Rajawali Hitam Jilid 11

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo serial Gelang Kemala seri Rajawali Hitam Jilid 11

Rajawali Hitam Jilid 11

Tin Han menggeleng kepalanya perlahan. "Aku sendiri masih belum tahu benar. Akan tetapi kalau aku tidak salah membuat perhitungan, yang melakukan itu tentulah orang yang amat membenci kepadaku. Di antara para tokoh besar banyak yang membenci aku, Siang Koan Bhok. Aku akan melakukan penyelidikan kepada mereka, terutama Siang Koan Bhok. Dialah yang mengumpulkan para tokoh sesat dunia kangouw untuk bersatu dan mereka kini berbalik menjadi antek-antek pemerintah Mancu."

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

"Akan tetapi engkau berhati-hatilah, Han-te. Mereka itu lihai sekali, apa lagi kalau sudah bekerja sama dengan pasukan pemerintah. Aku sendiri akan membantumu membuka mata dan telinga untuk mencari tahu siapa pembunuh itu."

"Baik dan terima kasih, Siong-ko. Sekarang sebaiknya kita berpisah mengambil jalan masing-masing."

"Baik, selamat jalan, adikku. Eh, sebuah pertanyaan lagi. Bagaimana dengan hubunganmu dengan nona Souw Lee Cin?"

Tin Han terkejut dan mukanya beruhah merah. "Hubungan apa maksudmu, Sing-ko?"

Tin Siong tersenyum. "Jangan pura-pura. Engkau saling mencinta dengan nona Souw, bukan?"

"Bagaimana Siong-ko bisa mengetahuinya?"

"Tentu saja aku tahu dan diam-diam aku merasa girang. Ia memang pantas menjadi jodohmu, Han-te. Di mana ia sekarang?"

"Di Hong-san, di rumah ayah ibunya."

"Dan hubunganmu dengannya?"

"Ah, baik-baik saja. Siong-ko," katanya akan tetapi di dalam hatinya ingin dia menangis ditanya tentang hubungan cintanya dengan Lee Cin.

Kedua orang kakak beradik itu lalu berpisah. Belum lama mereka berpisah, Tin Siong yang berjalan seenaknya mendengar seruan orang dari belakang.

"Cia-taihiap...!"

Tin Siong berhenti melangkah, menoleh dan jantungnya berdebar-debar melihat siapa yang berlari-lari menyusulnya. Mereka itu bukan lain adalah Kwa Ciang dan puterinya, Kwe Li Hwa!

"Cia-taihiap, perlahan dulu!" teriak Kwe Ciang dan tak lama kemudian kedua orang itu sudah berada di depan Tin Siang. Ketika pandang mata Tin Siong bertemu dengan pandang mata Li Hwa, kedua pandang mata itu berlutut sebentar kemudian wajah cantik manis itu menunduk kemerahan.

"Ah, kiranya Paman Kwe dan adik Li Hwa," kata Tin Siong dengan suara gembira.

"Cia-taihiap, kami berdua sengaja menyusulmu karena kami ingin mohon maaf atas tindakan kami yang tidak mengenal budi," kata pula Kwe Ciang dengan sikap sungkan dan merendah.

"Eh, apa yang paman maksudkan?" tanya Tin Siong.

"Kami berdua sudah menerima pertolongan darimu ketika kami dikeroyok perampok, akan tetapi sebagai balas jasa kami malah melaporkan kepada para hwe-sio Siauw-lim-pai karena kami mengira bahwa engkau adalah Hektiauw Eng-hiong yang telah membunuhi para pendeta Siauw-lim-pai."

Tin Siong tersenyum dan kembali pandang matanya bertemu dengan pandang mata Li Hwa. "Ah, itukah? Tidak mengapa, paman. Aku sendiri kalau bertemu dengan orang yang telah membunuhi para hwe-sio itu, tentu akan menentangnya. Paman hanya salah menduga, karena pembunuh itu bukanlah aku orangnya. Tidak perlu paman minta maaf."

Kwe Ciang tersenyum girang. "Ah, lega sudah hatiku telah memohon maaf kepadamu, Cia-taihiap. Sekarang kita dapat bercakap-cakap dengan suasana yang lebih enak. Kalau boleh kami mengetahui, taihiap hendak pergi ke manakah?"

"Aku hanya menurutkan ke mana hati dan kakiku membawaku sambil melihat-lihat kalau-kalau aku akan dapat membantu para hwe-sio Siauw-lim-pai untuk menemukan pembunuh itu."

"Kalau begitu, kalau tai-hiap tidak berkeberatan, kami ingin melakukan perjalanan bersamamu sambil mempererat persahabatan kita."

"Tentu saja aku tidak keberatan, bahkan merasa senang sekali, paman!" kata Tin Siong sejujurnya dan kembali sinar matanya menyambar ke arah wajah Li Hwa dan ketika gadis itu juga mengangkat muka memandangnya, ia segera tertunduk kembali sambil tersenyum.

"Nah, kalau begitu mari kita melanjutkan perjalanan kita, Cia-taihiap. Di depan terdapat sebuah dusun dan kita harus cepat berjalan agar jangan kemalaman di dalam perjalanan."

"Baik, paman. Akan tetapi kuharap paman jangan menyebut lagi tai-hiap kepadaku, cukup dengan menyebut namaku saja. Namaku Cia Tin Siong."

Tiga orang itu lalu melanjutkan perjalanan mereka. Tin Siong merasa betapa suasananya amat berbeda setelah dia melakukan perjalanan dengan gadis itu. Biarpun di situ ada ayah gadis itu, namun dia sudah merasa gembira bukan main.

Apa lagi ternyata olehnya bahwa Li Hwa adalah seorang gadis yang lincah dan enak diajak bercakap-cakap. Dan lebih dari itu, sikap dan sinar mata gadis itu kalau memandangnya, dia dapat merasa bahwa gadis itu juga ada hati kepadanya!


Cia Tin Han melakukan perjalanan seorang diri. Hatinya dipenuhi penasaran. Dia dituduh membunuh delapan belas orang hwe-sio Siauw-lim-pai dan dua orang to-su Kun-lunpai. Sungguh tuduhan yang berat sekali. Dan diapun maklum betapa keadaannya terjepit. Pembunuh itu memakai pakaian dan kedok hitam, mengaku berjuluk Hek-tiauw Enghiong dan menggunakan ilmu pukulan yang sama dengan Hek-tok-ciang, ilmu pukulan Keluarga Cia!

Ini berarti bahwa buktinya telah ada bahwa dia yang membunuh mereka! Kalau tidak muncul Song Thian Lee yang melerai, entah bagaimana jadinya antara dia dan para hwe-sio Siauw-limpai. Dia memang harus menolak tuduhan itu, akan tetapi tidak mungkin dia lalu melawan para hwe-sio yang berarti menambah berat tuduhannya.

Dalam keadaan seperti itu, segala sesuatu tampak buruk. Jalanan yang kotor berdebu, pohon-pohon yang tumbuh. kacau, bahkan rumput dan bunga-bunga di sepanjang jalan tampak seperti memperoloknya. Tidak menyenangkan bahkan menyebalkan.

Ditambah lagi ketika dia teringat kepada Lee Cin, hatinya terasa berat dan kehidupan ini tampak membosankan baginya. Hilang semua gairah hidupnya dan dia menganggap bahwa kehidupan hanya merupakan beban penderitaan belaka.

Indah buruknya hidup memang tergantung dari keadaan hati sendiri. Kalau hati sedang gembira, maka segalanya tampak indah menyenangkan, kehidupan merupakan sarang madu kebahagiaan. Akan tetapi sebaliknya, kalau batin sedang dilanda duka nelangsa, segala sesuatu tampak buruk dan kehidupan merupakan kepahitan yang memuakkan.

Tiba-tiba di depan matanya berkelebat bayangan orang dan bagaikan mimpi dia melihat di depannya telah berdiri seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Lee Cin sendiri!

"Cia Tin Han, hendak lari ke mana engkau?" Gadis itu membentak dengan wajah tampak marah sekali, matanya mengeluarkan sinar berapi.

"Cin-moi.... Apa.... apa katamu....?" Tin Han gelagapan karena sama sekali tidak mengerti akan sikap dan ucapan Lee Cin itu.

"Artinya, engkau harus mampus di tanganku!" Lee Cin berseru dan segera menyerang dengan Ang-tok-ciang.

"Wuuutttttt...!" pukulan itu cepat dan kuat bukan main, dan nyaris dada Tin Han terkena hantaman itu. Akan tetapi biarpun dalam keadaan tegang, terkejut, khawatir dan bingung, Tin Han masih sempat mengelak dan melompat mundur.

"Cin-moi...! Ingat, aku Cia Tin Han, kekasihmu!"

"Siapa sudi? Kau..... kau jahat dan curang!" Kembali Lee Cin mendesak dan kini dia menyerang dengan ilmu totok It-yang-ci.

Tin Han merasa sedih bukan main. "Baiklah, kalau engkau hendak menganggap aku begitu. Akan tetapi sebelum membunuhku, jelaskan dulu persoalannya mengapa engkau bersikap begini," Tin Han sengaja memasang diri tidak mau mengelak akan sehingga totokan Lee Cin mengenai jalan darahnya dan diapun menjadi lumpuh tertotok.

Lee Cin mencabut Ang-coa-kiam dan menempelkan pedangnya di dada Tin Han. Pemuda yang telentang itu tidak berkedip, hanya memandang kepada Lee Cin dengan pasrah.

"Kalau engkau ingin membunuhku, lakukanlah, Cin-moi! Akan tetapi berlakulah adil dan katakan dulu apa salahku."

"Masih berpura-pura? Engkau seorang yang palsu, curang dan licik! Masihkah engkau tidak mau mengaku dan berpura-pura bodoh?"

"Sungguh mati, Cin-moi. Aku sungguh tidak mengerti mengapa engkau menjadi marah-marah seperti ini!"

"Engkau telah menyerang dan melukai ibuku sehingga hampir menewaskannya dan engkau masih pura-pura tidak tahu? Sungguh hatimu palsu dan jahat!"

Tin Han terbelalak. "Apa? Aku sama sekali tidak melakukannya, Cin-moi!"

"Keparat! Aku sudah melihat dengan kepalaku sendiri engkau sebagai Si Kedok Hitam menyerang ibu dan melukainya dengan Hek-tok-ciang, dan engkau masih menyangkal? Selain jahat dan curang, engkau ternyata juga hanya seorang pengecut yang tidak berani mempertanggungjawabkan perbuatanmu!"

Dengan marah sekali Lee Cin tidak menghiraukan lagi penyangkalan Tin Han, melainkan melolos sabuknya dan mengikat kedua tangan Tin Han di depan tubuhnya. Kemudian ia menotok bebas kedua pinggang Tin Han sehingga pemuda itu terbebas di bagian kedua kakinya, akan tetapi belum dapat menggerakkan kedua lengannya. Hebat memang ilmu totok It-yang-ci itu.

"Cin-moi, percayalah kepadaku! Aku tidak melakukan hal itu. Yang melakukannya bukan aku, melainkan orang lain yang menyamar sebagai aku!"

"Cukup! Alasan tak masuk akal. Aku tahu bahwa engkau mendendam kepada ibuku karena menolak dan mengusirmu. Hemm, ternyata ibu lebih benar. Kalau saja aku berjodoh dengan seorang licik dan pengecut seperti engkau, celakalah hidupku!"

"Cin-moi...!" Akan tetapi Lee Cin tidak menjawab lagi melainkan menyeret ujung sabuk sehingga terpaksa Tin Han berlari mengikutinya.

"Cin-moi, kemana engkau hendak membawaku?" tanya Tin Han. Kalau dia menghendaki, dengan kedua kakinya yang telah bebas tentu saja dia dapat menyerang Lee Cin dengan tendangan. Akan tetapi dia tidak tega melakukannya. Dia sudah menyerah dan dia tetap mencinta Lee Cin walaupun diperlakukan demikian karena dia tahu bahwa Lee Cin marah dan membencinya karena perbuatan pembunuh yang menyamar sebagai dirinya itu.

Lee Cin tidak pernah bicara lagi, hanya kadang ia menengok ke belakang seolah ia takut kalau-kalau pemuda itu akan meloloskan diri. Akan tetapi ia melihat Tin Han masih melangkah mengikutinya dengan kedua tangan terbelenggu. Sudah beberapa jam mereka berjalan. Kadang-kadang lari dan kadang-kadang berjalan.

"Cin-moi, beritahulah aku. Aku hendak kau bawa kemanakah?" tanya Tin Han. Suaranya agak gemetar dan sebetulnya Lee Cin merasa kasihan sekali mendengar suara itu, akan tetapi kalau ia menengok dan melihat Tin Han, ia teringat akan bayangan hitam yang melukai ibunya dan hatinya menjadi keras kembali.

"Akan kubawa engkau kepada ibuku, biar ibuku sendiri yang akan menghukummu!" kata Lee pendek dan ketus.

Matahari naik tinggi dan Lee Cin merasa lelah. Lelah, lapar dan haus karena matahari amat teriknya. Dan ia sendiri merasa heran mengapa ia demikian mudah lelah. Ia berhenti di bawah sebatang pohon besar dan duduk di atas sebuah batu. Tin Han juga duduk di atas batu di belakangnya. Sejak tadi dia menurut saja, seperti seekor anjing yang di tuntun majikannya.

Lee Cin mengeluarkan guci airnya dan minum beberapa teguk. Kemudian teringat betapa dahulu Tin Han minum dari guci yang sama. Hatinya menjadi kesal dan ia menyimpan gucinya kembali. Lalu dikeluarkannya beberapa potong roti, digigitnya sepotong. Ketika mengunyah roti itu, ia menengok ke belakang dan melihat betapa Tin Han sedang menatap wajahnya. Melihat Lee Cin menengok, Tin Han tersenyum.

Lee Cin merasa jantungnya seperti ditusuk ketika pandang mata mereka bertemu dan melihat pemuda itu tersenyum. Ia menjadi marah kepada diri sendiri karena tadi hampir saja ia menawari roti dan minum kepada Tin Han. Dibantingnya sisa rotinya, ia bangkit dan melanjutkan berlari lagi. Tin Han terseret dan diapun ikut berlari-lari.

Melihat tingkah Lee Cin, Tin Han tersenyum-senyum. Dia seperti dapat membaca isi hati gadis itu. Gadis itu membencinya, marah kepadanya karena mengira dia melukai ibunya seperti dia melukai ayahnya dahulu, akan tetapi kebencian itu masih terselubung rasa sayang dan cinta kepadanya! Mengetahui akan hal ini, Tin Han yang berjalan di belakang Lee Cin itu tiba-tiba membuka mulutnya dan bernyanyi!

"Benci akan tetapi cinta perpaduan yang aneh tapi nyata marah akan tetapi sayang mendatangkan salah tingkah salah paham mendatangkan bencana sebaiknya selidiki dulu dengan seksama!"

Lee Cin yang merasa disindir oleh nyanyian itu, menarik sabuknya dengan kuat sehingga Tin Han hampir jatuh tersaruk-saruk. "Diam kau! Apakah tidak bisa menutup mulut?" bentaknya sambil berdiri menghadapi Tin Han dengan muka merah.

Tin Han tersenyum. "Bagaimana aku dapat diam kalau menghadapi keadaan seperti ini? Sungguh mesra sekali perjalanan ini!" Dan dia tertawa.

"Singgg !" Lee Cin mencabut pedangnya. "Apa engkau ingin mati sekarang juga?"

"Ha-ha-ha, aku tahu bahwa seorang gadis gagah seperti engkau tidak akan membunuh seorang yang sudah ditawan dan tidak mampu melawan lagi. Akan tetapi andaikata engkau nekat membunuhku, aku tidak akan menyesal, tewas di tangan seorang gadis yang kucinta sepenuh jiwa ragaku."

"Diam! Keparat kau!" Tiba-tiba dua titik air mata meloncat keluar dari pelupuk mata Lee Cin dan ia membanting kakinya, lalu melangkah lagi menarik ujung sabuknya.

Tiba-tiba tampak sesosok bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depan Lee Cin telah berdiri dua orang laki-laki. Lee Cin memandang mereka dengan terkejut karena mereka itu bukan lain adaiah Yauw Seng Kim dan Ban-tok Mo-li. Melihat Lee Cin menyeret Tin Han, Seng Kun dan Mo-li saling pandang dengan heran, akan tetapi Yauw Seng Kun lalu tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, nona Souw Lee Cin. Sungguh kebetulan kita saling berjumpa lagi di tempat ini. Dan itu, engkau mempunyai tawanan. Bukankah itu si orang jahat Cia Tin Han? Ah, engkau sudah menangkapnya. Kebetulan sekali kami juga ingin menangkapnya. Sekali ini kalian berdua akan menjadi tawanan kami!"

Yauw Seng Kim mencabut tongkat bambu kuning dan Ban-tok Mo-li juga sudah mencabut pedangnya yang beracun. Mereka berdua tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang Lee Cin dengan ganasnya.

Lee Cin terpaksa melepaskan ujung sabuk yang dipakai mengikat kedua pergelangan tangan Tin Han dan melompat ke belakang untuk mengindarkan serangan kedua orang itu. Ia juga mencabut Ang-coa-kiam dan ketika dua orang lawannya sudah menyerang lagi, ia memutar pedangnya sekaligus menangkis tongkat bambu kuning dan pedang.

"Trang-trangg...!” Bunga api berpijar dan kedua orang pengeroyok itu merasa betapa tangan mereka yang memegang senjata tergetar hebat.

Lee Cin cepat membalas serangan mereka dengan sambaran pedangnya yang digerakkan dengan cepat dan amat kuatnya. Namun kedua orang lawannya bukan orang lemah. Mereka telah memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga mereka dapat mengelak, lalu menyerang lagi.

Lee Cin memutar pedang melindungi tubuhnya sehingga dua senjata lawan itu tidak mampu menembus gulungan sinar pedangnya dan secepat kilat ia balas menyerang kalau melihat kesempatan terbuka. Pertandingan itu berjalan seru dan mati-matian. Akan tetapi, biarpun kalau mereka itu maju lawan satu masih belum mampu menandinginya, kini karena dikeroyok dua Lee Cin menjadi repot juga.

"Haiiiiitttt....!” Tongkat bambu kuning menotok ke arah lehernya. Lee Cin menangkis dengan pedangnya akan tetapi pada saat itu, pedang Ban-tok Mo-li menyambar ke arah dadanya dengan bacokan dari kanan ke kiri. Karena pedangnya dipergunakan menangkis tongkat.

Maka ia tidak sempat lagi untuk menangkis pedang dan ia melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik dua kali, namun ia dapat menghindarkan diri dari serangan pedang yang berbahaya itu. Lee Cin selanjutnya bersikap hati-hati sekali karena dua orang itu dapat bekerja sama dengan baik dan kalau ia lengah, nyawanya terancam maut.

Sementara itu, Tin Han melihat pula bahaya yang mengancam diri gadis yang dicintanya itu. Dia mengerahkan tenaga sin-kang dari tan-tian di bawa pusar. Hawa panas menjalar naik dan membuka semua jalan darahnya sehingg totokan yang tadinya melumpuhkan kedua tangannya, kini terbebas dan dia mampu mengerahkan tenaganya melalui kedua tangannya.

Dengan mudah dia dapat membikin putus sabuk yang mengikat kedua pergelangan tangannya, kemudian sekali menggerakkan tubuh dia sudah meloncat ke depan dan tangannya menampar ke arah Yauw Seng Kun.

Seng Kun terkejut bukan main merasa ada angin yang kuat m enyambar ke arahnya. Dia melempar tubuh ke belakang lalu mengelebatkan tongkatnya untuk menyerang Tin Han yang sudah berada di sampingnya. Tin Han mengelak dan menyerang lagi dengan tamparan tangannya.

Lee Cin kini menghadapi Ban-tok Mo-li seorang. Setelah tidak dikeroyok Lee Cin segera dapat mendesak Ban-tok Moli dengan Ang-coa-kiam di tangannya. Sama seperti pedang yang dipegang Ban-tok Mo-li, Ang-coa-kiam juga merupakan sebatang pedang beracun, warnanya kemerahan dan ampuh sekali.

Setelah tidak dibantu Seng Kun, Ban-tok Mo-li menjadi repot dan tahulah ia bahwa sekarang keadaannya terbalik. Ia dan Seng Kun yang terdesak hebat dan berada dalam bahaya. Mendadak Ban-tok Mo-li mengeluaran suara melengking nyaring dan segera muncullah duapuluh lebih pasukan pemerintah yang tadinya berada dalam hutan di sebelah.

Mereka segera menggunakan golok untuk menyerang Lee Cin dan Tin Han, dipimpin oleh seorang perwira yang mempergunakan pedang dan yang memiliki ilmu pedang yang lumayan. Tin Han maklum bahwa berdua degan Lee Cin, dia akan mampu menanggulangi pengeroyokan duapuluh lebih orang perajurit itu. Akan tetapi dia tidak ingin melihat Lee Cin membunuh banyak orang, maka dia segera memegang tangan kiri Lee Cin dan berseru,

"Cin-moi, lari!" Dan dia sudah meloncat sambil menarik Lee Cin. Karena tangan kirinya dipegang kuat, mau tidak mau Lee Cin harus berlari juga untuk mengimbangi larinya Tin Han. Pasukan itu mengejar, namun sudah kehilangan jejak karena larinya Tin Han dan Lee Cin cepat bukan main.

Dengan hati mendongkol karena gagal menawan Lee Cin dan Tin Han, Yauw Seng Kim dan Ban-tok Mo-li terpaksa meninggalkan tempat itu untuk melapor kepada bengcu Ouw Kwan Lok bahwa mereka telah bertemu dengan Cia Tin Han dan bahwa Lee Cin agaknya menawan pemuda itu.

"Lepaskan tanganku!" Lee Cin membentak ketika mereka tiba di tengah hutan. Tin Han melepaskannya dan memandang kepada gadis itu dengan senyum.

"Kenapa engkau menarikku dan mengajak lari? Aku tidak takut menghadapi pengeroyokan anjing-anjing Mancu itu! Mengapa pula engkau membantuku? Aku tidak membutuhkan bantuanmu karena engkau adalah musuh besarku!"

Tin Han tidak tersenyum lagi, melainkan memandang gadis itu dengan tatapan mata serius dan berkatalah dia, "Cin-moi, engkau salah paham! Ketahuilah bahwa aku sama sekali tidak pernah menyerang dan melukai ibumu. Kalau aku melakukannya tentu aku akan mengaku. Bukankah aku mengaku juga ketika aku menyerang dan melukai ayahmu? Akan tetapi sekali ini aku sama sekali tidak melakukannya. Harap engkau suka mempertimbangkan baik-baik hal ini."

"Siapa percaya omonganmu? Aku, dengan kedua mataku sendiri, melihat engkau sebagai Hek-tiauw Eng-hiong menyerang ibuku dan melukainya. Apakah aku lebih percaya kepadamu dari pada kepada kedua mataku sendiri?"

"Akan tetapi siapapun juga dapat menyamar sebagai Si Kedok Hitam dan mengaku sebagai Hek-tiauw Eng-hiong! Aku yakin bahwa yang kau lihat itu adalah Hek-tiauw Enghiong palsu, karena aku tidak pernah melakukannya."

"Hemm, ada buktinya yang lebih meyakinkan lagi! Ibuku, setelah kuperiksa, terkena pukulan Hek-tok-ciang, ada tanda tapak tangan hitam di bagian tubuhnya yang terpukul. Siapa lagi orangnya kalau bukan engkau yangmelakukan itu?"

Tin Han menghela napas panjang. "Aku sudah berusaha untuk menyadarkan dan menjelaskan, akan tetapi kalau engkau tetap tidak percaya, nah, kau boleh totok dan ikat aku lagi," kata Tin Han dan dia menyodorkan kedua lengannya ke depan agar di belenggu seperti tadi.

Pada saat itu terdengar suara lantang, "Cin-moi, kenapa engkau masih memakai watakmu yang keras itu?" Dan di situ muncullah Thian Lee!

"Lee-ko...!" Lee Cin berseru sambil memandang kepada orang muda itu. "Apa maksudnya omonganmu tadi?"

"Ketahuilah, Cin- moi bahwa apa yang diucapkan saudara Cia Tin Han itu benar semua. Dia tidak melakukan seperti yang kau tuduhkan. Bukan hanya engkau yang kena dikelabuhi orang, bahkan para tokoh Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai juga dapat tertipu. Belasan orang hwesio Siauw-lim-pai dan dua orang to-su Kun-lun-pai dibunuh oleh seorang yang berkedok hitam dan menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong. Akan tetapi saudara Cia sama sekali tidak bersalah."

"Lee-ko, kenapa engkau membelanya? Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri ketika dia menyerang dan melukai ibuku. Dan dia memang baru saja meninggalkan rumah kami setelah diusir ibu, jadi dia mendendam kepada ibu."

"Bisa saja orang lain yang menyamar sebagai Eng-tiauw Eng-hiong untuk memburukkan namanya seperti yang dilakukan orang itu ketika membunuhi para hwe-sio dan tosu. Aku yang tanggung jawab kepada para lo-suhu Siauw-lim-pai sehingga saudara Cia Tin Han ini tidak jadi mereka tangkap. Saudara Cia diberi waktu dua bulan untuk menangkap pembunuh itu. Karena itu, akupun minta kepadamu agar engkau membebaskan Hek-tiauw Eng-hiong yang aseli dan biarlah dia mencari pembunuh dan penyerang ibumu itu. Bukankah demikian kesanggupanmu, Saudara Cia Tin Han?"

Tin Han tersenyum. "Tadi sudah kujelaskan kepadanya, akan tetapi nona Soauw ini tetap marah kepadaku dan hendak menyeretku menghadap ibunya agar aku dihukum."

"Tidak, Cin-moi. Ini tidak boleh kaulakukan. Kalau dia yang ditangkap kemudian dibunuh, berarti berhasillah Hektiauw Eng-hiong palsu yang hendak mengadu domba. Aku kira engkau tidak sebodoh itu."

Timbul keraguan dalam hati Lee Cin setelah mendengar semua kata-kata itu, dan timbul pula harapannya bahwa yang dikatakan Thian Lee itu benar. Karena kalau benar seperti yang dikatakan Thian Lee, berarti Tin Han tidak bersalah, tidak pernah menyerang dan melukai ibunya.

"Baiklah, aku setuju untuk membebaskannya. Akan tetapi kalau selama dua bulan ini dia tidak dapat menangkap pembunuh itu dan menyeretnya kehadapan ibu, aku tidak akan dapat memaafkan lagi. Karena kalau benar dia yang menyerang dan melukai ibuku, berarti dia telah menghancurkan harapan dan kebahagiaan hidupku.

Sudahlah, Lee-ko, selamat tinggal!" Setelah berkata demikian Lee Cin memandang sejenak kepada Tin Han dengan mata basah, lalu ia meloncat pergi dengan cepat sekali. Thian Lee menghela napas panjang. "Gadis yang hebat! Betapa ia mencintamu, saudara Cia!"

Tin Han memandang wajah Thian Lee yang gagah itu. "Hemm, bagaimana engkau dapat mengatakan demikian, saudara Song Thian Lee?"

"Aku mengenal baik adik Lee Cin, mengenal pula wataknya. Ia hendak menangkapmu, tentu saja karena ia mengira bahwa orang yang dicintanya itu telah melukai ibunya. Kalau ia membencimu tentu ia ingin membunuhmu, bukan sekedar menangkapmu. Dan ingat kata-katanya tadi bahwa kalau benar engkau telah melukai ibunya, berarti engkau menghancurkan harapan dan kebahagiaan hidupnya. Bukankah itu sudah cukup jelas? Dan engkau pun tentu amat mencintanya, saudara Cia."

"Eh, bagaimana pula engkau dapat mengetahuinya?"

"Mudah saja," kata Thian Lee tersenyum. "Kalau engkau hendak melepaskan diri dari tangan Lee Cin, apa sukarnya bagimu? Akan tetapi tidak, engkau menurut saja ditangkapnya tanpa perlawanan. Apa lagi artinya itu kalau bukan cinta?"

"Ha-ha-ha, sudah lama aku mendengar bahwa Song Thian Lee adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, akan tetapi ternyata sekarang aku mendapatkan bahwa selain gagah perkasa, dia cerdik pula. Saudara Song, engkau tahu pula bahwa Hek-tiauw Eng-hiong adalah aku. Bagaimana engkau dapat menduganya?"

"Engkau sudah beberapa kali menolongku dan aku tadinya hanya tahu bahwa engkau Si Kedok Hitam yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dilihat dari gerakan ilmu silatmu, memang ada dasar-dasar ilmu silat Ketuarga Cia, maka tadinya aku hanya menduga bahwa Si Kedok Hitam tentu seorang anggauta Keluarga Cia. Kemudian timbul geger ketika Hek-tiauw Eng-hiong melakukan pembunuhan-pembunuhan keji dan Cin-moi menangkapmu. Siapa lagi engkau kalau bukan Hek-tiauw Eng-hiong yang aseli?"

"Bagus. Engkau hebat, saudara Song dan engkau sudah menyelamatkanku. Baik kalau engkau sudah mengetahui bahwa aku adalah Hek-tiauw Eng-hiong, dan terima kasih kepadamu bahwa engkaulah seorang yang mempercayaiku bahwa aku tidak melakukan semua pembunuhan itu.

Sekarang tinggal bagaimana nasibku saja. Kalau selama dua bulan ini aku tidak berhasil menangkap Hek-tiauw Enghiong palsu itu, tentu seluruh dunia persilatan akan memusuhiku dan aku tidak dapat menyangkal lagi."

"Jangan khawatir, sobat. Orang yang benar selalu dilindungi Thian. Aku pun akan membantumu untuk mencari pembunuh itu."

"Ah, betapa gembiranya hatiku. Aku seperti mendapatkan seorang kakak yang baik hati kepadaku."

"Mengapa tidak? Engkaupun dapat kuanggap sebagai adikku, Han- te (adi Han)."

"Terima kasih, Lee-ko. Sekarang hatiku merasa tenteram karena engkau berpihak kepadaku. Aku mohon petunjuk, Lee-ko. Ke manakah kiranya aku harus mencari pembunuh itu?"

"Hemm, aku sendiri belum dapat menduga dengan tepat siapa dia. Akan tetapi, kita sudah mempunyai beberapa pegangan. Pembunuh itu adalah seorang pemuda yang tubuhnya sebesar tubuhmu dan pembunuh itu memliki ilmu silat yang tinggi dan lihai sekali sehingga dia mampu membunuh In Tong Hwe-sio dan belasan orang hwe-sio lain, bahkan membunuh dua orang to-su dari Kun-lun-pai. Selain itu, diapun memiliki ilmu pukulan seperti Hek-tok-ciang."

"Lalu bagaimana kesimpulanmu Lee-ko?"

"Aku teringat bahwa orang yang memiliki pukulan beracun seperti Hek-tok-ciang itu adalah Tung-hai-ong Siang Koan Bhok, majikan Pulau Naga. Dia memiliki ilmu pukulan Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun). Selain itu juga ilmu kepandaiannya tinggi, dapat dibilang merajai di antara datuk sesat:"

"Hebat! Pendapatmu itu sungguh cocok dengan jalan pikiranku. Ketika engkau diserang rombongan orang dari golongan sesat itu, juga ketika Keluarga Cia di serang, mereka yang menyerang adalah orang-orang yang datang dari Pulau Naga. Bahkan ketika mereka menyerang Keluarga Cia, Siang Koan Bhok sendiri juga ikut dan aku pernah bertanding dengan kakek yang sakti.

Barangkali engkau sudah mendengar, Lee-ko, bahwa setelah beng-cu Souw Tek Bun mengundurkan diri sebagai beng-cu, penggantinya adalah seorang pemuda yang bernama Ouw Kwan Lok. Ketika mereka memperebutkan kedudukan beng-cu, kabarnya tidak ada yang mampu menandingi Ouw Kwan Lok.

Padahal dia hanya mempunyai lengan kanan saja, yang kiri sudah putus. Aku curiga kepadanya karena kabarnya dia bertekad untuk menalukkan seluruh dunia kangouw dan mengangkat dia sebagai beng-cu semua golongan. Apa lagi sekarang ketahuan bahwa dia menggerakkan tokoh-tokoh sesat dalam dunia persilatan, dan bersekutu pula dengan pemerintah penjajah Mancu. Sangat boleh jadi kaIau Ouw Kwan Lok itu yang menjadi pembunuhnya."

"Akan tetapi, engkau sendiri yang mengatakan bahwa Ouw Kwan Lok yang menjadi beng-cu baru itu haya berlengan satu. Padahal pembunuh para hwe-sio dan to-su itu mempunyai dua buah lengan yang lengkap. Ini saja sudah menjadi bukti bahwa bukan dia orangnya yang memalsukan Hek-tiauw Eng-hiong," kata Thian Lee sambil mengerutkan alisnya.

Tin Han menghela napas panjang "Benar juga pendapatmu itu, Lee-ko. Akan tetapi, apakah tidak ada kemungkin yang menyangkal bukti itu?"

"Nanti dulu!" Tiba-tiba Thian Le berseru. "Aku teringat bahwa di kota raja terdapat seorang pandai besi yang terkenal dengan kepandaiannya membuat lengan dan tangan palsu, bahkan kaki palsu. Banyak para hartawan dan bangsawan yang karena suatu sebab kehilangan lengan atau kakinya, membeli kaki tangan palsu itu darinya. Tentu saja mungkin sekali kalau Ouw Kwan Lok menggunakan tangan palsu yang tidak kentara karena tertutup pakaian."

"Bagus! Engkau memang hebat, Lee-ko! Makin tebal kepercayaanku bahwa Ouw Kwan Lok yang menyamar menjadi Hek- tiauw Eng-hiong itu. Aku pernah mengalahkan Siang Koan Bhok ketika dia ikut menyerbu Keluarga Cia dan mungkin karena itu aku dianggap sebagai musuh berbahaya yang harus dilenyapkan.

"Mungkin dengan memburukkan namaku mereka itu akan dapat melenyapkan aku dari permukaan bumi. Dan memang usaha mereka itu hampir berhasil. Aku pernah terancam oleh para hwe-sio Siauw-lim-pai, kemudian terancam oleh Cin-moi sendiri. Siapa tahu pada suatu waktu Kun-lun-pai juga mencariku untuk membalas dendam. Aku harus melakukan penyelidikan ke Pulau Naga!"

"Tepat sekali. Akan tetapi engkau harus berhati-hati sekali, Han-te. Kalau Pulau Naga menjadi tempat tinggal beng-cu dan kalau beng-cu mengumpulkan tokoh-tokoh sesat di dunia kang-ouw di sana, maka tempat itu menjadi amat berbahaya. Sebaiknya kita kini berpencar dan mencari jalan masing-masing sambil melakukan penyeledikan di sepanjang jalan. Kita bertemu kelak di Pulau Naga karena akupun akan melakukan penyelidik an di sana."

"Ada urusan apakah engkau hendak pergi ke sana, Leeko?"

"Selain untuk membantu mencari pembunuh akupun mempunyai perhitungan dengan Siang Koan Bhok. Ketika Thian-te Mo-ong dan kawan-kawannya hendak menangkap kami dahulu itu, ini jelas ada hubungannya dengan persekutuan antara beng-cu, para tokoh sesat, dan pasukan pemerintah. Agaknya beng-cu itu telah berhasil menghasut Kaisar sehingga Kaisar juga menyuruh pasukannya menangkap aku dengan tuduhan memberontak. Aku ingin membuat perhitungan dengan biang keladi ini semua yang kuduga berada di tangan beng-cu Ouw Kwan Lok itu."

"Baik, Lee-ko. Kita bertemu di sana."


Lee Cin meninggalkan Tin Han dan Thian Lee dengan hati tidak karuan rasanya. Benarkah ucapan Thian Lee bahwa yang menjadi pembunuh para hwe-sio dan to-su, juga yang menyerang dan melukai ibunya itu, bukan Tin Han, melainkan orang lain yang menyaru sebagai Hek-tiauw Enghiong?

Memikirkan kemungkinan ini, hatinya menjadi semakin tidak karuan. Ada rasa lega dan gembira, akan tetapi juga ada rasa penyesalan dan malu. Ia telah memperlakukan Tin Han sebagai tawanannya dan diseretnya seperti seekor anjing! Ia tahu bahwa ia, bagaimanapun juga, masih amat mencinta Tin Han.

Kalau ia bersikap seperti itu terhadap Tin Han, hal itu adalah karena tadinya ia yakin bahwa Tin Han yang menyerang ibunya. Akan tetapi sekarang baru ia menyadari kemungkinan adanya pihak ke tiga yang sengaja mengadu domba antara keluarganya dan Tin Han! Kalau dipikirkan secara tenang dan mendalam.

Kini iapun sangsi apakah Tin Han yang demikian lembut dan bijaksana, yang demikian baik hati sehingga berani menentang keluarga sendiri karena dia mempunyai pendirian yang teguh sebagai seorang pendekar patriot sejati, apakah pemuda yang demikian baik itu dapat berbuat demikian rendah untuk menyerang dan melukai ibunya?

Diam-diam hatinya yang tadinya merasa tertindih kini menjadi lega. Ah, alangkah senangnya kalau ternyata bukan Tin Han yang melakukan hal itu. Akan tetapi ia sudah terlanjur bersikap demikian galak dan membenci terhadap Tin Han!

"Ah, apakah sikapku itu tidak amat menyakiti hatinya dan membuat dia membenci aku?" Bibir Lee Cin gemetar dan tak terasa beberapa tetes air mata menuruni kedua pipinya.

Ia berhenti di bawah pohon, berlindung dari terik matahari. Ia teringat akan apa yang baru saja terjadi. Kembali Yauw Seng Kun, si keparat itu, bersama Ban-tok Mo-li hampir mencelakainya. Kalau tidak ada Tin Han yang membantunya, maka pengeroyokan duapuluh lebih orang perajurit dan dua orang jahat itu tentu dapat membahayakan dirinya.

Setelah mendengar pendapat bahwa ada musuh rahasia yang sengaja menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong untuk mengadu domba, Lee Cin teringat akan musuh-musuhnya. Selama ini ia selalu bentrok dengan golongan sesat yang dahulu membantu pemberonrak akan tetapi yang sekarang bahkan menjadi sekutu pemerintah penjajah.

Orang-orang seperti Thian-te Mo-ong, Siang Koan Bhok, Hek-bin Mo-ko, Sin-ciang Mo-kai, Yauw Seng Kun dan Ban-tok Mo-li itu selalu menyerangnya kalau bertemu dengannya. Orang-orang itu juga menjadi musuh Tin Han. Tentu saja mereka itu memusuhi pula Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan lain-lain partai persilatan besar yang menjadi tempat para pendekar.

Ia sekarang teringat. Kalau ada orang yang hendak mengadu domba Hek-tiauw Eng-hiong dengan keluarganya, dengan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, maka besar sekali kemungkinannya orang itu adalah seorang di antara mereka yang memusuhinya itu. Yauw Seng Kun!

Bukankah yang menyamar sebagai Hektiauw Eng- htong palsu itu seorang muda yang badannya sebesar Tin Han? Yauw Seng Kun juga memiliki kepandaian tinggi. Ia tidak boleh tinggal diam. Ia merasa kasihan kepada Tin Han yang hanya diberi waktu dua bulan untuk dapat menangkap pembunuh itu.

Bagaimana kalau selama dua bulan itu pencarian Tin Han gagal? Tentu semua tuduhan akan kembali kepada pemuda itu! Ah, ia tidak boleh tinggal diam. Ia harus membantu Tin Han, melakukan penyelidikan dan mencari pembunuh yang menyamar sebagai Hek-tiauw Eng- hiong itu. Pusat para tokoh sesat itu sekarang berada di Pulau Naga, dipimpin oleh beng-cu baru itu. Ouw Kwan Lok!

Tiba tiba saja seperti sinar kilat menerangi otaknya. Benar! Ouw Kwan Lok itu sekarang telah menjadi seorang yang lihai bukan main. Mengalahkan Im Yang Seng-cu ketua Kun-lunpai bahkan mengalahkan Nenek Cia. Ouw Kwan Lok menjadi beng-cu dan dia yang memimpin golongan sesat.

Mungkin Ouw Kwan Lok yang amat lihai itu yang menyaru sebagai Hek-tiauw Eng- hiong. Akan tetapi, tuduhan itu menjadi lemah kembali ketika ia teringat bahwa lengan kiri Ouw Kwan Lok buntung. Ia sendiri yang membuntungi lengan itu.

Bagaimana mungkin Ouw Kwan Lok dapat menyaru sebagai Hek-tiauw Eng-hiong kalau lengannya hanya satu? Tentu akan ketahuan semua orang. Tidak, Ouw Kwan Lok tidak mungkin menyamar sebagai orang lain. Cacat lengan buntungnya tidak memungkinkan dia melakukan hal itu.

Akan tetapi, andaikata bukan Ouw Kwan Lok sendiri, agaknya pembunuh itu seorang di antara para tokoh kang ouw yang telah bergabung dengan bengcu baru itu. Atas perintah Ouw Kwan Lok. Benar, tidak dapat salah lagi. Kalau hendak mencari pembunuh itu, tempatnya tentu di Pulau Naga. Dengan pikiran ini, Lee Cin lalu melanjutkan perjalanannya ke selatan dan timur, untuk pergi ke Pulau Naga.

Ketika dua hari kemudian memasuki kota Teng-lok yang cukup ramai, dan mengambil keputusan untuk bermalam di kota itu, di sebuah rumah makan merangkap rumah penginapan ia melihat Cia Tin Siong sedang duduk menghadapi meja makan dengan seorang pria setengah tua dan seorang gadis cantik. Sebelum Lee Cin mengambil putusan harus mengambil sikap bagaimana, Tin Siong sudah melihatnya dan pemuda itu segera bangkit berdiri.

"Souw-lihiap!" Tin Siong memanggil dan terpaksa Lee Cin menghampiri meja mereka.

Bagaimanapun juga, Tin Siong adalah kakak kandung Tin Han. Ia membalas penghormatan Tin Siong. "Siong-twako, engkau di sini'?" Lee Cin bertanya sambil memandang kepada gadis yang masih duduk menghadapi meja itu.

"Paman Kwe dan adik Li Hwa, perkenalkan. Nona ini adalah pendekar wanita Souw Lee Cin, puteri dari mantan beng-cu Souw Tek Bun di Hong-san. Souw-lihiap, ini adalah Paman Kwe Ciang bersama puterinya, adik Kwee Li Hwa. Mereka ini adalah murid-murid Bu-tong-pai yang segolongan pendekar.

Lee Cin saling memberi hormat dengan ayah dan anak itu. Tin Siong menggunakan kesempatan itu untuk nempersilakan Lee Cin duduk di meja mereka dan makan bersama. Karena sikap Tin Siong yang sopan dan lembut, Lea Cin merasa tidak enak untuk menolak karena iapun masuk ke rumah makan itu untuk makan siang.

Sambil makan mereka bercakap-cakap. "Souw-lihiap, apakah engkau sudah nendengar tentang fitnah yang dilontarkan orang terhadap keluarga Cia kami?"

Tentu saja Lee Cin mengerti, akan tetapi ia pura-pura bertanya, "Fitnah yang bagaimana, Siong-twako?"

Dengan suara lirih agar jangan terdengar orang lain di rumah makan itu, Tin Han berkata. "Ada seseorang yang menyamar sebagai Hek-tiauw Eng hiong membunuhi belasan orang hwe-sio Siauw-lim-pai dan dua orang to-su Kun lun-pai. Karena orang berkedok itu membunuh dengan pukulan yang mirip Hek-tok-ciang, maka orang-orang sudah menuduh keluarga kami yang melakukan. Terutama sekali adik Cia Tin Han yang dituduh sebagai pembunuh itu."

"Itu benar sekali," kata Kwe Ciang kepada Lee Cin. "Kami sendiri ketika pertama kali bertemu Cia Tin Siong, mengira dialah pembunuh itu dan kami melaporkan kepada para hwe-sio di Siauw-lim-pai."

"Dan para tokoh Siauw-lim-pai segera datang kepadaku dan mereka hendak menangkap aku. Ketika aku tidak mau karena merasa tidak bersalah, mereka memaksa sehingga terjadi pertandingan. Pada saat itu, Hek-tiauw Enghiong muncul. Dia itu bukan lain adalah adikku Cia Tin Han. Adikku juga menyangkal bahwa dia melakukan pembunuhan, akan tetapi para hwe-sio tidak percaya sehingga terjadi perkelahian antara kami berdua dan mereka.

"Selagi keadaan kami terdesak, muncullah pendekar Song Thian Lee, bekas panglima itu dan dialah yang melerai, bahkan dia yang menanggung bahwa adikku Tin Han tidak bersalah. Akhirnya, setelah Tin Han berjanji bahwa dalam dua bulan dia akan menangkap pembunuhnya yang menyamar sebagai Hek-tiauw Eng-hiong itu, atas tanggungan Song Thian Lee, kami dibebaskan. Sungguh membuat orang merasa penasaran sekali!"

Tentu saja Lee Cin sudah mengetahui semua itu. Akan tetapi ia tidak ingin menceritakan betapa orang berkedok itupun menyerang dan melukai ibunya sehingga iapun pernah menangkap dan menyeret Tin Han. Hanya kemunculan Song Thian Lee yang membuat ia sadar dan meragu akan kesalahan Tin Han.

"Aku sudah mendengar tentang pembunuhan itu, bahkan akupun sedang ikut melakukan penyelidikan tentang pembunuhan itu. Apakah engkau sudah dapat menduga siapa adanya pembunuh yang menyamar sebagai adikmu itu Siong-ko?"

"Aku belum dapat menduga siapa yang melakukan perbuatan keji itu. Aku pun hendak menyelidiki, akan tetapi tidak tahu harus mulai dari mana."

"Siong-ko, jelas bahwa orang yang melakukan itu tentu seorang yang menjadi musuh dan amat membenci Keluarga Cia. Tentu engkau dapat tahu siapa kiranya orang yang membenci dan memusuhi keluargamu, orang yang memiliki ilmu silat yang amat tinggi."

Tin Siong mengingat-ingat, kemudian dia mengepal tinjunya dan berkata "Ahh, benar juga! Kenapa aku tidak memikirkan sebelumnya? Keluarga kami pernah didatangi Siang Koan Bhok dan Thian-te Mo-ong bersama kawan-kawan mereka. Mereka membujuk agar kami mau bersekutu dengan mereka dan membantu pemerintah Mancu. Tentu saja kami tidak setuju sehingga terjadi perkelahian antara kami dan mereka. Untung adik Tin Han muncul dan berhasil mengalahkan mereka. Tentu mereka itu yang membenci kami dan tentu perbuatan yang mencemarkan Keluarga Cia ini datang dari mereka!"

"Sekarang semua sudah jelas. Beng-cu baru Ouw Kwan Lok kini telah menjadi antek Mancu dan dia berusaha untuk mempengaruhi semua orang kang-ouw agar mau bekerja sama. Yang tidak mau lalu di musuhi. Keadaan mereka kuat sekali karena selain banyak tokoh sesat mendukung mereka, kini mereka dilindungi oleh pasukan pemerintah. Hemm, sungguh menyesal aku mengapa tempo hari bukan lehernya yang kubikin buntung, melainkan hanya lengan kirinya!"

"Keadaan ini gawat sekali," kata Kwee Ciang yang sejak tadi bersma puterinya hanya mendengarkan saja. "Kita kaum pendekar harus bertindak, kalau tidak, mereka tentu akan lebih berani mencoba untuk membasmi golongan pendekar yang tidak mau menjadi antek Mancu. Aku sendiri akan pergi ke Butong-pai dan memberi kabar ini kepada para suhu di sana agar Bu-tong-pai tidak tinggal diam namun bekerja sama dengan semua pendekar untuk menghancurkan kekuatan jahat yang disusun oleh beng-cu baru di Pulau Naga itu."

Tin Siong mengangguk dengan gembira. Dia merasa senang bahwa ayah Li Hwa mau dengan aktip membantu gerakan untuk membasmi persekongkolan jahat itu.

"Dan aku sendiri akan pergi ke Pulau Naga untuk melakukan penyelidikan dan mencoba untuk mencari di mana adanya pembunuh yang telah mempergunakan nama Hek-tiauw Eng-hiong itu."

Tiba-tiba Kwe Li Hwa berkata kepada ayahnya, "Ayah, aku ingin ikut dan membantu Siong-ko. Engkau setuju, bukan?"

Kwe Ciang tersenyum dan sebelum menjawab dia menatap wajah pemuda itu. Selama beberapa hari melakukan perjalanan bersama, memang terdapat keintiman antara kedua orang muda. Ketika dia melihat bahwa Tin Siong hanya tersenyum dan kelihatan girang dengan ucapan yang dikeluarkan Li Hwa, dia berkata, "Li Hwa, engkau hanya akan mengganggu Tin Siong. Dia sedang melakukan pekerjaan penting."

"Aku tidak akan mengganggunya, bahkan membantunya, ayah!" bantah Li Hwa.

Kwe Ciang menoleh kepada Tin Siong. "Bagaimana pendapatmu, Tin Siong? Apakah engkau tidak berkeberatan kalau Li Hwa ikut pergi bersamamu?"

Tin Siong tersenyum. "Saya tidak berkeberatan dan merasa gembira sekali mendapat bantuan adik Li Hwa."

"Baiklah kalau begitu. Li Hwa, engkau boleh ikut pergi dengan Tin Siong dan membantunya. Akan tetapi kalian berdua harus berhati-hati sekali. Pulau Naga merupakan tempat yang amat berbahaya bagi kalian."

Tentu saja Li Hwa merasa girang bukan main. Wajahnya yang cantik manis itu berseri-seri, sinar matanya juga seperti menari-nari ketika ia memandang kepada Tin Siong. “Ayah, dengan Siong-ko tentu akan bersikap hati-hati. Kuharap saja kami akan dapat membongkar rahasia orang yang menyamar seba gai Hek-tiauw Eng-hiong dan yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu."

Melihat sikap kedua orang muda itu, Lee Cin dapat menduga bahwa tentu ada hubungan batin antara Tin Siong dan Li Hwa. Ia diam-diam merasa gembira sekali.

"Kalau begitu, kita mengambil jalan masing-masing dan mudah-mudahan kelak kita dapat bertemu di Pulau Naga untuk bersama-sama membasmi komplotan golongan sesat yang dihimpun oleh berg-cu Ouw Kwan Lok itu!" kata Lee Cin.

Setelah selesai makan dan bercakap-cakap dengan suara lirih namun bersemangat, Tin Siong lalu membayar harga makanan dan Lee Cin minta diri untuk pergi dari situ. Mereka semua berpencar. Kwee Ciang juga pergi meninggalkan puterinya dan sepasang orang muda itu, Tin Siong dan Li Hwa, juga pergi meninggalkan kota Teng-lok.


Senja itu indah bukan main. Cahaya kemerahan dari langit barat mengecat permukaan bumi dengan warna keemasan yang. cerah. Burung-burung beterbangan pulang ke sarang mereka dan berkicau riang setelah sehari lelah bekerja kini kembali ke sarang mereka yang hangat. Dari jauh tampak seorang anak remaja menggiring sekumpulan kerbau kembali ke dusun.

Punggung kerbau-kerbau itu tampak bersih mengkilap karena habis dimandikan di sungai setelah kenyang makan di padang rumput. Para petani juga berjalan menuju pulang sehabis bekerja sehari di sawah ladang. Langit di barat merupakan keindahan tersendiri untuk dinikmati. Awan-awan yang membentuk bangunan-bangunan aneh berwarna kemerahan, seperti istana-istana sorga tempat tinggal para dewa.

Tin Han terpesona dan dia berhenti melangkah di lereng bukit itu dan memandang ke arah barat. Alangkah indahnya, menakjubkan! Dari lereng yang agak tinggi itu dia dapat melihat kesibukan di dusun bawah bukit. Agaknya semua mahluk sudah siap untuk menanti datangnya malam yang menggantikan siang. Agaknya Sang Raja Matahari hendak meninggalkan kesan yang indah sebelum dia menghilang ke balik gunung di barat. Sebentar lagi semua keindahan di langit itu akan lenyap dan terganti oleh kegelapan yang pekat.

Tin Han teringat. Dia harus bersicepat kalau tidak ingin kemalaman di jaIan. Kakinya mulai bergerak, akan tetapi sukar baginya untuk tidak memandang ke arah langit di barat itu. Awan-awan yang membentuk bermacam bangunan itu demikian indahnya. Lekuk lengkung dengan garis lembut itu demikian sempurna, seperti lukisan Tangan yang Maha Sakti. Kembali dia menahan langkahnya. Lambat laun pemandangan di langit barat itu mulai memudar dan cuaca menjadi semakin remang. Tanda bahwa malam telah hampir tiba.

Ketika memandang dan menikmati semua keindahan itu tanpa berpikir, rasanya dia seperti menjadi satu dengan segala keindahan itu, menjadi bagian tak terpisahkan dari alam. Akan tetapi begitu dia teringat akan keadaan diri dan kebutuhannya, dia merasakan perpisahan dirinya dengan alam. Karena cuaca sudah mulai remang dia bergegas menuruni lereng bukit itu menuju ke dusun di kaki bukit.

Penduduk itu miskin, tampak dari rumah mereka yang kecil-kecil dan butut sehingga Tin Han merasa tidak tega untuk mengganggu dan merepotkan mereka. Di luar dusun itu dia melihat sebuah kuil dan ke sanalah dia berjalan. Kuil itu sudah tua sekali dan tidak dipergunakan lagi, tidak terawat sehingga dindingnya dari tembok itu penuh lumut.

Pohon-pohon rambat memenuhi jendela dan pintunya. Sebagian dari atapnya sudah ambruk, akan tetapi bagian belakangnya masih utuh sehingga tempat itu lumayan untuk dipergunakan sebagai tempat melewatkan malam. Dia menguak daun pintu dan terdengar bunyi berkeriyet nyaring, lalu memasuki kuil itu.

Hawa dingin menyambutnya dan Tin Han bergidik saking dinginnya dan juga karena sedikit banyak ada rasa was-was melihat tempat yang tampaknya angker, seolah-olah tempat itu lebih pantas dihuni setan dan iblis.

Terdapat beberapa buah arca di ruangan belakang, arca dari iblis penjaga pintu neraka. Buatannya halus sekali. Di ruangan belakang ini tempatnya masih lumayan, atapnya tidak rusak dan tempat itu masih mempunyai dinding yang dapat menahan serangan angin malam yang dingin.

Tin Han menemukan sebuah sapu dan menyapu lantainya sehingga bersih. Dia lalu duduk dan mengambil dua batang lilin dari buntalan pakaiannya, menyalakan lilin itu sehingga keadaannya menjadi terang dan tidak menyeramkan lagi.

Akan tetapi ketika dia duduk di atas lantai, dia seperti mendengar suara gerakan dan tiba-tiba dia seperti melihat dua pasang mata mengintainya dari balik arca-arca itu. Dia terkejut dan cepat melompat mendekat, akan tetapi dua pasang mata itu lenyap. Sungguh keadaannya menjadi menegangkan dan menyeramkan. Manusia atau ibliskah yang telah mengintainya?

Tin Han merasa betapa tengkuknya meremang. Dia tidak takut, akan tetapi merasa ngeri juga. Perasaan ini dilawannya dengan anggapan bahwa tidak ada iblis dapat mengganggu manusia, kecuali kalau iblis itu manusia juga dan kalau ada manusia jahat yang mengganggunya, dia sudah siap siaga dan tidak merasa takut.

Malam semakin larut. Tin Han mengumpulkan kayu bakar dan membuat api unggun. Selain dapat mendatangkan kehangatan, api unggun itupun memberi cahaya yang lebih terang dan mengusir nyamuk. Akan tetapi api unggun itu juga menimbulkan bayang-bayang yang besar dan panjang, menari-nari di sekelilirignya, seolah-olah dia dikepung oleh banyak hantu.

Tiba-tiba tampak banyak sekali nyala api disekelilingnya. Nyala api itu seperti obor akan tetapi pemegangnya tidak tampak dan perlahan-lahan obor itu mulai bergerak mengitarinya, makin lama semakin cepat sehingga akhirnya hanya tampak sebagai sebuah lingkaran besar dari api dan kelihatan indah sekali.

Tin Han mengerutkan alisnya dan menjadi tak senang. Dia merasa dipermainkan. Dia yakin bahwa obor-obor itu tentu dipegang oleh manusia, bukan sebangsa iblis. Tangannya meraih ke depan, mengambil sepotong kayu bakar dan segera dia melontarkan kayu bakar itu ke arah lingkaran api sambil mengerahkan tenaga dalamnya.

Wuuuuuttt.... dukkk!"

Terdengar suara mengaduh ketika kayu bakar itu mengenai sasarannya. Tiba-tiba dari sekelilingnya menyambar benda-benda hitam dan ketika benda-benda itu jatuh ke atas lantai, terdengar ledakan-ledakan dan asap berwarna warni mengepul tebal. Tin Han terkejut. Dia meloncat bangun dan siap melawan. Akan tetapi dia segera terbatuk-batuk.

Asap itu berbau keras, memasuki hidungnya seperti merica bubuk sehingga dia terbatuk-batuk.Tin Han tidak dapat menghindarkan diri lagi karena di dalam ruangan itu telah penuh dengan asap. Dia menerjang hendak keluar dari ruangan itu, akan tetapi kepalanya menjadi pening dan dia terhuyung-huyung lalu roboh tak sadarkan diri di atas lantai.

Setelah asap mulai memudar, tampaklah duapuluh lebih orang yang berpakaian serba hijau dan muka mereka dicoreng-moreng dengan cat berwarna warni sehingga sukar sekali untuk mengenal mereka. Akan tetapi dari gerakan mereka yang gesit, mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat yang lihai.

Tanpa banyak cakap lagi, dua orang di antara mereka lain menghampiri Tin Han dan melibat-libatkan tali kain sutera ke tubuh bagian atas Tin Han sehingga kedua tangan pemuda itu sama seka li tidak dapat di gerakkan, dilibat-libat kain sutera itu dengan kuat.

"Cepat bawa dia menghadap Kui-bo (Biang Hantu)!" kata seorang di antara mereka yang agaknya menjadi memimpin dan dari suaranya dapat diduga bahwa ia seorang wanita.

Orang-orang itu memang sukar dikenal karena wajah yang dicoreng moreng, bahkan sukar untuk menentukan mana yang pria dan mana yang wanita. Empat orang lalu menggotong tubuh Tin Han yang masih pingsan dan mereka lalu berjalan dengan cepat keluar dari hutan itu, membawa obor dan menujli ke utara, mendaki sebuah bukit dan keluar masuk hutan.

Pemimpin rombongan, wanita itu, berulang kali melihat apakah Tin Han masih belum sadar dari pingsannya. Setelah melihat pemuda itu sadar dan membuka matanya, ia berkata kepada orang- orangnya, "Lepaskan dia, biar dia jalan dengan kakinya sendiri!"

Empat orang itu melepaskan Tin Han. Pemuda ini ketika sadar menjadi bingung melihat dirinya digotong orang dan berada di tengah-tengah banyak orang yang mukanya dicoreng-moreng dan pakaian mereka serba hijau. Akan tetapi dia segera teringat peristiwa di dalam kuil tua itu dan maklum bahwa dia telah ditawan sekelompok orang aneh.

Dia mendapatkan dirinya dibelenggu dan tubuhnya dibelit-belit kain sutera yang amat kuat sehingga tidak mampu membebaskan kedua tangannya. Kain pengikat dirinya itu dapat mulur seperti karet maka sukar sekali untuk dibikin putus. Tidak, dia harus sabar mencari kesempatan baik, pikirnya.

Membebaskan diri sekarang, selain sukar, juga berbahaya karena dia berada di tengah-tengah duapuluh lebih orang aneh itu. Ketika dia dipaksa melangkah bersama mereka, pemimpin gerombolan itu berjalan mendekatinya dan terdengar suaranya yang merdu, suara seorang wanita muda, bertanya kepadanya.

"Siapa namamu?" Pertanyaan itu diajukan seperti orang bertanya kepada seorang teman saja sehingga Tin Han merasa akrab pula.

"Namaku Cia Tin Han," jawabnya pendek.

"Namaku Siauw Leng Ci," kata pula orang itu dengan suara wajar.

Tin Han diam-diam merasa heran. Melihat sikap dan suara orang ini, agaknya ia bukan dari golongan sesat, akan tetapi mereka itu demikian aneh, mencoreng-moreng muka mereka dan mengapa pula dia ditawan?

"Senang sekali berkenalan denganmu," katanya.

"Akan tetapi mengapa aku kalian tawan? Apa kesalahanku terhadap kalian?"

"Hemm, engkau telah menemukan tempat rahasia kami, karena itu engkau ditawan."

Tin Han tertegun. Kiranya kuil tua itu tempat rahasia orang-orang aneh ini. "Akan tetapi aku tidak sengaja!"

"Hal itu harus dibuktikan dulu nanti."

"Ke mana aku akan dibawa?"

"Engkau akan kami hadapkan kepada ketua kami yang akan menentukan apa yang harus kami lakukan terhadap dirimu."

"Siapakah ketua kalian?"

"la adalah... ibuku!"

Tin Han terkejut. Jadi gadis ini, ia dapat menduga bahwa Siauw Leng Ci tentu seorang gadis muda yang tidak lebih dari duapuluh tahun usianya, puteri ketua gerombolan orang aneh itu. "Siapa nama ibumu?"

"Ibu hanya dikenal nama julukannya saja, yaitu Te-tok Kui-bo (Biang Hantu Racun Bumi)."

Mendengar nama julukan yang menyeramkan itu, Tin Han tertegun. Nama julukan seperti itu membayangkan seorang yang sakti dan kejam. "Akan tetapi, Leng Ci. Engkau sendiri tahu bahwa aku tidak bersalah apa-apa. Aku menemukan tempat rahasia kalian tanpa kusengaja. Apakah untuk itu aku harus menerima hukuman? Itu tidak adil sekali namanya!"

"Jangan khawatir, Tin Han. Ibuku adalah seorang yang bijaksana walaupun ia dapat mengambil keputusan tegas.

Engkau tadi telah merobohkan dua orang anggauta kami dengan lemparan kayu, karena itu engkau dianggap orang yang berkepandaian. Dan ibu memerlukan bantuan orang-orang yang berkepandaian. Tenanglah saja, aku tidak akan tinggal diam kalau engkau diperlakukan tidak adil."

Tin Han merasa lega. Penglihatannya ternyata benar. Gadis ini baik hati dan agaknya tertarik kepadanya. Maka tadi dia sengaja menyebut namanya begitu saja dan agaknya panggilan yang intim itu menyenangkan hatinya, buktinya iapun menyebut namanya begitu saja seolah mereka telah menjadi seorang sahabat baik. Berada di tengah-tengah sekumpulan orang aneh ini, menghibur juga kalau mempunyai seorang sahabat. Dia harus mencari tahu, perkumpulan macam apakah mereka itu.

"Leng Ci, engkau begini baik budi, maka aku yakin bahwa perkumpulanmu tentu perkumpulan baik dan bukan termasuk golongan sesat. Sebetulnya, perkumpulan apakah yang dipimpin oleh ibumu itu?"

"Perkumpulan kami namanya Te-kwi-pang (Perkumpulan Iblis Bumi) dan jangan salah sangka, biarpun kami memakai nama seram itu, sebetulnya kami adalah segolongan patriot yang menentang pemerintah penjajah Mancu. Bahkan mata pencaharian kami untuk membiayai perkumpulan kami adalah dari hasil merampok harta para pembesar Mancu."

"Bagus!" seru Tin Han dengan gembira. "Kalau begitu aku merasa aman, tidak terjatuh ke tangan perkumpulan sesat dan jahat." Dia memandang wajah gadis itu dengan penuh perhatian, berusaha untuk memandang wajah aselinya di balik coreng moreng itu. Matanya tajam bening, hidungnya mancung. Gadis ini tentu seorang yang cantik jelita, pikirnya.

Pada saat itu mereka tiba di sebuah puncak bukit yang tertutup hutan yang penuh dengan pohon besar. Di tengah-tengah hutan itu terdapat puluhan pondok bambu mengelilingi sebuah pondok kayu yang besar. Dan tampak banyak sekali orang yang mukanya dicoreng-moreng kurang lebih seratus orang jumlahnya.

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.