Cheng Hoa Kiam Jilid 14

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Cheng Hoa Kiam Jilid 14
Sonny Ogawa

Cheng Hoa Kiam Jilid 14, karya Kho Ping Hoo - SEE-THIAN HOAT-ONG adalah adik seperguruan dan Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek, jadi paman guru dari Kwa Siok Lan. Dia mengawani Siok Lan ke Peking untuk membantu pergerakan para orang gagah karena Kwa Cun Ek sendiri berhalangan pergi dan sedang menderita sakit.

Cerita Silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

Memang semenjak ditinggal pergi oleh isterinya yaitu Tung-hai Sian-li, sering kali Kwa Cun Ek termenung penuh kedukaan dan sering kali menderita sakit di dada. Sekarang muncul Tung-hai Sian-li sedangkan Kwa Siok Lan berada di situ. Ibu dan anak yang tak pernah bertemu muka semenjak Siok Lan berusia satu tahun dan ditinggalkan, sekarang akan bertemu! See-thian Hoat-ong mengkhawatirkan kalau akan terjadi sesuatu yang tak diingini antara ibu dan anaknya ini.

"Hei, setan-setan gundul yang di kelenteng, mana jembatan tambang kalian?" teriak Lam-san Sian-ong dengan suaranya yang nyaring dan tongkat di tangan kanannya diacung-acungkan.

"Kakek buntung, kenapa kau tidak terbang saja ke sini?” Pak-thian Koai-jin berseru menggoda.

"Pengemis kelaparan, sayapku belum tumbuh, mana bisa terbang?”

Selagi dua orang kakek aneh yang sama pendek sama gemuknya itu berkelakar mempergunakan tenaga khikang untuk "mengirim'" suara mereka satu kepada yang lain. Souw Lo Hosiang memberi perintah kepada murid-muridnya untuk mengambil tambang dan panahnya. Empat orang murid menggotong gulungan tambang yang panjang dan kuat, seorang murid lain membawa sebuah gendewa besar dan berat.

Souw Lo Hosiang adalah murid Bhok Lo Cin-jin yang amat pandai menggunakan anak panah, dan dia pula yang menciptakan jembatan tambang yang hanya dapat dipasang olehnya secara istimewa, yaitu menggunakan anak panahnya. Dengan tenang tapi cepat ia memasangkan sebatang anak panah yang berat dan kuat terbuat dari pada baja tulen pada gendewanya setelah ekor anak panah itu diikat oleh ujung tambang.

Ia berdiri di belakang jendela bulan, memasang kuda-kuda yang teguh seperti biasa anak murid Siauw-lim-pai memasang kuda-kuda. mementang gendewa sampai hampir melengkung bundar, lalu mulutnya berseru. "Haaaiiiihhh!"

Terdengar suara menciut dan anak panah itu meluncur seperti burung terbang ke seberang jurang, membawa tambang yang melayang di belakangnya seperti ular yang panjang sekali. Betul indah kelihatannya anak panah yang di belakangnya diikuti tambang itu dan anak panah itu akhirnya dengan tepat sekali menancap pada batang pohon besar yang tumbuh diseberang jurang. Kalau tidak memiliki tenaga lweekang yang matang dan kepandaian ilmu memanah yang mahir, tak mungkin dapat melakukan apa yang telah diperlihatkan oleh Souw Lo Hosiang tadi.

"Bagus!" Pak-thian Koai-jin memuji.

Sementara itu, Lam-san Sian-ong dan kawannya yang berada di seberang segera mengikatkan ujung tambang itu erat-erat dan kuat-kuat kepada batang pohon besar. Tambang lalu ditarik oleh Souw Lo Hosiang sampai menegang kemudian ujungnya yang sebelah sini diikatkan pada tiang yang berada di luar ruangan, maka siaplah jembatan tambang itu.

Lam-san Sian-ong bersama kawannya lalu melompat ke atas tambang dan berlari-lari dengan enaknya seperti akrobat-akrobat tambang yang mahir. Hal ini tidak mengherankan kalau orang mengenal siapa Lam-san Sian-ong dan kawannya itu yang setelah dekat ternyata benar Tung-hai Sian-li adanya.

Lam-san Sian-ong, kakek yang tangan kirinya buntung itu memiliki ilmu yang sudah terkenal di seluruh wilayah selatan, sedangkan Tung-hai Sian-li, siapakah di antara orang kang-ouw yang tidak pernah mendengar namanya? Orangnya jujur dan galak akan tetapi pedang dan ilmu silatnya lebih galak lagi!

Sebagai tuan rumah. Souw Lo Hosiang menyambut kedatangan dua orang tamu yang sudah dikenalnya baik siapa adanya itu dengan menjura dan berkata, "Sungguh merupakan kehormatan besar bagi kelenteng yang buruk ini menerima kunjungan ji-wi yang terhormat. Selamat datang......!"

Tung-hai Sian-li balas menjura sebagaimana mestinya, wajahnya yang cantik dan masih nampak muda itu kelihatan sungguh-sungguh dan bibirnya memperlihatkan senyum sopan. Akan tetapi Lam-san Sian-ong hanya menggerak-gerakkan tangannya yang buntung tanpa membalas penghormatan orang, hanya berkata,

"Siauw-lim-pai benar-benar partai terbesar, di mana-mana terdapat muridnya yang pandai. Ilmu memanah tadi benar-benar tidak jelek. Kau ini seorang hwesio tak pernah makan daging bisa mempunyai tenaga sehebat itu, benar-benar mengagumkan sekali."

Souw Lo Hosiang hanya tersenyum menjura dan merendahkan diri. Dia sudah kenal baik watak orang aneh ini. Bukan Lam-san Sian-ong namanya kalau bicaranya genah! Sudah menjadi watak Lam-san Sian-ong kalau bicara tidak karuan atau seenak perutnya sendiri saja.

Lam-san Sian-ong lalu menghadapi Pak-thian Koai-jin dan See-thian Hoat-ong sambil berkata. "Kedatanganku bersama Tung-hai Sian-li ini untuk menyelamatkan nyawa kalian dari bahaya maut!”

"Lam-san Sian-ong, enak saja kau bicara!" suara See-thian Hoat-ong menggeledek. "Apa kau kira kami ini memerlukan bantuanmu kalau hanya ingin menjaga keselamatan diri saja?"

"Hoat-ong, perduli apa obrolan kosong Lam-san Sian-ong si kakek buntung?" kata Pak-thian Koai-jin mengejek. "Lebih baik kita bicara dengan Tung-hai Sian-li. Sebetulnya apakah yang terjadi dan berita apa yang kalian bawa?” tanya Pak-thian Koai-jin kepada wanita itu.

Sebelum menjawab, Tung-hai Sian-li melirik ke arah Thio Wi Liong yang sejak tadi masih berdiri di pojok dengan pandang mata penuh kekaguman dan kegembiraan dapat bertemu dengan orang-orang ternama di dunia kang-ouw. "Aku mengenal kalian, juga mengenal Souw Lo Hosiang dan murid-muridnya. Akan tetapi di sini kulihat seorang pemuda asing, tak enak untuk bicara!”

Pak-thian Koai-jin tertawa dan memang kakek ini wataknya aneh sekali. Melihat orang tersinggung ia malah suka melihat orang tergoda malah diketawai. wataknya presis seorang bocah yang bengal sekali. Mendengar ucapan Tung-hai Sian-li, ia mengerti betapa tersinggung dan tak enak hati Wi Liong maka sengaja ia berkata.

"Kalau begitu mari kita bicara di luar ruangan ini!" Cepat ia mengajak kawan-kawannya keluar dari ruangan dan sebentar saja Wi Liong ditinggal seorang diri!

Diam-diam pemuda ini mendongkol sekali dan merasa tidak suka kepada Tung-hai Sian-li, wanita yang dianggapnya amat galak dan penuh curiga. Ia tersenyum mengejek karena orang-orang yang menganggap diri sebagai pentolan-pentolan kang-ouw itu terlalu memandang rendah kepadanya.

Mereka itu sama sekali tidak tahu bahwa biarpun mereka mengadakan pembicaraan di luar ruangan itu dengan suara perlahan tetap saja pendengarannya yang tajam masih dapat menangkap pembicaraan itu dengan cukup jelas!

Akan tetapi hatinya sudah panas, mana ia sudi mendengarkan percakapan orang? Malah ia sengaja menjauhkan diri berdiri di depan jendela bulan. Hanya karena mendengar disebutnya nama Beng Kun Cinjin membuat Wi Liong terpaksa memasang telinga mendengarkan juga.

"Mereka mengira bahwa Beng Kun Cinjin bersembunyi di sini, maka mereka datang dengan pengerahan tenaga ratusan orang perajurit pilihan. Di antara mereka terdapat Bu-ceng Tok-ong. Tok-sim Sian-li. Hek-mo Sai-ong dan beberapa orang Panglima Mongol yang kosen. Sama sekali kita bukan lawan mereka dan melawan berarti membuang nyawa cuma-cuma. Untuk apa kita melayani mereka?" terdengar Tung-hai Sian-li berkata.

"Jalan ke sini tidak ada dan tanpa jembatan tambang tak mungkin mereka datang. Takut apa? Kalau mereka berani melalui jembatan tambang, kita tinggal merobohkan mereka seorang demi seorang." kata Pak-thian Koai-jin.

"Tidak bisa begitu." See-thian Hoat-ong mencela. Dia seorang bekas raja muda, juga bekas panglima perang, tentu saja mengerti akan siasat perang. "Barisan Mongol dipimpin oleh panglima-panglima yang pandai. Mereka takkan begitu goblok untuk mencoba menyerbu ke sini melalui jembatan tambang. Ada dua macam penyerangan mereka, pertama menghujani anak panah sampai kelenteng ini terbakar habis dan ke dua mengurung sekeliling jurang memutuskan jalan keluar sehingga kita akan menjadi kering dan kelaparan di tempat ini."

"Waduh, benar-benar bukan jalan mati yang enak." Pak-thian Koai-jin berkelakar, "mati terpanggang atau mati kelaparan. Lebih baik kita terbang pergi saja!"

"Itulah jalan terbaik”, kata See-thian Hoat-ong, "kita lari dari sini bukan karena takut musuh, hanya agar jangan mati konyol. Biarpun kita lari, masih ada bahaya terkepung di seberang sana akan tetapi lebih baik dikeroyok dan tewas dalam pertempuran dengan golok di tangan dari pada mati konyol di sini tanpa dapat membalas sedikit pun kepada musuh."

Pada saat itu dari dalam muncul Kwa Siok Lan dan Pui Eng Lan. Mereka mendengar orang bercakap-cakap dan mendengar suara wanita, maka dengan heran mereka lalu keluar. Anehnya, tidak hanya mata Eng Lan yang merah bekas menangis, malah mata Siok Lan juga kelihatan tanda-tanda bekas menangis! Hal ini tidak mengherankan kalau diingat betapa mendongkol dan marahnya mendengar tunangan, calon suaminya, menyatakan tidak suka akan ikatan jodoh itu!

Pak-thian Koai-jin yang melihat Tung-hai Sian-li membalikkan tubuh dan memandang kepada dua orang gadis itu, segera tertawa dan memperkenalkan muridnya. "Tung-hai Sian-li, jangan curiga. Yang hitam manis itu adalah muridku. Pui Eng Lan...!"

Akan tetapi Tung-hai Sian-li seperti tidak mendengar ucapan ini dan matanya menatap wajah Siok Lan dengan tajam. Sebaliknya, ketika Siok Lan mendengar Pak-thian Koai-jin menyebut wanita itu Tung-hai Sian-li. seketika menjadi pucat wajahnya dan matanya terbelalak menatap wanita itu, bibirnya gemetar dan tubuhnya agak menggigil. Ia melangkah maju tiga tindak, matanya seakan-akan membakar seluruh tubuh Tung-hai Sian-li, telunjuknya menuding dan bibirnya yang gemetar itu berkata perlahan,

"'Kau... kau... Tung-hai Sian-li....??” Ia segera memutar tubuhnya dan menutupi muka dengan kedua tangan, menangis terisak-isak. Jadi inikah ibunya? Wanita cantik jelita dan gagah perkasa ini ibu kandungnya? Keharuan membuat seluruh tubuhnya menggigil dan tentu ia akan menubruk, merangkul ibu kandungnya yang sering kali ia impi-impikan ini kalau saja tidak teringat olehnya betapa ibunya dengan keji telah meninggalkan ayahnya dan meninggalkan ia ketika ia berusia satu tahun!

Perbuatan ini ia anggap sebuah perbuatan yang paling kejam tiada taranya, perbuatan yang tidak boleh diampunkan! Ia bangga melihat ibunya demikian cantik, gagah dan masih muda nampaknya, akan tetapi ia menjadi benci sebenci-bencinya kalau teringat akan perbuatan ibunya terhadap ayahnya, teringat betapa ayahnya menderita, betapa ayahnya sering kali jatuh sakit dan mengigau menyebut-nyebut nama ibunya.

Dengan dua langkah lebar Tung-hai Sian-li sudah berada di belakang Siok Lan. Dia seorang wanita yang jujur dan galak. Sekali tangannya bergerak ia sudah memegang pundak Siok Lan dan diputarnya tubuh gadis itu sehingga menghadapinya. "Siapa kau? Apa maksud sikapmu yang aneh ini? Hayo kau bilang!"

Diguncang-guncang tubuh Siok Lan dengan tangannya yang amat kuat sehingga gadis itu terhuyung-huyung. See-thian Hoat-ong melangkah maju dan berkata dengan suaranya yang keren dan tegas. "Tung-hai Sian-li dia inilah puteri suheng yang kau tinggalkan ketika ia masih berusia satu tahun!"

Bagaikan disambar geledek. Tung-hai Sian-ii tersentak mundur, wajahnya pucat sekali. "Kau... kau...?” katanya perlahan dan di lain saat ia telah menubruk dan merangkul Siok Lan.

Untuk sesaat Siok Lan menyerah kepada perasaan hatinya membalas pelukan kasih sayang ibunya, akan tetapi segera ia merenggut diri terlepas dan berkata, "Tidak... tidak...! Kau bukan ibuku... kau wanita yang mencelakai hidup ayah... pergi kau...!"

Tung-hai Sian-li berdiri terpaku, tak bergerak dan tidak tahu harus berbuat apa, matanya masih basah air mata yang sudah belasan tahun tak pernah mengalir dari matanya, kedua tangan terkepal, hatinya tidak karuan rasanya. Semua orang berdiri tertegun, juga terharu menghadapi pertemuan luar biasa ini.

Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring sekali. "Kun Hong, kalau kau laki-laki, tunggu aku di seberang situ. Aku Thio Wi Liong, masih ingatkah kau? Mari kita ulangi pibu yang dahulu untuk melihat siapa yang lebih unggul!"

Dari seberang jurang terdengar jawaban nyaring. "Aha, bagus sekali! Jadi kaukah itu? Kesinilah, aku sudah siap menghajarmu setengah mampus!”

Mendengar teriakan-teriakan ini semua orang lari ke ruangan itu dan melihat Wi Liong sudah melompat ke atas jembatan tambang. Pemuda itu menoleh dan berkata kepada Pak-thian Koai-jin.

"Locianpwe harap bawa kawan-kawan menyeberang, biar aku yang menjaga di sana."

Semua orang mendongkol karena siapa percaya omongan pemuda itu? Di seberang sana kelihatan Kun Hong. Bu-ceng Tok-ong, Tok-sim Sian-li dan yang lain-lain, bahkan kelihatan barisan di lereng bukit, bagaimana pemuda itu bisa menjaga di sana? Tentu untuk menyombong saja dan sebetulnya pemuda itu hendak melarikan diri.

"Celaka, jangan-jangan dia itu mata-mata musuh yang sengaja memancing kita!" tiba-tiba Pui Eng Lan berkata dan tangannya bergerak. Sebatang piauw menyambar ke arah punggung Wi Liong.

Tak terasa lagi Siok Lan mengeluarkan teriakan kaget. Teriakan ini disusul oleh seruan-seruan kaget dan kagum dari lain orang yang berada di situ ketika melihat betapa piauw yang tepat mengenai punggung Wi Liong itu runtuh ke bawah seperti mengenai tubuh terbuat dari karet saja. Wi Liong seperti tidak merasa apa-apa dan berjalan terus. Benar-benar mengherankan sekali.

Pemuda yang berjalan di atas tali itu saja menggunakan kedua lengan untuk menahan keseimbangan tubuh, yang kelihatan begitu lemah, bagaimana bisa menahan serangan piauw seakan-akan punggungnya itu disentuh oleh tangan yang halus?

Akan tetapi See-thian Hoat-ong yang tidak mau membuang banyak waktu segera berkata. "Hayo kita menyeberang ke sana sebelum mereka bergerak!" Dan ia menarik tangan Siok Lan, mengajak keponakannya itu melompat ke atas jembatan tambang disusul oleh Pak-thian Koai-jin yang menarik tangan muridnya, kemudian disusul oleh Tung-hai Sian-li. dan Lam-san Sian-ong.

Souw Lo Hosiang dan para muridnya tidak mau meninggalkan kelenteng. "Pinceng tinggal di sini, mereka kiranya takkan mengganggu para hwesio...”

Karena kukuh tidak mau ikut pergi, terpaksa pendeta ini dan murid-muridnya ditinggalkan. Sementara itu. Wi Liong sudah sampai di seberang jurang di mana ia disambut oleh Kun Hong yang memandang kepadanya lalu tertawa bergelak,

"Eh eh, benar-benar kau ini? Ha-ha-ha. Wi Liong. Menyeberangi jembatan tambang saja kau sudah gemetaran, masa kau berani menantang pibu kepadaku?”

"Kun Hong, soal pibu tentu saja akan kulayani. Akan tetapi yang terpenting sekarang, mengapa kau tidak bertindak sebagai seorang laki-laki? Kau sudah berjanji hendak mengadu tenaga tiga hari kemudian, mengapa sekarang kau sudah datang lagi dan membawa kawan-kawan? Apakah janjimu tak dapat dipegang lagi?”

"Janji macam apa? Jangan banyak cerewet kau!” bentak Bu-ceng Tok-ong dan tangannya menampar ke arah kepala Wi Liong, tamparan yang mengandung kekuatan dan pukulan berhawa racun.

"Ayaaaa Bu-ceng Tok-ong betul-betul tak tahu malu!" ejek Wi Liong dan ia mengangkat tangan kiri menangkis. "Plakk!" dua tenaga hebat bertemu melalui dua lengan tangan.

"Ayaaaaaa.....!" Tubuh Bu-ceng Tok-ong terhuyung mundur dan Raja Racun ini memegangi lengan kanannya yang seperti remuk tulangnya rasanya. Ia meringis dan menahan sakit sambil memandang penuh keheranan dan penasaran. Mana ia bisa menyangka bahwa bocah yang dulu pernah hendak ia jadikan murid, sekarang telah menjadi begini lihai sehingga sekali tangkis saja tidak hanya dapat menolak hawa pukulan beracun, malah hampir membikin remuk tulang lengannya?

"Tok-ong. muridmu itu manis sekali sekarang!" ejek Tok-sim Sian-li yang sudah mencabut pedang. "Sayang dia memihak musuh." Sambil bicara tangannya bekerja, pedangnya menusuk dan tangan kirinya melakukan pukulan Toat-sim-ciang yang lihai!

"Kun Hong, guru-gurumu memang mboceng-li (tak tahu aturan)!" ejek Wi Liong lagi. Ia menggerakkan tangan kiri lagi dikibaskan ke arah pedang sedangkan tangan kanan wanita itu yang menghantam dadanya tidak diapa-apakan, ia terima begitu saja pukulan itu.

"Dukk...! Aaauuuu...!!" Tok-sim Sian-li hampir saja melepaskan pedangnya. Ia merasa pergelangan tangan kanannya lumpuh dan kepalan tangan kiri yang melakukan Pukulan Pencabut Jantung sakit bukan main.

"Kun Hong... mengapa guru-gurumu begini lemah?” Wi Liong mengejek Kun Hong lagi, sengaja membikin panas hati pemuda itu supaya jangan mempunyai kesempatan mengganggu Pak-thian Koai-jin dan kawan-kawannya yang sudah mulai berdatangan menyeberang melalui jembatan tambang.

"Apa anehnya mengalahkan dua orang yang sudah tua-tua?" teriak Kun Hong. "Akulah lawanmu, jangan kau sombong!"

"Kun Hong, hati-hati. Dia murid Thian Te Cu...!" Kata Bu-ceng Tok-ong yang kini sudah percaya betul akan kelihaian pemuda yang dulu dibawa pergi oleh Thian Te Cu ini.

"Kun Hong... kau bilang aku sudah tua...?" Tok-sim Sian-li berseru dengan suara sedih mengandung keluhan.

Akan tetapi Kun Hong tidak perdulikan seruan dua orang itu dan mulai menyerang Wi Liong dengan pukulan kanan kiri yang dahsyat. Kembali Wi Liong tertegun karena pukulan ini mengandung unsur-unsur pat-kwa dan dasarnya hampir sama dengan pukulan Pat-kwa-ciang-hoat yang ia pelajari dari gurunya.

"Hemmm, agaknya kau sudah menerima pelajaran dari Thai Khek Sian." Wi Liong yang sudah dapat menduga itu menegurnya.

Kun Hong hanya mempercepat serangannya tanpa menjawab. Wi Liong cepat mengelak karena maklum akan kelihaian serangan ini dan sebentar saja dua orang muda murid orang-orang sakti itu mulai bertanding hebat sekali.

Sementara itu, Pak-thian Koai-jin dan kawan-kawannya sudah sampai di tempat itu. "Lari terus jangan layani pertempuran. Musuh terlampau banyak, barisan berada di lereng!" seru See-thian Hoat-ong yang maklum bahwa kalau bertempur, kawan-kawannya akan menghadapi keroyokan beratus orang musuh.

Pui Eng Lan dan Kwa Siok Lan berlari didepan, baru di belakangnya mengikuti Lam-san Sian-ong, Tung-hai Sian-li, See-thian Hoat-ong dan Pak-thian Koai-jin. Sebagai seorang ahli perang, See-thian Hoat-ong maklum bahwa biarpun fihaknya kuat sekali, namun fihak musuh selain mempunyai orang-orang pandai seperti Bu-ceng Tok-ong dan lain-lain, juga terdiri dari ratusan orang tentara, sehingga kalau terjadi pengeroyokan, fihaknya yang akan kalah.

Beberapa orang perwira membawa pasukan mereka menghadang dan mencoba untuk menghalangi larinya enam orang ini. Akan tetapi mana bisa mereka menghadapi orang-orang gagah itu? Eng Lan dan Siok Lan mengerjakan pedang masing-masing dan beberapa orang anggauta pasukan roboh. Lam-san Sian-ong memutar tongkat bambunya dan empat orang jungkir-balik tak dapat bangun lagi.

Yang hebat adalah Tung-hai Sian-li. Tokoh wanita ini sedang marah dan sedih karena melihat puterinya yang cantik itu tidak mau mengakuinya, maka sekarang menghadapi pasukan musuh ia melampiaskan kemarahannya. Pedangnya menyambar bagaikan kilat menyambar-nyambar dan celakalah pengeroyok yang terkena sinar pedangnya.

Pak-thian Koai-jin sambil tertawa-tawa merobohkan banyak pengeroyok dengan tongkat bambu dan mangkoknya. Lima orang itu kiranya akan lupa waktu dan terus membabati musuh yang empuk-empuk itu kalau saja di situ itidak ada See-thian Hoat-ong yang memberi "komando". Kakek bermuka merah bekas panglima besar ini yang memberi ingat kepada kawan-kawannya bahkan dia yang mengatur siasat mencari jalan keluar yang paling lemah.

Akhirnya mereka dapat menyelamatkan diri turun dari bukit itu dari sebelah selatan, bebas dari pengepungan para tentara Mongol yang berani mati itu. Akan tetapi di dalam keributan itu setelah terbebas dari pengeroyokan, baru mereka melihat bahwa Kwa Siok Lan tidak berada di situ!

"Celaka mana dia...! Mana Siok Lan...?” seru Tung-hai Sian-li dengan muka berubah. Tokoh-tokoh yang lain juga kaget, khawatir kalau-kalau gadis itu roboh oleh pengeroyokan musuh.

"Tadi dia melawan musuh berdekatan dengan teecu." kata Eng Lan kepada gurunya, ''dan melihat keadaan para pengeroyok, tidak mungkin kalau enci Siok Lan roboh."

"Aku akan mencarinya!" kata See-thian Hoat-ong dengan suaranya yang menggeledek, tanda bahwa dia marah sekali karena murid keponakannya dalam bahaya. Golok besarnya sudah bergerak dalam tangannya, mukanya kelihatan makin angker. Ia sudah membuang pakaian luarnya dan kini See-thian Hoat-ong yang mengenakan pakaian perang dari suku bangsanya, benar-benar nampak angker dan gagah. Bahkan ia jauh nampak muda dari usia sebenarnya.

Akan tetapi sebelum ia bergerak, berkelebat bayangan biru dan tahu-tahu Tung-hai Sian-li sudah mendahuluinya, naik lagi ke atas bukit untuk mencari dan membela anaknya. Benar-benar aneh wanita ini. Semenjak belasan tahun, ia meninggalkan puterinya begitu saja kepada bekas suaminya dan hatinya yang keras menindas semua rasa rindu kepada anak dan suami, membuat ia kuat menahan keinginan hati dan tidak pernah bertemu muka dengan mereka.

Akan tetapi sekarang, begitu bertemu dengan Siok Lan, kasih ibu yang terpendam di hati dan sebetulnya tak pernah lenyap itu tiba-tiba bangkit dan dia akan rela berkorban nyawa demi keselamatan anaknya, biarpun anak itu tidak mau mengakuinya sebagai ibu.

Memang, tidak ada kecintaan lebih mulia dari pada kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya, sebaliknya juga tidak ada kekejaman lebih hebat dan pada hati wanita yang dibakar api cemburu terhadap suaminya. Tung-hai Sian-li adalah seorang wanita yang menjadi korban cemburu.

See-thian Hoat-ong dengan golok terhunus juga mengejar Tung-hai Sian-li. Melihat ini, Pak-thian Koai-jin tertawa. "Ha-ha-ha bukan saja untuk membela nona Kwa. Akan tetapi terutama sekali untuk melindungi keselamatan murid-murid Siauw-lim-pai. Memang tidak pantas kalau kita tidak membantu mereka."

Ia pun memberi isyarat kepada Pui Eng Lan dan cepat menyeret tongkat bambunya, mengejar kembali ke atas bukit. Tidak ada lain pilihan bagi Lam-san Sian-ong. Kakek yang buntung tangan kirinya ini. yang juga termasuk seorang gagah, menggerakkan kedua kakinya yang pendek-pendek, lari cepat mengikuti yang lain.

Ke mana larinya Kwa Siok Lan? Apa betul seperti yang dikhawatirkan oleh rombongan itu bahwa gadis ini roboh atau tertawan? Tidak demikian halnya. Ketika dia dan rombongan itu mulai terlepas dari kepungan musuh dan tinggal lari saja turun gunung. Siok Lan ingat kepada Wi Liong, pemuda tunangannya itu.

Biarpun Wi Liong tanpa disengaja telah menyakiti hatinya, yaitu mengaku di depan Pak-thian Koai-jin bahwa adalah di luar kehendaknya ditunangkan dengan gadis she Kwa, akan tetapi Siok Lan harus mengaku bahwa wajah dan kegagahan pemuda itu amat menarik hatinya. Pemuda itu demikian ganteng dan gagah, pula telah memperlihatkan keberanian luar biasa.

Adapun tentang kepandaian ia sudah menyaksikan sendiri kelihaiannya. Bukan saja serangan piauw dari Eng Lan sama sekali tidak melukainya malah juga ia tadi melihat sepintas lalu betapa calon suaminya itu telah mengalahkan Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li secara mudah sekali! Kenyataan ini tentu saja membuat Siok Lan makin kagum kepada pemuda itu.

Pemuda itu betapapun juga adalah tunangannya yang diresmikan oleh ayahnya, sekarang pemuda itu telah dikepung banyak musuh karena hendak menolong dia dan rombongannya. Bagaimana ia bisa meninggalkannya begitu saja? Sungguhpun hatinya sakit oleh ucapan Wi Liong di depan Pak-thian Koai-jin. akan tetapi tidak seharusnya ia meninggalkannya begitu saja.

Dengan pikiran ini, di luar tahunya yang lain, malah ia kembali ke dekat jurang di mana Wi Liong tadi menghadapi musuh-musuhnya. Melihat gadis cantik ini kembali ke dalam kepungan, para anggauta pasukan segera mengurung dan menerjangnya. Akan tetapi Siok Lan tidak menjadi gentar, pedangnya dikerjakan dan kembali ia mengamuk.

"Niocu, kau wakili aku tawan gadis jelita itu hidup-hidup untukku!" terdengar suara nyaring. Inilah suara Kun Hong yang minta tolong kepada Tok-sim Sian-li supaya menangkap dan menawan Siok Lan. "Akan tetapi ingat, jangan lukai dia!" Kun Hong benar lihai dalam menghadapi Wi Liong ia masih sempat melihat amukan Siok Lan dan menyuruh bekas gurunya menangkapnya.

Tok-sim Sian-li menjebikan bibir, hatinya mendongkol akan tetapi ia tidak berani membantah perintah bekas muridnya yang kini sudah terlampau lihai baginya itu. "Minggir semua! Biarkan aku menangkap kuda betina yang binal ini!"

Kwa Siok Lan yang tiba-tiba berhadapan dengan Tok-sim Sian-li, tidak membuang banyak waktu lagi terus saja ia menyerang dengan pedangnya secara hebat. Tok-sim Sian-li menangkis.Terdengar suara nyaring ketika dua pedang bertemu dan Siok Lan hampir saja melepaskan pedangnya karena tangannya terasa sakit.

"Hi-hi, anak baik. Lepaskan saja pedangmu dan menyerahlah. Percuma kau melawanku." kata Tok-sim Sian-li mengejek.

"Siapa takut padamu?" Siok Lan membentak marah dan melompat lagi menerkam dengan pedangnya. Ia mengerahkan seluruh tenaganya dan menggerakkan pedang secepatnya karena maklum bahwa lawannya ini amat lihai.

Akan tetapi, kepandaian Tok-sim Sian-li memang jauh lebih tinggi. Dengan mudah pedang Siok Lan ditangkis lagi. Kemudian sambil tertawa-tawa Tok-sim Sian-li balas menyerang. Kalau wanita ini menuruti hatinya, ingin ia menikam mati gadis muda itu, akan tetapi ia tidak berani membuat Kun Hong marah.

Ia lalu mainkan pedangnya secara istimewa sekali, diputarnya cepat membuat Siok Lan menjadi silau pandangannya dan bingung. Dalam belasan jurus saja Tok-sim Sian li berhasil merampas pedangnya dan menotoknya roboh. Siok Lan roboh tak dapat berkutik lagi.

"Bocah manis, kalau Kun Hong sudah begitu tergila-gila kepadamu, tentu dia sudah pernah pernah melihatmu. Kau bernama siapakah dan kapan kau mulai kenal dengan Kun Hong?”

"Aku Kwa Siok Lan selamanya tak pernah berkenalan dengan orang-orang macam kalian!" jawab Siok Lan ketus. Ia berusaha keras untuk membebaskan pengaruh totokan itu, akan tetapi sia-sia saja. Ia hanya dapat bicara, akan tetapi tidak mampu menggerakkan kedua kakinya.

Tiba-tiba tangan Tok-sim Sian-li melayang. "Plak! Plak!" Kedua pipi Siok Lan telah ditamparnya. Masih baik dia tetap teringat akan pesan Kun Hong sehingga tamparan itupun hanya membikin pipi Siok Lan menjadi merah dan terasa panas pedas saja, akan tetapi tidak melukainya.

"Kau puteri Tung-hai Sian-li? Ha-ha. Bagus! Kalau saja aku tidak ingat akan ayahmu. Kwa Cun Ek, yang pernah menjadi kekasihku sampai bertahun-tahun tentu akan kupecahkan kepalamu!"

Siok Lan adalah seorang gadis cantik yang memiliki keberanian istimewa dan kegagahan seperti ayahnya, akan tetapi sedikitnya ia mewarisi kekerasan hati ibunya. Ia memandang kepada Tok-sim Sian-li dengan mata berapi dan berkata, "Wanita siluman, kau mau bunuh boleh bunuh. Siapa takut mati? Tak usah kau banyak bicara tidak karuan, siapa percaya omonganmu yang busuk seperti racun?”

Pada saat itu terdengar ribut-ribut dan barisan di sebelah selatan kacau-balau. Tak lama kemudian muncul Tung-hai Sian-li dan kawan-kawannya. Tung-hai Sian-li dari jauh sudah melihat Siok Lan tertawan. Ia cepat menggerakkan pedangnya merobohkan dua orang serdadu musuh dan dengan lompatan-lompatan jauh ia menghampiri Tok-sim Sian-li.

Wanita ini sudah tersenyum-senyum mengejek lalu berkata kepada seorang perwira Mongol. "Kau tawan gadis ini, akan tetapi ingat, dia ini pesanan Kam-taihiap jangan ganggu! Siok Lan tak berdaya lagi ketika ia dibawa pergi oleh perwira itu.

"Tok-sim siluman betina! Kau apakan anakku?" Tung-hai Sian-li membentak dan pedangnya berkelebat menyerang dengan tusukan mematikan karena ia tidak sabar lagi hendak cepat-cepat menolong anaknya.

"He-he-he, budak hina-dina, jangan banyak tingkah!" Tok-sim Sian-li menangkis keras.

Dua musuh kawakan saling bertemu muka. Tok-sim Sian-li masih menaruh dendam karena merasa kekasihnya, Kwa Cun Ek dirampas oleh musuh ini, sebaliknya Tung-hai Sian-li mendendam karena gara-gara Tok-sim Sian-li inilah ia sampai terpaksa meninggalkan suami dan anaknya.

Dua orang wanita biasa saja yang saling bermusuhan kalau bertemu muka akan terjadi hal yang hebat. Apa lagi dua orang wanita ini yang keduanya terkenal sebagai tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan. Segera terjadi perang tanding yang amat seru dan hebat.

Akan tetapi, segera Tung-hai Sian-li kaget karena dibandingkan dengan belasan tahun yang lalu, kepandaian Tok-sim Sian-li ternyata meningkat banyak sekali. Ini berkat latihan-latihan yang ia dapat dari Thai Khek Sian. Hanya dengan pengerahan tenaga dan seluruh kepandaian saja Tung-hai Sian-li masih dapat mengimbangi permainan pedang lawannya yang dahsyat dan ganas itu.

Baiknya See-thian Hoat-ong juga sudah datang dan cepat membantunya ketika melihat Tung-hai Sian-li terdesak. Berubahlah keadaannya dan kini Tok-sim Sian-li yang montang-manting dikeroyok dua oleh dua orang yang tinggi ilmunya dan banyak pengalaman dalam pertempuran.

Akan tetapi Dewi Hati Beracun ini masih dapat mempertahankan dan masih dapat membalas serangan-serangan lawan dengan ilmu pedang dan pukulan-pukulan Toat-sim-ciang yang berbahaya. Bu-ceng Tok-ong sudah datang pula di tempat pertempuran itu. Dia dikawani oleh Hek-ma Sai-ong.

Seperti pernah diceritakan dalam jilid pertama. Hek-mo Sai-ong ini adalah Perwira Kim-i-wi di istana kaisar, pengawal kelas satu yang lihai ilmu silatnya. Dia berusia limapuluh tahun lebih, bertubuh besar kuat bermuka hitam lagi berbulu seperti muka singa. Hek-mo Sai-ong ini adalah seorang ahli gwakang. Tenaganya sebesar tenaga gajah dan senjatanya sepasang gembolan yang entah sudah menghancur-remukkan berapa puluh buah kepala orang!

Tadinya ia bekerja sebagai kepala pengawal di ruang depan istana Kaisar Mongol, sekarang dia dipindahkan sebagai kepala penjaga istana di kota raja ke dua. Ketika tadi Bu-ceng Tok-ong mendengar laporan Kun Hong bahwa di bukit itu terdapat sebuah Kelenteng Siauw-Iim-si yang mencurigakan, menjadi tempat bersembunyi para pembunuh bangsawan-bangsawan di Peking, ia cepat minta bantuan Hek-mo Sai-ong yang segera mengerahkan pasukan-pasukannya untuk melakukan penyerbuan.

Bu-ceng Tok-ong segera disambut oleh Lam-san Sian-ong. Kakek ini tangan kirinya buntung akibat pukulan Ngo-tok-jiauw dari Bu-ceng Tok-ong, belasan tahun yang lalu. Oleh karena itu dapat dibayangkan betapa marah dan dendam hatinya melihat musuh besar ini. Sebaliknya, melihat Lam-san Sian-ong, Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak dengan sikap mengejek.

"Ha-ha-ha, apa kau datang untuk menyumbangkan tangan kananmu?"

Lam-san Sian-ong tidak menjawab, melainkan menggerakkan tongkatnya menyerang dengan dahsyat. Dengan masih tertawa bergelak. Bu-ceng Tok-ong mengelak dan membalas dengan pukulan-pukulannya yang berbahaya. Lam-san Sian-ong sudah mengenal kelihaian pukulan-pukulan ini, maka ia tidak berani berlaku sembrono dan karenanya ia bertempur sambil mundur. Bu-ceng Tok-ong terus tertawa mengejek dan mendesak keras.

Akan tetapi, tiba-tiba ada tongkat bambu butut ke dua yang menyambar dan menyerangnya, di samping tongkat di tangan Lam-san Sian-ong, lalu terdengar suara nyaring mengejek. "Raja Racun, kau sekarang seperti anjing yang diancam dua tongkat bambu. Ha-ha-ha, ke mana kau dapat melarikan diri?"

Yang baru datang ini adalah Pak-thian Koai-jin yang tahu bahwa Lam-san Sian-ong takkan menang kalau seorang diri menghadapi Bu-ceng Tok-ong yang kosen itu, maka lalu membantunya. Hek-mo Sai-ong menggereng seperti singa, dan menerjang maju dengan sepasang gembolannya. Akan tetapi ia dihadapi secara berani oleh Pui Eng Lan, gadis cantik manis murid Pak-thian Koai-jin yang gagah itu!

Kini pertempuran terpecah menjadi empat rombongan. Tok-sim Sian-li dikeroyok oleh Tung-hai Sian-li dan See-thian Hoat-ong. Bu-ceng Tok-ong dikeroyok oleh Lam-san Sian-ong dan Pak-thian Koai-jin. Hek-mo Sai-ong bertempur melawan Pui Eng Lan dan Kun Hong digempur oleh Wi Liong. Para serdadu Mongol hanya berteriak-teriak memberi semangat kepada kawan sendiri.

Pertempuran orang-orang kang-ouw dengan tingkat yang sudah tinggi itu amat sukar bagi mereka untuk membantunya. Membedakan mana kawan mana lawan saja sudah amat sukarnya. Oleh karena itu, para perwira Mongol rendahan lalu mulai menyuruh orang-orangnya menghujankan anak panah ke arah Kelenteng Siauw-lim-si di seberang jurang. Segera berluncuran panah-panah api ke arah kelenteng itu!

Adapun pertempuran antara Kun Hong dan Wi Liong terjadi amat hebatnya. Kun Hong adalah murid Thai Khek Sian yang sudah mewarisi sebagian besar ilmu pentolan Mo-kauw itu sebaliknya Wi Liong telah menerima gemblengan hebat dan penuh kasih sayang dari Thian Te Cu. Dahulu, pernah Thian Te Cu bertanding dengan Thai Khek Sian sampai memakan waktu tiga hari tiga malam baru Thai Khek Sian mengakui keunggulan Thian Te Cu.

Siapa sangka sekarang murid-murid mereka, keduanya masih muda belia dan rupawan mengulangi pertandingan itu dengan tidak kalah ramainya. Setelah mengeluarkan pelbagai pukulan beracun yang semuanya dapat dihadapi dan ditangkis oleh Wi Liong, Kun Hong memuncak kemarahannya dan ia mencabut Cheng-hoa-kiam.

"Hemm, maling pedang tak tahu malu. Apa kau tidak malu menggunakan pedang yang sudah kau curi dari paman?" Wi Liong mengejek.

"Siapa bilang mencuri?" Kun Hong membentak. "Gurumu kakek tua bangka itu tahu bahwa pedang ini bukan hak milik Kwee Sun Tek pamanmu, maka gurumu membiarkan saja aku mengambil pedang ini. Pedang ini mengapa bisa terjatuh ke dalam tangan pamanmu? Tentu ia dapat mencurinya...."

"Ngawur! Paman menerimanya dari ibuku dan ibu menerima dari gurunya, Beng Kun Cinjin"

Kun Hong kaget. Tak disangkanya dari mulut Wi Liong ia akan mendengar lagi nama Beng Kun Cinjin atau Gan Tui putera Gan Yan Ki yang masih terhitung saudara sesumber dari suhunya. Lebih tidak disangka-sangkanya lagi bahwa ibu pemuda yang menjadi saingannya ini adalah murid Beng Kun Cinjin Gan Tui! Akan tetapi karena dia cerdik, lagi memang tidak memperdulikan aturan, Kun Hong berkata tertawa,

"Aha, begitukah? Tidak tahunya Beng Kun Cinjin itu sukongmu (kakek gurumu). Aku mendengar Beng Kun Cinjin seorang hwesio gundul tua bangka yang masih suka menikah dengan puteri muda dan cantik......"

"Tutup mulutmu! Antara Beng Kun Cinjin dan aku tidak ada hubungan kakek guru dan murid!" Wi Liong membentak marah. Bicara tentang Beng Kun Cinjin mengingatkan dia betapa ayah bundanya dibunuh oleh kakek itu, dan pamannya dibikin buta matanya, membuat ia naik darah.

Kun Hong menyeringai. "Sejak dulu pedang ini menjadi rebutan, siapa kuat dia menang dan berhak menjadi pemiliknya. Kau boleh coba merampas kalau kau becus."

"Melawan macammu saja masa takut?" bentak Wi Liong yang cepat mencabut sulingnya dan menyerang. Biarpun Wi Liong marah dan menghadapi Kun Hong yang benar-benar lihai sekali, namun perhatian Wi Liong terpecah. Ia amat memperhatikan Siok Lan yang tiba-tiba muncul kembali setelah tadi ia lihat melarikan diri turun gunung. Ia menjadi gelisah.

Bagaimana gadis itu muncul lagi? Tadinya ia sudah merasa senang melihat gadis itu dan kawan-kawannya berhasil melarikan diri. Apa lagi ketika melihat Siok Lan mengamuk, ia menjadi makin khawatir. Terlampau banyak musuh tangguh di sini dan Siok Lan takkan mampu melawan mereka.

Melihat perhatian Wi Liong tertarik ke tempat lain. Kun Hong menengok. Wajahnya yang ganteng menjadi berseri dan ia gembira sekali ketika melihat gadis langsing jelita itu datang kembali seorang diri. Cepat ia minta tolong Tok-sim Sian-li yang hanya berdiri menonton di pinggir.

Seperti sudah diceritakan di depan, akhirnya Siok Lan tertawan oleh Tok-sim Sian-li dan dibawa pergi oleh seorang perwira Mongol sedangkan tokoh-tokoh lain sudah datang pula dan disambut oleh Bu-ceng Tok-ong dan kawan-kawannya.

Ilmu pedang yang dimainkan Kun Hong betul-betul hebat. Wi Liong melihat bahwa ilmunya dan ilmu lawannya mempunyai dasar yang hampir sama, maka ia maklum pula bahwa kalau dilanjutkan biarpun ia takkan kalah, akan tetapi untuk memperoleh kemenangan juga memerlukan waktu yang lama sekali. Sedangkan hatinya gelisah melihat Siok Lan tertawan!

Baiknya ia dapat mendesak Kun Hong dengan ilmu pedang yang dimainkan dengan suling, berdasarkan Ilmu Silat Pat-sian-lo (Jalan Delapan Dewa) yang sudah diubah dan dicipta oleh Thian Te Cu. Dan lebih menguntungkan lagi pertempuran di rombongan lain juga berhasil baik. Pak-thian Koai-jin yang lebih banyak jumlah kawan yang berilmu silat tinggi, dapat mendesak lawan.

Akhirnya Tok-sim Sian-li dan Bu-ceng Tok-ong, juga Hek-mo Sai-ong. tidak kuat lagi. Atas isyarat Bu-ceng Tok-ong, mereka bertiga melompat ke dalam barisan dan Hek-mo Sai-ong memberi aba-aba. Barisan panah lalu menghujankan anak panah ke arah Pak-thian Koai-jin berlima!

Mereka adalah orang-orang lihai, akan tetapi menghadapi hujan anak panah ini tentu saja mereka tak berani melanjutkan pertempuran. Bahkan Pui Eng Lan yang tadi dengan gagahnya mendesak Hek-mo Sai-ong kini dalam sibuknya terluka sedikit pundaknya oleh sebatang anak panah. Lima orang ini terpaksa lari lagi turun gunung.

Wi Liong melihat hal ini. cepat mengirim serangan maut sambil berseru keras. Hebat sekali pengerahan tenaganya, sampai-sampai pedang Cheng-hoa-kiam yang dipakai menangkis sulingnya terpental. Kun Hong terkejut dan saat itu digunakan oleh Wi Liong untuk berkelebat lenyap dari depannya.

Kun Hong marah sekali. "Kejar mereka! Bunuh semua! Hujani anak panah."

Akan tetapi. Pak-thian Koai-jin dan kawan-kawannya sudah berlari cepat sekali turun gunung, sedangkan Wi Liong sudah lenyap entah ke mana. Ke manakah perginya Wi Liong? Apakah dia juga jerih menyaksikan kehebatan pasukan lawan dan melarikan diri ketakutan?

Thio Wi Liong takkan pantas disebut mund Thian Te Cu kalau dia takut dan melarikan diri. Apa lagi dalam keadaan seperti itu. di mana orang-orang yang dibelanya, karenanya ia anggap mereka itu di fihak yang benar, sedang terancam bahaya.

Pemuda ini tadi sengaja mempergunakan kesempatan selagi keadaan ribut-ribut, untuk menyelinap pergi dari depan Kun Hong dan secara cepat sekali ia melakukan pengejaran terhadap perwira yang tadi ia lihat membawa pergi gadis langsing yang roboh oleh Tok-sim Sian-li.

Perwira itu tadi membawa lari gadis itu dengan menunggang seekor kuda putih yang baik sekali dan cepat larinya. Berbeda dengan gadis-gadis lain yang dalam keadaan seperti itu pasti akan menjerit-jerit minta tolong. Siok Lan sama sekali tidak mengeluarkan suara.

Dia maklum bahwa dia telah terjatuh ke dalam tangan musuh dan keselamatannya terancam bahaya hebat, namun gadis pendekar ini tidak takut sama sekali. Selama napasnya masih ada, ia tidak akan putus asa dan akan berdaya menolong diri sendiri.

"Gadis jelita, kau manis sekali!" berkali-kali perwira Mongol itu berkata. Perwira itu masih muda, tinggi besar dan mukanya buruk sekali. Sepasang matanya sipit sampai seperti meram terus, hidungnya bundar pesek dengan lubang hidung besar-besar, bibirnya tebal dan giginya kuning menjijikkan. "Sayang kau sudah dipesan oleh Kam-taihiap, kalau tidak... hemmm, aku mau dipotong usiaku satu tahun kalau bisa mendapatkan engkau....!"

Dapat dibayangkan betapa mendongkol dan marah hati Siok Lan. Gadis ini mewarisi watak keras sekali seperti ibunya. Akan tetapi mulutnya tetap terkunci rapar-rapat bahkan melirik sedikit saja ia tidak sudi. Diam-diam ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk membebaskan totokan yang masih membuat kaki tangannya lemas tak berdaya itu.

Ia seperti seorang anak kecil dalam pondongan perwira itu. Masih baik nasibnya bahwa perwira ini tahu siapa adanya Tok-sim Sian-li dan Kam Kun Hong, maka ia sekali-kali tidak berani mengganggunya, sungguhpun kata-kata yang keluar dari mulutnya cukup menyakitkan hati.

Perwira itu tahu ke mana harus membawa gadis tawanan ini. Ke kota raja Peking dan ke rumah gedung Kok-konghu (istana pangeran). Gedung ini merupakan kelompok istana di mana selain tinggal orang-orang Mongol, juga disediakan gedung-gedung untuk tempat bermalam orang-orang gagah yang dipandang tinggi sebagai tempat kehormatan. Tentu saja Bu-ceng Tok-ong. Tok-sim Sian-li, Kam Kun Hong juga Hek-nio Sai-ong bermalam di gedung-gedung ini.

Dengan hati berdebar girang Siok Lan merasa bahwa jalan darahnya mulai pulih berkat usahanya yang tekun dan sungguh-sungguh. Ternyata Tok-sim Sian-li terlalu memandang rendah nona ini dan dikiranya totokannya itu akan membuat nona ini tidak berdaya untuk waktu yang cukup lama.

Ia tidak tahu bahwa Siok Lan sudah memiliki lweekang yang cukup tinggi tingkatnya dan sebagai murid Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek, tentu saja ia sanggup memunahkan totokan ini, biarpun tidak secara serentak. Hatinya sudah girang sekali. Gatal-gatal tangannya.

Ia sabar menanti, karena kalau tenaganya belum pulih betul, ia tidak berani gegabah menyerang perwira Mongol ini. Hampir rata-rata perwira Mongol memiliki kepandaian lumayan dan kalau dia gagal karena terlampau tergesa-gesa, bukankah berarti sia-sia saja usahanya selama ini?

Tiba-tiba seperti diterjang angin taufan, perwira itu terlempar dari atas kudanya, jatuh bergulingan di atas tanah dan Siok Lan juga ikut terlempar, terlepas dari pondongannya. Perwira itu cepat bangun berdiri, mencabut pedangnya, akan tetapi ia bengong terheran-heran memandang ke depan.

Ternyata Wi Liong sudah berdiri di situ dengan suling di tangan dan sepasang matanya berapi-api memandang perwira itu penuh kemarahan dan kebencian! "Nona, jangan khawatir, aku akan menolongmu dari bangsat ini." kata Wi Liong sambil memandang ke arah gadis yang masih duduk di atas tanah. Setelah berkata demikian, Wi Liong melangkah maju perlahan-lahan ke arah perwira itu, penuh ancaman.

"Jangan sentuh dia!" tiba-tiba gadis itu berseru marah dan melompat bangun. "Aku tidak butuh pertolonganmu! Biarkan aku sendiri membunuhnya...!"

Jilid selanjutnya,