Cheng Hoa Kiam Jilid 06

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Cheng Hoa Kiam Jilid 06
Sonny Ogawa

Cheng Hoa Kiam Jilid 06, karya Kho Ping Hoo - BHOK LO CINJIN yang maklum akan kelihaian lawannya, tidak berlaku lengah. memang sejak tadi ia sudah dapat menduga macam apa adanya Raja Racun ini maka selalu bersap waspada. Melihat datangnya pukulan yang amat dahsyat, dan mengandung hawa panas ini, ia cepat melompat ke samping sambil mengebutkan lengan bajunya.

Cerita Silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

Pukulan meleset, membuat pohon di belakang hwesio itu yang terkena hawa pukulan bergoyang-goyang dan daun-daunnya rontok seperti tertiup angin besar! Dari sini saja dapat dibayangkan betapa hebat dan berbahayanya serangan dari Bu-ceng Tok-ong.

Akan tetapi Bhok Lo Cinjin adalah tokoh besar Siauw-lim-pai. Biarpun dia bukan termasuk orang terpandai di Siauw-lim-si, masih ada susiok dan supeknya, tokoh-tokoh tua yang ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi dari padanya, namun kalau dia sampai dipilih menjadi ketua, tentu dia telah memiliki kepandaian tinggi di samping sifat-sifat baik untuk menjadi pemimpin partai persilatan besar itu.

Pertempuran hebat segera terjadi. Seperti biasa kalau tokoh-tokoh besar bertempur, gerakan mereka lambat-lambat saja namun di sekeliling mereka, semak-semak belukar bergoyang-goyang pohon-pohon rontok daunnya seperti ada angin besar mengamuk!

Setelah lewat empat puluh jurus, rasa penasaran dalam hati Bhok Lo Cinjin tak tertahankan lagi. Biasanya, seorang ketua partai besar jarang turun tangan dan sekali turun tangan dalam sepuluh jurus harus sudah merobohkan lawan. Sekarang selama empat puluh jurus, jangankan merobohkan, bahkan mendesak saja tidak bisa, malah-malah dia yang terdesak oleh ilmu silat yang amat kacau balau dan aneh dari lawannya.

Sebetulnya dalam hal ilmu silat kiranya Bhok Lo Cinjin tidak akan kalah oleh lawannya, karena ilmu silat Siauw-lim-pai adalah ilmu silat tinggi yang jarang tandingannya. Akan tetapi yang membuat Bu-ceng Tok-ong merupakan lawan lawan yang amat berat adalah kedua tangannya yang berbisa atau pukulan-pukulan yang mengandung hawa maut karena pukulan-pukulan ini bukan pukulan biasa melainkan pukulan dengan hawa beracun.

Di samping ini juga Bu-ceng Tok-ong amat curang, memiliki banyak senjata rahasia berbisa yang bisa dilepas secara tiba-tiba dan tidak terduga-duga. Tentu saja semua ini takkan ada artinya kalau ilmu silatnya tidak tinggi. Ia memiliki banyak macam ilmu silat yang ia gabung menjadi ilmu silat aneh dan jahat karena memang golongan dia ini rata-rata memiliki ilmu silat yang selalu mempergunakan kecurangan tanpa memperdulikan tata susila persilatan. Beberapa kali Bu-ceng Tok-ong mempergunakan akal yang amat curang.

"Hwesio, tahan dulu!" serunya dalam sebuah pergulatan seru di mana ia agak terdesak.

Sebagai seorang gagah yang mematuhi peraturan bertempur mengadu kepandaian, tentu saja Bhok Lo Cinjin menahan gerakan-gerakannya dan pada saat itu tanpa malu-malu lagi Bu-ceng Tok-ong mengerahkan tenaga dan menyerangnya dengan dahsyat! Serangan ini berbahaya sekali dan hanya berkat kewaspadaannya saja Bhok Lo Cinjin masih mampu menghindarkan diri sungguh pun pundak kirinya terlanggar hawa pukulan dan terasa amat panas.

Bu-ceng Tok-ong hanya tertawa-tawa puas melihat akalnya berhasil, dan hwesio itu tidak mau menegur karena maklum bahwa orang macam lawannya itu tidak punya malu lagi. Ia hanya berlaku hati-hati sekali dan membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya. Untuk melindungi diri dari serangan gelap, ia mainkan Ilmu Silat Lo-han-bian-kun, semacam ilmu silat yang mempergunakan lweekang lemas namun amat tangguh.

Tiba-tiba Bu-ceng Tok-ong menghentikan gerakan-gerakannya dan berseru sambil menengok ke arah Wi Liong. "Hee, hati-hati kau jangan sampai jatuh.....!"

Bhok Lo Cinjin adalah seorang yang gagah sejati. Melihat lawannya berhenti dan menengok ke arah bocah itu menyuruhnya hati-hati, tentu saja ia tidak sudi mempergunakan kesempatan ini untuk menyerang selagi lawan tidak bersiap siaga. Otomatis iapun menghentikan serangannya dan menengok kuga ke atas pohon karena khawatir kalau bocah yang ditendang tadi benr-benar jatuh.

Saat inilah yang dipergunakan oleh Raja Racun yang curang itu untuk menyerang lawannya. Tanpa mengeluarkan suara apa-apa tiba-tiba saja ia menubruk, menyerang Bhok Lo Cinjin dengan pukulan bertubi-tubi dari kedua tangannya yang sudah berubah hitam, tanda bahwa ia melakukan pukulan berbisa yang mengandung hawa maut.

Bhok Lo Cinjin agak kaget. Biarpun ia dapat mengelak dan menangkis dengan kebutan lengan bajunya, namun kedudukannya menjadi terdesak dan posisi tubuhnya tidak menguntungkan. Dalam saat seperti ini menyambar jarum-jarum hitam dari bawah lengan Bu-ceng Tok-ong, senjata-senjata rahasia yang dilepas dengan diam-diam mempergunakan semacam alat yang dipasang di bawah lengan!

Kali ini Bhok Lo Cinjin benar-benar terkejut sekali. Ia mengeluarkan seruan keras dan tahu-tahu tubuhnya yang bundar gemuk itu mencelat ke atas seperti bola ditendang. Benar-benar hebat gerakannya dalam pengelakan ini sampai Bu-ceng Tok-ong berseru memuji, "Bagus sekali!"

Akan tetapi Raja Racun ini sudah menyusul lawan dengan pukulan-pukulan dan menghujankan jarum berbisanya. Dalam keadaan berjungkir balik di udara ini Bhok Lo cinjin masih berusaha menangkis semua pukulan dan serangan namun sebatang jarum hitam tak dapat dicegah lagi mengenai betisnya. Bhok Lo Cinjin menggigit bibir dan begitu ia turun ke atas tanah lagi, ia merasa kakinya tak dapat digerakkan.

Namun ia tetap tidak mau menyerah dan berdiri tegak menanti datangnya lawan. Bu-ceng Tok-ong menyerang maju dengan kedua tangan mendorong ke arah dada. Bhok Lo Cinjin yang sebagai seorang gagah perkasa pantang mundur sebelum mati, menyambut dengan kedua tangannya pula sambil mengerahkan lweekangnya. Dua pasang tangan bertemu, bertumbuk keras dan akibatnya, Bu-ceng Tok-ong mencelat mundur sedangkan hwesio Siauw-lim-pai itu terjengkang roboh!

Bu-ceng Tok-ong tertawa bergelak melihat lawannya sudah tak berdaya lagi. Tadinya ia tidak tahu bahwa lawannya sudah terluka. Baru sekarang ia melihat betapa kaki kiri lawannya membengkak, tanda bahwa jarumnya mendapat korban. Bhok Lo Cinjin memang tak dapat bangun lagi karena kaki kirinya tidak dapat digerakkan lagi, akan tetapi ia rebah tak bergerak sambil memandang kepada lawannya dengan mata melotot.

"Babi gemuk, bersiaplah kau untuk mampus. Ha-ha-ha!" Bu-ceng Tok-ong ketawa girang. "Aku masih memberi kesempatan kepadamu, lekas kau menyatakan takluk dan kalah, baru aku akan mengampunimu."

"Mau bunuh lekas bunuh, kau menang karena curang. Siapa takut mati?” bentak Bhok Lo Cinjin.

Kembali Raja Racun itu tertawa bergelak. "Heei, Wi Liong, buka lebar-lebar matamu dan lihatlah. Bukankah ini Bhok Lo Cinjin ketua Siauw-lim-pai sudah menggeletak tak berdaya di depan kakiku? Ha-ha-ha!"

Tentu saja Wi Liong tadi tak dapat mengikuti jalannya pertempuran dan ia sebetulnya tidak tahu bahwa Bhok Lo Cinjin dikalahkan dengan cara yang curang. Akan tetapi dengan lantang ia berkata, "Tak tahu malu! Kau menang karena curang!”

"Bocah keparat, kau lebih percaya kepada omongan babi gemuk ini? Ha, kau lihat dia mampus!" Bu-ceng Tok-ong melangkah maju dan hendak memberikan pukulan terakhir untuk menewaskan Bhok lo Cinjin.

Hwesio itu memandang dengan mata tak berkedip, sama sekali tidak takut. "Bunuhlah jangan banyak cerewet!” serunya tenang.

"Jangan bunuh dia...!" tiba-tiba Wi Liong menjerit. Ia merasa bersalah dan bertanggung jawab kalau hwesio tua itu tewas. Bukankah tadi dia sengaja memanaskan hati Bu-ceng Tok-ong untuk mencegat hwesio tua ini dan sekarang kalau hwesio ini tewas, sama saja dengan dia yang menyuruhnya?

Tadinya ia mengharapkan bahwa ketua Siauw-lim-pai yang dipuji-puji oleh pamannya itu akan dapat mengalahkan iblis ini, tidak tahunya sekarang nyawa ketua Siauw-lim-pai itu malah terancam. Tanpa pikir panjang lagi ia lalu.... melompat dari puncak pohon itu ke bawah! Karena ia belum memiliki kepandaian tinggi, tentu saja tubuhnya lalu bergulingan dan ia tentu akan jatuh dengan tubuh remuk dan nyawa melayang kalau saja Bu-ceng Tok-ong tidak cepat menyambarnya.

"Ha-ha-ha, kau benar-benar bocah berani, patut menjadi muridku. Kau tidak ingin aku membunuh babi gemuk ini?"

"Jangan bunuh dia. Dia sudah kalah, mengapa dibunuh lagi? Aku sudah percaya sekarang bahwa dia kalah olehmu."

"Ha-ha, jadi kau sudah percaya akan kelihaianku? Bagus, suruh dia minta ampun dan berlutut, nanti kuampuni dia."

Wi Liong menghampiri hwesio itu dan berkata dengan suara sedih. "Losuhu, aku yang membuat losuhu sampai menderita begini. Harap losuhu mengalah, minta ampun agar tidak dibunuh."

Bhok Lo Cinjin membelalakkan mata dengan marah. "Bocah setan! Siapa sudi minta ampun? Orang mau bunuh boleh bunuh, orang gagah tidak takut mati!"

Wi Liong kaget sekali sampai melompat mundur. Bu-ceng Tok-ong tertawa mengejek. "Dia ingin mampus, mengapa kau sayang nyawa babi?" tergurnya kepada Wi Liong.

Bocah itu berdiri bingung. Matanya yang lebar menatap ke arah hwesio itu dan ia menjadi kasihan sekali. Bagaimana pun juga, ia harus lebih dulu berusaha menolong nyawa hwesio tua itu agar jangan dibunuh oleh siluman ini, baru kemudian ia mencari jalan untuk menolong diri sendiri. Berpikir demikian, tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut di depan Bu-ceng Tok-ong sambil berkata. "Biarlah aku yang mewakili hwesio itu, aku mintakan ampun untuk nyawanya."

"Bocah keparat! Setan...! Pinceng tidak sudi dimintakan ampun! Heee, Bu-ceng Tok-ong, lekas kau bunuh pinceng, jangan dengarkan ocehan bocah gila itu!"

Bagi seorang gagah, nama dan kehormatan jauh lebih berharga dari pada nyawa. Bhok Lo Cinjin adalah seorang ciangbujin partai besar, setelah dia dikalahkan lawan, mana ia sudi minta ampun atau dimintakan ampun orang lain? Jauh lebih baik ia dibunuh dari pada dijadikan buah tertawaan di dunia kang-ouw!

Bu-ceng Tok-ong mengerti akan hal ini. Perangainya yang aneh dan jahat membuat ia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, seorang ketua Siauw-lim-si minta-minta ampun, malah menyuruh anak kecil mintakan ampun untuk nyawanya. Ha-ha-ha, alangkah lucunya hal ini kalau terdengar oleh orang-orang di seluruh dunia. Baiklah Wi Liong, aku mau ampunkan babi gemuk itu karena kau yang mintakan ampun....."

"Iblis bermulut jahat! Kau bunuh aku, siapa takut mampus?" Bhok Lo Cinjin menjadi kasar karena marahnya.

Akan tetapi Bu-ceng Tok-ong sudah menarik lengan Wi Liong dan berlari pergi dari tempat itu, membiarkan Bhok Lo Cinjin memaki-maki tidak karuan. Bu-ceng Tok-ong membawa Wi Liong kembali ke tempat di mana ia berpisah dengan Tok-sim Sian-li tadi untuk melihat apakah kawannya itu juga berhasil, mengalahkan Pak-thian Koai-jin.

Kalau Tok-sim Sian-li tidak berhasil, ia mempunyai kesempatan untuk mengejek dan menyombongkan kemenangannya. Akan tetapi ia tidak melihat Tok-sim Sian-li dan terpaksa ia mengajak Wi Liong menunggu.

* * *

Mari kita ikuti Tok-sim Sian-li yang membawa Kun Hong untuk mencegat Pak-thian Koai-jin. Iblis wanita ini ingin sekali memamerkan kepandaiannya kepada Kun Hong, muridnya yang tidak pecaya bahwa ia mampu mengalahkan tokoh utara itu!

Pak-thian Koai-jin adalah suheng dari Hu Lek Siansu ketua Go-bi pai, maka dapat dibayangkan bahwa ilmu kepandaiannya tinggi sekali. Kalau melihat orangnya sih tidak seberapa, berpakaian pengemis bertubuh kecil pendek.

Apalagi kalau sudah melihat dia berjalan terbungkuk-bungkuk seperti orang telah kehabisan tenaga atau kalau melihat betapa ia berjalan dengan tongkat di tangan kiri dan mangkok butut di tangan kanan, persis seperti orang kelaparan, tentu setiap bocah pun akan memandang rendah kepadanya.

Akan tetapi orang akan kecele kalau mengira dia ini seorang pengemis lemah. Pak-thian Koai-jin atau Manusia Aneh dari Utara ini adalah seorang yang gembira dan nakal, kenakalan luar biasa yang membuat banyak tokoh penjahat menjadi gentar dan ngeri, kenakalan yang disertai kepandaian tinggi sekali.

Orang akan melengak kaget dan tak percaya kalau mendengar betapa seorang diri, hanya dikawani tongkat butut dan mangkok retaknya, pengemis tua ini pernah membikin kocar-kacir seregu tentara Mongol terdiri dari enam puluh orang yang sedang merusak-binasakan sebuah dusun di mana kebetulan pengemis ini sedang mengaso.

Lebih dari setengah jumlah tentara Mongol ini tewas oleh tongkatnya dan komandannya, seorang perwira Mongol yang terkenal gagah perkasa, mendapat benjol-benjol dikepala oleh mangkok retak, dan tentu akan tewas kalau tidak lekas-lekas minggat mengaburkan kudanya!

Setelah turun dari puncak Kun-lun-san, Pak-thian Koai-jin berjalan perlahan. Tidak seperti yang lain, dia tidak tergesa-gesa. Untuk apa tergesa-gesa, pikirnya, lebih baik menikmati tamasya alam yang indah terbentang luas di depan kakinya.

Selagi ia enak berjalan kaki menuruni tebing dan lereng, tiba-tiba ia melihat seorang wanita telah berdiri di depannya, menghadang dengan sikap galak, pedang bersinar hijau di tangan melintang dada, kaki terpentang sikap menantang.

Di belakang wanita yang tebal bedaknya sampai mukanya seperti tembok baru dikapur ini terlihat seorang bocah yang dikenalnya sebagai anak yang pernah ia lihat dan goda di dekat puncak, bocah yang ternyata adalah anak Kam Ceng Swi, murid Kun-lun-pai.

Memang ia suka kepada bocah ini dan ingin mengambil sebagai muridnya, bagaimana sekarang berada di sini bersama wanita ini? Berpikir sampai di sini diam-diam Pak-thian Koai-jin kaget sekali. Jadi inikah wanita siluman Mo-kauw yang disebut Tok-sim Sian-li Si Dewi Berhati Racun?

Melihat betapa tokoh yang terkenal kejam itu hanya seorang wanita yang belum begitu tua dan pesolek, cantik dan memiliki mata yang mengandung sifat cabul. Pak-thian Koai-jin tidak berani memandang rendah. Akan tetapi dasar ia seorang yang berwatak nakal, suka sekali menggoda orang, maka ia segera tersenyum lebar, jalan terseok-seok menghampiri sambil menyodorkan mangkok bututnya kepada wanita itu.

"Toanio yang baik, kasihanilah seorang pengemis tua kelaparan. Kalau kau memberi hadiah, usiamu akan panjang rejekimu banyak dan kau akan menjadi makin cantik....”

Tok-sim Sian-li tersenyum manis sekali lalu berpaling kepada Kun Hong. "Inikah orang yang kau maksudkan itu?”

Kun Hong mengangguk terheran-heran melihat siap kakek pengemis demikian merendah padahal ia masih ingat betul betapa kakek ini telah memperlihatkan kepandaian yang luar biasa.

Tok-sim Sian-li menghadapi pengemis itu, mengeluarkan sebuah uang emas dari saku bajunya sambil berkata. "Pak-thian Koai-jin, aku sering mendengar orang bilang bahwa burung yang mau mati amat merdu suranya. Suaramu tadi juga merdu sampai-sampai tergerak hatiku memberi sedekah. Terimalah ini, sedikit hadiahku" Wanita itu melemparkan uang emas ke arah mangkok di tangan kanan Pak-thian Koai-jin.

Tokoh utara ini maklum bahwa orang sedang menguji tenaganya, cepat ia mengerahkan tenaga ke arah mangkok untuk menerima sambitan itu. Ia merasa betapa mangkoknya dihajar hebat dan tentu akan remuk kalau saja ia tidak cepat-cepat membuat gerakan memutar dan mengerahkan tenaga "menyedot" sehingga tenaga pukulan uang emas itu buyar.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa uang emas itu tiba-tiba saja melejit dan terbang kembali ke tangan Tok-sim Sian-li yang tersenyum memandangnya.

"Ha, ternyata uangku tidak mau berada di mangkokmu tanda bahwa kau sedang sial. Agaknya kata-katamu yang baik dan merdu tadi menyerupai nyanyian burung yang menghadapi maut.....”

Pak-thian Koai-jin maklum bahwa wanita itu benar-benar memiliki tenaga lweekang yang luar biasa, akan tetapi ia tidak menjadi gentar dan menjawab sambil tertawa. "Aku pun pernah mendengar orang bilang bahwa di dunia ini yang paling aneh adalah hati wanita. Kalau baik tidak seperti hati wanita yang mengandung penuh madu, sebaliknya kalau busuk juga tidak seperti hati wanita yang mengandung racun berbahaya. Juga, hanya wanita saja yang pandai tersenyum manis bermuka ayu akan tetapi hatinya mengandung maksud buruk, seperti seorang dewi berhati racun. Entah betul tidak kiranya toanio sebagai seorang wanita lebih mengerti."

Dalam kata-kata ini tentu saja merupakan sindiran karena berkali kali pengemis aneh itu meyebut hati beracun dan muka dewi yang menjadi julukan wanita ini yaitu Tok-sim Sian-li (Dewi Berhati Racun) merah padam!

Merasa kewalahan kalau harus berdebat dengan kakek pengemis yang selalu tertawa-tawa ini, Tok-sim sian-li berkata ketus. "Sudah tahu nonamu ini Tok-sim Sian-li, kau masih berani menjual lagak?"

"He-he, adakah tadi aku menawarkan lagak? Eh, Dewi Hati Beracun, apakah kau ingin membeli lagak?" kakek itu menggoda.

"Pengemis bau! Hanya karena muridku ingin melihat betapa aku mengalahkanmu, aku sengaja datang di sini mencarimu. Akan tetapi sekarang melihat mukamu, aku belum puas kalau belum membunuhmu! Kau manusia bosan hidup!" Tanpa memberi kesempatan kepada lawannya, Tok-sim Sian-li menggerakkan pedangnya dan sinar hijau yang panjang dan berhawa dingin menyambar ke arah leher pengemis itu.

"Hayaaa.... benar dewi yang hatinya beracun, busuk dan galak!" seru Pak thian Koai-jin sambil cepat mengelak dengan lompatan jauh ke samping karena maklum akan keganasan serangan itu. "Sudah menculik calon muidku, datang-datang masih menghendaki kepalaku lagi. Apa boleh buat, terpaksa melawan!"

Karena ia maklum bahwa wanita ini tak boleh dipandang ringan dan tak boleh dibuat main-main, Pak-thian Koai-jin lalu memutar tongkatnya dan membalas serangan lawan. Sebentar saja pertempuran berjalan sengit dan seru sekali. Gerakan Tok-sim Sian-li amat cepat dan gesit, terpaksa Pak-thian Koai-jin mengimbanginya sehingga mata Kun Hong menjadi silau, tak dapat ia membedakan mana Tok-sim Sian-li mana Pak-thian Koai-jin!

Selama bertanding, Pak-thian Koai-jin tak pernah diam. Terdenar ia berseru berkali-kali. "Aduh lihai amat!” atau "Ganas.... ganas....!”

Memang ilmu pedang yang dimainkan oleh Tok-sim Sian-li adalah ilmu pedang yang amat ganas dan berbahaya. Tidak seperti kawannya Bu-ceng Tok-ong yang betul-betul merupakan Raja Racun yang selalu bermain-main dengan segala macam racun, Tok-sim Sian-li hanya mempergunaan racun hijau pada ujung pedangnya dan tangan kirinya memiliki semacam pukulan mengandung hawa beracun yang disebut Toat-sim-ciang (Pukulan Mencabut Hati).

Dengan pukulan tangan kiri ini, lawan yang kurang tangguh akan terserang jantungnya dan tewas seketika tanpa dapat bersambat lagi! Selain ini, Tok-sim Sian-li juga memiliki semacam kepandaian aneh. Ilmu ini boleh digolongkan dengan Ilmu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa), yaitu semacam ilmu yang menggunakan suara untuk merobohkan lawan, suara yang mengandung tenaga khikang dan lweekang menjadi amat berpengaruh.

Cuma bedanya, kalau Sai-cu ho-kang dilakukan dengan menggereng keras menggetarkan jantung lawan dan melumpuhkan urat syaraf, adalah ilmu yang dimiliki oleh Tok-sim Sian-li ini dilakukan dengan mengeluarkan suara nyanyian! Ilmu ini selain merupakan sari khikang dan lweekang juga sudah termasuk golongan ilmu sihir untuk merampas dan menguasai semangat dan kemauan lawan.

Ilmu tongkat dari Pak-thian Koai-jin hebat bukan main. Ini tidak aneh karena Ilmu pedang Gobi Kiam-Hoat dari Go bi-pai sari atau dasarnya juga dari ilmu tongkat yang sekarang dimainkan oleh Pak-thian Koai-jin. Menghadapi ilmu tongkat selihai ini diam-diam Tok-sim Sian-li menjadi sibuk dan jengkel sekali.

Pedangnya yang terkenal ganas seakan-akan bertemu dengan dinding yang tak tertembuskan, bahkan kadang-kadang ia menjadi kaget dan tercengang kalau sewaktu-waktu dari "dinding" itu menyelonong ujung tongkat yang tahu-tahu mengarah jalan darahnya! Benar-benar lihai sekali pengemis dengan tongkat bututnya ini.

Dengan jengkel dan marah Tok-sim Sian-li lalu mengeluarkan imu pukulannya yang hanya ia keluarkan kalau ia menghadapi lawan tangguh, yaitu Toat sim-ciang. Tangan kiri dengan jari-jari runcing mungil dikembangkan mulai menyodok-nyodok ke depan. Nampaknya pelahan dan tak bertenaga.

Akan tetapi Pak-thian Koai-jin segera merasakan akibatnya. Dadanya terguncang seperti ditumbuk oleh tenaga yang tidak kelihatan. Ia kaget sekali karena ia maklum bahwa pukulan macam ini kalau mengenai orang yang tidak kuat satu kali saja, jantung orang itu akan terguncang dan pecah! Cepat ia mengeluarkan mangkok retak yang tadi ia simpan dalam sakunya.

"Pukulan beracun jahat sekali!" serunya dan mulailah kakek pengemis lihai ini mempergunakan mangkok jimatnya! Dengan mangkok di tangan kiri, ia selalu "menangkap" pukulan lawan dan pukulan itu seakan-akan ia "retour" kembali melalui mangkoknya yang cekung.

Tok-sim Sian-li terheran-heran dan bertambah marah. Jangankan hanya mangkok beling, biarpun mangkok besi kiranya akan pecah kalau berkali-kali terkena pukulannya. Akan tetapi mangkok di tangan kakek pengemis itu tidak pecah malah dapat membikin terpental setiap pukulan Toat-sim-ciang!

"Pak-thian Koa-jin, tidak percuma kau menjadi jago utara. Ternyata kau benar-benar lihai sekali!"

Pak-thian Koai-jin terkejut bukan main, juga merasa aneh mengapa wanita ini tiba-tiba mempunyai suara yang demikian merdu lemas dan halus, enak sekali didengarnya. Ia merasa seakan-akan dirayu oleh wanita cantik yang menjadi kekasihnya. Sebagai seorang yang berpengalaman luas, ia menjadi terkejut dan bersikap waspada.

Tiba-tiba Tok-sim Sian-li bersenandung dengan suara yang amat merdu, akan tetapi pedang dan tangan kirinya masih terus melakukan tekanan-tekanan terhadap kakk pengemis itu.

Pak-thian Koai-jin terheran-heran karena tidak mengerti apa maksud lawannya yang aneh ini. Tak tertahan lagi ia tertawa bergelak karena merasa amat lucu. Akan tetapi Tok-sim Sian-li tidak perduli dan terus menyerang, terus bernyanyi merdu. Mau tidak mau Pak-thian Koai-jin mendengarkan dan berusaha menangkap kata-kata nyanyian yang disenandungkan itu.

Anehnya, ia mulai terdesak. Mulai dirasakan betapa serangan-serangan wanita itu menjadi berat sekali, jauh lebih berat dari pada tadi sampai-sampai ia terdesak hebat dan hanya sanggup menangkis saja! Pikirannya mulai kacau, dadanya berdebar dan perhatiannya tak dapat dicurahkan kepada pertempuran.

Dalam sesaat yang amat berbahaya, hampir saja pundaknya menjadi korban pedang Tok-sim Sian-li dan baiknya hanya bajunya saja yang robek, kulitnya tidak terluka. Akan tetapi ini sudah amat mengagetkan hati Pak-thian Koai-jin karena ia tahu bahwa terluka sedikit saja amat berbahaya.

Setelah ini baru ia benar-benar terkejut. Dicobanya untuk memulihkan ketenangannya, untuk mencurahkan perhatiannya kepada permainan silatnya, untuk menutup pendengarannya terhadap nyanyian itu. Akan tetapi sia-sia belaka, makin dilupakan suara itu makin merdu merayu, membuat semua tubuhnya lemah!

"Hebat, kau benar-benar siluman berbahaya!" seru Pak-thian Koai-jin dan kakek ini cepat melompat ke belakang menghindarkan serangkai serangan yang amat dahsyat, kemudin tanpa menoleh lagi ia menghilang di dalam hutan lebat!

Tok-sim Sian-li menghentikan nyanyiannya, menengok dan melihat Kun Hong. "Kun Hong....!" serunya kaget melihat bocah itu sudah menggeletak dengan wajah pucat dan tak bersemangat. Wanita ini lupa bahwa nyanyiannya tadi mempengaruhi siapa saja yang berada di dekatnya, tidak terkecuali Kun Hong. Mana kuat bocah itu menahan pengaruh nyanyian iblis ini? Semangat bocah itu seakan-akan terbetot meninggalkan raganya dan ia menjadi seperti seorang yang kena sihir.

Tok-sim Sian-li cepat memeluk dan mengangkatnya, mengurut sana-sini sambil memanggil namanya. "Kun Hong, aku lupa bahwa kau berada di belakangku.... ah, percuma saja, kau tidak melihat bagaimana aku telah mengusir Pak-thian Koai-jin."

Begitu sadar kembali dari keadaannya seperti linglung tadi Kun Hong segera bertanya, "Mana kakek jembel itu? Siapa yang kalah?"

Tok-sim Sian-li tersenyum manis. "Kalau aku kalah kau kira aku bisa berada dengan kau? Kakek pengecut itu sudah melarikan diri!”

Kun Hong tertawa puas. "Aku pun tidak suka kalau harus menjadi muridnya, masa aku harus menjadi seorang pengemis cilik? Lebih baik menjadi muridmu, apalagi kau sudah dapat mengalahkan dia, bibi."

"Hush, jangan panggil bibi."

"Habis, harus menyebut apa?"

"Dulu orang menyebutku Pek-sim-Niocu (nona Berhati Putih), akan tetapi sekarang orang-orang jahat, yang tidak suka kepadaku memberi nama Tok-sim Sian-li. Aku lebih suka disebut "Pek-sim-Niocu" dan kau boleh sebut "niocu" kepadaku."

Kun Hong mengangguk. "Baiklah, niocu. Akan tetapi mengapa namamu hanya julukan-julukan saja, apakah niocu tidak mempunyai nama sendiri?"

Tok-sim Sian-li tersenyum dan menggelengkan kepala, untuk sekilat sinar matanya mengandung kedukaan. "Tidak, nama sendiri sudah lupa lagi...." akan tetapi sinar duka segera terganti sinar tajam seperti biasa dan ia berkata. "Mari kita kembali mencari Bu-ceng Tok-ong, hendak kulihat apakah dia juga berhasil mengalahkan ketua Siauw-lim-pai."

Setelah tiba di tempat tadi, Tok-sim Sian-li dan Kun Hong melihat bahwa si Raja Racun itu bersama Wi Liong sudah menanti di situ.

"Ha-ha-ha, lama benar kau mencegat Pak-thian Koai-jin!" Tok-ong mengejek sambil tertawa.

"Biarpun lama aku berhasil mengusir dan mengalahkannya," jawab Tok-sim cemberut, "Kau sendiri bagaimana?”

"Sedang kau repot bernyanyi-nyanyi di sana, aku sudah membereskan babi gemuk dari Siauw-lim-pai itu sampai menjerit-jerit minta ampun!" kata Tok-ong sambil tertawa-tawa girang dan saking gelinya menepuk-nepuk paha sendiri.

"Siapa percaya omongan busukmu?" Tok-sim mencela. "Bhok Lo Cinjin mungkin kalah olehmu, akan tetapi minta-minta ampun? Cih, kau sombong dan bohong! Eh, Wi Liong, benarkah kata-katanya itu bahwa ketua Siauw-lim-pai sampai minta-minta ampun kepadanya?”

Wi Liong menggelengkan kepala. "Aku yang mintakan ampun untuk nyawa Bhok Lo Cinjin, orang tua itu malah minta dibunuh."

Kun Hong segera melangkah maju dan mencela Wi Liong. "Bocah goblok, guru merobohkan musuh mengapa kau mintakan ampun untuk musuh? locianpwee, murid macam apakah yang begini ini? Lempar saja ke jurang, biar teecu yang melempar pengkhianat ini."

"Tutup mulutmu, Kun Hong! Aku bukan murid Tok-ong dan aku bukan pengkhianat!" bentak Wi Liong marah karena ia dimaki pengkhianat.

Tok-sim Sian-li tertawa girang. "Lihat, bukankah muridku lebih ingat budi dan tak mengecewakan menjadi murid?”

"Ha-ha, apa sih ingat budi? Aku tak ingin punya murid yang ingat budi! Laginya, si Wi Liong mintakan ampun untuk Bhok Lo Cinjin sama sekali bukan untuk menolongnya, malah membantu aku menghina babi gemuk itu. Kalau tidak dimintakan ampun, tentu sudah kubunuh dan berarti ketua Siauw-lim-pai itu terlepas dari pada ejekan dunia. ha-ha-ha, benar-benar muridku lebih cerdik dan tahu caranya menyiksa musuh!”

Kaget bukan main hati Wi Liong mendengar ini. Ia sama sekali tak pernah mengira bahwa perbuatannya tadi, mintakan ampun untuk nyawa Bhok Lo Cinjin, malah merupakan penghinaan besar bagi diri ketua Siauw-lim-pai itu! Pantas saja ketua Siauw-lim-pai itu tidak berterima kasih kepadanya bahkan malah memakinya, dan ia menjadi ngeri kalau memikirkan keadaan dua orang aneh ini, demikian kejam dan keji! Ngeri ia memikirkan harus menjadi murid Tok-ong.

Mendadak Tok-ong dan Tok-sim nampak terkejut, sama-sama menengok ke atas, ke arah daun-daun pohon di sebelah kiri.

"Sian-li, apa kau tidak merasa sesuatu yang aneh?" Tok-ong bertanya, suaranya beubah sungguh-sungguh.

Tok-sim Sian-li mengangguk. "Memang, apa yang menggerakkan daun-daun itu dan suara apa yang mendesis ini?”

Wi Liong dan Kun Hong memperhatikan. mereka sekarang juga melihat daun-daun pohon sebelah kiri bergoyang-goyang dan ada suara mendesis perlahan dari arah tempat itu, padahal tidak ada angin dan tidak nampak sesuatu.

"Ah, tempat ini keramat, ada setannya. Lebih baik aku pergi dari sini!” kata Tok-sim Sian-li sambil memeluk tubuh Kun Hong hendak membawa pergi. Tiba-tiba ia bergidik karena pada saat itu angin meniup ke arah rambutnya dan terlepaslah sanggul wanita ini, membuat rambutnya menadi awut-awutan!

"Iblis menggangguku..." Tok-sim Sian-li menggerutu dan mukanya berubah pucat ketika ia menyanggulkan kembali rambutnya.

Tok-ong tertawa bergelak untuk menyembunyikan rasa takutnya. Memang para tokoh Mo-kauw adalah orang-orang yang sujud dan takut kepada mahluk-mahluk halus, bahkan dalam bertapa untuk mengejar ilmu, mereka selalu berusaha untuk menghubungi mahluk-mahluk halus dan menjadi iblis dan setan.

"Sian-li, kau takut apa sih? Di siang hari terang seperti ini mana ada setan dan.....”

Ia menghentikan kata-katanya dengan tiba-tiba karena ada angin terasa olehnya berseliweran dan ia merasa punggungnya ada yang raba, ketika ia menggunakan tangan meraba pungungnya, ia menjadi pucat karena pedang Cheng Hoa Kiam yang ia rampas dari tangan Kwee Sun Tek di puncak Kun-lun-san tadi ternyata sekarang telah lenyap!

"Keparat pengecut kalau berani muncullah, kita boleh bertanding sampai sepuluh ribu jurus, jangan main sembunyi-sembunyi seperti setan dan iblis!” Tok-ong memaki-maki marah sekali sambil memandang ke sekelilingnya.

Tok-sim Sian-li yang juga melihat lenyapnya pedang rampasan dari punggung Tok-ong menjadi makin pucat, akan tetapi untuk menjaga diri, ia sudah mencabut pedangnya. "Siluman keluarlah!" Tok-sim Sian-li juga ikut berteriak untuk memperlihatkan bahwa iapun tidak takut, atau setidaknya ia tidak mau "kalah muka" oleh Bu-ceng Tok-ong di depan muridnya.

Hening sejenak dan dua orang anak, Kun Hong dan Wi Liong, sudah memperlihatkan bahwa memang mereka adalah anak-anak yang mempunyai ketabahan besar. Biarpun mereka tidak tahu kepada siapa dua orang tokoh sakti itu bicara, namun dari sikap dua orang sakti itu mereka dapat menduga bahwa tentu ada orang yang berkepandaian tinggi atau mungkin benar-benar ada siluman. Anak-anak biasa tentu akan menjadi ngeri atau ketakutan, akan tetapi tidak demikian dengan dua orang anak itu.

"Akan ada pertempuran lagi. Benar-benar menggembirakan!" kata Kun Hong yang segera duduk di dekat Wi Liong yang sudah duduk di atas akar pohon besar yang menonjol keluar dari tanah seperti ular besar. Dua orang anak ini duduk menongkrong seperti orang hendak menonton pertunjukan yang menarik hati.

"Mudah-mudahan muncul orang gagah yang akan membebaskan kita." kata Wi Liong penuh harap.

"Bodoh kau! Hanya mengharapkan kebebasan. Lebih enak menjadi murid mereka yang begitu gagah dan sakti. Kalaupun muncul orang gagah yang membebaskan kita, belum tentu mau mengambil murid kepada kita, dan di Kun-lun-san semua orang tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan guru-guru kita." cela Kun Hong.

"Mereka jahat, aku tidak sudi menjadi murid orang-orang jahat." kata Wi Liong.

"Kau tahu apa tentang jahat dan baik? Kita menjadi murid mereka untuk belajar ilmu silatnya, bukan untuk belajar jahat atau baiknya!" bantah Kun Hong. "Laginya..... guruku begitu cantik dan halus, siapa bilang jahat? Kau memang bocah banyak lagak dan...”

Tiba-tiba saja Kun Hong menghentikan kata-katanya karena pada saat itu, entah dari mana datangnya tahu-tahu muncul seorang kakek di depan mereka. Kakek ini usianya kurang lebih enam puluh tahun, mukanya seperti topeng atau seperti muka mayat! Tidak nampak kulit muka itu bergerak sedikitpun seperti kulit mati, lagi pula pucat kehijauan.

Sepasang matanya bersinar lembut dan bibirnya yang kering pucat itu seperti selalu tersenyum mengejek. Tangan kirinya membawa kipas terbuat dari pada daun, dan ditangan kanannya kelihatan sebuah hudtim atau kebutan pertapa dengan bulu kebutannya panjang berwarna putih.

Bagi Wi Liong atau Kun Hong kakek ini tidak mendatangkan kesan aneh, akan tetapi Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li berubah air mukanya ketika melirik ke arah kakek itu dan melihat pedang Cheng Hoa-kiam yang tadi lenyap secara gaib dari punggung Bu-ceng Tok-ong, kini telah berada di punggung kakek itu!

Bu-ceng Tok-ong marah bukan main melihat orang yang telah mencuri pedangnya, akan tetapi oleh karena maklum bahwa orang ini tak boleh dipandang rendah, ia tidak berlaku sembrono. Hanya untuk menjaga muka dan nama ia harus memperlihatkan kemarahannya. Dia seorang tokoh besar dan belum pernah ada orang berani menghinanya, apa lagi mempermainkannya. Dan orang yang telah mencuri pedang dari punggungnya ini sama sekali belum dikenalnya!

"Kau ini siapakah, datang-datang mengajak aku main-main? Agaknya kau belum tahu bahwa aku adalah Bu-ceng Tok-ong....." kata si Raja Racun yang menahan ucapannya dengan perasaan mendongkol sekali karena orang yang mukanya seperti kedok mayat itu sedikitpun tidak perduli kepadanya, malah kini menghampiri Wi Liong dan Kun Hong yang duduk berdampingan di atas akar pohon.

Sepasang mata yang bersinar lembut itu menatap ke arah dua orang anak itu dan tiba-tiba sinar mata itu tajam sekali, membuat Wi Liong dan Kun Hong merasa dingin pada tengkuknya.

"Kalian berdua... ikut aku... mau?" keluar pertanyaan singkat terputus-putus dari mulut kakek aneh ini. Agaknya kakek ini sukar bicara atau memang hemat dengan kata-kata.

Wi Liong dan Kun Hong keduanya cerdik dan berbakat. Mungkin Kun Hong lebih cerdik dan nakal, akan tetapi agaknya perasaan Wi Liong lebih halus. Melihat kakek aneh yang wajahnya mengerikan seperti kedok mayat itu, Kun Hong merasa ngeri dan tidak suka.

Akan tetapi Wi Liong segera dapat merasa bahwa kakek ini bukanlah orang sembarangan dan bukan termasuk orang jahat seperti Bu-ceng Tok-ong. Oleh karena perasaan inilah maka seketika ia berdiri dan berkata kepada kakek itu. "Aku suka ikut!"

Sebaliknya karena merasa ngeri melihat pandang mata kakek itu, Kun Hong berdiri dan berlari ke dekat Tok-sim Sian-li sambil berkata, "Aku tidak sudi ikut setan kuburan!”

Kakek aneh itu mendongak ke angkasa dan terdengar ia berkata pula tanpa menggerakkan bibir seperti juga tadi. Agaknya ia memang memakai kedok, karena kalau ia bicara, bibirnya tidak bergerak!

"Begitulah kehendak Thian... sudah kuperhitungkan... tidak meleset." Setelah berkata demikian, ia menghampiri Wi Liong dan menggandeng tangan bocah ini diajak pergi dari situ tanpa menoleh sedikitpun ke arah Bu-ceng Tok-ong atau Tok-sim Sian-li!

Datang-datang mencuri pedang dan hendak menyerobot murid begitu saja di depan hidungnya, lalu hendak pergi tanpa pamit datang tanpa permisi, benar-benar selama hidupnya belum pernah Bu-ceng Tok-ong bertemu dengan orang yang begini bocengli (tak tahu aturan)! Dia sendiri terkenal sebagai seorang yang tidak mengenal aturan, sekarang ia benar-benar ketemu batunya. Kemarahannya tak dapat ditahan lagi.

"Setan jahanam benar-benar bosan hidup kau!" bentaknya dan kedua tangannya bergerak secara bergantian. Selosin jarum-jarum hitam yang halus menyambar ke arah jalan-jalan darah di tubuh belakang kakek aneh itu!

Kakek itu menengok pun tidak, tetap berjalan menggandeng tangan Wi Liong seperti tadi, hanya kipasnya dipakai mengebuti badannya seperti orang kegerahan. Hebatnya, sinar-sinar hitam itu runtuh kembali sebelum mengenai tubuh orang, seakan-akan tubuh kakek itu dilindungi oleh semacam perisai yang tidak kelihatan.

Demikianlah menurut pandangan orang lain, akan tetapi Tok-ong dan Tok-sim sebagai orang-orang pandai dan sakti, maklum bahwa kebutan kipas itulah yang meruntuhkan semua jarum. Tok-ong menjadi makin panas hatinya, memberi isyarat kepada Tok-sim untuk menyerang bersama. Ia menggereng dan bergerak maju, juga Tok-sim Sian-li mencabut pedang dan menyerbu dari belakang orang itu.

Tiba-tiba kakek itu menoleh dan mengebutkan kipasnya ke arah Tok-ong dan Tok-sim sambil berkata. "Heran... mengapa Thai khek Sian... mempunyai orang-orang begini...?"

Luar biasa sekali tenaga kebutan kipas ini. Seperti dua ekor burung terbang tertiup angin besar, Tok-ong dan Tok-sim merasa betapa keseimbangan badan mereka rusak dan mereka menjadi limbung, hampir saja terjengkang ke belakang kalau mereka tidak cepat-cepat menghentikan gerakan menyerbu tadi dan memasang kuda-kuda yang kuat!

Biarpun demikian, mereka itu bukan tokoh-tokoh besar dari Mo-kauw kalau gentar untuk melawan lagi, hanya disebutnya nama Thai Khek Sian membuat mereka bengong dan ragu-ragu untuk maju lagi. Sementara itu, kakek aneh tadi melanjutkan perjalanannya, menggandeng tangan Wi Liong, terus menuju barat.

"Siapakah dia yang sudah mengenal Sian-su...?" kata Tok-ong masih belum hilang kagetnya.

"Tentu orang yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya, lebih baik kita segera melapor kepada Sian-su," kata Tok-sim sambil menarik tangan Kun Hong.

"Hemm, selain melapor, juga kau sudah amat rindu kepada Sian-su, bukan?"

Muka Tok-sim Sian-li menjadi merah. "Kau perduli apakah? Kalau kau cemburu atau tidak suka, boleh kau memprotes Sian-su dan...”

"Hushh, aku cuma bicara main-main mengapa kau bersungguh-sungguh? Siapa orangnya yang tidak suka dan menghormat Sian-su? Semua perempuan di dunia ini siapa yang tidak suka menjadi kekasihnya? Tentu saja boleh kau mendekati Sian-su, asal jangan kau lupa kepadaku."

"Hah, manusia macammu! Mempertahankan murid saja tidak becus!" Sambil berkata demikian, Tok-sim Sian-li memeluk kepala Kun Hong dan berkata. "Anak baik, untung kau tidak ikut setan kuburan tadi." Wanita ini merasa girang sekali bahwa kakek tadi tidak membawa pergi muridnya yang tersayang. Kalau andaikata Kun Hong dibawa, apa yang akan dapat ia perbuat? Dari kebutan kipas tadi saja ia sudah maklum sepenuhnya bahwa ia bukanlah lawan kakek tadi.

Sebaliknya, Bu-ceng Tok-ong merasa kecewa sekali kehilangan muridnya. "Benar pilihanmu, Wi Liong bukanlah murid baik. Belum apa-apa ia sudah mengecewakan hatiku. Awas dia, kalau bertemu kelak, akan kupatahkan batang lehernya. Sian-li, biarlah aku membantumu melatih muridmu si Kun Hong ini."

"Apa-apaan kau ini? Aku sendiri sanggup melatihnya menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa. Bukan begitu, Kun Hong?" katanya sambil memeluk dan mencium pipi muridnya.

Kun Hong tersenyum girang dan mengangguk-angguk kepalanya. Diam-diam ia masih mengherani cara kakek tadi mengalahkan Tok-sim Sian-li dan Bu-ceng Tok-ong, ataukah belum kalah? Ia tidak menyaksikan sesuatu pertempuran, mengapa dua orang sakti ini tidak mengejar terus?

"Sian-li kau keliru. Apa kau ingin melihat Kun Hong kelak kalah oleh Wi Liong? Kalau kita berdua yang melatihnya, apa lagi kalau Sian-su berkenan menurunkan satu dua macam kepandaian, hatimu boleh puas kelak melihat muridmu ini mengalahkan Wi Liong."

Tok-sim Sian-li nampak bengong, kemudian ia berkata. "Kita harus bertanya kepada Siansu siapa adanya mayat hidup tadi. Tentang kau hendak menurunkan kepandaianmu yang buruk kepada muridku, tidak ada salahnya kalau Kun Hong mau menerimanya."

"Mengapa tidak? Hem Kun Hong anak baik, apa kau tidak ingin mempunyai kepandaian seperti aku, sekali pukul bikin hangus isi perut orang tangguh dan sekali sebar jarum sanggup merobohkan lima puluh orang lawan?”

Kun Hong seorang bocah yang amat cerdik. Dari percakapan tadi, iapun dapat menduga bahwa Wi Liong tentu akan menjadi murid kakek aneh tadi. Diam-diam ia merasa khawatir kalau kelak benar-benar ia sampai kalah oleh Wi Liong, maka tanpa ragu-ragu ia lalu mengangguk.

"Tentu saja teecu suka menerima ajaran-ajaran dari Tok-ong, apa lagi ajaran dari locianpwee yang kalian sebut Siansu."

Dua orang tokoh Mo-kauw itu saling pandang, kemudian Tok-sim Sian-li mengangkat tubuh muridnya, dilempar-lemparkan ke atas diterima lagi, dilempar lagi dengan wajah girang. Kun Hong juga mengeraskan hati agar jangan merasa takut diperlakukan seperti ini oleh gurunya.

"Anak baik, bocah ganteng muridku sayang. Kau benar-benar kelak akan menjadi pemuda yang menyenangkan hatiku!" Tok-sim Sian-li memuji-muji muridnya.

"Sudahlah, mari kita segera berangkat." kata Bu-ceng Tok-ong yang di dalam hatinya amat cinta kepada Tok-sim Sian-li maka selalu merasa sebal kalau melihat wanita itu memperlihatkan kasih sayang kepada lain pria, biar pun pria yang masih bocah seperti Kun Hong!

Pendeknya, ia merasa cemburu. Hal ini tidak mengherankan karena laki-laki manakah di dunia ini yang tidak memiliki hati cemburu? Kalau tidak cemburu berarti tidak cinta, sungguhpun cinta sejati amat membutuhkan kepercayaan.

Berangkatlah dua orang tokoh Mo-kauw ini turun dari Kun-lun-san, membawa Kun Hong yang menjadi girang sekali karena mendapatkan guru-guru pandai. Ada juga ia teringat kepada Kam Ceng Swi yang ia anggap dan sangka adalah ayahnya sendiri. Akan tetapi ia malah girang kalau membayangkan betapa kelak ia akan kembali kepada ayahnya setelah memiliki kepandaian tinggi yang dapat ia banggakan kepada ayahnya itu.

* * *

Setengah orang bilang bahwa waktu berjalan amat cepat melebihi cepatnya anak panah terlepas dari busurnya. Ada pula yang menyatakan bahwa waktu itu amat lambat, merayap-rayap seperti keong.

Pendapat-pendapat ini keduanya memang ada betulnya. Waktu dapat berjalan cepat sekali atau lambat tergantung dari keadaan. Kalu kita mengenangkan waktu kita masih kanak-kanak seakan-akan baru kemarin saja dan terbayanglah betapa cepatnya jalannya sang waktu.

Akan tetapi, kalau kita menanti datangnya sesuatu yang amat kita harapkan, waktu satu jam saja rasanya seperti sebulan. Coba kalau kita sedang terburu-buru lalu menanti datangnya kawan atau kendaraan yang kita harap-harapkan, aduh bukan main lamanya. Bukan demikiankah?

Begitu pula cerita ini tahu-tahu sudah maju dua belas tahun kemudian semenjak apa yang telah dituturkan di bagian depan! Dua belas tahun lewat begitu saja dengan amat cepatnya. Keadaan di dalam negeri tidak banyak perobahan karena bala tentara Mongol masih sedang sibuk melakukan penyerbuan ke barat sampai menggegerkan seluruh Eropa.

Selama sejarah berkembang baru pertama kali itulah dunia barat dibikin geger dan ketakuan oleh kekuatan yang datang dari timur.

Itu baru kekuatan dari negara timur yang kecil saja, kekuatan bala tentara Mongol, sekelompok bangsa yang tidak bisa dibilang besar. Semua ini berkat keberanian dan keuletan yang luar biasa dari bangsa timur...

Jilid selanjutnya,
CHENG HOA KIAM JILID 07