Pendekar Gila Dari Shantung Jilid 10

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pendekar Gila Dari Shantung Jilid 10
Sonny Ogawa

Pendekar Gila Dari Shantung jilid 10 karya Kho Ping Hoo - PANGERAN Ong yang masih merasa perih dan sakit sekali kepalanya bagian kiri yang sudah hilang telinganya, memandang kepada dua orang perwira yang baru datang untuk minta pertolongan.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Lui Kong Bu Tong Cu Si Dewa Geludug melangkah maju dan sambil tertawa ha ha, hi hi, ia lalu maju dan berkata, “Hm, inikah yang bernama Shan-tung Koay-hiap? Sungguh mengagumkan. Muda, tampan dan gagah!” Ia mengulur tangan untuk membangunkan Ong Tai Kun dan seperti yang tak disengaja ia membentur tangan Tiong San yang menekan pundak pangeran itu.

Tiong San merasa betapa benturan itu membuat tangannya kesemutan dan tahulah ia bahwa yang kelihatan seperti seorang penderita cacad ini ternyata adalah seorang ahli lweekeh yang tangguh. Maka ia lalu melangkah mundur setindak sehingga pangeran itu dengan girang dapat mengundurkan diri dan ia segera dirawat oleh para perwira untuk mengobati telinganya yang telah lenyap sebelah!

Tiong San menghadapi kedua perwira itu dan setelah memandang sejenak, ia tertawa berkakakan dengan hati geli. “Eh, eh, belum pernah aku melihat orang-orang seperti kalian! Apakah kalian juga datang hendak mencoba rasanya hidangan pangeran Ong yang tidak enak itu?”

“Shan-tung Koay-hiap, kau masih muda dan gagah, mengapa kau ikut-ikut mencontoh perbuatan Thian-te Lo-mo yang gila?” Sin-go Lee Siat si Buaya Sakti menegur marah sambil melangkah maju.

Akan tetapi, tiba-tiba ia mengelak ke samping karena telinganya yang tajam dapat mendengar sambaran sebuah benda kecil. Akan tetapi ia kalah cepat dan benda kecil itu telah mengenai kepalanya yang botak. “Tak!” dan benda itu pecah berantakan. Ternyata yang menyambar kepalanya itu adalah sebuah kacang yang disambitkan oleh Thian-te Lo-mo dari atas tiang penglari!

“Ha ha ha! Orang panjang tapi pendek! Kau sendiri yang gila, akan tetapi kau memaki orang waras! Cocoklah bunyi syair yang ditulis oleh muridku yang gendeng!” Lalu ia mengucapkan syair yang dulu ditulis oleh Tiong San, akan tetapi ia mengucapkannya sambil dilagukan dengan suara aneh dan lucu. "Dunia penuh orang gila.... yang waras disebut gila.... yang gila merajalela...."

Thian-te Lo-mo hanya mengambil bagian tengahnya saja, bagian yang paling disukainya, bagian yang menimbulkan rasa sukanya kepada Tiong San dan yang membuat ia mengambil keputusan untuk menjadikan pemuda itu sebagai muridnya.

Kedua orang perwira kerajaan itu cepat menengok dan mereka tidak menyangka sama sekali bahwa kakek itu berada di atas tiang. Tadi memang mereka telah mendengar bahwa kakek sakti itu datang pula mengacau. Akan tetapi ketika mereka memasuki ruangan dan tidak melihat Thian-te Lo-mo, mereka menjadi lega dan berbesar hati.

Siapa tahu, ternyata kakek itu berada di atas, ongkang-ongkang sambil tertawa menyeringai! Kecutlah hati kedua orang perwira ini karena biarpun mereka sebagai perwira-perwira yang belum lama bertugas, belum pernah merasakan kelihaian kakek itu. Namun mereka telah mendengar nama Thian-te Lo-mo yang ditakuti orang bagaikan orang menakuti seorang iblis tulen!

“Thian-te Lo-mo!” Bu Tong Cu Si Dewa Geludug berkata kepadanya. “Apakah kau hendak mengacau lagi? Turunlah kau, jangan kira bahwa kami takut padamu!”

Thian-te Lo-mo tertawa lagi dan kembali tangannya bergerak, dan sebutir kacang melayang ke arah dadanya! Bu Tong Cu seorang ahli silat kawakan, maka tentu saja ia tidak mudah diserang dengan sambitan ini, maka ia segera miringkan tubuhnya.

Tak disangkanya sama sekali bahwa hampir berbareng dengan kacang pertama, kacang kedua menyusul dan tepat mengenai punuknya yang seperti punuk onta itu! Ia tidak merasa sakit, akan tetapi hatinya lebih sakit karena ia merasa dipermainkan!

“Ha ha, manusia onta! Kau sedang berhadapan dengan muridku di atas bumi, jangan ikut campurkan aku yang berada di sorga!” kata Thian-te Lo-mo menyengir.

Kedua orang perwira itu marah sekali dan mereka hendak tumpahkan seluruh kemarahan mereka kepada Tiong San. Tanpa banyak cakap lagi mereka lalu mencabut senjata masing-masing dan menyerang Tiong San. Senjata mereka juga aneh dan mengerikan. Bu Tong Cu si Dewa Geludug bersenjata sebatang tongkat besi yang panjangnya empat kaki, sedangkan Sin-go Lee Siat bersenjata sepasang kapak yang bermata lebar dan tajam.

Ketika senjata-senjata itu menyerbu ke arah dirinya, Tiong San maklum akan kelihaian lawan, maka ia cepat melompat ke belakang dan segera melayangkan ujung cambuknya, mendahului dengan serangan dari jauh! Ia maklum bahwa menghadapi orang-orang kosen seperti dua orang perwira kerajaan itu.

Ia tidak boleh berlaku gegabah, dan sekali-kali tidak boleh melayani mereka dari dekat, maka ia mempergunakan kesempatan yang menguntungkan dengan melayani mereka dari jauh yang mungkin ia lakukan dengan senjatanya yang panjang.

Juga ia tidak berani main-main dan kali ini ujung cambuknya menyabet dengan keras dan mengarah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dan jalan-jalan darah lawan, tidak seperti biasa hanya untuk membagi-bagi hadiah pada muka lawan saja.

Pertempuran berjalan seru dan ramai oleh karena biarpun menghadapi senjata yang panjang, akan tetapi oleh karena maju berdua dari kanan kiri dan permainan silat mereka memang cepat dan tenaga lweekang mereka telah sempurna, maka kedua orang perwira itu tidak terdesak, bahkan dapat membalas dengan serangan-serangan yang membawa maut!

Kali ini Tiong San benar-benar menghadapi lawan yang keras dan tangguh sehingga ia harus mencurahkan seluruh perhatian, tenaga dan kepandaian, barulah ia dapat meimbangi permainan mereka. Ia harus berlaku gesit dan lincah, karena dengan kelincahannya itu ia dapat melompat menjauhi setiap kali lawannya mendesak makin dekat dan mengirim serangan-serangan dari jarak jauh dengan ujung cambuknya.

Bu Tong Cu yang mempunyai lweekang tinggi, pernah mencoba untuk menangkap ujung cambuk dan merampas senjata lawan yang masih muda itu. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia berhasil menangkap ujung cambuk dalam cengkeraman tangan kirinya, tiba-tiba cambuk itu dibetot dengan keras sehingga telapak tangannya merasa perih seakan-akan dikerat pisau tajam!

Ia maklum bahwa cambuk itu bukanlah cambuk biasa dan terbuat dari bahan yang amat kuat serta digerakkan oleh tangan ahli yang telah menguasai sepenuhnya, maka ia tidak berani lagi mncoba untuk menangkapnya, hanya menggunakan tongkat besinya untuk memberi serangan-serangan kilat dengan terkaman-terkaman hebat.

Namun Tiong San benar-benar lincah dan latihan-latihannya yang dilakukan secara aneh itu telah memberi kekuatan dan keringanan tubuh luar biasa kepadanya. Tubuhnya berkelebat cepat dan cambuknya yang panjang itu dengan amat lihainya menari-nari dan menyambar-nyambar dengan gerakan-gerakan yang sukar diduga. Ujung cambuk yang kecil itu dengan lincahnya menyambar-nyambar lawan dan seakan-akan telah berubah menjadi puluhan ujung cambuk saking cepatnya ia bergerak.

Sin-go Lee Siat si Buaya Sakti, merasa penasaran sekali. Lawannya adalah seorang muda yang baru saja muncul di dunia kang-ouw. Masa dengan mengeroyok dua bersama Bu Tong Cu yang lihai, ia tak dapat juga merobohkan pemuda itu! Pernah ujung cambuk lawan itu melibat kapak di tangan kirinya.

Terjadi saling betot dan dan karena ternyata ujung cambuk itu membelit kuat sekali dengan marah Lee Siat lalu membacok ke arah cambuk yang melibat gagang kapak di tangan kirinya itu dengan kapak di tangan kanan. Maksudnya hendak membikin putus ujung cambuk yang melibat itu.

Akan tetapi tiba-tiba ujung cambuk itu bagaikan seekor ular yang hidup, melepaskan diri dan melayang pergi sehingga ia menghantam gagang kapaknya sendiri dengan kapak kanan sehingga gagang kapak kiri itu hampir terbelah dua! Bukan main marahnya dan ia segera mengirim serangan-serangan nekat yang mematikan. Sepasang kapaknya bergerak cepat bagaikan dua ekor harimau galak menerkam korban.

Para pangeran dan perwira yang berada di situ menyaksikan pertempuran ini dengan penuh kekaguman. Tak mereka sangka bahwa pemuda itu dapat melayani Bu Tong Cu dan Lee Siat sedemikian baik dan uletnya. Diam-diam mereka merasa khawatir sekali karena baru muridnya saja sudah demikian lihai, belum suhunya turun tangan! Maka, diam-diam pangeran Ong Tai Kun lalu mengirim utusan lagi untuk mendatangkan jago-jago lain.

Pertempuran terjadi makin seru dan kini Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong memutar-mutar ruyungnya dan maju membantu! Hanya dia sendiri yang berani maju membantu, oleh karena lain orang yang kepandaiannya lebih rendah, baru maju sebentar saja sudah terkena sabetan cambuk dan bahkan mengacaukan permainan kedua orang perwira itu.

Dikeroyok tiga oleh orang-orang yang berilmu tinggi itu, biarpun ilmu cambuk Tiong San amat lihai dan berbahaya, lambat laun ia merasa sibuk juga. Serangan-serangan ketiga orang lawannya bukanlah serangan-serangan biasa, akan tetapi setiap serangan apabila mengenai sasaran tentu akan menewaskan nyawa pemuda itu, sedangkan serangan-serangan Tiong San biarpun cukup ganas, akan tetapi ia tidak mempunyai maksud untuk membunuh orang.

Kini karena keadaannya terdesak betul-betul, tiba-tiba ia berseru keras dan kini cambuknya berputar-putar menghantam ketiga orang pengeroyoknya sambil mengeluarkan suara “tar tar tar!” yang nyaring sekali dan memekakkan telinga ketiga orang pengeroyoknya! Inilah ilmu cambuk Im-yang-joan-pian yang luar biasa hebatnya!

Suara-suara yang keluar dari cambuk itu memang disengaja untuk mengacaukan pemusatan perhatian lawan dan untuk membingungkan lawan, karena pada saat cambuk berbunyi, ujungnya tidak menyerang, dan diam-diam tanpa mengeluarkan bunyi tiba-tiba ujungnya menghantam ke tempat berbahaya.

Ada kalanya hal ini dibalikkan, dan pada saat lawan telah menjadi biasa dengan suara itu dan menganggap suara itu hanya gertakan belaka, tahu-tahu sambil mengeluarkan suara keras, ujungnya menyambar dengan cepat! Karena ilmu cambuk Im-yang-joan-pian mempunyai gerakan kasar dan halus sesuai dengan sifat Im dan Yang (negatif dan positif), dan dengan digunakannya akal ini.

Aaka Ban Kong yang kurang cepat gerakannya, ketika cambuk menyambar ke arah lehernya dan ia menangkis dengan ruyungnya, cambuk itu biarpun telah tertangkis, akan tetapi dengan sekali libatan, ujungnya masih meluncur terus dan berhasil menotok jalan darah yan-goat-hiat di bawah ketiak kanannya sehingga tiba-tiba ia merasa betapa tangan kanannya menjadi kaku dan senjatanya terlepas dari pegangan! Ia cepat melompat ke belakang sambil berseru nyaring dan tangan kanannya untuk sementara menjadi mati sehingga ia tidak dapat bertempur lagi!

“Ha ha, bagus, bagus!” Thian-te Lo-mo bersorak-sorak dari atas tiang penglari.

Para perwira yang melihat ini lalu menghujani am-gi (senjata rahasia) lagi kepada kakek itu yang masih saja mempergunakan kedua kakinya yang ongkang-ongkang untuk menendang semua senjata yang melayang ke arah tubuhnya. Akan tetapi regu panah mulai beraksi dengan anak panah mereka yang menyerang bagaikan hujan. Ia lalu menggunakan cambuknya yang diputar ke bawah dan semua anak panah kena dikebut runtuh kembali ke bawah!

Biarpun telah mengalahkan Ban Kong, namun Bu Tong Cu dan Lee Siat masih merupakan lawan berat bagi Tiong San sehingga pertempuran masih berjalan amat ramai dan serunya. Pada saat itu terdengar bentakan hebat dan dari luar melayang tubuh seorang tinggi kurus. Begitu ia menyerbu ke dalam pertempuran dan menggerakkan senjata di tangan kiri yang berupa kipas, ujung cambuk Tiong San kena dikebut dan ujungnya membalik terpental karena dorongan tenaga yang luar biasa!

Tiong San terkejut sekali dan melompat mundur menjauhi. Ketika ia memandang, ternyata yang datang ini adalah seorang perwira berusia kurang lebih lima puluh tahun yang memelihara jenggot panjang sampai ke dada. Tubuhnya tinggi kurus dan sepasang matanya juling, yakni manik matanya di kanan kiri berada di ujung mendekati hidung sehingga mata itu nampak lucu dan aneh, tidak tahu sedang memandang ke mana!

Inilah Im-yang Po-san Bu Kam, si Kipas Mustika Im-yang, jago istana kaisar yang menjadi seorang di antara perwira-perwira kelas satu. Senjata di tangannya adalah sepasang kipas berwarna putih dan hitam, gagang kipas terbuat daripada baja tulen dan permukaan kipas terbuat dari pada benang perak. Batang kipas yang terbesar di tangan kiri mempunyai ujung yang runcing dan sifat kipas inilah yang membuat senjata aneh itu disebut Im-yang Po-san atau Kipas Mustika Im-yang karena kipas ini mempunyai dua sifat yang bertentangan.

Kipas di tangan kiri berwarna hitam dan bersifat keras, sedangkan kipas di tangan kanan yang berwarna putih bersifat lemas. Ia dapat memainkan dua kipas ini dengan gerakan-gerakan yang berbeda dan berlawanan, dan orang yang dapat memainkan dua senjata di dunia dengan tangan dan tenaga yang berlainan, yakni tenaga gwakang (tenaga kasar) dan tenaga lweekang (tenaga lemas) atau yang disebut juga tenaga luar dan tenaga dalam, tentu saja dapat dibayangkan betapa tinggi dan lihainya ilmu kepandaiannya!

Jumlah perwira kelas satu di istana kaisar ada lima orang dan dalam hal permainan senjata, Bu Kam telah menduduki tempat tinggi, dan pengalaman bertempurnya yang sudah puluhan tahun itu membuat ia lebih tangguh lagi. Dulu, ketika Thian-te Lo-mo mengacau di istana dan kota raja, pernah Im-yang Po-san Bu Kam ini ikut mengeroyoknya dan pada waktu itu memang ia kalah menghadapi Thian-te Lo-mo.

Akan tetapi semenjak dikalahkan oleh kakek sakti itu, Bu Kam telah melatih diri dengan hebat sekali sehingga kini ilmu kipasnya jauh lebih tinggi dari pada dahulu. Ketika ia mendengar bahwa musuh besarnya membawa seorang murid datang lagi ke kota raja untuk mengacau, maka ia yang kebetulan berada di tempat penjagaan dan menerima laporan ini, segera datang membawa kipasnya dan sekali kebut saja ia berhasil membuat cambuk di tangan Tiong San terpental ujungnya!

Sementara itu, ketika Thian-te Lo-mo melihat gerakan kipas Bu Kam, ia maklum bahwa muridnya takkan kuat menghadapi para pengeroyoknya, maka ia lalu tertawa terkekeh-kekeh dan tubuhnya melayang turun dan tahu-tahu sudah berada di depan Im-yang Po-san Bu Kam.

“Ha ha, kipas mustikamu itu ternyata makin lihai saja!” katanya kepada Bu Kam yang memandang marah.

“Orang tua gila! Kau masih belum mati? Kerjamu hanya mengacau saja. Sungguh-sungguh orang gila yang patut dibasmi karena berbahaya!”

Mendengar ini, Thian-te Lo-mo tertawa makin keras dengan hati geli. “Memang, memang benar dan tepat sekali syair itu. Bu Kam, kau belum mendengar syair yang dikarang oleh muridku yang pandai ini? Dengar! 'Dunia penuh orang gila, yang waras disebut gila, yang gila merajalela

“Kau memang benar-benar gila dan miring otakmu, Thian-te Lo-mo!" kata Bu Kam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Memang, memang! Yang waras dimaki gila, demikianlah kelakuan orang gila! Im-yang Po-san! Kau lihat, kawan-kawanmu yang gila ini datang-datang berusaha keras untuk membunuh aku dan muridku. Hanya orang-orang gila saja yang dapat berbuat demikian!”

“Kau dan muridmu keduanya gila dan datang mengacau di gedung Ong-ya! Tentu saja kami berusaha menangkap atau membunuhmu!”

“Kami datang bukan mengacau! Aku hanya ingin menikmati dan mengagumi masakan dan hidangan pangeran Ong yang ternyata sama sekali tidak enak karena terbuat dari pada bahan-bahan yang buruk dan busuk! Muridku datang untuk menjewer telinga Ong Tai Kun yang ternyata terbuat dari bahan yang lemah dan buruk pula sehingga menjadi putus! Sudah menjadi bagiannya karena ia terlampau banyak mengumpulkan kembang-kembang di tamannya.

"Tidak perduli betapa kembang-kembang yang seharusnya mekar dan semerbak mengharum di tempat lain itu menjadi layu dan rusak di dalam tamannya yang kotor. Kau masih mau bilang bahwa kami berdua hendak mengacau? Ha ha ha! Kau lihat hanya jenggotmu yang makin panjang akan tetapi pikiranmu makin pendek dan sempit saja, Bu Kam!”

Bu Kam baru saja datang, tentu saja dia tidak mengerti maksud omongan kakek itu yang menyindir tadi sebelum ia datang, ia telah mendengar percakapan pangeran Ong Tai Kun dan pangeran Lu Goan Ong yang pada saat itu telah mendahului pulang ke gedungnya karena ketakutan. Maka kini mendengar ucapan kakek ini, ia membentak marah.

“Dasar orang gila, omongannya juga tidak keruan. Thian-te Lo-mo, kau menyerahlah untuk kutangkap bersama muridmu, agar kau mendapat pengadilan negeri yang selayaknya.”

“Kau mau menangkapku? Ha ha ha! Aneh, aneh! Bagaimana kau mau menangkapku, coba hendak kulihat!” kata Thian-te Lo-mo sambil mentertawakannya.

“Kalau tak dapat menangkap hidup-hidup, aku pasti berhasil menangkapmu dalam keadaan tidak bernyawa!” kata Bu Kam yang segera menyerang dengan kipas di tangan kirinya yang berwarna putih.

Thian-te Lo-mo maklum akan lihainya kipas putih ini yang jauh lebih lihai dari kipas hitam, maka ia mundur dua langkah menghindarkan diri dari serangan lawan, lalu menggerakkan cambuknya membalas serangan lawan. Cambuknya bergerak-gerak di udara dan melingkar-lingkar bagaikan ular, lalu meluncur ke arah kipas putih di tangan kanan Bu Kam dengan mengeluarkan suara keras.

Ujung cambuknya bertemu dengan batang kipas, bunga api memercik keluar dan Bu Kam merasa betapa tangannya agak gemetar! Diam-diam ia menarik napas panjang karena dari pertemuan senjata ini saja ia dapat mengetahui bahwa dalam hal tenaga lweekang ia masih harus mengaku kalah dengan kakek gila ini. Akan tetapi ia mengandalkan permainan kipasnya, maka ia lalu menerjang dan kedua kipas di tangannya bergantian melancarkan serangan kilat yang amat berbahaya.

Sambil terkekeh-kekeh Thian-te Lo-mo menghadapi serangannya ini dan tak lama kemudian dua orang berilmu tinggi ini saling serang dengan hebatnya. Yang luar biasa adalah sepasang kipas Im-yang Po-san Bu Kam, karena ia bergerak cepat dengan kedua kipas dikembangkan, maka di dalam ruangan itu angin menyambar-nyambar dengan hebat sehingga pakaian orang-orang yang berada di dekat tempat pertempuran itu berkibar-kibar!

Bu Tong Cu dan Lee Siat lalu membentak hebat dan maju mengeroyok Tiong San lagi sehingga kini pertempuran menjadi lebih hebat dari pada tadi. Para perwira hanya menonton dan tidak berani membantu, sedangkan Ban Kong yang memiliki kepandaian agak tinggi, sungguhpun kini totokan ujung pecut pada jalan darah yan-goat-hiat yang dilakukan oleh Tiong San tadi telah pulih kembali dan ia telah mengambil kembali ruyungnya, namun ia tidak berani maju lagi karena maklum bahwa tidak ada gunanya maju lagi setelah ia menerima pukulan tadi.

Ia maklum bahwa pemuda murid kakek gila itu tidak berniat jahat, oleh karena kalau pemuda itu mempunyai maksud membunuh, tentu sabetan cambuk yang merupakan totokan tadi dapat diperkeras dan nyawanya takkan tertolong lagi! Setelah orang berlaku murah hati tidak hendak membunuhnya, apakah setelah dikalahkan ia ada muka untuk maju lagi?

Setidaknya Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong adalah seorang gagah perkasa yang namanya telah menjulang tinggi dan ternama sekali sampai di seluruh bagian Tiongkok, maka tentu saja ia masih memiliki keangkuhan dan tidak mau berlaku rendah. Dengan bersungut-sungut ia duduk saja menonton pertempuran dengan pengharapan supaya kawan-kawannya dapat membalaskan kekalahannya.

Akan tetapi pengharapan itu sia-sia dan ia dikecewakan oleh kenyataan bahwa setelah pertempuran lebih lima puluh jurus, nampak nyata betapa Im-yang Po-san Bu Kam terdesak hebat oleh cambuk Thian-te Lo-mo. Memang kedua kakek ini mempunyai ilmu silat yang sama sifatnya, yakni keduanya berdasarkan sifat-sifat Im dan Yang. Ilmu cambuk Im-yang-joan-pian berhadapan dengan ilmu kipas Im-yang Po-san, akan tetapi ternyata bahwa ilmu kipas itu masih kalah lihai.

Memang, dalam menghadapi lawan yang kurang pandai, sepasang kipas Im-yang itu benar-benar hebat sekali karena angin kebutannya saja cukup menjatuhkan lawan. Akan tetapi apabila menghadapi lawan yang sama kuatnya, ternyata bahwa cambuk Im-yang lebih praktis.

Cambuk ini dengan tekanan tenaga lweekang dapat digerakkan sesuka hati, dapat dibikin lemas dapat dibikin keras dan pula mudah untuk merampas senjata lawan dan dipergunakan untuk penyerangan dari jarak jauh. Tingkat kepandaian Im-yang Po-san Bu Kam masih berada di bawah tingkat Thian-te Lo-mo yang benar-benar telah menduduki puncak yang tinggi.

Apabila ia menghadapi Tiong San, maka tentu akan terjadi pertempuran yang amat menarik dan ramai sekali. Memang, dalam perbandingan tenaga dan pengalaman, pemuda itu masih kalah jauh, akan tetapi ilmu cambuknya tidak kalah hebat oleh gurunya sendiri dan pemuda itu memiliki kecerdikan luar biasa sehingga dalam ilmu cambuknya, ia dapat menciptakan gerakan-gerakan Khusus yang timbul dari kecerdikan otaknya.

Buktinya, biar dikeroyok dua oleh dua orang perwira kelas dua dari istana kaisar, ia dapat melayaninya dengan amat baiknya, dan sama sekali tidak terdesak, walaupun harus diakui bahwa tidak mudah baginya untuk mengalahkan kedua orang lawannya itu.

Tiba-tiba terdengar suara gelak tertawa dari Thian-te Lo-mo dan ujung cambuknya telah berhasil melibat kedua kipas di tangan Bu Kam! Im-yang Po-san Bu Kam berdaya upaya untuk menarik kipasnya supaya terlepas dari libatan cambuk, akan tetapi tak berhasil!

Thian-te Lo-mo masih belum mengerahkan seluruh tenaganya, karena dengan tangan kanan ia menahan cambuknya dan kini sambil tersenyum-senyum walaupun tidak mengeluarkan suara, ia bertindak maju mendekati lawannya! Sambil maju, tiap langkah ia melibatkan cambuk pada pergelangan tangannya hingga dekat, cambuk itu makin pendek.

Im-yang Po-san Bu Kam terkejut sekali melihat betapa kakek yang lihai itu makin mendekatinya, akan tetapi ia tidak berdaya. Kedua tangannya memegang sepasang kipasnya dan ia tidak berani melepaskan kipas itu karena sekali melepaskan sebelah tangan, kipas itu keduanya tentu akan terampas. Maka ia tetap berdiri tegak sambil mempertahankan kedua kipasnya yang hendak dirampas.

Kini Thian-te Lo-mo telah berada di depannya dan kalau ia mau, dengan tangan kirinya yang bebas, dengan mudah saja ia akan dapat mencelakakan lawannya!

Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong yang melihat keadaan Bu Kam, menjadi terkejut dan khawatir, maka tanpa banyak pikir lagi ia melompat maju dan memukulkan ruyungnya pada kepala Thian-te Lo-mo dalam usaha menolong kawannya itu!

Akan tetapi, kakek itu lalu mempergunakan pangkal cambuknya yang kini bergantungan dari tangan kanan, gagang itu dipegang dengan tangan kiri dan disabetkan untuk menangkis ruyung yang menyambar kepalanya.

Ban Kong menjerit kesakitan karena ketika gagang cambuk itu beradu dengan ruyungnya, ruyungnya terpental keras dan gagang itupun terpental. Akan tetapi gagang cambuk terpentalnya aneh, bukan ke belakang, akan tetapi ke samping dan tepat menghantam pahanya!

Ban Kong merasa betapa paha kakinya seakan-akan remuk tulangnya dan tanpa dapat ditahan lagi ia terhuyung ke belakang, kemudian ia mundur dengan terpincang-pincang! Perwira yang sial ini untuk kedua kalinya mendapat pukulan dan sekali ini pahanya menjadi matang biru dan bengkak!

Setelah dapat merobohkan Te-sam Tai-ciangkun yang berlaku lancang itu, Thian-te Lo-mo lalu mengulurkan tangan kirinya dan mencengkeram jenggot Im-yang Po-san Bu Kam yang panjang sambil berkata, “Bu Kam, jenggotmu ini terlampau panjang, tidak pantas untukmu!”

Sambil berkata demikian, ia melakukan tarikan tiba-tiba yang keras dan “Brett!” jenggot yang panjang itu telah putus dan berada di tangannya! Ia lalu tertawa terpingkal-pingkal dan melompat mundur sambil melepaskan libatan ujung cambuknya pada dua kipas lawannya yang berdiri kebingungan dengan wajah pucat!

Thian-te Lo-mo melompat ke sana sini dan pada tiap meja yang masih penuh makanan, akan tetapi yang telah ditinggalkan oleh para tamu yang tadi duduk mengelilinginya, ia melemparkan beberapa helai jenggot itu sambil berkata,

“Pangeran Ong, hidanganmu buruk dan busuk! Kurang bumbu, kalau ditambah beberapa helai jenggot ini sebagai pengganti misoa, tentu lebih mendingan rasanya!” sebentar saja jenggot sekepal di tangannya itu habis beterbangan dan masuk ke dalam mangkok-mangkok yang penuh masakan di atas beberapa meja itu! Masih saja kakek itu tertawa-tawa senang, lalu berkata kepada muridnya yang masih bertempur seru melawan Bu Tong Cu dan Lee Siat,

“Anak gendeng, kau masih saja bergembira dan bermain-main? Ayo kita pergi, lebih baik kita mencari makanan di dapur kaisar, tentu banyak hidangan lezat!” Setelah berkata demikian, tubuhnya melesat dan tahu-tahu ia telah menarik tangan Tiong San diajak melompat keluar dan terus melayang ke atas genteng!

Semua perwira, terutama Bu Tong Cu, Lee Siat, dan Bu Kam sebagai perwira-perwira yang berpangkat si-wi atau pengawal istana, merasa terkejut sekali mendengar ucapan ini karena mereka menduga bahwa kakek gila itu tentu akan mengacau di istana!

Dan hal ini adalah tanggung jawab mereka, di samping perwira-perwira lain di istana. Maka mereka tidak mau memperdulikan lagi urusan di gedung pangeran Ong itu dan segera melompat keluar pula untuk secepat mungkin kembali ke istana membuat persiapan untuk menjaga istana kaisar dari gangguan orang-orang gila itu!

Sementara itu, setelah berada di atas genteng bersama suhunya, Tiong San merasa puas akan apa yang telah ia lakukan. Dengan memberi hukuman potong telinga, ia merasa yakin bahwa pangeran Ong Tai Kun akan merasa kapok untuk mengganggu anak bini orang lain dan ia merasa puas melihat betapa pelajaran yang telah dipelajari dan dilatihnya dengan tekun dan susah payah ternyata tidak mengecewakan.

Akan tetapi, hatinya masih berdebar kalau ia teringat kepada Khu Sin dan Thio Swie, kedua sahabat karibnya itu. Tadi pangeran Lu Goan Ong menyebut nama mereka, maka ia menduga bahwa kedua kawannya itu pasti masih berada di kota raja, dan menurut percakapan mereka dahulu setelah bertemu dengan pangeran Lu, banyak kemungkinan kedua sahabatnya itu kini mempunyai hubungan dengan pangeran itu!

Ia teringat pula betapa Thio Swie dulu tergila-gila kepada seorang gadis cantik bernama Siu Eng yang dulu berada pula di perahu pangeran Lu! Timbul keras keinginan hatinya untuk mencari dan menjumpai kawan-kawannya yang telah lama tidak dilihatnya itu.

“Suhu, kita sekarang akan ke mana?”

“Bodoh, perutku lapar sekali! Aku hendak makan di dapur kaisar!”

Akan tetapi Tiong San tidak mempunyai nafsu untuk makan besar pada saat itu. “Suhu, teecu tidak ingin makan hidangan yang lezat-lezat! Melihat masakan sekian banyaknya di gedung tadi, teecu sudah merasa kenyang!”

Suhunya tertawa geli dan berkata, “Kalau begitu, biar aku sendiri yang makan di sana.”

“Teecu ingin sekali mencari dua orang kawan teecu yang berada di kota raja. Suhu tentu masih ingat kedua kawan teecu yang dulu kipas dan syairnya juga suhu ambil!”

“Huh! Pelajar-pelajar dan pelamun-pelamun itu! Syair-syairnya aku tidak suka! Mereka membuat syair seperti orang mimpi atau seperti seorang wanita yang merengek-rengek mengagumi pakaian indah! Anak-anak muda seperti itu tidak ada gunanya, aku tidak mau bertemu dengan mereka!” suhunya mencela.

“Akan tetapi mereka adalah sahabat-sahabat karib teecu semenjak kecil, teecu merasa rindu kepada mereka.”

“Huh!” Suhunya mencela pula. “kau benar-benar sudah gila lagi seperti mereka. Baik, kau carilah, kemudian setelah gilamu sembuh, kau boleh menyusul aku ke dapur istana kaisar!”

Setelah berkata demikian, sambil tertawa-tawa senang Thian-te Lo-mo lalu melompat pergi dengan cepat meninggalkan muridnya.

* * *

Khu Sin dan Thio Swie, dua orang pemuda sekampung yang menjadi sahabat karib Tiong San semenjak mereka bertiga masih kecil, dengan rajin dan giat melanjutkan pelajaran mereka di kota raja. Kedua pemuda ini sama-sama mempunyai cita-cita tinggi untuk menjadi pembesar yang menduduki pangkat mulia, sesuai dengan cita-cita dan pengharapan orang tua mereka.

Akan tetapi pada masa itu, kepandaian tidak menjadi ukuran bagi orang yang hendak memperoleh kedudukan tinggi. Betapapun pandai seseorang, tanpa perantara yang cukup berpengaruh, kuat dan berkedudukan tinggi, ia takkan berdaya untuk mmperoleh pangkat yang kecilpun. Dan untuk dapat mendekati seorang perantara yang berpengaruh, amat dibutuhkan harta benda sebagai syarat terutama.

Oleh karena itu pada masa itu, banyak sekali kaum cerdik pandai dan cendekiawan, pada pergi mengasingkan diri oleh karena selain kecil sekali harapan mereka untuk dapat bekerja pada pemerintah sebagai seorang pembesar sipil, juga mereka merasa muak melihat keadaan pemerintah yang amat buruk itu.

Dan dengan adanya gejala-gejala penyuapan dan penyogokan yang merajalela di kalangan para pembesar, maka jabatan-jabatan jatuh ke dalam tangan orang-orang yang tidak cakap sama sekali sehingga akibatnya, kemerosotan akhlak makin menjalar luas di kalangan para pejabat.

Untuk mendapatkan pangkatnya, seorang pejabat telah mengeluarkan banyak uang guna menyuap para atasan, maka setelah akhirnya berhasil mendapatkan pangkat itu, tentu saja ia berusaha sekuatnya untuk dapat menarik kembali “modal” yang telah dikeluarkan tadi dengan jalan korupsi besar-besaran dan pemerasan kepada rakyat sekehendak hatinya...!

Jilid selanjutnya,