Cheng Hoa Kiam Jilid 19, karya Kho Ping Hoo - MENDENGAR UCAPAN INI, Eng Lan diam-diam kaget. "Apa artinya dua tahun lagi kau mati?" tanyanya dengan penuh gairah yang tidak disadarinya.

Melihat sikap ini, Kun Hong menjadi girang bukan main. Kalau ada seorang gadis mengkhawatirkan keselamatan seseorang, hal itu berarti bahwa si gadis tadi menaruh perhatian dan dapat diharapkan bahwa timbangannya dalam asmara tidak berat sebelah!
"Kau sudi mendengarkan nona? Biarlah kuceritakan kepadamu. Hanya kepadamu seorang aku mau bercerita. Aku telah naik ke Kun-lun-san dengan maksud mencari ayahku. Kam Ceng Swi untuk minta dia... dia... ah, tak perlu kuceritakan apa perlu ku mencarinya. Akan tetapi, setelah tiba di puncak Kun-lun-san, secara curang sekali aku dikeroyok oleh orang-orang Kun-lun-pai dan ditawan secara licik, lalu aku dipukul sampai terluka hebat dan membuat aku hanya akan hidup dua tahun lagi kecuali jika mendapatkan obat tertentu yang amat sukar dicarinya, melebihi sukarnya masuk sorga! Ini semua belum seberapa...."
Kun Hong menarik napas panjang dan nampak sedih sekali, mukanya menjadi pucat dan jelas kelihatan ia menahan air matanya, "Yang hebat... aku mendengar kenyataan pahit bahwa ayahku itu, Kam Ceng Swi yang semula kuanggap ayahku, ternyata bukan ayahku... dan... dan aku tidak diketahui anak siapa, tidak tahu siapa ayahku, ibuku sudah meninggal dan... dan....”
Kun Hong tak dapat melanjutkan ceritanya. Entah mengapa di depan gadis ini ia mencurahkan isi hatinya dan seluruh perasaannya sehingga ia menjadi berduka bukan main, padahal tadinya ia tidak begitu perduli akan nasib dirinya. Di depan Eng Lan ia merasa dirinya begitu penting dan menghadapi kenyataan tentang dirinya yang tidak berayah ibu ia menjadi terharu bukan main.
Ia menyembunyikan muka di antara kedua lututnya dan diam-diam menghapus dua titik air mara yang tak tertahankan lagi keluar dari kedua matanya. Baru ini kali Kun Hong menitikkan air mata, air mata yang keluar dari lubuk hatinya karena merasa betapa percakapan dengan Eng Lan ini demikian sungguh-sungguh menembus ke dalam sanubari.
Sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya, demikian mesra sentuhan itu sampai Kun Hong merasa betapa tubuhnya menggigil. Sudah banyak ia mendekati wanita sudah banyak wanita mencintanya, akan tetapi belum pernah sentuhan jari tangan wanita dapat membuat ia menggigil seluruh tubuhnya. Ketika perlahan ia mengangkat mukanya dan menengadah, ia melihat Eng Lan menunduk dan memandang kepadanya dengan air mata bercucuran!
"Kun Hong....." suaranya lirih halus, menggetar penuh perasaan terharu, "Jangan berduka, bukan hanya kau anak yatim piatu, akupun tiada ayah bunda."
Memang Eng Lan tak dapat lagi menahan perasaannya. Semenjak ia bertemu dergan pemuda itu di lubuk hatinya sudah dipenuhi rasa kagum. Hanya karena pemuda itu dianggap fihak musuh maka ia mengeraskan hati dan rasa kagumnya menjadi kebencian maka membuat ia menyerang pemuda itu di Kelenteng Siauw-lim dahulu.
Akan tetapi biarpun pada umumnya Kun Hong memperlihatkan sikap jahat dan nakal, terhadap dia pemuda ini memperlihatkan kebaikan budi. Malah tanpa tedeng aling-aling lagi pemuda itu menyatakan cinta kasihnya. Diam-diam, di luar kesadarannya sendiri bahkan di luar kehendaknya yang diperkuat oleh wataknya sebagai seorang pendekar yang patriotik, gadis ini ternyata telah jatuh cinta kepada Kun Hong.Tadinya ia masih dapat mengeraskan hati, masih dapat membantah hasrat hatinya sendiri, akan tetapi ketika melihat pemuda itu berduka, mendengar kata-kata yang mengharukan dan mendengar kenyataan bahwa pemuda inipun seorang yatim piatu seperti juga dia, patahlah semua pertahanan di hati Eng Lan dan tanpa daya lagi gadis itu memperlihatkan kelunakan dan kelemahannya.
"Eng Lan...." Dengan hati tak karuan rasa, bahagia duka terharu bercampur aduk menjadi satu. Kun Hong lalu memeluk kedua kaki gadis itu Eng Lan berdongak ke atas dengan kedua mata dimeramkan. Air matanya menetes turun di sepanjang pipinya dan tangan kirinya menekan dada sedangkan tangan kanannya membelai rambut pemuda itu.
Kemudian gadis itu limbung dan ia tentu roboh terguling kalau tidak cepat-cepat Kun Hong memeluknya. Eng Lan merasa dirinya aman sentaosa dalam pelukan Kun Hong, menemukan kembali kasih sayang ayah bunda dan kasih sayang sanak saudara yang kini tidak pernah dirasainya.
Semua itu bercampur dengan kasih sayang seorang pemuda yang dicintanya di luar kehendaknya! Dalam keadaan hampir pingsan karena bergeloranya perasaan. Eng Lan menyembunyikan mukanya di dada Kun Hong.
Di lain fihak, Kun Hong mendapatkan sesuatu yang amat mengherankan hatinya sendiri. Ia merasa bangga dan bahagia sekali pada saat itu, akan tetapi anehnya, tidak seperti biasanya dengan wanita lain, terhadap Eng Lan hatinya bersih dari pada segala kekotoran nafsu. Kasih sayangnya terhadap Eng Lan mendalam dan sedikitpun tidak pernah timbul dalam pikirannya untuk menguasai gadis ini berdasarkan nafsu.
Ia mencinta Eng Lan dan mengharapkan cinta imbalan. Maka ia berlaku hati-hati sekali, hanya tangannya mengelus-elus rambut yang hitam halus dan harum itu. Akhirnya Kun Hong dapat juga menekan perasaan yang bergelombang, yang tadi membuat ia menjadi gagu. Ia berbisik di dekat telinga Eng Lan.
"Eng Lan, dewi pujaan.... terima kasih... terima kasih bahwa di dunia ini, di mana semua orang baik-baik memusuhiku, membenciku, masih ada kau seorang dewi yang sudi memperdulikan orang seperti aku.... terima kasih Eng Lan dan aku bersumpah, takkan mencinta orang lain kecuali engkau. Kelak.... kalau Thian mengijinkan aku hidup lebih lama, kalau aku bisa mendapatkan obat untuk menyambung nyawa... kelak aku akan mencari gurumu, akan mengajukan pinangan dengan hormat untukmu..."
"Kun Hong....." Eng Lan membalas bisikan dengan lirih, hampir tidak kedengaran, "kau tidak jahat.... kau orang baik.... ooohhh, betapa inginku meneriakkan di telinga mereka bahwa kau bukan orang jahat. Tidak, kau tidak jahat!"
Kun Hong bersenyum pahit. "Aku memang jahat, Eng Lan. Kau tidak dapat membayangkan betapa jahatnya aku! Pikiranku kotor, hatiku selalu ingin melihat orang menderita, tergoda. Setiap melihat wanita cantik aku tergila-gila... ah, betapa jahatnya aku. Akan tetapi sekarang, demi engkau... aku akan membuang semua itu jauh-jauh...!"
Tiba-tiba Eng Lan seakan-akan orang baru sadar dari tidur dan mimpi. Ia tersentak kaget, melihat dirinya berpelukan dengan Kun Hong ia merenggut tubuhnya, mengeluarkan jerit lirih, melompat berdiri sambil menyambar pedangnya lalu menyabetkan pedang itu ke lehernya!
"Eng Lan....!!" Secepat kilat Kun Hong bergerak menyambar tangan gadis itu dan merampas pedang lalu membuang pedang itu jauh-jauh.
Eng Lan mengeluarkan isak tertahan, lalu berlari pergi sambil menangis tersedu-sedu. "Aku.... aku gadis hina-dina... aku lebih baik mati...!!" keluhnya di antara tangis sambil berlari terhuyung- huyung, dengan saputangan menutupi mukanya yang banjir air mata.
"Eng Lan.... tunggu aku....! Kau hendak kemana....? Ah... Eng Lan kekasihku, kau kenapakah?" teriak Kun Hong sambil lari mengejar.
Karena ilmu lari cepat Kun Hong memang jauh lebih cepat, sebentar saja ia dapat menyusul dan ia memegang lengan gadis itu. Eng Lan merontas-rontas dan berteriak-teriak. "Lepaskan aku! Jangan sentuh aku... Kun Hong, kau bunuhlah aku, jangan seret aku ke jurang kehinaan. Ah... suhu, ampunkan teecu yang telah menjadi seorang berbatin hina..." Gadis itu menangis makin sedih ketika tak berdaya melepaskan diri dari pegangan Kun Hong.
Kun Hong kembali menjatuhkan diri berlutut di depan Eng Lan. "Eng Lan akulah orangnya yang siap sedia kau kutuk siap sedia kau maki atau kau bunuh sekalipun kalau aku yang membikin kau bersedih. Eng Lan, apakah karena aku hanya tinggal hidup dua tahun lagi maka kau tiba-tiba mengubah sikapmu? Apakah karena aku seorang penjahat yang sudah mengakui kejahatannya maka kau menjadi benci dan jijik kepadaku?"
"Tidak.... tidak... Kun Hong kau tidak tahu. Aku tadinya datang untuk membalaskan penghinaan yang kau jatuhkan atas diri enci Siok Lan dan keluarganya. Akan tetapi.... apa yang kulakukan di sini.... ah, benar-benar tak patut aku..."
Kun Hong bangkit berdiri dan tersenyum, menggunakan tangan mengangkat muka gadis itu dengan memegang dagunya. "Anak manis! Anak nakal! Begitu saja kau hendak memenggal lehermu yang indah itu? Hai... nanti dulu, manis! Aku mencintamu dengan segenap jiwaku, ini kau sudah yakin, bukan? Dan kaupun mencintaku, aku percaya penuh akan hal ini. Apa salahnya dalam hal ini? Bukankah cinta kasih kita suci dan bersih? Mengapa harus malu? Kecuali kalau kau merasa bahwa kau jauh lebih tinggi, lebih bersih dan lebih mulia dari pada aku, tidak ada yang harus dibuat malu!"
Eng Lan menghapus matanya dengan saputangan, lalu menatap wajah yang tampan dan nampak sungguh-sungguh itu. Ia melihat sinar terang pada wajah itu dan kembali cinta kasihnya bangkit. Ia tersenyum dan mengangguk!
"Naaahh, begitu baru anak manis yang kusayang. Eng Lan... sekali lagi aku menyatakan kepadamu, demi kehormatanku sebagai laki-laki, aku sama sekali tidak ada niat atau kesengajaan untuk menghina keluarga Kwa. Hanya kebetulan saja aku mendengar tentang Kwa Cun Ek, malah aku sama sekali tidak tahu apakah Kwa Cun Ek itu mempunyai anak gadis ketika aku membohong dan mempermainkan Kwee Sun Tek." Lalu dengan singkat ia menceritakan pertemuannya dengan Kwee Sun Tek ketika ia mencuri pedang Cheng-hoa-kiam.
Setelah mendengar penuturan Kun Hong, Eng Lan pura-pura marah, cemberut dan menegur. "Kau memang nakal. Untuk apa kau mencuri pedang orang?”
Wajah Kun Hong menjadi merah. Heran, pikirnya dalam hati, ditegur begini saja hatinya berdebar seperti anak kecil mencuri kueh ditegur ibunya! "Aku hanya... ingin memiliki pedang pusaka ampuh dan disamping itu, sejak kecil aku memang sudah ada keinginan menguji kepandaian Wi Liong. Selain itu..."
Ia menyambung cepat-cepat, "Pedang Cheng-hoa-kiam ini memang dahulunya bukan milik supek Thian Te Cu, melainkan milik susiok Gan Yan Ki. Entah bagaimana bisa berada di Wuyi-san. Oleh karena memang nenek moyang guru-guru kami selalu bermusuhan dan bersaing, maka aku sengaja hendak memperlihatkan bahwa perguruan kami tidak kalah oleh mereka. Sebagai bukti, Cheng-hoa-kiam sekarang berada di tanganku."
Eng Lan menggeleng-geleng kepalanya. "Aku tidak tahu dan tidak perduli akan itu semua, pokoknya aku percaya bahwa kau tidak jahat, Kun Hong."
"Terima kasih, kau seperti dewi kahyangan yang turun ke bumi untuk mengangkat aku dari lembah kesengsaraan." seru Kun Hong girang sambil memegang lengan gadis itu.
"Nanti dulu, aku takkan berjanji apa-apa kepadamu sebelum kau penuhi permintaanku." kata Eng Lan sungguh-sungguh.
Kun Hong melebarkan mata dan mengangkat alis. "Permintaan apa...?"
"Jawablah dengan sejujurnya apakah kau betul-betul tidak mencinta enci Siok Lan?"
Kun Hong benar-benar terkejut dan heran mendengar pertanyaan ini, juga ia merasa penasaran mengapa gadis ini masih saja menyangsikan hatinya. "Kalau mencinta bagaimana dan kalau tidak bagaimana?" tanyanya sambil tersenyum menggoda.
"Kalau kau mencintanya, sekarang juga kau bersama aku harus pergi ke Poan-kun untuk minta maaf dan sekalian mengajukan pinangan secara sah. Kalau kau tidak mencintanya, sekarang juga kau bersama aku harus pergi ke Wuyi-san untuk mengakui kesalahanmu di depan Thio Wi Liong, kemudian membujuk atau memaksa pemuda itu untuk menyambung ikatan jodohnya dengan enci Siok Lan yang sudah diputuskan oleh pamannya."
Sampai lama Kun Hong menatap wajah kekasihnya itu dengan mata mengandung keheranan dan kekaguman besar. "Eng Lan... Eng Lan... begini anehkah watak semua gadis secantik engkau? Yang kau bicarakan itu adalah urusan Siok Lan dan Wi Liong mengapa kau mau bersusah payah karenanya dan mengajak aku serta pula? Suhu sering berkata bahwa tidak perlu kita mencampuri urusan orang lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kita yang tidak menguntungkan kita!"
Eng Lan membanting-banting kakinya dengan gemas. "Itulah celakanya! Kau sudah diracuni oleh ajaran-ajaran busuk! Selalu berpikir untuk keuntungan diri sendiri. Kun Hong, kau tidak tahu bahwa di luar dunia golonganmu kita manusia tidak selalu memikirkan kepentingan sendiri, malah selalu mencari kesempatan untuk memikirkan dan menolong orang lain. Tentang enci Siok Lan dan perjodohannya, tak dapat dipungkiri lagi kaulah biang keladinya sampai perjodohan itu diputuskan. Oleh karena itu, kau pula orangnya yang harus menyambungnya kembali."
Ucapan ini terdengar baru bagi telinga Kun Hong. Selama ia berkumpul dengan Thai Khek Sian, para selirnya. Tok-sim Sian-li, Bu-ceng Tok-ong, dan lain-lain tokoh golongan mereka selalu orang mengutamakan kepentingan sendiri. Ia mengangguk-angguk dengan kening berkerut lalu bertanya lagi, "Kalau aku biang keladinya mengapa kau juga bersusah-payah, malah tadi kau siap mempertaruhkan nyawa membela Siok Lan?"
Eng Lan menggigit bibir dengan gemas. "Anak bodoh! Kalau bukan kau yang menjadi biang keladinya, aku takkan susah-susah seperti ini. Hayo jawab, kau pilih yang mana. Mengawini Siok Lan atau menyambung kembali ikatan jodoh antara dia dan Wi Liong?”
Kun Hong benar-benar tak mengerti. Akan tetapi mendengar desakan pertanyaan tadi, terpaksa ia menjawab. "Tentu saja aku tidak akan mengawini Siok Lan karena aku tidak mencintanya."
”Kalau begitu kita harus ke Wuyi-san sekarang juga." kata Eng Lan.
Di dalam hatinya Kun Hong merasa gentar untuk pergi ke Wuyi-san. Ia tidak takut berhadapan dengan Kwee Sun Tek orang tua buta itu, juga menghadapi Wi Liong sekalipun ia tidak takut. Akan tetapi yang membuat hatinya gentar adalah Thian Te Cu, kakek yang sebetulnya masih terhitung supek-nya (uwa guru) sendiri. Andaikata supeknya turun tangan, ia dapat berdaya apakah? Betapapun juga.
Melihat sepasang mata bintang gadis itu menatap wajahnya penuh selidik, Kun Hong mengertak gigi dan berkata gagah. "Baik, kupenuhi permintaanmu. Mari kita mencari Wi Liong dan kalau perlu akan kupaksa dia pergi ke Poan-kun menyambung tali perjodohannya dengan Kwa Siok Lan."
Eng Lan tersenyum girang dan dengan mesra memegang tangannya. "Kalau begitu mari kita lekas berangkat!" Ia menarik tangan Kun Hong dan pemuda ini sambil tertawa terpaksa mengikuti gadis itu berlari cepat.
"'Eng Lan, nanti dulu! Kau mengajakku ke Wuyi-san mengapa lari ke sana? Kita harus menyeberang sungai ini!"
Eng Lan berhenti, tercengang lalu tertawa. Sambil bergandengan tangan mereka lalu masuk ke dalam perahu yang telah ditinggal pergi oleh pemiliknya tadi, dan Kun Hong mendayung perahu itu ke seberang. Diam-diam ia tersenyum geli melihat kini gadis itu sama sekali tidak perduli lagi bahwa mereka telah memakai perahu orang lain.
Anehnya bagi Kun Hong, setelah tiba di seberang, ia terdorong oleh semacam perasaan yang membuat ia turun tangan mengikat perahu itu pada sebarang akar pohon agar perahu itu jangan hilang dan hanyut.
Heran sekali baru kali ini ia melakukan sesuatu demi kepentingan lain orang, dalam hal ini demi kepentingan si tukang perahu agar jangan kehilangan perahunya. Dan ia tahu dengan penuh keyakinan bahwa perasaan ini timbul karena Eng Lan!
Eng Lan nampak gembira sekali. Memang dia gembira karena akhirnya ia toh akan dapat berjasa dalam membela Siok Lan. Kalau saja ia berhasil menghubungkan kembali perjodohan Siok Lan dan tunangannya! Dengan Kun Hong di sampingnya, ia berbesar hati dan pasti usahanya akan berhasil. Melihat wajah pemuda ini saja sudah mendatangkan keyakinan baginya bahwa bersama Kun Hong, ia akan sanggup melakukan hal-hal besar.
"Eng Lan, aku masih tidak mengerti mengapa, justeru karena aku biang keladinya, maka kau mau bersusah-payah?" di tengah perjalanan Kun Hong bertanya.
Eng Lan memandang kepadanya dengan senyum simpul. "Kelak kau akan tahu sebabnya dan sekarang tak usah kau sebut-sebut hal itu."
Kun Hong melengak. Alangkah besarnya cinta kasih di dalam hatinya terhadap gadis ini. Dengan Eng Lan di sampingnya, seakan-akan hidup ini baru baginya Ia merasa tenang, tenteram, penuh kebahagiaan.
Di lain fihak, Eng Lan yang sudah menyerahkan kasihnya kepada Kun Hong, diam-diam mempergunakan perjalanan jauh ini sebagai ujian terhadap kekasihnya. Di lubuk hatinya ia sudah percaya bahwa kekasihnya ini pada hakekatnya adalah seorang yang baik. Akan tetapi kalau belum terbukti, kelak hanya akan menjadi gangguan batin baginya. Maka ia sengaja tidak menjauhkan diri dan hendak menyaksikan bagaimana watak aseli dari Kun Hong.
Akibatnya hebat bagi Kun Hong. Sering kali di waktu malam, apa bila terpaksa mereka bermalam di dalam hutan karena jauh dari kampung, melihat Eng Lan tidur di bawah pohon tidur pulas dan penuh kepercayaan kepadanya, pemuda ini duduk menjauh, bersandar pohon dan semalam suntuk tak dapat memejamkan matanya. Pelbagai rangsangan hawa nafsu yang digerakkan oleh setan yang tak pernah menjauhi manusia, membuat ia panas dingin.
Akan tetapi setiap kali ia menatap wajah gadis itu, hatinya melembut dan semua rangsangan itu dapat ia tekan. Tidak, pikirnya, Eng Lan bukan seperti wanita lain. Ia mencinta gadis ini dengan murni, penuh kelembutan dan kehormatan. Ia hanya membuka jubahnya untuk diselimutkan kepada tubuh gadis itu dan seekor nyamuk kecil saja yang berani mengganggu Eng Lan, akan mampus oleh sambaran tangannya.
Demikianlah, berpekan-pekan hubungan mereka makin erat dan makin yakinlah hati Eng Lan bahwa pilihannya tidak keliru. Kun Hong benar-benar seorang laki-laki yang boleh dipercaya. Belum pernah ia diganggu di sepanjang perjalanan. Hanya beberapa kali, apa bila mereka sedang duduk berhadapan menghadapi api unggun di dalam hutan untuk mengusir dingin, pemuda itu berkata.
"Eng Lan, setelah selesai tugasku menemui Wi Liong, kau harus kembali kepada suhumu. Aku akan mencari obat dan... dan hanya kalau kelak aku sudah terhindar dari bahaya maut yang mengeram di dalam tubuhku, aku akan mencarimu, akan meminangmu dari tangan suhumu. Sementara itu kita... kita tak boleh berkumpul seperti ini...."
"Kenapa, Kun Hong....?”
"Tidak baik, Eng Lan. Dan.... dan merupakan siksaan bagiku.... semua itu bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan besarnya kekhawatiranku kalau-kalau aku.... tak dapat menahan gelora hatiku.... aku khawatir sekali...."
Eng Lan tersenyum apa bila mendengar keluhan ini, senyum bangga dan girang. Ia tahu akan perjuangan batin kekasihnya, tahu bahwa pengaruh kehidupan lama yang kotor sedang diperanginya sendiri di dalam batinnya. Dan ia senang sekali melihat Kun Hong berada di fihak yang menang. Ia mencinta pemuda ini, mencinta sepenuh jiwanya.
Kepada Kun Hong seorang ia menggantungkan harapannya. Baik Kun Hong menjadi sadar maupun tetap jahat, ia tetap mencintanya. Oleh karena itu gadis ini tidak gentar menghadapi bahaya, karena ia yakin betul bahwa melakukan perjalanan bersama seorang pemuda seperti Kun Hong, merupakan bahaya besar bagi seorang gadis.
Sungguhpun ia berkepandaian, namun apa dayanya terhadap Kun Hong? Kalau pemuda itu runtuh pertahanan batinnya, ia akan menjadi korban Dan andaikata terjadi hal demikian, ia akan mengundurkan diri dari Kun Hong. akan mengundurkan diri dari dunia karena idam-idaman dan cita-citanya berarti sudah hancur. Akan tetapi sebaliknya kalau pemuda itu lulus dalam "ujian" ini, ia benar-benar akan menemui kebahagiaan sejati.
Demikianlah, setelah melakukan perjalanan cukup lama. dua orang muda-mudi ini akhirnya sainpai di Wuyi-san. Karena Kun Hong sudah pernah mendatangi tempat itu, maka mudah ia mencari jalan mendaki bukit itu. Hari telah mulai gelap ketika mereka akhirnya tiba di puncak, di mana tempat tinggal Thian Te Cu. sudah kelihatan. Rumah besar dari batu bertumpuk yang kokoh, kuat itu membuat jantung Kun Hong berdebar lebih keras dari biasanya.
"'Kita berhenti di sini dulu." katanya sambit berhenti dan duduk di atas sebuah batu.
"Kenapa berhenti? Bukankah lebih baik terus langsung menemui Thio Wi Liong?" tanya Eng Lan.
"Tidak. Aku tidak mau mendatangkan keributan. Kalau si tua buta mendengar akan kedatanganku, pasti dia akan marah-marah dan membikin ribut. Lebih baik kita menanti dan sedapat mungkin aku hendak menjumpai Wi Liong sendiri saja."
Ucapan ini memang sesungguhnya, hanya harus ditambah sedikit bahwa sebetulnya selain alasan di atas, juga Kun Hong jerih sekali kalau sampai kedatangannya diketahui oleh Thian Te Cu dan membuat marah orang tua itu. Melihat gadis itu memandang heran dan ragu-ragu, ia melanjutkan.
"Eng Lan, kaupun tahu malam ini terang bulan purnama. Kiranya takkan sukar mencari Wi Liong. Dengan pemuda itu mungkin kita bisa bicara secara baik-baik, akan tetapi tidak demikian dengan pamannya yang keras hati."
Karena Eng Lan sendiri belum pernah bertemu dengan Kwee Sun Tek, dan iapun merasa jerih melihat bangunan yang megah dan kokoh itu, ia menurut saja akan kehendak Kun Hong. Menantilah dua orang muda-mudi ini agak jauh dari bangunan tempat tinggal Thian Te Cu itu, duduk di atas batu-batu hitam.
Tiba-tiba Eng Lan memandang wajah Kun Hong ketika ia mendengar suara yang keluar dari perut yang lapar. Ia teringat bahwa sehari itu Kun Hong belum makan sesuatu. Sudah dua hari dua malam tak pernah bertemu dengan dusun sehingga mereka hanya makan buah-buahan di hutan.
Celakanya, sehari tadi mereka hanya mendapatkan sedikit buah-buah yang masak dan Kun Hong menyuruhnya makan semua sedangkan pemuda itu sendiri hanya minum air gunung dengan alasan ia belum lapar.
Kun Hong juga merasa betapa perutnya yang perih tadi mengeluarkan bunyi perlahan. Wajahnya memerah dan ia tersenyum sambil berkata kepada Eng Lan yang memandangnya dengan kasihan. "Perut tak tahu diri, sering dimanja menjadi tak tahu malu! Padahal dahulu sudah sering kali aku mengalami tak makan sampai berhari-hari."
Eng Lan menarik napas panjang. Alangkah sengsara kehidupan pemuda ini, sunyi dan kosong hidupnya. "Kau tentu lapar sekali, Kun Hong."
"Ah... tidak apa. Sudah jamak sekali-kali mengurangi makan. Seorang gagah menganggap makan soal ke dua. Kalau kita sudah berumah tangga, tentu takkan terjadi hal seperti ini kelaparan di atas gunung." kelakarnya sambil tertawa.
Berdebar jantung Eng Lan mendengar ucapan ini. "Pulang ke rumah...." katanya perlahan tanpa memandang pemuda itu, sebaliknya menatap wajah bulan purnama yang mulai timbul dari timur.
Kata-kata ini amat besar pengaruhnya, amat sedap didengar dan amat indah artinya. Pulang ke rumah, rumah dia dan Kun Hong, suaminya. Rumah yang bahagia, di mana mereka hidup aman tenteram., kasih-mengasihi, dilengkapi pula oleh suara tawa anak-anak! Belum pernah dia merasai kebahagiaan rumah tangga, seperti juga Kun Hong!
Bukan main indahnya pemandangan dipuncak itu ketika bulan purnama bersinar-sinar di angkasa raya yang bersih dan cerah Semua nampak mandi cahaya keemasan, redup hening, sejuk bersih. Memandang ke bawah nampak puncak-puncak pohon hitam kekuningan.
Kadang-kadang bergerak tertiup angin, berombak-ombak membuat dua orang muda itu merasa duduk di atas sebuah perahu besar yang terapung di samudera luas. Menengok ke puncak bukit, kelihatan bangunan dengan genteng-gentengnya yang hitam merah bermandikan cahaya kuning, mengkilat seperti habis dicuci.
"Eng Lan, kau telah kuceritakan tentang riwayatku semenjak kecil. Sekarang sambil menanti bulan naik tinggi, kau berceritalah tentang dirimu. Selama ini yang kuketahui tentang kau hanya bahwa kau seorang gadis bernama Pui Eng Lan murid Pak-thian Koai-jin."
Eng Lan menjawab lirih. "Apa sih yang menarik tertang riwayatku? Semenjak kecil mengalami kesengsaraan belaka."
"Dewiku, kesengsaraan hidup di waktu kecil tak patut disesalkan, malah mereka yang belum pernah merasai kesengsaraan hidup harus dikasihani karena jiwa mereka menjadi lemah. Kesengsaraan hidup di waktu kecil merupakan gemblengan hidup, membuat orang menjadi tabah dan berpengalaman. Bukankah pengalaman-pengalaman yang pahit dan berbahaya itu justeru dapat menjadi kenangan yang tak mudah dilupa dan nikmat dibicarakan?”
Eng Lan menatap wajah kekasihnya di bawah sinar bulan purnama dengan pandang mata berseri akan tetapi ia juga terharu. Benar sekali dugaannya, kekasihnya ini bukan pada dasarnya jahat, melainkan telah terkena noda hitam karena dahulunya selalu berdekatan dengan pergaulan kotor.
"Riwayatku singkat dan tidak menarik." ia mulai menuturkan keadaan dirinya. "Entah masih ada berapa banyak gadis yang seperti aku riwayatnya, yang hingga kini masih tenis-menerus berulang, riwayat anak-anak malang para petani dusun."
Kun Hong mendengarkan dengan penuh perhatian, sepasang matanya yang tajam luar biasa itu menatap wajah Eng Lan penuh perasaan cinta kasih dan iba hati.
"Ayah bundaku petani-petani dusun yang miskin. Sampai sekarangpun aku masih bertanya-tanya dalam hati mengapa para petani yang mengerjakan sawah ladang, yang memeras keringat bercocok tanam kadang-kadang malah tidak dapat makan, banyak malah yarg mati kelaparan.
"Tak mengerti aku mengapa di kota-kotalah tempat beras dan sayur berlimpah-limpah sedangkan di dusun, di tempat tumbuh dan dikerjakannya semua bahan pangan itu orang-orang sampai kekurangan dan kelaparan. Tentu saja aku mengerti kemudian bahwa inilah gara-gara para tuan tanah, gara-gara para pengisap darah rakyat petani yang diperlakukan lebih buruk dari pada kerbau-kerbau atau anjing-anjing.
"Demikian payah kehidupan para petani, tidak saja banyak di antara mereka yang mati kelaparan bahkan banyak yang terpaksa menjual anak-anak mereka, yang wanita untuk dijadikan permainan para tuan tanah dan pembesar setempat, yang laki-laki untuk dijadikan budak, dijadikan kerbau kaki dua!"
Kun Hong memandang heran. Baru kali ini ia mendengar hal-hal seperti itu dan sukar baginya untuk mempercaya. Semenjak dahulu, dia tidak pernah dihadapkan dengan hal-hal seperti itu. Dunianya yang dulu hanyalah mempergunakan kepandaian untuk memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan sandang-pangan maupun kebutuhan lain, tanpa memperdulikan bagaimana caranya mendapatkan itu. Baik dengan merampok maupun mencuri, asalkan terpenuhi hasrat hati dan kebutuhan.
"Oleh karena keadaan hidup yang tercekik, bagi kaum tani, menikah berarti menambah beban hidup yang luar biasa, permulaan dari pada semua kesengsaraan karena sudah hampir lajim menjadi kenyataan bahwa mempunyai anak berarti sebuah malapetaka besar. Banyak sekali kandungan digugurkan, malah tidak jarang orang terpaksa mencekik mati bayi yang baru lahir, apa lagi kalau bayinya perempuan..."
"Setan...!!" Kun Hong memaki kaget. "Bagaimana manusia bisa sekeji itu? Banyak sudah kumelihat perbuatan kejam, akan tetapi belum pernah yang sekeji itu!"
"Siapa itu yang kau katakan kejam dan keji?'
"Siapa lagi kalau bukan setan-setan yang mencekik mati bayi sendiri yang baru terlahir?”
"Kau keliru. Mereka itu lebih patut dikasihani dari pada dimaki sungguhpun aku sendiri pribadi tidak dapat menyetujui perbuatan itu," kata Eng Lan sambil menarik napas panjang.
"Lebih patut dikasihani?" Kun Hong tiba-tiba tertawa bergelak. "Eng Lan kau kadang-kadang membuat aku bingung. Dengan kau di dekatku, aku mulai belajar membedakan mana yang baik dan mana yang jahat, akan tetapi pertanyaanmu bahwa orang-orang yang mencekik mati bayinya sendiri yang baru terlahir kau sebut patut dikasihani dari pada dimaki, benar-benar membuat aku bingung."
"Itulah kalau kau hanya melihat sesuatu peristiwa dari sudut terakhir saja tanpa menjenguk awalnya atau itidak mencari tahu akan sebab-sebabnya. Kau tahu Kun Hong, mereka yang terpaksa membunuh bayi sendiri itu melakukannya dengan mata tertutup dan air mata bercucuran, malah tanpa terlihat darah bercucuran di dalam hatinya.
"Mereka melakukannya karena terpaksa, karena maklum bahwa kalau anak itu dibiarkan hidup, apa lagi kalau perempuan kelak hanya akan mengalami kesengsaraan hidup yang tiada taranya. Baru membesarkannya saja sudah setengah mati, ayah bunda sudah kekurangan makan mana bisa ditambah mulut seorang anak lagi, apa lagi kalau perempuan?
"Setelah anak itu besar, akhirnya hanya akan digelandang pergi oleh tuan-tuan tanah, ya yang muda, ya yang kakek-kakek, semua mereka itu bandot-bandot belaka. Untuk mencegah hal ini kelak terjadi, malapetaka hebat yang tidak saja akan menimpa anak perempuannya akan tetapi mungkin menyeret sekeluarga, jalan satu-satunya hanya membunuh anak itu sebelum menimbulkan rasa kasih sayang yang besar."
Kun Hong melompat berdiri dan membanting-banting kakinya. Wajahnya merah dan ia kelihatan marah sekali. Dicabutnya pedang Cheng-hoa-kiam lalu diputar-putarnya pedang itu cepat bagaikan kilat menyambar-nyambar, mulutnya mengeluarkan geraman-geraman perlahan yang menggetarkan hati Eng Lan.
"Kun Hong...! Kau kenapa...?” gadis itu menegur, heran dan khawatir.
Mendengar suara gadis ini. Kun Hong sadar kembali dan menghentikan amukannya pada udara kosong. Akan tetapi ia masih marah dan membanting-banting kakinya. "Keliru...! Keliru besar manusia-manusia tolol itu! Itu hanya perbuatan manusia-manusia bodoh yang lemah, tiada bedanya dengan anjing-anjing dipentung berlari sambil berkuikan. Ditindas dari atas malah membunuh anak sendiri! Untuk apa manusia-manusia demikian hidup?”
Karena dia sendiri anak seorang petani dusun, mendengar maki-makian ini Eng Lan menjadi panas hatinya. "Kalau menurut kau, harus bagaimana?”
"Lawan saja para penindas itu! Andaikata benar yang membuat hidup mereka demikian celaka adalah tuan-tuan tanah, para hartawan dan bangsawan di dusun, andaikata benar tuan-tuan tanah itu memeras keringat dan darah mereka, mengapa tidak serentak bangkit melakukan perlawanan? Hancurkan saja lintah-lintah darat itu, ganyang habis penindas-penindas itu, dan aku siap mengorbankan nyawa untuk membantu!"
Pemuda itu berdiri tegak penuh semangat, seperti seorang patriot yang menyatakan hendak membela tanah air dari serangan musuh negara.
Eng Lan berseri kembali wajahnya, ia bangga terhadap kekasihnya. "Kalau saja banyak orang gagah seperti kau, dan kalau saja sejak dulu kau bersikap seperti ini, alangkah banyaknya orang dusun yang tertolong hidupnya. Kun Hong, kau tidak tahu bahwa para petani miskin itu amat lemah kedudukannya.
"Apakah daya mereka? Aku lebih tahu karena dahulu akupun anak petani di dusun. Berapa banyaknya petani yang sudah nekat dan memberontak, akan tetapi dalam beberapa hari saja habis dibasmi oleh kaki tangan hartawan dan bangsawan di dusun yang rata-rata terdiri dari tukang-tukang pukul yang kuat dan berkepandaian?
"Sungguh celaka keadaan mereka, tidak melawan mati kelaparan atau sedikitnya hidup seperti binatang, kalau melawan tewas semua dengan sia-sia. Kalau tidak orang-orang seperti kita yang turun tangan membantu biar seratus tahun lagi mereka akan tetap tertindas dan terhisap."
"Aku akan membela mereka!" teriak Kun Hong bersemangat.
Eng Lan memegang tangan pemuda itu dan matanya berlinang. "Terima kasih, Kun Hong. Bagus sekali kau bersikap seperti ini. Jangan kau kembali seperti dulu, membantu penjajah Mongol yang menambah beban rakyat karena para tuan tanah dan bangsawan itu rata-rata juga telah menjadi kaki tangan penjajah itu."
"Apa....?" Kun Hong menjadi pucat. "Kau bilang bahwa dulu aku malah membantu mereka yang membikin celaka rakyat jelata?”
"Tidak salah. Dengarlah ceritaku selanjutnya agar kau tahu manusia macam apa itu bangsawan Liu yang hendak kau bela di kota raja, hartawan yang putus lehernya oleh pedangku."
Kun Hong ditarik lengannya dan duduk kembali di atas batu siap mendengarkan cerita gadis yang sudah dapat membuat ia terpengaruh lahir batin itu.
"Seperti kuceritakan tadi, ayah bundaku petani-petani miskin sekali yang penghasilannya hanya mengerjakan sawah tuan tanah sebagai buruh tani. Berpuluh tahun keringat dari darah ayah bundaku diperas untuk menggarap sawah dan memenuhi gudang tuan tanah sedangkan ayah ibu hanya menerima sekedar tidak kelaparan. Ayah ibu hanya punya dua orang anak perempuan, enciku dan aku.
"Enci sudah menikah dengan seorang pemuda tani juga dan pindah ke dusun dekat kota tempat tinggal hartawan Liu untuk mengerjakan sawah hartawan itu. Aku tinggal bersama ayah bundaku. Kemudian malapetaka menimpa keluarga kami ketika aku berusia limabelas tahun. Tuan tanah yang dikerjakan sawahnya oleh ayah, mempunyai niat jahat terhadap diriku.
"Ayah dan ibu biarpun miskin, namun tidak sudi menuruti permintaannya. Bermacam usaha dan jalan dilakukan oleh tuan tanah jahanam itu, sampai akhirnya ayah ibu mereka tahan dengan tuduhan menggelapkan hasil panen dan aku yang ditinggal seorang diri diculik oleh kaki tangannya."
"Keparat jahanam! Katakan siapa dan di mana tuan tanah itu, akan kuhancurkan kepalanya!" Kun Hong membentak dan mengenal tinjunya.
"Sabar dan dengarkan saja sampai habis," Eng Lan menghibur sambil menangkap dan menggenggam tangan kekasihnya itu.
"Baiknya pada waktu itu muncul suhu di dusun itu. Suhu menolongku dan membunuh tuan tanah keparat. Ketika suhu hendak menolong ayah bundaku, ternyata ayah ibu telah.... mati di dalam kamar tahanan, membunuh diri dengan membenturkan kepala pada dinding...." Sampai di sini Eng Lan menangis sedih.
Kun Hong memeluk dan mendekap kepalanya, mengelus-elus rambut gadis itu dengan menahan air matanya sendiri. "Kasihan sekali kau... dewiku...."
Tak lama kemudian Eng Lan sudah dapat menguasai dirinya dan dia melanjutkan ceritanya. "Karena aku tiada sanak kadang lagi, dan karena suhu kasihan melihatku semenjak saat itu aku menjadi muridnya. Suhu menjadi pengganti orang tuaku dan aku berlatih ilmu dengan giat karena aku menjadi yakin bahwa hanya dengan memperkuat diri dan bersatu dengan rakyat jelata maka kelak kita akan dapat mengubah keadaan rakyat, yang demikian sengsaranya.
"Kemudian dapat kau bayangkan betapa sakit hatiku ketika mendengar bahwa enciku sekeluarga juga dibunuh habis oleh kaki tangan bangsawan Liu karena hartawan itu tergila-gila melihat kecantikan enciku. Aku mendengar bahwa keparat itu sudah pindah ke Peking.
"Aku mohon pertolongan suhu dan akhirnya seperti kau ketahui, aku berhasil membalas sakit hati enciku dan membunuh keparat she Liu tua bangka mata keranjang itu. Kebetulan sekali aku mendapat bantuan enci Siok Lan dan susioknya (paman gurunya) maka segala sesuatu berjalan lancar." Pada saat Eng Lan mengakhiri ceritanya, bulan sudah naik tinggi dan keadaan malam itu menjadi makin terang dan makin sejuk.
Tiba-tiba terdengar suara tiupan suling yang amat indah. Lagu yang ditiup dari suling itu adalah lagu yang terkenal yaitu lagu "Penggembala Merindukan Puteri" sebuah lagu percintaan yang dipetik dari sebuah dongeng tentang penggembala yang melihat puteri raja dan jatuh hati kepadanya.
Penggembala itu setiap hari menumpahkan rasa rindunya melalui suling. Demikian pandai ia menyuling, demikian indah suara sulingnya sampai-sampai ia menjadi terkenal dan diundang ke istana untuk bermain suling di depan keluarga raja termasuk sang puteri itu!
Saking bagusnya ia menyuling dan saking kagumnya keluarga raja mendengar tiupan suling penuh perasaan ini, raja lalu menjanjikan hadiah dan menyuruh penggembala itu memilih sendiri hadiahnya. Tanpa ragu-ragu lagi penggembala itu menunjuk pilihannya, yaitu sang puteri itulah!
Raja dan orang-orang lain di situ kaget sekali. Raja marah, menyuruh tangkap penggembala itu dan menyuruh algojo memenggal batang lehernya di saat itu juga! Melihat ini, sang puteri jatuh sakit sampai matinya.
Demikianlah dongeng itu yang tersusun dalam sebuah lagu yang kini dimainkan orang denngan suling di tengah kesunyian malam bulan purnama itu...