Bidadari Penakluk - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Bidadari Penakluk

SATU

GERIMIS turun perlahan di pagi buta ini tatkala satu sosok pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung di punggung tiba di tapal batas kota. Kota Kanten. Begitu nama tempat yang terbaca pada tugu kecil yang menjadi batas wilayah ini. Dari tempat ini bila memandang ke timur laut, terlihat Gunung Wilis dan Gunung Liman berdiri berjajar. Begitu angker dan megahnya.

Untuk sesaat pemuda tampan ini celingukan ke sana kemari. Di depan mata terhampar persawahan yang mulai menguning. Sekitar sebulan lagi, mungkin telah siap dipanen. Tidak ada pepohonan besar untuk berteduh. Namun nun jauh di sebelah kiri jalan yang tengah ditapakinya, terlihat sebuah pondok kecil. Mungkin tempat petani beristirahat, setelah menyawah seharian.

“Ayo, Dewa Bayu. Kita ke sana!” ujar pemuda itu seraya memacu kudanya kembali menuju pondok kecil yang dilihatnya.

Kuda yang dipanggil Dewa Bayu ini meringkik kecil, lalu berlari kencang. Begitu cepat larinya, hingga dalam waktu singkat mereka tiba di sana. Pemuda berbaju rompi putih itu yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti ini buru-buru melompat dari kudanya. Lalu ditambatkannya Dewa Bayu pada sebatang pohon yang cukup untuk berteduh.

Tapi baru saja Rangga hendak menyeka beberapa butir air hujan yang sempat membasahi wajah dan kedua tangan, mendadak perhatiannya tertuju pada seseorang yang tertidur pulas di sudut gubuk. Seorang wanita berpakaian gembel dan dekil. Caping bambu tergeletak didekatnya. Tidurnya kelihatan pulas sekali. Dengan sekali lirik, bisa diduga kalau wanita itu berusia sekurang-kurangnya dua puluh tahun.

“Maaf, aku kehujanan dan tidak ada tempat berteduh. Bolehkah menumpang di gubukmu ini?” sapa Rangga pelan, kalau-kalau gadis itu belum pulas betul.

Entah karena hujan yang mulai turun deras dan angin kencang bertiup, sehingga suaranya tidak terdengar gadis itu. Atau mungkin juga gadis itu tidur terlalu pulas.

“Mungkin dia kelelahan...,” gumam Pendekar Rajawali Sakti menyerah.

Rangga lantas melangkah, lalu duduk ditepi gubuk dengan sikap membelakangi. Dan sebenarnya hatinya tidak enak hanya berdua dalam gubuk ini bersama seorang gadis yang tidak dikenalnya. Kalau ada yang melihat, apa kata mereka nanti? Tapi hujan deras ini menghalanginya untuk buru-buru pergi.

Sesekali Rangga melirik gadis itu. Namun tidak juga terlihat perubahan sikapnya. Dugaannya kuat kalau gadis ini masih terlelap. Dalam suasana seperti ini dan tubuh penat, tidur memang menjadi istirahat yang nikmat sekali. Dan baru saja Rangga hendak bangkit berdiri, mendadak hidungnya mencium bau harum kembang tujuh rupa.

“Hm.... Mengapa di sini jadi bau harum kembang?” Dan... Pendekar Rajawali Sakti menatap sayu pada sosok gadis yang tidur pulas tadi. Namun herannya, kini pakaian gadis itu telah berganti dengan kain panjang yang melilit tubuh sintalnya. Wajahnya tampak begitu cantik dengan senyum menghias bibirnya yang merah merekah. Rambutnya tampak basah, membangkitkan gairah. Tampangnya yang semula dekil, lenyap entah ke mana.

“Siapa kau sebenarnya?” tanya Rangga dengan wajah masih terkesima. Dan perlahan-lahan dengan seenaknya, gadis itu berbaring miring di sebelah Rangga. Sehingga napasnya terasa betul menyapu wajah pemuda ini.

“Apakah itu perlu?” Baru kali ini terdengar suara gadis itu. Pelan, namun agak berat.

“Aku tidak mengerti,” desah Rangga.

“Kau akan mengerti sebentar lagi, Sayang,” ucap gadis itu lembut.

Perlahan-lahan gadis itu beringsut, turun dari dipan bambu. Begitu berdiri, dibukanya kain yang melekat di dada pelan-pelan.

Sedangkan mata Pendekar Rajawali Sakti seperti tak mampu berpaling. Sepertinya ada sesuatu yang indah kini berada dekat sekali dengannya. Rasanya, hatinya betul-betul tak kuasa menolak. Perlahan-lahan, gadis itu menyingkap lilitan terakhir kainnya. Maka seketika, tubuhnya yang putih mulus nyaris tanpa cacat terpampang di depan mata. Dua buah bukit nan menjulang berlapiskan kulit putih mulus seakan-akan menantang untuk didaki.

Sementara otak Pendekar Rajawali Sakti mulai kacau. Hela napasnya terasa memburu. Semangatnya muncul perlahan-lahan mengiringi kekuatannya. Tapi bukan untuk berontak pada keadaan seperti saat ini, melainkan melanjutkan sesuatu, sesuai keinginan gadis itu.

Jantung Rangga makin terdengar kencang, ketika gadis itu perlahan-lahan mendekati tubuhnya. Bahkan perlahan-lahan pula, dengan gerakan gemulai dia mulai melepas Pedang Pusaka Rajawali Sakti dan rompi putih yang dikenakan Rangga.

Seperti kerbau dicucuk hidungnya, Pendekar Rajawali Sakti menuruti kemauan gadis ini. Bahkan ikut pula membantu membukanya. Lalu berikut celananya siap melorot dari pinggang.

Disertai hembusan napas halus, gadis itu mulai melumat bibir Pendekar Rajawali Sakti yang dibalas tak kalah garang. Bahkan tanpa ragu-ragu lagi, Rangga meraih tubuh telanjang itu ke dadanya. Seketika terjadilah pergumulan seru penuh gelora nafsu. Namun mendadak....

“Kragkh...!”

“Oh...?!” Rangga tersentak kaget seraya melepas pagutannya pada bibir merah merekah itu.

“Kraagkh...!”

“Rajawali Putih...!” Rangga langsung menyebut nama burung raksasa tunggangannya, sekaligus gurunya. Bahkan tubuh molek di atasnya segera digulingkan agak kasar....

“Kraaagkh...!”

“Oh, tidak... tidak...!”

Suara Rajawali Putih seakan-akan menghunjam telinga Pendekar Rajawali Sakti. Seketika Rangga menutup kedua telinganya, dengan tubuh belingsatan. Dia berteriak-teriak bagai orang gila. Dan pada teriakan yang terakhir, Pendekar Rajawali Sakti terkulai lemah. Akhirnya, pingsan!

********************

Hujan telah berhenti sejak tadi. Di sekitarnya terlihat hening dalam kepekatan malam. Unggas mulai berseliweran satu persatu di sekitar tempat ini. Suara jangkerik menyemaraki. Sesekali terasa angin bertiup lembut, membuat Rangga merasa sedikit segar. Ketika beberapa saat angin bertiup lagi, kesadarannya telah pulih. Berarti seharian penuh Rangga tak sadarkan diri.

“Ohh...!” Pendekar Rajawali Sakti menggumam lemah seraya bangkit perlahan. Seketika dia merasakan hawa dingin menyengat sampai ke tulang sumsum. Kini baru disadari kalau saat itu belum berpakaian. Maka buru-buru pakaiannya dikenakan.

“Perempuan terkutuk! Ke mana dia?!” dengus Rangga, begitu teringat kalau tadi bersama seorang wanita.

Saat itu juga bola mata Pendekar Rajawali Sakti liar mencari-cari ke sekeliling tempat. Namun yang dicari tidak kunjung ada. Bahkan ketika telah keluar dari gubuk, matanya menyapu jauh ke depan. Namun yang terlihat hanya sepi dan keheningan malam. Suara unggas terhenti. Demikian juga binatang malam lainnya.

“Perempuan terkutuk! Aku bersumpah akan mencarimu ke mana pun pergi! Kau akan mendapat balasan atas perbuatanmu itu!”

Sesaat Rangga tertunduk lesu memandangi tanah becek di sekitarnya. Pandangannya sayu. Wajahnya kelihatan tidak bersemangat. Matanya terangkat, menerawangkan ingatannya. Dicobanya mengingat-ingat apa yang terjadi tadi.

“Hieee...!”

“Oh, Dewa Bayu!” Mendadak Pendekar Rajawali Sakti berseru kaget. Wajahnya sedikit cerah, lalu buru-buru menghampiri kudanya yang sejak tadi tertambat di bawah sebatang pohon.

“Kau memang sahabatku yang setia...,” kata Rangga. Suaranya lirih seraya mengelus-elus bulu leher hewan berbulu hitam berkilat itu.

“Hiee...!”

“Ya, aku tahu. Kau kedinginan di sini, Dewa Bayu. Kita pergi sekarang. Karena dengan begitu, tubuhmu bisa hangat,” sahut Rangga seraya mengusap-usap leher kuda itu, lalu cepat melompat ke punggungnya.

“Hiee...!” Dewa bayu meringkik sebentar, seraya mengangkat kedua kaki depannya.

“Kita kejar wanita keparat itu, Dewa Bayu! Tunjukkan padaku, ke mana dia pergi saat aku tidak sadarkan diri!” ujar Pendekar Rajawali Sakti dengan wajah geram.

Seketika Dewa Bayu berlari kencang menuju arah timur laut. Tak peduli malam semakin larut dan suasana sepi jalan yang dilalui, Pendekar Rajawali Sakti terus menggebah kudanya. Dengan aji ‘Tatar Netra’! Dalam kegelapan Rangga bagai berjalan pada siang hari saja. Kudanya terus digebah mengejar gadis itu. Entah ke mana. Tapi dia bertekad, meski ke ujung dunia sekalipun, akan terus dikejarnya.

Braakkh...!

“Hieee...!”

Mendadak Dewa Bayu berhenti ketika tiba-tiba sebuah pohon ambruk langsung menghadang perjalanan. Kedua kaki depannya kontan terangkat tinggi. Nyaris Rangga terjungkal, kalau saja tidak sigap mengendalikan tunggangannya.

“Uts, sial!” dengus Rangga, agak kesal juga. “Ayo, Dewa Bayu! Cepat lompati!”

Saat itu juga dengan tangkasnya Dewa Bayu melompati batang pohon yang melintang di depannya. Tapi saat itu juga....

“Berhenti...!”

Disertai bentakan menggelegar, mendadak berlompatan beberapa sosok tubuh menghadang perjalanan Rangga. Saat itu juga Rangga menarik tali kekang kudanya. Begitu Pendekar Rajawali Sakti bisa menguasai Dewa Bayu yang mengangkat kaki depannya disertai ringkikan keras, baru jelas terlihat siapa yang menghadang. Ternyata enam orang bertampang kasar telah mengepung Rangga dengan golok terhunus.

“Maaf, aku tidak ada urusan dengan kalian. Minggirlah, sebelum pikiranku berubah!” ujar Rangga. Nada suaranya halus, namun sarat ancaman.

“Kunyuk tidak tahu diri! Turun kau dari kudamu! Dan, menyembahlah padaku! Kau tengah berhadapan dengan Singalodra, pemimpin Gerombolan Golok Terbang!” sentak laki-laki yang berdiri paling dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti seraya mengacungkan golok besar dalam genggamannya.

“Maaf, aku tidak punya waktu bermain-main dengan kalian!” desis Rangga, mulai geram. Dia mulai kesal karena peristiwa yang dialami sebelumnya belum selesai, dan kini muncul masalah baru.

Laki-laki bernama Singalodra yang bertubuh besar dengan kumis tebal itu langsung naik darah mendengar sikap pemuda itu. Selama ini di seantero tujuh desa, namanya amat ditakuti. Orang lebih baik menyingkir bila berurusan dengannya. Atau yang sudah langsung kepergok akan memilih menyerah dan menuruti segala kemauannya ketimbang nyawa melayang. Dan kini seorang pemuda, tiba-tiba seenaknya saja merendahkannya.

“Bereskan kunyuk buduk ini. Dan serahkan kepalanya padaku!” ujar Singalodra, dingin. “Yeaaa...!”

Seketika lima orang bertampang kasar yang menjadi anak buah Singalodra maju berbarengan dengan golok terhunus.

“Kalian telah kuperingatkan. Maka jangan salahkan kalau aku bertindak keras,” kata Rangga, memperingatkan. “Hup!”

Setelah berkata begitu, Pendekar Rajawali Sakti melenting dari punggung kuda. Begitu berada di udara disongsongnya salah seorang yang berada di depan sambil melepaskan kibasan tangan yang cepat bukan main.

Des!

“Aaakh...!”

Satu orang terjungkal roboh disertai pekik kesakitan, begitu tangan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di dadanya. Sementara goloknya terpental ke udara. Rangga langsung berkelebat, menyambar golok.

Tap!

Begitu golok telah tergenggam di tangan, pemuda itu langsung menyongsong keempat lawan lainnya.

Trang! Trang!

Golok di tangan Rangga memapas senjata-senjata anak buah Singalodra yang langsung berpentalan. Dan tanpa banyak mendapat kesulitan, Pendekar Rajawali Sakti melepaskan pukulan yang cepat secara berturut-turut.

Dess! Desss.... Duk. Digh...!

“Aaakh...!”

Pekik kesakitan saling susul terdengar mewarnai malam yang pekat itu. Empat orang terjungkal roboh tak bangun-bangun lagi. Pingsan.

“Setan keparat!” maki Singalodra, menggeram.

Amarah laki-laki seram semakin menjadi-jadi saja. Yang pertama karena melihat tingkah pemuda itu. Dan kini melihat anak buahnya yang sekali gebrak langsung ambruk. Maka dengan geram langsung diterkamnya pemuda itu dari samping kiri, disertai babatan goloknya.

“Yeaaa...!”

Rangga cepat membabatkan golok hasil rampasan menangkis senjata lawan.

Trang!

Singalodra kontan merasa tangannya gemetar. Bahkan rasa nyeri sampai ke jantung. Namun tanpa mempedulikan hal itu, goloknya kembali menebas ke leher. Pada saat yang sama, Rangga sendiri telah melenting seraya melepas tendangan yang cepat bagai kilat. Dan....

Duk!

“Aaakh...!” Singalodra menjerit kesakitan, ketika terdengar Rangga menghantam dadanya dengan keras. Tubuhnya kontan terjungkal ke belakang. Darah tampak keluar dari mulutnya.

“Aku tak pernah main-main dengan kata-kataku sendiri!” desis Rangga, begitu mendarat di depan Singalodra.

Bukan main kagetnya Singalodra melihat kenyataan itu. Sadarlah dia, bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan yang bisa digertak dan dipermainkannya.

“Ampun! Ampunilah aku, Tuan...!” ratap Singalodra sambil berlutut di depan pemuda itu.

“Aku tak pernah bermain-main dengan begal macam kalian. Sekali kuperingatkan masih membandel, maka nyawa taruhannya,” gertak Pendekar Rajawali Sakti, dingin.

Wajah Singalodra yang tadi garang mendadak pucat pasi. Dan kontan kepalanya tidak berani diangkat.

“Ampun, Tuan! Ampunilah aku. Kasihanilah aku. Aku akan berbuat apa saja untuk membantumu. Sebutkan apa saja. Pasti akan kukabulkan permintaanmu...!” ratap Singalodra.

Pendekar Rajawali Sakti yang semula sudah geram dengan kejadian di gubuk itu, ditambah lagi dengan penghadangan Singalodra, perlahan-lahan menghembuskan napas kesal. Sepertinya dia berusaha mengenyahkan segala dendam kesumat di dadanya.

“Baik. Kau kuampuni asal menjawab pertanyaanku. Tahukah kau seorang gadis berambut panjang dengan wajah lonjong lewat daerah ini? Ciri-ciri khususnya, ada tahi lalat kecil di atas bibir agak ke kiri,” kata Rangga dengan tatapan tajam.

Singalodra mengangkat kepalanya. Wajahnya berkerut seperti tengah berpikir, kemudian dipandangnya pemuda itu.

“Siapakah yang Tuan maksudkan?” tanya Singalodra.

“Jawab saja pertanyaanku! Kau tahu atau tidak?!” desis Rangga.

Jantung Singalodra berdetak tiga kali lebih cepat. Dan nyalinya ciut seketika melihat sinar mata pemuda di depannya yang mengandung perbawa. Tak terasa tubuhnya bergetar. Masih sempat matanya melirik sekilas pada anak buahnya yang baru saja siuman. Mereka hanya diam dengan wajah bingung, tak tahu harus berbuat apa.

“Eh, i... iya. Aku tahu, Tuan,” sahut Singalodra tergagap.

“Kearah mana dia pergi?” kejar Rangga.

“Ke timur laut, Tuan. Lurus saja ke depan. Tapi, dia bersama dengan Ki Jagad Lor, Tuan.”

“Siapa Jagad Lor itu?”

“Beliau bangsawan Desa Jelaga, dan seorang tokoh silat hebat. Aku tidak tahu kenapa. Tapi begitulah kenyataannya.”

“Di mana Desa Jelaga itu?”

“Tuan lurus saja melewati jalan ini, lalu setelah ada persimpangan maka beloklah ke kanan. Dari situ, Desa Jelaga sudah terlihat di kaki Gunung Wilis,” jelas Singalodra.

Rangga melirik sekilas, lalu tiba-tiba melompat ke punggung kudanya. “Heaaa...!”

Pendekar Rajawali Sakti langsung menggebah Dewa Bayu. Begitu cepat lari kuda itu, sehingga dalam waktu singkat telah menghilang dari tempat itu, menembus kegelapan malam.

“Terkutuk! Siapa dia sebenarnya?!” desis Singalodra memaki-maki geram, begitu Pendekar Rajawali Sakti tak terlihat lagi.

“Sudahlah, Ki. Tidak usah dipikirkan...,” hibur salah seorang pemuda, anak buah Singalodra.

Maksud pemuda ini mungkin saja baik. Dia khawatir kalau pemimpinnya kehilangan muka didepan anak buahnya yang lain, karena baru saja jadi pecundang. Maka dicobanya mengalihkan persoalan, dan menganggap tidak pernah terjadi apa-apa. Tapi yang terjadi sungguh beda dengan bayangannya, sebab wajah Singalodra semakin memerah dengan mata melotot.

“Kurang ajar kau, Barda! Apa dikira aku bisa melupakan penghinaannya begitu saja?!” bentak Singalodra, membuat anak buahnya yang bernama Barda terjingkat dan kontan tutup mulut.

“Rasanya aku pernah kenal pemuda itu, Ki,” timpal seorang laki-laki berkumis tebal.

“Apa maksudmu, Bulalang?” tanya Singalodra dengan kening berkerut.

“Sebentar....” Laki-laki berkumis lebat yang dipanggil Bulalang coba mengingat-ingat dengan dahi berkerut.

“Ah, iya! Aku pernah jalan-jalan ke Kota Gringsing dua pekan lalu. Dan di sanalah kutemui dia. Eh, maksudku aku bertemu dengannya. Dia memang memiliki kepandaian hebat. Orang gila yang mengamuk dan tak mampu dipatahkan perlawanannya, dengan mudah diringkus dan dipecundanginya. Pemuda itu memang bukan orang sembarangan, Ki. Kita tidak perlu malu kalau dikalahkannya,” jelas Bulalang.

“Terkutuk kau, Bulalang! Aku tidak peduli kepandaiannya setinggi langit sekalipun. Penghinaan ini harus dibalas dengan seberat-beratnya. Tidak ada seorang pun yang boleh menghina Singalodra!” teriak Singalodra.

“Sebentar lagi dia akan mendapat balasannya, Ki,” tukas Bulalang, coba memperbaiki sikap dan pendiriannya tadi.

“Apa maksudmu?”

“Dia mencari gadis itu di tempat Ki Jagad Lor, bukan? Untuk urusan apa?” Bulalang malah bertanya.

“Siapa yang tahu? Kau kira aku suka mencampuri urusan seperti itu? Perempuan itu genit. Paling-paling dia kabur dan hinggap kepada si Jagad Lor yang mata keranjang itu!” sahut Singalodra, bersungut-sungut.

“Tepat! Dengan begitu dia akan mengamuk habis-habisan kalau pacarnya berbuat serong dengan Jagad Lor. Dan seperti kita ketahui, Jagad Lor bukanlah tokoh sembarangan. Selain kepandaiannya hebat, anak buahnya pun banyak. Pemuda itu tidak akan selamat!” cetus Bulalang.

Kali ini Singalodra tidak membentak lagi, melainkan berpikir. Sebentar kemudian, bibirnya mengulas senyum. “Kau memang pintar, Bulalang. He he he...! Dia tidak akan selamat di tempat Ki Jagad Lor. Tapi....”

Wajah Singalodra mendadak murung dengan kata-kata terpotong. Kegembiraannya sirna dalam sekejap. Dan itu berarti ada sesuatu yang tak enak mengganjal pikirannya.

“Tapi apa, Ki?” kejar Bulalang.

“Berarti dia tidak mendapat balasan dari tanganku sendiri. Padahal, mestinya tanganku sendiri yang menghajarnya!” dengus Singalodra dengan wajah geram.

“Mestinya memang begitu, Ki. Tapi kita tidak bisa melawan takdir. Pemuda itu memang sudah ditakdirkan untuk mendapat balasan dendammu melalui tangan Jagad Lor. Maka kita mesti pasrah. Lagipula, bukankah itu menguntungkan? Kita tidak perlu bersusah payah menghajarnya segala, tapi sudah memperoleh hasil dengan enak. Dan kalau ada kesempatan bertemu lagi, baru kita hajar dia!” bujuk Bulalang.

Singalodra mengangguk-angguk seraya menepuk-nepuk pundak anak buahnya. “He he he...! Kau benar lagi, Bulalang. Tidak salah aku memilihmu menjadi penasihatku!” puji Singalodra.

“Terima kasih, Ki. Sekarang lebih baik untuk sementara kita lupakan persoalan itu. Jangan sampai mengganggu pikiran. Masih banyak orang lain yang akan lewat di jalan ini. Dan kita masih punya kesempatan membegal mereka,” ucap Bulalang.

“Ya, ya...! Kalau begitu, kita kembali berjaga-jaga,” sahut Singalodra.

********************

DUA

Waktu telah menjelang dini hari tatkala Rangga tiba di depan rumah Kepala Desa Jelaga yang disebutkan Singalodra bernama Jagad Lor. Di tempat tersembunyi, sekitar lima puluh tombak dari depan pintu gerbang, Rangga telah menambatkan Dewa Bayu di kerimbunan pohon bambu yang banyak tumbuh di tempat itu. Suasana dingin dan berkabut menyambut kedatangan Pendekar Rajawali Sakti di rumah yang memiliki halaman luas. Di beranda depan Rangga melihat beberapa orang penjaga tengah tegak berdiri. Sementara yang lain duduk dengan wajah angker. Tak seorang pun yang lengah. Semuanya dengan sikap waspada.

“Maaf, apa ini rumah kediaman Ki Jagad Lor?” tanya Rangga halus, pada seorang laki-laki kekar terbungkus pakaian hitam yang menjaga pintu gerbang.

Laki-laki kekar itu tidak langsung menjawab, melainkan memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan penuh kecurigaan. Tiga orang laki-laki malah serentak mendatangi dan mengelilingi Rangga.

“Tangkap dia!” seru penjaga yang bertubuh kekar itu.

“Yeaaa...!”

Serentak ketiga laki-laki menghunus golok menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Sebentar Rangga terkesiap, namun cepat bergerak lincah dengan meliuk-liukkan tubuhnya. Sedangkan golok-golok itu terus bergerak mengincar leher, pinggang, serta jantungnya.

“Hup!” Tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti melenting ke belakang. Namun ketiga laki-laki itu terus merangsek dengan nafsu membunuh.

“Yeaaa...!”

“Edan...! Mereka benar-benar menginginkan kematianku!” desis Rangga, begitu mendarat di tanah. Padahal kekesalan hati Rangga belum sirna. Dan kini tambah lagi persoalan baru. Padahal tadi Pendekar Rajawali Sakti sudah berusaha bersikap sopan. Namun perlakuan mereka justru sebaliknya.

“Heaaa...!” Dengan kemarahan yang telah memuncak, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat bagai kilat sambil melayangkan tendangan dan hantaman tangan.

Duk! Des!

“Aaakh...!”

“Aaakh...!”

Dua jeritan kesakitan terdengar berturut-turut ketika tendangan dan pukulan Pendekar Rajawali Sakti mendarat di dada dan punggung mereka. Tidak sampai disitu saja. Tubuh Rangga kembali bergerak cepat, kembali melepas tendangan.

Desss....

“Aaah...!” Telak sekali tendangan Rangga menyodok ke perut membuat orang yang jadi sasaran terjungkal tak berdaya.

Melihat tiga orang telah terjungkal, yang lain mulai ciut nyalinya di depan Pendekar Rajawali Sakti. Sampai saat ini belum ada yang membuka serangan kembali.

Keributan tadi memicu keramaian dalam waktu singkat. Mereka yang tadi berjaga-jaga di beranda dan di berbagai tempat lainnya, serentak melompat keluar dan mengurung Pendekar Rajawali Sakti.

“Pengacau Keparat! Kau datang untuk menyerahkan nyawamu rupanya!” bentak salah seorang yang berjenggot tebal dan bertubuh ramping.

“Beginikah sambutan seorang tuan besar yang tersohor?” sindir Rangga, dingin.

Walaupun tampak marah, namun wajah Pendekar Rajawali Sakti terlihat begitu penuh perbawa. Bahkan sedikit pun tak ada rasa gentar. Dia tidak peduli berapa orang saat ini yang telah mengurungnya.

“Kami biasanya bersikap ramah pada setiap tamu yang sopan. Tapi kepada orang sepertimu, jangan harap! Kau akan mendapat hukuman setimpal!” bentak lelaki berjenggot, yang agaknya menyetujui para penjaga ini.

Sekali lihat saja Rangga tahu kalau laki-laki bertubuh ramping ini tidak bisa dianggap sembarangan. Dari matanya terpancar satu kekuatan tenaga dalam. Dari sini Rangga makin meningkatkan kewaspadaannya.

“Tanyakan pada penjaga itu, apakah aku bertindak kurang ajar?! Kedatanganku untuk satu urusan dengan majikan kalian. Kalau aku bermaksud mencari gara-gara, tidak semestinya aku melewati pintu gerbang ini!” tegas Pendekar Rajawali Sakti.

Laki-laki berjenggot lebat ini melirik pada penjaga bertubuh kekar tadi itu. Kemudian tangannya memberi isyarat agar datang menghadapnya.

“Ceritakan padaku apa yang terjadi?!” pinta laki-laki berjenggot itu.

“Dia coba untuk masuk dengan merusak gerbang, Kang Karmapala. Maka tentu saja kami tidak bisa membiarkannya,” sahut penjaga itu berdusta.

Enteng saja laki-laki bertubuh kekar ini bicara demikian. Bahkan tanpa merasa bersalah sedikit pun.

“Kurang ajar! Berani betul kau bersilat lidah?” bentak Rangga geram, langsung menoleh ke arah penjaga itu. Dan tiba-tiba Pendekar Rajawali Sakti melesat secepat kilat melepaskan kibasan tangan.

“Hei?!” Laki-laki berjenggot yang bernama Karmapala dan beberapa kawannya terkejut bercampur marah. Mereka bergerak hendak mencegah. Namun gerakan Pendekar Rajawali Sakti memang tak mampu diikuti dengan mata.

“Ohh...!” Laki-laki kekar itu sendiri terkesiap dengan mata terbelalak lebar. Dan....

Des! Dess...!

“Aaakh...!”

Dua hantaman beruntun menghantam dada orang itu hingga memekik kesakitan dan terjungkal delapan langkah dari tempatnya semula berdiri. Dari mulutnya muntah darah segar.

“Heaaah...!”

Pada saat yang sama Karmapala beserta beberapa orang kawannya meluruk maju. Maka cepat Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas.

Siuuut!

“Keparat!” Bukan main geramnya Karmapala melihat buruannya lepas begitu saja. Bahkan dengan santai mendarat di belakangnya pada jarak tujuh langkah. Kalau saja bisa sedikit berpikir tenang, maka akan terlihat bagaimana gerakan yang baru saja ditunjukkan Pendekar Rajawali Sakti. Jelas, gerakan itu tidak sembarang orang mampu melakukannya. Tapi Karmapala telah keburu dibakar amarah, sehingga sama sekali tidak mempedulikannya.

“Yeaaa...!” Dengan bernafsu, Karmapala kembali menyerang. Kali ini seorang diri. Meski anak buahnya hendak membantu, namun dia telah memberi isyarat agar tetap di tempat untuk berjaga-jaga.

“Kau yang membuat masalah. Maka jangan salahkan kalau aku terpaksa meladenimu!” desis Rangga.

“Tidak usah banyak bicara. Pertahankan saja dirimu, karena aku tidak segan-segan mencabut nyawa busukmu!” dengus Karmapala.

Gerakan Karmapala tergolong lemah, sebab tidak melompat sekaligus. Lompatannya sepotong-sepotong seperti katak. Lalu lompatan terakhirnya tatkala menyerang diikuti desir angin kencang dan tenaga berlipat ganda.

Wuuus!

“Uts!” Rangga mengegos ke samping, menghindari terjangan yang berkekuatan dahsyat. “Hm, lumayan juga. Kau memiliki ilmu ‘katak’ rupanya,” gumam Rangga.

“Kenapa? Apakah kau takut? Mudah-mudahan kau tidak mati berdiri kalau tahu siapa guruku!” sahut Karmapala sinis penuh kesombongan.

“Siapa gurumu?” tanya Rangga.

“Ki Laron Nunggal. Atau, lebih dikenal juga sebagai Katak Penggempur Jagad!” sahut Karmapala, bangga.

“Oh, dia? Hm.... Sudah lama sekali aku ingin mengenalnya,” sahut Rangga.

“Huh! Tidak ada derajat kau untuk bertemu dengannya!” dengus Karmapala.

“Siapa yang ingin bertemu? Aku hanya ingin sedikit memberi pelajaran, bagaimana seharusnya hidup dalam dunia persilatan,” sergah Rangga, membuat telinga Karmapala memerah karena amarah.

Rangga memang pernah mendengar tokoh berjuluk Katak Penggempur Jagad. Menurut orang-orang, tokoh itu memiliki ilmu langkah yang amat dahsyat. Namun sayang, kepandaian Katak Penggempur Jagad justru sering digunakan untuk membuat keonaran demi kepentingan sendiri. Maka sudah barang tentu sepak terjangnya menimbulkan kebencian kaum pendekar. Tidak terkecuali bagi Rangga sendiri. Kini muridnya ada di sini. Maka ini suatu hal yang kebetulan sekali untuk memancing kemunculan Katak Penggempur Jagad yang saat ini lebih banyak bersembunyi.

“Hiyaaa...!” Karmapala yang sudah amat marah kembali menerjang deras, membawa satu hantaman keras berisi tenaga dalam tinggi.

“Hup...!” Dengan gerakan ringan sekali Pendekar Rajawali Sakti meluncur ke atas, menggunakan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’. Dan setelah berputaran beberapa kali tubuhnya menukik tajam sambil mengibaskan tangannya.

Karmapala terkesiap. Maka cepat kedua tangannya diangkat ke atas untuk melindungi kepalanya dari kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti.

Wuttt....

Plak!

“Uhh...!” Karmapala terkejut ketika kedua telapak tangannya yang berbenturan dengan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Suatu dorongan tenaga dalam seperti menyeruduk ke dadanya lewat pergelangan tangan. Kalau saja tidak buru-buru menjatuhkan diri, niscaya pukulan Rangga akan menghajarnya tanpa ampun.

“Siapa kau sebenarnya?!” tanya Karmapala begitu bangkit berdiri.

Sementara Pendekar Rajawali Sakti telah mendarat ringan didepannya. Mata Karmapala memandang tajam seperti tidak berkedip. Masih untung pemuda itu tidak melanjutkan serangan. Sebab melihat keadaannya, pemuda itu sama sekali belum kelelahan. Kalau seandainya tadi langsung menyerang, rasanya berat bagi Karmapala untuk menghindar.

“Aku hanyalah seorang pengembara yang hendak bertemu dengan Ki Jagad Lor!” sahut Rangga, kalem.

“Berkata yang jelas, Kisanak!” desis Karmapala.

“Namaku Rangga. Dan aku ingin bertemu Ki Jagad Lor!” tegas Rangga.

“Kau pasti punya julukan...!”

“Apalah arti sebuah julukan...?”

“Setidak-tidaknya, aku bisa menentukan dan golongan mana kau berasal lewat julukanmu.”

Rangga sebenarnya paling berat untuk menyebutkan julukannya. Tapi mengingat urusannya harus segera diselesaikan, akhirnya dia mengalah.

“Orang-orang memanggilku Pendekar Rajawali Sakti,” jelas Rangga berat.

“Apa?! Tidak mungkin! Jangan coba-coba menggertakku...!” dengus Karmapala.

“Aku tidak memintamu percaya. Kau yang mendesakku untuk menyebutkan julukan. Lagi pula tidak ada untungku menggertakmu,” tukas Rangga.

Karmapala memandang pemuda didepannya dengan sorot mata menyelidik. Dia belum pernah bertemu dengan Pendekar Rajawali Sakti. Dalam bayangannya, Pendekar Rajawali Sakti adalah seorang tokoh tua berjenggot panjang. Tubuhnya kurus, dan telah ubanan. Namun siapa sangka kalau pemuda tampan berbaju rompi putih ini yang justru mengaku pemilik nama besar itu?

Diam-diam Karmapala mengakui kalau pemuda di depannya adalah Pendekar Rajawali Sakti. Buktinya dalam sekali bentrokan, pemuda berbaju rompi putih ini memiliki tenaga dalam yang jauh di atasnya. Mungkin saja dia bisa sedikit menahan kalau dibantu kawan-kawannya. Tapi rasanya tidak berarti banyak. Bahkan pemuda ini sejak tadi belum memainkan pedang. Bila bertangan kosong saja, sudah begitu hebat. Bagaimana pula jika bersenjata?

“Sebenarnya ada kepentingan apa kau ingin bertemu dengan majikan kami?” tanya Karmapala. Nada bicaranya lebih lunak ketimbang tadi.

“Aku mencari seorang wanita muda yang bersamanya,” jelas Rangga seraya menyebutkan ciri-ciri wanita muda yang dimaksud.

Mendengar itu wajah Karmapala kelihatan tegang. “Apakah kau kawannya?”

“Katakan saja, Kisanak. Di mana wanita itu...!” tandas Rangga.

“Bukannya aku tak ingin menjawab. Sebab, urusannya tergantung jawabanmu. Apakah kau menjadi lawan, atau kawan. Karena kalau jawabanmu salah, maka aku tidak peduli meskipun dengan siapa berhadapan!” sahut Karmapala.

Rangga berpikir sejenak, lalu tersenyum dingin. “Aku ingin menangkap wanita itu! Apa kalian hendak menghalangiku?!”

Sedikit banyak, Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau Ki Jagad Lor bukan orang baik-baik. Buktinya para kaki tangannya bersikap kasar. Bahkan murid si Katak Penggempur Jagad ada di sini. Dan kesimpulannya, wanita yang dicarinya bukan orang baik-baik pula. Bisa jadi keduanya bersekutu. Namun, Rangga tidak peduli kalau orang-orang ini akan memusuhinya.

“Kalau begitu kau berada di pihak kami,” kata Karmapala, membuat Rangga tak mengerti bercampur heran.

“Apa maksudmu?” tanya Rangga dengan dahi berkerut.

“Majikan kami tewas beberapa waktu yang lalu, sebelum kedatanganmu ke sini,” sahut Karmapala dengan suara lirih.

“Tewas? Kenapa?” kejar Rangga.

“Sebaiknya kita bicara di dalam saja. Tidak enak bicara sambil berdiri begini,” ajak Karmapala dengan nada ramah.

“Jangan coba-coba menjebakku, sebab kalian tidak akan sempat menyesal nantinya!” ancam Pendekar Rajawali Sakti.

“Mana berani kami berbuat macam-macam kepada pendekar besar sepertimu. Tapi kalau kau merasa keberatan dan curiga, tidak mengapa kita bicara di sini,” sahut Karmapala.

Rangga tidak bisa percaya penuh pada ocehan Karmapala. Dan untuk itu dia mesti membuktikannya. Kalau mereka menjebaknya, maka berarti ada yang disembunyikan. Maka dia mesti hati-hati karenanya. Dan kalau memang benar, rasanya meski mereka menangis darah sekalipun tidak akan dimaafkannya.

“Baiklah. Kuturuti keinginanmu,” sahut Rangga mantap.

Karmapala membawa Pendekar Rajawali Sakti ke dalam ruang tamu. Kemudian anak buahnya disuruh ke dalam sebentar. Dan tak lama, Rangga diperkenalkan dengan seorang gadis muda berusia enam belas tahun. Wajahnya kelihatan sembab seperti habis menangis. Namun di matanya, pemuda itu bisa melihat api dendam hebat. Lebih hebat dari dendamnya sendiri!

“Siapa dia?” tanya Rangga.

“Dia Kembang Harum, putri Ki Jagad Lor. Gadis inilah yang menjadi saksi atas kematian ayah serta ibunya,” jelas Karmapala.

Rangga terdiam. Dicobanya mencema keadaan sekelilingnya. Memang di dalam rumah ini suasana berkabung tampak lebih nyata. Rangga melihat beberapa orang tengah menunggui jenazah Ki Jagad Lor dan istrinya yang terbujur kaku tertutup kain. Meski begitu, pemuda ini tidak percaya kalau mereka tidak merencanakan sesuatu untuknya.

“Bagaimana kejadiannya?” tanya Rangga.

“Sore tadi, majikan kami pulang bersama seorang wanita muda yang kelihatannya genit sekali. Beliau seperti mabuk kepayang dan tidak peduli. Padahal, kami sudah mengingatkan bahwa di rumah istrinya sudah menunggu. Kami menduga, istri beliau pasti akan mengamuk melihat kehadiran wanita itu. Dan benar saja. Sesaat kami mendengar suara barang perabotan yang hancur berantakan. Tidak ada seorang pun yang berani masuk, sebab beliau memerintahkan agar kami berjaga di luar. Suara istri beliau yang mengamuk dan marah sejadi-jadinya hanya sebentar. Sesaat suasana sepi kembali. Sampai kami dikejutkan teriakan Kembang Harum yang baru saja tiba dari bepergian. Serentak kami ke dalam dan melihat Ki Jagad Lor serta istrinya tewas,” jelas Karmapala panjang lebar.

Mendengar penuturan itu kelihatan gadis bernama Kembang Harum yang masih duduk menangis terisak menutup wajah dengan kedua telapak tangan.

“Maafkan Paman, Kembang,” lanjut Karmapala lirih penuh penyesalan.

Sesaat mereka terdiam sampai gadis itu betul-betul menghentikan tangisannya.

“Ke mana perginya wanita itu?” tanya Rangga.

“Menghilang entah ke mana. Kami langsung menduga, dia pelakunya. Pencarian dilakukan di sekitar rumah ini, namun jejaknya nihil. Dia hilang seperti ditelan bumi. Kami telah mengutus beberapa orang untuk mencari jejaknya. Kami juga mulai berjaga-jaga takut dia kembali, dan membuat keonaran.”

“Kalau begitu kita memang mempunyai persoalan sama. Kudapatkan jejak itu ke sini. Tapi tiba di sini, ternyata wanita itu tak ada. Maka terpaksa aku mesti mencarinya ke tempat lain. Maaf, aku mesti pergi.” Setelah berkata begitu Rangga bermaksud berbalik.

“Kisanak, maaf....” Mendadak Karmapala mencegah kepergian Pendekar Rajawali Sakti.

“Kalau memang kau bertemu dengannya, sudikah kau membawanya kepada kami?” lanjut laki-laki ini ketika pemuda itu menoleh.

Rangga tersenyum. “Tentu saja jika kalian mau menguburkannya. Nanti akan kukirim orang untuk memberitahu kalian, di mana mayatnya berada,” jawab Pendekar Rajawali Sakti enteng.

“Kisanak, maafkan kesalahpahaman yang tadi...!” kata Karmapala lagi sambil mengikuti dari belakang.

“Tidak apa,” sahut Rangga tidak peduli, langsung melangkah keluar menuju halaman.

********************

TIGA

Hari masih pagi. Kota kecil di Kadipaten Welirang ini agak sepi. Seorang gadis berpenampilan anggun melintas dengan kudanya. Wajahnya cantik. Rambutnya panjang terlepas begitu saja, menyapu punggung.

Pakaiannya agak longgar, namun terbuat dari bahan tipis berwarna putih bersih. Sehingga bila angin bertiup agak kencang, samar-samar terlihat bentuk beberapa bagian tubuhnya. Terutama bagian dada yang menonjol menantang yang menjadi kebanggaan kaum hawa.

Tepat di halaman kedai, gadis cantik berpakaian putih ini menghentikan laju kudanya. Dengan gerakan indah sekali, dia turun dan langsung menambatkan kudanya.

“Silakan, Nisanak...!” sapa seorang laki-laki setengah baya yang agaknya pelayan kedai ini.

Sambil tersenyum manis pada para pelayan itu, gadis ini melangkah tenang ke dalam. Baru beberapa tindak gadis ini memasuki kedai, para pengunjung yang rata-rata lelaki serentak berpaling ke arahnya. Semua mendecah kagum melihat kecantikan serta bentuk tubuhnya yang memang aduhai.

“Gila! Kalau dia jadi istriku akan kusekap selamanya. Tidak kuizinkan seorang pun melihatnya!” decah seorang laki-laki yang dua buah gigi depannya agak mancung.

“Sinting kau, Tungga. Jangankan dia. Gadis kambing gembel pun enggan melirikmu!” ejek kawannya.

“Jangan menghina kau, Sungta. Gini-gini juga aku sudah pernah diajak kawin oleh putri bangsawan. Tapi, aku menolak. Daripada kau yang tak pernah laku-laku!” sahut laki-laki tonggos yang dipanggil Tungga, mencibir sinis.

Pemuda yang dipanggil Sungta tergelak. Entah bualan dari mana kawannya itu. Seingatnya, Tungga belum pernah didekati cewek barang seorang pun. Jelas sekali, sebab mereka berkawan sejak kecil.

Tapi Sungta tak melanjutkan olokannya, ketika seorang laki-laki setengah baya berbadan gemuk masuk ke dalam kedai, diikuti beberapa orang bertampang seram.

“Juragan Jelorejo...!” bisik Sungta lirih.

“Huh! Mau apa dia ke sini?” cibir Tungga.

“Mau apa katamu? Ya, jelas! Mau apa lagi kalau bukan hendak menggaet bidadari yang baru turun dari kahyangan itu!” dengus Sungta, seraya melirik gadis berbaju putih yang sudah duduk di sudut kedai.

“Lebih baik kita buru-buru tinggalkan kedai ini. Kalau dia hendak mendekati perempuan, ulahnya suka menyerempet ke orang lain. Bisa-bisa kita menjadi pelampiasannya,” ajak Tungga.

Apa yang dikatakan Tungga memang tidak salah. Buktinya, banyak pengunjung kedai yang tengah bersantap, tiba-tiba menyelesaikannya terburu-buru lalu meninggalkan kedai, begitu laki-laki gemuk berpakaian dari sutera yang dipanggil Juragan Jelorejo masuk kedai ini.

Memang bukan kali ini Juragan Jelorejo yang dikenal doyan perempuan ini menunjukkan kekuasaan di depan wanita yang ditaksirnya. Pengunjung kedai lain diusir secara paksa dan kasar lewat tangan beberapa laki-laki bertampang seram yang memang tukang pukulnya. Maka daripada cari penyakit, lebih baik mereka menyingkir lebih dulu.

“He he he...! Bagus, bagus! Begitulah bila seorang bangsawan berkunjung. Kalian harus memberi tempat agar leluasa,” oceh laki-laki bertubuh gemuk itu, seraya menghampiri gadis berbaju putih.

Sementara, gadis yang jadi pusat perhatian sama sekali tidak mempedulikannya. Dengan tenang diteguknya arak dalam bumbung bambu.

“Kelihatannya kau sendiri, Nisanak?” sapa Juragan Jelorejo ramah sambil tersenyum-senyum kecil.

“Begitukah?” sahut gadis ini dengan suara lembut mendayu, dengan mata sedikit melirik.

Mendengar basa-basinya mulai mengenai sasaran, Juragan Jelorejo semakin berani saja. “Boleh aku menemanimu?” lanjut laki-laki gemuk ini seraya memberi isyarat agar para tukang pukulnya menunggu di luar.

“Silakan saja,” sahut gadis itu tersenyum kecil.

Sementara laki-laki setengah baya pemilik kedai buru-buru datang menanyai pesanan.

“Keluarkan semua makanan terenak yang dimiliki kedai ini!” sahut Juragan Jelorejo.

“Baik, Gan!” sahut pemilik kedai sigap, dan buru-buru pergi.

Melihat senyuman manis, semangat Juragan Jelorejo kontan melambung. Sambil tersenyum-senyum dan hati berbunga-bunga, dia duduk persis di depan gadis itu.

“Namaku Jelorejo. Tapi orang-orang di kota ini memanggilku Juragan Jelorejo,” kata laki-laki gemuk ini memperkenalkan diri.

“Namaku Suti Raswati.”

“Nama yang bagus sekali! Sesuai betul dengan orangnya!” puji Juragan Jelorejo.

“Terima kasih. Hm.... Kelihatannya Juragan....”

“Panggil saja aku Kakang Jelorejo. Begitu kan lebih baik!” tukas Juragan Jelorejo, cepat.

“Baiklah, Kakang Jelorejo,” sahut Suti Raswati mantap, tidak merasa canggung sedikit pun.

Dada Juragan Jelorejo seperti mau meledak, karena perasaan berbunga-bunga mendengar suara gadis itu yang begitu merdu sampai ke gendang telinganya. “Eh? Apa yang tadi hendak kau katakan?” tanya Juragan Jelorejo.

“Kakang kelihatannya orang hebat di kota ini. Begitu Kakang masuk, maka yang lainnya segera menyingkir,” puji Suti Raswati.

“Oh, tentu! Tentu...!” sambut Juragan Jelorejo cepat.

“Hm, enak sekali tentunya?”

“He he he...! Biasa saja. Mereka menghormatiku, karena dikota ini akulah satu-satunya orang yang berkuasa,” kata laki-laki gemuk itu, langsung besar kepala.

“Kakang tentunya kaya sekali?”

“He he he...! Begitulah.”

“Hm, sungguh kebetulan!”

“Apa maksudmu?”

“Aku habis melakukan perjalanan jauh. Dan rasanya letih sekali. Aku hendak menginap, tapi takut pada lelaki usil yang menggangguku.”

Belum lagi selesai bicara gadis itu, Juragan Jelorejo langsung mengulapkan tangannya. “Kalau bersedia, kau boleh menginap di rumahku!” tegas laki-laki gemuk itu.

“Betulkah, Kakang?” tanya Suti Raswati, seperti ingin meyakinkan.

“Kenapa tidak? Pintu rumahku selalu terbuka bagi siapa saja. Apalagi bagi tamu sepertimu yang telah melakukan perjalanan jauh. Kau pasti amat lelah sekali!”

“Terima kasih, Kakang. Kau baik sekali!”

“Ah, tidak! Biasa saja. Kau ingin beristirahat sekarang?”

Gadis itu mengangguk.

“Baiklah, kalau begitu kita berangkat sekarang!”

Juragan Jelorejo buru-buru bangkit berdiri menghampiri ketika gadis itu berdiri. Langsung digandengnya tangan gadis itu. Sementara, Suti Raswati seperti kerbau dicucuk hidungnya, menurut saja sambil tersenyum manis. Maka semakin meledak-ledak saja isi dada Juragan Jelorejo melihat gelagat baik itu. Sambil bergandengan, mereka melangkah menuju pintu kedai.

“Gan, bagaimana pesanannya? Kami sudah menyiapkannya!” teriak pemilik kedai sambil membawa nampan berisi hidangan-hidangan lezat yang telah siap.

“Batalkan saja!” sahut Juragan Jelorejo, enteng.

“Tapi Juragan....”

Juragan Jelorejo berbalik. Matanya memandang tajam kepada pemilik kedai. “Apakah kau ingin agar para tukang pukulku untuk menyuruhmu membatalkan pesananku?!” dengus Juragan Jelorejo.

“Eh! Ti..., tidak, Juragan. Baiklah,” sahut pemilik kedai, gemetar.

Laki-laki setengah baya ini tahu apa yang terjadi kalau sampai para tukang pukul Juragan Jelorejo bertindak. Mereka tidak akan bicara lagi, tapi isi kedai ini bisa porak-poranda. Bahkan kalau lagi apes, dia pun bisa babak-belur. Maka pemilik kedai membiarkan saja ketika Juragan Jelorejo pergi bergandengan bersama gadis yang baru saja dikenalnya, diiringi para tukang pukul. Dia lebih memilih rugi, ketimbang celaka.

“Dasar manusia tidak punya perasaan!” dengus pemilik kedai geram ketika Juragan Jelorejo dan para tukang pukulnya telah pergi jauh.

“Kau tentu lelah sekali, bukan? Mari, kutunjukkan kamar yang pantas untukmu!” kata Juragan Jelorejo, di dalam rumahnya yang tergolong mewah. Sebuah rumah bagai istana kecil yang tertata apik.

Memang begitu sampai di rumahnya, Juragan Jelorejo langsung mengajak gadis bernama Suti Raswati ke dalam ruangan tengah. Sementara tukang pukul laki-laki gemuk ini segera disuruh untuk menyiapkan santapan yang lezat-lezat.

Selama ini juragan itu hidup menduda dengan dua anak. Namun soal main perempuan, dialah jagonya. Maka begitu mendapat gadis cantik seperti itu tak heran kalau dia kerepotan.

Jantung laki-laki ini semakin berdetak kencang. Hatinya kebat-kebit tidak menentu. Hatinya makin gelisah tidak menentu melihat senyum Suti Raswati. Apalagi saat melihat cara jalan gadis yang mempunyai bentuk tubuh indah bukan main. Juragan Jelorejo sambil merangkul, membawa gadis itu ke kamar yang akan ditempatinya.

“Ah, indah sekali!” seru Suti Raswati begitu sampai di ambang pintu sebuah kamar yang diperuntukkan baginya.

Di kamar yang tertata indah ini terdapat sebuah tempat tidur besar dengan sebuah lemari di dekatnya. Kemudian sebuah cermin besar, lengkap dengan meja dan tempat duduk. Ruangan itu pun menebarkan aroma harum semerbak seperti khusus disediakan untuknya.

“Kau suka berada di sini?” tanya Juragan Jelorejo, ketika gadis itu memandang ke sekeliling dengan mata berbinar dan sesekali mendecah kagum.

“Suka sekali, Kakang!” sambut Suti Raswati.

“Kalau tidak keberatan, kau boleh berada di sini selama kau suka!” ujar Juragan Jelorejo.

“Apa maksudmu, Kakang?” tanya gadis ini lembut seraya memandang laki-laki setengah tua itu dengan tatapan sayu. “Kau ingin aku berada di istanamu ini sesukaku?”

“Eh! I..., iya. Apakah, apakah kau tidak suka?”

“Mengapa tidak? Aku suka sekali! Sungguhkah itu?!”

Juragan Jelorejo cepat mengangguk. Maka tanpa disangka-sangka tiba-tiba saja Suti Raswati menubruk dan memeluk Juragan Jelorejo penuh kegembiraan.

“Oh! Terima kasih, Kakang! Terima kasih. Kau baik sekali padaku!” sambut gadis ini.

Mula-mula Juragan Jelorejo gelagapan. Memang jarang ditemukannya perempuan yang seperti Suti Raswati. Rata-rata, mereka malu melakukannya. Apalagi memeluk laki-laki yang baru dikenal. Tapi gadis ini lain. Dan kelihatannya tidak malu barang sedikit pun.

“Bahkan kalau kau suka, rumah ini pun bisa kau anggap sebagai milikmu. Aku bisa mengabulkan apa saja yang kau inginkan,” lanjut Juragan Jelorejo, langsung balas memeluk gadis itu. Bahkan lebih erat seperti takut terlepas.

“Betulkah, Kakang?!” desah Suti Raswati seperti tidak percaya pada pendengarannya sendiri.

Juragan Jelorejo mengangguk. “Tapi dengan satu syarat mudah.”

“Apa itu, Kakang?”

Juragan Jelorejo merasa tidak perlu bicara berbelit-belit untuk menjelaskan maksudnya, melihat sikap gadis itu yang sejak tadi dinilai sebagai gadis murahan. Maka sambil tersenyum-senyum mulutnya mendekat ke telinga Suti Raswati. Berbisik.

“Oh, itukah? Kenapa tidak katakan dari tadi?” kata gadis ini, makin manja.

Tidak terlihat perubahan raut wajah Suti Raswati mendengar bisikan itu. Bahkan tersenyum semakin manis. Perlahan-lahan dilepaskannya pelukan Juragan Jelorejo.

“Mau kemana?” tanya Juragan Jelorejo.

“Pintu ini harus terkunci rapat. Kau tidak suka acara kita terganggu, bukan?” jawab gadis ini, segera melangkah dan mengunci pintu.

“He he he...! Kau memang pintar, Suti. Pintar sekali!” puji laki-laki gemuk itu.

“Nah, tunggu apa lagi?” tanya Suti Raswati seraya maju mendekati Juragan Jelorejo.

Dengan gerakan gemulai, gadis itu mulai membuka baju Juragan Jelorejo satu persatu. Senyum mautnya seperti tidak pernah lekang dari bibirnya. Sementara matanya seperti tak ingin lepas menatapi wajah laki-laki itu.

Juragan Jelorejo jadi belingsatan sendiri. Sehingga baru saja tubuhnya telah tak tertutupi selembar pakaian pun, langsung dibopongnya gadis itu dan dibawanya ke atas ranjang.

“Ouw! Pelan-pelan, Kakang. Sabar saja. Aku tidak akan lari dari sisimu...,” jerit gadis ini, manja sekali ketika tubuhnya dengan kasar dibaringkan di tempat tidur.

“Aku sudah tidak sabar lagi. Cepatlah!” dengus Juragan Jelorejo dengan napas memburu, langsung ikut berbaring.

“Sabar sebentar. Pakaianku belum lagi dibuka,” ujar Suti Raswati.

“Biar kubantu.”

Bret!

“Ouw! Hati-hati, Kakang. Sobek deh pakaianku...,” seru Suti Raswati dengan suara manja merayu.

Juragan Jelorejo memang kelewat bernafsu. Tangannya dengan kasar merenggut pakaian gadis ini. Sementara yang sebelah lagi melingkar erat memeluk bahu gadis ini yang berkulit putih mulus.

“Aku bisa membelikan pakaian itu seratus potong asal kau mau,” lanjut Juragan Jelorejo.

Laki-laki itu memang merasakan tubuhnya menggigil. Tapi bukan demam. Isi kepalanya panas seperti air mendidih. Dan pikiran sehatnya terbang entah kemana. Darahnya mengalir kencang. Rasanya, kesempatan ini memang tak ingin disia-siakannya. Dia ingin segera melampiaskannya. Sementara deru napasnya kian kencang saja, bagai kuda yang berlari kencang.

“Sabarlah, Kakang. Sebentar lagi...,” desah gadis ini sambil meloloskan sisa pakaiannya yang robek-robek dicabik Juragan Jelorejo.

Juragan ini seperti tidak mau mendengar. Tangannya langsung bermain lincah di sekitar bukit kembar yang membusung. Amat menantang untuk didaki. Sementara bibirnya yang agak monyong dan menghitam, tidak segan-segan mengulum bibir merah yang menantang ini.

Suti Raswati mulai mendesah-desah dan menggeliat-geliat. Sementara Juragan Jelorejo mulai menggeram hebat laksana seekor serigala lapar yang melihat seekor kelinci yang begitu menawan dan amat menggoda.

“Kakang...,” desah gadis ini di sela-sela desah napas mereka yang bagai tengah mendaki ke langit tingkat tujuh.

“Hm...,” gumam laki-laki ini dibuat manja.

“Apakah Kakang bersedia menjadikanku sebagai istrimu?” tanya Suti Raswati.

“Jangan pikirkan hal itu, Sayang...,” tukas Juragan Jelorejo.

“Tapi aku perlu mendengar jawabanmu....”

Dalam keadaan seperti itu Juragan Jelorejo tidak mau banyak berpikir lagi. “Ya,” jawab laki-laki ini, menyetujui.

“Kakang berjanji?”

“Aku berjanji. Sudahlah, jangan banyak bicara lagi!” sergah Juragan Jelorejo dengan suara bergetar, menahan hasrat kelelakiannya. Dan kali ini, agaknya nafsu Juragan Jelorejo sudah tidak tertahankan lagi. Segera dia menerkam buruannya.

“Ouw...!” keluh Suti Raswati manja.

Tak ada suara lagi, selain dengus napas mereka berdua yang sesekali disertai rintihan dan erangan. Semuanya menjadi satu bersama keringat mereka yang membanjir.

Semula Juragan Jelorejo ingin membuat pesta meriah untuk melangsungkan perkawinannya dengan Suti Raswati. Tapi untuk membuat pesta meriah, jelas memakan waktu. Baik saat merencanakan, maupun mempersiapkannya. Sedangkan Suti Raswati ingin cepat-cepat saja. Gadis ini tak peduli pesta perkawinan itu meriah atau tidak. Maka dua hari setelah pertemuannya dengan Suti Raswati, Juragan Jelorejo meresmikan perkawinannya secara sederhana yang dihadiri keluarga sendiri. Termasuk kedua anak Juragan Jelorejo yang bernama Sari Dewi dan Jayaprana.

Kedua anak Juragan Jelorejo itu sejak kecil telah ditinggal mati ibu mereka yang tak tahan melihat kebiasaan suaminya yang doyan main perempuan. Tak hanya diluaran, bahkan kadang seorang pelacur pun dibawa ke rumahnya.

Kini kedua anak yang telah meningkat remaja itu telah mempunyai ibu baru, yakni Suti Raswati. Namun kehadiran Suti Raswati di tempat ini agaknya tak disukai oleh anak perempuan Juragan Jelorejo yang bernama Sari Dewi.

Memang beralasan mengapa Sari Dewi muak terhadap Suti Raswati yang memang kelewatan. Selama tiga hari di rumah ini, beberapa kali gadis itu memergoki Suti Raswati bermain mata dengan Jayaprana.

EMPAT

Sejak pagi tadi Juragan Jelorejo dijemput salah seorang kenalannya yang mengajaknya bekerja sama di kota kadipaten dalam urusan dagang. Sementara keadaan rumah bagai istana ini tampak sepi. Di luar hanya ada beberapa penjaga. Sebab yang lainnya dibawa Juragan Jelorejo untuk mengawal. Dalam keadaan sepi begini, satu sosok tubuh tampak menelusup diam-diam ke kamar yang ditempati Suti Raswati.

“Jayaprana?! Mau apa kau ke sini?” tegur sebuah suara merdu, begitu sosok itu menampakkan wajahnya di ambang pintu.

“Ssst!”

Sosok pemuda bertubuh kurus di ambang pintu buru-buru memberi isyarat dengan telunjuk yang ditempelkan kebibir. Buru-buru pemuda yang dipanggil Jayaprana menutup pintu, kemudian menguncinya. Buru-buru pula dihampirinya sosok bertubuh ramping yang menegurnya.

“Apa yang kau inginkan di sini, Jayaprana?” tanya sosok bertubuh ramping yang tak lain Suti Raswati ketika pergelangan tangannya digamit erat.

Sementara tanpa menjawab Jayaprana mengajak wanita itu ke atas ranjang. Dan mereka pun duduk di situ. Melihat ibu tirinya itu tidak berusaha berontak, Jayaprana semakin berani. Malah sebelah tangannya dilingkarkan ke pangkal leher Suti Raswati. Rasa hormatnya terhadap ibu tiri tak ada sama sekali.

“Ayolah, Suti. Kau mengerti apa yang kuinginkan, bukan?” rayu Jayaprana, yang merupakan kakak Sari Dewi dengan suara bergetar.

Jakun pemuda ini turun naik tidak beraturan. Tubuhnya bergetar. Jantungnya berdetak tiga kali lebih cepat. Terbayang sudah sebuah kenikmatan yang akan direguknya.

“A..., apa maksudmu?” tanya Suti Raswati pura-pura tidak mengerti.

Jayaprana gemas betul mendengar jawaban gadis itu. Suaranya yang manja merayu dan gerak-geriknya yang menggairahkan serta senyumnya yang amat memikat, membuatnya makin melambung saja.

“Kau mengerti apa yang kuinginkan...,” desah Jayaprana lirih dengan wajah semakin mendekat.

Dan secepat kilat Jayaprana memagut bibir merah delima milik ibu tirinya! Sebelah tangannya merangkul pinggang. Dan sebelah lagi mulai melepaskan penutup tubuh wanita itu yang hanya mengenakan lipatan kain.

Suti Raswati terkikik geli dan pura-pura menghindar. Tapi tindakannya semakin membangkitkan gairah anak muda yang memang telah kerasukan. Langsung diterkamnya wanita itu.

“Hei, sabarlah sebentar. Kau belum melepas seluruh pakaianmu,” ujar Suti Raswati, manja.

Jayaprana tercenung sebentar. Itu isyarat terbaik bagi hasratnya. Buru-buru seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya dilepaskan. Dan secepat kilat pula dia membantu wanita itu melepaskan belitan kain.

Kembali suasana hening. Yang ada hanya helaan napas penuh gairah, dengan erangan-erangan mendesah. Apa yang terjadi di kamar itu, hanya disaksikan seekor cicak yang lantas berlari ke balik lemari. Mungkin malu melihat perbuatan terkutuk antara anak dengan ibu tirinya!

Tanpa sepengetahuan dua insan yang tengah mereguk kenikmatan itu, Sari Dewi, adik Jayaprana, lewat di depan pintu kamar Suti Raswati. Gadis ini kontan tersentak kaget.

“Pelacur keparat!” maki Sari Dewi, mendengar apa yang terjadi dalam kamar itu.

Semula gadis ini ingin masuk untuk memaki-maki wanita itu. Tapi keberaniannya mendadak sirna. Entah kenapa dia malah berbalik dan melangkah pergi. Meskipun dalam hatinya kemarahan telah meletup-letup siap termuntahkan. Mungkin juga, dia takut dengan Jayaprana.

Antara Sari Dewi dengan Jayaprana memang tidak pernah saling usil meski mengetahui tabiat masing-masing. Meski kejadian di dalam kamar sana membuatnya menyumpah habis-habisan karena marahnya.

“Keterlaluan! Biadab...! Perempuan rendah!” rutuk gadis itu sambil melangkah lebar ke luar halaman. Dari halaman depan, Sari Dewi melangkah menuju istal yang berada di samping.

“Heaaa...!”

Sari Dewi telah melesat bersama seekor kuda putih milik Suti Raswati dengan membawa hati yang galau. Entah apa yang tengah dipikirkan dalam benaknya saat ini. Marah, dan kebencian yang tidak tersalurkan. Yang terlintas saat itu adalah, pergi sejauh-jauhnya dari rumah itu untuk sementara waktu.

“Heaaa...!” Kembali Sari Dewi menggebah kudanya dengan kencang tak peduli akan daya tahan kuda itu.

San Dewi membuang kekesalannya di bawah sebuah pohon berdaun rimbun, tepat di pinggir sungai. Sambil duduk memeluk lututnya, tangannya sesekali melempar kerikil ke permukaan sungai, menciptakan gelombang kecil-kecil. Walaupun sudah beberapa kali bertindak demikian tetap saja kemarahan pada ibu tirinya tak juga padam.

Kebetulan, tempat yang diduduki gadis ini terletak di tanah yang agak berbukit. Di samping kirinya, tanah menurun yang ditumbuhi ilalang panjang-panjang, yang berlanjut dengan rerumputan yang menghampar diselingi oleh beberapa pepohonan. Dan baru saja Sari Dewi hendak bangkit, mendadak....

“Heh?!” Mendadak gadis itu terkejut ketika mendengar suara terkikik yang berasal dari bawah sebelah kirinya. Otaknya yang sumpek kian terganggu.

“Setan...!” dengus gadis ini geram.

Sebenarnya gadis ini justru menghindarkan diri dari suara-suara seperti itu di rumahnya, yang berasal dari perbuatan gila dua insan yang tengah dimabuk kepayang. Kini bayangan itu kembali terlintas, begitu mendengar cekikikan seorang gadis. Siapa pun tahu, tidak mungkin seorang gadis berada seorang diri di tempat seperti ini. Pasti ada laki-laki yang mendampinginya.

“Huh!”

Sari Dewi baru saja hendak kembali melangkah, namun terhenti. Rasa-rasanya dia mengenal suara laki-laki yang mendampingi gadis yang tengah cekikikan itu.

“Somadipura...!” desis Sari Dewi.

Gadis itu cepat melangkah mengendap-endap untuk mencari tahu, apakah sepasang anak muda yang tengah memadu cinta itu salah satunya adalah Somadipura yang dikenalnya.

“Jangan keterlaluan, Kakang. Masih banyak kesempatan kalau kita sudah kawin...!”

Terdengar suara manja dari mulut seorang gadis.

“Apakah kau tak percaya padaku?” balas suara berat dari mulut seorang pemuda. Suaranya bernada merayu.

“Aku percaya, tapi....”

“Tapi apa lagi yang kau khawatirkan?”

“Kakang. Cobalah mengerti kalau hal itu belum layak kita lakukan. Ayah dan Ibu pasti marah besar kalau tahu hal ini.”

“Mereka tidak tahu kalau kau tidak cerita!”

Tidak terdengar suara lagi.

“Ayolah, apa lagi yang kau tunggu?” Kembali terdengar suara bernada mendesak. Jelas datangnya dari mulut pemuda itu.

“Tapi Kakang....”

“Tapi apa lagi?” Belum juga desakan pemuda itu terjawab, mendadak saja....

“Jangan dipaksa kalau dia tidak mau...!” Mendadak terdengar sebuah suara membentak yang disusul dengan melompatnya satu sosok ramping di depan dua insan yang tengah dimabuk asmara. Begitu mendarat, pemuda yang tadi tengah merayu tercekat kaget.

“Sari Dewi...!” desis pemuda itu ketika mengetahui siapa gadis itu.

“Bagus, Somadipura! Kau mengenalku! Kukira kau akan mengelak!” bentak sosok yang baru datang. Dia tak lain Sari Dewi. Sambil berkacak pinggang, matanya menatap tajam pemuda yang bernama Somadipura.

“E, tu..., tunggu dulu, Sari Dewi. Kau salah paham,” ujar Somadipura tergagap sambil memperbaiki bajunya yang acak-acakan.

Sementara gadis yang tadi bersama Somadipura cepat berdiri. Matanya langsung memandang Sari Dewi dan Somadipura bergantian dengan wajah bingung. Kalau semula dia merapat pada pemuda itu, namun ketika melihat gelagat aneh perlahan-lahan kakinya melangkah menjauh.

“Kakang, ada apa ini?” tanya gadis ini ragu. Agaknya, dia takut kalau antara Sari Dewi dan Somadipura ada hubungan kekasih.

“Akan kujelaskan nanti, Lestari. Sekarang pulanglah dulu,” ujar Somadipura, sedikit melirik pada gadis yang bernama Lestari itu.

“Tapi, tadi Kakang membawaku dengan sepengetahuan kedua orangtuaku. Maka kalau aku pulang sendiri dan mereka menanyakanmu, apa yang mesti kujawab?” tukas Lestari.

“Katakan pada orangtuamu, kalau laki-laki brengsek ini tengah kuadili!” sambar Sari Dewi cepat, meningkahi.

“Ya, Lestari. Sebaiknya kau pulang dulu. Biar nanti aku akan datang menemui orangtuamu dan menjelaskan duduk persoalannya. Tenanglah. Segalanya akan beres!” sahut Somadipura, berusaha meyakinkan.

“Tapi sebelum aku pergi, tolong jawab dulu pertanyaanku, Kakang?”

“Apa?”

“Apa hubunganmu dengan gadis ini...?”

“Dia tunanganku!” sambar Sari Dewi sewot.

“Benarkah, Kakang?” tanya Lestari.

Dada gadis ini bergemuruh mendengar jawaban barusan. Meski begitu dia masih ingin mendengar jawaban langsung dari mulut pemuda itu. Somadipura diam tertunduk, tak mampu menjawab.

“Jadi..., jadi benar?” desis Lestari dengan mata berkaca-kaca.

Gadis itu tidak bisa lagi menahan derai air matanya. Sambil menangis terisak, tubuhnya segera menghambur dari tempat itu.

“Lestari, tunggu...!” teriak Somadipura. Pemuda ini bermaksud mengejar, namun Sari Dewi telah menghadang jalannya.

“Kau ingin menyusulnya?” tanya gadis itu, mendengus sinis.

Somadipura tahu betul, bagaimana adat gadis ini. Kalau tengah marah dia bisa berbuat apa saja. Bahkan bisa menyuruh tukang-tukang pukul ayahnya untuk menghajarnya.

Lagi pula dia masih diliputi perasaan bersalah, atas kejadian barusan. Sehingga tidak mampu berkata apa-apa untuk beberapa saat.

“Apa yang kau inginkan darinya? Tidak cukupkah aku bagi dirimu, sehingga kau perlu mencari-cari wanita lain?!” semprot Sari Dewi.

“Tenanglah, Sari. Kau salah mengerti soal ini. Aku dan dia....”

“Kau hendak mungkir, Soma?!” potong Sari Dewi, menghardik semakin garang. “Kalau saja cerita ini kudengar dari orang lain, mungkin saja aku tidak percaya. Tapi aku melihatnya sendiri. Kau membujuk gadis itu untuk menyerahkan kehormatannya. Apa itu namanya?!”

Somadipura terdiam sambil meringis. Matanya memandang gadis itu dengan takut-takut.

“Mulai sekarang aku minta padamu. Jauhi gadis itu!” ujar Sari Dewi, mantap.

“Tentu saja! Itu soal mudah. Karena, antara kami tidak ada hubungan apa-apa!” sahut Somadipura cepat dan bersemangat.

“Bagus! Dan yang kedua perlu kau ketahui. Mulai saat ini, hubungan kita putus!” lanjut gadis itu. Sambil mendesis sinis, Sari Dewi berbalik.

“Eh, Sari! Tunggu dulu! Apa maksudmu tadi?!” kejar Somadipura.

“Apa telingamu tuli? Kita putus! Kau dan aku tidak ada hubungan apa-apa. Tapi kalau kau coba main gila dengannya, maka jangan salahkan kalau aku akan memberi ganjaran kepadamu!” ancam Sari Dewi.

Somadipura terkejut. Kalau Sari Dewi berkata begitu, mau tidak mau pasti akan dibuktikannya. Dan bukan tidak mungkin dia akan mencari-cari alasan lain untuk menghajarnya.

Dan belum ada yang membuka suara lagi, mendadak terdengar derap langkah serombongan orang berkuda. Sepertinya rombongan yang berjumlah lima orang itu akan melewati tempat Somadipura dan Sari Dewi. Begitu mereka dekat, mendadak wajah Somadipura menjadi cerah menyambut kedatangan lima penunggang kuda yang rata-rata masih berusia muda. Dan melihat pakaiannya, jelas mereka adalah anak-anak para tuan tanah.

“He he he...! Kami kira siapa yang tengah berkasih-kasihan disini. Ternyata sepasang kekasih yang tengah dimabuk asmara!” seru salah seorang pemuda yang berkuda paling depan, seraya menarik tali kekangnya.

Empat orang lainnya yang berkuda di belakang segera ikut berhenti ketika telah berada di dekat Sari Dewi dan Somadipura.

“Hei, Soma! Apa yang kau lakukan di sini?! Jauh sekali kau mengajak sang putri berkasih-kasihan!” teriak pemuda yang berkuda paling kiri.

“He he he...! Biasa saja. Dari mana saja kalian?” sahut Somadipura, tidak mempedulikan godaan kawan-kawannya.

“Biasa, berburu dikampung sana!” sahut yang berkuda paling depan.

Somadipura mengenal pemuda yang berkuda paling depan sebagai putra seorang tuan tanah di kota yang sama. Nama pemuda itu, Jambika. Demikian pula keempat pemuda yang bersamanya.

Sementara, Sari Dewi juga mengenal mereka. Tentu saja, sebab, kakaknya yang bernama Jayaprana juga berkawan dengan mereka. Sama dengan Somadipura serta Jayaprana, mereka adalah pemuda yang memiliki watak serta kelakuan hampir mirip.

“He he he...! Jauh sekali kalian berburu. Padahal yang dekat pun masih banyak,” sahut Somadipura.

Somadipura melangkah mendekati Jambika. Diberinya isyarat agar Jambika merendahkan tubuhnya. Dan Somadipura pun cepat menempelkan mulutnya di telinga pemuda itu.

Jambika terkesiap. Lalu matanya melirik pada Sari Dewi yang telah berbalik melangkah hendak meninggalkan tempat ini. Agaknya gadis itu tak ingin mempedulikan lima orang yang baru datang.

“Apa tidak salah?” tanya Jambika sedikit heran.

“Kalau kau mau kehilangan kesempatan, terserah,” sahut Somadipura.

“Tapi....”

“Kau terlalu banyak pertimbangan. Itu yang membuatmu selalu gagal!” sergah Somadipura.

Jambika melirik ke arah Sari Dewi sekilas. Lalu.... “Tangkap dia! Dan, jangan lepaskan!” perintah Jambika pada keempat kawannya.

Perintah Jambika yang memang paling berpengaruh membuat kawan-kawannya terkejut. Tapi lebih terkejut lagi Sari Dewi. Tubuhnya langsung berbalik, dan memandang galak pada Jambika serta Somadipura yang tersenyum-senyum.

“Jambika, apa maksudmu?! Kau mau cari gara-gara denganku?!” bentak Sari Dewi.

“He he he...! Terserah apa katamu. Tapi hari ini, sakit hatiku akan terbalas. Kau pernah menolak cintaku. Dan itu tidak akan pernah hilang dari ingatanku,” ujar Jambika sambil ketawa lebar.

“Kurang ajar! Kau tahu apa akibatnya bagimu?! Tukang pukul ayahku akan membuat perhitungan denganmu. Dan kau tidak akan selamat!” desis Sari Dewi mengancam.

“Itu kalau kau bisa pulang dengan selamat,” timpal Somadipura enteng.

“Apa maksudmu, Brengsek?!” bentak Sari Dewi.

“Maksudku sederhana. Dan kau pun pasti mengerti. Kau terlalu menghina mereka. Maka, mereka akan membalasnya sekarang. Kau mesti meladeni mereka satu persatu. Dan setelah itu...." Somadipura menempelkan tepi telapak tangannya keleher, lalu menggerakkannya ke samping.

“Keparat kau! Sebelum kalian membunuhku, maka aku akan mencekikmu lebih dulu!” hardik Sari Dewi garang. “Heaaatt...!”

LIMA

Sari Dewi sebenarnya tak sembarang gadis. Oleh ayahnya, dia sempat dimasukkan ke sebuah padepokan, walaupun tak lama. Jadi paling tidak dia mengenal ilmu olah kanuragan. Maka tanpa ragu lagi Sari Dewi langsung melompat menerkam Somadipura. Ingin rasanya pemuda itu dicekiknya sampai mati.

Tapi Somadipura yang juga mengenyam ilmu silat bukanlah sasaran empuk. Dengan gerakan manis tubuhnya digeser sedikit ke samping, lalu sebelah tangannya menepis cengkeraman gadis itu.

Plak!

Tapi Sari Dewi tidak berhenti sampai di situ. Sambil memutar tubuhnya, kaki kirinya menyambar melepaskan tendangan berputar ke dada.

“Hiih!”

“Uhhh...!” Somadipura cepat membungkuk, sehingga tendangan itu luput dari sasaran. Kemudian dia buru-buru melompat kebelakang, mengambil jarak.

“Hei?! Apa kalian akan diam saja menontonku?!” teriak Somadipura.

“Eh, maaf!” Jambika terkesiap. Betapa tidak? Semula tidak menyangka kalau gadis itu sedikit mengerti ilmu silat. Gerakannya enteng, tapi bertenaga. Namun dengan keyakinan kuat hatinya merasa yakin akan mampu meringkusnya.

“Kalau kalian tidak mau tak dapat bagian!” tambah Somadipura kesal.

“Wah! Jangan begitu, Kawan. Siapa yang tidak mau mencicipi kemolekan bidadari yang satu ini,” kata Jambika.

“Kalau begitu cepat ringkus dia!” bentak Somadipura.

“Beres! Beresss...!”

Lima orang kawan Somadipura cepat berlompatan dari kuda masing-masing. Dan dengan langkah hebat, mereka bergerak hendak mengurung Sari Dewi. Bagi Sari Dewi, kalau menghadapi satu orang, atau satu persatu, merasa yakin mampu mengimbangi. Tapi jika keenamnya maju bersamaan? Alamat celaka bagi dirinya!

“Celaka! Aku mesti lari dan sini!” pikir gadis itu seraya mundur ke belakang, lalu cepat berbalik dan kabur.

“Hei, mau ke mana kau?! Kau tidak akan lolos dari kami!” bentak Jambika. Secepat kilat pemuda itu berlari dan menerkam Sari Dewi dari belakang.

“Hup!”

“Ouw...!” Sari Dewi menjerit. Tubuhnya jatuh bergulingan bersamaan dengan tubuh Jambika Namun dengan sigap tangannya masih mampu menyikut lawan.

Duk!

“Aaakh...!”

Jambika mengeluh tertahan. Terpaksa pelukannya dilepaskan. Tapi ketika gadis itu hendak bangkit berdiri, salah seorang pemuda kembali menerkamnya. Kembali gadis itu jatuh bergulingan. Salah seorang mencoba maju, hendak membantu meringkus Sari Dewi. Namun....

“Hiih!”

Tak!

“Aaakh...!”

Sari Dewi masih berhasil menendang tulang kering salah seorang yang coba membantu kawannya yang telah berhasil memeluknya.

“Brengsek!” umpat Somadipura. Bagi pemuda ini bagaimana pun urusan ini tidak boleh berlarut-larut Sari Dewi jangan sampai bisa melepaskan diri. Apalagi sampai melarikan diri. Somadipura tahu bahaya apa yang akan menimpanya. Juga, menimpa kawan-kawannya. Juragan Jelorejo tentu tidak akan tinggal diam. Mereka bisa mati dihajar para tukang pukulnya.

“Tangkap dia! Cepat ringkus! Jangan biarkan lolos. Kalau dia sampai lolos, maka kita celaka...!” teriak Somadipura berulang-ulang.

Mendengar teriakan itu, yang lain semakin bersemangat bercampur kecut. Mereka segera mengerahkan seluruh tenaga untuk meringkus gadis itu. Maka begitu salah seorang berhasil memeluk Sari Dewi dari belakang, dua orang lain segera melompat ke samping kanan dan kiri. Masing-masing segera menangkap sebelah tangan gadis itu.

“Setan Keparat! Kalian akan mendapat ganjaran setimpal atas perbuatan kalian padaku!” teriak Sari Dewi mengancam.

Justru ancaman Sari Dewi mengena di hati mereka. Dan akibatnya, para pengeroyoknya semakin beringas. Dua orang lagi segera menyergap kedua kakinya dari samping kiri dan kanan. Sekuat tenaga Sari Dewi berusaha meronta, tapi kekuatan gadis seperti dia memang terbatas. Kini, gadis itu tidak bisa berkutik lagi.

“Ikat dia di sana. Dan kakinya di sini!” ujar Somadipura seraya melemparkan seutas tambang cukup panjang yang diambil dari kuda milik Jambika.

Dengan tangkas kelima orang itu langsung mengerjakan perintah Somadipura. Sebelah tangan gadis itu diikat, dan dihubungkan pada sebatang pohon. Demikian pula tangannya yang satu lagi yang diikatkan pada batang pohon lain. Sementara kedua kakinya pun mendapat perlakuan yang sama.

Kini, Sari Dewi telentang tak berdaya. Kedua tangan dan kakinya terikat, dan dihubungkan dengan empat batang pohon yang cukup besar. Sementara keenam orang itu menghela napas lega. Mereka memandang Sari Dewi sambil tertawa kecil.

“Terkutuk kau, Soma! Aku bersumpah akan memotong lehermu setelah kejadian ini!” desis gadis itu dengan mata berapi-api.

“He he he...! Bawa saja dendammu ke akhirat, Sari Dewi. Karena setelah kami semua mencicipi kemolekan tubuhmu sampai puas, kau tidak akan pernah melihat dunia ini lagi. Jadi, mana mungkin bisa memotong leherku,” sahut Somadipura mengejek.

“Sudah! Tidak perlu meladeninya. Sekarang kita tentukan, siapa yang dulu bermain dengannya!” sergah Jambika.

“Bagaimana kalau aku dulu? Kurasa itu amat pantas,” sahut Somadipura.

“Tidak. Kau sudah sering bersamanya. Aku tidak yakin kalau kau belum pernah merasakannya. Maka aku yang lebih dulu akan mencicipinya,” tukas Jambika.

Somadipura mengalah saja mendengar usul Jambika. Tidak ada gunanya berdebat. Toh, dia ingin agar urusan ini nantinya menjadi tanggung jawab mereka bersama. Kalau Jambika yang pertama mencicipi, maka tanggung jawabnya lebih besar. Begitu pikir Somadipura.

“Baiklah,” sahut Somadipura.

“Kalian tunggu agak jauh sampai aku selesai!” ujar Jambika, melanjutkan.

“Jangan khawatir! Bereees...!” sahut Somadipura mantap sambil mengacungkan jempol.

Lalu bersama empat orang lainnya, Somadipura angkat kaki dari tempat itu. Bibirnya menyungging senyum, ketika telinganya masih mendengar sumpah serapah serta makian Sari Dewi.

Meski kawan-kawannya telah pergi, tapi Jambika belum yakin kalau perbuatannya tidak diintip kawan-kawannya. Dia mengendap-endap memperhatikan. Setelah merasa yakin kalau kelima kawannya berada cukup jauh, segera dihampiri Sari Dewi dengan jantung berdetak kencang.

“He he he...! Akhirnya kudapatkan juga kau, mesti caranya sedikit kasar,” ujar Jambika sambil terkekeh.

“Kau manusia terkutuk, Jambika!” maki Sari Dewi geram.

“Terserah apa katamu. Yang penting, aku harus membalaskan penghinaanmu padaku,” sahut Jambika seraya berjongkok di samping gadis itu.

“Terkutuk! Puiiih!” maki Sari Dewi kembali sambil meludah.

Air ludah Sari Dewi persis menyiprat ke wajah pemuda itu. Seketika terasa sesuatu mengalir kencang ke otaknya. Jambika memang jarang bisa menggaet gadis-gadis kalau tidak dengan uangnya, karena tampangnya pas-pasan. Tapi selamanya, dia tidak suka dihina perempuan. Apalagi sampai diludahi seperti ini! Maka....

Plak!

“Ouw...!” Sari Dewi menjerit kesakitan ketika sebelah telapak tangan pemuda itu menampar pipinya.

“Kau perempuan rendah! Tak pantas berbuat seperti itu padaku. Akan kau rasakan balasan atas perbuatanmu!” desis Jambika, sambil menggerakkan tangannya ke arah leher baju Sari Dewi.

Bret! Bret!

“Ouw! Terkutuk kau, Jambika! Bajingan keparat!” maki Sari Dewi tak karuan, ketika tangan pemuda itu merobek bajunya.

Seketika sesuatu yang indah kebanggaan para wanita di dada menyembul, tatkala pakaian Sari Dewi dicabik-cabik pemuda itu dengan kasar. Pandangan mata Jambika mulai garang. Darahnya kontan mengalir cepat ke ubun-ubun. Amarah serta nafsu kelelakian menjadi satu di dadanya, melihat pemandangan di depan mata. Makian serta teriakan gadis itu laksana rayuan iblis yang semakin mengobarkan semangat di dalam dadanya.

“Huh! Berteriaklah sekuat hatimu, karena tidak seorang pun yang akan menolongmu!” dengus pemuda itu dengan hela napas membuai.

Jambika segera membuka baju dan celananya. Seluruh syaraf di tubuhnya telah menegang. Dan baru saja dia hendak menerkam, sebuah bayangan putih berkelebat cepat ke arahnya. Lalu....

Duk!

“Aaakh...!” Jambika menjerit keras ketika tengkuknya terhantam sesuatu dengan amat keras. Tubuhnya yang telanjang tersungkur kesamping disertai jerit kesakitan. Namun secepat itu pula, dia bangkit dengan wajah gusar. Cepat pakaiannya yang tengah tergolek di rumput disambar. Untung saja, sosok bayangan putih yang baru datang tidak kembali menyerang.

“Bajingan keparat! Siapa kau?! Berani cari mati mengganggu urusan orang!” maki Jambika geram sambil terburu-buru memakai pakaiannya, tatkala melihat kehadiran seorang pemuda tampan berbaju rompi putih.

“Kau salah tuduh, Kisanak. Bukankah bajingan keparat itu kau sendiri?!” sahut pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti, dingin.

Mendengar dirinya direndahkan begitu rupa, Jambika makin kalap. Darahnya mendidih penuh amarah. “Setan! Kau yang akan kulelapkan didasar kali, supaya otakmu sadar tengah berhadapan dengan siapa saat ini!” hardik Jambika geram. Bersamaan dengan itu, pemuda ini langsung menerkam Rangga.

“Hm....” Rangga menggumam tak jelas. Namun ketika hantaman tangan Jambika meluncur, tubuhnya bergeser sedikit. Dan tiba-tiba lutut kanannya menyodok ke dada.

Dugh...!

“Aaakh...!” Jambika menjerit kesakitan. Tubuhnya terjungkal ke belakang dengan muka berkerut menahan rasa sakit. Terasa kalau sodokan itu seperti hantaman sebongkah besi yang kuat bukan main!

“Setan!” maki Jambika seraya bangkit. Dengan tubuh terhuyung-huyung, Jambika menyerang kembali tanpa mempedulikan rasa sakit yang diderita.

“Yeaaa...!”

Kali ini, Pendekar Rajawali Sakti tidak berusaha mengelak. Malah tiba-tiba kaki kanannya naik keatas, melepaskan kibasan berkali-kali.

Plak! Plak! Des!

“Aaakh...!”

Mantap sekali telapak kaki Rangga yang bergerak cepat, menyapu kedua tangan Jambika kemudian menghantam muka. Jambika terpekik, dan kembali terjungkal kebelakang. Tulang hidungnya patah mengucurkan darah. Bibirnya jontor. Sebuah gigi depannya tanggal serta mengucurkan darah.

“Soma...! Jumeneng...!” teriak Jambika memanggil kawan-kawannya.

“Apakah yang kau maksud kelima orang yang bersamamu tadi?” tanya Rangga, kalem.

“Keparat! Apa yang kau lakukan terhadap mereka?!” dengus Jambika.

“Saat ini mereka tengah berenang di sungai dalam keadaan terikat,” jelas Rangga enteng.

“Gila! Kau bisa membunuh mereka!” desis Jambika.

“Kudengar kalian hendak membunuh gadis ini setelah menodainya. Kalau kalian mampus, rasanya tidak seorang pun menyalahiku,” sahut Rangga tenang, sambil melepaskan ikatan yang membelenggu Sari Dewi.

Begitu mendapatkan dirinya terbebas, gadis itu buru-buru membenahi pakaiannya. Dipandangnya pemuda yang baru muncul itu dengan perasaan takjub. Pemuda itu muncul tiba-tiba saja seperti malaikat yang khusus datang menolongnya.

“Apa yang hendak kau lakukan?!” bentak Jambika dengan nyali ciut ketika melihat pemuda itu menghampirinya dengan memegang tali.

“Apakah kau tidak ingin bergabung dengan mereka?” tanya Pendekar Rajawali Sakti dingin.

“Keparat kau! Kau tidak bisa berbuat seperti itu padaku!” dengus Jambika, seraya beringsut ke belakang.

“Aku bisa berbuat apa saja yang kusuka!” desis Rangga.

Rangga melangkah cepat. Dan Jambika yang tengah kepepet jadi nekat, bermaksud menubruk pemuda itu. Tapi begitu bergerak, Pendekar Rajawali Sakti bergeser kesamping seraya menangkap pergelangan tangannya.

Tap!

Rrrt! Bet!

“Uhh...! Setan! Keparat! Lepaskan aku...! Lepaskaaan...!” teriak Jambika ketika kedua pergelangan tangannya terkebat tali.

Jambika berteriak-teriak memaki. Segala sumpah serapah keluar dari mulutnya. Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak mempedulikannya. Dan dengan tenang, ditentengnya tubuh korbannya ke pinggir sungai.

“Mungkin mereka telah sampai di muara sungai. Dan kau akan bergabung secepatnya,” ujar Rangga.

Dan tanpa belas kasihan lagi, Rangga langsung melemparkan tubuh Jambika yang tengah terikat itu ke dalam sungai.

Byurr!

Tubuh Jambika masuk ke dalam sungai. Namun ternyata, sungai itu dangkal. Sehingga dia tak sampai tenggelam walau sempat megap-megap.

Jambika sendiri tak memikirkan, apakah benar kelima kawannya terbawa ke muara sungai. Tapi rasanya tidak mungkin, sebab sungai ini amat dangkal. Mungkin mereka melarikan diri, setelah dipecundangi sosok pemuda yang baru datang itu. Sementara Rangga segera berbalik.

“Suiiit...!” Pendekar Rajawali Sakti bersuit nyaring. Tak lama, seekor kuda hitam berlari-lari menghampirinya sambil meringkik halus.

“Kudamu cerdik sekali!” puji Sari Dewi yang telah mengambil kudanya di dekat pohon tempat dia termenung tadi. Sambil menuntun kudanya, dia selalu memperhatikan gerak-gerik Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga melirik gadis ini sekilas. “Kau bisa berkuda?” tanya Rangga yang sama sekali tak peduli dengan pujian gadis itu.

“Boleh diadu denganmu!” sahut Sari Dewi cepat seraya tersenyum lebar.

Tapi Sari Dewi mesti kecewa, ternyata pemuda itu sedikit pun tak tergoda dengan senyumnya. Padahal dia berharap banyak!

“Kalau begitu, pulanglah cepat ke rumahmu!” sahut Rangga masih tetap dingin.

Setelah berkata demikian Rangga melompat ke punggung Dewa Bayu. Segera ditinggalkannya gadis itu seorang diri. Sari Dewi terkesiap. Belum pernah dia diabaikan seorang pemuda seperti saat ini. Maka hatinya terasa panas betul.

“Hei, tunggu! Tunggu...!” teriak Sari Dewi.

Namun Rangga tetap menjalankan kudanya pelan tanpa menoleh sedikit pun. Apalagi berhenti. Sari Dewi mendesis kesal. Langsung gadis ini melompat ke punggung kuda putihnya. Segera dikejarnya pemuda itu.

“Heaaa...!” Sari Dewi menggebah kudanya sekencang-kencangnya, untuk menyusul Pendekar Rajawali Sakti yang berkuda biasa saja. Cepat gadis ini merendengi langkah Dewa Bayu.

“Aku belum mengucapkan terima kasih padamu. Namaku Sari Dewi!” kata gadis itu berusaha bersikap ramah sambil memamerkan senyumnya.

Rangga sama sekali tidak berusaha melirik. “Tidak perlu berterima kasih,” sahut Rangga kalem.

“Tapi kau telah menyelamatkan nyawaku. Dan rasanya pantas kalau aku memberimu sesuatu sebagai tanda terima kasihku,” lanjut Sari Dewi.

“Berikan saja pada orang yang membutuhkan,” tukas Rangga.

“Kurasa aku tak akan memberikan pada orang lain, kecuali pada pemuda gagah seperti....”

“Pulanglah dan urus dirimu! Jangan sampai mereka menemuimu lagi,” Rangga membelokkan arah pembicaraan.

“Mereka tidak akan berani menggangguku lagi,” kata Sari Dewi.

“Kalau selamat, mereka pasti akan melakukannya.”

“Kalau selamat, mereka pasti akan kabur sejauh-jauhnya!” sahut gadis itu mantap.

Rangga melirik Sari Dewi.

“Para tukang pukul ayahku pasti tidak akan membiarkan perbuatan mereka. Orang-orang itu akan merasakan balasan yang lebih hebat!” tandas gadis ini.

“Bagus! Kalau begitu aku tidak perlu mengkhawatirkanmu,” sahut Rangga dingin, seraya menggebah kudanya. “Heaaa...!”

“Hei, tunggu!” teriak Sari Dewi seraya ikut mengejar.

Namun kecepatan Dewa Bayu memang tak ada yang mampu menandinginya. Meski gadis ini telah menggebah kudanya dengan sekuat tenaga, tetap saja belum mampu menyusul atau menyamai jarak. Malah semakin tertinggal jauh.

“Brengsek...!” umpat Sari Dewi geram. Gadis ini segera memperlambat laju kudanya, karena tidak ada gunanya mengejar. Pemuda tampan tadi telah menghilang dari pandangan bersama kudanya. Belum juga gadis ini sempat berpikir untuk berbuat sesuatu untuk mengusir kekesalannya, mendadak....

“Berhenti!”

“Heh?!” Sari Dewi tersentak kaget, langsung berbalik. Dan keningnya jadi berkerut ketika dua penunggang kuda bergerak ke arahnya mendekati. Yang seorang adalah laki-laki tua berusia sekitar enam puluh tahun. Badannya kerdil. Jenggotnya panjang, sebagian telah memutih. Sementara di sampingnya adalah seorang gadis berbaju merah muda. Rambutnya panjang diikat rapi oleh sehelai pita kuning berbunga-bunga. Wajahnya cantik, namun berkesan galak. Di punggungnya terlihat sebilah pedang.

ENAM

“Nisanak, apa maksudmu? Aku tidak kenal dengan kalian!” tanya Sari Dewi begitu kedua penunggang kuda itu tiba dua tombak di depannya. Dan, Sari Dewi memang belum pernah melihat mereka. Bertemu pun baru kali ini.

“Di mana kau dapatkan kuda itu?” tanya gadis berbaju merah muda seraya menunjuk kuda yang ditunggangi Sari Dewi.

Sari Dewi telah telanjur tidak senang melihat sikap, gadis berbaju merah yang baru datang bersama laki-laki tua bertubuh kerdil. Dan, kini tiba-tiba saja gadis itu menanyakan kudanya. Kalau saja bertanya baik-baik, maka sudah tentu dia tidak keberatan menjelaskannya.

“Ini kudaku! Dan itu sama sekali bukan urusanmu!” dengus Sari Dewi sinis, seraya hendak berbalik pergi dari tempat ini.

“Kurang ajar!” Gadis berbaju merah jambu itu jadi kesal melihat sikap Sari Dewi. Dan tiba-tiba saja dia melompat dari punggung kudanya sambil mencabut pedang.

Sring!

“Ohh...!” Sari Dewi terkesiap. Baru sekali ini dilihatnya ada orang bergerak seringan itu. Bahkan tahu-tahu gadis berbaju merah muda itu mendarat di sampingnya sambil menghunuskan pedang ke leher.

“Huh! Kau boleh membunuhku. Tapi, jangan harap kuberitahu!” dengus Sari Dewi.

“Bagus! Kalau begitu kau tidak ada gunanya. Maka, kau boleh mampus!”

Baru saja gadis berbaju merah muda itu hendak mengayunkan pedang....

“Seruni, tahan!” cegah kakek bertubuh kerdil itu.

“Untuk apa, Kek? Dia berusaha menyembunyikan wanita keparat itu. Berarti, dia memang sekutunya. Perempuan ini mesti mati di tanganku!” tukas gadis bernama Seruni itu.

“Sabarlah sedikit, Seruni.... Kita tidak boleh memaksanya seperti itu,” sahut kakek kerdil ini lembut, seraya turun dari kuda dan menghampiri mereka.

“Tapi, Kek,” Seruni mencoba membantah.

“Sudahlah, sarungkan dulu pedangmu. Karena kita akan bicara baik-baik padanya,” ujar laki-laki kerdil itu, bijaksana.

Meski dengan mendengus sinis bercampur kesal, tapi gadis berbaju merah muda itu menurut juga. Sementara kakek kerdil itu menghampiri San Dewi. Sikapnya kelihatan sangat berbeda dengan gadis berbaju merah muda.

“Maafkan kelakuan cucuku tadi, Nisanak. Dia memang suka marah-marah tak menentu. Tapi, bukannya tanpa sebab,” ucap kakek kerdil.

“Mestinya kau bisa mendidiknya dengan baik!” sahut Sari Dewi, acuh tak acuh dengan wajah masih menyimpan kekesalan.

“Ya. Lain kali akan kuperhatikan,” desah kakek itu.

Mendengar jawaban laki-laki kerdil yang tak lain kakeknya, Seruni sudah mau mendamprat lagi. Jelas sikap kakeknya tampak mengalah sekali. Tapi lagi-lagi dia terhalang oleh isyarat kakeknya.

“Kami tengah mencari seseorang. Dan setelah sekian lama jejaknya menghilang, tiba-tiba saja berada di sekitar tempat ini. Oleh karena itu sudilah kiranya kau membantu kami,” papar kakek kerdil itu.

“Apa maksudmu?” tanya Sari Dewi dengan kening berkerut.

“Kuda yang kau tunggangi ini, Nisanak. Kalau boleh kutahu, siapa pemiliknya. Dan, dari siapa kau peroleh?”

“Ini punyaku!”

Orang tua kerdil itu tersenyum mendengar jawaban ketus dan mantap. Sebab, dia memang tidak yakin. “Nisanak... Aku tidak mau menuduhmu sembarangan. Tapi aku berani bertaruh, kalau kuda ini bukan milikmu,” cecar kakek kerdil itu.

“Dari mana kau bisa seyakin itu?” tanya Sari Dewi.

“Tidakkah kau lihat kuda ini kelihatan gembira bertemu denganku?” tanya kakek itu dengan sikap tenang. Bibirnya tampak selalu menyungging senyum kecil.

Apa yang dikatakan kakek ini memang tak salah. Bahkan sejak tadi ketika kudanya hendak digebah hewan itu seperti enggan pergi dari sini. Dan sekarang, kuda putih itu mengendus-endus kearah kakek ini dengan sesekali meringkik halus. Bola matanya kelihatan berbinar-binar penuh kerinduan padanya.

“Apa maksudmu?” tanya Sari Dewi lagi.

“Kuda ini milikku, Nisanak. Dia dilarikan seorang wanita muda beberapa minggu berselang. Wanita muda itulah yang kini tengah kami cari-cari,” sahut kakek itu berterus-terang.

Sari Dewi mengangguk dan mengerti kini. Kuda yang tengah ditungganginya itu milik ibu tirinya. Dan berarti, ibu tirinya itu mencuri kuda kakek di depannya. Pasti ada suatu urusan di antara mereka. Begitu pikir gadis ini.

“Apa persoalan kalian dengan pencuri itu? Apakah dia anakmu atau saudaramu?” tanya Sari Dewi, mengorek keterangan.

“Dia iblis keparat!” desis Seruni geram.

Sari Dewi tersenyum sinis melihat sikap gadis berbaju merah muda itu. “Iblis keparat? Hi hi hi...! Kau gadis galak. Dan kau kakek genit. Buat apa kalian mencari wanita itu?” tanya Sari Dewi dengan nada mengejek.

“Setan! Sebaiknya jaga mulutmu. Kalau kakekku tidak menghalangi, sudah kutebas lehermu!” bentak Seruni, geram.

“Huh! Apa yang bisa kau perbuat padaku?” dengus Sari Dewi, seperti menantang.

Seruni tidak sempat melihat isyarat kakeknya. Tapi orang tua itu sepertinya tidak melarang lagi. Maka tanpa pikir panjang tubuhnya mencelat, melakukan tendangan keras kepada gadis ceriwis itu. Sari Dewi berusaha menangkis. Namun kaki Seruni yang satu lagi menghantam dadanya dengan telak.

Duk!

“Aaah...!” Tak ampun lagi, putri Juragan Jelorejo itu terjungkal dari punggung kudanya sambil menjerit kesakitan.

Sring!

Secepat itu pula Seruni mencabut pedang, siap disabetkan ke leher Sari Dewi.

“Kau akan melihat bahwa aku bisa membuktikan kata-kataku!” dengus gadis itu.

Dan tanpa ragu-ragu, Seruni memang bermaksud mengayunkan pedangnya ke leher Sari Dewi. Namun sebelum pedangnya bergerak, tiba-tiba melesat sebutir batu sebesar kepalan bayi.

Wuut! Tak!

“Hei?!” Seruni terkejut. Pedangnya bergetar, hampir terlepas dari genggaman, tatkala membentur batu yang melesat ke arah senjatanya. Sementara kakek kerdil itu walau kaget, namun cepat bisa menguasai perasaannya. Serentak keduanya berpaling. Tampak sesosok pemuda berbaju rompi putih duduk dengan tenang di punggung kuda hitamnya.

“Kurang ajar! Beraninya kau mencampuri urusan orang lain!” dengus Seruni geram. Dia baru saja hendak melabrak, namun Sari Dewi telah menghambur ke arah pemuda itu.

“Oh, Syukurlah kau datang! Kau pasti sengaja untuk melindungiku dari mereka, bukan?!” seru Sari Dewi, dengan suara manja. Gadis itu kelihatan gembira. Bahkan kaki pemuda yang baru muncul diraih tangannya, dan dipeluknya.

Sementara pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti tak bergeming sedikit pun. Wajahnya masih sama seperti yang tadi. Dingin, seperti menyimpan dendam hebat.

“Hm.... Kalau tidak salah, kau pasti Pendekar Rajawali Sakti!” sapa kakek kerdil dengan suara lantang. Namun, tidak bermaksud menyinggung perasaan Rangga.

Semula Pendekar Rajawali Sakti tidak mempedulikan adanya laki-laki kerdil di situ. Namun ketika pandangannya beralih dan memperhatikan orang tua itu, Rangga langsung tersenyum.

“Kau benar, Orang Tua. Dan kalau mataku tak salah, kau tentu si Tupai Katai?!” sahut Pendekar Rajawali Sakti.

“He he he...! Kau sungguh jeli sekali, Pendekar Rajawali Sakti. Aku jarang muncul ke dunia persilatan. Tapi dengan sekali lihat, kau sudah mengenal diriku. Salam hormatku untukmu,” balas orang tua kerdil yang dijuluki si Tupai Katai seraya menjura memberi hormat.

Rangga jadi rikuh juga. Apalagi gadis yang mengganduli kakinya terus merapatkan tubuhnya. Pendekar Rajawali Sakti sedikit menyentakkan kakinya, lalu melompat turun dari kudanya. Dibalasnya penghormatan si Tupai Katai.

“Bukan mataku yang jeli, Kisanak. Tapi nama besarmu yang selalu menempel di benakku,” kata Rangga merendah, setelah menegakkan tubuhnya lagi.

“He he he...! Bisa saja kau. Tapi, ada urusan apa gerangan sehingga kau bergentayangan di wilayah ini?” tanya si Tupai Katai yang sebenarnya mempunyai nama asli Ki Janggasana.

“Aku tengah mencari seseorang,” sahut Rangga.

“Hm.... Agaknya telah kau temui di sekitar wilayah ini?” tebak Ki Janggasana yakin.

“Agaknya begitu. Baru saja kudengar beritanya. Tapi aku tidak pasti. Barangkali kau bisa membantu, Ki?”

“Apa gerangan yang bisa kubantu?”

“Seorang wanita muda. Mukanya sedikit lonjong dengan tahi lalat di dekat bibir...,” jelas Rangga.

“Kau mencari si Bidadari Penakluk rupanya?” tukas Ki Janggasana.

“Kau kenal dengannya, Ki?”

“Kenapa tidak? Kami memang tengah mencari wanita jalang itu untuk meminta pertanggungjawabannya. Namun selama ini, belum juga bertemu,” jelas si Tupai Katai.

“Kalau begitu kita mencari orang yang sama!” desis Rangga.

“Aku bisa membantu kalian menemukan orang itu!” timpal Sari Dewi sambil tersenyum kecil.

Kini mereka semua memandang Sari Dewi dengan seksama.

“Sudah kuduga...!” sahut Ki Janggasana.

“Apa maksudmu, Ki?” tanya Rangga.

“Wanita itu mencuri kuda kesayanganku. Dan kuda itulah yang kini dibawa gadis itu!” tunjuk kakek kerdil itu pada Sari Dewi.

“Coba katakan padaku jika kau mengetahui wanita itu berada!” desak Rangga pada Sari Dewi.

“Katakan dulu, apakah kau tergila-gila pada wanita yang kau cari-cari itu atau tidak?” sahut Sari Dewi sambil melengos.

“Itu bukan urusanmu!” desis Rangga.

“Selama menyangkut wanita itu, tentu masih urusanku. Tapi kalau sudah mengatakan itu bukan urusanku, maka buat apa lagi aku membantu kalian?”

“Jangan main-main denganku, Nisanak! Katakan saja, di mana wanita keparat itu?!” desak Rangga, agak kesal juga.

Sari Dewi tersenyum kecil. Mestinya, mendengar makian dengan kata ‘keparat’ dia sudah menemukan jawaban kalau pemuda ini tidak tergila-gila. Tapi, tengah menanggung kebencian hebat. Tapi memang sudah wataknya yang suka mempermainkan orang, maka Sari Dewi belum merasa puas bila tidak mendengar langsung dari mulut pemuda yang kini diincarnya.

“Apa sulitnya menjawab pertanyaanku? Kau tergila-gila padanya atau tidak?” tanya Sari Dewi.

“Ya! Aku tergila-gila hendak menangkapnya,” desis Rangga geram.

Sari Dewi tergelak kecil. “Apakah dia bekas kekasihmu yang menyeleweng?” lanjut Sari Dewi, makin membuat Rangga mengkelap.

“Nisanak! Jangan sampai kesabaranku habis. Katakan saja di mana wanita itu berada jika kau benar-benar mengetahuinya!” kata Rangga setengah membentak.

“Dia tidak akan lari ke mana-mana. Kenapa kau tidak mau menunggu barang sesaat saja?”

“Hm.... Agaknya kau tidak tahu di mana wanita itu. Kau hanya mempermainkan kami!” kata Rangga sedikit menggumam, seraya melompat ke punggung kudanya. Rangga kembali mengarahkan pandangannya pada Ki Janggasana.

“Maaf, Ki. Aku tidak bisa berlama-lama di sini, sebab mesti mencari wanita itu!” ucap Rangga.

“Hei? Kau tidak percaya padaku?!” sela Sari Dewi berteriak seraya melompat ke punggung kudanya, menjajari pemuda itu.

“Kenapa kau mengikutiku? Apa kau kira aku percaya kata-katamu?!”

“Apa kau kira aku berdusta?”

“Aku tidak kenal denganmu. Dan kenapa aku mesti percaya padamu?!”

“Huh! Kau terlalu angkuh! Terserahmu mau percaya atau tidak. Tapi kalau memang hendak mencari wanita itu, maka aku berani bersumpah bahwa aku mengetahuinya!” tegas Sari Dewi.

“Kalau begitu katakan padaku, di mana wanita itu?”

“Tapi ada syaratnya!”

“Aku tidak berhutang apa-apa padamu. Dan tidak semestinya kau mengajukan syarat!”

Dengan kata-katanya itu, secara tidak langsung Rangga ingin mengingatkan bahwa gadis itu telah berhutang padanya. Maka tidak layak rasanya dia mengajukan syarat segala.

“Terserahmu. Kalau setuju terima syaratku. Dan kalau tidak, kau akan lama sekali baru menemuinya!” sahut Sari Dewi tidak peduli dengan sindiran Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga berpikir beberapa saat, sebelum menyatakan persetujuannya. “Baiklah. Apa syaratmu itu?” tanya Rangga, kalem.

“Kau mesti menjadi kekasihku!” sahut gadis itu, tanpa malu-malu.

Seruni yang mendengar itu mendengus sinis. Dia jadi jengah sendiri mendengar syarat yang diajukan gadis centil itu. Sementara kakeknya hanya tersenyum-senyum kecil.

“Bagaimana?” tagih Sari Dewi, ketika pemuda itu terdiam untuk beberapa saat.

“Maaf, aku tidak bisa mengabulkan keinginanmu!” tolak Rangga, tegas.

“Kenapa? Karena aku kelewat jelek? Tidak pantas denganmu?” cecar Sari Dewi.

“Tidak! Karena kau tidak mengerti, apa artinya seorang kekasih!” sahut Rangga.

“Apa maksudmu?”

“Seorang kekasih harus mencintai dan dicintai. Bukan diminta. Kalau kau memintaku menjadi kekasihmu, itu tidak adil. Karena aku belum mengenalmu terlalu jauh,” sahut Rangga tegas.

“Aku tidak peduli! Kau mau terima syaratku atau tidak?!” sahut Sari Dewi berkeras.

“Meski aku harus mempermainkanmu? Atau membohongimu dengan berpura-pura?”

“Aku tidak peduli!” tegas gadis itu.

Rangga menghela napas. Dia berpikir sebentar sebelum menjawab.

“Bagaimana? Kau terima atau tidak?”

“Siapa namamu?”

“Kau belum menjawab pertanyaanku?”

“Sebelumnya, aku mesti tahu dulu siapa kau ini. Dan, dari keluarga mana.”

“Baiklah. Tadi sudah kukatakan namaku Sari Dewi. Aku putri Juragan Jelorejo, orang terkaya dan terpandang di Kota Canting, Kadipaten Welirang!”

Rangga mengangguk kecil mendengar penjelasan itu. “Jadi kau berasal dari keluarga terpandang, ya? Tentu tidak sulit mencari rumahmu?”

“Tentu saja! Seluruh Kadipaten Welirang tahu, siapa aku dan keluargaku!” sahut Sari Dewi bangga.

“Kalau begitu, aku tidak perlu menerima syaratmu.”

“Apa maksudmu?”

“Aku akan cari sendiri wanita itu di tempatmu,” sahut Rangga. “Heaaa...!” Seketika Pendekar Rajawali Sakti menggebah kudanya meninggalkan tempat itu.

“Hei?! Kau tidak akan menemukan apa-apa di tempatku!” teriak Sari Dewi kesal, seraya mengejar pemuda itu.

Tapi kali ini Rangga tidak mempedulikannya lagi. Meskipun gadis itu berusaha mengaburkan keberadaan wanita yang dicarinya, namun justru hal itu semakin menambah kepercayaannya. Dia yakin wanita berjuluk Bidadari Penakluk yang dicarinya ada di Kota Canting. Atau bahkan di rumah Sari Dewi.

“Kurang ajar! Sial! Brengsek...!” maki Sari Dewi habis-habisan, sambil mengikuti derap langkah pemuda di depannya.

Sementara itu mendengar wanita yang diburu ada di Kota Canting, Kadipaten Welirang, maka Ki Janggasana dan Seruni tidak mau ketinggalan. Mereka memacu kudanya untuk mengejar kedua orang yang telah mendahului.

“Heaaa...!”

TUJUH
Apa yang dikatakan Sari Dewi memang tidak salah. Semua orang tahu siapa orang terkaya di Kadipaten Welirang. Sehingga dengan sekali bertanya, Pendekar Rajawali Sakti sudah mendapat penjelasan yang diinginkan. Yang harus dituju adalah rumah Juragan Jelorejo.

“Hm.... Itu dia...!” gumam Rangga ketika dari kejauhan melihat sebuah rumah yang cukup besar dan memiliki halaman luas.

Tanpa buang waktu lagi Pendekar Rajawali Sakti langsung menggebah kudanya ke sana. Begitu cepat lari Dewa Bayu, sehingga sebentar saja telah sampai di luar halaman.

“Heaaa...!”

Pendekar Rajawali Sakti memandang terkejut ke arah dalam halaman. Dia tidak buru-buru masuk, sebab di halaman depan rumah besar itu terlihat ramai oleh pertarungan. Di antara mereka tampak wanita yang tengah dicari-carinya itu tengah bertarung melawan seorang laki-laki tua bertubuh pendek besar. Perutnya agak buncit. Gaya bertarungnya persis seperti katak, melompat ke sana kemari.

“Hm... si Katak Penggempur Jagad agaknya telah mendahuluiku,” gumam Pendekar Rajawali Sakti, seraya turun dari kudanya.

Sementara di dekatnya terlihat dua orang yang juga dikenalnya. Mereka adalah Karmapala murid Ki Laron Nunggal alias Katak Penggempur Jagad, dan Kembang Harum, putri Ki Jagad Lor. Keduanya tengah berhadapan dengan para tukang pukul Juragan Jelorejo yang berjumlah cukup banyak.

“Dewa Bayu, menyingkirlah dulu ke tempat tersembunyi. Biar aku akan memasuki pekarangan ini,” ujar Rangga, seraya menepuk pantat kudanya yang langsung melesat cepat.

Tepat ketika Rangga bersembunyi dekat pintu gerbang, dia melihat Sari Dewi telah tiba di tempat ini. Tak lama kemudian Ki Janggasana dan cucunya. Berbeda dengan kakek dan cucu yang langsung membaurkan diri dalam pertarungan, Sari Dewi tampak tertegun beberapa saat.

“Ada apa sebenarnya? Orang-orang berkumpul dan mengejar wanita jalang itu? Dia menyeret kami ke dalam kancah pertikaian ini,” gumam gadis itu tidak mengerti.

Sari Dewi tidak habis pikir. Ternyata ibu tirinya bukan orang sembarangan. Dia bisa melihat gerakan-gerakan Suti Raswati begitu ringan bagai seekor kupu-kupu.

“Tupai Katai! Jangan campuri urusanku! Wanita jalang ini berhutang pada majikan muridku!” bentak Ki Laron Nunggal, ketika melihat Ki Janggasana ikut-ikutan menyerang.

“Apa kau kira dia tidak berurusan denganku?! Keparat ini telah membunuh putraku. Dia mesti menebus dengan nyawanya!” sahut si Tupai Katai, tak mempedulikan kata-kata Ki Laron Nunggal.

“Aku yang lebih dulu menemukannya. Kau boleh menunggu, setelah dia menjadi bangkai!”

“Tidak bisa! Dia mesti mati di tanganku!” tukas Ki Janggasana.

“Hi hi hi...! Tua bangka tidak tahu diri! Kenapa kalian mempersoalkan pepesan kosong? Tidak seorang pun dari kalian yang bisa mendapatkan aku. Aku bisa pergi ke mana saja kusuka. Dan tidak seorang pun dari kalian bisa menghalangiku!” sahut wanita yang tengah dikeroyok, yang tak lain Suti Raswati alias istri muda Juragan Jelorejo.

“Ingin kulihat sampai di mana kehebatannya!” desis Ki Laron Nunggal seraya menyiapkan pukulan ‘Baji Dengkung’

Pada saat yang sama, Ki Janggasana pun telah siap mengeluarkan jurus ‘Tupai Merusak Buah Kelapa’ yang merupakan jurus terhebat dan dijadikan andalan.

“Heaaa...!”

“Yeaaa...!”

Disertai bentakan nyaring Ki Laron Nunggal menghentakkan kedua tangannya. Maka saat itu juga dari kedua telapaknya mendesir angin kencang. Pada saat yang sama, tubuh Ki Janggasana mencelat ringan untuk mengincar titik kelemahan wanita berjuluk Bidadari Penakluk.

“Hup!” Tubuh Suti Raswati melejit ke atas dengan indah. Dari atas, sebelah telapak tangannya menampar pukulan ‘Baji Dengkung’. Sementara telapak tangan kiri menangkis pukulan si Tupai Katai.

Plak! Plak!

“Uhh...!” Katak Penggempur Jagad dan si Tupai Katai sama-sama terkejut. Pukulan ‘Baji Dengkung’ yang dikeluarkan Ki Laron Nunggal, sama sekali tidak berguna. Sepertinya amblas dihantam telapak tangan wanita itu. Begitu juga halnya serangan Ki Janggasana.

Dan kini si Bidadari Penakluk balas menyerang. Yang diincarnya adalah Ki Laron Nunggal, yang dianggap kurang lincah dibanding Ki Janggasana.

“Yeaaa...!”

“Hei?!” Si Katak Penggempur Jagad terkejut. Saat itu, keadaannya masih lemah setelah pukulannya terpapaki. Untuk menghindar pun rasanya akan berakibat parah, mengingat gerakan si Bidadari Penakluk begitu cepat. Bahkan mampu mengeluarkan beberapa pukulan dalam setiap gerakan.

“Sial! Terpaksa aku mesti menangkisnya!” dengus Ki Laron Nunggal yang tidak punya pilihan. Seketika si Katak Penggempur Jagad mengerahkan pukulan ‘Baji Dengkung’ sekuat batas kemampuannya disertai tenaga dalam penuh.

“Yeaaa...!”

Plakk...!

“Aaakh...!”

Ketika dua pukulan yang sama-sama berisi tenaga dalam tinggi bertemu, Ki Laron Nunggal merasakan suatu tenaga dahsyat meliuk-liuk laksana seekor ular besar yang membelit pukulannya. Bahkan kontan menabraknya dengan sekuat tenaga. Orang tua itu memekik kesakitan. Tubuhnya terhempas ke belakang sejauh beberapa langkah. Dari mulutnya menyembur darah segar.

“Yeaaa...!”

Namun si Bidadari Penakluk tidak bisa tinggal diam. Sebab saat itu juga, Ki Janggasana telah melompat menyerang dengan gerakan gesit. Namun Suti Raswati sama sekali tidak terlihat kerepotan. Cepat ditangkisnya serangan itu.

Plak!

Begitu terjadi benturan kedua tangan Bidadari Penakluk bergerak mantap. Lalu, cepat sekali ia bergerak menghantam ke dada. Ki Janggasana sendiri tidak menyangka, melihat wanita itu mampu bergerak demikian cepat. Akibatnya....

Desss...

“Aaakh...!” Si Tupai Katai terjungkal ke belakang disertai keluhan tertahan tatkala satu sodokan keras menghantam dadanya.

“Huh! Dengan kepandaian seperti itu, kalian coba-coba datang padaku!” dengus Bidadari Penakluk sambil berkacak pinggang pongah. Bibirnya tersenyum sinis.

“Keparat! Apa hubunganmu dengan Resi Jayadwipa?!” desis Ki Janggasana sambil bangkit tertatih-tatih. Si Tupai Katai langsung teringat pada jurus-jurus aneh yang hanya dimiliki seorang tokoh yang selama puluhan tahun ini jarang muncul di dunia persilatan.

“Aku tidak kenal nama yang kau sebutkan!” dengus wanita itu.

“Mustahil! Jurus yang kau gunakan adalah ‘Belut Ireng’. Jurus itu hanya dimiliki Resi Jayadwipa!” bentak Ki Janggasana berkeras sambil menyeka darah yang menetes di ujung bibirnya.

“Kukatakan, aku tidak punya hubungan dengan orang tua itu! Kau membuatku marah. Dan untuk itu, kau patut mampus!”

Bidadari Penakluk kelihatan kalap, ketika nama sang resi dibawa-bawa laki-laki kerdil itu. Wajahnya yang tadi kelihatan memandang enteng, mendadak berubah liar dan kejam. Penuh nafsu membunuh. Dengan mendengus kasar dia telah bersiap menghabisi Ki Janggasana.

“Huh! Ternyata benar! Tidak kusangka orang tua budiman itu mempunyai murid berhati busuk sepertimu!” desis Ki Janggasana, tak peduli sedikit pun dengan ancaman yang akan terjadi.

Padahal dalam keadaan terluka dalam seperti sekarang, maka berbahaya sekali bagi Ki Janggasana menangkis serangan-serangan. Tapi kalau tak ditangkis, dia akan celaka. Untuk menghindar pun rasanya tidak berguna, sebab wanita itu mampu bergerak cepat melebihi kecepatannya. Dalam keadaan begitu mendadak....

“Perempuan terkutuk! Lihatlah ke sini! Kematianmu telah tiba!”

“Hei?!” Suti Raswati terkesiap dan segera menoleh. Wajahnya yang garang tiba-tiba berubah cepat, berganti senyum berbinar-binar laksana seorang wanita yang tengah memendam kerinduan pada kekasihnya. Dan kekasihnya itu kini datang mengunjunginya.

“Kau...?! Hm, tak kusangka akhirnya kau datang mengunjungiku di sini! Apakah kau penasaran karena tak sempat menikmati tubuhku...?” sambut Suti Raswati, enteng.

“Kedatanganku kesini bukan untuk mengunjungimu. Tapi, menangkapmu!” desis sosok yang membentak. Dia tak lain dari Pendekar Rajawali Sakti.

“Menangkapku? Apa salahku? Bukankah kau seharusnya senang kutemani beberapa saat, walaupun hal itu tak terjadi karena kau keburu pingsan...?”

“Hm.... Aku tidak peduli dengan segala ocehanmu!” gumam Rangga dingin. “Dosamu terlalu banyak. Kudengar kau telah membunuh putra Ki Janggasana. Dan terakhir kau bunuh Kepala Desa Jelaga yang bernama Ki Jagad Lor. Dan padaku, kau berhutang banyak, Nisanak! Melihat kemampuan dan sepak terjangmu, aku yakin kalau kau adalah sosok yang harus dilenyapkan...!”

“Hm, kelihatannya kau bersungguh-sungguh?” tanya Suti Raswati. Suaranya halus merayu dengan bibir menyungging senyum.

“Kau benar-benar membuatku muak. Menyerahlah. Dan kau akan kubawa ke Karang Setra untuk diadili!”

“Kalau aku tak mau...?” tantang Bidadari Penakluk.

“Kau berhadapan dengan tanganku...!”

“Lakukanlah...!”

“Kalau begitu bersiaplah! Heaaa...!” Disertai bentakan nyaring tubuh Pendekar Rajawali Sakti mencelat ke arah si Bidadari Penakluk dengan cepat. Kedua tangannya yang membentuk cakar rajawali berkelebatan dengan ganas.

“Heh...?!” Suti Raswati terkejut. Sungguh tak disangka kalau pemuda ini benar-benar membuktikan ancamannya dengan serangan luar biasa dan bertenaga dalam kuat. Cepat wanita ini melompat kesamping. Namun, Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya seraya mengibaskan sebelah tangannya. Mau tak mau, terpaksa Suti Raswati menangkis.

Plak!

Begitu terjadi benturan, si Bidadari Penakluk melompat mundur untuk mengambil jarak. “Kisanak, aku tidak ingin bertempur denganmu,” cegah Bidadari Penakluk, mencoba jeratnya kembali.

“Maaf, Nisanak. Aku tak bisa menelan ludah yang telah keluar dari mulutmu. Sekali kau membuka tantangan, maka selamanya akan kubeli. Dan satu hal lagi, kau harus menebus perbuatanmu padaku...!” sahut Rangga.

“Perbuatanku? Jadi kau tidak menyukainya?” sahut si Bidadari Penakluk.

“Setan alas! Heaaa...!” Pendekar Rajawali Sakti membentak keras. Tubuhnya kali ini bergerak amat cepat berkelebat mengelilingi si Bidadari Penakluk, sambil sesekali menyerang. Saat itu juga tubuhnya seolah-olah berubah banyak, karena Rangga mengerahkan jurus ‘Seribu Rajawali’.

“Uhh...!” Dengan jurus ini agaknya, si Bidadari Penakluk kerepotan. Segenap kemampuannya mesti dikerahkan untuk menghindari serangan.

DELAPAN

Dalam keadaan seperti itu, mau tidak mau Bidadari Penakluk terpaksa mengeluarkan rangkaian jurus andalannya, yaitu ‘Belut Ireng’.

Dengan jurus ini Rangga merasakan kalau serangan-serangannya selalu kandas, setiap kali pukulannya menyentuh kulit tubuh Bidadari Penakluk.

Serangan-serangan Rangga yang menggunakan jurus ‘Seribu Rajawali’ tak berarti banyak menghadapi jurus ‘Belut Ireng’. Setiap Rangga akan melepaskan pukulan, si Bidadari Penakluk cepat menjatuhkan diri ke tanah seraya bergulingan. Arah gulingannya pun mengincar kaki Pendekar Rajawali Sakti yang jadi pusat gerakannya.

Memang jurus yang dikeluarkan suatu jurus langka yang sedikit membuat Pendekar Rajawali Sakti kebingungan. Sebuah jurus yang gampang menghindar gesit laksana seekor belut bila mendapat kurungan jeratnya.

“Hm.... Tidak kusangka kalau kau ternyata memiliki ilmu silat hebat!” puji si Bidadari Penakluk.

“Aku tidak butuh pujianmu!” dengus Rangga, semakin kesal saja.

“Jangan terlalu marah. Kalau kau marah, nanti cepat tua...,” ejek wanita itu.

“Kampret!” Begitu habis memaki Pendekar Rajawali Sakti cepat menghentikan jurusnya. Kini dirubahnya dengan jurus-jurus dari lima rangkaian jurus ‘Rajawali Sakti’.

Setelah membuat gerakan beberapa kali Rangga cepat menghantamkan langsung ke depan dengan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’, ketika kedua tangannya telah merah membara.

Wuuus...!

Selarik cahaya merah berkelebat cepat, menyambar ke arah Bidadari Penakluk. Seketika wanita itu terkejut setengah mati. Cepat tubuhnya berkelit ke samping.

Jdeer!

“Uhh...!” Kali ini dia bertambah yakin kalau pemuda itu benar-benar akan membuktikan ucapannya. Buktinya tembok yang jadi sasaran kontan ambrol.

Rangga sudah tidak ingin memberi kesempatan lagi. Dia betul-betul memusatkan perhatian pada penyerangan. Ketika Rangga menggunakan jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’, serangannya semakin bertambah dahsyat. Sehingga bagi mereka yang memiliki ilmu silat tanggung tidak akan mampu mengikuti gerakannya.

“Hem....” Wanita itu tertegun sebentar. Namun kemudian mulai membalas dengan mengeluarkan jurus ‘Sepasang Belut Berkasihan’. Jurus ini tidak kalah anehnya meski sebenarnya harus dimainkan dua orang. Namun si Bidadari Penakluk mampu memainkannya dengan baik, meski seorang diri.

Kalau saja Rangga tidak berhati-hati, niscaya sepasang kaki Bidadari Penakluk yang menguntit serangan akan menghajarnya dengan telak. Lagi pula gerakan wanita itu seperti mengurung ketat si Pendekar Rajawali Sakti. Meski pemuda itu telah mempercepat gerakannya, namun tetap saja sepertinya Bidadari Penakluk masih menempel sekujur tubuhnya.

Bet!

“Uts! Kurang ajar!” umpat Pendekar Rajawali Sakti geram ketika kembali lolos dari serangan keji itu.

Tapi baru saja Pendekar Rajawali Sakti bergerak ke atas, Bidadari Penakluk mengikuti dari belakang membayangi punggungnya. Pemuda itu memutar tubuhnya laksana gasing. Namun sebelum hal itu dilakukan, sebelah kaki Suti Raswati telah mendepak dadanya laksana ekor kalajengking menyengat.

Duk!

“Aaakh...!” Pendekar Rajawali Sakti menjerit kesakitan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan wajah berkerut menahan rasa nyeri. Namun begitu cepat dia sigap kembali, tanpa mempedulikan rasa sakit yang diderita.

Pendekar Rajawali Sakti mawas diri, dan mulai menenangkan hatinya yang selama ini terbalut amarah. Baru kini disadari kalau gerakannya tak berkembang karena hawa amarah terlalu mengekangnya.

Perlahan-lahan Rangga menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan-pelan. Setelah gemuruh di dadanya lenyap, Pendekar Rajawali Sakti mengembangkan tangannya dengan tangan membentuk paruh. Sementara kakinya membentuk kuda-kuda kokoh. Dari sini jelas Pendekar Rajawali Sakti tengah mengerahkan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’. Jurus ini tidak bisa dibuat main-main, apalagi dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.

Bet!

Begitu Pendekar Rajawali Sakti berkelebat cepat kedua tangannya bergerak seperti cepat bagaikan sayap rajawali. Dari sini, Bidadari Penakluk tidak berani main-main menghadapinya. Seluruh kemampuannya mesti dikerahkan untuk menghindari kibasan tangan Rangga yang tiba-tiba ke atas.

Dengan satu tendangan, Rangga membuat terperanjat Bidadari Penakluk. Wanita ini cepat mengejar, berusaha menghantam diudara. Namun diluar dugaan, Rangga memutar tubuhnya seraya meluruk dengan kepala di bawah. Tangannya berkelebat cepat, dengan tenaga dalam tinggi.

Wanita itu terkejut. Wajahnya mulai pucat ketika tangan Pendekar Rajawali Sakti tahu-tahu di depan wajahnya. Lalu....

Plak...!

“Aaakh...!” Bidadari Penakluk terpelanting ke bawah dengan deras. Dia bukan saja tak mampu balas menyerang, bahkan kedudukannya terancam.

“Hiyaaa...!”

Sementara Rangga terus mengejarnya dengan gesit. Tepat ketika kaki Bidadari Penakluk mendarat, Rangga yang sudah mengganti jurusnya menjadi ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’ langsung melepaskan tendangan keras. Dan....

Des!

“Aaakh...!” Tubuh Bidadari Penakluk kontan terpelanting di tanah disertai jeritan tertahan. Namun dengan kekuatan mengagumkan wanita itu berusaha bangkit berdiri walaupun susah payah. Sayang akhirnya dia jatuh terduduk kembali, dengan napas menderu kencang.

Pendekar Rajawali Sakti perlahan-lahan melangkah menghampiri Bidadari Penakluk yang jatuh lemah terduduk. Tatapan matanya tajam mengancam. Namun baru dua tombak di depan wanita itu, mendadak....

Suitt....

Tiba-tiba berkelebat suatu benda sebesar kepalan tangan, lalu jatuh di depan wanita itu.

Blarr...

Wuss...

Begitu benda itu meledak keras, mengepul asap tebal yang menghalangi pemandangan.

“Kurang ajar!” Pendekar Rajawali Sakti menggeram marah setelah sempat melompat ke belakang sejauh lima tombak.

Dan pandangan mata Pendekar Rajawali Sakti yang jeli menangkap sesosok tubuh bergerak amat cepat menyambar si Bidadari Penakluk. Rangga merasa yakin kalau orang itu pula yang tadi melempar benda yang meledak serta mengeluarkan asap hitam tebal itu. Dan belum sempat Pendekar Rajawali Sakti bertindak apa-apa, bayangan itu telah berkelebat pergi cepat sekali.

Dan ketika angin kencang mulai menyapu asap tebal itu, wanita yang menjadi lawan Pendekar Rajawali Sakti pun ikut menghilang. Rangga memandang ke sekeliling tempat.

“Anak muda! Aku tidak bisa membiarkanmu membunuhnya. Maafkan aku...!”

Tiba-tiba terdengar satu suara yang bergetar seperti berasal dari segala penjuru. Jelas ditujukan kepada Pendekar Rajawali Sakti. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, Rangga mengetahui bahwa suara itu dikeluarkan dari jarak cukup jauh, melalui pengerahan tenaga dalam amat sempurna.

“Siapa orang itu sebenarnya?!” gumam Rangga seperti pada diri sendiri.

“Apakah kau tidak mengenalnya?” tanya Ki Janggasana, seraya mendekat pada pemuda itu.

“Apakah kau mengenalnya, Ki?” Rangga balik bertanya.

“Orang itu adalah Resi Jayadwipa.”

Rangga tercenung sebentar mendengar nama itu disebutkan. “Resi Jayadwipa...? Apa hubungannya dengan wanita itu? Kenapa dia menyelamatkannya?”

Rimba persilatan mengenal Resi Jayadwipa sebagai salah seorang tokoh persilatan. Ilmunya tinggi tak terukur. Bahkan jarang muncul di rimba persilatan. Tak seorang pun yang tahu termasuk golongan mana tokoh itu. Terkadang dia muncul membela orang-orang tertindas. Namun tak jarang pula dia berbuat aneh seperti saat ini. Menyelamatkan si Bidadari Penakluk yang sudah jelas-jelas diburu-buru tokoh persilatan, karena ulahnya.

“Tidak usah bingung, Sobat Muda. Kalau saja kau tahu sedikit saja jurus Resi Jayadwipa, maka kau tentu tidak akan bingung,” ujar si Tupai Katai.

“Apa maksudmu, Ki?” tanya Rangga.

“Aku pernah menyaksikan ketika guruku bertarung dengan beliau. Pertarungan itu sendiri dimenangkan Resi Jayadwipa dengan ilmu silatnya yang termasyhur, yaitu ‘Belut Ireng’. Sedikit banyak aku mengetahui jurus-jurus yang dimilikinya itu,” sahut Ki Janggasana.

“Lalu apa hubungannya dengan wanita itu?”

“Bidadari Penakluk memiliki jurus-jurus ‘Belut Ireng’!” jelas orang tua itu singkat.

“Hm, aku mengerti. Jadi, dia murid sang resi itu?”

“Aku tidak mengatakan begitu. Tapi bagaimana mungkin dia bisa memiliki jurus ‘Belut Ireng’? Dan kini terbukti kalau Resi Jayadwipa menyelamatkannya dari tanganmu. Berarti, diantara mereka ada hubungan dekat.”

“Bagaimana pun akan kucari perempuan itu! Dia tidak akan lepas dari tanganku!” kata Rangga mantap.

“Pendekar Rajawali Sakti.... Kuakui kebesaran namamu. Juga, telah kulihat kehebatan ilmu silatmu. Tapi kusarankan, sebaiknya lupakan saja urusan ini jika menyangkut kepada Resi Jayadwipa,” tukas Ki Janggasana.

“Kenapa? Apakah dia iblis yang tidak bisa terkalahkan? Tidak bisa terluka?!”

“Dia mungkin bukan iblis. Tapi tiada satu iblis pun yang berani menantangnya. Orang itu memiliki kepandaian sulit diukur.”

“Terima kasih atas nasihatmu, Ki. Tapi aku tetap pada tekadku meski apa pun yang terjadi!” sahut Rangga mantap.

“Aku akan menemanimu kalau kau hendak mencarinya!”

“Hei?!”

Kedua orang itu menoleh, dan melihat Sari Dewi tegak berdiri di dekatnya dengan kelopak mata sembab seperti habis menangis.

“Jangan bertindak macam-macam. Kau tidak mengerti apa yang kau bicarakan!” ingat Rangga, masih menyimpan kesal pada gadis itu.

“Wanita keparat itu telah membunuh ayah dan abangku. Dia patut mendapat pembalasan dariku!” sahut Sari Dewi. Matanya berbinar tajam.

“Terserah padamu. Tapi, aku tidak bisa membawamu ke mana-mana!”

“Kau mesti mengajakku!” sahut gadis itu, memaksa.

“Tidak!” Pendekar Rajawali Sakti menjawab tegas.

“Setidaknya kau bersedia membantuku menguburkan mayat-mayat mereka, bukan?” lanjut gadis itu.

Rangga memandang kesekeliling tempat. Pertempuran yang tadi ramai baru disadari telah berakhir. Kelihatan beberapa orang tukang pukul Juragan Jelorejo tewas.

Ki Laron Nunggal bersama muridnya serta Kembang Harum, telah pergi meninggalkan tempat itu. Yang tinggal selain mereka adalah Seruni yang berdiri di belakang kakeknya serta, beberapa tukang pukul Juragan Jelorejo yang tengah mengurus mayat kawan-kawannya.

“Baiklah, aku akan membantu menguburkan ayah dan abangmu. Tapi, ingat. Kau tetap tak boleh ikut denganku mencari si Bidadari Penakluk. Kalau kau bersikeras, jangan harap aku mau membantumu.”

Sari Dewi tak berkata apa-apa, tapi cepat ditubruknya Pendekar Rajawali Sakti. Dipeluknya pemuda itu untuk menumpahkan kedukaannya.

Rangga sendiri agak gelagapan, tapi tak ingin mencegah. Dia cukup menyadari kalau gadis ini baru saja ditimpa kemalangan. Yah, paling tidak untuk sedikit menghibur hatinya.

********************

Bagaimanakah nasib Suti Raswati alias Bidadari Penakluk setelah ditolong sosok yang dikenal sebagai Resi Jayadwipa. Mengapa gadis seperti itu harus ditolong oleh tokoh macam Resi Jayadwipa? Apa hubungan Bidadari Penakluk dengan Resi Jayadwipa? Mampukah Pendekar Rajawali Sakti menghentikan sepak terjang Bidadari Penakluk?
SELESAI
SILUMAN PEMBURU PERAWAN