Pendekar Gila dari Shantung Jilid 03 karya Kho Ping Hoo - TIONG SAN dapat menyelami hati ibunya. Sebagai seorang wanita biasa, sudah tentu ibunya rindu sekali melihat ia memakai pakaian kebesaran, dihormati orang dan menduduki pangkat tinggi. Hati ibunya akan menjadi besar dan bangga melihat puteranya menjadi orang mulia. Kalau ia menjadi petani, maka setidak-tidaknya ibunya akan merasa malu dan kecewa.

“Ibu!” katanya kemudian dengan suara menghibur. “Percayalah bahwa anakmu akan berusaha sekuat tenaga untuk melakukan perbuatan yang akan menjunjung tinggi nama keluarga kita! Akan tetapi tidak sebagai pembesar, karena kepandaian kesusasteraan pada dewasa ini hanya digunakan untuk mencelakai sesamanya, untuk merusak, bukan untuk melakukan kebaikan. Kalau aku melakukan sesuatu demi kebaikan orang banyak, maka pekerjaan yang kulakukan itu bukan berdasarkan kepandaianku menulis!”
“Habis, selain menulis dan membaca, kau mempunyai kepandaian apalagi?” tanya ibunya yang mulai merasa jengkel.
Tiong San menundukkan kepalanya dan terbayanglah orang gila yang dijumpainya di telaga Tai-hu kemaren dulu itu. Ah, pikirnya. Kalau saja aku mempunyai kepandaian selihai orang gila itu, tentu aku dapat melakukan perbuatan mulia yang akan lebih menggemparkan dari pada kepandaian kesasteraan yang kumiliki! Ia menarik napas panjang berulang-ulang tanpa dapat menjawab pertanyaan ibunya, sehingga orang tua itu merasa kasihan melihatnya.
“Sudahlah, Tiong San. Kau beristirahatlah di kamarmu dan jangan terlalu banyak memikirkan hal ini. Kita percaya saja kepada Thian pada suatu waktu akan datang saat baik bagi kita. Aku hendak meneruskan pekerjaanku ini, karena aku sudah berjanji kepada orang yang memesannya untuk menyelesaikan dalam hari ini juga.”
Tiong San lalu bangkit berdiri dan dengan kedua kaki lemas ia masuk ke dalam kamarnya. Ia membantingkan dirinya di atas pembaringan sambil mengeluh. Akan tetapi ia segera melompat bangun lagi karena terkejut ketika melihat sebuah kipas di atas meja kecil dalam kamarnya. Karena kipas itu adalah kipasnya yang lenyap dari atas perahu di telaga Tai-hu kemaren dulu itu!
Dengan tangan gemetar pemuda itu mengambil kipas itu dan mengamat-amatinya. Dan ternyata bahwa syairnya yang belum habis di tulis itu kini telah ditambah dengan tulisan orang lain yang gayanya aneh dan bengkak-bengkok seperti ular! Ketika ia menulis syairnya dulu, pada baris kelima baru ia tulis “aku....” dan terhenti karena tabrakan perahu. Akan tetapi sekarang huruf “aku” itu telah ada sambungannya yang berbunyi, Aku juga gila! Dan alangkah baiknya gila bertemu gila. Pada malam bulan purnama di pinggir telaga!
Tiong San membaca syairnya berulang-ulang dengan perasaan tidak keruan karena heran dan juga kagum. Ia heran akan maksud orang gila itu, dan kagum melihat betapa tulisan itu, biarpun tak dapat disebut indah, akan tetapi gayanya benar-benar aneh dan dari bentuk coretan yang lenggak-lenggok seperti ular itu dapat diketahui betapa huruf-huruf itu mengandung tenaga yang kuat sekali sehingga tiap coretan merupakan seekor ular yang seperti hidup bergerak-gerak dan mengerikan! Ia membaca sekali lagi sajaknya yang kini selengkapnya berbunyi,
Memancing ikat dengan pecut, tanpa kaitan
Bersikap seperti Kiang Cu Ce, sang budiman
Orang menyebut gila,
memang dunia penuh orang gila!
Yang waras dianggap gila,
yang gila merajalela!
Aku juga gila!
Dan alangkah baiknya gila bertemu gila
Pada malam bulan purnama di pinggir telaga!
Alangkah aneh dan ganjilnya bunyi syair itu, dan hanya seorang yang tidak waras otaknya saja dapat menulis syair seperti itu. Apakah maksud orang gila itu menulis bahwa akan baik sekali kalau gila bertemu gila pada malam bulan purnama di pinggir telaga? Dan bagaimana ia bisa menaruh kipas itu di dalam kamarnya tanpa diketahui orang lain? Benar-benar seorang gila yang amat aneh.
Sampai malam Tiong San duduk termenung di dalam kamarnya dan ketika ibunya mengajaknya makan malam, ia tidak banyak bicara hingga membuat ibunya merasa gelisah sekali. Sehabis makan, pemuda itu tanpa menukar pakaiannya lalu kembali ke dalam kamar lagi dan duduk termenung sambil membuka jendela kamarnya. Tiba-tiba tanpa disengaja ia melihat ke angkasa dan mukanya bercahaya terang ketika ia melihat bulan yang hampir tersenyum di balik awan.
Dan cepat Tiong San mengeluarkan kipas yang sejak tadi berada di sakunya dan membaca syair itu sekali lagi. Ah, tentu ada maksudnya si gila menulis syair itu, pikirnya. Bulan purnama akan muncul dua tiga hari lagi. Mengapa aku tidak pergi ke sana dan melihat-lihat kalau-kalau ia berada di pinggir telaga? Ia telah menyebutku gila dan mengaku bahwa iapun gila, dengan kata-katanya si gila bertemu si gila pada malam terang bulan purnama di pinggir telaga, Bukankah itu suatu ajakan untuk mengadakan pertemuan di pinggir telaga Tai-hu?
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Tiong San menjumpai ibunya dan berkata, “Ibu, ijinkanlah aku pergi sekali lagi ke Tai-hu.”
Ibunya merasa heran. “Bukankah baru saja kau kembali dari sana?”
“Benar, ibu! Akan tetapi aku ingin sekali menghibur diri sekali lagi di sana. Siapa tahu perjalananku kali ini akan mendatangkan perubahan baik seperti yang ibu harapkan kemaren.”
Ibunya menggelengkan kepala. “Anakku, kau terlalu banyak memikirkan masa datang yang suram. Baiklah, kauhiburlah hatimu di telaga Tai-hu dan mudah-mudahanan Thian Yang Maha Agung membuka jalan baik bagimu.”Dengan tergesa-gesa Tiong San lalu berangkat ke Tai-hu. Malam hari itu, ketika semua pelancong telah meninggalkan telaga dan bahkan para pemilik perahu kembali ke rumah masing-masing sehingga telaga itu sunyi senyap, Tiong San tidak meninggalkan tempatnya dan masih duduk melamun di bawah pohon di mana si gila itu dahulu menangkap ikan.
Ia duduk terus menanti dengan penuh harapan sambil menikmati keindahan pemandangan di malam itu. Ternyata bahwa pada malam hari, ditimpa cahaya bulan yang hampir bundar, pemandangan di situ benar-benar merupakan soranga.
Cahaya bulan membuat air telaga berwarna kuning keemasan dan bulan sendiri tenggelam di dasar telaga, bergoyang-goyang kalau ada angin meniup permukaan air. Pohon-pohon nampak kebiru-biruan dan bunga nampak kekuning-kuningan, dan semua itu diliputi cahaya kemerahan dari sinar bulan yang amat menyejukkan hati.
Akan tetapi, hawa udara malam amat dinginnya sehingga Tiong San menggigil kedinginan. Betapapun juga, pemuda itu cukup memiliki kekerasan hati untuk diam dan tidak meninggalkan tempatnya semalam suntuk. Hatinya amat kecewa oleh karena pada malam hari itu ia tidak melihat bayangan seorangpun di pinggir telaga. Ia mulai ragu-ragu.
Dan ketika fajar mulai menyingsing, matahari menggantikan tugas bulan menerangi permukaan telaga Tai-hu dan para pemilik perahu berangsur-angsur muncul di pinggir telaga. Kekecewaan hati Tiong San membuat ia merasa lemas sekali. Ia tidak bisa tidur semalam penuh dan kini merasa mengantuk sekali. Ketika ia masuk ke dalam kelompok pohon dan memilih tempat yang sunyi agak jauh dari telaga, ia lalu membaringkan diri di bawah sebatang pohon dan segera tertidur nyenyak saking lelahnya!
Ketika ia terjaga, hari sudah siang dan ia merasa lapar sekali maka ditinggalkannya tempat itu dan ia membeli makanan sederhana untuk mengisi perutnya. Ia lalu berjalan-jalan mengelilingi telaga sambil mencari-cari kalau ia akan melihat orang gila yang ditunggu-tunggu. Akan tetapi ia tidak melihat bayangan orang yang dicarinya sehingga ia makin menjadi gelisah. Apakah ia datang jauh-jauh dengan sia-sia belaka?
Malam hari kedua kembali ia berjaga sampai pagi dan tidak melihat siapa-siapa. Hatinya makin sedih dan diam-diam ia memaki diri sendiri. Mengapa ia begitu bodoh menuruti tulisan kacau balau seorang yang tidak waras otaknya? Seorang gila telah mempermainkannya dan ia menuruti saja, berlaku seolah-olah ia sendiri juga gila! Apakah aku benar-benar telah mulai miring otakku?
Demikianlah Tiong San berpikir dan menurutkan hatinya yang panas, ingin segera pulang meninggalkan tempat yang mengesalkan hatinya itu, untuk menumpahkan seluruh isi hatinya yang sedih itu dihadapan ibunya yang tentu akan pandai menghiburnya.
Akan tetapi, kekerasan hatinya membuat ia mengambil keputusan untuk menanti semalam lagi! Malam nanti barulah bulan akan muncul sepenuhnya, demikian pikirnya. Siapa tahu kalau-kalau orang gila itu akan muncul malam nanti, karena dalam syairnya juga disebutkan malam bulan purnama!
Uang bekalnya telah habis dan semenjak sore hari, ia belum makan sesuatu. Ia mengambil keputusan untuk bertahan semalam lagi dan apabila si gila itu tidak muncul pada malam hari ini, ia akan pulang pada keesokan harinya.
Malang baginya, baru saja hari berganti malam, udara menjadi gelap tertutup mendung tebal dan tak lama kemudian turunlah hujan bagai dituangkan dari atas! Semua orang yang tadinya hendak berpelesir di atas perahu di waktu malam bulan purnama terpaksa meninggalkan telaga dan perahu-perahu mereka.
Kalau tidak ada hujan, banyak orang yang berada di perahu sampai semalam suntuk, menikmati pemandangan indah yang ditimbulkan oleh bulan purnama. Akan tetapi, langit gelap dan hujan turun, siapa yang mau menderita kehujanan dan kedinginan?
Namun Tiong San tetap duduk berlindung di bawah pohon. Air hujan yang membocor dari sela-sela daun pohon telah membuat seluruh pakaian dan tubuhnya menjadi basah kuyup dan ia menggigil kedinginan, menderita luar dalam.
Tubuhnya dibagian luar menderita dingin sedangkan di bagian dalam menderita lapar. Sungguh penderitaan hebat yang belum pernah ia alami! Biarlah, biar aku menanti sampai mati di sini sebelum fajar mendatang, pikirnya dengan tekad bulat.
Menjelang tengah malam, hujan berhenti. Langit menjadi bersih dan bulan muncul penuh, indah dan ayu berseri-seri, bagaikan wajah seorang puteri jelita mengintai dari jendela, segar dan gemilang seakan-akan wajah itu makin bersih dan segar setelah dicuci oleh air hujan tadi.
Suara kodok yang bersembunyi di bawah alang-alang di pinggir telaga, menimbulkan lagu yang berirama, yang terdengar riang bagi mereka yang sedang bergembira, akan tetapi terdengar memilukan hati bagi mereka yang sedang berduka. Bagi telinga Tiong San, suara nyanyian kodok-kodok terdengar tidak keruan, oleh karena semangatnya telah menjadi lemah akibat kelelahan, kedinginan dan kelaparan.
Pada saat ia sedang duduk menggigil di bawah pohon, tiba-tiba permukaan air yang tadinya tenang itu menjadi bergerak-gerak dan terdengar suara air terpukul dan suara orang membentak-bentak marah.
“Nah, kau mau lari ke mana sekarang? Huh, ini yang besar, telah tertangkap. Ah, akan kunikmati dagingmu. Ha ha ha!”
Tiong San tersentak bangun dari lamunannya dan segera berdiri. Ia sendiri merasa heran mengapa tiba-tiba ia menjadi begitu kuat dan segar. Ia melihat ke arah suara itu dan ternyata seorang sedang berenang ke sana ke mari menangkap-nangkap ikan dengan amat mudahnya!
Tangan kiri orang itu membawa tiga ekor ikan besar, sedangkan tangan kanannya masih juga menguber-uber ikan. Bahkan pada mulutnya nampak seekor ikan yang tergigit dan ikan itu masih hidup, bergerak-gerak dan ekornya memukul-mukul hidungnya. Agaknya ikan yang tertangkap paling akhir itulah yang kini digigitnya.
Tiong San tidak dapat melihat tegas wajah itu dan ia berdebar. Bagaimana kalau penangkap ikan itu bukan orang gila yang ia tunggu-tunggu? Akan tetapi, kalau orang lain, bagaimana ia bisa dengan tiba-tiba saja berada di air tanpa diketahui masuknya dan bagaimana ia bisa menangkap-nangkapi ikan seakan-akan ikan itu menyerah begitu saja pada tangannya?
Tiong San lalu melangkah maju sampai ke dekat telaga dan setelah berada dekat dengan orang yang bermain-main dengan ikan-ikan di air itu, ia menjadi girang sekali. Tak salah lagi, rambut yang panjang dan terapung-apung di atas air seperti rambut seorang wanita itu membuktikan bahwa orang ini memang benar orang gila yang ditunggu-tunggunya!
“Locianpwe (orang tua gagah)!” Tiong San memanggil ke arah orang itu. Akan tetapi yang dipanggilnya tidak meladeninya, bahkan makin gembira, tertawa terbahak-bahak sambil mengejar seekor ikan sisik kuning.
“Emas..... emas.....! Ha, aku ingin emas pada sisikmu itu!”
Ikan bersisik kuning emas itu berenang cepat melarikan diri. Akan tetapi tangan kanan orang itu lebih cepat lagi dan sebentar saja ia telah dapat menangkap ikan itu, diangkatnya tinggi-tinggi, kemudian menjepit ikan itu pada bawah lengan kirinya karena tangan kiri sudah penuh ikan. Lalu ia menggunakan tangan kanan untuk mencabut beberapa sisik ikan itu lalu diletakkannya di atas kepalanya bagai penghias rambut.
“Bagus, bagus.... aku memakai emas.... ha ha ha!”
“Locianpwe....!” Tiong San memanggil lagi lalu mengulang panggilannya sampai berkali-kali. Akan tetapi orang itu sama sekali tak menghiraukannya. Kemudian pemuda itu teringat bahwa orang ini biarpun berkepandaian tinggi, akan tetapi mungkin memang benar-benar miring otaknya hingga tidak mau disebut locianpwe, maka ia berseru lagi keras-keras, “Eh, kakek gila.....!”
Benar saja kali ini si gila itu menengok dan ketika melihat Tiong San berdiri di pinggir telaga, ia lalu berkata sambil tertawa, “Ha ha ha, kau anak gendeng sudah berada di situ? Ayo, kau bantu aku menangkap daging ikan yang lezat!” sambil berkata demikian, ia mengambil ikan yang tadi digigitnya dan dengan hati ngeri Tiong San melihat betapa ikan itu telah kehilangan ekornya, agaknya sudah masuk ke dalam perut orang itu.
“Kau tidak lekas-lekas melompat turun?” orang gila itu berteriak dan suaranya terdengar marah. Aneh sekali, Tiong San ketika mendengar suara ini, merasa betapa suara itu amat berpengaruh yang mengharuskan ia menuruti perintah, maka tanpa memperdulikan sesuatu lagi, ia lalu melompat dan mencebur ke dalam telaga!
Biarpun bukan seorang ahli berenang, akan tetapi oleh karena di dalam kampungnya terdapat anak sungai di mana ia mandi dengan kawan-kawannya ketika kecil, Tiong San cukup dapat menguasai kaki tangannya yang digerakkan untuk menjaga dirinya supaya tidak tenggelam.
“Ha ha, bagus! Tangkap ikan itu!”
“Mana?” tanya Tiong San sambil memandang ke sekelilingnya yang hanya air belaka.
“Itu! Dia berenang di dekat kakimu! Ah ..... ia berenang jauh, dasar kau tolol!”
Orang tua itu menangkap seekor ikan lagi dan berkali-kali memberi tahu kepada Tiong San akan adanya ikan di dekatnya yang sama sekali tidak terlihat oleh Tiong San. Sebetulnya andaikata pemuda itu dapat melihat ikan yang berada di dekatnya, tetap ia takkan dapat menangkapnya.
Jangankan disuruh menangkap ikan yang dapat berenang amat cepatnya dan mempunyai tubuh yang sangat licin, sedang untuk menjaga diri jangan sampai tenggelam saja sudah merupakan pekerjaan yang amat berat baginya.
Sampai lama si gila itu bermain-main di air dan Tiong San mulai tidak tahan lagi. Tubuhnya memang sudah lemas dan lapar, maka kini karena berada di dalam air, ia menggigil kedinginan dan hampir tak kuasa menggerakkan kaki tangannya lagi.
“Aku.... aku dingin...” katanya dengan bibir gemetar dan muka berwarna biru.
Orang gila itu memandangnya dan tiba-tiba tertawa terkekeh-kekeh seakan-akan merasa amat geli hatinya. “Kau... kau seperti mayat hidup! Ha ha ha! Alangkah lucunya! Kalau tidak bisa menangkap ikan, mengapa masuk ke dalam air? Benar tolol!”
“Kau yang suruh aku turun!” jawab Tiong San yang merasa mendongkol juga.
“Aku? Ha ha ha! Aku suruh kau membantu tangkap ikan, bukan suruh kau mandi.”
“Siapa yang mandi?”
“Kau lapar! Ya, kau lapar, kudengar perutmu berkeruyuk. Ha ha ha!”
Mendengar perkataan yang tidak keruan arahnya ini, Tiong San makin merasa yakin bahwa orang ini benar-benar gila. Akan tetapi bagaimana ia dapat mendengar suara perutnya yang berkeruyuk? Ia memang merasa betapa perutnya menggeliat-geliat, akan tetapi telinganya sendiripun tidak mendengar suara keruyukan perutnya. “Aku dingin....”
“Lapar!" Bantah kakek itu.
“Tidak, dingin!” Tiong San berkeras karena merasa malu mengaku lapar.
“Lapar, lapar, lapar!” kakek itu berteriak berulang-ulang dengan marah seperti laku seorang anak kecil bertengkar dengan kawannya.
Tiba-tiba Tiong San merasa geli sekali melihat hal yang dianggapnya amat lucu ini. Ia teringat betapa dulu ketika kecilnya, ia sering bertengkar dengan Thio Swie tentang sesuatu dan sikap kakek gila ini sama dengan Thio Swie di waktu kecil.
“Baiklah,” katanya kemudian. “Aku memang lapar.”
Si gila tertawa bergelak-gelak, “Ha ha ha! Kau dingin!”
“Aku lapar!”
“Dingin, dingin, dingin!” lagi-lagi kakek itu berteriak-teriak sehingga Tiong San merasa bohwat (kehilangan akal) dan terpaksa pula ia mengangguk-anggukkan kepala. “Memang aku dingin dan lapar.”
“Kau memang bodoh, anak gila yang bodoh. Makanan sudah tersedia, mengapa masih menderita kelaparan?”
“Makanan? Mana?”
“Ikan-ikan itu, bukankah tinggal ambil saja?”
“Aku tak dapat menangkapnya.”
“Hm, memang kau bodoh. Nah, ini makanlah!” sambil berkata demikian si gila menyodorkan seekor ikan besar yang masih bergerak-gerak karena belum mati kepada Tiong San.
Pemuda itu menerimanya dan harus mempergunakan kedua tangannya untuk memegang erat-erat karena ikan itu meronta-ronta. Karena kedua tangannya memegang ikan, maka tubuhnya lalu tenggelam.
Tiong San mendengar suara orang gila itu menertawakan, maka ia menggertakkan gigi dan menggerakkan kedua kakinya hingga tubuhnya mumbul lagi ke permukaan air. Selanjutnya ia menggerak-gerakkan kedua kakinya seperti orang berlari hingga tubuhnya tetap terapung dan tidak tenggelam.
“Lekas makan!” kata si gila.
“Apa! Makan apa? Ikan ini harus dimasak dulu!”
“Gila dan tolol! Makanan enak-enak akan dirusak pula! Kau makanlah, ikan ini enak sekali apabila belum mati. Masih segar darahnya!”
Setelah berkata demikian, orang gila itu menggeragoti seekor ikan yang dipegangnya. Ikan itu meronta-ronta, akan tetapi tidak kuasa melawan gigi orang gila yang telah membenamkan giginya pada perut ikan dan sekali ia menggeragot, daging perut telah terbawa pada mulutnya yang lalu dikunyahnya dengan enaknya! Tiong San menjadi pening kepalanya melihat hal ini. Kengerian terbayang pada matanya.
“Ayo, makan ikanmu!” si gila kembali mendesak.
Tentu saja Tiong San tidak mau menurut perintahnya, dan tiba-tiba pemuda ini timbul sebuah pikiran. Ia maklum akan kesaktian orang gila ini dan ingin sekali menjadi muridnya untuk memiliki ilmu kepandaian yang hebat itu, maka ia lalu berkata.
“Aku mau menurut perintahmu asal kau mengambil murid padaku!”
Orang gila itu kembali bergelak tertawa. “Mengapa harus mengambil murid?”
“Karena hanya seorang muridlah yang harus tunduk kepada gurunya. Kalau kau tidak mau mengambil murid kepadaku, aku takkan sudi menjalankan peintahmu!”
“Ha ha ha! Semenjak melihatmu, aku memang suka kepadamu, karena kau tidak seperti orang-orang gila yang lain. Baiklah, kau kuterima menjadi muridku. Nah, makanlah ikanmu!”
Tiong San merasa girang sekali, akan tetapi juga gelisah. Bagaimana ia dapat makan daging ikan yang mentah, bahkan ikan yang masih hidup segar dan berkelonjotan di tangannya? Akan tetapi, ia tahu bahwa orang gila itu aneh sekali pikirannya dan kalau ia menolak atau tidak mentaati perintahnya, tentu akan menjadi marah dan akan sia-sialah maksudnya berguru.
Maka sambil meramkan mata ia lalu membuka mulut dan menggigit perut ikan yang dipegangnya! Ikan itu meronta keras sekali dan telinga Tiong San seakan-akan mendengar pekik kesakitan dari ikan itu, maka ia urungkan maksudnya dan membelalakkan mata dengan penuh kengerian.
Hampir saja ia melepaskan ikan itu dari pegangannya. Akan tetapi ia bertemu pandang dengan si gila yang kini telah menjadi gurunya, dan sepasang mata orang itu berputar-putar liar hingga ia takut sekali. Dengan cepat ia lalu menggigit lagi dan kini ia betul-betul menggigit hingga terasa darah ikan yang asin dan agak manis itu pada lidahnya. Ia telah berhasil menggeragot sepotong daging yang terus dikunyahnya tanpa berani memandang kepada ikan yang masih meronta-ronta di tangannya!
Orang gila itu tertawa terbahak-bahak. “Gila! Gila dan bodoh! Mengapa ikan hidup dimakan?”
Panas sekali hati Tiong San mendengar ini, akan tetapi karena ia ingat bahwa orang itu memang gila, maka ia menjadi sabar kembali.
“Ayo, ikut aku naik!” kata pula si gila dan entah bagaimana caranya bergerak, biarpun tubuhnya masih lurus seperti orang berdiri di dalam air, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya dapat bergerak maju dengan amat cepatnya.
Tiong San lalu berenang ke pinggir dengan tubuh lemas dan napas tersengal-sengal. Ia dapat mencapai pinggir telaga, akan tetapi tidak dapat naik karena pinggir telaga itu tingginya lebih dari satu tombak. Si gila tadi dengan mudahnya menggerakkan tubuh dan tahu-tahu tubuhnya telah melompat ke darat tanpa memperdulikan Tiong San.
“Suhu.... tolong teecu (murid) naik....!” Tiong San berseru karena ia benar-benar telah tidak kuat lagi. Kedua kakinya telah menjadi kaku kedinginan dan sukar digerakkan lagi hingga beberapa kali ia telah tenggelam dan minum air telaga secara terpaksa.
Kepala orang gila itu muncul di atasnya dan tiba-tiba si gila itu menggerakkan cambuknya yang tadi digulung dan berada di pinggangnya. Cambuk ini panjang sekali dan tahu-tahu cambuk itu telah menyambar air di pinggir tubuh Tiong San dan telah melibat perutnya.
Tiong San tidak tahu bagaimana hal itu dapat terjadi, akan tetapi ia merasa seakan-akan pinggangnya ada yang memegang dan tahu-tahu tubuhnya melayang ke atas dan ia terlempar ke darat dengan selamat, dalam keadaan berdiri.
Segera ia menjatuhkan diri berlutut di depan orang gila itu. “Suhu, teecu menghaturkan terima kasih bahwa suhu telah sudi menerima teecu sebagai murid.”
“Ha ha ha! Orang gila memang aneh kelakuannya. Aku belum mati mengapa kau sembah-sembah? Ayo, lekas panggang ikan itu, aku ingin makan daging panggang. Kau muridku, bukan? Maka kau harus menurut segala perintahku. Panggang ikan itu baik-baik!”
Setelah berkata demikian, si gila itu lalu melompat-lompat dengan girang sambil tertawa-tawa dan tak lama kemudian terdengar mendengkur karena ia telah tertidur di bawah sebatang pohon dengan tubuh masih basah kuyup.
Tiong San lalu mengambil kayu kering dan membuat api dengan susah karena tangannya yang lemah itu sukar sekali menyalakan api dengan menggosok. Akhirnya ia mendapatkan batu karang yang keras dan ketika ia menggosok batu-batu itu, ternyata bahwa batu itu adalah batu api yang mudah mengeluarkan api.
Ia menjadi girang sekali dan sebentar saja di tempat itu nampak api unggun menyala dan Tiong San merasa betapa hangat dan enaknya duduk memanggang ikan di dekat api yang panas itu pada saat tubuhnya sedang menderita kedinginan.
Akan tetapi, kehangatan tubuh ini menimbulkan penderitaan baru, karena perutnya yang tadi tidak amat mengganggu ketika ia kedinginan, kini setelah tubuhnya hangat dan darahnya berjalan cepat, rasa lapar itu mengganggunya bukan main seakan-akan menggeragoti perutnya dari sebelah dalam. Belum pernah selama hidupnya Tiong San menderita kesengsaraan sehebat ini.
Sampai menjelang fajar suhunya masih belum bangun. Daging ikan sudah semenjak tadi matang dan api unggun terus ia nyalakan untuk mengusir dingin. Ia merasa lapar sekali, akan tetapi ia tidak berani mengganggu lima ekor ikan besar yang kini telah matang itu. Ia anggap kurang sopan kalau ia mendahului suhunya makan daging tadi, maka dengan mengeraskan hati ia menahan lapar dan menunggu dengan penuh kesabaran.
Setelah fajar berganti pagi dan telaga itu mulai dikunjungi orang, barulah si gila itu bangun dari tidurnya dan segera mulai makan. Tiong San diam saja tidak ikut makan sampai si gila itu menghabiskan sebuah kepala ikan dan berkata, “Ayo, makan!”
Ketika Tiong San baru saja makan dua gigitan, ia membentak, “Makan ya makan, tapi jangan banyak-banyak!”
Bukan main mendongkolnya hati Tiong San. Akan tetapi ia tidak berkata sesuatu, hanya makan dengan gigitan sedikit-sedikit dan perlahan-lahan. Gurunya membentak lagi sambil melototkan matanya yang besar,
“Kok sedikit amat! Kau makan atau main-main? Ayo, makan yang banyak! Apa kaukira aku harus menghabiskan semua ikan ini?”
Di dalam hatinya Tiong San merasa mendongkol dan juga geli. Akan tetapi ia mulai biasa dengan adat suhunya yang gila-gilaan, maka ia segera makan dengan lahap sekali. Karena memang perutnya telah amat lapar hingga ikan itu terasa amat gurih dan enak.
Dengan heran ia melihat betapa gurihnya hanya makan sedikit daging ikan itu. Akan tetapi semua kepala dan tulang ikan yang keras itu dikunyahnya sampai berbunyi keletak-keletuk seperti anjing menggeragoti tulang...!