Pendekar Baju Putih Jilid 20

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pendekar Baju Putih Jilid 20
Sonny Ogawa

Pendekar Baju Putih Jilid 20 karya Kho Ping Hoo - Kaisar akhirnya menurut dan segera pasukan besar dikerahkan dan berangkatlah pasukan dipimpin oleh panglima besar Ciu Kok Ciang menyerang ke kerajaan Wu-yeh. Cin Po juga ikut dalam pasukan itu, akan tetapi bukan untuk berperang. Dia tidak suka akan perang dan kalau dia pergi mengikuti pasukan besar itu adalah karena dia teringat akan kekasihnya dan mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya.

Novel Silat Mandarin Pendekar Baju Putih karya Kho Ping Hoo

Kalau Ciok Hwa tetap tinggal di pulau Hiu, ia tentu akan selamat. Akan tetapi bagaimana kalau gadis itu dipaksa ayahnya dan ikut pula bertempur? Karena itulah dia ikut untuk melindungi kekasihnya, kalau-kalau gadis itu ikut dalam pertempuran.

Pasukan Wu-yeh yang berjaga di perbatasan menjadi terkejut sekali ketika tiba-tiba muncul pasukan Sung yang amat besar jumlahnya. Pertempuran terjadi dengan hebatnya, akan tetapi hanya sebentar karena pasukan Wu-yeh yang jauh kalah besar jumlahnya itu dapat didesak mundur. Pasukan Sung terus menggempur dan maju sampai ke kota raja Wu-yeh.

Perang terjadi di mana-mana dan seperti biasanya, kalau terjadi perang, maka rakyatlah yang menderita paling hebat. Bahkan pasukan sendiri dapat menjadi musuh dengan tiba-tiba karena mereka yang berperang itu seperti kehausan darah.

Mungkin karena perasaan takut yang menyelinap di hati membuat pasukan menjadi kejam dan berprasangka. Mereka merampoki rakyat dengan tuduhan membantu musuh. Belum lagi pasukan yang menyerang. Kemenangan membuat mereka mabok dan agaknya bagi yang menang, perbuatan apa saja halal.

Cin Po yang ikut dengan pasukan itu melihat ini semua. Dia tentu selalu turun tangan mencegah dan melarang kalau melihat sendiri ada pasukan yang menindas rakyat, akan tetap bagaimana mungkin dia seorang diri mencegah terjadinya semua kebuasan itu? Dia hanya dapat berduka dan penasaran sekali melihat kesengsaraan rakyat jelata yang dusun atau kotanya dilanda perang.

Pasukan Sung terus maju menuju ke kota raja. Wu-yeh adalah sebuah kerajaan kecil dan pasukannyapun tidak berapa besar. Karena itu, mereka kewalahan menghadapi penyerbuan pasukan Sung yang jumlahnya jauh lebih besar. Akhirnya, pertahanan dipusatkan di kota raja dan di sini terjadilah pertempuran yang paling hebat.

Bahkan Tung-hai Mo-ong sendiri ikut mempertahankan kota raja ini. Namun, betapapun lihainya Tung-hai Mo-ong, menghadapi pasukan yang banyak dan di antara para perwira Sung terdapat banyak orang yang lihai maka akhirnya pertahanan itu bobol dan Tung-hai Mo-ong sendiri menderita luka-luka parah yang memaksa dia untuk melarikan diri. Istana kerajaan Wu-yeh jatuh ke tangan pasukan Sung dan semua perlawanan pun berhenti. Kerajaan Sung menang dan seluruh wilayah Wu-yeh terjatuh ke tangan kerajaan Sung.

Cin Po yang tidak ikut berperang, tiba-tiba melihat seorang kakek tinggi kurus menggunakan ilmu berlari cepat. Kakek itu berlari cepat sekali akan tetapi dia terhuyung-huyung maka cepat dia pergi mengejarnya. Setelah dekat, dia melihat bahwa kakek itu adalah Tung-hai Mo-ong! Dan pada saat dia dapat menyusulnya, kakek itu tidak kuat lagi dan terguling roboh, pingsan!

Cin Po cepat memeriksanya. Dia menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Luka-luka yang diderita kakek itu parah sekali. Agaknya tubuhnya telah menjadi sasaran banyak senjata dan terutama sekali dia mendapat pukulan-pukulan yang membuatnya terluka di sebelah dalam tubuhnya.

Cin Po lalu menggendong tubuh itu, dibawanya masuk ke dalam hutan agar jangan terlihat orang bahwa dia menolong seorang tokoh besar di pihak musuh. Setelah berada di dalam hutan, dia merebahkan tubuh kakek itu di atas rumput, kemudian menempelkan ke dua tangannya di dada kakek itu dan dia mengerahkan sin-kang untuk membantu kakek itu. Tak lama kemudian, Tung-hai Mo-ong mengeluh dan membuka matanya. Ketika melihat siapa yang menolongnya, kembali dia mengeluh.

“Paman Kui Bhok, harap jangan banyak bergerak, engkau terluka parah sekali. Biarkan aku berusaha mengobatimu!”

Kakek itu merintih. “Percuma. Habis semua sudah. Bantu aku duduk, Cin Po.”

Terpaksa Cin Po menghentikan pengobatannya dan merangkul kakek itu, dibantunya duduk. Napas kakek itu tinggal satu-satu dan ia berkata, “Cin Po, engkau anak yang baik… engkau masih suka membantuku. Aku sekarang mengerti, mengapa Ciok Hwa mati-matian mencintaimu. Engkau anak baik, aku titip Ciok Hwa kepadamu. Jadikanlah ia seorang isteri yang baik... auhhh...”

“Paman, dimana Ciok Hwa? Di Pulau Hiu?”

Kakek itu menggeleng kepalanya. “Tidak… ia lari lagi karena aku melarang ia berhubungan denganmu Ia lari entah ke mana, kau…. kau…. carilah sampai dapat...” Kakek itu terkulai dan tewaslah dia.

Cin Po menghela napas. Dia merasa bingung dan sedih sekali mendengar Ciok Hwa tidak berada di Pulau Hiu. Ke mana perginya gadis itu? Dia merasa khawatir sekali kalau-kalau gadis itu terlibat dalam pertempuran pula. Dia tidak dapat melakukan apa-apa lagi terhadap Tung-hai Mo-ong Kui Bhok kecuali mengubur jenazahnya.

Dia lalu menggali lubang di hutan itu juga dan mengubur jenazah kakek itu. Kemudian dia menggulingkan sebuah batu besar, diletakkan di depan makam sebagai batu nisan agar kelak kalau dia dapat bertemu dengan Ciok Hwa dia akan dapat mengajak gadis itu berkunjung ke makam ayahnya.

Perang itu selesai dan pasukan pulang membawa kemenangan besar. Cin Po juga ikut pulang ke Hang-cou. Kaisar girang sekali mendengar laporan akan kemenangan itu dan kaisar membagi-bagi hadiah dan kenaikan pangkat. Setelah selesai pembagian hadiah, dalam perundingan selanjutnya, Panglima Ciu Kok Ciang melapor kepada kaisar,

“Yang Mulia, setelah pasukan paduka mengadakan serangan ke Wu-yeh, maka terbuktilah bahwa kerajaan Wu-yeh yang selama ini menjadi sebab kekacauan di perbatasan, hanya merupakan kekuatan yang amat kecil saja dan dengan mudah dapat ditalukkan. Oleh karena itu, mengingat bahwa kerajaan Wu-yeh telah bersekutu dengan kerajaan Hou-han untuk merobohkan kerajaan Sung, kalau menurut pendapat hamba, sebaiknya kalau mempergunakan kesempatan ini untuk melanjutkan pembersihan ke Hou-han. Hamba sanggup memimpin pasukan untuk menundukkan kerajaan Hou-han yang juga merupakan duri di dalam daging.”

Mendengar laporan itu, suasana menjadi hening dan sebagian besar para menteri dan panglima mengangguk setuju. Cin Po yang mendengarkan juga diam-diam merasa setuju. Kalau Hou-han sudah dapat ditundukkan, berarti musuh Sung hanya tinggal dua, yaitu Khi-tan dan Nan-cou, berarti mengurangi bahaya yang mengepung kerajaan Sung.

Akan tetapi tiba-tiba Kok-su berkata dengan suaranya yang lantang, “Mohon ampun kalau hamba berani mengemukakan pendapat hamba, Yang Mulia.” Kata-kata ini membuat semua orang memandang kepada Lauw Thian Seng-cu, Kok-su yang berpengaruh itu.

“Bicaralah, Kok-su,” kata kaisar.

“Menurut pendapat hamba, sungguh tidak bijaksana kalau sekarang kita menyerang Hou-han. Baru saja pasukan mendapat kemenangan, akan tetapi tidak berarti bahwa pasukan tidak lelah. Kita telah kehilangan banyak pasukan yang tewas dan terluka. Dalam keadaan lelah, perlukah dibebani lagi dengan penyerangan ke Hou-han? Sebaiknya ditunda dulu dan disusun lagi pasukan yang lebih kuat, baru beberapa waktu kemudian mengadakan penyerangan ke Hou-han.”

Kaisar mengangguk-angguk, lalu memandang kepada para panglima. “Usul itu baik juga, bagaimana pendapat kalian para panglima?”

Panglima Ciu Kok Ciang menjawab, “Hamba kira kekhawatiran Kok-su itu tidak beralasan. Pasukan yang menang perang justeru sedang dalam keadaan bersemangat tinggi, dan sebaliknya, pasukan Hou-han yang tentu sudah mendengar akan kemenangan kita atas Wu-yeh tentu sedang dalam keadaan gelisah dan khawatir. Sekaranglah saat terbaik untuk memukul mereka. Kalau dibiarkan sampai lain waktu, hamba khawatir Hou-han akan menghimpun kekuatan yang lebih besar untuk berjaga diri, dan kalau hal itu terjadi, tentu tidak mudah bagi kita untuk menundukkan Hou-han.”

Kembali kaisar mengangguk-angguk. “Bagaimana pendapat para Menteri dan panglima yang lain?”

Ternyata semua menteri dan panglima mendukung usul Panglima Ciu, maka akhirnya kaisar memutuskan untuk sekarang juga mengirim pasukan ke kerajaan Hou-han dan menundukkan kerajaan itu. Dan kembali Cin Po mendapat perintah dari kaisar sendiri untuk membantu Panglima Ciu.

Dengan hati berat sekali Cin Po menerima tugas ini. Sebetulnya dia sedang bersedih karena mengingat Ciok Hwa. Dia belum tahu di mana adanya Ciok Hwa dan bagaimana keadaannya setelah berakhir perang di Wu-yeh. Dia ingin sekali pergi mencari Ciok Hwa sampai dapat, akan tetapi dia menerima perintah kaisar yang tidak berani dia tolak. Dia harus berangkat ke Hou-han bersama pasukan!

Setelah diperkenankan bubaran, Cin Po pergi ke taman umum di kota raja dan duduklah dia di bangku taman itu seorang diri melamun. Pasukan baru diberangkatkan besok, akan tetapi dia tidak mempunyai waktu untuk pergi mencari Ciok Hwa. Mungkin membutuhkan waktu lama untuk dapat menemukan kekasihnya itu.

Dia merasa seluruh tubuhnya lemas dan semangatnya melayang kalau teringat kepada Ciok Hwa. Mendiang Tung-hai Mo-ong mengatakan dengan jelas bahwa Ciok Hwa tidak berada di Pulau Hiu, sudah melarikan diri karena dimarahi ayahnya yang melarang ia berhubungan dengan dia. Ke mana perginya gadis itu? Pergi dalam keadaan negara sedang perang itu amat mengkhawatirkan hatinya.

Dari mana timbulnya kekhawatiran? Kekhawatiran timbul dari pikiran yang mengada-ada, membayangkan yang bukan-bukan, membayangkan hal yang belum terjadi. Seperti seorang yang sehat, kalau ada wabah membayangkan dirinya terkena wabah penyakit dan diapun khawatirlah.

Kalau dirinya sudah terkena penyakit, maka kekhawatiran terhadap penyakit itupun, tidak ada lagi. Yang menimbulkan kekhawatiran adalah hal yang belum terjadi lagi, misalnya khawatir kalau penyakitnya tidak akan sembuh dan membawanya ke kematian! Demikian selanjutnya.

Berbahagialah orang yang tidak membayangkan apa yang akan terjadi, melainkan pasrah kepada Kekuasaan Tuhan dan hanya menghadapi apa adanya saja, soal nanti bagaimana nanti, dan diapun akan terbebas dari kegelisahan dan kekhawatiran.

Duka timbul dari perasaan iba diri. Karena memikirkan kekasihnya, khawatir kalau kekasihnya tertimpa malapetaka sehingga dia akan ditinggalkan kekasihnya, maka timbullah iba diri yang mendatangkan duka dalam hati Cin Po. Orang yang berduka di kala kematian orang yang disayang juga berduka karena iba diri. Dia kehilangan yang tercinta, dia ditinggalkan yang tercinta, maka timbullah iba diri dan duka.

Berbahagialah orang yang tidak mementingkan diri sendiri, yang tidak selalu memikirkan dirinya sehingga dapat menerima apa adanya dan bersikap wajar, karena dia tidak akan dihinggapi iba diri dan bebas dari pada duka. Mengapa duka kehilangan sesuatu yang dianggap menjadi miliknya?

Kita manusia tidak memiliki apa-apa, bahkan dirinya sendiripun bukan miliknya, sewaktu-waktu dapat saja lenyap atau mati! Berbahagialah orang yang batinnya tidak memiliki apa-apa, yang batinnya tidak terikat dengan apapun, karena hanya batin yang bebas demikianlah yang akan mampu mengenal apa artinya bahagia.


Kembali terjadi perang! Sekali ini, pasukan Sung menyerang ke selatan, ke daerah yang diduduki kerajaan Hou-han, yaitu di daerah Shan-si. Dan sekali ini perang terjadi dengan hebatnya karena selain pasukan Hou-han lebih besar jumlahnya dibandingkan pasukan Wu-yeh, juga mereka telah membuat persiapan lebih dulu.

Begitu mendengar bahwa sekutu mereka, yaitu Wu-yeh telah digempur dan diduduki oleh pasukan Sung, kerajaan Hou-han sudah merasa khawatir kalau-kalau Hou-han mendapatkan gilirannya. Maka, mereka segera menyusun kekuatan dan berjaga-jaga sehingga ketika pasukan Sung benar-benar menyerang, mereka dapat melakukan perlawanan yang gigih.

Pertempuran berlangsung sampai berbulan-bulan. Cin Po yang juga berada di pasukan Sung, tidak ikut bertempur dan seperti biasa, dia lebih banyak mengurus penduduk yang lari mengungsi dan mencegah rakyat terganggu, baik oleh pasukan Sung maupun pasukan Hou-han.

Pada suatu hari dia melihat pertempuran antara dua kelompok pasukan Sung melawan pasukan Hou-han. Seperti biasanya, Cin Po tidak ingin terlibat pertempuran, akan tetapi ketika dia melihat See-thian Tok-ong muncul dan mengamuk, membunuhi banyak perajurit Sung, dia tidak dapat tinggal diam saja.

“See-thian Tok-ong, akulah lawanmu!” bentaknya dan dia sudah melompat ke depan kakek itu.

Kakek tinggi besar bermuka hitam dan bersorban itu marah sekali melihat Cin Po. Tadinya dia mengamuk menggunakan ke dua tangannya yang besar panjang membunuhi para perajurit, akan tetapi begitu berhadapan dengan Cin Po, dia mencabut senjatanya yang mengerikan, yaitu sebatang pedang melengkung yang berkilauan saking tajamnya. Cin Po maklum akan kelihaian datuk dari barat itu, maka diapun telah mencabut Yang-kiam dari punggungnya.

“Bocah setan, kembali engkau yang berani menentangku. Engkau telah menggagalkan semua rencana kami, sekarang bersiaplah untuk mampus di tanganku!” See-thian Tok-ong membentak.

“Tok-ong, dosamu sudah bertumpuk-tumpuk. Agaknya sekali ini engkau yang akan mengakhiri hidupmu, bukan aku!” kata Cin Po dengan sikap tenang, sama sekali tidak terpancing kemarahan oleh ucapan kakek itu.

“Mampuslah!” bentak pula See-thian Tok-ong dan dia mengeluarkan teriakan menyeramkan.

Kalau bukan Cin Po diserang oleh teriakan yang mengandung kekuatan ilmu hitam itu saja sudah cukup untuk merobohkannya. Akan tetapi pemuda berpakaian serba putih ini sudah menerima gemblengan dari Bu Beng Lojin, sudah menguasai kekuatan sihir yang dahsyat, maka teriakan itu ditolaknya dan dia tidak terpengaruh. Ketika pedang melengkung menyambar lehernya, dia cepat mengelak dengan langkah ke belakang dan mengelebatkan Yang-kiam di tangannya untuk menangkis.

“Cring…trang-trang…!” Beberapa kali pedang itu bertemu pedang melengkung dan menimbulkan percikan bunga api. See-thian Tok-ong merasa betapa tangannya tergetar hebat, maka dia menjadi semakin penasaran. Tiba-tiba dia menyerang lagi dengan sabetan pedangnya dan ketika Cin Po mengelak, tangannya mulur panjang dan pedang itu, tetap mengejar.

Cin Po menggerakkan pedangnya menangkis dan ketika pedang lawan terpental, pedangnya menyambar ke arah lengan yang berubah panjang itu. Cepat See-thian Tok-ong menarik kembali tangannya, kemudian sekali tangan kirinya bergerak, sebatang benda hitam meluncur ke arah dada Cin Po. Pemuda ini maklum bahwa pisau terbang itu tentu mengandung racun yang jahat sekali, maka dia tidak berani menyambut dengan tangannya melainkan mengelak.

“Crapp…!” Pisau yang terbang lewat itu mengenai tubuh seorang perajurit Sung yang segera roboh dan seketika tubuhnya menjadi hitam seperti arang! Di sekitar tempat itu memang masih terjadi pertempuran yang hebat antara pasukan Sung dan pasukan Hou-han.

Kini Cin Po tidak mau mengalah dan hanya bertahan saja. Dia segera memainkan pedangnya dengan ilmu silat Ngo-heng-sin-kun dan begitu dia mendesak, See-thian Tok-ong menjadi sibuk sekali. Baginya, pedang yang berkilauan itu seolah berubah menjadi banyak yang menyerangnya dari segala penjuru.

Dia berusaha untuk melindungi dirinya dengan pedangnya yang melengkung itu, akan tetapi setelah lewat seratus jurus, pertahanannya bobol dan pedang Yang-kiam dapat menembus gulungan sinar pedang yang dipakai sebagai perisai dan tepat mengenai dada See-thian Tok-ong.

Karena pedang itu menembus jantungnya, maka See-thian Tok-ong roboh dan tewas seketika. Melihat ini, pasukan Hou-han menjadi gentar dan kacau, mereka melarikan diri meninggalkan banyak mayat kawan mereka. Pertempuran berlangsung terus sampai berbulan-bulan, barulah akhirnya pasukan Sung dapat menduduki kota raja. Akan tetapi biarpun mendapat kemenangan besar, pasukan Sung kehilangan banyak perajurit.

Demikianlah, dalam waktu setahun saja, kerajaan Wu-yeh dan Hou-han terjatuh ke tangan kerajaan Sung yang kini wilayahnya menjadi meluas ke timur sampai di lautan dan ke selatan. Hanya tinggal Khi-tan dan Nan-cou saja yang masih belum dapat mereka taklukan.

Kaisar menyambut kemenangan atas Hou-han ini dengan penuh kegembiraan. Para panglima lalu mengajukan usul agar kerajaan menghimpun pasukan-pasukan baru untuk memperbesar kekuatan balatentara untuk menggempur Nan-cou dan Khi-tan. Akan tetapi usul ini ditentang dengan keras oleh Kok-su.

“Yang Mulia, kemenangan memang sepatutnya dirayakan. Akan tetapi kalau sampai mabok kemenangan dapat membuat kita sendiri kehilangan kewaspadaan. Harap paduka ingat bahwa menghimpun pasukan yang besar membutuhkan biaya yang luar biasa besarnya.

“Kini, Khi-tan dan Nan-cou sudah tahu akan kekuatan kita, dan tentu mereka tidak berani sembarangan membuat kacau. Kalau kita gunakan sedikit emas untuk mengirim hadiah kepada mereka setiap tahun, tentu mereka akan menjadi tetangga yang baik.

“Menghimpun pasukan akan memakan biaya yang beberapa kali lebih banyak dari pada kalau kita mengirim upeti tanda persahabatan. Sebaliknya, kalau kita menghendaki perang, peperangan belum tentu membuat kita menang. Harap diingat bahwa Khi-tan tidak boleh disamakan dengan Hou-han dan Wu-yeh. Khi-tan terlalu kuat dan kalau sampai terjadi perang dan kita kalah, kita akan kehilangan segala-galanya.”

Nasehat ini diterima sepenuhnya oleh Kaisar dan demikianlah. Perang dihentikan dan Kaisar mengutus untuk mengirim upeti tahunan kepada Khi-tan, bahkan kerajaan Nan-cou yang lebih kecilpun tidak diganggu. Para panglima diam-diam merasa prihatin sekali. Kekuatan pasukan Sung amat kecil, hanya beberapa ratus ribu orang saja, padahal wilayahnya menjadi semakin luas setelah Wu-yeh dan Hou-han ditundukkan.

Cin Po juga merasa penasaran. Diam-diam dia mencurigai Kok-su. Kenapa Kok-su agaknya tidak setuju kalau kerajaan Sung memerangi Khi-tan? Akan tetapi kecurigaannya tidak ada buktinya, dan sungguh bodoh untuk menyerang Kok-su yang kedudukannya amat kuat dan amat dipercaya oleh kaisar itu.

Kekuasaan memang diperebutkan semua orang. Tanpa disadari lagi setiap orang memperebutkan kekuasaan, baik kekuasaan itu dimulai dari dalam rumah sendiri sampai keluar menjadi kekuasaan negara. Kekuasaan merupakan perkembangan dari si-aku yang ingin dikenal dan diakui.

Si-aku, yaitu angan-angan dan gambaran tentang diri, diagungkan dan dibesarkan, ingin dikenal sebagai sesuatu yang besar dan karenanya haus akan kekuasaan. Kekuasaan dianggap sebagai identitas diri. Identitas si-aku.

Disamping itu, juga kekuasaan menjadi sumber dari segala macam kesenangan. Kekuasaan diperebutkan dan siapa menang dia berkuasa, siapa berkuasa dia pasti besar karena kekuasaan memang diperalat untuk membesarkan si-aku. Bahkan hukumpun berada di tangan yang berkuasa.

Sebetulnya, kecurigaan Cin Po bukanlah kecurigaan kosong belaka. Kok-su Lauw Thian Seng-cu sebetulnya adalah seorang manusia yang berwatak palsu. Dia itu, ketika masih mudanya dahulu, pernah menjadi sute dari See-thian Tok-ong dan dialah sebetulnya yang tadinya bersekongkol dengan See-thian Tok-ong untuk membunuh Kaisar Sung.

Tentu saja dengan cita-cita bahwa dia sendiri yang kemudian akan memegang kekuasaan dan menjadi kaisar! Dia masih keturunan bangsa Tibet, karenanya dekat dengan bangsa Khi-tan dan Yu-cen. Dia tidak mungkin dapat setia kepada Kaisar Sung, karena banyak sanak saudaranya, tanpa setahu kaisar, menjadi korban dalam perang melawan kerajaan Sung.

Demikianlah, dengan pandainya dia menyusup ke dalam istana kerajaan Sung dan dapat menduduki jabatan Kok-su dan mendapat kepercayaan sepenuhnya oleh Kaisar Sung Thai Cung. Dalam sikapnya, Kok-su memang selalu berhati-hati dan memperlihatkan kesetiaannya sehingga Kaisar sendiri dan para pejabat tinggi terkecoh. Ketika pembunuhan terhadap Kaisar gagal dan pembunuhnya hampir tertangkap oleh Cin Po, dengan cerdiknya Kok-su turun tangan membunuhnya agar rahasianya tidak sampai bocor.

Kini kerajaan Hou-han sudah jatuh, bahkan See-thian Tok-ong telah tewas, demikian pula kerajaan Wu-yeh. Diam-diam dia mengatur siasat lagi, mendekati kerajaan Khi-tan dan mengadakan kontak rahasia dengan Pak-jiu Pak-sian yang menjadi tokoh Khi-tan dan juga dengan Nam-san Cinjin tokoh Nan-cao.

Dia berusaha untuk membikin kerajaan Sung menjadi semakin lemah dan dia sudah berhasil membujuk kaisar agar tidak memperbesar pasukannya dan bahkan mengirim upeti kepada kerajaan Khi-tan sebagai tanda persahabatan. Biarpun Kok-su Lauw Thian Seng-cu sudah bertindak dengan hati-hati sekali dalam menghubungi kedua tokoh ini.

Namun karena sudah menaruh kecurigaan, Menteri Lu Tong Pi yang memasang banyak mata-mata mulai dapat mencium ketidakwajaran ini. Beberapa kali orang-orangnya melihat berkelebatnya orang di waktu malam yang berkunjung ke gedung tempat tinggal kok-su dan melihat pakaiannya bayangan itu seperti bayangan orang Khi-tan.

Akan tetapi gerakan orang itu terlalu cepat sehingga tidak dapat tertangkap atau dilihat dengan jelas. Diam-diam Menteri Lu mencatat semua ini dan dia menghubungi Cin Po, memberitahu tentang kecurigaannya terhadap Kok-su dan minta agar Cin Po diam-diam melakukan penyelidikan atas diri Kok-su Lauw Thian Seng-cu.


Pada suatu pagi yang cerah. Sebuah kereta yang indah meluncur menuju ke pintu gerbang kota raja sebelah barat. Ketika tiba di gardu penjagaan, kereta itu berhenti sebentar dan tirai kereta disingkap. Ketika melihat siapa yang berada di dalam kereta, para penjaga yang tadinya hendak memeriksa kereta, terkejut dan cepat memberi hormat. Siapa yang tidak mengenal Kok-su Lauw Thian Seng-cu?

Melihat para penjaga sudah memberi hormat, Kok-su menutupkan lagi tirai keretanya dan memerintahkan kusir kereta untuk melanjutkan perjalanan. Kereta keluar dari pintu gerbang dan kuda-kuda penarik kereta dilarikan dengan cepat menuju ke barat.

Sekitar tiga puluh lie jauhnya dari kota raja, kereta itu mendaki sebuah bukit menuju ke sebuah bangunan yang merupakan tempat peristirahatan Kok-su. Bukit itu sunyi dan bangunan itu menyendiri.

Setelah tiba di pekarangan bangunan itu, kereta berhenti dan Kok-su meloncat turun dari dalam keretanya. Kusirnya lalu membawa kereta itu ke belakang bangunan dan Kok-su melangkah ke beranda depan.

Dari dalam gedung itu muncul dua orang kakek yang menyambutnya. Yang pertama seorang kakek berusia enampuluh dua tahun, tubuhnya sedang dan kepalanya botak, alisnya tebal dan matanya seperti mata harimau, hidungnya pesek dan mulutnya besar. Yang menarik adalah telinganya yang lebar seperti telinga gajah. Kakek itu bukan sembarang orang karena dia adalah datuk dari Utara, yaitu Pat-jiu Pak-sian tokoh Khi-tan!

Adapun kakek yang kedua adalah seorang kakek yang pendek kecil, seorang yang katai karena tingginya tidak lebih dari satu setengah meter. Akan tetapi jangan dipandang ringan kakek pendek kecil ini karena diapun seorang datuk, yaitu datuk dari selatan Nam-san Sianjin tokoh Nan-cao!

“Ha-ha-ha, kalian berdua sudah datang lebih dulu?” tegur Kok-su sambil tertawa.

Pat-jiu Pak-sian juga tertawa. “Ha-ha, yang menjadi tuan rumah malah terlambat. Aku sudah datang sejak kemarin dan Nam-san Sianjin ini sudah datang sejak pagi tadi!” Mereka saling memberi hormat dengan mengangkat ke dua tangan depan dada.

Pada saat itu, dari dalam rumah muncul pula tiga orang muda, seorang gadis dan dua orang pemuda. Nam-san Sianjin segera memperkenalkan gadis yang berusia sekitar duapuluh tiga tahun, cantik manis dan bertahi lalat di pipi kirinya itu.

“Kok-su, ini adalah muridku bernama Song Mei Ling dan yang ini muridku pula bernama Kim Pak Hun!” Dia menuding ke arah seorang pemuda yang tinggi besar dan nampak gagah, yang berdiri di samping Mei Ling.

“Wah, murid-muridmu ini nampak gagah, cantik dan tampan, Sianjin,” kata Kok-su memuji. “Dan yang seorang ini, siapakah dia?”

“Apakah locianpwe sudah lupa lagi kepada saya? Kita pernah satu kali saling jumpa ketika Kok-su mengadakan pertemuan dengan mendiang Suhu See-thian Tok-ong. Saya datang untuk membantu Kok-su, karena saya ingin membikin pembalasan atas kematian mendiang suhu. Nama saya Kam Song Kui!”

“Ah, benar! Tentu saja kami menerima bantuanmu dengan senang hati, Song Kui. Sayang sekali gurumu telah tewas, akan tetapi jangan khawatir. Kita semua sudah tahu siapa yang membunuh gurumu, dan kita kelak tentu akan dapat membalas dendam itu!”

“Mari kita bicara di dalam saja, Kok-su,” kata Pat-jiu Pak-sian sambil memandang ke kanan kiri karena bagaimanapun juga dia merasa khawatir kalau-kalau pertemuan rahasia ini akan terlihat orang lain.

“Baik, mari silakan masuk semua.”

“Tiga orang muda ini sebaiknya menjaga di luar kalau-kalau ada orang luar menyusup masuk,” kata Pat-jiu Pak-sian dan Nam-san Sianjin mengangguk.

“Kalian jaga di luar,” katanya kepada dua orang muridnya.

“Dan engkau menemani mereka di sini, Song Kui,” kata Kok-su dengan nada suara memerintah. Tiga orang muda itu mengangguk dan mereka tidak ikut masuk, melainkan menjaga di luar.

“Sungguh tidak tepat kalau berjaga dalam tempat terbuka seperti ini. Sebaiknya kita berjaga sambil bersembunyi agar kalau ada orang luar berani masuk, kita dapat menangkapnya,” usul Kam Song Kui.

Dua orang kakak beradik seperguruan itu menganggap usul ini tepat maka mereka lalu menyelinap ke ruangan depan dan menjaga sambil mengintai ke luar. Dengan masuknya tiga orang muda itu, suasana di luar rumah itu nampak sunyi sekali. Dan ternyata usul Kam Song Kui tadi memang tepat sekali.

Setelah suasana di luar gedung menjadi sunyi, tiba-tiba nampak berkelebat bayangan orang. Gerakannya cepat sekali dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita yang memakai cadar hitam di depan mukanya! Wanita itu bukan lain adalah Kui Ciok Hwa.

Seperti yang dikatakan oleh mendiang Tung-hai Mo-ong kepada Cin Po, Ciok Hwa melarikan diri dari ayahnya karena ayahnya melarang ia berhubungan dengan Cin Po. Dalam pelariannya ini ia melihat pertempuran besar terjadi di mana-mana yang mengakibatkan kerajaan Wu-yeh takluk.

Ia tidak memperdulikan pertempuran itu, tidak mau melibatkan diri, akan tetapi ia amat mengkhawatirkan ayahnya. Ia berlari-lari ke sana ke mari mencari ayahnya, akan tetapi tidak berhasil menemukan orang tua itu. Sampai kerajaan Wu-yeh roboh dan takluk kepada kerajaan Sung, ia tidak berhasil menemukan ayahnya.

Ia menjadi khawatir dan penasaran sekali. Ayahnya pernah bersekutu dengan See-thian Tok-ong dan juga dengan Kok-su Kerajaan Sung. Bagaimana sekarang kerajaan Sung malah menyerang Wu-yeh? Dan ke mana ayahnya pergi? Ia tidak percaya kalau ayahnya melarikan diri. Ayahnya bukan orang pengecut macam itu.

Kok-su Lauw Thian Seng-cu! Kepadanyalah ia harus menanyakan ayahnya. Tentu Kok-su itu mengetahuinya karena bukankah mereka bekerja sama? Itulah sebabnya, pada hari itu ia melakukan perjalanan memasuki daerah Sung untuk mencari Kok-su Lauw Thian Seng-cu. Di tengah perjalanan, ketika ia sudah hampir sampai di kota raja, ia melihat kereta itu.

Pernah satu kali ia melihat kereta milik Kok-su Lauw Thian Seng-cu, maka ia lalu membayangi dan ketika kereta itu tiba di rumah atas bukit, iapun mengintai. Benar saja dugaannya, kereta itu milik Kok-su Lauw Thian Seng-cu. Akan tetapi ia menjadi ragu ketika melihat Kok-su itu bertemu, dengan dua orang kakek yang, diketahuinya adalah datuk-datuk dari utara dan selatan. Ia ingin sekali menyelidiki apa yang akan mereka bicarakan. Mungkin saja mereka akan membicarakan tentang ayahnya!

Setelah melihat mereka bertiga dan juga tiga orang muda itu masuk dan keadaan di luar gedung itu sunyi senyap, Ciok Hwa lalu meloncat dan menggunakan keringanan tubuhnya. Ia sudah berada di pendopo gedung itu ketika tiba-tiba tiga orang muda yang tadi dilihatnya memasuki gedung, tiba-tiba kini telah keluar dan mengepungnya!

“Tangkap mata-mata musuh!” bentak Souw Mei Ling dan ia sudah menggerakkan pedangnya menyerang.

Ciok Hwa juga sudah mencabut pedangnya dan menangkis. Terjadilah pertempuran antara kedua orang gadis itu. Kim Pak Hun segera membantu sumoinya, menyerang dengan pedangnya pula. Tentu saja Ciok Hwa menjadi terdesak karena baru melawan Mei Ling seorang saja keadaan mereka sudah seimbang.

Melihat betapa gadis itu memiliki bentuk tubuh yang amat menggairahkan dan kulit tangan dan lehernya demikian putih kemerah-merahan, Kam Song Kui yang mata keranjang itu, sudah menjadi tergila-tergila, akan tetapi dia tahu betapa buruknya wajah gadis itu.

“Jangan bunuh, tangkap agar kita dapat periksa apa kehendaknya!” katanya dan iapun menggunakan sulingnya menyerang untuk menotok dan merobohkan gadis itu.

Dikeroyok tiga, tentu saja Ciok Hwa menjadi terdesak hebat dan akhirnya, sebuah totokan dari suling Kam Song Kui dapat membuatnya roboh terkulai dan lemas tak berdaya.

“Biar kubuka cadarnya agar kita tahu siapa ia dan apa maunya menyusup ke sini!” kata pula Kam Song Kui dan cepat dia lalu menggunakan tangan kirinya menyingkap cadar itu. Tiga orang itu melihat wajah yang penuh totol-totol hitam sehingga wajah itu nampak buruk sekali. Melihat ini, terkejut dan meloncatlah Mei Ling dan Pak Hun ke belakang.

“Ihhh…! Muka setan…!” katanya Mei Ling jijik.

“Kita bunuh saja gadis ini!” kata pula Kim Pak Hun. Tiga orang itu sudah menggerakkan pedang masing-masing, siap untuk membunuh.

Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring, “Tahan senjata!”

Tiga orang itu terkejut dan menengok, dan melihat seorang pemuda berpakaian putih yang sudah mereka kenal baik. Cin Po telah berdiri di sana. Pemuda ini menudingkan telunjuknya dan membentak, “Lepaskan pedang…!”

Sungguh aneh, tiga orang itu tidak kuasa membantah dan merekapun melepaskan pedang masing-masing sehingga jatuh berdentingan ke atas lantai. Cin Po melompat dengan cepatnya, menyambar tubuh Ciok Hwa dan membebaskan totokan gadis itu.

“Twako....!” kata Ciok Hwa terharu bahwa pada saat yang tepat kekasihnya muncul.

Cin Po sudah mengambil pedang gadis itu dan menyerahkan pedang itu kepada Ciok Hwa. “Hwa-moi, berhati-hatilah engkau.”

Kini tiga orang muda itu sudah merasa biasa kembali. Mereka masih terkejut melihat betapa mereka telah melepaskan pedang masing-masing. Kini mereka menyambar kembali pedang mereka dan memandang kepada Cin Po.

“Sung Cin Po, gadis itu adalah mata-mata musuh! Berani engkau membelanya? Suhu berada di dalam, apakah engkau hendak menentang suhu?” bentak Kim Pak Hun sambil menudingkan pedangnya.

Sementara itu Mei Ling memandang dengan penasaran. Bagaimana mungkin Cin Po membela gadis yang wajahnya seperti setan itu dan nampaknya demikian akrab?

“Kalian tidak tahu rupanya. Nona ini adalah Kui Ciok Hwa, puteri dari Tung-hai Mo-ong Kui Bhok!”

Benar saja, kedua orang muda itu terkejut mendengar ini, akan tetapi Kam Song Kui membentak, “Kami sudah tidak mempunyai urusan lagi dengan Tung-hai Mo-ong! Cin Po, menyerahlah engkau sebelum kami terpaksa menggunakan kekerasan!”

“Hemm, engkau tentu murid See-thian Tok-ong yang berjuluk Kang-siauw Tai-hiap itu. Twako, biarkan aku melawannya!” kata Ciok Hwa gemas. Ia sudah tidak senang ketika, ayahnya bersekutu dengan See-thian Tok-ong yang dianggapnya seorang yang amat jahat.

“Tangkap mata-mata Sung!” Kim Pak Hun juga berseru karena dia sejak dahulu membenci Cin Po yang pernah menjatuhkan hati sumoinya. Tanpa diperintah lagi, kedua orang muda itu sudah maju menyerang. Mei Ling yang tadinya masih nampak ragu, terpaksa menerjang pula membantu suhengnya.

Ciok Hwa menyambut suling Kam Song Kui dengan pedangnya, sedangkan Cin Po menyambut kakak dan adik seperguruan itu dengan tangan kosong.

“Suci dan suheng, aku tidak ingin bertempur dengan kalian!” katanya, akan tetapi Kim Pak Hun tidak mau mendengarkan kata-katanya, bahkan menyerang lebih hebat pula.

Cin Po menggunakan kecepatan gerakannya yang dahulu juga dipelajarinya dari Nam-san Sianjin, yaitu Coan-hong-hui untuk mengimbangi kecepatan kedua saudara seperguruan itu, kemudian dengan pengerahan tenaganya, dia mengeluarkan bentakan Tong-te-ho-kang. Seketika ke dua orang saudara seperguruan itu terhuyung ke belakang dan roboh bagaikan didorong angin badai!

Sementara itu, Ciok Hwa juga sudah mulai mendesak Kam Song Kui dengan pedangnya. Akan tetapi pada saat itu, dari dalam bermunculan tiga orang kakek yang tadi terkejut mendengar suara yang nyaring dari Cin Po.

Mendengar bentakan yang menggetarkan ruangan di mana mereka duduk berunding, tiga orang kakek itu terkejut dan maklum bahwa ada orang pandai menggunakan ilmu khi-kangnya. Maka, mereka bergegas keluar dan melihat pertempuran itu, mereka cepat berseru, “Hentikan pertempuran!”

Kam Song Kui yang sudah mulai, terdesak dan juga khawatir melihat dua orang kawannya sudah roboh, cepat meloncat ke belakang. Ciok Hwa meloncat ke dekat Cin Po yang berdiri dengan tegak dan sikap tenang menghadapi tiga orang kakek itu. Kok-su tentu saja terkejut setengah mati ketika mengenal Cin Po berada di situ. Dan Cin Po tersenyum mengejek melihat kekagetan Kok-su.

“Kok-su, bagus sekali. Ternyata engkau seorang pengkhianat besar yang mengadakan perkutuan dengan kerajaan Khi-tan dan Nan-cao! Pantas saja engkau tidak menghendaki perang!”

Saking kagetnya Kok-su tidak dapat menjawab apa-apa hanya memandang dengan mata terbelalak. Dia harus membunuh pemuda itu, kalau tidak, akan hancurlah semua rencananya, bahkan akan berbahayalah baginya. Akan tetapi dasar dia seorang yang ahli siasat dan banyak pengalaman, maka akhirnya dia dapat juga menjawab.

“Sung Cin Po, engkau anak kemarin sore tahu apakah? Aku mengusahakan perdamaian demi ketenteraman kehidupan rakyat dan keselamatan negara Sung! Aku mengadakan pertemuan dengan para tokoh ini untuk membicarakan bagaimana agar perdamaian itu tetap terjaga baik, tidak dirusak oleh setan- setan perang yang membinasakan banyak nyawa manusia dan menghancurkan banyak harta benda!”

Pat-jiu Pak-sian yang pernah menjadi guru Sung Cin Po, segera maju dan menegur bekas muridnya itu. “Cin Po, lupakah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Siapakah yang menyelamatkanmu ketika engkau terjatuh ke dalam jurang? Siapa yang menggemblengmu selama lima tahun dengan penuh kasih sayang?”

Cin Po mengangkat tangan ke depan dada dan menjura kepada kakek itu. “Saya tidak akan pernah melupakan budi kebaikan suhu yang telah dilimpahkan kepada saya. Akan tetapi bagaimanapun juga, saya juga tidak dapat mengabaikan negara dan kerajaan di mana saya menjadi kawulanya. Kalau negara saya dikhianati, tentu harus saya bela.”

“Cin Po, jangan engkau mencampuri urusanku. Urusanku dengan Kok-su Lauw-thian Seng-cu adalah demi kebaikan, dan siapapun tidak boleh mencampuri, termasuk engkau yang pernah menjadi muridku.”

“Maaf, suhu. Saya harap Suhu tidak salah mengerti. Suhu adalah seorang tokoh Khi-tan dan kalau Suhu membantu Khi-tan, hal itu sudah sepatutnya. Akan tetapi saya juga berhak untuk membela Sung, dan sebaiknya suhu kembali ke Khi-tan dan jangan mengganggu kerajaan Sung.”

“Bocah kurang ajar! Murid murtad! Engkau hendak melawanku?”

“Saya tidak berani kalau ini mengenai urusan pribadi. Akan tetapi untuk membela kerajaan Sung, saya berani menghadapi dan melawan siapapun juga.”

“Bagus! Engkau berani menentangku? Nah, hendak kulihat sampai di mana sekarang kemajuanmu maka engkau berani melawan aku! Sambutlah!” bentak Pat-jiu Pak-sian dan kakek ini sudah menyerang dengan ilmu pukulan Pat-jiu-sin-kun. Ilmu silat Pat-jiu-sin-kun (Silat Sakti Delapan Tangan) ini merupakan ilmu silat tangan kosong yang digerakkan dengan cepat bukan main sehingga dua tangan seolah telah berubah menjadi delapan.

“Maafkan saya Suhu!” kata Cin Po dan dia pun bergerak dengan ilmu silat yang sama! Tentu saja dia kalah pengalaman dan kalah matang dalam hal ilmu silat ini, akan tetapi kakek itu tidak tahu bahwa Cin Po telah menerima gemblengan dari seorang sakti, yaitu Bu Beng Lojin yang mematangkan semua ilmu silat yang pernah dipelajari Cin Po.

Gerakannya menjadi lebih cepat, tenaganya menjadi lebih kuat sehingga setelah mereka saling serang selama limapuluh jurus, Pat-jiu Pak-sian terkejut bukan main karena sama sekali dia tidak mampu mendesak bekas muridnya itu! Dengan marah dia lalu mencabut sebatang pedangnya lalu dia mainkan ilmu pedang Hui-sin-kiam-sut...

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.