Cheng Hoa Kiam Jilid 04

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Cheng Hoa Kiam Jilid 04
Sonny Ogawa

Cheng Hoa Kiam jilid 04, karya Kho Ping Hoo - BENG KUN CINJIN berdiri di luar, mukanya pucat seperti mayat dan jantungnya seperti berhenti berdetik. Dadanya serasa panas terbakar dan ia tentu akan roboh saking marah dan kagetnya kalau saja ia tidak mempertahankan diri. Ada sesuatu menusuk di dalam jantungnya, membuat ia berdiri menggigil.

Cerita Silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

"Liu-kongcu, jangan kau main-main. Bicara jangan keras-keras, apa lagi tertawa-tawa seperti itu. Kalau ada pelayan mendengar dan kelak melapor kepada koksu, ke mana kau akan menyembunyikan kepalamu?”

"Ha-ha, tentu saja kusembunyikan di dalam dadamu, manis...."

Beng Kun Cinjin tidak kuat lagi menahan amarah yang menggelora di dalam dadanya. Dunia serasa hancur lebur dan ia merasa hidup di dalam neraka yang panas, terbakar hidup hidup. Sekali ia bergerak, daun jendela kamar itu pecah berantakan!

Dapat dibayangkan betapa terkejutnya hati dua orang manusia busuk yang berada di dalam kamar itu. Beng Kun Cinjin dari luar tadi sudah mengenal suara laki-laki itu yang bukan lain adalah Liu kongcu putera dari seorang pembesar istana Bangsa Han yang menjadi kaki tangan kaisar.

Liu kongcu memang seorang pemuda tampan sekali, akan tetapi siapa duga bahwa pemuda itu ternyata adalah kekasih Hui Niang? Mungkin sebelum menjadi isterinya, Hui Niang sudah main gila dengan pemuda hidung belang itu.

Begitu memasuki kamar, Beng Kun Cinjin tidak memberi kesempatan lagi kepada Liu-kongcu pemuda berahlak rendah itu. Dengan gerengan tertahan di tenggorokan seperti suara seekor harimau menggeram, Beng Kun Cinjin menerkam. Dua tangannya menyambar, tenaga dikerahkan dan terdengar suara mengerikan disusui jerit Hui Niang. Tubuh pemuda itu telah pecah dan dirobek menjadi dua potong, dilemparkan di pojok kamar itu!

Hui Niang hampir pingsan. Kedua kakinya menggigil dan ia menjatuhkan diri berlutut di depan Beng Kun Cinjin, suaminya yang dihianatinya. Mulutnya gemetar tak dapat mengeluarkan kata-kata sedikitpun. Beng Kun Cinjin juga tidak mau banyak cakap lagi. Karena dalam keadaan seperti itu tidak ada suara dapat keluar dari mulutnya, ia bergerak lagi.

Dan di lain saat tubuh Hui Niang sudah ia kempit dan juga bocah cilik berusia setengah tahun itu, yaitu Gan Kun Hong putera Hui Niang telah ia pondong. Ia lalu melompat keluar dari jendela terus ke atas genteng dan lari cepat sekali keluar dari kota raja! Beng Kun Cinjin maklum bahwa setelah membunuh Liu-kongcu, tak ada harapan lagi untuk tinggal di istana.

Apa lagi nama baiknya sudah tercemar oleh kebiadaban isterinya, untuk apa lagi tinggal di istana? Istana itu sudah berubah menjadi neraka baginya, bahkan dunia sudah menjadi neraka. Ia dulu rela membunuh murid-muridnya, rela menjadi koksu pemerintah penjajah hanya karena ia tergila-gila kepada Hui Niang. Sekarang Hui Niang telah menghianatinya, dunianya sudah hancur lebur. Bahkan anaknya yang tadinya menjadi pelita hatinya, bukan anaknya sendiri! Pelita hidupnya sudah padam!

Jauh di luar kota raja, sebelah selatan, Beng Kun Cinjin melempar tubuh Hui Niang di atas tanah di dalam sebuah hutan. Malam telah terganti pagi dan setengah malam itu Beng Kun Cinjin berlari terus tak pernah berhenti. Ia tidak memperdulikan suara Hui Niang menangis merengek-rengek minta ampun.

Kini Hui Niang sudah serak suaranya, tak dapat berkata-kata lagi, hanya terisak-isak sambil mendekam di atas tanah, seperti seekor binatang terluka. Rambutnya terlepas sanggulnya menjadi riap-riapan menutupi kulit mukanya yang putih pucat.

"Ampun... ampunkan aku..." diulangnya kata-kata yang sudah ia bisikkan dan teriakkan ratusan kail, tanpa berani memandang muka suaminya.

Beng Kun Cinjin meludah ke arah Hui Niang lalu melemparkan Kun Hong itu begitu saja ke atas tanah. Bocah itu tentu saja menangis keras di dekat ibunya. Hui Niang tak berani bergerak, hanya hatinya seperti di sayat-sayat mendengar jerit tangis anaknya.

Seperti patung batu Beng Kun Cinjin berdiri dengan kedua kaki terpentang di depan Hui Niang. Matanya yang lebar melotot, beringas dan merah seperti mata singa kelaparan. Dalam keadaan seperti itu, teringatlah ia kepada murid-muridnya. Kalau ia mengingat betapa demi kecintaannya terhadap wanita ini ia sampai membunuh-bunuhi murid-muridnya, kemarahannya memuncak.

"Kau sudah tahu akan kesalahanmu?" katanya menuntut. Inilah ucapan pertama yang keluar dari mulutnya semenjak ia menyeret isterinya itu ke hutan ini.

Dengan kepala tunduk Hui Niang mengangguk. "Ampun... ampun... ratapnya.

"Anak ini... anak siapa...?" kembali Beng Kun Cinjin menuntut.

"Anak kita... anakku dan anakmu..." Hui Niang mendapat kekuatan baru, mengira bahwa seperti biasanya suaminya ini akan luluh menghadapinya. Ia mengangkat mukanya yang cantik, mengerlingkan matanya yang indah sambil berkata, "Mengapa sih kau tidak mau mendengarkan omonganku, melainkan percaya obrolan kosong pemuda edan itu?"

Celaka bagi Hui Niang. Kali ini kata-kata dan aksinya tidak meluluhkan hati Beng Kun Cinjin, malah membikinnya menjadi makin panas berkobar! "Perempuan rendah! Makhluk hina!" hanya ini yang dapat dikeluarkan oleh mulut Beng Kun Cinjin karena kemarahannya membuat ia mata gelap, jari tangan kanannya menusuk ke depan.

Terdengar pekik mengerikan ketika jari-jari tangannya menusuk ke arah dada Hui Niang, tepat di bawah leher. Nyonya muda itu roboh telentang dan kepalanya membentur batu karang yang berada di belakangnya. Ia roboh dalam keadaan setengah duduk, tangan kiri masih sempat menutup luka di dadanya akan tetapi nyawanya sudah cepat meninggalkan tubuhnya. Darah mengucur keluar dari luka itu membasahi pakaiannya.

Beng Kun Cinjin menghampiri bocah yang menangis menjerit-jerit itu. Kakinya diangkat ke atas. Ingin ia menginjak perut bocah itu sampai mati. Akan tetapi entah mengapa, tiba-tiba ia teringat bahwa bocah ini sama sekali tidak berdosa apa-apa. Baik bocah ini anak kaisar, maupun anak pemuda she Liu atau anaknya sendiri, tidak bisa semua kejadian yang rendah itu ditimpakan kepada anak ini yang tidak tahu-menahu sama sekali.

Beng Kun Cinjin tidak jadi menginjak anak itu, sebaliknya ia lalu berkelebat pergi setelah sekali lagi menengok ke arah tubuh Hui Niang, wanita yang tadinya menjadi pujaannya itu. Tak terasa lagi sepasang matanya yang besar itu menjadi basah ketika ia mempergunakan seluruh kepandaiannya untuk berlari cepat seperti orang gila!

Suara tangis bocah yang biasanya menjadi buah hatinya itu mengikuti perjalanannya, membuat hatinya menjadi makin berduka. Setelah Beng Kun Cinjin pergi, hutan itu menjadi sunyi kecuali suara Gan Kun Hong, bocah berusia setengah tahun yang menangis menjerit-jerit di samping jenazah ibu kandungnya.

Dua jam lebih bocah itu menangis keras sampai akhirnya ia diam sendiri. Tangis bocah memang sama sekali berbeda dengan tangis orang dewasa. Tangis dan tawa bocah adalah sewajarnya, sama sekali tidak terpengaruh oleh hati dan pikiran, hanya menjadi akibat dari pada perasaan belaka. Kalau enak terasa olehnya, iapun tertawa-tawa, kalau tidak enak, menangislah dia.

Gan Kun Hong, bocah yang baru berusia setengah tahun lebih itu, setelah dua jam menangis karena merasa lapar dan kepanasan, kini menjadi diam karena lelah dan tubuhnya terasa enak setelah puas menangis, agaknya seperti seorang habis bermain olah raga dan menikmati kesenangan beristirahat.

Hutan itu kini betul-betul sunyi dan kebetulan sekali setelah matahari naik tinggi, bayangan pohon itu membikin teduh tempat di mana Kun Hong diletakkan. Beberapa ekor semut yang mencari makan telah mendapatkan darah di pakaian Hui Niang dan sebentar saja kawan-kawan mereka datang menyerbu sehingga baju yang digenangi darah yang mulai mengering itu kini menjadi hitam oleh semut.

"Tar! Tar!" Terdengar suara menjetar keras dari dalam hutan sebelah timur. Suara ini terus-menerus berbunyi dan makin lama makin berirama. Lalu disusul suara orang membaca sajak seperti orang bernyanyi, suaranya nyaring akan tetapi nada suaranya tenang dan menyenangkan.

"Kalau TO menguasai dunia, kuda perangpun hanya memberi rabuk. Kalau TO tiada menguasai dunia, kuda buntingpun melahirkan di medan perang! Tiada kedosaan lebih besar dari pada banyak kehendak tiada bahaya lebih besar dari pada tak kenal cukup tiada bencana lebih besar dari pada ingin mendapat, kalau tahu akan cukup itu sudah cukup akan selamanya berada dalam kecukupan!'

Nyanyian ini iramanya diiringi oleh bunyi "tar-tar-tar", suara cambuk memecah udara. Bagi yang mengerti, sajak itu bukanlah sembarang sajak melainkan sajak dari Agama To atau pelajaran dari Nabi Lo Cu tentang To atau jalan yang memang amat sukar diterjemahkan atau dijelaskan. Ada yang menterjemahkan To itu sebagai Kekuasaan Tuhan atau Jalan Yang Selaras Dengan Kekuasaan Tuhan.

Orang itu asyik benar bernyanyi-nyanyi sambil berjalan menjelajah hutan dan membunyikan cambuknya. Tiba-tiba suara nyanyian dan bunyi cambuk berhenti seketika pada saat bunyi lain yang nyaring terdengar, yaitu bunyi tangis bocah.

Itulah Kun Hong yang menangis lagi. Seekor di antara semut-semut yang memenuhi baju jenazah ibunya telah merayap ke tangannya dan menggigitnya karena tanpa disengaja bocah ini menindih semut itu.

"Tar!" Ujung sebatang cambuk berbunyi nyaring dan menyambar ke arah lengan kecil itu dan di lain saat semut yang menggigit kulit lengan telah diterbangkan pergi.

"Cih... tak tahu malu, menggigit seorang bayi tak berdaya!"' terdengar suara orang dan entah dari mana datangnya, bagaikan seorang dewa penunggu hutan, muncullah seorang laki-laki setengah tua yang berwajah angker dan bersikap lembut. Jenggot dan kumisnya terpelihara baik baik, topi dan pakaiannya walaupun sederhana, namun teratur rapi dan cukup bersih.

Orang ini memegang sebatang cambuk yang aneh. Sebetulnya bukan cambuk dan lebih patut disebut sehelai tali yang panjang sekali, kurang lebih lima meter panjangnya. Di kedua ujungnya terikat senjata yang luar biasa. Yang satu menyerupai bintang berujung lima dan yang ke dua menyerupai bulan sisir!

Adapun yang tadi disabet sabetkan mengeluarkan bunyi dan juga yang mengusir semut dari lengan bocah itu adalah bagian tengahnya, jadi bukan ujungnya. Benar-benar semacam senjata yang aneh bukan main dan yang tak pernah terlihat dalam dunia persilatan.

"Siancai.... siancai.... seorang ibu muda mati didalam hutan dan anaknya menangis didekat jenazahnya. Di dunia tidak ada yang aneh, semua sudah berjalan dengan semestinya menurut To. Akan tetapi pemandangan seperti ini, benar-benar selama hidup di dunia aku Kam Ceng Swi belum pernah melihatnya." katanya sambil berdiri memandang dengan mata dikedip-kedipkan seperti orang kurang percaya kepada matanya sendiri.

Tiba-tiba tubuhnya lenyap dari situ. Demkian cepat gerakannya sampai-sampai ketika ia melompat seperti dia mempunyai ilmu menghilang. Ia berkelebatan dan berlompatan mencari-cari di sekitar tempat itu. Untuk melihat kalau-kalau ia masih dapat mengejar orang yang melakukan pembunuhan keji ini. Tentu saja hasilnya nihil. Tidak saja pembunuhan itu sudah terjadi lama, andaikata pembunuhnya masih dekat di situ, belum tentu dia dapat mengejarnya.

Orang yang bernama Kam Ceng Swi ini kembali ke tempat itu dan berlutut di dekat bocah yang masih menangis. Senjatanya yang disebut Seng goat-pian atau Cambuk Bintang Bulan ia lilitkan di pinggang.

"Aduh, kemala yang terserak di tempat sunyi!" Ia berseru kagum sambil mengangkat Kun Hong. Dibukanya pakaian anak itu dan diraba rabanya tulang-tulangnya sambil mengangguk-angguk dan makin kagumlah dia.

"Hebat, tunas sebagus ini terjatuh ke dalam tanganku, kalau ini bukan kehendak Thian tak tahulah aku mengapa demikian kebetulan!" Ia bicara lagi kepada diri sendiri sambil mengayun-ayun anak itu sampai bocah itu tak menangis lagi.

Kemudian ia mulai memandang ke arah jenazah Hui Niang. Diusirnya semut itu dengan sehelai daun, kemudian ia memeriksa kalau-kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan siapa adanya wanita dan bocah itu. Semua perhiasan yang dipakai, baik oleh ibu maupun anak, masih ada. Tanda bahwa peristiwa pembunuhan ini bukan berlatar belakang perampokan. Kam Ceng Swi menemukan sebuah gelang pada lengan kiri Gan Kun Hong dan ia agak girang melihat dua huruf KUN dan HONG terukir di gelang itu.

"Hemm, jadi namamu Kun Hong? Bagus, sayang tidak diukir pula nama keturunanmu," gerutunya.

Sepintas ialu ia memeriksa luka di dada Hui Niang dan mukanya memperlihatkan kekagetan hebat. "Bukan main...! Seperti bekas cengkeraman Tiat-jiauw-kang (Ilmu Cengkeraman Besi)! Siapa orangnya yang demikian keji...?" katanya pula.

Kemudian, setelah memeriksa dan tidak mendapatkan sesuatu petunjuk pula, Kam Ceng Swi lalu menggali lubang dan dengan sederhana namun penuh kasih sayang dan kasihan terhadap sesama manusia yang tak dikenalnya ini, ia mengubur Jenazah Hui Niang. Kun Hong yang diletakkan di tempat teduh sudah tertidur lagi.

"Toanio. aku tidak mengenal kau siapa, akan tetapi kau telah berjasa kepadaku dengan meninggalkan anak ini. Akupun tidak tahu apakah anak ini betul anakmu, akan tetapi karena berada bersamamu biarlah dia kuanggap anakmu dan kelak dia pasti akan kubawa bersembahyang di kuburanmu ini." katanya berkemak-kemik seperti orang berdoa di depan gundukan tanah kuburan itu.

Kemudian ia menoleh ke sana ke mari, menghampiri sebuah batu karang yang tingginya hampir dua kali dia sendiri. Batu karang ini berbentuk menara, besarnya sepelukan orang. Kam Ceng Swi menghampiri batu karang ini, memeluk dan mengerahkan tenaga.

Benar hebat tenaga orang aneh ini. Setelah tiga kali mengeluarkan tenaga sambil berseru keras, batu karang itu menjadi jebol! Diangkatnya batu karang itu dan diletakkannya di depan gundukan tanah kuburan, menjadi semacam bongpai (batu nisan) yang luar biasa!

Karena di hutan itu terdapat banyak batu macam itu, Kam Ceng Swi lalu meloloskan senjata Seng-goat-pian dan sekali senjata itu digerakkan, terdengar suara keras dua kali, bunga api berpijar dan di atas batu karang itu sudah tercetak ukiran bintang dan bulan sisir! Tempat yang terpukul oleh dua macam ujung pian itu menjadi legok dan dalamnya ada satu dim, inipun menandakan betapa hebatnya kepandaian Kam Ceng Swi.

Memang tidak mengherankan bagi siapa yang mengenalnya. Kam Ceng Swi atau di dunia kang-ouw lebih terkenal dengan julukan Seng-goat-pian yaitu nama senjatanya, adalah seorang tokoh Kun-lun-pai dan dahulu pernah menjadi pembesar Kerajaan Cin. Dia bukan seorang tosu (pendeta To), akan tetapi boleh dibilang dia penganut Agama To dan terkenal sebagai seorang ahli filsafat yang selalu bersikap gembira.

Setelah Kerajaan Cin kocar-kacir dan hancur oleh serbuan bala tentara Mongol, Kam Ceng Swi naik ke Kun-lun-san dan kembali ke tempat guru-gurunya di mana ia hidup menyepi dan mempelajari ilmu kebatinan.

Pada hari itu ia turun gunung untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh para guru besar Kun-lun-pai padanya, yaitu mencari tunas-tunas atau anak-anak yang memiliki tulang bagus dari yang berbakat menjadi ahli silat tinggi untuk meneruskan atau mewarisi ilmu silat tinggi dari partai persilatan Kun-lun-pai.

Secara kebetulan sekali Kam Ceng Swi menemukan jenazah Hui Niang dan melihat Kun Hong, ia menjadi girang bukan main. Bocah ini memiliki semua syarat untuk menjadi seorang ahli silat pandai, maka setelah mengubur jenazah itu dan memberi tanda, Kam Ceng Swi cepat-cepat membawa Kun Hong naik kembali ke Kun-lun-san!

Tidak saja ia menjadi girang karena bocah ini merupakan calon yang amat baik, juga ia merasa suka melihat Kun Hong. Mengingat bahwa Kun Hong tidak mempunyai atau tidak dikenal nama keturunannya, maka ia mengambil keputusan untuk memberi she (nama keturunan) Kam kepada bocah itu sehingga mulai saat itu Kun Hong ber she Kam atau lengkapnya bernama Kam Kun Hong.

* * *

Kita kembali mengikuti keadaan Kwee Sun Tek, murid Beng Kun Cinjin yang sudah dibikin buta matanya oleh bekas gurunya sendiri. Biarpun ia tidak dibunuh oleh Beng Kun Cinjin dan juga Thio Wi Liong, bocah yang dibawanya lari itu tidak diganggu oleh hwesio yang menyeleweng itu.

Namun Kwee Sun Tek masih selalu tetap khawatir kalau-kalau pada suatu hari Beng Kun Cinjin masih belum puas dan mencari mereka untuk membunuh keturunan Thio Houw dan Kwee Goat itu. Oleh karena ini. Kwee Sun Tek membawa keponakannya yang baru berusia satu tahun itu bersembunyi di desa-desa, menjauhkan diri dari dunia ramai.

Masih terlalu kecil bagi Wi Liong untuk dibawa ke Siauw lim-si, pikirnya. Oleh karena dia sendiri bukan murid Siauw-lim-pai, maka ia merasa tidak enak hati kalau harus mengantarkan Wi Liong yang baru berusia satu tahun itu menjadi murid Siauw lim-pai dan membikin repot para hwesio Siauw-lim untuk merawatnya.

Ia akan menanti sampai Wi Liong cukup besar sehingga di samping menjadi murid Siauw-lim-pai juga bocah itu akan dapat bekerja di Siauw lim-si sebagai kacung, dapat membantu pekerjaan para hwesio sehingga tak usah ia merasa tidak enak hati.

Demikianlah, sampai enam tahun ia membawa Wi Liong berkelana, hidup serba kurang dan kadang-kadang terpaksa harus mengemis makanan kepada penduduk dusun yang rata-rata berhati jujur dan penuh prikemanusiaan terhadap sesama hidup. Sun Tek sendiri tak berdaya mencari nafkah hidup, setelah matanya tak dapat melihat.

Setelah Wi Liong berusia tujuh tahun, ia menjadi seorang anak yang tampan, sehat, akan tetapi penderitaan hidup yang serba kurang membuat ia berwatak pendiam dan jalan pikirannya lebih tua dari pada usianya. Sering kali ia bertanya kepada Sun Tek tentang ayah bundanya, dan selalu dijawab oleh pamannya bahwa ayah bundanya pergi jauh sekali.

"Entah di mana mereka itu sekarang, karena kedua mataku tak dapat melihat, aku tak dapat membawamu mencari mereka. Oleh karena itu kau harus belajar silat dengan giat, Wi Liong, dan kelak kau sendirilah yang akan mencari mereka. Tanpa memiliki kepandaian silat, tak mungkin kau dapat mencari mereka karena selain perjalanan amat sukar, juga di dunia ini banyak sekali orang jahat yang akan mengganggu dan merintangi perjalananmu."

Dengan nasihat-nasihat Ini. Wi Liong menjadi bernafsu untuk belajar ilmu silat. Ia menerima petunjuk-petunjuk dan pelajaran tingkat pertama atau dasar ilmu silat dari pamannya sendiri yang dilatihnya dengan giat dan tekun. Ternyata ia memiliki otak yang cerdik sekali dan bakat yang besar sehingga Sun Tek menjadi girang bukan main.

Biarpun dalam keadaan tidak mampu, Kwee Sun Tek tidak membiarkan keponakannya buta huruf dan dia minta bantuan sasterawan-sasterawan kampung untuk mendidik Wi Liong dalam ilmu surat pula.

Setelah merasa bahwa keponakannya cukup kuat untuk bekerja di Siauw lim-si Sun Tek lalu mengajak keponakannya itu menuju ke Kuil Siauw-lim-si yang besar. Kedatangan mereka disambut oleh hwesio penjaga pintu yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Hwesio ini seperti para pendeta lain. Merasa amat kasihan kepada Sun Tek yang biarpun kedua matanya melotot lebar namun tidak melihat apa-apa itu.

"Sicu hendak bertemu dengan couwsu? Sayang sekali, pada waktu ini couwsu sedang pergi ke Kun-lun-san dan agaknya lama berada di sana," kata hwesio itu.

Tentu saja Kwee Sun Tek menjadi kecewa sekali. "Sebetulnya aku hendak menghadap Bhok Lo Cinjin untuk mohon beliau menerima keponakanku ini menjadi murid Siauw-lim-pai. Tidak tahu apakah ada suhu lain yang mengurus persoalan menerima murid itu?" tanyanya.

Hwesio itu mengangguk-angguk dan memandang kepada Wi Liong, kagum melihat sepasang mata yang bercahaya dan sikap yang pendiam dari anak itu. Kemudian ia berkata dengat suara menyesal.

"Dulu memang begitu, ada seorang suhu yang mengurus persoalan menerima murid baru. Akan tetapi sejak beberapa tahun ini, peraturan diperkeras dalam menerima murid yang hendak belajar ilmu silat. Couwsu sendiri yang menentukan murid-murid yang boleh diterima, itupun sekarang jarang sekali ada. Kecuali kalau keponakanmu ini bermaksud masuk menjadi hwesio dan mempelajari Agama Buddha, tak usah menanti couwsu sekarangpun dapat diterima."

Kwee Sun Tek menarik napas panjang. "Aahh. memang Thian belum menghendaki keponakanku menjadi murid Siauw-lim-pai... tidak apalah, suhu, biar lain kali saja kalau couwsu sudah pulang aku menghadap lagi...."

Melihat Kwee Sun Tek pergi dengan wajah muram, hwesio tinggi besar itu menaruh hati kasihan. "Sicu, andaikata keponakanmu ini diterima, paling banyak ia akan menerima latihan sampai tingkat lima. Tidak ada murid yang diperbolehkan belajar melebihi tingkat lima. Agaknya melihat semangatmu, kau ingin keponakanmu ini menjadi seorang ahli silat tinggi."

Kwee Sun Tek cepat menengok dan memberi hormat. "Memang tepat sekali dugaan suhu, apakah kiranya suhu dapat memberi petunjuk?"

"Pada waktu ini, couwsu kami sedang pergi menghadiri pertemuan antara tokoh-tokoh terbesar di empat penjuru dunia yang diadakan di Kun-lun-san. Kalau sicu pergi ke sana, kiranya tidak sukar mencari guru sakti. Tentu saja tergantung kepada jodoh...."

Hwesio itu agaknya tidak mau memberi penjelasan lebih jauh dan ia kembali memasuki kuil. Akan tetapi cukup bagi Kwee Sun Tek. Keterangan itu baginya penting sekali. Andaikata ia tidak dapat mencarikan guru yang baik bagi Wi Liong, kalau ia bisa bertemu dengan para tokoh dunia persilatan, ia dapat melaporkan kepada mereka itu tentang kejahatan Beng Kun Cinjin dan tentu para tokoh itu akan mau turun tangan memberi hajaran.

Setelah menghaturkan terima kasih biarpun orangnya sudah pergi, ia lalu cepat-cepat mengajak Wi Liong melakukan perjalanan jauhi ke Kun lun san!

Perjalanan yang jauh dan sukar apa lagi kalau diingat bahwa Kwa Sun Tek telah menjadi buta matanya sehingga ia tidak dapat lagi mempergunakan ilmu lari cepat tanpa terancam bahaya terjeblos ke dalam jurang! Adapun Wi Liong yang menjadi penunjuk jalan, masih terlalu kecil. Perjalanan yang amat sukar, namun ditempuh oleh Sun Tek dengan penuh kesabaran dan keyakinan bahwa akan tiba saatnya keponakannya dapat diterima menjadi murid seorang sakti.

* * *

Mari kita tengok keadaan di Kun-lun-san. Pegunungan Kun-lun-san adalah pegunungan besar dan luas sekali dimulai dari tapal batas sebelah barat Propinsi Cing-hai terus ke barat sampai di daerah Tibet yang penuh pegunungan itu. Daerah ini masih liar dan jarang didatangi manusia, kecuali para pendeta dan pertapa yang memang mencari kesunyian untuk menenangkan jiwa.

Penduduk yang tinggal di pegunungan juga terasing dari dunia ramai, mereka masih merupakan orang-orang yang sederhana hidupnya dan tidak banyak kehendak seperti orang orang kota.

Di atas sebuah di antara puncak-puncak di Pegunungan Kun-lun-san terdapat sebuah bangunan besar sederhana yang dikelilingi pagar tembok. Inilah pusat dari partai persilatan Kun-lun-pai yang sudah amat terkenal karena banyak sudah murid-murid Kunlun-pai turun gunung dan membuat nama di dunia kangouw. Mereka inilah yang mengangkat tinggi tinggi nama Kun lun pai, membuat partai persilatan itu terkenal di seluruh dunia.

Pada waktu itu, yang menjadi guru besar di Kun-lun-pai adalah seorang tosu tua bertubuh tinggi kurus berjenggot panjang dan putih seperti perak. Tosu ini terkenal dengan nama sebutan Kunlun Lojin (Kakek Pegunungan Kun-lun), Juga ada yang menyebutnya Pek-mou Sianjin (Dewa Berambut Putih). Dialah guru besar di Kun-lun-pai.

Akan tetapi yang bertugas melatih murid-murid, baik dalam ilmu silat maupun dalam 'ilmu kebatinan, hanya murid-murid kepala atau sute-sutenya, sedangkan kakek ini kerjanya hanya bertapa saja. Biarpun ia kelihatan lemah lembut dan tiada guna namun sesungguhnya kakek tua bangka inilah ahli waris asli dari pada ilmu pedang dan ilmu silat tinggi Kun-lun-pai.

Bahkan ada yang mengabarkan bahwa dia telah mewarisi kitab sakti peninggalan Nabi Lo Cu! Oleh karena itu, biarpun belum pernah memperlihatkan kesaktiannya, semua orang di dunia kangouw menghormatnya sebagai seorang guru besar.

Sudah dua bulan Bhok Lo Cinjin menjadi tamu di Kun-lun-pai. Memang sejak dahulu Bhok Lo Cinjin menjadi sahabat baik Kun-lun Lojin, dan kalau dua orang kakek yang menjadi couwsu dari partai-partai persilatan besar ini bertemu, tentu mereka siang malam berkumpul dalam pondok atau gua untuk bersama-sama mengobrol, main catur atau bersamadhi.

Bhok Lo Cinjin sengaja datang siang-siang untuk menghadiri pertemuan besar yang diadakan di puncak Kun lun-san ini. Berhubung dengan serbuan bala tentara Mongol ke selatan sehingga bala tentara asing itu dapat menduduki kota raja Kerajaan Cin di utara. Kun lun Lojin lalu mengirim undangan kepada sahabat-sahabatnya, yakni tokoh-tokoh besar di empat penjuru dunia.

Orang-orang atau tokoh tokoh besar yang pada saat itu dapat dijajarkan tingkatnya dengan couwsu Kun lun pai ini ada tujuh orang Biarpun yang tujuh orang ini mempunyai jalan hidup masing-masing, namun mereka tak pernah saling bermusuhan, bahkan saling mengalah dan dalam banyak hal mereka itu mempunyai faham yang sama, terutama dalam pandangan patriotik.

Tentu saja selain tujuh orang tokoh besar ini. masih banyak orang orang sakti di dunia ini, apa lagi dari golongan mokauw atau mereka yang memeluk agama sesat. Akan tetapi Kun-lun Lojin tidak sudi mengadakan hubungan dengan golongan ini.

Seorang di antara tujuh tokoh besar itu adalah Bhok Lo Cinjin ketua atau guru besar Siauw-lim-pai. Boleh dibilang dengan Bhok Lo Cinjin, Kun-lun Lojin mempunyai hubungan yang paling erat, maka Bhok Lo Cinjin datang lebih dulu dua bulan sebelum pertemuan puncak itu diadakan.

Oleh karena pertemuan puncak itu penting sekali dan Kun lun Lojin tahu bahwa hanyak kemungkinan akan datang orang-orang jahat dari fihak mokauw yang sepak terjangnya tidak dapat diduga-duga lebih dulu, couwsu Kun lun-pai ini menyuruh anak murid Kun lun-pai untuk melakukan penjagaan kuat di sekitar puncak itu.

Kam Ceng Swi, sebagai murid tersayang dari Kun-Iun Lojin tidak ketinggalan ikut menjaga dan meronda. Sedangkan sute-sute dan murid-muridnya melakukan penjagaan kuat di pos-pos yang dibuat di sepanjang jalan menuju ke puncak.

Selagi Kam Ceng Swi melakukan perondaan di bagian selatan dan memberi tahu kepada kawan-kawannya bahwa hari pertemuan itu sudah dekat dan mungkin sekali para tamu akan datang, terdengar suara keras, "Kun-lun-pai benar-benar menjadi pasukan besar!"

Semua orang terkejut dan Kam Ceng Swi yang bermata tajam melihat berkelebatnya bayangan orang dari lereng. Cepat ia mengangkat tangan memberi hormat dan berkata, "Couwsu Kun lun Lojin mengutus teecu sekalian untuk menyambut kedatangan para locianpwe. Harap saja Locianpwe yang baru datang sudi memperlihatkan diri."

Ucapannya ini disambut oleh suara ketawa dingin, lalu tiba-tiba muncullah seorang kakek yang gemuk pendek, tangan kirinya buntung sebatas siku. Pakaiannya seperti orang gila, tambal tambalan kembang-kembangan tidak karuan. Ia memegang sebatang tongkat bambu butut. Dengan mata bergerak-gerak liar ia menghampiri Kam Ceng Swi, meludah ke kiri lalu berkata. "'Kau ini apanya Kun-Iun Lojin?"

"Teecu yang bodoh adalah murid suhu Kun-Iun Lojin, bernama Kam Ceng Swi. Mohon petunjuk locianpwe siapakah agar teecu dapat memberi tahu kepada suhu tentang kedatangan locianpwe."

Orang itu tertawa bergelak suara ketawanya ha-ha-hi-hi seperti orang gila ketawa. "Aku datang, kau di sini belum tahu siapa, akan tetapi dua orang tua bangka di puncak itu sudah lama tahu. Ha-ha-ha kau terlalu banyak peraturan, lebih pantas menjadi orang berpangkat dari pada menjadi pertapa."

Kam Ceng Swi kaget sekali. Orang aneh ini datang-datang sudah tahu bahwa di puncak ada suhunya dan Bhok Lo Cinjin, benar-benar luar biasa sekali. Tiba-tiba orang aneh ini tanpa bicara apa-apa lagi menerobos saja ke atas, gerakannya cepat sekali. Kam Ceng Swi tidak berani sembrono, ia dan para sutenya hanya berdiri saja dan tidak memberi jalan, sengaja ia menutup jalan dengan batu besar dan jalan itu menjadi kecil saja.

Orang yang akan naik harus melalui jalan yang dua kaki lebarnya ini dan sekarang lorong ini sudah la tempati bersama sute-sutenya. Akan tetapi orang aneh itu seakan-akan tidak melihat adanya batu besar. Ia berjalan terus dan batu besar itu kena tertendang kedua kakinya yang berjalan terus.

Bagaikan sebuah bola karet besar, batu itu tertendang maju, menggelinding naik. Kemudian susulan tendangan kedua membuat batu yang beratnya ratusan kati ini menggelundung ke dalam jurang!

Melihat gerak-gerik aneh dari tamu ini, Kam Ceng Swi menjadi curiga. Biarpun ia telah melihat demonstrasi tenaga yang luar biasa, namun hal ini bagi Kam Ceng Swi bukan apa-apa. Dia adalah murid terkasih dari Kun-Iun Lojin. tentu saja memiliki kepandaian tinggi.

Dia sudah menerima pesan suhunya bahwa kali ini mungkin Kun-lun-san akan didatangi orang-orang aneh dari pihak mo kauw yang selalu memusuhi orang-orang kang ouw golongan bersih, maka ia harus menjaga dengan hati-hati.

Melihat tamu itu menerobos saja, Kam Ceng Swi sudah melompat naik untuk mengejarnya, akan tetapi begitu kakinya turun menginjak tanah, hampir ia terpeleset jatuh. Tanah yang diinjaknya itu tiba-tiba bergoyang dan batu-batu berserakan. Ketika ia memandang, ternyata orang aneh itu menggerakkan tangan kirinya ke arah tanah yang diinjaknya.

Tahulah dia bahwa orang itu telah sengaja hendak mempermainkannya. Sungguhpun permainan itu tidak membahayakan jiwanya, setidaknya dapat membuat ia jatuh, kaget dan malu. "'Locianpwe harap memperkenalkan diri dulu..." katanya mengejar terus.

Orang itu hanya tertawa mengejek, tanpa perdulikan Kam Ceng Swi ia maju terus. Selagi Kam Ceng Swi hendak mengerahkan tenaga untuk menyusul tiba tiba terdengar suara parau dari atas.

"Lam-san Sian-ong kakek gila, kau datang tidak lekas-lekas naik ke sini, malah bermain-main dengan anak-anak. Apa gilamu sudah kumat lagi?”

Lam-san Sian-ong, orang aneh itu tertawa bergelak "Bhok Lo Cinjin, kau selamanya tidak suka main-main!" Dan berbareng dengan kata-kata itu, tubuhnya melesat bagaikan burung terbang ke atas puncak, membuat Kam Ceng Swi menjadi bengong terlongong.

Baru ia tahu bahwa kakek aneh yang seperti orang gila itu bukan lain adalah Lam-san Sian-ong, tokoh dari selatan yang sering dipuji-puji gurunya sebagai seorang sakti yang tinggi ilmu silatnya. Benar-benar tak dinyana sama sekali!

Tak lama kemudian berdatanganlah para tamu yang diundang oleh Kun-lun Lojin. Pertama-tama datang Hu Lek Siansu, hwesio yang menjadi ketua di Go bi-pai, hitam kurus dan bersikap angker sekali. Kam Ceng Swi sudah mengenal tokoh besar ini maka bersama para sute dan muridnya ia buru-buru menyambut dengan penuh penghormatan.

Hu Lek Siansu ini datang bersama seorang yang gagah sekali. Usianya kurang lebih limapuluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan tegap, pakaiannya seperti seorang panglima perang, indah dan gagah sekali. Jalannya seperti seekor singa, mukanya merah seperti muka Kwan Kong, benar benar seorang yang pantas menjadi seorang panglima perang yang gagah perkasa.

Melihat keadaan orang ini. Kam Ceng Swi segera mengenalnya, biarpun ia belum pernah bertemu muka. Tokoh besar ini tentulah See-thian Hoat-ong. Jago tua dari barat, bekas raja muda di Sin-kiang yang sudah mengundurkan diri. Cepat ia memberi hormat dan mempersilahkan dua orang tokoh besar ini naik ke puncak.

Kini sudah ada lima orang tokoh besar di puncak. Tinggal dua orang lagi yang masih ditunggu kedatangannya. Kam Ceng Swi sudah diberi tahu gurunya bahwa yang dua lagi itu adalah Pak- thian Koanjin, tokoh utara yang belum pernah dilihatnya dan ke dua adalah Tung-hai Sian-li, tokoh timur yang juga belum pernah dilihatnya, maka ia menanti dengan hati-hati jangan sampai salah duga seperti ketika bertemu dengan Lam-san Sian-ong tadi.

Tiba-tiba datang seorang sutenya berlari lari. Sutenya ini tadinya menjaga di bagian utara. "Kam suheng, celaka! Kun Hong diculik orang gila!"

Tentu saja Kam Ceng Swi menjadi kaget bukan main. Seperti telah dituturkan di bagian depan. Kam Ceng Swi telah menolong Kun Hong ketika bocah ini baru berusia setengah tahun, menggeletak di dekat mayat ibunya. Selama itu, Kam Ceng Swi merawat Kun Hong dan menganggapnya seperti anak sendiri.

Sekarang Kun Hong sudah berusia enam tahun, hidup di Kun lun-san, menjadi buah hati semua anak murid Kun lun pai. Juga Kun-lun Lojin suka kepada bocah yang dianggapnya berbakat baik ini, malah couwsu ini pernah menyatakan bahwa kalau berjodoh, kelak ia akan mewariskan ilmu-ilmu Kun lun-pai kepada bocah itu.

Mendengar laporan sutenya. Kam Ceng Swi cepat melompat dan bersama sute-sutenya yang lain ia lari ke tempat itu, yaitu di bagian penjagaan sebelah utara. Dari jauh ia sudah mendengar suara Kun Hong bersorak girang. "Haaa.... suhu lucu sekali....!”

Kam Ceng Swi melihat seorang kakek bertubuh kecil pendek seperti orang katai, pakaiannya seperti pakaian pengemis, matanya besar dan berkejap-kejapan saja seperti orang sakit mata, mulutnya tersenyum-senyum nakal.

Kakek ini sedang main ayun-ayunan di atas cabang pohon yang menjulur ke atas jurang dan ia memondong tubuh Kun Hong yang dilempar lemparkan ke atas seperti orang main anak-anakan saja. Kalau dilihat betapa cabang sebesar ibu jari kaki itu menjulur ke atas jurang yang tidak dapat diukur dalamnya, benar-benar permainan itu berbahaya sekali!

Sekali cabang itu patah atau sekali saja kakek itu tidak tepat menerima kembali tubuh Kun Hong yang dilempar-lempar ke atas, habislah nyawa mereka. Akan tetapi Kun Hong malah tertawa-tawa girang. Memang anak ini selalu bergembira dan wataknya agak nakal, suka sekali main-main tanpa mengenal bahaya.

Melihat kedatangan Kam Ceng Swi, Kun Hong segera berseru setelah ia turun kembali dan berdiri di atas pundak kakek itu. "Ayah, lihat ini! Suhu cebol ini pandai sekali. Aku ingin menjadi muridnya."

Akan tetapi Kam Ceng Swi tidak perdulikan seruan putera angkatnya. Ia memperhatikan kakek itu dan dapat menduga bahwa tentu orang ini yang bernama Pak-thian Koaijin, tokoh utara yang sebetulnya adalah suheng dari Hu Lek Sian-su ketua Go-bi-pai. Tentu saja kepandaiannya amat tinggi. Maka ia menjura sambil berkata. "Apakah locianpwe bukan Pak-thian Koaijin yang ditunggu kedatangannya oleh suhu Kun-Iun Lojin?”

Kakek itu tertawa bergelak dan sekali melompat ia sudah berada di depan Kam Ceng Swi. "Jadi, kau ayah anak ini? Ha ha. sungguh lucu. Baru sekarang aku mendengar murid Kun-lun-pai membawa anak isterinya ke gunung. Apa Kun-lun Lojin si tua bangka sudah merobah aturan?"

"Teecu... teecu tidak beristeri...." jawab Kam Ceng Swi dengan muka merah untuk membantah tuduhan yang mencemarkan nama Kun-lun-pai ini.

"Ho-ho. tidak beristeri punya anak? Kau ini laki-laki, perempuan, atau banci?" Memang kakek cebol ini suka sekali berkelakar dan amat nakal suka menggoda orang, tak perduli siapa orang yang dihadapinya itu.

Muka Kam Ceng Swi makin merah. "Locianpwe harap jangan main-main. Teecu bernama Kam Ceng Swi murid suhu Kun-lun Lojin dan anak ini adalah anak angkat teecu. Locianpwe sudah ditunggu di atas, silahkan naik terus."

Kembali kakek itu tertawa. "Jadi bukan anakmu? Bagus.... anak ini bertulang baik, cocok menjadi muridku. Biar aku minta dia dari tangan tua bangka Kun-lun Lojin." Setelah berkata demikian, ia mengeluarkan sebuah kembang gula yang kelihatannya kotor sekali kepada Kun Hong. Lalu sekali berkelebat ia lenyap dari depan mata.

Kam Ceng Swi menarik napas panjang, dan tiba-tiba ia merampas kembang gula yang sudah diterima oleh Kun Hong dan hendak dimasukkan ke dalam mulutnya yang kecil. "Bodoh, kembang gula sekotor ini hendak dimakan. Rakus benar kau! Lebih baik buang saja!" Kam Ceng Swi melempar kembang gula itu ke bawah lereng.

Tiba-tiba berkelebat bayangan biru dan tahu tahu seorang wanita yang cantik dan gagah, berpakaian biru telah berkelebat dan menyambar kembang gula itu. Dia sudah berusia empat puluh lima tahun, namun masih kelihatan muda dan cantik, sikapnya keren dan galak, pedang yang indah gagangnya tergantung di pinggang.

"Hemm, sin-tan (obat sakti) ini pembersih darah. Sayang kakek gila itu memberikan kepada orang yang tak tahu diri. Lebih baik dikembalikan kepadanya." Setelah berkata demikian, ia berjalan terus ke atas.

Kam Ceng Swi yang mengenal wanita ini sebagai Tung-hai Sian-li. Biarpun belum pernah bertemu dengannya, cepat memberi hormat yang tak dijawab oleh wanita galak itu. Diam-diam Kam Ceng Swi merasa menyesal mengapa tadi ia begitu ceroboh membuang obat kuat yang dikiranya hanya kembang gula yang dapat mendatangkan batuk.

"Kenapa kau keluar dan menimbulkan onar di sini?” ia menegur Kun Hong dengan marah.

Anak itu mainkan bibir dan matanya. Memang Kun Hong tampan sekali, kulit mukanya putih, bibirnya merah dan matanya indah dan tajam. "Ayah dan semua susiok pergi melakukan penjagaan, kata para suheng akan datang tamu-tamu aneh dari bawah gunung. Anak mana bisa kerasan tinggal di dalam rumah menghafal pelajaran? Suhu tadi lucu dan pandai, sayang dia pergi....."

"Jangan kau kurang ajar, dia itu tamu dari sucouw. Hayo kau kembali kepada pelajaranmu membaca!"

Akan tetapi sebelum Kun Hong pergi, bocah ini menengok ke bawah dan berseru, "Ada tamu lagi, sekarang dengan anaknya!”

Kam Ceng Swi dan yang lain-lain memandang. Betul saja dari lereng bukit itu kelihatan dua orang mendaki dengan susah payah. Seorang laki-laki yang gagah, jenggot dan kumisnya penuh tak terpelihara, berjalan perlahan menggandeng seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun. Bocah itu memandang ke atas lalu berseru girang!

"Paman, itu di atas ada orang!"

"Bagus. Wi Liong. Mari kita ke sana...."

Jilid selanjutnya,