Jodoh Si Naga Langit Jilid 15

Sonny Ogawa
15.1. WEJANGAN TIONG LEE CIN-JIN

Pek Hong Niocu menghela napas panjang. “Entahlah, Siang In. Aku sendiri tidak tahu, aku memang kagum sekali kepadanya.”

“Kagum bukan berarti cinta, Pek Hong.”

“Aku tidak tahu. Bagaimana sih rasanya hati yang jatuh cinta?”

“Ah, aku sendiri pun tidak tahu, Pek Hong. Aku belum pernah jatuh cinta.”

“Hemm, bagaimana hubunganmu dengan Pangeran Cin Han? Apakah engkau tidak cinta padanya?”

“Aku juga tidak tahu, Pek Hong. Aku hanya kagum dan suka padanya karena dia seorang pemuda yang berbudi halus dan sopan, bijaksana sekali.”

“Dan tampan......!” Pek Hong melanjutkan.

Cerita Silat Mandarin Karya Kho Ping Hoo

“Ah, soal tampan atau tidak itu tergantung dari hati kita, Pek Hong. Kalau kita menyukai seseorang dia akan tampak tampan, kalau sebaliknya kita membenci seseorang, dia akan kelihatan buruk seperti setan!”

Dua orang gadis itu tertawa geli. “Eh, Siang In. Aku tahu benar bahwa Cin Han itu amat mencintamu. Kalau tidak salah dia pernah meminangmu akan tetapi engkau menolak pinangan itu karena ketika engkau dipinang, engkau belum pernah bertemu dengan dia. Sekarang, setelah engkau berkenalan dengan dia, bagaimana perasaan hatimu?”

Wajah Siang In berubah kemerahan dan ia tersenyum. “Dia memang seorang pemuda yang baik sekali, Pek Hong. Memang terus terang saja aku merasa tertarik dan suka kepadanya, akan tetapi sayang…... dia seorang siucai (sasterawan) yang lemah. Aku ragu apakah aku dapat hidup bahagia dan cocok dengan dia mengingat pendidikan antara kami yang amat berbeda. Dia ahli sastra sedangkan aku ahli silat.”

“Wah, keadaan kita sungguh senasib dan sama, Siang In. Aku pun tertarik kepada seorang pemuda bangsawan bangsa Yucen, akan tetapi seperti juga Cin Han, pemuda itu adalah seorang yang mendapat pendidikan bun (sastra). Sebetulnya keadaannya sebagai seorang putera pangeran bangsa Yucen cocok dengan keinginan Kaisar, dan aku pun mengenal baik ayahnya dan aku tahu bahwa ayahnya seorang yang gagah perkasa, baik budi dan setia kepada Kaisar. Akan tetapi...... ya itu tadi, sayang dia seorang pemuda lemah.”

Dua orang gadis itu kini termenung. Siang In membayangkan wajah Cin Han, sedangkan Pek Hong membayangkan wajah Pangeran Kuang Lin.

“Siang In, mari kita percepat perjalanan kita ke tempat pertapaan Ayah, selain untuk menjaganya kalau-kalau dia terancam orang-orang sesat, juga kita dapat minta nasihatnya tentang masalah perjodohan kita.”

“Baik, Pek Hong. Aku kira hanya Ayah yang akan dapat menunjukkan jalan terbaik bagi kita.” Dua orang gadis itu lalu membalapkan kuda mereka menuju ke Pegunungan Go-bi.

* * *

Pondok itu berdiri di puncak sebuah bukit. Dari puncak itu tampak peman¬dangan alam yang teramat indah. Terutama di waktu matahari terbit atau di waktu matahari tenggelam, pemandangan itu sungguh membuat orang terpesona, seolah melihat taman sorga terbentang di depannya. Pemandangan yang dibentuk oleh awan dan sinar matahari sukar digambarkan keindahannya.

Apalagi kalau tampak pelangi yang mengandung semua warna itu melengkung di depan, membuat orang lupa bahwa dia berada di dunia, bukan di alam lain. Pondok kayu yang kokoh itu berada di Puncak Pelangi, sebuah di antara puncak-puncak banyak perbukitan di Pegunungan Gobi. Matahari pagi sudah agak tinggi sehingga sinarnya yang hangat terasa nyaman sekali menembus kedinginan puncak itu. Sejuk dan segar.

Kakek itu duduk bersila di atas sebuah bangku batu yang bundar dan rata, bersih dan halus permukaannya. Dia seorang laki-laki berusia sekitar enampuluh lima tahun. Wajahnya bersih tanpa jenggot maupun kumis, wajah yang berbentuk bulat dengan dagu meruncing. Sepasang matanya lembut dan bersinar-sinar cerah seperti mata orang yang merasa lega den puas, mata orang berbahagia.

Rambutnya yang sudah bercampur uban itu diikat dengan pita kuning. Pakaiannya hanya terdiri dari kain yang dilibat-libatkan di tubuhnya, di bagian pinggang diikat sabuk sutera putih. Sepa¬tunya dari kain tebal dengan lapisan besi. Mata yang tajam, hidung mancung dan mulut yang bentuknya indah itu membuat wajahnya tampak tampan.

Dia adalah Tiong Lee Cin-jin yang dikenal banyak tokoh besar dunia persilatan sebagai Yok-sian (Dewa Obat atau Tabib Dewa) dan nama aselinya adalah Sie Tiong Lee.

Beberapa ekor burung gereja bercicitan dan terbang turun dari atas pohon. Tanpa takut sedikit pun mereka beterbangan dekat tempat Tiong Lee Cin-jin duduk. Bahkan ada yang hinggap di atas batu tepat di kakinya dan ada pula yang demikian beraninya hinggap di atas pundaknya. Agaknya burung-burung kecil itu sudah terbiasa berbuat seperti itu dan sudah yakin benar bahwa mereka aman dan tidak akan diganggu. Bahkan lebih dari itu, mereka seolah menagih!

Tiong Lee Cin-jin tersenyum, merasa bahwa burung-burung itu memang menagih. Dia lalu mengambil sekepal butiran gandum dan menyebarkannya di atas tanah depan batu yang didudukinya. Ramailah burung-burung itu berloncatan dan mulai mematuki biji-biji gandum sambil mengeluarkan bunyi hiruk pikuk. Tiong Lee Cin-jin tersenyum bahagia sambil memandang ke kawanan burung gereja yang setiap pagi pasti menemaninya di situ.

Tiba-tiba Tiong Lee Cin-jin mengangkat muka memandang ke arah bawah puncak sebelah timur. Dia melihat dua titik hitam yang bergerak mendaki bukit dan sebentar saja dua titik hitam itu mulai berbentuk dua tubuh manusia yang dengan mempergunakan ilmu berlari cepat mendaki bukit menuju puncak. Mulut kakek itu tersenyum lebar dan matanya bersinar, wajahnya berseri.

Bayangan dua orang itu semakin jelas dan mereka itu adalah Souw Thian Liong dan Han Bi Lan yang menyamar pria dan menggunakan nama Han. Seperti kita ketahui, pemuda dan gadis itu melakukan perjalanan bersama dan bersepakat untuk saling membantu.

Han Bi Lan berusaha mencari dua orang murid mendiang Toat-beng Coa-ong Ouw Kan yang telah membunuh ayahnya, sedangkan Souw Thian Liong hendak mengunjungi gurunya, Tiong Lee Cin-jin untuk mengabarkan bahwa Empat Datuk Besar mengancam gurunya itu dan dia akan membantu gurunya.

Dalam perjalanan mereka, kedua orang muda ini mendengar bahwa dua orang murid Ouw Kan yang dicari Bi Lan itu agaknya bergabung dengan Empat Datuk Besar dan mungkin akan membantu Empat Datuk Besar menyerang Tiong Lee Cin-jin di Puncak Pelangi. Maka, mereka berdua lalu cepat melakukan perjalanan menuju Puncak Pelangi. Setelah tiba di depan kakek itu, mereka berdua segera berlutut memberi hormat.

“Suhu, teecu datang menghadap,” kata Thian Liong.

“Lo-cianpwe, maafkan kalau saya mengganggu,” kata Han Bi Lan.

Tiong Lee Cin-jin tertawa dan mengangguk-angguk sambil memandang kepada dua orang muda itu. “Thian Liong, siapakah nona yang ikut datang berkunjung bersamamu ini?”

Bi Lan kagum. Kakek ini sekali pandang saja sudah mengetahui bahwa ia seorang wanita, padahal penyamarannya itu bagus sekali dan di sepanjang perjalanan, tidak ada orang yang mengetahui rahasianya. Sebelum Thian Liong menjawab, Bi Lan sudah mendahuluinya.

“Maaf kalau saya terpaksa menyamar sebagai pria agar leluasa dalam perjalanan, Lo-cianpwe. Nama saya adalah Han Bi Lan dan saya melakukan perjalanan bersama Souw Thian Liong untuk saling bantu menghadapi orang-orang jahat yang lihai.”

“Heh-heh, menarik sekali. Seorang gadis dengan kepandaian seperti yang kau miliki, siapakah yang akan berani mengganggumu, Nona? Kalian duduklah di batu depan itu agar lebih enak kita bicara.”

Thian Liong dan Bi Lan mengucapkan terima kasih lalu duduk di atas batu datar, berhadapan dengan kakek itu. Bi Lan semakin kagum. Sekali pandang saja kakek itu mengetahui bahwa ia memiliki ilmu kepandaian tinggi!

“Suhu, teecu mengharap keadaan Suhu baik-baik dan sehat saja,” kata Thian Liong.

“Keadaanku baik-baik saja, Thian Liong. Terima kasih dan puji sukur kepada Thian yang senantiasa melimpahkan berkatnya kepada tubuh yang tua ini. Sekarang ceritakan apa yang mendorong kalian datang ke sini.”

Thian Liong lalu menceritakan tentang pertemuan antara Empat Datuk Besar di Pulau Iblis telaga See-ouw yang telah mendidik seorang murid sehingga lihai sekali dengan niat khusus agar murid itu membalaskan sakit hati Empat Datuk Besar kepada Tiong Lee Cin-jin.

Tiong Lee Cin-jin mendengarkan cerita Thian Liong dengan sikap tenang seolah tidak ada apa-apa yang perlu khawatirkan. Bukannya dia meremehkan orang-orang yang mengancamnya, akan tetapi bagi Tiong Lee Cin-jin, gangguan dari golongan sesat sudah sejak dulu dia alami dan hal itu merupakan hal yang wajar saja baginya.

Kekuasaan Setan tidak akan pernah berhenti untuk menyeret manusia ke dalam kesesatan dan selalu golongan sesat memusuhi golongan yang hidup sebagai pengabdi kebenaran dan keadilan.

“Kalau itu yang mereka kehendaki, biarlah, Thian Liong. Hal itu tidak perlu dikhawatirkan. Aku akan selalu melindungi diriku ini sedapat mungkin dan selanjutnya terserah kepada keputusan Thian. Yang harus terjadi terjadilah seperti yang sudah ditentukan oleh Thian. Tidak perlu khawatir.”

“Akan tetapi, maaf, Suhu. Teecu menduga bahwa mereka itu akan mengerahkan semua tenaga golongan sesat untuk menyerang Suhu. Tentu saja teecu tidak dapat berdiam diri, Suhu. Maka teecu lalu sengaja datang berkunjung dan menghadap Suhu untuk memberitahu akan ancaman itu agar Suhu dapat bersiap-siap, dan teecu dapat membantu Suhu kalau mereka datang menyerbu.”

“Baiklah kalau engkau mengkhawatirkan diriku, Thian Liong. Akan tetapi, bagaimana dengan Nona ini?”

“Suhu pernah melihat Bi Lan ketika dulu teecu hendak dihukum para pimpinan Siauw-lim dan Kun-lun karena fitnah dan Nona ini juga membelaku menghadapi serangan mereka. Han Bi Lan ini adalah puteri dari Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi yang dulu bersama teecu dipenjara di istana Kerajaan Sung karena menentang Menteri Chin Kui, Suhu.”

Tiong Lee Cin-jin mengangguk-angguk, memandang kepada Bi Lan. “Ya, aku ingat. Bukankah ayahmu Han Si Tiong itu bersama ibumu memimpin Pasukan Halilintar di bawah pimpin¬an Mendiang Jenderal Gak Hui yang ga¬gah perkasa itu, Bi Lan?”

“Benar sekali, Lo-cianpwe. Akan tetapi sebagai akibat dari perang itu, Ayah saya dibunuh orang.”

“Siancai...! Bagaimana ceritanya?”

“Dalam perang itu Ayah saya merobohkan seorang pangeran Kerajaan Kin sehingga menimbulkan dendam dan Kaisar kerajaan itu mengutus Toat-beng Coa-ong Ouw Kan untuk membunuh Ayah Ibuku. Biarpun usahanya gagal dan Kaisar Kerajaan Kin sudah mencabut perintahnya, Ouw Kan masih penasaran dan pada suatu hari, dia mengutus dua orang muridnya untuk membunuh Ayah dan ibu saya. Usaha itu berhasil, Ayah saya mereka bunuh. Karena itu, saya lalu mencari Toat-beng Coa-ong Ouw Kan dan saya berhasil membalas dendam, saya telah membunuh Toat-beng Coa-ong Ouw Kan itu.”

Kakek itu meagangguk-angguk. “Hemm, aku tidak heran kalau engkau mampu mengalahkan Ouw Kan. Bi Lan, siapa gurumu?”

“Guru saya adalah Jit Kong Lhama......”

“Hemm, aneh sekali. Biarpun tingkat kepandaian Jit Kong Lhama lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Toat-beng Coa-ong Ouw Kan, namun tidak banyak selisihnya dan kalau engkau hanya menerima ilmu dari Jit Kong Lhama, kiranya akan sukar bagimu untuk mengalahkannya. Dan aku melihat ada tenaga aneh dalam dirimu, Bi Lan, yang mungkin sekali bahkan lebih kuat dari tenaga yang dimiliki Jit Kong Lhama!” Sambil berkata demikian, Tiong Lee Cin-jin memandang wajah Bi Lan dengan sinar mata tajam penuh selidik.

Kembali Bi Lan merasa kagum, bahkan terkejut. Penglihatan kakek itu sungguh tajam seolah menembus dirinya sehingga terhadap Tiong Lee Cin-jin kiranya tak mungkin ia menyembunyikan sesuatu tentang dirinya. Ia memandang ke arah Thian Liong yang kebetulan juga sedang memandang kepadanya. Dari pandang mata Thian Liong gadis itu seolah dapat membaca suara hatinya bahwa guru pemuda itu mengetahui segalanya dan lebih baik berterus terang saja!

“Sesungguhnya, Lo-cianpwe, saya telah menerima gemblengan dari seorang guru lain selama satu tahun.”

“Ah, gurumu itu tentu seorang manusia luar biasa yang memiliki kesaktian yang tinggi, Bi Lan.”

“Guru saya itu berjuluk Heng-si Ciauw-jiok (Mayat Hidup Berjalan), Lo-cianpwe.”

“Siancai......! Jadi benar dia itu masih hidup? Heh-heh, dulu aku sudah merasa sangsi mendengar kabar bahwa dia tewas dikeroyok para datuk. Ternyata dia masih hidup! Bukan main, hebat sekali tingkat kepandaiannya, tidak akan mungkin dapat dikuasai sembarang orang!”

“Ada yang aneh sekali tentang datuk itu, Suhu. Menurut cerita Bi Lan, Si Mayat Hidup itu sebelum menerimanya sebagai murid selama setahun, Bi Lan harus berjanji bahwa setelah belajar setahun, Bi Lan harus menguburnya hidup-hidup! Akan tetapi Bi Lan tidak mau melakukan hal itu dan ia kabur meninggalkan orang aneh itu."

“Siancai......! Mengapa engkau mengeluarkan janji seperti itu, Bi Lan? Berjanji harus ditepati! Baik sekali engkau tidak melaksanakan penguburan hidup-hidup terhadap orang yang telah memberimu ilmu-ilmu selama setahun. Akan tetapi, berjanji itulah yang salah! Dan manusia seperti Si Mayat Hidup itu pasti akan terus mencarimu untuk menuntut engkau melaksanakan apa yang telah kau janjikan itu.”

“Aduh, Lo-cianpwe, saya mohon petunjuk. Ketika itu, memang saya sedang dalam keadaan bingung dan ingin memperdalam ilmu sehingga mau saja disuruh berjanji seperti itu.”

“Ya, aku tahu. Bahkan sekarang pun engkau masih dalam keadaan kacau, batinmu mengalami guncangan dan tekanan berat. Apakah sebetulnya yang menjadi ganjalan hatimu, Bi Lan? Siapa tahu aku akan dapat memberi petunjuk untuk membebaskanmu dari tekanan batin itu.”

“Suhu sesungguhnya teecu yang membuat Bi Lan tertekan batinnya. Karena dulu ia pernah meminjam kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang seharusnya teecu berikan kepada Kun-lun-pai seperti yang Suhu perintahkan, maka teecu lalu menghukumnya dengan menampar tubuh belakangnya seperti menghajar anak kecil. Bi Lan sakit hati dan berusaha memperdalam ilmu silatnya untuk membalas perbuatan teecu yang ia anggap penghinaan itu. Akan tetapi ia telah membalasnya, Suhu, dan teecu yakin ia sudah tidak mendendam lagi sekarang.”

Tiong Lee Cin-jin tersenyum lebar. “He-heh, kalian ini orang-orang muda sungguh lucu. Terkadang melakukan perbuatan yang berlawanan dengan perasaan hati sendiri. Benarkah engkau tidak mendendam lagi kepada muridku ini, Bi Lan?”

Bi Lan menggeleng kepala sambil mengerling ke arah pemuda itu. “Tidak Lo-cianpwe, urusan saya dengan Thian Liong sudah beres dan tidak ada ganjalan lagi.”

“Bagus! Akan tetapi aku tetap melihat betapa engkau menyimpan kedukaan dalam hatimu, Bi Lan. Mengapa demikian? Atau, kalau urusan itu tidak dapat kau beritahukan orang lain, tidak perlu kauceritakan. Hanya aku ingin memperingatkan bahwa tidak baik membiarkan hatimu digerogoti gundah gaulana dan duka nestapa. Seperti juga dendam kebencian, perasaan itu akan melemahkan jantung dan meracuni darahmu kalau dibiarkan berlarut-larut."

“Maafkan saya, Lo-cianpwe. Saya tidak dapat menceritakan apa yang saya derita, biarlah hal itu menjadi rahasia saya sendiri. Agaknya sudah nasib saya, sudah kodratnya saya harus hidup menderita batin seperti ini.”

Ucapan Bi Lan terdengar agak gemetar sehingga Thian Liong sendiri merasa heran dan bertanya-tanya dalam hatinya, apa gerangan yang menyebabkan gadis itu menderita batin seperti itu. Apakah karena kematian ayahnya? Akan tetapi kematian ayahnya sudah dibalas dengan kematian Ouw Kan dan kini mereka sedang menantikan munculnya dua orang murid Ouw Kan yang membunuh Han Si Tiong. Jadi, kalau urusan itu, semestinya Bi Lan tidak menderita batin.

“O-ho, anak baik. Jangan sekali-kali menyalahkan kodrat! Kodrat adalah terjadinya rencana Thian, yang tidak dapat diubah oleh siapapun juga. Akan tetapi, Thian tidak pernah merencanakan penderitaan bagi manusia. Segala macam penderitaan adalah akibat dari ulah manusia sendiri. Kalau kita mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan, misalnya kalau kita menjadi orang yang amat miskin hidupnya, hal itu bukan kodrat semata.

"Keadaan itu merupakan tantangan dan kita sebagai manusia berkewajiban untuk berikhtiar, berusaha sekuat kemampuan kita untuk mengubah keadaan itu! Penderitaan batin bukan timbul karena keadaan itu sendiri, melainkan karena kita tidak mampu menerima kenyataan seperti apa adanya.

"Yang terpenting dalam kehidupan adalah ikhtiar, usaha, bekerja karena hidup ini berarti gerak, dan gerakan yang tepat adalah bekerja, berikhtiar. Kita berikhtiar sekuat tenaga melalui jalan yang tidak melanggar hukum Thian, ikhtiar yang tidak melalui tindak kejahatan. Dan sebagai landasan adalah berserah diri kepada Thian karena pada akhirnya Thian yang menentukan.

"Memang harus diakui bahwa ikhtiar saja belum tentu dapat mengatasi keadaan, akan tetapi kalau kita sudah berusaha sekuat mungkin, berarti kita sudah memenuhi tugas hidup. Kemudian selanjutnya, apa pun yang terjadi setelah kita berusaha sekuat mungkin terserah kepada keputusan Thian. Kehendak Thian selalu terjadi, di mana pun dan bilamana pun.

"Perasaan kita dalam menerima kenyataan ini tidak masuk hitungan. Kenyataan ini bisa saja oleh umum disebut enak atau tidak enak, menyenangkan atau menyusahkan Namun seorang bijaksana tidak akan menuruti keinginannya sendiri.”

“Terima kasih, Lo-cianpwe. Lalu, kalau ada sesuatu yang terasa amat pahit dan menimbulkan perasaan kecewa, penasaran, marah dan terutama sekali sedih, apa yang harus saya lakukan?”

15.2. PUTERI KEMBAR PEMBELA AYAH!

Kakek itu tersenyum. “Pertanyaan yang baik sekali, Bi Lan. Apa yang harus kita lakukan kalau ada semua perasaan yang tidak enak itu? Nah, jangan lakukan apa-apa, Bi Lan. Yang penting, mengertilah dengan sepenuhnya lahir batin bahwa yang menimbulkan perasaan tidak enak itu adalah si-AKU yang berulah dalam pikiran.

"AKU dirugikan, apa yang terjadi tidak cocok dengan keinginanku, AKU dipermalukan, AKU dibegini, dibegitukan maka bermunculanlah semua perasaan itu. Ini hanya permainan pikiran belaka, Bi Lan. Kalau kita tidur dan pikiran tidak bekerja, ke mana perginya semua perasaan tidak enak yang kausebut tadi? Semua perasaan itu tentu menghilang bersama dengan berhentinya pikiran. Apa pun yang terjadi adalah suatu kenyataan!

"Sudah terjadi dan tidak akan dapat diubah oleh kita, bahkan kalau muncul semua perasaan itu, tidak akan menolong keadaan bahkan membuatnya semakin parah. Kalau terjadi sesuatu yang terasa pahit dan menyedihkan seperti kau katakan tadi, kewajiban kita yang utama adalah berusaha sekuat tenaga untuk mengubah keadaan itu. Kalau semua ikhtiar sepenuhnya dari kita tidak berhasil mengubahnya, maka hadapilah peristiwa itu sebagai suatu kenyataan!

"Sebagai suatu keadaan apa adanya dan sudah dikehendaki Thian, dengan penyerahan lahir batin. Kalau kita menyerah sepenuhnya, maka Kekuasaan Thian yang akan bekerja sehingga kita dapat menghadapi semua itu tanpa penderitaan. Penyerahan ini mendatangkan kekuatan yang ampuh, Bi Lan, karena kalau kita sudah benar-benar menyerah, kekuasaan Thian akan berkarya dengan ajaib.”

Bi Lan menarik napas panjang. Pikirannya menjadi terang. Memang selama ini, semenjak ia mengetahui akan kehidupan ibunya di masa lalu sebagai seorang pelacur, ia merasa kecewa, penasaran, dan malu sekali. Timbul perasaan iba diri yang berlebihan. Semua perasaan yang mengganggu itu timbul dari bayang-bayang pemikiran. Bagaimana kalau semua orang mengetahui bahwa ia anak seorang bekas pelacur?

Ke mana harga dirinya? Dan Thian Liong! Kalau dia tahu......! Dapatkah ia menerima kenyataan tentang ibunya itu, menerima dengan ikhlas? Alangkah berat rasa hatinya! Bagaimana kalau Thian Liong mengetahui kenyataan itu? Apakah dia tidak akan memandang rendah padanya? Ke mana harga dirinya? Bi Lan semakin pusing.

“Lo-cianpwe, saya dapat memahami petunjuk Lo-cianpwe. Persoalannya sekarang terserah kepada diri saya sendiri dan saya akan mencoba untuk mengatasi gejolak hati ini.”

“Siancai! Kesadaran akan mendatangkan penerangan. Semoga kekuasaan Thian Yang Maha Kasih akan membantumu, Bi Lan. Sekarang kalian bersihkan badan dan tukar pakaianmu yang penuh debu. Lalu kita makan bersama. Di dapur telah tersedia makan pagi, tinggal menghangatkan saja.”

“Lo-cianpwe, biarlah saya yang akan menyiapkan semua itu,” kata Bi Lan.

“Baiklah. Aku akan menanti di sini.”

Thian Liong dan Bi Lan memasuki pondok dan Thian Liong yang pernah tinggal di situ selama sepuluh tahun ketika dia digembleng ilmu oleh Tiong Lee Cin-jin, memberi petunjuk kepada Bi Lan di mana adanya tempat mandi dari sebuah mata air di belakang pondok, di mana adanya dapur dan lain-lain.

Mereka mandi bergantian dan ketika selesai mandi, Thian Liong melihat Bi Lan muncul dalam pakaian wanita! Alangkah cantik jelitanya! Thian Liong sampai terpesona dan memandang gadis itu dengan mulut melongo!

“Ih, Thian Liong! Engkau ini mengapa sih?” Bi Lan menegur dan tersipu, karena ia dapat melihat betapa mata pemuda itu memandang penuh kagum dan hal sekecil ini saja sudah mendatangkan perasaan yang amat menyenangkan hatinya. Ah, betapa ia ingin Thian Liong kagum kepadanya, kagum akan segala-galanya dan menghargainya. Akan tetapi ibunya......!

“Ah, aku... aku... hanya kaget karena tidak menyangka engkau akan berganti pakaian wanita. Engkau... engkau... cantik sekali, Bi Lan!”

Bi Lan tersenyum, kulit kedua pipinya menjadi merah dan matanya bersinar-sinar. “Sudahlah, cepat mandi dan tukar pakaian sana! Aku mau mempersiapkan makanan untuk Lo-cianpwe.”

Thian Liong pergi ke belakang dan Bi Lan memasuki dapur. Agaknya kakek yang hidup seorang diri itu pagi tadi telah memasak air dan bubur, akan tetapi dibiarkan dingin. Bi Lan cepat menyalakan api dan menghangatkan makanan dan minuman air teh.

Tak lama kemudian, Thian Liong yang sudah selesai mandi dan berganti pakaian, bersama Bi Lan keluar dan mempersilakan Tiong Lee Cin-jin untuk makan. Tiong Lee Cin-jin juga tersenyum lebar ketika melihat Bi Lan yang kini telah berubah menjadi seorang gadis cantik. “Aih, engkau cantik sekali, Bi Lan!” katanya.

Gadis itu tersipu dan diam-diam merasa heran mengapa pujian yang keluar dari mulut kakek itu sama benar dengan pujian Thian Liong tadi. Apakah Thian Liong juga mempelajari cara memuji seorang gadis dari kakek itu pula? “Ah, Lo-cianpwe terlalu memuji......!” katanya tersipu.

Mereka lalu makan bubur yang hanya dimasak dengan lobak dan sayur hijau, akan tetapi cukup lezat karena tubuh mereka lelah dan perut mereka lapar. Baru saja mereka selesai makan dan Bi Lan, dibantu Thian Liong, menyingkirkan mangkok sumpit ke dapur, tiba-tiba Tiong Lee Cin-jin berkata sambil menghela napas panjang.

“Wah, mereka sudah datang!”

Thian Liong dan Bi Lan terkejut. Mereka tidak mendengar apa-apa. Akan tetapi Thian Liong merasa yakin akan kebenaran ucapan gurunya, maka dia pun bergegas keluar dari pondok, diikuti oleh Bi Lan. Setelah tiba di luar pondok, baru mereka melihat serombongan orang berlari cepat mendaki puncak itu! Orang-orang itu berlari dan berlompatan dengan cepat, tidak menimbulkan suara gaduh. Bagaimana mungkin Tiong Lee Cin-jin yang berada di dalam pondok dapat mengetahui akan kedatangan mereka?

Akan tetapi, mereka tidak memusingkan hal itu karena keduanya yakin akan kesaktian Tiong Lee Cin-jin. Sebaliknya mereka menanti di depan pondok sambil mencoba untuk mengenal orang-orang yang mendaki puncak itu. Ternyata mereka semua berjumlah sepuluh orang!

Yang berada paling depan adalah seorang pemuda tampan berkulit putih, wajahnya bulat, matanya mencorong dan mulutnya tersenyum mengejek, sebatang pedang tergantung di punggung. Di sebelahnya adalah seorang kakek kurus pucat berpakaian tambal-tambalan dan di punggungnya juga tergantung sebatang pedang.

“Hemm, itu adalah Can Kok dan Lam-kai (Pengemis Selatan)!” kata Thian Liong.

Di belakang mereka tampak seorang kakek berpakaian seperti seorang tosu (Pendeta Agama To), tinggi kurus rambutnya sudah putih semua dan dia memegang sebatang tongkat hitam berkepala ular. Di sebelah kirinya berjalan seorang laki-laki berusia empatpuluhan tahun yang tinggi kurus dan berkumis tebal.

“Dan itu tentu Pak-sian (Dewa Utara) dan muridnya, Jui To yang dulu se-cara curang menyerangmu sehingga engkau terluka,” kata Bi Lan.

Ternyata mereka berjalan sepasang-sepasang. Urutan ketiga adalah seorang kakek berpakaian hwesio (Pendeta Buddha) yang tubuhnya pendek gendut dan di punggungnya terselip Sebatang hud-tim (kebutan dewa). Di sebelahnya berjalan seorang laki-laki berusia sekitar tigapuluh lima tahun, bertubuh tinggi besar bermuka bopeng dengan kulit hitam. Dari pakaiannya dapat diduga bahwa dia tentu seorang berbangsa Mongol.

“Wah, itu Golam murid Goat Kong Lhama!” kata Bi Lan menuding ke arah orang Mongol itu.

“Dan hwesio gendut itu adalah See-ong (Raja Barat),” kata Thian Liong. “Pasangan di samping mereka itu adalah Tung-sai (Singa Timur) dan di dekatnya itu.... hemm... aku tidak mengenalnya. Mungkin belum pernah aku bertemu dengan dia atau aku lupa lagi.....”

Pemuda yang berjalan di dekat See-ong itu berusia sekitar duapuluh delapan tahun, mukanya memanjang ke depan seperti muka kuda, tubuhnya jangkung kurus dan kumisnya tebal.

“Melihat pakaiannya yang biarpun bersih dan baru namun dihias tambal-tambalan itu, dia tentu murid Lam-kai (Pengemis Selatan),” kata Bi Lan. “Dan pasangan terakhir itu, lihat......! Tak dapat diragukan lagi, pemuda dan gadis itu pastilah Bouw Kiang dan Bong Siu Lan dua orang murid Ouw Kan yang telah menyerang Ayah Ibuku dan mengakibatkan Ayah tewas!”

Dugaan Bi Lan memang benar. Pemuda berpakaian tambal-tambalan itu adalah Kui Tung, murid Lam-kai, sedangkan pasangan kelima itu adalah Bouw Kiang dan Bong Siu Lan!

Tiba-tiba Thian Liong berkata dengan seruan tertahan. “Lihat, Bi Lan! Lihat jauh di belakang mereka itu!”

Bi Lan memandang dan benar saja, jauh di belakang rombongan sepuluh orang yang mendaki puncak dengan ilmu berlari cepat mereka tampak sekitar tigapuluh orang yang tertinggal karena agaknya ilmu kepandaian mereka tidak setinggi sepuluh orang itu. “Ah, jahanam-jahanam itu membawa puluhan orang anak buah! Mari kita amuk dan gempur mereka sebelum tiba di sini, Thian Liong!”

Sebelum Thian Liong menjawab, terdengar suara lembut Tiong Lee Cin-jin dari dalam pondok. “Jangan turun tangan. Orang bijaksana mempergunakan ilmunya untuk membela diri, bukan untuk menyerang orang lain. Tunggu sampai mereka datang, aku akan menemui mereka.”

Mendengar suara kakek itu, Thian Liong dan Bi Lan berdiri tenang saja, memandang ke arah sepuluh orang yang diikuti sekitar tigapuluh orang mendaki puncak. Akhirnya, sepuluh orang itu sudah tiba di pekarangan yang luas dan mereka berhenti.

Bouw Kiang dan Bong Siu Lan bergabung dengan rombongan Empat Datuk Besar ketika mereka diajak oleh Jiu To murid Pak-sian. Jiu To ini bersama dua orang sutenya yang terbunuh oleh Bi Lan terkenal sebagai Sam-pak-liong (Tiga Naga Utara) dan menjadi sahabat baik mendiang Ouw Kan, maka dia mengenal pula Bouw Kiang dan Bong Siu Lan.

Sepuluh orang itu berhenti di pekarangan dan mereka melihat Thian Liong dan Han Bi Lan berdiri tegak di depan pondok dengan sikap tenang namun sama sekali tidak gentar. Empat Datuk Besar tidak heran melihat Souw Thian Liong di situ karena mereka sudah mendengar bahwa Souw Thian Liong adalah murid Tiong Lee Cin-jin. Akan tetapi mereka heran melihat Han Bi Lan. Akan tetapi Jiu To berkata kepada gurunya dengan suara lantang.

“Suhu, gadis itulah yang telah membunuh Sute Kai Ek dan Lee Song!”

“Keparat, kalau begitu ia yang telah membunuh Suhu pula!” teriak Bong Siu Lan marah. Ia dan Bouw Kiang sudah mendengar tentang gadis ini yang berpakaian serba merah dan berjuluk Ang I Mo-li (Iblis Wanita Baju Merah) dan yang telah membunuh guru mereka selagi mereka tidak berada di sana. Mereka mengenal Han Bi Lan dari cerita Jiu To tentang gadis baju merah itu.

Mendengar ini, Bi Lan menahan kemarahannya dan suara menggetar karena marah ketika ia berbisik kepada Thian Liong sambil mengepal tinju. “Tidak salah, Thian Liong, mereka tentulah pembunuh Ayahku!”

“Tenang, Bi Lan, tunggu sampai Suhu keluar.”

Bi Lan yang amat menghormati Tiong Lee Cin-jin, tidak berani membantah dan mereka berdua hanya memandang ke arah sepuluh orang itu yang kini melangkah mendekati pondok. Tigapuluh orang anak buah mereka itu pun sudah tiba di luar pekarangan, agaknya siap menanti komando.

Dalam jarak sekitar tujuh tombak di mana Thian Liong dan Bi Lan berdiri, mereka berhenti melangkah dan Tung-sai yang agaknya diserahi pimpinan atau wakil pembicara, mengeluarkan gerengan seperti auman singa lalu berkata dengan suara yang menggetarkan jantung karena mengandung tenaga sakti yang kuat.

“Tiong Lee Cin-jin! Keluarlah engkau untuk menerima kematianmu!”

Dari dalam pondok terdengar suara tawa. Lembut dan lirih saja akan tetapi anehnya, dapat terdengar jelas oleh mereka semua, bahkan juga oleh gerombolan yang berada di luar pekarangan! Lalu muncul Tiong Lee Cin-jin dengan pakaian bersih, wajahnya cerah mengembangkan senyum, melangkah perlahan keluar dari pondok lalu berdiri di depan Thian Liong dan Bi Lan, menghadapi rombongan Empat Datuk Besar itu. Sejenak matanya yang lembut memandang ke arah empat orang itu satu demi satu lalu dia berkata lembut.

“Ah, kiranya Empat Datuk Besar yang datang bertamu! Pak-sian Liong Su Kian, See-ong Hui Kong Hosiang, Tung-sai Kui Tong dan Lam-kai Gui Lin! Selamat datang, semoga kalian berempat sehat-sehat saja!”

“Tiong Lee Cin-jin kami datang bukan untuk bertamu, melainkan untuk menebus kekalahan kami dahulu! Hayo, majulah melawan kami. Hari ini saatnya engkau menerima kematianmu!”

“Siancai-siancai-siancai...! (Damai-damai-damai)!” kata Tiong Lee Cin-jin tenang. “Tung-sai dan Saudara sekalian. Sejak dahulu aku siap menerima saat kematianku yang pasti akan tiba padaku pada saat Tuhan menghendaki. Kematian takkan dapat dihindarkan manusia, siapapun juga adanya dia! Kalau Tuhan menghendaki seseorang mati, biarpun dia bersembunyi di lubang semut, maut pasti akan datang menjemput! Sebaliknya kalau Tuhan tidak menghendaki seseorang mati, biarpun iblis menyerang kalang kabut, semua itu pasti akan luput! Aku hanya berserah diri kepada Kekuasaan Tuhan, dan tidak akan menyerah kepada kalian, walau kalian membawa seribu orang kawan sekalipun!”

Pada saat itu terdengar derap kaki dua ekor kuda menuju ke pekarangan pondok itu dan terjadi keributan ketika para anak buah Empat Datuk Besar hendak menghalangi, mereka dibuat jatuh berpelantingan oleh dua orang gadis cantik yang sudah melompat turun dari atas kuda mereka dan kini lari memasuki pekarangan.

“Ayah......!!” Mereka berseru dengan suara berbareng dan semua orang yang datang di tempat itu, termasuk Bi Lan, tentu saja terkecuali Tiong Lee Cin-jin dan Souw Thian Liong, terbelalak heran memandang kepada dua gadis yang kini dirangkul kedua tangan Tiong Lee Cin-jin itu.

Mereka itu begitu persis satu sama lain. Hanya pakaian dan bentuk rambut saja yang berbeda. Yang seorang berpakaian serba putih dari sutera halus, rambutnya digelung seperti kebiasaan wanita bangsawan. Adapun gadis yang kedua, yang wajah dan tubuhnya tiada bedanya dengan gadis baju putih, berpakaian serba hijau dan terdapat bunga mawar merah di rambutnya yang disanggul seperti wanita Han biasa.

“Pek Hong! Siang In! Kalian datang juga? Mengapa begini kebetulan?” Tiong Lee Cin-jin bertanya sambil tersenyum dan memandang ke arah mereka yang datang menyerbu itu.

“Ayah, aku dan Siang In mendengar akan adanya orang-orang jahat yang hendak membunuh Ayah, maka kami segera pergi ke sini,” kata Pek Hong.

“Benar, Ayah. Mari kita basmi orang-orang sesat yang busuk itu!” kata Siang In.

“Tenang dan sabarlah, anak-anakku sayang. Biarkan aku bicara dengan mereka.” dengan lembut Tiong Lee Cin-jin memberi isyarat kepada dua orang puterinya untuk berdiri di belakangnya.

Dua orang gadis itu tersenyum kepada Souw Thian Liong yang menyambut mereka dengan hati gembira pula. “Syukur kalian datang!” katanya lirih.

“Kami juga gembira sekali melihatmu di sini, Thian Liong. Dan ini… ah, engkau Han Bi Lan, bukan? Bagus kulihat kalian sudah berbaikan!” kata Pek Hong atau Puteri Moguhai.

Pada saat itu, kembali Tung-sai mengeluarkan suara gerengan yang menggetarkan itu. “Wah, ada singa mengaum!” kata Siang In dengan senyum mengejek.

“Singa apa? Masa singa kakinya dua! Itu tentu sebangsa monyet!” kata Puteri Moguhai, tentu saja dengan suara mengejek.

Melihat sikap dua orang gadis kembar itu, sejak tadi Han Bi Lan merasa geli dan timbul rasa suka dalam hatinya terhadap mereka. Keduanya cantik jelita, keduanya anak-anak orang terhormat. Puteri Moguhai puteri Kaisar, Ang Hwa Sian-li Thio Siang In puteri seorang pedagang kaya!

Alangkah jauh bedanya dengan dirinya sendiri! Ia tahu akan mereka berdua dari cerita Thian Liong. Dan kini, ia melihat dan mendengar sendiri dua orang gadis itu menyebut ayah kepada Tiong Lee Cin-jin!

Mereka begitu cantik, begitu anggun, begitu kaya dan terhormat, Sedangkan ia? Ibunya saja seorang bekas pelacur! Dan mereka tampak begitu akrab dengan Thian Liong! Di balik kegembiraannya bertemu dua orang gadis kembar ini, ada sesuatu yang membuat hatinya tidak enak, membuat ia rasanya ingin menangis!

“Tiong Lee Cin-jin, majulah dan lawan kami!” terdengar Tung-sai membentak, menyambung gerengannya tadi.

“Tung-sai, sejak dahulu sudah kuberitahu kepadamu bahwa aku tidak ingin bermusuhan, tidak ingin berkelahi dengan siapapun juga.”

“Akan tetapi kami ingin berkelahi denganmu! Kami ingin membunuhmu untuk menebus kekalahan-kekalahan kami dahulu!”

“Siancai....! Alangkah bodohnya. Kalian semua renungkan baik-baik, apa gunanya semua permusuhan ini? Kalau kalian kalah, kalian rugi apakah? Kalau kalian menang, keuntungan apa yang kalian dapat?”

“Sudah, jangan cerewet, Tiong Lee Cin-jin! Kalau engkau tidak berani bertanding melawan kami, hayo engkau berlutut dan mohon maaf kepada kami, baru kami akan melepaskan dan membiarkan engkau hidup!”

“Aku tidak bersalah apa pun kepada kalian, untuk apa minta ampun. Pula, andaikata aku melakukan dosa, aku hanya minta ampun kepada Tuhan. Tung-sai, apakah engkau akan mengajukan puluhan orang ini untuk mengeroyok aku?”

“Hemm, kami lihat engkau pun sudah mengumpulkan orang-orang yang akan membelamu. Kita boleh mengadu kesak¬tian, tidak perlu keroyokan. Kami mengajukan seorang atau dua orang jago untuk ditandingi jagoanmu.”

Lam-kai memberi isyarat kepada Kui Tung, muridnya yang paling dibanggakan. Kui Tung mengangguk dan dia maju ke depan. “Aku, Kui Tung yang maju mewakili rombongan kami. Hayo, siapa di antara kalian yang berani melawan aku?”

15.3. HARIMAU DIKEROYOK ROMBONGAN ANJING


Han Bi Lan hendak maju, akan tetapi ia didahului Ang Hwa Sian-li Thio Siang In yang menyentuh lengannya dan berbisik. “Biar aku yang menghadapinya.” Lalu gadis ini memandang kepada Tiong Lee Cin-jin untuk minta persetujuannya.

Kakek itu mengangguk dan berkata sambil tersenyum. “Majulah akan tetapi ingat, aku tidak menghendaki pembunuhan di sini.”

“Baik, Ayah,” kata Siang In dan ia sudah meloncat dengan gerakan ringan sekali ke depan Kui Tung. Ia tersenyum mengejek.

“Aih, Muka Kuda, engkau belum jera juga melakukan kejahatan? Dahulu itu sebagai kepala perampok engkau masih dapat lolos dari tanganku. Sekarang, mari kita teruskan perkelahian itu!”

Diam-diam Kui Tung merasa gentar karena dahulu, dia dan Can Kok bertanding melawan Siang In dan Puteri Moguhai dan dia terdesak oleh gadis yang kini berdiri di depannya itu. Kalau ketika itu tidak ada Can Kok yang dapat mendesak Puteri Moguhai, tentu dia kalah oleh gadis berbaju hijau ini. Akan tetapi, saat ini, dia memiliki banyak kawan yang tangguh.

Etnpat Datuk Besar berada di situ, masih ada lagi Can Kok yang amat lihai, ada lagi Jiu To murid Pak-sian, Golam orang Mongol murid Gwat Kong Lhama, dan dua orang murid Ouw Kan, yaitu Bouw Kiang dan Bong Siu Lan yang lihai. Selain itu di belakang ada tigapuluh orang lebih anak buah Tung-sai yang sengaja dibawa dari Pulau Udang dan rata-rata memiliki ketangguhan lebih dari orang biasa. Hal ini membuat hatinya tabah dan berani.

“Sratt!” Dia mencabut sebatang tongkat yang terselip di pinggangnya. “Ang Hwa Sian-li, sekarang tiba saat pembalasanku. Engkau akan mampus di tanganku!” setelah berkata demikian, cepat sekali tongkatnya sudah meluncur dan menusuk ke arah dada gadis itu.

Ang Hwa Sian-li Thio Siang In sudah pernah bertanding dengan pemuda muka kuda ini dan ia tahu bahwa tongkat di tangan lawannya itu bukan sembarang tongkat, melainkan tongkat yang di dalamnya tersembunyi sebatang pedang. Maka ia sudah mencabut sepasang pedangnya dan menangkis.

“Tranggg......!” Bunga api berpijar dan gadis itu lalu mainkan ilmu pedangnya, yaitu Toat-beng Siang-kiam (Sepasang Pedang Pencabut Nyawa) yang gerakannya dahsyat. Terjadilah perkelahian mati-matian dan kedua pihak mengeluarkan semua kepandaian mereka.

Akan tetapi ada bedanya. Kalau Kui Tung mengerahkan seluruh tenaga dan semua serangannya dimaksudkan untuk membunuh, sebaliknya Siang In membatasi tenaganya agar serangan sepasang pedangnya tidak sampai mematikan lawan, sesuai dengan pesan ayahnya yang tidak berani ia langgar.

Empat Datuk Besar itu selain tinggi dan lihai ilmu silatnya, juga amat cerdik dan curang. Melihat betapa Tiong Lee Cin-jin ditemani empat orang muda, mereka hendak mempergunakan kelebihan jumlah mereka untuk mendapatkan kemenangan tanpa harus main keroyokan beramai-ramai. Maka dia memberi isyarat kepada Bouw Kiang dan Bong Siu Lan, dua orang murid mendiang Ouw Kan itu dan mereka yang sebelumnya memang sudah mengatur rencana, maju bersama.

Bouw Kian memegang tongkat hitamnya dan Bong Siu Lan mencabut sepasang pedangnya. Bouw Kiang berseru, “Hayo, siapa berani menandingi kami kakak beradik seperguruan?”

Bi Lan menghadap Tiong Lee Cin-jin minta persetujuan tanpa mengeluarkan kata-kata. Kakek itu tersenyum, mengangguk dan memesan pula, “Majulah akan tetapi ingat, tidak boleh membunuh.”

Bi Lan mengangguk, lalu ia melangkah maju menghadapi dua orang itu. Gadis berusia duapuluh tahun ini tampak cantik dan gagah bukan main. Pakaiannya serba merah muda, menempel ketat mencetak tubuhnya yang padat ramping dengan lekuk lengkung tubuh yang indah menggairahkan. Wajahnya bulat telur, rambutnya hitam panjang ditata menjadi kepang dua, di dahi dan pelipisnya bergantungan anak rambut yang melingkar-lingkar.

Dahinya berkulit putih dan halus, alis matanya hitam, kecil namun tebal dengan bentuk melengkung seperti dilukis. Sepasang matanya begitu jeli dan bening seperti bintang, tajam dan biarpun agak redup seperti tertutup awan tipis, namun berwibawa. Hidungnya kecil mancung dan lucu, mulutnya mempunyai daya tarik yang kuat dengan bibir yang merah basah tanpa gincu.

Dan di kanan kiri mulutnya terhias lesung pipit yang membuat mulut itu tampak menarik dan menggairahkan. Dagunya meruncing manis dan kulitnya putih mulus. Namun di balik semua kejelitaannya itu tersembunyi sesuatu yang gagah berwibawa.

Bi Lan memandang dua orang itu dengan penuh perhatian. Pemuda itu mukanya seperti muka kuda, walaupun dapat dikatakan tampan. Sepasang matanya tampak lincah dan cerdik curang, juga jelas membayangkan watak yang cabul mata keranjang. Adapun gadis berusia sekitar duapuluh tahun itu juga cantik, namun mulutnya agak lebar dan matanya liar.

“Kalian yang bernama Bouw Kiang dan Bong Siu Lan?” tanya Bi Lan.

Dua orang saudara seperguruan itu mengangguk. Tadi mereka sudah mendapat bisikan dari Kui Tung bahwa gadis baju merah ini adalah Han Bi Lan, maka mereka memandang penuh kebencian.

“Dan engkau ini tentu Si Jahat Han Bi Lan yang telah membunuh guru kami Ouw Kan!” teriak Bong Siu Lan marah.

“Tidak keliru! Aku membunuh Ouw Kan karena dia mengutus kalian berdua untuk menyerang Ayah Ibuku!”

“Dan sekarang kami akan membunuhmu untuk membalaskan kematian suhu!” bentak Bouw Kiang dan mereka berdua segera menerjang tanpa memberi peringatan lagi. Tongkat hitam yang mengandung racun itu digerakkan Bouw Kiang menyambar ke arah kepala Bi Lan, sedangkan Bong Siu Lan menggerakkan sepasang pedangnya membuat gerakan menggunting ke arah leher dan pinggangnya.

Bi Lan sekarang berbeda dengan Bi Lan dahulu. Ketika dahulu ia menerima gemblengan dari gurunya yang pertama, yaitu Jit Kong Lhama, ia sudah mendapatkan ilmu silat yang lihai. Kemudian ia mempelajari ilmu rahasia simpanan Kun-lun-pai dari kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang membuat kepandaiannya bertambah hebat.

Akan tetapi yang membuat ia seperti sekarang, seorang gadis yang sakti, adalah ketika ia bertemu gurunya yang terakhir, Heng-si Ciauw-jiok (Si Mayat Hidup Berjalan) yang hanya mengajarkan tigabelas jurus silat Sin-ciang Tin-thian dan memperdalam serta memperkuat tenaga sinkangnya.

Biarpun dia dikeroyok dua orang murid Ouw Kan yang lihai itu, namun Bi Lan dengan mudah saja berkelebatan menghindarkan diri. Sejak menjadi murid Si Mayat Hidup, ia tidak lagi memerlukan bantuan senjata karena benda apa pun dapat ia jadikan senjata ampuh! Sambaran sepasang pedang dan tongkat hitam itu dihindarkannya dengan cara mengelak, menangkis dengan kedua tangan kosong.

Bahkan sekali-kali ia menggerakkan kepala dan rambutnya yang dikepang dua itu dapat ia pergunakan untuk menangkis pedang atau tongkat dan sedikitpun tidak ada rambut yang putus, sebaliknya pedang dan tongkat yang tertangkis tergetar hebat dan terpental!

Mereka saling serang dan seperti yang terjadi dengan pertandingan pertama di mana Siang In membatasi tenaganya karena tidak ingin membunuh lawan, juga Bi Lan membatasi tenaganya. Ia memang membenci dua orang yang mengakibatkan kematian ayahnya ini. Kalau saja ia tidak segan kepada Tiong Lee Cin-jin yang ia tidak ingin bantah pesannya, tentu dua orang itu sudah diserangnya dengan hebat dan dibunuhnya dalam waktu singkat!

Kembali Tung-sai memberi isyarat, sekali ini kepada pasangan ketiga, yaitu Jiu To murid Pak-sian dan Golam murid Gwat Kong Lhama. Dia memperhitungkan bahwa dua orang ini akan dilawan oleh. Puteri Moguhai dan Souw Thian Liong sehingga di pihak musuh tinggal Tiong Lee Cin-jin yang akan dihadapi Empat Datuk Besar dan Can Kok sehingga dia memperhitungkan akan dapat membunuh Tiong Lee Cin-jin yang juga dikenal sebagai Yok-sian (Tabib Dewa atau Dewa Obat) itu.

Jiu To dan Golam, seperti juga Kui Tung, berbesar hati karena merasa kuat dengan adanya banyak kawan, maka mereka melangkah maju dengan sikap gagah, Jiu To sudah menghunus pedangnya dan Golam melolos rantai baja yang tadi dililitkan di pinggangnya.

Tiong Lee Cin-jin mengangguk ketika Moguhai minta persetujuannya untuk menghadapi dua orang ini. Sie Pek Hong atau Puteri Moguhai yang dikenal dengan julukan Pek Hong Niocu, melompat ke depan dua orang itu sambil mencabut pedang bengkoknya. Tanpa banyak cakap lagi, Jiu To dan Golam sudah menggerakkan senjata mereka menyerang Moguhai. Puteri Tiong Lee Cin-jin itu mengelebatkan pedang bengkoknya.

“Trangg...... cringgg......!”

Bunga api berpijar dan berhamburan ketika pedang bengkok itu menangkis pedang di tangan Jiu To dan rantai baja yang digerakkan Golam menyambar ke arah kepala gadis itu. Seperti juga Siang In, setelah mendapat gemblengan dari ayah kandung mereka, Puteri Moguhai kini juga memperoleh kemajuan hebat. Tenaga sakti yang mengalir di tubuhnya demikian kuat sehingga bukan saja tenaganya mampu menandingi tenaga dua orang pengeroyoknya.

Namun ia memiliki kecepatan gerakan yang membuat dua orang pengeroyoknya bingung seolah menghadapi lawan bayangan. Namun, dua orang ini telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, ditambah lagi Puteri Moguhai tidak mengerahkan seluruh tenaga karena tidak ingin membunuh mereka seperti yang dikehendaki Tiong Lee Cin-jin, maka pertandingan itu juga berlangsung seru bukan main.

Setelah tiga orang gadis pendekar itu menghadapi lawannya masing-masing, kini tinggal Tiong Lee Cin-jin dan Souw Thian Liong yang tersisa di pihak Yok-sian. Tung-sai lalu menyuruh Can Kok maju. Begitu Can Kok melangkah maju dengan bibir tersenyum mengejek dan sikap congkak sekali, Thian Liong mendapat perkenan gurunya untuk menghadapi pemuda sombong yang sinar matanya aneh tanda ada kelainan dalam pikirannya.

Setelah melihat Thian Liong maju menghadapinya, Can Kok membentak sombong. “Kamu minggirlah! Aku datang untuk membunuh Tiong Lee Cin-jin, bukan bertanding melawan bocah yang tiada artinya macam kamu...!”

Jilid selanjutnya,
JODOH SI NAGA LANGIT JILID 16
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.