Pendekar Pemabuk (Kang-lam Tjiu-Hiap) jilid 04 karya Kho Ping Hoo - Ketika pertama kali datang di tempat itu, Gan Bu Gi sudah menyaksikan gadis ini berlatih pedang, maka ia maklum bahwa ilmu pedang gadis ini tinggi dan lihai serta tak boleh dianggap ringan, maka ia lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menjaga diri dan jangan sampai dikalahkan.

Tangkisan pedang di tangan Gan Bu Gi membuat Tin Eng merasa terkejut sekali karena ternyata olehnya bahwa tenaga lweekang dari pemuda itu masih jauh melebihi tenaganya sendiri, sedangkan gerakan pemuda itu pun gesit sekali, menandakan bahwa ginkangnya sudah sempurna. Namun berkat ilmu pedangnya yang mempunyai gerakan-gerakan aneh dan sukar diduga perubahannya, ia dapat mendesak pemuda itu dengan serangan-serangan kilat.
Sementara itu, begitu melihat mereka bertempur dan setelah memperhatikan jalannya pertempuran selama belasan jurus, tahulah Gwat Kong bahwa ilmu pedang Tin Eng masih jauh dari sempurna dan banyak sekali terdapat kesalahan-kesalahan. Ia maklum bahwa hal ini adalah kesalahan penyalinan kitab itu yang agaknya tidak begitu paham tentang isi tulisan kuno itu, akan tetapi harus diakui bahwa biarpun hanya salinan yang buruk.
Namun apa yang telah dipelajari oleh gadis itu merupakan ilmu pedang yang kalau sudah dilatih sempurna akan sukar menemukan tandingan! Dan ia maklum pula bahwa ternyata Gan Bu Gi mempunyai ilmu kepandaian yang berisi dan dalam hal lweekang dan ginkang, pemuda itu jauh lebih unggul dari pada Tin Eng.
Betapapun juga, kalau saja Tin Eng mempelajari ilmu pedang itu sedikitnya lima tahun saja, belum tentu Gan Bu Gi akan dapat dengan mudah mempertahankan diri terhadap serangan-serangan yang aneh itu.
Pada saat itu Gan Bu Gi sendiri menjadi terkejut dan ia maklum bahwa kalau ia tidak segera mendahuluinya dan mempergunakan tenaga untuk merampas pedang Tin Eng, mungkin sekali ia akan terkena bencana di ujung pedang lawannya karena gerakan ilmu pedang ini benar-benar aneh dan belum pernah dihadapinya seumur hidupnya.
“Maaf, siocia!” serunya keras setelah mereka bertanding tiga puluh jurus lebih dan dengan sekuat tenaga ia menyampok pedang Tin Eng dengan pedangnya, sedangkan tangan kirinya diulur untuk menangkap pergelangan lengan gadis itu!
Tenaga sampok dan yang disertai tenaga lweekang, sepenuhnya ini tentu saja tak dapat tertahan oleh Tin Eng yang hanya mendapat latihan dari ayahnya dalam hal lweekang, maka sambil berteriak kaget ia terpaksa melepaskan pegangannya pada gagang pedangnya sehingga pedang itu mencelat ke atas sedangkan lengannya sudah terpegang oleh lengan Gan Bu Gi.
Tin Eng merasa malu sekali dan membetot lengannya. Gan Bu Gi juga melepaskan lengan yang halus sekali kulitnya itu dan ia menyambar pedang Tin Eng yang melayang turun, lalu memberikan pedang itu kepada Tin Eng sambil menjura,
“Ilmu pedangmu hebat sekali, nona, hingga terpaksa aku menggunakan tenaga untuk merampasnya. Maaf, maaf!”
Dengan muka merah karena jengah Tin Eng menerima pedangnya dan berkata, “Kau lihai, ciangkun!” Lalu gadis ini berlari menuju ke dalam gedung.
Gan Bu Gi masukkan pedang dalam sarung pedangnya dan menoleh kepada Gwat Kong yang masih duduk di atas rumput, “Gwat Kong...”
“Ya, Gan-ciangkun.”
“Gadis itu....”
“Kau maksudkan, Liok-siocia? Ya, mengapa dia...?”
“Gadis itu.... sungguh manis sekali!”
“Memang manis dan lihai ilmu pedangnya.”
“Kulihat dia itu.....”
“Teruskanlah, ciangkun, jangan malu-malu.”
“Agaknya sudah pantas kalau ia menjadi isteriku yang tercinta. Bagaimana pendapatmu, Gwat Kong?”
Akan tetapi Gwat Kong membalikkan tubuhnya dan terdengar suaranya, “Hm.... entahlah, aku ingin menengok kuda di kandang. Malam ini dingin sekali, kuatir kalau-kalau mereka gelisah.” Dan Gwat Kong lalu lari ke kamarnya di dekat kandang kuda.
Gan Bu Gi tidak memperdulikan hal ini, lalu melangkah dengan senyum di bibir, kembali ke kamarnya yang berada di gedung sebelah timur. Hatinya puas dan lega sekali, harapannya makin membesar dan malam itu ia mendapat mimpi indah dalam tidurnya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Gwat Kong sudah membuat persiapan untuk pergi dari situ. Ia membungkus pakaiannya yang tak seberapa banyak itu dalam sebuah buntalan kain kuning dan bersiap untuk menghadap Liok-taijin dan minta ijin serta menyatakan terima kasih. Wajahnya pucat sekali oleh karena selain berduka, ia juga tidak tidur semalam suntuk, mengenang nasibnya yang buruk.
Akan tetapi, ketika ia berjalan menuju ke ruang dalam ia bertemu dengan seorang penjaga yang berkata kepadanya, “Gwat Kong, kau beritahu taijin bahwa Seng Le Hosiang, hwesio yang dulu datang itu, kini datang minta bertemu.”
Gwat Kong terpaksa menunda maksudnya dan menyampaikan laporan itu kepada Liok Ong Gun yang baru saja bangun dari tidurnya. Pembesar ini lalu berdandan dan menyambut kedatangan susiok-couwnya dengan hormat sekali.
“Liok Ong Gun, pinceng datang untuk melanjutkan urusan perjodohan dulu itu. Bong Bi Sianjin tak dapat datang karena ia sedang menghadapi urusan penting, maka akulah yang mewakilinya. Bagaimana dengan keadaan Bu Gi?” Hwesio ini dengan suaranya yang besar datang-datang membicarakan urusan perjodohan dan tidak perduli sama sekali bahwa di situ terdapat Gwat Kong dan dua orang pelayan lain.
Liok Ong Gun menjawab sambil tersenyum. “Gan-ciangkun baik-baik saja dan sebentar lagi ia tentu akan datang ke sini. Adapun tentang perjodohan itu, susiok-couw, harus teecu tanyakan dulu kepada isteriku dan juga kepada anak itu sendiri!”
Gwat Kong menjadi pucat karena ia maklum bahwa yang dibicarakan ini tentulah perjodohan antara Gan Bu Gi dan Tin Eng!
“Ha ha ha! Liok Ong Gun, kau ternyata berhati lemah. Kalau kau sendiri sudah setuju, tentu saja anak isterimu juga setuju. Bagaimanakah pendapatmu sendiri?”Dengan terus terang Kepala daerah itu menjawab, “Bagi teecu sendiri memang Gan-ciangkun merupakan seorang pemuda yang baik dan memenuhi syarat, akan tetapi teecu tidak mau memutuskan sebelum mendengar pendapat anak isteri teecu.”
Pada saat itu, Gan Bu Gi yang telah diberitahu akan kedatangan hwesio itu lalu datang dan berlutut di depan Seng Le Hosiang sebagai penghormatan.
“Bagus, Bu Gi, kau nampak makin gagah saja. Ketahuilah, kedatanganku ini mewakili suhumu untuk mematangkan urusan perjodohanmu dengan puteri Liok Ong Gun.”
Merahlah wajah pemuda itu mendengar kata-kata yang terus terang ini. Ia merasa malu-malu dan juga bergirang hati. Kemudian ia duduk di dekat hwesio itu dan Liok Ong Gun lalu berkata kepada Seng Le Hosiang, “Apakah teecu harus memberi keputusan sekarang juga, susiok-couw?”
“Tentu, sekarang juga. Tak usah sungkan-sungkan, tinggal menyatakan setuju atau tidak, habis perkara. Pinceng tak dapat tinggal terlalu lama di sini.” Dari kata-katanya, dapat diketahui bahwa hwesio tua yang lihai ini mempunyai tabiat terus terang dan kasar.
Liok Ong Gun lalu minta permisi untuk merundingkan hal itu dengan anak isterinya, lalu ia memerintahkan dua orang pelayan yang berada di situ bersama Gwat Kong untuk mengeluarkan arak wangi dan menjamu hwesio itu bersama Gan-ciangkun. Dua orang pelayan itu segera mengambil arak dan hidangan pagi, dan dengan hati tak keruan rasa, Gwat Kong lalu menuangkan arak pula pada cawan mereka.
Sambil minum arak dan makan buah kering, Gan Bu Gi menceritakan tentang pertandingan malam tadi dengan Tin Eng. Mendengar ini Seng Le Hosiang tertawa-tawa girang sehingga arak cawannya tumpah sedikit membasahi jubahnya. Akan tetapi ia tidak memperdulikan hal ini, bahkan lalu berkata kepada Gan Bu Gi sambil tertawa,
“Ha ha ha, kalau begitu, sudah sepuluh bagian perjodohanmu akan berhasil. Nona itu ternyata menaruh perhatian kepadamu. Ha ha ha! Siapakah pelayan yang baik hati dan yang menjadi perantara mempertemukan kalian berdua itu?”
Gan Bu Gi tersenyum dan menunjuk ke arah Gwat Kong, “Dia inilah orangnya yang telah begitu baik hati, locianpwe.”
Seng Le Hosiang memandang kepada Gwat Kong dan kembali ia tertawa besar, “Ha ha ha.... orang seperti kau ini tidak pantas menjadi pelayan, anak muda. Hayo kau duduk di sini dan menemani kami minum arak!”
Tentu saja Gwat Kong tidak berani melakukan hal itu dan dengan takut-takut ia menjawab, “Ah, losuhu, mana siauwte yang rendah ini berani berlaku kurang ajar?”
“Tidak ada yang rendah atau tinggi, semua orang sama saja! Mari kau minum arak dengan kami,“ kata hwesio itu.
Gan Bu Gi sudah maklum akan tabiat hwesio tua itu, maka ia lalu berdiri dari kursinya, memegang lengan Gwat Kong dan menariknya perlahan.
“Marilah, Gwat Kong, mari kau minum sedikit arak agar kegirangan kami bertambah.”
Terpaksa Gwat Kong duduk di sebelah kursi Gan Bu Gi dan kedua orang pelayan kawannya memandang dengan terheran-heran, akan tetapi mereka tidak berani ikut mencampuri hal ini karena takut kepada Gan-ciangkun. Menghadapi secawan arak wangi dalam keadaan hati menderita sedih, timbullah kembali nafsunya terhadap minuman keras itu.
Nafsu minum arak bermabuk-mabukan yang selama empat tahun dapat dipadamkan dan terpendam di dasar perutnya itu, kini tiba-tiba menyala kembali dan berkobar membakar dadanya. Hanya araklah yang akan menghilangkan rasa sedih yang menggerogoti hatinya, pikirnya sambil menghabiskan arak secawan itu dengan sekali teguk!
Bukan main herannya kedua pelayan itu melihat betapa cara Gwat Kong minum arak menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli minum kawakan! Juga Gan Bu Gi memandang heran, akan tetapi Seng Le Hosiang tertawa terbahak-bahak dan memenuhi cawan pemuda itu sampai penuh sekali.
“Ha ha ha! Betul dugaanku tadi, kau tidak pantas menjadi pelayan, dan ternyata kau seorang laki-laki sejati. Hayo minum lagi, anak muda!” Sambil berkata demikian, hwesio yang doyan arak ini mengangkat cawan araknya yang telah dipenuhinya dan mereka minum lagi.
Arak yang diminum oleh Gwat Kong itu adalah arak tua yang wangi dan sudah tersimpan lama maka kerasnya bukan main. Biarpun dulu, empat tahun yang lalu, Gwat Kong kuat sekali minum arak, akan tetapi karena dulu ia belum pernah minum arak sekeras ini dan juga telah lama sekali perutnya tidak berkenalan dengan minuman keras, pula karena malam tadi ia tidak tidur sama sekali dan perutnya tidak diisi.
Maka setelah minum enam cawan arak wangi, ia mulai terkena pengaruh minuman keras itu. Tubuhnya bergoyang-goyang dan ia mulai memandang kepada Gan Bu Gi dan Seng Le Hosiang dengan sinar mata berani dan tidak malu-malu seakan-akan mereka itu kawan-kawan baiknya sendiri, sedangkan ia kini mulai ikut tertawa-tawa senang.
Melihat hal ini, baik kedua orang pelayan yang melayani mereka maupun Gan-ciangkun dan Seng Le Hosiang, merasa geli dan gembira sekali. “Tambah arak, tambah arak!” kata Seng Le Hosiang dengan girang dan kedua pelayan itu tidak berani membantahnya, karena mereka maklum bahwa hwesio tua ini adalah susiok-couw dari Liok-taijin dan memiliki ilmu yang hebat sekali.
Setelah minum lagi beberapa cawan, Gwat Kong menjadi mabuk betul-betul. Ia tersenyum-senyum dan kedukaan lenyap sama sekali dari wajahnya. Ia mengangkat cawan dan memberi selamat kepada Gan-ciangkun, “Gan-ciangkun, kionghi, kionghi....”
“Nanti dulu,” kata Gan Bu Gi sambil tertawa, “Kau memberiku selamat untuk apakah?”
“Bukankah kau telah berhasil memetik setangkai bunga indah di dalam taman keluarga Liok? Kiongho, sekali lagi kionghi (selamat).... kau berbahagia sekali!” Dengan iringan suara ketawa riang mereka bertiga minum kembali araknya. “Memang perempuan itu seperti kembang ....” Gwat Kong mulai mengoceh.
“Ha ha ha! Kau pandai membuat syair agaknya,” kata Seng Le Hosiang. “Belum pernah aku bertemu dengan pelayan sehebat kau. Teruskan, teruskan!”
Sambil tersenyum-senyum dan berdiri dari kursinya memandang ke kanan kiri seperti seorang pemain sandiwara sedang berlagak, Gwat Kong melanjutkan kata-katanya dengan suara merayu, “Perempuan itu bagaikan kembang... kembang yang indah jelita....”
“Betul, betul!” kata Gan Bu Gi yang juga sudah kemasukan ‘setan’ arak.
“Kembang indah membuat setiap laki-laki ingin memetiknya... akan tetapi kembangnya yang indah selalu berduri....”
Gan-ciangkun dan Seng Le Hosiang tertawa lagi dengan girang. “Perempuan itu bagaikan bintang di langit yang cemerlang...” kata pula Gwat Kong yang makin ‘panas’ otaknya. “Setiap orang ingin sekali terbang ke sana. Akan tetapi, yang tidak bersayap jangan harap akan dapat mencapainya, dan sayap itu harus terbuat dari pada emas permata....”
“Eh, Gwat Kong, apakah kau tidak ingin pula memetik kembang indah juita dan terbang ke bintang gemilang?” tanya Seng Le Hosiang sambil tertawa-tawa lagi.
“Aku... aku pelayan hina dina yang miskin, yatim piatu yang bernasib malang, mana dapat dibandingkan dengan dia....? Perempuan itu akan memandang rendah kepadaku, paling banyak hanya akan memerintah ini-itu, atau bermurah hati sedikit memberi senyum tak berarti.... aku... bagianku hanya di kandang kuda.”
“Ha ha ha! Jangan berkata demikian, anak muda. Kau cukup tampan dan baik, hati wanita akan tergerak melihat mukamu,” kata Seng Le Hosiang.
Gwat Kong menggeleng-geleng kepalanya. “Tak mungkin! Aku mencintainya semenjak pertama kali melihatnya, memujanya bagaikan dewi, akan tetapi bagaimana aku dapat menyatakan cintaku? Kalau dia menjadi bulan, aku hanyalah sebatang rumput kering yang hanya dapat mengharapkan cahayanya yang sejuk pada saat ia muncul. Kalau ia tidak muncul, aku hanya boleh mengeluh dan menderita atau makin mengering!”
Tiba-tiba Gan Bu Gi bangun berdiri dan dengan mata memandang tajam ia membentak. “Gwat Kong! Siapakah perempuan yang kau maksudkan itu?”
Akan tetapi Gwat Kong sudah lupa betul-betul akan keadaan dirinya itu dan yang kini mendapat jalan untuk menumpahkan semua isi hati dan kesedihannya, tidak memperdulikan pertanyaan ini dan terus mengoceh sambil memukul-mukul, “ha ha, namanya juga perempuan! Mudah sekali terpikat oleh harta benda, kedudukan, wajah tampan! Sekali saja melihat ketiga hal itu menjadi satu dalam diri seorang pemuda, lupalah ia akan pemuda lain yang miskin dan hina. Padahal akulah yang memberinya kesempatan untuk mempelajari ilmu pedang....”
“Gwat Kong!” sambil membentak marah Gan Bu Gi mengulur tangan mendorong tubuh Gwat Kong sehingga pemuda itu terdorong ke belakang, akan tetapi Gwat Kong tidak roboh tertelentang, bahkan lalu berjumpalitan ke belakang, sampai empat kali dalam gerakan yang aneh dan indah sekali. Ia jatuh berdiri dan tertawa bergelak-gelak.
Bukan main terkejutnya Gan Bu Gi menyaksikan kehebatan ginkang ini, bahkan Seng Le Hosiang juga terperanjat. Tak disangkanya sama sekali bahwa pemuda ini memiliki kelihaian seperti itu. “Anak muda, kau siapakah sebenarnya?” tanya Seng Le Hosiang dengan suara keras.
“Ha ha ha!” Gwat Kong tertawa terbahak-bahak. “Aku siapa? Aku adalah seorang pelayan hina-dina, mana dapat dibandingkan dengan Gan-ciangkun. Seorang wanita akan memilih dengan mudah. Ia tak mau memandang sebelah mata kepadaku walaupun aku yang telah mendpapatkan kitab pelajaran pedang... memang dia sudah lupa akan budi....!”
Tiba-tiba terdengar seruan halus dan tahu-tahu Tin Eng sudah melompat ke ruang tamu itu dengan pedangnya di tangan. Wajahnya merah padam karena marahnya. “Gwat Kong! Tutup mulutmu, atau kau ingin kubunuh dengan pedang ini?” Sambil berkata demikian gadis itu mengancam dengan pedangnya dan menggigit bibirnya dengan gemas.
“Ha ha ha!” Gwat Kong tertawa lagi. “Kau sudah lihai, dan mau bunuh aku? Silahkan, siocia, silahkan!”
Dengan marah sekali pedang di tangan Tin Eng bergerak dan menusuk ke arah dada Gwat Kong. Akan tetapi pemuda itu mengangkat dadanya dan menerima tusukan itu dengan kedua mata terbuka lebar sehingga Tin Eng tiba-tiba merobah arah tusukannya, akan tetapi masih saja mengenai lengan kanan Gwat Kong sehingga merahlah lengan bajunya karena darah yang mengalir keluar dari luka di lengannya. Akan tetapi sedikit pun pemuda itu tidak memperlihatkan rasa sakit maupun takut.
“Ilmu pedang itu...” kembali ia mengoceh.
“Gwat Kong, diam! Dan pergi dari sini!” Tin Eng membentak lagi sambil menodongkan pedangnya pada tenggorokan Gwat Kong. “Kau benar-benar mau menghinaku?”
Mendengar pertanyaan ini, Gwat Kong berseru keras dan mulai melangkah mundur perlahan-lahan. Pikirannya mulai terang dan ia dapat mengingat kembali keadaan. Bukan main menyesalnya bahwa ia telah menimbulkan kehebohan dan bahkan menghina nama gadis yang dicintainya. Ia mundur terus dan Tin Eng melangkah maju sambil terus mendorong lehernya.
Akhirnya, Gwat Kong menubruk pilar besar di belakangnya dan ia berdiri mepet pada pilar itu dan berkata, “Maaf, maaf.... siocia, maafkan aku... ah, tidak, tidak! Aku tak dapat dimaafkan... bunuhlah! Teruskanlah pedangmu itu, tusukkanlah dan bunuh saja pelayan hina dina ini....”
Entah mengapa, melihat keadaan Gwat Kong sedemikian itu tiba-tiba saja meloncat keluar dua butir air mata dari kedua mata Tin Eng. Ia tadinya marah sekali karena sudah lama ia mengintai dan mendengarkan segala ocehan Gwat Kong dan baru ia melompat keluar ketika Gwat Kong menyebut tentang kitab pelajaran ilmu pedang.
Sementara itu, Seng Le Hosiang dan Gan Bu Gi berdiri sambil memandang peristiwa itu dengan terheran-heran. Juga dua orang pelayan memandang dengan heran dan takut kalau-kalau pedang itu akan benar-benar menusuk tenggorokan Gwat Kong.
“Kau... kau berani menghina, berani kau mencemarkan namaku di depan orang lain... kau... benar-benar kurang ajar....!” Dengan dada naik turun dan napas tersengal dara yang sedang marah itu berkata dengan suara hampir tak dapat terdengar.
Gwat Kong tak berani menentang pandang mata Tin Eng, hanya memandang kepada pedang yang mengancamnya. “Memang, aku kurang ajar dan hina dina, kau teruskanlah seranganmu, nona.”
Pada saat yang menegangkan itu, Liok Ong Gun yang mendengar suara ribut-ribut masuk ke dalam ruangan tamu itu dan alangkah terkejutnya melihat betapa puterinya sedang menodong Gwat Kong dengan pedangnya dan agaknya hendak membunuh pemuda itu. “Tin Eng!” teriaknya, “Apakah kau sudah gila?”
Mendengar teriakan ayahnya, Tin Eng sadar kembali dari marahnya dan dengan isak tertahan ia lalu menarik kembali pedangnya dan berlari ke kamarnya di mana ia banting tubuhnya di atas pembaringan sambil menangis.
Sementara itu, Gwat Kong yang setengah sadar setengah mabuk itu lalu berlutut di depan Liok Ong Gun dan berkata, “Taijin, hamba telah melakukan dosa besar, mohon taijin suka memberi maaf sebanyaknya dan ijinkanlah hamba pergi.”
Liok Ong Gun merasa amat marah dan malu melihat betapa pelayannya yang tadinya dianggap baik ini ternyata mendatangkan keributan sehingga menimbulkan malu kepada keluarganya, maka tanpa banyak pikir lagi lalu berkata, “Pergilah segera dan jangan kau muncul lagi di depanku!”
Gwat Kong bangkit berdiri lalu berjalan ke arah kamarnya dengan terhuyung-huyung, mengambil buntalannya dan segera meninggalkan gedung itu dengan hati perih. Luka di lengannya tak dirasakan lagi. Akan tetapi luka di hatinya terasa menyakitkan seluruh tubuhnya. Pikirannya tidak dapat digunakan dengan baik oleh karena terkacau oleh pengaruh minuman keras.
Setelah keluar dari kota Kiangsui, ia lalu lari. Pengaruh arak membuat ia tak sadar betapa larinya itu cepat sekali, oleh karena tanpa disengaja ia telah mempergunakan ginkang yang selama ini dilatih dengan secara diam-diam di dalam kamarnya. Buku pelajaran silat yang tebal itu dibawanya di dalam buntalan pakaian yang kini berada di atas punggungnya, berikut juga sejumlah uang yang ia kumpulkan dari hasil upahnya.
Sementara itu, setelah Gwat Kong pergi, Liok Ong Gun menjura kepada susiok-couwnya menyatakan maafnya, sedangkan hwesio tua itu dengan masih terheran-heran bertanya, “Ong Gun, sebetulnya siapakah anak muda tadi? Ku lihat ginkangnya tidak rendah!”
Kepala daerah itu merasa heran mendengar ini. “Ginkang? Ah, pemuda itu semenjak berusia tiga belas tahun telah berada di tempat ini sebagai pelayan dan sama sekali tidak pernah mempelajari ilmu silat, bagaimana bisa memiliki ginkang?” Kemudian dengan singkat ia menceritakan keadaan Gwat Kong yang rajin dan jujur.
Seng Le Hosiang dan Gan Bu Gi merasa heran sekali karena tadi mereka benar-benar telah menyaksikan kepandaian Gwat Kong. Dorongan Gan Bu Gi tadi bukanlah sembarangan dorongan, akan tetapi adalah gerakan ilmu silat yang disebut Jeng-kin-jiu-pai-san atau Tangan Seribu Kati Menolak Gunung. Tenaga dorongan itu sedikitnya ada tiga ratus kati dan jangankan orang yang tidak mengerti ilmu silat bahkan orang yang ilmu silatnya tidak tinggi dan tidak memiliki lweekang sempurna, tentu akan terdorong roboh.
Akan tetapi, Gwat Kong pelayan yang dianggap bodoh tadi tidak roboh, bahkan memperlihatkan ginkang yang mengagumkan karena dalam keadaan setengah mabuk dapat berjumpalitan empat kali ke belakang dan jatuh dalam keadaan berdiri. Akan tetapi karena cerita Liok Ong Gun amat meyakinkan, mereka menganggap bahwa hal itu mungkin terjadi karena kebetulan saja dan hal itu tidak dibicarakan pula.
“Bagaimana, apakah sudah ada keputusanmu tentang perjodohan ini?” tanya Seng Le Hosiang secara langsung oleh karena setelah ia merasa kenyang dan telah cukup lama berada di situ, ia ingin segera pergi pula.
“Teecu berdua isteri telah setuju dan dapat menerima pinangan ini, akan tetapi sebelum teecu bertanya kepada Tin Eng sendiri, teecu tidak berani memberi keputusan.”
Tiba-tiba Gan Bu Gi yang merasa amat kecewa setelah mendengar dan melihat sendiri peristiwa yang terjadi antara Tin Eng dan Gwat Kong, diam-diam menaruh hati curiga dan cemburu terhadap Tin Eng dan pelayan itu, maka lalu berkata cepat,
“Seng Le Locianpwe dan Liok-taijin saya harap hal ini ditunda dulu saja dan dengan perlahan-lahan diurus, karena baru saja siocia mengalami kekagetan. Mengapa harus amat tergesa-gesa?”
Akan tetapi Seng Le Hosiang mencelanya, “Bu Gi, kau harus tahu bahwa pinceng datang menguruskan soal perjodohan ini untuk mewakili suhumu, dan kau tentu tahu pula bahwa pinceng tidak biasa menunda-nunda urusan. Kau tak usah ikut-ikut membicarakan hal ini! Bagaimana Liok Ong Gun, apakah pinceng dapat menentukan urusan ini untuk memberi jawaban kepada Bong Bi Sianjin?”
Didesak sedemikian rupa, terpaksa Liok Ong Gun yang sebenarnya sudah setuju untuk mengambil Bu Gi sebagai menantu, menjawab, “Baiklah, susiok-couw, pinangan ini boleh dianggap sudah diterima dan ikatan jodoh sudah disyahkan, hanya tentang pernikahan, baiknya diputuskan kemudian untuk menetapkan waktunya. Teecu tidak bisa mendesak terlalu keras terhadap anak tunggal sendiri, sungguhpun teecu dapat menduga bahwa anakku tentu takkan keberatan terhadap hal ini.”
Barulah hati hwesio tua itu merasa lega mendengar ini. Ia tertawa tergelak-gelak dan berkata, “Bagus, bagus! Nah, kalau begitu pinceng pergi sekarang juga dan penetapan hari pernikahan akan ditentukan kemudian!”
Baik Gan Bu Gi maupun Liok-taijin, tak dapat menahan hwesio yang mempunyai adat kasar dan aneh itu, hanya mengantarnya sampai di luar gedung.
Setelah itu, Liok-taijin lalu masuk ke dalam gedungnya kembali dengan maksud untuk menegur puterinya tentang peristiwa tadi dan sekalian menyampaikan hal pinangan itu kepadanya. Akan tetapi ketika ia tiba di luar kamar Tin Eng, ia mendengar suara isterinya membujuk-bujuk dan suara Tin Eng menangis.
Ia masuk ke dalam kamar itu dan isterinya segera berdiri melihat ia masuk, akan tetapi Tin Eng diam saja sambil terisak-isak di atas pembaringannya.
“Tin Eng, sungguh aku tidak mengerti melihat sikapmu tadi. Mengapa kau marah-marah dan hendak membunuh Gwat Kong di depan para tamu?” Liok-taijin menegur puterinya.
Mendengar pertanyaan ini, bukannya menjawab bahkan Tin Eng menangis makin keras. Ayahnya menggeleng-geleng kepala dan berkata kepada isterinya, “Coba kau lihat betapa keras kepala anak kita ini! Sebetulnya mengapa pula ia menangis?”
“Entahlah, semenjak tadi aku bertanya akan tetapi ia hanya menangis saja, memang sukar sekali mengurus Tin Eng!”
Kedua orang tua itu tentu saja tidak dapat tahu betapa hati dara itu merasa sakit sekali. Ucapan-ucapan yang keluar dari mulut Gwat Kong masih bergema di telinganya dan biarpun hal ini masih membuatnya marah akan tetapi kemarahannya tidak sebesar penyesalannya teringat akan sikapnya sendiri yang hampir saja membunuh pelayan itu, bahkan telah melukai lengannya.
Gwat Kong selama ini berlaku amat baik kepadanya dan apakah pembalasannya? Ia teringat betapa ia pernah menyatakan berhutang budi kepada pelayan itu dan belum membalasnya. Ia merasa kasihan kepada Gwat Kong, terutama kalau ia kenangkan ucapan-ucapan pemuda tadi yang dengan terang-terangan menyatakan cinta kasihnya!
“Tin Eng,” ayahnya berkata keras. “Jangan kau berlaku seperti anak kecil! Ketahuilah, usiamu telah enam belas tahun lebih dan kau telah menjadi seorang dewasa. Perlakuanmu terhadap Gwat Kong tadi tidak seharusnya dilakukan oleh seorang gadis bangsawan seperti engkau. Boleh jadi pelayan itu membuat kesalahan, akan tetapi kau tidak berhak untuk turun tangan sendiri kepadanya di depan susiok-couw dan calon suamimu.”
Mendengar sebutan terakhir ini tiba-tiba Tin Eng serentak bangun duduk dan memandang kepada ayahnya dengan mata masih merah. Ibunya menaruh tangannya di atas pundak Tin Eng.
“Anakku, kau telah dipinang untuk dijodohkan dengan Gan-ciangkun dan menurut pandangan mata kami berdua, pemuda itu sudah pantas untuk menjadi suamimu.”
Sebetulnya, hati Tin Eng memang amat tertarik oleh Gan Bu Gi yang selain tampan dan gagah, juga memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya. Akan tetapi, sama sekali belum terpikir olehnya tentang perjodohan, maka ia merasa terkejut sekali mendengar ini. Pula, ucapan-ucapan Gwat Kong yang masih bergema di telinganya itu membuyarkan sama sekali perasaan hatinya yang agak condong kepada Gan-ciangkun.
“Ayah, aku tidak ingin menikah dengan siapapun juga!” jawabnya keras dan dengan suara tetap.
“Anak bodoh! Ayah ibumu telah menerima pinangan itu. Siapa lagi kalau bukan Gan Bu Gi yang pantas menjadi menantuku?”
“Ya, pantas menjadi menantumu, ayah, akan tetapi aku tidak ingin menjadi isterinya, atau isteri siapapun juga!” jawab Tin Eng bersikeras.
Marahlah Liok Ong Gun melihat kebandelan anaknya ini. “Tin Eng! Jangan kau berkeras kepala! Kurang apakah pemuda seperti Gan Bu Gi? Ia cukup tampan, berkepandaian tinggi, berkedudukan baik, dan beradat baik pula!”
Teringat dara itu kepada ucapan dan sindiran-sindiran Gwat Kong, maka dengan muka merah ia menjawab, “Boleh jadi ia cakap, gagah, kaya, berkedudukan tinggi. Akan tetapi aku bukanlah gadis yang tergila-gila akan kekayaan dan kedudukan maupun ketampanan dan kegagahan. Ayah, aku tidak mau!”
Maka meluaplah kemarahan dalam hati Liok Ong Gun. Ia mengangkat tangan dan menampar muka Tin Eng sehingga gadis itu menekap pipinya yang tertampar dan air matanya mengalir kembali. Belum pernah ia ditampar oleh ayahnya dan hal ini amat menyakitkan hatinya.
“Anak tidak berbakti! Kau terlalu dimanja sehingga menjadi keras kepala! Aku memberi waktu sampai malam nanti untuk kau menyehatkan kembali pikiranmu yang tersesat! Malam nanti aku menanti jawabanmu yang memastikan dan sekali-kali kau tidak boleh banyak berbantah dalam hal ini!” Setelah berkata demikian, Liok-taijin tinggalkan kamar itu dan menutup pintu kamar anaknya keras-keras.
Tin Eng menjatuhkan diri di atas pembaringannya dan menangis sedih. Ibunya memeluknya dan membujuk-bujuk. Akan tetapi gadis itu tak dapat dihibur dan menangis tersedu-sedu sehingga habis air matanya ditumpahkan membasahi bantalnya...