Pendekar Gila Dari Shantung Jilid 19

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pendekar gila dari Shantung jilid 19 (Tamat)
Sonny Ogawa

Pendekar Gila Dari Shantung Jilid 19, karya Kho Ping Hoo - TIONG SAN tidak mau mengejar, karena iapun tidak mempunyai maksud untuk mengganggu gadis itu. Ia berdiri beberapa lama di atas genteng dan merasa heran sekali mengapa tiba-tiba gadis yang belum terdesak hebat itu telah menghentikan pertempuran dan melarikan diri. Lebih tak dimengertinya pula mengapa Siu Eng tadi mengatakan bahwa besok pagi mereka akan bertemu pula!

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Ia menarik napas panjang lalu melompat turun dan memasuki rumahnya. Tiba-tiba ia menahan langkah kakinya dan wajahnya berobah. Mengapa ibunya dan Siang Cu tidak keluar? Ia tahu bahwa pada saat seperti itu, biasanya ibunya dan gadis itu belum tidur. Mengapa mereka tidak mendengar ribut-ribut tadi?

Ia segera menuju ke kamar ibunya dan ia makin merasa khawatir ketika melihat pintu kamar ibunya dan pintu kamar Siang Cu yang berada di depan kamar ibunya itu terbuka! Ini tanda bahwa mereka belum tidur. Mengapa mereka tidak keluar? Apakah benar-benar mereka tidak mendengar pertempuran tadi?

Ia berlari memasuki kamar ibunya dan setibanya di dalam ia menahan teriakannya ketika melihat betapa ibunya duduk di atas sebuah kursi dengan tubuh lemas tak dapat bergerak!

“Ibu...!” teriaknya sambil menahan napas. Ia cepat memeriksa dan hatinya menjadi lega ketika melihat bahwa ibunya hanya lumpuh karena tertotok saja. Ia cepat menggerakkan tangan menotok dan mengurut tubuh ibunya untuk memulihkan tenaganya dan membebaskan orang tua itu dari pengaruh totokan.

Kemudian ia teringat sesuatu dan setelah didengarnya ibunya mengeluh tanda telah terbebas dari totokan, ia lalu melompat keluar dari kamar ibunya itu dan lari memasuki kamar Siang Cu dengan hati berdebar khawatir. Dan benar saja, gadis itu tidak berada di dalam kamarnya! Ia mencari-cari, akan tetapi gadis itu benar-benar lenyap tak berbekas! Ibunya tersaruk-saruk menyusulnya ke dalam kamar Siang Cu.

“Ibu, dimana dia....?? Di mana Siang Cu???” tanyanya dengan muka pucat.

“Tadi dia berada di kamarku,” kata ibunya dengan napas masih sesak, “Kemudian datang seorang wanita berpakaian sebagai seorang to-kouw (pertapa wanita) yang sekali meraba dadaku telah membuat aku seperti lumpuh. Kemudian to-kouw itu juga membuat Siang Cu tak dapat bergerak maupun berteriak, lalu memondongnya pergi setelah meninggalkan surat ini di atas meja.”

Tiong San mengambil surat itu dari tangan ibunya dan segera membacanya. Tulisan tangan yang indah menghias kertas itu berbunyi:

Shan-tung Koai-hiap!
Aku mendengar dari Im-yang Po-san Bu Kam bahwa kau berada di sini dan kini mempunyai seorang kekasih yang tak lain hanya seorang pelayan hina!

Kalau kau tidak datang pada esok pagi sebelum matahari naik tinggi di kuil sebelah barat kampung, kau akan menemukan kekasihmu menjadi mayat!

Kalau kau datang pada waktu dan di tempat tersebut, akan kupikir-pikir dulu apa yang akan kulakukan dengan pelayan ini.

Tertanda
Gui Siu Eng


“Perempuan jahanam!” Tiong San memaki sambil menggertakkan giginya. Ibunya tadi telah membaca surat itu sebelum memberikannya kepada Tiong San, maka ia kini bertanya dengan suara gemetar.

“Aduh, bagaimana baiknya, anakku? Kalau dia sampai mencelakakan Siang Cu.... ah, bukankah Siu Eng ini gadis dari gedung pangeran Lu Goan Ong yang dulu kau permainkan? Kau telah membikin sakit hati seorang perempuan dan hal ini berbahaya sekali. Ah, ah, bagaimana baiknya?”

“Tenanglah, ibu. Aku bersumpah akan mendapatkan kembali Siang Cu, biarpun untuk itu aku harus membunuh Siu Eng dan to-kouw yang membantunya itu, bahkan biarpun untuk itu aku harus mengorbankan nyawaku!”

Nyonya Lie memeluk pundak puteranya yang bidang, “Tiong San... kau.... kau mencintainya, bukan...?”

Tiong San mengangguk. “Benar, ibu. Aku mencintainya dengan sepenuh hati dan jiwaku. Sungguhpun anakmu yang bodoh ini tidak tahu akan hal itu sebelum peristiwa ini terjadi!”

“Kalau begitu, lekas-lekas kau tolong dia, anakku!” suara nyonya ini mengandung kegirangan besar dan kecemasan hebat sehingga seperti suara orang yang mau menangis.

“Memang, sekarang juga aku akan menyusul ke sana, ibu, tak usah menanti besok pagi!”

Setelah berkata demikian, Tiong San lalu berlari keluar dan segera menuju ke barat. Ia tahu bahwa di sebelah barat Kui-ma-chung itu, agak di luar kampung yang amat sunyi, terdapat sebuah kuil tua yang sudah rusak dan tidak terpakai. Orang-orang kampung menganggap kuil itu angker dan dijadikan rumah setan-setan jahat, maka jarang ada orang berani memasukinya, apalagi di waktu malam hari.

Ketika Siu Eng dulu melarikan diri dari kota raja setelah tak berhasil mengalahkan Tiong San, ia lalu lari mencari gurunya, yakni Kiu-hwa-san Toanio yang kini telah menjadi to-kouw dan bertapa di bukit Kiu-hwa-san. Hati gadis itu penuh dengan dendam sakit hati dan ia takkan merasa puas sebelum dapat membalas sakit hatinya terhadap Tiong San.

Kiu-hwa-san Toanio juga merasa tak senang sekali ketika ia mendengar penuturan Siu Eng betapa Shan-tung Koai-hiap telah mempermainkan dan menghinanya. Ia dapat memaklumi rasa malu dan marah yang mengamuk dalam hati muridnya, maka ketika muridnya minta pertolongannya, ia lalu menyanggupi.

Demikianlah, keduanya lalu turun dari Kiu-hwa-san setelah untuk beberapa bulan lamanya Siu Eng menerima pelajaran dan latihan-latihan lagi untuk mematangkan ilmu pedangnya.

Akan tetapi, ketika mereka sedang mencari-cari itu, Tiong San tengah melatih ilmu pedang di puncak Tai-san di bawah bimbingan Si Cui Sian sehingga Siu Eng dan gurunya tidak tahu di mana adanya anak muda itu.

Kemudian, mereka mendengar dari Im-yang Po-san Bu Kam bahwa kini pemuda itu telah kembali ke kampungnya, dan perwira yang telah dikalahkan oleh Shan-tung Koai-hiap ini segera menambahkan untuk membuat panas hati Siu Eng bahwa sekarang pemuda itu telah mempunyai seorang kekasih, yakni pelayan kaisar yang dilarikannya!

Tanpa membuang waktu lagi, Siu Eng lalu mengajak gurunya untuk mendatangi kampung dan rumah Tiong San. Siu Eng tidak mau mendapatkan kegagalan dalam pembalasan dendamnya, maka ia lalu mengatur siasat “memancing harimau keluar dari guanya”.

Ia sendiri memancing Tiong San keluar dan bertempur untuk mencoba kepandaian pemuda itu, sedangkan gurunya diam-diam membawa suratnya dan menawan Siang Cu yang dianggapnya kekasih Tiong San itu.

Siang Cu yang menjadi korban tiam-hoat (ilmu totok jalan darah) dari Kiu-hwa-san Toanio, tak berdaya sama sekali dan tak dapat berteriak ketika ia dibawa lari oleh to-kouw yang lihai itu. Setelah tiba di kuil tua, Siang Cu dilepaskan dari totokan dan dengan tenang serta tabah ia menghadapi Siu Eng.

“Hm, kau pelayan hina-dina yang tidak tahu malu!” Siu Eng memaki-makinya dengan gemas. “Kau telah melakukan perbuatan rendah yang mencemarkan nama seluruh pelayan kaisar! Kau telah melarikan diri dengan seorang pemuda gila!”

Mendengar makian ini sama sekali Siang Cu tidak memperlihatkan muka takut, bahkan ia tersenyum tenang dan sama sekali tidak membuka mulutnya. Dengan marahnya, Siu Eng mengeluarkan maki-makian kotor, sehingga gurunya yang mendengar ini lalu berkata,

“Siu Eng, besok pagi kita menghadapi pertempuran, lebih baik beristirahat dan mengumpulkan tenaga. Kau jangan terlalu ribut, aku akan tidur dan mengaso sebentar.” To-kouw ini lalu masuk ke dalam kuil bagian belakang di mana terdapat sebuah kamar yang telah bobrok dan pecah-pecah genteng serta dindingnya.

Siu Eng berjalan hilir-mudik di depan Siang Cu yang masih saja duduk menyandar tiang. Agaknya Siu Eng telah merasa capai memaki-maki dan kini ia berjalan ke sana ke mari sambil berpikir-pikir. Siang Cu mengikuti langkah Siu Eng dengan pandangan matanya dan aneh sekali, pandangan mata gadis ini nampak sayu dan agaknya ia merasa kasihan kepada Siu Eng!

Beberapa lama mereka berada dalam keadaan seperti itu. Siu Eng merupakan seekor harimau betina yang marah dan berjalan hilir mudik di ruang itu sambil menggigit-gigit bibir dan mengerutkan kening, sedangkan Siang Cu duduk menyandar tiang sambil melihat penculiknya dengan sikap yang tenang dan sama sekali tidak tampak takut atau khawatir.

“Siu Eng,” tiba-tiba Siang Cu mengeluarkan suara dengan halus, “Kau.... kau mencintainya.....?”

Siu Eng menghentikan langkahnya dan memandang kepada Siang Cu seakan-akan seekor harimau yang hendak menerkam mangsanya. “Aku....? Aku mencintai Shan-tung Koai-hiap? Hah!” Ia menyeringai menghina. “Aku benci dia! Akan kubunuh dia! Akan kubunuh dia besok pagi! Akan kubelah dadanya, kucabut jantungnya! Ya, dan kau juga. Akan kubunuh kalian berdua dengan ujung pedangku sendiri!”

Tiba-tiba Siang Cu tertawa geli. “Siu Eng, kau gadis bodoh! Sama seperti aku pula!”

“Apa maksudmu? Jaga mulutmu sebelum kutampar sampai rusak!”

“Kau diracuni oleh sakit hati dan cemburu! Kau dan aku adalah gadis-gadis bodoh yang mencintai seorang pemuda pembenci wanita! Ha, sungguh lucu menggelikan. Kita berdua sama-sama patah hati, hanya bedanya, aku menerima nasib dengan diam-diam dan sabar, tetapi kau diracuni oleh rasa sakit hati dan cemburu!” Siang Cu tertawa lagi.

“Pelayan hina-dina! Kau boleh tertawa sepuas hatimu, aku tidak akan mengganggu kau sekarang! Aku tidak mau merusak mukamu agar besok pagi kekasihmu itu melihat dengan mata sendiri betapa kekasih hatinya yang manis kurusakkan mukanya. Ya, ya, kau boleh tertawa sekarang, tetapi lihat saja besok! Biarpun kekasihmu itu lihai, dengan mudah guruku akan merobohkannya! Kalian akan mampus sebelum matahari naik tinggi dan mayat kalian akan kutinggalkan di sini, biar dimakan oleh binatang liar!”

Sambil berkata demikian, Siu Eng memandang tajam dan maksudnya sebelum ancaman itu dilaksanakan, ia hendak menikmati penderitaan rasa takut pada gadis kekasih Tiong San itu.

Akan tetapi ia kecele, karena Siang Cu sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan tersenyum manis. “Siu Eng, aku tahu siapa adanya kau dan aku pernah pula mendengar tentang riwayatmu dengan Shan-tung Koai-hiap. Kau tak perlu menakut-nakuti aku, karena soal mati bagiku hanya soal kecil saja! Kalau aku tidak ingat kepada nyonya Lie yang mulia dan baik hati, apakah gunanya hidup bagiku? Mungkin akupun sudah berada di dunia lain pada saat ini.

"Sebagai seorang yang senasib sependeritaan dengan kau sungguhpun sikap kita berlainan, baik kuceritakan kepadamu. Terus terang kukatakan bahwa seperti kau juga, aku mencintai Shan-tung Koai-hiap, mencinta sepenuh hatiku. Akan tetapi, jangan kau kira bahwa dia juga mencintaiku! Ha, kau belum kenal baik adat Shan-tung Koai-hiap yang aneh!

"Kau benar-benar kecele kalau mengira bahwa dia mencintaiku. Dia adalah seorang pembenci wanita, mana bisa ia mencinta seorang seperti aku? Akupun diam-diam menderita karena kebodohanku sendiri, maka, kalau kau mau bunuh aku, sekarang maupun besok atau kapan saja aku tidak takut!”

Mendengar ucapan ini, Siu Eng tertegun. Kemudian ia tertawa dengan hati penuh kegelian. Memang demikianlah watak orang yang kurang mulia, apabila dia sedang berada dalam keadaan susah, maka kesusahan orang lain merupakan hiburan terbesar baginya!

“Ha ha ha!” Wanita kejam itu tertawa lagi. “Kalau begitu, hukumanmu kurobah! Kau takkan kubunuh, tetapi kau akan menyaksikan dengan mata sendiri betapa pemuda yang kau cintai itu mampus di depan matamu. Kemudian kau boleh pergi ke mana saja sesukamu, dan kau boleh menangisi kematian kekasihmu setiap hari!”

“Siu Eng, benar-benarkah kau sekejam itu, untuk membunuh laki-laki yang kau sendiri mencintai?” Kini Siang Cu memandang dengan mata menyatakan kengerian.

Kedua orang gadis ini sama sekali tidak tahu betapa pembicaraan mereka semenjak tadi didengarkan oleh orang yang makin lama makin menjadi pucat, apalagi ketika mendengar pengakuan Siang Cu tadi. Orang ini adalah Tiong San yang diam-diam telah melakukan pengintaian sehingga mendengar dengan jelas semua percakapan kedua orang gadis itu!

Tubuhnya menggigil ketika ia mendengar pengakuan Siang Cu yang menyatakan cintanya yang demikian besar! Ingin ia melompat kegirangan, dan karena tidak mau membiarkan kekasihnya itu tersiksa lebih lama lagi, ia lalu mengeluarkan cambuknya yang menyambar ke arah muka Siu Eng, dibarengi kata-katanya yang ditujukan kepada Siang Cu,

“Siang Cu... kau salah sangka...! Aku... cinta kepadamu, kekasihku.... Cinta padamu dengan seluruh hati dan nyawaku...!” Tiong San melompat ke ruang itu ketika Siu Eng dengan kaget sekali mengelak dari sabetan cambuk.

Siang Cu memandang dengan mata terbelalak seakan-akan melihat setan di siang hari. Pandangan matanya bertemu dengan pandangan mata Tiong San dan melihat betapa pemuda itu memandangnya dengan sinar mata penuh kasih sayang dan amat mesra. Tiba-tiba ia menutupi mukanya dengan kedua tangan!

Sementara itu, Siu Eng menjadi marah sekali. “Shan-tung Koai-hiap, bangsat hina! Kau sudah tidak sabar untuk menerima mampus? Baik, malam ini juga aku akan membunuh kau dan kekasihmu yang hina-dina ini!”

Ucapan ini dikeluarkan dengan marah dan sangat kerasnya, sehingga pada saat itu juga dari dalam berkelebat bayangan yang cepat sekali datangnya. Kiu-hwa-san Toanio telah berada di ruang itu, menghadapi Shan-tung Koai-hiap dengan pedang di tangan.

Tanpa banyak cakap lagi, Tiong San lalu menyerang to-kouw itu karena ia maklum bahwa inilah orangnya yang membantu Siu Eng. Ia melakukan serangan dengan pedangnya yang segera ditangkis oleh Kiu-hwa-san Toanio. Tiong San terkejut juga ketika pedangnya bertemu dengan pedang yang amat kuat dan tajam, tetapi ia semakin bersemangat. Sebentar saja ia telah dikeroyok dua oleh Kiu-hwa-san Toanio dan muridnya yang menyerang dengan mati-matian.

Tiong San mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Dengan pedang di tangan kiri dan cambuk di tangan kanan, ia mempertahankan diri dan bahkan melakukan serangan balasan yang tak kalah hebatnya, sehingga kedua orang lawannya merasa terkejut dan kagum. Tiong San maklum akan kekejian hati Siu Eng, maka sambil bertempur ia memperhatikan gadis itu, khawatir kalau-kalau Siu Eng akan mencelakai kekasihnya.

Benar saja dugaannya karena ketika merasa betapa sukarnya mengalahkan Shan-tung Koai-hiap yang amat lihai itu, tiba-tiba Siu Eng menggerakkan tangan kirinya dan sinar-sinar putih kecil menyambar ke arah Siang Cu yang masih duduk menyandar tiang dengan muka gelisah, mengkhawatirkan keadaan Tiong San yang dikeroyok dua oleh to-kouw dan Siu Eng!

“Perempuan keji!” Tiong San membentak dan cambuknya menyambar cepat ke arah beberapa batang jarum yang menyambar ke arah Siang Cu itu. Sekali ia kebutkan cambuknya, semua jarum itu terpukul jatuh.

“Siang Cu, kau sembunyilah di belakang tiang itu!” teriaknya dan ia cepat mendesak Siu Eng yang dengan pedang di tangan hendak memburu Siang Cu.

Siang Cu segera memutar tubuhnya dan bersembunyi di belakang tiang yang besar. Kini ia terlindung dari serangan senjata rahasia, karena tiang itu tebal dan besar, menutup semua tubuhnya.

Dengan amat gemas dan marah, kini Tiong San mengubah permainannya dan memainkan Im-yang Joan-pian serta Pat-kwa Kiam-hoat dengan sehebat-hebatnya. Pedang dan cambuknya berkilat-kilat menyambar dengan tak terduga dan dengan sangat cepatnya ke arah dua orang lawannya.

Tentu saja Siu Eng amat sibuk menghadapi serangan ini, sedangkan gurunya sendiri yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pengalaman yang luas, merasa bingung dan hanya dapat menangkis saja!

Gadis ini dengan sibuk dan marah menangkis pedang Tiong San yang meluncur ke arah dadanya, tetapi Tiong San sengaja menggetarkan pedangnya sedemikian rupa sehingga ketika pedang beradu, ujung pedangnya meleset dan membacok tangan Siu Eng yang memegang pedang!

Siu Eng menjerit dan melepaskan pedangnya serta menarik tangannya, tetapi pedang yang tadi menyerangnya itu kini digunakan untuk menangkis serangan Kiu-hwa-san Toanio, sedangkan ujung cambuk di tangan kiri Tiong San secepat kilat mengirim cambukan hebat ke arah muka Siu Eng!

Dalam kegemasannya tadi, Tiong San hendak menggunakan tenaga besar untuk memberi “hadiah besar” kepada Siu Eng agar muka gadis yang dibencinya itu terluka dan berdarah. Akan tetapi, tiba-tiba wajah kekasih gurunya kedua, Si Cui Sian, dengan mukanya yang terluka oleh guratan pedang, terbayang pada pikirannya. Apakah ia hendak mengulangi perbuatan suhunya dan membuat Siu Eng bercacad mukanya selama hidupnya?

Ia tidak tega dan mengendurkan tangannya sehingga ujung cambuknya itu hanya memberi “hadiah kecil” saja, yakni mendatangkan gurat merah melintang pada muka Siu Eng, tanda merah yang mudah lenyap kembali. Akan tetapi cukup menyakitkan sabetan ini karena Siu Eng menjerit dan menutup mukanya dengan tangan.

Tiong San tidak mau berlambat-lambatan lagi dan segera mendesak Kiu-hwa-san Toanio dengan kedua senjatanya yang lihai itu. Dengan libatan ujung cambuknya pada pergelangan tangan to-kouw itu, akhirnya ia dapat pula membuat pedang Kiu-hwa-san Toanio terlepas dari pegangan dan jatuh ke lantai! Tiong San melompat mundur dan menahan senjatanya sambil memandang tajam kepada to-kouw itu.

Kiu-hwa-san Toanio menjadi merah mukanya. Dipungutnya pedangnya dan berkata, “Shan-tung Koai-hiap, kau benar-benar lihai sekali!” Kemudian tanpa berkata sesuatu lagi, to-kouw itu memegang tangan muridnya dan mengajak muridnya melompat pergi dari kuil itu, menghilang di dalam bayangan pohon!

Tiong San menyimpan kedua senjatanya dan ketika ia memutar tubuh memandang ternyata Siang Cu tak tampak pula di situ! Ia menjadi heran dan mengejar keluar. Ternyata bahwa gadis itu setelah melihat betapa Tiong San mengalahkan musuh-musuhnya, menjadi malu sekali teringat akan kata-kata pemuda tadi dan diam-diam ia mendahului lari ke kampung!

Ketika Tiong San dapat menyusulnya, ternyata Siang Cu telah berpeluk-pelukan dengan nyonya Lie yang juga menyusul ke kuil itu dan bertemu di jalan dengan Siang Cu. Mereka lalu kembali ke rumah mereka.

“Ibu,” kata Tiong San, “Pada malam ini juga, saat ini juga kuminta ibu supaya meminang Siang Cu menjadi jodohku!” Ucapan ini terdengar gagah dan tidak malu-malu lagi.

Nyonya Lie memandang dengan mata terbelalak, kemudian ia tertawa lebar. “Tiong San, bukankah kau membenci wanita?” ia menggoda.

“Ibu, kau gi....!” tetapi tiba-tiba ia berhenti karena Siang Cu mengerling tajam kepadanya penuh teguran. “Di antara semua wanita di dunia ini, hanya ibu dan Siang Cu yang kucintai sepenuh hatiku. Dan aku.... aku bukan pembenci wanita lagi sekarang!”

“Siang Cu, kau mendengar sendiri pinangan anakku, bagaimana jawabmu?” tanya nyonya Lie kepada gadis itu sambil tersenyum.

“Aku... aku....” gadis ini tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan lalu berlari keluar, dikejar oleh Tiong San! Nyonya Lie tertawa bahagia dan masuk ke dalam kamarnya, membiarkan mereka berdua “menyelesaikan” urusannya.

Ketika Tiong San tiba di luar, ia melihat Siang Cu berdiri memandangi bulan. “Siang Cu....” kata pemuda itu halus sambil menyentuh pundaknya. “Bagaimana jawabmu?”

“Kau tentu sudah tahu akan isi hatiku,” jawab gadis itu perlahan sambil tunduk, “Tetapi ada tiga hal yang hendak kukatakan.”

“Katakanlah!”

“Pertama, kau tidak boleh menyebut orang dengan makian gila lagi! Kedua, semenjak sekarang kau tidak boleh meninggalkan ibu lagi. Ketiga, kalau kau melanggar dua pantangan itu, aku... aku akan kembali ke kota raja menjadi pelayan kaisar!”

Tiong San tertawa geli dan hatinya berbahagia sekali. “Kau... kau gila....!” katanya dan ia terkejut sekali karena kata-kata pertama yang keluar dari mulutnya tanpa disadarinya itu ternyata telah merupakan pelanggaran! Maka cepat-cepat ia menyambung, “Eh... maksudku.... kau.... kau manis sekali....!”

Siang Cu mengerling dan tersenyum geli. Sepasang matanya menatap wajah Tiong San dengan seri yang mengagumkan. “Coba kau ulangi makianmu tadi....” bisiknya.

“Ha...??? Kau... kau.... gila....?”

“Memang aku gila...., aku gila karena tergila-gila kepada seorang seperti kau...!” bisik Siang Cu yang pada saat itu juga tenggelam dalam pelukan Tiong San. Bulan purnama di atas kepala mereka berseri menyaksikan kebahagiaan dua makhluk bumi ini!

TAMAT

Pilih jilid,