Cerita Silat Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 17 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT ONLINE KARYA KHO PING HOO

KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA JILID 17

Senopati Sindukerta adalah seorang senopati sepuh (tua) yang sudah menjadi senopati sejak muda, di bawah pimpinan mendiang Sang Prabu Teguh Dharmawangsa. Ketika Erlangga menjadi raja menggantikan kedudukan mendiang Teguh Dharmawangsa, dia mengikut-sertakan bekas punggawa ayah mertuanya itu dan di antaranya dia memberi kedudukan yang sama kepada Senopati Sindukerta.

Senopati Sindukerta tinggal dalam sebuah gedung di kota raja bersama keluarganya. Usianya sudah enam puluh tahun lebih, namun dia masih tampak sehat dan gagah. Biarpun sudah tergolong tua, namun Senopati Sindukerta masih disegani karena dia pandai mengatur barisan, pandai memimpin pasukan dalam perang dan sudah banyak jasanya menghadapi musuh-musuh Kerajaan Mataram sejak dia masih muda dulu.

Tidak mengherankan kalau Sang Prabu Erlangga menaruh kepercayaan kepadanya sungguh pun kini tugasnya lebih banyak sebagai penasihat yang memberi petunjuk dan pelajaran kepada para senopati muda.

Malam itu terang bulan. Bulan purnama amat indahnya bertahta di angkasa raya. Bintang-bintang menjadi suram bahkan banyak yang tidak tampak terhalang sinar bulan yang terang keemasan. Bulan purnama bulat penuh dan di langit yang cerah itu tampak lingkaran putih di sekeliling bulan. Bulan ndadari, bulan kalangan, begitu indahnya sehingga menciptakan suasana sejuk gembira di muka bumi.

Banyak orang betah berada di luar rumah karena sinar bulan memandikan segala sesuatu yang berada di permukaan bumi dengan sinarnya yang menenteramkan hati, membuat semua tampak gemilang dan indah, juga aneh penuh rahasia. Segala sesuatu seperti diselimuti cahaya keemasan.

Kanak-kanak memenuhi pelataran rumah dan bermain-main dengan bertembang riuh rendah. Orang-orang tua bercengkerama di luar rumah. Banyak pula yang menggelar tikar di pelataran dan bercakap-cakap membicarakan masa lalu.

Bulan purnama mendatangkan kenangan lama yang indah-indah. Para pemuda juga bergembira ria. Sinar bulan agaknya mengobarkan gairah dan semangat hidup mereka. Terutama sekali mereka yang sedang dimabuk asmara dan mengadakan pertemuan dengan kekasih mereka dibawah sinar bulan purnama. Pada saat seperti itu, kekasih mereka tampak lebih cantik, lebih tampan, lebih menarik dan menggairahkan.

Senopati Sindukerta duduk seorang diri di dalam taman bunganya yang cukup luas. Harum bunga melati yang tumbuh di sekeliling kolam ikan memperindah suasana. Akan tetapi Senopati Sindukerta yang duduk tak jauh dari kolam ikan, di atas bangku panjang, sama sekali tidak tampak gembira. Bahkan berulang kali dia menghela napas panjang dan wajahnya tampak muram, seolah dia menanggung derita kesedihan yang mendalam.

Di atas sebuah meja kecil didepannya terdapat sebuah poci dan sebuah cangkir. Tadi pelayan datang menghidangkan air teh panas manis itu dan dia suruh pelayan itu pergi meninggalkannya dan berpesan agar jangan ada yang datang mengganggunya di dalam taman karena dia ingin bersendirian di situ.

Wajahnya yang masih memperlihatkan bekas ketampanan itu berkerut. Tidak ada kumis dan jenggot di wajahnya. Rambutnya sudah banyak yang putih. Tubuhnya sedang, akan tetapi tampak kurus. Dari keadaan jasmaninya dapat diduga bahwa Senopati Sindukerta banyak mengalami penderitaan batin.

Tentu saja hal ini tidak disangka orang. Dia adalah seorang senopati tua yang berkedudukan tinggi, cukup kaya, terhormat dan tidak kekurangan sesuatu. Bagaimana mungkin seorang punggawa tinggi seperti dia hidup mengalami penderitaan batin. Senopati Sindukerta duduk di situ sejak tadi, sudah lebih dari dua jam dia duduk melamun seorang diri.

Sementara itu bulan purnama naik semakin tinggi. Keadaan di luar gedung senopati itu sudah mulai berkurang keramaiannya. Anak-anak sudah disuruh masuk dan tidur. Hanya tinggal beberapa orang tua saja yang masih tinggal di luar. Malam mulai larut. Senopati Sindukerta mulai merasa kedinginan. Makin tinggi bulan purnama naik, makin larut malam, makin dinginlah hawa udara.

Pada saat dia merasakan kedinginan dan minum air teh dari poci dituangkan ke cangkir dan air teh itu masih hangat, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan dan tahu-tahu di depannya, dalam jarak tiga meter, telah berdiri seorang pemuda.

Senopati Sindukerta terkejut dan meletakkan kembali cangkirnya di atas cawan, lalu menatap wajah pemuda itu dengan alis berkerut. Dia terkejut, akan tetapi sama sekali tidak takut, hanya merasa heran bagaimana ada seorang pemuda yang begitu berani datang mengganggunya, dan kemunculannya begitu tiba-tiba.

"Siapa engkau? Mau apa engkau menggangguku, datang tanpa diundang?" bentak Senopati Sindukerta sambil menatap tajam wajah tampan pemuda yang pakaian dan sikapnya sederhana itu.

Pemuda itu memberi hormat dengan membungkuk, lalu bertanya dengan suara lembut dan hormat.

"Maafkan saya, apakah saya berhadapan dengan Senopati Sindukerta?"

"Hemm, benar aku Senopati Sindukerta. Siapa engkau?"

"Maafkan saya. Nama saya Nurseta dan saya sengaja menghadap paduka untuk menanyakan sesuatu yang teramat penting dan hanya paduka saja yang dapat menjawab pertanyaan saya itu....!

Kerut alis Senopati Sindukerta semakin mendalam. "Sungguh engkau seorang pemuda yang tidak tahu aturan. Bagaimana engkau berani kurang ajar menemui aku malam-malam begini dan memasuki tamanku seperti seorang pencuri?"

"Sudah dua kali saya minta maaf kalau saya mengganggu. Akan tetapi, pertanyaan saya ini penting sekali dan saya harap paduka tidak menolak untuk menjawabnya."

"Sudahlah, coba katakan, apa yang ingin kau ketahui dariku?"

"Saya ingin bertanya, apa yang paduka ketahui tentang orang yang bernama Dharmaguna?"

Senopati Sindukerta terbelalak dan dia bangkit berdiri dengan cepat.

"Keparat" Telunjuknya menuding ke arah Nurseta. "Kiranya engkau ini suruhan si jahanam Dharmaguna? Mampuslah!" Tiba-tiba Senopati Sindukerta menendang meja kecil di depannya dan meja itu meluncur ke arah Nurseta. Poci dan cangkir tadi terlempar jauh.

Nurseta menggerakkan tangannya, menangkap kaki meja yang menyambar ke arahnya dan menaruh meja itu di atas tanah, di sampingnya. Akan tetapi Senopati Sindukerta sudah mencabut kerisnya dan melompat maju, menyerang Nurseta dengan tusukan kerisnya. Agaknya dia marah sekali mendengar disebutnya nama Dharmaguna tadi.

"Wuutt ..... tukk!"

Senopati Sindukerta terkejut setengah mati ketika keris yang dia tusukan itu mengenai dada pemuda itu, dia merasa betapa kerisnya itu bertemu dengan benda yang lunak namun kenyal dan kuat sekali sehingga kerisnya membalik dan tidak dapat menembus. Sebelum hilang rasa kagetnya tahu-tahu keris itu telah direnggut lepas dari pegangannya dan pemuda itu melangkah mundur sambil berkata ejekan lembut

"Harap paduka bersabar dan tenang. Saya sama sekali tidak datang untuk memusuhi paduka, melainkan hanya untuk minta keterangan. Terimalah kembali pusaka paduka ini."

Nurseta menjulurkan tangan dan menyerahkan keris itu kepada pemiliknya. Senopati Sindukerta terkejut bukan main. keris pusakanya itu bukan keris biasa, melainkan pusaka ampuh sekali. Akan tetapi pemuda itu memiliki kekebalan yang luar biasa, membuktikan bahwa dia seorang yang sakti mandraguna. Maka mendengar ucapan Nurseta, dia menerima keris, mundur lalu duduk kembali ke atas bangku, mengawasi pemuda itu penuh perhatian.

"Orang muda. sebetulnya apakah yang kau kehendaki? Siapa namamu tadi?"

"Nama saya Nurseta dan saya hanya ingin mengetahui mengapa paduka memusuhi Dharmaguna, mengapa paduka membencinya dan di mana adanya dia sekarang?"

Senopati Sindukerta memandang heran, "jadi engkau bukan suruhan dia? Engkau juga menanyakan di mana dia? Ah, kalau saja aku tahu di mana dia, si keparat itu!"

"Harap paduka suka menceritakan kepada saya mengapa paduka begitu membencinya."

"Engkau mau tahu mengapa aku membencinya? Huh, dia sudah merampas kebahagiaan kami, sudah dua puluh dua tahun ini dia membuat aku selalu merasa berduka. Bawalah meja itu dekat sini dan duduklah di atas meja kalau engkau ingin mendengarkan persoalannya."

Nurseta menurut. Dia mengambil meja, membawanya ke depan Senopati Sindukerta lalu duduk di atas meja kecil yang rendah itu. Senopati Sindukerta lalu bercerita dan Nurseta mendengarkan dengan penuh perhatian. Senopati Sindukerta menghela napas panjang lalu berkata, "Peristiwa itu telah lama terjadi, kurang lebih dua puluh tahun yang lalu, akan tetapi rasanya baru kemarin saja terjadinya." Kemudian senopati tua itu lalu bercerita.

Senopati Sindukerta telah menjadi senopati pada waktu Teguh Dharmawangsa menjadi raja. Senopati yang setia ini hanya mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Endang Sawitri. Pada waktu itu Endang Sawitri berusia delapan belas tahun, la terkenal sebagai seorang dara yang selain cantik jelita, juga baik budi bahasanya dan berbakti kepada ayah ibunya.

Tidak mengherankan kalau Senopati Sindukerta dan isterinya merasa amat sayang kepada Endang Sawitri. Tentu saja, seperti para orang tua lainnya Senopati Sindukerta dan isterinya mengharapkan agar puteri mereka itu mendapatkan suami yang tinggi kedudukannya, kaya raya, dan baik budi serta bijaksana.

Dengan demikian maka selain puteri mereka itu akan hidup bahagia juga mereka sebagai orang tuanya akan merasa senang dan terangkat derajat dan martabatnya. Akan tetapi, dalam kehidupan ini, lebih sering harapan manusia tidak terpenuhi, kenyataan yang terjadi sering berlawanan dengan apa yang diinginkan, apa yang diharapkan, sehingga banyak kekecewaan dan duka melanda kehidupan manusia.

Pada suatu pagi, seorang tamu yang di hormati datang berkunjung ke rumah Senopati Sindukerta. Sang senopati dan isterinya menyambut kedatangan tamu ini dengan ramah dan hormat karena tamu itu adalah seorang pangeran yang terkenal gagah perkasa. Dia adalah Pangeran Hendratama yang pada waktu itu berusia sekitar tiga puluh tahun. Seorang pria yang tampan dan gagah, apalagi karena pakaiannya amat indah, mewah dan mentereng. Sebagai seorang pangeran, putera Sang Prabu Teguh Dharmawangsa yang beribu seorang wanita berkasta rendah, Pangeran Hendratama tentu saja mempunyai hubungan baik dengan para pamong-praja dan juga mengenal baik Senopati Sindukerta.

"Selamat datang, Pangeran." sambut Senopati Sindukerta ramah. Isterinya juga menyambut dengan senyum ramah.

"Silakan masuk, kita duduk di ruangan dalam agar lebih leluasa bercakap-cakap."

"Terima kasih, paman senopati dan bibi." kata Pangeran Hendratama dengan sikap halus.

Mereka memasuki ruangan dalam dan dua orang selir sang senopati juga menyambut dan memberi hormat kepada pangeran itu, akan tetapi mereka segera mengundurkan diri, tidak berani mengganggu. Pangeran Hendratama hanya duduk berhadapan dengan Ki Sindukerta dan garwa padminya.

"Paman dan bibi, di mana diajeng Endang Sawitri ? Tanpa kehadirannya, rumah paman ini tampak sepi."

"Endang sedang sibuk di dapur, membantu para abdi mempersiapkan makan, Pangeran." kata Nyi Sindukerta.

"Begitukah? Sayang, saya ingin sekali melihatnya, walaupun sebentar saja, bibi."

Nyi Sindukerta lalu memanggil pelayan dan memberi perintah agar pelayan Itu memberitahu kepada puterinya bahwa Pangeran Hendratama datang berkunjung.

"Minta kepada Den Ajeng Endang agar keluar dan menemui Gusti Pangeran Hendratama sebentar!" perintahnya.

Pelayan itu menyembah lalu pergi. Tak lama kemudian, selagi Pangeran Hendratama bercakap-cakap dengan Ki Sindukerta dan isterinya, muncullah seorang gadis cantik jelita mengiringkan seorang pelayan wanita yang membawa baki terisi makanan dan minuman yang dihidangkan di atas meja.

Gadis itu berusia sekitar delapan belas tahun, cantik jelita dan manis merak ati, dengan sikap dan gerak-gerik lembut menawan. Itulah Endang Sawitri, puteri tunggal Senopati Sindukerta yang terkenal sebagai seorang di antara para puteri yang cantik di kota raja. Bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar mengharum memancing datangnya banyak kumbang, Endang Sawitri juga membuat banyak pemuda bangsawan maupun bukan bangsawan tergila gila.

Akan tetapi Endang Sawitri tidak menyambut rayuan mereka, bahkan menolak pinangan beberapa orang pemuda bangsawan. Semua ini karena dara jelita itu sudah mempunyai pilihan hati sendiri, yaitu seorang pemuda bernama Dharmaguna. Akan tetapi Senopati Sindukerta marah-marah dan melarang puterinya melanjutkan pergaulannya dengan pemuda itu. Bukan karena pemuda pilihan puteri mereka itu kurang tampan. Sebaliknya, Dharmaguna adalah seorang pemuda yang tampan dan lemah lembut, baik budi pekertinya.

Akan tetapi dia hanya putera seorang pendeta yang miskin, sudah tidak beribu lagi karena ibunya sudah meninggal dunia. Dharmaguna hanya tinggal di padepokan ayahnya, sebuah bangunan yang reyot. Bagaimana mungkin sang senopati dan isterinya mau menyerahkan puteri mereka yang merupakan anak tunggal kepada seorang pemuda miskin, tidak memiliki kedudukan apapun?

Mereka mengidamkan seorang mantu yang berpangkat tinggi dan kaya raya! Ketika Endang Sawitri muncul. Pangeran Hendratama segera bangkit dari tempat duduknya dan tersenyum memandang kepada dara yang telah mengobarkan gairah berahinya itu.

"Diajeng Endang Sawitri .....!" sapanya, tanpa menyembunyikan kekagumannya walaupun ayah ibu gadis itu berada di situ.

"Selamat datang, Gusti Pangeran. Hamba menghaturkan hormat." kata gadis itu dengan sikap hormat.

"Ah, diajeng Endang! Jangan menyebut gusti padaku, sebut saja Kakangmas Pangeran!"

"Hamba..... tidak berani....." kata gadis itu sambil menundukkan mukanya, ngeri melihat pandang mata pangeran itu yang seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat.

"Kenapa tidak berani? Takut? Aku bukan harimau yang perlu ditakuti, diajeng. Mari, duduklah. Aku ingin meyampaikan suatu berita kepada orang tuamu dan engkaupun perlu mendengarkan dan menyaksikan berita yang amat menggembirakan ini."

Endang Sawitri meragu. Ia sudah lama merasa tidak senang dan tidak aman kalau pangeran itu datang berkunjung Biarpun pangeran itu tidak pernah mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan bahkan sangat ramah kepadanya, namun pandang mata pangeran itu slalu seolah menggerayangi seluruh bagian tubuhnya. la menoleh kepada orang tuanya dan Senopati Sindukerta mengangguk kepadanya.

"Duduklah, Endang." kata ayahnya.

Terpaksa gadis itu mengambil tempat duduk di dekat ibunya. Ibu yang menyayang puterinya ini lalu merangkulnya.

"Sebetulnya, kepentingan apakah yang hendak paduka sampaikan kepada kami sekeluarga, pangeran?" Tanya senopati itu dengan hati merasa tidak enak karena sungguh aneh kalau untuk kepentingan kerajaan misalnya, puterinya diharuskan menjadi saksi. "Apakah paduka membawa perintah dari Gusti Prabu?"

"Sesungguhnya memang saya membawa surat dari Ramanda Prabu, paman."

"Tugas apakah yang diperintahkan Sribaginda kepada hamba?"

Pangeran Hendratama tersenyum. "Sebetulnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan tugas pemerintahan, paman. Ini adalah urusan pribadi saya. Sesungguhnya, sudah lama sekali saya menaruh hati, jatuh cinta kepada puteri paman, yaitu Diajeng Endang Sawitri. Akan tetapi saya menunggu sampai ia menjadi dewasa. Setelah sekarang Diajeng Endang Sawitri dewasa, maka saya datang untuk mengajukan pinangan kepada paman dan bibi atas diri Diajeng Sawitri."

"Ahh .....!" Seruan tertahan ini keluar dari mulut Endang Sawitri yang menjadi pucat wajahnya dan gadis itu merangkul dan menyembunyikan mukanya di pundak ibunya.

Di dalam hatinya, tentu saja Senopati Sindukerta tidak rela kalau puterinya dikawin pangeran ini, bukan karena pangeran ini kurang tinggi kedudukannya atau kurang kaya. Sama sekali tidak! Pangeran Hendratama adalah putera Sang Prabu Teguh Dharmawangsa, biarpun bukan putera mahkota namun tentu saja kedudukannya cukup tinggi dan diapun kaya raya. Andaikata sang pangeran itu masih perjaka, atau setidaknya belum mempunyai garwa padmi (isteri sah) tentu dia dan isterinya akan merasa girang mempunyai mantu seorang pangeran!

Akan tetapi kenyataannya, Pangeran Hendratama itu telah mempunyai garwa padmi, bahkan mempunyai banyak garwa ampil (selir), maka tentu saja mereka merasa keberatan. Endang Sawitri tentu hanya dijadikan garwa ampil, itupun entah yang ke berapa! Melihat suami isteri itu saling pandang dengan alis berkerut, tampak tidak gembira menyambut pinangannya, Pangeran Hendratama lalu mengeluarkan segulung surat.

"Paman Senopati Sindukerta, ini saya dititipi surat dari Kanjeng Rama untuk paman!"

Melihat surat dari Sang Prabu Teguh Dharmawangsa, tergopoh-gopoh dengan sembah sang senopati menerimanya lalu membacanya. Isinya merupakan pernyataan mendukung pinangan itu dan sang prabu mengharapkan agar Senopati Sindukerta menerima pinangan itu sehingga menjadi besan sang prabu!

Setelah membaca surat itu, Ki Sindukerta menghela napas. Kalau Sribaginda sendiri turun tangan, tentu tidak mungkin baginya untuk menolak! Kemudian, dia memandang kepada Pangeran Hendratama dan berkata dengan suara sungguh-sungguh.

"Pangeran, kami merasa berbahagia dan mendapat kehormatan besar sekali bahwa paduka bermaksud meminang puteri kami yang bodoh. Akan tetapi ....." Senopati itu tidak berani atau meragu untuk melanjutkan kata-katanya.

"Akan tetapi, apa, paman?" tanya Pangeran Hendratama sambil mengerutkan alisnya yang tebal.

"Akan tetapi, maafkan sebelumnya, pangeran. Kami sebagai ayah ibu Endang Sawitri, terus terang saja merasa kurang marem (puas) kalau puteri kami hanya dijadikan garwa ampil. Kami sejak dahulu berkeinginan agar puteri kami menjadi garwa padmi yang dihormati..... maafkan kami, pangeran. Bukan sekali-kali kami menolak pinangan paduka, hanya..... bukankah paduka telah mempunyai garwa padmi?"

Pangeran Hendratama yang sudah tergila-gila kepada Endang Sawitri tidak menjadi marah, malah tertawa.

"Ha-ha..hal itu jangan dirisaukan, paman. Kala paman dan bibi sudah menerima pinangan saya, hari ini juga saya akan pulangkan garwa padmi saya itu kepada orang tuanya dan Diajeng Endang Sawitri saya angkat menjadi garwa padmi!"

Tentu saja hati Senopati Sindukerta menjadi lega. Bagaimanapun juga, tidak mungkin dia berani menolak pinangan sang pangeran yang sudah diperkuat oleh surat Sang Prabu Teguh Dharmawangsa. Surat itu saja berarti sebuah perintah yang tidak mungkin dapat ia tolak. Kalau puterinya diangkat menjadi garwa padmi pangeran, biarpun di dalam hatinya dia tidak begitu suka kepada pangeran ini ia boleh merasa puas karena dia akan menjadi besan Sang Prabu Teguh Dharmawangsa!

Derajatnya akan naik tinggi sekali Dia menoleh kepada isterinya dan ternyata isterinya juga tersenyum dengan wajah berseri. Sang senopati mengerutkan alisnya ketika dia melihat puterinya menangis tanpa suara di pundak isterinya.

"Bagaimana jawaban andika, paman senopati?" Tiba-tiba senopati itu terkejut mendengar pertanyaan pangeran itu. Dia cepat menoleh dan memandang wajah Pangeran Hendratama.

"Oh, baik, Pangeran. Hamba sekeluarga menerima pinangan paduka dengan gembira!"

Tiba-tiba terdengar isak dan Endang Sawitri lalu melepaskan rangkulannya dari pundak ibunya dan ia berlari masuk ke ruangan dalam meninggalkan ruangan itu. Terdengar isaknya ketika ia melarikan diri itu. Pangeran Hendratama mengerutkan alisnya.

"Mengapa diajeng Endang Sawitri menangis, paman?"

"Oh, maaf, Pangeran. Maklum puteri kami itu masih amat muda, tentu ia merasa malu-malu. Biarlah nanti hamba berdua yang akan membujuknya agar ia tidak takut-takut dan malu-malu lagi."

Pangeran Hendratama tersenyum lega mendengar ucapan senopati itu.

"Baiklah, paman dan bibi. Saya mohon pamit dulu, akan saya urus perceraian saya dengan isteri saya. Besok saya akan mengirim utusan untuk membicarakan tentang perayaan pesta pernikahan saya dengan Diajeng Endang Sawitri."

"Terima kasih, pangeran, dan selamat jalan." kata sang senopati yang mengantar pangeran itu sampai ke pelataran rumahnya.

Sementara itu, Nyi Sindukerta memasuki kamar puterinya dan ia mendapatkan puterinya rebah menelungkup di atas pembaringan dan membenamkan mukanya pada bantal. Nyi Sindukerta lalu duduk di tepi pembaringan dan menyentuh pundak puterinya.

"Nini, sudahlah jangan menangis. Engkau akan dijadikan garwa padmi Pangeran Hendratama, mengapa engkau menangis? Dia itu putera Sang Prabu, kedudukannya tinggi, kaya raya dan diapun berwajah tampan dan gagah. Juga belum tua benar, paling banyak tiga puluh tahun usianya. Engkau beruntung sekali menjadi mantu Sang Prabu, Endang Sawitri. Kenapa menangis?"

"Ibu, aku tidak mau menjadi isterinya, ibu ....." Endang Sawitri bangkit duduk dan merangkul ibunya sambil menangis. Bantal di mana ia membenamkan mukanya tadi sudah basah air mata.

"Akan tetapi kenapa, nini? Engkau hanya anak senopati dan dia itu putera junjungan kita. Siapa tahu kelak dia akan menjadi raja dan engkau menjadi permaisurinya!"

"Ibu, kenapa ibu tidak berpikir secara mendalam dan berpemandangan jauh? Pangeran itu bukan suami yang baik, bukan laki-laki yang bertanggung jawab! Aku akan celaka kelak kalau menjadi isterinya!"

"Hemm, bagaimana engkau dapat berpikir demikian?"

"Ibu, sekarang dia menginginkan aku dan untuk terlaksananya keinginan itu, dia tega untuk menceraikan garwa padminya yang tidak bersalah apa-apa! Apakah ibu berani memastikan bahwa kelak aku tidak akan mengalami nasib yang sama Kalau dia melihat gadis lain yang lebih muda dan lebih cantik lalu meminangnya, apakah diapun tidak akan menceraikan aku dan mengirim aku pulang kepada ayah dan ibu?"

Diserang ucapan seperti itu, Nyi Sindukerta tidak dapat menjawab! Bahkan iapun mulai merasa khawatir kalau-kalau apa yang ditakutkan puterinya itu kelak akan terjadi. Membayangkan betapa puterinya terkasih itu kelak diceraikan begitu saja oleh Pangeran Hendratama yang menjadi suaminya karena pangeran itu tergila-gila kepada wanita lain, ibu ini tak dapat menahan kesedihan hatinya dan iapun lalu merangkul puterinya sambil menangis. Ibu dan anak itu bertangisan. Senopati Sindukerta memasuki kamar itu dan dia marah sekali melihat isteri dan puterinya menangis.

"Heh, apa-apaan ini kalian .berdua bertangisan? Semestinya kalian berdua bergembira! Apa yang perlu disedihkan? Endang Sawitri akan menjadi garwa padmi Pangeran Hendratama, menjadi mantu Gusti Prabu! Adakah keberuntungan yang lebih besar daripada Itu? Kenapa kalian malah menangis?"

Nyi Sindukerta dapat menguasai perasaannya yang hanya merasa khawatir akan terjadinya apa yang tadi dibayangkan puterinya. Ia menghapus air matanya dan membujuk puterinya.

"Sudahlah, nini, hentikan tangismu. Ramamu benar, sebetulnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dan disedihkan."

"Dikhawatirkan? Apa yang perlu dikhawatirkan?" Ki Sindukerta bertanya dengan suara membentak karena penasaran.

"Begini, kakangmas. Endang Sawitri merasa khawatir kalau-kalau kelak setelah menjadi isteri sang pangeran, dia akan dicerai pula karena sang pangeran hendak menikah dengan gadis lain, seperti yang dilakukannya pada garwanya yang sekarang."

"Omong kosong! Tidak mungkin dia berani mempermainkan puteriku. Apalagi sang prabu sendiri yang ikut mengajukan dukungan. Sang prabu sendiri yang meminang. Senopati Sindukerta bukanlah orang yang boleh dipermainkan begitu saja. Tidak, aku berani tanggung bahwa kelak engkau tidak akan diceraikan begitu saja, nini. Akan tetapi tahukah kalian bagaimana akibatnya kalau aku menolak pinangan Pangeran Hendratama yang didukung oleh Sang Prabu sendiri? Aku tentu akan dianggap menghina Sang Prabu dan akan dicopot dari kedudukanku, bahkan mungkin sekali kita sekeluarga akan mendapatkan hukuman berat! Nah, sekarang bergembiralah dan tidak perlu bertangis-tangisan lagi!" Setelah berkata demikian, Senopati Sindukerta meninggalkan kamar puterinya.

Nyi Sindukerta juga segera meninggalkan puterinya untuk menyusul suaminya dan mencairkan kemarahan suaminya setelah ia menasihati puterinya agar tidak membantah lagi dan menerima dengan senang hati perjodohan yang sudah ditentukan ayahnya itu.

Setelah ditinggalkan seorang diri, Endang Sawitri tidak menangis lagi. la harus cepat mengambil keputusan dan bertindak. Urusan ini menyangkut nasib hidupnya di masa depan. Sekali ia keliru mengambil keputusan, ia akan menderita selama hidupnya, la merasa yakin bahwa menjadi isteri laki-laki yang pandang matanya penuh nafsu itu akan membuat hidup sengsara selamanya, la hanya akan menjadi permainan nafsu pangeran itu yang kalau sudah bosan tentu akan menyepaknya.

Kalau ia setuju dan ayahnya menikahkannya dengan Pangeran Hendratama, ia akan sengsara selama hidupnya. Akan tetapi sebaliknya kalau ia berkukuh menolak, ayahnya tentu akan memaksanya karena kalau ayahnya menolak pinangan itu, ayahnya sekeluarga akan celaka menerima kemarahan Sang Prabu.

Tidak ada jalan lain, pikirnya. Menerima atau menolak juga salah. Satu-satunya jalan keluar hanyalah minggat! Kalau ia minggat dan pernikahan tidak jadi dilaksanakan, bukan berarti bahwa ayahnya menolak pinangan! Ayahnya tidak dapat disalahkan. Ialah yang bersalah. Setelah mengambil keputusan tetap, dengan nekat malam itu Endang Sawitri minggat dari dalam kamarnya. Kamar itu pintunya masih terkunci dari dalam, Ia menanti sampai rumah itu sepi dan semua orang sudah tidur, lalu ia keluar dari kamar melalui jendela yang menghadap taman, kemudian berjingkat-jingkat ia menyeberangi taman menuju ke belakang dan keluar melalui pintu belakang taman.

Tentu saja keluarga Senopati Sindukerta menjadi geger dengan hilangnya Endang Sawitri. Sang senopati mengerahkan anak buahnya untuk mencari. Dan tentu saja dia merasa curiga kepada Dharmaguna, pemuda yang dulu bergaul akrab dengan putrinya. Ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itupun menghilang dari rumahnya tanpa ada orang mengetahui kemana dia pergi, tahulah Ki Sindukerta bahwa puterinya tentu minggat dengan Dharmaguna. Dia marah sekali dan menyuruh banyak perajurit mencari, namun tidak ada hasilnya. Endang Sawitri dan Dharmaguna lenyap seperti ditelan bumi, tanpa meninggalkan jejak.

cerita silat online karya kho ping hoo

Sampai di situ ceritanya, Senopati Sindukerta menghela napas panjang dan menatap wajah Nurseta yang sejak tadi mendengarkan dengan tertarik sekali, senopati tua itu melihat betapa sepasang mata pemuda itu memandangnya dengan sayu, seolah terharu sekali.

"Nah, begitulah ceritanya, Nurseta. kau dapat membayangkan apa akibat perbuatan Dharmaguna yang membawa minggat puteriku itu. Pangeran Hendratama amat marah kepadaku, menuduh aku sengaja menyembunyikan Endang Sawitri. Sang Prabu Teguh Dharmawangsa juga marah sehingga pangkatku sebagai senopati dicopot dan aku diusir keluar dari kota raja. Masih untung bagiku bahwa aku membantu perjuangan Pangeran Erlangga mengusir musuh-musuh kerajaan dan membangun kembali Kahuripan sehingga beliau kini menjadi raja. Aku diangkatnya kembali menjadi senopati. Nah, engkau tahu mengapa aku membenci Dharmaguna. Dia sudah menyebabkan kami kehilangan anak kami dan juga kedudukan kami pada waktu itu."

Nurseta merasa terharu sekali, akan tetapi dia mampu menahan perasaannya itu. Kini dia berhadapan dengan kakeknya Ibunya adalah Endang Sawitri, puteri kakek ini.

"Akan tetapi, eyang senopati, saya kira Dharmaguna itu tidak bersalah. Adalah puteri paduka sendiri yang melarikan diri dari rumah. Juga puteri paduka tidak bersalah, bahkan ia telah memberi jalan keluar yang baik sekali."

"Eh? Apa maksudmu?" tanya Senopati Sindukerta yang tidak merasa heran atau aneh mendengar pemuda itu menyebutnya eyang senopati karena melihat usianya memang sudah sepatutnya kalau pemuda itu sebaya dengan cucunya, andaikata dia mempunyai cucu.

"Begini maksud saya. Puteri paduka tidak suka diperisteri Pangeran Hendratama yang saya juga tahu merupakan orang yang buruk wataknya itu sehingga kalau ia menerima pinangan itu, ia akan hidup sengsara. Sebaliknya kalau ia menolak, atau kalau paduka menolak pinangan, tentu akan berakibat buruk bagi keluarga paduka. Oleh karena itu puteri paduka memilih minggat karena kalau ia minggat, paduka tidak dipersalahkan sebagai orang yang menolak pinangan dan kesalahan akan terjatuh kepada puteri paduka sendiri."

"Hemm, mungkin engkau benar, dia puteriku tidak dapat disalahkan. Akan tetapi si Dharmaguna itu tetap bersalah. Kalau saja Endang Sawitri tidak saling mencinta dengan dia, tentu puteriku itu tidak akan dapat melarikan diri sampai sekarang."

"Maaf, eyang senopati. Salahkah itu kalau ada dua orang muda saling jatuh cinta? Mereka berdua saling jatuh cinta, hidup bersama sebagai suami isteri yang berbahagia walaupun bukan kaya raya, dan mereka telah mempunyai seorang anak. Kenapa paduka masih terus mencari dan membenci mereka. Kalau paduka berhasil menemukan mereka, apakah paduka akan membunuh puteri, mantu, dan cucu paduka, darah daging paduka sendiri?"

Senopati Sindukerta itu terbelalak memandang kepada Nurseta.

"Anakku Endang Sawitri mempunyai seorang anak Dhuh Jagad Dewa Bathara .....! Di mana mereka sekarang berada? Nurseta, apa engkau kira aku telah gila? Aku mencinta puteriku. Kalau saja si Dharmaguna itu datang bersama Endang Sawitri dan mohon ampun kepada kami, tentu saja kami akan mengampuni semua kesalahannya. Engkau tahu mengapa aku mencari mereka? Karena aku sudah rindu sekali kepada puteri kami. Akan tetapi si jahanam Dharmaguna itu tidak pernah datang, bahkan dia selalu membawa pergi anakku, selalu menghindar sehingga sampai saat ini, kami belum juga dapat bertemu kembali dengan Endang. Apalagi sekarang ia telah mempunyai seorang anak, tentu saja kami mau menerima Dharmaguna sebagai mantu kami, sebagai ayah dari cucu kami. Akan tetapi di mana mereka kini berada? Di mana? Katakan, dimana mereka?"

"Saya juga tidak tahu, Eyang Senopati. Mereka itu selalu melarikan diri dan bersembunyi bukan sekali-kali karena tidak lagi mau mengakui paduka sebagai ayah melainkan karena ketakutan kalau-kalau mereka akan dihukum berat dan dipaksa saling berpisah kalau paduka menemukan mereka. Saya sendiri juga tidak tahu dimana adanya mereka, bahkan kedatangan saya ini juga dalam usaha saya mencari mereka."

Senopati Sindukerta menatap wajah pemuda itu dengan penuh perhatian, "orang muda, bagaimana engkau bisa mengetahui bahwa mereka takut bertemu dengan kami? Dan apa pula maksudmu mencari mereka? Ada urusan apakah kau dengan puteriku Endang Sawitri?"

Nurseta tidak dapat menyembunyikan kenyataan tentang dirinya lagi dan dia menganggap bahwa sudah tiba saatnya dia harus memperkenalkan diri kepada orang yang sesungguhnya menjadi kakeknya ini.

"Saya mencari mereka karena Endang Sawitri adalah ibu kandung saya dan Darmaguna adalah ayah saya, eyang."

Sepasang mata tua itu terbelalak, wajah tua itu menjadi pucat, lalu berubah merah.

"Kau ..... kau .....?"

"Saya Nurseta, cucu eyang ....."

"Cucuku .....!" Senopati Sindukerta lalu melompat berdiri, menubruk ke depan dan merangkul Nurseta. Lalu digandengnya lengan pemuda itu dan ditariknya "Mari, mari cucuku, mari kita bicara didalam dan mari engkau menghadap nenek mu! Ah, betapa akan bahagianya nenekmu melihat cucunya!"

Nurseta dengan kedua mata basah karena terharu membiarkan dirinya ditarik memasuki gedung itu dari pintu belakang. Para pelayan tentu saja merasa terkejut dan heran melihat sang senopati masuk rumah dari pintu belakang sambil menggandeng dan menarik tangan seorang pemuda yang tidak mereka kenal. Akan tetapi melihat wajah senopati itu berseri gembira, mereka tidak menyangka buruk dan tidak berani bertanya. Ki Sindukerta tidak memperdulikan para pelayan yang keheranan itu dan terus menarik tangan Nurseta, dibawa masuk keruangan paling dalam.

Nyi Sindukerta yang sedang duduk melamun di ruangan itu, tentu saja terkejut dan heran pula melihat suaminya memasuki ruangan menggandeng seorang pemuda. Akan tetapi sebelum ia sempat bertanya, Senopati Sindukerta sudah berseru dengan gembira.

"Diajeng, lihat siapa yang kuajak masuk ini! Dia ini anak Endang!"

Wanita yang usianya mendekati enam puluh tahun dan yang tampaknya lesu digerogoti kesedihan itu terbelalak, bangkit berdiri dan wajahnya seketika menjadi pucat.

"Anak..... anak..... Endang? Cucuku.....?"
< br> Nurseta merasa terharu sekali. Dia cepat maju berlutut dan menyembah didepan wanita tua itu, "Saya Nurseta, menghaturkan sembah hormat saya kepada eyang puteri."

"Cucuku .....!" Nenek itu merangkul pemuda yang masih berlutut dan ia menangis tersedu-sedu. Setelah beberapa saat ia menangis, suaminya lalu menepuk-nepuk pundaknya dan membantunya bangkit berdiri.

"Sudahlah, diajeng. Tenangkan hatimu dan mari kita dengarkan cucu kita bercerita tentang anak kita."

Nenek itu menurut dan mereka lalu duduk di atas kursi dan mempersilakan Nurseta duduk diatas kursi di depan mereka.

"Cucuku, di mana ibumu? Di mana anakku Endang Sawitri?" tanya Nyi Sindukerta dengan suara serak. "Kenapa engkau kini mencari ayah Ibumu, Nurseta Apakah engkau berpisah dari mereka? Lalu kenapa berpisah? Dan bagaimana pula engkau mengetahui bahwa dahulu aku membenci Dharmaguna dan mencari mereka?" tanya Ki Sindukerta.

"Apakah engkau mempunyai kakak atau adik? Berapa anak Endang Sawitri? Bagaimana kehidupannya? Apa anakku itu sehat-sehat saja? Gemuk atau kurus ia sekarang?" tanya Nyi Sindukerta.

Dihujani pertanyaan bertubi oleh kakek dan neneknya itu, Nurseta merasa terharu. Dia tahu betapa suami isteri yang sudah tua ini amat menderita selama ini. Dia menghela napas panjang lalu berkata dengan lembut.

"Semua pertanyaan kanjeng eyang kakung dan eyang puteri itu akan terjawab dalam riwayat yang akan saya ceritakan kepada paduka berdua."

"Ceritakan, ceritakanlah, Nurseta!" kata sang senopati tidak sabar lagi.

"Nanti dulu, Nurseta. Engkau harus minum dulu!" sela Nyi Sindukerta yang lalu memanggil pelayan dan meuyuruh pelayan mengambilkan minuman. Setelah pelayan datang menghidangkan minuman air teh dan karena desakan neneknya Nurseta sudah minum, mulailah pemuda itu bercerita, didengarkan dengan penuh perhatian oleh kakek dan neneknya.

"Seingat saya, ketika saya masih kecil, ayah dan ibu selalu berpindah-pindah tempat. Saya adalah anak tunggal dan mereka tidak pernah bercerita tentang riwayat mereka kepada saya. Paling akhir, kami pindah ke dusun Karang Tirta di tepi Laut Kidul, dan tinggal sana. Ketika saya berusia kurang lebih sepuluh tahun, tiba-tiba saja ayah dan ibu saya pergi meninggalkan saya di rumah. Mereka pergi tanpa pamit dan saya sama sekali tidak tahu mengapa dan ke mana mereka pergi. Saya menjadi sebatang kara dan hidup seorang diri."

"Aduh kasihan sekali engkau cucuku!" kata Nyi Sindukerta sambil mengusap dua titik air mata yang membasahi pipinya.

"Kemudian di pantai Laut Kidul saya bertemu dengan Eyang Empu Dewamurti dan saya diambil sebagai murid. Saya mengikuti beliau, mempelajari ilmu kanuragan selama lima tahun. Ketika saya bertemu Eyang Empu, saya berusia enam belas tahun dan saya turun gunung setelah Eyang Empu wafat. Setelah saya memiliki aji kanuragan dan merasa kuat, mulailah saya menyelidiki tentang perginya kedua orang tua saya. Saya mendatangi kepala dusun Karang Tirta, yang bernama Ki Suramenggala."

"Hemm, Ki Suramenggala? rasanya pernah aku mendengar nama itu....., oya, dia pernah menjadi perajurit dalam pasukan yang kupimpin, malah menjadi perwira rendahan. Dia melakukan penyelewengan, mengganggu penduduk maka dikeluarkan dari pasukan."

Nurseta mengangguk. "Agaknya benar dia, eyang. Ki Suramenggala memang bukan manusia baik-baik. Setelah saya melakukan penyelidikan, saya mendengar bahwa Ki Suramenggala mengirim utusan untuk melapor kepada paduka tentang ayah dan ibu yang tinggal di dusun itu.

"Ah, benar! Aku ingat sekarang. Lima tahun lebih yang lalu memang ada berita darinya bahwa puteriku tinggal di Karang Tirta. Akan tetapi ketika aku mengirim pasukan ke sana, ternyata mereka telah pergi dan tidak ada seorangpun mengetahui ke mana mereka pergi. Gilanya, Suramenggala itu tidak mau memberitahukan komandan pasukan bahwa anakku meninggalkan seorang cucuku di sana." kata Ki Sindukerta dengan marah. "Lalu bagaimana, Nurseta?"

"Saya lalu memaksa Ki Suramenggala untuk mengaku dan dari dialah saya mengetahui bahwa dia melaporkan tentang ayah dan ibu saya kepada paduka. Karena itulah maka saya sengaja datang berkunjung menemui kanjeng eyang untuk bertanya tentang ayah ibu saya itu”

"Akan tetapi, mengapa Endang sawitri dan suaminya itu melarikan diri dan meinggalkan engkau yang baru berusia sepuluh tahun seorang diri di Karang Tirta?" tanya Nyi Sindukerta.

"Kanjeng Eyang Puteri, sekarang saya dapat mengerti mengapa ayah dan ibu melarikan diri begitu mendengar berita bahwa Ki Lurah Suramenggala melaporkan kehadiran mereka di dusun itu kepada kanjeng eyang di sini. Mereka itu agaknya masih merasa takut kalau-kalau mereka akan dihukum dan diharuskan pisah. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa paduka berdua mencari mereka karena rindu dan ingin mereka kembali, bukan untuk menghukum."

"Akan tetapi kenapa mereka meninggalkan engkau seorang diri?" tanya Ki Sindukerta, mengulang pertanyaan isterinya tadi.

"Hal itupun tadinya membuat saya merasa penasaran, eyang. Akan tetapi sekarang saya mengerti. Mereka sengaja meninggalkan saya karena mereka tidak ingin membawa saya ikut-ikutan menjadi pelarian. Mereka tidak ingin saya juga terancam bahaya seperti yang mereka kira."

Dua orang tua itu mengangguk-angguk. "Kasihan Endang....." kata Nyi Sindukerta dengan suara gemetar karena begitu teringat kepada puterinya, tangisnya sudah mendesak lagi.

"Ini semua gara-gara si Dharmaguna itu! Dia yang menyeret anak kita kedalam jurang kesengsaraan!" kata Ki Sindukerta dan kemarahannya muncul lagi. Dia memang selalu marah kalau teringat kepada Dharmaguna karena dialah yang menjadi gara-gara anaknya menghilang sampai dua puluh tahun lamanya!

Melihat kemarahan kakeknya, Nurseta dapat mengerti. Dia maklum kalau kakeknya mempunyai rasa benci kepada Dharmaguna karena ayahnya itu dianggap sebagai biang keladi terpisahnya kakek dan neneknya dari anak tunggal mereka.

"Kanjeng eyang berdua, sayalah yang mohonkan ampun untuk ayah saya karena saya yakin bahwa ayah saya itu sama sekali tidak bermaksud untuk melarikan dan memisahkan ibu saya dari paduka berdua. Ayah dan ibu saya selalu bersembunyi dan tidak mau kembali kepada paduka berdua hanyalah karena merasa takut. Biarlah saya yang akan mencari mereka sampai dapat dan kalau sudah dapat saya temukan, pasti saya akan menceritakan kepada mereka bahwa paduka berdua sesungguhnya amat rindu kepada ibu saya dan mengharapkan agar mereka berdua segera kembali ke sini."

"Benar, cucuku Nurseta. Cepat temui ibumu, aku sudah rindu sekali kepada anakku Endang Sawitri ....." kala Nyi sindukerta dengan suara gemetar. Ki Sindukerta mengangguk dan berkata kepada cucunya.

"Carilah mereka sampai dapat, Nurseta."

"Akan tetapi kanjeng eyang berdua sudi mengampuni ayah saya, bukan?" Nurseta memohon.

"Sudah lama kami mengampuninya, apalagi sekarang mereka berdua mempunyai putera. Dharmaguna adalah mantu kami. Dahulu kami hanya marah karena mereka berdua lari dan tidak pulang."

"Baik, saya akan mencari sampai dapat menemukan ayah dan ibu." Nurseta berpikir sejenak lalu bertanya. "Apakah paduka sudah mencoba untuk minta petunjuk orang tua dari ayah Dharmaguna"

"Tentu saja sudah. Resi Jatimurti, ayah Dharmaguna juga tidak tahu kemana puteranya pergi dan keterangannya itu dapat dipercaya sepenuhnya karena Resi Jatimurti adalah seorang pertapa yang alim dan hidup sederhana. Setelah ditinggal pergi puteranya, dia hidup seorang diri dan lima tahun setelah Dharmaguna menghilang, Resi Jatimurti meninggal dunia."

Malam itu, Nurseta bercakap-cakap berdua saja dengan Senopati Sindukerta. "Nurseta, kedatanganmu sungguh membahagiakan hatiku dan hati eyang puterimu, apalagi kalau engkau nanti berhasil mengajak ayah ibu pulang kesini."

"Sayapun merasa amat berbahagia eyang. Tadinya saya sama sekali tidak mengira bahwa paduka adalah eyang saya, malah saya kira bahwa paduka adalah musuh ayah ibu saya."

Senopati itu menghela napas. "Yah, agaknya Sang Hyang Widhi merasa kasihan kepada kami yang sudah menderita selama lebih dari dua puluh tahun ini, Aku sudah mendengar riwayatmu tadi, akan tetapi ceritakanlah tentang orang sakti mandraguna yang menjadi gurumu itu. Aku ingin sekali mendengarnya."

"Eyang Empu Dewamurti adalah seorang pertapa yang berbudi luhur, bijaksana dan sakti mandraguna. Akan tetapi sayang, beliau tewas karena luka-lukanya setelah dikeroyok para datuk besar dari Kerajaan Wura-wuri, Wengker, dan Kerajaan Siluman Laut Kidul."

"Ahh! Orang-orang dari tiga kerajaan itu memang terkenal jahat dan sejak dulu memusuhi Mataram dan keturunannya sampai sekarang. Akan tetapi Empu Dewamurti tidak langsung mengabdi kepada Kahuripan, mengapa dikeroyok para datuk tiga kerajaan itu?"

"Eyang Empu Dewamurti dikeroyok bukan karena urusan kerajaan, eyang. Mereka itu mengeroyok guru saya untuk memaksa guru saya menyerahkan keris pusaka Sang Megatantra kepada mereka! "

"Ahli!" Senopati Sindukerta terbelalak terkejut dan heran.

"Sang Megatantra!.....? Kau maksudkan, keris pusaka Mataram yang hilang puluhan tahun yang lalu itu? Jadi pusaka itu berada di tangan mendiang Empu Dewamurti?"

"Sesungguhnya bukan di tangan Empu Dewamurti, melainkan di tangan saya eyang. Sayalah yang menemukan pusaka itu ketika saya mencangkul dan menggali tanah, sebelum saya menjadi murid Eyang Empu Dewamurti. Setelah lima tahun lebih saya belajar kanuragan dari Eyang Empu Dewamurti, saya diperintahkan turun gunung dan pada waktu saya pergi itu, Eyang Empu Dewamurti didatangi para datuk yang mengeroyoknya. Para pengeroyok itu dapat dikalahkan dan melarikan diri, akan tetapi akibat pengeroyokan lima orang datuk dari tiga kerajaan itu, eyang guru yang sudah tua terluka parah dan akhirnya meninggal dunia."

Senopati Sindukerta mengangguk-Angguk. "Dan bagaimana dengan keris pusaka Sang Megatantra itu?"

"Eyang Empu Dewamurti sebelum wafat menyerahkan Sang Megatantra kepada saya dan beliau mengutus saya untuk pertama menyerahkan Sang Megatantra yang dulu saya temukan itu kepada yang berhak memilikinya, yaitu Sang Prabu Erlangga."

"Wah, bijaksana dan tepat sekali itu!" seru Senopati Sindukerta girang.

"Kedua, saya harus mencari kedua orang tua saya dan ke tiga, saya diharuskan membantu Kahuripan yang menurut mendiang eyang guru akan menghadapi banyak cobaan dari Sang Hyang Widhi."

Senopati Sindukerta kembali mengangguk-angguk. "Tugas yang harus engkau lakukan itu memang sudah tepat sekali. Dan bagaimana dengan pelaksanaannya. Sudahkah engkau menghaturkan sang Megatantra kepada Sang Prabu Erlangga"

Kini Nurseta menghela napas. "Itulah yang memusingkan kepala saya, eyang. Di tengah perjalanan, saya bertemu dengan Pangeran Hendratama. Tentu saja saya tidak tahu akan ulahnya yang membuat ibu saya melarikan diri. Saya mengira dia orang baik-baik karena sikapnya amat ramah dan baik. Tidak tahunya dia seorang jahat yang menipuku. Dia menawarkan untuk membuatkan gagang dan warangka yang indah untuk keris pusaka Megatantra. Tidak tahunya dia menukar Megatantra dengan sebuah keris palsu dan dia melarikan diri, membawa Sang Megatantra."

"Ahh .....! jadi sekarang pusaka itu berada di tangan Pangeran Hendratama?"

"Benar, eyang. Akan tetapi saya akan mencarinya dan akan merampasnya kembali pusaka itu dari tangannya, kecuali kalau dia sudah menyerahkan Megatantra kepada Sang Prabu Erlangga, saya tidak akan memperpanjang urusannya. Siapa saja yang menghaturkan pusaka itu kepada Sang Prabu Erlangga, bukan masalah bagi saya. Yang terpenting pusaka itu kembali kepada yang berhak."

"Akan tetapi engkau yang menemukannya kembali pusaka yang hilang selama puluhan tahun itu, Nurseta. Engkau yang berhak mengembalikannya kepada Sang Prabu Erlangga dan menerima hadiah besar dari Sang Prabu!"

Nurseta menggeleng kepala sambil tersenyum. "Eyang, guru saya mengajarkan bahwa setiap saya melakukan sesatu, saya harus menganggap bahwa apa yang saya lakukan itu sebagai suatu kewajiban. Melakukan kewajiban itu berarti tanpa pamrih untuk mendapatkan imbalan dalam bentuk apapun juga. Melakukan segala sesuatu yang baik dan benar merupakan kewajiban dan untuk itulah kita dilahirkan di dunia ini. Akan tetapi, eyang tentu akan mengetahui kalau pusaka itu sudah diserahkan kepada Sang Prabu Erlangga. Sudahkah hal itu terjadi, eyang?"

Senopati Sindukerta mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepalanya.

"Berita yang kau bawa mengenai Sang Megatantra ini teramat penting sekali, Nurseta! Ini menguatkan dugaan ku semula bahwa Pangeran Hendratama tentu mempunyai niat yang amat buruk sekali! Tidak salah lagi dugaanku sekarang bahwa dia pasti akan berkhianat dan memberontak kepada Sang Prabu Erlangga! Ini gawat sekali Nurseta!"

"Eh, apakah yang terjadi, eyang? Apakah Pangeran Hendratama berada di kota raja? Apakah eyang mengetahui dimana dia?"

"Tentu saja aku tahu, Nurseta. Sudah jelas dia berniat buruk. Baru beberapa bulan dia menghadap Sang Prabu Erlangga yang masih adik iparnya dan mohon diperkenankan tinggal di kota raja, diluar istana. Tentu saja Sang Prabu Erlangga memberi ijin dan kini dia tinggal di sebuah gedung mewah. Aku sudah merasa curiga karena dia menghubungi para pejabat, para perwira dan pamong yang berkedudukan tinggi, menjalin persahabatan dengan mereka. Juga dia pernah mengunjungi aku dan sikapnya memang ramah sekali. Agaknya dia hendak menanam pengaruh di kota raja dan mungkin dia akan melakukan pemberontakan kalau sudah menghimpun kekuatan dan tentu saja, dia dapat mempergunakan pengaruh Sang Megatantra yang dipercaya mengandung wahyu kraton yang memberi hak kepada seseorang untuk menjadi raja!"

"Hal ini harus dicegah, eyang! Kalau dia tinggal di kota raja, sungguh kebetulan sekali. Saya akan pergi ke sana sekarang juga untuk merampas kembali pusaka Sang Megatantra!"

"Tenang dulu, Nurseta. Engkau tidak boleh bertindak sembarangan tanpa perhitungan. Gedung Pangeran Hendratama merupakan bangunan yang kokoh dan dijaga ketat, begitu yang kudengar dari para perwira yang dekat dengannya. Dia mengumpulkan jagoan-jagoan untuk menjadi pengawal pribadinya, dan dia sendiri juga seorang yang tangguh. Kalau engkau ke sana malam ini juga, selain engkau mungkin menghadapi bahaya....."

"Kanjeng eyang, saya tidak gentar menghadapi semua itu." potong Nurseta. karena dia tidak ingin kakeknya mengkhawatirkan dirinya.

"Mungkin engkau memiliki kesaktian, hai ini sudah kubuktikan sendiri tadi. Akan tetapi bukan penjagaan ketat itu yang terpenting. Bagaimana kalau engkau datang ke sana akan tetapi kebetulan Pangeran Hendratama tidak berada di gedungnya? Nah, semua jerih payahmu yang mengandung resiko bahaya besar itu tidak ada gunanya, bukan?"

Nurseta tertegun. Apa yang diucapkan kakeknya itu memang bukan tak mungkin. Memang, kalau pangeran itu tidak berada di rumahnya, usahanya akan gagal karena pangeran itu tentu akan mengetahuinya dan dapat menyembunyikan diri atau pergi dari kota raja sehingga sulit baginya untuk menemukannya.

"Lalu, menurut paduka, bagaimana baiknya, kanjeng eyang?"

"Begini, Nurseta. Besok pagi, aku akan menyelidiki dan mencari keterangan apakah Pangeran Hendratama besok malam berada di gedungnya atau tidak. Kalau sudah pasti berada di rumahnya, nah, engkau boleh mendatanginya dan merampas kembali pusaka Sang Megatantra. Kalau ternyata besok dia bepergian dan malamnya tidak berada di rumahnya, tentu engkau harus menunda lagi usahamu. Bagaimana bukankah usulku ini baik?"

Nurseta memandang wajah kakeknya dengan mata bersinar dan wajah berseri.

"Wah, terima kasih banyak, kanjeng eyang. usul paduka itu memang baik sekali dan tepat. Memang segala tindakan harus diperhitungkan dengan matang lebih dulu agar tidak mengalami kegagalan. Pantas saja sejak dulu paduka menjadi senopati yang tentu saja harus mahir menggunakan siasat!"

Kakek itu tersenyum, senang mendapat pujian dari cucunya.

"Selain itu, besok pagi-pagi engkau akan ku perkenalkan kepada semua abdi (pelayan) di rumah ini agar mereka mengenal bahwa engkau adalah cucuku dan tidak menimbulkan keheranan dan pertanyaan karena tahu-tahu engkau tinggal di sini."

"Baiklah, eyang, dan terima kasih."

Pada saat itu, Nyi Sindukerta muncul di pintu. "Aih, malam sudah begini larut dan kalian belum tidur? Kakangmas senopati, biarkan Nurseta beristirahat dan tidur. Dia tentu lelah. Nurseta, aku sudah mempersiapkan kamar untukmu. Hayo, istirahatlah dan tidur. Besok kan masih ada waktu untuk bercakap-cakap lebih lanjut!"

Senopati Sindukerta tertawa. "Ha ha, aku sampai lupa. Benar nenekmu Nurseta. Sana, pergilah ke kamarmu dan tidur!"

Nurseta tidak membantah dan dia lalu mengikuti neneknya yang menunjukkan kamar yang dipersiapkan untuknya. Karena memang lelah, malam itu Nurseta tidur dengan nyenyak. Apalagi karena hatinya merasa senang. Pertama, secara tidak terduga-duga dia bertemu dengan kakek dan neneknya, orang tua ibunya. Kedua, dia mendapatkan bahwa Pangeran Hendratama tinggal di kota raja sehingga dia tidak perlu susah-susah mencari pangeran yang licik itu.

Pada keesokan harinya, setelah mandi dan sarapan bersama kakek dan neneknya, Nurseta lalu diperkenalkan kepada semua pelayan dan juga perajurit-perajurit pengawal. Mereka semua tampak gembiar ketika diberi tahu bahwa pemuda yang sikapnya lembut dan sederhana itu adalah cucu sang senopati dan yang mulai hari itu akan tinggal di gedung senopati itu. Baik Senopati Sindukerta maupun Nurseta sama sekali tidak menyadari bahwa Pangeran Hendratama pada pagi hari itu juga sudah mendengar dan mengetahui bahwa cucu Ki Sindukerta telah datang dan tinggal di rumah sang senopati.

Pangeran Hendratama yang sudah bertekad bulat untuk merebut kekuasaan dan menjadi raja di Kahuripan, selain menjalin hubungan erat dengan para pembesar yang ambisius dan sekiranya dapat diajak bersekongkol, juga menyeludupkan seorang yang dapat dijadikan kaki tangannya ke dalam rumah setiap orang pembesar tinggi yang setia kepada Sang Prabu Erlangga.

Tugas mata-mata ini, yang merupakan karyawan di rumah sang pembesar itu sendiri dan telah disuapnya dengan uang, adalah untuk memata-matai gerak gerik pembesar itu. Senopati Sindukerta adalah seorang di antara para pejabat tinggi yang selalu diamati gerak geriknya dan di dalam rumahnya terdapat seorang kaki tangan Pangeran Hendratama.

Mata-mata itu adalah seorang yang sudah lama bekerja di gedung sang senopati, yaitu tukang kebun yang sudah dipercaya. Begitu Nurseta diperkenalkan kepada semua pembantu di senopaten itu, kaki tangan Pangeran Hendratama ini segera memberi kabar kepada sang pangeran tentang kedatangan Nurseta sebagai cucu Senopati Sindukerta.

Pangeran Hendratama terkejut sekali mendengar berita ini. Timbul rasa khawatir bercampur benci. Khawatir mengingat bahwa dia telah mencuri keris pusaka Sang Megatantra dari tangan Nurseta dan timbul rasa benci di dalam hatinya mendengar bahwa Nurseta adalah cucu Senopati Sindukerta. Cucu sang senopati, berarti putera Endang Sawitri. Ini dia merasa yakin, mengingat bahwa Senopati Sindukerta tidak mempunyai anak lain kecuali Endang Sawitri yang dulu membuat dia tergila-gila, dan yang melarikan diri, tidak mau menjadi isterinya.

Dia merasa khawatir membayangkan betapa saktinya pemuda itu. Tidak dapat diragukan lagi bahwa Nurseta pasti akan berusaha untuk merampas Sang Megatantra dari tangannya! Maka, begitu mendengar berita tentang Nurseta, Pangeran Hendratama cepat mempersiapkan penjagaan ketat di gedungnya. Bahkan diam-diam dia menghubungi selir Sang Prabu Erlangga, yaitu Mandari yang diam-diam sudah mengadakan persekutuan dengannya, dan mohon bantuan Mandari untuk melindunginya.

Mandari cepat menanggapi permohonan ini dan ia lalu menugaskan Puspa Dewi untuk membantu sang pangeran. Puspa Dewi tidak dapat membantah dan ia lalu ikut utusan Pangeran Hendratama pergi ke gedung sang pangeran yang besar dan kokoh seperti istana berbenteng itu.

Kehadiran Puspa Dewi di tempat kediaman Pangeran Hendratama menarik banyak perhatian. Bahkan Pangeran Hendratama sendiri yang memang berwatak mata keranjang, terpesona dan tertarik sekali oleh kecantikan Puspa Dewi. Apa lagi para jagoan yang sudah diundang untuk menjadi pengawal-pengawalnya mereka terkagum-kagum melihat gadis yang masih amat muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya, amat cantik jelita akan tetapi sudah menjadi kepercayaan Puteri Mandari sehingga dikirim untuk diperbantukan menjaga keselamatan Pangeran Hendratama?

Akan tetapi, bagaimanapun juga, baik Pangeran Hendratama sendiri maupun para jagoan itu, merasa sangat sangsi dan memandang rendah kepada gadis ini. Sampai dimana sih kesaktian gadis muda seperti itu, demikian pikir mereka. Biarpun demikian, para jagoan itu merasa segan mengingat bahwa Puspa Dewi dikirim ke istana Pangeran Hendratama sebagai utusan Gusti Puteri Mandari, selir terkasih Sang Prabu Erlangga dan mereka semua mengetahui betapa saktinya selir yang merupakan puteri Kerajaan Parang Siluman itu.

Maka, para jagoan itu bersikap hormat kepada Puspa Dewi dan menyimpan rasa kagum mereka di dalam hati, tidak berani bersikap kurang ajar. Akan tetapi, di antara mereka ada seorang jagoan yang merasa berani. Usianya lebih muda dibandingkan yang lain, sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat. Dia adalah seorang jagoan dari pesisir utara dan belum banyak mengenal para datuk di daerah selatan.

Maka, tidak seperti yang lain, diapun belum mengenal betul ketenaran nama besar Puteri Mandari dan memandang rendah para jagoan yang lain. Maka, diapun memandang rendah Puspa Dewi yang dianggapnya seorang gadis remaja yang masih ingusan. Karena tertarik sekali oleh kecantikan Puspa Dewi, diapun tidak seperti yang lain, memandang dengan mata kurang ajar dan mulutnya menyeringai.

Bahkan ketika Puspa Dewi baru datang dan diperkenalkan oleh Pangeran Hendratama kepada para jagoan itu sebagai utusan Gusti Puteri Mandari untuk memperkuat penjagaan di istananya, dia berani mengedipkan sebelah matanya kepada Puspa Dewi cara kurang ajar sekali. Akan tetapi Puspa Dewi pura-pura tidak melihatnya karena ia sebagal utusan Puteri Mandari tentu saja tidak ingin membikin ribut hanya karena urusan sekecil itu.

Banyak sudah dara perkasa ini bertemu dengan laki-laki seperti itu, yang suka berlagak melihat gadis cantik dan mengedipkan sebelah mata. Akan tetapi ketika la berada di taman seorang diri, datanglah Ki Lembara, jagoan pesisir utara itu, bersama tiga orang jagoan lain yang usianya sedikit lebih tua, menghampirinya di dalam taman.

Tiga orang jagoan lain ini diajak oleh Lembara untuk menggoda Puspa Dewi dan keberanian Lembara yang membuat mereka juga berani, walaupun hanya sekedar ingin menonton bagaimana jagoan pesisir itu menggoda dara cantik jelita utusan dari istana raja itu.

Puspa Dewi yang sedang duduk seorang diri sambil termenung itu melihat empat orang yang memasuki taman dari sebelah kanannya, akan tetapi ia diam saja. la sedang memikirkan keadaannya. Ia memenuhi perintah gurunya atau ibu angkatnya untuk membantu dua orang Puteri Kerajaan Parang Siluman yang berusaha untuk menghancurkan Kahuripan dan menjatuhkan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Ia berhasil masuk ke istana dan diterima sebagai dayang istana, akan tetapi ia belum tahu apa yang harus ia lakukan di sana.

Kini, tiba-tiba ia diutus oleh Puteri Mandari untuk membantu menjadi pengawal Pangeran Hendratama yang belum dikenalnya, akan tetapi yang sudah diketahui bahwa pangeran inilah yang telah mencuri Keris Pusaka Sang Megatantra dari tangan Nurseta! Pangeran Hendratama inilah yang kini memegang Sang Megatantra, akan tetapi kenapa dia tidak menyerahkan kepada Sang Prabu Erlangga?

Ketika ia disuruh oleh Gusti Puteri Mandari, selir Sang Prabu Erlangga untuk ikut menjadi pengawal pangeran itu, sudah menduga bahwa Pangeran Hendratama tentu merupakan sekutu dari Puteri Mandari. Berarti Pangeran Hendratama adalah orang yang juga memusuhi Sang Prabu Erlangga. Padahal, bukankah pangeran itu merupakan kakak dari Permaisuri atau kakak ipar sang prabu sendiri Puspa Dewi diam-diam dapat mengambil kesimpulan bahwa tentu Pangeran Hendratama merencanakan pemberontakan dan untuk itu dia bergabung dengan kedua orang puteri Kerajaan Parang Siluman itu untuk menjatuhkan Sang Prabu Erlangga!


BERSAMBUNG KE JILID 18


Cerita Silat Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 17

CERITA SILAT ONLINE KARYA KHO PING HOO

KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA JILID 17

Senopati Sindukerta adalah seorang senopati sepuh (tua) yang sudah menjadi senopati sejak muda, di bawah pimpinan mendiang Sang Prabu Teguh Dharmawangsa. Ketika Erlangga menjadi raja menggantikan kedudukan mendiang Teguh Dharmawangsa, dia mengikut-sertakan bekas punggawa ayah mertuanya itu dan di antaranya dia memberi kedudukan yang sama kepada Senopati Sindukerta.

Senopati Sindukerta tinggal dalam sebuah gedung di kota raja bersama keluarganya. Usianya sudah enam puluh tahun lebih, namun dia masih tampak sehat dan gagah. Biarpun sudah tergolong tua, namun Senopati Sindukerta masih disegani karena dia pandai mengatur barisan, pandai memimpin pasukan dalam perang dan sudah banyak jasanya menghadapi musuh-musuh Kerajaan Mataram sejak dia masih muda dulu.

Tidak mengherankan kalau Sang Prabu Erlangga menaruh kepercayaan kepadanya sungguh pun kini tugasnya lebih banyak sebagai penasihat yang memberi petunjuk dan pelajaran kepada para senopati muda.

Malam itu terang bulan. Bulan purnama amat indahnya bertahta di angkasa raya. Bintang-bintang menjadi suram bahkan banyak yang tidak tampak terhalang sinar bulan yang terang keemasan. Bulan purnama bulat penuh dan di langit yang cerah itu tampak lingkaran putih di sekeliling bulan. Bulan ndadari, bulan kalangan, begitu indahnya sehingga menciptakan suasana sejuk gembira di muka bumi.

Banyak orang betah berada di luar rumah karena sinar bulan memandikan segala sesuatu yang berada di permukaan bumi dengan sinarnya yang menenteramkan hati, membuat semua tampak gemilang dan indah, juga aneh penuh rahasia. Segala sesuatu seperti diselimuti cahaya keemasan.

Kanak-kanak memenuhi pelataran rumah dan bermain-main dengan bertembang riuh rendah. Orang-orang tua bercengkerama di luar rumah. Banyak pula yang menggelar tikar di pelataran dan bercakap-cakap membicarakan masa lalu.

Bulan purnama mendatangkan kenangan lama yang indah-indah. Para pemuda juga bergembira ria. Sinar bulan agaknya mengobarkan gairah dan semangat hidup mereka. Terutama sekali mereka yang sedang dimabuk asmara dan mengadakan pertemuan dengan kekasih mereka dibawah sinar bulan purnama. Pada saat seperti itu, kekasih mereka tampak lebih cantik, lebih tampan, lebih menarik dan menggairahkan.

Senopati Sindukerta duduk seorang diri di dalam taman bunganya yang cukup luas. Harum bunga melati yang tumbuh di sekeliling kolam ikan memperindah suasana. Akan tetapi Senopati Sindukerta yang duduk tak jauh dari kolam ikan, di atas bangku panjang, sama sekali tidak tampak gembira. Bahkan berulang kali dia menghela napas panjang dan wajahnya tampak muram, seolah dia menanggung derita kesedihan yang mendalam.

Di atas sebuah meja kecil didepannya terdapat sebuah poci dan sebuah cangkir. Tadi pelayan datang menghidangkan air teh panas manis itu dan dia suruh pelayan itu pergi meninggalkannya dan berpesan agar jangan ada yang datang mengganggunya di dalam taman karena dia ingin bersendirian di situ.

Wajahnya yang masih memperlihatkan bekas ketampanan itu berkerut. Tidak ada kumis dan jenggot di wajahnya. Rambutnya sudah banyak yang putih. Tubuhnya sedang, akan tetapi tampak kurus. Dari keadaan jasmaninya dapat diduga bahwa Senopati Sindukerta banyak mengalami penderitaan batin.

Tentu saja hal ini tidak disangka orang. Dia adalah seorang senopati tua yang berkedudukan tinggi, cukup kaya, terhormat dan tidak kekurangan sesuatu. Bagaimana mungkin seorang punggawa tinggi seperti dia hidup mengalami penderitaan batin. Senopati Sindukerta duduk di situ sejak tadi, sudah lebih dari dua jam dia duduk melamun seorang diri.

Sementara itu bulan purnama naik semakin tinggi. Keadaan di luar gedung senopati itu sudah mulai berkurang keramaiannya. Anak-anak sudah disuruh masuk dan tidur. Hanya tinggal beberapa orang tua saja yang masih tinggal di luar. Malam mulai larut. Senopati Sindukerta mulai merasa kedinginan. Makin tinggi bulan purnama naik, makin larut malam, makin dinginlah hawa udara.

Pada saat dia merasakan kedinginan dan minum air teh dari poci dituangkan ke cangkir dan air teh itu masih hangat, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan dan tahu-tahu di depannya, dalam jarak tiga meter, telah berdiri seorang pemuda.

Senopati Sindukerta terkejut dan meletakkan kembali cangkirnya di atas cawan, lalu menatap wajah pemuda itu dengan alis berkerut. Dia terkejut, akan tetapi sama sekali tidak takut, hanya merasa heran bagaimana ada seorang pemuda yang begitu berani datang mengganggunya, dan kemunculannya begitu tiba-tiba.

"Siapa engkau? Mau apa engkau menggangguku, datang tanpa diundang?" bentak Senopati Sindukerta sambil menatap tajam wajah tampan pemuda yang pakaian dan sikapnya sederhana itu.

Pemuda itu memberi hormat dengan membungkuk, lalu bertanya dengan suara lembut dan hormat.

"Maafkan saya, apakah saya berhadapan dengan Senopati Sindukerta?"

"Hemm, benar aku Senopati Sindukerta. Siapa engkau?"

"Maafkan saya. Nama saya Nurseta dan saya sengaja menghadap paduka untuk menanyakan sesuatu yang teramat penting dan hanya paduka saja yang dapat menjawab pertanyaan saya itu....!

Kerut alis Senopati Sindukerta semakin mendalam. "Sungguh engkau seorang pemuda yang tidak tahu aturan. Bagaimana engkau berani kurang ajar menemui aku malam-malam begini dan memasuki tamanku seperti seorang pencuri?"

"Sudah dua kali saya minta maaf kalau saya mengganggu. Akan tetapi, pertanyaan saya ini penting sekali dan saya harap paduka tidak menolak untuk menjawabnya."

"Sudahlah, coba katakan, apa yang ingin kau ketahui dariku?"

"Saya ingin bertanya, apa yang paduka ketahui tentang orang yang bernama Dharmaguna?"

Senopati Sindukerta terbelalak dan dia bangkit berdiri dengan cepat.

"Keparat" Telunjuknya menuding ke arah Nurseta. "Kiranya engkau ini suruhan si jahanam Dharmaguna? Mampuslah!" Tiba-tiba Senopati Sindukerta menendang meja kecil di depannya dan meja itu meluncur ke arah Nurseta. Poci dan cangkir tadi terlempar jauh.

Nurseta menggerakkan tangannya, menangkap kaki meja yang menyambar ke arahnya dan menaruh meja itu di atas tanah, di sampingnya. Akan tetapi Senopati Sindukerta sudah mencabut kerisnya dan melompat maju, menyerang Nurseta dengan tusukan kerisnya. Agaknya dia marah sekali mendengar disebutnya nama Dharmaguna tadi.

"Wuutt ..... tukk!"

Senopati Sindukerta terkejut setengah mati ketika keris yang dia tusukan itu mengenai dada pemuda itu, dia merasa betapa kerisnya itu bertemu dengan benda yang lunak namun kenyal dan kuat sekali sehingga kerisnya membalik dan tidak dapat menembus. Sebelum hilang rasa kagetnya tahu-tahu keris itu telah direnggut lepas dari pegangannya dan pemuda itu melangkah mundur sambil berkata ejekan lembut

"Harap paduka bersabar dan tenang. Saya sama sekali tidak datang untuk memusuhi paduka, melainkan hanya untuk minta keterangan. Terimalah kembali pusaka paduka ini."

Nurseta menjulurkan tangan dan menyerahkan keris itu kepada pemiliknya. Senopati Sindukerta terkejut bukan main. keris pusakanya itu bukan keris biasa, melainkan pusaka ampuh sekali. Akan tetapi pemuda itu memiliki kekebalan yang luar biasa, membuktikan bahwa dia seorang yang sakti mandraguna. Maka mendengar ucapan Nurseta, dia menerima keris, mundur lalu duduk kembali ke atas bangku, mengawasi pemuda itu penuh perhatian.

"Orang muda. sebetulnya apakah yang kau kehendaki? Siapa namamu tadi?"

"Nama saya Nurseta dan saya hanya ingin mengetahui mengapa paduka memusuhi Dharmaguna, mengapa paduka membencinya dan di mana adanya dia sekarang?"

Senopati Sindukerta memandang heran, "jadi engkau bukan suruhan dia? Engkau juga menanyakan di mana dia? Ah, kalau saja aku tahu di mana dia, si keparat itu!"

"Harap paduka suka menceritakan kepada saya mengapa paduka begitu membencinya."

"Engkau mau tahu mengapa aku membencinya? Huh, dia sudah merampas kebahagiaan kami, sudah dua puluh dua tahun ini dia membuat aku selalu merasa berduka. Bawalah meja itu dekat sini dan duduklah di atas meja kalau engkau ingin mendengarkan persoalannya."

Nurseta menurut. Dia mengambil meja, membawanya ke depan Senopati Sindukerta lalu duduk di atas meja kecil yang rendah itu. Senopati Sindukerta lalu bercerita dan Nurseta mendengarkan dengan penuh perhatian. Senopati Sindukerta menghela napas panjang lalu berkata, "Peristiwa itu telah lama terjadi, kurang lebih dua puluh tahun yang lalu, akan tetapi rasanya baru kemarin saja terjadinya." Kemudian senopati tua itu lalu bercerita.

Senopati Sindukerta telah menjadi senopati pada waktu Teguh Dharmawangsa menjadi raja. Senopati yang setia ini hanya mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Endang Sawitri. Pada waktu itu Endang Sawitri berusia delapan belas tahun, la terkenal sebagai seorang dara yang selain cantik jelita, juga baik budi bahasanya dan berbakti kepada ayah ibunya.

Tidak mengherankan kalau Senopati Sindukerta dan isterinya merasa amat sayang kepada Endang Sawitri. Tentu saja, seperti para orang tua lainnya Senopati Sindukerta dan isterinya mengharapkan agar puteri mereka itu mendapatkan suami yang tinggi kedudukannya, kaya raya, dan baik budi serta bijaksana.

Dengan demikian maka selain puteri mereka itu akan hidup bahagia juga mereka sebagai orang tuanya akan merasa senang dan terangkat derajat dan martabatnya. Akan tetapi, dalam kehidupan ini, lebih sering harapan manusia tidak terpenuhi, kenyataan yang terjadi sering berlawanan dengan apa yang diinginkan, apa yang diharapkan, sehingga banyak kekecewaan dan duka melanda kehidupan manusia.

Pada suatu pagi, seorang tamu yang di hormati datang berkunjung ke rumah Senopati Sindukerta. Sang senopati dan isterinya menyambut kedatangan tamu ini dengan ramah dan hormat karena tamu itu adalah seorang pangeran yang terkenal gagah perkasa. Dia adalah Pangeran Hendratama yang pada waktu itu berusia sekitar tiga puluh tahun. Seorang pria yang tampan dan gagah, apalagi karena pakaiannya amat indah, mewah dan mentereng. Sebagai seorang pangeran, putera Sang Prabu Teguh Dharmawangsa yang beribu seorang wanita berkasta rendah, Pangeran Hendratama tentu saja mempunyai hubungan baik dengan para pamong-praja dan juga mengenal baik Senopati Sindukerta.

"Selamat datang, Pangeran." sambut Senopati Sindukerta ramah. Isterinya juga menyambut dengan senyum ramah.

"Silakan masuk, kita duduk di ruangan dalam agar lebih leluasa bercakap-cakap."

"Terima kasih, paman senopati dan bibi." kata Pangeran Hendratama dengan sikap halus.

Mereka memasuki ruangan dalam dan dua orang selir sang senopati juga menyambut dan memberi hormat kepada pangeran itu, akan tetapi mereka segera mengundurkan diri, tidak berani mengganggu. Pangeran Hendratama hanya duduk berhadapan dengan Ki Sindukerta dan garwa padminya.

"Paman dan bibi, di mana diajeng Endang Sawitri ? Tanpa kehadirannya, rumah paman ini tampak sepi."

"Endang sedang sibuk di dapur, membantu para abdi mempersiapkan makan, Pangeran." kata Nyi Sindukerta.

"Begitukah? Sayang, saya ingin sekali melihatnya, walaupun sebentar saja, bibi."

Nyi Sindukerta lalu memanggil pelayan dan memberi perintah agar pelayan Itu memberitahu kepada puterinya bahwa Pangeran Hendratama datang berkunjung.

"Minta kepada Den Ajeng Endang agar keluar dan menemui Gusti Pangeran Hendratama sebentar!" perintahnya.

Pelayan itu menyembah lalu pergi. Tak lama kemudian, selagi Pangeran Hendratama bercakap-cakap dengan Ki Sindukerta dan isterinya, muncullah seorang gadis cantik jelita mengiringkan seorang pelayan wanita yang membawa baki terisi makanan dan minuman yang dihidangkan di atas meja.

Gadis itu berusia sekitar delapan belas tahun, cantik jelita dan manis merak ati, dengan sikap dan gerak-gerik lembut menawan. Itulah Endang Sawitri, puteri tunggal Senopati Sindukerta yang terkenal sebagai seorang di antara para puteri yang cantik di kota raja. Bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar mengharum memancing datangnya banyak kumbang, Endang Sawitri juga membuat banyak pemuda bangsawan maupun bukan bangsawan tergila gila.

Akan tetapi Endang Sawitri tidak menyambut rayuan mereka, bahkan menolak pinangan beberapa orang pemuda bangsawan. Semua ini karena dara jelita itu sudah mempunyai pilihan hati sendiri, yaitu seorang pemuda bernama Dharmaguna. Akan tetapi Senopati Sindukerta marah-marah dan melarang puterinya melanjutkan pergaulannya dengan pemuda itu. Bukan karena pemuda pilihan puteri mereka itu kurang tampan. Sebaliknya, Dharmaguna adalah seorang pemuda yang tampan dan lemah lembut, baik budi pekertinya.

Akan tetapi dia hanya putera seorang pendeta yang miskin, sudah tidak beribu lagi karena ibunya sudah meninggal dunia. Dharmaguna hanya tinggal di padepokan ayahnya, sebuah bangunan yang reyot. Bagaimana mungkin sang senopati dan isterinya mau menyerahkan puteri mereka yang merupakan anak tunggal kepada seorang pemuda miskin, tidak memiliki kedudukan apapun?

Mereka mengidamkan seorang mantu yang berpangkat tinggi dan kaya raya! Ketika Endang Sawitri muncul. Pangeran Hendratama segera bangkit dari tempat duduknya dan tersenyum memandang kepada dara yang telah mengobarkan gairah berahinya itu.

"Diajeng Endang Sawitri .....!" sapanya, tanpa menyembunyikan kekagumannya walaupun ayah ibu gadis itu berada di situ.

"Selamat datang, Gusti Pangeran. Hamba menghaturkan hormat." kata gadis itu dengan sikap hormat.

"Ah, diajeng Endang! Jangan menyebut gusti padaku, sebut saja Kakangmas Pangeran!"

"Hamba..... tidak berani....." kata gadis itu sambil menundukkan mukanya, ngeri melihat pandang mata pangeran itu yang seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat.

"Kenapa tidak berani? Takut? Aku bukan harimau yang perlu ditakuti, diajeng. Mari, duduklah. Aku ingin meyampaikan suatu berita kepada orang tuamu dan engkaupun perlu mendengarkan dan menyaksikan berita yang amat menggembirakan ini."

Endang Sawitri meragu. Ia sudah lama merasa tidak senang dan tidak aman kalau pangeran itu datang berkunjung Biarpun pangeran itu tidak pernah mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan bahkan sangat ramah kepadanya, namun pandang mata pangeran itu slalu seolah menggerayangi seluruh bagian tubuhnya. la menoleh kepada orang tuanya dan Senopati Sindukerta mengangguk kepadanya.

"Duduklah, Endang." kata ayahnya.

Terpaksa gadis itu mengambil tempat duduk di dekat ibunya. Ibu yang menyayang puterinya ini lalu merangkulnya.

"Sebetulnya, kepentingan apakah yang hendak paduka sampaikan kepada kami sekeluarga, pangeran?" Tanya senopati itu dengan hati merasa tidak enak karena sungguh aneh kalau untuk kepentingan kerajaan misalnya, puterinya diharuskan menjadi saksi. "Apakah paduka membawa perintah dari Gusti Prabu?"

"Sesungguhnya memang saya membawa surat dari Ramanda Prabu, paman."

"Tugas apakah yang diperintahkan Sribaginda kepada hamba?"

Pangeran Hendratama tersenyum. "Sebetulnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan tugas pemerintahan, paman. Ini adalah urusan pribadi saya. Sesungguhnya, sudah lama sekali saya menaruh hati, jatuh cinta kepada puteri paman, yaitu Diajeng Endang Sawitri. Akan tetapi saya menunggu sampai ia menjadi dewasa. Setelah sekarang Diajeng Endang Sawitri dewasa, maka saya datang untuk mengajukan pinangan kepada paman dan bibi atas diri Diajeng Sawitri."

"Ahh .....!" Seruan tertahan ini keluar dari mulut Endang Sawitri yang menjadi pucat wajahnya dan gadis itu merangkul dan menyembunyikan mukanya di pundak ibunya.

Di dalam hatinya, tentu saja Senopati Sindukerta tidak rela kalau puterinya dikawin pangeran ini, bukan karena pangeran ini kurang tinggi kedudukannya atau kurang kaya. Sama sekali tidak! Pangeran Hendratama adalah putera Sang Prabu Teguh Dharmawangsa, biarpun bukan putera mahkota namun tentu saja kedudukannya cukup tinggi dan diapun kaya raya. Andaikata sang pangeran itu masih perjaka, atau setidaknya belum mempunyai garwa padmi (isteri sah) tentu dia dan isterinya akan merasa girang mempunyai mantu seorang pangeran!

Akan tetapi kenyataannya, Pangeran Hendratama itu telah mempunyai garwa padmi, bahkan mempunyai banyak garwa ampil (selir), maka tentu saja mereka merasa keberatan. Endang Sawitri tentu hanya dijadikan garwa ampil, itupun entah yang ke berapa! Melihat suami isteri itu saling pandang dengan alis berkerut, tampak tidak gembira menyambut pinangannya, Pangeran Hendratama lalu mengeluarkan segulung surat.

"Paman Senopati Sindukerta, ini saya dititipi surat dari Kanjeng Rama untuk paman!"

Melihat surat dari Sang Prabu Teguh Dharmawangsa, tergopoh-gopoh dengan sembah sang senopati menerimanya lalu membacanya. Isinya merupakan pernyataan mendukung pinangan itu dan sang prabu mengharapkan agar Senopati Sindukerta menerima pinangan itu sehingga menjadi besan sang prabu!

Setelah membaca surat itu, Ki Sindukerta menghela napas. Kalau Sribaginda sendiri turun tangan, tentu tidak mungkin baginya untuk menolak! Kemudian, dia memandang kepada Pangeran Hendratama dan berkata dengan suara sungguh-sungguh.

"Pangeran, kami merasa berbahagia dan mendapat kehormatan besar sekali bahwa paduka bermaksud meminang puteri kami yang bodoh. Akan tetapi ....." Senopati itu tidak berani atau meragu untuk melanjutkan kata-katanya.

"Akan tetapi, apa, paman?" tanya Pangeran Hendratama sambil mengerutkan alisnya yang tebal.

"Akan tetapi, maafkan sebelumnya, pangeran. Kami sebagai ayah ibu Endang Sawitri, terus terang saja merasa kurang marem (puas) kalau puteri kami hanya dijadikan garwa ampil. Kami sejak dahulu berkeinginan agar puteri kami menjadi garwa padmi yang dihormati..... maafkan kami, pangeran. Bukan sekali-kali kami menolak pinangan paduka, hanya..... bukankah paduka telah mempunyai garwa padmi?"

Pangeran Hendratama yang sudah tergila-gila kepada Endang Sawitri tidak menjadi marah, malah tertawa.

"Ha-ha..hal itu jangan dirisaukan, paman. Kala paman dan bibi sudah menerima pinangan saya, hari ini juga saya akan pulangkan garwa padmi saya itu kepada orang tuanya dan Diajeng Endang Sawitri saya angkat menjadi garwa padmi!"

Tentu saja hati Senopati Sindukerta menjadi lega. Bagaimanapun juga, tidak mungkin dia berani menolak pinangan sang pangeran yang sudah diperkuat oleh surat Sang Prabu Teguh Dharmawangsa. Surat itu saja berarti sebuah perintah yang tidak mungkin dapat ia tolak. Kalau puterinya diangkat menjadi garwa padmi pangeran, biarpun di dalam hatinya dia tidak begitu suka kepada pangeran ini ia boleh merasa puas karena dia akan menjadi besan Sang Prabu Teguh Dharmawangsa!

Derajatnya akan naik tinggi sekali Dia menoleh kepada isterinya dan ternyata isterinya juga tersenyum dengan wajah berseri. Sang senopati mengerutkan alisnya ketika dia melihat puterinya menangis tanpa suara di pundak isterinya.

"Bagaimana jawaban andika, paman senopati?" Tiba-tiba senopati itu terkejut mendengar pertanyaan pangeran itu. Dia cepat menoleh dan memandang wajah Pangeran Hendratama.

"Oh, baik, Pangeran. Hamba sekeluarga menerima pinangan paduka dengan gembira!"

Tiba-tiba terdengar isak dan Endang Sawitri lalu melepaskan rangkulannya dari pundak ibunya dan ia berlari masuk ke ruangan dalam meninggalkan ruangan itu. Terdengar isaknya ketika ia melarikan diri itu. Pangeran Hendratama mengerutkan alisnya.

"Mengapa diajeng Endang Sawitri menangis, paman?"

"Oh, maaf, Pangeran. Maklum puteri kami itu masih amat muda, tentu ia merasa malu-malu. Biarlah nanti hamba berdua yang akan membujuknya agar ia tidak takut-takut dan malu-malu lagi."

Pangeran Hendratama tersenyum lega mendengar ucapan senopati itu.

"Baiklah, paman dan bibi. Saya mohon pamit dulu, akan saya urus perceraian saya dengan isteri saya. Besok saya akan mengirim utusan untuk membicarakan tentang perayaan pesta pernikahan saya dengan Diajeng Endang Sawitri."

"Terima kasih, pangeran, dan selamat jalan." kata sang senopati yang mengantar pangeran itu sampai ke pelataran rumahnya.

Sementara itu, Nyi Sindukerta memasuki kamar puterinya dan ia mendapatkan puterinya rebah menelungkup di atas pembaringan dan membenamkan mukanya pada bantal. Nyi Sindukerta lalu duduk di tepi pembaringan dan menyentuh pundak puterinya.

"Nini, sudahlah jangan menangis. Engkau akan dijadikan garwa padmi Pangeran Hendratama, mengapa engkau menangis? Dia itu putera Sang Prabu, kedudukannya tinggi, kaya raya dan diapun berwajah tampan dan gagah. Juga belum tua benar, paling banyak tiga puluh tahun usianya. Engkau beruntung sekali menjadi mantu Sang Prabu, Endang Sawitri. Kenapa menangis?"

"Ibu, aku tidak mau menjadi isterinya, ibu ....." Endang Sawitri bangkit duduk dan merangkul ibunya sambil menangis. Bantal di mana ia membenamkan mukanya tadi sudah basah air mata.

"Akan tetapi kenapa, nini? Engkau hanya anak senopati dan dia itu putera junjungan kita. Siapa tahu kelak dia akan menjadi raja dan engkau menjadi permaisurinya!"

"Ibu, kenapa ibu tidak berpikir secara mendalam dan berpemandangan jauh? Pangeran itu bukan suami yang baik, bukan laki-laki yang bertanggung jawab! Aku akan celaka kelak kalau menjadi isterinya!"

"Hemm, bagaimana engkau dapat berpikir demikian?"

"Ibu, sekarang dia menginginkan aku dan untuk terlaksananya keinginan itu, dia tega untuk menceraikan garwa padminya yang tidak bersalah apa-apa! Apakah ibu berani memastikan bahwa kelak aku tidak akan mengalami nasib yang sama Kalau dia melihat gadis lain yang lebih muda dan lebih cantik lalu meminangnya, apakah diapun tidak akan menceraikan aku dan mengirim aku pulang kepada ayah dan ibu?"

Diserang ucapan seperti itu, Nyi Sindukerta tidak dapat menjawab! Bahkan iapun mulai merasa khawatir kalau-kalau apa yang ditakutkan puterinya itu kelak akan terjadi. Membayangkan betapa puterinya terkasih itu kelak diceraikan begitu saja oleh Pangeran Hendratama yang menjadi suaminya karena pangeran itu tergila-gila kepada wanita lain, ibu ini tak dapat menahan kesedihan hatinya dan iapun lalu merangkul puterinya sambil menangis. Ibu dan anak itu bertangisan. Senopati Sindukerta memasuki kamar itu dan dia marah sekali melihat isteri dan puterinya menangis.

"Heh, apa-apaan ini kalian .berdua bertangisan? Semestinya kalian berdua bergembira! Apa yang perlu disedihkan? Endang Sawitri akan menjadi garwa padmi Pangeran Hendratama, menjadi mantu Gusti Prabu! Adakah keberuntungan yang lebih besar daripada Itu? Kenapa kalian malah menangis?"

Nyi Sindukerta dapat menguasai perasaannya yang hanya merasa khawatir akan terjadinya apa yang tadi dibayangkan puterinya. Ia menghapus air matanya dan membujuk puterinya.

"Sudahlah, nini, hentikan tangismu. Ramamu benar, sebetulnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dan disedihkan."

"Dikhawatirkan? Apa yang perlu dikhawatirkan?" Ki Sindukerta bertanya dengan suara membentak karena penasaran.

"Begini, kakangmas. Endang Sawitri merasa khawatir kalau-kalau kelak setelah menjadi isteri sang pangeran, dia akan dicerai pula karena sang pangeran hendak menikah dengan gadis lain, seperti yang dilakukannya pada garwanya yang sekarang."

"Omong kosong! Tidak mungkin dia berani mempermainkan puteriku. Apalagi sang prabu sendiri yang ikut mengajukan dukungan. Sang prabu sendiri yang meminang. Senopati Sindukerta bukanlah orang yang boleh dipermainkan begitu saja. Tidak, aku berani tanggung bahwa kelak engkau tidak akan diceraikan begitu saja, nini. Akan tetapi tahukah kalian bagaimana akibatnya kalau aku menolak pinangan Pangeran Hendratama yang didukung oleh Sang Prabu sendiri? Aku tentu akan dianggap menghina Sang Prabu dan akan dicopot dari kedudukanku, bahkan mungkin sekali kita sekeluarga akan mendapatkan hukuman berat! Nah, sekarang bergembiralah dan tidak perlu bertangis-tangisan lagi!" Setelah berkata demikian, Senopati Sindukerta meninggalkan kamar puterinya.

Nyi Sindukerta juga segera meninggalkan puterinya untuk menyusul suaminya dan mencairkan kemarahan suaminya setelah ia menasihati puterinya agar tidak membantah lagi dan menerima dengan senang hati perjodohan yang sudah ditentukan ayahnya itu.

Setelah ditinggalkan seorang diri, Endang Sawitri tidak menangis lagi. la harus cepat mengambil keputusan dan bertindak. Urusan ini menyangkut nasib hidupnya di masa depan. Sekali ia keliru mengambil keputusan, ia akan menderita selama hidupnya, la merasa yakin bahwa menjadi isteri laki-laki yang pandang matanya penuh nafsu itu akan membuat hidup sengsara selamanya, la hanya akan menjadi permainan nafsu pangeran itu yang kalau sudah bosan tentu akan menyepaknya.

Kalau ia setuju dan ayahnya menikahkannya dengan Pangeran Hendratama, ia akan sengsara selama hidupnya. Akan tetapi sebaliknya kalau ia berkukuh menolak, ayahnya tentu akan memaksanya karena kalau ayahnya menolak pinangan itu, ayahnya sekeluarga akan celaka menerima kemarahan Sang Prabu.

Tidak ada jalan lain, pikirnya. Menerima atau menolak juga salah. Satu-satunya jalan keluar hanyalah minggat! Kalau ia minggat dan pernikahan tidak jadi dilaksanakan, bukan berarti bahwa ayahnya menolak pinangan! Ayahnya tidak dapat disalahkan. Ialah yang bersalah. Setelah mengambil keputusan tetap, dengan nekat malam itu Endang Sawitri minggat dari dalam kamarnya. Kamar itu pintunya masih terkunci dari dalam, Ia menanti sampai rumah itu sepi dan semua orang sudah tidur, lalu ia keluar dari kamar melalui jendela yang menghadap taman, kemudian berjingkat-jingkat ia menyeberangi taman menuju ke belakang dan keluar melalui pintu belakang taman.

Tentu saja keluarga Senopati Sindukerta menjadi geger dengan hilangnya Endang Sawitri. Sang senopati mengerahkan anak buahnya untuk mencari. Dan tentu saja dia merasa curiga kepada Dharmaguna, pemuda yang dulu bergaul akrab dengan putrinya. Ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itupun menghilang dari rumahnya tanpa ada orang mengetahui kemana dia pergi, tahulah Ki Sindukerta bahwa puterinya tentu minggat dengan Dharmaguna. Dia marah sekali dan menyuruh banyak perajurit mencari, namun tidak ada hasilnya. Endang Sawitri dan Dharmaguna lenyap seperti ditelan bumi, tanpa meninggalkan jejak.

cerita silat online karya kho ping hoo

Sampai di situ ceritanya, Senopati Sindukerta menghela napas panjang dan menatap wajah Nurseta yang sejak tadi mendengarkan dengan tertarik sekali, senopati tua itu melihat betapa sepasang mata pemuda itu memandangnya dengan sayu, seolah terharu sekali.

"Nah, begitulah ceritanya, Nurseta. kau dapat membayangkan apa akibat perbuatan Dharmaguna yang membawa minggat puteriku itu. Pangeran Hendratama amat marah kepadaku, menuduh aku sengaja menyembunyikan Endang Sawitri. Sang Prabu Teguh Dharmawangsa juga marah sehingga pangkatku sebagai senopati dicopot dan aku diusir keluar dari kota raja. Masih untung bagiku bahwa aku membantu perjuangan Pangeran Erlangga mengusir musuh-musuh kerajaan dan membangun kembali Kahuripan sehingga beliau kini menjadi raja. Aku diangkatnya kembali menjadi senopati. Nah, engkau tahu mengapa aku membenci Dharmaguna. Dia sudah menyebabkan kami kehilangan anak kami dan juga kedudukan kami pada waktu itu."

Nurseta merasa terharu sekali, akan tetapi dia mampu menahan perasaannya itu. Kini dia berhadapan dengan kakeknya Ibunya adalah Endang Sawitri, puteri kakek ini.

"Akan tetapi, eyang senopati, saya kira Dharmaguna itu tidak bersalah. Adalah puteri paduka sendiri yang melarikan diri dari rumah. Juga puteri paduka tidak bersalah, bahkan ia telah memberi jalan keluar yang baik sekali."

"Eh? Apa maksudmu?" tanya Senopati Sindukerta yang tidak merasa heran atau aneh mendengar pemuda itu menyebutnya eyang senopati karena melihat usianya memang sudah sepatutnya kalau pemuda itu sebaya dengan cucunya, andaikata dia mempunyai cucu.

"Begini maksud saya. Puteri paduka tidak suka diperisteri Pangeran Hendratama yang saya juga tahu merupakan orang yang buruk wataknya itu sehingga kalau ia menerima pinangan itu, ia akan hidup sengsara. Sebaliknya kalau ia menolak, atau kalau paduka menolak pinangan, tentu akan berakibat buruk bagi keluarga paduka. Oleh karena itu puteri paduka memilih minggat karena kalau ia minggat, paduka tidak dipersalahkan sebagai orang yang menolak pinangan dan kesalahan akan terjatuh kepada puteri paduka sendiri."

"Hemm, mungkin engkau benar, dia puteriku tidak dapat disalahkan. Akan tetapi si Dharmaguna itu tetap bersalah. Kalau saja Endang Sawitri tidak saling mencinta dengan dia, tentu puteriku itu tidak akan dapat melarikan diri sampai sekarang."

"Maaf, eyang senopati. Salahkah itu kalau ada dua orang muda saling jatuh cinta? Mereka berdua saling jatuh cinta, hidup bersama sebagai suami isteri yang berbahagia walaupun bukan kaya raya, dan mereka telah mempunyai seorang anak. Kenapa paduka masih terus mencari dan membenci mereka. Kalau paduka berhasil menemukan mereka, apakah paduka akan membunuh puteri, mantu, dan cucu paduka, darah daging paduka sendiri?"

Senopati Sindukerta itu terbelalak memandang kepada Nurseta.

"Anakku Endang Sawitri mempunyai seorang anak Dhuh Jagad Dewa Bathara .....! Di mana mereka sekarang berada? Nurseta, apa engkau kira aku telah gila? Aku mencinta puteriku. Kalau saja si Dharmaguna itu datang bersama Endang Sawitri dan mohon ampun kepada kami, tentu saja kami akan mengampuni semua kesalahannya. Engkau tahu mengapa aku mencari mereka? Karena aku sudah rindu sekali kepada puteri kami. Akan tetapi si jahanam Dharmaguna itu tidak pernah datang, bahkan dia selalu membawa pergi anakku, selalu menghindar sehingga sampai saat ini, kami belum juga dapat bertemu kembali dengan Endang. Apalagi sekarang ia telah mempunyai seorang anak, tentu saja kami mau menerima Dharmaguna sebagai mantu kami, sebagai ayah dari cucu kami. Akan tetapi di mana mereka kini berada? Di mana? Katakan, dimana mereka?"

"Saya juga tidak tahu, Eyang Senopati. Mereka itu selalu melarikan diri dan bersembunyi bukan sekali-kali karena tidak lagi mau mengakui paduka sebagai ayah melainkan karena ketakutan kalau-kalau mereka akan dihukum berat dan dipaksa saling berpisah kalau paduka menemukan mereka. Saya sendiri juga tidak tahu dimana adanya mereka, bahkan kedatangan saya ini juga dalam usaha saya mencari mereka."

Senopati Sindukerta menatap wajah pemuda itu dengan penuh perhatian, "orang muda, bagaimana engkau bisa mengetahui bahwa mereka takut bertemu dengan kami? Dan apa pula maksudmu mencari mereka? Ada urusan apakah kau dengan puteriku Endang Sawitri?"

Nurseta tidak dapat menyembunyikan kenyataan tentang dirinya lagi dan dia menganggap bahwa sudah tiba saatnya dia harus memperkenalkan diri kepada orang yang sesungguhnya menjadi kakeknya ini.

"Saya mencari mereka karena Endang Sawitri adalah ibu kandung saya dan Darmaguna adalah ayah saya, eyang."

Sepasang mata tua itu terbelalak, wajah tua itu menjadi pucat, lalu berubah merah.

"Kau ..... kau .....?"

"Saya Nurseta, cucu eyang ....."

"Cucuku .....!" Senopati Sindukerta lalu melompat berdiri, menubruk ke depan dan merangkul Nurseta. Lalu digandengnya lengan pemuda itu dan ditariknya "Mari, mari cucuku, mari kita bicara didalam dan mari engkau menghadap nenek mu! Ah, betapa akan bahagianya nenekmu melihat cucunya!"

Nurseta dengan kedua mata basah karena terharu membiarkan dirinya ditarik memasuki gedung itu dari pintu belakang. Para pelayan tentu saja merasa terkejut dan heran melihat sang senopati masuk rumah dari pintu belakang sambil menggandeng dan menarik tangan seorang pemuda yang tidak mereka kenal. Akan tetapi melihat wajah senopati itu berseri gembira, mereka tidak menyangka buruk dan tidak berani bertanya. Ki Sindukerta tidak memperdulikan para pelayan yang keheranan itu dan terus menarik tangan Nurseta, dibawa masuk keruangan paling dalam.

Nyi Sindukerta yang sedang duduk melamun di ruangan itu, tentu saja terkejut dan heran pula melihat suaminya memasuki ruangan menggandeng seorang pemuda. Akan tetapi sebelum ia sempat bertanya, Senopati Sindukerta sudah berseru dengan gembira.

"Diajeng, lihat siapa yang kuajak masuk ini! Dia ini anak Endang!"

Wanita yang usianya mendekati enam puluh tahun dan yang tampaknya lesu digerogoti kesedihan itu terbelalak, bangkit berdiri dan wajahnya seketika menjadi pucat.

"Anak..... anak..... Endang? Cucuku.....?"
< br> Nurseta merasa terharu sekali. Dia cepat maju berlutut dan menyembah didepan wanita tua itu, "Saya Nurseta, menghaturkan sembah hormat saya kepada eyang puteri."

"Cucuku .....!" Nenek itu merangkul pemuda yang masih berlutut dan ia menangis tersedu-sedu. Setelah beberapa saat ia menangis, suaminya lalu menepuk-nepuk pundaknya dan membantunya bangkit berdiri.

"Sudahlah, diajeng. Tenangkan hatimu dan mari kita dengarkan cucu kita bercerita tentang anak kita."

Nenek itu menurut dan mereka lalu duduk di atas kursi dan mempersilakan Nurseta duduk diatas kursi di depan mereka.

"Cucuku, di mana ibumu? Di mana anakku Endang Sawitri?" tanya Nyi Sindukerta dengan suara serak. "Kenapa engkau kini mencari ayah Ibumu, Nurseta Apakah engkau berpisah dari mereka? Lalu kenapa berpisah? Dan bagaimana pula engkau mengetahui bahwa dahulu aku membenci Dharmaguna dan mencari mereka?" tanya Ki Sindukerta.

"Apakah engkau mempunyai kakak atau adik? Berapa anak Endang Sawitri? Bagaimana kehidupannya? Apa anakku itu sehat-sehat saja? Gemuk atau kurus ia sekarang?" tanya Nyi Sindukerta.

Dihujani pertanyaan bertubi oleh kakek dan neneknya itu, Nurseta merasa terharu. Dia tahu betapa suami isteri yang sudah tua ini amat menderita selama ini. Dia menghela napas panjang lalu berkata dengan lembut.

"Semua pertanyaan kanjeng eyang kakung dan eyang puteri itu akan terjawab dalam riwayat yang akan saya ceritakan kepada paduka berdua."

"Ceritakan, ceritakanlah, Nurseta!" kata sang senopati tidak sabar lagi.

"Nanti dulu, Nurseta. Engkau harus minum dulu!" sela Nyi Sindukerta yang lalu memanggil pelayan dan meuyuruh pelayan mengambilkan minuman. Setelah pelayan datang menghidangkan minuman air teh dan karena desakan neneknya Nurseta sudah minum, mulailah pemuda itu bercerita, didengarkan dengan penuh perhatian oleh kakek dan neneknya.

"Seingat saya, ketika saya masih kecil, ayah dan ibu selalu berpindah-pindah tempat. Saya adalah anak tunggal dan mereka tidak pernah bercerita tentang riwayat mereka kepada saya. Paling akhir, kami pindah ke dusun Karang Tirta di tepi Laut Kidul, dan tinggal sana. Ketika saya berusia kurang lebih sepuluh tahun, tiba-tiba saja ayah dan ibu saya pergi meninggalkan saya di rumah. Mereka pergi tanpa pamit dan saya sama sekali tidak tahu mengapa dan ke mana mereka pergi. Saya menjadi sebatang kara dan hidup seorang diri."

"Aduh kasihan sekali engkau cucuku!" kata Nyi Sindukerta sambil mengusap dua titik air mata yang membasahi pipinya.

"Kemudian di pantai Laut Kidul saya bertemu dengan Eyang Empu Dewamurti dan saya diambil sebagai murid. Saya mengikuti beliau, mempelajari ilmu kanuragan selama lima tahun. Ketika saya bertemu Eyang Empu, saya berusia enam belas tahun dan saya turun gunung setelah Eyang Empu wafat. Setelah saya memiliki aji kanuragan dan merasa kuat, mulailah saya menyelidiki tentang perginya kedua orang tua saya. Saya mendatangi kepala dusun Karang Tirta, yang bernama Ki Suramenggala."

"Hemm, Ki Suramenggala? rasanya pernah aku mendengar nama itu....., oya, dia pernah menjadi perajurit dalam pasukan yang kupimpin, malah menjadi perwira rendahan. Dia melakukan penyelewengan, mengganggu penduduk maka dikeluarkan dari pasukan."

Nurseta mengangguk. "Agaknya benar dia, eyang. Ki Suramenggala memang bukan manusia baik-baik. Setelah saya melakukan penyelidikan, saya mendengar bahwa Ki Suramenggala mengirim utusan untuk melapor kepada paduka tentang ayah dan ibu yang tinggal di dusun itu.

"Ah, benar! Aku ingat sekarang. Lima tahun lebih yang lalu memang ada berita darinya bahwa puteriku tinggal di Karang Tirta. Akan tetapi ketika aku mengirim pasukan ke sana, ternyata mereka telah pergi dan tidak ada seorangpun mengetahui ke mana mereka pergi. Gilanya, Suramenggala itu tidak mau memberitahukan komandan pasukan bahwa anakku meninggalkan seorang cucuku di sana." kata Ki Sindukerta dengan marah. "Lalu bagaimana, Nurseta?"

"Saya lalu memaksa Ki Suramenggala untuk mengaku dan dari dialah saya mengetahui bahwa dia melaporkan tentang ayah dan ibu saya kepada paduka. Karena itulah maka saya sengaja datang berkunjung menemui kanjeng eyang untuk bertanya tentang ayah ibu saya itu”

"Akan tetapi, mengapa Endang sawitri dan suaminya itu melarikan diri dan meinggalkan engkau yang baru berusia sepuluh tahun seorang diri di Karang Tirta?" tanya Nyi Sindukerta.

"Kanjeng Eyang Puteri, sekarang saya dapat mengerti mengapa ayah dan ibu melarikan diri begitu mendengar berita bahwa Ki Lurah Suramenggala melaporkan kehadiran mereka di dusun itu kepada kanjeng eyang di sini. Mereka itu agaknya masih merasa takut kalau-kalau mereka akan dihukum dan diharuskan pisah. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa paduka berdua mencari mereka karena rindu dan ingin mereka kembali, bukan untuk menghukum."

"Akan tetapi kenapa mereka meninggalkan engkau seorang diri?" tanya Ki Sindukerta, mengulang pertanyaan isterinya tadi.

"Hal itupun tadinya membuat saya merasa penasaran, eyang. Akan tetapi sekarang saya mengerti. Mereka sengaja meninggalkan saya karena mereka tidak ingin membawa saya ikut-ikutan menjadi pelarian. Mereka tidak ingin saya juga terancam bahaya seperti yang mereka kira."

Dua orang tua itu mengangguk-angguk. "Kasihan Endang....." kata Nyi Sindukerta dengan suara gemetar karena begitu teringat kepada puterinya, tangisnya sudah mendesak lagi.

"Ini semua gara-gara si Dharmaguna itu! Dia yang menyeret anak kita kedalam jurang kesengsaraan!" kata Ki Sindukerta dan kemarahannya muncul lagi. Dia memang selalu marah kalau teringat kepada Dharmaguna karena dialah yang menjadi gara-gara anaknya menghilang sampai dua puluh tahun lamanya!

Melihat kemarahan kakeknya, Nurseta dapat mengerti. Dia maklum kalau kakeknya mempunyai rasa benci kepada Dharmaguna karena ayahnya itu dianggap sebagai biang keladi terpisahnya kakek dan neneknya dari anak tunggal mereka.

"Kanjeng eyang berdua, sayalah yang mohonkan ampun untuk ayah saya karena saya yakin bahwa ayah saya itu sama sekali tidak bermaksud untuk melarikan dan memisahkan ibu saya dari paduka berdua. Ayah dan ibu saya selalu bersembunyi dan tidak mau kembali kepada paduka berdua hanyalah karena merasa takut. Biarlah saya yang akan mencari mereka sampai dapat dan kalau sudah dapat saya temukan, pasti saya akan menceritakan kepada mereka bahwa paduka berdua sesungguhnya amat rindu kepada ibu saya dan mengharapkan agar mereka berdua segera kembali ke sini."

"Benar, cucuku Nurseta. Cepat temui ibumu, aku sudah rindu sekali kepada anakku Endang Sawitri ....." kala Nyi sindukerta dengan suara gemetar. Ki Sindukerta mengangguk dan berkata kepada cucunya.

"Carilah mereka sampai dapat, Nurseta."

"Akan tetapi kanjeng eyang berdua sudi mengampuni ayah saya, bukan?" Nurseta memohon.

"Sudah lama kami mengampuninya, apalagi sekarang mereka berdua mempunyai putera. Dharmaguna adalah mantu kami. Dahulu kami hanya marah karena mereka berdua lari dan tidak pulang."

"Baik, saya akan mencari sampai dapat menemukan ayah dan ibu." Nurseta berpikir sejenak lalu bertanya. "Apakah paduka sudah mencoba untuk minta petunjuk orang tua dari ayah Dharmaguna"

"Tentu saja sudah. Resi Jatimurti, ayah Dharmaguna juga tidak tahu kemana puteranya pergi dan keterangannya itu dapat dipercaya sepenuhnya karena Resi Jatimurti adalah seorang pertapa yang alim dan hidup sederhana. Setelah ditinggal pergi puteranya, dia hidup seorang diri dan lima tahun setelah Dharmaguna menghilang, Resi Jatimurti meninggal dunia."

Malam itu, Nurseta bercakap-cakap berdua saja dengan Senopati Sindukerta. "Nurseta, kedatanganmu sungguh membahagiakan hatiku dan hati eyang puterimu, apalagi kalau engkau nanti berhasil mengajak ayah ibu pulang kesini."

"Sayapun merasa amat berbahagia eyang. Tadinya saya sama sekali tidak mengira bahwa paduka adalah eyang saya, malah saya kira bahwa paduka adalah musuh ayah ibu saya."

Senopati itu menghela napas. "Yah, agaknya Sang Hyang Widhi merasa kasihan kepada kami yang sudah menderita selama lebih dari dua puluh tahun ini, Aku sudah mendengar riwayatmu tadi, akan tetapi ceritakanlah tentang orang sakti mandraguna yang menjadi gurumu itu. Aku ingin sekali mendengarnya."

"Eyang Empu Dewamurti adalah seorang pertapa yang berbudi luhur, bijaksana dan sakti mandraguna. Akan tetapi sayang, beliau tewas karena luka-lukanya setelah dikeroyok para datuk besar dari Kerajaan Wura-wuri, Wengker, dan Kerajaan Siluman Laut Kidul."

"Ahh! Orang-orang dari tiga kerajaan itu memang terkenal jahat dan sejak dulu memusuhi Mataram dan keturunannya sampai sekarang. Akan tetapi Empu Dewamurti tidak langsung mengabdi kepada Kahuripan, mengapa dikeroyok para datuk tiga kerajaan itu?"

"Eyang Empu Dewamurti dikeroyok bukan karena urusan kerajaan, eyang. Mereka itu mengeroyok guru saya untuk memaksa guru saya menyerahkan keris pusaka Sang Megatantra kepada mereka! "

"Ahli!" Senopati Sindukerta terbelalak terkejut dan heran.

"Sang Megatantra!.....? Kau maksudkan, keris pusaka Mataram yang hilang puluhan tahun yang lalu itu? Jadi pusaka itu berada di tangan mendiang Empu Dewamurti?"

"Sesungguhnya bukan di tangan Empu Dewamurti, melainkan di tangan saya eyang. Sayalah yang menemukan pusaka itu ketika saya mencangkul dan menggali tanah, sebelum saya menjadi murid Eyang Empu Dewamurti. Setelah lima tahun lebih saya belajar kanuragan dari Eyang Empu Dewamurti, saya diperintahkan turun gunung dan pada waktu saya pergi itu, Eyang Empu Dewamurti didatangi para datuk yang mengeroyoknya. Para pengeroyok itu dapat dikalahkan dan melarikan diri, akan tetapi akibat pengeroyokan lima orang datuk dari tiga kerajaan itu, eyang guru yang sudah tua terluka parah dan akhirnya meninggal dunia."

Senopati Sindukerta mengangguk-Angguk. "Dan bagaimana dengan keris pusaka Sang Megatantra itu?"

"Eyang Empu Dewamurti sebelum wafat menyerahkan Sang Megatantra kepada saya dan beliau mengutus saya untuk pertama menyerahkan Sang Megatantra yang dulu saya temukan itu kepada yang berhak memilikinya, yaitu Sang Prabu Erlangga."

"Wah, bijaksana dan tepat sekali itu!" seru Senopati Sindukerta girang.

"Kedua, saya harus mencari kedua orang tua saya dan ke tiga, saya diharuskan membantu Kahuripan yang menurut mendiang eyang guru akan menghadapi banyak cobaan dari Sang Hyang Widhi."

Senopati Sindukerta kembali mengangguk-angguk. "Tugas yang harus engkau lakukan itu memang sudah tepat sekali. Dan bagaimana dengan pelaksanaannya. Sudahkah engkau menghaturkan sang Megatantra kepada Sang Prabu Erlangga"

Kini Nurseta menghela napas. "Itulah yang memusingkan kepala saya, eyang. Di tengah perjalanan, saya bertemu dengan Pangeran Hendratama. Tentu saja saya tidak tahu akan ulahnya yang membuat ibu saya melarikan diri. Saya mengira dia orang baik-baik karena sikapnya amat ramah dan baik. Tidak tahunya dia seorang jahat yang menipuku. Dia menawarkan untuk membuatkan gagang dan warangka yang indah untuk keris pusaka Megatantra. Tidak tahunya dia menukar Megatantra dengan sebuah keris palsu dan dia melarikan diri, membawa Sang Megatantra."

"Ahh .....! jadi sekarang pusaka itu berada di tangan Pangeran Hendratama?"

"Benar, eyang. Akan tetapi saya akan mencarinya dan akan merampasnya kembali pusaka itu dari tangannya, kecuali kalau dia sudah menyerahkan Megatantra kepada Sang Prabu Erlangga, saya tidak akan memperpanjang urusannya. Siapa saja yang menghaturkan pusaka itu kepada Sang Prabu Erlangga, bukan masalah bagi saya. Yang terpenting pusaka itu kembali kepada yang berhak."

"Akan tetapi engkau yang menemukannya kembali pusaka yang hilang selama puluhan tahun itu, Nurseta. Engkau yang berhak mengembalikannya kepada Sang Prabu Erlangga dan menerima hadiah besar dari Sang Prabu!"

Nurseta menggeleng kepala sambil tersenyum. "Eyang, guru saya mengajarkan bahwa setiap saya melakukan sesatu, saya harus menganggap bahwa apa yang saya lakukan itu sebagai suatu kewajiban. Melakukan kewajiban itu berarti tanpa pamrih untuk mendapatkan imbalan dalam bentuk apapun juga. Melakukan segala sesuatu yang baik dan benar merupakan kewajiban dan untuk itulah kita dilahirkan di dunia ini. Akan tetapi, eyang tentu akan mengetahui kalau pusaka itu sudah diserahkan kepada Sang Prabu Erlangga. Sudahkah hal itu terjadi, eyang?"

Senopati Sindukerta mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepalanya.

"Berita yang kau bawa mengenai Sang Megatantra ini teramat penting sekali, Nurseta! Ini menguatkan dugaan ku semula bahwa Pangeran Hendratama tentu mempunyai niat yang amat buruk sekali! Tidak salah lagi dugaanku sekarang bahwa dia pasti akan berkhianat dan memberontak kepada Sang Prabu Erlangga! Ini gawat sekali Nurseta!"

"Eh, apakah yang terjadi, eyang? Apakah Pangeran Hendratama berada di kota raja? Apakah eyang mengetahui dimana dia?"

"Tentu saja aku tahu, Nurseta. Sudah jelas dia berniat buruk. Baru beberapa bulan dia menghadap Sang Prabu Erlangga yang masih adik iparnya dan mohon diperkenankan tinggal di kota raja, diluar istana. Tentu saja Sang Prabu Erlangga memberi ijin dan kini dia tinggal di sebuah gedung mewah. Aku sudah merasa curiga karena dia menghubungi para pejabat, para perwira dan pamong yang berkedudukan tinggi, menjalin persahabatan dengan mereka. Juga dia pernah mengunjungi aku dan sikapnya memang ramah sekali. Agaknya dia hendak menanam pengaruh di kota raja dan mungkin dia akan melakukan pemberontakan kalau sudah menghimpun kekuatan dan tentu saja, dia dapat mempergunakan pengaruh Sang Megatantra yang dipercaya mengandung wahyu kraton yang memberi hak kepada seseorang untuk menjadi raja!"

"Hal ini harus dicegah, eyang! Kalau dia tinggal di kota raja, sungguh kebetulan sekali. Saya akan pergi ke sana sekarang juga untuk merampas kembali pusaka Sang Megatantra!"

"Tenang dulu, Nurseta. Engkau tidak boleh bertindak sembarangan tanpa perhitungan. Gedung Pangeran Hendratama merupakan bangunan yang kokoh dan dijaga ketat, begitu yang kudengar dari para perwira yang dekat dengannya. Dia mengumpulkan jagoan-jagoan untuk menjadi pengawal pribadinya, dan dia sendiri juga seorang yang tangguh. Kalau engkau ke sana malam ini juga, selain engkau mungkin menghadapi bahaya....."

"Kanjeng eyang, saya tidak gentar menghadapi semua itu." potong Nurseta. karena dia tidak ingin kakeknya mengkhawatirkan dirinya.

"Mungkin engkau memiliki kesaktian, hai ini sudah kubuktikan sendiri tadi. Akan tetapi bukan penjagaan ketat itu yang terpenting. Bagaimana kalau engkau datang ke sana akan tetapi kebetulan Pangeran Hendratama tidak berada di gedungnya? Nah, semua jerih payahmu yang mengandung resiko bahaya besar itu tidak ada gunanya, bukan?"

Nurseta tertegun. Apa yang diucapkan kakeknya itu memang bukan tak mungkin. Memang, kalau pangeran itu tidak berada di rumahnya, usahanya akan gagal karena pangeran itu tentu akan mengetahuinya dan dapat menyembunyikan diri atau pergi dari kota raja sehingga sulit baginya untuk menemukannya.

"Lalu, menurut paduka, bagaimana baiknya, kanjeng eyang?"

"Begini, Nurseta. Besok pagi, aku akan menyelidiki dan mencari keterangan apakah Pangeran Hendratama besok malam berada di gedungnya atau tidak. Kalau sudah pasti berada di rumahnya, nah, engkau boleh mendatanginya dan merampas kembali pusaka Sang Megatantra. Kalau ternyata besok dia bepergian dan malamnya tidak berada di rumahnya, tentu engkau harus menunda lagi usahamu. Bagaimana bukankah usulku ini baik?"

Nurseta memandang wajah kakeknya dengan mata bersinar dan wajah berseri.

"Wah, terima kasih banyak, kanjeng eyang. usul paduka itu memang baik sekali dan tepat. Memang segala tindakan harus diperhitungkan dengan matang lebih dulu agar tidak mengalami kegagalan. Pantas saja sejak dulu paduka menjadi senopati yang tentu saja harus mahir menggunakan siasat!"

Kakek itu tersenyum, senang mendapat pujian dari cucunya.

"Selain itu, besok pagi-pagi engkau akan ku perkenalkan kepada semua abdi (pelayan) di rumah ini agar mereka mengenal bahwa engkau adalah cucuku dan tidak menimbulkan keheranan dan pertanyaan karena tahu-tahu engkau tinggal di sini."

"Baiklah, eyang, dan terima kasih."

Pada saat itu, Nyi Sindukerta muncul di pintu. "Aih, malam sudah begini larut dan kalian belum tidur? Kakangmas senopati, biarkan Nurseta beristirahat dan tidur. Dia tentu lelah. Nurseta, aku sudah mempersiapkan kamar untukmu. Hayo, istirahatlah dan tidur. Besok kan masih ada waktu untuk bercakap-cakap lebih lanjut!"

Senopati Sindukerta tertawa. "Ha ha, aku sampai lupa. Benar nenekmu Nurseta. Sana, pergilah ke kamarmu dan tidur!"

Nurseta tidak membantah dan dia lalu mengikuti neneknya yang menunjukkan kamar yang dipersiapkan untuknya. Karena memang lelah, malam itu Nurseta tidur dengan nyenyak. Apalagi karena hatinya merasa senang. Pertama, secara tidak terduga-duga dia bertemu dengan kakek dan neneknya, orang tua ibunya. Kedua, dia mendapatkan bahwa Pangeran Hendratama tinggal di kota raja sehingga dia tidak perlu susah-susah mencari pangeran yang licik itu.

Pada keesokan harinya, setelah mandi dan sarapan bersama kakek dan neneknya, Nurseta lalu diperkenalkan kepada semua pelayan dan juga perajurit-perajurit pengawal. Mereka semua tampak gembiar ketika diberi tahu bahwa pemuda yang sikapnya lembut dan sederhana itu adalah cucu sang senopati dan yang mulai hari itu akan tinggal di gedung senopati itu. Baik Senopati Sindukerta maupun Nurseta sama sekali tidak menyadari bahwa Pangeran Hendratama pada pagi hari itu juga sudah mendengar dan mengetahui bahwa cucu Ki Sindukerta telah datang dan tinggal di rumah sang senopati.

Pangeran Hendratama yang sudah bertekad bulat untuk merebut kekuasaan dan menjadi raja di Kahuripan, selain menjalin hubungan erat dengan para pembesar yang ambisius dan sekiranya dapat diajak bersekongkol, juga menyeludupkan seorang yang dapat dijadikan kaki tangannya ke dalam rumah setiap orang pembesar tinggi yang setia kepada Sang Prabu Erlangga.

Tugas mata-mata ini, yang merupakan karyawan di rumah sang pembesar itu sendiri dan telah disuapnya dengan uang, adalah untuk memata-matai gerak gerik pembesar itu. Senopati Sindukerta adalah seorang di antara para pejabat tinggi yang selalu diamati gerak geriknya dan di dalam rumahnya terdapat seorang kaki tangan Pangeran Hendratama.

Mata-mata itu adalah seorang yang sudah lama bekerja di gedung sang senopati, yaitu tukang kebun yang sudah dipercaya. Begitu Nurseta diperkenalkan kepada semua pembantu di senopaten itu, kaki tangan Pangeran Hendratama ini segera memberi kabar kepada sang pangeran tentang kedatangan Nurseta sebagai cucu Senopati Sindukerta.

Pangeran Hendratama terkejut sekali mendengar berita ini. Timbul rasa khawatir bercampur benci. Khawatir mengingat bahwa dia telah mencuri keris pusaka Sang Megatantra dari tangan Nurseta dan timbul rasa benci di dalam hatinya mendengar bahwa Nurseta adalah cucu Senopati Sindukerta. Cucu sang senopati, berarti putera Endang Sawitri. Ini dia merasa yakin, mengingat bahwa Senopati Sindukerta tidak mempunyai anak lain kecuali Endang Sawitri yang dulu membuat dia tergila-gila, dan yang melarikan diri, tidak mau menjadi isterinya.

Dia merasa khawatir membayangkan betapa saktinya pemuda itu. Tidak dapat diragukan lagi bahwa Nurseta pasti akan berusaha untuk merampas Sang Megatantra dari tangannya! Maka, begitu mendengar berita tentang Nurseta, Pangeran Hendratama cepat mempersiapkan penjagaan ketat di gedungnya. Bahkan diam-diam dia menghubungi selir Sang Prabu Erlangga, yaitu Mandari yang diam-diam sudah mengadakan persekutuan dengannya, dan mohon bantuan Mandari untuk melindunginya.

Mandari cepat menanggapi permohonan ini dan ia lalu menugaskan Puspa Dewi untuk membantu sang pangeran. Puspa Dewi tidak dapat membantah dan ia lalu ikut utusan Pangeran Hendratama pergi ke gedung sang pangeran yang besar dan kokoh seperti istana berbenteng itu.

Kehadiran Puspa Dewi di tempat kediaman Pangeran Hendratama menarik banyak perhatian. Bahkan Pangeran Hendratama sendiri yang memang berwatak mata keranjang, terpesona dan tertarik sekali oleh kecantikan Puspa Dewi. Apa lagi para jagoan yang sudah diundang untuk menjadi pengawal-pengawalnya mereka terkagum-kagum melihat gadis yang masih amat muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya, amat cantik jelita akan tetapi sudah menjadi kepercayaan Puteri Mandari sehingga dikirim untuk diperbantukan menjaga keselamatan Pangeran Hendratama?

Akan tetapi, bagaimanapun juga, baik Pangeran Hendratama sendiri maupun para jagoan itu, merasa sangat sangsi dan memandang rendah kepada gadis ini. Sampai dimana sih kesaktian gadis muda seperti itu, demikian pikir mereka. Biarpun demikian, para jagoan itu merasa segan mengingat bahwa Puspa Dewi dikirim ke istana Pangeran Hendratama sebagai utusan Gusti Puteri Mandari, selir terkasih Sang Prabu Erlangga dan mereka semua mengetahui betapa saktinya selir yang merupakan puteri Kerajaan Parang Siluman itu.

Maka, para jagoan itu bersikap hormat kepada Puspa Dewi dan menyimpan rasa kagum mereka di dalam hati, tidak berani bersikap kurang ajar. Akan tetapi, di antara mereka ada seorang jagoan yang merasa berani. Usianya lebih muda dibandingkan yang lain, sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat. Dia adalah seorang jagoan dari pesisir utara dan belum banyak mengenal para datuk di daerah selatan.

Maka, tidak seperti yang lain, diapun belum mengenal betul ketenaran nama besar Puteri Mandari dan memandang rendah para jagoan yang lain. Maka, diapun memandang rendah Puspa Dewi yang dianggapnya seorang gadis remaja yang masih ingusan. Karena tertarik sekali oleh kecantikan Puspa Dewi, diapun tidak seperti yang lain, memandang dengan mata kurang ajar dan mulutnya menyeringai.

Bahkan ketika Puspa Dewi baru datang dan diperkenalkan oleh Pangeran Hendratama kepada para jagoan itu sebagai utusan Gusti Puteri Mandari untuk memperkuat penjagaan di istananya, dia berani mengedipkan sebelah matanya kepada Puspa Dewi cara kurang ajar sekali. Akan tetapi Puspa Dewi pura-pura tidak melihatnya karena ia sebagal utusan Puteri Mandari tentu saja tidak ingin membikin ribut hanya karena urusan sekecil itu.

Banyak sudah dara perkasa ini bertemu dengan laki-laki seperti itu, yang suka berlagak melihat gadis cantik dan mengedipkan sebelah mata. Akan tetapi ketika la berada di taman seorang diri, datanglah Ki Lembara, jagoan pesisir utara itu, bersama tiga orang jagoan lain yang usianya sedikit lebih tua, menghampirinya di dalam taman.

Tiga orang jagoan lain ini diajak oleh Lembara untuk menggoda Puspa Dewi dan keberanian Lembara yang membuat mereka juga berani, walaupun hanya sekedar ingin menonton bagaimana jagoan pesisir itu menggoda dara cantik jelita utusan dari istana raja itu.

Puspa Dewi yang sedang duduk seorang diri sambil termenung itu melihat empat orang yang memasuki taman dari sebelah kanannya, akan tetapi ia diam saja. la sedang memikirkan keadaannya. Ia memenuhi perintah gurunya atau ibu angkatnya untuk membantu dua orang Puteri Kerajaan Parang Siluman yang berusaha untuk menghancurkan Kahuripan dan menjatuhkan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Ia berhasil masuk ke istana dan diterima sebagai dayang istana, akan tetapi ia belum tahu apa yang harus ia lakukan di sana.

Kini, tiba-tiba ia diutus oleh Puteri Mandari untuk membantu menjadi pengawal Pangeran Hendratama yang belum dikenalnya, akan tetapi yang sudah diketahui bahwa pangeran inilah yang telah mencuri Keris Pusaka Sang Megatantra dari tangan Nurseta! Pangeran Hendratama inilah yang kini memegang Sang Megatantra, akan tetapi kenapa dia tidak menyerahkan kepada Sang Prabu Erlangga?

Ketika ia disuruh oleh Gusti Puteri Mandari, selir Sang Prabu Erlangga untuk ikut menjadi pengawal pangeran itu, sudah menduga bahwa Pangeran Hendratama tentu merupakan sekutu dari Puteri Mandari. Berarti Pangeran Hendratama adalah orang yang juga memusuhi Sang Prabu Erlangga. Padahal, bukankah pangeran itu merupakan kakak dari Permaisuri atau kakak ipar sang prabu sendiri Puspa Dewi diam-diam dapat mengambil kesimpulan bahwa tentu Pangeran Hendratama merencanakan pemberontakan dan untuk itu dia bergabung dengan kedua orang puteri Kerajaan Parang Siluman itu untuk menjatuhkan Sang Prabu Erlangga!


BERSAMBUNG KE JILID 18