Bidadari Penyambar Nyawa - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat serial pendekar pulau neraka

Episode Bidadari Penyambar Nyawa


Karya Teguh S
Penerbit pertama Cintamedia, Jakarta


cerita silat pendekar pulau neraka episode bidadari penyambar nyawa



SATU

ROMBONGAN prajurit Kadipaten Baluran yang dipimpin Ki Aria Depa telah memasuki kawasan Hutan Mlinping, ketika matahari mulai tergelincir ke arah barat. Kalau perjalanan ini tak terganggu, bisa jadi mereka akan tiba di kadipaten menjelang tengah malam nanti. Itu pun kalau sang Adipati Wiriaraja yang ikut dalam rombongan tidak menghendaki istirahat.

Seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu memberi isyarat pada semua anak buahnya untuk waspada, ketika telah masuk ke dalam hutan ini.

“Kenapa, Ki Aria?” tanya seorang pemuda yang berada di samping kirinya.

Laki-laki bertubuh tegap yang dipanggil Ki Aria itu melirik sebentar pada anak buah yang menegurnya.

“Kau tidak tahu, Brata Sena. Kawasan Hutan Mlinping telah dikuasai kawasan perampok yang menamakan dirinya Alap-alap Panah Beracun,” jawab laki-laki setengah baya yang sebenarnya bernama Ki Aria Depa.

“Hm, ya.... Aku pernah mendengar nama itu. Kalau tak salah, mereka dipimpin Ki Tambak Ireng yang anak buahnya bersenjatakan anak panah beracun,” desah Brata Sena.

Ki Aria Depa mengangguk pelan. “Brata Sena! Kau mundur ke barisan kiri. Dan kau, Sendang Dulur! Jaga barisan kanan!”

“Baik, Ki...,” sahut Brata Sena dan seorang kawannya di sebelah kanan Ki Aria Depa, yang dipanggil Sendang Dulur.

Keduanya segera memacu kuda ke arah yang ditunjukkan pemimpin mereka. Ki Aria Depa sendiri memutar kudanya dan bergerak ke arah kereta yang membawa Adipati Wiriaraja. Begitu dekat dengan kereta kuda, dia bicara sebentar dengan kusir kereta yang dikawal seseorang bersenjatakan panah. Baru setelah itu, didekatinya dinding kereta.

“Ada apa, Ki?” tanya sang Adipati Wiriaraja, setelah membuka tirai jendela keretanya. Sedikit kepalanya melongok keluar.

“Maaf, Kanjeng Adipati. Kita telah memasuki kawasan Hutan Mlinping. Hamba berharap, Kanjeng Adipati tidak lengah dan tetap waspada jika kita mendapat serangan mendadak dari kawanan perampok yang menguasai daerah ini,” jelas Ki Aria Depa.
Adipati Wiriaraja mengangguk pelan. “Sudah kau siagakan semua pasukan?” tanya, adipati berusia tiga puluh lima tahun itu. Nada suaranya terdengar was-was.

“Sudah, Kanjeng Adipati!” sahut Ki Aria Depa.

“Bagus. Laksanakan tugasmu dengan baik. Dan, jangan khawatir. Aku akan tetap waspada.”

“Terima kasih, Kanjeng Adipati...,” sahut Ki Aria Depa seraya memberi hormat. Lalu, pemimpin pasukan itu kembali ke tempat semula.

Ki Aria Depa kemudian memerintahkan pasukannya yang berjumlah sekitar dua puluh orang untuk berjalan pelan dengan seluruh kewaspadaan ditingkatkan. Matanya yang beredar ke sekeliling dipasang lebar-lebar dan pendengaran di pertajam. Semua tahu kalau kawanan Alap-alap Panah Beracun terkenal buas dan kejam. Bahkan tidak pilih-pilih dalam merampok dan membunuh mangsanya.

Lebih dari itu, disadari pula kalau anak buah Ki Tambak Ireng memiliki kepandaian ilmu silat yang cukup hebat. Kalau saja ada yang bisa membuat sedikit tenang adalah karena ada Ki Aria Depa yang memang bukan orang sembarangan. Sebelum menjabat sebagai Kepala Pasukan Kadipaten Baluran, dia adalah seorang pendekar tangguh yang jarang ada tandingannya.

Hal itu tidak heran, karena dia merupakan murid tunggal Nyi Sanggul Geni, tokoh wanita berkepandaian tinggi yang amat disegani kalangan persilatan. Sementara itu, tidak berapa lama mereka berjalan, mendadak telinga Ki Aria Depa yang tajam mendengar suara mencurigakan. Langsung dia memberi isyarat dengan tangan kepada pasukannya untuk berhenti.

Melihat itu, Brata Sena dan Sendang Dulur dengan sigap menghampiri lalu berhenti di samping Ki Aria Depa.

“Ada apa, Ki?” tanya Brata Sena, penasaran.

“Tidakkah kau mendengar suara itu?”
“Suara? Suara apa? Aku tidak mendengar suara yang mencurigakan?” sahut Brata Sena, semakin bingung.

Ki Aria Depa agaknya tidak mempedulikan keheranan anak buahnya. Lalu, dipanggilnya lima orang anak buahnya yang lain.

“Kalian berlima, ikut aku,” ujar Ki Aria Depa. Lalu matanya beralih pada Brata Sena dan Sendang Dulur. “Jaga pasukan sebaik-baiknya dengan tetap meningkatkan kewaspadaan...!”

Kemudian, Ki Aria Depa memacu kencang kudanya ke depan, diikuti lima orang anak buahnya. Sementara, Brata Sena masih terpaku di tempatnya dengan wajah bingung. Demikian pula Sendang Dulur. Apa yang didengar Ki Aria Depa? Mereka sama sekali tidak mendengar apa-apa, selain desau angin dan suara cericit burung yang sesekali melintas terbang.

Tapi menyadari kalau Ki Aria Depa memiliki kepandaian tinggi, maka keduanya bisa memaklumi. Kini tanpa mengurangi kewaspadaan, Brata Sena dan Sendang Dulur memimpin pasukan dalam keadaan siaga penuh. Perlahan-lahan mereka mendekati arah yang tadi dituju Ki Aria Depa beserta lima orang anak buahnya.

Keduanya juga mengerti, kenapa Ki Aria Depa tidak mengajak. Sebab, laki-laki itu takut jika mereka bertiga pergi lebih dahulu, maka pasukan yang lain akan mudah diserang oleh kawanan Alap-alap Panah Beracun yang setiap saat bisa saja terjadi. Sedang semua tahu kalau kekuatan pasukan itu justru terletak di tangan mereka bertiga.


***


Ki Aria Depa terus menjalankan kudanya ke arah jeritan halus tadi terdengar. Walaupun samar-samar sekali, namun jelas bisa dibedakan kalau jeritan itu keluar dari seorang wanita yang sedang dalam bahaya. Dan kecurigaannya pun semakin besar, ketika teriakan ketakutan itu semakin jelas terdengar.

Dan ketika tiba di tempat sumber jeritan tadi, Ki Aria Depa menggigil menahan marah dan langsung melompat turun dari kudanya. Di depan matanya kini terlihat lima orang laki-laki berwajah seram tengah mengerubungi seorang gadis belia, berusia tak kurang dari empat belas tahun.

Salah seorang tampak tengah menindihnya sambil tertawa lebar. Dua orang yang lain tampak menontoni dengan wajah penuh nafsu. Sementara dua orang lainnya tengah membetulkan celana yang kedodoran disertai wajah puas, tanpa melihat kehadiran Ki Aria Depa.

Gadis belia itu tampak lelah tak berdaya menerima perlakuan kotor laki-laki yang menggilirnya satu persatu. Namun terlihat kalau dia sama sekali tak rela, dengan berusaha melepaskan diri dari cengkeraman.

“Binatang-binatang laknat! Hentikan perbuatan terkutuk kalian!” bentak Ki Aria Depa dengan suara menggeledek.

Bersamaan dengan itu pula tubuh Ki Aria Depa melesat ringan disertai tendangan kaki kanan ke arah tubuh laki-laki yang tengah menindih gadis belia itu. Begitu cepat datangnya serangan. Sehingga sebelum ada yang menyadari....

Desss!
“Aaakh...!”

Laki-laki yang tengah dirasuki nafsu iblis itu kontan memekik kesakitan, begitu tendangan Ki Aria Depa mendarat telak di pinggang kanannya. Tubuhnya seketika terjungkal sekitar lima langkah disertai darah kental yang muncrat dari mulut. Tendangan Ki Aria Depa tadi memang berisi tenaga dalam penuh.

Dia memang menjadi tak peduli, apakah lawan akan binasa atau tidak. Apa pun akan dilakukannya dalam kemarahannya melihat kelakuan orang-orang biadab. Dan apa yang dilakukannya, sebatang pohon besar pun pasti akan tumbang. Maka tak heran kalau laki-laki itu seketika tewas dengan pinggang remuk.

“Keparat! Berani benar kau mencampuri urusan kami?! Huh! Rasakan pembalasan kami!” sentak keempat laki-laki pemerkosa, masing-masing.

Sementara itu, kelima anak buah Ki Aria Depa seketika tertegun. Namun, mereka cepat mencabut golok dan melompat melindungi Ki Aria Depa. Sementara Ki Aria Depa sendiri tenang-tenang saja.

“Hm.... Pantas saja perbuatan kalian bejad! Dan selamanya, Kawanan Alap-alap Panah Beracun selalu melakukan perbuatan biadab!” dengus laki-laki setengah baya itu dingin.

Ki Aria Depa segera bisa menduga kalau empat pemerkosa yang tersisa adalah sebagian dari Kawanan Alap-alap Panah Beracun. Itu bisa dilihat dari senjata berupa busur baja dan kantong anak panah yang tersandang di punggung masing-masing.

“Bagus! Ternyata kau telah mengenal kami. Kalau begitu, lekas pancung kepalamu untuk menebus dosamu!” sentak salah seorang dari kawanan itu yang berbaju merah menyala.

“Ha ha ha...! Kawanan anjing kurap seperti kalian memang selalu merasa tinggi dan menganggap rendah orang lain...!” ejek Ki Aria Depa sambil tertawa.

“Kurang ajar! Kutu busuk kalian hendak berlagak di depan kami. Lebih baik mampus saja!” dengus laki-laki berbaju merah itu.

Langsung dia bergerak ke arah Ki Aria Depa, dengan ayunan busur yang digunakannya sebagai senjata. Dan seketika itu pula ketiga kawannya bergerak pula, menyerang anak buah Ki Aria Depa.

“Yeaaa...!”
“Hiyaaat...!”

Ki Aria Depa tersenyum sambil melompat untuk menghindari sabetan busur laki-laki berbaju merah. Dan ujung kaki kanannya cepat membalas dengan sambaran ke arah wajah.

Wut!

Laki-laki berbaju merah itu melemparkan kepalanya ke belakang dengan wajah kaget. Sungguh tak dikira kalau laki-laki setengah baya itu mampu bergerak demikian cepat. Bukan hanya itu. Angin sambaran tendangan Ki Aria Depa pun masih terasa menekan wajahnya. Meski begitu hatinya tak gentar. Malah, dia menyerang semakin ganas.

“Hiyaaat...!”

Dalam suatu kesempatan, laki-laki berbaju merah menyala itu menyambar anak panahnya. Dan seketika tiga buah anak panah langsung dihujamkan ke arah Ki Aria Depa. Dengan cepat, laki-laki setengah baya itu berjumpalitan untuk menghindarinya.

Belum juga Ki Aria Depa mendarat di tanah orang berbaju merah itu kembali menyerang. Kepalan tangan kanannya yang berisi tenaga dalam kuat, menyambar lurus ke arah dada Ki Aria Depa. Maka begitu kakinya menyentuh tanah, ditangkisnya serangan itu dengan kibasan tangan kiri.

Plak!
“Ukh...!”

Orang berbaju merah itu merasa kesemutan ketika tangannya beradu. Wajahnya menyeringai menahan sakit. Namun kaki kirinya cepat berputar menyambar pinggang Ki Aria Depa. Maka cepat-cepat laki-laki setengah baya itu melompat ke atas.

Sring!

Begitu berada di atas, Ki Aria Depa langsung mencabut pedangnya. Seketika, disambarnya batok kepala orang berbaju merah itu. Tentu saja hal ini membuat laki-laki itu kaget bukan main. Buru-buru dia menjatuhkan diri. Namun ujung kaki kanan Ki Aria Depa lebih cepat lagi menghantam tengkuknya.

Duk!
“Aaakh...!”

Orang berbaju merah itu mengeluh kesakitan, begitu tengkuknya terhajar kaki kanan Ki Aria Depa. Tubuhnya terjajar ke depan dan nyaris tersungkur. Untungnya keseimbangan tubuhnya cepat terkuasai.

Ki Aria Depa yang melihat keadaan lawannya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ujung pedangnya langsung berkelebat ke arah pinggang kiri orang berbaju merah itu.

Bresss!
“Aaa...!”

Laki-laki itu kembali menjerit, begitu pedang Ki Aria Depa menembus pinggangnya. Sepasang matanya melotot nyalang, dan dari mulutnya menetes darah segar. Ki Aria Depa mendengus kecil seraya mencabut pedangnya yang terbenam hampir setengahnya. Tubuh orang itu kemudian ambruk, dan tewas setelah menggelepar beberapa saat

“Huh! Mampuslah kau! Orang-orang sepertimu memang patut menerimanya!” dengus Ki Aria Depa dingin.

Pada saat yang hampir bersamaan, kembali terdengar dua jeritan anggota gerombolan Alap-alap Panah Beracun. Ki Aria Depa menoleh. Tampak dua orang tewas di tangan anak buahnya. Sementara, dua orang lagi kabur melarikan diri.

“Biarkan mereka mengadu pada pimpinannya. Kita telah siap menghadapi mereka!” cegah Ki Aria Depa, ketika melihat anak buahnya akan mengejar.

“Tapi, Ki.... Perjalanan kita masih jauh. Bagaimana kalau mereka mengadu pada yang lainnya, lalu menghadang perjalanan kita?” tanya salah seorang anak buah Ki Aria Depa dengan wajah kurang puas.

Ki Aria Depa tak menjawab. Tapi dia mendekati gadis belia yang tadi sempat menjadi korban nafsu iblis para pemerkosa. Salah seorang anak buah laki-laki setengah baya itu memberikan baju pada gadis itu untuk menutupi tubuhnya yang tanpa sehelai pakaian pun. Wajah gadis itu tampak pucat dan bibirnya gemetar.

Tetesan air mata telah mengering di bawah kelopak matanya yang sembab. Namun meski keadaannya lusuh begitu, jelas terlihat kalau gadis belia itu amat cantik. Tubuhnya pun bagus. Tak heran bila para begundal tadi seperti kerasukan setan saja melihatnya.

“Siapa namamu, Cah Ayu?” tanya Ki Aria Depa seraya menundukkan tubuh dan tersenyum kecil.


***


GADIS itu surut ke belakang. Sepasang matanya memandang curiga ke arah Ki Aria Depa. Sinar kebencian jelas terlihat dari raut wajahnya. Sementara Ki Aria Depa bukannya tidak mengetahuinya. Dan bibirnya kembali tersenyum seraya mengulurkan tangan.

“Namaku Aria Depa, Panglima Kadipaten Baluran. Dan mereka adalah anak buahku. Kami bukan orang jahat. Malah, sebaliknya kami akan melindungimu dari perbuatan jahat orang-orang yang telah berbuat tak senonoh padamu. Nah, Cah Ayu. Ikutlah bersama kami...,” bujuk Ki Aria Depa.

Gadis itu diam membisu, malah wajahnya dipalingkan seolah tak peduli dengan apa yang dikatakan Ki Aria Depa. Laki-laki itu menghela napas pendek, tidak tahu harus berbuat apa. Pada dasarnya, Ki Aria Depa memang bukan orang yang penuh kesabaran. Apalagi menghadapi hal seperti sekarang. Wajahnya lalu ditengadahkan ke langit, kemudian berbalik, hendak meninggalkan gadis itu.

Sedangkan kelima anak buahnya jadi serba salah. Mereka seperti tak percaya kalau Ki Aria Depa bermaksud meninggalkan gadis belia di sini. Bagaimana kalau kawanan begundal tadi datang kembali, dan mengulangi perbuatan kotor mereka dengan cara lebih biadab terhadap gadis belia itu?

“Apakah kalian punya cara untuk membujuknya, agar mau ikut dengan kita? Dan yang lebih penting, apakah kalian, bisa meyakinkannya kalau kita bukan bermaksud jahat padanya? Lihat sinar matanya yang penuh kecurigaan dan seakan tak percaya pada setiap orang lagi,” gumam Ki Aria Depa. Suaranya terdengar pelan namun jelas penuh rasa iba pada nasib gadis belia itu.

“Paman Aria Depa, apakah yang sedang terjadi di tempat ini?” Ki Aria Depa tersentak kaget begitu tiba-tiba mendengar sapaan halus dari belakang.

Laki-laki setengah baya itu kontan menoleh dan berbalik. Kini di hadapannya telah berdiri Adipati Wiriaraja pada jarak tujuh langkah. Kedua telapak kakinya persis berpijak pada sebatang akar pohon yang mencuat ke atas permukaan tanah. Yang amat mengherankan, dari mana adipati ini tiba-tiba telah berada di depannya tanpa diketahui?

“Maaf, Kanjeng Gusti Adipati. Hamba berusaha menyelamatkan seorang gadis belia dari perbuatan busuk Kawanan Alap-alap Panah Beracun. Namun, agaknya gadis itu tak percaya pada niat baik kami. Hamba tak berhasil membujuknya...,” jelas Ki Aria Depa singkat.

“Hm, begitukah? Baiklah. Mungkin aku bisa membujuknya, Paman,” desah adipati itu. Adipati Wiriaraja lalu tersenyum seraya menghampiri gadis itu. Namun, gadis ini sudah memandangnya dengan rasa curiga dan kebencian.

“Nisanak, tersenyumlah. Dan, hilangkan kebencian serta rasa curiga terhadap kami. Sesungguhnya, kau diberi akal budi untuk membedakan manusia yang hendak berbuat jahat padamu, dan manusia yang hendak membantumu. Maka, alangkah sia-sianya jika Nisanak menuruti hawa nafsu untuk menyamakan semua manusia yang ditemui. Aku Adipati Wiriaraja, ikutlah denganku..,” kata Adipati Wiriaraja seraya mengulurkan tangan dan tersenyum pada gadis itu.

Meskipun wajahnya masih terlihat pucat, namun samar-samar ada sebersit senyum ketika gadis itu mengulurkan tangan menyambut uluran tangan sang Adipati.

“Jangan takut, kami bermaksud baik padamu. Siapa namamu...?” lanjut Adipati Wiriaraja tetap tersenyum ramah.

Gadis belia itu terdiam. Sementara Adipati Wiriaraja tetap tersenyum. Dan pada saat yang sama, rombongan yang dipimpin Brata Sena dan Sendang Dulur tiba di tempat itu. Keduanya sedikit terkejut ketika melihat Adipati Wiriaraja telah berada di tempat ini lebih dulu bersama pasukannya. Tidak ada seorang pun yang tahu, bagaimana caranya Adipati Wiriaraja bisa cepat berada di tempat ini.

“Mari, ikut denganku dengan kereta itu...!” ajak Adipati Wiriaraja seraya menuntun gadis itu ke dalam kereta.

Gadis itu tampak menurut dan melangkah perlahan-lahan. Sebelum kakinya masuk ke dalam kereta, dipandanginya mereka satu persatu seperti hendak meyakinkan dirinya kalau orang-orang itu tidak akan mencelakakan dirinya.

“Kita langsung berangkat, Kanjeng Gusti Adipati...?” tanya Ki Aria Depa.

“Ya. Kita berangkat sekarang...,” balas Adipati Wiriaraja setelah masuk ke dalam kereta bersama gadis belia itu.

Ki Aria Depa segera memerintahkan pasukannya untuk segera meninggalkan tempat ini tanpa mengurangi kewaspadaan terhadap kemungkinan serangan Kawanan Alap-alap Panah Beracun.

Hari telah menjelang sore ketika mereka keluar dari Hutan Mlinping. Agaknya, Kawanan Alap-alap Panah Beracun tidak mengadakan pembalasan atas beberapa orang anggotanya yang tewas. Atau mungkin juga, ada alasan lain yang membuat mereka tidak mencegat rombongan itu.

Semua anggota pasukan kadipaten kini bisa bernapas lega. Tidak lama lagi, mereka akan tiba di desa terdekat. Sedangkan Adipati Wiriaraja memberi isyarat pada Ki Aria Depa untuk beristirahat di desa Loh Gawe.

Namun baru saja melangkah beberapa saat, mendadak terdengar irama suling yang mengalun seperti mengelilingi tempat itu. Iramanya teratur dan terdengar merdu. Mereka saling berpandangan, dan mencari-cari asal suara. Namun tak seorang pun yang terlihat di tempat itu.

“Eyang Guru...,” desis Ki Aria Depa.

“Hi hi hi...! Hendak ke mana kalian ramai-ramai seperti ini? Dan apakah yang kalian bawa untukku...?!”

Suara suling itu lenyap. Dan kini berganti suara tawa cekikikan halus yang mengiringi berkelebatnya sesosok tubuh dengan ringan di hadapan mereka dari depan. Ternyata, dia adalah seorang perempuan tua berambut panjang teriap dan telah memutih. Bajunya terlihat kebesaran berwarna kelabu.

Tangan kirinya menggenggam sebatang suling bambu. Wajahnya terlihat riang dengan senyum selalu terkembang. Melihat kehadiran wanita itu, serta merta Ki Aria Depa membungkukkan tubuh dan memberi salam hormat. Tampaknya, Ki Aria Depa mempunyai hubungan dekat dengan wanita itu.

“Eyang, terimalah salam hormat muridmu ini....”

“Hi hi hi...! Kuterima salam hormatmu, Anakku. Nah, apakah yang kau bawa untukku ini?” tanya perempuan tua itu, yang rupanya guru dari Ki Aria Depa.

“Ampun, Eyang. Kami tidak membawa apa-apa untukmu. Saat ini kami tengah menjalankan tugas mengawal junjungan kami, yaitu Kanjeng Gusti Adipati Wiriaraja,” jelas Ki Aria Depa.

“Apa? Brengsek! Susah payah aku mendidikmu, ternyata kau menjadi budak orang. Apa aku pernah mengajarkanmu begitu, heh?! Justru kalau bisa, kau harus menjadi raja yang dipuja banyak orang!” dengus perempuan tua itu geram.

“Tapi, Eyang....”

“Sudahlah. Sekarang juga, kau harus ikut denganku!” potong wanita tua itu nyaring.

Ki Aria Depa menjadi serba salah mendengar perkataan wanita itu. Matanya melirik sekilas ke arah kereta, kemudian kembali memandang gurunya dengan wajah bingung.

“Ayo, apa lagi yang ditunggu? Apa yang kau pandang dari manusia itu, sehingga kau mau mengabdi padanya?” hardik wanita tua itu dengan sepasang mata melotot. Dalam seketika, wajahnya yang tadi ramah dan penuh tawa, berubah garang laksana seekor macan betina yang tengah murka.

Ki Aria Depa semakin merasa serba salah. Harga dirinya betul-betul jatuh diperlakukan demikian oleh gurunya. Namun, dia tak mampu untuk berbuat apa-apa. Dan lagi, apa yang diperintahkan gurunya rasanya tidak mungkin bisa dikerjakan. Paling tidak, untuk saat ini.

Sebab, tugasnya untuk mengawal sang Adipati hingga sampai ke tempat kediamannya belum selesai. Tapi kalau perintah gurunya tidak dituruti, bisa jadi dia akan marah besar. Dan bukan tidak mungkin akan menghajarnya di depan anak buahnya. Dia tahu betul watak gurunya. Dalam keadaan demikian, Adipati Wiriaraja segera turun dari kereta kudanya. Langsung dihampirinya wanita tua itu.

“Nyi Sanggul Geni, aku yang hina bernama Wiriaraja menghaturkan salam hormat kepada mu...!” ucap adipati itu dengan suara rendah dan halus.


***


DUA

Wanita tua yang dipanggil Nyi Sanggul Geni berpaling, menatap sinis pada Adipati Wiriaraja. Namun hatinya sedikit bergetar ketika sorot matanya beradu dengan laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun berwajah bersih itu. Tidak pelak lagi, Nyi Sanggul Geni bisa menduga bahwa adipati ini agaknya bukanlah orang sembarangan.

Dan orang seperti dirinya yang telah kenyang makan asam garam dunia persilatan, tentu saja bisa mudah menebak kalau tenaga batin sang Adipati itu tentu telah demikian tinggi.

“Huh! Aku tidak bicara padamu! Untuk apa menerima segala salam hormat darimu!” sahut perempuan tua itu tetap mendengus sinis.

Mendengar sahutan itu Adipati Wiriaraja sama sekali tak marah. Sebaliknya, malah tersenyum kecil.

“Seorang manusia terhormat hendaknya saling bertegur sapa dan memberi hormat setiap kali bertemu seseorang. Dan sudah sepatutnya orang yang diberi salam hormat itu pun membalas salam yang sama. Kecuali, kalau derajatnya bukanlah seorang manusia...,” kata Adipati Wiriaraja, kalem.

“Kurang ajar! Kau anggap apa aku, heh?!” hardik Nyi Sanggul Geni merasa tersinggung mendengar kata-kata adipati itu. Matanya mendelik garang, seperti hendak menelan bulat-bulat laki-laki itu.

“Hm.... Kenapa Nyai marah? Apakah merasa tersinggung mendengar kata-kataku?”

“Brengsek! Kau kira apa derajatmu berani berkata kurang ajar padaku?! Hei! Aku heran, apa kehebatanmu sehingga muridku bersedia mengabdi kepada orang sepertimu?! Kalau hanya karung kosong yang tidak berguna, kau akan mampus di tanganku!” geram Nyi Sanggul Geni seraya melompat menyerang Adipati Wiriaraja.

“Eyang, jangan...!” cegah Ki Aria Depa berteriak cemas, seraya melompat menghadang serangan gurunya.

Prajurit Kadipaten Baluran terkejut melihat tindakan wanita tua itu. Namun, sesaat mereka tak tahu harus berbuat apa. Jika bergerak menghadang, apa jadinya dengan Ki Aria Depa? Karena, wanita tua itu adalah gurunya. Tapi jika didiamkan saja, keselamatan sang Adipati tentu akan terancam.

Sementara itu tubuh Ki Aria Depa sendiri begitu terkejut, karena tiba-tiba saja gurunya mengibaskan sebelah tangannya. Dari situ menderu angin kencang yang menghantam dirinya. Ki Aria Depa berusaha berjumpalitan beberapa kali, kemudian menjejakkan kakinya di tanah, tidak jauh dari tempat Adipati Wiriajara berada.

Nyai Sanggul Geni sedikit bersiap-siap akan membuka jurus baru. Namun Ki Aria Depa sudah melangkah mendekati, langsung menjura hormat.

“Eyang, aku mohon jangan diteruskan...,” pinta laki-laki setengah baya itu.

“Minggir kau, Aria!” sentak Nyai Sanggul Geni cepat.

Namun, sikap Ki Aria Depa tidak berubah. Bahkan tetap berdiam diri di hadapan wanita tua itu.

“Huh! Kalau begitu, kau patut mendapat hajaran!” dengus wanita tua itu geram seraya mengayunkan telapak tangan kanan ke batok kepala muridnya.

Ki Aria Depa bukannya tidak tahu. Namun, keadaannya memang sedang terjepit dan tidak tahu harus berbuat apa untuk melerai tindakan gurunya. Kalaupun harus mati di tangan gurunya, itu lebih baik daripada bertindak tidak adil dalam peristiwa ini.

Dan dalam hal ini, agaknya Nyai Sanggul Geni betul-betul akan melakukan ancamannya. Wanita tua yang wataknya sulit ditebak ini, seperti tidak peduli apakah muridnya akan melawan atau tidak. Maka seketika telapak tangannya diayunkan dengan deras. Namun sebelum menghantam batok kepala Ki Aria Depa, Adipati Wiriaraja cepat memapaki. Akibatnya, kedua telapak tangan mereka bertemu dan saling cengkeram.

“Nyi! Bukankah membunuh murid sendiri adalah tidak terpuji? Apalagi muridmu bukanlah orang jahat. Selama ini dia selalu membela orang-orang tertindas. Bukankah itu merupakan didikanmu? Dan hari ini, kau akan mengajarkan hal yang buruk padanya. Atau mungkin, penilaianku yang salah? Namun kumohon, sudilah kiranya kau mengampuninya....”

“He he he...! Tidak heran bila muridku mengabdi padamu. Tapi aku ingin melihat, pada siapa dia mengabdi. Kalau mengabdi pada orang tak berguna, maka lebih baik tak usah hidup. Di tanganmulah keputusan mati hidupnya,” sahut Nyi Sanggul Geni terkekeh kecil.

“Nyi! Aku hanya manusia biasa yang dipercaya memimpin kawula. Mana mungkin bisa melebihi kekuasaan Hyang Jagat Batara untuk menentukan hidup mati seseorang...,” sahut Adipati Wiriaraja tenang.

“Huh! Apa peduliku? Aku tidak bicara tentang Hyang Jagat Batara, tapi tentang muridku yang goblok dan kau yang kurang ajar!” dengus Nyi Sanggul Geni.

Sejak saling mengadu omong, mereka tidak melepaskan cengkeraman tangan masing-masing. Ki Aria Depa terkejut. Demikian juga Sendang Dulur dan Brata Sena. Tadi mereka dibuat terkejut oleh kehadiran adipati yang tiba-tiba. Dan kini, mereka melihat Adipati Wiriaraja malah berani memapak serangan wanita tua itu yang jelas-jelas memiliki kepandaian tinggi.

Semua menyadari, apa yang tengah berlangsung di depan mata. Jelas, itu adalah seperti adu kekuatan tenaga dalam dua tokoh tingkat tinggi. Terlihat asap mulai mengepul tipis dari kedua belah tangan mereka yang semakin lekat seperti bersatu.

Wajah keduanya mulai berkeringat Dan yang menjadi pertanyaan, dari mana Adipati Wiriaraja memiliki kepandaian hebat sehingga mampu menandingi Nyi Sanggul Geni yang amat kosen dalam dunia persilatan?


***


Sejak pertama kali mengabdi di kadipaten, tidak seorang pun yang tahu kalau Adipati Wiriaraja memiliki ilmu kedigdayaan. Demikian pula Ki Aria Depa. Laki-laki setengah baya itu hanya tertarik mendengar keluhuran budi junjungannya terhadap rakyat, dan kebijaksanaannya. Tidak segan-segan beliau turun sendiri ke desa-desa untuk memperhatikan kehidupan dan kesejahteraan rakyat.

Bahkan ikut membantu kawulanya yang sedang kesusahan. Dan pada dasarnya, Ki Aria Depa memang memiliki jiwa suka menolong. Maka dia merasa betah mengabdi pada sang Adipati yang memang memiliki sifat lembut dan welas asih.

Tapi kini, apa yang terlihat sungguh menambah kekaguman dan rasa hormat terhadap junjungannya. Adipati Wiriaraja mampu menandingi kehebatan gurunya, yang selama ini amat disegani dan diperhitungkan dalam kalangan persilatan.

“Nyi! Kurasa cukuplah dulu main-main kita saat ini. Aku mengaku kalah padamu...,” ujar Adipati Wiriaraja, seraya melompat ke belakang setelah mendorong perempuan tua itu. Tubuh Nyi Sanggul Geni juga terjajar ke belakang dalam keadaan berpijak di tanah. Sementara bibir adipati ini tersenyum kecil dan kembali menjura hormat pada wanita tua itu.

“Nyi! Aku sama sekali tidak menganggap budak terhadap muridmu. Sebaliknya, aku menganggapnya sebagai sahabat terdekatku. Untuk itu, sudilah kau membiarkannya terus bekerja denganku...,” lanjut Adipati, ramah.

“Hi hi hi...! Sungguh patut kau bersahabat dengannya, Aria. Nah! Kau kurestui. Orang ini memang patut menjadi kawanmu. Baik-baiklah dengannya,” ujar Nyi Sanggul Geni.

Kemudian perempuan tua itu melangkah mendekati Adipati Wiriaraja. Matanya melirik sekilas ke dalam kereta, kemudian berpaling ke arah Adipati Wiriaraja.

“Tahukah kau, apa yang kuinginkan darimu?” lanjut wanita itu.

Adipati Wiriaraja tersenyum kecil. “Kalau tidak salah menebak, kau tentu menginginkan gadis belia yang berada di dalam keretaku itu, bukan?”

“He he he...! Ternyata kau juga cerdik dan cepat tanggap. Sejak tadi, aku memang melihat pertarungan kalian dengan para cecunguk-cecunguk itu. Kalau saja muridku tidak cepat menyelamatkan dirinya, tentu dia akan semakin menderita di tangan mereka. Kasihan, bocah itu. Dia kini sebatang kara. Aku ingin mengambilnya menjadi muridku. Nah, berikanlah padaku!” ujar Nyi Sanggul Geni.

“Maafkan aku, Nyi. Aku tidak bisa memberikannya padamu...,” sahut Adipati Wiriaraja.

Wajah Nyi Sanggul Geni yang mulai lunak, kontan kembali garang mendengar jawaban adipati itu. Tangan kirinya yang masih menggenggam suling langsung ditudingkan ke arah laki-laki itu.

“Bocah edan! Apa mesti kuhajar sampai mampus, baru aku bisa mendapatkan gadis itu, heh?! Atau, barangkali kau kepincut melihat kecantikannya, dan bermaksud mengambilnya menjadi istrimu yang kesepuluh?” sentak Nyi Sanggul Geni disertai belalakan matanya.

Mendengar kata-kata pedas wanita tua itu, Adipati Wiriaraja sama tidak sekali tak marah. Dia malah tetap tenang sambil tersenyum. “Nyi, apa yang kau katakan sama sekali tak beralasan. Aku memang telah beristri, tapi cukup satu saja. Karena, aku merasa sudah bahagia. Adapun keinginanku memungut gadis itu, tidak lain ingin mengangkatnya sebagai anakku. Apalagi setelah sekian tahun berumah tangga, kami belum juga dikaruniai anak...,” jelas Adipati Wiriaraja.

“Huh! Aku tidak peduli segala alasanmu! Berikan bocah itu, atau aku mesti menempurmu sampai mampus?!” gertak wanita tua itu.

Adipati Wiriaraja tersenyum pahit. Meskipun baru mengenal wanita tua itu, tapi sebenarnya mengerti betul wataknya yang angin-anginan dan mau menang sendiri. Namun dia sama sekali tidak ingin bentrok dengannya. Bukan karena Nyi Sanggul adalah seorang tokoh angkatan tua dunia persilatan yang amat disegani. Tapi lebih dari itu, dia adalah guru dari Ki Aria Depa, panglima pasukan di kadipaten yang dipimpinnya.

“Eyang! Aku akan memenuhi segala keinginanmu, asal Eyang tidak mengganggu urusan Kanjeng Gusti Adipati...,” kata Ki Aria Depa menengahi.

“Diam kau, Aria! Tahu apa kau dengan segala urusanku!” sentak Nyi Sanggul Geni marah.

“Tapi, Eyang. Bukankah hal itu perbuatan tidak benar?” bela laki-laki setengah baya itu.

“Hm.... Kau bicara tentang kebenaran? Baik! Coba katakan padaku, apakah kewajiban seorang murid?!” sentak Nyi Sanggul Geni cepat.

“Murid mengetahuinya, Eyang. Yaitu, berbakti....”

“Nah! Apakah aku tidak pantas meminta sesuatu yang menjadi hakku? Kaulah yang menyelamatkan bocah itu, bukan dia!” tuding Nyi Sanggul Geni, ke arah Adipati Wiriaraja.

“Benar, Eyang. Tapi dalam hal ini, aku tengah menjalankan tugasku sebagai seorang Panglima Kadipaten. Maka sudah sepatutnya aku bertanggung jawab pada Kanjeng Gusti Adipati. Dengan demikian, segala sesuatu yang kudapatkan akan jadi wewenangnya, untuk memutuskan apa yang menjadi hakku dan mana yang tidak....”

“Aaah! Bicara apa kau ini? Berbelit-belit dan tidak jelas. Sudah jelas kau yang menyelamatkan gadis itu. Dan sekarang, aku minta gadis itu untuk kujadikan murid. Aku akan memeliharanya dan akan kubina dengan baik. Apa itu kurang jelas di telingamu?” sentak perempuan tua itu, tak mau kalah.

Ki Aria Depa hendak menyahut lagi, namun buru-buru Adipati Wiriaraja mengangkat tangannya, sebagai isyarat agar panglima itu tidak melanjutkan kata-katanya. Laki-laki itu tetap tersenyum meski dipaksakan ketika melangkah mendekati wanita tua itu.

“Nyi.... Benarkah kau akan memeliharanya dengan baik...?” tanya Adipati Wiriaraja.

“Phuih! Apa kau kira aku ini orang yang suka mengingkari janji?!” dengus perempuan tua itu.

“Baiklah.... Aku percaya padamu. Tapi mengingat kalau gadis itu ingin kuangkat sebagai anakku, tentu saja berat bagiku untuk melepaskannya. Tapi kupikir, demi kebaikan kita bersama, tidak ada salahnya kutitipkan padamu. Namun ada syaratnya....”

“Brengsek! Apa syaratnya?!” bentak Nyi Sanggul Geni memaki kesal.

“Kalau kau hendak merawatnya, maka kuberi waktu dalam tiga tahun. Dan setelah itu, kau harus mengembalikannya padaku. Kalau dalam waktu tiga tahun tidak dikembalikan, maka aku akan mencarimu ke mana pun kau bersembunyi untuk menagih janji...!” papar adipati itu.

“Sial! Apa hakmu memintanya kembali? Bukankah dia belum menjadi putri angkatmu?”

“Sekarang saatnya aku akan menanyakan kesediaannya,” sahut Adipati Wiriaraja.

Setelah berkata demikian, Adipati Wiriaraja menyuruh gadis belia dalam kereta itu untuk segera keluar. Dengan didampingi seorang prajurit kadipaten, gadis itu keluar perlahan-lahan seraya memandang kearah dua orang yang tengah memperebutkan dirinya.

“Anak manis.... Kau telah mendengar pembicaraan kami, bukan? Tidak ada niat buruk di antara kami padamu, Nah! Aku ingin bertanya, siapakah namamu?” tanya adipati itu.


***


Gadis itu memandang ke arah Adipati Wiriaraja. Wajahnya yang semula curiga, kini tampak sembab. Ada rona kesedihan yang terpancar dari lubuk hatinya. Namun demikian, Adipati Wiriaraja seperti mampu merasakan getaran hati gadis yang kini mempercayai dirinya itu. Bisa dimengerti, kesedihan apa yang melandanya.

“Hamba.... Hamba..., bernama Kunti, Kanjeng Gusti,” desah gadis bernama Kunti itu pelan dengan suara tersendat.

“Nah, Kunti.... Maukah kau menjadi putri angkatku?” tanya adipati itu.

“Hamba.... Hamba senang sekali, Kanjeng Gusti. Tapi hamba..., hamba merasa tak pantas....”

“Anakku.... Yang kuinginkan adalah jawaban mu. Iya atau tidak. Kebetulan aku dan istriku tidak mempunyai anak. Dia tentu akan senang sekali melihat kehadiranmu. Nah, jawablah. Maukah kau menjadi putriku?”

Kunti mengangguk pelan setelah memandang wajah sang Adipati beberapa saat. Kemudian kepalanya kembali tertunduk.

“Nah, begitu lebih baik. Kini, kau resmi sudah menjadi anakku, disaksikan mereka yang hadir ditempat ini. Dan namamu kini kutambah menjadi Kunti Kameshawara, putri Wiraraja yang menjadi adipati Kadipaten Baluran.

“Ayahanda.... Terimalah sembah sujud Ananda. Dan, terima kasih dari lubuk hatiku atas kemurahan hatimu...,” ucap gadis itu seraya bersujud di kaki Adipati Wiriaraja.

“Bangunlah, Anakku. Kau tidak boleh bersikap demikian...,” ujar adipati, langsung mengangkat kedua bahu putri angkatnya.

Kunti Kameshawara tetap menundukkan kepala seraya bangkit perlahan-lahan. Sedangkan adipati itu tersenyum mengangkat dagu anak angkatnya.

“Anakku, kiranya kau telah mendengar pula yang kami bicarakan tadi. Nyi Sanggul Geni juga menginginkan kau untuk diangkat menjadi murid. Beliau juga mengasihimu. Dan hal ini merupakan anugerah yang tiada ternilai. Maka, ikutlah padanya. Dan, belajarlah dengan baik untuk menjadi anak yang berguna kelak. Bila telah tiga tahun, berangkatlah kau ke Kadipaten Baluran. Aku dan ibumu akan bersuka cita menyambut kepulanganmu...,” wejang Adipati Wiriaraja.

“Ayahanda.... Berat rasanya hatiku berpisah denganmu. Aku telah mempercayaimu sebagai orang yang berbudi dan telah menyelamatkan jiwaku. Tentu saja aku tidak akan melupakanmu. Dan untuk itu, segala titahmu akan kulaksanakan sebaik-baiknya...,” sahut Kunti Kameshawara, dengan bahasa dan tata krama tinggi.

Adipati Wiriaraja tersenyum bangga. Jelas dari sikapnya gadis itu tentu berasal dari kalangan terhormat. Dan keluguan dan kejujurannya, semakin menambah rasa percaya diri bagi sang Adipati. Apalagi Kunti Kameshawara sama sekali tidak merasa canggung menganggap adipati sebagai ayahandanya sendiri.

“Nah, Nyi. Telah kau dengar sendiri. Kunti kini telah menjadi putriku. Bawalah dia bersamamu. Dan, bimbinglah sebagai muridmu. Aku percayakan keselamatannya padamu. Lalu setelah tiga tahun kau menggemblengnya, biarlah dia menemuiku. Kami akan selalu rindu padanya,” lanjut Adipati Wiriaraja.

“He he he...! Tentu saja, tentu saja...! Mari, Bocah. Ikutlah denganku!” ajak Nyi Sanggul Geni seraya mengulurkan tangan pada Kunti Kameshawara.

Gadis itu menyambut uluran tangan wanita tua yang segera mengajaknya untuk berlalu dari tempat itu. Masih sempat matanya memandang sekilas ke arah Adipati Wiriaraja. Kemudian sebentar saja Nyi Sanggul Geni telah menggendong dan membawanya lenyap dengan hanya sekali berkelebat. Sedangkan Adipati Wiriaraja tersenyum seraya menghela napas panjang.

“Kanjeng Gusti Adipati.... Maafkanlah atas segala tindakan guruku yang tidak berkenan di hati...,” ucap Ki Aria Depa seraya menjura hormat, ketika gurunya telah lenyap dari pandangan.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Paman Aria....”

“Kanjeng Gusti, tentunya merasa tersinggung atas ulah guru hamba....”

Adipati Wiriaraja tersenyum kembali. “Aku memang merasa keberatan. Tapi, aku tidak tersinggung dan kesal. Mungkin telah digariskan kalau Kunti Kameshawara akan berjodoh di tangan gurumu. Aku merelakannya, karena aku yakin kelak dia akan kembali padaku....”

“Kenapa Kanjeng Gusti tidak berusaha mempertahankannya? Bukankah Kanjeng Gusti mampu melakukannya?” tanya panglima itu bernada memancing.

“Kau ingin aku bentrok dengan gurumu sendiri?” tanya Adipati Wiriaraja tersenyum kecil.

Ki Aria Depa merasa lega mendengar jawaban itu.

“Eh! Tentu saja tidak, Kanjeng Gusti,” sahut laki-laki setengah baya itu.

“Nah! Menurutmu, apakah tindakanku tadi salah?”

“Hm.... Selama mengikuti Kanjeng Gusti, lebih banyak keputusan bijaksana yang hamba lihat.”

“Yang tadi mungkin tidak bijaksana. Namun, mampu menyelesaikan masalah. Tidak menjadi soal meski aku merasa sedikit dirugikan. Sebab, paling tidak kita telah menghindari pertumpahan darah. Dan itulah yang terbaik pada saat ini. Nah! Sekarang, bisakah kita melanjutkan perjalanan kembali?”

“Tentu saja, Kanjeng Gusti!” sahut Ki Aria Depa cepat. Setelah menjura hormat, laki-laki setengah baya itu langsung melompat ke punggung kudanya. Langsung dia memberi perintah pada anak buahnya untuk segera berangkat meninggalkan tempat itu. Sedangkan Adipati Wiriaraja berjalan menuju kereta kudanya.

“Kita langsung berangkat menuju kadipaten, dan batalkan rencana beristirahat!” ujar adipati itu, ketika telah memasuki kereta kuda.

“Siap, Kanjeng Gusti” sahut Ki Aria Depa yang berkuda di samping kereta adipati itu. Ki Aria Depa kontan berteriak nyaring. Maka rombongan itu mulai bergerak diiringi derap langkah kaki kuda yang mulai kencang melaju.


***


TIGA

LIMA TAHUN telah berlalu, sejak Adipati Wiriaraja menyerahkan Kunti Kameshawara pada Nyi Sanggul Geni. Sementara di wilayah Kadipaten Baluran belum ada yang berubah. Adipati Wiriaraja masih tetap dipercayakan memimpin wilayah itu, dengan kebijaksanaannya yang tetap tidak berubah. Tidak heran bila rakyat menginginkannya untuk terus menjabat sebagai adipati.

Namun belakangan ini, Adipati Wiriaraja dibuat pusing oleh banyaknya mayat yang sering ditemukan di wilayahnya. Kebanyakan dari mereka adalah laki-laki berusia muda. Tidak ada seorang pun yang tahu, siapa pelaku kejahatan itu.

Pancaran sinar matahari siang ini di Kadipaten Baluran tidak terlalu terik. Lebih-lebih pepohonan yang melindungi pejalan kaki membuat suasana menjadi rindang dan teduh. Di bawah sebatang pohon mangga seorang pemuda berwajah tampan dan berambut panjang tampak sedang berkelakar dengan seekor monyet kecil berbulu hitam.

Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu tidak lain dari Bayu Hanggara atau yang dikenal sebagai Pendekar Pulau Neraka. Sementara, monyet kecil itu tentu saja Tiren.

“Kaaakh...!”

Tiren melompat ke atas pohon mangga dengan gerakan lincah sekali. Dipetiknya serenceng mangga yang ranum dan harum baunya. Lalu dilemparkannya sebuah demi sebuah ke arah pemuda itu, seperti hendak bercanda.

Bayu yang memang tengah memperhatikan tingkah laku binatang itu segera bergerak ke kiri dan kanan sambil tersenyum. Tangannya dengan sigap menangkap buah-buahan itu.

Tap! Tap!

“Hei! Apakah kau hendak memberikan semua mangga itu padaku?!”

“Nguk! Nguk...!”

Tiren mengangguk seraya menepuk-nepuk kedua tangannya. Tubuhnya lalu kembali melesat ke cabang yang lebih tinggi. Lalu dipetiknya tiga buah mangga yang berukuran agak besar.

“Dasar curang! Kau memberiku yang kecil-kecil, sedangkan untukmu sendiri yang besar!” umpat Bayu, seraya melempar sobatnya itu dengan biji mangga yang telah habis digerogotinya.

“Kaaakh! Kaaakh...!” Tiren tertawa mengejek. Dengan sigap, monyet itu mengelak. Kemudian dikupasnya mangga yang diperoleh. Lalu bijinya yang dilemparkan ke arah Bayu.

“Sial! Hei?! Kau ingin berperang denganku?” tantang Bayu, langsung melempar sebuah biji mangga kembali ke arah monyet itu.

Namun dengan gerakan tidak kalah sigap Tiren melompat ke cabang pohon. Dan ketika Bayu kembali melemparnya, dia kembali melompat ke cabang yang lebih tinggi. Mulutnya terus menyeringai lebar sambil berjingkrak-jingkrak mengejek Bayu. Bayu tersenyum kecil tidak mengacuhkannya. Dan dia terus berjalan meninggalkan monyet itu.

“Kalau memang kau lebih suka tinggal di sini, aku tidak akan menahanmu,” kata Bayu tenang.

“Kaaakh...!” Tiren berteriak nyaring. Wajahnya tampak kesal melihat sikap sahabatnya. Maka buru-buru dia turun mencerecet tak karuan, seperti hendak melampiaskan kekesalan hatinya. Namun tiba-tiba...

“Tolooong...!”
“Hei?!”

Bayu terkejut, langsung merayapi ke sekelilingnya, ketika mendengar jeritan tertahan meminta tolong.

“Tiren! Cepat ikut aku!” teriak Bayu. Seketika Pendekar Pulau Neraka melompat ke arah timur, setelah Tiren mendarat di pundaknya.

Sebentar saja Pendekar Pulau Neraka telah berlari cepat dengan membawa Tiren di pundaknya. Pendekar Pulau Neraka laksana sapuan angin kencang, ketika berlari mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai taraf sempurna. Namun belum lama Bayu berlari, tiba-tiba...

Ser! Ser!
“Uhhh...!”

Mendadak beberapa potong ranting sebesar telunjuk tangan melesat ke arah Bayu. Seketika Pendekar Pulau Neraka melenting ke udara dan berputaran beberapa kali. Namun baru saja mendarat di tanah, beberapa potong ranting lagi menyambarnya. Kembali pemuda itu melesat ke atas, kembali meliuk ringan ke bawah. Dan kakinya pun mendarat manis di tanah. Masih sempat Bayu melihat sebuah bayangan yang melesat kencang meninggalkannya.

Pemuda itu menggeram dan langsung mengejar. Dan sebelum Pendekar Pulau Neraka mampu menyusulnya, bayangan itu telah menghilang ditelan lebatnya pepohonan. Bayu berusaha mencari-cari, namun tidak juga menemukan jejaknya. Dengan kesal Pendekar Pulau Neraka kembali ke tempat semula, tempat bayangan itu pertama terlihat.

“To..., tolooong...!” Kembali terdengar suara minta pertolongan bernada lemah. Dan sebentar saja Pendekar Pulau Neraka telah menemukan seorang laki-laki tergolek di tanah dalam keadaan terluka parah.

Dihampirinya orang itu. Tampak tulang dadanya, dan ususnya terburai seperti bekas disabet senjata tajam. Laki-laki itu memandang Bayu dengan wajah berkerut menahan rasa sakit yang hebat. Sebelah tangannya berusaha menggapai, ketika Bayu berjongkok.

“Bidadari.... Penyambar.... Nyawa....” Suara orang itu terdengar putus. Dan kepalanya langsung terkulai lesu, ketika selesai mengucapkan kata-kata itu dengan pelan.

Sementara Bayu tampak bingung. Orang itu tidak mampu melanjutkan kata-katanya, ketika nyawanya sudah lepas dari raga. Jika dilihat sepintas, orang itu masih berusia muda. Pedang pendek yang tergeletak dalam keadaan patah dua, membuktikan kalau pemuda ini bukan orang sembarangan. Dan bila melihat keadaannya yang terluka parah, bahkan masih mampu bertahan cukup lama, menguatkan dugaan kalau pemuda ini memiliki kepandaian hebat.

Siapa yang telah membuatnya tak berdaya? Bidadari Penyambar Nyawa?

Bayu hanya tertegun sendiri. Julukan itu baru didengarnya kali ini. Bayangan yang tadi kukejarkah?

“Nguk! Nguk...!”

Tiren mencerecet pelan dengan wajah termangu melihat mayat itu. Sedangkan Bayu segera berdiri seraya mengangkat tubuh Tiren ke pundaknya.

“Mari, Sobat. Kita tidak ada urusan dengan mereka...,” gumam Bayu, mengajak monyet kecil itu berlalu.


***


Seorang pemuda berpakaian ketat berwarna putih memacu kencang kudanya. Wajahnya tampak tegang dan terburu-buru. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang, seperti hendak memastikan kalau tidak ada seorang pun yang mengikutinya. Wajahnya sedikit lega, karena di depannya terlihat sebuah desa. Dia menduga, suasana ramai desa itu tentu jiwanya akan terselamatkan. Rasanya, tidak mungkin pemburunya mau mengejar sampai ke sana. Namun....

“Hi hi hi...! Kau kira bisa lari dariku?!”

Tiba-tiba sebuah suara nyaring menggema membuat pemuda itu menghentikan lari kudanya. Tak lama kemudian melayang sesosok tubuh ramping di hadapan pemuda berbaju putih itu. Sementara kuda yang ditunggangi pemuda itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.

“Sial!”

Pemuda itu merutuk kesal seraya melompat dari punggung kudanya. Tangan kanannya cepat menyambar dua buah kapak yang terselip di pinggang, dan siap menghadapi segala kemungkinan.

“Hi hi hi...! Tidak ada jalan selamat, sebelum kau menggorok lehermu sendiri!” ejek orang yang baru tiba sambil bertolak pinggang.

“Phuih! Lehermulah yang akan kugorok!” dengus pemuda itu dengan suara sedikit tinggi.

Sosok bertubuh ramping itu mengenakan topeng kayu yang menutupi seluruh wajahnya. Namun dari suara, bentuk tubuh, dan caranya berpakaian, jelas bisa ditebak kalau dia adalah seorang wanita. Melihat kulit tangannya yang bersih dan bentuk tubuhnya yang padat kencang, tentu juga bisa diduga-duga kalau wanita itu berusia muda. Di pinggangnya tampak terselip sebilah pedang kecil dan sehelai selendang berwarna biru muda.

Melihat pemuda itu telah bersiap hendak menyerang dengan sepasang kapak terhunus, wanita bertopeng ini sedikit pun tidak menampakkan rasa takut. Bahkan dari nada suaranya terasa kalau pemuda itu diremehkan.

“Ayo! Kemarilah kau, Setya Nugraha! Agar lebih cepat mampus!” tantang wanita itu.

“Keparat! Akan kubelah kepalamu! Yeaaa...!” bentak pemuda yang dipanggil Setya Nugraha seraya melompat menyerang.

“Hi hi hi...! Kau kira dengan kepandaianmu, mampu mengalahkanku? Nah, terimalah ajalmu!” ejek wanita bertopeng itu.

Siuttt...!

Begitu serangan kapak pemuda itu meluncur, tubuh wanita bertopeng kayu ini segera bergerak ke samping sambil menundukkan kepalanya. Hanya beberapa rambut serangan itu lewat di samping tubuhnya. Kemudian ringan sekali dia melompat ke atas. Tangan kanannya cepat bergerak, mencabut pedang yang terselip di pinggang.

Sring!
“Hih!”

Setya Nugraha terkesiap. Begitu cepat wanita bertopeng itu mencabut pedangnya. Dan seketika itu pula ujung pedang menyambar tenggorokannya. Cepat pemuda itu berusaha menangkis dengan sebelah kapaknya.

Trak!

Betapa terkejutnya Setya Nugraha, begitu menyadari kalau gagang kapaknya putus disambar senjata wanita itu. Bahkan ujung pedang wanita bertopeng itu langsung meluncur deras mengancam leher. Namun gesit sekali pemuda ini berusaha mengelak dengan melompat ke samping agak miring. Dan belum lagi tubuhnya bisa ditegakkan, kemudian datang serangan. Begitu cepatnya, sehingga sulit dihindari. Dan....

Brettt!
“Aaakh...!”

Setya Nugraha kontan menjerit begitu dadanya terkena tebasan pedang, sehingga membuat luka yang cukup lebar. Darah kontan mengucur dari dadanya.

“Hiyaaa...!”

Dan belum juga Setya Nugraha menguasai keadaan, wanita itu cepat bergerak melancarkan serangan kembali. Namun dalam keadaan putus asa dan jiwanya yang terjepit, kapaknya yang satu lagi segera dilemparkan tepat ketika wanita itu melesat kencang ke arahnya.

“Uts!”

Namun dengan sedikit, memiringkan kepala dan mengayunkan pedang, wanita bertopeng itu berhasil menghindari sambaran kapak Setya Nugraha. Bahkan gagang kapak itu sampai putus disambar pedangnya.

“Yeaaa...!”

Pedang wanita itu terus berkelebat-kelebat mengancam Setya Nugraha yang bergulingan menyelamatkan diri. Namun ketika pemuda itu berusaha melenting ke atas untuk menghindari sapuan tendangan, ujung pedang wanita bertopeng itu menyambar cepat ke arah perut. Sehingga...

Cras!
“Aaargkh...!”

Setya Nugraha langsung memekik kesakitan, begitu pedang wanita bertopeng itu menyambar perutnya. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung sambil memegang isi perutnya yang terburai keluar. Darah semakin banyak membanjiri tubuhnya. Dan belum juga Setya. ambruk ke tanah ujung kaki kanan wanita bertopeng itu cepat memberi hantaman ke muka.

“Digkh!”
“Aaa...!”

Pemuda itu terpental beberapa langkah disertai jerit kematian. Dia langsung ambruk tak bangkit kembali. Mati!

“Huh! Manusia picisan seperti kau ingin berlagak di depanku!” dengus wanita bertopeng itu, sambil memandang sinis ke arah mayat Setya Nugraha. Sebentar kemudian, tubuhnya berkelebat meninggalkan tempat itu dengan gerakan ringan.

Namun diam-diam, belum begitu jauh wanita bertopeng itu pergi, tiba-tiba muncul dua orang laki-laki keluar dari balik semak-semak. Mereka saling berpandangan satu sama lain dengan wajah bingung.

“Gila! Wanita itu pasti yang berjuluk Bidadari Penyambar Nyawa,” desis salah seorang yang bertubuh agak kurus dan pendek.

“Mana mungkin Bidadari Penyambar Nyawa harus bertopeng seperti mayat?” tanya yang mengenakan ikat kepala hitam.

“Alaaah! Tidak usah diributkan. Siapa lagi kalau bukan dia yang membuat resah dengan tindakannya yang kejam belakangan ini? Lagi pula melihat ciri-ciri yang pernah kudengar, tidak mungkin disangkal lagi kalau wanita itulah yang berjuluk Bidadari Penyambar Nyawa!

Biasanya, dia membunuh setiap laki-laki yang ditemui. Masih untung kita bisa selamat Ayo, jangan bengong saja. Kita harus memberitahukan kejadian ini pada orang-orang desa,” ajak laki-laki yang bertubuh kurus seraya berlari lebih dulu, kemudian diikuti kawannya.


***


Adipati Wiriaraja bersama Ki Aria Depa serta Brata Sena dan Sendang Dulur tengah bercakap-cakap di ruang pendopo utama. Mereka juga ditemani oleh seorang gadis berparas cantik berusia sekitar dua puluh tahun.

“Anakku.... Aku sungguh bangga mendengar kemajuanmu yang demikian pesat, setelah kau kembali dari Padepokan Karang Nunggal. Pesan apakah yang dikirim Ki Wahyu Tenggara untukku?” tanya Adipati Wiriaraja, pada gadis cantik di hadapannya.

“Ayahanda terlalu melebih-lebihkan. Ananda masih merasa banyak kekurangan dan perlu belajar lagi. Kalau saja bukan karena kebijaksanaan Ayahanda, tentu Ananda tidak seperti sekarang ini. Adapun Eyang Wahyu Tenggara menyampaikan salam hormat kepada Ayahanda. Beliau tidak sempat berkunjung ke sini...,” sahut gadis cantik itu yang tak lain Kunti Kameshawara, putri angkat Adipati Wiriaraja.

“Hhh.... Tidak bisa dibayangkan, bagaimana hebatnya kepandaian Gusti Kunti Kameshawara saat ini. Setelah berguru tiga tahun pada Nyi Sanggul Geni, kini Gusti Kunti Kameshawara pun telah selesai berguru di Padepokan Karang Nunggal. Siapa yang tidak mengenal Ki Wahyu Tenggara, tokoh kosen yang amat disegani di kalangan dunia persilatan,” puji Brata Sena.

“Betul! Tadi hamba sempat bermain-main. Dan hamba merasa, tidak mampu menghadapi kehebatan Gusti Kunti,” sambung Sendang Dulur.

“Ah! Paman berdua terlalu melebih-lebihkan. Kalau saja Paman tidak mengalah, mana mungkin aku mampu menjatuhkan Paman berdua,” sahut Kunti Kameshawara merendah.

“Hm.... Agaknya hal itu memang pujian yang sesungguhnya. Sungguh beruntung nasibmu. Dalam usia yang masih muda, sungguh sulit mencari lawan tanding bagimu. Barangkali, paman pun mesti mengaku kalah kepadamu,” sahut Ki Aria Depa sambil tersenyum kecil.

“Paman! Kalau Ayahanda mempercayakan Paman sebagai panglima di kadipaten ini, tentulah bukan pilihan mudah. Ayahanda terkenal bijaksana dan sudah pasti mengetahui keadaan yang sesungguhnya. Lagi pula, Paman kini adalah kakak seperguruanku. Dan sebagai kakak seperguruan, sudah jelas kemampuan Paman jauh berada di atasku,” selak Kunti Kameshawara.

“Ha ha ha...! Kau bisa saja, Kunti...!” Ki Aria Depa terkekeh pelan.

“Dan rasanya wanita itu belum tentu mampu mengalahkanmu,” kata Sendang Dulur.

“Wanita mana yang kau maksudkan, Sendang Dulur?” tanya Brata Sena.

“Siapa lagi kalau bukan Bidadari Penyambar Nyawa.”

“Bidadari Penyambar Nyawa...?”

Adipati Wiriaraja tertegun pelan mendengar nama itu disebutkan. Dia memandang agak lama ke arah Ki Aria Depa.

“Apakah wanita itu belum juga tertangkap, Aria...?” lanjut adipati itu.

“Ampun, Kanjeng Gusti. Sampai saat ini hamba telah berusaha sekuat kemampuan untuk meringkusnya. Namun dia selalu berhasil meloloskan diri, saat berhadapan dengan hamba. Dan harus diakui, wanita itu memiliki kepandaian hebat. Hamba selalu gagal mengejarnya. Tapi hamba berjanji, suatu saat nanti akan hamba tangkap wanita itu,” sahut Ki Aria Depa seraya menundukkan kepala.

“Paman Aria Depa! Kau tidak perlu merasa bersalah. Aku pun tahu kerja kerasmu. Dan kau termasuk orang yang tidak melalaikan tugas. Aku juga memaklumi kemampuanmu yang mungkin terbatas. Tidak usah berkecil hati. Namun yang perlu dilakukan adalah mencari jalan, bagaimana caranya meringkus wanita itu. Sebab kalau terus dibiarkan, dia akan merajalela membuat kekacauan,” ujar adipati itu.

“Hamba juga mohon ampun, atas musibah yang menimpa Den Setya Nugraha dua hari lalu. Hamba telah mengerahkan prajurit-prajurit pilihan untuk mengejar wanita itu, namun belum juga mendapat hasil,” sambung Ki Aria Depa pelan.

Adipati Wiriaraja menarik napas panjang dan terdiam beberapa saat. “Keponakanku itu memang bengal. Malah kelakuannya sering menyimpang dari kesopanan,” gumam Adipati Wiriaraja pelan, seraya berpaling. Adipati itu menoleh lagi pada Aria Depa.

“Benarkah wanita itu selalu mencari korban para pemuda hidung belang dan pengganggu penduduk lain?” tanya Adipati Wiriaraja.

“Memang benar, Kanjeng Gusti. Tapi hal itu tidak menutupi kemungkinan terhadap pemuda serta orang-orang yang tak bersalah....”

“Hm.... Apa maksudnya berbuat demikian? Apakah demikian bencinya wanita itu terhadap kaum lelaki, sehingga berbuat kejam? Atau, apakah ada tujuan lain? Tapi yang jelas, hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja,” kata Adipati Wiriaraja geram.

“Ayahanda! Izinkanlah ananda membantu tugas Paman Aria Depa untuk meringkus wanita itu...,” pinta Kunti Kemeshawara menawarkan diri.

Adipati Wiriaraja tersenyum. Namun belum lagi memberikan sambutan, mendadak seorang prajurit kadipaten menghadap kepadanya.

“Ampun, Kanjeng Gusti. Hamba membawa kabar buruk. Sekawanan perampok sedang mengamuk di alun-alun...,” lapor prajurit itu.

“Perampok? Siapa mereka?” sahut Adipati Wiriaraja, mengernyitkan alisnya.

“Agaknya mereka Kawanan Alap-alap Panah Beracun.”

“Hm.... Alap-alap Panah Beracun? Apa maksud mereka dengan segala ulahnya itu?” gumam Adipati Wiriaraja. “Paman Aria Depa! Lekaslah ke sana. Dan, tangkap mereka!”

“Baik, Kanjeng Gusti Adipati!” seru Ki Aria Depa cepat, langsung mengajak kedua anak buahnya.

Setelah menjura hormat, bergegas mereka meninggalkan pendopo. Dan begitu sampai di luar mereka melompat ke punggung kuda masing-masing, dengan diiringi prajurit secukupnya.

Sementara Kunti Kameshawara sendiri kemudian menyelinap ke kamarnya. Seperti biasa, setiap ada kekacauan maka Adipati Wiriaraja belum mempercayakan putri angkatnya untuk membantu tugas abdi setianya. Dan Kunti Kameshawara agaknya memakluminya. Tapi tanpa sepengetahuan kedua orangtua angkatnya, gadis itu menyelinap keluar lewat jendela kamarnya dan terus kabur menuju alun-alun.


***


EMPAT

Dengan dibantu lebih dari dua puluh orang anak buahnya, seorang laki-laki berkulit hitam dan berwajah lebar dipenuhi cambang bauk tampak tengah mengamuk sejadi-jadinya. Beberapa penduduk yang berada di sekitarnya tewas seketika, menjadi sasaran kemarahannya. Beberapa rumah tampak roboh dan sebagian lagi terbakar. Sehingga, asap hitam mengepul ke udara.

“Ke mana semua laki-laki di Kadipaten Baluran ini?! Ayo, hadapi aku! Akulah Tambak Ireng yang akan menghancurkan seluruh kadipaten ini jika pembunuh putraku tidak diserahkan padaku!” teriak laki-laki yang mengaku Ki Tambak Ireng itu geram dengan suara lantang.

Laki-laki bertubuh besar yang menyandang busur di dada dan kantong anak panah di punggung itu mengamuk sejadi-jadinya. Tangan kanannya menggenggam sebuah golok besar yang sudah bersimbah darah penduduk kadipaten itu. Beberapa pemuda yang mencoba menahan amukannya, dalam seketika tewas menjadi korban. Karena memang, laki-laki seram itu adalah Pimpinan Kawanan Alap-alap Panah Beracun.

Tidak hanya itu. Kawanan Alap-alap Panah Beracun juga mengejar penduduk yang berlarian menyelamatkan diri. Kawanan itu bermaksud meratakan semua bangunan dan menghabisi penduduknya. Banyak anak-anak serta wanita lanjut usia yang terbantai secara kejam. Sedangkan para wanita muda berparas cantik diperkosa dengan buas, sebagaimana kawanan serigala lapar. Siapa saja yang mencoba menghalangi, akan menemui ajal di tangan orang-orang itu.

“Tambak Ireng! Hentikan perbuatan biadabmu!” Tiba-tiba terdengar suara menggeledek, yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Ki Tambak Ireng segera menghentikan tindakannya. Anak buahnya segera diisyaratkan agar berhenti menyerang. Kepalanya lalu berpaling ke arah datangnya suara. Demikian juga anak buahnya. Tampak para prajurit Kadipaten Baluran telah mengepung tempat itu dengan senjata terhunus. Tiga orang penunggang kuda yang berdiri paling depan tampak mendekatinya pelan. Salah seorang yang bertindak sebagai pemimpin menudingnya dengan wajah garang.

“Kelakuanmu sungguh biadab, Keparat!” maki laki-laki yang tak lain Ki Aria Depa.

“Hm.... Kaukah yang bernama Aria Depa? Tidak usah banyak bicara. Serahkan wanita itu, dan kami akan pergi secepatnya dari sini!” bentak Ki Tambak Ireng tak kalah garang.

“Dasar keparat busuk! Apa yang kau bicarakan?! Datang dengan tiba-tiba dan mengamuk tanpa alasan. Selama ini kami memang membiarkan gerombolanmu, karena tidak pernah membuat kekacauan di kadipaten ini. Tapi melihat perbuatanmu sekarang, maka kau dan anak buahmu dihukum gantung!” tegas Ki Aria Depa.

“Ha ha ha...! Sungguh hebat bicaramu, Aria! Tapi tahukah kau, sedang berhadapan dengan siapa sekarang?! Apa dikira aku bisa digertak begitu rupa? Hei, Panglima Kemarin Sore! Aku selamanya tak pernah takut mati! Putraku telah terbunuh secara kejam oleh orang dari kadipaten ini. Itulah sebabnya, kenapa aku ingin meratakan kadipaten ini. Karena, pembunuh itu telah menyelinap ke dalam gedung kadipaten. Jadi, siapa yang harus bertanggung jawab dalam hal ini selain kalian?” tuding Ki Tambak Ireng.

“Huh! Kau hanya mencari-cari alasan untuk membenarkan perbuatan terkutukmu!” bantah Ki Aria Depa.

“Aku tak peduli bantahanmu! Yang penting, berikan orang itu. Atau, seluruh isi kadipaten ini kuratakan dengan tanah?” ancam Ki Tambak Ireng.

“Keparat! Kau boleh melangkahi mayatku dulu,” desis Ki Aria Depa seraya melompat dari kudanya. Dan sebentar saja, dia sudah menyerang Ki Tambak Ireng.

Agaknya, serangan itu merupakan isyarat bagi prajurit kadipaten untuk segera menyerang Kawanan Alap-alap Panah Beracun. Maka serentak anak buah Ki Aria Depa langsung menghunus senjata dan menyerang.

Tapi anak buah Ki Tambak Ireng tampaknya juga tak kalah sigap. Begitu melihat serangan datang, mereka langsung mencabut busur yang tersandang. Maka langsung saja para prajurit kadipaten itu dihujani desingan anak panah.

Crab!
Wut!
“Aaakh...!”

Jerit kesakitan dan teriakan membahana seketika terdengar. Beberapa orang prajurit kadipaten langsung ambruk diterjang panah-panah beracun yang dilepas Kawanan Alap-alap Panah Beracun. Tentu saja keadaan ini membuat Brata Sena dan Sendang Dulur geram bukan main. Dua orang terdekat Ki Aria Depa seketika melompat dan langsung menyerang kawanan itu. Dalam sekali gebrakan saja, tiga orang telah tewas di tangan mereka. Namun sebelum mereka membuat korban lebih banyak, tiba-tiba melesat dua sosok tubuh yang langsung memapak serangan.

“Mereka bukan lawanmu. Akulah orangnya,” desis laki-laki yang bertubuh besar dan berkumis melintang. Dia langsung menangkis tombak baja Brata Sena dengan busurnya yang tebal dan runcing pada kedua ujungnya.

Sementara yang seorang lagi adalah laki-laki berusia lanjut, dengan tubuh bungkuk. Matanya langsung menatap tajam Sendang Dulur. Brata Sena menggeram. Maka langsung diserangnya laki-laki berkumis melintang itu dengan gencar disertai pengerahan segala kemampuannya. Namun kali ini lawan yang dihadapi memang tidak sembarangan.

Laki-laki bertubuh besar itu tangkas sekali melayani setiap serangan-serangannya. Dari beberapa kali benturan yang terjadi, Brata Sena merasakan kalau tenaga dalamnya kalah jauh. Bahkan kegesitan orang itu amat mengagumkan. Belum lagi permainan senjata busurnya yang amat lihai dan sulit diduga.

Demikian juga Sendang Dulur. Hatinya geram bukan karena belum juga mampu menghabisi lawannya yang bertubuh kecil dan bungkuk itu. Bahkan orang tua bungkuk itu malah sering terkekeh-kekeh, setiap menghindari serangannya. Senjata busurnya merupakan bayangan maut yang setiap saat mampu membinasakan Sendang Dulur.

Dengan kekuatan yang dikerahkan, Kawanan Alap-alap Panah Beracun itu betul-betul membuat semua prajurit kadipaten putus asa. Panah-panah beracun yang dilepaskan, sering mengenai sasaran. Belum lagi kepandaian ilmu silat setiap anak buah Ki Tambak Ireng yang sangat mengagumkan. Sehingga, membuat para prajurit Kadipaten Baluran sulit untuk bertahan lebih lama. Maka tidak heran bila satu persatu mereka binasa di tangan kawanan itu.


***


Sementara itu, Ki Aria Depa sendiri agak kesulitan merobohkan pertahanan Ki Tambak Ireng. Bersenjatakan busur yang terbuat dari baja putih pilihan, Ki Tambak Ireng bukan saja mampu menahan serangan lawan, bahkan mampu membalas dengan hebat. Kehebatannya ternyata bukan omong kosong belaka, karena kali ini Ki Aria Depa sendiri telah membuktikannya.

“Yeaaa...!”

Kini Ki Tambak Ireng tampak bergulung-gulung indah dengan tangan bergerak cepat menyambar anak panah. Kemudian belum lagi kedua kakinya menjejak tanah dilepaskannya panah-panah beracun yang melesat deras ke arah Ki Aria Depa. Bukan main terkejutnya Panglima Pasukan Kadipaten Baluran. Maka dengan sekuat tenaga, dia mengelak seraya memutar pedang bagai kitiran.

Trang! Trang!

Seluruh anak panah berhasil dipatahkan Ki Aria Depa. Namun belum juga bersiap....

“Hiyaaat...!”

Agaknya serangan Ki Tambak Ireng tidak berhenti sampai di situ saja. Begitu kedua kakinya menjejak tanah, tubuhnya kembali melesat menyerang panglima itu dengan sambaran busurnya. Ki Aria Depa terkesiap. Buru-buru ditangkisnya serangan dengan senjatanya.

Trak!

Sementara pada saat yang hampir bersamaan, telapak tangan kiri Ki Tambak Ireng menghantam ke arah dada. Cepat-cepat Ki Aria Depa meliukliuk menghindarinya. Namun pada saat itulah salah satu ujung busur Ki Tambak Ireng yang runcing menyambar ke arah tenggorokannya. Ki Aria Depa memang masih sempat menundukkan kepala. Namun ketika Ki Tambak Ireng memutar senjatanya dengan gerakan dari atas ke bawah....

Crasss!
“Aaargkh...!”

Ki Aria Depa kontan mengeluh tertahan, ketika kulit dadanya tersambar senjata Ki Tambak Ireng. Luka yang dideritanya tidak begitu dalam, namun terasa perih. Bahkan membuat pembuluh darahnya seperti terbakar.

“Celaka! Senjatanya mengandung racun ganas...,” desis panglima itu tersentak kaget. Ki Aria Depa segera menotok beberapa bagian jalan darah di sekitar lukanya, untuk menghambat jalannya darah. Namun, justru racun itu dirasakan berjalan cepat, menyatu dengan aliran darahnya.

“Yeaaa...!”
Wut! Wut!

Melihat keadaan panglima itu demikian, Ki Tambak Ireng agaknya tidak mau memberi hati. Terus diterjangnya Ki Aria Depa dengan serangan-serangan maut yang mematikan. Mau tak mau panglima itu berusaha bertahan mati-matian. Pedangnya diputar sedemikian rupa, untuk menangkis kelebatan senjata pemimpin perampok ini.

“Hih...!”
Trang!
“Ohhh...!”

Bukan main terkejutnya Ki Aria Depa ketika senjata memapak serangan Ki Tambak Ireng. Tangannya kontan terasa gemetar dan tenaganya berkurang. Dan belum lagi menyadari apa yang terjadi....

Trang!

Tiba-tiba saja pedang di tangan Ki Aria Depa terlepas dari genggaman, dihantam senjata Ki Tambak Ireng. Belum habis rasa terkejutnya, sambaran senjata Ki Tambak Ireng yang bertubi-tubi membuat Ki Aria Depa terpaksa bergulingan di tanah.

Keadaan Ki Aria Depa memang sangat memprihatinkan. Tubuhnya semakin lemah dan gerakannya semakin pelan akibat racun yang bersarang di tubuhnya. Meski beberapa bagian jalan darah telah ditotok, namun agaknya racun yang berasal dari senjata Ki Tambak Ireng memang jenis racun hebat. Bahkan mampu merambat keseluruh bagian tubuhnya dengan cepat.

“Yeaaa...!”
“Oh...?!”

Ki Tambak Ireng kembali melancarkan serangan dahsyat. Ujung senjatanya terus berkelebat, mengincar wajah Ki Aria Depa. Namun panglima itu cepat melemparkan tubuhnya ke belakang. Dan belum juga Ki Aria Depa memantapkan kakinya di tanah, serangan Ki Tambak Ireng selanjutnya meluncur datang. Rasanya sulit serangan ini dielakkan lagi Ki Aria Depa. Begitu mendarat di tanah tubuh Ki Aria Depa terasa kaku tidak dapat bergerak. Sedangkan ujung busur Ki Aria Depa telah menderu ke arah jantungnya. Untung saja pada saat yang sangat gawat ini....

“Kisanak! Hentikan perbuatanmu!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Namun, agaknya Ki Tambak Ireng tidak mempedulikannya. Senjatanya tetap terus mengancam keselamatan Ki Aria Depa. Sehingga....

Ziiing!

Mendadak sekelebat cahaya putih keperakan melesat, setelah bersamaan suara nyaring yang mendesing ke arah Ki Tambak Ireng.

“Hei?!”
Tras!

Pemimpin Kawanan Alap-alap Panah Beracun itu terkejut. Dan lebih terkejut lagi ketika baru menyadari kalau busurnya patah menjadi dua bagian, akibat terpapak cahaya putih keperakan tadi. Dan belum lagi, sempat mengetahui benda yang bergerak bagai kilat tadi, sebuah bayangan melesat cepat mengirim serangan ke arahnya. Maka cepat-cepat tangan kirinya bergerak menangkis.

Plak!
“Hih...!”

Ki Tambak kemudian cepat memutar tubuhnya. Lalu dengan geram dihantamnya bayangan tadi lewat pengerahan tenaga dalam tinggi melalui kepalan tangan kanannya.

Wer!

Ternyata Ki Tambak Ireng hanya menghantam tempat kosong, karena bayangan itu telah berkelit cepat. Bahkan mendadak saja laki-laki itu merasakan sambaran deras menghantam ke arah wajahnya. Ki Tambak Ireng terkejut bukan main. Namun dia cepat melompat ke belakang seraya mengibaskan tangan kanannya ke depan. Maka seketika serangkum angin kencang menderu kearah bayangan itu.

Namun dengan gerakan amat gesit, bayangan itu telah menyelinap ke samping. Bahkan tiba-tiba sudah bergerak ke arah pinggang kanan Ki Tambak Ireng.

“Yeaaa...!”
“Uhhh...!”

Bukan main terkejutnya Ki Tambak Ireng. Cepat-cepat ditangkisnya serangan itu dengan kibasan tangan kanan ke bawah.

Plak!

Ki Tambak Ireng kontan merasakan pergelangan tangannya seperti menghantam benda keras. Tubuhnya langsung bergetar hebat. Dan dia terus melompat ke belakang, karena sapuan tendangan bayangan itu telah meluncur kembali ke arahnya. Namun belum lagi kedua kakinya menjejak tanah, kepalan tangan bayangan itu telah meluncur ke perutnya. Dan....

Begkh!
“Aaakh...!”

Ki Tambak Ireng menjerit keras dengan tubuhnya terjajar beberapa langkah. Untung saja serangan bayangan itu berhenti. Dan kini, Ki Tambak Ireng bisa melihat jelas, siapa penyerangnya tadi. Matanya jadi menyipit. Sementara pergelangan tangannya mengusap sudut bibirnya yang meneteskan sedikit darah segar.

Kini terlihat jelas seorang pemuda tampan berwajah tampan, namun mencerminkan kekerasan hatinya. Pemuda berambut panjang dan berpakaian dari kulit harimau itu berdiri tegak pada jarak tujuh langkah di depannya. Tampak matanya memandang tajam ke arah Ki Tambak Ireng.

“Bocah setan! Siapa kau, hingga berani-beraninya mencampuri urusanku!” dengus Ki Tambak Ireng dengan amarah meluap.


***


“Orang-orang menyebutku, Bocah Setan..,” sahut pemuda itu yang tak lain Bayu Hanggara atau lebih dikenal sebagai Pendekar Pulau Neraka.

“Kurang ajar! Kau kira bisa mempermainkan aku, heh?!” sentak laki-laki berkulit hitam itu, bertambah geram mendengar jawaban Bayu.

“Apa kau kira aku bermain-main? Apalagi melihat segala perbuatanmu yang biadab terhadap penduduk tidak berdosa. Kau patut mampus, Setan Busuk!” dengus Bayu, sinis.

“Setan! Kaulah yang akan mampus!” sentak Ki Tambak Ireng. Seketika laki-laki berkulit hitam itu menghentakkan tangannya ke depan. Dia memang ingin menghantam Bayu dengan pukulan jarak jauh yang berisi tenaga dalam kuat. Maka seketika itu pula serangkum angin kencang beserta asap hitam tipis menderu manghantam Pendekar Pulau Neraka.

Bayu mendengus sinis. Kemudian, telapak tangan kirinya disorongkan ke depan. Mendadak dari telapak tangan kirinya melesat angin kencang bertenaga kuat yang memapak serangan!

Werrr! Bletarrr!

Kedua pukulan satu sama lain beradu cepat di tengah-tengah, sehingga membuat tempat di sekitarnya seperti dilanda angin topan hebat. Bahkan beberapa orang yang dekat dengan pertarungan terdengar menjerit kesakitan seraya memegangi leher. Tubuh mereka berkelojotan, untuk kemudian ambruk dan menggelepar-gelepar tak berdaya.

Bayu begitu terkejut, menyadari kalau sebagian pukulan Ki Tambak Ireng yang menyebar kesekitar tempat ini, ternyata mengandung racun hebat. Sehingga mampu mencelakakan orang yang menghirup udara di sekitarnya. Maka ketika Ki Tambak Ireng kembali melompat menyerang, Bayu tidak berusaha memapak, melainkan melompat ke atas menghindarinya. Tubuhnya lantas bergulung-gulung di udara. Namun, akibatnya hantaman Ki Tambak Ireng membuat sebuah rumah yang tadi di belakang Bayu, jadi hancur berantakan.

Melihat serangannya gagal, bukan main geramnya laki-laki berkulit hitam itu. Tubuhnya terus mengejar Pendekar Pulau Neraka dengan mengumbar pukulan mautnya. Namun sejauh itu Bayu mampu menghindar dengan gesit. Bahkan dengan gerakan tidak terduga, tubuhnya berbalik. Dan dia langsung bergerak cepat menghantam Ki Tambak Ireng yang terkejut bukan main. Mau tak mau, laki-laki berkulit hitam itu memapak pukulan Bayu.

Plak! Plak!

Tubuh Ki Tambak Ireng bergetar keras begitu kedua tangannya beradu. Meski demikian, tubuhnya masih mampu memapaki kepalan tangan kiri Bayu yang berputar menghantam ke arah leher. Sementara Bayu cepat bergerak ke samping disertai hantaman tendangan untuk memancing. Ki Tambak Ireng segera bergerak mengelak dengan liukkan tubuhnya. Pancingan Bayu membawa hasil. Seketika tubuh Pendekar Pulau Neraka melompat ke atas dengan ujung kaki kanan bergerak ke arah dada. Akibatnya....

Des!
“Aaakh...!”

Ki Tambak Ireng kontan memekik kesakitan, begitu dadanya terhantam telak tendangan Pendekar Pulau Neraka. Tubuhnya langsung terjungkal ke tanah beberapa langkah, disertai muntahan darah segar. Dia berusaha bangkit, namun saat itu juga berkelebat cahaya keperakan kearahnya bagai kilat Ki Tambak Ireng terkejut, namun sudah tidak berdaya apa-apa lagi. Sehingga....

Zwing!
Cras!
“Hegkh...!”

Ki Tambak Ireng hanya mampu menjerit tertahan, begitu cahaya keperakan itu menyambar leher dan nyaris membuat kepalanya putus. Tubuhnya, kembali ambruk ke tanah. Ki Tambak Ireng menggelepar-gelepar meregang nyawa. Darah tampak terus mengucur dari lehernya. Sebentar saja, tubuhnya telah diam tak berkutik lagi.

Sementara Pendekar Pulau Neraka segera mengibaskan tangan kanannya, dengan mata tetap memperhatikan Ki Tambak Ireng. Tak lama, senjata Cakra Maut yang tadi dilepaskannya, kembali menempel erat di pergelangan tangan kanannya.

“Hei? Kau..., kaukah Pendekar Pulau Neraka yang termashyur itu?!” Ki Aria Depa terkesima begitu melihat Cakra Maut menempel erat di pergelangan tangan Bayu.

Kini baru disadari, benda apa yang tadi melesat cepat itu. Sebuah cakra bersegi enam berwarna keperakan yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka. Bahkan ketika Bayu sudah menghampirinya, Ki Aria Depa masih terpaku tak percaya.

“Begitulah orang-orang menyebutku...,” kata Bayu pelan. Mendadak Pendekar Pulau Neraka cepat bergeser ke kiri seraya membungkuk. Dan tiba-tiba kedua tangannya bergerak cepat, menangkap se suatu yang berdesing ke arahnya. Dan tanpa berbalik, Bayu melemparkan beberapa buah anak panah yang tadi sempat ditangkapnya ke arah sosok beberapa tubuh yang membokongnya.

Begitu cepat lesatan anak panah yang dikembalikan Bayu pada pemiliknya. Bahkan kecepatannya melebihi saat meluncur datang tadi. Sehingga....

Ser! Ser!
Crab!
“Aaargkh...!”

Tiga orang anggota Kawanan Alap-alap Panah Beracun yang marah bukan kepalang melihat pemimpin mereka tewas, harus menemui ajalnya ketika anak panah yang dilemparkan Bayu menghujam telak dada. Mereka langsung ambruk di tanah termakan senjatanya sendiri.

Zwing!

Cakra Maut di tangan Bayu kembali melesat, ketika tiga orang lagi menyerangnya secara bersamaan. Mereka langsung melepaskan panah-panah beracun, siap menghujam tubuh Pendekar Pulau Neraka. Namun....

Trak! Trak!

Panah-panah beracun itu kontan berpatahan terhantam Cakra Maut. Bahkan senjata dahsyat itu terus mendesing ke arah para pembokong. Salah seorang tampak berusaha menghindar, namun tak urung kulit dadanya tersambar juga. Sementara kawanan yang berada di belakang tak sempat mengelak, sehingga....

Brettt!
“Aaakh...!”

Orang itu menjerit kesakitan, ketika Cakra Maut merobek perutnya sehingga ususnya terburai keluar. Begitu mendapatkan sasaran Cakra Maut kembali melesat pulang, ketika Bayu mengibaskan tangan kanannya.

“Setan! Akulah lawanmu, Keparat!” teriak seorang laki-laki bertubuh besar, begitu Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanan Bayu. Laki-laki bertubuh besar yang tadi menjadi lawan Brata Sena itu langsung menyerang Pendekar Pulau Neraka dengan gencar, setelah memberi perintah pada dua orang anak buahnya untuk menghadapi Brata Sena.

Sedangkan laki-laki bungkuk yang menjadi lawan Sendang Dulur juga bermaksud menghabisi Pendekar Pulau Neraka secepatnya. Namun sebelum niatnya sampai, mendadak sebuah bayangan telah menghadangnya.

“Semua Kawanan Alap-alap Panah Beracun akan mampus di tanganku!”


www.sonnyogawa.com


LIMA

Orang tua bertubuh kecil dan bungkuk itu terkejut. Cepat busur panahnya dikibaskan untuk menghalau serangan yang baru muncul.

Trak!

Bukan main terkejutnya orang tua itu ketika merasakan tangannya kesemutan, begitu senjata busurnya seperti menghantam batu cadas yang keras luar biasa. Dan lebih terkejut lagi ketika merasakan sesuatu yang mendesir ke arah lehernya.

Bet!
“Uhhh...!”

Orang tua bungkuk itu melangkah ke belakang dan terus melompat ke samping untuk menghindari sambaran senjata sosok bertubuh ramping yang menjadi lawannya. Namun, senjata itu terus mengejarnya seperti tak ingin memberi kesempatan sedikit pun untuk bernapas. Bahkan baru saja kakinya menjejak, ujung senjata itu kembali menyambar. Seketika dipapaknya serangan itu dengan ayunan busurnya.

Trak!

Untuk kedua kalinya orang tua bungkuk itu merasakan tangannya kesemutan. Dia menggeram. Dan sebelum sosok bertubuh ramping itu menyerang, ujung kaki kanannya telah lebih dulu diayunkan. Seketika sosok bertubuh ramping ini cepat mengibaskan tangan kirinya. Maka, tiba-tiba sebuah selendang meluncur deras, ke arah kaki orang tua bungkuk itu.

Rrrt!

Bahkan seketika itu pula pergelangan kaki anak buah Ki Tambak Ireng ini dibelit selendang yang alot bukan main. Sementara, sosok ramping itu langsung menghentakkan selendangnya. Akibatnya, tubuh orang tua bungkuk itu langsung terjajar ke depan oleh sentakan tenaga keras. Dan belum lagi bisa menyadari apa yang terjadi, satu tendangan keras menghantam pinggang kirinya.

Desss!
“Aaakh...!”

Orang tua itu kontan memekik keras, begitu pinggangnya terhajar tendangan keras dari sosok ramping ini. Tubuhnya langsung terjungkal dan bergulingan di tanah. Namun tubuhnya kembali tertahan, bahkan kembali tersentak ke arah sosok ramping itu, karena selendang lawannya masih membelit kakinya.

Orang tua itu tidak kehilangan akal. Segera saja busur di tangannya dilemparkan, sehingga melesat cepat ke arah sosok ramping yang terus membetotnya. Namun, sosok ramping itu telah sigap. Pedang di tangan kanannya cepat dikibaskan, memapak luncuran busur panah itu.

Trak!

Senjata busur orang tua bungkuk itu berhasil ditangkis hingga terpental jauh. Sedangkan tubuhnya terus saja meluncur ke arah sosok ramping yang siap dengan hujaman senjatanya. Sehingga....

Bresss...!”
“Aaa...!”

Pedang di tangan sosok bertubuh ramping itu terus menderu keras, menembus dada kiri laki-laki bungkuk ini tanpa tertahankan lagi disertai jeritan menyayat. Darah tampak membasahi dadanya. Jantung orang tua itu kontan pecah tertembus ujung pedang pendek milik sosok yang ternyata seorang gadis bertubuh ramping.

Wanita bertopeng kayu di wajahnya itu memandangi mayat orang tua bungkuk itu tanpa mempedulikan sekitarnya.

“Hei? Bukankah dia Bidadari Penyambar Nyawa?!” teriak seseorang, begitu mengenali gadis bertopeng itu.

Anak buah Ki Tambak Ireng yang lain tampak terkejut. Namun, mereka tidak punya waktu lagi untuk berdiam diri, karena gadis bertopeng itu telah melesat membawa serangan ganas.

“Alap-alap keparat! Mampuslah kalian sekarang! Yeaaa...!”

“Hei?!”

Bukan main terkejutnya anggota Kawanan Alap-alap Panah Beracun itu mendapat serangan mendadak begitu. Namun beberapa orang masih sempat melepaskan anak-anak panah beracun kearah gadis bertopeng itu.

Ser! Ser!

Namun, dengan tangkas gadis itu memutar pedangnya, merontokkan anak panah beracun yang menyerangnya. Diiringi bentakan, ujung selendang di tangan kirinya langsung dikibaskan menyambar ke arah para pemanah.

Tarrr!
“Aaakh...!”
“Hiyaaat...!”

Ujung selendang yang terlihat lemas itu jadi berubah kaku keras bagai sebatang baja. Dan tanpa ampun lagi, para pengikut Kawanan Alap-alap Panah Beracun tersambar selendang itu. Dua orang seketika terlempar beberapa langkah dari tempatnya semula, dengan tubuh remuk. Tewas!

Sedangkan yang lain mampu menyelamatkan diri walaupun dengan pontang-panting. Namun gadis bertopeng itu agaknya tidak memberi sedikit kesempatan pada mereka. Begitu melihat mereka sibuk menyelamatkan diri, tubuhnya langsung melesat sambil memutar pedangnya.

Trak! Trak!

Beberapa orang mencoba menangkis sabetan pedang itu. Namun begitu selendang gadis yang dijuluki Bidadari Penyambar Nyawa itu ikut bicara, tak ada yang bisa mencegahnya.

Brettt!
Crasss!
“Aaakh...!”

Pekik kematian kembali mengiringi beberapa Kawanan Alap-alap Panah Beracun yang tewas disambar selendang gadis itu. Sementara yang lainnya berusaha menangkis dengan senjata busur. Namun, selendang itu kembali berbicara. Tubuh mereka berpelantingan ke tanah dengan keras. Siapa pun yang berusaha melepaskan diri, maka gadis itu akan mengejarnya. Akibatnya, mereka betul-betul tidak berdaya.

Melihat dari tindakannya, gadis bertopeng itu agaknya mendendam pada Kawanan Alap-alap Panah Beracun. Sehingga tidak seorang pun dibiarkan hidup atau melarikan diri. Dia mengamuk sejadinya. Dengan kepandaian serta kelincahannya yang luar biasa, dalam waktu singkat saja semua kawanan itu tewas menemui ajalnya secara mengerikan.

“Mampuslah kalian semua!” dengus Bidadari Penyambar Nyawa bernada dingin. Matanya yang tajam memandangi sisa gerombolan yang tinggal seorang lagi. Dia adalah lawan Pendekar Pulau Neraka. Bidadari Penyambar Nyawa hendak bergerak menyerang. Namun, niatnya segera diurungkan, karena orang itu telah menjadi bulan-bulanan pemuda berbaju kulit harimau.

Ketika memperhatikan sekilas, dia menduga kalau pemuda itu mungkin mempunyai dendam tersendiri terhadap kawanan ini. Nyatanya serangan-serangan pemuda itu tampak bukan main-main. Lawannya sampai dibuat terjajar beberapa kali tanpa kenal ampun. Dan ketika orang itu berusaha bangkit, senjata yang berada di pergelangan tangan pemuda ini melesat cepat. Langsung disambarnya tenggorokan orang itu tanpa ampun. Orang itu kontan memekik tertahan.

Tubuhnya langsung ambruk dengan leher hampir putus mengucurkan darah segar. Melihat keadaan itu, gadis bertopeng itu langsung melompat ke atas, hendak pergi dari situ. Namun Ki Aria Depa yang sejak tadi terkesima melihat sepak terjang gadis itu, segera terjaga.

“Lekas kejar, dan tangkap wanita itu...!” teriak Ki Aria Depa pada anak buahnya.

Brata Sena dan Sendang Dulur langsung melompat mengejar, diikuti prajurit kadipaten. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau yang memang Bayu tetap tegak berdiri di tempatnya dengan wajah tak mengerti. Matanya memandang sekilas ke arah lenyapnya gadis bertopeng tadi, kemudian menyambar Tiren sahabatnya yang berteriak-teriak dan berlari kecil ke arahnya.


***


Ki Aria Depa yang masih terluka dalam, berdiri tegak mematung memandang para prajurit kadipaten. Kemudian, dia mengeluh pendek. Wajahnya terlihat muram, ketika melangkah mendekati kudanya.

“Sebenarnya sia-sia mereka mengejarnya. Aku saja tak mampu. Apalagi mereka...,” gumam panglima kadipaten ini pendek.

“Bukankah gadis bertopeng itu telah menolong kalian? Lalu, kenapa kau begitu bernafsu hendak menangkapnya?”

“Hei?!”

Ki Aria Depa terkejut dan cepat menoleh, ketika seseorang menyahuti kata-katanya. Wajahnya tampak cerah, kemudian menjura hormat pada Bayu yang berada di dekatnya sambil menggendong Tiren.

“Pendekar Pulau Neraka.... Aku berterima kasih yang sedalam-dalamnya atas pertolonganmu. Maafkan. Pikiranku kacau, sehingga sampai melupakan kehadiranmu....”

“Lupakanlah, Kisanak...,” desah Bayu.

“Ehm.... Namaku Aria Depa,” kata Ki Aria Depa cepat.

“Hm, Ki Aria Depa. Kau boleh memanggilku Bayu. Sepanjang jalan, banyak kudengar berita tentang sepak terjang wanita bertopeng itu. Tapi apa yang dilakukannya hari ini aku jadi bingung. Kenapa pihak kadipaten ingin menangkapnya? Bukankah dia telah menolong kalian tadi?” tanya Bayu.

“Ini memang sulit dijelaskan. Dan kurasa, dia bukan bermaksud menolong. Tapi, memang mempunyai dendam tersendiri terhadap Kawanan Alap-alap Panah Beracun,” jelas Ki Aria Depa.

“Apakah kalian semua merasa yakin kalau wanita itu yang berjuluk Bidadari Penyambar Nyawa?”

“Aku bahkan pernah beberapa kali berusaha menangkapnya. Namun sayang, kepandaiannya terlalu tinggi. Sehingga, sulit bagiku untuk meringkusnya,” jelas Ki Aria Depa, terus terang.

“Hm.... Kalau begitu, apakah pihak kadipaten merasa yakin kalau selama ini dia memang melakukan kesalahan?”

“Bayu.... Bidadari Penyambar Nyawa bukanlah tokoh baik-baik. Aku tidak tahu banyak tentang dirinya. Demikian juga semua orang di kadipaten ini. Semula perbuatannya kelihatan terpuji karena banyak membantai perampok dan penjahat. Tapi lama-lama perbuatannya semakin membabi buta. Dia membunuh semua laki-laki yang tak disukainya,” jelas panglima itu.

“Apakah kau yakin kalau itu adalah perbuatannya?”

“Bidadari Penyambar Nyawa biasanya sering menampakkan diri, bila menewaskan seseorang. Sehingga, banyak yang melihat perbuatannya. Namun hingga saat ini, tidak ada seorang pun yang mampu mencegahnya.”

Bayu mengangguk-angguk kecil mendengar penuturan laki-laki itu.

“Ki, kurasa cukuplah penjelasan yang kau berikan. Kalau demikian, aku mohon diri....” Bayu mohon pamit.

“Eh, maaf Bayu. Kalau tidak keberatan, sudilah mampir di kadipaten bersamaku. Adipati Wiriaraja tentu senang sekali mendapat kunjunganmu...,” usul panglima itu.

“Maafkan aku, Ki. Aku masih banyak urusan. Sampaikan saja salam hormatku pada Adipati Wiriaraja. Nah, aku mohon diri....”

“Sayang sekali, Bayu...,” desah Ki Aria Depa. Bayu baru saja hendak berbalik, tapi panglima itu tiba-tiba ambruk. Maka buru-buru Pendekar Pulau Neraka memeriksa laki-laki itu.

“Hm.... Kau keracunan hebat, Ki...,” desis Bayu seraya meraba tubuh Ki Aria Depa yang mulai dingin bagai es.

“Oh! To..., tolong bawa aku ke kadipaten...,” keluh Ki Aria Depa, lemah.

“Tenanglah. Nah, berbaringlah sambil melemaskan semua otot tubuhmu. Aku akan berusaha mengeluarkan racun yang bersarang di tubuhmu,” sahut Bayu tanpa mempedulikan kata-kata Ki Aria Depa.

Bayu lalu mengangkat laki-laki itu dan dibawanya ke bawah pohon. Disandarkan laki-laki itu di bawah pohon. Kemudian ditotoknya beberapa jalan darah di sekitar jantung, agar racun itu tidak sampai menyebar. Lalu Bayu berpindah kebelakang, dan langsung menempelkan telapak tangannya ke pinggang Ki Aria Depa.

Seketika Ki Aria Depa merasakan hawa panas berputar melalui pinggangnya, yang kemudian berkumpul di perut. Hawa panas itu memang merangsang hawa murni di bawah perutnya, untuk menekan peredaran darahnya. Dan ketika kedua telapak tangan Bayu telah berpindah ke tengkuk, laki-laki itu tak mampu lagi menguasai rasa mual dan sakit yang hebat. Dorongan dari bawah perutnya, laksana lahar gunung yang akan termuntahkan.

“Hoeeeekh...!”

Ki Aria Depa memuntahkan darah kental berwarna kehitam-hitaman dari mulutnya. Tubuhnya langsung mengejang beberapa kali, namun dengan sigap Bayu mengurut bagian dada. Sehingga rasa sakit yang dirasakan laki-laki itu sedikit berkurang. Namun demikian, Ki Aria Depa masih tetap memuntahkan darah kental. Lama-kelamaan, darah kental kehitaman itu berubah merah.

Telapak tangan kiri Bayu kini melekat kuat di ubun-ubunnya. Sementara, telapak tangan kanannya menempel erat di dada kiri. Hal itu berlangsung beberapa saat. Ketika Ki Aria Depa mulai memuntahkan darah segar dari mulutnya, Bayu menghentikan pengobatannya.

“Syukurlah.... Racun yang mengendap ditubuhmu telah keluar. Meski sebagian kecil masih tersisa, namun lewat latihan pernapasan dan meminum ramuan-ramuan, kau akan kembali seperti sediakala...,” jelas Bayu.

Ki Aria Depa menarik napas panjang, lalu memusatkan hawa murninya. Kemudian dihelanya napas perlahan-lahan. Wajahnya terlihat pucat dan tubuhnya terasa letih bagai tidak bertulang. Ki Aria Depa telah kehilangan banyak darah akibat racun yang keluar lewat muntahan darah tadi. Dan tiba-tiba laki-laki itu bersujud di hadapan Pendekar Pulau Neraka.

“Bayu.... Aku berhutang nyawa padamu. Aku tidak tahu, bagaimana harus membalas budi baikmu. Namun, penuhilah permintaanku untuk kujamu dikediamanku,” kata Ki Aria Depa memohon.

“Ki Aria Depa.... Jangan terlalu bersikap demikian terhadapku. Aku tidak menentukan mati hidupmu. Yang kulakukan hanyalah sekadar meringankan beban penderitaanmu. Itu pun hanya semampuku sebagai seorang manusia. Nah, janganlah terlalu berlebihan. Bangunlah, Ki...,” ujar Bayu.

“Aku tidak bangun sebelum kau menyetujui permintaanku. Penuhilah permintaanku. Sekali saja...,” desah laki-laki itu.

Bayu menghela napas pendek, kemudian mengangguk pelan.

“Oh! Terima kasih, Bayu. Aku akan merasa mendapat kehormatan luar biasa atas kedatanganmu,” kata Ki Aria Depa gembira.

Baru saja Ki Aria Depa ingin bangkit, para prajurit kadipaten telah kembali. Brata Sena dan Sendang Dulur menghadap padanya dengan wajah muram.

“Maafkan kami, Ki. Kami tidak mampu menangkap gadis itu,” lapor Brata Sena, lesu.

Ki Aria Depa hanya tersenyum. “Sudahlah, Brata Sena. Aku tahu, kau telah bertugas dengan baik dan sepenuh hati. Kelihaiannya memang bukan tandinganmu. Bahkan juga bukan tandinganku. Tidak kusalahkan bila kau gagal meringkusnya. Nah, sekarang mari kita kembali ke kadipaten untuk melaporkan peristiwa ini kepada Adipati Wiriaraja. Bawa serta mayat-mayat temanmu. Kita akan mengubur mereka selayaknya,” ujar Ki Aria Depa bijaksana.

“Baik, Ki...,” sahut Brata Sena cepat.

Bayu sebenarnya enggan memenuhi undangan Ki Aria Depa, karena mengetahui kalau nantinya toh harus berkunjung kekediaman Adipati Wiriaraja. Namun pemuda itu tak punya pilihan, ketika melihat sikap Ki Aria Depa.


***


“Kisanak.... Sungguh suatu kehormatan bagi kadipaten ini. Khususnya, bagiku atas kunjunganmu...,” sambut Adipati Wiriaraja disertai senyum lebar pada Pendekar Pulau Neraka di depan pendopo rumahnya.

“Kanjeng Gusti Adipati.... Bukankah sebaliknya hamba yang merasa mendapat kehormatan dapat diterima baik oleh Kanjeng Adipati?” sahut Bayu, seraya membalas salam hormat Adipati Wiriaraja.

“Ah! Ternyata kau pandai merendahkan diri. Silakan, Kisanak,” lanjut Adipati Wiriaraja mengajak tamunya untuk masuk ke pendopo utama.

Mereka kemudian berjalan bersama, diikuti Ki Aria Depa di belakang. Kini mereka tiba di ruang pendopo yang amat luas dan tertata indah. Bayu benar-benar mengagumi tata ruangan ini.

“Silakan, Kisanak,” Adipati Wiriaraja mempersilakan Bayu untuk duduk. Mereka semua yang ada di ruangan ini segera duduk bersama-sama.

“Kisanak.... Aku telah mendengar tindakanmu yang telah membantu kadipaten ini. Dan aku sungguh berterima kasih, karena kau telah menyelamatkan Aria Depa. Perbuatanmu sungguh terpuji...,” kata Adipati Wiriaraja, begitu duduk dikursinya.

“Kanjeng Gusti, apa yang hamba lakukan bukanlah sesuatu yang istimewa. Rasanya, belum pantas menerima pujian setinggi langit itu...,” elak Bayu, merendah.

Adipati Wiriaraja belum sempat melanjutkan pembicaraannya, ketika Kunti Kameshawara muncul bersama seorang pelayan yang menghidangkan teh hangat.

“Kisanak, perkenalkan. Ini putriku. Namanya Kunti Kameshawara...,” ujar Adipati Wiriaraja, memperkenalkan putrinya.

“Hm.... Sungguh cantik putri Kanjeng Gusti...,” puji Bayu, langsung berdiri dan menjabat tangan gadis itu.

Mereka saling berpandangan beberapa saat. Tidak sebagaimana layaknya gadis-gadis yang pernah ditemuinya. Kunti Kameshawara justru balas tersenyum dengan bola mata berbinar-binar.

“Kisanak. Kaukah yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka...?” tanya Kunti Kameshawara, seraya melepaskan jabatan tangannya.

“Agaknya begitulah orang-orang memanggilku...,” sahut Bayu tenang, dan segera duduk kembali.

“Kudengar namamu sering disebut-sebut sebagai pendekar nomor satu yang tidak terkalahkan. Telah lama sekali aku ingin bertemu denganmu. Namun, agaknya baru hari ini keinginanku terpenuhi. Maka tentu saja ini merupakan suatu keberuntungan bagiku,” kata Kunti Kameshawara.

“Kunti, aku hanya manusia biasa seperti orang kebanyakan. Dan rasanya orang terlalu berlebih-lebihan bila menganggap pendekar nomor satu yang tiada tandingannya. Seperti pepatah, di atas langit masih ada langit. Dan aku bukan salah satu dari langit itu. Aku hanya setinggi rumput diantara rimba pepohonan yang menjulang tinggi dan besar,” balas Bayu, merendah.

“Hm.... Agaknya. Kisanak memang suka merendah. Namun, hal itu tidak mengurangi hasratku untuk menimba pengalaman darimu...,” sahut Kunti Kameshawara.

“Maafkan kalau aku tidak mengerti maksud pembicaraanmu, Kunti...,” sahut Bayu dengan dahi berkerut, mendengar kata-kata Kunti Kameshawara.

“Terus terang, aku ingin mendapat sedikit pengalaman darimu,” sahut Kunti Kameshawara, langsung menepuk tangannya.

Tak berapa lama kemudian, keluar seorang pelayan yang membawakan dua bilah pedang. Kunti Kameshawara mengambil sebuah, dan segera diberikan kepada Bayu. Sementara, Pendekar Pulau Neraka hanya tersenyum kecil. Dia mengerti, apa yang diinginkan gadis itu.

“Kunti, kudengar kau memiliki kepandaian hebat. Tentu aku bukan tandinganmu. Bagaimana kalau aku mengaku kalah saja padamu?” sahut Bayu, mencoba menolak halus.

“Hm.... Kau seorang pendekar nomor satu. Mana mungkin bisa begitu. Lagi pula, yang kuinginkan bukan soal kalah dan menang. Tapi, apakah kau sudi memberi pelajaran bagiku untuk menambah wawasanku,” sahut Kunti Kameshawara, cerdik.

Gadis itu kemudian memandang ke arah ayah angkatnya, disertai senyum manis. “Bukankah Ayahanda menyetujuinya?” tanya gadis itu.

Adipati Wiriaraja hanya tersenyum. “Putriku ini memang tidak pernah merasa cukup dengan kepandaiannya. Aku memang selalu mengajarkannya untuk tidak selalu bangga dengan apa yang dimilikinya. Tapi dalam hal ini, tentu saja lain. Kisanak tentu lelah. Dan rasanya, tidak baik memaksa tamu kalau memang sedang tidak berkenan...,” ujar Adipati Wiriaraja, bijaksana.

Bayu tersenyum. Kata-kata Adipati Wiriaraja terdengar bijaksana. Namun sesungguhnya Bayu tahu kalau dirinya disindir. Dan secara tidak langsung, adipati itu merestui kehendak putrinya. Maka seketika Bayu berdiri seraya menerima pedang yang diulurkan padanya.

“Kalau keinginanmu demikian, baiklah. Tapi jangan tertawakan kalau aku membuat kesalahan...,” desah Bayu merendah.


***


ENAM

“Silakan, Kunti...,” kata Bayu seraya menancapkan pedang di ujung kakinya. Mereka kini memang telah berada di halaman rumah Adipati Wiriaraja.

“Apakah kau akan menghadapiku tanpa senjata?” tanya Kunti Kameshawara.

“Bukankah kita tidak hendak saling melukai?” sahut Bayu sambil tersenyum.

“Terserahmu saja. Tapi aku benar-benar ingin mendapat pelajaran darimu.”

“Kalau demikian, silakan saja. Jangan sungkan-sungkan. Kalau aku memerlukannya, tentu akan kugunakan....”

“Baiklah. Sekarang, lihat serangan!” bentak Kunti Kameshawara, langsung memasang kuda-kudanya. Kemudian gadis itu melompat menyerang Bayu dengan ujung pedang berputar-putar menyambar ke arah wajah.

Bayu bergerak ke kiri dan kanan, lalu menunduk. Dan dia terus bergerak ke samping, untuk menghindari sambaran senjata gadis itu. Sedangkan Kunti Kameshawara segera berputar dengan kepalan tangan kiri menghantam ke arah dada kanan pemuda itu. Bayu mencoba memapak disertai cengkeraman tangan pada tangan gadis itu. Namun gadis itu cepat mengebutkan tangannya.

Plak!
“Hih!”

Baru saja kedua tangan mereka beradu, secepat itu pula Kunti Kameshawara mengayunkan pedang ke arah leher.

“Uts!”

Bayu cepat mendongak, dan terus melompat. Namun gadis itu terus mengejar disertai satu tendangan keras. Bukan main terkejutnya Bayu merasakan angin serangan laksana hantaman godam ke arahnya. Maka sambil memutar tubuh, telapak tangan kirinya disorongkan untuk memapak pukulan jarak jauh yang dilepaskan gadis itu.

Pyarrr...!

Serangkum angin kencang berputar di tempat itu, ketika pukulan mereka bertemu. Dan bagi yang melihat pertandingan itu, terasa bagai tertampar mukanya akibat dahsyatnya angin serangan kedua orang yang tengah bertarung. Adipati Wiriaraja sendiri sampai menggeleng lemah dengan wajah khawatir.

“Kenapa dengan putriku? Dia bukannya ingin mendapatkan pelajaran, tapi benar-benar menginginkan pertarungan hidup dan mati...,” desis Adipati Wiriaraja berkali-kali menghela napas pendek.

“Apakah tidak sebaiknya dihentikan saja, Kanjeng Adipati?” sahut Ki Aria Depa.

“Menurutmu, sebaiknya bagaimana...?”

“Kanjeng Gusti Adipati, Pendekar Pulau Neraka memanglah orang baik dan pembela kebenaran. Namun siapa pun tahu kalau dia pun terkenal kejam dan tidak segan-segan menghabisi orang yang bermaksud mencelakainya. Dan apa yang kita saksikan saat ini, Gusti Kunti mencoba mencelakakannya,” kata Ki Aria Depa lagi.

“Hm.... Kalau demikian, perintahkanlah mereka untuk menghentikan permainan ini!”

“Baik, Gusti. Berhentiii...!” Ki Aria Depa berteriak, memerintahkan mereka untuk menghentikan pertarungan. Namun, Kunti Kameshawara malah terus mencecar tanpa mempedulikan teriakan itu.

“Paman, jangan khawatir. Aku tidak apa-apa...!”

Sebenarnya Bayu sendiri bukannya tidak menyadarinya. Serangan-serangan gadis itu memang dahsyat dan seperti hendak membunuhnya. Kalau sedikit saja lengah, niscaya bukan tidak mungkin nyawanya akan melayang. Bayu mendengus kesal. Gadis itu benar-benar ingin mengumbar segala kepandaiannya untuk menjatuhkannya.

“Hup!”

Bayu melompat ke atas dengan tubuh berputar bagai gasing. Sementara Kunti Kameshawara mengejar, dan sudah langsung mengayunkan pedang. Kunti Kameshawara gembira ketika melihat keadaan Bayu. Kelihatannya, kali ini pemuda itu tidak akan luput dari serangannya. Kalau tidak tewas, tentu akan celaka terkena sambaran salah satu pedangnya. Namun apa yang terjadi? Ketika pedangnya berusaha menebas, Pendekar Pulau Neraka cepat mengangkat tangan kanannya. Dan....

Trang! Trang!

Senjata gadis itu rupanya membentur benda keras di tangan Pendekar Pulau Neraka, sehingga membuat percikan bunga api. Bahkan tangan Kunti Kameshawara kontan terasa kesemutan, serta telapak tangannya terasa perih.

“Yeaaa...!”

Begitu kedua kakinya menjejak tanah, saat itu juga Bayu melompat cepat menyambar gadis itu. Kunti hanya terkesiap, buru-buru mengayunkan pedang. Namun ternyata dia hanya menyambar angin, karena Pendekar Pulau Neraka telah berkelebat cepat beberapa saat, sebelum pedangnya tiba.

Gadis itu langsung berbalik kembali mengayunkan pedang. Namun gesit sekali Bayu berkelit dan menyelinap ke bawah samping kirinya seraya melepaskan tendangan keras.

“Uts!”

Kunti Kameshawara terkejut bukan main, dan cepat melompat ke atas. Pedangnya langsung dikibaskan ke bawah, namun Bayu seperti mengikutinya. Pendekar Pulau Neraka bahkan lebih dulu telah berada di atas kepalanya dengan tiba-tiba.

“Hih!”
“Yeaaa...!”

Dengan gemas Kunti Kameshawara mengayunkan pedangnya menghantam Bayu. Namun Pendekar Pulau Neraka seperti lenyap dari pandangannya, karena telah berkelebat demikian cepat. Bahkan tiba-tiba gadis itu merasakan angin sambaran di kepala. Rambutnya sampai berkibar-kibar dan kepalanya terasa berdenyut kencang.

Padahal serangan Pendekar Pulau Neraka belum lagi tiba. Dan sebelum menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba Bayu berkelebat cepat menyambar ikat kepala dan ikat pinggang gadis itu hingga lepas. Lalu sebentar saja, Pendekar Pulau Neraka telah berdiri tegak pada jarak lima langkah di hadapannya, dengan ikat kepala serta ikat pinggang gadis itu telah berada dalam genggamannya.

“Kunti, kurasa cukuplah pelajaran yang kau terima hari ini,” kata Bayu, datar.


***


Kunti Kemeshawara agaknya tidak bisa menerima kekalahannya begitu saja. Tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu berlari kencang dan menghilang di balik tembok. Bayu hanya melirik sekilas, kemudian melangkah pelan mendekati Adipati Wiriaraja.

“Kanjeng Gusti Adipati, maafkan kelancangan hamba...,” ucap Bayu, memberi hormat.

Adipati Wiriaraja tersenyum. “Bayu.... Tidak ada yang perlu dimaafkan. Mari kita kembali duduk dan berbincang-bincang. Tidak usah merisaukan putriku. Adatnya memang keras, karena terlalu dimanja selama ini. Tapi, sebentar lagi dia tentu akan baik kembali...,” kilah adipati itu.

“Kanjeng Adipati, rasanya hamba tidak bisa berlama-lama di sini. Masih banyak yang harus hamba kerjakan di luar sana. Kalau Kanjeng Gusti tidak keberatan, hamba ingin mohon diri. Terima kasih atas kemurahan hati Kanjeng Gusti...,” ucap Bayu.

“Hm.... Kenapa mesti terburu-buru? Bukankah kita belum banyak bertukar cerita? Aku masih senang duduk dan berbincang-bincang denganmu.”

“Maafkan hamba, Kanjeng Gusti. Sebenarnya pun hamba ingin lebih lama di sini. Namun karena ada sesuatu yang harus dikerjakan, maka hamba tidak bisa memenuhi keinginan Kanjeng Gusti,” sahut Bayu sedikit berbohong, menolak halus permintaan Adipati Wiriaraja.

“Ah! Sayang sekali kalau demikian. Tapi, baiklah. Kalau memang keperluanmu amat mendesak, aku pun tidak bisa menghalanginya. Namun ada satu keinginanku padamu, Bayu. Maukah kau menolongku?”

“Pertolongan apakah yang bisa hamba lakukan?”

“Soal wanita yang menyebut dirinya Bidadari Penyambar Nyawa....”

“Bidadari Penyambar Nyawa? Apa yang harus hamba lakukan?”
“Aku ingin kau meringkus wanita itu untukku!”

“Kanjeng Gusti.... Bukannya hamba menolak. Namun rasanya hamba tidak patut melakukannya. Bukankah di kadipaten ini masih banyak orang hebat? Apa jadinya bila hamba yang mengemban tugas ini? Tentu mereka akan berkecil hati. Sebab, hamba tahu kalau pengabdian prajurit kadipaten ini amat tinggi pada Kanjeng Gusti. Mereka tentu akan merasa direndahkan. Demikian juga, Kanjeng Gusti akan dituduh tidak adil,” sahut Bayu.

Adipati Wiriaraja tersenyum mendengar penuturan Bayu. “Benar apa yang kau katakan, Bayu. Namun dalam hal ini. Kadipaten Baluran telah banyak kehilangan prajurit gagah berani dalam pertarungan melawan Kawanan Alap-alap Panah Beracun. Sehingga, kami kekurangan orang untuk menangkap Bidadari Penyambar Nyawa yang memiliki kepandaian hebat,” sahut Adipati Wiriaraja mengemukakan alasannya.

Bayu kembali tersenyum mendengarnya. “Kanjeng Gusti Adipati...,” panggil Bayu.

“Eh! Bukankah lebih baik kita duduk dulu. Tidak sopan rasanya melayani tamu berbicara berdiri seperti ini,” potong Adipati Wiriaraja cepat.

“Baiklah...,” kata Bayu. Segera diikutinya Adipati Wiriaraja yang menuju ruang pendopo utama. Sebentar saja, mereka sudah kembali duduk di kursi masing-masing.

“Nah! Silakan lanjutkan kembali. Apa yang ingin kau kemukakan,” ujar Adipati Wiriaraja setelah duduk di kursinya.

Bayu memandang semua yang ada di situ satu persatu. “Ki Aria Depa.... Kalau memang benar gadis yang kita temui di sana adalah si Bidadari Penyambar Nyawa, menurut penilaianku dia mempunyai tandingan hebat di kadipaten ini.”

“Maksudmu?” tanya Ki Aria Depa.

Bayu kembali tersenyum. “Bukankah kepandaian Kunti Kameshawara cukup hebat? Kanjeng Gusti Adipati dan semua yang ada di sini bisa melihatnya tadi...,” jelas Bayu.

“Putriku memang mempunyai kemampuan yang lumayan. Namun, dia kurang berpengalaman dan masih mentah. Dalam sekali gebrak, tentu akan dapat dikalahkan Bidadari Penyambar Nyawa,” sahut Adipati Wiriaraja merendahkan kemampuan putrinya.

“Bagaimana, Bayu? Apakah kau bersedia membantu kami?” tanya Ki Aria Depa, setelah terdiam beberapa saat lamanya.

Bayu menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan-lahan. Sekali lagi dipandangnya ke arah mereka satu persatu.

“Baiklah.... Tampaknya, aku tidak mempunyai pilihan...,” desah Bayu.

“Ah! Kami akan sangat senang atas kesediaanmu, Bayu,” kata Adipati Wiriaraja, merasa lega.

“Di manakah hamba bisa menemuinya, Kanjeng Adipati?” tanya Bayu kemudian.

“Itulah yang selama ini amat membingungkan. Kami sendiri belum tahu, di mana wanita itu bersembunyi. Tapi rasanya tidak sulit untuk menemuinya. Sebab, dia akan muncul dengan sendirinya,” desah adipati itu.

“Maksud Kanjeng Adipati...?” tanya Bayu bingung.

Adipati Wiriaraja menatap singkat ke arah Pendekar Pulau Neraka. Lalu perhatiannya beralih ke arah jendela ruangan ini yang terbuka lebar.

“Ya kuperhatikan selama ini, agaknya Bidadari Penyambar Nyawa sering muncul bila mendengar ada pemuda yang banyak dibicarakan orang. Agaknya dia mempunyai sifat membenci laki-laki. Dalam hal ini, kemunculanmu di sini cukup menarik perhatian semua orang....”

Bayu tersenyum mendengar kata-kata itu. “Hamba mengerti maksud Kanjeng Gusti....”

“Syukurlah...,” desah Adipati Wiriaraja. Kepalanya lantas mendongak ke atas, kemudian kembali berpaling pada Bayu.

“Sebentar lagi hari mulai gelap. Nanti, Aria Depa akan menunjukkan tempat peristirahatanmu, Bayu.”

“Terima kasih, Kanjeng Gusti.... Memang, agaknya aku harus bermalam di sini,” desah Bayu.

“Mari, Bayu. Kutunjukkan tempat beristirahatmu...,” ajak Ki Aria Depa seraya beranjak dari duduknya.

Mereka lantas memberi salam hormat pada adipati, sebelum berlalu meninggalkan tempat itu. Sementara Adipati Wiriaraja memandang mereka beberapa saat, kemudian beranjak pergi dari sini setelah menghela napas lega.


***


Mendung yang sejak tadi menggumpal berwarna kehitaman, mulai menumpahkan titik-titik air perlahan-lahan. Senja telah berlalu dan digantikan malam yang gelap bercampur gerimis. Angin bertiup kencang menggoyang-goyangkan dedaunan di sekitar Desa Jatimakmur.

Dipinggiran desa itu terlihat suatu sosok yang melompat-lompat ringan menghindari genangan air hujan di jalan. Di pinggir tegalan sawah yang semula mengering, dia berhenti dan berteduh di bawah sebatang pohon berdaun lebat. Tubuhnya tegap. Kedua tangannya yang bersedakap, mengapit sebilah pedang.

Sebuah topi caping lebar terbuat dari bambu menutupi kepalanya. Orang itu terdiam beberapa saat, mengawasi sekitarnya dengan sorot mata tajam. Agaknya, dia bukan saja sekadar berteduh dari siraman hujan yang sudah turun deras. Mungkin dia tengah menunggu seseorang. Seekor burung kuntul terbang melintas di depannya disertai teriakan nyaring.

Sementara orang itu tak bergeming dari tempatnya. Bahkan dia tetap diam, ketika sesosok tubuh ramping melayang turun dengan ringan pada jarak sepuluh langkah dari tempatnya berdiri. Orang yang baru muncul itu mengenakan topi caping berukuran lebih kecil. Melihat dari potongan tubuhnya yang ramping, jelas dia adalah seorang wanita. Tampak sehelai selendang melilit di pinggangnya, dengan sebilah pedang pendek juga terselip di situ.

“Bagus! Akhirnya kau datang juga memenuhi tantanganku...!” kata wanita itu, nyaring.

“Huh! Kelelawar Setan Gantung tidak akan pernah lari! Apalagi hanya untuk menghadapi bocah ingusan macam Bidadari Penyambar Nyawa...!” balas orang yang berdiri di bawah pohon itu, sinis.

“Segala kelelawar budukan akan bertingkah dihadapanku. Lekas cabut pedangmu. Dan, berdoalah. Karena, hari ini terakhir kalinya kau bisa bernapas!” dengus wanita itu dingin.

“Phuih! Kaulah yang seharusnya berdoa. Hari ini Bidadari Penyambar Nyawa hanya akan tinggal nama! Akan kurobek-robek perutmu dengan pedangku....”

“Jangan banyak bicara! Lihat serangan...!” seru gadis itu, langsung melemparkan capingnya ke arah laki-laki yang berjuluk Kelelawar Setan Gantung.

Sing!

Melihat serangan mendadak ini, Kelelawar Setan Gantung tidak jadi ciut nyalinya. Langsung dibalasnya dengan melemparkan capingnya pula.

Brakkk!

Begitu kedua topi itu beradu, terdengar bunyi berderak keras. Dari sini bisa dilihat, betapa kuatnya tenaga dalam yang mereka kerahkan. Bahkan kedua caping itu sampai hancur berantakan.

“Yeaaa...!”

Bidadari Penyambar Nyawa langsung menerjang Kelelawar Setan Gantung. Sementara laki-laki bertubuh tegap itu langsung mencabut pedangnya, dibabatnya wanita itu dengan gerakan cepat

Sring!
Wut! Wut!

Bidadari Penyambar Nyawa berkelit indah, lalu melompat ke atas. Gerakannya laksana ombak bergulung-gulung di lautan. Kemudian ketika tubuhnya melayang turun, Kelelawar Setan Gantung telah siap menyambutnya. Wanita bertopeng kayu itu terdengar mendengus sinis. Lalu pedang pendeknya langsung dicabut untuk menghantam pedang Kelelawar Setan Gantung.

Sring!
Trang!
“Uhhh...!”

Terlihat percikan bunga api, ketika kedua senjata beradu. Kelelawar Setan Gantung mengeluh tertahan dengan tubuh terjajar dua langkah. Telapak tangannya terasa perih dan jantungnya berdebar kencang akibat benturan tadi. Disertai rasa geram, kembali laki-laki itu menerjang Bidadari Penyambar Nyawa dengan babatan ke arah pinggang. Namun wanita itu begitu gesit melompat ke atas seraya melepaskan tendangan keras ke arah muka.

“Hiyaaat..!”

Dengan bentakan keras, Kelelawar Setan Gantung membabatkan pedangnya, mengincar kaki wanita itu yang mengarah ke wajahnya. Sementara, telapak tangan kirinya langsung menjulur ke arah dada. Cepat-cepat Bidadari Penyambar Nyawa menarik pulang kakinya, yang kemudian digunakannya untuk memapak tangan kiri laki-laki itu.

Plak!

Tubuh wanita itu kontan melintir. Namun tanpa diduga, justru tenaga pelintiran itu digunakan untuk memutar tubuhnya. Bahkan langsung melepaskan tendangan berputar ke arah dada. Kelelawar Setan Gantung terkejut bukan main, namun cepat membungkukkan tubuhnya. Namun wanita itu tidak tinggal diam.

Serangannya segera dilanjutkan dengan satu tendangan keras ke arah pinggang. Cepat-cepat laki-laki itu terus melejit kekiri, bahkan cepat berbalik menyambar dengan pedangnya. Namun, tangkas sekali Bidadari Penyambar Nyawa menangkis dengan senjatanya.

Trang!
“Uhhh...!”

Kembali Kelelawar Setan Gantung mengeluh tertahan, begitu senjatanya beradu. Bahkan dia harus melompat ke belakang, karena harus menghindari kepalan tangan kanan Bidadari Penyambar Nyawa yang menderu ke arah dadanya. Kelelawar Setan Gantung terkejut bukan main. Maka dengan gerakan sebisanya, dia melenting ke atas. Tapi tanpa diduga, ujung pedang wanita itu telah menunggunya. Akibatnya...

Crasss!
“Aaakh...!”

Paha laki-laki itu kontan tersambar pedang Bidadari Penyambar Nyawa, hingga menimbulkan luka cukup lebar. Darah pun langsung merembes keluar. Dan baru saja kakinya menjejak tanah dengan wajah berkerut menahan sakit, kembali serangan lawan datang. Buru-buru dia melempar diri ke samping, menghindari sapuan kaki kanan Bidadari Penyambar Nyawa.

Tapi tindakan wanita itu ternyata hanya tipuan belaka. Karena dengan kecepatan dahsyat, Bidadari Penyambar Nyawa melenting ke atas dan berputaran beberapa kali. Dan begitu meluruk turun, ujung pedangnya langsung mencecar pinggang laki-laki itu. Bukan main terkejutnya Kelelawar Setan Gantung. Maka dengan sekuat tenaga, dia berusaha menghindari serangan. Langsung tubuhnya dijatuhkan ke bawah. Namun, ujung pedang wanita itu telah lebih dulu menyambar perut. Dan....

Brettt!
“Aaakh...!”

Kelelawar Setan Gantung kontan memekik keras, begitu pedang wanita itu menyambar perutnya. Ususnya langsung terburai disertai muncratnya darah segar. Tubuhnya seketika ambruk dan menggelepar tak berdaya. Dan ketika berusaha bangkit berdiri, ujung kaki Bidadari Penyambar Nyawa telah menghantam telak dada kirinya.

Bugkh!
“Aaakh...!”

Kelelawar Setan Gantung hanya mampu berteriak tertahan ketika tubuhnya ambruk kembali dan diam tak berkutik Mati! Angin bertiup semilir. Di kejauhan, terdengar lolongan serigala. Wanita bertopeng itu mendengus dingin, sambil memandangi tubuh Kelelawar Setan Gantung yang bersimbah darah bercampur lumpur.

“Mudah-mudahan tadi kau sempat berdoa....”

“Bidadari Penyambar Nyawa, kami akan menuntut balas atas kematian guru kami!”

Tiba-tiba terdengar teriakan membahana, memutuskan gumaman Bidadari Penyambar Nyawa.


***


TUJUH

Beberapa orang bersenjatakan pedang panjang tiba-tiba berlompatan ke arah Bidadari Penyambar Nyawa dengan wajah garang. Sementara gadis bertopeng kayu itu hanya mendengus dingin. Kemudian ujung pedangnya ditudingkan ke arah mereka.

“Hm, kiranya Kelelawar Setan Gantung tidak lebih dari seorang pengecut! Kenapa kalian tidak muncul sekaligus saat dia menemui ajalnya? Ayo, majulah kalian kalau ingin menyusulnya!” tantang wanita bertopeng itu.

“Keparat! Hari ini kau akan mampus!” desis salah seorang seraya melompat menyerang.

“Yeaaa...!”

Tubuh Bidadari Penyambar Nyawa melompat tinggi, kemudian berputaran di udara. Pedangnya diayunkan, menangkis kelebatan senjata para pengikut Kelelawar Setan Gantung.

Trang! Trang!

Beberapa buah pedang di tangan para pengikut Kelelawar Setan Gantung langsung berpentalan ke udara. Bahkan ujung pedang gadis itu cepat menyambar mereka.

Bret!
“Aaa...!”

Terdengar jeritan nyaring, diikuti ambruknya tiga sosok tubuh. Galangan sawah di tempat itu kembali berwarna merah bercampur lumpur. Sementara gadis bertopeng itu lincah sekali bergerak ke sana kemari bagai burung walet, disertai sambaran pedangnya yang menimbulkan desir angin kencang. Dan ketika tiga orang penyerang meluruk dari tiga arah yang berlawanan, gadis itu bergerak ke samping disertai kibasan pedang pendeknya ke segala arah.

Cras! Bret!
“Aaa...!”

Tiga orang pengikut Kelelawar Setan Gantung langsung ambruk bermandikan darah, ketika ujung pedang Bidadari Penyambar Nyawa menyambar tenggorokan. Dan baru saja Bidadari Penyambar Nyawa menjejakkan kedua kakinya di tegalan sawah, kembali empat orang yang tersisa datang menyerangnya. Sepertinya, mereka tidak ingin memberi kesempatan sedikit pun baginya untuk bernapas.

“Hup!”

Bidadari Penyambar Nyawa cepat memutar tubuhnya. Pedangnya langsung dikebutkan, menyambar senjata para pengeroyoknya.

“Yeaaah...!”
Trang!

Dua bilah senjata pengikut Kelelawar Setan Gantung kontan berpentalan terpapak senjata wanita itu. Bahkan ujung kakinya cepat menghantam dua orang pengikut Kelelawar Setan Gantung. Terdengar pekik kesakitan ketika mereka terjungkal dengan rahang patah. Sementara itu kedua orang yang tersisa segera menebas pinggang gadis itu.

Namun Bidadari Penyambar Nyawa cepat berputaran bagai gasing dan terus melejit ke atas. Melihat hal ini, kedua lawannya mengejar. Dan mendadak saja, tubuh Bidadari Penyambar Nyawa telah menukik tajam, memapaki serangan mereka.

Trang...!

Pedang para pengikut Kelelawar Setan Gantung kontan terpental dihantam senjata Bidadari Penyambar Nyawa. Dan belum lagi mereka menyadari apa yang harus dilakukan, ujung pedang wanita bertopeng itu meluruk ke arah leher.

Cras!
“Aaa...!”

Kedua orang itu kontan menjerit kesakitan dengan tubuh terjungkal ke tanah. Tampak darah mengalir dari leher yang nyaris putus.

“Huh! Dasar cacing-cacing busuk tidak berguna. Kalian lebih baik mampus menyusul gurumu!” dengus wanita itu kesal.

Bidadari Penyambar Nyawa bermaksud menyelipkan kembali pedangnya, namun pendengarannya yang tajam menangkap suara gemerisik ranting yang amat halus. Sejenak bibirnya tersenyum dingin. Dalam hati, dia menghitung jumlah orang yang tengah mengintai.

“Siapa pun kalian, keluarlah kalau ingin menantangku...!” Begitu Bidadari Penyambar Nyawa menyelesaikan kata-katanya, mendadak melesat tiga sosok tubuh ke arahnya.

Wanita bertopeng itu hanya berdiri tegak sambil memperhatikan dengan seksama. Seorang dari tiga sosok yang baru datang itu adalah wanita tua. Tubuhnya yang agak bungkuk, tersangga sebatang tongkat hitam. Baju hitam, amat kebesaran dibanding tubuhnya yang kecil.

Di sebelah kanan wanita tua itu, tampak seorang laki-laki berhidung bengkok. Sepasang matanya yang sipit, menyorot tajam ke arah Bidadari Penyambar Nyawa. Sementara yang seorang lagi, adalah laki-laki berkepala botak. Tubuhnya tinggi besar, memanggul cangkul di pundaknya. Kedua laki-laki itu sama-sama berusia sekitar lima puluh tahun.

“Huh! Inikah bocah brengsek yang berjuluk Bidadari Penyambar Nyawa?! Cah Ayu! Kau berhutang satu nyawa pada Nyi Durgandi. Dan hari ini, kau harus membayarnya!” dengus wanita tua yang memegang tongkat itu.

“Benar, Nyi Durgandi. Dia memang patut mengenali Ki Kermopati. Aku menginginkan kepalanya. Sebagai pengganti cucuku yang dibunuh beberapa minggu lalu!” dengus laki-laki bermata sipit dan berhidung bengkok yang mengaku bernama Ki Kermopati.

“Semula aku tidak ingin mencampuri urusan dunia persilatan lagi. Tapi dia memaksaku keluar dari sarangku setelah putra bungsuku dibunuhnya. Aku telah bersumpah, sebelum melihat dia menjadi mayat. Yang jelas, Ki Candul Wereng tidak akan berhenti mengejarnya!” desis orang yang mengaku bernama Ki Candul Wereng dengan wajah geram.

Bidadari Penyambar Nyawa tertawa kecil untuk menutupi jantungnya yang berdegup kencang. Meski belum tahu sampai dimana kehebatan mereka, namun setidaknya dia pernah mendengar nama-nama itu. Ketiga tokoh itu bukanlah orang yang sembarangan, karena termasuk angkatan tua yang kepandaiannya sulit diukur.


***


“Hm.... Agaknya Kelelawar Setan Gantung bukan saja mengundang muridnya ke tempat ini, tapi juga membawa kalian bertiga sebagai pengawalnya. Sayang, kalian kurang cepat. Karena mereka semua telah menjadi mayat...,” ejek gadis bertopeng itu sinis.

“Hi hi hi...! Bocah tengil! Jangan anggap remeh kami! Kelelawar budukan itu memang tolol dan patut menerima kematiannya!” sahut perempuan tua yang bernama Nyi Durgandi seraya menunjuk kedua rekannya itu.

“He he he...! Kelelawar bego itu memang tidak tahu diri. Dia tidak bisa mengukur, sampai di mana kemampuannya. Baru menghadapi bocah bau kencur saja, sudah tak berdaya. Tapi di hadapan kami, jangan kau berlagak sok jago. Kedatangan kami bukan saja sekadar membalas kematian orang-orang yang kami cintai, tapi juga ingin membeset mulutmu yang meremehkan semua laki-laki!” desis Ki Kermopati geram.

“Hei, Orang Tua Busuk! Tidak usah banyak bicara! Cabutlah senjata kalian, agar lebih cepat kukirim ke neraka!” Mendengar kata kata pedas bernada meremehkan dari gadis bertopeng ini, bukan main kalapnya ketiga orang tua itu.

“Bocah setan! Kubelah kepalamu! Yeaaah...!”

Ki Candul Wereng tidak bisa lagi menahan amarahnya. Sambil membentak nyaring, dia sudah langsung menyerang wanita bertopeng itu. Cangkul di tangan Ki Candul Wereng langsung berkelebat menyambar Bidadari Penyambar Nyawa. Maka cepat cepat gadis bertopeng itu melompat ke belakang. Namun cangkul laki-laki setengah baya itu terus mengejarnya. Memang sulit diduga gerakan Ki Candul Wereng yang begitu cepat dan dahsyat. Untung saja pedangnya masih sempat digerakkan, menangkis cangkul itu.

Trak!
“Hih!”

Gadis bertopeng itu terkejut, ketika pedangnya terasa bergetar hebat akibat benturan dengan cangkul tadi.

“Hiiih!”

Begitu habis berbenturan, kepalan tangan kiri Ki Candul Wereng menderu keras menghantam dada Bidadari Penyambar Nyawa. Dengan geraman keras, gadis itu segera menangkap kepalan Ki Candul Wereng menggunakan telapak tangan kanannya.

Plak! Rrrt!

Wanita bertopeng itu merasakan tangannya seperti menahan lontaran batu sebesar kerbau. Namun, dia terus menggeram. Dan dengan gemas, dicobanya meremas kepalan laki-laki botak itu sekuat tenaga. Ki Candul Wereng agaknya tidak sudi membiarkan gadis itu berbuat sesuka hatinya. Maka kaki kanannya segera dilayangkan ke arah pinggang.

Namun tangkas sekali Bidadari Penyambar Nyawa membabatkan pedangnya yang telah berpindah ke tangan kiri. Ki Candul Wereng cepat menarik pulang kakinya, sehingga babatan itu luput dari sasaran. Dan seketika cangkulnya dihantamkan ke kepala gadis itu.

“Huh!”
“Uts!”

Dengan terpaksa Bidadari Penyambar Nyawa melepaskan kepalan tangannya, dan langsung melompat ke belakang. Namun Ki Candul Wereng tidak membiarkannya begitu saja. Begitu wanita itu mendarat di tanah, langsung dia melesat melepaskan tendangan dahsyat.

Namun Bidadari Penyambar Nyawa cepat memindahkan pedangnya ke tangan kanan, dan langsung dibabatkan ke arah kaki laki-laki botak itu. Ki Candul Wereng terpaksa menarik kakinya, dan memapak pedang itu dengan cangkulnya.

Trang!

Kembali Bidadari Penyambar Nyawa merasakan tangannya perih akibat benturan senjata barusan. Namun disadari kalau kecepatan geraknya setingkat lebih tinggi dari laki-laki botak itu. Untuk itu, hatinya agak tenang, sehingga diam-diam mulai mendikte lawan.


***


“Huh! Dikira aku akan betah berdiam diri saja menonton pertarungan mereka! Jangan-jangan malah si botak itu yang lebih dulu mendapatkan kepalanya. Sia-sia aku datang ke sini,” dengus Nyi Durgandi.

Seketika perempuan tua itu melompat tiba-tiba menyerang Bidadari Penyambar Nyawa. Melihat keadaan itu, agaknya Ki Kermopati tidak mau ketinggalan.

“Brengsek! Jangan serakah kalian! Bisa-bisa aku tidak kebagian apa-apa!” geram laki-laki berhidung bengkok itu, langsung melompat pula menyerang Bidadari Penyambar Nyawa.

“Yeaaah...!”

“Setan! Apa-apaan kalian ini?!” rutuk Ki Candul Wereng kesal melihat tindakan kedua rekannya yang ikut mengeroyok gadis itu.

“Jangan banyak mulut, Botak! Kau kira hanya kau saja yang punya urusan dengannya? Huh! Enak saja! Dia juga harus merasakan kemplangan tongkatku ini!” dengus Nyi Durgandi tak kalah sengit.

“He he he...! Begitu pula aku, Ki Candul. Jangan serakah. Aku pun punya dendam kesumat pada bocah tengil ini!” timpal Ki Kermopati.

Mendengar jawaban kawan-kawannya, Ki Candul Wereng merasa kesal sekali. Namun dia tak mampu berbuat apa-apa, karena kedatangan mereka ke tempat ini juga mempunyai tujuan sama. Membalas dendam pada Bidadari Penyambar Nyawa!

Sementara gadis bertopeng itu bukan main terkejutnya mendapat keroyokan dari tiga orang tua ini. Menghadapi Ki Candul Wereng saja, keadaannya sudah payah. Apalagi harus menghadapi serangan mereka bertiga? Tidak heran kalau dalam waktu singkat saja terdesak hebat

“Yeaaah...!”

Ki Kermopati membentak, langsung mengayunkan tendangan ke dada Bayu. Gadis itu bermaksud memapak kaki Ki Kermopati dengan pedangnya. Namun pada saat yang bersamaan, cangkul Ki Candul Wereng meluruk ke arah punggungnya. Sementara tongkat Nyi Durgandi mengancam kepalanya. Dengan terpaksa serangannya. ditarik, dan langsung melompat ke samping. Dan baru saja kakinya menginjak tanah, Ki Kermopati sudah mengebutkan tangannya.

“Hiiih!”
Ser! Ser!

Mendadak saja beberapa buah pisau sebesar jari telunjuk mendesing kencang, mengancam Bidadari Penyambar Nyawa.

“Hei?!”

Gadis bertopeng itu terkesiap dan cepat memutar pedangnya untuk menangkis.

Tring! Tring!

Baru saja pisau-pisau itu berhasil dirontokkan, saat itu juga langsung menyusul cangkul Ki Candul Wereng yang menyambar ke pinggang wanita bertopeng ini. Bidadari Penyambar Nyawa langsung melejit ke atas, namun tongkat Nyi Durgandi cepat mengejarnya. Dia berusaha mengelak dengan berputaran di udara seraya mengebutkan tangkisannya.

Seketika pukulan jarak jauh dari gadis bertopeng itu meluruk ke arah Nyi Durgandi. Namun tangkas sekali Nyi Durgandi menghindari dengan berputaran pula. Bahkan langsung membalas dengan sabetan tongkat hitamnya, yang mengarah ke pergelangan tangan kiri gadis itu.

Wusss!
Tak!
“Akh...!”

Gadis bertopeng itu menjerit kesakitan begitu pergelangan tangan kirinya terhantam tongkat hitam Nyi Durgandi. Dan baru saja Bidadari Penyambar Nyawa itu mendarat di tanah, Ki Kermopati telah menyerang dengan lemparan pisau-pisau kecil yang tajam berkilat. Cepat-cepat gadis bertopeng itu bergulingan di tanah menghindarinya, sambil memutar pedang.

Pada saat yang sama dia pun harus pula menghindari sambaran cangkul Ki Candul Wereng. Tak ada pilihan bagi gadis itu, kembali memapak sambaran cangkul lebih dahulu. Tapi akibatnya....

Cras!
“Uhhh...!”

Bidadari Penyambar Nyawa terpaksa merelakan pinggangnya tersambar salah satu pisau Ki Kermopati. Untuk kedua kalinya gadis bertopeng itu mengeluh menahan rasa sakit di pinggangnya yang langsung mengeluarkan darah. Dan kesempatan itu dipergunakan Nyi Durgandi sebaik-baiknya untuk menghabisi gadis itu dengan ayunan tongkatnya sekuat tenaga.

“Bocah sombong! Mampuslah kau sekarang! Yeaaah...!”

Bidadari Penyambar Nyawa terkesiap. Keadaannya betul-betul gawat. Tidak ada lagi tempat baginya untuk menghindari serangan. Apalagi pada saat yang bersamaan, kedua kawan Nyi Durgandi telah siap menghajarnya.

“Hentikan perbuatan kalian...!”


***


“Hei?!”

Ketiga tokoh tua itu terkesiap mendengar bentakan yang tiba-tiba. Dan mereka pun langsung menghentikan serangan.

“Siapa kau?!” bentak Ki Candul Wereng garang.

“Sebentar. Rasa-rasanya aku pernah melihatmu. Kau..., kau.... Pendekar Pulau Neraka!” ujar Ki Kermopati seraya menuding pemuda yang baru muncul itu.


“Pendekar Pulau Neraka? He! Bocah ingusan mau ikut campur urusanku. Hei, Bocah! Enyahlah kau dari hadapanku. Atau, kau tidak akan sempat menyesal nantinya!” bentak Nyi Durgandi geram.

“Maafkan kelancanganku. Tapi seperti halnya kalian, aku pun mempunyai kepentingan sama pada wanita bertopeng berjuluk Bidadari Penyambar Nyawa ini. Harap, kalian bisa mengerti...,” sahut pemuda yang memang Bayu dengan nada agak keras.

“Huh! Persetan dengan segala urusanmu! Pergilah dari sini sebelum kemarahan kami tertumpah padamu!” sentak Ki Candul Wereng dengan mata melotot lebar.

“Pendekar Pulau Neraka! Lebih baik turuti saja kata-kata kawanku ini. Semua ini demi keselamatanmu sendiri!” sambung Ki Kermopati.

“Maafkan. Tapi, aku tetap tidak bisa menuruti kehendak kalian. Aku mendapat perintah dari Adipati Wiriaraja untuk meringkus wanita itu dan membawanya ke kadipaten!” balas Bayu tak mau kalah.

“Kurang ajar! Kau kira kami takut denganmu?!

Phuih! Kalau begitu lebih baik kau mampus!” geram Nyi Durgandi. Agaknya perempuan tua itu tidak bisa menahan amarahnya lagi. Dia langsung melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka dengan ayunan tongkatnya bertubi-tubi. Angin serangannya yang dahsyat, membuktikan kalau segenap kemampuannya dikerahkan untuk menghabisi Pendekar Pulau Neraka secepatnya.

Setidaknya, Nyi Durgandi menyadari kalau Pendekar Pulau Neraka bukanlah julukan kosong belaka. Dan tentu saja dia tidak mau jatuh dalam waktu singkat di depan dua tokoh lainnya yang menonton pertarungan mereka.

“Uts!”

Bayu dengan sigap melompat ke belakang, sambil menundukkan kepala ketika tongkat perempuan tua itu menyambar kepalanya. Tubuhnya meliuk-liuk bagaikan sedang menari, ketika ujung tongkat hitam itu kembali menyambar-nyambar dada dan perutnya.

“Yeaaa...!”

Seketika ujung kaki kanan Pendekar Pulau Neraka meluncur deras ke arah dada Nyi Durgandi. Perempuan tua itu mengelak ke kanan, disertai ayunan tongkatnya ke arah kepala. Bayu cepat membungkuk begitu serangan tongkat Nyi Durgandi luput dari sasaran, kembali kakinya menghantam ke arah perut perempuan tua itu.

“Setan!”

Nyi Durgandi memaki geram ketika tubuhnya melompat ke belakang untuk menghindari tendangan lawan.

“Hei! Apakah kalian tidak punya otak! Lekas bereskan gadis itu, sementara bocah edan ini bagianku!” lanjut perempuan tua itu, membentak garang kepada dua kawannya.

Mendengar bentakan Nyi Durgandi, kedua laki-laki itu terkejut. Namun mereka segera mengalihkan perhatian pada Bidadari Penyambar Nyawa yang saat itu tengah bersiap pula.

“Yeaaah...!”

Ki Candul Wereng dan Ki Kermopati melompat bertarung melakukan serangan gencar ke arah Bidadari Penyambar Nyawa. Namun....

“Tidak akan kubiarkan kalian mendahuluiku menangkap gadis itu!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang menggema ke sekitarnya. Bahkan....

Sing!
“Hei?!”


***


DELAPAN

Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka melesat ke arah Ki Candul Wereng dan Ki Kermopati yang hendak menyerang Bidadari Penyambar Nyawa. Kedua orang tua itu tersentak kaget. Namun Ki Candul Wereng yang memang berangasan, sudah langsung mengibaskan cangkulnya untuk memapak Cakra Maut.

Krakkk!
“Heh?!”

Begitu senjatanya beradu, Ki Candul Wereng jadi terkejut sendiri. Cangkulnya ternyata putus disambar cahaya putih keperakan milik Pendekar Pulau Neraka. Dan belum lagi habis rasa kagetnya, senjata maut itu telah berbalik menyerang. Terpaksa Ki Candul Wereng dan Ki Kermopati berjumpalitan menghindarinya.

Sementara, Nyi Durgandi juga menyadari kehebatan senjata Pendekar Pulau Neraka. Maka ketika Cakra Maut kembali melesat ke arah pemiliknya, perempuan tua itu langsung mengayunkan tongkatnya sekuat tenaga ke arah Pendekar Pulau Neraka. Dengan begitu, diharapkan Bayu akan kehilangan keseimbangan. Sehingga, senjatanya itu tidak mampu ditangkap.

“Hiiih!”

Namun agaknya Pendekar Pulau Neraka telah membaca gerakan Nyi Durgandi. Maka cepat dia melompat dua langkah. Sementara tangan kanannya yang terkembang cepat dihentakkan. Seketika telapak tangan Pendekar Pulau Neraka melesat angin kencang yang bergulung-gulung menghantam Nyi Durgandi.

Nyi Durgandi terkejut setengah mati. Untuk menghindar rasanya memang tak mungkin. Maka segera telapak kirinya dikerahkan pula. Seketika dari situ menderu angin kencang yang memapak pukulan!

Glarrr!

Terdengar benturan dahsyat ketika pukulan masing-masing beradu. Tubuh perempuan tua itu kontan bergetar hebat akibat kuatnya benturan kedua pukulan mereka beradu. Bukan itu saja. Nyi Durgandi pun merasakan dirinya seperti dihantam badai gelombang yang membuatnya terhuyung-huyung ke belakang oleh tenaga dorongan dahsyat

“Hup!”
“Yeaaah...!”

Dengan mudah Pendekar Pulau Neraka menangkap kembali Cakra Mautnya yang melesat pulang. Nyi Durgandi menggeram. Bahkan langsung menyerang kembali dengan pengerahan seluruh kemampuannya. Bayu tidak mau lagi membuang-buang waktu. Ketika serangan datang kembali, cepat tangan kanannya dikibaskan.

Sing!
“Hei?!”

Cakra Maut langsung mendesing kencang ke arah Nyi Durgandi dengan kecepatan bagai kilat Perempuan tua itu terkesiap, lalu buru-buru menggulingkan tubuhnya. Sementara tangan kanannya cepat mengibaskan tongkat hitamnya untuk menangkis Cakra Maut. Dan....

Tras!
“Yeaaah...!”

Nyi Durgandi tidak terlalu terkejut, begitu senjatanya putus disambar Cakra Maut. Namun yang membuatnya terkejut, ternyata Pendekar Pulau Neraka tiba-tiba saja telah meluruk ke arahnya. Padahal, dia baru saja bisa bernapas lega setelah berhasil menghindari senjata maut itu. Begitu cepat gerakan Pendekar Pulau Neraka, sehingga terpaksa Nyi Dugandi harus menangkisnya.

Plak!

Wanita tua itu kontan merasakan tangannya linu akibat benturan tangan barusan. Dan belum lagi mempersiapkan pertahanan untuk menghindari serangan berikut, satu sodokan keras tiba-tiba menghajar telak dadanya.

Duk!
“Aaakh...!”

Nyi Durgandi menjerit kesakitan. Tubuhnya terjungkal ke tanah dan bergulingan disertai muntahan darah segar.

“Aku tidak bermaksud mencelakakanmu, Nyi. Tapi karena kau membandel, maka terima saja akibatnya! Tinggalkan gadis bertopeng. Dan, pergilah dari tempat ini. Aku tidak main-main dengan kata-kataku!” dingin terdengar suara pemuda berbaju kulit harimau itu.

Nyi Durgandi mengeluh pelan menahan geram. Tentu saja dia akan malu besar di hadapan kedua kawannya, karena dicundangi sedemikian rupa. Namun mendadak saja Ki Candul Wereng melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka.

“Huh! Bocah bau kencur saja ingin bertingkah di hadapanku! Kau akan mampus lebih dulu ditanganku!”

“Hm!”

Bayu hanya mendengus dingin. Tubuhnya lantas bergerak ke samping menghindari satu hantaman bertenaga dalam tinggi. Sementara tangan kirinya bergerak menghantam untuk menjajal kekuatan tangan Ki Candul Wereng.

Plak!
“Uhhh...!”

Ki Candul Wereng jadi mengeluh pelan, ketika kedua tangannya terhantam sabetan tangan Pendekar Pulau Neraka. Bisa dirasakan kalau tenaga dalam pemuda itu kuat bukan main. Namun mana sudi kelemahannya ditunjukkan di depan pemuda ini? Tanpa mempedulikan rasa sakit di lengannya, kembali dihantamnya dada Pendekar Pulau Neraka dengan tendangan menggeledek berisi tenaga dalam penuh.

“Hiiih!”

Pendekar Pulau Neraka cepat berbalik ke kanan untuk menghindari tendangan lawan. Dan bersamaan itu juga kaki kanannya langsung menyapu kepala Ki Candul Wereng.

“Uts!”
Wusss!

Cepat-cepat orang tua itu menundukkan kepala, kemudian melompat ke belakang. Sementara Bayu sudah menjejakkan kaki ke tanah. Lalu, tubuhnya melenting dan langsung meluruk deras dengan kedua kaki bergerak menggunting silih berganti menyambar kepala Ki Candul Wereng.

Bukan main kagetnya orang tua itu melihat serangan aneh dari Pendekar Pulau Neraka. Kedua kaki Bayu terus saja mengikutinya dengan serangan-serangan gencar. Dan ini membuat Ki Candul Wereng kewalahan. Orang tua itu berusaha menangkis secara berturut-turut.

Plak! Plak!

Namun kedua kaki Pendekar Pulau Neraka yang berturut-turut menghantam pinggang kiri dan kanan terasa keras bukan main. Wajah Ki Candul Wereng kontan meringis menahan sakit akibat benturan barusan. Bahkan tubuhnya sampai terjajar beberapa langkah. Dan belum lagi keseimbangan tubuhnya sempurna, kedua kaki Pendekar Pulau Neraka telah bergerak menggunting lehernya erat-erat.

Tap!
“Hiiih!”

Bukan main kagetnya laki-laki tua itu, mendapati lehernya telah terjepit kedua kaki Pendekar Pulau Neraka. Namun Ki Candul Wereng tidak kurang akal. Langsung dihantamnya dada Bayu sekuat tenaga. Sayang, Bayu pun agaknya telah memperhitungkannya. Bahkan kedua kakinya yang menjepit leher Ki Candul Wereng, langsung dipererat dengan kekuatan tenaga dalam tinggi. Akibatnya....

Kreeek!
“Aaa...!”


***


Ki Candul Wereng menjerit panjang ketika ujung lehernya patah digunting kaki Pendekar Pulau Neraka. Dan dengan mudah Bayu mendorongnya ke belakang, dan langsung melompat menjauhi Ki Candul Wereng. Sementara orang tua itu langsung terjungkal ke tanah dan menggelepar-gelepar tidak berdaya dengan mulut mengeluarkan darah segar. Tidak lama kemudian, tubuhnya diam tak berkutik. Mati!

“Biadab!” sentak Ki Kermopati, geram.

Bayu berpaling dan menatap tajam ke arah laki-laki tua yang mengeluarkan bentakan barusan.

“Aku tidak pernah main-main dengan kata-kataku! Pergilah kalian selagi masih ada kesempatan!” dengus Pendekar Pulau Neraka dingin.

Kata-kata Pendekar Pulau Neraka terdengar menghina. Hal itu karena dia tahu betul, siapa mereka bertiga. Ke Kermopati dan Ki Candul Wereng adalah dua tokoh hitam yang sering berbuat sesuka hatinya kepada orang-orang tak berdosa.

Sedangkan Nyi Durgandi adalah tokoh yang tidak jelas golongannya. Namun siapa pun tahu, wanita itu memang ugal-ugalan. Dia suka berbuat menurut hawa nafsunya saja, tapi di sisi lain suka pula membantu orang yang lemah.

Sementara itu, Nyi Durgandi dan Ki Kermopati berpandangan sesaat. Meski geram dan mendendam setengah mati, namun keduanya menyadari kalau bukanlah tandingan pemuda itu.

“Pendekar Pulau Neraka! Hari ini kau boleh menepuk dada. Tapi lain kali, kami akan membuat perhitungan denganmu!” dengus Nyi Durgandi seraya melesat pergi dari tempat itu, diikuti Ki Kermopati.

Bayu menatap dingin ke arah mereka. Kemudian kepalanya berpaling ke arah gadis bertopeng yang masih tetap tegak berdiri di tempatnya.

“Sekarang urusan kita berdua! Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu di hadapan Adipati Wiriaraja!” kata Bayu, dingin.

“Huh! Kau kira demikian mudahnya membawaku ke sana?!” dengus gadis bertopeng yang terkenal sebagai Bidadari Penyambar Nyawa.

“Suka atau tidak, aku telah berjanji pada Adipati Wiriaraja untuk membawamu ke hadapannya. Dan janji seorang pendekar harus dipenuhi, apa pun rintangannya!” tegas Pendekar Pulau Neraka.

“Hebat! Setelah menolongku, kini kau hendak menangkapku dan menyerahkannya ke Adipati Wiriaraja untuk diadili?” sahut gadis itu, sinis.

“Jika saja aku belum berjanji untuk menyerahkanmu hidup-hidup, tentu sudah sejak tadi kubiarkan kau dikeroyok tiga orang tadi. Dan aku tinggal menunggu hasilnya saja!” kata Bayu, enteng.

“Huh! Jadi kau berharap bisa menangkapku hidup-hidup, lalu mendapat hadiah dari adipati itu?” sindir wanita bertopeng itu.

“Aku tidak mengharapkan hadiahnya!”

“Lalu, apa yang kau inginkan setelah menangkapku?”

“Agar orang sepertimu tidak berkeliaran, membuat keonaran di mana-mana dengan segala dendammu yang aneh!”

“Dendam aneh?! Tentu saja, karena kau tidak mengalami bagaimana pahitnya hidup sengsara! Tidak punya kedua orangtua maupun saudara. Bahkan menjadi permainan laki-laki diperkosa beramai-ramai dan dianiaya...!” Bidadari Penyambar Nyawa berteriak kalap dengan suara mengandung dendam hebat.

Bayu tertegun mendengar kata-kata gadis itu. Lewat celah sepasang mata topeng yang dikenakan gadis itu, bisa terlihat kesedihan di bola matanya yang berair.

“Hm.... Bagaimana aku bisa mempercayai kata-katamu? Sejak gadis kecil kau hidup di kadipaten. Tentunya kau sudah bergelimang kebahagiaan....,” gumam pemuda itu.

Mendengar kata-kata Pendekar Pulau Neraka, kini ganti gadis bertopeng itu yang tertegun. Ditatapnya pemuda itu dalam-dalam.

“Siapa! Apa maksud kata-katamu?!"
“Tentu saja dirimu!”
“Tidak! Maksudku, dari mana kau bisa menduga kalau aku hidup di kadipaten?”

Bayu tersenyum halus. Kini dimengerti, apa maksud pertanyaan gadis bertopeng itu. “Semua orang mungkin bisa kau tipu. Termasuk, aku tadinya. Namun kau membuat kesalahan besar. Aku tahu persis, siapa wajah cantik dibalik topeng itu!” sebut Bayu menekankan.

“Kau..., kau...?!”
“Ya! Aku tahu kalau Bidadari Penyambar Nyawa adalah putri Adipati Wiriaraja sendiri. Tapi, aku tidak mengerti. Alasan apa yang menyebabkan kau berbuat seperti ini....”

“Dari..., dari mana kau...?” Bidadari Penyambar Nyawa kembali tertegun. Namun tiba-tiba...“Huh! Kau bisa saja berkata sesuka hatimu. Tapi, tidak mungkin bisa menjebakku!” sentak gadis itu. Suaranya terdengar sinis.

“Kau memang bisa berkata begitu. Tapi telah kukatakan, kau membuat kekeliruan besar. Tadinya aku tidak menyangka. Pada saat tengah berjalan-jalan keluar dari kamar, kulihat sebuah bayangan melesat keluar dari kamarmu. Maka buru-buru aku ke sana, karena menyangka ada seseorang pencuri berusaha menyelinap. Tapi, ternyata aku salah duga. Ternyata yang kudapatkan bukan pencuri, melainkan seorang wanita. Lalu kulihat ke dalam kamarmu. Dan kau ternyata tidak ada. Kemudian kuikuti arah kepergianmu, dan sampailah di tempat ini,” jelas Bayu.

Lagi-lagi gadis bertopeng itu tertegun. Kali ini, dia tidak bisa lagi menutupi dirinya di depan pemuda itu.

“Kenapa kau melakukan perbuatan-perbuatan seperti itu?” desah Bayu, mulai lunak.

Terdengar gadis itu menarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.

“Aku telah berkata yang sesungguhnya, mengapa membunuh orang-orang yang tidak kusukai. Perlu kau ketahui, aku bukanlah putri kandung Kanjeng Gusti Adipati Wiriaraja. Kalau ada lelaki yang kuhormati, hanyalah beliau. Karena, Kanjeng Gusti Adipati Wiriaraja lah yang telah mengangkatku dari lembah nista. Aku memang putri angkatnya sejak berusia lima belas tahun...,” tutur Bidadari Penyambar Nyawa, lirih.

Gadis itu terdiam. Dan Bayu pun ikut membisu. Untuk sesaat mereka terjebak dalam kesunyian. Hujan telah lama reda dan menggenangi sawah-sawah di sekitar tempat itu yang semula kering kerontang. Suara unggas malam yang terbang melintasi sesekali terdengar.

“Biar bagaimanapun, kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu di hadapan ayah angkatmu. Kau telah membuat susah hatinya...,” suara Bayu kembali terdengar.

Gadis itu membuka topeng kayu di wajahnya. Sehingga, kini terlihat seraut wajah cantik Kunti Kameshawara yang tersenyum kecil tanpa makna.

“Tidak!” tegas gadis itu.


***


Bayu tidak terlalu terkejut mendengar jawaban gadis itu. Namun sikapnya mulai bersiap, ketika Kunti Kameshawara menudingkan pedang dengan gerakan siap hendak menerjangnya.

“Kunti, jangan memaksa...,” teriak Bayu mengingatkan.

“Sekian lama aku berguru untuk membalaskan dendam berkarat di hatiku pada semua laki-laki yang kurang ajar dan tidak kusukai. Sebagian dendamku sudah terbalaskan. Namun masih banyak yang belum kuselesaikan. Aku tidak akan berhenti, sebelum mereka semua lenyap dari muka bumi ini! Tidak seorang pun yang bisa menghalangi niatku! Tidak juga kau!” tuding Bidadari Penyambar Nyawa ke arah Pendekar Pulau Neraka dengan ujung pedangnya.

“Kalau demikian, tidak ada jalan lain bagiku. Suka atau tidak, kau akan kupaksa menghadap ayah angkatmu!” sahut Bayu menegaskan.

“Kau boleh membawa mayatku! Atau, kau yang akan mampus di tempat ini!” dengus Kunti Kameshawara lantang. Gadis itu sudah bersiap akan menyerang, namun....

“Anakku, Kunti.... Hentikan perbuatanmu...!” Tiba-tiba terdengar suara halus mencegahnya. Begitu mereka berpaling, tampaklah Adipati Wiriaraja serta Ki Aria Depa yang didampingi kedua anak buah terdekatnya. Tanpa ada yang tahu, mereka telah berada di tempat itu. Melihat kehadiran mereka, Kunti Kameshawara cepat menjura hormat.

“Ayahanda, kenapa bisa berada di sini...?”

Adipati Wiriaraja tersenyum. “Bayulah yang memberitahukannya padaku. Ketika kau tengah bertarung melawan murid-murid Kelelawar Setan Gantung, Bayu kembali ke kadipaten. Dia tahu, pertarungan akan berlangsung lama. Apalagi, dia juga melihat kehadiran tiga tokoh tua yang telah menunggumu di balik semak-semak...,” jelas Adipati Wiriaraja, seraya melangkah mendekati.

“Ayahanda, jangan mendekat!” Kunti Kameshawara berseru keras memperingatkan, melihat adipati itu melangkah pelan mendekatinya.

“Kenapa, Anakku...?”

“Aku tidak pantas menjadi anakmu. Selama ini, kau selalu memberi kasih sayang. Namun balasan yang kau terima adalah kesusahan akibat perbuatanku. Aku betul-betul anak tidak tahu diri dan tidak tahu berterima kasih...,” kata Kunti Kameshawara, terdengar lirih.

“Anakku.... Setiap kesalahan besar yang diperbuat manusia selalu ada jalan keluarnya. Yakni, dengan kembali ke jalan yang benar dan bertobat. Demikian juga denganmu. Aku dan ibumu akan selalu mengganggapmu sebagai anak kami sendiri, dan akan tetap menghasihimu...,” bujuk ayah angkat Kunti Kameshawara.

“Tidak! Aku tidak bisa membalas kebaikan kalian berdua. Maafkan anakmu yang tidak berbakti ini, Ayahanda. Juga sampaikan permintaan maafku pada ibu. Aku belum sempat membalas kebaikan kalian...,” kembali terdengar suara lirih Kunti Kameshawara.

“Kunti Kameshawara, Anakku.... Kembalilah ke kadipaten. Ibumu sangat mengkhawatirkan keadaanmu...,” bujuk adipati itu.

“Tidak! Aku tidak akan kembali lagi ke kadipaten. Maafkan aku Ayahanda....” Begitu menyelesaikan kata-katanya tiba-tiba saja gadis itu mengangkat pedang pendeknya. Dan dengan gerakan cepat, pedang itu langsung dihujamkan ke jantungnya, tanpa ada yang bisa mencegahnya.

Crab!
“Akh...!”
“Kunti! Oh, tidaaak...!”

Adipati Wiriaraja terkejut bukan main melihat apa yang dilakukan putri angkatnya. Bayu sudah melompat hendak mencegah, namun pedang di tangan Kunti Kameshawara lebih cepat lagi bergerak. Disertai keluhan pelan, gadis itu ambruk ke tanah dengan darah menetes pelan di sudut bibirnya.

Adipati Wiriaraja cepat menghambur, menghampiri anak angkatnya yang telah ambruk di tanah. Langsung dia berjongkok, dan menarik tubuh Kunti Kameshawara. Langsung tubuh ramping itu disandarkan di paha kirinya.

“Anakku.... Kenapa kau harus melakukannya...?” tanya Adipati Wiriaraja dengan suara pilu.

“Aku..., aku tidak punya pilihan lagi, Ayahanda. Aku tidak bisa menghapus dendamku.... Se..., sedangkan kau pasti tidak suka dan melarangku, setelah mengetahui siapa sebenarnya aku. Dan..., dan aku tidak mungkin bisa membantah per..., perkataanmu. Maka, inilah jalan terbaik bagiku. Maafkan aku, Ayah...,” kata gadis itu terbata-bata.

Dan sebentar saja Kunti Kameshawara mengejang, lalu terkulai lemah. Rupanya, nyawa langsung melayang dari tubuhnya. Adipati Wiriaraja tertunduk lesu sambil membelai-belai pipi anak angkatnya.

“Anakku.... Maafkan ayahmu yang tidak bisa meredamkan dendammu. Aku memang bukan orangtua yang baik, karena tidak mampu mendidikmu. Beristirahatlah dengan tenang, Kunti Kameshawara....”

Suasana kembali hening beberapa saat, sebelum Adipati Wiriaraja membopong putri angkatnya. Kepalanya lantas hendak berpaling untuk mengucapkan terima kasih pada Pendekar Pulau Neraka, namun....

“Ke mana dia?” tanya Adipati Wiriaraja, ketika mendapatkan Pendekar Pulau Neraka tidak lagi berada di tempatnya. Ki Aria Depa menggeleng. Demikian pula kedua anak buahnya. Rupanya, mereka semua tidak ada yang tahu, ke mana Bayu pergi.

“Mungkin dia telah pergi, selagi. kita sibuk memperhatikan Kunti Kameshawara. Atau juga, karena dia tidak ingin mendapat pamrih atas apa yang telah dilakukan pada kita. Namun walau bagaimanapun, aku amat berterima kasih. Dan suatu saat bila bertemu kembali, akan kusampaikan sendiri rasa terima kasihku padanya...,” gumam Adipati Wiriaraja pelan.

Malam pun semakin merambat bersama dingin. Unggas malam tidak terlihat terbang. Mungkin hinggap mencari mangsa, atau juga telah lelah terbang ke sana kemari. Yang terasa hanya sunyi, seperti apa yang dirasakan. Terutama didada Adipati Wiriaraja.


SELESAI

Episode Selanjutnya SI GILA DARI MUARA BANGKAI

Bidadari Penyambar Nyawa

Cerita silat serial pendekar pulau neraka

Episode Bidadari Penyambar Nyawa


Karya Teguh S
Penerbit pertama Cintamedia, Jakarta


cerita silat pendekar pulau neraka episode bidadari penyambar nyawa



SATU

ROMBONGAN prajurit Kadipaten Baluran yang dipimpin Ki Aria Depa telah memasuki kawasan Hutan Mlinping, ketika matahari mulai tergelincir ke arah barat. Kalau perjalanan ini tak terganggu, bisa jadi mereka akan tiba di kadipaten menjelang tengah malam nanti. Itu pun kalau sang Adipati Wiriaraja yang ikut dalam rombongan tidak menghendaki istirahat.

Seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu memberi isyarat pada semua anak buahnya untuk waspada, ketika telah masuk ke dalam hutan ini.

“Kenapa, Ki Aria?” tanya seorang pemuda yang berada di samping kirinya.

Laki-laki bertubuh tegap yang dipanggil Ki Aria itu melirik sebentar pada anak buah yang menegurnya.

“Kau tidak tahu, Brata Sena. Kawasan Hutan Mlinping telah dikuasai kawasan perampok yang menamakan dirinya Alap-alap Panah Beracun,” jawab laki-laki setengah baya yang sebenarnya bernama Ki Aria Depa.

“Hm, ya.... Aku pernah mendengar nama itu. Kalau tak salah, mereka dipimpin Ki Tambak Ireng yang anak buahnya bersenjatakan anak panah beracun,” desah Brata Sena.

Ki Aria Depa mengangguk pelan. “Brata Sena! Kau mundur ke barisan kiri. Dan kau, Sendang Dulur! Jaga barisan kanan!”

“Baik, Ki...,” sahut Brata Sena dan seorang kawannya di sebelah kanan Ki Aria Depa, yang dipanggil Sendang Dulur.

Keduanya segera memacu kuda ke arah yang ditunjukkan pemimpin mereka. Ki Aria Depa sendiri memutar kudanya dan bergerak ke arah kereta yang membawa Adipati Wiriaraja. Begitu dekat dengan kereta kuda, dia bicara sebentar dengan kusir kereta yang dikawal seseorang bersenjatakan panah. Baru setelah itu, didekatinya dinding kereta.

“Ada apa, Ki?” tanya sang Adipati Wiriaraja, setelah membuka tirai jendela keretanya. Sedikit kepalanya melongok keluar.

“Maaf, Kanjeng Adipati. Kita telah memasuki kawasan Hutan Mlinping. Hamba berharap, Kanjeng Adipati tidak lengah dan tetap waspada jika kita mendapat serangan mendadak dari kawanan perampok yang menguasai daerah ini,” jelas Ki Aria Depa.
Adipati Wiriaraja mengangguk pelan. “Sudah kau siagakan semua pasukan?” tanya, adipati berusia tiga puluh lima tahun itu. Nada suaranya terdengar was-was.

“Sudah, Kanjeng Adipati!” sahut Ki Aria Depa.

“Bagus. Laksanakan tugasmu dengan baik. Dan, jangan khawatir. Aku akan tetap waspada.”

“Terima kasih, Kanjeng Adipati...,” sahut Ki Aria Depa seraya memberi hormat. Lalu, pemimpin pasukan itu kembali ke tempat semula.

Ki Aria Depa kemudian memerintahkan pasukannya yang berjumlah sekitar dua puluh orang untuk berjalan pelan dengan seluruh kewaspadaan ditingkatkan. Matanya yang beredar ke sekeliling dipasang lebar-lebar dan pendengaran di pertajam. Semua tahu kalau kawanan Alap-alap Panah Beracun terkenal buas dan kejam. Bahkan tidak pilih-pilih dalam merampok dan membunuh mangsanya.

Lebih dari itu, disadari pula kalau anak buah Ki Tambak Ireng memiliki kepandaian ilmu silat yang cukup hebat. Kalau saja ada yang bisa membuat sedikit tenang adalah karena ada Ki Aria Depa yang memang bukan orang sembarangan. Sebelum menjabat sebagai Kepala Pasukan Kadipaten Baluran, dia adalah seorang pendekar tangguh yang jarang ada tandingannya.

Hal itu tidak heran, karena dia merupakan murid tunggal Nyi Sanggul Geni, tokoh wanita berkepandaian tinggi yang amat disegani kalangan persilatan. Sementara itu, tidak berapa lama mereka berjalan, mendadak telinga Ki Aria Depa yang tajam mendengar suara mencurigakan. Langsung dia memberi isyarat dengan tangan kepada pasukannya untuk berhenti.

Melihat itu, Brata Sena dan Sendang Dulur dengan sigap menghampiri lalu berhenti di samping Ki Aria Depa.

“Ada apa, Ki?” tanya Brata Sena, penasaran.

“Tidakkah kau mendengar suara itu?”
“Suara? Suara apa? Aku tidak mendengar suara yang mencurigakan?” sahut Brata Sena, semakin bingung.

Ki Aria Depa agaknya tidak mempedulikan keheranan anak buahnya. Lalu, dipanggilnya lima orang anak buahnya yang lain.

“Kalian berlima, ikut aku,” ujar Ki Aria Depa. Lalu matanya beralih pada Brata Sena dan Sendang Dulur. “Jaga pasukan sebaik-baiknya dengan tetap meningkatkan kewaspadaan...!”

Kemudian, Ki Aria Depa memacu kencang kudanya ke depan, diikuti lima orang anak buahnya. Sementara, Brata Sena masih terpaku di tempatnya dengan wajah bingung. Demikian pula Sendang Dulur. Apa yang didengar Ki Aria Depa? Mereka sama sekali tidak mendengar apa-apa, selain desau angin dan suara cericit burung yang sesekali melintas terbang.

Tapi menyadari kalau Ki Aria Depa memiliki kepandaian tinggi, maka keduanya bisa memaklumi. Kini tanpa mengurangi kewaspadaan, Brata Sena dan Sendang Dulur memimpin pasukan dalam keadaan siaga penuh. Perlahan-lahan mereka mendekati arah yang tadi dituju Ki Aria Depa beserta lima orang anak buahnya.

Keduanya juga mengerti, kenapa Ki Aria Depa tidak mengajak. Sebab, laki-laki itu takut jika mereka bertiga pergi lebih dahulu, maka pasukan yang lain akan mudah diserang oleh kawanan Alap-alap Panah Beracun yang setiap saat bisa saja terjadi. Sedang semua tahu kalau kekuatan pasukan itu justru terletak di tangan mereka bertiga.


***


Ki Aria Depa terus menjalankan kudanya ke arah jeritan halus tadi terdengar. Walaupun samar-samar sekali, namun jelas bisa dibedakan kalau jeritan itu keluar dari seorang wanita yang sedang dalam bahaya. Dan kecurigaannya pun semakin besar, ketika teriakan ketakutan itu semakin jelas terdengar.

Dan ketika tiba di tempat sumber jeritan tadi, Ki Aria Depa menggigil menahan marah dan langsung melompat turun dari kudanya. Di depan matanya kini terlihat lima orang laki-laki berwajah seram tengah mengerubungi seorang gadis belia, berusia tak kurang dari empat belas tahun.

Salah seorang tampak tengah menindihnya sambil tertawa lebar. Dua orang yang lain tampak menontoni dengan wajah penuh nafsu. Sementara dua orang lainnya tengah membetulkan celana yang kedodoran disertai wajah puas, tanpa melihat kehadiran Ki Aria Depa.

Gadis belia itu tampak lelah tak berdaya menerima perlakuan kotor laki-laki yang menggilirnya satu persatu. Namun terlihat kalau dia sama sekali tak rela, dengan berusaha melepaskan diri dari cengkeraman.

“Binatang-binatang laknat! Hentikan perbuatan terkutuk kalian!” bentak Ki Aria Depa dengan suara menggeledek.

Bersamaan dengan itu pula tubuh Ki Aria Depa melesat ringan disertai tendangan kaki kanan ke arah tubuh laki-laki yang tengah menindih gadis belia itu. Begitu cepat datangnya serangan. Sehingga sebelum ada yang menyadari....

Desss!
“Aaakh...!”

Laki-laki yang tengah dirasuki nafsu iblis itu kontan memekik kesakitan, begitu tendangan Ki Aria Depa mendarat telak di pinggang kanannya. Tubuhnya seketika terjungkal sekitar lima langkah disertai darah kental yang muncrat dari mulut. Tendangan Ki Aria Depa tadi memang berisi tenaga dalam penuh.

Dia memang menjadi tak peduli, apakah lawan akan binasa atau tidak. Apa pun akan dilakukannya dalam kemarahannya melihat kelakuan orang-orang biadab. Dan apa yang dilakukannya, sebatang pohon besar pun pasti akan tumbang. Maka tak heran kalau laki-laki itu seketika tewas dengan pinggang remuk.

“Keparat! Berani benar kau mencampuri urusan kami?! Huh! Rasakan pembalasan kami!” sentak keempat laki-laki pemerkosa, masing-masing.

Sementara itu, kelima anak buah Ki Aria Depa seketika tertegun. Namun, mereka cepat mencabut golok dan melompat melindungi Ki Aria Depa. Sementara Ki Aria Depa sendiri tenang-tenang saja.

“Hm.... Pantas saja perbuatan kalian bejad! Dan selamanya, Kawanan Alap-alap Panah Beracun selalu melakukan perbuatan biadab!” dengus laki-laki setengah baya itu dingin.

Ki Aria Depa segera bisa menduga kalau empat pemerkosa yang tersisa adalah sebagian dari Kawanan Alap-alap Panah Beracun. Itu bisa dilihat dari senjata berupa busur baja dan kantong anak panah yang tersandang di punggung masing-masing.

“Bagus! Ternyata kau telah mengenal kami. Kalau begitu, lekas pancung kepalamu untuk menebus dosamu!” sentak salah seorang dari kawanan itu yang berbaju merah menyala.

“Ha ha ha...! Kawanan anjing kurap seperti kalian memang selalu merasa tinggi dan menganggap rendah orang lain...!” ejek Ki Aria Depa sambil tertawa.

“Kurang ajar! Kutu busuk kalian hendak berlagak di depan kami. Lebih baik mampus saja!” dengus laki-laki berbaju merah itu.

Langsung dia bergerak ke arah Ki Aria Depa, dengan ayunan busur yang digunakannya sebagai senjata. Dan seketika itu pula ketiga kawannya bergerak pula, menyerang anak buah Ki Aria Depa.

“Yeaaa...!”
“Hiyaaat...!”

Ki Aria Depa tersenyum sambil melompat untuk menghindari sabetan busur laki-laki berbaju merah. Dan ujung kaki kanannya cepat membalas dengan sambaran ke arah wajah.

Wut!

Laki-laki berbaju merah itu melemparkan kepalanya ke belakang dengan wajah kaget. Sungguh tak dikira kalau laki-laki setengah baya itu mampu bergerak demikian cepat. Bukan hanya itu. Angin sambaran tendangan Ki Aria Depa pun masih terasa menekan wajahnya. Meski begitu hatinya tak gentar. Malah, dia menyerang semakin ganas.

“Hiyaaat...!”

Dalam suatu kesempatan, laki-laki berbaju merah menyala itu menyambar anak panahnya. Dan seketika tiga buah anak panah langsung dihujamkan ke arah Ki Aria Depa. Dengan cepat, laki-laki setengah baya itu berjumpalitan untuk menghindarinya.

Belum juga Ki Aria Depa mendarat di tanah orang berbaju merah itu kembali menyerang. Kepalan tangan kanannya yang berisi tenaga dalam kuat, menyambar lurus ke arah dada Ki Aria Depa. Maka begitu kakinya menyentuh tanah, ditangkisnya serangan itu dengan kibasan tangan kiri.

Plak!
“Ukh...!”

Orang berbaju merah itu merasa kesemutan ketika tangannya beradu. Wajahnya menyeringai menahan sakit. Namun kaki kirinya cepat berputar menyambar pinggang Ki Aria Depa. Maka cepat-cepat laki-laki setengah baya itu melompat ke atas.

Sring!

Begitu berada di atas, Ki Aria Depa langsung mencabut pedangnya. Seketika, disambarnya batok kepala orang berbaju merah itu. Tentu saja hal ini membuat laki-laki itu kaget bukan main. Buru-buru dia menjatuhkan diri. Namun ujung kaki kanan Ki Aria Depa lebih cepat lagi menghantam tengkuknya.

Duk!
“Aaakh...!”

Orang berbaju merah itu mengeluh kesakitan, begitu tengkuknya terhajar kaki kanan Ki Aria Depa. Tubuhnya terjajar ke depan dan nyaris tersungkur. Untungnya keseimbangan tubuhnya cepat terkuasai.

Ki Aria Depa yang melihat keadaan lawannya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ujung pedangnya langsung berkelebat ke arah pinggang kiri orang berbaju merah itu.

Bresss!
“Aaa...!”

Laki-laki itu kembali menjerit, begitu pedang Ki Aria Depa menembus pinggangnya. Sepasang matanya melotot nyalang, dan dari mulutnya menetes darah segar. Ki Aria Depa mendengus kecil seraya mencabut pedangnya yang terbenam hampir setengahnya. Tubuh orang itu kemudian ambruk, dan tewas setelah menggelepar beberapa saat

“Huh! Mampuslah kau! Orang-orang sepertimu memang patut menerimanya!” dengus Ki Aria Depa dingin.

Pada saat yang hampir bersamaan, kembali terdengar dua jeritan anggota gerombolan Alap-alap Panah Beracun. Ki Aria Depa menoleh. Tampak dua orang tewas di tangan anak buahnya. Sementara, dua orang lagi kabur melarikan diri.

“Biarkan mereka mengadu pada pimpinannya. Kita telah siap menghadapi mereka!” cegah Ki Aria Depa, ketika melihat anak buahnya akan mengejar.

“Tapi, Ki.... Perjalanan kita masih jauh. Bagaimana kalau mereka mengadu pada yang lainnya, lalu menghadang perjalanan kita?” tanya salah seorang anak buah Ki Aria Depa dengan wajah kurang puas.

Ki Aria Depa tak menjawab. Tapi dia mendekati gadis belia yang tadi sempat menjadi korban nafsu iblis para pemerkosa. Salah seorang anak buah laki-laki setengah baya itu memberikan baju pada gadis itu untuk menutupi tubuhnya yang tanpa sehelai pakaian pun. Wajah gadis itu tampak pucat dan bibirnya gemetar.

Tetesan air mata telah mengering di bawah kelopak matanya yang sembab. Namun meski keadaannya lusuh begitu, jelas terlihat kalau gadis belia itu amat cantik. Tubuhnya pun bagus. Tak heran bila para begundal tadi seperti kerasukan setan saja melihatnya.

“Siapa namamu, Cah Ayu?” tanya Ki Aria Depa seraya menundukkan tubuh dan tersenyum kecil.


***


GADIS itu surut ke belakang. Sepasang matanya memandang curiga ke arah Ki Aria Depa. Sinar kebencian jelas terlihat dari raut wajahnya. Sementara Ki Aria Depa bukannya tidak mengetahuinya. Dan bibirnya kembali tersenyum seraya mengulurkan tangan.

“Namaku Aria Depa, Panglima Kadipaten Baluran. Dan mereka adalah anak buahku. Kami bukan orang jahat. Malah, sebaliknya kami akan melindungimu dari perbuatan jahat orang-orang yang telah berbuat tak senonoh padamu. Nah, Cah Ayu. Ikutlah bersama kami...,” bujuk Ki Aria Depa.

Gadis itu diam membisu, malah wajahnya dipalingkan seolah tak peduli dengan apa yang dikatakan Ki Aria Depa. Laki-laki itu menghela napas pendek, tidak tahu harus berbuat apa. Pada dasarnya, Ki Aria Depa memang bukan orang yang penuh kesabaran. Apalagi menghadapi hal seperti sekarang. Wajahnya lalu ditengadahkan ke langit, kemudian berbalik, hendak meninggalkan gadis itu.

Sedangkan kelima anak buahnya jadi serba salah. Mereka seperti tak percaya kalau Ki Aria Depa bermaksud meninggalkan gadis belia di sini. Bagaimana kalau kawanan begundal tadi datang kembali, dan mengulangi perbuatan kotor mereka dengan cara lebih biadab terhadap gadis belia itu?

“Apakah kalian punya cara untuk membujuknya, agar mau ikut dengan kita? Dan yang lebih penting, apakah kalian, bisa meyakinkannya kalau kita bukan bermaksud jahat padanya? Lihat sinar matanya yang penuh kecurigaan dan seakan tak percaya pada setiap orang lagi,” gumam Ki Aria Depa. Suaranya terdengar pelan namun jelas penuh rasa iba pada nasib gadis belia itu.

“Paman Aria Depa, apakah yang sedang terjadi di tempat ini?” Ki Aria Depa tersentak kaget begitu tiba-tiba mendengar sapaan halus dari belakang.

Laki-laki setengah baya itu kontan menoleh dan berbalik. Kini di hadapannya telah berdiri Adipati Wiriaraja pada jarak tujuh langkah. Kedua telapak kakinya persis berpijak pada sebatang akar pohon yang mencuat ke atas permukaan tanah. Yang amat mengherankan, dari mana adipati ini tiba-tiba telah berada di depannya tanpa diketahui?

“Maaf, Kanjeng Gusti Adipati. Hamba berusaha menyelamatkan seorang gadis belia dari perbuatan busuk Kawanan Alap-alap Panah Beracun. Namun, agaknya gadis itu tak percaya pada niat baik kami. Hamba tak berhasil membujuknya...,” jelas Ki Aria Depa singkat.

“Hm, begitukah? Baiklah. Mungkin aku bisa membujuknya, Paman,” desah adipati itu. Adipati Wiriaraja lalu tersenyum seraya menghampiri gadis itu. Namun, gadis ini sudah memandangnya dengan rasa curiga dan kebencian.

“Nisanak, tersenyumlah. Dan, hilangkan kebencian serta rasa curiga terhadap kami. Sesungguhnya, kau diberi akal budi untuk membedakan manusia yang hendak berbuat jahat padamu, dan manusia yang hendak membantumu. Maka, alangkah sia-sianya jika Nisanak menuruti hawa nafsu untuk menyamakan semua manusia yang ditemui. Aku Adipati Wiriaraja, ikutlah denganku..,” kata Adipati Wiriaraja seraya mengulurkan tangan dan tersenyum pada gadis itu.

Meskipun wajahnya masih terlihat pucat, namun samar-samar ada sebersit senyum ketika gadis itu mengulurkan tangan menyambut uluran tangan sang Adipati.

“Jangan takut, kami bermaksud baik padamu. Siapa namamu...?” lanjut Adipati Wiriaraja tetap tersenyum ramah.

Gadis belia itu terdiam. Sementara Adipati Wiriaraja tetap tersenyum. Dan pada saat yang sama, rombongan yang dipimpin Brata Sena dan Sendang Dulur tiba di tempat itu. Keduanya sedikit terkejut ketika melihat Adipati Wiriaraja telah berada di tempat ini lebih dulu bersama pasukannya. Tidak ada seorang pun yang tahu, bagaimana caranya Adipati Wiriaraja bisa cepat berada di tempat ini.

“Mari, ikut denganku dengan kereta itu...!” ajak Adipati Wiriaraja seraya menuntun gadis itu ke dalam kereta.

Gadis itu tampak menurut dan melangkah perlahan-lahan. Sebelum kakinya masuk ke dalam kereta, dipandanginya mereka satu persatu seperti hendak meyakinkan dirinya kalau orang-orang itu tidak akan mencelakakan dirinya.

“Kita langsung berangkat, Kanjeng Gusti Adipati...?” tanya Ki Aria Depa.

“Ya. Kita berangkat sekarang...,” balas Adipati Wiriaraja setelah masuk ke dalam kereta bersama gadis belia itu.

Ki Aria Depa segera memerintahkan pasukannya untuk segera meninggalkan tempat ini tanpa mengurangi kewaspadaan terhadap kemungkinan serangan Kawanan Alap-alap Panah Beracun.

Hari telah menjelang sore ketika mereka keluar dari Hutan Mlinping. Agaknya, Kawanan Alap-alap Panah Beracun tidak mengadakan pembalasan atas beberapa orang anggotanya yang tewas. Atau mungkin juga, ada alasan lain yang membuat mereka tidak mencegat rombongan itu.

Semua anggota pasukan kadipaten kini bisa bernapas lega. Tidak lama lagi, mereka akan tiba di desa terdekat. Sedangkan Adipati Wiriaraja memberi isyarat pada Ki Aria Depa untuk beristirahat di desa Loh Gawe.

Namun baru saja melangkah beberapa saat, mendadak terdengar irama suling yang mengalun seperti mengelilingi tempat itu. Iramanya teratur dan terdengar merdu. Mereka saling berpandangan, dan mencari-cari asal suara. Namun tak seorang pun yang terlihat di tempat itu.

“Eyang Guru...,” desis Ki Aria Depa.

“Hi hi hi...! Hendak ke mana kalian ramai-ramai seperti ini? Dan apakah yang kalian bawa untukku...?!”

Suara suling itu lenyap. Dan kini berganti suara tawa cekikikan halus yang mengiringi berkelebatnya sesosok tubuh dengan ringan di hadapan mereka dari depan. Ternyata, dia adalah seorang perempuan tua berambut panjang teriap dan telah memutih. Bajunya terlihat kebesaran berwarna kelabu.

Tangan kirinya menggenggam sebatang suling bambu. Wajahnya terlihat riang dengan senyum selalu terkembang. Melihat kehadiran wanita itu, serta merta Ki Aria Depa membungkukkan tubuh dan memberi salam hormat. Tampaknya, Ki Aria Depa mempunyai hubungan dekat dengan wanita itu.

“Eyang, terimalah salam hormat muridmu ini....”

“Hi hi hi...! Kuterima salam hormatmu, Anakku. Nah, apakah yang kau bawa untukku ini?” tanya perempuan tua itu, yang rupanya guru dari Ki Aria Depa.

“Ampun, Eyang. Kami tidak membawa apa-apa untukmu. Saat ini kami tengah menjalankan tugas mengawal junjungan kami, yaitu Kanjeng Gusti Adipati Wiriaraja,” jelas Ki Aria Depa.

“Apa? Brengsek! Susah payah aku mendidikmu, ternyata kau menjadi budak orang. Apa aku pernah mengajarkanmu begitu, heh?! Justru kalau bisa, kau harus menjadi raja yang dipuja banyak orang!” dengus perempuan tua itu geram.

“Tapi, Eyang....”

“Sudahlah. Sekarang juga, kau harus ikut denganku!” potong wanita tua itu nyaring.

Ki Aria Depa menjadi serba salah mendengar perkataan wanita itu. Matanya melirik sekilas ke arah kereta, kemudian kembali memandang gurunya dengan wajah bingung.

“Ayo, apa lagi yang ditunggu? Apa yang kau pandang dari manusia itu, sehingga kau mau mengabdi padanya?” hardik wanita tua itu dengan sepasang mata melotot. Dalam seketika, wajahnya yang tadi ramah dan penuh tawa, berubah garang laksana seekor macan betina yang tengah murka.

Ki Aria Depa semakin merasa serba salah. Harga dirinya betul-betul jatuh diperlakukan demikian oleh gurunya. Namun, dia tak mampu untuk berbuat apa-apa. Dan lagi, apa yang diperintahkan gurunya rasanya tidak mungkin bisa dikerjakan. Paling tidak, untuk saat ini.

Sebab, tugasnya untuk mengawal sang Adipati hingga sampai ke tempat kediamannya belum selesai. Tapi kalau perintah gurunya tidak dituruti, bisa jadi dia akan marah besar. Dan bukan tidak mungkin akan menghajarnya di depan anak buahnya. Dia tahu betul watak gurunya. Dalam keadaan demikian, Adipati Wiriaraja segera turun dari kereta kudanya. Langsung dihampirinya wanita tua itu.

“Nyi Sanggul Geni, aku yang hina bernama Wiriaraja menghaturkan salam hormat kepada mu...!” ucap adipati itu dengan suara rendah dan halus.


***


DUA

Wanita tua yang dipanggil Nyi Sanggul Geni berpaling, menatap sinis pada Adipati Wiriaraja. Namun hatinya sedikit bergetar ketika sorot matanya beradu dengan laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun berwajah bersih itu. Tidak pelak lagi, Nyi Sanggul Geni bisa menduga bahwa adipati ini agaknya bukanlah orang sembarangan.

Dan orang seperti dirinya yang telah kenyang makan asam garam dunia persilatan, tentu saja bisa mudah menebak kalau tenaga batin sang Adipati itu tentu telah demikian tinggi.

“Huh! Aku tidak bicara padamu! Untuk apa menerima segala salam hormat darimu!” sahut perempuan tua itu tetap mendengus sinis.

Mendengar sahutan itu Adipati Wiriaraja sama sekali tak marah. Sebaliknya, malah tersenyum kecil.

“Seorang manusia terhormat hendaknya saling bertegur sapa dan memberi hormat setiap kali bertemu seseorang. Dan sudah sepatutnya orang yang diberi salam hormat itu pun membalas salam yang sama. Kecuali, kalau derajatnya bukanlah seorang manusia...,” kata Adipati Wiriaraja, kalem.

“Kurang ajar! Kau anggap apa aku, heh?!” hardik Nyi Sanggul Geni merasa tersinggung mendengar kata-kata adipati itu. Matanya mendelik garang, seperti hendak menelan bulat-bulat laki-laki itu.

“Hm.... Kenapa Nyai marah? Apakah merasa tersinggung mendengar kata-kataku?”

“Brengsek! Kau kira apa derajatmu berani berkata kurang ajar padaku?! Hei! Aku heran, apa kehebatanmu sehingga muridku bersedia mengabdi kepada orang sepertimu?! Kalau hanya karung kosong yang tidak berguna, kau akan mampus di tanganku!” geram Nyi Sanggul Geni seraya melompat menyerang Adipati Wiriaraja.

“Eyang, jangan...!” cegah Ki Aria Depa berteriak cemas, seraya melompat menghadang serangan gurunya.

Prajurit Kadipaten Baluran terkejut melihat tindakan wanita tua itu. Namun, sesaat mereka tak tahu harus berbuat apa. Jika bergerak menghadang, apa jadinya dengan Ki Aria Depa? Karena, wanita tua itu adalah gurunya. Tapi jika didiamkan saja, keselamatan sang Adipati tentu akan terancam.

Sementara itu tubuh Ki Aria Depa sendiri begitu terkejut, karena tiba-tiba saja gurunya mengibaskan sebelah tangannya. Dari situ menderu angin kencang yang menghantam dirinya. Ki Aria Depa berusaha berjumpalitan beberapa kali, kemudian menjejakkan kakinya di tanah, tidak jauh dari tempat Adipati Wiriajara berada.

Nyai Sanggul Geni sedikit bersiap-siap akan membuka jurus baru. Namun Ki Aria Depa sudah melangkah mendekati, langsung menjura hormat.

“Eyang, aku mohon jangan diteruskan...,” pinta laki-laki setengah baya itu.

“Minggir kau, Aria!” sentak Nyai Sanggul Geni cepat.

Namun, sikap Ki Aria Depa tidak berubah. Bahkan tetap berdiam diri di hadapan wanita tua itu.

“Huh! Kalau begitu, kau patut mendapat hajaran!” dengus wanita tua itu geram seraya mengayunkan telapak tangan kanan ke batok kepala muridnya.

Ki Aria Depa bukannya tidak tahu. Namun, keadaannya memang sedang terjepit dan tidak tahu harus berbuat apa untuk melerai tindakan gurunya. Kalaupun harus mati di tangan gurunya, itu lebih baik daripada bertindak tidak adil dalam peristiwa ini.

Dan dalam hal ini, agaknya Nyai Sanggul Geni betul-betul akan melakukan ancamannya. Wanita tua yang wataknya sulit ditebak ini, seperti tidak peduli apakah muridnya akan melawan atau tidak. Maka seketika telapak tangannya diayunkan dengan deras. Namun sebelum menghantam batok kepala Ki Aria Depa, Adipati Wiriaraja cepat memapaki. Akibatnya, kedua telapak tangan mereka bertemu dan saling cengkeram.

“Nyi! Bukankah membunuh murid sendiri adalah tidak terpuji? Apalagi muridmu bukanlah orang jahat. Selama ini dia selalu membela orang-orang tertindas. Bukankah itu merupakan didikanmu? Dan hari ini, kau akan mengajarkan hal yang buruk padanya. Atau mungkin, penilaianku yang salah? Namun kumohon, sudilah kiranya kau mengampuninya....”

“He he he...! Tidak heran bila muridku mengabdi padamu. Tapi aku ingin melihat, pada siapa dia mengabdi. Kalau mengabdi pada orang tak berguna, maka lebih baik tak usah hidup. Di tanganmulah keputusan mati hidupnya,” sahut Nyi Sanggul Geni terkekeh kecil.

“Nyi! Aku hanya manusia biasa yang dipercaya memimpin kawula. Mana mungkin bisa melebihi kekuasaan Hyang Jagat Batara untuk menentukan hidup mati seseorang...,” sahut Adipati Wiriaraja tenang.

“Huh! Apa peduliku? Aku tidak bicara tentang Hyang Jagat Batara, tapi tentang muridku yang goblok dan kau yang kurang ajar!” dengus Nyi Sanggul Geni.

Sejak saling mengadu omong, mereka tidak melepaskan cengkeraman tangan masing-masing. Ki Aria Depa terkejut. Demikian juga Sendang Dulur dan Brata Sena. Tadi mereka dibuat terkejut oleh kehadiran adipati yang tiba-tiba. Dan kini, mereka melihat Adipati Wiriaraja malah berani memapak serangan wanita tua itu yang jelas-jelas memiliki kepandaian tinggi.

Semua menyadari, apa yang tengah berlangsung di depan mata. Jelas, itu adalah seperti adu kekuatan tenaga dalam dua tokoh tingkat tinggi. Terlihat asap mulai mengepul tipis dari kedua belah tangan mereka yang semakin lekat seperti bersatu.

Wajah keduanya mulai berkeringat Dan yang menjadi pertanyaan, dari mana Adipati Wiriaraja memiliki kepandaian hebat sehingga mampu menandingi Nyi Sanggul Geni yang amat kosen dalam dunia persilatan?


***


Sejak pertama kali mengabdi di kadipaten, tidak seorang pun yang tahu kalau Adipati Wiriaraja memiliki ilmu kedigdayaan. Demikian pula Ki Aria Depa. Laki-laki setengah baya itu hanya tertarik mendengar keluhuran budi junjungannya terhadap rakyat, dan kebijaksanaannya. Tidak segan-segan beliau turun sendiri ke desa-desa untuk memperhatikan kehidupan dan kesejahteraan rakyat.

Bahkan ikut membantu kawulanya yang sedang kesusahan. Dan pada dasarnya, Ki Aria Depa memang memiliki jiwa suka menolong. Maka dia merasa betah mengabdi pada sang Adipati yang memang memiliki sifat lembut dan welas asih.

Tapi kini, apa yang terlihat sungguh menambah kekaguman dan rasa hormat terhadap junjungannya. Adipati Wiriaraja mampu menandingi kehebatan gurunya, yang selama ini amat disegani dan diperhitungkan dalam kalangan persilatan.

“Nyi! Kurasa cukuplah dulu main-main kita saat ini. Aku mengaku kalah padamu...,” ujar Adipati Wiriaraja, seraya melompat ke belakang setelah mendorong perempuan tua itu. Tubuh Nyi Sanggul Geni juga terjajar ke belakang dalam keadaan berpijak di tanah. Sementara bibir adipati ini tersenyum kecil dan kembali menjura hormat pada wanita tua itu.

“Nyi! Aku sama sekali tidak menganggap budak terhadap muridmu. Sebaliknya, aku menganggapnya sebagai sahabat terdekatku. Untuk itu, sudilah kau membiarkannya terus bekerja denganku...,” lanjut Adipati, ramah.

“Hi hi hi...! Sungguh patut kau bersahabat dengannya, Aria. Nah! Kau kurestui. Orang ini memang patut menjadi kawanmu. Baik-baiklah dengannya,” ujar Nyi Sanggul Geni.

Kemudian perempuan tua itu melangkah mendekati Adipati Wiriaraja. Matanya melirik sekilas ke dalam kereta, kemudian berpaling ke arah Adipati Wiriaraja.

“Tahukah kau, apa yang kuinginkan darimu?” lanjut wanita itu.

Adipati Wiriaraja tersenyum kecil. “Kalau tidak salah menebak, kau tentu menginginkan gadis belia yang berada di dalam keretaku itu, bukan?”

“He he he...! Ternyata kau juga cerdik dan cepat tanggap. Sejak tadi, aku memang melihat pertarungan kalian dengan para cecunguk-cecunguk itu. Kalau saja muridku tidak cepat menyelamatkan dirinya, tentu dia akan semakin menderita di tangan mereka. Kasihan, bocah itu. Dia kini sebatang kara. Aku ingin mengambilnya menjadi muridku. Nah, berikanlah padaku!” ujar Nyi Sanggul Geni.

“Maafkan aku, Nyi. Aku tidak bisa memberikannya padamu...,” sahut Adipati Wiriaraja.

Wajah Nyi Sanggul Geni yang mulai lunak, kontan kembali garang mendengar jawaban adipati itu. Tangan kirinya yang masih menggenggam suling langsung ditudingkan ke arah laki-laki itu.

“Bocah edan! Apa mesti kuhajar sampai mampus, baru aku bisa mendapatkan gadis itu, heh?! Atau, barangkali kau kepincut melihat kecantikannya, dan bermaksud mengambilnya menjadi istrimu yang kesepuluh?” sentak Nyi Sanggul Geni disertai belalakan matanya.

Mendengar kata-kata pedas wanita tua itu, Adipati Wiriaraja sama tidak sekali tak marah. Dia malah tetap tenang sambil tersenyum. “Nyi, apa yang kau katakan sama sekali tak beralasan. Aku memang telah beristri, tapi cukup satu saja. Karena, aku merasa sudah bahagia. Adapun keinginanku memungut gadis itu, tidak lain ingin mengangkatnya sebagai anakku. Apalagi setelah sekian tahun berumah tangga, kami belum juga dikaruniai anak...,” jelas Adipati Wiriaraja.

“Huh! Aku tidak peduli segala alasanmu! Berikan bocah itu, atau aku mesti menempurmu sampai mampus?!” gertak wanita tua itu.

Adipati Wiriaraja tersenyum pahit. Meskipun baru mengenal wanita tua itu, tapi sebenarnya mengerti betul wataknya yang angin-anginan dan mau menang sendiri. Namun dia sama sekali tidak ingin bentrok dengannya. Bukan karena Nyi Sanggul adalah seorang tokoh angkatan tua dunia persilatan yang amat disegani. Tapi lebih dari itu, dia adalah guru dari Ki Aria Depa, panglima pasukan di kadipaten yang dipimpinnya.

“Eyang! Aku akan memenuhi segala keinginanmu, asal Eyang tidak mengganggu urusan Kanjeng Gusti Adipati...,” kata Ki Aria Depa menengahi.

“Diam kau, Aria! Tahu apa kau dengan segala urusanku!” sentak Nyi Sanggul Geni marah.

“Tapi, Eyang. Bukankah hal itu perbuatan tidak benar?” bela laki-laki setengah baya itu.

“Hm.... Kau bicara tentang kebenaran? Baik! Coba katakan padaku, apakah kewajiban seorang murid?!” sentak Nyi Sanggul Geni cepat.

“Murid mengetahuinya, Eyang. Yaitu, berbakti....”

“Nah! Apakah aku tidak pantas meminta sesuatu yang menjadi hakku? Kaulah yang menyelamatkan bocah itu, bukan dia!” tuding Nyi Sanggul Geni, ke arah Adipati Wiriaraja.

“Benar, Eyang. Tapi dalam hal ini, aku tengah menjalankan tugasku sebagai seorang Panglima Kadipaten. Maka sudah sepatutnya aku bertanggung jawab pada Kanjeng Gusti Adipati. Dengan demikian, segala sesuatu yang kudapatkan akan jadi wewenangnya, untuk memutuskan apa yang menjadi hakku dan mana yang tidak....”

“Aaah! Bicara apa kau ini? Berbelit-belit dan tidak jelas. Sudah jelas kau yang menyelamatkan gadis itu. Dan sekarang, aku minta gadis itu untuk kujadikan murid. Aku akan memeliharanya dan akan kubina dengan baik. Apa itu kurang jelas di telingamu?” sentak perempuan tua itu, tak mau kalah.

Ki Aria Depa hendak menyahut lagi, namun buru-buru Adipati Wiriaraja mengangkat tangannya, sebagai isyarat agar panglima itu tidak melanjutkan kata-katanya. Laki-laki itu tetap tersenyum meski dipaksakan ketika melangkah mendekati wanita tua itu.

“Nyi.... Benarkah kau akan memeliharanya dengan baik...?” tanya Adipati Wiriaraja.

“Phuih! Apa kau kira aku ini orang yang suka mengingkari janji?!” dengus perempuan tua itu.

“Baiklah.... Aku percaya padamu. Tapi mengingat kalau gadis itu ingin kuangkat sebagai anakku, tentu saja berat bagiku untuk melepaskannya. Tapi kupikir, demi kebaikan kita bersama, tidak ada salahnya kutitipkan padamu. Namun ada syaratnya....”

“Brengsek! Apa syaratnya?!” bentak Nyi Sanggul Geni memaki kesal.

“Kalau kau hendak merawatnya, maka kuberi waktu dalam tiga tahun. Dan setelah itu, kau harus mengembalikannya padaku. Kalau dalam waktu tiga tahun tidak dikembalikan, maka aku akan mencarimu ke mana pun kau bersembunyi untuk menagih janji...!” papar adipati itu.

“Sial! Apa hakmu memintanya kembali? Bukankah dia belum menjadi putri angkatmu?”

“Sekarang saatnya aku akan menanyakan kesediaannya,” sahut Adipati Wiriaraja.

Setelah berkata demikian, Adipati Wiriaraja menyuruh gadis belia dalam kereta itu untuk segera keluar. Dengan didampingi seorang prajurit kadipaten, gadis itu keluar perlahan-lahan seraya memandang kearah dua orang yang tengah memperebutkan dirinya.

“Anak manis.... Kau telah mendengar pembicaraan kami, bukan? Tidak ada niat buruk di antara kami padamu, Nah! Aku ingin bertanya, siapakah namamu?” tanya adipati itu.


***


Gadis itu memandang ke arah Adipati Wiriaraja. Wajahnya yang semula curiga, kini tampak sembab. Ada rona kesedihan yang terpancar dari lubuk hatinya. Namun demikian, Adipati Wiriaraja seperti mampu merasakan getaran hati gadis yang kini mempercayai dirinya itu. Bisa dimengerti, kesedihan apa yang melandanya.

“Hamba.... Hamba..., bernama Kunti, Kanjeng Gusti,” desah gadis bernama Kunti itu pelan dengan suara tersendat.

“Nah, Kunti.... Maukah kau menjadi putri angkatku?” tanya adipati itu.

“Hamba.... Hamba senang sekali, Kanjeng Gusti. Tapi hamba..., hamba merasa tak pantas....”

“Anakku.... Yang kuinginkan adalah jawaban mu. Iya atau tidak. Kebetulan aku dan istriku tidak mempunyai anak. Dia tentu akan senang sekali melihat kehadiranmu. Nah, jawablah. Maukah kau menjadi putriku?”

Kunti mengangguk pelan setelah memandang wajah sang Adipati beberapa saat. Kemudian kepalanya kembali tertunduk.

“Nah, begitu lebih baik. Kini, kau resmi sudah menjadi anakku, disaksikan mereka yang hadir ditempat ini. Dan namamu kini kutambah menjadi Kunti Kameshawara, putri Wiraraja yang menjadi adipati Kadipaten Baluran.

“Ayahanda.... Terimalah sembah sujud Ananda. Dan, terima kasih dari lubuk hatiku atas kemurahan hatimu...,” ucap gadis itu seraya bersujud di kaki Adipati Wiriaraja.

“Bangunlah, Anakku. Kau tidak boleh bersikap demikian...,” ujar adipati, langsung mengangkat kedua bahu putri angkatnya.

Kunti Kameshawara tetap menundukkan kepala seraya bangkit perlahan-lahan. Sedangkan adipati itu tersenyum mengangkat dagu anak angkatnya.

“Anakku, kiranya kau telah mendengar pula yang kami bicarakan tadi. Nyi Sanggul Geni juga menginginkan kau untuk diangkat menjadi murid. Beliau juga mengasihimu. Dan hal ini merupakan anugerah yang tiada ternilai. Maka, ikutlah padanya. Dan, belajarlah dengan baik untuk menjadi anak yang berguna kelak. Bila telah tiga tahun, berangkatlah kau ke Kadipaten Baluran. Aku dan ibumu akan bersuka cita menyambut kepulanganmu...,” wejang Adipati Wiriaraja.

“Ayahanda.... Berat rasanya hatiku berpisah denganmu. Aku telah mempercayaimu sebagai orang yang berbudi dan telah menyelamatkan jiwaku. Tentu saja aku tidak akan melupakanmu. Dan untuk itu, segala titahmu akan kulaksanakan sebaik-baiknya...,” sahut Kunti Kameshawara, dengan bahasa dan tata krama tinggi.

Adipati Wiriaraja tersenyum bangga. Jelas dari sikapnya gadis itu tentu berasal dari kalangan terhormat. Dan keluguan dan kejujurannya, semakin menambah rasa percaya diri bagi sang Adipati. Apalagi Kunti Kameshawara sama sekali tidak merasa canggung menganggap adipati sebagai ayahandanya sendiri.

“Nah, Nyi. Telah kau dengar sendiri. Kunti kini telah menjadi putriku. Bawalah dia bersamamu. Dan, bimbinglah sebagai muridmu. Aku percayakan keselamatannya padamu. Lalu setelah tiga tahun kau menggemblengnya, biarlah dia menemuiku. Kami akan selalu rindu padanya,” lanjut Adipati Wiriaraja.

“He he he...! Tentu saja, tentu saja...! Mari, Bocah. Ikutlah denganku!” ajak Nyi Sanggul Geni seraya mengulurkan tangan pada Kunti Kameshawara.

Gadis itu menyambut uluran tangan wanita tua yang segera mengajaknya untuk berlalu dari tempat itu. Masih sempat matanya memandang sekilas ke arah Adipati Wiriaraja. Kemudian sebentar saja Nyi Sanggul Geni telah menggendong dan membawanya lenyap dengan hanya sekali berkelebat. Sedangkan Adipati Wiriaraja tersenyum seraya menghela napas panjang.

“Kanjeng Gusti Adipati.... Maafkanlah atas segala tindakan guruku yang tidak berkenan di hati...,” ucap Ki Aria Depa seraya menjura hormat, ketika gurunya telah lenyap dari pandangan.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Paman Aria....”

“Kanjeng Gusti, tentunya merasa tersinggung atas ulah guru hamba....”

Adipati Wiriaraja tersenyum kembali. “Aku memang merasa keberatan. Tapi, aku tidak tersinggung dan kesal. Mungkin telah digariskan kalau Kunti Kameshawara akan berjodoh di tangan gurumu. Aku merelakannya, karena aku yakin kelak dia akan kembali padaku....”

“Kenapa Kanjeng Gusti tidak berusaha mempertahankannya? Bukankah Kanjeng Gusti mampu melakukannya?” tanya panglima itu bernada memancing.

“Kau ingin aku bentrok dengan gurumu sendiri?” tanya Adipati Wiriaraja tersenyum kecil.

Ki Aria Depa merasa lega mendengar jawaban itu.

“Eh! Tentu saja tidak, Kanjeng Gusti,” sahut laki-laki setengah baya itu.

“Nah! Menurutmu, apakah tindakanku tadi salah?”

“Hm.... Selama mengikuti Kanjeng Gusti, lebih banyak keputusan bijaksana yang hamba lihat.”

“Yang tadi mungkin tidak bijaksana. Namun, mampu menyelesaikan masalah. Tidak menjadi soal meski aku merasa sedikit dirugikan. Sebab, paling tidak kita telah menghindari pertumpahan darah. Dan itulah yang terbaik pada saat ini. Nah! Sekarang, bisakah kita melanjutkan perjalanan kembali?”

“Tentu saja, Kanjeng Gusti!” sahut Ki Aria Depa cepat. Setelah menjura hormat, laki-laki setengah baya itu langsung melompat ke punggung kudanya. Langsung dia memberi perintah pada anak buahnya untuk segera berangkat meninggalkan tempat itu. Sedangkan Adipati Wiriaraja berjalan menuju kereta kudanya.

“Kita langsung berangkat menuju kadipaten, dan batalkan rencana beristirahat!” ujar adipati itu, ketika telah memasuki kereta kuda.

“Siap, Kanjeng Gusti” sahut Ki Aria Depa yang berkuda di samping kereta adipati itu. Ki Aria Depa kontan berteriak nyaring. Maka rombongan itu mulai bergerak diiringi derap langkah kaki kuda yang mulai kencang melaju.


***


TIGA

LIMA TAHUN telah berlalu, sejak Adipati Wiriaraja menyerahkan Kunti Kameshawara pada Nyi Sanggul Geni. Sementara di wilayah Kadipaten Baluran belum ada yang berubah. Adipati Wiriaraja masih tetap dipercayakan memimpin wilayah itu, dengan kebijaksanaannya yang tetap tidak berubah. Tidak heran bila rakyat menginginkannya untuk terus menjabat sebagai adipati.

Namun belakangan ini, Adipati Wiriaraja dibuat pusing oleh banyaknya mayat yang sering ditemukan di wilayahnya. Kebanyakan dari mereka adalah laki-laki berusia muda. Tidak ada seorang pun yang tahu, siapa pelaku kejahatan itu.

Pancaran sinar matahari siang ini di Kadipaten Baluran tidak terlalu terik. Lebih-lebih pepohonan yang melindungi pejalan kaki membuat suasana menjadi rindang dan teduh. Di bawah sebatang pohon mangga seorang pemuda berwajah tampan dan berambut panjang tampak sedang berkelakar dengan seekor monyet kecil berbulu hitam.

Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu tidak lain dari Bayu Hanggara atau yang dikenal sebagai Pendekar Pulau Neraka. Sementara, monyet kecil itu tentu saja Tiren.

“Kaaakh...!”

Tiren melompat ke atas pohon mangga dengan gerakan lincah sekali. Dipetiknya serenceng mangga yang ranum dan harum baunya. Lalu dilemparkannya sebuah demi sebuah ke arah pemuda itu, seperti hendak bercanda.

Bayu yang memang tengah memperhatikan tingkah laku binatang itu segera bergerak ke kiri dan kanan sambil tersenyum. Tangannya dengan sigap menangkap buah-buahan itu.

Tap! Tap!

“Hei! Apakah kau hendak memberikan semua mangga itu padaku?!”

“Nguk! Nguk...!”

Tiren mengangguk seraya menepuk-nepuk kedua tangannya. Tubuhnya lalu kembali melesat ke cabang yang lebih tinggi. Lalu dipetiknya tiga buah mangga yang berukuran agak besar.

“Dasar curang! Kau memberiku yang kecil-kecil, sedangkan untukmu sendiri yang besar!” umpat Bayu, seraya melempar sobatnya itu dengan biji mangga yang telah habis digerogotinya.

“Kaaakh! Kaaakh...!” Tiren tertawa mengejek. Dengan sigap, monyet itu mengelak. Kemudian dikupasnya mangga yang diperoleh. Lalu bijinya yang dilemparkan ke arah Bayu.

“Sial! Hei?! Kau ingin berperang denganku?” tantang Bayu, langsung melempar sebuah biji mangga kembali ke arah monyet itu.

Namun dengan gerakan tidak kalah sigap Tiren melompat ke cabang pohon. Dan ketika Bayu kembali melemparnya, dia kembali melompat ke cabang yang lebih tinggi. Mulutnya terus menyeringai lebar sambil berjingkrak-jingkrak mengejek Bayu. Bayu tersenyum kecil tidak mengacuhkannya. Dan dia terus berjalan meninggalkan monyet itu.

“Kalau memang kau lebih suka tinggal di sini, aku tidak akan menahanmu,” kata Bayu tenang.

“Kaaakh...!” Tiren berteriak nyaring. Wajahnya tampak kesal melihat sikap sahabatnya. Maka buru-buru dia turun mencerecet tak karuan, seperti hendak melampiaskan kekesalan hatinya. Namun tiba-tiba...

“Tolooong...!”
“Hei?!”

Bayu terkejut, langsung merayapi ke sekelilingnya, ketika mendengar jeritan tertahan meminta tolong.

“Tiren! Cepat ikut aku!” teriak Bayu. Seketika Pendekar Pulau Neraka melompat ke arah timur, setelah Tiren mendarat di pundaknya.

Sebentar saja Pendekar Pulau Neraka telah berlari cepat dengan membawa Tiren di pundaknya. Pendekar Pulau Neraka laksana sapuan angin kencang, ketika berlari mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang telah mencapai taraf sempurna. Namun belum lama Bayu berlari, tiba-tiba...

Ser! Ser!
“Uhhh...!”

Mendadak beberapa potong ranting sebesar telunjuk tangan melesat ke arah Bayu. Seketika Pendekar Pulau Neraka melenting ke udara dan berputaran beberapa kali. Namun baru saja mendarat di tanah, beberapa potong ranting lagi menyambarnya. Kembali pemuda itu melesat ke atas, kembali meliuk ringan ke bawah. Dan kakinya pun mendarat manis di tanah. Masih sempat Bayu melihat sebuah bayangan yang melesat kencang meninggalkannya.

Pemuda itu menggeram dan langsung mengejar. Dan sebelum Pendekar Pulau Neraka mampu menyusulnya, bayangan itu telah menghilang ditelan lebatnya pepohonan. Bayu berusaha mencari-cari, namun tidak juga menemukan jejaknya. Dengan kesal Pendekar Pulau Neraka kembali ke tempat semula, tempat bayangan itu pertama terlihat.

“To..., tolooong...!” Kembali terdengar suara minta pertolongan bernada lemah. Dan sebentar saja Pendekar Pulau Neraka telah menemukan seorang laki-laki tergolek di tanah dalam keadaan terluka parah.

Dihampirinya orang itu. Tampak tulang dadanya, dan ususnya terburai seperti bekas disabet senjata tajam. Laki-laki itu memandang Bayu dengan wajah berkerut menahan rasa sakit yang hebat. Sebelah tangannya berusaha menggapai, ketika Bayu berjongkok.

“Bidadari.... Penyambar.... Nyawa....” Suara orang itu terdengar putus. Dan kepalanya langsung terkulai lesu, ketika selesai mengucapkan kata-kata itu dengan pelan.

Sementara Bayu tampak bingung. Orang itu tidak mampu melanjutkan kata-katanya, ketika nyawanya sudah lepas dari raga. Jika dilihat sepintas, orang itu masih berusia muda. Pedang pendek yang tergeletak dalam keadaan patah dua, membuktikan kalau pemuda ini bukan orang sembarangan. Dan bila melihat keadaannya yang terluka parah, bahkan masih mampu bertahan cukup lama, menguatkan dugaan kalau pemuda ini memiliki kepandaian hebat.

Siapa yang telah membuatnya tak berdaya? Bidadari Penyambar Nyawa?

Bayu hanya tertegun sendiri. Julukan itu baru didengarnya kali ini. Bayangan yang tadi kukejarkah?

“Nguk! Nguk...!”

Tiren mencerecet pelan dengan wajah termangu melihat mayat itu. Sedangkan Bayu segera berdiri seraya mengangkat tubuh Tiren ke pundaknya.

“Mari, Sobat. Kita tidak ada urusan dengan mereka...,” gumam Bayu, mengajak monyet kecil itu berlalu.


***


Seorang pemuda berpakaian ketat berwarna putih memacu kencang kudanya. Wajahnya tampak tegang dan terburu-buru. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang, seperti hendak memastikan kalau tidak ada seorang pun yang mengikutinya. Wajahnya sedikit lega, karena di depannya terlihat sebuah desa. Dia menduga, suasana ramai desa itu tentu jiwanya akan terselamatkan. Rasanya, tidak mungkin pemburunya mau mengejar sampai ke sana. Namun....

“Hi hi hi...! Kau kira bisa lari dariku?!”

Tiba-tiba sebuah suara nyaring menggema membuat pemuda itu menghentikan lari kudanya. Tak lama kemudian melayang sesosok tubuh ramping di hadapan pemuda berbaju putih itu. Sementara kuda yang ditunggangi pemuda itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.

“Sial!”

Pemuda itu merutuk kesal seraya melompat dari punggung kudanya. Tangan kanannya cepat menyambar dua buah kapak yang terselip di pinggang, dan siap menghadapi segala kemungkinan.

“Hi hi hi...! Tidak ada jalan selamat, sebelum kau menggorok lehermu sendiri!” ejek orang yang baru tiba sambil bertolak pinggang.

“Phuih! Lehermulah yang akan kugorok!” dengus pemuda itu dengan suara sedikit tinggi.

Sosok bertubuh ramping itu mengenakan topeng kayu yang menutupi seluruh wajahnya. Namun dari suara, bentuk tubuh, dan caranya berpakaian, jelas bisa ditebak kalau dia adalah seorang wanita. Melihat kulit tangannya yang bersih dan bentuk tubuhnya yang padat kencang, tentu juga bisa diduga-duga kalau wanita itu berusia muda. Di pinggangnya tampak terselip sebilah pedang kecil dan sehelai selendang berwarna biru muda.

Melihat pemuda itu telah bersiap hendak menyerang dengan sepasang kapak terhunus, wanita bertopeng ini sedikit pun tidak menampakkan rasa takut. Bahkan dari nada suaranya terasa kalau pemuda itu diremehkan.

“Ayo! Kemarilah kau, Setya Nugraha! Agar lebih cepat mampus!” tantang wanita itu.

“Keparat! Akan kubelah kepalamu! Yeaaa...!” bentak pemuda yang dipanggil Setya Nugraha seraya melompat menyerang.

“Hi hi hi...! Kau kira dengan kepandaianmu, mampu mengalahkanku? Nah, terimalah ajalmu!” ejek wanita bertopeng itu.

Siuttt...!

Begitu serangan kapak pemuda itu meluncur, tubuh wanita bertopeng kayu ini segera bergerak ke samping sambil menundukkan kepalanya. Hanya beberapa rambut serangan itu lewat di samping tubuhnya. Kemudian ringan sekali dia melompat ke atas. Tangan kanannya cepat bergerak, mencabut pedang yang terselip di pinggang.

Sring!
“Hih!”

Setya Nugraha terkesiap. Begitu cepat wanita bertopeng itu mencabut pedangnya. Dan seketika itu pula ujung pedang menyambar tenggorokannya. Cepat pemuda itu berusaha menangkis dengan sebelah kapaknya.

Trak!

Betapa terkejutnya Setya Nugraha, begitu menyadari kalau gagang kapaknya putus disambar senjata wanita itu. Bahkan ujung pedang wanita bertopeng itu langsung meluncur deras mengancam leher. Namun gesit sekali pemuda ini berusaha mengelak dengan melompat ke samping agak miring. Dan belum lagi tubuhnya bisa ditegakkan, kemudian datang serangan. Begitu cepatnya, sehingga sulit dihindari. Dan....

Brettt!
“Aaakh...!”

Setya Nugraha kontan menjerit begitu dadanya terkena tebasan pedang, sehingga membuat luka yang cukup lebar. Darah kontan mengucur dari dadanya.

“Hiyaaa...!”

Dan belum juga Setya Nugraha menguasai keadaan, wanita itu cepat bergerak melancarkan serangan kembali. Namun dalam keadaan putus asa dan jiwanya yang terjepit, kapaknya yang satu lagi segera dilemparkan tepat ketika wanita itu melesat kencang ke arahnya.

“Uts!”

Namun dengan sedikit, memiringkan kepala dan mengayunkan pedang, wanita bertopeng itu berhasil menghindari sambaran kapak Setya Nugraha. Bahkan gagang kapak itu sampai putus disambar pedangnya.

“Yeaaa...!”

Pedang wanita itu terus berkelebat-kelebat mengancam Setya Nugraha yang bergulingan menyelamatkan diri. Namun ketika pemuda itu berusaha melenting ke atas untuk menghindari sapuan tendangan, ujung pedang wanita bertopeng itu menyambar cepat ke arah perut. Sehingga...

Cras!
“Aaargkh...!”

Setya Nugraha langsung memekik kesakitan, begitu pedang wanita bertopeng itu menyambar perutnya. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung sambil memegang isi perutnya yang terburai keluar. Darah semakin banyak membanjiri tubuhnya. Dan belum juga Setya. ambruk ke tanah ujung kaki kanan wanita bertopeng itu cepat memberi hantaman ke muka.

“Digkh!”
“Aaa...!”

Pemuda itu terpental beberapa langkah disertai jerit kematian. Dia langsung ambruk tak bangkit kembali. Mati!

“Huh! Manusia picisan seperti kau ingin berlagak di depanku!” dengus wanita bertopeng itu, sambil memandang sinis ke arah mayat Setya Nugraha. Sebentar kemudian, tubuhnya berkelebat meninggalkan tempat itu dengan gerakan ringan.

Namun diam-diam, belum begitu jauh wanita bertopeng itu pergi, tiba-tiba muncul dua orang laki-laki keluar dari balik semak-semak. Mereka saling berpandangan satu sama lain dengan wajah bingung.

“Gila! Wanita itu pasti yang berjuluk Bidadari Penyambar Nyawa,” desis salah seorang yang bertubuh agak kurus dan pendek.

“Mana mungkin Bidadari Penyambar Nyawa harus bertopeng seperti mayat?” tanya yang mengenakan ikat kepala hitam.

“Alaaah! Tidak usah diributkan. Siapa lagi kalau bukan dia yang membuat resah dengan tindakannya yang kejam belakangan ini? Lagi pula melihat ciri-ciri yang pernah kudengar, tidak mungkin disangkal lagi kalau wanita itulah yang berjuluk Bidadari Penyambar Nyawa!

Biasanya, dia membunuh setiap laki-laki yang ditemui. Masih untung kita bisa selamat Ayo, jangan bengong saja. Kita harus memberitahukan kejadian ini pada orang-orang desa,” ajak laki-laki yang bertubuh kurus seraya berlari lebih dulu, kemudian diikuti kawannya.


***


Adipati Wiriaraja bersama Ki Aria Depa serta Brata Sena dan Sendang Dulur tengah bercakap-cakap di ruang pendopo utama. Mereka juga ditemani oleh seorang gadis berparas cantik berusia sekitar dua puluh tahun.

“Anakku.... Aku sungguh bangga mendengar kemajuanmu yang demikian pesat, setelah kau kembali dari Padepokan Karang Nunggal. Pesan apakah yang dikirim Ki Wahyu Tenggara untukku?” tanya Adipati Wiriaraja, pada gadis cantik di hadapannya.

“Ayahanda terlalu melebih-lebihkan. Ananda masih merasa banyak kekurangan dan perlu belajar lagi. Kalau saja bukan karena kebijaksanaan Ayahanda, tentu Ananda tidak seperti sekarang ini. Adapun Eyang Wahyu Tenggara menyampaikan salam hormat kepada Ayahanda. Beliau tidak sempat berkunjung ke sini...,” sahut gadis cantik itu yang tak lain Kunti Kameshawara, putri angkat Adipati Wiriaraja.

“Hhh.... Tidak bisa dibayangkan, bagaimana hebatnya kepandaian Gusti Kunti Kameshawara saat ini. Setelah berguru tiga tahun pada Nyi Sanggul Geni, kini Gusti Kunti Kameshawara pun telah selesai berguru di Padepokan Karang Nunggal. Siapa yang tidak mengenal Ki Wahyu Tenggara, tokoh kosen yang amat disegani di kalangan dunia persilatan,” puji Brata Sena.

“Betul! Tadi hamba sempat bermain-main. Dan hamba merasa, tidak mampu menghadapi kehebatan Gusti Kunti,” sambung Sendang Dulur.

“Ah! Paman berdua terlalu melebih-lebihkan. Kalau saja Paman tidak mengalah, mana mungkin aku mampu menjatuhkan Paman berdua,” sahut Kunti Kameshawara merendah.

“Hm.... Agaknya hal itu memang pujian yang sesungguhnya. Sungguh beruntung nasibmu. Dalam usia yang masih muda, sungguh sulit mencari lawan tanding bagimu. Barangkali, paman pun mesti mengaku kalah kepadamu,” sahut Ki Aria Depa sambil tersenyum kecil.

“Paman! Kalau Ayahanda mempercayakan Paman sebagai panglima di kadipaten ini, tentulah bukan pilihan mudah. Ayahanda terkenal bijaksana dan sudah pasti mengetahui keadaan yang sesungguhnya. Lagi pula, Paman kini adalah kakak seperguruanku. Dan sebagai kakak seperguruan, sudah jelas kemampuan Paman jauh berada di atasku,” selak Kunti Kameshawara.

“Ha ha ha...! Kau bisa saja, Kunti...!” Ki Aria Depa terkekeh pelan.

“Dan rasanya wanita itu belum tentu mampu mengalahkanmu,” kata Sendang Dulur.

“Wanita mana yang kau maksudkan, Sendang Dulur?” tanya Brata Sena.

“Siapa lagi kalau bukan Bidadari Penyambar Nyawa.”

“Bidadari Penyambar Nyawa...?”

Adipati Wiriaraja tertegun pelan mendengar nama itu disebutkan. Dia memandang agak lama ke arah Ki Aria Depa.

“Apakah wanita itu belum juga tertangkap, Aria...?” lanjut adipati itu.

“Ampun, Kanjeng Gusti. Sampai saat ini hamba telah berusaha sekuat kemampuan untuk meringkusnya. Namun dia selalu berhasil meloloskan diri, saat berhadapan dengan hamba. Dan harus diakui, wanita itu memiliki kepandaian hebat. Hamba selalu gagal mengejarnya. Tapi hamba berjanji, suatu saat nanti akan hamba tangkap wanita itu,” sahut Ki Aria Depa seraya menundukkan kepala.

“Paman Aria Depa! Kau tidak perlu merasa bersalah. Aku pun tahu kerja kerasmu. Dan kau termasuk orang yang tidak melalaikan tugas. Aku juga memaklumi kemampuanmu yang mungkin terbatas. Tidak usah berkecil hati. Namun yang perlu dilakukan adalah mencari jalan, bagaimana caranya meringkus wanita itu. Sebab kalau terus dibiarkan, dia akan merajalela membuat kekacauan,” ujar adipati itu.

“Hamba juga mohon ampun, atas musibah yang menimpa Den Setya Nugraha dua hari lalu. Hamba telah mengerahkan prajurit-prajurit pilihan untuk mengejar wanita itu, namun belum juga mendapat hasil,” sambung Ki Aria Depa pelan.

Adipati Wiriaraja menarik napas panjang dan terdiam beberapa saat. “Keponakanku itu memang bengal. Malah kelakuannya sering menyimpang dari kesopanan,” gumam Adipati Wiriaraja pelan, seraya berpaling. Adipati itu menoleh lagi pada Aria Depa.

“Benarkah wanita itu selalu mencari korban para pemuda hidung belang dan pengganggu penduduk lain?” tanya Adipati Wiriaraja.

“Memang benar, Kanjeng Gusti. Tapi hal itu tidak menutupi kemungkinan terhadap pemuda serta orang-orang yang tak bersalah....”

“Hm.... Apa maksudnya berbuat demikian? Apakah demikian bencinya wanita itu terhadap kaum lelaki, sehingga berbuat kejam? Atau, apakah ada tujuan lain? Tapi yang jelas, hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja,” kata Adipati Wiriaraja geram.

“Ayahanda! Izinkanlah ananda membantu tugas Paman Aria Depa untuk meringkus wanita itu...,” pinta Kunti Kemeshawara menawarkan diri.

Adipati Wiriaraja tersenyum. Namun belum lagi memberikan sambutan, mendadak seorang prajurit kadipaten menghadap kepadanya.

“Ampun, Kanjeng Gusti. Hamba membawa kabar buruk. Sekawanan perampok sedang mengamuk di alun-alun...,” lapor prajurit itu.

“Perampok? Siapa mereka?” sahut Adipati Wiriaraja, mengernyitkan alisnya.

“Agaknya mereka Kawanan Alap-alap Panah Beracun.”

“Hm.... Alap-alap Panah Beracun? Apa maksud mereka dengan segala ulahnya itu?” gumam Adipati Wiriaraja. “Paman Aria Depa! Lekaslah ke sana. Dan, tangkap mereka!”

“Baik, Kanjeng Gusti Adipati!” seru Ki Aria Depa cepat, langsung mengajak kedua anak buahnya.

Setelah menjura hormat, bergegas mereka meninggalkan pendopo. Dan begitu sampai di luar mereka melompat ke punggung kuda masing-masing, dengan diiringi prajurit secukupnya.

Sementara Kunti Kameshawara sendiri kemudian menyelinap ke kamarnya. Seperti biasa, setiap ada kekacauan maka Adipati Wiriaraja belum mempercayakan putri angkatnya untuk membantu tugas abdi setianya. Dan Kunti Kameshawara agaknya memakluminya. Tapi tanpa sepengetahuan kedua orangtua angkatnya, gadis itu menyelinap keluar lewat jendela kamarnya dan terus kabur menuju alun-alun.


***


EMPAT

Dengan dibantu lebih dari dua puluh orang anak buahnya, seorang laki-laki berkulit hitam dan berwajah lebar dipenuhi cambang bauk tampak tengah mengamuk sejadi-jadinya. Beberapa penduduk yang berada di sekitarnya tewas seketika, menjadi sasaran kemarahannya. Beberapa rumah tampak roboh dan sebagian lagi terbakar. Sehingga, asap hitam mengepul ke udara.

“Ke mana semua laki-laki di Kadipaten Baluran ini?! Ayo, hadapi aku! Akulah Tambak Ireng yang akan menghancurkan seluruh kadipaten ini jika pembunuh putraku tidak diserahkan padaku!” teriak laki-laki yang mengaku Ki Tambak Ireng itu geram dengan suara lantang.

Laki-laki bertubuh besar yang menyandang busur di dada dan kantong anak panah di punggung itu mengamuk sejadi-jadinya. Tangan kanannya menggenggam sebuah golok besar yang sudah bersimbah darah penduduk kadipaten itu. Beberapa pemuda yang mencoba menahan amukannya, dalam seketika tewas menjadi korban. Karena memang, laki-laki seram itu adalah Pimpinan Kawanan Alap-alap Panah Beracun.

Tidak hanya itu. Kawanan Alap-alap Panah Beracun juga mengejar penduduk yang berlarian menyelamatkan diri. Kawanan itu bermaksud meratakan semua bangunan dan menghabisi penduduknya. Banyak anak-anak serta wanita lanjut usia yang terbantai secara kejam. Sedangkan para wanita muda berparas cantik diperkosa dengan buas, sebagaimana kawanan serigala lapar. Siapa saja yang mencoba menghalangi, akan menemui ajal di tangan orang-orang itu.

“Tambak Ireng! Hentikan perbuatan biadabmu!” Tiba-tiba terdengar suara menggeledek, yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Ki Tambak Ireng segera menghentikan tindakannya. Anak buahnya segera diisyaratkan agar berhenti menyerang. Kepalanya lalu berpaling ke arah datangnya suara. Demikian juga anak buahnya. Tampak para prajurit Kadipaten Baluran telah mengepung tempat itu dengan senjata terhunus. Tiga orang penunggang kuda yang berdiri paling depan tampak mendekatinya pelan. Salah seorang yang bertindak sebagai pemimpin menudingnya dengan wajah garang.

“Kelakuanmu sungguh biadab, Keparat!” maki laki-laki yang tak lain Ki Aria Depa.

“Hm.... Kaukah yang bernama Aria Depa? Tidak usah banyak bicara. Serahkan wanita itu, dan kami akan pergi secepatnya dari sini!” bentak Ki Tambak Ireng tak kalah garang.

“Dasar keparat busuk! Apa yang kau bicarakan?! Datang dengan tiba-tiba dan mengamuk tanpa alasan. Selama ini kami memang membiarkan gerombolanmu, karena tidak pernah membuat kekacauan di kadipaten ini. Tapi melihat perbuatanmu sekarang, maka kau dan anak buahmu dihukum gantung!” tegas Ki Aria Depa.

“Ha ha ha...! Sungguh hebat bicaramu, Aria! Tapi tahukah kau, sedang berhadapan dengan siapa sekarang?! Apa dikira aku bisa digertak begitu rupa? Hei, Panglima Kemarin Sore! Aku selamanya tak pernah takut mati! Putraku telah terbunuh secara kejam oleh orang dari kadipaten ini. Itulah sebabnya, kenapa aku ingin meratakan kadipaten ini. Karena, pembunuh itu telah menyelinap ke dalam gedung kadipaten. Jadi, siapa yang harus bertanggung jawab dalam hal ini selain kalian?” tuding Ki Tambak Ireng.

“Huh! Kau hanya mencari-cari alasan untuk membenarkan perbuatan terkutukmu!” bantah Ki Aria Depa.

“Aku tak peduli bantahanmu! Yang penting, berikan orang itu. Atau, seluruh isi kadipaten ini kuratakan dengan tanah?” ancam Ki Tambak Ireng.

“Keparat! Kau boleh melangkahi mayatku dulu,” desis Ki Aria Depa seraya melompat dari kudanya. Dan sebentar saja, dia sudah menyerang Ki Tambak Ireng.

Agaknya, serangan itu merupakan isyarat bagi prajurit kadipaten untuk segera menyerang Kawanan Alap-alap Panah Beracun. Maka serentak anak buah Ki Aria Depa langsung menghunus senjata dan menyerang.

Tapi anak buah Ki Tambak Ireng tampaknya juga tak kalah sigap. Begitu melihat serangan datang, mereka langsung mencabut busur yang tersandang. Maka langsung saja para prajurit kadipaten itu dihujani desingan anak panah.

Crab!
Wut!
“Aaakh...!”

Jerit kesakitan dan teriakan membahana seketika terdengar. Beberapa orang prajurit kadipaten langsung ambruk diterjang panah-panah beracun yang dilepas Kawanan Alap-alap Panah Beracun. Tentu saja keadaan ini membuat Brata Sena dan Sendang Dulur geram bukan main. Dua orang terdekat Ki Aria Depa seketika melompat dan langsung menyerang kawanan itu. Dalam sekali gebrakan saja, tiga orang telah tewas di tangan mereka. Namun sebelum mereka membuat korban lebih banyak, tiba-tiba melesat dua sosok tubuh yang langsung memapak serangan.

“Mereka bukan lawanmu. Akulah orangnya,” desis laki-laki yang bertubuh besar dan berkumis melintang. Dia langsung menangkis tombak baja Brata Sena dengan busurnya yang tebal dan runcing pada kedua ujungnya.

Sementara yang seorang lagi adalah laki-laki berusia lanjut, dengan tubuh bungkuk. Matanya langsung menatap tajam Sendang Dulur. Brata Sena menggeram. Maka langsung diserangnya laki-laki berkumis melintang itu dengan gencar disertai pengerahan segala kemampuannya. Namun kali ini lawan yang dihadapi memang tidak sembarangan.

Laki-laki bertubuh besar itu tangkas sekali melayani setiap serangan-serangannya. Dari beberapa kali benturan yang terjadi, Brata Sena merasakan kalau tenaga dalamnya kalah jauh. Bahkan kegesitan orang itu amat mengagumkan. Belum lagi permainan senjata busurnya yang amat lihai dan sulit diduga.

Demikian juga Sendang Dulur. Hatinya geram bukan karena belum juga mampu menghabisi lawannya yang bertubuh kecil dan bungkuk itu. Bahkan orang tua bungkuk itu malah sering terkekeh-kekeh, setiap menghindari serangannya. Senjata busurnya merupakan bayangan maut yang setiap saat mampu membinasakan Sendang Dulur.

Dengan kekuatan yang dikerahkan, Kawanan Alap-alap Panah Beracun itu betul-betul membuat semua prajurit kadipaten putus asa. Panah-panah beracun yang dilepaskan, sering mengenai sasaran. Belum lagi kepandaian ilmu silat setiap anak buah Ki Tambak Ireng yang sangat mengagumkan. Sehingga, membuat para prajurit Kadipaten Baluran sulit untuk bertahan lebih lama. Maka tidak heran bila satu persatu mereka binasa di tangan kawanan itu.


***


Sementara itu, Ki Aria Depa sendiri agak kesulitan merobohkan pertahanan Ki Tambak Ireng. Bersenjatakan busur yang terbuat dari baja putih pilihan, Ki Tambak Ireng bukan saja mampu menahan serangan lawan, bahkan mampu membalas dengan hebat. Kehebatannya ternyata bukan omong kosong belaka, karena kali ini Ki Aria Depa sendiri telah membuktikannya.

“Yeaaa...!”

Kini Ki Tambak Ireng tampak bergulung-gulung indah dengan tangan bergerak cepat menyambar anak panah. Kemudian belum lagi kedua kakinya menjejak tanah dilepaskannya panah-panah beracun yang melesat deras ke arah Ki Aria Depa. Bukan main terkejutnya Panglima Pasukan Kadipaten Baluran. Maka dengan sekuat tenaga, dia mengelak seraya memutar pedang bagai kitiran.

Trang! Trang!

Seluruh anak panah berhasil dipatahkan Ki Aria Depa. Namun belum juga bersiap....

“Hiyaaat...!”

Agaknya serangan Ki Tambak Ireng tidak berhenti sampai di situ saja. Begitu kedua kakinya menjejak tanah, tubuhnya kembali melesat menyerang panglima itu dengan sambaran busurnya. Ki Aria Depa terkesiap. Buru-buru ditangkisnya serangan dengan senjatanya.

Trak!

Sementara pada saat yang hampir bersamaan, telapak tangan kiri Ki Tambak Ireng menghantam ke arah dada. Cepat-cepat Ki Aria Depa meliukliuk menghindarinya. Namun pada saat itulah salah satu ujung busur Ki Tambak Ireng yang runcing menyambar ke arah tenggorokannya. Ki Aria Depa memang masih sempat menundukkan kepala. Namun ketika Ki Tambak Ireng memutar senjatanya dengan gerakan dari atas ke bawah....

Crasss!
“Aaargkh...!”

Ki Aria Depa kontan mengeluh tertahan, ketika kulit dadanya tersambar senjata Ki Tambak Ireng. Luka yang dideritanya tidak begitu dalam, namun terasa perih. Bahkan membuat pembuluh darahnya seperti terbakar.

“Celaka! Senjatanya mengandung racun ganas...,” desis panglima itu tersentak kaget. Ki Aria Depa segera menotok beberapa bagian jalan darah di sekitar lukanya, untuk menghambat jalannya darah. Namun, justru racun itu dirasakan berjalan cepat, menyatu dengan aliran darahnya.

“Yeaaa...!”
Wut! Wut!

Melihat keadaan panglima itu demikian, Ki Tambak Ireng agaknya tidak mau memberi hati. Terus diterjangnya Ki Aria Depa dengan serangan-serangan maut yang mematikan. Mau tak mau panglima itu berusaha bertahan mati-matian. Pedangnya diputar sedemikian rupa, untuk menangkis kelebatan senjata pemimpin perampok ini.

“Hih...!”
Trang!
“Ohhh...!”

Bukan main terkejutnya Ki Aria Depa ketika senjata memapak serangan Ki Tambak Ireng. Tangannya kontan terasa gemetar dan tenaganya berkurang. Dan belum lagi menyadari apa yang terjadi....

Trang!

Tiba-tiba saja pedang di tangan Ki Aria Depa terlepas dari genggaman, dihantam senjata Ki Tambak Ireng. Belum habis rasa terkejutnya, sambaran senjata Ki Tambak Ireng yang bertubi-tubi membuat Ki Aria Depa terpaksa bergulingan di tanah.

Keadaan Ki Aria Depa memang sangat memprihatinkan. Tubuhnya semakin lemah dan gerakannya semakin pelan akibat racun yang bersarang di tubuhnya. Meski beberapa bagian jalan darah telah ditotok, namun agaknya racun yang berasal dari senjata Ki Tambak Ireng memang jenis racun hebat. Bahkan mampu merambat keseluruh bagian tubuhnya dengan cepat.

“Yeaaa...!”
“Oh...?!”

Ki Tambak Ireng kembali melancarkan serangan dahsyat. Ujung senjatanya terus berkelebat, mengincar wajah Ki Aria Depa. Namun panglima itu cepat melemparkan tubuhnya ke belakang. Dan belum juga Ki Aria Depa memantapkan kakinya di tanah, serangan Ki Tambak Ireng selanjutnya meluncur datang. Rasanya sulit serangan ini dielakkan lagi Ki Aria Depa. Begitu mendarat di tanah tubuh Ki Aria Depa terasa kaku tidak dapat bergerak. Sedangkan ujung busur Ki Aria Depa telah menderu ke arah jantungnya. Untung saja pada saat yang sangat gawat ini....

“Kisanak! Hentikan perbuatanmu!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Namun, agaknya Ki Tambak Ireng tidak mempedulikannya. Senjatanya tetap terus mengancam keselamatan Ki Aria Depa. Sehingga....

Ziiing!

Mendadak sekelebat cahaya putih keperakan melesat, setelah bersamaan suara nyaring yang mendesing ke arah Ki Tambak Ireng.

“Hei?!”
Tras!

Pemimpin Kawanan Alap-alap Panah Beracun itu terkejut. Dan lebih terkejut lagi ketika baru menyadari kalau busurnya patah menjadi dua bagian, akibat terpapak cahaya putih keperakan tadi. Dan belum lagi, sempat mengetahui benda yang bergerak bagai kilat tadi, sebuah bayangan melesat cepat mengirim serangan ke arahnya. Maka cepat-cepat tangan kirinya bergerak menangkis.

Plak!
“Hih...!”

Ki Tambak kemudian cepat memutar tubuhnya. Lalu dengan geram dihantamnya bayangan tadi lewat pengerahan tenaga dalam tinggi melalui kepalan tangan kanannya.

Wer!

Ternyata Ki Tambak Ireng hanya menghantam tempat kosong, karena bayangan itu telah berkelit cepat. Bahkan mendadak saja laki-laki itu merasakan sambaran deras menghantam ke arah wajahnya. Ki Tambak Ireng terkejut bukan main. Namun dia cepat melompat ke belakang seraya mengibaskan tangan kanannya ke depan. Maka seketika serangkum angin kencang menderu kearah bayangan itu.

Namun dengan gerakan amat gesit, bayangan itu telah menyelinap ke samping. Bahkan tiba-tiba sudah bergerak ke arah pinggang kanan Ki Tambak Ireng.

“Yeaaa...!”
“Uhhh...!”

Bukan main terkejutnya Ki Tambak Ireng. Cepat-cepat ditangkisnya serangan itu dengan kibasan tangan kanan ke bawah.

Plak!

Ki Tambak Ireng kontan merasakan pergelangan tangannya seperti menghantam benda keras. Tubuhnya langsung bergetar hebat. Dan dia terus melompat ke belakang, karena sapuan tendangan bayangan itu telah meluncur kembali ke arahnya. Namun belum lagi kedua kakinya menjejak tanah, kepalan tangan bayangan itu telah meluncur ke perutnya. Dan....

Begkh!
“Aaakh...!”

Ki Tambak Ireng menjerit keras dengan tubuhnya terjajar beberapa langkah. Untung saja serangan bayangan itu berhenti. Dan kini, Ki Tambak Ireng bisa melihat jelas, siapa penyerangnya tadi. Matanya jadi menyipit. Sementara pergelangan tangannya mengusap sudut bibirnya yang meneteskan sedikit darah segar.

Kini terlihat jelas seorang pemuda tampan berwajah tampan, namun mencerminkan kekerasan hatinya. Pemuda berambut panjang dan berpakaian dari kulit harimau itu berdiri tegak pada jarak tujuh langkah di depannya. Tampak matanya memandang tajam ke arah Ki Tambak Ireng.

“Bocah setan! Siapa kau, hingga berani-beraninya mencampuri urusanku!” dengus Ki Tambak Ireng dengan amarah meluap.


***


“Orang-orang menyebutku, Bocah Setan..,” sahut pemuda itu yang tak lain Bayu Hanggara atau lebih dikenal sebagai Pendekar Pulau Neraka.

“Kurang ajar! Kau kira bisa mempermainkan aku, heh?!” sentak laki-laki berkulit hitam itu, bertambah geram mendengar jawaban Bayu.

“Apa kau kira aku bermain-main? Apalagi melihat segala perbuatanmu yang biadab terhadap penduduk tidak berdosa. Kau patut mampus, Setan Busuk!” dengus Bayu, sinis.

“Setan! Kaulah yang akan mampus!” sentak Ki Tambak Ireng. Seketika laki-laki berkulit hitam itu menghentakkan tangannya ke depan. Dia memang ingin menghantam Bayu dengan pukulan jarak jauh yang berisi tenaga dalam kuat. Maka seketika itu pula serangkum angin kencang beserta asap hitam tipis menderu manghantam Pendekar Pulau Neraka.

Bayu mendengus sinis. Kemudian, telapak tangan kirinya disorongkan ke depan. Mendadak dari telapak tangan kirinya melesat angin kencang bertenaga kuat yang memapak serangan!

Werrr! Bletarrr!

Kedua pukulan satu sama lain beradu cepat di tengah-tengah, sehingga membuat tempat di sekitarnya seperti dilanda angin topan hebat. Bahkan beberapa orang yang dekat dengan pertarungan terdengar menjerit kesakitan seraya memegangi leher. Tubuh mereka berkelojotan, untuk kemudian ambruk dan menggelepar-gelepar tak berdaya.

Bayu begitu terkejut, menyadari kalau sebagian pukulan Ki Tambak Ireng yang menyebar kesekitar tempat ini, ternyata mengandung racun hebat. Sehingga mampu mencelakakan orang yang menghirup udara di sekitarnya. Maka ketika Ki Tambak Ireng kembali melompat menyerang, Bayu tidak berusaha memapak, melainkan melompat ke atas menghindarinya. Tubuhnya lantas bergulung-gulung di udara. Namun, akibatnya hantaman Ki Tambak Ireng membuat sebuah rumah yang tadi di belakang Bayu, jadi hancur berantakan.

Melihat serangannya gagal, bukan main geramnya laki-laki berkulit hitam itu. Tubuhnya terus mengejar Pendekar Pulau Neraka dengan mengumbar pukulan mautnya. Namun sejauh itu Bayu mampu menghindar dengan gesit. Bahkan dengan gerakan tidak terduga, tubuhnya berbalik. Dan dia langsung bergerak cepat menghantam Ki Tambak Ireng yang terkejut bukan main. Mau tak mau, laki-laki berkulit hitam itu memapak pukulan Bayu.

Plak! Plak!

Tubuh Ki Tambak Ireng bergetar keras begitu kedua tangannya beradu. Meski demikian, tubuhnya masih mampu memapaki kepalan tangan kiri Bayu yang berputar menghantam ke arah leher. Sementara Bayu cepat bergerak ke samping disertai hantaman tendangan untuk memancing. Ki Tambak Ireng segera bergerak mengelak dengan liukkan tubuhnya. Pancingan Bayu membawa hasil. Seketika tubuh Pendekar Pulau Neraka melompat ke atas dengan ujung kaki kanan bergerak ke arah dada. Akibatnya....

Des!
“Aaakh...!”

Ki Tambak Ireng kontan memekik kesakitan, begitu dadanya terhantam telak tendangan Pendekar Pulau Neraka. Tubuhnya langsung terjungkal ke tanah beberapa langkah, disertai muntahan darah segar. Dia berusaha bangkit, namun saat itu juga berkelebat cahaya keperakan kearahnya bagai kilat Ki Tambak Ireng terkejut, namun sudah tidak berdaya apa-apa lagi. Sehingga....

Zwing!
Cras!
“Hegkh...!”

Ki Tambak Ireng hanya mampu menjerit tertahan, begitu cahaya keperakan itu menyambar leher dan nyaris membuat kepalanya putus. Tubuhnya, kembali ambruk ke tanah. Ki Tambak Ireng menggelepar-gelepar meregang nyawa. Darah tampak terus mengucur dari lehernya. Sebentar saja, tubuhnya telah diam tak berkutik lagi.

Sementara Pendekar Pulau Neraka segera mengibaskan tangan kanannya, dengan mata tetap memperhatikan Ki Tambak Ireng. Tak lama, senjata Cakra Maut yang tadi dilepaskannya, kembali menempel erat di pergelangan tangan kanannya.

“Hei? Kau..., kaukah Pendekar Pulau Neraka yang termashyur itu?!” Ki Aria Depa terkesima begitu melihat Cakra Maut menempel erat di pergelangan tangan Bayu.

Kini baru disadari, benda apa yang tadi melesat cepat itu. Sebuah cakra bersegi enam berwarna keperakan yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka. Bahkan ketika Bayu sudah menghampirinya, Ki Aria Depa masih terpaku tak percaya.

“Begitulah orang-orang menyebutku...,” kata Bayu pelan. Mendadak Pendekar Pulau Neraka cepat bergeser ke kiri seraya membungkuk. Dan tiba-tiba kedua tangannya bergerak cepat, menangkap se suatu yang berdesing ke arahnya. Dan tanpa berbalik, Bayu melemparkan beberapa buah anak panah yang tadi sempat ditangkapnya ke arah sosok beberapa tubuh yang membokongnya.

Begitu cepat lesatan anak panah yang dikembalikan Bayu pada pemiliknya. Bahkan kecepatannya melebihi saat meluncur datang tadi. Sehingga....

Ser! Ser!
Crab!
“Aaargkh...!”

Tiga orang anggota Kawanan Alap-alap Panah Beracun yang marah bukan kepalang melihat pemimpin mereka tewas, harus menemui ajalnya ketika anak panah yang dilemparkan Bayu menghujam telak dada. Mereka langsung ambruk di tanah termakan senjatanya sendiri.

Zwing!

Cakra Maut di tangan Bayu kembali melesat, ketika tiga orang lagi menyerangnya secara bersamaan. Mereka langsung melepaskan panah-panah beracun, siap menghujam tubuh Pendekar Pulau Neraka. Namun....

Trak! Trak!

Panah-panah beracun itu kontan berpatahan terhantam Cakra Maut. Bahkan senjata dahsyat itu terus mendesing ke arah para pembokong. Salah seorang tampak berusaha menghindar, namun tak urung kulit dadanya tersambar juga. Sementara kawanan yang berada di belakang tak sempat mengelak, sehingga....

Brettt!
“Aaakh...!”

Orang itu menjerit kesakitan, ketika Cakra Maut merobek perutnya sehingga ususnya terburai keluar. Begitu mendapatkan sasaran Cakra Maut kembali melesat pulang, ketika Bayu mengibaskan tangan kanannya.

“Setan! Akulah lawanmu, Keparat!” teriak seorang laki-laki bertubuh besar, begitu Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanan Bayu. Laki-laki bertubuh besar yang tadi menjadi lawan Brata Sena itu langsung menyerang Pendekar Pulau Neraka dengan gencar, setelah memberi perintah pada dua orang anak buahnya untuk menghadapi Brata Sena.

Sedangkan laki-laki bungkuk yang menjadi lawan Sendang Dulur juga bermaksud menghabisi Pendekar Pulau Neraka secepatnya. Namun sebelum niatnya sampai, mendadak sebuah bayangan telah menghadangnya.

“Semua Kawanan Alap-alap Panah Beracun akan mampus di tanganku!”


www.sonnyogawa.com


LIMA

Orang tua bertubuh kecil dan bungkuk itu terkejut. Cepat busur panahnya dikibaskan untuk menghalau serangan yang baru muncul.

Trak!

Bukan main terkejutnya orang tua itu ketika merasakan tangannya kesemutan, begitu senjata busurnya seperti menghantam batu cadas yang keras luar biasa. Dan lebih terkejut lagi ketika merasakan sesuatu yang mendesir ke arah lehernya.

Bet!
“Uhhh...!”

Orang tua bungkuk itu melangkah ke belakang dan terus melompat ke samping untuk menghindari sambaran senjata sosok bertubuh ramping yang menjadi lawannya. Namun, senjata itu terus mengejarnya seperti tak ingin memberi kesempatan sedikit pun untuk bernapas. Bahkan baru saja kakinya menjejak, ujung senjata itu kembali menyambar. Seketika dipapaknya serangan itu dengan ayunan busurnya.

Trak!

Untuk kedua kalinya orang tua bungkuk itu merasakan tangannya kesemutan. Dia menggeram. Dan sebelum sosok bertubuh ramping itu menyerang, ujung kaki kanannya telah lebih dulu diayunkan. Seketika sosok bertubuh ramping ini cepat mengibaskan tangan kirinya. Maka, tiba-tiba sebuah selendang meluncur deras, ke arah kaki orang tua bungkuk itu.

Rrrt!

Bahkan seketika itu pula pergelangan kaki anak buah Ki Tambak Ireng ini dibelit selendang yang alot bukan main. Sementara, sosok ramping itu langsung menghentakkan selendangnya. Akibatnya, tubuh orang tua bungkuk itu langsung terjajar ke depan oleh sentakan tenaga keras. Dan belum lagi bisa menyadari apa yang terjadi, satu tendangan keras menghantam pinggang kirinya.

Desss!
“Aaakh...!”

Orang tua itu kontan memekik keras, begitu pinggangnya terhajar tendangan keras dari sosok ramping ini. Tubuhnya langsung terjungkal dan bergulingan di tanah. Namun tubuhnya kembali tertahan, bahkan kembali tersentak ke arah sosok ramping itu, karena selendang lawannya masih membelit kakinya.

Orang tua itu tidak kehilangan akal. Segera saja busur di tangannya dilemparkan, sehingga melesat cepat ke arah sosok ramping yang terus membetotnya. Namun, sosok ramping itu telah sigap. Pedang di tangan kanannya cepat dikibaskan, memapak luncuran busur panah itu.

Trak!

Senjata busur orang tua bungkuk itu berhasil ditangkis hingga terpental jauh. Sedangkan tubuhnya terus saja meluncur ke arah sosok ramping yang siap dengan hujaman senjatanya. Sehingga....

Bresss...!”
“Aaa...!”

Pedang di tangan sosok bertubuh ramping itu terus menderu keras, menembus dada kiri laki-laki bungkuk ini tanpa tertahankan lagi disertai jeritan menyayat. Darah tampak membasahi dadanya. Jantung orang tua itu kontan pecah tertembus ujung pedang pendek milik sosok yang ternyata seorang gadis bertubuh ramping.

Wanita bertopeng kayu di wajahnya itu memandangi mayat orang tua bungkuk itu tanpa mempedulikan sekitarnya.

“Hei? Bukankah dia Bidadari Penyambar Nyawa?!” teriak seseorang, begitu mengenali gadis bertopeng itu.

Anak buah Ki Tambak Ireng yang lain tampak terkejut. Namun, mereka tidak punya waktu lagi untuk berdiam diri, karena gadis bertopeng itu telah melesat membawa serangan ganas.

“Alap-alap keparat! Mampuslah kalian sekarang! Yeaaa...!”

“Hei?!”

Bukan main terkejutnya anggota Kawanan Alap-alap Panah Beracun itu mendapat serangan mendadak begitu. Namun beberapa orang masih sempat melepaskan anak-anak panah beracun kearah gadis bertopeng itu.

Ser! Ser!

Namun, dengan tangkas gadis itu memutar pedangnya, merontokkan anak panah beracun yang menyerangnya. Diiringi bentakan, ujung selendang di tangan kirinya langsung dikibaskan menyambar ke arah para pemanah.

Tarrr!
“Aaakh...!”
“Hiyaaat...!”

Ujung selendang yang terlihat lemas itu jadi berubah kaku keras bagai sebatang baja. Dan tanpa ampun lagi, para pengikut Kawanan Alap-alap Panah Beracun tersambar selendang itu. Dua orang seketika terlempar beberapa langkah dari tempatnya semula, dengan tubuh remuk. Tewas!

Sedangkan yang lain mampu menyelamatkan diri walaupun dengan pontang-panting. Namun gadis bertopeng itu agaknya tidak memberi sedikit kesempatan pada mereka. Begitu melihat mereka sibuk menyelamatkan diri, tubuhnya langsung melesat sambil memutar pedangnya.

Trak! Trak!

Beberapa orang mencoba menangkis sabetan pedang itu. Namun begitu selendang gadis yang dijuluki Bidadari Penyambar Nyawa itu ikut bicara, tak ada yang bisa mencegahnya.

Brettt!
Crasss!
“Aaakh...!”

Pekik kematian kembali mengiringi beberapa Kawanan Alap-alap Panah Beracun yang tewas disambar selendang gadis itu. Sementara yang lainnya berusaha menangkis dengan senjata busur. Namun, selendang itu kembali berbicara. Tubuh mereka berpelantingan ke tanah dengan keras. Siapa pun yang berusaha melepaskan diri, maka gadis itu akan mengejarnya. Akibatnya, mereka betul-betul tidak berdaya.

Melihat dari tindakannya, gadis bertopeng itu agaknya mendendam pada Kawanan Alap-alap Panah Beracun. Sehingga tidak seorang pun dibiarkan hidup atau melarikan diri. Dia mengamuk sejadinya. Dengan kepandaian serta kelincahannya yang luar biasa, dalam waktu singkat saja semua kawanan itu tewas menemui ajalnya secara mengerikan.

“Mampuslah kalian semua!” dengus Bidadari Penyambar Nyawa bernada dingin. Matanya yang tajam memandangi sisa gerombolan yang tinggal seorang lagi. Dia adalah lawan Pendekar Pulau Neraka. Bidadari Penyambar Nyawa hendak bergerak menyerang. Namun, niatnya segera diurungkan, karena orang itu telah menjadi bulan-bulanan pemuda berbaju kulit harimau.

Ketika memperhatikan sekilas, dia menduga kalau pemuda itu mungkin mempunyai dendam tersendiri terhadap kawanan ini. Nyatanya serangan-serangan pemuda itu tampak bukan main-main. Lawannya sampai dibuat terjajar beberapa kali tanpa kenal ampun. Dan ketika orang itu berusaha bangkit, senjata yang berada di pergelangan tangan pemuda ini melesat cepat. Langsung disambarnya tenggorokan orang itu tanpa ampun. Orang itu kontan memekik tertahan.

Tubuhnya langsung ambruk dengan leher hampir putus mengucurkan darah segar. Melihat keadaan itu, gadis bertopeng itu langsung melompat ke atas, hendak pergi dari situ. Namun Ki Aria Depa yang sejak tadi terkesima melihat sepak terjang gadis itu, segera terjaga.

“Lekas kejar, dan tangkap wanita itu...!” teriak Ki Aria Depa pada anak buahnya.

Brata Sena dan Sendang Dulur langsung melompat mengejar, diikuti prajurit kadipaten. Sedangkan pemuda berbaju kulit harimau yang memang Bayu tetap tegak berdiri di tempatnya dengan wajah tak mengerti. Matanya memandang sekilas ke arah lenyapnya gadis bertopeng tadi, kemudian menyambar Tiren sahabatnya yang berteriak-teriak dan berlari kecil ke arahnya.


***


Ki Aria Depa yang masih terluka dalam, berdiri tegak mematung memandang para prajurit kadipaten. Kemudian, dia mengeluh pendek. Wajahnya terlihat muram, ketika melangkah mendekati kudanya.

“Sebenarnya sia-sia mereka mengejarnya. Aku saja tak mampu. Apalagi mereka...,” gumam panglima kadipaten ini pendek.

“Bukankah gadis bertopeng itu telah menolong kalian? Lalu, kenapa kau begitu bernafsu hendak menangkapnya?”

“Hei?!”

Ki Aria Depa terkejut dan cepat menoleh, ketika seseorang menyahuti kata-katanya. Wajahnya tampak cerah, kemudian menjura hormat pada Bayu yang berada di dekatnya sambil menggendong Tiren.

“Pendekar Pulau Neraka.... Aku berterima kasih yang sedalam-dalamnya atas pertolonganmu. Maafkan. Pikiranku kacau, sehingga sampai melupakan kehadiranmu....”

“Lupakanlah, Kisanak...,” desah Bayu.

“Ehm.... Namaku Aria Depa,” kata Ki Aria Depa cepat.

“Hm, Ki Aria Depa. Kau boleh memanggilku Bayu. Sepanjang jalan, banyak kudengar berita tentang sepak terjang wanita bertopeng itu. Tapi apa yang dilakukannya hari ini aku jadi bingung. Kenapa pihak kadipaten ingin menangkapnya? Bukankah dia telah menolong kalian tadi?” tanya Bayu.

“Ini memang sulit dijelaskan. Dan kurasa, dia bukan bermaksud menolong. Tapi, memang mempunyai dendam tersendiri terhadap Kawanan Alap-alap Panah Beracun,” jelas Ki Aria Depa.

“Apakah kalian semua merasa yakin kalau wanita itu yang berjuluk Bidadari Penyambar Nyawa?”

“Aku bahkan pernah beberapa kali berusaha menangkapnya. Namun sayang, kepandaiannya terlalu tinggi. Sehingga, sulit bagiku untuk meringkusnya,” jelas Ki Aria Depa, terus terang.

“Hm.... Kalau begitu, apakah pihak kadipaten merasa yakin kalau selama ini dia memang melakukan kesalahan?”

“Bayu.... Bidadari Penyambar Nyawa bukanlah tokoh baik-baik. Aku tidak tahu banyak tentang dirinya. Demikian juga semua orang di kadipaten ini. Semula perbuatannya kelihatan terpuji karena banyak membantai perampok dan penjahat. Tapi lama-lama perbuatannya semakin membabi buta. Dia membunuh semua laki-laki yang tak disukainya,” jelas panglima itu.

“Apakah kau yakin kalau itu adalah perbuatannya?”

“Bidadari Penyambar Nyawa biasanya sering menampakkan diri, bila menewaskan seseorang. Sehingga, banyak yang melihat perbuatannya. Namun hingga saat ini, tidak ada seorang pun yang mampu mencegahnya.”

Bayu mengangguk-angguk kecil mendengar penuturan laki-laki itu.

“Ki, kurasa cukuplah penjelasan yang kau berikan. Kalau demikian, aku mohon diri....” Bayu mohon pamit.

“Eh, maaf Bayu. Kalau tidak keberatan, sudilah mampir di kadipaten bersamaku. Adipati Wiriaraja tentu senang sekali mendapat kunjunganmu...,” usul panglima itu.

“Maafkan aku, Ki. Aku masih banyak urusan. Sampaikan saja salam hormatku pada Adipati Wiriaraja. Nah, aku mohon diri....”

“Sayang sekali, Bayu...,” desah Ki Aria Depa. Bayu baru saja hendak berbalik, tapi panglima itu tiba-tiba ambruk. Maka buru-buru Pendekar Pulau Neraka memeriksa laki-laki itu.

“Hm.... Kau keracunan hebat, Ki...,” desis Bayu seraya meraba tubuh Ki Aria Depa yang mulai dingin bagai es.

“Oh! To..., tolong bawa aku ke kadipaten...,” keluh Ki Aria Depa, lemah.

“Tenanglah. Nah, berbaringlah sambil melemaskan semua otot tubuhmu. Aku akan berusaha mengeluarkan racun yang bersarang di tubuhmu,” sahut Bayu tanpa mempedulikan kata-kata Ki Aria Depa.

Bayu lalu mengangkat laki-laki itu dan dibawanya ke bawah pohon. Disandarkan laki-laki itu di bawah pohon. Kemudian ditotoknya beberapa jalan darah di sekitar jantung, agar racun itu tidak sampai menyebar. Lalu Bayu berpindah kebelakang, dan langsung menempelkan telapak tangannya ke pinggang Ki Aria Depa.

Seketika Ki Aria Depa merasakan hawa panas berputar melalui pinggangnya, yang kemudian berkumpul di perut. Hawa panas itu memang merangsang hawa murni di bawah perutnya, untuk menekan peredaran darahnya. Dan ketika kedua telapak tangan Bayu telah berpindah ke tengkuk, laki-laki itu tak mampu lagi menguasai rasa mual dan sakit yang hebat. Dorongan dari bawah perutnya, laksana lahar gunung yang akan termuntahkan.

“Hoeeeekh...!”

Ki Aria Depa memuntahkan darah kental berwarna kehitam-hitaman dari mulutnya. Tubuhnya langsung mengejang beberapa kali, namun dengan sigap Bayu mengurut bagian dada. Sehingga rasa sakit yang dirasakan laki-laki itu sedikit berkurang. Namun demikian, Ki Aria Depa masih tetap memuntahkan darah kental. Lama-kelamaan, darah kental kehitaman itu berubah merah.

Telapak tangan kiri Bayu kini melekat kuat di ubun-ubunnya. Sementara, telapak tangan kanannya menempel erat di dada kiri. Hal itu berlangsung beberapa saat. Ketika Ki Aria Depa mulai memuntahkan darah segar dari mulutnya, Bayu menghentikan pengobatannya.

“Syukurlah.... Racun yang mengendap ditubuhmu telah keluar. Meski sebagian kecil masih tersisa, namun lewat latihan pernapasan dan meminum ramuan-ramuan, kau akan kembali seperti sediakala...,” jelas Bayu.

Ki Aria Depa menarik napas panjang, lalu memusatkan hawa murninya. Kemudian dihelanya napas perlahan-lahan. Wajahnya terlihat pucat dan tubuhnya terasa letih bagai tidak bertulang. Ki Aria Depa telah kehilangan banyak darah akibat racun yang keluar lewat muntahan darah tadi. Dan tiba-tiba laki-laki itu bersujud di hadapan Pendekar Pulau Neraka.

“Bayu.... Aku berhutang nyawa padamu. Aku tidak tahu, bagaimana harus membalas budi baikmu. Namun, penuhilah permintaanku untuk kujamu dikediamanku,” kata Ki Aria Depa memohon.

“Ki Aria Depa.... Jangan terlalu bersikap demikian terhadapku. Aku tidak menentukan mati hidupmu. Yang kulakukan hanyalah sekadar meringankan beban penderitaanmu. Itu pun hanya semampuku sebagai seorang manusia. Nah, janganlah terlalu berlebihan. Bangunlah, Ki...,” ujar Bayu.

“Aku tidak bangun sebelum kau menyetujui permintaanku. Penuhilah permintaanku. Sekali saja...,” desah laki-laki itu.

Bayu menghela napas pendek, kemudian mengangguk pelan.

“Oh! Terima kasih, Bayu. Aku akan merasa mendapat kehormatan luar biasa atas kedatanganmu,” kata Ki Aria Depa gembira.

Baru saja Ki Aria Depa ingin bangkit, para prajurit kadipaten telah kembali. Brata Sena dan Sendang Dulur menghadap padanya dengan wajah muram.

“Maafkan kami, Ki. Kami tidak mampu menangkap gadis itu,” lapor Brata Sena, lesu.

Ki Aria Depa hanya tersenyum. “Sudahlah, Brata Sena. Aku tahu, kau telah bertugas dengan baik dan sepenuh hati. Kelihaiannya memang bukan tandinganmu. Bahkan juga bukan tandinganku. Tidak kusalahkan bila kau gagal meringkusnya. Nah, sekarang mari kita kembali ke kadipaten untuk melaporkan peristiwa ini kepada Adipati Wiriaraja. Bawa serta mayat-mayat temanmu. Kita akan mengubur mereka selayaknya,” ujar Ki Aria Depa bijaksana.

“Baik, Ki...,” sahut Brata Sena cepat.

Bayu sebenarnya enggan memenuhi undangan Ki Aria Depa, karena mengetahui kalau nantinya toh harus berkunjung kekediaman Adipati Wiriaraja. Namun pemuda itu tak punya pilihan, ketika melihat sikap Ki Aria Depa.


***


“Kisanak.... Sungguh suatu kehormatan bagi kadipaten ini. Khususnya, bagiku atas kunjunganmu...,” sambut Adipati Wiriaraja disertai senyum lebar pada Pendekar Pulau Neraka di depan pendopo rumahnya.

“Kanjeng Gusti Adipati.... Bukankah sebaliknya hamba yang merasa mendapat kehormatan dapat diterima baik oleh Kanjeng Adipati?” sahut Bayu, seraya membalas salam hormat Adipati Wiriaraja.

“Ah! Ternyata kau pandai merendahkan diri. Silakan, Kisanak,” lanjut Adipati Wiriaraja mengajak tamunya untuk masuk ke pendopo utama.

Mereka kemudian berjalan bersama, diikuti Ki Aria Depa di belakang. Kini mereka tiba di ruang pendopo yang amat luas dan tertata indah. Bayu benar-benar mengagumi tata ruangan ini.

“Silakan, Kisanak,” Adipati Wiriaraja mempersilakan Bayu untuk duduk. Mereka semua yang ada di ruangan ini segera duduk bersama-sama.

“Kisanak.... Aku telah mendengar tindakanmu yang telah membantu kadipaten ini. Dan aku sungguh berterima kasih, karena kau telah menyelamatkan Aria Depa. Perbuatanmu sungguh terpuji...,” kata Adipati Wiriaraja, begitu duduk dikursinya.

“Kanjeng Gusti, apa yang hamba lakukan bukanlah sesuatu yang istimewa. Rasanya, belum pantas menerima pujian setinggi langit itu...,” elak Bayu, merendah.

Adipati Wiriaraja belum sempat melanjutkan pembicaraannya, ketika Kunti Kameshawara muncul bersama seorang pelayan yang menghidangkan teh hangat.

“Kisanak, perkenalkan. Ini putriku. Namanya Kunti Kameshawara...,” ujar Adipati Wiriaraja, memperkenalkan putrinya.

“Hm.... Sungguh cantik putri Kanjeng Gusti...,” puji Bayu, langsung berdiri dan menjabat tangan gadis itu.

Mereka saling berpandangan beberapa saat. Tidak sebagaimana layaknya gadis-gadis yang pernah ditemuinya. Kunti Kameshawara justru balas tersenyum dengan bola mata berbinar-binar.

“Kisanak. Kaukah yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka...?” tanya Kunti Kameshawara, seraya melepaskan jabatan tangannya.

“Agaknya begitulah orang-orang memanggilku...,” sahut Bayu tenang, dan segera duduk kembali.

“Kudengar namamu sering disebut-sebut sebagai pendekar nomor satu yang tidak terkalahkan. Telah lama sekali aku ingin bertemu denganmu. Namun, agaknya baru hari ini keinginanku terpenuhi. Maka tentu saja ini merupakan suatu keberuntungan bagiku,” kata Kunti Kameshawara.

“Kunti, aku hanya manusia biasa seperti orang kebanyakan. Dan rasanya orang terlalu berlebih-lebihan bila menganggap pendekar nomor satu yang tiada tandingannya. Seperti pepatah, di atas langit masih ada langit. Dan aku bukan salah satu dari langit itu. Aku hanya setinggi rumput diantara rimba pepohonan yang menjulang tinggi dan besar,” balas Bayu, merendah.

“Hm.... Agaknya. Kisanak memang suka merendah. Namun, hal itu tidak mengurangi hasratku untuk menimba pengalaman darimu...,” sahut Kunti Kameshawara.

“Maafkan kalau aku tidak mengerti maksud pembicaraanmu, Kunti...,” sahut Bayu dengan dahi berkerut, mendengar kata-kata Kunti Kameshawara.

“Terus terang, aku ingin mendapat sedikit pengalaman darimu,” sahut Kunti Kameshawara, langsung menepuk tangannya.

Tak berapa lama kemudian, keluar seorang pelayan yang membawakan dua bilah pedang. Kunti Kameshawara mengambil sebuah, dan segera diberikan kepada Bayu. Sementara, Pendekar Pulau Neraka hanya tersenyum kecil. Dia mengerti, apa yang diinginkan gadis itu.

“Kunti, kudengar kau memiliki kepandaian hebat. Tentu aku bukan tandinganmu. Bagaimana kalau aku mengaku kalah saja padamu?” sahut Bayu, mencoba menolak halus.

“Hm.... Kau seorang pendekar nomor satu. Mana mungkin bisa begitu. Lagi pula, yang kuinginkan bukan soal kalah dan menang. Tapi, apakah kau sudi memberi pelajaran bagiku untuk menambah wawasanku,” sahut Kunti Kameshawara, cerdik.

Gadis itu kemudian memandang ke arah ayah angkatnya, disertai senyum manis. “Bukankah Ayahanda menyetujuinya?” tanya gadis itu.

Adipati Wiriaraja hanya tersenyum. “Putriku ini memang tidak pernah merasa cukup dengan kepandaiannya. Aku memang selalu mengajarkannya untuk tidak selalu bangga dengan apa yang dimilikinya. Tapi dalam hal ini, tentu saja lain. Kisanak tentu lelah. Dan rasanya, tidak baik memaksa tamu kalau memang sedang tidak berkenan...,” ujar Adipati Wiriaraja, bijaksana.

Bayu tersenyum. Kata-kata Adipati Wiriaraja terdengar bijaksana. Namun sesungguhnya Bayu tahu kalau dirinya disindir. Dan secara tidak langsung, adipati itu merestui kehendak putrinya. Maka seketika Bayu berdiri seraya menerima pedang yang diulurkan padanya.

“Kalau keinginanmu demikian, baiklah. Tapi jangan tertawakan kalau aku membuat kesalahan...,” desah Bayu merendah.


***


ENAM

“Silakan, Kunti...,” kata Bayu seraya menancapkan pedang di ujung kakinya. Mereka kini memang telah berada di halaman rumah Adipati Wiriaraja.

“Apakah kau akan menghadapiku tanpa senjata?” tanya Kunti Kameshawara.

“Bukankah kita tidak hendak saling melukai?” sahut Bayu sambil tersenyum.

“Terserahmu saja. Tapi aku benar-benar ingin mendapat pelajaran darimu.”

“Kalau demikian, silakan saja. Jangan sungkan-sungkan. Kalau aku memerlukannya, tentu akan kugunakan....”

“Baiklah. Sekarang, lihat serangan!” bentak Kunti Kameshawara, langsung memasang kuda-kudanya. Kemudian gadis itu melompat menyerang Bayu dengan ujung pedang berputar-putar menyambar ke arah wajah.

Bayu bergerak ke kiri dan kanan, lalu menunduk. Dan dia terus bergerak ke samping, untuk menghindari sambaran senjata gadis itu. Sedangkan Kunti Kameshawara segera berputar dengan kepalan tangan kiri menghantam ke arah dada kanan pemuda itu. Bayu mencoba memapak disertai cengkeraman tangan pada tangan gadis itu. Namun gadis itu cepat mengebutkan tangannya.

Plak!
“Hih!”

Baru saja kedua tangan mereka beradu, secepat itu pula Kunti Kameshawara mengayunkan pedang ke arah leher.

“Uts!”

Bayu cepat mendongak, dan terus melompat. Namun gadis itu terus mengejar disertai satu tendangan keras. Bukan main terkejutnya Bayu merasakan angin serangan laksana hantaman godam ke arahnya. Maka sambil memutar tubuh, telapak tangan kirinya disorongkan untuk memapak pukulan jarak jauh yang dilepaskan gadis itu.

Pyarrr...!

Serangkum angin kencang berputar di tempat itu, ketika pukulan mereka bertemu. Dan bagi yang melihat pertandingan itu, terasa bagai tertampar mukanya akibat dahsyatnya angin serangan kedua orang yang tengah bertarung. Adipati Wiriaraja sendiri sampai menggeleng lemah dengan wajah khawatir.

“Kenapa dengan putriku? Dia bukannya ingin mendapatkan pelajaran, tapi benar-benar menginginkan pertarungan hidup dan mati...,” desis Adipati Wiriaraja berkali-kali menghela napas pendek.

“Apakah tidak sebaiknya dihentikan saja, Kanjeng Adipati?” sahut Ki Aria Depa.

“Menurutmu, sebaiknya bagaimana...?”

“Kanjeng Gusti Adipati, Pendekar Pulau Neraka memanglah orang baik dan pembela kebenaran. Namun siapa pun tahu kalau dia pun terkenal kejam dan tidak segan-segan menghabisi orang yang bermaksud mencelakainya. Dan apa yang kita saksikan saat ini, Gusti Kunti mencoba mencelakakannya,” kata Ki Aria Depa lagi.

“Hm.... Kalau demikian, perintahkanlah mereka untuk menghentikan permainan ini!”

“Baik, Gusti. Berhentiii...!” Ki Aria Depa berteriak, memerintahkan mereka untuk menghentikan pertarungan. Namun, Kunti Kameshawara malah terus mencecar tanpa mempedulikan teriakan itu.

“Paman, jangan khawatir. Aku tidak apa-apa...!”

Sebenarnya Bayu sendiri bukannya tidak menyadarinya. Serangan-serangan gadis itu memang dahsyat dan seperti hendak membunuhnya. Kalau sedikit saja lengah, niscaya bukan tidak mungkin nyawanya akan melayang. Bayu mendengus kesal. Gadis itu benar-benar ingin mengumbar segala kepandaiannya untuk menjatuhkannya.

“Hup!”

Bayu melompat ke atas dengan tubuh berputar bagai gasing. Sementara Kunti Kameshawara mengejar, dan sudah langsung mengayunkan pedang. Kunti Kameshawara gembira ketika melihat keadaan Bayu. Kelihatannya, kali ini pemuda itu tidak akan luput dari serangannya. Kalau tidak tewas, tentu akan celaka terkena sambaran salah satu pedangnya. Namun apa yang terjadi? Ketika pedangnya berusaha menebas, Pendekar Pulau Neraka cepat mengangkat tangan kanannya. Dan....

Trang! Trang!

Senjata gadis itu rupanya membentur benda keras di tangan Pendekar Pulau Neraka, sehingga membuat percikan bunga api. Bahkan tangan Kunti Kameshawara kontan terasa kesemutan, serta telapak tangannya terasa perih.

“Yeaaa...!”

Begitu kedua kakinya menjejak tanah, saat itu juga Bayu melompat cepat menyambar gadis itu. Kunti hanya terkesiap, buru-buru mengayunkan pedang. Namun ternyata dia hanya menyambar angin, karena Pendekar Pulau Neraka telah berkelebat cepat beberapa saat, sebelum pedangnya tiba.

Gadis itu langsung berbalik kembali mengayunkan pedang. Namun gesit sekali Bayu berkelit dan menyelinap ke bawah samping kirinya seraya melepaskan tendangan keras.

“Uts!”

Kunti Kameshawara terkejut bukan main, dan cepat melompat ke atas. Pedangnya langsung dikibaskan ke bawah, namun Bayu seperti mengikutinya. Pendekar Pulau Neraka bahkan lebih dulu telah berada di atas kepalanya dengan tiba-tiba.

“Hih!”
“Yeaaa...!”

Dengan gemas Kunti Kameshawara mengayunkan pedangnya menghantam Bayu. Namun Pendekar Pulau Neraka seperti lenyap dari pandangannya, karena telah berkelebat demikian cepat. Bahkan tiba-tiba gadis itu merasakan angin sambaran di kepala. Rambutnya sampai berkibar-kibar dan kepalanya terasa berdenyut kencang.

Padahal serangan Pendekar Pulau Neraka belum lagi tiba. Dan sebelum menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba Bayu berkelebat cepat menyambar ikat kepala dan ikat pinggang gadis itu hingga lepas. Lalu sebentar saja, Pendekar Pulau Neraka telah berdiri tegak pada jarak lima langkah di hadapannya, dengan ikat kepala serta ikat pinggang gadis itu telah berada dalam genggamannya.

“Kunti, kurasa cukuplah pelajaran yang kau terima hari ini,” kata Bayu, datar.


***


Kunti Kemeshawara agaknya tidak bisa menerima kekalahannya begitu saja. Tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu berlari kencang dan menghilang di balik tembok. Bayu hanya melirik sekilas, kemudian melangkah pelan mendekati Adipati Wiriaraja.

“Kanjeng Gusti Adipati, maafkan kelancangan hamba...,” ucap Bayu, memberi hormat.

Adipati Wiriaraja tersenyum. “Bayu.... Tidak ada yang perlu dimaafkan. Mari kita kembali duduk dan berbincang-bincang. Tidak usah merisaukan putriku. Adatnya memang keras, karena terlalu dimanja selama ini. Tapi, sebentar lagi dia tentu akan baik kembali...,” kilah adipati itu.

“Kanjeng Adipati, rasanya hamba tidak bisa berlama-lama di sini. Masih banyak yang harus hamba kerjakan di luar sana. Kalau Kanjeng Gusti tidak keberatan, hamba ingin mohon diri. Terima kasih atas kemurahan hati Kanjeng Gusti...,” ucap Bayu.

“Hm.... Kenapa mesti terburu-buru? Bukankah kita belum banyak bertukar cerita? Aku masih senang duduk dan berbincang-bincang denganmu.”

“Maafkan hamba, Kanjeng Gusti. Sebenarnya pun hamba ingin lebih lama di sini. Namun karena ada sesuatu yang harus dikerjakan, maka hamba tidak bisa memenuhi keinginan Kanjeng Gusti,” sahut Bayu sedikit berbohong, menolak halus permintaan Adipati Wiriaraja.

“Ah! Sayang sekali kalau demikian. Tapi, baiklah. Kalau memang keperluanmu amat mendesak, aku pun tidak bisa menghalanginya. Namun ada satu keinginanku padamu, Bayu. Maukah kau menolongku?”

“Pertolongan apakah yang bisa hamba lakukan?”

“Soal wanita yang menyebut dirinya Bidadari Penyambar Nyawa....”

“Bidadari Penyambar Nyawa? Apa yang harus hamba lakukan?”
“Aku ingin kau meringkus wanita itu untukku!”

“Kanjeng Gusti.... Bukannya hamba menolak. Namun rasanya hamba tidak patut melakukannya. Bukankah di kadipaten ini masih banyak orang hebat? Apa jadinya bila hamba yang mengemban tugas ini? Tentu mereka akan berkecil hati. Sebab, hamba tahu kalau pengabdian prajurit kadipaten ini amat tinggi pada Kanjeng Gusti. Mereka tentu akan merasa direndahkan. Demikian juga, Kanjeng Gusti akan dituduh tidak adil,” sahut Bayu.

Adipati Wiriaraja tersenyum mendengar penuturan Bayu. “Benar apa yang kau katakan, Bayu. Namun dalam hal ini. Kadipaten Baluran telah banyak kehilangan prajurit gagah berani dalam pertarungan melawan Kawanan Alap-alap Panah Beracun. Sehingga, kami kekurangan orang untuk menangkap Bidadari Penyambar Nyawa yang memiliki kepandaian hebat,” sahut Adipati Wiriaraja mengemukakan alasannya.

Bayu kembali tersenyum mendengarnya. “Kanjeng Gusti Adipati...,” panggil Bayu.

“Eh! Bukankah lebih baik kita duduk dulu. Tidak sopan rasanya melayani tamu berbicara berdiri seperti ini,” potong Adipati Wiriaraja cepat.

“Baiklah...,” kata Bayu. Segera diikutinya Adipati Wiriaraja yang menuju ruang pendopo utama. Sebentar saja, mereka sudah kembali duduk di kursi masing-masing.

“Nah! Silakan lanjutkan kembali. Apa yang ingin kau kemukakan,” ujar Adipati Wiriaraja setelah duduk di kursinya.

Bayu memandang semua yang ada di situ satu persatu. “Ki Aria Depa.... Kalau memang benar gadis yang kita temui di sana adalah si Bidadari Penyambar Nyawa, menurut penilaianku dia mempunyai tandingan hebat di kadipaten ini.”

“Maksudmu?” tanya Ki Aria Depa.

Bayu kembali tersenyum. “Bukankah kepandaian Kunti Kameshawara cukup hebat? Kanjeng Gusti Adipati dan semua yang ada di sini bisa melihatnya tadi...,” jelas Bayu.

“Putriku memang mempunyai kemampuan yang lumayan. Namun, dia kurang berpengalaman dan masih mentah. Dalam sekali gebrak, tentu akan dapat dikalahkan Bidadari Penyambar Nyawa,” sahut Adipati Wiriaraja merendahkan kemampuan putrinya.

“Bagaimana, Bayu? Apakah kau bersedia membantu kami?” tanya Ki Aria Depa, setelah terdiam beberapa saat lamanya.

Bayu menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan-lahan. Sekali lagi dipandangnya ke arah mereka satu persatu.

“Baiklah.... Tampaknya, aku tidak mempunyai pilihan...,” desah Bayu.

“Ah! Kami akan sangat senang atas kesediaanmu, Bayu,” kata Adipati Wiriaraja, merasa lega.

“Di manakah hamba bisa menemuinya, Kanjeng Adipati?” tanya Bayu kemudian.

“Itulah yang selama ini amat membingungkan. Kami sendiri belum tahu, di mana wanita itu bersembunyi. Tapi rasanya tidak sulit untuk menemuinya. Sebab, dia akan muncul dengan sendirinya,” desah adipati itu.

“Maksud Kanjeng Adipati...?” tanya Bayu bingung.

Adipati Wiriaraja menatap singkat ke arah Pendekar Pulau Neraka. Lalu perhatiannya beralih ke arah jendela ruangan ini yang terbuka lebar.

“Ya kuperhatikan selama ini, agaknya Bidadari Penyambar Nyawa sering muncul bila mendengar ada pemuda yang banyak dibicarakan orang. Agaknya dia mempunyai sifat membenci laki-laki. Dalam hal ini, kemunculanmu di sini cukup menarik perhatian semua orang....”

Bayu tersenyum mendengar kata-kata itu. “Hamba mengerti maksud Kanjeng Gusti....”

“Syukurlah...,” desah Adipati Wiriaraja. Kepalanya lantas mendongak ke atas, kemudian kembali berpaling pada Bayu.

“Sebentar lagi hari mulai gelap. Nanti, Aria Depa akan menunjukkan tempat peristirahatanmu, Bayu.”

“Terima kasih, Kanjeng Gusti.... Memang, agaknya aku harus bermalam di sini,” desah Bayu.

“Mari, Bayu. Kutunjukkan tempat beristirahatmu...,” ajak Ki Aria Depa seraya beranjak dari duduknya.

Mereka lantas memberi salam hormat pada adipati, sebelum berlalu meninggalkan tempat itu. Sementara Adipati Wiriaraja memandang mereka beberapa saat, kemudian beranjak pergi dari sini setelah menghela napas lega.


***


Mendung yang sejak tadi menggumpal berwarna kehitaman, mulai menumpahkan titik-titik air perlahan-lahan. Senja telah berlalu dan digantikan malam yang gelap bercampur gerimis. Angin bertiup kencang menggoyang-goyangkan dedaunan di sekitar Desa Jatimakmur.

Dipinggiran desa itu terlihat suatu sosok yang melompat-lompat ringan menghindari genangan air hujan di jalan. Di pinggir tegalan sawah yang semula mengering, dia berhenti dan berteduh di bawah sebatang pohon berdaun lebat. Tubuhnya tegap. Kedua tangannya yang bersedakap, mengapit sebilah pedang.

Sebuah topi caping lebar terbuat dari bambu menutupi kepalanya. Orang itu terdiam beberapa saat, mengawasi sekitarnya dengan sorot mata tajam. Agaknya, dia bukan saja sekadar berteduh dari siraman hujan yang sudah turun deras. Mungkin dia tengah menunggu seseorang. Seekor burung kuntul terbang melintas di depannya disertai teriakan nyaring.

Sementara orang itu tak bergeming dari tempatnya. Bahkan dia tetap diam, ketika sesosok tubuh ramping melayang turun dengan ringan pada jarak sepuluh langkah dari tempatnya berdiri. Orang yang baru muncul itu mengenakan topi caping berukuran lebih kecil. Melihat dari potongan tubuhnya yang ramping, jelas dia adalah seorang wanita. Tampak sehelai selendang melilit di pinggangnya, dengan sebilah pedang pendek juga terselip di situ.

“Bagus! Akhirnya kau datang juga memenuhi tantanganku...!” kata wanita itu, nyaring.

“Huh! Kelelawar Setan Gantung tidak akan pernah lari! Apalagi hanya untuk menghadapi bocah ingusan macam Bidadari Penyambar Nyawa...!” balas orang yang berdiri di bawah pohon itu, sinis.

“Segala kelelawar budukan akan bertingkah dihadapanku. Lekas cabut pedangmu. Dan, berdoalah. Karena, hari ini terakhir kalinya kau bisa bernapas!” dengus wanita itu dingin.

“Phuih! Kaulah yang seharusnya berdoa. Hari ini Bidadari Penyambar Nyawa hanya akan tinggal nama! Akan kurobek-robek perutmu dengan pedangku....”

“Jangan banyak bicara! Lihat serangan...!” seru gadis itu, langsung melemparkan capingnya ke arah laki-laki yang berjuluk Kelelawar Setan Gantung.

Sing!

Melihat serangan mendadak ini, Kelelawar Setan Gantung tidak jadi ciut nyalinya. Langsung dibalasnya dengan melemparkan capingnya pula.

Brakkk!

Begitu kedua topi itu beradu, terdengar bunyi berderak keras. Dari sini bisa dilihat, betapa kuatnya tenaga dalam yang mereka kerahkan. Bahkan kedua caping itu sampai hancur berantakan.

“Yeaaa...!”

Bidadari Penyambar Nyawa langsung menerjang Kelelawar Setan Gantung. Sementara laki-laki bertubuh tegap itu langsung mencabut pedangnya, dibabatnya wanita itu dengan gerakan cepat

Sring!
Wut! Wut!

Bidadari Penyambar Nyawa berkelit indah, lalu melompat ke atas. Gerakannya laksana ombak bergulung-gulung di lautan. Kemudian ketika tubuhnya melayang turun, Kelelawar Setan Gantung telah siap menyambutnya. Wanita bertopeng kayu itu terdengar mendengus sinis. Lalu pedang pendeknya langsung dicabut untuk menghantam pedang Kelelawar Setan Gantung.

Sring!
Trang!
“Uhhh...!”

Terlihat percikan bunga api, ketika kedua senjata beradu. Kelelawar Setan Gantung mengeluh tertahan dengan tubuh terjajar dua langkah. Telapak tangannya terasa perih dan jantungnya berdebar kencang akibat benturan tadi. Disertai rasa geram, kembali laki-laki itu menerjang Bidadari Penyambar Nyawa dengan babatan ke arah pinggang. Namun wanita itu begitu gesit melompat ke atas seraya melepaskan tendangan keras ke arah muka.

“Hiyaaat..!”

Dengan bentakan keras, Kelelawar Setan Gantung membabatkan pedangnya, mengincar kaki wanita itu yang mengarah ke wajahnya. Sementara, telapak tangan kirinya langsung menjulur ke arah dada. Cepat-cepat Bidadari Penyambar Nyawa menarik pulang kakinya, yang kemudian digunakannya untuk memapak tangan kiri laki-laki itu.

Plak!

Tubuh wanita itu kontan melintir. Namun tanpa diduga, justru tenaga pelintiran itu digunakan untuk memutar tubuhnya. Bahkan langsung melepaskan tendangan berputar ke arah dada. Kelelawar Setan Gantung terkejut bukan main, namun cepat membungkukkan tubuhnya. Namun wanita itu tidak tinggal diam.

Serangannya segera dilanjutkan dengan satu tendangan keras ke arah pinggang. Cepat-cepat laki-laki itu terus melejit kekiri, bahkan cepat berbalik menyambar dengan pedangnya. Namun, tangkas sekali Bidadari Penyambar Nyawa menangkis dengan senjatanya.

Trang!
“Uhhh...!”

Kembali Kelelawar Setan Gantung mengeluh tertahan, begitu senjatanya beradu. Bahkan dia harus melompat ke belakang, karena harus menghindari kepalan tangan kanan Bidadari Penyambar Nyawa yang menderu ke arah dadanya. Kelelawar Setan Gantung terkejut bukan main. Maka dengan gerakan sebisanya, dia melenting ke atas. Tapi tanpa diduga, ujung pedang wanita itu telah menunggunya. Akibatnya...

Crasss!
“Aaakh...!”

Paha laki-laki itu kontan tersambar pedang Bidadari Penyambar Nyawa, hingga menimbulkan luka cukup lebar. Darah pun langsung merembes keluar. Dan baru saja kakinya menjejak tanah dengan wajah berkerut menahan sakit, kembali serangan lawan datang. Buru-buru dia melempar diri ke samping, menghindari sapuan kaki kanan Bidadari Penyambar Nyawa.

Tapi tindakan wanita itu ternyata hanya tipuan belaka. Karena dengan kecepatan dahsyat, Bidadari Penyambar Nyawa melenting ke atas dan berputaran beberapa kali. Dan begitu meluruk turun, ujung pedangnya langsung mencecar pinggang laki-laki itu. Bukan main terkejutnya Kelelawar Setan Gantung. Maka dengan sekuat tenaga, dia berusaha menghindari serangan. Langsung tubuhnya dijatuhkan ke bawah. Namun, ujung pedang wanita itu telah lebih dulu menyambar perut. Dan....

Brettt!
“Aaakh...!”

Kelelawar Setan Gantung kontan memekik keras, begitu pedang wanita itu menyambar perutnya. Ususnya langsung terburai disertai muncratnya darah segar. Tubuhnya seketika ambruk dan menggelepar tak berdaya. Dan ketika berusaha bangkit berdiri, ujung kaki Bidadari Penyambar Nyawa telah menghantam telak dada kirinya.

Bugkh!
“Aaakh...!”

Kelelawar Setan Gantung hanya mampu berteriak tertahan ketika tubuhnya ambruk kembali dan diam tak berkutik Mati! Angin bertiup semilir. Di kejauhan, terdengar lolongan serigala. Wanita bertopeng itu mendengus dingin, sambil memandangi tubuh Kelelawar Setan Gantung yang bersimbah darah bercampur lumpur.

“Mudah-mudahan tadi kau sempat berdoa....”

“Bidadari Penyambar Nyawa, kami akan menuntut balas atas kematian guru kami!”

Tiba-tiba terdengar teriakan membahana, memutuskan gumaman Bidadari Penyambar Nyawa.


***


TUJUH

Beberapa orang bersenjatakan pedang panjang tiba-tiba berlompatan ke arah Bidadari Penyambar Nyawa dengan wajah garang. Sementara gadis bertopeng kayu itu hanya mendengus dingin. Kemudian ujung pedangnya ditudingkan ke arah mereka.

“Hm, kiranya Kelelawar Setan Gantung tidak lebih dari seorang pengecut! Kenapa kalian tidak muncul sekaligus saat dia menemui ajalnya? Ayo, majulah kalian kalau ingin menyusulnya!” tantang wanita bertopeng itu.

“Keparat! Hari ini kau akan mampus!” desis salah seorang seraya melompat menyerang.

“Yeaaa...!”

Tubuh Bidadari Penyambar Nyawa melompat tinggi, kemudian berputaran di udara. Pedangnya diayunkan, menangkis kelebatan senjata para pengikut Kelelawar Setan Gantung.

Trang! Trang!

Beberapa buah pedang di tangan para pengikut Kelelawar Setan Gantung langsung berpentalan ke udara. Bahkan ujung pedang gadis itu cepat menyambar mereka.

Bret!
“Aaa...!”

Terdengar jeritan nyaring, diikuti ambruknya tiga sosok tubuh. Galangan sawah di tempat itu kembali berwarna merah bercampur lumpur. Sementara gadis bertopeng itu lincah sekali bergerak ke sana kemari bagai burung walet, disertai sambaran pedangnya yang menimbulkan desir angin kencang. Dan ketika tiga orang penyerang meluruk dari tiga arah yang berlawanan, gadis itu bergerak ke samping disertai kibasan pedang pendeknya ke segala arah.

Cras! Bret!
“Aaa...!”

Tiga orang pengikut Kelelawar Setan Gantung langsung ambruk bermandikan darah, ketika ujung pedang Bidadari Penyambar Nyawa menyambar tenggorokan. Dan baru saja Bidadari Penyambar Nyawa menjejakkan kedua kakinya di tegalan sawah, kembali empat orang yang tersisa datang menyerangnya. Sepertinya, mereka tidak ingin memberi kesempatan sedikit pun baginya untuk bernapas.

“Hup!”

Bidadari Penyambar Nyawa cepat memutar tubuhnya. Pedangnya langsung dikebutkan, menyambar senjata para pengeroyoknya.

“Yeaaah...!”
Trang!

Dua bilah senjata pengikut Kelelawar Setan Gantung kontan berpentalan terpapak senjata wanita itu. Bahkan ujung kakinya cepat menghantam dua orang pengikut Kelelawar Setan Gantung. Terdengar pekik kesakitan ketika mereka terjungkal dengan rahang patah. Sementara itu kedua orang yang tersisa segera menebas pinggang gadis itu.

Namun Bidadari Penyambar Nyawa cepat berputaran bagai gasing dan terus melejit ke atas. Melihat hal ini, kedua lawannya mengejar. Dan mendadak saja, tubuh Bidadari Penyambar Nyawa telah menukik tajam, memapaki serangan mereka.

Trang...!

Pedang para pengikut Kelelawar Setan Gantung kontan terpental dihantam senjata Bidadari Penyambar Nyawa. Dan belum lagi mereka menyadari apa yang harus dilakukan, ujung pedang wanita bertopeng itu meluruk ke arah leher.

Cras!
“Aaa...!”

Kedua orang itu kontan menjerit kesakitan dengan tubuh terjungkal ke tanah. Tampak darah mengalir dari leher yang nyaris putus.

“Huh! Dasar cacing-cacing busuk tidak berguna. Kalian lebih baik mampus menyusul gurumu!” dengus wanita itu kesal.

Bidadari Penyambar Nyawa bermaksud menyelipkan kembali pedangnya, namun pendengarannya yang tajam menangkap suara gemerisik ranting yang amat halus. Sejenak bibirnya tersenyum dingin. Dalam hati, dia menghitung jumlah orang yang tengah mengintai.

“Siapa pun kalian, keluarlah kalau ingin menantangku...!” Begitu Bidadari Penyambar Nyawa menyelesaikan kata-katanya, mendadak melesat tiga sosok tubuh ke arahnya.

Wanita bertopeng itu hanya berdiri tegak sambil memperhatikan dengan seksama. Seorang dari tiga sosok yang baru datang itu adalah wanita tua. Tubuhnya yang agak bungkuk, tersangga sebatang tongkat hitam. Baju hitam, amat kebesaran dibanding tubuhnya yang kecil.

Di sebelah kanan wanita tua itu, tampak seorang laki-laki berhidung bengkok. Sepasang matanya yang sipit, menyorot tajam ke arah Bidadari Penyambar Nyawa. Sementara yang seorang lagi, adalah laki-laki berkepala botak. Tubuhnya tinggi besar, memanggul cangkul di pundaknya. Kedua laki-laki itu sama-sama berusia sekitar lima puluh tahun.

“Huh! Inikah bocah brengsek yang berjuluk Bidadari Penyambar Nyawa?! Cah Ayu! Kau berhutang satu nyawa pada Nyi Durgandi. Dan hari ini, kau harus membayarnya!” dengus wanita tua yang memegang tongkat itu.

“Benar, Nyi Durgandi. Dia memang patut mengenali Ki Kermopati. Aku menginginkan kepalanya. Sebagai pengganti cucuku yang dibunuh beberapa minggu lalu!” dengus laki-laki bermata sipit dan berhidung bengkok yang mengaku bernama Ki Kermopati.

“Semula aku tidak ingin mencampuri urusan dunia persilatan lagi. Tapi dia memaksaku keluar dari sarangku setelah putra bungsuku dibunuhnya. Aku telah bersumpah, sebelum melihat dia menjadi mayat. Yang jelas, Ki Candul Wereng tidak akan berhenti mengejarnya!” desis orang yang mengaku bernama Ki Candul Wereng dengan wajah geram.

Bidadari Penyambar Nyawa tertawa kecil untuk menutupi jantungnya yang berdegup kencang. Meski belum tahu sampai dimana kehebatan mereka, namun setidaknya dia pernah mendengar nama-nama itu. Ketiga tokoh itu bukanlah orang yang sembarangan, karena termasuk angkatan tua yang kepandaiannya sulit diukur.


***


“Hm.... Agaknya Kelelawar Setan Gantung bukan saja mengundang muridnya ke tempat ini, tapi juga membawa kalian bertiga sebagai pengawalnya. Sayang, kalian kurang cepat. Karena mereka semua telah menjadi mayat...,” ejek gadis bertopeng itu sinis.

“Hi hi hi...! Bocah tengil! Jangan anggap remeh kami! Kelelawar budukan itu memang tolol dan patut menerima kematiannya!” sahut perempuan tua yang bernama Nyi Durgandi seraya menunjuk kedua rekannya itu.

“He he he...! Kelelawar bego itu memang tidak tahu diri. Dia tidak bisa mengukur, sampai di mana kemampuannya. Baru menghadapi bocah bau kencur saja, sudah tak berdaya. Tapi di hadapan kami, jangan kau berlagak sok jago. Kedatangan kami bukan saja sekadar membalas kematian orang-orang yang kami cintai, tapi juga ingin membeset mulutmu yang meremehkan semua laki-laki!” desis Ki Kermopati geram.

“Hei, Orang Tua Busuk! Tidak usah banyak bicara! Cabutlah senjata kalian, agar lebih cepat kukirim ke neraka!” Mendengar kata kata pedas bernada meremehkan dari gadis bertopeng ini, bukan main kalapnya ketiga orang tua itu.

“Bocah setan! Kubelah kepalamu! Yeaaah...!”

Ki Candul Wereng tidak bisa lagi menahan amarahnya. Sambil membentak nyaring, dia sudah langsung menyerang wanita bertopeng itu. Cangkul di tangan Ki Candul Wereng langsung berkelebat menyambar Bidadari Penyambar Nyawa. Maka cepat cepat gadis bertopeng itu melompat ke belakang. Namun cangkul laki-laki setengah baya itu terus mengejarnya. Memang sulit diduga gerakan Ki Candul Wereng yang begitu cepat dan dahsyat. Untung saja pedangnya masih sempat digerakkan, menangkis cangkul itu.

Trak!
“Hih!”

Gadis bertopeng itu terkejut, ketika pedangnya terasa bergetar hebat akibat benturan dengan cangkul tadi.

“Hiiih!”

Begitu habis berbenturan, kepalan tangan kiri Ki Candul Wereng menderu keras menghantam dada Bidadari Penyambar Nyawa. Dengan geraman keras, gadis itu segera menangkap kepalan Ki Candul Wereng menggunakan telapak tangan kanannya.

Plak! Rrrt!

Wanita bertopeng itu merasakan tangannya seperti menahan lontaran batu sebesar kerbau. Namun, dia terus menggeram. Dan dengan gemas, dicobanya meremas kepalan laki-laki botak itu sekuat tenaga. Ki Candul Wereng agaknya tidak sudi membiarkan gadis itu berbuat sesuka hatinya. Maka kaki kanannya segera dilayangkan ke arah pinggang.

Namun tangkas sekali Bidadari Penyambar Nyawa membabatkan pedangnya yang telah berpindah ke tangan kiri. Ki Candul Wereng cepat menarik pulang kakinya, sehingga babatan itu luput dari sasaran. Dan seketika cangkulnya dihantamkan ke kepala gadis itu.

“Huh!”
“Uts!”

Dengan terpaksa Bidadari Penyambar Nyawa melepaskan kepalan tangannya, dan langsung melompat ke belakang. Namun Ki Candul Wereng tidak membiarkannya begitu saja. Begitu wanita itu mendarat di tanah, langsung dia melesat melepaskan tendangan dahsyat.

Namun Bidadari Penyambar Nyawa cepat memindahkan pedangnya ke tangan kanan, dan langsung dibabatkan ke arah kaki laki-laki botak itu. Ki Candul Wereng terpaksa menarik kakinya, dan memapak pedang itu dengan cangkulnya.

Trang!

Kembali Bidadari Penyambar Nyawa merasakan tangannya perih akibat benturan senjata barusan. Namun disadari kalau kecepatan geraknya setingkat lebih tinggi dari laki-laki botak itu. Untuk itu, hatinya agak tenang, sehingga diam-diam mulai mendikte lawan.


***


“Huh! Dikira aku akan betah berdiam diri saja menonton pertarungan mereka! Jangan-jangan malah si botak itu yang lebih dulu mendapatkan kepalanya. Sia-sia aku datang ke sini,” dengus Nyi Durgandi.

Seketika perempuan tua itu melompat tiba-tiba menyerang Bidadari Penyambar Nyawa. Melihat keadaan itu, agaknya Ki Kermopati tidak mau ketinggalan.

“Brengsek! Jangan serakah kalian! Bisa-bisa aku tidak kebagian apa-apa!” geram laki-laki berhidung bengkok itu, langsung melompat pula menyerang Bidadari Penyambar Nyawa.

“Yeaaah...!”

“Setan! Apa-apaan kalian ini?!” rutuk Ki Candul Wereng kesal melihat tindakan kedua rekannya yang ikut mengeroyok gadis itu.

“Jangan banyak mulut, Botak! Kau kira hanya kau saja yang punya urusan dengannya? Huh! Enak saja! Dia juga harus merasakan kemplangan tongkatku ini!” dengus Nyi Durgandi tak kalah sengit.

“He he he...! Begitu pula aku, Ki Candul. Jangan serakah. Aku pun punya dendam kesumat pada bocah tengil ini!” timpal Ki Kermopati.

Mendengar jawaban kawan-kawannya, Ki Candul Wereng merasa kesal sekali. Namun dia tak mampu berbuat apa-apa, karena kedatangan mereka ke tempat ini juga mempunyai tujuan sama. Membalas dendam pada Bidadari Penyambar Nyawa!

Sementara gadis bertopeng itu bukan main terkejutnya mendapat keroyokan dari tiga orang tua ini. Menghadapi Ki Candul Wereng saja, keadaannya sudah payah. Apalagi harus menghadapi serangan mereka bertiga? Tidak heran kalau dalam waktu singkat saja terdesak hebat

“Yeaaah...!”

Ki Kermopati membentak, langsung mengayunkan tendangan ke dada Bayu. Gadis itu bermaksud memapak kaki Ki Kermopati dengan pedangnya. Namun pada saat yang bersamaan, cangkul Ki Candul Wereng meluruk ke arah punggungnya. Sementara tongkat Nyi Durgandi mengancam kepalanya. Dengan terpaksa serangannya. ditarik, dan langsung melompat ke samping. Dan baru saja kakinya menginjak tanah, Ki Kermopati sudah mengebutkan tangannya.

“Hiiih!”
Ser! Ser!

Mendadak saja beberapa buah pisau sebesar jari telunjuk mendesing kencang, mengancam Bidadari Penyambar Nyawa.

“Hei?!”

Gadis bertopeng itu terkesiap dan cepat memutar pedangnya untuk menangkis.

Tring! Tring!

Baru saja pisau-pisau itu berhasil dirontokkan, saat itu juga langsung menyusul cangkul Ki Candul Wereng yang menyambar ke pinggang wanita bertopeng ini. Bidadari Penyambar Nyawa langsung melejit ke atas, namun tongkat Nyi Durgandi cepat mengejarnya. Dia berusaha mengelak dengan berputaran di udara seraya mengebutkan tangkisannya.

Seketika pukulan jarak jauh dari gadis bertopeng itu meluruk ke arah Nyi Durgandi. Namun tangkas sekali Nyi Durgandi menghindari dengan berputaran pula. Bahkan langsung membalas dengan sabetan tongkat hitamnya, yang mengarah ke pergelangan tangan kiri gadis itu.

Wusss!
Tak!
“Akh...!”

Gadis bertopeng itu menjerit kesakitan begitu pergelangan tangan kirinya terhantam tongkat hitam Nyi Durgandi. Dan baru saja Bidadari Penyambar Nyawa itu mendarat di tanah, Ki Kermopati telah menyerang dengan lemparan pisau-pisau kecil yang tajam berkilat. Cepat-cepat gadis bertopeng itu bergulingan di tanah menghindarinya, sambil memutar pedang.

Pada saat yang sama dia pun harus pula menghindari sambaran cangkul Ki Candul Wereng. Tak ada pilihan bagi gadis itu, kembali memapak sambaran cangkul lebih dahulu. Tapi akibatnya....

Cras!
“Uhhh...!”

Bidadari Penyambar Nyawa terpaksa merelakan pinggangnya tersambar salah satu pisau Ki Kermopati. Untuk kedua kalinya gadis bertopeng itu mengeluh menahan rasa sakit di pinggangnya yang langsung mengeluarkan darah. Dan kesempatan itu dipergunakan Nyi Durgandi sebaik-baiknya untuk menghabisi gadis itu dengan ayunan tongkatnya sekuat tenaga.

“Bocah sombong! Mampuslah kau sekarang! Yeaaah...!”

Bidadari Penyambar Nyawa terkesiap. Keadaannya betul-betul gawat. Tidak ada lagi tempat baginya untuk menghindari serangan. Apalagi pada saat yang bersamaan, kedua kawan Nyi Durgandi telah siap menghajarnya.

“Hentikan perbuatan kalian...!”


***


“Hei?!”

Ketiga tokoh tua itu terkesiap mendengar bentakan yang tiba-tiba. Dan mereka pun langsung menghentikan serangan.

“Siapa kau?!” bentak Ki Candul Wereng garang.

“Sebentar. Rasa-rasanya aku pernah melihatmu. Kau..., kau.... Pendekar Pulau Neraka!” ujar Ki Kermopati seraya menuding pemuda yang baru muncul itu.


“Pendekar Pulau Neraka? He! Bocah ingusan mau ikut campur urusanku. Hei, Bocah! Enyahlah kau dari hadapanku. Atau, kau tidak akan sempat menyesal nantinya!” bentak Nyi Durgandi geram.

“Maafkan kelancanganku. Tapi seperti halnya kalian, aku pun mempunyai kepentingan sama pada wanita bertopeng berjuluk Bidadari Penyambar Nyawa ini. Harap, kalian bisa mengerti...,” sahut pemuda yang memang Bayu dengan nada agak keras.

“Huh! Persetan dengan segala urusanmu! Pergilah dari sini sebelum kemarahan kami tertumpah padamu!” sentak Ki Candul Wereng dengan mata melotot lebar.

“Pendekar Pulau Neraka! Lebih baik turuti saja kata-kata kawanku ini. Semua ini demi keselamatanmu sendiri!” sambung Ki Kermopati.

“Maafkan. Tapi, aku tetap tidak bisa menuruti kehendak kalian. Aku mendapat perintah dari Adipati Wiriaraja untuk meringkus wanita itu dan membawanya ke kadipaten!” balas Bayu tak mau kalah.

“Kurang ajar! Kau kira kami takut denganmu?!

Phuih! Kalau begitu lebih baik kau mampus!” geram Nyi Durgandi. Agaknya perempuan tua itu tidak bisa menahan amarahnya lagi. Dia langsung melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka dengan ayunan tongkatnya bertubi-tubi. Angin serangannya yang dahsyat, membuktikan kalau segenap kemampuannya dikerahkan untuk menghabisi Pendekar Pulau Neraka secepatnya.

Setidaknya, Nyi Durgandi menyadari kalau Pendekar Pulau Neraka bukanlah julukan kosong belaka. Dan tentu saja dia tidak mau jatuh dalam waktu singkat di depan dua tokoh lainnya yang menonton pertarungan mereka.

“Uts!”

Bayu dengan sigap melompat ke belakang, sambil menundukkan kepala ketika tongkat perempuan tua itu menyambar kepalanya. Tubuhnya meliuk-liuk bagaikan sedang menari, ketika ujung tongkat hitam itu kembali menyambar-nyambar dada dan perutnya.

“Yeaaa...!”

Seketika ujung kaki kanan Pendekar Pulau Neraka meluncur deras ke arah dada Nyi Durgandi. Perempuan tua itu mengelak ke kanan, disertai ayunan tongkatnya ke arah kepala. Bayu cepat membungkuk begitu serangan tongkat Nyi Durgandi luput dari sasaran, kembali kakinya menghantam ke arah perut perempuan tua itu.

“Setan!”

Nyi Durgandi memaki geram ketika tubuhnya melompat ke belakang untuk menghindari tendangan lawan.

“Hei! Apakah kalian tidak punya otak! Lekas bereskan gadis itu, sementara bocah edan ini bagianku!” lanjut perempuan tua itu, membentak garang kepada dua kawannya.

Mendengar bentakan Nyi Durgandi, kedua laki-laki itu terkejut. Namun mereka segera mengalihkan perhatian pada Bidadari Penyambar Nyawa yang saat itu tengah bersiap pula.

“Yeaaah...!”

Ki Candul Wereng dan Ki Kermopati melompat bertarung melakukan serangan gencar ke arah Bidadari Penyambar Nyawa. Namun....

“Tidak akan kubiarkan kalian mendahuluiku menangkap gadis itu!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring yang menggema ke sekitarnya. Bahkan....

Sing!
“Hei?!”


***


DELAPAN

Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka melesat ke arah Ki Candul Wereng dan Ki Kermopati yang hendak menyerang Bidadari Penyambar Nyawa. Kedua orang tua itu tersentak kaget. Namun Ki Candul Wereng yang memang berangasan, sudah langsung mengibaskan cangkulnya untuk memapak Cakra Maut.

Krakkk!
“Heh?!”

Begitu senjatanya beradu, Ki Candul Wereng jadi terkejut sendiri. Cangkulnya ternyata putus disambar cahaya putih keperakan milik Pendekar Pulau Neraka. Dan belum lagi habis rasa kagetnya, senjata maut itu telah berbalik menyerang. Terpaksa Ki Candul Wereng dan Ki Kermopati berjumpalitan menghindarinya.

Sementara, Nyi Durgandi juga menyadari kehebatan senjata Pendekar Pulau Neraka. Maka ketika Cakra Maut kembali melesat ke arah pemiliknya, perempuan tua itu langsung mengayunkan tongkatnya sekuat tenaga ke arah Pendekar Pulau Neraka. Dengan begitu, diharapkan Bayu akan kehilangan keseimbangan. Sehingga, senjatanya itu tidak mampu ditangkap.

“Hiiih!”

Namun agaknya Pendekar Pulau Neraka telah membaca gerakan Nyi Durgandi. Maka cepat dia melompat dua langkah. Sementara tangan kanannya yang terkembang cepat dihentakkan. Seketika telapak tangan Pendekar Pulau Neraka melesat angin kencang yang bergulung-gulung menghantam Nyi Durgandi.

Nyi Durgandi terkejut setengah mati. Untuk menghindar rasanya memang tak mungkin. Maka segera telapak kirinya dikerahkan pula. Seketika dari situ menderu angin kencang yang memapak pukulan!

Glarrr!

Terdengar benturan dahsyat ketika pukulan masing-masing beradu. Tubuh perempuan tua itu kontan bergetar hebat akibat kuatnya benturan kedua pukulan mereka beradu. Bukan itu saja. Nyi Durgandi pun merasakan dirinya seperti dihantam badai gelombang yang membuatnya terhuyung-huyung ke belakang oleh tenaga dorongan dahsyat

“Hup!”
“Yeaaah...!”

Dengan mudah Pendekar Pulau Neraka menangkap kembali Cakra Mautnya yang melesat pulang. Nyi Durgandi menggeram. Bahkan langsung menyerang kembali dengan pengerahan seluruh kemampuannya. Bayu tidak mau lagi membuang-buang waktu. Ketika serangan datang kembali, cepat tangan kanannya dikibaskan.

Sing!
“Hei?!”

Cakra Maut langsung mendesing kencang ke arah Nyi Durgandi dengan kecepatan bagai kilat Perempuan tua itu terkesiap, lalu buru-buru menggulingkan tubuhnya. Sementara tangan kanannya cepat mengibaskan tongkat hitamnya untuk menangkis Cakra Maut. Dan....

Tras!
“Yeaaah...!”

Nyi Durgandi tidak terlalu terkejut, begitu senjatanya putus disambar Cakra Maut. Namun yang membuatnya terkejut, ternyata Pendekar Pulau Neraka tiba-tiba saja telah meluruk ke arahnya. Padahal, dia baru saja bisa bernapas lega setelah berhasil menghindari senjata maut itu. Begitu cepat gerakan Pendekar Pulau Neraka, sehingga terpaksa Nyi Dugandi harus menangkisnya.

Plak!

Wanita tua itu kontan merasakan tangannya linu akibat benturan tangan barusan. Dan belum lagi mempersiapkan pertahanan untuk menghindari serangan berikut, satu sodokan keras tiba-tiba menghajar telak dadanya.

Duk!
“Aaakh...!”

Nyi Durgandi menjerit kesakitan. Tubuhnya terjungkal ke tanah dan bergulingan disertai muntahan darah segar.

“Aku tidak bermaksud mencelakakanmu, Nyi. Tapi karena kau membandel, maka terima saja akibatnya! Tinggalkan gadis bertopeng. Dan, pergilah dari tempat ini. Aku tidak main-main dengan kata-kataku!” dingin terdengar suara pemuda berbaju kulit harimau itu.

Nyi Durgandi mengeluh pelan menahan geram. Tentu saja dia akan malu besar di hadapan kedua kawannya, karena dicundangi sedemikian rupa. Namun mendadak saja Ki Candul Wereng melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka.

“Huh! Bocah bau kencur saja ingin bertingkah di hadapanku! Kau akan mampus lebih dulu ditanganku!”

“Hm!”

Bayu hanya mendengus dingin. Tubuhnya lantas bergerak ke samping menghindari satu hantaman bertenaga dalam tinggi. Sementara tangan kirinya bergerak menghantam untuk menjajal kekuatan tangan Ki Candul Wereng.

Plak!
“Uhhh...!”

Ki Candul Wereng jadi mengeluh pelan, ketika kedua tangannya terhantam sabetan tangan Pendekar Pulau Neraka. Bisa dirasakan kalau tenaga dalam pemuda itu kuat bukan main. Namun mana sudi kelemahannya ditunjukkan di depan pemuda ini? Tanpa mempedulikan rasa sakit di lengannya, kembali dihantamnya dada Pendekar Pulau Neraka dengan tendangan menggeledek berisi tenaga dalam penuh.

“Hiiih!”

Pendekar Pulau Neraka cepat berbalik ke kanan untuk menghindari tendangan lawan. Dan bersamaan itu juga kaki kanannya langsung menyapu kepala Ki Candul Wereng.

“Uts!”
Wusss!

Cepat-cepat orang tua itu menundukkan kepala, kemudian melompat ke belakang. Sementara Bayu sudah menjejakkan kaki ke tanah. Lalu, tubuhnya melenting dan langsung meluruk deras dengan kedua kaki bergerak menggunting silih berganti menyambar kepala Ki Candul Wereng.

Bukan main kagetnya orang tua itu melihat serangan aneh dari Pendekar Pulau Neraka. Kedua kaki Bayu terus saja mengikutinya dengan serangan-serangan gencar. Dan ini membuat Ki Candul Wereng kewalahan. Orang tua itu berusaha menangkis secara berturut-turut.

Plak! Plak!

Namun kedua kaki Pendekar Pulau Neraka yang berturut-turut menghantam pinggang kiri dan kanan terasa keras bukan main. Wajah Ki Candul Wereng kontan meringis menahan sakit akibat benturan barusan. Bahkan tubuhnya sampai terjajar beberapa langkah. Dan belum lagi keseimbangan tubuhnya sempurna, kedua kaki Pendekar Pulau Neraka telah bergerak menggunting lehernya erat-erat.

Tap!
“Hiiih!”

Bukan main kagetnya laki-laki tua itu, mendapati lehernya telah terjepit kedua kaki Pendekar Pulau Neraka. Namun Ki Candul Wereng tidak kurang akal. Langsung dihantamnya dada Bayu sekuat tenaga. Sayang, Bayu pun agaknya telah memperhitungkannya. Bahkan kedua kakinya yang menjepit leher Ki Candul Wereng, langsung dipererat dengan kekuatan tenaga dalam tinggi. Akibatnya....

Kreeek!
“Aaa...!”


***


Ki Candul Wereng menjerit panjang ketika ujung lehernya patah digunting kaki Pendekar Pulau Neraka. Dan dengan mudah Bayu mendorongnya ke belakang, dan langsung melompat menjauhi Ki Candul Wereng. Sementara orang tua itu langsung terjungkal ke tanah dan menggelepar-gelepar tidak berdaya dengan mulut mengeluarkan darah segar. Tidak lama kemudian, tubuhnya diam tak berkutik. Mati!

“Biadab!” sentak Ki Kermopati, geram.

Bayu berpaling dan menatap tajam ke arah laki-laki tua yang mengeluarkan bentakan barusan.

“Aku tidak pernah main-main dengan kata-kataku! Pergilah kalian selagi masih ada kesempatan!” dengus Pendekar Pulau Neraka dingin.

Kata-kata Pendekar Pulau Neraka terdengar menghina. Hal itu karena dia tahu betul, siapa mereka bertiga. Ke Kermopati dan Ki Candul Wereng adalah dua tokoh hitam yang sering berbuat sesuka hatinya kepada orang-orang tak berdosa.

Sedangkan Nyi Durgandi adalah tokoh yang tidak jelas golongannya. Namun siapa pun tahu, wanita itu memang ugal-ugalan. Dia suka berbuat menurut hawa nafsunya saja, tapi di sisi lain suka pula membantu orang yang lemah.

Sementara itu, Nyi Durgandi dan Ki Kermopati berpandangan sesaat. Meski geram dan mendendam setengah mati, namun keduanya menyadari kalau bukanlah tandingan pemuda itu.

“Pendekar Pulau Neraka! Hari ini kau boleh menepuk dada. Tapi lain kali, kami akan membuat perhitungan denganmu!” dengus Nyi Durgandi seraya melesat pergi dari tempat itu, diikuti Ki Kermopati.

Bayu menatap dingin ke arah mereka. Kemudian kepalanya berpaling ke arah gadis bertopeng yang masih tetap tegak berdiri di tempatnya.

“Sekarang urusan kita berdua! Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu di hadapan Adipati Wiriaraja!” kata Bayu, dingin.

“Huh! Kau kira demikian mudahnya membawaku ke sana?!” dengus gadis bertopeng yang terkenal sebagai Bidadari Penyambar Nyawa.

“Suka atau tidak, aku telah berjanji pada Adipati Wiriaraja untuk membawamu ke hadapannya. Dan janji seorang pendekar harus dipenuhi, apa pun rintangannya!” tegas Pendekar Pulau Neraka.

“Hebat! Setelah menolongku, kini kau hendak menangkapku dan menyerahkannya ke Adipati Wiriaraja untuk diadili?” sahut gadis itu, sinis.

“Jika saja aku belum berjanji untuk menyerahkanmu hidup-hidup, tentu sudah sejak tadi kubiarkan kau dikeroyok tiga orang tadi. Dan aku tinggal menunggu hasilnya saja!” kata Bayu, enteng.

“Huh! Jadi kau berharap bisa menangkapku hidup-hidup, lalu mendapat hadiah dari adipati itu?” sindir wanita bertopeng itu.

“Aku tidak mengharapkan hadiahnya!”

“Lalu, apa yang kau inginkan setelah menangkapku?”

“Agar orang sepertimu tidak berkeliaran, membuat keonaran di mana-mana dengan segala dendammu yang aneh!”

“Dendam aneh?! Tentu saja, karena kau tidak mengalami bagaimana pahitnya hidup sengsara! Tidak punya kedua orangtua maupun saudara. Bahkan menjadi permainan laki-laki diperkosa beramai-ramai dan dianiaya...!” Bidadari Penyambar Nyawa berteriak kalap dengan suara mengandung dendam hebat.

Bayu tertegun mendengar kata-kata gadis itu. Lewat celah sepasang mata topeng yang dikenakan gadis itu, bisa terlihat kesedihan di bola matanya yang berair.

“Hm.... Bagaimana aku bisa mempercayai kata-katamu? Sejak gadis kecil kau hidup di kadipaten. Tentunya kau sudah bergelimang kebahagiaan....,” gumam pemuda itu.

Mendengar kata-kata Pendekar Pulau Neraka, kini ganti gadis bertopeng itu yang tertegun. Ditatapnya pemuda itu dalam-dalam.

“Siapa! Apa maksud kata-katamu?!"
“Tentu saja dirimu!”
“Tidak! Maksudku, dari mana kau bisa menduga kalau aku hidup di kadipaten?”

Bayu tersenyum halus. Kini dimengerti, apa maksud pertanyaan gadis bertopeng itu. “Semua orang mungkin bisa kau tipu. Termasuk, aku tadinya. Namun kau membuat kesalahan besar. Aku tahu persis, siapa wajah cantik dibalik topeng itu!” sebut Bayu menekankan.

“Kau..., kau...?!”
“Ya! Aku tahu kalau Bidadari Penyambar Nyawa adalah putri Adipati Wiriaraja sendiri. Tapi, aku tidak mengerti. Alasan apa yang menyebabkan kau berbuat seperti ini....”

“Dari..., dari mana kau...?” Bidadari Penyambar Nyawa kembali tertegun. Namun tiba-tiba...“Huh! Kau bisa saja berkata sesuka hatimu. Tapi, tidak mungkin bisa menjebakku!” sentak gadis itu. Suaranya terdengar sinis.

“Kau memang bisa berkata begitu. Tapi telah kukatakan, kau membuat kekeliruan besar. Tadinya aku tidak menyangka. Pada saat tengah berjalan-jalan keluar dari kamar, kulihat sebuah bayangan melesat keluar dari kamarmu. Maka buru-buru aku ke sana, karena menyangka ada seseorang pencuri berusaha menyelinap. Tapi, ternyata aku salah duga. Ternyata yang kudapatkan bukan pencuri, melainkan seorang wanita. Lalu kulihat ke dalam kamarmu. Dan kau ternyata tidak ada. Kemudian kuikuti arah kepergianmu, dan sampailah di tempat ini,” jelas Bayu.

Lagi-lagi gadis bertopeng itu tertegun. Kali ini, dia tidak bisa lagi menutupi dirinya di depan pemuda itu.

“Kenapa kau melakukan perbuatan-perbuatan seperti itu?” desah Bayu, mulai lunak.

Terdengar gadis itu menarik napas panjang-panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.

“Aku telah berkata yang sesungguhnya, mengapa membunuh orang-orang yang tidak kusukai. Perlu kau ketahui, aku bukanlah putri kandung Kanjeng Gusti Adipati Wiriaraja. Kalau ada lelaki yang kuhormati, hanyalah beliau. Karena, Kanjeng Gusti Adipati Wiriaraja lah yang telah mengangkatku dari lembah nista. Aku memang putri angkatnya sejak berusia lima belas tahun...,” tutur Bidadari Penyambar Nyawa, lirih.

Gadis itu terdiam. Dan Bayu pun ikut membisu. Untuk sesaat mereka terjebak dalam kesunyian. Hujan telah lama reda dan menggenangi sawah-sawah di sekitar tempat itu yang semula kering kerontang. Suara unggas malam yang terbang melintasi sesekali terdengar.

“Biar bagaimanapun, kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu di hadapan ayah angkatmu. Kau telah membuat susah hatinya...,” suara Bayu kembali terdengar.

Gadis itu membuka topeng kayu di wajahnya. Sehingga, kini terlihat seraut wajah cantik Kunti Kameshawara yang tersenyum kecil tanpa makna.

“Tidak!” tegas gadis itu.


***


Bayu tidak terlalu terkejut mendengar jawaban gadis itu. Namun sikapnya mulai bersiap, ketika Kunti Kameshawara menudingkan pedang dengan gerakan siap hendak menerjangnya.

“Kunti, jangan memaksa...,” teriak Bayu mengingatkan.

“Sekian lama aku berguru untuk membalaskan dendam berkarat di hatiku pada semua laki-laki yang kurang ajar dan tidak kusukai. Sebagian dendamku sudah terbalaskan. Namun masih banyak yang belum kuselesaikan. Aku tidak akan berhenti, sebelum mereka semua lenyap dari muka bumi ini! Tidak seorang pun yang bisa menghalangi niatku! Tidak juga kau!” tuding Bidadari Penyambar Nyawa ke arah Pendekar Pulau Neraka dengan ujung pedangnya.

“Kalau demikian, tidak ada jalan lain bagiku. Suka atau tidak, kau akan kupaksa menghadap ayah angkatmu!” sahut Bayu menegaskan.

“Kau boleh membawa mayatku! Atau, kau yang akan mampus di tempat ini!” dengus Kunti Kameshawara lantang. Gadis itu sudah bersiap akan menyerang, namun....

“Anakku, Kunti.... Hentikan perbuatanmu...!” Tiba-tiba terdengar suara halus mencegahnya. Begitu mereka berpaling, tampaklah Adipati Wiriaraja serta Ki Aria Depa yang didampingi kedua anak buah terdekatnya. Tanpa ada yang tahu, mereka telah berada di tempat itu. Melihat kehadiran mereka, Kunti Kameshawara cepat menjura hormat.

“Ayahanda, kenapa bisa berada di sini...?”

Adipati Wiriaraja tersenyum. “Bayulah yang memberitahukannya padaku. Ketika kau tengah bertarung melawan murid-murid Kelelawar Setan Gantung, Bayu kembali ke kadipaten. Dia tahu, pertarungan akan berlangsung lama. Apalagi, dia juga melihat kehadiran tiga tokoh tua yang telah menunggumu di balik semak-semak...,” jelas Adipati Wiriaraja, seraya melangkah mendekati.

“Ayahanda, jangan mendekat!” Kunti Kameshawara berseru keras memperingatkan, melihat adipati itu melangkah pelan mendekatinya.

“Kenapa, Anakku...?”

“Aku tidak pantas menjadi anakmu. Selama ini, kau selalu memberi kasih sayang. Namun balasan yang kau terima adalah kesusahan akibat perbuatanku. Aku betul-betul anak tidak tahu diri dan tidak tahu berterima kasih...,” kata Kunti Kameshawara, terdengar lirih.

“Anakku.... Setiap kesalahan besar yang diperbuat manusia selalu ada jalan keluarnya. Yakni, dengan kembali ke jalan yang benar dan bertobat. Demikian juga denganmu. Aku dan ibumu akan selalu mengganggapmu sebagai anak kami sendiri, dan akan tetap menghasihimu...,” bujuk ayah angkat Kunti Kameshawara.

“Tidak! Aku tidak bisa membalas kebaikan kalian berdua. Maafkan anakmu yang tidak berbakti ini, Ayahanda. Juga sampaikan permintaan maafku pada ibu. Aku belum sempat membalas kebaikan kalian...,” kembali terdengar suara lirih Kunti Kameshawara.

“Kunti Kameshawara, Anakku.... Kembalilah ke kadipaten. Ibumu sangat mengkhawatirkan keadaanmu...,” bujuk adipati itu.

“Tidak! Aku tidak akan kembali lagi ke kadipaten. Maafkan aku Ayahanda....” Begitu menyelesaikan kata-katanya tiba-tiba saja gadis itu mengangkat pedang pendeknya. Dan dengan gerakan cepat, pedang itu langsung dihujamkan ke jantungnya, tanpa ada yang bisa mencegahnya.

Crab!
“Akh...!”
“Kunti! Oh, tidaaak...!”

Adipati Wiriaraja terkejut bukan main melihat apa yang dilakukan putri angkatnya. Bayu sudah melompat hendak mencegah, namun pedang di tangan Kunti Kameshawara lebih cepat lagi bergerak. Disertai keluhan pelan, gadis itu ambruk ke tanah dengan darah menetes pelan di sudut bibirnya.

Adipati Wiriaraja cepat menghambur, menghampiri anak angkatnya yang telah ambruk di tanah. Langsung dia berjongkok, dan menarik tubuh Kunti Kameshawara. Langsung tubuh ramping itu disandarkan di paha kirinya.

“Anakku.... Kenapa kau harus melakukannya...?” tanya Adipati Wiriaraja dengan suara pilu.

“Aku..., aku tidak punya pilihan lagi, Ayahanda. Aku tidak bisa menghapus dendamku.... Se..., sedangkan kau pasti tidak suka dan melarangku, setelah mengetahui siapa sebenarnya aku. Dan..., dan aku tidak mungkin bisa membantah per..., perkataanmu. Maka, inilah jalan terbaik bagiku. Maafkan aku, Ayah...,” kata gadis itu terbata-bata.

Dan sebentar saja Kunti Kameshawara mengejang, lalu terkulai lemah. Rupanya, nyawa langsung melayang dari tubuhnya. Adipati Wiriaraja tertunduk lesu sambil membelai-belai pipi anak angkatnya.

“Anakku.... Maafkan ayahmu yang tidak bisa meredamkan dendammu. Aku memang bukan orangtua yang baik, karena tidak mampu mendidikmu. Beristirahatlah dengan tenang, Kunti Kameshawara....”

Suasana kembali hening beberapa saat, sebelum Adipati Wiriaraja membopong putri angkatnya. Kepalanya lantas hendak berpaling untuk mengucapkan terima kasih pada Pendekar Pulau Neraka, namun....

“Ke mana dia?” tanya Adipati Wiriaraja, ketika mendapatkan Pendekar Pulau Neraka tidak lagi berada di tempatnya. Ki Aria Depa menggeleng. Demikian pula kedua anak buahnya. Rupanya, mereka semua tidak ada yang tahu, ke mana Bayu pergi.

“Mungkin dia telah pergi, selagi. kita sibuk memperhatikan Kunti Kameshawara. Atau juga, karena dia tidak ingin mendapat pamrih atas apa yang telah dilakukan pada kita. Namun walau bagaimanapun, aku amat berterima kasih. Dan suatu saat bila bertemu kembali, akan kusampaikan sendiri rasa terima kasihku padanya...,” gumam Adipati Wiriaraja pelan.

Malam pun semakin merambat bersama dingin. Unggas malam tidak terlihat terbang. Mungkin hinggap mencari mangsa, atau juga telah lelah terbang ke sana kemari. Yang terasa hanya sunyi, seperti apa yang dirasakan. Terutama didada Adipati Wiriaraja.


SELESAI

Episode Selanjutnya SI GILA DARI MUARA BANGKAI