Pendekar Pemabuk (Kang-lam Tjiu-hiap) jilid 24 karya Kho Ping Hoo - MENGHADAPI dua orang bersaudara yang amat peramah itu, tentu saja tak mungkin bagi Tin Eng untuk menyatakan keberatannya. Sungguhpun ia akan lebih senang apabila dapat melakukan perjalanan berdua saja dengan Kui Hwa.

Demi kesopanan dan persahabatan, ia tersenyum sambil menjawab, “Mengapa aku harus keberatan? Jiwi enghiong adalah kakak seperguruan enci Kui Hwa dan karena enci Kui Hwa adalah sahabat baikku, maka jiwi berarti juga sahabat-sahabatku pula.”
Bukan main girangnya Pui Kiat dan Pui Hok mendengar ini. Lagi-lagi mereka memuji gadis ini dan menyatakan bahwa apabila semua anak murid Go-bi-san seperti Tin Eng, tentu keadaan dunia akan menjadi aman.
“Akan tetapi kalian berdua menunggang kuda,” kata Pui Kiat. “Maka lebih baik aku dan adikku ini mencari dua ekor kuda pula. Sumoi dan Liok-lihiap harap tunggu sebentar di sini, karena aku dan adikku akan membeli dua ekor kuda dulu.”
Kui Hwa dan Tin Eng menyatakan baik dan kedua orang saudara Pui itu meninggalkan rumah makan untuk pergi membeli kuda tunggangan. Kedua orang gadis yang ditinggal berdua saja itu bercakap dengan gembira.
“Kedua suhengku itu biarpun agak kasar, akan tetapi mereka mempunyai hati yang baik dan jujur,” kata Kui Hwa.
“Enci Hwa, melihat suhengmu Pui Kiat itu amat menaruh perhatian padamu. Apakah kau tidak merasakan hal itu?”
Merahlah muka Kui Hwa. Ia mengangguk dan menjawab, “Dugaanmu memang benar, Tin Eng. Semenjak dahulu dia memang.... ada hati terhadapku.”
Setelah berkata demikian, Dewi tangan maut ini menundukkan kepalanya dan mukanya membayangkan kedukaan besar. Tin Eng yang cerdik dapat menduga bahwa kawannya ini tentu teringat lagi akan malapetaka yang menimpa dirinya berhubungan dengan pertemuannya dengan Gan Bu Gi.
Pada saat itu terdengar suara orang di depan restoran dan mereka mengenal suara pelayan pendek gemuk yang bicara dengan suara gemetar ketakutan.
“Ampun, tai-ciangkun. Bukan sekali-kali maksud hamba membangkang terhadap perintah akan tetapi kami tidak berdaya. Empat orang tamu telah memaksa kepada hamba melayani mereka dan menghidangkan masakan yang telah dipesan oleh Tai-ciangkun, maka terserahlah kepada kebijaksanaan tai-ciangkun!”
“Kurang ajar!” terdengar suara orang memaki. Suara ini tinggi dan kecil hingga amat ganjil bagi suara seorang laki-laki. Kemudian terdengar tindakan kaki banyak orang memasuki restoran itu.
Tin Eng dan Kui Hwa saling pandang dan bersiap sedia karena mereka maklum bahwa yang datang ini tentulah perwira kerajaan yang menurut kata pelayan tadi, itulah pemborong semua masakan restoran itu. Mereka melihat munculnya lima orang.
Yang terdepan adalah seorang laki-laki berusia hampir empat puluh tahun yang berpakaian seperti guru silat dengan sarung golok tergantung pada pinggang kirinya. Tubuh orang ini tegap dan jenggotnya hanya sedikit, meruncing ke bawah bagaikan jenggot kambing bandot.
Di belakangnya nampak empat orang berpakaian seragam dan melihat hiasan bulu di atas topi mereka, tahulah kedua orang gadis itu bahwa mereka adalah perwira-perwira kerajaan. Ketika melihat seorang yang masuk paling belakang, Tin Eng terkejut sekali karena mengenal orang itu sebagai Thio Sin, kepala pengawal atau perwira yang bekerja pada ayahnya.
Thio Sin membisikkan sesuatu kepada laki-laki setengah tua yang memimpin tadi. Laki-laki itu berubah mukanya dan kalau tadi ia nampak marah sekali, kini ia berubah menjadi girang, bahkan lalu tertawa bergelak. “Ah, ini namanya jodoh! Dicari dengan sengaja ke mana juga tidak bertemu. Tidak tahunya tanpa disengaja berjumpa di sini. Ha ha!”
Tin Eng berdiri dengan hati tidak enak. Ia tidak tahu siapakah orang ini. Akan tetapi dengan hadirnya Thio Sin di situ, ia merasa bahwa tentu akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan.
“Liok-siocia,” kata Thio Sin. “Ketahuilah bahwa orang gagah ini adalah Ang Sun Tek, pembantu istimewa dari kerajaan. Biarpun ia tidak mengenakan pakaian seragam, namun Ang-ciangkun menduduki pangkat amat tinggi di kalangan perwira kerajaan.”
“Aku tidak perduli dan tidak ingin mengetahui hal itu!” jawab Tin Eng dengan kasar.
Orang yang bernama Ang Sun Tek itu tertawa bergelak. Dia inilah ketua dari Liok-te-Pat-mo (Delapan Iblis Bumi) yang kini menjadi pembantu-pembantu istimewa dari pasukan pengawal kerajaan. Ang Sun Tek inilah murid Lok Kong Hosiang yang telah mewarisi ilmu silat Pat-kwa To-hoat, ahli golok yang amat lihai dan yang menjagoi di seluruh daerah utara. Dialah yang kini sedang dicari-cari oleh Gwat Kong dan Cui Giok.
“Nona Liok, sudah lama mendengar namamu yang hebat. Bukankah kau yang dijuluki Sian-kiam Lihiap dan yang menerima tugas dari kedua anak Pangeran Pang Thian Ong untuk mencari harta terpendam? Ha ha! Kebetulan sekali, kami serombongan ini sengaja keluar dari kota raja untuk mencari permata yang telah terjatuh ke dalam tangan kedua putera she Pang itu. Selain itu, akupun mendapat pesan dari ayahmu untuk mencarimu dan membawamu kembali ke Kiang-sui!”
“Aku tidak kenal kepadamu dan tidak perduli apa yang sedang kau lakukan, tidak perduli tentang segala urusanmu dengan ayahku!”
“Ha ha ha! Ganas, ganas! Aku hanya menerima pesan ayahmu dan mau atau tidak, kau harus ikut kami pergi ke Kiang-sui untuk menghadap ayahmu!”
Tin Eng menjadi marah dan mencabut pedangnya. “Mau memaksa! Boleh, majulah berkenalan dengan pedangku!”
“Ha ha ha! Sian-kiam Lihiap, si pedang dewa telah mencabut pedangnya Sungguh lihai!” Sambil berkata demikian, Ang Sun Tek menggerakkan kaki tangannya ke kanan kiri dan hebat sekali. Meja kursi yang berada di kanan kirinya, sungguhpun tidak tersentuh oleh kaki tangannya, akan tetapi terdorong jatuh bagaikan disapu angin besar.Tin Eng terkejut melihat kehebatan tenaga lweekang ini dan Kui Hwa yang melihat ini pun kaget sekali. Ia maklum bahwa kepandaian Tin Eng takkan dapat menandingi laki-laki ini, maka iapun segera mencabut pedangnya dan melompat di dekat Tin Eng.
“Eh, ada pendekar pedang wanita yang lain lagi. Siapakah kau, nona?” Ang Sun Tek tertawa mengejek.
“Tak perlu aku memperkenalkan namaku kepada segala orang macam kau. Cukup kalau kau kenal namaku sebagai Dewi Tangan Maut!”
Mendengar nama ini, kembali Ang Sun Tek tertawa menghina. “Ah, tidak tahunya ada anak murid Hoa-san-pai di sini. Kau agaknya lebih bijaksana dari pada Sin Seng Cu. Buktinya kau mau menjadi sahabat nona Liok yang menjadi anak murid Go-bi-pai.”
“Kau adalah seorang yang berkepandaian tinggi, akan tetapi sungguh tidak kusangka bahwa kepandaianmu itu hanya kau gunakan untuk menghina wanita. Adik Tin Eng tidak mau pulang, mengapa kau hendak memaksanya?”
“Ha ha! Dewi Tangan Maut. Apa kau kira bahwa dengan adanya kau di sini, aku takkan dapat membawa nona Liok pulang ke Kiang-sui."
“Manusia sombong, pergilah!” Tin Eng yang tak dapat menahan sabar lagi melompat maju dan mengirim serangan kilat dengan pedangnya.
Ang Sun Tek tertawa-tawa dan menggunakan kakinya menendang meja kursi melayang ke arah Tin Eng sehingga gadis itu terpaksa menangkis dengan pedangnya. Sekali bacok kursi itu terbelah dua dan jatuh di atas lantai. Dengan perbuatannya itu, Ang Sun Tek membuat ruangan itu menjadi lega.
“Nah, majulah dan coba perlihatkan ilmu pedangmu!” ia menantang Tin Eng yang segera mau menyerbu. Tadinya Ang Sun Tek mengira bahwa ilmu pedang Tin Eng tentulah ilmu pedang cabang Go-bi-pai. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia melihat pedang itu berkelebat cepat laksana halilintar menyambar-nyambar.
Terpaksa ia harus menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak ke sana ke mari sambil mempergunakan kedua tangannya mainkan ilmu silat semacam eng-jiauw-kang untuk merampas pedang di tangan Tin Eng. Kalau saja Tin Eng mempergunakan ilmu pedang Go-bi-pai, dalam beberapa jurus saja pedangnya tentu telah kena dirampas oleh Ang Sun Tek.
Akan tetapi ilmu pedang yang dimainkan oleh Tin Eng adalah ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat yang luar biasa lihainya, maka jangankan untuk dapat merampas, bahkan kalau dilanjutkan menghadapi gadis itu dengan tangan kosong, belum tentu Ang Sun Tek akan dapat mengalahkannya.
Barulah Ang Sun Tek merasa terkejut dan tidak berani memandang rendah. Ia berseru keras dan mencabut keluar goloknya dan ketika goloknya itu digerakkan, maka menyambarlah angin dingin yang membuat Tin Eng tercengang. Bukan main hebatnya ilmu golok ini dan luar biasa pula tenaga sambarannya. Ia tidak tahu bahwa ilmu golok ini adalah Pat-kwa To-hoat yang merupakan ilmu silat yang paling tinggi untuk daerah utara.
Melihat betapa dalam segebrakan saja golok Ang Sun Tek telah menindih dan mendesak pedang Tin Eng, Kui Hwa lalu melompat maju dan membantu Tin Eng. Sementara itu, empat orang perwira kerajaan yang mengikuti Ang Sun Tek hanya berdiri di pinggir menjadi penonton saja oleh karena mereka tidak berani membantu tanpa diperintah dari Ang Sun Tek.
Biarpun dikeroyok oleh dua orang gadis pendekar itu, namun ilmu golok Ang Sun Tek benar lihai sekali. Tiap kali goloknya membentur pedang lawan, Tin Eng atau Kui Hwa merasa tangan mereka tergetar dan pedang mereka hampir terlepas dari genggaman. Hoa-san Kiam-hoat yang dimainkan oleh Kui Hwa adalah ilmu pedang yang lihai, sedangkan Sin-eng Kiam-hoat lebih luar biasa lagi.
Akan tetapi kalau kedua ilmu pedang itu digunakan berbareng oleh dua orang untuk mengeroyok, kedua ilmu pedang ini tidak mendatangkan kehebatan yang berganda. Biarpun keduanya merupakan ilmu pedang yang lihai, akan tetapi memiliki keistimewaan masing-masing dan gerakannya yang berbeda.
Hal ini menguntungkan Ang Sun Tek karena kalau saja yang mengeroyoknya itu keduanya memiliki ilmu pedang Hoa-san Kiam-hoat tentu akan lebih berat baginya. Atau kalau saja yang mengeroyoknya adalah dua orang Tin Eng, agaknya akan sukar baginya untuk menjatuhkan lawan-lawannya.
Dengan gerakan-gerakan ilmu golok Pat-kwa To-hoat, yang mempunyai dasar delapan segi itu, maka ia dapat menghadapi dua orang lawannya dengan baik, bahkan ia selalu berada di pihak yang mendesak. Baik Tin Eng maupun Kui Hwa telah mulai lambat dan kacau gerakan pedang mereka, oleh karena mereka telah dibikin bingung oleh perobahan-perobahan sinar golok yang menyilaukan mata. Ketika Ang Sun Tek sambil tertawa-tawa memperhebat gerakannya, maka sibuklah mereka menangkis dan mengelak.
“Lepas senjata!” Ang Sun Tek berseru keras dan terdengar bunyi “trang!!” keras sekali. Tahu-tahu pedang di tangan Kui Hwa telah terlempar dan mencelat ke atas sampai menancap pada langit-langit rumah makan itu.
“Ha ha ha! Dewi Tangan Maut, aku merasa malu untuk melukai seorang yang tak pantas menjadi lawanku. Kalau kau masih penasaran, suruhlah Sin Seng Cu atau yang lain mencariku di kota raja!” kata Ang Sun Tek sambil mengelak dari sambaran pedang Tin Eng. Kemudian secepat kilat tangan kirinya menotok Tin Eng. Gadis itu menjerit, pedangnya terlepas dari pegangan dan tubuhnya menjadi lemas tidak berdaya lagi.
“Thio-ciangkun, rawatlah baik-baik nona majikanmu itu!” kata Ang Sun Tek kepada Thio Sin yang segera maju dan menolong Tin Eng yang sudah tak berdaya itu.
Sementara itu dengan hati gemas, marah, sedih dan malu, Kui Hwa melompat pergi meninggalkan tempat itu. Tak jauh dari situ, ia melihat Pui Kiat dan Pui Hok datang menunggang kuda. Kui Hwa lalu memberi tanda-tanda kepada mereka sehingga kedua orang muda itu memutar kembali kuda mereka dan mengikuti sumoi mereka itu keluar dari kota.
Melihat wajah Kui Hwa yang nampak pucat dan bersungguh-sungguh dan tidak bersama dengan Tin Eng, mereka merasa gelisah. “Sumoi, apakah yang telah terjadi?” tanya Pui Kiat setelah mereka tiba di luar kota.
“Dan dimanakah nona Liok?” tanya Pui Hok. “Mengapa ia tidak bersamamu?”
Dengan singkat Kui Hwa lalu menuturkan tentang pengalamannya bertemu dengan Ang Sun Tek yang kosen dan yang telah berhasil menawan Tin Eng untuk dipulangkan ke Kiang-sui.
“Celaka!” kata Pui Kiat. “Dia adalah kepala dari Liok-te Pat-mo yang amat terkenal Pat-kwa-tin mereka. Dia telah memandang rendah Hoa-san-pai kita. Benar-benar kurang ajar!”
“Mari kita tolong nona Liok!” kata Pui Hok.
“Tidak ada gunanya,” kata Kui Hwa. “Orang she Ang itu terlalu tangguh bagi kita. Aku sendiri bersama Tin Eng sama sekali tidak berdaya menghadapinya. Ilmu goloknya amat luar biasa. Selain itu, ia masih mempunyai kawan yang berkepandaian tinggi, semua perwira dari kerajaaan yang tak boleh dipandang ringan. Kalau kita bertiga pergi menolong, kita sendiri yang akan mendapat bencana.”
“Aku tidak takut!” seru Pui Hok bersemangat. “Apakah kita harus membiarkan saja nona Liok tertawan?”
“Bukan begitu, ji-suheng,” kata Kui Hwa. “Aku sendiri tentu akan membela mati-matian apabila mengetahui bahwa Tin Eng berada dalam bahaya. Akan tetapi ia tertawan oleh kawan-kawan ayahnya sendiri dan maksud mereka hanya akan membawa Tin Eng secara paksa kembali ke rumah orang tuanya. Memang Tin Eng pergi dari rumah orang tuanya tanpa izin ayahnya.”
Kemudian karena terpaksa, secara singkat Kui Hwa menuturkan riwayat Tin Eng yang dipaksa kawin sehingga lari dari rumahnya dan betapa mereka berdua bertemu dengan Phang Gun dan Phang Si Lan yang mempercayakan pengambilan harta terpendam kepada Tin Eng dan dia sendiri.
“Oleh karena itu, keselamatan Tin Eng kurasa takkan terganggu. Mereka takkan berani mengganggu puteri dari Kepala daerah Liok di Kiang-sui. Yang kukhawatirkan hanya kalau-kalau mereka akan dapat memaksa Tin Eng membongkar rahasia peta tempat harta pusaka itu tersimpan. Dan terutama sekali, tantangan Ang Sun Tek amat menggemaskan hati, maka sekarang baiknya diatur begini saja.
"Ang Sun Tek dan para kawannya belum kenal kepada suheng berdua, maka suheng berdua baiknya mengikuti perjalanan mereka, sambil menjaga kalau-kalau Tin Eng mengalami bencana. Pendeknya, suheng berdua mengawal Tin Eng secara sembunyi. Aku sendiri hendak melaporkan hal ini kepada suhu dan susiok agar supaya penghinaan Ang Sun Tek terhadap Hoa-san-pai dapat terbalas. Kemudian aku akan mewakili Tin Eng mengambil harta pusaka itu sebelum didahului oleh Ang Sun Tek atau pesuruh dari Pangeran Ong Kiat Bo yang lain.”
Pui Kiat dan Pui Hok menyatakan persetujuan dan kesanggupan mereka, terutama sekali Pui Hok yang tanpa tedeng aling-aling lagi menyatakan perasaan tertarik dan sukanya kepada Tin Eng dan pemuda ini amat mengkhawatirkan keadaan nona cantik itu. Dengan diam-diam mereka mengikuti rombongan yang dipimpin oleh Ang Sun Tek itu, yang tidak melanjutkan perjalanan mereka ke Hong-san, akan tetapi kembali ke utara dan kini menuju Kiang-sui.
Sebetulnya, ketika mereka memasuki kota itu dan bertemu dengan pasukan berkuda di bawah pimpinan Ang Sun Tek, secara iseng Pui Kiat dan Pui Hok mencari keterangan tentang hal mereka dan mendapat penuturan pengurus hotel bahwa rombongan berkuda itu adalah perwira-perwira kerajaan yang akan pergi ke Hong-san.
Tadinya mereka tidak mengambil perhatian dan mereka tertarik ketika mereka bertemu dengan Kui Hwa dan mendapat keterangan bahwa Kui Hwa dan Tin Eng juga sedang menuju ke Hong-san. Kini setelah mendengar penuturan Kui Hwa, barulah kedua saudara Pui ini mengerti apakah maksud semua orang pegi ke Hong-san, yakni mencari harta pusaka yang tersembunyi di daerah pegunungan itu.
Sebagaimana yang telah diduga oleh Kui Hwa, Tin Eng tidak mendapat gangguan di tengah perjalanan, sungguhpun ia tidak berdaya sama sekali, naik kuda di tengah-tengah rombongan, Ang Sun Tek yang kosen itu senantiasa mendampinginya untuk menjaga kalau-kalau nona pendekar itu melarikan diri.
Kita tinggalkan dulu pasukan berkuda yang membawa Tin Eng menuju Kiang-sui dan yang selalu diikuti jejaknya oleh Pui Kiat dan Pui Hok itu dan marilah kita menengok keadaan Bun Gwat Kong dan Sie Cui Giok yang melakukan perjalanan bersama.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan bahwa nona Sie Cui Giok yang gagah perkasa itu sedang melakukan perjalanan untuk mencari Liok-te Pat-mo dan membalas dendam kakeknya yang pernah dikalahkan oleh delapan iblis bumi yang lihai itu dan Bun Gwat Kong yang merasa tertarik mendengar hal ini lalu ikut pergi bersama Cui Giok untuk bersama-sama mencoba kelihaian Pat-kwa-tin dari Liok-te Pat-mo itu.
Karena perjalanan mereka ke kota raja itu, melalui Hun-lam, maka setelah lewat di kota itu, Gwat Kong menyatakan kepada kawan seperjalanannya untuk mampir sebentar.
“Apakah kau ada keperluan di kota ini?” tanya Cui Giok yang ingin buru-buru sampai di kota raja.
Gwat Kong belum pernah menceritakan kepada nona ini perihal Tin Eng dan ia mengira bahwa Tin Eng masih tinggal di rumah Lie-wangwe, yakni paman dari Tin Eng yang tinggal di kota Hun-lam. Mendengar pertanyaan Cui Giok ini ia menjadi bingung karena sukar untuk menyebut nama Tin Eng tanpa menceritakan semua riwayatnya dengan gadis itu. Akan tetapi akhirnya ia menjawab juga, “Aku mempunyai seorang kawan baik di kota ini.”
“Siapa dia? Siapa namanya?”
Gwat Kong berwatak jujur dan sukar sekali baginya untuk membohong atau menyembunyikan sesuatu, maka ia menjawab perlahan, “Namanya Tin Eng, ia she Liok.”
“Liok Tin Eng? Hm, indah sekali nama ini untuk seorang wanita!”
Muka Gwat Kong menjadi merah, “Memang dia seorang wanita.”
“Hmm, namanya sudah indah, tentu orangnya muda lagi cantik.”
“Eh, Cui Giok. Bagaimana kau bisa mengetahui hal itu?”
“Apakah kau menganggap aku sebodohnya orang? Kau katakan bahwa dia adalah kawan baikmu. Kalau dia bukan seorang dara jelita, habis apakah kau berkawan baik dengan seorang nenek-nenek tua yang ompong?”
Mau tak mau Bun Gwat Kong tertawa juga mendengar ucapan jenaka ini. Akan tetapi aneh sekali, ketika ia memandang muka gadis itu, Cui Giok tidak tertawa geli sebagaimana dugaannya, bahkan gadis itu nampak tak senang dan cemberut.
“Gwat Kong, apakah aku.... harus ikut pula mengunjunginya?”
“Tentu saja!” jawab Gwat Kong sambil memandang heran. “Mengapa tidak ikut?”
Cui Giok menundukkan mukanya. “Ah.... aku khawatir kalau-kalau.... hanya akan mengganggunya.”
“Kau benar-benar aneh. Bagaimana seorang sahabat dapat mengganggu pertemuan antara kedua orang kawan?”
“Jadi kau anggap aku seorang sahabatmu?”
“Tentu saja, habis, bukankah kita memang sahabat karib?”
Diam sejenak. “Gwat Kong, apakah dia akan suka melihat dan menerima aku kalau aku ikut ke sana?”
“Siapakah yang kau maksudkan? Tin Eng? Tentu saja! Tin Eng adalah seorang gadis pendekar yang berkepandaian tinggi dan berhati gagah. Dia mempunyai ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat.”
Mendengar ini, Cui Giok memandang cepat. “Oh, jadi dia masih sumoimu sendiri?”
Memang pertanyaan Cui Giok ini sudah sewajarnya oleh karena ia tahu bahwa Gwat Kong adalah ahli waris Sin-eng Kiam-hoat, maka kalau gadis yang bernama Tin Eng itu pandai ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat pula, siapa lagi kalau bukan sumoi (adik perempuan seperguruan) dari Gwat Kong?
“Bukan, bukan sumoiku. Dia itu adalah anak dari bekas majikanku. Tentang kepandaiannya dalam ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat itu sesungguhnya ada perbedaannya dengan kepandaianku.”
Gwat Kong lalu menuturkan tentang kitab pelajaran ilmu pedang yang diketemukannya ketika ia menggali kebun di belakang rumah gedung Liok-taijin dan bahwa Tin Eng hanya mempelajari ilmu pedang itu dari kitab salinannya yang disalin secara buruk sekali oleh Bu-eng-sian Leng Po In.
Sambil bercakap-cakap mereka memasuki kota Hun-lam dan tak terasa pula tahu-tahu mereka telah berada di depan gedung Lie-wangwe. Hati Gwat Kong berdebar ketika ia melihat gedung itu. Kegembiraan memenuhi hatinya kalau ia ingat bahwa sebentar lagi akan bertemu dan berhadapan muka dengan Tin Eng.
Akan tetapi gedung itu nampaknya sunyi saja dan ketika Gwat Kong yang diikuti oleh Cui Giok telah masuk di ruang depan, seorang pelayan menyambutnya. Pelayan itu masih mengenali Gwat Kong maka dengan muka girang ia lalu mempersilahkan pemuda itu duduk untuk menunggu sedangkan ia lalu melaporkan kedatangan tamu ini kepada Lie-wangwe.
Tak lama kemudian pelayan itu keluar lagi dan mempersilahkan kedua orang tamunya masuk ke ruang tamu di mana Lie-wangwe sendiri menyambut mereka. Gwat Kong terkejut melihat orang tua itu nampak pucat dan seperti keadaan sakit. Ia buru-buru memberi hormat yang diturut pula oleh Cui Giok.
“Bun-hiante, kau baru datang?” tanya hartawan itu dengan suara lemah.
“Lie-siokhu, apakah kau selama ini sehat-sehat saja?”
Hartawan itu menghela napas dan memberi isyarat dengan tangannya untuk mempersilahkan kedua orang tamunya mengambil tempat duduk. “Semenjak Tin Eng pergi, kesehatanku selalu terganggu. Aku merasa sunyi dan tak ada kegembiraan sama sekali.”
“Tin Eng pergi? Kemanakah dia siokhu? Apakah dia pulang ke Kiang-sui?” tanya Gwat Kong dengan hati kecewa.
“Tidak, mana dia mau pulang ke Kiang-sui? Dia pergi bersama seorang sahabatnya, seorang nona gagah perkasa yang bernama Tan Kui Hwa yang berjuluk Dewi Tangan Maut.”
“Ah, dia??” kata Gwat Kong, teringat bahwa Dewi Tangan Maut adalah anak musuh besar ayahnya. “Kemanakah mereka pergi, susiokhu?”
“Siapa tahu ke mana anak-anak muda pergi. Mereka hanya menyatakan hendak merantau. Ah... memang aneh sekali anak-anak muda sekarang. Lebih suka merantau bersusah payah dan mencari lelah, padahal di rumah lebih senang dan segala apa tersedia.”
Gwat Kong tidak lama berada di situ, karena ia maklum bahwa orang tua yang sedang tidak sehat itu tidak boleh diganggu terlalu lama. Ketika ia berpamit, Lie-wangwe hanya memesan bahwa apabila pemuda itu bertemu dengan Tin Eng, minta supaya gadis itu kembali ke Hun-lam.
Cui Giok dapat melihat kekecewaan yang membayang keluar dari pandang mata Gwat Kong, maka ia tidak mau mengganggunya. Hanya berkata sambil berjalan di sebelah pemuda yang menjadi pendiam itu, “Aku pernah mendengar nama Dewi Tangan Maut yang terkenal. Bukankah dia itu anak murid Hoa-san-pai?”
Gwat Kong hanya mengangguk. Kekecewaan membuat ia malas bicara. Cui Giok dapat merasakan pula sikap Gwat Kong ini. Maka gadis yang berhati polos ini bertanya, “Gwat Kong, agaknya kau dan Tin Eng saling menyintai.”
Gwat Kong terkejut mendengar ini dan mukanya menjadi merah sekali. “Cui Giok, bagaimana kau bisa berkata demikian? Tin Eng adalah anak tunggal dari Kepala daerah di Kiang-sui, seorang bangsawan tinggi yang berpengaruh dan kaya raya. Sedangkan aku ini orang macam apakah? Aku dahulu hanyalah menjadi seorang pelayan tukang kebon dari keluarga Liok. Mana ada aturan seperti yang kau duga itu?”
“Jadi kalau begitu, kau dan Tin Eng hanyalah sahabat belaka?”
“Disebut sahabat pun sudah janggal terdengarnya. Aku pernah menjadi pelayannya. Mana ada pelayan menjadi sahabat puteri majikannya?”
Kini Cui Giok memandang dengan mata berseri. “Gwat Kong.....” katanya akan tetapi kata-katanya terhenti.
“Kau hendak bilang apakah, Cui Giok?” Gwat Kong bertanya sambil memandang.
“Ada orang yang semenjak bertemu dengan kau....” ia berhenti lagi.
“Ya ....?” Gwat Kong mendesak.
“Yang tidak memandang rendah kepadamu bahkan yang menganggap kau cukup berharga untuk menjadi sahabat seorang puteri kaisar sekalipun!”
“Ah, orang itu tentu terdorong hatinya oleh rasa kasihan terhadap anak yatim piatu sebatang kara yang miskin ini,” cela Gwat Kong.
“Tidak! Orang itu menyatakan dengan sejujur hatinya bahwa kau adalah orang yang jujur dan mulia. Sifat kebajikan ini tak dapat diukur dengan hanya melihat keadaan lahirnya. Sejarah menyatakan bahwa tak sedikit jumlahnya orang-orang yatim piatu yang paling miskin memiliki jiwa kesatria dan hati mulia yang jauh lebih berharga dari pada segala pangkat dan harta benda orang-orang berhati rendah!”
Maka merahlah muka Gwat Kong. “Aaah, orang itu terlalu melebih-lebihkan!” Diam-diam ia menjadi bingung dan dadanya berdebar, karena ia maklum bahwa yang dimaksudkan oleh Cui Giok ‘orang’ itu adalah Cui Giok sendiri.
Nona itu tertawa dan memandang kepada Gwat Kong dengan mata berseri dan gembira. “Sayangnya kau pemalu dan berpura-pura... alim!”
“Haaa...?” Gwat Kong memandang dengan mata terbelalak.
Akan tetapi Cui Giok hanya tertawa geli lalu berlari cepat sehingga Gwat Kong harus mengerahkan tenaga untuk menyusulnya. Beberapa hari kemudian mereka tiba di pinggiran sungai Yung-ting di propinsi Hope.
“Gwat Kong, aku sudah bosan melakukan perjalanan melalui darat. Marilah kita melanjutkan melalui sungai Yung-ting ini. Aku mendengar kabar bahwa pemandangan di kanan kiri sungai ini amat indahnya, pula dengan membonceng kepada aliran air, kita menghemat tenaga kaki.”
“Kau pemalas!” Gwat Kong menggoda. Akan tetapi ia tidak membantah dan keduanya lalu menyewa sebuah perahu kepunyaan seorang nelayan tua yang berjenggot panjang. Perahu itu kecil saja akan tetapi masih baik dan kuat. Di sini terdapat sebuah payon dari bilik yang kecil akan tetapi cukup untuk digunakan sebagai pelindung serangan hujan atau angin. Tiang layarnya dari kayu kasar dan kuat, dipasang di tengah-tengah perahu.
“Ji-wi jangan kuatir, perahuku ini cukup dan baik, tidak bocor sedikitpun juga seperti mulut seorang budiman.”
Gwat Kong tersenyum dan sambil memandang air sungai Yung-ting yang sedang pasang, ia bertanya, “Apakah tidak berbahaya, lopek? Aku harus akui bahwa aku tak pandai berenang, sungguhpun kawanku ini seorang ahli berenang yang pandai.”
Sambil berkata demikian, ia mengerling kepada Cui Giok yang tertawa geli karena kata-kata ini mengingatkan ia akan peristiwa ketika ia berjumpa untuk pertama kalinya dengan Gwat Kong.
“Sama sekali tidak berbahaya. Bahkan kalau air sedang pasang seperti ini, lebih mudah untuk berlayar. Tidak takut akan bahayanya batu karang yang menghalang di bawah permukaan air.”
“Apakah tidak ada bajak sungai?” tanya Cui Giok.
Kakek nelayan itu mengerutkan alisnya. “Tak berani aku mengatakan tidak ada. Biasanya sih aman saja. Hanya kadang-kadang di dekat Kiang-sui suka timbul gangguan bajak sungai. Akan tetapi setelah Kepala daerah Kiang-sui mengadakan pembersihan, kabarnya banyak bajak sungai tak berani mengganggu lagi.”
Gwat Kong melompat ke atas ketika mendengar ini. “Apa sungai ini mengalir sampai ke Kiang-sui?”
“Tidak memasuki kotanya, kongcu. Hanya mengalir di sebelah selatan kota itu. Kira-kira lima li jauhnya dari batas kota.”
“Bagus!” kata Gwat Kong dengan girang. “Kalau begitu kita dapat berhenti sebentar karena aku akan mengunjungi Kiang-sui.”
Cui Giok cemberut. “Hmm, kau tentu mencari Tin Eng di rumah ayahnya.”
Gwat Kong tersenyum. “Tidak, Cui Giok, Tin Eng tidak akan ada di rumahnya, karena aku tahu betul gadis itu takkan mau pulang ke rumah orang tuanya. Aku hanya ingin melihat kota di mana aku telah tinggal bertahun-tahun di situ, karena bukankah kita kebetulan melalui kota itu?”
Pada saat kedua orang muda itu hendak naik ke dalam perahu itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan muncullah lima orang penunggang kuda. Dua di antara mereka adalah Lui Siok si Ular Belang dan Song Bu Cu, dua orang pemimpin perkumpulan Hek-i-pang. Tiga yang lain adalah tiga orang anak buah mereka di kota Tong-kwan, pusat perkumpulan itu.
Song Bu Cu dan Lui Siok belum pernah bertemu Gwat Kong, maka mereka hanya melirik saja dan hendak melarikan kuda mereka melewati tempat itu. Akan tetapi seorang di antara anak buah mereka pernah melihat Gwat Kong ketika pemuda ini menangkap Touw Cit dan Touw Tek, pemeras kota Hun-lam dan anak buah Hek-i-pang, maka ia menahan kendali kudanya dan berseru, “Kang-lam Ciu-hiap!”
Mendengar disebutnya nama ini, Song Bu Cu dan Lui Siok terkejut dan segera menahan kuda mereka. “Mana jahanam itu?” tanya Lui Siok kepada anak buahnya yang berseru tadi.
Orang itu lalu menudingkan jarinya ke arah Gwat Kong dan berkata, “Itulah dia orangnya, Kang-lam Ciu-hiap yang telah mengacau di Hun-lam!”
Song Bu Cu dan Lui Siok memandang dan ketika melihat bahwa yang bernama Kang-lam Ciu-hiap seorang pemuda yang nampaknya lemah dan kawan pemuda itupun hanya seorang dara muda yang cantik. Maka mereka lalu melompat turun dari kuda dan menghampiri perahu itu dengan lagak sombong.
“Cui Giok,” kata Gwat Kong melihat sikap kedua orang itu. “Kita bertemu dengan orang-orang jahat. Mereka tentu akan mencari perkara.”
“Bagus!” kata Cui Giok tersenyum girag. “Mereka akan menyesal hari ini selama hidupnya.....”