tejomanik dan mendengar permohonan dari Retno Susilo, Wiku Menak Jelangger menghela napas panjang. "Duh Jagat Dewa Bathara, mengapa andika membuat karma yang demikian buruknya, Kakang Menak Koncar? Anak-mas Tejomanik berdua, sebetulnya tidak pantaslah kalau aku membicarakan keburukan kakak seperguruan sendiri. Anak-mas, jawablah sejujurnya, apakah andika berdua masih menaruh hati dendam kepadanya?"

"Sama sekali tidak, paman. Kami diajar untuk tidak membenci orangnya, melainkan menentang perbuatan jahat dari siapapun juga. Wiku Menak Koncar sudah tiada, kami tidak mendendam, akan tetapi kami hanya berusaha untuk menemukan kembali anak tunggal kami."

Wiku Menak Jelangger mengangguk-angguk dan mulutnya tersenyum. "Bagus, Andaikata tadi andika menjawab bahwa andika masih mendendam, sampai matipun aku tidak akan mau bercerita tentang mendiang kakang Wiku Menak Koncar. Akan tetapi demi untuk membantu kalian menemukan kembali putera kalian, aku akan menceritakan apa yang kuketahui."

"Terima kasih, paman wiku!" kata suami isteri itu.

"Sepuluh tahun yang lalu, Kakang Wiku Menak Koncar mengunjungi aku dengan wajah murung. Dia sedang jengkel dan marah dan setelah kutanyakan, dia bercerita terus terang bahwa dia telah berhasil menculik putera kalian."

"Mau diapakan anak saya dan kemana anakku dibawanya, paman?" Retno Susilo memotong dengan tidak sabar.

"Tenang dan sabarlah, diajeng. Biar paman wiku melanjutkan ceritanya." Ki Tejomanik menyentuh lengan isterinya.

"Dia bermaksud mendidik anak itu agar kelak kalau sudah dewasa dan tangguh dapat disuruh memusuhi andika berdua."

"Ahh, keparat!" Retno Susilo berseru.

"Tenang, diajeng!" Ki Tejomanik kini enegur isterinya, khawatir bahwa watak yang dulu liar dan keras ganas dari isterinya itu akan kambuh kembali saking cemas dan dukanya memikirkan anak tunggal mereka.

"Untung bahwa hal itu tidak terjadi. Dia menceritakan bahwa ketika dia membawa anak itu sampai di kaki pegunungan Ijen, muncul seorang kakek yang sakti mandraguna. Kakek itu merampas anak andika dari tangan Kakang Wiku Menak Koncar. Setelah dikalahkan dalam pertandingan, Kakang Wiku Menak Koncar terpaksa meninggalkan anak dan kakek tua itu. Dia masih penasaran dan bahkan mengajak aku untuk membantunya menghadapi kakek itu dan merampas kembali anak andika, akan tetapi setelah mendengar siapa kakek itu aku menasehatkan dia agar jangan melawan kakek yang aku tahu amat sakti mandraguna dan kami sama sekali bukan tandingannya itu."

"Jadi, kalau begitu, anak saya kini berada pada kakek itu, paman?" tanya Retno Susilo.

Wiku Menak Jelangger mengangguk-angguk.

"Paman wiku, siapakah nama kakek yang merampas anak kami dari tangan Wiku Menak Koncar itu?" tanya Ki Tejo manik.

"Namanya adalah Ki Ageng Mahendra."

"Ya Allah....!" Mendengar disebutnya nama ini, Ki Tejomanik merangkap kedua tangan dalam sembah dan memejamkan kedua matanya. "Terima kasih, gusti, hamba yakin kini bahwa putera hamba berada dalam tangan yang melindunginya." katanya lirih seperti berdoa.

Retno Susilo mengguncang lengan suaminya. "Siapa itu Ki Ageng Mahendra? Apa engkau mengenalnya? Aku tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya!"

"Memang nama itu tidak pernah muncul di dunia ramai. Akupun hanya mendengarnya satu kali saja ketika mendiang eyang guru menyebutnya. Eyang Ki Ageng Mahendra adalah adik seperguruan Eyang Guru Limut Manik." kata Ki Tejomanik.

Wiku Menak Jelangger tampak terkejut mendengar ucapan Ki Tejomanik dan memandang wajah satria itu dengan mata terbuka lebar. "Jadi andika ini murid Paman Resi Limut Manik? Jagat Dewa Bathara! Aduh Kakang Menak Koncar, mengapa andika begitu bodoh untuk memusuhi orang-orang seperti mereka ini? Tidak mengherankan kalau engkau dan teman-temanmu berguguran ...."

"Paman Wiku, kemanakah anak kami dibawa oleh Ki Ageng Mahendra itu? Dimana tempat tinggalnya?" tanya Retno Susilo yang juga sudah merasa tenang mendengar anaknya berada di tangan orang sakti yang melindunginya.

Wiku Menak Jelangger menggeleng kepalanya. "Aku tidak tahu, juga mendiang Kakang Menak Koncar tidak tahu. Yang dia tahu hanyalah bahwa dia bertemu Ki Ageng Mahendra itu di kaki pegunungan Ijen. Nah, hanya itulah yang kuketahui dari Kakang Menak Koncar tentang putera andika berdua, Anak mas Tejomanik."

"Terima kasih banyak, paman. Keterangan paman Wiku ini sungguh teramat berharga dan penting, selain dapat membuat kami berdua merasa tenang dan bahagia mendengar anak kami berada di tangan yang melindunginya, juga kami dapat menemukan jejak untuk mencari anak kami itu. Terima kasih dan kami mohon pamit, Paman Wiku Menak Jelangger."

"Berterima kasihlah kepada Yang Maha Kasih, bukan kepadaku, anak mas. Kalau andika berdua hendak melanjutkan usaha pencarian itu dan pergi sekarang, selamat jalan dan semoga andika dapat segera berkumpul kembali dengan anak tunggal andika."

"Terima kasih, paman." kata suami isteri itu lalu mereka meninggalkan padepokan Wiku Menak Jelangger.
********************

Pemuda dusun yang bertubuh tinggi tegap itu terhuyung-huyung menuruni lereng pegunungan Wilis. Keringatnya bercucuran dan mukanya yang bagi ukuran pedusunan dapat dikata tampan itu pucat pasi. Baru saja dia terhindar dari maut yang mengerikan. Ketika dia sedang berburu celeng (babi hutan) di hutan yang berada di lereng Wilis itu, dia melihat seekor celeng jantan besar diantara semak belukar.

Cepat dia menggunakan busur dan anak panah, menyerang celeng itu. Akan tetapi anak panahnya meleset ketika mengenai punggung celeng yang berkulit tebal. Celeng itu agaknya menjadi marah dan berlari ke arahnya sambil menundukkan kepala dan siap untuk menyerangnya dengan moncong yang dipersenjatai taring yang panjang runcing dan kuat itu!

Jayeng, demikian nama pemuda dusun itu, adalah seorang pemburu yang sudah berpengalaman. Usianya sekitar dua puluh lima tahun dan sudah lima tahun lebih dia mempunyai pekerjaan berburu binatang hutan, terutama celeng.

Kini, melihat celeng itu menyerangnya, dia tahu bahwa betapa besar bahayanya kalau binatang itu sudah marah. Dia cepat melarikan diri dan dengan jalan berputaran dari pohon ke pohon, dia dapat menghindarkan diri dari sergapan celeng itu yang kalau sudah berlari kencang, sukar untuk membelok apa lagi berputar, maka dipermainkan oleh Jayeng dengan cara berputar-putaran diantara pohon-pohon, dia tidak berdaya.

Akhirnya Jayeng dapat keluar dari hutan itu. Dia lalu melanjutkan perjalanannya berburu. Agaknya dia sedang sial karena sehari penuh dia tidak lagi menemukan binatang buruan yang memadai. Dia berjalan terus ke timur dan pada keesokan harinya, tibalah dia di daerah pegunungan sekitar Wilis. Tanpa setahunya, dia tiba di kaki Bukit Keluwung.

Daerah baru ini menarik hatinya. Siapa tahu, bukit yang dari bawah tampak dipenuhi hutan belukar itu mempunyai banyak binatang buruan. Dia mulai mendaki. Akan tetapi setibanya di dekat puncak, dia terkejut sekali melihat kobaran api di puncak bukit itu. Ada kebakaran. Dia tidak tahu apa yang menyebabkan kebakaran itu. Dia terus mendaki, mendekat. Dan dia bersembunyi mengintai dengan mata terbelalak keheranan. Dia melihat seorang wanita cantik jelita berpakaian serba putih, menangis sambil mengamuk dengan sebuah kebutan berbulu putih.

Sebuah pondok yang mungil dan indah sedang dimakan api berkobar dan wanita itu menggunakan kebutannya untuk menghancurkan apa saja yang berada di depannya. Bukan saja bagian rumah yang sedang terbakar itu, juga pohon-pohon, batu-batu, bertumbangan dan remuk dihantam bulu kebutannya yang mengeluarkan suara meledak-ledak. Dan wanita cantik itu mengamuk seperti kesetanan sambil menangis terisak-isak!