Keris Maut Jilid 01 karya Kho Ping Hoo - ”ANUSAPATI mengisar duduknya mendekati bundanya. Ia menyembah dan mencium ujung kain bundanya, lalu berkata, "Bunda, junjungan hamba yang tiada keduanya di alam mayapada ini, tiada gunanya bunda menyembunyikan lebih lama lagi rahasia itu kepada hamba."

Ken Dedes menundukkan mukanya. "Anakku, Anusapati, kau tentu telah mendengar desas-desus yang tidak baik. Sampai berapa jauhnya berita berbisa memasuki telingamu”
"Aduh, bunda, bunda yang kusayang! Masih sajakah bunda bertega hati membiarkan anak kandung bunda menderita dalam kebimbangan? Aku tahu dan yakin bahwa rama prabu yang sekarang menjadi suami bunda bukanlah ayahku yang sesungguhnya!?"
"Anusapati!" Ken Dedes menjerit kaget.
"Sesungguhnya, bunda. Aku telah mendengar riwayat bunda ketika Singosari masih belum seperti sekarang keadaannya. Ketika bunda masih menjadi isteri Akuwu Tunggul Ametung di Tumapel. Aku telah mendengar itu semua, betapa Raja Muda Tunggul Ametung terbunuh oleh kepala pasukan pengawalnya sendiri, Ken Arok, atau rama prabu yang sekarang bertakhta di Kerajaan Singosari ini!
"Dan melihat keris Empu Gandring ini... ah, bunda, mataku tidak buta melihat perbedaan wajahku dengan mereka itu! Coba bunda lihat wajah anakmu ini, bandingkan dengan wajah sang prabu, dengan adinda Mahisa, dengan Tohjaya. Adakah persamaannya? Bunda, bunda, kalau rahasia itu tersembunyi di dalam sebuah kamar.
"Maka pintu kamar telah terbuka sebagian dan ananda telah mengintai dan melihatnya sedikit. Bunda tinggal membukakan saja pimu itu agar supaya aku dapat memandang jelas, asar hatiku tidak menjadi gelisah dan bimbang. Kasihanilah ananda, dan ceritakanlah, siapakah sesungguhnya ayahku yang sejati!"
"Aduh, Jagad Dewa Batara!" Ken Dedes mengeluh.. "Benarlah peribahasa yang menyatakan bahwasanya asap tak mungkin dapat terbungkus! Apa gunanya kusembunyikan lagi?" Ia lalu mengelus-elus rambut kepala puteranya yang berlutut di depan kakinya, lalu berkata, "Anakku, sesungguhnyalah. Kau bukanlah putera Ken Arok yang sekarang bertakhta di singgasana Kerajaan Singosari. Kau adalah putera Raja Muda Tunggul Ametung yang telah meninggal dunia sebelum kau lahir."
Anusapati memeluk kaki bundanya dan mencium ujung kaki itu. "Aduhai, bunda Sayang, terima kasih atas keterangan yang amat berharga ini! Jadi kalau demikian, mendiang ayahku telah dibunuh oleh Ken Arok yang kemudian merampas bunda menjadi permaisurinya?"
"Stt, Anusapati, jangan terlalu keras kau bicara! Hal itu telah lama terlampau dan kau tidak boleh menyebutkan nama ramamu demikian saja. Kau telah menjadi pangeran di Singosari, dan semua rakyat jelata menganggap kau sebagai putera sang prabu sendiri!”
Senyum mengejek menghias wajah Anusapati yang tampan. "Memang benar puteranya, ibunda, putera tiri! Sudah sepantasnya anak tiri dikesampingkan! Bunda, pernah aku mendengar dongeng tentang anak tiri yang dimasak dan digodok dalam kuali panjang, pengganti daging domba. Masih baik aku tidak digodok dan dapat hidup sampai dewasa.”
"Anusapati!”
"Bunda, jangan kepalang tanggung, mohon bunda ceritakan bagaimana Ken Arok membinasakan mendiang ayahanda!"
Bukan main sedih dan hancurnya hati Ken Dedes mendengar permifitaan puteranya ini. Ia amat mencintai puteranya ini, akan tetapi ia juga mencinta kepada suaminya, dari siapa ia telah mendapatkan beberapa orang putera lagi.
"Puteraku yang bagus, puteraku yang rupawan, kau tenangkanlah hatimu, sabarkan perasaanmu. Hal itu telah amat lama terjadi dan seperti kataku tadi, tak perlu barang busuk yang telah terpendam bertahun-tahun digali lagi. Hanya malapetaka dan kecemaran yang akan kita dapat dari penggalian itu. Ayahmu telah meninggal dunia, dan kau telah menjadi Pangeran Kerajaan Singosari. Untuk apakah kau mengetahui segala peristiwa yang telah lama dilupakan orang itu?"
"Orang-orang boleh melupakan hal itu, bunda, akan tetapi aku tidak. Bahkan bunda sendiri boleh melupakan hal itu, namun aku tetap takkan dapat melupakannya."
"Anusapati....!"
Pemuda itu memandang kepada bundanya yang menangis lagi dan berkatalah ia dengan suara memohon, "Ampunkan ananda, bunda! Biarlah mata hamba menjadi buta, telinga hamba menjadi tuli, dan biarlah hamba dikutuk dewata kalau hamba telah menyakiti hati dan perasaan bunda. Ananda tidak bermaksud menyinggung hati bunda, karena bunda tidak bersalah. Bunda sudah menjadi permaisuri, bahkan telah menjadi ibu suri, sudah tentu bunda harus setia terhadap suami dan raja! Ampunkan hamba, bunda!"
Ken Dedes mendekap kepala puteranya di atas pangkuannya. "Tidak, puteraku, dewata takkan mengutukmu, bahkan dewata akan melindungimu, akan berkasihan kepadamu yang tak berayah kandung lagi. Biarlah kuceritakan tentang pembunuhan itu, anakku. Ayahmu, Tunggul Ametung, raja muda di Tumapel itu, telah dibunuh oleh Ken Arok dengan keris pusaka ciptaan Empu Gandring itu!”
"Apa....?" Anusapati memandang kepada keris itu dengan mata terbelalak dan ia mencabut keris itu dari warangkanya."Jangan, Anusapati!" kembali Ken Dedes menjerit sehingga Anusapati sadar kembali dan cepat-cepat menyimpan keris pusaka itu ke dalam wasangkanya. "Ingat, puteraku, kau adalah pangeran pati. Kau yang terbesar di antara semua pangeran. Kaulah yang kelak akan menggantikan kedudukan sang prabu, jangan kau melakukan hal-hal yang tidak patut!"
Kembali Anusapati tersenyum, akan tetapi kali ini senyumnya merupakan ejekan. "Putera mahkota? Lamunan kosong, bunda. Dari sikap dan pandangan sang prabu, aku yakin bahwa kelak tentu sang prabu akan memilih puteranya sendiri menjadi raja. Aku?? Ah, hanya anak tiri, anak tiri yang patut digodok di kuali panjang!"
"Anusapati!"
Akan tetapi pemuda itu telah mengundurkan diri dan berlari keluar dari kamar bundanya yang memandangnya dengan penuh kegelisahan, kemudian permaisuri yang malang itu menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menangis sedih. Beberapa pekan kemudian semenjak terjadi peristiwa di dalam kamar permaisuri Ken Dedes itu, terjadilah sebuah peristiwa yang amat hebat dan menggemparkan. Sang Prabu Ken Arok telah dibunuh oleh seorang punggawa!
Hal ini terjadi ketika sang prabu sedang makan pada petang hari. Seorang punggawa yang menyamar sebagai pelayan dan melayani sang prabu makan, tiba-tiba menyerangnya dan dengan sebilah keris yang mengeluarkan cahaya berapi, punggawa itu menusuk dada sang prabu. Melihat keris itu, Ken Arok menjerit dan roboh mandi darah, terus menghembuskan napas terakhir di saat itu juga.
Pada petang hari itu, kebetulan sekali Pangeran Anusapati masih duduk bercakap-cakap dengan para pengawal sang prabu di ruang depan. Mendengar jeritan mengerikan ini, Pangeran Anusapati lalu melompat dan dengan diikuti oleh para pengawal, ia lari menuju ke ruang makan sang prabu.
Mereka melihat seorang punggawa hendak melarikan diri. Anusapati cepat menubruknya, merampas keris itu dan dengan sekali tusuk saja robohlah punggawa itu, menggeletak di depan kaki Anusapati.
Punggawa itu sebelum menghembuskan napas terakhir, masih kuasa memandang ke arah Anusapati dan berkata, "Keris itu... keris itu... akan membunuhmu pula kelak! Pengkhianat..." Akan tetapi sebuah tusukan ke dua membuat kata-kata itu terbenam kembali ke dalam mulutnya.
Maka tersiarlah berita bahwa sang prabu telah dibunuh oleh seorang punggawa yang memberontak dan bahwa pemberontak itu telah terbunuh pula oleh Pangeran Anusapati! Hanya Ken Dedes permaisuri yang malang itu saja yang dapat menduga bahwa punggawa itu tentulah pesuruh Anusapati sendiri yang membalaskan dendam mendiang ayahnya kepada ayah tirinya, dan bahwa untuk menutup rahasianya, ia membunuh punggawa itu!
Hancur luluh hati Ken Dedes sehingga ia sering kali menderita gering dan yang akhirnya membawanya ke alam baka, menyusul suami pertama dan suami ke duanya yang semua menjadi korban keris pusaka Empu Gandring. Sesungguhnya, Ken Arok terbunuh pula oleh keris pusaka yang ampuh itu, yang dipinjamkan oleh Anusapati kepada punggawa tadi.
Kalau bukan keris pusaka Empu Gandring itu, belum tentu punggawa tadi berhasil membunuh Ken Arok yang sakti dan kebal itu. Oleh karena sang prabu tewas secara mendadak tanpa meninggalkan pesan sesuatu, maka menurut adat, Pangeran Anusapati sebagai putera sulung diangkat menjadi raja di Singosari.
Permaisuri ke dua dari Ken Arok yang bernama Ken Umang, diam-diam menaruh hati curiga dan ia bersama puteranya yang bernama Tohjaya, menyaksikan upacara penobatan Anusapati sebagai raja dengan hati tak senang. Ketika masih hidupnya, Ken Arok sering kali menyatakan kepada Ken Umang bahwa kelak yang akan menggantikannya ke atas takhta adalah Tohjaya. Akan tetapi, karena pernyataan itu tidak diucapkan di depan para pembesar, maka tak dapat dibuktikan dan tidak ada saksi.
Diam-diam Ken Umang dan Tohjaya mulai melakukan penyelidikan tentang pembunuhan Sang Prabu Ken Arok. Sebelum Permaisuri Ken Dedes meninggal dunia, Ken Umang tidak berani menyatakan dengan berterang ketidak-senangan hatinya, akan tetapi setelah Ken Dedes meninggal dunia, dimulailah penyelidikan dengan amat seksama.
Akan tetapi, permaisuri ini amat cerdik dan ia memesan kepada Pangeran Tohjaya agar supaya mendekati kakaknya yang telah menjadi raja, dan agar supaya jangan memperlihatkan sikap membenci.
Anusapati menganggap bahwa yang berdosa terhadap mendiang ayahnya hanya Ken Arok seorang, maka iapun tidak menaruh hati dendam terhadap adik-adik tirinya, bahkan sikapnya amat manis terhadap Tohjaya yang pandai mengambil hati. Sering kali kedua orang muda ini berburu di hutan bersama-sama atau melakukan bermacam-macam permainan, di antaranya mengadu jago, permainan yang amat disukai oleh Sang Prabu Anusapati.
Semenjak pembunuhan terhadap Ken Arok itu, keris pusaka Empu Gandring selalu dipakai oleh Sang Prabu Anusapati, tak pernah terpisah dari ikat pinggangnya, karena kalau ia teringat akan kutukan punggawa yang dibunuhnya itu, ia merasa bergidik dan gelisah. Biarlah, kalau keris ini selalu kupakai, siapa orangnya yang akan dapat membunuhku? Demikian pikirnya.
Akhirnya, Ken Umang berhasil pula dengan penyelidikannya. Dari seorang wanita kekasih punggawa yang membunuh Ken Arok dahulu, ia mendapat khabar bahwa punggawa itu diserahi tugas oleh Sang Pangeran Anusabati untuk membunuh Ken Arok dengan menggunakan keris pusaka Empu Gandring! Maka bertangis-tangisanlah Ken Umang dan puteranya Tohjaya di dalam kamar mereka ketika mereka mengetahui rahasia pembunuhan itu.
"Ibunda, biar sekarang juga kubunuh Anusapati!" berkata Tohjaya. Sebagai seorang pemuda, ia berdarah panas dan ia cukup gagah perkasa dan sakti.
Akan tetapi ibunya melarangnya, "Jangan tergesa-gesa, anakku. Si jahat Anusapati telah menjadi raja dan selain kedudukannya kuat, iapun amat digdaya. Bagaimana kalau kau sampai gagal dan tertangkap lalu dibunuhnya? Ah, aku hanya mempunyai kau seorang, anakku."
"Habis, apakah dendam hati ini didiamkan saja, ibunda?"
"Tidak, tidak! Memang harus dibalas. Si jahanam itu harus dimusnahkan dari muka bumi ini. Akan tetapi, kita harus berlaku hati-hati, nak, dan jangan sembrono. Aku mendengar bahwa punggawa itu sebelum mati mengeluarkan kutukan kepada Anusapati, bahwa si jahat itu kelak akan tewas di ujung keris pusaka ciptaan Empu Gandring itu. Keris itulah yang telah menewaskan mendiang ayahandamu, maka keris itu tentulah sebilah keris pusaka yang amat ampuh. Kalau saja kau bisa mendapatkan keris itu....."
"Akan tetapi, keris pusaka itu selalu dibawa oleh Anusapati, bagaimana aku dapat merampasnya?"
"Karena itu kita harus berlaku hati-hati, Tohjaya. Kekerasan harus dibarengi kehalusan, penggunaan tenaga harus dibarengi akal budi, barulah semua usaha akan berhasil. Di samping kedua sifat ini, harus pula disertai kesabaran dan ketenangan, tak mungkin Anusapati selalu memakai keris pusaka itu seperti ia memakai tangan kakinya.
"Kita harus mencari kesempatan dengan sabar, bergerak pada saat yang tepat. Sementara itu, kau harus tetap bersikap manis dan berbakti kepada sang prabu, agar ia tidak menaruh hati curiga, karena sekali ia menaruh hati syak wasangka, akan sukar dan gagallah usaha kita."
Demikianlah kedua ibu dan anak itu mulai menjalankan siasat dan mencari ketika untuk membalas dendam atas kematian Sang Prabu Ken Arok. Tohjaya bersikap makin manis terhadap Sang Prabu Anusapati, sehingga raja ini makin suka kepada adik titinya ini.
Sementara itu, Ken Umang menghubungi para senapati dan pembesar tinggi, diam-diam menyebar tuduhan bahwa pembunuh Ken Arok adalah Anusapati dan perbuatan Anusapati ini atas desakan dan bujukan Ibu Suri Ken Dedes yang ingin membalas dendam kepada Ken Arok atas kematian Tunggul Ametung, suami pertama Ken Dedes.
Tuduhan Ken Umang ini tersebar luas dan dapat diterima oleh para senapati dan pembesar tinggi, sungguhpun mereka meragukan tuduhan bahwa perbuatan Anusapati itu adalah atas bujukan Ibu Suri Ken Dedes.
"Tak mungkin," kata seorang senapati tua, "Biarpun Sang Prabu Ken Arok telah membunuh Tunggul Ametung sehingga sudah sepatutnya isteri Tunggul Ametung menaruh hati dendam, akan tetapi dia sudah menjadi permaisuri sang prabu untuk belasan tahun lamanya, bahkan sudah mempunyai beberapa orang keturunan dengan Sang Prabu Ken Arok.
"Sungguh sukar untuk dipercaya kalau dia membujuk puteranya untuk membunuh suami dan ayah dari pada putera-puteranya. Kalau Sang Prabu Anusapati yang membunuh, ini dapat diterima, karena tentu sang prabu merasa sakit hati dan menaruh hati dendam atas pembunuhan terhadap mendiang ramandanya, yaitu Tunggul Ametung."
Demikianlah, di antara para pembesar kerajaan terdapat dua aliran kepercayaan, satu fihak percaya bahwa Ken Dedes-lah yang membujuk Anusapati membunuh Ken Arok, di lain fihak tidak dapat percaya akan hal ini dan menganggap bahwa Anusapati melakukan pembunuhan di luar kehendak ibunya.
Betapapun juga, semua fihak yang setia kepada Ken Arok dan Ken Umang, diam-diam menaruh hati benci kepada Sang Prabu Anusapati, sungguhpun mereka ini tentu saja tidak berani berterang menyatakan perasaan mereka ini. Sang Prabu Anusapati adalah seorang yang selain digdaya dan sakti, juga mempunyai banyak pasukan yang setia kepadanya.
Pangeran Tohjaya mentaati nasihat ibundanya, bersikap sabar dan ramah tamah terhadap sribaginda, menanti datangnya saat baik dan kesempatan untuk menggerakkan tangan membalas dendam.
Di lereng Gunung Anjasmoro, di dekat mata air Sungai Brantas, terdapat sebuah pondok bambu yang amat sederhana dan kecil. Akan tetapi, pondok bambu ini balikan menambah keindahan tempat itu, yang penuh dengan tanaman dan bunga liar yang tumbuh karena kehendak alam, bukan ditanam oleh tangan manusia.
Tamasya alam yang masih asli belum terjamah tangan manusia selalu amat sederhana, namun di dalam kesederhanaannya itu tersembunyi keindahan dan kebesaran yang luar biasa. Tidakkah pohon-pohon waringin itu amat sederhana yang biasa saja, akan tetapi lihatlah baik-baik, adakah yang lebih gagah, penuh sifat melindungi, kokoh kuat, seperti pohon-pohon waringin itu?
Adakah yang lebih hidup, meriah, dan gembira dari pada serumpun pohon bambu apa bila tertiup angin sehingga batang mereka saling berpelukan dan daun-daun mereka mengeluarkan seribu satu macam bahasa yang menggembirakan hati? Bunga-bunga liar tumbuh amat subur dan sehatnya, berseri-seri mengingatkan orang akan perawan-perawan gunung yang berpipi merah dan bermata kocak. Memang, di dalam kesederhanaan tersimpan kekuatan yang maha besar.
Seandainya yang berdiri di tepi mata air Sungai Brantas itu bukan sebuah gubuk bambu, melainkan sebuah rumah gedung besar, akan janggallah nampaknya. Rumah gedung besar lebih pantas ditemukan orang dalam kota besar, bukan dalam rimba raya di atas lereng gunung yang sunyi di tepi mataair yang tak pernah kering itu.
Sekalian penghuni alam di sekitar tempat itu agaknya tak pernah mengenal akan arti duka sengsara. Semua nampak gembira dan berbahagia belaka. Burung-burung berkicau merdu sambil berlompatan dari pohon ke pohon, dari cabang ke ranting, ratusan macam besar kecil. Sekali-kali keributan kicau burung ini diselingi oleh kokok ayam hutan yang mengagetkan karena nyaringnya.
Di antara segala macam bunyi-bunyian yang memenuhi sorgaloka (taman sorga) ini, hanya satu macam suara yang tak pernah berhenti. Kicau burung ada kalanya tak terdengar sama sekali, berkerisiknya daun-daun tertiup angin ada kalanya berhenti, namun suara yang merupakan dendang yang berlagu terus-menerus tanpa mendatangkan rasa bosan ini belum pernah terhenti dan takkan berhenti selamanya.
Suara ini adalah suara air dari sumber yang mengalir turun, memulai perjalanannya yang amat jauh, air yang melakukan perjalanan berliku-liku untuk akhirnya kembali ke tempat asal, yaitu samudera luas. Perjalanan air Sungai Brantas merupakan lambang kehidupan manusia, juga berliku-liku, menempuh segala macam rintangan dan peristiwa yang akhirnya hanya akan menjadi kenangan, bahkan lenyap di kala hidup kembali ke tempat asal, seperti air Sungai Brantas terjun ke dalam samudera!
Gubuk kecil itu sunyi karena memang ditinggalkan oleh penghuninya. Kalau kita melihat jauh ke belakang pondok itu, akan kita jumpai dua orang duduk di dekat tanggul sawah. Hanya sedikit bagian ini telah menjadi sawah ladang, dikerjakan oleh dua orang itu. Mengapa dua orang laki-laki itu bekerja dan mencangkul sawah ladang?
Mereka akan mudah mencari buah-buahan seperti pisang, pepaya, kelapa, mangga, dan lain-lain lagi kalau mereka lapar, dan menangkap rusa, kelinci, kancil, bahkan burung kalau mereka ingin makan daging. Mengapa mereka bersusah payah mencangkul ladang, sedangkan mereka hanya berdua tinggal di tempat sunyi itu?
Pertanyaan-pertanyaan di atas pernah diajukan oleh seorang di antara kedua pekerja itu, yaitu yang muda, dan dijawab oleh yang tua dengan senyum tenang,
"Wisena, pertanyaanmu itu memang wajar, karena demikianlah sifat orang, tidak mau bersusah payah, yang dikehendaki selalu ada saja untuk menutup kebutuhan hidupnya, puas menerima segala yang tersedia tanpa mengingat betapa sukarnya yang mengadakan semua itu. Akan tetapi, ketahuilah anakku, kita diciptakan di dunia ini untuk hidup dan hidup berarti gerak.
"Adapun gerak yang paling sempurna bagi manusia hanyalah bekerja, bekerja untuk menghasilkan sesuatu, bekerja dengan satu tujuan, yaitu untuk menjadikan sesuatu, mengadakan sesuatu, sesuai dengan sifat pekerjaan alam. Kita diciptakan berlengan, berkaki, bermata, lengkap dengan segala yang kita perlukan. Untuk apa semua ini ada pada kita kalau tidak dipergunakan?
"Dan penggunaannya ada dua macam, dapat merusak dan dapat membangun, dapat melenyapkan dan dapat mengadakan! Nah, sekarang jelaslah, Wisena, kalau kita dapat makan, kita harus dapat mencari! Kalau kita dapat mengurangi hasil alam, kita harus dapat pula menambah hasil alam. Dengan bekerja!"
Ucapan kakek inilah yang menjadi pegangan kedua orang itu untuk bekerja di ladang setiap hari, menanam padi, sayur dan apa saja yang mereka kehendaki. Pada saat itu, keduanya sedang beristirahat setelah bekerja mencangkul ladang. Keringat yang keluar dari tubuh mereka membuat kulit tubuh mereka berkilat.
Alangkah besar perbedaan antara kedua orang laki-laki itu. Yang seorang sudah tua, berjenggot putih dan rambutnya yang putih itu terbungkus pengikat kepala warna hitam. Tubuhnya tinggi kurus dengan tulang-tulang menonjol keluar terbungkus kulit, akan tetapi warna kulitnya masih merah dan sehat segar, tanda akan kesehatannya yang baik.
Orang akan merasa heran melihat tubuh yang kurus itu dapat berpeluh, sedemikian banyaknya. Kakek ini duduk di atas tanggul tanpa memperdulikan tanah lumpur yang mengotorkan celana dan kainnya, lalu mengambil kotak daun sirih dan mulailah ia menginang dengan nikmatnya.
Orang ke dua masih amat muda, belum ada duapuluh tahun, akan tetapi pada sinar matanya telah membayang kematangan hidup berkat pengetahuannya yang dalam tentang hidup dan filsafatnya. Rambutnya tebal dan hitam mengkilat, terurai sampai di leher dan segumpal rambut melingkar berjuntai di depan jidatnya. Wajahnya tampan dan gagah, bahunya bidang dan biarpun kulitnya halus, namun sepasang lengan yang penuh itu membayangkan tenaga tersembunyi yang kuat.
Seperti yang dilakukan oleh kakek tadi sebelum mengunyah sirih, pemuda ini mencuci lengan dan kakinya dengan air selokan yang jernih, kemudian mengenakan bajunya yang berlengan pendek, menyelipkan lagi kerisnya yang tadi diletakkan di atas tanah bersama bajunya ketika ia bekerja. Kemudian ia mengambil ubi bakar yang dibawa dari pondok, mengupas kulitnya dan makan dengan sedapnya.
Setelah menghabiskan dua buah ubi bakar yang besar, ia lalu mengambil kendi berisi air dingin dan ketika ia mengangkat kendi itu cli atas kepalanya, mancurlah air jernih berkilau ke dalam mulutnya, bagaikan pancuran air.
Kakek itu sambil mengunyah sirih memandang kepada pemuda ini dengan mata tersenyum berseri. Ia merasa gembira melihat betapa nikmatnya pemuda itu makan dan minum. "Kau nampak segar sekali, Wisena," katanya.
Pemuda itu menaruh kendinya di atas rumput dan mengangguk sambil berkata, "Memang segar dan nikmat sekali, paman begawan. Alangkah nikmatnya beristirahat melepaskan kiah sehabis bekerja keras,"
Kakek itu mengangguk-angguk meludahkan dubang (ludah sirih) yang merah bagaikan darah ke atas tanah, lalu berkata dengan suaranya yang tenang dan halus, "Memang, tidak ada kenikmatan yang dapat melebihi nikmatnya orang beristirahat sehabis bekerja mengeluarkan peluh.? Sesungguhnya, bekerja berat itulah yang mendatang-kan nikmat. Tanpa bekerja berat, istirahat takkan ada artinya, takkan mendatangkan nikmat, bahkan akan mendatangkan kemalasan dan kelemahan tubuh. Hanya pekerja-pekerja berat sajalah yang dapat merasakan kenikmatan istirahat yang sesungguhnya,”
Kakek itu tidak ikut makan minum. Telah bertahun-tahun ia tidak pernah makan atau minum sebelum sang surya bersembunyi di ufuk barat. Hanya sekali sehari ia makan dan minum, itupun hanya terdiri dari beberapa kepal nasi bersama sayur dan buah-buaban, dimakan pada tengah malam pula.
Setelah pemuda itu selesai makan dan minum, mereka lalu berdiri, memanggul pacul masing-masing dan berjalanlah keduanya kembali ke pondok bambu tempat tinggal mereka. Siapakah kedua orang ini, yang hidup seakan-akan mengasingkan diri dari masyarakat ramai?
Kakek itu mengaku bernama Begawan Jatadara. Sesungguhnya nama ini bukanlah nama aselinya, oleh karena Jatadara berarti pertapa dan kakek ini menyembunyikan namanya. Mengapa demikian? Bukan lain oleh karena ia adalah keponakan dari Empu Gandring yang telah terkenal itu, dan mengapa Ia menyembunyikan nama aselinya adalah untuk melepaskan diri dari pemburuan Sang Prabu Ken Arok.
Baiklah kita menengok sejarah yang lalu tentang Empu Gandring dan Sang Prabu Ken Arok. Empu Gandring adalah seorang ahli pembuat keris yang amat sakti dan suci dan pada suatu hari, seorang pemimpin pasukan psngawal Raja Muda Tunggul Ametung di Tumapel, yaitu yang bernama Ken Arok, datang kepadanya dan minta dibuatkan sebilah keris yang ampuh.
"Keris itu haruslah merupakan pusaka yang ampuh," demikian perwira Ken Arok berkata, "Sebuah keris pusaka yang benar-benar merupakan margapati (jalan kematian), yang sekali dicabut harus menewaskan seorang manusia!"
Empu Gandring terkejut mendengar perintah ini, akan tetapi oleh karena Ken Arok adalah seorang tangan kanan raja muda, dan pula oleh karena mata Empu Gandring yang tua itu telah melihat teja (cahaya) yang menandakan bahwa perwira yang berdiri di hadapannya ini adalah seorang calon raja, maka ia lalu menerima perintah itu dan membuatkan sebatang keris yang ampuh.
Pada waktu itu, Begawan Jatadara masih bernama Jaka Palungan, dan sebagai keponakan Empu Gandring, ia membantu Empu Gandring dalam dapur pembuatan dan penempaan keris. Maka iapun melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Ken Arok memesan keris kepada pamannya.
Beberapa hari kemudian, Ken Arok datang lagi untuk menerima keris pusaka pesanannya. Alangkah marahnya ketika ia melihat betapa keris itu buruk sekali bentuknya, tidak patut menjadi sebilah keris pusaka yang ampuh dan merupakan azimat seorang perwira besar.
"Mengapa marah?" Empu Gandring berkata. "Keris ini amat ampuh dan bukan sembarang keris. Jangan melihat rupa, karena apakah artinya di luar indah kalau di dalamnya buruk?”
Mendengar ucapan ini, Ken Arok tidak dapat memahami artinya bahkan makin marah. "Keris seperti pisau dapur ini kau bilang ampuh? Kalau begitu biarlah kucobakan kepadamu!” Sambil berkata demikian, Ken Arok mencabut keris itu dan secepat kilat menyambar, keris pusaka itu telah terbenam ke dalam dada Empu Gandring!
Sungguhpun Empu Gandring seorang yang sakti, namun keris itu benar-benar ampuh sekali dan sebagaimana permintaan Ken Arok ketika memesan keris itu, oleh Empu Gandring telah dibuatkan sebatang keris margapati yang sekali dipergunakan tentu menewaskan nyawa seorang manusia. Empu Gandring roboh dan sebelum menghembuskan nafas terakhir, Empu Gandring tersenyum dan berkata,
"Ken Arok, kau telah menanam bibit yang amat berbisa dan kelak keris ini akan dipergunakan oleh keturunanmu untuk saling membunuh antara saudara sendiri!”
Bukan main terkejut dan menyesalnya hati Ken Arok melihat orang tua itu tewas karena kerisnya dan lebih-lebih gelisah hatinya mendengar kutukan itu. Ia pikir bahwa keluarga Empu Gandring pasti akan membalas dendam, maka melihat Jaka Palungan berada di situ sambil memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat, ia lalu menyerangnya.
Akan tetapi Jaka Palungan yang sudah menerima latihan dan gemblengan dari Empu Gandring, cepat melompat dan berhasil melarikan diri. Sebelum pergi meninggalkan Tumapel, Jaka Palungan singgah di rumah Ki Walangkara yang menjadi anak pungut Empu Gandring.
"Lekas berkemas dan pergi melarikan diri!" kata Jaka Palungan dengan nafas terengah-engah. Dengan singkat ia menceritakan tentang Empu Gandring yang dibunuh oleh Ken Arok dan bahwa perwira itu agaknya hendak membinasakan semua keluarga Empu Gandring.
Akan tetapi Ki Walangkara menggelengkan kepalanya dan berkata, "Aku tidak mau melarikan diri, karena kalau aku pergi, siapakah yang akan mengurus jenazah bapak empu? Kalau Ken Arok mau membinasakan aku, biarlah, paling-paling hanya ragaku yang ia mampu membinasakannya."
Setelah membujuk tanpa hasil, akhirnya Jaka Palungan yang kebingungan itu lalu membawa pergi putera tunggal Ki Walangkara yang bernama Wisena, seorang anak laki-laki berusia empat tahun. Dan memang terjadi seperti yang dikhawatirkan oleh Jaka Palungan itu, karena Ken Arok akhirnya membunuh Ki Walangkara pula bersama isterinya!
Demikianlah, untuk menghindarkan diri dari kejaran Ken Arok yang akhirnya berhasil menduduki takhta Kerajaan Singosari, Jaka Palungan mengubah namanya menjadi Begawan Jatadara, bertapa di lereng Gunung Anjasmoro di tepii sumber air Sungai Brantas. Sambil bertapa dan memperdalam ilmu batin, ia mendidik putera keponakannya, Wisena, sehingga anak itu menjadi dewasa, menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa dan digdaya.
Selain mendidik Wisena menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa, Begawan Jatadara juga menurunkan ilmu pembuatan keris kepada pemuda itu. Oleh karena itu, di dalam pondok bambu itu terdapat alat-alat pembuatan keris.
Ketika kedua orang paman dan keponakan itu memasuki pondok, Begawan Jatadara meloloskan sarung kerisnya dan menggantungkan sarung keris itu pada dinding. Semenjak dahulu Wisena sudah merasa kagum melihat warangka keris itu dan ingin sekali melihat keris yang berada di dalam warangka itu. Akan tetapi pamannya selalu melarangnya mencabut keris yang gagangnya terbuat dari pada gading terukir indah ini.
Kini melihat keris itu digantung di dinding, timbul pula keinginan hati Wisena untuk mencabut dan melihat keris itu, akan tetepi sebelum ia membuka mulut, tiba-tiba lantai pondok di mana ia dan pamannya berdiri itu bergoncang keras sekali.
"Gempa bumi... mari keluar!" kata Begawan Jatadara sambil melangkah ke luar dari pintu pondok, diikuti oleh Wisena yang berjalan terhuyung-huyung karena bumi yang dipijaknya menggetar dan seakan-akan bergelombang.
Hebat sekali pemandangan yang mereka saksikan di luar pondok. Seluruh pepohonan tergetar seakan-akan digoyang-goyang oleh tangan raksasa yang tidak kelihatan, dan bumi di bawah kaki mereka menggigil! Sang Begawan Jatadara bersedakap seperti laku orang bersamadhi dan menundukkan kepalanya dengan penuh khidmat.
Setelah gempa bumi itu berakhir, kakek itu membuka matanya dan sambil menatap wajah Wisena ia berkata, ''Wisena, baru saja kau telah menyaksikan sendiri betapa hebat kekuasaan dan kebesaran Hyang Agung. Alangkah kecil tak berarti manusia-manusia seperti kita ini, juga segula macam benda dan makhluk di permukaan bumi. Siapakah yang dapat menyamai kehebatan tenaga yang sanggup menggoncang dan menggetarkan bumi?
"Maka ingatlah, Wisena, bahwa di mana-mana terdapat Dia, Hyang Agung, yang kuasa menerbitkan dan menurunkan sang surya, yang kuasa menciptakan bintang-bintang dan bulan, yang kuasa menurunkan manusia di dalam dunia dan memanggilnya kembali! Terhadap Hyang Maha Agung, tiada sebuah rahasia dapat disembunyikan, anakku, maka tiliklah baik-baik segala sepak terjangmu dalam hidup.
"Sesuatu perbuatan sesat, sungguhpun tak terlihat oleh siapapun juga, masih akan terlihat oleh si pembuat sendiri dan itu berarti masih terlihat oleh Hyang Maha Agung, oleh karena kekuasaan Hyang Agung berada di mana-mana, dalam diri setiap manusia, dalam tubuh setiap binatang, dalam pohon-pohon dan batu-batu.
"Lihat kekuasaan Hyang Agung yang tersembunyi di dalam pohon dan menciptakan bunga serta buah dan daun-daunnya! Lihat kekuasaan Hyang Agung yang tersembunyi di dalam batu sehingga batu itu menjadi keras, berat dan sanggup mengeluarkan api!"
Wisena menundukkan kepalanya dengan penuh khidmat. Baginya, setiap wejangan dari pamannya berkesan betul di dalam hatinya, dan ia merasa amat berterima kasih atas segala kasih sayang, pendidikan, dan gemblengan pamannya ini.
Mereka kembali ke dalam pondok. Senja kala telah turun dan di dalam pondok itu agak gelap. Tiba-tiba Wisena menunjuk ke dinding dan berseru, "Paman begawan, apakah itu?"
Begawan Jatadara memandang dan ia mengeluarkan seruan kaget, "Ya Jagad Dewa Batara....!" Ia melangkah maju dan mengambil benda yang mencorong di dinding itu. Ternyata itu adalah kerisnya yang digantungkan di dinding tadi. Agaknya karena gempa bumi tadi menggoyang-goyang semua benda, dinding pondok itu tergoyang-goyang pula dan warangka keris itu terlepas dan terjatuh, meninggalkah keris yang masih tergantung di dinding.
"Aduh bagusnya keris paman begawan!" seru Wisena dengan mata terbelalak kagum setelah ia melihat bahwa benda bercahaya itu adalah keris pamannya yang bergagang gading. "Bolehkah aku melihatnya, paman?”
Begawan Jatadara menarik napas panjang. "Keris ini telah terbuka karena kekuasaan Hyang Agung, untuk apa aku menyembunyikan pula?" Ia memberikan keris itu kepada Wisena yang memandang dengan penuh kekaguman. Jelas kelihatan bahwa pemuda ini tertarik dan sayang sekali kepada keris itu.
"Paman, kalau paman dapat membuat keris sehebat ini, mengapa paman tidak membuatkan sebilah untukku?”
Begawan Jatadara menyalakan dian dari minyak kelapa dan menarik nafas panjang lagi. "Duduklah, anakku, duduk dan masukkanlah kembali keris itu ke dalam warangkanya. Tak baik keris pusaka terlalu lama terhunus dari warangkanya." Ia sendiri lalu duduk di atas sebuah bangku sederhana.
Wisena menyarungkan keris gagang gading itu kembali ke dalam warangkanya dan menyerahkannya kepada Begawan Jatadara dengan rasa sayang. Sang begawan menerima keris itu dan menaruhnya di atas meja kecil di sebelah kanannya. Wisena lalu bersila di hadapan pemannya, siap untuk mendengar apa yang hendak dikatakan oleh pamannya itu.
"Wisena, kau keliru sangka kalau mengira bahwa keris pusaka ini aku yang membuatnya. Kepandaianku membuat keris belum setinggi itu, nak. Keris pusaka ini adalah buatan dari paman Empu Gandring, dan dari dia pula aku menerimanya.”
"Paman begawan, siapakah paman Empu Gandring itu? Baru kali ini paman menyebutkan namanya."
"Memang, sedianya hendak kurahasiakan hal ini, akan tetapi, agaknya keris pusaka Ki Dentasidi tak menghendaki keadaannya dirahasiakan, demikian pula dengan paman Empu Gandring. Ketahuilah, Wisena, bahwa paman Empu Gandring itu bukan lain adalah pamanku sendiri atau juga eyangmu."
"Kalau begitu, siapakah adanya ayahku, paman begawan? Telah berkali-kali aku tanyakan hal ini kepada paman, akan tetapi selalu paman tidak berkenan menjawabnya."
"Sekarang tak perlu kurahasiakan lagi, Wisena. Kau telah dewasa dan cukup pandai mempertimbangkan sesuatu dengan akal budimu sendiri." Kemudian Begawan Jatadara lalu menceritakan kepada Wisena tentang riwayat Empu Gandring dan Ki Walangkara beserta isterinya yang terbunuh mati oleh Ken Arok, yang didengarkan oleh Wisena dengan hati terharu, marah, dan juga duka.
"Demikianlah, anakku. Kalau aku tidak cepat-cepat melarikan diri dan mengubah namaku menjadi Jatadara, serta membawamu pergi dari Tumapel, tentu kau dan aku akan menjadi korban keganasan Ken Arok pula."
"Paman begawan!" Wisena berkata dengan penasaran. "Mengapa paman tidak melawannya? Paman memiliki kesaktian, mengapa paman tidak melawan Ken Arok dan membalas kejahatannya?"
Kakek itu menggelengkan kepalanya. "Tiada gunanya, Wisena. Kalau aku melakukan perlawanan, itu berarti kematianku dan kaupun tentu takkan dapat hidup sampai sekarang ini. Ken Arok adalah seorang perwira yang digdaya dan mempunyai banyak anak buah, siapa berani melawannya?”
"Paman, aku hendak pergi mencarinya dan mencoba sampai di mana kesaktiannya. Betapapun sakti dan digdayanya, demi kebenaran dan keadilan, ia pasti akan dapat kuhancurkan sebagai pembalasan dendam kira!" kata Wisena dengan gagah.
"Itulah yang kukhawatirkan, anakku. Balas membalas, bunuh-membunuh, menjadi hakim dan penghukum sendiri seakan-akan manusia telah lupa akan kekuasaan Hyang Agung Yang Maha Adil! Tentang pembalasan dendam itu bukan menjadi idaman hatiku, Wisena, karena aku percaya dengan penuh keyakinan bahwa setiap perbuatan jahat pasti akan mendatangkan malapetaka terhadap dirinya sendiri. Aku masih percaya akan kekuasaan dan keadilan Hyang Agung yang mengatur seluruh jagad raya. Yang menjadi ganjalan hatiku adalah kutukan yang dikeluarkan oleh eyangmu sebelum ia meninggal dunia."
"Kutukan bagaimanakah, paman?"
"Eyangmu mengeluarkan kutukan bahwa keris buatan eyangmu yang dipergunakan oleh Ken Arok untuk membunuh eyangmu, kelak akan dijadikan senjata pembunuh keturunan Ken Arok di antara saudara sendiri. Alangkah ngerinya kutukan ini, Wisena."
"Biarlah, paman!" sahut Wisena dengan gemas. "Biar orang sejahat itu menerima hukumannya pula."
"Akan tetapi tidak seperti itu, Wisena. Apakah dosa keturunannya sehingga mereka harus menerima hukuman sebagai akibat dari dosa Ken Arok? Biarlah si jahat memikul dosanya sendiri, biarlah si penanam bibit makan buah tanamannya sendiri, jangan keturunannya dibawa-bawa merasakan buah pahit yang ditanam oleh nenek moyangnya."
Wisena tertegun mendengar ini. "Habis, apakah yang harus kulakukan, paman? Aku hanya menurut dan taat kepada nasihat dan perintah paman begawan."
"Terbukanya rahasia ini menjadi tanda bahwa sudah tiba masanya kau turun gunung, Wisena. Setelah kau mengetahui rahasia ini hanya akan merupakan gangguan bagi pikiran dan batinmu saja apa bila kau tidak turun gunung dan terjun di dunia ramai. Kau masih muda dan tenaga serta kepandaianmu akan terpendam sia-sia apa bila tidak kau pergunakan demi kebaikan sesama manusia.
"Akan tetapi, ingat, jangan kau melibatkan dirimu pada ikatan balas dendam yang mengerikan itu, karena sekali kau terlihat, kau akan terbelenggu oleh karma dan sukarlah bagimu untuk melepaskan diri dan membebaskan jiwamu. Kau pergilah ke Kerajaan Singosari. Kalau aku tidak salah dengar. Ken Arok kini telah meniadi raja besar di Singosari.
"Di dalam angkara murkanya, Ken Arok telah mempergunakan keris buatan eyangmu itu untuk membunuh Raja Muda Tunggul Ametung dan merampas isterinya menjadi permaisurinya. Permaisurinya itu, yaitu yang bernama Ken Dedes, mempunyai seorang putera dari Tunggul Ametung yang bernama Anusapati. Nah. Kau usahakanlah agar supaya kau dapat suwira (bekerja) kepada Pangeran Anusapati itu, anakku!"
''Baiklah, paman begawan. Mohon pangestu agar supaya saya dapat mengabdi kepada kebenaran di manapun saya berada."
"Berangkatlah besok pagi pada waktu fajar menyingsing, anakku, dan bawalah keris pusaka Ki Dentasidi bersamamu, hanya keris itulah yang dapat menandingi kesaktian dan keampuhan keris Margapati buatan eyangmu Empu Gandring yang kini berada di tangan Sang Prabu Ken Arok."
Malam hari itu, Wisena menerima wejangan-wejangan terakhir dari pamannya. Begawan Jatadara, dan pada-keesokan harinya. mulailah ia turun gunung melakukan lelana brata memenuhi tugas seorang ksatria.
Persaingan yang terdapat antara keturunan Ken Dedes dan keturunan Ken Umang yang terjadi di dalam kerajaan, sungguhpun persaingan ini terjadi diam-diam, melemahkan kerajaan di bawah pemerintahan Anusapati. Kalau kerajaan yang menjadi pusat pemerintahannya lemah, maka para bupati dan pamong praja yang diberi kekuasaan memerintah di daerah-daerah lalu berani memperlihatkan sikap yang berlebihan.
Mereka merasa seakan-akan harimau yang terlepas dari pada belenggu kekuasaan raja dan berani bertindak sewenang-wenang menurutkan kata nafsu hati sendiri. Jangankan para adipati dan bupati, bahkan demang-demang dan lurah-lurah juga menjadi raja kecil yang berkuasa penuh dikedemangan dan kelurahan masing-masing, mengadakan peraturan-peraturan sendiri dan pemerasan-pemerasan yang masuk ke dalam sakunya sendiri.
Ken Umang maklum akan hal ini dan ia bersama puteranya yang cerdik tidak melewatkan kesempatan ini untuk mencari nama dan jasa di kalangan rakyat kecil. Sering kali Tohjaya membawa pasukan istimewa untuk berkeliling di kampung dan dusun untuk menghukum para pamong praja yang berlaku sewenang-wenang atau membasmi perampok-perampok dan pengacau-pengacau yang selalu timbul apa bila pemerintahan sedang lemah.
Oleh karena itu nama Pangeran Tohjaya mulai dikenal rakyat sebagai seorang pangeran yang bijaksana dan adil. Inilah yang dicari oleh Pangeran Tohjaya, yang telah merencanakan untuk membasmi Sang Prabu Anusapati dan menggantikan keludukannya sebagai raja. Nama baik ini perlu sekali baginya, karena kelak akan merupakan sokongan dan suara rakyat yang amat kuat baginya untuk menduduki takhta kerajaan.
Sayang sekali, di samping usahanya yang amat baik ini, Pangeran Tohjaya juga memperlihatkan sifatnya yang kurang sempurna, yaitu kesukaannya mempermainkan wanita. Ia adalah seorang mata keranjang yang tidak dapat melewatkan batuk kelimis (wajah cantik) begitu saja tanpa mengganggunya.
Mungkin karena usahanya memikat hati rakyat dengan membela dan melindungi mereka itu tidak terbit dari hati sanubari yang bersih, hanya dipergunakan dengan pamrih mencari nama belaka, maka usahanya ini tidak mendapat hasil yang sebagaimana mestinya. Nama baiknya yang timbul karena usahanya ini dirusak kembali oleh sifatnya mengganggu anak bini orang, terutama anak bini orang-orang dusun yang dalam hal ini tidak berdaya sama sekali.
Siapakah yang tidak suka dan bangga melihat puterinya disukai dan terpakai oleh seorang pangeran? Apa lagi bagi orang-orang dusun yang amat tunduk dan menganggap keturunan raja bagaikan dewata saja, tentu hal itu merupakan penghormatan yang amat besar bagi keluarga si perawan itu. Lebih-lebih kalau disertai hadiah-hadiah dari Pangeran Tohjaya yang dalam hal ini berlaku amat royal!
Di lembah Sungai Brantas, pada pertemuan antara Sungai Lekso dan Sungai Brantas, terdapat sebuah dusun bernama Karangluwih. Dusun ini cukup besar, dikepalai oleh seorang lurah yang kaya raya bernama Ki Lurah Reksoyudo. Ki Lurah Reksoyudo selain terkenal kaya raya dan mempunyai sawah yang lebar dan rumah gedung model rumah bangsawayi di kota raja, juga terkenal karena puteri tunggalnya yang denok ayu, cantik jelita bernama Mekarsari....