Pendekar Gila Dari Shantung jilid 07 karya Kho Ping Hoo - SEMENTARA itu, biarpun si perwira hanya mengeluarkan seruan perlahan, agaknya si kakek gila itu telah mendengarnya, maka ia mengangkat kepala dan berkata,

“Eh, perwira gila, kau hendak makan? Ini, terimalah sepotong daging ikan panggang!” Sambil berkata demikian, ia melemparkan sepotong daging ke arah perwira itu yang menyambutnya dengan tangan kanan.
Ia terkejut sekali karena tangannya menjadi gemetar dan seakan-akan menjadi setengah lumpuh ketika daging itu tiba di telapak tangannya. Ia menjadi jerih karena maklum bahwa kakek gila itu tak boleh dibuat permainan. Iapun tidak mau menghinanya, maka sambil berkata, “Terima kasih!” Ia lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ.
Ketika ia bertemu dengan Liong Ki Lok dan Liong Bwee Ji yang mengejar ke situ, ia berkata, “Liong Ki Lok, kalau dalam tiga hari kau tidak datang ke kota raja bersama puterimu, aku akan mendatangi dusun Bi-lu-siang dan membunuh semua keluargamu!”
Setelah berkata demikian, Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong lalu lari secepatnya meninggalkan tempat di mana untuk pertama kalinya selama ia hidup ia menderita kekalahan yang amat memalukan dan menjatuhkan namanya yang terkenal!
Liong Ki Lok menjadi pucat mendengar ucapan itu dan ia lalu memegang lengan puterinya. “Celaka, ia telah tahu tempat sembunyi ibumu dan adik-adikmu!”
Gadis itu tak menjawab, hanya menjadi amat berduka dan air mata memenuhi kedua matanya dan datang di tempat di mana Thian-te Lo-mo dan muridnya sedang makan daging ikan panggang. Orang-orang yang tadi menonton juga sudah tiba di tempat itu dan memandang kepada kedua orang aneh itu dengan penuh kekaguman.
Sementara itu, Liong Ki Lok setelah tiba di dekat mereka lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Ji-wi inkong (tuan-tuan penolong), siauwte Liong Ki Lok berdua anak menghaturkan hormat.” Juga Liong Bwee Ji ikut berlutut di dekat ayahnya.
Thian-te Lo-mo tertawa terpingkal-pingkal karena geli hatinya melihat hal ini. “Eh, anak gendeng, dari mana kau membawa badut-badut lucu ini? Ha ha ha!” kemudian ia berkata kepada Liong Ki Lok, “Orang gila, apakah aku dan muridku ini telah menjadi kaisar dan pangerannya, maka kau dan anakmu berlutut, menyembah kami?”
Liong Ki Lok tidak memperdulikan suara ketawa geli dari para penonton melihat lagak orang tua ini yang ternyata lebih gila lagi. Bahkan ia lalu mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata, “Siauwte ayah dan anak telah menerima pertolongan siauw-enghiong (orang gagah muda), maka sengaja datang hendak menyatakan terima kasih!”
Tiong San telah ketularan adat suhunya dan ia tidak memperdulikan segala macam upacara, dan juga membenci sekali kalau ada orang bersopan-sopan terhadap dirinya. Sungguhpun melihat penghormatan orang ini ia segera membalasnya. Ia menggeser tempat duduknya dan kini iapun tiba-tiba berlutut didepan Liong Ki Lok sehingga menimbulkan pemandangan yang amat ganjil.
Dua orang saling berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kembali para penonton tertawa, sedangkan Liong Ki Lok dan puterinya makin merasa heran karena kini merekapun merasa ragu-ragu dan menyangka bahwa dua orang itu benar-benar adalah orang-orang gila!
“Orang she Liong,” kata Tiong San yang teringat akan kata-kata Ban Kong, “Apakah kau sudah menjadi gila? Guruku bukan kaisar dan akupun bukan pangeran. Maka pergilah kau dan anakmu kepada Ongya yang patut kau sembah-sembah! Pergilah!” Sambil berkata demikian ia melemparkan tulang ikan di depan Liong Ki Lok yang menjadi terkejut sekali karena tulang-tulang ikan itu ketika dilempar telah menancap pada batu karang di depannya!
Ia mengangguk-anggukkan kepala lagi, “Sedikitnya, kalau inkong tidak mau diganggu, beritahukanlah nama inkong kepada kami agar kami takkan dapat melupakannya,” katanya dengan amat kecewa.
“Namanya?” tiba-tiba kakek gila itu berkata sambil tertawa terkekeh-kekeh. “Namanya adalah orang waras dan kalian adalah orang-orang gila. Ha ha ha!”
Akan tetapi Tiong San yang merasa bahwa kalau tidak diberi jawaban orang ini akan berkeras dan tidak mau pergi, lalu berkata, “Aku berada di tempat ini, maka namaku adalah Orang gila dari Shan-tung.”
Mendapat jawaban yang berbelit-belit ini, Liong Ki Lok menarik napas panjang. “Sudahlah, inkong tidak mau menolong kami. Apa boleh buat, biarlah kami mati di depan Ongya di kota raja! Memang di dunia ini banyak sekali orang-orang aneh yang berhati batu. Inkong mengaku orang Shan-tung, baik kami sebut Shan-tung Tai-hiap saja.”
Tiong San tidak menjawab, hanya melanjutkan makan daging ikan panggang. Sedangkan suhunya tertawa gelak-gelak. “Shan-tung tai-hiap? Ha ha ha, apakah kau hendak membikin muridku menjadi gila seperti kalian? Ha ha ha!”Juga Tiong San tertawa seperti suhunya. Kemudian mereka berdua berdiri dan meninggalkan tempat itu sambil tertawa-tawa geli melihat penghormatan tadi.
Liong Ki Lok dan Liong Bwee Ji saling pandang dan menjadi kecewa dan berduka sekali. Terpaksa mereka harus kembali ke kota raja karena kalau tidak, bahaya besar mengancam keselamatan keluarga mereka.
Sementara itu, para penonton yang melihat peristiwa itu dan yang tiada habisnya mengagumi kegagahan Tiong San, lalu menyebut pemuda itu sebagai Shan-tung Koay-hiap atau pendekar ajaib dari Shan-tung, mengingat akan wataknya yang gila-gilaan dan aneh dari pemuda itu.
Liong Ki Lok adalah seorang guru silat di kota raja yang ternama juga, oleh karena ilmu silatnya memang cukup tinggi. Ia menerima murid-murid dengan pembayaran sekedarnya dan nafkah hidupnya tergantung dari pembayaran para muridnya itu.
Biarpun ia tidak dapat hidup dengan mewah dan kaya dari penghasilan ini, akan tetapi ia sudah hidup berbahagia dengan isteri dan ketiga orang anaknya. Anaknya yang sulung perempuan, yaitu Liong Bwee Ji, dan anak kedua dan ketiga masih kecil-kecil, pada waktu itu baru berusia empat dan enam tahun. Bwee Ji sudah berusia enam belas tahun dan semenjak kecil Bwee Ji mendapat latihan silat dari ayahnya sehingga iapun memiliki ilmu silat yang cukup lumayan.
Di dalam kota raja tinggal banyak pembesar-pembesar yang masih terhitung keluarga kaisar dan mereka ini disebut pangeran-pangeran. Sebagian besar dari para pangeran ini berlagak lebih tinggi dari pada kaisar sendiri dan mereka mempergunakan pengaruh, kedudukan, dan kekayaan untuk melakukan segala macam perbuatan yang kalau dilakukan oleh penduduk biasa, maka pelakunya akan dicap penjahat. Akan tetapi siapakah yang berani menyebut penjahat kepada pangeran dan pembesar tinggi itu?
Di antara para pangeran yang berpengaruh ini terdapat seorang pangeran bernama Ong Tai Kun atau biasa disebut oleh para penjilatnya sebagai Ong-ya. Pangeran Ong ini belum tua benar, usianya masih kurang dari empat puluh dua tahun. Akan tetapi pengaruhnya amat besar, oleh karena selain berpengaruh di dalam istana kaisar sebagai keluarga dekat, iapun amat kaya raya dan memelihara banyak perwira-perwira yang kosen dan berkepandaian tinggi.
Para perwiranya bukanlah ahli-ahli silat biasa. Akan tetapi telah menduduki tingkat ketiga dari semua perwira-perwira yang kosen dari kerajaan! Di antara para perwiranya ini ialah Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong dan masih banyak lagi perwira-perwira lain. Terutama sekali, ia amat terkenal dan ditakuti oleh karena selain dikawal oleh banyak perwira lihai, Ong Tai Kun sendiri juga seorang ahli silat yang tidak rendah ilmu kepandaiannya.
Ia pernah belajar silat sampai enam tahun lamanya di puncak bukit Kun-lun, sehingga ia boleh disebut sebagai anak murid Kun-lun-pai yang lihai dan ilmu pedangnya yang asli dari Kun-lun-pai merupakan kepandaiannya yang istimewa. Tentu saja para tokoh Kun-lun-pai yang tadinya tidak tahu bahwa pemuda bernama Ong Tai Kun itu adalah seorang pangeran, merasa menyesal sekali ketika mendengar akan sepak terjang pangeran itu yang jahat. Akan tetapi apakah yang dapat mereka perbuat?
Kedudukan Ong Tai Kun amat tinggi dan mengganggu dia berarti akan berhadapan dengan para perwira kerajaan, bahkan mungkin sekali akan berhadapan dengan tentara negeri. Dan para tokoh Kun-lun-pai tidak begitu bodoh untuk membentur karang yang demikian kuatnya.
Selain ditakuti orang, juga diam-diam Ong Tai Kun amat dibenci oleh karena di samping kejahatan lain dan pemerasan untuk memperkaya diri sendiri, pangeran ini terkenal sebagai seorang hidung belang atau mata keranjang. Banyak sudah gadis-gadis manis di kota dan di dusun-dusun sekitar kota raja menjadi korban kecabulannya.
Ia telah memelihara banyak selir, dan berkali-kali mengganti selir lama dengan yang baru. Yang paling menjemukan, setelah ia merasa bosan kepada seorang selir, maka wanita yang malang nasibnya itu lalu dijual dengan paksa kepada seorang pengurus rumah pelacuran dan selanjutnya nasib wanita itu terjerumus ke dalam jurang kehinaan yang akan membawa mereka kepada kesengsaraan sampai hayat meninggalkan badan!
Tidak heran apabila semua orang yang mempunyai gadis cantik merasa amat takut kepada pangeran keparat ini, dan dimana saja pangeran itu berada, para orang tua lalu cepat-cepat menyembunyikan anak perempuannya agar jangan sampai mata pangeran itu melihatnya.
Karena sekali saja mata pangeran itu memandang dan hatinya tertarik, dengan jalan apapun juga, pasti ia akan dapat merampas gadis itu, baik dengan jalan halus menggunakan uang atau dengan jalan kasar menggunakan pengaruh dan tenaga para pengawalnya.
Akan tetapi pangeran Ong tidak kurang akal, karena ia maklum bahwa sukar baginya untuk dapat melihat sendiri gadis-gadis cantik yang bersembunyi di dalam kamar rumahnya, maka ia mempunyai banyak mata-mata yang memang sengaja mencari kesempatan untuk mempergunakan kelemahan hati pangeran Ong terhadap paras cantik untuk mengeduk keuntungan sebesar-besarnya.
Mereka inilah yang selalu mempersiapkan persediaan calon-calon korban baru untuk pangeran itu. Dan diam-diam mereka mencari-cari dan menyelidiki di mana adanya seorang perawan yang cukup cantik dan yang kiranya dapat dijadikan calon korban pangeran itu!
Di antara para penyelidik ini terdapat seorang yang bernama Ma Cin yang menjadi sombong karena merasa menjadi orang kepercayaan pangeran Ong, sehingga di dalam kampungnya ia disegani oleh para tetangga karena mereka kenal bahwa orang ini adalah orang kepercayaan Ongya!
Pada suatu hari Ma Cin membawa seorang puteranya yang telah berusia sebelas tahun ke rumah perguruan Liong Ki Lok. Dengan lagak yang sombong, ia memberitahukan kepada penjaga pintu bahwa ia hendak bertemu dengan Liong-kauwsu. Liong Ki Lok menerima kedatangan tamu ini dengan ramah-tamah sebagaimana telah menjadi adatnya.
“Liong-kauwsu,” kata Ma Cin setelah tuan rumah mempersilakan ia duduk dan menanyakan maksud kedatangannya. “Kedatanganku ke sini ialah hendak minta kau mengajar silat kepada puteraku ini. Berapa saja bayarannya takkan kutolak.”
Liong Ki Lok tidak memperdulikan sikap yang sombong ini, akan tetapi dengan mata tajam memandang anak laki-laki itu. Anak itu bertubuh tinggi besar, bermulut lebar dan sepasang mata yang sipit memperlihatkan sinar yang tak menyenangkan hatinya. Dalam hal memilih murid, Liong Ki Lok memang amat teliti dan tak sembarangan anak dapat diterima menjadi muridnya tanpa diuji dulu. Maka ia lalu berkata,
“Saudara Ma, tentang pembayaran adalah urusan belakang. Akan tetapi yang paling perlu hendak kulihat dulu apakah anakmu ini mempunyai bakat untuk menjadi ahli silat.”
“Tentu saja ia berbakat!” seru Ma Cin. “Di kampung kami, tak ada anak lain yang berani kepadanya dan tiap kali ia berkelahi, ia tentu memukul lawannya sampai matang biru!” Ma Cin tidak menceritakan bahwa di kampungnya memang tidak ada yang berani mengganggu anaknya karena takut kepadanya.
Liong Ki Lok tersenyum, lalu berkata, “Hendak kulihat buktinya. Marilah kita pergi ke Lian-bu-thia (tempat berlatih silat).”
Ketika mereka pergi ke Lian-bu-thia di sebelah belakang rumah, di situ terdapat Bwee Ji sedang berlatih silat dengan dua orang murid Liong Ki Lok yang masih kecil. Memang seringkali Bwee Ji yang kepandaiannya sudah tinggi itu membantu pekerjaan ayahnya dan melatih murid-murid ayahnya itu.
Ma Cin tercengang melihat kecantikan Bwee Ji. Tak pernah disangkanya bahwa guru silat ini mempunyai seorang puteri demikian cantiknya dan diam-diam ia memuji dalam hatinya. Sementara itu, melihat betapa mata tamu itu ditujukan kepadanya dengan kagum, Bwee Ji lalu menghentikan latihan murid ayahnya dan masuk ke dalam. Sedangkan dua orang murid itu agaknya tahu bahwa anak Ma Cin adalah murid baru, maka mereka memandangnya dengan tersenyum-senyum.
Liong Ki Lok lalu membawa anak Ma Cin ke dalam “ruang ujian ketabahan”. Setiap anak yang hendak menjadi muridnya, lebih dulu diuji di ruang ini. Anak Ma Cin disuruh masuk ke dalam ruang kecil itu dan tiba-tiba Liong Ki Lok berseru, “Awas!” sambil menarik tali yang digantung Koay-hiapan pada sebuah paku besar. Ketika tali itu dilepasnya dari gantungan, tiba-tiba dari atas turun sebuah karung besar yang agaknya berisi benda berat, hendak jatuh menimpa kepala anak itu.
“Celaka... anakku....!” Ma Cin berseru keras dan anak itu menjadi pucat sekali lalu berlari keluar dengan tubuh menggigil lalu menangis!
Kedua orang murid Liong Ki Lok tertawa cekikikan melihat hal ini dan ketika Ma Cin memandang ke arah karung berat itu, ternyata bahwa karung itu tidak terus jatuh. Melainkan tergantung dan tertahan oleh tali yang kuat hingga kini bergoyang-goyang.
Memang karung yang dijatuhkan dari atas seakan-akan hendak menimpa kepala anak itu hanya untuk menguji sampai di mana ketabahan hati anak yang hendak belajar silat. Menurut pandangan Liong Ki Lok, seorang yang mempelajari ilmu menjaga diri yang terutama harus memiliki ketenangan dan ketabahan hati.
Betapa pun tinggi ilmu silatnya, akan tetapi kalau hatinya tidak tabah dan tenang, maka dalam sebuah pertempuran yang sungguh-sungguh, ilmu silatnya takkan banyak berguna dan akan menjadi kacau-balau karena kegugupan dan ketakutannya. Ia tidak mau menerima anak-anak penakut menjadi muridnya. Karena tidak mau kalau kelak namanya dirusak oleh murid yang penakut atau pengecut.
Melihat betapa anak ini ketakutan, lari dan menangis dengan tubuh gemetar, Liong Ki Lok menggeleng-gelengkan kepala dan berkata kepada Ma Cin yang masih memandang pucat dan kini mengelus-elus kepala puteranya untuk menghiburnya.
“Saudara Ma, kau lihat sendiri, anakmu tidak berbakat dan lebih baik jangan memberi pelajaran silat kepadanya. Ia lebih tepat diberi pelajaran bun (kesusasteraan) dari pada bu (kegagahan).”
Ma Cin menjadi penasaran sekali. “Akan tetapi dia tidak maju dalam pelajaran ilmu surat, dan karenanya maka aku bawa dia ke sini untuk belajar silat kepadamu!”
Liong Ki Lok tersenyum. “Kalau dalam ilmu kesusasteraan dia juga tidak berbakat, maka sulitlah untuk mencari kemajuan baginya.” Ucapan ini dikeluarkan dengan sejujurnya.
Akan tetapi bagi Ma Cin dianggapnya sebagai penghinaan. “Kau kira anakku benar-benar penakut? Kurasa ia takkan kalah oleh anak-anak seperti...” ia menengok kepada dua orang anak laki-laki yang masih berdiri sambil tertawa-tawa di pinggir, “Seperti... dua tikus kecil itu!”
Kemudian dengan muka merah karena marah Ma Cin berkata kepada anaknya, “Kau tentu berani melawan anak-anak itu? Pukul mereka!”
Anaknya memandang dan melihat bahwa dua orang anak kecil itu lebih kecil darinya dan paling banyak usianya baru delapan atau sembilan tahun. Di kampungnya, anak-anak yang lebih besarpun tidak berani mengganggunya.
Ia tidak tahu bahwa orang-orang tua anak-anak di kampungnya memang melarang anak-anak mereka untuk bermusuhan atau berkelahi dengan anak Ma Cin. Maka kini dengan sombongnya ia lalu melangkah maju ke arah dua orang anak kecil yang masih tertawa-tawa itu.
Liong Ki Lok yang melihat hal ini tidak mencegahnya, hanya tersenyum memandang sambil berdiri bertolak pinggang. Orang ini dan anaknya memang perlu diberi sedikit ajaran agar kesombongan mereka berkurang, pikirnya.
Anak Ma Cin menghampiri dua orang anak kecil itu dan melihat sikapnya, kedua orang anak kecil itu maklum bahwa anak ini hendak memukul mereka.
“Biar aku menghadapinya,” kata yang seorang, yang lebih kecil. Akan tetapi yang mempunyai sepasang mata tajam dan bersinar tabah. Kawannya lalu menjauhkan diri dan duduk menonton dengan muka berseri.
“Kau mau apa?” tanya anak kecil itu pada anak Ma Cin sambil berdiri.
“Mau pukul kepalamu!” kata anak Ma Cin yang biasa mengucapkan kata-kata ini di kampungnya.
Anak kecil itu tertawa. “Kau yang tadi menangis ketakutan ini berani pukul orang? Ha ha, hi hi!”
Anak Ma Cin marah sekali. Akan tetapi ayahnya lebih marah lagi. “A Kin, pukul dia!” katanya.
Anaknya lalu mengangkat tangan memukul kepala anak kecil itu. Akan tetapi dengan sigapnya anak itu miringkan tubuhnya, mengulurkan tangan menangkap pergelangan tangan yang memukulnya dan sekali ia menarik ke depan, anak Ma Cin terjerumus ke depan dan hidungnya menumbuk lantai hingga berdarah.
Ia berdiri marah dan memukul lagi, belum tahu kalau hidungnya berdarah. Akan tetapi sekali ini ia didahului dengan tendangan pada dadanya yang membuat ia jatuh terjengkang dan belakang kepalanya terbentur lantai yang keras, sehingga menjadi bengkak sebesar telur ayam dan terasa sakit sekali.
Anak itu merayap bangun dan meringis kesakitan dan ketika darah dari hidungnya menetes turun mengenai bajunya, ia merasa kaget sekali lalu menangis keras!
Anak kedua yang menonton tertawa gelak-gelak dan bersorak-sorak girang karena kemenangan kawannya. Dan pada saat itu Bwee Ji yang mendengar sorakan ini muncul keluar. Ma Cin marah sekali dan maju hendak memukul anak kecil yang telah menjatuhkan anaknya. Akan tetapi Bwee Ji menghadapinya dan menjura,
“Anak kecil berkelahi dengan anak kecil sudah selazimnya dan tak perlu orang-orang tua ikut campur,” katanya.
Ma Cin mundur kemalu-maluan, sedangkan Bwee Ji lalu berkata kepada Liong Ki Lok, “Ayah, mengapa ayah diamkan saja anak-anak ini berkelahi?”
“Anak saudara Ma ini hendak berlagak jagoan dan biarlah ia memperlihatkan sendiri bahwa ia tidak berbakat untuk belajar silat.”
Sambil menahan marahnya karena tidak berdaya melampiaskan kegemasannya, Ma Cin berkata kepada Liong Ki Lok. “Liong-kauwsu. Kau telah menghina aku dan anakku. Baik, kau tunggulah saja dan kau akan tahu bahwa aku orang she Ma adalah orang yang tidak boleh dibuat permainan!”
Kemudian dengan bersungut-sungut ia lalu pegang tangan anaknya dan menariknya pergi dari situ, diikuti oleh gelak tawa kedua orang anak kecil murid Liong Ki Lok itu.
Liong Ki Lok dan puterinya sama sekali tak pernah menyangka bahwa peristiwa ini akan berbuntut panjang dan akan mendatangkan malapetaka bagi keluarganya. Ia telah mulai melupakan peristiwa dengan orang she Ma itu ketika pada suatu hari datang utusan dari pangeran Ong Tai Kun yang mengajukan lamaran kepada Bwee Ji untuk dijadikan bini muda pangeran itu!
Liong Ki Lok sudah tahu akan pengaruh pangeran Ong. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau mengorbankan puterinya menjadi bini muda pangeran itu. Karena maklum bahwa hal itu akan menjerumuskan puterinya ke dalam lembah kesengsaraan. Juga Bwee Ji tidak sudi menerima pinangan ini.
Dengan halus ia menolak pinangan itu dan minta kepada utusan pangeran Ong agar supaya pangeran itu suka memberi maaf, oleh karena puterinya telah dipertunangkan dengan pemuda lain. Hal ini sebenarnya hanyalah alasan penolakan belaka oleh karena sesungguhnya Bwee Ji belum mempunyai tunangan. Utusan itu pulang setelah menyatakan kekhawatirannya atas penolakan ini.
Dan pada keesokan harinya, datanglah Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong di rumah Liong Ki Lok. “Orang she Liong,” kata perwira itu dengan lagak sombong. “Kau berani sekali menolak pinangan Ongya. Boleh jadi kau adalah seorang guru silat yang ditakuti orang, akan tetapi apakah kau hendak mengandalkan kepandaianmu untuk menentang kehendak Ongya?”
“Bukan demikian, Tai-ciangkun,” kata Liong Ki Lok menahan sabar. “Akan tetapi seperti telah kuberitahukan kepada utusan Ongya, anakku Bwee Ji telah dipertunangkan dengan pemuda lain, sehingga terpaksa kami tak dapat menerima kebaikan budi Ongya.”
Ban Kong tersenyum sindir. “Biasanya hal itu hanyalah digunakan sebagai alasan kosong belaka. Akan tetapi baiknya Ongya sedang sabar, sehingga ia mau percaya kepada omonganmu ini.
Akan tetapi, dalam dua pekan, kau harus sudah mengundang Ongya untuk menghadiri pernikahan puterimu. Kalau tidak, maka hal itu membuktikan bahwa alasanmu hanya alasan palsu belaka dan Ongya tidak senang sekali kalau ada orang mempermainkannya!”
“Akan tetapi, ciangkun...”
“Tidak ada tapi lagi, kau harus dapat mengundang Ongya dan aku datang minum arak pengantin. Kalau tidak.....”
Pada saat itu, Bwe Ji yang telah sejak tadi mendengarkan dari balik tirai, tak dapat menahan sabarnya lagi dan melompat keluar dengan pedang di tangan. “Biarpun kau seorang perwira, siapakah yang takut kepadamu? Kau ikut-ikut mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Apakah kau sudah bosan hidup?”
Akan tetapi, ketika melihat munculnya gadis jelita itu, Ban Kong memandang dengan tercengang, lalu tersenyum senang dan berkata, “Ha ha ha! Benar saja cantik jelita! Ma Cin memang mempunyai mata yang tajam. Kau memang pantas sekali duduk di samping Ongya sebagai seorang tercinta, nona....”
“Bangsat bermulut kotor!” Bwee Ji membentak marah dan melompat maju, menyerang dengan pedangnya. Ayahnya hendak mencegah tidak keburu lagi. Akan tetapi Ban Kong ternyata luar biasa lihainya. Diserang secara hebat itu, ia menahan tertawa geli dan sekali kedua tangannya bergerak, ia telah merampas pedang Bwee Ji...!
Ia lalu menggerakkan tangannya dan pedang yang terampas itu meluncur cepat sekali bagaikan sebatang anak panah dan menancap di tiang penglari sampai setengahnya lebih. Gagang pedang bergoyang-goyang dan kembali terdengar suara ketawa ha ha hi hi dari Ban Kong.
“Liong Ki Lok, pedang itu akan menancap pada dadamu kalau dalam dua pekan kau tidak melakukan satu di antara dua hal ini, yaitu mengirim undangan minum arak untuk menyaksikan pernikahan puterimu. Atau kalau tidak, mengirimkan puterimu kepada Ongya agar dapat hidup mewah dan berbahagia di samping Ongya!” Setelah berkata demikian, dengan langkah sombong perwira kosen itu meninggalkan Liong Ki Lok dan puterinya yang berdiri pucat.
Melihat gerakan Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong ketika merampas pedang anaknya, Liong Ki Lok maklum bahwa ia bukan tandingan perwira kosen itu. Dan iapun maklum bahwa selain Ban Kong, masih banyak orang-orang tangguh yang bekerja di bawah perintah pangeran Ong Tai Kun, sedangkan pangeran Ong sendiri memiliki kepandaian yang tinggi. Maka ia menjadi sedih sekali dan berdiri bengong dengan wajah pucat tanpa dapat berkata sesuatu.
Bwee Ji melihat keadaan ayahnya, tanpa berkata sesuatu dapat maklum akan bencana yang mengancam mereka, maka dengan perlahan ia mulai menangis. “Ayah.... bagaimana baiknya... ayah....?”
Liong Ki Lok menarik napas panjang dan mengajak puterinya masuk kedalam rumah untuk merundingkan perkara itu dengan isterinya. Setelah berunding panjang lebar dan secara mendalam akhirnya Liong Ki Lok mengambil keputusan dan berkata kepada isteri dan puterinya,
“Hanya ada dua jalan untuk menyelamatkan diri,” katanya dengan suara berat. Pertama aku harus mencarikan jodoh yang cocok untuk Bwee Ji, seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi hingga dapat membantu kita menghadapi gangguan pangeran Ong. Atau mengajak Bwee Ji merantau dan mencarikan menantu dengan jalan mempertunjukkan kepandaian silat. Mudah-mudahan sebelum dua pekan, Thian akan menunjukkan seorang calon jodoh yang sesuai dengan anakku.”
“Akan tetapi, bagaimana kalau dalam waktu itu tidak bertemu dengan seorang calon menantu yang sesuai?” tanya isterinya, sedangkan Bwee Ji hanya terdengar menangis terisak-isak.
“Kalau demikian halnya, terpaksa kita harus melarikan diri dan bersembunyi!”
“Akan tetapi, ayah,” kata Bwee Ji. “Kalau aku dan ayah lari, bagaimana dengan nasib ibu dan adik-adikku?”
“Oleh karena itu, maka sebelum kau dan aku berangkat, ibumu serta kedua adikmu harus disembunyikan lebih dulu!”
Selanjutnya, Liong Ki Lok lalu mengatur dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia mengantar isteri dan kedua orang anaknya yang masih kecil pergi dan bersembunyi di dusun Bi-lu-siang dan tinggal untuk sementara waktu di rumah seorang pamannya yang menjadi petani di dusun itu.
Kemudian ia mengajak Bwee Ji merantau ke selatan untuk mencarikan jodoh bagi puterinya itu, sehingga ia dan anak gadisnya tiba di Shan-tung dan membuka pertunjukan silat di dekat danau Taming dan bertemu dengan Tiong San yang berhasil mengusir Te-sam Tai-ciangkun Ban Kong.
Liong Ki Lok sama sekali tidak pernah menyangka bahwa ia telah diikuti selalu oleh mata-mata pangeran Ong. Bahkan dari ancaman yang dikeluarkan oleh Ban Kong, ia maklum bahwa tempat sembunyi isteri dan dua orang anaknya telah diketahui pula oleh perwira itu!
Liong Ki Lok merasa sedih dan putus harapan. Tadinya ia hendak berlaku nekat mendatangi gedung pangeran Ong untuk mengamuk. Akan tetapi sambil menangis tersedu-sedu Bwee Ji menahannya dan berkata,
“Ayah, jangan, ayah! Ingatlah bahwa di sana masih ada ibu dan dua orang adikku. Bagaimana nasib mereka kalau kau berlaku nekat?”
"Akan tetapi aku tidak bisa mengorbankan dirimu!”
“Akupun lebih baik mati dari pada menjadi bini muda pangeran keparat itu. Akan tetapi lebih baik mengorbankan jiwa seorang untuk menolong empat orang, ayah. Aku bersedia mati di gedung pangeran Ong asalkan kau, ibu dan kedua adikku selamat.”
“Apa maksudmu?” Liong Ki Lok memandang dengan mata terbelalak kepada anaknya.
“Bawalah aku ke gedung pangeran keparat itu agar ayah dan adik-adikku tidak diganggu. Kemudian bawalah ibu dan adik-adik pergi ke tempat jauh sekali agar tidak dapat disusul oleh mereka. Adapun aku.... ah, ada banyak jalan untuk menghabiskan nyawa di tempat itu dari pada menjadi permainan pangeran jahanam itu.....”
“Bwee Ji....” Liong Ki Lok memeluk kepala anaknya dengan hati hancur. Akan tetapi ia berpikir bahwa selain jalan yang diusulkan oleh puterinya itu, agaknya tidak ada jalan keluar yang lebih baik lagi. Kalau ia berkeras menentang kehendak pangeran Ong, akhirnya ia akan kalah juga dan Bwee Ji dengan kekerasan akan dirampasnya juga, bahkan keselamatan dia sekeluarga akan terancam.
Kalau mereka semua mati, siapa yang akan membalaskan sakit hati Bwee Ji kelak? Biarlah ia mengorbankan anak perempuannya yang akhirnya akan membunuh diri di dalam gedung sebagai seorang gadis suci yang dapat mempertahankan nama baik, dan kelak ia akan pimpin dua orang anaknya untuk menjadi orang pandai dan membalas dendam cici mereka!
“Kalau saja Shan-tung Koay-hiap tidak gila dan mau membantu kita....” kata Liong-kauwsu sambil menarik napas panjang.
“Dia seorang aneh berilmu tinggi, mana mau memperdulikan kita, ayah...” kata Bwee Ji dengan suara memilukan.
“Ah, kalau saja ia suka menjadi suamimu, ah.... hidup kita akan terjamin keselamatannya. Kalau saja ia tidak gila, tentu ia akan suka melihat kau, anakku...”
“Ayah...” kata Bwee Ji dengan hati sedih sekali dan menyesali nasib dirinya yang amat malang.
Mereka lalu menuju ke dusun Bi-lu-siang dan ketika Liong Ki Lok menceritakan peristiwa yang terjadi kepada isterinya, wanita itu menubruk Bwee Ji dan menangis dengan sedih. Mereka bertangis-tangisan dan menyebut nama Thian. Akan tetapi, apakah yang dapat mereka lakukan?
“Jangan, anakku!” nyonya itu mengeluh sambil menangis. “Jangan kau pergi kepada iblis itu. Suamiku, mengapa tidak mengambil jalan lain? Lebih baik sekarang juga kita pergi bersama melarikan diri dan bersembunyi di tempat jauh...!”