Pendekar Pemabuk Jilid 23

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pendekar Pemabuk (Kang-lam Tjiu-hiap) jilid 23
Sonny Ogawa

Pendekar Pemabuk (Kang-lam Tjiu-hiap) jilid 23 karya Kho Ping Hoo - TAN KUI HWA adalah puteri seorang hartawan yang bernama Tan Kia Swi, yakni Tan-wangwe yang dahulu telah mencelakai orang tua dan keluarga Bun Gwat Kong!

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

Semenjak kecilnya, Tan Kui Hwa memang nakal sekali dan ia memiliki watak seperti seorang anak laki-laki saja. Bahkan ia suka bermain-main dengan anak lelaki yang menjadi anak tetangga ayahnya. Orang tuanya mendiamkannya, sebagai anak orang hartawan yang amat dimanja, diturut belaka oleh ayah bundanya.

Ketika ia berusia sepuluh tahun, ia masih suka bermain-main di luar rumah tangga. Kawan-kawannya yang sebagian besar terdiri anak-anak lelaki, bermain gundu, berkejar-kejaran, bahkan ikut pula memanjat pohon-pohon tinggi mencari sarang-sarang burung atau ikut pula berkelahi.

Pada suatau hari ia pergi bermain dengan beberapa orang kawan agak jauh dari rumahnya. Ketika mereka tiba di kampung lain, mereka bertemu dengan anak-anak kampung itu dan sudah menjadi kebiasaan bahwa anak-anak suka mengganggu anak-anak lain yang datang dari kampung lain.

Tadinya anak-anak kampung itu hanya mengeluarkan ucapan-ucapan mengolok-olok saja, yang dibalas oleh olok-olok lain. Akan tetapi seorang di antara mereka yang melihat Kui Hwa lalu berkata, “Eh anak perempuan mengapa bermain-main dengan anak-anak lelaki. Sungguh tak tahu malu!”

“Barangkali dia bukan perempuan. Ia tentu seorang anak banci!” kata anak lain.

“Mari kita lihat!” seru yang lain.

“Ya, ya... mari kita buktikan!” kata lain anak lagi dan mereka lalu hendak menangkap Kui Hwa.

Semenjak kecilnya, Kui Hwa memang tukang berkelahi. Adatnya keras dan hatinya tabah luar biasa. Mendengar betapa ia dihina, ia lalu memaki-maki dan cepat menyerang anak yang menyebutnya banci tadi. Bukan main kagetnya anak itu oleh karena tak disangkanya sama sekali bahwa anak perempuan itu berani menyerangnya dan ternyata pukulannya keras dan kuat sehingga begitu kena dipukul ia jatuh terguling dengan pipi biru.

Maka terjadilah perkelahian keroyokan yang ramai sekali di jalan itu. Tan Kui Hwa biarpun seorang anak perempuan, akan tetapi oleh karena ia memiliki keberanian luar biasa dan kenekatan berkelahi, maka sepak terjangnya mengecilkan hati anak-anak itu. Kui Hwa memukul, menendang, mencakar, dan menggigit. Tidak ada anak yang berani mendekatinya.

Pada saat ramai-ramainya anak-anak itu berkelahi, tiba-tiba datang tosu (pendeta agama To) yang segera menghampiri mereka dengan langkah lebar. Maka tosu memandang kepada Kui Hwa dengan kagum sekali. Belum pernah ia melihat seorang anak perempuan yang demikian tabah dan ganas dalam berkelahi. Memang amat ganjil kalau dilihat betapa seorang anak perempuan kuat dalam perkelahian keroyokan antara anak-anak lelaki.

“Hai, jangan berkelahi!” seru tosu itu dan semua anak-anak cepat menoleh memandang ke arah orang yang mencegah mereka.

Bukan main terkejut hati mereka ketika melihat seorang tosu yang bermuka aneh sekali. Kedua mata tosu itu yang nampak hanya putihnya saja, karena manik matanya yang hitam hanya kecil sekali, bergerak-gerak liar ke kanan kiri menimbulkan pemandangan yang menakutkan. Hidungnya mendongak ke atas, mulutnya lebar sehingga hampir sampai ke telinga dengan dua buah gigi menonjol keluar seperti caling.

“Anak yang gagah, kau siapakah dan di mana rumahmu?”

“Namaku Kui Hwa dan rumahku di sana!” Anak itu menunjuk ke arah tempat tinggal orang tuanya.

“Mari kau kuantar pulang.” Kata tosu itu yang lalu memegang tangan Kui Hwa untuk menguji ketabahan anak ini.

Akan tetapi Kui Hwa sama sekali tidak merasa takut, bahkan ia tersenyum-senyum bangga. Alangkah akan herannya kawan-kawannya. Ia akan memperlihatkan bahwa ia lebih berani dan tabah dari pada mereka semua. Maka ia lalu berjalan bersama tosu itu menuju ke rumahnya dengan dada terangkat tinggi-tinggi. Dan benar saja, anak-anak yang melihat ia berjalan bersama tosu itu diam-diam mengintai dengan hati berdebar dan mengulurkan lidah dan di dalam hati mereka amat mengagumi keberanian Kui Hwa.

Tosu ini adalah Thian Seng Cu, tokoh Hoa-san-pai yang berilmu tinggi, yang kebetulan turun gunung untuk melakukan perjalanan merantau. Ia adalah suheng dari Sin Seng Cu tosu Hoa-san-pai yang telah berhasil mengalahkan Seng Le Hosiang dari Go-bi-pai sehingga kejadian itu menimbulkan permusuhan antara Hoa-san-pai dan Go-bi-pai.

Thian Seng Cu lalu menemui Tan-wangwe dan menyatakan hasrat hatinya melatih silat kepada Kui Hwa. Tadinya orang tua Kui Hwa tidak setuju, akan tetapi Kui Hwa berkeras mengangkat guru kepada tosu itu dengan rengek dan tangis sehingga kedua orang tuanya terpaksa menyetujuinya dengan syarat bahwa latihan ilmu silat itu harus dilakukan di rumah mereka.

Selama tiga tahun Thian Seng Cu melatih kepada Kui Hwa di rumah Tan-wangwe. Akan tetapi setelah anak itu berusia tiga belas tahun, pada suatu hari ia pergi meninggalkan rumah bersama gurunya tanpa memberitahukan kepada ayah bundanya. Hanya meninggalkan sepucuk surat yang menyatakan bahwa untuk memperdalam ilmu silat, Kui Hwa ikut gurunya naik ke gunung Hoasan. Ia sengaja pergi dengan diam-diam oleh karena maklum bahwa apabila ia minta ijin dari kedua orang tuanya tentu tak akan mungkin dapat.

Demikianlah, selama enam tahun mempelajari ilmu silat di puncak Hoasan, bersama dengan kedua orang suhengnya yang bernama Pui Kiat dan Pui Hok dibawah asuhan Thian Seng Cu, Sin Seng Cu dan lain tokoh Hoa-san-pai. Setelah tamat belajar silat, Kui Hwa kembali ke rumah orang tuanya dan disambut dengan kegirangan besar.

Dasar watak yang telah menjadi kebiasaan di waktu masih kanak-kanak, ternyata masih belum meninggalkan tabiat Kui Hwa. Kini setelah menjadi dewasa, menjadi seorang dara yang cantik dan gagah perkasa, kesukaannya untuk berkelahi masih saja ada. Tiap kali ia mendengar ada seorang ‘jago silat’ yang berpengaruh.

Tidak perduli tempat jauh, tentu ia akan pergi mengunjunginya untuk ditantang pibu (mengadu kepandaian silat). Karena ilmu silatnya memang lihai maka entah sudah berapa banyaknya jago-jago silat dan guru-guru silat yang roboh di dalam tangannya.

Selain ini, juga Kui Hwa amat benci kepada orang-orang jahat, terutama para perampok dan bangsat-bangsat pemetik bunga. Ia tidak mengenal ampun terhadap mereka ini dan di mana saja ia bertemu dengan orang jahat, ia tak akan merasa puas sebelum membasminya, membunuh atau sedikitnya melukainya. Oleh karena ini, ia diberi julukan Dewi tangan maut.

Pada suatu hari, ia mendengar bahwa di kota Lok-se terdapat seorang penjahat yang melakukan perbuatan terkutuk, yakni mengganggu anak bini orang. Kui Hwa paling benci kepada bangsat Jay-hwa-cat (penjahat pemetik bunga), maka tanpa banyak menunda lagi, ia lalu menuju ke kota Lok-se dan melakukan pengintaian di waktu malam. Ia mengenakan pakaian hitam dan mendekam di atas genteng untuk menanti munculnya penjahat itu.

Baru setelah fajar hampir menyingsing, ia melihat berkelebatnya bayangan orang di atas sebuah bangunan besar. Ia cepat mengejar dan mengintai. Alangkah marahnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa orang itu adalah Jay-hwa-cat yang dicari-carinya, karena orang itu dengan gerakan yang amat cepat melompat ke dalam rumah dan memasuki kamar seorang gadis muda, puteri tuan rumah.

Dengan amarah meluap-luap, Kui Hwa lalu membentak keras sehingga penjahat itu menjadi terkejut dan keluar dari jendela kamar itu. Kui Hwa telah menanti di atas genteng dan mereka bertempurlah dengan amat sengit dan mati-matian.

Penjahat itu ternyata memiliki kepandaian yang tidak buruk, ilmu pedangnya cukup cepat sehingga ia dapat bertahan sampai beberapa lama terhadap serangan-serangan pedang Kui Hwa. Gadis ini setelah mengenali ilmu pedang penjahat itu sebagai ilmu pedang dari cabang Go-bi-pai, membentak makin marah,

“Hmmm, dasar anak-anak murid Gobi amat rendah budi dan jahat. Kau membikin malu saja kepada tokoh Go-bi-pai.”

“Ha ha, perempuan sombong. Kau kira aku tidak tahu bahwa kau adalah orang Hoasan? Jangan banyak mulut, kau sudah berani berlancang tangan mencampuri urusanku. Keluarkanlah kepandaianmu!”

Kui Hwa menyerang dengan ganasnya dan memang ilmu kepandaiannya lebih tinggi dari pada penjahat itu, sehingga dengan mengeluarkan suara keras, pedang di tangan penjahat itu terpental dan terlepas dari pegangan. Penjahat itu berseru kaget, memutar tubuh dan melarikan diri.

Akan tetapi, mana Kui Hwa mau melepaskannya. Ia amat membenci Jay-hwa-cat dan sebelum ia dapat membunuh atau melukainya, ia tidak akan melepaskannya begitu saja. “Bangsat cabul, jangan harap akan dapat lari dari aku!” Bentaknya sambil mengejar cepat.

Penjahat itu, biarpun kepandaian ilmu pedangnya kalah oleh Kui Hwa, namun memiliki ilmu lari cepat yang lumayan juga. Agaknya ia telah melatih ilmu berlari cepat ini yang memang amat perlu dan penting bagi pekerjaannya. Namun Kui Hwa tidak mau mengalah dan mengejar terus.

Penjahat itu berlari keluar dari kota, terus dikejar oleh Kui Hwa sampai pagi. Ketika mereka tiba di sebuah kaki bukit, tiba-tiba muncul dua orang yang menghadang di jalan. Penjahat itu tadinya terkejut melihat dua orang itu berjalan dengan ilmu lari cepat yang tinggi, akan tetapi ketika ia mengenal mereka, ia menjadi girang dan berkata, “Locianpwe..... tolonglah teecu....!”

Kedua orang itu ternyata adalah seorang tosu tua dan seorang pemuda yang tampan dan mereka lalu mempercepat langkah menghampiri penjahat itu yang segera bersembunyi di belakang mereka. Tosu itu tak lain adalah Bong Bi Sianjin dan pemuda itu adalah muridnya yaitu Gan Bu Gi.

Memang tokoh-tokoh Kim-san-pai ini telah mengadakan hubungan dengan Seng Le Hosiang dari Go-bi-pai dan telah berjanji untuk membantu dalam permusuhan Go-bi-pai melawan Hoa-san-pai. Oleh karena itu, sebagian besar anak murid Go-bi-pai telah kenal dengan Bong Bi Sianjin dan muridnya Gan Bu Gi. Juga anak murid Go-bi-pai yang tersesat dan menjadi penjahat itupun kenal pula kepada mereka.

Melihat munculnya seorang tosu dan seorang pemuda tampan yang agaknya hendak membantu penjahat itu, Kui Hwa melintangkan pedangnya di dadanya dan memandang kepada mereka dengan tajam. “Sicu (tuan yang gagah),” kata tosu itu kepada si penjahat. “Mengapa kau dikejar-kejar oleh nona ini?”

“Tolonglah, locianpwe. Dia adalah anak murid Hoa-san-pai! Kami telah bertempur, akan tetapi teecu kehilangan pedang dan.... dan terpaksa melarikan diri!”

“Hmm, orang-orang Hoa-san-pai memang selalu mengandalkan kepandaiannya sendiri. Nona, biarpun pinto (aku) telah berjanji untuk menghadapi orang-orang Hoa-san-pai dengan pedang ditangan, akan tetapi melihat bahwa kau adalah seorang nona muda, biarlah pinto memberi ampun dan kau boleh pergi dengan aman!”

Ucapan ini benar-benar sombong dan memandang rendah, maka Kui Hwa yang beradat tinggi tentu saja merasa amat tersinggung. “Totiang, kau seorang pertapa janganlah mencampuri urusan ini. Ketahuilah bahwa anak murid Gobi ini adalah seorang bangsat besar, seorang jay-hwa-cat yang kejam!”

“Perempuan Hoasan tutup mulutmu yang kotor! Tidak malukah kau seorang perempuan mengeluarkan kata-kata kotor itu? Memang tadi aku kurang hati-hati sehingga pedangku terlepas. Sekarang menghadapi jago dari Kim-san-pai kau merasa takut dan hendak mempergunakan ketajaman mulutmu. Cih, tak tahu malu!”

“Bangsat rendah!” Kui Hwa memaki dan menyerbu ke depan, hendak menyerang penjahat itu. Akan tetapi Gan Bu Gi yang telah mencabut pedangnya lalu menangkis serangan itu.

“Kau hendak melindungi penjahat ini?” teriak Kui Hwa sambil memandang tajam.

“Suhu, biar teecu yang menangkap gadis liar ini,” Gan Bu Gi berkata seperti minta izin kepada gurunya yang hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Bagus, kalau begitu kaupun harus mampus di tanganku,” Kui Hwa berteriak garang dan menyerang Gan Bu Gi. Pertempuran terjadi dengan amat serunya. Pemuda itu benar-benar tangguh dan ilmu pedangnya hebat sekali, jauh lebih tinggi dari pada ilmu kepandaian Jay-hwa-cat itu. Akan tetapi Kui Hwa tidak takut dan mengerahkan seluruh kepandaiannya.

Setelah bertempur sampai seratus jurus lebih dengan amat seru dan saling serang tanpa ada tanda-tanda siapa yang akan menang. Semalaman suntuk ia tidak tidur menjaga di atas genteng yang dingin dan berangin, lalu ia harus bertempur melawan penjahat itu dan mengejarnya sampai jauh sehingga tubuhnya telah merasa lelah dan lemas.

Kini menghadapi Gan Bu Gi yang benar-benar kosen, membuat ia lelah sekali dan permainan pedangnya mulai kacau dan lemah. Akan tetapi sungguh aneh, ternyata pemuda yang tampan itu tidak bermaksud mencelakainya. Buktinya, tiap kali pedangnya hampir mengenai tubuhnya Kui Hwa, selalu ditariknya dan diserongkan sehingga tidak melukai Kui Hwa.

“Ha ha ha, muridku. Kau agaknya jatuh hati kepada lawanmu!” terdengar tosu itu tertawa bergelak.

Kui Hwa melihat betapa muka pemuda itu menjadi kemerahan dan ia sedikit pun merasa jengah dan malu. Akhirnya dengan sabetan yang keras, pedang gadis itu terlepas dari tangan dan sebelum ia sempat berbuat sesuatu, Gan Bu Gi berhasil menotok jalan darahnya sehingga ia menjadi lemas dan lumpuh tak berdaya.

“Bunuh saja anjing betina Hoa-san-pai ini!” Jay-hwa-cat tadi berseru keras.

Akan tetapi Gan Bu Gi segera menjawab, “Jangan! Kau pergilah dari sini! Musuhmu ini aku yang menjatuhkannya, maka aku dan suhu yang berhak memutuskannya. Pula kau telah melakukan pekerjaan buruk dan kalau saja tidak mengingat bahwa kau adalah anak murid Gobi, tentu kami tak sudi membantumu.”

Penjahat itu pergi bagaikan anjing kena pukul, tidak berani menengok lagi, bahkan mengucapkan terima kasih pun tidak.

“Suhu, teecu harap suhu tidak berkeberatan untuk mengampuni nona ini.”

Bong Bi Sianjin gelak terbahak mendengar ucapan muridnya ini. “Kau yang menangkapnya, maka terserah kepadamu. Kau tahu kemana harus menyusul, kalau sudah selesai urusanmu dengan nona ini!” Kembali tosu itu tertawa bergelak, lalu tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ, meninggalkan Gan Bu Gi dan nona tawanan di tempat itu.

* * *

Tin Eng mendengar penuturan Kui Hwa dengan penuh perhatian. Ia melihat betapa kawannya itu memandang jauh dengan mata penuh lamunan, seakan-akan membayangkan segala peristiwa yang dahulu telah terjadi dan menimpa kepada dirinya.

“Demikianlah, adik Tin Eng. Tosu tua yang batinnya tidak bersih itu meninggalkan muridnya seakan-akan ia memang sengaja memberi kesempatan kepada muridnya untuk melakukan sesuatu yang tidak baik,” kata Kui Hwa melanjutkan ceritanya. “Dan semenjak saat itu, aku telah bersumpah di dalam hatiku bahwa pada suatu hari aku pasti akan membunuh bangsat Gan Bu Gi dan tosu keparat itu!” Gadis itu kini menjadi merah mukanya dan matanya mengeluarkan cahaya berapi.

“Akan tetapi enci Hwa, apakah yang telah dilakukan oleh Gan Bu Gi kepadamu?” tanya Tin Eng sambil memandang penuh perhatian.

“Apa yang dilakukan? Jahanam itu... anjing rendah itu.... ia ....ah, tak dapat kuceritakan apa yang telah ia perbuat terhadap diriku!” Dan tiba-tiba Kui Hwa mengucurkan air mata, lalu bangkit berdiri dan melompat ke atas kudanya serta melarikan kuda itu secepatnya.

Tin Eng melengak, terpaksa iapun melompat ke atas kudanya dan menyusul kawannya. Biarpun Kui Hwa tidak memberi penjelasan, akan tetapi ia dapat menduga apakah yang telah diperbuat oleh Gan Bu Gi terhadap gadis itu. Dan kebenciannya terhadap Gan Bu Gi meluap-luap, Bangsat rendah, pikirnya, orang macam itu harus dibinasakan. Dan ayahnya bahkan memaksanya untuk menjadi isteri dari pemuda macam itu.

Keduanya melanjutkan perjalanan menuju ke Hong-san dengan cepat. Karena Tin Eng tidak mendesaknya dan tidak minta penjelasan, maka Kui Hwa tidak banyak bicara lagi dan soal yang lalu itu tidak pernah disinggung-singgung oleh kedua pihak. Berkat kejenakaan dan kegembiraan Tin Eng, awan gelap yang selalu menyelimuti wajah Kui Hwa semenjak ia menuturkan pengalamannya, mulai pudar dan ia menjadi gembira lagi seperti biasa.

Pada suatu hari, mereka tiba di kota Keng-hoa-bun yang berada di tepi sungai Siong-kiang. Baru saja mereka memasuki pintu gerbang kota dan kuda-kuda mereka dilarikan congklang, tiba-tiba terdengar suara laki-laki memanggil Kui Hwa. “Tan-sumoi!”

Kui Hwa menengok dan ketika melihat dua orang pemuda berdiri di pinggir jalan, ia menahan kudanya dan menjawab, “Hai...! Jiwi suheng! Kalian juga berada di sini?”

Tin Eng menengok dan memandang kepada dua orang pemuda yang ditegur oleh Kui Hwa. Mereka ini adalah dua orang laki-laki muda yang tegap dan gagah, yang seorang berpakaian baju biru dan yang kedua baju putih. Dari sebutan yang dikeluarkan oleh Kui Hwa tadi ia maklum bahwa kedua orang pemuda itu adalah suheng (kakak seperguruan) dari kawannya, jago-jago muda dari Hoa-san-pai, maka ia memandang dengan penuh perhatian.

Kui Hwa melompat turun dari kudanya, dituruti oleh Tin Eng, sedangkan kedua orang pemuda itupun berlari menghampiri mereka.

“Sumoi, kau hendak pergi kemanakah?”

Kui Hwa tersenyum dan berkata sambil menunjuk ke arah Tin Eng, “Panjang untuk dibicarakan, kita harus mencari tempat yang cocok untuk memutuskan hal ini. Sekarang perkenalkan dulu, ini sahabat baikku yang bernama Liok Tin Eng yang berjuluk Sian-kiam Lihiap. Adikku, ini adalah kedua suhengku yang bernama Pui Kiat dan Pui Hok!”

Kedua saudara Pui itu menjura kepada Tin Eng yang membalasnya pula sebagaimana lazimnya.

“Sumoi berkata benar!” kata Pui Hok yang berbaju putih. “Mari kita pergi ke rumah makan untuk bercakap-cakap.”

Tin Eng dan Kui Hwa lalu menuntun kuda mereka dan berempat pergi ke sebuah rumah makan yang terdekat. Mereka disambut oleh seorang pelayan yang segera menyuruh seorang kawannya menerima dua ekor kuda itu untuk dicancang di pinggir rumah makan. Kemudian ia mengantar keempat orang tamunya ke ruangan tamu yang kosong.

Pui Kiat, Pui Hok, Tin Eng dan Kui Hwa lalu duduk mengelilingi sebuah meja. Rumah makan itu amat sederhana, bahkan buruk sekali. Temboknya sudah banyak yang rusak kelihatan batanya, karena keadaan di situ tidak amat bersih, mereka memilih tempat duduk dekat jendela yang kereinya tergulung agar mendapat hawa segar.

Pelayan itu lalu mendekati mereka sambil membungkuk-bungkuk. Sikapnya menghormat sekali dan pelayan ini memang lucu wajahnya. Mukanya bundar, seperti juga tubuhnya yang gemuk pendek, senyumnya lebar dan pakaiannya sudah tambal-tambalan.

“Tuan-tuan dan nona-nona tentu haus dan hendak minum arak, bukan? Arak kami sudah tersohor enak dan wangi dan saya berani bertanggung jawab bahwa setetes pun air tidak dicampurkan seperti arak yang dijual di lain rumah makan!” kata pelayan itu sambil mengacungkan ibu jari kedua tangannya.

Pui Kiat berwatak polos dan kasar dan pada waktu itu ia telah merasa lapar sekali, maka berkata keras, “Sediakan nasi yang banyak dan arak yang baik!”

Pelayan itu mengangguk-angguk lalu mengundurkan diri untuk menyediakan pesanan Pui Kiat. Kemudian Pui Kiat memandang kepada sumoinya dan berkata dengan muka girang,

“Sumoi, telah lama kita tidak bertemu. Kau harus menuturkan semua pengalamanmu. Kau hendak pergi kemanakah dan setelah kita bertemu di sini, lebih baik kita mengadakan perjalanan bersama.”

Kui Hwa tersenyum dan Tin Eng yang melihat pandangan mata Pui Kiat kepada sumoinya diam-diam tersenyum juga karena pandang mata pemuda itu dengan jelas menyatakan bahwa Pui Kiat menaruh hati sayang kepada sumoinya.

“Twa-suheng, aku dan adik Tin Eng ini hendak pergi ke Hong-san!” jawab Kui Hwa.

Pui Kiat yang duduk di sebelah kanannya memandang kepada Pui Hok dan kedua orang itu menyatakan keheranan mereka. “Mengapa semua orang hendak pergi ke Hong-san?” kata Pui Hok. “Pasukan berkuda itupun hendak pergi ke Hong-san! Ada apakah di Hong-san, sumoi?”

Kui Hwa bertukar pandang dengan Tin Eng dan Dewi tangan maut itu mengerti bahwa Tin Eng tidak setuju apabila ia menceritakan tentang harta terpendam itu kepada kedua suhengnya, maka lalu ia menjawab,

“Ah, itu hanya kebetulan saja barangkali jiwi-suheng. Kami berdua hanya ingin meluaskan pemandangan. Karena kami mendengar bahwa pemandangan di Hong-san amat indah, maka kami hendak pesiar di sana.”

Sementara itu, semenjak tadi Pui Hok mengerling ke arah Tin Eng dengan pandang mata kagum dan hormat, “Bolehkah siauwte mengetahui, Liok lihiap ini anak murid dari mana?” ia bertanya kepada Tin Eng.

Dara ini merasa ragu-ragu untuk menjawab oleh karena maklum bahwa kedua saudara Pui ini adalah anak murid Hoa-san-pai yang bermusuhan dengan Go-bi-pai, cabang persilatan dari ayahnya, maka ia menjadi serba salah dan memandang kepada Kui Hwa. Dewi tangan maut itu tertawa dan berkata kepada kedua suhengnya,

“Harap jiwi suheng jangan heran dan kaget. Nona ini adalah seorang anak murid yang tidak langsung dari Go-bi-pai.”

Kedua saudara Pui ini tercengang, bahkan air muka mereka berubah ketika mendengar ini, akan tetapi Kui Hwa cepat-cepat melanjutkan keterangannya.

“Suheng berdua jangan salah sangka. Biarpun adik Tin Eng anak murid Gobi, akan tetapi sikap dan pendiriannya berbeda dengan anak murid Go-bi-pai yang lain. Ia tidak bermusuhan dengan cabang kita, buktinya ia menjadi sahabat karibku. Adik Tin Eng sama sekali tidak memperdulikan permusuhan-permusuhan itu, dan menurut pertimbangannya, tidak perduli dari cabang manapun yang jahat adalah musuhnya dan yang baik menjadi sahabatnya.”

Kedua saudara Pui itu mengangguk-angguk dan memandang dengan kagum dan girang. “Pertimbangan yang amat bijaksana!” Pui Hok memuji.

“Bagus!” Pui Kiat menyatakan kegirangan. “Kalau semua anak murid Go-bi-pai seperti Liok lihiap ini, alangkah akan senangnya hatiku.”

“Akan tetapi sesungguhnya adik Tin Eng bukanlah mengandalkan kepandaiannya dari ilmu silat cabang Gobi. Ia mendapat sebutan Sian-kiam lihiap, bukan karena ilmu pedang cabang Go-bi-pai, akan tetapi karena ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat!”

Makin tercengang kedua orang pemuda itu mendengar keterangan ini. “Ah...! Tidak tahunya kita berhadapan dengan seorang ahli pedang Sin-eng Kiam-hoat yang terkenal itu!” kata Pui Kiat sambil berdiri dan menjura kepada Tin Eng, diturut pula oleh Pui Hok. “Maaf, lihiap. Kami berlaku kurang hormat!”

Tin Eng cepat berdiri dan membalas penghormatan ini, lalu berkata cemberut sambil mengerling kepada Kui Hwa yang duduk di sebelah kanannya, “Dasar enci Kui Hwa yang bisa saja memuji orang. Ilmu pedangku yang masih dangkal apa harganya untuk diperkenalkan? Harap jiwi enghiong tidak berlaku sungkan dan banyak menjalankan peradatan!”

Pada saat itu, pelayan yang gemuk pendek itu muncul membawa guci arak, cawan-cawan arak dan empat mangkok nasi putih yang bersih. Dengan cekatan dan tersenyum-senyum ia mengatur cawan-cawan arak dan mangkok nasi itu dihadapan keempat orang tamunya. “Silahkan, tuan-tuan dan nona-nona. Selamat makan dan minum!”

Pui Kiat sudah lapar semenjak tadi. Melihat nasi putih yang masih mengebul hangat itu, cepat ia menyambarnya dan menggunakan sumpit untuk makan nasi itu. Akan tetapi Kui Hwa memandang kepada pelayan tadi dan berkata,

“Apakah kau sudah mabok? Mana masakan sayurannya? Apakah kami harus makan nasi saja?”

Pui Hok juga merasa tidak senang dan sambil memandang kepada pelayan itu dengan mata mendelik ia berkata, “Bagaimana sih kau melayani tamu? Apakah restoran ini hanya menjual nasi saja? Hayo, cepat sediakan masakan-masakannya yang paling istimewa. Cepat, kami sudah lapar!”

Akan tetapi, pelayan itu tidak cepat-cepat melakukan perintah ini, bahkan berdiri seperti patung dan memandang kepada mereka dengan muka yang bodoh.

“Mengapa kau masih berdiri saja?” Pui Kiat yang masih makan nasinya itu membentak pula.

Pelayan gemuk pendek itu mengangkat pundak dan mengembangkan kedua tangannya seperti orang yang merasa susah dan putus harapan. “Harap jangan marah, tuan-tuan dan nona-nona. Selain nasi, tidak ada masakan apapun juga di sini. Kalau tuan-tuan dan nona-nona suka akan kecap saja...”

“Kau suruh kami makan nasi dengan kecap? Gila! Kenapa tidak ada masakan? Apakah restoranmu ini sudah mau gulung tikar?” kata Pui Kiat yang menunda makannya. Nasi semangkok itu tinggal sedikit saja karena perutnya yang lapar membuat nasi tanpa sayur itu terasa cukup nikmat.

“Pagi tadi sih lengkap,” pelayan itu menjawab. “Akan tetapi semua masakan kami diborong oleh pasukan berkuda dari kota raja itu dan harus diantarkan semua ke tempat pemberhentian mereka. Bukan dari restoran kami saja, bahkan dari restoran lain pun demikian.”

Pui Kiat menggebrak meja. “Apakah hanya mereka saja yang mampu membayar? Kami juga akan membayar sepenuhnya!”

Pelayan itu makin gelisah dan mukanya menjadi pucat melihat dandanan pakaian empat orang tamu ini. Ia dapat menduga bahwa mereka ini adalah orang-orang kang-ouw, ahli-ahli silat yang tak boleh dibuat gegabah. Maka dengan amat hati-hati dan membungkuk-bungkuk ia berkata,

“Maaf siauw-ya (tuan muda). Siapa berani membantah kehendak perwira dari kota raja? Kalau kami memberi masakan kepada cuwi, kemudian terlihat kepada mereka, bukankah itu berarti bahwa kami mencari bencana sendiri?”

“Jangan takut, kami yang akan tanggung!” kata pula Pui Kiat yang berangasan. Keluarkan sayur dan daging untuk kami, akan kami bayar sepenuhnya. Lagi pula, kami hanya berempat dan kami bukanlah orang-orang yang gembul, tentu takkan habis persediaan masakanmu oleh kami berempat.”

Pelayan itu tidak menjawab hanya kini ia mewek seperti mau menangis, matanya memandang bingung dan kadang-kadang melirik ke arah mangkok nasi Pui Kiat yang hampir habis nasinya itu. Agaknya meragukan ucapan Pui Kiat yang menyatakan bahwa empat orang ini bukan orang-orang gembul. Kalau bukan gembul, masa semangkok nasi tanpa sayur dapat dilalap habis dalam waktu sebentar saja?

Pui Kiat tidak sabar lagi, lalu bangkit berdiri menghampiri pelayan itu, memegang tangannya dan menariknya menuju ke dapur di restoran itu. Merasakan betapa pegangan tangan Pui Kiat bagaikan jepitan besi pada pergelangan tangannya, pelayan itu tidak berani berlambat-lambat lagi dan segera mengerjakan semua pesanan Pui Kiat. Juga para tukang masak melihat hal ini menjadi bingung karena mereka benar-benar merasa takut kalau-kalau mendapat marah dari perwira pemesan masakan itu.

Atas desakan dan ancaman Pui Kiat, karena bahan-bahan berupa sayur dan daging memang sudah tersedia, sebentar saja beberapa mangkok masakan yang mengepul dan mengeluarkan kesedapan yang menimbulkan selera dihidangkan oleh pelayan gemuk pendek ke meja empat orang muda itu. Pui Kiat dan tiga orang kawannya lalu makan minum dengan gembira.

“Anak-anak murid Hoasan bermakan minum dengan seorang murid Gobi!” kata Pui Hok sambil mengerling ke arah Tin Eng yang duduk di sebelah kanannya. “Aduh, sungguh hal yang belum pernah terjadi selama bertahun-tahun ini. Sungguh hal yang mengagumkan dan menyenangkan sekali!”

“Jiwi suheng (kakak seperguruan berdua) sebetulnya hendak ke manakah? Tanya Kui Hwa yang telah menghabiskan nasinya.

“Kami hendak pergi ke Swi-siang mengunjungi seorang paman dan karena kita satu jurusan, maka biarlah kita melakukan perjalanan bersama,” kata Pui Kiat. “Bukankah perjalanan ke Hong-san melalui kota itu?”

“Bagiku sih tidak ada halangannya, bahkan makin banyak kawan seperjalanan makin gembira. Akan tetapi harus ditanyakan dahulu kepada adik Tin Eng.”

“Liok–lihiap tentu tidak keberatan untuk melakukan perjalanan bersama kami berdua, bukan?” Pui Hok bertanya sambil memandang pada gadis itu...

Jilid selanjutnya,