Pendekar Pemabuk (Kang-lam Tjiu-Hiap) jilid 33, karya Kho Ping Hoo - SUMBU ini menyala agak lama dan selama itu Cui Giok masih terheran-heran melihat sinar indah di ujung kanan itu. Ia mendekati dan mencongkel tanah dengan pedangnya. Makin indahlah sinarnya dan tiba-tiba ujung pedangnya menyentuh benda keras yang ternyata adalah batu-batu sebesar telur ayam yang mengeluarkan cahaya luar biasa.

Ia tertegun dan maklum bahwa inilah yang dimaksudkan Gwat Kong dahulu itu. Inilah harta pusaka yang tak ternilai harganya. Batu-batu permata yang masih aseli dan besar-besar. Banyak sekali jumlahnya. Untuk sesaat Cui Giok merasa girang sekali, akan tetapi perasaan itu segera terganti dengan kepahitan ketika ia teringat bahwa ia tak mungkin dapat keluar dari situ.
Setelah api dari sumbunya padam, Cui Giok tidak membuat api lagi dan menanti datangnya siang sambil merebahkan tubuhnya di atas pasir dekat pendaman harta itu. Karena ia merasa amat lelah, maka tak lama kemudian ia tertidur.
Pada keesokan harinya ketika sinar-sinar matahari telah memasuki sumur dan mendatangkan cahaya suram, ia lalu mengeduk batu-batu permata itu. Dengan girang dan heran ia melihat bahwa tempat terpendamnya batu permata itu terdiri dari tanah pasir yang mudah digali dan merupakan terowongan.
Setelah batu-batu itu digali habis dan merupakan tumpukan batu-batu permata yang banyak sekali, ia menggali terus. Terowongan itu menembus tempat kosong. Dengan hati berdebar ia lalu merangkak memasuki terowongan itu dan alangkah herannya ketika ia mendapatkan dirinya berada di tempat terbuka yang terang.
Ia keluar dari terowongan itu dan ketika ia memandang ke depan dan ke bawah, ia merasa pening dan ngeri. Ternyata bahwa tembusan ini membawanya ke lereng gunung yang curam sehingga tanah di bagian bawah merupakan pemandangan yang luar biasa.
Pohon di bagian bawah itu kelihatan seperti rumput saja. Untuk turun dari lereng ini tidak mungkin sama sekali, karena lereng itu dari batu-batu karang yang licin dan tajam, juga terjal sekali. Akan tetapi hatinya agak terhibur karena di dekat lereng itu terdapat banyak tumbuhan, di antaranya bahkan ada pohon-pohon yang berbuah.
Hatinya agak terhibur dan penemuan ini merupakan penyambungan umurnya, karena ia tidak akan kelaparan lagi. Memikirkan tentang kelaparan, ia tiba-tiba teringat akan pel pemberian Lo Han Cinjin dan ia lalu masuk kembali ke dalam guha itu untuk makan sebuah pel. Benar saja, rasa laparnya lenyap dan perutnya terasa hangat dan enak.
Kini Cui Giok tidak begitu sedih lagi. Ia mulai bekerja, yakni memperlebar lubang yang menembus ke lereng bukit itu. Cahaya penerangan masuk dari lubang itu membuat dasar sumur itu makin terang dan hawa masuk makin banyak. Tentang penerangan di waktu siang dan hawa udara, ia tidak usah khawatir lagi. Juga tentang makanan, ia tak perlu takut kekurangan. Hanya kegelapan malam masih membuat ia bingung.
Akan tetapi ia mendapat akal juga. Ia melihat burung-burung beterbangan di lereng itu, bahkan ada yang hinggap di pohon-pohon sekitar lereng itu. Dengan mudah ia dapat menangkap burung itu mempergunakan kepandaiannya menyambit dengan batu. Gajih burung itu dapat dipergunakan sebagai bahan bakar yang akan mengawetkan sumbuh buatannya, sehingga ia bisa membuat penerangan di waktu malam.
Demikianlah, dengan ketabahan yang luar biasa sekali, Cui Giok hidup di tempat yang aneh itu sampai berhari-hari, tiada hentinya berusaha mendapatkan jalan keluar, akan tetapi selalu tak berhasil.
Kita tinggalkan dulu dara perkasa yang harus dikasihani ini dan marilah kita melihat keadaan Kui Hwa, Tin Eng, Pui Kiat dan Pui Hok. Empat orang muda yang kegelisahaannya mungkin tak kalah besar dari pada kegelisahan yang diterima Cui Giok. Mereka ini menanti kedatangan Gwat Kong dengan hati tidak keruan. Apalagi kalau teringat akan nasib nona pendekar yang telah menolong mereka.
Akan tetapi, dua hari kemudian, kegelisahaan mereka itu lenyap ketika tiba-tiba Gwat Kong muncul di situ. Pada waktu itu, mereka sedang berjalan di pinggir sungai. Tiba-tiba terdengar suara orang memanggil dengan suara girang, “Tin Eng....!”
Gadis itu menengok dan..... alangkah girangnya melihat bahwa yang memanggil itu bukan lain ialah Gwat Kong. “Gwat Kong....” serunya dan kalau saja di situ tidak ada Kui Hwa dan kedua orang suhengnya, tentu ia telah berlari menghampiri pemuda itu.
“Bun-taihiap!” Kui Hwa juga berseru dengan bibir terkatup erat dan mata memandang tidak enak, karena bukankah pemuda ini adalah putera dari Bun-tihu yang difitnah oleh ayahnya?
Gwat Kong datang berlari-lari dan karena Tin Eng bukan berada seorang diri, maka pemuda ini lalu menjura kepada mereka yang dibalas sebagai mestinya. “Mengapa kalian masih berkumpul di sini? Bagaimana tentang.... tempat itu?” Ia menengok ke arah puncak Hong-san yang nampak dari situ.
“Sssttt.....” kata Tin Eng. "Tidak leluasa bicara di sini. Mari kita pergi ke perahu itu!” Ia menunjuk ke sebuah perahu restoran yang besar dan kebetulan kosong.
Mereka berlima lalu berjalan menuju ke perahu itu. Wajah Tin Eng kemerah-merahan dan matanya berseri-seri tanda bahwa pertemuan ini benar-benar amat menggembirakan hatinya. Kui Hwa ketahui hal ini dan diam-diam ia membenarkan pilihan hati Tin Eng yang amat tampan dan gagah itu. Akan tetapi, Dewi Tangan Maut ini masih saja merasa tidak enak hati.
Perahu besar itu kosong dan Tin Eng lalu memesan kepada pelayan untuk menyediakan makanan dan minuman. Mereka duduk mengelilingi dua meja yang dijejerkan. Tin Eng duduk di sebelah kanan Gwat Kong, sedangkan Kui Hwa mengambil tempat duduk di depan pemuda yang baru datang itu.
“Bagaimana keadaan di sini?” tanya Gwat Kong begitu mereka duduk. “Mengapa kalian masih berada di sini?”
“Gwat Kong,” kata Tin Eng yang tak dapat merobah sebutannya terhadap pemuda itu, biarpun di sini ada orang lain, “Sebelum kami menuturkan lebih jauh, lebih dulu perkenalkanlah dengan kawanku ini!” Ia menunjuk kepada Kui Hwa, “Dia ini adalah enci Tan Kui Hwa Dewi Tangan Maut!”
Berobahlah wajah Gwat Kong mendengar nama orang yang sudah lama diharapkannya untuk bertemu ini. Ia segera bangkit berdiri mengangkat kedua tangannya memberi hormat kepada Kui Hwa. ”Ah, sudah lama aku mendengar nama lihiap yang menggemparkan dunia kang-ouw. Sungguh kebetulan bahwa saat ini aku dapat bertemu muka.”
Kui Hwa juga sudah berdiri dan dengan senyum dingin ia berkata, “Tentu saja taihiap mengharapkan pertemuan untuk dapat melampiaskan dendam dan sakit hati taihiap, bukan?”
“Enci Kui Hwa! Jangan berkata begitu!” kata Tin Eng yang bangkit berdiri.
Gwat Kong tersenyum lalu duduk kembali. “Tan-lihiap, kalau urusan lama di bongkar dan permusuhan lama dibangkit-bangkit, maka kiranya dari pihakmulah datangnya, bukan dari pihakku. Aku sudah menganggap habis persoalan lama itu dan sudah kupendam.”
Kui Hwa memandang kepada wajah yang tampan itu dengan sinar mata kurang percaya dan terharu, lalu menjadi kagum dan bertitiklah dua butir air mata dari kedua matanya. Ia menundukkan matanya dan berkata perlahan, “Bun-taihiap, ternyata kau bijaksana sekali, seperti mendiang ayahmu, tidak seperti aku yang jahat seperti mendiang ayahku. Aku hanya bisa mohon ampun atas dosa-dosa ayahku terhadap ayahmu....”
“Ah, Tan-lihiap, mengapa berkata begitu? Urusan orang tua kita bukanlah urusan kita. Kalau ayahmu masih hidup, itu lain lagi barangkali. Akan tetapi antara kau dan aku tidak ada sesuatu, bahkan ada pertalian persahabatan seperti buktinya sekarang kita bertemu di antara kawan-kawan di tempat ini. Duduklah dan jangan sungkan-sungkan, kita di antara kawan sendiri.”
“Sumoi, kata-kata Bun-taihiap benar. Alangkah baiknya kalau permusuhan lama dirobah menjadi persahabatan!”
Kui Hwa duduk kembali, menyusut air matanya lalu tersenyum dan berkata, “Maaf, aku telah berlaku seperti anak kecil.”
Pada saat itu, kembali perahu itu miring dan bergoyang dan masuklah Tong Kak Hwesio sambil tersenyum-senyum. Ia mengerling ke arah lima orang muda yang duduk bercakap-cakap. Kemudian tanpa banyak cakap, ia lalu mengambil tempat duduk di meja dekat mereka, di sebelah belakang kursi yang diduduki oleh Gwat Kong.
Di situ ia duduk memesan makanan lalu bersedakap sambil tersenyum menyeringai dan kedua matanya memandang kepada Kui Hwa dan Tin Eng berganti-ganti, seakan-akan anak kecil memandang dua barang permainan yang indah menarik.
Gwat Kong mengerutkan alis matanya dan memandang kawan-kawannya. Akan tetapi kawan-kawannya tidak memberikan reaksi apa-apa atas kehadiran hwesio itu. Maka Gwat Kong lalu menggunakan ibu jari tangannya digerakkan ke arah di mana hwesio itu duduk sambil bertanya kepada kawan-kawannya, “Apakah kalian kenal dia?”
Kui Hwa yang duduk di depannya menjawab, “Tidak, dan sudah lama dia selalu mendekati kami. Akan tetapi karena dia tidak berkata atau melakukan sesuatu, maka kami mendiamkannya saja.”
“Kalau begitu, biarlah jangan perhatikan dia dan anggap saja dia seperti patung penjaga keselamatan kita!” kata Gwat Kong dengan suara mengejek.
Hwesio itu masih duduk diam, akan tetapi tidak menyeringai lagi dan mukanya menjadi merah, sedangkan matanya memancarkan cahaya merah. Tiba-tiba Gwat Kong merasa betapa tempat duduknya terdorong dari belakang. Ia tahu bahwa ini adalah perbuatan hwesio itu.
Tempat duduknya menempel pada kaki meja yang berada di depan hwesio itu. Dan agaknya hwesio itu menggunakan kekuatan lweekangnya yang disalurkan pada kaki untuk mendorong meja di depannya sehingga kaki meja itu mendorong bangku yang diduduki Gwat Kong.
Tenaga dorongan itu besar sekali dan kalau didiamkan saja tentu Gwat Kong akan terdorong ke depan dan meja di depannya akan terguling menimpa kawan-kawannya. Akan tetapi dengan tenang dan masih tersenyum, Gwat Kong mengerahkan lweekangnya sehingga bangku yang didudukinya itu sampai berbunyi bagaikan ditindih oleh benda yang amat berat.
Tong Kak Hwesio terkejut sekali ketika tiba-tiba meja yang didorong dengan kakinya itu berhenti bergerak, bahkan tenaganya mental kembali. Ia merasa penasaran dan memperkuat tenaganya. Akan tetapi makin keras ia mendorong, makin besar pula tenaganya mental kembali. Dan tiba-tiba “krek!” meja di depannya patah membuat meja itu terdorong hendak menimpanya.
“Meja bobrok!” katanya sambil menekan meja itu sehingga pecah. Kemudian tanpa berkata sesuatu, ia meninggalkan ruangan itu.
Kui Hwa, Tin Eng dan kedua saudara Pui menjadi heran sekali melihat kejadian ini, akan tetapi Gwat Kong hanya tersenyum saja.
“Nah, sekarang ceritakanlah semua pengalamanmu!” kata Gwat Kong kepada Tin Eng. Ia merasa heran dan khawatir ketika tiba-tiba melihat wajah Tin Eng menjadi muram.
“Telah terjadi malapetaka hebat sekali,” kata gadis itu. “Gwat Kong, benarkah kau menyuruh seorang gadis cantik untuk mewakilimu datang membantu kami?”
“Benar!” kata Gwat Kong tanpa ragu-ragu lagi. “Dia adalah nona Sie Cui Giok ahli pedang Im-yang Siang-kiam-hoat. Di mana dia sekarang?”
“Dia... dia...” dan tiba-tiba Tin Eng menangis.
Bukan main kagetnya hati Gwat Kong melihat hal ini. “Tin Eng! Apa yang telah terjadi dengan Cui Giok?”
Kalau Tin Eng tidak sedang terharu memikirkan nasib Cui Giok, tentu ia akan cemburu juga mendengar betapa pemuda itu menyebut nama Cui Giok begitu saja dan melihat betapa pemuda itu menjadi pucat karena mengkhawatirkan keselamatan gadis itu. Akan tetapi ia sendiri sedang amat terharu dan dengan suara terputus, kadang-kadang dibantu oleh Kui Hwa, Tin Eng lalu menceritakan semua pengalamannya.
Mendengar betapa Cui Giok terjerumus ke dalam jurang pada seminggu yang lalu oleh seorang raksasa liar bernama Badasingh, Gwat Kong menjadi terkejut sekali. “Celaka!” serunya dengan pucat. “Dia datang ke sini karena aku minta padanya. Kalau ia tewas, berarti aku yang mendatangkan kematiannya. Tin Eng, aku harus pergi ke sana sekarang juga untuk mencekik leher siluman raksasa itu.”
Sambil berkata demikian, Gwat Kong bangkit berdiri dari bangkunya, akan tetapi Pui Kiat dan Pui Hok lalu menyambarnya. “Tenang dulu, Bun-taihiap. Memang kita harus berusaha membunuh raksasa jahat itu. Tidak saja untuk membalaskan dendam Sie-lihiap, akan tetapi juga untuk menghindarkan rakyat dari bencana. Badasingh ini benar-benar jahat.”
Kemudian mereka menceritakan betapa raksasa hitam itu telah menculik wanita dan kalau saja tidak datang mereka dan Huang-ho Sam-kui, entah bagaimana jadinya dengan nasib wanita itu.
“Bahkan sumoi dan Liok-lihiap inipun hampir saja celaka ditangannya, kalau saja tidak datang Sie-lihiap yang bernasib malang itu.” Maka kembali mereka menceritakan pengalaman mereka ketika Cui Giok datang membantu.
“Guha Kilin adalah guha yang amat berbahaya, Bun-taihiap. Di dalamnya terdapat sumur yang tak terukur dalamnya. Dan di situlah Sie-lihiap terjerumus karena tertipu oleh Badasingh. Kalau tidak bisa memancing keluar raksasa itu, sukar untuk mengalahkannya. Apabila ia telah berada di dalam guha Kilin, tak mungkin menyerangnya.”
Mereka lalu menceritakan betapa sia-sia mereka yang dibantu oleh Huang-ho Sam-kui mengeroyok setelah raksasa itu bersembunyi di guha Kilin.
Sementara itu, makanan yang dipesan dihidangkan oleh pelayan, akan tetapi sukar sekali bagi Gwat Kong untuk menelan nasi melalui kerongkongannya. Hatinya penuh kesedihan karena mengingat akan nasib Cui Giok. Terbayanglah semua pengalamannya ketika ia masih bersama-sama dengan gadis pendekar itu.
Teringatlah ia akan kata-kata nelayan tua yang menceritakan betapa Cui Giok merawat dan menjaganya sampai tiga malam tidak tidur dan hampir tidak makan ketika ia jatuh sakit. Teringat akan hal ini semua, sambil menghela napas Gwat Kong menunda sumpitnya dan duduk termenung dengan wajah muram.
“Aku harus bunuh jahanam Badasingh itu. Aku harus membunuhnya sekarang juga!” Sambil berkata demikian, Gwat Kong lalu bangkit berdiri dari tempat duduknya dan melompat ke darat.
“Gwat Kong...!” Tin Eng berseru memanggil dengan isak tertahan.
Mendengar suara ini, Gwat Kong menahan kakinya, berpaling dan berkata, “Tin Eng, marilah kau ikut ke puncak Hong-san. Kita bersama membalas sakit hati yang hebat ini!”
Keduanya lalu berlari cepat dan tiga orang anak murid Hoa-san-pai itu setelah membayar makanan juga lalu berlari menyusul. Lima orang muda itu tidak tahu bahwa pada saat itu, mereka telah didahului oleh Tong Kak Hwesio yang berlari-lari seorang diri naik ke puncak Hong-san, kemudian oleh tiga Huang-ho Sam-kui yang juga berlari naik ke puncak sambil membawa senjata dayung mereka.
Mengapa Tong Kak Hwesio berlari-lari cepat menuju ke puncak Hong-san? Dan mengapa pula Huang-ho Sam-kui berlari-lari naik ke Hong-san sambil membawa dayung mereka dan dengan muka kelihatan marah?
Sebetulnya ketika Gwat Kong bercakap-cakap dengan kawan-kawannya di perahu tadi, Tong Kak Hwesio tidak pergi jauh dan masih memasang telinga mendengarkan di luar pintu. Ia mendengar tentang harta pusaka dan tentang Badasingh yang menjaga guha itu, maka timbullah hati ingin mencari sendiri harta pusaka itu.
Di dalam kesombongannya ia tidak memandang sebelah mata kepada Badasingh yang dianggapnya seorang kasar yang liar dan bertenaga besarnya. Maka ia ingin mendahului rombongan Gwat Kong itu, mendahului naik ke Hong-san dan kalau mungkin mendapatkan harta pusaka.
Sementara itu, Huang-ho Sam-kui, tiga kepala bajak dari sungai Huang-ho itu, juga mempunyai alasan yang kuat untuk naik ke Hong-san dengan marah-marah karena malam tadi Badasingh yang merasa sakit hati kepada mereka atas penyerangan mereka bersama Kui Hwa dan kawan-kawannya, diam-diam mendatangi sarang mereka dan berhasil menculik isteri Louw Lui dan di bawa lari ke puncak Hong-san.
Tong Kak Hwesio, bekas murid Kun-lun-pai itu, ketika tiba di depan guha Kilin, segera berteriak dengan sombongnya, “Badasingh, siluman keparat! Keluarlah kau untuk berlutut di depan tokoh Kun-lun-pai, baru pinceng mau memberi ampun!”
Badasingh sedang berada di guha sebelah guha Kilin. Ketika mendengar suara tantangan ini segera keluar menyeret rantai bajanya. Melihat seorang hwesio muda berdiri dengan hanya bersenjata sehelai sabuk sutera, ia menjadi marah sekali.
“Bangsat gundul, kuremukan kepalamu yang licin!” serunya dan ia segera menyerbu.
Sementara itu, ketika menyaksikan kehebatan raksasa itu, diam-diam Tong Kak Hwesio menjadi terkejut sekali dan lenyaplah sebagian besar kesombongannya. Akan tetapi, ia terpaksa menyambut serangan raksasa itu dengan sabuknya. Biarpun senjatanya hanya sabuk lemas, akan tetapi berkat lweekangnya yang tinggi, sabuk itu bisa digerakkan menjadi sebatang senjata yang kaku. Juga ia tidak takut untuk menangkis senjata lawannya yang berat karena sabuk sutera itu takkan rusak terkena rantai.
Akan tetapi, ia segera merasa terkejut sekali karena serangan lawannya benar-benar hebat sekali. Ternyata raksasa ini bukanlah sebagaimana yang ia sangka, bukan hanya seorang yang mengandalkan tenaga besar akan tetapi memiliki ilmu silat tinggi yang aneh gerakannya. Oleh karena itu, ia mengeluh di dalam hati dan terpaksa mengerahkan seluruh kepandaiannya dan mainkan ilmu silat Kun-lun-pai yang hebat.
Namun, betapapun juga ia masih terdesak hebat sebelum melakukan perlawanan dua puluh jurus, bahkan terpaksa ia main mundur. Akan tetapi Badasingh agaknya tidak mau memberi ampun kepadanya dan mengurungnya dengan rantai baja itu sehingga Tong Kak Hwesio menjadi kewalahan sekali. Ketika rantai baja itu bergerak bagaikan seekor naga menyambar ke arah lehernya, Tong Kak Hwesio mengebutkan sabuknya menangkis dan ketika kedua senjata bertemu, hwesio itu lalu melepaskan sabuknya yang segera melibat rantai itu.
Mereka saling betot, tidak ada yang mau mengalah dan dalam keadaan yang amat berbahaya itu Tong Kak Hwesio mengirim pukulan dengan tangan kiri sambil melangkahkan kakinya maju. Tangan kirinya dengan gerak tipu Pai-in-chut-sui (Dorong awan keluar puncak) menghantam sekerasnya ke arah dada lawannya. Akan tetapi, Badasingh sama sekali tidak mau berkelit, bahkan lalu memukul pula dengan tangan kirinya dari atas ke arah kepala Tong Kak Hwesio.
“Blukkk! “Krakk!” Dua suara terdengar dan tanpa dapat menjerit lagi, Tong Kak Hwesio yang kepalanya pecah terpukul oleh Badasingh itu roboh tak bernyawa lagi. Adapun pukulannya yang mengenai dada Badasingh hanya membuat raksasa itu meringis kesakitan saja, akan tetapi tidak terluka. Ternyata raksasa ini memiliki kekebalan yang luar biasa sekali.
Badasingh tertawa bergelak-gelak dan bagaikan orang gila ia lalu mengangkat rantai bajanya dan berkali-kali memukul tubuh hwesio ini sehingga remuk semua tulangnya. Kemudian sambil tertawa-tawa ia menendang tubuh itu sehingga melayang dan masuk ke dalam jurang di dekat guha.
Pada saat itu, datanglah Huang-ho Sam-kui di tempat itu. Mereka tidak melihat lagi apa yang menyebabkan iblis itu tertawa-tawa, hanya melihat Badasingh berdiri bertolak pinggang sambil tertawa bergelak-gelak.
“Badasingh, manusia iblis. Kembalikan isteriku!” teriak Louw Lui dengan marah.
Badasingh menundukkan kepala dan memandang kepada tiga kepala bajak itu. Kemudian ia tertawa dan berkata keras, “Eh, eh,..... datang lagi tiga orang yang sudah bosan hidup? Ha ha ha! Hari ini aku benar-benar berpesta pora! Anjing-anjing serigala dibawah jurang yang akan kenyang makan bangkai manusia.” Setelah berkata demikian, ia lalu mengayun rantai bajanya dan menyerang dengan hebatnya.
Huang-ho Sam-kui lalu menggerakkan senjata mereka dan sebentar saja Badasingh dikeroyok tiga oleh Huang-ho Sam-kui yang marah dan menyerang dengan nafsu membunuh itu. Biarpun dahulu Huang-ho Sam-kui mengeroyok Badasingh bukan hanya mengandalkan tenaga sendiri, akan tetapi dalam keroyokan campuran itu mereka tidak dapat bergerak dengan leluasa.
Kini karena hanya bertiga, mereka dapat menjalankan pengepungan lebih rapi lagi, disesuaikan dengan kepandaian mereka. Mereka mengambil kedudukan segi tiga berdasarkan ilmu silat Sha-kak-kun-hoat (ilmu silat segi tiga) dan menyerang dengan teratur sekali. Tiap kali Badasingh mendesak seorang pengeroyok, dua orang lain lalu menyerbu dari kanan kiri. Dengan demikian perhatian raksasa itu terpecah menjadi tiga bagian.
Pertempuran kali ini benar-benar hebat sekali. Badasingh mengamuk bagaikan harimau terluka. Rantai bajanya berputar-putar merupakan pencabut nyawa yang mengerikan. Tiap kali ujung rantainya menyambar lawan yang dapat mengelak, maka ujung rantai itu menyambar batu karang yang pecah berantakan atau kalau mengenai tanah, maka mengebullah debu tebal ke atas.
Ketiga Huang-ho Sam-kui itu jarang berani mengadu senjata. Karena biarpun dayung mereka cukup kuat, akan tetapi tiap kali terbentur oleh rantai baja, selalu telapak tangan mereka tergetar dan panas sehingga banyak bahayanya senjata mereka itu akan terlepas dari pegangan.
Pada saat mereka bertempur dengan seru mati-matian, Gwat Kong dan rombongannya tiba di tempat itu. Mereka berhenti dan menonton pertempuran itu dan Gwat Kong berkata perlahan, “Hmm, tiga orang itu takkan dapat menang!”
“Mereka adalah Huang-ho Sam-kui yang pernah kuceritakan padamu,” kata Tin Eng. Sedangkan kawan-kawan yang lain masih berlari-lari di belakang karena mereka kalah cepat larinya sedangkan Tin Eng karena digandeng tangannya oleh Gwat Kong ketika lari tadi, dapat lari lebih cepat dari biasanya.
“Gwat Kong, lihatlah, guha yang di kiri itu adalah guha Kilin. Di situlah Cui Giok terjerumus. Maka hati-hatilah kau. Jangan sampai Badasingh bersembunyi ke dalam guha itu, karena kalau ia sudah masuk ke situ, sukarlah untuk menyerangnya.”
Gwat Kong mengangguk. “Kau tunggulah saja di sini bersama kawan-kawan lain dan jangan membantuku. Juga Huang-ho Sam-kui itu lebih baik kau panggil saja apabila aku sudah berhadapan dengan raksasa itu.” Setelah berkata demikian, Gwat Kong mencabut pedang dan sulingnya.
Tiba-tiba Tin Eng memegang tangannya dan ketika ia menengok, gadis itu sambil memandang mesra berkata, “Gwat Kong, hati-hatilah kau!”
Pemuda itu tersenyum dan mengangguk, kemudian sekali ia berkelebat, tubuhnya telah melompat dan berdiri di depan guha Kilin. ”Badasingh, akulah lawanmu dan aku pulalah yang akan menamatkan riwayatmu yang penuh dosa!” katanya nyaring.
Sementara itu, Tin Eng berseru kepada tiga orang pengeroyok itu, “Sam-wi Tay-ong! Tinggalkanlah siluman itu, biar dihadapi sendiri oleh Kang-lam Ciu-hiap!”
Karena mereka memang sudah merasa kewalahan dan payah menghadapi Badasingh yang benar-benar kosen, ketiga kepala bajak itu lalu melompat mundur dan berdiri di pinggiran menonton. Hendak mereka lihat siapa orangnya yang akan berani menghadapi Badasingh seorang diri saja.
Sementara itu, ketika melihat seorang pemuda dengan pedang di tangan kanan dan suling di tangan kiri berdiri di depan guha Kilin, Badasingh menjadi marah sekali. “Bangsat kecil! Kau akan kubunuh lebih dahulu!”
Sambil berkata demikian ia menggerakkan rantai bajanya untuk menghantam kepala Gwat Kong dengan maksud mendesak pemuda itu mundur ke dalam guha agar terjeblos pula ke bawah jurang. Akan tetapi, seperti taktik Cui Giok dulu, pemuda ini tidak mengundurkan diri, bahkan mengelak ke kiri sambil menggeser kaki ke depan lalu menyerang dengan pedangnya.
Badasingh terkejut sekali karena tahu-tahu pedang itu telah menyambar di depan dadanya, maka ia lalu melompat ke samping dan memutar rantainya sehingga senjata yang bergerak bagaikan ular itu menyambar tubuh Gwat Kong dari belakang. Namun kini Badasingh benar-benar menghadapi seorang lawan yang lebih tinggi ilmu kepandaiannya.
Disambar oleh rantai dari belakang arah kakinya itu, Gwat Kong tidak menjadi gugup. Dengan ringan sekali, ia melompat ke atas dan terus menyerang lagi. Kini menggunakan sulingnya menotok pundak kiri lawannya. Badasingh melihat datangnya totokan itu hanya dilakukan dengan sebatang suling bambu yang bolong dan tipis.
Di dalam hati mentertawakan lawannya dan sambil mengerahkan tenaga dalamnya ke arah pundak, ia hendak menyambut suling itu dengan kekebalannya agar supaya suling itu menjadi patah atau pecah. Akan tetapi ia kecele kalau memandang rendah suling itu.
Ketika ujung suling itu menotok pundaknya, Badasingh mengeluarkan seruan kaget, karena ia merasa betapa suling itu mendatangkan rasa sakit pada pundaknya sehingga menembus ke hulu hatinya. Ia cepat melangkah mundur dan tangan yang memegang rantai baja itu meraba pundaknya yang sakit sekali.
Sebaliknya, Gwat Kong juga terkejut dan diam-diam memuji karena biarpun sulingnya telah menotok jalan darah dengan jitu akan tetapi hanya dapat mendatangkan rasa sakit saja dan tidak mempengaruhi tubuh tinggi besar itu.
Namun Badasingh telah mendapat pelajaran keras dan ia tidak berani memandang rendah lagi. Ilmu silat pemuda ini benar-benar lihai sekali, bahkan lebih lihai dari pada ilmu pedang gadis cantik yang telah terjerumus ke dalam jurang. Maka ia berseru keras sambil putar rantai bajanya untuk mengurung dan membikin jerih lawannya.
Badasingh mendesak Gwat Kong sedemikian rupa dengan maksud agar supaya pemuda itu merobah kedudukannya sehingga ia dapat berputar dan melompat ke dalam guha. Oleh karena kalau ia sudah bisa masuk ke dalam guha Kilin, ia dapat memancing pemuda itu mengikutinya dan menjebaknya ke dalam sumur atau jurang yang dalam itu. Atau setidaknya, kalau usahanya menjebak tidak berhasil, ia dapat bersembunyi di situ tanpa dapat diganggu atau diserang oleh lawannya yang amat lihai ini.
Akan tetapi Gwat Kong telah dapat maklum akan maksud ini karena ia telah diberi tahu tentang rahasia guha itu oleh Tin Eng. Maka sambil mainkan Sin-eng Kiam-hoat dan Sin-hong Tung-hoat di kedua tangannya, ia memutar pedang dan sulingnya sedemikian rupa sehingga Badasingh tak berdaya sama sekali. Tubuh pemuda ini bagaikan segulung asap bergulung-gulung dan menyelinap di antara sambaran rantai bajanya, mengirim serangan-serangan maut ke arah bagian tubuh yang berbahaya.
Pertempuran sudah berjalan ratusan jurus dan Badasingh yang luar biasa kuatnya itu biarpun sejak tadi didesak hebat, namun masih belum menyerah dan melakukan perlawanan mati-matian. Sudah beberapa kali suling Gwat Kong menotok jalan darahnya dan ujung pedang Sin-eng-kiam melukainya, akan tetapi tubuhnya benar-benar kebal dan kuat sekali sehingga luka-lukanya itu merupakan luka di luar saja yang tidak berbahaya. Pakaiannya telah penuh dengan darahnya sendiri dan kini ia bertempur sambil menggereng-gereng bagaikan seekor binatang buas.
Setelah kehabisan daya dan maklum bahwa kalau dilanjutkan ia akan kalah. Badasingh lalu mengambil keputusan nekad untuk mengajak pemuda ini mati bersama. Ia menyerang dengan sambaran rantainya sedemikian rupa dan ketika Gwat Kong mengelak, ia lalu menubruk sambil pentangkan kedua tangannya.
Gwat Kong terkejut sekali dan cepat menjatuhkan diri ke kiri sambil menggunakan pedangnya masuk ke dalam lambung lawannya. Akan tetapi Badasingh masih dapat miringkan tubuh dan dengan nekad tangannya mencengkeram. Pundak kanan Gwat Kong kena dicengkeram oleh jari-jari tangannya yang berkuku panjang dan raksasa yang telah mendapatkan luka parah itu hendak menyeretnya untuk bersama-sama masuk ke dalam sumur. Gwat Kong berlaku tenang dan cepat mengirim tusukan dengan sulingnya ke arah sambungan tulang pundak lawan.
“Pletak!” remuklah tulang itu dan cengkeraman tangan Badasingh terlepas. Tubuh raksasa itu terhuyung-huyung ke kiri dan roboh di atas tanah tanpa dapat berkutik pula.
Huang-ho Sam-kui dan lain-lain orang menonton pertempuran dahsyat itu sambil menahan napas. Louw Lui telah mencari isterinya dan mendapatkan isterinya yang malang itu rebah pingsan di dalam guha, maka Louw Lui lalu memondongnya dan turun gunung terlebih dulu.
Kini Louw Tek dan Louw Siang serta Tin Eng dan kawan-kawannya berlari menghampiri Gwat Kong. Ternyata Badasingh telah tewas tak bernyawa pula....