Naga Merah Bangau Putih Jilid 05, karya Kho Ping Hoo - Lie Kai selamat dalam pertempuran-pertempuran itu dan akhirnya ia lari menggabungkan diri dengan pasukan yang dipimpin Cheng Cheng Kung dan Chang Huang Yen, dua orang pahlawan yang terkenal gagah perkasa itu. Lie Kai sudah mulai terkenal di antara para pejuang. Ia dianggap gagah dan amat berani menyerbu musuh sehingga ia mendapat banyak pujian.

Pada suatu hari, ketika pasukan-pasukan pejuang dari lain daerah menggabungkan diri, Lie Kai terkejut setelah melihat bahwa pasukan ini dipimpin oleh Song Liang! Dua orang yang pernah bertempur dan bermusuhan ini saling berhadapan dalam satu perjuangan! Lie Kai terpaksa memberi hormat terlebih dulu oleh karena Song Liang menjadi kepala pasukan kedudukannya tinggi, sedangkan ia hanya seorang perajurit suka rela biasa saja.
Juga Song Liang mendapat nama baik karena bekas panglima perang ini amat pandai mengatur siasat pertempuran, dan sudah banyak jasanya dalam menghantam musuh. Kedua orang pemimpin besar, Cheng Cheng Kung dan Chang Huang Yen, memimpin barisan besar terdiri dari seratus ribu orang lebih, lalu mempergunakan ribuan buah perahu yang dilayarkan sepanjang Sungai Yang-Ce.
Mereka ini menuju ke Nanking untuk mengurung kota itu dan menghantam musuh di sepanjang Sungai Yang-Ce. Rakyat membantu pergerakan ini dan makin lama makin besarlah barisan itu. Juga Lie Kai dan Song Liang berada dalam barisan ini. Lie Kai selalu mendekati kepala pasukan ini, karena ia telah menantang Song Liang untuk mengadu kepandaian bilamana perjuangan itu telah selesai!
“Pada waktu ini, kita menjadi kawan seperjuangan,” kata Lie Kai kepada Song Liang, “Akan tetapi, apabila perjuangan telah selesai, kita akan menjadi musuh! Kau telah merampas mantuku, sehingga anak perempuanku menderita karenanya. Maka kau harus mati di tanganku!”
Song Liang tentu saja tidak takut, sungguhpun ia maklum akan kegagahan Lie Kai. “Baik, kalau perjuangan telah selesai, aku akan menghadapimu, dan kita akan sama lihat, siapa diantara kita dua orang tua bangka yang akan mampus lebih dulu!” jawab Song Liang.
Pertempuran hebat susul-menyusul. Korban dikedua fihak jatuh bertumpuk-tumpuk. Dalam sebuah pertempuran hebat di tepi Sungai Yang-Ce, pasukan yang dipimpin oleh Song Liang terkurung hebat dan agaknya ia serta pasukannya takkan tertolong lagi. Akan tetapi, Song Liang dan anak buahnya mengadakan perlawanan hebat, mengamuk bagaikan naga-naga perkasa.
Apalagi Lie Kai yang juga berada dalam pasukan itu, ia mengamuk sehingga membuat musuh merasa kagum dan ngeri. Karena jumlah musuh amat besar, akhirnya pasukan dibawah pimpinan Song Liang yang gagah perkasa itu dipukul hancur. Sebatang anak panah meluncur cepat dan menancap dada, kepala pasukan Song Liang. Ia roboh mandi darah.
Dan ketika seorang perajurit musuh hendak menusuknya dengan tombak, Lie Kai datang menolongnya. Dengan sekali tendang saja terlemparlah perajurit musuh dan jatuh tak bernyawa lagi. Lie Kai menghampiri Song Liang dan memangku kepalanya. Ternyata tidak ada harapan lagi bagi Song Liang perwira gagah perkasa itu. Anak panah tadi telah menancap dan hampir menembus punggungnya.
“Lie Kai... Ternyata aku yang tewas lebih dulu...! Tidak merepotkan kau, kini kau tak perlu bersusah-susah membunuhku lagi!” Sambil tersenyum, panglima tua ini menarik napas terakhir dalam pelukan Lie Kai.
Dua orang musuh menjadi sahabat dalam perjuangan. Alangkah sucinya perjuangan membela tanah air! Lie Kai bangkit dan mengamuk bagaikan seekor harimau kehilangan anaknya. Akhirnya, hanya dia dan beberapa orang kawan lain yang gagah perkasa saja dapat melepaskan diri dari kepungan dan lari menggabung dengan pasukan lain.
Betapapun gagahnya dua orang pemimpin besar Cheng Cheng Kung dan Chang Huang Yen, namun kekuatan bala tentara Mancu jauh lebih besar. Akhirnya pasukan-pasukan pejuang itu terpaksa mundur dari Sungai Yang-Ce dan kembali ke Amoi. Tentara Mancu mengejar terus dan beberapa tahun kemudian, Chang Huang Yen tertawan dan dibunuh oleh penjajah Mancu.
Hancurnya pasukan-pasukan pejuang ini membuat mereka berpencaran dan tidak adanya pimpinan membuat mereka menjadi lemah. Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi hanya merupakan pemberontakan golongan atau perseorangan saja, yang tidak begitu berarti bagi penjajah. Lie Kai merasa bosan dan lelah, pula ia telah mulai menjadi tua.
Terutama sekali ia merasa rindu kepada cucunya yang telah ditinggalkannya tiga belas tahun lamanya itu! Ia kembali ke barat, menuju ke Propinsi Secuan dan mendaki Bukit Thai-Liang-San.
Kita tinggalkan dulu Lie Kai yang mendaki Thai-Liang-San untuk menjumpai cucunya yang telah ditinggalkan belasan tahun lamanya itu. Dan marilah kita kembali menengok keadaan Houw Sin dengan keluarganya.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, setelah mendapat pertolongan dari Oei Lian Niang-Niang dari ancaman Lie Kai, dan setelah Song Liang berangkat untuk ikut berjuang melawan barisan penjajah. Oei Liang Niang-Niang tinggal di rumah Houw Sin untuk menjaga keselamatan sepasang suami isteri itu dan untuk memberi pelajaran ilmu silat tinggi kepada Song Bwee Eng.
Akan tetapi ternyata sampai terlahirlah anak yang dikandung oleh Bwee Eng, tak pernah ada gangguan dari Lie Kai. Anak itu adalah anak perempuan dan diberi nama Siang Hwa. Ketika Oei Liang Niang-Niang mendengar bahwa Houw Sin merobah shenya karena takut kepada bangsa Mancu, Tokouw ini menyatakan tidak setuju.
“Mengapa harus mengganti nama keluarga? Kalau memang ada orang Mancu yang mengganggu takut apakah? Bwee Eng mempunyai cukup kepandaian untuk menghadapi orang yang mau mengganggu.”
Oleh karena itu, maka kini Houw Sin menggunakan shenya sendiri lagi, dan Siang Hwa diberi she sebenarnya, yakni she Liok. Atas kehendak Bwe Eng, setelah Siang Hwa berusia lima tahun, anak itu lalu diantarkan ke tempat Pertapaan Oei Liang Niang-Niang yang sudah kembali ke bukit Cin-Ling-San di Propinsi Shensi.
Houw Sin tidak berkeberatan bahkan merasa setuju sekali, oleh karena ia maklum bahwa dalam jaman sekacau itu, kepandaian silat jauh lebih penting untuk menjaga diri daripada kepandaian menulis. Oei Liang Niang-Niang dan kedua sucinya (kakak seperguruan) yakni Pek Lian Niang-Niang dan Ang Lian Niang-Niang suka sekali menerima Liok Siang Hwa sebagai murid, apalagi setelah kedua sucinya itu mendengar bahwa Liok Siang Hwa bukanlah keturunan sembarangan.
Kakek dalam (Ayah dari Ayah) anak itu adalah seorang pangeran, dan Pangeran Liok Han Swee terkenal sebagai seorang bangsawan yang jujur dan baik budi. Adapun Kakek luar (Ayah dari Ibu) anak itupun seorang pahlawan bangsa yang terkenal, yakni panglima Song Liang yang sampai saat itu masih ikut berjuang bersama para patriot lainnya!
Akan tetapi, ketika barisan Mancu menyerbu sampai di Lok-Yang tempat tinggal mereka, Houw Sin dan isterinya terpaksa mengungsi juga. Mereka lalu lari ke Propinsi Shensi, dan tinggal di kota Han-Cung yang berada di kaki bukit Cin-Ling-San. Mereka sengaja pindah ke tempat ini agar berada dekat dengan bukit di mana puteri mereka belajar silat dibawah asuhan Sam-Lian Sian-Li (Tiga Dewi Teratai) dari bukit Cin-Ling-San itu.
Di kota Han-Cung, Houw Sin dan Bwee Eng hidup tenteram dan damai. Bwee Eng telah me-maafkan suaminya dan Houw Sin juga telah melupakan Sui Lan. Akan tetapi ada satu hal yang amat mengganggu pikiran mereka, yakni Ayah Bwee Eng yang telah pergi sampai bertahun-tahun itu sama sekali tidak ada beritanya.
Mendengar betapa dimana-mana pasukan pejuang dihancurkan oleh balatentara Mancu, mereka menjadi gelisah sekali. Setelah semua perlawanan para pejuang bangsa dapat dipatahkan dan api pemberontakan dipadamkan, masih juga belum ada berita dari Song Liang. Tentu saja Bwee Eng dan Ibunya yang ikut pula pindah ke Han-Cung, menjadi amat gelisah hatinya.
Telah beberapa kali Bwee Eng menyuruh orang mencari kabar tentang Ayahnya, bahkan pernah ia sendiri bersama suaminya pergi sampai tiga bulan mencari-cari Ayahnya, akan tetapi tetap saja usahanya tak berhasil. Mereka hanya mendengar bahwa Panglima Song Liang telah mundur ke selatan untuk memperkuat pertahanan di sana.
Maka tak ada lain jalan bagi mereka kecuali menanti di Han-Cung dengan penuh pengharapan. Mereka telah memberi pesanan kepada kawan-kawan yang dikenalnya di Lok-Yang agar supaya memberitahukan alamat baru mereka jika sewaktu-waktu Song Liang kembali ke Lok-Yang.
Waktu berjalan amat cepatnya dan tak terasa pula sepuluh tahun telah lewat semenjak Liok Siang Hwa belajar ilmu silat di puncak Cin-Ling-San. Selain mempelajari ilmu silat, ia juga menerima pendidikan ilmu surat dari Pek Lian Niang-Niang dan menerima pula kiriman kitab-kitab pelajaran kesusteraan dari Ayahnya, sehingga gadis inipun mempunyai pengertian tentang ilmu sastera yang cukup lumayan.
Kini Siang Hwa telah menjadi seorang dara berusia lima belas tahun. Tubuhnya tinggi ramping dan wajahnya cantik seperti Ibunya, dan sungguhpun ia bersikap halus dan lembut seperti Ayahnya, namun ia memiliki kekerasan hati yang agaknya diwarisi dari Kakeknya, Song Liang! Ia amat berbakat dalam ilmu silat sehingga semua pelajaran ilmu silat yang diturunkan oleh Sam-lian Sian li kepadanya dapat diterimanya dengan baik sekali.
Tidak mengherankan apabila dalam waktu sepuluh tahun lamanya itu, ia telah dapat menghisap sari pelajaran ilmu silat tinggi, dan kepandaiannya sudah mencapai tingkat yang mengagumkan. Keistimewaannya adalah ilmu pedang ciptaan ketiga orang Tokouw itu, yakni yang di sebut Ang-Liong Kiam-Sut( Ilmu Pedang Naga Merah)!
Ilmu pedang ini diciptakan bersama oleh tiga orang Tokouw yang berilmu tinggi itu, maka tentu saja amat hebat dan luar biasa sekali. Pek Lian Niang-Niang, Tokouw yang tertua, adalah seorang ahli lweekang, Ang Lian Niang-Niang seorang ahli ginkang yang mempunyai gerakan bagaikan seekor burung gesitnya, sedangkan Oei Lian Niang-Niang pernah mempelajari ilmu silat yang mengutamakan Tiam-Hwat (ilmu menotok jalan darah).
Tiga orang Tokouw ini memasukkan keistimewaan masing-masing ke dalam ilmu pedang Ang-Liong Kiam-Sut ini. Oleh karena itu tidak mudahlah untuk mempelajari ilmu pedang ini yang selain membutuhkan tenaga lweekang yang sudah kuat, gerakan ginkang yang tinggi, juga harus mengenal dasar-dasar ilmu silat tinggi.
Setelah Sing Hwa belajar ilmu silat delapan tahun lamanya, barulah ia mulai mempelajari ilmu pedang ini selama dua tahun! Ia amat suka akan ilmu pedang ini dan dengan rajin serta tekunnya ia melatih diri setiap hari selama dua tahun. Tak mengherankan apabila ia dapat mewarisi ilmu pedang ini dan apabila ia mainkan pedangnya, ketiga orang Gurunya diam-diam merasa bangga dan puas sekali.
Mereka sendiri belum tentu akan dapat mainkan ilmu pedang sebaik itu, yakni dalam gaya dan kegesitannya. Setelah Siang Hwa berusia enam belas tahun, ketiga orang Gurunya memanggilnya menghadap. Pek Lian Niang-Niang lalu berkata.
“Siang Hwa muridku. Telah cukup lama kau mempelajari ilmu silat di bukit ini dan sekarang sudah tiba waktunya bagimu untuk turun gunung dan hidup dengan orang tuamu. Kau sudah dewasa dan kiranya tak perlu Pinni mengingatkan lagi bahwa semua ilmu yang kau pelajari di sini baru ada artinya apabila kau pergunakan untuk kebaikan sesama manusia yang perlu mendapat pertolonganmu.”
Ang Lian Niang-Niang yang amat mencinta Siang Hwa juga berkata, “Muridku, sungguhpun kau telah mempelajari kepandaian di sini dan kami tidak merasa kecewa melihat kemajuanmu, akan tetapi jangan sekali-kali kau menganggap bahwa kepandaianmu itu sudah amat sempurna. Ingatlah selalu bahwa di dunia ini tidak ada orang yang terpandai.
"Kepandaian tak terbatas, dan dimana saja serta bilamana saja, biarpun kau sudah menjadi nenek seperti Pinni, masih banyak kepandaian yang dapat kau pelajari. Kesombongan dan menganggap diri sendiri pandai mendatangkan kecerobohan yang akan menjerumuskan diri sendiri ke jurang kekecewaan.
"Sebaliknya, orang yang dapat merendahkan diri dan mengetahui kekurangan serta kebodohan sendiri akan mendatangkan kewaspadaan dan orang seperti inilah yang akan berhasil dalam hidupnya, dan akan mencapai kemajuan pesat.”
Oei Lian Niang-Niang, Tokouw termuda, tersenyum dan sambil mengelus-elus rambut muridnya dengan penuh kasih sayang ia berkata. “Muridku, kau perhatikanlah baik-baik semua nasihat-nasihat Gurumu, Pinni hanya akan memberi ini kepadamu, karena untuk Pinni sudah tidak ada gunanya lagi. Sambil berkata demikian, Oei Liang Niang-Niang lalu mengambil sebuah pedang panjang yang tak pernah dipergunakan atau dipakainya.
Pedang ini adalah sebuah pedang mustika yang kuno dan terukir indah gagangnya, di mana terdapat tiga huruf emas yang berbunyi “Gin-Kong-Kiam” (Pedang Sinar Perak). Telah bertahun-tahun Oei Liang Niang-Niang menyimpan saja pedang ini dan kalau ia turun gunung, ia cukup bersenjata sebuah hud-tim (kebutan) saja.
Siang Hwa berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada ketiga orang Gurunya kemudia ia lalu turun gunung menuju ke rumah orang tuanya di kota Han-Cung yang terletak di kaki Bukit Cin-Ling-San. Tentu saja Houw Sin dan Bwee Eng merasa amat girang melihat puterinya telah turun gunung. Apalagi ketika Siang Hwa mainkan pedangnya untuk memenuhi permintaan Ibunya.
Kedua suami isteri ini merasa kagum, takjub dan bangga. Akan tetapi, setelah tinggal bersama kedua orang tuanya yang hidup dari hasil beberapa petak sawah, dan tinggal menganggur saja, Siang Hwee merasa kurang betah tinggal di rumah. Apalagi ia melihat betapa Ayah-Bundanya seringkali termenung dan bermuram durja.
“Ibu, aku melihat Ibu dan Ayah agaknya mempunyai sesuatu yang menjadi buah pikiran, agaknya seperti bersedih. Sesungguhnya apakah gerangan yang menyedihkan hati Ibu dan Ayah?” tanya Siang Hwa ketika ia duduk di depan Ayah dan Ibunya.
Ibunya menghela napas, lalu memandang kepala suaminya dan kemudian karena melihat suaminya tidak berkeberatan, ia berkata, “Anakku, sesungguhnya Ayah Ibumu memang sedang berduka. Tak lain kami sedang memikirkan Kong-kongmu (Kakekmu), yaitu Ayahku. Kau tentu belum tahu dan belum diceritakan pula oleh Gurumu Oei Lian Niang-Niang, bukan?”
Memang Siang Hwa belum pernah mendengar tentang Song Liang, Kong-kongnya itu, bahkan ia belum pernah melihat muka Kakeknya itu yang telah pergi semenjak ia belum terlahir. “Belum pernah, Ibu. hanya diam-diam tadinya kukira bahwa aku sudah tidak mempunyai Kakek lagi.”
“Memang orang tua Ayahmu telah meninggal dunia sebelum kau terlahir, dan tak perlu kuceritakan lagi bahwa Ibuku meninggal dunia beberapa tahun yang lalu, karena kau tentu masih ingat akan hal itu. akan tetapi, sesungguhnya, Ayahku atau Kong-kongmu itu masih ada. Ia telah pergi berjuang melawan musuh negara enam belas tahun yang lalu sebelum kau terlahir. Akan tetapi sampai sekarang, kami belum pernah mendengar beritanya.”
Siang Hwa mengerutkan kening. “Apakah Ibu sudah pernah mencarinya?”
“Sudah, bahkan pernah Ibu dan Ayahmu sendiri pergi mencari. Akan tetapi hasilnya sia-sia belaka. Kabarnya Kong-kongmu itu bersama pasukannya mundur ke selatan. Akan tetapi sekarang sudah tidak ada perang lagi dan Kong-kongmu belum juga kembali. Ah, aku benar-benar gelisah sekali, nak. Kami tidak tahu apakah Kong-kongmu itu masih hidup atau telah gugur dalam peperangan. Keraguan inilah yang membimbangkan dan membingungkan hati.”
Bwee Eng lalu menceritakan kepada puterinya tentang keadaan Song Liang dan diam-diam Siang Hwa yang sering mendengar cerita-cerita tentang kepahlawanan dan patriot-patriot negara dari ketiga orang Gurunya, merasa amat bangga dan kagum terhadap Kong-kongnya.
“Ah, kalau begitu Kong-kong adalah seorang pendekar tua, seorang pahlawan bangsa yang besar! Alangkah senangku kalau aku dapat bertemu dengan dia!”
Kemudian ia teringat akan sesuatu. Ia memang tak kerasan lagi berada di rumah orang tuanya menganggur saja dan ketiga orang Gurunya juga berpesan agar supaya ia mempergunakan kepandaiannya menolong sesama manusia. Kalau ia duduk saja di dalam kamar dirumah orang tuanya, bagaimana ia dapat mempergunakan kepandiannya?
“Ayah... Ibu...!” katanya dengan wajah girang dan matanya berseri-seri memandang kepada orang tuanya. “Biarlah aku yang pergi mencari Kong-kong! Aku tentu akan berhasil mencarinya!”
Kedua suami-isteri itu saling pandang dengan khawatir. Houw Sin merasa khawatir sekali karena sebagai seorang yang tidak memiliki ilmu silat tinggi tentu saja ia mengkhawatirkan puterinya. Bagaimana seorang gadis dewasa hendak pergi merantau seorang diri dalam saat yang kacau ini?
Juga Bwee Eng merasa khawatir. Ibu muda ini maklum dan cukup percaya akan kepandaian Siang Hwa, akan tetapi Siang Hwa belum pernah merantau dan sama sekali belum mempunyai pengalaman di dunia ramai. Bagaimana kalau ia bertemu dengan orang jahat yang akan mengalahkannya dengan tipu muslihat!
“Jangan, Siang Hwa!” Ayahnya berkata cepat-cepat, sambil menggoyang-goyangkan tangannya. “Bagaimana seorang gadis seperti kau pergi merantau seorang diri? Kalau kau bertemu dengan perampok-perampok, bukankah kau akan mendapat celaka?”
Siang Hwa tersenyum dan memandang kepada Ayahnya dengan lucu. “Perampok, Ayah? Berapa orang banyaknya? Kalau baru seratus orang saja anakmu masih sanggup untuk merobohkan seorang demi seorang!”
Houw Sin mengangkat kedua alisnya dan memandang tak percaya. Siang Hwa lalu berkata lagi sambil memegang tangan Ayahnya dengan sikap manja.
“Ayah, aku tadi bukan bicara menyombong, hanya untuk menghibur dan menetapkan hatimu. Sesungguhnya, Ayah, bukan percuma saja Ayah mengirim aku ke atas puncak Cin-Ling-San sampai lebih dari sepuluh tahun lamanya! Untuk apa aku belajar ilmu silat tinggi? Sebagai seorang ahli silat, aku harus melakukan perjalanan dan memberantas kejahatan, membela keadilan, dan melindungi orang-orang yang tertindas, Ayah.
"Bukankah kau akan senang pula kalau melihat aku dapat berbuat sesuatu bagi bangsa sendiri? Bagi kemanusiaan? Ingatlah, Kong-kong adalah seorang pahlawan besar, orang gagah perkasa yang rela meninggalkan keluarga untuk membela tanah air, apakah aku sebagai cucunya harus tinggal di rumah saja makan angin setiap hari?”
“Tapi, kau wanita...” Ayahnya coba membantah.
“Ayah, apakah perbedaan antara wanita dan pria dalam melakukan tugas perikemanusiaan? Wanita juga manusia, seperti pria pula. Apakah salahnya kalau aku pergi merantau barang setahun, sekalian mencari Kong-kong? Siapa tahu Ayah, kalau-kalau akulah yang menemukan Kong-kong dan membawanya pulang!”
Houw Sin kehabisan akal dan tidak tahu harus menjawab bagaimana, maka ia hanya memandang kepada isterinya. Bwee Eng semenjak tadi memandang dan mendengarkan ucapan-ucapan puteri isterinya itu, di dalam hatinya ia merasa girang sekali.
“Siang Hwa, sesungguhnya Ayahmu maupun aku sendiri tidak keberatan kau melakukan perantauan, meluaskan pengalaman dan melakukan tugas sebagai seorang pendekar silat. Apalagi karena kau hendak berusaha mencari Kong-kongmu. Akan tetapi... memang ada yang harus dikhawatirkan. Kau belum berpengalaman, nak. Dan ketahuilah, di dunia ini banyak sekali terdapat orang jahat yang tidak harus ditakuti kepandaian silatnya, akan tetapi akal bulusnya.
Kau belum tahu bahwa tipu muslihat, mulut manis, dan akal bulus seorang penjahat jauh lebih berbahaya daripada seribu batang pedang. Dengan kepandaianmu, mungkin kau akan dapat menjaga diri dari serangan beratus senjata tajam lawan-lawanmu, akan tetapi, tanpa pengalaman bagaimana kau akan dapat menghadapi tipu-tipu muslihat keji...?”
Untuk sesaat Siang Hwa menjadi bengong akan tetapi kata-kata Ibunya ini tidak melemahkan semangatnya dan tidak mengurangi kegembiraannya.
“Ibu, ketiga orang Guruku telah memberi banyak nasihat tentang kewaspadaan, dan kalau ditambah lagi dengan nasihat Ayah dan Ibu tentang keadaan dunia ramai, bukankah itu merupakan bekal yang cukup untuk menghadapi semua kepalsuan itu? Aku tidak takut, Ibu, dan aku berjanji akan berlaku hati-hati dan waspada, tidak mau mempercayai sembarang mulut manis.”
Karena melihat betapa Siang Hwa sudah tetap pendiriannya, maka Bwee Eng dan Houw Sin tidak dapat menahannya lagi. Akan tetapi mereka tidak mau membiarkan Siang Hwa pergi sebelum gadis itu untuk berhari-hari lamanya mendengarkan nasihat-nasihat mereka tentang kepalsuan-kepalsuan dan tipu-tipu muslihat yang mungkin akan dihadapi oleh puterinya ini. Segala macam akal bangsat yang pernah mereka dengar atau alami sendiri, mereka buka rahasianya di depan Siang Hwa.
Bwee Eng yang juga pernah merantau di waktu mudanya, menceritakan segala macam pengalamannya dan segala macam kejahatan yang mungkin dilakukan orang di kota-kota besar. Beberapa pekan kemudian, berangkatlah Siang Hwa memulai perantauan dengan tujuan mencari Kong-kongnya, panglima Song Liang di daerah selatan. Ia menunggang seekor kuda bulu putih karena Ayahnya memaksanya agar supaya ia melakukan perjalanan berkuda.
Selain bungkusan pakaian yang cukup besar dan bekal uang yang cukup banyak, Siang Hwa juga membawa sehelai kain putih yang merupakan peta, peta buatan Ayah Ibunya. Peta itu dibuat secara sederhana, hanya untuk memberi garis besar kepada puteri mereka dan dapat melakukan perjalanan dengan tujuan ke arah kota-kota tertentu.
Siang Hwa paling suka akan warna merah, melakukan perjalanan dengan mengenakan pakaian ringkas warna merah, juga bekal pakaian sebagian besar berwarna merah. Pedang Gin-Kong-Kiam tergantung pada pinggangnya dan ia nampak gagah serta cantik sekali. Kedua orang tuanya memandang puteri mereka sampai bayangan merah di atas kuda itu lenyap di balik debu yang mengebul di belakang kuda.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, dengan hati girang Thiat-Thouw-Gu Lie Kai si Kerbau Kepala Besi mendekati bukit Thai-Liang-San untuk menjumpai cucunya, yakni Lie Swan Hong yang belajar silat di gunung itu. ia ingin sekali melihat cucunya yang telah ditinggalkan kurang lebih empat belas tahun lamanya itu. Ah, ia tentu telah menjadi seorang pemuda yang gagah dan tampan. Memiliki ilmu silat tinggi karena telah digembleng oleh Supeknya yang berilmu tinggi yakni Lam Hoat Hwesio!
Pikiran ini menambah kegembiraannya dan orang tua ini lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat dan tidak memperdulikan kedua kakinya yang telah terasa lelah sekali karena melakukan perjalanan amat jauh. Keadaan di Gunung Thai-Liang-San tidak berobah. Belasan tahun lalu dan gunung itu masih saja seperti dulu ketika ia datang di situ mengantarkan Swan Hong.
Bahkan masih sama dengan puluhan tahun yang lalu, ketika ia masih belajar silat pada mendiang Gurunya. Lam Kong Hwesio. Memang, bukit dan sungai selalu masih sama, sukar dilihat perobahannya, tidak seperti manusia. Sungguh mengherankan kalau ia teringat betapa waktu empat belas tahun itu saja sudah mendatangkan perobahan luar biasa pada diri seorang manusia.
Dulu, empat belas tahun yang lalu, ia meninggalkan Swan Hong sebagai seorang anak kecil. Sekarang, tentu anak itu telah menjadi seorang manusia dewasa! Padahal gunung dan sungai masih sama saja, seakan-akan empat belas tahun itu hanya sehari saja!
Akan tetapi, seperti juga dulu ketika ia mengantarkan Swan Hong, kembali setelah tiba di puncak, di depan Kuil tua itu, ia menjumpai kekecewaan besar. Dulu ketika ia mengantarkan Swan Hong mencari Suhunya, ia mendapat kenyataan bahwa Suhunya itu telah meninggal dunia. Dan sekarang, begitu tiba di depan Kuil, seperti juga dulu, Kuil itu nampak sunyi sekali, sungguhpun masih bersih dan terawat seperti dulu.
Ia melangkah masuk ke ruang depan Kuil dan mendengar suara orang berdoa, sebagaimana biasa dilakukan oleh para Hwesio. Lie Kai adalah seorang jujur yang tidak biasa menggunakan banyak peradatan atau sopan-santun, maka ia terus saja bertindak masuk ke ruang dalam. Ia melihat seorang Hwesio muda yang usianya paling banyak dua puluh lima tahun, sedang berlutut dan membaca Liamkeng (berdoa).
Setelah Hwesio itu berhenti dan berdiri, Lie Kai masih dapat mengenal bahwa Hwesio ini adalah seorang di antara dua orang Hwesio kecil yang dulu juga menyambutnya. Hwesio ini sekarang nampak tampan dan mempunyai wajah yang sabar dan manis budi, sungguh amat mengagumkan bagi wajah seorang yang masih semuda itu.
“Ah, kiranya Lie-Sicu yang datang!” kata Hwesio itu sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat. Lie Kai cepat membalas penghormatan itu dan serta-merta mulutnya bertanya.
“Siauw-Suhu, dimanakah adanya cucuku Swan Hong?” Hwesio muda itu tersenyum.
“Sute (adik seperguruan) tidak berada di sini, Lie-Sicu, ia telah turun gunung kurang lebih setahun yang lalu.”
Lie Kai mengertak gigi untuk menekan perasaan kecewanya. “Dan Supek di mana? Aku mohon menghadap padanya.”
Kini Hwesio itu tersenyum duka dan mengge-lengkan kepalanya. “Sekali lagi kau terlambat, Sicu. Suhu telah meninggal dunia hanya beberapa hari sebelum Sute turun gunung. Karena Suhu meninggallah maka Sute lalu turun gunung.”
Mendengar hal ini Lie Kai benar-benar terpukul hatinya sehingga tak terasa lagi ia menjatuhkan diri duduk di atas sebuah bangku yang berada di dekatnya. Ia duduk termenung bagaikan patung, hanya dadanya yang bergerak karena ia menarik napas panjang berkali-kali.
Hwesio muda itupun mengambil tempat duduk di atas sebuah bangku dan ia lalu menuturkan keadaan Swan Hong selama berada di atas gunung itu sampai pergi lagi meninggalkan perguruan setelah Gurunya meninggal dunia.
Semenjak ditinggalkan oleh Lie Kai, Swan Hong yang baru berusia tiga tahun lebih itu lalu dirawat dengan amat sabarnya oleh Lam Hwat Hwesio. Karena Swan Hong adalah seorang anak yang lucu dan penurut maka kedua orang murid Lam Hwat Hwesio, yakni dua orang Hwesio cilik yang bernama Seng Thian Hwesio dan Seng Tee Hwesio juga amat suka kepada Swan Hong.
Maka tidak terlantarlah penghidupan anak kecil itu yang tinggal bersama ketiga orang pendeta itu di dalam Kuil itu. Lam Hwat Hwesio yang menjadi ahli dalam ilmu pengobatan itu, lalu mulai menggembleng tubuh anak kecil itu dengan obat-obatan dari luar dan dalam.
Selain memaksa anak itu minum obat beberapa hari sekali untuk memperkuat tubuh bagian dalam, juga ia menggosok tubuh anak itu dengan obat yang direndam dalam arak. Dengan rawatan yang luar biasa dan penuh ketekunan ini, Swan Hong memperoleh kekuatan yang luar biasa pada tubuhnya.
Kemudian, setelah ia berusia lima tahun, mulailah ia menerima pelajaran-pelajaran dasar dari Suhunya yang amat menyintainya itu. Juga dari kedua orang Suhengnya, yakni Seng Thian dan Seng Tee, ia mendapat petunjuk-petunjuk dan mereka berdua ini merupakan kawan bermain dan berlatih yang membuat ia selalu bergembira dan cepat maju.
Ilmu kepandaian Lam Hwat Hwesio sesungguhnya amat tinggi. Hwesio tua ini pernah diajak pibu oleh tokoh-tokoh dari Go-Bi-San dan juga dari Kun-Lun-San, akan tetapi akhirnya tokoh-tokoh itu menyatakan takluk dan amat mengagumi kepandaiannya yang benar-benar luar biasa. Yang paling hebat adalah ilmu goloknya yang disebut Pek-Ho To-Hwat (Ilmu Golok Bangau Putih), semacam ilmu golok ciptaan Hwesio itu sendiri.
Sungguhpun Lam Hoat Hwesio juga merupakan seorang ahli dalam permainan segala macam senjata, namun melihat bakat yang baik dari muridnya, ia lalu menurunkan ilmu golok itu kepada Swan Hong. Di samping ini, ia juga memberi pelajaran bermacam-macam ilmu silat yang ia ketahui sehingga Swan Hong benar-benar menerima ilmu silat yang tinggi dan jarang bandingannya di dunia ini.
Tiga belas tahun lamanya ia mempelajari ilmu silat dengan tekun dan rajin, bahkan ia dapat pula mempelajari sedikit ilmu surat dan ilmu pengobatan yang perlu-perlu bagi penjagaan diri. Beberapa kali Swan Hong bertanya kepada Suhunya tentang orang tuanya, akan tetapi oleh karena Lam Hwat Hwesio sendiri juga tidak tahu dengan jelas, lalu ia menjawab dengan kata-kata menghibur.
“Muridku, Pinceng menerimamu dari Kong-kongmu, seorang gagah perkasa yang menjadi murid keponakanku sendiri. Ia bernama Lie Kai berjuluk Thiat-Thouw-Gu dan kini sedang melakukan tugas suci berjuang disamping pahlawan-pahlawan bangsa dalam usaha mereka mengusir penjajah dari tanah air.
"Pada suatu hari, kau tentu akan bertemu dengan Kong-kongmu itu dan ia akan menceritakan segala hal mengenai orang tuamu. Hanya pernah Pinceng mendengar dari Kong-kongmu, bahwa kedua orang tuamu telah meninggal dunia. Maka janganlah kau banyak berpikir tentang hal itu muridku, dan sekarang kau belajarlah dengan giat dan rajin agar kau tidak mengecewakan harapan Kong-kongmu dan juga pengharapanmu sendiri.”
Setelah ia mewarisi seluruh kepandaian Suhunya, pada suatu hari Lam Hwat Hwesio yang gagah perkasa dan berilmu tinggi itu terpaksa mengaku kalah terhadap hukum alam dan usia tua. Usianya sudah tinggi sekali dan pada suatu hari ia jatuh sakit tak dapat bangun lagi.
“Muridku,” katanya kepada Swan Hong yang duduk bersama kedua Suhengnya, menunggu Guru yang sakit itu dengan gelisah. “Kau tak perlu berduka. Sudah semestinya orang yang dilahirkan akan mengalami kematian. Lahir dan mati adalah sama halnya dengan siang dan malam, tak dapat dipisah-pisahkan. Ada kelahiran pasti ada kematian, seperti halnya ada siang pasti ada malam.
"Aku tidak penasaran, karena sudah cukup lama aku hidup. Penyakitku ini bukanlah penyakit karena kelemahan tubuh, akan tetapi penyakit tua yang sudah semestinya datang pada tubuh yang sudah terlalu tua. Besi yang sedemikian keras, kalau sudah terlalu tua akan berkarat dan lapuk. Batang pohon yang bagaimana keraspun kalau sudah terlalu tua akan menjadi rapuh. Apalagi tubuh manusia dari kulit dan daging.”
“Akan tetapi, Suhu. Kalau Suhu sudah pergi meninggalkan Teecu, bagaimanakah akan jadinya dengan nasib Teecu? Kong-kong pergi dan sampai kini belum kembali, orang tua Teecu sudah meninggal dunia, dan satu-satunya orang yang selama ini menjadi sandaran Teecu lahir batin, hanya Suhu seorang. Kalau Suhu pergi...”
“Swan Hong, lucu benar kata-katamu ini. Tengoklah di sekelilingmu, berobahkah semua itu setelah Kong-kongmu pergi atau setelah aku pergi? Di sini ada kedua Suhengmu dan di bawah gunung ini masih ada ratusan ribu manusia lain yang menjadi saudara senasib. Mengapa kau bersikap seolah-olah kau akan kutinggalkan seorang diri di atas dunia ini?
"Jangan berpikir bodoh, muridku. Kalau seandainya aku tidak pergi, kau tentu akhirnya akan turun gunung juga meninggalkan aku. apa kau kira selama hidupmu kau akan berada di sini mempelajari ilmu? Untuk apa ilmu dipelajari tanpa dipergunakan? Ilmu silat sama halnya dengan ilmu-ilmu lain di dunia ini, muridku, selalu mempunyai dua sifat, baik dan buruk. Semua ini tergantung daripada pemilik ilmu itu.
"Dengan kepandaianmu sekarang ini, akan mudah saja bagimu untuk menindas lain orang, mendatangkan keuntungan bagi diri sendiri sebanyak-banyaknya, memperkaya diri atau bahkan dapat pula kau merebut kedudukan tinggi mengandalkan ketajaman golokmu.
"Akan tetapi, dengan golok dan kepandaianmu, dapat pula kau menolong sesama manusia yang tertindas, membela keadilan dan kebenaran, membasmi kejahatan, dan berlaku sebagai seorang pendekar budiman. Tak perlu kujelaskan, jalan mana yang harus kau tempuh, karena sudah cukup kiranya segala nasihat dan pelajaran yang kau terima selama ini.”
Swan Hong menjadi terharu mendengar ucapan Suhunya ini. Pada saat-saat terkahir, Suhunya masih selalu teringat kepadanya, masih berusaha meninggalkan wejangan-wejangan untuknya.
“Suhu, Teecu bersumpah akan menjunjung tinggi dan mentaati semua petunjuk dan petuah Suhu yang amat berharga itu.”
Demikianlah, Lam Hwat Hwesio hanya menderita sakit sehari semalam dan pada keesokan harinya pendeta tua yang arif bijaksana ini menghembuskan napas terakhir tanpa banyak menderita. Swan Hong dan kedua orang Suhengnya lalu mengurus jenazah Suhunya dan menguburnya di dekat makam Lam Kong Hwesio, di sebelah kiri Kuil itu.
Sungguhpun Seng Thian Hwesio dan Seng Tee Hwesio juga menerima pelajaran ilmu silat dari Lam Hwat Hwesio, namun ilmu silat mereka tidak setinggi kepandaian Swan Hong. Hal ini oleh karena kedua orang Hwesio itu tidak mencurahkan seluruh perhatian untuk ilmu silat. Seng Thian Hwesio lebih mementingkan pelajaran kebatinan, sedangkan Seng Tee Hwesio telah dapat mewarisi ilmu pengobatan dari Gurunya. Betapapun juga, kalau dibandingkan dengan ahli-ahli silat lain, mereka masih menang jauh!
Beberapa hari kemudian, Lie Swan Hong menyatakan kepada Seng Thian Hwesio yang kini menggantikan Suhunya menjadi ketua dari Kuil di puncak gunung itu.
“Twa-Suheng (kakak seperguruan tertua), setelah Suhu meninggal, aku tidak tahan lagi untuk menanti Kong-kong di sini dengan menganggur saja. Aku ingin sekali menunaikan pesan Suhu untuk merantau dan melakukan dharma bakti ke arah prilaku kebajikan, untuk memenuhi tugasku sebagai seorang ahli silat. Twa-Suheng, perkenankanlah aku turun gunung dan melakukan perjalanan merantau, sekalian hendak mencari Kong-kong!”
“Baiklah, Sute, aku cukup maklum akan perasaan hatimu. Akan tetapi jangan kau pergi seorang diri. Ji Sute (adik seperguruan ke dua) akan mengawanimu, karena menurut pendapatku, diapun perlu turun gunung untuk mencari tempat yang baik bagi kami berdua agar kami dapat melakukan tugas kami pula, yaitu memperkembangkan keagamaan dan penerangan kepada rakyat tentang kesempurnaan hidup. Belum waktunya bagi kami untuk mengasingkan diri bertapa di atas gunung yang suci ini.”
Demikianlah, Seng Tee Hwesio dan Swan Hong turun gunung melakukan perantauan dengan jalan kaki. Swan Hong mengenakan pakaian serba putih karena ia masih harus berkabug atas kematian Suhunya. Dan kelak ia akan terus berpakaian putih karena sudah menjadi biasa dan kesukaannya.
“Nah, begitulah, Lie-Sicu,” kata Seng Thian Hwesio yang menuturkan semua itu kepada Lie Kai. “Kurang lebih setahun yang lalu, kedua orang Suteku itu turun gunung untuk merantau dan juga sekalian mencarimu.”
“Ah, memang kemalangan dan kesialan selalu menimpa diriku,” jawab Lie Kai sambil menghela napas.
“Maafkan Pinceng yang muda kalau Pinceng menyatakan pendapat Pinceng yang bodoh, Sicu. Menurut pendapat Pinceng, tidak ada kemalangan atau kesialan dalam hidup, kemalangan dan kesialan hanya ada karena ciptaan hati manusia sendiri. Segala sesuatu yang terjadi tidak seperti yang diharapkannya, selalu dianggap sebagai kesialan.
"Tidak akan ada kemalangan atau kesialan apabila orang sudah terbuka matanya akan hukum alam, dan karenanya ia dapat menerima segala macam kejadian di dunia ini dengan penuh pengertian dan kesadaran bahwa segala hal itu terjadi atas garis-garis yang nyata, tak dapat diperkecil maupun diperbesar.
"Dengan kewaspadaan ini kita akan maklum bahwa segala hal, baik yang menyenangkan hati maupun yang tidak sudah semestinya terjadi dan usaha kita satu-satunya hanyalah menerima dengan tenang dan waspada, tanpa mengurangi kebijaksanaan dalam segala macam tindakan kita.”
Lie Kai tertegun mendengar ini dan ia memandang kepada Hwesio itu dengan kagum dan heran. Bagaimana seorang muda yang usianya belum tiga puluh tahun, biarpun ia seorang Hwesio, dapat mengeluarkan ucapan-ucapan sedalam itu? Akan tetapi, Lie Kai lalu tersenyum mengejek dan berkata, “Dari manakah Siauw-Suhu mendapat pengetahuan itu? Tentu dari dalam kitab, bukan?”
Seng Thian Hwesio mengangguk. “Dari kitab-kitab dan dari ajaran mendiang Suhu.”
Lie Kai tertawa, “Ha, aku jadi teringat akan seorang pelajar kecil yang diajar oleh Gurunya membaca kitab Tao-The-King dari Lao Tse! Pandai mengucapkan syair-syair tanpa mengetahui isinya. Bagaimana seorang yang belum pernah menderita pahit-getir hidup seperti Siauw-Suhu yang muda ini dapat bicara tentang kemalangan dan kesialan hidup? "Ah, Siauw-Suhu, kalau kau sudah mengalami kegagalan hidup, sudah menderita bagaimana rasanya orang yang tertimpa malapetaka dan sengsara, tentu kau takkan berani sembarangan membicarakan filsafat itu.”
Seng Thian Hwesio menjawab dengan suara dingin dan wajah bersungguh-sungguh. “Maaf Sicu. Mungkin kau takkan menganggap semua pengalaman yang Pinceng rasakan semenjak kecil sebagai derita hidup, akan tetapi sesungguhnya semenjak kecil aku sudah banyak mengalami hal-hal yang cukup mematahkan semangat dan menenggelamkan batin seseorang.
"Aku dan adikku melihat betapa kedua orang tua kami disembelih di depan mata kami oleh para perampok bangsa Mancu, betapa barang-barang kami dirampok dan rumah kami dibakar habis, betapa seluruh keluarga kami dibinasakan dan seorang kakak perempuan kami diculik. Kemudian kami juga dipukul dan pasti kami berdua sudah tewas kalau tidak keburu datang mendiang Suhu yang menolong lalu membawa kami ke tempat ini!”
Kembali Lie Kai tertegun. “Ah... Maaf Siauw-Suhu, tak kusangka sama sekali bahwa kau telah mengalami hal yang demikian hebatnya.”
Seng Thian Hwesio tersenyum. “Seperti juga kau, Sicu, tadinya aku dan adikku merasa sedih dan menganggap bahwa Thian tidak adil, bahwa nasib kami amat buruk, malang dan sial. Akan tetapi setelah menerima pelajaran dari mendiang Suhu, terbukalah mata kami, dan kami maklum bahwasanya hal itu memang sudah seharusnya terjadi, tak mungkin dapat dicegah lagi!
"Itu hanya ulangan dari semua peristiwa yang telah terjadi sebelumnya, dan akan terulang terus sampai manusia dapat membebaskan diri daripada ikatan karma. Karena itulah, maka kami kakak-beradik mengambil keputusan untuk mencari jalan keluar, mencari kesempurnaan dan sedapat mungkin memberi penerangan kepada sesama hidup agar ia dapat membebaskan dirinya pula daripada ikatan mata rantai yang berputar tak pernah putus itu!”
Makin tunduklah Lie Kai setelah ia bercakap-cakap dengan Hwesio muda itu. Kini tahulah ia mengapa banyak orang mau menjadi Hwesio dan rela melakukan ibadat dan hidup dalam keadaan yang amat sederhana. Tidak tahunya di dalamnya terdapat sesuatu yang mendatangkan kenikmatan dan ketentraman rohani, yang dapat membebaskannya daripada segala macam nafsu dan perasaan....