Bu Kek Siansu Jilid 13 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Bu Kek Sian Su Jilid 13
Karya : Kho Ping Hoo


Cerita Silat Mandarin Serial Bu-kek Sian-su Karya Kho Ping Hoo
The Kwat Lin cepat menengok. Dia melihat Swat Hong telah berdiri di ambang pintu bersama seorang gadis lain yang tak dikenalnya. Kemarahan seperti api membakar dadanya melihat dara ini. Sambil mengeluarkan jerit melengking nyaring, dia lalu menerjang dan menggerakkan pedang merahnya.

"Cring-trang...!!" pedang Swat Hong disusul pedang Coa-kut-kiam di tangan Soan Cu menangkis dan kedua orang dara itu meloncat ke belakang, ke tempat yang lebih lega.

Dengan kemarahan meluap-luap The Kwat Lin meloncat ke luar dan melanjutkan serangannya. Akan tetapi setelah bergerak belasan jurus, wanita ini terkejut dan merasa menyesal mengapa dia menuruti kemarahan hatinya.

The Kwat Lin sadar bahwa dia berada dalam bahaya! Kiranya selain Swat Hong yang telah memiliki kepandaian hebat juga gadis yang gerakan-gerakannya liar dan ganas itu amat berbahaya, apa lagi cambuk ekor ikan Phi yang meledak-ledak dahsyat. 

Sebentar saja dia tertekan dan terdesak. Beberapa kali dia berusaha untuk meloloskan diri, akan tetapi sambil mengejek Swat Hong selalu menutup jalan keluar dan dia terus digulung oleh sinar dua orang gadis lihai itu.

The Kwat Lin menjadi nekat. Sambil menggigit bibirnya dia menyerang dahsyat kepada Swat Hong, mencurahkan daya serangannya kepada anak tiri yang dibencinya ini. Menghadapi terjangan dahsyat yang bertubi-tubi itu, Swat Hong mundur-mundur juga.

Akan tetapi kesempatan baik ini dipergunakan oleh Soan Cu untuk menyerang dari belakang. Cambuk ekor ikan Phi meledak dua kali mengancam ubun-ubun kepala The Kwat Lin. Ketika wanita ini mengelak ke samping sambil melanjutkan serangan pedangnya kepada Swat Hong, Soan Cu menusukkan pedangnya mengarah lambung Kwat Lin.

"Singgg... crat... aihhhhh!!"

Kwat Lin terkejut sekali. Biar pun dia telah mengelak, tetap saja pedang Coa-kut-kiam (Pedang Tulang Ular) itu melukai lambungnya, merobek kulit dan mendatangkan rasa nyeri, panas dan perih sekali. Akan tetapi wanita yang lihai ini sudah membalik sambil juga membalikkan pedangnya menyambar leher Soan Cu. Hal ini tidak disangka-sangka oleh gadis Pulau Neraka ini.

"Awas Soan Cu...!!" Swat Hong berseru dan pedangnya menyambar, yang diarah adalah lengan kanan Kwat Lin karena hanya dengan jalan itulah dia dapat menolong Soan Cu.

"Brettt... crok... aughhhh....!!"

Soan Cu terhuyung, pundaknya berlumuran darah karena terluka parah, sedangkan Kwat Lin cepat memindahkan pedang ke tangan kirinya karena lengan kanannya juga terluka parah, terbacok di bagian bahu hampir putus! Dengan kemarahan meluap-luap dia menubruk Swat Hong, namun gadis Pulau Es ini mengelak ke kiri sambil mengangkat kaki menendang lutut.

"Dukkk! Aduh...!"

Kwat Lin terbelalak ketika tahu-tahu pedang Coa-kut-kiam telah bersarang di perutnya! Kiranya ketika tadi Swat Hong menendangnya Soan Cu yang terluka dengan kemarahan meluap menubruk, maka begitu wanita itu terguling, pedangnya cepat menyambar dan menusuk perut Kwat Lin.

"Bedebah kau...!" tiba-tiba pedang di tangan Kwat Lin meluncur.

"Soan Cu, awas...!!" Swat Hong berteriak kaget.

Namun terlambat! Pedang yang dilempar dari jarak dekat dan tak terduga-duga itu dilakukan dengan dorongan tenaga terakhir, tak dapat dielakkan dengan baik oleh Soan Cu dan menancap di bawah pundak sampai dalam!

"Soan Cu!" Swat Hong melompat dan pedangnya membabat. Kwat Lin memekik dan lehernya hampir putus!

Dengan cepat Swat Hong memeluk tubuh Soan Cu yang tersenyum! “Pergilah... Aku... aku tak berguna lagi...!" katanya.

"Omong kosong!" Swat Hong menghardik, mencabut pedang Ang-bwe-kiam dari pundak Soan Cu. Soan Cu menjerit dan pingsan. Dengan gemas Swat Hong melempar pedang itu, lalu memondong tubuh Soan Cu yang dibawanya ke luar.

Betapa kagetnya ketika ia tiba di ruangan luar. Pertempuran yang masih berlangsung hebat itu ternyata membuat pihak ibunya terdesak. Bahkan ibunya kelihatan terluka di beberapa tempat, juga ayah Soan Cu yang mengamuk dengan gagah telah berlumuran darah seluruh tubuhnya. Kwee Lun juga masih mengamuk. Hanya pemuda inilah yang belum terluka karena Ouwyang Cin Cu menujukan serangan-serangannya kepada Liu Bwee dan Ouw Sian Kok, karena menganggap ringan kepada Kwee Lun.

"Ibu...!!"

Dengan kemarahan meluap-luap Swat Hong meloncat, melampaui para pengepung dan menurunkan tubuh Soan Cu ke atas lantai. Lalu gadis ini mengamuk dengan pedangnya, merobohkan beberapa orang pengawal. Gerakannya demikian hebat sehigga para pengepung terkejut dan gentar, kemudian bergerak mundur.

"Ibu....!"

"Ayahhhh....!"

Ouw Sian Kok menghentikan amukannya dan menjatuhkan diri berlutut. Tadi dia mengira bahwa puterinya telah tewas, maka panggilan itu menggetarkan jantungnya dan membuat dia lemas. "Kau... kau Soan Cu...?"

"Ayahhhhh.... Hu-hu-hu-huuuu....!!" Soan Cu menangis dalam rangkulan ayahnya yang juga bercucuran air mata. Baru pertama kali Ouw Sian Kok dapat mencucurkan air mata.

"Wutttt... tranggg...!!" dua batang golok terpental oleh tangkisan Ouw Sian Kok tanpa menoleh karena dia sedang mendekat dan menciumi dahi puterinya.

"Ayah, aku puas... dapat bertemu denganmu....!"

"Soan Cu... aihhh, anakku, kau ampunkan dosa ayahmu...." Ouw Sian Kok berkata dengan suara terisak.

"Trang-trang..... dessss!!" dua orang pengawal yang berani menyerang roboh oleh tangkisan pedang Ouw Sian Kok dan mecuatnya kaki Soan Cu yang menendang.

"Ah, jangan kau keluarkan tenaga...." kata Ouw Sian Kok melihat betapa tendangan tadi membuat napas Soan Cu memburu.

"Ayah... aku... aku tidak kuat lagi... kau larilah, ayah...."

"Soan Cu...! Soan Cuuuu....!!"

Sian Kok meraung-raung ketika menyaksikan dengan mata sendiri betapa puterinya yang baru dilihatnya selama hidup puterinya itu, menghembuskan napas dengan bibir tersenyum di dalam dekapnya. Laki-laki gagah perkasa itu masih terus meraung-raung.

Ketika dia telah membaringkan tubuh puterinya ke atas lantai, dengan air mata bercucuran kemudian dia mengamuk seperti seekor naga, menyebar maut di antara pengeroyoknya! Hujan senjata tidak dirasakannya lagi. Pedangnya sampai menjadi merah dari ujung sampai ke gagang, bahkan sampai ke lengannya!

Sementara itu Liu Bwee yang sudah banyak kehilangan darah juga makin lemas gerakannya, kalau tidak ada Swat Hong, tentu dia roboh oleh Ouwyang Cin Cu. Untung bagi mereka agaknya kakek yang sudah menjadi Koksu ini hanya setengah hati saja bertempur, sering-kali dia sengaja mundur dan membiarkan anak buah pengawal yang mengeroyok.

Hal ini karena dia sebetulnya tidak begitu suka kepada The Kwat Lin yang dianggapnya berbahaya. Pula, setelah sekarang dia telah memperoleh kedudukan tinggi, dia tidak membutuhkan kerja sama dengan The Kwat Lin. Selain itu, juga dia ingin menghindarkan sedapat mungkin permusuhan dengan orang-orang lihai, apa lagi keluarga dari Pulau Es!

"Swat Hong, cepat kau pergi....!"

"Tidak, Ibu!"

"Kalau tidak, kau akan mati...!"

"Mati bersamamu merupakan kebahagiaan, Ibu!"

"Hushh, anak bodoh. Kalau begitu siapa yang akan mengembalikan pusaka? Kau ingat pesan Ayahmu."

"Tapi, Ibu...."

"Kalau kau membantah dan sampai tewas di sini, Ibumu tidak akan dapat mati dengan mata merem."

"Ibu....!"

"Lihatlah, dia... dia pun akan mati.... Ibu ada seorang teman yang baik.... Ibu dan dia.... Ahh, kami senang mati bersama... kau jangan ikut-ikut....!"

Mendengarkan ucapan ini, Swat Hong terkejut sekali dengan menengok ke arah Ouw Sian Kok yang mengerikan keadaannya itu. Mengertilah dia bahwa Ibunya dan laki-laki perkasa itu telah saling jatuh cinta! Jantungnya seperti ditusuk, teringat dia akan kesalahan ayahnya terhadap ibunya. Ibunya tidak bersalah, sudah sepantasnya menjatuhkan hati kepada pria lain karena disakiti hatinya oleh suami yang tergila-gila kepada wanita lain!

"Ibu...."

"Pergilah, dan ajak pemuda gagah itu!"

Sambil bercucuran air mata Swat Hong mengamuk, memutar pedangnya dan mendekati Kwee Lun yang juga masih mengamuk.

"Toako, hayo kita pergi!!"

"Eh? Ibumu? Soan Cu? Ayahnya....?"

"Ayolah...!!"

"Baik, baik...!"

Dengan membuka jalan darah, mereka berdua akhirnya berhasil meloncat ke luar.

"Jangan kejar mereka! Kepung saja yang berada di dalam!" terdengar Ouwyang Cin Cu berseru.

Tidak terlalu lama Ouw Sian Kok dan Liu Bwee dapat bertahan. Mereka sudah kehabisan tenaga, juga terlalu banyak mengeluarkan darah. Akhirnya mereka roboh berdekatan, di dekat mayat Soan Cu.

Ouwyang Cin Cu menghela napas panjang, kagum sekali menyaksikan kegagahan mereka itu. Dia masih belum menduga bahwa tiga orang yang telah tewas ini adalah orang-orang yang datang dari tempat yang hanya didengarnya dalam dongeng! Wanita cantik setengah tua itu adalah bekas permaisuri Raja Pulau Es, sedangkan laki-laki perkasa dan dara jelita itu adalah ayah dan anak dari Pulau Neraka, bahkan merupakan tokoh pimpinan!

Dia menghela napas pula ketika melihat bahwa The Kwat Lin juga tewas dalam keadaan mengerikan. Diam-diam dia merasa lega, karena dia maklum betapa di lubuk hati wanita ini tersembunyi cita-cita yang amat hebat, yang kelak mungkin membahayakan kedudukan kaisar, dan kedudukannya sendiri.

Ouwyang Cin Cu yang telah menjadi Koksu membuat laporan tentang kematian The Kwat Lin kepada Kaisar baru, yaitu An Lu Shan. Bekas jenderal ini hanya menarik napas panjang. "Hemm, sayang sekali, dia merupakan tenaga yang berguna." Kemudian sambil mengelus jenggotnya dia berkata, "Kalau begitu bagaimana dengan puteranya?"

"Menurut pendapat hamba, puteranya itu masih berdarah Raja Pulau Es yang kabarnya masih mempunyai hubungan keluarga dengan kerajaan lama. Maka kalau dia dibiarkan saja menjadi pangeran di sini, kelak kalau sudah dewasa tentu akan merupakan bahaya."

An Lu Shan mengangguk-angguk. "Habis bagaimana pendapatmu?"

Koksu yang merupakan penasehat utama itu mengerutkan alisnya yang bercampur uban, lalu berkata, "Mereka itu datang dari Rawa Bangkai, biarlah dia hamba bawa kembali ke sana, diberi kedudukan sebagai penguasa di Rawa Bangkai dan daerah sekitarnya. Anak kecil itu tidak tahu apa-apa, asal diberi kedudukan di sana mengepalai bekas anak buah ibunya dan Kiam-mo Cai-li, tentu kelak akan senang hatinya."

"Baiklah, urusan ini kuserahkan kepadamu untuk dibereskan."

Demikianlah, setelah penguburan jenazah ibunya selesai, Han Bu Ong yang masih kecil itu menurut saja ketika oleh Ouwyang Cin Cu diberi-tahu bahwa dia oleh Kaisar ‘diangkat’ menjadi ‘raja muda’ yang berkuasa di Rawa Bangkai, di mana telah dibangun sebuah gedung mewah lengkap dengan semua pelayan dan perabot. Di tempat ini, Han Bu Ong hidup cukup mewah.

Akan tetapi anak ini memang mempunyai kecerdikan yang luar biasa. Biar pun dia dicukupi hidupnya, diam-diam dia mengerti bahwa dia sengaja setengah ‘dibuang’ oleh Kaisar dan Ouwyang Cin Cu setelah ibunya tewas. Maka dia mencatat di dalam hatinya bahwa selain Swat Hong dan Kwee Lun yang menjadi musuh besarnya, juga Ouwyang Cin Cu sebetulnya bukanlah seorang sahabat yang setia dari ibunya.

Anak kecil ini dengan rajin lalu melatih dirinya dengan ilmu-ilmu peninggalan ibunya yang masih ada padanya. Dia harus menggembleng dirinya dan kelak, selain dia harus membalas kepada musuh-musuhnya, juga dia akan berusaha untuk merampas kembali pusaka-pusaka Pulau Es yang dicuri oleh Swat Hong.

Dia merasa bahwa dia berhak memiliki pusaka itu karena bukankah dia putera Raja Pulau Es? Dari ibunya dia dahulu mendengar bahwa siapa yang mewarisi pusaka Pulau Es dan melatih semua ilmu yang terdapat di dalam kitab-kitab itu, tentu akan menjadi jago nomor satu di dunia....

* * *


PARA PEMBACA yang mengikuti pengalaman Kwa Sin Liong tentu menjadi penasaran kalau pemuda sakti itu sampai tewas dalam keadaan yang demikian mengerikan! Tidak, dia tidak mati! Memang nyaris dia tewas dimakan ratusan ekor ular berbisa yang menjadi penghuni sumur itu.

Akan tetapi kalau orang belum tiba saatnya untuk mati, ada saja penolongnya yang bisa dianggap tidak masuk akal, kebetulan atau luar biasa. Dalam halnya Sin Liong tidak ada yang tidak masuk akal atau luar biasa.

Memang tubuhnya yang pingsan itu terlempar ke dalam sumur di mana terdapat ratusan ekor ular berbisa dari segala jenis, akan tetapi tidak ada seekor pun ular yang berani menggigitnya. Jangankan menggigit, mendekati pun mereka itu tidak berani, bahkan begitu tubuh pemuda itu terjatuh, ular-ular itu cepat menyingkir ketakutan. Hal ini adalah karena tanpa sengaja di saku baju Sin Liong terdapat batu mustika hijau dari Pulau Es!

Seperti kita ketahui, batu mustika hijau ini adalah milik Han Swat Hong yang telah menyelamatkan nyawa gadis ini pula ketika terserang racun. Ketika Sin Liong mengobati sumoi-nya itu, dia menyimpan batu mustika ini di dalam saku bajunya sehingga ketika dia terlempar ke dalam sumur, batu mustika itu ikut terbawa olehnya dan menjadi penyelamatnya karena tidak ada ular yang berani mendekatinya.

Sebetulnya pemuda ini menderita luka yang amat parah dan berakibat mematikan bagi orang lain. Namun pemuda ini pada dasarnya memiliki tubuh yang sempurna, bersih darahnya dan kuat tulang dan urat-uratnya. Apa lagi sejak kecil dia menerima gemblengan ilmu kesaktian dari Han Ti Ong sehingga dia memilki tubuh yang amat kuat dan tahan derita.

Dua hari dua malam dia rebah pingsan di dasar sumur yang lembab, tanpa diusik oleh ular-ular itu yang hanya memandang dari jauh seolah-olah dia merupakan makhluk yang menakutkan. Pada hari ke tiga, nampak tanda hidup pada tubuh yang tadinya tak bergerak-gerak seperti mati itu dengan suara keluhan panjang, kemudian tubuh itu bergerak dan bangkit duduk dengan susah payah.

Sejenak Sin Liong merasa nanar dan bingung melihat bahwa dirinya berada di tempat yang amat gelap. Begitu gelapnya sehingga dengan terkejut dia menyangka bahwa matanya telah menjadi buta. Akan tetapi ketika dia menoleh, tampaklah sedikit cahaya di belakangnya, dan mengertilah dia dengan hati lega bahwa dia tidak buta, melainkan berada di tempat yang amat gelap. Dia tidak tahu bahwa dia dilempar ke sumur dan sumur itu kini telah tertutup oleh batu-batu besar dari atas ketika guha terowongan itu sengaja diruntuhkan oleh Kiam-mo Cai-li dan The Kwat Lin.

Melihat cahaya terang di belakangnya, Sin Liong menggerakkan tubuhnya hendak menyelidiki. Akan tetapi dia mengeluh, karena begitu bergerak dadanya terasa nyeri bukan main! Dia teringat akan pertempuran itu dan mulai mengerti bahwa tentu dia telah tertawan dan berada dalam tempat tahanan rahasia yang amat gelap.

Maka dia segera duduk bersila mengatur pernapasan di tempat lembab dan pengap itu, menyalurkan tenaga dan hawa sakti di dalam tubuhnya. Memang dia memiliki sinkang yang amat kuat berkat latihan di Pulau Es, maka tak lama kemudian dia telah mengobati luka di dalam tubuhnya dan menyelamatkan rasa nyeri-nyeri di tubuhnya.

Begitu dia menghentikan latihannya, terasa betapa perutnya lapar sekali. Dia tidak tahu bahwa sudah dua hari dua malam perutnya sama sekali tidak diisi apa-apa. Sin Liong bangkit berdiri dengan hati-hati. Tangannya meraih ke atas... kosong. Dia mencoba meloncat dengan kedua tangannya di atas kepala. Tetap saja di sebelah atasnya kosong, tanda bahwa tempat tahanan itu tinggi bukan main! Seperti sumur!

Betapa pun dalamnya sumur itu tentu dia akan meloncat ke luar, pikirnya. Dikerahkan seluruh tenaga dalamnya, kemudian dengan ilmu ginkang-nya yang istimewa, dia melompat lagi ke atas, kedua tangannya tetap menjaga di atas kepala.

"Plakkk!" tubuhnya melayang lagi ke bawah.

Kedua tangannya bertemu dengan batu besar yang amat berat dan menutup lubang sumur itu! Beberapa kali Sin Liong menggunakan kepandaiannya untuk keluar dari dalam sumur, dan setiap kali meloncat, dia menggunakan sinkang di kedua tangannya untuk mendorong batu. Akan tetapi usahanya ini selalu gagal. 

Tentu saja tidak mungkin bagi seorang manusia, betapa kuat pun dia, untuk meloncat sambil mendorong tumpukan batu-batu besar yang menutup mulut sumur itu, batu-batu sebesar rumah dan yang sebongkah saja beratnya ada yang seribu kati! Akhirnya Sin Liong pun maklum bahwa usahanya meloloskan diri melalui atas tidak mungkin baginya. Maka dia mulai meraba-raba di sekelilingnya.

Sumur itu tidak berapa lebar, paling banyak bergaris tengah tiga meter. Ketika dia mendengar suara mendesis-desis dan mencium bau amis, tahulah dia bahwa di tempat itu terdapat banyak ular berbisa. Kemudian tampak olehnya melalui cahaya redup tadi bahwa di bagian bawah terdapat sebuah lubang dan agaknya dari tempat itulah ular-ular keluar dari sumur. 

Begitu dia mendekati lubang ini, tampak olehnya di dalam cahaya remang-remang itu seekor ular berkelebat menjauhkan diri. Dia merasa heran mengapa binatang-binatang itu tidak mengganggunya ketika dia pingsan dan kini kelihatan takut kalau didekatinya.

Dia teringat, meraba saku bajunya dan tersenyum mengeluarkan batu hijau yang mengeluarkan sinar di dalam gelap itu. Inilah penolongku, pikirnya. Hatinya menjadi makin tenang. Dengan adanya batu mustika hijau ini, tidak perlu takut menghadapi binatang berbisa apa pun. Akan tetapi melihat batu mustika itu, teringatlah dia kepada Swat Hong dan dia merasa khawatir juga.

Musuh demikian lihai, dia sendiri kena ditangkap dan agaknya dilempar ke sumur ini. Bagaimana nasib Swat Hong? Dia harus cepat keluar dari tempat ini untuk menolong Swat Hong. Kekhawatirannya terhadap sumoi-nya itu membuat dia makin bersemangat mencari jalan keluar.

Lubang dari mana ular-ular itu keluar dari sumur terlalu sempit untuk dapat diterobos, maka Sin Liong lalu menggunakan kedua tangannya untuk membongkar batu di lubang itu, memperlebar lubang dengan jalan memukul pecah batu-batu di sekelilingnya. 

Tidak mudah pekerjaan ini, karena selain tubuhnya masih lemah, juga batu-batu di tempat itu amat keras dan hanya dapat digempurnya sedikit demi sedikit. Namun akhirnya dapat juga dia memperlebar lubang itu sehingga dia dapat merangkak melalui lubang sambil terus menggempur lubang di depan yang merupakan terowongan panjang.

Melihat betapa makin lama cahayanya dari seberang terowongan kecil itu makin terang, hati Sin Ling membesar. Jelas bahwa di seberang itu terdapat tempat terbuka dari mana sinar matahari dapat masuk, pikirnya. Akan tetapi pekerjaan menerobos terowongan kecil yang merupakan liang ular dengan hanya menggunakan kedua tangan kosong, memakan waktu lama juga.

Saking hausnya, dia menengadah untuk menerima titik-titk air yang jatuh dari atas, yaitu dari dinding sumur yang mengeluarkan air. Biar pun memakan waktu lama, dapat juga dia mengobati dahaga dengan minum secara demikian.

Namun perutnya yang lapar terpaksa harus berpuasa lagi sampai tiga hari, karena setelah tiga hari, barulah dia berhasil merangkak keluar dari terowongan itu dan tiba di sebuah ruangan yang cukup luas, akan tetapi juga merupakan tempat tertutup!

Bedanya, kalau sumur pertama merupakan tempat sempit dan gelap, maka ruangan kedua ini luas sekali. Garis tengahnya tidak kurang dari sepuluh meter, merupakan sebuah ruang dalam tanah yang aneh. Di sebelah atas, jauh dan tinggi sekali, tertutup oleh tanah atau batu dan ada celah-celah yang merupakan retakan batu-batu dari mana sinar matahari dapat menerobos masuk.

Sin Liong menjatuhkan diri duduk di tengah ruangan dalam tanah ini dan harapannya kandas sama sekali. Kalau sumur pertama itu merupakan tempat tahanan yang sukar diterobos adalah tempat ini lebih sukar lagi untuk meloloskan diri. Ular-ular yang banyak sekali dan saling berbelit-belit kelihatan ketakutan, ada yang merayap naik, ada pula yang menerobos terowongan yang sudah melebar itu untuk kembali ke dalam sumur pertama!

Sin Liong termenung. Dari kamar tahanan kecil dia pindah ke kamar tahanan besar! Hanya lebih lebar dan memperoleh penerangan sinar matahari yang tidak seberapa, itulah bedanya! Akan tetapi dia tidak menjadi putus harapan. Dihadapinya kenyataan ini dengan tabah dan dilenyapkannya kekhawatiran di dalam hatinya tentang diri sumoi-nya dengan keyakinan bahwa apa pun yang akan terjadi, terjadilah tanpa dipengaruhi segala kekhawatiran yang tiada gunanya! Dia sendiri menghadapi bencana, menghadapi ancaman maut dan inilah yang terutama harus dihadapi dan diatasi lebih dulu.

Dia mulai memeriksa kalau-kalau ada jalan ke luar dari tempat itu, namun sama sekali tidak ada jalan ke luar. Akan tetapi dia menemukan benda-benda yang sementara dapat menolongnya dari ancaman kelaparan, yaitu jamur yang agaknya bertumbuhan dengan subur di tempat itu karena memperoleh sinar matahari. Perutnya lapar sekali dan pengetahuannya tentang tetumbuhan meyakinkan hatinya. 

Maka mulailah dia memilih jamur-jamur yang tak mengandung racun, lalu mulai dia makan jamur. Dalam keadaan lapar bukan main, ternyata jamur-jamur mentah itu terasa enak juga! Soal minum dia tidak usah khawatir karena di beberapa tempat pada dinding batu itu terdapat air yang menetes. Ditampungnya tetesan air itu dengan kedua tangannya, lalu diminumnya. Luar biasa segarnya air yang disaring oleh tanah dan batu itu.

Setelah yakin benar bahwa tidak ada jalan ke luar dari tempat itu, Sin Liong menerima kenyataan ini dan dia giat berlatih ilmu. Di dalam kesunyian yang amat hebat itu perasaan dan pikiran Sin Liong menjadi luar biasa tajamnya. Semua ilmu yang pernah dipelajari dan dibacanya dahulu dan sukar dimengerti olehnya karena kitab-kitab kuno Pulau Es memang amat sukar diartikan, kini menjadi jelas dan dapat dia selami intinya. Oleh karena inilah maka di luar dari kesadarannya sendiri, ilmu kesaktiannya bertambah dengan hebat dan cepatnya.

Juga di tempat ini dia mulai mengenal diri sendiri, mengenal arti hidup yang sesungguhnya. Tanpa disadarinya sendiri, dari dalam pribadinya timbul kekuatan mukjijat, kekuatan yang dimiliki oleh setiap orang manusia namun yang selalu terpendam dan tetap tersembunyi sampai saat terakhir dari hidup manusia yang selalu dipermainkan oleh nafsu yang disebut aku.

Tanpa terasa oleh Sin Liong sendiri yang selama hidup di dalam ruang bawah tanah itu sama sekali tidak pernah memikirkan atau mengenal waktu, pemuda luar biasa ini telah berada di tempat itu selama dua tahun!

Dia mengerti bahwa tanpa bantuan dari luar, tidak mungkin dia meloloskan diri dari tempat itu, maka sudah sejak lama dia tidak lagi berusaha untuk keluar dari situ. Selama itu yang menjadi teman-temannya hanyalah ular-ular berbisa! Ternyata oleh pemuda itu bahwa binatang berbisa seperti ular pun mengenal siapa lawan siapa kawan.

Karena selama itu dia tidak pernah mengganggu mereka, ular-ular itu pun jinak dan sama sekali tidak pernah menyerangnya, biar pun dia menjauhkan batu mustika hijau dari tubuhnya. Binatang-binatang ini hanya menyerang untuk menjaga diri saja dari bahaya yang datang mengancam diri mereka.

Juga tanpa disadari sendiri oleh Sin Liong, tubuhnya yang setiap hari hanya dihidupkan oleh sari jamur yang bermacam-macam itu, pertumbuhannya sama sekali berlainan dengan manusia biasa. Makanan amat mempengaruhi tubuh dan sari jamur yang dimakannya selama dua tahun itu mendatangkan kepekaan luar biasa, dan kepekaan tubuh ini pun mempengaruhi pula pertumbuhan batinnya.

Dia menjadi seorang manusia luar biasa, tidak menderita apa-apa, tidak mengharapkan apa-apa, karena di dalam keadaan apa pun juga, menghadapi keadaan apa adanya, sewajarnya, sebagaimana adanya yang dianggap sudah semestinya demikian, tidak ada lagi apa yang disebut menyenangkan atau tidak menyenangkan, tidak ada lagi yang disebut senang atau susah, tidak ada lagi puas atau kecewa.

Dalam keadaan seperti itu, tubuh sehat dan batin tenang, yang ada hanyalah rasa suka ria yang sukar dilukiskan karena sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kesukaan atau kegembiraan yang dapat dicari. Suatu nikmat yang bukan datang dari gairah nafsu atau kesenangan, nikmat hidup yang datang tanpa dicari, yang terasa hanya setelah batin bebas dari segala ikatan, seperti batin Sin Liong di waktu itu.

Pada suatu hari, di sebelah atas dari tempat rahasia ini, terjadilah kesibukan besar. Puluhan orang katai yang tubuhnya pendek akan tetapi besarnya seperti manusia biasa, bertubuh kuat dan bertenaga besar, dipimpin oleh seorang pemuda tanggung sedang membongkari reruntuhan batu-batu di dalam terowongan bawah tanah itu.

Pemuda tanggung yang berpakaian mewah itu bukan lain adalah Bu Ong, yang kini telah mengumpulkan sisa orang-orang kerdil bekas taklukan di Rawa Bangkai dan menjadi pimpinan mereka.

Han Bu Hong kini telah menjadi seorang pemuda tanggung yang lihai dan tidak ada seorang pun di antara tokoh-tokoh orang kerdil mampu melawannya. Agaknya, untuk menjadikan mimpi ibunya sebagai kenyataan, dia telah mengangkat diri sendiri menjadi ketua atau lebih tepat lagi menjadi ‘raja’ dari orang-orang katai ini. 

Gedung di Rawa Bangkai hanya menjadi tempat tinggal umum, akan tetapi diam-diam dia mendirikan ‘kerajaan kecil’ di bawah tanah. Bahkan dia telah membangun sebuah ruang seperti istana di bawah tanah, lengkap dengan kursi kebesaran yang dihiasai dengan sebuah tengkorak di samping hiasan mahal seperti permadani, lukisan dan tulisan indah. 

Sering-kali dia secara sembunyi mengadakan pertemuan dan rapat rahasia dengan para tokoh orang katai yang menjadi pembantunya, dan pemuda tanggung ini diam-diam merencanakan pekerjaan besar untuk melanjutkan cita-cita ibunya.

Demikianlah, karena dia ingin menggunakan terowongan bawah tanah itu sebagai markas partai orang kerdil, dan juga karena dia ingin mencari kalau-kalau ada harta atau pusaka peninggalan Rawa Bangkai di terowongan itu, dia lalu mengerahkan para anak buahnya untuk membersihkan bagian terowongan yang dahulu diruntuhkan oleh ibunya dan oleh Kiam-mo Cai-li.

"Akan tetapi, Siauw-pangcu (Ketua Cilik)," seorang pembantu membantah sebelum pembongkaran dilakukan. "Tempat ini dahulu sengaja diruntuhkan oleh Ibu Pangcu untuk menutupi sumur ular di mana tubuh musuh Ibu Pangcu dilempar. Karena musuh itu lihai bukan main, maka Ibu Pangcu bersama Kiam-mo Cai-li dan Ouwyang Cin Cu memutuskan untuk menutup saja tempat ini agar pemuda sakti itu tidak mampu hidup kembali."

Han Bu Ong tertawa. "Ha-ha, mana mungkin Kwa Sin Liong dapat hidup kembali? Dia sudah di lempar di sumur ular, andai kata dia tidak mati oleh ular-ular itu, tentu selama dua tahun dikubur hidup-hidup di sumur itu dia kini sudah menjadi setan tengkorak, tinggal rangkanya saja. Mengapa khawatir? Hayo bongkar! Kalau tidak dibongkar, terowongan ini tertutup sampai di sini, padahal kita amat membutuhkan sebagai jalan rahasia yang amat penting bagi perkumpulan kita."

Karena alasan yang dikemukakan ketua cilik ini memang tepat, maka beramai-ramai para manusia katai itu segera bekerja keras, membongkari batu-batu yang besar-besar dan berat itu, menggunakan alat pendongkel dan lain-lain.

Hiruk-pikuk suara di dalam terowongan itu, dan pekerjaan yang berat itu biar pun dilakukan oleh hampir lima puluh orang, tetap saja memakan waktu yang cukup lama. Memang sesungguhnyalah bahwa merusak itu mudah membangun itu sukar, mengotori itu mudah membersihkannya tidak semudah itu.

Setelah bekerja keras selama sepekan, barulah batu besar terakhir yang menutupi sumur dapat disingkirkan. Han Bu Ong dan para anak buahnya seperti berlomba lari menghampiri sumur dan melongok ke dalam sumur yang amat gelap itu. Pada saat itu, terdengar suara angin menyambar dari bawah dan berkelebatlah bayangan orang yang melayang dari bawah. Han Bu Ong dan semua orang terkejut.
Ketika mereka menoleh dan memandang bayangan orang yang tadi meloncat melewati kepala mereka, mereka melihat seorang laki-laki muda berdiri di situ sambil tersenyum. Seorang pemuda yang berwajah tampan, yang memiliki sepasang mata yang lembut pandangannya namun bersinar cahayanya, pemuda yang pakaiannya lapuk dan compang camping. Tidak ada orang kerdil yang mengenal pemuda ini karena memang keadaannya jauh berbeda dengan tahun yang lalu.

Akan tetapi Han Bu Ong dengan suara gemetar membentakkan perintah, "Serbu! Bunuh dia...!!"

Orang-orang katai yang tadinya bengong terheran-heran dan ketakutan karena menduga keras bahwa tentu hanyalah siluman saja yang keluar dari sumur tertutup itu, ketika mendengar bentakan ini menjadi sadar. Kini mereka pun ingat bahwa tentu ini pemuda yang dua tahun yang lalu dilempar ke dalam sumur. 

Mereka bergidik ngeri dan gentar mendapat kenyataan bahwa orang yang dua tahun lalu dilempar ke sumur ular yang tertutup kini ternyata masih hidup. Namun karena maklum bahwa ini adalah musuh mereka dengan teriakan-teriakan ganas mereka menyerang orang itu.

Memang benar dugaan Han Bu Ong. Orang ini bukan lain adalah Kwa Sin Liong. Ketika Sin Liong akhirnya dari bawah mendengar suara hirup pikuk di sebelah atas, kemudian melihat cahaya turun melalui terowongan kecil jalan ular, dia menyeberangi terowongan dan tiba di dasar sumur pertama.

Akhirnya dia melihat betapa atap sumur yang tadinya tertutup batu besar itu terbuka dan melayanglah dia ke luar. Karena selama dua tahun dia tidak bertemu orang, begitu melihat Bu Ong dan orang-orang kerdil, dia tersenyum girang.

Akan tetapi orang-orang kerdil itu dengan bermacam senjata telah menyerangnya. Sin Liong hanya mengerahkan sinkangnya membiarkan belasan senjata tajam menimpa tubuhnya. Terdengarlah teriakan-teriakan kaget karena semua senjata, baik yang tajam mau pun yang tumpul, begitu mengenai tubuh pemuda itu, membalik seperti mengenai gumpalan karet yang amat kuat.

"Adik Bu Ong... bukankah engkau sute (Adik Seperguruan)...?" Sin Liong berkata halus sambil memandang kepada Han Bu Ong.

"Iblis! Siluman! Bunuh dia...!!" Bu Ong berteriak-teriak dengan muka pucat dan mata terbelalak.

Biar pun hati mereka gentar sekali, namun orang katai itu kembali menyerbu dan hujan senjata menyambar tubuh Sin Liong. Kembali senjata-senjata itu mental, bahkan ada yang terlepas dari pegangan tangan pemiliknya. Sin Liong menarik napas panjang, menunduk dan memandang pakaiannya yang menjadi makin compang-camping akibat terkena bacokan senjata-senajata itu, kemudian sekali bergerak tubuhnya berkelebat melewati kepala para pengeroyoknya yang bertubuh pendek dan lenyap.

Gegerlah para orang katai. Akan tetapi Han Bu Ong menyabarkan dan menenangkan hati mereka. Dia merasa yakin bahwa betapa pun lihainya Sin Liong, pemuda itu agaknya tidak akan mengganggunya. Maka dia melanjutkan rencananya dan melakukan perundingan dengan para anak buahnya.

Seperti juga ibunya dahulu, pemuda tanggung ini sudah mulai dengan usahanya untuk mencari kedudukan dengan menghubungi seorang ‘pangeran’ baru yang juga merasa tidak puas dengan kedudukan yang diperolehnya setelah perjuangan mereka berhasil.

Pangeran ini dahulunya adalah seorang pemberontak rakyat petani yang bergabung dengan An Lu Shan, bernama Shi Su Beng yang kini dianugerahi pangkat ‘pangeran’ oleh An Lu Shan. Shi Su Beng bermaksud untuk merebut tahta kerajaan dari An Lu Shan, dan apabila terjadi kegagalan, maka terowongan bawah tanah milik Han Bu Ong itulah yang akan dijadikan tempat persembunyian.

Setelah selesai mempersiapkan segala-galanya dan tempat itu ditinjau sendiri oleh Pangeran Shi Su Beng, Han Bu Hong lalu pergi ke kota raja bersama sekutunya itu untuk mulai melaksanakan siasat yang sudah mereka rencanakan lebih dahulu.

Memang selama dua tahun itu terjadi dua hal yang banyak tercatat dalam sejarah. Kemenangan An Lu Shan ternyata tidak mendatangkan kemakmuran atau keamanan, bahkan sebaliknya. Kaisar yang telah melarikan diri ke Secuan dan menyerahkan tahta kerajaan kepada puteranya itu kini menyusun kekuatan di barat untuk menyerbu dan merampas kembali kota raja. Selain itu, di dalam istana pemerintah baru sendiri terjadi pertentangan dan perebutan kekuasaan!

Semua ini terjadi karena memang sesungguhnya para pemimpin pemberontak yang dahulu memberontak terhadap pemerintah dengan dalih ‘demi rakyat’ atau demi keadilan, demi kebenaran, demi negara dan lain istilah muluk-muluk lagi itu sesungguhnya hanyalah ‘berjuang’ demi dirinya sendiri saja!

Semua istilah itu tak lain tak bukan hanyalah untuk dijadikan ‘modal’ perjuangannya untuk mencari kedudukan dan kemuliaan bagi diri sendiri. Hal ini sudah terlalu sering terjadi di dunia, berulang-ulang, namun sampai sekarang rakyat di seluruh dunia tetap bodoh, mau saja di peralat dan dicatut namanya oleh orang-orang yang berambisi untuk diri pribadi.

Betapa banyaknya bukti akan kepalsuan ini dapat dilihat dalam sejarah di negara mana pun di dunia ini. Sekelompok orang berambisi untuk keuntungan mereka sendiri, dengan siasat cerdik menggunakan nama rakyat untuk mencapai tujuan mereka, kalau perlu mereka mengorbankan rakyat.

Rakyat sudah cukup puas memperoleh gelar ‘pahlawan’ kalau sampai tewas dalam perjuangan yang sebenarnya adalah penyalahgunaan demi keuntungan kelompok yang mempergunakan mereka itu. Inilah sebabnya ketika perjuangan telah berhasil, jika para kelompok pimpinan yang berambisi sudah memperoleh apa yang mereka kejar-kejar, maka rakyat pun dilupakan sudah!

Bukan sengaja dilupakan, melainkan karena mereka yang sudah berhasil merampas kedudukan itu pun harus menghadapi lawan atau saingan yang juga ingin merebut kedudukan itu. Rakyat adalah orang yang berada dibawah, dan yang terinjak memang selalu yang berada di bawah.

Yang berada di atas tidak akan terinjak, akan tetapi mereka itu saling berebutan di antara mereka sendiri, memperebutkan kedudukan yang lebih enak dan empuk dari-pada kedudukan yang telah dimilikinya.

Demikianlah pula dengan An Lu Shan dan teman-temannya yang telah berhasil dalam ‘perjuangan’ mereka merampas kedudukan tahta kerajaan. Teman-teman yang tadinya berjuang bahu-membahu, menjadi kawan senasib sependeritaan, yaitu di waktu mereka memberontak, kini setelah memperoleh apa yang mereka cita-citakan, berbalik mencurigai, saling iri!

Memang belum ada yang secara berterang berani menentang An Lu Shan, bekas panglima yang masih amat kuat kedudukannya, didukung oleh pasukan-pasukan inti dan tampaknya semua pembantunya sudah menyetujui sebulatnya kalau An Lu Shan menjadi Kaisar.

Akan tetapi diam-diam, banyak pula yang mempersoalkan pembagian pangkat dan kedudukan. Tentu saja yang merasa tidak puas adalah mereka yang memperoleh pangkat agak kecil, sedangkan yang menerima pangkat besar merasa curiga dan hati-hati menghadapi bekas teman yang memperoleh pangkat yang lebih kecil. Terjadi dan berlangsunglah konflik sembunyi di antara mereka.

* * *


Ke manakah perginya Swat Hong dan Kwee Lun? Di bagian depan telah diceritakan betapa dua orang muda ini berhasil menyelamatkan diri, lari ke luar dari istana The Kwat Lin dan terus keluar dari kota raja Tiang-an. Mereka berlari dengan cepat mempergunakan kegelapan malam, berhasil keluar dari benteng tembok kota raja karena para penjaga yang berada dalam suasana pesta kemenangan itu tidak melakukan penjagaan yang terlampau ketat.

Setelah terang tanah dan mereka tiba di dalam sebuah hutan jauh dari tembok kota raja barulah keduanya berhenti dalam keadaan terengah-engah.

Swat Hong menjatuhkan dirinya di bawah sebatang pohon besar. Wajahnya pucat, muka dan lehernya penuh keringat yang di usapnya dengan ujung lengan bajunya. Pandang matanya merenung jauh sekali, dan dia diam saja, sama sekali tidak berkata-kata, sama sekali tidak bergerak, seperti dalam keadaan setengah sadar.

Kwee Lun juga menghapus peluhnya dan dia pun duduk diam, memandang kepada Swat Hong. Beberapa kali dia menggerakkan bibir hendak bicara namun ditahannya lagi. Pemuda yang biasanya bergembira ini merasa betapa jantungnya seperti diremas-remas. Dia sendiri merasa kehilangan dan amat berduka dengan kematian Soan Cu, gadis yang kini dia tahu adalah wanita yang amat dicintainya.

Akan tetapi, melihat keadaan Swat Hong yang terpaksa harus meninggalkan ibu kandungnya menghadapi kematian, dia melupakan kedukaan hatinya sendiri dan merasa amat iba kepada Swat Hong. Melihat betapa Swat Hong seperti orang kehilangan ingatan, Kwee Lun merasa khawatir sekali. Kalau dibiarkan saja, gadis ini bisa jatuh sakit, kalau hanya sakit badannya masih mending, akan tetapi kalau terserang batinnya lebih berbahaya lagi.

Akhirnya Kwee Lun memberanikan diri berkata lirih dan halus, "Mati hidup adalah berada di tangan Thian, kita manusia tak dapat menguasainya, Nona."

Mendengar kata-kata ini, Swat Hong menengok dan memandang. Akan tetapi pandang matanya tetap kosong, seolah-olah kata-kata itu tidak dimengertinya dan dari mulutnya hanya terdengar suara meragu, "Hemm...?" Suara ini gemetar dan pandang mata itu menusuk perasaan Kwee Lun.

Maka pemuda ini lalu memberanikan diri melangkah lebih jauh lagi dengan kata-kata yang lebih membuka kenyataan, "Ibumu gugur sebagai seorang yang gagah perkasa."

Sepasang mata yang kehilangan sinar itu terbelalak, seolah-olah baru sadar. Bibir yang gemetar itu bergerak, mula-mula lirih makin lama makin keras, "Ibu....? Ibu...., Ibu...!" Swat Hong menangis tersedu-sedu dan memanggil-manggil ibunya.

"Tenanglah, Nona. Tenanglah...." Kwee Lun menghibur dan berlutut di depan gadis itu, akan tetapi suaranya sendiri parau dan agak tersedu.

"Ibu...! Mengapa aku meninggalkan ibu mati sendiri...? Ibu...! Hu-hu-huuuuuuuk, Ibuuuuuuuu....!"

Memang menangis merupakan obat terbaik bagi batin gadis itu, pikir Kwee Lun penuh keharuan. Akan tetapi saat melihat Swat Hong menjambak-jambak rambut sendiri, dia merasa khawatir. "Ingatlah, Nona. Ingatlah pesan Ibumu... tentang pusaka Pulau Es...."

Swat Hong mengangkat muka dan melihat wajah pemuda itu juga basah air mata, dia menubruk. "Toako... ahhh, Toako...!" dan menangislah dia tersedu-sedu di dada pemuda itu yang dianggapnya merupakan satu-satunya sahabat di dunia yang baginya kosong ini.

Kwee Lun memejamkan mata dan membiarkan gadis itu menangis terisak-isak.

Dengan sesenggukan Swat Hong berkata, "Ibu tewas... di depan mataku... dan aku tidak dapat menolongnya... hu-hu-huuuuuhhhh...... dan Ayah pun sudah tiada, Suheng juga... hu-huuuuuhhh apa gunanya aku hidup lagi? Apa gunanya aku mencari pusaka dan mengembalikan ke Pulau Es?”

Seperti seorang yang mendadak menjadi kalap Swat Hong merenggutkan dirinya dari dada Kwee Lun, lalu melompat bangun mengepal tinju. "Katakan, Kwee-toako, apa gunanya semua ini? Ayah ibuku sudah meninggal, dan Suheng... satu-satunya orang yang kucinta... dia pun tidak ada lagi...! Katakan, apa perlunya aku hidup lebih lama?"

Kwee Lun teringat akan kematian Soan Cu yang menghancurkan perasaannya. Akan tetapi dia menekan kedukaannya dan berkata, suaranya nyaring bersemangat, 

"Adik Hong, tidak semestinya seorang perkasa seperti engkau mengeluarkan kata-kata bernada putus asa seperti itu! Engkau adalah puteri dari Pulau Es! Kedukaan apa pun yang menimpa dirimu, harus kau atasi dengan gagah perkasa! Aku dapat memahami pesan mendiang Ibumu yang mulia dan gagah perkasa itu. Kalau pusaka keluargamu dari Pulau Es terjatuh ke tangan orang lain, bukankah itu amat sayang, berbahaya dan juga merendahkan? Pusaka itu telah diselamatkan oleh Nona Bu Swi Nio dan Saudara Liem Toan Ki. Sebaiknya kalau kita segera menyusul mereka dan aku akan membantumu mencari Pusaka Pulau Es."

Ucapan penuh semangat itu benar-benar menyadarkan Swat Hong, menarik gadis itu dari lembah kedukaan yang hampir mematahkan semangatnya. Dia menahan isak, menarik napas panjang dan menghapus air matanya, lalu memandang kepada pemuda itu, memegang tangan Kwee Lun.

"Kwee-toako, terima kasih atas peringatanmu. Hampir aku lupa akan tugasku. Memang benar, sudah berani hidup harus berani menghadapi apa pun yang menimpa kita. Engkau sungguh baik sekali, Toako. Engkau sendiri menderita, kehilangan Soan Cu, namun masih menghiburku...."

Kwee Lun mengangkat mukanya dan memejamkan mata. "Benar... aku mencinta Soan Cu... aku mencintanya...."

"Dan aku mencinta Suheng. Betapa buruk nasib kita, Toako. Akan tetapi, kau masih mempuyai gurumu, sedangkan aku hanya seorang diri... Ah, sudahlah. Aku akan pergi, Toako. Semoga engkau akan dapat menemukan kebahagiaan dalam hidupmu. Engkau baik sekali dan terima kasih." Swat Hong berkelebat dan meloncat pergi.

"Nanti dulu! Hong-moi... biarlah aku membantumu...."

"Tidak usah, Kwee-toako. Aku akan menyusul mereka ke Puncak Awan Merah, kemudian aku akan kembali ke Pulau Es... untuk... untuk selamanya. Selamat tinggal!" Swat Hong meloncat dengan cepat sekali dan sebentar saja dia sudah lenyap meninggalkan Kwee Lun yang menjadi lemas.

Pemuda ini menjatuhkan dirinya duduk di atas tanah dan baru sekarang dia tidak dapat menahan bertitiknya air matanya. Baru sekarang terasa olehnya betapa dia kehilangan Soan Cu, betapa dunia terasa amat hampa dan sunyi. Berkali-kali dia menarik napas panjang dan teringatlah dia kepada gurunya, Lam-hai Sengjin yang seperti orang tuanya sendiri.

Dia harus kembali ke Pulau Kura-kura di Lam-hai! Terbayang olehnya betapa suhunya itu akan terheran-heran mendengar semua pengalamannya dengan keluarga Pulau Es! Dengan perasaan yang kosong dan sunyi, ingatan akan gurunya ini merupakan setitik harapan kegembiraan hidupnya dan perlahan-lahan Kwee Lun meninggalkan hutan itu untuk kembali kepada gurunya yang sudah amat lama ditinggalkannya.

Sementara itu, dengan mata masih merah oleh tangisnya, Han Swat Hong melanjutkan perjalanan seorang diri dengan cepat untuk mengejar Swi Nio dan Toan Ki. Kalau dia dapat menyusul mereka dan minta kembali Pusaka Pulau Es dia dapat langsung kembali ke Pulau Es dan selanjutnya... entah, dia sendiri tidak tahu apakah dia ada niat untuk kembali ke daratan besar.

Tidak, dia akan tinggal di pulau itu, di mana dia terlahir. Biar pun pulau itu sudah kosong, dia akan tinggal di tempat kelahirannya itu sampai mati! Bercucuran pula air matanya ketika dia berpikir sampai di situ dan terkenang kepada suhengnya. Kalau saja ada suheng-nya di sisinya, tentu tidak akan begini merana hatinya. Akan tetapi, betapa pun cepat Swat Hong melakukan pengejaran, tetap saja dia tidak berhasil menyusul Swi Nio dan Toan Ki.

Ketika tiba di Puncak Awan Merah, tempat tinggal Tee-tok Siangkoan Houw, di tempat ini dia hanya disambut oleh Ang-in Mo-ko Thio Sam. Kakek yang menjadi murid kepala Tee-tok itu yang menceritakan bahwa Tee-tok bersama puterinya telah beberapa pekan pergi turun gunung dan bahwa selama itu tidak ada tamu, juga tidak ada Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki seperti yang ditanyakan oleh gadis itu.

Swat Hong mengerutkan alisnya. Hatinya mulai bertanya-tanya. Celaka, pikirnya, jangan-jangan dia telah salah memilih orang untuk dipercaya menyelamatkan Pusaka Pulau Es! Jangan-jangan dua orang muda itu sengaja melarikan pusaka-pusaka itu dan bersembunyi! Timbul kecurigaan yang diikuti kemarahan di hatinya, dan berbareng dengan perasaan ini timbul pula semangatnya yang tadinya amat menurun itu.

Hidupnya masih perlu dan ada gunanya, setidaknya dia harus menyelamatkan pusaka-pusaka itu agar tidak terjatuh ke tangan orang lain! Perasaan marah dan khawatir ini mendatangkan perasaan bahwa dia masih amat dibutuhkan untuk hidup terus.

Sambil menahan kemarahannya, dia berkata kepada murid kepala Tee-tok itu, "Andai kata ada datang Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki, harap minta kepada mereka untuk menanti saya di sini. Dua bulan lagi saya akan kembali menemui mereka."

Ang-in Mo-ko Thio Sam yang sudah mengetahui kelihaian dara yang pernah menggegerkan Awan Merah ini mengangguk-angguk.

Kemudian Swat Hong meninggalkan Puncak Awan Merah untuk mengambil jalan kembali ke jurusan kota raja untuk mencari kalau-kalau dua orang muda itu dapat berjumpa dengannya di jalan. Namun semua perjalanannya sia-sia belaka. Dua bulan kemudian, kembali dia tiba di Puncak Awan Merah dan untuk kedua kalinya Ang-in Mo-ko (Iblis Tua Awan Merah) menyatakan penyesalannya bahwa dua orang muda yang dicari itu belum juga datang, bahkan gurunya juga belum pulang.

"Saya malah merasa gelisah juga memikirkan Suhu," kata kakek itu. "Keadaan di mana-mana sedang ribut dengan perang, akan tetapi Suhu pergi begitu lamanya belum juga pulang."

Swat Hong menahan kemarahannya. Tidak salah lagi, pikirnya. Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki tentu berlaku khianat, menginginkan pusaka-pusaka itu untuk diri mereka sendiri. Aku harus mencari mereka dan selain merampas kembali pusaka, juga akan kuhajar mereka! Dia berpamit lalu pergi lagi, di sepanjang jalan dia memaki-maki Bu Swi Nio yang tadinya dipercayainya.

"Dasar murid iblis betina itu," gerutunya. "Gurunya sudah mati, kini muridnya yang menyusahkan aku!"

Mulailah Swat Hong mencari-cari kedua orang itu tanpa hasil. Sampai dua tahun dia berkelana mencari-cari kedua orang muda itu namun anehnya, tidak ada seorang pun manusia yang tahu akan mereka. Akhirnya timbullah pikirannya bahwa sangat boleh jadi Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki yang tadinya adalah anak buah An Lu Shan yang kini membalik dan berkhianat itu takut kepada pembalasan pemerintah baru dan telah lari mengungsi ke barat, ke Secuan. Sangat boleh jadi!

Pikiran ini membuat dia mengambil keputusan dan berangkatlah dia ke Secuan. Sambil mencari pusaka, dia pun ingin membantu Kaisar yang kabarnya sedang menyusun kekuatan untuk menyerang dan merebut kembali tahta kerajaan. Sebaiknya kalau dia membantu, pikirnya. Selain untuk mengisi kekosongan hidupnya, juga sekalian untuk mencari Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki, juga untuk menghancurkan semua kaki tangan An Lu Shan termasuk Ouwyang Cin Cu.

Mengingat bahwa ayahnya adalah seorang keturunan pangeran atau raja muda, maka sebenarnya dia masih berdarah bangsawan dan masih ada hubungan darah dengan keluarga kaisar sehingga sepatutnyalah kalau dia membantu.

* * *

Sementara itu, di ibu kota yang telah diduduki An Lu Shan, di dalam istana di mana An Lu Shan mengangkat diri sendiri menjadi raja, terjadilah hal-hal yang hebat! An Lu Shan sendiri masih melanjutkan wataknya yang kasar dan mau menang sendiri. Satu di antara kesukaannya adalah wanita.

Maka begitu dia berhasil menjadi Kaisar, tak pernah berhenti setiap malam dia berganti wanita mana saja yang dipilih dan ditunjuknya, tidak peduli wanita itu masih gadis atau isteri orang lain sekali pun!

Pada suatu malam, dalam keadaan mabuk dan sedang gembira, An Lu Shan lupa diri dan dalam keadaan setengah sadar dia memasuki kamar mantu perempuannya yang sudah lama sekali dia rindukan secara diam-diam. Kalau sadar dan tidak mabuk, dia masih menahan hasrat hatinya. 

Akan tetapi malam itu, dalam keadaan mabuk, dia tidak mempedulikan apa-apa lagi dan memasuki kamar mantunya! Tidak ada seorang pun manusia di dalam istana yang berani melarang, dan pada saat itu, putera An Lu Shan sedang tidak berada di situ.

Dengan penuh perasaan duka dan ketakutan, mantu yang muda dan cantik jelita itu tidak kuasa menolak atau memberontak. Sambil menangis dia terpaksa membiarkan dirinya dipeluk dan diciumi mertua yang mabuk itu. Dengan suara lirih dan membujuk dia masih berusaha mengingatkan An Lu Shan, namun seorang laki-laki yang tidak hanya mabuk arak, melainkan juga mabuk cinta birahi, tidak mempedulikan apa pun. Wanita itu hanya dapat merintih dan menangis, diseling suara ketawa gembira dari An Lu Shan.

Ketika pintu kamar itu dengan paksa dibuka dari luar oleh pangeran, An Lu Shan telah tidur mendengkur kelelahan dengan muka merah karena banyak arak, sedangkan isteri pangeran itu menangis terisak-isak, berlutut di atas lantai. Pangeran itu menjadi mata gelap, pedang dicabut dan sekali meloncat dia telah menikam dada ayahnya sendiri.

"Crappp...!"

"Auhhh... haiii... kau... kau....?!"

Biar pun pedang telah menembus dadanya, An Lu Shan yang bertubuh kuat itu masih dapat meloncat dan mencengkeram ke arah puteranya. Akan tetapi pangeran yang sudah mata gelap itu mengelak, kakinya menendang sehingga An Lu Shan terdorong jatuh, membuat pedang itu masuk makin dalam. Dia berkelojotan dan tak bergerak lagi!

"Tangkap pembunuh...!!" teriakan ini keluar dari mulut Shi Su Beng yang bersama dengan Han Bu Ong sudah lari ke dalam kamar.

Shi Su Beng menggerakkan pedangnya dan terdengar teriakan mengerikan ketika pangeran itu roboh pula di dekat mayat ayahnya dalam keadaan tak bernyawa pula karena lehernya hampir putus terbabat pedang Pangeran Shi Su Beng! Gegerlah seluruh istana.

Rapat kilat diadakan dan Shi Su Beng yang dianggap membela Kaisar itu mempergunakan kesempatan ini untuk merampas kedudukan Kaisar! Dalam keadaan kacau-balau itu, Shi Su Beng mengangkat diri sendiri sebagai raja dan Han Bu Ong menjadi raja muda pembantunya yang setia!

Hanya mereka berdua saja yang tahu bahwa semua peristiwa itu memang digerakkan oleh mereka berdua! Shi Su Beng yang membangkitkan birahi An Lu Shan terhadap mantu perempuannya. Bahkan di dalam mabuk, Shi Su Beng yang membujuk supaya Kaisar baru itu memasuki kamar dengan mengatakan bahwa di dalam kamar itu dia telah menyediakan seorang wanita cantik mirip mantunya itu untuk An Lu Shan!

Dan selagi An Lu Shan yang mabuk itu menggagahi mantunya sendiri, diam-diam Han Bu Ong menghubungi pangeran dan membisikan bahwa ada penjahat memasuki kamarnya. Maka terjadilah seperti apa yang telah direncanakan oleh mereka berdua, yaitu kematian An Lu Shan di tangan puteranya sendiri dan kemudian kematian pangeran di tangan Shi Su Beng.

Terjadilah pergantian kekuasaan dan perubahan besar-besaran di kota raja. Kembali Han Bu Ong berhasil mengangkat dirinya sendiri seperti yang dicita-citakan ibunya, yaitu menjadi seorang pangeran yang berkuasa, jauh lebih berkuasa dari-pada di waktu ibunya masih hidup, yaitu menjadi tangan kanan penguasa baru yang menjadi sekutunya!

Akan tetapi, jatuhnya An Lu Shan dan berpindahnya kekuasaan ke tangan Shi Su Beng, masih saja belum meredakan ketegangan-ketegangan di kota raja akibat perebutan kekuasaan.

Seperti biasa penguasa baru mengangkat teman-temannya sendiri menduduki jabatan tinggi, melakukan penggeseran-penggeseran sehingga menimbulkan dendam dari kawan-kawan yang berbalik menjadi lawan. Dalam keadaan seperti itu, tidak heran jika timbul rencana-rencana dan intrik perebutan kekuasaan yang kacau-balau, kalau perlu dengan cara halus mau pun kasar.

Sebaliknya, para pemberontak yang kini memegang tampuk kerajaan itu justru menjadi lalai. Mereka terlalu memandang rendah Kaisar yang telah melarikan diri ke Secuan, menganggap keluarga Kaisar lama itu sudah jatuh benar-benar. Kesibukan untuk kepentingan ambisi pribadi membuat mereka lengah dan kurang memperhatikan pertahanan sehingga mereka tidak tahu betapa Kaisar dan keluarganya di Secuan telah membentuk kekuatan baru untuk melakukan pembalasan!

Kaisar Tua Hian Tiong, yang hancur lahir batinnya karena bukan hanya mahkota kerajaan dirampas oleh pemberontak An Lu Shan, akan tetapi terutama sekali karena selirnya tercinta, Yang Kui Hui, harus mati digantung oleh keputusannya sendiri, setibanya di Secuan, menjadi seorang kakek yang patah semangat dan selalu tenggelam dalam duka cita. Dalam keadaan mengungsi itu, di Secuan, keluarga kaisar dan para pengikutnya yang masih setia, menerima keputusan Kaisar Tua untuk mengangkat Kaisar baru, yaitu Putera Mahkota yang bergelar Su Tiong.

Pada waktu itu sisa pasukan pemerintah yang telah kalah perang terhadap An Lu Shan, di bawah pimpinan Panglima Besar Kok Cu It, telah menyusul pula ke Secuan. Kaisar Su Tiong lalu menghimpun kekuatan dari rakyatnya di daerah Secuan, dan minta bantuan kepada negara-negara tetangga yang bersahabat.

Maka terkumpullah pasukan-pasukan campuran yang terdiri dari bermacam suku, bahkan terdapat pula bangsa Turki, Tibet, dan kemudian sekali datang pula bala bantuan dari pasukan Arab yang dikirim sebagai tanda bersahabat oleh Kaliphu. Pasukan-pasukan itu disusun menjadi barisan besar dan diberi latihan-latihan berat dalam persiapan Kaisar Su Tiong untuk merampas kembali kerajaannya.

* * *

Tidak ada hal penting terjadi selama perjalanan Swat Hong menuju ke Secuan. Gadis yang dahulu berwatak periang dan jenaka itu, yang wajahnya selalu berseri dan gembira, kini menjadi pendiam dan ada garis-garis dan bayangan muram di wajahnya yang tetap cantik jelita walau pun tidak pernah bersolek.

Perantauan selama dua tahun mencari-cari pusakanya yang hilang tanpa hasil itu membuat dia merasa berduka dan juga penasaran sekali. Di dalam hatinya di berjanji bahwa dia takkan pernah berhenti mencari sebelum mendapatkan pusaka Pulau Es itu.

Dalam perantauannya itu dia mendengar pula tentang kematian An Lu Shan dan puteranya. Ketika dia tiba di Secuan, pada waktu itu Kaisar yang baru, yaitu Kaisar Si Tiong, memang sedang menyusun tenaga di bawah pimpinan Panglima Besar Kok Cu It sendiri. Panglima Kok ini menyebarkan para pembantunya, yaitu panglima-panglima bawahan di seluruh daerah Secuan untuk pendaftaran dan penerimaan para suka-relawan yang hendak masuk menjadi tentara.

Seorang di antara bawahannya yang bertugas mengumpulkan bala bantuan, bahkan menghubungi orang-orang asing dari barat ini adalah Panglima Bouw Kiat. Panglima inilah yang telah berjasa menghubungi orang-orang Arab sehingga akhirnya Kaliphu (yang kuasa di Arab) sendiri mengirim pasukan bala bantuan. Bouw Kiat berkedudukan di sebuah dusun daerah selatan dan di sini dia menyusun pasukannya sambil menjamu pasukan dari Arab yang sebagian kecil sebagai pasukan pelopor telah tiba di situ.

Panglima Kok Cu It yang cerdik memisah-misahkan para pasukan asing yang membantunya agar menjauhkan terjadinya bentrokan. Pasukan bantuan dari Turki berada di utara, dari Tibet berada di selatan dan dari timur adalah pasukan yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa.

Pada suatu hari, Swat Hong tiba di daerah yang dikuasai oleh Panglima Bouw Kiat inilah. Dara ini merasa heran ketika melihat ada banyak tentara asing yang bertubuh jangkung, bersikap gagah dan berkulit coklat gelap, bermata tajam dan bercambang bauk berkeliaran di daerah itu. Di tengah jalan, dia melihat seorang laki-laki asing yang tinggi besar dan gagah, memegang gandewa dan anak panah dikelilingi prajurit-prajurit Han dan Arab sambil tertawa-tawa.

Laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang gagah itu berkata dalam bahasa Han yang kaku, "Lihat burung-burung itu! Aku akan menurunkannya sekaligus tiga ekor. Yang mana kalian pilih?"

Swat Hong tertarik, berhenti dan memandang ke atas. Diam-diam dia terkejut dan menganggap orang itu sombong. Mana bisa menjatuhkan burung-burung yang terbang begitu tinggi sekaligus tiga ekor kalau orang ini bukan seorang ahli panah yang sakti?

"Tiga ekor dari depan!" terdengar teriakan.

"Tidak, yang paling belakang adalah paling sukar!" kata orang lain.

Perwira bangsa Arab itu tersenyum dan tampaklah giginya yang rata dan putih berkilauan, kumisnya bergerak-gerak. "Biar aku jatuhkan dua terdepan dan burung terakhir!"

Kelompok burung yang terbang tinggi sudah tiba tepat di atas mereka. Perwira itu memasang tiga batang anak panah pada gendewanya, lalu menarik tali gendewa. Terdengar suara menjepret dan meluncurlah tiga batang anak panah seperti tiga sinar berkilauan ke atas. Dari bawah tidak kelihatan bagaimana burung-burung itu terkena anak panah, namun jelas tampak betapa dua ekor burung terdepan dan seekor paling belakang tiba-tiba runtuh ke bawah.

Ketika tiga ekor burung itu jatuh ke tanah dan semua orang melihat bahwa dada burung itu tertusuk anak panah, mereka bersorak dan bertepuk tangan memuji.

"Boleh juga dia," pikir Swat Hong sungguh pun dia maklum bahwa kepandaian memanah seperti itu hanyalah berguna untuk pertempuran jarak jauh dan sama sekali tidak ada artinya untuk pertandingan berhadapan. Tentu kalah cepat oleh am-gi (senjata rahasia) seperti jarum, paku, piauw dan lain-lain.

"Hai, Nona! Tepuk tangan untuk kelihaian Perwira Ahmed!" tiba-tiba ada seorang laki-laki menegur Swat Hong. Laki-laki ini adalah seorang prajurit Han dan sambil menyeringai dia bertepuk tangan dan mendesak Swat Hong untuk ikut bertepuk tangan.

Swat Hong tidak mau melayaninya, dia malah membuang muka dan melanjutkan langkahnya.

Akan tetapi laki-laki itu melompat dan menghadang di depannya sambil bertolak pinggang. "Eitt..... nanti dulu! Berani kau menghina Perwira Ahmed? Dia bukan hanya lihai dan penembak tepat, juga banyak wanita tergila-gila kepadanya! Dan kau berani memandang rendah?"

Swat Hong memandang dengan mata melotot lalu mendengus, "Pergilah!" sambil melangkah terus.

Melihat dara yang begitu cantik, apa lagi di sana banyak kawan yang menyaksikannya, maka prajurit itu lantas gatal tangan. Dia melangkah maju, kemudian meraih dan berhasil menangkap lengan gadis yang saat itu sedang gundah hatinya.

Di samping sedang memikirkan banyak hal, Swat Hong tidak menduga prajurit itu akan berani berbuat selancang itu, maka tidak heran jika lengannya dapat ditangkap begitu saja. Langsung darah gadis ini meluap naik hingga mukanya merah.

"Dan kau laki-laki kurang ajar!" Swat Hong berkata, dan sekali dia menggerakkan lengannya yang terpegang, dia berbalik sudah memegang pergelangan tangan laki-laki itu dan begitu dia membetot, laki-laki itu jatuh tersungkur mencium tanah!

"Aihhh, berani kau memukulku?" Prajurit itu marah sekali dan cepat dia melompat dan menubruk.

"Plakk! Aughhh...!" Prajurit itu terlempar dan mengaduh-aduh, mukanya membengkak.

Melihat kejadian ini, lima orang prajurit kawan orang pertama itu menjadi marah dan menerjang maju. "Tangkap, dia tentu mata-mata!"

Swat Hong merasa muak sekali dan juga marah. Melihat lima orang itu menerjang dan hendak berlomba menangkap dan merangkulnya, kaki tangannya bergerak dan dalam segebrakan saja, lima orang itu pun roboh tersungkur dan tidak dapat berlagak lagi karena mengaduh-aduh kesakitan. Tentu saja keadaan menjadi ribut dan banyak anak buah pasukan mengurung.

Akan tetapi tiba-tiba perwira yang ahli menggunakan anak panah tadi meloncat maju dan menghadik. "Mundur semua!"

Setelah orang-orang mundur tidak melanjutkan gerakan mereka untuk mengeroyok, perwira itu membungkuk di depan Swat Hong sambil berkata, "Harap Nona maafkan. Sudah lazim bahwa anak buah pasukan selalu bersikap kasar. Nona tentu bukan orang sini, kalau boleh bertanya hendak ke manakah?"

"Hemm,” pikir Swat Hong. “Pantas kalau banyak wanita tergila-gila. Memang perwira yang bernama Ahmed ini gagah sekali.”

Perwira bernama Ahmed ini memang gagah dan tampan, amat keras daya tariknya terhadap wanita terutama sekali sepasang matanya yang tajam dengan bulu mata panjang lentik dan alis yang tebal itu. Juga dagunya berlekuk dan menambah kejantanannya. Selain tampan dan gagah, juga laki-laki ini pandai bersikap manis terhadap wanita.

"Sudahlah," kata Swat Hong. “Asal mereka jangan kurang ajar, aku pun tidak ingin mencari permusuhan. Bahkan aku ingin menghadap Kaisar untuk membantu perjuangannya. Di manakah aku dapat menghadap Kaisar?"

Mendengar ucapan gadis yang cantik jelita dan gagah itu, seketika lenyaplah kemarahan para prajurit. "Aih, kiranya seorang lihiap (pendekar wanita)!"

"Tentu tokoh kang-ouw kenamaan!"

Perwira Ahmed menghentikan ribut-ribut itu dan kembali dia tersenyum, manis dan menarik sekali. "Untuk membantu perjuangan, tidak perlu menghadap Sri Baginda, Nona. Tidak mudah menghadap Sri Baginda yang sedang sibuk. Kebetulan di sini juga merupakan markas dan dipimpin Bouw-ciangkun. Banyak pula orang-orang kang-ouw yang telah diterima menjadi sukarelawan.

Akan tetapi baru sekarang datang seorang sukarelawati seperti Nona. Ahh, terimalah hormat dan rasa kagumku, Nona. Engkau tentulah yang disebut pendekar wanita dari dunia kang-ouw, bukan?"

Swat Hong tidak peduli, yang penting adalah membantu perjuangan untuk membasmi An Lu Shan dan keturunan atau penggantinya. "Dapatkah aku bertemu dengan Bouw-ciangkun?"

"Tentu saja. Akan tetapi, perkenankanlah aku memuaskan keinginan hatiku yang sudah terpendam bertahun-tahun untuk menyaksikan kelihaian seorang pendekar wanita dari timur, Nona." Perwira Ahmed memperlihatkan gendewanya. "Dapatkah Nona mainkan gendewa dan anak panah?"

Swat Hong maklum bahwa dia hendak diuji, dan siapa tahu, mungkin perwira ini termasuk seorang di antara para pengujinya. "Senjata ini kurang praktis untuk pertandingan jarak dekat dan terang-terangan."

Perwira Ahmed mengerutkan alisnya, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum manis. "Benarkah? Nona, dengan gendewa ini aku dapat merobohkan musuh dalam jarak seratus langkah, biar pun musuh itu menggunakan senjata apa pun untuk melindungi dirinya. Aku dapat melepaskan anak panah terus-menerus dan bertubi-tubi sampai puluhan batang!"

"Hemm, mungkin berhasil merobohkan segala burung dan manusia yang bodoh saja."

"Wah...!" Ahmed membelalakkan matanya. "Apakah di dunia ini ada orang yang sanggup menyelamatkan diri dalam jarak seratus langkah dari gendewaku?"

"Boleh kau coba. Aku bersedia."

"Eiiihhh, jangan, Nona! Aku akan menyesal selama hidupku kalau sampai melukaimu, apa lagi membunuhmu!"

"Tidak perlu khawatir, aku malah akan menghadapi hujan anak panahmu itu dengan tangan kosong!"

"Mustahil!"

Orang Han yang pertama kali dirobohkan Swat Hong kini mendekat. Karena dia maklum akan kelihaian dara itu, kini dia hendak mencari muka dan berkata, "Saudara Ahmed, jangan memandang rendah seorang lihiap. Dia pasti akan sanggup memenuhi kata-katanya."

Atas dorongan dan desakan banyak orang, akhirnya Ahmed mau juga mencoba kepandaian wanita cantik jelita itu. Dengan tenang Swat Hong melangkah sambil menghitung sampai seratus langkah, pendek-pendek saja, kemudian membalik dan menghadapi Ahmed dengan mata tak berkedip.

"Wah, terlalu dekat...! Terlalu dekat sekali! Langkahmu begitu pendek-pendek, Nona. Ini hanyalah lima puluh langkah, tidak ada seratus!" Ahmed berteriak sambil melangkah mundur sampai lima puluh langkah.

Diam-diam Swat Hong memuji kejujuran dan niat baik di hati perwira asing itu. "Terserah kepadamu. Nah, aku sudah siap," katanya.

Ahmed ragu-ragu, mukanya agak pucat. "Tapi... tapi, setidaknya kau harus membawa pedang untuk menangkis atau sebuah perisai."

"Tidak perlu. Seranglah!"

Didesak oleh orang banyak, dan memang di dalam hatinya dia juga merasa penasaran sekali, Ahmed lalu memasang lima batang anak panah di gendewanya, dan masih ada puluhan batang di tempat anak panah yang siap untuk disambar tangan kanan menyusul rombongan anak panah terdahulu. "Nona, siap dan hati-hatilah!" teriaknya.

Terdengar suara menjepret ketika tampak lima sinar berturut-turut meluncur ke arah Swat Hong, diikuti oleh puluhan pasang mata yang tidak berkedip dan dengan hati penuh ketegangan.

Swat Hong melihat betapa lima batang anak panah itu meluncur di sekeliling tubuhnya. Tahulah dia bahwa orang itu memang amat hebat ilmu panahnya akan tetapi juga amat lembut hatinya terhadap wanita sehingga sengaja membuat anak panah rombongan pertama menyeleweng. Dia diam saja tidak bergerak, membiarkan lima batang anak panah itu lewat, diikuti seruan menahan napas dari semua orang yang sudah merasa ngeri melihat nona itu sama sekali tidak mengelak!

Ahmed membelalakkan matanya. hampir dia tidak percaya. Anak panahnya itu hanya sedikit saja selisihnya dari kulit tubuh wanita itu, namun wanita itu dengan tenang saja berdiri diam tidak bergerak!

"Tidak perlu sungkan, bidik yang tepat!" Swat Hong berkata setelah dia merasa yakin bahwa luncuran anak panah itu dapat diikuti dengan pandang matanya sehingga mudah bagi dia untuk menjaga diri.

Lima batang lagi anak panah sudah berada di gendewa Ahmed dengan cepat bukan main. Kembali terdengar suara menjepret ketika lima batang anak panah itu menyambar seperti kilat ke arah Swat Hong. Dara itu melihat betapa lima batang ini menyambar ke arah kakinya semua, maka dia mengerti bahwa Ahmed masih saja khawatir kalau-kalau mencelakainya, maka dia meloncat dan sekaligus menendang ke bawah sehingga dia bukan hanya mengelak, bahkan berhasil menendang runtuh semua anak panah itu!

Ahmed mengeluarkan seruan kagum dan kini dia pun tidak ragu-ragu lagi akan kehebatan pendekar wanita itu. Anak panahnya meluncur bertubi-tubi seperti hujan derasnya, susul-menyusul ke arah tubuh Swat Hong.

Dara ini pun memperlihatkan kepandaiannya. Sambil mengelak berloncatan ke sana-sini, tangannya menyambar dan dua batang anak panah ditangkapnya dengan kedua tangannya. Dia lalu menggunakan dua batang anak panah itu untuk menangkis semua anak panah yang datang menyambar, kemudian dengan cepat dan tak terduga-duga dia menyambitkan sebatang anak panah yang meluncur cepat ke arah Ahmed.

“Auhhh...!" Ahmed berteriak kaget dan gendewanya terlepas dari tangan kirinya karena tangan kirinya itu kena sambar sebatang anak panah. Gendewanya terlepas akan tetapi tangan kirinya tidak terluka karena anak panah yang menyambar tangannya itu dilepas dengan cara dibalik sehingga bukan ujung yang runcing yang mengenai tangannya, melainkan ujung belakang yang bulu-bulunya telah dibuang.

Ahmed segera lari menghampiri Swat Hong, memandang penuh kagum, kemudian dia membungkuk sampai dalam sambil berkata, "Duhai..., Nona adalah setangkai bunga di tengah padang pasir! Satu di antara puluhan ribu wanita belum tentu ada yang seperti Nona.... saya merasa kagum dan hormat sekali...!"

Wajah Swat Hong menjadi merah. Bukan main hebatnya pujian yang keluar dari mulut pria ini, pujian yang aneh dan istimewa. Akan tetapi sebelum dia menjawab terdengar kaki kuda berderap dan muncullah seorang panglima sebangsa Ahmed naik kuda.

Usia panglima ini tentu sudah empat puluhan tahun, tinggi besar dan berwibawa, gagah dan juga tampan. Akan tetapi begitu bertemu pandang, Swat Hong merasa tidak suka kepada panglima ini karena pandang mata itu seolah-olah hendak menelanjangi dan sinar mata orang itu seperti dapat menembus pakaiannya!

Ahmed cepat berdiri dengan tegak memberi hormat kepada atasannya. Panglima itu lalu bertanya kepada Ahmed dalam bahasa mereka sendiri yang tidak dimengerti oleh Swat Hong, dijawab pula oleh Ahmed. Panglima itu mengangguk-angguk, bicara lagi lalu memutar kudanya pergi dari tempat itu setelah melempar kerling penuh gairah dan kagum ke arah Swat Hong.

"Nona, Komandanku tadi bertanya tentang Nona dan menyuruh Nona langsung saja menghadap Bouw-ciangkun untuk melapor. Tentu saja bantuan tenaga seorang yang berkepandaian tinggi seperti Nona amat dihargai dan dibutuhkan. Mari Nona, saya antar."

"Kau baik sekali, terima kasih," jawab Swat Hong yang merasa memperoleh seorang sahabat dalam diri perwira yang simpatik ini.

"Nama saya Ahmed, Nona."

Swat Hong tersenyum, mengerti bahwa itulah cara yang sopan dari sahabat barunya untuk menanyakan namanya. "Dan namaku Han Swat Hong."

Mereka memasuki sebuah bangunan besar. Di ruangan dalam, Ahmed membawa Swat Hong ke dalam sebuah kamar di mana duduk seorang tua berpakaian panglima perang. Orang ini berusia lima puluh tahun lebih, mukanya bulat. Matanya yang sipit menjadi agak lebar ketika dia memandang Swat Hong yang datang bersama Ahmed.

Setelah memberi hormat, Ahmed berkata, "Nona Han Swat Hong ini ingin menjadi sukarelawati."

"Hemm, aku sudah mendengar dari komandanmu. Kau boleh pergi meninggalkan Nona ini di sini," jawab Panglima Bouw dengan sikap angkuh. Menyaksikan sikapnya ini saja Swat Hong sudah merasa kurang senang.

Ahmed memberi hormat, melirik kepada Swat Hong lalu melangkah ke luar dengan tegap. Setelah derap kaki Ahmed tidak terdengar lagi, kamar itu menjadi sunyi sekali biar pun di situ, selain Bouw-ciangkun dan Swat Hong, masih terdapat empat orang pengawal yang berdiri di sudut kamar seperti arca.

"Silakan duduk, Nona," suara Bouw-ciangkun berubah, tidak singkat dan keras seperti tadi, melainkan lunak dan manis. Hal ini membuat Swat Hong makin tidak senang lagi, akan tetapi karena kedatangannya hendak membantu kerajaan melawan pemberontak, bukan hendak berhubungan dengan orang ini, dia tidak banyak cakap, lalu duduk.

"Kami telah mendengar akan kelihaian Nona yang mendemonstrasikan kepandaian di luar tadi. Kebetulan sekali kedatangan Nona, karena Kaisar memang membutuhkan seorang pengawal wanita untuk menjaga keselamatan keluarga Kaisar. Oleh karena itu, harap Nona menanti di dalam pesanggrahan. Kalau kesempatan sudah terbuka, kami akan mengantarkan Nona untuk menghadap Kaisar sendiri."

Girang juga hati Swat Hong karena dia lebih senang untuk bekerja dekat dengan keluarga Kaisar dari-pada bekerja sama dengan para prajurit Kaisar itu. Pula, memang karena merasa bahwa ayahnya adalah masih sedarah dengan keluarga Kaisar maka dia berkeinginan membantu keluarga Kaisar. Pekerjaan menjadi pengawal untuk melindungi keselamatan keluarga Kaisar amatlah cocok baginya.

"Baik, saya akan menanti," jawab Swat Hong.

Setelah mencatatkan nama Swat Hong, Bouw-ciangkun sendiri lalu mengantarkan dara itu pergi ke pesanggrahan, yaitu sebuah bangunan yang terpencil, berada di pinggir gunung, bangunan yang bentuknya indah dan mungil. Ketika menuju ke bangunan ini, Swat Hong melihat beberapa orang penjaga yang jumlahnya hanya belasan orang. Akan tetapi senjata mereka aneh, yaitu sebatang pedang yang bengkak-bengkok seperti ular dan memegang perisai yang bentuknya seperti batok kura-kura.

"Mereka ini adalah pasukan istimewa, pasukan pengawalku." kata Bouw-ciangkun menjelaskan dengan nada suara bangga ketika Swat Hong memandang mereka yang berdiri tegak dan memberi hormat kepada Bouwciangkun dengan gagah.

Setelah mereka memasuki pesanggrahan, Bouw-ciangkun melanjutkan, "Mereka terdiri dari orang-orang pilihan, bermacam suku bangsa di barat dan utara...."

Akan tetapi Swat Hong sudah tidak memperhatikan lagi cerita tentang pasukan pengawal tadi, karena dia sedang memperhatikan keadaan pesanggrahan yang cukup mewah itu. "Rumah ini kosong?" tanyanya.

"Memang dikosongkan dan disediakan untuk tamu agung. Karena sekarang tidak ada tamu, maka Nona boleh beristirahat di sini barang sehari dua hari untuk menanti kesempatan Kaisar dapat menerima Nona menghadap. Saya akan mengirim dua orang pelayan wanita untuk melayani segala keperluan Nona, dan sekarang juga saya akan berusaha melaporkan kedatangan Nona kepada kaisar."

Swat Hong hanya mengangguk dan pembesar itu pergi meninggalkannya.

Ketika Swat Hong sedang memeriksa keadaan pesangrahan itu yang ternyata mewah dan lengkap dengan kamar tidur yang indah, masuklah dua orang pelayan wanita membawa perlengkapan dan bahan masakan. "Kami menerima perintah untuk melayani Nona di sini," kata mereka dan segera mereka sibuk di dapur.

Swat Hong merasa tidak enak hatinya. Dia melamar untuk menjadi pejuang membantu Kaisar, akan tetapi dia diterima seperti seorang tamu agung, ditempatkan di rumah mungil dan dilayani dengan istimewa seperti dimanja! Apakah karena dia wanita? Ataukah karena dia memperlihatkan kepandaiannya tadi dan dipilih menjadi pengawal keluarga Kaisar? Dia ingin melihat-lihat keadaan di luar. 

Akan tetapi baru saja dia meninggalkan pondok itu sejauh belasan langkah, tiba-tiba muncullah tiga orang pengawal istimewa yang bersenjata pedang berbentuk ular dan perisai kura-kura tadi.

"Harap Nona jangan meninggalkan pondok. Kami diperintah untuk menjaga pesanggrahan, dan kalau Nona memaksa pergi kami harus mengawal Nona."

Swat Hong mengerutkan alisnya. Akan tetapi karena maksud itu baik, biar pun dianggapnya tidak ada gunanya, aneh dan menyebalkan, dia tidak menjawab melainkan kembali memasuki pondok, terus ke kamar dan merebahkan diri di atas pembaringan. Dia merasa seperti seorang asing di situ. Tiba-tiba dia tersenyum teringat kepada Ahmed. Untung ada orang yang simpatik itu. Setidaknya, dia yakin bahwa dia mempunyai seorang sahabat yang boleh dipercaya.

Akan tetapi baru saja dia beristirahat di atas tempat tidur yang lunak itu, terdengar suara hiruk-pikuk di luar. Swat Hong yang memang selalu merasa tidak enak itu meloncat dan berlari ke luar. Kagetlah dia ketika melihat bahwa yang datang adalah Bouw-ciangkun dan Panglima Arab tinggi besar yang menjadi atasan Ahmed tadi. Mereka diiringi oleh tujuh orang pelayan pria yang membawa baki tertutup.

Begitu berhadapan, Bouw-ciangkun menjura dengan hormat sambil berkata, "Kiong-hi (selamat), Nona Han. Kami telah menghadap Kaisar, dan karena Beliau masih sibuk, mulai besok lusa Nona boleh menghadap sendiri. Sementara itu Beliau mengirim kami berdua untuk menemani Nona menerima hidangan yang dikirim dari dapur keluarga Kaisar!"

Hati Swat Hong tidak senang dan curiga, akan tetapi karena nama Kaisar disebut-sebut, dia tidak berani menolak. Dia tahu bahwa penolakan hadiah dari Kaisar dapat diartikan penghinaan dan pemberontakan! Banyak dia mengerti tentang peraturan kerajaan, karena selain dia sendiri adalah puteri raja di Pulau Es juga dia banyak membaca kitab-kitab ayahnya tentang kehidupan keluarga Raja di daratan besar. 

Terpaksa dia membalas dengan menjura penuh hormat, kemudian bersama dua orang panglima itu dia memasuki pondok dan duduk menghadapi meja besar bersama mereka berdua.

Setelah hidangan yang lengkap dan masih panas diatur di atas meja dan para pelayan mudur berdiri di sudut, dua orang pelayan wanita muncul melayani mereka makan minum. Bouw-ciangkun memperkenalkan panglima itu sebagai panglima yang menjadi komandan dari pasukan Arab yang membantu.

"Kami mengandalkan bantuan sahabat-sahabat dari barat ini untuk merampas kembali kota raja...," antara lain Bouw-ciangkun berkata.

Akan tetapi urusan itu hanya didengarkan sepintas lalu saja oleh Swat Hong yang menghendaki agar pertemuan ini cepat selesai.

Dengan tangannya sendiri Bouw-ciangkun lalu mengisi cawan-cawan kosong di depan Swat Hong, Panglima Arab, dan dia sendiri, lalu mengangkat cawan arak sambil berkata, "Mari kita mulai makan minum bersama dengan mengucapkan terima kasih kepada Sri Baginda dengan mengangkat cawan penghormatan untuk kejayaan Sri Baginda Kaisar!"

Swat Hong mengangkat cawan dan minum bersama mereka, kemudian Bouw-ciangkun mempersilakan Swat Hong dan Panglima Arab itu untuk mulai makan. Sambil makan, Bouw-ciangkun dengan gembira menceritakan keadaan mereka, kekuatan yang sedang mereka susun, juga menceritakan kekacauan di kota raja sebagai akibat perebutan kekuasaan di antara para pemberontak sendiri. Betapa An Lu Shan dan puteranya tewas dan sekarang Shi Su Beng yang berkuasa juga menghadapi persaingan dari bekas kawan-kawannya sendiri.

"Ha-ha-ha, seperti sekumpulan anjing memperebutkan tulang!" dia menutup ceritanya sambil tertawa-tawa.

Panglima Arab itu yang diperkenalkan tadi bernama Hussin bin Siddik. Komandan ini mengeluarkan sebuah guci yang bentuknya seperti tanduk kerbau, lalu membuka tutupnya. Segera tercium bau harum yang aneh. Sambil tertawa dia mengacungkan guci tanduk kerbau itu sambil berkata,

"Nona adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi dan dipilih untuk menjadi pengawal Sri Baginda, karena itu sudah sepatutnya menerima penghormatan kami dengan anggur padang pasir ini! Marilah kita minum tiga cawan. Cawan pertama, demi keselamatan Sri Baginda sekeluarga!" Dia mengisi cawan arak di depan Swat Hong, tidak banyak, hanya setengah cawan kurang.

Karena dia diajak minum demi keselamatan keluarga Kaisar, tentu saja Swat Hong tidak menolak, apa lagi karena dia melihat betapa Bouw-ciangkun dan Panglima Hussin sendiri juga minum. Diminumnya cawannya dan ternyata anggur itu enak dan tidak begitu keras, manis dan harum, sungguh pun agak aneh harumnya.

"Secawan lagi kita minum demi persahabatan kita!"

Kembali Swat Hong minum dari cawan araknya yang sudah diisi lagi setengahnya.

"Dan cawan terakhir kita minum untuk kemenangan perjuangan kita!"

Sekali ini cawan itu diisi penuh. Karena anggur itu sama sekali tidak mendatangkan pengaruh apa-apa, Swat Hong tidak khawatir dan minum anggur itu sampai habis. Panglima Hussin dan Bouw-ciangkun tertawa girang dan melanjutkan makan minum sepuas-puasnya. Setelah kenyang, kedua orang panglima itu berpamit.
Sambil tertawa Bouw-ciangkun berkata, "Harap Nona jangan pergi meninggalkan pesanggrahan ini. Siapa tahu tiba-tiba saja Sri Baginda Kaisar telah siap menerima kunjungan Nona. Hal itu bisa saja terjadi di siang hari atau di malam hari. Sebaiknya kalau Nona mengaso saja dalam pesanggrahan dan sewaktu-waktu, kalau Sri Baginda menghendaki, aku sendiri atau Panglima Hussin yang akan datang menjemput Nona."

Swat Hong mengangguk. Setelah dua orang panglima itu pergi dan meja dibersihkan lalu ditinggal pergi oleh para pelayan, dia lalu minta kepada wanita pelayan untuk menyediakan air. Setelah mandi dan tukar pakaian, Swat Hong kembali beristirahat di dalam kamar yang indah itu. Berada di dalam kamar ini teringatlah dia akan kamarnya sendiri di Pulau Es, kamar yang lebih indah dan lebih menyenangkan lagi.

Dia menutup mulut dengan tangan dan menguap.... menggoyang-goyang kepalanya. Mengapa dia begini mengantuk? Dia menguap lagi. Bukan main! Rasa kantuk sukar dipertahankannya lagi. Aneh sekali! Hari baru menjelang senja, belum malam. Pula habis makan dan mandi, mana bisa mengantuk? Kembali dia menguap dan Swat hong meloncat bangun, duduk sambil memegangi kedua pelipisnya.

“Ini tidak wajar,” pikirnya.

Rasa kantuk menyerangnya amat hebat. Terbayanglah wajah Panglima Hussin yang mengajaknya minum sampai tiga kali, kemudian terbayanglah dan terdengar lagi kata-kata Bouw-ciangkun yang menyatakan bahwa kalau Kaisar menghendaki, sewaktu-waktu dia atau Panglima Hussin akan datang menjenguknya. Semua ini dilakukan sambil tertawa-tawa dan seakan-akan ada ‘main mata’ di antara kedua orang panglima itu!

"Celaka...!" dia mengeluh. Ingin dia turun membasahi muka dengan air, akan tetapi dia tidak kuat. Baru saja dia turun, dia sudah terguling ke atas lantai karena kepalanya pening dan Swat Hong sudah tidur di atas lantai dengan pulasnya!

Tak lama kemudian, setelah matahari mulai condong ke barat, sesosok bayangan seorang pemuda berkelebat dan mengintai pesanggrahan itu dari balik batu-batu gunung. Pemuda ini tinggi besar, gagah dan tampan, dengan sebatang pedang di punggungnya, berpakaian sederhana dan matanya bersinar-sinar penuh kemarahan. Pemuda ini adalah Kwee Lun! Bagaimana dia dapat datang di tempat jauh itu?

* * *

Seperti telah dituturkan di bagian depan, dua tahun yang lalu pemuda ini berpisah dari Swat Hong dan langsung dia pulang ke Pulau Kura-kura di Lam-hai. Tepat seperti dugaannya semula, gurunya, Lam-hai Sengjin, terheran-heran dan kagum mendengar penuturan muridnya, terutama pengalaman muridnya yang bertemu dan bersahabat dengan penghuni Pulau Es! Tak lupa Kwee Lun bercerita juga tentang kematian Ouw Soan Cu, gadis Pulau Neraka yang dicintainya dengan suara berduka,

Setelah muridnya selesai bercerita, kakek itu berkata, "Pengalamanmu sudah cukup, muridku. Sekarang biarlah kau memperdalam ilmumu dan menerima sisa-sisa dari semua kepandaianku. Setelah itu, berangkatlah kau lagi ke daratan besar. Negara sedang kacau-balau dilanda oleh para pemberontak. Tenagamu dibutuhkan. Kabarnya Kaisar mengungsi ke Secuan, maka sebaiknya kalau kau kelak menyusul ke sana untuk membantu Kaisar. Jangan membiarkan dirimu terbujuk oleh kaum pemberontak."

Demikianlah, Kwee Lun berlatih silat untuk yang terakhir dari gurunya, terutama sekali memperhebat ilmu pedang yang dimainkan bersama dengan kipas di tangan kirinya. Setahun kemudian berangkatlah dia meninggalkan Pulau Kura-kura untuk kedua kalinya, mendarat di daratan besar dan langsung dia pergi ke barat, ke Secuan!

Kebetulan sekali dia tiba pada hari itu juga, berbareng dengan datangnya Swat Hong! Hanya bedanya, kalau Swat Hong datang dari timur, adalah Kwee Lun datang dari selatan, akan tetapi mereka memasuki daerah yang sama yaitu yang dikuasai oleh Bouw-ciangkun.

Kwee Lun terus melaporkan diri dan langsung diterima sebagai sukarelawan. Dia tidak tahu bahwa pada siang hari itu juga Swat Hong datang dan bertemu dengan perwira Ahmed dari pasukan Arab yang diperbantukan. Tanpa disengaja, ketika Kwee Lun berjalan-jalan dan bertemu dengan para prajurit Han, bertanya-tanya tentang keadaan, dia mendengar kelakar seorang di antara para prajurit itu.

"Wah, enak juga menjadi panglima tentara asing! Selain jaminannya lebih hebat, juga hiburannya lebih luar biasa lagi. Bayangkan saja, dara perkasa yang menghebohkan siang tadi, kabarnya akan diserahkan sebagai hadiah kepada Panglima Hussin!"

"Ah, masa?"

"Hem, jelita sekali dia!"

"Dan masih perawan hijau lagi!"

"Akan tetapi ilmu silatnya hebat! Jangan-jangan panglima itu akan mampus olehnya!"

"Mudah-mudahan begitu!"

"Tapi panglima itu terkenal pandai. Lihat saja Perwira Ahmed itu, di mana-mana para wanita tergila-gila kepadanya. Agaknya mereka memiliki jimat untuk menundukkan hati wanita."

Mendengar ini Kwee Lun mengerutkan alisnya. Tak disangkanya di tempat seperti ini dia mendengarkan peristiwa yang sepantasnya terjadi di dunia penjahat. Seorang dara dihadiahkan begitu saja! Mendengar bahwa dara itu lihai ilmu silatnya, dia jadi tertarik.

"Kalau wanita itu lihai, mana bisa dia dihadiahkan begitu saja?" dia ikut bicara sambil tersenyum.

"Aha, kau tidak tahu, kawan. Banyak jalan yang dapat dilakukan oleh Bouw-ciangkun. Dan kabarnya, tidak pernah ada wanita yang dapat melawan apa bila dikehendaki oleh Panglima Hussin itu. Apa lagi kalau Bouw-ciangkun sudah mengijinkannya, dan dalam hal ini, agaknya Bouw-ciangkun selalu berusaha mengambil hati orang-orang berkulit hitam itu!"

Kwee Lun makin tak senang hatinya. Dia mendengarkan dengan teliti dan akhirnya memperoleh keterangan bahwa dara yang hendak dihadiahkan itu kabarnya telah dikurung di dalam pesanggrahan, yaitu rumah kecil terpencil yang oleh para prajurit diberi nama tempat penjagalan perawan!

"Hem, semenjak kecil suhu menanamkan sifat pendekar, membela keadilan dan kebenaran kepadaku." Kwee Lun berpikir, "Biar pun sekarang aku menjadi seorang pejuang, tetap aku harus menentang kejahatan, dari siapa pun juga datangnya!”

Dengan pikiran ini Kwee Lun mulai melakukan penyelidikan. Pada sore hari itu dia sudah mendekati rumah pesanggrahan itu dan menyelinap untuk menyelidiki dari jarak dekat, kalau mungkin memasuki rumah itu dan menolong si gadis yang hendak dijadikan korban. Melihat betapa di empat penjuru terdapat empat orang penjaga yang selalu melakukan perondaan mengelilingi pesanggrahan itu, Kwee Lun bersembunyi dan mengintai.

Penjaga-penjaga yang memegang pedang ular dan perisai kura-kura itu kelihatannya bukan penjaga-penjaga sembarangan. Dia harus menanti sampai malam tiba, barulah ada harapan baginya untuk dapat memasuki pesanggrahan itu tanpa diketahui orang. Asal saja dia tidak terlambat, pikirnya.

Akan tetapi tiba-tiba dia melihat seorang perwira Arab yang berkumis rapi datang menghampiri pesanggrahan itu. Empat orang penjaga menghadangnya, mereka bercakap-cakap dan perwira itu dibiarkan oleh para penjaga memasuki pesanggrahan.

“Hemm, ini agaknya pembesar yang dihadiahi gadis itu,” pikir Kwee Lun dengan marah sekali. Kalau dia harus menanti lebih lama lagi , mungkin dia akan terlambat. Kebetulan sekali terdapat seorang penjaga meronda di dekat tempat dia bersembunyi.

"Keparat busuk!" Kwee Lun berseru marah dan dia meloncat dari tempat sembunyinya.

Penjaga itu terkejut, cepat menarik perisai kura-kura di depan dadanya dan mengangkat pedangnya, siap untuk menyerang.

"Haaiiittttt!!!" tubuh Kwee Lun yang meloncat ke atas itu langsung menendang dengan tumit kaki kanan di depan.

"Bresss...!!" perisai kura-kura itu ternyata kuat menahan tendangan Kwee Lun, akan tetapi pemegangnya terdorong dan terjengkang bergulingan.

Mendengar suara berisik ini, berdatanganlah para penjaga lain. Dalam waktu sebentar saja Kwee Lun terpaksa harus mencabut pedang dan kipasnya, mengamuk dikepung oleh belasan orang penjaga yang bersenjata pedang ular dan perisai kura-kura itu.

Sementara itu, perwira berkumis yang datang tadi bukan lain adalah Perwira Ahmed. Dia baru saja berhasil meyakinkan para penjaga bahwa dia datang untuk memeriksa apakah dara itu masih berada di pesanggrahan. Dia terkejut mendengar suara ribut-ribut. Ketika dia menengok, dia melihat seorang pemuda perkasa sedang dikepung para penjaga. Perwira yang cerdik ini menduga bahwa tentu pemuda itu datang untuk menolong Swat Hong, maka dia bergegas memasuki rumah itu. Dua orang pelayan wanita dibentaknya untuk minggir.

"Aku harus menjaga dia, ada orang jahat datang!” didorongnya daun pintu kamar dan cepat ditutupnya dari dalam.

Melihat Swat Hong rebah terlentang dan tidur pulas di atas lantai, Ahmed cepat berlutut dan mengeluarkan sebuah botol hijau dari sakunya. "Huh, benar jahat! Mengorbankan siapa saja tanpa pilih bulu!" gerutunya sambil membuka tutup botol hijau yang cepat dia tempelkan di depan hidung Swat Hong.

Tak lama kemudian dara itu terbangun. Dia mengeluh dan merintih, "Aduhh... pening kepalaku..."

"Ssttt... Nona Swat Hong. Sadarlah... aku datang menolongmu." Ahmed mengguncang-guncang dara itu.

Swat Hong membuka matanya dan terkejut melihat Ahmed berlutut di dekatnya.

"Lekas kau cium ini...." Ahmed kembali mendekatkan botol di depan hidung Swat Hong.

Gadis itu memang sudah mempunyai kesan baik terhadap diri Ahmed, maka dia tidak membantah dan disedotnya botol itu. Tercium bau keras dan dia tersedak lalu berbangkis. “Apa... apa yang terjadi...?" Swat Hong bertanya, kepalanya masih agak pening.

"Lekas kau telan ini...." Ahmed memberikan sebutir pil hitam. "Engkau telah terkena racun Hashish yang dicampurkan di dalam anggur. Ini obat penawarnya."

Teringatlah Swat Hong dan tahulah dia mengapa dia tertidur di lantai. Tanpa bertanya lagi dia lalu menelan pil kecil itu dan benar saja, peningnya hilang dan pikirannya terang kembali.

"Nona, aku mendengar bahwa siang tadi kau dijamu oleh mereka. Tahulah aku bahwa kau tentu diberi anggur bercampur hashish. Lekas kau keluar, di luar sedang terjadi pertempuran. Seorang pemuda agaknya datang hendak menolongmu, dia bersenjata pedang dan kipas...."

"Kwee Lun....!" Swat Hong berseru kaget, menyambar pedangnya di atas meja dan hendak lari ke luar.

"Nanti dulu, Nona."

Swat Hong berhenti. "Kau baik sekali, Saudara Ahmed. Aku berterima kasih padamu."

"Bukan itu. Kau... kau harus lukai aku dengan pedang itu. Kalau tidak, aku akan dihukum mati sebagai pengkhianat."

Barulah Swat Hong sadar betapa perwira ini telah menolongnya dengan taruhan nyawa sendiri. "Kau adalah seorang yang amat baik, bagaimana mungkin aku tega untuk melukaimu? Kau sahabatku... dan ternyata di segala bangsa, ada saja manusianya yang jahat dan baik, tidak ada bedanya dengan bangsa lain. Aku mengerti maksudmu, saudara Ahmed. Nah, biar kurobohkan kau dengan totokan!"

Swat Hong bergerak cepat sekali, dan tahu-tahu dua jalan darah di tubuh Ahmed telah di totoknya. Perwira itu terguling roboh dan tak mampu bergerak karena kaki tangannya menjadi lumpuh, tubuhnya lemas tak mampu bergerak.

Swat Hong cepat menyambar botol dan sisa obat penawar, memasukannya di dalam sakunya, kemudian dia menendang meja kursi sampai terpelanting ke kanan-kiri sehingga menimbulkan kesan seolah-olah di kamar itu telah terjadi pertempuran, mencabut pedang dari pinggang Ahmed dan melemparkan pedang di lantai, kemudian dia memegang tangan Ahmed dan berkata, suaranya terharu,

"Selamat tinggal, Saudara Ahmed. Sekali lagi terima kasih dan kita takkan bertemu kembali."

Hanya dengan bibir dan pandang matanya saja Ahmed tersenyum penuh kagum, mulutnya hanya dapat berkata," Kau... setangkai bunga di padang pasir...."

Swat Hong melompat dan berlari ke luar. Dua orang pelayan wanita yang lari mendatangi dia tendang terguling dan menjerit-jerit, kemudian dia terus lari ke luar. Heran juga ketika dia melihat bahwa dugaannya tadi benar ketika mendengar penuturan Ahmed tentang seorang pemuda bersenjata kipas dan pedang. Kwee Lun telah datang dan mengamuk di luar pesanggrahan! Gerakan pemuda itu hebat bukan main karena memang selama satu tahun dia berlatih dengan tekun.

Akan tetapi ternyata para pengeroyoknya juga merupakan pasukan yang terlatih dan memiliki keistimewaan. Bukan hanya senjata mereka yang aneh, yaitu pedang ular dan perisai kura-kura, akan tetapi juga mereka itu membentuk barisan yang kokoh kuat, saling membantu. Perisai digunakan untuk berlindung, kemudian pedang ular itu meluncur dari depan perisai, persis gerakan seekor kura-kura menyerang dan menyembunyikan kepala di dalam batoknya.

Kwee Lun merasa kewalahan juga menghadapi kepungan yang ketat ini. Akan tetapi dia mengamuk dengan penuh keberanian dan akhirnya dia dapat membobol kepungan dengan jalan berloncatan ke sana-sini, kemudian mendadak dia meloncat melewati kepala pengepung yang berada di belakangnya. 

Begitu berada di luar kepungan, dia berhasil merobohkan dua orang pengeroyok dengan pedang dan kipasnya. Empat belas orang sisa pasukan itu sudah mengepung lagi, akan tetapi mendadak terdengar lengking nyaring dan robohlah empat orang diserang oleh Swat Hong dari luar kepungan.

"Nona Han...!"

"Kwee-toako, mari kita basmi mereka ini!" seru Swat Hong.

Kwee Lun girang bukan main, tak pernah disangkanya bahwa dara yang hendak dijadikan korban itu adalah Han Swat Hong. Dia merasa kecelik juga, karena ternyata bahwa gadis yang akan ditolongnya itu berbalik malah menolongnya!

"Kita lari saja, Nona. Tidak perlu melawan tentara yang amat banyak!"

"Tidak aku harus bunuh dulu si keparat she Bouw...!"

Pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk dan berbondong-bondong datanglah pasukan besar dipimpin oleh Bouw-ciangkun sendiri! Melihat Bouw-ciangkun, Swat Hong menjadi marah sekali. Dari mulutnya terdengar suara melengking nyaring dan tubuhnya melesat seperti terbang cepatnya, pedangnya menyambar sebagai sinar kilat ke arah Bouw-ciangkun. 

Panglima ini terkejut, menggerakkan pedang menangkis. Terdengar suara berdencing nyaring dan pedang di tangan panglima itu patah disusul robohnya tubuhnya yang berkelojotan karena ternyata lehernya hampir putus terbabat pedang di tangan Swat Hong!

"Nona, jangan...." Kwee Lun lari mendekat.

Mereka sudah dikepung oleh ratusan orang prajurit yang menjadi bengong menyaksikan kematian komandan mereka secara tidak disangka-sangka itu. Semua orang menduga bahwa tentu nona yang tadinya melamar sebagai sukarelawati dan pemuda yang menjadi sukarelawan ini tentulah mata-mata dari pihak pemberontak!

"Tangkap mata-mata!"

"Bunuh mereka!"

"Tahan semua senjata...!!" Kwee Lun berteriak, suaranya mengatasi semua keributan itu.

Semua orang menahan senjata dan memandang kepada pemuda itu dengan marah. Mau bicara apa lagi mata-mata yang sudah membunuh komandan mereka ini?

"Saudara-saudara sekalian! Kami berdua bukan mata-mata pemberontak, sama sekali bukan! Bahkan kami adalah musuh-musuh pemberontak. Kami berdua adalah sungguh-sungguh hendak membantu gerakan Sri Baginda Kaisar untuk menghalau pemberontak dari kota raja. 

Akan tetapi celakanya, Nona Han Swat Hong yang beriktikad baik ini dicurangi oleh Bouw-ciangkun. Sukarelawati yang gagah perkasa ini, yang akan dapat membantu banyak sekali kepada Sri Baginda, oleh Bouw-ciangkun hendak dikorbankan sebagai hadiah kepada panglima Arab, untuk diperkosa! Tentu saja kami melawan kejahatan ini!"

"Tangkap.....!"

"Bunuh....! Dia telah membunuh Bouw-ciangkun.....!"

"Jangan percaya hasutan mulut mata-mata pemberontak!"

Kini tempat itu penuh dengan prajurit, tidak hanya ratusan, bahkan ribuan banyaknya. Mereka sudah marah semua karena biar pun di antara mereka ada yang dapat memaklumi kebenaran ucapan Kwee Lun, namun kenyataan dibunuhnya Bouw-ciangkun tentu saja menggegerkan dan mengacaukan mereka. Dengan senjata di tangan mereka sudah mengeroyok dua orang itu.

"Menyesal tidak berhasil, Nona."

"Tidak apa, Toako. Mati di sampingmu membesarkan hati."

"Benarkah?"

"Tentu saja, karena engkau seorang yang baik sekali, Kwee-toako."

"Kalau begitu, marilah mati bersama!"

Pemuda itu dengan wajah berseri sudah siap dengan sepasang senjatanya. Mereka saling membelakangi dan saling melindungi. Para prajurit sudah berdesak-desakan hendak menyerbu.

Tiba-tiba terdengar suara yang halus dan tenang, namun penuh wibawa, "Harap Cu-wi sekalian tidak menggerakkan senjata......!"

Sungguh ajaib sekali. Biar pun ada di antara mereka yang tidak mempedulikan kata-kata ini dan hendak tetap menyerang, tiba-tiba saja merasa bahwa tangan mereka tidak mampu bergerak! Terdengar seruan-seruan kaget dan heran, dan kini semua mata memandang kepada seorang pemuda yang dengan tenangnya berjalan memasuki kepungan itu, dengan membuka jalan di antara para prajurit.

Juga Kwee Lun dan Swat Hong mengeluarkan seruan tertahan. Mereka berdua pun merasa betapa tangan mereka tidak dapat digerakkan! Otomatis mereka pun menoleh dan melihat pula seorang pemuda yang memasuki kepungan itu dengan sikap tenang sekali. Pemuda yang pakaiannya sederhana, agak kurus, matanya memancarkan sinar yang luar biasa, pemuda yang memandang kepada Swat Hong dengan senyum di bibir.

"Su... Suhengggg...!" Tiba-tiba Swat Hong menjerit, pedangnya terlepas dari pegangan dan sambil terisak dia lari menghampiri lalu menubruk pemuda itu yang bukan lain adalah Kwa Sin Liong!

"Suheng... aihhh, Suheng... Ibuku...."

"Tenanglah, Sumoi, tenanglah...," suara Sin Liong mengandung wibawa yang luar biasa, sehingga Swat Hong yang dilanda kekagetan dan keharuan hebat karena sama sekali tidak menyangka bahwa suhengnya masih hidup itu, dapat menenangkan hatinya.

"Suheng... betapa bahagia rasa hatiku! Suheng, jangan kau tinggalkan aku lagi...."

"Tidak, Sumoi. Tidak lagi."

"Aku cinta padamu, Suheng! Aku cinta padamu!" tanpa malu-malu Swat Hong meneriakkan suara hatinya ini di tengah-tengah kepungan ratusan, bahkan ribuan orang prajurit!

Kwee Lun memandang semua itu dan dua titik air mata membasahi bulu matanya. Dia merasa terharu, juga girang sekali, girang melihat kebahagian Swat Hong dan sekaligus dia teringat kepada Soan Cu. Dia pun sudah dapat bergerak, melangkah maju dan berkata, "Kwa-taihiap, syukur bahwa engkau masih dalam keadaan selamat. Sungguh aku ikut merasa girang...."

Sin Liong tersenyum kepadanya. "Kwee-toako, engkau seorang sahabat yang baik. Simpanlah pedang dan kipasmu, tidak perlu melanjutkan pembunuhan yang tidak ada gunanya ini."

Kwee Lun menurut, akan tetapi matanya memandang ragu. Sambil menyarungkan pedang dan menyimpan kipasnya, dia bertanya, "Akan tetapi... mereka itu...?"

Terdengar teriakan-teriakan dari para pengepung. "Tangkap mata-mata musuh!"

"Bunuh pemberontak!"

"Tangkap pembunuh Bouw-ciangkun!"

Ribuan orang prajurit sudah bergerak lagi. Swat Hong memegang lengan suheng-nya dan Kwee Lun juga mendekati Sin Liong. Betapa pun juga, gentar dia menghadapi ribuan orang yang berteriak itu, apa lagi dia tidak boleh melawan. Ketenangan Sin Liong membuat dia mencari perlindungan dekat pemuda ini. Sin Liong memegang lengan sumoinya.

Terdengarlah suaranya penuh kesabaran dan ketenangan yang wajar, "Cu-wi sekalian tahu bahwa mereka berdua ini bukan mata-mata, dan Cu-wi tahu apa yang telah terjadi. Maka harap Cu-wi perkenankan kami pergi, kemudian sebaiknya melaporkan kepada Sri Baginda apa yang telah terjadi sehingga dapat diambil tindakan tepat, demi ketertiban." Suara ini demikian halus, akan tetapi mengatasi semua teriakan dan anehnya orang-orang itu tidak berteriak-teriak lagi.

"Kami hendak pergi sekarang!" Sin Liong memegang lengan Swat Hong dengan tangan kanannya, memegang lengan Kwee Lun dengan tangan kiri, lalu menarik kedua orang itu ke luar dari kepungan.

Swat Hong dan Kwee Lun melangkah dengan bengong, merasa seperti dalam mimpi saja karena ketika mereka melangkah pergi melalui ribuan orang pasukan itu, tidak ada seorang pun di antara para prajurit yang mencoba untuk menghalangi mereka, bahkan ajaibnya, tidak ada seorang pun yang memandang mereka, seolah-olah para prajurit itu tidak melihat mereka!

Dan memang begitulah. Para prajurit itu pun bengong ketika secara tiba-tiba setelah pemuda tampan halus itu berpamit, tiga orang itu tiba-tiba saja lenyap dari situ tanpa meninggalkan bekas! Setelah Sin Liong dan dua orang temannya pergi jauh, barulah tempat itu menjadi gempar. Akhirnya Kaisar memperoleh laporan tentang semua peristiwa yang terjadi. Panglima Hussin dikirim pulang dan pimpinan pasukannya diserahkan kepada Ahmed!

Sementara itu, Sin Liong, Kwee Lun dan Swat Hong pergi meninggalkan Secuan. Ketika mereka tiba jauh dari daerah itu, mereka berhenti dan Swat Hong berkata, "Suheng, mengapa kita meninggalkan Secuan? Aku ingin sekali menjadi sukarelawati, membantu Kaisar dan membasmi pemberontak yang telah mengakibatkan kematian Ibu, kematian Soan Cu dan Ayahnya, bahkan kematian kakek buyutku!"

"Benar apa yang dikatakan Nona Swat Hong, Kwa-taihiap. Perjuangan menanti tenaga kita. Marilah kita bertiga membantu kerajaan membasmi pemberontak."

Sin Liong menarik napas panjang, memegang tangan sumoinya dan diajak duduk di atas rumput. Swat Hong duduk dekat suheng-nya dan memandang wajah suheng-nya dengan penuh kagum dan kasih sayang.

"Kwee-toako, benarkah engkau tertarik dengan perang? Dengan saling bunuh membunuh antara manusia, antara bangsa sendiri itu? Betapa mengerikan, Toako. Menggunakan ilmu silat untuk membela yang lemah dan menentang yang jahat masih dapat dimengerti dan masih mending. Akan tetapi bunuh-membunuh hanya untuk membela sekelompok manusia lain saling memperebutkan kemuliaan duniawi, sungguh patut disesalkan. Mereka itu hanya ingin mempergunakan orang lain demi mencapai cita-cita sendiri.”

"Aih, apa yang dikatakan Suheng memang tepat, Kwee-toako. Ingat saja apa yang barusan telah aku alami. Aku jauh-jauh datang untuk menjadi sukarelawati, membantu mereka, akan tetapi belum apa-apa aku sudah akan dikorbankan demi untuk menyenangkan hati panglima asing itu,"

Swat Hong berkata, kemudian dia menceritakan pengalamannya kepada Sin Liong, semenjak mereka berpisah dan dia ditolong oleh kakek buyutnya, sampai dia berpisah dari Kwee Lun meninggalkan ibunya yang menghadapi maut.

"Aku tidak berhasil mencari Swi Nio dan Toan Ki yang kutitipi pusaka-pusaka Pulau Es. Maka aku berniat membantu Kaisar sekaligus mencari mereka yang kurasa melarikan diri membawa pusaka-pusaka itu untuk mereka sendiri. Sungguh menggemaskan!"

"Jangan tergesa-gesa berprasangka buruk terhadap orang lain, Sumoi. Kelak kita memang harus mencari mereka dan meminta kembali pusaka-pusaka itu untuk kita bawa kembali ke Pulau Es."

Kwee Lun juga menceritakan riwayatnya semenjak dia berpisah dari Swat Hong. Kemudian mereka minta agar Sin Liong suka menceritakan riwayatnya.

"Bagaimana engkau yang menurut cerita Kakek buyut dilempar ke sumur ular dan ditutup dengan reruntuhan goa, dapat menyelamatkan diri, Suheng? Dan selama ini engkau kemana saja?"

Sin Liong tersenyum. "Aku memang nyaris tewas di sumur itu, akan tetapi memang agaknya belum tiba saatnya aku mati, maka batu mustika hijau kepunyaanmu ini telah menolongku, Sumoi." Sin Liong mengeluarkan mustika hijau itu. Swat Hong menerima batu itu dan menciumnya.

"Terima kasih, kau telah menyelamatkan Suheng!" katanya girang.

Sin Liong lalu menuturkan dengan singkat keadaannya selama dua tahun di dalam sumur ular sampai dia berhasil keluar ketika sumur itu dibongkar oleh Han Bu Ong dan orang-orang kerdil.

"Ahh, Ibunya yang mencelakanmu, anaknya yang tanpa sengaja menolongmu!" Swat Hong berseru heran. "Lalu bagaimana kau bisa datang ke Secuan dan menyelamatkan aku dan Kwee-toako?"

"Mula-mula aku pergi ke kota raja dan mendengar betapa Ibumu, juga Soan Cu telah tewas di sana, akan tetapi juga bahwa ibu tirimu The Kwat Lin juga tewas pula. Karena aku menduga bahwa peristiwa itu tentu membuat engkau dimusuhi oleh para pemberontak, maka aku yakin bahwa kau tentu membantu Kaisar di Secuan, maka aku segera menyusul ke sini dan kebetulan sekali melihat engkau dan Kwee-toako dikeroyok para prajurit."

Sin Liong tidak memberitahukan bahwa sesungguhnya telah terjadi keajaiban pada dirinya sehingga seolah-olah dia tahu bahwa sumoinya berada di Secuan. Seolah-olah apa yang terjadi bukan merupakan rahasia lagi baginya!

Tiba-tiba Kwee Lun bertanya, nada suaranya hati-hati dan penuh sungkan, "Kwa-taihiap, sejak dulu saya tahu bahwa Taihiap memiliki kepandaian luar biasa. Akan tetapi... tadi di sana seruan Taihiap membuat ribuan orang berhenti bergerak, bahkan aku pun... tidak mampu bergerak. Kemudian... ketika kita pergi, terjadi keajaiban, seolah-olah mereka itu sama sekali tidak melihat kita pergi...."

Sin Liong hanya tersenyum dan mengangkat pundak tanpa menjawab.

"Benar! Apa yang telah kau lakukan tadi, Suheng?" Swat Hong juga bertanya.

"Tidak apa-apa, Sumoi. Engkau pun melihat sendiri. Kita pergi dari mereka, dan karena tidak ada permusuhan atau kebencian di hatiku, tentu saja mereka pun tidak melakukan apa-apa."

Swat Hong memang sejak dahulu sudah tahu akan keanehan watak suhengnya dan kadang-kadang ucapan suhengnya tidak dimengerti sama sekali, maka jawaban sederhana ini cukup baginya.

Tidak demikian dengan Kwee Lun. Pemuda ini menduga bahwa pemuda Pulau Es itu bukanlah manusia biasa, maka cepat dia berkata, "Kwa-taihaip, jika Taihiap berkenan, saya... saya mohon petunjuk...."

Sin Liong menoleh, memandang. Mereka bertemu pandang dan Sin Liong tersenyum lagi. "Kau sebaiknya pulang saja ke Pulau Kura-kura, Kwee-toako. Dan mengingat engkau suka sekali akan ilmu silat dan aku yakin bahwa engkau tidak akan menggunakan ilmu itu untuk berbuat jahat, maka mungkin aku dapat menambahkan sedikit tingkat ilmumu itu. Harap kau coba-coba mainkan pedang dan kipasmu itu sebaik mungkin."

Bukan main girangnya hati Kwee Lun. Dia menjura dengan hormat sambil mengucapkan terima kasih, kemudian dia mencabut pedang dan kipasnya lalu bermain silat di depan Sin Liong dan Swat Hong. Seperti kita ketahui, dari kitab kuno Sin Liong memperoleh ilmu luar biasa, yaitu mengenal semua inti ilmu silat dari gerakan pertama saja.

Maka setelah Kwee Lun mainkan jurus-jurus simpanan yang paling lihai dan menghentikan permainan silatnya, Swat Hong bertepuk tangan memuji, sedangkan Sin Liong berkata,

"Ada kelemahan-kelemahan di dalam beberapa jurusmu, Toako."

Pemuda luar biasa ini lalu memberi petunjuk kepada Kwee Lun yang menjadi terheran-heran, kagum dan girang sekali. Petunjuk-petunjuk itu merupakan penyempurnaan dari semua ilmu silatnya. Dia menerima dan melatih petunjuk-petunjuk ini dan demikianlah, sampai hampir sebulan lamanya, tiga orang ini melakukan perjalanan ke timur dan di sepanjang perjalanan, Kwee Lun menerima petunjuk-petunjuk dari Sin Liong, bahkan Kwee Lun menerima pelajaran latihan untuk menghimpun tenaga sinkang.

Selama sebulan itu, Kwee Lun memperoleh keyakinan bahwa pemuda Pulau Es ini benar-benar bukan seorang manusia biasa. Tindak-tanduknya, bicaranya, pandang matanya, dan betapa pemuda itu dapat mengerti ilmu silatnya lebih sempurna daripada dia sendiri!

Maka ketika tiba saatnya berpisah, dia tanpa ragu-ragu menjatuhkan diri berlutut di depan Sin Liong! "Harap jangan berlebihan, Kwee-toako," kata Sin Liong.

"Wah, Toako. Apa-apaan ini?" Swat Hong juga mencela.

"Kwa-taihiap, saya boleh dibilang adalah murid Taihiap. Dan Han-lihiap, agaknya belum tentu selama hidupku akan dapat bertemu lagi dengan Ji-wi (Kalian). Perkenankan saya, Kwee Lun, menghaturkan terima kasih dan selama hidup saya tidak akan melupakan Ji-wi!"

"Hushhhh... sudahlah, Toako. Kita berpisah di sini. Engkau ke selatan dan kami akan terus ke timur. Mari, Sumoi, kita lanjutkan perjalanan," kata Sin Tiong dengan suara tenang dan biasa saja, lalu mengajak sumoinya pergi dari situ.

Swat Hong beberapa kali menengok dan melihat Kwee Lun masih berlutut dengan mata basah air mata! Dia pun terharu, akan tetapi tidak lagi merasa sengsara seperti ketika dia berpisah dari Kwee Lun hampir dua tahun yang lalu. Kini Sin Liong, suhengnya, pria yang dicintainya, berada di sampingnya. Tidak ada lagi perkara apa pun di dunia ini yang dapat menyusahkan hatinya lagi!

BERSAMBUNG KE JILID 14

Bu Kek Siansu Jilid 13

Bu Kek Sian Su Jilid 13
Karya : Kho Ping Hoo


Cerita Silat Mandarin Serial Bu-kek Sian-su Karya Kho Ping Hoo
The Kwat Lin cepat menengok. Dia melihat Swat Hong telah berdiri di ambang pintu bersama seorang gadis lain yang tak dikenalnya. Kemarahan seperti api membakar dadanya melihat dara ini. Sambil mengeluarkan jerit melengking nyaring, dia lalu menerjang dan menggerakkan pedang merahnya.

"Cring-trang...!!" pedang Swat Hong disusul pedang Coa-kut-kiam di tangan Soan Cu menangkis dan kedua orang dara itu meloncat ke belakang, ke tempat yang lebih lega.

Dengan kemarahan meluap-luap The Kwat Lin meloncat ke luar dan melanjutkan serangannya. Akan tetapi setelah bergerak belasan jurus, wanita ini terkejut dan merasa menyesal mengapa dia menuruti kemarahan hatinya.

The Kwat Lin sadar bahwa dia berada dalam bahaya! Kiranya selain Swat Hong yang telah memiliki kepandaian hebat juga gadis yang gerakan-gerakannya liar dan ganas itu amat berbahaya, apa lagi cambuk ekor ikan Phi yang meledak-ledak dahsyat. 

Sebentar saja dia tertekan dan terdesak. Beberapa kali dia berusaha untuk meloloskan diri, akan tetapi sambil mengejek Swat Hong selalu menutup jalan keluar dan dia terus digulung oleh sinar dua orang gadis lihai itu.

The Kwat Lin menjadi nekat. Sambil menggigit bibirnya dia menyerang dahsyat kepada Swat Hong, mencurahkan daya serangannya kepada anak tiri yang dibencinya ini. Menghadapi terjangan dahsyat yang bertubi-tubi itu, Swat Hong mundur-mundur juga.

Akan tetapi kesempatan baik ini dipergunakan oleh Soan Cu untuk menyerang dari belakang. Cambuk ekor ikan Phi meledak dua kali mengancam ubun-ubun kepala The Kwat Lin. Ketika wanita ini mengelak ke samping sambil melanjutkan serangan pedangnya kepada Swat Hong, Soan Cu menusukkan pedangnya mengarah lambung Kwat Lin.

"Singgg... crat... aihhhhh!!"

Kwat Lin terkejut sekali. Biar pun dia telah mengelak, tetap saja pedang Coa-kut-kiam (Pedang Tulang Ular) itu melukai lambungnya, merobek kulit dan mendatangkan rasa nyeri, panas dan perih sekali. Akan tetapi wanita yang lihai ini sudah membalik sambil juga membalikkan pedangnya menyambar leher Soan Cu. Hal ini tidak disangka-sangka oleh gadis Pulau Neraka ini.

"Awas Soan Cu...!!" Swat Hong berseru dan pedangnya menyambar, yang diarah adalah lengan kanan Kwat Lin karena hanya dengan jalan itulah dia dapat menolong Soan Cu.

"Brettt... crok... aughhhh....!!"

Soan Cu terhuyung, pundaknya berlumuran darah karena terluka parah, sedangkan Kwat Lin cepat memindahkan pedang ke tangan kirinya karena lengan kanannya juga terluka parah, terbacok di bagian bahu hampir putus! Dengan kemarahan meluap-luap dia menubruk Swat Hong, namun gadis Pulau Es ini mengelak ke kiri sambil mengangkat kaki menendang lutut.

"Dukkk! Aduh...!"

Kwat Lin terbelalak ketika tahu-tahu pedang Coa-kut-kiam telah bersarang di perutnya! Kiranya ketika tadi Swat Hong menendangnya Soan Cu yang terluka dengan kemarahan meluap menubruk, maka begitu wanita itu terguling, pedangnya cepat menyambar dan menusuk perut Kwat Lin.

"Bedebah kau...!" tiba-tiba pedang di tangan Kwat Lin meluncur.

"Soan Cu, awas...!!" Swat Hong berteriak kaget.

Namun terlambat! Pedang yang dilempar dari jarak dekat dan tak terduga-duga itu dilakukan dengan dorongan tenaga terakhir, tak dapat dielakkan dengan baik oleh Soan Cu dan menancap di bawah pundak sampai dalam!

"Soan Cu!" Swat Hong melompat dan pedangnya membabat. Kwat Lin memekik dan lehernya hampir putus!

Dengan cepat Swat Hong memeluk tubuh Soan Cu yang tersenyum! “Pergilah... Aku... aku tak berguna lagi...!" katanya.

"Omong kosong!" Swat Hong menghardik, mencabut pedang Ang-bwe-kiam dari pundak Soan Cu. Soan Cu menjerit dan pingsan. Dengan gemas Swat Hong melempar pedang itu, lalu memondong tubuh Soan Cu yang dibawanya ke luar.

Betapa kagetnya ketika ia tiba di ruangan luar. Pertempuran yang masih berlangsung hebat itu ternyata membuat pihak ibunya terdesak. Bahkan ibunya kelihatan terluka di beberapa tempat, juga ayah Soan Cu yang mengamuk dengan gagah telah berlumuran darah seluruh tubuhnya. Kwee Lun juga masih mengamuk. Hanya pemuda inilah yang belum terluka karena Ouwyang Cin Cu menujukan serangan-serangannya kepada Liu Bwee dan Ouw Sian Kok, karena menganggap ringan kepada Kwee Lun.

"Ibu...!!"

Dengan kemarahan meluap-luap Swat Hong meloncat, melampaui para pengepung dan menurunkan tubuh Soan Cu ke atas lantai. Lalu gadis ini mengamuk dengan pedangnya, merobohkan beberapa orang pengawal. Gerakannya demikian hebat sehigga para pengepung terkejut dan gentar, kemudian bergerak mundur.

"Ibu....!"

"Ayahhhh....!"

Ouw Sian Kok menghentikan amukannya dan menjatuhkan diri berlutut. Tadi dia mengira bahwa puterinya telah tewas, maka panggilan itu menggetarkan jantungnya dan membuat dia lemas. "Kau... kau Soan Cu...?"

"Ayahhhhh.... Hu-hu-hu-huuuu....!!" Soan Cu menangis dalam rangkulan ayahnya yang juga bercucuran air mata. Baru pertama kali Ouw Sian Kok dapat mencucurkan air mata.

"Wutttt... tranggg...!!" dua batang golok terpental oleh tangkisan Ouw Sian Kok tanpa menoleh karena dia sedang mendekat dan menciumi dahi puterinya.

"Ayah, aku puas... dapat bertemu denganmu....!"

"Soan Cu... aihhh, anakku, kau ampunkan dosa ayahmu...." Ouw Sian Kok berkata dengan suara terisak.

"Trang-trang..... dessss!!" dua orang pengawal yang berani menyerang roboh oleh tangkisan pedang Ouw Sian Kok dan mecuatnya kaki Soan Cu yang menendang.

"Ah, jangan kau keluarkan tenaga...." kata Ouw Sian Kok melihat betapa tendangan tadi membuat napas Soan Cu memburu.

"Ayah... aku... aku tidak kuat lagi... kau larilah, ayah...."

"Soan Cu...! Soan Cuuuu....!!"

Sian Kok meraung-raung ketika menyaksikan dengan mata sendiri betapa puterinya yang baru dilihatnya selama hidup puterinya itu, menghembuskan napas dengan bibir tersenyum di dalam dekapnya. Laki-laki gagah perkasa itu masih terus meraung-raung.

Ketika dia telah membaringkan tubuh puterinya ke atas lantai, dengan air mata bercucuran kemudian dia mengamuk seperti seekor naga, menyebar maut di antara pengeroyoknya! Hujan senjata tidak dirasakannya lagi. Pedangnya sampai menjadi merah dari ujung sampai ke gagang, bahkan sampai ke lengannya!

Sementara itu Liu Bwee yang sudah banyak kehilangan darah juga makin lemas gerakannya, kalau tidak ada Swat Hong, tentu dia roboh oleh Ouwyang Cin Cu. Untung bagi mereka agaknya kakek yang sudah menjadi Koksu ini hanya setengah hati saja bertempur, sering-kali dia sengaja mundur dan membiarkan anak buah pengawal yang mengeroyok.

Hal ini karena dia sebetulnya tidak begitu suka kepada The Kwat Lin yang dianggapnya berbahaya. Pula, setelah sekarang dia telah memperoleh kedudukan tinggi, dia tidak membutuhkan kerja sama dengan The Kwat Lin. Selain itu, juga dia ingin menghindarkan sedapat mungkin permusuhan dengan orang-orang lihai, apa lagi keluarga dari Pulau Es!

"Swat Hong, cepat kau pergi....!"

"Tidak, Ibu!"

"Kalau tidak, kau akan mati...!"

"Mati bersamamu merupakan kebahagiaan, Ibu!"

"Hushh, anak bodoh. Kalau begitu siapa yang akan mengembalikan pusaka? Kau ingat pesan Ayahmu."

"Tapi, Ibu...."

"Kalau kau membantah dan sampai tewas di sini, Ibumu tidak akan dapat mati dengan mata merem."

"Ibu....!"

"Lihatlah, dia... dia pun akan mati.... Ibu ada seorang teman yang baik.... Ibu dan dia.... Ahh, kami senang mati bersama... kau jangan ikut-ikut....!"

Mendengarkan ucapan ini, Swat Hong terkejut sekali dengan menengok ke arah Ouw Sian Kok yang mengerikan keadaannya itu. Mengertilah dia bahwa Ibunya dan laki-laki perkasa itu telah saling jatuh cinta! Jantungnya seperti ditusuk, teringat dia akan kesalahan ayahnya terhadap ibunya. Ibunya tidak bersalah, sudah sepantasnya menjatuhkan hati kepada pria lain karena disakiti hatinya oleh suami yang tergila-gila kepada wanita lain!

"Ibu...."

"Pergilah, dan ajak pemuda gagah itu!"

Sambil bercucuran air mata Swat Hong mengamuk, memutar pedangnya dan mendekati Kwee Lun yang juga masih mengamuk.

"Toako, hayo kita pergi!!"

"Eh? Ibumu? Soan Cu? Ayahnya....?"

"Ayolah...!!"

"Baik, baik...!"

Dengan membuka jalan darah, mereka berdua akhirnya berhasil meloncat ke luar.

"Jangan kejar mereka! Kepung saja yang berada di dalam!" terdengar Ouwyang Cin Cu berseru.

Tidak terlalu lama Ouw Sian Kok dan Liu Bwee dapat bertahan. Mereka sudah kehabisan tenaga, juga terlalu banyak mengeluarkan darah. Akhirnya mereka roboh berdekatan, di dekat mayat Soan Cu.

Ouwyang Cin Cu menghela napas panjang, kagum sekali menyaksikan kegagahan mereka itu. Dia masih belum menduga bahwa tiga orang yang telah tewas ini adalah orang-orang yang datang dari tempat yang hanya didengarnya dalam dongeng! Wanita cantik setengah tua itu adalah bekas permaisuri Raja Pulau Es, sedangkan laki-laki perkasa dan dara jelita itu adalah ayah dan anak dari Pulau Neraka, bahkan merupakan tokoh pimpinan!

Dia menghela napas pula ketika melihat bahwa The Kwat Lin juga tewas dalam keadaan mengerikan. Diam-diam dia merasa lega, karena dia maklum betapa di lubuk hati wanita ini tersembunyi cita-cita yang amat hebat, yang kelak mungkin membahayakan kedudukan kaisar, dan kedudukannya sendiri.

Ouwyang Cin Cu yang telah menjadi Koksu membuat laporan tentang kematian The Kwat Lin kepada Kaisar baru, yaitu An Lu Shan. Bekas jenderal ini hanya menarik napas panjang. "Hemm, sayang sekali, dia merupakan tenaga yang berguna." Kemudian sambil mengelus jenggotnya dia berkata, "Kalau begitu bagaimana dengan puteranya?"

"Menurut pendapat hamba, puteranya itu masih berdarah Raja Pulau Es yang kabarnya masih mempunyai hubungan keluarga dengan kerajaan lama. Maka kalau dia dibiarkan saja menjadi pangeran di sini, kelak kalau sudah dewasa tentu akan merupakan bahaya."

An Lu Shan mengangguk-angguk. "Habis bagaimana pendapatmu?"

Koksu yang merupakan penasehat utama itu mengerutkan alisnya yang bercampur uban, lalu berkata, "Mereka itu datang dari Rawa Bangkai, biarlah dia hamba bawa kembali ke sana, diberi kedudukan sebagai penguasa di Rawa Bangkai dan daerah sekitarnya. Anak kecil itu tidak tahu apa-apa, asal diberi kedudukan di sana mengepalai bekas anak buah ibunya dan Kiam-mo Cai-li, tentu kelak akan senang hatinya."

"Baiklah, urusan ini kuserahkan kepadamu untuk dibereskan."

Demikianlah, setelah penguburan jenazah ibunya selesai, Han Bu Ong yang masih kecil itu menurut saja ketika oleh Ouwyang Cin Cu diberi-tahu bahwa dia oleh Kaisar ‘diangkat’ menjadi ‘raja muda’ yang berkuasa di Rawa Bangkai, di mana telah dibangun sebuah gedung mewah lengkap dengan semua pelayan dan perabot. Di tempat ini, Han Bu Ong hidup cukup mewah.

Akan tetapi anak ini memang mempunyai kecerdikan yang luar biasa. Biar pun dia dicukupi hidupnya, diam-diam dia mengerti bahwa dia sengaja setengah ‘dibuang’ oleh Kaisar dan Ouwyang Cin Cu setelah ibunya tewas. Maka dia mencatat di dalam hatinya bahwa selain Swat Hong dan Kwee Lun yang menjadi musuh besarnya, juga Ouwyang Cin Cu sebetulnya bukanlah seorang sahabat yang setia dari ibunya.

Anak kecil ini dengan rajin lalu melatih dirinya dengan ilmu-ilmu peninggalan ibunya yang masih ada padanya. Dia harus menggembleng dirinya dan kelak, selain dia harus membalas kepada musuh-musuhnya, juga dia akan berusaha untuk merampas kembali pusaka-pusaka Pulau Es yang dicuri oleh Swat Hong.

Dia merasa bahwa dia berhak memiliki pusaka itu karena bukankah dia putera Raja Pulau Es? Dari ibunya dia dahulu mendengar bahwa siapa yang mewarisi pusaka Pulau Es dan melatih semua ilmu yang terdapat di dalam kitab-kitab itu, tentu akan menjadi jago nomor satu di dunia....

* * *


PARA PEMBACA yang mengikuti pengalaman Kwa Sin Liong tentu menjadi penasaran kalau pemuda sakti itu sampai tewas dalam keadaan yang demikian mengerikan! Tidak, dia tidak mati! Memang nyaris dia tewas dimakan ratusan ekor ular berbisa yang menjadi penghuni sumur itu.

Akan tetapi kalau orang belum tiba saatnya untuk mati, ada saja penolongnya yang bisa dianggap tidak masuk akal, kebetulan atau luar biasa. Dalam halnya Sin Liong tidak ada yang tidak masuk akal atau luar biasa.

Memang tubuhnya yang pingsan itu terlempar ke dalam sumur di mana terdapat ratusan ekor ular berbisa dari segala jenis, akan tetapi tidak ada seekor pun ular yang berani menggigitnya. Jangankan menggigit, mendekati pun mereka itu tidak berani, bahkan begitu tubuh pemuda itu terjatuh, ular-ular itu cepat menyingkir ketakutan. Hal ini adalah karena tanpa sengaja di saku baju Sin Liong terdapat batu mustika hijau dari Pulau Es!

Seperti kita ketahui, batu mustika hijau ini adalah milik Han Swat Hong yang telah menyelamatkan nyawa gadis ini pula ketika terserang racun. Ketika Sin Liong mengobati sumoi-nya itu, dia menyimpan batu mustika ini di dalam saku bajunya sehingga ketika dia terlempar ke dalam sumur, batu mustika itu ikut terbawa olehnya dan menjadi penyelamatnya karena tidak ada ular yang berani mendekatinya.

Sebetulnya pemuda ini menderita luka yang amat parah dan berakibat mematikan bagi orang lain. Namun pemuda ini pada dasarnya memiliki tubuh yang sempurna, bersih darahnya dan kuat tulang dan urat-uratnya. Apa lagi sejak kecil dia menerima gemblengan ilmu kesaktian dari Han Ti Ong sehingga dia memilki tubuh yang amat kuat dan tahan derita.

Dua hari dua malam dia rebah pingsan di dasar sumur yang lembab, tanpa diusik oleh ular-ular itu yang hanya memandang dari jauh seolah-olah dia merupakan makhluk yang menakutkan. Pada hari ke tiga, nampak tanda hidup pada tubuh yang tadinya tak bergerak-gerak seperti mati itu dengan suara keluhan panjang, kemudian tubuh itu bergerak dan bangkit duduk dengan susah payah.

Sejenak Sin Liong merasa nanar dan bingung melihat bahwa dirinya berada di tempat yang amat gelap. Begitu gelapnya sehingga dengan terkejut dia menyangka bahwa matanya telah menjadi buta. Akan tetapi ketika dia menoleh, tampaklah sedikit cahaya di belakangnya, dan mengertilah dia dengan hati lega bahwa dia tidak buta, melainkan berada di tempat yang amat gelap. Dia tidak tahu bahwa dia dilempar ke sumur dan sumur itu kini telah tertutup oleh batu-batu besar dari atas ketika guha terowongan itu sengaja diruntuhkan oleh Kiam-mo Cai-li dan The Kwat Lin.

Melihat cahaya terang di belakangnya, Sin Liong menggerakkan tubuhnya hendak menyelidiki. Akan tetapi dia mengeluh, karena begitu bergerak dadanya terasa nyeri bukan main! Dia teringat akan pertempuran itu dan mulai mengerti bahwa tentu dia telah tertawan dan berada dalam tempat tahanan rahasia yang amat gelap.

Maka dia segera duduk bersila mengatur pernapasan di tempat lembab dan pengap itu, menyalurkan tenaga dan hawa sakti di dalam tubuhnya. Memang dia memiliki sinkang yang amat kuat berkat latihan di Pulau Es, maka tak lama kemudian dia telah mengobati luka di dalam tubuhnya dan menyelamatkan rasa nyeri-nyeri di tubuhnya.

Begitu dia menghentikan latihannya, terasa betapa perutnya lapar sekali. Dia tidak tahu bahwa sudah dua hari dua malam perutnya sama sekali tidak diisi apa-apa. Sin Liong bangkit berdiri dengan hati-hati. Tangannya meraih ke atas... kosong. Dia mencoba meloncat dengan kedua tangannya di atas kepala. Tetap saja di sebelah atasnya kosong, tanda bahwa tempat tahanan itu tinggi bukan main! Seperti sumur!

Betapa pun dalamnya sumur itu tentu dia akan meloncat ke luar, pikirnya. Dikerahkan seluruh tenaga dalamnya, kemudian dengan ilmu ginkang-nya yang istimewa, dia melompat lagi ke atas, kedua tangannya tetap menjaga di atas kepala.

"Plakkk!" tubuhnya melayang lagi ke bawah.

Kedua tangannya bertemu dengan batu besar yang amat berat dan menutup lubang sumur itu! Beberapa kali Sin Liong menggunakan kepandaiannya untuk keluar dari dalam sumur, dan setiap kali meloncat, dia menggunakan sinkang di kedua tangannya untuk mendorong batu. Akan tetapi usahanya ini selalu gagal. 

Tentu saja tidak mungkin bagi seorang manusia, betapa kuat pun dia, untuk meloncat sambil mendorong tumpukan batu-batu besar yang menutup mulut sumur itu, batu-batu sebesar rumah dan yang sebongkah saja beratnya ada yang seribu kati! Akhirnya Sin Liong pun maklum bahwa usahanya meloloskan diri melalui atas tidak mungkin baginya. Maka dia mulai meraba-raba di sekelilingnya.

Sumur itu tidak berapa lebar, paling banyak bergaris tengah tiga meter. Ketika dia mendengar suara mendesis-desis dan mencium bau amis, tahulah dia bahwa di tempat itu terdapat banyak ular berbisa. Kemudian tampak olehnya melalui cahaya redup tadi bahwa di bagian bawah terdapat sebuah lubang dan agaknya dari tempat itulah ular-ular keluar dari sumur. 

Begitu dia mendekati lubang ini, tampak olehnya di dalam cahaya remang-remang itu seekor ular berkelebat menjauhkan diri. Dia merasa heran mengapa binatang-binatang itu tidak mengganggunya ketika dia pingsan dan kini kelihatan takut kalau didekatinya.

Dia teringat, meraba saku bajunya dan tersenyum mengeluarkan batu hijau yang mengeluarkan sinar di dalam gelap itu. Inilah penolongku, pikirnya. Hatinya menjadi makin tenang. Dengan adanya batu mustika hijau ini, tidak perlu takut menghadapi binatang berbisa apa pun. Akan tetapi melihat batu mustika itu, teringatlah dia kepada Swat Hong dan dia merasa khawatir juga.

Musuh demikian lihai, dia sendiri kena ditangkap dan agaknya dilempar ke sumur ini. Bagaimana nasib Swat Hong? Dia harus cepat keluar dari tempat ini untuk menolong Swat Hong. Kekhawatirannya terhadap sumoi-nya itu membuat dia makin bersemangat mencari jalan keluar.

Lubang dari mana ular-ular itu keluar dari sumur terlalu sempit untuk dapat diterobos, maka Sin Liong lalu menggunakan kedua tangannya untuk membongkar batu di lubang itu, memperlebar lubang dengan jalan memukul pecah batu-batu di sekelilingnya. 

Tidak mudah pekerjaan ini, karena selain tubuhnya masih lemah, juga batu-batu di tempat itu amat keras dan hanya dapat digempurnya sedikit demi sedikit. Namun akhirnya dapat juga dia memperlebar lubang itu sehingga dia dapat merangkak melalui lubang sambil terus menggempur lubang di depan yang merupakan terowongan panjang.

Melihat betapa makin lama cahayanya dari seberang terowongan kecil itu makin terang, hati Sin Ling membesar. Jelas bahwa di seberang itu terdapat tempat terbuka dari mana sinar matahari dapat masuk, pikirnya. Akan tetapi pekerjaan menerobos terowongan kecil yang merupakan liang ular dengan hanya menggunakan kedua tangan kosong, memakan waktu lama juga.

Saking hausnya, dia menengadah untuk menerima titik-titk air yang jatuh dari atas, yaitu dari dinding sumur yang mengeluarkan air. Biar pun memakan waktu lama, dapat juga dia mengobati dahaga dengan minum secara demikian.

Namun perutnya yang lapar terpaksa harus berpuasa lagi sampai tiga hari, karena setelah tiga hari, barulah dia berhasil merangkak keluar dari terowongan itu dan tiba di sebuah ruangan yang cukup luas, akan tetapi juga merupakan tempat tertutup!

Bedanya, kalau sumur pertama merupakan tempat sempit dan gelap, maka ruangan kedua ini luas sekali. Garis tengahnya tidak kurang dari sepuluh meter, merupakan sebuah ruang dalam tanah yang aneh. Di sebelah atas, jauh dan tinggi sekali, tertutup oleh tanah atau batu dan ada celah-celah yang merupakan retakan batu-batu dari mana sinar matahari dapat menerobos masuk.

Sin Liong menjatuhkan diri duduk di tengah ruangan dalam tanah ini dan harapannya kandas sama sekali. Kalau sumur pertama itu merupakan tempat tahanan yang sukar diterobos adalah tempat ini lebih sukar lagi untuk meloloskan diri. Ular-ular yang banyak sekali dan saling berbelit-belit kelihatan ketakutan, ada yang merayap naik, ada pula yang menerobos terowongan yang sudah melebar itu untuk kembali ke dalam sumur pertama!

Sin Liong termenung. Dari kamar tahanan kecil dia pindah ke kamar tahanan besar! Hanya lebih lebar dan memperoleh penerangan sinar matahari yang tidak seberapa, itulah bedanya! Akan tetapi dia tidak menjadi putus harapan. Dihadapinya kenyataan ini dengan tabah dan dilenyapkannya kekhawatiran di dalam hatinya tentang diri sumoi-nya dengan keyakinan bahwa apa pun yang akan terjadi, terjadilah tanpa dipengaruhi segala kekhawatiran yang tiada gunanya! Dia sendiri menghadapi bencana, menghadapi ancaman maut dan inilah yang terutama harus dihadapi dan diatasi lebih dulu.

Dia mulai memeriksa kalau-kalau ada jalan ke luar dari tempat itu, namun sama sekali tidak ada jalan ke luar. Akan tetapi dia menemukan benda-benda yang sementara dapat menolongnya dari ancaman kelaparan, yaitu jamur yang agaknya bertumbuhan dengan subur di tempat itu karena memperoleh sinar matahari. Perutnya lapar sekali dan pengetahuannya tentang tetumbuhan meyakinkan hatinya. 

Maka mulailah dia memilih jamur-jamur yang tak mengandung racun, lalu mulai dia makan jamur. Dalam keadaan lapar bukan main, ternyata jamur-jamur mentah itu terasa enak juga! Soal minum dia tidak usah khawatir karena di beberapa tempat pada dinding batu itu terdapat air yang menetes. Ditampungnya tetesan air itu dengan kedua tangannya, lalu diminumnya. Luar biasa segarnya air yang disaring oleh tanah dan batu itu.

Setelah yakin benar bahwa tidak ada jalan ke luar dari tempat itu, Sin Liong menerima kenyataan ini dan dia giat berlatih ilmu. Di dalam kesunyian yang amat hebat itu perasaan dan pikiran Sin Liong menjadi luar biasa tajamnya. Semua ilmu yang pernah dipelajari dan dibacanya dahulu dan sukar dimengerti olehnya karena kitab-kitab kuno Pulau Es memang amat sukar diartikan, kini menjadi jelas dan dapat dia selami intinya. Oleh karena inilah maka di luar dari kesadarannya sendiri, ilmu kesaktiannya bertambah dengan hebat dan cepatnya.

Juga di tempat ini dia mulai mengenal diri sendiri, mengenal arti hidup yang sesungguhnya. Tanpa disadarinya sendiri, dari dalam pribadinya timbul kekuatan mukjijat, kekuatan yang dimiliki oleh setiap orang manusia namun yang selalu terpendam dan tetap tersembunyi sampai saat terakhir dari hidup manusia yang selalu dipermainkan oleh nafsu yang disebut aku.

Tanpa terasa oleh Sin Liong sendiri yang selama hidup di dalam ruang bawah tanah itu sama sekali tidak pernah memikirkan atau mengenal waktu, pemuda luar biasa ini telah berada di tempat itu selama dua tahun!

Dia mengerti bahwa tanpa bantuan dari luar, tidak mungkin dia meloloskan diri dari tempat itu, maka sudah sejak lama dia tidak lagi berusaha untuk keluar dari situ. Selama itu yang menjadi teman-temannya hanyalah ular-ular berbisa! Ternyata oleh pemuda itu bahwa binatang berbisa seperti ular pun mengenal siapa lawan siapa kawan.

Karena selama itu dia tidak pernah mengganggu mereka, ular-ular itu pun jinak dan sama sekali tidak pernah menyerangnya, biar pun dia menjauhkan batu mustika hijau dari tubuhnya. Binatang-binatang ini hanya menyerang untuk menjaga diri saja dari bahaya yang datang mengancam diri mereka.

Juga tanpa disadari sendiri oleh Sin Liong, tubuhnya yang setiap hari hanya dihidupkan oleh sari jamur yang bermacam-macam itu, pertumbuhannya sama sekali berlainan dengan manusia biasa. Makanan amat mempengaruhi tubuh dan sari jamur yang dimakannya selama dua tahun itu mendatangkan kepekaan luar biasa, dan kepekaan tubuh ini pun mempengaruhi pula pertumbuhan batinnya.

Dia menjadi seorang manusia luar biasa, tidak menderita apa-apa, tidak mengharapkan apa-apa, karena di dalam keadaan apa pun juga, menghadapi keadaan apa adanya, sewajarnya, sebagaimana adanya yang dianggap sudah semestinya demikian, tidak ada lagi apa yang disebut menyenangkan atau tidak menyenangkan, tidak ada lagi yang disebut senang atau susah, tidak ada lagi puas atau kecewa.

Dalam keadaan seperti itu, tubuh sehat dan batin tenang, yang ada hanyalah rasa suka ria yang sukar dilukiskan karena sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kesukaan atau kegembiraan yang dapat dicari. Suatu nikmat yang bukan datang dari gairah nafsu atau kesenangan, nikmat hidup yang datang tanpa dicari, yang terasa hanya setelah batin bebas dari segala ikatan, seperti batin Sin Liong di waktu itu.

Pada suatu hari, di sebelah atas dari tempat rahasia ini, terjadilah kesibukan besar. Puluhan orang katai yang tubuhnya pendek akan tetapi besarnya seperti manusia biasa, bertubuh kuat dan bertenaga besar, dipimpin oleh seorang pemuda tanggung sedang membongkari reruntuhan batu-batu di dalam terowongan bawah tanah itu.

Pemuda tanggung yang berpakaian mewah itu bukan lain adalah Bu Ong, yang kini telah mengumpulkan sisa orang-orang kerdil bekas taklukan di Rawa Bangkai dan menjadi pimpinan mereka.

Han Bu Hong kini telah menjadi seorang pemuda tanggung yang lihai dan tidak ada seorang pun di antara tokoh-tokoh orang kerdil mampu melawannya. Agaknya, untuk menjadikan mimpi ibunya sebagai kenyataan, dia telah mengangkat diri sendiri menjadi ketua atau lebih tepat lagi menjadi ‘raja’ dari orang-orang katai ini. 

Gedung di Rawa Bangkai hanya menjadi tempat tinggal umum, akan tetapi diam-diam dia mendirikan ‘kerajaan kecil’ di bawah tanah. Bahkan dia telah membangun sebuah ruang seperti istana di bawah tanah, lengkap dengan kursi kebesaran yang dihiasai dengan sebuah tengkorak di samping hiasan mahal seperti permadani, lukisan dan tulisan indah. 

Sering-kali dia secara sembunyi mengadakan pertemuan dan rapat rahasia dengan para tokoh orang katai yang menjadi pembantunya, dan pemuda tanggung ini diam-diam merencanakan pekerjaan besar untuk melanjutkan cita-cita ibunya.

Demikianlah, karena dia ingin menggunakan terowongan bawah tanah itu sebagai markas partai orang kerdil, dan juga karena dia ingin mencari kalau-kalau ada harta atau pusaka peninggalan Rawa Bangkai di terowongan itu, dia lalu mengerahkan para anak buahnya untuk membersihkan bagian terowongan yang dahulu diruntuhkan oleh ibunya dan oleh Kiam-mo Cai-li.

"Akan tetapi, Siauw-pangcu (Ketua Cilik)," seorang pembantu membantah sebelum pembongkaran dilakukan. "Tempat ini dahulu sengaja diruntuhkan oleh Ibu Pangcu untuk menutupi sumur ular di mana tubuh musuh Ibu Pangcu dilempar. Karena musuh itu lihai bukan main, maka Ibu Pangcu bersama Kiam-mo Cai-li dan Ouwyang Cin Cu memutuskan untuk menutup saja tempat ini agar pemuda sakti itu tidak mampu hidup kembali."

Han Bu Ong tertawa. "Ha-ha, mana mungkin Kwa Sin Liong dapat hidup kembali? Dia sudah di lempar di sumur ular, andai kata dia tidak mati oleh ular-ular itu, tentu selama dua tahun dikubur hidup-hidup di sumur itu dia kini sudah menjadi setan tengkorak, tinggal rangkanya saja. Mengapa khawatir? Hayo bongkar! Kalau tidak dibongkar, terowongan ini tertutup sampai di sini, padahal kita amat membutuhkan sebagai jalan rahasia yang amat penting bagi perkumpulan kita."

Karena alasan yang dikemukakan ketua cilik ini memang tepat, maka beramai-ramai para manusia katai itu segera bekerja keras, membongkari batu-batu yang besar-besar dan berat itu, menggunakan alat pendongkel dan lain-lain.

Hiruk-pikuk suara di dalam terowongan itu, dan pekerjaan yang berat itu biar pun dilakukan oleh hampir lima puluh orang, tetap saja memakan waktu yang cukup lama. Memang sesungguhnyalah bahwa merusak itu mudah membangun itu sukar, mengotori itu mudah membersihkannya tidak semudah itu.

Setelah bekerja keras selama sepekan, barulah batu besar terakhir yang menutupi sumur dapat disingkirkan. Han Bu Ong dan para anak buahnya seperti berlomba lari menghampiri sumur dan melongok ke dalam sumur yang amat gelap itu. Pada saat itu, terdengar suara angin menyambar dari bawah dan berkelebatlah bayangan orang yang melayang dari bawah. Han Bu Ong dan semua orang terkejut.
Ketika mereka menoleh dan memandang bayangan orang yang tadi meloncat melewati kepala mereka, mereka melihat seorang laki-laki muda berdiri di situ sambil tersenyum. Seorang pemuda yang berwajah tampan, yang memiliki sepasang mata yang lembut pandangannya namun bersinar cahayanya, pemuda yang pakaiannya lapuk dan compang camping. Tidak ada orang kerdil yang mengenal pemuda ini karena memang keadaannya jauh berbeda dengan tahun yang lalu.

Akan tetapi Han Bu Ong dengan suara gemetar membentakkan perintah, "Serbu! Bunuh dia...!!"

Orang-orang katai yang tadinya bengong terheran-heran dan ketakutan karena menduga keras bahwa tentu hanyalah siluman saja yang keluar dari sumur tertutup itu, ketika mendengar bentakan ini menjadi sadar. Kini mereka pun ingat bahwa tentu ini pemuda yang dua tahun yang lalu dilempar ke dalam sumur. 

Mereka bergidik ngeri dan gentar mendapat kenyataan bahwa orang yang dua tahun lalu dilempar ke sumur ular yang tertutup kini ternyata masih hidup. Namun karena maklum bahwa ini adalah musuh mereka dengan teriakan-teriakan ganas mereka menyerang orang itu.

Memang benar dugaan Han Bu Ong. Orang ini bukan lain adalah Kwa Sin Liong. Ketika Sin Liong akhirnya dari bawah mendengar suara hirup pikuk di sebelah atas, kemudian melihat cahaya turun melalui terowongan kecil jalan ular, dia menyeberangi terowongan dan tiba di dasar sumur pertama.

Akhirnya dia melihat betapa atap sumur yang tadinya tertutup batu besar itu terbuka dan melayanglah dia ke luar. Karena selama dua tahun dia tidak bertemu orang, begitu melihat Bu Ong dan orang-orang kerdil, dia tersenyum girang.

Akan tetapi orang-orang kerdil itu dengan bermacam senjata telah menyerangnya. Sin Liong hanya mengerahkan sinkangnya membiarkan belasan senjata tajam menimpa tubuhnya. Terdengarlah teriakan-teriakan kaget karena semua senjata, baik yang tajam mau pun yang tumpul, begitu mengenai tubuh pemuda itu, membalik seperti mengenai gumpalan karet yang amat kuat.

"Adik Bu Ong... bukankah engkau sute (Adik Seperguruan)...?" Sin Liong berkata halus sambil memandang kepada Han Bu Ong.

"Iblis! Siluman! Bunuh dia...!!" Bu Ong berteriak-teriak dengan muka pucat dan mata terbelalak.

Biar pun hati mereka gentar sekali, namun orang katai itu kembali menyerbu dan hujan senjata menyambar tubuh Sin Liong. Kembali senjata-senjata itu mental, bahkan ada yang terlepas dari pegangan tangan pemiliknya. Sin Liong menarik napas panjang, menunduk dan memandang pakaiannya yang menjadi makin compang-camping akibat terkena bacokan senjata-senajata itu, kemudian sekali bergerak tubuhnya berkelebat melewati kepala para pengeroyoknya yang bertubuh pendek dan lenyap.

Gegerlah para orang katai. Akan tetapi Han Bu Ong menyabarkan dan menenangkan hati mereka. Dia merasa yakin bahwa betapa pun lihainya Sin Liong, pemuda itu agaknya tidak akan mengganggunya. Maka dia melanjutkan rencananya dan melakukan perundingan dengan para anak buahnya.

Seperti juga ibunya dahulu, pemuda tanggung ini sudah mulai dengan usahanya untuk mencari kedudukan dengan menghubungi seorang ‘pangeran’ baru yang juga merasa tidak puas dengan kedudukan yang diperolehnya setelah perjuangan mereka berhasil.

Pangeran ini dahulunya adalah seorang pemberontak rakyat petani yang bergabung dengan An Lu Shan, bernama Shi Su Beng yang kini dianugerahi pangkat ‘pangeran’ oleh An Lu Shan. Shi Su Beng bermaksud untuk merebut tahta kerajaan dari An Lu Shan, dan apabila terjadi kegagalan, maka terowongan bawah tanah milik Han Bu Ong itulah yang akan dijadikan tempat persembunyian.

Setelah selesai mempersiapkan segala-galanya dan tempat itu ditinjau sendiri oleh Pangeran Shi Su Beng, Han Bu Hong lalu pergi ke kota raja bersama sekutunya itu untuk mulai melaksanakan siasat yang sudah mereka rencanakan lebih dahulu.

Memang selama dua tahun itu terjadi dua hal yang banyak tercatat dalam sejarah. Kemenangan An Lu Shan ternyata tidak mendatangkan kemakmuran atau keamanan, bahkan sebaliknya. Kaisar yang telah melarikan diri ke Secuan dan menyerahkan tahta kerajaan kepada puteranya itu kini menyusun kekuatan di barat untuk menyerbu dan merampas kembali kota raja. Selain itu, di dalam istana pemerintah baru sendiri terjadi pertentangan dan perebutan kekuasaan!

Semua ini terjadi karena memang sesungguhnya para pemimpin pemberontak yang dahulu memberontak terhadap pemerintah dengan dalih ‘demi rakyat’ atau demi keadilan, demi kebenaran, demi negara dan lain istilah muluk-muluk lagi itu sesungguhnya hanyalah ‘berjuang’ demi dirinya sendiri saja!

Semua istilah itu tak lain tak bukan hanyalah untuk dijadikan ‘modal’ perjuangannya untuk mencari kedudukan dan kemuliaan bagi diri sendiri. Hal ini sudah terlalu sering terjadi di dunia, berulang-ulang, namun sampai sekarang rakyat di seluruh dunia tetap bodoh, mau saja di peralat dan dicatut namanya oleh orang-orang yang berambisi untuk diri pribadi.

Betapa banyaknya bukti akan kepalsuan ini dapat dilihat dalam sejarah di negara mana pun di dunia ini. Sekelompok orang berambisi untuk keuntungan mereka sendiri, dengan siasat cerdik menggunakan nama rakyat untuk mencapai tujuan mereka, kalau perlu mereka mengorbankan rakyat.

Rakyat sudah cukup puas memperoleh gelar ‘pahlawan’ kalau sampai tewas dalam perjuangan yang sebenarnya adalah penyalahgunaan demi keuntungan kelompok yang mempergunakan mereka itu. Inilah sebabnya ketika perjuangan telah berhasil, jika para kelompok pimpinan yang berambisi sudah memperoleh apa yang mereka kejar-kejar, maka rakyat pun dilupakan sudah!

Bukan sengaja dilupakan, melainkan karena mereka yang sudah berhasil merampas kedudukan itu pun harus menghadapi lawan atau saingan yang juga ingin merebut kedudukan itu. Rakyat adalah orang yang berada dibawah, dan yang terinjak memang selalu yang berada di bawah.

Yang berada di atas tidak akan terinjak, akan tetapi mereka itu saling berebutan di antara mereka sendiri, memperebutkan kedudukan yang lebih enak dan empuk dari-pada kedudukan yang telah dimilikinya.

Demikianlah pula dengan An Lu Shan dan teman-temannya yang telah berhasil dalam ‘perjuangan’ mereka merampas kedudukan tahta kerajaan. Teman-teman yang tadinya berjuang bahu-membahu, menjadi kawan senasib sependeritaan, yaitu di waktu mereka memberontak, kini setelah memperoleh apa yang mereka cita-citakan, berbalik mencurigai, saling iri!

Memang belum ada yang secara berterang berani menentang An Lu Shan, bekas panglima yang masih amat kuat kedudukannya, didukung oleh pasukan-pasukan inti dan tampaknya semua pembantunya sudah menyetujui sebulatnya kalau An Lu Shan menjadi Kaisar.

Akan tetapi diam-diam, banyak pula yang mempersoalkan pembagian pangkat dan kedudukan. Tentu saja yang merasa tidak puas adalah mereka yang memperoleh pangkat agak kecil, sedangkan yang menerima pangkat besar merasa curiga dan hati-hati menghadapi bekas teman yang memperoleh pangkat yang lebih kecil. Terjadi dan berlangsunglah konflik sembunyi di antara mereka.

* * *


Ke manakah perginya Swat Hong dan Kwee Lun? Di bagian depan telah diceritakan betapa dua orang muda ini berhasil menyelamatkan diri, lari ke luar dari istana The Kwat Lin dan terus keluar dari kota raja Tiang-an. Mereka berlari dengan cepat mempergunakan kegelapan malam, berhasil keluar dari benteng tembok kota raja karena para penjaga yang berada dalam suasana pesta kemenangan itu tidak melakukan penjagaan yang terlampau ketat.

Setelah terang tanah dan mereka tiba di dalam sebuah hutan jauh dari tembok kota raja barulah keduanya berhenti dalam keadaan terengah-engah.

Swat Hong menjatuhkan dirinya di bawah sebatang pohon besar. Wajahnya pucat, muka dan lehernya penuh keringat yang di usapnya dengan ujung lengan bajunya. Pandang matanya merenung jauh sekali, dan dia diam saja, sama sekali tidak berkata-kata, sama sekali tidak bergerak, seperti dalam keadaan setengah sadar.

Kwee Lun juga menghapus peluhnya dan dia pun duduk diam, memandang kepada Swat Hong. Beberapa kali dia menggerakkan bibir hendak bicara namun ditahannya lagi. Pemuda yang biasanya bergembira ini merasa betapa jantungnya seperti diremas-remas. Dia sendiri merasa kehilangan dan amat berduka dengan kematian Soan Cu, gadis yang kini dia tahu adalah wanita yang amat dicintainya.

Akan tetapi, melihat keadaan Swat Hong yang terpaksa harus meninggalkan ibu kandungnya menghadapi kematian, dia melupakan kedukaan hatinya sendiri dan merasa amat iba kepada Swat Hong. Melihat betapa Swat Hong seperti orang kehilangan ingatan, Kwee Lun merasa khawatir sekali. Kalau dibiarkan saja, gadis ini bisa jatuh sakit, kalau hanya sakit badannya masih mending, akan tetapi kalau terserang batinnya lebih berbahaya lagi.

Akhirnya Kwee Lun memberanikan diri berkata lirih dan halus, "Mati hidup adalah berada di tangan Thian, kita manusia tak dapat menguasainya, Nona."

Mendengar kata-kata ini, Swat Hong menengok dan memandang. Akan tetapi pandang matanya tetap kosong, seolah-olah kata-kata itu tidak dimengertinya dan dari mulutnya hanya terdengar suara meragu, "Hemm...?" Suara ini gemetar dan pandang mata itu menusuk perasaan Kwee Lun.

Maka pemuda ini lalu memberanikan diri melangkah lebih jauh lagi dengan kata-kata yang lebih membuka kenyataan, "Ibumu gugur sebagai seorang yang gagah perkasa."

Sepasang mata yang kehilangan sinar itu terbelalak, seolah-olah baru sadar. Bibir yang gemetar itu bergerak, mula-mula lirih makin lama makin keras, "Ibu....? Ibu...., Ibu...!" Swat Hong menangis tersedu-sedu dan memanggil-manggil ibunya.

"Tenanglah, Nona. Tenanglah...." Kwee Lun menghibur dan berlutut di depan gadis itu, akan tetapi suaranya sendiri parau dan agak tersedu.

"Ibu...! Mengapa aku meninggalkan ibu mati sendiri...? Ibu...! Hu-hu-huuuuuuuk, Ibuuuuuuuu....!"

Memang menangis merupakan obat terbaik bagi batin gadis itu, pikir Kwee Lun penuh keharuan. Akan tetapi saat melihat Swat Hong menjambak-jambak rambut sendiri, dia merasa khawatir. "Ingatlah, Nona. Ingatlah pesan Ibumu... tentang pusaka Pulau Es...."

Swat Hong mengangkat muka dan melihat wajah pemuda itu juga basah air mata, dia menubruk. "Toako... ahhh, Toako...!" dan menangislah dia tersedu-sedu di dada pemuda itu yang dianggapnya merupakan satu-satunya sahabat di dunia yang baginya kosong ini.

Kwee Lun memejamkan mata dan membiarkan gadis itu menangis terisak-isak.

Dengan sesenggukan Swat Hong berkata, "Ibu tewas... di depan mataku... dan aku tidak dapat menolongnya... hu-hu-huuuuuhhhh...... dan Ayah pun sudah tiada, Suheng juga... hu-huuuuuhhh apa gunanya aku hidup lagi? Apa gunanya aku mencari pusaka dan mengembalikan ke Pulau Es?”

Seperti seorang yang mendadak menjadi kalap Swat Hong merenggutkan dirinya dari dada Kwee Lun, lalu melompat bangun mengepal tinju. "Katakan, Kwee-toako, apa gunanya semua ini? Ayah ibuku sudah meninggal, dan Suheng... satu-satunya orang yang kucinta... dia pun tidak ada lagi...! Katakan, apa perlunya aku hidup lebih lama?"

Kwee Lun teringat akan kematian Soan Cu yang menghancurkan perasaannya. Akan tetapi dia menekan kedukaannya dan berkata, suaranya nyaring bersemangat, 

"Adik Hong, tidak semestinya seorang perkasa seperti engkau mengeluarkan kata-kata bernada putus asa seperti itu! Engkau adalah puteri dari Pulau Es! Kedukaan apa pun yang menimpa dirimu, harus kau atasi dengan gagah perkasa! Aku dapat memahami pesan mendiang Ibumu yang mulia dan gagah perkasa itu. Kalau pusaka keluargamu dari Pulau Es terjatuh ke tangan orang lain, bukankah itu amat sayang, berbahaya dan juga merendahkan? Pusaka itu telah diselamatkan oleh Nona Bu Swi Nio dan Saudara Liem Toan Ki. Sebaiknya kalau kita segera menyusul mereka dan aku akan membantumu mencari Pusaka Pulau Es."

Ucapan penuh semangat itu benar-benar menyadarkan Swat Hong, menarik gadis itu dari lembah kedukaan yang hampir mematahkan semangatnya. Dia menahan isak, menarik napas panjang dan menghapus air matanya, lalu memandang kepada pemuda itu, memegang tangan Kwee Lun.

"Kwee-toako, terima kasih atas peringatanmu. Hampir aku lupa akan tugasku. Memang benar, sudah berani hidup harus berani menghadapi apa pun yang menimpa kita. Engkau sungguh baik sekali, Toako. Engkau sendiri menderita, kehilangan Soan Cu, namun masih menghiburku...."

Kwee Lun mengangkat mukanya dan memejamkan mata. "Benar... aku mencinta Soan Cu... aku mencintanya...."

"Dan aku mencinta Suheng. Betapa buruk nasib kita, Toako. Akan tetapi, kau masih mempuyai gurumu, sedangkan aku hanya seorang diri... Ah, sudahlah. Aku akan pergi, Toako. Semoga engkau akan dapat menemukan kebahagiaan dalam hidupmu. Engkau baik sekali dan terima kasih." Swat Hong berkelebat dan meloncat pergi.

"Nanti dulu! Hong-moi... biarlah aku membantumu...."

"Tidak usah, Kwee-toako. Aku akan menyusul mereka ke Puncak Awan Merah, kemudian aku akan kembali ke Pulau Es... untuk... untuk selamanya. Selamat tinggal!" Swat Hong meloncat dengan cepat sekali dan sebentar saja dia sudah lenyap meninggalkan Kwee Lun yang menjadi lemas.

Pemuda ini menjatuhkan dirinya duduk di atas tanah dan baru sekarang dia tidak dapat menahan bertitiknya air matanya. Baru sekarang terasa olehnya betapa dia kehilangan Soan Cu, betapa dunia terasa amat hampa dan sunyi. Berkali-kali dia menarik napas panjang dan teringatlah dia kepada gurunya, Lam-hai Sengjin yang seperti orang tuanya sendiri.

Dia harus kembali ke Pulau Kura-kura di Lam-hai! Terbayang olehnya betapa suhunya itu akan terheran-heran mendengar semua pengalamannya dengan keluarga Pulau Es! Dengan perasaan yang kosong dan sunyi, ingatan akan gurunya ini merupakan setitik harapan kegembiraan hidupnya dan perlahan-lahan Kwee Lun meninggalkan hutan itu untuk kembali kepada gurunya yang sudah amat lama ditinggalkannya.

Sementara itu, dengan mata masih merah oleh tangisnya, Han Swat Hong melanjutkan perjalanan seorang diri dengan cepat untuk mengejar Swi Nio dan Toan Ki. Kalau dia dapat menyusul mereka dan minta kembali Pusaka Pulau Es dia dapat langsung kembali ke Pulau Es dan selanjutnya... entah, dia sendiri tidak tahu apakah dia ada niat untuk kembali ke daratan besar.

Tidak, dia akan tinggal di pulau itu, di mana dia terlahir. Biar pun pulau itu sudah kosong, dia akan tinggal di tempat kelahirannya itu sampai mati! Bercucuran pula air matanya ketika dia berpikir sampai di situ dan terkenang kepada suhengnya. Kalau saja ada suheng-nya di sisinya, tentu tidak akan begini merana hatinya. Akan tetapi, betapa pun cepat Swat Hong melakukan pengejaran, tetap saja dia tidak berhasil menyusul Swi Nio dan Toan Ki.

Ketika tiba di Puncak Awan Merah, tempat tinggal Tee-tok Siangkoan Houw, di tempat ini dia hanya disambut oleh Ang-in Mo-ko Thio Sam. Kakek yang menjadi murid kepala Tee-tok itu yang menceritakan bahwa Tee-tok bersama puterinya telah beberapa pekan pergi turun gunung dan bahwa selama itu tidak ada tamu, juga tidak ada Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki seperti yang ditanyakan oleh gadis itu.

Swat Hong mengerutkan alisnya. Hatinya mulai bertanya-tanya. Celaka, pikirnya, jangan-jangan dia telah salah memilih orang untuk dipercaya menyelamatkan Pusaka Pulau Es! Jangan-jangan dua orang muda itu sengaja melarikan pusaka-pusaka itu dan bersembunyi! Timbul kecurigaan yang diikuti kemarahan di hatinya, dan berbareng dengan perasaan ini timbul pula semangatnya yang tadinya amat menurun itu.

Hidupnya masih perlu dan ada gunanya, setidaknya dia harus menyelamatkan pusaka-pusaka itu agar tidak terjatuh ke tangan orang lain! Perasaan marah dan khawatir ini mendatangkan perasaan bahwa dia masih amat dibutuhkan untuk hidup terus.

Sambil menahan kemarahannya, dia berkata kepada murid kepala Tee-tok itu, "Andai kata ada datang Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki, harap minta kepada mereka untuk menanti saya di sini. Dua bulan lagi saya akan kembali menemui mereka."

Ang-in Mo-ko Thio Sam yang sudah mengetahui kelihaian dara yang pernah menggegerkan Awan Merah ini mengangguk-angguk.

Kemudian Swat Hong meninggalkan Puncak Awan Merah untuk mengambil jalan kembali ke jurusan kota raja untuk mencari kalau-kalau dua orang muda itu dapat berjumpa dengannya di jalan. Namun semua perjalanannya sia-sia belaka. Dua bulan kemudian, kembali dia tiba di Puncak Awan Merah dan untuk kedua kalinya Ang-in Mo-ko (Iblis Tua Awan Merah) menyatakan penyesalannya bahwa dua orang muda yang dicari itu belum juga datang, bahkan gurunya juga belum pulang.

"Saya malah merasa gelisah juga memikirkan Suhu," kata kakek itu. "Keadaan di mana-mana sedang ribut dengan perang, akan tetapi Suhu pergi begitu lamanya belum juga pulang."

Swat Hong menahan kemarahannya. Tidak salah lagi, pikirnya. Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki tentu berlaku khianat, menginginkan pusaka-pusaka itu untuk diri mereka sendiri. Aku harus mencari mereka dan selain merampas kembali pusaka, juga akan kuhajar mereka! Dia berpamit lalu pergi lagi, di sepanjang jalan dia memaki-maki Bu Swi Nio yang tadinya dipercayainya.

"Dasar murid iblis betina itu," gerutunya. "Gurunya sudah mati, kini muridnya yang menyusahkan aku!"

Mulailah Swat Hong mencari-cari kedua orang itu tanpa hasil. Sampai dua tahun dia berkelana mencari-cari kedua orang muda itu namun anehnya, tidak ada seorang pun manusia yang tahu akan mereka. Akhirnya timbullah pikirannya bahwa sangat boleh jadi Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki yang tadinya adalah anak buah An Lu Shan yang kini membalik dan berkhianat itu takut kepada pembalasan pemerintah baru dan telah lari mengungsi ke barat, ke Secuan. Sangat boleh jadi!

Pikiran ini membuat dia mengambil keputusan dan berangkatlah dia ke Secuan. Sambil mencari pusaka, dia pun ingin membantu Kaisar yang kabarnya sedang menyusun kekuatan untuk menyerang dan merebut kembali tahta kerajaan. Sebaiknya kalau dia membantu, pikirnya. Selain untuk mengisi kekosongan hidupnya, juga sekalian untuk mencari Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki, juga untuk menghancurkan semua kaki tangan An Lu Shan termasuk Ouwyang Cin Cu.

Mengingat bahwa ayahnya adalah seorang keturunan pangeran atau raja muda, maka sebenarnya dia masih berdarah bangsawan dan masih ada hubungan darah dengan keluarga kaisar sehingga sepatutnyalah kalau dia membantu.

* * *

Sementara itu, di ibu kota yang telah diduduki An Lu Shan, di dalam istana di mana An Lu Shan mengangkat diri sendiri menjadi raja, terjadilah hal-hal yang hebat! An Lu Shan sendiri masih melanjutkan wataknya yang kasar dan mau menang sendiri. Satu di antara kesukaannya adalah wanita.

Maka begitu dia berhasil menjadi Kaisar, tak pernah berhenti setiap malam dia berganti wanita mana saja yang dipilih dan ditunjuknya, tidak peduli wanita itu masih gadis atau isteri orang lain sekali pun!

Pada suatu malam, dalam keadaan mabuk dan sedang gembira, An Lu Shan lupa diri dan dalam keadaan setengah sadar dia memasuki kamar mantu perempuannya yang sudah lama sekali dia rindukan secara diam-diam. Kalau sadar dan tidak mabuk, dia masih menahan hasrat hatinya. 

Akan tetapi malam itu, dalam keadaan mabuk, dia tidak mempedulikan apa-apa lagi dan memasuki kamar mantunya! Tidak ada seorang pun manusia di dalam istana yang berani melarang, dan pada saat itu, putera An Lu Shan sedang tidak berada di situ.

Dengan penuh perasaan duka dan ketakutan, mantu yang muda dan cantik jelita itu tidak kuasa menolak atau memberontak. Sambil menangis dia terpaksa membiarkan dirinya dipeluk dan diciumi mertua yang mabuk itu. Dengan suara lirih dan membujuk dia masih berusaha mengingatkan An Lu Shan, namun seorang laki-laki yang tidak hanya mabuk arak, melainkan juga mabuk cinta birahi, tidak mempedulikan apa pun. Wanita itu hanya dapat merintih dan menangis, diseling suara ketawa gembira dari An Lu Shan.

Ketika pintu kamar itu dengan paksa dibuka dari luar oleh pangeran, An Lu Shan telah tidur mendengkur kelelahan dengan muka merah karena banyak arak, sedangkan isteri pangeran itu menangis terisak-isak, berlutut di atas lantai. Pangeran itu menjadi mata gelap, pedang dicabut dan sekali meloncat dia telah menikam dada ayahnya sendiri.

"Crappp...!"

"Auhhh... haiii... kau... kau....?!"

Biar pun pedang telah menembus dadanya, An Lu Shan yang bertubuh kuat itu masih dapat meloncat dan mencengkeram ke arah puteranya. Akan tetapi pangeran yang sudah mata gelap itu mengelak, kakinya menendang sehingga An Lu Shan terdorong jatuh, membuat pedang itu masuk makin dalam. Dia berkelojotan dan tak bergerak lagi!

"Tangkap pembunuh...!!" teriakan ini keluar dari mulut Shi Su Beng yang bersama dengan Han Bu Ong sudah lari ke dalam kamar.

Shi Su Beng menggerakkan pedangnya dan terdengar teriakan mengerikan ketika pangeran itu roboh pula di dekat mayat ayahnya dalam keadaan tak bernyawa pula karena lehernya hampir putus terbabat pedang Pangeran Shi Su Beng! Gegerlah seluruh istana.

Rapat kilat diadakan dan Shi Su Beng yang dianggap membela Kaisar itu mempergunakan kesempatan ini untuk merampas kedudukan Kaisar! Dalam keadaan kacau-balau itu, Shi Su Beng mengangkat diri sendiri sebagai raja dan Han Bu Ong menjadi raja muda pembantunya yang setia!

Hanya mereka berdua saja yang tahu bahwa semua peristiwa itu memang digerakkan oleh mereka berdua! Shi Su Beng yang membangkitkan birahi An Lu Shan terhadap mantu perempuannya. Bahkan di dalam mabuk, Shi Su Beng yang membujuk supaya Kaisar baru itu memasuki kamar dengan mengatakan bahwa di dalam kamar itu dia telah menyediakan seorang wanita cantik mirip mantunya itu untuk An Lu Shan!

Dan selagi An Lu Shan yang mabuk itu menggagahi mantunya sendiri, diam-diam Han Bu Ong menghubungi pangeran dan membisikan bahwa ada penjahat memasuki kamarnya. Maka terjadilah seperti apa yang telah direncanakan oleh mereka berdua, yaitu kematian An Lu Shan di tangan puteranya sendiri dan kemudian kematian pangeran di tangan Shi Su Beng.

Terjadilah pergantian kekuasaan dan perubahan besar-besaran di kota raja. Kembali Han Bu Ong berhasil mengangkat dirinya sendiri seperti yang dicita-citakan ibunya, yaitu menjadi seorang pangeran yang berkuasa, jauh lebih berkuasa dari-pada di waktu ibunya masih hidup, yaitu menjadi tangan kanan penguasa baru yang menjadi sekutunya!

Akan tetapi, jatuhnya An Lu Shan dan berpindahnya kekuasaan ke tangan Shi Su Beng, masih saja belum meredakan ketegangan-ketegangan di kota raja akibat perebutan kekuasaan.

Seperti biasa penguasa baru mengangkat teman-temannya sendiri menduduki jabatan tinggi, melakukan penggeseran-penggeseran sehingga menimbulkan dendam dari kawan-kawan yang berbalik menjadi lawan. Dalam keadaan seperti itu, tidak heran jika timbul rencana-rencana dan intrik perebutan kekuasaan yang kacau-balau, kalau perlu dengan cara halus mau pun kasar.

Sebaliknya, para pemberontak yang kini memegang tampuk kerajaan itu justru menjadi lalai. Mereka terlalu memandang rendah Kaisar yang telah melarikan diri ke Secuan, menganggap keluarga Kaisar lama itu sudah jatuh benar-benar. Kesibukan untuk kepentingan ambisi pribadi membuat mereka lengah dan kurang memperhatikan pertahanan sehingga mereka tidak tahu betapa Kaisar dan keluarganya di Secuan telah membentuk kekuatan baru untuk melakukan pembalasan!

Kaisar Tua Hian Tiong, yang hancur lahir batinnya karena bukan hanya mahkota kerajaan dirampas oleh pemberontak An Lu Shan, akan tetapi terutama sekali karena selirnya tercinta, Yang Kui Hui, harus mati digantung oleh keputusannya sendiri, setibanya di Secuan, menjadi seorang kakek yang patah semangat dan selalu tenggelam dalam duka cita. Dalam keadaan mengungsi itu, di Secuan, keluarga kaisar dan para pengikutnya yang masih setia, menerima keputusan Kaisar Tua untuk mengangkat Kaisar baru, yaitu Putera Mahkota yang bergelar Su Tiong.

Pada waktu itu sisa pasukan pemerintah yang telah kalah perang terhadap An Lu Shan, di bawah pimpinan Panglima Besar Kok Cu It, telah menyusul pula ke Secuan. Kaisar Su Tiong lalu menghimpun kekuatan dari rakyatnya di daerah Secuan, dan minta bantuan kepada negara-negara tetangga yang bersahabat.

Maka terkumpullah pasukan-pasukan campuran yang terdiri dari bermacam suku, bahkan terdapat pula bangsa Turki, Tibet, dan kemudian sekali datang pula bala bantuan dari pasukan Arab yang dikirim sebagai tanda bersahabat oleh Kaliphu. Pasukan-pasukan itu disusun menjadi barisan besar dan diberi latihan-latihan berat dalam persiapan Kaisar Su Tiong untuk merampas kembali kerajaannya.

* * *

Tidak ada hal penting terjadi selama perjalanan Swat Hong menuju ke Secuan. Gadis yang dahulu berwatak periang dan jenaka itu, yang wajahnya selalu berseri dan gembira, kini menjadi pendiam dan ada garis-garis dan bayangan muram di wajahnya yang tetap cantik jelita walau pun tidak pernah bersolek.

Perantauan selama dua tahun mencari-cari pusakanya yang hilang tanpa hasil itu membuat dia merasa berduka dan juga penasaran sekali. Di dalam hatinya di berjanji bahwa dia takkan pernah berhenti mencari sebelum mendapatkan pusaka Pulau Es itu.

Dalam perantauannya itu dia mendengar pula tentang kematian An Lu Shan dan puteranya. Ketika dia tiba di Secuan, pada waktu itu Kaisar yang baru, yaitu Kaisar Si Tiong, memang sedang menyusun tenaga di bawah pimpinan Panglima Besar Kok Cu It sendiri. Panglima Kok ini menyebarkan para pembantunya, yaitu panglima-panglima bawahan di seluruh daerah Secuan untuk pendaftaran dan penerimaan para suka-relawan yang hendak masuk menjadi tentara.

Seorang di antara bawahannya yang bertugas mengumpulkan bala bantuan, bahkan menghubungi orang-orang asing dari barat ini adalah Panglima Bouw Kiat. Panglima inilah yang telah berjasa menghubungi orang-orang Arab sehingga akhirnya Kaliphu (yang kuasa di Arab) sendiri mengirim pasukan bala bantuan. Bouw Kiat berkedudukan di sebuah dusun daerah selatan dan di sini dia menyusun pasukannya sambil menjamu pasukan dari Arab yang sebagian kecil sebagai pasukan pelopor telah tiba di situ.

Panglima Kok Cu It yang cerdik memisah-misahkan para pasukan asing yang membantunya agar menjauhkan terjadinya bentrokan. Pasukan bantuan dari Turki berada di utara, dari Tibet berada di selatan dan dari timur adalah pasukan yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa.

Pada suatu hari, Swat Hong tiba di daerah yang dikuasai oleh Panglima Bouw Kiat inilah. Dara ini merasa heran ketika melihat ada banyak tentara asing yang bertubuh jangkung, bersikap gagah dan berkulit coklat gelap, bermata tajam dan bercambang bauk berkeliaran di daerah itu. Di tengah jalan, dia melihat seorang laki-laki asing yang tinggi besar dan gagah, memegang gandewa dan anak panah dikelilingi prajurit-prajurit Han dan Arab sambil tertawa-tawa.

Laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang gagah itu berkata dalam bahasa Han yang kaku, "Lihat burung-burung itu! Aku akan menurunkannya sekaligus tiga ekor. Yang mana kalian pilih?"

Swat Hong tertarik, berhenti dan memandang ke atas. Diam-diam dia terkejut dan menganggap orang itu sombong. Mana bisa menjatuhkan burung-burung yang terbang begitu tinggi sekaligus tiga ekor kalau orang ini bukan seorang ahli panah yang sakti?

"Tiga ekor dari depan!" terdengar teriakan.

"Tidak, yang paling belakang adalah paling sukar!" kata orang lain.

Perwira bangsa Arab itu tersenyum dan tampaklah giginya yang rata dan putih berkilauan, kumisnya bergerak-gerak. "Biar aku jatuhkan dua terdepan dan burung terakhir!"

Kelompok burung yang terbang tinggi sudah tiba tepat di atas mereka. Perwira itu memasang tiga batang anak panah pada gendewanya, lalu menarik tali gendewa. Terdengar suara menjepret dan meluncurlah tiga batang anak panah seperti tiga sinar berkilauan ke atas. Dari bawah tidak kelihatan bagaimana burung-burung itu terkena anak panah, namun jelas tampak betapa dua ekor burung terdepan dan seekor paling belakang tiba-tiba runtuh ke bawah.

Ketika tiga ekor burung itu jatuh ke tanah dan semua orang melihat bahwa dada burung itu tertusuk anak panah, mereka bersorak dan bertepuk tangan memuji.

"Boleh juga dia," pikir Swat Hong sungguh pun dia maklum bahwa kepandaian memanah seperti itu hanyalah berguna untuk pertempuran jarak jauh dan sama sekali tidak ada artinya untuk pertandingan berhadapan. Tentu kalah cepat oleh am-gi (senjata rahasia) seperti jarum, paku, piauw dan lain-lain.

"Hai, Nona! Tepuk tangan untuk kelihaian Perwira Ahmed!" tiba-tiba ada seorang laki-laki menegur Swat Hong. Laki-laki ini adalah seorang prajurit Han dan sambil menyeringai dia bertepuk tangan dan mendesak Swat Hong untuk ikut bertepuk tangan.

Swat Hong tidak mau melayaninya, dia malah membuang muka dan melanjutkan langkahnya.

Akan tetapi laki-laki itu melompat dan menghadang di depannya sambil bertolak pinggang. "Eitt..... nanti dulu! Berani kau menghina Perwira Ahmed? Dia bukan hanya lihai dan penembak tepat, juga banyak wanita tergila-gila kepadanya! Dan kau berani memandang rendah?"

Swat Hong memandang dengan mata melotot lalu mendengus, "Pergilah!" sambil melangkah terus.

Melihat dara yang begitu cantik, apa lagi di sana banyak kawan yang menyaksikannya, maka prajurit itu lantas gatal tangan. Dia melangkah maju, kemudian meraih dan berhasil menangkap lengan gadis yang saat itu sedang gundah hatinya.

Di samping sedang memikirkan banyak hal, Swat Hong tidak menduga prajurit itu akan berani berbuat selancang itu, maka tidak heran jika lengannya dapat ditangkap begitu saja. Langsung darah gadis ini meluap naik hingga mukanya merah.

"Dan kau laki-laki kurang ajar!" Swat Hong berkata, dan sekali dia menggerakkan lengannya yang terpegang, dia berbalik sudah memegang pergelangan tangan laki-laki itu dan begitu dia membetot, laki-laki itu jatuh tersungkur mencium tanah!

"Aihhh, berani kau memukulku?" Prajurit itu marah sekali dan cepat dia melompat dan menubruk.

"Plakk! Aughhh...!" Prajurit itu terlempar dan mengaduh-aduh, mukanya membengkak.

Melihat kejadian ini, lima orang prajurit kawan orang pertama itu menjadi marah dan menerjang maju. "Tangkap, dia tentu mata-mata!"

Swat Hong merasa muak sekali dan juga marah. Melihat lima orang itu menerjang dan hendak berlomba menangkap dan merangkulnya, kaki tangannya bergerak dan dalam segebrakan saja, lima orang itu pun roboh tersungkur dan tidak dapat berlagak lagi karena mengaduh-aduh kesakitan. Tentu saja keadaan menjadi ribut dan banyak anak buah pasukan mengurung.

Akan tetapi tiba-tiba perwira yang ahli menggunakan anak panah tadi meloncat maju dan menghadik. "Mundur semua!"

Setelah orang-orang mundur tidak melanjutkan gerakan mereka untuk mengeroyok, perwira itu membungkuk di depan Swat Hong sambil berkata, "Harap Nona maafkan. Sudah lazim bahwa anak buah pasukan selalu bersikap kasar. Nona tentu bukan orang sini, kalau boleh bertanya hendak ke manakah?"

"Hemm,” pikir Swat Hong. “Pantas kalau banyak wanita tergila-gila. Memang perwira yang bernama Ahmed ini gagah sekali.”

Perwira bernama Ahmed ini memang gagah dan tampan, amat keras daya tariknya terhadap wanita terutama sekali sepasang matanya yang tajam dengan bulu mata panjang lentik dan alis yang tebal itu. Juga dagunya berlekuk dan menambah kejantanannya. Selain tampan dan gagah, juga laki-laki ini pandai bersikap manis terhadap wanita.

"Sudahlah," kata Swat Hong. “Asal mereka jangan kurang ajar, aku pun tidak ingin mencari permusuhan. Bahkan aku ingin menghadap Kaisar untuk membantu perjuangannya. Di manakah aku dapat menghadap Kaisar?"

Mendengar ucapan gadis yang cantik jelita dan gagah itu, seketika lenyaplah kemarahan para prajurit. "Aih, kiranya seorang lihiap (pendekar wanita)!"

"Tentu tokoh kang-ouw kenamaan!"

Perwira Ahmed menghentikan ribut-ribut itu dan kembali dia tersenyum, manis dan menarik sekali. "Untuk membantu perjuangan, tidak perlu menghadap Sri Baginda, Nona. Tidak mudah menghadap Sri Baginda yang sedang sibuk. Kebetulan di sini juga merupakan markas dan dipimpin Bouw-ciangkun. Banyak pula orang-orang kang-ouw yang telah diterima menjadi sukarelawan.

Akan tetapi baru sekarang datang seorang sukarelawati seperti Nona. Ahh, terimalah hormat dan rasa kagumku, Nona. Engkau tentulah yang disebut pendekar wanita dari dunia kang-ouw, bukan?"

Swat Hong tidak peduli, yang penting adalah membantu perjuangan untuk membasmi An Lu Shan dan keturunan atau penggantinya. "Dapatkah aku bertemu dengan Bouw-ciangkun?"

"Tentu saja. Akan tetapi, perkenankanlah aku memuaskan keinginan hatiku yang sudah terpendam bertahun-tahun untuk menyaksikan kelihaian seorang pendekar wanita dari timur, Nona." Perwira Ahmed memperlihatkan gendewanya. "Dapatkah Nona mainkan gendewa dan anak panah?"

Swat Hong maklum bahwa dia hendak diuji, dan siapa tahu, mungkin perwira ini termasuk seorang di antara para pengujinya. "Senjata ini kurang praktis untuk pertandingan jarak dekat dan terang-terangan."

Perwira Ahmed mengerutkan alisnya, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum manis. "Benarkah? Nona, dengan gendewa ini aku dapat merobohkan musuh dalam jarak seratus langkah, biar pun musuh itu menggunakan senjata apa pun untuk melindungi dirinya. Aku dapat melepaskan anak panah terus-menerus dan bertubi-tubi sampai puluhan batang!"

"Hemm, mungkin berhasil merobohkan segala burung dan manusia yang bodoh saja."

"Wah...!" Ahmed membelalakkan matanya. "Apakah di dunia ini ada orang yang sanggup menyelamatkan diri dalam jarak seratus langkah dari gendewaku?"

"Boleh kau coba. Aku bersedia."

"Eiiihhh, jangan, Nona! Aku akan menyesal selama hidupku kalau sampai melukaimu, apa lagi membunuhmu!"

"Tidak perlu khawatir, aku malah akan menghadapi hujan anak panahmu itu dengan tangan kosong!"

"Mustahil!"

Orang Han yang pertama kali dirobohkan Swat Hong kini mendekat. Karena dia maklum akan kelihaian dara itu, kini dia hendak mencari muka dan berkata, "Saudara Ahmed, jangan memandang rendah seorang lihiap. Dia pasti akan sanggup memenuhi kata-katanya."

Atas dorongan dan desakan banyak orang, akhirnya Ahmed mau juga mencoba kepandaian wanita cantik jelita itu. Dengan tenang Swat Hong melangkah sambil menghitung sampai seratus langkah, pendek-pendek saja, kemudian membalik dan menghadapi Ahmed dengan mata tak berkedip.

"Wah, terlalu dekat...! Terlalu dekat sekali! Langkahmu begitu pendek-pendek, Nona. Ini hanyalah lima puluh langkah, tidak ada seratus!" Ahmed berteriak sambil melangkah mundur sampai lima puluh langkah.

Diam-diam Swat Hong memuji kejujuran dan niat baik di hati perwira asing itu. "Terserah kepadamu. Nah, aku sudah siap," katanya.

Ahmed ragu-ragu, mukanya agak pucat. "Tapi... tapi, setidaknya kau harus membawa pedang untuk menangkis atau sebuah perisai."

"Tidak perlu. Seranglah!"

Didesak oleh orang banyak, dan memang di dalam hatinya dia juga merasa penasaran sekali, Ahmed lalu memasang lima batang anak panah di gendewanya, dan masih ada puluhan batang di tempat anak panah yang siap untuk disambar tangan kanan menyusul rombongan anak panah terdahulu. "Nona, siap dan hati-hatilah!" teriaknya.

Terdengar suara menjepret ketika tampak lima sinar berturut-turut meluncur ke arah Swat Hong, diikuti oleh puluhan pasang mata yang tidak berkedip dan dengan hati penuh ketegangan.

Swat Hong melihat betapa lima batang anak panah itu meluncur di sekeliling tubuhnya. Tahulah dia bahwa orang itu memang amat hebat ilmu panahnya akan tetapi juga amat lembut hatinya terhadap wanita sehingga sengaja membuat anak panah rombongan pertama menyeleweng. Dia diam saja tidak bergerak, membiarkan lima batang anak panah itu lewat, diikuti seruan menahan napas dari semua orang yang sudah merasa ngeri melihat nona itu sama sekali tidak mengelak!

Ahmed membelalakkan matanya. hampir dia tidak percaya. Anak panahnya itu hanya sedikit saja selisihnya dari kulit tubuh wanita itu, namun wanita itu dengan tenang saja berdiri diam tidak bergerak!

"Tidak perlu sungkan, bidik yang tepat!" Swat Hong berkata setelah dia merasa yakin bahwa luncuran anak panah itu dapat diikuti dengan pandang matanya sehingga mudah bagi dia untuk menjaga diri.

Lima batang lagi anak panah sudah berada di gendewa Ahmed dengan cepat bukan main. Kembali terdengar suara menjepret ketika lima batang anak panah itu menyambar seperti kilat ke arah Swat Hong. Dara itu melihat betapa lima batang ini menyambar ke arah kakinya semua, maka dia mengerti bahwa Ahmed masih saja khawatir kalau-kalau mencelakainya, maka dia meloncat dan sekaligus menendang ke bawah sehingga dia bukan hanya mengelak, bahkan berhasil menendang runtuh semua anak panah itu!

Ahmed mengeluarkan seruan kagum dan kini dia pun tidak ragu-ragu lagi akan kehebatan pendekar wanita itu. Anak panahnya meluncur bertubi-tubi seperti hujan derasnya, susul-menyusul ke arah tubuh Swat Hong.

Dara ini pun memperlihatkan kepandaiannya. Sambil mengelak berloncatan ke sana-sini, tangannya menyambar dan dua batang anak panah ditangkapnya dengan kedua tangannya. Dia lalu menggunakan dua batang anak panah itu untuk menangkis semua anak panah yang datang menyambar, kemudian dengan cepat dan tak terduga-duga dia menyambitkan sebatang anak panah yang meluncur cepat ke arah Ahmed.

“Auhhh...!" Ahmed berteriak kaget dan gendewanya terlepas dari tangan kirinya karena tangan kirinya itu kena sambar sebatang anak panah. Gendewanya terlepas akan tetapi tangan kirinya tidak terluka karena anak panah yang menyambar tangannya itu dilepas dengan cara dibalik sehingga bukan ujung yang runcing yang mengenai tangannya, melainkan ujung belakang yang bulu-bulunya telah dibuang.

Ahmed segera lari menghampiri Swat Hong, memandang penuh kagum, kemudian dia membungkuk sampai dalam sambil berkata, "Duhai..., Nona adalah setangkai bunga di tengah padang pasir! Satu di antara puluhan ribu wanita belum tentu ada yang seperti Nona.... saya merasa kagum dan hormat sekali...!"

Wajah Swat Hong menjadi merah. Bukan main hebatnya pujian yang keluar dari mulut pria ini, pujian yang aneh dan istimewa. Akan tetapi sebelum dia menjawab terdengar kaki kuda berderap dan muncullah seorang panglima sebangsa Ahmed naik kuda.

Usia panglima ini tentu sudah empat puluhan tahun, tinggi besar dan berwibawa, gagah dan juga tampan. Akan tetapi begitu bertemu pandang, Swat Hong merasa tidak suka kepada panglima ini karena pandang mata itu seolah-olah hendak menelanjangi dan sinar mata orang itu seperti dapat menembus pakaiannya!

Ahmed cepat berdiri dengan tegak memberi hormat kepada atasannya. Panglima itu lalu bertanya kepada Ahmed dalam bahasa mereka sendiri yang tidak dimengerti oleh Swat Hong, dijawab pula oleh Ahmed. Panglima itu mengangguk-angguk, bicara lagi lalu memutar kudanya pergi dari tempat itu setelah melempar kerling penuh gairah dan kagum ke arah Swat Hong.

"Nona, Komandanku tadi bertanya tentang Nona dan menyuruh Nona langsung saja menghadap Bouw-ciangkun untuk melapor. Tentu saja bantuan tenaga seorang yang berkepandaian tinggi seperti Nona amat dihargai dan dibutuhkan. Mari Nona, saya antar."

"Kau baik sekali, terima kasih," jawab Swat Hong yang merasa memperoleh seorang sahabat dalam diri perwira yang simpatik ini.

"Nama saya Ahmed, Nona."

Swat Hong tersenyum, mengerti bahwa itulah cara yang sopan dari sahabat barunya untuk menanyakan namanya. "Dan namaku Han Swat Hong."

Mereka memasuki sebuah bangunan besar. Di ruangan dalam, Ahmed membawa Swat Hong ke dalam sebuah kamar di mana duduk seorang tua berpakaian panglima perang. Orang ini berusia lima puluh tahun lebih, mukanya bulat. Matanya yang sipit menjadi agak lebar ketika dia memandang Swat Hong yang datang bersama Ahmed.

Setelah memberi hormat, Ahmed berkata, "Nona Han Swat Hong ini ingin menjadi sukarelawati."

"Hemm, aku sudah mendengar dari komandanmu. Kau boleh pergi meninggalkan Nona ini di sini," jawab Panglima Bouw dengan sikap angkuh. Menyaksikan sikapnya ini saja Swat Hong sudah merasa kurang senang.

Ahmed memberi hormat, melirik kepada Swat Hong lalu melangkah ke luar dengan tegap. Setelah derap kaki Ahmed tidak terdengar lagi, kamar itu menjadi sunyi sekali biar pun di situ, selain Bouw-ciangkun dan Swat Hong, masih terdapat empat orang pengawal yang berdiri di sudut kamar seperti arca.

"Silakan duduk, Nona," suara Bouw-ciangkun berubah, tidak singkat dan keras seperti tadi, melainkan lunak dan manis. Hal ini membuat Swat Hong makin tidak senang lagi, akan tetapi karena kedatangannya hendak membantu kerajaan melawan pemberontak, bukan hendak berhubungan dengan orang ini, dia tidak banyak cakap, lalu duduk.

"Kami telah mendengar akan kelihaian Nona yang mendemonstrasikan kepandaian di luar tadi. Kebetulan sekali kedatangan Nona, karena Kaisar memang membutuhkan seorang pengawal wanita untuk menjaga keselamatan keluarga Kaisar. Oleh karena itu, harap Nona menanti di dalam pesanggrahan. Kalau kesempatan sudah terbuka, kami akan mengantarkan Nona untuk menghadap Kaisar sendiri."

Girang juga hati Swat Hong karena dia lebih senang untuk bekerja dekat dengan keluarga Kaisar dari-pada bekerja sama dengan para prajurit Kaisar itu. Pula, memang karena merasa bahwa ayahnya adalah masih sedarah dengan keluarga Kaisar maka dia berkeinginan membantu keluarga Kaisar. Pekerjaan menjadi pengawal untuk melindungi keselamatan keluarga Kaisar amatlah cocok baginya.

"Baik, saya akan menanti," jawab Swat Hong.

Setelah mencatatkan nama Swat Hong, Bouw-ciangkun sendiri lalu mengantarkan dara itu pergi ke pesanggrahan, yaitu sebuah bangunan yang terpencil, berada di pinggir gunung, bangunan yang bentuknya indah dan mungil. Ketika menuju ke bangunan ini, Swat Hong melihat beberapa orang penjaga yang jumlahnya hanya belasan orang. Akan tetapi senjata mereka aneh, yaitu sebatang pedang yang bengkak-bengkok seperti ular dan memegang perisai yang bentuknya seperti batok kura-kura.

"Mereka ini adalah pasukan istimewa, pasukan pengawalku." kata Bouw-ciangkun menjelaskan dengan nada suara bangga ketika Swat Hong memandang mereka yang berdiri tegak dan memberi hormat kepada Bouwciangkun dengan gagah.

Setelah mereka memasuki pesanggrahan, Bouw-ciangkun melanjutkan, "Mereka terdiri dari orang-orang pilihan, bermacam suku bangsa di barat dan utara...."

Akan tetapi Swat Hong sudah tidak memperhatikan lagi cerita tentang pasukan pengawal tadi, karena dia sedang memperhatikan keadaan pesanggrahan yang cukup mewah itu. "Rumah ini kosong?" tanyanya.

"Memang dikosongkan dan disediakan untuk tamu agung. Karena sekarang tidak ada tamu, maka Nona boleh beristirahat di sini barang sehari dua hari untuk menanti kesempatan Kaisar dapat menerima Nona menghadap. Saya akan mengirim dua orang pelayan wanita untuk melayani segala keperluan Nona, dan sekarang juga saya akan berusaha melaporkan kedatangan Nona kepada kaisar."

Swat Hong hanya mengangguk dan pembesar itu pergi meninggalkannya.

Ketika Swat Hong sedang memeriksa keadaan pesangrahan itu yang ternyata mewah dan lengkap dengan kamar tidur yang indah, masuklah dua orang pelayan wanita membawa perlengkapan dan bahan masakan. "Kami menerima perintah untuk melayani Nona di sini," kata mereka dan segera mereka sibuk di dapur.

Swat Hong merasa tidak enak hatinya. Dia melamar untuk menjadi pejuang membantu Kaisar, akan tetapi dia diterima seperti seorang tamu agung, ditempatkan di rumah mungil dan dilayani dengan istimewa seperti dimanja! Apakah karena dia wanita? Ataukah karena dia memperlihatkan kepandaiannya tadi dan dipilih menjadi pengawal keluarga Kaisar? Dia ingin melihat-lihat keadaan di luar. 

Akan tetapi baru saja dia meninggalkan pondok itu sejauh belasan langkah, tiba-tiba muncullah tiga orang pengawal istimewa yang bersenjata pedang berbentuk ular dan perisai kura-kura tadi.

"Harap Nona jangan meninggalkan pondok. Kami diperintah untuk menjaga pesanggrahan, dan kalau Nona memaksa pergi kami harus mengawal Nona."

Swat Hong mengerutkan alisnya. Akan tetapi karena maksud itu baik, biar pun dianggapnya tidak ada gunanya, aneh dan menyebalkan, dia tidak menjawab melainkan kembali memasuki pondok, terus ke kamar dan merebahkan diri di atas pembaringan. Dia merasa seperti seorang asing di situ. Tiba-tiba dia tersenyum teringat kepada Ahmed. Untung ada orang yang simpatik itu. Setidaknya, dia yakin bahwa dia mempunyai seorang sahabat yang boleh dipercaya.

Akan tetapi baru saja dia beristirahat di atas tempat tidur yang lunak itu, terdengar suara hiruk-pikuk di luar. Swat Hong yang memang selalu merasa tidak enak itu meloncat dan berlari ke luar. Kagetlah dia ketika melihat bahwa yang datang adalah Bouw-ciangkun dan Panglima Arab tinggi besar yang menjadi atasan Ahmed tadi. Mereka diiringi oleh tujuh orang pelayan pria yang membawa baki tertutup.

Begitu berhadapan, Bouw-ciangkun menjura dengan hormat sambil berkata, "Kiong-hi (selamat), Nona Han. Kami telah menghadap Kaisar, dan karena Beliau masih sibuk, mulai besok lusa Nona boleh menghadap sendiri. Sementara itu Beliau mengirim kami berdua untuk menemani Nona menerima hidangan yang dikirim dari dapur keluarga Kaisar!"

Hati Swat Hong tidak senang dan curiga, akan tetapi karena nama Kaisar disebut-sebut, dia tidak berani menolak. Dia tahu bahwa penolakan hadiah dari Kaisar dapat diartikan penghinaan dan pemberontakan! Banyak dia mengerti tentang peraturan kerajaan, karena selain dia sendiri adalah puteri raja di Pulau Es juga dia banyak membaca kitab-kitab ayahnya tentang kehidupan keluarga Raja di daratan besar. 

Terpaksa dia membalas dengan menjura penuh hormat, kemudian bersama dua orang panglima itu dia memasuki pondok dan duduk menghadapi meja besar bersama mereka berdua.

Setelah hidangan yang lengkap dan masih panas diatur di atas meja dan para pelayan mudur berdiri di sudut, dua orang pelayan wanita muncul melayani mereka makan minum. Bouw-ciangkun memperkenalkan panglima itu sebagai panglima yang menjadi komandan dari pasukan Arab yang membantu.

"Kami mengandalkan bantuan sahabat-sahabat dari barat ini untuk merampas kembali kota raja...," antara lain Bouw-ciangkun berkata.

Akan tetapi urusan itu hanya didengarkan sepintas lalu saja oleh Swat Hong yang menghendaki agar pertemuan ini cepat selesai.

Dengan tangannya sendiri Bouw-ciangkun lalu mengisi cawan-cawan kosong di depan Swat Hong, Panglima Arab, dan dia sendiri, lalu mengangkat cawan arak sambil berkata, "Mari kita mulai makan minum bersama dengan mengucapkan terima kasih kepada Sri Baginda dengan mengangkat cawan penghormatan untuk kejayaan Sri Baginda Kaisar!"

Swat Hong mengangkat cawan dan minum bersama mereka, kemudian Bouw-ciangkun mempersilakan Swat Hong dan Panglima Arab itu untuk mulai makan. Sambil makan, Bouw-ciangkun dengan gembira menceritakan keadaan mereka, kekuatan yang sedang mereka susun, juga menceritakan kekacauan di kota raja sebagai akibat perebutan kekuasaan di antara para pemberontak sendiri. Betapa An Lu Shan dan puteranya tewas dan sekarang Shi Su Beng yang berkuasa juga menghadapi persaingan dari bekas kawan-kawannya sendiri.

"Ha-ha-ha, seperti sekumpulan anjing memperebutkan tulang!" dia menutup ceritanya sambil tertawa-tawa.

Panglima Arab itu yang diperkenalkan tadi bernama Hussin bin Siddik. Komandan ini mengeluarkan sebuah guci yang bentuknya seperti tanduk kerbau, lalu membuka tutupnya. Segera tercium bau harum yang aneh. Sambil tertawa dia mengacungkan guci tanduk kerbau itu sambil berkata,

"Nona adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi dan dipilih untuk menjadi pengawal Sri Baginda, karena itu sudah sepatutnya menerima penghormatan kami dengan anggur padang pasir ini! Marilah kita minum tiga cawan. Cawan pertama, demi keselamatan Sri Baginda sekeluarga!" Dia mengisi cawan arak di depan Swat Hong, tidak banyak, hanya setengah cawan kurang.

Karena dia diajak minum demi keselamatan keluarga Kaisar, tentu saja Swat Hong tidak menolak, apa lagi karena dia melihat betapa Bouw-ciangkun dan Panglima Hussin sendiri juga minum. Diminumnya cawannya dan ternyata anggur itu enak dan tidak begitu keras, manis dan harum, sungguh pun agak aneh harumnya.

"Secawan lagi kita minum demi persahabatan kita!"

Kembali Swat Hong minum dari cawan araknya yang sudah diisi lagi setengahnya.

"Dan cawan terakhir kita minum untuk kemenangan perjuangan kita!"

Sekali ini cawan itu diisi penuh. Karena anggur itu sama sekali tidak mendatangkan pengaruh apa-apa, Swat Hong tidak khawatir dan minum anggur itu sampai habis. Panglima Hussin dan Bouw-ciangkun tertawa girang dan melanjutkan makan minum sepuas-puasnya. Setelah kenyang, kedua orang panglima itu berpamit.
Sambil tertawa Bouw-ciangkun berkata, "Harap Nona jangan pergi meninggalkan pesanggrahan ini. Siapa tahu tiba-tiba saja Sri Baginda Kaisar telah siap menerima kunjungan Nona. Hal itu bisa saja terjadi di siang hari atau di malam hari. Sebaiknya kalau Nona mengaso saja dalam pesanggrahan dan sewaktu-waktu, kalau Sri Baginda menghendaki, aku sendiri atau Panglima Hussin yang akan datang menjemput Nona."

Swat Hong mengangguk. Setelah dua orang panglima itu pergi dan meja dibersihkan lalu ditinggal pergi oleh para pelayan, dia lalu minta kepada wanita pelayan untuk menyediakan air. Setelah mandi dan tukar pakaian, Swat Hong kembali beristirahat di dalam kamar yang indah itu. Berada di dalam kamar ini teringatlah dia akan kamarnya sendiri di Pulau Es, kamar yang lebih indah dan lebih menyenangkan lagi.

Dia menutup mulut dengan tangan dan menguap.... menggoyang-goyang kepalanya. Mengapa dia begini mengantuk? Dia menguap lagi. Bukan main! Rasa kantuk sukar dipertahankannya lagi. Aneh sekali! Hari baru menjelang senja, belum malam. Pula habis makan dan mandi, mana bisa mengantuk? Kembali dia menguap dan Swat hong meloncat bangun, duduk sambil memegangi kedua pelipisnya.

“Ini tidak wajar,” pikirnya.

Rasa kantuk menyerangnya amat hebat. Terbayanglah wajah Panglima Hussin yang mengajaknya minum sampai tiga kali, kemudian terbayanglah dan terdengar lagi kata-kata Bouw-ciangkun yang menyatakan bahwa kalau Kaisar menghendaki, sewaktu-waktu dia atau Panglima Hussin akan datang menjenguknya. Semua ini dilakukan sambil tertawa-tawa dan seakan-akan ada ‘main mata’ di antara kedua orang panglima itu!

"Celaka...!" dia mengeluh. Ingin dia turun membasahi muka dengan air, akan tetapi dia tidak kuat. Baru saja dia turun, dia sudah terguling ke atas lantai karena kepalanya pening dan Swat Hong sudah tidur di atas lantai dengan pulasnya!

Tak lama kemudian, setelah matahari mulai condong ke barat, sesosok bayangan seorang pemuda berkelebat dan mengintai pesanggrahan itu dari balik batu-batu gunung. Pemuda ini tinggi besar, gagah dan tampan, dengan sebatang pedang di punggungnya, berpakaian sederhana dan matanya bersinar-sinar penuh kemarahan. Pemuda ini adalah Kwee Lun! Bagaimana dia dapat datang di tempat jauh itu?

* * *

Seperti telah dituturkan di bagian depan, dua tahun yang lalu pemuda ini berpisah dari Swat Hong dan langsung dia pulang ke Pulau Kura-kura di Lam-hai. Tepat seperti dugaannya semula, gurunya, Lam-hai Sengjin, terheran-heran dan kagum mendengar penuturan muridnya, terutama pengalaman muridnya yang bertemu dan bersahabat dengan penghuni Pulau Es! Tak lupa Kwee Lun bercerita juga tentang kematian Ouw Soan Cu, gadis Pulau Neraka yang dicintainya dengan suara berduka,

Setelah muridnya selesai bercerita, kakek itu berkata, "Pengalamanmu sudah cukup, muridku. Sekarang biarlah kau memperdalam ilmumu dan menerima sisa-sisa dari semua kepandaianku. Setelah itu, berangkatlah kau lagi ke daratan besar. Negara sedang kacau-balau dilanda oleh para pemberontak. Tenagamu dibutuhkan. Kabarnya Kaisar mengungsi ke Secuan, maka sebaiknya kalau kau kelak menyusul ke sana untuk membantu Kaisar. Jangan membiarkan dirimu terbujuk oleh kaum pemberontak."

Demikianlah, Kwee Lun berlatih silat untuk yang terakhir dari gurunya, terutama sekali memperhebat ilmu pedang yang dimainkan bersama dengan kipas di tangan kirinya. Setahun kemudian berangkatlah dia meninggalkan Pulau Kura-kura untuk kedua kalinya, mendarat di daratan besar dan langsung dia pergi ke barat, ke Secuan!

Kebetulan sekali dia tiba pada hari itu juga, berbareng dengan datangnya Swat Hong! Hanya bedanya, kalau Swat Hong datang dari timur, adalah Kwee Lun datang dari selatan, akan tetapi mereka memasuki daerah yang sama yaitu yang dikuasai oleh Bouw-ciangkun.

Kwee Lun terus melaporkan diri dan langsung diterima sebagai sukarelawan. Dia tidak tahu bahwa pada siang hari itu juga Swat Hong datang dan bertemu dengan perwira Ahmed dari pasukan Arab yang diperbantukan. Tanpa disengaja, ketika Kwee Lun berjalan-jalan dan bertemu dengan para prajurit Han, bertanya-tanya tentang keadaan, dia mendengar kelakar seorang di antara para prajurit itu.

"Wah, enak juga menjadi panglima tentara asing! Selain jaminannya lebih hebat, juga hiburannya lebih luar biasa lagi. Bayangkan saja, dara perkasa yang menghebohkan siang tadi, kabarnya akan diserahkan sebagai hadiah kepada Panglima Hussin!"

"Ah, masa?"

"Hem, jelita sekali dia!"

"Dan masih perawan hijau lagi!"

"Akan tetapi ilmu silatnya hebat! Jangan-jangan panglima itu akan mampus olehnya!"

"Mudah-mudahan begitu!"

"Tapi panglima itu terkenal pandai. Lihat saja Perwira Ahmed itu, di mana-mana para wanita tergila-gila kepadanya. Agaknya mereka memiliki jimat untuk menundukkan hati wanita."

Mendengar ini Kwee Lun mengerutkan alisnya. Tak disangkanya di tempat seperti ini dia mendengarkan peristiwa yang sepantasnya terjadi di dunia penjahat. Seorang dara dihadiahkan begitu saja! Mendengar bahwa dara itu lihai ilmu silatnya, dia jadi tertarik.

"Kalau wanita itu lihai, mana bisa dia dihadiahkan begitu saja?" dia ikut bicara sambil tersenyum.

"Aha, kau tidak tahu, kawan. Banyak jalan yang dapat dilakukan oleh Bouw-ciangkun. Dan kabarnya, tidak pernah ada wanita yang dapat melawan apa bila dikehendaki oleh Panglima Hussin itu. Apa lagi kalau Bouw-ciangkun sudah mengijinkannya, dan dalam hal ini, agaknya Bouw-ciangkun selalu berusaha mengambil hati orang-orang berkulit hitam itu!"

Kwee Lun makin tak senang hatinya. Dia mendengarkan dengan teliti dan akhirnya memperoleh keterangan bahwa dara yang hendak dihadiahkan itu kabarnya telah dikurung di dalam pesanggrahan, yaitu rumah kecil terpencil yang oleh para prajurit diberi nama tempat penjagalan perawan!

"Hem, semenjak kecil suhu menanamkan sifat pendekar, membela keadilan dan kebenaran kepadaku." Kwee Lun berpikir, "Biar pun sekarang aku menjadi seorang pejuang, tetap aku harus menentang kejahatan, dari siapa pun juga datangnya!”

Dengan pikiran ini Kwee Lun mulai melakukan penyelidikan. Pada sore hari itu dia sudah mendekati rumah pesanggrahan itu dan menyelinap untuk menyelidiki dari jarak dekat, kalau mungkin memasuki rumah itu dan menolong si gadis yang hendak dijadikan korban. Melihat betapa di empat penjuru terdapat empat orang penjaga yang selalu melakukan perondaan mengelilingi pesanggrahan itu, Kwee Lun bersembunyi dan mengintai.

Penjaga-penjaga yang memegang pedang ular dan perisai kura-kura itu kelihatannya bukan penjaga-penjaga sembarangan. Dia harus menanti sampai malam tiba, barulah ada harapan baginya untuk dapat memasuki pesanggrahan itu tanpa diketahui orang. Asal saja dia tidak terlambat, pikirnya.

Akan tetapi tiba-tiba dia melihat seorang perwira Arab yang berkumis rapi datang menghampiri pesanggrahan itu. Empat orang penjaga menghadangnya, mereka bercakap-cakap dan perwira itu dibiarkan oleh para penjaga memasuki pesanggrahan.

“Hemm, ini agaknya pembesar yang dihadiahi gadis itu,” pikir Kwee Lun dengan marah sekali. Kalau dia harus menanti lebih lama lagi , mungkin dia akan terlambat. Kebetulan sekali terdapat seorang penjaga meronda di dekat tempat dia bersembunyi.

"Keparat busuk!" Kwee Lun berseru marah dan dia meloncat dari tempat sembunyinya.

Penjaga itu terkejut, cepat menarik perisai kura-kura di depan dadanya dan mengangkat pedangnya, siap untuk menyerang.

"Haaiiittttt!!!" tubuh Kwee Lun yang meloncat ke atas itu langsung menendang dengan tumit kaki kanan di depan.

"Bresss...!!" perisai kura-kura itu ternyata kuat menahan tendangan Kwee Lun, akan tetapi pemegangnya terdorong dan terjengkang bergulingan.

Mendengar suara berisik ini, berdatanganlah para penjaga lain. Dalam waktu sebentar saja Kwee Lun terpaksa harus mencabut pedang dan kipasnya, mengamuk dikepung oleh belasan orang penjaga yang bersenjata pedang ular dan perisai kura-kura itu.

Sementara itu, perwira berkumis yang datang tadi bukan lain adalah Perwira Ahmed. Dia baru saja berhasil meyakinkan para penjaga bahwa dia datang untuk memeriksa apakah dara itu masih berada di pesanggrahan. Dia terkejut mendengar suara ribut-ribut. Ketika dia menengok, dia melihat seorang pemuda perkasa sedang dikepung para penjaga. Perwira yang cerdik ini menduga bahwa tentu pemuda itu datang untuk menolong Swat Hong, maka dia bergegas memasuki rumah itu. Dua orang pelayan wanita dibentaknya untuk minggir.

"Aku harus menjaga dia, ada orang jahat datang!” didorongnya daun pintu kamar dan cepat ditutupnya dari dalam.

Melihat Swat Hong rebah terlentang dan tidur pulas di atas lantai, Ahmed cepat berlutut dan mengeluarkan sebuah botol hijau dari sakunya. "Huh, benar jahat! Mengorbankan siapa saja tanpa pilih bulu!" gerutunya sambil membuka tutup botol hijau yang cepat dia tempelkan di depan hidung Swat Hong.

Tak lama kemudian dara itu terbangun. Dia mengeluh dan merintih, "Aduhh... pening kepalaku..."

"Ssttt... Nona Swat Hong. Sadarlah... aku datang menolongmu." Ahmed mengguncang-guncang dara itu.

Swat Hong membuka matanya dan terkejut melihat Ahmed berlutut di dekatnya.

"Lekas kau cium ini...." Ahmed kembali mendekatkan botol di depan hidung Swat Hong.

Gadis itu memang sudah mempunyai kesan baik terhadap diri Ahmed, maka dia tidak membantah dan disedotnya botol itu. Tercium bau keras dan dia tersedak lalu berbangkis. “Apa... apa yang terjadi...?" Swat Hong bertanya, kepalanya masih agak pening.

"Lekas kau telan ini...." Ahmed memberikan sebutir pil hitam. "Engkau telah terkena racun Hashish yang dicampurkan di dalam anggur. Ini obat penawarnya."

Teringatlah Swat Hong dan tahulah dia mengapa dia tertidur di lantai. Tanpa bertanya lagi dia lalu menelan pil kecil itu dan benar saja, peningnya hilang dan pikirannya terang kembali.

"Nona, aku mendengar bahwa siang tadi kau dijamu oleh mereka. Tahulah aku bahwa kau tentu diberi anggur bercampur hashish. Lekas kau keluar, di luar sedang terjadi pertempuran. Seorang pemuda agaknya datang hendak menolongmu, dia bersenjata pedang dan kipas...."

"Kwee Lun....!" Swat Hong berseru kaget, menyambar pedangnya di atas meja dan hendak lari ke luar.

"Nanti dulu, Nona."

Swat Hong berhenti. "Kau baik sekali, Saudara Ahmed. Aku berterima kasih padamu."

"Bukan itu. Kau... kau harus lukai aku dengan pedang itu. Kalau tidak, aku akan dihukum mati sebagai pengkhianat."

Barulah Swat Hong sadar betapa perwira ini telah menolongnya dengan taruhan nyawa sendiri. "Kau adalah seorang yang amat baik, bagaimana mungkin aku tega untuk melukaimu? Kau sahabatku... dan ternyata di segala bangsa, ada saja manusianya yang jahat dan baik, tidak ada bedanya dengan bangsa lain. Aku mengerti maksudmu, saudara Ahmed. Nah, biar kurobohkan kau dengan totokan!"

Swat Hong bergerak cepat sekali, dan tahu-tahu dua jalan darah di tubuh Ahmed telah di totoknya. Perwira itu terguling roboh dan tak mampu bergerak karena kaki tangannya menjadi lumpuh, tubuhnya lemas tak mampu bergerak.

Swat Hong cepat menyambar botol dan sisa obat penawar, memasukannya di dalam sakunya, kemudian dia menendang meja kursi sampai terpelanting ke kanan-kiri sehingga menimbulkan kesan seolah-olah di kamar itu telah terjadi pertempuran, mencabut pedang dari pinggang Ahmed dan melemparkan pedang di lantai, kemudian dia memegang tangan Ahmed dan berkata, suaranya terharu,

"Selamat tinggal, Saudara Ahmed. Sekali lagi terima kasih dan kita takkan bertemu kembali."

Hanya dengan bibir dan pandang matanya saja Ahmed tersenyum penuh kagum, mulutnya hanya dapat berkata," Kau... setangkai bunga di padang pasir...."

Swat Hong melompat dan berlari ke luar. Dua orang pelayan wanita yang lari mendatangi dia tendang terguling dan menjerit-jerit, kemudian dia terus lari ke luar. Heran juga ketika dia melihat bahwa dugaannya tadi benar ketika mendengar penuturan Ahmed tentang seorang pemuda bersenjata kipas dan pedang. Kwee Lun telah datang dan mengamuk di luar pesanggrahan! Gerakan pemuda itu hebat bukan main karena memang selama satu tahun dia berlatih dengan tekun.

Akan tetapi ternyata para pengeroyoknya juga merupakan pasukan yang terlatih dan memiliki keistimewaan. Bukan hanya senjata mereka yang aneh, yaitu pedang ular dan perisai kura-kura, akan tetapi juga mereka itu membentuk barisan yang kokoh kuat, saling membantu. Perisai digunakan untuk berlindung, kemudian pedang ular itu meluncur dari depan perisai, persis gerakan seekor kura-kura menyerang dan menyembunyikan kepala di dalam batoknya.

Kwee Lun merasa kewalahan juga menghadapi kepungan yang ketat ini. Akan tetapi dia mengamuk dengan penuh keberanian dan akhirnya dia dapat membobol kepungan dengan jalan berloncatan ke sana-sini, kemudian mendadak dia meloncat melewati kepala pengepung yang berada di belakangnya. 

Begitu berada di luar kepungan, dia berhasil merobohkan dua orang pengeroyok dengan pedang dan kipasnya. Empat belas orang sisa pasukan itu sudah mengepung lagi, akan tetapi mendadak terdengar lengking nyaring dan robohlah empat orang diserang oleh Swat Hong dari luar kepungan.

"Nona Han...!"

"Kwee-toako, mari kita basmi mereka ini!" seru Swat Hong.

Kwee Lun girang bukan main, tak pernah disangkanya bahwa dara yang hendak dijadikan korban itu adalah Han Swat Hong. Dia merasa kecelik juga, karena ternyata bahwa gadis yang akan ditolongnya itu berbalik malah menolongnya!

"Kita lari saja, Nona. Tidak perlu melawan tentara yang amat banyak!"

"Tidak aku harus bunuh dulu si keparat she Bouw...!"

Pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk dan berbondong-bondong datanglah pasukan besar dipimpin oleh Bouw-ciangkun sendiri! Melihat Bouw-ciangkun, Swat Hong menjadi marah sekali. Dari mulutnya terdengar suara melengking nyaring dan tubuhnya melesat seperti terbang cepatnya, pedangnya menyambar sebagai sinar kilat ke arah Bouw-ciangkun. 

Panglima ini terkejut, menggerakkan pedang menangkis. Terdengar suara berdencing nyaring dan pedang di tangan panglima itu patah disusul robohnya tubuhnya yang berkelojotan karena ternyata lehernya hampir putus terbabat pedang di tangan Swat Hong!

"Nona, jangan...." Kwee Lun lari mendekat.

Mereka sudah dikepung oleh ratusan orang prajurit yang menjadi bengong menyaksikan kematian komandan mereka secara tidak disangka-sangka itu. Semua orang menduga bahwa tentu nona yang tadinya melamar sebagai sukarelawati dan pemuda yang menjadi sukarelawan ini tentulah mata-mata dari pihak pemberontak!

"Tangkap mata-mata!"

"Bunuh mereka!"

"Tahan semua senjata...!!" Kwee Lun berteriak, suaranya mengatasi semua keributan itu.

Semua orang menahan senjata dan memandang kepada pemuda itu dengan marah. Mau bicara apa lagi mata-mata yang sudah membunuh komandan mereka ini?

"Saudara-saudara sekalian! Kami berdua bukan mata-mata pemberontak, sama sekali bukan! Bahkan kami adalah musuh-musuh pemberontak. Kami berdua adalah sungguh-sungguh hendak membantu gerakan Sri Baginda Kaisar untuk menghalau pemberontak dari kota raja. 

Akan tetapi celakanya, Nona Han Swat Hong yang beriktikad baik ini dicurangi oleh Bouw-ciangkun. Sukarelawati yang gagah perkasa ini, yang akan dapat membantu banyak sekali kepada Sri Baginda, oleh Bouw-ciangkun hendak dikorbankan sebagai hadiah kepada panglima Arab, untuk diperkosa! Tentu saja kami melawan kejahatan ini!"

"Tangkap.....!"

"Bunuh....! Dia telah membunuh Bouw-ciangkun.....!"

"Jangan percaya hasutan mulut mata-mata pemberontak!"

Kini tempat itu penuh dengan prajurit, tidak hanya ratusan, bahkan ribuan banyaknya. Mereka sudah marah semua karena biar pun di antara mereka ada yang dapat memaklumi kebenaran ucapan Kwee Lun, namun kenyataan dibunuhnya Bouw-ciangkun tentu saja menggegerkan dan mengacaukan mereka. Dengan senjata di tangan mereka sudah mengeroyok dua orang itu.

"Menyesal tidak berhasil, Nona."

"Tidak apa, Toako. Mati di sampingmu membesarkan hati."

"Benarkah?"

"Tentu saja, karena engkau seorang yang baik sekali, Kwee-toako."

"Kalau begitu, marilah mati bersama!"

Pemuda itu dengan wajah berseri sudah siap dengan sepasang senjatanya. Mereka saling membelakangi dan saling melindungi. Para prajurit sudah berdesak-desakan hendak menyerbu.

Tiba-tiba terdengar suara yang halus dan tenang, namun penuh wibawa, "Harap Cu-wi sekalian tidak menggerakkan senjata......!"

Sungguh ajaib sekali. Biar pun ada di antara mereka yang tidak mempedulikan kata-kata ini dan hendak tetap menyerang, tiba-tiba saja merasa bahwa tangan mereka tidak mampu bergerak! Terdengar seruan-seruan kaget dan heran, dan kini semua mata memandang kepada seorang pemuda yang dengan tenangnya berjalan memasuki kepungan itu, dengan membuka jalan di antara para prajurit.

Juga Kwee Lun dan Swat Hong mengeluarkan seruan tertahan. Mereka berdua pun merasa betapa tangan mereka tidak dapat digerakkan! Otomatis mereka pun menoleh dan melihat pula seorang pemuda yang memasuki kepungan itu dengan sikap tenang sekali. Pemuda yang pakaiannya sederhana, agak kurus, matanya memancarkan sinar yang luar biasa, pemuda yang memandang kepada Swat Hong dengan senyum di bibir.

"Su... Suhengggg...!" Tiba-tiba Swat Hong menjerit, pedangnya terlepas dari pegangan dan sambil terisak dia lari menghampiri lalu menubruk pemuda itu yang bukan lain adalah Kwa Sin Liong!

"Suheng... aihhh, Suheng... Ibuku...."

"Tenanglah, Sumoi, tenanglah...," suara Sin Liong mengandung wibawa yang luar biasa, sehingga Swat Hong yang dilanda kekagetan dan keharuan hebat karena sama sekali tidak menyangka bahwa suhengnya masih hidup itu, dapat menenangkan hatinya.

"Suheng... betapa bahagia rasa hatiku! Suheng, jangan kau tinggalkan aku lagi...."

"Tidak, Sumoi. Tidak lagi."

"Aku cinta padamu, Suheng! Aku cinta padamu!" tanpa malu-malu Swat Hong meneriakkan suara hatinya ini di tengah-tengah kepungan ratusan, bahkan ribuan orang prajurit!

Kwee Lun memandang semua itu dan dua titik air mata membasahi bulu matanya. Dia merasa terharu, juga girang sekali, girang melihat kebahagian Swat Hong dan sekaligus dia teringat kepada Soan Cu. Dia pun sudah dapat bergerak, melangkah maju dan berkata, "Kwa-taihiap, syukur bahwa engkau masih dalam keadaan selamat. Sungguh aku ikut merasa girang...."

Sin Liong tersenyum kepadanya. "Kwee-toako, engkau seorang sahabat yang baik. Simpanlah pedang dan kipasmu, tidak perlu melanjutkan pembunuhan yang tidak ada gunanya ini."

Kwee Lun menurut, akan tetapi matanya memandang ragu. Sambil menyarungkan pedang dan menyimpan kipasnya, dia bertanya, "Akan tetapi... mereka itu...?"

Terdengar teriakan-teriakan dari para pengepung. "Tangkap mata-mata musuh!"

"Bunuh pemberontak!"

"Tangkap pembunuh Bouw-ciangkun!"

Ribuan orang prajurit sudah bergerak lagi. Swat Hong memegang lengan suheng-nya dan Kwee Lun juga mendekati Sin Liong. Betapa pun juga, gentar dia menghadapi ribuan orang yang berteriak itu, apa lagi dia tidak boleh melawan. Ketenangan Sin Liong membuat dia mencari perlindungan dekat pemuda ini. Sin Liong memegang lengan sumoinya.

Terdengarlah suaranya penuh kesabaran dan ketenangan yang wajar, "Cu-wi sekalian tahu bahwa mereka berdua ini bukan mata-mata, dan Cu-wi tahu apa yang telah terjadi. Maka harap Cu-wi perkenankan kami pergi, kemudian sebaiknya melaporkan kepada Sri Baginda apa yang telah terjadi sehingga dapat diambil tindakan tepat, demi ketertiban." Suara ini demikian halus, akan tetapi mengatasi semua teriakan dan anehnya orang-orang itu tidak berteriak-teriak lagi.

"Kami hendak pergi sekarang!" Sin Liong memegang lengan Swat Hong dengan tangan kanannya, memegang lengan Kwee Lun dengan tangan kiri, lalu menarik kedua orang itu ke luar dari kepungan.

Swat Hong dan Kwee Lun melangkah dengan bengong, merasa seperti dalam mimpi saja karena ketika mereka melangkah pergi melalui ribuan orang pasukan itu, tidak ada seorang pun di antara para prajurit yang mencoba untuk menghalangi mereka, bahkan ajaibnya, tidak ada seorang pun yang memandang mereka, seolah-olah para prajurit itu tidak melihat mereka!

Dan memang begitulah. Para prajurit itu pun bengong ketika secara tiba-tiba setelah pemuda tampan halus itu berpamit, tiga orang itu tiba-tiba saja lenyap dari situ tanpa meninggalkan bekas! Setelah Sin Liong dan dua orang temannya pergi jauh, barulah tempat itu menjadi gempar. Akhirnya Kaisar memperoleh laporan tentang semua peristiwa yang terjadi. Panglima Hussin dikirim pulang dan pimpinan pasukannya diserahkan kepada Ahmed!

Sementara itu, Sin Liong, Kwee Lun dan Swat Hong pergi meninggalkan Secuan. Ketika mereka tiba jauh dari daerah itu, mereka berhenti dan Swat Hong berkata, "Suheng, mengapa kita meninggalkan Secuan? Aku ingin sekali menjadi sukarelawati, membantu Kaisar dan membasmi pemberontak yang telah mengakibatkan kematian Ibu, kematian Soan Cu dan Ayahnya, bahkan kematian kakek buyutku!"

"Benar apa yang dikatakan Nona Swat Hong, Kwa-taihiap. Perjuangan menanti tenaga kita. Marilah kita bertiga membantu kerajaan membasmi pemberontak."

Sin Liong menarik napas panjang, memegang tangan sumoinya dan diajak duduk di atas rumput. Swat Hong duduk dekat suheng-nya dan memandang wajah suheng-nya dengan penuh kagum dan kasih sayang.

"Kwee-toako, benarkah engkau tertarik dengan perang? Dengan saling bunuh membunuh antara manusia, antara bangsa sendiri itu? Betapa mengerikan, Toako. Menggunakan ilmu silat untuk membela yang lemah dan menentang yang jahat masih dapat dimengerti dan masih mending. Akan tetapi bunuh-membunuh hanya untuk membela sekelompok manusia lain saling memperebutkan kemuliaan duniawi, sungguh patut disesalkan. Mereka itu hanya ingin mempergunakan orang lain demi mencapai cita-cita sendiri.”

"Aih, apa yang dikatakan Suheng memang tepat, Kwee-toako. Ingat saja apa yang barusan telah aku alami. Aku jauh-jauh datang untuk menjadi sukarelawati, membantu mereka, akan tetapi belum apa-apa aku sudah akan dikorbankan demi untuk menyenangkan hati panglima asing itu,"

Swat Hong berkata, kemudian dia menceritakan pengalamannya kepada Sin Liong, semenjak mereka berpisah dan dia ditolong oleh kakek buyutnya, sampai dia berpisah dari Kwee Lun meninggalkan ibunya yang menghadapi maut.

"Aku tidak berhasil mencari Swi Nio dan Toan Ki yang kutitipi pusaka-pusaka Pulau Es. Maka aku berniat membantu Kaisar sekaligus mencari mereka yang kurasa melarikan diri membawa pusaka-pusaka itu untuk mereka sendiri. Sungguh menggemaskan!"

"Jangan tergesa-gesa berprasangka buruk terhadap orang lain, Sumoi. Kelak kita memang harus mencari mereka dan meminta kembali pusaka-pusaka itu untuk kita bawa kembali ke Pulau Es."

Kwee Lun juga menceritakan riwayatnya semenjak dia berpisah dari Swat Hong. Kemudian mereka minta agar Sin Liong suka menceritakan riwayatnya.

"Bagaimana engkau yang menurut cerita Kakek buyut dilempar ke sumur ular dan ditutup dengan reruntuhan goa, dapat menyelamatkan diri, Suheng? Dan selama ini engkau kemana saja?"

Sin Liong tersenyum. "Aku memang nyaris tewas di sumur itu, akan tetapi memang agaknya belum tiba saatnya aku mati, maka batu mustika hijau kepunyaanmu ini telah menolongku, Sumoi." Sin Liong mengeluarkan mustika hijau itu. Swat Hong menerima batu itu dan menciumnya.

"Terima kasih, kau telah menyelamatkan Suheng!" katanya girang.

Sin Liong lalu menuturkan dengan singkat keadaannya selama dua tahun di dalam sumur ular sampai dia berhasil keluar ketika sumur itu dibongkar oleh Han Bu Ong dan orang-orang kerdil.

"Ahh, Ibunya yang mencelakanmu, anaknya yang tanpa sengaja menolongmu!" Swat Hong berseru heran. "Lalu bagaimana kau bisa datang ke Secuan dan menyelamatkan aku dan Kwee-toako?"

"Mula-mula aku pergi ke kota raja dan mendengar betapa Ibumu, juga Soan Cu telah tewas di sana, akan tetapi juga bahwa ibu tirimu The Kwat Lin juga tewas pula. Karena aku menduga bahwa peristiwa itu tentu membuat engkau dimusuhi oleh para pemberontak, maka aku yakin bahwa kau tentu membantu Kaisar di Secuan, maka aku segera menyusul ke sini dan kebetulan sekali melihat engkau dan Kwee-toako dikeroyok para prajurit."

Sin Liong tidak memberitahukan bahwa sesungguhnya telah terjadi keajaiban pada dirinya sehingga seolah-olah dia tahu bahwa sumoinya berada di Secuan. Seolah-olah apa yang terjadi bukan merupakan rahasia lagi baginya!

Tiba-tiba Kwee Lun bertanya, nada suaranya hati-hati dan penuh sungkan, "Kwa-taihiap, sejak dulu saya tahu bahwa Taihiap memiliki kepandaian luar biasa. Akan tetapi... tadi di sana seruan Taihiap membuat ribuan orang berhenti bergerak, bahkan aku pun... tidak mampu bergerak. Kemudian... ketika kita pergi, terjadi keajaiban, seolah-olah mereka itu sama sekali tidak melihat kita pergi...."

Sin Liong hanya tersenyum dan mengangkat pundak tanpa menjawab.

"Benar! Apa yang telah kau lakukan tadi, Suheng?" Swat Hong juga bertanya.

"Tidak apa-apa, Sumoi. Engkau pun melihat sendiri. Kita pergi dari mereka, dan karena tidak ada permusuhan atau kebencian di hatiku, tentu saja mereka pun tidak melakukan apa-apa."

Swat Hong memang sejak dahulu sudah tahu akan keanehan watak suhengnya dan kadang-kadang ucapan suhengnya tidak dimengerti sama sekali, maka jawaban sederhana ini cukup baginya.

Tidak demikian dengan Kwee Lun. Pemuda ini menduga bahwa pemuda Pulau Es itu bukanlah manusia biasa, maka cepat dia berkata, "Kwa-taihaip, jika Taihiap berkenan, saya... saya mohon petunjuk...."

Sin Liong menoleh, memandang. Mereka bertemu pandang dan Sin Liong tersenyum lagi. "Kau sebaiknya pulang saja ke Pulau Kura-kura, Kwee-toako. Dan mengingat engkau suka sekali akan ilmu silat dan aku yakin bahwa engkau tidak akan menggunakan ilmu itu untuk berbuat jahat, maka mungkin aku dapat menambahkan sedikit tingkat ilmumu itu. Harap kau coba-coba mainkan pedang dan kipasmu itu sebaik mungkin."

Bukan main girangnya hati Kwee Lun. Dia menjura dengan hormat sambil mengucapkan terima kasih, kemudian dia mencabut pedang dan kipasnya lalu bermain silat di depan Sin Liong dan Swat Hong. Seperti kita ketahui, dari kitab kuno Sin Liong memperoleh ilmu luar biasa, yaitu mengenal semua inti ilmu silat dari gerakan pertama saja.

Maka setelah Kwee Lun mainkan jurus-jurus simpanan yang paling lihai dan menghentikan permainan silatnya, Swat Hong bertepuk tangan memuji, sedangkan Sin Liong berkata,

"Ada kelemahan-kelemahan di dalam beberapa jurusmu, Toako."

Pemuda luar biasa ini lalu memberi petunjuk kepada Kwee Lun yang menjadi terheran-heran, kagum dan girang sekali. Petunjuk-petunjuk itu merupakan penyempurnaan dari semua ilmu silatnya. Dia menerima dan melatih petunjuk-petunjuk ini dan demikianlah, sampai hampir sebulan lamanya, tiga orang ini melakukan perjalanan ke timur dan di sepanjang perjalanan, Kwee Lun menerima petunjuk-petunjuk dari Sin Liong, bahkan Kwee Lun menerima pelajaran latihan untuk menghimpun tenaga sinkang.

Selama sebulan itu, Kwee Lun memperoleh keyakinan bahwa pemuda Pulau Es ini benar-benar bukan seorang manusia biasa. Tindak-tanduknya, bicaranya, pandang matanya, dan betapa pemuda itu dapat mengerti ilmu silatnya lebih sempurna daripada dia sendiri!

Maka ketika tiba saatnya berpisah, dia tanpa ragu-ragu menjatuhkan diri berlutut di depan Sin Liong! "Harap jangan berlebihan, Kwee-toako," kata Sin Liong.

"Wah, Toako. Apa-apaan ini?" Swat Hong juga mencela.

"Kwa-taihiap, saya boleh dibilang adalah murid Taihiap. Dan Han-lihiap, agaknya belum tentu selama hidupku akan dapat bertemu lagi dengan Ji-wi (Kalian). Perkenankan saya, Kwee Lun, menghaturkan terima kasih dan selama hidup saya tidak akan melupakan Ji-wi!"

"Hushhhh... sudahlah, Toako. Kita berpisah di sini. Engkau ke selatan dan kami akan terus ke timur. Mari, Sumoi, kita lanjutkan perjalanan," kata Sin Tiong dengan suara tenang dan biasa saja, lalu mengajak sumoinya pergi dari situ.

Swat Hong beberapa kali menengok dan melihat Kwee Lun masih berlutut dengan mata basah air mata! Dia pun terharu, akan tetapi tidak lagi merasa sengsara seperti ketika dia berpisah dari Kwee Lun hampir dua tahun yang lalu. Kini Sin Liong, suhengnya, pria yang dicintainya, berada di sampingnya. Tidak ada lagi perkara apa pun di dunia ini yang dapat menyusahkan hatinya lagi!

BERSAMBUNG KE JILID 14