Keris Pusaka Nogo Pasung Jilid 09 karya Kho Ping Hoo - Handoko sekali ini terkejut bukan main, jantungnya berdebar dan mukanya berubah kemerahan. "Paman.....!" serunya bingung. Tak disangkanya sama sekali bahwa kakek ini berniat menjodohkan dia dengan Wulandari. Dia tahu bahwa Wulandari bukanlah anak kandung Galuhsari, selir Ki Bragolo yang menjadi kekasih mendiang ayahnya dan yang menyebabkan kematian ayahnya. Akan tetapi, ayahnya tewas di tangan Ki Bragolo, bagaimana mungkin kini dia menjadi mantu pembunuh ayahnya? Walaupun ayahnya sudah meninggal.

"Paman, saya belum brpikir untuk berumah tangga dan saya masih ingin memperluas pengalaman, belum ingin terikat seuatu."
"Tapi ini bukan berarti anakmas menolak....."
Tiba-tiba terdengar suara jerit melengking di tengah malam itu. Karena suara jerit wanita itu datang dari belakang, keduanya terkejut bukan main. Joko Handoko mengenal suara Dewi Pusporini yang menjerit itu, maka sekali melompat tubuhnya sudah lenyap dari depan Ki Bragolo. Kakek inipun cepat melompat dan berlari ke belakang untukmelihat apa yang telah terjadi.
Kebun belakang rumah besar pedukuhan yang menjadi sarang Sabuk Tembogo ini luas dan cukup terang oleh sinar bulan dan juga oleh lampu-lampu gantung yang dipasang di belakang rumah. Ketika tubuh Joko Handoko berkelebat memasuki kebun, dia melihat dua orang kakek mengamuk dikeroyok oleh belasan orang murid Sabuk Tembogo. Dia mengenal dua orang kakek itu sebagai Gajah Putih dan Gajah Ireng.
Akan tetapi yang lebih mengejutkan hatinya adalah ketika dia melihat seorang kakek lain yang usianya tentu sudah enam puluhan tahun, berdiri di bawah pohon nonton perkelahian itu. Kakek ini tubuhnya bengkok seperti udang,memegang sebatang tongkat hitam, rambutnya panjang dibiarkan raip-riapan dean lengan kirinya memanggul tubuh seorang wanita yang bukan lain adalah Dewi Pusporini yang nampaknya pingsan dan lemas terkulai.
Tiba-tiba muncul Wulandari. "Kakek iblis, lepaskan mbakayu Dewi!" Bentaknya dan gadis ini menyerang kakek itu dengan sabuk tembaga yang barada di tangannya. Agaknya gadis ini telah memperoleh sebuah sabuk tembaga lain sebagai ganti sabuknya yang dirusak oleh lawan ketika ia betanding melawan Gajah Putih sore tadi.
"Heh-heh-heh!" kakek itu terkekeh, suara ketawanya seperti ringkik kuda dan sekali dia mengangkat tongkat hitamnya menangkis, lalu mendorong, Wulandari terlempar sampai hampir roboh dan terhuyung-huyung.
"Apa yang terjadi?" Joko Handoko bertanya.
"Kami sedang bercakap-cakap ketika muncul dua orang jahanam itu. Ketika aku mengejar dan menyerang mereka, tiba-tiba mbakayu Dewi yang kutinggalkan menjerit dan tahu-tahu telah ditawan oleh kakek iblis itu. Dia sakti, kakang....."
Ki Bragolo telah tiba di situ dan melihat dua orang yang sore tadi sudah membuat kacau itu kini mengamuk, dia menjadi marah sekali. "Kiranya, kalian berdua memang pengacau busuk!" Dan dia pun sudah terjun ke dalam pertempuran, ikut mengeroyok Gajah Putih dan Gajah Ireng.Sementara itu, Joko Handoko sudah meloncat ke depan kakek yang kini memandang kepadanya sambil menyeringai. Mulut kakek itu terbuka dan nampak betapa giginya sudah sudah banyak yang tanggal, dan yang tersisa di mulutnya berwarna hitam mengerikan. Akan tetapi melihat sepasang mata yang kecil seperti dipejamkan itu mengeluarkan sinar mencorong, tahulah Joko Handoko, bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang sakti.
“Heh-heh, agaknya engkau inilah orang muda yang telah mengalahkan dua orang muridku? Hemm, siapakah gurumu, orang muda?”
“Tidak perlu banyak bicara, yang penting, lepaskan Dewi Pusporini!” bentak Joko Handoko.
“Heh-heh, tanpa kau beritahupun aku akan dapat menebak setelah kita bertempur, orang muda, apakah engkau mampu merampas tubuh si denok ini dari tanganku?” Tangan kiri kakek itu yang merangkul paha yang tergantung di pundaknya, secara kurang ajar sekali menepuk-nepok pinggul Dewi Pusporini yang pingsan.
Joko Handoko menjadi bukan main. “Kakek jahanam kau!” bentaknya dan diapun sudah menerjang dengan pukulan tangan kiri menampar kearah kepala sedangkan tangan kanannya membentuk cakar untuk mencengkeram dan merampas tubuh Dewi Pusporini.
“Plak! Plak!” Kakek itu menangkis dengan tongkat hitamnya dan kedua orang itu terkejut. Tangkisan tongkat itu terasa oleh Joko Handoko amat kuat dan membuat kedua lengannya yang tertangkis tergetar hebat.
Sebaliknya, kakek itupun terkejut setengah mati ketika merasa bahwa tongkatnya tergetar dan pemuda itu berani mengadu lengan dengan tongkatnya tanpa terluka sidikitpun. Kakek itu mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau dan tiba-tiba saja tubuhnya melesat ke depan dengan amat cepatnya. Tongkatnya berubah menjadi sinar hitam yang meluncur lalu bergulung-gulung menyerang kearah Joko Handoko.
Pemuda ini bersikap hati-hati, cepat dia mengelak dengan berloncatan sambil berusaha membalas. Dia tahu bahwa sebagai guru Gajah Putih yang bertenaga raksasa dan Gajah Ireng yang memiliki keringanan tubuh istimewa, tentu kakek ini selain amat kuat, juga memiliki ilmu meringankan tubuh yang tak boleh di pandang ringan.
Biarpun kakek itu melakukan serangan bertubi-tubi, namun Joko Handoko mampu menghindarkan diri dan serangan balasannya membuat kakek itu repot. Bagaimanapun juga, karena memanggul tubuh Dewi Pusporini, kakek itu tidak dapat bergerak dengan leluasa. Apalagi setelah Joko Handoko memainkan Ilmu Silat Nogokredo, yaitu ilmu aliran Hati Putih yang terkenal kuat, kakek itu mengeluarkan suara kaget.
“Aih, Nogokredo, ya? Kau tentu murid Pronosidi!” teriaknya.
“Bagus kalau sudah tahu, kakek sesat! Bebaskan sang puteri dan pergilah!” Joko Handoko membentak.
Kakek itu tertawa terkekeh-kekeh. “Heh-heh-heh, bocah masih ingusan berani menggertakku! Menghadapi Pronosidhi sendiri aku tidak takut, apalagi hanya muridnya yang masih bocah seperti engkau.”
“Lepaskan sang puteri!” Joko Handoko membentak dan diapun sudah menyerang lagi, kini dia mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari Nogokredo. Kedua tangannya membentuk cakar naga, dan kedua lengannya membuat gerakan seperti tubuh ular laga mengamuk. Dari kedua telapak tangannya keluar hawa sakti yang amat kuat ketika dua tangan itu menyerang dengan kecepatan kilat, yang kanan menampar ke arah ulu hati.
Kakek yang terlalu memandang rendah lawan itu memutar tongkat hitamnya melindungi tubuh. “Plak! Desss…..!” Dua kali tongkatnya menangkis dan memang kakek itu berhasil menangkis pukulan berganda dari Joko Handoko, akan tetapi akibat benturan tenaga itu dia terhuyung ke belakang.
Kini marahlah kakek itu. Dia melemparkan tubuh Dewi Pusporini yang masih pingsan ke atas rumput di bawah pohon, dan diapun melompat ke depan Joko Handoko, matanya mencorong seperti mata kucing dalam gelap. “Babo-babo si keparat! Tak dapat diberi hati, kau berani melawan Ki Danyang Bagaskoro, berarti sudah bosan hidup kau!”
Diam-diam Joko Handoko terkejut. Mendiang kakeknya seringkali menceritakan kepadanya tentang adanya orang-orang sakti di dunia ini dan pernah kakeknya menyebut nama Ki Danyang Bagaskoro adalah seorang tokoh yang sakti di Kerajaan Doho, dan termasuk orang yang condong ke golongan sesat.
Akan tetapi, dia tidak merasa gentar. Betapapun saktinya kakek ini adalah orang sesat yang harus dilawan dan dibasminya, dan seorang yang begitu tinggi hati dan sombong sehingga menggunakan nama julukan Bagaskoro yang berarti Matahari, tentu tidak akan diberkahi para dewata!
“Heeeeeeeeeeekkkkhhhhh....!!” Kakek itu mengeluarkan seruan dahsyat seperti suara iblis sendiri di tengah kuburan, dan tubuhnya melesat ke depan, didahului gulungan sinar hitam itu mencuat dan menusuk kearah bagian kemaluan, pusar, uluhati, tenggorokan, pundak kanan, pundak kiri, dan di antara mata. Satu saja bagian ini terkena, tentu akan mendatangkan malapetaka hebat.
“Hyaaaaaaaaahhhhhhhhh....!” Joko Handoko yang menghadapi serangan hebat itu cepat menggerakkan tenaga kaki menggenjot tanah dan tubuhnya sudah mencelat ke atas, seperti terbang sehingga serangan bertubi-tubi itu luput semua. Dan dari atas, Joko Handoko berjungkir balik. Kini dengan kepala di bawah didahului oleh kedua tangan yang membentuk cakar, dia meluncur dan melakukan serangan belasan.
Hebat sekali gerakan ini yang disebut jurus Nogosungsang, sebuah jurus hebat dari Ilmu Silat Nogokredo. Hanya murid-murid dari tingkat tertinggi saja dari perguruan Hati Putih yang mampu melakukan jurus Nogosungsang sebaik yang dilakukan oleh Joko Handoko di saat itu.
Namun Ki Danyang Bagaskoro yang sombong dan memandang rendah lawan itu, tidak menjadi gentar,bahkan dia memkik lagi dan tubuhnya juga mencelat ke atas menyambut serangan lawan di udara, tongkat hitamnya diputar dan diobat-abitkan sehingga mengeluarkan suara bercuitan dan angina yang menyambar-nyambar ganas.
“Plak! Plak! Desss.... bretttttt....!”
Keduanya berjungkir balik mambuat salto beberapa kali baru turun ke atas tanah dan Joko Handoko memandang dan meraba bajunya yang robek di bagian dada dengan muka berubah. Sungguh hebat gerakan kakek itu sehingga walaupun dia mampu menghindarkan diri dari akibat yang parah dan benturan di udara tadi, namun tetap saja tubuhnya tergoncang dan bajunya robek.
“Heh-heh-heh, bocah ingusan. Sekarang bajumu yang robek, nanti dadamu yang akan kurobek menjadi empat potong, heh-heh!” Ki Danyang Bagaskoro membual sambil terkekeh untuk menyembunyikan rasa kagetnya. Tadi dia sudah mengerahkan kepandaian dan tenaganya namun dia hanya mampu merobek baju lawan, sedangkan benturan tenaga itu membuat dadanya sendiri terguncang hebat.
Sementara itu, Wulandari yang melihat betapa ayahnya dan para murid Sabuk Tembogo sudah mengeroyok dua orang lawan, cepat turun ke dalam kancah pertempuran dan ikut mengeroyok. Dua orang murid Ki Danyang Bagaskoro itu m,asih lelah, bahkan sudah menderita luka ketika mereka berkelahi melawan Joko Handoko sore tadi, terutama sekali Gajah Putih sudah kehilangan banyak darah dan tenaga.
Maka, kini dikeroyok oleh Ki Bragolo, Wulandari, dan murid-murid Sabuk Tembogo yang sudah berkumpul semua dan jumlahnya empat puluh orang itu, tentu saja mereka terdesak hebat. Mereka tadi mengandalkan guru mereka untuk turun tangan. Tak mereka sangka bahwa kini pemuda itu pula yang sanggup menahan amukan Ki Danyang.
Karena mereka berdua terancam maut di antara sabuk-sabuk tembaga yang berterbangan itu akhirnya mereka tidak kuat menahan lagi dan keduanya lalu meloncat ke dalam kegelapan malam dan melarikan diri. Kini Ki Bragolo, Wulandari dan para murid Sabuk Tembogo mengurung tempat itu dan mereka melihat betapa Joko Handoko terobek bajunya dan kakek itu terkekeh mengejek.
Ki Bragolo dan puterinya sudah mengayun sabuk tembaga mereka untuk maju membantu Joko Handoko, akan tetapi pemuda itu cepat mencegah mereka. “Paman dan diajeng, harap jangan ikut-ikut. Dia adalah lawanku, dan aku belum kalah!” Pemuda itu mencegah karena dia tahu betapa hebatnya kakek itu dan kalau Ki Bragolo dan Wulandari maju, sangat boleh jadi ayah dan anak itu akan tewas menjadi korban.
Dicegah oleh Joko Handoko, ayah dan anak itu mundur kembali dan hanya menonton dengan hati gelisah. Mereka dapat menduga akan kesaktian kakek bungkuk itu, akan tetapi karena Joko Handoko melarang, mereka tidak berani maju. Memaksakan pengeroyokan berarti akan merendahkan derajat Joko Handoko dan seorang yang gagah perkasa seperti Joko Handoko tentu lebih mempertahankan kehormatan daripada nyawa.
Ki Danyang Bagaskoro sudah melangkah maju lagi. Langkahnya pendek-pendek dan kakinya sebetulnya tidak terangkat, bukan melangkah melainkan menggeser ke depan, tongkat hitamnya yang ampuh itu diputar-putar di depan tubuhnya, siap untuk melakukan serangan dahsyat lagi.
Joko Handoko maklum bahwa kalau dia hanya mengandalkan Ilmu Silat Nogokredo saja, agaknya dia tidak akan mampu mengalahkan kakek ini. Maka, perlahan-lahan dia lalu menggerakkan tubuhnya, kaki kiri ke depan dengan lutut ditekuk sehingga tubuhnya merendah, kaki kanan di belakang, terjulur lurus dengan ujung ibu jari kaki kanan saja yang menyentuh tanah, tangan kiri melintang di depan dada dengan jari-jari terbuka membentuk cakar naga, tangan kanan terlentang menempel pinggang dengan membentuk cakar naga pula.
Muka menghadap lurus ke depan, mata mencorong dan mulut agak terbuka. Tiga kali dia menghirup hawa dari lubang hidung dan mengeluarkannya sedikit demi sedikit melalui mulutnya. Dadanya terasa mengembung dan penuh dengan hawa sakti, tanda bahwa kuda-kuda jurus Nogopasung yang dilakukannya itu sudah sempurna dan dia sudah siap memainkan jurus Nogopasung itu.
Ki Danyang Bagaskoro sudah tahu bahwa pemuda itu adalah murid perguruan. Hati Putih dan menguasai Ilmu Silat Nogokredo. Akan tetapi dia tidak mengenal jurus Nogopasung, yang diciptakan baru saja oleh Panembahan Pronosidhi. Khusus untuk Joko Handoko. Maka dia pun memandang rendah dan tidak tahu bahwa tubuh yang agak merendah dari pemuda itu mulai menghimpun tenaga sakti yang amat dahsyat.
“Heiiiiiiiittttt....” Kakek itu sudah meloncat lagi ke depan dan memutar tongkatnya untuk menyerang.
“Aaaaaarrrghh.....!” Joko Handoko juga menerjang ke depan, kedua tangan yang membentuk cakar naga itu bergerak-gerak dengan cepat menyambut terjangan lawan.
“Deessss.....!” Hebat bukan main tumbukan yang terjadi antara dua orang itu, terasa oleh semua orang yang nonton seolah-olah kilat menyambar dan guntur menggelegar dan akibatnya tubuh kakek itu terlempar dan melayang seperti sehelai daun kering terhempas angin lalu jatuh terbanting dengan keras.
Semua orang memandang dengan hati tegang. Ternyata kakek itu benar-benar sakti atau memiliki tubuh yang amat kebal. Biarpun dia terlempar dan terbanting sedemikian kerasnya, dia masih mampu bangkit kembali. Matanya mencorong, tangannya mengusap bibir yang berdarah dan dia mendengus penuh kemarahan. Mulutnya mengeluarkan desis seperti ular marah.
“Keparat......! Kalau aku tidak mampu membunuhmu jangan sebut aku Ki Danyang Bagaskoro......!” Kemarahannya memuncak dan tiba-tiba dia memindahkan tongkat hitam ke tangan kirinya, sedangkan tangan kanan mencabut keluar sebatang keris yang mengeluarkan sinar hitam menyilaukan mata.
Keris itu tidak panjang, hanya dua jengkal saja, berlekuk tiga. Itulah Keris Ki Bango Dolog yang ampuh karena selain di “isi” dengan kekuatan ilmu hitam, juga mengandung racun yang sangat ampuh. Tergores sedikit saja, kulit akan melepuh dan nyawanya sukar diselamatkan lagi.
Kini dengan keris pusaka di tangan kanan dan tongkat hitam di tangan kiri , Ki Danyang Bagaskoro berlari dan menerjang kea rah Joko Handoko. Pemuda ini mengelak, akan tetapi hawa dan pengaruh keris pusaka yang mengandung hawa ilmu hitam itu membuat dia terkejut dan bulu tengkuknya meremang. Rasa takut menyelinap di dalam hatinya dan hal ini membuat gerakannya kurang cepat.
“Tukkk.....!” Tongkat hitamnya itu berhasil mengenai pundak kirinya dan Joko Handoko cepat melempar tubuh ke belakang dan berguling. Dia meloncat bangun, meraba pundaknya yang terasa nyeri bukan main. Nyaris tulang pundaknya pecah oleh pukulan tongkat hitam yang ampuh itu.
Kakek itu kini terkekeh lagi, merasa mendapat kemenangan atau setidaknya menebus kekalahannya yang tadi. Dia memastikan bahwa dengan keris Ki Bango Dolog dia tentu akan berhasil membunuh Joko Handoko. Akan tetapi, Joko Handoko yang maklum akan keampuhan keris itu, terpaksa mencabut keluar keris pusaka Nogopasung dari balik bajunya. Pada saat itu, lawannya sudah menerjang lagi dengan keris dan tongkatnya.
Dia pun menggerakkan keris Nogopasung dan segera terdengar suara berdencing dan bendentang nyaring, nampak bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dua orang itu sudah berkelahi dengan keris dan tongkat. Belum sampai sepuluh jurus, tiba-tiba tubuh kakek itu terpental oleh tendangan Joko Handoko sedangkan keris pusaka Ki Bango Dolog patah menjadi dua potong.
Hal ini mengejutkan Ki Danyang Bagaskoro. Keris pusakanya patah! Dia mengeluarkan suara mirip tangisan dan tiba-tiba saja, dengan tongkat hitamnya, dia menubruk ke arah tubuh Dewi Pusporini yang baru saja siuman dan masih duduk di bawah pohon nonton perkelahian dengan mata terbelalak. Ternyata dalam keadaan kalah dan putus asa, tiba-tiba kakek itu seperti gila, hendak membunuh sang puteri dengan tongkat hitamnya.
Pada saat itu, Joko Handoko juga masih tergetar dan terguncang hebat karena pertemuan tenaga tadi. Akan tetapi, melihat betapa kakek itu bergerak hendak membunuh Dewi Pusporini, dia terkejut dan tiba-tiba tubuhnya meluncur cepat ke arah kakek itu, dengan keris pusaka Nogopasung di tangan.
Pada saat itu Ki Danyang Bagaskoro sudah menggerakkan tongkatnya ke atas ketika dia melihat meluncurnya tubuh Joko Handoko menyerangnya, tiba-tiba dia membalikkan tubuh dan tongkatnya menyambut ke arah dada pemuda itu yang juga menujukan kerisnya kepadanya.
“Dukkk......! Cressss.......!”
Tubuh kakek itu terjengkang dan darah membasahi baju di lambungnya. Akan tetapi, Joko Handoko juga terhuyung ke belakang, tangan kanan memegang keris Nogopasung yang dipandangnya dengan mata terbelalak karena ujung keris itu belepotan darah, sedangkan tangan kirinya menekan dada yang tadi terpukul tongkat hitam.
“Ampunkan saya.... eyang....” bisiknya dan diapun tiba-tiba menjatuhkan diri, duduk bersila sambil memejamkan kedua mata, mengumpulkan hawa murni untuk mengobati luka di sebelah dalam tubuhnya akibat pukulan tongkat hitam. Keris pusaka Nogopasung menggeletak di atas pangkuannya, masih belepotan darah.
Sementara itu, setelah berkelejotan sebentar, tubuh Ki Danyang Bagaskoro tidak bergerak lagi, matanya melotot mulutnya terbuka dan tubuhnya tak bernyawa lagi. Lambungnya telah tertusuk keris pusaka Nogopasung yang amat ampuh itu.
Joko Handoko prihatin sekali, bukan karena lukanya, melainkan karena terpaksa dia tadi menggunakan keris pusaka itu untuk membunuh orang, terpaksa karena kalau tidak cepat-cepat dia turun tangan, tentu Dewi Pusporini telah tewas di tangan kakek itu. Dia merasa menyesal harus melanggar janjinya kepada mendiang eyangnya, Panembahan Pronosidhi.
Ki Bragolo yang tadi menahan napas dan merasa tegang sekali menyaksikan perkelahian mati-matian yang amat dahsyat itu, merasa kagum dan lega melihat bepata pemuda itu berhasil pula merobohkan musuh yang demikian saktinya. Kalau sampai sang puteri tewas, tentu akan terjadi geger karena Senopati Pamungkas tentu akan menyalahkan padanya.
Bukankah sang puteri itu berada di bawah perlindungannya? Kini dia cepat menghampiri Joko Handoko untuk melihat apakah pemuda yang terkena pukulan tongkat itu tidak apa-apa. Juga Wulandari berlari menghampiri pemuda yang dikaguminya dan dicinta itu.
Ketika Ki Bragolo melihat keris pusaka di atas pangkuan pemuda itu, seketika wajahnya menjadi pucat, matanya terbelalak dan kedua kakinya gemetar. “Keris pusaka Nogopasung...!” teriaknya seperti melihat ular berbisa hendak menggigit kakinya. “Jagat Dewa Bathoro......! Dari mana andika memperoleh keris ini, anakmas?”
Joko Handoko hanya membuka sebentar kedua matanya. Seperti mimpi dia mendengar pertanyaan itu dan dijawabnya dengan sejujurnya, “Saya menerimanya dari ibu saya paman,” dan dia pun memejamkan kembali kedua matanya.
Ki Bragolo memandang wajah pemuda itu dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Ibunya! Dan gurunya adalah panembahan Pronosidhi yang disebut eyang! Dan wajah pemuda ini! Kini teringatlah dia mengapa dia mempunyai perasaan seolah-olah pernah mengenal pemuda ini, pernah bertemu dengannya. Ah, betapa bodohnya!
“Anakmas Joko Handoko, engkau masih ada hubungan apakah dengan mendiang Raden Ginantoko?” tanyanya dan suaranya terdengar membentak, mengejutkan Wulandari yang berada di sampingnya. Ki Bragolo memang belum pernah bercerita kepada puterinya tentang Ginantoko dan peristiwa yang terjadi sebelum gadis ini terlahir.
Joko Handoko yang merasa tidak ada gunanya lagi menyembunyikan keadaan dirinya, masih seperti dalam mimpi, tanpa membuka kedua mata yang terpejam, menjawab, “Mendiang Raden Ginantoko adalah ayah kandungku.”
“Keparat…..!” Dan tiba-tiba Ki Bragolo mengangkat sabuk tembaga di tangannya, mengayunnya dan menghantamkan sabuk itu ke arah kepala Joko Handoko.
“Tranggg…..!” Sabuk tembaga itu bertemu dengan sabuk tembaga di tangan Wulandari yang telah menangkisnya.
“Ayah, apakah engkau telah menjadi gila??” Gadis itu berteriak dan melangkah, melindungi pemuda itu dan menghadapi ayahnya dengan mata mengandung api kemarahan siap untuk membela Joko Handoko.
“Memang aku telah gila!” Ayahnya membentak, juga marah sekali. “Minggirlah aku akan membunuh anak setan ini! Aku telah gila membiarka engkau bergaul dengan dia dan menerimanya sebagai tamu dan sahabat. Dia adalah musuh besar yang harus kita bunuh, atau dia akan mencelakakan kita semua!”
Kembali orang tua itu mengangkat sabuk tembaganya di atas kepala, siap untuk menyerang pemuda yang masih duduk bersila itu. Joko Handoko mendengar semua itu akan tetapi dia dalam keadaan terluka parah. Bergerak sedikit saja akan membahayakan keselamatannya, maka diapun menyerakan diri kepada nasib.
“Tidak ayah. Kau tidak boleh membunuhnya!” Wulandari berkeras, dengan sabuk tembaga di tangan, siap melawan ayahnya.
“Bocah tolol, minggir kau!” Si ayah membentak marah.
“Tidak, sebelum ayah membunuhnya, ayah bunuhlah dulu aku!” bentak Wulandari.
Sejenak ayah dan anak itu saling pandang dengan mata melotot. Akhirnya Ki Bragolo yang mengenal watak anaknya dan tahu bahwa anaknya akan membela mati-matian dan dia baru akan dapat menyerang Joko Handoko setelah membunuh anaknya, menurunkan sabuk tembaganya dan menarik napas panjang. “Anak bodoh, sialan, anak tolol!” gerutunya.
Tiba-tiba Dewi Pusporini yang juga dating mendekat, berkata halus, “Paman Bragolo, sungguh aku merasa heran sekali dan tidak mengerti akan sikap paman ini. Joko Handoko telah membelamu menghadapi musuh-musuh yang tangguh, bahkan telah menyelamatkan nyawaku dari tangan kakek iblis itu. Akan tetapi engkau tidak berterima kasih kepadanya, bahkan hendak membunuhnya! Sikap macam apakah yang saya lihat ini?”
Ki Bragolo menundukkan mukanya dan berkali-kali dia meanrik napas panjang. Tentu saja dia amat berterima kasih kepada Joko Handoko, akan tetapi kenyataan bahwa pemuda ini putera kandung Ginantoko, seorang yang telah berbuat mesum terhadap Galuhsari, isteri yang amat disayangnya, hal itu sampai sekarang masih membuat darahnya mendidih penuh kemarahan dendam.
“Ayah, kakang Handoko telah berkali-kali menolong kita dan bahkan telah membersihkan nama dan kehormatan Sabuk Tembogo, bahkan malam ini, demi untuk menolong kita dan menyelamatkan mbakayu Dewi, dia telah menderita luka parah dan hampir saja mengorbankan nyawanya. Sepatutnya kita berterima kasih dan bersyukur dengan kehadirannya. Bagaimana kini ayah begitu membencinya dan hendak membunuhnya? Andaikata ada urusan antara ayah dengan ayah kandung kakang Handoko, kiranya hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan kakang Handoko.”
“Wulandari, engkau tahu apa? Ayahnya seorang jahanam keparat yang busuk, mana mungkin anaknya baik? Kacang tidak meninggalkan lanjaran,anak tidak akan jauh berbeda dari ayahnya. Anak-anak, tangkap dia, belenggu dan masukkan kamar tahanan!”
Biarpun meragukan perintah itu, namun para murid Sabuk Tembogo tidak berani membantah dan mereka lalu dengan sikap halus menarik Joko Handoko bangkit, dan mengajaknya masuk ke bagian belakang di mana terdapat pondok-pondok yang biasa dipergunakan untuk menghukum murid yang bersalah atau dipakai untuk bertapa para murid yang ingin memperdalam ilmu kedigdayaannya.
“Belenggu kaki tangannya dan jaga jangan sampai dia terlepas!” Ki Bragolo mereriakkan perintahnya.
“Ayah! Kau sungguh keterlaluan!” teriak Wulandari sambil menangis. “Kakang Handoko, jangan khawatir, aku akan membelamu!” ia pun berteriak kepada Joko Handoko yang melangkah dengan tubuh masih lemas, diiringkan beberapa orang murid Sabuk Tembogo.
Joko Handoko yang maklum bahwa dia menderita luka parah, menurut saja ketika digiring ke dalam, dia pun duduk bersila dan mengatur pernapasan, sama sekali tidak peduli ketika kaki tangannya diikat dengan rantai besi yang kuat. Biarpun dengan hati berat, para murid Sabuk Tembogo melaksanakan perintah guru dan ketua mereka itu, diam-diam mereka masih penasaran.
Akan tetapi beberapa orang murid yang lebih tua seperti Sentono dan Sentanu, tidak merasa heran. Mereka berdua ikut pula mengeroyok ketika Ki Bragolo menyerang Ginantoko karena menangkap basah petualang asmara itu memadu asmara dengan mendiang Galuhsari, isteri tercinta Ki Bragolo.
Maka, dua orang murid kepala ini maklum bahwa guru mereka masih menaruh dendam kepada Ginantoko walaupun sudah berhasil membunuhnya, sehingga kini mendengar bahwa Joko Handoko adalah putera musuh besar itu, dia menjadi marah sekali dan menyuruh tangkap pemuda yang telah banyak menolongnya itu.
Kita semua tahu betapa bahayanya dendam. Dendam yang tertanam di dalam batin kita bukan hanya mendatangkan kebencian dan permusuhan, bahkan dapat meluas menjadi dendam golongan dan dendam antara bangsa sehingga dunia ini penuh dengan perang, bunuh-membunuh, semua itu dibakar oleh api dendam.
Dari manakah datangnya dendam? Bagaimana terjadinya? Seseorang melempar sesuatu yang mengenai tubuh kita menimbulkan nyeri badan dan kitapun marah, mendendam dan ingin membalas. Atau seseorang melempar kata-kata yang menyinggung perasaan dan menimbulkan nyeri di hati sehingga kitapun marah dan dendam, ingin membalas.
Jelaslah bahwa dendam timbul karena kita merasa disakiti, dirugikan, baik lahir maupun batin. Kita sejak kecil membangun sebuah “aku” dari diri kita, yang kita agungkan sehingga si-aku yang makin lama makin kita bangun menjadi kokoh kuat dan merasa selalu benar sendiri, baik sendiri dan seterusnya. Kalau si-aku ini sampai tersinggung, dibahayakan keagungannya, maka marahlah kita.
Kita bela si-aku ini mati-matian karena kita merasa bahwa tanpa gambaran si-aku, kita ini bukan apa-apa. Kalau si-aku disinggung kita melawan, karena kalau tidak, si-aku menjadi tidak dipentingkan lagi, tidak diagungkan lagi. Pangagungan si-aku inilah yang menjadi sumber terjadinya dendam. Milik kita diambil orang, kita merasa dirugikan.
Iba hati tergadap si-aku membuat kita ingin membalas, dan dendam ini melahirkan kekerasan dan kekejaman. Orang yang biasanya tidak tega mambunuh seekor lalat pun, kalau sudah dibakar api dendam aka tega menyiksa musuhnya dengan sadis sekali.
Dapat kita menghadapi segala sesuatu tanpa si-aku ikut campur? Menerima segala sesuatu sebagai suatu kenyataan, dengan penuh kewaspadaan kita mengamati kalau ada orang mencela kita, dapatkah kita mendengarkan dia sambil mengamati diri sendiri tanpa adanya si-aku yang tersinggung? Mungkin saja kita memang patut dicela karena suatu kesalahan.
Kalau ada orang menginjak kaki kita, dapatkah kita menghadapi peristiwa ini dengan dengan mata terbuka penuh kewaspadaan tanpa si-aku mencampuri sehingga kita akan dapat melihat terjadinya peristiwa itu dalam keadaan yang sebenarnya? Akan nampak oleh kita bahwa orang itu melakukannya tanpa sengaja,dan bahwa di tempat yang penuh sesak itu besar sekali kemungkinan salah injak.
Pembukaan mata penuh kewaspadaan tanpa adanya campur tangan si-aku si bayangan congkak itu, akan melahirkan kebijaksanaan dan tindakan yang sehat. Bukan tindakan terdorong oleh emosi karena si-aku tersinggung keagungannya.
Kalau ada orang yang mengambil milik kita. Kembali si-aku yang telah mengikatkan diri dengan milik kita yang membelenggu si-aku, kekayaan, kedudukan, nama besar, isteri tercinta, anak-anak tersayang, keluarga, dan sebagainya, merasa kehilangan. Si-aku yang dipisahkan dari miliknya ini menimbulkan iba diri, menimbulkan duka, dan menimbukan dendam kepada orang yang memisahkan si-aku dari miliknya.
Semua peristiwa yang terjadi di dalam diri ini, tidaklah patut untuk kita pelajari dengan seksama, dengan cara mengamati diri setiap detik? Karena, permusuhan dan kekacauan dan permusuhan di dalam hati masing-masing. Perang di dunia hanyalah pengluasan perang dalam batin kita sendiri.
Ki Bragolo demikian erat terikat dengan Galuhsari, isterinya yang menurut pendapatnya amat mencintanya. Isterinya itu dianggap tergoda oleh Ginantoko sehingga malakukan perbuatan jina dengan petualang asmara itu sampai kedua orang itu dibunuhnya. Dan kehilangan Galuhsari ini terus menghantuinya, sampai belasan tahun masih saja teringat dan selalu mendatangkan duka, kecewa, dan melahirkan dendam yang tidak ada habisnya.
Walaupun dia telah membunuh Ginantoko dalam hal ini. Memang, setelah musuhnya itu tidak ada lagi, nampaknya dia tidak lagi menaruh dendam. Namun api dendam itu tak pernah padam sama sekali dari lubuk hatinya. Bagaikan api yang membara, setiap waktu dapat berkobar lagi. Maka, begitu mendengar bahwa Joko Handoko adalah putera Ginantoko, api yang membara itu kini berkobar.
“Ayah, aku sungguh tidak setuju dengan tindakan ayah!” Tiba-tiba Wulandari mengguncang Ki Bragolo dari lamunan. “Sungguh tidak adil perbuatan ayah terhadap kakang Handoko! Aku tidak setuju dan memprotes! Kakang Handoko harus dibebaskan!”
“Paman Bragolo, harap paman ingatlah. Kalau paman tidak membebaskan Joko Handoko, apakah paman ingin dinamakan orang yang tidak mengenal budi? Patutkah air susu dibalas air tuba, pertolongan dan jasa Joko Handoko dibalas dengan kekejaman? Aku menjadi saksi, paman bahwa Joko Handoko tidak bersalah apa-apa terhadap paman, bahkan telah membuat jasa besar.”
Makin pening rasa kepala Ki Bragolo mendengar protes yang dilakukan Wulandari dan Dewi Pusporini itu. Dia segera memasuki pendopo rumahnya dan menjatuhkan diri duduk di atas kursi. Akan tetapi dua orang gadis itu tetap mengikutinya. Ki Bragolo menutup muka dengan kedua tangannya yang besar.
“Kalian tidak tahu... ah, kalian tidak tahu apa yang diperbuat ayahnya kepadaku.....” keluhnya sebagai pembelaan diri karena serangan-serangan dua orang gadis itu.
“Apa yang telah diperbuatnya? Ceritakanlah ayah, agar hatiku tidak menjadi penasaran dan aku tahu mengapa ayah melakukan kekejian ini terhadap kakang Joko Handoko yang tidak berdosa.”
“Benar, ceritakan paman, karena hatiku pun merasa penasaran sekali.” Dewi Pusporini juga mendesak. Bagaimanapun juga, sang puteri ini merasa berhutang budi dan nyawa kepada Joko Handoko, maka melihat pemuda itu ditawan dan mengalami hal yang tidak adil, ingin ia membelanya.
Tanpa membuka kedua tangan dari depan mukanya, Ki Bragolo menarik napas panjang. Dia sendiri juga menjadi bimbang, hatinya terobek antara dendam, kebencian dan hutang budi. Kemudian dia berkata, suaranya lirih penuh penyesalan. “Sudah terjadi lama sekali sebelum engkau lahir, Wulan. Ketika itu aku mempunyai seorang isteri, bernama Galuhsari.... dan aku..... aku amat sayang kepadanya.” Dia berhenti karena hatinya terharu ketika bayangan wajah isterinya yang cantik itu memenuhi ingatannya.
“Kemudian datanglah dia.... si keparat Ginantoko. Dengan ketampanannya, dia merayu Galuhsari.... dan Galuhsari jatuh.... si keparat itu mengauli isteriku, di depan mataku. Lalu..... kubunuh dia, juga... juga Galuhsari. Mereka tewas diujung keris pusaka Nogopasung yang kupinjam dari Empu Gandring guru Ginantoko. Noda darah mereka tak dapat hilang dari ujung keris, yaitu Nogopasung yang kini dibawa oleh Joko Handoko.” Kakek itu berhenti bercerita, lalu menurunkan kedua tangannya. Matanya merah dan wajahnya menjadi keruh sehingga dia nampak semakin tua.
“Akan tetapi ayah, bukankah ayah telah membunuhnya? Kesalahannya itu telah mendapat hukuman dan dosanya terhadap ayah telah dibayar lunas, bukan?”
“Biarpun begitu, dia telah menghancurkan kebahagiaanku. Aku amat sayang kepada Galuhsari dan aku telah kehilangan kebahagiaanku....”
Wulandari mengerutkan alisnya. Hatinya tersinggung karena ucapan ayahnya itu dapat berarti bahwa ayahnya tidak menemukan kebahagiaan di samping ibunya, atau setidaknya, ayahnya tidak mencinta ibunya, seperti dia mencintai Galuhsari. “Akan tetapi, ayah sendiri yang membunuh Galuhsari!”
“Dan bagaimanapun juga, hal itu terjadi ketika Joko Handoko belum terlahir. Yang bersalah adalah ayahnya, kenapa dia diikut-ikutkan? Dia sama sekali tidak tahu menahu tentang perbuatan ayahnya itu, paman.”
“Sekarang aku tahu mengapa kakang Handoko menyembunyikan keadaannya. Tentu dia sudah tahu pula akan peristiwa antara ayahnya dan kau, ayah. Sungguh dia berwatak budiman. Dia tahu bahwa ayah telah membunuh ayah kandungnya, namun dia telah menyelamatkan kami, sama sekali dia tidak menaruh dendam atas kematian ayahnya!”
Wulandari berkata penuh semangat. “Ayah harus membebaskannya sekarang juga!”
“Sudahlah. Kau pergilah tidur Wulan. Dan andika juga, diajeng. Aku akan memikirkan urusan itu sampai besok. Besok aku akan mengambil keputusan....”
“Tapi, ayah. Dia terluka dan.....”
“Cukup! Besok kita bicarakan lagi!” bentak ayahnya yang kembali menutupi mukanya dengan kedua tangannya.
Wulandari dapat mengerti bahwa ayahnya juga dicekam kebimbangan dan kedukaan, maka ia, menggandeng tangan Dewi Pusporini, sambil menahan isaknya ia lalu pergi meninggalkan ayahnya, masuk ke dalam kamarnya bersama Dewi Pusporini yang mencoba untuk menghiburnya.
“Tenanglah, diajeng Wulan. Besok kita dapat membujuk lagi ayahmu untuk membebaskan Joko Handoko.”
Wulandari merangkul puteri itu dan kini ia menangis. Dewi Pusporini menarik napas panjang dan mengelus rambut yang panjang halus dan terlepas dari sanggulnya itu. “Diajeng Wulandari, cinta benarkah engkau kepadanya?”
Wulandari terisak dan mengangguk. Dan Dewi Pusporini tidak bertanya lagi. Ia sudah sejak pertemuan pertama dapat melihat bahwa gadis ini jatuh hati kepada Joko Handoko. Akan tetapi yang membuat ia kini termangu-mangu adalah karena adanya kenyataan yang tak terlepas dari pandang matanya pula, yaitu bahwa Joko Handoko bersikap wajar saja kepada Wulandari.
Sebaliknya, pandang mata Joko Handoko kepadanya, sungguh jelas menunjukkan kekaguman terbuka, menunjukkan bahwa pemuda itu setidaknya amat tertarik kepadanya. Dan dia sendiri? Wajahnya menjadi merah dan cepat-cepat ia merangkul Wulandari. “Sabarlah, diajeng Wulan.......”
Ki Bragolo merasa amat tersiksa malam itu. Dia gelisah di atas tempat tidurnya, bahkan menyuruh isterinya, ibu Wulandari, untuk tidur di kamar lain. Dia ingin menyendiri dan hal ini bahkan membuatnya menjadi semakin gelisah. Terjadi perang di dalam hatinya. Bagaimana pun juga, dia teringat betapa baru beberapa saat yang lalu, dia amat suka kepada Joko Handoko, bahkan mengharapkan pemuda itu menjadi mantunya.
Dia tahu bahwa dengan adanya Joko Handoko sebagai mantunya, kedudukannya dan Sabuk Tembogo menjadi semakin kuat. Pemuda itu amat baik dan gagah perkasa, tidak akan mengecewakannya kalau menjadi mantunya. Di pihak lain, dia teringat akan Ginantoko dan kebenciannya meluap-luap dan merambat sampai kepada diri Joko Handoko. Antara suka dan benci berperang di dalam hatinya, membuat dia gelisah tak dapat tidur.
Menjelang pagi, tiba-tiba dia merasa dadanya sakit. Seperti diremas-remas dan mengeluh, semakin lama semakin nyeri dan napasnya juga terengah. Berkali-kali dia menyebut nama Galuhsari dan Joko Handoko. Kalau teringat Galuhsari, ingin dia menimpakan dendamnya kepada Joko Handoko, akan tetapi kalau teringat akan jasa-jasa pemuda itu, dia ingin menariknya sebagai mantu.
Akhirnya dia dapat tenggelam juga ke dalam alam tidur. Hanya sebentar karena begitu matahari terbit, terdengar suara nyaring di luar pintu gerbang pedukuhan itu.
“Ki Bragolo! Keluarlah kalau engkau laki-laki dan hadapi aku!”
Mendengar suara tantangan ini, Ki Bragolo terbangun dan kembali dia menyeringai karena dadanya terasa nyeri. Dia lalu turun dari pembaringan, akan tetapi kepalanya terasa pening dan langkahnya terhuyung. Dia cepat duduk kembali di atas pembaringan, memejamkan kedua matanya dan mengatur pernapasan.
“Aku tidak berurusan dengan siapa pun kecuali. Ki Bragolo!” Tedengar suara lantang tadi. “Suruh dia keluar kalau memang laki-laki dan bukan pengecut!”
Ki Bragolo bengkit berdiri. Dengan menahan perasaan nyeri di dadanya, dia keluar dari dalam pondok, terus menuju ke pintu gerbang. Murid-muridnya sudah banyak yang berada di luar pintu gerbang, menghadapi dua orang pemuda yang kelihatan gagah perkasa. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi tegap kembali berkata kepada para muridnya.
“Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian. Cepat panggil Ki Bragolo keluar atau aku akan kehabisan kesabaran dan terpaksa menyerbu ke dalam!”
Sebelum Ki Bragolo menghampiri tempat itu, tiba-tiba dia melihat puterinya berlari keluar dan membentak, “Siapakah orang kurang ajar yang datang mengacau?”
Dua orang pemuda itu memandang dan mereka kelihatan terkejut melihat munculnya seorang gadis yang manis dan gagah itu. Pemuda tinggi tegap itu lalu bertanya, “Heii, bocah perempuan, aku memanggil Ki Bragolo keluar menemui aku, kenapa engkau yang muncul? Siapakah engkau? Aku tidak berurusan dengan murid-murid Sabuk Tembogo!”
“Aku adalah puteri Ki Bragolo! Ayah sedang istirahat dan kalau engkau ada keperluan, cukup dengan aku. Hayo cepat katakana apa keperluanmu datang mengacau seperti ini, dan siapa engkau?” Wulandari berseru dengan marah karena ia tadi mendengar teriakan pemuda itu yang menantang ayahnya.
“Huh, kau anak kecil tahu apa!” Pemuda itu membentak. “Katakan kepada ayahmu bahwa aku datang menagih hutang nyawa. Katakan saja bahwa aku diutus oleh mendiang ayahku, Raden Ginantoko, untuk mencabut nyawa Ki Bragolo!”
Bukan main kagetnya hati Wulandari mendengar itu. Baru saja terjadi keributan karena ayahnya mendengar bahwa Joko Handoko adalah putera kandung Ginantoko dan kini muncul seorang pemuda yang ingin membunuh ayahnya dan mengaku sebagai putera Raden Ginantoko.
Akan tetapi mendengar ancaman pemuda itu terhadap ayahnya, dan sikap pemuda itu yang memandang rebdah kepadanya, padahal usia pemuda itu tidak akan berselisih banyak dengan usianya sendiri, Wulandari sudah menjadi marah sekali dan mukanya berubah merah, matanya berapi.
Laki-laki tinggi tegap itu bukan lain adalah Ken Arok. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ken Arok telah menemui ibu kandungnya, Ken Endok dan dari ibunya dia mendengar tentang ayahnya, Raden Ginantoko yang tewas di tangan Ki Bragolo, ketua Sabuk Tembogo di lereng Gunung Kawi. Mendengar itu, Ken Arok menjadi marah dan memperdalam ilmunya dengan belajar lebih tekun di bawah pimpinan Begawan Jumantoko.
Setelah tamat belajar, dia lalu berhasil mengajak Panji Tito untuk mencari Ki Bragolo dan membalas dendam kematian ayahnya. Demikianlah, kini Ken Arok berhadapan dengan Wulandari, sedangkan Panji Tito hanya nonton karena dia berjanji, akan membantu kalau temannya itu kewalahan menghadapi lawan.
“Bocah sombong! Orang macam engkau ini tidak ada harganya untuk menemui ayahku! Kau hendak mencabut nyawa ayahku? Sombong amat, sebelum itu, lebih dulu akulah yang akan mencabut nyawa tikusmu!” Sambil berkata demikian, Wulandari sudah mencabut sabut tembaganya dan memutar senjata itu dengan sikap mengancam.
“Babo-babo, keparat!” Ken Arok berseru marah dan matanya melotot memandang gadis yang menantangnya itu. Belum pernah selama hidupnya dia ditantang gadis remaja seperti ini. “Engkau ini anak Ki Bragolo agaknya sudah bosan hidup. Kalau engkau ingin mati, biarlah kubunuh engkau lebih dulu, baru akan kucari dan kucabut nyawa Ki Bwagolo!”
Wulandari menjadi semakin marah. “Majulah!” tantangnya dan ia pun sudah memutar sabuk tembaganya. Ketika beberapa orang murid Sabuk Tembogo hendak maju pula mengeroyok, Wulandari membentaknya.
“Jangan ada yang maju mengeroyok! Ini adalah urusan keluargaku sendiri.” Dan dengan gagah gadis ini menghadapi Ken Arok yang melangkah maju dengan tangan kosong dan senyum mengejek, mata memandang rendah.
“Tahan dulu! Mundurlah, Wulan, dan biarlah aku sendiri menghadapinya!” tiba-tiba terdengar suara parau dan Ki Bragolo sudah melangkah maju. Mukanya agak pucat dan masih merasa nyeri di dalam dadanya, akan tetapi perasaan itu ditahannya dan langkahnya dibikin tegap walaupun kepalanya terasa agak pening.
Ken Arok memandang kepadanya, “Apakah engkau yang bernama Ki Bragolo?” tanyanya memandang tajam.
Ki Bragolo mengangguk. “Benar, orang muda. Akulah Ki Bragolo, ketua Sabuk Tembogo. Siapakah engkau dan apa artinya engkau tadi menyebut nama Raden Ginantoko sebagai ayah?”
Pandang mata Ken Arok ditujukan kepada kakek itu dengan penuh kebencian. Inilah orang yang dulu membunuh ayah kandungnya. “Bagus, engkau kah orangnya yang telah membunuh ayah kandungku belsan tahun yang lalu?”
Dia melangkah maju mendekati kakek itu, dan pandang matanya menjelajahi dari kepala sampai ke kaki, seperti orang yang menaksir-naksir. “Raden Ginantoko adalah ayah kandungnya, namaku Ken Arok dan aku datang untuk menagih hutang. Engkau telah membunuh ayah kandungku, dan sekarang aku yang akan membalaskan kematian ayah dan akan membunuhmu. Keluarkan senjatamu Ki Bragolo dan mari kita tentukan, siapa yang akan menggeletak di sini dengan tubuh tak bernyawa!”
Ken Arok menantang dan dia pun sudah mencabut kerisnya. Tadi ketika menghadapi Wulandari, dia merasa malu kalau harus memegang senjata, akan tetapi sekarang, berhadapan dengan kakek yang pernah membunuh ayah kandungnya, tentu saja dia tidak berani memandang rendah dan dia sudah mencabut kerisnya....