Sengketa Sepasang Pendekar - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat serial pendekar pulau neraka

Episode Sengketa Sepasang Pendekar


Karya Teguh S
Gambar: Tony G
Penerbit pertama Cintamedia, Jakarta



cersil serial pendekar pulau neraka episode sengketa sepasang pendekar



SATU

Angin bertiup begitu kencang menyebarkan udara dingin yang menusuk hingga ke tulang. Malam ini langit begitu pekat sekali, tanpa terlihat setitik pun cahaya bintang maupun rembulan. Malam yang membuat semua orang di Desa Harugating tidak ada yang mau keluar dari dalam rumahnya. Membuat desa yang cukup besar dan padat penduduknya itu jadi sunyi senyap, bagaikan sebuah desa mati yang ditinggalkan penghuninya. Hanya kerlip cahaya lampu pelita di tiap beranda depan rumah saja, yang menandakan desa itu masih berpenduduk.

Dalam kesunyian yang begitu mencekam, terlihat seseorang berjalan perlahan-lahan memasuki Desa Harugaling. Sulit untuk mengenali wajahnya. Karena dia mengenakan tudung dari bambu yang sudah usang dan cukup besar hingga menutupi hampir seluruh wajahnya. Hanya pada bagian bibir dan dagu saja yang terlihat. Pakaian yang dikenakan cukup ketat, berwarna hitam, hingga membuatnya hampir tersamar di dalam kegelapan malam yang sangat pekat ini.

Sebatang tongkat dari bambu berwarna kuning, diayun-ayunkan di tangan kanannya. Sesekali dia mengecutkan tongkatnya ke samping seperti ada sesuatu yang mengganggu langkah kakinya dari samping kanannya. Dan setelah dia berada cukup dalam di Desa Harugaling ini, ayunan langkah kakinya terhenti. Beberapa saat dia berdiri tegak dengan kepala sedikit terangkat. Hingga terlihat sebentuk hidung yang kecil, namun sangat indah mencuat ke atas.

“Hm....”

Sedikit dia menggumam kecil sambil menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan, seakan dia hendak merayapi sekitarnya dari balik tudung bambu yang menutupi hampir seluruh wajahnya ini. Tidak seorang pun yang terlihat di sekitarnya. Hanya rumah-rumah saja yang terdiam membisu.

“Sunyi sekali desa ini. Seperti tengah terjadi sesuatu...,” gumamnya lagi dengan suara perlahan menduga-duga.

Beberapa saat dia masih terdiam memandangi sekelilingnya yang sunyi seperti tidak berpenghuni ini. Dari suaranya, sudah bisa dipastikan kalau dia seorang laki-laki. Dan ketika kakinya baru saja terayun hendak melangkah, tiba-tiba saja telinganya yang tajam mendengar suatu suara. Dan belum juga dia bisa mengetahui suara apa yang didengarnya barusan, mendadak saja...

Wusss!
“Heh...?! Hup!”

Untung dia cepat melompat ke atas, hingga terjangan sebatang anak panah yang meluruk cepat bagai kilat itu bisa dihindari. Dan anak panah itu lewat di bawah telapak kakinya, langsung menancap pada daun pintu sebuah rumah yang berada tepat di belakang laki-laki berhidung bambu ini. Dengan gerakan yang sangat indah sekali, dia menjejakkan kakinya di tanah tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga. Tepat pada saat itu, terlihat sekitar sepuluh orang laki-laki berusia muda berlompatan dari balik dinding dan atap rumah yang ada di sekitar laki-laki berhidung bambu itu berada.
Sebentar saja dia sudah terkepung tidak lebih dari sepuluh orang yang semuanya sudah menghunus golok di tangan kanan. Belum juga lama laki-laki berhidung bambu itu terkurung, muncul seorang laki-laki berusia lanjut, mengenakan baju jubah putih panjang yang bersih, dengan sebatang tongkat kayu tergenggam di tangan kanan menyangga tubuhnya yang sudah kelihatan agak membungkuk.

Walaupun usianya sudah lanjut dan rambutnya sudah memutih semua, tapi dari caranya berjalan begitu ringan, sudah bisa dipastikan kalau orang tua ini memiliki kepandaian yang tidak bisa dipandang dengan sebelah bola mata. Dia baru berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan laki-laki berhidung bambu ini.

“Siapa kau, Kisanak? Ada perlu apa kau datang malam-malam ke desa ini?” tegur orang tua berjubah putih itu langsung.

“Aku hanya seorang pengembara yang kebetulan lewat di desa ini, Ki,” sahut laki-laki bertudung bambu itu kalem. “Apakah kedatanganku mengganggu ketenangan desamu ini...?”

“Lalu apa tujuanmu datang ke sini?” tanya orang tua berjubah putih itu lagi, masih dengan nada suara yang dingin dan datar menggetarkan hati.

“Hanya sekadar singgah.”

“Anak muda, bukannya aku tidak menginginkan kau berada di desa ini. Tapi untuk kebaikanmu sendiri, sebaiknya kau segera tinggalkan desa ini sekarang juga,” kata orang tua berjubah putih itu tegas.

Kalau saja tidak terlindung oleh tudung bambu yang berukuran cukup lebar itu, pasti sudah terlihat kening laki-laki bertudung bambu ini berkenyit mendengar kata-kata yang tegas dan jelas bernada mengusir itu. Dan untuk beberapa saat mereka semua jadi terdiam. Sementara orang tua berjubah putih yang tampaknya mempunyai pengaruh di Desa Harugaling ini memandangi orang bertudung itu dengan sinar mata yang sangat tajam menusuk.

Tapi yang dipandangi seperti tidak peduli. Seakan-akan tidak ada sedikit pun bahaya mengancam di sekitarnya. Padahal semua orang yang mengepungnya ini sudah siap menyerang dengan senjata terhunus di tangan masing-masing.

“Kenapa kau diam...? Cepatlah kau tinggalkan desa ini sebelum terjadi sesuatu yang merugikan pada dirimu!” sentak orang tua berjubah putih agak lantang suaranya.

“Tidak mungkin aku kembali lagi, Ki. Aku harus melalui desa ini,” sahut orang bertudung bambu itu mantap.

“Hhh! Bandel juga kau rupanya. Apa yang kau andalkan, heh...?”

“Hm....”

Orang bertudung bambu itu hanya menggumam saja sedikit Jelas dia sudah tahu kalau laki-laki tua berjubah putih ini sudah gusar dengan sikapnya yang tetap tidak mau meninggalkan Desa Harugaling ini.

Sementara anak-anak muda yang mengepungnya sudah kelihatan tidak sabaran lagi.

“Maaf, aku harus melanjutkan perjalananku,” ucap orang bertudung bambu itu.

Dan belum lagi kata-katanya menghilang dari pendengaran, dia sudah melesat dengan cepat sekali ke atas. Tapi pada saat yang bersamaan, laki-laki tua berjubah putih sudah melesat mengejarnya sambil membabatkan tongkat kayunya dengan kecepatan bagai kilat, disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi.

Wut!
“Upts...!”

Kibasan tongkat kayu itu berhasil dihindari dengan memutar tubuhnya ke belakang. Dan orang berhidung bambu ini kembali menjejakkan kakinya di tanah. Tepat bersamaan dengan mendaratnya orang tua berjubah putih.


***


Perlahan orang bertudung bambu melepaskan tudung yang menutupi hampir seluruh wajahnya itu. Dan dalam siraman cahaya pelita yang redup dari rumah penduduk di sekitarnya, terlihat seraut wajah tampan, dengan kumis tipis menghiasi bawah hidungnya. Dia langsung menatap orang tua berjubah putih di depannya dengan sinar mata yang teramat tajam sekali. Seakan dia tidak senang perjalanannya terhambat seperti ini.

“Ki, aku Klabang Ireng tidak suka diperlakukan seperti ini. Aku hanya sekadar lewat, tapi kenapa kau seperti memusuhiku...? Apa maumu sebenarnya, Ki...?” terdengar agak lantang suara anak muda yang mengenalkan dirinya bernama Klabang Ireng ini.

“Kalau kau mau menuruti kata-kataku, kau tidak akan mendapatkan kesulitan di sini. Anak Muda. Siapa pun kau, desa ini tertutup bagi pendatang. Walaupun hanya sekadar lewat,” sahut orang tua berjubah putih itu tegas.

“Kau kepala desa ini?” tanya Klabang Ireng agak sinis nada suaranya.

“Benar. Aku Ki Jamparut, Kepala Desa Harugaling ini. Dan aku yang berkuasa di desa ini. Jadi kau tidak perlu membuat ribut di sini,” sahut orang tua berjubah putih yang ternyata Kepala Desa Harugaling, dan bernama Ki Jamparut ini tegas.

“Kenapa kau tutup desa ini?” tanya Klabang Ireng ingin tahu.

“Semua orang yang datang ke sini hanya membuat susah penduduk saja. Dan aku berhak untuk menutup desa ini dari pendatang mana pun juga, termasuk kau...!”

“Baik, aku akan pergi dari sini. Tapi aku tidak mau kembali ke jalan semula,” kata Klabang Ireng tegas.

“Kau tidak bisa melewati desa ini sebelum melangkahi mayatku, Anak Muda!”

“Hm....”

Lagi-lagi Klabang Ireng menggumam perlahan. Jelas sekali dari raut wajahnya kalau dia sudah tidak sabar lagi meladeni sikap Kepala Desa Harugaling ini. Dan gerahamnya sudah bergemeletuk menahan kegeraman. Sementara Ki Jamparut sendiri sudah memberikan isyarat pada anak-anak muda di sekelilingnya untuk siap menerima perintah.

“Maaf, aku tidak punya waktu berdebat denganmu, Ki,” ujar Klabang Ireng dingin.

Dan setelah dia berkata begitu, langsung saja dia melesat dengan cepat, berusaha melewati hadangan Ki Jamparut di depannya. Tapi pada saat yang bersamaan, Ki Jamparut sudah menggeser kakinya sedikit ke kiri sambil mengecutkan tongkat kayunya ke depan, dengan disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi.

Bet!
“Haiiit..!”

Tanpa diduga sama sekali, Klabang Ireng melentingkan tubuhnya ke atas, hingga tongkat Ki Jamparut hanya lewat di bawah kedua telapak kakinya. Dan langsung dia meluruk deras melewati kepala orang tua itu.

“Hadang dia...!” seru Ki Jamparut memberi perintah.

“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
“Setan! Hih...!”

Klabang Ireng benar-benar sudah tidak dapat lagi mengendalikan dirinya. Begitu dua orang anak muda menyerangnya dengan berlompatan sambil mengebutkan goloknya, dengan cepat sekali dia memutar tubuhnya di udara, lalu bagaikan kilat tangan kanannya mengibas dua kali. Dan saat itu juga....

Slap!
Wusss!
“Akh!”
“Aaa...!”

Dua kali jeritan seketika terdengar bersamaan dengan terlihatnya dua buah benda berwarna hitam pekat yang langsung menghantam dada dua orang pemuda yang menyerang Klabang Ireng. Dan kedua anak muda itu langsung terperai ke belakang. Lalu keras sekali tubuh mereka jatuh menghantam tanah.

Tampak dada mereka berlubang seperti tertembus senjata hingga ke punggungnya. Dan darah seketika memuncrat keluar dengan deras. Hanya beberapa saat saja dua orang anak muda itu menggeliat sambil mengerang meregang nyawa. Kemudian mengejang kaku, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati! Seketika nyawa mereka lenyap dari tubuhnya.

“Keparat..! Kau bunuh muridku! Kau harus mampus, Setan Keparat! Hiyaaat.!”

Sambil membentak nyaring, Ki Jamparut langsung saja melompat dengan kecepatan bagai kilat menyerang anak muda yang kini sudah melepaskan tudung bambunya itu. Dan tepat di saat Ki Jamparut mengebutkan tongkatnya ke arah kepala, Klabang Ireng mengibaskan tangan kirinya yang memegang tudung bambu.

Plak!
“Ikh...?!”

Ki Jamparut jadi terpekik kaget, begitu tongkatnya membentur tudung bambu anak muda itu. Dia merasakan seperti tersengat ribuan lebah berbisa tangannya. Cepat dia melompat ke belakang sambil memutar tubuhnya beberapa kali. Dan begitu manis sekali kedua kakinya kembali menjejak tanah.

Sementara Klabang Ireng berdiri tegak sambil menaruh tudung bambunya di dada, dengan tangan kiri memeganginya.

“Kau punya isi juga rupanya, heh...? Bagus! Aku tidak akan sungkan-sungkan lagi menghadapimu!” desis Ki Jamparut dingin menggetarkan.

“Hm....”

Tapi Klabang Ireng hanya menggumam saja sedikit Dan dia tetap berdiri tegak seperti menanti serangan Kepala Desa Harugaling itu datang. Walaupun perhatiannya tertuju pada Ki Jamparut, tapi dia juga memperhatikan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Dan tidak jauh di depannya, menggeletak dua orang yang berlubang dadanya, terkena senjata rahasia yang dilepaskan Klabang Ireng tadi.

“Kau harus bayar nyawa muridku, Setan Keparat! Hiyaaat..!”

Sambil berteriak lantang menggelepar, Ki Jamparut melompat dengan kecepatan bagai kilat menerjang Klabang Ireng. Dan tongkatnya langsung dikebutkan beberapa kali, mencecar bagian-bagian tubuh lawannya yang mematikan.

“Hup! Yeaaah...!”

Tapi memang Klabang Ireng bukanlah anak muda sembarangan. Walaupun dia diserang begitu gencar dan dengan kecepatan yang tinggi, tapi sedikit pun tidak tersirat kegentaran di wajahnya. Meskipun dia menyadari dirinya sudah terkepung dengan rapat Klabang Ireng berjumpalitan menghindari setiap serangan yang dilancarkan Ki Jamparut.


***


Beberapa kali sabetan tongkat Ki Jamparut berhasil ditangkis Klabang Ireng dengan tudung bambunya. Dan setiap kali terjadi benturan, Ki Jamparut selalu merasakan tangannya bergetar. Dan tulang-tulangnya jadi terasa nyeri seperti mau rontok. Tapi Ki Jamparut tidak menghiraukan lagi. Dia terus menyerang dengan jurus-jurus tingkat tinggi yang begitu cepat dan sangat berbahaya.

Dan dalam waktu tidak beberapa lama saja, Ki Jamparut sudah menghabiskan lebih dari lima jurus. Tapi belum satu pun serangannya yang berhasil masuk kesasaran. Bahkan sudah beberapa kali pula dia harus berjumpalitan menghindari serangan balasan yang dilancarkan lawannya ini. Walaupun senjatanya hanya berupa tudung bambu, tapi Klabang Ireng sama sekali tidak kelihatan terdesak.

Bahkan setelah beberapa jurus lagi berlalu, terlihat Ki Jamparut tidak sanggup lagi melakukan serangan. Bahkan kini dia harus berjumpalitan menghindari setiap serangan yang dilancarkan Klabang Ireng.

“Hiyaaa...!”

Tiba-tiba saja Klabang Ireng berteriak keras menggelegar. Dan pada saat itu juga dia melentingkan tubuhnya sedikit ke atas. Lalu bagaikan kilat kaki kanannya menghentak ke depan. Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan Klabang Ireng, sehingga Ki Jamparut tidak dapat lagi menghidar. Terlebih tubuhnya dalam keadaan miring, baru saja menghindari serangan pukulan lawannya ini. Dan....

Diegkh!
“Akh...!”

Ki Jamparut jadi menjerit, begitu terasakan tendangan yang dilancarkan Klabang Ireng tepat menghantam dadanya. Dan membuatnya terpental sejauh dua batang tombak ke belakang.

Bruk!

Keras sekali tubuh orang tua itu jatuh menghantam tanah. Sementara Klabang Ireng sudah kembali berdiri tegak pada kedua kakinya yang kokoh.

“Seraaang...! Hoek!”

Ki Jamparut memutahkan darah kental agak kehitaman begitu berteriak memberi perintah pada murid-muridnya yang berjumlah cukup banyak ini.

“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”

Tanpa menunggu perintah dua kali, anak-anak muda yang memang sejak tadi sudah tidak sabaran itu langsung saja berlompatan menyerang Klabang Ireng dari segala arah. Namun Klabang Ireng memang bukanlah orang sembarangan. Menghadapi keroyokan berjumlah banyak seperti ini, dia langsung melentingkan tubuhnya ke atas. Dan dengan kecepatan bagai kilat, dia melesat berusaha untuk meninggalkan lawan-lawannya ini.

Tapi belum juga keinginannya terlaksana, Ki Jamparut sudah melemparkan beberapa batu kerikil yang dipungutnya dari tanah, disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah tinggi tingkatannya.

“Hih!”
“Haiiit..!”

Klabang Ireng terpaksa harus menggagalkan keinginannya, cepat dia mengecutkan tudung bambunya beberapa kali menangkis lemparan batu-batu kerikil yang meluruk begitu deras sekali bagai anak panah mengincar tubuhnya.

“Hiyaaa...!”
“Hiyaaa...!”

Baru saja Klabang Ireng berhasil menangkis semua batu kerikil yang dilontarkan Ki Jamparut, dua orang anak muda yang sejak tadi mengepungnya berlompatan dengan cepat sekali sambil membabatkan goloknya bergantian.

“Hup!”

Klabang Ireng cepat meliukkan tubuhnya, menghindari setiap serangan yang datang mengancamnya. Dan begitu berhasil terlepas dari sambaran golok kedua lawannya, dia langsung saja memutar tubuhnya sambil memberikan dua kali pukulan yang beruntun dengan kecepatan bagai kilat.

Begitu cepatnya serangan balasan yang diberikan Klabang Ireng, hingga membuat dua orang anak murid Ki Jamparut itu tidak dapat lagi menghindarinya. Dan pukulan yang dilepaskan Klabang Ireng tepat menghantam dada mereka, hingga membuatnya terpental cukup jauh ke belakang.

Dan hanya sebentar saja mereka menggeliat Kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi dengan dada menghitam hangus seperti terbakar. Ki Jamparut jadi tidak dapat lagi menahan kemarahannya, melihat empat orang muridnya sudah menggeletak tidak bernyawa lagi hanya dalam waktu begitu singkat.

“Hup! Hiyaaat..!”

Sambil berteriak nyaring, Ki Jamparut kembali melesat dengan kecepatan yang sangat tinggi sekali menerjang ke arah Klabang Ireng. Dan kembali dia mengecutkan tongkatnya secara beruntun. Tapi gerakan yang dilakukan Klabang Ireng memang sungguh luar biasa sekali. Tubuhnya seperti belut, begitu sulit untuk dijamah. Walaupun begitu, dia agak kewalahan juga menghadapi serangan Ki Jamparut kali ini, yang dibantu oleh murid-muridnya.

Dan serangan yang datang kali ini begitu gencar sekali, datang dari segala penjuru mata angin. Membuat Klabang Ireng terpaksa harus berjumpalitan, meliuk-liukkan tubuhnya menghindari setiap serangan yang datang tanpa dapat lagi memberikan serangan balasan yang berarti.

“Phuih! Bisa terlambat nanti kalau mengurusi mereka terus. Aku harus bisa pergi dari sini, huh...!” Klabang Ireng jadi mendengus geram sendiri di dalam hati.

Dan dia terus mencari celah untuk bisa meloloskan diri. Baru saja dia berpikir begitu, kesempatan langsung datang. Klabang Ireng tidak menyia-nyiakan begitu saja.

“Hup! Yeaaah...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, dia langsung melesat cepat menerobos daerah yang dianggapnya lemah. Saat itu juga tudung bambunya dikibaskan.

Wut!

Dua orang murid Ki Jamparut terpaksa harus berlompatan ke belakang, menghindari terjangan Klabang Ireng. Dan ini memberikan kesempatan lebih besar lagi bagi Klabang Ireng untuk bisa lolos dari keadaan yang tidak menguntungkan ini. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia cepat melesat dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah tinggi tingkatannya.

“Hiyaaa...!”

"Tahan dia...!” seru Ki Jamparut begitu melihat lawannya berhasil membuka kepungan.

Tapi teriakan perintah Ki Jamparut sudah terlambat sedikit Klabang Ireng sudah berlari dengan kecepatan yang sangat tinggi sekali, menghindari kepungan anak-anak muda Desa Harugaling. Dan kesempatan ini tidak dibuang begitu saja. Klabang Ireng terus berlari dengan kecepatan seperti angin.

Hingga dalam waktu sebentar saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tidak terlihat lagi. Ki Jamparut jadi kesal melihat lawannya lolos begitu saja. Dia menghentakkan tongkatnya ke tanah.

“Kalian urus yang mati. Aku akan mengejar iblis keparat itu!” perintah Ki Jamparut pada anak-anak muda muridnya itu.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ki Jamparut langsung melesat, berlari cepat dengan mengerahkan ilmu meringkan tubuhnya yang sudah tinggi tingkatannya, hingga dalam sekejapan mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan. Sementara murid-muridnya membereskan teman-temannya yang tewas.


***


DUA

Klabang Ireng terus berlari cepat dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah tinggi tingkatannya, menembus malam yang begitu pekat, tanpa sedikit pun tersiram cahaya bintang maupun bulan. Dia bani berhenti berlari setelah dirasakan cukup jauh meninggalkan Desa Harugaling. Perlahan dia memutar tubuhnya berbalik, memandang ke arah desa yang masih kelihatan sunyi seperti tidak berpenghuni.

Hanya kerlip lampu pelita saja yang menandakan desa itu masih dihuni penududuknya. Klabang Ireng baru menyadari kalau dia sekarang berada di lereng sebuah bukit yang cukup lebat
ditumbuhi pepohonan. Dan udara di lereng bukit ini terasa begitu dingin, membuat tubuhnya bergidik menggigil. Klabang Ireng memakai lagi tudung bambunya. Hingga wajahnya tampak kembali tertutup tudung bambu yang cukup lebar ini. Sebentar dia mengedarkan pandangannya berkeliling.

“Hm..., kalau tidak salah ini yang dinamakan Bukit Sampan,” gumam Klabang Ireng perlahan, bicara pada diri sendiri.

Kembali dia mengedarkan pandangannya berkeliling. Tidak ada yang bisa dilihat, di dalam kegelapan yang teramat pekat ini. Hanya pepohonan saja yang terlihat menghitam. Tapi dari lereng ini, dia bisa melihat jelas bentuk bukit yang memang mirip sekali dengan sebuah sampan terbalik. Tidak salah kalau bukit ini dinamakan Bukit Sampan.

“Aku sudah dekat. Mudah-mudahan saja tidak ada lagi rintangan yang menghalangiku,” gumam Klabang Ireng lagi.

Dia kembali memutar tubuhnya, dan terus melangkah mendaki lereng bukit ini. Tidak terlalu sulit baginya untuk berjalan terus di malam hari. Walau sedikit pun tidak ada penerangan yang menuntun langkahnya. Klabang Ireng terus berjalan menembus pepohonan yang semakin dirasakan lebat

“Heh...?!”

Tiba-tiba saja Klabang Ireng menghentikan langkahnya dengan terkejut. Dari balik tudung bambunya, dia melihat seberkas cahaya seperti api di depannya. Sesaat Klabang Ireng termenung diam. Kemudian dia kembali mengayunkan kakinya, melangkah dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi tingkatannya. Hingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya terayun melangkah.

“Hm, siapa dia...?” gumam Klabang Ireng, bertanya-tanya di dalam hati begitu dia melihat seseorang duduk di depan api unggun membelakanginya.

Klabang Ireng mengamat-amati orang itu. Keningnya jadi berkerut dengan kelopak mata menyipit. Sulit untuk bisa mengenalinya. Orang itu membelakangi, sehingga sukar untuk bisa melihat wajahnya. Tapi dia yakin kalau dilihat dari bentuk tubuhnya yang ramping, orang itu pasti wanita.

“Akan kucoba menegurnya. Mudah mudahan saja dia tidak memusuhiku seperti yang lainnya,” gumam Klabang Ireng di dalam hati lagi.

Setelah mengambil keputusan, Klabang Ireng melangkah keluar dari balik pohon tempatnya bersembunyi tadi. Sengaja dia tidak mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sehingga baru saja dia berjalan beberapa langkah, wanita yang duduk di depan api unggun itu langsung berpaling.

Tampaknya dia terkejut begitu melihat ada orang mendatanginya. Cepat dia berdiri sambil memutar tubuhnya berbalik. Dan tangan kirinya langsung menggenggam gagang pedang yang berada di pinggang. Dari balik tudung bambunya yang lebar, Klabang Ireng agak tercengang juga melihat raut wajah wanita itu.

Sungguh dia tidak menduga kalau wanita itu begitu cantik bagai bidadari yang baru turun di kayangan. Hingga membuatnya tertegun beberapa saat, memandangi wajah yang begitu cantik.

“Maaf, kalau kedatanganku mengejutkanmu, Nisanak,” ucap Klabang Ireng dengan nada suara yang dibuat sopan.

“Siapa kau?” bentak gadis yang mengenakan baju warna hijau muda cukup ketat itu.

“Aku Klabang Ireng,” sahut Klabang Ireng memperkenalkan diri, sambil melepaskan tudung bambu yang menutupi hampir seluruh wajahnya ini.

Dan dia melangkah beberapa tindak ke depan, hingga jaraknya dengan gadis itu tinggal sekitar enam langkah lagi. Senyumnya terkembang begitu manis sekali. Tapi gadis cantik itu malah memasang wajah angker. Dia mendelik, seakan tidak menyukai senyuman ramah yang diberikan Klabang Ireng.

“Mau apa kau datang ke Bukit Sampan ini?” tanya gadis itu lagi.

“Nisanak, sebelum aku jawab pertanyaanmu, boleh aku tahu siapa namamu...?” ujar Klabang Ireng dengan sikap yang ramah dan senyuman manis terkembang di bibir.

“Rara Sawit,” sahut gadis itu memperkenalkan namanya.

“Nama yang cantik, secantik orangnya,” puji Klabang Ireng tulus.

“Jangan memujiku, Kisanak,” dengus Rara Sawit ketus. “Sekarang jawab pertanyaanku. Mau apa kau datang ke Bukit Sampan ini?”

“Hanya sekadar lewat,” sahut Klabang Ireng kalem.

“Hhh...!

Rara Sawit jadi tersenyum sinis mendengar jawaban yang tidak diinginkannya itu. Dia menggeser kakinya sedikit ke kanan, sehingga cahaya api unggun yang dibuatnya bisa menerangi wajah Klabang Ireng yang kini tidak tertutup tudung bambunya. Wajah tampan itu sempat juga membuat Rara Sawit jadi agak tertegun.

Tapi dia cepat bisa menguasai diri. Tidak ingin langsung terpikat dengan ketampanan laki-laki ini.

“Kau pasti datang ke sini sama seperti yang lainnya. Kau juga mau mengakui pewaris Pedang Dewa Naga, heh...?” terasa begitu sinis sekali nada suara Rara Sawit.


***


Klabang Ireng tampak terkejut setengah mati, ketika Rara Sawit menyebut Pedang Dewa Naga. Begitu terkejutnya, sampai dia terlompat ke belakang dua langkah. Sedangkan Rara Sawit semakin sinis senyumannya. Seakan dia begitu yakin kalau dugaannya tidak meleset sedikit pun juga.

“Nisanak, siapa kau sebenarnya? Dari mana kau tahu tentang Pedang Dewa Naga...?” tanya Klabang Ireng masih dengan keterkejutan yang amat sangat.

“Hhh! Sudah kuduga, kau datang ke bukit ini juga dengan maksud yang sama seperti yang lainnya,” dengus Rara Sawit semakin sinis, tanpa menjawab sedikit pun pertanyaan yang dilontarkan Klabang Ireng.

Sementara Klabang Ireng yang sudah bisa menguasai rasa keterkejutannya tadi, langsung berkerenyut keningnya mendengar kata-kata yang begitu sinis dari gadis cantik ini. Seakan dia tidak percaya dengan pendengarannya sendiri. Seorang gadis yang begitu cantik bagai bidadari seperti ini bisa melontarkan kata-kata begitu sinis dan tidak sedap didengar telinga.

Tapi bukan kesinisan gadis itu yang membuat Klabang Ireng jadi terpaku. Sungguh dia tidak mengetahui kalau kabar tentang Pedang Dewa Naga sudah tersebar begitu luas. Bahkan selama dalam perjalanannya ke Bukit Sampan ini, sudah beberapa kali dia terpaksa harus bertarung dengan orang-orang yang mencoba mengurangi persaingan dalam memperebutkan Pedang Dewa Naga.

Klabang Ireng sendiri tidak tahu, dari mana orang-orang persilatan itu bisa mengetahui tentang Pedang Dewa Naga yang sebenarnya memang sedang dicarinya. Dan sekarang, dia harus berhadapan dengan seorang gadis cantik yang kelihatannya sama sekali tidak menunjukkan rasa persahabatan dan keramah-tamahannya.

Klabang Ireng merasa kalau dia tidak mungkin bisa mengajak damai gadis ini, kalau tahu dia sendiri sebenarnya memang sedang mencari pedang pusaka itu. Tapi keterkejutan dan pertanyaan tadi, sudah membuat yakin kalau Klabang Ireng juga sedang mencari Pedang Dewa Naga.

“Dengar, Kisanak. Kalau kau menginginkan Pedang Dewa Naga, langkahi dulu mayatku,” kata Rara Sawit tegas.

Namun Klabang Ireng hanya diam saja, memandangi gadis itu dengan sinar mata yang cukup tajam. Seakan dia tengah mengukur sampai di mana tingkat kepandaian yang dimiliki gadis cantik itu.

“Kenapa kau diam, heh...? Ayo, majulah kalau kau memang ingin pedang itu!” bentak Rara Sawit garang.

“Aku tidak tahu siapa kau, Nisanak. Dan aku tidak pernah ada urusan denganmu. Sebaiknya tidak perlu di antara kita saling menumpahkan darah,” kata Klabang Ireng mencoba untuk mendinginkan suasana yang sudah terasa menghangat ini.

“Phuih! Kau takut, heh...?” ejek Rara Sawit mencibir.

“Aku bukannya takut, tapi enggan berselisih dengan wanita,” sahut Klabang Ireng kalem.

“Keparat..! Kau merendahkan aku, heh...?” geram Rara Sawit langsung memuncak amarahnya.

Sret!
Cring...!

Tanpa menunggu lagi, Rara Sawit langsung saja mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang. Saat itu juga kedua bola mata Klabang Ireng jadi terbeliak lebar, melihat pedang yang sudah tergenggam di tangan gadis itu. Sebuah pedang yang berkilatan, memancarkan cahaya putih keperakan. Dan dari ujung pedang itu, mengepul asap tipis yang hampir tidak terlihat dengan pandangan mata biasa.

“Nisanak, siapa kau sebenarnya?” tanya Klabang Ireng.

“Aku Rara Sawit, murid tunggal Eyang Sangga Langit,” sahut Rara Sawit agak lantang suaranya.

“Hm..., jadi kau murid pembunuh keparat itu rupanya,” desis Klabang Ireng jadi dingin suaranya.

“Setan! Berani kau menghina guruku, ya...? Kau harus tebus dengan nyawamu!

Hiyaaat..!”

Rara Sawit tidak dapat lagi menahan kemarahannya, begitu telinganya mendengar nama gurunya disebut sebagai pembunuh keparat. Dan tanpa menghiraukan lagi siapa pemuda itu, Rara Sawit langsung melompat menerjang sambil berteriak nyaring.

Bet!
“Upths!”

Klabang Ireng cepat melompat ke belakang, begitu pedang yang bercahaya putih keperakan itu berkelebat begitu cepat sekali bagai kilat. Dan hampir saja ujung pedang itu merobek tenggorokannya, kalau saja dia tidak cepat menarik kepalanya ke belakang.

Namun belum juga Klabang Ireng bisa menegakkan tubuhnya kembali, Rara Sawit sudah memberikan satu tendangan menggeledek yang sangat dahsyat dengan tubuh dimiringkan ke kiri.

“Hap!”

Tidak ada lagi kesempatan bagi Klabang Ireng untuk menghindari tendangan gadis ini. Cepat dia mengecutkan tudung bambunya ke depan. Dan....

Prak!
“Heh...?!”

Klabang Ireng jadi terperanjat setengah mati, begitu melihat tudung bambunya seketika hancur terkena tendangan kaki kanan gadis itu. Cepat dia melentingkan tubuhnya ke belakang, sambil berputaran beberapa kali. Dan manis sekali kedua kakinya menjejak tanah berumput yang cukup tebal ini. Sementara Rara Sawit sudah siap hendak menyerang lagi.

“Hiyaaa...!”

Sambil berteriak lantang menggelegar, Rara Sawit kembali melompat sambil memutar pedangnya dengan kecepatan bagai kilat. Dan Klabang Ireng terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan dahsyat gadis ini. Begitu cepatnya putaran pedang itu, hingga bentuknya lenyap dari pandanggan mata. Dan yang terlihat hanya kilatan-kilatan cahaya putih keperakan, seperti mengurung seluruh tubuh Klabang Ireng.

“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”

Rara Sawit semakin meningkatkan serangannya, setelah beberapa jurus berlalu belum juga dia bisa mendesak lawannya ini. Namun memang Klabang Ireng bukanlah lawan yang ringan bagi gadis ini. Walaupun tidak menggunakan senjata, Klabang Ireng teramat sulit untuk dikalahkan. Bahkan sedikit pun Rara Sawit tidak bisa mendesaknya. Bahkan sudah beberapa kali Klabang Ireng membuatnya jungkir balik, saat melancarkan serangan balasan.

Dan dalam waktu tidak berapa lama saja, pertarungan itu sudah berjalan hampir sepuluh jurus. Tapi belum juga Rara Sawit bisa mendesak. Sedangkan pedangnya benar-benar sudah lenyap bentuknya. Dan hanya kilatan-kilatan cahaya saja yang terlihat berkelebat di sekitar tubuh Klabang Ireng yang terus berjumpalitan menghindarinya.

“Hup! Yeaaah...!”

Tiba-tiba saja Klabang Ireng melentingkan tubuhnya tinggi-tinggi ke atas. Tepat di saat Rara Sawit membabatkan pedangnya mengarah ke kaki. Dan pedang yang memancarkan cahaya putih keperakan itu lewat sedikit saja di bawah telapak kaki Klabang Ireng.

“Hap!”

Beberapa kali Klabang Ireng berputaran di udara. Dan dengan cepat sekali dia meluruk ke bawah, dengan jari-jari tangan kanan terkembang bagai hendak mencengkeram batok kepala gadis cantik lawannya ini.

“Haiiit...!”
Wuk!

Namun Rara Sawit juga bukan wanita sembarangan yang bisa dengan mudah dikecohkan begitu saja. Tepat di saat jari-jari tangan kanan Klabang Ireng yang terkembang kaku seperti cakar burung elang itu dekat, secepat kilat Rara Sawit mengebut-kan pedangnya ke atas kepala.

“Upths...!”

Cepat-cepat Klabang Ireng menarik tangannya, dan langsung dia memutar tubuhnya ke atas menghindari tebasan pedang gadis ini. Setelah berputaran beberapa kali di udara, Klabang Ireng kembali menjejakkan kakinya di tanah. Namun pada saat itu juga, Rara Sawit sudah memutar pedangnya dan langsung dibabatkan ke pinggang pemuda lawannya ini sambil berteriak keras menggelegar bagai guntur membelah angkasa.

“Yeaaah...!”
Wusss!
“Hap!”


***


Klabang Ireng terpaksa harus melompat ke belakang, sambil memutar tubuhnya satu kali di udara, menghindari serangan yang dilancarkan gadis cantik lawannya ini. Namun Rara Sawit tidak mau melepaskannya begitu saja. Baru saja Klabang Ireng bisa menjejakkan kakinya di tanah, Rara Sawit sudah kembali melancarkan serangan.

Namun kali ini Klabang Ireng tidak mau lagi tanggung-tanggung menghadapi gadis ini. Begitu pedang yang berkilatan putih keperakan itu berkelebat mengarah ke tenggorokan, dengan cepat dia mencabut seruling hitamnya yang sejak tadi terselip di pinggang. Dan langsung dikebutkan untuk menangkis tebasan pedang gadis ini.

Trang!

Kilatan bunga api memijar, begitu dua benda yang digunakan sebagai senjata beradu keras di udara. Tampak mereka sama-sama berlompatan ke belakang, dan berputaran beberapa kali di udara sebelum menjejak tanah.

“Gila, gadis ini...! Kuat sekali pengerahan tenaga dalamnya,” dengus Klabang Ireng dalam hati.

Memang Klabang Ireng merasakan tangannya agak bergetar juga ketika suling hitamnya berbenturan dengan pedang Rara Sawit. Tapi perasaan itu juga ada di dalam diri Rara Sawit. Dia juga merasakan tangannya jadi bergetar. Dan hampir saja pedangnya tadi terlepas, kalau tidak segera melentingkan tubuhnya berputaran ke belakang.

Semula Rara Sawit mengira kalau hanya dia saja yang berbuat begitu. Tapi secara bersamaan, Klabang Ireng juga melentingkan tubuhnya ke belakang, untuk menghindari seruling hitamnya yang terlepas dari tangan. Mereka saling mengakui ketangguhan masing-masing, walaupun hanya terucap di dalam hati.

Dan untuk beberapa saat lamanya mereka hanya berdiri tegak saling berpandangan dengan sinar mata tajam. Seakan-akan mereka tengah mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki masing-masing.

“Akan kucoba dia dengan jurus 'Kupu-kupu Menari Menyengat Kumbang',” gumam Rara Sawit dalam hati.

Setelah mendapat pikiran begitu, Rara Sawit langsung mengembangkan kedua tangannya ke samping. Dan begitu dia mengecutkan tangan kanannya ke depan dengan pedang berputar cepat, tubuhnya langsung melesat dengan kecepatan bagai kilat menerjang Klabang Ireng.

Wut!
“Haiiit...!”

Klabang Ireng cepat meliukkan tubuhnya, menghindari sambaran pedang gadis ini. Dan dia jadi terperangah juga, melihat pedang itu meliuk lentur mengejar gerakan tubuhnya. Cepat-cepat Klabang Ireng melompat ke belakang beberapa langkah. Tapi Rara Sawit tidak mau berhenti begitu saja. Dengan gerakan-gerakan lembut namun sangat cepat, dia terus mencecar pemuda berbaju serba hitam dengan jurus yang dinamakannya 'Kupu-kupu Menari Menyengat Kumbang'.

Dan jurus ini rupanya membuat Klabang Ireng jadi kelabakan juga menghadapinya. Setiap gerakan yang dilakukan Rara Sawit memang begitu lemah dan lembut sekali. Bahkan terlihat seperti sedang menari. Tapi setiap gerakan yang dilakukannya itu mengandung ancaman yang tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Terlebih lagi pedangnya yang bisa meliuk dan sukar sekali untuk diterka arah tujuannya.

Klabang Ireng terpaksa harus berjumpalitan menghindari setiap serangan aneh dari gadis ini. Beberapa kali serangan yang dilancarkan Rara Sawit hampir mengenai tubuhnya. Tapi sampai saat ini dia masih bisa mengatasinya, walaupun begitu kewalahan sekali.

Namun begitu serangan Rara Sawit sempat terhenti sesaat, kesempatan yang sangat sedikit ini tidak disia-siakan begitu saja. Klabang Ireng melentingkan tubuhnya ke atas, dan dengan kecepatan bagai kilat dia meluruk turun sambil melontarkan satu pukulan keras menggeledek dengan tangan kirinya sambil berteriak keras menggelegar.

“Hiyaaa...!”


***


TIGA

Begitu kerasnya pukulan yang dilepaskan Klabang Ireng, hingga menimbulkan hempasan angin yang begitu kuat bagai badai. Membuat Rara Sawit jadi terperangah sesaat. Namun dengan cepat dia meliukkan tubuhnya ke kanan sambil mengecutkan pedangnya ke atas kepala.

Tapi tanpa diduga sama sekali, Klabang Ireng memutar tubuhnya sambil menghentakkan tangan kanannya yang memegang seruling hitam ke arah dada gadis ini. Begitu cepatnya hentakan tangan kanan pemuda berpakaian serba hitam itu, sehingga Rara Sawit tidak sempat lagi berkelit menghindarinya. Dan dia terpaksa harus menangkis kibasan seruling hitam itu dengan tangan kirinya tepat di depan dada.

Plak!
“Akh...!”

Rara Sawit jadi terpekik merasakan sakit yang amat sangat pada pergelangan tangan kirinya yang terhantam seruling hitam Klabang Ireng. Cepat dia menjatuhkan diri, dan bergulingan beberapa kali di tanah, begitu Klabang Ireng terus mencecarnya dengan mengecutkan serulingnya begitu cepat beberapa kali.

“Hup!”

Begitu punya kesempatan, Rara Sawit langsung melompat bangkit berdiri. Tapi pada saat kedua kakinya baru menjejak tanah, Klabang Ireng sudah menyodokkan tangan kirinya ke depan. Dan membuat Rara Sawit jadi terperangah. Cepat dia mengecutkan pedangnya, berusaha menghindari sodokan tangan kiri pemuda itu. Namun tanpa diduga sama sekali, tangan kiri Klabang Ireng bisa meliuk berputar seperti ular. Dan langsung meluruk deras ke dada yang membusung ini. Hingga....

Des!
“Akh...!”

Kembali Rara Sawit terpekik, begitu sodokan tangan kiri Klabang Ireng menghantam tepat pada bagian tengah dadanya. Membuat tubuhnya jadi terdorong ke belakang beberapa langkah. Merah seluruh wajah gadis itu seketika. Betapa tidak, balum pernah ada seorang pun laki-laki yang menyentuh dadanya. Tapi kini, Klabang Ireng berhasil men-
daratkan tangannya di sana. Rara Sawit jadi menggereng marah.

“Keparat...!”

Dan dia langsung mengibaskan pedangnya, membuat beberapa gerakan yang begitu cepat dengan bibir mengeluarkan desisan aneh seperti ular. Begitu cepatnya gerakan pedang itu, sehingga yang terlihat hanya kilatan cahaya putih keperakan, disertai suara mencicit yang menggiriskan hati.

“Aph! Yeaaah...!”

Klabang Ireng terpaksa harus berjumpalitan lagi, menghindari setiap serangan yang dilancarkan Rara Sawit dengan begitu cepat dan memburu bagai badai. Setiap kebutan pedangnya kali ini menyebarkan hawa dingin yang menusuk sampai ke tulang. Ditambah lagi dengan udara malam yang memang sudah terasa begitu dingin membekukan. Membuat gerakan Klabang Ireng terasa jadi terhambat. Dan....

“Jebol dadamu! Yeaaah...!”


Sambil membantak keras menggelegar, Rara Sawit menghentakkan tangan kirinya tepat menghantam ke dada pemuda berbaju hitam pekat ini. Begitu cepatnya pukulan tangan kiri gadis itu, membuat Klabang Ireng tidak sempat lagi berkelit menghindar. Dan pukulan yang keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu tepat menghantam dadanya yang kosong.

Diegkh!
“Akh...!”

Klabang Ireng jadi terpekik, begitu pukulan tangan kiri Rara Sawit menghantam keras dadanya. Membuat tubuhnya jadi terpental cukup jauh ke belakang. Dan keras sekali punggung pemuda itu menghantam pohon hingga hancur berkeping-keping.

Sementara Rara Sawit yang sudah benar-benar marah, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Sambil berteriak keras menggelegar, gadis itu langsung melesat, meluruk deras dengan pedang terhunus ke depan.

“Mampus kau, Setan Keparat! Hiyaaat..!”

Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan Rara Sawit, hingga membuat kedua bola mata Klabang Ireng terbeliak lebar, dalam keadaan diri telentang di antara pecahan kayu pohon yang terlanda tubuhnya tadi.

Dan dia merasa tidak ada lagi kesempatan untuk bisa menyelamatkan selembar nyawanya. Namun begitu ujung pedang Rara Sawit hampir menembus tenggorokan pemuda ini, mendadak saja....

Slap!
Trang!
“Heh...?! Hup!”


***


Rara Sawit jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba terlihat secercah kilatan putih keperakan berkelebat begitu cepat sekali menghantam pedangnya. Cepat dia melompat berputar ke belakang beberapa kali. Dan dengan manis dia menjejakkan kakinya di tanah, sekitar dua batang tombak jauhnya dari Klabang Ireng yang masing menggeletak dengan napas tersengal, akibat hantaman keras bertenaga dalam tinggi di dadanya.

“Keparat...! Siapa berani main curang denganku, heh...?” bentak Rara Sawit geram.

Sunyi...Tidak ada jawaban sedikit pun juga terdengar. Hanya gema suara gadis itu saja yang terdengar. Rara Sawit mengedarkan pandangannya berkeliling. Tidak seorang pun yang terlihat disekitarnya. Hanya Klabang Ireng saja yang ada di antara pecahan kayu pohon.

Pemuda itu masih menggeletak, berusaha mengatur jalan pernapasannya. Tampak perlahan Klabang Ireng mulai bisa bangkit duduk. Dia langsung mengambil sikap bersemadi, duduk bersila dengan kedua telapak tangan menempel erat pada kedua lututnya yang tertekuk.

Dan kedua bola matanya terpejam, sambil mengatur jalan pernapasannya. Dia seperti tidak peduli pada Rara Sawit yang masih geram, akibat serangannya yang mematikan pada Klabang Ireng tadi terhalang sesuatu seperti cahaya putih keperakan.

“Huh! Nyawamu tidak akan lepas dari tanganku, Klabang Ireng...!” desis Rara Sawit dingin.

Tatapan matanya begitu tajam, memandang lurus pada Klabang Ireng yang tengah bersemadi, mencoba menormalkan kembali jalan darah dan per napasannya di dada. Sementara Rara Sawit sudah bersiap kembali melancarkan serangan pada pemuda itu.

“Mampus kau, Klabang Ireng! Hiyaaat..!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Rara Sawit melompat dengan kecepatan bagai kilat, mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Dan pedangnya tertuju lurus ke dada Klabang Ireng yang masih tetap duduk bersila bersemadi.

“Yeaaah...!”
Bet!

Namun begitu Rara Sawit mengebutkan pedangnya ke arah dada Klabang Ireng, kembali terlihat kilatan cahaya putih keperakan berkelebat begitu cepat sekali ke ujung pedang gadis ini.

“Hih...!”

Namun kali ini Rara Sawit rupanya sudah bisa mengetahui akan datang serangan itu. Dan dengan cepat sekali dia memutar pedangnya, lalu sambil membentak keras, dia mengebutkan pedangnya menghantam cahaya putih keperakan yang datang hendak menggagalkan serangannya pada Klabang Ireng. Dan....

Trang!
Siap!

Kilatan cahaya putih keperakan itu terpental balik ke arah semula, begitu terkena sambaran pedang Rara Sawit. Dan pada saat yang bersamaan, Rara Sawit melentingkan tubuhnya ke atas. Lalu cepat sekali dia menukik dengan pedang terhunjam ke arah ubun-ubun kepala Klabang Ireng.

Dan pada saat ujung pedang gadis itu hampir menghunjam di kepala Klabang Ireng, terlihat sebuah bayangan kuning berkelebat begitu cepat sekali bagai kilat, langsung meluruk deras ke arah Rara Sawit yang meluncur dari atas. Seketika itu juga....

“Hup! Yeaaah...!”

Rara Sawit cepat melentingkan tubuhnya kembali ke atas, dan berputaran beberapa kali dengan gerakan yang begitu indah sekali. Sementara bayangan kuning yang datang bagaikan kilat itu lewat hanya sedikit saja di bawah tubuh gadis ini.

“Hap!”

Manis sekali Rara Sawit kembali menjejakkan kakinya di tanah, sekitar dua batang tombak dari Klabang Ireng yang masih tetap duduk bersila melakukan semadi. Bibir gadis itu langsung menyunggingkan senyuman sinis, begitu melihat seorang pemuda lain sudah berada tidak jauh di sebelah kiri Klabang Ireng.

Seorang pemuda dengan wajah tampan, rambut panjang tergelung ke atas, dengan bagian bawahnya dibiarkan terurai melewati bahu. Tidak terlihat satu senjata pun tersandang di tubuhnya. Pemuda itu mengenakan baju dari kulit harimau, dengan dua buah benda bersegi enam berupa cakra putih keperakan menempel pada pergelangan tangan kanannya. Seekor monyet kecil berbulu hitam nangkring di pundak kanannya.

“Akhirnya keluar juga kau, Pengacau Busuk...!” dengus Rara Sawit dingin menggetarkan.

“Tidak pantas kau membunuh orang yang sudah tidak berdaya, Nisanak. Dan lagi, tidak ada urusannya kau membunuhnya,” kata pemuda itu kalem, tanpa menghiraukan dengusan sinis gadis cantik ini.

“Apa pedulimu, heh...? Siapa kau sebenarnya?” bentak Rara Sawit sengit.

“Aku memang, tidak akan peduli, kalau kau mau berlaku secara ksatria, Nisanak. Tapi aku lihat kau ingin membunuhnya secara pengecut Dan itu mendorongku untuk mencegahmu berbuat begitu,” sahut pemuda itu tetap tenang nada suaranya.

“Phuih! Siapa kau...?” dengus Rara Sawit semakin ketus.

“Namaku Bayu,” sahut pemuda itu memperkenalkan diri. Pemuda tampan yang mengenakan baju dari kulit harimau itu memang Bayu Hanggara. Dia lebih dikenal dengan nama julukan Pendekar Pulau Neraka.

Seorang pendekar muda yang selalu menggetarkan rimba persilatan dalam setiap kemunculannya. Dan kali ini dia tiba-tiba muncul menyelamatkan nyawa Klabang Ireng dari ancaman maut gadis cantik di depannya ini.

“Kenapa kau selamatkan nyawanya dariku? Apa kau saudaranya...?” tanya Rara Sawit lagi, masih dengan nada suara yang ketus.

“Aku tidak kenal sama sekali dengannya,” sahut Bayu masih tetap tenang suaranya.

“Lalu, kenapa kau menolongnya? Sebaiknya kau cepat menyingkir dari sini. Atau kau ingin menggantikan kepalanya?”

“Tenang, Nisanak. Aku tahu apa yang membuatmu begitu bernafsu ingin membunuhnya. Sebaiknya antara kau dan dia tidak perlu saling bermusuhan. Apalagi sampai saling mengadu jiwa,” kata Bayu lagi, masih dengan nada suara yang tenang sekali.

“Heh...?! Siapa kau sebenarnya...?” bentak Rara Sawit agak terkejut, mendengar kata-kata Pendekar Pulau Neraka itu barusan.

“Aku bukan siapa-siapa. Tapi aku tahu apa yang kalian semua ributkan. Aku hanya ingin mengatakan kalau apa yang kalian perebutkan itu tidak ada artinya sama sekali. Aku tahu di mana adanya Pedang Dewa Naga. Dan aku tahu persis siapa yang berhak memilikinya. Kalian sama sepertiku. Masih muda, dan masih jauh jangkauannya. Sebaiknya tidak perlu meributkan sesuatu yang bukan hak milik sendiri.”

“Keparat..! Jangan berkhotbah di depanku! Dari mana kau tahu tentang Pedang Dewa Naga, hah...?”

Bayu hanya tersenyum saja mendengar pertanyaan gadis cantik ini. Dia mengayunkan kakinya beberapa langkah ke depan, hingga jaraknya dengan gadis itu tinggal sekitar enam langkah lagi.

Sementara agak jauh di belakangnya, Klabang Ireng sudah mulai membuka kelopak matanya. Dia langsung melihat Rara Sawit kini berdiri berhadapan dengan seorang pemuda sebaya dengannya, yang sama sekali tidak dikenalnya. Tapi dia langsung bisa menebak kalau pemuda itu yang telah menyelamatkan nyawanya dari ujung pdang Rara Sawit tadi.

Klabang Ireng sengaja tidak segera bangkit berdiri, walaupun dirasakan seluruh aliran darah dan jalan pernapasannya sudah kembali normal seperti semula. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Rara Sawit dan pemuda penolongnya itu.


***


Sementara Klabang Ireng memperhatikan, Rara Sawit sudah memasukkan pedangnya kembali Ke dalam warangkanya yang tergantung di pinggang. Sedangkan Bayu tampak tersenyum melihat raut wajah gadis itu kini tidak lagi kelihatan garang seperti tadi. Bahkan tampak begitu cantik sekali, dengan sinar mata yang bercahaya terang bagai bintang di langit yang kelam.

Kembali Bayu melangkah beberapa tindak semakin dekat dengan gadis ini. Dan senyumnya kembali terkembang penuh rasa persahabatan. Entah kenapa, Rara Sawit malah membalasnya dengan senyum yang manis pula. Tapi begitu tersadar, dia cepat memasang wajah angker lagi.

“Nisanak, boleh aku tahu kenapa kau mencari Pedang Dewa Naga...?” ujar Bayu bertanya dengan suara yang dibuat begitu lembut sekali.

“Mau apa kau tahu urusanku?” Rara Sawit malah balik bertanya dengan nada suara masih tetap terdengar ketus. Walaupun raut wajahnya tidak segarang tadi.

“Sepanjang perjalanan, aku banyak bertemu dengan mereka yang menginginkan Pedang Dewa Naga. Dan sekarang, aku juga bertemu denganmu yang hampir membunuh karena merebut pedang itu.

Kenapa kau membahayakan nyawa sendiri hanya untuk sebuah benda, Nisanak...? Bukankah kau sendiri sudah memiliki pedang yang bagus?”

“Aku menginginkannya untuk guruku!” sahut Rara Sawit masih tetap ketus suaranya. Tapi kali ini sudah mulai terdengar agak melunak.

“Untuk apa?” tanya Bayu terus mendesak ingin tahu.

“Guruku adalah pewaris tunggal Pedang Dewa Naga. Dan aku harus mendapatkannya sebelum orang lain. Dengan pedang itu penyakit guruku akan sembuh,” sahut Rara Sawit lagi.

“Hm, sakit apa yang diderita gurumu?” tanya Bayu lagi. Rara Sawit tidak langsung menjawab. Dia seperti keberatan menjawab pertanyaan Pendekar Pulau Neraka barusan. Dan dia hanya memandangi wajah tampan pendekar muda itu saja. Sedangkan Bayu jadi tersenyum. Dia tahu kalau pertanyaannya tadi tidak mungkin terjawab.

“Baiklah, Nisanak. Memang tidak seharusnya aku terlalu banyak bertanya padamu. Tapi yang aku tahu, hanya ada seorang saja di dunia ini yang berhak mewarisi Pedang Dewa Naga,” kata Bayu diiringi senyuman kecil tersungging di bibir.

“Hanya guruku pewarisnya,” sentak Rara Sawit cepat.

“Dusta...!”

Tiba-tiba saja Klabang Ireng membentak keras, ambil melompat bangkit berdiri. Rara Sawit dan Bayu langsung menatap pemuda yang mengenakan baju warna hitam pekat itu. Klabang Ireng langsung melangkah menghampiri mereka, dan berdiri tidak jauh di sebelah kanan Pendekar Pulau Neraka.

“Bukan gurumu pewaris Pedang Dewa Naga. Tapi aku.... Akulah cucu Eyang Rampayak, pembuat dan pemilik Pedang Dewa Naga. Aku yang berhak memilikinya!” kata Klabang Ireng tegas, dengan suara yang keras dan lantang menggelegar.

“Enak saja kau bicara. Apa buktinya kau cucu Eyang Rampayak, heh...?” sentak Rara Sawit sengit.

“Kau sendiri...? Apa buktinya gurumu yang paling berhak mewarisi Pedang Dewa Naga? Eyang Rampayak tidak punya murid seorang pun juga. Dan hanya punya satu putra. Dan aku anak dari putra Eyang Rampayak. Hanya aku cucunya. Tidak ada orang lain lagi yang berhak atas pedang itu...!”

“Aku yang berhak!” bentak Rara Sawit jadi kalap lagi.

“Aku...!” balas Klabang Ireng tidak mau kalah.

“Setan! Kau memang harus mampus!”

Cring!
Wut!
“Cukup...!”

Bayu langsung saja membentak, dan melompat ke tengah, begitu melihat mereka sudah sama-sama mencabut senjatanya. Entah kenapa, mereka jadi terdiam melihat Bayu berdiri di antara mereka berdua dengan tangan terentang lebar.

“Simpan kembali senjata kalian!” bentak Bayu lantang. Rara Sawit dan Klabang Ireng saling berpandangan dengan tajam beberapa saat.

Kemudian mereka menyimpan kembali senjatanya. Entah kenapa, mereka jadi menuruti kata-kata Pendekar Pulau Neraka ini. Sementara Bayu memandangi mereka satu persatu secara bergantian. Dan dia menurunkan lagi tangannya yang sudah terentang tadi.

“Kalian masing-masing mempertahankan pendapat sendiri. Baik, aku memang tidak tahu mana yang benar di antara kalian berdua. Dan ini harus dibuktikan, siapa di antara kalian yang paling berhak memiliki Pedang Dewa Naga. Tapi bukan dengan cara saling mengadu jiwa,” kata Bayu tegas.

“Huh!”

Rara Sawit hanya mendengus saja dengan raut wajah jengkel. Sementara Klabang Ireng diam memandangi Pendekar Pulau Neraka.

“Aku akan buktikan, Kisanak,” selak Klabang Ireng tegas.

“Dengan cara apa kau akan membuktikan...?” dengus Rara Sawit sinis.

“Pedang Dewa Naga tidak akan bisa digunakan oleh orang yang bukan satu darah dengan Eyang Rampayak. Dan aku akan buktikan nanti kalau sudah menemukan pedang itu,” sahut Klabang Ireng lantang.

“Sebelum kau yang memegangnya, aku yang akan mendapatkannya,” desis Rara Sawit bernada mengejek.

“Sudah.... Kalian tidak perlu saling bermusuhan. Aku tahu di mana adanya Pedang Dewa Naga. Dan kalau kalian ingin saling membuktikan, aku akan tunjukkan di mana Pedang Dewa Naga berada,” kata Bayu menenangkan suasana yang hangat ini.

Rara Sawit dan Klabang Ireng saling berpandangan. Kemudian mereka sama sama memandang pada Pendekar Pulau Neraka yang berada di tengah-tengah di antara mereka berdua. Entah kenapa, mereka sama-sama mengangkat bahunya. Seakan menyerahkan segala persoalannya pada Pendekar Pulau Neraka itu.

“Bagus. Malam ini kita sama-sama bermalam di sini. Besok pagi kalian berdua akan kubawa ke tempat Pedang Dewa Naga,” kata Bayu tersenyum.

Dan memang malam ini mereka semua bermalam di hutan lereng Bukit Sampan ini. Namun antara Rara Sawit dan Klabang Ireng, tetap saja saling membuka garis peperangan. Tidak ada seorang pun di antara mereka berdua yang memulai untuk membuka suara. Sedangkan Bayu hanya bisa memperhatikan sambil menghangatkan tubuh di dekat api unggun, menunggu sampai pagi datang.


***


EMPAT

Pagi-pagi sekali, disaat matahari baru menam-pakkan cahayanya di ufuk timur, Bayu sudah membawa Klabang Ireng dan Rara Sawit menuruni Bukit Sampan ini. Mereka berdua berjalan bersisian dibelakang Pendekar Pulau Neraka itu. Sedangkan Tiiren tidak lepas dari pundak pemuda berbaju kulit harimau ini. Tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Mereka berjalan agak cepat menuruni lereng bukit yang cukup lebat ditumbuhi pepohonan ini.

Namun baru saja mereka sampai di kaki bukit, Bayu menghentikan langkahnya. Klabang Ireng dan Rara Sawit ikut berhenti juga melangkah. Tampak di depan mereka menghadang lebih dari lima puluh orang yang semuanya rata-rata masih berusia muda. Hanya seorang saja yang kelihatan sudah tua.

Dan orang tua yang mengenakan jubah putih pantang itu berdiri paling depan. Sebatang tongkat kayu tergenggam di tangan kanannya. Seakan untuk menyangga tubuhnya yang sudah agak membungkuk. Klabang Ireng yang mengenali orang tua itu, langsung melangkah mendekat Pendekar Pulau Neraka.

“Kau kenal mereka, Klabang Ireng?” tanya Bayu seperti sudah bisa menduga.

“Ya,” sahut Klabang Ireng. “Orang tua itu Ki Jamparut. Kepala Desa Harugaling. Dan yang ada di belakangnya adalah murid-muridnya,” sahut Klabang Ireng.

“Mau apa mereka menghadang?” tanya Bayu lagi dengan suara terdengar menggumam. Seakan pertanyaan itu untuk dirinya sendiri.

“Untukku,” sahut Klabang Ireng pelan. Bayu berpaling sedikit, langsung menatap pada Klabang Ireng dengan kening berkerut.

Terasa aneh bagi Pendekar Pulau Neraka ini. Dia memang baru semalam kenal dengan Klabang Ireng. Tapi tampaknya Klabang Ireng mempunyai banyak persoalan yang tidak diketahuinya. Timbul berbagai macam pertanyaan di dalam benak Pendekar Pulau Neraka ini.

Tapi dia tidak mau mempersoalkan lebih dulu, sebelum mengetahui persoalan persisnya, antara Klabang Ireng dengan Kepala Desa Harugaling dan murid-muridnya itu. Sementara Rara Sawit sudah berada di sebelah Pendekar Pulau Neraka ini. Dia juga merasa heran dengan orang-orang yang meng-hadang jalan mereka ini.

“Siapa mereka, Kisanak?” tanya Rara Sawit

“Mereka ada urusan dengan Klabang Ireng,” sahut Bayu tanpa berpaling sedikit pun juga.

Rara Sawit langsung saja menatap pada Klabang Ireng. Tapi yang dipandangi seperti tidak peduli. Dia melangkah beberapa tindak mendekati Ki Jamparut yang berdiri di depan murid-muridnya. Tatapan mata orang tua itu sangat tajam sekali, seakan ingin melumat pemuda berbaju hitam yang sudah menewaskan empat orang muridnya ini.

“Punya nyali besar juga kau berani muncul lagi di sini...,” terdengar sinis sekali nada suara Ki Jamparut.

“Maaf atas kejadian semalam, Ki. Kali ini aku tidak melewati desamu lagi. Aku dan teman-temanku akan menuju ke utara,” kata Klabang Ireng. Kali ini dia berkata dengan nada suara yang sopan.

“Phuih!” Ki Jamparut menyemburkan ludahnya dengan sengit.

Sedangkan Klabang Ireng diam saja.

“Kau tidak bisa lewat begitu saja, Anak Muda. Kau harus membayar nyawa murid-muridku dengan nyawamu!” bentak Ki Jamparut lantang.

“Kalau kau membiarkan aku lewat, tentu tidak akan sampai kehilangan muridmu, Ki. Sekarang aku harap kau tidak lagi membuka persoalan. Aku sedang enggan mengotori tangan dengan darah,” sambut Klabang Ireng tidak kalah lantangnya.

“Berani kau berkata begitu setelah membunuh muridku, heh...? Kau akan rasakan akibatnya, Bocah!” bentak Ki Jamparut jadi berang.

“Maaf, Ki. Bukan maksudku untuk...!”

“Tutup mulutmu, Bocah! Kau harus mampus? Hiyaaat..!”

Ki Jamparut tidak bisa lagi banyak bicara. Sambil membentak nyaring memutuskan ucapan Klabang Ireng, dia langsung melompat dengan cepat menerjang pemuda ini.

“Haiiit..!”

Klabang Ireng tidak dapat lagi menghindari bentrokan. Dia cepat melompat ke samping, sambil meliukkan tubuhnya menghindari sabetan tongka kayu Kepala Desa Harugaling ini. Sedikit saja tongkat itu lewat di samping tubuh Klabang Ireng.

Namun Ki Jamparut tidak berhenti sampai di situ saja. Dia terus menyerang dengan jurus-jurus yang cepat dan sangat membahayakan jiwa anak muda berbaju hitam ini.

Sementara Bayu dan Rara Sawit tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka terpaksa menjadi penonton, tanpa dapat membantu Klabang Ireng yang terus diserang dengan kebutan-kebutan tongkat Ki Jamparut yang begitu cepat dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi tampaknya Klabang Ireng masih bisa bertahan, walaupun dia hanya bisa berkelit dan menghindari setiap serangan Ki Jamparut yang dahsyat ini.

“Hup! Hiyaaa...!”

Tiba-tiba saja Klabang Ireng melentingkan tubuhnya tinggi-tinggi ke atas, tepat ketika Ki Jamparut mengecutkan tongkatnya ke arah kaki. Dan langsung dia meluruk deras ke belakang sambil berputaran beberapa kali di udara. Dan dengan manis sekali dia menjejakkan kakinya di tanah sejauh dua batang tombak dari Ki Jamparut.

“Jangan menghindar terus kau, Bocah!

Hiyaaat..!”

Ki Jamparut semakin kelihatan berang saja, karena serangan-serangannya tidak mendapatkan hasil sedikit pun juga. Bahkan kini Klabang Ireng berhasil menjaga jarak cukup jauh. Kepala Desa Harugaling itu kembali melompat sambil berteriak keras menggelegar. Dan tongkatnya langsung dikejutkan tepat mengarah ke kepala Klabang Ireng.

“Hih!”
Bet!
Trak!

Klabang Ireng cepat mencabut seruling bambu hitamnya, dan langsung dikebutkan ke samping kelolanya. Hingga tongkat Ki Jamparut menghantam seruling hitam pemuda itu. Dan pada saat itu juga, tubuh Klabang Ireng meliuk setengah berputar. Lalu dengan kecepatan yang sangat luar biasa sekali, dia menghentakkan tangan kirinya ke depan. Dan....

Diegkh!
“Ugkh...!”

Begitu cepatnya hentakan tangan kiri Klabang Ireng, sehingga Ki Jamparut tidak sempat lagi menghindarinya. Dan kepalan tangan pemuda itu tepat menghantam perutnya. Membuat orang tua ini terlenguh dengan tubuh terbungkuk. Dan pada saat itu juga, Klabang Ireng melepaskan satu pukulan keras dengan tangan kanannya, setelah dia menyimpan lagi serulingnya ke balik ikat pinggang.

“Hiyaaa...!”
Plak!
“Akh...!”

Ki Jamparut jadi terpekik, begitu pukulan tangan kiri Klabang Ireng yang mengandung sedikit pengerahan tenaga dalam itu menghantam tepat ke wajahnya. Tampak orang tua itu terdongak, dan terhuyung-huyung ke belakang. Seketika itu juga darah merembes keluar dari sudut bibir dan lubang hidungnya. Walaupun tidak sepenuhnya Klabang Ireng mengerahkan tenaga dalam pada pukulannya, tapi sudah membuat Ki Jamparut terpaksa harus kehilangan muka di depan murid-muridnya sendiri.

“Keparat..!”


***


Ki Jamparut jadi geram setengah mati. Sambil menyeka darah yang mengalir keluar dari mulut dan hidungnya, dia melangkah ke depan beberapa tindak. Sementara Klabang Ireng tetap berdiri tegak tanpa terlihat memegang senjata. Tampak sekali kalau Ki Jamparut tidak bisa lagi dihentikan amarahnya. Terlebih lagi dia sudah mendapatkan pukulan yang cukup keras di wajahnya. Membuat amarahnya semakin menggelegak didalam dada.

Sementara Bayu dan Rara Sawit sama sekali tidak bisa berbuat apapun juga. Mereka hanya diam dan melihat semua itu tanpa bicara sedikit pun juga. Tapi diam-diam, Bayu terus memperhatikan murid-murid Ki Jamparut yang sudah mulai bergerak mendekati tempat pertarungan gurunya dengan Klabang Ireng ini.

“Kau harus mampus, Bocah Keparat..!”

Sambil menggeram marah, Ki Jamparut melangkah mendekati Klabang Ireng. Dan begitu jaraknya tinggal sekitar empat langkah lagi, dia langsung menyodokkan tongkatnya tepat mengarah ke perut.

“Haiiit..!”

Tapi dengan liukan tubuh yang begitu indah sekali, Klabang Ireng bisa menghindari sodokan tongkat orang tua itu. Namun tanpa diduga sama sekali, Ki Jamparut memutar tubuhnya dengan cepat sambil menghentakkan kaki kanannya tanpa menarik tongkatnya lagi. Sesaat Klabang Ireng terperangah. Dan dia cepat melangkah mundur sambil menarik tubuhnya ke belakang.

Tepat pada saat itu juga, Klabang Ireng mencabut seruling hitamnya, dan langsung dikebutkan ke kaki yang masih menjulur ke depan itu. Begi cepatnya sabetan seruling hitam pemuda ini, sehingga Ki Jamparut tidak sempat lagi menyadarinya. Dan...

Tak!
“Akh...!”

Ki Jamparut jatuh terguling seketika, begitu tulang keringnya terhantam seruling hitam Klabang Ireng yang sangat keras, karena disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Seketika tulang kaki orang tua itu hancur, membuatnya tidak dapat lagi berdiri. Sementara Klabang Ireng melompat menjauhi, sambil menyepakkan kakinya ke tongkat Ki Jamparut yang tergeletak di tanah. Tongkat itu melayang jauh. Dan entah jatuh di mana.

“Bocah keparat...!” geram Ki Jamprut berang setengah mati, sambil meringis menahan sakit yang amat sangat pada tulang kering kakinya. “Seraaang...! Bunuh bocah setan itu...!”

“Hiyaaat...!”
“Yeaaah...!”

Belum lagi hilang teriakan Ki Jamparut, semua murid-muridnya sudah berlompatan menyerang Klabang Ireng sambil berteriak-teriak, membuat suasana di kaki Bukit Sampan ini jadi hiruk-pikuk seperti ada perang.

“Klabang Ireng, cepat ke sini...!” seru Bayu dengan suara yang keras disertai sedikit pengerahan tenaga dalam.

Klabang Ireng berpaling sedikit ke arah Pendekar Pulau Neraka itu. Dia melihat Bayu memanggil dengan melambaikan tangannya. Dan tanpa berpikir panjang lagi, Klabang Ireng segera melesat mendekati Pendekar Pulau Neraka itu. Hanya sekali lompatan saja, dia sudah berada di samping pemuda berbaju kulit harimau ini.

“Tinggalkan tempat ini,” kata Bayu tergesa.
“Baik,” sahut Klabang Ireng.
“Hup!”
“Haaap!”
“Yeaaah...!”

Ketiga anak muda berkepandaian tinggi itu langsung berlompatan dan terus berlari dengan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi tingkatannya. Begitu cepatnya mereka berlari, hingga dalam waktu sebentar saja sudah jauh. Membuat murid-murid Ki Jamparut tidak ada yang sanggup mengejar. Dan mereka terpaksa kembali menghampiri gurunya yang masih duduk di tanah menahan sakit pada kakinya yang hancur tulang keringnya.

“Cepat, bawa aku pulang!” perintah Ki Jamprut.

Tanpa banyak bicara lagi, empat orang muridnya segera menggotong dan membawanya pergi dari kaki Bukit Sampan ini. Sedangkan yang lainnya mengikuti dari belakang.

Sementara Bayu, Klabang Ireng, dan Rara Sawit sudah sangat jauh meninggalkan kaki Bukit Sampan. Mereka terus berlari dengan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Tampak Bayu berlari paling depan. Sesekali dia berpaling melihat Klabang Ireng dan Rara Sawit yang terus tertinggal di belakang.

Setelah dirasa cukup jauh dan tidak ada lagi yang mengejar, Bayu baru menghentikan larinya. Dia menunggu beberapa saat sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Sedikit pun tidak terlihat tetesan keringat di tubuhnya. Dan tarikan napasnya juga begitu teratur sekali, sepertinya tadi sama sekali dia tidak berlari sejauh ini.

Sementara Klabang Ireng dan Rara Sawit langsung menjatuhkan diri, duduk di rerumputan begitu sampai di dekat Pendekar Pulau Neraka ini. Tiren mendekati gadis itu, dan langsung duduk di pangkuannya. Rara Sawit mendiamkan saja monyet kecil itu duduk di pangkuannya.

Keringat mengalir deras membasahi sekujur tubuh mereka. Dan napas mereka agak tersengal memburu cepat. Bayu tersenyum saja memandangi mereka yang seperti baru dikejar setan tadi. Senyum Pendekar Pulau Neraka itu membuat Rara Sawit jadi mendelik.

“Kenapa kau tersenyum...?” bentak Rara Sawit dengan napas masih tersengal-sengal.

“Tidak apa-apa,” sahut Bayu masih tersenyum.

“Jangan coba-coba merendahkan aku, ya...,” dengus Rara Sawit memberengut.

Bayu hanya diam saja. Dan dia duduk bersila di depan mereka. Sikapanya begitu tenang sekali, dengan senyuman masih terkembang mengukir bibirnya yang agak memerah. Sementara Klabang Ireng dan Rara Sawit sudah mulai bisa mengatur Jalan pemapasannya. Mereka kini sudah tenang kembali.

“Sudah cukup istirahatnya...?” tanya Bayu seraya bangkit berdiri.

Klabang Ireng langsung berdiri, diikuti Rara Sawit Tiren cepat melompat naik kepundak Bayu lagi. Dan tanpa bicara lagi mereka kembali melanjutkan perjalanannya menuju ke utara. Sementara matahari sudah naik cukup tinggi, memancarkan cahayanya yang terik membakar kulit.

Namun ketiga anak muda itu terus berjalan tanpa menghiraukan teriknya mentari. Dan begitu jauh mereka berjalan, belum ada seorang pun yang membuka suara. Baru setelah mereka sampai di tepi sungai yang tidak begitu besar, Rara Sawit mulai membuka suaranya.

“Bayu, kenapa kau tadi meminta Klabang Ireng meninggalkan mereka?”

“Hanya membuang-buang tenaga saja mengurusi mereka. Sedangkan perjalanan kita masih cukup jauh,” sahut Bayu seenaknya.

“Sebenarnya ada persoalan apa kau dengan mereka, Klabang Ireng?” tanya Rara Sawit ingin tahu. Tatapannya kini beralih pada Klabang Ireng.

“Aku sendiri tidak tahu. Semalam aku melewati desa mereka. Dan mereka tidak mengizinkan aku melaluinya. Mereka langsung menyerang ingin membunuhku. Terpaksa aku menewaskan empat orang dari mereka. Ya, terpaksa...,” sahut Klabang Ireng kalem.

“Tidak mungkin kalau tidak ada alasan mereka ingin membunuhmu, Klabang Ireng,” kata Rara Sawit tidak percaya.

“Terserah kau, mau percaya apa tidak. Yang jelas, aku sendiri baru pertama kali itu datang ke Desa Harugaling. Sama sekali aku tidak kenal dengan mereka,” balas Klabang Ireng agak ketus suaranya.

“Mungkin mereka kenal denganmu, Klabang Ireng. Dan kau sendiri tidak kenal, atau mungkin juga sudah lupa,” kata Bayu menengahi.

“Mungkin juga...,” desah Klabang Ireng perlahan.

“Tapi aku benar-benar tidak tahu, Bayu.”

“Klabang Ireng, kau mengaku cucu tunggal Eyang Rampayak. Pasti kau tahu dari mana asalnya...,” selak Rara Sawit seperti memancing.

“Tentu saja aku tahu,” sahut Klabang Ireng tegas.

“Dari mana?” desak Rara Sawit.
“Desa Harugaling.”

“Tepat dugaanku...!” sentak Bayu langsung berhenti melangkah.

Rara Sawit dan Klabang Ireng jadi ikut berhenti, dan langsung menatap Pendekar Pulau Neraka itu dengan pandangan dan sorot mata yang sukar untuk diartikan.

Sedangkan Bayu sendiri malah mengarahkan pandangannya ke Desa Harugaling yang kini sudah tidak terlihat lagi dari tempat ini. Dan untuk beberapa saat mereka jadi terdiam membisu. Entah apa yang ada di dalam pikiran mereka masing-masing.


“Apa yang kau duga, Kisanak?” tanya Klabang Ireng ingin tahu.

“Siapa nama ayahmu?” Bayu malah balik bertanya.
“Rakata Ireng,” sahut Klabang Ireng.
“Dan ibumu?”
“Diah Permata.”
“Heh...?!”

Entah kenapa, Rara Sawit jadi terlonjak seperti tersengat kala berbisa begitu mendengar Klabang Ireng menyebut nama ibunya. Dan ini membuat Bayu maupun Klabang Ireng jadi tersentak juga memandangi gadis cantik ini.

“Kau jangan mengaku-aku. Diah Permata ibumu, ya...!” bentak Rara Sawit jadi garang wajahnya.

“Heh...?! Dia memang ibuku!” sentak Klabang Ireng.

“Kau tahu, Diah Permata adalah guruku. Juga ibu angkatku!”

“Tidak mungkin! Ibuku tidak punya murid! Kau dusta! Pembohong...!”
“Kau yang pembohong!”
“Kau...!”

Seketika suasana jadi memanas. Klabang Ireng dan Rara Sawit sudah saling berhadapan dengan wajah garang tidak mau mengalah. Dan ini membuat Bayu jadi terlongong.

“Cukup...!”

Bayu langsung membentak begitu melihat Rara Sawit sudah mau mencabut pedangnya. Sedangkan Klabang Ireng juga sudah siap mencabut seruling hitamnya. Bayu cepat melompat, dan berdiri ditengah-tengah mereka.

“Dengar, kalian masing-masing berkeras mengakui pewaris Pedang Dewa Naga. Kalau kalian tidak mau menahan diri sedikit saja, aku berani bertaruh tidak ada di antara kalian yang bisa memiliki Pedang Dewa Naga,” kata Bayu jadi agak gusar.

Klabang Ireng dan Rara Sawit hanya diam saja saling bertatapan dengan tajam. Seakan mereka tidak mendengarkan kata-kata Pendekar Pulau Neraka itu barusan.

“Baik.... Kalau kalian masih terus begini, aku akan pergi sendiri. Dan ingat, kalian tidak akan bisa mendapatkan Pedang Dewa Naga,” kata Bayu lagi, seraya hendak melangkah pergi.

Tapi belum juga kakinya terayun, Klabang Ireng sudah melompat ke depannya menghadang. Dan bersamaan dengan itu, Rara Sawit juga melompat menghadang Pendekar Pulau Neraka ini.

“Kau selalu mencegah kami bertarung, Kisanak. Terus terang, sejak semalam aku terus bertanya-tanya siapa kau sebenarnya? Kenapa kau begitu tepat muncul disaat aku hampir saja memenggal batang lehernya?” terasa dingin sekali nada suara Rara Sawit seraya melirik sedikit pada Klabang Ireng.

“Katakan sejujurnya, siapa kau sebenarnya. Dan ada maksud apa kau menemui kami berdua?” desak Klabang Ireng mengikuti Rara Sawit.

“Aku hanya menjalankan tugas untuk menjemput kalian berdua,” sahut Bayu diiringi dengan senyum manis tersungging di bibir.

“Hanya ada satu orang yang harus kutemui. Dan dia namanya bukan Bayu, tapi Pendekar Pulau Neraka,” kata Klabang Ireng.

“Setan! Kau selalu mendahuluiku, Klabang Ireng! Guruku yang menyuruhku menunggu di Bukit Sampan sampai Pendekar Pulau Neraka datang. Hanya dia yang bisa membawaku ke tempat penyimpanan Pedang Dewa Naga!” sentak Rara Sawit sengit.

“Kau yang mengada-ada!” bentak Klabang Ireng seraya mendelik geram.

“Sudah! Kalian tidak perlu bertengkar. Aku Bayu, juga Pendekar Pulau Neraka,” kata Bayu langsung memberi tahu siapa dirinya yang sebenarnya.

Memang tidak ada pilihan lain lagi bagi Pendekar Pulau Neraka itu selain berterus terang, melihat kedua orang yang memang harus dijemputnya ini terus-menerus bertengkar. Dan Bayu tidak ingin ada di antara mereka sampai mengeluarkan darah. Dia harus membawa mereka berdua ke tempat menyimpanan Pedang Dewa Naga.

“Dengar, kalau kalian masih saja bertengkar, aku akan pergi sendiri dan tidak akan membawa kalian ke tempat Pedang Dewa Naga. Hanya aku yang tahu di mana tempatnya. Dan kalian seumur hidup tidak akan bisa melihat bentuk pedang itu...!” agak lantang terdengar suara Bayu.

Klabang Ireng dan Rara Sawit terdiam. Memang mereka tidak tahu di mana adanya Pedang Dewa Naga. Mereka hanya mendapat perintah untuk ke Bukit Sampan menemui Pendekar Pulau Neraka yang akan membawa mereka sampai ke tempat penyimpanan Pedang Dewa Naga. Dan memang hanya Pendekar Pulau Neraka saja yang mengetahui di mana adanya pedang pusaka yang menjadi rebutan dua orang remaja ini.

“Sekarang kalian boleh pilih. Terus bertengkar, atau mau menuruti kata-kataku!” kata Bayu menjelaskan.

Namun belum juga Klabang Ireng dan Rara sawit bisa membuka suaranya, tiba-tiba saja terdengar suara tawa yang keras menggelegar bagai guntur membelah angkasa di siang hari. Membuat mereka jadi tersentak kaget setengah mati.

“Ha ha ha...!”


***


LIMA

Suara tawa itu demikian keras terdengar menggema, seperti datang dari segala penjuru mata angin. Sukar untuk diketahui dari mana arah datangnya suara tawa yang semakin lama menyakitkan telinga ini. Bayu yang sudah berpengalaman dalam merambah kejamnya rimba persilatan, langsung bisa merasakan kalau suara tawa itu disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Dan sudah pasti ditujukan pada mereka bertiga. Bayu bisa merasakan adanya bahaya kalau mendiamkan terus suara tawa itu.

“Cepat kalian ke belakangku...!” pinta Bayu. Tanpa banyak tanya lagi, Klabang Ireng dan Rara Sawit berlompatan ke belakang Pendekar Pulau Neraka.

Mereka sudah merasakan telinganya begitu sakit mendengar suara tawa yang teramat keras seakan tidak pernah mau berhenti ini. Bahkan Klabang Ireng sudah sejak tadi mengerahkan tenaga dalamnya, untuk mencoba menangkal suara yang membuat telinganya terus berdenging ini.

“Jangan jauh dariku,” pinta Bayu.

Setelah berkata begitu, Bayu langsung merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Sedangkan monyet kecil berbulu hitam yang selalu mengikuti ke mana saja Pendekar Pulau Neraka itu pergi, sudah memeluk leher pemuda ini erat-erat.

Sesekali dia mencerecet membuat telinga Bayu terasa pekak. Sebentar kelopak matanya terpejam. Lalu begitu kelopak matanya terbuka, seketika itu juga dia menghentakkan kedua tangannya ke samping sambil berteriak keras menggelegar.

“Yeaaah...!”

Begitu kerasnya suara teriakan Pendekar Pulau Neraka itu, membuat bumi yang mereka pijak jadi bergetar bagai diguncang gempa yang sangat dahsyat Bahkan angin pun jadi terbalik berhembus. Pohon-pohon menggugurkan daunnya. Batu-batu berpentalan memperdengarkan suara berderak hingga hancur berkeping-keping. Teriakan Bayu yang begitu keras menggelegar, membuat alam di sekitarnya bagaikan mengamuk.

“Edan...! Ilmu macam apa itu...?” desis Klabang Ireng kagum.

Dan teriakan Bayu yang begitu keras menggelegar bagai guntur itu, mampu meredam suara tawa yang membuat telinga mereka jadi sakit. Pada saat itu juga, Bayu merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Lalu sambil berseru lantang, dia mengibaskan kedua tangannya ke depan. Dan bagaikan kilat, dia mengibaskan tangan kanannya ke kanan.

Sing...!

Cakra Maut yang selalu menempel dipergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu seketika melesat dengan kecepatan bagai kilat. Hingga yang terlihat hanya kilatan cahaya putih keperakan meluncur langsung menembus lebatnya pepohonan. Dan...

Srak!
Slap!

Tepat pada saat itu juga terlihat bayangan hijau berkelebat keluar dari balik pepohonan, bersamaan dengan melesatnya Cakra Maut kembali pada Pendekar Pulau Neraka. Sedikit saja Bayu mengangkat tangan kanannya ke atas, Cakra Maut kembali menempel erat di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu.

“Hm....”

Bayu menggumam sedikit, begitu melihat seorang wanita berusia setengah baya sudah berdiri sekitar dua batang tombak di depannya. Baju warna hijau daun yang ketat, membentuk tubuhnya yang cukup ramping dan indah dipandang mata. Sebilah pedang bergagang kepala ular berwarna putih keperakan, tersampir di punggungnya.

“Cuma seorang wanita...,” gumam Klabang Ireng mendesis dingin.

“Jangan menghina kaum wanita, Klabang Ireng!” sentak Rara Sawit tersinggung.

“Maaf, bukannya aku mau menyinggungmu, Rara Sawit,” ucap Klabang Irjeng sambil menyeringai.

Baru menyadari kalau di sebelahnya berdiri seorang wanita yang sampai saat ini masih bisa dikatakan saingannya dalam memperebutkan Pedang Dewa Naga.

Sementara itu Bayu sudah melangkah beberapa tindak ke depan, mendekati wanita setengah baya yang mengenakan baju hijau daun ini. Pendekar Pulau Neraka itu baru berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi. Saat itu Bayu menilai kalau wanita ini usianya sudah lebih dari lima puluh tahun. Tapi wajahnya masih kelihatan cantik, dengan bentuk tubuh yang ramping dan indah terbungkus baju yang cukup ketat. Seakan baru mencapai dua puluh lima tahunan usianya.

“Kenapa kau mengganggu kami, Nisanak?” tanya Bayu langsung dengan nada suara yang cukup dingin terdengar.

“Bukan kalian tujuanku. Tapi kau, Pendekar Pulau Neraka!” sahut wanita itu agak lantang suaranya.

“Hm, kenapa...? Rasanya aku belum kenal denganmu, Nisanak.”

“Kau memang belum kenal siapa aku, Pendekar Pulau Neraka. Tapi aku sudah tahu siapa kau. Dan sekarang aku membutuhkanmu. Kau harus ikut denganku. Tinggalkan dua tikus busuk itu,” kata wanita itu sambil menuding pada Klabang Ireng dan Rara Sawit.

Dikatakan tikus busuk, Rara Sawit langsung memerah wajahnya. Dan Klabang Ireng juga cepat melompat ke depan. Tapi gerakan mereka jadi terhambat, begitu melihat Bayu merentangkan tangannya. Mencegah mereka berbuat yang bisa merugikan diri sendiri. Klabang Ireng dan Rara Sawit hanya bisa mendengus kesal, menatap dengan sinar mata yang tajam pada perempuan setengah baya yang masih kelihatan cantik itu.

“Dengar, Pendekar Pulau Neraka. Kau tidak bisa menolak keinginanku. Ikut denganku, atau kau harus rela melepaskan nyawamu di sini,” kata wanita itu lagi dengan nada suara yang tegas.

“Maaf, Nisanak. Bukannya aku menolak keinginanmu itu. Tapi aku belum tahu siapa kau sebenarnya? Dan apa tujuanmu memintaku ikut denganmu...?” tanya Bayu halus.

“Aku Dewi Pedang Maut. Dan kau harus ikut denganku untuk menunjukkan di mana tempat penyimpanan Pedang Dewa Naga. Aku tahu kalau hanya kau satu-satunya yang tahu di mana Pedang Dewa Naga berada,” sahut wanita setengah baya itu yang ternyata bernama Dewi Pedang Maut.

“Hm.... Sudah sering kali aku dengar namamu, Dewi Pedang Maut. Kau memang tangguh dan digdaya. Tapi terus terang saja, aku sama sekali tidak menyukai sepak terjangmu selama ini,” kata Bayu agak menggumam suaranya.

“Jangan sombong kau, Bocah! Kau pikir aku tidak tahu siapa dirimu yang sebenarnya, heh...?” bentak Dewi Pedang Maut sengit.

“Aku memang bukan manusia suci, Dewi Pedang Maut. Tapi aku masih bisa bertindak dengan batas ukuran yang wajar. Maaf, aku ada tugas yang lebih penting lagi. Dan aku tidak berurusan dengan Pedang Dewa Naga,” kata Bayu tegas.

“Keparat...!” desis Dewi Pedang Maut geram, mendengar penolakan Bayu yang halus namun tegas itu.

Sedangkan Bayu sudah memutar tubuhnya berbalik. Dan melangkah menghampiri Klabang Ireng dan Rara Sawit. Namun baru saja Pendekar Pulau Neraka itu berjalan beberapa langkah, Dewi Pedang Maut sudah mengebutkan tangan kirinya dengan cepat ke depan. Dan seketika itu juga, terlihat beberapa benda halus berwarna putih keperakan melesat dengan kecepatan bagai kilat ke arah pemuda berbaju kulit harimau ini.

“Bayu, awaaas...!” seru Klabang Ireng memperingati.

“Hap! Yeaaah...!”

Sambil memutar tubuhnya dengan cepat, Bayu menghentakkan tangan kanannya lurus ke depan tubuhnya. Dan seketika itu juga Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan kanannya melesat menyambut senjata rahasia yang dilemparkan Dewi Pedang Maut.

Cras!

Hanya sekali lesatan saja, Cakra Maut merontokkan semua senjata rahasia Dewi Pedang Maut. Dan kembali senjata bersegi enam keperakan itu melesat balik, lalu menempel lagi di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka ini. Bayu berdiri tegak dengan pandangan mata yang sangat tajam sekali, menatap langsung ke bola mata Dewi Pedang Maut. Dari sorot matanya yang tajam, sudah bisa dipastikan kalau Pendekar Pulau Neraka itu sama sekali tidak menyukai cara Dewi Pedang
Maut yang menyerangnya dari belakang.

Penyerangan dengan cara membokong seperti ini memang sangat tidak disukai Bayu. Baginya, membokong merupakan tindak pengecut yang tidak bisa diberi ampun lagi. Perlahan Bayu menggeser kakinya ke kanan. Dia melirik sedikit pada Klabang Ireng dan Rara Sawit yang berada agak jauh di belakangnya. Sementara Dewi Pedang Maut tersenyum-senyum, merasakan pancingannya berhasil untuk menaklukkan Pendekar Pulau Neraka ini.

“Dengar, Nisanak. Apapun alasanmu, aku paling tidak suka dengan caramu main bokong seperti itu,” terasa dingin sekali nada suara Bayu.

“Kalau kau tidak suka, kenapa kau tolak tawaranku...?” ringan sekali Dewi Pedang Maut menyahuti.

“Apa maumu sebenarnya?” tanya Bayu.

“Pedang Dewa Naga yang ada padamu,” sahut Dewi Pedang Maut tegas.

“Pedang Dewa Naga tidak ada padaku.”

“Kalau begitu, kau harus tunjukan di mana kau simpan pedang itu.”

“Pedang itu ada pemiliknya, Nisanak. Dan aku tahu, kau bukanlah orang yang tepat memiliki Pedang Dewa Naga. Jadi aku minta kau cepat tinggalkan tempat ini,” tegas Bayu langsung mengusir.

“Hik hik hik...!” '

Dewi Pedang Maut malah tertawa mengikik mendengar pengusiran tegas Pendekar Pulau Neraka itu. Dia benar-benar menganggap ringan pada pendekar muda yang selalu mengenakan baju dari kulit harimau ini. Dan tanpa berkata apapun juga, dia langsung mengebutkan tangan kanannya ke depan, sambil berteriak keras menggelegar.

“Hiyaaa...!”
Siap!
“Hup!”


***


Tepat disaat Dewi Pedang Maut melontarkan senjata rahasianya, Bayu melentingkan tubuhnya ke atas dengan berputaran dua kali di udara. Dan bagaikan kilat, dia melunak deras ke arah wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik ini Saa itu juga Bayu mengecutkan tangan kanannya ke depari sambil berteriak keras menggelegar.

“Hiyaaa...!”
Wusss...!

Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu seketika melesat dengan kecepatan bagai kilat Begitu cepatnya Cakra Maut melesat, hingga yang terlihat hanya kilatan cahaya keperakan saja. Dan ini membuat Dewi Pedang Maut jadi terbeliak. Tidak ada lagi kesempatan bagi Dewi Pedang Maut untuk berkelit menghindari serangan senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu. Dan....

“Hih!”
Cring!
“Yeaaah...!”
Bet!

Dewi Pedang Maut langsung mencabut pedangnya, dan dikebutkan ke depan, menyambut serangan Cakra Maut. Tapi tanpa diduga sama sekali, Cakra Maut seperti memiliki mata saja. Begitu pedang Dewi Pedang Maut berkelebat hendak menyambarnya, senjata Pendekar Pulau Neraka itu seketika melesat ke atas. Membuat Dewi Pedang Maut jadi terbeliak kaget setengah mati. Dan belum lagi hilang rasa keterkejutannya, Cakra Maut sudah melunak dengan deras mengarah ke kepalanya.

“Hih! Hiyaaat..!”
Bet!

Dewi Pedang Maut cepat-cepat memutar pedangnya ke atas kepala, berusaha melindungi dirinya dari sambaran senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu. Namun pada saat yang bersamaan, Bayu sudah menjejakkan kakinya di tanah, tepat seldtar dua langkah lagi di depan wanita ini. Dan seketika itu juga dia melepaskan satu pukulan yang sangat keras menggeledek, disertai dengan pengerahan tenaga dalamnya yang sudah sempurna tingkatannya.

“Yeaaah...!”

Mendapat serangan dari dua arah yang bersamaan waktunya seperti ini, Dewi Pedang Maut benar-benar jadi kelabakan setengah mati. Dan dia sama sekali tidak bisa lagi menghindari pukulan Pendekar Pulau Neraka itu. Hingga....

Begkh!
“Aaakh...!”

Dewi Pedang Maut menjerit keras, begitu pukulan Bayu yang keras dan bertenaga dalam sempurna menghantam telak di dadanya. Membuat tubuhnya terpental jauh ke belakang. Keras sekali dia jatuh menghantam tanah, membuatnya kembali menjerit.

Sementara Bayu menjejakkan kakinya kembali di tanah dengan gerakan yang begitu ringan sekali. Dewi Pedang Maut menggeliat sambil merintih, menahan sakit yang amat sangat di dadanya. Tampak cairan berwarna merah kental mengalir keluar dari sudut bibirnya. Tatapan matanya begitu tajam sekali bersorot langsung pada Pendekar Pulau Neraka yang berdiri sekitar tiga batang tombak di depannya. Pemuda itu hanya memandangi saja dengan wajah yang datar.

“Mudah bagiku untuk membunuhmu, Dewi Pedang Maut. Tapi aku sama sekali tidak mempunyai persoalan denganmu. Dan sebaiknya kau tidak perlu lagi bersusah payah mendapatkan Pedang Dewa Naga. Pedang itu sudah ada yang memiliki,” kata Bayu dingin menggetarkan.

Dewi Pedang Maut hanya diam saja. Dia menyemburkan ludah yang bercampur dengan darah. Tubuhnya yang ramping menggeliat sedikit. Namun rasa sakit dan sesak di dadanya membuat wanita itu tetap terbaring di tanah. Sementara Bayu sudah memutar tubuhnya berbalik, terus melangkah menghampiri Klabang Ireng dan Rara Sawit yang sejak tadi menunggu.

“Ayo...,” ajak Bayu, tidak menghentikan langkahnya sedikit pun juga.

Klabang Ireng menatap Dewi Pedang Mau sebentar. Kemudian dia melangkahkan kakinya menyusul Bayu dan Rara Sawit yang sudah berjalan lebih dahulu meninggalkan tempat ini. Tinggal Dewi Pedang Maut yang masih merintih, berusaha bangkit kembali sambil memegangi dadanya yang masih terasa nyeri dan sesak akibat terkena pukulan yang cukup dahsyat dari Pendekar Pulau Neraka.

“Phuih! Kau akan mati di tanganku, Pendekar Pulau Neraka...!” desis Dewi Pedang Maut geram, sambil menyemburkan ludahnya yang bercampur dengan darah.

Sementara Bayu, Klabang Ireng, dan Rara Sawit sudah jauh meninggalkannya. Hingga mereka tidak terlihat lagi, Dewi Pedang Maut baru bisa berdiri. Agak limbung tubuhnya. Tapi dia cepat menyangga dengan ujung pedang ditekan kuat ke tanah. Dewi Pedang Maut masih memandangi ke arah kepergian Pendekar Pulau Neraka.

Sekali lagi dia menyemburkan ludahnya dengan sengit. Lalu mulai berjalan dengan tertatih-tatih. Bara api dendam benar-benar tersirat pada kedua bola matanya. Dendam yang tidak mungkin bisa terlupakan begitu saja.


***


Jauh juga perjalanan yang harus ditempuh Klabang Ireng dan Rara Sawit yang mengikuti Pendekar Pulau Neraka. Dan tidak sedikit rintangan yang harus mereka hadapi. Terutama rintangan dari orang-orang persilatan, yang menginginkan Pedang Dewa Naga. Namun Pendekar Pulau Neraka bisa menghadapi segala rintangan itu, walaupun harus memeras keringat dan kepandaiannya. Dan setelah menempuh perjalanan sepanjang dua hari, akhirnya mereka sampai di sebuah tempat yang berbatu.

Mereka memandangi sekitarnya. Sepanjang mata memandang, hanya batu batuan saja yang tampak. Begitu gersang tempat ini, hingga matahari yang bersinar begitu terik sekali terasa menyengat kulit. Hanya ada satu pohon yang mereka lihat. Dan itu juga sudah tidak terlihat lagi daun-daunnya.

“Di mana pedang itu, Bayu?” tanya Klabang Ireng tidak sabaran.

“Tidak ada di sini,” sahut Bayu tanpa berpaling sedikit pun juga.

“Apa maksudmu tidak ada di sini, Bayu? Bukankah tadi kau mengatakan kalau kita bisa mendapatkan pedang itu di sini...?” selak Rara Sawit jadi tidak mengerti.

“Memang kita akan mendapatkan pedang itu di sini. Tapi pedang itu sekarang belum ada di sini,” sahut Bayu kalem.

“Aku tidak mengerti maksudmu, Bayu....”

“Kita akan menunggu di sini sampai pedang itu datang.”

“Berapa lama?” tanya Rara Sawit tidak sabaran.

Bayu tidak menjawab. Dia hanya mengangkat bahunya saja sedikit. Tanpa menghiraukan dua orang yang dibawanya ini, Pendekar Pulau Neraka itu langsung saja duduk di balik sebongkah batu yang sangat besar, dengan bagian bawahnya terdapat rongga seperti goa. Di tempat ini dia bisa melindungi dirinya dari sengatan matahari.

Sementara Klabang Ireng dan Rara Sawit hanya bisa memandangi saja tanpa dapat mengerti dengan sikap yang ditunjukkan Pendekar Pulau Neraka itu. Tapi mereka mendekati juga, tidak tahan dengan sengatan teriknya cahaya matahari. Rongga batu ini memang cukup besar juga, hingga bisa menampung mereka bertiga, dan melindunginya dari keganasan mentari. Dan untuk beberapa saat lamanya mereka hanya terdiam membisu, tidak ada yang membuka suara lebih dahulu.

“Kalian tunggu di sini,” kata Bayu tiba-tiba sambil bangkit berdiri.

“Mau ke mana kau?” tanya Klabang Ireng. Bayu tidak menjawab. Dia terus saja melangkah sambil menggendong monyet kecil yang selalu mengikutinya ke mana saja dia pergi. Monyet kecil yang bernama Tiren itu langsung nangkring di pundak Pendekar Pulau Neraka ini. Klabang Ireng dan Rara Sawit hanya saling berpandangan saja. Dan membiarkan Bayu pergi meninggalkannya. Bayu terus berjalan semakin jauh, hingga akhirnya tidak terlihat lagi.

“Aku jadi curiga. Jangan-jangan dia hanya mau menjebak kita berdua di sini,” kata Rara Sawit setengah bergumam, seakan dia bicara pada diri sendiri.

“Kenapa kau menaruh curiga padanya, Rara Sawit? Sudah jelas dia Pendekar Pulau Neraka,” kata Klabang Ireng, tidak setuju dengan pendapat Rara Sawit.

“Kelakuannya aneh,” sahut Rara Sawit.
“Aneh bagaimana?”
“Apa kau tidak merasa, untuk apa dia meninggalkan kita berdua di tempat seperti ini...?” Rara Sawit malah balik bertanya.

Klabang Ireng jadi terdiam. Memang kalau dirasakan, tingkah Pendekar Pulau Neraka yang selalu membawa monyet kecilnya itu sangat dirasakan aneh. Tapi Klabang Ireng ingat pada pesan gurunya, untuk pergi ke Bukit Sampan, dan menjumpai Pendekar Pulau Neraka. Pendekar itu yang akan menunjukkan di mana dia bisa mendapatkan Pedang Dewa Naga. Yang menurut gurunya adalah pedang warisan dari leluhurnya.

Sedangkan di sebelahnya kini, ada seorang gadis cantik yang juga mengakui kalau Pedang Dewa Naga adalah miliknya. Kebimbangan mulai menyelimuti hati Klabang Ireng. Sebentar dia mengarahkan pandangannya ke arah mana tadi Bayu pergi. Dan sebentar kemudian dia menatap pada Rara Sawit.

Sedangkan Rara Sawit sendiri kelihatan mengarahkan pandangannya lurus ke depan. Merayapi batu-batuan yang ada di sekitarnya. Perlahan Klabang Ireng bangkit berdiri. Rara Sawit langsung menatapnya dengan sinar mata yang cukup tajam.

“Kau juga mau pergi, Klabang Ireng?” tanya Kara Sawit menegur.

“Aku mau cari pedang itu di sekitar sini,” sahut Klabang Ireng seraya melangkah keluar dari relung batu ini.

“Kau percaya kalau ini tempatnya?” tanya Rara Sawit lagi, sambil ikut berdiri dan melangkah keluar mengikuti Klabang Ireng. Namun Klabang Ireng tidak menjawab sedikit pun juga. Dia terus saja berjalan perlahan-lahan dengan mata menatap tajam beredar berkeliling. Sedangkan Rara Sawit hanya berdiri diam saja memandangi pemuda itu. Entah apa yang ada di dalam pikiran gadis ini.

Sementara Klabang Ireng terus melangkah sambil meneliti setiap jengkal yang dilewatinya. Namun tidak ada tanda-tanda di mana adanya Pedang Dewa Naga berada. Lama juga Klabang Ireng mencari, sampai matahari condong ke arah barat. Sedangkan Rara Sawit sama sekali tak berusaha mencari. Dia menunggu saja dari dalam relung batu yang melindungi dirinya dari sengatakan matahari. Tapi matanya tidak lepas dari Klabang Ireng. Dan disaat matahari hampir tenggelam di ufuk barat, mendadak saja tanah berbatu yang ada di sekitar mereka bergetar bagai diguncang gempa.

“Hup!”

Rara Sawit cepat-cepat melompat keluar dari relung batu ini. Sedangkan Klabang Ireng juga langsung berlari mendekati gadis ini. Dan belum lagi hilang rasa keterkejutan mereka, tiba-tiba terlihat secercah cahaya kilat di angkasa. Kilatan cahaya terang itu meluruk deras ke arah dua anak muda ini.

“Awas...!” seru Klabang Ireng.
“Hup!”
“Hiyaaa...!”

Mereka berlompatan menghindari kilatan cahaya itu. Berjumpalitan di udara, dan kembali menjejakkan kakinya di tanah yang berbatu ini. Saat itu juga kilatan cahaya tadi lenyap bagai tertelan bumi. Dan getaran yang mengguncang tempat itu juga menghilang tidak terasakan lagi.

Keanehan ini membuat Klabang Ireng dan Rara Sawit jadi saling berpandangan. Namun entah kenapa, mereka seperti mempunyai satu ikatan untuk tidak berpisah. Padahal semula mereka saling bermusuhan. Bahkan hampir saling bunuh.

“Hati-hati, Rara Sawit,” ujar Klabang Ireng memperingatkan.

“Iya,” sahut Rara Sawit perlahan.


***


ENAM

Lama juga tidak ada lagi kejadian yang dialami Klabang Ireng dan Rara Sawit. Namun mereka seakan tidak berani untuk meninggalkan tempat ini. Dan sikap mereka masih terus berwaspada. Sementara malam sudah jatuh menyelimuti sekitarnya. Dan kegelapan pun membuat pandangan mereka jadi terhalang. Angin mulai terasa dingin mengusap kulit Namun kedua anak muda itu masih tetap berdiri tegak berdampingan tanpa berbicara sedikit pun juga. Dan pada saat kegelapan benar-benar sudah menyatu dengan alam, tiba-tiba saja Klabang Ireng melihat secercah cahaya dari atas bukit yang berada tidak seberapa jauh dari daerah berbatuan ini.

“Lihat, Rara Sawit..!” seru Klabang Ireng seraya menunjuk ke puncak bukit yang kelihatan gersang dan berbatu ini.

“Mungkinkah ada orang di sana...?” desis Rara Sawit seperti bertanya pada diri sendiri.

“Sebaiknya aku lihat ke sana,” kata Klabang Ireng.

“Tunggu...!” sentak Rara Sawit mencegah, sebelum Klabang Ireng bergerak.

“Lihat, Rara Sawit..!” seru Klabang Ireng seraya menunjuk ke puncak bukit yang kelihatan gersang dan berbatu itu.

“Sebaiknya aku ke sana!”

“Tunggu...!” cegah Rara Sawit “Kau tidak bisa pergi sendirian ke sana!”

“Kenapa? Kau takut aku menguasai pedang itu sendiri...?” terdengar sinis suara Klabang Ireng.

Klabang Ireng berpaling menatap gadis itu.

“Kau tidak bisa pergi sendirian ke sana, Klabang Ireng,” kata Rara Sawit agak datar suaranya.

“Kau takut aku akan menguasai pedang itu sendiri...?” terdengar agak sinis nada suara Klabang Ireng.

“Pedang itu milikku, Klabang Ireng. Ingat, aku yang berhak atas Pedang Dewa Naga.”

“Siapa bilang...? Aku yang lebih berhak memilikinya. Karena aku adalah cucu tunggal Eyang Kampayak.”

“Aku yang berhak!” tukas Rara Sawit mendelik.

“Kita buktikan nanti, siapa yang paling berhak memilikinya. Aku atau kau!” tantang Klabang Ireng.

“Baik, kita buktikan sekarang,” balas Rara Sawit mantap.

Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka langsung saja berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah tinggi tingkatannya, menuju ke arah titik cahaya di atas bukit.

Mereka terus berlari dengan kecepatan tinggi, seakan-akan saling berlomba agar bisa sampai lebih dulu. Tapi tampaknya tingkat ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki sejajar, sehingga mereka terus beriringan tanpa ada yang tertinggal sedikit pun juga.

Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki, sehingga dalam waktu tidak berapa lama mereka sudah sampai di tempat yang mereka tuju. Sebuah bukit yang hanya terdiri dari batu-batu bertumpuk. Kelihatan begitu rapuh sekali bukit ini. Dan cahaya itu terlihat jelas, berada tepat di puncak bukit Begitu terang dan menyilaukan mata. Membuat kedua anak muda ini jadi terperangah memadangnya.

Mereka terus memandang dari kaki bukit batu ini tanpa berkedip sedikit pun juga. Dan untuk beberapa saat lamanya mereka jadi terdiam mematung dengan kepala terdongak memandang cahaya yang memancar dari puncak bukit batu di depannya ini.

“Ayo kita daki bukit ini,” ajak Klabang Ireng begitu tersadar dari keterpanaannya.

“Tunggu dulu...!” sentak Rara Sawit, sambil mencekal pergelangan tangan pemuda itu.

Klabang Ireng yang sudah bersiap hendak melangkah mendaki bukit batu ini, jadi menghentikan keinginannya. Dan dia langsung berpaling menatap pada gadis cantik di sebelahnya. Saat itu Rara Sawit langsung tersadar. Cepat-cepat dia melepaskan cekalan tangannya pada pergelangan tangan pemuda itu. Seketika wajahnya jadi menyemburat merah.

Dan dia mengarahkan pandangannya ke arah lain, seakan ingin menyembunyikan wajahnya yang mendadak jadi terasa panas. Entah kenapa, dadanya terasa begitu cepat berdetak. Dan darahnya juga jadi bergolak tidak seperti biasanya. Namun cepat Rara Sawit bisa menguasai keadaan dirinya yang mendadak saja jadi terasa ganjil ini.

“Kenapa kau selalu mencegahku, Rara Sawit? Apa kau takut aku akan serakah menguasai pedang itu sendiri?” tegur Klabang Ireng dengan nada suara yang terdengar agak dingin.

“Aku.... Aku, aku hanya...,” entah kenapa, Rara Sawit jadi tergagap.

“Dengar, Rara Sawit. Kalau pedang itu sudah kita temukan, di sana nanti kita akan tentukan siapa diantara kita berdua yang berhak memilikinya,” kata Klabang Ireng lagi, tanpa mempedulikan ketergagapan gadis itu.

“Terserah kau, Klabang Ireng,” sambut Rara Sawit sudah mulai agak tenang suaranya kini.

“Tapi kini aku hanya ingin mengatakan, sebaiknya kita pikirkan dulu untuk mendaki bukit ini. Apa kau tidak lihat, bagaimana rapuhnya bukit ini...? Lihat, Klabang Ireng.

Sedikit saja melakukan kesalahan, aku yakin bukit ini akan ambruk mengubur kita semua di sini.” Klabang Ireng jadi tertegun, memandangi bukit batu yang ada di depannya ini. Dan di dalam hatinya dia mengakui kebenaran dari kata-kata Rara Sawit barusan.

Bukit ini memang kelihatan begitu rapuh sekali. Bahkan bukit ini hanya terdiri dari batu-batu yang bertumpuk. Seakan-akan memang sengaja dibuat tangan manusia. Klabang Ireng mengakui didalam hati, perlu pengerahan ilmu meringankan tubuh yang lebih lagi untuk bisa mendaki bukit ini sampai ke puncak. Sedangkan dia menyadari kalau ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sekarang ini, belum cukup untuk mengimbangi kerapuhan bukit ini. Dan yang pasti, beban berat tubuhnya akan membuat batu-batu bukit ini berguguran.

Sesaat Klabang Ireng beralih menatap pada Rara Sawit Seakan dia tengah mengukur tingkat ilmu meringankan tubuh yang dimiliki gadis ini. Dia tahu kalau ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Rara Sawit seimbang dengan yang dimilikinya. Jadi tidak mungkin mereka berdua mendaki bukit batu ini. Terlalu besar resikonya yang harus mereka hadapi nanti.

Sedangkan cahaya terang yang memendar dari atas bukit itu sudah membuat mereka berdua begitu yakin, kalau Pedang Dewa Naga yang selama ini mereka cari ada di sana. Dan cahaya yang memendar terang itu berasal dari Pedang Dewa Naga.

“Kau tunggu saja di sini, Rara Sawit. Kalau aku gagal nanti, kau bisa menggantikanku,” kata Klabang Ireng.

“Tidak...!” sentak Rara Sawit tegas. Klabang Ireng jadi mendelik.

“Kalau kau naik ke bukit ini, aku juga ikuti naik,” kata Rara Sawit lagi tetap tegas.

“Jangan main-main, Rara Sawit. Kau sendiri yang memperingatkan tadi. Tapi sekarang, kau keras kepala mau tetap mendaki bukit ini,” dengus Klabang Ireng jadi sengit.

“Aku yang menentukan dalam hal ini!” bentak Rara Sawit tidak mau kalah sengitnya.

“Heh...?! Memangnya kau ini apaku...?”

“Jangan bilang aku ini apamu, Klabang Ireng. Karena aku yang lebih berhak atas pedang itu daripada kau!”

“Edan...! Kau benar-benar keras kepala, Rara Sawit Menyesal aku bertemu denganmu,” dengus Klabang Ireng menggerutu kesal.

Rara Sawit hanya mencibir saja sambil mendengus kecil. Dia kemudian mengayunkan kakinya beberapa langkah ke depan. Klabang Ireng tidak mau ketinggalan. Dia cepat melangkah hendak menyusul gadis ini. Tapi baru saja kakinya berada di depan satu langkah, Rara Sawit sudah mengibaskan tangannya ke samping.

“Haiiit..!”

Klabang Ireng cepat menghentakkan tangannya, menangkis kibasan tangan gadis ini. Dan kedua tangan itu seketika beradu dengan keras.

Plak!
“Upths!”
“Hap...!”

Mereka sama-sama berlompatan ke samping, hingga terdapat jarak sekitar satu batang tombak. Manis sekali mereka menjejakkan kakinya secara bersamaan di tempat yang berbatu ini. Dan sekarang mereka sama-sama berdiri saling berhadapan, dengan tatapan mata yang tajam, tidak ada yang mau mengalah sedikit pun juga.


***


“Tingkahmu semakin memuakkan saja, Rara Sawit,” desis Klabang Ireng tidak dapat lagi menahan kesabarannya.

“Seharusnya kau mau mengalah sedikit”

“Huh! Enak saja kau bicara!” dengus Rara Sawit mangkel.

“Aku datang jauh-jauh hanya dengan satu tujuan. Tapi kau seenaknya saja bicara. Kau pikir aku tidak mampu menghajarmu...?”

Merah seluruh wajah Klabang Ireng mendengar kata-kata Rara Sawit yang begitu pedas dan menyakitkan. Dia merasa benar-benar direndahkan gadis ini. Memang beberapa waktu yang lalu, Rara Sawit hampir saja memenggal kepalanya, kalau Pendekar Pulau Neraka tidak segera datang dan menyelamatkannya. Tapi waktu itu Klabang Ireng terlalu meremehkan kemampuan gadis ini, sehingga dia lengah, dan pukulan Rara Sawit sampai mendarat di dadanya.

Tapi sekarang, Klabang Ireng tidak bisa lagi memandang sebelah mata pada gadis yang sudah membuat hatinya jengkel ini. Terlebih lagi kata-kata Rara Sawit tadi benar-benar merendahkan dirinya. Jelas sekali dari sikap kata-katanya yang selalu menyakitkan itu, Rara Sawit sudah memandang rendah pada pemuda ini. Dan tadi Rara Sawit sudah membuka tantangan secara terbuka. Pantang bagi Klabang Ireng mendiamkan tantangan itu.

“Seharusnya kau diberi sedikit pelajaran, agar tahu adat,” desis Klabang Ireng dingin menggetarkan.

“O..., jadi kau ingin membuktikan kejantananmu lagi? Baik, jangan menyesal kalau kau mati sebelum melihat Pedang Dewa Naga,” sambut Rara Sawit tidak kalah dinginnya.

“Sombong...!” dengus Klabang Ireng semakin geram hatinya.

“Ayo, aku beri kesempatan kau sepuluh jurus, Klabang Ireng,” tantang Rara Sawit lagi.

Klabang Ireng malah diam saja, dengan pandangan mata yang bersorot sangat tajam, menembus langsung ke bola mata gadis itu. Sementara Rara Sawit jadi tersenyum sinis, membalas tatapan pemuda itu dengan sinar mata yang merendahkan.

“Sebelum sampai sepuluh jurus, kau akan menyembah di telapak kakiku, Perempuan Liar!” desis Klabang Ireng memanasi.

“Keparat! Kau akan menyesal, Klabang Ireng!” geram Rara Sawit langsung memerah wajahnya dikatakan perempuan liar.

Sret!
Cring...!

Rara Sawit langsung saja mencabut pedangnya, dan disilangkan ke depan dada. Sementara Klabang Ireng jadi tersenyum tipis melihat gadis itu sudah langsung mencabut pedangnya. Sedikit dia menggeser seruling hitam yang selalu terselip di balik ikat pinggangnya.

“Ayo! Maju kau, Keparat!” bentak Rara Sawit tidak bisa lagi menahan kegeramannya.

“Kau memberiku sepuluh jurus, Perempuan Liar. Sekarang aku beri kau kesempatan sepuluh jurus,” balas Klabang Ireng semakin memanasi.

“Setan...! Kupenggal kepalamu! Hiyaaat..!”

Rara Sawit tidak bisa lagi menahan kemarahannya. Dia langsung saja melompat sambil berteriak nyaring, menyerang pemuda ini. Pedangnya begi tu cepat sekali dikibaskan mengarah langsung ke batang leher.

Bet!
“Haiiit...!”

Namun hanya dengan sedikit saja Klabang Ireng menarik kepalanya ke belakang, ujung pedang Rara Sawit berkelebat lewat di depan tenggorokannya. Dan pada saat itu juga, Klabang Ireng memberikan satu sodokan cepat ke dada gadis ini.

“Kurang ajar! Hih...!”

Semakin memerah wajah Rara Sawit melihat tangan Klabang Ireng menyorong ke arah dadanya. Sambil membentak, dia memutar pedangnya ke depan dada. Namun dengan gerakan berputar yang begitu indah sekali Klabang Ireng bisa menghindari tangannya dari tebasan pedang gadis ini. Dan sambil meliukkan tubuhnya, dia melepaskan satu tendangan keras menggeledek yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.

“Yeaaah...!”
“Upths!”

Rara Sawit cepat melompat ke belakang, menghindari tendangan dahsyat pemuda ini. Namun belum juga kedua kakinya menjejak tanah, Klabang Ireng sudah melompat dengan kecepatan yang sangat tinggi sambil mencabut senjatanya yang berbentuk sebuah seruling hitam pekat. Dan bagai kilat dia mengebutkan seruling hitam itu ke pinggang gadis ini.

Wut!
“Aikh...?!”

Rara Sawit jadi tersentak kaget setengah mati. Cepat-cepat dia memutar tubuhnya, hingga sabetan seruling hitam itu tidak sampai menyambar pinggangnya. Dan dengan manis sekali dia berhasil menjejakkan kakinya di tanah. Tepat pada saat itu, Klabang Ireng memberikan satu pukulan keras dengan tangan kirinya sambil berteriak lantang menggelegar.

“Hiyaaa...!”
“Hup!”

Rara Sawit kembali harus melentingkan tubuhnya ke udara, menghindari pukulan Klabang Ireng yang begitu dahsyat bagai halilintar ini. Klabang Ireng tidak bisa lagi menahan arus pukulannya yang begitu deras. Sehingga kepalan tangannya menghantam dinding kaki bukit batu ini. Dan....

Glarrr...!

Satu ledakan yang begitu keras seketika terdengar menggelegar. Dan seketika itu juga bukit batu yang menjadi persoalan mereka ini bergetar hebat bagai diguncang gempa. Suara gemuruh terdengar membuat kedua orang yang sedang bertarung ini jadi tersentak kaget setengah mati. Namun Rara Sawit yang sudah begitu marah, tidak mau mempedulikan bukit batu yang bergetar bagai hendak runtuh ini. Dia langsung saja melesat begitu cepat sekali dengan ujung pedang tertuju lurus kedepan dada lawannya ini sambil berteriak nyaring melengking.

“Hiyaaat..!”
“Hup! Yeaaah...!”

Klabang Ireng yang sempat melihat bukit batu itu akan runtuh, cepat-cepat dia melentingkan tubuhnya ke belakang, dan terus berputaran beberapa kali di udara sebelah serangan Rara Sawit sampai.

“Hup! Yeaaah...!”

Klabang Ireng kembali melesat begitu kakinya menjejak batu. Dan kembali dia berputaran di udara, bergerak cepat ke belakang. Sementara Rara Sawit yang belum menyadari keadaan, terus mengejar pemuda ini sambil mengecutkan pedangnya dengan cepat Gadis itu terus berlompatan mengejar lawannya yang terus saja berjumpalitan di udara sambil bergerak ke belakang.

“Hap!”

Begitu merasa jaraknya sudah cukup jauh dari bukit batu yang terus bergetar runtuh ini, Klabang Ireng tidak lagi melentingkan tubuhnya ke belakang. Dan dia berdiri tegak memperhatikan Rara Sawit yang terus meluruk deras, bagai anak panah dilepaskan dari busurnya.

“Rara Sawit, hentikan semua ini...!” seru Klabang Ireng mencoba memperingati.

“Kau harus mampus, Klabang Ireng Keparat! Hiyaaa...!”


***


Rara Sawit sama sekali tidak mempedulikan peringatan Klabang Ireng. Dan dia terus saja menyerang pemuda ini dengan jurus pedangnya yang begitu cepat dan dahsyat. Klabang Ireng terpaksa harus berjumpalitan kembali di udara, menghindari setiap serangan Rara Sawit yang begitu dahsyat itu.

Tapi Klabang Ireng bergerak semakin menjauhi bukit batu. Dan sama sekali dia tidak melancarkan serangan balasan. Sikap Klabang Ireng yang sebenarnya ingin menyelamatkan diri mereka berdua dari kehancuran bukit batu itu, malah diartikan Rara Sawit lain. Gadis ini merasa pemuda itu sudah merendahkannya dengan terus menghindar tanpa mau membalas serangannya sedikit pun juga. Bahkan Klabang Ireng terus bergerak mundur dengan berjumpalitan di udara.

“Pengecut kau, Klabang Ireng! Hiyaaat..!” teriak Rara Sawit sengit.

Bentakan Rara Sawit begitu keras menggelegar. Dan seketika itu juga dia mengebutkan pedangnya tepat mengarah ke dada dan leher Klabang Ireng dengan kecepatan yang sangat tinggi, hingga bentuk pedangnya lenyap, dan yang terlihat hanya kilatan cahaya putih keperakan menyambar ke arah dada dan leher dalam waktu yang hampir bersamaan.

“Upths...!”

Klabang Ireng berhasil menghindari tebasan pedang itu pada lehernya. Namun saat pedang itu berputar mengarah ke dada, sama sekali tidak ada kesempatan bagi Klabang Ireng untuk berkelit menghindarinya. Dan ujung pedang itu siap merobek dadanya. Namun disaat ujung pedang itu seulung rambut lagi menyentuh dada Klabang Ireng, mendadak saja secercah cahaya putih keperakan berkelebat dengan kecepatan bagai kilat menyambar Rara Sawit ini. Dan....

Trang!
“Ikh...?!”

Rara Sawit jadi terpekik kaget, begitu merasakan pedangnya bagai membentur sebongkah batu cadas yang teramat keras. Hingga dia terpaksa harus menarik pulang serangannya, dan melompat ke belakang sejauh lima langkah sambil berputaran di udara dua kali. Tampak bibirnya meringis begitu kakinya menjejak tanah berbatu yang bergetaran seperti diguncang gempa sejak tadi ini.

Benturan cahaya putih keperakan bagai kilat pada pedangnya tadi, membuat seluruh persendian tulang kanan gadis ini jadi terasa nyeri. Dan belum lagi Rara Sawit bisa menyadari apa yang telah terjadi tadi, terlihat sebuah bayangan kuning berkelebat begitu cepat sekali, hingga tahu-tahu di antara dia dan Klabang Ireng sudah berdiri seorang pemuda berbaju kulit harimau, dengan seekor monyet kecil berbulu hitam pekat berada di pundaknya.

“Bayu...,” desis Rara Sawit langsung mengenali.

Pemuda yang baru datang itu memang Bayu, yang lebih dikenal dengan nama sebutan Pendekar Pulau Neraka. Dia berdiri tepat di antara Rara Sawit dan Klabang Ireng yang sama-sama menghunus senjatanya ini.

“Untuk apa kalian bertarung?” terasa begitu dingin sekali nada suara Bayu.

Tidak ada seorang pun yang menjawab pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu. Entah kenapa, mulut mereka seakan terkunci, melihat wajah angker yang ditunjukkan Bayu. Seakan-akan Pendekar Pulau Neraka itu memiliki satu kekuatan aneh yang membuat mereka tidak ada yang bisa mengeluarkan suara.

“Masukkan senjata kalian!” bentak Bayu memerintah.

Kembali Klabang Ireng dan Rara Sawit tidak bisa membantah perintah Pendekar Pulau Neraka itu. Tanpa diperintah dua kali, mereka menyimpan senjatanya masing-masing. Seperti anak kecil yang ketahuan nyolong mangga, mereka tertunduk tidak berani membalas tatapan mata Pendekar Pulau Neraka yang begitu tajam memandangi mereka berdua bergantian.

“Apa yang kalian perebutkan?” tanya Bayu lagi.

Tidak ada seorang pun yang menjawab. Dan perlahan mereka sama-sama mengangkat kepalanya, lalu secara bersamaan pula mereka menatap ke arah puncak bukit batu yang kini sudah tenang kembali. Tampak tidak sedikit batu-batu dari bukit itu yang berguguran. Dan di atas puncak bukit itu, masih terlihat semburat cahaya terang benderang, yang membuat daerah sekitarnya jadi terang, seperti tersiram cahaya rembulan.

Padahal malam ini di langit tidak terlihat bulan sedikit pun juga. Bahkan tidak satu pun bintang menggantung di sana. Langit kelihatan begitu kelam pekat, tersaput awan hitam yang tebal bergulung-gulung. Membuat udara disekitar bukit batu itu jadi terasa dingin menggigilkan tubuh.

“Kalian tahu, apa yang ada di sana?” tanya Bayu lagi, langsung bisa mengetahui arti pandangan mata Klabang Ireng dan Rara Sawit yang tertuju ke puncak bukit.

Kembali tidak ada seorang pun yang menjawab. Mereka malah mengarahkan matanya, memandang Pendekar Pulau Neraka ini. Sementara Bayu menurunkan Tiren dari pundaknya. Dan monyet kecil itu mencerecet ribut, begitu terlepas dari pundak pemuda ini. Seakan dia tidak senang menginjak bebatuan yang terasa begitu dingin membekukan tulang.

“Kau ke sana, Tiren,” pinta Bayu seraya menunjuk ke puncak bukit.

“Nguk!”

Tanpa diminta dua kali, monyet kecil berbulu hitam pekat itu langsung berlarian berjingkrakan menuju ke bukit batu. Dengan gerakan yang begitu lincah dan ringan sekali, Tiren mendaki bukit batu itu dengan cepat. Sementara Klabang Ireng dan Rara Sawit hanya bisa memandangi saja tanpa dapat mengeluarkan suara lagi. Dan Bayu terus memandangi monyet kecil itu sampai menghilang dari pandangan matanya.

Dan setelah beberapa saat menunggu, tiba-tiba saja cahaya terang yang ada di puncak bukit itu padam. Klabang Ireng dan Rara Sawit jadi terkejut. Meskipun mulut mereka tenganga, tapi tidak ada suara sedikit pun juga yang terdengar. Sedangkan Bayu sudah mengayunkan kakinya mendekati bukit batu itu. Dia baru berhenti melangkah setelah berada di kaki bukit ini. Dan pada saat itu, Tiren terlihat berlompatan dengan gerakan yang begitu ringan sekali menuruni lereng bukit.

“Nguk! Craaagkh...!”

Jeritan monyet kecil berbulu hitam yang nyaring itu, sempat membuat telinga mereka yang mendengar jadi terasa sakit. Sementara Klabang Ireng dan Rara Sawit menunggu dengan segudang pertanyaan berkecamuk di dalam kepalanya, Tiren sudah dekat dengan Pendekar Pulau Neraka. Dan pemuda berbaju kulit harimau itu menjulurkan tangannya. Tiren langsung melompat naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka itu melalui tangan yang menjulur padanya.

“Kalian lihat ini...!” seru Bayu seraya memutar tubuhnya berbalik.

“Hah...?!”
“Oh...?!”

Klabang Ireng dan Rara Sawit jadi terkejut setengah mati, dengan bola mata terbeliak dan mulut ternganga lebar. Seakan mereka tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Padahal tadi mereka tidak melihat Tiren membawanya, tapi sekarang di tangan Pendekar Pulau Neraka itu...

“Pedang Dewa Naga...,” desis Klabang Ireng, hampir tidak terdengar suaranya.

Sementara Bayu sudah melangkah perlahan menghampiri mereka. Dia berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar empat langkah lagi. Dia memandangi Klabang Ireng dan Rara Sawit bergantian. Sedangkan yang dipandangi malah memperhatikan pedang bersarung putih keperakan, dengan bagian gagangnya berbentuk kepala seekor naga berwarna putih keperakan juga. Tampak pada bagian pangkal sarung pedang dekat gagang, menyemburat cahaya keperakan.

Pedang yang berada di dalam genggaman tangan Pendekar Pulau Neraka itu memang Pedang Dewa Naga yang menjadi permasalahan selama ini. Pedang yang membuat tokoh-tokoh persilatan selalu memimpikan untuk memilikinya. Bahkan menjadi rebutan antara Klabang Ireng dan Rara Sawit yang sama-sama mengakui menjadi pewaris yang sah dari pedang itu.

“Sekarang kalian sudah tahu pedang ini memang ada. Hanya satu orang yang berhak memiliki pedang ini. Dan pada tubuh orang itu harus mengalir darah dari pembuatnya. Aku tidak tahu, siapa diantara kalian berdua yang berhak memilikinya. Tapi aku mendapat amanat untuk menyerahkan pedang ini diantara kalian berdua,” kata Bayu dengan nada suara yang tegas.

“Aku siap bertarung sampai mati untuk membuktikannya, Bayu,” sambut Rara Sawit mantap.

“Bukan itu yang kumaksudkan,” kata Bayu seraya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

“Lalu, bagaimana kau akan membuktikan siapa yang paling berhak?” tanya Klabang Ireng ingin tahu.

Bayu tidak menjawab. Dia hanya tersenyum saja mendengar pertanyaan Klabang Ireng barusan. Seakan pertanyaan itu membuat hatinya tergelitik. Senyum Pendekar Pulau Neraka itu membuat Klabang Ireng dan Rara Sawit jadi saling melemparkan pandangan. Kemudian mereka memandangi Pendekar Pulau Neraka itu dengan sinar mata yang sukar untuk diartikan.

“Katakan, Bayu. Siapa di antara kami yang berhak memilikinya,” desak Rara Sawit tidak sabar lagi.

Dan belum juga Bayu menjawab pertanyaan gadis itu, tiba-tiba saja terdengar suara keras yang menggelegar mengejutkan.

“Kalian semua tidak berhak...!”
“Heh...?!”
“Oh...?!”

Belum lagi hilang suara yang keras menggelegar itu, muncul seorang wanita setengah baya, yang diiringi sekitar tiga puluh orang gadis-gadis cantik membawa tombak dari arah selatan. Dan tidak lama kemudian, dari arah timur muncul juga seorang laki-laki tua berjubah putih yang berjalan menggunakan tongkat bersama sekitar dua puluh orang pemuda-pemuda bersenjata golok.

“Dewi Pedang Maut..,” desis Rara Sawit.

“Ki Jamparut..,” desis Klabang Ireng hampir bersamaan.

Mereka memang Ki Jamparut dan Dewi Pedang Maut. Mereka datang tepat di saat Pendekar Pulau Neraka sudah mendapatkan Pedang Dewa Naga. Dan ini sebentar saja tempat ini sudah dipenuhi dua kekuatan yang cukup besar itu. Bayu bergegas melangkah lebih dekat dengan kedua anak muda ini. Seakan dia ingin melindungi mereka berdua dengan Pedang Dewa Naga yang berada di tangannya kini.

“Serahkan pedang itu padaku, Pendekar Pulau Neraka!” bentak Dewi Pedang Maut lantang.

“Untuk apa aku menyerahkan pedang ini padamu, Nisanak? Bukan kau yang berhak memilikinya,” sahut Bayu tegas.

“Siapa saja berhak memilikinya, Bocah!” bentak Ki Jamparut menyelak lantang.

“Ada yang lebih berhak daripada kalian,” sahut Bayu tetap tegas. “Dan aku tahu siapa yang berhak memiliki pedang ini.”

“Huh! Alasan saja...! Aku tahu, kau juga ingin memilikinya,” dengus Dewi Pedang Maut dingin.

Bayu hanya tersenyum saja. Dia melangkah dua tindak ke depan, mendekati wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik ini. Meskipun kata-kata Dewi Pedang Maut tadi begitu menyakitkan telinga, tapi Bayu sama sekali tidak menghiraukan. Bahkan dia kelihatan begitu tenang sekali, menyelipkan Pedang Dewa Naga ke balik ikat pinggangnya. Sedikit Bayu berpaling, menatap pada Klabang Ireng dan Rara Sawit.

“Menyingkirlah kalian. Mereka bukan tandingan kalian berdua,” kata Bayu meminta.

Klabang Ireng dan Rara Sawit saling berpandangan sejenak. Kemudian mereka melangkah ke belakang, menjauhi Pendekar Pulau Neraka itu. Sementara Bayu sendiri menurunkan Tiren dari pundaknya. Monyet kecil berbulu hitam itu seperti tahu akan bahaya yang sedang dihadapi Pendekar Pulau Neraka ini. Dia bergegas berlari menghampiri bongkah batu yang cukup besar di belakang Pendekar Pulau Neraka.

Dengan gerakan yang sangat ringan sekali monyet kecil itu melomapt naik atas batu. Bayu tersenyum melihat Tiren, Klabang Ireng, dan Rara Sawit sudah berada di tempat yang cukup aman.

“Apa yang kalian inginkan sekarang...?” tanya Bayu dengan nada suara yang terdengar dingin menggetarkan.

Dewi Pedang Maut dan Ki Jamparut saling berpandangan beberapa saat, mendengar pertanyaan Bayu yang bernada menantang itu. Mereka sudah sama-sama tahu siapa Pendekar Pulau Neraka ini. Seorang pendekar muda digdaya yang sukar dicari tandingannya. Dan mereka sudah pernah bentrok dengannya. Mereka juga sama-sama menyadari kalau tingkat kepandaian yang dimilikinya belum cukup untuk menandingi Pendekar Pulau Neraka ini.

Tapi mereka begitu menginginkan Pedang Dewa Naga menjadi milikinya. Dengan pedang itu, kekuatan yang mereka miliki akan berlipat ganda.

“Bagaimana, Ki?” tanya Dewi Pedang Maut meminta pendapat.

“Kita serang saja sama-sama. Kalau sudah beres, baru kita tentukan nanti antara kita berdua,” sahut Ki Jamparut mantap.

Dewi Pedang Maut menganggukkan kepalanya sambil mengembangkan senyuman tipis yang terasa begitu pahit sekali. Dia tahu, walaupun sekarang harus bergabung dengan Ki Jamparut, tapi urusan mereka untuk mendapatkan Pedang Dewa Naga nanti juga akan ditentukan dengan darah. Dan sekarang mereka berdua harus menghadapi Pendekar Pulau Neraka bersama-sama.

“Sekarang, Ki...,” ujar Dewi Pedang Maut.

“Ya!” sahut Ki Jamparut mantap. “Gunakan dulu orang-orang kita.”

Dewi Pedang Maut kembali mengangguk. Dan....

“Seraaang...!”

Secara bersamaan, Dewi Pedang Maut dan Ki Jamparut berteriak lantang menggelegar memberikan perintah pada pengikutnya. Dan seketika itu juga, mereka yang sejak tadi berada di belakang kedua orang ini langsung berlarian meluruk ke arah Pendekar Pulau Neraka.


***


Kaki bukit yang berbatu itu seakan dilanda gempa, bergemuruh menggetarkan begitu sekitar lima puluh orang berhamburan, meluruk deras menyerang Pendekar Pulau Neraka dengan berlarian sambil berteriak-teriak membahana. Membuat malam yang pekat dan dingin seketika menjadi hangat dan gegap gempita bagai hendak meruntuhkan bukit batu ini.

Sementara Bayu tetap berdiri tegak dengan kedua tangan terkepal di samping pinggangnya. Tatapan matanya begitu tajam sekali memandang orang-orang yang berhamburan, meluruk deras ke arahnya. Dan begitu mereka dekat, dengan jarak kurang dari satu batang tombak lagi...

“Hiyaaa...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Pulau Neraka itu menghentakkan kedua tangannya tepat ke depan ujung kakinya. Dan seketika itu juga, batu-batu yang ada di depan kakinya berhamburan terhantam kekuatan dahsyat dari pukulan bertenaga dalam tinggi Pendekar Pulau Neraka itu.

Batu-batu yang berhamburan itu langsung menghujani mereka yang berlarian hendak menyerang Pendekar Pulau Neraka ini. Begitu cepatnya kejadian itu, sehingga mereka tidak sempat lagi menyadari. Dan batu-batu itu langsung menghantam batok kepala mereka, hingga membuat jeritan-jeritan melengking seketika terdengar menyayat saling sambut.

Seketika itu juga tubuh-tubuh dengan kepala pecah terhantam batu, jatuh bergelimpangan mengiringi jeritan-jeritan panjang yang melengking menyayat hati. Dan Bayu kembali menghentakkan kedua tangannya dengan jari-jari terkembang ke depan sambil berteriak keras menggelegar menggetarkan jantung.

“Yeaaah...!”
Brolll!

Kembali batu-batu di depan Pendekar Pulau Neraka itu berhamburan terhempas angin pukulan kedua tangan pemuda ini. Dan terus menghujani pengikut Dewi Pedang Maut dan Ki Jamparut. Membuat mereka semakin kelabakan, berhamburan berusaha mencari selamat. Tapi batu-batu yang terlontar itu bagaikan hujan saja datangnya. Hingga mereka tidak punya lagi peluang untuk bisa menyelamatkan diri.

Jerit dan pekikan panjang melengking menyayat, terus terdengar saling sambut disusul dengan berjatuhnya tubuh-tubuh berlumuran darah. Tidak seorang pun yang bisa bangkit lagi begitu tubuhnya menghantam tanah berbatu ini. Darah berhamburan membasahi batu-batu dari kepala yang pecah.

Keadaan ini tentu saja membuat Ki Jamparut dan Dewi Pedang Maut jadi ternganga. Mereka begitu terkejut, tidak menyangka bakal seperti ini jadinya. Dua kekuatan pengikut mereka yang berjumlah lima puluh orang ini, sama sekali tidak berdaya hanya menghadapi satu orang saja. Dan dalam waktu tidak lama, tidak ada seorang pun dari mereka yang masih terlihat berdiri.

Bayu berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sorot matanya terlihat begitu tajam sekali memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih di depannya. Kemudian pandangannya tertuju lurus pada Ki Jamparut dan Dewi Pedang Maut yang masih terbeliak, seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja disaksikannya ini.

Pengikut mereka berdua yang bergabung menjadi satu, dan berjumlah tidak kurang dari lima puluh orang itu, kini tidak satu pun yang terlihat masih bisa berdiri. Mereka sudah bergelimpangan saling tumpang tindih tanpa nyawa lagi melekat di tubuhnya. Hampir semua dari mereka kepalanya pecah berlumuran darah, terhantam batu-batu yang terlempar akibat terkena pukulan dahsyat Pendekar Pulau Neraka.

“Keparat..!” desis Ki Jamparut begitu tersadar dari keterpanaannya. “Kau harus mampus di tanganku, Bocah Setan! Hiyaaat...!”

Sambil berteriak lantang menggelegar, Ki Jam-parut yang sudah hancur kakinya itu langsung saja melompat dengan kecepatan yang luar biasa sekali. Dan tongkat kayunya langsung dikebutkan tepat mengarah ke kepala Pendekar Pulau Neraka ini.

“Mampus kau, Bocah Setan!”
Bet!
“Haiiit...!”

Namun dengan hanya mengegoskan kepalanya saja sedikit, Bayu bisa menghindari kebutan tongkat laki-laki tua ini. Dan tanpa diduga sama sekali, Pendekar Pulau Neraka itu menghentakkan tangan kirinya lurus ke depan, tepat disaat tongkat yang hampir menghantam kepalanya itu lewat ke samping.

“Upths!”

Namun dengan gerakan tubuh berputar di udara, Ki Jamparut berhasil menghindari sodokan tangan kiri Pendekar Pulau Neraka itu. Dan dengan manis sekali dia menjejakkan kakinya di tanah. Tongkatnya langsung menekan tanah berbatu ini, untuk menyangga tubuhnya yang kini hanya berkaki satu.

“Hup! Yeaaah...!”

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ki Jamparut kembali melompat menerjang dengan kebutan tongkat yang begitu cepat disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Laki-laki tua ini mengarahkan kebutan tongkatnya ke kepala Pendekar Pulau Neraka. Tapi kembali kebutan tongkatnya lewat tanpa mendatangkan hasil. Bayu hanya mengegoskan kepalanya saja sedikit, membuat serangan Ki Jamparut tidak mencapai sasaran dengan tepat.

“Hih! Yeaaah...!”
Bet!

Bayu yang tidak mau lagi membuang-buang waktu menghadapi lawannya ini, langsung mengecutkan tangan kanannya ke depan sambil memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri. Dan seketika itu juga Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangannya melesat begitu cepat sekali bagai kilat. Hingga yang terlihat hanya kilatan cahaya putih keperakan.

“Ikh...?!”

Ki Jamparut terpekik kaget setengah mati. Cepat-cepat dia mengebutkan tongkatnya ke depan, sambil melentingkan tubuhnya, berputaran ke belakang. Hingga Cakra Maut lewat menerobos di bawah orang tua berjubah putih ini.

Tapi tanpa diduga sama sekali, Cakra Maut itu langsung berputar balik, tepat disaat Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas. Dan langsung meluruk deras menyerang orang tua berjubah putih ini.

Begitu cepatnya lesatan senjata maut berbentuk lingkaran bersegi enam berwarna putih keperakan ini, hingga membuat kedua bola mata Ki Jamparut jadi terbeliak lebar. Daa...

Bet!
Wusss...!
“Heh...?!”

Ki Jamparut jadi terkejut setengah mati, begitu melihat kebutan tongkatnya tidak sampai menghantam senjata aneh Pendekar Pulau Neraka itu. Bahkan Cakra Maut bisa melesat ke atas menghindari sabetan tongkat orang tua mi. Seperti memiliki mata saja, Cakra Maut langsung meluruk deras. Dan....

Crabbb!
“Aaa...!”


***


Ki Jamparut jadi terpekik keras, begitu Cakra Maut menghantam dadanya, hingga tembus ke punggung. Dan senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu langsung melesat tembus dari punggung orang tua ini. Sementara Bayu sudah mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu.

Tampak Ki Jamparut masih berdiri dengan tubuh limbung dan mata terbeliak lebar, seakan tidak percaya dengan apa yang telah terjadi pada dirinya. Darah mengalir keluar dengan deras sekali dari dada dan punggungnya yang berlubang tertembus Cakra Maut, senjata andalan Pendekar Pulau Neraka tadi. Dan tidak lama Ki Jamparut bertahan berdiri.

Kemudian tubuh tuanya ambruk dengan keras sekali menghantam bebatuan yang berserakan di sekitarnya. Beberapa kali tubuh orang tua berjubah putih itu bergulingan. Kemudian menggelegar, dan mengejang kaku diiringi suara erangan tertahan. Kemudian diam tidak bergerak gerak lagi. Seketika nyawanya melayang dari tubuhnya yang menggeletak dengan darah terus bercucuran deras dari lubang di dada dan punggungnya.

“Phuih!”

Kematian Ki Jamparut membuat Dewi Pedang Maut jadi mendengus geram, menyemburkan ludahnya. Dia memandangi Pendekar Pulau Neraka dengan sinar mata yang begitu tajam menusuk. Seakan dia ingin menghancur-leburkan pemuda berbaju kulit harimau itu dengan cahaya bola matanya yang tajam, dan merah membara bagai sepasang bola api.

Sedangkan yang dipandangi tetap berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Tapi tampaknya Dewi Pedang Maut ragu-ragu untuk menyerang. Cukup lama juga dia memandangi Pendekar Pulau Neraka itu dengan sinar mata yang tajam dan merah membara bagai api berselimut dendam dan kemarahan.

Sedangkan Bayu tetap menunggu dengan sikap yang kelihatan begitu tenang sekali. Bahkan bibirnya terlihat mengulas senyuman tipis. Seakan dia menanti serangan wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik itu.

“Giliranmu sekarang, Nisanak,” ujar Bayu dingin.

“Phuih...!”

Dewi Pedang Maut hanya menyemburkan ludahnya dengan sengit, menyambut tantangan Pendekar Pulau Neraka itu. Tapi dia belum juga mau bergerak. Seakan dia ragu-ragu untuk menyerang Pendekar Pulau Neraka ini. Melihat begitu mudahnya Bayu menghantam lawan-lawannya tadi, gentar juga hati wanita ini. Tapi begitu melihat mayat-mayat pengikutnya yang bergelimpangan di depannya, darahnya kembali bergolak mendidih.

Kini tidak ada lagi orang yang berdiri di belakangnya. Dan hanya dia sendiri yang harus menghadapi Pendekar Pulau Neraka. Dewi Pedang Maut kembali menyemburkan ludahnya, seakan dia ingin memantapkan hatinya menghadapi pemuda berbaju kulihat harimau yang sangat digdaya ini.

Sret!
Cring...!

Dewi Pedang Maut mencabut pedangnya, dan langsung disilangkan ke depan dada. Memang tidak ada pilihan lain lagi baginya, kecuali menghadapi Pendekar Pulau Neraka ini seorang diri. Walaupun didalam hatinya menyadari, kepandaian yang dimilikinya belum cukup untuk menghadapi Pendekar Pulau Neraka.

Tapi Dewi Pedang Maut tidak punya pilihan lagi. Dan dia tidak mau kehilangan muka. Baginya lebih baik mati dalam pertarungan, daripada harus meninggalkan tempat ini tanpa memiliki muka lagi.

“Sekarang kita bertarung sampai salah satu di antara kita ada yang mati, Pendekar Pulau Neraka,” terdengar begitu dingin sekali nada suara Dewi Pedang Maut.

“Hm,” Bayu hanya menggumam saja sedikit.

"Tahan seranganku, Pendekar Pulau Neraka

Hiyaaat..!”
“Hap!”

Bayu cepat melompat ke kanan, begitu Dewi Pedang Maut melesat menyerangnya dengan ujung pedang tertuju lurus ke arah dadanya. Sedikit Bayu memiringkan tubuhnya, hingga pedang wanita itu lewat di depan dadanya. Dan pada saat itu juga Bayu menghantamkan telapak tangannya ke pergelangan tangan Dewi Pedang Maut.

“Haiiit..!”

Tapi Dewi Pedang Maut sudah lebih cepat memutar tangan kanannya yang menggenggam pedang itu. Dan langsung dikibaskan ke arah batang leher Pendekar Pulau Neraka ini. Begitu cepatnya tebasan berputar yang dilakukan Dewi Pedang Maut, sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi Bayu untuk berkelit menghindarinya dalam jarak yang begitu rapat ini. Dan....


***


DELAPAN

“Haps!”

Cepat Bayu mengangkat tangan kanannya ke depan lehernya, hingga mata pedang wanita itu menghantam tepat di pergelangan tangan kanan yang terdapat senjata berupa cakra bersegi enam.

Tring!
“Ikh...?!”

Dewi Pedang Maut jadi terpekik kaget, begitu mata pedangnya membentur senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu. Cepat dia melompat ke belakang, sambil memutar tubuhnya dua kali. Begitu kerasnya benturan dua senjata itu, hingga terlihat percikan bunga api yang menyebar ke segala arah. Sedangkan Bayu sendiri tetap berdiri tegak, tidak bergeming sedikit pun juga.

“Hap!”

Manis sekali Dewi Pedang Maut menjejakkan kakinya ke tanah sekitar satu batang tombak jauhnya dari Pendekar Pulau Neraka. Dengan bibir meringis, dia mengurut tangan kanannya yang sempat nyeri akibat benturan yang keras tadi dengan senjata aneh Pendekar Pulau Neraka yang melekat di pergelangan tangan kanannya itu.

“Keparat kau, Pendekar Pulau Neraka...,” Dewi Pedang Maut geram, dengan sorot mata yang memancar tajam menatap lurus ke bola mata pemuda di depannya ini.

Bayu hanya diam saja dengan bibir menyunggingkan senyuman tipis. Dia menaruh tangan kirinya kedepan dada, seakan ingin memperlihatkan senjata Cakra Maut yang menempel di luar pergelangan tangan kanannya itu. Senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu berkilatan, bagai mengancam jiwa wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik ini.

“Saatnya kau tahan jurus andalanku, Pendekar Pulau Neraka! Hiyaaat..!”

Sambil membentak keras menggelegar, Dewi Pedang Maut melompat dengan kecepatan tinggi menenang Pendekar Pulau Neraka. Pedangnya diangkat lurus mengarah ke dada pemuda itu. Dan begitu dekat, langsung dikibaskan dengan gerakan berputar.

“Haiiit..!”

Namun hanya dengan mengegoskan tubuhnya saja, Bayu bisa menghindari tebasan pedang itu. Dan dia cepat melompat ke belakang, begitu Dewi Pedang Maut tenis mencecar dengan sabetan pedangnya yang begitu cepat bagai kilat. Beberapa kali ujung pedang wanita itu hampir merobek tubuh Bayu. Tapi dengan gerakan yang begitu indah dan cepat luar biasa, Bayu masih bisa menghindarinya.

Serangan-serangan yang dilancarkan Dewi Pedang Maut kali ini memang sangat luar biasa sekali. Permainan pedangnya sungguh cepat luar biasa. Bahkan setiap sabetan pedangnya selalu menimbulkan suara mencicit yang membuat hati jadi tergiris.

Namun Bayu masih menandinginya dengan hanya berputaran dan meliuk-liukkan tubuhnya. Hingga tidak satu pun serangan yang dilancarkan Dewi Pedang Maut berhasil menyentuh tubuhnya.

“Cukup sudah kesempatanmu, Dewi Pedang Maut! Yeaaah...!”

Tiba-tiba saja Bayu membentak nyaring. Dan seketika itu juga tubuhnya melesat tinggi ke atas, lalu bagaikan kilat dia meluruk deras dengan tangan kiri menjulur lurus mengarah ke bagian atas kepala wanita lawannya ini. Begitu cepatnya serangan balik yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka itu, sehingga membuat Dewi Pedang Maut jadi terperangah dibuatnya.

“Hup! Yeaaah...!”

Tapi belum juga serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka itu sampai, Dewi Pedang Maut sudah membanting tubuhnya ke tanah yang berbatu ini, dan bergulingan beberapa kali sebelum dia melompat bangkit berdiri. Tepat di saat Bayu menjejakkan kakinya kembali dengan tegak. Dan saat itu juga Bayu memiringkan tubuhnya ke kiri dengan posisi agak membungkuk. Lalu sambil berteriak keras menggelegar, dia mengebutkan tangan kanannya ke depan.

“Hiyaaa...!”
Wusss!

Cakra Maut yang menempel pada pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu melesat begitu cepat sekali bagai kilat Begitu cepatnya, hingga yang terlihat hanya kilatan cahaya putih keperakan yang meluruk deras mengarah ke dada Dewi Pedang Maut Membuat wanita itu jadi terbeliak lebar. Dan....

Crab!
“Aaa...!”

Tidak ada lagi kesempatan bagi Dewi Pedang Maut untuk menghindarkan diri dari ancaman senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu. Cakra Maut seketika itu juga menghujam begitu dalam sekali ke dada wanita ini. Begitu tingginya pengerahan tenaga dalam yang disalurkan Bayu pada senjatanya ini, membuat senjata berbentuk bintang bersegi enam itu tembus sampai ke punggung.

Darah seketika muncrat berhamburan dari dada dan punggung yang berlubang tertembus Cakra Maut. Dan di saat Bayu mengangkat tangan kanannya ke atas kepala, senjata cakra bersegi enam berwarna putih keperakan itu melesat balik dengan cepat, lalu menempel erat di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka ini.

Sementara Dewi Pedang Maut masih terlihat berdiri dengan tubuh yang sudah limbung. Dia memandangi Bayu dengan sinar mata seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi pada dirinya. Sementara darah semakin banyak mengalir keluar dari dada dan punggungnya yang berlubang, tertembus senjata Pendekar Pulau Neraka itu tadi.

Hanya sebentar saja Dewi Pedang Maut masih bisa bertahan berdiri dengan kedua kakinya. Setelah dia limbung beberapa saat, kemudian mulai ambruk menggelimpang di tanah yang berbatu ini. Begitu keras sekali tubuhnya jatuh bergelimpang, hingga tempat sekitarnya jadi terasa bergetar. Sedikit pun wanita itu tidak bergerak lagi. Nyawanya langsung melayang seketika, begitu tubuhnya menghantam bebatuan ini.

Sementara Bayu sudah memutar tubuhnya berbalik, dan melangkah menghampiri Klabang Ireng dan Rara Sawit yang menunggu bersama Tiren. Monyet kecil berbulu hitam mencerecet ribut. Seakan begitu gembira melihat pemuda ini dapat mengalahkan semua musuh-musuhnya.


***


“Hhh...! Ini terakhir. Aku harus mengurus mereka...,” desah Bayu di dalam hati, begitu berada dekat di depan Klabang Ireng dan Rara Sawit.

Beberapa saat Pendekar Pulau Neraka ini memandangi mereka. Terdengar tarikan napasnya yang panjang, disusul dengan hembusan napas yang keras dan terasa nyeri. Seakan dia begitu sulit untuk menentukan siapa di antara mereka yang lebih berhak memiliki Pedang Dewa Naga yang kini berada di dalam genggaman tangan kanannya ini.

“Kalian masih menginginkan pedang ini?” tanya Bayu dengan nada suara terdengar agak dingin.

Klabang Ireng dan Rara Sawit serentak menganggukkan kepala. Dan Bayu kembali menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat terdengar di telinga. Kembali mereka bertiga terdiam beberapa saat. Sedangkan Tiren yang berada di pundak Pendekar Pulau Neraka itu juga terdiam membisu, tidak memperdengarkan suara sedikit pun juga.

“Kalian tahu, pedang ini selalu membawa malapetaka. Semua orang selalu menginginkannya. Bahkan mereka tidak pedulikan nyawa yang hanya selembar, asalkan bisa memiliki pedang ini,” kata Bayu lagi memberi tahu.

“Aku harus membawa pulang pedang itu untuk guruku, Bayu,” ujar Rara Sawit.

“Aku juga,” selak Klabang Ireng.

“Guruku sedang sakit. Hanya pedang itu yang dapat menyembuhkannya,” kata Rara Sawit tidak mau kalah.

“Ayahku juga sangat membutuhkannya. Kelumpuhannya bisa terobati dengan pedang itu. Dan lagi, ayahku keturunan langsung dari Eyang Rampayak. Jadi aku yang lebih berhak membawa pedang itu daripada kau,” sentak Klabang Ireng seraya menatap tajam gadis cantik di sebelahnya.

“Siapa pun dari kalian berhak memiliki pedang ini,” kata Bayu menengahi. “Karena kalian adalah cucu-cucu dari Eyang Rampayak.”

“Apa kau bilang...?!”

Klabang Ireng dan Rara Sawit jadi terbeliak lebar mendengar kata-kata yang diucapkan Pendekar Pulau Neraka barusan. Sungguh mereka tidak bisa mempercayai, kalau mereka sebenarnya satu keturunan. Dan berhak memiliki Pedang Dewa Naga yang selama ini mereka perebutkan. Bahkan menjadi rebutan orang-orang rimba persilatan.

Mereka memandangi Pendekar Pulau Neraka itu, seakan masih belum bisa mempercayai dengan apa yang barusan didengarnya.

“Sekarang aku serahkan pedang ini pada kalian berdua. Tapi ingat... Kalian harus menjaganya hati-hati. Jangan sampai jatuh ke tangan orang lain yang tidak bertanggung jawab,” kata Bayu seraya mengulurkan pedang itu.

Tapi kali ini tidak ada yang mau mengambilnya. Klabang Ireng dan Rara Sawit hanya memandangi saja, seperti tidak percaya kalau pedang itu diserahkan begitu saja pada mereka berdua. Bayu yang melihat tidak ada seorang pun yang mau mengambil, meletakkan pedang itu di depan mereka. Lalu tanpa bicara lagi dia memutar tubuhnya, dan terus saja berjalan meninggalkan kedua anak muda ini.

Sementara Rara Sawit dan Klabang Ireng masih tetap diam, tidak tahu kalau Pendekar Pulau Neraka sudah meninggalkan mereka. Mereka terus memandangi pedang yang tergeletak di depannya. Tidak ada yang mau mengambilnya lebih dahulu.

Padahal sebelum ini mereka sampai bertarung, bahkan hampir di antara mereka menjadi korban. Tapi sekarang..., setelah pedang itu ada di depan mereka, tidak ada yang mau mengambilnya lebih dulu. Seakan kata-kata Bayu yang mengejutkan bagai petir menyambar di tengah malam buta ini, membuat mereka jadi seperti patung.

Dan setelah begitu lama mereka diam mematung, sampai Bayu tidak terlihat lagi, baru mereka menggerakkan kepalanya. Lalu saling berpandangan, dengan sinar mata yang begitu sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata.

“Kau percaya apa katanya, tadi?” tanya Rara Sawit pelan suaranya.

“Ayahku saja mempercayainya. Aku juga harus percaya pada apa yang dikatakannya,” sahut Klabang Ireng.

“Tapi dari mana kita bisa bersaudara?” tanya Rara Sawit.

“Sebaiknya kita tanyakan saja pada orang tuaku, juga pada gurumu,” sahut Klabang Ireng.

“Ya, itu memang satu-satunya cara,” sambut Rara Sawit seraya mengangkat bahunya.

Mereka kembali terdiam dan memandangi Pedang Dewa Naga yang masih tergeletak di depan mereka berdua. Rara Sawit bergerak maju mendekati, dan mengambil pedang itu dengan hati-hati. Sebentar dia memandangi, kemudian menghampiri Klabang Ireng. Kemudian menyodorkan pedang itu pada pemuda ini.

“Aku rasa, aku harus mempercayakan pedang itu kau pegang, Klabang Ireng,” ujar Rara Sawit.

“Kau percaya padaku?” Klabang Ireng kelihatan ragu-ragu.

“Kau begitu percaya pada apa yang dikatakan Pendekar Pulau Neraka. Dan aku juga tidak punya pilihan lain lagi. Aku percaya kau akan berlaku jujur dan ksatria,” sahut Rara Sawit seraya tersenyum.

“Baiklah, Rara Sawit Akan kupegang kepercayaan mu,” sambut Klabang Ireng, seraya menerima pedang itu.

Sebentar Klabang Ireng memandangi pedang di tangannya ini. Kemudian dia menggantungkan di pinggang. Entah kenapa, Rara Sawit jadi tersenyum melihat Klabang Ireng menggantungkan pedang di pinggangnya. Dan memang dengan Pedang Dewa Naga, Klabang Ireng kelihatan semakin bertambah gagah dan tampan.

“Ayo, Rara Sawit,” ajak Klabang Ireng.
“Ke mana tujuan kita?” tanya Rara Sawit.

“Menemui gurumu lebih dulu. Lalu baru kita sama-sama menemui ayahku.”

Rara Sawit mengangguk menyetujui. Dan mereka kemudian melangkah tanpa banyak bicara lagi, meninggalkan tempat yang begitu penting dan berharga bagi mereka berdua. Mereka pergi untuk mencari tahu dari mana asal-usul mereka berdua, hingga Pendekar Pulau Neraka mengatakan kalau mereka bersaudara. Dan yang tahu memang orangtua mereka sendiri.


SELESAI

Episode Selanjutnya TUMBAL AJIAN SESAT

Sengketa Sepasang Pendekar

Cerita silat serial pendekar pulau neraka

Episode Sengketa Sepasang Pendekar


Karya Teguh S
Gambar: Tony G
Penerbit pertama Cintamedia, Jakarta



cersil serial pendekar pulau neraka episode sengketa sepasang pendekar



SATU

Angin bertiup begitu kencang menyebarkan udara dingin yang menusuk hingga ke tulang. Malam ini langit begitu pekat sekali, tanpa terlihat setitik pun cahaya bintang maupun rembulan. Malam yang membuat semua orang di Desa Harugating tidak ada yang mau keluar dari dalam rumahnya. Membuat desa yang cukup besar dan padat penduduknya itu jadi sunyi senyap, bagaikan sebuah desa mati yang ditinggalkan penghuninya. Hanya kerlip cahaya lampu pelita di tiap beranda depan rumah saja, yang menandakan desa itu masih berpenduduk.

Dalam kesunyian yang begitu mencekam, terlihat seseorang berjalan perlahan-lahan memasuki Desa Harugaling. Sulit untuk mengenali wajahnya. Karena dia mengenakan tudung dari bambu yang sudah usang dan cukup besar hingga menutupi hampir seluruh wajahnya. Hanya pada bagian bibir dan dagu saja yang terlihat. Pakaian yang dikenakan cukup ketat, berwarna hitam, hingga membuatnya hampir tersamar di dalam kegelapan malam yang sangat pekat ini.

Sebatang tongkat dari bambu berwarna kuning, diayun-ayunkan di tangan kanannya. Sesekali dia mengecutkan tongkatnya ke samping seperti ada sesuatu yang mengganggu langkah kakinya dari samping kanannya. Dan setelah dia berada cukup dalam di Desa Harugaling ini, ayunan langkah kakinya terhenti. Beberapa saat dia berdiri tegak dengan kepala sedikit terangkat. Hingga terlihat sebentuk hidung yang kecil, namun sangat indah mencuat ke atas.

“Hm....”

Sedikit dia menggumam kecil sambil menggerakkan kepalanya ke kiri dan kanan, seakan dia hendak merayapi sekitarnya dari balik tudung bambu yang menutupi hampir seluruh wajahnya ini. Tidak seorang pun yang terlihat di sekitarnya. Hanya rumah-rumah saja yang terdiam membisu.

“Sunyi sekali desa ini. Seperti tengah terjadi sesuatu...,” gumamnya lagi dengan suara perlahan menduga-duga.

Beberapa saat dia masih terdiam memandangi sekelilingnya yang sunyi seperti tidak berpenghuni ini. Dari suaranya, sudah bisa dipastikan kalau dia seorang laki-laki. Dan ketika kakinya baru saja terayun hendak melangkah, tiba-tiba saja telinganya yang tajam mendengar suatu suara. Dan belum juga dia bisa mengetahui suara apa yang didengarnya barusan, mendadak saja...

Wusss!
“Heh...?! Hup!”

Untung dia cepat melompat ke atas, hingga terjangan sebatang anak panah yang meluruk cepat bagai kilat itu bisa dihindari. Dan anak panah itu lewat di bawah telapak kakinya, langsung menancap pada daun pintu sebuah rumah yang berada tepat di belakang laki-laki berhidung bambu ini. Dengan gerakan yang sangat indah sekali, dia menjejakkan kakinya di tanah tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga. Tepat pada saat itu, terlihat sekitar sepuluh orang laki-laki berusia muda berlompatan dari balik dinding dan atap rumah yang ada di sekitar laki-laki berhidung bambu itu berada.
Sebentar saja dia sudah terkepung tidak lebih dari sepuluh orang yang semuanya sudah menghunus golok di tangan kanan. Belum juga lama laki-laki berhidung bambu itu terkurung, muncul seorang laki-laki berusia lanjut, mengenakan baju jubah putih panjang yang bersih, dengan sebatang tongkat kayu tergenggam di tangan kanan menyangga tubuhnya yang sudah kelihatan agak membungkuk.

Walaupun usianya sudah lanjut dan rambutnya sudah memutih semua, tapi dari caranya berjalan begitu ringan, sudah bisa dipastikan kalau orang tua ini memiliki kepandaian yang tidak bisa dipandang dengan sebelah bola mata. Dia baru berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan laki-laki berhidung bambu ini.

“Siapa kau, Kisanak? Ada perlu apa kau datang malam-malam ke desa ini?” tegur orang tua berjubah putih itu langsung.

“Aku hanya seorang pengembara yang kebetulan lewat di desa ini, Ki,” sahut laki-laki bertudung bambu itu kalem. “Apakah kedatanganku mengganggu ketenangan desamu ini...?”

“Lalu apa tujuanmu datang ke sini?” tanya orang tua berjubah putih itu lagi, masih dengan nada suara yang dingin dan datar menggetarkan hati.

“Hanya sekadar singgah.”

“Anak muda, bukannya aku tidak menginginkan kau berada di desa ini. Tapi untuk kebaikanmu sendiri, sebaiknya kau segera tinggalkan desa ini sekarang juga,” kata orang tua berjubah putih itu tegas.

Kalau saja tidak terlindung oleh tudung bambu yang berukuran cukup lebar itu, pasti sudah terlihat kening laki-laki bertudung bambu ini berkenyit mendengar kata-kata yang tegas dan jelas bernada mengusir itu. Dan untuk beberapa saat mereka semua jadi terdiam. Sementara orang tua berjubah putih yang tampaknya mempunyai pengaruh di Desa Harugaling ini memandangi orang bertudung itu dengan sinar mata yang sangat tajam menusuk.

Tapi yang dipandangi seperti tidak peduli. Seakan-akan tidak ada sedikit pun bahaya mengancam di sekitarnya. Padahal semua orang yang mengepungnya ini sudah siap menyerang dengan senjata terhunus di tangan masing-masing.

“Kenapa kau diam...? Cepatlah kau tinggalkan desa ini sebelum terjadi sesuatu yang merugikan pada dirimu!” sentak orang tua berjubah putih agak lantang suaranya.

“Tidak mungkin aku kembali lagi, Ki. Aku harus melalui desa ini,” sahut orang bertudung bambu itu mantap.

“Hhh! Bandel juga kau rupanya. Apa yang kau andalkan, heh...?”

“Hm....”

Orang bertudung bambu itu hanya menggumam saja sedikit Jelas dia sudah tahu kalau laki-laki tua berjubah putih ini sudah gusar dengan sikapnya yang tetap tidak mau meninggalkan Desa Harugaling ini.

Sementara anak-anak muda yang mengepungnya sudah kelihatan tidak sabaran lagi.

“Maaf, aku harus melanjutkan perjalananku,” ucap orang bertudung bambu itu.

Dan belum lagi kata-katanya menghilang dari pendengaran, dia sudah melesat dengan cepat sekali ke atas. Tapi pada saat yang bersamaan, laki-laki tua berjubah putih sudah melesat mengejarnya sambil membabatkan tongkat kayunya dengan kecepatan bagai kilat, disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi.

Wut!
“Upts...!”

Kibasan tongkat kayu itu berhasil dihindari dengan memutar tubuhnya ke belakang. Dan orang berhidung bambu ini kembali menjejakkan kakinya di tanah. Tepat bersamaan dengan mendaratnya orang tua berjubah putih.


***


Perlahan orang bertudung bambu melepaskan tudung yang menutupi hampir seluruh wajahnya itu. Dan dalam siraman cahaya pelita yang redup dari rumah penduduk di sekitarnya, terlihat seraut wajah tampan, dengan kumis tipis menghiasi bawah hidungnya. Dia langsung menatap orang tua berjubah putih di depannya dengan sinar mata yang teramat tajam sekali. Seakan dia tidak senang perjalanannya terhambat seperti ini.

“Ki, aku Klabang Ireng tidak suka diperlakukan seperti ini. Aku hanya sekadar lewat, tapi kenapa kau seperti memusuhiku...? Apa maumu sebenarnya, Ki...?” terdengar agak lantang suara anak muda yang mengenalkan dirinya bernama Klabang Ireng ini.

“Kalau kau mau menuruti kata-kataku, kau tidak akan mendapatkan kesulitan di sini. Anak Muda. Siapa pun kau, desa ini tertutup bagi pendatang. Walaupun hanya sekadar lewat,” sahut orang tua berjubah putih itu tegas.

“Kau kepala desa ini?” tanya Klabang Ireng agak sinis nada suaranya.

“Benar. Aku Ki Jamparut, Kepala Desa Harugaling ini. Dan aku yang berkuasa di desa ini. Jadi kau tidak perlu membuat ribut di sini,” sahut orang tua berjubah putih yang ternyata Kepala Desa Harugaling, dan bernama Ki Jamparut ini tegas.

“Kenapa kau tutup desa ini?” tanya Klabang Ireng ingin tahu.

“Semua orang yang datang ke sini hanya membuat susah penduduk saja. Dan aku berhak untuk menutup desa ini dari pendatang mana pun juga, termasuk kau...!”

“Baik, aku akan pergi dari sini. Tapi aku tidak mau kembali ke jalan semula,” kata Klabang Ireng tegas.

“Kau tidak bisa melewati desa ini sebelum melangkahi mayatku, Anak Muda!”

“Hm....”

Lagi-lagi Klabang Ireng menggumam perlahan. Jelas sekali dari raut wajahnya kalau dia sudah tidak sabar lagi meladeni sikap Kepala Desa Harugaling ini. Dan gerahamnya sudah bergemeletuk menahan kegeraman. Sementara Ki Jamparut sendiri sudah memberikan isyarat pada anak-anak muda di sekelilingnya untuk siap menerima perintah.

“Maaf, aku tidak punya waktu berdebat denganmu, Ki,” ujar Klabang Ireng dingin.

Dan setelah dia berkata begitu, langsung saja dia melesat dengan cepat, berusaha melewati hadangan Ki Jamparut di depannya. Tapi pada saat yang bersamaan, Ki Jamparut sudah menggeser kakinya sedikit ke kiri sambil mengecutkan tongkat kayunya ke depan, dengan disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi.

Bet!
“Haiiit..!”

Tanpa diduga sama sekali, Klabang Ireng melentingkan tubuhnya ke atas, hingga tongkat Ki Jamparut hanya lewat di bawah kedua telapak kakinya. Dan langsung dia meluruk deras melewati kepala orang tua itu.

“Hadang dia...!” seru Ki Jamparut memberi perintah.

“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
“Setan! Hih...!”

Klabang Ireng benar-benar sudah tidak dapat lagi mengendalikan dirinya. Begitu dua orang anak muda menyerangnya dengan berlompatan sambil mengebutkan goloknya, dengan cepat sekali dia memutar tubuhnya di udara, lalu bagaikan kilat tangan kanannya mengibas dua kali. Dan saat itu juga....

Slap!
Wusss!
“Akh!”
“Aaa...!”

Dua kali jeritan seketika terdengar bersamaan dengan terlihatnya dua buah benda berwarna hitam pekat yang langsung menghantam dada dua orang pemuda yang menyerang Klabang Ireng. Dan kedua anak muda itu langsung terperai ke belakang. Lalu keras sekali tubuh mereka jatuh menghantam tanah.

Tampak dada mereka berlubang seperti tertembus senjata hingga ke punggungnya. Dan darah seketika memuncrat keluar dengan deras. Hanya beberapa saat saja dua orang anak muda itu menggeliat sambil mengerang meregang nyawa. Kemudian mengejang kaku, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati! Seketika nyawa mereka lenyap dari tubuhnya.

“Keparat..! Kau bunuh muridku! Kau harus mampus, Setan Keparat! Hiyaaat.!”

Sambil membentak nyaring, Ki Jamparut langsung saja melompat dengan kecepatan bagai kilat menyerang anak muda yang kini sudah melepaskan tudung bambunya itu. Dan tepat di saat Ki Jamparut mengebutkan tongkatnya ke arah kepala, Klabang Ireng mengibaskan tangan kirinya yang memegang tudung bambu.

Plak!
“Ikh...?!”

Ki Jamparut jadi terpekik kaget, begitu tongkatnya membentur tudung bambu anak muda itu. Dia merasakan seperti tersengat ribuan lebah berbisa tangannya. Cepat dia melompat ke belakang sambil memutar tubuhnya beberapa kali. Dan begitu manis sekali kedua kakinya kembali menjejak tanah.

Sementara Klabang Ireng berdiri tegak sambil menaruh tudung bambunya di dada, dengan tangan kiri memeganginya.

“Kau punya isi juga rupanya, heh...? Bagus! Aku tidak akan sungkan-sungkan lagi menghadapimu!” desis Ki Jamparut dingin menggetarkan.

“Hm....”

Tapi Klabang Ireng hanya menggumam saja sedikit Dan dia tetap berdiri tegak seperti menanti serangan Kepala Desa Harugaling itu datang. Walaupun perhatiannya tertuju pada Ki Jamparut, tapi dia juga memperhatikan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Dan tidak jauh di depannya, menggeletak dua orang yang berlubang dadanya, terkena senjata rahasia yang dilepaskan Klabang Ireng tadi.

“Kau harus bayar nyawa muridku, Setan Keparat! Hiyaaat..!”

Sambil berteriak lantang menggelepar, Ki Jamparut melompat dengan kecepatan bagai kilat menerjang Klabang Ireng. Dan tongkatnya langsung dikebutkan beberapa kali, mencecar bagian-bagian tubuh lawannya yang mematikan.

“Hup! Yeaaah...!”

Tapi memang Klabang Ireng bukanlah anak muda sembarangan. Walaupun dia diserang begitu gencar dan dengan kecepatan yang tinggi, tapi sedikit pun tidak tersirat kegentaran di wajahnya. Meskipun dia menyadari dirinya sudah terkepung dengan rapat Klabang Ireng berjumpalitan menghindari setiap serangan yang dilancarkan Ki Jamparut.


***


Beberapa kali sabetan tongkat Ki Jamparut berhasil ditangkis Klabang Ireng dengan tudung bambunya. Dan setiap kali terjadi benturan, Ki Jamparut selalu merasakan tangannya bergetar. Dan tulang-tulangnya jadi terasa nyeri seperti mau rontok. Tapi Ki Jamparut tidak menghiraukan lagi. Dia terus menyerang dengan jurus-jurus tingkat tinggi yang begitu cepat dan sangat berbahaya.

Dan dalam waktu tidak beberapa lama saja, Ki Jamparut sudah menghabiskan lebih dari lima jurus. Tapi belum satu pun serangannya yang berhasil masuk kesasaran. Bahkan sudah beberapa kali pula dia harus berjumpalitan menghindari serangan balasan yang dilancarkan lawannya ini. Walaupun senjatanya hanya berupa tudung bambu, tapi Klabang Ireng sama sekali tidak kelihatan terdesak.

Bahkan setelah beberapa jurus lagi berlalu, terlihat Ki Jamparut tidak sanggup lagi melakukan serangan. Bahkan kini dia harus berjumpalitan menghindari setiap serangan yang dilancarkan Klabang Ireng.

“Hiyaaa...!”

Tiba-tiba saja Klabang Ireng berteriak keras menggelegar. Dan pada saat itu juga dia melentingkan tubuhnya sedikit ke atas. Lalu bagaikan kilat kaki kanannya menghentak ke depan. Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan Klabang Ireng, sehingga Ki Jamparut tidak dapat lagi menghidar. Terlebih tubuhnya dalam keadaan miring, baru saja menghindari serangan pukulan lawannya ini. Dan....

Diegkh!
“Akh...!”

Ki Jamparut jadi menjerit, begitu terasakan tendangan yang dilancarkan Klabang Ireng tepat menghantam dadanya. Dan membuatnya terpental sejauh dua batang tombak ke belakang.

Bruk!

Keras sekali tubuh orang tua itu jatuh menghantam tanah. Sementara Klabang Ireng sudah kembali berdiri tegak pada kedua kakinya yang kokoh.

“Seraaang...! Hoek!”

Ki Jamparut memutahkan darah kental agak kehitaman begitu berteriak memberi perintah pada murid-muridnya yang berjumlah cukup banyak ini.

“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”

Tanpa menunggu perintah dua kali, anak-anak muda yang memang sejak tadi sudah tidak sabaran itu langsung saja berlompatan menyerang Klabang Ireng dari segala arah. Namun Klabang Ireng memang bukanlah orang sembarangan. Menghadapi keroyokan berjumlah banyak seperti ini, dia langsung melentingkan tubuhnya ke atas. Dan dengan kecepatan bagai kilat, dia melesat berusaha untuk meninggalkan lawan-lawannya ini.

Tapi belum juga keinginannya terlaksana, Ki Jamparut sudah melemparkan beberapa batu kerikil yang dipungutnya dari tanah, disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah tinggi tingkatannya.

“Hih!”
“Haiiit..!”

Klabang Ireng terpaksa harus menggagalkan keinginannya, cepat dia mengecutkan tudung bambunya beberapa kali menangkis lemparan batu-batu kerikil yang meluruk begitu deras sekali bagai anak panah mengincar tubuhnya.

“Hiyaaa...!”
“Hiyaaa...!”

Baru saja Klabang Ireng berhasil menangkis semua batu kerikil yang dilontarkan Ki Jamparut, dua orang anak muda yang sejak tadi mengepungnya berlompatan dengan cepat sekali sambil membabatkan goloknya bergantian.

“Hup!”

Klabang Ireng cepat meliukkan tubuhnya, menghindari setiap serangan yang datang mengancamnya. Dan begitu berhasil terlepas dari sambaran golok kedua lawannya, dia langsung saja memutar tubuhnya sambil memberikan dua kali pukulan yang beruntun dengan kecepatan bagai kilat.

Begitu cepatnya serangan balasan yang diberikan Klabang Ireng, hingga membuat dua orang anak murid Ki Jamparut itu tidak dapat lagi menghindarinya. Dan pukulan yang dilepaskan Klabang Ireng tepat menghantam dada mereka, hingga membuatnya terpental cukup jauh ke belakang.

Dan hanya sebentar saja mereka menggeliat Kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi dengan dada menghitam hangus seperti terbakar. Ki Jamparut jadi tidak dapat lagi menahan kemarahannya, melihat empat orang muridnya sudah menggeletak tidak bernyawa lagi hanya dalam waktu begitu singkat.

“Hup! Hiyaaat..!”

Sambil berteriak nyaring, Ki Jamparut kembali melesat dengan kecepatan yang sangat tinggi sekali menerjang ke arah Klabang Ireng. Dan kembali dia mengecutkan tongkatnya secara beruntun. Tapi gerakan yang dilakukan Klabang Ireng memang sungguh luar biasa sekali. Tubuhnya seperti belut, begitu sulit untuk dijamah. Walaupun begitu, dia agak kewalahan juga menghadapi serangan Ki Jamparut kali ini, yang dibantu oleh murid-muridnya.

Dan serangan yang datang kali ini begitu gencar sekali, datang dari segala penjuru mata angin. Membuat Klabang Ireng terpaksa harus berjumpalitan, meliuk-liukkan tubuhnya menghindari setiap serangan yang datang tanpa dapat lagi memberikan serangan balasan yang berarti.

“Phuih! Bisa terlambat nanti kalau mengurusi mereka terus. Aku harus bisa pergi dari sini, huh...!” Klabang Ireng jadi mendengus geram sendiri di dalam hati.

Dan dia terus mencari celah untuk bisa meloloskan diri. Baru saja dia berpikir begitu, kesempatan langsung datang. Klabang Ireng tidak menyia-nyiakan begitu saja.

“Hup! Yeaaah...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, dia langsung melesat cepat menerobos daerah yang dianggapnya lemah. Saat itu juga tudung bambunya dikibaskan.

Wut!

Dua orang murid Ki Jamparut terpaksa harus berlompatan ke belakang, menghindari terjangan Klabang Ireng. Dan ini memberikan kesempatan lebih besar lagi bagi Klabang Ireng untuk bisa lolos dari keadaan yang tidak menguntungkan ini. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia cepat melesat dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah tinggi tingkatannya.

“Hiyaaa...!”

"Tahan dia...!” seru Ki Jamparut begitu melihat lawannya berhasil membuka kepungan.

Tapi teriakan perintah Ki Jamparut sudah terlambat sedikit Klabang Ireng sudah berlari dengan kecepatan yang sangat tinggi sekali, menghindari kepungan anak-anak muda Desa Harugaling. Dan kesempatan ini tidak dibuang begitu saja. Klabang Ireng terus berlari dengan kecepatan seperti angin.

Hingga dalam waktu sebentar saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tidak terlihat lagi. Ki Jamparut jadi kesal melihat lawannya lolos begitu saja. Dia menghentakkan tongkatnya ke tanah.

“Kalian urus yang mati. Aku akan mengejar iblis keparat itu!” perintah Ki Jamparut pada anak-anak muda muridnya itu.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ki Jamparut langsung melesat, berlari cepat dengan mengerahkan ilmu meringkan tubuhnya yang sudah tinggi tingkatannya, hingga dalam sekejapan mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan. Sementara murid-muridnya membereskan teman-temannya yang tewas.


***


DUA

Klabang Ireng terus berlari cepat dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah tinggi tingkatannya, menembus malam yang begitu pekat, tanpa sedikit pun tersiram cahaya bintang maupun bulan. Dia bani berhenti berlari setelah dirasakan cukup jauh meninggalkan Desa Harugaling. Perlahan dia memutar tubuhnya berbalik, memandang ke arah desa yang masih kelihatan sunyi seperti tidak berpenghuni.

Hanya kerlip lampu pelita saja yang menandakan desa itu masih dihuni penududuknya. Klabang Ireng baru menyadari kalau dia sekarang berada di lereng sebuah bukit yang cukup lebat
ditumbuhi pepohonan. Dan udara di lereng bukit ini terasa begitu dingin, membuat tubuhnya bergidik menggigil. Klabang Ireng memakai lagi tudung bambunya. Hingga wajahnya tampak kembali tertutup tudung bambu yang cukup lebar ini. Sebentar dia mengedarkan pandangannya berkeliling.

“Hm..., kalau tidak salah ini yang dinamakan Bukit Sampan,” gumam Klabang Ireng perlahan, bicara pada diri sendiri.

Kembali dia mengedarkan pandangannya berkeliling. Tidak ada yang bisa dilihat, di dalam kegelapan yang teramat pekat ini. Hanya pepohonan saja yang terlihat menghitam. Tapi dari lereng ini, dia bisa melihat jelas bentuk bukit yang memang mirip sekali dengan sebuah sampan terbalik. Tidak salah kalau bukit ini dinamakan Bukit Sampan.

“Aku sudah dekat. Mudah-mudahan saja tidak ada lagi rintangan yang menghalangiku,” gumam Klabang Ireng lagi.

Dia kembali memutar tubuhnya, dan terus melangkah mendaki lereng bukit ini. Tidak terlalu sulit baginya untuk berjalan terus di malam hari. Walau sedikit pun tidak ada penerangan yang menuntun langkahnya. Klabang Ireng terus berjalan menembus pepohonan yang semakin dirasakan lebat

“Heh...?!”

Tiba-tiba saja Klabang Ireng menghentikan langkahnya dengan terkejut. Dari balik tudung bambunya, dia melihat seberkas cahaya seperti api di depannya. Sesaat Klabang Ireng termenung diam. Kemudian dia kembali mengayunkan kakinya, melangkah dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi tingkatannya. Hingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya terayun melangkah.

“Hm, siapa dia...?” gumam Klabang Ireng, bertanya-tanya di dalam hati begitu dia melihat seseorang duduk di depan api unggun membelakanginya.

Klabang Ireng mengamat-amati orang itu. Keningnya jadi berkerut dengan kelopak mata menyipit. Sulit untuk bisa mengenalinya. Orang itu membelakangi, sehingga sukar untuk bisa melihat wajahnya. Tapi dia yakin kalau dilihat dari bentuk tubuhnya yang ramping, orang itu pasti wanita.

“Akan kucoba menegurnya. Mudah mudahan saja dia tidak memusuhiku seperti yang lainnya,” gumam Klabang Ireng di dalam hati lagi.

Setelah mengambil keputusan, Klabang Ireng melangkah keluar dari balik pohon tempatnya bersembunyi tadi. Sengaja dia tidak mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sehingga baru saja dia berjalan beberapa langkah, wanita yang duduk di depan api unggun itu langsung berpaling.

Tampaknya dia terkejut begitu melihat ada orang mendatanginya. Cepat dia berdiri sambil memutar tubuhnya berbalik. Dan tangan kirinya langsung menggenggam gagang pedang yang berada di pinggang. Dari balik tudung bambunya yang lebar, Klabang Ireng agak tercengang juga melihat raut wajah wanita itu.

Sungguh dia tidak menduga kalau wanita itu begitu cantik bagai bidadari yang baru turun di kayangan. Hingga membuatnya tertegun beberapa saat, memandangi wajah yang begitu cantik.

“Maaf, kalau kedatanganku mengejutkanmu, Nisanak,” ucap Klabang Ireng dengan nada suara yang dibuat sopan.

“Siapa kau?” bentak gadis yang mengenakan baju warna hijau muda cukup ketat itu.

“Aku Klabang Ireng,” sahut Klabang Ireng memperkenalkan diri, sambil melepaskan tudung bambu yang menutupi hampir seluruh wajahnya ini.

Dan dia melangkah beberapa tindak ke depan, hingga jaraknya dengan gadis itu tinggal sekitar enam langkah lagi. Senyumnya terkembang begitu manis sekali. Tapi gadis cantik itu malah memasang wajah angker. Dia mendelik, seakan tidak menyukai senyuman ramah yang diberikan Klabang Ireng.

“Mau apa kau datang ke Bukit Sampan ini?” tanya gadis itu lagi.

“Nisanak, sebelum aku jawab pertanyaanmu, boleh aku tahu siapa namamu...?” ujar Klabang Ireng dengan sikap yang ramah dan senyuman manis terkembang di bibir.

“Rara Sawit,” sahut gadis itu memperkenalkan namanya.

“Nama yang cantik, secantik orangnya,” puji Klabang Ireng tulus.

“Jangan memujiku, Kisanak,” dengus Rara Sawit ketus. “Sekarang jawab pertanyaanku. Mau apa kau datang ke Bukit Sampan ini?”

“Hanya sekadar lewat,” sahut Klabang Ireng kalem.

“Hhh...!

Rara Sawit jadi tersenyum sinis mendengar jawaban yang tidak diinginkannya itu. Dia menggeser kakinya sedikit ke kanan, sehingga cahaya api unggun yang dibuatnya bisa menerangi wajah Klabang Ireng yang kini tidak tertutup tudung bambunya. Wajah tampan itu sempat juga membuat Rara Sawit jadi agak tertegun.

Tapi dia cepat bisa menguasai diri. Tidak ingin langsung terpikat dengan ketampanan laki-laki ini.

“Kau pasti datang ke sini sama seperti yang lainnya. Kau juga mau mengakui pewaris Pedang Dewa Naga, heh...?” terasa begitu sinis sekali nada suara Rara Sawit.


***


Klabang Ireng tampak terkejut setengah mati, ketika Rara Sawit menyebut Pedang Dewa Naga. Begitu terkejutnya, sampai dia terlompat ke belakang dua langkah. Sedangkan Rara Sawit semakin sinis senyumannya. Seakan dia begitu yakin kalau dugaannya tidak meleset sedikit pun juga.

“Nisanak, siapa kau sebenarnya? Dari mana kau tahu tentang Pedang Dewa Naga...?” tanya Klabang Ireng masih dengan keterkejutan yang amat sangat.

“Hhh! Sudah kuduga, kau datang ke bukit ini juga dengan maksud yang sama seperti yang lainnya,” dengus Rara Sawit semakin sinis, tanpa menjawab sedikit pun pertanyaan yang dilontarkan Klabang Ireng.

Sementara Klabang Ireng yang sudah bisa menguasai rasa keterkejutannya tadi, langsung berkerenyut keningnya mendengar kata-kata yang begitu sinis dari gadis cantik ini. Seakan dia tidak percaya dengan pendengarannya sendiri. Seorang gadis yang begitu cantik bagai bidadari seperti ini bisa melontarkan kata-kata begitu sinis dan tidak sedap didengar telinga.

Tapi bukan kesinisan gadis itu yang membuat Klabang Ireng jadi terpaku. Sungguh dia tidak mengetahui kalau kabar tentang Pedang Dewa Naga sudah tersebar begitu luas. Bahkan selama dalam perjalanannya ke Bukit Sampan ini, sudah beberapa kali dia terpaksa harus bertarung dengan orang-orang yang mencoba mengurangi persaingan dalam memperebutkan Pedang Dewa Naga.

Klabang Ireng sendiri tidak tahu, dari mana orang-orang persilatan itu bisa mengetahui tentang Pedang Dewa Naga yang sebenarnya memang sedang dicarinya. Dan sekarang, dia harus berhadapan dengan seorang gadis cantik yang kelihatannya sama sekali tidak menunjukkan rasa persahabatan dan keramah-tamahannya.

Klabang Ireng merasa kalau dia tidak mungkin bisa mengajak damai gadis ini, kalau tahu dia sendiri sebenarnya memang sedang mencari pedang pusaka itu. Tapi keterkejutan dan pertanyaan tadi, sudah membuat yakin kalau Klabang Ireng juga sedang mencari Pedang Dewa Naga.

“Dengar, Kisanak. Kalau kau menginginkan Pedang Dewa Naga, langkahi dulu mayatku,” kata Rara Sawit tegas.

Namun Klabang Ireng hanya diam saja, memandangi gadis itu dengan sinar mata yang cukup tajam. Seakan dia tengah mengukur sampai di mana tingkat kepandaian yang dimiliki gadis cantik itu.

“Kenapa kau diam, heh...? Ayo, majulah kalau kau memang ingin pedang itu!” bentak Rara Sawit garang.

“Aku tidak tahu siapa kau, Nisanak. Dan aku tidak pernah ada urusan denganmu. Sebaiknya tidak perlu di antara kita saling menumpahkan darah,” kata Klabang Ireng mencoba untuk mendinginkan suasana yang sudah terasa menghangat ini.

“Phuih! Kau takut, heh...?” ejek Rara Sawit mencibir.

“Aku bukannya takut, tapi enggan berselisih dengan wanita,” sahut Klabang Ireng kalem.

“Keparat..! Kau merendahkan aku, heh...?” geram Rara Sawit langsung memuncak amarahnya.

Sret!
Cring...!

Tanpa menunggu lagi, Rara Sawit langsung saja mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang. Saat itu juga kedua bola mata Klabang Ireng jadi terbeliak lebar, melihat pedang yang sudah tergenggam di tangan gadis itu. Sebuah pedang yang berkilatan, memancarkan cahaya putih keperakan. Dan dari ujung pedang itu, mengepul asap tipis yang hampir tidak terlihat dengan pandangan mata biasa.

“Nisanak, siapa kau sebenarnya?” tanya Klabang Ireng.

“Aku Rara Sawit, murid tunggal Eyang Sangga Langit,” sahut Rara Sawit agak lantang suaranya.

“Hm..., jadi kau murid pembunuh keparat itu rupanya,” desis Klabang Ireng jadi dingin suaranya.

“Setan! Berani kau menghina guruku, ya...? Kau harus tebus dengan nyawamu!

Hiyaaat..!”

Rara Sawit tidak dapat lagi menahan kemarahannya, begitu telinganya mendengar nama gurunya disebut sebagai pembunuh keparat. Dan tanpa menghiraukan lagi siapa pemuda itu, Rara Sawit langsung melompat menerjang sambil berteriak nyaring.

Bet!
“Upths!”

Klabang Ireng cepat melompat ke belakang, begitu pedang yang bercahaya putih keperakan itu berkelebat begitu cepat sekali bagai kilat. Dan hampir saja ujung pedang itu merobek tenggorokannya, kalau saja dia tidak cepat menarik kepalanya ke belakang.

Namun belum juga Klabang Ireng bisa menegakkan tubuhnya kembali, Rara Sawit sudah memberikan satu tendangan menggeledek yang sangat dahsyat dengan tubuh dimiringkan ke kiri.

“Hap!”

Tidak ada lagi kesempatan bagi Klabang Ireng untuk menghindari tendangan gadis ini. Cepat dia mengecutkan tudung bambunya ke depan. Dan....

Prak!
“Heh...?!”

Klabang Ireng jadi terperanjat setengah mati, begitu melihat tudung bambunya seketika hancur terkena tendangan kaki kanan gadis itu. Cepat dia melentingkan tubuhnya ke belakang, sambil berputaran beberapa kali. Dan manis sekali kedua kakinya menjejak tanah berumput yang cukup tebal ini. Sementara Rara Sawit sudah siap hendak menyerang lagi.

“Hiyaaa...!”

Sambil berteriak lantang menggelegar, Rara Sawit kembali melompat sambil memutar pedangnya dengan kecepatan bagai kilat. Dan Klabang Ireng terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan dahsyat gadis ini. Begitu cepatnya putaran pedang itu, hingga bentuknya lenyap dari pandanggan mata. Dan yang terlihat hanya kilatan-kilatan cahaya putih keperakan, seperti mengurung seluruh tubuh Klabang Ireng.

“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”

Rara Sawit semakin meningkatkan serangannya, setelah beberapa jurus berlalu belum juga dia bisa mendesak lawannya ini. Namun memang Klabang Ireng bukanlah lawan yang ringan bagi gadis ini. Walaupun tidak menggunakan senjata, Klabang Ireng teramat sulit untuk dikalahkan. Bahkan sedikit pun Rara Sawit tidak bisa mendesaknya. Bahkan sudah beberapa kali Klabang Ireng membuatnya jungkir balik, saat melancarkan serangan balasan.

Dan dalam waktu tidak berapa lama saja, pertarungan itu sudah berjalan hampir sepuluh jurus. Tapi belum juga Rara Sawit bisa mendesak. Sedangkan pedangnya benar-benar sudah lenyap bentuknya. Dan hanya kilatan-kilatan cahaya saja yang terlihat berkelebat di sekitar tubuh Klabang Ireng yang terus berjumpalitan menghindarinya.

“Hup! Yeaaah...!”

Tiba-tiba saja Klabang Ireng melentingkan tubuhnya tinggi-tinggi ke atas. Tepat di saat Rara Sawit membabatkan pedangnya mengarah ke kaki. Dan pedang yang memancarkan cahaya putih keperakan itu lewat sedikit saja di bawah telapak kaki Klabang Ireng.

“Hap!”

Beberapa kali Klabang Ireng berputaran di udara. Dan dengan cepat sekali dia meluruk ke bawah, dengan jari-jari tangan kanan terkembang bagai hendak mencengkeram batok kepala gadis cantik lawannya ini.

“Haiiit...!”
Wuk!

Namun Rara Sawit juga bukan wanita sembarangan yang bisa dengan mudah dikecohkan begitu saja. Tepat di saat jari-jari tangan kanan Klabang Ireng yang terkembang kaku seperti cakar burung elang itu dekat, secepat kilat Rara Sawit mengebut-kan pedangnya ke atas kepala.

“Upths...!”

Cepat-cepat Klabang Ireng menarik tangannya, dan langsung dia memutar tubuhnya ke atas menghindari tebasan pedang gadis ini. Setelah berputaran beberapa kali di udara, Klabang Ireng kembali menjejakkan kakinya di tanah. Namun pada saat itu juga, Rara Sawit sudah memutar pedangnya dan langsung dibabatkan ke pinggang pemuda lawannya ini sambil berteriak keras menggelegar bagai guntur membelah angkasa.

“Yeaaah...!”
Wusss!
“Hap!”


***


Klabang Ireng terpaksa harus melompat ke belakang, sambil memutar tubuhnya satu kali di udara, menghindari serangan yang dilancarkan gadis cantik lawannya ini. Namun Rara Sawit tidak mau melepaskannya begitu saja. Baru saja Klabang Ireng bisa menjejakkan kakinya di tanah, Rara Sawit sudah kembali melancarkan serangan.

Namun kali ini Klabang Ireng tidak mau lagi tanggung-tanggung menghadapi gadis ini. Begitu pedang yang berkilatan putih keperakan itu berkelebat mengarah ke tenggorokan, dengan cepat dia mencabut seruling hitamnya yang sejak tadi terselip di pinggang. Dan langsung dikebutkan untuk menangkis tebasan pedang gadis ini.

Trang!

Kilatan bunga api memijar, begitu dua benda yang digunakan sebagai senjata beradu keras di udara. Tampak mereka sama-sama berlompatan ke belakang, dan berputaran beberapa kali di udara sebelum menjejak tanah.

“Gila, gadis ini...! Kuat sekali pengerahan tenaga dalamnya,” dengus Klabang Ireng dalam hati.

Memang Klabang Ireng merasakan tangannya agak bergetar juga ketika suling hitamnya berbenturan dengan pedang Rara Sawit. Tapi perasaan itu juga ada di dalam diri Rara Sawit. Dia juga merasakan tangannya jadi bergetar. Dan hampir saja pedangnya tadi terlepas, kalau tidak segera melentingkan tubuhnya berputaran ke belakang.

Semula Rara Sawit mengira kalau hanya dia saja yang berbuat begitu. Tapi secara bersamaan, Klabang Ireng juga melentingkan tubuhnya ke belakang, untuk menghindari seruling hitamnya yang terlepas dari tangan. Mereka saling mengakui ketangguhan masing-masing, walaupun hanya terucap di dalam hati.

Dan untuk beberapa saat lamanya mereka hanya berdiri tegak saling berpandangan dengan sinar mata tajam. Seakan-akan mereka tengah mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki masing-masing.

“Akan kucoba dia dengan jurus 'Kupu-kupu Menari Menyengat Kumbang',” gumam Rara Sawit dalam hati.

Setelah mendapat pikiran begitu, Rara Sawit langsung mengembangkan kedua tangannya ke samping. Dan begitu dia mengecutkan tangan kanannya ke depan dengan pedang berputar cepat, tubuhnya langsung melesat dengan kecepatan bagai kilat menerjang Klabang Ireng.

Wut!
“Haiiit...!”

Klabang Ireng cepat meliukkan tubuhnya, menghindari sambaran pedang gadis ini. Dan dia jadi terperangah juga, melihat pedang itu meliuk lentur mengejar gerakan tubuhnya. Cepat-cepat Klabang Ireng melompat ke belakang beberapa langkah. Tapi Rara Sawit tidak mau berhenti begitu saja. Dengan gerakan-gerakan lembut namun sangat cepat, dia terus mencecar pemuda berbaju serba hitam dengan jurus yang dinamakannya 'Kupu-kupu Menari Menyengat Kumbang'.

Dan jurus ini rupanya membuat Klabang Ireng jadi kelabakan juga menghadapinya. Setiap gerakan yang dilakukan Rara Sawit memang begitu lemah dan lembut sekali. Bahkan terlihat seperti sedang menari. Tapi setiap gerakan yang dilakukannya itu mengandung ancaman yang tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Terlebih lagi pedangnya yang bisa meliuk dan sukar sekali untuk diterka arah tujuannya.

Klabang Ireng terpaksa harus berjumpalitan menghindari setiap serangan aneh dari gadis ini. Beberapa kali serangan yang dilancarkan Rara Sawit hampir mengenai tubuhnya. Tapi sampai saat ini dia masih bisa mengatasinya, walaupun begitu kewalahan sekali.

Namun begitu serangan Rara Sawit sempat terhenti sesaat, kesempatan yang sangat sedikit ini tidak disia-siakan begitu saja. Klabang Ireng melentingkan tubuhnya ke atas, dan dengan kecepatan bagai kilat dia meluruk turun sambil melontarkan satu pukulan keras menggeledek dengan tangan kirinya sambil berteriak keras menggelegar.

“Hiyaaa...!”


***


TIGA

Begitu kerasnya pukulan yang dilepaskan Klabang Ireng, hingga menimbulkan hempasan angin yang begitu kuat bagai badai. Membuat Rara Sawit jadi terperangah sesaat. Namun dengan cepat dia meliukkan tubuhnya ke kanan sambil mengecutkan pedangnya ke atas kepala.

Tapi tanpa diduga sama sekali, Klabang Ireng memutar tubuhnya sambil menghentakkan tangan kanannya yang memegang seruling hitam ke arah dada gadis ini. Begitu cepatnya hentakan tangan kanan pemuda berpakaian serba hitam itu, sehingga Rara Sawit tidak sempat lagi berkelit menghindarinya. Dan dia terpaksa harus menangkis kibasan seruling hitam itu dengan tangan kirinya tepat di depan dada.

Plak!
“Akh...!”

Rara Sawit jadi terpekik merasakan sakit yang amat sangat pada pergelangan tangan kirinya yang terhantam seruling hitam Klabang Ireng. Cepat dia menjatuhkan diri, dan bergulingan beberapa kali di tanah, begitu Klabang Ireng terus mencecarnya dengan mengecutkan serulingnya begitu cepat beberapa kali.

“Hup!”

Begitu punya kesempatan, Rara Sawit langsung melompat bangkit berdiri. Tapi pada saat kedua kakinya baru menjejak tanah, Klabang Ireng sudah menyodokkan tangan kirinya ke depan. Dan membuat Rara Sawit jadi terperangah. Cepat dia mengecutkan pedangnya, berusaha menghindari sodokan tangan kiri pemuda itu. Namun tanpa diduga sama sekali, tangan kiri Klabang Ireng bisa meliuk berputar seperti ular. Dan langsung meluruk deras ke dada yang membusung ini. Hingga....

Des!
“Akh...!”

Kembali Rara Sawit terpekik, begitu sodokan tangan kiri Klabang Ireng menghantam tepat pada bagian tengah dadanya. Membuat tubuhnya jadi terdorong ke belakang beberapa langkah. Merah seluruh wajah gadis itu seketika. Betapa tidak, balum pernah ada seorang pun laki-laki yang menyentuh dadanya. Tapi kini, Klabang Ireng berhasil men-
daratkan tangannya di sana. Rara Sawit jadi menggereng marah.

“Keparat...!”

Dan dia langsung mengibaskan pedangnya, membuat beberapa gerakan yang begitu cepat dengan bibir mengeluarkan desisan aneh seperti ular. Begitu cepatnya gerakan pedang itu, sehingga yang terlihat hanya kilatan cahaya putih keperakan, disertai suara mencicit yang menggiriskan hati.

“Aph! Yeaaah...!”

Klabang Ireng terpaksa harus berjumpalitan lagi, menghindari setiap serangan yang dilancarkan Rara Sawit dengan begitu cepat dan memburu bagai badai. Setiap kebutan pedangnya kali ini menyebarkan hawa dingin yang menusuk sampai ke tulang. Ditambah lagi dengan udara malam yang memang sudah terasa begitu dingin membekukan. Membuat gerakan Klabang Ireng terasa jadi terhambat. Dan....

“Jebol dadamu! Yeaaah...!”


Sambil membantak keras menggelegar, Rara Sawit menghentakkan tangan kirinya tepat menghantam ke dada pemuda berbaju hitam pekat ini. Begitu cepatnya pukulan tangan kiri gadis itu, membuat Klabang Ireng tidak sempat lagi berkelit menghindar. Dan pukulan yang keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu tepat menghantam dadanya yang kosong.

Diegkh!
“Akh...!”

Klabang Ireng jadi terpekik, begitu pukulan tangan kiri Rara Sawit menghantam keras dadanya. Membuat tubuhnya jadi terpental cukup jauh ke belakang. Dan keras sekali punggung pemuda itu menghantam pohon hingga hancur berkeping-keping.

Sementara Rara Sawit yang sudah benar-benar marah, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Sambil berteriak keras menggelegar, gadis itu langsung melesat, meluruk deras dengan pedang terhunus ke depan.

“Mampus kau, Setan Keparat! Hiyaaat..!”

Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan Rara Sawit, hingga membuat kedua bola mata Klabang Ireng terbeliak lebar, dalam keadaan diri telentang di antara pecahan kayu pohon yang terlanda tubuhnya tadi.

Dan dia merasa tidak ada lagi kesempatan untuk bisa menyelamatkan selembar nyawanya. Namun begitu ujung pedang Rara Sawit hampir menembus tenggorokan pemuda ini, mendadak saja....

Slap!
Trang!
“Heh...?! Hup!”


***


Rara Sawit jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba terlihat secercah kilatan putih keperakan berkelebat begitu cepat sekali menghantam pedangnya. Cepat dia melompat berputar ke belakang beberapa kali. Dan dengan manis dia menjejakkan kakinya di tanah, sekitar dua batang tombak jauhnya dari Klabang Ireng yang masing menggeletak dengan napas tersengal, akibat hantaman keras bertenaga dalam tinggi di dadanya.

“Keparat...! Siapa berani main curang denganku, heh...?” bentak Rara Sawit geram.

Sunyi...Tidak ada jawaban sedikit pun juga terdengar. Hanya gema suara gadis itu saja yang terdengar. Rara Sawit mengedarkan pandangannya berkeliling. Tidak seorang pun yang terlihat disekitarnya. Hanya Klabang Ireng saja yang ada di antara pecahan kayu pohon.

Pemuda itu masih menggeletak, berusaha mengatur jalan pernapasannya. Tampak perlahan Klabang Ireng mulai bisa bangkit duduk. Dia langsung mengambil sikap bersemadi, duduk bersila dengan kedua telapak tangan menempel erat pada kedua lututnya yang tertekuk.

Dan kedua bola matanya terpejam, sambil mengatur jalan pernapasannya. Dia seperti tidak peduli pada Rara Sawit yang masih geram, akibat serangannya yang mematikan pada Klabang Ireng tadi terhalang sesuatu seperti cahaya putih keperakan.

“Huh! Nyawamu tidak akan lepas dari tanganku, Klabang Ireng...!” desis Rara Sawit dingin.

Tatapan matanya begitu tajam, memandang lurus pada Klabang Ireng yang tengah bersemadi, mencoba menormalkan kembali jalan darah dan per napasannya di dada. Sementara Rara Sawit sudah bersiap kembali melancarkan serangan pada pemuda itu.

“Mampus kau, Klabang Ireng! Hiyaaat..!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Rara Sawit melompat dengan kecepatan bagai kilat, mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Dan pedangnya tertuju lurus ke dada Klabang Ireng yang masih tetap duduk bersila bersemadi.

“Yeaaah...!”
Bet!

Namun begitu Rara Sawit mengebutkan pedangnya ke arah dada Klabang Ireng, kembali terlihat kilatan cahaya putih keperakan berkelebat begitu cepat sekali ke ujung pedang gadis ini.

“Hih...!”

Namun kali ini Rara Sawit rupanya sudah bisa mengetahui akan datang serangan itu. Dan dengan cepat sekali dia memutar pedangnya, lalu sambil membentak keras, dia mengebutkan pedangnya menghantam cahaya putih keperakan yang datang hendak menggagalkan serangannya pada Klabang Ireng. Dan....

Trang!
Siap!

Kilatan cahaya putih keperakan itu terpental balik ke arah semula, begitu terkena sambaran pedang Rara Sawit. Dan pada saat yang bersamaan, Rara Sawit melentingkan tubuhnya ke atas. Lalu cepat sekali dia menukik dengan pedang terhunjam ke arah ubun-ubun kepala Klabang Ireng.

Dan pada saat ujung pedang gadis itu hampir menghunjam di kepala Klabang Ireng, terlihat sebuah bayangan kuning berkelebat begitu cepat sekali bagai kilat, langsung meluruk deras ke arah Rara Sawit yang meluncur dari atas. Seketika itu juga....

“Hup! Yeaaah...!”

Rara Sawit cepat melentingkan tubuhnya kembali ke atas, dan berputaran beberapa kali dengan gerakan yang begitu indah sekali. Sementara bayangan kuning yang datang bagaikan kilat itu lewat hanya sedikit saja di bawah tubuh gadis ini.

“Hap!”

Manis sekali Rara Sawit kembali menjejakkan kakinya di tanah, sekitar dua batang tombak dari Klabang Ireng yang masih tetap duduk bersila melakukan semadi. Bibir gadis itu langsung menyunggingkan senyuman sinis, begitu melihat seorang pemuda lain sudah berada tidak jauh di sebelah kiri Klabang Ireng.

Seorang pemuda dengan wajah tampan, rambut panjang tergelung ke atas, dengan bagian bawahnya dibiarkan terurai melewati bahu. Tidak terlihat satu senjata pun tersandang di tubuhnya. Pemuda itu mengenakan baju dari kulit harimau, dengan dua buah benda bersegi enam berupa cakra putih keperakan menempel pada pergelangan tangan kanannya. Seekor monyet kecil berbulu hitam nangkring di pundak kanannya.

“Akhirnya keluar juga kau, Pengacau Busuk...!” dengus Rara Sawit dingin menggetarkan.

“Tidak pantas kau membunuh orang yang sudah tidak berdaya, Nisanak. Dan lagi, tidak ada urusannya kau membunuhnya,” kata pemuda itu kalem, tanpa menghiraukan dengusan sinis gadis cantik ini.

“Apa pedulimu, heh...? Siapa kau sebenarnya?” bentak Rara Sawit sengit.

“Aku memang, tidak akan peduli, kalau kau mau berlaku secara ksatria, Nisanak. Tapi aku lihat kau ingin membunuhnya secara pengecut Dan itu mendorongku untuk mencegahmu berbuat begitu,” sahut pemuda itu tetap tenang nada suaranya.

“Phuih! Siapa kau...?” dengus Rara Sawit semakin ketus.

“Namaku Bayu,” sahut pemuda itu memperkenalkan diri. Pemuda tampan yang mengenakan baju dari kulit harimau itu memang Bayu Hanggara. Dia lebih dikenal dengan nama julukan Pendekar Pulau Neraka.

Seorang pendekar muda yang selalu menggetarkan rimba persilatan dalam setiap kemunculannya. Dan kali ini dia tiba-tiba muncul menyelamatkan nyawa Klabang Ireng dari ancaman maut gadis cantik di depannya ini.

“Kenapa kau selamatkan nyawanya dariku? Apa kau saudaranya...?” tanya Rara Sawit lagi, masih dengan nada suara yang ketus.

“Aku tidak kenal sama sekali dengannya,” sahut Bayu masih tetap tenang suaranya.

“Lalu, kenapa kau menolongnya? Sebaiknya kau cepat menyingkir dari sini. Atau kau ingin menggantikan kepalanya?”

“Tenang, Nisanak. Aku tahu apa yang membuatmu begitu bernafsu ingin membunuhnya. Sebaiknya antara kau dan dia tidak perlu saling bermusuhan. Apalagi sampai saling mengadu jiwa,” kata Bayu lagi, masih dengan nada suara yang tenang sekali.

“Heh...?! Siapa kau sebenarnya...?” bentak Rara Sawit agak terkejut, mendengar kata-kata Pendekar Pulau Neraka itu barusan.

“Aku bukan siapa-siapa. Tapi aku tahu apa yang kalian semua ributkan. Aku hanya ingin mengatakan kalau apa yang kalian perebutkan itu tidak ada artinya sama sekali. Aku tahu di mana adanya Pedang Dewa Naga. Dan aku tahu persis siapa yang berhak memilikinya. Kalian sama sepertiku. Masih muda, dan masih jauh jangkauannya. Sebaiknya tidak perlu meributkan sesuatu yang bukan hak milik sendiri.”

“Keparat..! Jangan berkhotbah di depanku! Dari mana kau tahu tentang Pedang Dewa Naga, hah...?”

Bayu hanya tersenyum saja mendengar pertanyaan gadis cantik ini. Dia mengayunkan kakinya beberapa langkah ke depan, hingga jaraknya dengan gadis itu tinggal sekitar enam langkah lagi.

Sementara agak jauh di belakangnya, Klabang Ireng sudah mulai membuka kelopak matanya. Dia langsung melihat Rara Sawit kini berdiri berhadapan dengan seorang pemuda sebaya dengannya, yang sama sekali tidak dikenalnya. Tapi dia langsung bisa menebak kalau pemuda itu yang telah menyelamatkan nyawanya dari ujung pdang Rara Sawit tadi.

Klabang Ireng sengaja tidak segera bangkit berdiri, walaupun dirasakan seluruh aliran darah dan jalan pernapasannya sudah kembali normal seperti semula. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan Rara Sawit dan pemuda penolongnya itu.


***


Sementara Klabang Ireng memperhatikan, Rara Sawit sudah memasukkan pedangnya kembali Ke dalam warangkanya yang tergantung di pinggang. Sedangkan Bayu tampak tersenyum melihat raut wajah gadis itu kini tidak lagi kelihatan garang seperti tadi. Bahkan tampak begitu cantik sekali, dengan sinar mata yang bercahaya terang bagai bintang di langit yang kelam.

Kembali Bayu melangkah beberapa tindak semakin dekat dengan gadis ini. Dan senyumnya kembali terkembang penuh rasa persahabatan. Entah kenapa, Rara Sawit malah membalasnya dengan senyum yang manis pula. Tapi begitu tersadar, dia cepat memasang wajah angker lagi.

“Nisanak, boleh aku tahu kenapa kau mencari Pedang Dewa Naga...?” ujar Bayu bertanya dengan suara yang dibuat begitu lembut sekali.

“Mau apa kau tahu urusanku?” Rara Sawit malah balik bertanya dengan nada suara masih tetap terdengar ketus. Walaupun raut wajahnya tidak segarang tadi.

“Sepanjang perjalanan, aku banyak bertemu dengan mereka yang menginginkan Pedang Dewa Naga. Dan sekarang, aku juga bertemu denganmu yang hampir membunuh karena merebut pedang itu.

Kenapa kau membahayakan nyawa sendiri hanya untuk sebuah benda, Nisanak...? Bukankah kau sendiri sudah memiliki pedang yang bagus?”

“Aku menginginkannya untuk guruku!” sahut Rara Sawit masih tetap ketus suaranya. Tapi kali ini sudah mulai terdengar agak melunak.

“Untuk apa?” tanya Bayu terus mendesak ingin tahu.

“Guruku adalah pewaris tunggal Pedang Dewa Naga. Dan aku harus mendapatkannya sebelum orang lain. Dengan pedang itu penyakit guruku akan sembuh,” sahut Rara Sawit lagi.

“Hm, sakit apa yang diderita gurumu?” tanya Bayu lagi. Rara Sawit tidak langsung menjawab. Dia seperti keberatan menjawab pertanyaan Pendekar Pulau Neraka barusan. Dan dia hanya memandangi wajah tampan pendekar muda itu saja. Sedangkan Bayu jadi tersenyum. Dia tahu kalau pertanyaannya tadi tidak mungkin terjawab.

“Baiklah, Nisanak. Memang tidak seharusnya aku terlalu banyak bertanya padamu. Tapi yang aku tahu, hanya ada seorang saja di dunia ini yang berhak mewarisi Pedang Dewa Naga,” kata Bayu diiringi senyuman kecil tersungging di bibir.

“Hanya guruku pewarisnya,” sentak Rara Sawit cepat.

“Dusta...!”

Tiba-tiba saja Klabang Ireng membentak keras, ambil melompat bangkit berdiri. Rara Sawit dan Bayu langsung menatap pemuda yang mengenakan baju warna hitam pekat itu. Klabang Ireng langsung melangkah menghampiri mereka, dan berdiri tidak jauh di sebelah kanan Pendekar Pulau Neraka.

“Bukan gurumu pewaris Pedang Dewa Naga. Tapi aku.... Akulah cucu Eyang Rampayak, pembuat dan pemilik Pedang Dewa Naga. Aku yang berhak memilikinya!” kata Klabang Ireng tegas, dengan suara yang keras dan lantang menggelegar.

“Enak saja kau bicara. Apa buktinya kau cucu Eyang Rampayak, heh...?” sentak Rara Sawit sengit.

“Kau sendiri...? Apa buktinya gurumu yang paling berhak mewarisi Pedang Dewa Naga? Eyang Rampayak tidak punya murid seorang pun juga. Dan hanya punya satu putra. Dan aku anak dari putra Eyang Rampayak. Hanya aku cucunya. Tidak ada orang lain lagi yang berhak atas pedang itu...!”

“Aku yang berhak!” bentak Rara Sawit jadi kalap lagi.

“Aku...!” balas Klabang Ireng tidak mau kalah.

“Setan! Kau memang harus mampus!”

Cring!
Wut!
“Cukup...!”

Bayu langsung saja membentak, dan melompat ke tengah, begitu melihat mereka sudah sama-sama mencabut senjatanya. Entah kenapa, mereka jadi terdiam melihat Bayu berdiri di antara mereka berdua dengan tangan terentang lebar.

“Simpan kembali senjata kalian!” bentak Bayu lantang. Rara Sawit dan Klabang Ireng saling berpandangan dengan tajam beberapa saat.

Kemudian mereka menyimpan kembali senjatanya. Entah kenapa, mereka jadi menuruti kata-kata Pendekar Pulau Neraka ini. Sementara Bayu memandangi mereka satu persatu secara bergantian. Dan dia menurunkan lagi tangannya yang sudah terentang tadi.

“Kalian masing-masing mempertahankan pendapat sendiri. Baik, aku memang tidak tahu mana yang benar di antara kalian berdua. Dan ini harus dibuktikan, siapa di antara kalian yang paling berhak memiliki Pedang Dewa Naga. Tapi bukan dengan cara saling mengadu jiwa,” kata Bayu tegas.

“Huh!”

Rara Sawit hanya mendengus saja dengan raut wajah jengkel. Sementara Klabang Ireng diam memandangi Pendekar Pulau Neraka.

“Aku akan buktikan, Kisanak,” selak Klabang Ireng tegas.

“Dengan cara apa kau akan membuktikan...?” dengus Rara Sawit sinis.

“Pedang Dewa Naga tidak akan bisa digunakan oleh orang yang bukan satu darah dengan Eyang Rampayak. Dan aku akan buktikan nanti kalau sudah menemukan pedang itu,” sahut Klabang Ireng lantang.

“Sebelum kau yang memegangnya, aku yang akan mendapatkannya,” desis Rara Sawit bernada mengejek.

“Sudah.... Kalian tidak perlu saling bermusuhan. Aku tahu di mana adanya Pedang Dewa Naga. Dan kalau kalian ingin saling membuktikan, aku akan tunjukkan di mana Pedang Dewa Naga berada,” kata Bayu menenangkan suasana yang hangat ini.

Rara Sawit dan Klabang Ireng saling berpandangan. Kemudian mereka sama sama memandang pada Pendekar Pulau Neraka yang berada di tengah-tengah di antara mereka berdua. Entah kenapa, mereka sama-sama mengangkat bahunya. Seakan menyerahkan segala persoalannya pada Pendekar Pulau Neraka itu.

“Bagus. Malam ini kita sama-sama bermalam di sini. Besok pagi kalian berdua akan kubawa ke tempat Pedang Dewa Naga,” kata Bayu tersenyum.

Dan memang malam ini mereka semua bermalam di hutan lereng Bukit Sampan ini. Namun antara Rara Sawit dan Klabang Ireng, tetap saja saling membuka garis peperangan. Tidak ada seorang pun di antara mereka berdua yang memulai untuk membuka suara. Sedangkan Bayu hanya bisa memperhatikan sambil menghangatkan tubuh di dekat api unggun, menunggu sampai pagi datang.


***


EMPAT

Pagi-pagi sekali, disaat matahari baru menam-pakkan cahayanya di ufuk timur, Bayu sudah membawa Klabang Ireng dan Rara Sawit menuruni Bukit Sampan ini. Mereka berdua berjalan bersisian dibelakang Pendekar Pulau Neraka itu. Sedangkan Tiiren tidak lepas dari pundak pemuda berbaju kulit harimau ini. Tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Mereka berjalan agak cepat menuruni lereng bukit yang cukup lebat ditumbuhi pepohonan ini.

Namun baru saja mereka sampai di kaki bukit, Bayu menghentikan langkahnya. Klabang Ireng dan Rara Sawit ikut berhenti juga melangkah. Tampak di depan mereka menghadang lebih dari lima puluh orang yang semuanya rata-rata masih berusia muda. Hanya seorang saja yang kelihatan sudah tua.

Dan orang tua yang mengenakan jubah putih pantang itu berdiri paling depan. Sebatang tongkat kayu tergenggam di tangan kanannya. Seakan untuk menyangga tubuhnya yang sudah agak membungkuk. Klabang Ireng yang mengenali orang tua itu, langsung melangkah mendekat Pendekar Pulau Neraka.

“Kau kenal mereka, Klabang Ireng?” tanya Bayu seperti sudah bisa menduga.

“Ya,” sahut Klabang Ireng. “Orang tua itu Ki Jamparut. Kepala Desa Harugaling. Dan yang ada di belakangnya adalah murid-muridnya,” sahut Klabang Ireng.

“Mau apa mereka menghadang?” tanya Bayu lagi dengan suara terdengar menggumam. Seakan pertanyaan itu untuk dirinya sendiri.

“Untukku,” sahut Klabang Ireng pelan. Bayu berpaling sedikit, langsung menatap pada Klabang Ireng dengan kening berkerut.

Terasa aneh bagi Pendekar Pulau Neraka ini. Dia memang baru semalam kenal dengan Klabang Ireng. Tapi tampaknya Klabang Ireng mempunyai banyak persoalan yang tidak diketahuinya. Timbul berbagai macam pertanyaan di dalam benak Pendekar Pulau Neraka ini.

Tapi dia tidak mau mempersoalkan lebih dulu, sebelum mengetahui persoalan persisnya, antara Klabang Ireng dengan Kepala Desa Harugaling dan murid-muridnya itu. Sementara Rara Sawit sudah berada di sebelah Pendekar Pulau Neraka ini. Dia juga merasa heran dengan orang-orang yang meng-hadang jalan mereka ini.

“Siapa mereka, Kisanak?” tanya Rara Sawit

“Mereka ada urusan dengan Klabang Ireng,” sahut Bayu tanpa berpaling sedikit pun juga.

Rara Sawit langsung saja menatap pada Klabang Ireng. Tapi yang dipandangi seperti tidak peduli. Dia melangkah beberapa tindak mendekati Ki Jamparut yang berdiri di depan murid-muridnya. Tatapan mata orang tua itu sangat tajam sekali, seakan ingin melumat pemuda berbaju hitam yang sudah menewaskan empat orang muridnya ini.

“Punya nyali besar juga kau berani muncul lagi di sini...,” terdengar sinis sekali nada suara Ki Jamparut.

“Maaf atas kejadian semalam, Ki. Kali ini aku tidak melewati desamu lagi. Aku dan teman-temanku akan menuju ke utara,” kata Klabang Ireng. Kali ini dia berkata dengan nada suara yang sopan.

“Phuih!” Ki Jamparut menyemburkan ludahnya dengan sengit.

Sedangkan Klabang Ireng diam saja.

“Kau tidak bisa lewat begitu saja, Anak Muda. Kau harus membayar nyawa murid-muridku dengan nyawamu!” bentak Ki Jamparut lantang.

“Kalau kau membiarkan aku lewat, tentu tidak akan sampai kehilangan muridmu, Ki. Sekarang aku harap kau tidak lagi membuka persoalan. Aku sedang enggan mengotori tangan dengan darah,” sambut Klabang Ireng tidak kalah lantangnya.

“Berani kau berkata begitu setelah membunuh muridku, heh...? Kau akan rasakan akibatnya, Bocah!” bentak Ki Jamparut jadi berang.

“Maaf, Ki. Bukan maksudku untuk...!”

“Tutup mulutmu, Bocah! Kau harus mampus? Hiyaaat..!”

Ki Jamparut tidak bisa lagi banyak bicara. Sambil membentak nyaring memutuskan ucapan Klabang Ireng, dia langsung melompat dengan cepat menerjang pemuda ini.

“Haiiit..!”

Klabang Ireng tidak dapat lagi menghindari bentrokan. Dia cepat melompat ke samping, sambil meliukkan tubuhnya menghindari sabetan tongka kayu Kepala Desa Harugaling ini. Sedikit saja tongkat itu lewat di samping tubuh Klabang Ireng.

Namun Ki Jamparut tidak berhenti sampai di situ saja. Dia terus menyerang dengan jurus-jurus yang cepat dan sangat membahayakan jiwa anak muda berbaju hitam ini.

Sementara Bayu dan Rara Sawit tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka terpaksa menjadi penonton, tanpa dapat membantu Klabang Ireng yang terus diserang dengan kebutan-kebutan tongkat Ki Jamparut yang begitu cepat dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi tampaknya Klabang Ireng masih bisa bertahan, walaupun dia hanya bisa berkelit dan menghindari setiap serangan Ki Jamparut yang dahsyat ini.

“Hup! Hiyaaa...!”

Tiba-tiba saja Klabang Ireng melentingkan tubuhnya tinggi-tinggi ke atas, tepat ketika Ki Jamparut mengecutkan tongkatnya ke arah kaki. Dan langsung dia meluruk deras ke belakang sambil berputaran beberapa kali di udara. Dan dengan manis sekali dia menjejakkan kakinya di tanah sejauh dua batang tombak dari Ki Jamparut.

“Jangan menghindar terus kau, Bocah!

Hiyaaat..!”

Ki Jamparut semakin kelihatan berang saja, karena serangan-serangannya tidak mendapatkan hasil sedikit pun juga. Bahkan kini Klabang Ireng berhasil menjaga jarak cukup jauh. Kepala Desa Harugaling itu kembali melompat sambil berteriak keras menggelegar. Dan tongkatnya langsung dikejutkan tepat mengarah ke kepala Klabang Ireng.

“Hih!”
Bet!
Trak!

Klabang Ireng cepat mencabut seruling bambu hitamnya, dan langsung dikebutkan ke samping kelolanya. Hingga tongkat Ki Jamparut menghantam seruling hitam pemuda itu. Dan pada saat itu juga, tubuh Klabang Ireng meliuk setengah berputar. Lalu dengan kecepatan yang sangat luar biasa sekali, dia menghentakkan tangan kirinya ke depan. Dan....

Diegkh!
“Ugkh...!”

Begitu cepatnya hentakan tangan kiri Klabang Ireng, sehingga Ki Jamparut tidak sempat lagi menghindarinya. Dan kepalan tangan pemuda itu tepat menghantam perutnya. Membuat orang tua ini terlenguh dengan tubuh terbungkuk. Dan pada saat itu juga, Klabang Ireng melepaskan satu pukulan keras dengan tangan kanannya, setelah dia menyimpan lagi serulingnya ke balik ikat pinggang.

“Hiyaaa...!”
Plak!
“Akh...!”

Ki Jamparut jadi terpekik, begitu pukulan tangan kiri Klabang Ireng yang mengandung sedikit pengerahan tenaga dalam itu menghantam tepat ke wajahnya. Tampak orang tua itu terdongak, dan terhuyung-huyung ke belakang. Seketika itu juga darah merembes keluar dari sudut bibir dan lubang hidungnya. Walaupun tidak sepenuhnya Klabang Ireng mengerahkan tenaga dalam pada pukulannya, tapi sudah membuat Ki Jamparut terpaksa harus kehilangan muka di depan murid-muridnya sendiri.

“Keparat..!”


***


Ki Jamparut jadi geram setengah mati. Sambil menyeka darah yang mengalir keluar dari mulut dan hidungnya, dia melangkah ke depan beberapa tindak. Sementara Klabang Ireng tetap berdiri tegak tanpa terlihat memegang senjata. Tampak sekali kalau Ki Jamparut tidak bisa lagi dihentikan amarahnya. Terlebih lagi dia sudah mendapatkan pukulan yang cukup keras di wajahnya. Membuat amarahnya semakin menggelegak didalam dada.

Sementara Bayu dan Rara Sawit sama sekali tidak bisa berbuat apapun juga. Mereka hanya diam dan melihat semua itu tanpa bicara sedikit pun juga. Tapi diam-diam, Bayu terus memperhatikan murid-murid Ki Jamparut yang sudah mulai bergerak mendekati tempat pertarungan gurunya dengan Klabang Ireng ini.

“Kau harus mampus, Bocah Keparat..!”

Sambil menggeram marah, Ki Jamparut melangkah mendekati Klabang Ireng. Dan begitu jaraknya tinggal sekitar empat langkah lagi, dia langsung menyodokkan tongkatnya tepat mengarah ke perut.

“Haiiit..!”

Tapi dengan liukan tubuh yang begitu indah sekali, Klabang Ireng bisa menghindari sodokan tongkat orang tua itu. Namun tanpa diduga sama sekali, Ki Jamparut memutar tubuhnya dengan cepat sambil menghentakkan kaki kanannya tanpa menarik tongkatnya lagi. Sesaat Klabang Ireng terperangah. Dan dia cepat melangkah mundur sambil menarik tubuhnya ke belakang.

Tepat pada saat itu juga, Klabang Ireng mencabut seruling hitamnya, dan langsung dikebutkan ke kaki yang masih menjulur ke depan itu. Begi cepatnya sabetan seruling hitam pemuda ini, sehingga Ki Jamparut tidak sempat lagi menyadarinya. Dan...

Tak!
“Akh...!”

Ki Jamparut jatuh terguling seketika, begitu tulang keringnya terhantam seruling hitam Klabang Ireng yang sangat keras, karena disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Seketika tulang kaki orang tua itu hancur, membuatnya tidak dapat lagi berdiri. Sementara Klabang Ireng melompat menjauhi, sambil menyepakkan kakinya ke tongkat Ki Jamparut yang tergeletak di tanah. Tongkat itu melayang jauh. Dan entah jatuh di mana.

“Bocah keparat...!” geram Ki Jamprut berang setengah mati, sambil meringis menahan sakit yang amat sangat pada tulang kering kakinya. “Seraaang...! Bunuh bocah setan itu...!”

“Hiyaaat...!”
“Yeaaah...!”

Belum lagi hilang teriakan Ki Jamparut, semua murid-muridnya sudah berlompatan menyerang Klabang Ireng sambil berteriak-teriak, membuat suasana di kaki Bukit Sampan ini jadi hiruk-pikuk seperti ada perang.

“Klabang Ireng, cepat ke sini...!” seru Bayu dengan suara yang keras disertai sedikit pengerahan tenaga dalam.

Klabang Ireng berpaling sedikit ke arah Pendekar Pulau Neraka itu. Dia melihat Bayu memanggil dengan melambaikan tangannya. Dan tanpa berpikir panjang lagi, Klabang Ireng segera melesat mendekati Pendekar Pulau Neraka itu. Hanya sekali lompatan saja, dia sudah berada di samping pemuda berbaju kulit harimau ini.

“Tinggalkan tempat ini,” kata Bayu tergesa.
“Baik,” sahut Klabang Ireng.
“Hup!”
“Haaap!”
“Yeaaah...!”

Ketiga anak muda berkepandaian tinggi itu langsung berlompatan dan terus berlari dengan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi tingkatannya. Begitu cepatnya mereka berlari, hingga dalam waktu sebentar saja sudah jauh. Membuat murid-murid Ki Jamparut tidak ada yang sanggup mengejar. Dan mereka terpaksa kembali menghampiri gurunya yang masih duduk di tanah menahan sakit pada kakinya yang hancur tulang keringnya.

“Cepat, bawa aku pulang!” perintah Ki Jamprut.

Tanpa banyak bicara lagi, empat orang muridnya segera menggotong dan membawanya pergi dari kaki Bukit Sampan ini. Sedangkan yang lainnya mengikuti dari belakang.

Sementara Bayu, Klabang Ireng, dan Rara Sawit sudah sangat jauh meninggalkan kaki Bukit Sampan. Mereka terus berlari dengan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Tampak Bayu berlari paling depan. Sesekali dia berpaling melihat Klabang Ireng dan Rara Sawit yang terus tertinggal di belakang.

Setelah dirasa cukup jauh dan tidak ada lagi yang mengejar, Bayu baru menghentikan larinya. Dia menunggu beberapa saat sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Sedikit pun tidak terlihat tetesan keringat di tubuhnya. Dan tarikan napasnya juga begitu teratur sekali, sepertinya tadi sama sekali dia tidak berlari sejauh ini.

Sementara Klabang Ireng dan Rara Sawit langsung menjatuhkan diri, duduk di rerumputan begitu sampai di dekat Pendekar Pulau Neraka ini. Tiren mendekati gadis itu, dan langsung duduk di pangkuannya. Rara Sawit mendiamkan saja monyet kecil itu duduk di pangkuannya.

Keringat mengalir deras membasahi sekujur tubuh mereka. Dan napas mereka agak tersengal memburu cepat. Bayu tersenyum saja memandangi mereka yang seperti baru dikejar setan tadi. Senyum Pendekar Pulau Neraka itu membuat Rara Sawit jadi mendelik.

“Kenapa kau tersenyum...?” bentak Rara Sawit dengan napas masih tersengal-sengal.

“Tidak apa-apa,” sahut Bayu masih tersenyum.

“Jangan coba-coba merendahkan aku, ya...,” dengus Rara Sawit memberengut.

Bayu hanya diam saja. Dan dia duduk bersila di depan mereka. Sikapanya begitu tenang sekali, dengan senyuman masih terkembang mengukir bibirnya yang agak memerah. Sementara Klabang Ireng dan Rara Sawit sudah mulai bisa mengatur Jalan pemapasannya. Mereka kini sudah tenang kembali.

“Sudah cukup istirahatnya...?” tanya Bayu seraya bangkit berdiri.

Klabang Ireng langsung berdiri, diikuti Rara Sawit Tiren cepat melompat naik kepundak Bayu lagi. Dan tanpa bicara lagi mereka kembali melanjutkan perjalanannya menuju ke utara. Sementara matahari sudah naik cukup tinggi, memancarkan cahayanya yang terik membakar kulit.

Namun ketiga anak muda itu terus berjalan tanpa menghiraukan teriknya mentari. Dan begitu jauh mereka berjalan, belum ada seorang pun yang membuka suara. Baru setelah mereka sampai di tepi sungai yang tidak begitu besar, Rara Sawit mulai membuka suaranya.

“Bayu, kenapa kau tadi meminta Klabang Ireng meninggalkan mereka?”

“Hanya membuang-buang tenaga saja mengurusi mereka. Sedangkan perjalanan kita masih cukup jauh,” sahut Bayu seenaknya.

“Sebenarnya ada persoalan apa kau dengan mereka, Klabang Ireng?” tanya Rara Sawit ingin tahu. Tatapannya kini beralih pada Klabang Ireng.

“Aku sendiri tidak tahu. Semalam aku melewati desa mereka. Dan mereka tidak mengizinkan aku melaluinya. Mereka langsung menyerang ingin membunuhku. Terpaksa aku menewaskan empat orang dari mereka. Ya, terpaksa...,” sahut Klabang Ireng kalem.

“Tidak mungkin kalau tidak ada alasan mereka ingin membunuhmu, Klabang Ireng,” kata Rara Sawit tidak percaya.

“Terserah kau, mau percaya apa tidak. Yang jelas, aku sendiri baru pertama kali itu datang ke Desa Harugaling. Sama sekali aku tidak kenal dengan mereka,” balas Klabang Ireng agak ketus suaranya.

“Mungkin mereka kenal denganmu, Klabang Ireng. Dan kau sendiri tidak kenal, atau mungkin juga sudah lupa,” kata Bayu menengahi.

“Mungkin juga...,” desah Klabang Ireng perlahan.

“Tapi aku benar-benar tidak tahu, Bayu.”

“Klabang Ireng, kau mengaku cucu tunggal Eyang Rampayak. Pasti kau tahu dari mana asalnya...,” selak Rara Sawit seperti memancing.

“Tentu saja aku tahu,” sahut Klabang Ireng tegas.

“Dari mana?” desak Rara Sawit.
“Desa Harugaling.”

“Tepat dugaanku...!” sentak Bayu langsung berhenti melangkah.

Rara Sawit dan Klabang Ireng jadi ikut berhenti, dan langsung menatap Pendekar Pulau Neraka itu dengan pandangan dan sorot mata yang sukar untuk diartikan.

Sedangkan Bayu sendiri malah mengarahkan pandangannya ke Desa Harugaling yang kini sudah tidak terlihat lagi dari tempat ini. Dan untuk beberapa saat mereka jadi terdiam membisu. Entah apa yang ada di dalam pikiran mereka masing-masing.


“Apa yang kau duga, Kisanak?” tanya Klabang Ireng ingin tahu.

“Siapa nama ayahmu?” Bayu malah balik bertanya.
“Rakata Ireng,” sahut Klabang Ireng.
“Dan ibumu?”
“Diah Permata.”
“Heh...?!”

Entah kenapa, Rara Sawit jadi terlonjak seperti tersengat kala berbisa begitu mendengar Klabang Ireng menyebut nama ibunya. Dan ini membuat Bayu maupun Klabang Ireng jadi tersentak juga memandangi gadis cantik ini.

“Kau jangan mengaku-aku. Diah Permata ibumu, ya...!” bentak Rara Sawit jadi garang wajahnya.

“Heh...?! Dia memang ibuku!” sentak Klabang Ireng.

“Kau tahu, Diah Permata adalah guruku. Juga ibu angkatku!”

“Tidak mungkin! Ibuku tidak punya murid! Kau dusta! Pembohong...!”
“Kau yang pembohong!”
“Kau...!”

Seketika suasana jadi memanas. Klabang Ireng dan Rara Sawit sudah saling berhadapan dengan wajah garang tidak mau mengalah. Dan ini membuat Bayu jadi terlongong.

“Cukup...!”

Bayu langsung membentak begitu melihat Rara Sawit sudah mau mencabut pedangnya. Sedangkan Klabang Ireng juga sudah siap mencabut seruling hitamnya. Bayu cepat melompat, dan berdiri ditengah-tengah mereka.

“Dengar, kalian masing-masing berkeras mengakui pewaris Pedang Dewa Naga. Kalau kalian tidak mau menahan diri sedikit saja, aku berani bertaruh tidak ada di antara kalian yang bisa memiliki Pedang Dewa Naga,” kata Bayu jadi agak gusar.

Klabang Ireng dan Rara Sawit hanya diam saja saling bertatapan dengan tajam. Seakan mereka tidak mendengarkan kata-kata Pendekar Pulau Neraka itu barusan.

“Baik.... Kalau kalian masih terus begini, aku akan pergi sendiri. Dan ingat, kalian tidak akan bisa mendapatkan Pedang Dewa Naga,” kata Bayu lagi, seraya hendak melangkah pergi.

Tapi belum juga kakinya terayun, Klabang Ireng sudah melompat ke depannya menghadang. Dan bersamaan dengan itu, Rara Sawit juga melompat menghadang Pendekar Pulau Neraka ini.

“Kau selalu mencegah kami bertarung, Kisanak. Terus terang, sejak semalam aku terus bertanya-tanya siapa kau sebenarnya? Kenapa kau begitu tepat muncul disaat aku hampir saja memenggal batang lehernya?” terasa dingin sekali nada suara Rara Sawit seraya melirik sedikit pada Klabang Ireng.

“Katakan sejujurnya, siapa kau sebenarnya. Dan ada maksud apa kau menemui kami berdua?” desak Klabang Ireng mengikuti Rara Sawit.

“Aku hanya menjalankan tugas untuk menjemput kalian berdua,” sahut Bayu diiringi dengan senyum manis tersungging di bibir.

“Hanya ada satu orang yang harus kutemui. Dan dia namanya bukan Bayu, tapi Pendekar Pulau Neraka,” kata Klabang Ireng.

“Setan! Kau selalu mendahuluiku, Klabang Ireng! Guruku yang menyuruhku menunggu di Bukit Sampan sampai Pendekar Pulau Neraka datang. Hanya dia yang bisa membawaku ke tempat penyimpanan Pedang Dewa Naga!” sentak Rara Sawit sengit.

“Kau yang mengada-ada!” bentak Klabang Ireng seraya mendelik geram.

“Sudah! Kalian tidak perlu bertengkar. Aku Bayu, juga Pendekar Pulau Neraka,” kata Bayu langsung memberi tahu siapa dirinya yang sebenarnya.

Memang tidak ada pilihan lain lagi bagi Pendekar Pulau Neraka itu selain berterus terang, melihat kedua orang yang memang harus dijemputnya ini terus-menerus bertengkar. Dan Bayu tidak ingin ada di antara mereka sampai mengeluarkan darah. Dia harus membawa mereka berdua ke tempat menyimpanan Pedang Dewa Naga.

“Dengar, kalau kalian masih saja bertengkar, aku akan pergi sendiri dan tidak akan membawa kalian ke tempat Pedang Dewa Naga. Hanya aku yang tahu di mana tempatnya. Dan kalian seumur hidup tidak akan bisa melihat bentuk pedang itu...!” agak lantang terdengar suara Bayu.

Klabang Ireng dan Rara Sawit terdiam. Memang mereka tidak tahu di mana adanya Pedang Dewa Naga. Mereka hanya mendapat perintah untuk ke Bukit Sampan menemui Pendekar Pulau Neraka yang akan membawa mereka sampai ke tempat penyimpanan Pedang Dewa Naga. Dan memang hanya Pendekar Pulau Neraka saja yang mengetahui di mana adanya pedang pusaka yang menjadi rebutan dua orang remaja ini.

“Sekarang kalian boleh pilih. Terus bertengkar, atau mau menuruti kata-kataku!” kata Bayu menjelaskan.

Namun belum juga Klabang Ireng dan Rara sawit bisa membuka suaranya, tiba-tiba saja terdengar suara tawa yang keras menggelegar bagai guntur membelah angkasa di siang hari. Membuat mereka jadi tersentak kaget setengah mati.

“Ha ha ha...!”


***


LIMA

Suara tawa itu demikian keras terdengar menggema, seperti datang dari segala penjuru mata angin. Sukar untuk diketahui dari mana arah datangnya suara tawa yang semakin lama menyakitkan telinga ini. Bayu yang sudah berpengalaman dalam merambah kejamnya rimba persilatan, langsung bisa merasakan kalau suara tawa itu disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Dan sudah pasti ditujukan pada mereka bertiga. Bayu bisa merasakan adanya bahaya kalau mendiamkan terus suara tawa itu.

“Cepat kalian ke belakangku...!” pinta Bayu. Tanpa banyak tanya lagi, Klabang Ireng dan Rara Sawit berlompatan ke belakang Pendekar Pulau Neraka.

Mereka sudah merasakan telinganya begitu sakit mendengar suara tawa yang teramat keras seakan tidak pernah mau berhenti ini. Bahkan Klabang Ireng sudah sejak tadi mengerahkan tenaga dalamnya, untuk mencoba menangkal suara yang membuat telinganya terus berdenging ini.

“Jangan jauh dariku,” pinta Bayu.

Setelah berkata begitu, Bayu langsung merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Sedangkan monyet kecil berbulu hitam yang selalu mengikuti ke mana saja Pendekar Pulau Neraka itu pergi, sudah memeluk leher pemuda ini erat-erat.

Sesekali dia mencerecet membuat telinga Bayu terasa pekak. Sebentar kelopak matanya terpejam. Lalu begitu kelopak matanya terbuka, seketika itu juga dia menghentakkan kedua tangannya ke samping sambil berteriak keras menggelegar.

“Yeaaah...!”

Begitu kerasnya suara teriakan Pendekar Pulau Neraka itu, membuat bumi yang mereka pijak jadi bergetar bagai diguncang gempa yang sangat dahsyat Bahkan angin pun jadi terbalik berhembus. Pohon-pohon menggugurkan daunnya. Batu-batu berpentalan memperdengarkan suara berderak hingga hancur berkeping-keping. Teriakan Bayu yang begitu keras menggelegar, membuat alam di sekitarnya bagaikan mengamuk.

“Edan...! Ilmu macam apa itu...?” desis Klabang Ireng kagum.

Dan teriakan Bayu yang begitu keras menggelegar bagai guntur itu, mampu meredam suara tawa yang membuat telinga mereka jadi sakit. Pada saat itu juga, Bayu merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Lalu sambil berseru lantang, dia mengibaskan kedua tangannya ke depan. Dan bagaikan kilat, dia mengibaskan tangan kanannya ke kanan.

Sing...!

Cakra Maut yang selalu menempel dipergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu seketika melesat dengan kecepatan bagai kilat. Hingga yang terlihat hanya kilatan cahaya putih keperakan meluncur langsung menembus lebatnya pepohonan. Dan...

Srak!
Slap!

Tepat pada saat itu juga terlihat bayangan hijau berkelebat keluar dari balik pepohonan, bersamaan dengan melesatnya Cakra Maut kembali pada Pendekar Pulau Neraka. Sedikit saja Bayu mengangkat tangan kanannya ke atas, Cakra Maut kembali menempel erat di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu.

“Hm....”

Bayu menggumam sedikit, begitu melihat seorang wanita berusia setengah baya sudah berdiri sekitar dua batang tombak di depannya. Baju warna hijau daun yang ketat, membentuk tubuhnya yang cukup ramping dan indah dipandang mata. Sebilah pedang bergagang kepala ular berwarna putih keperakan, tersampir di punggungnya.

“Cuma seorang wanita...,” gumam Klabang Ireng mendesis dingin.

“Jangan menghina kaum wanita, Klabang Ireng!” sentak Rara Sawit tersinggung.

“Maaf, bukannya aku mau menyinggungmu, Rara Sawit,” ucap Klabang Irjeng sambil menyeringai.

Baru menyadari kalau di sebelahnya berdiri seorang wanita yang sampai saat ini masih bisa dikatakan saingannya dalam memperebutkan Pedang Dewa Naga.

Sementara itu Bayu sudah melangkah beberapa tindak ke depan, mendekati wanita setengah baya yang mengenakan baju hijau daun ini. Pendekar Pulau Neraka itu baru berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi. Saat itu Bayu menilai kalau wanita ini usianya sudah lebih dari lima puluh tahun. Tapi wajahnya masih kelihatan cantik, dengan bentuk tubuh yang ramping dan indah terbungkus baju yang cukup ketat. Seakan baru mencapai dua puluh lima tahunan usianya.

“Kenapa kau mengganggu kami, Nisanak?” tanya Bayu langsung dengan nada suara yang cukup dingin terdengar.

“Bukan kalian tujuanku. Tapi kau, Pendekar Pulau Neraka!” sahut wanita itu agak lantang suaranya.

“Hm, kenapa...? Rasanya aku belum kenal denganmu, Nisanak.”

“Kau memang belum kenal siapa aku, Pendekar Pulau Neraka. Tapi aku sudah tahu siapa kau. Dan sekarang aku membutuhkanmu. Kau harus ikut denganku. Tinggalkan dua tikus busuk itu,” kata wanita itu sambil menuding pada Klabang Ireng dan Rara Sawit.

Dikatakan tikus busuk, Rara Sawit langsung memerah wajahnya. Dan Klabang Ireng juga cepat melompat ke depan. Tapi gerakan mereka jadi terhambat, begitu melihat Bayu merentangkan tangannya. Mencegah mereka berbuat yang bisa merugikan diri sendiri. Klabang Ireng dan Rara Sawit hanya bisa mendengus kesal, menatap dengan sinar mata yang tajam pada perempuan setengah baya yang masih kelihatan cantik itu.

“Dengar, Pendekar Pulau Neraka. Kau tidak bisa menolak keinginanku. Ikut denganku, atau kau harus rela melepaskan nyawamu di sini,” kata wanita itu lagi dengan nada suara yang tegas.

“Maaf, Nisanak. Bukannya aku menolak keinginanmu itu. Tapi aku belum tahu siapa kau sebenarnya? Dan apa tujuanmu memintaku ikut denganmu...?” tanya Bayu halus.

“Aku Dewi Pedang Maut. Dan kau harus ikut denganku untuk menunjukkan di mana tempat penyimpanan Pedang Dewa Naga. Aku tahu kalau hanya kau satu-satunya yang tahu di mana Pedang Dewa Naga berada,” sahut wanita setengah baya itu yang ternyata bernama Dewi Pedang Maut.

“Hm.... Sudah sering kali aku dengar namamu, Dewi Pedang Maut. Kau memang tangguh dan digdaya. Tapi terus terang saja, aku sama sekali tidak menyukai sepak terjangmu selama ini,” kata Bayu agak menggumam suaranya.

“Jangan sombong kau, Bocah! Kau pikir aku tidak tahu siapa dirimu yang sebenarnya, heh...?” bentak Dewi Pedang Maut sengit.

“Aku memang bukan manusia suci, Dewi Pedang Maut. Tapi aku masih bisa bertindak dengan batas ukuran yang wajar. Maaf, aku ada tugas yang lebih penting lagi. Dan aku tidak berurusan dengan Pedang Dewa Naga,” kata Bayu tegas.

“Keparat...!” desis Dewi Pedang Maut geram, mendengar penolakan Bayu yang halus namun tegas itu.

Sedangkan Bayu sudah memutar tubuhnya berbalik. Dan melangkah menghampiri Klabang Ireng dan Rara Sawit. Namun baru saja Pendekar Pulau Neraka itu berjalan beberapa langkah, Dewi Pedang Maut sudah mengebutkan tangan kirinya dengan cepat ke depan. Dan seketika itu juga, terlihat beberapa benda halus berwarna putih keperakan melesat dengan kecepatan bagai kilat ke arah pemuda berbaju kulit harimau ini.

“Bayu, awaaas...!” seru Klabang Ireng memperingati.

“Hap! Yeaaah...!”

Sambil memutar tubuhnya dengan cepat, Bayu menghentakkan tangan kanannya lurus ke depan tubuhnya. Dan seketika itu juga Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan kanannya melesat menyambut senjata rahasia yang dilemparkan Dewi Pedang Maut.

Cras!

Hanya sekali lesatan saja, Cakra Maut merontokkan semua senjata rahasia Dewi Pedang Maut. Dan kembali senjata bersegi enam keperakan itu melesat balik, lalu menempel lagi di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka ini. Bayu berdiri tegak dengan pandangan mata yang sangat tajam sekali, menatap langsung ke bola mata Dewi Pedang Maut. Dari sorot matanya yang tajam, sudah bisa dipastikan kalau Pendekar Pulau Neraka itu sama sekali tidak menyukai cara Dewi Pedang
Maut yang menyerangnya dari belakang.

Penyerangan dengan cara membokong seperti ini memang sangat tidak disukai Bayu. Baginya, membokong merupakan tindak pengecut yang tidak bisa diberi ampun lagi. Perlahan Bayu menggeser kakinya ke kanan. Dia melirik sedikit pada Klabang Ireng dan Rara Sawit yang berada agak jauh di belakangnya. Sementara Dewi Pedang Maut tersenyum-senyum, merasakan pancingannya berhasil untuk menaklukkan Pendekar Pulau Neraka ini.

“Dengar, Nisanak. Apapun alasanmu, aku paling tidak suka dengan caramu main bokong seperti itu,” terasa dingin sekali nada suara Bayu.

“Kalau kau tidak suka, kenapa kau tolak tawaranku...?” ringan sekali Dewi Pedang Maut menyahuti.

“Apa maumu sebenarnya?” tanya Bayu.

“Pedang Dewa Naga yang ada padamu,” sahut Dewi Pedang Maut tegas.

“Pedang Dewa Naga tidak ada padaku.”

“Kalau begitu, kau harus tunjukan di mana kau simpan pedang itu.”

“Pedang itu ada pemiliknya, Nisanak. Dan aku tahu, kau bukanlah orang yang tepat memiliki Pedang Dewa Naga. Jadi aku minta kau cepat tinggalkan tempat ini,” tegas Bayu langsung mengusir.

“Hik hik hik...!” '

Dewi Pedang Maut malah tertawa mengikik mendengar pengusiran tegas Pendekar Pulau Neraka itu. Dia benar-benar menganggap ringan pada pendekar muda yang selalu mengenakan baju dari kulit harimau ini. Dan tanpa berkata apapun juga, dia langsung mengebutkan tangan kanannya ke depan, sambil berteriak keras menggelegar.

“Hiyaaa...!”
Siap!
“Hup!”


***


Tepat disaat Dewi Pedang Maut melontarkan senjata rahasianya, Bayu melentingkan tubuhnya ke atas dengan berputaran dua kali di udara. Dan bagaikan kilat, dia melunak deras ke arah wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik ini Saa itu juga Bayu mengecutkan tangan kanannya ke depari sambil berteriak keras menggelegar.

“Hiyaaa...!”
Wusss...!

Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu seketika melesat dengan kecepatan bagai kilat Begitu cepatnya Cakra Maut melesat, hingga yang terlihat hanya kilatan cahaya keperakan saja. Dan ini membuat Dewi Pedang Maut jadi terbeliak. Tidak ada lagi kesempatan bagi Dewi Pedang Maut untuk berkelit menghindari serangan senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu. Dan....

“Hih!”
Cring!
“Yeaaah...!”
Bet!

Dewi Pedang Maut langsung mencabut pedangnya, dan dikebutkan ke depan, menyambut serangan Cakra Maut. Tapi tanpa diduga sama sekali, Cakra Maut seperti memiliki mata saja. Begitu pedang Dewi Pedang Maut berkelebat hendak menyambarnya, senjata Pendekar Pulau Neraka itu seketika melesat ke atas. Membuat Dewi Pedang Maut jadi terbeliak kaget setengah mati. Dan belum lagi hilang rasa keterkejutannya, Cakra Maut sudah melunak dengan deras mengarah ke kepalanya.

“Hih! Hiyaaat..!”
Bet!

Dewi Pedang Maut cepat-cepat memutar pedangnya ke atas kepala, berusaha melindungi dirinya dari sambaran senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu. Namun pada saat yang bersamaan, Bayu sudah menjejakkan kakinya di tanah, tepat seldtar dua langkah lagi di depan wanita ini. Dan seketika itu juga dia melepaskan satu pukulan yang sangat keras menggeledek, disertai dengan pengerahan tenaga dalamnya yang sudah sempurna tingkatannya.

“Yeaaah...!”

Mendapat serangan dari dua arah yang bersamaan waktunya seperti ini, Dewi Pedang Maut benar-benar jadi kelabakan setengah mati. Dan dia sama sekali tidak bisa lagi menghindari pukulan Pendekar Pulau Neraka itu. Hingga....

Begkh!
“Aaakh...!”

Dewi Pedang Maut menjerit keras, begitu pukulan Bayu yang keras dan bertenaga dalam sempurna menghantam telak di dadanya. Membuat tubuhnya terpental jauh ke belakang. Keras sekali dia jatuh menghantam tanah, membuatnya kembali menjerit.

Sementara Bayu menjejakkan kakinya kembali di tanah dengan gerakan yang begitu ringan sekali. Dewi Pedang Maut menggeliat sambil merintih, menahan sakit yang amat sangat di dadanya. Tampak cairan berwarna merah kental mengalir keluar dari sudut bibirnya. Tatapan matanya begitu tajam sekali bersorot langsung pada Pendekar Pulau Neraka yang berdiri sekitar tiga batang tombak di depannya. Pemuda itu hanya memandangi saja dengan wajah yang datar.

“Mudah bagiku untuk membunuhmu, Dewi Pedang Maut. Tapi aku sama sekali tidak mempunyai persoalan denganmu. Dan sebaiknya kau tidak perlu lagi bersusah payah mendapatkan Pedang Dewa Naga. Pedang itu sudah ada yang memiliki,” kata Bayu dingin menggetarkan.

Dewi Pedang Maut hanya diam saja. Dia menyemburkan ludah yang bercampur dengan darah. Tubuhnya yang ramping menggeliat sedikit. Namun rasa sakit dan sesak di dadanya membuat wanita itu tetap terbaring di tanah. Sementara Bayu sudah memutar tubuhnya berbalik, terus melangkah menghampiri Klabang Ireng dan Rara Sawit yang sejak tadi menunggu.

“Ayo...,” ajak Bayu, tidak menghentikan langkahnya sedikit pun juga.

Klabang Ireng menatap Dewi Pedang Mau sebentar. Kemudian dia melangkahkan kakinya menyusul Bayu dan Rara Sawit yang sudah berjalan lebih dahulu meninggalkan tempat ini. Tinggal Dewi Pedang Maut yang masih merintih, berusaha bangkit kembali sambil memegangi dadanya yang masih terasa nyeri dan sesak akibat terkena pukulan yang cukup dahsyat dari Pendekar Pulau Neraka.

“Phuih! Kau akan mati di tanganku, Pendekar Pulau Neraka...!” desis Dewi Pedang Maut geram, sambil menyemburkan ludahnya yang bercampur dengan darah.

Sementara Bayu, Klabang Ireng, dan Rara Sawit sudah jauh meninggalkannya. Hingga mereka tidak terlihat lagi, Dewi Pedang Maut baru bisa berdiri. Agak limbung tubuhnya. Tapi dia cepat menyangga dengan ujung pedang ditekan kuat ke tanah. Dewi Pedang Maut masih memandangi ke arah kepergian Pendekar Pulau Neraka.

Sekali lagi dia menyemburkan ludahnya dengan sengit. Lalu mulai berjalan dengan tertatih-tatih. Bara api dendam benar-benar tersirat pada kedua bola matanya. Dendam yang tidak mungkin bisa terlupakan begitu saja.


***


Jauh juga perjalanan yang harus ditempuh Klabang Ireng dan Rara Sawit yang mengikuti Pendekar Pulau Neraka. Dan tidak sedikit rintangan yang harus mereka hadapi. Terutama rintangan dari orang-orang persilatan, yang menginginkan Pedang Dewa Naga. Namun Pendekar Pulau Neraka bisa menghadapi segala rintangan itu, walaupun harus memeras keringat dan kepandaiannya. Dan setelah menempuh perjalanan sepanjang dua hari, akhirnya mereka sampai di sebuah tempat yang berbatu.

Mereka memandangi sekitarnya. Sepanjang mata memandang, hanya batu batuan saja yang tampak. Begitu gersang tempat ini, hingga matahari yang bersinar begitu terik sekali terasa menyengat kulit. Hanya ada satu pohon yang mereka lihat. Dan itu juga sudah tidak terlihat lagi daun-daunnya.

“Di mana pedang itu, Bayu?” tanya Klabang Ireng tidak sabaran.

“Tidak ada di sini,” sahut Bayu tanpa berpaling sedikit pun juga.

“Apa maksudmu tidak ada di sini, Bayu? Bukankah tadi kau mengatakan kalau kita bisa mendapatkan pedang itu di sini...?” selak Rara Sawit jadi tidak mengerti.

“Memang kita akan mendapatkan pedang itu di sini. Tapi pedang itu sekarang belum ada di sini,” sahut Bayu kalem.

“Aku tidak mengerti maksudmu, Bayu....”

“Kita akan menunggu di sini sampai pedang itu datang.”

“Berapa lama?” tanya Rara Sawit tidak sabaran.

Bayu tidak menjawab. Dia hanya mengangkat bahunya saja sedikit. Tanpa menghiraukan dua orang yang dibawanya ini, Pendekar Pulau Neraka itu langsung saja duduk di balik sebongkah batu yang sangat besar, dengan bagian bawahnya terdapat rongga seperti goa. Di tempat ini dia bisa melindungi dirinya dari sengatan matahari.

Sementara Klabang Ireng dan Rara Sawit hanya bisa memandangi saja tanpa dapat mengerti dengan sikap yang ditunjukkan Pendekar Pulau Neraka itu. Tapi mereka mendekati juga, tidak tahan dengan sengatan teriknya cahaya matahari. Rongga batu ini memang cukup besar juga, hingga bisa menampung mereka bertiga, dan melindunginya dari keganasan mentari. Dan untuk beberapa saat lamanya mereka hanya terdiam membisu, tidak ada yang membuka suara lebih dahulu.

“Kalian tunggu di sini,” kata Bayu tiba-tiba sambil bangkit berdiri.

“Mau ke mana kau?” tanya Klabang Ireng. Bayu tidak menjawab. Dia terus saja melangkah sambil menggendong monyet kecil yang selalu mengikutinya ke mana saja dia pergi. Monyet kecil yang bernama Tiren itu langsung nangkring di pundak Pendekar Pulau Neraka ini. Klabang Ireng dan Rara Sawit hanya saling berpandangan saja. Dan membiarkan Bayu pergi meninggalkannya. Bayu terus berjalan semakin jauh, hingga akhirnya tidak terlihat lagi.

“Aku jadi curiga. Jangan-jangan dia hanya mau menjebak kita berdua di sini,” kata Rara Sawit setengah bergumam, seakan dia bicara pada diri sendiri.

“Kenapa kau menaruh curiga padanya, Rara Sawit? Sudah jelas dia Pendekar Pulau Neraka,” kata Klabang Ireng, tidak setuju dengan pendapat Rara Sawit.

“Kelakuannya aneh,” sahut Rara Sawit.
“Aneh bagaimana?”
“Apa kau tidak merasa, untuk apa dia meninggalkan kita berdua di tempat seperti ini...?” Rara Sawit malah balik bertanya.

Klabang Ireng jadi terdiam. Memang kalau dirasakan, tingkah Pendekar Pulau Neraka yang selalu membawa monyet kecilnya itu sangat dirasakan aneh. Tapi Klabang Ireng ingat pada pesan gurunya, untuk pergi ke Bukit Sampan, dan menjumpai Pendekar Pulau Neraka. Pendekar itu yang akan menunjukkan di mana dia bisa mendapatkan Pedang Dewa Naga. Yang menurut gurunya adalah pedang warisan dari leluhurnya.

Sedangkan di sebelahnya kini, ada seorang gadis cantik yang juga mengakui kalau Pedang Dewa Naga adalah miliknya. Kebimbangan mulai menyelimuti hati Klabang Ireng. Sebentar dia mengarahkan pandangannya ke arah mana tadi Bayu pergi. Dan sebentar kemudian dia menatap pada Rara Sawit.

Sedangkan Rara Sawit sendiri kelihatan mengarahkan pandangannya lurus ke depan. Merayapi batu-batuan yang ada di sekitarnya. Perlahan Klabang Ireng bangkit berdiri. Rara Sawit langsung menatapnya dengan sinar mata yang cukup tajam.

“Kau juga mau pergi, Klabang Ireng?” tanya Kara Sawit menegur.

“Aku mau cari pedang itu di sekitar sini,” sahut Klabang Ireng seraya melangkah keluar dari relung batu ini.

“Kau percaya kalau ini tempatnya?” tanya Rara Sawit lagi, sambil ikut berdiri dan melangkah keluar mengikuti Klabang Ireng. Namun Klabang Ireng tidak menjawab sedikit pun juga. Dia terus saja berjalan perlahan-lahan dengan mata menatap tajam beredar berkeliling. Sedangkan Rara Sawit hanya berdiri diam saja memandangi pemuda itu. Entah apa yang ada di dalam pikiran gadis ini.

Sementara Klabang Ireng terus melangkah sambil meneliti setiap jengkal yang dilewatinya. Namun tidak ada tanda-tanda di mana adanya Pedang Dewa Naga berada. Lama juga Klabang Ireng mencari, sampai matahari condong ke arah barat. Sedangkan Rara Sawit sama sekali tak berusaha mencari. Dia menunggu saja dari dalam relung batu yang melindungi dirinya dari sengatakan matahari. Tapi matanya tidak lepas dari Klabang Ireng. Dan disaat matahari hampir tenggelam di ufuk barat, mendadak saja tanah berbatu yang ada di sekitar mereka bergetar bagai diguncang gempa.

“Hup!”

Rara Sawit cepat-cepat melompat keluar dari relung batu ini. Sedangkan Klabang Ireng juga langsung berlari mendekati gadis ini. Dan belum lagi hilang rasa keterkejutan mereka, tiba-tiba terlihat secercah cahaya kilat di angkasa. Kilatan cahaya terang itu meluruk deras ke arah dua anak muda ini.

“Awas...!” seru Klabang Ireng.
“Hup!”
“Hiyaaa...!”

Mereka berlompatan menghindari kilatan cahaya itu. Berjumpalitan di udara, dan kembali menjejakkan kakinya di tanah yang berbatu ini. Saat itu juga kilatan cahaya tadi lenyap bagai tertelan bumi. Dan getaran yang mengguncang tempat itu juga menghilang tidak terasakan lagi.

Keanehan ini membuat Klabang Ireng dan Rara Sawit jadi saling berpandangan. Namun entah kenapa, mereka seperti mempunyai satu ikatan untuk tidak berpisah. Padahal semula mereka saling bermusuhan. Bahkan hampir saling bunuh.

“Hati-hati, Rara Sawit,” ujar Klabang Ireng memperingatkan.

“Iya,” sahut Rara Sawit perlahan.


***


ENAM

Lama juga tidak ada lagi kejadian yang dialami Klabang Ireng dan Rara Sawit. Namun mereka seakan tidak berani untuk meninggalkan tempat ini. Dan sikap mereka masih terus berwaspada. Sementara malam sudah jatuh menyelimuti sekitarnya. Dan kegelapan pun membuat pandangan mereka jadi terhalang. Angin mulai terasa dingin mengusap kulit Namun kedua anak muda itu masih tetap berdiri tegak berdampingan tanpa berbicara sedikit pun juga. Dan pada saat kegelapan benar-benar sudah menyatu dengan alam, tiba-tiba saja Klabang Ireng melihat secercah cahaya dari atas bukit yang berada tidak seberapa jauh dari daerah berbatuan ini.

“Lihat, Rara Sawit..!” seru Klabang Ireng seraya menunjuk ke puncak bukit yang kelihatan gersang dan berbatu ini.

“Mungkinkah ada orang di sana...?” desis Rara Sawit seperti bertanya pada diri sendiri.

“Sebaiknya aku lihat ke sana,” kata Klabang Ireng.

“Tunggu...!” sentak Rara Sawit mencegah, sebelum Klabang Ireng bergerak.

“Lihat, Rara Sawit..!” seru Klabang Ireng seraya menunjuk ke puncak bukit yang kelihatan gersang dan berbatu itu.

“Sebaiknya aku ke sana!”

“Tunggu...!” cegah Rara Sawit “Kau tidak bisa pergi sendirian ke sana!”

“Kenapa? Kau takut aku menguasai pedang itu sendiri...?” terdengar sinis suara Klabang Ireng.

Klabang Ireng berpaling menatap gadis itu.

“Kau tidak bisa pergi sendirian ke sana, Klabang Ireng,” kata Rara Sawit agak datar suaranya.

“Kau takut aku akan menguasai pedang itu sendiri...?” terdengar agak sinis nada suara Klabang Ireng.

“Pedang itu milikku, Klabang Ireng. Ingat, aku yang berhak atas Pedang Dewa Naga.”

“Siapa bilang...? Aku yang lebih berhak memilikinya. Karena aku adalah cucu tunggal Eyang Kampayak.”

“Aku yang berhak!” tukas Rara Sawit mendelik.

“Kita buktikan nanti, siapa yang paling berhak memilikinya. Aku atau kau!” tantang Klabang Ireng.

“Baik, kita buktikan sekarang,” balas Rara Sawit mantap.

Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka langsung saja berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah tinggi tingkatannya, menuju ke arah titik cahaya di atas bukit.

Mereka terus berlari dengan kecepatan tinggi, seakan-akan saling berlomba agar bisa sampai lebih dulu. Tapi tampaknya tingkat ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki sejajar, sehingga mereka terus beriringan tanpa ada yang tertinggal sedikit pun juga.

Begitu tingginya ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki, sehingga dalam waktu tidak berapa lama mereka sudah sampai di tempat yang mereka tuju. Sebuah bukit yang hanya terdiri dari batu-batu bertumpuk. Kelihatan begitu rapuh sekali bukit ini. Dan cahaya itu terlihat jelas, berada tepat di puncak bukit Begitu terang dan menyilaukan mata. Membuat kedua anak muda ini jadi terperangah memadangnya.

Mereka terus memandang dari kaki bukit batu ini tanpa berkedip sedikit pun juga. Dan untuk beberapa saat lamanya mereka jadi terdiam mematung dengan kepala terdongak memandang cahaya yang memancar dari puncak bukit batu di depannya ini.

“Ayo kita daki bukit ini,” ajak Klabang Ireng begitu tersadar dari keterpanaannya.

“Tunggu dulu...!” sentak Rara Sawit, sambil mencekal pergelangan tangan pemuda itu.

Klabang Ireng yang sudah bersiap hendak melangkah mendaki bukit batu ini, jadi menghentikan keinginannya. Dan dia langsung berpaling menatap pada gadis cantik di sebelahnya. Saat itu Rara Sawit langsung tersadar. Cepat-cepat dia melepaskan cekalan tangannya pada pergelangan tangan pemuda itu. Seketika wajahnya jadi menyemburat merah.

Dan dia mengarahkan pandangannya ke arah lain, seakan ingin menyembunyikan wajahnya yang mendadak jadi terasa panas. Entah kenapa, dadanya terasa begitu cepat berdetak. Dan darahnya juga jadi bergolak tidak seperti biasanya. Namun cepat Rara Sawit bisa menguasai keadaan dirinya yang mendadak saja jadi terasa ganjil ini.

“Kenapa kau selalu mencegahku, Rara Sawit? Apa kau takut aku akan serakah menguasai pedang itu sendiri?” tegur Klabang Ireng dengan nada suara yang terdengar agak dingin.

“Aku.... Aku, aku hanya...,” entah kenapa, Rara Sawit jadi tergagap.

“Dengar, Rara Sawit. Kalau pedang itu sudah kita temukan, di sana nanti kita akan tentukan siapa diantara kita berdua yang berhak memilikinya,” kata Klabang Ireng lagi, tanpa mempedulikan ketergagapan gadis itu.

“Terserah kau, Klabang Ireng,” sambut Rara Sawit sudah mulai agak tenang suaranya kini.

“Tapi kini aku hanya ingin mengatakan, sebaiknya kita pikirkan dulu untuk mendaki bukit ini. Apa kau tidak lihat, bagaimana rapuhnya bukit ini...? Lihat, Klabang Ireng.

Sedikit saja melakukan kesalahan, aku yakin bukit ini akan ambruk mengubur kita semua di sini.” Klabang Ireng jadi tertegun, memandangi bukit batu yang ada di depannya ini. Dan di dalam hatinya dia mengakui kebenaran dari kata-kata Rara Sawit barusan.

Bukit ini memang kelihatan begitu rapuh sekali. Bahkan bukit ini hanya terdiri dari batu-batu yang bertumpuk. Seakan-akan memang sengaja dibuat tangan manusia. Klabang Ireng mengakui didalam hati, perlu pengerahan ilmu meringankan tubuh yang lebih lagi untuk bisa mendaki bukit ini sampai ke puncak. Sedangkan dia menyadari kalau ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sekarang ini, belum cukup untuk mengimbangi kerapuhan bukit ini. Dan yang pasti, beban berat tubuhnya akan membuat batu-batu bukit ini berguguran.

Sesaat Klabang Ireng beralih menatap pada Rara Sawit Seakan dia tengah mengukur tingkat ilmu meringankan tubuh yang dimiliki gadis ini. Dia tahu kalau ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Rara Sawit seimbang dengan yang dimilikinya. Jadi tidak mungkin mereka berdua mendaki bukit batu ini. Terlalu besar resikonya yang harus mereka hadapi nanti.

Sedangkan cahaya terang yang memendar dari atas bukit itu sudah membuat mereka berdua begitu yakin, kalau Pedang Dewa Naga yang selama ini mereka cari ada di sana. Dan cahaya yang memendar terang itu berasal dari Pedang Dewa Naga.

“Kau tunggu saja di sini, Rara Sawit. Kalau aku gagal nanti, kau bisa menggantikanku,” kata Klabang Ireng.

“Tidak...!” sentak Rara Sawit tegas. Klabang Ireng jadi mendelik.

“Kalau kau naik ke bukit ini, aku juga ikuti naik,” kata Rara Sawit lagi tetap tegas.

“Jangan main-main, Rara Sawit. Kau sendiri yang memperingatkan tadi. Tapi sekarang, kau keras kepala mau tetap mendaki bukit ini,” dengus Klabang Ireng jadi sengit.

“Aku yang menentukan dalam hal ini!” bentak Rara Sawit tidak mau kalah sengitnya.

“Heh...?! Memangnya kau ini apaku...?”

“Jangan bilang aku ini apamu, Klabang Ireng. Karena aku yang lebih berhak atas pedang itu daripada kau!”

“Edan...! Kau benar-benar keras kepala, Rara Sawit Menyesal aku bertemu denganmu,” dengus Klabang Ireng menggerutu kesal.

Rara Sawit hanya mencibir saja sambil mendengus kecil. Dia kemudian mengayunkan kakinya beberapa langkah ke depan. Klabang Ireng tidak mau ketinggalan. Dia cepat melangkah hendak menyusul gadis ini. Tapi baru saja kakinya berada di depan satu langkah, Rara Sawit sudah mengibaskan tangannya ke samping.

“Haiiit..!”

Klabang Ireng cepat menghentakkan tangannya, menangkis kibasan tangan gadis ini. Dan kedua tangan itu seketika beradu dengan keras.

Plak!
“Upths!”
“Hap...!”

Mereka sama-sama berlompatan ke samping, hingga terdapat jarak sekitar satu batang tombak. Manis sekali mereka menjejakkan kakinya secara bersamaan di tempat yang berbatu ini. Dan sekarang mereka sama-sama berdiri saling berhadapan, dengan tatapan mata yang tajam, tidak ada yang mau mengalah sedikit pun juga.


***


“Tingkahmu semakin memuakkan saja, Rara Sawit,” desis Klabang Ireng tidak dapat lagi menahan kesabarannya.

“Seharusnya kau mau mengalah sedikit”

“Huh! Enak saja kau bicara!” dengus Rara Sawit mangkel.

“Aku datang jauh-jauh hanya dengan satu tujuan. Tapi kau seenaknya saja bicara. Kau pikir aku tidak mampu menghajarmu...?”

Merah seluruh wajah Klabang Ireng mendengar kata-kata Rara Sawit yang begitu pedas dan menyakitkan. Dia merasa benar-benar direndahkan gadis ini. Memang beberapa waktu yang lalu, Rara Sawit hampir saja memenggal kepalanya, kalau Pendekar Pulau Neraka tidak segera datang dan menyelamatkannya. Tapi waktu itu Klabang Ireng terlalu meremehkan kemampuan gadis ini, sehingga dia lengah, dan pukulan Rara Sawit sampai mendarat di dadanya.

Tapi sekarang, Klabang Ireng tidak bisa lagi memandang sebelah mata pada gadis yang sudah membuat hatinya jengkel ini. Terlebih lagi kata-kata Rara Sawit tadi benar-benar merendahkan dirinya. Jelas sekali dari sikap kata-katanya yang selalu menyakitkan itu, Rara Sawit sudah memandang rendah pada pemuda ini. Dan tadi Rara Sawit sudah membuka tantangan secara terbuka. Pantang bagi Klabang Ireng mendiamkan tantangan itu.

“Seharusnya kau diberi sedikit pelajaran, agar tahu adat,” desis Klabang Ireng dingin menggetarkan.

“O..., jadi kau ingin membuktikan kejantananmu lagi? Baik, jangan menyesal kalau kau mati sebelum melihat Pedang Dewa Naga,” sambut Rara Sawit tidak kalah dinginnya.

“Sombong...!” dengus Klabang Ireng semakin geram hatinya.

“Ayo, aku beri kesempatan kau sepuluh jurus, Klabang Ireng,” tantang Rara Sawit lagi.

Klabang Ireng malah diam saja, dengan pandangan mata yang bersorot sangat tajam, menembus langsung ke bola mata gadis itu. Sementara Rara Sawit jadi tersenyum sinis, membalas tatapan pemuda itu dengan sinar mata yang merendahkan.

“Sebelum sampai sepuluh jurus, kau akan menyembah di telapak kakiku, Perempuan Liar!” desis Klabang Ireng memanasi.

“Keparat! Kau akan menyesal, Klabang Ireng!” geram Rara Sawit langsung memerah wajahnya dikatakan perempuan liar.

Sret!
Cring...!

Rara Sawit langsung saja mencabut pedangnya, dan disilangkan ke depan dada. Sementara Klabang Ireng jadi tersenyum tipis melihat gadis itu sudah langsung mencabut pedangnya. Sedikit dia menggeser seruling hitam yang selalu terselip di balik ikat pinggangnya.

“Ayo! Maju kau, Keparat!” bentak Rara Sawit tidak bisa lagi menahan kegeramannya.

“Kau memberiku sepuluh jurus, Perempuan Liar. Sekarang aku beri kau kesempatan sepuluh jurus,” balas Klabang Ireng semakin memanasi.

“Setan...! Kupenggal kepalamu! Hiyaaat..!”

Rara Sawit tidak bisa lagi menahan kemarahannya. Dia langsung saja melompat sambil berteriak nyaring, menyerang pemuda ini. Pedangnya begi tu cepat sekali dikibaskan mengarah langsung ke batang leher.

Bet!
“Haiiit...!”

Namun hanya dengan sedikit saja Klabang Ireng menarik kepalanya ke belakang, ujung pedang Rara Sawit berkelebat lewat di depan tenggorokannya. Dan pada saat itu juga, Klabang Ireng memberikan satu sodokan cepat ke dada gadis ini.

“Kurang ajar! Hih...!”

Semakin memerah wajah Rara Sawit melihat tangan Klabang Ireng menyorong ke arah dadanya. Sambil membentak, dia memutar pedangnya ke depan dada. Namun dengan gerakan berputar yang begitu indah sekali Klabang Ireng bisa menghindari tangannya dari tebasan pedang gadis ini. Dan sambil meliukkan tubuhnya, dia melepaskan satu tendangan keras menggeledek yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.

“Yeaaah...!”
“Upths!”

Rara Sawit cepat melompat ke belakang, menghindari tendangan dahsyat pemuda ini. Namun belum juga kedua kakinya menjejak tanah, Klabang Ireng sudah melompat dengan kecepatan yang sangat tinggi sambil mencabut senjatanya yang berbentuk sebuah seruling hitam pekat. Dan bagai kilat dia mengebutkan seruling hitam itu ke pinggang gadis ini.

Wut!
“Aikh...?!”

Rara Sawit jadi tersentak kaget setengah mati. Cepat-cepat dia memutar tubuhnya, hingga sabetan seruling hitam itu tidak sampai menyambar pinggangnya. Dan dengan manis sekali dia berhasil menjejakkan kakinya di tanah. Tepat pada saat itu, Klabang Ireng memberikan satu pukulan keras dengan tangan kirinya sambil berteriak lantang menggelegar.

“Hiyaaa...!”
“Hup!”

Rara Sawit kembali harus melentingkan tubuhnya ke udara, menghindari pukulan Klabang Ireng yang begitu dahsyat bagai halilintar ini. Klabang Ireng tidak bisa lagi menahan arus pukulannya yang begitu deras. Sehingga kepalan tangannya menghantam dinding kaki bukit batu ini. Dan....

Glarrr...!

Satu ledakan yang begitu keras seketika terdengar menggelegar. Dan seketika itu juga bukit batu yang menjadi persoalan mereka ini bergetar hebat bagai diguncang gempa. Suara gemuruh terdengar membuat kedua orang yang sedang bertarung ini jadi tersentak kaget setengah mati. Namun Rara Sawit yang sudah begitu marah, tidak mau mempedulikan bukit batu yang bergetar bagai hendak runtuh ini. Dia langsung saja melesat begitu cepat sekali dengan ujung pedang tertuju lurus kedepan dada lawannya ini sambil berteriak nyaring melengking.

“Hiyaaat..!”
“Hup! Yeaaah...!”

Klabang Ireng yang sempat melihat bukit batu itu akan runtuh, cepat-cepat dia melentingkan tubuhnya ke belakang, dan terus berputaran beberapa kali di udara sebelah serangan Rara Sawit sampai.

“Hup! Yeaaah...!”

Klabang Ireng kembali melesat begitu kakinya menjejak batu. Dan kembali dia berputaran di udara, bergerak cepat ke belakang. Sementara Rara Sawit yang belum menyadari keadaan, terus mengejar pemuda ini sambil mengecutkan pedangnya dengan cepat Gadis itu terus berlompatan mengejar lawannya yang terus saja berjumpalitan di udara sambil bergerak ke belakang.

“Hap!”

Begitu merasa jaraknya sudah cukup jauh dari bukit batu yang terus bergetar runtuh ini, Klabang Ireng tidak lagi melentingkan tubuhnya ke belakang. Dan dia berdiri tegak memperhatikan Rara Sawit yang terus meluruk deras, bagai anak panah dilepaskan dari busurnya.

“Rara Sawit, hentikan semua ini...!” seru Klabang Ireng mencoba memperingati.

“Kau harus mampus, Klabang Ireng Keparat! Hiyaaa...!”


***


Rara Sawit sama sekali tidak mempedulikan peringatan Klabang Ireng. Dan dia terus saja menyerang pemuda ini dengan jurus pedangnya yang begitu cepat dan dahsyat. Klabang Ireng terpaksa harus berjumpalitan kembali di udara, menghindari setiap serangan Rara Sawit yang begitu dahsyat itu.

Tapi Klabang Ireng bergerak semakin menjauhi bukit batu. Dan sama sekali dia tidak melancarkan serangan balasan. Sikap Klabang Ireng yang sebenarnya ingin menyelamatkan diri mereka berdua dari kehancuran bukit batu itu, malah diartikan Rara Sawit lain. Gadis ini merasa pemuda itu sudah merendahkannya dengan terus menghindar tanpa mau membalas serangannya sedikit pun juga. Bahkan Klabang Ireng terus bergerak mundur dengan berjumpalitan di udara.

“Pengecut kau, Klabang Ireng! Hiyaaat..!” teriak Rara Sawit sengit.

Bentakan Rara Sawit begitu keras menggelegar. Dan seketika itu juga dia mengebutkan pedangnya tepat mengarah ke dada dan leher Klabang Ireng dengan kecepatan yang sangat tinggi, hingga bentuk pedangnya lenyap, dan yang terlihat hanya kilatan cahaya putih keperakan menyambar ke arah dada dan leher dalam waktu yang hampir bersamaan.

“Upths...!”

Klabang Ireng berhasil menghindari tebasan pedang itu pada lehernya. Namun saat pedang itu berputar mengarah ke dada, sama sekali tidak ada kesempatan bagi Klabang Ireng untuk berkelit menghindarinya. Dan ujung pedang itu siap merobek dadanya. Namun disaat ujung pedang itu seulung rambut lagi menyentuh dada Klabang Ireng, mendadak saja secercah cahaya putih keperakan berkelebat dengan kecepatan bagai kilat menyambar Rara Sawit ini. Dan....

Trang!
“Ikh...?!”

Rara Sawit jadi terpekik kaget, begitu merasakan pedangnya bagai membentur sebongkah batu cadas yang teramat keras. Hingga dia terpaksa harus menarik pulang serangannya, dan melompat ke belakang sejauh lima langkah sambil berputaran di udara dua kali. Tampak bibirnya meringis begitu kakinya menjejak tanah berbatu yang bergetaran seperti diguncang gempa sejak tadi ini.

Benturan cahaya putih keperakan bagai kilat pada pedangnya tadi, membuat seluruh persendian tulang kanan gadis ini jadi terasa nyeri. Dan belum lagi Rara Sawit bisa menyadari apa yang telah terjadi tadi, terlihat sebuah bayangan kuning berkelebat begitu cepat sekali, hingga tahu-tahu di antara dia dan Klabang Ireng sudah berdiri seorang pemuda berbaju kulit harimau, dengan seekor monyet kecil berbulu hitam pekat berada di pundaknya.

“Bayu...,” desis Rara Sawit langsung mengenali.

Pemuda yang baru datang itu memang Bayu, yang lebih dikenal dengan nama sebutan Pendekar Pulau Neraka. Dia berdiri tepat di antara Rara Sawit dan Klabang Ireng yang sama-sama menghunus senjatanya ini.

“Untuk apa kalian bertarung?” terasa begitu dingin sekali nada suara Bayu.

Tidak ada seorang pun yang menjawab pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu. Entah kenapa, mulut mereka seakan terkunci, melihat wajah angker yang ditunjukkan Bayu. Seakan-akan Pendekar Pulau Neraka itu memiliki satu kekuatan aneh yang membuat mereka tidak ada yang bisa mengeluarkan suara.

“Masukkan senjata kalian!” bentak Bayu memerintah.

Kembali Klabang Ireng dan Rara Sawit tidak bisa membantah perintah Pendekar Pulau Neraka itu. Tanpa diperintah dua kali, mereka menyimpan senjatanya masing-masing. Seperti anak kecil yang ketahuan nyolong mangga, mereka tertunduk tidak berani membalas tatapan mata Pendekar Pulau Neraka yang begitu tajam memandangi mereka berdua bergantian.

“Apa yang kalian perebutkan?” tanya Bayu lagi.

Tidak ada seorang pun yang menjawab. Dan perlahan mereka sama-sama mengangkat kepalanya, lalu secara bersamaan pula mereka menatap ke arah puncak bukit batu yang kini sudah tenang kembali. Tampak tidak sedikit batu-batu dari bukit itu yang berguguran. Dan di atas puncak bukit itu, masih terlihat semburat cahaya terang benderang, yang membuat daerah sekitarnya jadi terang, seperti tersiram cahaya rembulan.

Padahal malam ini di langit tidak terlihat bulan sedikit pun juga. Bahkan tidak satu pun bintang menggantung di sana. Langit kelihatan begitu kelam pekat, tersaput awan hitam yang tebal bergulung-gulung. Membuat udara disekitar bukit batu itu jadi terasa dingin menggigilkan tubuh.

“Kalian tahu, apa yang ada di sana?” tanya Bayu lagi, langsung bisa mengetahui arti pandangan mata Klabang Ireng dan Rara Sawit yang tertuju ke puncak bukit.

Kembali tidak ada seorang pun yang menjawab. Mereka malah mengarahkan matanya, memandang Pendekar Pulau Neraka ini. Sementara Bayu menurunkan Tiren dari pundaknya. Dan monyet kecil itu mencerecet ribut, begitu terlepas dari pundak pemuda ini. Seakan dia tidak senang menginjak bebatuan yang terasa begitu dingin membekukan tulang.

“Kau ke sana, Tiren,” pinta Bayu seraya menunjuk ke puncak bukit.

“Nguk!”

Tanpa diminta dua kali, monyet kecil berbulu hitam pekat itu langsung berlarian berjingkrakan menuju ke bukit batu. Dengan gerakan yang begitu lincah dan ringan sekali, Tiren mendaki bukit batu itu dengan cepat. Sementara Klabang Ireng dan Rara Sawit hanya bisa memandangi saja tanpa dapat mengeluarkan suara lagi. Dan Bayu terus memandangi monyet kecil itu sampai menghilang dari pandangan matanya.

Dan setelah beberapa saat menunggu, tiba-tiba saja cahaya terang yang ada di puncak bukit itu padam. Klabang Ireng dan Rara Sawit jadi terkejut. Meskipun mulut mereka tenganga, tapi tidak ada suara sedikit pun juga yang terdengar. Sedangkan Bayu sudah mengayunkan kakinya mendekati bukit batu itu. Dia baru berhenti melangkah setelah berada di kaki bukit ini. Dan pada saat itu, Tiren terlihat berlompatan dengan gerakan yang begitu ringan sekali menuruni lereng bukit.

“Nguk! Craaagkh...!”

Jeritan monyet kecil berbulu hitam yang nyaring itu, sempat membuat telinga mereka yang mendengar jadi terasa sakit. Sementara Klabang Ireng dan Rara Sawit menunggu dengan segudang pertanyaan berkecamuk di dalam kepalanya, Tiren sudah dekat dengan Pendekar Pulau Neraka. Dan pemuda berbaju kulit harimau itu menjulurkan tangannya. Tiren langsung melompat naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka itu melalui tangan yang menjulur padanya.

“Kalian lihat ini...!” seru Bayu seraya memutar tubuhnya berbalik.

“Hah...?!”
“Oh...?!”

Klabang Ireng dan Rara Sawit jadi terkejut setengah mati, dengan bola mata terbeliak dan mulut ternganga lebar. Seakan mereka tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Padahal tadi mereka tidak melihat Tiren membawanya, tapi sekarang di tangan Pendekar Pulau Neraka itu...

“Pedang Dewa Naga...,” desis Klabang Ireng, hampir tidak terdengar suaranya.

Sementara Bayu sudah melangkah perlahan menghampiri mereka. Dia berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar empat langkah lagi. Dia memandangi Klabang Ireng dan Rara Sawit bergantian. Sedangkan yang dipandangi malah memperhatikan pedang bersarung putih keperakan, dengan bagian gagangnya berbentuk kepala seekor naga berwarna putih keperakan juga. Tampak pada bagian pangkal sarung pedang dekat gagang, menyemburat cahaya keperakan.

Pedang yang berada di dalam genggaman tangan Pendekar Pulau Neraka itu memang Pedang Dewa Naga yang menjadi permasalahan selama ini. Pedang yang membuat tokoh-tokoh persilatan selalu memimpikan untuk memilikinya. Bahkan menjadi rebutan antara Klabang Ireng dan Rara Sawit yang sama-sama mengakui menjadi pewaris yang sah dari pedang itu.

“Sekarang kalian sudah tahu pedang ini memang ada. Hanya satu orang yang berhak memiliki pedang ini. Dan pada tubuh orang itu harus mengalir darah dari pembuatnya. Aku tidak tahu, siapa diantara kalian berdua yang berhak memilikinya. Tapi aku mendapat amanat untuk menyerahkan pedang ini diantara kalian berdua,” kata Bayu dengan nada suara yang tegas.

“Aku siap bertarung sampai mati untuk membuktikannya, Bayu,” sambut Rara Sawit mantap.

“Bukan itu yang kumaksudkan,” kata Bayu seraya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

“Lalu, bagaimana kau akan membuktikan siapa yang paling berhak?” tanya Klabang Ireng ingin tahu.

Bayu tidak menjawab. Dia hanya tersenyum saja mendengar pertanyaan Klabang Ireng barusan. Seakan pertanyaan itu membuat hatinya tergelitik. Senyum Pendekar Pulau Neraka itu membuat Klabang Ireng dan Rara Sawit jadi saling melemparkan pandangan. Kemudian mereka memandangi Pendekar Pulau Neraka itu dengan sinar mata yang sukar untuk diartikan.

“Katakan, Bayu. Siapa di antara kami yang berhak memilikinya,” desak Rara Sawit tidak sabar lagi.

Dan belum juga Bayu menjawab pertanyaan gadis itu, tiba-tiba saja terdengar suara keras yang menggelegar mengejutkan.

“Kalian semua tidak berhak...!”
“Heh...?!”
“Oh...?!”

Belum lagi hilang suara yang keras menggelegar itu, muncul seorang wanita setengah baya, yang diiringi sekitar tiga puluh orang gadis-gadis cantik membawa tombak dari arah selatan. Dan tidak lama kemudian, dari arah timur muncul juga seorang laki-laki tua berjubah putih yang berjalan menggunakan tongkat bersama sekitar dua puluh orang pemuda-pemuda bersenjata golok.

“Dewi Pedang Maut..,” desis Rara Sawit.

“Ki Jamparut..,” desis Klabang Ireng hampir bersamaan.

Mereka memang Ki Jamparut dan Dewi Pedang Maut. Mereka datang tepat di saat Pendekar Pulau Neraka sudah mendapatkan Pedang Dewa Naga. Dan ini sebentar saja tempat ini sudah dipenuhi dua kekuatan yang cukup besar itu. Bayu bergegas melangkah lebih dekat dengan kedua anak muda ini. Seakan dia ingin melindungi mereka berdua dengan Pedang Dewa Naga yang berada di tangannya kini.

“Serahkan pedang itu padaku, Pendekar Pulau Neraka!” bentak Dewi Pedang Maut lantang.

“Untuk apa aku menyerahkan pedang ini padamu, Nisanak? Bukan kau yang berhak memilikinya,” sahut Bayu tegas.

“Siapa saja berhak memilikinya, Bocah!” bentak Ki Jamparut menyelak lantang.

“Ada yang lebih berhak daripada kalian,” sahut Bayu tetap tegas. “Dan aku tahu siapa yang berhak memiliki pedang ini.”

“Huh! Alasan saja...! Aku tahu, kau juga ingin memilikinya,” dengus Dewi Pedang Maut dingin.

Bayu hanya tersenyum saja. Dia melangkah dua tindak ke depan, mendekati wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik ini. Meskipun kata-kata Dewi Pedang Maut tadi begitu menyakitkan telinga, tapi Bayu sama sekali tidak menghiraukan. Bahkan dia kelihatan begitu tenang sekali, menyelipkan Pedang Dewa Naga ke balik ikat pinggangnya. Sedikit Bayu berpaling, menatap pada Klabang Ireng dan Rara Sawit.

“Menyingkirlah kalian. Mereka bukan tandingan kalian berdua,” kata Bayu meminta.

Klabang Ireng dan Rara Sawit saling berpandangan sejenak. Kemudian mereka melangkah ke belakang, menjauhi Pendekar Pulau Neraka itu. Sementara Bayu sendiri menurunkan Tiren dari pundaknya. Monyet kecil berbulu hitam itu seperti tahu akan bahaya yang sedang dihadapi Pendekar Pulau Neraka ini. Dia bergegas berlari menghampiri bongkah batu yang cukup besar di belakang Pendekar Pulau Neraka.

Dengan gerakan yang sangat ringan sekali monyet kecil itu melomapt naik atas batu. Bayu tersenyum melihat Tiren, Klabang Ireng, dan Rara Sawit sudah berada di tempat yang cukup aman.

“Apa yang kalian inginkan sekarang...?” tanya Bayu dengan nada suara yang terdengar dingin menggetarkan.

Dewi Pedang Maut dan Ki Jamparut saling berpandangan beberapa saat, mendengar pertanyaan Bayu yang bernada menantang itu. Mereka sudah sama-sama tahu siapa Pendekar Pulau Neraka ini. Seorang pendekar muda digdaya yang sukar dicari tandingannya. Dan mereka sudah pernah bentrok dengannya. Mereka juga sama-sama menyadari kalau tingkat kepandaian yang dimilikinya belum cukup untuk menandingi Pendekar Pulau Neraka ini.

Tapi mereka begitu menginginkan Pedang Dewa Naga menjadi milikinya. Dengan pedang itu, kekuatan yang mereka miliki akan berlipat ganda.

“Bagaimana, Ki?” tanya Dewi Pedang Maut meminta pendapat.

“Kita serang saja sama-sama. Kalau sudah beres, baru kita tentukan nanti antara kita berdua,” sahut Ki Jamparut mantap.

Dewi Pedang Maut menganggukkan kepalanya sambil mengembangkan senyuman tipis yang terasa begitu pahit sekali. Dia tahu, walaupun sekarang harus bergabung dengan Ki Jamparut, tapi urusan mereka untuk mendapatkan Pedang Dewa Naga nanti juga akan ditentukan dengan darah. Dan sekarang mereka berdua harus menghadapi Pendekar Pulau Neraka bersama-sama.

“Sekarang, Ki...,” ujar Dewi Pedang Maut.

“Ya!” sahut Ki Jamparut mantap. “Gunakan dulu orang-orang kita.”

Dewi Pedang Maut kembali mengangguk. Dan....

“Seraaang...!”

Secara bersamaan, Dewi Pedang Maut dan Ki Jamparut berteriak lantang menggelegar memberikan perintah pada pengikutnya. Dan seketika itu juga, mereka yang sejak tadi berada di belakang kedua orang ini langsung berlarian meluruk ke arah Pendekar Pulau Neraka.


***


Kaki bukit yang berbatu itu seakan dilanda gempa, bergemuruh menggetarkan begitu sekitar lima puluh orang berhamburan, meluruk deras menyerang Pendekar Pulau Neraka dengan berlarian sambil berteriak-teriak membahana. Membuat malam yang pekat dan dingin seketika menjadi hangat dan gegap gempita bagai hendak meruntuhkan bukit batu ini.

Sementara Bayu tetap berdiri tegak dengan kedua tangan terkepal di samping pinggangnya. Tatapan matanya begitu tajam sekali memandang orang-orang yang berhamburan, meluruk deras ke arahnya. Dan begitu mereka dekat, dengan jarak kurang dari satu batang tombak lagi...

“Hiyaaa...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Pulau Neraka itu menghentakkan kedua tangannya tepat ke depan ujung kakinya. Dan seketika itu juga, batu-batu yang ada di depan kakinya berhamburan terhantam kekuatan dahsyat dari pukulan bertenaga dalam tinggi Pendekar Pulau Neraka itu.

Batu-batu yang berhamburan itu langsung menghujani mereka yang berlarian hendak menyerang Pendekar Pulau Neraka ini. Begitu cepatnya kejadian itu, sehingga mereka tidak sempat lagi menyadari. Dan batu-batu itu langsung menghantam batok kepala mereka, hingga membuat jeritan-jeritan melengking seketika terdengar menyayat saling sambut.

Seketika itu juga tubuh-tubuh dengan kepala pecah terhantam batu, jatuh bergelimpangan mengiringi jeritan-jeritan panjang yang melengking menyayat hati. Dan Bayu kembali menghentakkan kedua tangannya dengan jari-jari terkembang ke depan sambil berteriak keras menggelegar menggetarkan jantung.

“Yeaaah...!”
Brolll!

Kembali batu-batu di depan Pendekar Pulau Neraka itu berhamburan terhempas angin pukulan kedua tangan pemuda ini. Dan terus menghujani pengikut Dewi Pedang Maut dan Ki Jamparut. Membuat mereka semakin kelabakan, berhamburan berusaha mencari selamat. Tapi batu-batu yang terlontar itu bagaikan hujan saja datangnya. Hingga mereka tidak punya lagi peluang untuk bisa menyelamatkan diri.

Jerit dan pekikan panjang melengking menyayat, terus terdengar saling sambut disusul dengan berjatuhnya tubuh-tubuh berlumuran darah. Tidak seorang pun yang bisa bangkit lagi begitu tubuhnya menghantam tanah berbatu ini. Darah berhamburan membasahi batu-batu dari kepala yang pecah.

Keadaan ini tentu saja membuat Ki Jamparut dan Dewi Pedang Maut jadi ternganga. Mereka begitu terkejut, tidak menyangka bakal seperti ini jadinya. Dua kekuatan pengikut mereka yang berjumlah lima puluh orang ini, sama sekali tidak berdaya hanya menghadapi satu orang saja. Dan dalam waktu tidak lama, tidak ada seorang pun dari mereka yang masih terlihat berdiri.

Bayu berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sorot matanya terlihat begitu tajam sekali memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih di depannya. Kemudian pandangannya tertuju lurus pada Ki Jamparut dan Dewi Pedang Maut yang masih terbeliak, seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja disaksikannya ini.

Pengikut mereka berdua yang bergabung menjadi satu, dan berjumlah tidak kurang dari lima puluh orang itu, kini tidak satu pun yang terlihat masih bisa berdiri. Mereka sudah bergelimpangan saling tumpang tindih tanpa nyawa lagi melekat di tubuhnya. Hampir semua dari mereka kepalanya pecah berlumuran darah, terhantam batu-batu yang terlempar akibat terkena pukulan dahsyat Pendekar Pulau Neraka.

“Keparat..!” desis Ki Jamparut begitu tersadar dari keterpanaannya. “Kau harus mampus di tanganku, Bocah Setan! Hiyaaat...!”

Sambil berteriak lantang menggelegar, Ki Jam-parut yang sudah hancur kakinya itu langsung saja melompat dengan kecepatan yang luar biasa sekali. Dan tongkat kayunya langsung dikebutkan tepat mengarah ke kepala Pendekar Pulau Neraka ini.

“Mampus kau, Bocah Setan!”
Bet!
“Haiiit...!”

Namun dengan hanya mengegoskan kepalanya saja sedikit, Bayu bisa menghindari kebutan tongkat laki-laki tua ini. Dan tanpa diduga sama sekali, Pendekar Pulau Neraka itu menghentakkan tangan kirinya lurus ke depan, tepat disaat tongkat yang hampir menghantam kepalanya itu lewat ke samping.

“Upths!”

Namun dengan gerakan tubuh berputar di udara, Ki Jamparut berhasil menghindari sodokan tangan kiri Pendekar Pulau Neraka itu. Dan dengan manis sekali dia menjejakkan kakinya di tanah. Tongkatnya langsung menekan tanah berbatu ini, untuk menyangga tubuhnya yang kini hanya berkaki satu.

“Hup! Yeaaah...!”

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ki Jamparut kembali melompat menerjang dengan kebutan tongkat yang begitu cepat disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Laki-laki tua ini mengarahkan kebutan tongkatnya ke kepala Pendekar Pulau Neraka. Tapi kembali kebutan tongkatnya lewat tanpa mendatangkan hasil. Bayu hanya mengegoskan kepalanya saja sedikit, membuat serangan Ki Jamparut tidak mencapai sasaran dengan tepat.

“Hih! Yeaaah...!”
Bet!

Bayu yang tidak mau lagi membuang-buang waktu menghadapi lawannya ini, langsung mengecutkan tangan kanannya ke depan sambil memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri. Dan seketika itu juga Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangannya melesat begitu cepat sekali bagai kilat. Hingga yang terlihat hanya kilatan cahaya putih keperakan.

“Ikh...?!”

Ki Jamparut terpekik kaget setengah mati. Cepat-cepat dia mengebutkan tongkatnya ke depan, sambil melentingkan tubuhnya, berputaran ke belakang. Hingga Cakra Maut lewat menerobos di bawah orang tua berjubah putih ini.

Tapi tanpa diduga sama sekali, Cakra Maut itu langsung berputar balik, tepat disaat Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas. Dan langsung meluruk deras menyerang orang tua berjubah putih ini.

Begitu cepatnya lesatan senjata maut berbentuk lingkaran bersegi enam berwarna putih keperakan ini, hingga membuat kedua bola mata Ki Jamparut jadi terbeliak lebar. Daa...

Bet!
Wusss...!
“Heh...?!”

Ki Jamparut jadi terkejut setengah mati, begitu melihat kebutan tongkatnya tidak sampai menghantam senjata aneh Pendekar Pulau Neraka itu. Bahkan Cakra Maut bisa melesat ke atas menghindari sabetan tongkat orang tua mi. Seperti memiliki mata saja, Cakra Maut langsung meluruk deras. Dan....

Crabbb!
“Aaa...!”


***


Ki Jamparut jadi terpekik keras, begitu Cakra Maut menghantam dadanya, hingga tembus ke punggung. Dan senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu langsung melesat tembus dari punggung orang tua ini. Sementara Bayu sudah mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu.

Tampak Ki Jamparut masih berdiri dengan tubuh limbung dan mata terbeliak lebar, seakan tidak percaya dengan apa yang telah terjadi pada dirinya. Darah mengalir keluar dengan deras sekali dari dada dan punggungnya yang berlubang tertembus Cakra Maut, senjata andalan Pendekar Pulau Neraka tadi. Dan tidak lama Ki Jamparut bertahan berdiri.

Kemudian tubuh tuanya ambruk dengan keras sekali menghantam bebatuan yang berserakan di sekitarnya. Beberapa kali tubuh orang tua berjubah putih itu bergulingan. Kemudian menggelegar, dan mengejang kaku diiringi suara erangan tertahan. Kemudian diam tidak bergerak gerak lagi. Seketika nyawanya melayang dari tubuhnya yang menggeletak dengan darah terus bercucuran deras dari lubang di dada dan punggungnya.

“Phuih!”

Kematian Ki Jamparut membuat Dewi Pedang Maut jadi mendengus geram, menyemburkan ludahnya. Dia memandangi Pendekar Pulau Neraka dengan sinar mata yang begitu tajam menusuk. Seakan dia ingin menghancur-leburkan pemuda berbaju kulit harimau itu dengan cahaya bola matanya yang tajam, dan merah membara bagai sepasang bola api.

Sedangkan yang dipandangi tetap berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Tapi tampaknya Dewi Pedang Maut ragu-ragu untuk menyerang. Cukup lama juga dia memandangi Pendekar Pulau Neraka itu dengan sinar mata yang tajam dan merah membara bagai api berselimut dendam dan kemarahan.

Sedangkan Bayu tetap menunggu dengan sikap yang kelihatan begitu tenang sekali. Bahkan bibirnya terlihat mengulas senyuman tipis. Seakan dia menanti serangan wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik itu.

“Giliranmu sekarang, Nisanak,” ujar Bayu dingin.

“Phuih...!”

Dewi Pedang Maut hanya menyemburkan ludahnya dengan sengit, menyambut tantangan Pendekar Pulau Neraka itu. Tapi dia belum juga mau bergerak. Seakan dia ragu-ragu untuk menyerang Pendekar Pulau Neraka ini. Melihat begitu mudahnya Bayu menghantam lawan-lawannya tadi, gentar juga hati wanita ini. Tapi begitu melihat mayat-mayat pengikutnya yang bergelimpangan di depannya, darahnya kembali bergolak mendidih.

Kini tidak ada lagi orang yang berdiri di belakangnya. Dan hanya dia sendiri yang harus menghadapi Pendekar Pulau Neraka. Dewi Pedang Maut kembali menyemburkan ludahnya, seakan dia ingin memantapkan hatinya menghadapi pemuda berbaju kulihat harimau yang sangat digdaya ini.

Sret!
Cring...!

Dewi Pedang Maut mencabut pedangnya, dan langsung disilangkan ke depan dada. Memang tidak ada pilihan lain lagi baginya, kecuali menghadapi Pendekar Pulau Neraka ini seorang diri. Walaupun didalam hatinya menyadari, kepandaian yang dimilikinya belum cukup untuk menghadapi Pendekar Pulau Neraka.

Tapi Dewi Pedang Maut tidak punya pilihan lagi. Dan dia tidak mau kehilangan muka. Baginya lebih baik mati dalam pertarungan, daripada harus meninggalkan tempat ini tanpa memiliki muka lagi.

“Sekarang kita bertarung sampai salah satu di antara kita ada yang mati, Pendekar Pulau Neraka,” terdengar begitu dingin sekali nada suara Dewi Pedang Maut.

“Hm,” Bayu hanya menggumam saja sedikit.

"Tahan seranganku, Pendekar Pulau Neraka

Hiyaaat..!”
“Hap!”

Bayu cepat melompat ke kanan, begitu Dewi Pedang Maut melesat menyerangnya dengan ujung pedang tertuju lurus ke arah dadanya. Sedikit Bayu memiringkan tubuhnya, hingga pedang wanita itu lewat di depan dadanya. Dan pada saat itu juga Bayu menghantamkan telapak tangannya ke pergelangan tangan Dewi Pedang Maut.

“Haiiit..!”

Tapi Dewi Pedang Maut sudah lebih cepat memutar tangan kanannya yang menggenggam pedang itu. Dan langsung dikibaskan ke arah batang leher Pendekar Pulau Neraka ini. Begitu cepatnya tebasan berputar yang dilakukan Dewi Pedang Maut, sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi Bayu untuk berkelit menghindarinya dalam jarak yang begitu rapat ini. Dan....


***


DELAPAN

“Haps!”

Cepat Bayu mengangkat tangan kanannya ke depan lehernya, hingga mata pedang wanita itu menghantam tepat di pergelangan tangan kanan yang terdapat senjata berupa cakra bersegi enam.

Tring!
“Ikh...?!”

Dewi Pedang Maut jadi terpekik kaget, begitu mata pedangnya membentur senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu. Cepat dia melompat ke belakang, sambil memutar tubuhnya dua kali. Begitu kerasnya benturan dua senjata itu, hingga terlihat percikan bunga api yang menyebar ke segala arah. Sedangkan Bayu sendiri tetap berdiri tegak, tidak bergeming sedikit pun juga.

“Hap!”

Manis sekali Dewi Pedang Maut menjejakkan kakinya ke tanah sekitar satu batang tombak jauhnya dari Pendekar Pulau Neraka. Dengan bibir meringis, dia mengurut tangan kanannya yang sempat nyeri akibat benturan yang keras tadi dengan senjata aneh Pendekar Pulau Neraka yang melekat di pergelangan tangan kanannya itu.

“Keparat kau, Pendekar Pulau Neraka...,” Dewi Pedang Maut geram, dengan sorot mata yang memancar tajam menatap lurus ke bola mata pemuda di depannya ini.

Bayu hanya diam saja dengan bibir menyunggingkan senyuman tipis. Dia menaruh tangan kirinya kedepan dada, seakan ingin memperlihatkan senjata Cakra Maut yang menempel di luar pergelangan tangan kanannya itu. Senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu berkilatan, bagai mengancam jiwa wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik ini.

“Saatnya kau tahan jurus andalanku, Pendekar Pulau Neraka! Hiyaaat..!”

Sambil membentak keras menggelegar, Dewi Pedang Maut melompat dengan kecepatan tinggi menenang Pendekar Pulau Neraka. Pedangnya diangkat lurus mengarah ke dada pemuda itu. Dan begitu dekat, langsung dikibaskan dengan gerakan berputar.

“Haiiit..!”

Namun hanya dengan mengegoskan tubuhnya saja, Bayu bisa menghindari tebasan pedang itu. Dan dia cepat melompat ke belakang, begitu Dewi Pedang Maut tenis mencecar dengan sabetan pedangnya yang begitu cepat bagai kilat. Beberapa kali ujung pedang wanita itu hampir merobek tubuh Bayu. Tapi dengan gerakan yang begitu indah dan cepat luar biasa, Bayu masih bisa menghindarinya.

Serangan-serangan yang dilancarkan Dewi Pedang Maut kali ini memang sangat luar biasa sekali. Permainan pedangnya sungguh cepat luar biasa. Bahkan setiap sabetan pedangnya selalu menimbulkan suara mencicit yang membuat hati jadi tergiris.

Namun Bayu masih menandinginya dengan hanya berputaran dan meliuk-liukkan tubuhnya. Hingga tidak satu pun serangan yang dilancarkan Dewi Pedang Maut berhasil menyentuh tubuhnya.

“Cukup sudah kesempatanmu, Dewi Pedang Maut! Yeaaah...!”

Tiba-tiba saja Bayu membentak nyaring. Dan seketika itu juga tubuhnya melesat tinggi ke atas, lalu bagaikan kilat dia meluruk deras dengan tangan kiri menjulur lurus mengarah ke bagian atas kepala wanita lawannya ini. Begitu cepatnya serangan balik yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka itu, sehingga membuat Dewi Pedang Maut jadi terperangah dibuatnya.

“Hup! Yeaaah...!”

Tapi belum juga serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka itu sampai, Dewi Pedang Maut sudah membanting tubuhnya ke tanah yang berbatu ini, dan bergulingan beberapa kali sebelum dia melompat bangkit berdiri. Tepat di saat Bayu menjejakkan kakinya kembali dengan tegak. Dan saat itu juga Bayu memiringkan tubuhnya ke kiri dengan posisi agak membungkuk. Lalu sambil berteriak keras menggelegar, dia mengebutkan tangan kanannya ke depan.

“Hiyaaa...!”
Wusss!

Cakra Maut yang menempel pada pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu melesat begitu cepat sekali bagai kilat Begitu cepatnya, hingga yang terlihat hanya kilatan cahaya putih keperakan yang meluruk deras mengarah ke dada Dewi Pedang Maut Membuat wanita itu jadi terbeliak lebar. Dan....

Crab!
“Aaa...!”

Tidak ada lagi kesempatan bagi Dewi Pedang Maut untuk menghindarkan diri dari ancaman senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu. Cakra Maut seketika itu juga menghujam begitu dalam sekali ke dada wanita ini. Begitu tingginya pengerahan tenaga dalam yang disalurkan Bayu pada senjatanya ini, membuat senjata berbentuk bintang bersegi enam itu tembus sampai ke punggung.

Darah seketika muncrat berhamburan dari dada dan punggung yang berlubang tertembus Cakra Maut. Dan di saat Bayu mengangkat tangan kanannya ke atas kepala, senjata cakra bersegi enam berwarna putih keperakan itu melesat balik dengan cepat, lalu menempel erat di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka ini.

Sementara Dewi Pedang Maut masih terlihat berdiri dengan tubuh yang sudah limbung. Dia memandangi Bayu dengan sinar mata seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi pada dirinya. Sementara darah semakin banyak mengalir keluar dari dada dan punggungnya yang berlubang, tertembus senjata Pendekar Pulau Neraka itu tadi.

Hanya sebentar saja Dewi Pedang Maut masih bisa bertahan berdiri dengan kedua kakinya. Setelah dia limbung beberapa saat, kemudian mulai ambruk menggelimpang di tanah yang berbatu ini. Begitu keras sekali tubuhnya jatuh bergelimpang, hingga tempat sekitarnya jadi terasa bergetar. Sedikit pun wanita itu tidak bergerak lagi. Nyawanya langsung melayang seketika, begitu tubuhnya menghantam bebatuan ini.

Sementara Bayu sudah memutar tubuhnya berbalik, dan melangkah menghampiri Klabang Ireng dan Rara Sawit yang menunggu bersama Tiren. Monyet kecil berbulu hitam mencerecet ribut. Seakan begitu gembira melihat pemuda ini dapat mengalahkan semua musuh-musuhnya.


***


“Hhh...! Ini terakhir. Aku harus mengurus mereka...,” desah Bayu di dalam hati, begitu berada dekat di depan Klabang Ireng dan Rara Sawit.

Beberapa saat Pendekar Pulau Neraka ini memandangi mereka. Terdengar tarikan napasnya yang panjang, disusul dengan hembusan napas yang keras dan terasa nyeri. Seakan dia begitu sulit untuk menentukan siapa di antara mereka yang lebih berhak memiliki Pedang Dewa Naga yang kini berada di dalam genggaman tangan kanannya ini.

“Kalian masih menginginkan pedang ini?” tanya Bayu dengan nada suara terdengar agak dingin.

Klabang Ireng dan Rara Sawit serentak menganggukkan kepala. Dan Bayu kembali menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat terdengar di telinga. Kembali mereka bertiga terdiam beberapa saat. Sedangkan Tiren yang berada di pundak Pendekar Pulau Neraka itu juga terdiam membisu, tidak memperdengarkan suara sedikit pun juga.

“Kalian tahu, pedang ini selalu membawa malapetaka. Semua orang selalu menginginkannya. Bahkan mereka tidak pedulikan nyawa yang hanya selembar, asalkan bisa memiliki pedang ini,” kata Bayu lagi memberi tahu.

“Aku harus membawa pulang pedang itu untuk guruku, Bayu,” ujar Rara Sawit.

“Aku juga,” selak Klabang Ireng.

“Guruku sedang sakit. Hanya pedang itu yang dapat menyembuhkannya,” kata Rara Sawit tidak mau kalah.

“Ayahku juga sangat membutuhkannya. Kelumpuhannya bisa terobati dengan pedang itu. Dan lagi, ayahku keturunan langsung dari Eyang Rampayak. Jadi aku yang lebih berhak membawa pedang itu daripada kau,” sentak Klabang Ireng seraya menatap tajam gadis cantik di sebelahnya.

“Siapa pun dari kalian berhak memiliki pedang ini,” kata Bayu menengahi. “Karena kalian adalah cucu-cucu dari Eyang Rampayak.”

“Apa kau bilang...?!”

Klabang Ireng dan Rara Sawit jadi terbeliak lebar mendengar kata-kata yang diucapkan Pendekar Pulau Neraka barusan. Sungguh mereka tidak bisa mempercayai, kalau mereka sebenarnya satu keturunan. Dan berhak memiliki Pedang Dewa Naga yang selama ini mereka perebutkan. Bahkan menjadi rebutan orang-orang rimba persilatan.

Mereka memandangi Pendekar Pulau Neraka itu, seakan masih belum bisa mempercayai dengan apa yang barusan didengarnya.

“Sekarang aku serahkan pedang ini pada kalian berdua. Tapi ingat... Kalian harus menjaganya hati-hati. Jangan sampai jatuh ke tangan orang lain yang tidak bertanggung jawab,” kata Bayu seraya mengulurkan pedang itu.

Tapi kali ini tidak ada yang mau mengambilnya. Klabang Ireng dan Rara Sawit hanya memandangi saja, seperti tidak percaya kalau pedang itu diserahkan begitu saja pada mereka berdua. Bayu yang melihat tidak ada seorang pun yang mau mengambil, meletakkan pedang itu di depan mereka. Lalu tanpa bicara lagi dia memutar tubuhnya, dan terus saja berjalan meninggalkan kedua anak muda ini.

Sementara Rara Sawit dan Klabang Ireng masih tetap diam, tidak tahu kalau Pendekar Pulau Neraka sudah meninggalkan mereka. Mereka terus memandangi pedang yang tergeletak di depannya. Tidak ada yang mau mengambilnya lebih dahulu.

Padahal sebelum ini mereka sampai bertarung, bahkan hampir di antara mereka menjadi korban. Tapi sekarang..., setelah pedang itu ada di depan mereka, tidak ada yang mau mengambilnya lebih dulu. Seakan kata-kata Bayu yang mengejutkan bagai petir menyambar di tengah malam buta ini, membuat mereka jadi seperti patung.

Dan setelah begitu lama mereka diam mematung, sampai Bayu tidak terlihat lagi, baru mereka menggerakkan kepalanya. Lalu saling berpandangan, dengan sinar mata yang begitu sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata.

“Kau percaya apa katanya, tadi?” tanya Rara Sawit pelan suaranya.

“Ayahku saja mempercayainya. Aku juga harus percaya pada apa yang dikatakannya,” sahut Klabang Ireng.

“Tapi dari mana kita bisa bersaudara?” tanya Rara Sawit.

“Sebaiknya kita tanyakan saja pada orang tuaku, juga pada gurumu,” sahut Klabang Ireng.

“Ya, itu memang satu-satunya cara,” sambut Rara Sawit seraya mengangkat bahunya.

Mereka kembali terdiam dan memandangi Pedang Dewa Naga yang masih tergeletak di depan mereka berdua. Rara Sawit bergerak maju mendekati, dan mengambil pedang itu dengan hati-hati. Sebentar dia memandangi, kemudian menghampiri Klabang Ireng. Kemudian menyodorkan pedang itu pada pemuda ini.

“Aku rasa, aku harus mempercayakan pedang itu kau pegang, Klabang Ireng,” ujar Rara Sawit.

“Kau percaya padaku?” Klabang Ireng kelihatan ragu-ragu.

“Kau begitu percaya pada apa yang dikatakan Pendekar Pulau Neraka. Dan aku juga tidak punya pilihan lain lagi. Aku percaya kau akan berlaku jujur dan ksatria,” sahut Rara Sawit seraya tersenyum.

“Baiklah, Rara Sawit Akan kupegang kepercayaan mu,” sambut Klabang Ireng, seraya menerima pedang itu.

Sebentar Klabang Ireng memandangi pedang di tangannya ini. Kemudian dia menggantungkan di pinggang. Entah kenapa, Rara Sawit jadi tersenyum melihat Klabang Ireng menggantungkan pedang di pinggangnya. Dan memang dengan Pedang Dewa Naga, Klabang Ireng kelihatan semakin bertambah gagah dan tampan.

“Ayo, Rara Sawit,” ajak Klabang Ireng.
“Ke mana tujuan kita?” tanya Rara Sawit.

“Menemui gurumu lebih dulu. Lalu baru kita sama-sama menemui ayahku.”

Rara Sawit mengangguk menyetujui. Dan mereka kemudian melangkah tanpa banyak bicara lagi, meninggalkan tempat yang begitu penting dan berharga bagi mereka berdua. Mereka pergi untuk mencari tahu dari mana asal-usul mereka berdua, hingga Pendekar Pulau Neraka mengatakan kalau mereka bersaudara. Dan yang tahu memang orangtua mereka sendiri.


SELESAI

Episode Selanjutnya TUMBAL AJIAN SESAT