Pendekar Pemabuk Jilid 18

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pendekar Pemabuk Jilid 18
Sonny Ogawa

Pendekar Pemabuk (Kang-lam Tjiu-hiap) jilid 18 karya Kho Ping Hoo - DUA orang anak muda itu sebetulnya adalah anak-anak seorang Pangeran di kota raja, yakni mendiang Pangeran Pang Thian Ong yang kaya raya. Hanya dua orang itulah anak Pangeran Pang, yang laki-laki bernama Pang Gun, sedangkan adiknya bernama Pang Sin Lan.

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

Ketika masih hidup, Pangeran Pang amat gemar berjudi dengan taruhan besar sehingga harta bendanya yang amat besar itu hampir habis. Ia banyak berhutang uang dari adik misannya yakni Pangeran Ong Kiat Bo, yang selain sering memberi hutang uang, juga menjadi kawan-kawan judi yang paling baik. Baik nyonya Pang maupun kedua anaknya, amat benci kepada Pangeran Ong ini karena mereka menganggap bahwa yang membawa Pangeran Pang ke jalan sesat adalah adik misan ini.

Karena seringkali bermain judi sampai beberapa malam tidak tidur, kesehatan Pangeran Pang makin lama makin buruk sehingga akhirnya setelah harta bendanya hampir habis dikorbankan di meja judi, ia jatuh sakit yang membawanya kembali ke tempat asal. Ia tidak meninggalkan banyak harta. Bahkan meninggalkan hutang yang cukup besar kepada Pangeran Ong Kiat Bo.

Akan tetapi, diam-diam secara rahasia, ia meninggalkan warisan yang aneh kepada Pang Gun dan Pang Sin Lan yang diberikan tanpa diketahui oleh orang lain sebelum Pangeran itu meninggal dunia. Warisan ini hanya sehelai kain kuning yang mengandung sebuah lukisan peta.

“Anak-anakku,” kata Pangeran Pang sebelum menghembuskan napas terakhir, sambil memberikan peta itu kepada anaknya. “Ayahmu telah berlaku sesat dan mata gelap sehingga harta benda kita habis kupakai bermain judi. Kalian berhati-hatilah terhadap Ong Kiat Bo, baru sekarang aku tahu bahwa selama ini ia bermain curang. Bahkan ia sengaja menjerumuskan uangku dengan bantuan kawan-kawannya di meja judi!

"Akan tetapi, jangan kalian khawatir, peta ini adalah petunjuk tempat penyimpanan harta benda yang amat besar, di gunung Hong-san. Di sana terdapat sebuah gua yang disebut gua Kilin, dan di situlah letaknya harta benda yang tersimpan. Kalian cari dan ambillah harta itu dan hiduplah dengan tenteram. Jaga ibumu baik-baik!”

Setelah Pangeran Pang meninggal dunia, maka mulailah Ong Kiat Bo memperlihatkan maksud jahatnya. Pangeran Ong ini yang usianya telah empat puluh tahun lebih, dengan berani sekali mengajukan pinangan terhadap diri Pang Sin Lan. Tentu saja pinangan itu ditolak keras oleh nyonya Pang sehingga Pangeran Ong Kiat Bo menjadi marah dan lalu menagih hutang yang bertumpuk-tumpuk dari mendiang Pangeran Pang, dengan ancaman bahwa kalau tidak segera dibayar, maka hal itu akan diajukan ke muka pengadilan agung.

Tentu saja nyonya Pang menjadi gelisah sekali. Oleh karena kalau hal itu dilakukan oleh Pangeran Ong, berarti bahwa nama keluarga Pang akan menjadi rusak dan ternoda. Maka mulailah penjualan sisa barang-barang yang masih ada. Bahkan gedungnya pun dijual murah-murahan untuk dapat membayar hutang itu.

Hutang dapat dibayar lunas, akan tetapi keluarga Pang menjadi rudin dan melarat betul-betul. Mereka lalu berpindah ke sebuah dusun tak jauh dari kota raja. Nyonya Pang amat menderita dengan adanya peristiwa ini sehingga jatuh sakit dan meninggal dunia tak lama kemudian, menyusul suaminya.

Kemudian ternyata bahwa rahasia peta itu dapat diketahui juga oleh Pangeran Ong Kiat Bo, karena semenjak Pangeran Pang hidup, Ong Kiat Bo telah tahu bahwa kakak misannya ini diam-diam memiliki sebuah rahasia tentang tempat harta pusaka yang amat besar. Ia dapat menduga bahwa rahasia itu tentu diwariskan kepada dua anak muda itu.

Berkali-kali ia mendatangi Pang Gun dan Pang Sin Lan dan membujuk-bujuk mereka untuk menjual peta itu dengan harga tinggi. Bahkan ia menjanjikan pangkat dan kedudukan tinggi untuk Pang Gun dan sebuah gedung baru untuk kedua orang keponakannya itu.

Akan tetapi Pang Gun dan Pang Sin Lan tetap tidak mau memperdulikan orang yang berhati jahat itu. Bahkan mereka berdua lalu mempelajari ilmu silat dari kepala hwesio di sebuah kelenteng, untuk digunakan sebagai penjagaan diri dan juga sebagai persiapan mereka untuk pergi mencari harta pusaka itu.

Ong Kiat Bo yang merasa penasaran sekali, mempergunakan segala daya upaya untuk dapat merampas peta itu. Bahkan orang ini tak segan-segan untuk menyuruh seorang pencuri yang berkepandaian tinggi untuk pada suatu malam memasuki kamar kedua orang itu dan menggeledah seluruh milik mereka.

Akan tetapi hasilnya nihil sehingga membuat Pangeran Ong itu menjadi makin mendongkol dan penasaran. Ia tidak mau mencelakakan kedua orang itu karena kalau mereka sampai terbunuh, siapa lagi yang dapat menjadi petunjuk jalan kepada harta pusaka itu?

Pangeran Ong tentu tak pernah menduga bahwa peta itu sebenarnya telah dibakar oleh Pang Gun dan adiknya, setelah mereka menghafal lukisan peta itu di luar kepala. Dan karena menduga bahwa peta itu disimpan dengan amat baiknya oleh kedua saudara itu, dan ia tak berdaya lagi untuk merampasnya. Ia lalu merobah siasatnya dan sekarang ia mengutus orang untuk mengikuti dan mengawasi setiap gerak-gerik kedua saudara itu.

Hal ini diketahui pula oleh Pang Gun dan Pang Sin Lan, akan tetapi apakah daya mereka? Dengan giat mereka berlatih silat. Akan tetapi ketika mereka dengan marah menyerang orang yang ditugaskan untuk mengintai mereka, ternyata bahwa mereka masih belum cukup tangguh dan bahkan kena dipukul matang biru!

“Demikianlah, cici!” kata Pang Sin Lan menutup ceritanya. “Kami berdua tak dapat berdaya dan sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk pergi mencari harta pusaka itu. Maka kami lalu mengambil keputusan dan melarikan diri dari kota raja dari tempat tinggal kami, pergi merantau dan sampai di sini.”

“Apakah sampai sekarangpun kalian masih terus diikuti orangnya Pangeran Ong?” tanya Kui Hwa.

“Tentu saja, biarpun secara sembunyi, kami merasa pasti bahwa ada yang mengikuti kami.”

“Jahanam!” kata Kui Hwa yang berdarah panas dan tubuhnya segera berkelebat dan lenyap dari hadapan kedua saudara Pang itu, karena pendekar wanita ini telah melompat keluar. Tak lama kemudian terdengar bunyi gaduh di luar dan muncullah Kui Hwa kembali sambil menyeret leher baju seorang laki-laki. Ia melemparkan tubuh orang itu ke depan Pang Gun dan Pang Sin Lan sambil bertanya, “Inilah tikus yang mengikuti kalian?”

Pang Gun dan Pang Sin Lan memandang dengan kagum dan menganggukkan kepalanya, sedangkan orang itu dengan tubuhnya menggigil minta ampun dan berkata,

“Ampunkan siauw-jin (hamba yang rendah)... sama sekali siauw-jin tidak berani mengintai Pang kongcu dan Pang siocia....”

Kui Hwa menggerakkan kakinya dan tubuh orang itu tertendang sampai terguling-guling dan mengaduh-aduh. “Bangsat hina. Kau bilang tidak mengintai akan tetapi dari mana kau tahu bahwa mereka ini adalah Pang kongcu dan Pang siocia?”

Orang itu menginsafi kekeliruannya yang tidak sengaja membuka rahasianya sendiri, maka ia hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala minta ampun.

“Siapa yang menyuruhmu? Hayo lekas memberitahu!” bentak Tin Eng.

“Hamba... hamba disuruh oleh..... Hek-i-pangcu Song Bu Cu.... diharuskan mengikuti dan menjaga kedua kongcu dan siocia ini..... Ampun, lihiap, hamba hanya pesuruh belaka.”

Terkejutlah hati Tin Eng dan Kui Hwa mendengar jawaban ini. Bagaimana Hek-i-pang sudah ikut campur pula dalam urusan ini?

“Jangan kau membohong!” Pang Gun membentak, dan memandang tajam. “Bukankah Pangeran Ong yang memerintahmu?”

“Memang tadinya datang orang pesuruh Pangeran Ong yang minta tolong kepada Hek-i-pangcu dan akulah yang ditunjuk oleh pangcu untuk mengikuti ji-wi di kota ini,” menerangkan orang itu.

Mengertilah Tin Eng dan Kui Hwa bahwa Pangeran Ong itu ternyata telah pula kenal dan berhubungan dengan Hek-i-pang. Tak mereka sangka bahwa pengaruh Hek-i-pang demikian besarnya sehingga dikenal pula oleh seorang Pangeran.

“Nah, kau pergilah dan awas, jangan kau berani memperlihatkan mukamu lagi. Pedangku takkan memberi ampun!” kata Kui Hwa dan orang itu lalu berlari keluar dengan ketakutan.

“Cici, bagaimana kau bisa menangkapnya demikian cepat?” tanya Tin Eng kepada Kui Hwa sambil tertawa.

“Kebetulan saja,” jawab Kui Hwa sedangkan kedua kakak beradik Pang memandang kepada Dewi Tangan Maut dengan penuh kekaguman. “Ketika aku mendengar penuturan Pang kongcu bahwa mereka selalu diikuti orang, aku menduga bahwa sekarang juga tentu ada orang yang mengikuti mereka ini dan tentu pengintai itu berada di luar tembok. Begitu aku melompat keluar, aku lalu berseru keras. ‘Hai, pengintai kedua saudara Pang! Kau masih berani bersembunyi di situ?’ Dan ternyata akalku ini berhasil karena kulihat seorang laki-laki mencuri dengar dari balik tembok muncul dan hendak melarikan diri akan tetapi aku keburu datang dan membekuknya!”

Pang Gun memandang kagum dan berseru. “Akan tetapi para pengawas kami itu biasanya memiliki ilmu silat tinggi!”

Tin Eng tersenyum. “Mungkin bagimu ia berilmu tinggi, akan tetapi bagi Dewi Tangan Maut, ia hanya merupakan seekor tikus kecil belaka. Sekarang ceritakanlah maksud kalian. Pertolongan apakah yang hendak kalian minta?”

“Tak lain kami berdua mohon sudilah kiranya lihiap mewakili kami untuk mengambil harta pusaka itu. Kami adalah orang-orang lemah yang tak berdaya dan kalau kami berdua yang pergi, tentu kami akan diganggu oleh Pangeran Ong dan kaki tangannya. Andaikata kami berhasil mendapatkan harta pusaka itu, juga sukar bagi kami untuk membawanya pulang dengan selamat.

"Maka kami mengambil keputusan untuk mencari seorang berilmu tinggi dan boleh dipercaya. Dan kini pilihan kami terjatuh pada lihiap. Maaf lihiap, bukan sekali-kali maksud kami hendak menyuruh lihiap demi kepentingan kami, akan tetapi sesungguhnya kami hendak menyerahkan rahasia peta itu kepada lihiap.

"Adapun apabila kelak lihiap berhasil mendapatkan harta pusaka itu, terserah kepada kebijaksanaan lihiap untuk memberi bagian kepada kami berdua, karena kamipun bukanlah orang-orang temahak akan harta benda yang banyak sekali. Bagiku, cukuplah kiranya asal aku dapat membeli rumah dan pakaian sekedarnya untuk adikku ini...”

Setelah berkata demikian, Pang Gun memandang kepada adiknya dengan mata mengalirkan air mata, dan adiknya lalu memegang tangan kakaknya sambil berkata, “Engko Gun, kau terlalu memikirkan aku. Aku bukanlah seorang adik yang manja!”

Melihat sikap kedua kakak beradik yang telah yatim piatu dan telah jatuh miskin itu, mau tidak mau tergeraklah hati Tin Eng dan Kui Hwa. Tin Eng berpikir sebentar. Rahasia harta pusaka itu menarik perhatiannya, bukan karena ia ingin memperoleh harta benda, sama sekali bukan, karena dia sendiri adalah seorang anak pembesar hartawan, bahkan pamannya sendiri juga cukup kaya.

Akan tetapi yang menarik perhatiannya ialah rahasia itu sendiri, dan bahaya-bahaya yang mengintai dalam usaha mendapatkan harta pusaka itu! Pula, ia merasa kasihan kepada Pang Gun dan Pang Sin Lan dan ingin sekali dapat menolong mereka.

“Baiklah,” jawabnya kemudian, “Kalian boleh percayakan peta itu kepadaku. Akan tetapi, aku hanya akan mencoba melanjutkan usaha kalian ini dan jangan sekali-kali kalian pastikan bahwa aku akan berhasil mendapatkannya. Dan akupun tidak mau pergi sendiri, kalau cici Kui Hwa suka pergi bersama, baru aku mau pergi pula.”

“Kalau mereka ini percaya kepadaku, tentu saja aku akan senang sekali pergi bersamamu, adik Tin Eng.”

Bukan main girangnya hati Pang Gun dan Pang Sin Lan. Mereka kembali menjatuhkan diri berlutut, kini kepada Tin Eng dan Kui Hwa. “Kalau ji-wi lihiap yang gagah perkasa mau pergi bersama, kami yakin usaha ini akan berhasil dan pesan mendiang ayah kami takkan tersia-sia.”

Tin Eng dan Kui Hwa minta supaya bangun lagi, kemudian Pang Gun minta sehelai kain putih dan alat tulis. Tin Eng mengeluarkan sehelai sapu tangannya yang berwarna kuning dan di atas sapu tangannya itulah Pang Gun lalu melukiskan peta yang telah dihafal di luar kepala itu, dibantu oleh Pang Sin Lan. Peta itu jelas sekali, tidak saja disebutkan di mana letaknya gunung Hong-san dan Gua Kilin, akan tetapi juga disebutkan rahasia tempat harta pusaka di dalam gua itu.

Setelah memberi penjelasan, kedua kakak beradik she Pang itu lalu berpamit untuk kembali ke dusunnya sebelah selatan kota raja. Kini mereka tidak merasa takut dan gelisah lagi. Tak khawatirkan lagi segala pengintaian kaki tangan Pangeran Ong. Mereka tidak memegang rahasia lagi. Rahasia itu telah diserahkan kepada orang lain. Berada di tangan dua orang pendekar wanita yang gagah perkasa! Apa yang mereka takuti lagi?

“Pangeran Ong boleh mengikuti kita terus selama hidup,” Pang Gun berkata kepada adiknya sambil tertawa. “Untuk kita tidak ada ruginya, bahkan gagah sekali ke mana-mana ada yang mengawal dan menjaga keselamatan kita! Ha ha ha!”

Juga Pang Sin Lan menertawakan Pangeran itu. Tentu saja para pengintai yang ditugaskan untuk mengikuti mereka menjadi heran melihat betapa kedua anak muda itu kini kembali ke tempat tinggal mereka dalam keadaan demikian gembira!

Pangeran Ong Kiat Bo yang diberi laporan tentang hal ini juga merasa heran dan curiga, maka ia lalu mengunjungi rumah kedua keponakannya yang keras kepala itu. Ia masih merindukan Pang Sin Lan akan tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu dengan kekerasan. Karena ia maklum bahwa kedua orang muda ini mempunyai banyak kenalan di antara orang-orang besar. Dan kalau saja ia menggunakan kekerasan terhadap gadis yang jelita ini, tentu namanya akan tercemar.

Pang Gun dan Pang Sin Lan menyambut Ong Kiat Bo dengan sikap dingin sekali, sungguhpun sebagai keturunan bangsawan mereka tidak melupakan peradatan dan menjura dengan hormat kepada Pangeran itu.

“Eh, kalian pergi ke mana sajakah hampir sebulan ini?” tanyanya dengan nada suara penuh perhatian sebagaimana layaknya seorang yang mencintai sanak keluarga.

“Ong-ya sudah tahu mengapa masih bertanya lagi?” balas Pang Gun dengan suara mengejek. Memang kedua kakak beradik ini tidak mau menyebut siok-hu (paman) kepada adik misan ayah mereka ini dan selalu menyebut Ong-ya atau tuan Ong sebagaimana para pelayan menyebutnya karena kedua saudara Pang ini tidak sudi menganggapnya sebagai paman.

Sebaliknya Ong Kiat Bo lebih senang disebut seperti itu, karena ia akan merasa kurang enak apabila ia disebut ‘paman’ oleh Pang Sin Lan, gadis yang dirindukannya itu. “Hmm, memang aku mendengar dari kenalan-kenalan di Hun-lam bahwa kalian pergi ke Hun-lam,” kata Pangeran itu dengan berani karena merasa takkan ada gunanya apabila ia berpura-pura tidak tahu. ”Mengapa kalian begitu keras kepala dan tidak mau ikut aku ke kota raja kembali?”

Ia melihat ke sekelilingnya. Rumah yang ditinggali oleh kedua kakak beradik itu adalah rumah kampung yang kecil lagi buruk, perabot rumahnya juga sederhana sekali. “Tak pantas kalian tinggal di tempat seperti ini, memalukan aku saja! Lebih baik kalian tinggal bersamaku di kota raja dan hidup sebagai keturunan bangsawan.”

“Aku seribu kali lebih senang tinggal di tempat yang buruk ini bersama kakakku dari pada tinggal di gedung besar orang lain!” Tiba-tiba Sin Lan berkata sambil merengut.

Akan tetapi dalam pandangan mata Ong Kiat Bo, wajah gadis itu tambah cantik kalau sedang marah-marah. “Gun-ji (anak Gun),” kata pula Pangeran Ong dengan suara membujuk kepada Pang Gun. “Kau tahu bahwa kau dan adikmu takkan mungkin dapat mencari harta pusaka itu, maka mengapa kau begitu berkepala batu? Berikanlah peta itu kepadaku dan aku akan mengerahkan orang-orangku mencari untuk kalian berdua. Aku sudah cukup kaya raya, untuk apakah harta itu bagiku? Aku hanya ingin menolong kalian berdua, lain tidak. Kalau kalian ragu-ragu aku boleh bersumpah dalam kelenteng bahwa setelah dapat diketemukan, harta pusaka itu akan kuberikan kepada kalian berdua.”

“Peta itu sudah tidak ada lagi, Ong-ya,” jawab Pang Gun.

“Hmmm, berkali-kali kau berkata demikian. Aku tidak percaya!”

“Percaya atau tidak adalah soalmu sendiri, Ong-ya.”

“Pang Gun, jangan kau main-main. Kau di Hun-lam mengunjungi Sian-kiam Lihiap ada keperluan apakah?” Sepasang mata Pangeran Ong memandang tajam dan menyelidik.

Pang Sin Lan tersenyum sindir. “Bagus sekali, kami mempunyai sahabat Sian-kiam Lihiap, kau pun tahu! Kalau ingin sekali tahu urusan kami, mengapa tidak datang saja kepada Sian-kiam Lihiap untuk bertanya? Hmmm, tentu takut kepadanya, bukan? Takut kepada pedangnya yang tajam?”

Disindir seperti ini, Ong Kiat Bo merah juga mukanya. Ia lalu melangkah menuju ke pintu dan berkata, “Betapapun juga, tak mungkin kalian akan bisa mendapatkan harta pusaka itu tanpa bantuanku!” Ia lalu bertindak keluar dengan muka masam dan hati mendongkol. Pang Gun dan adiknya saling pandang sambil tersenyum puas.

Sementara itu, ketika Tin Eng dan Kui Hwa sedang membicarakan soal pencarian harta pusaka yang tiba-tiba saja diserahkan ke dalam tangan mereka itu, datanglah Lie-wangwe menyusul keponakannya ke dalam taman. Ternyata bahwa pesuruh yang dulu membawa suratnya untuk ayah Tin Eng, kini telah tiba kembali membawa balasan di mana Liok Ong Gun minta agar supaya Tin Eng untuk sementara berdiam dulu di rumah Lie-wangwe dan menanti datangnya orang-orang yang akan menjemputnya.

Selain itu, ayah Tin Eng menyatakan juga dalam surat itu bahwa kesalahan Tin Eng yang melarikan diri dari rumah itu dimaafkan, dan kini sedang dipersiapkan perayaan pernikahannya apabila sudah kembali ke rumah.

Mendengar berita ini, Tin Eng menjadi marah sekali. “Paman, surat itu tidak ada artinya, karena hari ini juga aku mau pergi bersama kawanku ini!”

Lie-wangwe terkejut, “Eh, hendak pergi kemana, Tin Eng? Jangan kau tinggalkan rumah ini seperti yang telah dipesankan oleh ayahmu. Bagaimana aku harus menjawab kalau ayahmu atau orang-orang suruhannya datang ke ini dan tidak mendapatkan kau berada di sini?”

“Mudah saja, pekhu. Kau bilang saja bahwa aku telah berangkat pulang lebih dulu dengan ambil jalan memutar, sekalian merantau dan melihat-lihat pemandangan, bersama seorang kawan baikku, yakni cici Kui Hwa ini!”

Berkali-kali Lie-wangwe membujuk dan mencegah, akan tetapi akhirnya ia maklum bahwa ia tak dapat menahan kehendak hati keponakannya yang keras ini. Ia amat mencinta keponakannya ini dan pencegahannya hanya khawatir kalau-kalau keponakannya akan mengalami bencana di jalan.

Maka ia lalu cepat menyuruh para pelayan untuk membeli dua ekor kuda yang besar dan baik, serta mempersiapkan beberapa stel pakaian untuk Tin Eng. Tak lupa ia memberi bekal uang mas yang sekiranya cukup untuk dipakai membiayai perjalanan gadis itu.

Tin Eng merasa amat berterima kasih dan girang. Ia menjura kepada hartawan itu bersama-sama Kui Hwa yang juga menyatakan terima kasihnya atas pemberian kuda, dan Tin Eng berkata, “Lie-pekhu, aku takkan melupakan kebaikan hatimu dan mudah-mudahan saja kelak aku akan dapat membalasnya!”

Maka berangkatlah kedua orang gadis pendekar ini, mengaburkan kuda keluar dari Hun-lam, menuju ke bukit Hong-san untuk mencari harta pusaka yang dipercayakan oleh kedua anak pangeran itu kepada mereka.

* * *

Kira-kira sepuluh lie di luar kota Hun-lam, ketika dua orang gadis sedang menjalankan kudanya dengan perlahan, tiba-tiba mereka mendengar suara telapak kaki kuda mengejar dari belakang dan suara panggilan penunggang kuda itu, “Nona Liok, tunggu dulu!”

Tin Eng menahan kudanya lalu menoleh, juga Kui Hwa memutar kudanya memandang penunggang kuda yang datang itu. “Dia adalah Hoa-coa-ji Lui Siok, wakil ketua Hek-i-pang!” bisik Tin Eng dengan hati tak enak.

“Hmm, hmm, apakah maksud kedatangannya? Dengan tenaga kita berdua untuk menghadapinya, ia benar-benar mencari mampus sendiri!” kata Kui Hwa.

Setelah datang dekat, ternyata bahwa orang itu memang benar Lui Siok si Ular Belang, wakil ketua Hek-i-pang yang lihai itu. Tangan kanannya bergerak dan sabuk ular belangnya yang lihai telah berada di tangannya. Ia maklum akan kelihaian Dewi Tangan Maut, maka ia tidak mau menghadapinya dengan tangan kosong.

“Kau berada di sini, bangsat perempuan dari Hoa-san? Kebetulan sekali, tanganku sudah gatal-gatal untuk menghajar seorang bangsat Hoa-san-pai!”

Kui Hwa memandang tajam dan mencabut keluar pedangnya. “Lui Siok manusia busuk! Bersiaplah untuk mampus!”

Juga Tin Eng mencabut keluar pedangnya, siap membantu Kui Hwa menghadapi si Ular Belang yang telah diketahui kelihaiannya itu. Melihat sikap Tin Eng ini, Lui Siok berkata kepadanya,

“Nona Liok kau adalah anak murid Go-bi-pai. Tidak tahukah kau bahwa perempuan ini adalah musuh besar cabang kita? Dia adalah musuhmu juga, mengapa kau berjalan bersama-sama?”

Tin Eng tersenyum sindir. “Orang she Lui, dengarlah! Aku tidak tahu tentang permusuhanmu dan takkan perduli sedikitpun juga. Aku hanya kenal dua golongan orang, yakni orang baik-baik dan jahat. Yang baik kudekati dan yang jahat ku jahui. Cici Kui Hwa adalah orang baik tidak seperti kau seorang penjahat, maka mudah saja bagiku untuk mengambil keputusan harus membantu yang mana!”

“Anak kurang ajar! Tahukah kau bahwa ayahmu dan tunanganmu akan menjadi malu dan marah sekali kalau mendengar bahwa kau membantu seorang anak murid Hoa-san-pai yang menjadi musuh kita?”

“Aku tidak pernah bertunangan dan jangan kau sebut-sebut nama ayahku! Lebih baik kau lekas bilang apa keperluanmu menyusul dan memanggil-manggil aku!”

Lui Siok marah sekali. Ia menuding ke arah Tin Eng dengan telunjuk tangan kirinya dan membentak, “Perempuan tak tahu diri! Tadinya aku menyusulmu untuk membujuk agar supaya jangan meninggalkan gedung Lie-wangwe karena akupun bertugas menjaga keselamatanmu. Akan tetapi karena ternyata kau mengkhianati cabang persilatan kita, maka kau akan kuhajar sekalian dengan anjing betina dari Hoa-san-pai ini!” Sambil berkata demikian ia melompat turun dari kuda.

Kui Hwa sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi, sambil berseru nyaring iapun melompat turun dari kuda dan langsung menyerang Lui Siok dengan pedangnya. Serangan yang amat ganas dan cepat dan ia mainkan Hoa-san-kiam-hoat yang cepat gerakannya dan lihai. Lui Siok berseru keras dan menangkis dengan senjatanya yang istimewa.

Tin Eng lalu melompat turun dari kudanya pula, lalu membawa kudanya sendiri dan kuda Kui Hwa ke bawah pohon di mana terdapat banyak rumput. Kemudian, dengan pedang ditangannya ia lalu lari menyerbu pertempuran itu dan membantu Kui Hwa. Pedang Tin Eng berkelebat menyambar bagaikan seekor burung garuda menyambar mangsanya.

Ketika Lui Siok menangkis serangan pedang gadis itu, diam-diam ia terkejut karena tenaga dan kecepatan gadis ini sudah banyak maju jika dibandingkan dengan dulu ketika ia datang menyerang gadis itu di kebun bunga Lie-wangwe.

Memang semenjak dikalahkan oleh Lui Siok, Tin Eng lalu melatih diri dengan amat giatnya, sehingga ia mendapatkan kemajuan yang lumayan. Kini menghadapi musuh yang pernah mengalahkannya, tentu saja hatinya penuh dendam hendak menebus kekalahannya sehingga permainan pedangnya menjadi makin kuat.

Ditambah pula dengan adanya Kui Hwa membuat Tin Eng merasa tabah sekali dan setiap serangan pedangnya dengan ilmu pedang Sin-eng-kiam-hoat yang luar biasa, merupakan tangan maut yang menjangkau ke arah nyawa Lui Siok.

Lui Siok harus mengerahkan seluruh kepandaian dan kegesitannya menghadapi kedua orang lawannya ini, karena Tin Eng dan Kui Hwa benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh dan berbahaya! Ilmu pedang Kui Hwa adalah Hoa-san-kiam-hoat yang memiliki gerakan cepat, ditambah oleh watak Kui Hwa yang keras maka gerakan pedangnya menjadi ganas dan berbahaya sekali.

Tingkat kepandaian Kui Hwa sudah mencapai tempat cukup tinggi dan pengalaman bertempur yang banyak membuat ia merupakan lawan yang bahkan lebih berbahaya dari pada Tin Eng yang memiliki ilmu pedang luar biasa. Juga Tin Eng merupakan lawan yang cukup berbahaya, maka kini ia menghadapi dua orang pendekar yang mainkan dua macam ilmu pedang dengan gaya jauh berbeda.

Biarpun tingkat kepandaian Kui Hwa masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan Tin Eng, akan tetapi ilmu pedang Tin Eng masih menang jauh. Menghadapi ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat yang makin lama makin kuat, Lui Siok merasa bingung juga dan diam-diam ia akui bahwa ilmu pedang ini jauh lebih berbahaya dari pada ilmu pedang Hoa-san-pai.

Lui Siok tidak ragu-ragu lagi menghadapi Tin Eng, karena ia mendapat alasan kuat untuk melukai atau bahkan membunuh gadis ini. Terang-terangan gadis ini membantu Dewi Tangan Maut yang telah menjadi musuh besar golongan Go-bi-pai. Maka kalau kini Tin Eng membantunya, berarti gadis ini menjadi pengkhianat, menjadi musuh Go-bi-pai juga dan karenanya ia takkan dipersalahkan oleh Seng Le Hosiang atau tokoh-tokoh Go-bi-pai yang lain.

Kalau saja di situ tidak ada Kui Hwa, tentulah maksudnya hendak merobohkan Tin Eng akan berhasil, karena sungguhpun Tin Eng telah mendapat banyak kemajuan, akan tetapi untuk dapat mengalahkan sabuk ular belang dari Lui Siok bukanlah hal yang mudah. Mungkin kalau ilmu pedangnya sudah matang betul, ia akan dapat mengalahkan jago dari Kim-san-pai yang selain mahir ilmu silat Kim-san-pai, juga telah banyak mempelajari bermacam-macam ilmu silat dari golongan hitam itu.

Setelah Lui Siok yang benar-benar lihai itu dapat bertahan sampai lima puluh jurus lebih, kedua orang gadis itu merasa penasaran. Mereka lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya dan pergerakan pedang mereka makin cepat, tubuh mereka berkelebat bagaikan dua ekor burung walet sedang menyambar dan mengeroyok seekor ular besar. Dikeroyok sedemikian rupa, Lui Siok menjadi pening juga karena ia harus memutar-mutar tubuhnya agar jangan sampai terkena serangan pedang lawan.

Pada saat yang baik, Tin Eng mempergunakan kesempatannya dan berhasil memasuki pertahanan lawannya. Pedang meluncur dan menerobos di antara sinar sabuk ular belang mengarah ulu hati Lui Siok. Gerakannya ini demikian cepat dan dengan ujung pedang digetarkan sebagaimana telah menjadi keistimewaan Sin-eng-kiam-hoat, sehingga Lui Siok merasa terkejut sekali.

Pada saat itu, ia sedang menangkis bacokan pedang dari Kui Hwa, maka ia tak mendapat kesempatan untuk menangkis tusukan Tin Eng itu. Ia berseru keras dan menggunakan tangan kirinya untuk mencengkeram pergelangan tangan Tin Eng yang memegang pedang sambil miringkan tubuhnya.

Tin Eng sudah pernah berkenalan dengan lihainya cengkeraman tangan ini, maka cepat gadis ini memutar pergelangan tangannya dan kini ujung pedangnya meluncur cepat sekali ke arah tenggorokan Lui Siok.

Si Ular Belang mencoba untuk miringkan kepala, akan tetapi terlambat dan ujung pedang Tin Eng berhasil melukai pundaknya. Lui Siok berseru marah dan memutar sabuknya secepat mungkin. Kedua gadis itu melompat mundur dan mengurung lagi dengan hebat.

Lui Siok merasa betapa pundaknya sakit dan perih, membuat sebelah tangan kirinya seperti lumpuh. Gerakannya tidak lincah lagi dan ia tak dapat mengelak ketika sebuah tendangan Kui Hwa menyambar bagaikan kilat. Ia hanya dapat mengerahkan lweekangnya ke arah lambung yang tertendang. Akan tetapi tendangan itu demikian kerasnya sehingga biarpun di dalam lambungnya tidak terluka parah tetap saja tubuhnya terlempar sampai setombak lebih dan roboh di atas tanah bergulingan.

Pada saat yang amat berbahaya bagi nyawa Lui Siok itu, tiba-tiba terdengar suara kaki kuda, dan terdengar seruan keras, “Penjahat perempuan kalian berani melukai kawanku!”

Kui Hwa menengok dan berkata kaget. “Ah, Song Bu Cu sendiri datang!”

Juga Tin Eng menengok dan berkata terkejut. “Dan yang seorang itu adalah Gan Bu Gi!”

Kui Hwa juga mengenal pemuda itu, maka bingunglah mereka karena maklum bahwa dengan datangnya dua orang itu, sedangkan Lui Siok juga akan melawan lagi, keadaan mereka sungguh berbahaya. Mereka maklum bahwa kepandaian Gan Bu Gi tidak kalah jauh jika dibandingkan dengan Lui Siok, sedangkan kepandaian Song Bu Cu bahkan lebih tinggi lagi....

Jilid selanjutnya,