Pendekar Pemabuk (Kang-lam Tjiu-Hiap) jilid 30, karya Kho Ping Hoo - USAHANYA ini ternyata berguna sekali, oleh karena tiba-tiba ia melihat bayangan tinggi besar keluar dari gua itu. Ketika bayangan itu berhenti di depan gua, Kui Hwa terkejut sekali karena bayangan itu adalah seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar seperti seorang raksasa dalam dongeng.

Tidak saja tubuhnya yang besar, akan tetapi pakaiannya juga aneh sekali. Berbeda dengan pakaian orang Han. Kulit mukanya kehitam-hitaman. Celananya panjang hitam dan bajunya hijau dengan leher baju hitam pula.
Ia memakai kain kepala yang aneh bentuknya dan biarpun di bawah hidungnya tidak ada kumis, akan tetapi dari bawah kedua telinga ke bawah penuh dengan jenggot hitam yang lebat. Orang itu memakai ikat pinggang yang luar biasa, yakni rantai baja yang besar dan berat dilibatkan ke pinggangnya dan ujungnya tergantung ke bawah.
Pada saat itu, orang berkulit hitam ini sedang memanggul sebuah paha kijang yang telah dipanggang. Dan setelah ia ia tiba di depan gua, ia memandang ke kanan kiri, kemudian ia duduk di atas batu dan menggerogoti paha kijang itu.
Kui Hwa berlaku hati-hati sekali, tidak bergerak dari tempat sembunyinya dan hanya memandang penuh keheranan, juga ia merasa khawatir. Apakah harta pusaka itu telah ditemukan dan diambil oleh raksasa ini, pikirnya. Ia tidak takut kepada raksasa yang tingginya hampir dua kali tubuhnya sendiri itu. Akan tetapi lebih baik jangan mencari perkara dan perkelahian dalam tempat yang aneh ini.
Tiba-tiba dari jauh terdengar suara memanggil dan tak lama kemudian muncullah seorang gundul kate yang segalanya merupakan kebalikan dari raksasa itu. Kalau raksasa itu kulitnya hitam, orang ini kulitnya keputih-putihan dan matanya biru. Kepalanya gundul sama sekali dan tubuhnya pendek kecil. Akan tetapi larinya cepat sehingga Kui Hwa menjadi kaget karena maklum bahwa ginkang dari orang kate ini masih lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri.
“Badasingh!” si kate itu berkata kepada raksasa yang masih enak-enak makan paha kijang sambil duduk di atas batu. “Kita sudah terlalu lama di sini. Mengapa kita tidak berusaha mengambil peti-peti itu?”
“Koay lojin,” kata orang aneh yang bernama Badasingh itu dengan bahasa Han yang kaku. “Tak mungkin diambil sekarang. Tempatnya terlalu dalam dan jauh. Kita harus menanti sampai ada orang lain yang mengambilnya untuk kita, kemudian kita merampasnya dari mereka. Bukankah itu lebih mudah lagi? Ha ha ha!”
“Siapa yang mengetahui tempat ini selain kita?”
“Bodoh! Banyak yang tahu, bahkan aku mendengar bahwa dari kota raja akan datang serombongan orang untuk mengambil harta itu. Kita sendiri takkan mungkin mengambilnya. Jalan turun tidak ada.”
Si kate itu memandang dengan mata marah dan agaknya tidak percaya kepada si raksasa itu. “Badasingh! Jangan kau mencoba menipuku! Ini usaha kita berdua maka kau tidak boleh membohong kepadaku!”
Tiba-tiba Badasingh mengeram bagaikan suara seekor gajah, dan dengan marah sekali ia membanting paha itu ke atas batu yang di dudukinya sehingga paha itu berikut tulang-tulangnya hancur lebur.
“Koay lojin! Tidak ada manusia yang bisa hidup setelah memaki aku sebagai pembohong!” Ia bangun berdiri dan menyerang si kate itu dengan hebat! Si kate ternyata juga lihai sekali karena sekali lompat ke samping ia dapat menghindarkan diri dari serangan itu.
“Badasingh! Aku tidak mau berkelahi dengan kau tanpa alasan. Pendeknya, kalau kita bisa mengambilnya, kita ambil sekarang. Kalau tidak bisa, mari kita pergi dari sini. Aku sudah bosan tinggal di tempat asing ini.”
“Kau mau pergi? Pergilah! Siapa melarangmu?” kata si raksasa.
Koay lojin (kakek aneh) itu tertawa bergelak dan dengan jari telunjuknya yang pendek ia menuding kepada Badasingh, “Ha ha ha! Jangan coba berlaku licik. Badasingh! Kalau kau tidak mau pergi, itu berarti kau hendak mengambil sendiri harta itu! Kau benar-benar curang.”
“Sudah kukatakan bahwa aku menanti orang yang dapat mengambilnya. Kemudian aku akan merampasnya. Kau boleh pergi kalau kau kehendaki. Akan tetapi aku akan menanti di sini!”
“Kau bohong!” Koay lojin dalam marah lupa akan pantangan ini.
Bagaikan harimau terluka Badasingh melompat dan menerkam Koay lojin. “Kalau aku bohong kau harus mampus!” teriaknya marah.
Kini keduanya tidak main-main lagi, mereka bertempur hebat. Tenaga Badasingh benar-benar hebat dan batu karang yang terkena sambaran tangannya diwaktu ia menyerang, menjadi hancur berkeping-keping. Akan tetapi, si kate itu benar-benar lincah dan gesit sekali sehingga pertempuran itu benar-benar hebat.Kui Hwa memandang dengan hati berdebar. Ia merasa kagum sekali menyaksikan kelihaian dua orang aneh ini dan ia mengaku bahwa dia sendiri takkan dapat menang melawan seorang di antara mereka. Tiba-tiba si kate mengeluarkan senjata, yakni sebatang cambuk lemas yang berduri. Cambuk itu tadinya digulung dan disimpan di dalam saku bajunya. Akan tetapi setelah dilepaskan, cambuknya yang berduri itu panjangnya lebih dari empat kaki.
“Bagus, kau memang betul-betul ingin mampus!” seru Badasingh yang segera membuka ikat pinggangnya, yang terbuat dari pada rantai baja yang besar itu. Rantai ini lebih panjang lagi, kira-kira ada tujuh kaki panjangnya.
Pertempuran hebat dimulai dan Kui Hwa makin bengong dan kagum melihatnya. Kalau cambuk berduri itu bergerak-gerak dengan gesit dan lihai seakan-akan ular hidup, adalah rantai baja itu luar biasa dahsyatnya. Angin sambarannya saja membuat daun-daun pohon bergerak-gerak bagaikan tertiup angin dan tanah di sekitar tempat pertempuran itu mengebulkan debu ke atas.
Ternyata bahwa si kate itu kalah tenaga dan kalah hebat senjatanya, tubuhnya bergulingan. Badasingh memburu dengan cepat dan sekali kakinya menendang, terdengar jerit ngeri dan tubuh Koay-lojin terlempar jauh dan.... masuk ke dalam jurang yang tak terlihat dari atas dasarnya, saking dalam dan gelapnya.
Kui Hwa bergidik dan merasa bulu tengkuknya berdiri. Dengan adanya raksasa hebat ini menjaga Gua Kilin, tak mungkin baginya untuk mencari harta pusaka itu. Untuk maju menyerang, sama dengan bunuh diri, oleh karena maklum bahwa ia takkan dapat menangkan raksasa hitam ini. Oleh karena itu, Kui Hwa lalu turun lagi dengan diam-diam dari bukit Hong-san.
Ia hendak menanti sampai datangnya kawan-kawannya, terutama sekali datangnya kedua suhengnya, Pui Kiat dan Pui Hok. Sungguhpun raksasa itu merupakan lawan yang amat tangguh, namun bertiga dengan suheng-suhengnya, ia tidak merasa takut.
Oleh karena itu, Kui Hwa lalu tinggal di dusun kecil di lembah sungai Huang-ho yang berada di kaki bukit Hong-san untuk menanti datangnya kedua suhengnya. Ia menanti beberapa hari lamanya, akan tetapi kedua suhengnya belum juga datang. Sehingga saking kesalnya ia menghibur diri, menyewa perahu kecil, dan mendayung di sungai Huang-ho sambil menonton para nelayan mencari ikan.
Ketika ia sedang duduk termenung di dalam perahunya, tiba-tiba ia melihat seorang nelayan tua yang menyebar jala ikan sambil mencucurkan air mata. Berkali-kali nelayan itu menggunakan ujung lengan bajunya untuk menyusut air matanya yang turun mengalir di sepanjang kedua pipinya, bahkan kadang-kadang kalau jalanya tidak menghsilkan ikan, ia menjatuhkan diri di dalam perahu dan menangis tersedu-sedu.
Melihat hal ini tergeraklah hati Kui Hwa. Ia mendayung perahunya mendekat. Setelah perahunya menempel perahu nelayan itu, ia bertanya, “Lopek, kau kenapakah? Apakah yang membuatmu demikian berduka sehingga kau bekerja sambil menangis?”
Nelayan itu menengok dan ketika melihat Kui Hwa yang gagah dan cantik, ia menangis makin sedih. Kui Hwa mengikatkan tali perahunya pada ujung perahu nelayan itu, lalu berpindah perahu.
“Lopek, kesukaran apakah yang kau derita? Ceritakan kepadaku, barangkali aku dapat menolongmu. Aku tidak kaya akan tetapi percayalah, pedangku ini sudah banyak menolong orang yang tertindas!”
Mendengar ucapan ini, kakek itu lalu mengeringkan air matanya dan berkata dengan suara ragu-ragu, “Siocia, benar-benarkah kau pandai bertempur menggunakan pedang?”
Kui Hwa tersenyum. “Pandai sih tidak. Akan tetapi sudah banyak penjahat mengakui kelihaianku sehingga mereka memberi julukan Dewi Tangan Maut kepadaku!”
Mendengar ini, kakek itu segera memberi hormat dan berkata dengan girang, “Ah, tidak tahunya nona adalah seorang pendekar pedang. Agaknya Thian yang menurunkan lihiap ke sini untuk menolongku!”
“Sudahlah, lopek, jangan banyak sungkan. Ceritakanlah semua penderitaanmu kepadaku!”
Kakek itu menghela napas berkali-kali, kemudian ia menuturkan keadaannya. “Aku mempunyai seorang anak perempuan yang sudah remaja puteri, dan sungguhpun aku sendiri yang menyatakan, akan tetapi anakku itu termasuk golongan gadis cantik. Di dalam hutan Ban-siong-lim terdapat serombongan bajak laut yang kejam. Sungguh pun mereka itu jarang sekali mau mengganggu kampung kami yang miskin.
"Akan tetapi, pada suatu hari kepala bajak laut yakni kepalanya yang termuda karena mereka itu mempunyai tiga orang pemimpin, mengadakan perjalanan untuk melihat-lihat di kampung kami. Sungguh tak beruntung sekali, anak perempuanku berada di luar rumah dan terlihat olehnya. Kepala bajak itu merasa suka dan tanpa banyak cakap lagi ia membawa pergi anakku!”
“Bangsat kurang ajar!” Kui Hwa memaki gemas.
“Ibu anak itu telah lama meninggal dunia dan aku hanya hidup berdua dengan anakku itu, maka dapat lihiap bayangkan betapa hancurnya hatiku. Dengan melupakan bahaya, aku lalu mengejar sampai ke hutan Ban-siong-lim itu untuk minta kembali anak perempuanku. Akan tetapi, kepala bajak itu minta uang tebusan sebanyak tiga ratus tail."
"Darimana aku dapat mengumpulkan uang sebanyak itu? Maka, aku berusaha untuk menjala terus menerus siang malam untuk menebus anakku. Akan tetapi agaknya Thian sedang memberi hukuman kepadaku, lihiap. Buktinya, jalaku jarang sekali menghasilkan sesuatu!” Kakek itu lalu menangis lagi.
“Lopek!” kata Kui Hwa sambil memegang pundak nelayan itu. “Sudahlah, jangan kau menangis. Antarkan aku ke tempat bajak sungai itu dan akulah yang akan mengambil kembali anak perempuanmu!”
Kakek itu memandang dan nampaknya terkejut dan cemas. “Akan tetapi.... mereka itu lihai sekali, lihiap.”
“Apakah kau tidak percaya kepadaku?”
Kakek itu tidak berkata sesuatu, lalu mendayung perahunya ke pinggir. “Mari kita berangkat sekarang juga, lihiap,” katanya.
Demikianlah Kui Hwa bersama nelayan tua itu pergi ke hutan Ban-siong-lim yang berada di tepi sungai. Kedatangan mereka disambut oleh tiga orang kepala bajak yang bertubuh tegap-tegap. Tentu saja tiga orang bajak itu memandang kepada Kui Hwa dengan mata terbelalak saking kagum. Belum pernah mereka melihat seorang gadis secantik itu.
Sebelum tiba di tempat itu, Kui Hwa telah bertanya kepada nelayan itu tentang keadaan ketiga orang kepala bajak ini. Ketiganya adalah bajak-bajak sungai Huang-ho yang amat terkenal dan disebut Huang-ho Sam-kui (Tiga setan dari Huang-ho). Yang tertua bertubuh pendek tegap berkepala botak bernama Louw Tek.
Yang kedua Louw Siang dan yang ketiga masih muda dan tampan juga bernama Louw Liu. Ketiga orang bajak sungai itu bukanlah bajak-bajak biasa, karena mereka benar-benar memiliki ilmu silat yang tinggi. Mereka itu adalah murid-murid Butongsan yang menyeleweng.
Ketika berhadapan dengan tiga orang kepala bajak itu, tanpa memperdulikan anggauta-anggauta bajak yang jumlahnya belasan itu dan yang mengurung tempat itu sambil tertawa-tawa, Kui Hwa bertanya, “Kalian bertigakah yang disebut Huang-ho Sam-kui?”
Louw Tek melangkah maju dan berkata, “Benar nona manis. Apakah kehendakmu mencari kami bertiga?”
“Tak lain aku datang untuk mengambil kembali anak perempuan dari nelayan tua ini. Sambil berkata demikian, Kui Hwa mencabut pedangnya. “Tinggal kalian pilih saja. Kembalikan anak perempuan itu atau kalian akan berkenalan dengan Dewi tangan maut!”
Huang-ho Sam-kui itu saling pandang, kemudian meledaklah suara ketawa mereka, diikuti oleh suara ketawa dari sekalian anak buahnya. Untuk daerah ini, nama Dewi Tangan Maut memang tidak dikenal.
“Sungguh lucu kakek nelayan ini. Agaknya ia merasa kasihan kepada kita, sehingga mengantarkan seorang anak perempuan yang lebih cantik lagi. Lui-te (adik Lui), jangan kau iri hati. Kau sudah mendapat bunga harum dari dusun itu dan yang kini adalah bagianku,” kata Louw Tek kepada adiknya yang hanya tersenyum-senyum memandang kepada Kui Hwa dengan amat kurang ajar.
Bukan main marahnya Kui Hwa mendengar ucapan yang amat menghinanya itu. “Kalian memang sudah bosan hidup!” serunya dan ia menerjang dengan pedangnya.
Pada saat itu ketiga kepala bajak itu melompat ke belakang dan melihat lompatan mereka itu bukan main terkejut hati Kui Hwa. Dari cara mereka melompat ke belakang amat cepat dan lincahnya itu, tahulah Kui Hwa bahwa ketiga orang lawannya ini adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi.
Sungguh mengherankan, di daerah ini benar-benar banyak terdapat orang pandai. Baru saja ia bertemu dengan raksasa hitam dan si kate yang berilmu tinggi dan sekarang ia menghadapi tiga orang kepala bajak yang berkepandaian tinggi pula. Akan tetapi ia tidak takut dan menyerang dengan pedangnya.
Melihat gerakan pedang gadis itu lihai dan cepat, kepala bajak yang tertua, yakni Louw Tek, segera mengangkat dayungnya menangkis sambil berkata kepada kedua adiknya. “Jangan kalian membantu, biar aku sendiri mencoba kepandaian calon nyonyaku!”
Maka bertempurlah Kui Hwa melawan Louw Tek yang benar-benar tangguh. Sebetulnya dalam hal kepandaian silat, Kui Hwa tak usah kalah oleh Louw Tek, hanya saja dalam hal tenaga ia masih kalah. Apalagi orang she Louw itu mempunyai senjata istimewa, yakni sebatang dayung yang panjang dan berat sehingga ia merupakan lawan yang benar-benar berbahaya.
Pada saat pertempuran berjalan seru, dari tengah sungai tampak sebuah perahu di dayung ke pinggir dan dua orang pemuda melompat ke darat sambil mencabut pedangnya.
“Sumoi, jangan takut, kami datang membantumu!”
Orang-orang ini bukan lain adalah Pui Kiat dan Pui Hok. Besarlah hati Kui Hwa melihat kedatangan kedua suhengnya ini dan pertempuran makin hebat, karena kini Louw Siang dan Louw Lui maju menyambut kedua saudara Pui itu dan pertempuran terjadilah dengan sengitnya. Para anggauta bajak sungai melihat ketangguhan ketiga orang murid Hoa-san-pai itu, menjadi tidak sabar dan mereka mulai maju mengeroyok.
Kepandaian Kui Hwa dan kedua suhengnya sesungguhnya berimbang dengan kepandaian Huang-ho Sam-kui, maka setelah anak buah bajak sungai yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan itu maju membantu, tentu saja ketiga murid Hoasan itu mulai terdesak hebat dan terkurung rapat.
Namun mereka melakukan perlawanan sengit dan mati-matian sehingga pertempuran berjalan lama dan di antara anggauta-anggauta bajak ada beberapa orang yang sudah menjadi korban pedang Kui Hwa dan kedua suhengnya.
Betapapun juga, para bajak itu masih mengurung terus, sehingga keadaan tiga orang muda itu makin berbahaya. Sukar bagi mereka untuk dapat meloloskan diri, karena selain kurungan amat rapat, juga ketiga Huang-ho Sam-kui itu mainkan dayung mereka dengan amat cepatnya sehingga Kui Hwa dan kedua saudara Pui harus menggerakkan seluruh kepandaian dan perhatian.
Pada saat yang amat genting itulah muncul Tin Eng. Dengan amat ganas Tin Eng menyerbu dari luar kepungan dan dengan ilmu pedangnya Sin-eng Kiam-hoat yang lihai. Dalam beberapa gebrakan saja ia telah berhasil merobohkan beberapa orang bajak. Hal ini menimbulkan panik dan kekacauan pada pihak pengeroyok dan memperbesar semangat perlawanan Kui Hwa dan kedua saudara Pui. Dibantu oleh Tin Eng, mereka lalu menerjang ketiga orang Huang-ho Sam-kui sehingga mereka ini terpaksa mundur.
Kui Hwa maklum bahwa biarpun Tin Eng datang membantu, namun apabila pertempuran dilanjutkan, pihaknya tentu akan kehabisan tenaga, maka ia lalu mendekati Tin Eng dan berbisik, “Kita tangkap kepala bajak termuda.”
Tin Eng tidak mengerti apakah kehendak kawannya itu dengan usul ini. Akan tetapi oleh karena ia tidak tahu asal usulnya pertempuran, ia hanya menganggukkan kepala dan menurut.
Demikianlah selagi Pui Kiat dan adiknya menghadapi Louw Tek dan Louw Siang, Kui Hwa berdua Tin Eng mendesak Louw Lui dengan hebat sekali. Sepasang pedang dari kedua orang dara itu membabat dan mengurungnya dengan gerakan luar biasa sehingga betapapun kosennya Louw Lui, ia menjadi bingung dan pening juga melihat sinar kedua pedang itu berkelebatan bagaikan dua ekor naga sakti mengurung tubuhnya.
Sebelum ia sempat minta bantuan pada kawan-kawannya, tiba-tiba ujung pedang Tin Eng telah melukai lengannya sehingga terpaksa ia melepaskan dayungnya dan Kui Hwa mengirim totokan ke arah lambungnya dan robohlah Louw Lui sambil mengaduh-aduh. Kui Hwa memburu dan menambah dengan totokan pada jalan darah thia-hu-hiat sehingga tubuh Louw Lui menjadi lemas tak berdaya sama sekali.
Louw Tek dan Louw Siang marah sekali dan sambil memutar dayungnya, kedua kepala bajak ini menyerbu Kui Hwa dan Tin Eng. Akan tetapi, sambil tekankan ujung pedang pada dada Louw Lui, Kui Hwa membentak,
“Mundur kalian dan tahan pertempuran ini. Kalau tidak pedangku akan menembus dadanya.”
Louw Tek dan Louw Siang terkejut dan melangkah mundur, lalu memberi perintah kepada anak buahnya untuk berhenti menyerang.
“Huang-ho Sam-kui!” kata Kui Hwa dengan gagah. “Kami sebetulnya tidak hendak mencari permusuhan dengan kalian. Kalau kau memang sayang kepada nyawa saudaramu ini, lekas keluarkan anak perempuan nelayan tua itu untuk ditukar dengan saudaramu ini!”
Karena maklum bahwa nyawa Louw Lui berada di ujung pedang Kui Hwa, terpaksa Louw Tek dan Louw Siang memberi tanda kepada anggauta-anggautanya untuk mundur. Kemudian Louw Tek menjura kepada Kui Hwa dan berkata,
“Lihiap, maafkanlah kami yang tadi tidak melihat orang-orang gagah. Kehidupan di tempat asing ini membuat kami berwatak kasar. Tentang anak perempuan nelayan itu, sesungguhnya ia menjadi isteri tercinta dari adik kami Louw Lui dan menurut pendapat kami yang bodoh, agaknya tidak kecewa ia menjadi isteri adik kami. Iapun mencintai suaminya ini.”
“Bohong!” tiba-tiba nelayan tua itu berteriak dengan marah. “Anakku dibawa dengan paksa, siapa bilang tentang cinta? Hayo kembalikan anakku!”
Louw Tek terenyum dan memberi tanda kepada seorang anggauta bajak untuk menjemput “nyonya muda. Tak lama kemudian datanglah seorang wanita muda yang cukup manis diiringkan oleh bajak tadi.
“Bwee Kim...!” Nelayan tua itu memanggil dan wanita muda itu cepat berpaling dan berseru,
“Ayah....!” Ia berlari menghampiri ayahnya dengan kedua tangan terpentang. Akan tetapi ketika ia lewat di dekat Kui Hwa dan melihat Louw Lui ditodong dadanya dengan pedang dan lengan Louw Lui terluka mengeluarkan darah, tiba-tiba ia berhenti dan menubruk Louw Lui sambil menangis.
Hal ini sama sekali tak pernah diduga oleh nelayan tua itu, bahkan Kui Hwa sendiri menjadi pucat karena terkejut. Sementara itu, Louw Tek dan Louw Siang tersenyum saja melihat adiknya memeluk isterinya.
“Ah, kalau begitu, aku telah salah duga!” kata Kui Hwa yang lalu menyimpan kembali pedangnya dan menghampiri kakek nelayan itu.
“Lopek, biarpun mantumu seorang kepala bajak, akan tetapi anakmu telah menjadi isterinya dan kau lihat sendiri anakmu tidak menyesal menjadi isterinya. Oleh karena itu, kau tak perlu lagi ribut-ribut!”
Kakek nelayan itu berdiri sambil menundukkan mukanya yang pucat, matanya sayu dan nampak sedih sekali. “Aku ditinggal seorang diri... aku sudah tua.... siapa yang akan merawatku kalau aku sakit...?” Setelah berkata demikian, ia menjatuhkan diri berlutut di atas tanah sambil menangis.
Kui Hwa berpaling memandang Louw Tek. “Orang dahulu berkata bahwa mau kepada anak perempuannya harus mau menerima orang tuanya pula. Oleh karena itu, kuharap sam-wi tay-ong suka pula menerima kakek ini agar supaya dia selalu dekat dengan anak perempuannya."
Ketiga kepala bajak menerima baik usul ini dan demikianlah, pertempuran yang hebat itu berakhir dengan perdamaian yang menyenangkan kedua pihak.
Kui Hwa lalu mengajak kedua suhengnya dan Tin Eng pergi dari situ dan menuju ke bukit Hong-san. Di tengah jalan mereka saling menuturkan pengalamannya masing-masing. Setelah menuturkan pengalamannya, Tin Eng bertanya kepada Kui Hwa, "Apakah kau tidak bertemu dengan Kang-lam Ciu-hiap Bun Gwat Kong?”
Kui Hwa menggelengkan kepala, akan tetapi kedua saudara Pui segera menuturkan pertemuan mereka dengan pemuda itu. “Dia tentu sudah berada di tempat ini!” kata Tin Eng penuh harapan, akan tetapi sungguh heran mengapa ia tidak bertemu dengan kalian?”
Ketika Kui Hwa menceritakan tentang raksasa hitam itu, semua kawannya mendengarkan dengan terheran-heran. “Orang itu benar-benar hebat dan mengerikan. Aku sendiri tidak berani untuk mendekati gua itu karena kepandaiannya amat tinggi dan aku takkan dapat menang. Maka aku sengaja menanti di sini dan kebetulan sekali ini hari tidak saja ji-wi suheng yang datang, akan tetapi juga adik Tin Eng. Dengan tenaga kita berempat ku rasa kita tak perlu takut menghadapi raksasa yang menjaga gua itu!”
Oleh karena pertempuran tadi amat melelahkan Kui Hwa, juga kedua saudara Pui dan Tin Eng yang baru datang masih merasa lelah, maka mereka mengambil keputusan untuk menyerbu ke atas puncak Hong-san pada keesokan harinya.
Semenjak berpisah dengan Gwat Kong, Cui Giok melakukan perjalanan seorang diri untuk memenuhi permintaan Gwat Kong yakni menuju ke Hong-san menyusul murid-murid Hoa-san-pai yang sedang mencari gua Kilin tempat penyimpanan harta pusaka. Ia tidak mengambil jalan air seperti yang lain. Akan tetapi ia melakukan perjalanan darat melalui sepanjang pantai sungai Huang-ho sebelah kiri.
Pada suatau hari, ketika ia sedang berlari cepat di sepanjang lembah sungai Huang-ho, melalui bukit-bukit kecil yang ditutup oleh rumput hijau yang indah, tiba-tiba ia melihat seorang anak laki-laki tanggung berusia kurang lebih sebelas tahun sedang bersilat seorang diri di dekat pantai. Cui Giok amat tertarik melihat gerakan kaki tangan anak itu amat lincah dan tangkasnya. Sedangkan wajah anak kecil itu amat tampan dan sepasang matanya bersinar.
Sebelum Cui Giok menghampiri, tiba-tiba ia melihat bayangan seorang hwesio berkelebat keluar dari belakang pohon. Hwesio ini masih mudah dan wajahnya menyeramkan sekali, sepasang matanya mengandung nafsu jahat.
“Ha ha ha! Bagus!” kata hwesio itu sambil melompat ke depan anak itu. “Kau tentulah murid si tua bangka dari Kunlun. Anak baik, bukankah kau murid Kun-lun-pai? Gerakanmu jelas menyatakan bahwa kau anak murid Kun-lun-pai.”
Anak itu berhenti berlatih silat dan memandang dengan matanya yang tajam. “Losuhu, siapakah? Teecu memang benar anak murid Kun-lun-pai. Nama teecu Kwie Cu Ek dan suhu adalah Lo Han Cinjin dari Kun-lun-pai."
Hwesio itu tertawa bergelak dan memandang ke kanan kiri. “Dimana adanya Lo Han Cinjin?” Dari suaranya ternyata bahwa ia merasa takut.
“Suhu sedang memetik daun obat di bukit itu dan teecu diharuskan menanti di sini berlatih silat.”
“Bagus! Kalau begitu, kau harus ikut padaku!”
“Tidak bisa losuhu. Tanpa perintah suhu, teecu tidak berani meninggalkan tempat ini,” jawab anak yang bernama Kwi Cu Ek itu dengan tegas.
“Apa? Kau berani membantah kehendakku? Hayo ikut!” Sambil berkata demikian si gundul itu mengulurkan tangannya hendak menangkap pundak anak itu.
Akan tetapi dengan gesit anak itu mengelak dan melompat ke belakang. Cui Giok diam-diam merasa kagum dan senang melihat anak yang lincah itu. Akan tetapi hwesio tadi menjadi marah dan terus menyerang untuk menangkap anak itu.
Tiba-tiba anak itu berseru keras dan tahu-tahu sebatang pedang kecil telah ia cabut dari punggungnya dan dengan pedang di tangan, ia menghadapi hwesio itu. Sepasang matanya menyinarkan keberanian luar biasa sehingga hwesio itu menjadi tercengang juga.
“Eh, eh tua bangka itu sudah melatih pedang padamu?” kata hwesio itu yang terus menubruk. Anak itu menggerakkan pedangnya dan terkejutlah hwesio tadi ketika melihat betapa gerakan pedang anak itu tak boleh dipandang ringan.”
“Kau sudah dapat mainkan Sin-tiauw-kiam-sut? Hebat!” katanya dan ia lalu meloloskan sabuknya yang terbuat dari pada sutera hijau. Sekali ia menggerakkan tangannya, sabuk itu meluncur ke arah leher anak itu, yang segera menangkisnya dengan pedang. Akan tetapi ujung sabuk melibat pedangnya dan sekali betot terlepaslah pedang itu dari pegangan.
Anak itu terkejut dan hendak melarikan diri. Akan tetapi dengan sekali lompatan saja, hwesio itu telah mengejarnya dan dapat memegang pundaknya dengan cengkeraman tangan erat sehingga anak itu meringis kesakitan.
Pada saat itu Cui Giok muncul dan membentak, “Bangsat gundul, sungguh tak tahu malu!”
Hwesio itu terkejut dan melepaskan cengkeramannya. Ketika melihat seorang gadis cantik jelita berdiri di depannya dengan pedang di tangan kanan dan kiri, ia terkejut sekali.
“Ha ha ha!” katanya sambil memandang kagum. “Kalau anak setan itu tidak mau ikut, lebih baik kau saja ikut kepadaku!”
Sambil berkata demikian, ia menggerakkan sabuknya yang lihai itu untuk merampas kedua pedang di tangan Cui Giok. Dara perkasa ini sengaja tidak mengelak sehingga ujung sabuk itu membelit pedang di tangan kirinya. Tiba-tiba Cui Giok membetot pedangnya untuk membikin putus sabuk itu.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika mendapat kenyataan bahwa sabuk itu amat kuat dan tenaga pemegangnya juga luar biasa besarnya. Tak disangkanya sama sekali bahwa hwesio itu demikian lihai dan besar tenaga lweekangnya. Maka dengan cepat ia lalu menggerakkan pedang di tangan kanannya untuk membabat putus sabuk yang melibat pedang kirinya.
Hwesio itu ternyata lihai dan cepat gerakannya karena sebelum pedang Cui Giok membabat sabuknya ia telah melepaskan kembali libatan sabuk dan kini sabuknya bergerak-gerak bagaikan ular menyerang ke arah jalan darah Cui Giok, merupakan totokan-totokan yang berbahaya.
Akan tetapi ia mengeluh di dalam hati ketika mendapat kenyataan bahwa gadis itu bukan merupakan lawan yang empuk baginya. Sepasang pedang ditangan nona itu, yang memainkan ilmu pedang Im-yang Siang-kiam-hoat benar-benar luar biasa sekali sehingga beberapa kali hwesio itu harus melompat jauh dengan kaget karena hampir saja ia menjadi korban ujung pedang.
Juga Cui Giok merasa amat penasaran. Hwesio itu hanya memegang sehelai senjata sabuk, akan tetapi amat sukar baginya untuk mengalahkannya. Maka ia makin marah dan mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mendesak sehingga hwesio itu terpaksa harus mengakui keunggulan Cui Giok.
Ia hanya dapat mengandalkan ginkangnya untuk melompat ke kanan kiri menghindarkan diri dari bahaya maut yang tersebar dari sepasang pedang di tangan nona itu. Setelah bertempur kurang lebih tiga puluh jurus, hwesio itu tak tahan lagi. Tiba-tiba terdengar suara halus memuji, “Im-yang Siang-kiam-hoat benar-benar hebat!”
Mendengar suara ini, hwesio tadi menjadi pucat dan ketika pedang Cui Giok agaknya tertahan karena gadis ini pun mendengar seruan itu. Hwesio itu lalu melompat jauh dengan gerakan Naga hitam menembus langit. Ia berlompatan beberapa kali dan tubuhnya lenyap di balik pohon-pohon yang banyak tumbuh di atas bukit...