Badai Laut Selatan Jilid 15 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Badai Laut Selatan Jilid 15

Wajah kedua orang wanita itu menjadi merah padam. Kumis sekepal sebelah itu rambutnya kasar-kasar seperti serat kelapa, dan baunya apak. Akan tetapi mereka berdua tidak berani bergerak lagi. Mereka sudah lama mendengar akan nama Dibyo Mamangkoro yang dikabarkan sakti mandraguna, senopati dari Kerajaan Wengker, tangan kanan Sang Prabu Bokoraja yang seperti iblis di Kerajaan Wengker itu. Raja yang disohorkan amat keji dan menakutkan, paling suka makan daging kanak-kanak, akan tetapi yang mempunyai kesaktian menggemparkan jagad mengguncang langit.

Hanya karena kalah oleh puteranya sendiri sajalah Sang Prabu Boko dapat ditewaskan dan tentu saja semua ini terjadi karena kebesaran Sang Prabu Airlangga yang memancarkan sinar kekuasaan ke seluruh daerah Mataram. Ketika terjadi perang, tidak ada senopati Medang yang dapat menandingi amukan Dibyo Mamangkoro ini. Hanya setelah Ki Patih Narotama sendiri yang cancut taliwondo turun tangan terjun ke medan laga, baru Dibyo Mamangkoro bertemu tanding yang setingkat. Dikabarkan betapa kedua senopati ini bertanding sampai dua hari dua malam. Akhirnya Dibyo Mamangkoro harus mengakui keunggulan Ki Patih Narotama, tidak kuat menandingi kedigdayaannya, lalu melarikan diri, meninggalkan ki patih yang juga menderita luka-luka dalam pertandingan paling dahsyat yang pernah ia alami.

Semenjak kehancuran Kerajaan Wengker, orang tidak mendengar lagi tentang Dibyo Mamangkoro. Namun namanya masih menjadi buah percakapan mereka yang suka akan ilmu kesaktian, karena selain Sang Prabu Airlangga dan Ki Patih Narotama, agaknya sukar mencari tokoh yang sanggup menandingi Dibyo Mamangkoro. Siapa sangka, secara aneh dan tiba-tiba sekali Dibyo Mamangkoro muncul di Pulau Sempu pada saat yang demikian gawat dan pentingnya, di saat para utusan Pangeran Anom hendak merampas pusaka Mataram yang hilang.

Timbul kekhawatiran di hati Ni Durgogini dan Ni Nogogini tadi bahwa orang yang tersohor ini hendak merampas pusaka pula. Mereka sudah mendengar nama besar Dibyo Mamangkoro, akan tetapi belum pernah berjumpa dan belum pernah menyaksikan kedigdayaannya. Oleh karena itulah tadi mereka mencoba-coba dan hasilnya benar-benar amat memalukan mereka. Dengan mudah akan tetapi aneh sekali mereka ditangkap, dipondong dan diambungi!.

Mereka sebagai orang-orang sakti maklum bahwa tingkat kepandaian kakek aneh ini lebih tinggi daripada tingkat mereka, maklum pula bahwa kalau mereka menyerang lagi, mungkin mereka akan mengalami hal yang lebih hebat. Maka mereka diam saja, diambungi juga tidak berani berkutik!

Melihat betapa kakek yang menjadi gurunya itu mengambungi dua orang wanita cantik sehingga terdengar suara ngak-ngok-ngak-ngok, Endang Patibroto merasa muak. Muak akan perbuatan kakek itu. Biarpun ia masih kecil, baru berusia sebelas tahun, namun naluri kewanitaannya tersentuh oleh perbuatan yang melanggar susila ini. la kecewa dan marah, karena betapapun juga, kakek itu sudah menjadi gurunya. Melihat perbuatan gurunya ini, diam-diam ia ikut merasa malu. Tanpa disadarinya ia mencela,

"Ihhh, menjijikkan dan memalukan...... !"

Sambil tertawa-tawa, Dibyo Mamangkoro menoleh ke arah Endang Patibroto, kemudian ia menggerakkan kedua lengannya dan tubuh Ni Durgogini dan Ni Nogogini terlempar ke depan sampai tujuh delapan meter jauhnya.

"Hua-ha-ha-ha, pergilah, Nini. Keringat kalian mulai tak sedap, dan muridku muak melihat permainan kita. Juga kulihat kirik licik itu melotot matanya, hatinya penuh iri dan cemburu. He, kirik licik, apakah engkau kekasih kedua orang siluman betina itu?"

Ucapan itu ditujukan kepada Jokowanengpati yang sejak tadi memang sudah marah sekali. Melihat betapa kakek yang baru datang dan amat sombong ini menghina Ni Durgogini, ia tak dapat menahan kemarahannya. la tidak mengenal dan belum pernah mendengar nama Dibyo Mamangkoro. la dapat menduga bahwa kakek ini tentu sakti, akan tetapi karena di situ terdapat teman-temannya yang kesemuanya adalah orang-orang berilmu tinggi, hatinya menjadi besar dan sambil mengeluarkan seruan keras tubuh Jokowanengpati melompat ke depan dengan Aji Bayu Sakti, tangannya bergerak melancarkan pukulan Siyung Warak.

"Joko, jangan....!!"

Ni Durgogini menjerit penuh kekhawatiran, namun terlambat karena tubuh Jokowanengpati sudah melayang ke arah Dibyo Mamangkoro. Hebat serangan itu, dahsyat bukan main. Biarpun masih muda, Jokowanengpati adalah murid Empu Bharodo, bahkan bekas murid yang terkasih. Di samping ini, iapun menerima banyak petunjuk dari Ni Durgogini yang menariknya sebagai kekasih.

Gerakannya cepat laksana burung srikatan dan pukulannya antep seperti terjangan seekor badak. Dibyo Mamangkoro yang berdiri sambil merangkul pundak muridnya dengan tangan kiri, tidak mengelak melihat serangan ini, hanya tersenyum dan berkata, "Muridku, kau saksikan baik-baik gerakanku!"

Ketika tubuh Jokowanengpati dan terjangannya tiba, Dibyo Mamangkoro hanya mengangkat lengan kanannya yang besar, tangannya digerakkan secara aneh dan hebat kesudahannya! Jari-jari tangan kanan itu selain berhasil menangkis pukulan kedua tangan Jokowanengpati, juga sempat menyentil kedua tulang pundak Jokowanengpati sehingga terlepas sambungan Kedua tulang pundaknya, kemudian tangan itu masih dapat menerkam bahu di bagian dada lalu melontarkan tubuh itu ke atas!

Jokowanengpati mengeluarkan teriakan ngeri dan matanya terbelalak saking heran dan kaget bercampur takutnya. Tubuhnya tak tertahankan lagi melayang ke atas berputaran, kadang-kadang kepala di atas kadang-kadang di bawah, terus melayang ke atas dan akhirnya temangsang (tertahan) di puncak pohon randu alas yang tumbuh di dekat tempat itu! Cepat-cepat ia merangkul cabang-cabang pohon dengan kedua tangan dan kakinya, karena kedua tangannya tidak bertenaga lagi, lumpuh setelah sambungan tulang pundaknya terlepas.

Ni Durgogini cepat-cepat lari ke pohon itu, melompat ke atas dan dengan cekatan ia menolong dan menurunkan tubuh Jokowanengpati. Lega hatihya ketika orang muda itu duduk di atas tanah dan diperiksanya, ternyata hanya kedua pundak lepas sambungan tulangnya, tidak ada luka lain. Dengan mudah saja ia dapat menyambungkan kembali tulang pundak dengan ramuan obat yang selalu dibawanya dalam kemben (ikat pinggang), yaitu obat-obat untuk menyembuhkan luka-luka, keracunan, dan patah tulang. Dengan penuh kasih sayang Ni Durgogini mengurut-urut dan memijat-mijat pundak sambii menaruhkan obat.

"Hua-ha-ha-ha! Aku mendengar Gusti Pangeran Anom mempunyai banyak pembantu yang sakti. Kiranya hanya orang-orang macam ini! Hayo, siapa hendak mencoba lagi? Hayoh! Mumpung Dibyo Mamangkoro sedang gembira!"

"Huh-huh-huh, bagaimana ini.....? Sial dangkalan benar, mencari perkara! Mencari penyakit! Ouhh, Adinda Senopati Dibyo Mamangkoro! Sudahlah sudah, siapa yang tidak tahu akan kesaktianmu? Sudahlah, kau ampunkan orang-orang muda yang tidak mengenal tingginya gunung dalamnya lautan! Kami adalah utusan Gusti Pangeran Anom, diutus menghukum si pemberontak Bhagawan Rukmoseto, sama sekali tidak diutus memusuhimu!"

"Pertapa bungkuk gudang penyakit, Kakang Cekel Aksomolo! Mulutmu sejak dahulu tetap bau, tak pernah berubah, tukang bohong tukang fitnah! Siapa tidak tahu kalian datang ke sini mencari pusaka Mataram yang hilang? Siapa tidak tahu engkau merobohkan Bhagawan Rukmoseto dengan keroyokan yang memalukan? Pergilah kalian semua, sebelum aku paksa kalian mengeroyokku!"

Sebetulnya, kalau saja enam orang itu maju bersama mengeroyoknya belum tentu mereka akan kalah oleh Dibyo Mamangkoro. Betapapun saktinya Dibyo Mamangkoro, namun menghadapi pengeroyokan enam orang yang memang sakti itu, agaknya ia takkan dapat menang secara mudah. Akan tetapi, sikap Dibyo Mamangkoro yang tabah dan memandang rendah ini, apalagi sepak terjangnya tadi, sudah menyempitkan nyali mereka. Apalagi, jelas bahwa di dalam pondok tidak terdapat pusaka Mataram dan agaknya kalau dipikir-pikir, orang seperti Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo ini tidak mungkin mau bicara bohong. Agaknya memang patung pusaka Mataram itu tidak berada di pulau ini. Untuk apa melibatkan diri dalam permusuhan dengan seorang digdaya seperti Dibyo Mamangkoro ini kalau sekiranya pusaka tidak berada di situ?

"Uuh-huh, baiklah.... baiklah.....! kami pergi. Memang tugas kami sudah selesai. Mari kawan-kawan, kita kembali ke perahu. Uuhhh, sialan!"

Pergilah enam orang itu bersungut-sungut meninggalkan tempat itu, kembali ke pantai di mana perahu besar telah menanti mereka. Setelah enam orang itu pergi, Dibyo Mamangkoro melangkah lebar ke pondok, kakinya menendang-nendang apa saja yang menghalang di depannya. Bangku, meja, pedupaan dan Iain-lain. Matanya mencari-cari. Bahkan ketika kakinya diayun dan tangannya digerakkan, sisa pondok kecil itu terbang jauh ke belakang.

Endang Patibroto mendekati tubuh kakeknya yang terlentang di atas tanah. Melihat kakek itu tak bergerak-gerak dari hidung, telinga dan ujung bibir keluar darah, matanya terpejam, Endang Patibroto kaget dan berduka sekali. Ia mengira bahwa kakeknya tentu sudah tewas. Diam-diam ia menggigit bibirnya dan dalam hati ia mencatat wajah enam orang tadi. Akan tetapi ia tidak mau berlutut mendekati tubuh kakeknya, Endang Patibroto seorang anak yang luar biasa cerdiknya. la maklum bahwa kakek sakti yang menjadi gurunya itu bukanlah sahabat baik kakeknya, karena itu tidak perlu ia menceritakan hubungannya dengan kakek yang menggeletak mati di situ.

Di samping kecerdikannya yang luar biasa, juga anak perempuan ini memiliki dasar hati yang keras, nyali yang tabah dan dengan mudah ia dapat menekan perasaan hatinya. Sungguhpun hatinya seperti diremas melihat keadaan kakeknya, namun pada wajahnya yang agak pucat itu tidak terdapat tanda sesuatu! ia menoleh ke arah Dibyo Mamangkoro yang masih mengamuk dan menendang-nendang sisa pondok, jelas mencari-cari.

"Kau mencari apakah, Eyang?" tanyanya, padahal di dalam hatinya anak ini dapat menduga bahwa gurunya itu tentu mencari patung kencana, patung pusaka Mataram yang menjadi bagian Joko Wandiro. Tanpa disadarinya, ia meraba gagang keris pusaka Brojol Luwuk yang terselip di pinggangnya, tertutup baju.

"Huh! Mencari apa? Mencari pusaka Mataram yang kabarnya hilang. Aku belum pernah melihatnya, Kabarnya pusaka Mataram itu berbentuk patung kencana berujud Sang Hyang Whisnu. Monyet-monyet tadipun datang untuk mencari benda itu. Agaknya memang tidak berada di tempat ini"

"Patung kencana saja untuk apa sih, Eyang? Mari kita pergi saja dari sini. Aku tidak senang di sini!"

Endang Patibroto menggandeng tangan gurunya dan menarik-nariknya pergi dari situ. Dibyo Mamangkoro tertawa-tawa, akan tetapi tidak membantah dan membiarkan dirinya ditarik-tarik. Dia tidak tahu betapa perbuatan Endang Patibroto ini ada sebabnya, yaitu ketika anak itu tadi melihat tubuh kakeknya bergerak-gerak perlahan

Setelah tiba di pantai, mereka melihat perahu layar besar itu sudah berlayar jauh, Dibyo Mamangkoro lalu menggendong muridnya, dan menyeberang ke darat dengan cara seperti tadi, yaitu dengan menunggang mancung kelapa.

Memang betul apa yang dilihat oleh Endang Patibroto dan yang diduganya tadi. Tubuh Sang Bhagawan Rukmoseto yang disangka orang telah tewas itu, bergerak-gerak perlahan. Mula-mula kedua kakinya, lalu kedua tangannya, kemudian terdengar ia mengeluh perlahan, membuka matanya dan dengan gerakan lemah dan lambat ia berusaha bangkit. Namun ia roboh kembali sehingga dagu dan pipinya menumbuk tanah. Agaknya ini bahkan membuat ia sadar. ia mengeluh, mengejap-ngejapkan matanya, lalu berhasil bangkit dan duduk. Ia memandang ke sekitarnya. Sunyi. Hanya terdengar suara ombak memberisik di pantai. Ia menoleh ke belakang, ke arah pondoknya. Sudah berantakan dan tidak ada pondoknya lagi, hanya tinggal bekas-bekasnya. la menarik napas panjang.

"Ya Jagad Dewa Batara... terjadilah kiranya segala kehendak Hyang Widi Wisesa... Hamba masih diperkenankan hidup.... untuk apa dan sampai kapan?"

la lalu bersila, mengheningkan cipta memusatkan panca indera, setelah hening lalu diarahkan ciptanya mengumpul dan menghimpun semua hawa murni dalam tubuh, menyalurkannya ke arah belakang kepala untuk menyembuhkan luka pukulan yang sepatutnya menghancurkan kepalanya itu. Sampai terasa panas seperti dibakar api dari dalam, nyeri bukan main!

********************


Kita tinggalkan dulu Sang Bhagawan Rukmoseto yang secara ajaib atas kehendak Yang Maha Kuasa, dapat terlepas dari ancaman maut itu. Mari kita menengok dan mengikuti perjalanan Pujo bersama Kartikosari dan Roro Luhito. Tiga orang ini menunggang kuda, pertama-tama mereka mencari kedua orang anak, yaitu Endang Patibroto dan Joko Wandiro di sekitar daerah pantai selatan. Mereka naik turun gunung yaitu barisan Gunung Kidul yang membujur dari timur ke barat tiada berkeputusan.

Mereka keluar masuk hutan, ada kalanya harus meninggalkan kuda untuk menuruni tebing pantai yang amat curam dan yang tidak mungkin dapat dilakukan seekor kuda. Namun hasilnya sia-sia belaka. Kedua orang anak itu lenyap tanpa ada jejaknya, seakan-akan lenyap ditelan bumi. Mulai gelisah hati Kartikosari yang kehilangan puterinya. Apalagi Pujo mulai merasa khawatir kalau-kalau kedua orang anak itu tertimpa malapetaka. Ia amat sayang kepada Joko Wandiro, apalagi setelah kini diketahui bahwa ayah Joko Wandiro sesungguhnya bukanlah musuh besar yang selama ini didendamnya.

Dan tentu saja ia ingin sekali bertemu dengan Endang Patibroto, anak kandungnya. Untung bahwa di samping mereka terdapat Roro Luhito yang pandai sekali menghibur mereka. Bahkan kadang-kadang wanita muda itu bertembang, suaranya merdu sekali, pandai berkelakar, wajahnya selalu riang dan sikapnya bebas sehingga puteri adipati ini kadang-kadang dapat menghibur mereka dan membuat suami isteri itu tersenyum.

"Nimas Sari, kurasa untuk mencari anak kita dan muridku, kita membutuhkan bantuan banyak orang. Bagaimana kalau kita sekarang pergi ke Bayuwismo? Para cantrik kiranya. Akan dapat membantu kita. Pula, perlu kita menghadap bapa resi yang tentu amat sengsara hatinya oleh kepergian kita."

Kedua mata Kartikosari menjadi basah ketika ia teringat akan ayahnya. la mengangguk dan menjawab, "Agaknya begitulah sebaiknya, Kakangmas Kita perlu mohon pengampunan dan petunjuk dari ayah."

"Akupun akan pulang ke Selopenangkep. Siapa duga bahwa kita sebenarnya adalah tetangga dekat! Jangan kalian khawatir, mari ikut aku ke Selopenangkep. Dengan pengerahan pasukan kadipaten untuk mencari jejak kedua orang anak itu, tentu akan dapat segera berhasil!"

"Terima kasih, Diajeng. Akan tetapi biarlah kita pergi dulu ke Bayuwismo menjenguk ayah sepertl yang diusulkan kakangmas Pujo. Kalau perlu kelak, boleh saja kami menerima bantuanmu itu. Memang lebih banyak yang mencari lebih baik."

"Mari kita berangkat," kata Pujo, memandang ke angkasa," matahari sudah naik tinggi. Kalau kita mempercepat kuda, menjelang senja kita akan sampal di Bayuwismo."

Tiga ekor kuda meloncat ke depan lalu terdengar derap kaki mereka mernbalap ke arah barat. Pujo berada di depan, tegap dan gagah perkasa. Kartikosari di tengah dan Roro Luhito paling belakang. Rambut kedua orang wanita cantik jelita ini berkibar tertiup angin. Tepat seperti telah diperhitungkan oleh Pujo, lewat tengah hari sarnpailah mereka di Sungapan dan dari jauh sudah nampak pondok Bayuwismo. Tiba-tiba Kartikosari berseru,

"Kakangmas, berhenti di sini!"

Pujo menahan kudanya dan mereka bertiga melompat turun. Tiga ekor kuda yang tubuhnya penuh keringat dan hidungnya berkembang-kempis terengah-engah itu dilepas.

"Mengapa, Nimas?"

Dengan terharu Kartikosari berkata,
"Sudah terlalu lama kita tidak pulang. Akan terlalu mengagetkan ayah kalau kita datang berkuda. Kasihan, ayah sudah tua... " Wanita itu menahan isak, lalu dengan air mata membasahi pipi ia memandang Pujo, memaksa senyum. "Hatiku terlalu gembira.... melihat pondok itu.... mari kita ke sana, Kakangmas. Diajeng Luhito, mari...."

Dengan wajah berseri akan tetapi sinar matanya penuh keharuan Kartikosari menggandeng tangan Pujo dan tangan Roro Luhito. Berangkatlah mereka berjalan kaki melalui pantai berpasir, membiarkan kuda mereka mencari rumput dan melepaskan lelah.

"Ehhh.... apa itu....?"

Tiba-tiba Roro Luhito menudingkan telunjuknya ke depan agak ke atas. Mereka harus melindungi mata dari sinar matahari yang sudah condong ke barat, karena letak pondok itu berada di sebelah barat.

"Seperti... burung-burung gagak...."kata Kartikosari.

"Ahhh.... apakah yang menggeletak di pasir itu.....?"

Pujo berseru dan serentak, seperti mendapat komando, ketiga orang itu lalu lari, tidak bergandeng tangan lagi, melainkan berlari, cepat seperti tiga orang kanak-kanak bermain-main dan berlumba lari di atas pasir pantai!

"Duh Jagad Dewa Batara.... !!"

Pujo berseru ketika melihat bahwa enam orang cantrik Bayuwismo telah menggeletak malang-melintang di atas pasir, tak seorangpun di antara mereka masih bernapas.

"Aduh Gusti..... !!"

Kartikosari menjerit dan berlutut di samping suaminya, memeriksa enam orang yang sudah menjadi mayat itu. Keadaan mereka sungguh mengerikan. Tidak tampak luka-luka yang mengeluarkan darah di tubuh mereka, namun jelas bahwa mereka tewas penuh penderitaan. Ada yang dengan mata terbelalak, dan wajah mereka masih membayangkan kengerian dan ketakutan. Roro Luhito berdiri seperti patung, terbelalak memandang ke arah mayat-mayat itu, tidak tahu harus berkata apa berbuat apa.

"Ramanda resi.....!"

Tiba-tiba Kartikosari yang teringat ayahnya menjerit ngeri dan meloncat lalu lari ke arah pondok, diikuti oleh Pujo yang wajahnya pucat dan gelisah sekali. Roro Luhito juga berlari di belakang mereka. Seperti orang gila, Kartikosari nnemasuki pondok hamper berbareng dengan Pujo dan di belakang mereka, Roro Luhito juga menyusul masuk. Pondok itu kosong! Akan tetapi jelas tampak tanda-tanda bahwa orang telah menggeledah pondok itu dengan kasar. Semua isi pondok jungkir-balik.

Melihat pondok itu kosong, Kartikosari agak lapang dadanya. Akan tetapi ia masih merasa tidak enak, lalu lari keluar dari pintu belakang, diikuti Pujo dan Roro Luhito. Setelah rnencari-cari dan yakin bahwa tidak ada mayat lain di sekeliling pondok, mereka kembali ke depan pondok. Kartikosari terisak dan merangkul lengan kiri Pujo yang berdiri tegak dengan muka pucat dan mata melotot memandang ke arah mayat-mayat yang malang melintang.

Roro Luhito berdebar debar jantungnya, merasa gelisah dan tidak enak hatinya. Siapakah yang melakukan pembunuhan keji ini? Jangan-jangan pembunuhnya datang dari Kadipaten Selopenangkep! la merasa cemas sekali.

"Kakangmas Pujo, siapakah kiranya yang begini keji. membunuhi para cantrik yang tidak berdosa?"

Kartikosari bertanya, suaranya gemetar. la mengenal semua cantrik ini, apalagi cantrik Wisudo dan cantrik Wistoro yang tua. Kedua orang cantrik ini dahulu seringkali menggendongnya dan mengajaknya main-main ketika ia masih kecil. Mereka itu seperti paman-pamannya, atau kakak-kakaknya sendiri. Dan sekarang, mereka semua menggeletak tak bernyawa di depan kakinya! Pujo rnenggeleng kepada, lalu mengepal tinju tangannya.

"Aku sendiri tak dapat menduga, Nimas. Akan tetapi siapapun juga orangnya, dia itu tentu memusuhi bapa resi. Mungkin bapa resi tidak berada di pondok, maka kernarahan orang atau orang-orang itu ditimpakan kepada para cantrik. Keji benar mereka!"

"Kakangmas Pujo, bukankah dekat tempat ini terdapat dusun? Tentu di antara penduduk dusun ada yang melihat, siapa yang baru-baru ini datang ke sini. Kulihat para korban ini belum terlalu lama tewasnya...."

"Kau benar!" Pujo berteriak. "Nimas Sari, kau bersama jeng Roro tunggu di sini, biar kucari keterangan sebentar ke dusun!"

Tanpa menanti jawaban Kartikosari yang masih termangu-mangu itu Pujo lalu melesat cepat dan lari secepatnya menuju dusun terdekat, yaitu dusun Karang Tumaritis. Seorang nelayan tua memandangnya dengan mata terbelalak heran. Barulah nelayan ini merasa yakin bahwa la tidak bermimpi ketika Pujo berseru kepadanya,

"Paman Kerpu !"

"Eh....... benarkah.... Gus Pujo ini....?"

"Benar, Paman."

"Wah, sewindu lebih engkau pergi, gus. Juga Nini Kartikosari.... ! malah setahun kemudian kakang resi pergi pula meninggalkan Sungapan. Aduh, alangkah banyaknya peristiwa terjadi sejak itu..... Gus. Perubahan besar terjadi di mana-mana dan......."

"Maaf, Paman Kerpu," Pujo memotong. "Saya sengaja mencari Paman untuk bertanya, apakah Paman melihat ada orang mendatangi Bayuwismo tadi?"

"Tadi.......?"

"Dalam hari ini maksud saya, Paman. Adakah Paman melihat orang-orang pergi ke sana?"

Kakek itu mengerutkan keningnya dan menggeleng-geleng kepalanya.
"Aku tidak melihatnya, gus. Kalau dahulu memang. Wah, jahat-jahat benar orang-orang dari Kadipaten Selopenangkep. Pantas saja Sang Hyang Widi sekarang menghukum mereka."

"Apa yang terjadi ketika itu, Paman?" Pujo tertarik. Mungkin kejadian dahulu ada hubungannya dengan kejadian sekarang.

"Terjadinya sudah lama sekali. Setahun lebih setelah kau dan isterimu pergi, atau tidak lama setelah kakang resi pergi tanpa pamit. Serombongan orang-orang dari Kadipaten Selopenangkep datang dan..... ah, benar kejam sekali. Lima orang cantrik di Byuwismo dibikin tuli semua!"

"Dibikin tuli?"

"Ya, entah bagaimana. Tahu-tahu mereka itu tuli semua. Akhir-akhir ini aku jarang mengunjungi pondok Bayuwismo. Habis, enam orang cantrik sana menjadi tuli semua, sukar diajak bicara. Akan tetapi sekarang datang hukuman Kadipaten Selopenangkep. Kabarnya Adipati Joyowiseso ditangkap, dan kadipaten diambil alih serombongan pasukan dari kota raja. Entah bagaimana duduknya perkara. Kami orang-orang kecil mana berani banyak bertanya?"

"Terima kasih, Paman. Saya harus pergi sekarang juga. Peristiwa hebat terjadi di Bayuwisrno. Keenam paman cantrik di sana telah terbunuh hari ini."

"Mereka terbunuh....? Siapa... siapa.....?"

"Entah siapa pembunuhnya. Justeru saya sedang melakukan penyelidikan."

"Kalau begitu, biar kukerahkan kawan-kawan untuk membantu di sana, mengurus mereka...."

Kakek itu menjadi pucat dan segera ia berteriak-teriak sambil lari memasuki dusun. Pujo mengangkat pundaknya, lalu ia menggunakan ilmu Iari cepat kembali ke Bayuwismo di mana kedua orang wanita itu menanti dengan penuh harapan.

"Bagaimana, Kakangmas? Berhasilkan? Siapakah yang melakukan ini?" Kartikosari tidak sabar Iagi, menyarnbut suarninya dengan hujan pertanyaan.

"Tidak ada orang yang melihat orang datang ke sini, Nimas. Akan tetapi...."

Pujo berpaling ke arah Roro Luhito dan menahan kata-katanya. Selama ini, Pujo tidak pernah terlepas dari perhatian puteri Adipati Selopenangkep ini. Belum pernah sedetikpun juga Roro Luhito dapat melenyapkan rasa cinta kasihnya terhadap Pujo yang selama bertahun-tahun ia tahan-tahan. Selama bertahun-tahun ketika ia menjadi murid Resi Telomoyo, ia selalu merindukan Pujo dan seringkali di waktu tidur ia bermimpi tentang laki-laki yang menjadi pujaan hatinya.

Biarpun Ia tahu bahwa ia telah salah duga, dan bersama dengan terbukanya rahasia itu maka harapannya untuk menjadi isteri Pujo tersapu habis seperti asap tipis tersapu angin, namun tak pernah hatinya dapat ia yakinkan bahwasanya rnencinta Pujo merupakan hal yang sia-sia belaka. Perasaannya tetap saja lekat kepada laki-laki itu dan setiap gerak-gerik Pujo tak pernah terlepas daripada perhatiannya, sungguhpun tentu saja ia tidak berani memperlihatkan secara berterang.

Ia tidak cemburu kepada Kartikosari karena sejak dahulupun ia maklurn bahwa Kartikosari adalah isteri Pujo. Ia hanya merasa diam-diam iri dan perasaannya seringkali hancur, namun tangisnya hanya ia kubur di dalam lubuk hatinya, tak pernah ia biarkan keluar, bahkan ia tutup-tutupi dengan sikap riang gembira! Hanya di waktu malamlah, apabila mereka bertiga sudah tertidur, ia berani membiarkan air matanya bercucuran, menangis tanpa suara! Karena itulah, maka begitu Pujo berpaling dan memandang, ia sudah dapat menangkap bahwa ada sesuatu terjadi yang menyangkut dirinya. Jantungnya berdebar dan ia cepat-cepat bertanya,

"Kakangmas Pujo, ada terjadi apakah? Di Selopenangkep.....?"

Pujo mengangguk, dan diam lagi.

"Kakangmas, kalau terjadi sesuatu, ceritakanlah. Diajeng Roro Luhito bukanlah anak kecil lagi, tak perlu menyembunyikan sesuatu."

Pujo menarik napas panjang, kemudian is berkata, "Tadi aku bertemu dengan Paman Krepu"

"Nelayan tua Karang Turnaritis ahli mengail ikan kerpu itu?" potong Kartikosari.

"Benar, dialah orangnya. Dari paman Kerpu aku mendapat keterangan bahwa sehari ini tak tampak orang datang ke tempat ini. Akan tetapi hampir sepuluh tahun yang lalu memang ada pasukan dari Selopenangkep yang datang ke Bayuwismo dan..." Kembali Pujo mengerling ke arah Roro Luhito. Betapapun juga, setelah mendengar kisah Roro Luhito dan setelah meneliti sikap dan watak gadis bangsawan ini selama dalam perjalanan. Pujo merasa kasihan kepadanya dan tidak ingin menyinggung perasaannya atau membuatnya berduka.

"Teruskanlah, Kakangmas Pujo. Tak perlu ragu dan rikuh kepadaku, karena biarpun aku puteri kadipaten, buktinya aku melarikan diri, minggat dari kadipaten. Berarti aku bukan puteri kadipaten lagi, melainkan seorang gadis gelandangan Kartikosari!"

Gadis itu tersenyum, akan tetapi Kartikosari membuang muka karena hatinya tertusuk, tidak tega melihat wajah ayu yang senyumnya amat pahit membayangkan kehancuran kalbu itu.

"Menurut cerita paman Kerpu, enam orang cantrik itu telah dibikin tuli, lebih tepat lagi, lima orang cantrik karena Paman Cantrik Wistoro memang sudah tuli sejak dahulu."

"Siapa yang melakukan hal sekeji itu?" tanya Kartikosari.

"Paman Kerpu tidak tahu, juga tidak ada orang lain yang tahu. Hanya yang jelas diketahui bahwa yang melakukan adalah rombongan pasukan dari Selopenangkep. Kemudian paman Kerpu menceritakan bahwa Kadipaten Selopenangkep telah diambil alih oleh serombongan pasukan dari kota raja, dan paman Adipati Joyowiseso kabarnya ditangkap."

Perubahan satu-satunya yang terjadi pada diri Roro Luhito hanyalah cahaya matanya yang mendadak menjadi tajam berkilat-kilat seakan-akan mengeluarkan api.

"Kalau begitu, mungkin yang melakukan pembunuhan adalah orang-orang yang kini berkuasa di Selopenangkep!" kata Kartikosari.

"Mungkin sekali dan hal ini baru jelas kalau kita menyelidiki ke sana. Selain itu, agaknya.... hemmm, perlu kau membantuku, Nimas. Aku harus melihat keadaan kadipaten itu dan sedapat mungkin menolong ayah diajeng Roro Luhito, hitung-hitung untuk menebus dosaku dahulu...."

Tiba-tiba Roro Luhito tak dapat menahan keharuan hatinya lagi. la melompat ke depan dan tanpa ragu-ragu ia memegang tangan Pujo dan tangan Kartikosari, bulu matanya yang panjang lentik itu basah ketika ia berkata, "Kakangmas, Kakangmbok aku amat berterima kasih kepada kalian Aku amat khawatir tentang keadaan ayah....! Marilah kita segera !"

Pada saat itu datanglah berbondong-bondong penduduk Karang Tumaritis dan sekitarnya, dipimpin oleh Kerpu. Pujo lalu menyerahkan kepada mereka untuk mengurus penguburan enam orang cantrik itu, kemudian ia bersama Kartikosari dan Roro Luhito segera meninggalkan temput itu, mendapatkan kuda mereka dan cepat mereka menuju ke Selopenangkep. Datang perjalanan membelok ke utara ini mereka tidak banyak cakap, dan malam telah tiba ketika mereka tiba di luar daerah Kadipaten Selopenangkep. Pujo menghentikan kudanya, memberi isyarat kepada dua orang wanita itu untuk berhenti dan turun.

"Lebih baik kita tinggalkan kuda di sini dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Kita tidak tahu siapa yang berkuasa di sana, tidak tahu pula apakah mereka itu akan memusuhi kita, karena itu, penyelidikan harus dilakukan secara rahasia."

"Malam hari amatlah tepat untuk melakukan penyelidikan rahasia," kata Kartikosari.

Setelah mengikatkan kuda di bawah sekelompok pohon, mereka lalu melanjutkan perjalanan dengan hati-hati mendekati tembok rendah yang mengelilingi daerah Kadipaten Selopenangkep.

"Kakangmas berdua setelah nanti tiba di kadipaten, harap melakukan penyelidikan dengan hati-hati. Kurasa paling balk masuk melalui pintu depan dan terang-terangan menyatakan hendak bertemu dengan pengurus yang baru. Mereka tidak mengenal kalian berdua, agaknya keadaan kalian berdua tidak akan berbahaya. Akupun tidak takut untuk masuk berterang, kalau perlu aku akan mengadakan amuk di sana. Akan tetapi, aku harus rnemikirkan keselamatan ayah dan keluargaku. Mungkin mereka masih di tahan di sana, dan sebelum menyelidiki keadaan mereka, lebih baik aku tidak ikut masuk bersama kalian."

"Habis, bagaimana kau hendak mencari keluargamu?"

"Aku mengenal jalan rahasia memasuki kadipaten dari belakang. Aku sudah hapal akan tempat tinggalku sejak aku lahir di sana. Dan akan lebih leluasalah bergerak seorang diri."

Pujo mengangguk-angguk. "Baiklah, Diajeng. Kami berdua akan masuk dari depan. Biar kami menarik perhatian mereka semua sehingga keadaan di sebelah dalam berkurang penjagaannya dan kau dapat mencari keluargamu dengan leluasa."

Kata-kata Pujo ini disambung oleh Kartikosari, "Mudah-mudahan saja ayahmu sekeluarga dalam selamat, Adikku."

Sepasang mata Roro Luhito kembali memancarkan sinar berapi seperti tadi. Ia mendengus dan sambil rnenggeget (memperternukan gigi) berkata, "Semoga begitu. Kalau tidak kubikin karang abang (lautan api) dan banjir darah di Kadipaten Selopenangkep!"

Kartikosari merangkulnya. "Jangan khawatir, Diajeng. Musuh besar pribadi kita sama orangnya. Agaknya musuh keluarga kita juga sama. Kami akan mendampingimu!"

Roro Luhito meraih dan mengambung pipi Kartikosari. "Kau seorang yang amat baik."

Ketika mereka tiba di depan istana kadipaten, dari luar keadaannya seperti tidak ada perubahan. Diam-diam hati Roro Luhito terharu melihat tempat tumpah darahnya ini. Sepuluh tahun lebih la meninggalkan tempat ini dan betapa rindunya akan tempat ini. Melihat sepasang pohon beringin di depan halaman, pohon sawo di sebelah kiri dan taman sari di sebelah kanan terus ke belakang, terbayanglah is betapa ketika masih kecil ia bermain-main di ternpat itu.

"Kami akan masuk berbareng, Diajeng," bisik Pujo.

Roro Luhito mengangguk dan menyelinaplah dia ke dalam gelap, menyusuri pagar tembok kadipaten sebelah kanan. la mengenal jalan rahasia dari balik pagar tembok taman sari. Sementara itu, Pujo menggandeng tangan isterinya dan melangkah lebar ke arah pintu gerbang depan, di mana terdapat gardu para penjaga. Makin dekat, terdengarlah suara para penjaga, dan kanan kiri pintu gerbang terdapat lampu yang apinya bergoyang-goyang tertiup angin.

Waktu itu belum malam benar dan para penjaga masih berkumpul di gardu karena belum waktunya meronda. Pujo yang pernah melakukan penyerbuan ke kadipaten ini sepuluh tahun yang lalu, melihat betapa pakaian para penjaga kini berbeda dengan dahulu. Pakaian penjaga yang sekarang ini iebih mentereng, juga sebagian besar adalah orang-orang muda.

Ada tujuh orang penjaga di situ, sedang bercakap-cakap dan kadang-kadang tertawa. Setelah dekat jelas terdengar bahwa mereka itu mempercakapkan wanita. Karena percakapan mereka itu kotor dan cabul, Pujo mempercepat langkahnya dan batuk-batuk.

Berhentilah percakapan itu seperti yang diharapkan Pujo dan beberapa orang muncul keluar dari gardu penjagaan. Melihat seorang laki-laki tampan dan seorang wanita cantik jelita berdiri di pintu gerbang, mereka itu tercengang dan segera menegur, "Siapakah kalian dan ada keperluan apakah?"

Tujuh orang penjaga itu kini sudah keluar semua dan empat belas buah mata yang haus semua melotot lebar tertuju ke arah tubuh yang denok montok dan wajah yang cantik jelita itu. Kecantikan wajah dan kehalusan kulit tubuh Kartikosari tampak makin mempesonakan tertimpa sinar lampu yang kemerah-merahan. Mereka itu selain terpesona, juga terheran-heran mengapa selama ini mereka tidak pernah bertemu dengan wanita ayu ini di Kadipaten Selopenangkep.

"Kami hendak menghadap Sang Adipati!" jawab Pujo singkat, sedangkan Kartikosari membuang muka karena tidak dapat menahan kemarahan dan malunya melihat betapa tujuh orang penjaga itu memandangnya dengan mata lahap seakan dengan pandang mata itu mereka hendak menelanjanginya bulat-bulat!

"Menghadap Sang Adipati?" Si penanya menyeringai dan bermain mata dengan teman-temannya.

"Eh, masih keluarga Adipati Joyowiseso?" tanya orang ke dua.

"Dari mana kalian datang?" orang ketiga bertanya pula.

"Kami bukan keluarga Adipati Joyowiseso dan kami datang dari Sungapan."

"Dusun Bayuwismo?" kata seorang.

"Murid Resi Bhargowo....?" seru yang ke dua.

Pujo tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. "Betul, dan lekas beritahukan adipati atau yang menjadi penguasa di Kadipaten Selopenangkep bahwa kami berdua hendak bertemu!"

Tujuh orang itu kelihatan tegang dan tangan mereka otomatis meraba senjata. Ada yang niencabut golok, ada yang meraba gagang pedang dan ada Pula yang menyambar tornbak.

"Tangkap dial"

"Biar kutangkap yang wanita, ha-ha!"

Bermacam-macarn teriakan mereka. Akan tetapi suara ejekan dan ketawa mereka segera disusul teriakan kaget dan kesakitan, mencelatnya senjata dan robohnya tubuh dua orang. Kartikosari sudah menerjang maju dan dua kali tangannya hergerak, dua orang tadi sudah roboh. Pujo juga sudah bergerak karena melihat para penjaga itu mulai menggerakkan senjatanya. Iapun merobohkan dua orang dengan sekali bergerak.

Melihat ini, tiga orang lain menjadi gentar, namun mereka masih berteriak-teriak sambil mengayun-ayunkan senjata dari tempat agak jauh, takut mendekati suami isteri yang sakti itu.

"Ada apa ribut-ribut ini?" Tiba-tiba terdengar suara keras menegur.

"Raden Mas.... mereka itu...."

Akan tetapi penjaga itu terpelanting roboh ketika orang yang muncul itu melihat Pujo dan Kartikosari lalu bergerak maju sambil mendorong penjaga itu dengan tangan kirinya ke samping.

"Adimas Pujo...!" Orang itu berseru sambil melangkah maju mendekat.

Pujo mengerutkan alisnya sedangkan Kartikosari dengan kaget memegang tangan kiri suaminya. Suami isteri ini menatap tajam wajah orang yang baru muncul, kemudian otomatis mereka memandang ke arah tangan kiri orang itu.

"Hemmm.... Kakang Jokowanengpati. Sejak dahulu itu engkau masih di sini.....?"

Sambil berkata demikian, Pujo menggunakan tangannya menowel lengan isterinya sebagai isyarat dan Kartikosari dapat menduga bahwa Pujo sedang menjalankan siasat halus. Memang sebelum yakin benar, tak baik bertindak sembrono. Tak boleh kali ini mereka salah .lagi seperti ketika suaminya menangkap Wisangjiwo. Akan tetapi Jokowanengpati tidak menjawab pertanyaan ini karena dia sedang memandang kepada Kartikosari dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, seakan-akan ia melihat munculnya setan di siang hari.

"Dia ini Kartikosari, isteriku, apakah kau lupa ?" Pujo memancing.

"... dia.... eh... bukankah kau dulu bilang bahwa Diajeng Kartikosari sudah.... mati? dimas Pujo, apa yang terjadi? Dahulu kau bilang bahwa Diajeng Kartikosari sudah mati terbunuh oleh Wisangjiwo.... !"

cerita silat online karya kho ping hoo

Pujo tersenyum kecil. "Tadinya memang kami sangka begitu akan tetapi ternyata tidak demikian. Kakang Jokowanengpati, apa yang telah terjadi dengan kelingking kirimu?"

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Jokowanengpati mendengar pertanyaan yang tiba-tiba ini kemudian melihat betapa sinar mata sepasang suami isteri itu memandangnya bagaikan ujung dua buah pedang yang tajam runcing menodong ulu hatinya! Namun Jokowanengpati tetap cerdik sekali bahkan sekarang lebih berpengalaman dan lebih licin. Betapapun kaget hatinya, wajahnya tidak membayangkan kekagetan ini, bahkan ia dapat memaksa wajahnya itu memperlihatkan keheranan dan kesungguhan. Padahal di hatinya ia mengerti bahwa agaknya suami isteri ini sudah mengerti atau setidaknya sudah menduga akan rahasianya, sepuluh tahun yang lalu di dalam Guha Siluman yang gelap.

Tidak mungkin dalam pertemuan dan dalam percakapan itu, secara tiba-tiba. saja Pujo menyimpangkan percakapan dengan pertanyaan tentang tanga kirinya yang kehilangan jari kelingking, kalau saja mereka berdua itu tidak sudah menduga bahwa kelingking yang dahulu digigit putus oleh Kartikosari dalam gelap itu adalah kelingkingnya! Agaknya suami isteri ini sadar bahwa bukan Wisarigjiwo yang memperkosa Kartikosari dalam guha itu, berdasarkan bukti kelingking itulah.

"Adimas Pujo dan Diajeng Kartikosari, silahkan Adinda berdua masuk. Mari kita bercakap-cakap di dalam. Tentang ini...." Ia menggerakkan tangan kirinya ke depan,".... ada riwayatnya. Marilah masuk dan nanti kuceritakan semua kepada kalian."

Pujo dan Kartikosari saling lirik, kemudian mereka mengangguk dan ikut masuk. Sudah sepatutnya sikap Jokowanengpati itu. Andaikata bukan Jokowanengpati musuh besar mereka, tentu begini pula sikapnya. Tak mungkin, seseorang, apalagi seperti Jokowanengpati yang agaknya di kadipaten ini sekarang mempunyai kedudukan tinggi, suka menceritakan tentang buntungnya kelingking di depan para penjaga itu. Seorang di antara tiga penjaga yang tadi belum dirobohkan, dibentak oleh Jokowanengpati,

"Hayo perketat penjagaan dan jangan bertindak sembrono seperti tadi. Kalian bertujuh patut dihukum mampus. Tak tahukah bahwa yang datang ini adalah adik-adik seperguruanku?"

"Ampun.... Raden Mas...." mereka berlutut dan menyembah penuh permohonan, wajah mereka ketakutan.

"Keparat, minggir!" Jokowanengpati membentak lagi, lalu mempersilahkan dua orang tamunya memasuki pendopo, terus melalui pintu menuju ke ruang tamu di sebelah kiri pendopo. Pujo dan Kartikosari bersikap tenang, namun pandang mata mereka waspada mengerling ke kanan kiri, menjaga kalau-kalau ada serangan gelap.

"Silakan duduk. Di sini sunyi tak terganggu. Kita dapat berbicara leluasa dan tenang. Agaknya banyak hal yang harus mendapat penjelasan, Dimas Pujo. Terutama sekali tentang keterangan dahulu bahwa Diajeng Kartikosari suda meninggal. Aku tidak melihat sebab-sebab yang tepat mengapa dahulu itu engkau berbohong kepadaku. Akan tetapi biarlah engkau sendiri yang nanti memberi keterangan agar hatiku tidak merasa bingung dan penasaran. Sekarang lebih dahulu kau dengarlah tentang Kadipaten Selopenangkep."

Jokowanengpati menarik napas panjang dan memandang kedua orang suami isteri yang duduk di atas bangku berukir di depannya. Lampu lampu dipasang pada dinding di belakang dan atas kepala Jokowanengpati sehingga sinar lampu yang menyinari kepalanya membuat wajahnya tersembunyi dalam bayangan gelap. Sebaliknya, sinar lampu itu langsung menerangi wajah Pujo dan Kartikosari. Melihat betapa suami isteri itu kelihatannya gelisah, kadang-kadang saling lirik dan terutama sekali selalu memandang ke arah tangan kirinya Jokowanengpati tidak memberi kesempatan mereka membuka mulut, langsung menyambung kata-katanya.

"Seperti telah kuceritakan kepadamu sepuluh tahun yang lalu, Adimas Pujo, ketika itupun aku sudah menduga bahwa Adipati Joyowiseso merencanakan pemberontakan terhadap Medang. Maka aku sengaja datang ke sini dan melakukan penyelidikan, terpaksa ketika itu aku berpura-pura memusuhimu, bahkan setelah kau berhasil melarikan diri, aku membawa pasukan untuk mengejar dan mencari-carimu."

Melihat betapa pandang mata suami isteri itu tidak berubah, tetap tegang, penuh selidik dan penuh benci, Jokowanengpati diam-diam menduga-duga. Perbuatannya dalam beberapa hari ini, bersama Ni Durgogini dan Ni Nogogini, menyerbu ke Bayuwismo dalarn usaha mencari pusaka Mataram kalau-kaIau disernbunyikan di situ, kemudian membunuh enam orang cantrik agar tidak mengenalnya, dilakukan secara sembunyi dan tidak seorangpun tahu. Tak mungkin Pujo dan isterinya tahu akan hal itu. Akan tetapi kedatangannya ke Bayuwismo beberapa tahun yang lalu bersama Cekel Aksomolo dan pasukan kadipaten, tentu ada yang tahu. Berpikir sejauh ini ia lalu berkata pula,

"Karena harus dapat melakukan penyelidikan secara tepat, aku terpaksa membantu usaha pemberontakan Adipati Joyowiseso sehingga terpaksa pula aku ikut menyerbu ke Bayuwismo bersama Cekel Aksomolo dan pasukan kadipaten. Untung aku ikut ke sana, kalau tidak ada aku yang mencegah, tentu parnan-paman cantrik di sana sudah dibunuh Cekel Aksomolo ketika itu."

Dua pasang mata di depannya itu memancarkan sinar penuh kemarahan, akan tetapi mereka diam saja. Hal ini bahkan menimbulkan ketegangan dan kegelisahan di hati Jokowanengpati yang cepat-cepat menyambung,

"Akan tetapi, akhirnya tibalah saatnya menghancurkan para pemberontak. Dua pekan yang lalu, aku diberi tugas oleh Gusti Pangeran Anom, memimpin pasukan besar dan menyerbu kadipaten ini, menangkap adipati, membasmi kaki tangannya dan mengambil alih kadipaten atas nama Gusti Pangeran Anom, dan..."

"Cukup ! Kami datang bukan untuk mendengarkan obrolan!!" Tiba-tiba Kartikosari bangkit berdiri sambil membentak. Jokowanengpati terkejut sekali, dan Pujo segera memegang tangan isterinya, disuruhnya duduk dan bersikap tenang. Kemudian sambil memandang tajam kepada Jokowanengpati, Pujo berkata,

"Kakang Jokowanengpati, maafkan sikap kami. Akan tetapi sesungguhnya kedatangan kami ini mempunyai keperluan penting. Kami tidak mengira akan bertemu denganrnu di sini. Soal-soal lain kami tidak peduli, akan tetapi harap kau suka menjawab dua pertanyaan kami. Pertama, siapakah yang begitu keji membunuh semua cantrik Bayuwismo siang tadi dan ke dua, ke mana hilangnya kelingking tangan kirimu itu!"

Wajah Jokowanengpati menjadi pucat, akan tetapi karena terlindung oleh bayang-bayang gelap, tidak tampak oleh kedua orang tamunya. Di dalam hatinya Jokowanengpati agak menyesal mengapa ia membiarkan Ni Durgogini dan Ni Nogogini pergi dari kadipaten, menuju ke kota raja memberi laporan kepada Pangeran Anom. Kalau saja ia yang pergi ke kota raja, tentu tidak akan bertemu dengan Pujo dan Kartikosari. Akan tetapi, bagaimana ia bisa meninggalkan Kadipaten Selopenangkep kalau kadipaten ini sudah dikuasainya dan setiap hari ia dapat bersenang-senang dengan gadis-gadis rampasan yang cantik-cantik? Sebagai penguasa sementara yang baru, ia memerintahkan agar semua perawan denok di kadipaten itu dikumpulkan di kadipaten untuk melayaninya.

Tentu saja ia membiarkan kedua orang iblis betina yang makin tua makin menggila akan tetapi masih tetap cantik itu untuk mengumpulkan pemuda-pemuda tampan pula dalam kadipaten. Senyum simpul menghias mulut Jokowanengpati. Untung ia cerdik. Terlalu cerdik untuk orang-orang tak berpengalaman macam Pujo dan Kartikosari. Untung ia telah bersiap-siap menghadapi ancaman musuh dari manapun datangnya. Dengan pelbagai siasat, ia m茅rencanakan penjagaan diri yang cukup kuat, dan di antaranya, ruangan tamu ini merupakan tempat ia menyelamatkan diri daripada musuh-musuh yang terlampau berat.

Sama sekali ia tidak gentar menghadapi Pujo dan Kartikosari, yang keduanya adalah adik-adik seperguruannya. la sudah banyak menerima gemblengan Ni Durgogini yang sakti. Akan tetapi sebagai seorang cerdik, ia tidak rnau mengambil resiko berbahaya. Kalau ada cara lain mengalahkan lawan yang jauh lebih mudah, mengapa menggunakan cara yang sukar dan berbahaya? Jokowanengpati memasukkan kedua tangannya ke bawah meja yang berdiri di depannya, lalu berkata dengan suara mengejek,

"Mengapa tidak kau cari sendiri siapa yang membunuh para cantrik, dan tentang kelingkingku ini, hemm... digigit kuda betina liar!!"

Pujo dan Kartikosari menjadi marah sekali. Sungguhpun Jokowanengpati tidak mengakui perbuatannya secara berterang, namun kata-katanya itu merupakan ejekan yang cukup jelas. Namun, tak sempat suami isteri itu mengeluarkan kata-kata, karena pada saat itu, lantai di bawah mereka amblas ke bawah sehingga dua buah bangku yang mereka duduki berikut tubuh mereka melayang ke dalam lubang dan tidak dapat dicegah lagi!

"Ha-ha-ha-ha!.... Orang-orang tolol macam kalian mana mampu melawan aku?"

Jokowanengpati tertawa bergelak sambil menepuk-nepuk meja di depannya. Otomatis lantai yang berlubang itu bergeser dan tertutup kembali. Tepukan tangannya disambut munculnya empat orang pengawal. Mereka duduk bersimpuh dan menyembah.

"Seorang dari kalian atur penjagaan yang lebih ketat, jangan biarkan siapapun masuk kadipaten. Seorang lagi bawa pasukan menjaga tawanan di bawah tanah. Kamu dua orang mari ikut bersamaku, bawa regu penyemprot asap belerang!"

Jokowanengpati kelihatan gembira sekali. Dua orang musuhnya, yang selama ini mendatangkan mimpi buruk kepadanya, telah tertangkap dan sebentar lagi tentu dapat dilenyapkan dari permukaan bumi. Yang pasti Pujo, adapun Kartikosari.... hemmm! Wanita itu makin montok dan ayu saja.

Kalau orang biasa yang terbanting jatuh dari tempat hamper sepuluh meter, tentu akan luka-luka, setidaknya patah tulang salah urat, kalau tidak pecah kepalanya dan mati. Namun Pujo dan Kartikosari adalah orang-orang yang selain kuat juga terlatih, memiliki susunan syaraf yang amat peka, tubuh yang trampil. Ketika melayang-layang jatuh, cepat mereka dapat mengatur keseimbangan tubuh sehingga ketika terbanting di atas tanah, mereka dapat menahan bantingan itu dengan kedua tumit kaki dan tekukan lutut. Bangku yang turut melayang jatuh, telah mereka dorong ke pinggir sebelum sampai di dasar sumur itu.

"Kau tidak apa-apa, Nimas.....? " Pujo merangkul isterinya di dalam ruangan yang gelap pekat itu.

"Tidak, Kakangmas," bisik Kartikosari.

"Aku , sungguh bodoh kita sampai kena di akali jahanam itu!" Pujo mengepal tinjunya dalam gelap.

"Keparat itu dengan perbuatannya ini jelas membuktikan dosanya. Mari kita periksa tempat ini dan berusaha keluar."

Mulailah mereka meraba-raba. Alangkah kaget hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa mereka terkurung dalam sebuah ruangan yang tertutup rapat dan amat kuat, terbuat dari ternbok yang amat tebal. Di tengah-tengah ruangan itu terdapat sebuah tiang kayu jati. Pujo memanjat tiang ini ke atas dan ternyata di atas juga tertutup bahkan tertutup jeruji besi yang kuat di bawah atap! Sebuah pintu di kiri terbuat dari besi pula. Suami isteri ini sudah mencoba-coba untuk mencari jalan keluar dengan membobol pintu atau dinding, namun sia-sia. Terlampau kuat dinding dan pintu itu. Mereka seperti dua ekor harimau masuk perangkap, hanya bisa marah- marah akan tetapi tidak mampu keluar!

"Jahanam busuk Jokowanengpati!" Kartikosari berteriak marah. "Kalau kau memang jantan, hayo bertanding sampai titik darah terakhir! Engkau menjebak kami secara pengecut. Tak tahu malu!"

Pujo kembali merangkul isterinya yang berteriak-teriak itu, kemudian berbisik,
"Nimas, percuma marah-marah terhadap seorang yang sudah kehilangan jiwa ksatrianya. Lebih baik kita memikirkan akal untuk dapat keluar dari sini."

Mereka duduk berdampingan di atas lantai ruangan itu. Keadaan yang gelap pekat mulai remang-remang setelah mata mereka biasa di ruang gelap itu. Kiranya di sebelah bawah terdapat lubang-lubang kecil, agaknya lubang hawa. Legalah hati Pujo. Setidaknya, dengan adanya lubang-lubang kecil itu, mereka tidak akan mati pengap. Dan dari lubang-lubang kecil ini pula masuknya sinar yang membuat ruangan itu remang-remang. Mulailah mereka mempelajari keadaan ruangan. Bentuknya bundar, di tengah-tengah tiang. Tidak ada sebuahpun perabot rumah yang menghias ruangan kecuali sebuah lampu kecil tergantung di dekat tiang. Tembok dan pintu besi, juga tiang itu tidaklah baru, berarti tempat ini sudah ada sejak Joyowiseso menjadi adipati di situ.

"Hemm, agaknya tempat ini memang merupakan tempat tahanan, akan tetapi tidak seperti tempat tahanan di mana aku dahulu dikeram," kata Pujo.

Kartikosari mengangguk-angguk dan menyentuh lengan suaminya.
"Kakangmas, kita tenang-tenang saja dan mengaso mengumpulkan tenaga. Biarkan mereka itu membuka pintu lalu kita menyerbu keluar!"

Pujo menggeleng kepala.
"Kurasa Jokowanengpati pengecut licik itu tidaklah begitu bodoh, Nimas. Bagaimana kalau dia membiarkan kita kelaparan, kehausan dan lemas tak berdaya sebelum pintu ini dibuka?"

"Ah, Kakangmas, takut apa? Biar kita mati. Mati di sampingmu adalah nikmat, Kakangmas. Takut apa?"

Pujo merangkul leher isterinya dan mencium bibirnya, lalu berbisik, "Akupun tidak takut mati, karena ada engkau di sampingku, Nimas. Akan tetapi, kita tidak boleh mati sekarang. Bangsat itu belum terbalas, dan aku belum melihat anak kita, bagaimana kita bisa mati ? Tidak, kita hatus berusaha. Kerisku masih ada padaku, dengan senjata aku bisa membongkar tembok, sedikit demi sedikit, sebata demi sebata."

"Kau benar, Kakangmas. Akupun dapat membantumu dengan cundrikku!"

Penuh semangat suami isteri itu mulai bekerja. Biarpun senjata di tangan mereka hanya keris dan cundrik kecil saja, namun karena mereka memiliki tenaga dalam yang amat kuat, agaknya tidak akan sukar bagi mereka untuk membongkar tembok tebal itu. Akan tetapi, belum juga sebata terbongkar, tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis keras disusul ketawa bergelak.

Pujo dan Kartikosari kaget sekali, melompat berdiri dan tampaklah asap putih membanjir masuk dari lubang-lubang di bawah dekat pintu. Pujo tersedak dan Kartikosari terbatuk-batuk ketika asap belerang mulai menyerang hidung dan memenuhi ruangan itu! Mereka berusaha menutup pernapasan, namun betapa saktipun seseorang, tak mungkin is dapat menghentikan napas terlalu lama. Mereka terbatuk-batuk, terengah-engah, terhuyung-huyung. Pujo masih ingat akan isterinya, memeluk isterinya, seakan-akan hendak melindungi isterinya dengan tubuh sendiri menjadi perisai. Namun, menghadapi musuh berupa asap belerang, tak mungkin dia dapat melindungi isterinya atau dirinya sendiri. Hampir berbareng mereka roboh pingsan, menggeletak di atas lantai, masih berpelukan.

"Cukup! Buka pintunya, tangkap dan ikat mereka pada tiang!"

Terdengar suara Jokowanengpati berseru, akan tetapi suami isteri itu tidak dapat mendengar perintah ini, juga masih belum sadar ketika tubuh mereka yang lemas itu diseret ke tiang, kemudian dipaksa berdiri dan diikat lengan dan kaki mereka pada tiang, beradu punggung pada tiang di tengah ruangan. Jokowanengpati memasuki ruangan setelah asap mulai menipis dan karena sekarang pintu terbuka, maka ruangan itu tidaklah segelap tadi.

"Ha-ha-hal Pujo, keparat. Kau mau bilang apa sekarang?"

Jokowanengpati tertawa mengejek setelah member isyarat kepada Para pengawal yang jumlahnya enam orang Itu untuk keluar dari ruangan. la melangkah maju dan menampar muka Pujo dengan kedua telapak. tangan, berkali-kali. Karena Pujo masih belum sadar betul dan tubuhnya lemas, maka kepalanya terguncang-guncang ke kanan kiri ketika menerima tamparan. Akan tetapi, pukulan-pukulan keras itu malah membuatnya cepat siuman dari pingsannya. Begitu sadar dan melihat bahwa ia ditampari Jokowanengpati, seketika Pujo menegangkan tubuhnya dan urat-urat di lehernya mengeras, kepalanya tidak terguncang-guncang lagi.

"Jokowanengpati manusia pengecut!" Ia memaki, suaranya penuh nada ejekan.

"Ha-ha-ha-ha! Tak usah kau memancing-mancing kemarahanku agar kau kubebaskan dan kutantang bertanding, Pujo. Sebentar lagi kau mampus. Nah, rasakan ini!"

Kakinya melayang dan "ngekkk!" kaki itu bersarang di perut Pujo! Betapapun Pujo mengerahkan tenaga, namun karena tenaga lawannya juga amat kuat, maka is meringis kesakitan.

"Desss! Plakk! Bukk!!"

Jokowanengpati terus menghantam dan memukuli seluruh tubuh Pujo.

"Jahanam pengecut, keparat!"

Kartikosari yang baru saja siuman itu menjerit-jerit ketika menoleh dan melihat suaminya dipukul tanpa dapat membalas sedikitpun karena tangan dan kakinya terikat. Makian Kartikosari menolong Pujo. Jokowanengpati menghentikan siksaannya, lalu melangkah mendekati Kartikosari. Mukanya yang tampan itu menyeringai, matanya memandangi tubuh yang montok, melahapnya penuh nafsu.

"He-he-he, kau makin cantik jelita saja, Kartikosari. Kau makin ayu denok. Ah, ingatkah kau malam hari itu di dalam guha? Alangkah senangnya!"

"Jokowanengpati manusia rendah! Binatang! Tutup mulutmu yang kotor dan bunuhlah aku kalau kau tidak berani menghadapi aku bertanding secara jantan!" Pujo berteriak-teriak marah.

"Ha-ha-ha-ha! Pujo, sepuluh tahun yang lalu kau hanya menduga-duga, sekarang akan kausaksikan dengan mata kepalamu sendiri bahwa akulah yang akhirnya mendapatkan Kartikosari, bukan engkau!.... Ha-ha-ha!"

Jokowanengpati mendekat dan dengan lagak kurang ajar mencium bibir Kartikosari. Wanita itu membuang muka sehingga hanya pipinya yang kena cium.

"Bedebah! Binatang.... !!" Kartikosari memaki.

"Joko, iblis laknat engkau!" Pujo hanya dapat memaki dengan amarah meluap-luap.

Jokowanengpati kembali menghadapi Pujo, lalu memperlihatkan tangan kirinya. Kelingkingnya buntung mengerikan. "Kau lihat ini ? Kau tadi menanyakan mengapa Kelingking kiriku buntung? Ha-ha-ha, Kartikosari. Bukankah kelingking ini ketika dengan liar kau menyatakan sayang dan kasihmu kepadaku, Manis?"

"Jahanam....! Kubunuh.... engkau.... !" Kartikosari hampir pingsan saking marahnya.

BADAI LAUT SELATAN JILID 16


Badai Laut Selatan Jilid 15

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Badai Laut Selatan Jilid 15

Wajah kedua orang wanita itu menjadi merah padam. Kumis sekepal sebelah itu rambutnya kasar-kasar seperti serat kelapa, dan baunya apak. Akan tetapi mereka berdua tidak berani bergerak lagi. Mereka sudah lama mendengar akan nama Dibyo Mamangkoro yang dikabarkan sakti mandraguna, senopati dari Kerajaan Wengker, tangan kanan Sang Prabu Bokoraja yang seperti iblis di Kerajaan Wengker itu. Raja yang disohorkan amat keji dan menakutkan, paling suka makan daging kanak-kanak, akan tetapi yang mempunyai kesaktian menggemparkan jagad mengguncang langit.

Hanya karena kalah oleh puteranya sendiri sajalah Sang Prabu Boko dapat ditewaskan dan tentu saja semua ini terjadi karena kebesaran Sang Prabu Airlangga yang memancarkan sinar kekuasaan ke seluruh daerah Mataram. Ketika terjadi perang, tidak ada senopati Medang yang dapat menandingi amukan Dibyo Mamangkoro ini. Hanya setelah Ki Patih Narotama sendiri yang cancut taliwondo turun tangan terjun ke medan laga, baru Dibyo Mamangkoro bertemu tanding yang setingkat. Dikabarkan betapa kedua senopati ini bertanding sampai dua hari dua malam. Akhirnya Dibyo Mamangkoro harus mengakui keunggulan Ki Patih Narotama, tidak kuat menandingi kedigdayaannya, lalu melarikan diri, meninggalkan ki patih yang juga menderita luka-luka dalam pertandingan paling dahsyat yang pernah ia alami.

Semenjak kehancuran Kerajaan Wengker, orang tidak mendengar lagi tentang Dibyo Mamangkoro. Namun namanya masih menjadi buah percakapan mereka yang suka akan ilmu kesaktian, karena selain Sang Prabu Airlangga dan Ki Patih Narotama, agaknya sukar mencari tokoh yang sanggup menandingi Dibyo Mamangkoro. Siapa sangka, secara aneh dan tiba-tiba sekali Dibyo Mamangkoro muncul di Pulau Sempu pada saat yang demikian gawat dan pentingnya, di saat para utusan Pangeran Anom hendak merampas pusaka Mataram yang hilang.

Timbul kekhawatiran di hati Ni Durgogini dan Ni Nogogini tadi bahwa orang yang tersohor ini hendak merampas pusaka pula. Mereka sudah mendengar nama besar Dibyo Mamangkoro, akan tetapi belum pernah berjumpa dan belum pernah menyaksikan kedigdayaannya. Oleh karena itulah tadi mereka mencoba-coba dan hasilnya benar-benar amat memalukan mereka. Dengan mudah akan tetapi aneh sekali mereka ditangkap, dipondong dan diambungi!.

Mereka sebagai orang-orang sakti maklum bahwa tingkat kepandaian kakek aneh ini lebih tinggi daripada tingkat mereka, maklum pula bahwa kalau mereka menyerang lagi, mungkin mereka akan mengalami hal yang lebih hebat. Maka mereka diam saja, diambungi juga tidak berani berkutik!

Melihat betapa kakek yang menjadi gurunya itu mengambungi dua orang wanita cantik sehingga terdengar suara ngak-ngok-ngak-ngok, Endang Patibroto merasa muak. Muak akan perbuatan kakek itu. Biarpun ia masih kecil, baru berusia sebelas tahun, namun naluri kewanitaannya tersentuh oleh perbuatan yang melanggar susila ini. la kecewa dan marah, karena betapapun juga, kakek itu sudah menjadi gurunya. Melihat perbuatan gurunya ini, diam-diam ia ikut merasa malu. Tanpa disadarinya ia mencela,

"Ihhh, menjijikkan dan memalukan...... !"

Sambil tertawa-tawa, Dibyo Mamangkoro menoleh ke arah Endang Patibroto, kemudian ia menggerakkan kedua lengannya dan tubuh Ni Durgogini dan Ni Nogogini terlempar ke depan sampai tujuh delapan meter jauhnya.

"Hua-ha-ha-ha, pergilah, Nini. Keringat kalian mulai tak sedap, dan muridku muak melihat permainan kita. Juga kulihat kirik licik itu melotot matanya, hatinya penuh iri dan cemburu. He, kirik licik, apakah engkau kekasih kedua orang siluman betina itu?"

Ucapan itu ditujukan kepada Jokowanengpati yang sejak tadi memang sudah marah sekali. Melihat betapa kakek yang baru datang dan amat sombong ini menghina Ni Durgogini, ia tak dapat menahan kemarahannya. la tidak mengenal dan belum pernah mendengar nama Dibyo Mamangkoro. la dapat menduga bahwa kakek ini tentu sakti, akan tetapi karena di situ terdapat teman-temannya yang kesemuanya adalah orang-orang berilmu tinggi, hatinya menjadi besar dan sambil mengeluarkan seruan keras tubuh Jokowanengpati melompat ke depan dengan Aji Bayu Sakti, tangannya bergerak melancarkan pukulan Siyung Warak.

"Joko, jangan....!!"

Ni Durgogini menjerit penuh kekhawatiran, namun terlambat karena tubuh Jokowanengpati sudah melayang ke arah Dibyo Mamangkoro. Hebat serangan itu, dahsyat bukan main. Biarpun masih muda, Jokowanengpati adalah murid Empu Bharodo, bahkan bekas murid yang terkasih. Di samping ini, iapun menerima banyak petunjuk dari Ni Durgogini yang menariknya sebagai kekasih.

Gerakannya cepat laksana burung srikatan dan pukulannya antep seperti terjangan seekor badak. Dibyo Mamangkoro yang berdiri sambil merangkul pundak muridnya dengan tangan kiri, tidak mengelak melihat serangan ini, hanya tersenyum dan berkata, "Muridku, kau saksikan baik-baik gerakanku!"

Ketika tubuh Jokowanengpati dan terjangannya tiba, Dibyo Mamangkoro hanya mengangkat lengan kanannya yang besar, tangannya digerakkan secara aneh dan hebat kesudahannya! Jari-jari tangan kanan itu selain berhasil menangkis pukulan kedua tangan Jokowanengpati, juga sempat menyentil kedua tulang pundak Jokowanengpati sehingga terlepas sambungan Kedua tulang pundaknya, kemudian tangan itu masih dapat menerkam bahu di bagian dada lalu melontarkan tubuh itu ke atas!

Jokowanengpati mengeluarkan teriakan ngeri dan matanya terbelalak saking heran dan kaget bercampur takutnya. Tubuhnya tak tertahankan lagi melayang ke atas berputaran, kadang-kadang kepala di atas kadang-kadang di bawah, terus melayang ke atas dan akhirnya temangsang (tertahan) di puncak pohon randu alas yang tumbuh di dekat tempat itu! Cepat-cepat ia merangkul cabang-cabang pohon dengan kedua tangan dan kakinya, karena kedua tangannya tidak bertenaga lagi, lumpuh setelah sambungan tulang pundaknya terlepas.

Ni Durgogini cepat-cepat lari ke pohon itu, melompat ke atas dan dengan cekatan ia menolong dan menurunkan tubuh Jokowanengpati. Lega hatihya ketika orang muda itu duduk di atas tanah dan diperiksanya, ternyata hanya kedua pundak lepas sambungan tulangnya, tidak ada luka lain. Dengan mudah saja ia dapat menyambungkan kembali tulang pundak dengan ramuan obat yang selalu dibawanya dalam kemben (ikat pinggang), yaitu obat-obat untuk menyembuhkan luka-luka, keracunan, dan patah tulang. Dengan penuh kasih sayang Ni Durgogini mengurut-urut dan memijat-mijat pundak sambii menaruhkan obat.

"Hua-ha-ha-ha! Aku mendengar Gusti Pangeran Anom mempunyai banyak pembantu yang sakti. Kiranya hanya orang-orang macam ini! Hayo, siapa hendak mencoba lagi? Hayoh! Mumpung Dibyo Mamangkoro sedang gembira!"

"Huh-huh-huh, bagaimana ini.....? Sial dangkalan benar, mencari perkara! Mencari penyakit! Ouhh, Adinda Senopati Dibyo Mamangkoro! Sudahlah sudah, siapa yang tidak tahu akan kesaktianmu? Sudahlah, kau ampunkan orang-orang muda yang tidak mengenal tingginya gunung dalamnya lautan! Kami adalah utusan Gusti Pangeran Anom, diutus menghukum si pemberontak Bhagawan Rukmoseto, sama sekali tidak diutus memusuhimu!"

"Pertapa bungkuk gudang penyakit, Kakang Cekel Aksomolo! Mulutmu sejak dahulu tetap bau, tak pernah berubah, tukang bohong tukang fitnah! Siapa tidak tahu kalian datang ke sini mencari pusaka Mataram yang hilang? Siapa tidak tahu engkau merobohkan Bhagawan Rukmoseto dengan keroyokan yang memalukan? Pergilah kalian semua, sebelum aku paksa kalian mengeroyokku!"

Sebetulnya, kalau saja enam orang itu maju bersama mengeroyoknya belum tentu mereka akan kalah oleh Dibyo Mamangkoro. Betapapun saktinya Dibyo Mamangkoro, namun menghadapi pengeroyokan enam orang yang memang sakti itu, agaknya ia takkan dapat menang secara mudah. Akan tetapi, sikap Dibyo Mamangkoro yang tabah dan memandang rendah ini, apalagi sepak terjangnya tadi, sudah menyempitkan nyali mereka. Apalagi, jelas bahwa di dalam pondok tidak terdapat pusaka Mataram dan agaknya kalau dipikir-pikir, orang seperti Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo ini tidak mungkin mau bicara bohong. Agaknya memang patung pusaka Mataram itu tidak berada di pulau ini. Untuk apa melibatkan diri dalam permusuhan dengan seorang digdaya seperti Dibyo Mamangkoro ini kalau sekiranya pusaka tidak berada di situ?

"Uuh-huh, baiklah.... baiklah.....! kami pergi. Memang tugas kami sudah selesai. Mari kawan-kawan, kita kembali ke perahu. Uuhhh, sialan!"

Pergilah enam orang itu bersungut-sungut meninggalkan tempat itu, kembali ke pantai di mana perahu besar telah menanti mereka. Setelah enam orang itu pergi, Dibyo Mamangkoro melangkah lebar ke pondok, kakinya menendang-nendang apa saja yang menghalang di depannya. Bangku, meja, pedupaan dan Iain-lain. Matanya mencari-cari. Bahkan ketika kakinya diayun dan tangannya digerakkan, sisa pondok kecil itu terbang jauh ke belakang.

Endang Patibroto mendekati tubuh kakeknya yang terlentang di atas tanah. Melihat kakek itu tak bergerak-gerak dari hidung, telinga dan ujung bibir keluar darah, matanya terpejam, Endang Patibroto kaget dan berduka sekali. Ia mengira bahwa kakeknya tentu sudah tewas. Diam-diam ia menggigit bibirnya dan dalam hati ia mencatat wajah enam orang tadi. Akan tetapi ia tidak mau berlutut mendekati tubuh kakeknya, Endang Patibroto seorang anak yang luar biasa cerdiknya. la maklum bahwa kakek sakti yang menjadi gurunya itu bukanlah sahabat baik kakeknya, karena itu tidak perlu ia menceritakan hubungannya dengan kakek yang menggeletak mati di situ.

Di samping kecerdikannya yang luar biasa, juga anak perempuan ini memiliki dasar hati yang keras, nyali yang tabah dan dengan mudah ia dapat menekan perasaan hatinya. Sungguhpun hatinya seperti diremas melihat keadaan kakeknya, namun pada wajahnya yang agak pucat itu tidak terdapat tanda sesuatu! ia menoleh ke arah Dibyo Mamangkoro yang masih mengamuk dan menendang-nendang sisa pondok, jelas mencari-cari.

"Kau mencari apakah, Eyang?" tanyanya, padahal di dalam hatinya anak ini dapat menduga bahwa gurunya itu tentu mencari patung kencana, patung pusaka Mataram yang menjadi bagian Joko Wandiro. Tanpa disadarinya, ia meraba gagang keris pusaka Brojol Luwuk yang terselip di pinggangnya, tertutup baju.

"Huh! Mencari apa? Mencari pusaka Mataram yang kabarnya hilang. Aku belum pernah melihatnya, Kabarnya pusaka Mataram itu berbentuk patung kencana berujud Sang Hyang Whisnu. Monyet-monyet tadipun datang untuk mencari benda itu. Agaknya memang tidak berada di tempat ini"

"Patung kencana saja untuk apa sih, Eyang? Mari kita pergi saja dari sini. Aku tidak senang di sini!"

Endang Patibroto menggandeng tangan gurunya dan menarik-nariknya pergi dari situ. Dibyo Mamangkoro tertawa-tawa, akan tetapi tidak membantah dan membiarkan dirinya ditarik-tarik. Dia tidak tahu betapa perbuatan Endang Patibroto ini ada sebabnya, yaitu ketika anak itu tadi melihat tubuh kakeknya bergerak-gerak perlahan

Setelah tiba di pantai, mereka melihat perahu layar besar itu sudah berlayar jauh, Dibyo Mamangkoro lalu menggendong muridnya, dan menyeberang ke darat dengan cara seperti tadi, yaitu dengan menunggang mancung kelapa.

Memang betul apa yang dilihat oleh Endang Patibroto dan yang diduganya tadi. Tubuh Sang Bhagawan Rukmoseto yang disangka orang telah tewas itu, bergerak-gerak perlahan. Mula-mula kedua kakinya, lalu kedua tangannya, kemudian terdengar ia mengeluh perlahan, membuka matanya dan dengan gerakan lemah dan lambat ia berusaha bangkit. Namun ia roboh kembali sehingga dagu dan pipinya menumbuk tanah. Agaknya ini bahkan membuat ia sadar. ia mengeluh, mengejap-ngejapkan matanya, lalu berhasil bangkit dan duduk. Ia memandang ke sekitarnya. Sunyi. Hanya terdengar suara ombak memberisik di pantai. Ia menoleh ke belakang, ke arah pondoknya. Sudah berantakan dan tidak ada pondoknya lagi, hanya tinggal bekas-bekasnya. la menarik napas panjang.

"Ya Jagad Dewa Batara... terjadilah kiranya segala kehendak Hyang Widi Wisesa... Hamba masih diperkenankan hidup.... untuk apa dan sampai kapan?"

la lalu bersila, mengheningkan cipta memusatkan panca indera, setelah hening lalu diarahkan ciptanya mengumpul dan menghimpun semua hawa murni dalam tubuh, menyalurkannya ke arah belakang kepala untuk menyembuhkan luka pukulan yang sepatutnya menghancurkan kepalanya itu. Sampai terasa panas seperti dibakar api dari dalam, nyeri bukan main!

********************


Kita tinggalkan dulu Sang Bhagawan Rukmoseto yang secara ajaib atas kehendak Yang Maha Kuasa, dapat terlepas dari ancaman maut itu. Mari kita menengok dan mengikuti perjalanan Pujo bersama Kartikosari dan Roro Luhito. Tiga orang ini menunggang kuda, pertama-tama mereka mencari kedua orang anak, yaitu Endang Patibroto dan Joko Wandiro di sekitar daerah pantai selatan. Mereka naik turun gunung yaitu barisan Gunung Kidul yang membujur dari timur ke barat tiada berkeputusan.

Mereka keluar masuk hutan, ada kalanya harus meninggalkan kuda untuk menuruni tebing pantai yang amat curam dan yang tidak mungkin dapat dilakukan seekor kuda. Namun hasilnya sia-sia belaka. Kedua orang anak itu lenyap tanpa ada jejaknya, seakan-akan lenyap ditelan bumi. Mulai gelisah hati Kartikosari yang kehilangan puterinya. Apalagi Pujo mulai merasa khawatir kalau-kalau kedua orang anak itu tertimpa malapetaka. Ia amat sayang kepada Joko Wandiro, apalagi setelah kini diketahui bahwa ayah Joko Wandiro sesungguhnya bukanlah musuh besar yang selama ini didendamnya.

Dan tentu saja ia ingin sekali bertemu dengan Endang Patibroto, anak kandungnya. Untung bahwa di samping mereka terdapat Roro Luhito yang pandai sekali menghibur mereka. Bahkan kadang-kadang wanita muda itu bertembang, suaranya merdu sekali, pandai berkelakar, wajahnya selalu riang dan sikapnya bebas sehingga puteri adipati ini kadang-kadang dapat menghibur mereka dan membuat suami isteri itu tersenyum.

"Nimas Sari, kurasa untuk mencari anak kita dan muridku, kita membutuhkan bantuan banyak orang. Bagaimana kalau kita sekarang pergi ke Bayuwismo? Para cantrik kiranya. Akan dapat membantu kita. Pula, perlu kita menghadap bapa resi yang tentu amat sengsara hatinya oleh kepergian kita."

Kedua mata Kartikosari menjadi basah ketika ia teringat akan ayahnya. la mengangguk dan menjawab, "Agaknya begitulah sebaiknya, Kakangmas Kita perlu mohon pengampunan dan petunjuk dari ayah."

"Akupun akan pulang ke Selopenangkep. Siapa duga bahwa kita sebenarnya adalah tetangga dekat! Jangan kalian khawatir, mari ikut aku ke Selopenangkep. Dengan pengerahan pasukan kadipaten untuk mencari jejak kedua orang anak itu, tentu akan dapat segera berhasil!"

"Terima kasih, Diajeng. Akan tetapi biarlah kita pergi dulu ke Bayuwismo menjenguk ayah sepertl yang diusulkan kakangmas Pujo. Kalau perlu kelak, boleh saja kami menerima bantuanmu itu. Memang lebih banyak yang mencari lebih baik."

"Mari kita berangkat," kata Pujo, memandang ke angkasa," matahari sudah naik tinggi. Kalau kita mempercepat kuda, menjelang senja kita akan sampal di Bayuwismo."

Tiga ekor kuda meloncat ke depan lalu terdengar derap kaki mereka mernbalap ke arah barat. Pujo berada di depan, tegap dan gagah perkasa. Kartikosari di tengah dan Roro Luhito paling belakang. Rambut kedua orang wanita cantik jelita ini berkibar tertiup angin. Tepat seperti telah diperhitungkan oleh Pujo, lewat tengah hari sarnpailah mereka di Sungapan dan dari jauh sudah nampak pondok Bayuwismo. Tiba-tiba Kartikosari berseru,

"Kakangmas, berhenti di sini!"

Pujo menahan kudanya dan mereka bertiga melompat turun. Tiga ekor kuda yang tubuhnya penuh keringat dan hidungnya berkembang-kempis terengah-engah itu dilepas.

"Mengapa, Nimas?"

Dengan terharu Kartikosari berkata,
"Sudah terlalu lama kita tidak pulang. Akan terlalu mengagetkan ayah kalau kita datang berkuda. Kasihan, ayah sudah tua... " Wanita itu menahan isak, lalu dengan air mata membasahi pipi ia memandang Pujo, memaksa senyum. "Hatiku terlalu gembira.... melihat pondok itu.... mari kita ke sana, Kakangmas. Diajeng Luhito, mari...."

Dengan wajah berseri akan tetapi sinar matanya penuh keharuan Kartikosari menggandeng tangan Pujo dan tangan Roro Luhito. Berangkatlah mereka berjalan kaki melalui pantai berpasir, membiarkan kuda mereka mencari rumput dan melepaskan lelah.

"Ehhh.... apa itu....?"

Tiba-tiba Roro Luhito menudingkan telunjuknya ke depan agak ke atas. Mereka harus melindungi mata dari sinar matahari yang sudah condong ke barat, karena letak pondok itu berada di sebelah barat.

"Seperti... burung-burung gagak...."kata Kartikosari.

"Ahhh.... apakah yang menggeletak di pasir itu.....?"

Pujo berseru dan serentak, seperti mendapat komando, ketiga orang itu lalu lari, tidak bergandeng tangan lagi, melainkan berlari, cepat seperti tiga orang kanak-kanak bermain-main dan berlumba lari di atas pasir pantai!

"Duh Jagad Dewa Batara.... !!"

Pujo berseru ketika melihat bahwa enam orang cantrik Bayuwismo telah menggeletak malang-melintang di atas pasir, tak seorangpun di antara mereka masih bernapas.

"Aduh Gusti..... !!"

Kartikosari menjerit dan berlutut di samping suaminya, memeriksa enam orang yang sudah menjadi mayat itu. Keadaan mereka sungguh mengerikan. Tidak tampak luka-luka yang mengeluarkan darah di tubuh mereka, namun jelas bahwa mereka tewas penuh penderitaan. Ada yang dengan mata terbelalak, dan wajah mereka masih membayangkan kengerian dan ketakutan. Roro Luhito berdiri seperti patung, terbelalak memandang ke arah mayat-mayat itu, tidak tahu harus berkata apa berbuat apa.

"Ramanda resi.....!"

Tiba-tiba Kartikosari yang teringat ayahnya menjerit ngeri dan meloncat lalu lari ke arah pondok, diikuti oleh Pujo yang wajahnya pucat dan gelisah sekali. Roro Luhito juga berlari di belakang mereka. Seperti orang gila, Kartikosari nnemasuki pondok hamper berbareng dengan Pujo dan di belakang mereka, Roro Luhito juga menyusul masuk. Pondok itu kosong! Akan tetapi jelas tampak tanda-tanda bahwa orang telah menggeledah pondok itu dengan kasar. Semua isi pondok jungkir-balik.

Melihat pondok itu kosong, Kartikosari agak lapang dadanya. Akan tetapi ia masih merasa tidak enak, lalu lari keluar dari pintu belakang, diikuti Pujo dan Roro Luhito. Setelah rnencari-cari dan yakin bahwa tidak ada mayat lain di sekeliling pondok, mereka kembali ke depan pondok. Kartikosari terisak dan merangkul lengan kiri Pujo yang berdiri tegak dengan muka pucat dan mata melotot memandang ke arah mayat-mayat yang malang melintang.

Roro Luhito berdebar debar jantungnya, merasa gelisah dan tidak enak hatinya. Siapakah yang melakukan pembunuhan keji ini? Jangan-jangan pembunuhnya datang dari Kadipaten Selopenangkep! la merasa cemas sekali.

"Kakangmas Pujo, siapakah kiranya yang begini keji. membunuhi para cantrik yang tidak berdosa?"

Kartikosari bertanya, suaranya gemetar. la mengenal semua cantrik ini, apalagi cantrik Wisudo dan cantrik Wistoro yang tua. Kedua orang cantrik ini dahulu seringkali menggendongnya dan mengajaknya main-main ketika ia masih kecil. Mereka itu seperti paman-pamannya, atau kakak-kakaknya sendiri. Dan sekarang, mereka semua menggeletak tak bernyawa di depan kakinya! Pujo rnenggeleng kepada, lalu mengepal tinju tangannya.

"Aku sendiri tak dapat menduga, Nimas. Akan tetapi siapapun juga orangnya, dia itu tentu memusuhi bapa resi. Mungkin bapa resi tidak berada di pondok, maka kernarahan orang atau orang-orang itu ditimpakan kepada para cantrik. Keji benar mereka!"

"Kakangmas Pujo, bukankah dekat tempat ini terdapat dusun? Tentu di antara penduduk dusun ada yang melihat, siapa yang baru-baru ini datang ke sini. Kulihat para korban ini belum terlalu lama tewasnya...."

"Kau benar!" Pujo berteriak. "Nimas Sari, kau bersama jeng Roro tunggu di sini, biar kucari keterangan sebentar ke dusun!"

Tanpa menanti jawaban Kartikosari yang masih termangu-mangu itu Pujo lalu melesat cepat dan lari secepatnya menuju dusun terdekat, yaitu dusun Karang Tumaritis. Seorang nelayan tua memandangnya dengan mata terbelalak heran. Barulah nelayan ini merasa yakin bahwa la tidak bermimpi ketika Pujo berseru kepadanya,

"Paman Kerpu !"

"Eh....... benarkah.... Gus Pujo ini....?"

"Benar, Paman."

"Wah, sewindu lebih engkau pergi, gus. Juga Nini Kartikosari.... ! malah setahun kemudian kakang resi pergi pula meninggalkan Sungapan. Aduh, alangkah banyaknya peristiwa terjadi sejak itu..... Gus. Perubahan besar terjadi di mana-mana dan......."

"Maaf, Paman Kerpu," Pujo memotong. "Saya sengaja mencari Paman untuk bertanya, apakah Paman melihat ada orang mendatangi Bayuwismo tadi?"

"Tadi.......?"

"Dalam hari ini maksud saya, Paman. Adakah Paman melihat orang-orang pergi ke sana?"

Kakek itu mengerutkan keningnya dan menggeleng-geleng kepalanya.
"Aku tidak melihatnya, gus. Kalau dahulu memang. Wah, jahat-jahat benar orang-orang dari Kadipaten Selopenangkep. Pantas saja Sang Hyang Widi sekarang menghukum mereka."

"Apa yang terjadi ketika itu, Paman?" Pujo tertarik. Mungkin kejadian dahulu ada hubungannya dengan kejadian sekarang.

"Terjadinya sudah lama sekali. Setahun lebih setelah kau dan isterimu pergi, atau tidak lama setelah kakang resi pergi tanpa pamit. Serombongan orang-orang dari Kadipaten Selopenangkep datang dan..... ah, benar kejam sekali. Lima orang cantrik di Byuwismo dibikin tuli semua!"

"Dibikin tuli?"

"Ya, entah bagaimana. Tahu-tahu mereka itu tuli semua. Akhir-akhir ini aku jarang mengunjungi pondok Bayuwismo. Habis, enam orang cantrik sana menjadi tuli semua, sukar diajak bicara. Akan tetapi sekarang datang hukuman Kadipaten Selopenangkep. Kabarnya Adipati Joyowiseso ditangkap, dan kadipaten diambil alih serombongan pasukan dari kota raja. Entah bagaimana duduknya perkara. Kami orang-orang kecil mana berani banyak bertanya?"

"Terima kasih, Paman. Saya harus pergi sekarang juga. Peristiwa hebat terjadi di Bayuwisrno. Keenam paman cantrik di sana telah terbunuh hari ini."

"Mereka terbunuh....? Siapa... siapa.....?"

"Entah siapa pembunuhnya. Justeru saya sedang melakukan penyelidikan."

"Kalau begitu, biar kukerahkan kawan-kawan untuk membantu di sana, mengurus mereka...."

Kakek itu menjadi pucat dan segera ia berteriak-teriak sambil lari memasuki dusun. Pujo mengangkat pundaknya, lalu ia menggunakan ilmu Iari cepat kembali ke Bayuwismo di mana kedua orang wanita itu menanti dengan penuh harapan.

"Bagaimana, Kakangmas? Berhasilkan? Siapakah yang melakukan ini?" Kartikosari tidak sabar Iagi, menyarnbut suarninya dengan hujan pertanyaan.

"Tidak ada orang yang melihat orang datang ke sini, Nimas. Akan tetapi...."

Pujo berpaling ke arah Roro Luhito dan menahan kata-katanya. Selama ini, Pujo tidak pernah terlepas dari perhatian puteri Adipati Selopenangkep ini. Belum pernah sedetikpun juga Roro Luhito dapat melenyapkan rasa cinta kasihnya terhadap Pujo yang selama bertahun-tahun ia tahan-tahan. Selama bertahun-tahun ketika ia menjadi murid Resi Telomoyo, ia selalu merindukan Pujo dan seringkali di waktu tidur ia bermimpi tentang laki-laki yang menjadi pujaan hatinya.

Biarpun Ia tahu bahwa ia telah salah duga, dan bersama dengan terbukanya rahasia itu maka harapannya untuk menjadi isteri Pujo tersapu habis seperti asap tipis tersapu angin, namun tak pernah hatinya dapat ia yakinkan bahwasanya rnencinta Pujo merupakan hal yang sia-sia belaka. Perasaannya tetap saja lekat kepada laki-laki itu dan setiap gerak-gerik Pujo tak pernah terlepas daripada perhatiannya, sungguhpun tentu saja ia tidak berani memperlihatkan secara berterang.

Ia tidak cemburu kepada Kartikosari karena sejak dahulupun ia maklurn bahwa Kartikosari adalah isteri Pujo. Ia hanya merasa diam-diam iri dan perasaannya seringkali hancur, namun tangisnya hanya ia kubur di dalam lubuk hatinya, tak pernah ia biarkan keluar, bahkan ia tutup-tutupi dengan sikap riang gembira! Hanya di waktu malamlah, apabila mereka bertiga sudah tertidur, ia berani membiarkan air matanya bercucuran, menangis tanpa suara! Karena itulah, maka begitu Pujo berpaling dan memandang, ia sudah dapat menangkap bahwa ada sesuatu terjadi yang menyangkut dirinya. Jantungnya berdebar dan ia cepat-cepat bertanya,

"Kakangmas Pujo, ada terjadi apakah? Di Selopenangkep.....?"

Pujo mengangguk, dan diam lagi.

"Kakangmas, kalau terjadi sesuatu, ceritakanlah. Diajeng Roro Luhito bukanlah anak kecil lagi, tak perlu menyembunyikan sesuatu."

Pujo menarik napas panjang, kemudian is berkata, "Tadi aku bertemu dengan Paman Krepu"

"Nelayan tua Karang Turnaritis ahli mengail ikan kerpu itu?" potong Kartikosari.

"Benar, dialah orangnya. Dari paman Kerpu aku mendapat keterangan bahwa sehari ini tak tampak orang datang ke tempat ini. Akan tetapi hampir sepuluh tahun yang lalu memang ada pasukan dari Selopenangkep yang datang ke Bayuwismo dan..." Kembali Pujo mengerling ke arah Roro Luhito. Betapapun juga, setelah mendengar kisah Roro Luhito dan setelah meneliti sikap dan watak gadis bangsawan ini selama dalam perjalanan. Pujo merasa kasihan kepadanya dan tidak ingin menyinggung perasaannya atau membuatnya berduka.

"Teruskanlah, Kakangmas Pujo. Tak perlu ragu dan rikuh kepadaku, karena biarpun aku puteri kadipaten, buktinya aku melarikan diri, minggat dari kadipaten. Berarti aku bukan puteri kadipaten lagi, melainkan seorang gadis gelandangan Kartikosari!"

Gadis itu tersenyum, akan tetapi Kartikosari membuang muka karena hatinya tertusuk, tidak tega melihat wajah ayu yang senyumnya amat pahit membayangkan kehancuran kalbu itu.

"Menurut cerita paman Kerpu, enam orang cantrik itu telah dibikin tuli, lebih tepat lagi, lima orang cantrik karena Paman Cantrik Wistoro memang sudah tuli sejak dahulu."

"Siapa yang melakukan hal sekeji itu?" tanya Kartikosari.

"Paman Kerpu tidak tahu, juga tidak ada orang lain yang tahu. Hanya yang jelas diketahui bahwa yang melakukan adalah rombongan pasukan dari Selopenangkep. Kemudian paman Kerpu menceritakan bahwa Kadipaten Selopenangkep telah diambil alih oleh serombongan pasukan dari kota raja, dan paman Adipati Joyowiseso kabarnya ditangkap."

Perubahan satu-satunya yang terjadi pada diri Roro Luhito hanyalah cahaya matanya yang mendadak menjadi tajam berkilat-kilat seakan-akan mengeluarkan api.

"Kalau begitu, mungkin yang melakukan pembunuhan adalah orang-orang yang kini berkuasa di Selopenangkep!" kata Kartikosari.

"Mungkin sekali dan hal ini baru jelas kalau kita menyelidiki ke sana. Selain itu, agaknya.... hemmm, perlu kau membantuku, Nimas. Aku harus melihat keadaan kadipaten itu dan sedapat mungkin menolong ayah diajeng Roro Luhito, hitung-hitung untuk menebus dosaku dahulu...."

Tiba-tiba Roro Luhito tak dapat menahan keharuan hatinya lagi. la melompat ke depan dan tanpa ragu-ragu ia memegang tangan Pujo dan tangan Kartikosari, bulu matanya yang panjang lentik itu basah ketika ia berkata, "Kakangmas, Kakangmbok aku amat berterima kasih kepada kalian Aku amat khawatir tentang keadaan ayah....! Marilah kita segera !"

Pada saat itu datanglah berbondong-bondong penduduk Karang Tumaritis dan sekitarnya, dipimpin oleh Kerpu. Pujo lalu menyerahkan kepada mereka untuk mengurus penguburan enam orang cantrik itu, kemudian ia bersama Kartikosari dan Roro Luhito segera meninggalkan temput itu, mendapatkan kuda mereka dan cepat mereka menuju ke Selopenangkep. Datang perjalanan membelok ke utara ini mereka tidak banyak cakap, dan malam telah tiba ketika mereka tiba di luar daerah Kadipaten Selopenangkep. Pujo menghentikan kudanya, memberi isyarat kepada dua orang wanita itu untuk berhenti dan turun.

"Lebih baik kita tinggalkan kuda di sini dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Kita tidak tahu siapa yang berkuasa di sana, tidak tahu pula apakah mereka itu akan memusuhi kita, karena itu, penyelidikan harus dilakukan secara rahasia."

"Malam hari amatlah tepat untuk melakukan penyelidikan rahasia," kata Kartikosari.

Setelah mengikatkan kuda di bawah sekelompok pohon, mereka lalu melanjutkan perjalanan dengan hati-hati mendekati tembok rendah yang mengelilingi daerah Kadipaten Selopenangkep.

"Kakangmas berdua setelah nanti tiba di kadipaten, harap melakukan penyelidikan dengan hati-hati. Kurasa paling balk masuk melalui pintu depan dan terang-terangan menyatakan hendak bertemu dengan pengurus yang baru. Mereka tidak mengenal kalian berdua, agaknya keadaan kalian berdua tidak akan berbahaya. Akupun tidak takut untuk masuk berterang, kalau perlu aku akan mengadakan amuk di sana. Akan tetapi, aku harus rnemikirkan keselamatan ayah dan keluargaku. Mungkin mereka masih di tahan di sana, dan sebelum menyelidiki keadaan mereka, lebih baik aku tidak ikut masuk bersama kalian."

"Habis, bagaimana kau hendak mencari keluargamu?"

"Aku mengenal jalan rahasia memasuki kadipaten dari belakang. Aku sudah hapal akan tempat tinggalku sejak aku lahir di sana. Dan akan lebih leluasalah bergerak seorang diri."

Pujo mengangguk-angguk. "Baiklah, Diajeng. Kami berdua akan masuk dari depan. Biar kami menarik perhatian mereka semua sehingga keadaan di sebelah dalam berkurang penjagaannya dan kau dapat mencari keluargamu dengan leluasa."

Kata-kata Pujo ini disambung oleh Kartikosari, "Mudah-mudahan saja ayahmu sekeluarga dalam selamat, Adikku."

Sepasang mata Roro Luhito kembali memancarkan sinar berapi seperti tadi. Ia mendengus dan sambil rnenggeget (memperternukan gigi) berkata, "Semoga begitu. Kalau tidak kubikin karang abang (lautan api) dan banjir darah di Kadipaten Selopenangkep!"

Kartikosari merangkulnya. "Jangan khawatir, Diajeng. Musuh besar pribadi kita sama orangnya. Agaknya musuh keluarga kita juga sama. Kami akan mendampingimu!"

Roro Luhito meraih dan mengambung pipi Kartikosari. "Kau seorang yang amat baik."

Ketika mereka tiba di depan istana kadipaten, dari luar keadaannya seperti tidak ada perubahan. Diam-diam hati Roro Luhito terharu melihat tempat tumpah darahnya ini. Sepuluh tahun lebih la meninggalkan tempat ini dan betapa rindunya akan tempat ini. Melihat sepasang pohon beringin di depan halaman, pohon sawo di sebelah kiri dan taman sari di sebelah kanan terus ke belakang, terbayanglah is betapa ketika masih kecil ia bermain-main di ternpat itu.

"Kami akan masuk berbareng, Diajeng," bisik Pujo.

Roro Luhito mengangguk dan menyelinaplah dia ke dalam gelap, menyusuri pagar tembok kadipaten sebelah kanan. la mengenal jalan rahasia dari balik pagar tembok taman sari. Sementara itu, Pujo menggandeng tangan isterinya dan melangkah lebar ke arah pintu gerbang depan, di mana terdapat gardu para penjaga. Makin dekat, terdengarlah suara para penjaga, dan kanan kiri pintu gerbang terdapat lampu yang apinya bergoyang-goyang tertiup angin.

Waktu itu belum malam benar dan para penjaga masih berkumpul di gardu karena belum waktunya meronda. Pujo yang pernah melakukan penyerbuan ke kadipaten ini sepuluh tahun yang lalu, melihat betapa pakaian para penjaga kini berbeda dengan dahulu. Pakaian penjaga yang sekarang ini iebih mentereng, juga sebagian besar adalah orang-orang muda.

Ada tujuh orang penjaga di situ, sedang bercakap-cakap dan kadang-kadang tertawa. Setelah dekat jelas terdengar bahwa mereka itu mempercakapkan wanita. Karena percakapan mereka itu kotor dan cabul, Pujo mempercepat langkahnya dan batuk-batuk.

Berhentilah percakapan itu seperti yang diharapkan Pujo dan beberapa orang muncul keluar dari gardu penjagaan. Melihat seorang laki-laki tampan dan seorang wanita cantik jelita berdiri di pintu gerbang, mereka itu tercengang dan segera menegur, "Siapakah kalian dan ada keperluan apakah?"

Tujuh orang penjaga itu kini sudah keluar semua dan empat belas buah mata yang haus semua melotot lebar tertuju ke arah tubuh yang denok montok dan wajah yang cantik jelita itu. Kecantikan wajah dan kehalusan kulit tubuh Kartikosari tampak makin mempesonakan tertimpa sinar lampu yang kemerah-merahan. Mereka itu selain terpesona, juga terheran-heran mengapa selama ini mereka tidak pernah bertemu dengan wanita ayu ini di Kadipaten Selopenangkep.

"Kami hendak menghadap Sang Adipati!" jawab Pujo singkat, sedangkan Kartikosari membuang muka karena tidak dapat menahan kemarahan dan malunya melihat betapa tujuh orang penjaga itu memandangnya dengan mata lahap seakan dengan pandang mata itu mereka hendak menelanjanginya bulat-bulat!

"Menghadap Sang Adipati?" Si penanya menyeringai dan bermain mata dengan teman-temannya.

"Eh, masih keluarga Adipati Joyowiseso?" tanya orang ke dua.

"Dari mana kalian datang?" orang ketiga bertanya pula.

"Kami bukan keluarga Adipati Joyowiseso dan kami datang dari Sungapan."

"Dusun Bayuwismo?" kata seorang.

"Murid Resi Bhargowo....?" seru yang ke dua.

Pujo tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. "Betul, dan lekas beritahukan adipati atau yang menjadi penguasa di Kadipaten Selopenangkep bahwa kami berdua hendak bertemu!"

Tujuh orang itu kelihatan tegang dan tangan mereka otomatis meraba senjata. Ada yang niencabut golok, ada yang meraba gagang pedang dan ada Pula yang menyambar tornbak.

"Tangkap dial"

"Biar kutangkap yang wanita, ha-ha!"

Bermacam-macarn teriakan mereka. Akan tetapi suara ejekan dan ketawa mereka segera disusul teriakan kaget dan kesakitan, mencelatnya senjata dan robohnya tubuh dua orang. Kartikosari sudah menerjang maju dan dua kali tangannya hergerak, dua orang tadi sudah roboh. Pujo juga sudah bergerak karena melihat para penjaga itu mulai menggerakkan senjatanya. Iapun merobohkan dua orang dengan sekali bergerak.

Melihat ini, tiga orang lain menjadi gentar, namun mereka masih berteriak-teriak sambil mengayun-ayunkan senjata dari tempat agak jauh, takut mendekati suami isteri yang sakti itu.

"Ada apa ribut-ribut ini?" Tiba-tiba terdengar suara keras menegur.

"Raden Mas.... mereka itu...."

Akan tetapi penjaga itu terpelanting roboh ketika orang yang muncul itu melihat Pujo dan Kartikosari lalu bergerak maju sambil mendorong penjaga itu dengan tangan kirinya ke samping.

"Adimas Pujo...!" Orang itu berseru sambil melangkah maju mendekat.

Pujo mengerutkan alisnya sedangkan Kartikosari dengan kaget memegang tangan kiri suaminya. Suami isteri ini menatap tajam wajah orang yang baru muncul, kemudian otomatis mereka memandang ke arah tangan kiri orang itu.

"Hemmm.... Kakang Jokowanengpati. Sejak dahulu itu engkau masih di sini.....?"

Sambil berkata demikian, Pujo menggunakan tangannya menowel lengan isterinya sebagai isyarat dan Kartikosari dapat menduga bahwa Pujo sedang menjalankan siasat halus. Memang sebelum yakin benar, tak baik bertindak sembrono. Tak boleh kali ini mereka salah .lagi seperti ketika suaminya menangkap Wisangjiwo. Akan tetapi Jokowanengpati tidak menjawab pertanyaan ini karena dia sedang memandang kepada Kartikosari dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, seakan-akan ia melihat munculnya setan di siang hari.

"Dia ini Kartikosari, isteriku, apakah kau lupa ?" Pujo memancing.

"... dia.... eh... bukankah kau dulu bilang bahwa Diajeng Kartikosari sudah.... mati? dimas Pujo, apa yang terjadi? Dahulu kau bilang bahwa Diajeng Kartikosari sudah mati terbunuh oleh Wisangjiwo.... !"

cerita silat online karya kho ping hoo

Pujo tersenyum kecil. "Tadinya memang kami sangka begitu akan tetapi ternyata tidak demikian. Kakang Jokowanengpati, apa yang telah terjadi dengan kelingking kirimu?"

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Jokowanengpati mendengar pertanyaan yang tiba-tiba ini kemudian melihat betapa sinar mata sepasang suami isteri itu memandangnya bagaikan ujung dua buah pedang yang tajam runcing menodong ulu hatinya! Namun Jokowanengpati tetap cerdik sekali bahkan sekarang lebih berpengalaman dan lebih licin. Betapapun kaget hatinya, wajahnya tidak membayangkan kekagetan ini, bahkan ia dapat memaksa wajahnya itu memperlihatkan keheranan dan kesungguhan. Padahal di hatinya ia mengerti bahwa agaknya suami isteri ini sudah mengerti atau setidaknya sudah menduga akan rahasianya, sepuluh tahun yang lalu di dalam Guha Siluman yang gelap.

Tidak mungkin dalam pertemuan dan dalam percakapan itu, secara tiba-tiba. saja Pujo menyimpangkan percakapan dengan pertanyaan tentang tanga kirinya yang kehilangan jari kelingking, kalau saja mereka berdua itu tidak sudah menduga bahwa kelingking yang dahulu digigit putus oleh Kartikosari dalam gelap itu adalah kelingkingnya! Agaknya suami isteri ini sadar bahwa bukan Wisarigjiwo yang memperkosa Kartikosari dalam guha itu, berdasarkan bukti kelingking itulah.

"Adimas Pujo dan Diajeng Kartikosari, silahkan Adinda berdua masuk. Mari kita bercakap-cakap di dalam. Tentang ini...." Ia menggerakkan tangan kirinya ke depan,".... ada riwayatnya. Marilah masuk dan nanti kuceritakan semua kepada kalian."

Pujo dan Kartikosari saling lirik, kemudian mereka mengangguk dan ikut masuk. Sudah sepatutnya sikap Jokowanengpati itu. Andaikata bukan Jokowanengpati musuh besar mereka, tentu begini pula sikapnya. Tak mungkin, seseorang, apalagi seperti Jokowanengpati yang agaknya di kadipaten ini sekarang mempunyai kedudukan tinggi, suka menceritakan tentang buntungnya kelingking di depan para penjaga itu. Seorang di antara tiga penjaga yang tadi belum dirobohkan, dibentak oleh Jokowanengpati,

"Hayo perketat penjagaan dan jangan bertindak sembrono seperti tadi. Kalian bertujuh patut dihukum mampus. Tak tahukah bahwa yang datang ini adalah adik-adik seperguruanku?"

"Ampun.... Raden Mas...." mereka berlutut dan menyembah penuh permohonan, wajah mereka ketakutan.

"Keparat, minggir!" Jokowanengpati membentak lagi, lalu mempersilahkan dua orang tamunya memasuki pendopo, terus melalui pintu menuju ke ruang tamu di sebelah kiri pendopo. Pujo dan Kartikosari bersikap tenang, namun pandang mata mereka waspada mengerling ke kanan kiri, menjaga kalau-kalau ada serangan gelap.

"Silakan duduk. Di sini sunyi tak terganggu. Kita dapat berbicara leluasa dan tenang. Agaknya banyak hal yang harus mendapat penjelasan, Dimas Pujo. Terutama sekali tentang keterangan dahulu bahwa Diajeng Kartikosari suda meninggal. Aku tidak melihat sebab-sebab yang tepat mengapa dahulu itu engkau berbohong kepadaku. Akan tetapi biarlah engkau sendiri yang nanti memberi keterangan agar hatiku tidak merasa bingung dan penasaran. Sekarang lebih dahulu kau dengarlah tentang Kadipaten Selopenangkep."

Jokowanengpati menarik napas panjang dan memandang kedua orang suami isteri yang duduk di atas bangku berukir di depannya. Lampu lampu dipasang pada dinding di belakang dan atas kepala Jokowanengpati sehingga sinar lampu yang menyinari kepalanya membuat wajahnya tersembunyi dalam bayangan gelap. Sebaliknya, sinar lampu itu langsung menerangi wajah Pujo dan Kartikosari. Melihat betapa suami isteri itu kelihatannya gelisah, kadang-kadang saling lirik dan terutama sekali selalu memandang ke arah tangan kirinya Jokowanengpati tidak memberi kesempatan mereka membuka mulut, langsung menyambung kata-katanya.

"Seperti telah kuceritakan kepadamu sepuluh tahun yang lalu, Adimas Pujo, ketika itupun aku sudah menduga bahwa Adipati Joyowiseso merencanakan pemberontakan terhadap Medang. Maka aku sengaja datang ke sini dan melakukan penyelidikan, terpaksa ketika itu aku berpura-pura memusuhimu, bahkan setelah kau berhasil melarikan diri, aku membawa pasukan untuk mengejar dan mencari-carimu."

Melihat betapa pandang mata suami isteri itu tidak berubah, tetap tegang, penuh selidik dan penuh benci, Jokowanengpati diam-diam menduga-duga. Perbuatannya dalam beberapa hari ini, bersama Ni Durgogini dan Ni Nogogini, menyerbu ke Bayuwismo dalarn usaha mencari pusaka Mataram kalau-kaIau disernbunyikan di situ, kemudian membunuh enam orang cantrik agar tidak mengenalnya, dilakukan secara sembunyi dan tidak seorangpun tahu. Tak mungkin Pujo dan isterinya tahu akan hal itu. Akan tetapi kedatangannya ke Bayuwismo beberapa tahun yang lalu bersama Cekel Aksomolo dan pasukan kadipaten, tentu ada yang tahu. Berpikir sejauh ini ia lalu berkata pula,

"Karena harus dapat melakukan penyelidikan secara tepat, aku terpaksa membantu usaha pemberontakan Adipati Joyowiseso sehingga terpaksa pula aku ikut menyerbu ke Bayuwismo bersama Cekel Aksomolo dan pasukan kadipaten. Untung aku ikut ke sana, kalau tidak ada aku yang mencegah, tentu parnan-paman cantrik di sana sudah dibunuh Cekel Aksomolo ketika itu."

Dua pasang mata di depannya itu memancarkan sinar penuh kemarahan, akan tetapi mereka diam saja. Hal ini bahkan menimbulkan ketegangan dan kegelisahan di hati Jokowanengpati yang cepat-cepat menyambung,

"Akan tetapi, akhirnya tibalah saatnya menghancurkan para pemberontak. Dua pekan yang lalu, aku diberi tugas oleh Gusti Pangeran Anom, memimpin pasukan besar dan menyerbu kadipaten ini, menangkap adipati, membasmi kaki tangannya dan mengambil alih kadipaten atas nama Gusti Pangeran Anom, dan..."

"Cukup ! Kami datang bukan untuk mendengarkan obrolan!!" Tiba-tiba Kartikosari bangkit berdiri sambil membentak. Jokowanengpati terkejut sekali, dan Pujo segera memegang tangan isterinya, disuruhnya duduk dan bersikap tenang. Kemudian sambil memandang tajam kepada Jokowanengpati, Pujo berkata,

"Kakang Jokowanengpati, maafkan sikap kami. Akan tetapi sesungguhnya kedatangan kami ini mempunyai keperluan penting. Kami tidak mengira akan bertemu denganrnu di sini. Soal-soal lain kami tidak peduli, akan tetapi harap kau suka menjawab dua pertanyaan kami. Pertama, siapakah yang begitu keji membunuh semua cantrik Bayuwismo siang tadi dan ke dua, ke mana hilangnya kelingking tangan kirimu itu!"

Wajah Jokowanengpati menjadi pucat, akan tetapi karena terlindung oleh bayang-bayang gelap, tidak tampak oleh kedua orang tamunya. Di dalam hatinya Jokowanengpati agak menyesal mengapa ia membiarkan Ni Durgogini dan Ni Nogogini pergi dari kadipaten, menuju ke kota raja memberi laporan kepada Pangeran Anom. Kalau saja ia yang pergi ke kota raja, tentu tidak akan bertemu dengan Pujo dan Kartikosari. Akan tetapi, bagaimana ia bisa meninggalkan Kadipaten Selopenangkep kalau kadipaten ini sudah dikuasainya dan setiap hari ia dapat bersenang-senang dengan gadis-gadis rampasan yang cantik-cantik? Sebagai penguasa sementara yang baru, ia memerintahkan agar semua perawan denok di kadipaten itu dikumpulkan di kadipaten untuk melayaninya.

Tentu saja ia membiarkan kedua orang iblis betina yang makin tua makin menggila akan tetapi masih tetap cantik itu untuk mengumpulkan pemuda-pemuda tampan pula dalam kadipaten. Senyum simpul menghias mulut Jokowanengpati. Untung ia cerdik. Terlalu cerdik untuk orang-orang tak berpengalaman macam Pujo dan Kartikosari. Untung ia telah bersiap-siap menghadapi ancaman musuh dari manapun datangnya. Dengan pelbagai siasat, ia m茅rencanakan penjagaan diri yang cukup kuat, dan di antaranya, ruangan tamu ini merupakan tempat ia menyelamatkan diri daripada musuh-musuh yang terlampau berat.

Sama sekali ia tidak gentar menghadapi Pujo dan Kartikosari, yang keduanya adalah adik-adik seperguruannya. la sudah banyak menerima gemblengan Ni Durgogini yang sakti. Akan tetapi sebagai seorang cerdik, ia tidak rnau mengambil resiko berbahaya. Kalau ada cara lain mengalahkan lawan yang jauh lebih mudah, mengapa menggunakan cara yang sukar dan berbahaya? Jokowanengpati memasukkan kedua tangannya ke bawah meja yang berdiri di depannya, lalu berkata dengan suara mengejek,

"Mengapa tidak kau cari sendiri siapa yang membunuh para cantrik, dan tentang kelingkingku ini, hemm... digigit kuda betina liar!!"

Pujo dan Kartikosari menjadi marah sekali. Sungguhpun Jokowanengpati tidak mengakui perbuatannya secara berterang, namun kata-katanya itu merupakan ejekan yang cukup jelas. Namun, tak sempat suami isteri itu mengeluarkan kata-kata, karena pada saat itu, lantai di bawah mereka amblas ke bawah sehingga dua buah bangku yang mereka duduki berikut tubuh mereka melayang ke dalam lubang dan tidak dapat dicegah lagi!

"Ha-ha-ha-ha!.... Orang-orang tolol macam kalian mana mampu melawan aku?"

Jokowanengpati tertawa bergelak sambil menepuk-nepuk meja di depannya. Otomatis lantai yang berlubang itu bergeser dan tertutup kembali. Tepukan tangannya disambut munculnya empat orang pengawal. Mereka duduk bersimpuh dan menyembah.

"Seorang dari kalian atur penjagaan yang lebih ketat, jangan biarkan siapapun masuk kadipaten. Seorang lagi bawa pasukan menjaga tawanan di bawah tanah. Kamu dua orang mari ikut bersamaku, bawa regu penyemprot asap belerang!"

Jokowanengpati kelihatan gembira sekali. Dua orang musuhnya, yang selama ini mendatangkan mimpi buruk kepadanya, telah tertangkap dan sebentar lagi tentu dapat dilenyapkan dari permukaan bumi. Yang pasti Pujo, adapun Kartikosari.... hemmm! Wanita itu makin montok dan ayu saja.

Kalau orang biasa yang terbanting jatuh dari tempat hamper sepuluh meter, tentu akan luka-luka, setidaknya patah tulang salah urat, kalau tidak pecah kepalanya dan mati. Namun Pujo dan Kartikosari adalah orang-orang yang selain kuat juga terlatih, memiliki susunan syaraf yang amat peka, tubuh yang trampil. Ketika melayang-layang jatuh, cepat mereka dapat mengatur keseimbangan tubuh sehingga ketika terbanting di atas tanah, mereka dapat menahan bantingan itu dengan kedua tumit kaki dan tekukan lutut. Bangku yang turut melayang jatuh, telah mereka dorong ke pinggir sebelum sampai di dasar sumur itu.

"Kau tidak apa-apa, Nimas.....? " Pujo merangkul isterinya di dalam ruangan yang gelap pekat itu.

"Tidak, Kakangmas," bisik Kartikosari.

"Aku , sungguh bodoh kita sampai kena di akali jahanam itu!" Pujo mengepal tinjunya dalam gelap.

"Keparat itu dengan perbuatannya ini jelas membuktikan dosanya. Mari kita periksa tempat ini dan berusaha keluar."

Mulailah mereka meraba-raba. Alangkah kaget hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa mereka terkurung dalam sebuah ruangan yang tertutup rapat dan amat kuat, terbuat dari ternbok yang amat tebal. Di tengah-tengah ruangan itu terdapat sebuah tiang kayu jati. Pujo memanjat tiang ini ke atas dan ternyata di atas juga tertutup bahkan tertutup jeruji besi yang kuat di bawah atap! Sebuah pintu di kiri terbuat dari besi pula. Suami isteri ini sudah mencoba-coba untuk mencari jalan keluar dengan membobol pintu atau dinding, namun sia-sia. Terlampau kuat dinding dan pintu itu. Mereka seperti dua ekor harimau masuk perangkap, hanya bisa marah- marah akan tetapi tidak mampu keluar!

"Jahanam busuk Jokowanengpati!" Kartikosari berteriak marah. "Kalau kau memang jantan, hayo bertanding sampai titik darah terakhir! Engkau menjebak kami secara pengecut. Tak tahu malu!"

Pujo kembali merangkul isterinya yang berteriak-teriak itu, kemudian berbisik,
"Nimas, percuma marah-marah terhadap seorang yang sudah kehilangan jiwa ksatrianya. Lebih baik kita memikirkan akal untuk dapat keluar dari sini."

Mereka duduk berdampingan di atas lantai ruangan itu. Keadaan yang gelap pekat mulai remang-remang setelah mata mereka biasa di ruang gelap itu. Kiranya di sebelah bawah terdapat lubang-lubang kecil, agaknya lubang hawa. Legalah hati Pujo. Setidaknya, dengan adanya lubang-lubang kecil itu, mereka tidak akan mati pengap. Dan dari lubang-lubang kecil ini pula masuknya sinar yang membuat ruangan itu remang-remang. Mulailah mereka mempelajari keadaan ruangan. Bentuknya bundar, di tengah-tengah tiang. Tidak ada sebuahpun perabot rumah yang menghias ruangan kecuali sebuah lampu kecil tergantung di dekat tiang. Tembok dan pintu besi, juga tiang itu tidaklah baru, berarti tempat ini sudah ada sejak Joyowiseso menjadi adipati di situ.

"Hemm, agaknya tempat ini memang merupakan tempat tahanan, akan tetapi tidak seperti tempat tahanan di mana aku dahulu dikeram," kata Pujo.

Kartikosari mengangguk-angguk dan menyentuh lengan suaminya.
"Kakangmas, kita tenang-tenang saja dan mengaso mengumpulkan tenaga. Biarkan mereka itu membuka pintu lalu kita menyerbu keluar!"

Pujo menggeleng kepala.
"Kurasa Jokowanengpati pengecut licik itu tidaklah begitu bodoh, Nimas. Bagaimana kalau dia membiarkan kita kelaparan, kehausan dan lemas tak berdaya sebelum pintu ini dibuka?"

"Ah, Kakangmas, takut apa? Biar kita mati. Mati di sampingmu adalah nikmat, Kakangmas. Takut apa?"

Pujo merangkul leher isterinya dan mencium bibirnya, lalu berbisik, "Akupun tidak takut mati, karena ada engkau di sampingku, Nimas. Akan tetapi, kita tidak boleh mati sekarang. Bangsat itu belum terbalas, dan aku belum melihat anak kita, bagaimana kita bisa mati ? Tidak, kita hatus berusaha. Kerisku masih ada padaku, dengan senjata aku bisa membongkar tembok, sedikit demi sedikit, sebata demi sebata."

"Kau benar, Kakangmas. Akupun dapat membantumu dengan cundrikku!"

Penuh semangat suami isteri itu mulai bekerja. Biarpun senjata di tangan mereka hanya keris dan cundrik kecil saja, namun karena mereka memiliki tenaga dalam yang amat kuat, agaknya tidak akan sukar bagi mereka untuk membongkar tembok tebal itu. Akan tetapi, belum juga sebata terbongkar, tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis keras disusul ketawa bergelak.

Pujo dan Kartikosari kaget sekali, melompat berdiri dan tampaklah asap putih membanjir masuk dari lubang-lubang di bawah dekat pintu. Pujo tersedak dan Kartikosari terbatuk-batuk ketika asap belerang mulai menyerang hidung dan memenuhi ruangan itu! Mereka berusaha menutup pernapasan, namun betapa saktipun seseorang, tak mungkin is dapat menghentikan napas terlalu lama. Mereka terbatuk-batuk, terengah-engah, terhuyung-huyung. Pujo masih ingat akan isterinya, memeluk isterinya, seakan-akan hendak melindungi isterinya dengan tubuh sendiri menjadi perisai. Namun, menghadapi musuh berupa asap belerang, tak mungkin dia dapat melindungi isterinya atau dirinya sendiri. Hampir berbareng mereka roboh pingsan, menggeletak di atas lantai, masih berpelukan.

"Cukup! Buka pintunya, tangkap dan ikat mereka pada tiang!"

Terdengar suara Jokowanengpati berseru, akan tetapi suami isteri itu tidak dapat mendengar perintah ini, juga masih belum sadar ketika tubuh mereka yang lemas itu diseret ke tiang, kemudian dipaksa berdiri dan diikat lengan dan kaki mereka pada tiang, beradu punggung pada tiang di tengah ruangan. Jokowanengpati memasuki ruangan setelah asap mulai menipis dan karena sekarang pintu terbuka, maka ruangan itu tidaklah segelap tadi.

"Ha-ha-hal Pujo, keparat. Kau mau bilang apa sekarang?"

Jokowanengpati tertawa mengejek setelah member isyarat kepada Para pengawal yang jumlahnya enam orang Itu untuk keluar dari ruangan. la melangkah maju dan menampar muka Pujo dengan kedua telapak. tangan, berkali-kali. Karena Pujo masih belum sadar betul dan tubuhnya lemas, maka kepalanya terguncang-guncang ke kanan kiri ketika menerima tamparan. Akan tetapi, pukulan-pukulan keras itu malah membuatnya cepat siuman dari pingsannya. Begitu sadar dan melihat bahwa ia ditampari Jokowanengpati, seketika Pujo menegangkan tubuhnya dan urat-urat di lehernya mengeras, kepalanya tidak terguncang-guncang lagi.

"Jokowanengpati manusia pengecut!" Ia memaki, suaranya penuh nada ejekan.

"Ha-ha-ha-ha! Tak usah kau memancing-mancing kemarahanku agar kau kubebaskan dan kutantang bertanding, Pujo. Sebentar lagi kau mampus. Nah, rasakan ini!"

Kakinya melayang dan "ngekkk!" kaki itu bersarang di perut Pujo! Betapapun Pujo mengerahkan tenaga, namun karena tenaga lawannya juga amat kuat, maka is meringis kesakitan.

"Desss! Plakk! Bukk!!"

Jokowanengpati terus menghantam dan memukuli seluruh tubuh Pujo.

"Jahanam pengecut, keparat!"

Kartikosari yang baru saja siuman itu menjerit-jerit ketika menoleh dan melihat suaminya dipukul tanpa dapat membalas sedikitpun karena tangan dan kakinya terikat. Makian Kartikosari menolong Pujo. Jokowanengpati menghentikan siksaannya, lalu melangkah mendekati Kartikosari. Mukanya yang tampan itu menyeringai, matanya memandangi tubuh yang montok, melahapnya penuh nafsu.

"He-he-he, kau makin cantik jelita saja, Kartikosari. Kau makin ayu denok. Ah, ingatkah kau malam hari itu di dalam guha? Alangkah senangnya!"

"Jokowanengpati manusia rendah! Binatang! Tutup mulutmu yang kotor dan bunuhlah aku kalau kau tidak berani menghadapi aku bertanding secara jantan!" Pujo berteriak-teriak marah.

"Ha-ha-ha-ha! Pujo, sepuluh tahun yang lalu kau hanya menduga-duga, sekarang akan kausaksikan dengan mata kepalamu sendiri bahwa akulah yang akhirnya mendapatkan Kartikosari, bukan engkau!.... Ha-ha-ha!"

Jokowanengpati mendekat dan dengan lagak kurang ajar mencium bibir Kartikosari. Wanita itu membuang muka sehingga hanya pipinya yang kena cium.

"Bedebah! Binatang.... !!" Kartikosari memaki.

"Joko, iblis laknat engkau!" Pujo hanya dapat memaki dengan amarah meluap-luap.

Jokowanengpati kembali menghadapi Pujo, lalu memperlihatkan tangan kirinya. Kelingkingnya buntung mengerikan. "Kau lihat ini ? Kau tadi menanyakan mengapa Kelingking kiriku buntung? Ha-ha-ha, Kartikosari. Bukankah kelingking ini ketika dengan liar kau menyatakan sayang dan kasihmu kepadaku, Manis?"

"Jahanam....! Kubunuh.... engkau.... !" Kartikosari hampir pingsan saking marahnya.

BADAI LAUT SELATAN JILID 16