Cerita Silat Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 16 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT ONLINE KARYA KHO PING HOO

KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA JILID 16

Ki Patih Narotama sering melakukan perjalanan seorang diri dengan menyamar sebagai penduduk biasa. Dengan cara seperti ini dia dapat melakukan pemeriksaan terhadap keadaan rakyat jelata dan juga dapat mengawasi cara kerja para punggawa kerajaan.

Pada suatu hari dia melakukan perjalanan seperti itu, berpakaian seperti seorang petani biasa dan keluar masuk pedusunan, mendengarkan keterangan dari rakyat tentang keadaan mereka dan tentang sikap para lurah atau demang yang menjadi penguasa di dusun mereka. Kalau terdapat laporan tentang seorang kepala dusun yang bersikap tidak baik dalam melakukan tugasnya, sewenang-wenang dan menindas rakyat, maka Ki Patih Narotama cepat mendatangi kepala dusun itu dan mengambil tindakan.

Kalau masih dapat diperbaiki ahlak punggawa itu, maka hanya akan diberi peringatan keras. Kalau sekiranya tidak dapat diperbaiki lagi, langsung dipecat dan diganti orang lain. Kalau ada laporan tentang kepala dusun yang baik, Ki Patih Narotama juga tidak tinggal diam. Dikunjunginya kepala dusun itu dan beri pujian, serta dicatat jasa-jasanya untuk kemungkinan kenaikan pangkat.

akan tetapi pelaporan apapun yang didengarnya dari rakyat, Ki Patih tidak tergesa-gesa menerima kebenaran laporan begitu saja. Dia akan melakukan penyelidikan dengan teliti sebelum mengambil keputusan apakah penguasa itu benar-benar seperti yang dilaporkan rakyat ataukah tidak.

Hari itu hati K i Patih Narotama merasa gembira. Di dusun Pakis itu dia dapat laporan dari rakyat bahwa kepala dusun itu amat baik. Bijaksana dan murah terhadap rakyat, suka membimbing dan menolong rakyat sehingga kehidupan rakyat di dusun itu dapat dikatakan cukup makmur dan sejahtera, cukup sandang pangan dan kepala dusun juga memperhatikan pembangunan perumahan bagi rakyat sehingga rumah-rumah di dusun Pakis itu rata-rata tampak rapi dan bersih, walaupun tidak mewah.

Karena itu, dia mengunjungi ki lurah dengan berterang walaupun masih berpakaian sebagai petani. Ki Lurah dan para pamong dusun menyambut Ki Patih Narotama dengan penuh penghormatan dan sebentar saja penduduk dusun Pakis mendengar bahwa dusun mereka dikunjungi Ki Patih Narotama. Sebentar saja berita itu sudah terdengar semua orang dan cukup menggemparkan karena nama besar Ki Patih Narotama sudah amat terkenal.

Para pamong dusun lalu mengadakan pesta makan seadanya untuk menyambut dan menghormati. Ki Patih Narotama yang menerima sambutan mereka dengan gembira. Dia memuji ki lurah dan para pamong.

"Aku sudah mendengar laporan penduduk dusun Pakis ini tentang pekerjaan andika sekalian dan aku merasa senang dan lega. Begitulah seharusnya, seorang pamong haruslah seperti bapak yang momong (mengasuh) penduduk sebagai anak anaknya. Membantu mereka yang patut dibantu, menghukum mereka yang pantas dihukum, bertindak dan bersikap adil sehingga pantas dijadikan panutan (tauladan). Ingatlah selalu bahwa rakyat Itu yang terpenting dan semua kebutuhannya harus dipentingkan. Tanpa rakyat, apa artinya penguasa? Rajapun tidak akan ada tanpa rakyat. Sebaliknya rakyat akan tetap ada walaupun tidak ada raja! Namun penguasa memang diperlukan untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan rakyat. Karena itu sudah sepatutnya ada timbal-balik, jangan kalian sebagai penguasa hanya minta dilayani, akan tetapi juga harus melayani, jangan hanya minta disenangkan akan tetapi harus juga menyenangkan. Usahakanlah sedemikian rupa agar rakyat menaruh hormat, merasa segan kepada kalian dan menncinta kalian karena kebaikan kalian, jangan sekali-kali sampai rakyat merasa takut kepada kalian dan membenci kalian karena kesewenang-wenangan kalian." Demikian antara lain nasihat yang diberikan oleh Ki Patih Narotama kepada para pamong yang berkumpul di rumah kepala dusun dan semua orang menerima nasihat itu dengan hati terbuka.

Setelah puas berbincang-bincang dengan para pamong, K i Patih Narotama siang hari itu juga meninggalkan dusun Pakis. Ketika di tiba di jalan yang sepi agak jauh di luar dusun Pakis, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan dan tahu tahu di depannya telah berdiri seorang gadis cantik jelita.

Gadis itu berdiri di tengah jalan, bertolak pinggang dengan kedua kaki dibentangkan, dan sikapnya jelas menunjukkan bahwa ia memang sengaja menghadang perjalanan Ki Patih Narotama. Narotama memandang dengan penuh perhatian sambil menahan langkahnya. Seorang dara yang masih muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya, wajahnya cantik jelita, kulitnya putih kuning, terutama mata dan mulutnya amat indah menggairahkan.

Akan tetapi pandang matanya mencorong dan mengandung kegalakan dan dari sikapnya yang berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang, kedua kaki agak dibentangkan, kepala ditegakkan dan dada dibusungkan, pandang matanya penuh tantangan dan keberanian maka Ki Patih Narotama menarik kesimpulan bahwa dara ini berwatak liar dan bebas. Dan pakaiannya yang mewah itu diapun maklum bahwa dara itu bukanlah gadis dusun biasa. Pakaiannya menunjukkan bahwa ia tentu seorang dara bangsawan, maka tentu saja hatinya merasa heran sekali.

"Nimas, andika siapakah dan mengapa andika menghadang perjalananku?" Narotama bertanya dengan ramah dan lembut.

Dara itu memandang penuh selidik lalu berkata. "Aku mendengar desas-desus penduduk dusun Pakis bahwa engkau adalah Ki Patih Narotama dari Kerajaan Kahuripan. Benarkah itu? Engkau Ki Patih Narotama?"

Narotama melakukan perjalanan menyamar hanya agar dia dapat melakukan pemeriksaan ke dusun-dusun dengan leluasa. Akan tetapi dia tidak merasa perlu untuk berbohong kepada dara yang tidak dikenalnya ini. Dia tersenyum dan mengangguk. Wajah tampan dan gagah Narotama tampak semakin menarik ketika tersenyum.

"Benar sekali, aku memang Ki Patih Narotama dari Kerajaan Kahuripan. Lalu siapakah andika dan apa maksud andika menghadang perjalananku?"

"Engkau tidak perlu tahu siapa aku akan tetapi aku mencarimu untuk membunuhmu, Ki Patih Narotama!" kata dara itu yang bukan lain adalah Puspa Dewi.

Seperti kita ketahui, dara ini gagal memenuhi perintah Nyi Dewi Durgakumala untuk merampas keris pusaka Sang Megatantra dari tangan Nurseta, bahkan ia mendengar bahwa pusaka itu telah dicuri oleh Pangeran Hendratama dan ia menyadari bahwa perintah merampas pusaka itu adalah tidak benar sehingga ia sudah berjanji kepada Nurseta untuk membatalkan niatnya memenuhi perintah gurunya untuk merampas Sang Megatantra. Akan tetapi untuk membalas budi baik gurunya yang juga menjadi ibu angkatnya itu masih ada tugas yang kiranya akan dapat ia penuhi dengan hasil baik, yaitu membunuh Ki Patih Narotama untuk membalas dendam sakit hati gurunya.

Mendengar ucapan itu, hampir saja Ki Patih Narotama tertawa terbahak. Memang bagi dia terdengar lucu sekali kalau dara yang masih muda remaja ini mengatakan hendak membunuhnya! Akan tetapi dia menahan diri dan tidak tertawa, hanya tersenyum dan berkata dengan sikap tenang.

"Nimas, engkau berhak untuk tidak memperkenalkan nama padaku, juga engkau boleh saja mengatakan hendak membunuh aku. Akan tetapi sungguh tidak adil kalau engkau tidak memberitahu kepadaku mengapa engkau hendak membunuhku. Bagaimana kalau sampai engkau membunuhku dan aku mati tanpa mengetahui apa sebabnya aku dibunuh orang? Nyawaku tentu akan menjadi setan penasaran dan akan selalu mengejarmu! Karena itu, jelaskan dulu mengapa engkau hendak membunuhku sehingga aku mengetahui apakah memang sudah adil dan benar kalau engkau membunuhku."

Mendengar ucapan ini, Puspa Dewi mengerutkan alisnya. Benar juga, pikirnya, tidak adil kalau Ki Patih Narotama tidak tahu mengapa ia akan membunuhnya. Juga ia merasa ngeri mendengar ancaman bahwa kalau tidak diberitahu sebabnya, kalau mati Ki Patih Narotama akan menjadi setan penasaran dan akan selalu mengejar-ngejarnya! Ih, ngeri juga membayangkan dikejar-kejar hantu penasaran!

"Aku harus membunuhmu untuk mentaati perintah guruku kepadamu!"

"Hemm, siapa gurumu itu? Dan mengapa dia mendendam kepadaku?"

"Guruku adalah Nyi Dewi Durgakumala."

"Ah, datuk wanita dari Wura-wuri itu? Akan tetapi kenapa ia mendendam kepadaku?"

"Ki Patih Narotama, tidak perlu engkau pura-pura tanya dan hendak menyembunyikan perbuatanmu yang jahat kepadanya!" Puspa Dewi membentak.

"Lho! Perbuatan jahat kepada Nyi Dewi Durgakumala? Apa maksudmu, nimas?"

"Dulu, engkau pernah membunuh anak yang berada dalam gendongannya! Apa itu bukan perbuatan yang amat jahat dan karenanya engkau pantas dihukum mati?"

Narotama menggeleng kepalanya "Ah, nimas, agaknya engkau belum mengenal betul siapa itu Nyi Dewi Durgakumala."

"Aku belum mengenal siapa ia? hemm, selama lima tahun lebih aku menjadi muridnya, menerima pendidikannya dan menerima budinya. Ia seorang yang bagiku amat baik dan aku harus membalas budinya, la menceritakan kepadaku tentang kejahatanmu, dan mengutus aku untuk membunuhmu! Bersiaplah engkau, Ki Patih Narotama!"

Setelah berkata demikian, Puspa Dewi mengerahkan tenaga saktinya lalu ia mengeluarkan Pekik Guruh Bairawa. Jerit melengking keluar dari mulutnya, mengandung getaran yang dahsyat. Orang yang hanya memiliki kesaktian tanggung tanggung saja dapat roboh dan mungkin tewas menghadapi gelombang suara yang mengandung getaran yang dapat mengguncang isi dada dan kepala ini. Namun Ki Patih Narotama tetap berdiri tenang sambil tersenyum, sama sekali tidak terpengaruh oleh jerit itu laksana angin keras menyerang batu karang dan lewat begitu saja tanpa dapat menggoyang batu karang itu sedikitpun.

Melihat betapa ajinya yang biasanya dapat diandalkan itu sama sekali tidak mempengaruhi Ki Patih Narotama, seolah-olah jeritan itu tidak pernah ada Puspa Dewi menjadi terkejut akan tetapi juga penasaran dan marah. Dalam anggapannya, Ki Patih Narotama adalah seorang yang amat jahat dan sudah sepatutnya dihukum mati. la lalu mulai menyerang dengan kedua tangannya sambil membentak nyaring.

"Aji Guntur Geni!" Kedua lengannya dipentang seperti burung terbang dara tiba-tiba kedua tangan itu bersatu kedepan dan mendorong ke arah dada Narotama.

Ki Patih Narotama mengenal aji pukulan dahsyat, maka dia cepat menghindar dengan loncatan ke samping sehingga pukulan yang mengandung hawa panas seperti api itu lewat di sampingi tubuhnya. Gadis itu menyerang lagi, lebih ganas daripada tadi, bahkan kini Puspa Dewi menggunakan kuku-kuku jarinya yang mengandung racun untuk menyerang sehingga serangannya menjadi semakin ganas. Wisakenaka (Kuku Beracun) merupakan ilmu sesat yang amat berbahaya, sedikit saja kulit lawan tergurat kuku dan terluka, sudah cukup untuk membunuh lawan.

Ki Patih Narotama adalah seorang sakti mandraguna yang sudah banyak pengalaman. Diam-diam dia merasa iba kepada dara yang masih amat muda ini. semuda itu sudah memiliki ilmu-ilmu yang dahsyat, hanya sayang ilmu-ilmu itu sifatnya sesat dan keji. Padahal, kalau melihat sikap gadis itu, walaupun liar dan ganas, namun gadis ini merasa bahwa tindakannya benar karena ia menganggap dia seorang yang amat jahat, yang telah membunuh anak dalam gendongan Nyi Dewi Durgakumala!

Gadis ini tidak memiliki dasar yang jahat, hanya karena menjadi murid seorang datuk wanita yang sesat maka selain mewarasi ilmu-ilmu sesat, juga mewarisi watak yang ganas, la tidak sadar bahwa ia telah diperalat oleh Nyi Dewi Durgakumala. Menghadapi serangan yang nekat dan ganas itu, dia hanya mempertahankan diri dengan elakan-elakan dan terkadang dia menangkis dari samping yang membuat tubuh Puspa Dewi terhuyung.

Puspa Dewi juga bukan seorang bodoh. Setelah menyerang bertubi-tubi dan terkadang ia sampai terhuyung ketika ditangkis oleh Ki Patih Narotama, ia pun maklum bahwa lawannya adalah seorang yang amal sakti. Pantas saja gurunya tidak pernah dapat mengalahkannya. Akan tetapi ia seorang yang keras hati dan keras kepala, tidak menyadari bahwa sejak tadi Ki Patih Narotama telah banyak mengalah kepadanya.

Karena semua serangannya gagal dan kedua lengannya terasa nyeri setelah beberapa kali bertemu dengan tangkisan tangan Ki Patih Narotama, Puspa Dewi menjadi semakin marah. "Sambut pusakaku ini!" bentaknya dan di tangannya sudah tampak pedang hitam yang amat ampuh itu. la sudah menerjang Ki Patih Narotama dengan pedangnya yang ia gerakkan amat cepat sehingga pedangnya berubah menjadi gulungan sinar hitam yang menyambar nyambar.

Ki Patih Narotama merasa sudah cukup dia bersabar dan mengalah. Gadis ini perlu diingatkan. Kalau sampai ia dipengaruhi Nyi Dewi Durgakumala, ia dapat melakukan banyak kejahatan yang amat berbahaya tanpa disadari bahwa ia berbuat jahat. Ketika pedang itu menusuk dengan luncuran cepat seperti anak panah ke arah dadanya, dia miringkan tubuh dan ketika sinar pedang hitam itu meluncur lewat samping tubuhnya, dia cepat menggerakkan tangannya dan menangkap pedang itu!

Puspa Dewi terkejut dan hampir tidak percaya ada orang mampu menangkap pusaka Candrasa Langking yang beracun dan amat ampuh itu dengan tangan telanjang. Ia berusaha menarik pedangnya, akan tetapi sia-sia. Pedang itu seolah telah melekat dengan tangan Ki Patih Narotama. Ia membetot lagi sambil mengerahkan tenaganya dan tiba-tiba Ki Patih Narotama melepaskan pegangannya pada pedang itu. Tak dapat dihindarkan lagi tubuh Puspa Dewi terjengkang dan terbanting roboh telentang di atas tanah! Sebelum gadis itu bangkit, Ki Patih Narotama cepat berkata dengan suara yang mengandung wibawa kuat sekali karena dia mengerahkan tenaga batinnya.

"Nimas, aku tidak mengenal siapa andika, akan tetapi sekarang aku mengerti bahwa engkau telah dihasut oleh Nyi Dewi Durgakumala yang telah mendidikmu sebagai murid sehingga engkau tidak menyadari bahwa engkau telah terjatuh ke dalam tangan seorang iblis betina yang amat jahat dan kejam. Ketahuilah bahwa Nyi Dewi Durgakumala adalah seorang datuk wanita sesat dan sesuai dengan namanya, ia adalah seorang penyembah Bathari Durga, ratu para iblis itu. Ia memang memusuhi aku, akan tetapi bukan karena aku membunuh anaknya. Sama sekali bohong ceritanya itu. Ia tidak pernah mempunyai anak akan tetapi entah sudah berapa banyak anak laki-laki yang menjadi korban kekejiannya. Ia pernah bertemu denganku dan membujuk agar aku mau menerimanya sebagai isteri. Sungguh tidak tahu malu. Sungguhpun ia masih tampak cantik, akan tetapi sesungguhnya ia jauh lebih tua dariku. Aku menolak dan ia marah lalu ingin membunuhku. Akan tetapi beberapa kali usahanya itu gagal dan ia selalu kalah olehku. Ini yang membuat ia mendendam sakit hati dan sekarang membujukmu untuk membunuh aku. Mustahil engkau sebagai muridnya tidak tahu akan watak dan perbuatannya yang jahat dan keji tidak tahu malu itu!"

Puspa Dewi sudah bangkit dan berdiri mematung dengan pedang masih di tangan. Ia mendengarkan semua ucapan Narotama dan hatinya mulai meragu dan bimbang. Memang ia tahu bahwa gurunya memiliki watak yang memalukan, suka menculik dan mempermainkan pemuda-pemuda remaja.

Beberapa kali perbuatan itu ia gagalkan dan ia sudah menegur sifat gurunya yang memalukan itu. Juga ketika mau diambil permaisuri oleh Adipati Bhismaprabhawa dari Kerajaan Wura wuri, gurunya itu menuntut agar Gendari selir sang adipati, dibunuh. Untung Ia masih dapat mencegahnya sehingga Gendari tidak jadi dihukum mati, melainkan dipulangkan kekampung halamannya.

Melihat betapa tampan dan gagah Ki Patih Narotama, maka cerita Ki Patih ini lebih patut dipercaya daripada cerita gurunya. Akan tetapi ia sudah berhutang banyak budi kepada Nyi Dewi Durgakumala dan ia harus membalas budi itu Gurunya hanya memberi dua tugas, yang pertama merampas keris pusaka Sang Megatantra dari tangan Nurseta dan yang kedua membunuh Ki Patih Narotama.

Tugas pertama terpaksa ia batalkan apakah tugas kedua inipun harus gagal. Ia menjadi ragu dan serba bingung "Akan tetapi, bukankah seorang murid harus tahu membalas budi gurunya? Bukankah seorang murid harus setia dan berbakti kepada gurunya?" Pertanyaan ini sebetulnya ia lontarkan untuk dirinya sendiri, akan tetapi terucapkan sehingga seolah-olah ia bertanya kepada Ki Patih Narotama.

"Di atas guru, bahkan di atas orang tua, masih ada yang lebih patut kita taati, yaitu Sang Hyang Widhi Wasa. Yang Maha Kuasa itu juga Maha Besar dan Maha Suci, dan menaatinya merupakan kewajiban utama di atas segala macam kewajiban bagi manusia. Menaati Yang Maha Benar berarti harus menjunjung tinggi dan melaksanakan kebenaran dan keadilan, yang berarti melaksanakan kebaikan. Karena itu, hanya tugas yang baik dan benar saja yang harus kita laksanakan, karena itu berarti menaati perintah Yang Maha Kuasa. Biarpun yang memberi tugas kepada kita itu guru atau orang tua sekalipun, kalau tugas itu berlawanan dengan kebenaran dan kebaikan, berarti melawan perintah Yang Maha Benar. Dan pelaksanaan perintah yang tidak benar adalah kejahatan! Nah, kalau engkau sudah memahami ini semua akan tetapi hendak melaksanakan perintah Nyi Dewi Durgakumala yang tidak baik dan jahat itu, lakukanlah. Ini dadaku dan aku tidak akan mengelak atau menangkis!"

Ki Patih Narotama membusungkan dadanya, kedua tangannya tergantung di kanan kiri tubuhnya, seolah dia sudah menyerah untuk dibunuh! Puspa Dewi terbelalak memandang kearah wajah Narotama. Pandang mata mereka bertemu. Pandang mata Narotama tenang penuh pengertian, sebaliknya pandang mata Puspa Dewi gelisah dan bingung. Ia melihat betapa mudahnya melaksanakan perintah kedua gurunya.

Sekali tusuk ia akan dapat membunuh Ki Patih Narotama seperti yang dikehendaki gurunya. Tangan kanannya bergerak, pedang itu sudah diangkat, siap ditusukkan ke dada ki patih. Seluruh urat syarafnya menegang, dan tangan yang memegang pedang hitam itu gemetar. Kemudian, ia melangkah maju sehingga tiba dekat dan getaran di tangannya makin menjadi-jadi.

Getaran itu menjalar ke seluruh tubuhnya dan tak lama kemudian seluruh tubuhnya gemetar. Ia memaksa tangannya hendak menusuk, akan tetapi tidak jadi. Ia menggeleng kepala keras-keras dan tubuhnya terguncang, lalu kedua kakinya lemas dan ia terkulai dan jatuh berlutut melepaskan pedang hitam ke atas tanah dan Puspa Dewi menangis!

Ki Patih Narotama tersenyum. Dia telah memperoleh kemenangan besar, menang tanpa menalukkan dengan kekerasan. Tentu saja dia tidak ingin membunuh diri dengan nekat ketika mengucapkan kalimat terakhir untuk menerima serangan pedang hitam di tangan gadis itu tanpa menangkis atau mengelak.

Memang, dia tidak akan menangkis atau mengelak, dan merasa yakin bahwa kekebalannya akan mampu menahan bacokan atau tusukan pedang, dan seandainya dia terkena hawa beracun pedang itu, iapun tidak khawatir karena dia membawa tongkat pusakanya, Tunggul Manik, yang dapat menyembuhkan segala keracunan badan. Dia terlindung oleh kekebalan kulitnya dan keampuhan pusaka Tunggul Manik.

Kini melihat gadis itu duduk mendeprok di atas tanah sambil menangis, dia merasa semakin kasihan. Anak ini membutuhkan bimbingan, pikirnya. Pada dasarnya, anak ini berjiwa bersih dan dengan mudah dapat melihat kebenaran.

"Nimas, sudahlah jangan menangis. Engkau sudah mampu mengalahkan nafsu daya rendah di dalam dirimu sendiri, hal itu semestinya disambut tawa gembira dan bersyukur kepada Sang Hyang Widhi, bukan dengan menangis."

"Tapi..... tapi..... aku tak dapat melaksanakan perintah guru, aku..... aku menjadi murid yang tidak berbakti.... huhu-huuu!" Puspa Dewi masih menangis.

"Nimas yang baik, dengarlah. Berbakti kepada guru atau orang tua ada dua macam. Pertama, melaksanakan segala perintah guru yang berlandaskan kebenaran dan kebaikan, dengan taat dan dengan taruhan nyawa sekalipun. Ke dua, mencegah guru melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran dan keadilan, membujuknya agar ia menyadari kesalahannya dan kembali ke jalan benar. Itulah yang dimaksudkan dengan kebaktian bukan menaati segala perintahnya dengan membuta sehingga dapat menyeret kita ke dalam kejahatan."

Puspa Dewi menghentikan tangisnya, mengusap air matanya dan timbul kagum dan hormat dalam hatinya yang keras terhadap pria itu. la sudah dapat melihat kenyataan bahwa laki-laki yang dianggap jahat oleh gurunya itu sesungguhnya merupakan seorang yang gagah perkasa, sakti mandraguna dan bijaksana. Kalau tidak bijaksana, tentu ia yang tadinya ingin membunuh orang itu, kini sudah menggeletak mati atau setidaknya terluka. Akan tetapi Ki Patih Narotama sama sekali tidak melakukan itu, dia mengalahkannya tanpa melukainya sama sekali! Dan semua ucapannya itu membuka hati dan pikirannya dan membuat ia dapat melihat dengan jelas siapa yang benar dan siapa yang salah. Akan tetapi ia menjadi bingung sekali. Apakah mungkin ia harus menentang gurunya, berarti menentang pula Adipati Wura-wuri yang menugaskannya untuk menentang Kahuripan?

"Aduh, gusti patih....." keluhnya, "lalu apa yang harus saya lakukan? Hidup ini begini membingungkan, semuanya serba berlawanan. Berilah petunjuk, gusti patih, dan saya..... Puspa Dewi akan berterima kasih sekali."

Senyum di bibir Narotama semakin berseri. "Baiklah, Nimas Puspa Dewi. Betapapun sukar pelaksanaannya, akan tetapi ada baiknya kalau pelajaran ini dapat tertanam dalam batinmu untuk mengemudikan jalan hidupmu. Segala macam kebajikan itu tidak ada gunanya kalau hanya menjadi hapalan, hanya dipikir dan diucapkan. Yang penting itu prilakunya karena prilaku merupakan bukti, merupakan persembahan, merupakan ibadah. Usahakanlah untuk melangkah dalam kehidupan melalui jalan kebenaran dengan pedoman seperti berikut :

Pertama : Dharma atau prilaku kebajikan, semua pikiran, kata dan perbuatan yang didasari kasih sayang kepada sesama manusia, bahkan sesama mahluk hidup di dunia ini.

Ke dua : Satya, yaitu kesetiaan yang didasari keadilan dan kebenaran, siap membela kebenaran dan keadilan dengan setia.

Ke tiga : Tapa, berarti dapat mengekang dan mengalahkan nafsu daya rendah yang berada dalam diri sendiri, mengembalikan kedudukan segala macam nafsu itu menjadi hamba kita, bukan sebagai majikan kita.

Ke empat: Dama, yaitu sikap menghormat, sopan santun lahir batin terhadap sesama manusia, rendah hati.

Ke lima : Wimatsari-twa atau tidak menaruh iri hati terhadap keberhasilan orang lain, ikut merasa bahagia melihat orang lain berbahagia dan ikut prihatin melihat orang lain prihatin.

Ke enam : Rih atau mengenal rasa malu, malu terhadap Yang Maha Kuasa, malu terhadap orang lain dan terhadap diri sendiri atas kesesatannya.

Ke tujuh : Titiksa, yaitu dapat menguasai nafsu amarah.

Ke delapan : Hanasuya, yaitu tidak membalas dendam kepada orang lain dengan cara menyakitinya.

Ke sembilan : Yadnya, artinya tekun memuja dan mengagungkan Yang Maha Agung.

Ke sepuluh : Dana, yaitu suka mengalah, berkorban dan beramal.

Ke sebelas : Drati, berarti selalu tenang, membersihkan isi hati dan pikiran.

Ke dua belas : Ksama, yaitu memaafkan kesalahan orang lain, teguh dan tidak berputus asa.


Demikianlah, Nimas Puspa Dewi, sifat manusia yang berbudi luhur."

"Aduh, betapa sukarnya! Apakah ada manusia yang mampu melaksanakan semua itu, gusti patih?" Puspa Dewi tertegun karena baru sekarang ia mendengarkan pelajaran seperti itu.

"Ha-ha-ha, pertanyaanmu itu tepat sekali. Memang tidak mudah menemukan seorang manusia yang dapat melaksanakan itu semua. Manusia itu tidak sempurna, bahkan dewa sekalipun tidak sempurna. Yang Maha Sempurna hanya Sang Hyang Widhi Wasa! Akan tetapi setidaknya pengertian itu dapat kita jadikan obor, andaikata kita tidak dapat melaksanakan sepenuhnya, ya sebagian kecil saja sudah cukup baik dan dapat mengurangi dosa kita."

Hati Puspa Dewi menjadi lega. "Terima kasih, gusti patih. Saya akan berusaha untuk mengikuti jalan kebenaran itu. Terima kasih dan maafkan sikap dan perbuatan saya tadi."

"Sebaiknya semua rasa terima kasih dan maaf itu kita panjatkan kehadiran sang Hyang Widhi, bukan kepada sesama manusia, Puspa Dewi."

"Selamat tinggal, gusti patih dan sekali lagi terima kasih."

Entah apa yang mendorongnya, baru pertama kali dalam hidupnya, Puspa Dewi memberi hormat dengan sembah kepada Ki Patih Narotama. Bahkan kepada dipati Wura-wuri saja ia tidak pernah memberi hormat dengan sembah.

"Selamat berpisah, Puspa Dewi, mudah-mudahan kita dapat bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik." kata Ki Patih Narotama.

Puspa Dewi lalu melompat dan mempergunakan kesaktiannya, berlari cepat bagaikan seekor kijang muda meninggalkan tempat itu. Ki Patih Narotama mengikuti bayangan itu sampai lenyap, lalu menghela napas panjang, tersenyum dan menggeleng kepalanya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa Puspa Dewi adalah Sekar Kedaton atau puteri Adipati Wura-wuri satu di antara kerajaan-kerajaan yang memusuhi Kahuripan.

Puspa Dewi memasuki kota raja Kahuripan. Selama beberapa hari dalam perjalanan ini, hati dan pikirannya mengalami guncangan hebat. Peristiwa berturut-turut yang dialaminya, pertama kali bertemu dengan Nurseta dan tugas pertamanya merampas keris pusaka Sang Megatantra dari tangan Nurseta gagal lalu disusul gagalnya melaksanakan tugas kedua, yaitu membunuh Ki Patih Narotama, mengguncang hatinya dan membuatnya menjadi bingung.

Namun perlahan-lahan ia dapat mencerna nasihat Patih Narotama dan ia dapat menghibur hati sendiri. Gurunya atau ibu angkatnya Nyi Dewi Durgakumala memang bersalah. Kedua macam tugas yang diperintahkannya itu memang mengandung maksud yang tidak sehat dan tidak benar. Pertama, ia disuruh merampas keris pusaka Megatantra yang sama sekali bukan hak milik gurunya, melainkan hak milik Sang Prabu Erlangga dan ini berarti bahwa tugas itu menyuruh ia menjadi perampok atau pencuri! Kemudian tugas kedua, ia disuruh membunuh Ki Patih Narotama yang sama sekali tidak berdosa dan sifat tugas itu adalah pembalasan dendam yang angkara murka. Gurunya itu memang seorang wanita sesat, hal ini ia sendiri sudah mengetahuinya. Apakah ia harus pula menjadi seorang sesat, menjadi seorang penjahat? Tidak, ia bukan keturunan penjahat!

Akan tetapi sebagai seorang yang sudah diangkat menjadi Sekar Kedaton Wura-wuri, ia harus melaksanakan perintah Adipati Wura-wuri dan ia harus membela Kerajaan Wura-wuri. Ia ditugaskan membantu dua orang puteri Parang siluman Laut Kidul yang kini menjadi selir Sang Prabu Erlangga dan selir Ki Patih Narotama, membantu untuk menentang Kerajaan Kahuripan. Ia memilih menghubungi Puteri Mandari saja yang menjadi selir Sang Prabu Erlangga. la tidak berani menghubungi Puteri Lasmini yang menjadi selir Ki Patih Narotama karena ia tidak berani bertemu lagi dengan ki patih yang tentu akan mencurigainya. Pula, biarpun ia membantu usaha Kerajaan Wura-wuri untuk menentang Kerajaan Kahuripan, iapun tidak akan melakukannya dengan membuta. Ia tidak mau melakukan perbuatan yang sifatnya jahat.

Para perajurit penjaga di pintu gerbang kompleks istana Kahuripan mula mula memandang dengan heran, kagum dan juga penuh curiga ketika menghadapi Puspa Dewi yang mengatakan bahwa ia ingin menghadap Sang Puteri Mandari. Heran melihat seorang gadis muda begitu berani seorang diri hendak memasuki kompleks istana, kagum melihat kecantikan dara itu, dan curiga melihat Puspa Dewi membawa sebatang pedang tergantung di punggungnya. Akan tetapi ketika mendengar bahwa gadis itu hendak menghadap Sang Puteri Mandari, mereka tidak berani menolak.

Puteri Mandari memang telah mereka kenal sebagai selir terkasih sang prabu dan selir itu adalah seorang yang sakti mandraguna, juga seorang yang galak dan tentu akan menghukum berat mereka kalau mereka menghalangi gadis ini. Siapa tahu gadis ini masih ada hubungan dekat dengan sang puteri. Maka sikap mereka segera berubah setelah Puspa Dewi menyebut nama Puteri Mandari. Tadinya, di antara mereka ada yang cengar cengir seperti biasa sekumpulan orang lelaki kalau melihat gadis cantik jelita, apalagi gadis itu datang seorang diri. Kini mereka bersikap hormat, tidak berani main-main.

"Silakan andika ikut petunjuk jalan menemui pengawal istana keputren," kata komandan jaga.

Puspa Dewi lalu diantar dua orang perajurit menuju ke istana bagian keputren yang terletak di sebelah kiri bangunan induk istana. Setelah tiba dipintu bagian keputren, dua orang penjaga dari depan itu menyerahkan Puspa Dewi kepada empat orang perajurit pengawal yang berjaga di situ. Kembali di sini Puspa Dewi harus memperkenalkan diri dan menjelaskan keperluan kunjungannya. Seperti juga para penjaga di depan tadi, ketika para perajurit pengawal mendengar bahwa Puspa Dewi ingin menghadap Puteri Mandari, merekapun bersikap hormat dan tidak berani melarang. Akan tetapi ternyata tidak terjadi seperti tadi.

Puspa Dewi tidak diantar oleh perajurit yang berjaga di pintu gapura itu ke dalam. Seorang perajurit memberi isyarat ke dalam dengan memukul perlahan kentungan kecil. Tak lama kemudian muncullah dua orang pengawal wanita, berlarian dari sebelah dalam. Mereka berdua adalah wanita wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bertubuh tegap dan berpakaian ringkas, di pinggang mereka tergantung sebatang pedang.

Keduanya mendapat laporan dari perajurit pria yang berjaga di pintu gapura keputren tentang Puspa Dewi mereka mengamati Puspa Dewi penuh perhatian. Seperti juga yang lain, disebutnya nama Puteri Mandari yang hendak dikunjungi Puspa Dewi membuat dua orang pengawal wanita ini bersikap hormat. Mereka semua takut belaka kepada sang puteri dan hal ini mulai diketahui Puspa Dewi melalui sikap mereka itu.

Ia menduga bahwa keputren itu tentu memiliki pasukan pengawal wanita, sedangkan pasukan pengawal pria hanya menjaga di luar gedung, dibagi menjadi dua, yaitu pengawal luar dan pengawal dalam. Ketika seorang di antara pengawal wanita yang berkulit hitam manis melihat pedang yang menempel di punggung Puspa Dewi, ia lalu berkata dengan nada hormat.

"Maafkan kami, mas ayu. Di sini terdapat peraturan bahwa tamu yang datang berkunjung tidak diperkenankan membawa senjata. Oleh karena itu, harap andika menitipkan dulu pedang andika itu kepada kami. Nanti kalau andika hendak meninggalkan istana, tentu akan kami serahkan kembali."

Kalau pengawal wanita itu bicaranya kasar, tentu Puspa Dewi marah mendengar pedangnya diminta. Akan tetapi karena bicaranya sopan, maka ia tidak marah, hanya mengerutkan alisnya dan berkata sambil tersenyum mengejek.

"Aku mau menitipkan pedangku kepada kalian, akan tetapi apa hendak dikata, pusakaku Candrasa Langking ini tidak mau berpisah dariku."

"Apa maksud andika, mas ayu?" tanya pengawal wanita hitam manis itu dan kawannya juga memandang heran.

Puspa Dewi tersenyum dan ia mengambil pedang hitamnya, melepaskan talinya yang tergantung di punggung lalu menyerahkan pedang bersama sarungnya itu kepada pengawal wanita hitam manis itu.

"Kalau mau tahu, nah, buktikan sendiri dan terimalah pusakaku ini."

Dengan ragu pengawal itu menerima pedang. Akan tetapi begitu pedang dipegangnya, tiba-tiba saja pedang itu meluncur lepas dari tangannya seperti ada yang merenggutkan dan pedang ini melayang ke arah Puspa Dewi yang menyambutnya dengan tangan kiri.

"Nah, andika telah membuktikan sendiri!" kata Puspa Dewi yang tadi mempergunakan kekuatan sihirnya untuk menerbangkan pedangnya kembali kepadanya. Tentu saja ia tidak akan melakukannya kalau berhadapan dengan seorang yang sakti.

cerita silat online karya kho ping hoo

Pengawal wanita hitam manis itu terkejut sekali dan menjadi bingung, juga kawannya terbelalak heran dan kaget. Empat orang perajurit pengawal pria yang berjaga di luar gapura juga menyaksikan peristiwa itu dan merekapun terheran-heran!

"Ah, bagaimana baiknya ini?" kata pengawal wanita ke dua kepada kawannya.

Si hitam manis berkata, "Cepat panggil Mbakayu Kanthi ke sini, biar ia yang menangani urusan ini." Kawannya mengangguk lalu berlari masuk dan si hitam manis berkata kepada Puspa Dewi. "Harap mas ayu suka menanti sebentar, kami panggilkan pelayan pribadi Gusti Puteri Mandari untuk mengantar andika menghadap Gusti Puteri."

Puspa Dewi mengangguk dan menanti dengan sikap santai, diam-diam merasa geli melihat pengawal wanita dan pengawal pria itu melirik kepadanya dengan pandang mata jerih. Tak lama kemudian pengawal wanita itu datang bersama seorang wanita dan Puspa Dewi segera memandang wanita itu dengan penuh perhatian. Seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, berpakaian sebagai emban pelayan, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya burik sehingga tampak jelek.

Wanita ini adalah Kanthi dan ia bukanlah wanita lemah. Kanthi dan Sarti yang tinggi besar sengaja didatangkan oleh Mandari dan Lasmini. Sarti menjadi pengawal pribadi Lasmini dan Kanthi menjadi pengawal pribadi Mandari. Karena kedua orang wanita itu datang dari Kerajaan Parang Siluman, maka tentu saja mereka menjadi orang-orang kepercayaan kedua orang puteri itu. Dan mereka berdua juga merupakan orang-orang yang memiliki kesaktian, walaupun tidak setinggi kesaktian kedua orang puteri itu.

Setelah berhadapan dengan Puspa Dewi, mata Kanthi yang tajam dapat melihat bahwa gadis muda belia itu, memang seorang yang sakti. Hal ini dapat ia lihat pada sinar mata Puspa Dewi yang mencorong penuh kekuatan batin. Ia tadi sudah mendengar cerita pengawal wanita yang memanggilnya tentang pedang milik tamu wanita itu. Ia lalu berkata dengan hormat kepada Puspa Dewi.

"Mas ayu, saya Kanthi, pelayan Gusti Puteri Mandari. Saya mengerti bahwa seseorang memang tidak dapat berpisah dari senjata pusakanya. Akan tetapi kalau andika menghadap Gusti Puteri dengan membawa pedang, tentu menimbulkan prasangka yang tidak baik. Oleh karena itu, marilah andika saya antar menghadap Gusti Puteri dan biarlah saya membawakan pedang andika itu sampai menghadap Gusti Puteri. Kalau nanti Gusti Puteri berkenan, tentu akan saya kembalikan pedang itu kepada andika disana juga."

Mendengar ucapan itu, Puspa Dewi tersenyum dan mengangguk. Ia tidak mau menggunakan sihir lagi karena kalau wanita pelayan ini ternyata mampu menolak sihirnya, maka ia akan mendapat malu.

"Baiklah, engkau boleh membawakan pusakaku ini dan mari kita menghadap Gusti Puteri." katanya sambil menyerahkan pedang hitamnya. Kanthi menerima pedang itu sambil mengerahkan kekuatan batinnya, kalau kalau pedang itu akan "terbang", akan tetapi tidak terjadi sesuatu sehingga hatinya lega. Dua orang pengawal wanita dan empat pengawal pria itupun memandang dengan hati tegang, akan tetapi ternyata tidak terjadi sesuatu dan mereka hanya dapat mengikuti dengan pandang mata mereka ketika Kanthi, sambil membawa pedang, mengantar Puspa Dewi masuk ke dalam.

Mandari yang dikabari bahwa ada seorang gadis bernama Puspa Dewi mohon menghadap padanya, menerima gadis itu di dalam ruangan pribadinya. Dari seorang mata-matanya yang berada di Wura-wuri Puteri Mandari telah mendengar bahwa Adipati Bhismaprabhawa dari Wura-wuri telah mengutus puterinya Sekar Kedaton yang bernama Puspa Dewi untuk membantunya di Kahuripan. Oleh karena itu, mendengar laporan bahwa Puspa Dewi kini telah dating menghadap, ia merasa girang sekali dan cepat menyambutnya sendiri di ruangan pribadinya.

Ketika Kanthi mengiringkan Puspa Dewi memasuki ruangan itu dan menutupkan kembali daun pintunya, Mandari telah duduk menanti diatas kursi, la memandang kagum, la sudah mendengar bahwa Sekar Kedaton Wura-wuri ini adalah murid dan puteri angkat Nyi Dewi Durgakumala yang sakti mandraguna, yang kini menjadi permaisuri Wura-wuri. Ternyata Puspa Dewi seorang gadis remaja yang cantik jelita.

Kanthi berlutut dan menyembah dengan hormat kepada majikannya. Puspa Dewi tetap berdiri dan memandang kepada Puteri Mandari dengan kagum. Tak disangkanya sang puteri itu sedemikian cantiknya dan tampaknya masih muda sekali. Ia mendengar bahwa puteri ini berusia sekitar dua puluh dua tahun lebih, akan tetapi tampaknya bahkan lebih muda dari pada ia yang baru berusia sembilan belas tahun! Melihat pedang di tangan pelayannya, Mandari tersenyum dan berkata, "Kanthi, serahkan pedang itu kepada Gusti Puteri Puspa Dewi."

Kanthi terkejut dan menoleh kepada Puspa Dewi yang masih berdiri.

"Gusti ..... Gusti Puteri .....?" katanya bingung.

"Benar, Kanthi. Ia adalah Gusti Puteri Sekar Kedaton dari Kerajaan Wura-wuri." kata Mandari. "Sekarang haturkan kembali pedang itu lalu keluarlah. Jaga agar jangan ada yang mendengarkan kami bicara di dalam."

"Sendika, gusti." kata Kanthi lalu dengan hormat sekali ia menyerahkan kembali Candrasa Langking kepada Puspa Dewi, menyembah lalu keluar dari ruangan itu lalu menutupkan kembali daun pintunya.

Setelah Kanthi keluar, Mandari lalu menunjuk ke arah sebuah kursi di depannya dan berkata, "Puspa Dewi, duduklah. Di sini kita dapat bicara dengan leluasa."

Puspa Dewi memasang kembali pedangnya di punggung lalu duduk dan berkata, "Gusti Puteri...."

"Ah, Puspa Dewi, kita sama-sama puteri istana. Aku puteri Kerajaan Parang Siluman dan engkau puteri Kerajaan Wurawuri. Jangan bersikap merendah dan jangan menyebut aku Gusti Puteri!"

"Hamba mergerti. Akan tetapi karena hamba datang bukan sebagai Puteri Wura-wuri dan hendak membantu paduka dengan diam-diam dan rahasia, maka sebaiknya kalau mulai saat ini hamba membiasakan diri bersikap sebagai seorang pembantu paduka agar rahasia hamba tidak sampai bocor"

"Baiklah kalau begitu, Puspa Dewi. Tidak kusangka engkau yang semuda ini sudah dapat bersikap cerdik. Aku sudah banyak mendengar tentang dirimu dari pembantuku. Sebagai murid dan juga anak angkat Nyi Dewi Durgakumala yang kini menjadi Permaisuri Wura-wuri, aku yakin engkau memiliki kesaktian yang boleh diandalkan Aku girang sekali engkau bersedia untuk membantuku. Dengan adanya engkau di sini dan Linggajaya di kepatihan membantu Mbakayu Lasmini, kedudukan kita menjadi lebih kuat. Kukira engkau sudah tahu tentang Linggajaya."

Puspa Dewi mengangguk. "Hamba telah mengenalnya dengan baik." katanya tanpa menjelaskan bahwa Linggajaya adalah kakak tirinya. "Sekarang harap paduka jelaskan, bantuan apakah yang dapat hamba lakukan di sini dan tugas apa yang dapat hamba kerjakan?"

"Aku sedang memikirkan hal itu. Aku sudah mendengar bahwa engkau diutus oleh Adipati Wura-wuri untuk membantu kami, akan tetapi tidak kusangka bahwa engkau hari ini akan datang menemui aku. Kedatanganmu yang tiba-tiba ini membuat aku harus berpikir-pikir dulu, tugas apa yang dapat kuserahkan kepadamu. Sementara ini, sebaiknya engkau menyamar sebagai seorang dayang pelayan pribadiku membantu Kanthi yang menjadi pelayan bawaan dan kepercayaanku. Dengan menjadi pelayan pribadiku, kita dapat mudah berhubungan dan tidak seorang pun berani menentangmu. Nanti perlahan-lahan kita atur apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Akan tetapi sebagai pelayan pribadi, tidak baik dan akan mencurigakan sekali kalau engkau membawa pedangmu. Maka, sebaiknya engkau sembunyikan pedangmu itu dalam kamar yang akan disediakan untukmu."

"Baik, akan hamba laksanakan." kata Puspa Dewi.

"Puspa Dewi, engkau harus berhati-hati. Ingat bahwa didalam istana ini banyak orang yang diam-diam menentangku. Terutama sekali terhadap Sang Prabu Erlangga, engkau harus berhati-hati sekali. Beliau adalah seorang yang amat sakti mandraguna, sebaiknya kalau engkau tidak muncul di depannya, kecuali kalau terpaksa dan jangan memperlihatkan sikap mencolok agar beliau tidak menaruh curiga kepadamu."

Demikianlah, mulai hari itu Puspa Dewi tinggal di dalam istana bagian keputren dan menyamar sebagai seorang dayang pelayan pribadi Puteri Mandari. Ia memakai pakaian seperti yang dipakai para dayang istana dan menyimpan pusaka Candrasa Langking dalam kamarnya. Kehadirannya tidak mencolok, tidak mencurigakan karena di istana memang terdapat banyak dayang, gadis-gadis muda yang rata-rata memiliki wajah yang ayu dan manis. Dan seperti yang dikatakan Puteri Mandari, para dayang dan pelayan yang lain bersikap segan dan hormat kepada Puspa Dewi setelah mereka mendengar bahwa dara itu adalah pelayan pribadi Puteri Mandari.

**********************


BERSAMBUNG KE JILID 17


Cerita Silat Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 16

CERITA SILAT ONLINE KARYA KHO PING HOO

KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA JILID 16

Ki Patih Narotama sering melakukan perjalanan seorang diri dengan menyamar sebagai penduduk biasa. Dengan cara seperti ini dia dapat melakukan pemeriksaan terhadap keadaan rakyat jelata dan juga dapat mengawasi cara kerja para punggawa kerajaan.

Pada suatu hari dia melakukan perjalanan seperti itu, berpakaian seperti seorang petani biasa dan keluar masuk pedusunan, mendengarkan keterangan dari rakyat tentang keadaan mereka dan tentang sikap para lurah atau demang yang menjadi penguasa di dusun mereka. Kalau terdapat laporan tentang seorang kepala dusun yang bersikap tidak baik dalam melakukan tugasnya, sewenang-wenang dan menindas rakyat, maka Ki Patih Narotama cepat mendatangi kepala dusun itu dan mengambil tindakan.

Kalau masih dapat diperbaiki ahlak punggawa itu, maka hanya akan diberi peringatan keras. Kalau sekiranya tidak dapat diperbaiki lagi, langsung dipecat dan diganti orang lain. Kalau ada laporan tentang kepala dusun yang baik, Ki Patih Narotama juga tidak tinggal diam. Dikunjunginya kepala dusun itu dan beri pujian, serta dicatat jasa-jasanya untuk kemungkinan kenaikan pangkat.

akan tetapi pelaporan apapun yang didengarnya dari rakyat, Ki Patih tidak tergesa-gesa menerima kebenaran laporan begitu saja. Dia akan melakukan penyelidikan dengan teliti sebelum mengambil keputusan apakah penguasa itu benar-benar seperti yang dilaporkan rakyat ataukah tidak.

Hari itu hati K i Patih Narotama merasa gembira. Di dusun Pakis itu dia dapat laporan dari rakyat bahwa kepala dusun itu amat baik. Bijaksana dan murah terhadap rakyat, suka membimbing dan menolong rakyat sehingga kehidupan rakyat di dusun itu dapat dikatakan cukup makmur dan sejahtera, cukup sandang pangan dan kepala dusun juga memperhatikan pembangunan perumahan bagi rakyat sehingga rumah-rumah di dusun Pakis itu rata-rata tampak rapi dan bersih, walaupun tidak mewah.

Karena itu, dia mengunjungi ki lurah dengan berterang walaupun masih berpakaian sebagai petani. Ki Lurah dan para pamong dusun menyambut Ki Patih Narotama dengan penuh penghormatan dan sebentar saja penduduk dusun Pakis mendengar bahwa dusun mereka dikunjungi Ki Patih Narotama. Sebentar saja berita itu sudah terdengar semua orang dan cukup menggemparkan karena nama besar Ki Patih Narotama sudah amat terkenal.

Para pamong dusun lalu mengadakan pesta makan seadanya untuk menyambut dan menghormati. Ki Patih Narotama yang menerima sambutan mereka dengan gembira. Dia memuji ki lurah dan para pamong.

"Aku sudah mendengar laporan penduduk dusun Pakis ini tentang pekerjaan andika sekalian dan aku merasa senang dan lega. Begitulah seharusnya, seorang pamong haruslah seperti bapak yang momong (mengasuh) penduduk sebagai anak anaknya. Membantu mereka yang patut dibantu, menghukum mereka yang pantas dihukum, bertindak dan bersikap adil sehingga pantas dijadikan panutan (tauladan). Ingatlah selalu bahwa rakyat Itu yang terpenting dan semua kebutuhannya harus dipentingkan. Tanpa rakyat, apa artinya penguasa? Rajapun tidak akan ada tanpa rakyat. Sebaliknya rakyat akan tetap ada walaupun tidak ada raja! Namun penguasa memang diperlukan untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan rakyat. Karena itu sudah sepatutnya ada timbal-balik, jangan kalian sebagai penguasa hanya minta dilayani, akan tetapi juga harus melayani, jangan hanya minta disenangkan akan tetapi harus juga menyenangkan. Usahakanlah sedemikian rupa agar rakyat menaruh hormat, merasa segan kepada kalian dan menncinta kalian karena kebaikan kalian, jangan sekali-kali sampai rakyat merasa takut kepada kalian dan membenci kalian karena kesewenang-wenangan kalian." Demikian antara lain nasihat yang diberikan oleh Ki Patih Narotama kepada para pamong yang berkumpul di rumah kepala dusun dan semua orang menerima nasihat itu dengan hati terbuka.

Setelah puas berbincang-bincang dengan para pamong, K i Patih Narotama siang hari itu juga meninggalkan dusun Pakis. Ketika di tiba di jalan yang sepi agak jauh di luar dusun Pakis, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan dan tahu tahu di depannya telah berdiri seorang gadis cantik jelita.

Gadis itu berdiri di tengah jalan, bertolak pinggang dengan kedua kaki dibentangkan, dan sikapnya jelas menunjukkan bahwa ia memang sengaja menghadang perjalanan Ki Patih Narotama. Narotama memandang dengan penuh perhatian sambil menahan langkahnya. Seorang dara yang masih muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya, wajahnya cantik jelita, kulitnya putih kuning, terutama mata dan mulutnya amat indah menggairahkan.

Akan tetapi pandang matanya mencorong dan mengandung kegalakan dan dari sikapnya yang berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang, kedua kaki agak dibentangkan, kepala ditegakkan dan dada dibusungkan, pandang matanya penuh tantangan dan keberanian maka Ki Patih Narotama menarik kesimpulan bahwa dara ini berwatak liar dan bebas. Dan pakaiannya yang mewah itu diapun maklum bahwa dara itu bukanlah gadis dusun biasa. Pakaiannya menunjukkan bahwa ia tentu seorang dara bangsawan, maka tentu saja hatinya merasa heran sekali.

"Nimas, andika siapakah dan mengapa andika menghadang perjalananku?" Narotama bertanya dengan ramah dan lembut.

Dara itu memandang penuh selidik lalu berkata. "Aku mendengar desas-desus penduduk dusun Pakis bahwa engkau adalah Ki Patih Narotama dari Kerajaan Kahuripan. Benarkah itu? Engkau Ki Patih Narotama?"

Narotama melakukan perjalanan menyamar hanya agar dia dapat melakukan pemeriksaan ke dusun-dusun dengan leluasa. Akan tetapi dia tidak merasa perlu untuk berbohong kepada dara yang tidak dikenalnya ini. Dia tersenyum dan mengangguk. Wajah tampan dan gagah Narotama tampak semakin menarik ketika tersenyum.

"Benar sekali, aku memang Ki Patih Narotama dari Kerajaan Kahuripan. Lalu siapakah andika dan apa maksud andika menghadang perjalananku?"

"Engkau tidak perlu tahu siapa aku akan tetapi aku mencarimu untuk membunuhmu, Ki Patih Narotama!" kata dara itu yang bukan lain adalah Puspa Dewi.

Seperti kita ketahui, dara ini gagal memenuhi perintah Nyi Dewi Durgakumala untuk merampas keris pusaka Sang Megatantra dari tangan Nurseta, bahkan ia mendengar bahwa pusaka itu telah dicuri oleh Pangeran Hendratama dan ia menyadari bahwa perintah merampas pusaka itu adalah tidak benar sehingga ia sudah berjanji kepada Nurseta untuk membatalkan niatnya memenuhi perintah gurunya untuk merampas Sang Megatantra. Akan tetapi untuk membalas budi baik gurunya yang juga menjadi ibu angkatnya itu masih ada tugas yang kiranya akan dapat ia penuhi dengan hasil baik, yaitu membunuh Ki Patih Narotama untuk membalas dendam sakit hati gurunya.

Mendengar ucapan itu, hampir saja Ki Patih Narotama tertawa terbahak. Memang bagi dia terdengar lucu sekali kalau dara yang masih muda remaja ini mengatakan hendak membunuhnya! Akan tetapi dia menahan diri dan tidak tertawa, hanya tersenyum dan berkata dengan sikap tenang.

"Nimas, engkau berhak untuk tidak memperkenalkan nama padaku, juga engkau boleh saja mengatakan hendak membunuh aku. Akan tetapi sungguh tidak adil kalau engkau tidak memberitahu kepadaku mengapa engkau hendak membunuhku. Bagaimana kalau sampai engkau membunuhku dan aku mati tanpa mengetahui apa sebabnya aku dibunuh orang? Nyawaku tentu akan menjadi setan penasaran dan akan selalu mengejarmu! Karena itu, jelaskan dulu mengapa engkau hendak membunuhku sehingga aku mengetahui apakah memang sudah adil dan benar kalau engkau membunuhku."

Mendengar ucapan ini, Puspa Dewi mengerutkan alisnya. Benar juga, pikirnya, tidak adil kalau Ki Patih Narotama tidak tahu mengapa ia akan membunuhnya. Juga ia merasa ngeri mendengar ancaman bahwa kalau tidak diberitahu sebabnya, kalau mati Ki Patih Narotama akan menjadi setan penasaran dan akan selalu mengejar-ngejarnya! Ih, ngeri juga membayangkan dikejar-kejar hantu penasaran!

"Aku harus membunuhmu untuk mentaati perintah guruku kepadamu!"

"Hemm, siapa gurumu itu? Dan mengapa dia mendendam kepadaku?"

"Guruku adalah Nyi Dewi Durgakumala."

"Ah, datuk wanita dari Wura-wuri itu? Akan tetapi kenapa ia mendendam kepadaku?"

"Ki Patih Narotama, tidak perlu engkau pura-pura tanya dan hendak menyembunyikan perbuatanmu yang jahat kepadanya!" Puspa Dewi membentak.

"Lho! Perbuatan jahat kepada Nyi Dewi Durgakumala? Apa maksudmu, nimas?"

"Dulu, engkau pernah membunuh anak yang berada dalam gendongannya! Apa itu bukan perbuatan yang amat jahat dan karenanya engkau pantas dihukum mati?"

Narotama menggeleng kepalanya "Ah, nimas, agaknya engkau belum mengenal betul siapa itu Nyi Dewi Durgakumala."

"Aku belum mengenal siapa ia? hemm, selama lima tahun lebih aku menjadi muridnya, menerima pendidikannya dan menerima budinya. Ia seorang yang bagiku amat baik dan aku harus membalas budinya, la menceritakan kepadaku tentang kejahatanmu, dan mengutus aku untuk membunuhmu! Bersiaplah engkau, Ki Patih Narotama!"

Setelah berkata demikian, Puspa Dewi mengerahkan tenaga saktinya lalu ia mengeluarkan Pekik Guruh Bairawa. Jerit melengking keluar dari mulutnya, mengandung getaran yang dahsyat. Orang yang hanya memiliki kesaktian tanggung tanggung saja dapat roboh dan mungkin tewas menghadapi gelombang suara yang mengandung getaran yang dapat mengguncang isi dada dan kepala ini. Namun Ki Patih Narotama tetap berdiri tenang sambil tersenyum, sama sekali tidak terpengaruh oleh jerit itu laksana angin keras menyerang batu karang dan lewat begitu saja tanpa dapat menggoyang batu karang itu sedikitpun.

Melihat betapa ajinya yang biasanya dapat diandalkan itu sama sekali tidak mempengaruhi Ki Patih Narotama, seolah-olah jeritan itu tidak pernah ada Puspa Dewi menjadi terkejut akan tetapi juga penasaran dan marah. Dalam anggapannya, Ki Patih Narotama adalah seorang yang amat jahat dan sudah sepatutnya dihukum mati. la lalu mulai menyerang dengan kedua tangannya sambil membentak nyaring.

"Aji Guntur Geni!" Kedua lengannya dipentang seperti burung terbang dara tiba-tiba kedua tangan itu bersatu kedepan dan mendorong ke arah dada Narotama.

Ki Patih Narotama mengenal aji pukulan dahsyat, maka dia cepat menghindar dengan loncatan ke samping sehingga pukulan yang mengandung hawa panas seperti api itu lewat di sampingi tubuhnya. Gadis itu menyerang lagi, lebih ganas daripada tadi, bahkan kini Puspa Dewi menggunakan kuku-kuku jarinya yang mengandung racun untuk menyerang sehingga serangannya menjadi semakin ganas. Wisakenaka (Kuku Beracun) merupakan ilmu sesat yang amat berbahaya, sedikit saja kulit lawan tergurat kuku dan terluka, sudah cukup untuk membunuh lawan.

Ki Patih Narotama adalah seorang sakti mandraguna yang sudah banyak pengalaman. Diam-diam dia merasa iba kepada dara yang masih amat muda ini. semuda itu sudah memiliki ilmu-ilmu yang dahsyat, hanya sayang ilmu-ilmu itu sifatnya sesat dan keji. Padahal, kalau melihat sikap gadis itu, walaupun liar dan ganas, namun gadis ini merasa bahwa tindakannya benar karena ia menganggap dia seorang yang amat jahat, yang telah membunuh anak dalam gendongan Nyi Dewi Durgakumala!

Gadis ini tidak memiliki dasar yang jahat, hanya karena menjadi murid seorang datuk wanita yang sesat maka selain mewarasi ilmu-ilmu sesat, juga mewarisi watak yang ganas, la tidak sadar bahwa ia telah diperalat oleh Nyi Dewi Durgakumala. Menghadapi serangan yang nekat dan ganas itu, dia hanya mempertahankan diri dengan elakan-elakan dan terkadang dia menangkis dari samping yang membuat tubuh Puspa Dewi terhuyung.

Puspa Dewi juga bukan seorang bodoh. Setelah menyerang bertubi-tubi dan terkadang ia sampai terhuyung ketika ditangkis oleh Ki Patih Narotama, ia pun maklum bahwa lawannya adalah seorang yang amal sakti. Pantas saja gurunya tidak pernah dapat mengalahkannya. Akan tetapi ia seorang yang keras hati dan keras kepala, tidak menyadari bahwa sejak tadi Ki Patih Narotama telah banyak mengalah kepadanya.

Karena semua serangannya gagal dan kedua lengannya terasa nyeri setelah beberapa kali bertemu dengan tangkisan tangan Ki Patih Narotama, Puspa Dewi menjadi semakin marah. "Sambut pusakaku ini!" bentaknya dan di tangannya sudah tampak pedang hitam yang amat ampuh itu. la sudah menerjang Ki Patih Narotama dengan pedangnya yang ia gerakkan amat cepat sehingga pedangnya berubah menjadi gulungan sinar hitam yang menyambar nyambar.

Ki Patih Narotama merasa sudah cukup dia bersabar dan mengalah. Gadis ini perlu diingatkan. Kalau sampai ia dipengaruhi Nyi Dewi Durgakumala, ia dapat melakukan banyak kejahatan yang amat berbahaya tanpa disadari bahwa ia berbuat jahat. Ketika pedang itu menusuk dengan luncuran cepat seperti anak panah ke arah dadanya, dia miringkan tubuh dan ketika sinar pedang hitam itu meluncur lewat samping tubuhnya, dia cepat menggerakkan tangannya dan menangkap pedang itu!

Puspa Dewi terkejut dan hampir tidak percaya ada orang mampu menangkap pusaka Candrasa Langking yang beracun dan amat ampuh itu dengan tangan telanjang. Ia berusaha menarik pedangnya, akan tetapi sia-sia. Pedang itu seolah telah melekat dengan tangan Ki Patih Narotama. Ia membetot lagi sambil mengerahkan tenaganya dan tiba-tiba Ki Patih Narotama melepaskan pegangannya pada pedang itu. Tak dapat dihindarkan lagi tubuh Puspa Dewi terjengkang dan terbanting roboh telentang di atas tanah! Sebelum gadis itu bangkit, Ki Patih Narotama cepat berkata dengan suara yang mengandung wibawa kuat sekali karena dia mengerahkan tenaga batinnya.

"Nimas, aku tidak mengenal siapa andika, akan tetapi sekarang aku mengerti bahwa engkau telah dihasut oleh Nyi Dewi Durgakumala yang telah mendidikmu sebagai murid sehingga engkau tidak menyadari bahwa engkau telah terjatuh ke dalam tangan seorang iblis betina yang amat jahat dan kejam. Ketahuilah bahwa Nyi Dewi Durgakumala adalah seorang datuk wanita sesat dan sesuai dengan namanya, ia adalah seorang penyembah Bathari Durga, ratu para iblis itu. Ia memang memusuhi aku, akan tetapi bukan karena aku membunuh anaknya. Sama sekali bohong ceritanya itu. Ia tidak pernah mempunyai anak akan tetapi entah sudah berapa banyak anak laki-laki yang menjadi korban kekejiannya. Ia pernah bertemu denganku dan membujuk agar aku mau menerimanya sebagai isteri. Sungguh tidak tahu malu. Sungguhpun ia masih tampak cantik, akan tetapi sesungguhnya ia jauh lebih tua dariku. Aku menolak dan ia marah lalu ingin membunuhku. Akan tetapi beberapa kali usahanya itu gagal dan ia selalu kalah olehku. Ini yang membuat ia mendendam sakit hati dan sekarang membujukmu untuk membunuh aku. Mustahil engkau sebagai muridnya tidak tahu akan watak dan perbuatannya yang jahat dan keji tidak tahu malu itu!"

Puspa Dewi sudah bangkit dan berdiri mematung dengan pedang masih di tangan. Ia mendengarkan semua ucapan Narotama dan hatinya mulai meragu dan bimbang. Memang ia tahu bahwa gurunya memiliki watak yang memalukan, suka menculik dan mempermainkan pemuda-pemuda remaja.

Beberapa kali perbuatan itu ia gagalkan dan ia sudah menegur sifat gurunya yang memalukan itu. Juga ketika mau diambil permaisuri oleh Adipati Bhismaprabhawa dari Kerajaan Wura wuri, gurunya itu menuntut agar Gendari selir sang adipati, dibunuh. Untung Ia masih dapat mencegahnya sehingga Gendari tidak jadi dihukum mati, melainkan dipulangkan kekampung halamannya.

Melihat betapa tampan dan gagah Ki Patih Narotama, maka cerita Ki Patih ini lebih patut dipercaya daripada cerita gurunya. Akan tetapi ia sudah berhutang banyak budi kepada Nyi Dewi Durgakumala dan ia harus membalas budi itu Gurunya hanya memberi dua tugas, yang pertama merampas keris pusaka Sang Megatantra dari tangan Nurseta dan yang kedua membunuh Ki Patih Narotama.

Tugas pertama terpaksa ia batalkan apakah tugas kedua inipun harus gagal. Ia menjadi ragu dan serba bingung "Akan tetapi, bukankah seorang murid harus tahu membalas budi gurunya? Bukankah seorang murid harus setia dan berbakti kepada gurunya?" Pertanyaan ini sebetulnya ia lontarkan untuk dirinya sendiri, akan tetapi terucapkan sehingga seolah-olah ia bertanya kepada Ki Patih Narotama.

"Di atas guru, bahkan di atas orang tua, masih ada yang lebih patut kita taati, yaitu Sang Hyang Widhi Wasa. Yang Maha Kuasa itu juga Maha Besar dan Maha Suci, dan menaatinya merupakan kewajiban utama di atas segala macam kewajiban bagi manusia. Menaati Yang Maha Benar berarti harus menjunjung tinggi dan melaksanakan kebenaran dan keadilan, yang berarti melaksanakan kebaikan. Karena itu, hanya tugas yang baik dan benar saja yang harus kita laksanakan, karena itu berarti menaati perintah Yang Maha Kuasa. Biarpun yang memberi tugas kepada kita itu guru atau orang tua sekalipun, kalau tugas itu berlawanan dengan kebenaran dan kebaikan, berarti melawan perintah Yang Maha Benar. Dan pelaksanaan perintah yang tidak benar adalah kejahatan! Nah, kalau engkau sudah memahami ini semua akan tetapi hendak melaksanakan perintah Nyi Dewi Durgakumala yang tidak baik dan jahat itu, lakukanlah. Ini dadaku dan aku tidak akan mengelak atau menangkis!"

Ki Patih Narotama membusungkan dadanya, kedua tangannya tergantung di kanan kiri tubuhnya, seolah dia sudah menyerah untuk dibunuh! Puspa Dewi terbelalak memandang kearah wajah Narotama. Pandang mata mereka bertemu. Pandang mata Narotama tenang penuh pengertian, sebaliknya pandang mata Puspa Dewi gelisah dan bingung. Ia melihat betapa mudahnya melaksanakan perintah kedua gurunya.

Sekali tusuk ia akan dapat membunuh Ki Patih Narotama seperti yang dikehendaki gurunya. Tangan kanannya bergerak, pedang itu sudah diangkat, siap ditusukkan ke dada ki patih. Seluruh urat syarafnya menegang, dan tangan yang memegang pedang hitam itu gemetar. Kemudian, ia melangkah maju sehingga tiba dekat dan getaran di tangannya makin menjadi-jadi.

Getaran itu menjalar ke seluruh tubuhnya dan tak lama kemudian seluruh tubuhnya gemetar. Ia memaksa tangannya hendak menusuk, akan tetapi tidak jadi. Ia menggeleng kepala keras-keras dan tubuhnya terguncang, lalu kedua kakinya lemas dan ia terkulai dan jatuh berlutut melepaskan pedang hitam ke atas tanah dan Puspa Dewi menangis!

Ki Patih Narotama tersenyum. Dia telah memperoleh kemenangan besar, menang tanpa menalukkan dengan kekerasan. Tentu saja dia tidak ingin membunuh diri dengan nekat ketika mengucapkan kalimat terakhir untuk menerima serangan pedang hitam di tangan gadis itu tanpa menangkis atau mengelak.

Memang, dia tidak akan menangkis atau mengelak, dan merasa yakin bahwa kekebalannya akan mampu menahan bacokan atau tusukan pedang, dan seandainya dia terkena hawa beracun pedang itu, iapun tidak khawatir karena dia membawa tongkat pusakanya, Tunggul Manik, yang dapat menyembuhkan segala keracunan badan. Dia terlindung oleh kekebalan kulitnya dan keampuhan pusaka Tunggul Manik.

Kini melihat gadis itu duduk mendeprok di atas tanah sambil menangis, dia merasa semakin kasihan. Anak ini membutuhkan bimbingan, pikirnya. Pada dasarnya, anak ini berjiwa bersih dan dengan mudah dapat melihat kebenaran.

"Nimas, sudahlah jangan menangis. Engkau sudah mampu mengalahkan nafsu daya rendah di dalam dirimu sendiri, hal itu semestinya disambut tawa gembira dan bersyukur kepada Sang Hyang Widhi, bukan dengan menangis."

"Tapi..... tapi..... aku tak dapat melaksanakan perintah guru, aku..... aku menjadi murid yang tidak berbakti.... huhu-huuu!" Puspa Dewi masih menangis.

"Nimas yang baik, dengarlah. Berbakti kepada guru atau orang tua ada dua macam. Pertama, melaksanakan segala perintah guru yang berlandaskan kebenaran dan kebaikan, dengan taat dan dengan taruhan nyawa sekalipun. Ke dua, mencegah guru melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran dan keadilan, membujuknya agar ia menyadari kesalahannya dan kembali ke jalan benar. Itulah yang dimaksudkan dengan kebaktian bukan menaati segala perintahnya dengan membuta sehingga dapat menyeret kita ke dalam kejahatan."

Puspa Dewi menghentikan tangisnya, mengusap air matanya dan timbul kagum dan hormat dalam hatinya yang keras terhadap pria itu. la sudah dapat melihat kenyataan bahwa laki-laki yang dianggap jahat oleh gurunya itu sesungguhnya merupakan seorang yang gagah perkasa, sakti mandraguna dan bijaksana. Kalau tidak bijaksana, tentu ia yang tadinya ingin membunuh orang itu, kini sudah menggeletak mati atau setidaknya terluka. Akan tetapi Ki Patih Narotama sama sekali tidak melakukan itu, dia mengalahkannya tanpa melukainya sama sekali! Dan semua ucapannya itu membuka hati dan pikirannya dan membuat ia dapat melihat dengan jelas siapa yang benar dan siapa yang salah. Akan tetapi ia menjadi bingung sekali. Apakah mungkin ia harus menentang gurunya, berarti menentang pula Adipati Wura-wuri yang menugaskannya untuk menentang Kahuripan?

"Aduh, gusti patih....." keluhnya, "lalu apa yang harus saya lakukan? Hidup ini begini membingungkan, semuanya serba berlawanan. Berilah petunjuk, gusti patih, dan saya..... Puspa Dewi akan berterima kasih sekali."

Senyum di bibir Narotama semakin berseri. "Baiklah, Nimas Puspa Dewi. Betapapun sukar pelaksanaannya, akan tetapi ada baiknya kalau pelajaran ini dapat tertanam dalam batinmu untuk mengemudikan jalan hidupmu. Segala macam kebajikan itu tidak ada gunanya kalau hanya menjadi hapalan, hanya dipikir dan diucapkan. Yang penting itu prilakunya karena prilaku merupakan bukti, merupakan persembahan, merupakan ibadah. Usahakanlah untuk melangkah dalam kehidupan melalui jalan kebenaran dengan pedoman seperti berikut :

Pertama : Dharma atau prilaku kebajikan, semua pikiran, kata dan perbuatan yang didasari kasih sayang kepada sesama manusia, bahkan sesama mahluk hidup di dunia ini.

Ke dua : Satya, yaitu kesetiaan yang didasari keadilan dan kebenaran, siap membela kebenaran dan keadilan dengan setia.

Ke tiga : Tapa, berarti dapat mengekang dan mengalahkan nafsu daya rendah yang berada dalam diri sendiri, mengembalikan kedudukan segala macam nafsu itu menjadi hamba kita, bukan sebagai majikan kita.

Ke empat: Dama, yaitu sikap menghormat, sopan santun lahir batin terhadap sesama manusia, rendah hati.

Ke lima : Wimatsari-twa atau tidak menaruh iri hati terhadap keberhasilan orang lain, ikut merasa bahagia melihat orang lain berbahagia dan ikut prihatin melihat orang lain prihatin.

Ke enam : Rih atau mengenal rasa malu, malu terhadap Yang Maha Kuasa, malu terhadap orang lain dan terhadap diri sendiri atas kesesatannya.

Ke tujuh : Titiksa, yaitu dapat menguasai nafsu amarah.

Ke delapan : Hanasuya, yaitu tidak membalas dendam kepada orang lain dengan cara menyakitinya.

Ke sembilan : Yadnya, artinya tekun memuja dan mengagungkan Yang Maha Agung.

Ke sepuluh : Dana, yaitu suka mengalah, berkorban dan beramal.

Ke sebelas : Drati, berarti selalu tenang, membersihkan isi hati dan pikiran.

Ke dua belas : Ksama, yaitu memaafkan kesalahan orang lain, teguh dan tidak berputus asa.


Demikianlah, Nimas Puspa Dewi, sifat manusia yang berbudi luhur."

"Aduh, betapa sukarnya! Apakah ada manusia yang mampu melaksanakan semua itu, gusti patih?" Puspa Dewi tertegun karena baru sekarang ia mendengarkan pelajaran seperti itu.

"Ha-ha-ha, pertanyaanmu itu tepat sekali. Memang tidak mudah menemukan seorang manusia yang dapat melaksanakan itu semua. Manusia itu tidak sempurna, bahkan dewa sekalipun tidak sempurna. Yang Maha Sempurna hanya Sang Hyang Widhi Wasa! Akan tetapi setidaknya pengertian itu dapat kita jadikan obor, andaikata kita tidak dapat melaksanakan sepenuhnya, ya sebagian kecil saja sudah cukup baik dan dapat mengurangi dosa kita."

Hati Puspa Dewi menjadi lega. "Terima kasih, gusti patih. Saya akan berusaha untuk mengikuti jalan kebenaran itu. Terima kasih dan maafkan sikap dan perbuatan saya tadi."

"Sebaiknya semua rasa terima kasih dan maaf itu kita panjatkan kehadiran sang Hyang Widhi, bukan kepada sesama manusia, Puspa Dewi."

"Selamat tinggal, gusti patih dan sekali lagi terima kasih."

Entah apa yang mendorongnya, baru pertama kali dalam hidupnya, Puspa Dewi memberi hormat dengan sembah kepada Ki Patih Narotama. Bahkan kepada dipati Wura-wuri saja ia tidak pernah memberi hormat dengan sembah.

"Selamat berpisah, Puspa Dewi, mudah-mudahan kita dapat bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik." kata Ki Patih Narotama.

Puspa Dewi lalu melompat dan mempergunakan kesaktiannya, berlari cepat bagaikan seekor kijang muda meninggalkan tempat itu. Ki Patih Narotama mengikuti bayangan itu sampai lenyap, lalu menghela napas panjang, tersenyum dan menggeleng kepalanya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa Puspa Dewi adalah Sekar Kedaton atau puteri Adipati Wura-wuri satu di antara kerajaan-kerajaan yang memusuhi Kahuripan.

Puspa Dewi memasuki kota raja Kahuripan. Selama beberapa hari dalam perjalanan ini, hati dan pikirannya mengalami guncangan hebat. Peristiwa berturut-turut yang dialaminya, pertama kali bertemu dengan Nurseta dan tugas pertamanya merampas keris pusaka Sang Megatantra dari tangan Nurseta gagal lalu disusul gagalnya melaksanakan tugas kedua, yaitu membunuh Ki Patih Narotama, mengguncang hatinya dan membuatnya menjadi bingung.

Namun perlahan-lahan ia dapat mencerna nasihat Patih Narotama dan ia dapat menghibur hati sendiri. Gurunya atau ibu angkatnya Nyi Dewi Durgakumala memang bersalah. Kedua macam tugas yang diperintahkannya itu memang mengandung maksud yang tidak sehat dan tidak benar. Pertama, ia disuruh merampas keris pusaka Megatantra yang sama sekali bukan hak milik gurunya, melainkan hak milik Sang Prabu Erlangga dan ini berarti bahwa tugas itu menyuruh ia menjadi perampok atau pencuri! Kemudian tugas kedua, ia disuruh membunuh Ki Patih Narotama yang sama sekali tidak berdosa dan sifat tugas itu adalah pembalasan dendam yang angkara murka. Gurunya itu memang seorang wanita sesat, hal ini ia sendiri sudah mengetahuinya. Apakah ia harus pula menjadi seorang sesat, menjadi seorang penjahat? Tidak, ia bukan keturunan penjahat!

Akan tetapi sebagai seorang yang sudah diangkat menjadi Sekar Kedaton Wura-wuri, ia harus melaksanakan perintah Adipati Wura-wuri dan ia harus membela Kerajaan Wura-wuri. Ia ditugaskan membantu dua orang puteri Parang siluman Laut Kidul yang kini menjadi selir Sang Prabu Erlangga dan selir Ki Patih Narotama, membantu untuk menentang Kerajaan Kahuripan. Ia memilih menghubungi Puteri Mandari saja yang menjadi selir Sang Prabu Erlangga. la tidak berani menghubungi Puteri Lasmini yang menjadi selir Ki Patih Narotama karena ia tidak berani bertemu lagi dengan ki patih yang tentu akan mencurigainya. Pula, biarpun ia membantu usaha Kerajaan Wura-wuri untuk menentang Kerajaan Kahuripan, iapun tidak akan melakukannya dengan membuta. Ia tidak mau melakukan perbuatan yang sifatnya jahat.

Para perajurit penjaga di pintu gerbang kompleks istana Kahuripan mula mula memandang dengan heran, kagum dan juga penuh curiga ketika menghadapi Puspa Dewi yang mengatakan bahwa ia ingin menghadap Sang Puteri Mandari. Heran melihat seorang gadis muda begitu berani seorang diri hendak memasuki kompleks istana, kagum melihat kecantikan dara itu, dan curiga melihat Puspa Dewi membawa sebatang pedang tergantung di punggungnya. Akan tetapi ketika mendengar bahwa gadis itu hendak menghadap Sang Puteri Mandari, mereka tidak berani menolak.

Puteri Mandari memang telah mereka kenal sebagai selir terkasih sang prabu dan selir itu adalah seorang yang sakti mandraguna, juga seorang yang galak dan tentu akan menghukum berat mereka kalau mereka menghalangi gadis ini. Siapa tahu gadis ini masih ada hubungan dekat dengan sang puteri. Maka sikap mereka segera berubah setelah Puspa Dewi menyebut nama Puteri Mandari. Tadinya, di antara mereka ada yang cengar cengir seperti biasa sekumpulan orang lelaki kalau melihat gadis cantik jelita, apalagi gadis itu datang seorang diri. Kini mereka bersikap hormat, tidak berani main-main.

"Silakan andika ikut petunjuk jalan menemui pengawal istana keputren," kata komandan jaga.

Puspa Dewi lalu diantar dua orang perajurit menuju ke istana bagian keputren yang terletak di sebelah kiri bangunan induk istana. Setelah tiba dipintu bagian keputren, dua orang penjaga dari depan itu menyerahkan Puspa Dewi kepada empat orang perajurit pengawal yang berjaga di situ. Kembali di sini Puspa Dewi harus memperkenalkan diri dan menjelaskan keperluan kunjungannya. Seperti juga para penjaga di depan tadi, ketika para perajurit pengawal mendengar bahwa Puspa Dewi ingin menghadap Puteri Mandari, merekapun bersikap hormat dan tidak berani melarang. Akan tetapi ternyata tidak terjadi seperti tadi.

Puspa Dewi tidak diantar oleh perajurit yang berjaga di pintu gapura itu ke dalam. Seorang perajurit memberi isyarat ke dalam dengan memukul perlahan kentungan kecil. Tak lama kemudian muncullah dua orang pengawal wanita, berlarian dari sebelah dalam. Mereka berdua adalah wanita wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bertubuh tegap dan berpakaian ringkas, di pinggang mereka tergantung sebatang pedang.

Keduanya mendapat laporan dari perajurit pria yang berjaga di pintu gapura keputren tentang Puspa Dewi mereka mengamati Puspa Dewi penuh perhatian. Seperti juga yang lain, disebutnya nama Puteri Mandari yang hendak dikunjungi Puspa Dewi membuat dua orang pengawal wanita ini bersikap hormat. Mereka semua takut belaka kepada sang puteri dan hal ini mulai diketahui Puspa Dewi melalui sikap mereka itu.

Ia menduga bahwa keputren itu tentu memiliki pasukan pengawal wanita, sedangkan pasukan pengawal pria hanya menjaga di luar gedung, dibagi menjadi dua, yaitu pengawal luar dan pengawal dalam. Ketika seorang di antara pengawal wanita yang berkulit hitam manis melihat pedang yang menempel di punggung Puspa Dewi, ia lalu berkata dengan nada hormat.

"Maafkan kami, mas ayu. Di sini terdapat peraturan bahwa tamu yang datang berkunjung tidak diperkenankan membawa senjata. Oleh karena itu, harap andika menitipkan dulu pedang andika itu kepada kami. Nanti kalau andika hendak meninggalkan istana, tentu akan kami serahkan kembali."

Kalau pengawal wanita itu bicaranya kasar, tentu Puspa Dewi marah mendengar pedangnya diminta. Akan tetapi karena bicaranya sopan, maka ia tidak marah, hanya mengerutkan alisnya dan berkata sambil tersenyum mengejek.

"Aku mau menitipkan pedangku kepada kalian, akan tetapi apa hendak dikata, pusakaku Candrasa Langking ini tidak mau berpisah dariku."

"Apa maksud andika, mas ayu?" tanya pengawal wanita hitam manis itu dan kawannya juga memandang heran.

Puspa Dewi tersenyum dan ia mengambil pedang hitamnya, melepaskan talinya yang tergantung di punggung lalu menyerahkan pedang bersama sarungnya itu kepada pengawal wanita hitam manis itu.

"Kalau mau tahu, nah, buktikan sendiri dan terimalah pusakaku ini."

Dengan ragu pengawal itu menerima pedang. Akan tetapi begitu pedang dipegangnya, tiba-tiba saja pedang itu meluncur lepas dari tangannya seperti ada yang merenggutkan dan pedang ini melayang ke arah Puspa Dewi yang menyambutnya dengan tangan kiri.

"Nah, andika telah membuktikan sendiri!" kata Puspa Dewi yang tadi mempergunakan kekuatan sihirnya untuk menerbangkan pedangnya kembali kepadanya. Tentu saja ia tidak akan melakukannya kalau berhadapan dengan seorang yang sakti.

cerita silat online karya kho ping hoo

Pengawal wanita hitam manis itu terkejut sekali dan menjadi bingung, juga kawannya terbelalak heran dan kaget. Empat orang perajurit pengawal pria yang berjaga di luar gapura juga menyaksikan peristiwa itu dan merekapun terheran-heran!

"Ah, bagaimana baiknya ini?" kata pengawal wanita ke dua kepada kawannya.

Si hitam manis berkata, "Cepat panggil Mbakayu Kanthi ke sini, biar ia yang menangani urusan ini." Kawannya mengangguk lalu berlari masuk dan si hitam manis berkata kepada Puspa Dewi. "Harap mas ayu suka menanti sebentar, kami panggilkan pelayan pribadi Gusti Puteri Mandari untuk mengantar andika menghadap Gusti Puteri."

Puspa Dewi mengangguk dan menanti dengan sikap santai, diam-diam merasa geli melihat pengawal wanita dan pengawal pria itu melirik kepadanya dengan pandang mata jerih. Tak lama kemudian pengawal wanita itu datang bersama seorang wanita dan Puspa Dewi segera memandang wanita itu dengan penuh perhatian. Seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, berpakaian sebagai emban pelayan, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya burik sehingga tampak jelek.

Wanita ini adalah Kanthi dan ia bukanlah wanita lemah. Kanthi dan Sarti yang tinggi besar sengaja didatangkan oleh Mandari dan Lasmini. Sarti menjadi pengawal pribadi Lasmini dan Kanthi menjadi pengawal pribadi Mandari. Karena kedua orang wanita itu datang dari Kerajaan Parang Siluman, maka tentu saja mereka menjadi orang-orang kepercayaan kedua orang puteri itu. Dan mereka berdua juga merupakan orang-orang yang memiliki kesaktian, walaupun tidak setinggi kesaktian kedua orang puteri itu.

Setelah berhadapan dengan Puspa Dewi, mata Kanthi yang tajam dapat melihat bahwa gadis muda belia itu, memang seorang yang sakti. Hal ini dapat ia lihat pada sinar mata Puspa Dewi yang mencorong penuh kekuatan batin. Ia tadi sudah mendengar cerita pengawal wanita yang memanggilnya tentang pedang milik tamu wanita itu. Ia lalu berkata dengan hormat kepada Puspa Dewi.

"Mas ayu, saya Kanthi, pelayan Gusti Puteri Mandari. Saya mengerti bahwa seseorang memang tidak dapat berpisah dari senjata pusakanya. Akan tetapi kalau andika menghadap Gusti Puteri dengan membawa pedang, tentu menimbulkan prasangka yang tidak baik. Oleh karena itu, marilah andika saya antar menghadap Gusti Puteri dan biarlah saya membawakan pedang andika itu sampai menghadap Gusti Puteri. Kalau nanti Gusti Puteri berkenan, tentu akan saya kembalikan pedang itu kepada andika disana juga."

Mendengar ucapan itu, Puspa Dewi tersenyum dan mengangguk. Ia tidak mau menggunakan sihir lagi karena kalau wanita pelayan ini ternyata mampu menolak sihirnya, maka ia akan mendapat malu.

"Baiklah, engkau boleh membawakan pusakaku ini dan mari kita menghadap Gusti Puteri." katanya sambil menyerahkan pedang hitamnya. Kanthi menerima pedang itu sambil mengerahkan kekuatan batinnya, kalau kalau pedang itu akan "terbang", akan tetapi tidak terjadi sesuatu sehingga hatinya lega. Dua orang pengawal wanita dan empat pengawal pria itupun memandang dengan hati tegang, akan tetapi ternyata tidak terjadi sesuatu dan mereka hanya dapat mengikuti dengan pandang mata mereka ketika Kanthi, sambil membawa pedang, mengantar Puspa Dewi masuk ke dalam.

Mandari yang dikabari bahwa ada seorang gadis bernama Puspa Dewi mohon menghadap padanya, menerima gadis itu di dalam ruangan pribadinya. Dari seorang mata-matanya yang berada di Wura-wuri Puteri Mandari telah mendengar bahwa Adipati Bhismaprabhawa dari Wura-wuri telah mengutus puterinya Sekar Kedaton yang bernama Puspa Dewi untuk membantunya di Kahuripan. Oleh karena itu, mendengar laporan bahwa Puspa Dewi kini telah dating menghadap, ia merasa girang sekali dan cepat menyambutnya sendiri di ruangan pribadinya.

Ketika Kanthi mengiringkan Puspa Dewi memasuki ruangan itu dan menutupkan kembali daun pintunya, Mandari telah duduk menanti diatas kursi, la memandang kagum, la sudah mendengar bahwa Sekar Kedaton Wura-wuri ini adalah murid dan puteri angkat Nyi Dewi Durgakumala yang sakti mandraguna, yang kini menjadi permaisuri Wura-wuri. Ternyata Puspa Dewi seorang gadis remaja yang cantik jelita.

Kanthi berlutut dan menyembah dengan hormat kepada majikannya. Puspa Dewi tetap berdiri dan memandang kepada Puteri Mandari dengan kagum. Tak disangkanya sang puteri itu sedemikian cantiknya dan tampaknya masih muda sekali. Ia mendengar bahwa puteri ini berusia sekitar dua puluh dua tahun lebih, akan tetapi tampaknya bahkan lebih muda dari pada ia yang baru berusia sembilan belas tahun! Melihat pedang di tangan pelayannya, Mandari tersenyum dan berkata, "Kanthi, serahkan pedang itu kepada Gusti Puteri Puspa Dewi."

Kanthi terkejut dan menoleh kepada Puspa Dewi yang masih berdiri.

"Gusti ..... Gusti Puteri .....?" katanya bingung.

"Benar, Kanthi. Ia adalah Gusti Puteri Sekar Kedaton dari Kerajaan Wura-wuri." kata Mandari. "Sekarang haturkan kembali pedang itu lalu keluarlah. Jaga agar jangan ada yang mendengarkan kami bicara di dalam."

"Sendika, gusti." kata Kanthi lalu dengan hormat sekali ia menyerahkan kembali Candrasa Langking kepada Puspa Dewi, menyembah lalu keluar dari ruangan itu lalu menutupkan kembali daun pintunya.

Setelah Kanthi keluar, Mandari lalu menunjuk ke arah sebuah kursi di depannya dan berkata, "Puspa Dewi, duduklah. Di sini kita dapat bicara dengan leluasa."

Puspa Dewi memasang kembali pedangnya di punggung lalu duduk dan berkata, "Gusti Puteri...."

"Ah, Puspa Dewi, kita sama-sama puteri istana. Aku puteri Kerajaan Parang Siluman dan engkau puteri Kerajaan Wurawuri. Jangan bersikap merendah dan jangan menyebut aku Gusti Puteri!"

"Hamba mergerti. Akan tetapi karena hamba datang bukan sebagai Puteri Wura-wuri dan hendak membantu paduka dengan diam-diam dan rahasia, maka sebaiknya kalau mulai saat ini hamba membiasakan diri bersikap sebagai seorang pembantu paduka agar rahasia hamba tidak sampai bocor"

"Baiklah kalau begitu, Puspa Dewi. Tidak kusangka engkau yang semuda ini sudah dapat bersikap cerdik. Aku sudah banyak mendengar tentang dirimu dari pembantuku. Sebagai murid dan juga anak angkat Nyi Dewi Durgakumala yang kini menjadi Permaisuri Wura-wuri, aku yakin engkau memiliki kesaktian yang boleh diandalkan Aku girang sekali engkau bersedia untuk membantuku. Dengan adanya engkau di sini dan Linggajaya di kepatihan membantu Mbakayu Lasmini, kedudukan kita menjadi lebih kuat. Kukira engkau sudah tahu tentang Linggajaya."

Puspa Dewi mengangguk. "Hamba telah mengenalnya dengan baik." katanya tanpa menjelaskan bahwa Linggajaya adalah kakak tirinya. "Sekarang harap paduka jelaskan, bantuan apakah yang dapat hamba lakukan di sini dan tugas apa yang dapat hamba kerjakan?"

"Aku sedang memikirkan hal itu. Aku sudah mendengar bahwa engkau diutus oleh Adipati Wura-wuri untuk membantu kami, akan tetapi tidak kusangka bahwa engkau hari ini akan datang menemui aku. Kedatanganmu yang tiba-tiba ini membuat aku harus berpikir-pikir dulu, tugas apa yang dapat kuserahkan kepadamu. Sementara ini, sebaiknya engkau menyamar sebagai seorang dayang pelayan pribadiku membantu Kanthi yang menjadi pelayan bawaan dan kepercayaanku. Dengan menjadi pelayan pribadiku, kita dapat mudah berhubungan dan tidak seorang pun berani menentangmu. Nanti perlahan-lahan kita atur apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Akan tetapi sebagai pelayan pribadi, tidak baik dan akan mencurigakan sekali kalau engkau membawa pedangmu. Maka, sebaiknya engkau sembunyikan pedangmu itu dalam kamar yang akan disediakan untukmu."

"Baik, akan hamba laksanakan." kata Puspa Dewi.

"Puspa Dewi, engkau harus berhati-hati. Ingat bahwa didalam istana ini banyak orang yang diam-diam menentangku. Terutama sekali terhadap Sang Prabu Erlangga, engkau harus berhati-hati sekali. Beliau adalah seorang yang amat sakti mandraguna, sebaiknya kalau engkau tidak muncul di depannya, kecuali kalau terpaksa dan jangan memperlihatkan sikap mencolok agar beliau tidak menaruh curiga kepadamu."

Demikianlah, mulai hari itu Puspa Dewi tinggal di dalam istana bagian keputren dan menyamar sebagai seorang dayang pelayan pribadi Puteri Mandari. Ia memakai pakaian seperti yang dipakai para dayang istana dan menyimpan pusaka Candrasa Langking dalam kamarnya. Kehadirannya tidak mencolok, tidak mencurigakan karena di istana memang terdapat banyak dayang, gadis-gadis muda yang rata-rata memiliki wajah yang ayu dan manis. Dan seperti yang dikatakan Puteri Mandari, para dayang dan pelayan yang lain bersikap segan dan hormat kepada Puspa Dewi setelah mereka mendengar bahwa dara itu adalah pelayan pribadi Puteri Mandari.

**********************


BERSAMBUNG KE JILID 17