Pendekar Gila Dari Shantung Jilid 04

Cerita silat Mandarin, Pendekar gila dari Shantung jilid 04 karya Kho Ping Hoo
Sonny Ogawa

Pendekar Gila dari Shantung Jilid 04 karya Kho Ping Hoo - TULANG ikan yang runcing dan keras itu beradu dengan giginya dan ternyata tulang-tulang itu kena dikunyah hancur dan harus ditelan dengan enaknya! Karena suhunya hanya sedikit makan daging ikan, maka bagian Tiong San amat banyak hingga telah menghabiskan tiga ekor ikan, ia merasa kenyang sekali.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

Akan tetapi ketika ia berhenti makan, suhunya berkata lagi, “Makan terus! Ikan-ikan ini harus dihabiskan, kalau tidak ia akan menangis!”

Saking herannya, walaupun tahu akan keanehan adat suhunya, Tiong San sampai menunda makannya dan mengurungkan daging yang sudah dibawa ke mulutnya. Ia memandang kepada suhunya dan bertanya, “Apakah ikan bisa menangis, suhu? Apalagi ikan yang sudah dipanggang dan mati, dan mengapa pula ia menangis?”

Gurunya tertawa-tawa geli. “Anak gendeng! Tentu saja menangis! Kita sudah tangkap dia dan panggang tubuhnya di atas api. Setelah mereka ini menderita sedemikian hebatnya, apakah mereka tidak menjadi sedih kalau mereka disia-siakan dan tidak dimakan? Ayo, kita makan terus!”

Tiong San terpaksa menjejal perutnya lagi dengan daging ikan dan ketika kedua orang murid dan guru itu sedang makan daging ikan, di situ lewat beberapa orang pelancong yang berjalan-jalan. Mereka memandang kepada Tiong San dan suhunya sambil tertawa-tawa, karena menganggap mereka berdua itu orang-orang gila.

Memang si gila itu nampak lucu dan menunjukkan bahwa ia memang seorang gila, sedangkan Tiong San kinipun kelihatan tidak keruan dengan pakaiannya yang kotor dan masih sedikit basah dan rambutnya yang awut-awutan cukup memberi kesan bahwa iapun seorang pemuda gila.

Melihat dua orang gila itu makan ikan dengan enaknya, para pelancong itu menganggapnya sebagai pemandangan yang aneh dan menggembirakan. Maka tak lama kemudian Tiong San dan gurunya telah dirubung orang banyak.

Tiong San merasa tak senang sekali dijadikan tontonan. Akan tetapi oleh karena ia melihat suhunya hanya menyeringai dan kadang-kadang memandang kepada orang-orang itu sambil tertawa ha ha, hi hi, maka iapun ikut menyeringai dan tertawa ha ha, hi hi, seperti lakunya seorang gila pula!

Suhunya memandang kepadanya dengan muka girang dan seperti seorang yang menahan kegelian hatinya, ia berkata perlahan, “Memang dunia penuh orang gila.... ha ha ha!”

Tiong San teringat bahwa itu adalah sebuah kalimat dari syair pada kipasnya, maka iapun lalu tertawa geli dan tidak memperdulikan mereka yang menonton dia dan suhunya makan. Setelah daging ikan dan semua tulang habis berpindah ke perut mereka, sehingga Tiong San merasa perutnya berat dan penuh padat.

Orang gila itu lalu mengulurkan tangan merobek ujung jubah Tiong San dan menggunakan robekan baju itu untuk menyusuti mulutnya yang berlepotan minyak ikan. Tiong San tertawa dan iapun meniru perbuatan suhunya, merobek ujung bajunya yang lalu menyusuti mulutnya pula.

Orang-orang pada tertawa melihat hal ini, dan pada saat itu terdengar bentakan-bentakan. “Minggir!”

Semua orang minggir dan memberi jalan kepada orang-orang yang membentaknya. Ternyata bahwa yang datang itu adalah lima orang anggauta polisi yang membawa rantai dan golok. Tanpa banyak cakap lagi mereka lalu mengalungi leher orang gila itu dan leher Tiong San dengan rantai besi. Lalu mengikat pula kedua lengan mereka.

Tiong San merasa terkejut sekali, akan tetapi oleh karena maklum akan adat yang aneh dari suhunya dan melihat betapa suhunya itu hanya tertawa ha ha, hi hi, tanpa mengadakan perlawanan, ia pun ikut-ikutan tertawa. Sungguhpun tertawanya masam karena diliputi hati yang amat gelisah dan takut!

Seorang pelancong yang melihat betapa dua orang gila itu ditangkap, lalu bertanya kepada para anggauta ponggawa itu, “Mengapa mereka ditangkap?”

“Entah, kami hanya mendapat perintah untuk menangkap orang gila yang berada di sekitar telaga Tai-hu dan karena di sini kami melihat dua orang gila, maka kedua-duanya kami tangkap!”

Kakek gila itu ketika lehernya dikalungi rantai dan tangannya dibelenggu, hanya tertawa menyeringai sambil memandang kepada para penangkapnya dengan mata bodoh. Akan tetapi ketika seorang di antara para polisi itu mengambil cambuk yang digantungkan pada pinggangnya, ia segera berseru keras,

“Jangan ambil cambukku!” dan aneh ketika ia mengulurkan tangan, belenggu besi yang mengikat tangannya putus bagaikan sehelai benang saja! Sekejap kemudian ia telah berhasil merampas kembali cambuknya.

“Apa ini? Aku tidak mau dikalungi kembang!” katanya dan sekali renggut saja, rantai yang dikalungkan lehernya tadi telah putus-putus. “Juga muridku tak boleh dikalungi kembang!” Ia membetot dan merenggut dan semua belenggu yang mengikat leher dan tangan Tiong San juga putus-putus.

Semua orang terkejut sekali dan melarikan diri karena takut orang gila itu mengamuk. Sedangkan para penjaga itu berdiri bengong karena heran bagaimana rantai mereka yang kokoh kuat itu diperlakukan oleh si gila bagaikan sehelai benang yang mudah diputuskan saja.

Si gila lalu melompat dan berkata, “Kalian orang-orang gila, aku mau pergi saja!” Sekali melompat ia telah berada di tempat jauh dan Tiong San melangkahkan kaki hendak lari mengejar.

Akan tetapi seorang penjaga memeluk pinggangnya dan yang lain berteriak-teriak, “Tangkap orang gila! Tangkap!!”

“Suhu!” teriaknya dengan ketakutan.

Si gila berhenti lari, menoleh dan segera menggerakkan cambuknya yang telah dilepas dari gulungan. Terdengar “tar-ter-tor” bunyi cambuk dan disusul oleh teriakan-teriakan kesakitan karena semua ponggawa yang berjumlah lima orang itu masing-masing telah mendapat hadiah satu cambukan pada mukanya hingga menjadi biru dan perih.

Tiba-tiba ujung cambuk melayang ke arah Tiong San dan membelit pinggangnya. Tiong San merasa betapa tubuhnya ditarik oleh kekuatan yang luar biasa, hingga tubuhnya segera melayang ke atas dan tahu-tahu ia telah jatuh di punggung suhunya bagaikan seorang sedang naik seekor kuda yang tinggi.

“Ha ha ha! Orang-orang gila, ayo kita balapan lari!” kata suhunya yang segera berlari secepat kijang melompat dan sebentar saja ia menggendong muridnya itu dan telah lenyap dari pandangan semua orang.

Peristiwa ini tentu saja menggemparkan orang dan sampai lama orang-orang membicarakan kesaktian orang gila itu dan tiada habisnya mereka terheran-heran mengapa seorang gila bisa mempunyai murid seorang pemuda pelajar, atau seorang pemuda yang berpakaian sebagai seorang pelajar.

Sebetulnya, siapakah orang gila yang aneh dan luar biasa lihainya itu? Para jago silat muda tentu takkan ada yang kenal kepadanya. Akan tetapi para locianpwe atau ahli-ahli silat tua yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya, tentu masih ingat akan seorang hiapkek (pendekar) yang diberi julukan Thian-te Lo-mo atau Iblis Tua Langit Bumi!

Kurang lebih dua puluh tahun yang lalu, Thian-te Lo-mo masih merupakan seorang muda yang menjagoi di seluruh dunia kang-ouw dengan ilmu kepandaiannya yang amat mengagumkan.

Ketika itu ia bernama Kui Hong Sian, seorang pendekar muda berusia belum tiga puluh tahun, akan tetapi yang telah menumbangkan jago-jago besar dalam pertandingan pibu atau pertempuran oleh karena Kui Hong Sian memang mempunyai watak yang keras dan tidak mau dikalahkan orang.

Kemudian ia bertemu dengan seorang pendekar wanita yang cantik dan ia jatuh cinta. Tak disangkanya bahwa pendekar wanita ini adalah puteri seorang jago tua yang pernah dikalahkannya dan ketika hal ini diketahui oleh pendekar wanita itu, maka sepasang orang muda yang sudah saling mencinta ini lalu bertempur karena pendekar wanita itu hendak membalaskan sakit hati ayahnya.

Dalam pertempuran ini, Kui Hong Sian salah tangan dan melukai muka wanita itu dengan pedangnya sehingga muka yang cantik menjadi bercacad. Semenjak peristiwa ini, Kui Hong Sian lalu lenyap dari dunia kang-ouw. Ia menderita patah hati karena terputusnya cinta yang telah berakar di dalam hatinya. Sampai hampir sepuluh tahun ia mengasingkan diri dan ketika muncul kembali, ia menjadi seorang yang amat ganas.

Tiap orang penjahat yang bertemu dengan orang setengah tua yang pakaiannya tidak keruan ini pasti mengalami celaka, karena Kui Hong Sian tidak mau memberi ampun kepada penjahat-penjahat besar maupun kecil.

Didalam waktu itulah ia melakukan hal-hal yang menggemparkan dunia kang-ouw, karena seorang diri saja ia naik ke bukit Tung-hwa-san dan mengobrak-abrik sarang perampok yang dikepalai oleh tujuh orang perampok bersaudara yang terkenal gagah perkasa, yang menggemparkan ialah, bahwa ia mengganti pedangnya dengan sebatang cambuk panjang yang lihai sekali.

Memang Kui Hong Sian telah bersumpah takkan memegang pedang lagi semenjak ia melukai muka wanita yang dicintai itu dengan pedangnya. Selain mengobrak-abrik perampok di bukit Tung-hwa-san, ia masih banyak melakukan kegemparan, diantaranya dengan memasuki istana raja dan dalam satu malam saja ia mencuri puluhan cap-cap kebesaran para pembesar di kota raja dan melukai para pengawal dengan cambuknya yang lihai.

Namanya menjadi terkenal sekali dan pada waktu itulah ia mendapat julukan Thian-te Lo-mo. gSetelah membuat nama besar selama lima tahun, kemudian ia lenyap lagi dari dunia ramai. Dan orang tidak tahu bahwa si Iblis tua langit bumi ini telah kembali ke tanah kelahirannya, yakni di propinsi Shan-tung, di sebuah guha yang banyak terdapat di pegunungan Tai-san di propinsi Shan-tung sebelah barat.

Ternyata bahwa di dalam hidupnya, Kui Hong Sian mengalami berbagai kekecewaan dan terutama sekali kesedihan hati yang timbul akibat patah hatinya itu membuat ia semakin tua makin menjadi tidak keruan tingkah lakunya.

Dan lima tahun kemudian setelah orang-orang mulai lupa kepada namanya, dari bukit Tai-san muncullah seorang kakek yang berpakaian tidak keruan, membawa-bawa cambuk dan tingkah lakunya seperti orang gila. Inilah Thian-te Lo-mo yang pada lima tahun yang lalu, baru melihat bayangannya saja sudah membuat penjahat-penjahat besar lari pontang-panting.

Kakek gila ini mengembara terus hingga ia tiba di telaga Tai-hu di dekat So-couw dan bertemu dengan Lie Tiong San yang akhirnya ia angkat menjadi muridnya. Demikianlah riwayat singkat dari kakek gila yang amat aneh dan lihai itu yang melarikan diri dengan murid digendong di atas punggungnya setelah tadi memperlihatkan ilmu kepandaiannya yang mengherankan semua orang di pinggir telaga Tai-hu.

Ketika berada di atas punggung suhunya yang lari secepat angin, Tiong San merasa amat heran dan juga ngeri. Ia melihat betapa pohon-pohon di kanan kirinya seakan-akan berlari cepat dari depan dan telinganya mendengar suara dari daun-daun pohon di kanan kiri yang dilaluinya.

Ia tak dapat melihat dengan nyata karena pohon-pohon di kanan kiri jalan itu seakan-akan hanya terbang lewat sekilat saja. Apalagi ketika suhunya mengambil jalan melalui lereng gunung yang penuh jurang-jurang dalam dan melompati jurang-jurang itu demikian enaknya seperti dulu ketika ia masih kecil suka bermain-main melompati selokan-selokan.

Terpaksa ia menutup matanya karena merasa ngeri dan takut. Pegangan pada leher suhunya dipererat agar supaya ia tidak sampai melepaskan leher itu dan jatuh ke dalam jurang yang amat dalam.

Tiba-tiba suhunya berhenti berlari dan menggoyang-goyang tubuhnya hingga Tiong San hampir saja tak dapat menahan lagi dan rangkulan tangannya pada leher orang tua itu hampir terlepas.

“Turun, turun! Anak gendeng, apakah kau kira aku ini seekor kuda yang boleh ditunggangi seenak hatimu?”

Tiong San terkejut sekali dan membuka matanya lalu melorot turun dari punggung kakek itu. Ketika ia memandang ke sekelilingnya, ternyata mereka telah tiba di sebuah jalan besar yang lurus tidak di tempat berbukit-bukit lagi. Ia tidak tahu bahwa mereka telah tiba di tempat yang belasan li jauhnya dari telaga Tai-hu.

“Seekor kuda tak dapat lari secepat suhu,” katanya tertawa. Karena pemuda ini mulai tahu tabiat suhunya yang sama sekali tidak menghendaki dipuja-puja dan dihormati sebagaimana layaknya seorang guru mendapat penghormatan dari muridnya.

Benar saja, kakek aneh itu tertawa senang. “Kau harus belajar berlari cepat!” katanya berulang-ulang sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Dan belajar pula memberi hadiah-hadiah kepada orang-orang yang mengalungi kembang pada lehermu!”

“Teecu bisa juga berlari, suhu.”

“Coba kau larilah yang cepat!”

Karena jalan itu rata dan lurus, Tiong San lalu berlari ke depan, dan pada perasaannya larinya sudah cukup cepat hingga napasnya tersengal-sengal. Akan tetapi ketika ia menoleh, ia melihat suhunya berjalan di belakangnya sambil tertawa bergelak-gelak sehingga ia berhenti lagi sambil napasnya terengah-engah seperti mau putus.

“Ha ha ha! Kau seperti gajah berlari! Tubuhmu terlalu berat hingga suara kakimu memekakkan telinga! Ha ha, sungguh lucu melihat gajah kaki dua berlari!”

Merahlah muka Tiong San mendengar ejekan suhunya ini dan ia tak dapat berkata apa-apa selain memandang muka suhunya dengan bingung.

“Kau harus berlari seperti rusa, jangan seperti gajah!” kata suhunya. “Jangan pergunakan semua telapak kakimu untuk menginjak tanah, akan tetapi pergunakan jari-jari kaki saja. Tumit harus diangkat dan terutama sekali napasmu harus diatur baik-baik! Tubuhmu harus seringan mungkin. Ah, celaka..... kau masih harus belajar banyak!”

Demikianlah si gila yang dalam hal menerangkan ilmu kepandaian ternyata sama sekali tidak menunjukkan kegilaannya itu, mulai memberi pelajaran kepada Tiong San yang memperhatikan baik-baik. Mereka melanjutkan perjalanan sambil berlari-lari dan mulai dengan pelajaran ilmu berlari cepat di sepanjang jalan yang sunyi.

Menjelang senja mereka tiba di luar sebuah kampung. Dan tiba-tiba dari dalam kampung itu keluarlah tiga orang laki-laki yang setelah dekat ternyata bahwa mereka adalah orang-orang yang memakai pakaian perwira-perwira dengan topi pangkat di atas kepala masing-masing.

Seorang di antara mereka telah tua dan ketika melihat orang gila itu berjalan bersama muridnya, perwira tua itu tiba-tiba berseru keras dan menghentikan langkah kakinya. Kedua orang kawannya juga berhenti tiba-tiba. "Bukankah, kau Thian-te Lo-mo Kui Hong Sian??” perwira tua itu berseru sambil menghadang di depan kakek gila itu.

Tiong San merasa takut karena peristiwa penangkapan di pinggir telaga Tai-hu tadi. Maka melihat sikap yang galak dari ketiga orang perwira ini, ia lalu mundur dan berdiri di belakang tubuh suhunya. Sementara itu, si gila tertawa ha ha, hi hi, dan sambil monyongkan mulutnya ke arah perwira tua itu, lalu berkata,

“Eh, eh, mukamu seperti monyet tua! Ha ha ha, muridku, coba kau lihat orang gila ini. Bukankah seperti seekor monyet tua yang meniru lagak manusia? Ha ha!”

Tiong San yang sudah maklum akan adat suhunya, lalu tertawa juga dan berkata, “Benar, suhu. Akan tetapi jenggotnya seperti kambing!” Tiong San sengaja berkelakar untuk menyenangkan hati suhunya karena ia memang sedang merasa gembira sekali.

Tanpa disengaja ia kini dapat mengetahui nama dan julukan suhunya, yaitu Thian-te Lo-mo Kui Hong Sian atau Kui Hong Sian si Iblis tua langit bumi! Biarpun selama hidupnya Tiong San belum pernah mendengar nama ini. Akan tetapi dari julukannya saja, ia maklum bahwa suhunya tentu seorang gagah yang luar biasa dan memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Thian-te Lo-mo tertawa terkekeh-kekeh mendengar ucapan muridnya ini. Dan perwira tua itu menjadi merah mukanya. Dia memang mempunyai julukan Sin-kun Lo-wan (Monyet tua bertangan sakti). Perwira ini adalah seorang perwira kota raja yang mempunyai kedudukan tinggi dan ia menduduki tingkat kelima dari para panglima kaisar. Maka ilmu silatnya sudah tinggi sekali.

Dulu ketika Kui Hong Sian suka datang ke kota raja dan membikin kacau, perwira yang bernama Kwee Houw inipun pernah ikut mengepung. Oleh karena itu ia masih dapat mengenal muka Thian-te Lo-mo. Tentu saja ia menjadi marah sekali ketika kedua orang itu begitu bertemu telah menggodanya dengan hina-hinaan.

“Thian-te Lo-mo! Kau telah membuat kedosaan besar ketika dulu mengacau ke kota raja. Akan tetapi setelah kau mengundurkan diri, dosamu dilupakan orang. Tidak tahunya kau makin menjadi gila dan berani main-main mengganggu pangeran Lu Goan Ong dan mencuri cap kebesarannya. Mengingat bahwa kau adalah seorang tua berotak miring, maka kalau kau mau mengembalikan cap pangkat itu kepadaku, aku akan menghabiskan perkara sampai di sini saja. Akan tetapi kalau kau hendak tetap menggila, kau pasti akan menemui bencana. Karena bukan aku saja yang akan menghadapimu, akan tetapi seluruh perwira kerajaan!”

Pidato perwira ini agaknya sama sekali tidak menarik perhatian Thian-te Lo-mo karena sambil menekan-nekan perutnya yang kempis tipis, ia menyeringai dan berkata, “Aduh, perutku sudah lapar! Eh, bocah gendeng, ke mana perginya ikan-ikan panggang itu?” tiba-tiba ia berpaling kepada Tiong San yang menjadi celangap!

“Suhu, bukankah ikan-ikan itu kini telah berenang di dalam perut kita?” jawabnya sambil tersenyum-senyum juga.

“Kurang ajar! Kau sudah makan habis ikan-ikan itu?”

“Bukan teecu sendiri, akan tetapi bersama suhu!” Tiong San memperingatkan.

Bukan main marahnya Kwee Houw ketika melihat betapa kata-katanya tadi sama sekali tidak dihiraukan oleh orang gila itu. “Thian-te Lo-mo, kembalikan cap pangkat pangeran Lu Goan Ong kepadaku!” katanya sambil mencabut keluar senjatanya, yakni sepasang siang-kek atau sepasang tombak bercabang yang pendek dan runcing.

Tiba-tiba Thian-te Lo-mo berpaling kepadanya. “Monyet tua, apakah kau membawa makanan? Perutku lapar sekali!”

Perwira tua itu hendak menyerang karena tidak dapat menahan marahnya lagi. Akan tetapi seorang kawannya, perwira yang lebih muda berkata perlahan, “Kwee-ciangkun, sukar berurusan dengan seorang yang miring otaknya.” Ia memang agak merasa gentar juga terhadap orang gila ini karena nama Thian-te Lo-mo memang nama yang amat ditakuti oleh orang-orang kang-ouw.

Ia lalu mengeluarkan bungkusan roti kering dan memberikan roti itu kepada Thian-te Lo-mo sambil berkata, “Kakek yang baik, ini rotiku boleh kau ambil. Akan tetapi harus ditukar dengan cap pangkat pangeran Lu Goan Ong!”

Baru saja ucapan ini habis dikeluarkan, tahu-tahu bungkusan roti itu telah berada di tangan Thian-te Lo-mo! Perwira itu tidak tahu bagaimana hal ini bisa terjadi. Ia hanya melihat orang gila itu mengulurkan tangannya dan tahu-tahu bungkusan telah terampas dan berpindah tangan!

“Ha ha, roti kering, makanan anjing!” kata Thian-te Lo-mo sambil tertawa, lalu mengambil sepotong roti dan memasukkan ke dalam mulutnya. Ia memandang kepada Tiong San dan bertanya, “Eh, anak gendeng, apakah kau juga suka makanan anjing istana?”

“Kalau suhu suka, teecu tentu suka pula,” jawabnya.

Kembali Thian-te Lo-mo tertawa. “Lihat, monyet tua, bukankah muridku ini lucu sekali!” Ia memberi beberapa potong roti kepada Tiong San yang lalu menerima dan memakannya. Roti itu memang enak, patut dibawa dan dijadikan bekal oleh perwira-perwira kerajaan.

"Thian-te Lo-mo, mana cap pangkat itu?” tanya si perwira muda yang merasa penasaran dan cemas juga karena kakek itu makan rotinya tanpa mengembalikan cap yang dimintanya.

Akan tetapi Thian-te Lo-mo seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan setelah roti itu dengan cepat habis dimakannya, lalu ia bertanya lagi, “Masih adakah rotinya? Kalau tidak ada, keluarkan arakmu, aku ingin sekali minum arak!”

“Orang gila kurang ajar!” Kwee Houw yang sudah tak dapat menahan sabarnya lalu menyerang dengan siang-kek. Gerakannya gesit dan cepat ketika siang-kek di tangan kanannya menusuk dada Thian-te Lo-mo dengan gerak tipu Macan hitam menyambar hati.

Melihat betapa suhunya diserang, Tiong San menjadi takut dan segera berseru kepada suhunya yang masih enak-enak berdiri tanpa memandang kepada penyerangnya, “Suhu, awas!”

Akan tetapi, ketika ujung tombak bercagak itu telah dekat dengan dada Thian-te Lo-mo, tiba-tiba kakek itu tertawa mengejek dan tubuhnya telah lenyap dari depan Kwee Houw. Ketika Kwee Houw cepat memutar tubuh, ternyata kakek itu telah berada di dekat perwira muda yang tadi memberi roti kepadanya dan begitu ia mengulur tangannya, buntalan besar di punggung perwira itu telah dapat direnggutnya dan kini berada di tangannya.

Sambil tertawa-tawa Thian-te Lo-mo membuka bungkusan dan keluarlah seguci arak yang menjadi bekal perwira itu. Ia melemparkan bungkusan tadi kepada perwira yang menyambutnya dengan melongo, lalu minum arak itu langsung dari guci!

Bukan main marahnya Kwee Houw melihat hal ini. Ia merasa dipermainkan oleh orang gila itu. Maka ia segera melompat dan menerjang lagi dengan siang-keknya. Juga dua orang kawannya telah mencabut golok masing-masing dan kini maju mengeroyok.

Tiong San merasa khawatir sekali melihat keadaan suhunya karena orang tua itu agaknya tidak melihat betapa tiga orang perwira sedang menerjang dan menyerangnya. Karena ia masih enak-enak menuangkan isi guci ke dalam mulutnya sambil mendongakkan kepalanya!

Akan tetapi, sungguh mengherankan, ketika ketiga senjata lawan itu telah hampir mengenai tubuhnya, tanpa menunda minumnya, orang gila itu menggeser kedua kakinya dengan amat indah dan cepatnya telah bergerak dengan gerakan Jiauw-pouw-poan-soan atau Tindakan Kaki Berputar-putar sesuai dengan Toa-su-siang-hong-wi (Kedudukan Empat Penjuru).

Dan karena menghadapi tiga orang penyerang dari tiga jurusan atau tiga penjuru, maka ia selalu dapat bergerak ke arah penjuru ke empat atau ke tempat yang kosong hingga betapapun juga ketiga orang lawannya menyerang, ia dapat meloloskan diri dengan menduduki tempat atau penjuru ke empat yang kosong.

Sementara itu, ia masih saja minum arak yang mengeluarkan suara menggelogok di tenggorokannya. Setelah puas minum arak, Thian-te Lo-mo lalu melompat ke dekat muridnya dan memberikan guci itu kepada Tiong San. “Kau minumlah, air keruh ini lumayan juga!”

Tiong San tadi bengong dengan perasaan kagum sekali melihat betapa suhunya sambil minum arak dapat menghindarkan diri dari kepungan tiga orang perwira itu. Maka kini dengan girang dan tersenyum ia menerima guci itu dan minum dengan lagak seperti suhunya tadi, yakni tangan kanan memegang guci yang dituangkan ke mulut sedangkan tangan kiri bertolak pinggang dan mendongakkan kepala.

Akan tetapi diam-diam ia berpikir bagaimana caranya dapat mengelakkan serangan-serangan orang dalam kedudukan seperti itu! Memang kedua kaki mudah saja digerakkan, akan tetapi tanpa melihat musuh, bagaimana suhunya dapat mengelak secara sebegitu sempurnanya?

Ia hanya minum beberapa teguk oleh karena arak itu ternyata keras sekali. Maka ia segera menurunkan guci itu dan kembali memandang ke arah gurunya yang telah dikurung pula! Kini ia melihat hal yang lebih mengagumkannya lagi.

Tiga orang perwira itu yang merasa amat marah dan penasaran, telah menggerakkan senjata mereka dalam penyerangan yang cepat dan ganas. Dua orang perwira muda menggerakkan golok mereka sedemikian cepatnya sehingga nampak dua sinar golok yang berkilauan menyerang suhunya dari depan, karena sepasang tombak ini bergerak-gerak tak menentu, dari bawah dan atas, kanan kiri dengan serangan-serangan maut.

Kini Thian-te Lo-mo tidak hanya mengelak sambil berputar-putar seperti tadi. Seperti seorang yang nampak gembira sekali ia tertawa terkekeh-kekeh sambil menggerakkan kedua lengannya. Jari telunjuk dan jari tengah dari kedua tangannya terbuka sedangkan jari-jari yang lain terkepal dan dengan dua jari tangan kanan kiri ini ia menghadapi senjata-senjata lawan.

Dengan jari-jari tangannya yang panjang dan kurus tak berdaging itu, ia menangkis serangan senjata setiap lawannya dengan kepretan-kepretan keras, dan selalu ia dapat mementalkan senjata pengeroyok dengan memukulkan jarinya pada punggung golok yang tidak tajam dan gagang tombak bercagak.

Tiap kali ia menangkiskan jarinya pada senjata musuh, lawannya yang memegang senjata merasa betapa tangan mereka kesemutan karena dari jari tangan Thian-te Lo-mo keluar tenaga lweekang yang bukan main besarnya.

Tiong San yang menonton pertempuran itu merasa pening kepalanya karena gerakan empat orang itu, terutama suhunya, amat cepat sehingga seakan-akan yang bertempur bukan empat orang, akan tetapi banyak sekali! Betapapun juga, ia merasa amat khawatir karena suhunya hanya menggunakan jari tangan untuk menangkis senjata-senjata musuh. Apakah tangan suhunya takkan luka?

Agaknya Thian-te Lo-mo memang sengaja mempermainkan ketiga pengeroyoknya itu, karena tiba-tiba gerakan tubuhnya makin cepat ketika sambil tertawa ia berkata,

“Monyet tua dan monyet-monyet muda, sudahlah, aku sudah lelah!” begitu ia mengeluarkan ucapan ini, terdengar suara tang-ting-tong, dan dua golok beserta sepasang siang-kek itu terpental ke tengah udara dan tubuh Thian-te Lo-mo melayang ke arah muridnya.

“Ayoh kita kabur!” katanya sambil menangkap lengan kanan Tiong San.

“Suhu, cap itu kembalikan saja! Untuk apakah cap macam itu bagi kita?”

Thian-te Lo-mo tertawa gelak-gelak. Lalu merogoh saku baju di antara baju kutangnya yang tinggal sedikit itu, dan mengeluarkan sebuah cap yang dulu dicurinya ketika ia mengacau di atas perahu pangeran Lu Goan Ong. Ia melambaikan tangannya kepada Kwee Houw dan berkata, “Monyet tua, ke sinilah kau dan terimalah kembali cap busuk ini!”

Biarpun tadi merasa kaget dan marah karena dikalahkan, akan tetapi melihat orang gila itu benar-benar hendak mengembalikan cap pangeran Lu Goan Ong, perwira itu merasa girang sekali. Kalau ia berhasil mendapatkan kembali cap yang hilang tentu ia akan menerima banyak hadiah dan mungkin kenaikan pangkat dari pangeran Lu yang berpengaruh! Maka ia segera melangkah lebar menghampiri Thian-te Lo-mo.

“Thian-te Lo-mo, kau sungguh baik, terima kasih,” katanya mengulurkan tangan.

Thian-te Lo-mo memberikan cap itu dan melepaskan di tangannya Kwee Houw. Akan tetapi ketika perwira ini memandang, ternyata bahwa cap itu telah ditekan oleh tangan Iblis Tua Langit Bumi itu dan menjadi pecah berantakan!

Setelah memberikan cap yang dirusaknya itu, Thian-te Lo-mo lalu menarik tangan muridnya, dan lari bagaikan terbang! Tiong San merasa betapa ia ditarik cepat sekali sehingga kedua kakinya tidak menginjak bumi.

Biarpun cap itu telah pecah-pecah, akan tetapi Kwee Houw merasa lega. Karena rusaknya cap tidak menjadi soal besar. Bagi seorang berpangkat, pada dewasa itu, cap merupakan benda yang bernilai besar bagaikan ajimat. Dengan cap ini, seorang pembesar memberi tanda-tanda kepada semua surat-surat dan cap merupakan lambang kebesaran.

Apabila cap itu dirusak, dapat dibuat yang baru, akan tetapi kalau sampai hilang dan terjatuh ke dalam tangan orang lain, maka orang lain akan dapat mempergunakan cap itu untuk memalsu dan merusak nama baik.

Oleh karena ini, maka cap dijaga amat tertib dan keras oleh setiap pemiliknya sehingga ketika Thian-te Lo-mo mencuri cap pangeran Lu Goan Ong, pangeran ini merasa gelisah dan tak sedap makan tak nyenyak tidur sehingga ia mengerahkan seluruh perwira untuk mencari dan mendapatkan kembali cap itu!

Thian-te Lo-mo membawa muridnya kembali ke Shan-tung, dan di sepanjang jalan, Tiong San makin mengenal tabiat dan watak suhunya yang benar-benar aneh. Pada umumnya, suhunya ini berwatak gila-gilaan, dan suka sekali menggoda orang dengan perbuatan-perbuatan yang seperti perbuatan anak kecil. Dan tiap kali bertemu dengan orang yang berlaku sewenang-wenang atau penjahat, tentu ia tidak lupa untuk menghadiahkan sekali cambukan pada muka atau tubuhnya.

Akan tetapi, adakalanya suhunya bicara seperti seorang yang waras dan berpandangan luas sekali terutama pada waktu mengajar silat kepadanya. Sungguhpun di luar tahunya, Thian-te Lo-mo mengajar silat dengan cara yang amat luar biasa dan jauh berbeda dengan ahli-ahli silat lainnya kalau mengajar silat.

Selama perjalanan yang memakan waktu hampir sebulan menuju ke propinsi Shan-tung itu, Tiong San dengan gembira dan kagum dapat mengetahui bahwa pada hakekatnya Thian-te Lo-mo mempunyai sifat pendekar yang budiman dan gemar menolong orang.

Hanya cara-caranya saja yang luar biasa sekali dan mirip perbuatan orang gila. Kalau gurunya sedang kumat gilanya, ia tidak ragu-ragu lagi bahwa suhunya memang benar-benar mempunyai penyakit otak miring. Akan tetapi kalau suhunya sedang waras, ia merasa seakan-akan berhadapan dengan seorang berhati suci yang sakti.

Setelah mereka tiba di sebelah barat propinsi Shan-tung, suhunya lalu menggendongnya dan secepat burung terbang orang tua itu mendaki gunung Tai-san sambil berlari-lari. Mereka tiba di sebelah guha yang menjadi tempat tinggal Thian-te Lo-mo bertahun-tahun bertapa dan mengasingkan diri.

Mulailah kakek ini melatih Tiong San dengan dasar-dasar silat tinggi, dan terutama melatih lweekang dan ginkang. Dalam latihan mengatur jalan darah di tubuh, Thian-te Lo-mo mempunyai cara-cara istimewa sekali yang membuat Tiong San mula-mula merasa menderita sekali.

Kakek itu dengan ringannya melompat ke atas cabang sebatang pohon siong, lalu menyuruh muridnya menyusulnya. Tentu saja Tiong San tidak dapat melompat setinggi itu. Maka pemuda ini lalu memanjat pohon dan menyusul suhunya yang berdiri di atas cabang pohon.

“Kau tirulah perbuatanku ini!” kata Thian-te Lo-mo yang lalu menjatuhkan tubuhnya ke bawah dan tubuh itu lalu bergantungan pada cabang oleh karena ia menggunakan kedua kakinya untuk dikaitkan kepada cabang tadi.

“Teecu tidak bisa, suhu.”

“Cobalah!”

Dengan nekat Tiong San lalu meniru perbuatan suhunya akan tetapi tentu saja kakinya tidak kuat menahan tubuhnya hingga ia meluncur ke bawah dengan kepala lebih dulu! Pada saat kepalanya sudah hampir tertumbuk kepada batu di bawah pohon yang tentu akan membuat kepalanya pecah, tiba-tiba kakinya terpegang kuat-kuat dan dalam keadaan menggantung dengan kepala di bawah, tubuhnya lalu ditarik kembali ke atas...!

Jilid selanjutnya,