Pendekar Pemabuk Jilid 06

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping. Pendekar Pemabuk Jilid 06
Sonny Ogawa
06. Keturunan Tihu dari Lam-hwat

Pendekar Pemabuk (Kang-lam Tjiu-Hiap) karya Kho Ping Hoo - MELIHAT hal ini, Gan Bu Gi merasa marah sekali. Dia adalah anak murid yang tersayang dari Bong Bi Sianjin. Tokoh ternama dari Kim-san-pai yang telah membuat nama besar, maka kalau kini ia sampai dikalahkan dengan secara demikian mudahnya oleh seorang pelayan muda yang tidak ternama dan bodoh, alangkah akan malunya!

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

Ia telah memungut kembali pedangnya yang tadi terlepas karena tendangan Gwat Kong dan sambil berseru keras ia lalu menubruk maju sambil putar-putar pedangnya dengan gerakan hebat sekali. Memang tadi dalam segebrakan saja ia kena tertendang oleh Gwat Kong dan hal ini sebetulnya karena ia tidak pernah menyangka bahwa Gwat Kong akan dapat bergerak sedemikian cepatnya dan karena ia tadinya memandang rendah maka ia sampai terkena tendangan.

Akan tetapi sekarang ia telah tahu bahwa Gwat Kong bukanlah orang sembarangan, maka selain berlaku hati-hati, iapun lalu mengeluarkan ilmu pedang Kim-san Kiam-hoat yang memang kuat dan cepat gerakan itu. Sambil menyerang, tak lupa ia mengerahkan tenaga lweekangnya sehingga serangannya makin lihai.

Melihat betapa sinar pedang di tangan Gan Bu Gi amat kuat dan cepat menyambar-nyambar ke arah tubuhnya, Gwat Kong terkejut juga. Biarpun ia kini telah dapat mengetahui akan tingkat kepandaiannya sendiri yang boleh diandalkan. Akan tetapi ia belum pernah bertempur melawan musuh tangguh, dan boleh dibilang semua kepandaian itu masih terpendam dan belum pernah digunakan.

Ia sama sekali belum mempunyai pengalaman bertempur, maka kini menghadapi Gan Bu Gi yang tangguh, ia merasa jerih dan segera mengeluarkan kepandaian yang dianggapnya paling hebat di antara semua pelajaran yang telah dipelajari dari kitab kuno itu, yakni ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat.

Ia berseru keras dan mencabut sulingnya yang tersembul keluar ujungnya dari buntalan pakaian. Memang suling inilah yang selalu ia gunakan dalam latihan pedang di kamarnya, karena sebagai seorang pelayan, dari mana ia bisa mendapatkan pedang?

Ketika ia telah memegang suling itu, hatinya menjadi tetap kembali karena memang ia telah biasa mainkan suling ini sebagai pedang dalam latihan-latihan. Suling adalah benda yang amat ringan. Maka ketika ia mainkan Sin-eng Kiam-hoat yang lihai, tentu saja suling itu lalu terputar-putar hebat dan cepat sekali merupakan segulung sinar kekuning-kuningan yang mengurungi tubuhnya sendiri.

Kagetlah Gan Bu Gi melihat ini dan ia lalu menyerbu dengan hebat. Akan tetapi gerakan Gwat Kong amat cepatnya sehingga sukar untuk diikuti dengan pandang mata. Pedang Gan Bu Gi tidak berdaya karena ia telah menjadi bingung ke arah mana ia harus menyerang.

Tubuh lawannya sebentar-sebentar berpindah tempat dan tanpa mengetahui bagaimana lawannya itu bergerak, tahu-tahu ujung suling telah mengancam semua jalan darahnya sehingga Gan Bu Gi merasa pening dan bingung.

Kelima orang perwira yang tadi telah dipermainkan oleh Gwat Kong, makin kagum dan terheran-heran melihat sepak terjang pelayan itu. Mereka tidak dapat melihat lagi tubuh pemuda itu karena tertutup oleh sinar sulingnya yang digerakan secara luar biasa. Mereka hanya melihat betapa Gan Bu Gi terdesak dan terkurung oleh sinar kuning itu sehingga panglima yang mereka anggap sudah amat gagah perkasa itu berkelahi sambil mundur dan hanya dapat menangkis dan mengelak saja tanpa dapat membalas lawannya!

Tiba-tiba mereka mendengar Gan Bu Gi menjerit keras dan tubuh panglima itu terhuyung mundur sedangkan pedangnya sekali lagi terpental dan terlepas dari pegangannya. Terdengar suara Gwat Kong tertawa girang dan pemuda pelayan itu lalu melompat pergi dan berlari cepat meninggalkan mereka.

Kelima orang perwira itu segera maju menolong dan mengangkat bangun pada Gan Bu Gi yang menolak pertolongan mereka dengan muka bersungut-sungut dan marah sekali. Ternyata tadi bahwa ketika ujung suling Gwat Kong secara aneh sekali dan bertubi-tubi menyerang dan mengancam jalan darahnya, dengan marah dan nekad panglima muda ini lalu memukul suling itu sekerasnya dengan pedang untuk mengadu tenaga.

Akan tetapi, bukan suling lawan yang terpental, bahkan telapak tangannya merasa gemetar karena ternyata bahwa tenaga lweekang lawannya luar biasa sekali kuatnya! Kemudian, selagi ia masih belum dapat mengembalikan dan menenangkan keadaannya, ujung suling itu telah meluncur cepat dan mengetuk pundak kanannya sehingga ia merasa pundaknya sakit sekali sampai terasa di hulu hati! Pedangnya terpental dan terlepas sedangkan tubuhnya terhuyung ke belakang!

Dengan marah dan bersungut-sungut, Gan Bu Gi mengajak kawan-kawannya untuk kembali ke Kiang-sui. Ia memesan kepada kelima orang perwira itu agar jangan menceritakan peristiwa tadi kepada siapapun juga dan hanya melaporkan kepada Liok-taijin bahwa mereka tidak berhasil menangkap Gwat Kong yang telah melarikan diri entah ke mana. Kelima orang perwira itu setuju karena mereka telah dipermainkan oleh bekas pelayan itu.

Sementara itu, Gwat Kong dengan hati girang sekali melanjutkan larinya ke arah selatan karena ia hendak pergi ke Lam-hwat untuk mencari musuh besarnya, yaitu Tan-wangwe yang telah mendatangkan malapetaka kepada orang tuanya! Ia merasa girang sekali oleh karena sekarang ia tidak ragu-ragu lagi akan kepandaiannya yang telah terbukti dengan perlawanannya terhadap Gan Bu Gi tadi. Ia masih belum tahu bahwa sebenarnya bukan Gan Bu Gi kurang lihai, akan tetapi adalah ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat yang dipelajari itulah yang luar biasa.

Setelah melakukan perjalanan selama tiga hari, sampailah Gwat Kong di kota Lam-hwat, tempat kelahirannya dan di mana dulu ayahnya menjadi tihu yang disegani karena jujur dan adil. Akan tetapi oleh karena ia telah dibawa pergi oleh ibunya dari kota ini ketika ia masih amat kecil maka ia tidak ingat sama sekali tentang kota ini dan memasuki kota Lam-hwat sebagai seorang asing yang belum pernah melihatnya.

Gwat Kong lalu mencari sebuah kamar di hotel dan oleh karena pakaiannya sebagai seorang pelayan itu, membuat para pengurus dan pelayan hotel memandangnya dengan curiga karena jarang sekali ada seorang pelayan bermalam di sebuah hotel, maka ia lalu keluar dan membeli pakaian di toko pakaian. Dengan pakaian barunya walaupun yang dibeli hanyalah pakaian sederhana, ia nampak lebih gagah.

Rambutnya yang panjang dan hitam itu ia ikat dengan sehelai sapu tangan biru yang lebar sehingga keningnya nampak lebar menambah kegagahan wajahnya. Setelah ia mengenakan pakaian dan sepatu baru, maka semua pelayan di hotel tempat ia bermalam itu bersikap lebih hormat kepadanya sehingga diam-diam Gwat Kong merasa geli melihat kepalsuan ini.

Pada keesokan harinya, Gwat Kong mulai mencari keterangan tentang rumah keluarga Tan-wangwe, akan tetapi ia merasa kecewa sekali oleh karena di kota Lam-hwat tidak ada seorang hartawan bernama Tan-wangwe, sungguhpun banyak sekali bernama keturunan Tan tinggal di kota itu. Gwat Kong tidak putus asa dan terus menyelidiki bertanya ke sana kemari, bahkan ia mulai bertanya tentang nama ayahnya, yakni Bun Tiang Ek yang dulu menjadi tihu di kota Lam-hwat.

Akan tetapi, oleh karena hal itu telah terjadi belasan tahun yang lalu dan kota Lam-hwat telah banyak kedatangan orang-orang baru, maka agaknya nama ini telah dilupakan orang! Tak seorangpun menyatakan pernah mendengar Bun-tihu ataupun Tan-wangwe. Gwat Kong mulai merasa putus harapan dan dengan kecewa sekali ia masuk ke dalam sebuah rumah makan dan memesan makanan. Seorang pelayan tua mengantarkan makanan yang dipesannya.

Melihat pelayan tua ini, teringatlah Gwat Kong bahwa ia telah melakukan kesalahan, ketika mencari keterangan tadi tidak seharusnya ia bertanya kepada orang-orang muda, yang mengetahui atau mengenal ayahnya serta Tan-wangwe tentulah orang-orang tua yang telah lama tinggal di Lam-hwat. Maka ketika pelayan itu hendak meninggalkan mejanya ia menahan dan bertanya,

“Lopeh (uwak), apakah lopeh sudah lama tinggal di kota ini?” Ia sengaja bertanya sambil lalu seakan-akan untuk mengadakan percakapan biasa saja.

Pelayan tua itu memandangnya dengan bibir tersenyum. Ia menganggukan kepalanya dan menjawab, “Tentu saja, kongcu, selama hidupku aku tinggal di kota ini, bahkan aku dilahirkan di Lam-hwat.”

Mendengar pengakuan ini, giranglah hati Gwat Kong, akan tetapi sungguhpun ia merasa betapa dadanya berdebar, ia berusaha agar wajahnya tetap biasa saja. “Lopeh, marilah kau temani aku makan minum. Harap kau menambah sebuah mangkok kosong dan sepasang sumpit lagi untukmu.”

Pelayan itu memandang heran, belum pernah ada seorang tamu minta seorang pelayan makan bersama, dan selama puluhan tahun menjadi pelayan, baru kali ini ia mengalami pengalaman ganjil itu. “Maksud kongcu... aku kau minta makan minum bersama di meja ini?” Ia menegaskan dengan ragu-ragu.

“Ya, lopeh. Aku merasa tidak bisa makan seorang diri, kurang sedap rasanya kalau tidak ada teman yang diajak mengobrol sambil makan minum. Marilah!”

Pelayan tua itu menengok ke kanan kiri dan di situ hanya terdapat seorang tamu lain yang bertubuh tinggi besar dan penuh cambang bauk pada mukanya. Akan tetapi tamu ini makan di meja lain dan agaknya sama sekali tidak memperdulikan mereka.

“Kongcu, kau seorang yang ramah sekali. Akan tetapi aku tidak boleh mengganggumu dan kalau kau ingin mengajak bercakap-cakap sambil makan, kau makanlah seorang diri, biar aku berdiri saja di sini menemanimu bercakap-cakap.”

“Ah, kau terlalu sungkan, lopeh,” cela Gwat Kong.

“Bukan sungkan-sungkan, kongcu, akan tetapi kalau majikanku melihat aku duduk makan minum dengan seorang tamu, tentu ia akan marah-marah dan mungkin aku kehilangan pekerjaanku.”

Gwat Kong mengangguk-angguk dan mengambil beberapa potong uang tembaga dari saku bajunya lalu memberikan uang itu pada si pelayan sambil berkata, “Kalau begitu, terimalah uang ini untuk kau pakai membeli makanan nanti.”

Pelayan tua itu girang sekali dan menerima uang itu sambil mengucapkan terima kasih.

“Lopeh, kau tentu kenal dengan seorang hartawan besar yang beberapa belas tahun yang lalu tinggal di kota ini. Ia bernama keturunan Tan dan disebut Tan-wangwe. Tahukah kau di mana sekarang dia tinggal?”

Pelayan tua itu mengerutkan kening mengingat-ingat. “Ya, ya. Aku kenal, siapa yang takkan mengenalnya belasan tahun yang lalu. Dulu dia adalah seorang yang terkenal paling berpengaruh dan paling kaya di kota ini! Kongcu, apakah kau masih terhitung keluarga Tan-wangwe itu?” tanyanya tiba-tiba sambil memandang tajam.

Gwat Kong merasa girang sekali dan oleh karena ia tidak ingin memberitahukan tentang maksudnya mencari hartawan itu, maka tanpa memperdulikan sesuatu ia lalu mengangguk dan menjawab, “Ya, aku adalah seorang keponakannya dan tahukah kau di mana ia sekarang tinggal?”

Tiba-tiba pelayan itu nampak berubah air mukanya mendengar bahwa Gwat Kong adalah keponakannya Tan-wangwe. Bahkan ia lalu mengambil keluar uang tembaga pemberian Gwat Kong tadi dan menaruh uang itu di atas meja kembali sambil berkata, “Kongcu, aku tidak berhak menerima uangmu ini, oleh karena aku tidak dapat melayanimu lebih lagi. Aku harus pergi ke dapur, di sana banyak pekerjaan.” Kemudian ia lalu berlari menuju ke dapur rumah makan itu.

Bukan main terkejutnya hati Gwat Kong mendengar ini dan ia menunda makanannya sambil memandang dengan bengong. Tiba-tiba terdengar suara tertawa keras dan ketika ia memandang, ternyata yang tertawa itu adalah orang tinggi besar bercambang bauk itu yang kini memandang kepadanya.

“Mengapa kau tertawa?” tanya Gwat Kong penasaran sambil pandang muka orang yang usianya telah enam puluh tahun lebih itu.

“Mengapa aku tertawa? Karena melihat kau hendak mencari keterangan sambil menyuap dengan uang, persis seperti perbuatan Tan-wangwe di waktu dahulu. Kau memang pantas sekali menjadi keponakannya! Ha ha ha!”

Mendengar ini, timbul lagi harapan dalam hati Gwat Kong. Orang ini tentu kenal baik kepada hartawan itu, bahkan mungkin masih ada hubungan, kalau tidak, mana ia tahu tentang kebiasaan menyuap uang dari hartawan itu? Maka ia segera bangun berdiri dan menjura,

“Sahabat baik, aku benar-benar perlu mengetahui keadaan Tan-wangwe, maka kalau kiranya kau tahu tentang dia mohon kau suka menerangkan kepadaku. Marilah kita minum arak untuk menambah kegembiraan dan aku yang muda mengundangmu dengan hormat untuk makan bersama di mejaku.”

Kembali laki-laki tinggi besar itu tertawa bergelak. “Kau hendak mencari Tan-wangwe? Boleh, boleh dan mudah sekali. Marilah kau ikut, akan kuantarkan ke tempat Tan-wangwe!”

Bukan main girangnya hati Gwat Kong mendengar ini. Tak pernah disangkanya bahwa ia akan demikian mudah mendapatkan tempat tinggal Tan-wangwe, bahkan orang kasar ini sanggup mengantarkannya untuk berjumpa dengan musuh besarnya itu.

Segera ia membayar makanan orang itu sekalian, lalu ia mengajak orang itu keluar. Setelah orang itu berjalan barulah Gwat Kong melihat betapa orang itu berjalan sambil menyeret kaki kirinya yang telah cacat. Akan tetapi, biarpun berjalan dengan sebelah kaki diseret, ternyata orang itu dapat berjalan cepat dan gerakannya gesit, tanda bahwa dia mengerti ilmu silat.

Orang itu berjalan saja tanpa banyak berkata sehingga Gwat Kong merasa tidak enak hati. “Sahabat, siapakah namamu? Kau telah berlaku baik untuk mengantarku menemui Tan-wangwe, seharusnya kuketahui namamu.”

“Namaku A Sam, Gui A Sam,” jawab laki-laki itu singkat. Mereka berjalan terus dan dengan heran Gwat Kong melihat betapa mereka menuju keluar kota.

“Masih jauhkah tempat tinggal Tan-wangwe?” tanyanya.

“Dekat di depan itu!” kata A Sam sambil menunjuk ke depan.

Gwat Kong merasa heran. Yang ditunjuk oleh laki-laki pincang itu sebuah hutan yang besar. “Apa? Di hutan itu?”

“Ya, dan jangan kau banyak bertanya. Bukankah kau ingin bertemu dengan dia?”

Gwat Kong terpaksa menutup mulutnya dan terus mengikuti orang itu menuju ke dalam hutan. Setelah masuk ke dalam hutan itu, yang sunyi dan liar, Gwat Kong tak dapat menahan lagi perasaan heran dan curiganya. Ia berhenti dan bertanya, “Sahabat, jangan kau main-main! Benar-benarkah seorang kaya raya seperti Tan-wangwe itu tinggal di tempat seperti ini?”

Tiba-tiba A Sam berhenti pula dan tertawa terbahak-bahak dengan wajah yang menyeramkan sekali. “Anak muda, benar-benarkah kau keponakan Tan Kia Swi atau Tan-wangwe?”

Dengan terheran-heran Gwat Kong mengangguk.

“Dan kau ingin bertemu dengan hartawan Tan itu?”

“Benar, di mana tinggalnya?”

“Mari ku antar kau bertemu dengan si keparat itu!” Sambil berkata demikian tiba-tiba Gui A Sam melangkah maju dan secepat kilat mengirim pukulan ke arah dada Gwat Kong. Inilah pukulan Hek-houw-to-sim atau Macan Hitam Menyambar Hati yang dilakukan dengan tenaga keras dan kalau saja pukulan ini mengenai dada seorang biasa, maka kalau dada itu tidak hancur pasti sedikitnya beberapa tulang iga akan patah-patah.

Akan tetapi Gwat Kong mempunyai urat syaraf halus dan perasa sekali sehingga tubuhnya dapat bergerak otomatis sehingga begitu angin pukulan menyambar, ia telah miringkan tubuhnya sehingga pukulan tangan A Sam itu mengenai angin.

“Eh, eh, tahan dulu kawan!” serunya kaget, akan tetapi Gui A Sam berseru marah dan mengirim serangan lagi yang lebih hebat.

Kini si tinggi besar itu memukul dengan kepalan tangannya yang sebesar paha itu ke arah kepala Gwat Kong. Pemuda itu mulai penasaran dan juga ingin tahu sekali mengapa orang kasar ini menyerangnya dan memusuhinya tanpa sebab!

Ia mengulur tangan dan menangkap pergelangan tangan yang memukul itu. A Sam hendak kembali menarik tangannya, akan tetapi tangan itu tidak dapat terlepas dari pegangan Gwat Kong. Dengan heran dan makin marah, A Sam lalu menggunakan tangan kirinya untuk memukul ke lambung Gwat Kong. Pemuda itu cepat mendahuluinya dan menotok pundak kiri sehingga tangan kirinya yang hendak memukul itu tiba-tiba menjadi lumpuh!

Akan tetapi ketika Gwat Kong melepaskan tangan kanan yang tadi dipegangnya, A Sam dengan nekad lalu menggunakan tangan yang masih dapat bergerak ini untuk menyerang lagi! Terpaksa Gwat Kong mempergunakan kecepatannya dan menotok pundak kanan lawannya sehingga kini Gui A Sam berdiri dengan dua lengan tergantung tak berdaya sama sekali.

Akan tetapi ternyata keberanian orang ini hebat sekali. Dengan kedua mata melotot ia memandang pemuda itu dan berkata, “Telah dua kali aku dikalahkan oleh orang-orang pembela anjing setan itu, maka kalau kau mau bunuh boleh bunuh! Aku takkan malu menghadapi Bun-tihu, karena aku telah menunaikan tugasku dengan baik dan sebagai seorang gagah!”

Hampir saja Gwat Kong menjerit ketika ia mendengar ini. Wajahnya menjadi pucat dan ia memandang orang itu dengan mata terbelalak. “Apa katamu? Kau kenal kepada Bun-tihu? Siapakah kau sebenarnya?”

Sambil mengangkat dadanya, A Sam menjawab, “Aku tidak takut mengaku terus terang, karena aku tidak takut mati! Ketahuilah, hai anak muda keponakan anjing rendah Tan-wangwe, aku adalah perwira kepala penjaga dari Bun-tihu yang adil dan jujur. Pamanmu yang jahat itu telah berhasil menghancurkan keluarga Bun bahkan akupun telah menderita cacat, akan tetapi, nama keluargamu akan busuk selama-lamanya dan akan dikutuk oleh setiap orang!”

Bukan main girang hatinya ketika mendengar ini. Gwat Kong lalu menghampiri dan berkata, “Sahabat baik, kau lupa tadi dan belum bertanya namaku.”

“Aku tak perlu mengetahui nama segala anjing keluarga Tan-wangwe!”

“Juga tidak perduli kalau aku memberi tahu padamu bahwa namaku sama sekali bukan Tan, akan tetapi aku sebenarnya bernama Bun Gwat Kong?” Sambil berkata demikian secepat kilat kedua tangan Gwat Kong bergerak ke arah pundak A Sam dan totoknya telah dibebaskan dari tubuh orang kasar itu.

Sementara itu, Gui A Sam memandang kepada Gwat Kong dengan wajah pucat dan bengong, seakan-akan ia melihat setan pada siang hari. “Bun Gwat Kong...?? Akan tetapi... bukankah kau tadi mencari Tan-wangwe dan hendak bertemu dengannya...?”

Gwat Kong tersenyum dan mengangguk. “Aku memang mencarinya dan hendak bertemu dengannya untuk membuat perhitungan dan membalas dendam orang tuaku.”

Tiba-tiba Gui A Sam mengeluarkan keluhan seperti orang menangis dan ia menjatuhkan dirinya dan berlutut di depan Gwat Kong. “Bun-kongcu... ah. Kau masih kecil sekali ketika peristiwa itu terjadi... bagaimana dengan... Bun-hujin, ibumu?”

Gwat Kong dengan hati terharu mengangkat bangun laki-laki tinggi besar itu dan berkata, “Ibu telah meninggal dunia kurang lebih lima tahun yang lalu. Gui-pepeh, di manakah sebenarnya tempat tinggal si keparat she Tan itu?”

“Duduklah kongcu, marilah kita duduk. Kepalaku masih pening karena kenyataan yang tiba-tiba ini, dan ilmu silatmu yang hebat itu benar-benar membuat aku tak mengerti. Bagaimana kau dalam sejurus saja dapat mengalahkan aku! Hebat sekali! Ah, alangkah girangnya hati Bun-taijin kalau dapat melihatmu, putera tunggalnya yang kini menjadi seorang gagah ini. Dan ingin sekali melihat muka si keparat she Tan itu kalau ia masih dapat merasakan kehebatan pembalasanmu!”

“Apa? Dia sudah tidak ada lagi?” tanya Gwat Kong dengan kaget dan kecewa.

Gui A Sam menarik napas panjang lalu menuturkan bahwa semenjak dapat memfitnah keluarga Bun sehingga keluarga itu menjadi hancur berantakan, hartawan Tan menjadi buruk sekali namanya. Biarpun ia hartawan besar dan berpengaruh, akan tetapi oleh karena seluruh penduduk Lam-hwat yang amat mencintai Bun-tihu, sekarang membencinya dan bahkan beberapa orang berusaha membunuhnya, akhirnya Tan-wangwe tidak betah tinggal di kota itu lalu pindah ke Kang-lam.

Gui A Sam sendiri yang tadinya bekerja sebagai kepala pengawal dari Bun-tihu, mencoba untuk membalas dendam, akan tetapi bukan berhasil baik, bahkan ia mendapat luka hebat pada kakinya sehingga ia menjadi pincang. Ternyata beberapa tahun kemudian setelah pindah ke Kang-lam, Tan-wangwe yang bernama Tan Kia Swi itu meninggal dunia karena sakit dan isterinya pun meninggal dunia tak lama kemudian.

Pada waktu itu di Kang-lam menjalar penyakit menular yang hebat dan agaknya hartawan yang jahat itu telah terlampau banyak menumpuk dosa hingga biarpun ia dilindungi oleh para pengawal yang berkepandaian tinggi dan memiliki banyak sekali harta benda yang dapat melindunginya pula dari musuh-musuhnya, karena dengan jalan menyuap para pembesar ia mendapat pengaruh dan kekuasaan besar, namun akhirnya Thian yang membalas dan menghukumnya.

Gwat Kong menarik napas panjang, “Kalau begitu, sia-sialah saja cita-citaku untuk membalas dendam.”

“Tidak, kongcu, masih ada yang harus dibalas!” kata Gui A Sam dengan suara keras menyatakan kegemasan hatinya. “Hartawan Tan itu mempunyai seorang turunan, seorang anak perempuan, dan dia ini harus dibinasakan sebagai pengganti ayahnya!”

Bun Gwat Kong memandang A Sam dengan mata heran dan tidak setuju. “Ayahnya yang berbuat salah, mengapa harus mengganggu anaknya yang tidak berdosa?”

“Kau keliru, Bun-kongcu! Ketika hartawan Tan itu mencelakakan ayahmu, maka yang menderita bukan hanya ayahmu, bahkan banyak sekali para pelayan dan pekerja ayahmu ikut pula menderita. Oleh karena setelah ayahmu diganti oleh seorang tihu lain yang curang dan suka makan uang sogokan, maka keadilan boleh dibilang tidak ada arti di Lam-hwat. Siapa beruang dia menang dalam segala perkara. Maka sudah sepatutnya kalau keparat she Tan itu pun dibinasakan seluruh keturunan dan keluarganya agar habislah riwayatnya yang busuk. Orang sejahat dia tentu mempunyai anak yang jahat pula!”

Gwat Kong tersenyum dan berkata, “Aku belum yakin benar tentang kebenaran pendapatmu ini, Gui-pehpeh.”

“Apa? Belum yakin? Akan tetapi sudah ada buktinya, kongcu! Ketahuilah, anak tunggal hartawan Tan itu biarpun seorang wanita akan tetapi telah menjadi iblis wanita yang amat lihai dan jahat! Entah beberapa banyak orang-orang gagah yang menjadi korbannya. Gadis itu kabarnya ganas dan kejam sekali, juga amat sombongnya sehingga tiap kali mendengar adanya seorang gagah di daerah Kang-lam, ia tentu akan mendatangi dan merobohkannya dalam pibu. Karenanya maka ia diberi nama poyokan Dewi Tangan Maut, karena banyak sudah orang-orang kangouw terbunuh olehnya.”

Tertarik hati Gwat Kong mendengar ini, bukan untuk melimpahkan dendamnya kepada gadis itu, akan tetapi ingin bertemu dan mencoba kegagahan gadis yang amat disohorkan oleh Gui A Sam ini.

“Kalau saja kakiku tidak bercacat seperti ini.... ah, tentu akan kucari siluman wanita itu untuk mengadu jiwa, biarpun aku pasti akan kalah menghadapinya,” kata A Sam sambil menarik napas panjang dan memandang kakinya.

“Apakah dia selihai itu, sehingga kau takkan dapat menang terhadapnya?” tanya Gwat Kong.

“Dia memang lihai sekali. Tiga orang kawanku yang telah membuat nama besar, masih tak kuat menghadapinya dan biarpun mereka mengeroyoknya, akan tetapi akhirnya ketiga orang kawanku itu tewas di ujung pedangnya. Padahal tiga orang itu apabila dibandingkan dengan kepandaianku mereka jauh lebih lihai.”

Diam-diam Gwat Kong tercengang mendengar ini dan ia pun merasa agak penasaran mendengar betapa gadis itu demikian ganas dan kejam sehingga membunuh orang sedemikian mudahnya.

“Biar aku akan mencarinya,” katanya kepada diri sendiri akan tetapi oleh karena ucapan ini dikeluarkan dengan keras, maka Gui A Sam menjadi gembira sekali dan berkata,

“Kalau kau yang menghadapinya, pasti ia akan mampus, kongcu! Dan dengan membinasakan iblis wanita itu, bukan saja kau berarti telah berbakti kepada mendiang ayahmu, tetapi juga berarti melenyapkan seorang iblis, pengganggu rakyat jelata.”

Kemudian, Gwat Kong dipaksa-paksa oleh A Sam untuk bersama-sama makan minum dan karena A Sam kini telah menjadi seorang pedagang, sehingga ia mempunyai uang cukup, maka ia menjamu Gwat Kong dengan meriah. Dalam kesempatan ini, kembali Gwat Kong minum arak sepuas-puasnya sehingga A Sam menjadi terheran-heran melihat betapa kuatnya pemuda itu minum arak tanpa menjadi mabok sedikitpun.

“Kau betul-betul patut disebut Ciu-hiap (Pendekar Arak), Bun-kongcu!” katanya dengan memandang kagum.

Gwat Kong yang merasa gembira mengangguk-anggukan kepala dan berkata, “Sebuah sebutan yang tidak buruk!”

Setelah menghaturkan terima kasih atas sebutan yang amat menggembirakan dari bekas petugas ayahnya itu, Gwat Kong lalu berpamit untuk melanjutkan perjalanannya, kini ia langsung menuju ke Kang-lam yang memerlukan perjalanan sedikitnya setengah bulan. Gui A Sam berpesan agar supaya pemuda itu suka memberi kabar apabila ia telah berhasil menewaskan Dewi Tangan Maut!
* * *

Kita ikuti perjalanan Liok Tin Eng, dara jelita yang keras hati dan yang telah menggegerkan keadaan gedung Liok-taijin karena diam-diam ia telah minggat dari kamarnya pada malam harinya itu. Sebelum mengambil tindakan nekad itu, Tin Eng, sepeninggal ayahnya yang mengeluarkan ancaman dan memaksanya untuk menerima pinangan Gan Bu Gi, menangis sedih di dalam kamarnya seorang diri.

Ia teringat segala kelakuannya terhadap Gwat Kong dan timbullah perasaan menyesalnya yang amat besar. Memang, kalau ia teringat pula akan segala kata-kata pemuda pelayan itu, ia masih terasa mendongkol dan marah, akan tetapi ia harus tahu bahwa segala ucapan itu dikeluarkan oleh Gwat Kong dalam keadaan mabok!

Buktinya, kemudian pemuda itu minta maaf dan merasa demikian menyesal sehingga tidak penasaran kalau dibunuh. Gwat Kong bahkan minta agar supaya ia membunuhnya untuk menebus dosa. Ah, kasihan sekali pemuda itu. Tak pernah diduganya bahwa pemuda pelayan yang jujur, rajin dan setia itu diam-diam menaruh hati cinta kasih kepadanya!

Tin Eng menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya. Alangkah malang nasibnya! Dipaksa menerima pinangan seorang pemuda yang sungguhpun tampan dan gagah, akan tetapi entah mengapa, dalam perasaan hatinya tak tertarik kepada Gan Bu Gi itu, terdapat sesuatu yang membuat ia ragu-ragu. Ada sesuatu pada diri pemuda itu yang menimbulkan ketidak percayaannya dan yang membuatnya yakin bahwa ia takkan dapat hidup bahagia sebagai isteri Gan Bu Gi.

Adapun tentang Gwat Kong, memang pemuda pelayan itu seorang yang jujur dan baik. Akan tetapi mencintai padanya? Gila benar! Seorang pelayan mencintai puteri Kepala daerah yang kaya raya dan berpengaruh, lagi pula Gwat Kong hanyalah seorang pelayan yang bodoh, tak mengerti ilmu silat dan buta huruf pula. Mengingat akan hal ini merahlah muka Tin Eng karena marah dan malu!

Ia menjadi serba salah. Ia tidak mau dipaksa kawin dengan Gan Bu Gi atau dengan siapapun juga. Ia belum bersedia mengikat diri dengan perkawinan. Akan tetapi, untuk membantah ayahnya pun sukar, karena ia maklum akan kekerasan hati orang tua. Kedua hal inilah yang membuatnya mengambil keputusan untuk merantau dan meluaskan pengalaman.

Untuk mengumpulkan pakaiannya yang terbaik dan semua perhiasannya untuk bekal di dalam perjalanan. Kemudian setelah membungkus semua itu menjadi sebuah buntalan besar yang ditalikan pada punggungnya. Ia lalu menggunakan kepandaiannya untuk keluar dari jendela kamarnya, melompat naik ke atas genteng, lalu berlari pergi dengan cepat!

Beberapa kali ia menengok ke arah gedung di mana ayah dan ibunya tinggal, akan tetapi ia dapat mengeraskan hatinya dan terus lari pergi keluar kota dan menuju ke selatan. Ia tidak lupa untuk membawa kitab pelajaran ilmu pedang Garuda Sakti yang dimasukkan pula kedalam buntalannya. Pedang ia gantung pada pinggang dan sekantong piauw (senjata rahasia yang disambitkan) tergantung pula di dekat pedang.

Biarpun sudah tak bundar lagi, namun bulan masih muncul malam itu sehingga Tin Eng dapat melanjutkan perjalanannya. Ketika berlari di dalam cahaya bulan seorang diri, di atas jalan yang sunyi itu, ia merasa gembira seperti seekor burung yang terlepas terbang bebas di udara. Akan tetapi menjelang tengah malam, ketika ia tiba di pinggir sebuah hutan yang sunyi dan hawa malam yang dingin menyerang tubuhnya, ia mulai merasa tak enak dan takut.

Sebagai puteri seorang bangsawan, belum pernah ia melakukan perjalanan malam seorang diri dan perasaan takut dan menyesal mulai menyerang hatinya. Ia tidak takut segala maling atau perampok, akan tetapi melihat bayang-bayangan pohon dan tetumbuhan yang menghitam dan nampak menyeramkan bagaikan setan-setan di bawah sinar bulan itu.

Ia benar-benar menjadi takut dan meremanglah bulu tengkuknya. Hawa dingin mengingatkan ia kepada kamarnya yang hangat dan enak. Biasanya pada saat seperti itu ia sudah meringkuk di bawah lindungan selimutnya yang tebal dan halus....

Selanjutnya,