Puing Puing Dinasti Jilid 10

Novel silat Mandarin Serial Helian Kong seri ketiga, Puing Puing Dinasti Jilid 10 karya Stevanus S.P
Sonny Ogawa

Puing Puing Dinasti Jilid 10 karya Stevanus S.P - KETIKA para pangeran dan para jenderal tiba di depan makam Kaisar Yung-lo dan mulai membicarakan kehidupannya, Pangeran Kui-ong menggunakan kesempatan itu untuk "berkampanye" bagi dirinya sendiri secara terselubung.

Novel Silat Mandarin, karya Stevanus S.P

Ia memuji-muji tindakan tepat Pangeran Yan-ong mengambil pemerintahan dari tangan keponakannya sendiri, Kaisar Hui-te. Alasannya, dalam keadaan darurat, diperlukan orang yang mampu bertindak keras untuk menyelamatkan negeri.

Semua pendengarnya tahu, yang disebut "orang yang mampu bertindak keras" itu pastilah Pangeran Kui-ong sendiri, yang sifatnya memang keras, meski Pangeran Kui-ong tidak menyebut namanya terang-terangan. Dengan kata lain, Pangeran Kui-ong menyamakan dirinya dengan Pangeran Yan-ong beberapa abad yang silam, sang penyelamat negara di masa tidak menentu.

Pangeran Hok-ong tentu saja ingin membantah itu, namun kembali ia menunjukkan kelihaiannya. Ia justru menahan diri, ia memperhitungkan kalau dirinya tutup mulut maka Pangeran Tong-ong dan Lou-ong tentu akan membantah Pangeran Kui-ong.

Betul juga, Tong-ong dan Lou-ong malahan mengatakan bahwa Pangeran Yan-ong punya pamrih pribadi, mengambil keuntungan dalam kesempitan, meskipun semuanya itu dikatakan "demi tanah air". Dikatakan pula Pangeran Yan-ong tidak setia kepada rajanya, bukan membantu rajanya membenahi keadaan malahan mengobarkan pemberontakan untuk mendudukkan dirinya sendiri di singgasana.

Begitulah, meski yang disindir adalah Pangeran Yan-ong, sebenarnya sasarannya adalah Pangeran Kui-ong. Sewaktu keadaan memanas, para pangeran hampir bertengkar, kembali "paman yang bijaksana" Pangeran Hok-ong melerai keponakan-keponakannya dengan lemah-lembut. Dan kembali Pangeran Hok-ong "menambah nilai" di mata para jenderal.

Demikianlah, dalam acara ziarah itu, Pangeran Hok-ong yang paling pintar mengendalikan diri, telah berhasil menarik simpati paling banyak dari para jenderal. Tiga perwira bawahan Jenderal Thio Hian-tiong yang dikirim ke Lam-khia, yaitu Li Teng-kok, Gai Leng-ki dan Lau Bun-siu, yang semula cenderung mendukung Pangeran Kui-ong.

Sekarang mulai goyah dalam hatinya melihat betapa "bijaksana"nya Pangeran Hok-ong dibandingkan Pangeran Kui-ong yang keras dan berangasan, Pangeran Lou-ong yang terlalu pendiam, Pangeran Tong-ong yang penakut tetapi gemar mengejek orang, atau Pangeran Kong-ong yang percaya hal-hal gaib dan sifatnya agak kekanak-kanakan.

Pangeran Hok-ong sendiri sadar bahwa "babak ini milikku" maka sikapnya pun terjaga benar. Ia tidak terlalu menonjolkan diri. Ia sadar kalau terlalu menonjolkan diri malahan bisa "dikurangi nilainya" dalam kontes itu.

Mereka semua berkeliling makam itu cukup lama, kemudian bersama-sama menuju ke pintu gerbang. Di situ mereka saling memberi hormat lalu berpisah satu sama lain. Sebelum berpisah, Pangeran Kui-ong dengan kelemah-lembutan yang mencoba meniru Pangeran Hok-ong, mengundang para jenderal untuk berkunjung ke "kemah perangku yang butut".

Lim Kui-teng, komandan pengawal pribadinya Pangeran Kui-ong, menangkap kesempatan itu untuk memuji junjungannya sendiri, "Tuan-tuan, harap dimaklumi kalau kami memang berkemah di luar kota dalam kemah-kemah sederhana. Itu sebagai tanda keprihatinan Pangeran Kui-ong atas situasi negeri."


Beberapa hari Siangkoan Heng bermuram durja, dan adiknya maupun iparnya mengetahui penyebabnya. Siangkoan Heng tidak bisa melupakan Lam-kin Sian-li Kongsun Giok yang menawan hati. Kerapkali Siangkoan Heng keluyuran mengelilingi kota besar Lam-khia untuk menjumpai gadis itu, tetapi tidak pernah bertemu.

Siangkoan Yan kasihan kepada kakaknya yang masih bujangan itu, sambil menggendong anaknya, Siangkoan Yan berkata, "Dulu waktu bertemu, apakah Kakak tidak tanyakan dia tinggal di mana?"

Siangkoan Heng menggeleng lesu, sahutnya, "Dia seorang gadis pendekar, bisa berada di mana saja. Bahkan kalau perlu bisa tidur di atas genteng rumah."

Helian Kong juga ikut prihatin, namun dengan kesibukannya bersama para jenderal, kesibukan yang terpusatkan di rumah Phoa Taijin, Helian Kong tidak dapat memberi banyak perhatian kepada urusan Siangkoan Heng itu. Namun di suatu malam, Helian Kong yang baru pulang dari rumah Phoa Taijin itu, mencetuskan sebuah gagasan,

"Saudara Siangkoan, kalau gadis itu belum meninggalkan Lam-khia, kita bisa memancing dia keluar dari persembunyiannya."

Siangkoan Heng terbangkit semangatnya, "Caranya?"

"Bukankah gadismu itu sangat membenci kaum pemetik bunga? Kita bisa pura-pura jadi kaum pemetik bunga yang beroperasi di kota ini. Kalau dia ada di kota ini, pastilah akan muncul."

Wajah Siangkoan Heng cerah, ganti wajah adik perempuannya yang cemberut, "Hem, gagasan bagus. Pura-pura jadi pemetik bunga, kalau sungguhan sekalian?"

Siangkoan Yan agak cemburu, sebab tadi Helian Kong mengatakan "kita" artinya Helian Kong sendiri juga ikut menemani Siangkoan Heng pura-pura jadi pemetik bunga, berarti pula berurusan dengan gadis-gadis cantik.

Helian Kong paham perasaan isterinya, ia tertawa dan berkata, "Sekian lama jadi suami-isteri, baru kali ini kau cemburu."

"Cemburu? Siapa cemburu?" Siangkoan Yan membelalakkan matanya, tetapi kemudian ia tahu sikapnya kurang tepat untuk Helian Kong, maka dia pun tertawa pula, "Baik, silahkan pura-pura jadi penjahat pemetik bunga, asal jangan jadi penjahat sungguhan."

"Isteriku, memangnya aku ke Lam-khia ini untuk iseng? Ini demi Kakakmu."

"Iya, iya. Sana berangkat."

Malam itu, Helian Kong dan Siangkoan Heng mengenakan pakaian ringkas serba hitam, keluar "mencari korban". Pakai tutup muka segala. Mereka melompat ke atas genteng, dan setelah berdiri di atas genteng, Helian Kong tertawa geli sendiri. Tanyanya, "Nah, siapa gadis cantik yang akan menjadi korban pertama kita?"

Siangkoan Heng garuk-garuk kepala, katanya dari balik kedoknya, "Beginilah kalau pemetik bunga gadungan. Tidak tahu di rumah mana yang ada gadis cantiknya."

"Kita jalan dulu, siapa tahu akan muncul gagasan atau kesempatan." usul Helian Kong. "Tetapi tidak usah di atas genteng. Jalan di bumi sajalah."

Mereka pun melompat turun dan menyusuri lorong-lorong gelap kota Lam-khia. Entah kemana. "Jangan sampai tersesat dan tidak bisa pulang, kota ini punya ribuan lorong besar dan kecil dan ada banyak bagian yang kelihatannya sama." kata Helian Kong.

Sebenarnya Helian Kong punya maksud lain. Bukan hanya menolong Siangkoan Heng menemukan gadis idamannya, tetapi juga untuk melibatkan lebih dalam kehidupan "arus bawah tanah" di Lam-khia. Helian Kong datang ke Lam-khia memang tidak berniat tampil di permukaan, tetapi niatnya ingin melihat "arus bawah tanah".

Tetapi sekarang Helian Kong sudah terlanjur tampil di permukaan, sudah terlanjur banyak orang yang tahu, itu karena ia mau tidak mau harus muncul demi mempersatukan sikap para jenderal. Namun Helian Kong berharap ia masih akan bisa "menyelam" di arus bawah itu, tentu saja dengan identitas lain. Entah Ek Beng-ti entah siapa lagi.

Helian Kong berharap bisa berkenalan lebih banyak dengan orang-orang bawah tanah semacam pembunuh-pembunuh bayaran yang dikenalnya. Lewat mereka, ia berharap bisa melihat tindakan tersembunyi para pangeran, bukan tindakan yang sengaja dipamer-pamerkan di muka umum untuk mendapat simpati.

Tak terduga yang beruntung lebih dulu adalah Siangkoan Heng. Suatu kebetulan satu banding sejuta kesempatan, kebetulan yang rajanya kebetulan, sebab baru saja mereka keluar dari lorong yang ke sekian, tiba-tiba dari depan nampak sesosok tubuh berjalan terhuyung-huyung. Malam gelap, dari jarak puluhan langkah sulit mengenali wajah orang itu, tetapi bentuk tubuhnya bisa dikenali kalau seorang perempuan yang berpakaian ringkas.

"Jangan-jangan dia...." Siangkoan Heng sudah hendak berlari menyongsong sosok perempuan yang dari depan itu, namun Helian Kong mencegahnya. "Hati-hati...."

"Mungkin dia luka....."

"Kita dekati perlahan-lahan."

Mereka berdua makin dekat dengan perempuan itu. Perempuan itu agaknya juga sudah melihat dua sosok bayangan lelaki di depannya, maka dia pun menghentikan langkahnya. Desis perempuan itu, "Jangan harap kalian bangsat-bangsat ini dapat..."

Itulah suara Kongsun Giok, sehingga Siangkoan Heng menukasnya cepat, "Adik Giok, ini aku! Ingat aku?"

Terdengar engah napas berat dari Kongsun Giok,suaranya pun berubah nada, jadi amat lega, "Kakak Siangkoan aku..."

Ia tidak menyelesaikan kata-katanya, tubuhnya roboh. Siangkoan Heng cepat maju menangkap tubuh itu agar tidak terhempas tanah. Helian Kong juga maju memeriksanya. Helian Kong menaruh jari-jari tangannya di depan lubang hidung gadis itu, dan merasakan betapa lemah napasnya. Lalu meraba urat besar di lehernya, juga terasa betapa lemah denyut jantungnya.

Dalam sekejap Helian Kong menyingkirkan segala pertimbangan bahwa kerahasiaan tempat berteduhnya di Lam-khia masih diperlukan, keselamatan Si Gadis lebih perlu, maka katanya, "Kita bawa ke rumah untuk diobati."

"Parahkah lukanya?" tanya Siangkoan Heng cemas.

"Setelah kita periksa di tempat terang, baru ketahuan. Mungkin terpukul keras oleh Tiat-se-ciang (Telapak Pasir Besi) atau sejenisnya. Cepat angkat."

Mereka pun bergegas pulang, dengan Siangkoan Heng mengangkat tubuh Kongsun Giok. Siangkoan Yan yang menunggu rumah, kaget waktu melihat suaminya dan kakaknya sudah kembali begitu cepat, dengan membawa seorang gadis yang terluka. "Siapa dia?"

"Inilah yang dicari Kakakmu, namanya Kongsun Giok. Gelarnya Lam-kin Sianli (Bidadari Selendang Biru)." sahut Helian Kong kepada isterinya.

Maka si kecil Helian Beng untuk sementara ditaruh dulu, untung bayi itu sedang tidur nyenyak dan kesehatannya juga sedang membaik, lalu Siangkoan Yan ikut sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Tubuh Kongsun Giok ditaruh di sebuah ruangan yang hangat, diperiksa dan tidak terlihat di mana lukanya. Tetapi wajahnya pucat pasi dan ada setitik darah dekat ujung mulutnya, napasnya perlahan dan begitu berat.

Siangkoan Heng ingin mengusulkan untuk membuka pakaian Kongsun Giok, namun tertahan oleh rasa sungkan kepada adik perempuannya dan iparnya. Helian Konglah yang tidak sungkan, katanya, "Adik Yan, buka pakaiannya!"

Siangkoan Yan tidak ragu-ragu lagi segera bertindak, ia tahu suaminya bukan lelaki mata keranjang yang suka melihat perempuan telanjang. Perintah suaminya itu pasti demi alasan keselamatan gadis berbaju biru itu.

Waktu baju gadis itu dibuka, di bagian dada tidak nampak bekas luka apa pun, tetapi dibagian punggungnya nampak bekas telapak tangan berwarna hitam. Untungnya tidak tepat di jantung, melainkan sedikit di bawah pundak. Untung pula pukulan itu agaknya juga kurang telak.

"Tepat dugaanku. Ia terpukul sejenis Tiat-se-ciang yang dilatih hampir sempurna." desis Helian Kong. Dengan hati-hati ia meraba kulit di sekitar bekas telapak tangan itu, sambil memusatkan perasaannya. Lalu katanya pula, "Mujur pukulannya tidak terlalu telak, jadi tidak ada tulang yang cedera. Tetapi ia membutuhkan pertolongan yang bersungguh-sungguh."

"Apa yang bisa kita lakukan?" tanya Siangkoan Heng gelisah.

Helian Kong berpikir sebentar, lalu katanya, "Kita keluarkan dulu darah mati yang masih tertinggal di dalam. Dudukkan dia dan pegangi dia."

Dengan hati-hati Siangkoan Heng dan Siangkoan Yan mendudukkan Kongsun Giok dan memegangi tubuh yang lemas terkulai itu. Helian Kong duduk di belakangnya dan menempelkan sepasang telapak tangannya ke punggung telanjang Kongsun Giok, memejamkan mata dan mengatur pernapasan. Sepasang telapak tangannya seperti mengurut dan mendorong.

Beberapa saat kemudian tubuh Kongsun Giok terguncang pelan dan dari mulutnya terlontarlah segumpal darah hitam berbau amis. Siangkoan Heng cepat keluar mengambil air dan kain lap untuk membersihkannya, sementara Siangkoan Yan tetap memegangi. Helian Kong turun dari pembaringan, mengusap keringat di jidatnya. Sementara Kongsun Giok dibaringkan kembali dan diselimuti.

"Apalagi yang bisa kita lakukan?" tanya Siangkoan Heng.

"Pengobatanku hanya bersifat pertolongan darurat, untuk bisa sembuh sama sekali haruslah ditangani oleh tabib yang baik," kata Helian Kong. "Apakah kalian tahu ada tabib yang baik di dekat-dekat sini?"

Biar kucari malam ini juga." Siangkoan Heng bangkit dan pergi, padahal saat itu sudah larut malam, tentu kalau ketemu tabibnya pun sudah tidur.

Sementara itu suami-isteri Helian Kong dan Siangkoan Yan sekarang jadi ketambahan "momongan" baru. Mereka tidur bergantian dan sebentar-sebentar memeriksa keadaan Kongsun Giok.

"Keadaannya membaik....." komentar Helian Kong. "....napasnya bertambah ringan."

Sementara isterinya memikirkan sesuatu yang lain, "Suamiku, kalau benar kita temukan tabib yang baik, dengan apa kita hendak membayar dia? Uang kita sudah menipis. Uang pemberian Li Teng-kok itu."

Mau tak mau Helian Kong berpikir ke situ juga. Tiba-tiba ia teringat hadiah-hadiah dari para pangeran buat dirinya, hadiah-hadiah yang dibiarkannya tetap terbungkus dan dititipkan di rumah Phoa Taijin itu. Helian Kong memang belum membuka hadiah-hadiah itu, khawatir kalau ia menerimanya maka ia sudah "terikat" dengan si pemberi. Namun sekarang isterinya mengingatkan hal itu, mau tak mau Helian Kong pikirannya melayang ke sana.

"Suamiku....."

"Jangan khawatir, Adik Yan. Besok aku akan ke rumah Phoa Taijin."

"Pinjam uang?"

"Tidak. Ada hadiah-hadiah mahal dari para pangeran kepadaku. Kutitipkan di sana."

Sebagai isteri yang kenal baik kepribadian suaminya, Siangkoan Yan langsung paham kenapa selama ini suaminya tidak pernah bicara sepatah kata pun tentang hadiah-hadiah itu. Suaminya pasti tetap menganggap hadiah-hadiah itu bukan miliknya, makanya tidak membicarakannya. Namun sekarang demi menyelamatkan sebuah nyawa, nyawa Kongsun Giok, suaminya terpaksa harus sedikit membengkokkan pendiriannya selama ini. Siangkoan Yan terharu. Ia sadar bahwa suaminya melakukan itu dengan hati yang berat.

Helian Kong membelai kepala Siangkoan Yan yang duduk di tepi pembaringan Kongsun Giok, hiburnya, "Jangan risau, Adik Yan. Aku tidak menjual pendirian kok. Hadiah yang akan kuambil dan kujual itu akan kupilih dari pengirim yang tidak bisa mengikat aku lagi, mengikat dengan hutang budi."

"Siapa?"

"Pangeran Kong-ong. Dia juga mengirimiku hadiah. Namun dalam acara sembahyang di Beng-hau-leng tadi, Pangeran Kong-ong menunjukkan tingkah kekanak-kanakan yang menutup kesempatannya sendiri. Kalau Pangeran Kong-ong pintar memperhitungkan situasi, harusnya ia angkat kaki dari Lam-khia ini karena kesempatannya untuk menjadi Kaisar sudah tertutup sama sekali."

"Ya, kalau bisa memperhitungkan situasi. Kalau tidak?"

"Percayalah, pokoknya takkan seorang pun bisa mengikat aku."

Menjelang dini hari, Siangkoan Heng kembali dengan tangan kosong. Tentu saja, mana bisa ketemu tabib buka praktek di malam selarut itu? Tetapi Helian Kong merangkul dan menghibur iparnya itu, "Jangan panik. Cemas sedikit bolehlah, tetapi panik jangan. Ia membaik. Kesempatannya untuk sembuh terbuka lebar."

Sebelum matahari terbit, Helian Kong sempat beristirahat sekejap. Begitu pagi, ia bangun dan membersihkan diri, langsung berangkat ke rumah Phoa Taijin. Tetapi untuk melindungi penyamarannya, ia tidak berangkat dari rumah sewaan yang didiami Siangkoan Heng dan Siangkoan Yan, melainkan dari kelenteng bobrok tak berpenghuni yang beradu belakang dengan rumah sewaan itu.

Kedatangan Helian Kong di rumah Phoa Taijin mencengangkan orang-orang di rumah itu. Li Teng-kok yang baru saja berolah raga di halaman belakang, masih dengan telanjang dada dan berkeringat berleleran dan tombak di tangan, menyongsong Helian Kong. Tanyanya, "Ada apa, Saudara Helian?"

Helian Kong agak kikuk mengatakannya, namun kepada sahabat baik ia tidak berbohong, "Aku ingin mengambil salah satu hadiah yang kutitipkan di sini. Aku..... membutuhkannya."

"Hadiah dari para pangeran?"

"Benar."

Li Teng-kok tercenung, sekilas prasangka berkelebat di benaknya, apakah Helian Kong si "kekuatan moral" ini sudah mulai menjual idealismenya demi desakan kebutuhan hidup? Li Teng-kok mengibaskan kepalanya kuat-kuat. Ia kenal siapa Helian Kong dan ia tidak percaya Helian Kong berubah.

Helian Kong heran melihat sikap Li Teng-kok yang rada aneh, samar-samar dia bisa menebak apa penyebab keanehan itu. Katanya, "Saudara Li, aku tidak akan berubah pendirian biarpun hadiah ditumpuk di depanku. Lagi pula, kalau kita sudah diberi, kita berhak atasnya bukan? Dan kita pun tidak terikat syarat apa-apa dengan si pemberi."

Gelagapan Li Teng-kok menjawab, "O, tidak, aku tidak menuduh Saudara Helian akan berubah pendirian karena menerima hadiah. Tidak. Seperti aku tidak kenal kepribadian Saudara Helian saja. Mari, kuantar ke tempat hadiah-hadiah itu."

Li Teng-kok lebih dulu memakai bajunya, kemudian melangkah ke sebuah ruangan di bangunan sayap kiri. Helian Kong mengikutinya. Ketika pintu dibuka, terlihatlah dalam ruangan itu hadiah-hadiah yang mahal-mahal, ada yang dalam kotak indah, bahkan ada yang kotaknya saja berharga mahal karena dibuat dari batu giok hijau berukir. Masing-masing ditaruh di atas taplak yang indah.

Helian Kong berpikir, "Mungkin sehelai taplaknya saja sudah bisa dijual dan untuk menjamin hidup orang sederhana sebulan lebih."

"Inilah hadiah-hadiahnya," kata Li Teng-kok sambil mengedangkan tangannya.

"Yang untukku mana?"

Hampir-hampir Helian Kong tidak percaya waktu mendengar Li Teng-kok berkata, "Yang di ruangan ini untukmu semua, Saudara Helian."

"Semua? Bukankah rekan-rekan yang lain juga mendapat kiriman hadiah dari para pangeran? Bukan aku saja?"

"Ya. Aku juga. Tetapi kami sudah menyimpan hadiah kami masing-masing. Tinggal bagianmu yang masih dititipkan di sini."

Sengaja Li Teng-kok berkata demikian, untuk menghilangkan rasa sungkan Helian Kong andaikata mau memanfaatkan hadiah-hadiah itu. Li Teng-kok bisa maklum bahwa Helian Kong punya kebutuhan menghidupi keluarganya di kota Lam-khia yang harga-harga apa-apanya serba mahal itu.

Helian Kong menangkap maksud tersembunyi di balik kata-kata Li Teng-kok, sorot matanya pun memancarkan terima kasih. Katanya, "Aku hanya mengambil sekedar untuk membayar tabib dan menghidupi anak-isteriku secara sederhana."

"Tabib? Siapa yang sakit?"

"Seorang pendekar sahabat Siangkoan Heng. Saudara Li, tahukah kau tabib yang baik di Lam-khia ini?"

"Apa sakitnya?"

Helian Kong ragu-ragu sejenak, haruskah ia merahasiakannya? Tetapi kalau dirahasiakannya, mana bisa mendapat keterangan yang tepat? Akhirnya ia menjawab, "Luka dalam kena pukulan berat seorang pesilat. Tetapi tolong, jangan ceritakan kepada siapa-siapa, apalagi kepada..... Phoa Bian-li. Nah, kira-kira siapa tabibnya yang bisa mengobatinya?"

"Di Lam-khia ini, kudengar ada seorang guru silat yang mahir Tiat-se-ciang. Mungkin dia bisa mengobatinya."

Helian Kong ragu, jangan-jangan malah orang itu yang melukai Kongsun Giok? Tetapi ia diam dan terus mendengarkan Li Teng-kok berbicara, "Guru silat itu bernama Lam Peng-hi. Rumah kediamannya di ujung barat Goat-tah-kai. (Jalan raya Pagoda Rembulan). Mudah dikenali, sebab ia memasang papan bertuliskan "Tiat-ciang Bu-siau" (Sekolah Silat Telapak Besi) di depan rumahnya."

"Baiklah, Saudara Li. Terima kasih."

"Jadi mengambil hadiahnya tidak?"

"Tentu saja jadi. Eh, dari siapa saja hadiah-hadiah ini?"

Li Teng-kok menunjuk-nunjuk sambil memberi keterangan, "Kotak batu kemala yang isinya entah apa, itu dari Pangeran Hok-ong. Ada kartu namanya kok. Baju perang dari emas itu dari Pangeran Kui-ong, sesuai dengan watak militernya. Sepasang kuda dari giok hijau itu kalau tidak salah ingat dari..... Pangeran Lou-ong. Pedang pusaka Gu-hong-kiam (Burung Hong Menangis) itu dari....."

Helian Kong terkesiap, "Pedang pusaka Gu-hong-kiam?"

Li Teng-kok adalah orang militer murni, sama sekali buta akan seluk-beluk rimba persilatan, ia heran melihat sikap Helian Kong itu. "Ya. Pedang pusaka Gu-hong-kiam. Kenapa kau begitu kaget, Saudara Helian? Begitu bernilaikah pedang itu?"

Helian Kong menarik napas, katanya, "Ya, bahkan tak ternilai. Aku pernah mendengar dari almarhum guruku, pedang pendek itu dibuat dari bahan yang belum diketahui. Selain tajamnya bisa memotong logam segampang memotong tahu, pedang itu kalau dihunus juga akan mengeluarkan suara lembut seperti rintihan burung hong."

Li Teng-kok tertawa dengan sikap kurang percaya, "Ada-ada saja kaum persilatan kalau mencipta dongeng. Yang namanya burung hong saja entah ada entah tidak, karena itu cuma terdapat dalam dongeng. Mana ada yang pernah mendengar suara rintihan burung hong sehingga dapat membandingkannya dengan suara pedang itu ketika dihunus?"

Helian Kong tidak ingin berdebat dengan Li Teng-kok soal itu, ia hanya menjelaskan apa yang ia ketahui tentang pedang itu, "Kata orang, suara itu tidak berpengaruh sama sekali buat si pemegang pedang sendiri, tetapi bagi orang lain, akan merasa hatinya seperti diaduk-aduk sehingga tidak dapat berkonsentrasi penuh dalam pertempuran."

"Singkatnya, hadiah itu yang paling berharga?"

"Betul, Saudara Li. Siapa pengirimnya?"

"Dari Pangeran Tong-ong di Hok-kian. Kaulah pemilik pedang hebat itu, Saudara Helian."

Helian Kong menggeleng, "Hadiah sehebat itu sulit untuk tidak menimbulkan ikatan. Lebih baik aku tidak menerimanya. Harap juga jangan sampai diketahui banyak orang kalau pedang Gu-hong-kiam di sini. Kalau sampai beritanya menyebar, rumah ini akan diserbu orang-orang rimba persilatan yang menginginkan pedang itu. Saudara Li akan repot sekali."

"Baik. Kuperhatikan sungguh-sungguh peringatanmu, Saudara Helian. Nah, aku lanjutkan. Pangeran Kong-ong menghadiahimu sekotak batu permata dari Thian-tiok (India)."

Helian Kong menyeringai, "Saudara Li, kita jadi orang-orang kaya, ya? Bagaimana kalau kau dipanggil Li Taipan saja?"

Li Teng-kok tertawa terbahak, "Lalu aku letakkan pedangku dan ganti jadi pengusaha saja? Ha-ha, Saudara Helian, tunggulah kalau matahari terbit dari barat dan tenggelam di sebelah timur."

Helian Kong membuka kotak permata kiriman Pangeran Kong-ong, matanya jadi silau melihat warna-warni cahaya dari batu permata yang mahal-mahal dari India itu. Cukup dengan sekotak kecil itu, rasanya ia tidak perlu lagi berpikir keras untuk mencukupi kehidupan keluarganya sampai akhir hayatnya.

Tetapi Helian Kong hanya mengambil sebutir permata kecil untuk dikantonginya, katanya kepada Li Teng-kok, "Sengaja yang kuambil adalah yang dari pemberian Pangeran Kong-ong, sebab menurut perhitunganku, dia sudah tidak laku lagi di gelanggang persaingan calon kaisar, karena tingkahnya kemarin di Beng-hau-leng. Jadi dia tidak mungkin mengikatku, bahkan mungkin saat ini ia sudah angkat kaki dari Lam-khia."

Li Teng-kok memahami perhitungan Helian Kong itu, dalam hatinya ia hormat kepada keteguhan hati sahabatnya ini. Yang tidak mabuk melihat hadiah-hadiah bernilai besar itu. Namun soal pedang Gu-hong-kiam, Helian Kong tidak jadi menitipkannya di rumah Phoa Taijin itu, sebab mengkhawatirkan Phoa Taijin akan banyak direpotkan oleh orang-orang yang menyerakahi pedang itu.

Helian Kong akhirnya memutuskan untuk membawa pedang pendek Gu-hong-kiam ke kediamannya, bukan untuk memilikinya, tapi sekedar meringankan beban Li Teng-kok. Pedang pendek itu dibungkus kain, lalu disembunyikan di balik bajunya.

Dari rumah Phoa Taijin, Helian Kong lebih dulu menuju ke sebuah toko permata untuk menjual sebutir permata dari hadiah Pangeran Kong-ong itu. Dengan pakaiannya yang sederhana, Helian Kong menjual permata yang sangat mahal, maka ia sempat dicurigai oleh Si pemilik toko permata. Dikira Helian Kong menjual barang curian.

Tetapi Si pemilik toko tidak peduli asal-usul barang itu, ia menawar dengan harga miring, kalau dijual kembali bakal banyak menguntungkan Si pemilik toko. Helian Kong yang tidak tahu-menahu soal harga, akhirnya melepasnya saja. Dan uangnya dari "harga miring" itu saja membuat kantong Helian Kong penuh uang sampai terasa berat.

Keluar dari toko permata, Helian Kong bertanya kepada orang di jalanan, apakah jalan Goat-tah-kai jauh atau tidak. Kata orang itu ternyata agak jauh, karena Lam-khia adalah kota besar. Helian Kong yang sedang banyak duit itu lalu menyewa joli untuk diantar ke Sekolah Silat Telapak Besi di jalan raya Goat-tah-kai.

Sambil duduk melenggut dalam joli, Helian Kong mentertawakan dirinya sendiri, "Enak juga jadi orang banyak uang, Pantas kalau ada yang sampai menghalalkan segala cara demi memperoleh banyak uang."

Perjalanan yang ditempuh sampai ke sekolah silat itu memang cukup jauh untuk ukuran perjalanan dalam kota. Waktu sampai di depannya, Helian Kong melihat sebuah gedung besar, di atas pintu gerbangnya bertuliskan Tiat-ciang Bu-siau. Ia turun dari joli dan membayar tukang-tukang jolinya.

Sepasang daun pintu yang tebal dan bercat merah saat itu dalam keadaan setengah terbuka. Kemudian di belakang pintu ada dinding penghalang pandangan agar orang-orang yang lewat di jalanan tidak bisa melihat langsung ke dalam rumah. Kata para ahli hong-sui (perhitungan gaib tentang tata-letak suatu tempat), itu kurang baik. Helian Kong melihat pada dinding penghalang itu bergambar telapak tangan raksasa berwarna hitam.

Dari balik dinding, terdengar suara bentakan dari puluhan orang pria dan wanita yang berulang-ulang secara teratur. Helian Kong membayangkan saat itu mungkin murid-murid Tiat-ciang Bu-siau sedang berlatih. Ia melangkah melewati dinding penghalang pandangan itu, dan benar, ia lihat sepetak halaman luas berlantai lempengan-lempengan batu.

Halaman itu dipenuhi puluhan orang berseragam latihan dalam jajaran-jajaran rapi, sedang melakukan gerakan-gerakan yang sama di bawah aba-aba seorang pelatih berewokan. Orang-orang yang berlatih itu ada pria ada wanita, ada yang sudah hampir setengah abad dan ada yang masih kanak-kanak sepuluh tahun. Semuanya bermandikan keringat.

Kedatangan Helian Kong langsung dilihat oleh salah seorang pembantu pelatih yang mengawasi di pinggir lapangan. Pembantu pelatih itu seusia Helian Kong, potongan tubuhnya juga mirip, sama-sama tegap berotot. Bedanya, Helian Kong menyembunyikan ketegapannya itu di balik jubah kasar yang longgar, sedang orang itu memamerkannya dengan memakai baju buntung.

Orang itu segera mendekati Helian Kong sambil menggerak-gerakkan otot pundaknya, lalu tanyanya, "Bung, ada keperluan apa kemari?"

Helian Kong memberi hormat, biarpun tidak dibalas, "Aku ingin bertemu dengan Guru Lam Peng-hi."

"Untuk apa?"

"Meminta petunjuk penyembuhan, atau obat, untuk seorang kenalanku."

"Sobat, tidakkah kau baca tulisan di depan tadi, bahwa tempat ini adalah sebuah sekolah silat, bukan toko obat ataupun tempat tabib membuka praktek?"

"Aku tahu, tetapi kenalanku yang terluka itu lukanya kena pukulan Tiat-se-ciang. Maka kuharap Gurumu bisa memberi petunjuk menyembuhkannya."

"Siapa namamu?"

"Liao Beng-it," sahut Helian Kong sekenanya saja.

"Tunggulah di sini, aku akan bicara dengan Guruku dulu. Kalau diperkenankan menghadap, nanti kuberitahu kau, Sobat Liao."

"Terima kasih."

Orang itu berjalan masuk, sementara Helian Kong berdiri tanpa mengerjakan apa-apa, kecuali menonton orang latihan silat itu. Murid-murid yang berlatih di halaman depan itu ternyata baru mempelajari gerak-gerak dasar yang sederhana, bahkan kuda-kudanya pun masih banyak yang salah dan para pembantu pelatih atau murid-murid senior membantu membetul-betulkan yang salah.

Beberapa saat kemudian, orang tadi muncul kembali, katanya, "Kau beruntung, Sobat. Guruku kebetulan sedang longgar hatinya, kau diperkenankan menjumpainya. Mari kuantar."

"Terima kasih."

Helian Kong pun berjalan menyusuri pinggiran lapangan latihan. Ternyata tempat itu luas sekali, bukan cuma ada satu lapangan latihan. Lapangan-lapangan latihan yang di sebelah dalam agaknya diperuntukkan murid-murid yang sudah lebih tinggi kelasnya. Gerakan mereka juga lebih mantap dan lebih bervariasi.

Perguruan-perguruan silat biasanya menutup diri terhadap orang luar, takut dijiplak teknik-teknik khususnya. Tetapi Tiat-ciang Bu-siau ini agaknya bersifat komersil, untuk mengumpulkan uang, maka malah dipamer-pamerkan kepada Helian Kong sebagai "promosi".

Di suatu lapangan tertutup yang tidak begitu luas, Helian Kong melihat seorang murid mematahkan lempengan ubin batu dengan telapak tangannya. Tidak percuma sekolah silat ini dinamai "Telapak Besi".

"Bagaimana pendapatmu, Sobat Liao?"

"Luar biasa," puji Helian Kong berbasa-basi. "Apakah sekolah ini juga mendidik murid-muridnya agar berkelakuan baik di luaran, dan tidak sembarangan melukai orang?"

"Sobat Liao, apakah kau menuduh orang dari pihak kami yang melukai temanmu yang katamu dilukai oleh Pukulan Pasir Besi itu?"

"Tidak menuduh, cuma bertanya."

"Kami ini sekolah silat, tugas kami adalah mendidik orang agar sekeluarnya dari sini bisa main silat. Itu saja. Perkara urusan mereka di luaran, itu tanggung-jawab masing-masing. Tidak ada sangkut-paut dengan sekolah ini."

Helian Kong cuma mengangguk-angguk, tidak ingin berdebat. Ia bertemu dengan Lam Peng-hi di sebuah ruangan setengah terbuka yang perabotannya antik dan dikelilingi taman yang indah. Nampaknya kehidupan Lam Peng-hi sehari-hari amat santai dan mewah. Urusan mengajar murid diserahkannya kepada murid-murid seniornya.

Ia sendiri seorang berusia enam puluhan tahun yang masih tegap dan punggungnya masih tegak. Rambut dan sepasang alisnya sudah putih, tetapi matanya masih tajam. Ia memakai jubah sutera tipis berwarna biru laut untuk merangkapi pakaian ringkasnya yang berwarna putih. Ia sedang duduk santai di sebuah bangku panjang, sewaktu Helian Kong datang diantar salah seorang murid seniornya.

Murid itu melapor, "Guru, inilah Saudara Liao Beng-it yang ingin menemui Guru."

Lam Peng-hi nampaknya acuh tak acuh saja, juga waktu Helian Kong memberi hormat kepadanya. Kata Lam Peng-hi sambil tetap berbaring miring di bangku panjangnya, "Ceritakan keperluanmu, orang she Liao."

"Seorang temanku terluka kena pukulan Tiat-se-ciang agaknya."

"Kenapa kau pakai kata 'agaknya'?"

"Karena aku tidak melihat sendiri perkelahiannya, tahu-tahu ketemu teman itu dia sudah luka."

"Kau bisa menaksir itu luka kena Telapak Pasir Besi, rupanya kau paham silat juga ya?"

Sengaja Helian Kong menjawab dengan sikap pura-pura malu, "Ah, silat kucing kaki tiga mungkin. Dulu pernah belajar juga sedikit Tam-cap Hua-hong dan main pedang Pat-hong-kiam..."

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.