Bajingan Dari Gunung Merapi - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Bajingan Dari Gunung Merapi

SATU
PAGI masih diselimuti kabut, walau matahari mencoba mengusirnya sedikit demi sedikit. Burung-burung bercanda riang, mengisi suasana hari yang tampaknya terasa indah ini, di tepian Hutan Walang.

Dan hari yang indah ini tak dilewati oleh dua gadis yang bercanda riang di atas punggung kuda masing-masing. Sesekali mereka tertawa renyah. Yang seorang berbaju merah. Sedang yang seorang lagi berbaju kuning. Dan mereka sama-sama cantik, di samping terlihat tak bisa dianggap remeh. Pedang di pinggang masing-masing membuktikan kalau mereka adalah orang persilatan. Entah apa yang dibicarakan, tiba-tiba mereka menghentikan langkah kudanya.

"Kalau begitu, kita berbalap saja sampai di persimpangan jalan di depan sana. Siapa yang menang, boleh mendapatkannya," tantang gadis berbaju merah sambil tersenyum-senyum.

"Kau gila, Lastri!" cetus gadis berbaju kuning dengan wajah memerah menahan malu.

"Kenapa, Dara?" goda gadis berbaju merah yang dipanggil Lastri sambil tertawa." Kalau kau tidak berani, berarti Kang Sanja untukku."

"Terserahmulah...!" desah gadis berbaju kuning yang dipanggil. Dara, seperti tak punya pilihan lain.

Lasrri kembali cekikikan. "Jadi, kau rela Kang Sanja untukku?" ledek Lastri lagi.

"Aku tidak bilang begitu!"

Lastri kembali tertawa lebar, melihat sikap sahabatnya.

"Tidak! Pokoknya aku tidak mau dengan cara-cara seperti itu. Memang dia apa, harus diperebutkan segala? Kalau kau mau, ya silakan ambil!" tukas Dara.

"Kau tidak menyesal?" goda Lastri.

"Kenapa mesti menyesal?!"

"Kang Sanja tampan dan banyak disukai gadis cantik..."

"Sudahlah, Lastri. Aku tidak mau membicarakan soal itu lagi."

"Kau sungguh-sungguh tidak mau ikut memperebutkan Kang Sanja?"

"Tidak "

"Atau, barangkali kau telah punya pilihan?"

"Tidak! Eh, iya!"

"Jangan berbohong, Dara. Kenapa mesti malu mengatakan, kalau kau pun sebenarnya menyukai Kang Sanja?" ujar Lastri, disertai senyum.

"Tidak Aku tidak menyukainya!" tegas Dara, lebih tegas.

"Baiklah. Kalau begitu, aku percaya! Nah! Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, kenapa? Padahal, semua gadis menyukainya. Dia tampan dan baik budi bahasanya. Lalu, kenapa kau tidak tertarik?"

"Apakah mesti ada alasan?" tanya Dara seraya menggebah kudanya perlahan-lahan. Dan Lastri pun mengikutinya

"Kenapa tidak?"

Gadis berbaju kuning itu menarik napas panjang, lalu menoleh kepada Lastri sambil tersenyum. Yaaa, karena aku tidak suka saja!" desah Dara.

"Cuma itu?'"

Dara mengangguk

"Aku tidak percaya!"

"Syukurlah. Soalnya, aku tidak minta kau percaya...," jawab Dara sekenanya.

"Ayolah, Dara. Jangan membuatku penasaran ..."

"Apa yang harus kukatakan? Kalian mungkin saja suka kepadanya. Tapi, aku tidak. Lalu, kenapa mesti pakai alasan segala?"

"Kalau kami suka padanya, punya alasan jelas. Tapi, apa alasanmu tidak menyukainya?"

"Kenapa kau begitu penasaran?" pancing Dara tersenyum-senyum kecil.

"Aku cuma sekadar ingin tahu

"Baiklah. Karena..." Dara terdiam dan melirik sahabatnya itu sambil tersenyum.

"Ayo, katakan!" desak Lastri, seraya mencubit pinggang gadis berbaju kuning itu dengan gemas.

"Aduuuh! Aku tidak mau katakan...!" tolak Dara, setelah menjerit kesakitan. Setelah itu, Dara menggebah kencang kudanya seperti hendak mempermainkan kawannya. "Heaaa...!"

"Brengsek!" rutuk Lastri. Dengan gemas gadis berbaju merah itu pun langsung menggebah kudanya, mengejar gadis berbaju kuning.

"Hi hi hi! Kalau kau bisa mengejarku, aku akan katakan alasannya!" teriak Dara.

"Awas kau, Dara! Aku tidak sekadar menagih alasan, tapi akan menjitakmu!"

Dara kembali tertawa renyah. Kudanya terus digebah kencang. Sementara di belakangnya, Lastri mengejar penuh penasaran.

"Heaaa...!"

"Yeaaa...!"

Baru saja mereka berkejar-kejaran dengan kudanya, mendadak berkelebat satu bayangan yang langsung berdiri menghadang. Dara yang berada di depan.

Saat itu juga, gadis berbaju kuning ini cepat menarik tali kekang kudanya. Begitu kuda tunggangan berhenti, orang yang menghadang telah mendorong kedua telapak tangannya kemuka. Dara terkesiap, melihat serangkum angin kencang menuju ke arahnya. Maka buru-buru dia melompat dari punggung kuda dengan gerakan indah sekali.

"Hup!'

"Kurang ajar!" maki Dara, begitu kakinya mendarat dengan manis di tanah berumput.

"Ada apa, Dara?" tanya Lastri yang baru saja turun dari kudanya.

Di depan mereka kini berdiri seorang laki-laki kurus. Punggungnya sedikit bungkuk. Dia menyeringai. Orang itu mengenakan surjan kuning, memakai blangkon berbunga-bunga coklat dengan dasar kuning. Di pinggang belakangnya terselip sebilah keris.

"Bajingan ini hendak bermain-main dengan kita rupanya," dengus Dara.

"Keparat! Dia boleh coba kalau bisa. Kalau macam-macam, biar kupenggal saja lehernya!" kata Lastri, ikut-ikutan geram.

"He he he...! Dua bidadari berjalan sendiri tanpa pengawal adalah kecerobohan. Hati-hati, banyak orang jahat berkeliaran. Kalau tidak keberatan, bolehkah aku mengawal kalian!" sapa laki-laki bersurjan kuning ini, disertai kekehan memuakkan.

"Bajingan busuk! Lantas, apa maksud tindakanmu tadi?!" hardik Dara.

"Ah! Rupanya kau masih marah padaku. Percayalah.... Aku tidak hanya bermain-main. Tidak ada maksud jahat sedikit pun dihatiku. Sekadar ingin berkenalan saja. Kalau tidak dengan cara itu, lalu cara bagaimana?"

"Apa kau kira kami percaya bualanmu itu? Huh!" dengus Lastri.

"Aku tidak minta kalian percaya!"

"Minggirlah! Kami tidak ada urusan denganmu!" sentak Dara, seraya kembali melompat kepunggung kudanya.

"Aku telah berada di sini. Dan aku tidak akan pergi, sebelum keinginanku terpenuhi," sahut laki-laki itu enteng.

"Keparat! Apa sebenarnya yang kau inginkan?!" bentak Dara.

"Aku menginginkan kalian berdua"

"Bajingan cabul! Enyahlah kau dari sini, sebelum kami gelap mata dan membunuhmu!" bentak Lastri. Gadis berbaju merah ini tak kuasa menahan amarah dan kejengkelannya. Tangannya yang sudah meraba gagang pedang langsung terangkat.

Sring!

Saat itu juga Lastri sudah meloloskan pedangnya yang langsung berkilatan terjilat sinar matahari pagi. Namun melihat gadis didepannya sudah mencabut pedang, laki-laki bersurjan kuning itu sama sekali tidak terlihat gentar. Dia malah terkekeh seperti mengejek.

"Kau ingin mengancamku dengan pedang itu? He he he...! Tidak ada seorang pun yang bisa menyurutkan keinginanku. Apalagi, hanya dua orang gadis seperti kalian."

"Huh! Kata-katamu sudah meremehkan kami berdua, Kisanak! Dan kalau kau memang sudah bosan hidup, aku akan mengabulkannya dengan senang hati! Heaaat...!" Lastri tidak bisa menahari amarahnya lagi. Tubuhnya langsung melenting, menyerang laki-laki bersurjan kuning ini.

"Uts! Ternyata kau galak juga. Aku suka sekali dengan gadis galak sepertimu!" leceh laki-laki itu seraya berkelit menghindari tebasan senjata Lastri.

Bahkan saat gadis berbaju merah itu membabatkan pedangnya kebagian-bagian yang mematikan, laki-laki bersurjan kuning ini begitu mudah menghindar dengan melompat kebelakang sambil berputar seperti gasing.

"Hiiih!"

Sementara Lastri semakin penasaran. Seketika dikejarnya laki-laki itu dengan pedang bergerak semakin cepat. Kali ini dia tidak mau bertindak kepalang tanggung. Segenap kemampuannya benar-benar dikerahkan untuk menjatuhkan lawan secepatnya.

Namun sampai sejauh itu, belum ada satu pun serangan Lastri yang mampu menyentuh kulit laki-laki bersurjan kuning ini. Setiap serangannya, selalu saja menebas angin.

"Hm! Apakah kebisaanmu hanya sampai di sini? Kalau begitu, kau perlu belajar sepuluh tahun lagi, Nisanak!" ejek laki laki bersurjan kuning, setelah baru saja menghindari tebasan pedang Lastri yang mengarah kelehernya.

Apa yang dilakukan laki-laki itu memang hebat. Meski serangan datang bertubi-tubi, tapi mampu dihindari dengan hanya meliuk-liukkan tubuhnya dan terkadang hanya melompat-lompat kecil. Bahkan sampai saat ini dia masih bertangan kosong.

"Biar kubantu kau meringkusnya, Lastri!" seru Dara, langsung meluruk dan menyerang laki-laki itu dengan tusukan-tusukan pedangnya.

"He he he...! Kenapa baru sekarang? Bukankah seharusnya sejak tadi kau membantunya?" ejek laki-laki bersurjan kuning ini, lagi-lagi sambil berkelit menghindari dengan melompat-lompat kecil ke kiri dan kanan.

"Tidak usah banyak mulut! Lebih baik pikirkan lehermu!" desis gadis berbaju kuning itu, sambil melepaskan sabetan pedang ke leher.

Lastri sama sekali tidak keberatan ketika Dara ikut membantu. Sebab disadari, akan sia-sia saja mendesak lawan seorang diri. Meski telah mengerahkan segala kemampuan, tetap saja laki-laki bersurjan itu tidak terlihat tanda-tanda terdesak, tapi malah bergerak ringan menghindari setiap serangannya.

Begitu juga ketika kedua gadis itu meningkatkan permainan jurusnya. Walaupun serangan mereka berdua sangat kompak dan memiliki daya serang beragam, tapi itu pun ternyata belum cukup. Apalagi bila melihat kemampuan ilmu meringankan tubuh lawannya memang amat mengagumkan.

"He he he...! Apakah hanya sampai di situ saja kepandaian kalian? Apakah si tua bangka Gandring tidak mengajari kedigdayaan lain?"

"Hei?! Kau mengenal guru kami? Siapa kau sebenarnya?!" tanya Dara terkesiap.

Seketika gadis itu melompat ke belakang, menghentikan serangan. Perbuatannya diikuti Lastri. Keduanya memandang laki-laki kurus berkumis tipis itu dengan seksama.

"Kenapa tidak? Si Gandring sudah kubuat keok beberapa tahun berselang. Dan aku tahu betul kepandaian macam apa yang dimilikinya! Ya! Seperti yang kalian perlihatkan itu! Picisan, dan sangat rendah!"

Keparat!' Dara dan Lastri hampir bersamaan memaki ketika mendengar hinaan yang dilontarkan untuk guru mereka. Bagi mereka itu sudah lebih dari cukup untuk melenyapkan laki-laki bersurjan kuning ini. Namun sebelum mereka bergerak menyerang....

"Cukup! Kali ini aku yang akan menunjukkan pada kalian, bagaimana caranya menyerang yang baik!"

Baru saja selesai bicaranya, mendadak laki-laki itu melompat menerjang Lastri dan Dara. Serangan pertama ditujukan kepada Lastri. Dan ketika gadis itu coba melompat ke belakang, laki-laki ini telah mendahului dengan ayunan kepalan tangan.

"Hiiih!"

Secepat kilat Lasrri mengayunkan pedangnya, hendak memapas tangan laki-laki bersurjan kuning ini. Namun, pedang itu hanya menyambar tempat kosong, karena laki-laki bersurjan kuning telah menarik pulang pukulannya. Bahkan seketika itu pula tubuhnya dimiringkan sambil melepaskan totokan kearah bawah ketiak Lastri. Dan...

Tuk!

"Ahhh...!" Lastri kontan ambruk tak berdaya begitu totokan laki-laki bersurjan kuning ini mendarat telak di bawah ketiaknya. Tubuhnya seketika lemas seperti tak bertulang. Dan semua anggota tubuhnya sulit digerakkan.

"Bajingan keparat! Apa yang kau perbuat terhadap kawanku?!" desis Dara geram. Langsung dia melompat menyerang sambil membabatkan pedangnya.

"He he he! Kau kira apa? Kau pun akan mengalami nasib yang sama!" sahut laki-laki itu enteng.

Secepat kilat tubuh laki-laki bersurjan mem-bungkuk, sehingga pedang gadis itu hanya memapas tempat kosong. Namun begitu, Dara tidak putus asa. Langsung kakinya diayunkan menyodok lambung.

"Uts!" Laki-laki bersurjan ini berkelit dengan memutar tubuhnya sedikit ke samping. Sehingga, serangan itu luput dan sasaran. Lalu dengan gesit. ditangkapnya pergelangan kaki gadis itu.

Tap!

Bukan main gemasnya. Dara melihat keadaan ini. Apalagi ketika lawan coba membetotnya.

"Hih"Dengan geram Dara membabatkan pedangnya kearah tangan yang mencekal kakinya. "Putus!" bentak Dara.

"Uts!" Cepat-cepat laki-laki itu melepaskan cekalannya. Lalu mendadak tubuhnya berputar langsung melepaskan totokan yang cepat bagai kilat.

Tuk!

"Aaah...!" Dara langsung jatuh lemas tak berdaya, begitu di bagian bawah buah dadanya yang membusung terkena totokan.

"He he he! Apa kataku. Tidak ada seorang pun yang bisa menahan keinginanku!" ejek laki-laki bersurjan kuning ini.

"Bajingan busuk! Lepaskan totokanmu! Aku masih mampu menghadapimu sampai seratus jurus sekali pun? Lepaskan kataku!" bentak Dara.

"Ooo..., ternyata kau pun galak juga! Hm, sungguh menarik! Dua gadis cantik dan galak. Benar-benar membuat hatiku tak tahan!"

Bola mata laki-laki itu jelalatan menghampiri kedua gadis ini dengan seringai mirip serigala lapar. Jakunnya turun naik, menelan liurnya yang hampir menetes oleh hawa nafsu. Dia lantas berjongkok mendekati Dara.

"Ouw...! Keparat! Kubunuh kau! Kubunuh kau...!" teriak Dara marah bukan main ketika jari-jari tangan laki-laki itu dengan nakal menggerayangi dadanya yang membusung indah.

"He he he...! Dadamu bagus. sehingga membuatku puyeng! Ah! Aku jadi tidak sabar lagi," kata laki-laki itu Segera diangkatnya tubuh Dara dan dipindahkannya ke balik semak-semak di pinggiran Hutan Walang.

Sebentar saja, laki-laki ini telah kembali, langsung membopong Lastri ke balik semak-semak pula. Karuan saja kedua gadis itu berteriak-teriak geram sambil memaki-maki. Tapi percuma saja. Sebab semakin mereka memaki, maka semakin semangat saja tangan-tangan nakal itu menggerayangi.

"Aaah...! Kau semakin membuatku geram saja!" desis laki-laki itu kelihatan mulai blingsatan menjilati tubuh Dara dengan matanya. Kemudian tangannya bergerak cepat. Dan...

Bret!

"Aouw, kurang ajar...! Apa yang kau lakukan?! Bajingan terkutuk! Enyah kau! Lepaskan aku! Lepaskaaan...!" jerit Dara, ketika laki-laki itu merobek pakaian di bagian dadanya.

Dan mata laki-laki itu makin liar saja menjilati dada Dara yang membukit indah di depannya. Bahkan liurnya hampir menetes, Kalau tidak cepat-cepat ditelannya.

"He he he...! Benar dugaanku. Kau memiliki dada yang bagus. Hm... Kau tentu tahu, apa yang kuinginkan, bukan? Nah! Untuk apa tunggu lama-lama!"

Tanpa mempedulikan teriakan dan makian gadis itu laki-laki ini melucuti pakaian Dara. Sementara percuma saja gadis itu berteriak-teriak Dalam keadaan tertotok begitu, dia tidak bisa memberikan perlawanan. Apalagi, tempat ini termasuk kawasan sepi yang jarang dilalui orang. Teriakannya hanya tenggelam ditelan kesunyian. Selanjutnya, hanya angin yang tahu apa yang dilakukan laki-laki bersurjan kuning ini, setelah melepaskan pakaiannya sendiri.

********************

Laki-laki itu tergelak puas sambil mengenakan pakaiannya. "He he he...! Tidak kusangka, kalian benar-benar hebat! Luar biasa. Kapan-kapan kalau ada waktu, datanglah ke sini lagi. Dan kita ulangi permainan tadi!"

Lastri dan Dara yang telentang tidak begitu jauh, hanya menangis sesegukan menyesali nasibnya yang buruk. Tidak ada sesuatu pun yang bisa dilakukan untuk saat ini.

"Ha ha ha...! Tidak usah menangis! Toh, kita sama-sama senang. Nah! Aku pergi dulu! Ingat, bila kalian ingin mengulanginya lagi carilah aku Bajingan Gunung Merapi! Ha ha ha...!" leceh laki-laki itu, segera berkelebat meninggalkan tempat itu. Dan sebentar saja, tubuhnya hilang dari pandangan.

Laki-laki yang menyebut dirinya sebagai Bajingan Gunung Merapi itu agaknya melupakan sesuatu, atau memang disengaja. Sebab kedua gadis itu dibiarkan masih dalam keadaan tertotok, dan tanpa penutup tubuh!

"Ohhh!" Dara menggeliat. Totokan pada tubuhnya mulai hilang. Dengan perlahan-lahan dia bangkit seraya memungut potongan bajunya yang masih bisa dipakai. Tubuhnya masih terasa lemah tak berdaya. Rasa sakit nyeri yang menggigit dirasakan pada bagian di antara kedua pahanya.

"Lastri...," panggil Dara pelan, ketika Lastri terlihat duduk terdiam pada bagian semak-semak yang tidak berapa jauh dan tempatnya.

Tidak ada sahutan. Gadis itu curiga. Perlahan-lahan tubuhnya beringsut mendekati. Dan alangkah kagetnya Dara ketika melihat apa yang diperbuat Lastri. Kaki kanannya buru-buru terayun melakukan tendangan.

Tak!

"Hentikan! Apa yang akan kau lakukan?!" bentak Dara.

DUA

Lastri hanya melirik sekilas gadis berbaju kuning itu. Lalu tiba-tiba dikejarnya pedang yang tadi terpental karena ditendang Dara. Namun, Dara cepat menghalangi dan menangkap kedua pergelangan tangannya.

"Lepaskan! Biarkan aku...! Lepaskan...!" teriak Lastri sambil berontak, berusaha melepaskan diri.

"Lastri, sadarlah! Apa yang hendak kau lakukan? Bunuh diri bukan jalan keluar yang baik!" bentak Dara.

"Biarkan aku! Biarkan aku mengakhiri hidupku yang tidak berguna lagi! Lepaskan aku...! Lepaskan!" teriak Lastri, makin kalap.

"Baik! Alasanmu bunuh diri, karena malu hidup menanggung aib! Lalu, akan kau biarkan orang itu berkeliaran dan bebas melakukan perbuatan kejinya kepada gadis-gadis lain! Ayo! Sadarlah, Lastri! Kita punya dendam terhadapnya! Kita harus balas perbuatan terkutuknya ini! Kenapa kau tidak sadar, dan malah mau mengakhiri hidupmu!'! bentak Dara, memperingatkan. Cekalan tangannya kini telah dilepaskan.

Lastri terdiam. Bola matanya berkaca-kaca memandang kosong ke depan. "Aku... aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan...," keluh gadis itu lirih.

"Masih banyak yang bisa kita lakukan!" tandas Dara, penuh dendam berkobar dalam dada.

Perlahan-lahan Lastri menoleh. Maka terlihat beberapa tetes airmatanya jatuh membasahi pipi. Dara tidak kuasa menahan haru. Dihampirinya gadis itu, kemudian dipeluknya erat-erat.

"Aku tahu apa yang kau rasakan, Lastri. Aku pun merasakannya. Ini terlalu menyakitkan bagi kita. Tapi bukan berarti harus mengakhirinya dengan bunuh diri. Percuma saja, sebab tidak akan menyadarkan si bajingan terkutuk! Kita bahkan harus hidup. Mudah-mudahan kita mampu berumur seribu tahun lagi, untuk membalaskan sakit hati ini! Percayalah, Lastri... Kita harus hidup!"

"Kau benar. Dara," sahut Lastri mengangguk.

"Jadi..., jangan punya pikiran untuk bunuh diri."

Lastri kembali mengangguk.

"Bagus! Nah, ambillah pedangmu. Dan masukkan ke dalam warangkanya. Ingat! Jangan coba-coba bunuh diri. Sia-sia saja. Sebab tiada seorang pun yang bisa membalaskan dendammu kepada bajingan itu, selain dirimu sendiri."

"Baiklah...," desah Lastri. Gadis itu kemudian berjalan beberapa tindak untuk memungut pedangnya. Dimasukkannya pedang itu ke dalam warangka. Kemudian. pakaiannya yang tidak karuan dibetulkan.

"Lalu..., apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Lastri, setelah membenahi pakaiannya.

"Kita kembali lagi kepadepokan!" sahut Dara, mantap.

"Kembali ke padepokan? Tidak! Aku tidak mau ke sana!" bantah Lastri.

"Lastri, dengarlah. Orang yang hendak kita hadapi memiliki kepandaian tinggi. Kalau kita berdua saja yang menghadapinya, maka kejadiannya akan seperti tadi. Kita butuh bantuan. Dan saat ini, yang bisa membantu hanyalah kawan-kawan sepadepokan serta guru kita, Kiai Gandring," jelas Dara, memberikan alasan.

"Bukankah Kiai Gandring pun pernah dikalahkannya? Jadi, usaha kita tetap percuma saja."

"Itu belum tentu benar. Karena, mungkin hanya untuk mengecewakan kita saja."

"Tapi aku tetap tidak mau ke padepokan. Mau kuletakkan di mana mukaku? Mereka semua akan merendahkan kita!"

"Lastri, mereka adalah saudara-saudara kita sendiri! Bukankah begitu yang diajarkan guru pada kita? Mereka tidak akan sampai hati menuduh kita rendah, meski lewat tatapan. Bukankah guru pernah mengatakan, bahwa seorang murid terluka maka yang lain harus merasa terluka? Dan kita tengah terluka. Maka mereka pun pasti ikut merasa terluka "

Aku malu, Dara . Aku malu!'

"Apa kau kira aku tidak malu menerima semua ini? Kita sama-sama merasakannya. Tapi, bukan berarti bahwa dunia kiamat karena itu. Kita harus bangkit menghadapinya!" tegas Dara.

Lastri terdiam untuk sementara waktu.

"Ayo, kita berangkat sekarang sebelum hari gelap" ajak Dara seraya memperhatikan keadaan sekelilingnya.

Sementara matahari kian meninggi. Suasana pinggiran Hutan Walang masih tetap sunyi. Sesekali terdengar languhap binatang-binatang penghuni hutan yang kehausan mencari air.

"Mau ditaruh di mana mukaku bila Kang Sanja tahu aku dalam keadaan begini...?" keluh Lastri lirih.

"Kau benar-benar menyukainya?

Lastri mengangguk.

"Dan dia?"

"Entahlah.... Kurasa dia tidak tahu kalau aku menyukainya. Banyak gadis lain yang berusaha menarik perhatiannya."

"Dan itu kau pikirkan betul? Begini saja, Lastri... Kalau benar Kang Sanja mencintaimu, pasti akan menerima segala kekurangan yang kau miliki. Kecuali, kalau memang dia pada dasarnya tidak mencintaimu, jadi jangan salahkan hal itu. Dan, bila kelak dia menaruh perhatian padamu, maka jangan kau anggap dia mencintaimu. Itu bisa saja, karena dia merasa kasihan. Atau, ikut prihatin atas derita yang kita alami," ungkap Dara mengutarakan pendapatnya.

Lastri kembali terdiam. Tapi perlahan-lahan beranjak mendekati kudanya yang masih merumput di dekat mereka. Tindakannya diikuti Dara yang juga menghampiri kudanya.

"Kau setuju kita ke sana?" tanya Dara, seraya naik ke punggung kudanya.

"Kurasa kita memang tidak punya pilihan lain lagi..." jawab Lastri lirih, juga menaiki kudanya.

Kedua gadis itu berada di punggung kuda masing-masing, dan bersiap meninggalkan tempat ini. Tapi baru saja menjalankan kuda sekitar sepuluh tombak....

"Heh?!"

Mendadak saja terdengar suara langkah kaki kuda. Begitu Dara dan Lestari mengarahkan pandangan ke depan, tampak tiga orang berkuda telah berjarak lebih kurang tujuh tombak lagi di depan mereka. Ketiga laki-laki bertampang seram ini, tampaknya tidak bermaksud baik. Sikap mereka mirip kawanan perampok.

"Hhh...!" Dara kembali mendengus ketika dari belakang juga telah muncul lima penunggang kuda lain. Kedua gadis ini yakin, kalau kawanan itu telah mengincar sejak tadi.

"Ha ha ha...! Sungguh rejeki yang tidak terduga hari ini. Dua ekor kelinci montok akan menemani santap malam kita sebentar lagi!" teriak seorang laki-laki bertampang kasar yang berada di tengah, di antara tiga penunggang kuda di depan kedua gadis itu. Tampaknya, dialah yang mengetuai rombongan berkuda ini.

"Kurang ajar! Tutup mulutmu...!" bentak Dara dengan wajah berang.

"Ha ha ha...! Ternyata kelinci-kelinci yang galak. Sungguh akan membuat malam ini semakin semarak saja!" kata laki-laki itu, sama sekali menganggap remeh.

"Bajingan busuk! Enyahlah kalian! Jangan coba-coba menghalangi langkah kami!" bentak Dara lagi.

"Ha ha ha...! Ingin kulihat, apakah kegalakan kalian sepadan dengan pedang yang tersandang!" tantang laki-laki bertampang kasar ini. "Ringkus mereka...!"

Tanpa menunggu perintah dua kali, serentak anak buah laki-laki bertampang kasar ini melompat dari atas punggung kuda masing-masing. Tujuh orang laki-laki kini telah mengepung Lastri dan Dara dari segala arah, siap meringkus dengan senjata terhunus.

Tentu saja, kedua gadis ini tidak sudi menjadi korban kebuasan nafsu laki-laki untuk yang kedua kali. Seketika itu pula, mereka melompat dari atas punggung kuda sambil mencabut pedang masing-masing di pinggang.

Sring!

"Yeaaa...!"

Begitu kedua gadis itu menjejakkan kaki di tanah, tujuh laki-laki yang mengepung telah meluruk disertai teriakan mengguntur.

"Ha ha ha...! Coba kalian tangkap mereka dalam waktu singkat. Siapa yang lebih dulu dapat, akan kuberi hadiah besar!" teriak laki-laki bertampang kasar

"Bedebah...!" Dara dan Lastri hanya bisa memaki dengan mata tajam penuh hawa amarah.

Mendengar kalau dijanjikan hadiah, maka ketujuh laki-laki itu berebutan untuk lebih dulu meringkus kedua gadis ini. Maka sebentar saja, Dara dan Lastri mulai kewalahan. Meski mereka berusaha menghalau dengan kibasan pedang kesana kemari, namun kawanan itu tidak surut begitu saja. Mereka malah semakin berani merangsek. Malah, kini mereka membagi dua serangan. Kelompok yang berjumlah empat orang, mengurung Dara. Sementara yang berjumlah tiga orang menyerang Lastri.

Setiap kali terjadi benturan senjata, kedua gadis itu mengeluh tertahan. Bahkan beberapa kali pedang mereka hampir terpental. Dan tiba-tiba....

"Aku dapat...!" teriak seorang pengeroyok ketika berhasil meringkus pinggang Dara.

Karuan saja gadis itu jadi kalang kabut. Dan dengan gemas pedangnya hendak dipapaskan ke batok kepala laki-laki itu. Tapi sebelum terjadi, seorang lawan menyentak lewat ayunan tombak. Mau tak mau, Dara harus lebih dulu memapaknya dengan pedang.

Trang!

"Ohhh...!" Betapa terkejutnya Dara, ketika pedangnya terpental setelah berbenturan. Jelas, tenaga dalamnya kalah jauh bila dibanding para pengeroyoknya. Dan belum lagi dia sempat berbuat sesuatu, mendadak salah seorang pengeroyok telah menubruknya.

"Eh...!"

Bruk!

Tak ayal lagi, gadis itu terjungkal roboh. Dan ketika beberapa orang lagi menubruknya, Dara semakin tidak berkutik. Bahkan dengan cepat, orang-orang itu mengikat kedua tangan dan kaki seperti hewan buruan.

Di tempat lain pun Lastri mengalami nasib sama. Percuma saja kedua gadis ini berusaha berontak.

"He he he...! Ternyata kalian semua sama cepat. Maka akan kuberi hadiah yang sama banyak!" kata laki-laki bertampang kasar berusia sekitar empat puluh lima tahun itu.

"Mau kita apakan kedua kelinci liar ini, Ki Dampu?" tanya salah seorang anak buah laki-laki yang dipanggil Ki Dampu cengengesan.

"Bodoh sekali kau, Katut! Kau kira apa yang akan kita perbuat kepada dua gadis ini? Suruh mereka menari? Huh! Aku tidak punya waktu!" sahut Ki Dampu, seenaknya.

"He he he ! Ki Dampu tentu lebih mengerti, apa yang seharusnya kita lakukan. Tapi... jangan lupa. Sisakan untuk kami, Ki!' pinta laki laki yang dipanggil Katut dengan jakun turun naik.

"Apa selama ini aku pernah makan sendiri, he?! Ayo, letakkan mereka di balik semak-semak sana! Aku sudah tidak sabar lagi ingin menyantapnya'" ujar laki-laki setengah baya yang menjadi pemimpin gerombolan ini.

"Beres, Ki!"

Seketika anak buah Ki Dampu menggiring kedua gadis itu ke balik semak-semak. Lalu setelah segalanya beres, Ki Dampu melompat dari punggung kudanya. Segera dihampirinya gadis-gadis itu dengan langkah lebar.

"Siapa yang berani mengintip, biji matanya akan kupecahkan!" ancam Ki Dampu garang, ketika mengetahui beberapa anak buahnya coba melirik apa yang akan dilakukannya terhadap kedua gadis itu.

"Eh! Ti... tidak, Ki...!" sahut ketujuh laki-laki ini ketakutan.

Buru-buru mereka menjauh sambil menelan ludah. Wajah mereka kelihatan tegang dengan sikap gelisah Apalagi ketika mendengar jerit serta makian gadis-gadis itu. Entah, apa yang diperbuat Ki Dampu. Namun yang jelas, mereka mengerti nasib apa yang akan menimpa kedua gadis itu nantinya. Namun mendadak.

"Aaakh...!"

Tiba-tiba terdengar pekik kesakitan. Dan tahu-tahu tubuh Ki Dampu terpental beberapa langkah dari balik semak-semak.

"Heh?!"

Tentu saja tujuh anak buah laki laki setengah baya itu kontan terkejut. Lebih terkejut lagi, ketika melihat kehadiran seorang pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung dengan tenangnya tengah membebaskan kedua gadis itu dari belenggu. Kemudian dengan sekali lompat dia telah berdiri diluar semak semak dengan pandangan tajam kearah Ki Dampu yang tengah bangkit berdiri.

"Bunuh dia..." bentak Ki Dampu geram.

"Yeaaa...!"

Serentak anak buah Ki Dampu melompat menerjang si pemuda yang dianggap sebagai biang pengacau.

"Hup!" Pemuda berbaju rompi putih yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti ini cepat mengibas-ngibaskan sebuah ranting yang sejak tadi digenggamnya, bersiap menghadapi lawan-lawannya.

Tindakan Rangga tentu saja membuat geli kawanan ini. Menghadapi sekian banyak orang dengan berbagai jenis senjata tajam, hanya menggunakan sepotong ranting? Kalau tidak sinting pastilah pemuda itu sudah bosan hidup!

Namun mereka baru tercengang ketika pemuda itu bergerak demikian gesit menghindari tebasan-tebasan senjata sambil menyabetkan ranting di tangannya.

"Aaakh...!"

Dua orang kontan memekik kesakitan sambil memegangi punggung ketika sabetan Pendekar Rajawali Sakti menemui sasaran. Kemudian seorang lagi menyusul, ketika ranting itu menghajar perut. Ketika yang lainnya berusaha mendesak Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas dan berputaran beberapa kali begitu tubuhnya meluruk kembali. Dan ranting kayu ditangannya kembali menggebuk

Pletak! Buk...!

"Aaakh..."

Tiga orang kontan menjerit kesakitan terhajar ranting kayu yang telah dialiri tenaga dalam tinggi hampir setengahnya. Kemudian sisanya menyusul dalam waktu singkat. Sehingga dalam beberapa kali gebrakan, tujuh anak buah Ki Dampu dibuat jatuh bangun tak berdaya.

"Pergilah kalian, sebelum kesabaranku habis!" ujar Pendekar Rajawali Sakti, dingin.

"Keparat!" desis anak buah Ki Dampu.

Seketika dua orang bergerak bangkit seraya meraih senjata. Dan kembali mereka menyerang pemuda itu dengan hati penasaran.

"Heaaa...!"

Pendekar Rajawali Sakti bergerak gesit seperti tadi, tatkala menghindari tebasan senjata musuh. Dan pada saat yang bersamaan, ranting di tangannya menggebuk dengan keras.

Bak! Buk...!

"Aaakh..."

Rasanya tidak masuk akal bila ranting sebesar jempol tangan itu bisa membuat orang-orang kasar seperti anak buah Ki Dampu menjerit kesakitan. Kalaupun terkena, paling hanya merasa pedih dan sakitnya bisa ditahan. Tapi di tangan pemuda ini ranting itu berubah menjadi alat penggebuk yang berbahaya.

Dua orang yang ternyata baru saja menyerang, telah kembali roboh terhantam ranting di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Sudah barang tentu. hal ini membuat Ki Dampu marah setengah mati. Langsung dia melompat hendak membokong Rangga dan belakang.

"Mampus kau!" desis Ki Dampu sambil membabatkan pedangnya.

Namun sebagai pendekar papan atas yang sudah sering kali mendapat bokongan, Rangga sudah lebih dulu merasakan desiran halus dari belakangnya. Maka ketika pedang itu sedikit lagi membabat lehernya. Rangga berkelit ke samping. Sehingga. pedang Ki Dampu hanya memapas angin kosong. Kemudian ranting ditangannya cepat bergerak menghantam.

Tak!

Aaakh...! Ki Dampu memekik ketika pergelangan tangannya terhajar ranting di tangan Rangga. Dan belum lagi dia bersiaga, satu tendangan keras telah meluncur cepat.

Des!

"Aaakh...!" Ki Dampu kontan terjungkal beberapa langkah disertai pekikan kesakitan. Sebelum dia berhasil bangkit, sebelah kaki Pendekar Rajawali Sakti telah menginjak dadanya.

"Sekali kutekan, nyawamu akan berpindah ke neraka, Kisanak!" ancam Rangga dingin.

"Oh, ampun! Ampuni aku...!" ratap Ki Dampu gemetar ketakutan.

"Mengampunimu? Sebegitu mudahkah? Hm. Telah berapa orang yang menjadi korbanmu, he?!" desis Rangga, bernada mengancam.

"Aku..., aku tak tahu..."

"Kau tak tahu?! Setelah makan manisnya kau bilang tak tahu?" Bersamaan dengan itu, Rangga menekan himpitan kakinya lebih kuat.

Krek!

"Ampun, Kisanak! Ampuuun...! Kalau kau bebaskan, aku berjanji akan bertobat dan menjadi orang baik-baik. Aku berjanji!" ratap Ki dampu.

"Jangan mudah berjanji didepanku, Kisanak!" desis Rangga, lagi.

"Aku sungguh-sungguh! Aku bersumpah!"

"Hm... Baiklah. Kali ini kau kumaafkan. Tapi kalau kau kutemukan lagi dengan perbuatan yang sama, aku tidak akan tanya-tanya lagi. Nyawamu akan hilang semudah aku membalikkan tangan! Camkan itu...!" bentak pemuda berbaju rompi putih itu seraya melepaskan himpitan kakinya.

Ki Dampu cepat bangkit dan berlutut hormat. Dan ketika melihat anak buahnya masih ragu-ragu.

"Heh?! Kenapa kalian masih diam saja?!" Dengan serta merta laki-laki setengah baya itu membentak agar mereka pun berlutut. Karena sang pemimpin yang memberi perintah, maka orang-orang itu terpaksa berlutut.

"Aku sebenarnya tidak ingin penghormatan kalian. Tapi yang penting janji kalian yang telah kupegang! Ingat! Aku selalu berkeliaran di mayapada ini. Sekali kudengar kalian berbuat keonaran, aku akan datang menebas leher kalian semua! Sekarang, pergilah!"

"Eh! Ba... baik. Tapi..."

"Apa lagi?"

"Bolehkah kami tahu namamu. Anak Muda?"

"Aku Rangga. Cukup?"

Ki Dampu menganguk-anggukkan kepalanya.

"Syukurlah Nah, pergilah kalian sekarang!"

"Ba..., baik, Anak Muda." sahut Ki Dampu. Laki laki setengah baya itu langsung memberi perintah pada anak buahnya. Dalam waktu singkat, mereka telah berlalu meninggalkan tempat ini.

Sementara Pendekar Rajawali Sakti hanya memandang sekilas. Lalu perhatiannya dialihkan kepada dua gadis yang ditolongnya.

"Nisanak berdua! Kalian tidak apa-apa...?" tanya Rangga, halus.

TIGA

"Kami tidak apa apa. Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak. Tapi kau telah ceroboh!"

Pendekar Rajawali Sakti memandang tajam pada gadis berbaju kuning dengan dahi sedikit berkerut. "Kecerobohan apa yang kau maksudkan, Nisanak?" tanya Rangga.

"Kau telah melepaskan mereka begitu saja! Bajingan seperti mereka sudah seharusnya mati! Mereka pasti tidak akan peduli dengan segala janji dan sumpah. Kau terlalu lugu dan percaya begitu saja..." tandas Dara, penuh tekanan.

Pendekar Rajawali Sakti tersenyum. "Tidak ada buruknya kalau kita selalu percaya pada orang," sahut Rangga, kalem.

"Itu selalu membawa keburukan! Apalagi, penjahat seperti mereka. Mungkin kau orang baru di dunia persilatan, sehingga tidak kenal seluk-beluk watak manusia!"

"Mungkin juga... Maka jika perbuatanku tadi salah, maafkanlah. Tapi aku yakin, mereka tidak akan berani macam-macam." ucap Rangga berusaha tetap merendahkan diri.

Kau terlalu sok yakin! cibir Dara.

"Aku selalu yakin dengan apa yang kulakukan. Dan selama ini, selalu terbukti. Cuma satu atau dua saja yang meleset"

Sudahlah. Tidak ada gunanya membicarakan soal itu. Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Tapi, maaf. Kami harus melanjutkan perjalanan.

Sementara, hari telah merambat senja. Tanpa terasa, matahari sedikit demi sedikit menenggelamkan diri di ufuk barat. Burung-burung mulai pulang di sarangnya, setelah seharian mencari makan. Dara kemudian melompat ke punggung kuda nya, diikuti Lastri.

"Hari telah gelap. Dan jalan kalian berada di pinggiran hutan. Apakah tidak lebih baik bermalam di sini?' kata Rangga.

Kedua gadis itu saling berpandangan sesaat, lalu memandang pemuda itu dengan seksama.

"Eh, terima kasih. Kami harus buru-buru. Dara yang menjawab.

"Kalau begitu silakan. Aku tidak bermaksud menghalangi perjalanan kalian..." ucap Rangga.

"Eh! Barangkali kau punya tujuan sama. Dan..., kita bisa pergi bersama-sama...?" ajak gadis berbaju kuning itu menawarkan.

"Terima kasih. Aku saat ini tidak punya tujuan. Jadi telah kuputuskan untuk bermalam di sini saja. Kebetulan, aku telah mendapatkan dua ekor kelinci untuk santap malam. Sebenarnya tadi, aku sedang berburu. Dan ketika kudengar keributan, maka aku menuju ke sini. Kudaku masih kutambat di sana!" tunjuk Pendekar Rajawali Sakti ke satu arah.

Kedua gadis itu diam sejenak, lalu kembali saling berpandangan. "Kalau begitu, kami pergi dulu, Kisanak."

"Silakan...!"

Lastri yang berbaju merah segera menarik tali kekang kudanya perlahan-lahan. Tindakannya diikuti Dara.

Rangga sendiri cuma melirik sebentar, lalu melangkahkan kaki menuju tempat yang ditunjuknya tadi. Sepanjang jalan dipungutnya ranting-ranting kayu. Sehingga begitu tiba di tujuan, ranting kayu yang tadi dikumpulkannya telah banyak. Kemudian dibuatnya perapian. Dan kini dia mulai menguliti dua ekor kelinci buruannya. Sebentar saja mulai tercium aroma harum daging kelinci.

"Hm, lezat sekali! Perutku sangat lapar. Dan rasanya, kelinci-kelinci ini kurang. Tapi jika kalian berdua mau ikut menemani tentu aku akan membagi pada kalian pula!" gumam Rangga seperti bicara pada diri sendiri.

Entah disengaja atau secara kebetulan, kedua gadis yang tadi telah pergi meninggalkan Rangga kini kembali lagi tanpa kuda. Langsung didekatinya Pendekar Rajawali Sakti dari belakang.

"Duduklah...!" ujar Rangga tanpa menoleh. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti beringsut, memberi tempat pada kedua gadis ini untuk duduk di sampingnya.

"Entah kenapa, kami percaya kau bukan pemuda jahat. Kami memutuskan untuk menemuimu lagi...," jelas Dara.

"Kalian tentu telah mengalami kejadian buruk. Dan dengan begitu, memandang orang lain pun buruk...," sahut Rangga tenang seraya membolak-balikkan daging kelinci panggang.

"Sebenarnya tidak begitu...." elak gadis berbaju kuning

Pemuda itu diam saja

"Eh! Namaku Dara... Dan kawanku Lastri..." Dara mengalihkan pembicaraan.

"Namaku Rangga..."

"Kau pasti pendekar hebat...?"

Rangga tersenyum. "Aku baru turun gunung, seperti yang kau katakan tadi.

"Maafkan kalau kata-kataku tadi menyinggung perasaanmu, Rangga!"

"Tidak! Aku malah bangga!" sahut Rangga tersenyum.

Dara dan Lastri terdiam. Pemuda ini sedikit aneh. Begitu pikir mereka. Tapi keduanya yakin, Rangga bukan orang jahat.

"Sebenarnya kami perlu pertolonganmu....," jelas Daru ragu-ragu.

"Pertolongan apa, Dara?" Pemuda itu menoleh, memandang mereka bergantian. Lalu tatapannya beralih pada daging kelinci panggang.

"Kami lihat kepandaianmu cukup hebat. Dengan sepotong ranting, kau mampu menjungkir balikkan mereka..."

"Lalu...?"

"Kami bermaksud membayarmu untuk mengejar seseorang."

Pendekar Rajawali Sakti berhenti membolak-balikkan kelinci panggangnya. Kemudian kembali menoleh pada kedua gadis itu. "Mengejar seseorang? Siapa?" tanya Rangga.

"Orang itu berjuluk Bajingan Gunung Merapi."

"Baru kudengar julukan itu. Tapi, apa urusannya sehingga kalian bermaksud membayarku untuk mengejarnya?"

"Kami hanya ingin kau mengejar lalu menangkapnya. Kemudian diserahkan pada kami. Untuk itu, kau mendapat bayaran yang cukup pantas, Rangga," jelas Dara.

Rangga tersenyum. "Berapa kalian sanggup membayarku?"

"Berapa bayaran yang kau inginkan, Rangga?"

Rangga tersenyum, lalu menyerahkan dua potong daging pangang kepada Dara dan Lastri. "Makanlah dulu. Lalu, kita bicarakan persoalan tadi."

"Tapi kau setuju?" tanya Dara, setelah menerima potongan daging panggang.

Rangga mulai mengigit sepotong daging bagiannya, dan mengunyahnya pelan-pelan. "Aku mungkin bisa saja menerima tawaran kalian. Tapi, harus tahu dulu persoalannya. Jangan sampai aku kesalahan tangan membunuh orang yang tidak bersalah tukas pemuda ini sekenanya.

"Kau katakan orang seperti dia tidak bersalah?!" Bola mata Lastri langsung melotot garang. Padahal gadis ini sering banyak diamnya.

Dan tiba-tiba gadis itu menyadari kekeliruannya setelah Dara memberi isyarat.

"Maaf, aku tidak bermaksud kasar padamu, Rangga...," ucap Lastri.

"Tidak apa, Lastri. Aku mengerti. Kalian berdua sepertinya dalam keadaan tertekan," desak Rangga, memancing.

"Rangga! Kedua orangtua kami memiliki sawah serta kekayaan yang cukup untuk membayarmu. Kalau kau berhasil melakukan tugasmu, datanglah ke Desa Gandri. Maka saat itu juga, kami akan membayar berapa saja yang kau minta!" papar Dara, bersemangat.

"Apakah tampangku mirip pemburu hadiah?" Rangga malah bertanya.

"Kami tidak punya pilihan lain Rangga, orang itu memiliki kepandaian hebat. Itulah sebabnya, kami bermaksud membayarmu guna membunuh si Bajingan Gunung Merapi...," jelas Lastri.

"Aku memang biasa membunuh orang Lastri. Tapi dengan alasan, bahwa yang kubunuh adalah para penjahat dan pembuat onar. Dan itu tanpa bayaran sekepeng pun!" tandas Rangga berhati-hati, agar kedua gadis ini tidak tersinggung.

"Apakah kau tidak mempercayai penjelasan kami? Bajingan Gunung Merapi bukanlah orang baik-baik. Dia itu penjahat busuk, sesuai namanya!" tukas Dara.

"Maaf! Aku tidak bisa memenuhi permintaan kalian, Dara. Kelak bila terbukti kalau orang itu memang penjahat, maka kalian tidak perlu repot-repot. Aku akan datang mencari dan membuat perhitungan dengannya. Kalian tidak perlu membayar apa-apa padaku," tegas Rangga lagi.

"Huh! Kau terlalu sombong, Rangga. Tidakkah nalurimu bisa menduga kalau orang itu tidak pantas hidup lebih lama? Akan lebih banyak korban yang ditimbulkannya. Kalau kau mengaku sebagai pendekar, maka cari dia. Dan, hentikan sepak terjangnya!" Timpal Lastri, dengan suara keras.

Gadis itu sejak tadi memang sudah menahan jengkel. Sia-sia saja usaha mereka bicara dengan pemuda ini. Toh, maksud mereka tetap tidak akan tercapai. Tapi tidak demikian halnya Dara. Sikapnya lebih tenang. Dan dia bisa menahan sabar.

"Kalau memang sudah demikian keputusanmu, rasanya kami sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Tapi kalau kau tidak keberatan, bolehkah kami menyertaimu...?" tanya Dara, tenang.

"Apa maksudmu?"

"Bukankah kau ingin membuktikan, bahwa si Bajingan Gunung Merapi benar-benar bajingan? Maka biarlah aku menyertai perjalananmu untuk mencarinya...

"Aku tidak mau ikut!" tukas Lastri cepat.

"Kalau begitu, biar aku sendiri...

"Dara! Apa-apaan kau ini?! Kita tidak kenal pemuda ini. Dan tiba-tiba saja, kau mau percaya begitu saja padanya!" sentak Lastri.

Dara tersenyum. "Jangan salah paham, Lastri. Apa yang kau rasakan tentang derita yang kita alami, juga menghimpit diriku. Aku tidak akan berhenti sebelum bajingan itu mati, dan kulihat sendiri bangkainya di depan mataku."

"Tapi, bukankah kau telah sepakat kalau kita akan meminta bantuan guru serta kawan-kawan yang lain?" tukas Lastri lagi, mengingatkan.

"Ya itu pun akan kita lakukan. Kau pergilah ke sana. Dan, ceritakan pada guru duduk persoalannya. Katakan pula aku pergi bersama pemuda ini mencari bajingan itu," sahut Dara tenang.

"Kau..., kau percaya begitu saja pada pemuda ini?" Lastri terpaku tidak percaya melihat sikap kawannya.

"Percayalah Aku bisa menjaga diriku sendiri...," ujar Dara.

"Aku tak mengerti... Lastri termangu dan membuang pandang.

"Hm... Kenapa kau begitu yakin kalau aku akan mengajakmu turut serta dalam perjalananku? Aku justru merasa lebih enak, bila melakukan perjalan seorang diri..." gumam Rangga.

"Kau betul-betul tidak mau membantu kami?" tanya Dara dengan wajah bingung.

"Aku tidak berkata begitu."

"Kalau memang ingin membantu kami, maka kau harus mengajakku serta. Kau tidak mengenali si Bajingan Gunung Merapi, tapi sebaliknya aku amat mengenalinya!" tegas Dara. memberikan alasan.

"Kau belum kenal aku. Apakah kau tidak takut aku berbuat jahat? Kawanmu benar. Kau mesti hati-hati pada orang yang baru dikenal seperti aku...."

"Aku percaya, kau bukan sejenis pemuda hidung belang."

Rangga tersenyum "Jangan terlalu yakin pada penilaian sepintas... " kata Pendekar Rajawali Sakti, kalem.

"Apa pun yang kau katakan, aku akan tetap ikut menyertaimu mencari jahanam itu!" tegas Dara lagi.

"Yaaah... Kalau sudah begitu tekadmu, apa boleh buat! Terserahlah. Sekarang aku mau tidur... Kalian boleh mencari tempat pembaringan yang disukai," desah pemuda itu, enteng saja.

Tanpa mempedulikan kedua gadis itu, Rangga berbaring membelakangi. Sementara Dara dan Lastri mencari tempat yang agak jauh dan terlindung dari semak-semak.

********************

"Heh?!" Begitu terjaga, wajah Dara tampak kaget ketika mengetahui Lastri tak ada di sampingnya. Sementara Rangga telah bangun dan tengah membolak-balikkan daging panggang di perapian.

"Kau lihat kawanku?" tanya Dara.

"Dia pergi meninggalkanmu tadi malam," jelas Rangga.

"Kau tahu, kenapa tidak mencegahnya?!" Dara tampak kurang senang melihat sikap pemuda itu.

"Dia tidak sadar kalau aku mengetahui gerak-geriknya. Tapi kalaupun kularang, tidak ada gunanya. Kawanmu jelas tidak setuju dengan pendapatmu. Tapi, dia tidak mau terus berbantahan. Dan oleh sebab itu, dia memilih pergi meninggalkanmu...," kilah Rangga.

"Malam-malam dia pergi. Oh... bagaimana bila ada sesuatu yang menimpanya? Seharusnya dia kau cegah!"

"Aku tidak punya hak, Dara. Sebab dia lebih berhak memutuskan apa yang akan diperbuatnya."

"Kau..., kau..., sama sekali tidak punya perasaan!" Dara menuding gemas dan buru-buru memalingkan muka. Lama kepalanya tertunduk lesu. Dan pemuda itu sama sekali tidak bermaksud mengusiknya.

"Tahukah kau, kejadian apa yang telah menimpa kami...?" tanya Dara lirih.

"Kalian belum memberitahukannya...."

"Bajingan laknat itu telah merenggut kehormatan kami secara bergantian!" dengus gadis berbaju kuning itu.

Rangga terdiam. Dipandanginya gadis itu sejurus lamanya. Dan Dara sendiri seperti tidak peduli, selain menatap kosong ke depan.

"Maaf. Dara.... Aku tidak tahu...."

"Dan kawanan keparat tadi akan berbuat serupa kalau saja kau tidak muncul. Nasib kami saat ini sedang buruk. Dan aku amat mencemaskan Lastri. Aku khawatir, dia dicegat orang. Dia hampir saja bunuh diri, setelah Bajingan Gunung Merapi merenggut kegadisannya. Jiwanya sedang terguncang saat ini..." jelas Dara.

"Dia menuju selatan. Kalau kau bermaksud menyusulnya, tentu masih sempat.."

Dara termangu sesaat. "Dia menuju ke padepokan," duga Dara.

"Dia aman...?"

"Mungkin Lastri menuju padepokan. Itu cuma dugaanku..."

"Naiklah kekudamu. Dan kita berangkat sekarang untuk menyusulnya!" ujar Pendekar Rajawali Sakti seraya mematikan perapian. Kemudian dia melompat ke punggung kudanya yang berbulu hitam pekat.

"Kau sungguh-sungguh, Rangga?

Rangga mengangguk

"Baiklah"

Gadis itu kemudian melompat kepunggung kudanya. Wajahnya tampak sedikit cerah. Dipandanginya pemuda itu dengan seksama.

"Kau bersungguh-sungguh?" ulang Dara seperti tak percaya.

"Tidak usah membicarakan hal itu. Kau mengkhawatirkan kawanmu, bukan? Nah, lekaslah!"

Tanpa banyak bicara lagi gadis itu menggebah kuda, menyusul Rangga yang telah lebih dulu melesat.

"Kau yakin dia menuju..., ke mana katamu tadi?"

"Padepokan.

"Iya, padepokan!"

"Mungkin saja."

"Di mana padepokan kalian?"

"Tidak jauh dari kaki Gunung Muria.

"Padepokan Sapta Dharma?"

"Ya. Kau pernah ke sana?"

"Belum. Hanya pernah mendengar namanya saja. Itu padepokan yang cukup terkenal. Kalau tidak salah dipimpin Ki Slamet...?"

"Ki Slamet telah meninggal lima tahun lalu. Sekarang padepokan itu dipimpin putra beliau, bernama Ki Gandring."

"Hm. Ki Slamet memang telah berusia lanjut...," gumam Rangga.

"Kau sendiri berasal dari mana?" tanya Dara.

"Dari suatu tempat yang agak jauh dari sini."

"Di mana tepatnya?

"Karang Setra."

"Karang Setra? Belum pernah nama itu kudengar...."

"Ya, mungkin saja memang kurang dikenal..."

"Atau barangkali aku yang kurang pengetahuan. Kuakui, aku memang jarang mengembara. Sehingga tidak banyak mengenal berbagai tempat. Apalagi tokoh-tokoh persilatan."

"Ki Slamet seorang pendeta ternama. Beliau mungkin menurunkan ilmunya kepada Ki Gandring. Dan Ki Gandring menurunkannya kepada murid-muridnya. Tata krama dan nilai-nilai kehidupan, mungkin menurut beliau lebih penting diajarkan ketimbang nama tokoh-tokoh persilatan yang tidak ada artinya...."

"Hm... Kau ternyata tahu banyak tentang kakek guru kami! Atau barangkali kau pernah berguru padanya?" tanya Dara.

Rangga tersenyum. "Sayang sekali, aku tidak diberi kesempatan untuk berguru kepadanya. Kalau kesempatan itu ada, pasti senang sekali!" sahut Rangga.

"Kenapa tidak belajar dari Ki Gandring?" tanya Dara, yang benar-benar belum menyadari siapa Rangga.

"Mungkin suatu saat akan kupikirkan hal itu...," desah Rangga, disertai senyum manis.

"Pintu padepokan selalu terbuka bagi siapa saja yang mau belajar. Ki Gandring sendiri orang yang arif lagi bijaksana. Beliau ramah, dan lemah lembut tutur bahasanya," jelas Dara, bernada bangga.

"Tentu saja. Aku percaya. Sebab, beliau mendapat didikan langsung dari Ki Slamet," dukung Pendekar Rajawali Sakti.

"Ya, mungkin juga..."

EMPAT

Rangga dan Dara tiba di Desa Patik Raja, dalam upaya menyusul Lastri yang menghilang entah ke mana. Sekaligus, mereka akan mencari tokoh berjuluk Bajingan Gunung Merapi. Yang menurut pengakuan Dara telah memperkosa dirinya dan Lastri. Kini mereka melompat turun dari kuda masing-masing, dan menuntunnya begitu memasuki keramaian desa. Dan mereka berniat bertanya pada penduduk yang kebetulan berpapasan.

"Numpang tanya. Ki! Apakah kau melihat seorang gadis berbaju merah menunggang kuda coklat lewat di desa ini?" tanya Dara pada seorang laki-laki setengah baya yang ditemuinya.

"Hm, ya. Dia berada di sini beberapa saat yang lalu," sahut laki laki setengah baya ini.

"Ke arah mana perginya? tanya Dara lagi.

"Ke utara!" tunjuk laki-laki itu.

"Kau yakin?"

Laki-laki itu mengangguk cepat." Dia malah sempat bertanya pada beberapa penduduk desa..." tambah laki-laki ini.

"Bertanya? Apa yang ditanyakannya?" desah Dara, dengan kening berkerut.

"Apakah kalian pun mencari orang itu?"

"Orang yang bagaimana?"

"Laki-laki bersurjan kuning dan memakai blangkon kuning...?"

"Bajingan itu!' desis Dara geram seraya mengepalkan kedua tangan.

"Kau yakin?" tanya Rangga pada gadis itu.

"Ah, benar kataku! Kau pun mencarinya, Nisanak? Hm. Dia memang bajingan. Putri kepala desa ini, semalam ditemukan dikandang kuda seorang penduduk dalam keadaan polos. Dia menangis sesenggukkan. Dan... katanya dia menjadi korban pemerkosaan laki-laki yang tengah kalian cari itu. Tentunya Nisanak pun..." duga laki-laki ini, terputus.

"Terima kasih atas keterangan yang kau berikan, Ki!" tukas Dara dengan suara agak keras. Gadis itu segera mengajak Rangga angkat kaki dari tempat ini.

"Orang tua sialan!" umpat Dara setelah mereka agak jauh.

"Mungkin dia tidak sengaja..." gumam Pendekar Rajawali Sakti.

"Huh! Laki-laki seperti itu kok bisa-bisanya cerewet!" dengus Dara kembali. "Kalau kita tidak buru-buru angkat kaki, mungkin mulutnya merancau entah ke mana-mana!"

Rangga tersenyum melihat gadis itu.

"Kau pun mendukung sikapnya?!" semprot Dara.

"Oh, maaf...!" Rangga memperbaiki sikapnya. Disadari dalam keadaan seperti sekarang, Dara mudah sekali tersinggung. Hal itu bisa dirasakannya. Dara telah kehilangan sesuatu yang penting dari seorang gadis.

"Sekali lagi maaf. Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu," ulang Rangga.

"Orang sepertiku memang pantas menerima sikap seperti itu."

Rangga diam saja. Sikapnya jadi serba salah dan merasa tidak enak. Memang, tidak seharusnya dia tersenyum menanggapi gadis ini yang kesal akibat ulah laki-laki setengah baya yang tadi ditanyai.

********************

Desa Patik Raja telah lama ditinggalkan. Rangga serta Dara masih diam membisu di atas punggung kuda. Masing-masing tidak tahu harus bicara apa lagi. Tapi Rangga menyadari, bila terus diam maka gadis ini akan semakin merasa rendah diri di depannya.

"Eh! Akan kemana tujuan kita sekarang?" tanya Rangga memecah kebisuan.

"Entahlah Aku tidak tahu...," sahut Dara sekenanya.

"Kau tidak lapar? Aku masih membawa daging panggang tadi pagi. Kalau suka, kita bisa berhenti dulu..." usul pemuda ini.

"Aku belum lapar," tolak Dara, singkat saja.

Rangga menarik napas dalam-dalam. Gadis ini kelihatan masih memendam kekesalan akibat ulahnya tadi. Rangga jadi tidak mengerti, apa lagi yang harus diperbuat agar kemarahan Dara bisa cepat reda. Dan baru saja Rangga akan bicara lagi...

"Kejar!"

"Bunuh bajingan keparat itu...!"

Mendadak di depan mereka terlihat keributan. Seseorang berteriak kesakitan sementara beberapa penduduk desa mengejarnya dari belakang sambil mengacung-acungkan berbagai macam senjata.

Dara terkesiap! Laki-laki yang diburu orang orang itu memakai surjan kuning dan blangkon kuning berbunga-bunga coklat.

"Bajingan keparat!" desis Dara, langsung melompat dari kudanya. Segera dihajarnya laki-laki yang berlari ke arah mereka.

Des!

"Aaakh...!" Laki-laki itu langsung menjerit kesakitan. Tubuhnya terlempar ke belakang dan ambruk di tanah. Dari mulutnya tampak meleleh darah segar.

"Hup!" Dara melompat ke dekat laki-laki itu, dan bermaksud menghabisinya.

"Ampun...! Ampun, Nisanak! Aku sama sekali tidak bersalah. Ampuuun...!" ratap laki-laki ini, seraya bangkit dan menyembah-nyembah di hadapan Dara.

"Huh!" Dara mendengus geram ketika melihat laki-laki itu ternyata bukan orang yang amat dibencinya. Sepintas tadi dari arah yang agak jauh laki-laki ini mirip Bajingan Gunung Merapi. Tapi setelah ditegaskan ternyata bukan.

"Siapa kau?!" bentak Dara.

Belum lagi laki-laki itu menjawab, orang orang yang tadi mengejarnya telah sampai di tempat ini.

"Nisanak! Berikan dia pada kami! Orang ini bajingan terkutuk. Dia penipu, perampok, serta pemerkosa!" teriak salah seorang penduduk.

"Benar! Serahkan orang ini pada kami! Dia harus dihukum!" tambah yang lain.

"Sebelum kuserahkan pada kalian, bolehkah aku tahu, siapa orang ini?" tanya Dara, dengan suara keras.

"Dia laki-laki keparat yang menamakan diri Bajingan Gunung Merapi!" sahut salah seorang penduduk yang memegang golok.

Dara tersenyum mendengar jawaban orang itu. "Jadi kalian menyangka laki-laki ini Bajingan Gunung Merapi?"

"Ya...!" sahut mereka serentak.

"Kalian salah! Orang ini bukan Bajingan Gunung Merapi...!" teriak gadis itu lantang.

Keterangan gadis itu membuat mereka kaget. Untuk sesaat, para penduduk hanya saling pandang. "Dari mana kau tahu bahwa dia bukan Bajingan Gunung Merapi?" tanya seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun, ingin membantah.

"Aku tahu persis, sebab aku salah seorang korbannya!" sahut gadis itu, tanpa malu-malu lagi.

Orang orang itu termangu. Mereka memperhatikan Dara dengan seksama. Seakan ada pancaran rasa iba pada pandangan mereka. Tapi Dara sudah tidak peduli lagi apa yang tengah mereka pikirkan saat ini.

Kemudian salah seorang penduduk mendekat. "Apa Nisanak tidak salah mengenali?" tanya orang itu mencoba meyakini.

"Tidak! Aku tidak akan lupa pada wajah jahanam keparat itu!"

Laki-laki ini mengangguk, dan kembali termangu sebelum kembali pada kelompoknya. "Kalau begitu kita telah salah. Orang ini bukan bajingan keparat itu. Sekarang lebih baik kita pulang!" teriak laki-laki itu.

"Wah, brengsek!" umpat salah seorang.

"Untung belum kubacok kepalanya...!" gerutu yang lain.

"Ayo kita pulang! Pulaaang...!" teriak seseorang, diikuti kawan-kawannya yang menggerutu kesal.

Rangga dan Dara memperhatikan para penduduk sampai jauh dari tempat ini. Lalu mereka berpaling pada laki-laki kecil bertubuh kurus yang tadi menjadi sasaran kemarahan.

"Siapa namamu? Dan, kenapa kau berpakaian seperti ini?" Suara gadis ini terdengar keras, dan sama sekali tidak bersahabat.

"Namaku... Tungkul. Pakaian ini diberikan seseorang...," sahut laki-laki kurus yang mengaku bernama Tungkul.

"Seseorang? Siapa dia? Kau kenal orangnya?" desak Dara, memberondong.

Tungkul menggeleng lemah.

"Bagaimana bentuknya? Wajahnya, tubuhnya, atau apa saja ciri-ciri yang kau ingat?" desak Dara lagi.

"Pakaian ini miliknya. Lalu, dia menggantikannya dengan pakaianku. Orangnya sedang. Usianya kira-kira tiga puluh tahun lebih. Dan dia memiliki kumis tipis."

"Ada tahi lalat kecil di mata kirinya?!"

"Entahlah. Aku tidak memperhatikan. Kelihatannya dia buru-buru. Dia bicara sebentar, dan... Tiba-tiba saja dia memukulku. Ketika sadar, pakaianku telah begini. Dan, kuda tungganganku pun hilang," jelas Tungkul.

"Keparat...!" dengus Dara menggeram. "Ke arah mana perginya?"

"Ke sana!" tunjuk Tungkul ke utara.

"Sudah lama?"

"Kira-kira sepenanakan nasi..."

"Terima kasih!" ujar gadis itu seraya melompat kepunggung kudanya, segera diajaknya Rangga untuk buru-buru angkat kaki dari sini.

"Hm... Kelihatannya kau benar," gumam Rangga, yang sejak tadi tidak turun dari kudanya.

"Soal apa?" tanya Dara.

"Bajingan Gunung Merapi"

Dara tersenyum diantara derap langkah kuda-kuda mereka yang berlari kencang secara berdampingan.

"Lalu, bagaimana niatmu?"

"Kalau sekian banyak orang telah mengatakan bahwa dia jahat, maka jelaslah kalau Bajingan Gunung Merapi memang penjahat"

"Kau rela membantuku?" pancing Dara.

"Selamanya aku paling muak dengan penjahat. Apalagi penjahat cabul seperti ini! Kemana pun dia lari, akan kukejar!" tandas Pendekar Rajawali Sakti.

"Syukurlah. Dengan begitu, aku merasa lega. Kalau saja banyak orang yang bersikap sepertimu, kurasa jumlah penjahat akan menurun. Mereka akan berpikir seribu kali bila melakukan kejahatan!"

Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum mendengar pujian gadis ini. "Jangan sampai kita terlambat. Kudamu bisa berlari kencang?" tanya Rangga.

"Kau menantang adu balap?" Dara malah menantang.

"Kalau kau mampu."

Tanpa menunggu aba-aba lagi, gadis itu menggebah kudanya sambil membentak keras. "Heaaa...!"

Kuda tunggangan Dara berlari kencang meninggalkan Rangga. Sebaliknya, Pendekar Rajawali Sakti tenang-tenang saja. Dan setelah jarak di atara mereka mulai jauh, kudanya pun mulai digebah.

"Yeaaa...! Ayo, Dewa Bayu! Tunjukkan keperkasaanmu...!" ujar Rangga.

Kuda berbulu hitam bernama Dewa Bayu meringkik pendek, lalu melesat kencang. Keempat kakinya yang kokoh dan ramping, melompat jauh dengan cepat. Sehingga dalam waktu singkat, Rangga telah menjajari Dara yang berusaha sekuat tenaga menggebah kudanya.

"Gila! Bukan main hebatnya kudamu itu!" puji Dara ketika telah berdampingan kembali.

"Ah... Ini hanya kuda biasa..." kata Rangga. Belum juga Rangga meneruskan kata-katanya...

"Aaa...!" Mendadak terdengar suara jeritan.

"Dari arah sana!" tunjuk Dara ke sebelah kanan, seraya membelokkan kudanya dan melesat ke kanan.

"Bajingan terkutuk! Akhirnya kita bertemu lagi di sini!" bentak Dara geram, ketika telah tiba di tempat asal suara jeritan tadi.

Di depan Dara berdiri seorang laki-laki berseragam kuning dengan blangkon kuning. Dia tadi baru saja keluar dari semak-semak dengan senyum yang lebih mirip seringai kepuasan.

Melihat orang di depannya, Dara langsung melompat dari kudanya seraya mencabut pedang. Lalu diserangnya laki-laki itu secepat kilat.

"Hiyaaa...!"

"Uts! Siapa kau, Nisanak! Dan kenapa menyerangku tiba-tiba?" tanya laki-laki bersurjan seraya berkelit dari tebasan pedang. Gerakan laki-laki ini lincah dan mantap. Sehingga siapa pun tahu kalau dia bukan orang sembarangan.

"Kau mungkin saja lupa padaku. Tapi, jangan harap aku akan melupakanmu. Bangsat! Akan kupancung lehermu untuk menebus perbuatan laknatmu!" geram Dara.

"He he he...! Kau pasti salah seorang dari mereka yang tergila-gila padaku, sehingga sulit melupakan wajahku yang tampan. He he he...! Kenapa mesti main kasar segala? Kalau minta baik-baik, tentu aku tidak menolak. Kita akan mengulangi kemesraan itu sekali lagi," sahut laki-laki bersurjan, bernada menghina.

"Cuih, Keparat! Tutup mulut busukmu itu!"

"Ha ha ha...!"

Bukan main geramnya Dara melihat laki-laki bersurjan yang merupakan musuh bebuyutannya masih bisa tertawa-tawa. Bahkan mengejeknya seperti itu. Kemarahannya tidak terbendung lagi. Kalau menuruti hari, ingin rasanya dia mencabik-cabiknya menjadi serpihan kecil-kecil. Namun sayang, hal itu tidak bisa dilakukan. Sebab, meski telah mengerahkan segenap kemampuan untuk mendesak, laki-laki itu masih tetap tenang-tenang saja. Sama sekali tidak merasa terdesak.

"Kalau aku tidak mampu membunuhmu, rasanya lebih baik aku mati saja!" dengus Dara. Sambil mengibaskan pedangnya disambarnya leher laki-laki itu, kemudian disusulnya dengan tikaman cepat ke arah jantung.

Laki-laki yang tak lain Bajingan Gunung Merapi meliuk gesit, membuat serangan itu kandas menyapu angin. "Kau mau mati? Bagaimana caranya? Bunuh diri! Amboi, gadis secantik kau hendak bunuh diri? He he he ! Kenapa kau tidak menyerah baik-baik saja? Kau akan aman dalam pelukanku. Akan ketagihan setelah merasakan belaian mesra tanganku. Akan...."

"Tutup mulut busukmu, Bangsat!" potong gadis itu memaki geram. Kembali pedangnya dikibaskan disertai pengerahan tenaga dalam.

Bet! Wuk!

"Uts! Hup...!" Lagi-lagi Bajingan Gunung Merapi berkelit gesit. Kesabarannya mulai pudar. Dan dengan sedikit geram, dia mulai balas menyerang.

"Heaaa...!" Dengan sekali bergerak, Bajingan Gunung Merapi menghantam pergelangan tangan gadis itu.

Plak!

Dara terkesiap. Nyaris pedangnya lepas dari genggaman. "Keparat!" desis gadis itu, ketika terjajar mundur dengan tangan terasa kesemutan.

"Hiiih!" Laki-laki bersurjan itu tidak peduli. Tubuhnya langsung mencelat mengejar.

Secepat kilat Dara mengibaskan pedangnya untuk menghalau serangan namun entah bagaimana caranya, laki-laki itu mampu berkelit. Dan tahu-tahu, dia telah melakukan tendangan kilat ke arah perut.

Dara terkesiap. Gadis itu coba menghindar dengan memiringkan tubuh. Tapi begitu tendangannya luput, laki-laki itu justru memutar tubuhnya dengan satu totokan. Begitu cepat gerakannya, sehingga...

Tuk!

"Uhhh..." Dara kontan ambruk tak berdaya begitu satu totokan mendarat di bawah ketiaknya.

"He he he...! Sudah kukatakan, kau akan aman bila bersamaku. Kenapa malah bersikap kasar? Kini, apa dayamu? Tapi kalau kau memang ingin sekali berada dalam pelukanku, maka kau harus tunggu giliranmu. Sebab, di balik semak semak itu masih ada satu lagi gadis yang menungguku. He he he...!" kekeh Bajingan Gunung Merapi.

"Bajingan laknat! Kau tidak akan lepas dari tanganku!" bentak gadis itu garang.

"He he he..! Kau pernah lihat, aku datang dan pergi sesuka hatiku. Tak seorang pun yang bisa menghalangi!"

"Tapi kurasa dia benar. Kau tidak akan mudah lepas begitu saja...!"

Tiba-tiba terdengar suara, yang membuat Bajingan Gunung Merapi tersentak kaget. Sementara pemuda itu berjalan tenang menghampiri. Sepasang matanya tajam mengawasi laki-laki di depannya. Rangga yang sejak tadi berada di situ, sengaja membiarkan Dara bertarung. Pendekar Rajawali Sakti memang ingin lebih yakin lagi kalau laki-laki bersurjan kuning itu memang orang yang berjuluk Bajingan Gunung Merapi.

"Hm... Jadi kau sekarang mengawalnya ke mana-mana? He he he...! Bagaimana rasanya? Nikmat, bukan?" kata Bajingan Gunung Merapi berusaha menutupi kekagetannya. Apalagi saat menatap sorot mata pemuda di depannya.

"Aku akan merasa lebih nikmat kalau sudah memecahkan kepalamu!"

"Memecahkan kepalaku? Aduh, jangan! Apakah kau tidak kasihan denganku?" ejek Bajingan Gunung Merapi, mulai bersikap berani.

"Ya, aku kasihan padamu kalau dibiarkan hidup. Oleh sebab itu aku ingin mengirimmu ke neraka!" sahut Rangga tenang.

"Hm... Ingin kubuktikan, apakah kata katamu juga sebesar nyalimu! Heaaat...!"

Saat itu juga, Bajingan Gunung Merapi menerjang Pendekar Rajawali Sakti dengan satu tendangan dahsyat. Namun Rangga tidak bergeming sama sekali. Baru ketika serangan itu dekat, tangannya bergerak memapak.

Plak!

"Uhhh...!" Bukan main kagetnya Bajingan Gunung Merapi ketika merasakan tenaga dalam pemuda itu yang kuat luar biasa. Bahkan tangannya kontan terasa kesemutan, dengan dada bergetar. Belum lagi dia sempat melakukan serangan susulan, Rangga telah lebih dulu melakukan tendangan geledek. Sehingga, terpaksa laki-laki bersurjan ini melompat ke belakang.

"Hiyaaa...!"

Rangga tidak memberi kesempatan sedikit pun. Begitu melihat lawan sedikit keteter, dia terus mendesak dengan pukulan dan hantaman tangan yang bertubi-tubi. Sesekali, kakinya mencuat melepaskan tendangan geledek.

Bajingan Gunung Merapi terpaksa menangkis. Dan dia terus berusaha menghindar dan serangan yang bertubi-tubi.

LIMA

Rangga terus mendesak. Bahkan saat Bajingan Gunung Merapi mencelat ke atas, pemuda itu telah lebih dulu melompat melepaskan tendangan.

"Uts!" Tendangan Rangga dapat dihindari Bajingan Gunung Merapi dengan memutar tubuhnya. Rangga terus mengejar, tubuhnya ikut berputar bagai gasing, lalu meliuk tajam melepaskan pukulan kedada lewat jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Dan...

Des!

"Aaakh..." Bajingan Gunung Merapi menjerit kesakitan begitu dadanya terhantam pukulan Rangga. Tubuhnya terlempar beberapa langkah ke belakang. Namun begitu dia cepat bangkit. Wajahnya tampak meringis sebentar, kemudian mendengus geram memandang pemuda itu.

"Keparat! Siapa kau, he?!" bentak Bajingan Gunung Merapi.

Tak perlu bajingan tengik sepertimu mengenalku!"

"Sombong! Hm... Aku akan menuliskan namamu pada nisanmu, Goblok!"

"Aku ditakdirkan tidak mati di tanganmu. Jadi tidak usah repot-repot," sahut Rangga enteng.

"Kau akan lihat, aku mampu mengubah takdir!" dengus Bajingan Gunung Merapi seraya menarik napas panjang.

Kedua tangan laki-laki bergerak ke bawah perut dan kembali ke atas. Lalu kedua tangannya berhenti di dada, dan dengan cepat dihadapkan ke Pendekar Rajawali Sakti. Seketika telapak tangannya keluar angin kencang menderu ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

"Heaaa...!"

Wus!

Rangga cepat bagai kilat melenting ke atas, sehingga pukulan jarak jauh Bajingan Gunung Merapi menghantam angin.

Jder!

Satu batang pohon yang cukup besar di belakang Rangga roboh terhantam pukulan jarak jauh Bajingan Gunung Merapi.

Pendekar Rajawali Sakti merasakan kalau pukulan yang dilancarkan laki-laki itu cukup hebat, dan bertenaga dalam tinggi. Untuk itu. Rangga tidak bisa gegabah. Dalam keadaan marah begini, Bajingan Gunung Merapi agaknya akan mengumbar seluruh kemampuannya.

"Yeaaa...!"

Kembali laki-laki berkumis tipis itu menebar pukulan mautnya. Dan sekali lagi, Rangga mampu menghindar. Tubuhnya cepat mencelat ke atas. Setelah berputaran beberapa kali, tubuhnya menukik tajam dengan tangan dihentakkan ke depan lewat jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'

"Hiyaaa...!"

Wusss!

Saat itu juga meluruk sinar merah membara dari telapak tangan Rangga, yang mengarah ke Bajingan Gunung Merapi. Bajingan Gunung Merapi kalang kabut melenting ke udara menghindari cahaya merah itu meluruk ke arahnya.

Jder!

Betapa kagetnya Bajingan Gunung Merapi melihat tanah tempatnya tadi berdiri telah berlubang sebesar kubangan kerbau, terhantam sinar merah tadi. Barulah laki-laki bersurjan ini sadar kalau yang dihadapinya bukan orang sembarangan.

Srang!

"Kau boleh mampus sekarang juga!" desis Bajingan Gunung Merapi garang begitu mendarat dan langsung mencabut kerisnya.

"Heaaa...!" Bajingan Gunung Merapi langsung meluruk sambil mengebut-ngebutkan kerisnya.

Wut!

Sring!

Dengan terpaksa Pendekar Rajawali Sakti melenting ke belakang sambil jungkir balik menghindari serangan. Begitu mendarat di tanah secepat kilat Pedang Pusaka Rajawali Sakti dicabutnya. Bahkan langsung dibabatkan kearah keris dalam genggaman Bajingan Gunung Merapi.

Trang...!

"Heh?!" Baru melihat cahaya biru yang memancar dari pedang pemuda itu saja. Bajingan Gunung Merapi terperanjat. Apalagi ketika senjatanya berbenturan. Untung saja, Rangga tidak mengerahkan jurus tenaga dalamnya.

Sebaliknya, Rangga pun merasa kagum melihat kehebatan senjata keris hitam berlekuk dua belas itu. Ternyata senjata itu tidak bisa dianggap sembarangan. Masih terasa getaran aneh tatkala senjatanya beradu. Namun dia tidak mau membuang-buang kesempatan. Karena pada saat itu, Bajingan Gunung Merapi masih terhuyung-huyung menjaga keseimbangan. Secepat kilat, dilepaskannya satu tendangan menggeledek.

Begkh!

Aaakh...! Untuk kedua kalinya Bajingan Gunung Merapi terjungkal roboh tak berdaya sambil memekik kesakitan. Dari mulutnya tampak meleleh darah segar. Laki-laki itu cepat bangkit seraya memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan tajam.

"Kuakui kau hebat. Tapi tidak berarti kau mampu meringkusku! Bajingan Gunung Merapi tidak boleh tertangkap siapa pun!"

Belum sempat Rangga menjawab ketika laki-laki itu mengeluarkan sebuah benda dari balik celana dan melemparkannya ke depan.

Busss...!

Benda sebesar jempol kaki itu langsung meledak. Dan dengan cepat menebarkan asap hitam yang menghalangi pandangan.

"Ufff. Keparat..." maki Rangga geram seraya menutup pernapasannya. Asap hitam itu bukan saja menghalangi pandangan, tapi juga menebar racun cukup ganas. Buru-buru Rangga menyelamatkan Dara serta seorang gadis lain yang nyaris menjadi korban Bajingan Gunung Merapi di balik semak-semak.

Sambil membopong kedua gadis itu. Pendekar Rajawali Sakti terus berkelebat menjauhi tempat itu dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh yang telah sangat sempurna. Baru ketika telah cukup jauh, larinya dihentikan.

"Kenapa kau biarkan dia kabur begitu saja!" semprot Dara ketika telah diturunkan dari pondongan dan telah dibebaskan totokannya.

"Berbahaya kalau menerobos asap beracun itu..."

"Seharusnya tidak kau biarkan dia lolos." Dara masih menggerutu kesal.

"Aku punya cara sendiri meringkusnya. Dan setelah mengetahui wajahnya, maka kurasa kau tidak perlu lagi ikut. Pulanglah. Dan, cari Lastri! Aku berjanji membawa kepala Bajingan Gunung Merapi ke tempatmu!" ujar Pendekar Rajawali Sakti.

Dara hendak berseru mencegah, tapi Pendekar Rajawali Sakti telah berkelebat menghampiri kudanya. Dara bahkan masih termangu, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

********************

Bajingan Gunung Merapi jalan tersaruk-saruk melewati pinggiran hutan kecil. Pada suatu tempat yang rapat ditumbuhi pepohonan, dia berbelok dan menerobos hutan. Beberapa kali tubuhnya ambruk dan jatuh tersungkur. Namun dia cepat bangkit kembali seraya menggeram untuk menguatkan semangatnya.

Melewati hutan kecil ini, Bajingan Gunung Merapi tiba di kaki Gunung Merapi. Tak jauh dari situ, tampak sebuah pondok kecil.

"Oh, Guru.... tolong aku...! Tolong aku, Guru...!" seru Bajingan Gunung Merapi berulang.

Bruk!

Kembali laki-laki ini tersungkur dua tombak di depan pondok. Dengan susah payah dia berusaha bangkit dan mulai merangkak mendekati pondok.

"Guru, tolong aku...! Tolong aku, Guru...!" seru laki-laki itu kembali.

Bruk!

Bajingan Gunung Merapi ambruk. Dari mulutnya keluar rintihan pelan. Pada saat itu, muncul sesosok tubuh yang bergerak amat cepat ke arah pondok. Seketika disambarnya tubuh Bajingan Gunung Merapi, dan dibawa masuk ke dalam pondok.

"Anak goblok! Tolol! Baru menerima pukulan begini saja sudah mau mati! Weleh, edan...!" semprot sosok itu, seraya melemparkan tubuh Bajingan Gunung Merapi ke pojok ruangan.

Gubrak!

"Aduuuh...!" rintih Bajingan Gunung Merapi.

"Jangan menjerit! Atau, ingin kupecahkan kepalamu?!" dengus sosok ini.

Seketika Bajingan Gunung Merapi terdiam. Wajahnya meringis, dan bola matanya sesekali dikerjap-kerjapkan. Kini disamping Bajingan Gunung Merapi berdiri seorang laki-laki tua bertubuh kurus. Saking kurusnya, tulang rusuknya tampak bertonjolan. Sesekali orang tua ini memercikkan ludah merah kedinding ruangan. Kemudian dia mondar-mandir mencari sesuatu dan menumbuk beberapa ramuan obat. Sementara mulutnya tak henti mengunyah sirih. Dan sesekali tangannya sibuk membetulkan letak celananya yang kedodoran.

"Baringkan tubuhmu yang betul!" hardik laki-laki tua itu seraya mendekati Bajingan Gunung Merapi.

"Baik, Ki...! sahut Bajingan Gunung Merapi sambil berbaring seperti yang diminta laki-laki tua.

Tiba-tiba sebelah telapak tangan orang tua itu menghantam perut dan jidat Bajingan Gunung Merapi yang tengah terbaring.

Pak! Buk!

"Hoanakh...! Karuan saja pemuda berkumis tipis itu terpekik kesakitan. Dan mulutnya termuntah darah segar kehitam-hitaman.

"Dengan siapa kau berkelahi?" tanya laki-laki tua ini.

"Entahlah. Aku tidak mengenalnya. Ki...," sahut Bajingan Gunung Merapi, mendesah.

Kau bisa menyebut cin-cirinya, Goblok!"

Bajingan Gunung Merapi menjelaskan ciri-ciri lawan yang telah melukainya.

"Hm! Aku tahu siapa bocah itu!" gumam orang tua berambut ikal sambil mengangguk dan tersenyum sinis.

"Ki Rekso kenal dengannya?" tanya Bajingan Gunung Merapi.

"Tentu saja! Dia berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.

"Pendekar Rajawali Sakti? Apakah dia tokoh hebat, Ki..."

"Ya! Kata orang dia memang tokoh hebat. Tapi..., tentu saja tidak sehebat diriku. Reksodipuro alias si Mayat Hidup! Hek hek hek...!" sahut orang tua yang rambut, jenggot, dan kumisnya telah memutih itu sambil bernada jumawa.

Bajingan Gunung Merapi terkekeh hendak menimpali. Tapi...

Des!

Tiba-tiba saja kembali orang tua aneh yang mengaku bernama Reksodipuro dan berjuluk si Mayat Hidup itu menghantam dada Bajingan Gunung Merapi. Karuan saja, laki-laki bersurjan kuning ini memekik setinggi langit.

"Hoekh...!" Dari mulutnya kembali memuntahkan darah segar.

"Ampun. Ki cukup!" ratap Bajingan Gunung Merapi lemah.

"Cukup bapak moyangmu! Kau telah mempermalukan! Sebagai murid si Mayat Hidup, masa kau bisa dikalahkannya?!" semprot si Mayat Hidup dengan mata melotot lebar dan wajah berkerut geram.

"Tapi..., dia memang hebat, Ki...," kilah Bajingan Gunung Merapi yang ternyata murid Ki Reksodipuro yang berjuluk si Mayat Hidup.

"Apa kau bilang? Berani kau katakan dia hebat di depanku? Mau kuhajar lagi kau, he?!" dengus Ki Reksodipura.

"Ampun, Ki! Ampuuun...! Maksudku, tentu saja Ki Reksodipura lebih hebat ketimbang bocah itu! Nah! Bila Ki Reksodipura datang menghadapinya, bocah itu pasti lari terkencing-kencing karena ketakutan...!" oceh Bajingan Gunung Merapi, berusaha meredam kemarahan laki-laki tua ini.

"Hek hek hek...! Kau benar, Bocah Tolol! Tapi..., apa urusannya sampai kau bentrok dengan bocah itu?"

"Ng... anu, Ki. Dia terlalu sombong dan mengejekku. Dia katakan, murid si Reksodipuro itu tidak ada apa-apanya. Apalagi, gurunya yang segede cacing itu! Dengan sekali tiup, pasti akan mampus...!" sahut Bajingan Gunung Merapi berdusta, untuk memanas-manasi.

"Apa?! Dia berani menghinaku?!" geram Ki Reksodipuro dengan suara meledak-ledak.

"Benar, Ki! Aku dengar sendiri dia berkata begitu!" jawab Bajingan Gunung Merapi, mantap.

"Keparat! Akan kucincang bocah itu!" dengus Ki Reksodipuro langsung disambarnya sebatang tombak di dekatnya.

Tombak itu berwarna hitam mengkilap. Dan pada ujungnya berlekuk seperti keris. Ini adalah senjata kebanggaan si Mayat Hidup yang selalu dibawa ke mana saja bila bepergian.

"Ki Rekso akan mengejarnya?" tanya Bajingan Gunung Merapi.

"Tentu saja, Goblok! Apa kau kira aku akan diam saja menerima penghinaan ini?!" bentak laki laki tua itu.

"Kalau begitu aku ikut saja, Ki..."

Baru saja Bajingan Gunung Merapi hendak bangkit, ujung tombak orang tua itu telah menempel di lehernya.

"Minum obatmu. Dan, sembuhkan lukamu dulu! Kalau tidak, kau boleh sekalian mampus sekarang juga!" dengus Ki Reksodipuro bernada memerintah.

Bajingan Gunung Merapi tergagap. Dan secepat kilat kembali berbaring sambil meraup mangkuk berisi ramuan obat, dan menenggaknya sampai tuntas. Dan pengaruh ramuan obat itu sendiri sungguh hebat. Sekujur tubuh Bajingan Gunung Merampi langsung kejang. Hawa panas hebat yang bergolak membuatnya berteriak-teriak kesakitan.

"Aaakh...! Aduuuh, tobaaat...! Ki Rekso, tolooong...!"

"Hek hek hek...! Obat itu sangat ampuh, meski pengaruh pertamanya seperti itu. Tahanlah. Karena kau akan segera merasakan manfaatnya!"

Setelah berkata begitu, Ki Reksodipuro berkelebat meninggalkan pondok ini. Sementara Bajingan Gunung Merapi masih mengerang-erang kesakitan.

********************

Seorang laki-laki setengah baya berdiri tegak depan pintu rumahnya. Wajahnya tampak angker bercampur geram. Tangan kanannya menggeng-am sebilah pedang pendek. Sementara dari dalam terdengar isak tangis yang saling bersahutan. Agaknya, isak tangis ini yg membuat detak jantungnya semakin kencang. Sehingga membuat kegeramannya semakin bertambah saja.

"Bajingan terkutuk...!" umpat laki-laki tua itu dengan bibir bergetar.

Pada saat yang sama dari kejauhan terlihat seorang penunggang kuda menuju ke arahnya. Dan penunggang kuda itu berhenti di depan laki-laki setengah baya ini. Setelah menambatkan kudanya, dia menjura hormat.

"Bagaimana, Karpan?" tanya laki-laki setengah baya ini pada penunggang kuda yang telah berdiri di depannya.

"Belum, Ki Rungkut!" sahut pemuda berusia dua puluh lima tahun yang dipanggil Karpan. "Tapi ada perkembangan baru, Ki"

"Perkembangan apa?" tanya laki-laki setengah baya bernama Ki Rungkut dengan kening berkerut.

"Seseorang saat ini tengah mengamuk di pasar!" sahut Karpan.

"Siapa dia?"

"Entahlah... dia akan membunuh siapa saja yang berani mencari Bajingan Gunui Merapi."

"Dia tidak menyebutkan siapa dirinya?"

"Kalau tidak salah, namanya Ki Reksodipuro" jelas Karpan dengan telunjuk menempel di kening.

"Ki Reksodipuro?" ulang Ki Rungkut, termangu sesaat lamanya.

"Kenapa, Ki? Apakah kau mengenalnya?"

"Sebentar! Aku coba mengingat-ingatnya... Ng... Kau ingat almarhum Kiai Tambak, Karpan?"

"O.... Orang tua yang dituduh memiliki ilmu gaib itu?" jawab Karpan, begitu teringat.

"Benar!"

"Tapi, apa hubungannya dengan Ki Reksodipuro ini. Ki?"

"Menurut apa yang kudengar, Ki Tambak mempunyai seorang saudara angkat yang telah dianggap sebagai saudara kandung. Orang itu bernama... Ki Reksodipuro!" jelas Ki Rungkut.

"Jadi, dia hendak membalas kematian saudara angkatnya yang mati karena dikeroyok orang-orang kampung, Ki?"

"Bisa jadi begitu...!"

"Tapi, apa hubungannya dengan Bajingan Gunung Merapi?"

"Bajingan Gunung Merapi hanya dijadikan alat saja, untuk membuat kabur penilaian orang terhadapnya..."

"Dari mana Ki Rungkut tahu?"

"Kudengar, dia kabur setelah bertarung melawan Pendekar Rajawali Sakti..."

Karpan mengangguk pelan. "Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang, Ki?"

"Kita kesana. Siapkan kudaku, Karpan!"

"Ki Rungkut akan menghadapinya?"

"Ya."

"Tapi, Ki... Orang itu berkepandaian tinggi!" seru Karpan mengingatkan.

"Kau merendahkan kemampuanku, Karpan?"

"Sama sekali tidak, Ki! Kau cukup hebat dan terbukti mampu membunuh Ki Tambak tujuh tahun lalu. Tapi, orang ini memiliki ilmu yang lebih hebat ketimbang Ki Tambak!"

"Tidak usah menakut-nakutiku, Karpan! Ambilkan kudaku. Dan, bawa ke sini."

"Baiklah, Ki..." Karpan segera beranjak dari tempatnya. Dan sesaat saja, dia telah kembali bersama seekor kuda coklat berbelang putih.

"Kau yakin akan menghadapinya, Ki?" tanya Karpan lagi, seperti hendak meyakini.

"Bagaimanapun, bajingan keparat itu harus kutemukan. Dia telah menodai putriku yang masih bau kencur. Dan untuk itu, dia harus mati!" dengus Ki Rungkut geram.

"Tapi tidak dengan cara menghadapi Ki Reksodipuro, Ki. Orang itu selain berilmu tinggi, juga agak sinting. Dia membunuh siapa saja yang ditemuinya. Aku melihat sendiri. Dengan sekali mengibaskan tangan, maka orang-orang terpental di buatnya!"

"Aku juga bisa membuatmu terpental, kalau kau terus bicara tentang kehebatannya!"

"Eh! Maaf, Ki Aku sama sekali tidak bermaksud begitu."

"Kalau begitu, tidak usah banyak bicara lagi. Kau boleh tinggal di sini kalau takut!" ujar Ki Rungkut seraya melompat ke punggung kudanya.

"Aku ikut, Ki!" seru Karpan seraya ikut melompat pula ke punggung kudanya. Segera disusulnya Ki Rungkut yang telah lebih dulu pergi dari tempat ini.

"Heaaa...!"

Wajah Ki Rungkut tidak berubah. Tetap seram dengan api dendam yang belum padam di hatinya. Laki-laki setengah baya itu menggebah kudanya dengan kencang.

ENAM

Ki Rungkut cepat mengetahui, di mana Ki Reksodipuro berada. Ini tidak mengherankan, sebab pasar satu-satunya di desa ini kelihatan porak-poranda. Keramaian yang biasanya mengisi tempat ini, mendadak sepi. Tempat-tempat mereka berdagang hancur berantakan. Dan beberapa sosok mayat bergelimpangan.

Di satu sudut pasar tampak sebuah kedai yang telah ditinggal pergi pemiliknya. Di situ tampak sesosok tubuh kurus mengapit sebatang tombak yang ujung-ujungnya berlekuk-lekuk seperti keris. Kedua tangannya silih berganti memasukkan makanan ke mulut. Kedua pipinya sudah menggembung namun terus disimpul makanan. Bahkan dalam keadaan begitu dia masih bias terkekeh-kekeh.

Begitu tiba di depan kedai. Ki Runggut turun dari kudanya. Perlahan didekatinya laki-laki itu. Dibelakangnya menyusul Karpan pada jarak yang agak jauh.

Sementara orang-orang desa yang melihat kehadiran orang tua itu, perlahan-lahan mendekat. Namun, tentu saja pada jarak yang masih cukup jauh dan tersembunyi. Agaknya mereka tidak mau ambil celaka untuk kedua kali diamuk laki-laki gila itu.

"Reksodipuro! Dimana kau sembunyikan Bajingan Gunung Merapi?" teriak Ki Rungkut lantang.

Laki-laki kurus bernama Reksodipuro sama sekali tidak menoleh. Dia terus bersantap seperti hendak memenuhi lambungnya sampai padat.

"Reksodipuro! Kurasa kau tidak tuli! Sekali lagi kutanyakan, di mana kau sembunyikan Bajingan Gunung Merapi?!" bentak Ki Rungkut.

Ki Reksodipuro alias si Mayat Hidup menoleh sambil menyipitkan mata. Kelihatan menganggap enteng sekali. Apalagi dengan sebuah pisang yang masih menyumbat mulutnya, sehingga kedua pipinya menggembung.

"Dimana bajingan laknat itu kau sembunyikan?!" hardik Ki Rungkut mulai geram melihat kelakuan laki-laki kurus ini.

Glek!

Ki Reksodipuro menelan semua makan yang masih berada dalam mulutnya. Lalu bibirnya tersenyum lebar seraya beranjak dari duduknya.

"Kau bicara apa, Monyet? Mendekatlah. Telingaku agak tuli sedikit," sahut si Mayat Hidup sambil berkacak pinggang.

"Jahanam! Tidak usah bermain-main segala. Katakan padaku, di mana kau sembunyikan keparat itu?" dengus Ki Rungkut.

"Apa? Kurang rapat?" Ki Reksodipuro pura-pura tuli seraya menunjukkan lubang telinganya.

"He he he...! Nah, betul kataku. Kau memang monyet, bukan?" ejek si Mayat Hidup.

"Setan!" maki Ki Rungkut geram. Wajah laki-laki setengah baya ini menyeringai buas. Gerahamnya berkerokotan menahan amarah melihat laki-laki kurus ini mempermainkannya.

"Apa? Setan?!"

"Makan olehmu sendiri...!" hardik Ki Rungkut seraya menghentakkan tangannya ke depan. Dihantamnya si Mayat Hidup dengan pukulan jarak jauh.

Wusss!

Ki Reksodipuro tidak beranjak sedikit pun. Bahkan dia hanya mengibaskan tangan seperti hendak menangkap lalat. Dan...

Deb!

Pukulan Ki Rungkut kandas begitu saja. Padahal jelas, angin terdengar bersiur kencang tatkala pukulan itu melesat. Itu menandakan kalau pukulan jarak jauh yang dilepaskan Ki Rungkut tidak bisa dianggap main-main.

"Hek hek hek...! Inikah ketan yang kau katakan? Lezat sekali!" ejek Ki Reksodipuro.

"Kurang ajar! Kau betul-betul ingin menguji kesabaranku rupanya. Baiklah Kalau itu yang kau inginkan, makan dulu ini!" Begitu kata-katanya selesai, Ki Rungkut mencabut pedangnya. Langsung dia melompat menyerang.

"Heaaa...!

Namun Ki Reksodipuro tidak kalah sigap. Orang tua kurus seperti tengkorak itu serentak mengayunkan tombaknya, memapak

Trang! Trang!

"He he he...! Telah cukup lama aku tidak berlatih. Mudah-mudahan kau akan menjadi kawan berlatih yang cukup pantas!" leceh si Mayat Hidup sambil terkekeh-kekeh. Sementara sebelah tangannya secara bergantian menggenggam tongkat untuk menangkis kelebatan pedang Ki Rungkut.

"Di mana kau sembunyikan bajingan keparat itu?" tukas Ki Rungkut tidak peduli dengan ocehan laki-laki kurus ini.

"Bajingan mana yang kau maksud?"

"Tentu saja Bajingan Gunung Merapi!"

"O, dia. Ada urusan apa kau dengannya?" tanya Ki Reksodipuro santai.

"Bajingan keparat itu telah menodai putriku!"

"Namanya bukan bajingan keparat. Tapi, Bajingan Gunung Merapi. Karena, dia memang berasal dari Gunung Merapi," sahut Ki Reksodipuro. "Eh, apa katamu? Dia memperkosa putrimu? He he he...! Berapakali...? Sekali? Dua kali...? Atau, sepuluh kali?!"

"Terkutuk!" dengus Ki Rungkut geram. Tangan kanan laki-laki setengah baya ini memainkan pedang dengan lincah. Sedangkan telapak kirinya menghantam dengan pukulan maut. Namun, Ki Reksodipuro betul-betul menganggap sepi serangan itu. Dia mampu menghindari setiap serangan dengan melompat kesana kemari. Gerakannya ringan bagai sehelai kapas tertiup angin.

"Mampuslah kau, Iblis Terkutuk!" desis Ki Rungkut ketika melihat kesempatan baik.

Saat itu juga telapak tangan kiri Ki Reksodipuro menghantam tepat ke jantung. Namun secepat kilat, Ki Reksodipuro memapak lewat telapak tangan kanan.

Plak...!

Ki Rungkut terkesiap. Sungguh tak disangka kalau si Mayat Hidup mampu bergerak secepat itu. Kini pedangnya diayunkan. Namun, tombak Ki Reksodipuro cepat menangkis.

Tring!

Dari benturan itu, Ki Rungkut terjajar mundur. Dan belum sempat dia berbuat apa-apa, tombak si Mayat Hidup telah cepat berputar. Lalu...

Crap!

"Aaa...!" Ki Rungkut memekik nyaring. Dari punggungnya orang-orang melihat ujung tombak Ki Reksodipuro menyembul.

Sras!

Sekali cabut, tubuh Ki Rungkut ambruk tak berdaya. Jantungnya kontan hancur tersodok tombak. Tampak darah mengucur deras dari tempat lukanya. Nyawa orang tua itu melayang, setelah menggelepar beberapa saat kemudian.

Dengan tenang Ki Reksodipuro membersihkan ujung tombaknya yang masih berlumuran darah. Sebentar dia memandangi mayat lawannya, lalu bergerak ke mejanya tadi. Kemudian acara santapnya yang tadi tertunda segera dilanjutkan. Sikapnya tenang sekali seperti tidak terjadi apa-apa.

Sedang orang orang yang berada di sekitar tempat itu tersentak kaget. Ki Rungkut adalah orang yang dihormati di desa ini, karena kepandaiannya yang hebat. Tapi kini orang tua itu terbaring tak berdaya. Lalu, siapa lagi yang bisa mereka andalkan untuk menghalau si Mayat Hidup?

"Astaga...?!" Karpan terbelalak kaget melihat majikannya tewas.

Dia tidak tahu harus bagaimana. Mengambil mayat Ki Rungkut, bukan tidak mungkin akan mengusik perhatian Ki Reksodipuro. Dan kalau dia sempat terusik, bukan tidak mungkin nyawanya akan sama seperti majikannya.

********************

"Nyiii...! Nyi Sekar...!" teriak Karpan sebelum sampai di rumah kediaman Ki Rungkut.

Dari dalam terlihat seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun keluar tergopoh-gopoh, dan menunggu di ambang pintu.

Karpan langsung melompat sebelum menambatkan kudanya. Napasnya terengah-engah dan mukanya pucat. "Celaka, Nyi...! Ki Rungkut.... Ki Rungkut..."

"Kenapa suamiku, Karpan? Kau tidak bersamanya?" tanya perempuan setengah baya bernama Sekar.

"lya, Nyi! tapi kini di...," kata-katanya terputus.

"Bicara yang benar, Karpan! Apa yang terjadi dengan suamiku?" desak Nyi Sekar.

"Beliau tewas, Nyi...!" jelas Karpan memberanikan diri.

"Astaga! Yang betul bicara, Karpan!"

Nyi Sekar buru-buru mendekat, langsung mengguncang-guncang pundak Karpan. Wajahnya tampak cemas. Dan, nada suaranya bergetar. Wanita itu tampak mulai bingung.

"Betul, Nyi...! Aku tidak bohong!" sahut Karpan.

"Dimana? Dan, siapa yang membunuhnya?!"

"Di pasar. Yang membunuh bernama Ki Reksodipuro..."

"Cepat ambil kudaku, Karpan! Tunjukkan padaku, dimana mayatnya berada!

Karpan bergegas berlari ke istal kuda di samping rumah besar ini. Dan sebentar saja, dia telah kembali bersama sekor kuda tegap berwarna putih.

Nyi Sekar tampak terburu-buru menaiki kuda yang diambil Karpan. "Ayo, Karpan! Cepat naik...!"

"Ba..., baik, Nyi!"

Dengan setengah tergagap, Karpan melompat ke punggung kudanya. Dan wanita itu pun langsung menggebah kudanya dengan kencang, diikuti Karpan. Hati Karpan agak khawatir juga. Bagaimana bila Nyi Sekar gegabah, dengan menantang Ki Reksodipuro?

"Nyi... Orang itu berkepandaian tinggi...!" jelas Karpan.

"Aku tidak peduli! Apakah dia manusia atau setan sekalipun!" sentak Nyi Sekar.

"Tapi dia sinting, Nyi! Kelakuannya aneh. Dia bisa membunuh Nyai nantinya!" ingat Karpan lagi.

"Tutup mulutmu, Karpan!"

"Tapi, Nyi...!"

"Sudah, sudah...! Aku tidak mau dengar lagi!' tukas Nyi Sekar.

Karpan hanya bisa menghela napas sesak. Hatinya gelisah tidak menentu. Dalam bayangannya, Nyi Sekar pasti kalap dan melabrak Ki Reksodipuro. Dan..., Mayat Hidup itu pasti tidak akan membiarkan begitu saja. Dia pasti akan membunuh Nyi Sekar. Oh! Apa jadinya nanti? Mestikah suami istri ini mati sia-sia?

"Di mana, Karpan!" bentak Nyi Sekar, begitu telah memasuki kawasan pasar.

"Eeehhh...!" Karpan tersentak dari lamunannya. Namun Nyi Sekar agaknya tidak perlu jawaban. Di satu sudut pasar yang telah porak-poranda, banyak orang berkumpul. Buru-buru wanita ini melompat dan berlari-lari menghampiri. Langsung disibaknya kerumunan orang.

"Oh, tidak! Tidaaak..!" jerit wanita itu ketika melihat jenazah orang yang tengah dikerumuni.

Tanpa terasa airmata Nyi Sekar meleleh mem-basahi kedua pipi, dan jatuh membasahi permukaan tanah. Dipeluknya jasad yang mulai membeku dengan hati remuk redam.

"Heh?!" Seperti tersentak sesuatu, wanita itu terkesiap. Matanya langsung memandang liar ke sekeliling tempat itu. Dan perlahan-lahan dia bangkit mencari-cari sesuatu.

"Mana? Kemana keparat itu?! Ayo, tunjukkan batang hidungmu...!" teriak wanita itu dengan suara lantang.

"Dia telah pergi, Nyi..." sahut seorang penduduk.

Wanita itu menghampiri dan mencengkeram leher baju laki-laki yang tadi bicara. Wajahnya tampak seram, menyeringai penuh dendam. "Ke mana dia?!" desak Nyi Sekar.

"Eh! Aku..., aku tidak tahu, Nyi..."

"Katakan! Kemana dia pergi?!" hardik Nyi Sekar.

Laki-laki itu tampak mulai gemetar ketakutan. Beberapa penduduk desa yang berusia lanjut coba menyadarkannya.

"Nyi, jangan menyalahkannya. Dia memang tidak tahu, kemana Ki Reksodipuro pergi..."

"Kalian pasti tahu ke mana dia pergi!" teriak wanita itu seraya melepaskan cengkeraman.

Sepasang mata Nyi Sekar liar memandang mereka satu persatu. Beberapa orang coba mendekati. Namun laksana seekor hewan liar yang terluka, wanita itu menggeram dan mengancam.

"Tunjukkan padaku, dimana dia?! Di mana dia?! Akan kubunuh keparat itu! Akan kubunuh dia...!" teriak Nyi Sekar berulang-ulang.

Dan melihat orang-orang desa itu hanya memandangi dengan tatapan kasihan, Nyi Sekar terpaku. Setelah memandang mereka sekilas, wanita ini berlutut. Dan dia kembali menangis terisak seraya mendekap wajah dengan kedua telapak tangan.

"Sudahlah, Nyi. Mari kita pulang untuk mengebumikan Ki Rungkut selayaknya...," ajak Karpan.

Nyi Sekar masih tidak peduli dan terus menangis. Lama Karpan membujuknya, baru wanita itu mau beranjak dan meninggalkan tempat ini dengan membawa jenazah Ki Rungkut.

********************

Senja merah mewarnai pelataran Desa Sembayan. Seorang pemuda tampak menghentikan langkah kudanya beberapa saat di mulut desa kemudian memandang keadaan di sekelilingnya.

"Desa ini kelihatan sepi...," gumam pemuda berbaju rompi putih ini.

Pemuda yang tak lain Rangga, melangkah beberapa tindak. Sepasang mata dan telinganya dipasang tajam-tajam, mengamati keadaan sekeliling tempat ini. Kali ini Pendekar Rajawali Sakti meninggalkan kudanya yang bernama Dewa Bayu di suatu tempat. Agaknya dia sekarang lebih memilih untuk tidak mengendarai kuda. Bagi Rangga menunggang kuda terlalu lama sama saja akan memanjakan kakinya.

"Hm...," gumam Rangga. Tidak berapa jauh, Pendekar Rajawali Sakti mulai mendengar suara seperti orang-orang yang bergumam. Ramai sekali! Rangga cepat berkelebat disertai ilmu meringankan tubuh. Ketika semakin mendekat, tampak penduduk Desa Sembayan ini berkumpul di satu tempat sambil duduk bersila. Di depan mereka terbaring beberapa sosok tubuh yang tertutup kain panjang. Jelas, para penduduk tengah mengadakan upacara kematian.

"Hm... Beberapa orang mati. Apa yang telah terjadi disini...?" tanya Rangga dalam hati, begitu menghentikan kelebatan tubuhnya.

Rangga tidak habis pikir melihat keadaan desa ini. Kebetulan saat itu ada dua penduduk desa yang mungkin ketinggalan untuk menghadiri upacara itu.

"Maaf, Kisanak! Apa yang terjadi disini?" tanya Rangga dengan sopan.

Kedua orang itu tidak langsung menjawab, melainkan memperhatikan pemuda itu dengan seksama. "Kau bukan penduduk desa ini...?" tanya salah seorang penduduk yang bertubuh gemuk.

"Betul. Aku seorang pengembara!"

"Pantas kau tidak tahu. Seseorang telah datang ke sini dan mengacau. Beberapa penduduk desa tewas di tangannya," jelas laki-laki gemuk ini.

"Siapa orang itu?"

"Ki Reksodipuro alias si Mayat Hidup."

"Oh! Kukira si Bajingan Gunung Merapi....!"

"Ki Reksodipuro justru mengancam. Siapa saja yang berurusan dengan Bajingan Gunung Merapi, akan mampus di tangannya!" jelas laki-laki satunya yang bertubuh kurus.

"Hei, benarkah? Siapa Ki Reksodipuro itu? Apakah dia kawan si Bajingan Gunung Merapi?"

"Tidak ada yang tahu. Namun, Ki Rungkut mungkin mengetahuinya..."

"Ki Rungkut? Siapa dia?"

"Beliau orang yang dihormati penduduk desa ini."

"Di mana beliau sekarang?"

"Tewas dibunuh Ki Reksodipuro."

"Astaga! Sungguh keji orang ini. Di mana Ki Reksodipuro itu berada?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Tidak ada seorang pun yang tahu. Dia datang dan pergi sesuka hatinya. Apakah kau akan menghadapinya, Anak Muda?"

"Sebaiknya tidak usah," sahut yang bertubuh kurus. "Ki Rungkut yang berilmu tinggi saja, mati begitu mudah di tangan iblis itu."

"Mungkin saja aku akan menghadapinya. Tapi tujuan utamaku adalah mencari si Bajingan Gunung Merapi."

"Kalau kau bisa memaksa Ki Reksodipuro, mungkin saja kau bisa mengetahui Bajingan Gunung Merapi itu berada," jawab laki-laki gemuk.

"Ya! Dan itulah persoalan sulit. Aku tidak tahu, di mana Ki Reksodipuro berada...."

"Kenapa tidak tanya Nyi Sekar saja?"

"Siapa Nyi Sekar itu?"

"Istri Ki Rungkut"

"Di mana rumahnya?"

"Jalanlah terus melalui jalan ini. Lalu ketika bertemu persimpangan, beloklah ke kiri. Rumahnya, agak terpencil dan sedikit jauh dari keramaian Desa Sambayan ini.

"Baiklah. Kalau demikian, aku akan coba tanya padanya. Terima kasih, Kisanak!" ucap Rangga.

"Sama-sama...!"

Rangga langsung berkelebat ke arah yang ditunjukkan dua laki-laki tadi.

********************

Kediaman Ki Rungkut ditempuh Rangga dalam waktu singkat, karena Pendekar Rajawali Sakti melesat demikian kencang. Namun setiba di sana Rangga tertegun. Dia melihat seorang wanita tengah bertarung melawan seorang laki-laki bertubuh ceking dengan bagian dada terbuka lebar. Wanita itu bersenjata pedang, sedang laki-laki lawannya menggenggam sebatang tombak yang ujungnya berlekuk-lekuk seperti batang keris. Rangga segera melangkah lebih dekat untuk mencari tahu, siapa kedua orang itu.

"Keparat terkutuk! Kau tidak akan lolos dariku!" dengus wanita berusia setengah baya.

Dari suaranya terasa kalau wanita itu memendam kebencian yang teramat mendalam terhadap lawannya.

"Hek hek hek...! Kau semakin lucu saja. Mana mungkin aku meloloskan diri karena aku datang ke sini atas kemauanku sendiri!" sahut laki-laki kurus lawannya.

"Tutup mulutmu! Kau harus menebus kematian suamiku sekarang juga!" dengus wanita itu.

"Jadi, si tua bangka Rungkut itu suamimu? He he he...! Kebetulan sekali. Sekarang dia sudah mati. Dan kau sendiri belum terlalu tua. Kalau kau mau, aku bisa menggantikan kedudukannya di tempat tidur!" leceh laki-laki tua kurus yang tak lain Ki Reksodipuro alias si Mayat Hidup.

"Cis! Bajingan kotor, tutup mulutmu!" maki wanita yang tak lain Nyi Sekar. Dan dia semakin geram saja, karena setiap serangan serangannya selalu kandas.

Sementara Mayat Hidup sesekali menghindari serangan lawan dan sesekali menangkis. Padahal, Nyi Sekar telah mengerahkan seluruh kemampu-annya.

"Hm.... Kepandaian wanita itu tidak seberapa. Kalau mau, laki-laki kurus itu dengan mudah menjatuhkannya sejak tadi...," gumam Rangga di balik persembunyiannya.

Sejauh ini, Rangga belum mau ikut campur sebelum tahu benar duduk persoalannya. Meski dari percakapan antara keduanya, Rangga sedikit mengerti apa yang menyebabkan kemarahan wanita itu.

"Ki Reksodipuro! Aku bersumpah akan membunuhmu dengan tanganku sendiri!" bentak Nyi Sekar, garang.

Dan mendengar nama itu Rangga terkesiap. "Jadi, ini orangnya yang bernama Reksodipuro...?" dengus Rangga. "Dan kalau aku tidak salah duga, wanita itu pasti Nyi Sekar!"

Setelah yakin, Pendekar Rajawali Sakti mendekati pertarungan. Persis saat itu, terdengar jerit kesakitan. Nyi Sekar tampak terlempar beberapa langkah, jatuh tepat di dekatnya.

"Huh!" Wanita itu cepat bangkit seraya mendengus geram. Sikapnya hendak menghadapi lawannya kembali.

"Nyi Sekar! Bolehkah aku menyela sedikit pertarungan kalian?" tanya Rangga sopan.

Wanita itu menoleh, dan langsung memandang tajam Pendekar Rajawali Sakti. "Siapa kau?!"

"Aku seorang pengembara yang punya urusan dengan Bajingan Gunung Merapi," sahut Rangga, langsung.

"Siapa yang punya urusan dengan Bajingan Gunung Merapi akan mampus di tanganku!"

Sebelum wanita itu menjawab, tiba tiba terdengar si laki-laki kurus tadi membentak.

TUJUH

"Dan siapa pun yang menghalangiku untuk meringkusnya, dia boleh mampus!" desis Rangga, dingin.

"Hek hek hek...! Ternyata nyalimu besar juga, Pendekar Rajawali Sakti..."

"Hei? Ternyata kau tahu tentang diriku?

"He he he... Kuakui, namamu dan ciri-cirimu telah terukir dalam dunia persilatan. Tapi berhadapan denganku, kau akan mampus! Jangan muridku yang bukan tandinganmu yang kau lawan!" sindir Ki Reksodipuro.

"Boleh jadi aku akan mampus. Tapi tidak di tanganmu!"

"Tanganku jadi gatal-gatal ingin melihat apakah nama besar yang kau sandang sepadan dengan kepandaian yang kau miliki!" Setelah berkata begitu, mendadak Ki Reksodipuro melesat secepat kilat menyerang Rangga.

"Heaaa...!"

Namun, Pendekar Rajawali Sakti lebih cepat mencelat kebelakang sambil berputaran di udara. Dan begitu mendarat di tanah...

"Tahan dulu...!" bentak Rangga, nyaring.

"Mau apa kau?!"

"Sebenarnya aku tidak berurusan denganmu. Tapi karena kau guru si Bajingan Gunung Merapi, maka kau harus berjanji sebelum kepalamu kupenggal!"

"Setan! Aku yang mengajukan kesempatan padamu, sebelum kau mampus di tanganku!" dengus si Mayat Hidup.

"Apa pun itu namanya, kau harus berjanji akan menyerahkan si Bajingan Gunung Merapi bila kau kalah"

"Bocah dungu! Bagaimana mungkin aku bisa menepati janji padamu, karena aku tidak bakal kalah! Kalaupun bisa kutepati janjiku, maka itu nanti. Setelah seratus tahun lagi aku menyusulmu ke akherat! He he he...!" sahut Ki Reksodipuro, tertawa mengejek. Dan sebelum Rangga coba mengalihkan perhatian, si Mayat Hidup kembali melompat menyerang

"Yeaaa...!"

"Uts! Hup!" Rangga mencelat ke belakang. Tapi seketika itu juga ujung tombak si Mayat Hidup nyaris merobek tenggorokan kalau edak cepat berkelit ke samping.

Rangga tidak menyangka kalau laki-laki kurus ini mampu bergerak secepat itu. Sehingga untuk berikutnya dia tidak mau gegabah. Matanya tajam mengawasi setiap gerakan ujung tombak si Mayat Hidup.

"He he he...! Kau coba menguji ilmu tombakku, he?! Gurumu saja belum tentu mampu mematahkannya. Apalagi kau yang masih hijau dan mentah!"

Pendekar Rajawali Sakti agaknya mengerti kalau ingin menguji kesabarannya. "Maaf, Kisanak. Kau masih buta tentang guruku!" sahut Rangga, enteng.

"Aku tahu semua tokoh-tokoh persilatan," kata si Mayat Hidup sombong.

Ki Reksodipuro kini semakin memperhebat serangannya. Ujung tombaknya mengurung Rangga dengan ketat. Sehingga membuat Pendekar Rajawali Sakti sulit mengembangkan jurus-jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti' yang dikerahkannya. Bahkan dari angin sambaran tombak si Mayat Hidup, Rangga mencium adanya racun keras yang amat mematikan.

"Keparat! Orang ini ternyata amat licik dan berbahaya!" desis Rangga geram, seraya memindahkan napasnya ke perut.

Sring!

Seketika itu juga sambil berkelit menghindar, Pendekar Rajawali Sakti mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti dan langsung memapak serangan.

Trang! Trang!

"He he he...! Kenapa tidak sejak tadi kau cabut pedangmu? Menunggu saat kepepet, he?!" ejek Ki Reksodipuro.

"Tertawalah sampai di neraka sana!" ujar Pendekar Rajawali Sakti, dingin. Rangga tidak habis pikir. Selama ini senjatanya tidak pernah luput membabat semua senjata lawan-lawannya. Hanya satu atau dua saja yang mampu menandingi. Dan itu bila senjata senjata lawan memiliki kelebihan pula. Sementara tombak di tangan Ki Reksodipuro ini kelihatan biasa-biasa saja. Bahkan seperti sudah rapuh. Tapi ternyata mampu menahan gempuran pedangnya!

"Kau bingung melihat tombakku?" sahut Ki Reksodipuro seperti mengerti jalan pikiran pemuda itu. "Tombak ini senjata langka yang tercipta dari bebatuan berusia seratus tahun, terpendam dalam lahar mendidih. Ku kerjakan bertahun-tahun pula, sehingga berbentuk seperti ini. Tombak ini istimewa. Dan terbukti, pedangmu tidak mampu memutuskannya!"

Ki Reksodipuro amat bangga dengan senjatanya. Dan kalau bisa, ingin dipamerkannya kepada semua orang. Melihat pemuda ini sama sekali tidak peduli, maka amarahnya meledak ledak.

"Hm, sekarang akan kurobek jantungmu.... Heaaa...!" Dengan amarah meluap, serangan-serangan Ki Reksodipuro semakin gencar dan nyaris membuat Pendekar Rajawali Sakti kalang kabut.

Trang! Trang!

Beberapa kali Rangga berhasil menangkis. Dan, beberapa kali pula pemuda itu menghela napas sesak, melihat ujung tombak si Mayat Hidup merobek-robek sekujur tubuhnya.

Terkadang tombak di tangan Ki Reksodipuro menyerang dengan ujungnya silih berganti. Tapi sering juga salah satu ujungnya dipegang dengan kedua tangan lalu mengepruknya.

"Yeaaat...!"

Senjata Ki Reksodipuro menderu-deru tajam. Kalau sudah begini maka bumi seperti bergetar apabila tombak itu menghantam tanaman. Bahkan pepohonan roboh dihajar senjata itu. Kemana saja Pendekar Rajawali Sakti bergerak, ujung tombaknya selalu saja mengikuti.

"Hhh...!" Rangga mendengus, lalu melenting kebelakang dengan berputaran beberapa kali. Ki Reksodipuro hendak mengejar. Tapi saat itu juga Rangga telah mendarat seraya menghentakkan kedua tangannya dengan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'

"Hiyaaa...!"

Ki Reksodipuro terkesiap, saat selarik cahaya merah menerpanya. Tubuhnya cepat berkelit gesit sambil terkekeh-kekeh.

"He he he! Baru mau mengeluarkan pukulan andalan? Kenapa tidak dari tadi?!" ejek si Mayat Hidup.

"Hih...!" Saat itu Ki Reksodipuro menghantamkan tangan kirinya melepaskan pukulan maut. Maka dari telapaknya keluar cahaya merah kekuning-kuningan. Hawa panas yang ditimbulkannya terasa menyengat. Dan apa saja yang diterjangnya hangus terbakar.

Sementara Rangga hanya ternganga takjub. Namun dia cepat menggeser tubuhnya, menghindari serangan. Namun pada saat yang sama ujung tombak si Mayat Hidup kembali meliuk-liuk mengancam jantung dan tenggorokannya. Cepat bagai kilat pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti menangkis.

Trang!

Begitu terjadi benturan senjata, Rangga balas menyerang. Tubuhnya melenting keatas, lalu menukik tajam menyambar leher. Si Mayat Hidup coba menangkis.

Trang!

Namun, ujung pedang itu sempat menyerempet pangkal lehernya.

Bret!

"Aaakh! Keparat...!" desis Ki Reksodipuro geram. Si Mayat Hidup menyeringai buas. Dan secepat itu pula telapak tangan kirinya menghantam dengan pukulan maut, ketika Pendekar Rajawali Sakti baru saja menjejak tanah.

"Yeaaa...!"

Pendekar Rajawali Sakti kembali melenting dan berputaran beberapa kali. Begitu serangan lewat dan kakinya mendarat, Rangga telah memasukkan pedangnya kedalam warangka dengan gerakan mengagumkan.

Sebentar Pendekar Rajawali Sakti membuat gerakan dengan tangannya. Sebentar tubuhnya miring ke kiri dan ke kanan, dengan kaki terpentang lebar. Tepat ketika si Mayat Hidup melancarkan serangan, Rangga telah tegak kembali, dengan kedua tangan terselimut cahaya biru berkilauan.

Sementara dari telapak tangan Ki Reksodipuro telah meluncur cahaya kuning kemerah-merahan kearah Rangga. Dan begitu serangan si Mayat Hidup dekat...

"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!" bentak Rangga nyaring, sambil menghentakkan kedua tangannya. Maka dari kedua telapaknya, meluncur sinar biru terang memapak laju sinar kuning kemerahan.

Jderrr...!

"Aaakh...!"

"Hoeeekh...!"

Seketika terdengar ledakan keras. Kedua orang yang bertarung tampak terpental kebelakang disertai jerit kesakitan. Ki Reksodipuro tampak menggigil. Tombak dalam genggamannya telah terlepas. Sepasang matanya melotot tidak karuan. Sebagian tubuhnya tampak menghitam. Orang itu terus menggigil beberapa saat, sebelum akhirnya diam tak bergerak.

Sementara Pendekar Rajawali Sakti tidak kalah parah. Dari mulutnya termuntah darah kental kehitam-hitaman. Pemuda itu tampak kepayahan.

"Kisanak, kau tidak apa-apa?!" seru Nyi Sekar yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan dari depan rumahnya.

********************

Rangga mengerjap-ngerjapkan bola mata. Pandangan matanya terasa kabur. Dadanya terasa nyeri hebat. "Ohhh...!"

"Jangan bangkit dulu!" Sebuah tangan dengan jari-jari lentik menahan Rangga yang coba bangkit untuk duduk.

"Siapa kau? Dan, dimana aku...?" Rangga coba menegaskan pandangan saat merebahkan diri.

"Aku Anggraeni. Kau berada di rumahku...."

Pendekar Rajawali Sakti memandang ke sekeliling ruangan yang bersih dan terawat rapi. Kemudian kembali memandang gadis di sisinya. Kali ini dia bisa melihat wajah gadis itu dengan jelas. Cantik, berambut panjang, dan sederhana.

"Bagaimana aku bisa berada di sini?" tanya Rangga.

"Kami yang membawamu ke sini..."

"Kami siapa?"

"Aku dan ibuku... Nyi Sekar," jelas gadis itu.

"Ohh...!" Rangga baru mengerti. Namun tiba-tiba dia ingat sesuatu.

Bagaimana Ki Reksodipuro .?"

"Dia sudah mati dan dikebumikan dua hari yang lalu..."

"Dua hari yang lalu? Berapa lama aku tidak sadarkan diri?"

"Dua hari. Tubuhmu panas dan sering muntah-muntah. Kau tidur sambil mengigau tidak karuan..."

"Aku mengigau? Mengigau apa?" Gadis itu tidak menjawab ketika Nyi Sekar muncul di ambang pintu. Wajahnya tampak cerah dihiasi senyum kecil. ketika mendekati Pendekar Rajawali Sakti.

"Syukurlah kau siuman. Aku khawatir jiwamu tidak tertolong. Tapi daya tahan tubuhmu mengagumkan sekali. Kubuatkan ramuan obat untuk memperlancar peredaran darahmu. Minumlah," ujar wanita setengah baya itu seraya menyodorkan sebuah cawan berisi ramuan obat.

"Terima kasih..." Rangga menerima dan langsung meneguknya sampai habis.

"Bagaimana, eh! Maksudku Nyisanak telah mengebumikan Ki Reksodipuro?" tanya Rangga.

"Ya," sahut Nyi Sekar, pendek

"Kita harus menyebarkan berita tentang kematiannya untuk memancing kehadiran Bajingan Gunung Merapi. Katakan, bahwa Ki Reksodipuro mati di tanganmu. Kalau dia dengar gurunya mati di tanganku, orang itu tidak akan muncul," ujar Rangga.

"Sebaiknya jangan pikirkan hal itu dulu. Kau masih belum sehat betul..."

"Kita tidak punya banyak waktu, Nyi. Semakin ditunda, maka semakin bertambah korban yang ditimbulkan keparat itu!"

Nyi Sekar terdiam. Dia mendesah pelan, lalu berbalik. Matanya kini memandang keluar lewat jeruji jendela.

"Apakah omonganku menyinggung perasaanmu, Nyi Sekar? Aku minta maaf..."

"Tidak. Justru ucapanmu menggugah hatiku."

Rangga diam tak menjawab. Tampak wanita itu berbalik, lalu kembali menghampirinya.

"Putri bungsuku saat ini mengurung diri terus di kamarnya. Dia berusaha bunuh diri berkali-kali.

"Kenapa?"

"Bajingan keparat itu telah merenggut kehormatannya!" dengus Nyi Sekar.

"Ohhh...!"

"Kisanak! Aku berharap besar padamu!" kata Nyi Sekar.

"Apa maksudmu, Nyi Sekar?" tanya Rangga dengan kening berkerut.

"Kau harus membunuh bajingan keparat itu!"

"Tenanglah, Nyi...," ujar pemuda itu lemah ketika melihat wanita itu mulai menampakkan ke geramannya.

"Ibu, sabar. Sabaaar...!" Anggraeni berusaha menenangkan ibunya.

Nyi Sekar menarik napas panjang, lalu menatap lirih kepada pemuda itu. "Maafkan sikapku. Kejadian ini membuatku hampir gila. Dinar adalah anak yang manis dan lugu. Tapi, keparat itu tidak peduli dan tega betul berbuat begitu padanya...."

"Nyi! Aku telah bersumpah akan membunuhnya. Tidak usah khawatir!" tegas Rangga.

"Tapi dalam keadaan begini...?"

"Tidah usah khawatir. Aku akan sembuh dalam waktu singkat..." potong Rangga.

"Tapi lukamu cukup parah?"

"Percayalah padaku! Sebarkan saja berita kematian Ki Reksodipuro yang tewas di tanganmu. Kuharap dalam satu atau dua hari ini, Bajingan Gunung Merapi akan muncul."

"Baiklah. Aku akan suruh Karpan.

"Siapa dia?" tanya Rangga.

"Orang kepercayaan kami. Sebentar, aku akan memberi perintah padanya sekarang juga!" Nyi Sekar buru buru beranjak keluar.

"Kasihan Nyi Sekar. Dia tertekan sekali..." desah Rangga.

"Ya! Ibu memang terpukul sejak kejadian itu. Apalagi ketika mengetahui kematian ayah. Jiwanya semakin guncang saja...," sambung Anggraeni.

"Aku lupa! Kau mau menolongku?"

"Apa yang bisa kutolong?"

"Carikan ramuan obat yang berasal dari akar-akaran serta dedaunan. Mudah-mudahan di tempat ini ada," jelas Rangga seraya menyebutkan nama akar-akaran serta dedaunan yang dimaksud.

"Di dekat sungai di belakang rumah kami mudah-mudahan bisa kutemukan," kata Anggraeni.

"Kau bisa meramunya?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.

"Sedikit-sedikit...," sahut Anggraeni, malu-malu.

"Tidak apa. Nanti kuajarkan."

"Biar kucari sekarang!" kata gadis itu.

"Boleh juga..."

Gadis itu tidak langsung angkat kaki. Dan matanya melirik Rangga beberapa saat. Lalu dengan langkah ragu, ditinggalkannya ruangan ini.

Rangga menghela napas, kemudian duduk di dipan sambil bersila. Dan kini dia mulai mengatur pernapasan. Sesaat masih terasa nyeri di bagian dadanya. Namun tak lama mulai berkurang.

"Aku bawakan bubur untukmu...!" seru Nyi Sekar yang tiba-tiba saja muncul di ambang pintu, ketika Rangga baru saja menyelesaikan semadinya.

"Terima kasih. Aku tentu amat merepotkan keluarga di sini...," ucap Rangga.

"Tidak. Makanlah selagi masih hangat."

Tanpa basa-basi lagi, Rangga menyantap bubur hangat itu dengan lahap. Karena, kebetulan perutnya sudah melilit sejak tadi.

********************

DELAPAN

Waktu terus bergulir. Matahari telah terbenam, dan kegelapan pun mulai menyeruak. Di depan rumah Nyi Sekar, tampak telah berdiri sosok tubuh.

"Nyi Sekar, keluar kau! Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu!" bentak sosok itu garang.

Tidak lama, Nyi Sekar muncul di ambang pintu disertai senyum. "Ada apa berteriak-teriak diluar rumah orang, Bajingan Gunung Merapi?!" dengus Nyi Sekar.

"Kau tahu akibat perbuatanmu, he?!" hardik laki-laki berkumis tipis yang tak lain memang Bajingan Gunung Merapi sambil melangkah mendekati.

"Perbuatan apa yang kau maksud?"

"Kau telah meracuni guruku! Untuk itu, kau akan mati di tanganku!"

Bajingan Gunung Merapi bermaksud melompat menyerang tapi saat itu juga berkelebat satu sosok bayangan dan mendarat di samping Nyi Sekar. Satu sosok yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti.

"Masih ingat padaku, Sobat?"

"Huh! Bagaimana mungkin aku bisa melupakan wajahmu yang busuk!" dengus Bajingan Gunung Merapi. "Pantas saja wanita itu berani, rupanya ada kau di belakangnya."

"Kau salah! Dia yang justru berada di belakangku. Ketahuilah, gurumu terbunuh olehku!" kata Rangga, langsung memanas-manasi.

"Huh! Omong kosong apa lagi yang hendak kau ceritakan? Guruku tidak mungkin terbunuh oleh orang sepertimu!" sangkal Bajingan Gunung Merapi.

"Kau kira siapa yang menyebar cerita palsu itu? Akulah yang membunuhnya! Kepalanya kutebas dan jantungnya kukorek lalu kumakan!" ejek Rangga lagi makin memanas-manasi.

Bajingan Gunung Merapi mendengus geram. Kalau saja belum merasakan kehebatan Pendekar Rajawali Sakti mungkin sudah sejak tadi diterjangnya. Tapi untuk sesaat dia tak tahu apa yang harus dilakukan.

"Kenapa? Kau mulai takut mati, he?! Atau barangkali mau coba-coba kabur dengan cara seperti dulu? Silakan coba. Dan kau akan mampus lebih cepat!"

"Kalau kau mau tahu, aku justru tengah memikirkan dengan cara apa sebaiknya kau kukirim ke neraka!" sahut Bajingan Gunung Merapi, mencoba mengusir rasa kegentarannya.

"Silakan saja, Kisanak!" tantang Rangga.

"Heaaa...!" Tiba-tiba saja Bajingan Gunung Merapi mencabut kerisnya, lalu menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

Sring!

Pendekar Rajawali Sakti tidak mau kalah sigap Langsung dicabutnya Pedang Pusaka Rajawali Sakti untuk menangkis serangan.

Trang! Trang..!

"Uhhh...!" Bajingan Gunung Merapi mengeluh tertahan, begitu terjadi benturan senjata. Tangannya terasa gemetar sampai ke ulu hati. Dan berikutnya ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti sudah mengurungnya, meski dia berusaha menghindar.

"Hiyaaa...!" Tubuh Pendekar Rajawali Sakti mendadak melenting ke atas. Begitu tubuhnya meluruk kembali, Rangga cepat menyambarkan pedangnya ke arah leher.

Trang!

Bajingan Gunung Merapi masih sempat menangkis. Bahkan saat Pendekar Rajawali Sakti melakukan serangan susulan lewat tendangan menggeledek, dia masih mampu berkelit, Tapi, tiba-riba ujung pedang Rangga berkelebat menyambar ke arah dada. Begitu cepat serangan ini, sehingga...

Cras!

"Aaakh...!" Bajingan Gunung Merapi yang tadi mencoba melompat ke belakang, namun justru perutnya yang jadi sasaran. Dia menjerit kesakitan. Darah tampak mengucur deras dari lukanya.

"Hiyaaa...!" Pendekar Rajawali Sakti tidak memberi kesempatan sedikit pun. Kembali tubuhnya mencelat menerjang. Dan pedangnya langsung menghantam keris Bajingan Gunung Merapi hingga terpental. Bahkan cepat sekali pedang itu meluruk, menebas leher.

Cras'

"Hekh!" Bajingan Gunung Merapi cuma sempat terpekik sesaat. Dan kepalanya langsung menggelinding. Darah tampak mengucur deras dari lehernya.

Tepat ketika Rangga menjejak tanah sambil memasukkan pedangnya ke warangka di punggung, Bajingan Gunung Merapi ambruk di tanah tanpa kepala lagi.

"Ohhh...!" Mendadak Rangga mengeluh kesakitan. Tubuhnya terbungkuk-bungkuk

"Kau tidak apa-apa, Rangga...?" tanya Nyi Sekar dengan wajah cemas.

Pendekar Rajawali Sakti berusaha berdiri tegak seraya menarik napas panjang. Kemudian dia mengambil kepala Bajingan Gunung Merapi.

"Tenagaku banyak terkuras. Dan, luka dalamku belum sembuh betul. Tapi kalau tidak begitu, aku khawatir dia punya kesempatan untuk menjatuhkanku... "

"Sebaiknya kau istirahat saja dulu di dalam."

"Tidak, Nyi. Terima kasih. Aku telah berjanji pada seseorang untuk membawa kepala bajingan ini padanya. Aku harus memberikan kepadanya sekarang juga!" tolak pemuda itu.

"Aku pergi dulu, Nyi. Terima kasih atas segala pertolonganmu!" Tanpa menunggu jawaban Nyi Sekar, Pendekar Rajawali Sakti berkelebat meninggalkan tempat ini, walaupun dengan membawa luka dalam.

Nyi Sekar hanya bisa termangu memandang kepergian pemuda itu. Dari dalam rumah perlahan-lahan Anggraeni beranjak keluar mendampingi ibunya.

********************

Sementara, seorang gadis tampak tengah duduk termangu. Tatapan matanya kosong memandang kegelapan malam. Penduduk Desa Bendungan telah tertidur. Dan sebagian lagi lelap dalam mimpinya masing-masing. Namun mata gadis ini tidak kunjung bisa dipejamkan. Berkali-kali dia menghela napas panjang.

"Kau belum tidur juga, Dara...?" tanya seorang wanita setengah baya seraya mendekati gadis yang ternyata putri satu-satunya. Dia adalah Dara. "Tidurlah. Hari telah larut malam...."

Gadis itu diam membisu.

"Apa lagi yang menggayuti pikiranmu...?" tanya wanita setengah baya itu seraya beranjak mendekatinya.

Dara menoleh, lalu kembali memandang ke luar lewat celah-celah jendela.

"Dua hari lagi, si Lastri dilamar. Dan sekarang kelihatannya dia mulai bisa melupakan kenangan buruk itu. Kau pun harus demikian. Anggaplah itu suratan takdir yang tidak bisa dielakkan..."

"Iya, Bu. Aku telah berusaha sekuat tenaga untuk melupakan dengan selalu berdoa dan bersabar diri..."

"Lalu apa lagi yang menggelisahkan hatimu?" Gadis ini menghela napas panjang untuk yang kesekian kalinya. Kemudian dipandanginya wanita setengah baya itu.

"Seseorang telah berjanji akan membawa kepala bajingan terkutuk itu kesini. Aku tengah menunggunya, Ibu...," jelas Dara.

"Kau yakin dia akan berhasil?"

"Entahlah. Semula aku tidak begitu kenal. Tapi sepanjang perjalanan pulang, kudengar kalau ternyata pemuda itu adalah pendekar nomor satu di negeri ini. Dia pasti berhasil!" sahut Dara, yakin.

"Mungkin saja dia berhasil. Tapi, apakah kau yakin dia akan ke sini?"

"Dia baik. Dan..., meski sedikit kaku serta kasar, tapi kurasa dia pasti akan menepati janjinya."

"Jangan terlalu yakin. Kelak kau akan sangat kecewa, kalau ternyata dia tidak kunjung datang."

"Entahlah. Rasanya aku yakin dia akan datang..."

"Sampai kapan kau akan menunggunya?"

"Aku tidak tahu, Bu. Mungkin sampai bosan. Tapi saat ini, aku belum bosan juga..."

Wanita setengah baya itu menarik napas. "Tidurlah, Nduk..." ujar wanita itu.

"Aku akan tidur setelah bertemu dengannya, Ibu...," sahut Dara.

"Sudah berapa lama kau tidak tidur. Bola matamu mulai kelihatan cekung dan wajahmu tampak kusut..."

"Tidurlah Ibu lebih dulu. Aku akan menyusul..."

Wanita setengah baya itu kembali menghela napas. Kemudian dipandangnya Dara beberapa saat, sebelum keluar dari ruangan ini. Gadis itu menutup pintu rapat-rapat, lalu kembali termangu didepan jendela kamarnya yang terbuka.

Bintang-bintang di langit tampak bercahaya dan udara tidak begitu dingin. Cahaya bulan memantul ke mana-mana. Namun, hati gadis itu terasa gelisah tak menentu. Tidak tahu apa yang tengah dipikirkannya.

"Rangga... Kau pasti datang menepati janjimu. Datanglah. Aku menantimu siang dan malam. gumam gadis itu lirih." 

Belum habis kata-kata gadis itu, mendadak sesuatu melintas persis di depan wajahnya, dan jatuh di bawah jendela bagian luar. Dara terkesiap, lalu cepat melompat mundur. Segera pedang yang terletak tidak jauh darinya disambarnya.

Sring!

"Hup!" Dengan gesit gadis itu melompat keluar, seraya mengibaskan pedang. Namun tak seorang pun yang menyerangnya. Dan di tempat itu tidak ada siapa-siapa, selain seorang penunggang kuda yang diam mematung memperhatikan.

"Siapa kau?! Jangan coba berbuat macam-macam! Atau, pedangku akan menebas lehermu!" hardik Dara.

"Kau lupa padaku, Dara?" sapa penunggang kuda itu.

"Rangga? Benarkah kau itu?" tanya gadis itu dengan hati diliputi kegembiraan.

"Ya! Aku datang untuk menepati janjiku. Bungkusan itu berisi kepala Bajingan Gunung Merapi. Sekarang, kau boleh merasa tenteram. Nah! Aku permisi dulu!" sahut penunggang kuda yang ternyata Pendekar Rajawali Sakti.

"Tunggu...!" Dara terkesiap dan coba menahan, namun penunggang kuda itu sudah menggebah kudanya kencang sekali. Dan dia sekejap hilang dari pandangan.

Dara menghentak-hentakkan kaki dengan kesal memandang kepergian Rangga. Meski telah berusaha mengejar, tapi agaknya lari kuda itu lebih kencang ketimbang larinya.

"Kenapa?! Kenapa kau pergi begitu saja, setelah menampakkan diri?! Tidak tahukah kau, apa yang ada di hatiku tentang dirimu?" keluh Dara, pendek.

Parcuma saja gadis itu diam mematung. Rangga tidak akan datang lagi padanya. Maka dengan langkah lunglai, Dara beranjak meninggalkan tempat Ini, kembali ke kamarnya.
SELESAI
Selanjutnya,
PENGEMIS BINTANG EMAS