Bu Kek Siansu Jilid 14

Cerita Silat Mandarin Serial Bu Kek Siansu Jilid 14 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

SUDAH terlalu lama kita meninggalkan Bu Swi Nio dan Lie Toan Ki, dua orang muda yang dipercaya oleh Swat Hong untuk menyelamatkan pusaka-pusaka Pulau Es. Benarkah dugaan Swat Hong bahwa mereka itu bertindak curang, mengangkangi sendiri pusaka-pusaka yang secara kebetulan terjatuh ketangan mereka itu? Sama sekali tidak demikian! Mari kita mengikuti perjalanan mereka semenjak mereka meninggalkan kota raja.

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-kek Sian-su Karya Kho Ping Hoo

Malam hari itu, mereka berhasil lolos keluar dari kota raja dan semalam suntuk terus melarikan diri ke barat. Pada keesokan harinya, dengan tubuh lesu dan lelah, mereka sudah tiba jauh dari kota raja. Selagi mereka hendak mengaso, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari belakang. Mereka terkejut dan cepat menyelinap ke dalam semak-semak untuk bersembunyi.

Akan tetapi, empat orang yang menunggu kuda itu sudah melihat mereka dan begitu tiba di tempat itu, mereka meloncat turun, mencabut senjata dan seorang di antara mereka berseru, "Dua orang pengkhianat rendah, keluarlah!"

Dari tempat persembunyian mereka, Swi Nio dan Toan Ki mengenal empat orang itu. Mereka adalah bekas-bekas teman mereka ketika masih membantu An Lu Shan dahulu di masa ‘perjuangan’. Karena mengenal mereka dan tahu bahwa mereka itu adalah orang-orang kang-ouw yang dahulu juga membantu pemberontakan karena sakit hati kepada kelaliman Kaisar, Swi Nio dan Toan Ki meloncat ke luar. Liem Toan Ki tersenyum memandang kepada kakek berusia lima puluh tahun yang memimpin rombongan empat orang itu.

Kakek ini bernama Thio Sek Bi, murid dari seorang tokoh kang-ouw kenamaan, yaitu Thian-tok Bhong Sek Bin! Ada pun tiga orang yang lain adalah orang-orang kang-ouw yang agaknya tunduk kepada Thio Sek Bi ini, namun menurut pengetahuan Toan Ki, kepandaian mereka tidaklah perlu dikhawatirkan. Hanya orang she Thio ini lihai.

"Thio-twako, kita sama mengerti bahwa perjuangan kita hanya untuk menghalau Kaisar lalim. Urusan kami di istana The Kwat Lin sama sekali tidak ada hubungannya dengan urusan perjuangan. Harap Toako tidak mencampuri urusan pribadi dan suka mengalah, membiarkan kami pergi dengan aman."

"Ha-ha-ha-ha! Liem Toan Ki, enak saja kau bicara! Setelah berhasil memperoleh pusaka-pusaka keramat, mau lolos begitu saja dan melupakan teman! Kami berempat tentu akan menerima uluran tanganmu yang bersahabat kalau saja persahabatan itu kau buktikan dengan membagikan sebagian pusaka itu.

Demikian banyaknya, buat apa bagi kalian? Membagi sedikit kepada kawan, sudah sepatutnya, ha-ha!" Thio Sek Bi berkata sambil menudingkan senjata toya ditangannya ke arah punggung Toan Ki, di mana terdapat buntalan pusaka yang dititipkan kepadanya oleh Swat Hong.

"Ya, sebaiknya bagi rata, bagi rata antara teman sendiri, Saudara Liem Toan Ki dan Nona Bu Swi Nio!" kata orang ke dua, sedangkan teman-temannya juga mengangguk setuju.

Toan Ki terkejut. Mengertilah dia bahwa tentu empat ini malam tadi ikut mengepung dan mereka mendengar penitipan pusaka itu oleh Swat Hong, maka mereka lalu diam-diam mengejar sampai di hutan ini.

"Hem, saudara-saudara. Kalau kalian tahu bahwa ini adalah pusaka tentu kalian tahu pula bahwa ini bukanlah milikku, dan aku hanya dititipi saja dan tidak berhak membagi-bagikan kepada siapa pun juga."

“Ha-ha-ha! Lagaknya! Siapa mau percaya omonganmu? Pusaka-pusaka dari Pulau Es yang hanya dikenal di dunia kang-ouw sebagai dalam dongeng telah berada di tangan kalian dan kalian benar-benar tidak menghendakinya? Bohong!" kata Thio Sek Bi sambil tertawa mengejek.

“Bohong atau tidak, apa yang dikatakan oleh Ki-koko adalah tepat! Kami tidak akan membagi pusaka kepada kalian atau siapa pun juga. Habis kalian mau apa?!" Bu Swi Nio membentak sambil mencabut pedangnya.

"Ha-ha, wah lagaknya! Kalau begitu, pusaka itu akan kami rampas dan kalian berdua, mati atau hidup, akan kami seret kembali ke kota raja!" kata Thio Sek Bi sambil memutar toyanya, diikuti oleh tiga orang kawannya.

Swi Nio dan Toan Ki menggerakkan senjata dan melawan dengan mati-matian. Ilmu toya yang dimainkan oleh Thio Sek Bi amat hebat dan aneh karena dia adalah murid dari Thian-tok. Thian-tok (Racun langit) terkenal sebagai seorang ahli racun dan sebagai pemuja tokoh dongeng Kauw-cee-thian Si Raja Monyet, maka yang paling hebat di antara ilmu silatnya adalah ilmu silat toya panjang yang disebut Kim-kauw-pang seperti senjata tokoh dongeng Kau-cee-thian sendiri!

Muridnya ini, biar pun senjatanya toya, namun dimainkan dengan gerakan yang amat aneh dan sebentar saja Toan Ki sudah terdesak olehnya. Namun Liem Toan Ki adalah seorang murid Hoa-san-pai yang memiliki dasar ilmu yang bersih dan kuat. Selain itu dia sudah mempunyai banyak pengalaman, bahkan tidak ada yang tahu bahwa dia adalah murid Hoa-san-pai.

Selain dia tidak pernah mengaku karena takut membawa-bawa nama Hoa-san-pai dengan pemberontakan, juga ilmu silatnya sudah dia campur dengan ilmu silat lain sehingga tidak kentara benar. Dengan gerakan pedang yang indah dan cepat, dia dapat menjaga diri dari desakan toya di tangan Thio Sek Bi.

Di lain pihak, Swi Nio yang menghadapi pengeroyokan tiga orang itu tidak mengalami banyak kesulitan. Wanita muda ini pernah digembleng oleh The Kwat Lin, sedikit banyaknya telah mewarisi ilmu yang dahsyat dari wanita itu. Kini dikeroyok oleh tiga orang lawan yang tingkatnya di bawah dia, tentu saja dia dengan mudah dapat mempermainkan mereka.

Terdengar Swi Nio mengeluarkan suara melengking berturut-turut seperti yang biasa dikeluarkan oleh The Kwat Lin, dan tiga orang lawannya roboh berturut-turut dengan terluka parah, tidak mampu melawan lagi. Sambil melengking keras, Swi Nio meloncat dan membantu kekasihnya yang terdesak oleh toya Thio Sek Bi.

"Cring! Tranggggg.....!"

Swi Nio terhuyung, akan tetapi Thio Sek Bi merasa betapa telapak tangannya panas. Liem Toan Ki tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia menubruk maju dan memutar pedangnya, kemudian dibantu oleh kekasihnya dia terus mendesak sehingga permainan toya dari murid Thian-tok itu menjadi kacau. Akhirnya, tiga puluh jurus kemudian, robohlah Thio Sek Bi, lengan kanannya terbacok dan terluka parah, juga pundak kirinya terobek ujung pedang Swi Nio.

"Lekas...! Kita pakai kuda mereka!" Liem Toan Ki berkata kepada kekasihnya.

Swi Nio menyambar kendali dua ekor kuda terbaik, sedangkan Toan Ki lalu mencambuk dua ekor kuda yang lain sehingga binatang-binatang itu kabur ketakutan. Kemudian mereka meloncat ke atas punggung kuda rampasan itu dan membalapkan kuda meninggalkan tempat itu.

"Mestinya mereka itu dibunuh, akan tetapi aku tidak tega melakukannya," kata Toan Ki.

"Benar, belum tentu mereka itu jahat."

"Moi-moi, berhenti dulu," tiba-tiba Toan Ki berkata.

Swi Nio menahan kudanya dan melihat kekasihnya seperti orang bingung. "Ada apakah?"

"Tidak baik kalau kita menuruti permintaan Nona Han Swat Hong pergi ke Awan Merah."

Bu Swi Nio mengerutkan alisnya dan memandang kepada kekasihnya dengan penuh selidik. Selama ini, dia selain mencinta, juga kagum dan percaya penuh kepada kekasihnya yang dianggapnya seorang pria yang gagah perkasa dan patut dibanggakan. Akan tetapi sekarang dia memandang penuh curiga, jangan-jangan kekasihnya juga ketularan penyakit seperti empat orang tadi, menginginkan pusaka Pulau Es!

Biar pun dia sendiri belum pernah membuka-buka pusaka-pusaka itu, namun dia maklum bahwa pusaka-pusaka Pulau Es yang berada di tangan gurunya adalah pusaka yang tak ternilai harganya, benda keramat yang tentu mengandung ilmu-ilmu mukjijat!

"Kok, apa... apa maksudmu?"

Mendengar nada suara kekasihnya, Toan Ki mengangkat muka memandang. Mereka bertemu pandang dan Toan Ki tersenyum, memegang tangan kekasihnya dan mencium tangan itu.

"Ihhh! kau berdosa padaku, memandang penuh curiga seperti itu!" katanya tertawa. "Tidak, Moi-moi, tidak ada pikiran yang bukan-bukan di dalam hatiku. Aku hanya teringat akan bahaya besar kalau kita ke Awan Merah. Thio Sek Bi tadi adalah murid Thian-tok, sedangkan Thian-tok adalah suheng dari Puncak Awan Merah di Tai-hang-san! Kalau murid dari sang suheng seperti Thio Sek Bi tadi, apakah kita dapat mengharapkan sute akan lebih baik? Jangan-jangan kita seperti ular-ular menghampiri penggebuk!"

"Sialan! Kau samakan aku dengan ular? Koko, kalau begitu, bagaimana baiknya sekarang?" Swi Nio menghentikan kelakarnya karena menjadi khawatir juga.

"Swi-moi, tugas yang kita pikul bukanlah ringan. Apa lagi karena agaknya sudah banyak yang tahu bahwa kita berdualah yang memegang pusaka-pusaka Pulau Es, maka kurasa langkah-langkah kita tentu akan dibayangi orang-orang kang-ouw yang ingin merampas Pusaka Pulau Es. Ke mana pun kita pergi, kita tentu akan dicari oleh mereka."

Swi Nio menjadi pucat. Baru dia sadar betapa berat dan berbahaya tugas mereka. "Aihh, kalau begitu bagaimana baiknya?”

"Tidak ada jalan lain kecuali berlindung ke Hoa-san. Aku akan minta bantuan Hoa-san-pai agar suka menerima kita bersembunyi di sana dan menyembunyikan pusaka di sana. Hanya Hoa-san-pai saja yang dapat kupercaya dan kiranya tidak sembarangan orang berani main gila di Hoa-san-pai."

"Engkau benar, Koko dan aku setuju sekali. Akan tetapi, bagaimana nanti kalau yang mempunyai pusaka ini menyusul kita ke Puncak Awan Merah dan tidak mendapatkan kita di sana?"

"Lebih baik begitu dari-pada mendapatkan kita di sana tanpa pusaka lagi, atau mendengar bahwa kita tewas dan pusaka dirampas orang! Sebagai orang-orang yang sakti, tentu mereka akan dapat mencari kita atau menduga bahwa aku berlindung ke Hoa-san-pai. Mari kita berangkat, Moi-moi, hatiku tidak enak sebelum kita tiba di Hoa-san."

Demikianlah dua orang itu lalu bergegas melanjutkan perjalanan ke Hoa-san. Setelah tanpa halangan mereka tiba di bukit itu, Toan Ki mengajak kekasihnya langsung menghadap ketua Hoa-san-pai yang terhitung twa-supeknya (uwak guru pertama) sendiri yang tidak pernah dijumpainya. Setelah bertemu dengan Kong Thian-cu, ketua Hoa-san-pai pada waktu itu, seorang kakek tinggi kurus yang bersikap lemah lembut dan rambutnya sudah putih semua, serta merta kedua orang muda itu menjatuhkan diri berlutut.

"Teecu Liem Toan Ki menghaturkan hormat kepada Twa-supek," kata Toan Ki.

"Teecu Bu Swi Nio menghaturkan hormat kepada Lo-cianpwe," kata Swi Nio penuh hormat.

Kakek itu mengangguk-angguk. "Duduklah dan bagaimana engkau dapat menyebut pinto sebagai Twa-supek, orang muda?"

"Teecu adalah murid dari Suhu Tan Kiat yang membuka perguruan silat di Kun-ming dan menurut Suhu, katanya beliau adalah sute dari Twa-supek yang menjadi ketua di Hoa-san-pai, sungguh pun Suhu berpesan agar teecu tidak menyebut-nyebut nama Hoa-san-pai kepada siapa pun juga."

Kakek itu kelihatan terkejut, lalu menarik napas panjang. Sambil mengelus jenggotnya dia kembali mengangguk-angguk. "Tan-sute memang murid Suhu, akan tetapi sayang, pernah dia membuat mendiang Suhu marah dan mengusirnya. Padahal bakatnya baik sekali. Kiranya dia membuka perguruan silat? Dan dia pesan agar muridnya tidak membawa nama Hoa-san-pai? Bagus, ternyata dia jantan juga. Di manakah dia sekarang dan bagaimana keadaannya?"

"Suhu telah tewas dalam keadaan penasaran, difitnah pembesar sebagai pemberontak dan dijatuhi hukuman mati."

"Ahhh...!"

"Karena itulah maka teecu sebagai muridnya yang juga menderita karena orang-tua teecu juga menjadi korban keganasan pembesar pemerintah, lalu ikut berjuang bersama An Lu Shan. Setelah berhasil teecu mengundurkan diri karena teecu tidak menghendaki kedudukan apa-apa. Apa lagi melihat betapa An-goanswe menerima bantuan orang-orang dari kaum sesat, maka teecu mengundurkan diri."

"Bagus, baik sekali engkau mengambil keputusan itu. Biar pun engkau tidak menyebut nama Hoa-san-pai, namun pinto akan ikut merasa menyesal kalau ada orang yang mewarisi kepandaian Hoa-san-pai mempergunakan kepandaian itu untuk urusan pemberontakan. Sekarang engkau bersama Nona ini datang menghadap pinto ada keperluan apakah?"

"Teecu datang untuk mohon pertolongan Twa-supek. Nona ini adalah tunangan teecu, dia puteri dari mendiang Lu-san Lojin."

"Siancai...! Lu-san Lojin sudah meninggal? Pinto pernah bertemu satu kali dengan ayahmu, Nona. Seorang yang gagah perkasa!" Kemudian kakek ini menoleh kepada Liem Toan Ki dan bertanya, "Pertolongan apakah yang kalian harapkan dari pinto?"

Dengan terus terang tanpa menyembunyikan sesuatu Liem Toan Ki lalu menceritakan tentang penyerbuannya bersama para penghuni Pulau Es, betapa kemudian puteri Pulau Es telah menitipkan Pusaka Pulau Es kepada mereka berdua, kemudian betapa mereka dihadang orang jahat yang hendak merampas pusaka dan mereka mengambil keputusan untuk bersembunyi di Hoa-san-pai.

Kakek itu menjadi bengong mendengar penuturan panjang lebar itu. Beberapa kali memandang ke arah buntalan di punggung Toan Ki dan memandang wajah mereka berdua seperti orang yang kurang percaya.

"Siancai... kalau tidak melihat wajah kalian berdua yang agaknya bukan orang gila dan bukan pembohong, pinto sukar untuk percaya bahwa kalian telah bertemu bahkan bertanding bahu-membahu dengan orang-orang Pulau Es! Pinto kira bahwa nama Pulau Es hanya terdapat dalam dongeng belaka."

"Karena teecu yakin bahwa tentu orang-orang di dunia kang-ouw akan saling berebut untuk merampas pusaka-pusaka ini, maka teecu berdua mengambil keputusan untuk berlindung di Hoa-san-pai sampai yang berhak atas pusaka-pusaka itu datang mengambilnya."

Sampai lama kakek itu termenung dan menundukkan kepalanya, dipandang dengan hati gelisah dan tegang oleh Toan Ki dan Swi Nio. Akhirnya kakek itu mengangkat mukanya memandang dan berkata, suaranya bersungguh-sungguh.

"Selamanya Hoa-san-pai menjaga nama dan kehormatan sebagai partai orang-orang gagah. Entah berapa banyak anak murid Hoa-san-pai tewas dalam mempertahankan kebenaran dan keadilan, bahkan ada pula yang tewas tanpa pinto ketahui apa sebabnya dan di mana tewasnya seperti Kee-san Ngo-hohan, lima orang murid pinto yang dahulu bertugas melindungi Sin-tong...."

"Aihhh...!!" tiba-tiba Swi Nio mengeluarkan teriakan tertahan dan ketika kakek itu memandang kepadanya, dia cepat berkata, "Mendiang Subo adalah bekas ratu Pulau Es yang menyeleweng dan bersekutu dengan Kiam-mo Cai-li Liok Si memberontak kepada pemerintah. Pernah teecu mendengar penuturan Subo ketika menceritakan kelihaian Kiam-mo Cai-li bahwa Kee-san Ngo-hohan terbunuh oleh Kiam-mo Cai-li itu."

Ketua Hoa-san-pai itu kelihatan terkejut dan sinar matanya menjadi keras, "Hemm, kiranya iblis betina itu yang membunuh murid-murid pinto...!”

"Akan tetapi iblis itu telah tewas di tangan Nona Han Swat Hong, puteri Pulau Es yang menitipkan pusaka kepada teecu berdua, Twa-supek," Toan Ki berkata.

Kakek itu mengangguk-angguk dan mendengarkan penuturan mereka berdua tentang penyerbuan hebat di kota raja, di dalam istana dari The Kwat Lin, bekas Ratu Pulau Es yang minggat dan melarikan pusaka-pusaka Pulau Es itu.

"Kalau begitu, sudah sepatutnya kalau Hoa-san-pai membantu para penghuni Pulau Es. Kalian boleh tinggal di sini dan biarlah Hoa-san-pai yang melindungi kalian dan pusaka-pusaka itu sampai yang berhak datang mengambilnya."

"Sebelumnya teecu berdua menghaturkan banyak terima kasih atas kebijaksanan dan kemuliaan hati Twasupek. Dan teecu ingin mengajukan permohonan ke dua...."

Kakek itu tersenyum. "Permohonanmu yang paling hebat, menegangkan dan berbahaya telah pinto terima dan urusan pusaka ini hanya kita bertiga saja yang mengetahuinya, tidak boleh kalian bocorkan ke luar agar tidak menimbulkan keributan. Sekarang, ada permohonan apa lagi yang hendak kau kemukakan?"

"Teecu... mohon... karena teecu berdua sudah tidak mempunyai keluarga lagi, dan teecu berdua sudah cukup lama bertunangan, maka... teecu mohon berkah dan doa restu Twa-supek untuk menikah di sini." Toan Ki yang hidupnya sudah penuh dengan segala macam pengalaman hebat itu, tidak urung tergagap ketika mengucapkan permintaan ini, sedangkan Bu Swi Nio menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.

Kong Thian-cu tertawa bergelak, lalu berkata, "Pernikahan adalah peristiwa yang amat menggembirakan. Tentu saja pinto suka sekali memenuhi permintaan ini. Liem Toan Ki, engkau adalah murid Hoa-san-pai pula, tentu saja engkau berhak untuk menikah di sini, disaksikan oleh semua murid Hoa-san-pai yang berada di sini."

Demikianlah, pusaka-pusaka Pulau Es yang di rahasiakan itu disimpan oleh Kong Thian-cu sendiri di dalam kamar pusaka yang tersembunyi, tidak ada anggota Hoa-san-pai lain yang mengetahuinya. Sebulan kemudian diadakanlah perayaan sederhana namun khidmat untuk melangsungkan upacara pernikahan antara Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio.

Pada malam pertama pernikahan itu Bu Swi Nio menangis di atas dada suaminya, menangis dengan penuh keharuan, kedukaan yang bercampur dengan kegembiraan. Dia terkenang semua pengalamannya, kematian ayahnya dan kakaknya, malapetaka yang menimpa dirinya ketika dalam keadaan mabuk dan tidak ingat diri dia diperkosa oleh Pangeran Tan Sin Ong.

Dia memeluk suaminya dan berterima kasih sekali karena dia dapat membayangkan bahwa kalau tidak ada pria yang kini menjadi suaminya dengan syah dan terhormat ini tentu dia sudah membunuh diri dan andai kata dalam keadaan hidup pun ia akan menderita aib dan terhina.

Sampai dua tahun suami isteri yang saling mencinta dan berbahagia ini hidup di Hoa-san-pai, menjadi anggota-anggota dan anak murid Hoa-san-pai yang tekun berlatih dan rajin bekerja. Akan tetapi mereka gelisah sekali karena sampai selama ini, Han Swat Hong atau lain tokoh Pulau Es tidak ada yang muncul, bahkan gadis luar biasa dari Pulau Neraka, Ouw Soan Cu, juga tidak muncul.

Tentu saja hati mereka akan menjadi lebih lega dan bebas dari kekhawatiran kalau saja pusaka-pusaka Pulau Es itu sudah diambil oleh yang berhak dan tidak menjadi tanggung-jawab mereka.

Lebih hebat lagi kegelisahan hati mereka ketika pada suatu hari ketua Hoa-san-pai, Kong Thian-cu yang sudah tua itu, meninggal dunia karena sakit. Sebelum meninggal dunia, Kong Thian-cu memberi-tahukan di mana dia menyembunyikan pusaka-pusaka itu yang tidak diketahui orang lain.

Setelah Kong Thian-cu meninggal dunia, kedudukan Ketua Hoa-san-pai digantikan oleh seorang tokoh Hoa-san-pai lain, terhitung sute dari Kong Thian-cu yang telah menjadi seorang tosu yang saleh, berjuluk Pek Sim Tojin.

Ketua yang baru ini pun tidak tahu akan rahasia Pusaka Pulau Es, sehingga kini rahasia pusaka itu seluruhnya menjadi tangung jawab Liem Toan Ki dan isterinya. Biar pun selama dua tahun itu tidak terjadi sesuatu, namun hati suami isteri ini selalu merasa tidak tenteram. Bahkan mereka berdua sering-kali merundingkan bagaimana baiknya.

Hendak meninggalkan Hoa-san-pai dan mencari Swat Hong, mereka tidak berani meninggalkan Hoa-san-pai di mana pusaka itu disimpan, juga mereka tidak tahu ke mana harus mencari Han Swat Hong. Tinggal diam saja di Hoa-san mereka merasa makin lama makin gelisah.

Selama itu, tidak ada satu kali pun mereka berani memeriksa pusaka yang disimpan di tempat yang amat rapat di kamar pusaka oleh mendiang Kong Thian-cu. Akhirnya mereka terpaksa menahan diri, dan saling berjanji bahwa kalau setahun lagi pemilik pusaka yang sah tidak muncul, mereka akan menghadap Pek Sim Tojin, menceritakan dengan terus terang dan menyerahkan pusaka itu untuk dipelajari bersama sehingga dengan demikian pusaka itu ada manfaatnya demi kemajuan dan kebaikan Hoa-san-pai sendiri.


"Suheng, kita berhenti istirahat dulu di sini!" Swat Hong berkata.

Sin Liong menoleh kepada dara itu. Ia tersenyum dan berkata, "Engkau lelah, Sumoi?"

Swat Hong mengangguk dan Sin Liong menghentikan langkahnya, lalu keduanya duduk di bawah sebatang pohon besar di lereng bukit itu. Tempat perhentian mereka itu di tepi jalan yang merupakan lorong setapak, di sebelah kiri terdapat dinding bukit, di sebelah kanan jurang yang amat curam.

Pemandangan di seberang jurang amatlah indahnya, tamasya alam yang tergelar di bawah kaki mereka, sehelai permadani hidup yang permai dengan segala macam warna berselang-seling, kelihatan kacau namun menyedapkan pandangan karena di dalam kekacauan itu terdapat keselarasan yang wajar.

Sawah ladang bekas hasil tangan manusia berpetak-petak, digaris oleh sebatang sungai yang berbelok-belok, dengan rumpun di sana-sini, diseling pohon-pohon besar yang masih bertahan di antara perubahan yang dilakukan oleh tangan-tangan manusia. Sebatang pohon yang daun-daunnya telah menguning dan banyak yang rontok, kelihatan menyendiri dan menonjol di antara segala tumbuh-tumbuhan menghijau, dan seolah-olah segala keindahan berpusat kepada pohon menguning hampir mati itu.

Matahari yang berada di atas kepala tidak menimbulkan bayangan-bayangan sehingga hari tampak cerah sekali. Sinar matahari dengan langsung dan bebas menyinari bumi dan segala yang berada di atasnya, terang menderang tidak ada gangguan awan.

Di dalam keheningan itu, Swat Hong dapat melihat ini semua. Ketika tanpa disengaja tangannya yang digerakkan untuk menyeka keringat bertemu dengan lengan Sin Liong, barulah dia sadar akan dirinya dan sekelilingnya. Dan dia terheran.

Semenjak dia bertemu dengan suheng-nya dan melakukan perjalanan ini, sering-kali dia tenggelam ke dalam keindahan yang amat luar biasa, yang sukar dia ceritakan dengan kata-kata. Dia merasa tenteram, tenang dan penuh damai sungguh pun suheng-nya jarang mengeluarkan kata-kata.

Dia seperti merasa betapa diri pribadi suheng-nya bersinar cahaya yang hangat dan aneh, terasa ada getaran yang ajaib keluar dari pribadi suheng-nya yang mempengaruhinya dan mendatangkan suatu perasaan yang menakjubkan, yang mengusir segala kekesalan, segala kerisauan, dan segala kedukaan.

Sudah beberapa kali dia ingin mengutarakan ini kepada suheng-nya, namun setiap kali dia hendak bicara, mulutnya seperti dibungkamnya sendiri oleh keseganan yang timbul dari perasaan halus dan lembut terhadap suheng-nya itu, sesuatu yang belum pernah dirasakannya semula. Dia mencinta suheng-nya, ini sudah jelas. Namun sekarang timbul perasaan lain yang lebih agung dari-pada sekedar cinta biasa, perasaan yang membuat dia penuh damai.

"Suheng...," dia memberanikan hatinya berkata.

"Ya.....?" Sin Liong mengangkat muka memandangnya sambil tersenyum. Senyumnya begitu lembut penuh kasih, pandang matanya begitu bersinar penuh pengertian sehingga Swat Hong merasa betapa seolah-olah sebelum dia bicara, suheng-nya itu telah tahu apa yang terkandung di dalam hatinya! Inilah yang biasanya membuatnya membungkam dan tidak dapat melanjutkan kata-katanya.

Kini dia mengeraskan hati dan berkata dengan suara lirih, "Suheng, kita akan ke manakah?"

"Ke Hoa-san, sudah kuberi-tahukan kepadamu," jawabnya sederhana.

"Bagaimana kau bisa tahu bahwa mereka berada di Hoa-san?"

Sin Liong tersenyum, senyum cerah, secerah sinar matahari di saat itu, senyum yang bebas dan wajar, tidak menyembunyikan sesuatu dan tanpa membawa sesuatu arti. "Sumoi, pusaka itu kau berikan kepada Liem Toan Ki dan tunangannya, dan karena Liem Toan Ki adalah murid Hoa-san-pai, maka tentu saja mereka berada di Hoa-san."

Swat Hong mengangguk-angguk, memang dia tahu bahwa Toan Ki adalah murid Hoa-san, akan tetapi dia lupa bahwa dia tidak pernah menceritakan hal ini kepada suhengnya! "Bagaimana kalau mereka tidak berada si sana, Suheng?"

Kembali senyum itu, senyum seorang yang begitu pasti akan segala sesuatu, senyum penuh pengertian, seperti senyum seorang tua yang melihat kenakalan anak-anak dan maklum mengapa anak itu nakal!

"Sumoi, apakah gunanya memikirkan hal-hal yang belum terjadi? Membayangkan hal-hal yang belum terjadi adalah permainan buruk dari pikiran, karena hal itu hanya akan menghasilkan kecemasan dan kekhawatiran belaka. Apa yang akan terjadi kelak kita hadapi sebagaimana mestinya kalau sudah terjadi di depan kita."

Swat Hong tertarik sekali. "Apakah rasa cemas itu timbul dari pikiran yang membayangkan masa depan, Suheng?"

"Agaknya jelas demikian, bukan? Yang takut akan sakit tentulah dia yang belum terkena penyakit itu, kalau sudah sakit, dia tidak takut lagi kepada sakit, melainkan takut kepada kematian yang belum tiba. Perlukah hidup dicekam rasa takut dan rasa kekhawatiran? Pikiran yang bertanggung-jawab atas timbulnya rasa takut. Pikiran mengingat-ingat kesenangan di masa lalu, dan mengharapkan terulangnya kesenangan itu di masa depan, maka timbullah kekhawatiran kalau-kalau kesenangan itu tidak akan terulang. Pikiran mengenang penderitaan masa lalu dan ingin menjauhinya, ingin agar di masa depan hal itu tidak terulang kembali maka timbulah kekhawatiran kalau-kalau dia tertimpa penderitaan itu lagi!"

"Habis bagaimana, Suheng?"

"Hiduplah saat ini, curahkan seluruh perhatian, seluruh hati dan pikiran, untuk menghadapi saat ini. Apa yang terjadi kepadamu di saat ini, bukan apa yang boleh terjadi di masa depan, bukan pula mengenang apa yang telah terjadi di masa lalu."

"Kalau begitu kita menjadi tidak acuh dan bersikap masa bodoh...."

"Justru biasanya kita bersikap masa bodoh dan tidak acuh, tidak menaruh perhatian yang mendalam terhadap saat ini, karena seluruh perhatian kita sudah dihabiskan untuk mengingat-ingat masa lalu dan untuk membayang-bayangkan masa depan dengan seluruh pengharapannya, seluruh cita-citanya, seluruh nafsu keinginannya, seluruh kesenangan dan kekecewaannya. Justeru kalau bebas dari masa lalu tidak lagi ada bayangan masa depan dan kita hidup saat demi saat penuh perhatian, dan ini barulah di namakan hidup sepenuhnya, hidup sempurna dan lengkap karena kita menghayati hidup dengan penuh kewajaran, tidak terbuai dalam alam kenangan dan harapan yang muluk-muluk namun sesungguhnya kosong belaka."

Sampai lama hening di situ. Pengertian yang mendalam meresap di hati sanubari Swat Hong dan di dalam keheningan itu tercakup seluruh alam mayapada.

"Suheng, telah dua tahun pusaka itu berada di tangan mereka. Aku telah mencari ke mana-mana, hanya ke Hoa-san-pai yang belum. Kurasa mereka itu tidak jujur, dan agaknya tentu mereka telah menyembunyikan pusaka itu. Kalau tidak demikian mengapa mereka tidak pergi menanti aku di Puncak Awan Merah seperti yang kupesankan? Memang hati manusia tidak atau jarang sekali ada yang jujur. Sekali saja melihat sesuatu yang dapat menguntungkan diri pribadi, maka terlupalah semua pelajaran tentang kegagahan dan kebaikan. Aku ingin mencari dan menghajar mereka itu!"

"Sumoi, prasangka adalah satu di antara racun-racun yang merusak kehidupan kita. Prasangka di lahirkan oleh pikiran yang mengada-ada, yang membayangkan sesuatu yang direka-reka, yang timbul karena kekhawatiran. Prasangka adalah suatu kebodohan yang menyiksa diri sendiri. Kalau kita sudah bertemu dengan mereka dan sudah melihat keadaan yang sesungguhnya, apakah kegunaannya prasangka? Prasangka dan sebagainya lenyap setelah kita membuka mata melihat kenyataan apa adanya, dan sebelum itu, berprasangka berarti membiarkan pikiran mempermainkan diri. Apakah kegunaannya bagi kehidupan kita?"

Kembali hening. Swat Hong tak mampu menjawab karena dia dihadapkan dengan keadaan yang nyata. Memang dia memikirkan hal-hal yang belum terjadi, maka timbullah kekhawatiran, dan dari kekhawatiran ini timbulah prasangka yang bukan-bukan. Yang salah dalam semua itu adalah pikiran!

Setelah tubuh mereka beristirahat dengan cukup, keduanya lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Hoa-san. Makin lama Swat Hong makin mendapat kesan bahwa suheng-nya benar-benar telah berubah, jauh bedanya dengan dahulu. Pada suatu hari, ketika mereka tiba di kaki Pegunungan Hoa-san dan beristirahat, Swat Hong tidak dapat menahan rasa keinginan-tahunya.

"Suheng, setelah dua tahun berpisah denganmu dan berjumpa kembali, aku memperoleh kenyataan bahwa engkau telah berubah sekali!" berkata Swat Hong.

"Begitukah, Sumoi?"

"Aku tidak tahu apanya yang berubah. Memang kelihatannya engkau masih biasa seperti dulu, Suheng-ku yang sabar, tenang dan bijaksana. Akan tetapi entahlah, engkau berubah benar, sungguh pun aku sendiri tidak dapat mengatakan apanya yang berubah."

Sin Liong tersenyum dan sinar matanya berseri. "Memang setiap manusia seyogianya mengalami perubahan, Sumoi. Kita masing-masing haruslah berubah, tidak terikat dengan masa lalu, dengan segala macam kebiasaan masa lalu, setiap hari, setiap detik kita haruslah baru! Kalau demikian, barulah hidup ada artinya!"

Swat Hong hendak berkata lagi, akan tetapi tiba-tiba Sin Liong memegang tangannya dan mengajaknya bangkit berdiri, lalu perlahan-lahan melanjutkan perjalanan mulai mendaki bukit pertama. Ketika Swat Hong hendak menanyakan sikap yang tiba-tiba ini dari suheng-nya, dia mendengar suara orang dan tampaklah olehnya banyak orang berbondong-bondong naik ke pegunungan Hoa-san, datangnya dari berbagai penjuru.

Mereka itu terdiri dari bermacam orang, dengan pakaian yang bermacam-macam pula, namun jelas bahwa rata-rata memiliki gerakan yang ringan dan tangkas dan mudah bagi Swat Hong untuk mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang kang-ouw!

Melihat kenyataan bahwa tidak ada di antara mereka yang memperhatikan Sin Liong dan Swat Hong, hanya memandang sepintas lalu saja seperti mereka itu saling memandang, tahulah Swat Hong bahwa mereka itu bukan merupakan satu rombongan, melainkan terdiri dari banyak rombongan sehingga tentu saja mereka mengira bahwa dia dan suheng-nya adalah anggota rombongan lain.

Hati Swat Hong diliputi penuh pertanyaan. Siapakah mereka dan apa kehendak mereka itu? Apakah di puncak Hoa-san terdapat perayaan dan mereka ini adalah para tamu yang berkujung ke Hoa-san-pai?

Akan tetapi melihat sikap suheng-nya diam dan tenang saja, Swat Hong merasa malu untuk bertanya dan teringatlah dia akan kata-kata suheng-nya tentang permainan pikiran yang membayangkan masa depan yang menimbulkan kekhawatiran belaka. Mau tidak mau dia harus membenarkan karena kini dia merasakan sendiri. Biarlah dia hadapi apa yang sedang terjadi sebagaimana mestinya dan sebagai apa adanya tanpa merisaukan hal-hal yang belum terjadi!

Ketika akhirnya mereka tiba di Puncak Hoa-san, di depan markas perkumpulan Hoa-san-pai yang besar, Swat Hong menjadi terkejut. Di tempat itu ternyata tidak terdapat perayaan apa-apa dan kini banyak tosu dan anggota Hoa-san-pai berkumpul dan berdiri di ruangan depan yang tinggi, sedangkan di bawah anak tangga, di halaman depan penuh dengan orang-orang kang-ouw yang bersikap menantang!

Ketika dia melirik ke arah suheng-nya, dia melihat Sin Liong bersikap masih biasa dan tenang, dan suheng-nya ini pun memandang ke depan dengan perhatian sepenuhnya. Maka dia pun lalu ikut memandang lagi ke sana.

Swat Hong melihat seorang tosu berambut putih dengan tenang berdiri menghadapi para orang-orang kang-ouw itu sambil menjura dengan sikap hormat, lalu berkata dengan suara halus namun cukup nyaring,

"Harap Cu-wi sekalian sudi memaafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan Cu-wi maka tidak mengadakan penyambutan sebagaimana mestinya. Pinto melihat bahwa Cu-wi adalah tokoh-tokoh kang-ouw dari bermacam golongan dan tingkat, dan pada hari ini berbondong datang mengunjungi Hoa-san-pai, tidak tahu ada keperluan apakah?"

Swat Hong memandang para orang kang-ouw itu dan di antaranya banyak tokoh aneh yang tidak dikenalnya itu. Dengan heran dia melihat adanya Siangkoan Houw Tee-tok, tokoh yang tinggal di Puncak Awan Merah di Tai-hang-san itu!

"Suheng, itu Tee-tok berada pula di sini," bisiknya sambil menyentuh lengan suheng-nya.

"Aku sudah melihatnya," kata Sin Liong perlahan, "dan yang di sebelah sana itu adalah Bhong Sek Bin yang berjuluk Thian-tok (Racun Langit). Bekas suheng dari Tee-tok, dan itu adalah Thian-he Tee-it Ciang Ham Ketua Kang-jiu-pang di Secuan. Yang di sana itu adalah Lam-hai Sengjin, tosu majikan Pulau Kura-kura di Lam-hai...."

"Guru Kwee-toako?"

Sin Liong mengangguk. Swat Hong memandang penuh perhatian dan terheran-heran melihat suheng-nya mengenal orang-orang yang memiliki julukan aneh-aneh itu. Thian-he Tee-it berarti Di Kolong Langit Nomor Satu! Dan Lam-hai Sengjin berarti Manusia dari Laut Selatan!

"Dan itu adalah Gin-siauw Siucai (Pelajar Bersuling Perak), seorang pertapa di Bukit Beng-san dan yang di ujung itu adalah seorang yang pernah menyerang Pulau Neraka seperti yang pernah kuceritakan kepadamu, Sumoi. Dialah Tok-gan Hai-liong (Naga Laut Mata Satu) Koan Sek, seorang bekas bajak laut."

"Wah, begitu banyak orang pandai mendatangi Hoa-san-pai, ada apakah, Suheng?"

"Kita melihat dan mendengarkan saja."

Sementara itu, ucapan dan pertanyaan Ketua Hoa-san-pai tadi mendatangkan suasana berisik ketika para pendatang yang jumlahnya ada lima puluhan orang itu saling bicara sendiri tanpa ada yang menjawab langsung pertanyaan Ketua Hoa-san-pai. Agaknya mereka itu merasa sungkan dan saling menanti, menyerahkan jawaban kepada orang lain yang hadir di situ.

Betapa pun juga, para tokoh kang-ouw itu merasa segan juga karena Hoa-san-pai terkenal sebagai sebuah perkumpulan atau partai persilatan yang besar, yang selama ini tidak pernah mencampuri urusan perebutan kekuasaan atau tidak pernah pula mencampuri urusan kang-ouw yang tidak ada hubungannya dengan mereka. Orang-orang Hoa-san-pai terkenal sebagai orang-orang gagah yang disegani di dunia persilatan, maka tentu saja mereka itu diliputi perasaan sungkan.

Pek Sim Tojin yang berambut putih dan bersikap tenang itu melihat seorang kakek tinggi besar bermuka tengkorak yang menyeramkan maju ke depan, maka melihat bahwa belum juga ada yang mau menjawab, dia lalu berkata ditujukan kepada kakek tinggi besar bermuka tengkorak itu.

"Kalau pinto tidak salah mengenal orang, Sicu adalah Thian-tok Bhong Sek Bin. Sicu adalah seorang yang amat terkenal di dunia kang-ouw dan mengingat bahwa kedatangan Sicu pasti mempunyai kepentingan besar, maka pinto harap Sicu suka berterus terang mengatakan apa keperluan itu."

Thian-tok Bhong Sek Bin menyeringai penuh ejekan. "Ha-ha-ha, engkau benar, Totiang! Aku adalah Bhong Sek Bin dan memang bukan percuma jauh-jauh aku datang mengunjungi Hoa-san-pai. Tentang mereka semua ini aku tidak tahu, akan tetapi kedatanganku adalah untuk bicara dengan dua orang yang bernama Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio. Suruh mereka berdua keluar bicara dengan aku dan aku tidak akan membawa-bawa Hoa-san-pai!"

Ucapan ini disambut oleh suara berisik lagi di antara para tamu, bahkan banyak kepala dianggukan tanda setuju dan di sana-sini terdengar teriakan, "Suruh mereka keluar!"

Pek Sim Tojin mengerutkan alisnya dan mengelus jenggotnya yang putih. "Pinto tidak menyangkal bahwa di antara anak murid Hoa-san-pai terdapat dua orang yang bernama Liem Toan Ki dan isterinya bernama Bu Swi Nio. Akan tetapi, selama ini mereka adalah murid-murid Hoa-san-pai yang tekun dan baik, bahkan tidak pernah turun dari Hoa-san, tidak pernah melakukan keonaran di luar, apa lagi membuat permusuhan dengan golongan mana pun. Kini Cu-wi sekalian berbondong datang, agaknya bersatu tujuan untuk menemui mereka! Pinto sebagai ketua Hoa-san-pai yang bertanggung-jawab atas semua sepak terjang murid-murid Hoa-san-pai, berhak mengetahui apa yang terjadi antara Cu-wi dengan mereka!"

Hening sejenak dan agaknya semua tamu kembali merasa sungkan dan ragu-ragu untuk menjawab. Sementara itu, hati Swat Hong terasa tegang begitu mendengar nama Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio disebut-sebut. Dia menunjukan pandang matanya ke atas ruangan depan, namun di antara para anggota Hoa-san-pai, dia tidak melihat adanya kedua orang itu.

"Suheng..., agaknya mereka benar berada di sini seperti yang Suheng duga...," bisik Swat Hong dengan hati tegang.

Akan tetapi suheng-nya memberi isyarat agar dia tenang saja. "Sumoi, aku berpesan, kalau nanti terjadi apa-apa, kau serahkan saja kepadaku dan jangan kau ikut turun tangan, ya!"

Dengan penuh kepercayaan akan kemampuan suheng-nya, Swat Hong mengangguk akan tetapi hatinya berdebar penuh ketegangan. Tidak salah lagi, pikirnya yang menduga-duga, tentu orang-orang kang-ouw ini mencari Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio berhubung dengan Pusaka-pusaka Pulau Es itu! Kalau tidak demikian apa lagi?

Melihat bahwa tidak ada orang yang menjawab pertanyaan Ketua Hoa-san-pai itu, Thian-he Tee-it Ciang Ham yang datang bersama lima orang muridnya, mengacungkan ke atas tombak di tangan kanannya dan berteriak. "Totiang, sebagai Ketua Hoa-san-pai tentu saja kau berhak mengetahui sepak terjang muridmu, akan tetapi kalau urusan ini tidak menyangkut Hoa-san-pai, bagaimana kami dapat bicara denganmu? Ini adalah urusan pribadi, urusan Liem Toan Ki sendiri, maka suruh dia keluar agar kami dapat bicara dengan dia! Kalau Totiang bersikeras, berarti Hoa-san-pai akan mencampuri urusan pribadi!"

Berkerut alis ketua Hoa-san-pai itu. Ucapan tadi, biar pun tidak secara langsung, sudah merupakan tantangan dan hanya terserah kepada Hoa-san-pai untuk melayani tantangan itu ataukah tidak. Maka dia tidak mau bertindak sembrono dan ingin melihat dulu bagaimana duduk perkaranya. Ketua Hoa-san-pai ini memang belum sempat diberi-tahu oleh Liem Toan Ki dan isterinya tentang pusaka Pulau Es itu.

"Supek, biarlah teecu berdua yang menghadapi mereka!" tiba-tiba terdengar suara orang, diikuti munculnya Liem Toan Ki dan isterinya dari dalam.

Mereka sudah kelihatan mempersiapkan diri dengan senjata pedang di pinggang dan pakaian ringkas. Wajah mereka agak pucat, namun sikap mereka gagah dan tidak jeri. Liem Toan Ki meloncat ke depan, di atas ruangan depan itu berdampingan dengan istrinya, menghadapi orang-orang kang-ouw itu sambil berkata, "Sayalah Liem Toan Ki dan isteri saya Bu Swi Nio. Tidak tahu urusan apakah yang membawa Cu-wi sekalian datang mencari kami di Hoa-san?"

Hiruk-pikuklah para tamu itu setelah mereka melihat sepasang suami isteri muda muncul dari dalam. Pertama-tama yang berteriak adalah Thian-tok Bhong Sek Bin, "Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio, kalian telah berani melukai muridku! Aku baru bisa mengampuni kalian kalau kalian menyerahkan pusaka-pusaka yang kau bawa itu!"

Liem Toan Ki tersenyum. "Hemm, kami terpaksa melukai muridmu karena dia menyerang kami, Lo-cianpwe. Pusaka apa yang Lo-cianpwe maksudkan?"

"Pura-pura lagi, keparat! Pusaka Pulau Es!" teriak Thian-tok marah. "Serahkan Pusaka Pulau Es kepada kami!"

"Kepada kami!"

"Bagi-bagi rata!"

"Dijadikan sayembara!" Macam-macam lagi teriakan para tokoh kang-ouw itu.

Liem Toan Ki mengangkat kedua lengannya ke atas. "Cu-wi sekalian, apa buktinya bahwa kami berdua menyimpan Pusaka Pulau Es?"

"Orang she Liem, kau masih berpura-pura lagi bertanya? Aku dan banyak orang melihat betapa gadis Pulau Es itu menyerahkan pusaka itu kepadamu!" tiba-tiba terdengar suara orang yang bukan lain adalah Thio Sek Bi, murid Thian-tok yang pernah berusaha merampok pusaka itu.

Mendengar ucapan ini dan melihat munculnya murid Thian-tok dan beberapa orang bekas pengawal yang dulu ikut bertempur di istana The Kwat Lin, tahulah Toan Ki dan Swi Nio bahwa menyangkal tidak akan ada gunanya lagi.

"Kita harus mempertahankan mati-matian," bisik Swi Nio kepada suaminya yang mengangguk.

Liem Toan Ki berkata lagi dengan suara lantang, "Cu-wi sekalian! Kami berdua tidak menyangkal lagi bahwa memang kami telah dititipi pusaka oleh Nona Han Swat Hong, dua tahun yang lalu. Akan tetapi, kami tidak akan menyerahkan pusaka itu kepada siapa pun juga kecuali kepada yang berhak, yaitu Nona Han Swat Hong!"

Teriakan-teriakan hiruk-pikuk menyambut ucapan lantang ini.

"Kalau begitu, kalian akan menjadi tawananku!" Thian-tok membentak marah sambil melangkah ke depan, akan tetapi gerakannya ini segera diikuti oleh banyak orang dan jelas bahwa mereka hendak memperebutkan Liem Toan Ki dan istrinya agar menjadi orang tawanan mereka, tentu untuk dipaksa menyerahkan pusaka!

"Siancai... harap Cu-wi bersabar dulu...!" tiba-tiba dengan suara yang halus namun berpengaruh, ketua Hoa-san-pai berkata sambil mengangkat kedua tangan ke atas, "Biarkan pinto bicara dulu!"

"Totiang, kau hendak bicara apa lagi?" Thian-tok membentak marah, alisnya berdiri dan matanya melotot.

"Pinto mengaku bahwa urusan pusaka Pulau Es itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Hoa-sanpai dan Hoa-san-pai pun tidak mengetahuinya. Maka sebagai ketua Hoa-san-pai, pinto hendak bertanya dulu kepada murid Liem Toan Ki. Ini adalah urusan dalam dari Hoa-san-pai, kiranya Cu-wi tidak akan mencampurinya!"

Terdengar teriakan-teriakan, "Silakan! Silakan, tapi cepat dan serahkan mereka kepada kami!"

Pek Sim Tojin lalu menghadapi Liem Toan Ki dan bertanya, "Toan Ki, apa artinya ini semua? Benarkah kalian menyembunyikan Pusaka Pulau Es di Hoa-san-pai?"

Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ketua Hoa-san-pai itu. Liem Toan Ki segera berkata, "Harap Supek mengampunkan teecu berdua. Adalah mendiang Twa-supek yang mengijinkan teecu berdua dan beliau yang melarang teecu berdua menceritakan kepada siapa pun juga, bahkan beliau yang membantu teecu berdua dalam hal ini. Karena sekarang mereka telah mengetahuinya dan hendak menggunakan paksaan, biarlah teecu berdua menghadapinya sendiri tanpa membawa-bawa Hoa-san-pai."

Setelah berkata demikian, Toan Ki dan Bu Swi Nio meloncat bangun, mencabut pedang dan berkatalah Toan Ki dengan suara lantang, "Haiiii, kaum kang-ouw dengarlah! Urusan ini adalah urusan kami berdua suami isteri, bukan sebagai murid Hoa-san-pai. Maka kalau kalian begitu tidak tahu malu hendak merampas Pusaka Pulau Es, biar kami menghadapi kalian sampai titik darah penghabisan!"

"Keparat, aku tidak membiarkan kau mapus sebelum kalian menyerahkan pusaka itu." Thian-tok membentak.

"Tahan!" tiba-tiba Pek Sim Tojin membentak dan sikapnya angker sekali. "Cu-wi sekalian sungguh terlalu, memperebutkan pusaka milik orang lain dan sama sekali tidak memandang mata kepada Hoa-sanpai, hendak membikin ribut di sini. Siapa saja tidak akan pinto ijinkan untuk menggunakan kekerasan di Hoa-san-pai!"

"Tepat sekali! Aku Tee-tok Siangkoan Houw pun bukan seorang yang tak tahu malu! Aku tidak akan membolehkan siapa pun menjamah Pusaka Pulau Es yang menjadi milik Nona Han Swat Hong!" tiba-tiba tokoh Tai-hang-san yang tinggi besar itu sudah melompat ke atas ruangan luar dan mendampingi Toan Ki dan Swi Nio dengan sikap gagah!

"Ha-ha-ha, itu baru namanya laki-laki sejati! Tee-tok, kau membikin aku merasa malu saja! Aku pun tua bangka yang tidak berguna mana ingin memperebutkan pusaka orang lain? Aku pun tidak membiarkan siapa pun memperebutkan pusaka itu!" Lam-hai Sengjin, guru Kwee Lun, tosu yang bersikap halus dengan tangan kiri memegang kipas dan tangan kanan memegang hudtim (kebutan pertapa), telah melangkah ke ruangan depan mendampingi Tee-tok.

"Masih ada aku yang menentang orang-orang kang-ouw yang tak tahu malu hendak merampas pusaka lain orang!" tampak bayangan berkelebat disertai suara halus melengking dan di ruang depan itu nampak Gin-siauw Siucai Si Sastrawan yang bersenjata suling perak dan mauwpit!

Melihat ini Thian-tok tertawa bergelak dengan hati penuh kemarahan, apa lagi melihat bekas sute-nya, Tee-tok, memelopori lebih dulu membela Hoa-san-pai dan murid Hoa-san-pai yang membawa Pusaka Pulau Es yang amat dikehendakinya. "Ha-ha-ha! Kalian pura-pura menjadi pendekar budiman? Hendak kulihat sampai di mana kepandaian kalian!"

Thian-tok sudah lari ke depan, diikuti oleh banyak tokoh kang-ouw lagi dan dapat dibayangkan betapa tentu sebentar lagi akan terjadi perang kecil yang amat hebat antara para anggota Hoa-san-pai dibantu oleh tiga tokoh kang-ouw itu melawan para orang kang-ouw yang memperebutkan pusaka.

"Tahan...!" Seruan ini halus dan ramah, tidak mengandung kekerasan sedikit pun, akan tetapi anehnya, semua orang merasa ada getaran yang membuat mereka menghentikan gerakan mereka mencabut senjata dan kini semua mata memandang ke arah ruangan depan itu karena tadi ada berkelebat dua sosok bayangan orang ke arah situ.

Ternyata Sin Liong dan Swat Hong telah berdiri di ruangan depan markas Hoa-san-pai. Dengan sikap tenang sekali Sin Liong menghadapi semua orang, terutama sekali memandang tokoh-tokoh besar dunia persilatan yang hadir, dan yang semua memandang kepadanya dengan mata terbelalak.

Terdengar kemudian pemuda ini berkata, "Cu-wi Lo-cianpwe mengapa sejak dahulu sampai sekarang gemar sekali memperebutkan sesuatu?"

Thian-tok Bhong Sek Bin yang berwatak kasar memandang dengan terbelalak, demikian pula Thian-he Tee-it Ciang Ham, Lam-hai Sengjin, Gin-siauw Siucai dan para tokoh lain yang belasan tahun lalu pernah hendak memperebutkan bocah ajaib, Sin-tong yang bukan lain adalah Sin Liong sendiri. Mereka merasa kenal dengan pemuda ini, akan tetapi lupa lagi.

"Ka... kau siapakah...?" akhirnya Thian-tok bertanya.

"Ha-ha-ha, kalian lupa lagi siapa dia ini?" tiba-tiba Tee-tok Siangkoan Houw berseru keras. Hatinya girang dan lega bukan main bahwa dia tadi tidak ragu-ragu melindungi Pusaka Pulau Es. Melihat munculnya pemuda yang dia tahu memiliki kelihaian yang luar biasa itu, dia girang sekali. "Coba lihat dengan baik-baik, belasan tahun yang lalu di lereng pegunungan Jeng-hoa-san kalian juga memperebutkan sesuatu. Siapa dia?"

"Sin-tong...!"

"Bocah ajaib.....!!"

Teringatlah mereka semua dan kini memandang Sin Liong dengan mata terbelalak.

"Mau apa kau datang ke sini?" Thian-tok bertanya dengan suara agak berkurang galaknya.

Sin Liong sudah menjura kepada Ketua Hoa-san-pai, kepada Tee-tok dan lain tokoh yang tadi membela Hoa-san-pai, diikuti oleh Swat Hong. Kemudian Swat Hong berkata kepada Toan Ki dan Swi Nio, "Terima kasih kami haturkan kepada Ji-wi (Kalian Berdua) yang ternyata adalah orang-orang gagah yang pantas dipuji dan dikagumi kesetiaan dan kegagahannya. Sekarang saya harap Ji-wi suka mengembalikan pusaka-pusaka itu kepadaku."

Toan Ki dan Swi Nio menjura dan Toan Ki menjawab, "Harap Lihiap suka menanti sebentar."

Kemudian pergilah dia bersama Swi Nio ke sebelah dalam, diikuti pandang mata ketua Hoa-sanpai yang menjadi terheran-heran.

"Mau apa kalian dua orang muda datang ke sini?" kembali Thian-tok bertanya.

"Harap Lo-cianpwe ketahui bahwa kami berdua adalah penghuni Pulau Es yang datang untuk mengambil kembali pusaka Pulau Es. Pusaka itu adalah milik Pulau Es dan harus dikembalikan ke sana."

"Penghuni Pulau Es...??!"

Suara ini bukan hanya keluar dari mulut para tamu, tetapi juga dari pihak Hoa-san-pai dan mereka yang membelanya, kecuali Tee-tok Siangkoan Houw yang sudah tahu akan keadaan pemuda dan pemudi itu. Tak lama kemudian muncullah Toan Ki dan Swi Nio.

Toan Ki membawa bungkusan yang dulu dia terima dari Swat Hong, lalu menyerahkan bungkusan itu kepada Swat Hong sambil menjura dan berkata, "Dengan ini kami mengembalikan pusaka yang Lihiap titipkan kepada kami dengan hati lega!" Memang hatinya lega dan girang sekali dapat terlepas dari tanggung-jawab yang amat berat itu.

Swat Hong membuka dan meneliti pusaka-pusaka itu. Melihat bahwa pusaka itu masih lengkap, dia makin kagum. "Suheng tidak pantas kalau kita tidak membalas budi mereka ini."

Sin Liong tersenyum, mengangguk, kemudian matanya beralih kepada Thian-tok dan lain tamu yang masih memandang dengan bengong dan kini dari mata mereka itu terpancar ketegangan dan keinginan besar. Setelah pusaka Pulau Es yang terkenal itu tampak di depan mata, mana mungkin mereka mundur begitu saja tanpa usaha untuk mendapatkannya?

Sin Liong kemudian berkata, "Cu-wi Lo-cianpwe jauh-jauh datang ke sini, harap suka memaklumi bahwa pusaka-pusaka ini telah kembali ke pemiliknya dan akan dikembalikan ke Pulau Es. Maka kami berdua mengharap sudilah Cu-wi tidak mengganggu lagi Hoa-san-pai dan suka meninggalkan tempat ini."

"Kami harus mendapatkan pusaka itu!"

"Kami juga!"

"Kami minta bagian!"

Teriakan-teriakan itu terdengar riuh rendah. Sin Liong lalu berkata lagi dengan halus, "Kami berdua akan berada di sini selama tiga hari, kemudian kami akan meninggalkan Hoa-san-pai. Kalau kita tidak berada di sini, masih belum terlambat bagi kita untuk bicara lagi tentang pusaka. Amatlah tidak baik bagi nama Cu-wi Lo-cianpwe kalau mengganggu Hoa-san-pai yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang hal ini. Nanti kalau kami sudah meninggalkan Hoa-san-pai, boleh kita bicara lagi."

Melihat sikap orang-orang Hoa-san-pai, dan sekarang sudah jelas bahwa pusaka itu berada di tangan Sin-tong dan dara muda itu, Thian-tok lalu mendengus dan berkata, "Baik, kami menanti di bawah bukit. Kalian berdua tidak akan dapat terbang berlalu."

Pergilah mereka itu meninggalkan Hoa-san-pai. Akan tetapi semua orang tahu belaka bahwa mereka tentu akan mengurung tempat itu dan tidak akan membiarkan Sin Liong dan Swat Hong lolos dari situ membawa pergi pusaka-pusaka Pulau Es yang amat mereka inginkan itu.

Sin Liong lalu menjura kepada ketua Hoa-san-pai, para tokoh Hoa-san-pai, Toan Ki dan Swi Nio, juga kepada Tee-tok dan mereka yang tadi membela Hoa-san-pai, kemudian berkata, "Terutama kepada Saudara Liem Toan Ki dan Nyonya, sudah sepantasnya kalau kami meninggalkan sedikit ilmu untuk Jiwi pelajari. Dan kepada para Lo-cianpwe, kiranya akan ada manfaatnya kalau saya melayani para Lo-cianpwe main-main sedikit untuk memperluas pengetahuan ilmu silat."

Semua orang menjadi ragu-ragu karena tidak tahu akan maksud hati pemuda yang aneh itu, akan tetapi Tee-tok Siangkoan Houw sudah tertawa bergelak lalu meloncat ke halaman depan. "Marilah, ingin aku tua bangka ini memperdalam sedikit kepandaianku!"

Sin Liong tersenyum, lalu melangkah perlahan ke pekarangan. "Silakan Siangkoan Lo-cianpwe menggunakan Pek-liu-kun (Ilmu Silat Tangan Geledek)!" katanya tenang. "Harap Lo-cianpwe jangan sungkan dan keluarkanlah jurus-jurus simpanan dari Pek-liu-kun!"

Tee-tok sudah maklum akan kehebatan pemuda ini. Setelah dua tahun tidak jumpa, kini sikap pemuda ini luar biasa sekali, bahkan dengan kata-kata biasa saja pemuda itu sudah mengundurkan semua orang yang tadi sudah bersitegang hendak menggunakan kekerasan. Dia dapat menduga bahwa bukanlah percuma pemuda ini mengajak dia berlatih silat, tentu ada niat-niat tertentu.

Karena dia merasa bahwa dia tidak mempunyai maksud jahat dan tadi membela pusaka Pulau Es dengan sungguh hati, dia kini pun tanpa ragu-ragu lagi lalu mengeluarkan gerengan keras dan tubuhnya berkelebat ke depan. Dengan sepenuh tenaga dan perhatiannya, dia menyerang pemuda itu dengan jurus-jurus simpanan dari Ilmu Silat Pek-lui-kun yang dahsyat.

"Haiiittt... eihhh..?!" Bukan main heran dan kagetnya ketika ia melihat pemuda itu menghadapi dengan gerakan-gerakan yang sama! Tiap jurus yang dimainkannya, dihadapi oleh Sin Liong dengan jurus yang sama pula dan dipakai sebagai serangan balasan namun dengan cara yang sedemikian hebatnya sehingga jurus yang dimainkannya itu tidak ada artinya lagi!

Jurus yang dimainkan oleh pemuda itu untuk menghadapinya jauh lebih ampuh, dan sekaligus menutup semua kelemahan yang ada, menambah daya serang yang amat hebat sehingga dalam jurus pertama saja, kalau pemuda itu menghendaki, tentu dia sudah dirobohkan sungguh pun dia sudah hafal benar akan jurusnya sendiri itu!

Bukan main girang hati kakek itu. Dia terus menyerang lagi dengan jurus lain, dan tanpa sisa dia menggunakan delapan belas jurus terampuh dari Pek-lui-kun dan yang kesemuanya selain dapat dihindarkan dengan baik oleh Sin Liong, juga telah dengan sekaligus ‘diperbaiki’ dengan sempurna. Semua gerakan ini dicatat oleh Tee-tok dan setelah dia selesai mainkan delapan belas jurus pilihan itu, dia melangkah mundur dan menjura sangat dalam ke arah Sin Liong.

"Astaga... kepandaian Taihiap seperti dewa saja.... Saya... saya menghaturkan banyak terima kasih atas petunjuk Taihiap....." katanya agak tergagap.

"Ah, Lo-cianpwe terlalu merendah," jawab Sin Liong.

Tee-tok lalu menjura ke arah ketua Hoa-san-pai dan yang lain-lain, seketika pamit dan pergi dengan langkah lebar dan wajah termenung karena dia masih terpesona dan mengingat-ingat gerakan-gerakan baru yang menyempurnakan delapan belas jurus pilihannya tadi!

Lam-hai Sengjin bukan seorang bodoh. Dia adalah seorang tokoh kawakan yang berilmu tinggi. Melihat peristiwa tadi, tahulah dia bahwa pemuda ini memang bukan orang sembarangan dan agaknya telah mewarisi ilmu mukjijat yang kabarnya dimiliki oleh penghuni Pulau Es. Maka dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu dan dia sudah meloncat maju dengan senjata hudtim dan kipasnya.

"Orang muda yang hebat, kau berilah petunjuk kepadaku!"

"Totiang, muridmu Kwee Lun Toako adalah sahabat baik kami, harap Totiang sudi mengajarnya baik-baik," jawab Sin Liong dan dia pun segera menghadapi serangan kipas dan hudtim dengan kedua tangannya.

Biar pun dia tidak menggunakan kedua senjata itu, namun kedua tangannya digerakkan seperti kedua senjata itu, dan dia pun mainkan jurus-jurus yang sama, namun gerakannya jauh lebih hebat, bahkan sempurna. Seperti juga tadi, kakek ini memperhatikan dan dia telah menghafal dua puluh jurus campuran ilmu hudtim dan kipas.

"Terima kasih, terima kasih.... Siancai, pengalaman ini takkan kulupakan selamanya." Dia menjura kepada yang lain lalu berlari pergi.

"Totiang, sampaikan salamku kepada Kwee-toako!" seru Swat Hong, akan tetapi kakek itu hanya mengangguk tanpa menoleh karena dia pun sedang mengingat-ingat semua jurus tadi agar tidak sampai lupa.

Berturut-turut Gin-siauw Siucai juga menerima petunjuk ilmu silat suling perak dan mauwpit-nya, kemudian ketua Hoa-san-pai juga menerima petunjuk ilmu pedang Hoa-san Kiam-sut.

Para tokoh kang-ouw yang mengurung tempat itu di lereng puncak, terheran-heran melihat tiga orang tokoh itu meninggalkan puncak seperti orang yang termenung. Akan tetapi diam-diam mereka menjadi girang karena tiga orang lihai itu tidak membantu atau mengawal muda-mudi Pulau Es yang mereka hadang.


Tiga hari lamanya Sin Liong dan Swat Hong tinggal di Hoa-san, setiap hari menurunkan ilmu-ilmu tinggi kepada Toan Ki dan Swi Nio sehingga kedua orang suami isteri ini kelak akan menjadi tokoh-tokoh kenamaan dan mengangkat nama Hoa-san-pai sebagai partai persilatan yang besar dan lihai. Pada hari ke empatnya, pagi-pagi mereka meninggalkan markas Hoa-san-pai, diantar sampai ke pintu gerbang oleh ketua Hoa-san-pai, Toan Ki, Swi Nio dan para pimpinan Hoa-san-pai.

"Taihiap, Lihiap, pinto khawatir Jiwi akan mengalami gangguan di jalan. Menurut laporan para anak murid pinto, orang-orang kang-ouw itu masih menanti di lereng gunung," Pek Sim Tojin berkata dengan alis berkerut. "Bagaimana kalau kami mengantar Ji-wi sampai melewati mereka dengan selamat?"

Sin Liong tersenyum. "Terima kasih, Lo-cianpwe. Akan tetapi, menghindari mereka berarti membuat mereka terus merasa penasaran. Sebaliknya malah kalau kami berdua menemui mereka dan membereskan persoalan seketika juga."

Toan Ki dan Swi Nio yang selama tiga hari menerima petunjuk dari Sin Liong, telah menaruh kepercayaan penuh akan kesaktian pemuda Pulau Es ini, maka mereka tidak merasa khawatir. Mereka maklum bahwa pemuda dan gadis dari Pulau Es itu bukanlah manusia sembarangan, apa lagi pemuda itu memiliki wibawa yang tidak lumrah manusia. Gerak-geriknya demikian penuh kelembutan, penuh belas kasih sehingga tidaklah mungkin dapat terjadi sesuatu yang buruk menimpa seorang manusia seperti ini!

Memang benar seperti yang dilaporkan oleh anak buah Hoa-san-pai bahwa para tokoh kang-ouw itu masih menghadang di lereng puncak, dipelopori oleh Thian-tok. Thian-tok yang tadinya mengandalkan kepandaiannya sendiri, setelah menyaksikan betapa pemuda dan dara Pulau Es itu telah mendapatkan kembali pusaka-pusakanya, diam-diam telah mengajak semua tokoh lain bersekutu dengan janji bahwa kalau pusaka dapat dirampas, dia akan memberi bagian kepada mereka semua.

Terutama yang menjadi pembantunya sebagai orang ke dua adalah Thian-he Tee-it Ciang Ham yang tingkat kepandaiannya hanya berselisih atau kalah sedikit saja dibandingkan dengan kepandaian Racun Langit itu.

Maka ketika Sin Liong yang membawa pusaka di punggungnya bersama Swat Hong berjalan perlahan dan tenang melalui tempat itu, segera para tokoh kang-ouw itu muncul dan telah mengurung dua orang muda itu dengan ketat, mempersiapkan senjata masing-masing dengan sikap mengancam.

Sin Liong menggeleng-gelengkan kepala. "Hal itu tidak bisa dilakukan, Cu-wi Lo-cianpwe. Pusaka-pusaka ini adalah milik Pulau Es turun-temurun, mana mungkin sekarang diserahkan kepada orang lain? Setelah kami berdua berhasil menemukannya kembali, kami harus mengembalikannya kepada Pulau Es, tempatnya semula. Maka harap Cu-wi suka memaklumi hal ini dan tidak memaksa kepada kami."

"Orang muda yang keras kepala! Kalau kami memaksa, bagaimana?"

"Terserah kepada Cu-wi sekalian. Sumoi, harap Sumoi suka pergi dulu ke pinggir, jangan menghalangi para Lo-cianpwe ini."

Swat Hong mengangguk dan tersenyum, kemudian tubuhnya berkelebat dan terkejutlah semua orang kang-ouw itu ketika melihat gadis itu meloncat seperti terbang saja, melayang melalui kepala mereka dan kini telah berdiri di luar kepungan! Sungguh merupakan bukti kepandaian ginkang (Ilmu meringankan tubuh) yang amat hebat!

Sin Liong sengaja menyuruh sumoi-nya pergi keluar dari kepungan karena tidak menghendaki sumoi-nya itu naik darah dan turun tangan menggunakan kekerasan terhadap orang-orang kang-ouw ini. Setelah kini melihat sumoi-nya keluar dari kepungan, dia lalu menyilangkan kedua lengannya di depan dada, berkata, "Silakan kepada Cu-wi apa yang hendak Cu-wi lakukan setelah jelas kukatakan bahwa Pusaka Pulau Es tidak akan kuberikan kepada Cu-wi."

Melihat sikap tenang dan penuh tantangan ini, para tokoh kang-ouw menjadi marah juga. Pemuda itu tidak memegang senjata, berdiri dalam kepungan dan pusaka itu berada di dalam buntalan yang berada di punggungnya. Maka serentak orang-orang kang-ouw yang sudah mengilar dan ingin sekali merampas pusaka itu menerjang maju dan berebut hendak menyerang Sin Liong dan mengulur tangan hendak merampas buntalan. Pemuda itu hanya berdiri tersenyum, berdiri tegak dan menyilangkan kedua lengannya sambil memandang tanpa berkedip mata.

"Ahhh...!"

"Hayaaa....!"

"Aihhhh....!"

Semua orang terhuyung-huyung mundur karena belum juga tangan mereka menyentuh pemuda itu, hati mereka sudah lemas dan luluh menghadapi wajah yang tersenyum itu. Tangan mereka seperti lumpuh dan tenaga mereka seperti lenyap seketika membuat mereka terhuyung dan hampir jatuh saling timpa!

Thian-tok dan Thian-he Tee-it menjadi kaget dan marah sekali melihat keadaan teman-teman mereka itu. Kedua orang berilmu tinggi ini memang membiarkan teman-teman mereka turun tangan lebih dulu untuk menguji kepandaian pemuda yang keadaannya amat mencurigakan karena terlampau tenang itu.

Kini melihat betapa teman-temannya mundur tanpa pemuda itu menggerakkan sebuah jari tangan pun, kedua orang itu terkejut, marah dan penasaran. Thian-tok menerjang ke depan dengan senjata Kim-kauw-pang di tangannya, sedangkan Ciang Ham juga sudah meloncat dekat dengan senjata tombak di tangan.

"Orang muda, serahkan pusaka itu!" Thian-tok membentak.

"Sin-tong, jangan sampai terpaksa aku menggunakan tombak pusakaku!" Ciang Ham juga menghardik.

Akan tetapi Sin Liong tetap tidak bergerak, hanya berkata, "Terserah kepada Ji-wi Lo-cianpwe. Ji-wi yang melakukan dan Ji-wi pula yang menanggung akibatnya."

"Keras kepala!" Thian-tok membentak dan tongkatnya yang panjang sudah menyambar ke arah kepala pemuda itu.

Sin Liong sama sekali tidak mengelak, bahkan berkedip pun tidak ketika melihat tongkat itu menyambar ke arah kepalanya, disusul tombak di tangan Thian-he Tee-it Ciang Ham yang menusuk ke arah lambungnya.

"Desss! Takkkk!!"

"Aihhh...!"

"Heiiii...!"

Thian-tok Bhong Sek Bin dan Thian-he Tee-it Ciang Ham berteriak kaget dan meloncat ke belakang. Tongkat itu tepat mengenai kepala dan tombak itu pun tepat menusuk lambung, namun kedua senjata itu terpental kembali seperti mengenai benda yang amat kuat, bahkan telapak tangan mereka terasa panas! Tentu saja mereka merasa penasaran, biar pun ada rasa ngeri di dalam hati mereka. Pada saat itu, orang-orang kang-ouw lainnya yang melihat betapa dua orang lihai itu sudah menyerang dengan senjata, juga menyerbu ke depan.

Sin Liong tetap diam saja ketika belasan batang senjata yang bermacam-macam itu datang bagaikan hujan menimpa tubuhnya. Semua senjata tepat mengenai sasaran, akan tetapi tidak ada sedikit kulit tubuh pemuda itu yang lecet, kecuali pakaiannya yang robek-robek dan orang-orang itu terpelanting ke sana-sini, bahkan ada yang terpukul oleh senjata mereka sendiri yang membalik.

Makin keras orang menyerang, makin keras pula senjata mereka membalik. Bahkan Thian-tok sudah mengelus kepalanya yang benjol terkena kemplangan tongkatnya sendiri, sedangkan paha Ciang Ham berdarah karena tombaknya pun membalik tanpa dapat ditahannya lagi ketika mengenai tubuh Sin Liong untuk yang kedua kalinya.

Ketika mereka memandang dengan mata terbelalak kepada Sin Liong, mereka melihat pemuda itu masih tersenyum-senyum, masih berdiri tegak dengan kedua lengan bersilang di depan dada, hanya bedanya, kini pakaiannya robek-robek dan penuh lubang.

Thian-tok dan Thian-he Tee-it adalah orang-orang yang terkenal di dunia persilatan sebagai tokoh-tokoh besar yang sudah banyak mengalami pertempuran. Mereka tahu pula bahwa orang yang memiliki sinkang amat kuat dapat menjadi kebal, akan tetapi selama hidup mereka belum pernah menyaksikan kekebalan seperti yang dihadapi mereka sekarang ini. Kekebalan yang agaknya tanpa disertai pengerahan tenaga.

Apa lagi melihat cahaya aneh seperti melindungi tubuh pemuda itu, mereka maklum bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan. Tanpa melawan saja pemuda ini telah membuat mereka tidak berdaya, betapa hebatnya kalau pemuda ini mengangkat tangan membalas!

"Maafkan kami...!" Thian-tok berseru lalu melompat dan berlari pergi.

"Sin-tong, maafkan...!" Ciang Ham juga berkata lalu menyeret tombaknya, terpincang-pincang pergi dari situ.

Melihat kedua orang yang diandalkan itu lari, para tokoh lain yang memang sudah merasa ngeri dan jeri tentu saja cepat membalikkan tubuh dan berserabutan lari dari situ meninggalkan Sin Liong yang masih berdiri tegak di tempat itu.

Swat Hong lari menghampiri suheng-nya, lalu memeluk suheng-nya itu. "Suheng..., kau tidak apa-apa...?" tanyanya.

Sin Liong menggeleng kepala dan tersenyum.

"Pakaianmu hancur...."

"Pakaian rusak mudah diganti, akhlak yang rusak lebih menyedihkan lagi karena mendatangkan malapetaka."

"Suheng, kau...."

"Ada apakah, Sumoi...?"

Swat Hong menggelengkan kepala dan dia melepaskan rangkulannya, melangkah mundur dua tindak dan memandang suheng-nya dengan pandang mata penuh takjub dan juga jeri. "Suheng, kau... kau berbeda dari dulu...."

"Aih, Sumoi, aku tetap Sin Liong suheng-mu yang dahulu."

"Tidak, tidak...! Kau berbeda sekali. Ilmu apakah yang kau pergunakan tadi? Mendiang Ayahku sekali pun tidak pernah memperlihatkan ilmu mukjijat seperti itu...."

"Apakah keanehannya, Sumoi? Ilmu yang berdasarkan kekerasan tentu hanya mengakibatkan pertentangan dan kerusakan belaka, dan setiap bentuk kekerasan hanya akan mecelakakan diri sendiri."

"Suheng, ajarilah aku ilmu tadi...."

"Tidak ada yang bisa mengajar, kelak kau akan mengerti sendiri, Sumoi. Marilah kita lanjutkan perjalanan kita."

Setelah berkata demikian, Sin Liong memegang tangan sumoi-nya dan terdengar jerit tertahan dara itu ketika dia merasa bahwa dia dibawa lari oleh suheng-nya dengan kecepatan seperti terbang saja! Dia sendiri adalah seorang ahli ginkang yang memiliki ilmu berlari cepat cukup luar biasa.

Akan tetapi apa yang dialaminya sekarang ini benar-benar seperti terbang, atau seperti terbawa oleh angin saja! Makin yakinlah hatinya bahwa suheng-nya telah menjadi seorang yang amat luar biasa kesaktiannya, menjadi seorang manusia dewa!


Gerakan pembalasan yang dilakukan oleh Kaisar Kerajaan Tang yang baru, yaitu kaisar Su Tiong, yang dilakukan dari Secuan, amat hebat. Gerakan pembalasan untuk merampas kembali ibu kota Tiang-an dari tangan pemberontak ini dibantu oleh pasukan yang dapat dikumpulkan di Tiongkok bagian barat, dibantu pula oleh pasukan Turki, bahkan pasukan Arab.

Dengan bala tentara yang besar dan kuat, Kaisar Su Tiong melakukan serangan balasan terhadap pemerintah pemberontak yang tidak lagi dipimpin oleh An Lu Shan karena jenderal pemberontak itu telah tewas.

Perang hebat terjadi selama sepuluh tahun, dan di dalam perang ini, para pemberontak dapat dihancurkan dan kota demi kota dapat dirampas kembali sampai akhirnya ibu kota dapat direbut kembali oleh Kaisar Su Tiong. Di dalam perang ini, Han Bu Ong putera The Kwat Lin yang bersama orang-orang kerdil membantu pemerintah pemberontak, tewas pula dalam pertempuran hebat sampai tidak ada satu pun orang kerdil tinggal hidup.

Dalam tahun 766 berakhirlah perang yang mengorbankan banyak harta dan nyawa itu, namun kerajaan Tang telah menderita hebat sekali akibat perang yang mula-mula ditimbulkan oleh pemberontak An Lu Shan itu. Kematian yang diderita rakyat, pembunuhan-pembunuhan biadab yang terjadi di dalam perang selama pemberontakan ini adalah yang terbesar menurut catatan sejarah. Menurut catatan kuno, tidak kurang dari tiga puluh lima juta manusia tewas selama perang yang biadab itu!

Bukan hanya kerugian harta dan nyawa saja, akan tetapi juga setelah perang berakhir, Kerajaan Tang kehilangan banyak kekuasaan atau kedaulatannya! Bantuan-bantuan yang diterima oleh Kaisar di waktu merebut kembali kerajaan, membuat Kaisar terpaksa membagi-bagi daerah kepada para pembantu yang diangkat menjadi gubernur-gubernur yang lambat laun makin besar kekuasaannya dan seolah-olah menjadi raja-raja kecil yang berdaulat sediri.

Di samping itu, pemberontak An Lu Shan membentuk pasukan-pasukan yang ketika pemberontak dihancurkan, melarikan diri ke perbatasan dan menjadi pasukan-pasukan liar yang selalu merupakan gangguan terhadap kekuasaan pemerintah.

Demikianlah, dengan dalih apa pun juga, pemberontakan lahiriah hanya mendatangkan kerusakan dan malapetaka, karena tidaklah mungkin perdamaian diciptakan oleh perang! Menurut sejarah di seluruh dunia, tidak pernah ada revolusi jasmani mendatangkan perdamaian dan kesejahteraan.

Kiranya hanyalah revolusi batin, revolusi yang terjadi di dalam diri setiap orang manusia, yang akan dapat mengubah keadaan yang menyedihkan dari kehidupan manusia di seluruh dunia ini.


Dengan tewasnya Han Bu Hong di dalam perang itu, maka habislah semua tokoh yang keluar dari Pulau Es dan Pulau Neraka. Yang tinggal hanyalah Sin Liong dan Swat Hong berdua saja. Akan tetapi kedua orang ini pun sudah kembali ke Pulau Es dan semenjak peristiwa di Hoa-san-pai itu, tidak ada lagi yang tahu bagaimana keadaan kedua orang itu dan di mana adanya mereka! Yang jelas, Pulau Es masih ada dan kedua orang suheng dan sumoi yang saling mencinta itu pun masih hidup.

Buktinya, beberapa tahun kemudian kadang-kadang mereka itu muncul sebagai manusia-manusia sakti menyelamatkan belasan orang nelayan yang perahunya diserang badai. Di dalam kegelapan selagi badai mengamuk dahsyat itu, ketika perahu-perahu mereka dipermainkan badai dan nyaris terguling.

Tiba-tiba muncul sebuah perahu kecil yang didayung oleh seorang pria berpakaian putih dan seorang wanita cantik, dan kedua orang ini dengan kesaktian luar biasa menggunakan tali untuk menjerat perahu-perahu itu kemudian menariknya ke luar dari daerah yang diamuk badai!

Apakah mereka itu Sin Liong dan Swat Hong, tidak ada orang yang mengetahuinya karena setiap kali muncul menolong para nelayan dan para penghuni pulau-pulau yang berada di utara, kedua orang itu tidak pernah memperkenalkan nama mereka. Kalau benar mereka itu adalah Sin Liong dan Swat Hong, bagaimanakah jadinya dengan mereka?

Apakah suheng dan sumoi yang saling mencinta dan yang telah kembali ke Pulau Es itu langsung menjadi suami isteri? Hal ini pun tidak ada yang tahu, karena agaknya bagi mereka berdua, menjadi suami isteri atau bukan adalah hal yang tidak penting lagi.

Diri mereka telah dipenuhi oleh cinta kasih, bukan cinta kasih yang biasa melekat di bibir manusia pada umumnya, karena cinta kasih seperti itu telah diselewengkan artinya, cinta kasih kita manusia hanya akan mendatangkan kesenangan dan kesusahan belaka dan justeru karena cinta kasih kita itu mendatangkan kesenangan.

Maka dia mendatangkan pula kesusahan karena kesenangan dan kesusahan adalah saudara kembar yang tak mungkin dapat dipisah. Menerima yang satu harus menerima pula yang ke dua, yang mau menikmati kesenangan harus pula mau menderita kesusahan. Tidak! Cinta kasih mereka bukan seperti cinta kasih palsu yang kita punyai!

Pernah ada seorang anak nelayan yang diwaktu malam hari, ketika perahunya diayun-ayun gelombang kecil dan dia sedang menggantikan ayahnya yang tertidur untuk menjaga kail, mendengar nyanyian halus yang dinyanyikan oleh seorang wanita cantik di atas perahu dan yang kelihatan remang-remang di bawah sinar bulan purnama di malam itu. Anak yang cerdas ini masih teringat akan bunyi nyanyian itu seperti berikut:

Langit, Bulan dan Lautan kalian mempunyai Cinta Kasih namun tak pernah bicara tentang Cinta Kasih! Kasihanilah manusia yang miskin dan haus akan Cinta Kasih, bertanya-tanya apakah Cinta Kasih itu?

Bilamana tidak ada ikatan, tidak ada pamrih dan rasa takut, tidak memiliki atau dimiliki, tidak menuntut dan tidak merasa memberi. Tidak menguasai atau dikuasai, tidak ada cemburu, iri hati tidak ada dendam dan amarah tidak ada benci dan ambisi. Bilamana tidak ada iba diri, tidak mementingkan diri pribadi, bilamana tidak ada Aku barulah ada Cinta Kasih....

Puluhan tahun, bahkan seratus tahun kemudian di dunia kang-ouw timbul semacam cerita setengah dongeng tentang seorang manusia dewa yang mereka sebut Bu Kek Siansu, seorang laki-laki tua yang sederhana namun yang pribadinya penuh cinta kasih, cinta kasih terhadap siapa pun dan apa pun.

Bu Kek Siansu yang dikenal sebagai tokoh Pulau Es dan menurut cerita tradisi dari keturunan tokoh-tokoh seperti Tee-tok Siangkoan Houw, Lam-hai Sengjin dan muridnya, Kwee Lun, Gin-siauw Siucai, tokoh-tokoh Hoa-san-pai, katanya bahwa Bu Kek Siansu itu adalah anak yang dahulu disebut Sin-tong (Anak Ajaib), yaitu pemuda Kwa Sin Liong yang menghilang bersama sumoi-nya, Han Swat Hong, dan yang kabarnya menetap di Pulau Es, tidak pernah lagi terjun ke dunia ramai.

Dan memang seorang manusia seperti Bu Kek Siansu tidak pernah mau menonjolkan diri, selalu bergerak tanpa pamrih, hanya digerakan oleh cinta kasih. Maka kita pun tidak mungkin dapat mengikuti seorang manusia seperti Bu Kek Siansu, dan hanya kadang-kadang saja dapat melihat muncul di antara orang banyak, dan di dalam dunia persilatan, Bu Kek Siansu akan muncul di dalam ceritera ‘Suling Emas’.

Demikianlah, terpaksa pengarang menutup cerita ‘Bu Kek Siansu’ ini yang hanya dapat menceritakan pengalaman pemuda Kwa Sin Liong sewaktu dia belum menjadi seorang Bu Kek Siansu, sewaktu dia belum memiliki cinta kasih sehingga masih diombang-ambingkan oleh suka dan duka dalam kehidupannya.

Dengan mengenangkan isi nyanyian yang dinyanyikan oleh anak nelayan itu, penulis mengajak para Pembaca Budiman untuk sama-sama mempelajari dan mudah-mudahan kita pun akan memiliki Cinta Kasih melalui pengenalan diri pribadi. Teriring salam bahagia dari pengarang dan sampai jumpa kembali di lain cerita.

TAMAT

Selanjutnya seri Ke-2,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.